Telaah Hadis Mistis Imam Khomeini 40 Hadis

point

عنوان و نام پديدآور :Telaah Hadis Mistis Imam Khomeini 40 Hadis

مترجم: Musa Kazhim

مشخصات نشر : دارالکتب الاسلامیه

مشخصات ظاهری : 860ص

موضوع: حدیث - اهل بیت علیهم السلام

موضوع: امام خمینی - 40 حدیث

p: 1

point

PENERBIT MIZAN: KHAZANAH ILMU-ILMU ISLAM adalah salah satu lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan informasi mutakhir dan puncak-puncak pemikiran dari pelbagai aliran pemikiran Islam.

p: 2

40 Hadis

Telaah atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak Imam Khomeini

Diterbitkan atas kerja sama mizan

PENERBIT AL-HUDA

Memahamkan Pustaka sebagai Pusaka

KHAZANAH ILMU-ILMU ISLAM

p: 3

40 HADIS: TELAAH ATAS HADIS-HADIS MISTIS DAN AKHLAK

Diterjemahkan dari Syarh Al-Arbain Haditsan, karya Ayatullah Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini, terbitan Mu'assasah Dar Al-Kitab Al-Islâmî, Qum, Iran.

Edisi Lama Penerjemah: Zainal Abidin, Abdullah Hasan, dan Ilyas Hasan

Edisi Revisi Diterjemahkan dan disunting ulang oleh Musa Kazhim

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved

Cetakan I, Rabbi' Al-Awwal 1425/Mei 2004

Cetakan II, Rajab 1430/Juni 2009

Diterbitkan bersama oleh Penerbit Mizan Islamic Cultral Center

PT Mizan Pustaka Jln. Buncit Raya Kav. 35

Anggota IKAPI Pejaten Barat

Jl. Cinambo No. 135 Jakarta 12510

Cisaranten Wetan, Ujungberung PO BOX 7335 JKSPM 12073

Bandung 40294 Telp. (021) 7996767

Telp. (022)7834310 Faks. (021) 7996777

Faks. (022) 7834311 e-mail: info@icc-jakarta.com

e-mail: khazanah@mizan.com http://www.icc-jakarta.com

http://www.mizan.com

Desain sampul: Eja Assagaf

ISBN 979-433-328-X

Didistribusikan oleh:

Mizan Media Utama (MMU)

Jln. Cinambo No. 146 (Cisaranten Wetan),

Ujungberung, Bandung 40294

Telp. (022) 7815500 — Faks. (022) 7802288

e-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id

Perwakilan:

Jakarta: (021) 7661724;

Surabaya: (031) 60050079, 8281857;

Makassar: (0411) 873655

p: 4

Transliterasi

image

p: 5

p: 6

Daftar Isi

Point

Transliterasi - V

Pengantar Penerbit — xix

Pengantar Penulis — xxi

1 Hadis tentang Jihad Al-Nafs -1

Tahap Pertama: Jihad Diri dalam Dunia Lahir — 3

Perenungan (Tafakkur) sebagai Langkah Pertama — 4

Upaya untuk Memperoleh Tekad ('Azm) – 6

Pengondisian Diri (Musyârathah) —8

Pengawasan Diri (Muraqabah) -8

Penghitungan dan Penilaian Diri (Muhasabah) — 9

Mengingat Allah (Tadzakkur) — 10

Tahap Kedua: Jihad Diri dalam Dunia Batin — 13

Kekuatan-Kekuatan Batin - 16

Bagaimana Mengatur Naluri Manusia -- 19

Cara Mengendalikan Daya Khayal dan Imajinasi — 20

Pertimbangan Manfaat-Mudarat (Muwazanah) — 21

Cara Menyembuhkan Penyakit Moral — 29

Kesimpulan — 32

p: 7

2 Hadis tentang Riya' — 33

Tahap Pertama: Ria dalam Keimanan — 34

Perbedaan antara Pengetahuan dan Keimanan -- 36

Akibat-Akibat Buruk dari Ria — 38

Nasihat Ilmiah Menghilangkan Penyakit Ria — 39

Ajakan untuk Ikhlas dalam Berbuat — 42

Derajat Kedua: Ria dalam Perbuatan - 46

Nilai Eksistensi Manusia sebagai Amanat Allah -- 48

Derajat Ketiga: Ria dalam Ibadah —- 50

Bagaimana Melawan Ria Jenis Ini? - 50

Ria dalam Shalat Berjamaah - 53

Ajakan kepada Keikhlasan — 55

Hadis dari Imam 'Ali tentang Tiga Ciri Ria - 61

Derajat Sifat-Sifat (Jiwa) di Antara Manusia — 63

Definisi Sum'ah - 64

3 Hadis tentang Ujub — 65

Derajat-Derajat Ujub - 67

Ujub Orang-Orang yang Tidak Beriman - 70

Halusnya Tipu Daya Diri dan Setan — 72

Keburukan-Keburukan Ujub - 73

Cinta Diri sebagai Sumber Ujub — 79

4 Hadis tentang Kibr (Takabur) — 87

Apakah Kibr itu? — 87

Derajat-Derajat Kibr -- 88

Penjelasan Derajat-Derajat Takabur 89

Penyebab-Penyebab Utama Takabur -91

Keburukan Spiritual dan Sosial dari Takabur — 97

Penyebab Lain Keangkuhan — 102

Cara Menyirnakan Keangkuhan — 107

Siksaan di Akhirat -- 111

Kerendahan Hati dan Kesahajaan Rasulullah Saw. — 112

Untuk Menyembuhkan Penyakit Sombong, Lawanlah

Kehendaknya — 113

p: 8

Isi Buku

Yaqzhah (Sadar), sebagai Langkah Pertama — 115

Kekejian-Kekejian Diri yang Samar – 118

5 Hadis tentang Hasad — 120

Definisi Hasad - 120

Sebab-Sebab Hasad - 122

Keburukan-Keburukan Hasad - 123

Siksa Kubur -- 126

Sumber Kerusakan Moral — 129

Obat Praktis untuk Dengki - 131

Hadis tentang Pengampunan Dengki - 133

6 Hadis tentang Cinta Dunia — 135

Penjelasan tentang Hadis Ini - 135

Pandangan Maulana Majlisi tentang Hakikat Dunia — 136

Faktor-Faktor yang Mendorong Keduniaan — 139

7 Hadis tentang Ghadhab — 150

Manfaat Daya Amarah (Al-Quwwah Al-Ghadhabiyyah) — 151

Buruknya Berlebihan dalam Sikap Marah — 153

Lahirnya Bahaya Moral Akibat Kemarahan -- 157

Bahaya Kemarahan terhadap Amal Perbuatan Manusia - 158

Mengendalikan Amarah — 159

Mengatasi Kemarahan dengan Mencabut Akar-Akarnya --- 161

8 Hadis tentang 'Ashabiyyah — 165

Bahaya 'Ashabiyyah - 167

Hadis Nabi — 169

Bentuk Ukhrawi dari 'Ashabiyyah - 170

Tentang ‘Ashabiyyah Kaum Intelektual — 174

9 Hadis tentang Nifág (Kemunafikan) — 177

Tingkat-Tingkat Niſâq - 178

Akibat-Akibat Niſaq — 180

p: 9

Mengobati Penyakit Nifaq — 182

Beberapa Bentuk Nifaq — 184

10 Hadis tentang Hawa Nafsu dan Harapan - 191

Tentang Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu — 192

Manusia Berciri Hewani Saat Kelahirannya — 192

Al-Quran dan Hadis tentang Keburukan Mengikuti

Hawa Nafsu — 195

Tentang Beragamnya Keinginan Nafsu -- 199

Tentang Buruknya Angan-Angan Tinggi -- 200

Berangan-angan Tinggi Dapat Melupakan Kita

pada Akhirat -- 200

Bekal Perjalanan Jauh yang Terbentang – 201

11 Hadis tentang Fitrah — 206

Makna Fitrah -- 207

Hukum-Hukum Fitrah Manusia - 208

Kebenaran-Kebenaran Agama dalam Fitrah — 209

Kecintaan Manusia kepada Kesempurnaan - 210

Pengesaan Zat Yang Hak dan Sifat-Sifatnya - 215

Keyakinan akan Kebangkitan adalah Fitri — 216

12 Hadis tentang Tafakur - 219

Makna Hati — 220

Kutamaan Tafakur — 221

Tafakur yang Diperlukan dan Dilarang Berkaitan

dengan Zat Allah -- 224

Bertafakur tentang Ciptaan — 229

Bumi dan Matahari: Dua Ciptaan Agung - 230

Bertafakur tentang Keadaan Ruh Manusia — 233

Keutamaan-Keutamaan Shalat Tengah Malam — 240

Apakah Takwa Itu? — 246

Takwa Kaum Awam — 248

p: 10

13 Hadis tentang Tawakal — 254

Penjelasan Makna Hadis — 255

Makna Tawakal dan Tingkatannya — 255

Tawakal pada Tingkat Pernyataan Verbal — 256

Tawakal pada Tingkat Rasional - 258

Tawakal pada Tingkat Hati — 259

Perbedaan Tawakal dan Ridha -- 261

Perbedaan antara Tafwidh, Tawakal, dan Tsiqah — 262

14 Hadis tentang Kecemasan dan Harapan — 265

Antara Harapan dan Kecemasan dalam Pandangan Arif — 167

Tingkat dan Derajat Rasa Takut — 269

Harapan dan Doa — 273

Tafakur, Rasa Takut, dan Harapan — 274

Perbedaan antara Harapan dan Keteperdayaan — 275

Keseimbangan antara Rasa Takut dan Berharap — 279

15 Hadis tentang Cobaan dan Penderitaan

sang Mukmin - 282

Penjelasan Makna Hadis — 283

Makna Cobaan dan Dampaknya — 284

Para Nabi dan Cobaan Allah — 288

Mengingat Allah - 292

Penderitaan Nabi Saw. — 294

Dunia Ini Bukanlah Tempat Pahala dan Siksa — 298

16 Hadis tentang Sabar — 302

Penjelasan Makna Hadis — 303

Hawa Nafsu, Sumber Segala Perbudakan — 304

Sabar: Hasil Keterbebasan dari Hawa Nafsu — 313

Hasil-Hasil Sabar — 316

Derajat dan Tingkatan Sabar — 321

Derajat Sabar 'Urafa’ — 324

p: 11

17 Hadis tentang Tobat — 326

Hakikat Tobat - 327

Tobat dan Penangguhan — 328

Hal-Hal Penting — 330

Hal-Hal Pokok dalam Bertobat — 331

Syarat-Syarat Tobat — 334

Hasil Istighfar -- 341

Mengenai Tafsir Taubah Nashứh — 342

Semua Makhluk Dianugerahi Hidup dan Pengetahuan — 343

18 Hadis tentang Zikir kepada Allah — 345

Perbedaan antara Tafakkur dan Tadzakkur -- 350

Zikir Sempuma — 352

19 Hadis tentang Ghibah (Mengumpat) — 358

Definisi Ghibah - 360

Kerugian Sosial Akibat Ghibah — 373

Tentang Menyembuhkan Penyakit Ghibah — 375

Prioritas Berpantang dari Ghibah yang Diperbolehkan — 379

Tentang Larangan Mendengarkan Ghibah — 381

Penutup: Wacana Al-Syahid Al-Tsani — 384

20 Hadis tentang Ikhlas — 387

Makna "Cobaan" dalam kaitannya dengan Allah — 389

Takut, Niat Ikhlas, dan Amal yang Benar — 391

Definisi Ikhlas -- 396

Ikhlas Itu Buah Bertindak — 398

21 Hadis tentang Syukur - 404

Interpretasi Mistis ('Irfāni) — 411

Hakikat Syukur -- 415

Cara Bersyukur — 417

Berbagai Tingkatan dalam Bersyukur -- 419

p: 12

Kedudukan Syukur dalam Hadis -- 421

Kesimpulan — 424

22 Hadis tentang Takut Mati — 429

Hakikat Surga dan Neraka — 436

23 Hadis tentang Tipe-Tipe para Penuntut Ilmu — 441

Bagian Pertama — 447

Bagian Kedua - 452

Bagian Ketiga — 457

Bagian Keempat — 461

24 Hadis tentang Klasifikasi Ilmu — 463

Bagian Pertama - 456

Bagian Kedua — 471

Bagian Ketiga - 473

Bagian Keempat — 478

Bagian Kelima — 479

25 Hadis tentang Waswas -- 481

Penjelasan Sederhana mengenai Sifat Waswas - 484

Obat Waswas — 490

26 Hadis tentang Penuntut Ilmu - 495

Bagian mengenai Jalan Ilmu dan Jalan Menuju Surga - Satu Hal Penting --- 498

Mengenai Malaikat yang Membentangkan Sayapnya untuk Penuntut Ilmu — 499

Bagian mengenai Penghuni Langit dan Bumi yang Memohonkan Ampunan bagi Penuntut Ilmu — 502

Bagian mengenai Keunggulan 'Âlim atas ‘Abid — 505

Bagian mengenai Ulama sebagai Pewaris para Nabi -- 509

p: 13

27 Hadis tentang Konsentrasi dan Perhatian Hati - 511

Arti Ibadah — 512

Berbagai Tingkat Konsentrasi — 522

Perhatian terhadap Ibadah — 523

Perhatian terhadap Ma'bûd — 524

Perwujudan Perbuatan di Akhirat --- 528

Ibadah dan Bebas dari Kebutuhan - 538

Suatu Peringatan — 542

28 Hadis tentang Pertemuan dengan Allah — 544

Liqa' Allah dan Sifatnya — 547

Terungkapnya Sebagian Keadaan Gaib Menjelang

Kematian - 555

Makna “Cinta” dan “Benci” Apabila Dinisbahkan

kepada Allah — 562

29 Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali Ibn

Abi Thalib — 565

Mukadimah — 568

Keburukan-Keburukan Dusta — 570

Makna dan Tingkat-Tingkat Wara-—- 574

Keburukan Khianat dan Makna Amanat — 577

Tentang Beberapa Amanat Allah -- 583

Tentang Takut kepada Allah Taala — 586

Perbedaan Orang dalam Menjaga Kesopanan di Hadapan Allah — 588

Tentang Fadilah Menangis - 590

Tentang Balasan yang Tak Sepadan — 591

Tentang Jumlah Nawafil — 594

Tentang Istihbab Berpuasa pada Tiga Hari dalam Setiap Bulan - 595

Tentang Kebaikan Sedekah — 597

Satu Perkara Penting Lain — 600

Salah Satu Rahasia Sedekah --- 601

p: 14

Catatan Tambahan --- 602

Penutup — 603

Tentang Kebaikan Shalat Malam -- 604

Tentang Shalat Al-Wustha - 605

Tentang Kebaikan Membaca Al-Quran — 608

Tentang Pengaruh Ibadah pada Usia Muda -- 611

Tentang Adab Qira'ah — 612

Tentang Ketulusan dalam Membaca — 614

Tentang Makna Tartil - 617

Mengangkat dan Membalikkan Kedua Tangan — 619

Rahasia Mengangkat Kedua Tangan — 620

Peringatan tentang Tipuan Setan — 623

Fadilah Siwak — 624

Prinsip-Prinsip Akhlak Mulia dan Akhlak Buruk di Akhir Wasiat Rasulullah - 625

30 Hadis tentang Bagian-Bagian Hati — 631

Dorongan Memperbaiki Diri — 633

Dasar Pembagian Hati dan Tingkatan-Tingkatannya — 634

Mengapa Hati Dibagi Menjadi Empat? — 636

Keadaan-Keadaan Hati — 637

Hati Mukmin yang Putih dan Bercahaya — 638

Penjelasan Ihwal Tipuan-Tipuan Setan — 641

Perbedaan Antara Hati Orang Munafik dan Orang Mukmin — 644

Terbaliknya Hati — 646

31 Hadis tentang Allah Tidak Bisa Disifati — 648

Penjelasan — 649

Maksud Ketaktersifatan Allah — 651

Mengetahui Hakikat Nama dan Sifat Allah Tidaklah Mudah -- 655

Ilmu tentang Hakikat Spiritualitas para Nabi dan Wali tidak Mungkin Diperoleh melalui Pemikiran dan Pembuktian Rasional — 656

p: 15

Pelimpahan Urusan kepada Rasulullah Saw. - 661

Isyarat Singkat tentang Pengertian Tafwidh (Pelimpahan) — 665

Isyarat tentang Maqâm para Imam a.ş. — 667

Hakikat 'Ishmah - 669

Iman Tidak Dapat Disifati — 670

32 Hadis tentang Rezeki – 673

Penjelasan - 674

Tanda-Tanda Hujah yang Yakin — 678

Pendapat Mu'tazilah, Asy'ariyyah, dan Mazhab yang Benar -- 681

Allah Menempatkan Ketenangan dan Kesenangan pada Keyakinan dan Ridha, Kegelisahan dan Kesedihan pada keraguan dan Kebencian, Berdasarkan Prinsip Keadilan — 683

33 Hadis tentang Hubungan Antara Iman dan Amal — 685

Penjelasan — 686

Mengompromikan Riwayat-Riwayat yang secara Lahiriah Saling Bertentangan — 687

34 Hadis tentang Orang Mukmin - 702

Catatan — 707

Tentang Keraguan dan Kebimbangan Allah Swt. — 708

Pandangan Ahli Makrifat — 709

Pemahaman Lain tentang Masalah Keraguan — 714

Allah Menjadikan Keadaan Kaum Mukmin Menjadi Baik dengan

Kemiskinan, Kekayaan, dan Lain-Lain — 715

Kewajiban-Kewajiban yang Fardhu dan yang Nafilah Bisa

Mendekatkan Seseorang kepada Allah dan Pengaruhnya

dalam Pandangan Ahli Tasawuf dan 'Irfan — 717

Pendapat Syaikh Al-Baha'i — 721

Pendapat Syaikh Al-Thusi — 722

Pendapat Syaikh Al-Majlisi — 723

Penutup - 725

p: 16

35 Hadis tentang Kebaikan dari Allah dan Keburukan dari

Manusia -- 727

Penjelasan — 728

Nama-Nama Allah Mempunyai Dua Tingkat — 728

Masalah Al-Jabr dan Al-Tafwidh — 730

Allah Tidak Dimintai Pertanggungjawaban; Manusia Dimintai

Pertanggungjawaban — 734

36 Hadis tentang Sifat-Sifat Dzâtiyyah Allah Swt. — 738

Penjelasan — 739

Keidentikan Sifat Allah Swt. dengan Zat-Nya -- 740

Pandangan para Filosof tentang Pembagian Sifat Allah Swt. — 742

Kajian tentang Keidentikan Sifat dengan Zat Allah — 744

Pengetahuan Sebelum Adanya Objek yang Diketahui -- 746

Tentang Pendengaran dan Penglihatan Allah Swt. — 749

Hubungan Pengetahuan Allah dengan Objek yang Diketahui -- 754

Kriteria dalam Sifat Tsubûtiyyah dan Salbiyyah — 756

37 Hadis tentang Memakrifati Allah dengan Allah

Memakrifati Rasul dengan Risalah — 761

Penjelasan — 761

Pengertian “Makrifatilah Allah dengan Allah” — 764

Hadis-Hadis tentang Makrifat Tidak Bisa Ditafsirkan secara

Lazim -771

38 Hadis tentang Allah Menciptakan Adam Sesuai dengan

Bentuk-Nya — 775

Penjelasan — 776

Manusia adalah Manifestasi Sempurna Allah dan Nama

Agung-Nya — 780

39 Hadis tentang Kebaikan dan Keburukan — 785

Penjelasan - 786

Kebaikan dan Keburukan Berkaitan dengan Pewujudan dan

Beberapa Penjelasan Ihwal Kebaikan dan Keburukan dalam

Penciptaan dan Masalah Qadha — 789

p: 17

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

Allah Menjalankan Kebaikan dan Keburukan di Tangan Hamba-

Nya — 792

Kekeliruan Paham Al-Jabr (Keterpaksaan) — 794

40 Hadis tentang Tafsir Surah Al-Tauhid dan Ayat-Ayat

Pertama Surah Al-Hadid — 799

Penjelasan — 800

Isyarat tentang Tafsir Surah Al-Tauhîd — 802

Ulasan Singkat tentang Tafsir Enam Ayat Pertama Surah

Al-Hadid — 808

Khatimah - 817

Doa dan Penutup -- 819

Catatan-Catatan — 821

Indeks ---- 845

p: 18

Pengantar Penerbit

Pengantar Penerbit

Karya Imam Khomeini ini—aslinya berbahasa Persia dengan judul Syarh-i Chihil Hadits—selesai ditulis pada 1939 saat penulisnya berusia 37 tahun. Isinya membahas empat puluh hadis yang berkenaan dengan masalah-masalah tauhid, akhlak, dan mistis. Buku ini merupakan edisi lengkap dari 40 Hadis Telaah Imam

Khomeini yang sebelumnya telah diterbitkan oleh Mizan dalam empat edisi terpisah yang masing-masing berisi sepuluh hadis. Ada sejumlah perubahan signifikan dalam edisi revisi ini dibandingkan empat edisi terpisah terdahulu, di samping soal transliterasi yang lebih konsisten dan pengemasan yang lebih apik dan enak dibaca. Perubahan tersebut harus kami lakukan sejalan dengan komitmen kami untuk menyajikan teks yang berkualitas dari buku-buku yang kami terbitkan.

Menilik arti penting tema dan otoritas-tinggi penulisnya, buku yang telah dikemas kompak dalam satu edisi ini diharapkan dapat menjadi buku panduan ruhani bagi siapa saja yang hendak mengenal kedalaman dan keluasan pandangan-spiritual ajaran Islam.

Pembaca, selamat membaca dan menikmati kuliah ruhani dari sang alim-sufi sejati, yang lebih dikenal oleh khalayak sebagai pemimpin Revolusi Islam Iran ini. Semoga makna-makna lahir dan batin

p: 19

yang terkandung di dalamnya akan menyalakan kalbu dan pikiran pembaca—dengan pertolongan Allah dan barakah Nabi Muhammad dan keluarganya.

Bandung, Rabbi' Al-Awwal 1425

Penerbit Mizan

p: 20

Pengantar Penulis

Pengantar Penulis

Bismillahirrahmanirrahim,

Ya Allah! Pancarkan cahaya keikhlasan kepada cermin hati, bersihkan karat kemusyrikan dari lembaran hati, dan tunjukkan jalan kebahagiaan dan keselamatan yang luas kepada para pengelana yang tak berdaya dalam kebingungan dan kesesatan. Bantulah kami untuk berakhlak yang mulia dan berilah kami segenap anugerah dan kelembutan yang Engkau khususkan bagi para wali-Mu. Usirlah pasukan setan dan kejahilan dari kerajaan hati kami, dan tempatkanlah sebagai gantinya pasukan pengetahuan, hikmah, dan Al-Rahmân. Penuhilah hati kami dengan kecintaan pada-Mu dan pada hamba-hamba yang Engkau khususkan dengan kedekatan pada-Mu ketika Engkau keluarkan kami dari alam ini. Perlakukan kami dengan kasih-Mu saat kami meninggal dan sesudahnya. Dan jadikanlah kebahagiaan sebagai akibat semua urusan kami, demi Muhammad Saw. dan Keluarganya yang suci.

Maksud Penulisan Buku Ini

Untuk beberapa lama aku, hamba Allah yang papa dan tak berdaya ini, merenung untuk memilih empat puluh hadis di antara hadis- hadis Ahl Al-Bait Saw. dari kitab-kitab autentik para sahabat dan

p: 21

alim serta berupaya menerangkan tiap-tiap hadis dengan bobot yang sesuai dengan pemahaman awam. Aku memilih untuk menuliskannya dalam bahasa Persia agar mereka yang mengenal bahasa Persia dapat mengambil manfaat darinya. Harapanku bersandar pada hadis: “Barang siapa mengutarakan empat puluh hadis (dalam bentuk hafalan) kepada umatku sehingga mereka memperoleh manfaat darinya, kelak pada hari kiamat Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih (penuh pemahaman) lagi alim.

p: 22

1 Hadis tentang Jihad Al-Nafs

Point

خبرنی أجازة، مکاتبة و مشافهة عدّة من المشایخ العظام و الثقات الکرام منهم الشّیخ العلّامة المتکلّم الفقیه الأصولی الأدیب المتبحّر الشّیخ محمّد رضا آل العلّامة الوفی الشّیخ محمّد تقی الأصفهانی , أدام الله توفیقه- حین تشرّفه بقم الشّریف، و الشّیخ العالم الجلیل المتعبّد الثّقة الثّبت الحاج شیخ عبّاس القمی , دام توفیقه- کلاهما عن المولی العالم الزّاهد العابد الفقیه المحدّث الآمیرزا حسین النوری , نور الله مرقده الشّریف- عن العلّامة الشّیخ مرتضی الأنصاری , ، قدّس الله سرّه. و منهم السیّد السّند الفقیه المتکلّم الثّقة العین الثّبت العلّامة السیّد محسن الأمین العاملی , ، أدام الله تأییداته، عن الفقیه العلّام، صاحب المصنّفات العدیدة السیّد محمّد بن هاشم الموسوی الرضوی الهندی , ، المجاور فی النّجف الأشرف حیّا و میّتا، قدّس الله سرّه، عن العلّامة الأنصاری. و منهم السیّد العالم الثقّة الثّبت السیّد أبو القاسم الدهکردی الأصفهانی , ، عن السیّد السّند الأمجد الآمیرزا محمّد هاشم الأصفهانی , قدّس سرّه، عن العلّامة الأنصاری (و لنا طرق أخری غیر منتهیة إلی الشّیخ ترکناها) عن المولی الأفضل أحمد النّراقی , ، عن السیّد مهدی المدعوّ ببحر العلوم صاحب الکرامات , ، رضوان الله علیه، عن أستاد الکلّ الآقا محمّد باقر البهبهانی , ، عن والده الأکمل محمّد أکمل , ، عن المولی محمّد باقر

المجلسی , ، عن والده المحقّق المولی محمّد تقی المجلسی , ، عن الشّیخ المحقّق البهائی ، عن والده الشّیخ حسین ، عن الشّیخ زین الدّین الشهیر بالشّهید الثانی الشّیخ علیّ بن عبد العالی المیسی ، عن الشّیخ شمس الدّین محمّد بن المؤذّن الجزینی ، عن الشیخ ضیاء الدّین علی ، عن والده الحائز للمرتبتین الشیخ شمس الدّین محمّد بن مکّی ، عن الشّیخ أبی طالب محمّد فخر المحقّقین ، عن والده آیة الله الحسن بن مطهّر العلّامة الحلّی ، عن الشّیخ أبی القاسم جعفر بن الحسن بن سعید الحلّی المحقّق علی الإطلاق ، عن السیّد أبی علی فخار بن المعد الموسوی ، عن الشّیخ شاذان بن جبرئیل القمی ، عن الشّیخ محمّد بن أبی القاسم الطبری ، عن الشّیخ أبی علیّ الحسن والده شیخ الطائفة أبی جعفر محمّد بن الحسن الطوسی [30] جامع التهذیب و الإستبصار، عن امام الفقهاء و المتکلّمین الشیخ أبی عبد الله محمّد بن محمّد بن نعمان الشّیخ المفید ، عن شیخه رئیس المحدّثین الشّیخ أبی جعفر محمّد بن علیّ بن الحسین بن موسی بن بابویه القمی صاحب کتاب «من لا یحضره الفقیه»، عن الشّیخ أبی القاسم جعفر بن قولویه ، عن الشّیخ الأجلّ ثقة الإسلام محمّد بن یعقوب الکلینیّ صاحب الکافی، عن علیّ بن إبراهیم ، عن أبیه ، عن النّوفل ، عن السّکونی ، عن أبی عبد الله، علیه السّلام: أنّ النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، بعث سریّة فلمّا رجعوا قال: مرحبا بقوم، قضوا الجهاد الأصغر، و بقی علیهم الجهاد الأکبر.

ketika Rasul Saw. melihat pasukan (1) yang kembali dari sebuah peperangan, beliau bersabda, “Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tersisa bagi mereka jihad akbar.” Ketika orang-orang bertanya tentang makna jihad akbar itu, Rasul Saw. menjawab, “Jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs).(2)

p: 1


1- Pasukan tempur (sariyyah) adalah bagian dari pasukan besar dan diriwayatkan bahwa sebaik-baik sariyyah ialah yang berjumlah empat ratus orang. Riwayat lain mengatakan bahwa pasukan tempur yang di dalamnya Nabi Saw. ikut serta disebut ghazwah. Sementara yang Nabi Saw. tidak ikut di dalamnya disebut sariyyah—peny.
2- Hadis ini dikabarkan kapadaku dengan ijazah tertulis maupun lisan oleh sejumlah syaikh (guru) yang agung dan otoritas yang mulia, antara lain: Syaikh Muhammad Ridha Al-Wafi dari keluarga Muhammad Tagi Al-Ishfahani saat beliau berada di Kota Suci Oum dan Syaikh 'Abbas Al-Qummi, pengarang buku kumpulan doa, Mafatih Al-Jinân. Kedua alim ini menukil dari al-muhaddits (ahli hadis) Husein Al-Nuri, dan Al-Nuri menukil dari Syaikh Murtadha Al-Anshari. Di antara mereka yang mengabarkan hadis ini kepadaku adalah 'Allamah Muhsin Al-Amin Al-'Amili, dari Muhammad ibn Hasyim Al-Musawi Al-Ridhawi Al-Hindi-yang tinggal di dekat Najaf Al-Asyraf dalam masa hidup maupun matinya——dari Syaikh Murtadha Al-Anshari. Di antara mereka juga adalah Abu Al-Qasim Al-Dahkardi Al-Ishfahani, dari Al-Mirza Muhammad Hasyim Al-Ishfahani, dari Syaikh Murtadha Al-Anshari. Kami juga memiliki jalur-jalur lain dalam periwayatan hadis ini hingga ke Syaikh Murtadha Al-Anshari yang tidak kami sebutkan nama perawinya satu demi satu. Kami terutama meriwayatkan hadis ini dari Al-Maula Ahmad Al-Naragi, dari Sayyid Mahdi yang bergelar bahr al-'ulům (lautan ilmu) dan memiliki banyak kardmah, dari mahaguru Agha Muhammad Baqir Al-Bahbahani, dari ayahnya, Muhammad Akmal, dari Al-Maula Muhammad Baqir Al-Majlisi, dari ayahnya, Al-Maula Muhammad Taqi Al-Majlisi, dari Syaikh Al-Muhaqqiq Al-Baha'i, dari ayahnya Syaikh Husein, dari Syaikh Zain Al-Din yang dikenal dengan al-syahid al-tsâni (syahid kedua), dari Syaikh 'Ali ibn 'Abd Al-Ali Al-Misi, dari Syaikh Syams Al-Din Muhammad ibn Al-Muadzdzin Al-Jazini, dari Syaikh Dhiya Al-Din ‘Ali, dari ayahnya, Syaikh Syams Al-Din Muhammad ibn Makki, dari Syaikh Abu Thalib Muhammad yang bergelar fakhr al-muhaqqiqin (kebanggaan para peneliti), dari ayahnya, Ayatullah Al-Hasan ibn Muthahhar, yang dikenal sebagai 'Allamah Al-Hilli, dari Syaikh Abu Al-Qasim Ja'far ibn Al-Hasan ibn Said yang dikenal sebagai Al-Muhaqqiq Al-Hilli, dari Sayyid Abu 'Ali Fakhkhar ibn Ma'd Al-Musawi, dari Syaikh Syadzan ibn Jibril Al-Qummi, dari Syaikh Muhammad ibn Abu Al-Qasim Al-Thabar., dari Syaikh Abu Ali Al-Hasan, dari ayahnya, Syaikh Abu Ja'far Muhammad ibn Al-Hasan Al-Thusi yang bergelar syaikh al-tha'ifah (guru mazhab Syi'ah), dari Syaikh Abu `Abdillah Muhammad ibn Al-Nu'man yang dikenal sebagai Syaikh Al-Mufid, dari gurunya, Syaikh Abu Ja'far Muhammad ibn Ali ibn Al-Husein ibn Musa ibn Babweih Al-Qummi, dari Syaikh Abu Al-Qasim Ja'far ibn Qulweih, dan Syaikh tsiqat al-Islam (otoritas Islam) Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Al-Naufali, dari Al-Sukuni dari Abu 'Abdillah Al-Shadiq a.s. -peny.

Dari hadis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk istimewa yang memiliki dua dimensi dan dua alam: dimensi lahiriah fisik (mulkî) dan duniawi, yaitu tubuhnya; dan dimensi batin yang gaib dan malakûtî, yang berasal dari alam lain. Jiwa manusia-yang berasal dari alam gaib dan malakût—memiliki

beberapa maqâm dan derajat. Sejumlah maqâm dan derajat itu biasanya dibagi menjadi tujuh, empat, tiga, atau hanya dua. Pada setiap derajat ada sekelompok pasukan khusus. Pasukan Ilahi dan ‘aqlânî (intelektual) menarik jiwa ke arah alam malakût yang tertinggi dan mengajaknya kepada kebahagiaan, sedangkan pasukan setan dan kejahilan menariknya ke arah malakût yang terendah dan mengajak-nya kepada kesengsaraan. Selalu ada perdebatan dan pertempuran

di antara keduanya, dan manusia adalah medan perperangan di kedua pasukan itu. Bilamana pasukan Ilahi memperoleh kemenangan, maka manusia akan mendapat kebahagiaan, rahmat, dan bergabung dengan para malaikat serta dibangkitkan dalam kelompok para nabi, para wali, dan orang-orang saleh. Akan tetapi, bilamana pasukan setan dan serdadu kejahilan yang memperoleh kemenangan, maka

p: 2

manusia akan mendapat kesengsaraan, kemarahan, dan dibangkitkan dalam kelompok para setan, orang-orang kafir, dan orang-orang gagal. Masalah pertempuran dalam diri itu tidak akan dibahas tuntas dalam buku ini, tetapi kita hanya akan mengisyaratkan secara ringkas pelbagai maqâm jiwa, aspek-aspek kebahagiaan dan kecelakaannya, serta metode untuk melakukan mujahadah (perlawanan terhadap hal-hal yang merusak jiwa).

Tahap Pertama: Jihad Diri dalam Dunia Lahir

Point

Tahap ini terdiri atas beberapa jenjang. Ketahuilah bahwa tahapan jiwa yang terendah adalah eksistensi lahiriah dan duniawi manusia yang mencakup tingkat-tingkat awal perkembangan jiwa dan perwujudan lahiriahnya. Percikan dan sinar Ilahi memancar pada struktur jasmaniah untuk membentuk eksistensi manusia di bumi ini, serta memberi jiwa kehidupan aksidentalnya dan memperlengkapinya dengan pasukan kebaikan dan keburukan. Dalam tubuh ini, ada kekuatan-kekuatan (fisik) yang terletak di tujuh kawasan (iglîm), yaitu telinga, mata, mulut, perut, alat kelamin, tangan, dan kaki. Seluruh kekuatan yang tersebar di tujuh wilayah kehidupan itu berada di bawah kendali jiwa yang berada di tahap (maqam) daya imajinasi (wahm). Daya imajinasi adalah penguasa atas seluruh kekuatan jiwa, yang terlihat maupun tidak. Jika daya imajinasi dapat berkuasa, dengan sendirinya atau dengan bantuan setan, atas seluruh kekuatan lainnya, maka semuanya akan berubah menjadi pasukan setan sehingga kerajaan ini akan sepenuhnya tunduk pada dominasi setan. Dalam keadaan itu, pasukan Al-Rahmân (Sang Maha Pengasih) dan akal bakal memudar dan melarikan diri dari kerajaan ini untuk diserahkan sepenuhnya kepada setan. Adapun bila daya imajinasi dapat ditundukkan oleh akal dan syariat, sehingga seluruh gerak dan diamnya terikat oleh disiplin, akal, dan syariat, maka kerajaan ini akan menjadi kerajaan ruhani dan rasional dan terusirlah pasukan setan darinya. Dengan demikian, jihad diri adalah jihad akbar yang lebih unggul dibandingkan dengan jihad berperang di jalan Allah. Dalam tahap

ini, jihad akbar berarti usaha manusia untuk mengendalikan seluruh daya dan kekuatan fisiknya untuk patuh pada semua perintah Allah

p: 3

dan dibersihkan dari seluruh unsur setan dan kekuatannya dalam diri kita.

Perenungan (Tafakkur) sebagai Langkah Pertama

Ketahuilah bahwa syarat pertama dan terutama untuk perjuangan melawan diri dan berjalan menuju Allah adalah tafakkur (perenungan diri). Di sini, tafakkur digunakan dalam arti meluangkan waktu, betapapun sedikitnya, un:uk merenungkan tugas-tugas kita terhadap Pencipta dan Penguasa kita-yang telah menghadirkan kita ke bumi, yang telah menganugerahkan kepada kita seluruh sarana kenikmatan dan kesenangan hidup, yang telah melengkapi kita dengan tubuh yang baik serta pelbaga: daya dan indra yang sempurna untuk beragam tujuan. Semua itu telah membuat akal manusia terkagum-kagum.

Di samping seluruh pemberian dan rahmat tersebut, Dia juga telah mengutus begitu banyak nabi dan menurunkan kitab suci-Nya untuk membimbing dan mengajak kita agar dapat memperoleh rahmatNya. Maka, apa kira-kira kewajiban kita terhadap Allah, Raja dari segala raja ini? Apakah semua ini dianugerahkan kepada kita sekadar untuk melayani kehidupan hewani kita dan memuaskan nafsu dan insting kita—yang juga dimiliki oleh seluruh binatang lain—ataukah ada tujuan yang lebih tinggi? Apakah seluruh nabi Allah, orang-orang ariſ, para pemikir, dan orang-orang berilmu dari setiap bangsa yang telah mengajak manusia untuk mematuhi prinsip-prinsip rasional dan hukum-hukum Allah, serta meminta manusia untuk meninggalkan seluruh kecenderungan hewaninya dan melepaskan diri dari lingkungan yang fana dan musnah ini adalah musuh-musuh manusia? Ataukah mereka itu—sama dengan kita—yang tidak mengetahui jalan penyelamatan kita, manusia-manusia yang tenggelam dalam aneka nafsu syahwat ini?

Jika kita merenung dengan akal kita untuk sesaat, kita akan memahami bahwa tujuan dari seluruh rahmat dan anugerah yang ditanamkan ke dalam diri kita adalah sesuatu yang lain, yang lebih unggul dan lebih tinggi daripada yang tampak oleh mata. Dunia ini adalah tahap perbuatan dan tujuannya adalah wilayah eksistensi yang lebih tinggi dan lebih agung. Eksistensi hewani yang rendah ini bukanlah

p: 4

merupakan tujuan itu sendiri. Seorang manusia berakal mesti menilai dirinya sendiri dan merasa sedih atas ketakberdayaan dirinya. Dengan rasa kasihan, ia seharusnya berkata kepada dirinya sendiri, "Wahai diri yang lalai! Kau telah menyia-nyiakan saat-saat yang berharga dalam hidup singkatmu untuk mengejar keinginan duniawi dan nafsumu! Dan yang bakal kauperoleh hanyalah penyesalan dan rasa kehilangan. Kau harus menyesali perbuatan-perbuatanmu pada masa

lalu di hadapan Allah dan memulai perjalanan baru ke tujuan yang telah digariskan oleh-Nya; perjalanan yang akan membawamu kepada kehidupan yang kekal dan kebahagiaan abadi. Kau tidak boleh menukar kenikmatan-kenikmatan singkat ini, yang bahkan sering kali sulit diperoleh, dengan kebahagiaan abadi. Berpikirlah untuk sesaat, wahai diri yang lalai! Kau harus memikirkan keadaan manusia sejak fajar peradaban hingga masa kini. Lihat dan bandingkan penderitaan dan siksaan yang mereka terima dengan kenikmatan dan kesenangan yang mereka peroleh dan kau akan melihat bahwa penderitaan dan kesakitan mereka selalu melebihi dan menghilangkan kenikmatan dan kesenangan mereka. Kenikmatan dan kesenangan bukanlah untuk setiap orang dalam kehidupan ini. Orang yang mengajak dan

mendorongmu untuk mengejar kenikmatan duniawi dan perolehan materiil, jelas adalah salah satu dari kelompok utusan iblis dalam bentuk manusia. Dia selalu mengajak manusia untuk bergabung dengannya dalam menyukai kenikmatan-kenikmatan dan menyatakan keyakinannya terhadap kehidupan materiil ini. Pada persimpangan jalan ini, wahai diri, kau harus berhenti untuk sesaat dan berpikir apakah utusan iblis itu telah merasa puas dan bahagia dengan keadaannya sendiri; ataukah ini semua hanya menunjukkan bahwa seseorang yang telah terjangkiti oleh sifat buruk itu ingin menularkannya kepada orang lain.

“Wahai diri! Kau mesti memohon keridhaan Allah bagi seluruh perbuatanmu dan terus mengejar keridhaan-Nya. Berdoalah agar seluruh perbuatanmu diridhai oleh-Nya. Di antara Dia dan engkau selalu ada sepercik harapan. Harapan itu akan menjadi nyata dalam niat teguhmu untuk bertempur melawan iblis dan jiwa rendahmu. Perjuangan melawan diri ini akan mengantarmu ke tingkat yang lebih

p: 5

tinggi dan upayakanlah dengan seluruh kemampuanmu untuk mencapainya melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.”

Upaya untuk memperoleh Tekad ('Azm)

Langkah berikutnya, setelah perenungan, yang harus dilewati oleh setiap orang yang berjuang untuk mencapai kemajuan ruhaniah adalah kehendak dan kesungguhan. (Ini berbeda dari karsa (irâdah), yang oleh Syaikh Al-Ra'is Ibn Sina dalam Al-Isyârât, dianggap sebagai langkah pertama 'irfân.) Beberapa ulama besar kita-semoga Allah memanjangkan usia mereka–juga menyatakan bahwa “kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan dasar kebebasan

manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan perbedaan tingkat tekad dan kesungguhan mereka”.

Kesungguhan yang diperlukan untuk tahap khusus ini sama dengan meletakkan fondasi bagi hidup yang baik: sebuah kesungguhan untuk membersihkan diri dari dosa dan melaksanakan seluruh kewajiban; sebuah kesungguhan untuk mengganti hari-hari yang hilang (dalam perbuatan dosa); dan akhirnya kesungguhan untuk bersikap sebagaimana seharusnya sikap manusia yang berakal dan beragama. Yaitu, ia harus berperilaku sesuai dengan aturan hukum agama, yang akan mengakuinya sebagai manusia yang sejati, manusia yang berakal. Sikapnya harus merupakan tiruan kehidupan Rasul Saw. Dalam perbuatan lahiriahnya, ia harus mengikuti Rasul Saw. sebagai model perilakunya, pilihan-pilihannya, dan penolakan-penolakannya. Ini sangat mungkin karena setiap hamba Allah memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan teladan yang diberikan oleh pemimpin besar umat manusia ini.

Dalam jihad diri di dunia lahir ini, tidaklah mungkin seseorang menempuh jalan makrifat Ilahiah kecuali ia memulainya dengan melaksanakan perintah-perintah syariat yang bersifat lahiriah. Nilai-nilai tinggi moralitas tidak akan dicapai oleh manusia kecuali jika ia terlebih dahulu melengkapi dirinya dengan pengetahuan tentang syariat dan mengikutinya dengan bersungguh-sungguh. Tanpa mengikuti ajaran-ajaran lahiriah Islam, cahaya pengetahuan Ilahi dan kearifan dari yang gaib mustahil mencapai hatinya, serta misteri dari hukum

p: 6

suci Allah tidak mungkin terungkap baginya. Tidak benar pula anggapan bahwa kelak, setelah terungkapnya kebenaran hakiki serta terserapnya cahaya-cahaya makrifat di dalam hati seseorang, ia akan mulai melaksanakan etika syariat yang bersifat lahiriah. Ini menyangkal klaim sebagian dari orang-orang yang mengaku-aku sebagai kaum spiritualis yang mengatakan bahwa kesempurnaan batin dapat diperoleh tanpa perbuatan-perbuatan lahir, atau bahwa setelah memperoleh kemuliaan batiniah tidak wajib lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban lahiriah (syari'ah). Ini adalah pemahaman yang salah yang muncul karena ketidaktahuan tentang tingkat-tingkat ibadah dan tahap-tahap kemajuan manusia. Kita akan membahas masalah tersebut dalam bab-bab selanjutnya, insya Allah.

Wahai Sahabatku, berusahalah untuk menjadi manusia yang bertekad teguh dan bersungguh-sungguh sehingga kau tidak akan meninggalkan dunia ini sebagai orang yang tanpa kesungguhan dan arenanya dibangkitkan pada Hari Kebangkitan sebagai makhluk yang tidak berakal, bukan dalam bentuk manusia karena dunia yang lain itu adalah tempat seluruh rahasia dibukakan dan seluruh yang tersembunyi disingkapkan. Keberanian seseorang untuk berbuat dosa akan mengubahnya sedikit demi sedikit menjadi manusia tanpa tekad dan merampas esensi kemanusiaannya yang mulia. Guru (1) kami yang terhormat pernah mengatakan bahwa, “lebih dari apa pun, membiarkan telinga untuk mendengar nyanyian dan lagu-lagu' akan mengakibatkan terampasnya tekad dan kehendak”.(2)

Oleh karena itu, Saudaraku, janganlah melakukan pelanggaran, bersungguh-sungguhlah untuk berhijrah menuju Allah, dan jadikanlah tampilan lahiriahmu sebagai tampilan manusia. Bergabunglah bersama kelompok manusia yang berpegang pada agama dan, dalam

p: 7


1- c Tentang “guru" yang disebut di sini, silakan lihat buku Mata Air kecemerlangan: Sebuah Pengantar untuk Memahami Pemikiran Imam Khomeini, Mizan, Bandung, 1991 h. 74–penerj.
2- d Sebagaimana ternyata dalam fatwa-fatwa Imam Khomeini belakangan, barangkali yang dimaksud dengan nyanyian dan lagu-lagu di sini adalah yang membuat orang menjadi lemah, sentimentil, dan menjadi pengangan-angan, serta yang mendorong orang untuk menjauh atau melanggar hukum-hukum agama-peny.

kesendirianmu, berdoalah kepada Allah agar Dia membantumu mencapai tujuan ini. Mintalah syafaat Rasul Saw. dan keluarganya untukmu, sehingga Allah akan mencurahkan rahmat dan bantuan-Nya kepadamu dan menghindarkan dirimu dari pelbagai bahaya yang akan engkau lalui karena kehidupan ini penuh dengan jurang. Ada kalanya manusia tersandung dan terjerumus ke dalamnya sedemikian hingga ia tidak dapat menyelamatkan dirinya, atau mungkin ia tidak lagi peduli untuk menyelematkan dirinya dan bahkan mungkin pula syafaat dari para pemberi syafaat pun tidak dapat menyelamatkannya.

Pengondisian Diri (Musyârathah)

Pengondisian diri, pengawasan, dan penilaian diri adalah prasyarat-prasyarat utama bagi seorang mujahid (orang yang berperang melawan diri sendiri). Pengondisian diri berarti mengikatkan diri dengan ketetapan hati untuk tidak melakukan apa pun yang bertentangan dengan perintah Allah. Ini disebut musyarathah, seperti “Aku tidak akan melanggar hukum Allah hari ini”. Dan teramat mudah memaksakan diri untuk mematuhi janji seperti itu untuk satu hari. Cobalah untuk

bersungguh-sungguh, patuhilah kemauan dirimu sendiri, dan lakukanlah; kau akan melihat betapa mudahnya tugas ini. Iblis, makhluk terkutuk itu, dan seluruh pasukannya mungkin akan membesar-besarkan janji seperti ini di matamu, tetapi hal itu hanyalah tipu muslihat. Kutuklah, kendalikan iblis serta pikiran-pikiran buruk dari lubuk hati dan pikiranmu. Cobalah untuk satu hari dan kau akan membuktikan betapa mudahnya hal itu untuk kau laksanakan.

Pengawasan Diri (Muraqabah)

Setelah langkah di atas, hendaknya engkau memasuki tahapan ini.' Selama masa musyârathah, seorang mujahid yang berjuang melawan dirinya sendiri perlu untuk memusatkan seluruh perhatiannya kepada perbuatan-perbuatannya. Setiap kali muncul pikiran untuk melanggar perintah Allah, ia harus mengetahui bahwa pikiran itu ditanamkan ke dalam dirinya o eh iblis dan sekutunya untuk menggoyahkan kesungguhannya. Ia harus mengutuk mereka, mencari perlindungan

p: 8

dari Allah yang Pengasih dan memupuskan seluruh pikiran keji itu dari hatinya. Katakan kepada iblis: “Hari ini aku harus mematuhi janjiku sendiri untuk tidak melanggar perintah Allah, karena Dialah yang telah memberiku seluruh harta dan kesehatan, seluruh kedamaian dan keamanan sepanjang hidupnya di dunia. Sekiranya aku beribadah terus-menerus, aku tetap tidak akan pernah memenuhi satu pun Hak-Nya atasku, lalu mengapa aku harus melanggar satu janji sederhana seperti ini.” Dengan ini, semoga iblis akan terusir dan pasukan Ilahi akan tetap bertahan.

Penghitungan dan Penilaian Diri (Muhasabah)

Saya menjamin bahwa praktik pengawasan diri dan introspeksi ini tidak akan menghalangi kegiatan keseharianmu. Aku menasihatimu untuk bertahan pada keadaan ini hingga malam hari-waktu kau menilai dan menghitung diri (muhasabah) dan melakukan perenungan yang mendalam. Nilailah semua perbuatanmu selama sehari penuh. Inilah waktu buatmu untuk melihat apakah kau telah berlaku jujur kepada Sang Pemberi nikmat, yang kepada-Nya setiap orang akan bertanggung jawab. Jika kau telah berlaku setia kepada-Nya, kau harus berterima kasih karena Dia telah membuatmu berhasil melaksanakan maksudmu. Dan, sadarilah bahwa kau telah berjalan maju satu langkah ke arah-Nya dan menjadi sasaran perhatian-Nya. Insya Allah, Allah akan membantumu melaksanakan seluruh tugas keduniaan

dan keagamaanmu yang akan menghapuskan penderitaanmu untuk hari berikutnya. Jika kauulangi tindakan-tindakan itu, kau akan segera terbiasa berlaku seperti orang saleh. Kemudian, kau akan melihat bahwa itu semua tidak memaksamu untuk melakukan usaha-usaha yang berat. Kau juga akan melihat bahwa kepatuhan kepada Allah akan memberimu banyak kenikmatan. Meskipun dunia ini bukanlah tempat di mana manusia segera akan diberi balasan bagi perbuatan-nya, keimanan yang penuh kepada Allah dan menghindarkan diri

dari dosa juga akan membuahkan hasilnya di dunia ini. Allah tidak pernah menugasi makhluk-Nya dengan beban berat yang berada di luar kemampuannya. Namun, iblis dan sekutunyalah yang memberat-beratkan tugas itu di matamu. Jika sekali waktu kau tergelincir-

p: 9

semoga Allah menjaga kita--mohonkanlah ampunan Allah dan katakanlah dengan sungguh-sungguh bahwa kau akan lebih berhati-hati pada masa yang akan datang sehingga Allah Yang Mahakuasa membukakan pintu-pintu rahmat-Nya kepadamu, dan membimbingmu di jalan yang lurus.

Mengingat Allah (Tadzakkur)

Satu hal yang membantu manusia sepenuhnya dalam melakukan jihad melawan dirinya sendiri dan melawan iblis, serta yang harus diperhatikan benar-benar oleh para mujahid adalah mengingat Allah secara terus-menerus (tadzakkur). Meskipun ada banyak tema penting lain dalam kaitan ini, saya akan mengakhiri bahasan ini dengan sedikit menguraikan masalah tadzakkur. Mengingat Allah adalah mengingat seluruh rahmat yang telah dianugerahkan-Nya kepadamu. Engkau tahu bahwa rasa terima kasih itu bersifat fitrah. Sifat ini memerintahkan manusia untuk berterima kasih kepada siapa pun yang telah bermurah hati kepadanya. Jika manusia membaca catatan dirinya, ia akan mendapati bahwa hukum itu tertulis di situ. Rasa terima kasih dan penghormatan meningkat dengan semakin banyaknya pemberian; apalagi jika itu diberikan tanpa pamrih apa pun. Semakin tulus pemberian itu, semakin besar pula rasa terima kasih yang ada dalam hati.

Sebagai contoh, bandingkanlah rasa terima kasih kepada orang yang telah memberimu seekor kuda, tetapi dengan pertimbangan keuntungan bagi dirinya sendiri, dengan orang yang memberimu sebuah daerah seluas beberapa hektar, tanpa pamrih sekecil apa pun untuknya. Jika seorang dokter menyelamatkanmu dari kebutaan, secara alamiah engkau akan merasa banyak berutang budi. Jika seseorang menyelamatkan nyawamu, engkau akan berutang lebih banyak lagi. Kini, renungkan dan taksirlah bantuan yang terlihat ataupun tidak yang telah diberikan oleh Allah Yang Mahakuasa-sedemikian hingga bagian sangat kecil dari bantuan itu pun bahkan tidak dapat diberikan oleh seluruh manusia dan jin. Ambillah, sebagai contoh, udara yang kita hirup setiap pagi dan malam; eksistensi kita dan

makhluk-makhluk lainnya bergantung pada udara itu, dan tiada

p: 10

sesuatu pun yang dapat hidup jika udara itu diambil hanya selama seperempat jam. Betapa berharganya anugerah itu! Jika seluruh manusia dan jin sedunia bekerja keras untuk menciptakannya, mereka tidak akan berhasil. Demikian pula, ingatlah pula pemberian Allah lainnya, seperti indra lahiriah kita (penglihatan, pendengaran, perasa, dan penciuman) serta pelbagai daya batin, seperti akal dan imajinasi; masing-masing indra itu merupakan pemberian Allah kepada kita

yang membawa manfaat tidak terkira. Di samping semua pemberian berharga itu, masih ada pula anugerah-anugerah lain. Utamanya ialah anugerah Allah dalam mengutus para nabi dan rasul beserta kitab-kitab mereka untuk menunjukkan jalan yang benar, jalan menuju ke surga, dan menghindarkan kita dari neraka. Dia memenuhi seluruh kebutuhan kita di dunia ini maupun di akhirat kelak, sementara Dia tidak memerlukan ketaatan ataupun ibadah kita untuk-Nya. Ketaatan kepada-Nya tidak memberi-Nya manfaat dan pembangkangan terhadap-Nya tidak akan mendatangkan bahaya bagi-Nya, lantaran semuanya itu adalah demi kepentingan kita sendiri. Sementara mengingat semua itu dan bermacam-macam bantuan Allah lainnya, yang tidak dapat dihitung oleh manusia, tidakkah kita mengerti bahwa

menghormati dan mematuhi Sang Pemurah itu mutlak bagi kita, ataukah akal kita membenarkan perbuatan yang melanggar perintah-Nya?

Di antara hal-hal yang dibenarkan oleh fitrah manusia adalah melakukan penghormatan yang ditujukan kepada pribadi-pribadi yang agung. Dalam kenyataannya, manusia menghormati orang-orang kaya dan berpengaruh, penguasa, dan raja-raja karena menganggap mereka itu sebagai orang-orang besar. Dapatkah kebesaran mereka dibandingkan dengan kebesaran dan kehebatan Raja segala raja, yang bagi-Nya dunia tempat kita hidup ini hanyalah sebuah partikel debu semata dalam kerajaan-Nya? Dialah Sang Pencipta dan Raja dari kosmos yang mahadahsyat ini, yang ketakberhinggaannya tidak dapat diukur, atau bahkan dibayangkan oleh akal manusia, Manusia, sebuah makhluk yang merangkak dalam salah satu dari planet kecil-Nya, secara menyedihkan gagal menangkap lingkup

dunia kecilnya sendiri-dengan mataharinya yang tidak dapat diban-

p: 11

dingkan dengan matahari-matahari lain yang jauh lebih besar di galaksi-galaksi yang tidak terhitung. Tata surya kita bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan beberapa tata surya lain, yang masih lolos dari mata tajam manusia (dan teleskop) penjelajah dan peneliti dunia. Apakah Dia Yang Mahabesar dari yang terbesar, yang dapat mengetahui setiap rincian terkecil sekalipun dari dunia yang tidak hanya dunia-dunia yang telah diketahui ini, tetapi juga yang belum diketahui, tidak patut dimuliakan menurut prinsip akal dan fitrah? Jika seseorang gagal memuliakan-Nya, ia harus sangat berhati-hati dan waspada akan kehadiran Allah hadir di setiap tempat. Bukankah (rasa) kehadiran itu akan mendatangkan penghormatan dalam diri?! Itulah sebabnya mengapa orang yang sedang menggunjing--mengikuti hukum fitrahnya—akan mendadak berhenti bila orang yang sedang digunjingkan itu hadir di hadapannya, bahkan ia akan menunjukkan penghormatan kepada yang bersangkutan! Jelas, Allah hadir dalam setiap makhluk dan mengawasi seluruh kejadian alam wujud. Bahkan, setiap nyawa dan ilmu merupakan tempat kehadiran-Nya yang tidak terbatas.

Maka dari itu, ingatlah wahai jiwa yang keji, keburukan dahsyat dan dosa besar macam apa yang kaulakukan bilamana kau bermaksiat kepada Zat Mahaagung di hadapan kehadiran-Nya yang kudus dengan menggunakan sarana pelbagai daya yang telah Dia karuniakan untuk-mu?! Bukankah sudah sepantasnya kau meleleh dan meluruh karena malu, kalau saja kau punya sedikit rasa malu? Oleh karena itu, wahai Saudaraku, ingatlah keagungan Tuhan-mu! Ingatlah seluruh rahmat dan bantuan-Nya untukmu. Ingatlah bahwa engkau berada di tempat kehadiran-Nya dan Dia menyaksikan gerak gerikmu. Hentikanlah pembangkangan ini, sehingga engkau dapat mengalahkan dan menundukkanlah pasukan iblis dalam perang genting ini. Jadikanlah kerajaan (jiwa)-mu sebagai kerajaan Sang Pengasih (Al-Rahmân) yang Mahabenar. Usirlah seluruh pasukan iblis dan undanglah pasukan Al-Haqq agar Allah memenangkanmu dalam tahap perjuangan dan pertempuran berikutnya, yakni jihad melawan diri di alam batin sebagai tahap kedua perjuangan manusia melawan

p: 12

dirinya. Masalah ini akan saya jelaskan pada bagian selanjutnya, insya Allah. Sekali lagi aku ingin mengingatkanmu agar tidak berharap pada dirimu sendiri, karena tidak ada yang dapat engkau lakukan kecuali dengan pertolongan Allah. Maka dari itu, mintalah dengan merendah dan bersungguh-sungguh kepada Allah agar Dia menolongmu dalam mujahadah (perlawanan) ini dan menjadikanmu sebagai pemenang. Sesungguhnya Dia adalah Pemberi taufik.

Tahap Kedua: Jihad Diri dalam Dunia Batin

Point

Tahap kedua ini juga terdiri atas beberapa jenjang. Ketahuilah bahwa jiwa manusia mempunyai kerajaan (alam) dan dimensi lain, yaitu kerajaan batin dan dimensi malakût (non-korporeal). Di situ, (kekuatan) pasukan jiwa lebih banyak dan lebih signifikan ketimbang di kerajaan lahiriah atau fisik. Pertarungan dan konflik antara pasukan Sang Pengasih dan pasukan setan berlangsung dengan lebih keras dan juga lebih menentukan, sehingga kemenangan dan dominasi di alam itu akan bernilai lebih besar dan lebih penting. Bahkan, semua yang ada di alam lahiriah/fisik berasal dari alam itu dan merupakan manifestasi darinya. Pasukan mana pun yang menang di alam ini-baik pasukan Sang Pengasih ataupun pasukan setan—pasti akan menang di alam fisik ini. Oleh karena itu, jihad diri atau perjuangan batin amat penting bagi seluruh guru besar suluk dan akhlak. Tahap ini dapat dipandang sebagai sumber seluruh kebahagiaan atau kesengsaraan, sumber kemajuan dan kemuliaan atau kerendahan dan kehancuran diri.

Setiap manusia mesti benar-benar sadar diri selama melaksanakan jihad ini. Sebab, mungkin saja—semoga Allah melindungi kita akibat kekalahan pasukan Sang Pengasih itu diri manusia menjadi kosong sehingga dengan mudah dirampas dan dijarah oleh pasukan setan. Akibat selanjutnya, manusia akan menuju kehancuran abadi yang tak mungkin lagi untuk dibenahi dan syafaat para pemberi syafaat tidak dapat menyelamatkannya dari kemurkaan Allah Yang Maha Pengasih. Bahkan mungkin pula para pemberi syafaat itu justru akan

p: 13

menjadi musuh-musuhnya. Dan sungguh suatu bencana jika penolongnya telah menjadi musuhnya. Hanya Allah yang tahu bencana, penderitaan, dan kesulitan ma-

cam apa yang akan diakibatkan oleh kemurkaan Allah dan kebencian para kekasih-Nya. Seluruh api neraka, zaqqûm (makanan neraka), dan racun bukanlah apa-apa dibandingkan dengan siksaan yang diakibatkan oleh kekalahan pasukan Sang Pengasih dalam diri manusia. Aku berlindung kepada Allah agar tidak ditimpakan kepada kita yang lemah tak berdaya ini siksaan yang telah digambarkan orang-orang ahli hikmah, ahli ‘irfân, ahli latihan (spiritual), dan ahli suluk itu. Seluruh penderitaan dan siksaan yang kalian bayangkan di dunia ini adalah sangat lembut dan ringan jika dibandingkan dengan penderitaan yang harus dialami manusia sebagai akibat dari siksaan di atas. Surga dan neraka yang digambarkan dalam Al-Quran, hadis-hadis Rasulullah Saw. dan ucapan-ucapan para wali Allah umumnya

terkait dengan neraka can surga perbuatan yang dipersiapkan untuk perbuatan baik dan buruk manusia. Akan tetapi, dalam rujukan- rujukan tersebut, ada pula isyarat halus pada surga dan neraka akhlak, yang bahkan lebih penting dan lebih bernilai. Surga itu ada- kalanya disebut dengan jannah al-ligâ' (surga pertemuan) dan jahan-nam al-firâq (neraka perpisahan). Surga dan neraka jenis ini jauh lebih penting dari semua jenis surga dan neraka. Akan tetapi, isyarat-isyarat mengenai jenis surga dan neraka ini tersembunyi dari pandangan mata kita dan hanya terbuka bagi pandangan mereka yang berhak memperolehnya. Engkau dan aku tidak termasuk golongan yang berhak memperolehnya, tetapi kita tidak layak untuk meragukannya. Kita harus mengimani semua yang datang dari Allah dan para wali-Nya, lantaran keimanan tak kukuh (ijmâlî) ini pun ada manfaat- nya bagi kita. Sebaliknya, ketidakpercayaan yang muncul dari ketidaktahuan dan penolakan tanpa dasar dan tanpa pengetahuan tentangnya pasti akan membahayakan kita—dan bahaya itu bisa sangat besar.

Dunia ini bukanlah tempat kita menyadari bahaya-bahaya yang seperti itu. Jika kalian mendengar sesuatu yang dikatakan oleh seorang arif, sufi, atau pelaku latihan spiritual, janganlah menyangkal atau menganggapnya tidak sah hanya karena perkataan itu tidak sesuai dengan

p: 14

selera atau pola pikiran kalian. Perkataan atau gagasan itu mungkin berasal dari sumber yang lebih tinggi dan tidak terjangkau oleh kalian, seperti Al-Quran dan hadis, yang tidak atau belum terpahami oleh akal kalian. Apa bedanya penyangkalanmu atas fatwa ahli fiqih di bidang diyât yang tidak kauketahui dalilnya dan penyangkalanmu bahkan penghinaanmu atas gagasan ahli suluk atau ahli ‘irfán mengenai ajaran- ajaran Ilahi atau mengenai keadaan surga dan neraka? Jangan lupa bahwa mungkin saja orang itu, yang memiliki otoritas tentang masalah itu atau memang benar-benar menguasainya, memperoleh pengetahuannya dari Al-Quran atau beberapa hadis yang disampaikan oleh para Imam yang tidak pernah kauketahui. Jika demikian halnya, berarti engkau telah menyangkal Allah dan Rasul-Nya tanpa alasan yang bisa diterima. Jelas, tidak bisa engkau hanya berargumen dengan menyatakan bahwa "hal itu tidak sesuai dengan seleraku" atau "aku

belum pernah mengetahuinya" atau "aku pernah mendengar hal sebaliknya dari para penceramah publik”. Semua itu tentu bukan merupakan alasan yang bisa diterima. Semua yang mereka paparkan mengenai surga dan neraka akhlak serta watak adalah perkara yang akal tak sanggup bahkan untuk sekadar mendengarnya. Oleh sebab itu, Saudaraku, berpikirlah, carilah penawar, dan cobalah menemukan jalan keselamatan dan sarana kebebasan bagimu. Mintalah perlindungan dari Allah, Zat Kudus Yang paling Pengasih, dan mohonkanlah kepada-Nya di malam-malam yang gelap dengan ratapan yang merendah agar Dia menolongmu dalam jihad suci melawan diri ini agar kau memperoleh kemenangan. Jadikan kerajaan jiwamu sebagai kerajaan Tuhan dan usirlah pasukan setan darinya kemudian serahkan kerajaan ini kepada Pemiliknya yang sah. Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan, keriangan, dan kasih-sayang kepadamu. Seluruh pujian yang telah kau dengar tentang surga dan seluruh isinya yang amat indah tidaklah berarti apa-apa dibandingkan dengan kebahagiaan Ilahi, itulah kesul-

tanan dan dominasi Ilahi yang telah digambarkan oleh para wali Allah dari kalangan umat Muhammad Saw. Keindahan dan kehebatan keadaan itu tak satu telinga pun pernah mendengarnya dan tak ada pikiran yang mampu menjangkaunya.

p: 15

Kekuatan-Kekuatan Batin

Dengan kekuasaan dan kearifan-Nya, Allah telah menciptakan sejumlah daya dan fakultas di alam gaib dan batin manusia yang bermanfaat luar biasa bagi kita. Di sini, kita akan menyebutkan tiga di antaranya, yaitu al-quwwah al-wahmiyyah (daya imajinasi atau pencitraan), al-quwwah al-ghadhabiyyah (daya amarah), dan al-quwwah al-syahwiyyah (daya syahwat). Masing-masing daya tersebut memiliki pelbagai manfaat besar, seperti pelestarian spesies dan individu manusia serta pembangunan dunia maupun akhirat—yang telah dibahas cukup panjang oleh banyak pemikir dan tidak perlu saya ulangi di sini. Yang penting dicamkan di sini adalah bahwa ketiga daya itu merupakan sumber bagi seluruh malakah (watak/karakter) baik maupun buruk dan dasar bagi seluruh bentuk-bentuk gaib yang tinggi.

Penjelasannya, sebagaimana Allah telah menciptakan manusia di dunia ini dengan sebuah bentuk jasmani-duniawi yang memiliki kesempurnaan dan keindahan komposisi yang menakjubkan akal pikiran seluruh filosof dan ilmuwan sedemikian sehingga ilmu anatomi hingga detik ini belum juga mampu mengungkapkan dan menguraikan cara kerjanya secara benar. Allah telah menjadikan bentuk manusia lebih unggul dibandingkan dengan seluruh makhluk dalam hal postur yang bagus dan tampilan luar yang indah. Meskipun demikian, ada pula bentuk dan wajah manusia yang berbeda, yang bersifat malakuti dan gaib, yang ditentukan oleh karakter jiwa dan struktur batinnya.

Di alam setelah mati—baik di alam barzakh (masa antara kematian dan kebangkitan kiamat) maupun di hari kiamat-jika struktur manusia di sisi batinnya, sisi karakter dan sukmanya (sarîrah) benar-benar bersifat manusiawi, maka penampilan malakt.ti-gaibnya pun akan seperti manusia. Namun, jika wataknya tidak manusiawi, maka bentuk malakutinya-di alam setelah mati—akan tampak tidak manusiawi. Sebagai ilustrasi, jika watak kesyahwatan (al-malchah al-syahwiyyah) dan kebinatangan (al-malakah al-bahîmiyyah) mendominasi batin-nya sehingga kerajaan batinnya berubah menjadi hutan rimba, maka

p: 16

tampilan malakutinya pun akan tampak seperti salah satu binatang yang sesuai dengan watak jiwanya. Jika daya amarah atau kebuasaan (al-sabu'iyyah) mendominasi batin dan sukmanya sehingga kerajaan batin dan sukmanya ditegakkan atas hukum kekejaman, maka penampilan malakuti-gaibnya pun akan menyerupai salah satu binatang buas yang sesuai dengan watak batinnya itu. Demikian pula, jika daya imajinasi atau manipulasi (syaithanah) menjadi watak batinnya sehingga watak-watak setan (malakât syaithâ-niyyah) seperti tipu muslihat, kecurangan, namîmah (adu domba), dan menggunjing (ghibah) menjadi wataknya, maka ia akan memiliki penampilan gaib dan malakuti layaknya salah satu setan yang cocok baginya. Kadangkala mungkin pula seorang manusia memiliki penampilan yang menggabungkan dua atau beberapa watak kebinatangan sekaligus. Jika demikian, ia akan mengambil bentuk yang tidak menyerupai salah satu binatang, tetapi kombinasi bentuk yang aneh. Bentuk ini, dalam susunan buruk yang mengerikan dan menjijikkan, tidak akan menyerupai bentuk binatang mana pun di alam ini. Diriwayatkan dari Rasul Saw. bahwa beberapa orang akan dibangkitkan di akhirat dengan rupa yang lebih buruk dari kera. Bahkan, beberapa dari mereka akan memiliki beberapa rupa sekaligus, lantaran alam itu tidak seperti alam ini yang tidak memungkinkan bagi seseorang untuk dapat memiliki lebih dari satu bentuk. Pernyataan ini logis dan juga sudah dibuktikan pada tempatnya.

Ketahuilah bahwa kriteria bagi (pengejawantahan) bentuk-bentuk yang berbeda itu dengan bentuk manusia sebagai salah satunya-adalah keadaan ruh saat terpisah dari tubuh, keadaan tegaknya (hukum-hukum) alam barzakh dan alam akhirat atas ruh manusia, yang bermula persis sesaat setelah ruh keluar dari tubuh manusia. Watak dan sifat ruh saat keluar dari tubuh manusia akan menentukan bentuk ukhrawi manusia yang akan segera tampak bagi mata gaib sejak di alam barzakh. Setiap manusia di alam barzakh juga akan melihat dirinya dalam bentuk itu ketika ia pertama kali membuka matanya di sana-bila ia memang memiliki mata penglihatan (bashar). Tidak-lah mesti manusia memasuki alam yang akan datang itu dalam bentuk yang sama dengan ketika ia berada di alam fisik ini. Allah sendiri

p: 17

telah berfirman melalui lidah sebagian orang: “Wahai Tuhanku, mengapa Kau bangkitkan aku dalam keadaan buta padahal dahulunya aku dapat melihat.” Allah menjawab, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, tetapi kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu pun dilupakan” (QS Thahâ [20]: 125-126).

Wahai orang malang, memang kau pernah punya mata fisik yang bisa melihat, tapı sisi batin dan malakutmu sebenarnya buta. Sekarang kau menyadari perkara ini, padahal kau telah buta sejak semula. Kau tidak memiliki pandangan batin (bashirah) untuk melihat tanda-tanda Allah. Wahai makhluk yang malang, engkau memiliki postur yang tegap dan dan bentuk yang sempuma secara fisik, tetapi ukuran-nya di alam malakut dan batin bukanlah bentuk itu. Kau harus berjuang demi ketegapan (bentuk) batinmu agar kelak di hari kiamat engkau juga dapat berdiri gagah dan tegap. Ruhmu harus menjadi ruh yang manusiawi agar bentukmu di alam barzakh tampak sebagai bentuk manusia.

Engkau mungkin mengira bahwa alam gaib dan batin—yakni alam penyingkapan rahasia dan pengejawantahan watak—sama dengan alam fisik dan duniawi yang memungkinkan terjadinya kekacauan, pencampuradukan, dan kekeliruan ini.... Tidak! Kedua mata, telinga, tangan, dan kakimu serta seluruh anggota tubuhmu akan

bersaksi atas semua perbuatanmu di dunia ini dengan mulut-mulut malakuti. Bahkan, sebagian anggota tubuhmu akan tampil dalam bentuk malakuti yang utuh (untuk menghadapimu). Oleh karenanya, Sahabatku, bukalah telinga hatimu, singsingkan lengan bajumu dan kasihanilah ketakberdayaan dirimu sendiri! Kiranya kau dapat inenjadikan dirimu sebagai manusia dan keluar dari alam ini dalam bentuk anak Adam, sehingga kelak kau akan menjadi orang yang sejahtera dan bahagia. Jangan sekali-kali kau menyangka bahwa semua yang kuucapkan itu sekadar mauizah dan ceramah, karena semua itu merupakan kesimpulan dari beragam argumen filosofis yang telah diajukan oleh para ahli hikmah, penyingkapan mistis (kasy), yang telah ditangkap oleh para pelaku latihan spiritual (riyâdhah) dan pemberitaan dari para Imam yang jujur dan maksum. Hanya saja, lembaran-lembaran buku ini memang bukan tempat yang

p: 18

tepat untuk mengajukan bukti-bukti atau menukil hadis-hadis berkenaan dengan pokok masalah di atas secara menyeluruh.

Bagaimana Mengatur Naluri Manusia

Wahm (daya imajinasi dan pencitraan), ghadhab (daya amarah), dan syahwah (daya syahwat) bisa menjadi pasukan Sang Maha Pengasih yang akan membawa kebahagiaan dan keberuntungan bagi manusia jika semua daya itu mengikuti akal sehat dan ajaran para nabi Allah yang mulia. Sebaliknya, jika dibiarkan apa adanya, semua daya itu akan menjadi pasukan setan dengan daya imajinasi sebagai panglima bagi kedua daya lainnya.

Bukanlah suatu rahasia bahwa tidak satu pun dari para nabi Allah pernah berusaha memusnahkan ketiga daya tersebut secara mutlak. Tidak satu pun dari rasul Allah pernah menuntut kita untuk sama sekali membunuh syahwat atau menghilangkan api amarah dan mengabaikan imajinasi. Namun, mereka menganjurkan kita untuk mengendalikan, mengekang, dan menundukkan semua daya itu di bawah perintah akal dan hukum-hukum Allah. Sebab, tiap-tiap daya itu ingin melakukan kerjanya dan mencapai tujuannya masing-masing meskipun hal itu akan menyebabkan kerusakan dan kekacauan (dalam diri manusia). Sebagai contoh, daya kebinatangan berupa libido tak terkendali akan berusaha mencapai tujuannya, meskipun tujuan itu—semoga Allah menjaga kita adalah berzina dengan wanita yang telah bersuami di Ka'bah yang suci. Daya amarah yang tidak terkendali akan mendo-rong manusia untuk mencapai tujuannya, meskipun untuk itu semoga Allah menjaga kita—ia harus membunuh para nabi dan wali Allah. Dan daya imajinasi (yang bersifat seperti setan ini) akan berusaha mencapai tujuannya, meskipun untuk itu—semoga Allah menjaga kita—ia akan merusakkan bumi dan menjungkirbalikkan alam semesta. Para nabi a.s. datang ke dunia ini bersama berbagai undang-undang dan kitab-kitab samâwî agar manusia dapat menghindari sifat keterlaluan dan ketakterkendalian pelbagai nalurinya, dan agar manusia dapat menundukkan, melatih, dan mendidik dirinya di bawah ken-

p: 19

dali hukum akal dan syariat. Dengan demikian, setiap individu yang mampu mencetak watak-wataknya sejalan dengan hukum-hukum Allah dan prinsip-prinsip rasional akan beruntung dan memperoleh keselamatan. Kalau tidak demikian, manusia harus berlindung kepada Allah Yang Mahatinggi dari kesengsaraan, kesialan nasib, kegelapan, dan kesulitan yang bakal menghadangnya. Selanjutnya, ia akan tampil dalam bentuk-bentuk menakutkan dan mengerikan yang akan menyertainya di alam barzakh, alam kubur, di hari kiamat, dan di neraka, yak tak lain merupakan buah dari pelbagai watak dan sikap (akhlaq) bejatnya sendiri.

Cara Mengendalikan Daya Khayal dan Imajinasi

Syarat pertama bagi seorang mujâhid yang harus dilakukannya dengan sepenuh hati pada tahap ini dan tahap-tahap berikutnya adalah mengendalikan burung imajinasinya sebagai modal untuk menaklukkan setan beserta segenap pasukannya. Imajinasi dan khayalan itu seperti burung yang tak pernah lelah terbang dan sesekali bertengger di suatu tangkai, yang mungkin akan menyeret manusia pada aneka rupa kemalangan. Inilah salah satu alat iblis untuk memperbudak manusia dan menjerumuskannya ke dalam jurang kesengsaraan. Seorang mujahid yang bangkit untuk memperbaiki dirinya, menyucikan batinnya, dan mengusir pasukan setan dari dirinya harus benar-benar teguh dalam mengekang imajinasinya dan tidak membiarkannya terbang dan mengembara ke tempat mana pun yang disu-

kainya. Ia harus berusaha mencegah khayalannya melayang pada fantasi yang merusak dan keliru, seperti fantasi tentang berbagai maksiat dan manipulasi. Ia mesti selalu mengarahkan khayalannya kepada cita-cita yang luhur dan mulia. Pada awalnya, hal itu akan tampak sulit karena setan dan pasukannya akan menjadikan hal-hal buruk menjadi tampak indah di mata manusia. Namun, dengan sedikit konsentrasi dan kewaspadaan, semuanya akan menjadi mudah dilak-

sanakan. Sebagai sebuah percobaan, engkau bisa mengendalikan satu khayalanmu dan mengawasinya dengan ketat. Begitu ia mulai mengarah pada fantasi yang tak senonoh, alihkan ia kepada hal-hal yang halal,

p: 20

luhur dan mulia. Sekali saja engkau berhasil, bersyukurlah kepada Allah Yang Mahakuasa atas bantuan-Nya dan lanjutkan usaha itu lebih jauh. Semoga Allah, dengan rahmat-Nya, mengantarmu ke alam malakut, membimbingmu ke jalan-lurus kemanusiaan, dan memudahkan sulukmu kepada-Nya. Waspadalah bahwa semua fantasi yang buruk dan bejat serta lintasan-lintasan pikiran yang sia-sia adalah bagian dari sugesti setan yang hendak menancapkan pengaruh-pengaruhnya pada kerajaan batinmu. Engkau yang sedang berperang melawan setan beserta para pasukannya dan ingin menjadikan lembaran dirimu sebagai kerajaan Tuhan yang Maha Pengasih, harus menjaga dirimu dari segala tipu muslihat si terkutuk ini dan menghindarkan dirimu dari pelbagai obsesi yang melanggar perintah Allah. Atas izin Allah, kau akan mampu merebut parit penting ini (baca: daya khayal dan imajinasi) dari tangan setan dan pasukannya dalam peperangan batinmu ini. Parit

ini merupakan penentu kemenangan pasukan Sang Maha Pengasih atau pasukan setan. Jika engkau menang di garis ini, kau boleh berharap lebih banyak.

Sahabatku, mintalah bantuan Allah pada setiap waktu dan saat. Mintalah tolong dengan kerendahan hati di hadapan Sesembahanmu. Mohonlah kepada-Nya dengan papa dan sungguh-sungguh: Ya Allah, setan adalah musuh yang besar, ia bernafsu ingin menggoda para nabi dan kekasih-Mu. Ya, Allah, bantulah hamba-Mu yang lemah dan tercengkeram oleh pelbagai khayalan kosong, waham yang keliru dan khurafat yang sia-sia ini agar aku berhasil menghadapi musuh yang kuat ini. Ya Allah, bantulah hamba-Mu yang lemah ini dalam menghadapi musuh kuat yang mengancam kebahagiaan dan kemanusiaanku agar aku dapat mengenyahkan pasukannya dari kerajaan (batin) yang bakal kembali kepada-Mu dan memotong tangan penjarah ini dari rumah (hati) yang khusus milik-Mu.

Pertimbangan Manfaat-Mudarat (Muwazanah)

Salah satu hal yang mesti diikuti dengan saksama selama proses ini adalah muwazanah, yakni menimbang untung-ruginya suatu watak dan akhlak buruk-yang merupakan hasil dari syahwat, amarah, dan

p: 21

imajinasi di bawah pengelolaan setan—dan membandingkannya dengan untung-ruginya watak dan akhlak baik dan keutamaan jiwa-yang merupakan hasil dari ketiga daya itu dalam bimbingan akal dan syariat—lalu memutuskan mana di antara keduanya yang lebih baik. Sebagai contoh, kita harus mempertimbangkan “manfaat” mematuhi perintah syahwat tak-terkendali yang telah berakar-kuat dalam jiwa manusia sehingga menjadi watak yang menetap (malakah râsikhah)

dan darinya lahir watak-watak (keji) lain secara berkelanjutan. Orang yang demikian ini tidak akan segan-segan berbuat semua kekejian yang mungkin dilakukannya dan tak akan puas dengan semua harta yang mungkin didapatnya, lewat jalan apa pun. Ia akan melaksanakan semua yang sejalan dengan hasrat dan hawa nafsunya meskipun itu akan mengakibatkan kerusakan yang luar biasa. Selanjutnya, “manfaat” melampiaskan daya amarah yang telah menjadi watak jiwa yang darinya akan muncul sejumlah watak rendah lain ialah kesiapan seseorang untuk menganiaya siapa saja yang bisa dianiaya dengan cara memaksa dan menekannya. Orang ini akan melakukan apa saja kepada semua pribadi yang mencoba melakukan sedikit perlawanan dan mengobarkan peperangan atas semua pribadi yang menunjukkan sedikit ketidaksetujuan kemudian menindas dengan seluruh kekuatannya dan dengan alat apa saja walaupun hal itu akan mengakibatkan kehancuran di alam raya. Demikian pula halnya dengan “manfaat” waham setan yang sudah menjadi watak dalam jiwa akan melaksanakan semua dorongan ama-

rah dan syahwat dengan segenap tipuan, trik, dan rekayasa. Ia akan menguasai hamba-hamba Allah dengan segala macam rencana keji, baik dengan melakukan pemusnahan atas satu etnis, satu kota atau negara, dan sebagainya.

Inilah (sebagian) dari “manfaat” daya-daya itu jika bekerja di bawah kendali setan. Jika kalian berpikir dengan benar dan mengamati keadaan orang-orang itu, kalian akan menemukan bahwa tak seorang pun dari mereka-meskipun cukup kuat dan sudah mencapai sebagian besar keinginannya—mereka tidak akan mendapatkan satu pun dari ribuan angan-angannya. Realisasi satu harapan dan pencapaian

p: 22

satu angan-angan merupakan perkara yang mustahil di dunia ini, lantaran dunia ini adalah tempat penuh benturan (dâr al-tazâhum). Unsur-unsur dunia ini akan menentang terwujudnya suatu keinginan. Padahal, angan-angan dan kecenderungan manusia tidak memiliki batasan.

Sebagai contoh, daya syahwat (libido) lelaki akan terus bekerja meskipun--contoh mustahil—ia telah memiliki seluruh wanita di satu kota. Daya syahwat orang ini akan menyuruhnya untuk mengejar wanita-wanita di kota lain, dan begitu seterusnya. Bila ada seorang yang telah menguasai kekayaan di sebuah negeri, ia akan mengimpikan kekayaan di negeri lain. Maka, secara terus-menerus, ia akan mengejar sesuatu yang belum dimilikinya. Jadi, meski semua itu adalah khayalan dan impian yang tidak mungkin terpenuhi, api syahwat manusia tak menjadi reda dengan tercapainya suatu keinginan. Demikian pula dengan daya amarah yang telah diciptakan dalam jiwa manusia untuk sedemikian rupa memegang kekuasaan mutlak dalam satu negara dan menguasai negara lain yang belum dikuasainya. Ia akan berusaha menguasainya dengan setiap kekuatan yang dimilikinya. Semakin banyak yang dikuasai, semakin menggila amarahnya untuk terus menguasai, dan begitu seterusnya. Siapa saja yang meragukan fakta ini dapat langsung melihat pada dirinya sendiri dan segenap penduduk bumi ini, seperti para penguasa, kalangan berpengaruh, pemilik modal dan kedudukan. Pasti ia akan sepakat dengan pernyataan di atas. Kesimpulannya, manusia selalu tertarik kepada, dan asyik dengan sesuatu yang tidak dimilikinya. Ini adalah fitrah manusia yang telah diisbatkan oleh banyak syaikh besar dan ahli hikmah, khususnya guru dan syaikh kami dalam ajaran-ajaran Ilahi, Mirza Muhammad Ali Syahabadi(1). Bahkan, katakanlah manusia memang dapat mencapai seluruh keinginannya, maka kira-kira untuk berapa lama ia bisa menikmati dan memanfaatkan semua? Berapa lama kekuatan masa mudanya bertahan dalam hidupnya? Ketika masa mudanya telah lewat, hilang

p: 23


1- e Mirza Muhammad Ali Syahabadi adalah guru Imam Khomeini, yang merupakan pakar ‘irfan kontemporer-penerj.

pula energi pada organ-organnya sehingga indra perasanya akan menjadi disfungsional. Matanya akan menjadi rabun, pendengarannya akan melemah, demikian pula dengan indra-indra lainnya. Kemampuan untuk merasakan kelezatan dan kenikmatan merosot drastis atau bahkan hilang sama sekali. Lalu, penyakit-penyakit akan menggerogotinya. Fungsi-fungsi pencernaan, metabolisme, kekebalan tubuh, dan pernapasannya akan terus berkurang secara tajam. Sekujur tubuhnya tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Yang tersisa baginya hanyalah kekecewaan, kekesalan, dan penyesalan. Demikianlah, masa yang kita miliki untuk memanfaatkan fungsi-fungsi tubuh itu, sejak saat kita memperoleh kesadaran tentang kebaikan dan keburukan hingga merosotnya seluruh fungsi organ tubuh tidak lebih dari tiga puluh atau empat puluh tahun--sekalipun bagi orang-orang yang sehat dan bugar. Itu pun hanya terjadi jika kita dapat melawan semua penyakit dan bencana yang terus berlangsung dalam hidup kita, yang kita saksikan setiap hari tetapi kita sering lupakan. Jika suatu saat nanti, anggap saja ini benar terjadi (meskipun belum pernah), seorang manusia dapat mencapai umur seratus lima puluh tahun dengan segenap kesempurnaan daya syahwat, amarah, dan imajinasi-manipulatif (syaithanah)-nya, dan misalkan ia tidak pernah mendapat bencana atau penyakit, maka masa sepanjang itu pun akan ia rasakan sangat singkat dan lewat begitu saja bagaikan embusan angin. Lalu, apa yang tersisa untuk dirimu di alam yang akan datang? Manfaat apa saja yang akan kau reguk dari limpahan kesenangan itu untuk kehidupan abadimu? Apa yang akan menyelamatkanmu dari kengerian kiamat, ketakberdayaan, dan kesendirianmu di sana? Akan

seperti apa dirimu pada hari pengadilan dan bagaimana kau akan menghadap Tuhanmu, para malaikat, para hamba pilihan, dan para rasul-Nya? Bukankah engkau hanya berbekal perbuatan-perbuatan buruk dan tumpukan dosa yang akan mengubah bentukmu menjadi suatu bentuk yang hanya Allah yang tahu persis bagaimana hakikat-nya? Semua yang telah kau dengar tentang api neraka, siksa kubur, dan kesakitan pada hari kiamat kelak tak lain daripada perbuatan-

perbuatanmu yang bakal kausaksikan sendiri di sana. Allah berfirman

p: 24

«وَوُضِعَ الْکِتَابُ فَتَرَی الْمُجْرِمِینَ مُشْفِقِینَ مِمَّا فِیهِ وَیَقُولُونَ یَا وَیْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْکِتَابِ لَا یُغَادِرُ صَغِیرَةً وَلَا کَبِیرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا یَظْلِمُ رَبُّکَ أَحَدًا (49)»

“Dan mereka akan menemukan apa yang telah mereka perbuat hadir (di hadapan mereka)....” (QS Al-Kahfi (18): 49).

Kalau engkau makan harta anak yatim dan menikmatinya, maka hanya Allah yang tahu bentuk apa yang akan menjelma sebagai akibat perbuatan itu kelak di jahanam. Dan sudah pasti bentuk itu bukanlah kenikmatan yang engkau rasakan dari memakan harta anak yatim di dunia. Hanya Allah pula yang tahu siksaan pedih apa yang akan menantimu akibat perlakuan burukmu terhadap sesama manusia di alam akhirat kelak. Pada waktu itu engkau akan memahami siksaan apa yang telah engkau persiapkan untuk dirimu sendiri ketika engkau menggunjing orang. Penjelmaan (bentuk) malakuti dari setiap perbuatan telah dipersiapkan, akan dikembalikan padamu (sebagai pelaku) dan dibangkitkan bersamamu. Ini adalah neraka perbuatan, yang relatif lembut, dingin, dan tidak terlalu berat, serta disediakan untuk mereka yang melakukan perbuatan dosa di dunia. Namun, untuk mereka yang memiliki watak keji—-seperti keserakahan, suka mendebat, kekikiran, kecintaan pada harta, kekuasaan, dan watak-watak keji lain—neraka yang akan ditempatinya tidak mungkin dibayangkan, lantaran susahnya membayangkan watak-watak yang sedemikian keji itu dalam hatiku atau hatimu. Api neraka untuk orang-orang berwatak keji ini akan muncul dari dalam diri mereka sendiri. Dan karena sedemikian panasnya api itu, sampai para penghuni neraka lainnya lari ketakutan terhadap siksaan yang diterima oleh orang-orang ini. Dalam beberapa riwayat yang sahih, diungkapkan bahwa ada satu lembah di neraka bernama saqar yang disediakan khusus untuk orang-orang yang berwatak sombong. Sekali waktu lembah ini mengeluh kepada Allah karena panas-nya yang luar biasa dan memohon kepada-Nya agar ia dapat menarik napas. Setelah permohonan itu diberikan, ia bernapas dan udara napasnya membakar Neraka Jahanam dengan api. Dalam beberapa hal, watak buruk ini dapat membuat manusia tersiksa abadi di Jahanam karena watak itu melenyapkan keimanannya. Misalnya, watak iri hati (hasad) yang menurut beberapa hadis sahih dari Imam Ja'far Al-Shadiq, “Sesungguhnya iri hati melalap iman seperti api melalap kayu." Contoh lain adalah cinta dunia, cinta

p: 25

kekuasaan, dan harta, yang-menurut sebuah hadis sahih--menghancurkan keimanan seorang manusia lebih cepat daripada (penghancuran) dua serigala atas seekor domba yang terpisahkan dari penggembalanya-yang satu menyerangnya dari depan dan yang lain dari belakang. Kita memohon kepada Allah agar pelbagai maksiat kita tidak sampai menjadi watak dan sikap yang gelap dan keji yang pada gilirannya akan menghilangkan keimanan sama sekali dan membuat seseorang mati dalam kekafiran. Neraka untuk kekafiran dan kepercayaan sesat jauh lebih panas dan lebih gelap daripada dua neraka lain yang telah disebutkan di atas (neraka dosa-dosa dan neraka watak-watak keji). Sahabatku, ilmu-ilmu transenden telah membuktikan bahwa derajat intensitas neraka tidaklah berhingga. Siksaannya lebih keras daripada yang dapat dibayangkan oleh siapa pun. Betapapun keras-nya sebuah siksaan engkau bayangkan, yang lebih keras daripada

itu adalah sesuatu yang tetap mungkin. Jika engkau belum menyimak argumen para filosof atau tidak memercayai visi mistik para arif, alhamdulillah kau adalah orang Mukmin yang meyakini ajaran para nabi dan membenarkan riwayat yang tertulis di kitab-kitab sahih yang diterima oleh seluruh ulama Imâmiyyah. Engkau juga mengakui kesahihan doa dan munajat para Imam maksum a.s. Di antaranya adalah munajat Imam 'Ali ibn Abi Thalib, Imam Sayyid Al-Sajidin(1) yang beliau ucapkan dalam doa Abu Hamzah Al-Tsumali. Sahabatku, renungkan untuk sesaat masalah-masalah yang mereka bicarakan dan berpikirlah sesaat tentang kata-kata di dalamnya. Tidak ada gunanya membaca cepat doa-doa yang panjang tanpa merenungi maknanya. Engkau dan aku tidak dikaruniai maqâm (kedudukan) ruhaniah setinggi Al-Imam Al-Sayyid Al-Sajjad untuk mampu mengucapkan doa panjang itu secara langsung dalam keadaan yang merindukan terus-menerus, Cobalah baca sepertiga atau seperempat dari doa itu setiap malam dengan perasaan dan renungi kalimat-kalimatnya. Kau akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Selain itu, perhatikan makna ayat-ayat

p: 26


1- {Yaitu Imam 'Ali Zainal Abidin—penerj.

Al-Quran dengan sedikit lebih cermat dan lihatlah hukuman apa yang disediakan untuk para penghuni neraka, yang ingin lepas dari siksaan itu dengan memohon kematian kepada Allah, tetapi bahkan kematian itu tidak akan membantunya. Dalam Al-Quran, penyesalan orang-orang itu diungkapkan sebagai berikut:

«أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ یَا حَسْرَتَا عَلَی مَا فَرَّطْتُ فِی جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ کُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِینَ (56)»

... Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolokkan (agama Allah). (QS Al-Zumar (39): 56)

Betapa dalamnya rasa sesal yang terungkap dalam ayat di atas? Bacalah ayat-ayat berikut dengan renungan dan penghayatan:

«یَوْمَ تَرَوْنَهَا تَذْهَلُ کُلُّ مُرْضِعَةٍ عَمَّا أَرْضَعَتْ وَتَضَعُ کُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَی النَّاسَ سُکَارَی وَمَا هُمْ بِسُکَارَی وَلَکِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِیدٌ (2)»

Ingatlah pada hari ketika kamu melihat keguncangan itu, (sehingga) lalai semua wanita yang menyusui anaknya akan anak yang disusuinya, gugur kandungan semua wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk. Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras. (QS Al-Hajj (22): 2)

Sungguh, pikirkan baik-baik wahai Saudaraku! Al-Quran jelas semoga Allah mengampuni kita—bukan buku dongeng dan bukan buku yang sedang bergurau denganmu. Perhatikan apa yang dinyata-kannya ... Siksaan apa kira-kira yang disebut oleh Allah Yang Maha kuasa, Mahaagung, dan Mahaperkasa dengan ungkapan sangat keras itu. Apa yang akan terjadi, hanya Allah yang tahu. Akal kita dan akal semua manusia tidak akan mampu mengukur kedahsyatan siksaan itu. Jika kita mempelajari dan merenungkan riwayat-riwayat dan ujaran-ujaran para Imam Ahl Al-Bait, kita akan melihat bahwa penderitaan dan kesengsaraan di alam itu berbeda sama sekali dengan dunia ini dan tidak dapat disamakan dengan kemalangan dunia ini. Kini, saya ingin mengutip sebuah riwayat dari Syaikh Al-Shaduq untuk menunjukkan makna dan tingkat penderitaan yang disebutkan di atas, meskipun riwayat ini sebetulnya berbicara tentang neraka untuk perbuatan buruk yang paling dingin dibandingkan dengan neraka-neraka lainnya. Saya kira penting untuk saya katakan bahwa Syaikh Al-Shaduq adalah orang yang amat dihargai dan dihormati oleh seluruh ulama yang mempelajari rijal(1). Dia lahir setelah didoa-

p: 27


1- g Rijal atau rijal al-hadits adalah salah satu cabang ‘ulûm al-hadits (ilmu-ilmu hadis) yang mempelajari biografi para perawi hadis-penerj.

kan oleh Imam Mahdi a.s., dan termasuk orang yang bernasib baik menerima pelbagai kebaikan Imam Mahdi a.s.—semoga Allah mempercepat kemunculannya. Saya mengutip hadis ini dengan bersandar kepada pelbagai sanad yang bersambung kepada Syaikh Al-Shaduq melalui para ulama Imâmiyyah yang dianggap sebagai perawi-perawi hadis yang kredibel. Dengan demikian, patutlah engkau memerhatikan hadis berikut:

Pada suatu hari, Rasulullah Saw. sedang duduk ketika Jibril menemuinya dengan wajah yang sedih dan murung. Rasul Saw. bertanya mengapa ia tampak begitu sedih. Jibril menjawab, “Wahai Muhammad, bagaimana mungkin aku tidak murung karena hari ini aku melihat alat-alat penyembur api neraka telah dipersiapkan." Rasul Saw. bertanya, “Apakah alat-alat penyembur api neraka itu?" Jibril berkata kepada beliau bahwa Allah memerintahkan neraka untuk membakar alat-alat itu selama seribu tahun hingga merah membara. Setelah itu, Allah memerintahkannya untuk membakarnya lagi selama seribu tahun hingga memutih panas. Lalu, Allah memerintahkannya untuk membakarnya selama seribu tahun lagi hingga menjadi hitam legam. Setelah alat-alat itu menghitarn dan gelap, jika sebagian sangat kecil darinya diteteskan ke dunia ini, panasnya akan dapat melelehkan seluruh dunia. Jika setetes dari zaqqum (sebuah pohon di neraka, yang disebutkan dalam Al-Quran untuk mengungkapkan kepahitannya) dan dharî(suatu ber.da di neraka yang lebih pahit daripada pohon gaharu, lebih busuk daripada bangkai, dan lebih panas daripada api, yang akan menjadi makanan orang-orang yang terkutuk) menetes di sumber air bumi, setiap orang akan mati karena busuknya. Setelah itu, Rasul Saw. menangis dan Jibril ikut menangis dengan beliau. Melihat itu, Allah mengutus malaikat lain untuk menemui mereka dan berkata bahwa Allah mengirimkan salam bagi keduanya bersama pesan bahwa Dia menghindarkan keduanya dari melakukan perbuatan dosa dan hukuman yang menyertainya.

Sahabatku, ada banyak hadis lain serupa itu. Adanya neraka dan siksaannya yang mengerikan adalah salah satu pokok ajaran semua agama dan telah terbukti melalui berbagai argumen tentang kemestiannya. Para arif dan wali bahkan telah menyaksikannya di dunia ini.

p: 28

Coba bayangkan dengan sungguh-sungguh pembahasan yang menakutkan mengenai neraka dalam hadis tersebut. Kalau pun engkau hanya menganggapnya sebagai kemungkinan, tidakkah itu cukup untuk membuat kita lari terbirit-birit karena ketakutan? Apakah alasannya sehingga engkau begitu lalai dan abai terhadapnya? Apakah para malaikat Allah telah memberi kita keringanan dengan menghapuskan siksaan itu seperti yang telah diberikan kepada Rasulullah Saw.? Sementara para rasul dan wali Allah tidak dapat melupakan ketakutan kepada Allah hingga akhir hidupnya. Mereka tidak dapat hidup, makan, dan tidur nyaman karena rasa takut itu. Lihatlah kehidupan Imam 'Ali ibn Husain, seorang Imam maksum, yang ratapan, keluhan, dan munajatnya meluluhkan hati setiap manusia. Apa yang salah pada kita sehingga kita tidak merasa malu? Bahkan di hadapan kehadiran Ilahi, kita melanggar demikian banyak aturanNya—seribu celaka bagi kelalaian kita! Kasihanilah dirimu sendiri dan ingatlah kepedihan luar biasa saat menjelang kematian. Sekali lagi, seribu kemalangan bagi kita di alam barzakh, kesengsaraan di akhirat, dan kegelapan hari kiamat! Betapa celaka kita di neraka beserta seluruh siksaannya yang mengerikan!

Cara Menyembuhkan Penyakit Moral

Sahabatku, bangun dan bangkitlah dari tidur nyenyak ini! Waspadalah dan berusahalah selama masih ada waktu untuk bertobat. Pandanglah kesempatan ini sebagai kesempatan yang amat berharga, selama kau masih hidup, selama anggota-anggota tubuh dan kekuat- anmu masih ada di bawah kendalimu, dan kau masih muda. Berpikirlah untuk menyembuhkannya sebelum terlambat dan sebelum penyakit-penyakit moral menguasai eksistensimu, watak-watak buruk mengakar dalam eksistensimu dan menjeratmu dengan cakar-cakarnya. Usirlah semua itu dan temukan cara untuk meredakan api syahwat dan amarahmu.

Obat terbaik yang dianjurkan oleh para pesuluk dan pakar akhlak adalah memusatkan perhatianmu pada masing-masing watak buruk yang kaudapati ada dalam dirimu dan bertekad bulat untuk melawannya selama-lamanya. Bertindaklah tanpa kenal lelah untuk

p: 29

menepis semua keinginan dan tuntutan yang didesakkan oleh semua watak keji dan hina itu. Mintalah kepada Allah untuk membantumu dalam pertempuran ini, niscaya dalam beberapa saat semua sikap buruk akan meninggalkanmu dan setan beserta pasukannya akan kabur dari benteng ini. Kemudian, pasukan Allah yang Maha Pengasih akan menduduki posisi mereka. Sebagai contoh, salah satu penyakit moral yang dapat menghancurkan manusia, menyebabkan kesempitan alam kubur dan membuat manusia tersiksa dunia-akhirat adalah perlakuan buruk atas keluarga, tetangga, kawan-kawan, dan orang-orang dekat. Sikap ini merupakan

akibat dari amarah dan syahwat. Jika seorang mujahid telah bertekad untuk memperbaiki dan meninggikan derajatnya, manakala menghadapi kejadian pahit yang membakar api amarah dalam batinnya untuk bertindak kejam dan berbicara kasar, ia mesti melawan dorongan itu dengan berlaku lemah-lembut dan mengingat akibat buruk dari tindakan seperti itu. Ia harus mengutuk setan dalam hatinya dan berlindung kepada Allah.

Aku berjanji kepadamu, jika engkau bersikap seperti ini dengan terus-menerus, setelah beberapa waktu, kau akan mendapati dirimu telah berubah total dan kebiasaan-kebiasaan baik akan menggantikan kebiasaan-kebiasaan buruk di alam batinmu. Namun, jika engkau bersikap sesuai dengan kecondongan egomu, amatlah mungkin bahwa ia akan melahap dirimu di dunia ini. Aku berlindung kepada Allah dari amarah yang dalam satu saat menghancurkan manusia di dunia

dan akhirat. Amarah ini bahkan bisa menyorongmu untuk-semoga Allah menjaga kita—membunuh seseorang. Mungkin juga dalam keadaan marah itu seseorang akan nekat melawan undang-undang Ilahi, sebagaimana sering kita lihat adanya sebagian orang yang karena marah berani murtad dari agama. Para ahli hikmah mengatakan bahwa kemungkinan selamat dari amukan badai laut dalam kapal yang tidak memiliki nakhoda jauh lebih besar daripada kemungkinan selamatnya seorang manusia yang terperangkap oleh amarahnya. Contoh lainnya, bila engkau adalah orang yang suka berdebat kusir dalam forum diskusi ilmiah, seperti lazimnya kita para pelajar agama, sekali-kali bertindaklah yang berlawanan dengan keinginan

p: 30

dirimu (untuk terus berdebat). Dalam suatu diskusi, jika kau melihat bahwa pihak lain berkata benar, akuilah kesalahanmu dan benarkan pendapatnya. Dalam banyak kasus, dengan cara seperti di atas, kebiasaan hina ini akan segera hilang dari dirimu. Beberapa ulama yang konon telah mendapat mukâsyafah berkata

bahwa pertengkaran di antara para penghuni neraka yang diberitakan oleh Allah tidak lain dari (penjelmaan) debat kusir antara para pakar ilmu dan wacana--semoga Allah menjauhkan kita dari termasuk dalam golongan itu. Jika seseorang memberikan kemungkinan bagi kebenaran pernyataan di atas, ia mesti berupaya keras untuk menghilangkan perilaku itu. Perhatikan hadis berikut:

Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa sekali waktu Rasul Saw. datang kepada mereka ketika mereka sedang berdebat keras tentang suatu masalah agama. Rasul Saw. marah sekali dan belum pernah beliau semarah itu. Rasul Saw, berkata kepada mereka bahwa para umat terdahulu hancur karena masalah ini. Lalu beliau menambahkan, “Tinggalkan debat kusir (mirâ') sebab seorang Mukmin tidak berdebat kusir. Tinggalkan debat kusir sebab pelakunya akan merugi besar. Tinggalkan debat kusir sebab pelakunya tidak akan aku beri syafaat kepadanya di hari kiamat kelak. Tinggalkan debat kusir sebab aku akan berada di taman, di tengah-tengah, dan di atas surga orang yang meninggalkan debat kusir meskipun ia berkata benar dalam ucapannya. Tinggalkanlah debat kusir sebab ia adalah hal kedua setelah penyembahan berhala yang dilarang Allah untuk dikerjakan manusia.” Rasul Saw. juga bersabda, “Tidak akan sempurna hakikat keimanan seseorang kecuali ia meninggalkan perdebatan walaupun ia dalam kebenaran." Ada banyak hadis lain sehubungan dengan masalah di atas. Betapa buruk nasib manusia yang kehilangan syafaat Baginda Rasul Saw. hanya karena kemenangan kecil yang tak berarti dan bernilai apa-apa. Betapa buruknya bila diskusi intelektual-yang sebetulnya dapat menjadi bentuk ibadah tingkat tertinggi jika dilakukan dengan niat yang sungguh-sungguh-berubah menjadi salah satu maksiat terbesar yang berada setingkat di bawah penyembahan berhala lantaran perdebatan kusir.

p: 31

Walhasil, manusia harus memusatkan perhatiannya pada masing-masing sifat buruknya dan melawannya habis-habisan agar dapat lenyap dari kerajaan ruhnya. Sekali şifat yang sebenarnya asing bagi jiwa manusia itu terusir, penghuninya yang sah akan siap untuk selamanya tanpa susah-susah.

Kesimpulan

Bila jihad melawan diri selesai di tahap ini dan manusia berhasil mengusir pasukan iblis dari kerajaan jiwanya sehingga ia menjadi tempat bermukimnya para malaikat Allah dan tempat ibadah para hamba Allah yang salih, maka suluk menuju Allah akan menjadi mudah dan jalan-lurus kemanusiaan akan menjadi terang. Pintu-pintu berkah dan surga akan terbuka baginya, dan manusia akan terhindar untuk memasuki pintu-pintu neraka dan jurang-jurang (kejatuhan). Allah Yang Mahakuasa akan memandang orang ini dengan belas kasih dan rahmat, sehingga ia dapat melaju mulus di jalan hamba-hambaNya yang beriman. Ia akan masuk dalam golongan orang yang berbahagia dan ashhab al-yamîn sehingga pintu makrifat Ilahi akan dibukakan untuknya, sebuah pintu yang menjadi tujuan puncak penciptaan manusia dan jin. Akhirnya, Allah akan langsung membimbingnya di jalan penuh dengan bahaya ini.

Sebetulnya saya ingin pula membahas derajat ketiga dari jiwa, cara melakukan jihad di situ, dan jenis-jenis tipuan iblis dan pasukan- nya di tahap tersebut. Namun, setelah saya pikir-pikir kembali, penja-baran masalah ini tampaknya tidak tepat di sini. Saya memohon agar Allah sudi memberi taufik saya untuk dapat menuliskan risalah khusus menyangkut pokok masalah tersebut.[]

p: 32

2 Hadis tentang Riya'

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب، عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن أبی المغرا، عن یزید بن خلیفة، قال: قال أبو عبد الله، علیه السّلام: کلّ ریاء شرک. إنّه من عمل للنّاس کان ثوابه علی النّاس، و من عمل لله کان ثوابه علی الله.

Yazid ibn Khalifah meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq bahwa Imam berkata, “Riya' (ria) dalam segala bentuknya adalah syirik. Sesungguhnya orang yang berbuat sesuatu demi manusia balasannya ada pada manusia dan orang yang berbuat demi Allah balasannya ada pada Allah.(1)

Riya' adalah tindakan menampakkan atau menonjolkan amal-amal saleh, sifat-sifat terpuji atau akidah yang benar demi memperoleh kekaguman dalam hati orang banyak dan dikenal di antara mereka sebagai orang baik, mustaqim (orang yang lurus), jujur, dan taat, tanpa niat untuk Allah yang sejati. Hal ini dapat berlangsung dalam beberapa tahap:

Tahap pertama adalah ria dalam keimanan yang terdiri atas dua derajat:

(1) Pada derajat pertama, seorang manusia memamerkan akidah yang benar dan mempertontonkan makrifat Ilahi dengan tujuan untuk mengesankan dirinya sebagai orang yang taat di mata manusia dan untuk memperoleh penghargaan dari mereka. Manusia seperti itu ingin memamerkan kepercayaannya kepada Allah dan kekuasaan-Nya dengan berkata bahwa ia tidak memercayai adanya wujud lain selain Allah. Ia juga mencoba menunjukkan bahwa dirinya adalah

p: 33


1- 1. Ushûl Al-Kafi, jilid 2, h. 402.

seorang Mukmin yang teguh dengan menyatakan bahwa ia hanya bergantung kepada Allah. Atau, orang itu, dengan perbuatan dan ucapannya, menampilkan dirinya sebagai pengikut setia agama. Semua ini adalah jenis ria yang paling umum terjadi. Sebagai contoh, ketika sedang ada pembicaraan tentang tawakal dan kerelaan pada qadha' Allah, ia mengangguk-anggukkan kepalanya untuk mengesankan kepada orang bahwa ia berada dalam golongan orang-orang yang seperti itu.

(2) Derajat kedua dalam ria tampak pada orang-orang yang membersihkan dirinya dari akidah-akidah yang batil untuk memperoleh kedudukan dan penghargaan dari masyarakat. Terkadang mereka menunjukkannya secara eksplisit dan terkadang juga secara tersembunyi dan implisit.

Tahap kedua adalah ria dalam perbuatan, yang juga terdiri atas dua derajat: pertama, memperlihatkan sikap-sikap baik dan watak- watak luhur; dan kedua, membersihkan dirinya dari sikap-sikap dan watak-watak buruk serta berujar bahwa dirinya telah terbebas dari seluruh sifat buruk itu untuk tujuan-tujuan yang sama dengan diatas.

Tahap ketiga adalan ria dalam ibadah, yang dianggap oleh para ahli fiqih (fuqaha') sebagai ria yang paling jelas, yang juga terdiri atas dua aspek: pertama, ditandai dengan penampilan terang-terangan dalam melakukan shalat dan perbuatan-perbuatan baik di hadapan orang lain, dengan maksud menunjukkan sifat-sifat baik dan kebiasaan-kebiasaan yang patut dipuji. Atau, dengan menunjukkan dirinya sebagai orang yang benar-benar mengikuti perintah-perintah agama dan sikap-sikap rasional untuk menarik hati masyarakat kepada dirinya. Semua perbuatan yang dilakukan dengan motif menyenangkan orang lain, sebagaimana dibahas dalam buku-buku fiqih, termasuk dalam ria (pamer); kedua, meninggalkan perbuatan haram atau makruh dengan motif ria.

Tahap Pertama: Ria dalam Keimanan

Point

Ingatlah bahwa ria dalam akidah adalah yang terburuk dari seluruh jenis ria; siksaannya paling keras, akibat buruknya paling berat, dan kegelapan yang ditimbulkannya juga paling besar. Orang yang mela-

p: 34

kukan dosa ini, jika ia tidak benar-benar memercayai perkara yang ditampakkannya, dianggap sebagai munafik yang akan tinggal selama-lamanya di neraka, terkutuk secara abadi dan disiksa dengan hukuman yang paling keras. Namun, jika ia memercayainya tetapi ia memamerkannya untuk menarik hati orang dan memperoleh kehormatan, perilaku ini akan meredupkan cahaya keimanannya dan memunculkan kegelapan kufur dalam hatinya. Dalam hal ini, ia telah melakukan

syirik yang tersembunyi, lantaran makrifat Ilahi dan akidah lurus yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah justru ia sekutukan dengan selain-Nya dan menjadikan iblis dapat mengintervensi hati manusia ini yang semestinya berpusat kepada Allah semata. Pada bahasan-bahasan selanjutnya, kita akan menyebutkan bahwa keimanan merupakan tindakan hati ('amal qalbi) dan bukan sekadar pengetahuan akal. Dalam hadis di atas, dikatakan bahwa setiap bentuk ria adalah syirik. Akan tetapi, sifat buruk, perangai gelap, dan watak hina ini pada akhirnya akan menyebabkan hati seseorang menjadi tempat yang khusus bagi selain Allah dan kegelapan watak hina ini akan mengantarkan pemiliknya meninggal dunia sebagai orang yang tak beriman kepada Allah.

Keimanan pura-pura yang dimiliki seseorang tidak lebih dari bentuk tanpa substansi, tubuh tanpa jiwa, dan kulit tanpa isi; dan ini sama sekali tidak dapat diterima oleh Allah. Hal itu dikukuhkan oleh sebuah hadis dalam Al-Kâfi yang diriwayatkan oleh ‘Ali ibn Salim: Perawi hadis ini berkata bahwa ia mendengar Imam Al-Shadiq

berkata bahwa Allah berfirman, “Akulah sebaik-baik sekutu! Siapa saja yang mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka perbuatannya tidak akan Aku terima. Aku hanya menerima perbuatan yang tulus-ikhlas untuk-Ku.(1) Dengan demikian, jelas bahwa jika tindakan hati tidak dilakukan dengan keikhlasan, tindakan itu tidak akan diperhatikan oleh Allah dan tidak akan diterima-Nya, melainkan akan diserahkan kepada sekutu lain itu—yaitu orang yang dituju oleh perbuatan-perbuatan ria tersebut. Dengan demikian, perbuatan hati yang dilakukan untuk manusia lain dan bukan untuk Allah akan melewati batas syirik dan memasuki wilayah kekafiran (pembangkangan pada kebenaran). Bahkan, dapat

p: 35


1- 2. Ibid., jilid 2, h. 450.

dikatakan bahwa orang yang melaksanakan perbuatan itu akan diperlakukan sebagai seorang munafik. Sebagaimana tingkat syirik di atas disebut sebagai tersembunyi (khafi), demikian pula kemunafikannya pun tersembunyi. Maka dari itu, ia mula-mula menganggap dirinya sebagai seorang Mukmin, padahal nyatanya sejak awal ia adalah seorang musyrik dan berakhir sebagai munafik. Pada saatnya kelak, ia akan merasakan siksaan yang disediakan bagi kaum munafik. Celakalah orang yang berakhir dengan nifâq (kemunafikan).

Perbedaan antara Pengetahuan dan Keimanan

Ketahuilah bahwa keimanan berbeda dengan pengetahuan tentang Allah, keesaan Wujud-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya--seperti sifat al-kamâliyyah (kesempurnaan), al-jalaliyyah (keagungan), atau sifat-sifat-Nya yang lain—pengetahuan tentang malaikat, kitab-kitab suci, dan hari akhir. Orang yang memiliki pengetahuan tentang semua itu tidak lantas menjadi Mukmin. Iblis memiliki pengetahuan tentang semua itu lebih daripada saya dan engkau atau manusia pada umumnya, tetapi ia tetap tidak beriman. Keimanan adalah tindakan hati; jika tidak masuk dalam hati, pengetahuan tidak bisa disebut sebagai ke- imanan. Setiap orang yang telah mengetahui suatu prinsip melalui metode rasional harus mengantarkan pengetahuannya itu ke dalam hatinya, dan menjadikannya sebagai tindakan hati berupa kepasrahan

(taslîm) atau ketundukan serta penerimaan dan penyerahan-diri (istislâm). Hanya dengan demikianlah seseorang menjadi Mukmin. Puncak dari keimanan ini adalah ketenteraman (ithmi'nân). Bilamana cahaya keimanan menguat, hatinya pun menjadi tenteram dan mantap. Dan semua pengaruh ini tidak muncul dari pengetahuan. Sebab, mungkin saja akal mengenal sesuatu dengan argumen, tetapi hatinya tidak tunduk kepadanya sehingga pengetahuan itu menjadi sia-sia. Sebagai contoh, kalian semua mengetahui secara akal bahwa mayat tidak dapat membahayakan kalian dan bahwa semua orang mati di dunia ini tidak memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu, bahkan ia tak mampu melakukan gerakan seekor lalat, dan bahwa semua daya jasmaniah dan ruhaniah mayat telah hilang semuanya.

p: 36

Akan tetapi, karena hati kalian tidak menerimanya dan tidak menyetujui penilaian akal itu, kalian tetap tidak berani melewatkan semalam suntuk dengan sesosok mayat. Sebaliknya, jika hati kalian bersepakat dan menerima penilaian akal itu, tugas tidur semalaman bersama mayat itu tidak akan sulit bagi kalian. Bahkan, setelah beberapa kali melakukannya, hati kalian akan menjadi benar-benar tunduk dan tidak akan ada lagi rasa takut atau ngeri berhadapan dengan mayat.

Oleh karena itu, jelas bahwa ketundukan yang merupakan tindakan hati berbeda sama sekali dengan pengetahuan yang merupakan tindakan akal. Mungkin saja seseorang dapat membuktikan secara logis kemaujudan Allah, hari akhir, dan pelbagai butir akidah lurus lainnya, tetapi semua itu tidak lantas dapat dianggap sebagai keimanan dan orang itu juga tidak dapat dianggap sebagai Mukmin. Bahkan, mungkin saja ia malah tergolong sebagai kafir, munafik, atau musyrik.

Saat ini mata kita tertutup dan pandangan gaib (al-bashirah al-malakütiyyah) kita tersekat. Akan tetapi, pada saat yang tersembunyi disingkapkan, kerajaan Ilahi hakiki ditampakkan, dunia lahiriah dimusnahkan, dan kebenaran dibukakan, kalian akan menyadari bahwa banyak orang yang tidak memiliki keimanan sejati kepada

Allah dan penilaian rasional mereka tidak sampai menjadi keimanan. Sebelum kalimat la ilaha illâ Allâh (tidak ada tuhan selain Allah) tertulis dengan tinta akal dalam lembaran hati yang putih-bersih, manusia tidak akan beriman pada keesaan Allah. Ketika kalimat nurani Ilahi itu tergores dalam hati, dengan sendirinya hati akan menjadi tempat bagi kerajaan Zat Yang Mahakuasa. Hanya setelah itulah manusia tidak lagi melihat maujud yang berpengaruh di alam raya selain Allah.

la tidak lagi mengharapkan kedudukan atau kemuliaan apa pun dari sesama manusia. Ia juga tidak akan lagi mengejar kemasyhuran dan kehormatan di sisi orang kebanyakan. Hati orang ini tidak akan menjadi ria dan manipulatif.

Oleh karena itu, jika kalian melihat ria dalam hati kalian, sadarilah bahwa hati kalian belum sepenuhnya tunduk pada (ajaran-ajaran) akal dan keimanan belum bersinar di hati kalian. Jika kalian menganggap makhluk lain sebagai tuhan atau sebagai maujud yang berdaya memengaruhi peristiwa di dunia ini sehingga kau tidak meyakini

p: 37

Al-Haqq sebagai satu-satunya yang Faktor, itu berarti kalian telah bergabung dengan kelompok orang-orang munafik, musyrik, atau kafir.

Akibat-Akibat Buruk dari Ria

Wahai, kalian yang telah menyerah kepada ria, yang telah memercayakan keimananmu dan pemahaman agamamu di bawah perlindungan musuh Allah, iblis, dan telah memberikan kepada manusia lain apa yang menjadi hak khusus Allah, engkau telah menukar cahaya-yang akan menerangi hati dan ruhmu, dan yang terbukti sebagai sumber penyelamat dan kebahagiaan abadimu, yang akan menganugerahimu dengan pandangan cemerlang dan memberimu kedekatan kepada Allah—dengan kegelapan malapetaka abadi yang menakutkan. Engkau telah kehilangan harta karun alam yang lain, mengucilkan dirimu dari jalan Sang Kekasih yang paling suci, dan memusnahkan pandangan terhadap Zat Yang Tertinggi. Bersiaplah untuk menerima kegelapan yang tidak akan diikuti oleh seberkas sinar pun, kehinaan

yang tidak dapat kaulepaskan, penyakit yang tidak tersembuhkan, kematian yang sesudahnya tidak ada kehidupan, dan api yang dinyalakan dari dalam lubuk hati yang membakar seluruh wilayah ruh serta jasadmu. Kita tidak niampu memahami atau membayangkan panasnya api itu, sebagaimana telah dinyatakan oleh Allah dalam kitab suci-Nya:

«الَّتِی تَطَّلِعُ عَلَی الْأَفْئِدَةِ » «نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ »

... (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang naik sampai ke hati. (QS Al-Humazah (104]: 6-7)

Api yang dinyalakan oleh Allah akan membakar hatimu pula. Tidak ada api yang dapat membakar hati kecuali api yang menyala di neraka. Jika fitrah tauhid—yang merupakan fitrah (pola penciptaan) Allah dalam diri manusia-diabaikan dan digantikan dengan kemusyrikan dan kekafiran, tidak ada syafaat dari siapa pun yang

dapat menyentuhnya, dan manusia akan mengalami penderitaan abadi. Hukuman macam apakah ini? Inilah akibat dari kemurkaan Allah. Oleh karena itu, wahai Sahabatku, janganlah kaujadikan dirimu sasaran kemurkaan Allah-hanya demi kemasyhuran khayali yang tidak bermakna di mata makhluk-makhluk Allah yang lemah, dan

p: 38

demi perhatian yang tidak berharga dari manusia yang tanpa daya. Janganlah kau menukar rahmat Allah yang tidak berhingga dengan kemasyhuran di antara manusia, yang bahkan tidak berguna dan tidak berlaku lama serta darinya kau tidak akan mendapat manfaat apa-apa, tetapi justru mengundang rasa sesal yang luar biasa. Dan, ketika hubunganmu dengan dunia khayali yang penuh tipu daya ini terputuskan, sedangkan kau tidak lagi dapat berbuat apa-apa, rasa sesal dan penderitaan tidak akan berguna lagi.

Nasihat Ilmiah untuk Menghilangkan Penyakit Ria

Apa yang akan saya sebutkan di sini semoga secara efektif dapat menyembuhkan penyakit hati pada tahap ini atau tahap-tahap selanjutnya. Hal itu juga dapat dirujukkan pada akal setiap orang maupun kebenaran wahyu dan hadis para ma'shûmîn(1). Allah Yang Mahakuasa dengan seluruh kekuatan-Nya yang meliputi segala sesuatu mengatur seluruh maujud alam semesta dan mengendalikan hati seluruh hamba-Nya karena tidak sesuatu pun yang berada di luar jangkauan kekuasaan-

Nya dan berada di luar wilayah kerajaan-Nya; dan tidak seorang pun dapat menempati hati seorang manusia tanpa seizin-Nya dan kehendak-Nya. Bahkan, para ahli hati juga tidak memiliki kendali atas hati mereka tanpa seizin Zat Yang Mahakuasa. Kenyataan ini diungkapkan secara tersurat maupun tersirat dalam Al-Quran dan

Sunnah Rasul Saw. Karena itu, Allah adalah Zat yang secara sejati memilik hati manusia dan berkuasa penuh atasnya. Dan engkau, wahai hamba yang lemah dan tidak berdaya, tidak akan bisa menguasai hatimu sendiri tanpa izin-Nya. Kehendak-Nya berada di atas kehendak diri kita maupun kehendak seluruh makhluk lain. Oleh karena itu, ria dan manipulasimu, jika dimaksudkan sebagai cara untuk menarik hati hamba-hamba Allah dan memperoleh penghargaan atau penghormatan

mereka, ketahuilah bahwa itu tidak akan membuahkan hasil karena semua berada di luar kendalimu dan berada di bawah kekuasaan-

p: 39


1- a Ma'shûmîn adalah orang-orang yang ma'shûm (terbebas dari kesalahan) dan yang dimaksud di sini adalah 12 Imam kaum Syi'ah Itsnâ 'Asyariyyah-pener.

Nya semata. Dialah Pemilik dan Pengatur setiap hati. Dia menjadikan hati manusia sebagai tempat bersemayamnya cinta kepada siapa pun yang Dia kehendaki-Nya. Mungkin sekali perbuatanmu membuahkan hasil yang bertentangan dengan keinginanmu. Perhatikanlah apa yang telah kami katakan tentang para munafik yang bermuka-dua, yang hatinya tidak bersih. Pada akhirnya mereka akan terkutuk dan apa pun yang mereka inginkan tidak dapat mereka peroleh, malah sesuatu yang tidak disukainya akan terjadi padanya. Hadis berikut dari Al-Kâfî menunjukkan kenyataan yang sama pula: Dari Jarrah Al-Madaini yang meriwayatkan bahwa dia bertanya kepada Imam Al-Shadiq tentang ucapan Allah berikut, “Siapa pun yang ingin bertemu Allah, ia harus melakukan perbuatan baik dan tidak menyekutukan Allah dalam ibadahnya." Imam Al-Shadiq berkata, “Seseorang yang melakukan perbuatan baik bukan untuk Allah dan perbuatannya dilakukan hanya agar ia dianggap sebagai orang suci dan saleh serta mengharapkan orang lain mengetahui perbuatannya, orar.g seperti itu dianggap sebagai seorang musyrik yang menyekutukan Allah.” Lalu dia menambahkan, “Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menyembunyikan perbuatan baik-nya dan dalam perjalanan waktu Allah tidak menyebarkannya. Dan, tidak seorang pun di dunia ini yang dapat menyembunyikan perbuatan jahat selamanya karena perbuatan-perbuatan itu akan disingkapkan oleh Allah sebelum ia meninggalkar. dunia ini.(1) Oleh karena itu, hai Sahabatku, carilah reputasi dan nama baik di hadapan Allah. Cobalah menarik hati makhluk dengan pertama kali menyenangkan Pemilik semua hati. Bekerjalah demi Allah semata-mata, maka Allah Yang Mahakuasa, selain akan mencurahkan pelbagai rahmat dan kemuliaan ukhrawi, Dia juga akan memberikan pelbagai kemuliaan kepadamu di dunia ini dan menjadikanmu dicintai oleh para hamba-Nya. Dia akan meninggikan kedudukanmu dan mengangkatmu di kedua alam sekaligus. Satu-satunya yang harus kaukerjakan adalah mengikhlaskan hatimu sepenuhnya untuk berjihad dan bersusah payah dan menyucikan batinmu sehingga segala perbuatanmu akan menjadi suci dan tidak tercemar oleh rasa cinta dunia atau benci kepada sesamamu. Hadapkanlah wajahmu semata-mata kepada Allah, beningkan ruhmu, dan hilangkan noda-noda ego dari dirimu.

p: 40


1- 3. Ibid., jilid 2, h. 453.

Apakah gunanya rasa cinta atau rasa benci hamba-hamba yang lemah, atau apakah manfaatnya memperoleh kemasyhuran dan penghargaan di mata para makhluk yang tak mampu berbuat apa-apa? Kalau-pun ada manfaatnya, itu pun pastilah manfaat kecil yang berumur pendek. Mungkin saja keinginan ini justru akan membawamu untuk berbuat ria dan semoga Allah menghindarkan kita—mengubahmu menjadi musyrik, munafik, atau kafir. Jika kau tidak terhinakan di dunia ini, kau pasti akan terhina di alam akan datang di hadapan keadilan Ilahi, di hadapan para hamba-Nya yang saleh, para nabi yang mulia, dan para malaikat-Nya yang terdekat. Engkau akan dihinakan dan dibuat tak berdaya. Itulah kehinaan di hari itu, dan tahukan engkau apakah kehinaan di hari itu? Hanya Allah yang tahu

kegelapan macam apa yang akan menyertai kehinaan hari itu. Inilah hari yang dikatakan oleh Allah sebagai ... dan orang-orang kafir akan berkata,

«إِنَّا أَنْذَرْنَاکُمْ عَذَابًا قَرِیبًا یَوْمَ یَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ یَدَاهُ وَیَقُولُ الْکَافِرُ یَا لَیْتَنِی کُنْتُ تُرَابًا (40)» “Seandainya saja dahulu aku adalah debu” (QS Al-Naba' (78):40).

Akan tetapi, tentu saja angan-angan itu tidak akan ada gunanya. Wahai Sahabatku yang malang, hanya demi cinta yang remeh dan kedudukan yang tidak bermanfaat di mata para makhluk, engkau lewatkan semua kemuliaan di sisi Allah dan kehilangan keridhaan-Nya dan membangkitkan murka-Nya.

Perbuatan-perbuatan yang sebetulnya dapat memberimu semua kemuliaan dari Allah, kehidupan bahagia yang abadi, dan memberimu maqâm tertinggi di surga 'illiyyîn telah kaugantikan dengan kegelapan syirik dan nifâq, dan kelak semua itu akan menyebabkan penyesalan, siksaan yang paling pedih, dan mengubah dirimu sebagai penghuni sijjînî (neraka yang paling dasar). Dalam Al-Kafi, ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq bahwa Rasul Saw. bersabda, "Sesungguhnya ketika malaikat Allah dengan suka cita sedang membawa perbuatan baik manusia ke surga tertinggi, Allah memerintahkannya untuk membawa perbuatan-perbuatan itu ke sijjîn karena perbuatan tersebut tidak diperuntukkan bagi Allah semata.(1) Engkau dan aku tidak dapat membayangkan apakah sijjîn itu; dan kau tidak dapat menduga apa yang akan ditimpakan kepada para pendosa di

p: 41


1- 4. Ibid., jilid 2, bab tentang riyâ'.

sana. Dan sekali kita ditempatkan di sana, kita tidak lagi dapat keluar karena segala sarana tobat telah diputuskan. Bangunlah, Sahabatku! Singkirkan ecerobohanmu dan timbanglah perbuatanmu dengan akal, sebelum ditimbang di alam lain. Bersihkan cermin hatimu dari debu syirik dan nifâq. Jangan kaubiarkan debu syirik dan kufr mengotori cermin hatimu sehingga tidak mungkin lagi dibersihkan dengan api dunia yang akan datang sekalipun. Jangan biarkan cahaya fitrahmu berubah menjadi kesuraman kufr. Jangan menjadi penghianat bagi dirimu sendiri dan jangan hancurkan amanah yang telah diberikan Allah kepadamu, ketika Dia menga

takan:«..... فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِی فَطَرَ النَّاسَ عَلَیْهَا َ (30)» ... fitrah Allah yang dengannya Dia menciptakan manusia ... (QSAl-Rûm (30: 30)

Ajakan untuk Ikhlas dalam Berbuat

Oleh karena itu, gosoklah cermin hatimu agar cahaya kebesaran Ilahiah dapat terpantul dan menjadikanmu melupakan dunia ini dan segala isinya, lalu hatimu menyala dengan api cinta-Nya sehingga seluruh keterikatanmu dengan dunia ini terputus habis dan tidak sesaat pun dirimu terikat dengan benda-benda duniawi. Kemudian, kau memperoleh kenikmatan yang luar biasa dengan mengingat-Nya sedemikian sehingga seluruh kenikmatan hewani di dunia ini tampak bagimu

sebagai tipuan dan pulasan. Kalau pun kau tidak dapat mencapai maqâm tersebut, janganlah kauacuhkan pemberian Allah yang dijanjikan-Nya akan diberikan di dunia nanti, yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis para maksum, demi memperoleh penghormatan yang berumur pendek dari para makhluk lemah. Janganlah menjual kebahagiaan abadi dengan penderitaan abadi. Ketahuilah bahwa Raja segala raja, Pemberi kebahagiaan yang sejati, telah menganugerahkan seluruh rahmat-Nya kepada kita. Diciptakan-Nya segala sesuatu ini bagi kita dan bahkan semua itu telah dipersiapkan oleh-Nya sebelum kita datang ke dunia ini. Dia ciptakan bagi kita makanan yang dapat dicerna perut kita yang lemah ini. Dia ciptakan bagi kita udara dan iklim yang cocok. Dia telah menganugerahkan kepada kita seluruh bantuan-Nya, yang gaib ataupun terli-

p: 42

hat, di dunia ini dan dunia nanti, dan setelah menghimpun seluruh rahmat-Nya, lalu Dia meminta kita untuk menjaga kesucian hati kita agar dapat menjadi tempat bagi-Nya sehingga kita sendiri akan mendapatkan manfaat akan kehadiran-Nya. Meskipun kita telah mendengar seluruh peringatan itu, kita masih tetap tidak mematuhi-Nya, tidak memerhatikan firman-firman-Nya, dan tidak berbuat sesuai dengan keinginan-Nya. Apakah ini bukan suatu pembangkangan yang besar? Dengan siapakah kita akan mengobarkan perang, yang akibat-akibatnya kelak harus kita hadapi? Kita sama sekali, sekecil apa pun, tidak akan dapat menggoyahkan kerajaan-Nya dan kita tidak akan dapat melepaskan diri dari jangkauan kekuasaan-Nya. Jika kita berbuat seperti kaum musyrik, kita membahayakan diri kita sendiri,

karena: «... فَإِنَّ اللَّهَ غَنِیٌّ عَنِ الْعَالَمِینَ (97)»... sesungguhnya Allah tidak bergantung pada (seluruh) ciptaan-Nya .... (QS Al-Imrân (3]: 97)

Dia tidak membutuhkan pengabdian, penyembahan, atau ketundukan kita. Setiap pembangkangan, kemusyrikan, dan kemunafikan yang kita lakukan tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya sama sekali. Namun, mengingat Dia adalah Sang Maha Pengasih, rahmat-Nya yang tidak terbatas dan kebijaksanaan-Nya yang sempurna mengharuskan kita untuk mencari jalan yang lurus. Dan untuk itu, Dia telah membedakan dengan jelas antara kebaikan dan kejahatan, antara yang indah dan yang buruk, dan mengingatkan kita akan ancaman dan bahaya yang akan menghadang di jalan kesempurnaan dan kebahagiaan sejati manusia. Kita berutang kepada Allah atas petunjuk tersebut dan kita harus menunjukkan, dengan seluruh kerendahan, penghormatan kita yang besar terhadap-Nya dalam segenap ibadah

dan doa kita—yang nilai pentingnya tidak dapat kita pahami sebelum memperoleh pandangan akan dunia yang lain. Selama kita bermukim di dunia lahiriah yang sempit ini, terikat oleh rantai ruang dan waktu, kita tidak dapat memahami ketakberhinggaan hamparan karunia-Nya kepada kita.

Janganlah pernah terpikir oleh kita bahwa dengan melakukan ibadah, kita telah melakukan sesuatu bagi para nabi, para wali, dan ulama besar umat. Mereka adalah pembimbing kita menuju kebahagia-

p: 43

an dan keselamatan kita dan pembebas kita dari kegelapan, kebodohan, dan kesengsaraan, serta pengajak kita menuju cahaya, kesenangan, keriangan, dan keagungan. Betapa berat tanggung jawab yang mereka emban dan penderitaan yang telah mereka alami demi mendidik dan mengentaskan kita dari semua kegelapan akibat pelbagai akidah sesat dan kebodohan kompleks kita. Mereka ingin menyelamatkan kita dari beragam tekanan dan siksaan yang merupakan bentuk (gaib) dari segenap watak dan akhlak rendah kita. Mereka menuntun kita untuk mencapai cahaya, kedamaian, dan ketenteraman, yang tidak dapat terlihat oleh pikiran kita. Dunia lahir ini, meskipun tampak demikian luas, sesungguhnya amat terbatas dan sempit sehingga kita tidak dapat membayangkan kenikmatan surga dengan pandangan duniawi ini. Pandangan kita tidak cukup memiliki kekuatan untuk menatap kebesaran dunia itu, yang digambarkan dalam ucapan Rasul Saw., yang telah menyaksikan kebenaran-kebenaran itu melalui wahyu Ilahi, melihatnya, mendengamya, dan lalu meminta kita untuk mencapainya. Dan kita, anak

kecil yang membangkang, tidak mematuhi perintah orang yang telah mengerti, dan bahkan tidak memedulikan tuntunan akal kita, selalu lebih siap untuk menentang orang-orang yang telah dibimbing Allah Padahal, mereka yang jiwanya disucikan dengan cinta dan kelembutan kepada makhluk Allah, tidak pernah berputus asa dalam melaksanakan tugas menuntun kita menuju surga dan kebahagiaan. Mereka tak pernah memaksa kita mengikuti ajakan mereka. Mereka juga tidak menuntut balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.

Bahkan, imbalan yang diminta Rasul Saw. dalam ayat Al-Mawaddah (QS Al-Syûrâ (42): 23) agar kita mencintai keluarganya, sebetulnya bukanlah imbalan atas pengabdian yang telah beliau berikan untuk kita, melainkan dimaksudkan untuk memberi manfaat yang lebih besar lagi bagi kita—karena bentuk kecintaan ini di alam akhirat boleh jadi akan menjadi cahaya dan karunia terbesar bagi kita. Semua ini agar kita mencapai kebahagian dan rahmat di sisi Allah. Jadi, balasan Rasul Saw. bagi penyampaian risalah ini sesungguhnya juga menjadi kebaikan bagi kita dan kita memperoleh lebih banyak manfaat dari mereka. Bagaimana mungkin mereka memperoleh manfaat dari

p: 44

makhluk malang seperti kita? Dengan cara bagaimanakah keikhlasan dalam beribadah dan ketundukan kita kepada mereka dapat memberi manfaat bagi mereka? Bagaimana mungkin kita memandang diri kita yang hina telah berbuat kebaikan bagi para pembimbing umat-mulai dari seorang ahli fiqih biasa yang menjelaskan hukum-hukum praktis agama untuk kita hingga Rasulullah Saw. dan Allah Yang Mahakuasa? Semua telah menjalankan peran masing-masing dalam membimbing

dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita, yang karenanya kita berutang besar kepada mereka, dan sebagian yang terkecil dari utang itu mustahil bisa kita bayar di dunia ini. Tidak satu pun di dunia ini yang cukup berharga untuk membayar mereka, “Kepada Allah, nabi-nabi-Nya, dan wali-wali-Nya kita semua berutang”, seperti yang telah difirmankan oleh Allah:

«یَمُنُّونَ عَلَیْکَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَیَّ إِسْلَامَکُمْ بَلِ اللَّهُ یَمُنُّ عَلَیْکُمْ أَنْ هَدَاکُمْ لِلْإِیمَانِ إِنْ کُنْتُمْ صَادِقِینَ (17)»

«إِنَّ اللَّهَ یَعْلَمُ غَیْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِیرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)»

Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepada-ku dengan keislamanmu. Sebenarnya, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan membimbingmu menuju keimanan, jika kamu adalah orang-orang yang benar.” Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hujurât [49]: 17-18)

Oleh karena itu, jika kita ikhlas dalam beriman kepada Allah, itu saja sudah merupakan rahmat Allah bagi kita. Allah Maha Melihat dan Mengetahui segala yang tersembunyi. Dia mengetahui esensi bentuk amal-amal kita, bentuk keimanan dan keislaman kita di alam gaib. Adapun kita-makhluk yang tak berdaya, yang tidak mengetahui hakikat--memperoleh pengetahuan dari seorang alim lalu berpikir bahwa kita telah berbuat sesuatu untuknya. Kita melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam lalu kita beranggapan telah berbuat suatu kebaikan baginya. Padahal, sesungguhnya, kitalah yang berutang kepada mereka. Kita tak menyadari hal ini, dan karenanya, pandangan salah inilah yang menggugurkan segenap perbuatan kita dan menggiring kita menuju sijjîn; menjadikan segala perbuatan kita tidak bermakna.

p: 45

Tahap Kedua: Ria dalam Perbuatan

Point

Sekalipun merupakan faktor yang lebih kecil dibanding ria pada tahap pertama dalam mendorong kita menuju kekufuran, orang yang bersikap ria dalam perbuatan dapat berakhir seperti ria pada tahap pertama-yaitu ria dalam akidah dan keimanan yang mendorong kita pada kekufuran. Kita telah menyebutkan dalam pembahasan hadis pertama bahwa di alam malakût (alam ruhani/gaib), manusia dapat memiliki bentuk yang berbeda dari bentuk manusia. Bentuk-bentuk itu sesuai dengan keadaan jiwa seseorang dan sifal-sifanya. Jika di sini engkau memiliki sifat-sifat manusiawi yang baik, di alam itu şifat- sifat tersebut akan menjadikanmu tetap berada dalam bentuk manusia. Sifat-sifat baik itu dipandang sebagai kebaikan yang sejati hanya jika diri jasmani (nafsu) tidak ikut berperan dalam pembentukannya. Guru dan syaikh kami yang terhormat, Ayatullah Syahabadi mengatakan bahwa ukuran bagi praktik ruhaniah yang palsu dan tidak sah, dan ukuran bagi perjuangan ruhaniah yang benar, adalah sejauh mana rasa mementingkan diri sendiri terlibat dalam praktik-praktik itu. Yaitu, apakah seluruh perjuangan ruhaniah itu diperuntukkan bagi Allah atau dilakukan karena motif-motif pribadi. Jika seorang pencari di jalan Ilahiah mementingkan dirinya sendiri dan praktik ruhaniahnya dimaksudkan untuk memperoleh kekuasaan bagi tujuan-tujuan duniawi, usaha-usahanya dianggap tidak sah, dan sulûk-nya (kemajuan di jalan ruhaniah) akan membawanya pada malapetaka di dunia lain. Orang tersebut biasanya memiliki anggapan yang salah tentang keruhanian. Dan, jika seorang pesuluk mengambil jalan yang lurus dan benar-benar mencari Allah, pengabdiannya ada dalam batas-batas syariat, Allah akan membantunya, sebagaimana yang dijanjikan dalam ayat berikut:

«وَالَّذِینَ جَاهَدُوا فِینَا لَنَهْدِیَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِینَ (69)»

Dan orang-orang yang berjihad demi Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhr.ya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-'Ankabût (29): 69)

Dengan begitu, perbuatannya akan membimbingnya menuju kebahagiaan; egoisme akan terhapus dan kebanggaan diri akan lenyap.

p: 46

Jelas sekali bahwa siapa pun yang menunjukkan perbuatan baiknya di depan orang lain---yang perbuatan baiknya itu memiliki tujuan mementingkan diri sendiri-ia akan menjadi manusia yang sombong, bangga akan dirinya sendiri, dan mengutamakan kepentingan diri sendirinya, dan semua itu akan menyebabkan musnahnya semua perbuatan baiknya. Jika eksistensi dirimu dipenuhi oleh rasa cinta diri, keserakahan terhadap harta, kekuasaan, kemasyhuran, dan keinginan untuk menguasai makhluk-makhluk Allah, perbuatan baikmu dan keutamaanmu tidak dapat dihitung sebagai perbuatan baik; dan sikap moralmu jauh dari moralitas agama yang sebenarnya. Kekuatan yang bekerja dalam dirimu adalah kekuatan iblis, dan keadaan batinmu tidak menggambarkan keadaan manusia. Ketika kau membuka matamu di alam lain, kau akan melihat dirimu bukan dalam bentuk manusia, tetapi serupa dengan kelompok iblis. Diri yang seperti itu, yang merupakan sarang iblis, mustahil memperoleh pengetahuan agama dan menghayati ruh tauhid. Kecuali jika diri batinmu telah berubah menjadi manusia dan hatimu bersih dari segala kotoran dan kenistaan, kau tidak akan memperoleh manfaat dari penerapan praktik-praktik ruhaniah, seperti yang telah difirmankan Allah dalam salah satu hadis qudsi: “Tidak ada (tempat) yang cukup luas untuk-Ku, tidak bumi-Ku dan juga tidak pula langit-Ku, melainkan hati hamba-Ku yang beriman.”

Tidak ada maujud yang menjadi tanda keindahan Sang Kekasih, melainkan hati orang beriman. Penguasa hati seorang Mukmin adalah Allah dan bukan dirinya sendiri. Pelaku yang sejati dalam wujud orang Mukmin adalah Sang Kekasih sehingga hati Mukmin itu tidak suka membangkang atau kebingungan. “Hati seorang Mukmin berada di antara dua Jari Allah; Dia dapat membalikkannya ke mana saja yang Dia sukai.”

Wahai engkau, hamba malang yang menyembah dirimu sendiri dan yang telah membiarkan setan dan kebodohan mempermainkan hatimu serta mencegah Allah berkuasa atas hatimu, keimanan macam apakah yang harus kaumiliki agar hatimu menjadi tempat penjelmaan Ilahi dan kekuasaan mutlak-Nya? Perhatikan, kecuali kau telah

p: 47

mengubah dirimu dan menghilangkan kesombonganmu, maka kau akan dicap sebagai kafir dan kau akan dimasukkan dalam kelompok kaum munafik, meskipun kau mengaku-aku sebagai seorang Mukmin yang telah menundukkan dirinya di bawah kehendak Allah.

Nilai Eksistensi Manusia sebagai Amanat Allah

Sahabatku, bangunlah, waspadalah, bukalah kedua matamu, dan ketahuilah bahwa Allah Yang Mahakuasa telah menciptakan dirimu demi Dia, sebagaimana diungkapkan dalam hadis qudsi berikut: "Wahai, anak-cucu Adam, Aku ciptakan segala sesuatu untuk (meng- abdi kepada)-mu; dan Aku ciptakan dirimu untuk (mengabdi kepada)-Ku.”

Dia (Allah) telah membuat hatimu sebagai “tempat khusus-Nya”. Kau dan dirimu adalah tempat tinggal bagi kehormatan Ilahi. Allah Yang Mahakuasa tidak dapat bertenggang rasa dalam masalah kehormatan-Nya. Jangan kau keterlaluan sampai sebatas ini dan membiarkan tangan-tangan menjarah kehormatan dan tempat tinggal-Nya. Berhati-hatilah terhadap “kecemburuan” Allah. Kalau tidak, Dia akan mempermalukanmu di dunia yang tak dapat kau tanggung-betapapun kau mencobanya. Kau telah bersalah melanggar kehormatan Ilahi di dalam hatimu, di depan para malaikat Allah, dan nabi-nabiNya. Ketinggian moral yang dengannya para wali Allah mencapai kedekatan dengan Allah telah kauarahkan kepada yang selain-Nya dan kautundukkan hatimu-yaitu tempat milik Allah-untuk para musuh-Nya. Dengan demikian, kau telah melakukan syirik dalam hatimu. Takutlah kepada Allah Yang Mahakuasa. Selain akan merendahkan bentukmu dan menghinakanmu di dunia nanti di hadapan para malaikat dan nabi-Nya, Allah juga akan menghinakanmu di dunia ini dan mengutukmu sampai ke tingkat yang tidak dapat ditanggung lagi-keburukan yang tidak dapat ditutupi lagi. Allah Yang Mahakuasa adalah sattâr (Penutup keburukan). Dia menyembunyikan semua dosa, tetapi Dia juga Maha Pencemburu. Dia adalah Maha Pengasih, tetapi juga Penghukum yang paling keras. Dia berkata bahwa Dia akan menutupi semua perbuatan buruk selama itu tidak

melewati batas tertentu. Semoga Allah menghindarkannya-jangan

p: 48

sampai timbunan perbuatan burukmu membangkitkan murka-Nya, melewati batas kesabaran dan kemauan-Nya untuk menutupi dosa-dosamu sebagaimana yang telah kau baca dalam sejumlah hadis. · Dengan demikian, sadarkanlah dirimu kembali, berlindunglah kepada Allah dan kembalilah kepada-Nya karena Allah Yang Maha-kuasa amat Pengasih dan selalu melimpahkan rahmat-Nya. Jika kau memohon ampunan kepada-Nya, Dia akan segera mengampunimu, menutupi semua cacat dan perbuatan burukmu di masa lalu sehingga tidak seorang pun yang dapat mengetahuinya. Dia akan menjadikanmu seorang manusia yang istimewa, teladan sifat-sifat baik, dan bayangan bagi Sifat-Sifat Ilahi. Dia akan membuat kehendakmu terlaksana di dunia nanti sebagaimana kehendak-Nya berlaku di seluruh

alam semesta. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ketika para ahli surga hendak menetap di sana, Allah berseru, “Dari Zat Maha Esa, Abadi, dan Kekal kepada hamba yang juga abadi dan kekal. Jika Aku ingin sesuatu, Kuperintahkan ia untuk mewujud, maka mewujudlah ia. Sejak saat ini, Aku menjadikanmu di tingkat yang jika kau ingin sesuatu kauperintahkan sesuatu untuk mewujud, maka mewujudlah ia.”

Oleh karena itu, janganlah kau mementingkan dirimu sendiri dan tundukkanlah kehendakmu di bawah Kehendak Allah. Zat Mahakudus akan membuatmu sebagai perwujudan bagi kehendakNya dan memberimu kekuasaan untuk mengatur semua urusanmu, dan menganugerahimu kemampuan untuk mencipta di hari akhir.

Tentu saja ini tidak sama dengan tafwidh(1) yang merupakan ajaran sesat, seperti telah dibuktikan di tempatnya. Kini, Sahabatku, pilihlah sekehendakmu; yang ini atau yang itu. Namun, ketahuilah bahwa Allah tidak membutuhkan dirimu atau diriku atau seluruh makhluk lain, dan Dia juga tidak membutuhkan pengabdian dan keikhlasan segenap makhluk-Nya.

p: 49


1- b Tafwid adalah memasrahkan total segalanya kepada Allah Swt. tanpa diiringi suatu usaha (semacam fatalisme) —peny.

Tahap Ketiga: Ria dalam Ibadah

Point

Ria jenis ini lebih umum terjadi dan lebih tampak dibanding dua tahap sebelumnya. Karena kita manusia biasa, sebagian besar tidak termasuk dalam dua tahap yang telah disebutkan di atas (lantaran sebagian besar kita tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang beriman dan berhati bersih-penerj.). Iblis tidak dapat menjerat kita dengan cara yang sama dengan orang-orang yang termasuk dalam dua tahap di atas. Sebagian besar Muslim menyembah Allah melalui ibadah-ibadah formal dan ritual, sehingga iblis biasanya lebih bebas mempermainkan manusia pada tahap ria ini. Godaan hawa nafsu juga lebih umum pada tahapan ini. Dengan kata lain, lantaran sebagian besar manusia memperoleh surga melalui perbuatan-perbuatan lahiriah dan lantaran mereka mendapatkan derajat-derajat ukhrawi dengan melaksanakan pelbagai amalan baik dan meninggalkan pelbagai amalan buruk, iblis menemukan jalan menanamkan benih-benih ria pada

amalan-amalan ini sampai semua amalan memiliki cabang dan dahan yang mengandung ria. Akhirnya, semua amalan baik itu berubah menjadi buruk dan

mengantarkan mereka memasuki neraka melalui jalan pelbagai ibadah dan ritus formal. Jalan yang seharusnya dapat dengan pasti mengantarkan manusia menuju surga disimpangkan oleh setan menjadi jalan ke arah kehancuran. Perbuatan-perbuatan yang seharusnya mengantarkan mereka menuju filliyyîn--surga tertinggi-

dilemparkan oleh para malaikat ke sijjîn atas perintah Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang hanya memiliki bekal ini, yakni bekal amalan formal, harus lebih waspada agar mereka—semoga Allah menjauhkannya-tidak kehilangan semua amalan itu dan menjadi penghuni neraka. Mereka harus berhati-hati agar jalan menuju kebahagiaan tidak menjadi huntu, pintu-pintu surga tertutup, dan pintu-pintu neraka terbuka bagi mereka.

Bagaimana Melawan Ria Jenis Ini?Bagaimana Melawan Ria Jenis Ini?

Sering kali orang yang terjangkit penyakit ria jenis ini tidak menyadari bahwa ada satu penyakit yang telah menyelinap ke dalam perbuatan-

p: 50

perbuatannya dan perbuatan-perbuatan itu kini telah menjadikan-nya bersifat munafik, dan karenanya menjadi tidak bernilai sama sekali. Karena godaan iblis dan diri halusnya serta jalan menuju kemanusiaan demikian rumit dan penuh risiko, jika seseorang tidak luar biasa cermat, tentu tidak akan mampu mengenali kejahatan yang ada pada godaan-godaan itu. Ia mengira bahwa seluruh perbuatannya ditujukan kepada Allah, padahal itu hanya melayani kepentingan iblis. Karena secara alamiah manusia diciptakan memiliki kecenderungan untuk berpusat pada dirinya sendiri, tabir cinta diri dan egoisme menutupi kesalahan dan keburukannya dari matanya sendiri. Insya Allah, kita akan mendiskusikan masalah ini ketika membahas hadis lain. Aku memohon kepada Allah untuk membantuku dalam urusan ini.Sebagai contoh, mempelajari pengetahuan agama adalah salah satu kewajiban penting agama dan merupakan sebentuk ibadah. Namun, orang yang sibuk untuk memperoleh keunggulan dalam bidang itu amat mudah terjatuh pada ria, yang menyelinap ke dalam hati sedemikian sehingga ia sendiri tidak menyadarinya—dan tabir tebal cinta dunia mengaburkan pandangannya. Ia menjadi ingin memperoleh posisi penting di mata ulama besar dan orang-orang berpengaruh lainnya dengan mencoba memecahkan suatu masalah penting yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. la ingin menampilkan dirinya sebagai seseorang yang berbeda dari orang lain dengan menampilkan masalah tersebut dalam cara yang unik agar dirinya menjadi pusat perhatian setiap orang. Dengan keyakinan diri yang besar, ia menganggap bahwa jika setiap ulama besar dan orang-orang yang berpengaruh memujinya dengan kata-kata yang muluk, ia akan memperoleh sambutan luar biasa dalam setiap pertemuan. Orang ini tidak menyadari bahwa kalau pun ia mendapatkan kemasyhuran di dunia ini dan dihargai oleh para ulama, ia akan

dipandang hina di mata Raja segala raja dan perbuatannya itu akan membawanya ke sijjîn. Perbuatan ria ini juga disertai beberapa sifat buruk lain, seperti keinginan untuk menjatuhkan orang lain atau menyakiti hati saudara seimannya, atau kadangkala bersikap kasar

p: 51

terhadap seorang Mukmin. Satu dari sifat-sifat ini saja sudah cukup untuk melemparnya ke neraka. Jika sekali lagi dirimu membuat tipu daya dan berhasil meyakin-

kanmu bahwa tujuanmu adalah secara luas mengajarkan syariat dan menjungjung kata-kata kebenaran—yang merupakan salah satu perbuatan ibadah yang bermanfaat dan bahwa engkau tidak bermaksud menonjolkan keunggulan ruhaniahmu, engkau harus bertanya kepada dirimu bahwa jika seorang kawanmu telah memecahkan masalah agama yang sama dengan cara yang lebih baik dan telah mengalahkanmu dalam kemasyhuran di antara para ulama besar dan orang-orang berpengaruh, apakah kau tetap beranggapan sama? Jika benar demikian, berarti kau jujur terhadap dirimu sendiri. Namun, jika tidak, jika kau tetap menipu orang lain serta tidak berhenti berdusta dan kau tetap bertahan pada anggapanmu dengan mengatakan bahwa menyebarkan kebenaran adalah perbuatan yang dianjurkan

agama dan memiliki balasan ruhaniahnya pula, dan bahwa kepentinganmu adalah untuk mencapai maqâm tinggi di akhirat kelak, sebaiknya kau bertanya kepada dirimu: misalnya Allah memberikan kemuliaan yang sebenarnya kepadamu untuk kekalahanmu dengan orang lain yang lebih masyhur itu, asalkan kau menerimanya dengan rasa syukur, akankah kau tetap ingin menang?

Jika kau melihat bahwa dirimu ingin menguasai orang lain dalam diskusi ilmiah untuk memperoleh pengakuan atas ketinggian pengetahuanmu di antara para ulama dan diskusi yang kauikuti ditujukan untuk mendapat penghargaan dan penghormatan dari orang lain, ketahuilah bahwa kegiatan intelektual itu--yang merupakan bentuk tertinggi ibadah—berubah menjadi perbuatan ria yang, menurut sebuah riwayat dalam Al-Kâfî, akan mengantarkanmu ke sijjîn. Kau akan dikelompokkan bersama orang-orang musyrik. Perbuatanmu itu, menurut sebuah hadis, akan membahayakan imanmu lebih dari bahaya yang disebabkan dua ekor serigala yang menyergap seekor domba dari depan dan belakang. Oleh karena itu, jika engkau adalah orang berilmu yang bertanggung jawab untuk mernperbaiki umat,

menunjukkan jalan menuju akhirat, dan menyembuhkan penyakit ruhaniah manusia, pertama kali engkau harus memperbaiki dirimu

p: 52

sendiri dan mempertahankan keadaan ruhaniah yang baik agar kau tidak tergolong ulama yang tidak berbuat sesuai dengan apa yang dikhutbahkannya. Berdoalah kepada Allah Yang Mahakuasa untuk menyucikan hati kita dari kotoran syirik dan nifâq, serta membersihkan cermin hati kita dari debu cinta dunia yang merupakan sumber seluruh keburukan. Ya Allah! Bantulah dan lindungilah makhluk-Mu yang tanpa daya ini, yang telah terjangkit penyakit sombong dan serakah terhadap

kekuasaan serta kehormatan, dan lindungilah kami dalam perjalanan berbahaya sepanjang liku-liku labirin gelap ini, wahai Yang Mahakuat dan Mahakuasa.

Ria dalam Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah adalah salah satu bentuk ibadah yang mulia dalam Islam. Menjadi imam shalat jamaah memiliki kedudukan yang lebih mulia. Untuk alasan itu, setan juga lebih aktif berusaha memengaruhi ibadah shalat berjamaah. Dan, setan paling memusuhi imam shalat daripada semua makmumnya. Ia selalu sibuk mencari jalan untuk menghalangi orang-orang Mukmin menerima kehormatan Ilahiah, berusaha menghilangkan keikhlasan dari perbuatan mereka, dan men-

dorong mereka ke sijjin. Ia berusaha menjadikan mereka musyrik dan, untuk tujuan itu, ia memengaruhi hati imam dengan berbagai cara, seperti 'ujb (bangga diri), yang akan kita bicarakan kelak, dan ria. Ria dalam kaitan ini ialah ketika sang imam menonjolkan ibadah mulia ini di hadapan manusia untuk memperoleh kedudukan di hati manusia dan kemasyhuran sebagai orang mulia di tengah-tengah mereka. Misalnya, ketika seorang imam melihat bahwa beberapa orang saleh menghadiri shalat jamaahnya, ia berusaha menonjolkan kerendahatiannya untuk menarik perhatian dan kekaguman mereka. la berusaha menemukan berbagai macam cara untuk menyebutkan nama orang saleh itu di antara orang-orang yang tidak mengikuti shalat jamaahnya. Ia menyebutkan namanya berulang-ulang dan

berusaha memberi tahu orang tentang kehadiran orang saleh itu sebagai salah seorang jamaahnya. Ia mencoba menciptakan kesan salah bahwa seolah-olah ia memiliki hubungan dekat dengannya,

p: 53

khususnya jika orang itu termasuk dalam kelompok pengusaha, dan mengungkapkan rasa cinta dan persahabatan yang besar terhadapnya, yang tidak pernah diungkapkannya urtuk sesaat pun kepada Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya. Iblis juga memerhatikan imam pada shalat-shalat jamaah di masjid-masjid kecil. Iblis mendekatinya dan mengingatkannya bahwa sesungguhnya ia sama sekali tidak memerhatikan masalah-masalah duniawi; bahwa ia telah cukup puas menghabiskan waktunya di sebuah masjid kecil di lingkungan orang-orang miskin. Perasaan ini sama dengan yang pertama, atau bahkan lebih buruk karena jika jaring-jaring kecemburuan telah menjerat orang itu, ia—yang memang sudah tidak dapat menikmati perolehan duniawi-akan kehilangan kemuliaan akhirat pula; mereka menderita di kedua dunia tersebut. Pada saat yang sama, iblis juga tidak mau melepaskan cengkeramannya di leher orang-orang seperti engkau dan aku, yang tidak dapat menjadi imam shalat jamaah, dan yang bersedih karenanya. Ia akan membuat kita meragukan manfaat berkumpulnya kaum Muslim dan mendorong kita untuk meninggalkannya. Kita akan digiring untuk meninggalkan shalat jamaah dengan alasan mengucilkan diri untuk beribadah dan berpikir bahwa sesungguhnya kita terbebas dari keinginan untuk memperoleh kedudukan dan kehormatan. Maka, kita menjadi lebih buruk dibandingkan kedua kelompok itu: kita tidak termasuk kelompok pertama, yaitu orang-orang yang berkecukupan di dunia ini, dan kita tidak termasuk pula dalam kelompok kedua, yaitu orang-orang yang kehidupannya lebih sederhana, serta kita uga tidak memperoleh kebahagiaan di akhirat nanti. Dan, kalau saja ada kesempatan, mungkin akan tampak bahwa sebetulnya kita lebih serakah pada kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan dibandingkan kelompok-kelompok lainnya itu.

Setelah itu, iblis tidak cukup puas dengan memengaruhi imam. Ia pun memengaruhi jamaahnya. Karena baris pertama jamaah lebih tinggi daripada baris kedua dan bagian sebelah kanan lebih baik daripada sebelah kiri, ia lebih sering membuat mereka sebagai sasaran daripada baris-baris lainnya. Ia menarik orang-orang yang lemah, yang tidak menyadari bisikan iblis, berusaha menunjukkan keunggul-

p: 54

annya dengan mengesankan diri sebagai orang yang suci, yang menunjukkan syirik batinnya—dan ini lebih dari cukup untuk melemparkan mereka ke sijjîn. Dari sini, iblis lalu menyelinap ke baris-baris lain untuk memerdayakan orang-orang, sebagian orang yang penampilannya kurang baik dan gerak-geriknya menggelikan, segera menjadi sasaran cemoohan yang lain, yang menganggap dirinya bebas dari segala kesalahan. Kadang kala tampak bahwa seseorang yang terhormat, terutama seorang ulama yang memiliki intelektualitas tinggi, dipengaruhi iblis untuk duduk di baris terakhir agar jamaah berpikir bahwa meskipun kedudukan ulama itu lebih tinggi, ia duduk di baris terakhir karena ia tidak memedulikan posisi keduniaan dan terbebas dari rasa bangga diri. Orang-orang seperti itu tidak pernah duduk di baris pertama. Namun, iblis masih tidak puas juga dengan memengaruhi imam dan jamaahnya. Kadang kala ia menjerat salah seorang berjenggot yang mengucilkan diri untuk meninggalkan rumahnya menuju ke salah satu sudut masjid, tidak bergabung dengan jamaah, dan berdiri di atas sajadahnya. Bagi orang tersebut, tidak ada imam yang adil, atau memenuhi syarat untuk memimpin shalat. Iblis menyuruhnya shalat berlama-lama dan memperpanjang sujud dan ruku'-nya. Dalam hatinya orang itu ingin membuat orang lain percaya bahwa ia adalah orang saleh yang memiliki suatu tingkat kesadaran sedemikian sehingga ia memilih menghindari shalat jamaah agar tidak terjebak mengikuti imam yang tidak adil. Orang itu, selain telah tertipu, juga tidak mengetahui hukum-hukum syariat. Marji' taqlid (faqih anutan) yang diikutinya mungkin tidak memberikan syarat-syarat mengikuti seorang imam kecuali penilaian atas perilaku lahiriahnya. Namun, si

penyendiri itu tidak memerhatikannya karena motif dia yang sebenarnya adalah ria. Ia hanya ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang saleh agar memperoleh kekaguman dari orang lain.

Ajakan kepada Keikhlasan

Sahabatku, berbuatlah yang bijaksana dan hati-hati. Periksalah setiap perbuatanmu yang paling kecil sekalipun, dengan seteliti mungkin. Cobalah menilai setiap perbuatanmu dengan melakukan introspeksi,

p: 55

apakah perbuatan itu memiliki motif perbuatan baik atau ada motif lain. Apa yang mendorongmu untuk bertanya tentang shalat malam dalam suatu majelis? Apakah itu benar-benar demi Allah atau untuk mengesankan kepada orang lain bahwa engkau beragama dengan baik? Mengapa engkau demikian bersemangat bercerita kepada orang lain pada setiap kesempatan yang mungkin? Jika itu kaulakukan demi Allah dan kau ingin orang lain menirumu, kau berpikir dalam kerangka “orang yang menunjukkan jalan kebaikan sama kedudukannya dengan orang yang melakukannya" dan pada saat yang sama kau pun melakukan perbuatan baik itu, kau beralasan untuk menunjukkannya kepada orang lain. Puji syukur untuk Allah karena Dia telah memberimu kemampuan untuk berbuat dengan kesadaran yang jer-

nih dan hati yang bersih. Namun, waspadalah terhadap tipu daya iblis ketika kau sedang memeriksa niatmu karena ia dapat menggambarkan perbuatan ria sebagai perbuatan suci yang bukan untuk kepentingan diri sendiri. Jika perbuatanmu itu bukan kaulakukan demi Allah, lebih baik kau tidak melakukannya karena itu akan dianggap sebagai sum'ah-yaitu mempertunjukkan perbuatan baik yang palsu, yang merupakan salah satu cabang dari pohon ria—dan Allah tidak akan mengakuinya serta akan melempar pelakunya ke sijjîn. Kita harus berlindung kepada Allah dari kejahatan tipu daya yang selu- bungnya amat halus. Kita yakin bahwa perbuatan-perbuatan kita tidaklah bersih dan ikhlas karena, jika kita memang hamba-Nya yang benar, mengapa iblis--yang telah berjanji tidak akan memengaruhi perbuatan hamba-hamba-Nya yang benar—terus mengganggu kita dan membuat kita sebagai sarana dari rencana jahatnya? Dalam kata-kata guru kami yang terhormat, iblis adalah anjing penjaga pengadilan Yang Mahakuasa. Ia tidak menggonggong kepada orang yang dekat kepada Allah dan tidak akan mengganggunya. Sebagaimana anjing penjaga tidak akan memusuhi teman dari tuannya, demikian pula iblis mengenali sahabat Allah dan tidak akan mengizinkan seorang asing mendekatinya.

Oleh karena itu, setiap saat kau menyadari bahwa iblis memengaruhi perbuatanmu, ketahuilah segera bahwa perbuatanmu tidak dilakukan dengan keikhlasan dan tidak demi Allah semata-mata. Jika

p: 56

kau adalah seorang Mukmin yang ikhlas, mengapa mulutmu tidak mengeluarkan kata-kata bijak yang datang dari hati? Selama empat puluh tahun kau merasa telah melakukan perbuatan-perbuatan baik demi Allah, padahal dalam sebuah hadis dikatakan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah selama empat puluh hari, maka kebijaksanaan akan melimpah dari hatinya. Oleh karenanya, hal itu adalah tanda bagi kita untuk menyadari bahwa perbuatan-perbuatan kita tidak dilakukan demi Allah, meskipun kita tidak menyadarinya; dan itu juga adalah sebab utama bagi penyakit kita yang tidak dapat disembuhkan.

Sungguh malang orang-orang yang shalat, para imam dan jamaah shalat Jumat, serta orang-orang yang berilmu tinggi! Ketika mata mereka terbuka di pengadilan Yang Mahatinggi di Hari Pengadilan, mereka akan mengetahui bahwa mereka bukan saja termasuk dalam kelompok orang-orang yang berdosa besar, melainkan juga termasuk kelompok yang lebih buruk daripada kafir dan musyrik; serta catatan perbuatan mereka lebih buruk.

Sungguh patut dikasihani, orang-orang yang shalat dan ibadah-ibadahnya yang lain kelak akan menjadi bahan bakar api neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari saat penampilan seseorang begitu buruknya hingga tidak dapat dibayangkan, meskipun orang itu telah mengeluarkan zakat dan sedekah. Engkau, makhluk yang tak berdaya, dicap sebagai musyrik, meskipun kau memercayai keesaan Allah. Insya Allah, Dia akan mengampuni para pendosa dengan kasih-Nya; tetapi, bagi orang musyrik, Dia telah berkata bahwa Dia tidak akan memaafkannya jika orang itu meninggal tanpa tobat. Telah dinyatakan dalam hadis di atas bahwa orang yang terbiasa melakukan ria dalam segala bentuknya-memamerkan keimanan, ibadah, kedudukan agamanya yang tinggi, khutbahnya, kedudukannya sebagai

imam, puasanya, dan perbuatan-perbuatan salehnya demi memperoleh penghargaan dari orang lain adalah syirik. Syiriknya itu dikukuhkan oleh ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis para Imam Ahl Al-Bait. Oleh karena itu, dosanya tidak terampuni. Lebih baik bagimu untuk tergolong dalam kelompok orang-orang yang melakukan dosa besar, menjadi orang yang terkenal keburukannya, tetapi tetap

p: 57

seorang muwahhid (percaya pada keesaan Allah) daripada menjadi seorang musyrik. Kini, Sahabatku, periksalah dirimu dengan serius dan carilah obat untuk menyembuhkan penyakit ruhanimu. Dan sadarilah sia-sianya kehormatan dalam hat: manusia—sepotong kecil daging yang tidak akan memuaskan selera seekor burung. Makhluk-makhluk yang lemah ini sama sekali tidak memiliki kekuatan dan pujian mereka tidak ada artinya. Kekuatan yang sesungguhnya harus dicari pada Allah; Dialah Sebab Mutlak bagi segala sebab-Sebab Akhir. Bahkan jika seluruh makhluk bekerja sama untuk menciptakan seekor lalat, mereka tidak akan berhasil; dan jika lalat itu menyebabkan mereka mendapat bahaya, mereka tidak akan mampu mengelakkannya, jika Allah menghendaki demikian. Seluruh kekuatan adalah milik Yang Mahakuasa. Dialah penggerak alam semesta. Ketika kau sedang melakukan sesuatu, tuliskan dalam hatimu dengan pena akal, “Tidak ada sebab efektif dalam dunia wujud kecuali Allah”. Dengan segala cara, tanamkan dalam hatimu prinsip kesatuan perbuatan Allah (tauhid al-af'al), yang merupakan tingkat pertama Kesatuan Wujud; dan dengan demikian jadikan hatimu hati seorang Mukmin sejati. Terangilah hatimu dengan pernyataan suci “tidak ada tuhan selain Allah"; dan bentuklah hatimu sesuai dengannya. Bawalah hatimu ke tingkat ketenteraman (ithmi'nân) dan sadarilah dengan hatimu bahwa makhluk manusia tidak dapat menyebabkan kebaikan atau keburukan, dan bahwa hanya Allah yang mampu melakukannya. Jernihkan pandanganmu, yang menderita kebutaan agar kau tidak dibangkitkan sebagai orang buta pada Hari Pengadilan dan mengeluh kepada Yang Mahakuasa,

«قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِی أَعْمَی وَقَدْ کُنْتُ بَصِیرًا (125)» “Ya Tuhanku, mengapakah Kau bangkitkan aku dalam keadaan buta ...?" (QS Thâ Hâ [20]: 125). Kehendak Allah menguasai kehendak makhluk-Nya. Jika hatimu tunduk pada sabda suci tersebut, dan meyakininya, semoga perbuatan-perbuatanmu memperoleh balasan serta seluruh jejak syirik, ria, kufr, nifâq, akan terhapus dari wajah hatimu. Keimanan yang tinggi itu selaras dengan akal dan wahyu, serta tidak ada tanda-tanda deter-

minisme (jabr) di dalamnya. Mungkin saja beberapa orang yang tidak

p: 58

mengetahui makna prinsip dasar dan kandungan determinisme akan menyalahartikannya; padahal itu bukanlah jabr, melainkan tauhid. Determinisme adalah sebentuk syirik pula; sementara tauhid membimbing, determinisme menyesatkan. Dalam kesempatan ini, tidak tepat untuk mendiskusikan determinisme dan kebebasan. Namun, orang-orang yang memahami persoalan itu dapat mengetahui pentingnya apa yang saya katakan. Lebih jauh, Rasul Saw. telah meminta kita untuk tidak berdebat tentang masalah-masalah seperti itu. Bagaimanapun, dengan doa dan permohonan yang sungguh-sungguh pada setiap saat, khususnya ketika

engkau merasa sendiri, bermohonlah agar Allah membimbingmu dan mencerahkan hatimu dengan cahaya tauhid. Mintalah kepada-Nya agar menganugerahimu pandangan tentang hal-hal yang tersembunyi, penglihatan akan kesatuan (dalam keragaman)-Kesatuan Wujud Allah sehingga kau tidak menganggap penting segala sesuatu yang lain selain Allah dan menganggap segala sesuatu itu sebagai remeh. Mohonlah kepada esensi Suci-Nya untuk menjadikan perbuatanmu bersih dan ikhlas sehingga mampu membimbingmu menuju jalan cinta dan keikhlasan. Dan, jika kau telah mencapai maqam ruhaniah sedemikian sehingga doa-doamu didengar dan dijawab oleh-Nya dan kau dapat melakukan sesuatu bagi makhluk ciptaan Allah yang lemah ini, doakanlah ia yang telah menyia-nyiakan hidupnya dalam pencarian tanpa makna, tanpa tujuan yang jelas, takluk pada nafsu, dan syahwat, yang dosa-dosanya telah melukai hatinya sampai ke suatu titik yang tidak ada anjuran, nasihat, ayat Al-Quran, hadis Rasul Saw., argumen, atau perkataan bijak yang dapat memengaruhinya. Semoga doamu dapat menyelamatkannya.

Allah tidak pernah tidak memedulikan seorang Mukmin dalam pengadilan-Nya dan Dia senantiasa mengabulkan doa-doanya. Dengan terus-menerus mengingat semua itu, yang telah kauketahui dan bukan hal baru bagimu, tanamkanlah rasa ikhlas dan penuh perhatian dalam hatimu; dan, tanpa berhenti, nilailah kembali gerak-mu, diammu, dan perilakumu. Selidikilah selalu niat-niatmu yang tersembunyi dan dengan cermat perhitungkanlah segala sesuatunya seperti seorang pengusaha menilai mitra kerjanya. Jangan melakukan

p: 59

apa pun yang mengandung ria dan kepura-puraan, betapapun hal itu tampak sebagai perbuatan yang sangat baik. Bahkan dalam ibadah-ibadah wajib, jika kau tidak merasa yakin dapat melakukannya dengan ikhlas di depan umum, lakukan secara sembunyi-sembunyi, meskipun lebih utama untuk melakukannya secara terbuka. Ria jarang muncul dalam ibadah-ibadah wajib itu sendiri; lebih sering ia muncul dalam hubungannya dengan cara ibadah wajib itu dilakukan dan pada ibadah-ibadah sunnah. Dalam hal apa pun, bersihkan hatimu dari debu syirik dengan penuh kesungguhan dan kritik diri yang paling keras. Jika, semoga Allah menghindarkannya, engkau meninggalkan dunia ini dalam keadaan seperti itu, kau akan tampil dalam bentuk yang buruk dan tidak ada harapan keselamatan bagimu. Lalu, kau akan memancing murka Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang dikutip dalam Wasâ'il Al-Syi'ah.(1) Amir Al-Mukminir. 'Ali menyatakan bahwa Rasul bersabda, “Seseorang yang melakukan perbuatan yang disukai Allah dalam rangka memamerkannya kepada orang lain dan secara diam-diam menunjukkan sifat-sifat yang dibenci Allah, maka ia akan menjumpai amarah dan murka Allah (di Hari Kebangkitan)." Ada dua kemungkinan penafsiran atas hadis tersebut. Pertama, hadis itu berbicara tentang seseorang yang menampilkan dirinya sebagai teladan sifat-sifat baik bagi orang lain, tetapi batinnya tercemar dengan sifat-sifat jahat yang buruk. Kedua, mungkin yang dibicarakan adalah seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan baik secara lahiriah dengan maksud ria. Terlepas dari hal itu, hadis tersebut jelas mengecam orang yang ria karena perbuatan yang disukai oleh Allah, tetapi dapat menimbulkan kemurkaan-Nya hanyalah perbuatan dengan motif ria. Dari kedua kemungkinan itu, yang kedua lebih dekat dengan makna hadis tersebut karena memamerkan perbuatan baik itu jauh lebih buruk. Ini adalah peringatan bagi kita untuk berhati-hati. Jika tidak, kita dapat memancing kemurkaan Raja segala raja dan Pengasih yang paling mengasihi.

p: 60


1- 5. Wasa'il Al-Syi'ah.

Hadis dari Imam 'Ali tentang Tiga Ciri Ria

Kita akan mengakhiri pembahasan ini dengan sebuah riwayat dari pemimpin kaum Mukmin, Imam 'Ali, yang dicatat dalam Al-Kafi. Syaikh Al-Shaduqjuga telah meriwayatkannya dari Imam Al-Shadiq, yang merupakan sebagian dari sabda terakhir dan wasiat Rasul kepada ‘Ali(1) Al-Imam Al-Shadiq berkata bahwa Amir Al-Mukmin ‘Ali berkata, “Ada tiga ciri yang menandakan bahwa seseorang melakukan ria, yaitu menyatakan suka cita dan kegembiraannya ketika disambut dan dihormati, menjadi sedih dan murung ketika sendiri (tidak ada orang lain); dan ingin dipuji untuk semua hal yang dikerjakannya." Karena sifat buruk itu halus dan tersembunyi sehingga tidak diketahui oleh orangnya sendiri, ia tidak menyadari kenyataan bahwa dalam hatinya ia adalah seorang munafik; dan ia mengira perbuatan-perbuatannya bersih tidak tercemar. Oleh karena itu, tanda sifat buruk itu dijabarkan agar manusia dapat mengenali motif-motif tersembunyinya dengan memeriksa batinnya, dan dapat mencegah serta menyembuhkannya. Setiap orang harus melihat apakah ia tidak ingin mengerjakan kewajiban agamanya ketika sendirian, bahkan jika ia dengan penuh kesungguhan memaksa dirinya atau terbiasa melakukannya? Apakah ia tidak melakukannya dengan keikhlasan dan kemurnian hati, melainkan hanya sebagai latihan jasmani; namun saat melakukan shalat di masjid dalam suatu jamaah, ia menjadi berubah dan melakukan shalatnya dengan riang gembira dan bersemangat. Ia memperpanjang ruku' dan sujudnya; ia melakukan semua sunnah dengan tepat, dan sangat memerhatikan hal-hal yang paling kecil. Jika orang itu memberikan sedikit perhatian pada keadaan batinnya, ia mungkin akan menemukan alasan bagi perbuatannya itu. Mengapa ia menebarkan jaring-jaring kesalehan palsunya untuk menjerat perhatian orang lain? Ia mungkin membohongi dirinya sendiri dengan berkata bahwa ia lebih senang melaksanakan shalat di masjid karena hal itu lebih bermanfaat dan pahalanya lebih besar. Ia akan meyakinkan dirinya dengan berkata bahwa lebih baik melakukan shalat yang baik di depan orang banyak agar mereka mengikuti contohnya dan membuat orang lain lebih tertarik pada agama.

p: 61


1- 6. Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, h. 295.

Manusia menipu dirinya dengan segala cara dan tidak pernah berpikir untuk memperbaiki dirinya. Bagi orang sakit yang menganggap dirinya sehat, tidak ada harapan untuk disembuhkan. Lubuk hati terdalam manusia yang buruk tidak hanya secara diam-diam bertujuan untuk memamerkan perbuatan-perbuatan baiknya di depan orang banyak dan tetap tidak menyadari dorongan batinnya, tetapi juga menampilkan perbuatan dosanya sebagai ibadah dan tipu dayanya sebagai dakwah agama--meskipun sebetulnya shalat sunnah sebetulnya dianjurkan untuk dilaksanakan sendirian. Mengapa dirimu selalu ingin tampil di depan umum dan mengapa kau meratap ketakutan kepada Allah dalam sebuah pertemuan umum, sedangkan dalam kesendirian kau tidak mampu menitikkan setetes air mata pun? Di

manakah rasa takutmu kepada Allah (di saat kamu sedang sendirian)? Apakah rasa takut itu hanya menyergapmu di hadapan orang banyak? Apakah rasa takut itu menguasai dirimu hanya pada lailah al-qadar di depan beberapa ratus orang? Orang itu melakukan shalat seratus rakaat dan membaca doa jausyan al-kabîr dan jausyan al-shaghir, membaca beberapa surah dalam Al-Quran, dan tidak merasa bosan atau jemu sedikit pun. Jika seseorang melakukan sesuatu hanya demi

Allah atau untuk memperoleh rahmat-Nya, atau karena takut neraka dan mengharapkan surga-Nya, lalu mengapa ia ingin perbuatan-perbuatannya dihargai dan dipuji oleh orang lain? Telinganya begitu ingin mendengar pujian bagi dirinya, dan hatinya bersama orang-orang yang mengamati ibadahnya dan berkata, “Betapa mulianya orang itu, karena ia selalu tepat pada waktunya melaksanakan shalat wajib dan sangat memerhatikan yang sunnah.” Jika perbuatanmu itu kautujukan pada Allah, apakah arti semua kecenderungan yang berlebihan pada orang banyak itu? Jika rasa takut pada neraka dan harapan akan surga mendorongmu untuk melakukan segenap perbuatanmu, lalu apakah arti kecintaanmu pada kemasyhuran itu? Kau harus menyadari bahwa keinginan tersebut muncul dari pohon ria yang tercela. Oleh karena itu, cobalah sedapat mungkin menyucikan dirimu dan kecenderungan-kecenderungan absurd itu, serta berusahalah memperbaiki dirimu,

p: 62

Derajat Sifat-Sifat (jiwa) di Antara Manusia

Pada tingkat ini penting untuk mengingatkan dirimu bahwa setiap sifat jiwa yang baik maupun yang buruk-memiliki beragam derajat. Mereka yang berhasil melaksanakan perbuatan baik dan tidak melakukan perbuatan buruk dikelompokkan bersama para ahli makrifat dan wali-wali Allah. Sedangkan untuk yang lainnya, keburukan dan kebaikannya ditentukan oleh maqâm (kedudukan) ruhaniahnya. Bisa jadi suatu sifat yang dianggap buruk bagi orang-orang yang berada pada maqâm yang lebih tinggi tidak dianggap sebagai sifat buruk pada maqam yang lebih rendah. Sebaliknya, mungkin saja hal itu justru dianggap sebagai suatu pencapaian. Begitu pula, sifat-sifat baik orang-orang pada maqam yang rendah dapat menjadi keburukan bagi manusia pada maqâm yang lebih tinggi. Ria yang kita bahas saat ini juga merupakan salah satu sifat yang (relatif) seperti itu. Keikhlasan adalah salah satu tingkat tertinggi kebebasan dari ria dan merupakan suatu ciri wali Allah; orang-orang lain tidak memiliki sifat seperti ini. Orang-orang awam biasanya mencapai tingkat yang lebih rendah dari ikhlas dan ini tidak membahayakan imannya karena, pada umumnya, mereka memiliki kecenderungan alamiah agar perbuatan baiknya diketahui orang lain. Meskipun mereka tidak secara sengaja

melakukannya untuk pamer, dirinya secara instingtif cenderung ingin perbuatan baik itu diketahui oleh orang lain. Kecenderungan ini tidak menghapuskan perbuatan baik mereka, tidak membuat mereka menjadi kafir, munafik, ataupun syirik. Namun, sifat yang sama menjadi buruk dalam diri wali Allah karena bagi mereka sifat itu terhitung sebagai nifaq atau syirik. Penyucian mutlak dari kotoran syirik dan pencapaian ikhlas yang sempurna dalam ibadah merupakan syarat utama untuk mencapai tingkat yang disediakan bagi para wali Allah dan bahkan ada tingkat-tingkat lebih tinggi yang dapat mereka capai.

Namun, di sini kita tidak akan membahasnya lebih dalam. Para Imam a.s. kita(1) telah menyatakan bahwa ibadah mereka adalah ibadah jiwa

p: 63


1- C Yang dimaksud adalah Imam Dua Belas dalam mazhab Imâmiyyah, yaitu Imam 'Ali, Imam Hasan, Imarn Husain, Imam 'Ali Zainal Abidin, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ja'far Al-Shadiq, Imam Musa Al-Khazim, Imam 'Ali Al-Ridha, Imam Muhammad Al-Jawad, Imam 'Ali Hadi, Imam Hasan Al-Askari, dan Imam Muhammad Al-Mahdi--peneri.

yang telah terbebaskan (ahrár), yang dilakukan semata-mata demi cinta kepada Allah dan tidak karena ketakutan pada neraka atau harapan akan surga; dan mereka memandang bahwa tingkat itu adalah langkah pertama bagi wilayah (kepemimpinan) mereka. Bagi mereka, ibadah merupakan keadaan ekstase yang melampaui jangkauan imajinasi dan pemahaman kita. Terlepas dari hadis yang diriwayatkan dari Rasul Saw. dan Amir Al-Mukminin di atas, ada lagi sebuah hadis

yang diriwatkan oleh Zurarah dari Imam Abu Ja'far, sebagai berikut(1) Zurarah meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Imam Al-Baqir

tentang status seseorang yang melakukan perbuatan baik di depan orang lain dan itu menjadikannya berbahagia. Imam berkata, “Dalam hal itu, tidak ada salahnya; tidak ada seorang pun yang tidak senang jika perbuatan baiknya diketahui orang lain, dengan syarat bahwa ia tidak melakukannya semata-mata demi memperoleh kekaguman mereka (orang banyak).”

Dalam satu dari dua hadis di atas, kecenderungan melakukan perbuatan baik demi memperoleh penghargaan dan kekaguman orang, dianggap sebagai tanda ria, sementara dalam hadis lainnya dikatakan bahwa merasa senang karena orang lain melihat perbuatan baiknya tidaklah salah. Kedua posisi yang berbeda itu diambil sesuai dengan kategori di mana seseorang tersebut termasuk di dalamnya. Ada beberapa alasan lain pula bagi pandangan itu, tetapi kita tidak akan menyebutkannya di sini.

Definisi Sum'ah

Pada akhirnya, perlu dicatat bahwa sum'ah (reputasi) berarti menyam- paikan sifat-sifat baik pada telinga-telinga khalayak untuk tujuan menarik perhatian mereka dan menyebarkan kebaikar. seseorang, dan hal itu merupakan sebuah cabang dari pohon buruk ria. Untuk alasan yang sama, kita telah membahas sum'ah sebagai bagian dari ria, bukan sebagai sifat buruk yang khusus dan tidak membahas maknanya secara terpisah. ()

p: 64


1- 7. Ibid., jilid 2. h. 297.

3 Hadis tentang Ujub

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب، عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن علیّ بن أسباط، عن أحمد بن عمر الحلّال، عن علیّ بن سوید، عن أبی الحسن، [1] علیه السّلام، قال: سألته عن العجب الّذی یفسد العمل. فقال: العجب درجات، منها أن یزیّن للعبد سوء عمله فیراه حسنا، فیعجبه و یحسب أنّه یحسن صنعا. و منها أن یؤمن العبد بربّه فیمنّ علی الله تعالی و لله علیه فیه المنّ.

Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari 'Ali ibn Asbath, dari Ahmad ibn 'Umar Al-Hallal, dari 'Ali ibn Suwaid, dari Abul Hasan (Imam Al-Ridha): Berkata *Ali ibn Suwaid bahwa ia bertanya kepada Abul Hasan tentang ujub yang merusak sifat perbuatan manusia. Berkata Imam, “Ada

beberapa tingkat ujub. Salah satu di antaranya adalah ketika sifat buruk seseorang tampak baik baginya. Ia menganggapnya sebagai baik dan memuji dirinya, membayangkan bahwa ia telah melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tingkat ujub yang lain tampak pada manusia yang beriman kepada Allah dan ia berpikir telah

menguntungkan Allah, sehingga ia mengungkit-ungkit kebaikannya di hadapan Allah padahal Allahlah yang berbuat baik kepada-nya (dengan memberinya keimanan itu).(1)

Dalam pandangan para ulama—semoga Allah meridhai mereka-ujub adalah "tindakan mengagung-agungkan dan membesar-besarkan suatu perbuatan baik, perasaan puas dan senang dengannya, tersipu (seperti perasaan orang yang dirayu) dan terkesima dengan perbuatan baik dirinya, dan merasa dirinya terbebas dari seluruh kekurangan dalam perbuatan baik itu”. Namun, merasakan kenikmatan dan kesenangan ketika melakukan perbuatan baik yang disertai dengan rasa rendah hati dan syukur kepada Allah atas taufik-Nya

p: 65


1- 1. Ushúl Al-Kâfî, jilid 2, h. 313.

dalam keberhasilannya berbuat kebaikan, serta memohon kepada-Nya untuk menambah taufik baginya di waktu mendatang, bukan termasuk ujub, melainkan merupakan sifat yang terpuji. Ahli hadis besar, 'Allamah Al-Majlisi—semoga Allah mengharumkan kuburnya-mengutip dari alim dan pemikir besar, Syaikh Baha’uddin Al-Amili yang berkata:

“Tidak ada keraguan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan baik, seperti berpuasa dan shalat pada malam hari, ia akan merasakan semacam kenikinatan dan kesenangan. Kenikmatan dan kesenangan itu bukanlah ujub—jika ia timbul dari perasaan bahwa Allah Yang Mahakuasa telah melimpahkan pemberian dan nikmat kepadanya berupa (dorongan untuk) melakukan perbuatan baik, sementara ia merasa khawatir akan kekurangan dalam perbuatannya, cemas akan hilangnya nikmat itu dan memohon kepada Allah untuk terus memberinya tambahan nikmat. Namun, jika kesenangan itu disebabkan oleh keyakinannya bahwa perbuatan baik itu sudah merupakan sifatnya dan dialah pelaku perbuatan itu, lalu dia mengagung-agungkannya dan menyukainya, memandang dirinya bebas dari seluruh kekurangan, sehingga ia merasa seolah-olah telah memberi kebaikan kepada Allah dengan perbuatan itu, maka semua itu berubah menjadi ujub."

Dalam pandangan kami yang tak berdaya ini, definisi ujub di atas cukup tepat, tetapi perbuatan yang disebut dalam kutipan di atas harus dipandang meliputi perbuatan lahiriah maupun batiniah, dalam bentuk luar maupun di dalam hati, serta mencakup perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Sebab, selain memengaruhi perbuatan lahiriah, ujub juga memengaruhi perbuatan batiniah (mental dan spiritual) seseorang dan merusaknya. Seperti halnya seorang

yang baik dapat berujub dengan kebaikannya, demikian pula pelaku perbuatan buruk dapat mengagumi keburukannya. Hadis di atas secara eksplisit menyebutkan keduanya karena sebagian besar orang sering melupakan bahwa ujub mencakup kebaikan dan keburukan. Kita akan mendiskusikan pokok masalah ini dalam pembahasan selanjutnya. Kesenangan yang bebas dari ujub dan dikatakan sebagai sifat terpuji itu juga ada banyak jenisnya, sebagaimana akan diterangkan dalam pembahasan selanjutnya.

p: 66

Hadis tentang Ujub

Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, ujub memiliki beberapa derajat sebagai berikut: derajat pertama, ujub dengan keimanan terhadap ajaran-ajaran yang benar; lawannya adalah ujub dengan kekufuran, kemusyrikan, dan kepercayaan-kepercayaan yang keliru. Derajat kedua, ujub dengan sifat-sifat baik; lawannya adalah ujub dengan sifat-sifat buruk. Derajat ketiga, ujub dengan perbuatan-perbuatan baik; lawannya adalah ujub dengan perbuatan-perbuatan jahat. Selain itu, masih ada beberapa derajat ujub lain yang tidak begitu penting untuk konteks buku kita ini. Dengan pertolongan Allah, kita akan membahas ketiga derajat ujub tersebut, penyebabnya, dan cara penyembuhannya dalam beberapa pasal berikut.

Derajat-Derajat Ujub

Di antara perilaku ujub yang disebutkan di atas, beberapa di antaranya mudah dikenali dengan sedikit perhatian, membuka mata, dan berusaha menemukannya. Namun, ada pula ujub yang tersembunyi dan halus, yang tidak mudah dikenali, kecuali jika kita secara cermat memeriksa diri kita, meneliti satu demi satu perbuatan kita. Begitu pula, beberapa tingkat ujub lebih merusak daripada tingkat-tingkat lainnya.

Derajat pertama dan terutama, yang merupakan tingkat ujub yang paling dahsyat dan berbahaya adalah anggapan seseorang bahwa dengan beriman kepada Allah atau bersifat terpuji, ia telah berbuat baik kepada Allah Sang Pemberi nikmat, Pemilik segala sesuatu. Ia berpikir bahwa dengan keimanannya ia telah memperluas kerajaan Allah dan ikut mencemerlangkan agama-Nya. Ia berpikir bahwa dengan menyebarkan syariat-Nya, memberikan bimbingan pada agama-Nya, melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, melaksanakan hudûd(1) yang diperintahkan-Nya, keberadaannya di mihrab atau mimbar, maka ia telah menambah kebesaran agama Allah. Atau ia merasa bahwa kehadirannya dalam shalat jamaah kaum Muslim dan keaktifannya

p: 67


1- a Hudud adalah "batas". Yang dimaksud di sini adalah batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. yang tidak boleh dilanggar oleh manusia-penerj.

mendirikan upacara-upacara duka untuk mengenang tragedi kesyahidan Imam Al-Husain, ia telah menambah keagungan agama, dan dengan demikian memberikan keuntungan kepada Allah, kepada Baginda Nabi Muhammad, dan kepada Al-Syahid Imam Al-Husain. Meskipun ia tidak akan mengungkapkannya secara terang- terangan, dalam hatinya ia merasa begitu. Demikian pula dalam soal membantu hamba-hamba Allah sebagai kewajiban atau anjuran agama-seperti memberi zakat dan sedekah, menolong orang-orang yang miskin dan membutuhkan ia berpikir bahwa ia telah berjasa kepada mereka. Kadangkala, perasaan tersebut sedemikian tersembunyi dan halusnya sehingga orang itu sendiri tidak mengetahuinya. (Tentang masalah kemustahilan manusia menyumbang dan membantu Allah telah diulas pada hadis kedua tentang ria.)

Tingkat kedua ujub adalah keadaan seseorang yang tersipu (seperti orang yang dirayu) oleh ujub dalam hatinya-yang berbeda dengan keadaan ujub seseorang sehingga merasa telah menguntungkan Allah, meskipun banyak orang tidak melihat perbedaan keduanya. Pada keadaan itu, seseorang memandang dirinya sebagai kekasih Allah dan memasukkan dirinya dalam kelompok para wali dan orang- orang yang dekat dengan-Nya. Jika ia mendengar nama para wali dan orang-orang yang dekat dan terbius cinta Allah (majdzûb), dalam hatinya ia merasa sejajar dengan mereka-meskipun secara lahir ia memamerkan kerendahan hati atau untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang berada pada kedudukan itu ia menafikannya dari dirinya dengan cara yang justru makin mengukuhkan perasaan itu dalam

dirinya. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya, ia akan mengumumkan bahwa al-balâ'li al-walâ' (ujian sebagai tanda kedekatan, yang mengisyaratkan bahwa para wali sering memperoleh kesulitan). Orang-orang yang mengaku sebagai pembimbing manusia, ahli makrifat, sufi, dan zahid lebih mudah terkena bahaya ini dibandingkan dengan orang-orang lainnya.

Pada tingkat ketiga, seseorang memandang dirinya berhak memperoleh pahala dari Allah karena keimanan, watak, dan perilakunya. Dia memandang Allah wajib untuk memuliakannya di dunia ini serta menganugerahinya dengan kedudukan yang tinggi di akhirat kelak.

p: 68

la melihat dirinya sebagai orang beriman, bertakwa, dan suci. Ketika ada pembicaraan tentang orang-orang beriman, ia akan membatin: “Jika Allah berlaku adil, aku akan berhak mendapatkan pahala dan ganjaran.” Kadang kala, tanpa rasa malu, ia berani mengatakannya terang-terangan. Jika suatu bencana menimpanya atau ia menghadapi kesulitan, ia akan menyalahkan Allah dan mempertanyakan keadilan-Nya yang menyebabkan penderitaan orang Mukmin yang suci dan

mencurahkan rezeki-Nya kepada orang munafik. Ia memelihara perasaan benci kepada Allah dan keputusan-keputusan-Nya dalam hati, sementara secara lahiriah ia berpura-pura rela terhadap keputusan-keputusan-Nya. Ia menumpahkan kemarahan kepada Allah yang memberinya segala rupa nikmat, dan menunjukkan kerelaan atas keputusan Allah di hadapan makhluk. Dan ketika ia mendengar bahwa Allah akan menguji orang-orang Mukmin di dunia ini dengan pelbagai penderitaan, ia akan menghibur hatinya dengan merasa bahwa ia menderita karena ia adalah Mukmin, tanpa mengetahui bahwa kaum munafik juga banyak yang menderita dan bahwa tidak semua orang yang menderita itu Mukmin.

Tingkat ujub keempat ialah keadaan orang yang memandang dirinya lebih unggul daripada kalangan awam dalam keimanan, memandang dirinya lebih unggul daripada orang-orang beriman dalam kesempurnaan imannya, memandang dirinya lebih unggul dalam sifat-sifat baik daripada kebanyakan orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut, dan memandang dirinya lebih unggul dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib dan menghindari hal-hal yang diharamkan daripada

kalangan yang tidak menjalankan semua itu. Ia memandang dirinya lebih sering melakukan hal-hal yang disunnahkan dan lebih teratur menghadiri shalat Jumat dan ritus-ritus lain. Ia memandang dirinya lebih baik dan memandang orang lain sebagai makhluk yang remeh dan cacat. Ia memandang mereka dengan hina dalam hatinya atau memperlakukan mereka dengan buruk. Ia memandang bahwa rahmat Allah hanya berhak diberikan kepadanya serta orang-orang yang sepertinya, sementara semua orang lain tidak berhak memperolehnya.

p: 69

Orang yang telah mencapai tingkat ini akan menyangkal setiap perbuatan baik yang dilakukan orang lain dan mencacatnya dalam hati. Dalam hatinya, ia melihat amal-amalnya bersifat ikhlas dan bebas dari cacat apa pun. Ia merendahkan perbuatan baik orang lain, tetapi membesar-besarkan perbuatan baiknya sendiri. Ia mat peka terhadap cacat-cacat orang lain, tetapi lupa dengan cacat-cacatnya sendiri. Itulah beberapa tanda ujub meskipun mungkin crang yang melakukannya tidak menyadarinya. Ada pula beberapa derajat ujub yang lain yang tidak saya sebutkan di sini, dan pasti juga ada beberapa tingkat lain yang saya lupa menyebutkannya.

Ujub Orang-Orang yang Tidak Beriman

Orang kafir, munafik, musyrik, ateis, pemilik sifat dan watak buruk, atau ahli maksiat, dan dosa adakalanya sampai pada tingkat mengagumi dan ujub dengan semua kekufuran dan keburukan itu, mengira diri mereka berjiwa bebas dan terbuka, tidak bertaklid dan terlepas dari takhayul. Orang-orang ini memandang diri mereka sebagai manusia-manusia pemberani dan pendobrak sembari menyangka bahwa keimanan kepada Allah adalah ilusi dan kepatuhan terhadap syariat

adalah kerapuhan dan kesempitan pikiran. Mereka menganggap sikap dan watak yang baik sebagai tanda kelemahan jiwa dan pribadi. Mereka memandang semua amal baik, ritus, dan ibadah sebagai akibat dari lemahnya persepsi dan kurangnya kecerdasan, sementara mereka melihat diri merekalah yang patut mendapat pujian dan aplaus karena tidak meyakini khurafat dan tidak peduli pada aturan-aturan syariat. Sifat-sifat buruk dan bejat telah berurat-akar dalam hati mereka,

memenuhi mata dan telinga mereka, sehingga mereka melihat semua keburukan itu sebagai kebajikan dan kesempurnaan. Begitulah yang dikemukakan dalam hadis di atas, “Ujub terdiri atas beberapa derajat, di antaranya adalah ujub yang memperindah perbuatan buruk pada manusia sehingga ia menganggapnya sebagai perbuatan baik.” Hadis ini mengacu kepada ayat Al-Quran yang menyatakan:

«أَفَمَنْ زُیِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ یُضِلُّ مَنْ یَشَاءُ وَیَهْدِی مَنْ یَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُکَ عَلَیْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِیمٌ بِمَا یَصْنَعُونَ (8)»

Dan bagaimana dengan orang yang diperhiaskan perbuatan buruknya sehingga ia melihatnya sebagai kebaikan? (Qs Fâthir (35): 8)

p: 70

Kalimat “ia merasa berbuat baik” dalam hadis di atas merujuk pada ayat-ayat berikut:

«قُلْ هَلْ نُنَبِّئُکُمْ بِالْأَخْسَرِینَ أَعْمَالًا (103)» «الَّذِینَ ضَلَّ سَعْیُهُمْ فِی الْحَیَاةِ الدُّنْیَا وَهُمْ یَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ یُحْسِنُونَ صُنْعًا (104)» «أُولَئِکَ الَّذِینَ کَفَرُوا بِآیَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِیمُ لَهُمْ یَوْمَ الْقِیَامَةِ وَزْنًا (105)»

Katakanlah, “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka tu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan terhadap perjumpaan dengan-Nya; maka hapuslah amalan-amalan ereka, dan Kami tidak menghitung amalan-amalan tersebut pada hari kiamat. (QS Al-Kahfi (18): 103-105)

Orang-orang seperti itu, yang sebetulnya adalah orang-orang bodoh yang merasa pandai, adalah kelompok manusia yang paling menyedihkan dan makhluk yang paling malang. Dokter-dokter ruhani tidak akan mampu menyembuhkan mereka. Tidak ada dakwah atau nasihat yang dapat memengaruhi mereka. Bahkan, semua nasihat itu malah mungkin menimbulkan pengaruh yang bertentangan. Mereka tidak mau mendengarkan argumen apa pun. Mereka tidak memedulikan bimbingan para nabi, argumen para filosof, dan ajaran orang-orang bijak. Kita harus berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan pelbagai tipu dayanya yang menarik manusia dari dosa kepada kekufuran dan dari kekufuran kepada ujub. Diri (nafs) dan setan, dengan meremehkan sejumlah maksiat, menyeret manusia untuk

berbuat maksiat. Dengan menanamkan satu maksiat ke dalam hati dan merendahkan nilai dosanya di mata kita, diri dan setan menyeret manusia untuk melakukan maksiat lain yang lebih besar daripada yang pertama. Setelah melakukan maksiat kedua itu berulang-ulang, maksiat itu pun akan kehilangan bobotnya dan tampak ringan semata, sehingga ia ragu melakukan dosa yang lebih besar lagi. Dengan begitu, selangkah demi selangkah, setiap dosa besar menjadi ringan di mata-

nya dan hukum Allah diremehkan, lalu semua aturan syariat dan undang-undang Ilahi menjadi tidak berarti di hadapannya. Puncaknya, pelan-pelan ia akan terseret pada kekufuran, kemurtadan, dan kekaguman pada semua itu. Kita akan membahas masalah ini pada bagian selanjutnya.

p: 71

Halusnya Tipu Daya Diri dan Setan

Seperti korban ujub dalam kemaksiatan yang bergerak maju selangkah demi selangkah sehingga sampai pada derajat kekufuran dan kemurtadan, demikian pula para korban ujub dalam ibadah bergerak dari tingkat ujub yang rendah menuju ke tingkat yang lebih parah. Tipu daya diri dan setan dalam hati dijalankan melalui rencana yang matang. Tidak mungkin setan memengaruhi kalian yang bertakwa dan takut kepada Allah untuk melakukan dosa membunuh atau berzina. Ia juga tidak mungkin mengusulkan kepada orang yang mulia dan berjiwa bersih untuk mencuri atau merampok. Demikian pula, setan tidak akan memengaruhimu sejak awal untuk memandang perbuatan baikmu sebagai keuntungan bagi Allah atau untuk memasukkan dirimu ke dalam kelompok kekasih, wali, dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Pada mulanya, ia akan memulai pada tingkat yang paling bawah dan merekah jalan kecil kedalam hatimu, dengan mendorongmu untuk bergiat melaksanakan ibadah-badah sunnah, membaca zikir dan wirid. Dalam pada itu, ia akan mengarahkan perhatianmu kepada dosa orang dan mendorongmu untuk membandingkannya dengan perbuatanmu sendiri. Lalu, ia akan membisikkan ke telingamu bahwa kau sudah cukup punya dasar-dasar rasional maupun agama untuk memandang dirimu lebih unggul daripada orang-orang lain. Dengan demikian, perbuatan baikmu itu akan menjadi sumber keselamatanmu dan bahwa dengan

rahmat Allah engkau akan menjadi orang saleh dan bebas dari segala keburukan. Dengan sugesti-sugesti itu, iblis mencapai dua hal: pertama, ia menanamkan rasangka buruk dalam hatimu kepada hamba-hamba Allah yang lain; kedua, ia membuatmu ujub dengan dirimu sendiri. Kedua sifat ini merupakan bagian dari perusak amal (muhlikât) dan sumber keburukan (mafâsid).

Pada titik ini, katakan kepada dirimu dan setan bahwa mungkin saja orang yang berdosa itu memiliki pelbagai kebaikan dan amalan yang menjadikannya terliputi oleh rahmat Allah yang luas dan Allah menjadikan cahaya pelbagai kebaikan dan amalannya itu sebagai penyuluh baginya sehingga ia akan terbimbing pada kesudahan yang baik (husn al-'âgibah). Mungkin Allah menimpakan dosa itu kepada-

p: 72

nya untuk melindunginya dari ujub yang lebih buruk daripada kebanyakan dosa lain. Dalam sebuah hadis Al-Kâfî, dikatakan: Al-Imam Ja'far Al-Shadiq berkata, “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa dosa itu lebih baik bagi Mukmin daripada ujub. Jika tidak, Dia tidak akan pernah menimpakan dosa kepada seorang

Mukmin.” Mungkin justru karena prasangka burukku kepada orang lain ini perbuatanku akan berakibat akhir yang buruk buatku. Syaikh kami, arif yang sempurna, yahabadi-semoga nyawaku menjadi tebusannya—pernah mengatakan, “Janganlah engkau mencacat orang lain dalam hatimu, sekalipun ia orang kafir. Mungkin saja cahaya fitrah dalam hatinya akan memberinya hidayah, sementara penghinaan dan cacianmu kepadanya membawamu menuju akibat yang buruk. Amar ma'ruf dan nahi mungkar (menganjurkan pada kebaikan dan mencegah keburukan) berbeda sama sekali dengan penghinaan dalam hati.” la bahkan berkata, “Janganlah pernah mengutuk orang kafir yang tidak diketahui keadaannya saat ia meninggalkan dunia ini. Mungkin saja mereka meninggalkan dunia setelah mendapatkan hidayah, sehingga (kekuatan) ruhaniah mereka dapat menghalangi kemajuan ruhaniahmu sendiri.”

Bagaimanapun, waspadalah pada iblis dan diri (nafs) yang membuat manusia memasukkan kalian ke tingkat awal ujub dan dari sini pelan-pelan membawa kalian ke tingkat ujub yang lebih tinggi. Lalu, derajat ujub itu bertambah sehingga manusia sampai pada tingkat merasa bahwa ia telah memberikan keuntungan dan sumbangan kepada Allah Sang Pemberi nikmat dan Pemilik segala sesuatu melalui keimanannya dan berbagai amalnya. Dengan begitu, segenap amalnya akan sampai ke dasar yang paling bawah.

Keburukan-Keburukan Ujub

Ketahuilah bahwa ujub itu merusak dan merupakan kejahatan berbahaya yang mencemari keimanan dan amalan manusia. Dalam jawabannya terhadap pertanyaan yang diajukan seorang perawi hadis tentang ujub yang merusak perbuatan (dalam hadis di atas), Imam mengatakan bahwa ujub dalam keimanan adalah salah satu bentuknya. Sedangkan,

p: 73

dalam hadis yang baru dikutip di atas, kita membaca bahwa Allah menganggap ujub lebih buruk daripada dosa sedemikian sehingga Dia menimpakan dosa kepada Mukmin agar terhindar dari ujub. Rasulullah Saw. memandang ujub sebagai salah satu perusak (amal manusia). Dalam kitab Al-A'mâl yang disusun oleh Syaikh Al-Shaduq, Imam ‘Ali diriwayatkan berkata: “Seseorang yang dimasuki ujub akan hancur.” Setelah meninggal dan memasuki alam barzakh (alam kubur), bentuk kegembiraan yang timbul dari ujub akan berbentuk hal yang sangat mengerikan dan menakutkan, yang tidak dapat dibandingkan. Dalam sebuah nasihat yang diberikan oleh Rasul Saw, kepada Imam ‘Ali sebelum wafatnya, beliau bersabda: “Tidak ada kesendirian yang lebih mencekap daripada kesendirian yang dihasilkan oleh ujub." Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada iblis tentang dosa yang menjadi sarana iblis menaklukkan anak cucu Adam. Iblis menjawab, ketika mereka merasa ljub pada diri sendiri, mengagungkan perbuatan baik mereka dan meringankan bobot dosa mereka. Allah memerintahkan Daud a.s. untuk “menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan orang-orang shiddiq (yang benar-benar jujur)”. Daud pun bertanya kepada Allah mengapa demikian dan Allah menjawab, “Sampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa bahwa sesungguhnya Aku menerima tobat mereka dan mengampuni dosa mereka. Dan peringatkan orang-orang shiddiq agar tidak ujub dengan segenap perbuatan mereka. Sesungguhnya semua orang akan hancur jika Aku berlaku teliti kepadanya

dalam perhitungan-Ku.” Aku berlindung kepada Allah dari hitung-hitungan-Nya yang menghancurkan hamba-hamba Allah yang shiddiq dan yang lebih mulia daripada mereka. Dalam kitab Al-Khishal, Syaikh Al-Shaduq meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq bahwa ia berkata, "Iblis berkata, Jika aku berhasil menundukkan anak cucu Adam dalam tiga hal, aku tidak akan

p: 74

peduli pada apa pun yang mereka lakukan karena semua amalnya tidak akan diterima: pertama, ketika seseorang membesar-besarkan amalnya; kedua, lupa pada dosa-dosanya; dan ketiga, ketika ujub merasukinya."

Di samping seluruh keburukan yang telah kamu baca, ada banyak dosa besar dan sifat buruk yang merupakan buah dari pohon buruk ujub. Ketika akar ujub memasuki hati manusia, ia membawa manusia kepada syirik dan kemurtadan dan hal-hal yang lebih buruk lagi daripada itu. Salah satu dari sifat buruk itu adalah meremehkan dosa. Seorang yang terkena penyakit ujub tidak akan pernah berniat untuk memperbaiki dirinya. Namun, ia justru memandang dirinya sebagai orang suci bersih, serta tidak pernah berpikir untuk membersihkan dirinya dari dosa. Tirai ujub yang tebal menjadi penghalang bagi manusia untuk melihat aib-aib dirinya. Ini adalah suatu malapetaka besar yang tidak hanya menghalanginya mencapai segala bentuk kesempurnaan, tetapi juga menanamkan ke dalam dirinya segala

jenis sifat buruk yang membawanya menuju kehancuran abadi. Bahkan, dokter-dokter jiwa tidak akan mampu menyembuhkannya. Akibat lain dari keburukan ujub ialah tumbuhnya keyakinan seseorang pada dirinya sendiri dalam segenap perbuatannya sehingga ia berpikir bahwa dirinya tidak bergantung kepada Allah, tidak melihat keutamaan yang Dia berikan kepadanya dan dalam pikirannya yang sempit tersirat anggapan bahwa Allah wajib untuk memberinya balasan dan pahala. Ia mengira bahwa meskipun Allah memperlakukannya dengan adil, ia akan tetap pantas mendapatkan pahala. Insya Allah, kita akan membahas masalah ini lagi pada bagian lain. Di antara keburukan lain yang ada dalam diri manusia yang terkena penyakit ujub adalah memandang hina pada orang lain. Ia menganggap perbuatan mereka sebagai tidak penting, betapapun mungkin perbuatan itu jauh lebih baik daripada perbuatannya sendiri. Ini juga merupakan salah satu sebab kehancuran manusia dan duri dalam jalannya menuju keberhasilan dan keselamatan. Akibat buruk ujub yang lain adalah manusia menjadi condong kepada ria. Karena, jika seseorang memandang dirinya sebagai tidak berarti, mengecilkan nilai perbuatannya, melihat akhlaknya buruk

p: 75

dan keimanannya tidak patut diperhitungkan, ia tidak akan menjadi ujub pada diri sendiri, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya, ia akan memandang dirinya dan semua perbuatan yang dilakukannya sebagai buruk dan jelek, sehingga ia tidak akan terdorong untuk menonjol-nonjolkan semua itu; tak ubahnya dagangan jelek yang tak pantas untuk dipamerkan. Namun, kalau ia memandang dirinya sebagai manusia sempurna dan perbuatannya besar, ia akan terdorong untuk memamerkannya dan berbuat ria. Maka dari itu, semua keburukan ria yang dikemukakan dalam hadis kedua pada bab sebelum ini berlaku pula untuk ujub.

Akibat buruk lain dari ujub adalah menimbulkan kerusakan lain berupa kesombongan yang membinasakan dan membawa manusia pada semua akibat buruk yang ditimbulkan oleh dosa kesombongan. Pembahasan lengkap tentang semua akibat buruk kesombongan ada dalam bagian lain.

Cukuplah jika disebutkan bahwa penderita penyakit ujub harus mengetahui bahwa siſat buruk ini merupakan benih bagi munculnya banyak sifat buruk lainnya, yang salah satu darinya saja sudah cukup untuk melahirkan kehancuran dan siksaan abadi. Jika seseorang mencoba memahaminya dengan baik dan mempelajari hadis dan ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. atau para Imam Ahl Al-Bait, ia akan menyadari bahwa ia harus memperbaiki dirinya dari akan berusaha mencari cara untuk melenyapkannya, sebelum---semoga Allah menghindarkannyamia membawanya ke alam yang akan datang. Jika itu yang terjadi, ketika matanya tertutup di dunia ini dan terbuka di alam barzakh, dan-setelah itu--di hari kebangkitan, ia akan melihat bahwa orang-orang yang mengerjakan dosa-dosa besar jauh lebih baik daripada dirinya. Ia akan melihat bahwa Allah menenggelamkan mereka ke dalam lautan kasih dan sayang-Nya karena mereka telah menyesal dan mengucapkan obat, atau karena keyakinannya yang besar terhadap rahmat-Nya. Sementara, makhluk yang malang ini, karena menganggap dirinya tidak membutuhkan rahmat Allah dan dalam lubuk hatinya muncul kepercayaan diri yang berlebihan bahwa ia telah berada pada kedudukan tinggi yang tidak memerlukan rahmat-Nya, maka Allah akan

p: 76

menghakiminya dengan tegas, sebagaimana yang diinginkannya sendiri agar ia dihakimi secara adil. Allah akan menunjukkan kepada dirinya bahwa ia bukan saja tidak melaksanakan satu ibadah pun, melainkan juga bahwa perbuatan ibadah dan kesalehannya hanya menjauhkan dirinya dari Allah, menjauhkan dirinya dari tujuannya. Bukan saja keimanan dan perbuatannya tidak sah, melainkan juga menjadi sebab bagi kutukan abadi dan siksaan pedih di neraka. Semoga Allah tidak

menghakimi setiap manusia dengan keadilan-Nya; karena, jika demikian, tidak seorang pun dari manusia akan selamat, sebagaimana telah disebutkan di atas. Doa-doa yang diucapkan oleh hamba-hamba pilihan Allah dan para Imam dipenuhi dengan pengakuan kegagalan mereka untuk berbuat sesuai dengan tuntutan badah kepada Allah. Makhluk yang paling sempurna dan manusia yang paling dekat dengan Allah, Rasulullah Saw., pernah mengucapkan: “Kami tidak mengetahui-Mu sebagaimana seharusnya Engkau diketahui. Kami tidak menyembah-Mu sebagaimana Engkau seharusnya disembah.” Lalu, apakah yang seharusnya kita lakukan? Sudah pasti mereka (Rasul dan para Imam) menyadari kebesaran-Nya dan mereka mengetahui hubungan antara wujud yang mungkin (mumkin al-wujud) dan Wujud Wajib (Wajib Al-Wujûd) secara baik. Meskipun demikian, mereka mengetahui bahwa kalaupun mereka menghabiskan umurnya dalam beribadah kepada-Nya, mereka masih belum mampu bersyukur kepada-Nya, apalagi menghormati-Nya sesuai dengan Esensi dan Sifat-Nya.

Mereka mengetahui bahwa tidak ada sesuatu pun yang maujud pada dirinya sendiri. Hidup, kekuatan, pengetahuan, dan semua kesempurnaan lain adalah bayang-bayang dari Sifat-Sifat Allah. Setiap maujud yang mungkin berada dalam keadaan membutuhkan Zat Mutlak dalam segala hal; suatu bayangan yang bergantung dan tidak mandiri. Apakah yang dimiliki suatu maujud mungkin yang dapat dipamerkannya? Kekuatan apakah yang dimilikinya untuk dipertunjukan? Rasul Saw. dan para Imam memiliki pengetahuan tentang Allah; mereka memiliki pengetahuan tentang keindahan dan kebe-

p: 77

saran-Nya. Mereka adalah orang-orang yang telah menyaksikan secara langsung kekurangan dan kelemahan mereka dan menyaksikan secara langsung kesempurnaan Wujud Mutlak. Kita, makhluk-makhluk malang ini, yang pandangannya telah dikaburkan oleh tabir tebal kebodohan, kelalaian, dan ujub; dan seluruh daya pikir, indra pendengaran, penglihatan, dan indra lain kita telah tertutup oleh tabir dosa lahir maupun batin, kitalah orang yang sok menunjukkan kekuatan di

hadapan Zat Yang Mahakuasa dengan memandang diri kita sebagai maujud yang mandiri, tidak bergantung. Wahai maujud yang mungkin, yang rendah! Engkau lupa akan dirimu sendiri dan lupa akan hubunganmu dengan Penciptamu. Wahai maujud malang yang bergantung! Engkau telah melupakan tugas-tugasmu terhadap Raja segala raja! Kebodohan dan kedunguanmu itu bertanggung jawab terhadap seluruh kemalanganmu dan telah menenggelamkan dirimu ke dalam berbagai malapetaka dan kegelapan. Pencemaran ini telah dimulai langsung dari sumbernya (yakni dirimu sendiri). Kita telah kehilangan kemampuan melihat

dan hati kita telah buta. Inilah akar seluruh penyakit kita. Meskipun demikian, kita tidak peduli untuk menyembuhkannya. Duhai, Allah Yang Mahakuasa, anugerahilah kami kemampuan untuk bertobat dan menyadari segenap kewajiban kami. Anugerahilah kami sebagian dari cahaya pengetahuan-Mu yang mengisi hati para arif dan wali-Mu. Anugerahilah kami pemahaman akan wilayah kekuasaan dan kerajaan-Mu. Bimbinglah kami untuk menemukan kelemahan dan kesalahan kami. Singkapkanlah misteri makna Alhamdulillâhi Rabbil 'Alamin kepada kami, makhluk yang bodoh, yang menisbahkan segala sifat terpuji kepada para makhluk. Berilah kami pengetahuan bahwa tidak satu pun dari sifat terpuji itu yang dapat dinisbahkan kepada maujud yang diciptakan. Ungkapkan kepada kami kebenaran ayat:

«مَا أَصَابَکَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَکَ مِنْ سَیِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِکَ وَأَرْسَلْنَاکَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَکَفَی بِاللَّهِ شَهِیدًا (79)»

Apa pun kebaikan yang ada pada dirimu (makhluk), itu berasal dari Allah, dan apa pun keburukan yang ada pada dirinu, itu berasal dari dirimu sendiri. (QS Al-Nisa' [4): 79)

p: 78

Ya Allah, guratkan kalimat tauhid pada hati kami yang kotor dan keras. Kami adalah manusia dari dunia gelap yang merana di balik tabir-tabir, terombang-ambing di antara kemurtadan dan kemunafikan. Kami telah berlaku egois, menyembah diri sendiri, dan ujub kepada diri sendiri. Singkirkanlah keburukan cinta diri dan cinta

dunia dari hati kami dan jadikanlah kami pecinta dan penyembahMu. Sesungguhnya, Engkaulah yang berkuasa melakukan segala sesuatu.

Cinta Diri sebagai Sumber Ujub

Sifat buruk ujub berasal dari cinta diri yang telah tertanam dalam fitrah manusia. Sumber semua kesalahan, kemaksiatan, dan keburukan moral adalah cinta diri. Karena cinta diri inilah, manusia membesar-besarkan perbuatan remehnya dan, dengan demikian, memasukkan dirinya ke dalam kelompok para wali dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Oleh karenanya, ia tidak hanya memandang dirinya patut mendapat pujian dan penghormatan karena perbuatan-perbuatan remeh itu, tetapi kadang kala ia juga memandang perbuatan buruknya sebagai baik jika ia melihat adanya kebaikan moral dan kesalehan yang lebih besar pada orang lain, ia tidak saja menganggapnya tidak berarti, tetapi juga mencoba merusakkan kesan baiknya sedapat mungkin. Ia selalu melihat adanya kebaikan dalam perbuatan-

perbuatan buruknya sekalipun, dan berusaha mewarnainya dengan warna-warna yang semarak. Ia memandang rendah makhluk-makhluk Allah yang lain dalam hatinya, sementara ia berpikir tentang dirinya sendiri dengan optimisme, memandang dirinya amat tinggi. Disebabkan cinta diri yang sama ini jugalah sehingga ia berharap tindakan-tindakan remehnya, dan tindakan-tindakannya yang telah dirusakkan oleh ribuan noda, cukup berharga untuk diberi balasan oleh Allah.

Akan lebih baik jika kini kita merenungkan perbuatan-perbuatan baik kita dan menilai ibadah-ibadah kita secara rasional. Kita harus mencoba menilainya dengan adil dan melihat apakah kita memang berhak memperoleh balasan baik dari Allah dan mendapat pujian tas dasar perbuatan-perbuatan itu. Ataukah, sebaliknya, kita patut dikecam dan dihukum karenanya. Dan, jika Allah akan memasukkan

p: 79

kita ke dalam nyala api kemurkaan-Nya disebabkan perbuatan-per-buatan itu, yang kita pandang sebagai perbuatan baik, apakah Dia cukup adil untuk melakukannya? Kini, saya akan memintamu untuk menjadi hakim guna menilai dengan adil masalah berikut ini, setelah melakukan perenungan yang mendalam. Pertanyaan saya adalah bahwa jika Rasulullah Saw., yang kejujurannya telah diakui, berkata kepadamu, “Tidak ada pengaruhnya di dunia yang akan datang nanti, apakah engkau beribadah kepada Allah sepanjang hidupmu, mematuhi perintah-perintah-Nya, dan menahan segala hawa nafsu, atau apakah engkau hidup dengan membangkang kepada-Nya dan menuruti saja seluruh hawa nafsumu? Perilaku ini tidak akan memengaruhi kedudukanmu di akhirat. Apapun yang kaulakukan, kau akan memperoleh penyelamatan dan dimasukkan ke dalam surga, serta bebas dari siksaan-Nya. Tidak ada pengaruhnya apakah engkau melakukan shalat atau terlibat maksiat. Meskipun demikian, ridha Allah ada pada orang-orang yang menyembah-Nya, memuji dan bersyukur kepada-Nya, dan menahan hawa nafsunya di dunia ini, meskipun untuk itu tidak ada balasannya." jika engkau diberi pilihan tersebut, apakah kau akan menyembah- Nya atau melakukan dosa? Akankah engkau menahan hawa nafsumu demi memperoleh ridha Allah atau tidak? Dan, apakah engkau masih mau melakukan ibadah-ibadah sunnah, shalat Jumat, dan shalat ber-

jamaah? Ataukah engkau akan bergelimang dalam kemewahan, hiburan, dan syahwat? Aku berharap engkau akan menjawab pertanyaan ini dengan adil, tanpa ada praanggapan lain, dan dengan jujur pula. Sedangkan aku dan orang-orang lain yang seperti diriku, kami pasti akan berada dalam kelompok orang yang melakukan dosa, mengabaikan kewajiban kami terhadap-Nya, dan terseret oleh tarikan indriawi kami.

Dari sini, kita memperoleh kesimpulan bahwa seluruh perbuatan kita berfungsi sebagai sarana untuk memuaskan keinginan kita dan mengikuti tarikan jasmaniah kita. Kita adalah penyembah daging kita sendiri. Kita menghentikan satu kenikmatan demi kenikmatan lain yang lebih besar. Tujuan yang kita kejar, harapan kita yang tidak pernah mati adalah untuk pemuasan jasmaniah kita. Shalat, yang

p: 80

merupakan sarana untuk mencapai kedekatan dengan-Nya, kita lakukan dengan harapan agar kita dapat berkumpul bersama para bidadari surga. Ibadah kita juga tidak ada hubunganya dengan kepatuhan terhadap perintah-Nya, dan ribuan mil jauhnya dari keridhaan Allah. Engkau, makhluk yang malang, tidak mengetahui ajaran Allah; engkau yang tidak dapat memahami apa pun kecuali dorongan-dorongan hewanimu. Engkau yang, meskipun dengan terpaksa melakukannya, merasa bangga dengan mengingat-Nya, menyebut-nyebutkan Nama-Nya, mematuhi kewajiban yang diperintahkan-Nya, dan menghindari apa yang dilarang-Nya. Engkau yang mematuhi aturan-aturan akhlak dan tidak melakukan apa yang diharamkan ingin dihakimi dengan adil atas semua perbuatanmu yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan jasmaniah agar kau dapat duduk bermalas-malasan di atas kursi yang bertatahkan batu delima di surga, di tengah hadiah-hadiah yang menyenangkan, berpakaian sutra, memiliki rumah megah di sana—adilkah untuk berpikir bahwa seluruh perbuatan itu, yang dilakukan demi memuaskan ego kita dan memenuhi keinginan diri kita, dilakukan semata-mata demi Allah? Engkau yang melakukan perbuatan baik dengan harapan memperoleh balasan yang seimbang, tidakkah engkau berbeda dari seorang pekerja yang bekerja demi upah lalu berkata bahwa ia bekerja semata-mata demi tuannya? Apakah engkau bukan seorang pendusta ketika engkau berkata bahwa engkau melakukan shalat demi Allah semata-mata? Apakah shalatmu engkau lakukan untuk mencapai kedekatan

dengan Allah, atau agar engkau dapat berkumpul bersama para bidadari surga dan memperoleh kenikmatan-kenikmatan jasmaniah? Biarlah saya katakan secara terang-terangan bahwa seluruh shalat seperti itu dipandang sebagai sama dengan dosa besar oleh para arif dan wali Allah. Engkau, wahai makhluk yang malang, berbuat menentang keridhaan Allah di hadapan para malaikat; dan ibadah yang dimaksudkan sebagai sarana pendakian menuju kedekatan dengan-Nya, kau salah gunakan untuk memuaskan diri wadagmu. Dan meskipun begitu, kau sama sekali tidak merasa malu atas seluruh dusta yang kauucapkan di hadapan Allah dan para malaikat-Nya selama shalatmu. Dan seakan-akan itu belum cukup. Kau membuat

p: 81

beberapa tuduhan terhadap Allah, berpikir seakan-akan engkau sedang memerintahkan Allah, bersenang-senang dalam ujubmu, dan sama sekali tidak merasa malu atau menyesal sementara melakukan semua itu! Apakah bedanya antara ibadah yang kita lakukan ini dengan perbuatan dosa, yang pada bentuk paling ekstremnya merupakan ria? Ria adalah sejenis syirik dan keburukannya terletak pada ibadah yang dilakukan bukan karena Allah, bukan untuk Allah. Seluruh ibadah dan kepatuhan kita adalah syirik murni, yang sama sekali tidak mengandung setitik pun keikhlasan. Tujuan memperoleh keridhaan Allah tidak tersirat sama sekali di dalamnya--bahkan untuk sebagian kecilnya pun—tetapi satu-satunya dorongan adalah pemuasan perut dan farji.

Sahabatku, waspadalah! Shalat yang dilakukan demi pasangan lawan jenismu—di alam ini maupun di alam kelak--bukanlah shalat yang dilakukan demi Allah. Shalat yang dilakukan untuk pencapaian keuntungan duniawi atau untuk memperoleh balasan di akhirat bukanlah untuk Allah. Jika itu untuk Allah, di manakah ruang untuk

rasa berbangga diri? Hak apakah yang kaumiliki untuk merendahkan makhluk-makhluk Allah dan untuk menganggap dirimu sebagai rang penting di mahkamah Allah? Manusia yang malang, kau patut mendapat hukuman atas shalat dan ibadahmu itu; dan untuk itu kau patut dirantai dengan tujuh puluh meter rantai. Lalu, mengapa kau anggap dirimu sebagai seorang yang berhak mendapat hadiah, telah memberikan keuntungan pada Allah? Mengapa kau menumpuk siksaan lain bagi dirimu dengan meneruskan harapan yang sia-sia dan bertahan dalam ujub ini? Laksanakanlah tugas-tugas yang diwajibkan kepadamu dengan baik dan ingatlah selalu bahwa ibadahmu itu bukan semata-mata demi Allah; dan jika Allah mengirimmu ke surga, itu semata-mata karena limpahan belas kasih-Nya. Ingatlah

bahwa Dia telah memberikan keringanan bagi beraneka jenis syirikmu yang telah tertanam kuat. Dengan kasih sayang dan ampunan- Nya, Dia menutupi dosa-dosamu dengan tabir-Nya. Jangan sampai tabir itu terkoyak dan tabir pengampunan disingkapkan dari wajah buruk yang kita sebut sebagai ibadah ini. Semoga Allah menghindar kannya—jika keringanan itu ditarik dan seluruh perbuatan kita diha-

p: 82

kimi sesuai dengan garis keadilan, ingatlah bahwa ibadah palsu kita tidak lebih baik daripada dosa-dosa besar para pendosa. Sebelum ini, kita telah mengacu kepada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tsiqât Al-Islâm, Al-Kulaini, dalam kitabnya, Al-Kafi, dari Imam Al-Shadiq. Berikut ini saya mengutipnya secara lengkap

untuk memperoleh keberkahannya: Berkata Imam Al-Shadiq, “Rasulullah Saw. bersabda bahwa Allah berkata kepada Daud. 'Wahai Daud, sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa dan peringatkanlah orang-orang yang saleh.' Daud berkata, 'Bagaimana aku menyampaikan kabar gembira kepada para pelaku dosa dan memperingatkan orang-orang yang saleh?' Allah menjawab, 'Sampaikanlah kabar gembira kepada para pelaku dosa bahwa Aku menerima tobat mereka dan peringatkanlah orang-orang yang saleh agar mereka tidak memiliki sifat ujub dalam perbuatan-perbuatan mereka karena tidak ada seorang hamba pun yang akan selamat jika Aku menilai perbuatan-perbuatan mereka (dan patut mendapat hukuman karena--menurut persyaratan keadilan—seorang manusia dengan seluruh ibadahnya tidak dapat bersyukur kepada Allah sebagaimana seharusnya— bahkan untuk satu rahmat-Nya pun)'.”

Jika orang-orang yang saleh, yang bebas dari semua dosa, patut mendapat kutukan bila dinilai secara adil, lalu bagaimanakah nasib orang-orang seperti aku dan engkau? Dan itu pun jika perbuatan-perbuatan kita bersih dan bebas dari ria duniawi, dan segenap noda dan keharaman, yang kemungkinannya amat kecil. Maka dari itu, kini berbanggalah jika ada alasan untuk merasa bangga dan ujub. Namun, jika engkau menyadari bahwa kini adalah saatnya untuk merasa malu dan menyatakan pengakuan kepada Allah karena telah mengucapkan semua dusta itu di hadapan Allah dan karena secara salah menisbahkan semua perbuatan baik itu—kalau pun ada- kepada diri kita sendiri. Bukankah kini saatnya untuk bertobat karena engkau mengeluarkan pernyataan berikut ini di hadapan Allah

dalam shalatmu: Kuhadapkan wajahku, dalam keikhlasan dan ketundukan, kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah dari

p: 83

kelompok orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah Penguasa Alam. Benarkah wajahmu menghadap kepada Pencipta langit dan bumi? Benarkah kau seorang yang Muslim (tunduk) dan bebas dari syirik? Benarkah shalat, ibadah hidup, dan matimu untuk Allah? Tidakkah

kita seharusnya merasa malu ketika dalam shalat mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin"? Benarkah engkau dengan ikhlas memandang seluruh sifat baik itu diturunkan dari Allah, padahal kau tidak hanya tunduk kepada-Nya, tetapi juga kepada se ain-Nya? Apakah bukan suatu dusta jika secara lahir engkau mengakui bahwa Allah adalah “Rabbil 'Alamin”, sementara sebenarnya kau tunduk kepada kekuasaan selain-Nya? Adakah sedikit rasa malu dan sesal dalam hatimu ketika mengucapkan, “Iyyâka na'budu wa iyyâka nasta'în"? Apakah kau benar menyembah-Nya atau menyembah dagingmu sendiri? Apakah engkau benar-benar menuju kepada-Nya ataukah menginginkan para bidadari surga? Apakah engkau hanya meminta pertolongan kepada Allah? Dalam perbuatanmu, apakah engkau hanya

memandang-Nya? Ketika engkau pergi ke Bait Allah (Rumah Allah), Ka'bah, untuk melaksanakan haji, apakah Allah benar-benar satu-satunya tujuanmu? Dan apakah Pemilik Rumah itu yang menjadi tujuanmu, sebagaimana dikatakan seorang penyair:

Bukan rumah itu yang menarik hatiku

Tapi penghuni rumah itu yang kucintai

Apakah engkau sedang dalam pencarian akan Allah dan ingin memperoleh pandangan cemerlang-Nya? Apakah engkau melaksanakan upacara berduka untuk Imam Husain(1), memukul kepala dan dadamu, demi keridhaan-Nya, ataukah untuk memenuhi angan-anganmu sendiri? Apakah bukan kepentingan dirimu sendiri yang

mendorongmu untuk mengadakan upacara-upacara duka itu? Apakah bukan nafsu ingin menonjol yang mendorongmu untuk mengikuti shalat jamaah dan ibadah-ibadah ritual lainnya?

p: 84


1- b Imam Husain, menurut mazhab Imâmiyyah, adalah “Penghulu para Syuhada” yang syahid di Karbala-peneri.

Saudaraku, waspadalah terhadap tipu daya diri dan iblis yang tidak menginginkan ikhlasnya ibadahmu! Dan kalau pun amal yang tidak ikhlas itu kemudian diterima oleh Allah, diri dan setan akan menghalangimu untuk mencapai tujuan. Dengan ujub dan rasa bangga yang tidak tepat ini, iblis akan memusnahkan seluruh erbuatanmu dan manfaat kecil yang menjadi tujuanmu itu pun juga tidak akan tercapai. Jika keridhaan Allah tidak kauperoleh, harapan akan para bidadari surga pun sia-sia. Kini, setelah kehilangan segalanya, kutukan abadi dalam nyala api neraka tidak jauh lagi. Melalui kesalahanmu, perbuatanmu yang tercemari oleh ria, sum'ah, dan seribu sifat buruk lainnya-yang salah satu darinya pun sudah cukup untuk menghalangi diterimanya perbuatan kita-engkau berpikir telah memberi

kredit kepada Allah, telah menjadi hamba terkasih-Nya. Sahabatku yang malang, engkau yang tidak mengetahui kedudukan hamba-hamba terkasih-Nya dan api kerinduan yang menyala dalam hati mereka, kau makhluk yang tidak beruntung, dengan sedikit pengetahuanmu tentang keikhlasan sejati mereka dan cahaya yang

melimpah dari perbuatan-perbuatan mereka, apakah engkau berpikir bahwa perbuatan-perbuatan mereka itu sama dengan perbuatanmu dan perbuatanku? Apakah engkau berpikir bahwa shalat Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib berbeda dari kita hanya dalam pengejaan “waladh-dhallin” secara tepat, atau dalam memperpanjang sujud dan memperbanyak jumlah rakaat? Apakah engkau berpikir bahwa munajat Imam Sayyid Al-Sajidin, 'Ali ibn Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib(1), serupa dengan gumaman kita? Apakah engkau berpikir bahwa ia menangis terisak-isak hanya demi para bidadari surga atau kemewahan-kemewahan surgawi lainnya seperti kita? Aku bersumpah demi Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.-dan sungguh, ini adalah sumpah yang agung-bahwa bahkan jika semua pecinta beliau bersama-sama mengucapkan “La ilaha illa Allâh”, mereka tidak akan sanggup mengucapkannya seperti Imam Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.! Kehinaan dan kemalangan bagiku yang tidak mengenal

p: 85


1- C Yang dimaksud adalah Imam Keempai, 'Ali Zainal Abidin, yang memperoleh gelar “Si Banyak Sujud”—penerj.

maqâm Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. Aku bersumpah demi maqâm Amir Al-Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib a.s. bahwa bahkan jika seluruh malaikat dan nabi Allah-kecuali Nabi terakhir yang merupakan tuan Amir Al-Mukminin ‘Ali-mencoba mengucapkan “Allahu Akbar" seperti 'Ali, mereka tidak akan mampu! Meskipun isi batin mereka hanya diketahui oleh mereka sendiri dan tidak diketahui oleh selain mereka.

Sahabatku, jangan mengoceh terlalu banyak tentang Allah! Janganlah kaulebih-lebihkan cintamu kepada Allah. Wahai arif, wahai sufi, wahai filosof, wahai mujahid, wahai zahid, wahai faqih, wahai Mukmin, wahai pemikir, wahai orang-orang malang, wahai engkau yang tertipu oleh diri dan nafsu. Engkau makhluk tanpa daya yang tersesat dalam kemelut harapan palsu dan cinta diri! Engkau yang berjarak ribuan mil dari cinta Allah. Janganlah berpikir sebaik itu tentang dirimu. Janganlah mengumbar kata-kata kosong dan berbangga terhadap dirimu sendiri. Tanyailah hatimu apakah ia sedang menuju Allah ataukah ia sedang mencintai dirinya sendiri? Apakah hatimu itu muwahhid atau musyrik? Lalu, untuk apakah ujub ini? Apakah artinya kegembiraan yang berlebihan ini? Bahkan jika, misalnya saja, perbuatan-perbuatan itu memenuhi selv.ruh persyaratan dan bebas dari ria, syirik, ujub, dan sifat buruk lainnya, apakah tujuannya bukan tujuan nafsu? Apakah sifat baik yang dimilikinya sehingga engkau menganggapnya layak dibawa oleh para malaikat untuk dipersembahkan kepada-Nya? Tidakkah kita seharusnya merasa malu dan berpikir untuk berbuat sesuatu untuk menutupi semua itu? Ya Allah! Kami berlindung kepada-Mu dari tipu daya setan dan muslihat al-nafs al-ammarah (diri wadag). Lindungilah kami dari tipu muslihat mereka demi Rasulullah Saw. dan Ahl Al-Bait beliau. []

p: 86

4 Hadis tentang Kibr (Takabur)

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب عن علیّ بن إبراهیم، عن محمّد بن عیسی، عن یونس، عن أبان، عن حکیم، قال: سألت أبا عبد الله، علیه السّلام، عن أدنی الإلحاد. فقال: إنّ الکبر أدناه.

... Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) dari 'Ali ibn Ibrahim, dari Muhammad ibn 'Isa, dari Yunus, dari Aban, dari Hakim yang berkata, “Aku bertanya kepada Abu ´Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq) a.s. mengenai derajat terendah dari ilhad (kemurtadan). Beliau menjawab, “Sesungguhnya derajat yang paling rendah adalah kibr

(takabur).(1)

Apakah Kibr itu?

Kibr adalah ungkapan untuk keadaan jiwa seseorang yang merasa tinggi dan di atas orang lain. Tanda-tanda kibr terlihat pada hasil perbuatan seseorang, demikian pula gejala-gejalanya terlihat jelas sehingga diketahuilah bahwa ia itu orang angkuh. Kibr berbeda dengan ‘ujb (ujub). Seperti telah diuraikan, sifat buruk ini merupakan buah dari ujub. Ujub adalah kekaguman pada diri sendiri, sedangkan ibr adalah menganggap diri lebih dan mengungguli orang lain. Apabila seseorang merasa memiliki kelebihan, lalu muncul keadaan senang, bangga, dan genit, itulah yang disebut ujub. Tapi, apabila ia menganggap orang lain tidak memiliki kelebihan yang dibayangkan ada pada dirinya, berarti ia merasa dirinya lebih unggul dan lebih sempurna dari orang lain, sehingga perasaan itu mewujudkan pada dirinya

p: 87


1- 1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kaft (Teheran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Hajj Sayyid Jawad Mushthafawi, hh. 421-422).

persepsi akan ketinggian dan kebesaran sehingga timbul keadaan angkuh dan congkak, maka itu berarti kibr. Semua keadaan di atas terjadi di dalam jiwa dan batin manusia. Akan tetapi, kesan dan bekas keadaan itu muncul dalam raut muka, gaya, tindakan, dan ucapan seseorang. Jadi, mula-mula manusia tertipu (maghrûr), lalu ketertipuan itu bertambah sehingga ia mengalami ujub pada dirinya sendiri. Bilamana ujub ini sudah menjadikannya merasa tinggi, congkak dan lebih daripada orang lain, masuklah ia dalam keadaan takabur atau kibr. Perlu disebutkan di sini bahwa perangai jiwa, baik yang buruk berupa kecacatan, maupun yang baik berupa kesempurnaan, merupakan masalah yang pelik lagi rumit. Sangat sulit membedakan yang satu dari yang lainnya. Karena itu, sering terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama besar dalam mendefinisikan peringai jiwa secara tepat. Kiranya tidaklah mungkin memberikan definisi yang lengkap mengenai keadaan yang terjadi di alam batin ini. Maka dari itu, sebaiknya kita serahkan saja masalah ini pada hati nurani itu sendiri dan menghindarkan diri kita dari keruwetan mencari definisi dan istilah yang tepat, supaya kita tidak malah menjauh dari tujuan sebenarnya.

Derajat-Derajat Kibr

Perlu diperhatikan bahwa kibr memiliki derajat yang berbeda-beda, sama seperti tahapan dan derajat yang sudah diuraikan dalam pembahasan tentang ujub. Sebenarnya ada beberapa tahapan yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan ujub, tetapi karena tidak begitu penting dalam konteks ini, tidak akan kami kemukakan. Dan dalam konteks takabur, penting untuk mengemukakan tahapan-tahapan itu. Tahapan dalam kibr, sama seperti tahapan dalam ‘ujb, ada enam:

(1) Takabur karena memiliki iman dan keyakinan yang benar.

(2) Lawan dari yang di atas adalah takabur karena memiliki keyakinan yang salah.

(3) Takabur karena memiliki sifat dan watak yang baik dan terpuji.

(4) Takabur karena memiliki watak dan sifat yang buruk.

(5) Takabur karena amal saleh dan ibadah.

(6) Takabur karena melakukan perbuatan buruk dan dosa.

p: 88

Setiap tahapan ini mungkin merupakan efek ikutan dari derajat ujub atau efek dari sebab lain yang akan saya bahas nanti. Untuk sementara, perhatian utama saya di sini adalah takabur atau keangkuhan yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seperti keluarga, keturunan, harta, jabatan, kekuasaan, dan sebagainya. Sete-

lah itu, insya Allah kita akan membahas secukupnya keburukan-keburukan sifat ini dan bagaimana menyembuhkan semua itu. Saya memohon pertolongan Allah supaya kita semua memperoleh manfaat dari pembahasan ini.

Penjelasan Derajat-Derajat Takabur

Dilihat dari perspektif lain, takabur juga memiliki sejumlah tingkatan, yaitu: (1) takabur terhadap Allah; (2) takabur terhadap para nabi-Nya, para rasul-Nya, dan para wali-Nya; (3) takabur terhadap perintah-perintah Allah, dan ini juga sama dengan takabur terhadap Allah; (4) takabur terhadap makhluk-makhluk Allah, dan ini, menurut para ahli makrifat, sama dengan takabur terhadap Allah. Takabur terhadap Allah merupakan sifat yang paling buruk, paling merusak, dan paling tinggi derajatnya. Takabur ini ada pada orang-orang kafir, orang-orang yang ingkar, dan orang-orang yang mengaku-aku sebagai Tuhan. Kadang-kadang jejak-jejaknya terlihat pada beberapa orang Mukmin (di sini tidaklah layak untuk menguraikannya). Takabur semacam ini menujukkan puncak kebodohan dan tidak adanya pengetahuan tentang batas-batas maujud yang mumkin dan kebesaran Yang Wajib Ada (yaitu Allah Swt.)

Adapun takabur terhadap para nabi dan para wali Allah merupakan sikap yang lebih lazim pada masa mereka. Al-Quran menukil perkataan mereka dalam ayat berikut:

«فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَیْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ (47)»

...Akankah kami beriman kepada dua manusia seperti kami ...? (QS Al-Mu'minûn (23): 47).

Disebutkan bahwa salah seorang dari kaum Nabi Muhammad Saw. pernah berkata (tentang diri beliau Saw.):

«وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَذَا الْقُرْآنُ عَلَی رَجُلٍ مِنَ الْقَرْیَتَیْنِ عَظِیمٍ (31)»

.. Kalau saja Al-Quran ini diturunkan kepada pembesar dari dua kota (yaitu Makkah dan Al-Tha'if). (QS Al-Zukhruf (43): 31)

p: 89

Selama masa-masa awal Islam, keangkuhan terhadap wali-wali Allah seperti itu sangat sering terjadi. Dan, sikap seperti itu juga masih terlihat ada pada perilaku sebagian pemeluk Islam. Takabur terhadap perintah-perintah Allah terlihat ada pada beberapa pelaku dosa, seperti orang-orang yang tidak mau menunaikan ibadah haji lantaran menganggap pakaian ihram tidak layak bagi diri mereka; tidak mau menunaikan shalat lantaran menganggap bersujud itu tidak sesuai dengan kedudukan dan status mereka. Keangkuhan seperti itu kadang-kadang terlihat ada pada orang-crang beriman, ahli-ahli ibadah, dan alim-alim dengan meninggalkan berazan disebabkan oleh ketakaburan. Juga ada orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran jika itu diucapkan oleh karib kerabat atau orang berstatus rendah. Kadang-kadang orang mendengar sesuatu dari teman-temannya dan dengan sengit menolaknya seraya menghina orang yang mengucapkannya, tetapi ia serta-merta menerimanya apabila itu disampaikan oleh seseorang yang lebih tinggi kedudukan keagamaan dan duniawinya daripada dirinya. Bahkan, mungkin ia

menerimanya dengan keseriusan yang sama dengan ketika ia menolaknya sebelumnya.

Orang semacam ini bukanlah orang yang mencari kebenaran, tetapi keangkuhannya telah menutupnya dari kebenaran. Keangkuhannya telah membuatnya buta dan tuli terhadap kebenaran. Keangkuhan semacam ini pulalah yang membuatnya tidak mau mengajarkan ilmu tertentu atau nash tertentu sebab ia menganggap hal itu merendahkan harga dirinya, atau membuatnya tidak mau mengajari orang-orang yang tidak memiliki kedudukan yang penting, atau tidak mau berada di sebuah masjid kecil yang dihadiri sejumlah kecil orang karena alasan yang sama, padahal ia tahu bahwa keridhaan Allah terletak pada keberadaannya bersama mereka. Kadang-kadang, jejak-jejak keangkuhan sangat tidak kentara sehingga orang yang terkena keburukan ini, kalau sa a ia tidak berhati-hati dan bersungguh-sungguh

mau mengoreksi diri, tidak akan tahu bahwa perbuatan-perbuatannya menunjukkan adanya takabur dalam karakternya. Contoh paling buruk takabur terhadap makhluk-makhluk Allah adalah takabur terhadap ulama. Pengaruh-pengaruh buruk takabur

p: 90

semacam ini lebih berbahaya daripada pengaruh buruk jenis takabur yang lain. Yang tergolong takabur semacam ini adalah tidak mau berada bersama orang miskin dan berada di depan dalam pertemuan, di jalan, dan di dalam kendaraan. Takabur ini merata dalam hampir semua kalangan masyarakat; dari yang elite hingga ulama dan ahli hadis; dan yang dapat menghindarinya adalah orang-orang yang dijaga oleh Allah Swt.

Kadang-kadang sangat sulit membedakan antara rendah hati dan memuji diri, serta antara takabur dan sikap menyendiri sehingga orang harus berlindung kepada Allah Swt. supaya Dia membimbing kita ke jalan yang lurus. Jika kita bertekad hendak memperbaiki diri dan berupaya mencapai tujuan kita, Allah Swt. pasti akan meliputi kita dengan rahmat-Nya yang tidak terbatas dan memudahkan kita berjalan di jalan petunjuk.

Penyebab-Penyebab Utama Takabur

Ada beberapa penyebab takabur, tetapi semuanya bersumber pada khayalan seseorang akan adanya kesempurnaan dalam dirinya. Ilusi ini mengakibatkan ujub yang berpadu dengan cinta diri, membuat kelebihan orang lain tidak tampak di matanya. Apabila itu terjadi, orang ini akan merasa tinggi di hadapan orang lain, baik dalam hati maupun dalam perilaku lahiriah. Misalnya, hal ini dapat ditemui pada diri seorang ahli makrifat yang menganggap dirinya sebagai ahli makrifat dan penyaksian (syuhûd), yang memandang dirinya sebagai ahli hati dan memiliki latar belakang yang sangat baik. Orang seperti ini selalu berusaha mempertunjukkan superioritasnya atas orang lain, memandang rendah para ahli hikmah, filsafat, fiqih, dan hadis sebagai orang-orang dangkal, dan memandang orang awam lebih menyerupai binatang daripada manusia. Orang seperti itu selalu menghina semua makhluk Allah. Ia secara panjang-lebar berbicara tentang fanâ fillâh, baqa' billâh dan mengetuk gerbang realisasi spiritual (tahaqquq), padahal ajaran-ajaran Ilahi menuntut agar kita untuk bersangka baik dengan semua makhluk.

Kalau saja ia sedikit mencicipi manisnya makrifat tentang Allah, tentu ia tidak akan memandang hina manifestasi keagungan dan

p: 91

keindahan Allah. Akan tetapi, pengetahuan dan penjelasan verbalnya menunjukkan bahwa ia bukan dari golongan ini. Dan memang, pada hakikatnya, ajaran-ajaran ini belum masuk dalam hatinya, bahkan si malang ini belum lagi masuk dalam tingkat keimanan pada semua itu apalagi tingkat ‘irfân mengenainya. Lalu, belum lagi ia sampai pada tingkat 'irfân, ia sudah berani bicara tentang tahaqquq. Di kalangan ahli hikmah juga ada orang-orang yang menganggap diri mereka memiliki bukti-bukti rasional yang je.as, pengetahuan mengenai beberapa hakikat, keyakinan tentang Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, dan para rasul-Nya, lalu mereka memandang rendah dan hina orang lain. Mereka memandang semua ilmu yang lain sebagai tak bernilai dan semua hamba Allah kurang ilmu dan iman, sehingga

mereka bersikap takabur dalam batin dan berperilaku congkak di hadapan orang lain. Padahal, kalau mereka benar-benar memiliki pengetahuan tentang kebesaran Allah dan kelemahan nyata makhluk fana (yaitu diri mereka), tentu mereka akan bersikap dan berperilaku sebaliknya. Dan ahli hikmah (hâkim) adalah orang yang pengetahuannya tentang rahasia-rahasia asal-usul dan tujuan manusia membuat dirinya rendah hati. Allah Swt. telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah (kebijaksanaan). Di antara butir-butir wasiat orang besar ini kepada putranya sebagaimana tersebut dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:

Janganlah memandang hina manusia dan jangan berjalan di atas bumi dengan tidak sopan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang angkuh lagi berlagak. (QS Luqmân [31]: 18) Di kalangan orang-orang yang mengaku sebagai guru tasawul, mursyid dan orang yang jiwanya telah bersih terdapat orang-orang

yang bersikap angkuh terhadap orang awam dan berprasangka jelek kepada para ilmuwan, ahli fiqih, dan pengikut-pengikut mereka. Mereka meremehkan para ilmuwan dan filosof. Semua orang, kecuali diri mereka sendiri can orang-orang yang dekat dengan mereka, di-pandang sebagai makhluk-makhluk yang celaka. Karena mereka sendiri kurang berilmu: dan berwawasan, mereka memandang ilmu pengetahuan sebagai duri di jalan spiritual, dan para ilmuwan mereka

p: 92

pandang sebagai setan-setan yang menyesatkan musafir-musafir yang sedang menempuh perjalanan spiritual, meskipun pengakuan mereka bahwa mereka memiliki peringkat spiritual yang tinggi bertolak belakang dengan sudut pandang seperti itu. Seorang pembimbing spiritual dan pemandu orang-orang sesat haruslah dirinya bersih dari semua dosa dan sifat yang merusak, berzuhud terhadap dunia, lebur dalam keindahan Allah, dan tidak angkuh atau berprasangka jelek terhadap

makhluk-makhluk Allah. Kadang-kadang orang seperti itu terlihat ada di kalangan para ahli fiqih dan hadis serta orang-orang yang sedang menuntut kedua ilmu tersebut. Mereka memandang orang lain dengan pandangan menghina dan memperlakukan mereka dengan angkuh, menganggap diri mereka sendiri patut menerima setiap pujian dan penghargaan. Mereka beranggapan bahwa semua orang harus mematuhi perintah-perintah mereka dengan buta dan menerapkan kriteria berikut pada diri mereka sendiri:

«لَا یُسْأَلُ عَمَّا یَفْعَلُ وَهُمْ یُسْأَلُونَ (23)»

Dia (yaitu Allah) tidak akan ditanya mengenai apa yang dilakukan-Nya, tetapi merekalah yang akan ditanya. (QS Al-Anbiyâ' [21]: 23)

Mereka beranggapan tidak ada yang pantas masuk surga kecuali diri mereka dan sejumlah orang seperti mereka. Apabila ada pembicaraan mengenai bidang ilmu lain, serta-merta mereka pun melecehkannya. Mereka tidak segan-segan menolak disiplin-disiplin lainnya. Yang mereka terima hanyalah bidang ilmu mereka sendiri yang sempit dan sedikit. Mereka beranggapan bahwa disiplin ilmu lain itu bukan saja tidak pantas dipelajari, melainkan juga merusak. Pencelaan mereka

terhadap pakar-pakar ilmu lainnya itu disebabkan mereka sendiri bodoh. Mereka mengemukakan pandangan mereka seakan-akan ketaatan mereka yang amat sangat terhadap agama mengharuskan mereka bersikap merendahkan seperti itu, padahal ilmu dan agama tersucikan dari sikap serta perilaku semacam itu. Syariat suci melarang kita berbicara tentang apa pun apabila kita tidak mengetahuinya secara memadai dan mewajibkan kita bersikap hormat kepada setiap

Muslim. Orang celaka ini, tanpa memiliki wawasan yang cukup mengenai agama atau ilmu pengetahuan, telah berdosa melakukan

p: 93

sesuatu yang bertentangan dengan kitab Allah dan ajaran-ajaran Nabi-Nya Saw. Ia mengira bahwa gagasan-gagasannya berasal dari inti agama, padahal akhlak semua alim besar dari setiap generasi tidak seperti itu. Tiap-tiap cabang ilmu agama menuntut sang alim yang menguasai cabang ilmu tertentu untuk bersikap rendah hati dan untuk menyimakan semua akar takabur dari hatinya. Tidak ada ilmu yang mengajak pada takabur atau bertentangan dengan kerendahan hati. Di bagian lain, saya akan menerangkan sebab-sebab mengapa terjadi pertentangan antara pengetahuan dan perilaku orang-orang semacam ini.

Sikap angkuh juga terlihat di kalangan ilmuwan pada umumnya, seperti dokter, matematikawan, insinyur, dan lain-lain. Mereka meremehkan ilmu-ilmu yang lain, betapapun pentingnya ilmu-ilmu itu, dan memandang rendah ahli-ahli yang menguasai ilmu-ilmu tersebut. Dalam hati, mereka menghina orang dan mengejawantahkannya dalam perilaku mereka, padahal ilmu mereka tidak menuntut sikap seperti itu. Sebagian lain orang yang bukan ahli ilmu apa pun, seperti orang-orang yang rajin melakukan "ibâdah mahdhah, juga cenderung bersikap angkuh terhadap orang lain. Mereka bersikap angkuh. terhadap orang dan memandang rendah mereka, dan bahkan memandang alim-alim besar tidak selamat (cari siksa neraka). Apabila ada pembicaraan tentang ilmu, serta-merta ereka mengatakan bahwa ilmu tanpa amal tidaklah bermanfaat. Mereka begitu peduli pada sedikitnya ilmu yang mereka miliki, dan memandang orang lain dengan sikap meremehkan. Mereka lupa bahwa jika ibadah mereka itu benar-benar ahli ibadah yang ikhlas, tentulah ibadah mereka itu akan memperbaiki akhlak mereka. Shalat mencegah kita dari perbuatan tidak senonoh (fahsyâ') dan dosa, serta dianggap sebagai mikra orang beriman. Namun, orang seperti itu, setelah 50 tahun menunaikan ibadah-ibadah wajib dan mustahabh (dianjurkan), justru terkena kehinaan takabur yang merupakan sejenis kemurtadan dan dikuasai oleh ujub yang lebih besar daripada tindakan tidak senonoh yang lain serta menyerupai iblis dan sifat-sifatnya. Shalat yang tidak mencegah dari perbuatan tidak senonoh, shalat yang tidak melindungi hati, bahkan penunaiannya yang berlebihan-lebihan merusak hati, tidaklah patut

p: 94

dinamakan shalat. Shalat yang dengan tekun engkau lakukan, bila ia makin mendekatkanmu kepada iblis dan ciri-khasnya berupa keangkuhan, bukanlah shalat lantaran shalat yang sebenarnya tidak berakibat demikian.

Semua itu terjadi akibat ilmu dan amal (yang sebenarnya merupakan kesempurnaan-penerj.). Namun, keangkuhan juga dapat disebabkan oleh sebab-sebab lain, yang kesemuanya berkaitan dengan persepsi dan ilusi seseorang akan suatu kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Misalnya, seseorang yang berasal dari keturunan orang mulia memandang rendah orang yang bukan seperti dirinya. Sebab-sebab lain berhubungan dengan kecantikan, suku, jumlah pendukung, pengikut, atau murid, yang menimbulkan keangkuhan dan kesombongan terhadap orang lain yang tidak seperti dirinya. Dalam semua contoh yang disebut belakangan, keangkuhan disebabkan oleh ilusi bahwa diri sendiri memiliki kesempurnaan, bangga dan ujub dengannya, dengan melihat orang lain tidak memi-

liki kesempurnaan seperti yang dibayangkannya itu.

Orang-orang yang berakhlak buruk juga kadang-kadang merendahkan orang lain dengan sikap angkuh sebab mereka beranggapan bahwa ahklak buruknya itu sebagai sejenis kesempurnaan. Meskipun orang yang mengidap keburukan sikap angkuh itu berupaya me- nyembunyikannya karena alasan tertentu, dan mencoba untuk tidak memperlihatkan tanda-tandanya. Akan tetapi, lantaran keburukan keangkuhan itu telah berurat-akar di hatinya, pengaruh-pengaruhnya tetap saja akan tampak nyata. Begitu terjadi perubahan pada kondisi orang yang memiliki akhlak buruk itu, seperti ketika ia tidak dapat lagi mengendalikan diri karena amarahnya, ia mulai membangga-banggakan kelebihannya dan menghitung-hitung jasanya, entah itu berupa ilmu maupun amal atau lainnya. Kadang-kadang orang yang angkuh itu mempertunjukkan keangkuhannya, dan tidak memerhatikan bentuk lahiriah keangkuhannya itu lagi. Begitu keangkuhannya semakin menjadi-jadi, ia pun kehilangan kendali diri. Adakalanya juga takabur ini terungkapkan dalam gerak dan diam seseorang. Dalam majelis-majelis, ia memperlihatkan bahwa dirinya

itu penting. Ini terlihat dari tindakannya yang senantiasa harus selalu

p: 95

diutamakan, sesuai keir ginannya. Ia tidak mau kalau ada orang miskin berada bersamanya, juga tidak mau menghadiri majelis mereka. Ia bersikap seolah-olah dirinya itu sebagai orang suci. Padahal, setiap perbuatannya, gaya berjalannya, cara ia memandang orang lain, cara ia berbicara dengan mereka, semuanya menunjukkan bahwa ia itu angkuh. Salah seorang muhaqqiq, yang pokok-pokok wacananya saya pinjam dan terjemahkan, mengatakan bahwa jika seorang alim memalingkan diri dari orang lain seakan-akan ia ingin menghindar dari mereka, itulah serendah-rendah keangkuhan seorang alim. Derajat terendah dari keangkuhan ahli ibadah ('âbid) terejawantahkan dalam sikapnya yang sewenang-wenang terhadap orang dan dalam wajahnya yang masam, seakan-akan ia ingin menghindar dari dosa (wara"). Padahal, wara' bukanlah bermuka masam, memandang rendah, menghindar dari orang, dan memalingkan muka dari orang, tetapi ketakwaan dan waraſ itu terletak di dalam hati. Rasulullah Saw. pernah bersabda seraya menunjuk ke dada beliau, “Ketakwaan terletak di sini.(1) Kadang-kadang orang yang ahli ibadah membangga-banggakan dirinya dalam nada bicaranya. Seraya mengungkapkan kesucian jiwa-nya, ia memperlihatkan praktik-praktik ibadahnya, membual tentang dirinya dengan menyebut-nyebut amal salehnya, dan mengecam kelemahan dan kekurangan orang lain, yang dengan demikian mempertunjukkan keunggulan kesalehannya. Kadang-kadang ia tidak mengatakan sesuatu secara eksplisit, tetapi membuat isyarat yang secara implisit mempertunjukkan kesalehannya. Seorang alim yang mengidap sifat takabur akan membual tentang prestasi-prestasi intelektualnya sendiri, dengan kata-kata, “Tahu apa kamu!" Kemudian, ia akan menyebutkan buku-buku yang pernah dibaca dan ditulisnya, universitas-universitas yang pernah dikunjunginya, profesor-profesor dan ahli-ahli yang pernah ditemuinya, serta capaian-capaian ilmiahnya yang lain. Oleh karena itu, seseorang senantiasa perlu untuk berlindung kepada Allah Swt. dari keburukan-keburukan diri dan tipu dayanya.

p: 96


1- 2. Ibid., Vol. III, h. 426.

Keburukan Spiritual dan Sosial dari Takabur

Selain takabur itu sendiri banyak mengandung keburukan, ia juga melahirkan banyak keburukan lainnya. Takabur menghalangi orang dari memperoleh manfaat lahiriah dan batiniah, serta mencegah orang dari menikmati karunia-karunia di dunia ini dan di akhirat kelak. Takabur menyebabkan timbulnya kebencian dan dengki di hati manusia, menyebabkan terjadinya sikap memandang rendah dan hina terhadap orang lain. Takabur membuat orang lain memendam rasa dendam terhadapnya, menghina dan mencaci-makinya. Dalam Al-Kafi, Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang tidak memiliki kekang di kepalanya dan satu malaikat yang mengendalikannya. Apabila ia takabur, malaikat berkata, “Merendahlah, semoga Allah merendahkanmu.' Lalu, ia akan menjadi sebesar-besar manusia di matanya sendiri dan sekecil-kecil makhluk di mata orang lain. Apabila ia rendah hati, Allah akan mengangkatnya dan malaikat berkata kepadanya, 'Angkatlah dirimu, semoga Allah Swt. mengangkatmu.' Lalu, ia akan menjadi sekecil-kecil manusia di matanya sendiri dan semulia-mulia manusia di mata orang lain.(1)

Saudaraku, orang lain juga memiliki pikiran seperti pikiranmu. Jika engkau bersikap rendah hati, orang lain pun akan menghormatimu dan kamu pun akan dimuliakannya. Namun, jika kamu bersikap sombong, sesungguhnya kesombongan itu tidak ada manfaatnya bagimu. Orang lain malah akan menghinamu dan jika sempat ia akan melecehkanmu. Jika mereka tidak memiliki kesempatan untuk menghina dan mencaci-makimu, mereka akan menghinamu dalam hati

dan di mata mereka engkau tidak berharga. Oleh karena itu, lebih baik engkau taklukkan hati mereka dengan kerendahhatian dan kesopanan. Semua orang yang bergaul denganmu akan memperlihatkan tanda-tanda sikapnya terhadapmu, dan jika hati mereka tidak berkenan kepadamu, itu akan menjadi sesuatu yang memusuhi hawa nafsumu. Oleh karena itu, mungkin saja engkau ingin memperoleh kemuliaan, maka ambillah jalan yang baik untuk itu, yaitu bersopan santun dan merendah di hadapan mereka. Takabur tidak akan dapat memenuhi maksud dan tujuanmu, biarpun maksud dan tujuan itu sifatnya duniawi. Sebaliknya, dengan takabur itu kamu akan mene-

p: 97


1- 3. Ibid., Vol. III, h. 426.

rima hal-hal yang berlawanan dengan maksud dan tujuanmu. Di samping semua itu, takabur akan membuatmu terhina dan malu di akhirat. Kalau di dunia ini kamu memandang hina orang dan menganggap dirimu lebih unggul daripada makhluk-makhluk Allah dan bersikap angkuh dan sombong seperti itu; di akhirat keangkuhan

dan takabur ini akan memberimu aib dan kehinaan, seperti disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kafi:

... Dari Daud ibn Farqad, dari saudaranya, yang mengatakan, “Aku mendengar bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata,... Sesungguhnya orang-orang yang sombong (pada Hari Perhitungar) akan dijadikan dalam bentuk serpihan, dan manusia akan menginjak-injaknya sampai Allah selesai dalam perhitungan-Nya.(1) Dalam wasiat terakhirnya, Imam Al-Shadiq a.s. berkata kepada sahabat-sahabatnya:

“... Jauhilah kesombongan dan takabur, sebab kesombongan itu adalah pakaian Allah Swt. Siapa pun yang merampas pakaian Allah, maka Dia akan membinasakan dan menghinakarnya pada hari kiamat.(2) Bagaimanakah celakanya orang yang dihinakan oleh Allah Swt.? Di akhirat, segala sesuatunya akan berbeda; kehinaan dan aib di akhirat akan berbeda dengan kehinaan dan aib di dunia ini. Seperti halnya kesenangan di akhirat tidak terbayangkan oleh manusia di dunia ini, begitu pula siksaan di akhirat juga tidak dapat dijangkau oleh daya imajinasi kita saat ini. Kemuliaan di akhirat berada di luar apa yang dapat kita perkirakan, begitu pula kehinaan di akhirat tidak dapat disamakan dengan pikiran-pikiran kita tentang kehinaan dan aib. Sedangkan tempat terakhir bagi orang yang sombong adalah kutukan abadi dan neraka. Hadis mengatakan bahwa al-takabburu mathầyan-nar (orang yang mengendarai tunggangan kesombongan, pasti akan dibawa oleh tunggangan itu ke dalarn api neraka). Dia tidak akan mendapatkan sedikit pun cahaya surga, selama jejak-jejak kesombongan masih ada di hatinya. Rasulullah Saw. diriwayatkan telah bersabda:

p: 98


1- 4. Ibid., Vol. III, h. 424.
2- 5. Al-Hasan ibn 'Ali ibn Al-Husain ibn Syu'bah Al-Harrani, Tuhaf Al-'Uqúl (Kitab Furusyi Islamiyyah, Teheran, 1402 H), teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Ahmad Jannati 'Atha'i, h. 327.

“Orang yang di hatinya masih ada setitik kesombongan, tidak akan pernah dapat masuk surga.(1)

Imam Al-Baqir a.s. dan Imam Al-Shadiq a.s. juga pernah mengatakan sesuatu yang hampir serupa dengan sabda Nabi Saw. tersebut Dalam Al-Kafi, Imam Al-Baqir a.s. diriwayatkan pernah bersabda: “Kemuliaan adalah pakaian Allah, begitu pula kesombongan; orang yang ingin mengenakan pakaian itu akan dilemparkan ke

dalam neraka oleh Allah Swt.(2) Dan juga, neraka yang bagaimana? Neraka yang disediakan bagi orang yang sombong itu berbeda dengan neraka yang akan dihuni oleh para pendosa lainnya. Di sini, saya akan mengutip lagi hadis yang sama yang sudah diterjemahkan sebelumnya: Hadis ini sangat dapat dipercaya bahkan sama dengan hadis sahih. Ibn Bukair meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya di neraka ada sebuah lembah bagi orang yang sombong, yang bernama saqar. Saqar suatu ketika mengeluh kepada Allah Swt. akan panasnya yang amat sangat dan memohon agar Allah Swt. berkenan meringankannya sebentar supaya ia dapat bernapas. Begitu ia bernapas, seluruh neraka tergenang dengan api.(3)

Saya berlindung kepada Allah Swt. dari suatu tempat yang, meskipun ia itu tempat penyiksaan, mengeluh tentang panasnya dan neraka menyala ketika ia bernapas. Di dunia ini, kita tidak dapat mengetahui bagaimana dahsyatnya api akhirat karena perbedaan antara kedahsyatan dan keringanan siksaan ditentukan oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah kekuatan dan kelemahan persepsi. Makin kuat pelaku persepsi dan makin sempurna serta jernih persepsi yang dilakukannya, tentu makin keras ia akan merasakan kepedihan dan siksaan. Dan yang kedua adalah berlainannya jenis-jenis materiil dan kemampuannya yang berbeda-beda dalam menahan panas. Misalnya, emas dan besi dapat dikenai panas yang lebih besar daripada timah hitam dan timah. Timah hitam dan timah dapat menahan panas yang lebih besar daripada kayu dan batu bara. Kayu dan batu bara kurang sensitif

p: 99


1- 6. Ushul Al-Kafi, Vol. III, h. 425.
2- 7. Ibid., Vol. III, h. 423.
3- 8. Ibid., Vol. III, h. 424.

dibandingkan dengan daging dan kulit. Faktor yang lainnya adalah sensitivitas persepsi. Misalnya saja, otak manusia, meskipun kurang · tahan terhadap panas, lebih sensitif terhadap panas dibandingkan dengan tulang sebab daya persepsinya lebih kuat. Sedangkan lemah dan kuatnya panas itu sendiri merupakan faktor lair. lagi. Pada seratus derajat, panas lebih memedihkan dibandingkan dengan pada lima puluh derajat. Ada satu faktor lagi, yakni jarak relatif antara sumber panas dan benda yang terkena panas. Misalnya, apabila api sangat dekat letaknya dengan tangan, akan timbul rasa terbakar yang berbeda dengan apabila api berada di tempat yang agak jauh. Kelima faktor yang disebutkan di atas itu ada di dunia ini, tetapi pada derajatnya yang paling lemah. Dan di akhirat, kelima faktor itu

berada pada kekuatan dan dayanya yang paling puncak. Semua kemampuan persepsi kita tidak sempurna, lemah, dan tertutupi oleh beberapa tabir di dunia ini bukan saatnya kita berbicara tentang masing-masing tabir penutup itu. Sekarang ini daya lihat kita tidak sanggup melihat malaikat dan neraka; telinga kita tidak dapat mendengar suara-suara ajaib dari (alam) barzakh dan jeritan-jeritan penghuninya, serta riuh rendahnya suara-suara pada hari kiamat. Indra kita bahkan tidak mampu merasakan panasnya neraka kelak. Ini disebabkan oleh kelemahan pada indra perseptual kita sendiri. Ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis para Imam banyak memberikan keterangan yang tersurat maupun tersirat mengenai masalah tersebut.

Di dunia ini tubuh manusia tidak sanggup menahan panas. Api dunia ini sudah cukup untuk meleburkan tubuh manusia menjadi abu dalam beberapa saat. Namun, Allah Swt. mampu menciptakan kembali tubuh itu dalam bentuk yang sedemikian pada hari kiamat sehingga tubuh itu tidak akan dapat dilumatkan oleh api akhirat,

yaitu api yang kekuatannya sedemikian dahsyat, sehingga berdasarkan kesaksian Malaikat Jibril a.s., jika mata rantai dan api yang disediakan bagi para penghuni neraka dilemparkan ke dunia ini, akan leburlah semua gunung disebabkan oleh panasnya yang sedemikian dahsyat. Oleh karena itu, daya tahan tubuh manusia di alam itu akan sedemikian hebat. Juga hubungan antara tubuh dan ruh sangat rapuh di dunia ini. Dunia ini tidak memberikan kesempatan kepada ruh untuk me-

p: 100

manifestasikan fakultas-fakultas nyata dan kekuatan-kekuatannya. Namun, alam itu merupakan alam manifestasi dan dominasi ruh. Di sana hubungan ruh dengan tubuh sarat dengan tindakan dan kreativitas–karena telah termapankan dalam tempat yang tepat dan hubungan ini merupakan hubungan yang paling lengkap dan

sempurna. Api di dunia ini tidak seberapa panas dan merupakan gejala yang fana yang berpadu dengan segala macam noda; sedangkan api neraka bebas dari segala macam noda, dan substansinya mandiri dan abadi. Ia merupakan suatu substansi yang hidup dan membakar para penghuninya berdasarkan kehendak dan kesadaran, serta meng- gunakan segenap dayanya untuk menelan mereka. Kau pernah mendengar seluk-beluknya dari Jibril a.s.--sang saksi tepercaya (Al-Amîn—penerj.)—lalu Al-Quran dan hadis-hadis para Imam a.s. pun penuh dengan gambaran tentang neraka dan apinya. Namun, di dunia ini api neraka itu tidak ada yang menyamainya. Jika semua api di dunia ini menelan seorang manusia, yang dijilatnya hanyalah sisi luar tubuhnya; tetapi api neraka akan menjilat manusia dari luar

sampai ke dalam-dalamnya, meliputi indra dan daya-daya persepsinya. Api neraka adalah api yang menelan hati, jiwa, dan semua daya manusia, meresap dan menyatu dengannya sedemikian sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat menggambarkannya di dunia ini.

Jadi, jelaslah bahwa di dunia ini sama sekali tidak ada yang dapat menanggung siksaan Allah. Semua benda juga tidak sanggup menahan panasnya, penyebab panasnya juga bukanlah penyebab yang sempurna, daya-daya persepsinya pun tidak berada pada tingkatnya yang sempurna. Embusan napas api yang panas dalam mengobarkan neraka, tidak mungkin dapat dibayangkan oleh kita dan indra persepsi kita, kecualisemoga saja Allah menjauhkannya dari kita-kalau kita ini termasuk orang yang sombong, yang meninggalkan dunia ini dalam keadaan belum membersihkan diri dari kekejian yang menjijikkan dan melihatnya langsung; fabisa matswal-mutakabbirîn (sesungguhnya tempat tinggal orang-orang yang sombong itu adalah tempat tinggal yang paling buruk!).

p: 101

Penyebab Lain Keangkuhan

Point

Selain faktor-faktor penyebab keangkuhan yang sudah disebutkan di atas, masih ada lagi sejumlah faktor lain, seperti kepicikan, ketidakmampuan, kurang berpikir, dan kurang sabar. Orang yang pikirannya sempit, apabila melihat pada dirinya ada kebaikan, ia akan membayangkan bahwa dirinya memiliki kedudukan khusus. Padahal, jika ia mau menilai dan melihatnya dengan jujur tentang kesempurnaan yang ada pada dirinya, tentulah ia akan tahu bahwa apa yang dibayangkannya sebagai kesempurnaan dan yang dibanggakannya itu sebenamya bukanlah kesempurnaan. Dan kalau pun hal itu memang merupakan kesempurnaan, betapa tidak berartinya kesempurnaan itu apabila dibandingkan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang dimiliki oleh orang lain. Sebenarnya ia seperti orang yang menampar

pipinya sendiri untuk membuatnya merah agar terkesan pada orang lain sebagai kesegaran di muka. Seorang 'ârif (ahli makrifat-penerj.) yang memandang rendah orang lain karena ia membangga-banggakan makrifatnya, lalu bersikap sombong terhadap orang lain, yaitu memandang orang lain itu dangkal, pengetahuannya mengenai Allah tidak lain hanyalah sejumlah konsep dan istilah yang sesungguhnya merupakan tabir-tabir realitas dan rintangan dalam perjalanannya (menuju Allah-penerj.). Pengetahuannya itu hanya himpunan istilah yang mewah dan tidak ada relevansinya dengan makrifat tentang Allah atau tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang hakiki. Makrifat adalah sifat hati. Dalam pandangan saya, semua makrifat adalah ilmu-ilmu praktis dan bukan semata-mata pengetahuan tentang sekumpulan konsep abstrak atau istilah ilmiah. Dengan kehidupan yang pendek dan ilmu yang terbatas, saya telah melihat orang-orang tertentu dari kalangan yang disebut para ahli dan alim dari segenap bidang-demi ‘irfan dan ilmu pengetahuan saya bersumpah bahwa istilah-istilah yang mereka hapal itu tidak berbekas di hati mereka. Malah istilah-istilah itu memberikan pengaruh yang sebaliknya kepada mereka.

Sahabatku! Pengetahuan tentang Allah, seperti telah engkau ketahui, menjadikan hati tempat bagi penjelmaan Nama-Nama dan Sifat-

p: 102

Sifat Allah. Di hati itulah Penguasa Sejati akan bertempat dan sirnalah semua sisa polusi dan entifikasi (ta’ayyun):

«قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوکَ إِذَا دَخَلُوا قَرْیَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَکَذَلِکَ یَفْعَلُونَ (34)»

... Sesungguhnya raja-raja, ketika mereka memasuki sebuah kota, mereka akan merusaknya dan menghinakan penduduknya yang mulia .... (QS Al-Naml (27]: 34)

Pengetahuan itu akan mengubah hatimu menjadi hati yang bertauhid (ahadî) dan menganut Nabi Muhammad Saw. (Ahmadî). Namun, mengapa ia justru menjadikan hatimu karam dalam keindahanmu sendiri? Mengapa ia justru menambah polusi di dalamnya, melipatgandakan entitas-entitas dan hubungan-hubunganmu, dan menjauhkanmu dari Allah Swt. manifestasi-manifestasi Nama-Nama-Nya? Mengapa ia membuat hatimu justru menjadi tempat tinggal setan sehingga engkau memandang rendah hamba-hamba Allah dan orang-orang pilihan-Nya, para penunggu pintu Allah dan cermin keindahan-Nya? Engkau sungguh telah bersikap angkuh terhadap Allah dan telah mengambil sikap seperti Fir'aun di hadapan Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan segenap manifestasi Zat-Nya.

Wahai pengkaji konsep dan pembuang realitas! Sebentar saja renungkan tentang apa saja yang engkau ketahui tentang Allah. Bagaimanakah pengaruh pengetahuan tentang Allah dan Sifat-Sifat-Nya pada dirimu sendiri? Mungkin saja studi tentang musik dan irama-irama musik lebih tepat daripada pengetahuan. Astronomi, mekanika, ilmu-ilmu fisika lainnya, dan matematika dapat kamu ketahui istilah-istilahnya dengan tepat. Namun, karena ilmu-ilmu itu tidak berurusan dengan pengetahuan tentang Allah, pengetahuanmu juga menjadi tirai tebal yang terdiri atas tabir kata-kata, istilah-istilah, dan konsep-konsep. Semuanya itu tidak dapat membuat orang mencapai kepuasan, juga tidak dapat membawa orang mengalami perubahan dalam jiwa dan keadaan batinnya. Jadi, dalam pandangan ilmu-ilmu fisika dan matematika, fisika dan matematika lebih baik dibandingkan dengan ilmumu, karena ilmu-ilmu tersebut memberikan hasil, sedangkan

ilmumu bukan saja tidak memberikan hasil, melainkan malah memberikan hasil yang sebaliknya. Insinyur mendapatkan hasil dari kalkulasinya dan seorang pandai besi memperoleh manfaat berkat keca-

p: 103

kapannya; tetapi ilmumu tidak memberikan manfaat-manfaat materiil maupun transendental.

Tabir yang menutupi matamu sedemikian tebal sehingga apabila engkau mencoba menggambarkan keesaan Allah, suatu alam yang gelap-gulita memenuhi imajinasimu, dan ketika Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya disebut-sebut, yang tergambarkan oleh benakmu hanyalah pluralitas yang tidak terbatas. Oleh karena itu, istilah-istilah tersebut tidak membawamu ke jalan kebenaran, tetapi sebaliknya malah menjadi sumber kesombongan dan keangkuhan terhadap para alim yansaleh. Ilmu atau pengetahuan yang membuat hati menjadi gelap dan semakin membuat hati menjadi buta, maka itu bukanlah ilmu atau pengetahuan. Pengetahuan yang pada akhirnya membuat pemiliknya menjadi ahli waris iblis, maka celakalah dan terkutuklah pengetahuan seperti itu!

Takabur merupakan ciri khas iblis. Iblis bersikap angkuh dan takabur kepada ayahmu, Adam, dan diusir dari istana Allah Swt. Kalau kau sombong dan angkuh terhadap anak Adam, kamu juga patut diusir (dibuang). Dari sinilah, kamu dapat menyimpulkan keadaan menyedihkan dari orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu

lainnya. Hâkim (ahli hikmah), kalau ia memang bijak, memahami hubungan antara Allah Swt. dan segenap makhluk-Nya dan dirinya sendiri, tidak akan ada lagi di hatinya perasaan takabur. Namun, si celaka yang cuma menuntut terminologi dan konsep telah menyalah artikan semua itu sebagai hikmah, dan membayangkan dirinya sebagai hâkim. la bahkan merasa dirinya memiliki Sifat-Sifat Allah Swt. dan mengatakan: Al-hikmah hiya al-tasyabbuh bi al-ilâh (Hikmah itu adalah ſupaya menyerupai Allah). Kadang kala ia mengelompokkan dirinya dengan para nabi dan rasul Allah, dan mengutip ungkapan ayat berikut: Wayu‘allimuhum al-kitaba wa al-hikmah (Dia mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah); dan kadang kala pula mengulang-ulang hadis Nabi Saw:

“Hikmah adalah harta seorang Mukmin yang hilang barang siapa memiliki hikmah, berarti telah diberi kebaikan yang banyak.” Padahal, hatinya tidak tahu tentang hikmah dan ribuan jarak jauh-nya antara dia dan kebaikan yang banyak, dan ia sendiri sama sekali

p: 104

tidak mengenal hikmah. Pemikir sekaligus filosof besar Muslim, Muhaqqiq Damad-semoga ridha Allah terlimpah atasnya—mengatakan bahwa hâkim adalah orang yang dapat menjadikan tubuhnya seperti pakaian, kapan dia mau dia dapat mencampakkannya. Lihat, apa perkataannya dan apa perkataan kita! Apa yang mereka pahami dari hikmah, dan apa yang kita pahami tentangnya? Sementara kau yang menyombongkan pengetahuanmu tentang sejumlah konsep dan istilah, memandang rendah dan hina makhluk-makhluk Allah dengan sikap angkuh dan sombong-maka jelaslah bahwa kamu itu orang yang picik dan dangkal pikiran.

Orang-orang yang berlagak seperti mursyid (pembimbing ruhani) dan berlagak seperti penunjuk jalan makhluk-makhluk Allah, duduk di kursi tasawuf dan konsentrasi menghadap Allah, keadaan mereka lebih buruk dibandingkan dengan kalangan sok sufi. Keangkuhan dan takabur mereka lebih parah dibandingkan dengan dua kelompok sebelumnya. Mereka membangga-banggakan komoditas terminologi dua kelompok itu dan menjualnya di pasar. Mereka mengalihkan

perhatian makhluk-makhluk Allah dari-Nya, memalingkan perhatian mereka pada diri mereka sendiri, serta membuat makhluk-makhluk berhati lugu itu memandang curiga terhadap ulama dan orang lain. Demi mendapatkan keuntungan yang hina itu, mereka menciptakan istilah-istilah yang memikat untuk memerdayai orang yang mudah percaya. Mereka beranggapan bahwa gelar-gelar seperi majdzûb, mahbûb'ali, dan sebagainya benar-benar akan menimbulkan ketertarikan dan kecintaan Ilahi.

Wahai pencari dunia! Wahai pencuri konsep dan gagasan, aktivitasmu itu sesungguhnya tidak perlu dibangga-banggakan dan tidak akan membawa kebahagiaan. Wahai orang yang malang, ia telah diperdaya oleh kepiçikan pikiran dan kekurangmampuannya, dan menganggap dirinya telah mencapai peringkat spiritual yang tinggi. Kiat-kiatnya sendiri telah memerdayainya. Ia terlalu cinta diri, cinta dunia, dan dipermainkan oleh gagasan dan hiasan konseptual yang dicurinya. Keadaan-keadaan seperti itu telah membentuk sesuatu yang kacau dan aneh. Namun, meski memiliki cacat-cacat seperti itu, orang yang malang ini membayangkan bahwa dirinya itu seorang

p: 105

mursyid, seorang pemandu dan pembebas manusia, serta merasa tahu akan rahasia-rahasia syariat. Kadang-kadang rasa tidak tahu malu itu melewati batas, yaitu ia membayangkan dirinya sudah berada di tingkat wilayah (kepemimpinan). Munculnya situasi seperti itu disebabkan oleh kekurangmampuan, miskinnya manfaat, kepicikan pikiran, dan ketidaklapangan dadanya.

Wahai para pelajar fiqih, hadis, dan ilmu-ilmu agama lainnya, engkau juga tidak memiliki apa-apa tentang pengetahuan, kecuali hanya beberapa istilah yang sudah lazim dalam ushûl dan hadis. Jika ilmu tersebut dikaitkan dengan praktik dan perbuatan, ilmu itu tidak membawa perbaikan apa pun pada dirimu, yang terjadi malah membuatmu melakukan keburukan dan membuatmu berakhlak buruk, tindak-tandukmu lebih rendah dibandingkan dengan tindak-tanduk ahlı ilmu lain; dan tidak berharganya ilmu itu tidak tertandingi oleh aktivitas-aktivitas lebih rendah dari orang lain. Segenap konsep, pengumbaran kata, persaingan, dan perdebatan itu--yang kebanyakan tidak ada kaitannya dengan agama Allah--tidak dapat dianggap sebagai ilmu apa pun, juga tidak dapat dipandang sebagai buah ilmu, yang pantas dibanggakan sedemikian. Dan, cukuplah bagiku Allah sebagai saksi, kalau hasil dari pengetahuanmu tidak dapat memandumu di jalan yang lurus, juga tidak dapat menjaga dirimu dari berbuat keji dan berakhlak buruk, pekerjaan atau perbuatan yang paling hina lebih baik daripada ilmu seperti itu karena ia memperlihatkan hasil-hasil tertentu yang langsung dan kemudaratannya di dunia dan akhirat lebih sedikit.

Wahai orang yang malang, yang tidak memperoleh apa-apa selain beban yang pedih, yang berat sekali untuk dipikul, bebanmu tidak memberikan apa-apa kepadamu kecuali akhlak dan perbuatan yang keji. Oleh karena itu, pengetahuanmu tidaklah dapat dibanggakan atau dipuji. Cakrawala pikiranmu sempit sekali sehingga begitu engkau mempersiapkan beberapa istilah, engkau mulai berpikir bahwa dirimu seorang alim besar yang pantas untuk berbangga diri, sedangkan orang lain kau anggap sebagai makhluk yang bodoh. Gaya jalanmu yang angkuh mempersulit hamba-hamba Allah, sedangkan kesombonganmu mempersempit ruang gerak majelis-majelis sosial.

p: 106

Namun, serendah-rendahnya orang yang sombong adalah orang yang membangga-banggakan masalah lahiriah seperti kekayaan, jabatan, keluarga, dan keturunan. Orang yang malang ini jauh dari keutamaan-keutamaan manusia dan cita rasa moral. Kedua tangannya hampa ilmu dan pengetahuan; tetapi karena pakaiannya terbuat dari bulu domba, atau karena ayahnya orang penting, ia bersikap angkuh terhadap orang. Sungguh, kepicikan pikiran serta gelap dan sempitnya hatilah yang membuat orang merasa sempurna hanya dengan keindahan dan bagusnya pakaian serta penutup kepala. Karena memiliki pakaian dan penutup kepala yang bagus, ia mencampakkan kemuliaan akhlak dan jiwa. Ia merasa puas apabila dapat terus berada di tingkat binatang dan merasa bahagia dengan memperoleh kese-

nangan-kesenangan hewani, tidak memedulikan keluhuran kedudukan manusia, demi memperoleh apa yang dipandangnya sebagai status, dengan memilih eksistensi yang sia-sia dan hampa, serta mengambil bentuk yang kosong yang jauh dari realitas dan kebenaran. Ia sedemikian hina dan hampa sehingga jika ia bertemu orang yang lebih kaya daripada dirinya, sikapnya terhadap orang yang lebih kaya itu seperti sikap budak terhadap tuannya. Tentu saja, orang yang tujuannya hanyalah dunia, maka ia menjadi budak orang yang memiliki kekayaan materiil dan juga budaknya dunia. Sempitnya wawasan, piciknya pikiran, dan kurangnya kepribadian yang mantap, semuanya merupakan faktor kuat yang menyebabkan orang berbangga diri, yang membuat korbannya menjadi ‘ujb

dan takabur dan membuatnya sangat peka terhadap kualitas-kualitas yang sama sekali bukanlah kesempurnaan dan juga bukan manfaat. Semakin cinta seseorang dengan dirinya sendiri dan dengan dunia, ia semakin dipengaruhi oleh kedua hal itu.

Cara Menyirnakan Keangkuhan

Kejinya kesombongan dan keangkuhan sudah engkau ketahui. Sekarang, tugasmulah untuk berketetapan hati menyembuhkan dirimu dari penyakit tersebut dan sekaligus membersihkan hatimu dari noda-nodanya dan menyingkirkan bekas-bekasnya serta debunya yang sudah amat tebal dari cermin hatimu. Jika engkau mempunyai

p: 107

kekuatan kehendak yang besar dan hati yang terbuka, serta hawa nafsu duniawi belum menancapkan kuku-kukunya di dalam hatimu, dan jika pesona-pesona serta ornamen-ornamen duniawi belum membuat hatimu menjadi mata gelap, dan kalau engkau masih dapat menilai dan mengkritik dirimu sendiri dengan adil, saran-saran yang dikemukakan dalam bab terdahulu dapat bermanfaat sekali bagi dirimu dalam hubungan ini. Namun, kalau engkau belum mencapai tingkatan ini, sebaiknya engkau merenungkan keadaanmu; mungkin saja hatimu akan tergugah.

Wahai manusia, yang pada mulanya bukan apa-apa; yang tersembunyi dalam lipatan-lipatan ketiadaan selama bermasa-masa, yang lebih tidak berarti dibandingkan dengan ketiadaan itu sendiri dan tidak hadir dalam alam keberadaan, ketika Allah Swt. hendak menciptakan dirimu, engkau masih berada dalam keadaan yang paling kekurangan, yang hina lagi tidak berarti. Engkau masih merupakan makhluk yang tidak mampu menerima kemurahan (faidh) Allah. Dia menciptakan dirimu dari materi (hayâlâ) alam semesta, yang merupakan potensialitas mutlak dan kelemahan semata-mata, dan memola dirimu menjadi satu bentuk jasadi yang elemental yang merupakan serendah-rendahnya dan sehina-hinanya maujud di alam semesta. Setelah itu, engkau diberi bentuk sperma, yang kamu akan jijik untuk menyentuhnya dan perlu kerja keras untuk membersihkan kedua tanganmu jika kebetulan tanganmu terkotori olehnya. Kemudian, engkau ditempatkan dalam sebuah tempat yang sangat sempit dan kotor, dua kelenjar reproduksi ayahmu. Dan, setelah itu engkau dimasukkan ke dalam rahim ibumu dan engkau diberi tempat tinggal seperti itu, yang kalau digambarkan tentulah engkau akan merasa jijik. Setelah ditempatkan di sana, engkau dibentuk menjadi janin dan segumpal darah kental. Di sana engkau diberi makanan yang sedemikian rupa sehingga engkau akan menjadi gila jika makanan itu digambarkan kepadamu, dan engkau akan merasa malu. Namun, karena semua orang harus melewati bencana itu, hilanglah rasa malu kita terhadapnya. Wa al-baliyyah idzâ'ammat thâbat (Kesedihan yang

sudah menjadi kelaziman, dapat dimaklumi).

p: 108

Selama tahap-tahap evolusi dan perubahan tersebut, engkau merupakan serendah-rendahnya dan sehina-hinanya makhluk. Engkau tidak memiliki daya lihat lahiriah maupun batiniah dan tidak memiliki manfaat apa pun. Setelah itu, dengan Kemahamurahan-Nya, Dia menjadikanmu dapat menerima anugerah kehidupan, suatu kehidupan yang terejawantahkan dalam dirimu yang sangat tidak sempurna dan rapuh sedemikian sehingga kehidupan seperti itu bahkan lebih rendah dibandingkan dengan kehidupan cacing dalam fungsi- fungsi biologisnya. Untuk dapat memperbaiki kekurangan dirimu, Dia secara berangsur-angsur menyempurnakan fungsi-

fungsimu untuk memasuki dunia ini dan menghadapi iklimnya. Melalui lorong-lorong sempit yang paling hina dan dalam keadaan yang paling buruk, sampailah engkau di alam dunia ini. Namun, engkau masih saja lebih lemah daripada bayi-bayi hewan. Setelah itu, walaupun engkau sudah mendapatkan daya dan kemampuan lahiriah dan batiniah yang maksimum, tetap saja engkau sangat lemah dan rapuh sedemikian sehingga engkau belum sanggup mengendalikan daya dan kemampuanmu sendiri secara penuh. Engkau belum sanggup menjaga kesehatanmu sendiri, engkau belum sanggup menjaga nyawa dan energimu

sendiri, dan engkau belum dapat merawat kerupawanan dan kemudaanmu. Kalau saja bencana atau penyakit menimpa dirimu, engkau tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengatasinya. Pendek kata, engkau belum dapat mengendalikan aspek apa pun dari kemaujudan dan keberadaanmu sendiri. Jika engkau merasa lapar selama satu hari, engkau tidak tahan untuk tidak memakan mayat yang sudah membusuk. Jika engkau merasa haus yang amat mencekam, engkau

akan siap untuk minum air yang kotor lagi berbau busuk. Begitu pula, dalam persoalan, engkau adalah seorang budak yang tidak berdaya dan hina yang tidak mampu mengatasi apa pun. Kalau engkau membandingkan dirimu dengan keberadaan dan kesempurnaan makhluk-makhluk hidup lainnya, engkau akan menyadari bahwa dirimu dan segenap planet, atau bahkan segenap sistem tata surya, tidak ada artinya sama sekali di depan segenap alam fisikal yang merupakan hal paling rendah dan paling hina di antara segenap alam

p: 109

Saudaraku, yang engkau lihat hanyalah dirimu sendiri dan apa pun yang engkau lihat tidak engkau bandingkan dengan dunia di sekitarmu. Bandingkanlah apa pun yang engkau miliki, dari mulai kehidupanmu hingga kekayaan-kekayaan duniawi yang engkau miliki, dengan kotamu. Lalu, bandingkan kotamu dengan negerimu dan

negerimu dengan beratus-ratus negeri di dunia, yang nama-namanya mungkin belum pernah engkau dengar. Dan, bandingkan semua negeri itu dengan segenap sistem tata surya, dan wilayahnya yang mahaluas tidak lebih dari serpihan amat kecil dari matahari. Dan, bandingkanlah segenap sistem tata surya dengan Bimasakti, yang matahari kita beserta segenap planetnya merupakan satu dari berjuta-juta bintang lainnya dan merupakan sebagian dari galaksi mahabesar

itu. Ingatlah, terdapat beberapa juta galaksi seperti Bimasakti itu.

Semuanya itu merupakan satu bagian dari alam fisik, yang kemahaluasannya tidak ada yang tahu kecuali Penciptanya, dan berbagai penemuan hanya mengungkapkan sebagian kecil carinya. Namun, alam fisik ini tidak ada artinya sama sekali apabila dibandingkan dengan alam nonfisik, yang berada di luar daya imajinasi akal manusia. Mengingat itu semua, mari kita telaah kembali sejauh mana kehidupan kita dan ruang lingkupnya dan nasib kita dalam alam keberadaan itu.

Sesudah itu, ketika Allah Swt. berkehendak mengambilmu dari dunia ini, Dia hanya memerintahkan pada segenap dayamu agar menjadi lemah dan daya-daya persepsimu agar menghentikan aktivitas-aktivitasnya. Mekanisme kehidupanmu menjadi mandek; indra dengar dan indra lihatmu, serta energimu diambil kembali darimu, lalu kamu menjadi seonggok benda mati. Beberapa jam kemudian, orang pun tidak lagi sanggup menahan bau busuk yang memancar dari tubuhmu, lalu mereka akan jijik melihat tubuh dan wajahmu. Semua anggota tubuhmu dan organ-organnya akan hancur luluh setelah beberapa hari. Begitulah keadaan tubuhmu dan apa yang akan terjadi pada kekayaan dan kemuliaanmu juga jelaslah sudah. Namun, mengenai kehidupanmu di alam barzakh, jika kamu meninggalkan dunia fana ini-semoga Allah melindungi kita--dalam keadaan belum memperbaiki diri, hanya Allah Swt. yang mengetahui bagaimana keadaanmu di alam barzakh itu. Persepsi para penghuni

p: 110

dunia fana ini tidak dapat melihat, mendengar, dan mencium urusan-urusan di alam barzakh. Apa pun yang engkau dengar tentang kegelapan, kengerian, dan tekanan di alam kubur, jika engkau samakan denga kengerian dan tekanan di dunia fana, jelaslah keliru. Ya Allah, tolonglah kami dan selamatkanlah diri kami dari bencana yang telah kami persiapkan sendiri dengan tangan-tangan kami. Siksa kubur, yang merupakan suatu model siksaan di akhirat dan menurut beberapa hadis, kita tidak akan dapat memperoleh syafaat dari para pemberi syafaat di alam barzakh-hanya Allahlah yang tahu siksaan seperti apa itu! Keadaan segenap urusan pada Hari Kebangkitan itu lebih buruk dan lebih mengerikan dibandingkan dengan yang pernah terjadi di dunia fana ini. Hari Kebangkitan merupakan masa disingkapkannya segala yang rahasia, masa teruujudnya segala yang benar, dan masa penjelmaan segala moral dan perbuatan. Hari Kebangkitan merupakan hari perhitungan dan hari aib. Begitulah Hari Kebangkitan!

Siksaan di Akhirat

Situasi dan kondisi neraka setelah Hari Kebangkitan juga sudah engkau ketahui. Maukah engkau mengetahui lebih jauh lagi tentang neraka? Siksaan di neraka tidak saja terbatas pada siksaan-siksaan api semata; sebuah pintu mengerikan akan terbuka bagi matamu, yang kalau dibuka bagi dunia fana, kengeriannya akan meluluhlantakkan segenap isinya. Pintu yang sama akan dibukakan bagi dagingmu, pintu yang lain bagi hidungmu, yang masing-masing akan cukup untuk membunuh para penghuni dunia fana. Salah seorang ahli pengetahuan tentang akhirat berkata bahwa sebagaimana panas neraka akan mencapai puncaknya, maka begitu pula dinginnya akan mencapai puncaknya. Allah Swt. sangat kuasa menghimpun dua puncak panas dan dingin tersebut. Itulah kengerian di akhirat.

Mengingat itu semua, makhluk yang awalnya terletak dalam kehampaan yang tidak berhingga; makhluk yang dari titik ini ia melangkah memasuki dunia keberadaan, yang semua tahap perkembangannya itu buruk dan tidak senonoh-alasan apa yang membuat ia berbangga diri dan angkuh? Jasa atau kemuliaan apa yang mem-

p: 111

buatnya sedemikian menyombongkan diri? Oleh karena itu, semakin bodoh seseorang dan semakin rusak atau lemah daya nalarnya, ia akan semakin membangga-banggakan dirinya. Dan semakin berilmu seseorang, yang jiwanya semakin luas dan semakin lapang dada ia, ia akan semakin rendah hati dan bersahaja.

Kerendahan Hati dan Kesahajaan Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw., yang ilmunya berasal dari wahyu Allah Swt., dan yang jiwanya sedemikian agung sehingga mengungguli jiwa berjuta-juta manusia, yang menolak semua praktik dan kebiasaan orang-orang kafir Arab, yang menginjak-injak semua keyakinan atau kepercayaan yang salah, menyempurnakan semua kitab suci dan rangkaian kenabian mencapai puncaknya dengan kehadirannya yang mulia; yang adalah penguasa dunia dan akhirat, dan juga penguasa seluruh alam, dengan izin Allah Swt., tetapi kerendahan hatinya terhadap makhluk-makhluk Allah melebihi kerendahan hati manusia mana pun. Beliau tidak suka melihat sahabat-sahabatnya berdiri dalam sikap hormat kepadanya. Apabila beliau memasuki suatu majelis, eliau biasa duduk di tempat yang paling rendah. Beliau biasa makan dan duduk di lantai serta berkata, “Aku adalah hamba sahaya Allah; aku makan seperti hamba sahaya dan duduk dalam sikap seorang hamba sahaya.” Diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa Rasulullah Saw. lebih suka mer.gendarai keledai yang tidak berpelana, lebih suka makan di tempat yang rendah bersama hamba sahaya, dan memberikan sedekah kepada pengemis dengan kedua tangan beliau sendiri. Pribadi yang suci itu biasa mengendarai keledai dan duduk di atas punggung keledai bersama seorang hamba sahaya atau beberapa orang. Disebutkan bahwa beliau biasa berbagi tugas-tugas rumah tangga dengan para anggota rumah, beliau biasa memerah domba, menjahit pakaiannya sendiri dan memperbaiki sepatunya sendiri, menggiling tepung, meramu adonan, dan membawa sendiri milikannya. Beliau suka bergaul dengan orang miskin dan biasa makan bersama mereka. Itulah, dan melebihi apa yang telah kita gambarkan, watak dan kesahajaan pribadi agung lagi mulia itu, meskipun selain menduduki peringkat spiritual yang tinggi, beliau juga memegang

p: 112

sepenuhnya otoritas kedaulatan temporal. Begitu pula hayat dan watak ‘Ali ibn Abi Thalib a.s., yang juga pengikut jalan Rasulullah Saw. dan akhlaknya sama dengan akhlak Rasulullah Saw.

Untuk Menyembuhkan Penyakit Sombong, Lawanlah kehendaknya

Sahabatku, kalau engkau membanggakan prestasi spiritualmu, mereka (Rasulullah dan Imam 'Ali) jauh melebihi kita dalam hubungan ini; dan jika kamu membanggakan jabatan dan wewenangmu, mereka memiliki kedaulatan yang sejati. Meskipun begitu, kerendahan hati dan kesahajaan mereka melebihi siapa pun. Ini menunjukkan bahwa kerendahan hati merupakan hasil dari pengetahuan dan kearifan, sedangkan kesombongan merupakan hasil dari kebodohan. Oleh karena itu, bebaskanlah dirimu dari noda dan kejinya kejahilan dan aibnya kepicikan pikiran; raihlah sifat-sifat para nabi dan campakkanlah kualitas-kualitas iblis. Jangan melawan Tuhanmu, dengan memakai pakaian kesombongan dan kemuliaan-Nya sebab kemurkaan-Nya akan melumatkan ia yang melawan-Nya dan ia akan jatuh tersungkur ke dalam api neraka. Kalau engkau berketetapan hati mau memperbaiki diri, jalan untuk itu juga mudah jika engkau sedikit tabah hati. Di jalan ini engkau tidak akan menemui bahaya kalau engkau bergerak dengan semangat baja, tidak picik dan lapang dada. Jalan satu-satunya untuk mengatasi diri jasmaniahmu dan menolak bisikan-bisikan iblis adalah melawan godaan-godaannya. Tidak ada jalan yang lebih baik untuk menundukkan kehendak-kehendak diri, selain meniru perilaku dan akhlak orang-orang yang bersahaja. Bagaimanapun kesombongan itu dan apa pun bidang ilmu yang engkau kuasai, hendaknya kau lawan kecenderungan dan kehendak diri. Dengan menyadari dan merenungkan konsekuensi-konsekuensi kesombongan di dunia dan di akhirat, semoga perjalananmu akan lebih mudah dan engkau akan mencapai tujuan yang dikehendaki. Jika dirimu menghendaki agar engkau menjadi ketua dalam pertemuan atau memimpin kawan-kawanmu atau orang-orang yang setara denganmu, hendaknya supaya engkau lawan kehendak dirimu itu. Kalau kedirianmu membujukmu agar tidak bergaul dengan orang miskin, tegurlah dirimu itu dengan keras dan lalu paksakan dirimu

p: 113

untuk mau bersama-sama mereka, makan dengan mereka, dan bepergian bersama mereka. Mungkin saja kedirianmu berusaha mencegahmu dengan mengatakan bahwa engkau adalah orang yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan bahwa perlulah menjaga kehormatan dan kemuliaanmu demi tegaknya syariat, bahwa duduk bersama orang miskin itu akan menggerogoti kehormatanmu di tengah-tengah masyarakat, bahwa bersenda gurau dengan orang bawahan itu akan merusak kekuasaanmu, bahwa duduk di tempat yang rendah dalam pertemuan-pertemuan itu akan memengaruhi statusmu dan kemudian engkau tidak akan dapat menunaikan kewajiban-kewajiban keagamaanmu dengan memadai ... dan seterusnya. Yakinlah bahwa semua itu hanyalah tipu daya iblis dan tipu muslihat hawa nafsu atau diri. Telah kamu baca dan dengar tentang akhlak Rasulullah Saw., yang kedudukannya di dunia ini sungguh berada jauh di atasmu. Di antara ulama pada masa kita, saya telah melihat seseorang yang memiliki kemuliaan yang besar di kalangan mazhab Syi'ah dan yang mengikuti jejak-jejak Rasulullah Saw. Guru mulia dan faqih terhormat, Hajj Syaikh 'Abdul Karim Ha'iri Yazdi, adalah seorang marja' (yang memiliki otoritas yuridis dalam mazhab Syi'ah) dari 1340 H 1921 M hingga 1355 H/1936 M. Kita semua telah menyaksikan kesahajaannya. Kalau bepergian, dia makan bersama pembantunya, duduk di lantai, dan melontarkan gurauan-gurauan dengan murid-murid yang sangat junior. Selama hari-hari terakhirnya, ketika dia sakit, dengan mengenakan selop dia biasa berjalan di jalan kecil setelah

matahari terbenam, tanpa mengenakan mantel dan serban, dan hanya melilitkan selembar kain di kepalanya. Di hati orang, tumbuh rasa hormat kepadanya dan tindak-tanduknya tidak menonjolkan maqâm-nya yang tinggi.

Di Qum ada alim-alim besar selain dia, yang baginya rintangan-rintangan iblis yang dibuat untuk kalian telah mereka lewati. Mereka biasa membeli sendiri bahan makanan dan barang-barang, mengambil air dari tempat-tempat air, dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Perlakuan mereka terhadap senior dan junior sama dan tidak membeda-bedakan antara orang-orang yang menempati peringkat di bawahnya. Perikemanusiaan dan kesahajaan mereka membuat

p: 114

orang terkagum-kagum dan rasa hormat orang kepada mereka tidak berkurang sedikit pun. Bahkan, orang semakin hormat kepada mereka. Bagaimanapun, sifat-sifat Rasulullah Saw. dan para Imam a.s. tidak mengecilkan arti orang. Namun, haruslah diwaspadai tipu muslihat diri apabila kita mau melawannya sebab diri akan berusaha menjeratmu dan menggunakan taktik-taktik lain untuk menundukkan maksud dan tujuanmu. Misalnya saja, kalau engkau melihat seseorang yang tidak menonjol dalam suatu majelis, tetapi ia bersikap seolah-olah ingin memberi tahu orang lain yang hadir dalam majelis itu bahwa kedudukannya sebenarnya lebih tinggi daripada mereka dan bahwa karena kerendahan hati dan kesahajaannyalah, maka ia tidak menonjol. Atau, misalnya, kalau ia menolak demi seseorang

yang belum jelas lebih tinggi kedudukannya darinya, ia akan memprioritaskan seseorang yang jelas-jelas kedudukannya lebih rendah, dengan demikian agar segera jelaslah bahwa ia menolak yang pertama disebabkan oleh kerendahan hatinya sendiri. Hal itu, dan beratus-ratus lainnya yang seperti itu, merupakan tipu muslihat diri, yang menambahkan riyâ' dan kemunafikan pada takabur, dan kalau orang tidak berketetapan hati untuk menundukkannya, ia tidak akan berhasil memperbaiki dirinya. Semua keburukan jiwa dapat diperbaiki, sedikit ketekunan diperlukan pada permulaannya. Setelah memasuki proses koreksi diri, segalanya menjadi lebih mudah. Yang utama adalah menyadari perlunya memperbaiki diri dan sadar dari kelengahan diri.

Yaqzhah (Sadar), sebagai Langkah Pertama

Tahap pertama kemanusiaan adalah yaqzhah. Yaqzhah adalah terjaga dari kelengahan dan keadaan fisik, dan kesadaran akan fakta bahwa manusia itu adalah musafir. Seperti musafir lainnya, ia juga memerlukan perbekalan untuk perjalanan itu. Satu-satunya cara untuk melakukan perjalanan yang berbahaya di jalan yang sempit lagi gelap ini, yang lebih tajam daripada mata pedang dan lebih tipis daripada rambut, adalah keberanian. Cahaya jalan itu adalah iman dan sifat-sifat baik-

nya. Kalau ia malas dan lengah serta menyerah kepada kelemahan, ia tidak akan mampu melewati jalan itu dengan selamat dan akan

p: 115

jatuh ke dalam neraka kehinaan dan ke dalam kebinasaan. Dan, siapa pun yang tidak dapat melewati jalan itu dengan selamat, ia juga tidak akan dapat melewati shirâth di akhirat. Saudaraku, jadilah pemberani, cabik-cabiklah tirai kejahilan dan selamatkanlah dirimu dari jurang mengerikan yang tidak terhingga dalamnya. ‘Ali a.s., penghulu para saleh, si penempuh jalan-jalan lelangit yang unik, dan pemandu yang sejati, biasa meneriakkan dengan keras sekali di masjid sehingga sampai terdengar di sekitarnya kalimat ini:

Bekalilah dirimu dan bersiaplah. Keberangkatanmu sudah dimaklumkan. Tidak ada persiapan yang lebih bermanfaat bagimu selain akhlak dan perbuatan yang baik, hati yang takwa, amal saleh, dan kesucian serta kebersihan suara hatimu. Jika, misalnya, imanmu belum teguh, harus kaubersihkan dirimu dari kekotoran-kekotoran ini sehingga rahmat Allah akan menempatkanmu di antara hamba-hamba Allah yang saleh. Hanya api tobatlah yang akan membersihkan kekotoran-kekotoran tersebut, apabila diri terlebur dalam penyesalan diri melalui keberpalingan kepada Allah. Sekarang, leburlah dirimu di dunia ini; kalau tidak, hanya Allahlah yang mengetahui berapa abad akhirat-kah yang diperlukan untuk membersihkan jiwamu dalam dapur api siksaan Ilahi dan dengan suatu api yang disebut-sebut:

«نَارُ اللَّهِ الْمُوقَدَةُ » «الَّتِی تَطَّلِعُ عَلَی الْأَفْئِدَةِ »

Adalah api Allah, yang menyala, yang menyelubungi hati. (QS Al-Humazah (104]: 6-7)

Jauh lebih mudah membersihkan diri di dunia ini sebab terjadi perubahan-perubahan dengan cepat di dunia ini; tetapi di akhirat proses perubahan akan berlangsung lama dan diperlukan waktu beberapa abad untuk menyirnakan satu sifat jiwa yang buruk Oleh karena itu, wahai Saudaraku, berusahalah memperbaiki

diri selama hayat masih dikandung badan, selama masih muda, selama masih bertenaga, dan selama masih memiliki kemerdekaan. Janganlah sekali-kali kamu perhatikan kemuliaan duniawi ini. Injak-injaklah khayalan seperti itu dengan kakimu. Engkaulah putra Adam a.s., maka bebaskanlah dirimu dari perilaku iblis. Barangkali iblis merasa

p: 116

lebih senang kalau melihat keburukan tersebut, yang merupakan wataknya sendiri dan yang karenanya ia diusir dari istana Allah Swt., juga dimiliki semua orang, yang arif maupun yang awam, yang alim maupun yang buta huruf, dan kalau mereka berada dalam pelukannya.

Kemudian, kalau engkau bertemu dengannya di akhirat, sementara engkau memiliki keburukan tersebut, ia pun akan mendampratmu mengapa engkau memiliki keburukan itu. Kepadamu iblis akan mengatakan, “Wahai putra Adam! Bukankah para nabi pernah memberitahumu bahwa keangkuhanku kepada ayahmu membuatku terusir dari istana yang Mahakuasa? Aku telah dikutuk karena aku menghina Adam dan menyombongkan diri. Mengapa kau membiarkan dirimu

mengidap keburukan ini?" Pada waktu itu, engkau, makhluk yang celaka, selain menerima kehinaan dan siksaan, selain menyesali diri, juga akan menerima dampratan makhluk yang paling celaka dan paling hina (yaitu iblis-penerj.). Kesalahan iblis bukanlah karena sombong terhadap Allah, tetapi karena sombong terhadap makhluk Allah dan berkata kepada-Nya:

«قَالَ مَا مَنَعَکَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُکَ قَالَ أَنَا خَیْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِی مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِینٍ

... Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan manusia dari lempung. (QS Al-A'râf (7): 12).

Dengan cara demikian, ia mengagungkan dirinya sendiri dan memandang rendah terhadap Adam a.s. Kalau engkau memandang rendah kepada keturunan Adam dan mengagungkan diri, berarti engkau membangkang terhadap perintah-perintah Allah; sebab Allah telah memerintahkan makhluk-makhluk-Nya agar bersikap bersahaja dan rendah hati terhadap manusia lainnya. Kalau engkau memperlakukan orang dengan sikap menghina atau merendahkan, mengapa yang kau kutuk hanya iblis? Mengapa tidak engkau kutuk juga dirimu yang buruk itu, bukankah dirimu juga memiliki keburukan yang juga dimiliki iblis; barangkali di alam barzakh dan pada Hari Kebangkitan penampilannya akan merupakan penampilan iblis. Kriteria bentuk manusia di akhirat adalah kualitas-kualitas spiritualnya. Mungkin saja engkau akan mendapat bentuk iblis maupun semut. Kriteria di akhirat berbeda dengan kriteria di dunia ini.

p: 117

Kekejian-Kekejian Diri yang Samar

Kadang-kadang ada seseorang yang tidak memiliki kelebihan tertentu bersikap sombong terhadap orang yang memiliki kelebihan itu, seperti ketika seorang miskin bersikap sombong terhadap seorang kaya, atau ketika seorang yang bodoh bersikap sombong terhadap seorang berilmu. Perlu diingat bahwa, seperti halnya 'ujb, kadang-kadang menjadi sumber kesombongan, kecemburuan (hasad), juga bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan tertentu yang dimiliki orang lain; lalu ia

merasa cemburu kepadanya, dan ini menjadi penyebab kesombongan terhadap orang lain, yang ia berusaha mencaci-makinya sedapat mungkin.

Dalam Al-Kâſî, diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa Imam berkata, "Kesombongan terdapat pada sekeji-kejinya manusia, dari golongan mana pun ia itu." Kemudian Imam menambahkan, “Pada suatu kali Rasul Saw. melewati jalan-jalan di Madinah. Rasul bertemu seorang perempuan negro sedang mengumpulkan rabuk. Perempuan itu diminta menepi dar memberikan jalan kepada Rasul Saw. Perempuan itu menyahut bahwa jalannya cukup lebar. Salah seorang yang

menyertai Rasul Saw. mencoba mengancamnya, tetapi Rasul Saw, melarangnya berbuat demikian, dengan mengatakan, 'Biarkan dia, dia itu seorang perempuan yang sombong.'

Kadang-kadang perilaku yang keji tersebut terlihat dimiliki beberapa orang alim, yang berdalih bahwa bersikap rendah hati terhadap orang kaya itu bukanlah kebajikan. Diri mereka yang keji itu membuat mereka percaya bahwa bersikap rendah hati terhadap orang kaya itu memperlemah keimanan. Orang yang malang ini tidak dapat membedakan antara bersikap rendah hati terhadap kekayaan dan bersikap rendah hati terhadap orang kaya dan orang lain. Memang, kadang-kadang cinta dunia dan ambisi akan kemuliaan dan kehormatan duniawi membuat orang mengambil sikap bersahaja dan rendah hati. Ini tidak dapat dianggap sebagai bersahaja dan rendah hati. Ini adalah mencari muka dan dipandang sebagai kekejian moral. Orang yang berperilaku seperti itu tidak menunjukkan sikap rendah

hati terhadap orang miskin, kecuali kalau kepentingan dirinya membutuhkannya atau kalau ia menggunakannya sebagai umpan.

p: 118

Namun, betul juga bahwa kebajikan kerendahhatian manusia mengajak manusia untuk bersikap bersahaja dan rendah hati terhadap orang lain, tak soal apakah mereka itu kaya atau miskin, apakah kondisinya menimbulkan iri hati atau tidak. Yakni, kesahajaan dan kerendahan hati mereka itu tulus dan mumi. Jiwa mereka bersih dan tidak ternoda oleh kecintaan akan popularitas dalam masyarakat dan akan kehormatan, yang tidak menarik hati mereka. Kerendahan hati dan kesahajaan semacam itu terjadi bukan disebabkan engkau mencari muka, melainkan engkau merasa iri hati, sedangkan engkau tidak memahami hal itu. Kalau orang kaya itu tiba-tiba secara tak diduga-duga menunjukkan rasa hormatnya kepadamu, engkau menjadi rendah hati dan bersahaja terhadapnya. Jerat dan lipu muslihat diri itu sedemikian samarnya sehingga orang tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berlindung kepada Allah. Wa al-hamdulillah awwalan wa akhiran

(Dan segala puji bagi Allah, pada awal dan akhirnya). []

p: 119

5 Hadis tentang Hasad

Point

السّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب عن علیّ بن إبراهیم، عن محمّد بن عیسی، عن یونس، عن داود الرّقّی، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: قال الله عزّ و جلّ لموسی بن عمران: یا ابن عمران لا تحسدنّ النّاس علی ما آتیتهم من فضلی، و لا تمدّنّ عینیک إلی ذلک، و لا تتبعه نفسک، فإنّ الحاسد ساخط لنعمی صادّ لقسمی الّذی قسمت بین عبادی و من یک کذلک فلست منه و لیس منّی.

... Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini), dari 'Ali ibn Ibrahim, dari Muhammad ibn 'Isa, dari Yunus, dari Daud Al-Raqqi, yang meriwayatkan dari Abu ´Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq a.s.) bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman kepada Musa ibn Imran, “Hai putra Imran, janganlah sekali-kali engkau dengki

kepada manusia karena karunia yang Aku anugerahkan kepada mereka dan janganlah kauarahkan pandanganmu pada hal itu, serta janganlah kauturuti perasaan dengki itu. Sesungguhnya orang yang dengki berarti jengkel kepada nikmat-Ku dan menggugat pembagian anugerah yang Aku tetapkan di antara hamba-hamba-

Ku. Barang siapa berlaku demikian, Aku tidak berhubungan dengannya dan dia tidak pula berhubungan dengan-Ku.(1)

Definisi Hasad

Hasad atau iri hati adalah keadaan psikis seseorang yang menginginkan hilangnya suatu karunia atau kesempurnaan yang ia anggap dimiliki oleh orang lain, baik orang yang hasad ini memilikinya ataupun tidak dan baik ia menginginkannya untuk dirinya sendiri ataupun tidak. Jelas, hasad berbeda dengan ghibthah, lantaran orang yang ghibthah menginginkan karunia atau kesempurnaan yang ada pada

p: 120


1- 1. Ushûl Al-Kâfi (diterbitkan oleh Intisharat-e 'Ilmiyyah, teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Haji Sayyid Mushthafawi), Vol. III, h. 418.

orang lain untuk dirinya sendiri tanpa mengharap hilangnya kebaikan itu dari orang lain. Ungkapan “yang ia anggap ada pada orang lain" digunakan di sini karena karunia dan kesempurnaan itu belum tentu benar-benar karunia dan kesempurnaan. Terbukti, banyak hal yang sebenarnya merupakan kekurangan dan kehinaan, dianggap oleh orang yang iri hati sebagai karunia dan kesempurnaan sehingga ia mengharap semua itu hilang dari orang lain. Atau boleh jadi terdapat sifat yang

sebenarnya merupakan kekurangan buat manusia dan kesempurnaan buat binatang, tetapi karena si penghasad berada dalam tingkat kebinatangan (belum menjadi manusia—penerj.), ia melihatnya sebagai kesempurnaan dan mengharapkannya hilang dari orang lain. Sebagai contoh, ada sejumlah orang yang mengira bahwa menganiaya dan membunuh orang tak berdosa sebagai bakat baik, sehingga bila si penghasad melihat kemampuan itu pada orang lain, ia menjadi iri hati dan mengharapkannya hilang dari orang lain. Sebagian orang ada yang iri terhadap ketajaman lidah (untuk memaki) karena mengira hal itu sebagai kesempurnaan. Jadi, ukuran untuk mengenali hasad adalah anggapan atau sangkaan adanya kesempurnaan atau karunia pada orang lain-meskipun kesempurnaan atau karunia ang dianggapnya itu belum tentu hakiki—dan keinginan si penghasad agar kesempurnaan atau karunia itu hilang dari orang lain.

Ketahuilah bahwa ada banyak jenis dan tingkat hasad yang bersumber dari keadaan orang yang dihasadi (mahsûd), penghasad (hâsid), dan esensi hasad itu sendiri. Adapun dari sudut orang yang terkena hasad (mahsûd), ada yang karena ia memiliki sejumlah kelebihan intelektual, watak yang terpuji, perbuatan baik dan ibadah, atau hal-hal eksternal seperti harta, jabatan, kewibawaan, keanggunan, dan sebagainya. Atau orang yang terkena hasad ini sebenarnya justru memiliki

lawan dari hal-hal di atas, yakni sejumlah kesempurnaan khayalan yang tidak hakiki. Adapun dari sudut hasadnya, ada banyak derajat dan pembagiaan berkenaan dengannya selain dari yang telah disebutkan. Keintensifan dan kehalusan hasad bertingkat-tingkat dan berbeda-beda bergantung pada sebab-sebabnya dan efek-efeknya. Manakala

p: 121

kita berbicara tentang keburukan-keburukan hasad, hal-hal ini akan kita singgung semampunya, dan kepada Allah aku memohon taufik.

Sebab-Sebab Hasad

Ada banyak sebab hasad yang sebagian besar berasal dari rasa rendah diri (minder), persis sebagaimana takabur berasal dari rasa tinggi diri. Sebagaimana ketika seseorang menganggap dirinya memiliki kesempurnaan yang tak dimiliki oleh orang lain timbul rasa tinggi, kuasa, agung, dan mulia pada dirinya sehingga ia bertakabur. Demikian pula kalau ia melihat ada kesempurnaan pada orang lain, ia merasa rendah diri dan putus asa. Dan kalau bukan karena faktor-faktor eksternal

dan kelayakan psikis pada orang yang memiliki kesempurnaan itu, akan timbul perasaan dengki dalam hati orang yang melihatnya. Kadang kala ia merasa kesal kepada seseorang yang juga memiliki kelebihan yang dimilikinya, seperti ket ika seseorang melihat kelebihan pada orang yang setingkat atau lebih rendah daripada dirinya. Maka, dapat dikatakan bahwa dengki adalah kekerdilan jiwa dan kerendahan diri yang terwujud dalam bentuk keinginan akan musnahnya atau hilangnya kelebihan atau keberuntungan orang lain. Oleh karenanya, sebagian ulama, seperti 'Allamah Al-Majlisi, membatasi sebab-sebab dengki pada tujuh hal berikut ini:

(1) Rasa permusuhan.

(2) Perasaan akan kelebihan diri sendiri: Bisa jadi orang yang dengki dapat merasakan kebanggaan dari orang yang menjadi sasaran dengki itu karena kelebihan dan keberuntungan yang ia miliki. Karena tidak tahan melihat kebanggaan itu, ia lalu sangat menginginkan hilangnya kelebihan dan keberuntungan itu.

(3) Takabur (kesombongan): Orang yang dengki bersikap angkuh terhadap orang yang dianugerahi kelebihan atau karunia tertentu.

(4) Ujub: Orang yang dengki merasa heran melihat karunia besar yang dimiliki orang yang menjadi sasaran kedengkiannya. Allah Swt. mengisahkan bangsa-bangsa terdahulu ketika mereka berkata kepada para nabi:

p: 122

« قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِیدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا کَانَ یَعْبُدُ آبَاؤُنَا فَأْتُونَا بِسُلْطَانٍ مُبِینٍ (10)»

Engkau tidak lain adalah manusia seperti kami. (QS İbrâhîm (141: 10)

«فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَیْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ (47)»

Dan mereka berkata, “Akankah kami beriman kepada dua manusia seperti kami?” (QS Al-Mu'minûn (23): 47)

Mereka heran bagaimana seorang manusia seperti mereka dapat meraih kedudukan tinggi kenabian dan diberi wahyu oleh Allah. Keheranan itu membawa mereka untuk merasa dengki kepadanya.

(5) Takut: Orang yang dengki merasa khawatir akan adanya gangguan tertentu dari pihak orang yang memiliki kelebihan atau keberuntungan. Ia takut semua itu dapat menghalangi tujuan dan sasaran yang ingin dicapainya.

(6) Cinta kekuasaan: Hal ini menjadi sebab dengki ketika dipegang atau dipertahankannya kekuasaan atas orang lain menghendaki agar tidak seorang pun memiliki kelebihan atau keberuntungan yang ia miliki.

(7) Watak jahat: Orang yang berwatak jahat tidak suka melihat orang lain memiliki kebaikan apa pun.

Dalam pandangan saya, kebanyakan, atau agaknya semua sebab tersebut, berasal dari perasaan rendah diri. Akan tetapi, membahas masing-masing sebab di atas kiranya tidak akan begitu relevan dengan maksud kajian kita saat ini.

Keburukan-Keburukan Hasad

Hasad itu sendiri merupakan salah satu penyakit hati yang merusak. Darinya, lahir banyak penyakit hati lain, seperti takabur dan rusaknya amal perbuatan. Masing-masing dari akibat hasad ini adalah petaka dan sebab efektif bagi kehancuran manusia. Di sini, saya akan membahas sebagian kecil keburukan hasad yang jelas dan yang saya ketahui. Dalam dua hadis sahih, Imam Al-Shadiq a.s. dan Imam Al-Baqir a.s. memberitahukan kepada kita tentang akibat-akibat buruk hasad:

Mu'awiyah ibn Wahhab meriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Hasad, ujub, dan kesombongan adalah racun bagi agama.(1)

p: 123


1- 2. Ibid., h. 418.

Muhammad ibn Muslim meriwayatkan bahwa Imam Al-Baqir a.s. berkata, “Seseorang dapat dimaafkan karena sesuatu yang dilakukan dalam keadaan marah. Namun, dengki dapat melahap keimanan sebagaimana api memakan kayu.(1)

Telah diketahui bersama bahwa iman adalah cahaya Ilahiah yang menerangi hati manusia dengan cahaya kemuliaan-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi berikut:

“Luasnya bumi-Ku maupun langit-Ku tidak akan dapat memuatKu. Hati seorang Mukminlah yang dapat."

Cahaya ruhaniah dan percikan Ilahiah yang menjadikan hati manusia lebih agung daripada hal-hal lain di dunia ini tidak akan seiring sejalan dengan kegelapan dan kesempitan yang dimaujudkan di dalamnya oleh keburukan yang mengerikan itu. Sifat mengerikan tersebut membuat hati manusia begitu sempit dan resah yang akibat-nya menjadi nyata di sepanjang alam batiniah dan alam lahiriah. Hati menjadi pedih dan tertekan, dada menjadi sempit dan terasa tercekik, dan wajah menjadi suram dan masam. Keadaan tersebut dapat memadamkan cahaya iman dan mematikan hati manusia. Makin kuat sifat itu, ia makin mengurangi terangnya hati. Semua sifat batiniah dan lahiriah dalam keimanan dihilangkan oleh akibat-akibat dengki yang terwujud di dalam dan di luar kepribadian seseorang.

Manusia yang beriman bersifat optimis dan memiliki sikap penuh harap kepada Tuhan dan merasa puas atas cara Allah membagi dan menetapkan anugerah-Nya di antara makhluk-Nya. Orang yang dengki merasa tidak rela kepada Tuhan dan marah pada nasib yang ditetapkan oleh-Nya. Seperti disebutkan dalam hadis, orang yang beriman tidak akan dengki terhadap Mukmin yang lain; ia cinta kepada mereka, sementara orang yang dengki bertindak dengan cara yang sebaliknya.

Mukmin sejati tidak dikuasai oleh kecintaan pada hal-hal duniawi, sementara orang yang dengki dijangkiti oleh kejahatan karena kecintaannya kepada dunia. Seorang Mukmin tidak memiliki rasa takut dan kesedihan apa pun di dalam hatinya, selain rasa takut pada hal yang berhubungan dengan Sumber dan Tujuan Puncak segala makhluk.

p: 124


1- 3. Ibid., h. 416.

Namun, takut dan sedihnya orang yang dengki berkisar di sekitar orang yang dicemburuinya. Orang Mukmin mempunyai raut muka yang berseri-seri, yang menggambarkan wataknya yang menyenangkan. Orang yang dengki mempunyai wajah suram dan air muka yang masam. Orang Mukmin bersikap rendah hati dan (sering kali) tidak sombong ataupun dengki.

Dengki itu merusak keimanan seperti api membakar kayu. Jadi, tidak ada keraguan sama sekali tentang bahaya kejahatan tersebut yang merampas keimanan manusia. Padahal, keimanan adalah sumber keselamatannya di akhirat dan di dalam kehidupan serta merupakan kekuatan bagi hatinya, dan kejahatan tersebut juga menjadikannya sebagai insan malang yang tak berdaya.

Kejahatan besar yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dengki itu adalah kebencian kepada Sang Pencipta dan Yang Maha Pengasih serta kejengkelan terhadap ketetapan-Nya. Karena tidak dapat lagi melihat, disebabkan oleh tabir gelap nafsu jasmani, ketenggelaman kita dalam dunia indriawi telah membutakan mata dan menulikan telinga. Kita tidak sadar bahwa kita sedang marah kepada Raja dari semua raja, juga tidak tahu tentang apa bentuk yang akan diraih oleh kemarahan dan dendam kita sebagai akibat dari kejahatan itu di alam yang akan datang, alam abadi kita. Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Barang siapa berbuat demikian, ia bukan dari aku dan aku bukan pula darinya.” Namun, kita tidak tahu tentang kemalangan akibat penolakan Tuhan atas kita dan akibat apa yang akan menimpa kita karena kejijikan-Nya kepada kita. Orang yang terusir dari lingkungan wilayah (penjagaan)-Nya dan tidak diterima di bawah standar rahmat dari yang Maha Pengasih, tidak ada harapan lagi bagi keselamatannya. Ia tidak akan dapat menerima syafaat dari si pemberi syafaat, ... siapa yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya? (QS Al-Baqarah [2]: 255). Siapa yang akan berlaku sebagai penolong bagi orang yang murka dan dendam kepada Tuhan, yang berada di luar batas wilayah-Nya, dan yang ikatan cintanya antara ia dan Tuhannya telah terputus? Celaka bagi kita karena malapetaka yang kita undang bagi diri kita sendiri! Walaupun semua peringatan dan rambu-rambu sudah diteriakkan oleh para nabi Allah untuk membangunkan

p: 125

kita dari tidur, toh yang tumbuh hari demi hari hanyalah kelalaian dan kemalangan kita.

Siksa Kubur

Menurut ulama, siksa kubur dan kegelapan di dalamnya adalah salah satu akibat buruk dari kejahatan dengki. Mereka berpendapat bahwa pelaku kejahatan tersebut, dengan kegelapan dan ketegangan ruhaniah yang berkaitan dengannya, mendapat tekanan dan kegelapan di dalam kubur dan di alam barzakh. Keadaan seseorang di dalam kubur bergantung pada kelapangan hati dan kesempitannya. Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan pernah berkata bahwa Nabi Saw. pergi menghadiri pemakaman Saʻad. Sementara tujuh puluh ribu malaikat mengikuti upacara pemakaman itu, Nabi Saw. menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Adakah setiap orang mengalami impitan (kubur) seperti yang dialami Sa'ad?” Periwayat hadis tersebut berkata kepada sang Imam, “Demi dirimu, kami dengar bahwa Sa'ad tidak berhati-hati dalam bersuci (thaharah) ketika ia buang air kecil.” Imam berkata, “Na'udzu billah, kesalahannya hanyalah karena ia kasar perlakuannya terhadap anggota keluarganya ...." Kegelapan, kesempitan, ketegangan, dan kesesakan yang timbul dalam hati seseorang akibat keburukan dengki tidak mungkin terjadi pada kejahatan moral lainnya. Bagaimanapun, orang yang memiliki sifat dengki akan menderita siksaan dalam hidup ini, lalu kegelapan

dan kesesakan akan menekannya di dalam kubur, dan akhirnya akan membuatnya tidak berdaya dan sedih di alam akhirat. Semua itu adalah akibat-akibat buruk dengki semata-mata. Dengki yang belum menimbulkan kejahatan lain apa pun atau mendorong perilaku buruk apa pun. Namun, jarang sekali dengki tidak menimbulkan penderita- an dan keburukan yang lain. Dengki sering melahirkan banyak kejahatan moral lain, seperti congkak, sebagaimana telah disebutkan,

dan dosa-dosa lain, seperti umpatan, kekejaman, penganiayaan, dan lain sebagainya, yang semuanya merupakan dosa yang sangat mengerikan.

Dengan demikian, perlu sekali bagi orang yang bijak untuk memutuskan dengan segera dan berusaha membuang hal yang memalu-

p: 126

kan dan hina tersebut, melindungi imannya dari nyala api dengki dan bencananya. Ia mesti melepaskan dirinya dari penderitaan mental dan kesempitan pikiran, yang merupakan siksaan yang melekat sepanjang hidup di dunia ini, yang diikuti oleh kesedihan dan kegelapan di alam kubur dan di alam barzakh, dan yang mendatangkan murka Tuhan. Harus dipikirkan bahwa suatu penyakit yang memiliki begitu banyak kerugian perlu segera diobati. Kedengkian tidak merugikan

orang yang menjadi objek dengki itu. Ia tidak membuat orang itu kehilangan anugerah dan kelebihan tadi. Mungkin malah memberinya kepuasan tertentu, di dunia ini maupun di akhirat, untuk melihat penderitaan orang yang dengki kepadanya dan yang merupakan musuhnya. Sementara ia terus memiliki keberuntungan yang membuatmu sedih, ia mendapat lagi keberuntungan yang lain. Dan, apabila engkau jatuhkan rasa dengki lagi kepadanya untuk kedua kalinya, hal itu akan melipatgandakan penderitaan dan siksaanmu, yang juga akan menjadi kenikmatan baginya, dan seterusnya. Oleh karenanya, engkau akan terus berada dalam kesedihan, kesakitan, dan penderitaan, serta ia dalam keadaan bahagia, senang, dan gembira. Di akhirat juga, kedengkianmu akan menguntungkannya, apalagi jika kedengkian itu memuncak dalam bentuk fitnah dan umpatan, dan perilaku kedengkian lain semacamnya karena amal baikmu akan diberikan kepadanya. Engkau akan sama sekali jatuh ke lembah kemelaratan dan ia akan menikmati karunia dan kemuliaan. Apabila engkau mempertimbangkan masalah tersebut sejenak saja, tentu engkau akan membersihkan dirimu dari kejahatan dengki tersebut dan melindungi jiwamu dari akibat-akibat buruknya.

Jangan anggap bahwa kejahatan jiwa, moral, dan ruhaniah tidak dapat disembuhkan. Itu adalah gagasan keliru yang dibisikkan kepadamu oleh iblis dan nafsu jasmaniahmu, yang ingin menghalangimu dari menempuh jalan akhirat dan untuk mematahkan usahamu dalam mengoreksi dirimu. Selama manusia berada di alam transisi dan perubahan, masih mungkin baginya untuk mengubah semua sifat dan karakter moralnya. Betapapun kuat kebiasannya, selama ia masih hidup di dunia ini, ia dapat menghentikannya. Persoalannya hanyalah

p: 127

bahwa upaya yang diperlukan untuk membuang itu semua berbeda-beda sesuai dengan derajat kekuatan dan intensitasnya. Kebiasaan buruk pada tahap awal pembentukannya, tentu saja, hanya memerlukan sedikit disiplin diri dan upaya yang kecil untuk membongkarnya. Itu seperti menumbangkan tumbuhan muda yang belum menancapkan akar-akarnya secara kuat ke dalam tanah. Namun, apabila sifat itu sudah berakar kuat di dalam watak manusia, menjadi bagian dari hiasan ruhaninya, ia tidak dengan mudah dapat ditumbangkan. Itu memerlukan upaya yang lebih besar, seperti pohon yang telah berumur tua dan telah menancapkan akar-akarnya dengan kuat kedalam tanah, ia tidak dapat dengan mudah dirubuhkan. Semakin engkau menangguhkan keputusan untuk mencabut kejahatan hati,

makin banyak waktu dan upaya yang diperlukan. Sahabatku, pertama sekali jangan biarkan kejahatan moral, kebiasaan buruk, dan perilaku jahat memasuki dunia batiniah dan lahiriahmu. Tugas ini jauh lebih mudah daripada mengeluarkannya setelah ia masuk, setelah ia mengukuhkan dirinya, dan setelah mulai tumbuh subur. Dan, apabila ia telah masuk, semakin engkau tunda tindakan untuk mengeluarkannya, makin banyak waktu dan usaha yang diperlukan dan sementara itu ia akan merusak fakultas batinmu. Syaikh kami yang agung, arif yang cerdik, Syahabadi-semoga jiwaku menjadi tebusan baginya-senantiasa berkata bahwa lebih baik

mengambil tindakan melawan kejahatan moral ketika masih muda dan ketika kekuatan serta semangat masih ada. Pada tahap itu orang dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai manusia dengan cara yang lebih baik. Seseorang seharusnya tidak membiarkan dirinya menunda sampai kekuatan dirinya memudar; karena akan menjadi lebih sulit untuk mencapai keberhasilan dalam hal ini jika usia tua menjelang. Walaupun, barangkali seseorang berhasil, upaya yang diperlukan untuk memperbaikinya jauh lebih besar. Maka, apabila seorang yang bijak memikirkan akibat buruk dari segala sesuatu dan sadar bahwa ia tidak dijangkiti olehnya, niscaya ia tidak memasukkan dirinya ke dalamnya dan tidak membiarkannya mencemari dirinya. Dan apabila, na'ûdzu billah, ia terjangkiti, ia berusaha membuangnya dan berusaha mengoreksi dirinya sesegera mungkin, tidak membiarkan sampai keburukan tersebut mengukuh-

p: 128

kan akar-akarnya. Apabila, na'ûdzu billah, keburukan itu mulai berakar, ia melakukan segala macam usaha untuk mencabutnya guna menghindarkan akibat buruknya di alam barzakh dan di akhirat. Apabila ia dipindahkan dari dunia perubahan materiil ini dalam keadaan menderita, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Celakalah manusia yang seperti itu karena diperlukan waktu berabad-abad di alam barzakh dan akhirat untuk mengubah satu karakter moral. Dalam sebuah hadis, Rasul yang mulia Saw. diriwayatkan pernah bersabda bahwa semua penghuni surga ataupun penghuni neraka dimasukkan ke sana (surga atau neraka-peny.) sesuai dengan niat dan tujuannya. Niat yang jelek, yang berasal dari akhlak yang jelek, akan selalu ada, kecuali jika sumber dan asal-usulnya sudah dimus-

nahkan. Di alam sana, sifat-sifat manusia akan memanifestasikan dirinya dengan suatu kekuatan dan intensitas sedemikian sehingga tidak mungkin baginya untuk musnah sama sekali, dan karena itulah seseorang senantiasa tinggal di neraka, atau adalah mungkin untuk membersihkannya melalui siksaan, penderitaan, dan nyala api, yang karena itulah diperlukan waktu beberapa abad akhirat. Maka, wahai manusia yang bijak, jangan biarkan satu kejahatan yang dapat dimusnahkan

dengan sedikit usaha, sebulan atau setahun dua tahun, dan yang untuk memusnahkannya sepenuhnya kamu mampu, akhirnya bertengger dan menyebabkan kesusahan dunia dan akhirat, dan menghancurkanmu.

Sumber Kerusakan Moral

Telah disebutkan sebelumnya bahwa iman, yang merupakan kenikmatan dan keberuntungan jiwa, berbeda dengan pengetahuan, yang merupakan kesenangan dan kepuasan akal. Semua kerusakan moral dan perilaku terjadi akibat ketiadaan iman di dalam hati, yakni apa saja yang dipahami oleh nalar dan akal melalui bukti rasional atau riwayat para nabi gagal memasuki hati, dan hati tidak memahami kebenarannya. Salah satu doktrin yang dikukuhkan oleh setiap ‘ârif, hâkim, mutakallim (teolog), maupun orang awam dan ahli hukum, dan dianggapnya sebagai kepastian, adalah bahwa apa pun yang menjadi ada karena goresan Pena Sang Pencipta Yang Mahabijak, dari

p: 129

sudut pandang makhluk dan kesempurnaan pembagian rezeki di antara makhluk-makhluk dan pengaturan ketetapan-ketetapan segala sesuatu yang hidup, menunjukkan sepenuhnya keindahan rancangan dan kesempurnaan sistem yang paling selaras dengan sumum bonum semua makhluk dan sistem yang paling lengkap dan sempurna. Namun, tiap-tiap dari mereka mengungkapkan kemurahan Tuhan dan kebijakan mutlak-Nya dalam bahasa khasnya sendiri dan sesuai

dengan terminologi disiplinnya. Si ârif berkata, “Ini adalah bayangan dari Sang Pemilik Keindahan Mutlak.” Si hâkim berkata, “Sistem dari dunia yang nyata ini adalah sesuai dengan sebuah skema ilmiah yang bebas dari semua kecacatan dan keburukan, yang dianggap sebagai buruk dalam hal-hal tertentu tidak lain adalah cara makhluk dalam mencapai derajat kesempurnaan yang layak bagi mereka." Si mutakallim dan ahli hukum percaya bahwa perbuatan Tuhan didasarkan pada

kebijakan dan kebaikan umum serta akal manusia yang terbatas tidak mampu memahami kebaikan yang lebih tinggi yang tersembunyi dalam ketentuan Tuhan. Semua menganut gagasan ini dan semua mengajukan argumen untuk mendukungnya menurut pengetahuan dan kecerdasannya sendiri. Namun, karena tidak keluar dari kata-kata dan belum masuk ke hati, suara-suara protes dan keberatan tetap terdengar, dan orang itu, karena tidak memiliki iman, menentang kata-katanya dan menyangkal argumen-argumennya sendiri. Kejahatan moral juga berasal dari kelemahan iman ini. Orang yang merasa cemburu terhadap orang lain dan menginginkan hilangnya sesuatu yang dimiliki oleh orang lain itu dan menyimpan kedengkian di dalam hatinya terhadap orang yang memiliki sesuatu itu, seharus-

nya mengetahui bahwa ia tidak percaya bahwa ia ingin agar Allah Swt. tidak menganugerahkan kepadanya karunia itu. Pemahaman kita yang terbatas ternyata gagal untuk memahami kebijakan dari ketentuan-ketentuan-Nya. Ia mesti sadar bahwa ia sebenarnya tidak yakin akan keadilan Tuhar. dan keadilan dalam pembagian-Nya. Secara lisan, ia dapat menyatakan keyakinannya pada doktrin keadilan Tuhan. Namun, pernyataannya hanya berupa kata-kata belaka; karena keya.

kinan pada keadilan Tuhan bertentangan dengan kedengkian. Apabila engkau menganggap-Nya adil, anggaplah bahwa ketetapan-Nya juga adil sebab hadis dengan jelas mengatakan bahwa orang yang

p: 130

dengki berarti murka terhadap pembagian rezeki Allah Swt. kepada makhluk-makhluk-Nya dan jengkel kepada anugerah yang diberikan oleh-Nya. Sesuai dengan naluri Ilahiah yang melekat padanya, manusia pada dasarnya mencintai keadilan. Penghormatan pada keadilan, kebencian serta penentangan pada kezaliman, berakar di dalam fitrahnya. Namun, apabila tampak sikap yang berlawanan, itu karena adanya kerusakan pada dasar pendapatnya. Apabila ia jengkel terhadap keuntungan yang dimiliki orang lain dan tidak senang dengan pembagian rezeki Allah, itu karena kenyataan bahwa ia tidak menganggap pembagian itu adil, tetapi, na'ûdzu billâh, menganggapnya tidak adil dan kejam. Ini bukan karena ia menganggap pembagian Ilahi sebagai adil dan lalu ia benci kepadanya. Bukan karena ia menganggap rencana Tuhan sebagai sebuah sistem yang sempurna dan mutlak baik dan karenanya ia tidak merasa puas. Aduhai, iman kita tidak sempurna dan bukti-bukti intelektual tidak melampaui batas-batas nalar dan akal sehingga dapat memasuki alam hati. Iman bukanlah (semata-mata) masalah ucapan. Ia bukan hanya membaca, berdiskusi, atau mengutip orang lain; iman membutuhkan keikhlasan niat. Orang yang mencari Tuhan akan berhasil menemukan-Nya. Mereka

yang tertarik pada makrifat Allah, mencarinya:

«وَمَنْ کَانَ فِی هَذِهِ أَعْمَی فَهُوَ فِی الْآخِرَةِ أَعْمَی وَأَضَلُّ سَبِیلًا (72)»

Barang siapa buta di dunia ini, ia akan buta di akhirat, dan akan jauh menyimpang dari jalan yang benar. (QS Al-Isra' [17): 72)

«..... وَمَنْ لَمْ یَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40)»

... dan siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidak akan ada cahaya baginya. (QS Al-Nûr (24): 40)

Obat Praktis untuk Hasad

Selain pengobatan teoretis yang telah disebutkan di atas, ada pula obat praktis bagi kejahatan yang mengerikan ini. Di antaranya, berusahalah dengan sungguh-sungguh untuk mengasihi orang yang engkau cemburui. Tujuan dari menampakkan kasih sayangmu adalah untuk mengobati dirimu dari penyakit batin tersebut. Jiwa batiniahmu akan mendorongmu untuk menyakiti dan memfitnahnya. Jiwa itu akan memaksamu untuk memperlakukannya seperti seorang musuh dan

mengingatkanmu akan kejahatan dan kesalahannya. Namun, engkau

p: 131

bertindak melawan kecenderungan dirimu dan bersikap bersahabat dengannya. Hormatilah dan hargailah ia, serta paksa dirimu untuk memujinya. Cobalah untuk melihat kebaikan-kebaikannya dan beritahukan pula kepada orang lain dengan memusatkan perhatian pada sifat-sifat baiknya. Walaupun perilakumu akan terpengaruh dan tidak wajar pada permulaannya, seperti dibuat-buat, selama tujuanmu adalah memperbaiki diri dan mengobati kejahatan tersebut, perilaku-

mu lama kelamaan akan tampak wajar. Hari demi hari kepura-puraan itu akan berkurang dan dirimu akan menjadi terbiasa melakukannya, dan apa yang seperti aibuat-buat akan menjadi kenyataan. Yakinkan dirimu dan jadikan ia mengerti bahwa ia adalah makhluk Allah. Mungkin adalah kemurahan Tuhanlah yang memilihnya untuk keuntungan yang ia nikmati. Apabila sasaran kedengkianmu adalah seorang ulama yang memiliki pengetahuan dan ketakwaan, dan engkau iri kepadanya karena kelebihan-kelebihan tersebut, kedengkianmu akan sangat lebih buruk dan permusuhan itu akan memberimu kerugian yang lebih besar di akhirat. Engkau harus mengerti bahwa mereka adalah hamba-hamba pilihan Allah, yang dengan rahmat-Nya, diistimewakan dengan kelebihan dan karunia itu. Karunia seperti itu harus membuat orang merasa sayang dan baik hati kepada pemiliknya, menyebabkan orang hormat dan rendah hati di hadapannya. Oleh karenanya, apabila orang memahami bahwa apa pun yang akan menimbulkan cinta dan penghormatan di dalam hatinya menyebabkan sesuatu yang berlawanan dengan cinta dan penghormatan, ia harus tahu bahwa emosi yang paling dasar telah menyergapnya dan kegelapannya telah menaklukkan jiwanya. Sekaranglah saatnya baginya untuk sungguh-sungguh berketetapan hati dalam menghilangkannya dengan segenap cara teoretis dan praktis. Apabila ia berusaha merangsang rasa cinta dan bersahabat di dalam hatinya, ia akan segera berhasil karena cahaya cinta menaklukkan kegelapan rasa benci. Allah Swt. telah berjanji akan membimbing siapa saja yang berjuang dan akan menolong mereka melalui rahmat-Nya yang tak terlihat serta memperbesar kemampuan mereka, “Sungguh, Dia kuasa menganugerahkan kemampuan dan petunjuk.”

p: 132

Hadis tentang Ampunan bagi Orang Hasad

Dalam beberapa hadis suci, telah diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau menyebutkan sembilan hal yang umatnya akan diampuni darinya; di antaranya adalah hasad, selama tidak diwujudkan dalam kata-kata atau perbuatan. Hadis tersebut dan hadis-hadis lain yang semacam, tentu tidak akan mencegah seseorang dari menumbangkan pohon jahat kedengkian dari dirinya dan membebaskan jiwanya dari api yang menggerogoti iman. Karena jarang terjadi kejahatan memasuki jiwa tanpa membiakkan berbagai macam keburukan di situ, tanpa menampakkan tanda-tandanya, dan tanpa merugikan iman seseorang.

Disebutkan dalam hadis-hadis sahih bahwa dengki menggerogoti dan membahayakan iman, dan bahwa Allah Swt. tidak mengakui orang yang dengki dan tidak akan berurusan dengannya. Jadi, satu hal yang merupakan sumber utama kerusakan dan mengancam semua yang berharga bagi manusia tidak boleh dianggap remeh karena salah paham terhadap hadis nabi tentang pengampunan dosa hasad. Maka, kewajibanmulah untuk menganggap persoalan itu dengan serius dan memotong cabang-cabangnya serta berusaha membetulkan dirimu. Jangan biarkan biasanya merasuki perilaku lahiriahmu karena ia akan melemahkan akar-akarnya dan mencegah pertumbuhannya. Dan, apabila engkau meninggal selama masa perbaikan dan perjuangan ruhaniah itu, engkau akan memperoleh rahmat Allah.

Dengan rahmat-Nya yang tak terbatas dan anugerah yang diberikan melalui kedudukan ruhaniah nabi suci untuk memberi syafaat, engkau akan diberi ampunan. Percikan kemurahan Ilahiah akan membakar habis jejak-jejaknya yang masih ada dan jiwa akan dibersihkan serta disucikan.

Hadis berikut ini yang diriwayatkan oleh Hamzah Ibn Humran: Abu 'Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq) a.s. berkata, “Tiga hal yang para nabi dan orang-orang yang di bawahnya tidak terbebas darinya: keraguan terhadap penciptaan, mengharapkan kemalangan bagi orang lain, dan dengki, hanya saja seorang Mukmin tidak

pernah dengki.(1)

p: 133


1- 4. Wasā'il Al-Syi'ah, “bab al-amr bi al-ma'rûf”.

merupakan pernyataan hiperbolis. Maksudnya adalah bahwa hal-hal itulah yang paling sering menjadi cobaan bagi mereka, tanpa mereka sendiri benar-benar menjadi sasaran penyakit kejahatan; atau hasad digunakan di sini dalam arti ghibthah (dengki yang terbebas dari kehendak buruk); atau yang dimaksud adalah kecenderungan menginginkan hilangnya beberapa keuntungan yang dimiliki oleh orang-orang kafir yang menyebarkan kepercayaan yang keliru. Sebaliknya, para nabi Allah dan para wali terbebas dari segala noda hasad dalam makna kata itu yang sesungguhnya. Hati yang dicemari oleh keburukan moral dan kotoran batin tidak dapat menerima bisikan Ilahiah dan siſat Tuhan dan cahaya Zat-Nya. Jadi, hadis ini mesti ditafsirkan dengan cara yang ditunjukkan di atas atau dengan cara

lain, atau harus dikembalikan kepada pembicaranya, shalawat dan salam Allah atasnya. “Dan segala puji bagi Allah di awal dan di akhir."[]

p: 134

6 Hadis tentang Cinta Dunia

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، عن ابن محبوب، عن عبد الله بن سنان و عبد العزیز العبدی، عن عبد الله بن أبی یعفور، عن أبی عبد الله، علیه السلام، قال: من أصبح و أمسی و الدّنیا أکبر همّه، جعل الله الفقر بین عینیه و شتّت أمره، و لم ینل من الدّنیا إلّا ما قسم له. و من أصبح و أمسی و الآخرة أکبر همّه، جعل الله الغنی فی قلبه و جمع له أمره.

Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini), dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Ibn Mahbub, dari 'Abdullah ibn Sinan, dan ‘Abdul Aziz Al-'Abdi, dari ‘Abdullah ibn Abi Ya'fur yang meriwayatkan bahwa Abu 'Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq) a.s. berkata, “Barang siapa menjalani waktu pagi dan sorenya dengan menjadikan dunia sebagai perhatian utamanya, Allah akan meletakkan kefakiran di depan kedua matanya dan menceraiberaikan urusannya sementara ia tidak memperoleh apa-apa dari dunia ini kecuali apa yang telah ditetapkan Allah baginya. Dan barang siapa yang menjalani waktu pagi dan sorenya dengan menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya, Allah akan memberikan rasa kecukupan di dalam hatinya dan menghimpunkan semua urusannya.(1)

Penjelasan tentang Hadis Ini

Ada berbagai penafsiran tentang istilah “dunia” dan “akhirat” sesuai dengan berbagai pandangan para sufi dan ulama. Di sini, tujuan saya bukanlah untuk masuk ke dalam pembahasan yang berbelit-belit tentang definisi yang memusingkan kepala, ketenggelaman yang menjauhkan si musafir dari tujuannya. Yang paling penting di sini adalah memahami makna “dunia yang tercela” (yakni “dunia” dalam arti sesuatu yang harus dijauhi oleh orang yang mencari akhirat)

p: 135


1- 1. Al-Kulaini, Ushul Al-Kafi, (Teheran), Volume IV (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Hasyim Rasuli), h. 8.

dan faktor-faktor yang membantu serta membimbing manusia di jalan keselamatan. Saya akan membahasnya, insya Allah, dalam beberapa bagian dan saya memohon pertolongan dan petunjuk-Nya dalam hal ini.

Pandangan Maulana Majlisi tentang Hakikat Dunia

Peneliti agung dan ahli hadis yang tidak ada bandingannya, Maulana Majlisi-semoga rahmat Allah tercurah atasnya—menyatakan, “Ketahuilah bahwa yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis tentang hal ini, menurut pemahaman kami, adalah bahwa dunia yang terkutuk' ialah keseluruhan dari hal-hal yang menghalangi manusia dari menaati Allah dan mencegahnya dari cinta kepada-Nya serta mencegahnya dari mencari akhirat. Jadi, 'dunia' dan 'akhirat' bersifat berlawanan satu sama lain; apa saja yang menyebabkan keridhaan Allah dan kedekatan manusia kepada-Nya adalah ‘akhirat', meskipun tampak seperti masalah duniawi-seperti perdagangan, pertanian, industri, dan kerajinan yang tujuannya adalah untuk menjamin kehidupan keluarga demi ketaatan pada perintah Allah, untuk membelanjakan pendapatan bagi tujuan-tujuan amal, kesejahteraan fakir miskin dan mereka yang membutuhkan, serta untuk mencegah kebergantungan kepaca orang lain serta meminta pertolongan mereka. Semua kegiatan tersebut ditujukan untuk akhirat, meskipun orang dapat menganggapnya sebagai mencari dunia. Di sisi lain, latihan-latihan ruhani dan ibadah-ibadah yang dimotivasi oleh ria, meskipun semua kegiatan itu dilakukan dengan ketaatan dan perhatian yang besar, adalah ditujukan untuk dunia, selama hal itu menyebabkan keterasingan dari Tuhan dan tidak mendekatkan manusia kepada-Nya. Hal-hal seperti itu merupakan perbuatan dan praktik crang kafir dan mereka yang menentang jalan yang benar.(1)

Seorang peneliti yang lain menyatakan, “Dunia' dan ‘akhirat adalah dua keadaan batin dari hati: yang lebih dekat dan berkaitan dengan kehidupan sebelum mati adalah 'dunia’, dan apa saja yang selain itu dan berkaitan dengan kehidupan sesudah mati adalah akhirat. Jadi, segala hal yang memberikan kesenangan dan kenikmat-

p: 136


1- 2. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwâr.

an kepadamu dan membangkitkan nafsumu sebelum mati adalah ‘dunia' bagimu." Sang fakir(1) berkata, “Dunia” kadang-kadang dapat diartikan sebagai tingkat eksistensi paling rendah dan tempat perubahan, peralihan dan kemusnahan. “Akhirat” menunjukkan kembalinya seseorang dari alam eksistensi yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, alam samawi, alam batiniah, yang merupakan tempat yang tetap, tidak berubah, dan abadi. Dua alam tersebut ada pada setiap individu. Yang pertama adalah alam materiil, tempat perkembangan dan kemunculan, yang merupakan tempat eksistensi dunia yang lebih rendah. Yang kedua adalah tingkat eksistensi yang tersembunyi, batin, dan samawi, yang merupakan alam keberadaan ukhrawi yang lebih tinggi. Meskipun eksistensi duniawi adalah alam keberadaan yang lebih rendah dan tidak sempurna, selama ia menjadi ladang untuk latihan jiwa yang mulia dan sekolah untuk mencapai kedudukan ruhaniah yang lebih tinggi, ia menjadi lahan untuk mengolah akhirat. Dalam arti ini, dunia merupakan alam keberadaan yang paling agung dan alam yang paling menguntungkan bagi pencinta Tuhan dan para musafir di jalan akhirat. Dan, jika bukan karena alam materi duniawi ini, wilayah transformasi dan perubahan fisik dan ruhaniah, serta jika Allah Swt, tidak menjadikannya sebagai alam peralihan dan kemusnahan, jiwa yang tidak sempurna tentu tidak akan dapat mencapai status kesempurnaan yang dijanjikan dan tidak dapat menjangkau alam yang permanen dan stabil, sedangkan penjelmaan ketaksempurnaan tidak dapat memasuki kerajaan Allah Dengan demikian, yang disebut dalam Al-Quran dan hadis sebagai “dunia" yang tercela sesungguhnya tidak berlaku bagi dunia itu sendiri, tetapi yang dimaksudkan adalah ketenggelaman, kecintaan, dan keterikatan manusia padanya. Ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai dua dunia: yang satu dikutuk, sementara yang lain diagungkan dan dipuji. Dunia yang dipuji adalah apabila pada tahap eksistensi duniawi, yang merupakan kampung pendidikan dan tempat perdagangan ini,

p: 137


1- a Yang dimaksud adalah Imam Khomeini sendiri--penerj.

seseorang memperoleh pelbagai kedudukan ruhaniah yang tinggi, kesempurnaan, dan kebahagiaan abadi. Semua itu tidak mungkin dapat diperoleh tanpa memasuki dunia ini, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Maula Al-Muwahhidun, Amir Al-Mukminin ‘Ali a.s., dalam salah satu khutbah yang disampaikannya ketika mendengar seseorang menghina "dunia": Sesungguhnya dunia ini adalah tempat kebenaran bagi mereka yang menyadari kebenarannya, tempat keselamatan bagi mereka yang memahaminya, tempat kekayaan bagi mereka yang mencari bekal darinya (untuk akhirat), dan tempat pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran darinya. Ia adalah tempat sujud para kekasih Allah, tempat shalat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan pasar orang-orang yang taat kepadaNya (untuk mengambil untung darinya). Di situ, mereka memperoleh rahmat-Nya dan di situ pula mereka memperoleh surga.(1)

Firman Allah Swl., wa ni'ma dârul-muttaqin (alangkah baiknya tempat tinggal orang-orang yang takwa) menurut penafsiran Imam Al-Baqir a.s. dalam sebuah hadis di buku tafsir Al-'Ayyasi adalah berkaitan dengan dunia. Jadi, selama ia merupakan manifestasi keindahan dan kebesaran-Nya dan tempat kehadiran syahâdah yang mutlak, dunia ini tidak terku:uk. Yang terkutuk adalah dunia (yang berada dalam hati) manusia sendiri, dalam arti ketenggelamnan, keterikatan, dan kecintaannya pada dunia. Dunia yang demikian itu adalah sumber dari segala kejahatan dan dosa lahir maupun batin, sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Kafi dari Imam Al-Shadiq a.s.: Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Cinta dunia adalah sumber dari segala macam pelanggaran.(2)

Dan, telah diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. bahwa beliau berkata:

“Luka yang disebabkan tikaman dua serigala buas yang satu menyerang dari depan dan yang lain dari belakang, pada sekelompok kambing tanpa penggembala, tidak lebih cepat merusak dibandingkan dengan luka yang disebabkan oleh tikaman cinta dunia terhadap iman seorang Mukmin.(3)

p: 138


1- 3. Nahj Al-Balaghah (ed. Subhi Al-Shalih), Hikam No. 131.
2- 4. Ushûl Al-Kâfî, Vol. IV, h. 2.
3- 5. Ibid., Vol. IV, h. 3.

Dengan demikian, keterikatan hati dan kecintaan pada dunia adalah sama artinya dengan dunia yang dikutuk, dan makin besar keterikatan itu, makin tebal pula tirai antara manusia dan alam keagungan, serta makin tebal tirai antara hati manusia dan Penciptanya. Disebutkan dalam beberapa hadis bahwa ada tujuh puluh ribu tirai cahaya dan kegelapan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya. Tirai kegelapan mungkin tidak lain adalah keterikatan hati pada dunia, dan makin dalam keterikatan itu, makin banyak jumlah tirai dan makin besar kesulitan untuk menyingkapkannya.

Faktor-Faktor yang Mendorong Keduniaan

Manusia adalah putra alam fisik ini. Alam menjadi ibunya, dan ia adalah anak cucu air dan debu. Cinta dunia telah tertanam dalam hatinya sejak awal perkembangan dan pertumbuhannya. Bersamaan dengan pertumbuhannya, cinta ini juga bertambah. Karena adanya daya hawa nafsu dan organ-organ untuk memperoleh kenikmatan yang dianugerahkan kepadanya oleh Allah Swt. demi melestarikan individu dan kelompok, cinta ini tumbuh hari demi hari. Jika ia

memandang dunia sebagai tempat kesenangan dan kemewahan, serta kematian sebagai akhir dari semua kegiatan itu, meskipun ia diarahkan untuk yakin pada akhirat, kemuliaannya, syarat-syaratnya, pahala-pahalanya dengan argumen-argumen ahli hikmah dan tradisi para nabi, hatinya tetap tidak akrab dengannya dan tidak menerimanya, apalagi memperoleh keyakinan akan kebenarannya. Karena sebab-sebab ini, cintanya pada dunia dan keterikatan dia kepadanya terus bertambah. Karena manusia pada dasarnya ingin hidup abadi, membenci dan menghindari kerusakan dan kemusnahan, dan menganggap kematian sebagai kemusnahan, walaupun akalnya mengakui dunia ini sebagai tempat tinggal sementara yang bakal binasa dan bahwa alam akhiratlah yang abadi dan kekal, hatinya tetap tidak menerima kesimpulan akalnya bila kesimpulan itu sendiri tidak masuk ke dalam hati.

Hal yang paling penting adalah bahwa keyakinan itu harus masuk ke dalam hati dan kedudukan yang paling baik adalah iman dengan keyakinan yang sempurna. Karena alasan inilah, Ibrahim, Khalilullah,

p: 139

a.s. memohon kepada Allah agar diberi kemantapan (ithmi'nân), dan beliau diberi oleh-Nya. Maka, jika hati tidak memiliki keyakinan terhadap akhirat-sebagaimana hati kita—walaupun secara rasional kita memiliki kepercayaan itu, kita tetap ingin hidup di dunia ini dan menolak pemikiran tentang kematian dan tentang meninggalkan alam keberadaan yang rendah ini. Namun, jika hati kita menyadari akan kenyataan bahwa dunia ini adalah dunia yang paling rendah dan tempat kerusakan serta perubahan, dan alam ketaksempurnaan serta kehancuran, dan bahwa ada alam setelah kematian yang semuanya abadi dan kekal, sempurna dan permanen, tempat kehidupan yang bahagia, hati kita dengan sendirinya akan mencintai alam itu dan akan membenci dunia ini. Dan apabila seseorang memahami

dunia ini dan sadar akan kenyataan dunia sana, dan memerhatikan bentuk batiniah yang nyata dari dunia ini dan keterikatannya kepadanya, ia tidak akan tahan hidup di dunia ini. Ia akan membencinya dan ingin meninggalkan tempat kegelapan dan melepaskan diri dari belenggu waktu dan transisi sebagaimana yang tampak pada ucapan-ucapan para wali.

Imam 'Ali a.s., Maulâ Al-Auliya', berkata: "Demi Allah, putra Abu Thalib ini lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan susu ibunya.(1)

Manusia agung itu telah memandang realitas dunia ini dari sudut pandang wilayah dan telah memilih kedekatan mulia dengan Yang Mahatinggi. Dan, jika bukan demi tujuan-tujuan yang lebih tinggi, jiwa yang murni dan suci itu tidak akan tinggal lama di dalam majelis yang suram dan kelam ini, sekalipun hanya sejenak. Mendiami dunia keberagaman wujud dan merenungkan urusan-urusan duniawi, walaupun dengan keuntungan-keuntungan ruhaniah, merupakan siksaan dan penderitaan yang besar bagi mereka yang tenggelam dalam kecintaan kepada Tuhan, penderitaan yang bahkan tidak dapat kita bayangkan. Keluhan mereka, seperti tecermin dalam doa dan rintihan mereka, adalah karena sedihnya berpisah dengan Yang Tercinta dan kedekatan-Nya yang Agung, meskipun tidak ada tirai jasmaniah ataupun ruhaniah bagi mereka, dan mereka telah meninggalkan nafsu

p: 140


1- 6. Nahj Al-Balaghah, Khutbah No. 5.

buruk yang telah tertaklukkan dan telah melepaskan keterikatan kepadanya, hati mereka telah terbebas dari pencemaran nafsu jasmani. Namun, justru keberadaan di dunia batas-batas alam fisik dan kenikmatan alamiah yang berkaitan dengannya—meskipun itu hanya sedetik-seolah-olah menjadi tirai penghalang. Oleh karena itulah, Nabi Suci Saw. diriwayatkan pernah bersabda: “Agar hatiku tidak tertutupi oleh tabir nafsu, maka aku beristighfar kepada Allah setiap hari tujuh puluh kali."

Boleh jadi, ketergelinciran Adam a.s., bapak umat manusia, ada lah karena ketertarikan hati pada alam fisik, yang dilambangkan dengan pohon, dan perhatiannya pada aspek duniawi dari kehidupan—sesuatu yang dipersalahkan oleh para wali dan para pencinta Tuhan. Apabila Adam a.s. tetap setia pada kehendak Tuhan dan tidak melangkahkan kaki ke wilayah duniawi, seluruh kisah panjang yang berkelok-kelok menelusuri dunia sampai ke akhirat ini, tidak akan memperoleh perhatian seperti itu. Hendaknya engkau ketahui bahwa setiap dan semua kenikmatan yang diperoleh manusia dari dunia ini meninggalkan bekasnya di dalam hatinya yang menunjukkan kekalahannya pada dunia fisik dan merupakan sebab bagi keterikatannya lebih jauh pada dunia ini. Makin banyak kenikmatan dan kesenangan itu, makin kuat kesannya di dalam hati dan makin kuat keterikatan dan kecintaannya pada dunia. Proses ini terus berlangsung hingga hati itu sepenuhnya menyerah pada dunia dan daya tariknya. Keadaan seperti itu merupakan sumber dari berbagai dosa besar. Semua pelanggaran, dosa, dan kejahatan moral manusia adalah karena kecintaan dan keterikatan ini, sebagaimana disebutkan dalam hadis yang dikutip dari Al-Kafi.

Salah satu dosa paling besar akibat kecintaan ini, menurut guru kami-semoga jiwaku menjadi tebusan baginya—adalah bahwa jika cinta dunia menguasai hati manusia dan keterikatannya menjadi semakin kuat, pada saat kematiannya manusia itu akan menganggap bahwa Allah Swt. telah memisahkannya dari sesuatu yang ia cintai dan menyebabkan perpisahan antara ia dan kesenangan hawa nafsunya. Akibatnya, ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan membenci dan mendendam kepada-Nya. Peringatan yang sangat menggetarkan

p: 141

ini sudah cukup untuk menyadarkan manusia bahwa ia semestinya sangat berhati-hati dalain membimbing hatinya. Na'ûdzu billah, jangan sampai kita mendendam kepada Raja dari segala raja, Pemberi nikmat dan Pemberi rezeki karena tidak seorang pun selain Allah yang tahu bentuk keburukan dari kebencian dan dendam semacam itu. Guru kami yang mulia juga menceritakan bahwa ayahnya sangat gelisah selama tahun-tahun terakhir kehidupannya berkenaan dengan kecintaan kepada salah seorang anaknya. Namun, setelah melakukan latihan dalam disiplin diri ruhaniah selama beberapa waktu, ia berhasil terbebas dari keterikatan tersebut. Ia sangat lega berkenaan dengan hal ini sebelum ia pindah ke alam kebahagiaan yang abadi. Semoga Allah meridhainya.

Ada sebuah hadis di dalam Al-Kafi, yang diriwayatkan oleh Thalhah ibn Zaid, dari Abu 'Abdillah (Imam Al-Shadiq) a.s. bahwa beliau berkata: “Perumpamaan dunia ini adalah seperti air laut; makin banyak orang haus minum darinya, menjadi makin hauslah ia sampai air itu membunuhnya.(1)

Cinta dunia selalu menghancurkan manusia dan ia merupakan sumber kejahatan lahir dan batinnya. Nabi Saw. diriwayatkan pernah bersabda, “Dirham dan dinar telah membinasakan banyak orang sebelummu dan keduanya juga akan membinasakanmu.” Seandainya manusia tidak melakukan kejahatan lain, sesuatu yang tidak mungkin atau hampir mustahil, keterikatan pada dunia saja sudah cukup untuk menyebabkan berbagai macam kejahatan. Tolok ukur lamanya masa

penantian di alam kubur dan barzakh sebanding dengan kuatnya hubungan dan keterikatan ini. Makin sedikit keterikatan itu, makin luas dan teranglah tempatnya di kubur dan barzakh, serta dengan demikian makin pendek masa penantian seseorang di dalamnya. Oleh karenanya, para wali (auliyâ'), menurut beberapa hadis, tidak mesti mengalami masa kubur, kecuali tak lebih dari tiga hari. Itu pun karena keterikatan fitri dan inheren yang mereka miliki dengan kehidupan dunia ini.

Di antara akibat buruk dari cinta dunia dan keterikatan pada nya adalah bahwa ia membuat manusia takut akan mati. Takut mati,

p: 142


1- 7. Ushul Al-Kafi, Vol. III, h. 205.

sebagai akibat dari cinta dunia dan keterikatan padanya, adalah sangat tercela. Itu berbeda dengan takut akan Hari Pembalasan, yang merupakan salah satu sifat Mukmin sejati. Sebagian besar penderitaan dan kepedihan yang dialami oleh orang yang sedang sekarat adalah karena kuatnya ikatan duniawi itu, bukan rasa takut mati itu sendiri. Seorang peneliti yang cemerlang dan seorang analis yang bijak di Dunia Islam, Mir Damad_karramallâhu wajhah dalam Al-Qabasal-nya, sebuah buku yang sangat bermutu, menulis: Janganlah sekali-kali mati itu menakutkan dirimu karena pahitnya kematian bergantung pada rasa takut kepadanya.(1) Keburukan besar lainnya yang disebabkan oleh cinta dunia adalah bahwa kecintaan itu menghalangi manusia dari kegiatan religius, ber-

ibadah dan berdoa, serta memperkuat nafsu jasmani. Ia menanamkan penolakan di dalam hatinya terhadap perintah-perintah ruhaninya.

Akibatnya, ia memperlemah keteguhan dan kehendak, padahal salah satu rahasia dan tujuan ibadah serta kegiatan-kegiatan religius adalah untuk membuat jasmani, organ-organ fisik, dan insting-insting alamiah tunduk pada ruh sehingga kehendak dapat mengendalikannya dan memaksa jasmani untuk bertindak sesuai dengan kehendak ruh, dan mencegahnya dari segala hal yang ingin dihindari oleh ruh. Apabila ruh mendominasi jasmani, organ-organ fisik akan berada di bawah

kendali ruh sehingga apa saja yang diinginkan oleh ruh dari tubuh akan dilakukan tanpa keberatan dan halangan apa pun. Di antara keuntungan dan rahasia dari ibadah yang keras dan latihan-latihan ketaatan yang melelahkan adalah bahwa semua itu membantu tercapainya tujuan tersebut.

Melalui semua kegiatan itu, manusia dapat memperoleh keteguhan dan tekad yang kuat serta menguasai nafsu jasmaninya. Apabila tekad menjadi bulat dan sempurna dan keteguhan telah kukuh dan kuat, wilayah jasmani manusia dan daya lahir serta batinnya akan mencapai karakter malaikat, dan ia menjadi sama dengan malaikat Allah yang tidak pernah melanggar perintah-Nya, tanpa penolakan dan tekanan apa pun selalu siap menaati apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dilaksanakan, dan menahan diri dari segala hal

p: 143


1- 8. Mir Damad, Al-Qabasåt, h. 72.

yang dilarang oleh-Nya. Apabila organ-organ fisik manusia berada di bawah dominasi ruhnya, semua kesulitan dan halangan akan lenyap, dan datanglah kemudahan serta ketenangan. Ketika itu terjadi, “tujuh lapis” dari alam fisik menjadi tunduk pada kekuatan-kekuatan samawi dan semua organ akan bertindak ebagaimana mestinya. Dengan demikian, Sahabatku, kuatnya keteguhan dan tekad adalah sangat penting dan berpengaruh di alam sana. Sesungguhnya, kuatnya

tekad merupakan kriteria untuk masuk ke dalam salah satu tingkatan surga yang tertinggi. Jika seseorang tidak memiliki tekad yang kuat dan keteguhan yang kukuh, ia tidak akan mencapai surga dan kedudukan yang tinggi itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa ketika orang-orang bertakwa ditempatkan di surga, sebuah pesan akan dikirimkan kepada mereka oleh Tuhan Yang Mahasuci, “Ini adalah pesan yang disampaikan oleh Yang Mahakekal dan Abadi kepada orang yang juga kekal dan abadi: Apa saja yang Aku perintahkan untuk mewujud pastilah akan mewujud; hari ini akan Aku berikan kepadamu kekuasaan untuk memerintahkan apa saja yang ingin kau wujudkan untuk mewujud.” Engkau dapat melihat betapa besarnya kekuasaan dan keistimewaan yang akan diberikan kepadamu. Kekuatan macam apa yang dimiliki mereka yang keteguhan dan tekadnya akan menjadi manifestasi dari kehendak Ilahi sehingga tekad mereka dapat memaujudkan

sesuatu yang tidak ada. Itu menunjukkan bahwa kuatnya tekad dan keteguhan dapat mengungguli semua daya fisik. Dan, jelas pula bahwa pesan itu tidak akan dikirimkan begitu saja tanpa pertimbangan yang matang. Mereka yang kehendaknya tunduk pada nafsu hewaninya, sedangkan keteguhannya telah mati dan tidak berdaya, mereka tentu tidak dapat mencapai kedudukan tersebut. Perbuatan Allah Swt. pasti terbebas dari kesia-siaan dan pemborosan. Di dunia ini segala

sesuatu didasarkan pada satu sistem yang semua cara dan tujuan diatur menurut satu tatanan. Di alam sana juga, semua urusan akan diatur dengan cara yang sama, atau malah alam sana menunjukkan keselarasan yang tinggi antara sebab dan akibat, cara dan tujuan. Kekuatan dan kemampuan kehendak seolah ditanam di alam ini.

p: 144

Dunia ini adalah ladang bagi akhirat; ia adalah substansi tempat mengukir pahala surga maupun siksa neraka. Jadi, setiap ibadah dan tata cara yang diwajibkan oleh syariat, selain semua itu memiliki bentuk-bentuk samawi dan malaküti, juga menjadi elemen untuk membangun surga fisik dan memperoleh semua bekal untuk kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan oleh hadis dan dikukuhkan oleh akal. Sebagaimana setiap ibadah menghasilkan efek khususnya sendiri terhadap jiwa, ia juga sedikit demi sedikit-- memperkuat tekad dan menyempurnakan keteguhannya. Maka, makin besar usaha yang dilakukan untuk suatu ibadah, makin produk-

tiflah ibadah itu:

"Amal yang paling baik adalah amal yang paling sulit.(1) Misalnya, bangun malam untuk berdoa kepada Allah Swt. dalam suasana dingin yang menusuk di malam musim dingin dan mengorbankan nikmatnya tidur nyenyak akan membuat ruh menaklukkan jasmani dan memperkuat kehendak. Meskipun agak sulit dan tidak enak pada awalnya, setelah sedikit latihan dan kesulitan, ketidak- enakannya akan berkurang, sedangkan ketundukan tubuh pada ruh menjadi tumbuh. Saya melihat orang yang melakukan hal itu dengan berat umumnya karena mereka tidak pernah bertindak. Namun, apabila kita memaksa diri kita untuk berbuat, secara bertahap kesulitan itu bakal berubah menjadi kemudahan. Orang-orang yang melakukan shalat malam akan memperoleh kenikmatan besar dari-Nya, bahkan lebih daripada kesenangan yang kita peroleh dari kenikmatan jasmani. Melalui perbuatan, jiwa menjadi terbiasa, dan kebaikan berlangsung

terus karena sudah menjadi kebiasaan. Ibadah-ibadah tersebut memiliki beberapa keuntungan, di antaranya adalah bahwa bentuk yang mereka peroleh di alam sana begitu indah, yang tidak akan ada bandingannya di dunia ini, dan kita tidak mampu melukiskannya. Selain itu, jiwa memperoleh kekuatan tekad dan keteguhan, yang dengan sendirinya mempunyai banyak keuntungan, dan saya telah menyebutkan salah satu di antaranya. Keuntungan yang lain adalah bahwa hal itu membiasakan seseorang untuk menyembah dan mengingat Allah, membawa yang tidak sejati kepada

p: 145


1- 9. Ushûl Al-Kafi, Vol. IV, h.9.

Yang Sejati, dan memusatkan hati kepada Raja dari segala raja, mengobarkan cinta di dalam hati pada keindahan sejati Sang Tercinta, dan mengurangi keterikatan dan perhatian pada (alam) dunia dan akhirat. Barangkali, apabila kehendak Ilahi telah diwujudkan, dan ia telah memahami tujuan ibadah yang sesungguhnya serta rahasia sebenarnya dari perenungan dan zikir, kedua alam itu akan kehilangan nilai pentingnya di hadapannya; penglihatan akan Yang Tercinta menyapu debu dualitas dari cermin hati, dan hanya Tuhanlah yang tahu betapa murahnya Dia dalam memperlakukan seorang yang taat seperti itu.

Jadi, praktik-praktik yang diwajibkan oleh syariat, ibadah, serta menahan diri dari keinginan dan nafsu jasmani, memperkuat keteguhan dan tekad manusia. Di sisi lain, ketenggelaman dalam nafsu jasmani yang penuh dosa akan melemahkan keteguhan dan tekad, seperti telah disebutkan sebelumnya. Telah diketahui oleh setiap orang yang berakal sehat bahwa manusia selalu tertarik pada kesempurnaan mutlak sesuai dengan fitrah dan watak dasarnya. Bagian terbesar hatinya tertarik kepada Keindahan Mutlak dan Yang Mahasempurna dalam segala aspek. Karakteristik manusia ini melekat di dalam fitrahnya dan ditanamkan di situ oleh Allah Swt. Maka, kehendak merupakan sarana untuk memenuhi pencarian para pencinta Keindahan Mutlak itu. Namun, setiap orang, sesuai dengan kedudukan dan kondisinya sendiri, memiliki gagasannya sendiri tentang kesempurnaan, dan ia memandang kesempurnaan sebagai sesuatu menariknya. Mereka yang berusaha

untuk mencari akhirat, memahami kesempurnaan dalam taraf dan tingkat yang nonduniawi, serta hati mereka berpaling kepadanya. Dan hamba Allah yang memandang kesempurnaan dalam keindahanNya dan keindahan dalam kesempurnaan-Nya berkata:

«إِنِّی وَجَّهْتُ وَجْهِیَ لِلَّذِی فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِیفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِکِینَ (79)»

Aku hadapkan wajahku kepada Sang Pencipta langit dan bumi ....(QS Al-An'âm [6]: 79)

Dan, mereka berkata wa liya ma'a Allâh hâl (Kebahagiaan terletak pada Allah). Mereka rindu untuk bersatu dengan-Nya, dan jatuh cinta kepada keindahan-Nya. Orang-orang yang masih hidup, jika

p: 146

mereka menganggap kesempurnaan sebagai ada dalam kesenangan dan kemewahan duniawi, benda-benda yang mempunyai keindahan di mata mereka, dengan sendirinya akan tertarik pada benda-benda itu. Sebaliknya, jika kecenderungan dasar manusia adalah pada Kesempuranaan Mutlak, segala keterikatan duniawi pada dasarnya merupakan pertimbangan yang keliru. Jadi, semakin besar mereka memiliki keuntungan duniawi atau nonduniawi, baik itu prestasi ruhaniah, kemampuan, kekuasaan, ataupun harta benda materiil, kerinduannya kepadanya meningkat dan bara cinta itu makin berkobar dan makin ganas. Misalnya, nafsu jasmani orang yang sehat akan bertambah besar apabila ia diberi lebih banyak kesempatan untuk memenuhi nafsu jasmaninya; ia akan menginginkan kepuasan lainnya yang tidak tersedia baginya, dan tungku pembakaran nafsunya akan menjadi makin panas dan liar.

Demikian pula, apabila manusia yang berambisi pada kekuasaan dan wewenang dibiarkan untuk menegakkan kekuasaannya atas satu wilayah, ia akan menoleh ke wilayah yang lain. Apabila seluruh bumi ini berada di bawah kekuasaannya, ia akan berpikir untuk menyerbu planet lain untuk menjadikannya di bawah kekuasaannya. Ia tidak sadar bahwa kecenderungan alamiahnya kecanduan akan sesuatu yang lain. Kecintaan alamiah dan pencarian fitri manusia terarah kepada Sang Tercinta yang mutlak. Semua gerak substansial, fisik, dan niat, semua perhatian hati dan kecenderungan jiwa, terarah pada keindahan dari Keindahan Mutlak, tetapi manusia tidak menyadarinya. Mereka menyalahgunakan cinta, kehendak, dan kerinduan yang dimaksudkan sebagai burâq (tunggangan Nabi Saw. untuk mela-

kukan mi'raj) untuk naik ke langit dan sayap untuk terbang bersatu dengan Yang Mutlak ini dengan menyia-nyiakannya untuk tujuan-tujuan tidak berguna dan dengan mengurungnya di dalam pagar dan batas-batas yang tidak masuk akal sehingga melalaikan tujuannya. Singkatnya, karena kecenderungan manusia kepada Kesempurnaan Mutlak bersifat naluriah, makin besar kerakusannya pada perhiasan dunia, makin banyak pula ia mengumpulkannya dan makin besar pula ketertarikan hatinya kepadanya. Karena secara salah ia memercayai dunia dan pesona dunia sebagai tujuan akhir yang

p: 147

dikehendaki, kerakusannya tumbuh hari demi hari dan keinginan padanya berlipat ganda. Kebutuhannya akan dunia bertambah, sedangkan kemiskinan serta kemelaratan menjadi nasibnya. Sebaliknya, mereka yang bekerja demi akhirat, perhatian mereka terhadap dunia berkurang, perhatian mereka pada akhirat bertambah berkat pementingan mereka terhadap akhirat, dan kecintaan pada dunia serta keuntungannya menjadi berkurang di dalam hati mereka sampai mereka tidak peduli lagi terhadap dunia dan perniasannya. Rasa kaya dan kecukupan masuk ke dalam hati mereka dan harta benda dunia ini kehilangan nilainya di mata mereka. Jadi, hamba Allah ini terlupa akan kedua alam itu dan terbebas dari perhatian terhadap keduanya. Kebutuhannya hanyalah berhubungan dengan Sang

Mahakaya. Rasa tiada kebutuhan dan kecukupan ini dimasukkan ke dalam hati mereka oleh cahaya Sang Mahakaya itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, hadis itu bermaksud mengatakan bahwa siapa saja yang menjadikan dunia sebagai perhatian utamanya dari pagi hingga malam, Allah meletakkan kemiskinan di depan kedua matanya. Dan, siapa saja yang menghabiskan pagi dan sorenya dengan menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya, Allah akan meletakkan rasa kecukupan di dalam hatinya. Jelas bahwa orang yang hatinya cenderung pada akhirat, baginya semua materi duniawi menjadi tak berharga, sepele, dan remeh. Ia memandang dunia sebagai sementara, tempat singgah, kehidupan singkat, satu tempat yang hanya dimaksudkan untuk mendidik dan melatih dirinya. Penderitaan dan kenikmatan sama saja baginya. Kebutuhannya menjadi sedikit dan kebergantungannya pada materi dunia dan isinya menjadi semakin kecil, dan sampai pada satu titik ketika ia tidak butuh akan semua itu sama sekali. Urusannya menjadi tersatukan dan tertata, dan rasa kecukupan yang kuat memasuki hatinya. Jadi, semakin engkau pandang dunia ini dengan takjub dan cinta, semakin hatimu terikat kepadanya, maka kebutuhanmu padanya juga akan bertambah sebanding dengan cintamu. Rasa kemiskinan dan kemelaratan akan muncul di permukaan kepribadianmu, urusan-urusanmu akan tercerai-berai dan berhamburan. Hatimu akan gelisah, murung, cemas, dan urusan-urusan tidak akan terlaksana menu--

p: 148

rut keinginanmu. Harapan dan keinginanmu akan meningkat hari demi hari. Kesedihan dan penyesalan akan mengepungmu; kebingungan dan keputusasaan akan menguasai hatimu. Sebagian persoalan ini telah disinggung di dalam hadis-hadis berikut ini dalam Al-Kafi:10

Dari Haſsh ibn Qurth, dari Abu `Abdillah a.s. yang diriwayatkan pernah berkata, “Makin besar keterlibatan seseorang dengan dunia, makin besar pula penyesalannya ketika ia berpisah dengannya." ... Ibn Abi Ya'fur berkata, “Aku mendengar Abu 'Abdillah berkata, 'Siapa yang hatinya terikat pada dunia, ia akan terikat pada tiga

hal: kesedihan yang tak kunjung padam, keinginan yang tak pernah terpenuhi, dan harapan yang tak pernah tercapai.(1)

Adapun akhirat, makin dekat mereka pada lingkungan Sang Maha Pengasih, makin bahagia dan tenang hati mereka; mereka menjadi lupa, atau bahkan muak, pada dunia ini dan apa-apa yang ada di dalamnya. Apabila Yang Mahatinggi tidak menakdirkan mereka hidup di situ, mereka tidak akan tinggal di dunia ini walaupun seje-

nak. Maulâ Al-Muwahhidîn, Imam 'Ali a.s., berkata tentang mereka, "Mereka tidak sedih dan kesal di sini seperti orang-orang yang ada di dunia ini, dan di akhirat mereka akan dimasukkan ke dalam samudra rahmat-Nya.” Semoga Allah menggabungkanmu dan kami bersama mereka, insya Allah.

Maka, Sahabatku, kini engkau telah tahu tentang keburukan cinta dan keterikatan (pada dunia) ini, dan engkau telah mempelajari betapa cinta ini menghancurkan manusia. Ia dapat mencabut iman manusia dan mengacaukan kehidupannya di akhirat maupun di dunia ini. Benahilah pikiranmu dan berusahalah mengurangi kecintaan serta membuang ikatan pada dunia ini sedapat mungkin. Cabutlah akar-akarnya dan anggaplah kehidupan singkat di dunia ini sebagai tidak berarti. Jangan berikan pada kesenangan dunia ini nilai apa pun karena ia mengandung siksa, penderitaan, dan rasa sakit. Mohonlah pertolongan dari Allah agar Dia menolongmu melepaskan dirimu dari bencana dan penderitaan (cinta dunia), dan akrabkanlah dirimu dengan alam agung yang ada di sisi-Nya. Dan apa pun yang ada di sisi Allah itu lebih baik dan abadi. [I

p: 149


1- 10. Ibid., Vol. IV, h. 9.

7 Hadis tentang Ghadhab

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب عن علیّ بن إبراهیم، عن محمّد بن عیسی، عن یونس، عن داود بن فرقد قال: قال أبو عبد الله، علیه السّلام: الغضب مفتاح کلّ شرّ

... Muhammad ibn Ya'qub, dari 'Ali ibn Ibrahim, dari Muhammad ibn 'Isa, dari Yunus, dari Daud ibn Farqad, yang meriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq pernah berkata, “Marah adalah kunci dari segala macam keburukan.(1)

Seorang pakar yang bernama Ahmad Ibn Muhammad, atau lebih dikenal dengan nama Ibn Miskawaih, dalam bukunya, Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-A'râq, yang merupakan bukti yang bagus dan sangat istimewa dalam keindahan gaya bahasa serta keteraturan isinya: “Pada hakikatnya amarah merupakan gejolak jiwa yang menyebabkan terjadinya pergolakan darah di dalam jantung, disebabkan keinginan untuk melampiaskan dendam. Ketika gejolak ini bertambah kuat, ia akan memicu luapan kemarahan sehingga terjadilah aliran darah yang begitu hebat ke jantung, mengisi pembuluh nadi dan otak dengan tekanan yang tidak stabil, dan menyebabkan akal saat itu tidak berdaya serta kehilangan kendali. Keadaan jiwa seseorang saat itu, seperti yang digambarkan oleh kaum arif, menyerupai sebuah gua yang terbakar dan diliputi oleh nyala api sehingga asap dan api bercampur, menyebabkan munculnya kobaran api yang yang hebat disertai suara. Sulit untuk dapat menenangkan orang dalam keadaan seperti itu dan tidak mungkin api kemarahannya

p: 150


1- 1. Al-Kulaini, Ushul Al-Kafi (Teheran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Jawad Mushthafawi), h. 412.

dapat dipadamkan. Apa pun yang dilakukan orang untuk mendinginkan suasana, justru akan menambah intensitas kemarahannya. Oleh karena itu, seseorang yang sedang dilanda amarah akan menjadi buta dan tuli terhadap nasihat maupun petunjuk yang disampaikan kepadanya. Menasihatinya hanya akan menambah kemarahannya dan tak ada satu pun cara yang dapat diharapkan untuk dapat menenangkannya."

Ibn Miskawaih menambahkan, “Hippocrates pernah mengatakan bahwa dia lebih memilih berada dalam sebuah kapal yang diterpa badai dahsyat dan diterjang oleh ombak sehingga kapalnya itu terhempas ke dalam gelombang lautan yang menyembunyikan batu karang. Itu lebih aku sukai daripada menjadi seorang yang sedang

dikuasai oleh kemarahan. Sebab, boleh jadi dengan menempuh berbagai cara, dalam situasi seperti itu para pelaut dapat mengendalikan kapal untuk menyelamatkan kapalnya. Sebaliknya, tidak ada sedikit pun harapan untuk dapat mengendalikan jiwa yang sedang dilanda kemarahan. Sebab, semua upaya seperti nasihat, saran, dan peringatan tidak akan dapat menenangkannya. Siapa pun yang berusaha untuk meredakan kemarahannya dengan permohonan yang penuh

kerendahan hati sekalipun, tetap saja gejolaknya itu akan semakin membara."

Manfaat Daya Amarah (Al-Quwwah Al-Ghadhabiyyah)

Perlu diketahui bahwa naluri amarah adalah salah satu anugerah Allah yang dengannya manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berguna bagi dunia dan akhirat, sebagaimana dapat menjamin keberlangsungan hidup individu, keluarga, maupun masyarakat manusia secara umum. Ia sangat berperan dalam terciptanya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang ideal. Potensi ini jika tidak terdapat pada makhluk hidup, ia tidak akan dapat mempertahankan dirinya di hadapan tantangan alam sehingga mengakibatkan punahnya spesies ini. Apabila kemampuan semacam itu tidak tertanam pada fitrah manusia, dia tidak akan dapat mencapai sebagian besar tahap-tahap kesempurnaannya. Bahkan ketidaksempurnaan atau lemahnya naluri ini jika sampai berada di bawah batas kewajaran, itu berarti pertanda

p: 151

cacat dan lemahnya moralitas serta potensi-potensi akhlak pada yang bersangkutan. Hal ini akan mengakibatkan lahirnya perilaku negatif serta sikap-sikap buruk seperti perasaan takut, lemah, lesu, malas, dan ketamakan. Ia juga akan melahirkan sifat ketidaksabaran, ketidaktegasan pada saat diperlukan, menyerah di adapan setiap penganiayaan dan penghinaan, menerima apa saja yang menimpanya atau keluarganya serta kelemahan tekad dan tidak adanya rasa kecembu-

ruan. Allah Swt. melukiskan sifat-sifat orang Mukmin dengan firman-Nya:

«مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِینَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَی الْکُفَّارِ رُحَمَاءُ بَیْنَهُمْ (29)»

... (orang-orang beriman itu) keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang di antara mereka .... (QS Al-Fath (48): 29)

Pelaksanaan tugas al-amr bi al-ma'rûf wa al-nahy 'an al-munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran), penerapan hudûd (hukuman yang diwajibkan oleh undang-undang pidana Islam), taʼzir (hukuman yang diputuskan oleh seorang hakim), serta penetapan kebijakan-kebijakan lainnya yang bersifat rasional, religius, maupun politis, seluruhnya tidak akan dapat terwujud tanpa adanya potensi amarah yang baik ini. Berdasarkan hal itu, mereka yang menduga bahwa penghapusan total naluri amarah dari kedalaman fitrah manusia merupakan suatu prestasi dan tanda kesempurnaan manusia, sangatlah keliru dan mereka telah melakukan kesalahan besar.

Mereka tidak mengetahui apa saja kriteria kesempurnaan manusia serta sampai di mana batas-batas kewajarannnya. Orang-orang yang malang itu tidak mengerti bahwa Allah Swt. tidak menciptakan potensi mulia ini pada semua makhluk hidup secara sia-sia dan tanpa tujuan. Dia menanamkan naluri ini pada jiwa-jiwa anak cucu Adam a.s. sebagai modal utama dalam rangka terwujudnya kehidupan mulkî dan malakûtî. Ia adala' kunci kebaikan dan keberkatan. Sesungguhnya perjuangan manusia melawan musuh-musuh agama dan upaya mempertahankan keutuhan tatanan sosial, demikiaan pula upaya membela kehormatan jiwa, harta, maupun harga diri serta norma-norma llahiah lainya, bahkan pertempuran melawan hawa nafsu manusia itu sendiri (jihâd nafs) yang merupakan musuh terbesarnya, semua itu tidak dapat terwujud tanpa adanya potensi

p: 152

amarah yang positif ini. Dengan adanya kemampuan itulah, segala macam tindakan yang bersifat aniaya dapat dihalau, batas-batas tidak akan diterjang, kejahatan terhadap individu maupun masyarakat dapat dicegah. Karena alasan itulah, para arif berusaha mengatasi gejala redup dan lemahnya potensi ini.

Ada beberapa petunjuk teoretis sekaligus praktis yang dapat membangkitkan kembali potensi amarah pada jiwa manusia. Misalnya, terjun menghadapi suatu tantangan yang dapat memicu rasa takut yang bersangkutan, pergi ke medan perang, serta berjihad melawan musuh-musuh Allah. Diriwayatkan bahwa beberapa filosof biasa mengunjungi tempat-tempat yang berbahaya, mereka tinggal di situ sejenak hingga membuatnya berhadapan dengan berbagai risiko dan bahaya besar. Mereka berlayar menaiki kapal pada saat dahsyatnya gelombang ombak di lautan disertai dengan tiupan angin kencang. Mereka sengaja melakukan ini agar mereka dapat terbebas dari perasaan takut, lemah, dan malas yang telah menguasai diri mereka. Betapapun, daya amarah merupakan naluri yang telah tertanam dalam fitrah manusia. Hanya saja ia redup dan tidak terlalu kuat pada beberapa orang. Ibarat api yang menyala kecil di dalam sekam. Apabila seseorang merasakan adanya gejala semacam ini di dalam dirinya disertai tanda-tanda seperti kelesuan, lemah, dan kehilangan gairah, ia harus segera berusaha mengatasi keadaan ini dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengannya, sehingga potensi-potensi naluriahnya kembali pada keadaan semula. Upaya ini jika dilakukannya, itu pertanda suatu keberanian yang termasuk salah satu potensi positif yang dimilikinya. Permasalahan ini ini akan disinggung kembali pada pembahasan mendatang.

Buruknya Berlebihan dalam Sikap Marah

Sebagaimana kekurangan dan ketidaksempurnaan potensi akhlak sampai di bawah batas kewajaran dianggap sebagai cacat moral dan penyebab kerusakan-kerusakan akhlak lainnya seperti yang telah kami sebutkan di atas, demikian pula halnya jika sifat ini melebihi batas-batas kewajaran. Secara moral ia pun dipandang sebagai keburukan yang akan menyebabkan berbagai penyimpangan. Hadis yang

p: 153

dikutip dari Al-Kâfi berikut sudah cukup untuk menunjukkan keburukan hal itu: Imam Al-Shadiq a.s. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Marah itu merusak keimanan sebagaimana cuka merusak madu.(1) Boleh jadi kemarahan yang berlebihan pada seseorang dapat membawa orang itu keluar dari agama Allah dan menyebabkan padamnya api keimanan di dalam dirinya, sebagai akibat dari gejolak kemarahan yang menghanguskan keimanannya. Hal ini bahkan dapat membawa mereka pada kemurtadan yang disertai pengingkaran dan berakhir dengan malapetaka abadi. Boleh jadi pada akhirnya ia tersadar sehingga menyesalı hal itu, pada saat tidak lagi berguna baginya penyesalan. Api kemarahan merupakan percikan api setan, seperti yang dikatakan oleh Imam Al-Baqir a.s.:

“Sesungguhnya kemarahan adalah percikan yang dinyalakan oleh iblis di dalam hati anak Adam.(2)

Di alam yang akan datang, api kemarahan itu akan mengambil bentuk api kemurkaan Tuhan, sebagaimana diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. dalam Al-Kafi:

Termaktub di dalam Taurat ketika Allah Swt. membisikkan kepada Musa dengan berfirman, “Hai Musa, kendalikan marahmu terhadap orang-orang yang atas mereka engkau Aku beri kekuasaan. Jika engkau dapat mengendalikannya, Aku akan menghindarkan engkau dari kemurkaan-Ku.(3)

Tidak diragukan lagi bahwa tidak ada api yarg lebih dahsyat daripada api kemarahan Allah. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Isa a.s., putra Maryam. ditanya oleh murid-muridnya tentang sesuatu hal yang paling berat untuk dipikul. “Kemarahan Tuhan Yang Maha tinggi adalah hal yang paling berat untuk dipikul,” jawab beliau. Mereka bertanya lagi kepadanya, “Bagaimana kita dapat menyelamatkan diri darinya?” “Janganlah kamu marah,” kata Nabi Isa. Dengan demikian, jelas sekali bahwa murka Allah adalah yang paling dahsyat dan paling keras. Api kemarahan-Nya adalah yang paling membakar. Bentuk ukhrawi dari kemarahan kita di dunia ini

p: 154


1- 2. Ibid.
2- 3. Ibid., h. 415.
3- 4. Ibid., hh. 412-13.

adalah api kemarahan Allah di alam yang akan datang. Sebagaimana kemarahan muncul dari dalam hati, boleh jadi api kemarahan Tuhan yang pada awalnya berasal dari amarah dan kejahatan-kejahatan batin kita lainnya, juga akan muncul dari kedalaman hati, menyebar ke wujud luar dan nyalanya yang menyakitkan akan muncul dari organ-organ luar seperti mata, telinga, serta lidah. Bahkan, organ-organ luar itu sendiri merupakan pintu-pintu yang akan terbuka bagi api neraka. Api ini akan menyiksa dengan membakar amal-amal buruk manusia dan organ-organ tubuh yang tampak di bagian luarnya, mengalir ke dalam tubuhnya sehingga manusia saat itu disiksa dengan dua Neraka Jahanam; salah satunya berasal dari dalam hati yang nyalanya masuk ke tubuh melalui otak, sedangkan siksa Jahanam

lainnya adalah perwujudan nyata dari amal-amal buruk yang diperbuatnya selama di dunia, di mana apinya menjalar dari luar sampai ke dalam. Hanya Allah yang mengetahui betapa sakit dan pedihnya siksa yang dideritanya itu. Siksa api Jahanam ini tidak bersifat membakar ataupun melelehkan seperti yang kita bayangkan. Apakah Anda beranggapan bahwa api Jahanam melilit dan mengurung yang dibakarnya seperti yang Anda bayangkan? Api di dunia ketika membakar, maka yang dibakar dan dikurungnya hanya permukaan benda yang dibakar itu. Sedangkan di akhirat nanti pengepungan akan terjadi baik secara eksternal maupun internal. Ia akan mencakup permukaan luar tubuh maupun kedalaman hati dan totalitas wujud manusia. Dan apabila, na'ûdzu billâh, marah telah menjadi sesuatu yang melekat dengan karakter seseorang, itulah bencana yang sangat besar. Karena bentuk yang akan diperolehnya di barzakh dan di Hari Pembalasan nanti adalah bentuk binatang buas, yang tidak ada bandingannya di dunia ini. Memang, ketika manusia berada dalam puncak tertinggi kesempurnaan manusiawinya, dia adalah satu-satunya makhluk ajaib di dunia ini yang tak satu makhluk pun dapat menandinginya. Sebaliknya, seorang manusia yang sedang berada dalam keadaan marah, demikian pula ketika ia menyandang sifat dan karakter-karakter buruk lainya, kebuasannya tidak dapat dibandingkan dengan kebuasan hewan mana pun.

p: 155

« .... أُولَئِکَ کَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِکَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179)»

...mereka itu (orang-orang Yahudi) seperti ternak, atau bahkan lebih sesat daripada itu ... (QS Al-A'râf [7): 179)

Tentang kekerasan hati manusia, Al-Quran berkata:

«ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُکُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِکَ فَهِیَ کَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ...»

... lalu hati mereka (orang-orang Yahudi) itu membatu, atau bahkan lebih keras daripada itu .... (QS Al-Baqarah [2]: 74)

Yang telah Anda baca di atas adalah sekelumit dari akibat-akibat buruk kemarahan yang apinya menggerogoti manusia, apabila perilaku buruk ini tidak melahirkan kejahatan dan pelanggaran lainnya. Api batin ini akan terus berada di dalam kegelapan jiwanya, meliputi, mengurung, dan mengepung seluruh hatinya sehingga memadamkan cahaya iman yang ada di dalamnya. Ibarat nyala api yang telah diselimuti oleh asap tebal sehingga mengurung dan memadamkannya. Dalam keadaan seperti ini, mustahil kalau ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan maksiat dan pelanggaran lainnya. Dalam sekejap saja, sering kali kemarahan yang merupakan percikan api setan terkutuk itu menyebabkan yang bersangkutan terjerumus ke dalam jurang kebinasaan. Misalnya cengan mencaci para nabi atau manusia-manusia agung serta segala sesuatu yang bersifat suci, wa al-'iyâdz billâh, membunuh jiwa seseorang yang tak bersalah atau melanggar hal-hal

yang diharamkan sehingga pada akhirnya ia memperoleh kerugian dunia dan akhirat. Di dalam Al-Kafi, disebutkan sebuah hadis berbunyi sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa beliau berkata, “Ayahku pernah berkata, Adakah sesuatu yang lebih keras daripada marah? Sungguh, seseorang yang marah dapat membunuh orang yang darahnya diharamkan oleh Allah dan memfitnah seorang wanita yang bersuami.(1)

Sungguh banyak kejahatan dan berbagai perbuatan keji telah dilakukan akibat amarah yang membara. Oleh karena itu, seseorang yang berhati bersih hendaknya selalu waspada akan dampak buruk dari amarah yang berlebihan ini. Jika ia mengetahui bahwa dirinya biasa dilanda amarah, hendaknya di saat-saat tenang ia berusaha mengatasi hal ini, mempelajari asal mula lahirnya gejala itu pada dirinya sambil mengamati, seperti apa dampak-dampak buruknya

p: 156


1- 5. Ibid.

jika sifat ini dibiarkan hingga menguasai dirinya. Apa yang pada akhirnya akan dialaminya jika hal itu diabaikan. Hendaknya ia berpikir bahwa kemampuan yang dianugerahkan oleh Allah Swt. guna mempertahankan tatanan dunia batin maupun lahirnya, alam gaib dan syahâdah, jika ia menggunakannya untuk selain tujuan tadi dan bertentangan dengan apa yang dikehendaki-Nya, bahkan ia gunakan untuk menentang rencana-rencana Ilahi, maka seberapa besarkah pengkhianatan yang telah dilakukannya itu? Siksa seperti apa yang pantas baginya? Alangkah zalim dan bodohnya ia! Sungguh ia tidak menjaga amanat Zat yang Haqq dan Mahatinggi ini. Ia bahkan menggunakannya untuk melakukan berbagai macam permusuhan dan pertengkaran. Orang seperti ini tidak akan selamat dari kemarahan llahi. Seharusnya ia juga berpikir tentang konsekuensi berupa perilaku buruk yang lahir akibat kemarahan dan perilaku-perilaku buruk yang dimilikinya. Sebab, setiap kerusakan moral akan menyebabkannya setiap saat menderita berbagai malapetaka besar di dunia ini di samping siksa di akhirat nanti.

Lahirnya Bahaya Moral Akibat Kemarahan

Di antara bahaya-bahaya moral lain yang lahir akibat kemarahan yang tak terkendali adalah kebencian terhadap hamba-hamba Allah. Terkadang hal ini bahkan dapat membawanya pada kedengkian bukan saja kepada para nabi dan para wali, melainkan juga kepada Zat Suci Wajib Al-Wujûd dan Sang Pemelihara. Ini menunjukkan betapa buruk konsekuensi-konsekuensi yang dapat ditimbulkannya--kita semua berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa yang membangkang, yang apabila sejenak saja dibiarkan tanpa kendali, akan menjatuhkan seseorang berguling-guling di dalam debu kehinaan atau membawanya pada kecelakaan abadi. Demikian pula halnya dengan penyakit hasad, yang telah Anda pahami bahaya-bahayanya pada penjelasan hadis kelima, serta bahaya-bahaya lainnya yang ditimbulkan oleh penyakit amarah berlebih ini.

p: 157

Bahaya Kemarahan terhadap Amal Perbuatan Manusia

Tidak sedikit dampak buruk terhadap amal perbuatan manusia yang ditimbulkan oleh penyakit amarah ini. Seorang yang sedang dikuasai oleh nafsu amarahnya, boleh jadi mengucapkan kata-kata yang mengandung kemurtadan atau cacian terhadap para nabi Allah dan para wali. Kata-katanya itu mungkin juga mengandung pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Ilahi, atau pencemaran nama baik manusia-manusia suci, atau kebohongan yang mengatasnamakan keluarga-keluarga terhormat, yaitu dengan mengoyak-ngoyak tabir yang menutupi mereka sehingga menyebabkan citranya ternodai dan pilar-pilar penyanggah keutuhannya menjadi hancur. Masih banyak lagi bahaya lain yang timbul akibat nafsu amarah ini. Seluruhnya akan menyebabkan hilangnya keimanan yang bersangkutan dan merugikan pihak lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku ini adalah induk dari segala penyakit kejiwaar. sekaligus kunci bagi terbukanya semua perbuatan buruk. Berlawanan dengan kecenderungan buruk di atas, manusia juga memiliki potensi kemampuan untuk menahan amarah. Potensi ini dianggap sebagai eser.si kebijakan serta sumber dari segala kebaikan dan sifat mulia, seperti dikemukakan dalam hadis dari Al-Kafi berikut: Abu `Abdillah (Imam Al-Shadiq) a.s. meriwayatkan bahwa beliau mendengar ayahnya (Imam Al-Baqir) a.s. berkata, “Seorang lelaki Badui datang kepada Nabi Saw. dan berkata kepadanya, 'Aku tinggal di padang pasir. Ajarkanlah kepadaku inti kebijakan.' Maka, Nabi berkata kepadanya, 'Aku anjurkan engkau untuk tidak marah.' Setelah mengulangi pertanyaannya tiga kali (dan mendengar jawaban yang sama dari Nabi), Badui itu berkata kepada dirinya sendiri, “Setelah ini aku tidak akan bertanya lagi. Rasulullah tidak

memerintahkan kepadaku kecuali sesuatu yang baik.” Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Ayahku pernah berkata, 'Adakah sesuatu yang lebih luas daripada kemarahan? Sungguh, seseorang yang marah akan mampu membunuh seseorang yang darahnya diharamkan Allah, atau memfitnah seorang wanita yang telah bersuami.(1) Seseorang dalam keadaan jiwanya tenang dan amarahnya terkendali, setelah ia merenungkan akibat-akibat buruk kemarahan serta

p: 158


1- 6. Ibid.

keuntungan dari menahan diri, harus memastikan dirinya bahwa ia dapat memadamkan api tersebut di wilayah hatinya betapapun melelahkan dan sulitnya upaya tersebut. Hendaklah ia menghilangkan segala bentuk kekeruhan dan kegelapan dari dalam hatinya agar kembali pada kejernihannya semula. Dengan sedikit tekad untuk melawan nafsu serta keinginan-keinginan negatif, sambil mengingatkan hati dan berpikir tentang akibat-akibat buruknya, dapat dikatakan bahwa hal ini tidak terlalu sulit untuk dapat dilakukan. Ini merupakan cara yang dapat membuang segala macam perilaku buruk, sekaligus menggantikannya dengan sifat-sifat dan karakter baik yang seharusnya dimiliki oleh setiap hati manusia.

Mengendalikan Amarah

Untuk mengatasi penyakit amarah yang menyala-nyala, terdapat beberapa langkah praktis dan teoretis. Langkah teoretisnya adalah dengan merenungkan masalah-masalah yang disebutkan di atas. Ini juga sebenarnya termasuk cara penanggulangan praktis. Langkah-langkah praktis yang paling penting adalah dengan menahan diri pada tahap-tahap awal munculnya gejala kemarahan. Hal ini karena kemarahan ibarat api, dapat meningkat sedikit demi sedikit, sampai menjadi

lebih hebat hingga panasnya meningkat dan nyala apinya berkobar dengan dahsyat. Ketika hal itu terjadi, manusia akan kehilangan kendali sehingga mematikan pelita hati dan keimanannya. Saat itu manusia menjadi hina dan rendah. Oleh karena itu, seseorang harus tetap berjaga-jaga sebelum keganasannya memuncak dan apinya menjadi semakin dahsyat. Ia harus menyibukkan dirinya dengan hal-hal lain atau meninggalkan tempat yang di situ kemarahannya terpancing.

Ia juga harus mengubah posisinya; apabila ia marah dalam keadaan duduk, ia mesti segera bangkit berdiri, dan jika dalam keadaan berdiri, ia harus bangun, atau menyibukkan diri dengan mengingat Tuhan (sebagian orang bahkan menganggapnya wajib) atau hal-hal lain. Betapapun, sangatlah mudah bagi manusia untuk menahan amarahnya pada saat datangnya gejala awal. Hal ini mempunyai dua keuntungan. Pertama, ia akan dapat menenangkan dirinya dan mengurangi api kemarahan. Kedua, ini akan membawanya pada pe-

p: 159

nuntasan total gejala buruk ini, sehingga dengan seialu mengamati keadaan nafsunya dan memperlakukannya dengan perlakuan tersebut, niscaya keadaannya akan terkendali dan berubah secara total sehingga gejolak amarahnya kembali normal. Di dalam Al-Kafi, sebuah hadis menyebutkan masalah ini:

Diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. bahwa beliau berkata, "Sungguh, kemarahan adalah percikan api yang dinyalakan oleh iblis di dalam salah seorang di antara kamu ketika ia marah. Matanya menjadi merah, urat lehernya menjadi membesar, dan setan memasukinya. Maka, barang siapa di antara kamu khawatir (saat itu)

setan akan merasuki dirinya, hendaklah ia merebahkan diri (sejenak) karena kotoran setan dapat hilang darinya pada saat itu.(1) dan: Maisar meriwayatkan bahwa suatu saat di hadapan Iriam Al-Baqir a.s dibahas soal marah. Beliau berkata, “Sungguh, seorang yang sedang marah (boleh jadi) tidak akan puas sama sekali hingga ia masuk ke neraka. Maka, barang siapa marah kepada suatu kaum hendaknya ia segera duduk apabila ia dalam keadaan berdiri. Sebab, sesungguhnya hal itu akan menolak kotoran kotoran setan. Dan, barang siapa marah kepada seseorang di antara kerabatnya, hendaklah ia mendekat kepadanya dan menyentuhnya karena hubungan kekerabatan (yang terancam retak akibat kemarahan), apabila di-rangsang dengan sentuhan, akan menyebabkan ketenangan.(2)

Dua hadis di atas menyarankan dua macam cara penanganan praktis untuk mengendalikan kemarahan pada saat munculnya gejala awal. Cara pertama bersifat umum, yaitu menganjurkan duduk dan melakukan perubahan posisi tubuh. Hadis lain menyebutkan bahwa apabila posisi seseorang pada saat ia marah dalam keadaan duduk, ia mesti berdiri. Sebuah riwayat dari jalur Ahl Al-Sunnah juga menyebutkan pesan yang sama dengan hadis yang diriwayatkan Maisar di atas dengan sedikit tambahan bahwa “Apabila beliau (Saw.) marah dalam keadaan duduk, beliau segera menyandarkan punggungnya sehingga redalah kemarahannya.”

Cara praktis lainnya adalah menyangkut kemarahan yang muncul di antara sesama saudara yang saling memiliki hubungan darah, yaitu

p: 160


1- 7. Ibid., h. 415.
2- 8. Ibid., h. 412.

dengan cara salah satu dari mereka menyentuh salah satu anggota tubuh saudaranya yang sedang marah. Dengan demikian, niscaya kemarahannya akan mereda.

Petunjuk di atas merupakan metode-metode praktis yang dapat dilakukan oleh pelaku kemarahan itu sendiri. Namun, apabila ada pihak lain yang ingin mengobati seseorang yang sedang marah, jika yang tampak adalah gejala awal kemarahan, penyelesaiannya adalah dengan menerapkan salah satu dari dua metode yang disebutkan di atas. Apabila kemarahannya semakin memuncak, saat itu nasihat ataupun saran akan membuahkan hasil yang sebaliknya. Sulit sekali untuk dapat mengobatinya dalam kondisi seperti ini, kecuali dengan ancaman atau peringatan keras dari seseorang yang ditakuti dan diseganinya. Sebab, pada umumnya kemarahan seseorang tertuju hanya kepada orang lain yang dianggap lebih lemah dan lebih rendah daripadanya atau paling tidak sama dalam kekuatan dan kedudukan. Adapun di hadapan orang yang diseganinya, ia tidak akan menunjukkan kemarahannya sehingga amarahnya hanya sebatas gejolak yang meluap-luap di dalam dan tertahan hingga melahirkan kesedihan serta kekecewaan di dalam dirinya. Oleh karenanya, sulit sekali untuk dapat menenangkan kemarahan yang sedang memuncak. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.

Mengatasi Kemarahan dengan Mencabut Akar-Akarnya

Cara terbaik untuk mengobati penyakit amarah setan ini adalah dengan pemusnahan total kemarahan sampai ke akar-akarnya dan menghilangkan segala macam faktor yang dapat menyebabkan kehadirannya. Faktor ini cukup banyak. Di sini hanya akan disebutkan sebagiannya saja. Salah satunya adalah cinta diri, yang pada gilirannya akan melahirkan cinta kekayaan, kemuliaan, kehormatan, cinta popularitas, dan keinginan untuk berlaku sewenang-wenang. Ini semua dapat

menjadi penyebab bangkitnya api kemarahan karena seseorang yang memiliki kecenderungan-kecenderungan di atas, akan selalu berkonsentrasi terhadap hal-hal itu dan menjadikannya pusat perhatiannya setiap saat. Jika ternyata ia menemukan kesulitan dalam meraih salah satu dari tujuan-tujuan yang diinginkannya tersebut atau ketika keinginan-

p: 161

nya menemui kendala, saat itu pula ia akan melampiaskan kemarahannya tanpa sebab yang jelas sehingga ia tidak dapat menguasai dirinya. Pada saat seperti itu, ketamakan, keserakahan, dan keburukan-keburukan lain yang ditimbulkan oleh cinta diri yang telah menjadi karakternya, benar-benar telah menguasai akal, pikiran, dan seluruh totalitas jiwanya sehingga menjadikannya menyimpang dari petunjuk fitrah dan tuntunan syariat. Akan tetapi, apabila orang ini tidak memiliki

ketergantungan terhadap hal-hal itu, ketenangan dan kepuasan batin yang lahir akibat meninggalkan sifat cinta kedudukan dan semacam-nya, tidak akan membiarkannya bertindak melawan norma-norma keadilan.

Seseorang yang hidupnya sederhana, ia selalu tabah, dan tahan terhadap segala bentuk penderitaan. Ia tidak pernah kehilangan kesabaran. Kemarahan berlebihan yang bukan waktunya, tidak akan menguasainya. Apabila cinta dunia telah tercabut habis dari dalam hatinya, saat itu seluruh kejahatan akan meninggalkannya, digantikan oleh sifat-sifat lain.

Faktor lain penyebab munculnya kemarahan adalah bahwa kadang-kadang marah serta manifestasinya yang buruk, yang sebenarnya merupakan keburukan dan kebobrokan moral, dipandang sebagai kebaikan dan prestasi karena kebodohan dan kurangnya pemahaman. Sebagian orang bodoh menganggap kemarahan itu sebagai tanda keberanian dan kejantanan. Mereka memuji diri mereka sendiri dengan penuh kebanggaan sambil menunjuk perbuatan-perbuatan buruk yang telah dilakukannya. Mereka mengira perbuatan yang merusak itu sebagai sua'u keberanian, padahal sifat yang terakhir ini merupakan ciri agung dari akhlak seorang Mukmin dan merupakan sifat yang dianjurkan.

Perlu diingat bahwa keberanian dan keteguhan berbeda sekali dengan kemarahan. Sebab-sebab, akibat-akibat, dar, ciri-cirinya, berbeda sama sekali dergan penyakit yang berbahaya itu. Keberanian menimbulkan kekuatan ruhani, ketenangan pikiran, moderasi, dan keimanan pada yang bersangkutan. Ia juga melahirkan dalam dirinya sikap ketidakpedulian terhadap gemerlap duniawi dan segala bentuknya yang menggoda. Sementara, kemarahan adalah hasil dari kele-

p: 162

mahan dan ketidakstabilan kualitas ruhani, lemahnya iman, serta ketidakseimbangan pada watak dan jiwa. Dampak lainnya adalah lahirnya karakter kecintaan berlebihan terhadap dunia dan ketakutan akan hilangnya kenikmatan hidup. Oleh karenanya, penyakit ini lebih sering ditemui pada orang yang sakit daripada orang yang sehat, lebih banyak pada anak-anak daripada orang dewasa, lebih banyak pada orangtua daripada anak muda. Keberanian dan keteguhan sangat berlawanan sekali dengannya. Sebenarnya penderita kerusakan moral secara umum memiliki kecenderungan lebih cepat marah daripada mereka yang sehat secara moral. Seorang yang kikir misalnya, lebih sering marah ketimbang yang lainnya karena kekhawatiran yang berlebihan terhadap harta kekayaannya. Setelah melihat hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya kemarahan dan keberanian serta konsekuensi kedua sifat tersebut, jelas bahwa keduanya sangat berbeda sekali. Seseorang yang dikuasai oleh gejolak kemarahan dapat bertindak tak ubahnya seperti seorang gila yang kehilangan kendali akalnya atau seperti seekor binatang yang bertindak tanpa mempertimbangkan secara rasional akibat-akibat dari tindakannya. Dia dapat melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan tidak senonoh. Lidah, tangan, dan bagian-bagian lain tubuhnya berada di luar kendali dirinya. Bibir dan mulutnya berubah menjadi bentuk yang demikian buruk sehingga ia akan malu jika tampangnya dalam keadaan tersebut dilihatnya di hadapan cermin. Sebagian orang yang terjangkiti penyakit ini bisa marah hanya karena hal-hal sepele. Mereka bahkan dapat melepaskan kemarahannya terhadap binatang, mengutuk udara, air, tanah, hujan, udara dingin, dan gejala-gejala alam lainnya, jika yang terjadi bertentangan dengan kehendak mereka. Kadang kala mereka mengamuk kepada buku, pena, dan perkakas rumah lainnya, membantingnya dan memecahkannya berkeping-

keping Sedangkan sikap seorang pemberani tidak seperti itu. Tindakan- tindakannya penuh kehati-hatian serta didasarkan pada nalar dan ketenangan jiwa. la marah pada saat yang tepat, sabar, dan menahan diri ketika sikap seperti itu diperlukan. Ia tidak terpancing dan menjadi marah karena hal-hal kecil. Apabila marah, ia marah dengan

p: 163

wajar, dan jika membalas, ia membalas dengan sangat bijak. Ia mengetahui bagaimana membalas, dalam kesempatan apa dan terhadap siapa serta bagaimana ia memaafkan, kapan, dan kepada siapa. Dalam keadaan marah, ia tidak kehilangan kendali dirinya, tidak pernah menggunakan ungkapan tak senonoh ataupun bertindak sembrono. Semua tindakannya didasarkan pada pertimbangan rasional dan sesuai dengan norma-norma syariat, keadilan, dan kebijaksanaan. la selalu melakukan tindakan-tindakan yang tidak membuatnya menyesal di kemudian hari.

Manusia yang sadar sudah semestinya tidak menyalahpahami sifat tersebut, yang merupakan salah satu sifat para nabi, para wali, dan orang-orang Mukmin sejati serta dianggap sebagai suatu bentuk kesempurnaan dan prestasi spiritual, dan tidak mengacaukannya dengan sifat lain yang merupakan keburukan ruhani, kerusakan hati sekaligus dorongan jahat dan sifat iblis. Namun, tabır kejahilan dan kebodohan serta tirai cinta diri serta keterikatan pada dunia membuatnya tuli dan buta mata hati sehingga membuatnya berada dalam kehancuran dan penderitaan abadi.

Di samping penyebab-penyebab di atas, juga terdapat penyebab-penyebab kemarahan lainnya, seperti bangga diri (ujb), angkuh (zahw), sombong (kibriya”), pamer (mira"), keras kepaia ('inad), senda gurau (mizâh), dan semacamnya yang semua itu akan memperpanjang pambahasan ini sehingga akan tidak praktis. Boleh jadi, sebagian besar atau keseluruhannya, langsung atau tidak langsung, sudah ada pada dua tema yang telah dibahas ini. Wa al-hamdu lillah.[/

p: 164

8 Hadis tentang 'Ashabiyyah

Point

بسندی المتّصل إلی محمّد بن یعقوب عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن النّوفلی، عن السّکونی، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: قال رسول الله صلّی الله علیه و آله: من کان فی قلبه حبّة من خردل من عصبیّة، بعثه الله یوم القیامة مع أعراب الجاهلیّة.

Dengan sanad yang bersambung kepada Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini), dari 'Ali ibn Ibrahim dari ayahnya, dari Al-Naufali, dari Al-Sakuni, dari Abu 'Abdillah (Imam Al-Shadiq) a.s. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang di dalam hatinya ada perasaan ‘ashabiyyah walaupun hanya sebesar biji sawi, Allah

akan membangkitkan ia di hari kiamat nanti bersama orang-orang Badui Jahiliah.(1)

Kata khardal (biji sawi) adalah sejenis tumbuhan yang dikenal memiliki banyak manfaat medis dan juga digunakan untuk membuat lilin. Adapun ‘ashabiyyah adalah karakteristik mendukung sanak keluarga dan famili, walaupun demi perkara yang salah dan tidak adil. Kata 'ushbah jika dinisbahkan kepada seseorang berarti menunjuk kepada sanak famili dari pihak ayahnya, karena mereka adalah orang-orang yang hidup berada di sekitar lingkungannya sehingga dari mereka ia memperoleh dukungan kekuatan. Ta'ashshub secara umum mengandung makna 'mendukung' dan 'membela'. Hamba yang fakir ini menyimpulkan bahwa ‘ashabiyyah adalah perilaku batin sekaligus psikis yang tampak ketika seseorang melindungi dan membela keluarganya serta membela orang-orang yang memiliki

pertalian atau hubungan tertentu dengannya, baik itu keyakinan agama,

p: 165


1- 1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kafi, (Intisharat 'Ilmiyyah Islamiyyah, Teheran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Jawad Mushthafawi), h. 419.

ideologi, tanah, ataupun tanah air. Pertalian itu mungkin juga berupa kesamaan profesi atau hubungan guru dan murid, atau hal lainnya. 'Ashabiyyah termasuk salah satu jenis kejahatan moral dan sifat buruk yang dapat melahirkan berbagai penyimpangan moral. Sifat ini pada dasarnya adalah sifat tercela walaupun berbentuk pembelaan terhadap agama atau kebenaran, karena tidak dimaksudkan untuk membela kebenaran tersebut, tetapi untuk memperluas pengaruh diri

sendiri atau pengaruh orang yang sekelompok dengannya. Namun, jika pembelaan yang dimaksud demi tegaknya kebenaran serta dalam rangka tersebar luas dan terpeliharanya norma-norma Ilahi, ‘ashabiyyah di sini berarti salah satu dari dua kemungkinan; hal demikian tidak diramakan 'ashabiyyah, atau itu merupakan ‘asha-

biyyah yang dianjurkan. Tolok ukurnya terletak pada perbedaan kehendak dan tujuannya, serta apakah 'ashabiyyah itu melibatkan tujuan-tujuan diri sendiri atau tujuan setan, ataukah demi menjalankan tujuan-tujuan Ilahiah Dengan kata lain, ketika seseorang membela dan ber-ta'ashshub kepada sanak keluarga dan siapa yang dicintainya, di sini, apabila ia melakukannya dengan niat demi tegaknya kebenaran dan tertolaknya segala bentuk keburukan, itu adalah ta'ashshub yang terpuji dan merupakan pembelaan terhadap kebenaran. Sifat ini termasuk salah satu bentuk pencapaian kesempurnaan manusia yang termulia serta salah satu sikap agung para nabi dan wali-Nya. Ciri utama ta'ashshub positif ini bahwa seseorang harus cenderung berpihak pada sesuatu yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran, dan mempertahankannya, meskipun hal itu berlawanan dengan keberpihakan orang-orang yang dicintainya, atau meskipun kebenaran yang dianutnya berseberangan dengan musuh-musuhnya. Orang semacarn ini adalah pejuang kebenaran; ia akan dianggap sebagai pembela kemuliaan dan yang selalu berupaya demi terciptanya suatu tatanan masyarakat manusia yang ideal. Ia merupakan salah seorang anggota masyarakat yang baik, yang selalu mengupayakan adanya perbaikan setiap kerusakan pada masyarakatnya. Namun, apabila perjuangan orang ini di tengah masyarakatnya hanya bermotifasikan kebangsaan dan semangat ‘ashabiyyah-nya, yakni dengan cara membela, mempertahankan, dan melindungi kebatilan

p: 166

serta kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat, sanak keluarga atau orang-orang yang dicintainya, ini berarti orang itu terkena penyakit buruk yang bernama 'ashabiyyah jahiliyyah. Ia telah menjadi anggota masyarakat yang buruk, merusak moralitas masyarakat yang pada dasarnya baik, dan telah masuk ke dalam kategori kelompok orang-orang Badui Jahiliah, yakni kelompok orang-orang Arab penghuni padang pasir pada masa pra Islam di mana mereka hidup dalam

kebodohan. Penyakit ‘ashabiyyah ini telah mendarah daging di kalangan mereka secara umum, kecuali yang memperoleh cahaya petunjuk (melalui Islam). Hal ini diisyaratkan oleh hadis yang meriwayatkan bahwa Imam 'Ali a.ş. berkata, “Allah Swt. akan menyiksa enam golongan manusia karena enam macam dosa; Dia akan menyiksa para penghuni padang pasir karena 'ashabiyyah, orang-orang yang tinggal di daerah terpencil karena kesombongan, penguasa karena penindasan, para fuqahâ’ karena hasad, para pedagang karena ketidakjujuran, dan orang-orang rasâtiq karena kebodohan”.

Bahaya 'Ashabiyyah

Berdasarkan hadis-hadis yang bersumber dari Ahl Al-Bait Nabi Saw., dapat disimpulkan bahwa penyakit 'ashabiyyah termasuk salah satu sifat buruk iblis sekaligus dosa yang membinasakan, yang akan mengakibatkan kehidupan yang buruk di akhirat dan menyebabkan keluarnya manusia dari keimanan. Diriwayatkan dalam Al-Kafi, melalui sanad yang shahih, dari Abu 'Abdillah (Imam Al-Shadiq) a.s. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa yang ber-taʻashshub atau dijadikan sasaran 'ashabiyyah karena kepentingannya, maka terlepaslah tali iman dari lehernya (1)

Yakni, dengan 'ashabiyyah-nya, orang seperti itu telah keluar dari keimanan. Adapun orang yang karena kepentingannya 'ashabiyyah dilakukan, karena merestui perbuatan 'ashabiyyah kawannya, ia adalah sekutunya dalam menerima siksa Allah. Hal ini disebutkan dalam sebuah hadis bahwa “barang siapa rela terhadap tindakan suatu kaum, ia akan dikumpulkan (di akhirat) dengan mereka”. Akan tetapi, jika tidak merestui bahkan mengecam perbuatan tersebut, ia tidak akan termasuk golongan mereka.

p: 167


1- 2. Ibid.

Al-Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan pernah berkata, “Barang siapa mempraktikkan 'ashabiyyah (terhadap seseorang), Allah akan melilit dia (ashabahu) dengan lilitan (“ushbah) dari api neraka.(1) Al-Imam 'Ali ibn Al-Husain a.s. diriwayatkan pernah berkata, “Hamiyyah(2) tidak akan masuk surga, kecuali hamiyyaha Hamzah ibn 'Abdul Muththalib, yang muncul ketika ia masuk Islam karena kemarahannya dalam membela Nabi Saw.(3) Bermacam-macam riwayat yang menceritakan peristiwa masuk-nya Hamzah ke dalam Islam, tetapi masalah ini di luar pembahasan kita sekarang. Betapapun, jelas sekali bahwa iman yang merupakan “pakaian kebesaran" yang Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tulus ikhlas kepada-Nya, dan pencari cinta-Nyamadalah sifat yang berlawanan dengan perilaku terkutuk itu. Sifat ‘ashabiyyah ini melahirkan suatu aktivitas yang dapat menghapuskan nilai-nilai kebenaran. Tentu saja, apabila hati tertutup oleh tabir kecintaan terhadap diri, keluarga dan 'ashabiyyah (fanatisme) kesukuan maupun kebangsaan, cahaya keimanan tidak akan mendapatkan sedikit pun tempat di dalamnya sebagaimana tidak ada lahan yang dapat dijadikan untuk mendekatkan diri kepada Zat Yang Mahatinggi. Orang yang di dalam hatinya terdapat manifestasi cahaya keimanan dan makrifat (kepada-Nya), yang lehernya dibelenggu oleh tali keimanan yang kukuh dan tak terputuskan serta tertawan oleh cahaya hakikat-Nya dan makrifat (kepada-Nya), adalah dia yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan terikat dengan prinsip-prinsip hukum rasional. Orang yang demikian itu selalu menyesuaikan setiap gerak langkahnya berdasarkan tuntunan akal serta norma-norma syariat. Demi kian teguhnya sikapnya ini sehingga tidak dapat tergoyahkan meskipun berlawanan dengan tradisi, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan yang selalu dilakukannya sehari-hari. Ia tidak akan pernah menyimpang dari jalan yang lurus. Seseorang yang mengklaim dirinya sebagai Muslim sejati dan beriman adalah dia yang menyerah di hadapan hakikat-hakikat (kebesaran Allah Swt.) serta patuh terhadapnya. Ia

p: 168


1- 3. Ibid., h. 420.
2- a Hamiyyah adalah suatu sikap membela dan mempertahankan sesuatu-penerj
3- 4. Ibid.

akan melihat segala yang harus dicapainya di dunia ini—betapapun besar tujuan-tujuannya itu—sebagai sesuatu yang fana dan tidak berarti di hadapan tujuan dan kehendak Tuhannya Sang Pelimpah aneka nikmat. Ia akan mengorbankan dirinya demi mewujudkan kehendak Tuhannya Yang Mahasejati.

Jelaslah bahwa orang semacam ini tidak mengenal fanatisme Jahiliah. Dia terbebas dari sifat itu. Hatinya tidak tertuju kecuali pada hakikat-hakikat-Nya itu. Kedua matanya tidak diselubungi oleh tabir tebal fanatisme Jahiliah. Dia tidak segan-segan memutuskan segala bentuk hubungan dan ikatan demi meninggikan kalimat tauhid dan mengumandangkan hakikat kebenaran-Nya. Ia akan mengorbankan semua tali kekeluargaan dan pertalian adat di hadirat Tuhan Mahamutlak Pemilik segala nikmat. Apabila 'ashabiyyah-nya terhadap Islam berten-tangan dengan ‘ashabiyyah Jahiliah, dia mengedepankan Islam. Manusia yang tercerahkan mengetahui bahwa semua bentuk ‘ashabiyyah, dan segala macam hubungan pertalian maupun ikatan, hanyalah sementara dan akan musnah, kecuali hubungan antara Khaliq dan makhlûq-Nya. Inilah jenis 'ashabiyyah yang esensial dan tidak akan pernah sirna. Ia lebih kuat, lebih tinggi, dan lebih unggul daripada semua jenis hubungan ataupun pertalian.

Hadis Nabi

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Semua hasab (kemuliaan) dan nasab (ikatan kekerabatan) akan terputus pada hari kiamat kecuali hasabku dan nasabku.” Sebab, kemuliaan Rasulullah Saw. bersifat ruhaniah dan abadi, terbebas dari segala bias ‘ashabiyyah jahiliah. Hasab dan nasab di alam akhirat akan tampak lebih kuat dan kebaikan-kebaikan ruhaniah juga akan lebih jelas.

Nasab-nya adalah keterikatan dan hubungannya dengan Allah Swt., tidak akan tampak jelas kecuali di akhirat nanti. Sedangkan bentuk pertalian-pertalian fisik yang bersifat duniawi, yang sementara dan hanya berlandaskan tradisi serta adat-istiadat manusia itu, mudah terputus hanya karena hal sepele. Semua itu tidak akan ada harganya sama sekali di alam akhirat, kecuali hubungan-hubungan yang diba-

p: 169

ngun menurut sistem Ilahiah serta berdasarkan tolok ukur syariat dan akal, yang tiada putusnya.

Bentuk Ukhrawi dari Ashabiyyah

Dalam penjelasan hadis-hadis yang lalu, telah disebutkan bahwa kriteria bentuk-bentuk manusia di alam barzakh dan alam akhirat nanti adalah berdasarkan karakter dan kualitas jiwa manusia itu sendiri, sebagai dampak dari amal perbuatannya selama kehidupannya di dunia. Baik buruknya bentuk-bentuk manusia bergantung pada besar tidaknya kualitas ruhaninya itu. Alam akhirat merupakan tempat tampaknya dominasi ruh dan patuhnya jasmani terhadap segala ketentuan

yang jatuh kepadanya. Boleh jadi manusia dibangkitkan di akhirat nanti dalam bentuk hewan atau setan. Seperti yang Anda ketahui bahwa hadis yang sedang kita pelajari dalam bab ini menyatakan bahwa orang yang di dalam hatinya memiliki rasa ‘ashabiyyah walaupun sebesar biji sawi. Allah Swt. akan membangkitkannya di hari kiamat bersama orang-orang Badui Jahiliah, juga mungkin menunjuk pada permasalahan yang kita kaji di atas. Manusia yang memiliki penyakit ‘ashabiyyah ini, boleh jadi setelah ia berpindah ke alam lain akan melihat dirinya sebagai seorang Badui Jahiliah penyembah berhala, yang tidak memiliki keimanan kepada Tuhan maupun pada kenabian dan risalah para nabi. Dia akan menemukan dirinya berbentuk seperti halnya keadaan wajah-wajah mereka, tanpa sama sekali mengingat bahwa ketika di dunia dia telah memeluk agama yang benar, yaitu keimanan kepada Allah dan RasulullahNya, ataupun menyadari bahwa dia dahulu termasuk umat Rasulullah Saw. pembawa risalah terakhir. Ini didukung oleh sebuah hadis yang menyebutkan bahwa para penghuni neraka tidak akan dapat mengingat nama Rasulullah, ataupun mengenali diri mereka sendiri, kecuali jika Allah berkehendak untuk membebaskan mereka. Dan, sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadis, karena 'ashabiyyah merupakan salah satu sifat iblis, bisa saja orang-orang Badui dan orang-orang yang berpenyakit ‘ashabiyyah itu nanti akan dibangkitkan dalam bentuk iblis.

p: 170

Diriwayatkan dari Abu 'Abdillah (Imam Al-Shadiq) a.s. bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya dahulu para malaikat mengira bahwa iblis itu termasuk golongan mereka, padahal dalam ilmu Allah ia bukan termasuk mereka; lalu ia mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya dengan hamiyyah dan amarah, lalu berkata, 'Engkau ciptakan aku dari api, dan Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah liat.(1)

Oleh karena itu, ketahuilah wahai Saudaraku, bahwa sifat buruk ini sumbernya adalah setan terkutuk dan merupakan hasil kekeliruannya dalam berpikir. Ia melakukan kekeliruan karena kabut tebal ‘ashabiyyah. Kabut tersebut menghalangi pandangan untuk dapat melihat semua realitas sehingga perbuatan-perbuatan buruk diri sendiri akan tampak baik. Demikian pula sebaliknya kebaikan orang lain dilihatnya buruk. Dan, tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana nasib mereka yang melihat segala sesuatu, bukan yang sebenarnya. Selain menjadi sumber malapetaka dan kerusakan manusia, 'ashabiyyah juga menyebabkan sejumlah kejahatan moral dan perilaku-perilaku buruk yang terlalu panjang jika dibahas dalam buku ini. Seorang bijak yang menggunakan akalnya, setelah memahami

bahwa semua kekejian tersebut sumbernya adalah 'ashabiyyah yang merusak ini, dan setelah meyakini kesaksian Rasulullah Saw. dan Ahl Al-Baitnya a.s. tentang bahayanya sifat tersebut dan bahwa ini akan membawa manusia pada kehancuran serta menjadikannya sebagai penghuni neraka, sudah seharusnya ia segera bergerak membebaskan dirinya dari penyakit ini dan menyucikan hatinya meskipun dari sebiji sawi noda 'ashabiyyah ini. Hendaklah hal itu segera dituntaskan sehingga ia dapat sepenuhnya tersucikan sebelum ia meninggalkan dunia ini dan dipindahkan ke alam berikutnya. Ia harus terbebas dari perbuatan tersebut pada saat kematiannya agar ia dapat melangkahkan kakinya ke akhirat dengan jiwa yang suci. Ia harus ingat bahwa waktu amat sedikit dan kesempatan amat terbatas karena ia tidak tahu kapan ia pergi meninggalkan dunia ini. Wahai jiwa jahat! Mungkin ajal mendatangimu pada saat engkau sedang sibuk menulis lembaran-lembaran ini, dan memindahkanmu

p: 171


1- 5. Ibid.

bersama semua perbuatan burukmu ke alam lain yang engkau tidak akan pernah kembali darinya. Wahai Anda pembaca lembaran-lembaran ini! Ambillah pelajaran

dari keadaan penulis ini yang mungkin hari ini atau esok terkubur di dalam tanah, memasuki alam lain dengan membawa beban amal- amal buruk. Sungguh penulis ini telah menyia-nyiakan kesempatan berharga yang dimilikinya dengan bermalas-malasan dan mengikuti hawa nafsunya selama di dunia, bahkan menghancurkan bekal yang Allah berikan dan membuangnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah karena suatu hari Anda pun akan mengalami keadaan yang sama dengan saya, dan Anda tidak tahu kapan hal itu terjadi. Boleh jadi, jika Anda yang saat ini sedang sibuk membaca lembaran-lembaran ini, menangguh-nangguhkan kesempatan itu, akibatnya kesempatan tersebut akan lolos dari tangan Anda sendiri.

Wahai Saudaraku! Jangan tunda persoalan semacam ini; ini tidak mungkin dapat ditangguhkan. Ingat, betapa banyak orang sehat yang secara tiba-tiba direnggut oleh kematian. Ia mengeluarkannya dari dunia ini menuju alam lain, sementara kita tidak mengetahui bagaimana nasibnya di akhirat.

Jika demikian, jangan sia-siakan kesempatan ini berlalu. Manfaatkanlah waktu setiap detiknya karena ini merupakan persoalan besar yang tidak dapat dianggap remeh. Perjalanan hidup ini sungguh membahayakan keselamatan-jiwa kita. Apabila Anda tidak memanfaatkan kesempatan berharga Anda di dunia yang merupakan ladang akhirat ini, seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. Anda tidak akan dapat lagi berbuat apa-apa di akhirat nanti dan Anda tidak dapat meluruskan kebengkokan Anda. Akibatnya, tidak lain kecuali penyesalan, siksa, dan kehinaan.

Para wali Allah tidak pernah beristirahat walaupun sejenak. Mereka selalu takut akan perjalanan yang berbahaya dan penuh risiko ini. Apa yang terjadi pada Imam Keempat, 'Ali ibn Al-Husain Zainal ‘Abidin a.s., sangatlah mengagumkan. Rintihan beliau masih terngiang. Mengapa kita begitu lalai? Apa jaminan kita sehingga kita selalu merasa tenang? Sungguh tidak ada yang membuat kita menunda-nunda amalan hari ini sampai esok hari kecuali setan terkutuk. Ia ingin

p: 172

terus menambah jumlah pengikutnya dan membuat kita mencontoh perilaku-perilaku buruknya sehingga pada akhirnya kita dikumpulkan bersamanya di akhirat nanti. Makhluk terkutuk itu selalu berusaha menjadikan kita menganggap remeh persoalan akhirat di mata kita. Ia ingin menjadikan kita lupa terhadap mengingat Allah dan ketaatan kepada-Nya, dengan membuat kita selalu berangan-angan akan mem- peroleh kasih sayang-Nya serta syafaat dari para pemberi syafaat. Akan tetapi, sayang sekali, ini semua hanya merupakan angan-angan bohong belaka sekaligus perangkap makhluk terkutuk itu. Memang, pada saat ini pun, Anda diliputi oleh rahmat dan kasih sayang-Nya. Di antara rahmat-Nya itu adalah anugerah kesehatan, kesejahteraan, ketenteraman, waktu, petunjuk, akal, dan bimbingan

untuk perbaikan jiwa dan kehidupan serta berbagai anugerah lainnya. Namun, Anda tidak memanfaatkan anugerah-anugerah ini, bahkan Anda tunduk pada perintah-perintah setan. Jika Anda gagal mengambil manfaat dari rahmat-Nya di dunia, di alam sana pun Anda tidak akan memperoleh kasih sayang-Nya yang tiada batas itu, tidak juga syafaat para pemberi syafaat. Bentuk perolehan syafaat di dunia adalah dengan mengikuti petunjuk-Nya yang dibawa oleh mereka para pemberi syafaat tersebut. Sedangkan bentuk syafaat di alam akhirat adalah sisi batin dari petunjuk yang mereka bawa ketika di dunia. Apabila Anda tidak dapat mengikuti petunjuk-Nya di dunia, berarti Anda tidak akan dapat memperoleh syafaat di sana; seberapa besar perolehan syafaat yang Anda peroleh di akhirat nanti ditentukan oleh besar tidaknya ketundukan Anda terhadap petunjuk-Nya di dunia. Sesungguhnya syafaat Nabi Saw. tidak berbeda dengan rahmat Allah Swt. Ia bersifat mutlak, diberikan kepada orang yang layak dan memenuhi syarat untuk menerimanya.

Apabila setan merampas dari tangan Anda seluruh sarana yang dapat mengantarkan Anda pada keimanan, mâ samahaka Allah, tentu Anda tidak akan layak menerima rahmat Allah dan syafaat para pemberi syafaat itu. Memang, anugerah Allah di kedua alam itu amat banyak dan rahmat-Nya tidak terbatas. Oleh karena itu, apabila Anda mencari rahmat-Nya, mengapa Anda tidak memanfaatkan anugerah-Nya yang terus-menerus itu di dunia ini, padahal ia adalah benih

p: 173

bagi terwujudnya rahmat dan kasih sayang-Nya di alam sana? Sesungguhnya para nabi dan para wali dengan jumlah mereka yang sangat banyak itu, telah mengajak Anda pada jamuan hidangan Allah Swt. dengan nikmat-nikmat-Nya yang begitu melimpah. Tetapi Anda malah menolaknya bahkan berpaling darinya karena perintah dan rayuan setan pembisik yang bersembunyi (al-waswas al-khannâs). Anda korbankan ayat-ayat muhkamât (ayat-ayat yang tegas) dari Kitab Allah, hadis-hadis mutawatir dari para nabi dan wali, argumen-argumen rasional dari orang-orang bijak serta bukti-bukti yang pasti dari para arif.

Anda mengorbankannya demi karena rayuan setan dan angan-angan jahat nafsu Anda sendiri. Celakalah saya juga Anda karena kelalaian, kebutaan, ketulian, dan kebodohan yang mendominasi kita.

Tentang 'Ashabiyyah Kaum Intelektual

Di antara salah satu jenis ‘ashabiyyah jahiliah adalah sikap keras kepala kalangan yang berpengetahuan (baik para ulama maupun intelektual-peny.) dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan bidang mereka, serta kebiasaan mempertahankan suatu pendapat atau ide yang dikemukakannya, atau guru atau syaikhnya. Ini dilakukan tanpa melihat apakah yang dipertahankannya itu bersifat menegaskan suatu kebenaran atau menolak kebatilan. Jelas bahwa 'ashabiyyah semacam itu lebih buruk daripada jenis-jenis 'ashabiyyah lainnya dan lebih layak mendapat kecaman dari berbagai sisi. Pertama, dari sisi pelaku 'ashabiyyah itu sendiri. Seharusnya para ulama maupun intelektual adalah para pendidik bagi umat manusia. Mereka adalah cabang-cabang pohon kenabian dan kepemimpinan

umat yang mengetahui adanya akibat-akibat buruk dari perilaku- perilaku amoral. Oleh karena itu, jika seorang yang berpengetahuan memiliki ‘ashabiyyah jahiliah atau sifat-sifat buruk-lainnya, tanggung jawabnya di hadapan Allah semakin besar. Orang yang memproklamasikan dirinya sebagai cahaya petunjuk dan lilin yang dapat menerangi arena para pencari makrifat (kepada Allah Swt.), serta sebagai penunjuk jalan ke akhirat serta menuju kebahagiaan abadi, kemudian amal

perbuatannya tidak sesuai dengan yang telah diproklamasikannya itu, di mana keadaan batinnya bertentangan dengan keadaan lahiriah-

p: 174

nya, maka orang semacam ini akan digolongkan bersama orang-orang yang munafik dan berbuat ria. Ia dihitung sebagai ulama sesat dan sebagai manusia yang berpengetahuan tanpa amal. Siksa bagi orang yang demikian itu halnya sangat pedih. Allah telah menyebutkan keadaan mereka di dalam Al-Quran dengan firman-Nya: «مَثَلُ الَّذِینَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ یَحْمِلُوهَا کَمَثَلِ الْحِمَارِ یَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِینَ کَذَّبُوا بِآیَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا یَهْدِی الْقَوْمَ الظَّالِمِینَ (5)»

Betapa buruk perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Dan Allah tiada menunjuki orang-orang yang zalim. (QS Al-Jumu'ah (62]: 5)

Dengan demikian, yang penting sekali untuk selalu dipelihara dan dipertahankan oleh para ulama adalah bagaimana mereka dapat konsisten menjaga status maupun integritas diri mereka sendiri. Hendaklah mereka terus melakukan penyucian totalitas jiwa mereka dari segala macam bahaya-bahaya moral yang menghampirinya, agar dapat memperbaiki keadaan mereka sendiri maupun masyarakat secara umum. Sehingga, dengan demikian, nasihat-nasihat mereka

akan berpengaruh baik dan menyentuh hati masyarakat luas. Sungguh kebobrokan seorang ulama dapat membawa pada kebobrokan suatu bangsa. Sudah barang pasti bahwa suatu kerusakan yang menimbulkan berbagai kerusakan lain, dan pelanggaran yang melahirkan pelanggaran lain di mata Allah Swt. adalah lebih buruk dan lebih besar daripada suatu kerusakan yang tidak berpengaruh apa-apa terhadap yang lain.

Kedua dari sisi ilmu pengetahuan itu sendiri. Sifat 'ashabiyyah merupakan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan sekaligus penyia-nyiaan haknya. Seorang yang bertugas memikul amanat semacam ini berkewajiban untuk menjaga kesuciannya dan menyampaikan amanatnya itu secara utuh dan tanpa cacat kepada pemiliknya. Apabila ia memiliki ‘ashabiyyah jahiliah yang merusak itu, berarti telah berkhianat dan melakukan suatu kezaliman. Hal ini pada dasarnya merupakan suatu kesalahan besar. Sisi ketiga dari perilaku buruk tersebut adalah penghinaan terhadap nama baik para ulama sejati, jika sikap 'ashabiyyah ini dilibatkan

pada saat kajian-kajian ilmiah para ulama itu. Hal ini secara terang-terangan dilakukan di hadapan para ulama padahal mereka adalah titipan Tuhan yang wajib dihormati. Menghina mereka berarti meng-

p: 175

hina kehormatan Allah Swt. dan termasuk salah satu dosa besar. Terkadang ‘ashabiyyah yang salah penempatannya ini menyebabkan tercabik-cabiknya kehormatan para ulama. Saya berlindung kepada Allah Swt. dari dosa besar ini.

Sisi keempat dari keburukan 'ashabiyyah adalah berkenaan dengan seseorang yang menjadi objek ‘ashabiyyah dan karenanya sikap buruk ini dilakukan, yaitu misalnya seorang guru atau syaikh. Hal ini pada akhirnya akan mengantar pelaku 'ashabiyyah pada kedurhakaan terhadap guru atau syaikh tersebut. Sebab, para syaikh dan guru besar-semoga Allah memuliakan mereka selalu berpihak kepada kebenaran dan membenci kesalahan serta kezaliman. Mereka murka terhadap siapa saja yang tindakan 'ashabiyyah-nya menyebabkan tersebarnya kebatilan dan matinya kebenaran. Tentu, kedurhakaan spiritualitas lebih parah ketimbang kedurhakaan yang bersifat jasmani. Demikian pula hak bapak secara spiritual lebih tinggi daripada hak bapak dalam bentuk hubungan darah.

Maka, menjadi kewajiban bagi kaum ulama--semoga Tuhan memuliakan dan meninggikan kedudukan mereka-untuk berlepas diri dari semua kejahatan moral baik berupa aktivitas yang bersifat lahiriah maupun batin. Hendaklah mereka menghiasi diri mereka dengan amal saleh dan akhlak yang mulia dan tidak menyia-nyiakan posisi mulia yang Allah anugerahkan kepada mereka apalagi dengan berpindah ke derajat yang lebih rendah dari yang sebelumnya. Apabila hal ini terjadi pada seseorang, besarnya kerugian yang dialaminya tidak dapat dibayangkan. Yang mengetahuinya hanya Allah Swt. ()

p: 176

9 Hadis tentang Nifak (Kemunafikan)

Point

بالسّند المتّصل إلی ثقه الإسلام محمّد بن یعقوب الکلینی، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد بن عیسی، عن محمّد بن سنان، عن عون القلانسی، عن ابن أبی یعفور، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: من لقی المسلمین بوجهین و لسانین، جاء یوم القیامة و له لسانان من نار

... Dengan sanad yang bersambung kepada Tsiqât Al-Islâm Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn 'lsa, dari Muhammad ibn Sinan, dari 'Aun ibn Al-Qalanisi, dari Ibn Abi Ya'fur, yang meriwayatkan bahwa Abu ´Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq) a.s. pernah berkata, “Siapa yang menjumpai orang-orang Muslim dengan dua muka dan dua lidah, di hari kiamat ia akan datang dengan dua lidah api.(1) Menjumpai orang-orang Muslim dengan dua muka atau bermuka dua, yakni orang yang menampakkan keadaan dan penampilan lahiriah yang bertentangan dengan hati nuraninya di hadapan orang lain. Misalnya, dengan memberikan kesan seakan-akan yang bersangkutan memiliki rasa simpati, kasih sayang, dan ketulusan yang mendalam, padahal dalam hatinya ia menyembunyikan perasaan yang sebaliknya. Orang itu menunjukkan sikap jujur dan rasa persahabatan di tengah-tengah mereka, tetapi tidak demikian ketika di belakangnya. Adapun orang yang berlidah dua artinya memuji dan menyanjung setiap orang yang dijumpainya sambil bersikap menjilat dan menampakkan rasa simpati di hadapannya, tetapi apabila orang-orang itu tidak ada, ia mencela dan mengumpatnya. Berdasarkan penjelasan ini, sifat pertama dapat disebut sebagai “kemunafikan peri-

p: 177


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, (Akhundi), Vol. 2, h. 343.

laku” dan yang kedua sebagai “kemunafikan ucapan”. Boleh jadi hadis di atas mengisyaratkan keburukan sifat munafik. Dan, oleh karena dua gambaran kemunafikan di atas termasuk karakteristik yang paling jelas dan sangat khas bagi mereka (orang-orang munafik), hadis di atas hanya menyebutkan dua ciri kemunafikan. Kemunafikan adalah salah satu penyakit psikis dan potensi buruk yang dapat menyebabkan lahirnya beberapa penyimpangan moral, termasuk di antaranya dua perilaku di atas. Sifat ini juga memiliki tingkat-tingkat dan derajat-derajatnya yang bermacarn-macam. Insya Allah saya akan berusaha membahasnya semampu saya, dengan menyebutkan tingkatan-tingkatannya, bahaya, serta cara penanganannya pada bab-bab mendatang.

Tingkat-Tingkat Nifaq

Perlu diketahui bahwa sifat nifâq, sebagaimana potensi-potensi serta kecenderungan buruk dan baik lainnya, memiliki derajat dan tingkat yang berbeda-beda dari sisi kuat dan dan lemahnya potensi tersebut. Seseorang yang mengabaikan setiap perilaku buruk dan tidak segera mengambil langkah-langkah penyembuhannya, bahkan ia tunduk terhadap dorongan-dorongannya dan mengikutinya, hal itu akan menyebabkan semakin menguatnya kecenderungan buruk ini. Tingkatannya pun bermacam-macam dan tidak terbatas, mirip dengan derajat dan tingkat-tingkat kebaikan.

Seseorang apabila membiarkan nafs ammârah-nya tanpa kendali, ini akan mendorongnya menuju kerusakan moral dan keadaan jiwa yang tidak pernah merasa tenang serta menyebabkan setan pembisik (al-waswas al-khannas) datang mendorongnya untuk berbuat kerusakan. Keadaannnya akan bertambah parah dan nafsunya semakin menjadi-jadi, sehingga perilakunya ini semakin har, semakin membentuk suatu sosok nafsu tersendiri yang sangat esensial dan telah melekat pada jiwa dan kepribadiannya. Totalitas jiwa dan raga orang ini pada akhirnya menjadi patuh dan tunduk di bawah kekuasaannya. Apabila yang menguasainya itu adalah karakteristik setan, seperti nifâq dan bersifat bermuka dua—yang merupakan watak makhluk

p: 178

terkutuk itu (setan), seperti yang telah dikutip oleh Al-Quran ketika yang terakhir ini berkata kepada Adam dan Hawa:

«وَقَاسَمَهُمَا إِنِّی لَکُمَا لَمِنَ النَّاصِحِینَ (21)»

Dan ia bersumpah kepada mereka, “Sungguh, aku ini adalah penasihat yang tulus kepada kalian.” (QS Al-A'râf (7): 21)

Padahal, kenyataannya ia berlawanan dengan apa yang ia klaim maka saat itu totalitas jiwa dan raganya akan menjadi kerajaan setan. Bentuk akhir dari dimensi batin, nafsu dan esensi jiwanya menjadi berbentuk setan. Terkadang tampilan lahirnya di dunia pun seperti bentuk setan meskipun berparas manusia. Maka, apabila manusia tidak melawan sifat buruk tersebut, dan membiarkan nafsu bertindak sekehendaknya, dalam waktu yang singkat semua sarana pengendalian akan sepenuhnya lepas sehingga perhatian satu-satunya hanya akan terfokus pada perbuatan buruk tersebut. Dengan siapa saja berjumpa, ia akan menyambut dan memperlakukannya dengan bermuka dan berlidah dua. Siapa pun yang menjadi teman bergaulnya, pastilah hubungan dan pergaulannya itu dicemari oleh keburukan sikap munafik dan bermuka-mukanya itu. Tidak ada satu hal pun yang terlintas dalam benaknya kecuali keuntungan pribadinya sendiri dan sifat pengagungannya terhadap dirinya saja. Bukan masalah baginya menginjak-injak norma-norma persahabatan ataupun kesetiakawanan. Ia tidak akan segan-segan melakukan suatu kerusakan moral dalam bentuk perbuatan buruk dan tidak senonoh dengan kepura-puraan dalam setiap gerakan dan diamnya. Orang yang demikian itu halnya sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan pada Hari Kebangkitan ia akan dikumpulkan bersama setan. Semua yang dikemukakan di atas adalah berkenaan dengan derajat kuat-lemahnya substansi perbuatan nifâq, tetapi ia juga berbeda-beda menurut hal-hal yang berhubungan dengannya. Terkadang seseorang melakukan nifâq berkenaan dengan agama Allah, atau berkenaan dengan sifat-sifat baik dan akhlak-akhlak mulia, terkadang pula berhubungan dengan amal-amal saleh dan masalah ibadah, atau dalam persoalan sehari-hari yang dikenal oleh kebanyakan orang. Demikianlah, terkadang seseorang berbuat nifâq di hadapan Nabi Saw., para Imam a.s., para wali, para ulama, dan orang-orang Mukmin. Boleh jadi sifat nifâq ini lebih meluas lagi sehingga mencakup kemunafikan

p: 179

di hadapan seluruh umat serta segenap makhluk Allah Swt. hamba-hamba Allah kelompok masyarakat dan agama yang berbeda-beda. Tentu saja bentuk-bentuk niſâą ini memiliki perbedaan dalam hal kualitas keburukannya, meskipun semuanya bersumber dari satu pokok yang buruk dan keji. Jenis sifat-sifat ini merupakan cabang dan dahan-dahan dar. suatu pohon yang sama buruknya.

Akibat-Akibat Nifaq

Sesungguhnya sifat nifâq dan bermuka dua—selain merupakan sifat yang buruk, hina, dan jahat, yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang mulia dan terhormat, pelaku perbuatan ini dianggap keluar dari kategorinya sebagai individu sebuah masyarakat manusia, bahkan ia tidak dapat dipersamakan dengan seekor binatang sekalipun. Kedua sifat di atas dapat menyebabkan yang bersangkutan mengalami kehinaan di kalangan sahabat-sahabatnya di dunia ini, serta mengakibatkan pastinya siksa dan kehinaan di akhirat nanti sebagaimana sebuah hadis menyebutkan bahwa keadaan orang seperti ini di alam sana "akan dibangkitkan dengan dua lidah dari api”. Kedua sifat di atas juga akan menjadi sumber kehinaan baginya di depan para makhluk Allah, lebih-lebih di hadapan para nabi, para rasul, dan para malaikat-Nya.

Hadis tadi mengisyaratkan kerasnya siksaan bagi seorang munafik dan bermuka dua itu. Sebab, apabila substansi fisik telah berubah menjadi api, bayangkanlah betapa besar kepedihan dan penderitaan yang akan dirasakannya. Saya berlindung kepada Allah dari dahsyatnya siksa ini. Sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam 'Ali a.s. menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Seorang yang bermuka dua akan datang di hari kiamat nanti dalam keadaan mengulurkan salah satu

lidahnya dari belakang punggungnya dan yang satu lagi dari depannya. Kedua lidah itu akan memancarkan api, sehingga membakar seluruh tubuhnya(1). Lalu, diumumkan, 'Orang ini dahulu ketika di dunia bermuka dan berlidah dua. Dia akan dikenal pada hari itu dengan kejahatannya tersebut." Ayat Al-Quran berikut ini juga dapat menjadi ancaman bagi yang bersangkutan:

p: 180


1- 2. Al-Syaikh Al-Shaduq, 'Iqab Al-A'mal (Maktabat Al-Shaduq), h. 319.

«وَالَّذِینَ یَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِیثَاقِهِ وَیَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ یُوصَلَ وَیُفْسِدُونَ فِی الْأَرْضِ أُولَئِکَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ (25)»

... dan mereka memutuskan apa yang Allah perintakan untuk disambungkan serta berbuat kerusakan di bumi ini; bagi mereka laknat dan bagi mereka tempat tinggal yang buruk. (QS Al-Ra'd (13): 25)

Sifat nifâq dan bermuka, di samping akibat-akibat buruk yang disebutkan di atas, juga merupakan sumber lahimya kebanyakan bahaya dan akibat buruk yang membinasakan, di mana satu saja dari bahaya-bahaya ini, sudah cukup untuk dapat menghancurkan kehidupan dunia dan akhirat seseorang. Di antara bahaya-bahaya itu adalah fitnah (timbulnya kekacauan seperti penyiksaan, perampasan harta, pengusiran, dan lain-lain) yang dengan tegas Al-Quran menyebutnya sebagai lebih buruk daripada pembunuhan. Yang lainnya adalah namîmah, yang dicela oleh Imam Al-Baqir a.s. dalam hadis berikut:

“Diharamkan surga bagi orang yang mengumpat, yang terbiasa melakukan namîmah.(1)

Kebiasaan mengumpat dan menggunjing orang lain juga merupakan salah satu bahaya yang ditimbulkan oleh nifâq. Nabi Saw. menyebutnya “lebih buruk daripada perzinaan”. Akibat buruk lainnya adalah mengganggu orang Mukmin, mencerca, dan membongkar rahasia-rahasianya, dan masih banyak lagi bahaya serta akibat-akibat buruk lain yang akan muncul sebagai konsekuensi perbuatan niſâq di atas, yang masing-masing dapat menjadi penyebab kehancuran manusia.

Ketahuilah bahwa terdapat kebiasaan buruk lain yang masuk dalam kategori nifâq, di antaranya adalah kebiasaan mencela orang lain, menyindir atau mengisyaratkan keburukan orang lain dengan kerdipan mata dan saling memanggil dengan panggilan buruk, meskipun secara lahiriah masing-masing menunjukkan rasa persahabatan yang kental dan saling setia serta kasih mengasihi. Hendaklah manusia waspada dan selalu mengontrol setiap perilaku dan sikap terjangnya, karena tipu daya dan perangkap setan sangat halus. Sedikit sekali orang yang dapat menyelamatkan diri darinya. Boleh jadi dengan memberi sedikit isyarat yang tidak senonoh atau memberikan kerdipan atau sindiran yang tidak layak, seseorang dapat dicap sebagai bermuka dan berlidah dua. Atau bisa saja seseorang memiliki kebiasaan

p: 181


1- 3. Al-Kafi, Vol. 2, h. 369.

buruk ini selama hidupnya sementara ia menganggap dirinya sehat dan suci secara moral. Oleh karena itu, hendaknya manusia memiliki sikap yang mirip

seperti seorang dokter pandai atau perawat yang dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian selalu khawatir akan kondisi kejiwaan pasiennya, tidak pernah lalai terhadapnya dan setiap saat mengawasi semua sikap terjang dan perkembangan yang dialaminya. Hendaknya manusia tahu bahwa tidak ada penyakit yang paling tersembunyi, dan pada saat yang sama paling berbahaya, daripada penyakit-penyakit hati, dan tidak ada seorang perawat yang lebih cermat dan lebih memiliki rasa kekhawatiran tinggi terhadap manusia daripada dirinya sendiri.

Mengobati Penyakit Nifaq

Ada dua cara yang dapat membuang penyakit nifâq yang sangat berbahaya ini: Pertama adalah dengan merenungkan bahaya-bahaya yang timbul dari penyakit tersebut. Sebab, seorang yang di dunia dikenal dengan siſat di atas, citranya akan hancur di kalangan masyarakat umum sekitarnya, lebih-lebih kawan-kawan terdekatnya. Ia akan kehilangan kehormatannya di antara sahabat-sahabatnya, sehingga boleh jadi mereka mengusirnya dari tempat-tempat perkumpulan mereka.

Akibatnya, ia akan mengasingkan diri dari suasana hangat forum-forum mereka dan tidak mampu mencapai tahap-tahap kesempurnaan ataupun tujuan-tujuan yang dicita-citakannya. Setiap manusia yang memiliki hati nurani dan harga diri harus dapat menjauhkan dirinya dari cacat yang dapat menodai kehormatannya ini, agar ia tidak mengalami kehinaan seperti tersebut di atas. Kehinaan serupa akan dialaminya di akhirat nanti, alam yang di sana tersingkap semua rahasia. Saat itu semua yang tersembunyi dari pandangan manusia ketika di dunia ini tidak dapat ditutup-tutupi. Di sana, ia akan dibangkitkan sebagai seorang yang berbentuk buruk dengan memiliki dua lidah dari api dan disiksa bersama-sama dengan orang-orang munafik dan setan.

p: 182

Maka, apabila seorang yang berakal sehat, melihat adanya penyakit nifâq ini di lingkungannya, dan ia tidak menemukan akibat apa pun yang ditimbulkannya selain sifat buruk dan hina, sudah merupakan kewajiban baginya untuk menghindar dari bahaya melekatnya karakteristik dan perilaku buruk tersebut pada dirinya.

Kedua, berupa tindakan praktis, yaitu dengan cara seseorang mengontrol gerak dan diamnya jiwa yang bersangkutan dengan sangat cermat selama beberapa saat, lalu bergerak melakukan suatu aktivitas yang berlawanan dengan hasrat serta angan-angan nafsunya. Ia juga harus berupaya agar seluruh perbuatan dan tutur kata lahiriah maupun batiniahnya menjadi satu dan menjauh dari sifat kepura-puraan dan penipuan dalam kehidupan sehari-harinya. Setelah itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah, memohon kesuksesan dan taufik-Nya dalam upaya mengalahkan hawa nafsu yang selalu memerintahkannya melakukan kejahatan (al-ammârah bi al-sû'), dengan berharap kiranya Dia menolongnya dalam setiap upayanya itu. Sungguh rahmat, kasih sayang, dan keutamaan-keutamaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya tidak ada batasnya, pertolongan-Nya mencakup siapa saja yang melangkahkan kakinya ke arah pembenahan dirinya. Uluran kasih sayang dan bantuan-Nya akan segera menarik hamba-Nya yang bermohon pertolongan-Nya.

Pada saat seseorang memanjatkan doanya seperti di atas, sebaik-nya ia bermohon kepada Allah Swt. kiranya Dia menyucikan jiwanya, menjernihkan kalbunya, serta membebaskannya dari kemunafikan dan sifat bermuka dua sehingga ia dapat terhindar dari keburukan semacam itu dan jiwanya menjadi tempat bersemayamnya rahmat dan kelembutan-Nya Sang Pelimpah aneka nikmat Yang Hakiki. Hal itu demikian karena pengalaman dan berbagai argumentasi logis

membuktikan bahwa setiap ucapan atau perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan manusia di dunia ini, akan meninggalkan dampak dan bekas pada jiwa yang bersangkutan. Apabila perbuatan itu saleh dan baik, ia akan meninggalkan bekasnya berupa nûr (cahaya) yang sempurna; apabila sebaliknya, bekas dan dampak yang ditinggalkannya bersifat gelap dan tidak sempurna sehingga mengakibatkan hati manusia akan menjadi salah satu dari dua kemungkinan; terang

p: 183

dan bercahaya atau gelap dan suram sama sekali, tergolong pada kelompok orang-orang baik dan saleh, atau orang-orang celaka. Oleh karena itu, selama kita masih berada di dunia ini yang merupakan ladang tempat kita beramal untuk bekal di akhirat, maka sesungguhnya kita dengan tekad dan kehendak yang bulat dapat secara bebas mengemudikan hati kita ke arah kebahagiaan atau ke arah kecelakaan. Sebab, manusia adalah tawanan dari perbuatannya sendiri seperti kata Al-Quran: «فَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ (7)» «وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ (8)»

Dan barang siapa berpuat kebaikan sebesar biji sawi, ia akan melihatnya; dan barang siapa berbuat keburukan sebesar biji sawi, ia pun akan melihatnya. (QS Al-Zalzalah (99): 7-8)

Beberapa Bentuk Nifaq

Ketahuilah, Saudaraku, bahwa salah satu bentuk niſâq, bermuka dan berlidah dua adalah nifâq terhadap Sang Mahakuasa, Raja dari segala raja serta Sang Pemberi Anugerah dan Pemelihara. Sebenarnya saat ini kita menderita penyakit berbahaya tersebut dan kita lalai terhadap gejala semacam itu. Tirai tebal kejahilan dan hijab-hijab gelap egoisme, cinta diri, dan cinta dunia telah menghalangi pandangan kita sehingga benar-benar kita tertu:upi sama sekali, sedemikian rupa sehingga

tidak mungkin lagi bagi kita untuk dapat menyadari hal ini sebelum tersingkapnya isi hati serta terangkatnya tabir-tabir itu, dan sebelum kita berpisah meninggalkan alam dunia tempat aneka tipu daya, kebodohan dan kelalaian yang kita tempati. Sungguh, sekarang ini kita benar-benar tenggelam dalam kelalaian, dimabuk can oleh pesona alam fisik dan berbagai hasrat serta kecenderungan nafsu, yang menghiasi setiap bentuk amal buruk dan kejahatan moral kita. Apabila kita terbangun dan sadar dari dari kelalaian ini, peluang untuk dapat memperbaiki diri telah habis. Saat itu kita telah dicap sebagai kelompok kaum munafik yang bermuka dan berlidah dua. Kita akan dibangkitkan dengan dua lidah dari api, dan dua wajah yang mengerikan. Di saat seperti itu, ratapan dan teriakan kita, “Tuhan, kembalikan aku (ke dunia),"(1) tidak ada manfaatnya lagi. Teriakan itu akan dijawab dengan, “Tidak.”

p: 184


1- a QS Al-Mu'minûn(23): 99--penerj.

Karakteristik bermuka dua dapat disandang oleh siapa saja-saya atau Anda—karena kita semasa di dunia menghabiskan seluruh usia kita dalam keadaan bermuka dua. Secara lahir kita menunjukkan keberpegangan terhadap prinsip tauhid, mengklaim diri kita sebagai Mukmin sejati sekaligus penganut Islam, bahkan mengaku memiliki rasa cinta dan kasih sayang, dan klaim-klaim kosong lainnya yang kita umumkan sesuka hati kita. Jika kita termasuk orang awam, yang menjadi bahan klaim kita adalah keimanan, keislaman, ketulusan, dan kesalehan kita. Sedangkan apabila kita termasuk kalangan berpengetahuan (ulama) dan ahli dalam bidang fiqih (fuqaha'), kita akan mengklaim berada pada puncak tertinggi keikhlasan (ikhlash) dan berpedoman pada prinsip wilayah dan khilafah Nabi Saw. sambil berpe-

gang pada sebuah ucapan Nabi Saw., Allahumma irham khulafa'i (Ya Allah, rahmatilah para khalifahku), dan ucapan Imam Zaman a.s.- semoga jiwaku menjadi tebusan baginya: Innahum hujjati (Sungguh, mereka adalah hujjah-ku ...)—dan pernyataan-pernyataan para Imam a.s. lainnya yang menyebutkan perihal para ulama dan fuqaha'. Apabila kita termasuk para ahli di bidang ilmu pengetahuan umum, klaim kita adalah keimanan kukuh disertai argumentasi logis serta kepemilikan film al-yaqin, 'ain al-yaqin, dan haqq al-yaqin sambil berkeyakinan bahwa seluruh makhluk Allah Swt. selainnya memiliki pengetahuan yang tidak sempurna dan keimanan yang lemah, sambil membuktikan klaim tersebut dengan berbagai ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang seluruhnya berbicara tentang diri kita. Apabila kita merasa termasuk golongan para sufi dan ahli ‘irfân, kita akan mengakui mempunyai pengetahuan ketuhanan, ketertarikan spiritual terhadap-Nya dan melebur dalam cinta-Nya, fana bersama Allah dan kekal bersama-Nya (fanâ' fi Allâh, baqa' fi Allâh), dan merasa sebagai wakil-Nya dalam pengelolaan setiap urusan (wilayah al-amr). Kita menerapkan gelar-gelar itu dan lain sebagainya yang terlintas dalam benak dan tampak menarik bagi kita. Demikianlah, masing-masing kelompok di antara kita mengklaim dengan lidah dan keadaan lahiriahnya bahwa ia--baik saya yang menulis lembaran-lembaran ini, atau Anda pembaca-memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah dan merupakan penampakan dari kebe-

p: 185

naran. Jika bentuk lahiriah yang bersangkutan, sesuai dengan keadaan batinnya, dan kenyataan yang tampak selaras dengan yang tersembunyi di dalam jiwanya, dan ia jujur dalam hal klaimnya, marilah kita ucapkan selamat bagi mereka yang memiliki nikmat semacam itu. Namun, apabila keadaannya seperti keadaan penulis, yang memiliki "cacat” pada “wajah” yang buruk dan kelam ini, ketahuilah bahwa orang atau kelompok ini termasuk ke dalam golongan kaum munafik

(munâfiqûn) dan berlidah serta berwajah dua. Ia harus segera mengobati dirinya dan menggunakan kesempatan sebelum kesempatan itu berlalu, agar terbebas dari kesengsaraan, kegelapan, dan kehinaan yang sedang menantirya.

Wahai Sahabatku yang mengaku Muslim, sebuah hadis dalam Al-Kafi dari Rasulullah Saw.:

"Orang Muslim adalah dia yang orang Muslim lainnya selamat dari gangguan tangan dan lidahnya."(1) Jika demikian, mengapa kita—saya dan Anda-mengganggu, mengusik, dan menyakiti orang yang derajatnya di bawah kita, dengan berbagai cara dan kemampuan yang kita miliki? Mengapa kita tidak pernah jera berbuat aniaya terhadap mereka bahkan mengambil hak mereka tanpa dasar? Sehingga apabila tangan-tangan kita tidak dapat menjangkau mereka, kita melakukan gangguan terhadap mereka melalui lidah kita, yaitu dengan membongkar rahasia-rahasia dan

menyingkap segala hal yang selama ini mereka sembunyikan, mengumpat mereka ketika kita berada di belakang mereka, serta membuat tuduhan-tuduhan palsu terhadap mereka? Ini berarti, klaim keislaman kita—yang justru tidak pernah membuat saudara-saudara kita yang Muslim selamat dari gangguan tangan dan lidah kita--bertentangan dengan realitas yang kita alami sebenarnya. Keadaan batin kita malah bertentangan dengan realitas lahiriah kita. Hal ini semakin membuktikan bahwa kita benar-benar termasuk ke dalam kategori kaum munafik dan bermuka dua. Wahai Anda yang mengaku menganut keimanan kuat dan ketundukan hati di hadapan Sang Mahaagung! Apabila Anda memiliki keyakinan penuh akan keesaan-Nya, hati Anda tidak tunduk kepada

p: 186


1- 4. Ibid., Vol. 2; Faidh Al-Kasyani, Al-Mahajjah Al-Baidha', Vol. 3, h. 358.

selain-Nya, tidak mencari selain-Nya, dan percaya bahwa sifat ulůhiyyah hanya milik-Nya semata, apabila realitas lahir dan batin Anda sesuai dengan klaim Anda sendiri, mengapa Anda begitu lemah dan tunduk di hadapan para pemuja dunia? Mengapa Anda menyembah dan mendewakan mereka? Bukankah hal itu karena Anda melihat pengaruh mereka yang cukup kuat di alam ini? Sebab Anda menganggap bahwa kehendak mereka saja yang dapat terwujud, dan bahwa

kekuatan dan limpahan kekayaan mereka adalah energi satu-satunya yang berpengaruh? Dan satu-satunya kehendak tidak Anda yakini pengaruhnya adalah kehendak Allah Swt., sehingga Anda hanya tunduk pada segala sebab yang tampak, lantas lupa kepada Penyebab Awal dari sebab-sebab itu? Setelah itu, Anda tetap menegaskan keyakinan Anda pada keesaan Tuhan! Jika demikian itu halnya, berarti Anda telah keluar dari golongan orang-orang Mukmin, dan termasuk ke

dalam kelompok munafiqin dan berlidah dua, dan akan dibangkitkan bersama mereka.

Anda yang mengaku orang saleh yang ikhlas, jika benar-benar Anda tulus ikhlas, dan demi karena Allah Swt. serta kemuliaan kehidupan akhirat semata Anda menahan diri dari kesenangan-kesenangan duniawi, Apa yang membuat Anda senang mendengarkan pujian orang lain terhadap Anda yang mengatakan bahwa Anda termasuk orang saleh dan benar? Mengapa Anda tidak pernah menolak setiap kali diajak duduk melayani para pemuja dunia, lalu kemudian lari dari orang-orang fakir miskin? Ketahuilah bahwa kesalehan dan ketakwaan Anda tidaklah murni. Tujuan Anda di balik itu semua adalah karena semata-mata untuk mencari kenikmatan dunia. Hati Anda tidak secara tulus tunduk kepada Allah. Pengakuan Anda adalah suatu kebohongan, dan Anda masuk ke dalam kategori munafiqin dan bermuka dua. Anda yang mengaku orang yang ditunjuk sebagai pemegang kepemimpinan (wilayah) oleh wali Allah (yakni Dua Belas Imam) dan pemangku khilafah Rasulullah Saw., apabila realitas Anda sesuai dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam hadis dari Al-Ihtijâj:

"Dia yang menjaga jiwanya tetap bersih, menjaga keyakinannya, melawan hawa nafsunya, dan taat kepada perintah Tuhannya ...(1)

p: 187


1- 5. Al-Thabarsi, Al-Ihtijaj, Vol. 2, h. 106; Al-Hurt Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. 18, h. 99; Al-Kulaini, op. cit., Vol. 1, h. 112; Al- Syaikh Al-Thusi, Al-Tahdzib, Vol. 6. h. 301; Al-Syaikh Al-Shaduq, Man là Yahdhuruhû Al-Faqih, Vol. 3; Al-Nuri, Mustadrak Al-Wasâ’il, Vol. 3; h. 187; Syaikh Muhammad Hasan, Al-Jawâhir, Vol. 40, h. 32.

Apabila Anda merupakan cabang dari pohon wilayah dan risalah (kerasulan), dan tidak cenderung pada dunia maupur. mencari kedekatan dengan para penguasa, raja, dan bangsawan, tidak juga menolak kelompok miskin, sesungguhnya nama Anda sesuai dengan substansi Anda sendiri, dan Anda memang satu di antara hujjah Allah di tengah umat manusia. Kalau tidak demikian, berarti Anda salah satu ulama sesat dan jahat yang tergolong kelompok munafiqin. Keadaan Anda

lebih buruk daripada kelompok yang telah disebutkan di atas, perbuatan Anda lebih buruk dan hidup Anda lebih celaka dan mengerikan; karena tak ada da ih dan alasan apa pun bagi kaum ulama. Anda yang mengklaim memiliki hikmah Ilahi dan pengetahuan tentang realitas asal mula kehidupan (al-mabda”) dan tempat kembali semua makhluk (al-ma'âd), jika benar memiliki pengetahuan tentang sebab-akibat, jika benar Anda mengetahui keadaan dan bentuk-bentuk ukhrawi manusia di alam barzakh serta keadaan-keadaan di surga maupun neraka, semestinya Anda tidak merasa tenteram sejenak pun dan akan menghabiskan setiap waktu dalam kehicupanmu untuk membangun kehidupan di alam abadi. Engkau harus lari menghindar dari dunia dan segala rayuannya karena Anda mengetahui jenis siksaan dan kegelapan seperti apa yang menunggu Anda di sana. Jika demikian, mengapa Anda tidak maju satu langkah pun, keluar dari sekadar klaim-klaim kosong atau konsep-konsep ideal tanpa disertai amal? Mengapa argumentasi dan bukti rasional yang Anda miliki tidak membawa pengaruh apa-apa pada hari Anda sedikit pun? Kalau begitu, Anda berada di luar kelompok Mukmin dan kaum arif sejati. Pada Hari Perhitungan nanti, Anda akan dibangkitkan bersama kalangan mundfiqin. Celakalah manusia yang menghabiskan seluruh tenaga dan hidupnya dalam mencari pengetahuan metafisik, tetapi tidak dapat sedikit pun dimabukkan oleh kehebatan alam raya yang fisik ini dan yang merupakan tanda kebesaran-Nya, sehingga فidak satu pun hakikat (kebesaran-Nya) pernah merasuki hatinya!

Anda yang mengaku sebagai ahli makrifat, suluk, fana, dan cinta kepada Allah, apabila benar bahwa Anda termasuk para pecinta Allah, ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya dan termasuk ke dalam kategori ash-håb al-qulûb (para pemilik hati bersih-suci), manusia tercerahkan

p: 188

dengan catatan masa lalu yang baik, selamat bagi Anda. Sebaliknya, berbagai celoteh-celoteh (syathahât), sikap bermuka-dua, dan klaim-klaim yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mencerminkan rasa cinta diri dan waswas setan pada yang bersangkutan, semua ini ber- tentangan dengan cinta Allah dan semangat Ilahiah karena Allah berfirman: sesungguhnya wali-wali-Ku, berada di bawah Jubah-Ku, tak ada yang mengenal mereka selain Aku.(1) Apabila Anda termasuk dalam kategori para wali Allah yang melebur dengan-Nya dan terserap secara total dalam cinta-Nya, sungguh itu diketahui oleh Allah. Janganlah Anda menunjukkan tingginya kedudukan Anda di depan sesama Anda. Janganlah berusaha mengalihkan hati para makhluk Allah yang lemah dari perhatian terhadap Pencipta mereka, kepada perhatian terhadap makhluk-makhluk-Nya. Janganlah engkau merampas rumah Allah. Ketahuilah bahwa makhluk-makhluk itu berharga sekali bagi Allah, dan hati mereka sangat bernilai dan mulia, semua itu harus digunakan untuk mengabdi kepada-Nya. Jangan mempermainkan “rumah” Allah seperti itu, dan jangan mempermainkan kesucian-Nya. Sungguh telah dikatakan: fa inna li al-baiti rabban (Sungguh rumah itu ada Pemiliknya). Maka, apabila Anda tidak benar dalam klaim Anda, Anda akan dikelompokkan bersama orang yang bermuka dua dan munafik.

Rasanya cukup sudah penjelasan saya ini karena tidak tepat bagi orang ber-"wajah” kelam dan buruk seperti saya untuk berbicara terlalu jauh dalam masalah ini.

Wahai jiwa penulis lembaran-lembaran yang hina ini yang berpura-pura seakan-akan berpikir tentang cara keluar dari hari-hari gelap serta keselamatan dari kesengsaraannya! Apabila kamu benar dan hatimu selaras dengan lidahmu, dan realitas batinmu cocok dengan penampilan lahiriahmu, mengapa engkau begitu lalai, hatimu begitu memburuk, dan nafsumu begitu kuat? Mengapa engkau tidak berpikir tentang perjalanan kematian yang sangat penuh dengan risiko itu?

Usiamu telah berlalu dengan cepat, tetapi engkau belum melepaskan nafsu dan keinginan setanmu. Engkau telah menghabiskan

p: 189


1- 6. Hadis qudsi. Sumber tidak terlacak.

hari-harimu untuk memuaskan hawa nafsu dalam kelalaian dan kesengsaraan. Saat kematianmu terus mendekat, sementara engkau masih terjerat dalam perilaku burukmu dan terbiasa dalam perbuatan tak senonohmu. Engkau akan diperhitungkan melalui (kualitas) jiwamu, hai seorang pemberi nasihat yang tidak mengambil pelajaran dari nasihatnya sendiri! Engkau termasuk kaum munafik dan bermuka dua. Jika engkau terus-menerus dalam keadaan tersebut, engkau akan dibangkitkan dengan dua lidah dan dua wajah api. Oh Tuhan, sadarkan kami dari serangan tidur pulas yang berlarut-larut ini, sadarkan kami kembali dari kemabukan dan kelalaian ini. Sinarilah hati kami dengan cahaya keimanan dan rahmatilah keadaan kami. Ulurkan tangan-Mu kepada kami, dan tolonglah kami supaya terlepas dari cakaran iblis dan hawa nafsu, demi hamba-hamba pilihanMu, Muhammad dan keluarganya yang suci, semoga shalawat Allah dilimpahkan atas mereka. [1]

p: 190

10 Hadis tentang Hawa Nafsu

Point

بالأسناد المتّصلة إلی رئیس المحدّثین، محمّد بن یعقوب، رضوان الله علیه، عن الحسین بن محمّد، عن معلّی بن محمّد، عن الوشّاء عن عاصم بن حمید، عن أبی حمزة، عن یحیی بن عقیل قال: قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: إنّما (انّی ن خ) أخاف علیکم اثنتین: اتّباع الهوی، و طول الأمل. أمّا اتّباع الهوی فانّه یصدّ عن الحقّ و أمّا طول الأمل، فینسی (فإنّه ینسی ن خ) الآخرة

Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah meridhainya-meriwayatkan dari Al-Husain ibn Muhammad, dari Mu'alla ibn Muhammad, dari Al-Wasysya', dari ‘Ashim ibn Humaid, dari Abu Hamzah, dari Yahya ibn 'Aqil, ia berkata, “Amir Al-Mukminin a.s. berkata, 'Sesungguhnya aku hanya khawatir atas kalian terhadap dua hal, (yaitu) menuruti hawa nafsu dan berangan-angan tinggi. Adapun menuruti hawa nafsu, ia akan menghalangi manusia dari kebenaran (haqq); dan adapun berangan-angan tinggi, ia akan membuat manusia lupa akan akhirat.(1)

Secara harfiah, jika dinisbahkan kepada manusia, kata al-hawa berarti seorang yang mencintai', 'mengingini', dan 'menyukai sesuatu secara umum, baik yang disukainya itu sesuatu yang terpuji ataupun tercela. Hadis di atas menyebutkan kekhawatiran Imam 'Ali a.s. akan umatnya dari kecenderungan menuruti al-hawâ, karena-sebagai-mana ditegaskan oleh para pakar-jiwa manusia secara alamiah selalu cenderung menuruti nafsu dan keinginan-keinginannya yang bersifat

negatif bila tidak dikekang oleh akal dan syari'ah. Sebaliknya, kecil kecenderungannya untuk dapat menuruti suatu aturan hukum. Adapun kata kerja yashuddu memiliki makna 'berpaling', 'menghalangi' dan meninggalkan sesuatu. Makna kata ini tepat sekali

p: 191


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, Vol. 2, h. 336.

dengan konteks penyebutan al-hawa di atas. Namun, karena setelah kata yashuddu di atas terdapat huruf 'an, kata kerja ini digunakan dalam arti transitif, yaitu 'menghalangi' dan 'meninggalkan sesuatu, dan tidak bermakna 'berpaling' yang (di dalam tala bahasa Arab) mengesankan makna intransitif.

Insya Allah kita akan menjelaskan bahaya dua macam penyakit hati di atas. Nanti kita akan mengetahui bagaimana penyakit pertama (menuruti al-hawa) dapat menghalangi manusia dari kebenaran dan Allah; sementara penyakit kedua dapat membuatnya lalai akan kehidupan akhirat. Semoga Allah Swt. memberi kita taufik untuk memahami permasalahan ini.

Tentang Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu

Point

Harus diketahui, meskipun sejak kehadirannya di dunia ini jiwa ma- nusia telah dibekali fitrah dan naluri yang selalu cenderung meyakini prinsip tauhid (monoteisme) bahkan seluruh bentuk kepercayaan tentang Allah, sejak saat itu tumbuh pula bersamanya dorongan-dorongan alamiah lain, yaitu nafsu-nafsu hewaninya. Pengecualian hanya terdapat pada mereka yang dilindungi dan dibantu oleh Allah Swt., Pelindung Yang Mahasuci. Tetapi, karena pengecualian

ini dapat dikatakan jarang terjadi, ia tidak termasuk bahan pembicaraan kita sekarang yang hanya akan mengkaji kondisi manusia pada umumnya.

Pada bab-bab terdahulu, telah Anda ketahui bahwa manusia sejak kelahirannya (di dunia) dan setelah melalui tahap-tahap tertentu kehidupannya, ia tidak lebih dari sekadar makhluk yang lemah. Tidak ada yang membedakannya dengan makhluk hidup lain, kecuali potensi-potensi kemanusiaannya yang semuanya baru bersifat potensial dan bukan (sudah aktual secara) bawaan.

Jadi, pada tahap-tahap awal kehidupannya di dunia ini, manusia sebenarnya tidak lebih dari seekor hewan. Ia tidak mengenal norma apa pun selain hukum kebinatangan yang dikendalikan oleh kekuatan hawa nafsu (syahwat) dan amarah (ghadhab). Akan tetapi, manakala

p: 192

manusia satu-satunya keajaiban yang paling hebat di alam raya memiliki jiwa yang siap menampung segala potensinya, ia akan menjadikan potensi lain yang dimilikinya, yaitu sifat-sifat setan (al-hawa), sebagai sarana untuk mengendalikan kedua kekuatan (syahwah dan ghadhab) itu. Sifat-sifat setan ini dapat menyebabkan munculnya perilaku berbohong, menipu, bersikap munafik, mengumpat, dan lain sebagainya. Manusia akan tumbuh berkembang menjadi dewasa sejalan dengan tumbuhnya tiga kekuatan itu pada dirinya (syahwah, ghadhab, dan hawa) yang merupakan akar dari semua kejahatan yang membinasa-

kan. Apabila dalam perjalanannya orang ini tidak diarahkan oleh seorang guru atau pendidik, setelah dewasa dan mencapai usia kematangan, ia akan menyerupai seekor binatang sangat buas dan aneh, melebihi kebuasan binatang yang sebenarnya, bahkan melebihi setan sekalipun. Saat itu ia akan memiliki karakteristik hewan sekaligus setan yang lebih kuat dan lebih sempurna ketimbang hewan maupun setan itu sendiri. Apabila ia tetap dalam keadaan itu dan tidak mampu berbuat apa-apa guna mengendalikan kekuatan ghadhab dan syahwatnya selain mengikuti kekuatan nafsunya, hal ini akan mengakibatkan hilangnya tiga potensi mulia yang dapat membawanya menemukan kebenaran, yaitu potensi pengenalan Allah Swt., kecenderungan berakhlak mulia dan beramal saleh. Seluruh cahaya fitrah-nya saat itu akan padam total.

Kemudian, tiga potensi mulia yang dia miliki ini akan terinjak-injak oleh kebuasan hawa nafsunya sehingga kebenaran menjadi tidak tampak dan kegelapan jiwa serta nafsunya mengalahkan cahaya akal dan keimanan. Ia tidak akan pernah mengalami kelahiran kedua, yakni kelahiran kemanusiaannya. Ia akan terus berada dalam keadaan seperti itu dan menjadi terhalangi dari mengenal Tuhannya dan kebenaran hingga ia meninggalkan dunia ini. Apabila orang itu meninggalkan dunia dan memasuki alam berikutnya, yang merupakan alam tersingkapnya segala sesuatu yang tersembunyi, ia akan menemukan dirinya dalam bentuk binatang buas atau setan. Tidak akan tercium darinya aroma kemanusiaan sama sekali dan ia akan tetap dalam kegelapan, kesengsaraan, dan ketakutan abadi sehingga Allah Swt. melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Itulah nasib dari ketun-

p: 193

dukan total pada hawa nafsu yang dapat menjauhkan seseorang secara total dari Allah Swt. dan kebenaran. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tolok ukur keterasingan seseorang dari Tuhan adalah ketundukannya pada hawa nafsu. Dan meningkatnya keterasingan itu sejalan dengan tingkat ketundukannya pada hawa nafsunya. Misalnya, apabila seseorang sejak lahir dan berkembangnya kekuatan syahwat, ghadhab, dan al-hawa pada dirinya mampu mendekatkan seluruh wilayah jiwanya pada ajaran kalangan nabi, ulama, dan pendidik sehingga terpengaruh oleh mereka, maka pastilah ia akan tunduk sedikit demi sedikit pada ajaran-ajaran tersebut. Tidak lama setelah itu dapat dipastikan bahwa kemanusiaan manusia yang tadinya masih berupa potensi dan bukan karakter bawaan itu akan kembali menguasai seluruh wilayah jiwanya dan akan benar-benar akan bersifat aktual. Segala sesuatu yang berkaitan dengan penguasaan wilayah jiwanya akan dikaitkan terlebih dahulu dengan kemanusiaannya, sehingga ia akan menjadikan “setan” dalam dirinya itu berbalik menjadi beriman sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw. “Sesungguhnya setan dalam diriku menjadi tak berdaya di tanganku."

Jiwa hewani yang jahat itu lalu menyerah pada jiwa manusiawinya sedemikian rupa, sehingga seakan-akan ia menjadi seekor hewan tunggangan yang jinak dan terlatih, bergerak menuju alam kesempurnaan atau bagaikan burâq yang membawa penunggangnya dengan cepat menjelajahi cakrawala menuju akhirat dan tidak akan pernah kembali liar lagi. Setelah kekuatan syahwat dan ghadnab di atas ditundukkan oleh kekuatan keadilan dan hukum agama, dari situlah keadilan akan menyebar di setiap wilayah jiwanya. Mulai saat itu akan terbentuk di dalam jiwanya suatu kepemerintahan yang adil di bawah kekuasaan Allah dan norma-norma kebenarar.. Tidak ada satu pun dari langkahnya yang akan berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran, sehingga terbebaslah ia dari semua jenis kebohongan dan ke-

zaliman. Dengan demikian, tolok ukur keterhalangan dari kebenaran adalah ketundukan pada hawa nafsu, dan sebaliknya tolok ukur keterta-

p: 194

rikan pada kebenaran adalah ketundukan pada akal dan hukum Tuhan. Di antara kedua ekstrem ini, yakni penghambaan total pada nafsu dan ketundukan total pada akal, terdapat tahap-tahap yang tidak terhitung jumlahnya sehingga setiap kali manusia bergerak selangkah menuju nafsu berarti sejauh itu pula ia telah menghalangi masuknya kebenaran kepada dirinya sekaligus menjauh dari cahaya kesempurnaan manusiawi serta rahasia-rahasia wujudnya. Dan sebaliknya, setiap kali ia melangkah berlawanan dengan keinginan nafsu, dengan jarak yang sama ia telah menyingkapkan hijab dirinya sehingga cahaya kebenaran menjadi semakin memancar di wilayah batinnya.

Al-Quran dan Hadis tentang Keburukan Mengikuti Hawa Nafsu

Ketika mencela ketundukan kepada hawa nafsu, Allah Swt. berfirman dalam Al-Quran:

« وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَی فَیُضِلَّکَ عَنْ سَبِیلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِینَ یَضِلُّونَ عَنْ سَبِیلِ اللَّهِ .... (26)»

... dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu sebab itu akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS Shâd [38]: 26)

« وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَیْرِ هُدًی مِنَ اللَّهِ إ.... (50)»

... dan siapa lagi yang lebih sesat daripada orang yang menuruti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah? (QS Al-Qashash (28]: 50)

Dan dalam sebuah hadis dari Al-Kâfi diriwayatkan bahwa Imam Al-Baqir a.s. berkata:

Rasulullah Saw. bersabda, “Allah Swt berfirman: 'Demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kebesaran-Ku, cahaya-Ku serta ketinggian kedudukan-Ku! Jika hamba-Ku mengutamakan kehendak hawa nafsunya atas kehendak-Ku, Aku akan menceraiberaikan urusannya, mengacaukan hidupnya di dunia ini, dan menyibukkan hatinya dengan dunia. Lalu, Aku tidak akan memberinya dari dunia ini kecuali apa yang telah Aku tetapkan/takdirkan untuknya. Dan demi kehormatan-Ku, kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, kebesaran-Ku, cahaya-Ku, dan ketinggian kedudukan-ku! Jika seorang hamba mengutamakan kehendak-Ku atas kehendak

hawa nafsunya, para malaikat-Ku akan menjaganya, langit beserta bumi akan menjamin kehidupannya, dan Aku akan menjadi sebab di balik keuntungan setiap perniagaannya. Dunia akan mendatanginya sekalipun ia (dunia) terpaksa berlaku begitu. (1)

p: 195


1- 2. Ibid., Vol. 2, h. 335.

Manusia Berciri Hewani Saat Kelahirannya

Hadis di atas adalah salah satu hadis yang amat jelas (muhkam). Kandungannya menunjukkan bahwa ia bersumber dari Ilmu Allah Swt., Mata Air dari segala pengetahuan, meskipun rantai periwayatan- nya mungkin saja lemah yang sebenarnya tidak terkait dengan pokok masalah kita saat ini. Hadis lain yang diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin a.s. mengandung pesan yang sama. Beliau a.s. berkata, “Aku khawatir atas kalian tentang dua hal: menuruti hawa nafsu dan berangan-angan tinggi.(1) Dalam Al-Kâfi, Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan berkata: "Waspadailah hawa nafsumu sebagaimana engkau mewaspadai musuhmu. Sebab tidak ada musuh yang lebih berbahaya bagi manusia selain ketundukan pada hawa nafsu dan perkataan lidah-nya,(2) Sahabatku, ketahuilah bahwa keinginan-keinginan hawa nafsu itu tidak terbatas dan tidak pernah terpuaskan. Apabila seseorang bergerak mengikutinya meskipun hanya selangkah, ia akan terpaksa untuk mengikuti langkah itu dengan langkah-langkah berikutnya. Jika ia merestui satu keinginan hawa nafsunya, ia akan segera dipaksa untuk merestui sejumlah keinginan hawa nafsunya yang lain. Apabila Anda membuka satu pintu bagi masuknya keinginan nafsu ke dalam diri Anda, Anda akan segera terpaksa membuka pintu-pintu lain baginya.

Menuruti satu keinginan nafsu saja sudah cukup untuk membuat Anda terjerembap ke dalam bahaya-bahaya yang membinasakan. Akibatnya, Anda akan tertimpa oleh ribuan bencana sehingga, na'ûdzu billâh, semua jalan menuju Allah tertutup pada saa: Anda harus meninggalkan dunia ini, sebagaimana dinyatakan oleh Allah Swt. dalam kitab suci-Nya. Itulah salah satu yang paling dikhawatirkan terjadi kepada kita oleh Amir Al-Mukminin a.s., sang wali, pemimpin ruhani, dan guru umat manusia yang memperoleh tugas membimbing umat manusia. Bahkan, Rasulullah Saw. dan semua Imam a.s. akan selalu dihinggapi kecemasan dan kekhawatiran kalau-kalau daun-daun pohon kenabian (nubuwwah) dan kepemimpinan (wilayah)-dan daun-daun itu tak lain adalah orang-orang Mukmin-jatuh berguguran.

p: 196


1- 3. Ibid.
2- 4. Ibid.

Perhatikan apa yang disabdakan oleh Nabi Saw.: “Menikahlah dan perbanyaklah anak dan keturunan karena aku akan bangga dengan kalian (atas umat-umat lainnya) walaupun itu hanya janin yang gugur.(1) Dengan demikian, jelaslah bahwa seseorang yang berada di atas jalan berbahaya semacam itu akan dapat menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam jurang kebinasaan dan menjadikannya termasuk orang-orang yang durhaka terhadap “bapak”-nya yang hakiki, yakni Nabi Suci Saw. Betapa besar malapetaka yang menimpa orang itu dan betapa banyak bencana yang masih gaib (tersembunyi) baginya. Apabila Anda benar-benar memiliki ikatan spiritual dengan Nabi Suci Saw., mencintai Amir Al-Mukminin dan termasuk para pecinta keturunannya yang suci, berusahalah agar hati mereka—salam atas mereka-terbebas dari kekhawatiran dan kecemasan seperti itu.

Dalam QS Hud (11): 112, Allah berfirman kepada Nabi-Nya:

«فَاسْتَقِمْ کَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَکَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِیرٌ (112)» “Maka konsistenlah (yakni bersungguh-sungguhlah memelihara, memercayai, mengamalkan, serta mengajarkan tuntunan-tuntunan Nya) sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat bersamamu.”

Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Surah Hûd memutihkan rambutku karena adanya ayat ini.(2) Ketika mengomentari hadis ini, Syaikh Syahabadi, seorang arif yang pandai—semoga jiwaku menjadi tebusan baginya—berkata: “Ayat yang sama terdapat dalam QS Al-Syûrâ, tetapi tanpa ungkapan wa man tâba ma'aka (dan orang-orang yang bertobat bersamamu). Nabi secara khusus menyebut Surah Hûd karena dalam ayat itu Allah Swt. telah menuntut konsistensi umatnya kepada Rasulullah Saw. Beliau khawatir jika tugas ini tidak bisa terlaksana, meskipun dia sendiri adalah manusia yang paling konsisten dalam memelihara, memercayai, mengamalkan, serta mengajarkan tuntunan-tuntunan-Nya. Bahkan beliau merupakan simbol perwujudan keadilan dan konsistensi dalam penerapan ajaran Islam." Maka, Saudaraku, jika Anda menganggap diri Anda sebagai salah seorang pengikut pribadi suci itu dan ingin turut serta dalam mewu-

p: 197


1- 5. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Bab 1, hadis 2.
2- 6. Al-Thabarsi, Majma' Al-Bayan, Vol. 3.

judkan misinya, lakukanlah hal itu dengan tanpa membuat beliau malu akan keburukan perilaku Anda. Pikirkanlah jika salah seorang anak atau anggota keluarga terdekat Anda melakukan suatu perbuatan buruk dan tidak pantas yang memalukan atau tidak sesuai dengan norma-norma Anda, betapa hal itu akan membuat Anda menundukkan kepala dan malu di hadapan orang lain! Ketahuilah bahwa Nabi Saw. dan Amir Al-Mukminin a.s. adalah bapak sejati dari umat ini sebagaimana sabda Nabi sendiri: “Aku dan `Ali adalah bapak dari umat ini.(1) Dengan demikian, apabila pada saatnya nanti kita dihadapkan pada Yang Mahakuasa dan dihadiri Nabi dan para Imam kita, sementara yang ada dalam catatan amal kita hanya keburukan dan kejahatan, betapa kenyataan itu akan sulit mereka terima dan pastilah mereka akan sangat malu di hadapan Allah Swt. dan para malaikat serta para nabi-Nya. Inilah kezaliman paling besar yang telah kita lakukan terhadap mereka, dan sungguh itu akan mendatangkan suatu malapetaka yang sangat berbahaya. Kita tidak mengetahui apakah yang akan Allah Swt. perbuat terhadap kita setelah itu. Maka dari itu, wahai manusia lalim dan jahil yang menganiaya dirinya sendiri! Bagaimana mungkin engkau membalas kebaikan mereka yang telah mengorbankan jiwa dan hartanya demi membimbingmu dan memberimu petunjuk dengan perilaku-perilaku buruk ini! Mereka telah mengalami berbagai ujian yang sangat berat dan sejumlah upaya pembunuhan serta penawanan terhadap anak-anak dan istri-istri mereka hanya demi membuatmu selamat dan mendapat petunjuk Allah Swt. Sementara engkau, alih-alih mensyukuri jasa mereka, malah menganiaya mereka dengan anggapan bahwa perbuatan maksiatmu itu hanya merugikan dirimu. Sadarlah akan kelalaianmu ini, malulah terhadap dirimu sendiri. Cukup sudah yang telah mereka derita selama ini berupa penganiayaan musuh-musuh agama. Jangan engkau tambah lagi dengan penganiayaanmu itu karena penganiayaan yang dilakukan oleh seorang pecinta terhadap yang dicintai akan terasa lebih pedih dan lebih buruk!

p: 198


1- 7. Al-Amini, Al-Ghadir, Vol. 3, h. 100.

Tentang Beragamnya Keinginan Nafsu

Harus diingat bahwa hawa nafsu ditinjau dari tingkatan-tingkatan dan motivasinya sangat banyak dan beragam. Terkadang bersifat halus sehingga seseorang tidak menyadarinya bahwa itu merupakan tipu muslihat setan dan hawa nafsu, selama ia tidak didasarkan dan diingatkan. Namun, semua bentuk nafsu ini memiliki kesamaan dalam hal menghalangi manusia dari jalan Allah dan memalingkan mereka darinya, meskipun tingkatannya bermacam-macam. Pertama, mereka

yang menjadi budak-budak hawa nafsu mereka sendiri. Mereka menjadikan emas dan harta sebagai tuhan mereka sehingga mereka terhalangi dari jalan kebenaran dalam bentuk tertentu. Mereka ini diisyaratkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:

«أَرَأَیْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَکُونُ عَلَیْهِ وَکِیلًا (43)» Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? (QS Al-Furqân [25]: 43)

Kedua, orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan tipu daya setan dalam kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku batil mereka, mereka terhalang dari Allah Swt. dalam bentuk tertentu pula. Bentuk ketiga adalah apa yang terjadi pada para pelaku dosa besar atau kecil ataupun dosa-dosa yang membinasakan. Mereka memiliki bentuk khusus dalam keterhalangannya dari jalan Allah. Bentuk keempat adalah keterhalangan pada mereka yang menuruti kesenangan dan hawa nafsu yang dibolehkan. Namun, mereka disibukkan oleh hal itu sehingga menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan yang harus terpuaskan. Keterasingan mereka dari petunjuk-Nya memiliki bentuk yang berbeda.

Bentuk kelima dari keterhalangan dari petunjuk Allah Swt. juga terdapat pada orang-orang yang taat melakukan ibadah-ibadah lahiriah. Mereka menyembah-Nya demi tujuan-tujuan tertentu, seperti perolehan kehidupan yang baik di akhirat, pemenuhan kebutuhan duniawi tertentu, pencapaian prestasi-prestasi spiritualitas, serta mencari keselamatan dari ancaman siksa yang memedihkan, dan kemerosotan ruhani. Keterhalangan mereka dari perolehan kebenaran dan jalan Allah ini mengambil bentuk yang berbeda pula.

p: 199

Sementara kelompok lain yang memiliki bentuk keenam, yaitu mereka yang tekun da am melakukan penyucian jiwa dan pelatihan ruhani karena ingin menjangkau firdaus keindahan akhlak. Mereka terpisahkan dari kebenaran dengan cara lain. Ada pula para pelaku ‘irfân, musafir di jalan Allah (sulûk), para pencari maqâm para sufi, yang tak memiliki tujuan lain kecuali melihat-Nya dan memperoleh kedekatan dengan-Nya. Namun, penglihatannya terhalang dari Zat Yang Haqq dan manifestasi Wujud-Nya dengan cara tersendiri dan terhalang dari menerima pencerahan khusus, karena sifat bermuka dua serta bekas-bekasnya masih ada pada diri mereka. Ini adalah bentuk keterhalangan ketujuh. Selain itu, ada tahap-tahap lain yang penjelasannya tidak memungkinkan di sini. Maka, amat penting bagi setiap kelompok, masing-masing dengan tingkatan dan bentuk keterhalangannya, agar memerhatikan dan mengawasi selalu keadaan mereka dan membersih-

kan dirinya dari keinginan hawa nafsu agar tidak tertinggal ataupun tersesat jauh dari jalan Allah. Dengan upaya ini, kiranya pintu-pintu rahmat dan kasih sayang-Nya selalu terbuka bagi mereka, apa pun maqâm dan kedudukan mereka. Dan Dialah saja pemilik petunjuk.

Tentang Buruknya Angan-Angan Tinggi

Pembahasan ini terdiri atas dua bagian:

Berangan-Angan Tinggi Dapat Melupakan kita pada Akhirat Perlu diketahui bahwa tingkatan utama kemanusiaan sejati adalah kesadaran dan keterjagaan (yaqzhah), seperti disebutkan oleh para pesuluk terkemuka dalam penjelasan mereka seputar tahap-tahap kaum pesuluk. Tingkatan ini menurut Syaikh Syahabadi memiliki sepuluh cabang. Kita tidak akan menguraikannya di sini. Namun, penting sekali untuk disebutkan di sini bahwa selama manusia tidak sadar akan kenyataan bahwa ia adalah seorang musafir dengan perjalanan jauh yang terbentang dan tujuan yang kepadanya ia harus bergerak dan bahwa mungkin sekali baginya untuk mencapai tujuan tersebut, selama ia tidak menyadari hal ini, tidak akan pernah terbentuk sedikit pun tekad dalam dirinya untuk bergerak guna mencapai

p: 200

tujuan tersebut. Setiap persoalan ini memerlukan uraian cukup panjang yang sengaja kita hindari agar tulisan ini menjadi lebih singkat. Cukuplah kita ketahui bahwa salah satu penyebab utama lahimnya ketidaksadaran ataupun ketidakterjagaan manusia yang dapat membuatnya lupa akan keharusannya berjalan, lupa akan tujuannya, bahkan menyebabkan kehendak dan tekadnya mati, tak lain adalah dugaan manusia itu sendiri bahwa masih ada banyak waktu untuk melakukan perjalanan ini. Dia beranggapan bahwa jika hari ini dia tidak memulai bergerak menuju tujuannya, ia dapat mengerjakannya esok dan apabila tidak bulan ini, bulan yang akan datang dan begitulah seterusnya.

Angan-angan yang panjang dan tinggi serta anggapan akan memperoleh kehidupan yang kekal dan kesempatan yang tak terbatas membuat manusia terhalang untuk dapat memikirkan tujuan utamanya, akhirat, dan menghalangi dirinya dari mempersiapkan suatu perjalanan yang harus ditempuhnya dengan mencari teman yang tepat dan menjamin perbekalan untuk itu. Hal ini pun akhirnya membawanya pada kelalaian penuh pada akhirat dan terhapusnya tujuan utamanya itu dari benaknya. Semoga Tuhan melindungi kita dari keadaan semacam ini. Jika seseorang mengalami keadaan tersebut, lupa akan tujuan yang harus dicapainya, dalam sebuah perjalanan panjang dan penuh bahaya dengan sempitnya waktu serta keterbatasan bekal maupun persiapan yang tidak memadai padahal semua itu

sangat diperlukan dalam perjalanannya ini, jelas sekali bahwa orang semacam ini tidak akan memikirkan hal-hal tersebut di atas. Dia tidak memiliki apa-apa. Akibatnya, apabila tiba saatnya ia harus melakukan perjalanan, ia akan merasakan penyesalan yang mendalam pada dirinya, tersandung-sandung dan jatuh dalam perjalanannya itu. Manusia itu akhirnya akan binasa tanpa mendapat sedikit pun petunjuk yang ia inginkan.

Bekal untuk Perjalanan Jauh yang Terbentang

Dengan demikian, Sahabatku, ingatlah bahwa Anda harus melalui suatu perjalanan penuh dengan bahaya yang tidak dapat Anda hindari. Bekal yang Anda perlukan adalah ilmu dan amal saleh. Tidak dapat

p: 201

diketahui sampai kapan perjalanan tersebut berlangsung. Boleh jadi waktu yang dimiliki sedikit sekali sehingga kesempatan Anda terlewatkan. Tak seorang pun tahu kapan panggilan maut akan mendatanginya sehingga ia akan dipaksa untuk berpisah saat itu juga. Angan-angan panjang yang saya dan Anda miliki ini muncul akibat cinta diri dan tipu muslihat iblis yang terkutuk. Melalui itu, iblis mengalihkan perhatian kita dari akhirat dan menghalangi kita dari kewajiban menyelesaikan urusan-urusan akhirat. Sekalipun terdapat bahaya-bahaya yang mengganggu kita dalam perjalanan itu, kita tidak segera berusaha menyingkirkan bahaya tersebut dengan bertobat dan kembali kepada Allah Swt., tidak pula mempersiapkan bekal atau kendaraan untuk perjalanan itu. Sehingga apabila telah dekat saat kematian

yang dijanjikan, kita terpaksa harus pergi, tanpa memiliki sedikit pun perbekalan atau kendaraan yang memadai. Ilmu yang bermanfaat dan amal saleh pun tidak kita miliki, padahal itu adalah bekal utama yang harus diperoleh di dunia. Sungguh tidak ada sedikit pun yang telah kita persiapkan dalam perjalanan ini.

Meskipun terdapat amal-amal saleh yang telah kita perbuat, ternyata tidak sepenuhnya murni. Ia tercampur dengan unsur penipuan disertai ribuan kotoran menyelubungi amal-amal itu, masing-masing darinya telah cukup untuk membuatnya tidak diterima di sisi Allah.

Apabila kita memiliki sedikit pengetahuan, pengetahuan itu pun tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi kita. Pengetahuan tersebut tidak keluar dari dua kemungkinan; kalau tidak merupakan omong kosong dan sia-sia belaka, berarti ia sendiri menjadi penghalang utama di jalan menuju akhirat. Seandainya amal yang kita kerjakan dan pengetahuan yang kita pelajari dapat bermanfaat, keduanya harus meninggalkan bekas tertentu yang pasti dan jelas pada kita yang telah

mencarinya selama bertahun-tahun. Keduanya harus pula mampu mengubah kebiasaan buruk serta memperbaiki akhlak dan keadaan kita. Apa yang terjadi sehingga pengorbanan kita selama empat puluh atau lima puluh tahun malah menghasilkan sesuatu yang sebaliknya dan malah membuat hati kita menjadi lebih keras daripada batu? Apa yang kita dapat dari shalat, yang merupakan mi'raj ruhani kaum beriman? Di mana rasa takut yang merupakan manifestasi pengeta-

p: 202

huan? Seandainya kita dipaksa untuk segera pergi meninggalkan dunia ini dalam keadaan seperti itu, mâ samahaka Allah, kita pasti akan mengalami kerugian besar dalam perjalanan itu, serta penyesalan yang sangat dalam, yang tidak mungkin dapat dihilangkan Dengan demikian, kelalaian akan hari akhirat merupakan salah

satu yang menjadi kekhawatiran wali Allah yang paling agung itu, Amir Al-Mukminin ‘Ali a.s., terhadap kita. Beliau pun khawatir akan faktor penyebab lahirnya kelupaan ini, yakni angan-angan yang tinggi. Beliau mengetahui betapa bahayanya perjalanan yang harus kita tempuh itu, sebagaimana menyadari apa yang akan terjadi pada manusia yang tidak boleh merasa tenang sesaat pun dalam mempersiapkan dirinya serta bekal yang harus dibawanya--apabila ia melupakan akhi-

rat dan tergoda oleh kelalaian, tanpa menyadari bahwa setelah kehidupan ini terdapat alam lain, dan bahwa ia harus berjalan menujunya dengan cepat. Beliau a.s, mengetahui apa yang akan terjadi padanya, dan apa saja kesulitan yang akan dihadapinya. Akan sangat bermanfaat bagi kita memikirkan sejenak sejarah perjalanan hidup Rasulullah Saw. dan Amir Al-Mukminin—yang merupakan makhluk Allah yang terbaik dan bebas dari segala kekeliruan, pelanggaran, dan kealpaan-guna mengambil pelajaran dengan memperbandingkan keadaan kita sendiri dengan keadaan mereka.

Sungguh pengetahuan mereka tentang panjang dan berbahayanya perjalanan ini telah membuat mereka tidak memiliki waktu istirahat dan santai, sementara kebodohan kita benar-benar menimbulkan kelalaian pada diri kita. Rasulullah Saw. sendiri sering kali melatih dan membiasakan jiwanya dalam melakukan ibadah kepada Allah Swt. Beliau tidak jarang melakukan shalat menghadap Tuhannya sambil berdiri dengan kuat dalam waktu yang cukup lama sehingga kakinya membengkak, maka Allah Swt. menegurnya dalam sebuah ayat yang berbunyi: Thâ Hâ. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini untuk menyebabkan-mu sengsara. (QS Tha Hà [20]: 1 - 2). Amir Al-Mukminin a.s. juga dikenal dengan ibadah-ibadahnya yang begitu khusyuk dan rasa takutnya yang sangat mendalam kepada Allah Swt.

p: 203

Oleh karenanya, kita harus tahu bahwa perjalanan tersebut penuh dengan bahaya. Serangan kelalaian dan kealpaan kita tidak lain adalah tipuan iblis dan rayuan hawa nafsu kita sendiri. Angan-angan tak berujung ini pun merupakan perangkap iblis yang terbesar dan rayuannya yang paling menggoda. Maka bangkitlah, Saudaraku, dari tidur ini dan ingatlah bahwa Anda adalah seorang musafir yang memiliki tujuan yang jelas. Tujuanmu adalah alam akhirat dan mau tidak mau Anda akan dipaksa meninggalkan dunia ini. Apabila Anda telah mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan ini dengan bekal yang cukup, Anda tidak akan mengalami kelelahan ataupun kesengsaraan dalam perjalanan tersebut. Sebaliknya, jika persiapan Anda tidak memadai, Anda akan berada dalam kesengsaraan yang tak per-

nah berujung. Yang akan Anda alami adalah api yang tak akan pernah padam, tekanan yang tidak akan pernah diringankan, kesedihan yang tiada sedikit pun kebahagiaan padanya, kehinaan yang tak berakhir, siksa yang tak pernah memberikan ketenangan, serta penyesalan yang tak bertepi. Sahabatku, lihatlah apa yang dikatakan oleh pemimpin kita, Imam ‘Ali a.s., dalam Doa Kumail ketika beliau merintih di hadapan Allah Swt.:

Engkau mengetahui kelemahanku dalam menanggung sedikit dari bencana siksa dunia serta kejelekan yang menimpa penghuninya; padahal semua itu hanyalah sementara, sebentar, dan pendek. Maka, apakah mungkin aku sanggup menanggung bencana akhirat dan kejelekan hari akhir yang besar; bencana yang panjang masanya dan kekal serta tidak akan pernah diringankan? Sebab dari semua itu adalah kemurkaan, pembalasan, dan amarah-Mu. Inilah yang bumi dan langit pun takkan sanggup memikulnya.

Perhatikanlah rintihan Imam 'Ali di atas, penderitaan seperti apakah yang tidak sanggup dipikul oleh langit dan bumi itu? Tidakkah engkau, wahai jiwa yang lalai, terbangun? Mengapa kelalaianmu malah bertambah hari demi hari?! Wahai hati yang tertidur lelap, sadar, dan bangkitlah! Bersiap-siaplah untuk perjalanan menuju akhirat! Sungguh telah diteriakkan kepada kamu untuk pergi! Malaikat Izrail dan para pekerjanya senan-

p: 204

tiasa sibuk, dan kapan pun dapat menyeretmu ke alam akhirat. Namun, engkau tetap tenggelam dalam kelalaian dan kebodohan! Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu agar Engkau menyelamatkanku dari alam ilusi ini, dan bantulah aku untuk kembali ke alam kebahagiaan. Dan mudahkan aku untuk mempersiapkan

bekal kematian sebelum hilangnya kesempatan. ()

p: 205

11 Hadis tentang Fitrah

Point

وَ قَدْ رَوَاهُ اَلثَّعْلَبِیُّ عَنِ اِبْنِ یَحیَ عَن اَحمَد ابن مُحَمَد اَلرِّضَا عَنْ أَبِیهِ عَنْ جَدِّهِ عَلَیْهِمُ السَّلاَمُ : فِی قَوْلِهِ تَعَالَی: فِطْرَتَ اَللّٰهِ اَلَّتِی فَطَرَ اَلنّٰاسَ عَلَیْهٰا قَالَ هُوَ اَلتَّوْحِیدُ وَ مُحَمَّدٌ صَلَّی اللَّهُ عَلَیْهِ وَ آلِهِ رَسُولُ اَللَّهِ وَ عَلِیٌّ عَلَیْهِ السَّلاَمُ أَمِیرُ اَلْمُؤْمِنِینَ إِلَی هَاهُنَا اَلتَّوْحِیدُ.

Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Abu Mahbub, dari Ali ibn Ri'ab, dari Zurarah, yang mengatakan, “Saya bertanya kepada Abu `Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq) mengenai firman Allah, « فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِی فَطَرَ النَّاسَ عَلَیْهَا (30)» “... fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya ...' (QS Al- Rûm (30): 30. Imam menjawab, 'la menciptakan manusia atas dasar tauhid."

Para pakar tafsir dan bahasa Arab menyebutkan bahwa kata al-fithrah berarti penciptaan. Menurut Mu'jam Al-Shihcih (kamus bahasa Arab yang disusun oleh Al-Jauhari), kata al-fithrah berarti al-khilgan, yaitu penciptaan. Kata itu dapat juga berasal dari kata fathara yang memiliki arti 'mengoyakkan' atau 'membelah', seakan-akan proses penciptaan itu adalah proses 'pembelahan' atau 'pengoyakan' tabir

p: 206

kegaiban dan ketiadaan. Tindakan orang berbuka puasa juga dikenal dengan istilah ifthâr yang seakar dengan kata di atas, untuk menggambarkan bahwa berbuka itu berarti mengoyak/memutus kelanjutan puasa. Demikian sekilas makna kata fithrah dan yang seakar dengannya. Hadis yang menjadi pembahasan kita pada bab ini adalah penjelasan Imam Al-Shadiq tentang firman Allah dalam QS Al-Rûm (30): 30

«فَأَقِمْ وَجْهَکَ لِلدِّینِ حَنِیفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِی فَطَرَ النَّاسَ عَلَیْهَا لَا تَبْدِیلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِکَ الدِّینُ الْقَیِّمُ وَلَکِنَّ أَکْثَرَ النَّاسِ لَا یَعْلَمُونَ (30)»

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Makna Fitrah

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan fithrah Allah yang semua manusia tercipta dengannya adalah kondisi dan kualitas penciptaan manusia. Semua manusia, tanpa terkecuali, tercipta dalam pola fithrah itu sebagai konsekuensi logis dari keberadaannya. Fitrah ini telah berjalin berkelindan dengan esensi wujudnya. Fitrah adalah salah satu rahmat Allah Swt. yang khusus dianugerahkan kepada manusia. Makhluk-makhluk selain manusia tidak memiliki fitrah semacam ini, atau mereka memilikinya dengan kadar yang lebih rendah daripadanya. Harus diingat bahwa meskipun dalam hadis ini sebagaimana juga dalam hadis-hadis lainnya-kata fithrah dijelaskan sebagai (kecenderungan alamiah kepada) keyakinan tauhid, ini hanyalah merupakan penjelasan makna kata melalui salah satu contoh atau penjelasan makna kata dengan menyebutkan bagian terpentingnya. Ini serupa dengan beberapa penafsiran menyangkut Ahl Al-Bait, di mana setiap penafsiran melahirkan contoh baru, masing-masing berdasarkan konteks yang berbeda, sehingga hal ini dianggap oleh orang-orang awam sebagai suatu kontradiksi. Sebagai contoh, ayat 30 QS Al-Rûm di atas menjelaskan "agama” sebagai “fitrah Allah", padahal makna fithrah sebenarnya lebih luas daripada itu sehingga fithrah

dapat mencakup prinsip tauhid dan prinsip-prinsip lainnya.

p: 207

Dalam hadis sahih dari ‘Abdullah ibn Sinan, fithrah (selanjutnya ditulis fitrah) ditafsirkan sebagai Islam; sedangkan dalam hadis hasan yang diriwayatkan dari Abu Ja'far (Imam Muhammad Al-Baqir) fitrah diartikan sebagai ma'rifah (pengetahuan tentang Allah). Demikian pula dalam sebuah hadis yang populer dikatakan bahwa (Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah). Fitrah dalam hadis terakhir ini diperhadapkan dengan bahaya-bahaya yang mengancam kesuciannya, yakni lingkungan yang menyeretnya untuk menjadi penganut Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi. Dengan ini, jelas bahwa fitrah yang telah Allah tanamkan pada diri manusia tidak hanya terbatas pada keyakinan akan keesaan Tuhan, tetapi mencakup seluruh ajaran dan prinsip yang benar.

Hukum-Hukum Fitrah Manusia

Perlu diketahui bahwa salah satu hukum fitrah ialah ketiadaan satu pun manusia yang meragukan atau dapat menyangkal keberadaannya, lantaran fitrah itu merupakan konsekuensi wujud manusia di muka bumi dan terpatri di dalam dasar kodrat dan esensi penciptaannya. Tidak seorang pun dapat membantah kenyataan itu, baik ia orang yang bodoh, manusia barbar atau berperadaban, penghuni kota atau gurun-semua meyakini hal ini. Adat-istiadat yang beragam,

tradisi keagamaan, atau berbagai pola hidup manusia yang bermacam-macam tidak dapat memengaruhinya atau merusaknya. Demikian pula perbedaan letak geografis, iklim, selera diri, ataupun perbedaan pendapat dan tradisi manusia yang telah mengakar pada setiap komunitas dan telah menyebabkan lahimnya berbagai corak kehidupan yang berbeda-beda-bahkan dalam prinsip-prinsip rasional sekalipun sama sekali tak berpengaruh pada fitrah ini. Keragaman dalam hal

potensi rasional tidak pula dapat memengaruhinya. Dengan demikian, apabila dalam jiwa manusia terdapat sesuatu yang tidak memiliki ketahanan dan kemantapan seperti mantapnya fitrah pada dirinya, itu bukan termasuk kategori fitrah. Maka, ayat tersebut di atas mengatakan (la menciptakan manusia (sesuai] dengannya), yakni fitrah tersebut tidaklah terbatas pada suatu kelompok atau ras tertentu. Ayat itu lebih lanjut menyatakan tidý (Tak

p: 208

ada perubahan pada ciptaan Allah), yakni ciptaan-Nya tak dapat diubah oleh apa pun, seperti hal-hal lain yang dapat berbeda berdasarkan pengaruh adat-istiadat atau yang semacamnya. Akan tetapi, hal yang mengherankan adalah bahwa meskipun seluruh manusia di dunia ini tidak dapat menyangkal keberadaan fitrah pada dirinya, mereka hampir saja tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka bersepakat mengenainya. Bahkan, seandainya mereka tidak diingatkan, pastilah mereka menduga bahwa mereka berselisih pendapat mengenai hal ini. Manakala telah diingatkan, mereka kemudian akan menyadari bahwa sebenarnya mereka merasakan suara fitrah pada dirinya dan mereka memiliki keseragaman dalam hal ini, meskipun secara lahiriah tanda-tandanya beraneka ragam. Insya Allah, kita akan menjernihkan persoalan ini lebih lanjut. Inilah yang diacu oleh kelanjutan ayat di atas, KÝBBS (tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui).

Dapat disimpulkan dari apa yang telah disebutkan di atas bahwa fitrah adalah sesuatu yang lebih jelas dan nyata daripada hal-hal aksiomatis lainnya. Tidak ada satu pun yang sejelas atau lebih jelas dibandingnya. Tidak satu pun yang dapat memperselisihkannya. Oleh sebab itu, fitrah adalah keswanyataan yang paling jelas, karena tidak ada satu permasalahan pun yang melebihi kejelasannya. Tidak seorang pun mengingkari hal ini. Oleh karenanya, fitrah termasuk salah satu yang paling jelas dan paling nyata dari sekian banyak prinsip yang pasti benarnya. Maka, ajaran tauhid-atau yang berkaitan dengannya-termasuk dalam hukum-hukum fitrah dan merupakan salah satu dari prasyarat-prasyaratnya. Semua itu sudah semestinya men- jadi kebenaran yang paling swanyata dan keniscayaan logis sangat

jelas; tetapi, anehnya, Kebanyakan manusia tidak mengetahuinya!

Kebenaran-Kebenaran Agama dalam Fitrah

Para pakar tafsir, Ahl Al-Sunnah ataupun Syi'ah, masing-masing memiliki cara tersendiri dalam menjelaskan bahwa agama atau keyakinan akan keesaan Tuhan termasuk fitrah yang telah tertanam pada jiwa setiap manusia. Pembahasan kita dalam tulisan ini tidak akan

p: 209

mengikuti metode mereka. Namun, kita akan menjabarkan gagasan-gagasan unik dalam masalah ini dari seorang arif yang masyhur, Syaikh Syahabadi, meskipun beberapa darinya dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan para arif lainnya, dan beberapa di antaranya telah terlintas dalam benak penulis yang tak memiliki kemampuan ini. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui bahwa yang termasuk ke dalam kategori fitrah pemberian Allah itu, salah satunya adalah pertama, keyakinan kepada Wujud Awal segala sesuatu Yang Mahaagung dan Mahatinggi; kedua adalah keyakinan akan keesaan-Nya; ketiga, keyakinan bahwa Wujud Suci itu meliputi segala kesempurnaan; keempat, keyakinan pada Hari Kebangkitan; kelima, keyakinan fitri kepada kenabian; keenam, keyakinan kepada keberadaan malaikat-malaikat, ruh-ruh suci, penurunan kitab-kitab suci, dan pengumandangan jalan kebenaran. Beberapa di antaranya termasuk esensi fitrah manusia dan yang lainnya adalah konsekuensi fitrah itu sendiri. Keimanan-keimanan manusia kepada Allah, malaikat, kitab-kitab suci yang diwahyukan, para nabi utusan Allah, Hari Kebangkitan, adalah suatu agama yang tegak, lurus, mantap, dan jelas, sepanjang sejarah kehidupan makhluk manusia di dunia ini. Kita akan membicarakan bebe-

rapa di antaranya yang berkaitan dengan hadis yang sedang menjadi pokok perhatian kita, dan untuk itu kita memohon pertolongan Allah.

Kecintaan Manusia kepada kesempurnaan

Untuk memahami bahwa keyakinan akan keberadaan Wujud Awal dari segala sesuatu telah tertanam dalam fitrah manusia, kita perlu memahami lebih dahulu sebuah realitas, yaitu bahwa salah satu di antara hal-hal fitriah manusia adalah kecintaan dan kerinduan akan kesempurnaan. Ini adalah salah satu karakter bawaan semenjak lahir yang dimiliki seluruh generasi umat manusia. Tak satu individu pun dari mereka yang tak memilikinya atau berlawanan dengan karakter

ini. Adat, tradisi, ataupun aliran keagamaan mana pun, tak dapat mengubahnya, merusaknya atau menghalangi jalannya kecenderungan ini. Kecenderungan alamiah untuk mengejar kesempurnaan ini demikian universalnya sehingga jika Anda mengamati fase-fase sejarah

p: 210

umat manusia secara keseluruhan, lalu Anda teliti kecenderungan setiap individu, kelompok, suku, ataupun bangsa dari mereka, pasti Anda akan menemukan bahwa kecenderungan semacam ini adalah sebuah sifat manusia yang dibawa semenjak kelahirannya. Anda pasti akan mendapati hatinya selalu cenderung menuju ke arah kesempurnaan.

Kecenderungan inilah yang selalu memotivasi dan mengarahkannya untuk terus bekerja dan berupaya keras, membanting tulang hingga membuahkan kesuksesan yang dapat diraihnya. Cinta akan kesempurnaan adalah sumber segala aktivitasnya, meskipun boleh jadi pada kenyataannya manusia memiliki persepsi tentang hakikat kesempurnaan yang berbeda, bahkan saling bertentangan antara satu individu dan individu lainnya. Setiap manusia menganggap sesuatu yang dicintainya sebagai suatu kesempurnaan. Ia akan mengorbankan segala yang dimilikinya demi karena yang dicintainya itu, tak ubahnya seperti seseorang yang sedang jatuh cinta kepada seorang kekasih. Hal ini tidak berbeda dengan para pemuja dunia dan gemerlapnya. Mereka menganggap kesempurnaan terletak pada harta keka-

yaan sehingga mereka mencurahkan seluruh totalitas wujudnya demi untuk memperoleh harta tersebut. Maka setiap orang, apa pun jenis aktivitasnya, betapapun besar kecintaannya, itu semua disebabkan mereka menganggap adanya kesempurnaan pada tujuan-tujuan itu. Demikian pula halnya para pencari ilmu dan penggemar berbagai keterampilan. Sementara para pecinta akhirat, zikir, dan perenungan akan kebesaran Allah Swt., memiliki pandangan yang berbeda.

Demikianlah, seluruh manusia berusaha mencapai kesempurnaannya. Sehingga apabila telah mereka dapati sesuatu yang mereka anggap sempurna, walaupun sebenarnya tidak, mereka akan terus dekat dengannya dan mencintainya. Namun, harus diingat bahwa meskipun tampak mereka diperdaya oleh “kekasih-kekasih” semu ini, sebenarnya “kemabukan” dan obsesi kecintaan mereka tersebut bukanlah pada ideal atau objek cinta itu sendiri, sebagaimana yang mereka bayangkan. Objek cinta dan tumpuan harapan-harapan mereka bukanlah apa yang sedang mereka kejar. Karena, seandainya setiap orang kembali kepada fitrahnya, ia akan menyadari bahwa

p: 211

pada saat tampaknya kecintaannya terhadap sesuatu ia menemukan sesuatu yang lain lebih unggul dan lebih sempurna daripada yang pertama, maka kecintaannya akan berpindah kepada yang lebih sempurna itu. Kemudian, apabila ada sesuatu yang lebih sempurna dari pada sebelumnya, ia pun akan berpaling kepadanya. Api kecintaannya akan semakin berkobar hari demi hari, hingga hatinya tidak pernah lagi merasa terpuaskan oleh sesuatu apa pun.

Sebagai contoh, jika Anda menyukai keindahan tubuh serta paras wajah yang indah, lalu Anda menemukan seseorang yang sesuai dengan kriteria keindahan Anda, pastilah sepenuh hati Anda akan terpana melihat keindahannya. Apabila secara kebetulan Anda melihat paras yang lebih cantik daripada sebelumnya, niscaya anda akan mengarahkan perhatian Anda pada yang terakhir ini, atau paling tidak, kedua-duanya kini menjadi bahan perhatian Anda. Demikian keinginan Anda tak akan mereda sehingga Anda bernafsu untuk memperoleh kedua-duanya, bahkan mencari setiap yang indah menurut mata Anda. Hati Anda akan tertambat pada kecantikan seseorang yang jaraknya amat jauh dengan Anda, sehingga Anda berkata pada diri Anda sendiri, “Aku ingin menyatu dengan kekasihku meskipun

hatiku berada di tempat lain.” Angan-angan kosong akan meningkatkan nafsu keinginan Anda sendiri. Apabila Anda mendengar tentang surga serta gambaran keindahannya yang menawan, meskipun seandainya Anda sendiri tak memercayainya-semoga kita terhindar dari itu—fitrah Anda saat itu pasti akan berkata, “Seandainya surga itu ada dan bidadari-bidadari yang cantik itu menjadi milikku.” Demikian pula seorang yang menganggap kekuasaan, pengaruh dan perluasan wilayah kekuasaan sebagai suatu kesempurnaan, ia akan terus mengidam-idamkannya. Jika menguasai sebuah negara, ia akan berpaling melihat negara lain; ketika negara itu juga berada di bawah kekuasaannya, ia akan mengingini wilayah-wilayah lain. Jika ia diberi seperempat bumi, ia akan mencoba memiliki sisanya

pula. Dan ketika kekuatan nafsunya semakin bertambah-tambah di mana bumi ini sudah berada dalam penguasaannya—ia akan memikirkan kemungkinan untuk memperluasnya ke planet-planet lain alam semesta. Hatinya akan memandang planet-planet itu dengan

p: 212

nafsu untuk menguasai sambil membayangkan seandainya ia dapat terbang ke alam-alam itu sehingga dapat menundukkannya ke dalam kerajaannya.

Kecenderungan yang sama terjadi pada para ilmuwan dan kalangan penggemar berbagai keterampilan. Nafsu mereka-apa pun aktivitas dan bidang mereka—akan bertambah setiap kali mereka mencapai keberhasilan dalam bidangnya. Mereka bernafsu untuk mencapai derajat-derajat kesempurnaan yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Api nafsu itu tak pernah padam dan menjadi semakin berkobar hari demi hari.

Demikian, jelaslah bahwa cahaya fitrah telah menunjukkan kepada kita fakta bahwa seluruh umat manusia--mulai yang tinggal di daerah-daerah terpencil hingga di negara-negara maju, dari kaum materialisme hingga penganut ajaran-ajaran agama-hati mereka semuanya terdorong untuk mencapai kesempurnaan tanpa cacat. Mereka merindukan keindahan dan kesempurnaan mutlak; merindukan pengetahuan tanpa bercampur dengan kebodohan, kekuatan tanpa kelemahan dan kehidupan tanpa kematian. Pada akhirnya, Kesempurnaan Mutlak adalah dambaan setiap manusia. Secara bulat, seluruh makhluk ter- masuk umat manusia akan menyatakan dengan gamblang, dan dalam kata-kata yang lugas dan fasih, “Kami adalah para pencinta Kesempurnaan Mutlak; hati kami dibakar oleh cinta kepada Keindahan Mutlak; kami adalah pencari Pengetahuan Mutlak dan Kekuasaan Mutlak.”

Adakah suatu wujud dalam segenap dunia kemaujudan alam raya ini, atau dalam dunia khayal, atau dalam alam abstraksi akal, yang memiliki sifat-sifat Kesempurnaan Mutlak dan Keindahan Mutlak selain Zat Suci Sumber Keagungan Tertinggi alam semesta? Adakah suatu keindahan mutlak tanpa cacat, selain keindahan Sang Kekasih Mutlak? Wahai para pecinta Zat Yang Mahakekal dan para pendamba Kekasih Yang Suci dari aneka cacat, wahai kupu-kupu yang terbang

mengitari Cahaya Keindahan Yang Mahamutlak dan para musafir yang tersesat di lembah kebimbangan dan kesirnaan, kembalilah sejenak kepada fitrah kalian. Bukalah lembaran-lembaran jiwamu untuk

p: 213

mengetahui bahwa Zat Yang Mahakuasa telah menggariskan dalam fitrah kalian suatu ketetapan yang berbunyi:

«إِنِّی وَجَّهْتُ وَجْهِیَ لِلَّذِی فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِیفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِکِینَ (79)»

Sesungguhnya aku palingkan wajahku kepada-Nya, yang telah menciptakan langit dan bumi .... (QS Al-An'âm (6]: 79)

« فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِی فَطَرَ النَّاسَ عَلَیْهَا (30)»

... fitrah Allah yang dengannya la menciptakan manusia. (QS Al-Rûm (30): 30)

Fitrah itu adalah fitrah untuk memalingkan wajah guna menatap Kekasih Mutlak; dan ia tak berubah: Letý (Sesungguhnya tak ada perubahan dalam ciptaan Allah). Ia adalah kecenderungan untuk mencari makrifat (pengetahuan tentang) Allah. Sampai kapan engkau akan menyia-nyiakan cinta fitri yang dilimpahkan Allah dengan mencintai sebarang kekasih karena khayalanmu yang sesat? Jika objek cintamu adalah keindahan-keindahan tak sempurna dan kesempurnaan-kesempurnaan yang terbatas, mengapa api cintamu tak mereda setiap kali kamu meraihnya? Bangunlah dari tidur nyenyak yang membuatmu lupa. Sambutlah kabar gembira ini. Bergembiralah karena engkau memiliki Kekasih tanpa ketaksempurnaan, tanpa cacat, dan tanpa batas. Cahaya yang kau cari adalah Cahaya yang sinar-Nya

menerangi alam semesta. «اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ Allah adalah cahaya langit dan bumi .... (QS Al-Nûr (24): 35) Kekasihmu memiliki segalanya:

اللی هبط علی الله بل إلی الأرض کؤل Seandainya diulurkan kepada kamu sebuah tali untuk turun ke dasar bumi yang paling bawah, niscaya kamu akan turun untuk

mencari-Nya. Maka, kecintaan yang hakiki pasti menuntut Kekasih yang Hakiki pula. Tak mungkin yang dicari adalah sesuatu yang dapat dibayangkan oleh akal karena setiap hal yang dapat dikhayalkan, itu pertanda ketidaksempurnaanny Fitrah dengan sendirinya merindukan kesempurnaan. Pecinu, hakiki dan cinta yang hakiki tak mungkin tanpa kekasih yang hakiki, dan, tak ada kekasih lain kecuali Allah Zat Sempurna yang kepadanya fitrah manusia berpaling. Dengan

p: 214

demikian, prasyarat bagi cinta akan kesempurnaan mutlak adalah adanya Wujud Sempurna Mutlak. Dan, seperti telah disebutkan, hukum fitrah dan hal-hal yang berkaitan dengannya adalah hal yang paling jelas. Demikianlah telah dikatakan:

أَفِی اللَّهِ شَکٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ... Adakah suatu keraguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi? (QS İbrâhîm (14: 10)

Pengesaan Zat Yang Hak dan Sifat-Sifat-Nya

Kita sudah membahas bahwa keyakinan akan keesaan Zat Allah adalah fitri, dan kini kita akan membuktikannya dengan cara lain. Perlu Anda ketahui bahwa salah satu ciri fitrah yang dengannya Tuhan menciptakan manusia adalah penolakan akan ketaksempurnaan. Manusia dalam fitrahnya tak menyukai segala yang dipandang-nya memiliki kekurangan atau cacat. Ketaksempurnaan dan kecacatan bertentangan dengan fitrah yang selalu condong kepada kesempurnaan mutlak. itrah pasti cenderung menyukai Zat Yang Esa karena semua yang mengandung ketersusunan dari dua bagian atau lebih adalah tak sempurna dan cacat. Ketersusunan selalu terkait dengan keterbatasan (yang merupakan suatu cacat) dan semua yang cacat ditolak oleh fitrah menusia. Adanya dua sifat ini-yakni ketertarikan kepada kesempurnaan dan penolakan kecacatan—tidak hanya memberi tempat kepada prinsip keyakinan pengesaan Zat Allah, tetapi juga menunjukkan bahwa Wujud-Nya meliputi segala kesempurnaan dan bahwa Dia bebas dari segala sifat cacat.

Surah Al-Ikhlas dalam Al-Quran yang berbicara tentang Wujud Allah Yang Mahatinggi, atau sebagaimana dikatakan Syaikh kami semoga nyawaku menjadi tebusan baginya--bahwa Zat Mutlak yang menjadi tambatan hati setiap manusia seperti diisyaratkan pada permulaan surah itu dengan sebutan-Nya sebagai “Dia” (Huwa), adalah bukti akan enam sifat yang disebutkan pada ayat-ayat selanjutnya. Maka, tatkala Zat Suci-Nya memiliki Identitas Mutlak, sedangkan Identitas-Nya harus bersifat Sempurna serta Mutlak, maka WujudNya meliputi segala kesempurnaan, dan Dialah “Allah”. Hal ini di samping menunjukkan bahwa Dia Yang meliputi segala yang kesem

p: 215

purnaan itu bersifat sederhana (basîth) yang tidak tersusun oleh bagian atau unsur apa pun, Maka, Dia adalah Zat Ahad, yakni Esa, yang memiliki sifat tersendiri dan tidak dimiliki oleh selain-Nya, tidak juga dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam kenyataan. Keesaan-Nya meniscayakan wahidiyyah (ke-satu-an)-Nya. Dan, karena Dia Yang Mahamutlak yang mencakup seluruh kesempurnaan itu bebas dari segala cacat—yang dapat muncul dari-Nya- Dia adalah shamad, yakni Zat yang kepada-Nya mengarah harapan semua makhluk. Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan makhluk serta penanggulangan kesulitan mereka. Dia adalah Zat yang tidak kekurangan sesuatu apa pun. Maka, atas dasar kemahamutlakan-Nya, tak sesuatu pun terpisah atau terlahir dari-Nya, dan Dia sendiri pun tak terpisah atau melahirkan sesuatu apa pun. Dia “tidak beranak dan tidak diperanakkan”. Dia Permulaan segala sesuatu dan muara tempat berakhirnya segala wujud—tanpa wujud-wujud itu terpisah dari-Nya karena keterpisahan meniscayakan kecacatan. Kemahamutlakan-Nya berarti pula bahwa tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya. Kesempurnaan mutlak memustahilkan pengulangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Surah Al-Tauhid termasuk

salah satu yang mencerminkan hukum fitrah manusa dan berbicara tentang sifat-sifat Wujud Ilahiah.

Keyakinan akan Kebangkitan adalah Fitri

Kini, kita akan membicarakan keyakinan akan Hari Kebangkitan (al- ma'âd) sebagai sifat bawaan yang tertanam dalam fitrah manusia. Sebagaimana keyakinan-keyakinan lain yang telah kita bahas sebelum ini, hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa cara. Kita hanya akan membicarakan beberapa di antaranya.

Patut diketahui bahwa salah satu kecenderungan fitrah manusia yang telah Allah tanamkan dalam diri seluruh manusia adalah kerinduannya pada suatu ketenangan dan kenyamanan. Jika seluruh episode sejarah manusia dari kehidupan kaum barbar hingga kaum beradab, sejak zaman pemberontakan kaum pagar. hingga zaman kesalehan dikaji, dar, apabila seluruh individu masyarakat manusia---mulai kalangan terpelajar hingga mereka yang jahil, dari yang

p: 216

mulia hingga yang hina, dari kaum pedesaan hingga perkotaan ditanyai tentang tujuan dari aneka ketergantungan mereka yang bermacam-macam serta keinginan-keinginan yang beragam, lalu apa sebenarnya target di balik kesediaan mereka menerima berbagai macam penderitaan, cobaan, serta kesulitan hidup? Semua akan sepakat menjawab-secara serempak dan dengan jelas—bahwa satu-satunya tujuan mereka adalah untuk memperoleh kenyamanan serta kenikmatan

hidup. Target dan tujuan akhir yang mereka idam-idamkan adalah kenyamanan mutlak, yang tak tercemari oleh sedikit pun kelelahan. Memang kenyamanan semacam ini adalah dambaan setiap orang. Namun, meskipun ia ditemukan pada mereka, selalu saja yang mereka dapati tidak sempurna. Sehingga apabila seseorang menyukai sesuatu, dia segera membayangkan kenyamanan pada sesuatu itu. Padahal, ketenangan dan kenyamanan mutlak seperti itu mustahil ada di dunia ini. Seluruh rahmat dan nikmat di dunia ini bercampur dengan kerja keras yang melelahkan. Seluruh kenikmatan dunia pasti dicemari oleh suatu derita. Rasa sakit dan derita, kegusaran dan nestapa, kecemasan dan kekhawatiran, ada di setiap bagian dunia ini. Selama sejarah panjang umat manusia, tak seorang pun di dunia ini yang derita dan nestapanya sebanding dengan kenikmatan yang diperolehnya, kesenangannya sama dengan kelelahannya—apalagi untuk mendapatkan kenikmatan mutlak yang tak tercemari oleh apa pun. Oleh karena itu, dambaan manusia tak mungkin diperolehnya di dunia ini. Kecintaan naluriah yang telah menjadi sifat bawaannya ini tak mungkin terpuaskan tanpa adanya “kekasih idaman" yang benar-benar nyata.

Maka, haruslah ada suatu dunia dalam alam eksistensi di mana kesenangan tak terkotori oleh kerja atau derita apa pun, yang kenikmatan dan kedamaiannya mutlak dan murni, tanpa penderitaan.

Dunia itu adalah rumah nikmat Ilahiah.

Dunia itu dapat pula ditunjukkan melalui cinta kebebasan yang fitri pada manusia dan keteguhan kehendak manusia, yang tertanam dalam fitrah setiap individu. Karena materi-materi penunjang berlangsungnya kehidupan di alam ini dapat mengekang kebebasan serta kehendak manusia, seperti banyaknya penderitaan dan kesempitan

p: 217

yang sering kali merintanginya, haruslah ada suatu alam lain yang di dalamnya kehendak manusia dapat lebih berpengaruh dan fakto-faktor penunjang kelangsungan alam itu tak berbenturan dengan kehendak manusia. Alam dengan keadaan seperti ini akan membuatnya dapat berbuat sesuai dengan kehendak dan kebebasannya secara penuh. Dengan demikian, aspek cinta kenikmatan dan cinta kebebasan adalah dua dimensi fitrah yang telah tertanam dalam diri manusia

dan lahir bersamaan dengan kehadirannya di pentas dunia ini. Keduanya adalah fitrah Allah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sedikit pun. Dengannya, manusia dapat terbang tinggi di puncak alam malakut sambil mendekatkan diri kepada Allah Swt. Masih ada lagi dimensi-dimensi fitrah lainnya selain yang telah

kita bahas di atas yang dapat juga dijadikan sebagai argumentasi untuk membuktikan beberapa pengetahuan haqq. Saya cukupkan hingga di sini karena tulisan ini tidak mungkin dapat menampungnya. Misalnya, fitrah manusia yang membawa kita pada pembuktian peneguhan kenabian, pengutusan para nabi, dan penurunan kitab-kitab suci. Dengan salah satu dari jenis fitrah ini, kita dapat membuktikan seluruh doktrin-doktrin suci agama di atas, tetapi kita harus membatasi diskusi ini agar tak menyimpang terlalu jauh dari topik utama, yaitu pembahasan hadis di atas. Sejauh ini, diskusi kita telah menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Sumber Utama alam semesta, Kesempurnaan Mutlak dan Keesaan-Nya, serta Hari Kebangkitan termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan yang telah ada pada fitrah manusia. Alhamdulillah.]]

p: 218

12 Hadis tentang Tafakur

Point

عَنْ عَلِیٍّ عَنْ أَبِیهِ عَنِ اَلنَّوْفَلِیِّ عَنِ اَلسَّکُونِیِّ عَنْ أَبِی عَبْدِ اَللَّهِ عَلَیْهِ السَّلاَمُ قَالَ کَانَ أَمِیرُ اَلْمُؤْمِنِینَ عَلَیْهِ السَّلاَمُ یَقُولُ: نَبِّهْ بِالتَّفَکُّرِ قَلْبَکَ وَ جَافِ عَنِ اَللَّیْلِ جَنْبَکَ وَ اِتَّقِ اَللَّهَ رَبَّکَ

“... Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) meriwayatkan dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Al-Naufazli, dari Al-Sakuni, dari Abu 'Abdillah (Al-Imam Al-Shadiq a.s.) 'Bangkitkan hatimu dengan bertafakur; jauhkanlah sisimu dari malam dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.(1) Di dalam bahasa Arab, penggunaan ungkapan kâna yaqûlu (biasa mengatakan) memiliki makna yang berbeda dengan sekadar penyebutan qala (telah mengatakan) atau yaqûlu (sedang atau akan mengatakan). Sebab, ungkapan pertama menunjukkan makna kesinambungan dan kekerapan. Ini memperlihatkan bahwa Amir Al-Mukminin ‘Ali a.s. berulang-ulang biasa mengucapkan kata-kata ini. Makna kata perintah nabbih (bangkitkan) adalah suatu aktivitas menyadarkan seseorang dari kelalaian atau membangunkannya dari tidur. Kedua

p: 219


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, Vol. II, 12, hadis No. 2. Hadis 12, Ushûl Al-Kafi (Akhundi, ed. oleh 'Ali Akbar Ghaffari), II, h. 54.

makna ini tepat untuk konteks hadis di atas karena hati selalu berada dalam keadaan lalai jika tidak bertafakur dan akan tertidur sebelum dibangkitkan. Dengan kedua cara itu, hati akan keluar dari keadaan tersebut. Jelas berbeda antara tidur dan bangunnya fisik manusia dan sadar tidaknya jiwa yang bersemayam di dalam fisik tersebut. Terkadang mata lahiriah terjaga, dimensi jasadi sadar. Namun, mata dan penglihatan batin tertidur pulas, dan wilayah spiritual jiwa dalam keadaan lalai dan tidak sadar. Tafakur adalah aktivitas akal, yakni penataan kembali masalah-masalah yang sudah diketahui guna mencapai kesimpulan-kesimpulan yang belum diketahui. Aktivitas ini cakupannya lebih umum dari kontemplasi yang menjadi salah satu ciri kaum sufi dan para penempuh jalan. Khwajah 'Abdullah Al-Anshari mendefinisikannya sebagai “Aktivitas penglihatan batin untuk mencapai tujuan yang didambakan.(1) Jelas bahwa makrifat merupakan sesuatu yang didambakan hati. Oleh sebab itu, tafakur dalam hadis ini mengandung makna khusus yang berkenaan dengan hati dan kehidupan hati itu sendiri.

Makna Hati

Kata “hati” memiliki berbagai konotasi dan definisi yang beragam. Bagi dokter dan masyarakat pada umumnya, hati adalah sekeping daging, di mana penyempitan dan pengembangan yang terjadi pada organ ini akan menyebabkan mengalirnya darah melalui urat nadi dan urat darah halus sehingga timbullah daya hidup. Filosof dan para arif menggunakan kata ini untuk mengacu pada prestasi-prestasi spiritual. Kaum sufi mengistilahkan derajat-derajat dan tahapan-tahapan perjalanan ruhaniah mereka dengan sebutan yang sama. Dalam Al-Quran Suci dan hadis-hadis Nabi Saw., kata ini digunakan dalam maknanya yang bersifat umum maupun khusus dalam berbagai konteks yang berbeda.

dari hati telah melonjak naik hingga ke ...) لقیت اللوک الاجر Dalam ayat tenggorokan) (QS Al-Ahzab [33]: 10), makna “hati” di sini digunakan sebagaimana yang diistilahkan para dokter. Sedangkan pada ayat) توب لایفقهون بها وله ایتلایون با mereka mempunyai hati, tetapi tidak

p: 220


1- 2. Manâzil Al-Sâ'irîn, I, h. 57.

mereka gunakan untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi] tidak mereka gunakan untuk melihat) (QS Al-A'râf(7): 179), digunakan dalam pengertian yang dipakai oleh para filosof. Dan, pada ayat sigol -Sesungguhnya pada yang demihian itu benar) لنگڑی لمن کان له قلب أو القی التنع ووشهیة benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengaran, sedangkan dia sangat menyaksikan) (QS Qâf (50): 37), “hati” dipahami semakna dengan penggunaan kaum arif.

Berkenaan dengan hadis yang menjadi materi pembahasan kita di atas, tafakur digunakan dalam pengertian seperti penggunaan para filosof. Sedangkan penggunaan kaum arif terhadap kata “hati” tak ada hubungannya dengan tafakur yang sedang kita pelajari pada bab ini, khususnya pada tingkat-tingkat tertentunya, sebagaimana diketahui betul oleh orang-orang yang akrab dengan terminologi mereka. Kata jafi pada ucapan Imam Ali a.s. di atas memberi makna kejauhan. Seseorang yang menjauh dari temannya digambarkan dengan kata ini. Orang yang “menjauhkan” sisi tubuhnya dari tempat tidur juga diungkapkan dengan kata yang sama. Demikian makna-makna kata jafi dalam kamus Al-Shihah. Jika dikaitkan dengan waktu malam, kata ini bisa bermakna kiasan dalam arti

menjauh dari kenikmatan suasana malam hari, sebagaimana dapat juga bermakna yang sebenarnya, bergantung pada maksud pembicara, seperti dibahas dengan terperinci oleh seorang pakar fiqih, Syaikh Ridha Ishfahani dalam karyanya, Jaliyyah Al-Hål. Betapapun, yang jelas, kata tersebut adalah kiasan tentang bangkitnya seseorang dari tempat tidur untuk menunaikan ibadah dan bermunajat kepada Tuhan. Insya Allah, kami akan membahas hadis ini dengan terperinci dalam beberapa bab berikut.

Keutamaan Tafakur

Perlu diketahui bahwa tafakur mengandung banyak manfaat dan keutamaan. Tafakur adalah kunci pembuka pintu-pintu makrifat dan merupakan khazanah kekayaan pengetahuan dan keutamaan. Ia merupakan langkah pertama yang harus dilalui dalam perjalanan manusia menuju kesempurnaan sejatinya. Al-Quran Al-Karim dan

p: 221

hadis-hadis Nabi Saw, memuji dan memuliakan aktivitas tafakur, serta menganggap orang yang tidak melakukannya sebagai manusia yang hina dan tercela.

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata: افضل العبادة اما التفرغ الله و قدره "Sebaik-baik bentuk ibadah adalah bertafakur tentang Allah dan

kekuasaan-Nya.(1) Dalam hadis lain, dinyatakan bahwa satu jam bertafakur adalah lebih baik daripada satu malam beribadah.(2) Dan, menurut sebuah hadis Nabi Saw., tafakur satu jam lebih baik dibandingkan dengan ibadah satu tahun. Dalam hadis lain, disebutkan bahwa satu jam bertafakur lebih baik dibandingkan dengan enam puluh tahun beribadah (menurut hadis lain, tujuh puluh tahun). Beberapa pakar ilmu hadis dan fiqih bahkan menyebutnya lebih baik dibandingkan dengan seribu tahun beribadah. Betapapun, tafakur itu memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dalam setiap derajatnya, terdapat hasil-hasil dan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Di sini, kami akan menyebutkan beberepa di antaranya:

Pertama, tafakur tentang Allah, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat serta kesempurnaan-kesempurnaan-Nya. Hasil dari tafakur seperti ini adalah pengetahuan tentang Wujud-Nya dan pelbagai jenis manifestasiNya, yakni entitas-entitas aktual dan fenomena-fenomena objektif. Inilah tingkat tafakur paling unggul yang melahirkan pengetahuan tertinggi dan argumen terkuat. Menyadari adanya Penyebab Utama dan merenungkan Sebab Mutlak keberadaan alam ini dapat mendorong manusia untuk mengetahui-Nya dan memahami segenap maujud dan akibat yang dicipta-Nya. Begitulah gambaran manifestasi hati para shiddiqin (yang selalu mengatakan yang benar). Oleh karena itu pulalah, ulasan ini disebut dengan burhan al-shiddiqin (argumen orang-orang yang selalu mengatakan yang benar) sebab para shiddiq

itu melihat Nama-Nama dan Sifat-Sifat serta rnemandang esensi-esensi pertama (a'yân) dan manifestasi-manifestasi (mazhâhir) dalam cermin Nama-Nama melalui penyaksian akan Zat. Alasan penamaan

p: 222


1- 3. Ushul Al-Kafi, II, h. 55.
2- 4. Ibid., II, h. 50.

ini dengan burhan al-shiddiqîn tidak lain karena seorang shiddiq jika ingin mengemukakan pengamatannya dalam bentuk argumen dan menyampaikan pengalaman makrifat dan intuitifnya dengan kata-kata, maka pastilah dalam bentuk seperti ini. Namun, tidak berarti bahwa siapa pun mendapat pengetahuan tentang Zat dan penyinaran-Nya melalui argumen ini menjadi shiddiq atau bahwa pengetahuan para shiddiq itu tak melampaui pengetahuan logis-argumentatif. Jauh menyimpang dari kebenaran kalau kita membayangkan bahwa pengetahuan mereka termasuk tafakur atau bahwa penyaksian mistis (musyahadah) mereka itu seperti susunan

argumen dan premis-premisnya! Selama hati tertutupi argumen dan orang berada pada tahap tafakur berarti dia belum mencapai bahkan derajat pertama dari apa yang dicapai kalangan shiddiq. Setelah tirai tebal pengetahuan dan argumen tersibakkan dan tafakur terkesampingkan, barulah berbagai sudut jalan dapat dijelajahi, tanpa perantaraan tafakur--sesungguhnya tanpa sarana atau perantaraan apa pun-dan dia pun akhirnya berhasil melihat kemuliaan, keagungan,

dan keindahan Zat Yang Mutlak di akhir perjalanannya. Dia pun lalu mengalami suka cita abadi. Dia melebihi dunia dan segala isinya, terselimuti jubah Mahakuasa sehingga ia menetap dalam kefanaan total. Tidak ada dari dirinya yang masih ada dan dia pun benar-benar terlupakan, lalu rahmat Allah membawanya kembali ke dunianya dan ke wilayah-wilayah wujud selaras dengan kapasitas esensinya yang tidak berubah (al-'ain al-tsábitah). Dalam keadaan kembali ini, kemuliaan keagungan dan keindahan Allah tersingkapkan baginya, lalu dia menangkap makna Nama-Nama dan Sifat-Sifat dalam cermin Zat. Melalui itu, dia menyaksikan (mengalami) esensinya yang tidak berubah dan segalanya yang ada di bawah naungan dan perlindungan-Nya, serta menemukan jejak-jejak manifestasi dan jalan untuk berpaling ke sisi lahiriah hati. Kemudian, dia pun dianugerahi pakaian kenabian dan perbedan maqâm-maqâm para rasul dan nabi pun menjadi jelas baginya. Buku ini tidak tepat untuk mendiskusikan topik ini lebih jauh. Kami cukupkan pembahasan ini sampai di sini tentang tema burhan al-shiddiqîn, lantaran topik ini memerlukan pendahuluan yang lebih terperinci.

p: 223

Tafakur yang Diperlukan dan Dilarang Berkaitan dengan Zat Allah

Perlu diketahui bahwa pembicaraan kami tentang kemungkinan bertafakur tentang Zat, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat Allah Swt. bisa membuat orang yang jahil mengira bahwa tafakur tentang Zat Allah dilarang berdasarkan riwayat tertentu tanpa mengetahui bahwa yang dilarang itu adalah berupaya mengukur sifat dan kedalaman Zat, sebagaimana dijelaskan oleh hadis-hadis.(1) Kadang kala orang yang tidak memiliki kelayakan bertafakur seperti itu juga dilarang bertafakur tentang jenis-jenis tertentu pengetahuan transendental yang memerlukan penyelaman kepelikan-kepelikan tertentu. Kaum arif menyepakati kedua hal ini. Permasalahan kemustahilan memahami Zat Allah telah dijelaskan dalam karya-karya tulis mereka, dan larangan melakukan tafakur semacam ini pun telah diakui berbagai kalangan.

Buku-buku mereka juga menyebutkan syarat-syarat untuk mempelajari ilmu-ilmu ini dan tidak membolehkan orang yang belum layak untuk mempelajari ilmu-ilmu ini. Nasihat dan petunjuk mereka berkaitan dengan syarat-syarat kebolehan mempelajari Zat, tersebar di setiap buku mereka. Misalnya, dua filosof besar Islam yang pakar dalam bidang ini, Syaikh Ibn Sina dalam akhir buku Al-Isyârât(2) dan Shadr Al-Muta`allihin pada akhir Al-Asfâr(3), menegaskan hal tersebut. Mereka memberikan nasihat-nasihat yang cukup indah dalam kaitan ini. Adapun bertafakur tentang Zat Allah demi membuktikan argumentasi tentang keberadaan, keesaan, dan menegaskan transendensi (al-tanzih) dan kesucian-Nya, maka itu merupakan tujuan puncak dari diutusnya para nabi dan dambaan kaum arif. Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis mulia sarat dengan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan tentang Zat, Nama-Nama, dan kemahasempurnaanNya. Kitab-kitab andal tentang hadis, seperi Ushûl Al-Kafi, karya Al-Kulaini, dan Al-Tauhid. karya Syaikh Al-Shaduq, juga mengkaji secara panjang lebar permasalahan Zat, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat Allah Swt. dengan mengenukakan berbagai argumen pembuktiannya. Sementara lahimnya perbedaan antara kitab suci dan sunnah para nabi serta tulisan-tulisan para filosof adalah dalam hal terminologi

p: 224


1- 5. Al-Mahajjat Al-Baidha', VIII, h. 193. تشروا فی خلق الله ولاتفوا فی الله قال لن تقدواقدره
2- 6. Al-Isyârât wa Al-Tanbihật (Teheran: Haidari), III, h. 419.
3- 7. Al-Asfâr Al-Arba'ah (Dar Al-Ma'arif Al-Islamiyyah), 1, h. 10.

dan metode umum atau khusus dalam konteks ini seperti yang terjadi pada perbedaan antara fiqih dan hadis—dan bukan dalam maknanya.

Celakanya, beberapa orang bodoh yang tidak memahami Al-Quran dan Sunnah telah tampil dengan pakaian ulama selama beberapa abad terakhir ini. Mereka tidak menjadikan dua sumber utama hukum Islam, Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana layaknya suatu pedoman hidup umat Muslim. Mereka jadikan kejahilan mereka sebagai satu-satunya alasan tidak benarnya keyakinan tentang asal usul penciptaan dan Hari Kebangkitan. Orang seperti itu, demi mempromosikan dagangannya, melarang keras adanya upaya pengkajian pengetahuan--yang merupakan tujuan puncak para rasul dan wali Allah dan-yang banyak disebut-sebut oleh Kitab Allah dan hadis-hadis para Imam Ahl Al-Bait a.s. Mereka melontarkan berbagai fitnah dan aneka tuduhan terhadap para pencari ilmu ini sehingga menyebabkan hati hamba-hamba Allah berpaling dari pengenalan akan hakikat asal usul penciptaan dan Hari Kebangkitan. Merekalah penyebab perpecahan di kalangan umat Islam. Apabila ditanya apa alasan di balik pengafiran penyebutan orang lain sebagai fasik, mereka tetap bersikeras dengan berpegang pada hadis Nabi Saw. yang berbunyi: Janganlah bertafakur tentang Zat Allah. Orang bodoh dan malang ini salah besar disebabkan oleh dua alasan: Pertama, dia mengira bahwa kaum arif melakukan tafakur tentang Zat Allah, padahal mereka menganggap hal ini mustahil, dan hal ini sendiri merupakan salah satu permasalahan yang secara rinci telah dijelaskan dengan didukung oleh berbagai argumen. Kedua, mereka tidak memahami makna hadis di atas. Mereka menduga bahwa hadis itu melarang kita mengucapkan satu patah kata pun tentang Zat Allah. Di sini, kami akan mengutip beberapa hadis terkait dan mencoba dengan kemampuan kami yang belum seberapa ini untuk merujukkannya, seraya berusaha menyajikannya secara objektif meskipun hal ini membuat kami menyimpang dari pembahasan kita. Kami ber-

harap semoga hal ini dapat menghilangkan keragu-raguan dan menolak berbagai konsepsi yang keliru. Hadis berikut ini dimuat dalam Al-Kâfî:

p: 225

عن أبی بی قال : قال ابوعقر علیه السلام: ت وفی خلق الله الله لا یاصاحبه الا تحیا ولا تتکلموا فی الله ان الکلام

Dalam Al-Kafi, dengan sanad melalui Abu Bashir, diriwayatkan bahwa Abu Ja'far a.s. telah berkata, “Berbicaralah tentang ciptaan Allah dan janganlah berbicara tentang Allah, sebab berbicara tentang Allah tidak akan menambah si pembicaranya kecuali kebingungan.(1) Hadis ini sendiri menunjukkan bahwa tujuan pelarangan itu adalah agar orang tidak melakukan pembicaraan yang bertujuan mengukur kedalaman Zat Allah dan kualitas (kaifiyyah) Zat-Nya dengan mencari-cari alasan keberadaan-Nya. Jika tidak demikian, pembicaraan tentang Zat Allah dengan maksud menegaskan Zat itu, Kesempurnaan-Nya, Keesaan dan Transendensi-Nya, tidak akan menimbulkan kebingungan atau kekacauan. Mungkin juga, pelarangan di sini berkaitan dengan orang-orang yang kalau membicarakan masalah-masalah ini akan membuat mereka kebingungan dan kacau. Al-Majlisi r.a. memperkenankan dua kemungkinan ini tanpa memerincinya

lebih lanjut, tetapi yang lebih ditekankannya adalah yang pertama. Hadis lain dalam Al-Kafi, yang diriwayatkan oleh Hariz menegaskan:

ریز: تکلموا فی کل شیء ولاتکوا فی ذات الله وفی روایة أخری ک

“Bicarakanlah segala sesuatu, tetapi janganlah membicarakan Zat Allah.(2)

Ada hadis lain yang identik atau dekat maknanya dengan riwayat itu. Tidak perlu rasanya mengutip semuanya. Hadis lain dalam Al-kâfi yang diriwayatkan melalui Abu Ja'far as menyatakan:

ت اللی قال : لا والفخ الله ولکن اذا اردتم ان عن أبی منه فانظروا إلی عظولقة

“Waspadalah terhadap tafakur tentang Allah. Akan tetapi, kalau kamu ingin melihat keagungan-Nya, lihatlah keagungan ciptaan-Nya.(3)

p: 226


1- 8. Ushul Al-Kafi, 1, h. 93, hadis 1.
2- 9. Ibid.
3- 10. Ibid., I, h. 93, hadis 7.

Riwayat ini tampaknya juga melarang kita mengukur atau mengkaji Zat Allah, sebab hadis ini menambahkan bahwa jika seseorang ingin melihat keagungan Allah Swt., dia harus menyimpulkannya dari keagungan ciptaan-Nya. Pendekatan parabolik ini ditujukan pada berbagai tipe orang yang pengetahuannya tentang Allah diperoleh melalui sarana ciptaan (makhluk) itu.

Hadis ini dan hadis-hadis lain seperti ini, yang tampaknya melarang orang membicarakan dan bertafakur tentang Allah, memperkuat klaim kami yang dengan jelas dikuatkan oleh hadis berikut dalam Al-Kafi tentang tafakur:

پاشتادو عن أبی عبد الله (ع ) قال : افضل العبادة إیرمان الف رخ الله وفی قدرته

“Sebaik-baik ibadah adalah bertafakur terus-menerus tentang Allah dan Kuasa-Nya.(1)

Oleh karena itu, bertafakur tentang Allah demi mendalilkan Zat-Nya dan demi merenungkan Kekuasaan, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya, bukan saja tidak dilarang, melainkan merupakan sebaik-baik ibadah. Hadis lain dalam Al-Kafi menyebutkan:

لی بن الحسین علیهما السکن الوجد ، فقال : ان الله ع وجل علم أنه یکون فی الخرالزمان آوا متعون قال الله تعالی : قل هو ، والآیات من سورة الحدید للی قوله « وهولیدات الدوره

الها مرام وراء ذلک فقد هلک

'Ali ibn Al-Husain a.s. ditanya tentang tauhid. Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. tahu bahwa pada akhir zaman akan ada kaum-kaum yang mendalami (pemikiran tentang-Nya). Oleh ) قل هو الله احلا karena itu Allah Swt menurunkan (Surah Al-Tauhid Dan Allah) وهوایات الدور dan ayat - ayat dari Surah Al-Hadid, Allah mengetahui semua yang ada di hati). Maka, barang siapa melampauinya, dia akan binasa.(2)

p: 227


1- 11. Ibid., II, h. 55, hadis 5.
2- 12. Ibid., 1, h. 91, hadis 3.

Ini menunjukkan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang pengesaan Allah Swt. dan penyucian Zat-Nya tersebut, demikian pula ayat-ayat yang menyebutkan kebenaran Hari Kebangkitan dan kembalinya setiap makhluk ke hadirat-Nya, adalah muncul untuk orang-orang yang melakukan perenungan secara mendalam.

Lantas, dapatkah seseorang tetap mengklaim bahwa bertafakur tentang Allah Swt. dilarang? Ahli ‘irfan dan filosof mana yang mengemukakan hal yang mengungguli makna yang terkandung dalam ayat-ayat Surah Al-Hadîd? Puncak prestasi mereka tak lebih dari pernyataan Telah bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan di سبیله ما فی الموت والارض bumi). Adakah penjelasan yang lebih baik dalam melukiskan Allah Swt. dan aspek-aspek Zat-Nya yang Suci selain ayat berikut ini:

Dialah Yang Pertama dan Yang Terakhir, dan Yang Lahir serta Yang Batin, dan Dia menyangkut segala sesuatu Maha Mengetahui. (QS Al-Hadîd [57]: 3)

Demi nyawa kekasihku, seandainya tidak ada lagi selain ayat ini dalam Kitab Allah yang Mulia, tentulah ia sudah cukup bagi orang-orang yang memiliki hati!

Cermatilah kembali walau sejenak Kitab Allah, pelbagai khutbah, dan hadis Nabi Suci Saw. dan para Imam yang maksum a.s., lalu perhatikanlah bahwa tidak ada ahli 'irfân atau filosof yang mengemukakan penjelasan apa pun, dan dalam disiplin ilmu apa pun, melebihi penjelasan Kitab Allah, hadis Nabi, dan para Imam a.s. Segenap ungkapan Ilahi mereka penuh dengan gambaran tentang Allah Swt. dan bukti tentang Zat serta Sifat-Sifat-Nya Yang Mahasuci, di mana setiap golongan cendekiawan beroleh manfaat dari pernyataan dan argumen mereka, sesuai dengan kapasitas pemahaman masing-masing.

Dengan demikian, dari sekumpulan hadis-hadis di atas jelas sekali bahwa bertafakur dan merenung tentang Zat Allah isu dilarang pada tingkat tertentu, yaitu menyelidiki atau mengukur misteri terdalam (kunh) Zat dan Sifat-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Al-Kafi berikut ini:

الله کیف هو ملک من نظر

p: 228

“Barang siapa bertafakur tentang Allah untuk mengetahui bagaimana Dia itu, binasalah ia.(1)

Lagi pula, hadis-hadis yang melarang tafakur dan hadis-hadis yang menganjurkannya, apabila diperhadapkan, memberikan kesimpulan bahwa orang-orang yang tidak memiliki kekuatan untuk mendengarkan argumen filosofis, tidak mampu masuk ke dalam pembahasan seperti itu, dilarang menyelam ke dalamnya. Ada sejumlah indikasi dalam beberapa riwayat yang membuktikan hal ini. Namun, bagi mereka yang berbakat untuk itu, tidak saja hal itu layak, tetapi jenis tafakur semacam ini juga merupakan bentuk ibadah tertinggi Bagaimanapun, kami benar-benar telah menyimpang dari tema kami yang semula. Tetapi, apa mau dikata, kami terpaksa membahas pandangan-pandangan rendah dan fitnah-fitnah yang dibenci Allah, yang telah merajalela pada masa-masa belakangan ini, dengan harapan agar ada pengaruh pada beberapa hati. Dan jika hanya satu orang yang mau menerima prinsip ini, itu sudahlah cukup bagi saya. Segala puji bagi Allah dan kepada-Nya juga kami mengadu: والله والید المتی

Bertafakur tentang Ciptaan

Tingkat lain tafakur adalah merenungkan keindahan-keindahan ciptaan, kesempurnaan, dan ketelitiannya, sejauh manusia dapat mela- kukannya. Tafakur seperti itu menghasilkan pengenalan akan Sumber Yang Mahasempurna dan Pencipta Yang Mahabijaksana. Metode ini bertolak belakang dari metode para shiddiq. Sebab, pada metode terakhir ini, titik tolaknya bermula dari Allah Swt. yang dari situ diperoleh pengetahuan tentang manifestasi-manifestasi kedaulatan (wilayah),

penampakan, dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Sedangkan di sini titik tolaknya adalah makhluk ciptaan dan kemudian dari situ diperoleh pengetahuan tentang Sumber dan Pembuatnya. Argumentasi dengan pendekatan semacam ini sangat tepat bagi orang awam, yang tidak mungkin menjangkau metode para shiddiq. Oleh karena itu, terkadang banyak di antara mereka yang menolak kalau tafakur tentang Allah itu dapat membawa pengetahuan tentang-Nya dan bahwa

p: 229


1- 13. Ibid., I, h. 93, hadis 5.

pengetahuan tentang-Nya itu dapat membawa pada pengetahuan tentang ciptaan-Nya. Singkat kata, tafakur tentang keajaiban-keajaiban ciptaan, ketelitian, serta kesempurnaan sistemnya, adalah termasuk pengetahuan yang bermanfaat. Ini merupakan salah satu aktivitas hati terbaik dan mengungguli segala bentuk ibadah karena hasil yang diperolehnya merupakan semulia-inulia hasil. Dan, meskipun rahasia serta hasil akhir dari pengamalan berbagai bentuk ibadah yang dilakukan manusia adalah perolehan pengetahuan (tentang-Nya), tidaklah mudah bagi kebanyakan orang untuk dapat menyingkap rahasia tersebut, tidak pula mudah memperoleh hasil seperti itu. Sesungguhnya ini hanya dapat dicapai oleh mereka yang pantas menerimanya di mana setiap kali beribadah, mereka selalu mendapatkan suatu benih yang dengannya mereka dianugerahi-Nya penyingkapan satu atau beberapa rahasia-Nya.

Betapapun, sampai saat ini manusia mengalami kesulitan untuk dapat memperoleh pengetahuan sejati tentang rahasia di balik keajaiban penciptaan berdasarkan realitas wujudnya yang sebenarnya. Sistemnya amat teliti, sempurna, dan indah sampai pada suatu keadaan di mana seandainya manusia mengamati makhluk apa pun betapapun tidak remehnya--dengan segenap ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama berabad-abad pencarian, toh ia tetap tidak akan dapat menemukan seperseribu dari misteri penciptaannya sekalipun. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin ia dapat menjangkau keagungan penciptaan alam semesta yang mahaindah, apalagi memahami kepelikan sistemnya, hanya dengan menggunakan ide-idenya yang terbatas dan tidak sempurna itu.

Nah, sekarang kami akan mengajak Anda untuk memerhatikan salah satu kepelikan penciptaan, yang relatif dekat dengan pemahaman manusia dan termasuk salah satu benda konkret yang sehari-hari dapat kita saksikan.

Bumi dan Matahari: Dua Ciptaan Agung

Saudaraku, amati dan renungkanlah hubungan antara bumi dan matahari, serta jarak yang tetap dan kecepatan yang sesuai antara

p: 230

keduanya. Lihatlah bagaimana bumi berputar pada porosnya serta berputar pula mengelilingi matahari. Putaran tersebut menyebabkan lahimnya waktu siang, malam, serta berbagai musim yang kita kenal. Betapa hal itu merupakan suatu kesempurnaan ciptaan serta kecakapan kreatif Yang Mahaarif. Seandainya tidak demikian, yakni jarak bumi sedikit lebih dekat atau lebih jauh dengan matahari, menyalahi jarak yang telah seharusnya, tentu tidak akan pernah tercipta makhluk-

makhluk hidup maupun tumbuh-tumbuhan serta berbagai jenis barang tambang, lantaran panas yang amat dahsyat dalam keadaan pertama, ataupun dingin yang sangat mengerikan pada keadaan kedua. Begitu pula andaikata bumi berhenti berputar, dengan jarak seperti yang sekarang ini, tentu tidak akan ada siang maupun malam, dan tidak akan ada pula musim-musim, bahkan bumi ini, ataupun sebagian besar belahannya, tidak akan pernah tercipta.

Permasalahan tidak terbatas sampai di sini saja. Titik bumi terjauh dari matahari (apogee) misalnya, terletak di belahan bumi bagian utara agar panas tidak berlebihan sehingga merugikan makhluk-makhluk hidup. Demikian pula titik terdekat antara matahari dan bumi (perigee), terletak di arah selatan sehingga tidak ada bahaya yang mengancam penduduk bumi. Ini pun belum cukup. Bulan-yang juga berperan dalam memelihara kelestarian makhluk-makhluk bumi—berlawanan

arah dengan matahari dalam peredarannya, di mana ketika matahari berada di wilayah utara bumi, bulan terlihat di selatannya. Demikian pula sebaliknya, yakni ketika dalam peredarannya, bulan terletak di utara bumi, maka matahari berada di selatannya. Hal ini demikian semata-mata agar para penduduk bumi mengambil manfaat dari peredaran tersebut. Ini semua merupakan di antara hal-hal nyata yang sudah pasti terjadi. Namun, untuk dapat menguasai rahasia kepelikan dan ketelitian alam raya ini, tidak ada yang dapat menjangkaunya kecuali Sang Pencipta yang Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Mengapa kita harus melakukan pengamatan sejauh ini? Sebaiknya hendaklah setiap manusia merenungkan keajaiban penciptaan pada dirinya sendiri, sejauh kemampuannya dan jangkauan rasionya. Pertama-tama yang perlu diamatinya adalah indra lahiriahnya yang telah dibuat berdasarkan kapasitas objek-objek indriawi yang bersifat

p: 231

materiil di sekelilingnya. Semua benda di dunia ini--sekecil apa pun ia—dapat dijangkau oleh indra manusia dengan kekuatan jangkauan yang sangat mengherankan Sedangkan hal-hal yang bersifat imateriil dan tidak dapat dijangkau oleh indra lahiriah, dapat ditangkap oleh indra batin. Marilah kita kesampingkan terlebih dahulu permasalahan ruh atau nyawa manusia yang tidak mungkin dapat dipahami oleh setiap manusia. Renungkanlah keajaiban tubuh manusia, anatominya, bentuk

fisiknya, dan fungsi masing-masing organ luar dan dalamnya. Lihatlah betapa itu merupakan sistem yang menakjubkan dan keteraturannya sungguh luar biasa! Manusia menganggap penciptaan tubuhnya demikian hebat padahal ilmu pengetahuan yang diperolehnya sampai saat ini belum-bahkan tidak akan pernah walau seratus abad mendatang-mencapai seperseribunya untuk dapat menjangkau pengetahuan tentang kehebatan penciptaan tubuhnya itu. Hal ini diakui sendiri oleh para ilmuwan, padahal tubuh manusia ini jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk bumi lainnya tidak lebih dari sebuah bintik yang tidak berarti. Bumi dengan segenap isinya pun tidak berarti apa-apa jika dibanding dengan sistem tata surya. Demikian pula segenap tata surya kita tidak ada artirya dibandingkan dengan tata surya dan galaksi-galaksi lain. Dan, semua sistem makro dan mikro jagat raya ini merupakan suatu ciptaan yang telah terbentuk berdasarkan pengaturan yang demikian cermat, di mana orang tidak akan dapat menemukan adanya kecacatan padanya sedikit pun. Kritikan terhadap benda sekecil apa pun pada alam semesta ini tidak mungkin ia dapatkan. Akal semua manusia di dunia ini tidak dapai. memahami bahkan satu rahasia di antara beribu-ribu kepelikan dan misterinya sekalipun. Maka setelah perenungan ini, masihkah akal Anda memerlukan argumentasi lain untuk mengakui bahwa Zat Yang Mahakuasa lagi Mahaarif, yang tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, telah menciptakan semua makhluk ini dengan sedemikian teratur dan pelik?

«قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِی اللَّهِ شَکٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْض

Masihkah ada keraguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi? .... (QS Ibrâhîm (14): 10)

p: 232

Segenap alam raya yang demikian teratur, sistematik, dan tidak dapat dipahami akal manusia, tidaklah muncul secara sia-sia dan begitu saja dengan sendirinya. Butalah mata batin yang tidak dapat melihat Allah dan tidak dapat menyaksikan keindahan-Nya di balik keajaiban makhluk-makhluk ini! Binasalah orang yang tetap berada dalam keraguan setelah dia melihat semua bukti dan tanda-Nya ini! Namun, apa lagi yang dapat dilakukan oleh orang yang keadaannya amat memprihatinkan itu, yang telah dikuasai oleh fantasi-fantasi dirinya? Seandainya Anda lihat tasbih Anda, lalu Anda mengklaim bahwa butir-butirnya tersusun pada benang dengan sendirinya, tanpa ada orang yang menyusunnya, pastilah semua orang akan menertawakan Anda. Lebih lucu lagi kalau Anda mengeluarkan jam tangan dari saku Anda, lalu Anda membuat klaim serupa tentang asal usul jam itu. Jika ini yang Anda lakukan, tidakkah mereka akan mengeluarkan Anda dari daftar orang berakal? Tidakkah semua orang berakal di dunia ini akan menganggap Anda gila? Kalau orang yang memandang tidak adanya hukum sebab akibat dalam asal mula lahirnya sebuah benda remeh seperti jam tangan di atas, dianggap gila, dan akan dicabut semua haknya yang merupakan hak orang-orang yang berakal sehat, lalu sebutan apa yang tepat bagi orang yang mengklaim bahwa bukan saja segenap sistem kosmik alam raya ini, melainkan juga manusia dan sistem kompleks tubuh dan jiwanya, maujud dengan sendirinya? Masihkah dia dianggap orang yang sehat akalnya? Ketololan apa yang lebih tolol daripada orang semacam itu? «قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَکْفَرَهُ (17)» Binasalah manusia! Apa yang telah membuatnya menjadi kafir? (QS'Abasa 80:17)

Bertafakur tentang Keadaan Ruh Manusia

Salah satu tingkatan tafakur adalah bertafakur tentang keadaan-keadaan ruh manusia, yang akan menghasilkan pengetahuan luas berbagai manfaat positif. Di sini, kami akan membahas dua manfaat yang dapat diperoleh dari jenis tafakur tersebut: yang pertama adalah pengetahuan tentang Hari Kebangkitan dan yang kedua adalah pengetahuan tentang (keharusan adanya) pengutusan nabi dan penurunan

p: 233

kitab suci-yaitu kenabian secara umum dan sisten-sistem hukum Allah yang benar. Salah satu karakter ruh manusia adalah sifatnya yang imateriil, satu-satunya permasalahan yang telah menjadi bahan kajian kaum arif, melebihi permasalahan-permasalahan lainnya. Namun, di sini kami bukan bermaksud membahas permasalahan ini. Kami hanya akan mengemukakan beberapa pengantar sederhana yang tidak sulit untuk dipahami, lalu kembali ke pokok persoalan kita.

Dapat dikatakan bahwa semua dokter, ilmuwan, dan ahli anatomi sepakat bahwa semua organ manusia, mulai dari otak-yang merupakan pusat kendali seluruh kemampuan manusia dan tempat lahirnya berbagai kekuatan jiwa-hingga ke bagian-bagian kasar dari organ-organ tubuhnya, seluruhnya melemah dan merosot keadaannya setelah usia tiga puluh atau tiga puluh lima tahun. Kita sendiri telah mengalami betapa kelemahan menimpa organ-organ tubuh setelah usia itu. Namun, pada usia yang sama, yaitu usia tiga puluh atau empat puluh tahun ke atas, sisi spiritual dan persepsi-persepsi intelektual semakin berkembang dan kuat. Ini mengandung arti bahwa kekuatan rasional manusia tidaklah bersifat fisik, sebab seandainya bersifat fisik tentu akan merosot juga keadaan dan fungsinya. Sebagai-

mana tidak tepat mengatakan bahwa kekuatan rasional semakin meningkat dengan banyaknya pengalaman dan berbagai aktivitas intelektual, karena semua kekuatan fisik akan mengalami kelemahan dan kemerosotan akibat aktivitas yang terus-menerus dan energi yang makin terkuras, bukan malah bertambah kuat ataupun sempuma sebagaimana anggapan tadi. Hal ini membuktikan bahwa daya intelektual bukanlah bersifat fisik. Pendapat yang beranggapan bahwa daya pikir akan melemah di usia tua seperti melemahnya fisik manusia ini tidak berdasar sama sekali karena, pertama, tidak ada daya fisik tertentu pada tubuh yang

tumbuh dan berkembang kuat hingga usia 30-40 tahun sehingga tidak mungkin pula dikatakan bahwa organ tertentu pada tubuh adalah pusat persepsi intelektual yang tumbuh kuat hingga usia 30-40 tahun, dan kemudian setelah melemahnya organ ini, melemah pula daya intelektual pada tubuh.

p: 234

Alasan kedua, apakah kelemahan yang terus berlangsung hingga usia pertengahan itu berkaitan dengan daya pikir, seperti halnya daya fisik, atau daya pikir itu sendiri yang memerlukan bantuan kekuatan fisik sehingga ketika fisik—tempat bersemayamnya daya pikir----melemah, fisik ini dapat menghambat aktivitas daya pikir? Tentu jawabannya tidak. Sanggahan yang dikemukakan tadi berkaitan dengan daya pikir. Adapun persepsi-persepsi intelektual murni dan bakat-bakat utama yang dimiliki manusia tentunya lebih tinggi dan terus menjadi semakin kuat dibandingkan dengan sebelumnya pada usia pertengahan, meskipun ekspresi dan manifestasi lahiriahnya boleh jadi berkurang. Pendek kata, yang kami kemukakan mengenai menguatnya daya intelektualitas seiring dengan melemahnya fisik di atas sudah cukup untuk membuktikan teori kami bahwa ruh manusia bersifat imateriil.

Di samping penjelasan di atas, perlu ditambahkan untuk membantah anggapan salah bahwa daya intelektual bersifat fisik, bahwa tatkala ruh menyerap kekuatan dari jasmani sehingga menjadi kuat, di sini apabila kekuatan yang diserapnya lebih dekat dan cenderung kepada alam jasmani, dapat dipastikan bahwa ruh tersebut akan lebih cepat melemah dan pudar kekuatannya. Sebaliknya, apabila kekuatan ruh relatif lebih jauh dengan alam jasmani, ini akan lebih memperlambat kelemahannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap daya yang memiliki ikatan dengan alam ruh akan tumbuh dan berkembang bertambah kuat seiring dengan bertambahnya usia manusia. Ini membuktikan bahwa ruh itu sifatnya bukanlah jasmani atau fisik.

Dapat pula ditambahkan bahwa sifat, pengaruh, dan aktivitas jiwa itu berlawanan dengan sifat, pengaruh, dan aktivitas organ-organ jasmani secara mutlak. Ini semakin membuktikan bahwa ruh tidak bersifat jasmani. Misalnya, kita tahu bahwa setiap benda jasmani tidak menerima lebih dari satu bentuk. Kalau ada bentuk lain yang akan dimilikinya, bentuk yang sebelumnya sudah dimilikinya itu harus dilepaskannya. Jika Anda melukis sebuah gambar pada kertas, Anda tidak dapat melukis gambar lain di tempat yang sama, kecuali apabila

p: 235

gambar yang pertama Anda hapus. Prinsip ini berlaku pada semua jenis benda jasmani. Berbeda halnya dengan sifat ruh, di mana pada saat satu bentuk terterakan padanya, bentuk-bentuk lain yang sepenuhnya berbeda dapat pula diterakan padanya tanpa menghapus bentuk yang pertama. Di samping itu, setiap benda jasmani hanya dapat menerima bentuk- bentuk terbatas, sedangkan ruh dapat menerima bentuk-bentuk tak terbatas. Karena itulah, jiwa dapat mengendalikan hal-hal yang tidak-terbatas. Juga, setiap benda jasmani, jika kehilangan satu bentuk, bentuk itu tidak dapat dikembalikan kepada benda jasadi itu, kecuali kalau ada sebab baru. Namun, dalam hal ruh, bentuk apa pun yang meninggalkannya akan kembali kepada jiwa tanpa adanya sebab baru. dengan demikian, jelaslah bahwa ruh berbeda dengan semua benda jasmani dalam hal sifat, pengaruh, dan aktivitasnya, yakni ruh bersifat non-materi dan tidak termasuk kelompok benda-benda ataupun objek fisik. Hal-hal yang bersifat ruhani tidak dapat rusak-seperti telah dikemukakan pada pembahasan-pembahasan yang lalu--sebab kerusakan hanya dapat terjadi pada benda-benda yang berpotensi rusak, dan tentunya hal-hal yang bersifat ruhani terlepas dari kemungkinan seperti itu karena kerusakan adalah salah satu sifat benda fisik. Oleh karena itu, kerusakan tidak mungkin terjadi pada ruh. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa ruh tidak rusak bersamaan dengan rusaknya jasad, atau setelah berpisahnya ruh dari jasad. Ruh tetap berada di alam lain dan tidak mengalami kepunahan. Inilah yang disebut kebangkitan ruhani, sebelum Hari Kebangkitan, sampai Allah Swt. menghendakinya menyatu dengan tubuh. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, kami di sini bermaksud membuktikan kebenaran adanya Hari Kebangkitan, dan permasalahan ini semakin jelas lagi dengan diketengahkannya pengantar-pengantar di atas. Kita juga perlu mengetahui bahwa ruh dapat mengalami keadaan sehat dan sakit, sempurna dan rusak, senang dan sedih. Siapa pun tidak mungkin dapat mengetahui dimensi-dimensinya, rahasia kedalamannya, manfaat dan keburukannya, kecuali Zat Suci Allah Swt. Oleh karena itu, dalam sebuah sistem mahasempurna, yang merupakan sebaik-baik sistem yang ada--dan telah dijelaskan sebelum ini

p: 236

bahwa pembuat sistem maha sempurna harus Zat Yang Maha sempurna dan Maha Meliputi segala sesuatu—mustahil ada kelalaian menjelaskan perihal pengenalan jalan-jalan kebahagiaan dan kesengsaraan, jalan-jalan yang membimbing pada pengenalan kebenaran dan kerusakan serta metode-metode penyembuhan jiwa. Ini karena kelalaian semacam itu akan mengandung arti tidak sempurnanya pengetahuan dan kuasa-Nya, serta menandakan adanya sifat zalim dan kikir tanpa sebab yang jelas. Telah jelas di atas bahwa Zat Allah Yang Mahakudus tersucikan dari sifat-sifat buruk tersebut. Dialah Yang Mahasempurna secara mutlak, dan Maha Pemberi anugerah secara mutlak. Kelalaian memberikan petunjuk menuju pengenalan jalan pengetahuan dan kesengsaraan akan mengandung arti cacatnya kearifan Allah dan akan menimbulkan kekacauan sistem alam semesta. Jadi, sistem sempurna itu harus memperkenalkan jalan-jalan menuju kebahagiaan. Dari penjelasan ini, lahir dua kesimpulan tegas. Yang pertama adalah bahwa syariat yang merupakan resep khusus untuk penyembuhan berbagai penyakit spiritual tidak ada kecuali pada Zat Suci Swt. Yang kedua adalah bahwa Allah pasti memberitahukan syariat tersebut kepada manusia. Seperti diketahui bahwa tujuan

agung dan pengetahuan yang sempurna dan rinci seperti ini-yang dapat mencakup alam jasmani dan alam ruhani, serta pengaruh bentuk-bentuk jasmani terhadap wilayah ruhani—tidak mungkin diketahui oleh seorang pun kecuali melalui perantaraan wahyu atau ilham, yakni harus melalui sarana ajaran Allah. Jelaslah bahwa setiap manusia tidak patut ataupun layak memperoleh karunia seperti itu. Namun, dalam beberapa abad, muncul manusia yang pantas mengemban tugas suci tersebut serta mewujudkan cita-cita besar di muka bumi. Allah Swt. mengutusnya untuk menjelaskan kepada umat manusia pengetahuan mengenai jalan-jalan kebahagiaan dan kesengsaraan sambil mengajari mereka tentang bagaimana mereka memperbaiki diri mereka sendiri. Inilah yang dinamakan dengan kenabian umum. Setelah pembicaraan kita sampai di sini, terganjal dalam benak saya permasalahan lain yang perlu saya tambahkan lagi dan saya menganggapnya sebagai sesuatu yang amat swanyata, yaitu bahwa

p: 237

setelah kita ketahui adanya keharusan penurunan svariat Allah swt. kepada umat manusia dan perlunya kembali ke syariat-syariat yang berlaku bagi seluruh umat manusia—yaitu tiga syariat besar yang kita kenal: Yahudi, Kristen, dan Islam—-maka otomatis kita akan ketahui bahwa syariat Islam adalah syariat terlengkap dan mengungguli dua syariat lainnya, dalam tiga dimensi utamanya, di mana dimensi-dimensi tersebut merupakan tonggak penyangga berlakunya sebuah syariat. Yang pertama berkenaan dengan doktrin-doktrin sejati dan ajaran-ajaran Allah tentang Sifat-Sifat-Nya serta penyucian Zat-Nya dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya serta cara-caranya, pengetahuan tentang malaikat dan sifat-sifat para nabi a.s. dan keterhindaran mereka dari dosa, yang merupakan komporen utama syariat

itu; yang kedua adalah berkaitan dengan perilaku-perilaku mulia, sifat-sifat terpuji serta penyucian jiwa; yang ketiga adalah tentang perilaku-perilaku individu, sosial dan politis, dan lain sebagainya. Bahkan setiap orang yang hendak melakukan penilaian secara objektif dan tidak memiliki kecuali tujuan positif dalam penilaiannya itu, akan dapat mengetahui bahwa Islam terlalu tinggi untuk dapat diperbandingkan dengan agama lainnya dan bahwa sejarah manusia tidak pernah menyaksikan adanya syariat serta hukum sesempurna Islam dalam kesempurnaan seluruh aspek kehidupan dunia dan akhiratnya. Ini sendiri merupakan argumentasi yang paling kuat tentang kebenaran agania Islam. Oleh karena itu, setelah pengukuhan doktrin kenabian umum dan bahwasanya Allah Swt. telah menetapkan syariat-Nya untuk umat manusia serta menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk dan meletakkan mereka dalam luar lingkup sebuah sistem, maka untuk membuktikan kebenaran Islam, sama sekali tidak lagi diperlukan pengantar apa pun, tetapi cukup dengan menelaahnya dan membandingkannya dengan hukum-hukum dan agama-

agama lainnya—mulai dari kebutuhannya akan potensi-potensi bajik dan pengetahuan spiritual, hingga ke tanggung jawab individual dan sosial. Dan, inilah makna hadis suci berikut ini: الأحلام یعلو ولا یلی علیه

p: 238

“Islam mengungguli (semua keyakinan) dan tidak terungguli (oleh keyakinan apa pun)."

Ini karena semakin bertambah maju dan berkembang akal manusia dalam pengetahuannya dan semakin banyak ia menelaah berbagai argumentasi Islam, semakin bertambah pula ketundukannya di hadapan cahaya petunjuknya dan semakin kuat argumentasi-argumen- tasi yang dimilikinya sehingga tidak ada satu tuduhan atau bantahan pun terhadap Islam kecuali dia dapat menjawab dan menolaknya. Kesimpulan dari argumen-argumen kami tentang kenabian penutup para nabi Saw. adalah bahwa ketika kesempurnaan penciptaan makhluk-makhluk serta tatanannya yang demikian indah, teratur dan sempurna, merupakan argumentasi kuat yang mengarahkan kita kepada pengakuan akan keberadaan Sang Pencipta sekaligus Maha Pengatur Yang Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu yang bersifat

besar maupun kecil. Demikian pula kesempurnaan hukum-hukum syariat dan keteraturan sistemnya serta perannya yang menjamin berbagai kebutuhan materi maupun spiritual, dunia dan akhirat, serta individu maupun kolektif, hal ini mendorong kita pada keyakinan bahwa Pembuat syariat dan Pengatur sistemnya adalah Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Meliputi segala macam kebutuhan masyarakat manusia. Dan, sebagaimana akal memandu kita pada keyakinan akan sebuah realitas bahwa akal yang dimiliki manusia ini di mana seluruh sejarahwan dunia telah mencatat riwayatnya bahwa ia pada mulanya adalah seorang buta huruf yang hidup dalam sebuah lingkungan yang tidak mengenal kesempurnaan serta kosong dari berbagai pengetahuan-tidak mungkin mampu membuat sistem yang sarat dengan keteraturan dan kesempurnaan luar biasa. Demikian pula, secara pasti kita harus mengakui bahwa syariat ini ditetapkan di sisi Zat Yang Mahagaib serta di alam metafisik, turun melalui proses wahyu dan ilham kepada manusia agung itu (Nabi Muhammad Saw.). Dan, segala puji bagi Allah atas jelasnya hujah-hujah.

Kami memang bermaksud menguraikan tafakur jenis lain, yakni tafakur tentang alam dunia dan zuhud sebagai buahnya. Namun, karena pena ini tak terkendali pada tahap-tahap pembahasan sebelumnya sehingga menjadikan pembahasan ini agak lebih panjang dan

p: 239

terkadang keluar dari persoalan yang dimaksudkan, kami tidak jadi menguraikannya.

Keutamaan-Keutamaan Shalat Tengah Malam

Nah, kini tinggal menerangkan dua frasa yang terdapat dalam hadis mulia ini, Amir Al-Mukminin Al-Imam 'Ali a.s. telah menyandingkan tindakan hati, yaitu tafakur dan takwa kepada Allah, bersama dengan bangun tengah malam, dan menjauh dari tempat tidur demi ibadah. Ini membuktikan keutamaan shalat tengah malam, sebagaimana banyak hadis pun menyebutkan kemuliaan amalan ini. Dari biografi para Imam a.s., para arif besar, dan ulama terkemuka, dapat disimpulkan bahwa mereka semua tekun menjalankan shalat tengah malam, bahkan mereka berusaha keras agar selalu tetap bangun pada setiap sepertiga malam terlepas apakah untuk tujuan menunaikan shalat malam tersebut atau bukan.

Dalam Wasâ'il Al-Syi'ah (kitab terbesar kaum Syiah, yang merupakan poros mazhab Syi'ah dan buku-sumber bagi ulama dan ahli fiqih Syi'ah), tertera empat puluh satu hadis tentang keutamaan bangun tengah malam ini dan ada beberapa hadis tentang tidak disukainya menghentikan kebiasaan bangun tengah malam ini. Tentu saja banyak sekali hadis serupa dalam kitab-kitab doa. Namun, di sini kami hanya akan mengutip beberapa di antaranya, dengan harapan mendapatkan barakahnya. Hadis-hadis itu adalah sebagai berikut:

اباعبدالله علیه معاون عمار قال : سم عن الکاف پانارو و علی قال : السلام یقول : کان فی وصیة التی صلی الله علیه وآله یا علی اویک فی نیک پخصال قلها ثم قال : الله عنه، إلی أن قال : وعلیک بصلاة اللیل ولیک صلاة اللیل وعلیک صلاة اللیل

Diriwayatkan dalam. Al-Kafi, dari Mu'awiyyah ibn Ammar, yang mengatakan bahwa dia mendengar Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Dalam wasiat yang disampaikan kepada 'Ali a.s. oleh Nabi Saw.,

p: 240

beliau bersabda, 'Wahai ‘Ali, aku wasiatkan kepadamu tentang kebiasaan-kebiasaan tertentu yang harus kamu jaga. Kemudian abi Saw. berdoa, 'Ya Allah, tolonglah dia.' Lalu (melanjutkan nasihatnya) beliau berkata, 'Lakukanlah shalat tengah malam Lakukanlah shalat tengah malam. Lakukanlah shalat tengah malam.(1) Dari isi hadis ini, dapat diketahui pentingnya amalan shalat tengah malam;

وین الخصال پاشادوک أبی عبد الله (ع ) قال : قال اللب لجبریل و آب ماش وانک عظین ، فقال : یا تدع ماشئت وانک م مفارق والماشت قائک لاقیه واعام (ا ) شف ابن قیامه اللیل ویژه که اغراض التای

Diriwayatkan dalam Al-Khishâl bahwa Abu 'Abdillah a.s. telah berkata, “Nabi Saw. meminta Jibril untuk menasihatinya tentang sesuatu. Jibril berkata, 'Wahai Muhammad! Hiduplah seperti yang engkau kehendaki karena sesungguhnya engkau kelak akan meninggal. Dan, cintailah apa pun yang engkau sukai karena sesungguhnya engkau akan berpisah darinya. Bertindaklah sebagai mana engkau mau karena sesungguhnya engkau akan menemuinya. Ketahuilah bahwa keutamaan seorang Mukmin adalah ketika dia bangun di tengah malam dan kemuliaannya ketika ia tercegah untuk tidak merusak kehormatan orang.(2) Pengkhususan nasihat agung terhadap Rasulullah Saw. dengan nasihat semacam ini adalah menunjukkan amat pentingnya pesan nasihat tersebut. Seandainya Jibril, a.s. memandang ada yang lebih penting daripada nasihat yang disampaikannya tersebut, tentu dia akan menyebutkannya dalam nasihatnya itu.

ین : فمن کوفی المالیں ہاشتایر و ت ابن عباس قال : قال رسول الله فی رقصة الی مقبل أوامة قام له مخلصافاو، اینگا

p: 241


1- 14. Al-Kulaini, Raudhah Al-Kafi, h. 162; Al-Hurr Al-Amili, Wasa'il Al-Syi'ah, V, 268; Al-Syaikh Al-Shaduq, Man là Yahdhuruhû Al-Faqih, I, 484; Al-Kulaini, Furû Al-Kafi, 1, h.73.
2- 15. Al-Syaikh Al-Shaduq, Tsawab Al-A'mal, h. 63, hadis 41; man la yahdhuruhû al-faqih, I. h. 471.

ولی به وکل بنیة صایقة وقلی سلیروین دامعة جعل الله تقالی تلفه سبع صفوف من المادة مص الایده الا الله. أدویاتصف بالمشرق والاخر بالمرب. اذا فرغ و بعدیه دجاټ کتب الله

Dalam Al-Majális, diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa Nabi Saw. bersabda dalam sebuah hadis, “Barang siapa yang dikaruniai rezeki (dapat melakukan) shalat malam baik ia seorang hamba laki-laki maupun perempuan, lalu dia bangun demi beribadah ikhlas kepada Allah, kemudian berwudhu dan shalat demi Allah Swt. dengan niat yang ikhlas, sepenuh hati, dan dengan mata yang membasah, Allah Swt. menunjuk tujuh baris malaikat (untuk shalat) di belakangnya. Hanya Allahlah yang dapat menghitung jumlah mereka, yang berbaris dari timur sampai ke barat. Ketika dia selesai shalat, Allah Swt. menuliskan derajat-derajat untuknya yang sama dengan jumlah mereka.(1)

:

وین الحلل پاشا و إلی آنیں ، قال : سمعت رسول الله یقوی التان فی جوف اللیل ان الی من الدنیا وما فیها

Dalam 'Nal Al-Syarâ'r', diriwayatkan dari Anas yang mendengar Rasulullah bersabda, “Dua rakaat shalat yang ditunaikan di tengah malam lebih aku sukai daripada segenap dunia beserta isinya.(2) Dalam sejumlah hadis, diriwayatkan pula bahwa shalat tengah malam merupakan kehormatan dan kemuliaan seorang Mukmin, dan perhiasan akhirat, sebagaimana halnya anak dan kekayaan adalah perhiasaan dunia ini.

ول ون العلل ہاشتایه الی جابر بن عبد الله الانصاری قال: متم الله یقول : ما اخد الله ابراهیم خلیلا اله طعام الطعام و لانه نیا باللیل والناس

p: 242


1- 16. Wasâ’il Al-Syi'ah, V. h. 275.
2- 17. Al-Syaikh Al-Shaduq, ‘llal Al-Syarâ'i, h. 138.

Dalam 'Ilal Al-Syarâ'i', diriwayatkan pula bahwa Jabir telah mendengar Nabi Saw. bersabda, “Allah tidak menjadikan Ibrahim a.s. sebagai kekasih (khalil) kecuali karena dia memberi makan orang dan melakukan shalat tengah malam pada saat orang tengah tertidur pulas.(1)

Seandainya shalat tengah malam tidak memiliki keutamaan lain selain ini, hal itu sudah cukup tetapi tentu saja bagi orang yang pantas memiliki keutamaan tersebut (yakni Nabi Ibrahim a.s.), bukan orang-orang seperti penulis. Kita tidak mengetahui sedikit pun tentang sisi kemuliaan di balik pakaian kebesaran yang bernama kekasih Tuhan dan alasan mengapa Allah Swt. menjadikan hamba-Nya sebagai kekasih. Akal manusia tidak mampu memahaminya. Seandainya semua orang di surga menyambut, memuliakan, dan menjamu sang kekasih Tuhan dengan aneka nikmat yang ada di sana—tentu dia tidak akan tertarik sedikit pun dengan semua itu selama dia bersama Kekasihnya, Allah Swt. Ini sama halnya dengan Anda yang memiliki seorang kekasih atau sahabat karib yang Anda cintai yang mendatangi

Anda. Tentu saat itu Anda akan menyambutnya dan segera meninggalkan segala kenikmatan ataupun kelezatan yang berada di sekeliling Anda, dengan cukup menikmati keindahan sang kekasih serta kesyahduan perjumpaan dengannya. Meskipun ilustrasi semacam ini sebenarnya terlalu jauh untuk dapat disamakan dengan realitas sang khalil yang dicintai Allah swt.

وعن علی بن إبراهیم باتاروت أبو عبد الله قات ماینل حسن یتحمل العهد الأول ثواب فی الان اصلا اللیل . فإن الله یبین ثوابها لیخطوها عدة تتافالجهین المضاجع دون . فلا تعلم نفتا أخفی به وفا وطمعا وتماری ن جاء بما کانوا یعملون ة أین له

Dari 'Ali ibn Ibrahim yang meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa beliau bersabda, “Tidak ada suatu perbuatan baik pun yang dilakukan oleh seorang hamba Allah, melainkan pahalanya

p: 243


1- 18. Ibid., h. 23; Wasâ'il Al-Syi'ah, V, h. 276.

telah ditetapkan dalam Al-Quran, kecuali shalat tengah malam, karena Allah tidak menjelaskan pahalanya karena sedemikian tinggi nilainya di sisi-Nya. (Allah berfirman dalam Al-Quran), Kedua sisi mereka jauh dari tempat tidur mereka karena mereka menyeru kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan harap dan mereka menginjakkan dari apa yang Kami berikan kepada mereka. Tak ada jiwa pun yang tahu kesenangan yang disembunyikan yang diperuntukkan bagi mereka, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Sajdah (32): 16-17)(1)

Kira-kira, apakah nikmat dan kesenangan yang dirahasiakan oleh Allah Swt. penyebutannya sehingga tidak ada seorang pun yang me ngetahuinya? Kalau itu merupakan sesuatu yang sama dengan sungai-sungai yang mengalir, atau istana-istana megah dan besar, serta aneka macam karunia di surga, tentu Dia akan melukiskannya-seperti halnya amal-amal lain, yang telah diketahui oleh para malaikat (setidak-tidaknya).

Namun, tampaknya kenikmatan yang dijanjikan-Nya itu bukan termasuk kelompok nikmat yang disebutkan dalam Al-Quran dan dapat diketahui oleh semua makhluk. Ia terlalu agung untuk dapat diceritakan kepada seorang hamba sekalipun, khususnya kepada salah seorang dari penduduk dunia. Sesungguhnya nikmat-nikmat di akhirat tidak dapat dipersamakan dengan aneka kenikmatan di alam dunia ini. Janganlah pula Anda membayangkan bahwa surga dan taman-tamannya di akhirat sama dengan taman-taman dunia ini, atau mungkin Anda beranggapan bahwa taman-taman di alam sana lebih luas dan lebih indah dan agung daripada taman-taman di alam sini. Di sanalah tempat Kemuliaan Tuhan serta tempat penjamuan-Nya. Dunia fana ini tak ada artinya sama sekali jika dibandirg dengan sehelai

rambut bidadari surga. Bahkan tidak berarti dibanding sehelai benang dari pakaian-pakaian yang diperuntukkan bagi penghuni surga. Sekalipun demikian, Allah Swt. tidak menyebutkan ini semua sebagai pahala bagi orang yang menunaikan shalat tengah malam. Allah hanya menyebutkannya dalam konteks pergagungan orang

yang melakukannya. Namun, sungguh amat jauh untuk dapat mencapai prestasi semacam itu bagi kita yang lemah keimanannya. Kita adalah

p: 244


1- 19. 'Ila Al-Syarâ’i-, h. 23, Wasâ’il Al-Syi'ah, V, h. 276.

orang-orang yang tidak memiliki keyakinan mantap. Kalau benar kita tidak demikian, tentu kita tidak akan terus-menerus tenggelam dalam kelalaian kita sehingga sering kali kita lelap tidur hingga pagi hari. Jika bangun tengah malam membuat manusia semakin memahami hakikat dan rahasia shalat, tentu dia akan selalu akrab dengan mengingat Allah Swt. dan bertafakur tentang-Nya, dan pastilah dia gunakan malam-malamnya sebagai kendaraannya dalam melakukan miʻrâj ruhani ke hadirat-Nya. Pahala yang akan diterima orang ini tidak lain adalah anugerah menyaksikan keindahan Zat Yang Hagg dan Mahaindah.

Celakalah kita—orang yang lalai-yang tidak pernah bangun dari tidur pada malam hari hingga akhir hayat. Kita terus lelap tenggelam dalam kemabukan dunia! Celakalah kita, yang dari hari ke hari semakin mabuk dan lalai! Sedangkan kita tidak memahami apa pun dari dunia ini selain kebiasaan-kebiasaan hewani seperti makan, minum, dan melakukan hubungan seks! Sekalipun kita melakukan semua itu dengan niat ibadah, sebenarnya kita bermaksud memenuhi kebutuhan-kebutuhan perut dan di bawahnya. Apakah Anda mengira bahwa shalatnya sang kekasih (khalil) Tuhan, yaitu Nabi Ibrahim a.s., sama dengan shalatnya kita? Beliau tidak menyampaikan keinginan-keinginannya kepada Jibril sekalipun, sedangkan kita tak ragu-ragu meminta kepada setan dengan anggapan bahwa dia cukup kuasa untuk mengabulkan permohonan kita dan memenuhi keinginan-keinginan kita! Namun, kita tak boleh berputus asa. Boleh jadi setelah beberapa lama membiasakan bangun malam dan mulai melakukannya secara rutin, Allah Swt. akan menolong Anda secara berangsur-angsur, dan dengan rahmat-Nya yang tak terlihat, Dia memakaikan Anda pakaian kasih sayang-Nya. Anda juga harus selalu mengingat rahasia dan hikmah ibadah secara umum, dan janganlah membatasi perhatian

Anda hanya dalam memperbaiki keindahan bacaan serta hal-hal yang bersifat lahiriah dalam praktik-praktik ibadah yang Anda lakukan itu. Apabila Anda tidak dapat menunaikannya dengan kesucian niat, setidak-tidaknya berupayalah untuk memperoleh sebuah balasan kenikmatan yang disembunyikan Allah Swt. sebagai balasan bagi yang

p: 245

melakukan shalat tengah malam. Ingatlah dalam doa-doa yang Anda panjatkan akan diri Anda yang tak memiliki apa-apa, pendosa dan yang berkarakter seperti binatang, yang pola hidupnya tidak berbeda dengan binatang. Kemudian, setelah terus-menerus Anda melakukan-nya lalu Anda merasakan adanya semangat dalam diri Anda, bacalah dengan khusyuk dan riat yang ikhlas doa ini:

الله ارقی الثانی عن دار النمو والکتابة إلی کا ألویر والاستعداد یموت قبل حلول الفوټ

Ya Allah, Anugerahilah daku kejauhan dari tempat tipu daya, dan kembali ke tempat keabadian serta kesiapan untuk mati, sebelum hilangnya kesempatan. (1)

Apakah Takwa Itu?

Takwa berasal dari kata wiqâyah, yang artinya penjagaan'. Dalam istilah umum dan hadis-hadis, takwa didefinisikan sebagai menjaga diri dari pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah dan larangar-Nya serta segala hal yang menyebabkan terhalangnya keridhaan-Nya’ Kata ini sering kali didefinisikan dengan menjaga diri sepenuhnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan haram, yaitu dengan meninggalkan segala sesuatu yang bersifat syubhat (belum diketahui pasti kehalalannya). Dikatakan bahwa:

ومن أخذ بالشبهات وقع فی المحرمات وهلک من حیث لایک ومن تعوفک الحمی وشک ان یقع فیه

“Barang siapa terjerumus ke dalam hal-hal syubhat, pasti dia terjatuh ke dalam hal-hal haram sehingga binasa tanpa dia ketahui."

Dalam hadis lain dikatakan:

“Barang siapa yang bermain di sekitar lumpur (segala sesuatu yang syubhat), ia nyaris terperangkap di dalamnya. (2)

p: 246


1- 20. Syaikh Abbas Al-Qummi, Mafatih Al-Jinân.
2- 21. Wasâ’il Al-Syi'ah.

Perlu diketahui bahwa sekalipun takwa tidak merupakan satu-satunya anak tangga menuju kesempurnaan dan pencapaian puncak spiritual, tanpanya mustahil kesempurnaan tersebut dapat dicapai. Sebab, selama jiwa seseorang terkotori oleh perbuatan-perbuatan haram-senantiasa cenderung kepada keinginan-keinginan dan kelezatan jasmani serta cenderung untuk merasakan kemanisannya (sifat-sifat) kemanusiaan pada jiwa yang bersangkutan dengan sendiri-nya akan menjadi hilang. Dan pada gilirannya, mustahil ia dapat mencapai derajat-derajat kesempurnaan kemanusiaannya. Selama rasa cinta dunia dan kebergantungan padanya masih melekat di dalam hati, dia tidak mungkin dapat mencapai maqâm kaum mutawashshithîn (kelompok orang moderat) dan zâhidîn (kelompok orang zuhud).

Selama cinta diri tertanam dalam esensinya, dia tidak akan mencapai maqam orang-orang yang ikhlas (mukhlishin) dan mencintai Allah. Begitu cinta dunia (mulk) dan akhirat (malakût) ada dalam hatinya, dia tidak akan mencapai maqâm tinggi para majdzûb (orang yang terbenam dalam Tuhan dan terlepas dari segala ikatan duniawi). Hal itu lantaran sedemikian banyaknya nama (manifestasi-manifestasi Ilahi) yang telah melekat dalam inti sukmanya, sehingga dia tidak akan dapat mencapai kesirnaan total (fanâ') di dalam Zat. Karena hatinya tertuju pada status maqâm-maqâm spiritual, dia pasti tidak akan dapat mencapai maqâm kesempurnaan fanâ'. Lantaran sukma-nya cenderung mengambil berbagai impresi (fenomena penciptaan), dia pun tidak dapat menyerap cahaya abadi ke dalam hatinya. Jadi, ketakwaan bagi kalangan awam berarti pemeliharaan diri dari segala sesuatu yang bersifat haram dan ketakwaan bagi kalangan khusus berarti pemeliharaan diri dari berbagai keinginan dan ambisi pribadi. Takwa orang yang zâhid berarti pemeliharaan diri dari cinta dunia, takwa orang yang mukhlish berarti hilangnya cinta diri dan ego, takwa orang yang munjazdib (yang terpesona pada Zat Ilahi) berarti pemeliharaan diri dari tarikan aneka ragam manifestasi ciptaan

Ilahi, takwa kaum fâni (orang yang telah sirna dalam Zat-Nya) berarti pemeliharaan diri dari perhatian pada aneka ragam (manifestasi) Nama Ilahi, takwa orang yang washil (sampai kepada Zat-Nya) berarti pemeliharaan diri dari perhatian pada terjadinya proses fanâ' (kesir-

p: 247

naan diri dalam Zat Ilahi) dan takwa orang mutamakkin (tegak kukuh bertawajuh pada Zat Ilahi) berarti pemeliharaan diri dari pelbagai impresi atau ekspresi (talwîn) selain Zat Allah: «فَاسْتَقِمْ کَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَکَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِیرٌ (112)» Maka tegak luruslah (menuju kepada-Nya) sebagaimana kamu di perintahkan. (QS Hûd (11): 112)

Banyak yang perlu dijelaskan pada setiap maqam di atas. Menguraikannya tidak akan membawa orang-orang seperti kita melainkan kepada kekaguman dan kemasygulan pada istilah-istilah, karena kita buta terhadap makna-makna yang tersembunyi di balik tabir-tabir konsep tersebut. Dan memang—seperti kata pepatah Arab—“Setiap gelanggang, ada jagoannya”, yakni di setiap bidang terdapat ahli yang dapat menguasainya. Nah, marilah kita kembali ke penjelasan sekilas tentang takwa yang telah dijelaskan pada awal bab ini, mengingat pentingnya pokok masalah ini bagi umat manusia secara umum.

Takwa Kaum Awam

Saudaraku, ingatlah bahwa sebagaimana jasmani dapat mengalami keadaan sehat atau sakit, demikian pula ruhani atau jiwa manusia itu bisa sehat dan bisa sakit pula. Kesehatan ruhani seseorang terletak pada konsistensinya mengikuti norma-norma kemanusiaan, dan sebaliknya ruhaninya akan dihinggapi oleh berbagai penyakit spiritual ketika ia menyimpang dari norma-norma tersebut. Penyakit spiritual seribu kali lebih berbahaya dan mematikan daripada penyakit jasmani,

karena separah apa pun penyakit jasmani paling tidak akhirnya hanya akan menyebabkan kematian. Begitu datang kematian, dan ruh terlepas dari jasad, semua penyakit dan cacat serta kelemahan jasmani akan sirna dan manusia pun tidak lagi akan merasakan sakit dan penderitaan jasmaninya. Namun, semoga Allah melindungi kita semua, jika manusia mengidap penyakit spiritual, saat kematian merupakan saat di mana penyakit pada jiwanya mulai terasa: itulah awal manusia mengalami sakit dan kemalangan. Kebergantungan manusia pada dunia dengan mengarahkan seluruh perhatian hanya kepadanya dapat digambarkan seperti narkotika yang merampas seluruh ingatan dan kesadaran

p: 248

akan diri pecandunya. Begitu ikatan ruh dengan jasad terlepas, saat itu kenyataan yang sebenarnya akan dirasakan manusia, semua penyakit pada ruhaninya mulai muncul. Seperti api dalam sekam, penyakit yang dideritanya akan mulai menggerogotinya setelah selama ini tidak terasa. Derita ini ada yang tidak dapat disingkirkan dan tetap melekat kuat-kuat pada ruh dan ada juga yang dapat disembuhkan, setelah jiwa itu mengalami aneka siksaan, kepedihan, dan dibakar selama ribuan tahun terapi (penyembuhan terakhir berupa pembakaran). Allah Swt. berfirman: «مَا کَانَ لِلَّهِ أَنْ یَتَّخِذَ مِنْ وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَی أَمْرًا فَإِنَّمَا یَقُولُ لَهُ کُنْ فَیَکُونُ Pada hari mereka dipanaskan di dalam api neraka, lalu disetrika dengannya dahi-dahi, lambung, dan punggung mereka. (QS Al-Taubah 19): 35)

Peran para nabi bagi umat manusia adalah ibarat dokter-dokter yang memiliki perhatian penuh terhadap para pasiennya, yang dengan segala senang hati dan rasa penuh kasihan datang untuk menyembuhkan manusia-manusia sakit, dengan aneka metode penyembuhan sesuai dengan kondisi mereka. Mereka memandu umat manusia menuju jalan kebenaran. (Kami adalah dokter-dokter yang dididik oleh Allah.) Berbagai aktivitas positif ruhani maupun jasmani merupakan obat penyembuh penyakit-penyakit spiritual yang diderita manusia. Begitu pula takwa, pada masing-masing tingkatnya, merupakan pagar yang dapat melindungi jiwa dari berbagai bahaya spiritual. Tanpa berpantang dari hal-hal yang berbahaya, tak mungkin penyakit yang dideritanya dapat disembuhkan, dan mustahil kesehatannya kembali pulih seperti sedia kala. Dalam penyakit-penyakit jasmani, terkadang faktor eksternal (nurture) dan internal (nature) dapat mengalahkan penyakit, meskipun

penderita yang bersangkutan tidak terlalu mengindahkan pantangan terhadap makanan-makanan yang membahayakan kesehatannya. Hal demikian karena di dalam tubuh sebetulnya terdapat sistem pertahanan yang dapat menyembuhkan pelbagai penyakit yang menyerang. Namun, tidak demikian dalam kaitannya dengan persoalan penyakit spiritual, karena di sini sisi jasmani telah menguasai sisi ruhani sejak awal mulanya, sedangkan sisi jasmani selalu cenderung mengarah pada kerusakan:

p: 249

«وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِی إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّی إِنَّ رَبِّی غَفُورٌ رَحِیمٌ (53)» Sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan. (QS Yûsuf [12]: 53)

Oleh karena itu, siapa yang tidak mengindahkan ketentuan pantangan makanan bagi dirinya, penyakit pasti menyerangnya, dan mendapatkan celah untuk menyusup ke dalam sukmanya dan menghancurkan kesehatannya. Orang yang mendambakan kesehatan spiritual dan merasa prihatin akan kondisinya, hendaklah menyadari

benar bahwa ruhaninya dapat terbebas dari siksa hanya dengan dua cara; pertama, melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya; kedua, berpantang dari segala sesuatu yang dapat membahayakan kesehatannya. Seperti diketahui bahwa bahaya dari perbuatan-perbuatan terla-

rang dan haram lebih besar dampak buruknya terhadap sisi ruhani manusia daripada sifat-sifat buruk lainnya, sebagaimana perbuatan-perbuatan yang diwajibkan Allah Swt. memiliki dampak positif yang sangat besar terhadap kualitas spiritualnya. Itulah sebabnya yang yang pertama diharamkan, sedangkan yang kedua diwajibkan dan lebih utama daripada perbuatan-perbuatan positif lainnya, sekaligus merupakan langkah awal menuju perkembangan spiritual yang lebih baik.

Satu-satunya jalan menuju pencapaian derajat dan maqâm tertinggi kesempurnaan kemanusiaan hanya dapat terlaksana melalui dua cara tersebut di atas. Orang yang senantiasa kosekuen melakukannya akan tergolong ke dalam kelompok manusia-manusia yang memperoleh keselamatan dan kebahagiaan. Yang terpenting di antara keduanya adalah cara kedua, yaitu takwa atau berpantang dari perbuatan-perbuatan terlarang dan diharamkan. Kaum sufi dan para pesuluk (penempuh jalan menuju Allah) juga memandang cara kedua di atas sebagai langkah utama sebelum memulai langkah berikutnya, yaitu cara pertama. Di dalam hadis-hadis Nabi Saw., dan para Imam a.s. serta khutbah-khutbah Amir Al-Mukminin a.s. dalam Nahj Al-Balaghah, kita temukan bahwa mereka sangat menekankan langkah ini.

Oleh karena itu, Saudaraku, setelah Anda ketahui bahwa cara kedua di atas sangat penting Anda lakukan, berupayalah sekuat tenaga

p: 250

supaya Anda tekun melakukannya. Jika langkah pertama ini telah Anda lakukan dengan baik dan fondasi ini telah Anda letakkan dengan kukuh, berarti ada harapan bagi Anda untuk dapat mencapai maqâm maqâm lain. Kalau tidak, mustahil Anda dapat mencapai maqâm-maqam tersebut dan sulit bagi Anda untuk memperoleh keselamatan. Dahulu, guru kami pernah meminta kami untuk tekun membaca ayat-ayat terakhir dari Surah Al-Hasyr berikut:

«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِیرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)» «وَلَا تَکُونُوا کَالَّذِینَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِکَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (19)»

«لَا یَسْتَوِی أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ (20)» «لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَی جَبَلٍ لَرَأَیْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْیَةِ اللَّهِ وَتِلْکَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ یَتَفَکَّرُونَ (21)» «هُوَ اللَّهُ الَّذِی لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَیْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِیمُ (22)» «هُوَ اللَّهُ الَّذِی لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِکُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَیْمِنُ الْعَزِیزُ الْجَبَّارُ الْمُتَکَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا یُشْرِکُونَ (23)» «هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَی یُسَبِّحُ لَهُ مَا فِی السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِیزُ الْحَکِیمُ (24)»

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dikedepankannya dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyangkut apa yang kamu kerjakan Maha Mengetahui. Dan janganlah seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itu—merekalah-orang-orang fasik. Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga, penghuni-penghuni surga--mereka sajalah-orang-orang beruntung Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini pada sebuah gunung, pasti engkau akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami paparkan buat manusia supaya mereka berpikir. Dia Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Al-Rahmân (Maha Pengasih) lagi Al-Rahim (Maha Penyayang). Dia Allah Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Al-Malik (Maharaja), Al-Quddus (Mahasuci), Al-Salâm (Mahasejahtera), Al-Mu'min (Yang kepada-Nya kembali rasa aman), Al-Muhaimin (Maha Memelihara), Al-Aziz, Al-Jabbar (Yang kehendak-Nya tidak diingkari), Al-Mutakabbir (Yang Memiliki Kebesaran), Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

Dialah Allah, Al-Khâliq (Maha Pencipta) Al-Bâri' (Yang Mengadakan dari Tiada) Al-Mushawwir (Yang Membentuk), milik-Nya Al-Asmâ' Al-Husnâ, bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan di bumi dan Dia adalah Al-'Azîz (Yang Mahaperkasa) Al-Hakîm (Yang Mahabijaksana). (QS Al-Hasyr [59]: 18-24).

p: 251

Guru kami menganjurkan kami untuk membaca ayat-ayat ini sehabis shalat lima waktu sambil merenungkan maknanya, khusus- nya pada tengah malam ketika hati dalam keadaan tenang sehingga diharapkan dapat berdampak positif dalam upaya perbaikan jiwa. Guru kami mengatakan bahwa bacaan ini sangat mujarab dalam

membentengi jiwa dari keburukan diri dan setan. Dia selalu menganjurkan agar kami selalu dalam keadaan wudhu. Dia selalu mengatakan bahwa wudhu itu ibarat pakaian perang seorang prajurit. Maka dari itu, Saudaraku, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Sang Mahakuasa Pemilik keluhuran, disertai tangis dan sikap merendah kepada-Nya, agar Dia sudi menolong dan membantumu melewati cobaan ini dan meraih ketakwaan.

Ketahuilah bahwa pada mulanya usaha Anda ini akan terlihat sulit, tetapi setelah beberapa lama Anda melakukannya dengan penuh ketekunan dan kesinambungan, perasaan berat akan berubah menjadi ringan, dan rasa sulit akan berubah menjadi mudah. Bahkan, itu akan membuat Anda merasakan suatu kelezatan spiritual, di mana orang-orang yang telah merasakannya pasti tidak mungkin mau menukar kelezatannya itu dengan aneka kelezatan lainnya. Insya Allah, setelah menekuni secara sungguh-sungguh aktivitas ini dan menghiasi diri dengan ketakwaan penuh, Anda akan melangkah maju dari magam ini menuju maqâm ketakwaan yang lebih khusus lagi, yaitu ketakwaan yang senantiasa didambakan setiap jiwa dan selalu dirasakan kelezatannya. Sebab, apabila Anda telah merasakan kelezatan dan kenikmatan spiritual, lambat laun Anda akan berpaling dari kelezatan fisikal, bahkan menghindarinya. Saat itu langkah-langkah perjalanan Anda menuju hadirat-Nya akan terasa mudah dan tidak akan berarti lagi bagi Anda aneka kesenangan jasad yang sifatnya sementara dan akan sirna itu. Bahkan, di mata Anda seluruh

kesenangan jasmaniah itu akan tampak buruk. Anda akan melihat dengan pandangan batiniah Anda sendiri bahwa setiap kesenangan duniawi akan meninggalkan bekas pada jiwa, yaitu noda hitam di hati, yang akan semakin memperbesar kecintaan serta kebergantungan pada dunia ini. Hal inilah yang merupakan penyebab lahirnya keterikatan pada dunia dalam diri manusia.

p: 252

Pada saat-saat menjelang kematian, di mana jiwa tidak lama lagi berpisah dengan raga, kesenangan-kesenangan duniawi ini akan berubah menjadi sebuah penderitaan, kesulitan yang mencekik dan ketertekanan. Dan, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, penderitaan berat dan ketersiksaan pada saat menjelang kematian merupakan hasil dari kesenangan duniawi dan keterikatan pada dunia jasmaniah ini. Apabila manusia menyadari kenyataan ini, di matanya segenap kesenangan jasmaniah tidak lagi ada artinya. Dia akan lari menjauh dari gemerlap dunia fana ini beserta kekayaan dan perhiasannya. Kesadaran seperti ini sendiri sudah merupakan tahap keberhasilan kedua yang diraih sang sålik menuju derajat-ketiga maqâm takwa.

Dengan demikian, menapaki jalan Allah akan menjadi lebih mudah lagi baginya, dan jalan menuju kemanusiaan pun menjadi tercerahkan dan lapang dalam pandangannya. Sedikit demi sedikit setiap langkahnya berubah menjadi langkah kebenaran. Aktivitasnya pun menjadi aktivitas kebenaran. Dia menjadi semakin melarikan diri dari jiwanya sendiri, dampak-dampak serta fase-fase yang dilaluinya, karena dia telah menemukan di dalam wujudraya rasa cinta terhadap Zat Yang Haqq. Kini pun, dia tidak lagi merasa puas dengan janji-janji surga, istana-istana, maupun bidadari-bidadarinya. Yang dirindukannya adalah tujuannya yang lebih tinggi. Dia pun kini menjadi tidak menyukai lagi egoisme dan cinta diri.

Dia membentengi dirinya dari sifat cinta ego dan dirinya sendiri. Inilah maqâm mulia lagi tinggi, serta merupakan langkah pertama untuk merasakan harumınya wilayah. Allah Swt. akan melindunginya di bawah naungan rahmat dan kemahalembutan-Nya, membimbing-nya, dan menjadikannya sebagai tempat limpahan karunia-karunia-Nya yang khusus. Hal-hal yang dialami oleh penempuh jalan Allah setelah itu berada di luar kemampuan ekspresi penulis yang lemah ini. Dan, segala puji bagi Allah, di awal dan akhir, secara lahir dan batin, serta shalawat Allah atas Muhammad dan keluarga beliau yang suci. U

p: 253

13 Hadis tentang Tawakal

Point

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ غَیْرِ وَاحِدٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ أَسْبَاطٍ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ عُمَرَ اَلْحَلاَّلِ عَنْ عَلِیِّ بْنِ سُوَیْدٍ عَنْ أَبِی اَلْحَسَنِ اَلْأَوَّلِ عَلَیْهِ اَلسَّلاَمُ قَالَ: سَأَلْتُهُ عَنْ قَوْلِ اَللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ: «وَ مَنْ یَتَوَکَّلْ عَلَی اَللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهُ » فَقَالَ اَلتَّوَکُّلُ عَلَی اَللَّهِ دَرَجَاتٌ مِنْهَا أَنْ تَتَوَکَّلَ عَلَی اَللَّهِ فِی أُمُورِکَ کُلِّهَا فَمَا فَعَلَ بِکَ کُنْتَ عَنْهُ رَاضِیاً تَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ یَأْلُوکَ خَیْراً وَ فَضْلاً وَ تَعْلَمُ أَنَّ اَلْحُکْمَ فِی ذَلِکَ لَهُ فَتَوَکَّلْ عَلَی اَللَّهِ بِتَفْوِیضِ ذَلِکَ إِلَیْهِ وَ ثِقْ بِهِ فِیهَا وَ فِی غَیْرِهَا .

Dengan sanad yang bersambung kepada Syaikh Muhammad Ibn Ya'qub (Al-Kulaini) dari sekelompok guru-guru kami, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari beberapa peraui, dari 'Ali ibn Asbath, dari Ahmad ibn 'Umar Al-Hallal, diriwayatkan bahwa ‘Ali ibn Suwaid berkata, “Aku bertanya kepada Abu Al-Hasan Al-

Awwal (Imam Musa Al-Kazhim) tentang firman Allah Swt., Dan barang siapa yang pertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencu-

p: 254

kupinya' (QS Al-Thalâq [65]: 3). Imam berkata, 'Tawakal kepada Allah memiliki beberapa tingkat. Salah satunya adalah engkau bertawakal kepada-Nya dalam segala urusanmu dan apa pun yang dilakukan-Nya kepadamu engkau meridhainya, engkau mengetahui bahwa Dia tidak akan pernah berhenti memberikan kebaikan

dan nikmat-Nya kepadamu dan engkau menyadari bahwa segala hukum atau perintah dalam semua itu adalah milik-Nya. Maka, bertakwalah kepada Allah, dengan menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya, percayalah kepada-Nya dalam semua itu, dan hal lainnya.(1)

Penjelasan Makna Hadis

Hallâl (nama salah satu perawi hadis di atas), dengan syaddah pada huruf lam, berarti penjual hill (minyak). Abu Al-Hasan Al-Awwal (Abu Al-Hasan yang pertama), yakni Imam Musa Al-Kazhim; beliau juga biasa digelari dengan Abu Al-Hasan Al-Muthlaq. Abu Al-Hasan Al-Tsani (Abu Al-Hasan yang kedua) adalah panggilan untuk Imam Al-Ridha, dan Abu Al-Hasan Al-Tsâlits (Abu Al-Hasan yang ketiga) adalah untuk Al-Imam 'Ali Al-Hadi.

Tawakal secara harfiah berarti sikap menunjukkan ketakmampuan dan menyandarkan diri terhadap pihak lain. Kata اتکلت, berasal dari kata kal, yang berarti 'memandang cukup seseorangʻ. یالوک berasal dari kata اللا dan الوا, berarti ‘menggagalkan atau mengecewakan”, “mengabaikan' dan 'tidak melakukan'. Dalam bentuk transitif (yaitu ketika kata itu memerlukan satu atau dua objek), kata ini berarti 'menghalangi'.

“Tawakal” kepada Allah berbeda dengan berserah diri (tafwidh) kepada-Nya. Demikian pula keduanya tidak dapat disamakan dengan sifat percaya (tsiqah) terhadap ketentuan-Nya, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Kita akan menjelaskan hadis mulia ini dalam beberapa bagian

Makna Tawakal dan Tingkatannya

Point

Perlu diketahui bahwa tawakal didefinisikan oleh para pakar dengan beberapa makna yang saling berdekatan, masing-masing dengan ung-

p: 255


1- 1. Ushủl Al-Kafi (Akhundi), Vol. II, 391, hadis No. 3.

kapan yang berbeda, menurut pendekatannya masing-masing. Pengarang buku Manâzil Al-Sâ'irîn menyebutkan bahwa, “Tawakal berarti memercayakar. atau menyerahkan seluruh masalah kepada Sang Penguasa dan mewakilkan kepada-Nya dalam menangani masalah-masalah itu.(1) Beberapa kaum arif berkata, “Tawakal berarti mengerahkan totalitas fisik dalam ibadah dan mengikatkan hati kepada rubübiyyah-Nya (Allah sebagai Rabb, Penguasa).” Kaum arif lain berkata, “Tawakal kepada Allah berarti pemutusan segala yang diharapkan seorang hamba dari mahkluk-makhluk lain (dan mengikatkannya hanya kepada Allah).”

Demikianlah makna-makna yang disebutkan di atas saling berkait erat satu sama lain dan tak perlu kita dalami lebih jauh maksudnya. Yang perlu dikatakan di sini adalah bahwa tawakal memiliki beragam tingkatan sesuai dengan maqâm-maqâm setiap hamba. Dan, karena pengetahuan tentang tingkat-tingkat tawakal bergantung pada tingkat pengetahuan hamba akan Penguasanya Yang Mahakuasa, mau tak mau kita harus mendiskusikannya di sini.

Ketahuilah bahwa salah satu prinsip makrifat para pesuluk (penempuh jalan menuju Allah Swt.) dan salah satu maqâm-nya, yang tanpanya tak akan ada kemajuan dalam makrifat itu, adalah pengetahuan tentang rubûbiyyah dan mâlikiyyah Allah, serta pengetahuan tentang bagaimana Zat Mahasuci menangani berbagai masalah. Kita tak akan membahas aspek teoretis dari masalah ini karena ini akan mengharuskan kita untuk menjelaskan masalah yang berkaitan dengan

kehendak bebas dan predestinasi, yang tak tepat untuk dibahas di sini. Di sini, kita hanya akan menyebutkan beberapa tingkatan pengetahuan manusia tentangnya.

Tawakal pada Tingkat Pernyataan Verbal

Pengetahuan manusia, tentang rubûbiyyah Zat Allah sangat beragam. Sebagian besar kaum monoteis (muwahhid) memandang Allah Yang Mahakuasa sebagai Pencipta asal usul segala sesuatu, dan totalitas substansinya, serta unsur-unsurnya. Namun, mereka memandang

p: 256


1- 2. Khwajah 'Abdullah Al-Anshari, Manâzil Al-Sa'irin.

pengaturan Allah terbatas, sehingga rubûbiyyah-Nya tidak meliputi segala sesuatu. Mereka terkadang mempertanyakan apakah benar Allah Swt. adalah penentu segala sesuatu?” Padahal Dialah Pemilik, Penguasa, serta Pengatur segala sesuatu. Tak sesuatu pun maujud tanpa kehendak Suci-Nya. Namun, mereka bukanlah orang-orang yang memiliki maqam itu, baik dalam hal pengetahuan maupun keimanan, dalam hal pengalaman (penyaksian, syahadah) apalagi keyakinan.

Kelompok manusia ini—tampaknya kita juga termasuk dalam kelompok ini—tak memiliki pengetahuan yang utuh tentang rubûbiy-yah Allah, keimanan, dan tauhid mereka tak sempurna dan pandangan mereka tertutupi hijab sehingga tidak dapat melihat kekuasaan dan rubübiyyah-Nya karena sebab-sebab yang jelas. Dengan demikian, mereka tak menempati maqam tawakal, yang sedang kita bahas, kecuali pada tingkat klaim di mulut belaka. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan seluruh urusan duniawinya, mereka tak bersandar kepada Allah dan hanya memperhitungkan sebab-sebab lahiriah serta faktor-faktor materiil. Jika sesekali mereka mengarahkan perhatiannya kepada Allah dan memohon sesuatu dari-Nya, itu adalah karena ikut-ikutan atau rasa kehati-hatian dan karena mereka melihat tidak ada

bahaya dalam hal ketawakalannya itu. Atau, boleh jadi mereka melihat kemungkinan memperoleh keuntungan di balik sikap tawakal mereka yang sesaat itu, sehingga dalam keadaan ini mereka akan terpanggil untuk sedikit bertawakal. Namun, ketika mereka memandang faktor-faktor dan sebab-sebab lahiriah sesuai dengan hawa nafsu mereka, saat itu juga segera mereka melupakan Allah secara total. Sesungguhnya apa yang dikatakan tentang tawakal, bahwa ia tak ber-

tentangan dengan tindakan dan usaha, adalah benar dan sesuai dengan akal maupun wahyu. Namun, keterhijaban melihat rubûbiyyah Allah dan pengaturan-Nya terhadap segala sesuatu serta anggapan bahwa aneka hukum sebab akibat seluruhnya bersifat independen adalah bertentangan dengan tawakal. Mereka yang tidak memiliki sedikit pun rasa tawakal-meskipun pada tingkatannya yang terendah-dalam hal urusan-urusan duniawi, tidak jarang membicarakan urusan-urusan ukhrawi dengan penuh

p: 257

kebanggaan dan keangkuhan. Lalu, apabila tampak pada mereka suatu kekurangan atau kema asan dalam hal ibadah, ketaatan atau perbaikan diri, mereka segera menunjukkan sikap tawakal dan penyandaran diri mereka kepada Allah dan karunia-Nya. Seakan-akan, dengan sekadar pernyataan verbal yang mereka ucapkan seperti “Allah Maha- tinggi” dan “Aku bertawakal kepada Allah dan paca rahmat-Nya”, mereka berharap dapat mencapai derajat tinggi di akhirat. Setiap kali menyinggung perihal masalah duniawi, mereka akan menyatakan, “Kerja dan usaha tidak bertentangan dengan tawakal kepada Allah”. Sedangkan dalam permasalahan yang memiliki kaitan dengan akhirat, mereka menganggap usaha dan kerja bertentangan dengan tawakal dan penyerahan diri kepada Allah. Anggapan mereka ini tidak lain kecuali tipu daya dan bujuk rayu setan. Mereka sama sekali bukanlah orang-orang yang bertawakal kepada Allah, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Tidak pula mereka mengandalkan-Nya dalam satu pun permasalahan yang mereka hadapai. Namun, karena mereka memandang urusan-urusan dunia sebagai lebih penting, mereka menyandarkan dan berserah diri pada sebab-sebab maceriil, dan bukan pada Allah dan pengaturan-Nya.

Sebaliknya, karena mereka tak memberi perhatian besar terhadap kehidupan akhirat dan tidak adanya keimanan yang mantap akan Hari Kebangkitan, mereka pun mencari-cari alasan. Sekali mereka berkata, “Tuhan Mahaagung”, dan di kali lain mereka menunjukkan sikap penyerahan diri kepada Allah dan syafaat dari para pemberi syafaat, padahal ini semua hanyalah sekadar ucapan-ucapan kosong dan permainan lidah tanpa makna.

Tawakal pada Tingkat Rasional

Kelompok manusia yang kedua adalah mereka yang setelah diyakinkan oleh akal ataupun wahyu, mereka membenarkan pandangan bahwa Allah adalah satu-satunya Penentu setiap perkara, Sebab dari seluruh sebab, serta Pemilik kekuasaan yang menentukan dalam keseluruhan alam wujud, dan tak ada batasan bagi pengaruh dan kekuasaan-Nya. Mereka bertawakal kepada Allah pada tingkat rasional; yakni berdasarkan argumentasi rasional serta wahyu mereka telah

p: 258

memiliki landasan-landasan yang kukuh tentang keharusan bertawakal. Karenanya, mereka memandang dirinya sebagai orang-orang yang bertawakal, seraya memberikan bukti-bukti rasional keharusan bertawakal, karena mereka menetapkan faktor-faktor rasional penyebab wajibnya tawakal, yaitu:

1) Allah Maha Mengetahui kebutuhan hamba-hamba ciptaan-Nya,

2) Allah Mahakuasa untuk memenuhi semua kebutuhan itu,

3) Allah tidak mungkin bersifat kikir,

4) Allah Maha Penyayang dan Maha Pengasih terhadap seluruh hamba-Nya.

Atas dasar semua itu, kita wajib bertawakal dan berserah diri kepada Allah Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Pemurah dan Pengasih terhadap seluruh hamba-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yang baik sekecil apa pun yang terlewatkan dan luput dari pengetahuan-Nya untuk diberikan-Nya kepada mereka. Dia menganugerahi mereka yang terbaik meskipun mereka sendiri tak mampu membedakan atau menentukan apa yang baik atau buruk bagi mereka. Kelompok ini meskipun secara praktik dianggap bertawakal, ia belum mencapai tingkat keimanan yang sebenarnya. Karenanya, mereka masih bimbang dalam memutuskan masalah-masalah kehidupan mereka. Akal mereka selalu tak berdaya dalam menghadapi pertarungan dengan gejolak hati mereka sendiri, karena masih bergantung pada sebab-sebab materiil serta terhalang untuk dapat meyakini kenyataan bahwa Allah Swt. adalah Dialah satu-satunya yang mengatur segala sesuatu.

Tawakal pada Tingkat Hati

Selain kedua kelompok itu, ada kelompok ketiga. Kelompok ini telah mencapai—berkat keyakinan hati mereka-pengenalan akan pengaturan Allah terhadap seluruh alam. Mereka memiliki keyakinan teguh bahwa Pemutus segala urusan, Penguasa dan Pemilik segala sesuatu adalah Allah Swt. Pena akal mereka telah menuliskan seluruh prinsip tawakal pada lembar-lembar halaman hati mereka. Mereka inilah yang telah mencapai maqâm tawakal. Namun, mereka pun saling

p: 259

memiliki perbedaan yang cukup besar satu sama lain dalam hal tingkat keimanan sebelum mencapai tingkat keimanan yang sempurna. Apabila keimanan mereka telah mencapai tingkat tertinggi, saat itu akan tampak tingkat tawakal tertinggi pada hati mereka. Saat itu hati mereka tak terpengaruh oleh segala sebab-sebab materiil, tetapi sebaliknya, mereka bergantung sepenuhnya pada rubûbiyyah Allah. Kepada-Nya mereka bersandar dan dengan-Nya mereka merasa tenang, sebagaimana dilukiskan oleh seorang arif sebagai “mengerahkan tubuh dalam ibadah kepada Allah dan mengikatkan hati kepada rubübiyyah-Nya”. Di sini, perlu kami tekankan bahwa seluruh yang cijelaskan dalam bab ini hanya berlaku bagi orang yang hatinya masih terikat dengan maqâm fenomena plural atau kemajemukan aktual (al-katsrah al-af'aliyah). Jika tidak, berarti hati itu telah melampaui magâm tawakal untuk mencapai maqâm yang lebih tinggi. Masalah ini berada di luar lingkup pembahasan kita.

Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa tawaka memiliki beberapa derajat. Barangkali derajat tawakal yang disinggung oleh hadis di atas adalah menyangkut kelompok kedua, karena ia menyebutkan pengetahuan sebagai syarat awal. Atau, mungkin pula, ia menunjuk derajat-derajat tawaka, lain dengan ketentuan-ketentuan tertentu, karena tawakal juga memiliki tingkatan-tingkatan lain dalam pengklasiſikasian yang lain pula, seperti yang berlaku pada tingkat-tingkat

perjalanan kaum 'irfân, di mana secara bertahap, dari pluralitas tindakan mereka dapat mencapai tingkat kemahaesaan, sehingga tidak terjadi fana'affâli muthlaq sekaligus, tetapi mengamati kesatuan dalam dirinya sendiri, lalu dalam hal-hal lainnya. Demikian pula halnya dengan tawakal, ridha, sikap tunduk, dan menerima segala ketetapan Allah (taslim), dan maqâm lainnya dicapai secara bertahap. Pada mulanya, sang sâlik barangkali memiliki rasa tawakal dan berserah

diri pada sebab-sebab gaib dan tak teramati. Lalu, secara bertahap, tawakalnya menjadi semakin meluas, baik yang memiliki sebab-sebab tampak ataupun tidak, berkaitan dengan urusan-urusannya sendiri atau urusan-urusan orang yang dekat dengannya. Oleh karena itulah, disebutkan dalam hadis, “Salah satu derajat tawakal adalah berserah diri kepada Allah dalam segala urusanmu.”

p: 260

Perbedaan Tawakal dan keridhaan

Ketahuilah bahwa maqâm ridha berbeda dengan maqam tawakal; yang pertama lebih tinggi dan lebih agung. Ini karena seorang yang bertawakal mencari kebaikan dan keuntungan bagi dirinya sendiri dan memercayakan seluruh urusannya kepada Allah yang dipandanganya sebagai Pemberi kebaikan, sementara seorang yang memiliki sifat ridha pada dirinya adalah orang yang telah meleburkan kehendaknya dalam kehendak Allah dan tak menentukan kehendak apa pun bagi dirinya sendiri. Pernah pada suatu ketika seorang sâlik ditanya, “Apakah kehendakmu?” Ia menjawab, “Kehendakku adalah tak memiliki kehendak." Maksudnya, dia memiliki sifat ridha. Sedangkan mengenai hadis di atas yang berbunyi, “Apa pun yang dilakukan-Nya untukmu, engkau ridha dengannya," ini tidak merujuk kepada maqâm ridha. Oleh karenanya, lanjutan hadis itu menegaskan, “Engkau mengetahui bahwa Dia tidak berhenti memberikan kebaikan dan nikmat-Nya kepadamu.” Tampaknya Imam bermaksud untuk mengemukakan maqâm tawakal kepada para pendengarnya. Untuk itu, ia menyebutkan prasyarat-prasyarat tertentu. Pertama, beliau berkata, “Dia tidak berhenti memberikan kebaikan dan nikmat-Nya kepadamu.” Lalu beliau menegaskan, “Engkau menyadari bahwa segala hukum atau perintah dalam semua itu adalah milik-Nya." Tentu saja, orang yang mengetahui bahwa Allah Swt. Mahakuasa atas segala sesuatu dan bahwa Dia tak pernah berhenti mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, maka maqâm tawakal pasti diraihnya, karena dua pilar utama tawakal itu telah dinyatakan oleh Imam, meskipun ia tak menyebutkan dua atau tiga pilar lainnya secara eksplisit mengingat jelasnya dua pilar utama tersebut. Jadi, kesimpulan dari prasyarat-prasyarat yang eksplisit maupun implisit adalah bahwa apa pun yang dilakukan Allah Yang Mahakuasa akan mendorong seorang hamba untuk menerimanya dengan senang hati karena di dalamnya terletak kebaikan bagi seseorang. Dengan itu, terwujudlah maqâm tawakal, dan karenanya Imam menyimpulkan “Maka bertawakallah kepada Allah".

p: 261

Perbedaan antara Tafwidh, Tawakal, dan Tsiqah

Ketahuilah bahwa sikap berserah diri kepada Allah (tafwidh) berbeda dengan tawakal, dan memercayai ketentuan-Nya (tsiqah) berbeda dari keduanya; masing-masing disebutkan dalam kitab Maqâmât Al-Salikin secara terperinci. Khawajah ‘Abdullah Al-Anshari berkata: 3 Penyerahan diri kepada Allah Swt. memiliki isyarat yang lebih halus, menyeluruh, dan mendalam daripada tawakal. Tawakal adalah cabang dari penyerahan diri karena penyerahan diri ini berarti seorang hamba tidak melihat adanya daya dan kekuatan dalam dirinya, dan tidak menganggap dirinya memiliki hak apa-apa dalam mengatur sesuatu apa pun. Ia hanya memandang Allah sebagai Zat Pemilik wewenang dalam mengatur segala urusan. Hal ini berbeda dengan tawakal karena seorang yang bertawakal menjadikan Allah sebagai Pengganti bagi dirinya dalam melaksanakan segala urusannya dan mencapai hal-hal yang baik dan berfaedah. Penyerahan diri memiliki pengertian lebih luas daripada tawakal. Tawakal hanya berkaitan dengan manfaat-manfaat baik seorang hamba, sementara penyerahan diri berkaitan dengan segala urusan

secara mutlak. Lebih dari itu, tawakal tidak tercapai kecuali setelah hadirnya suatu penyebab yang mengharuskannya, yakni setelah muncul suatu masalah yang untuk penyelesaiannya seorang hamba harus berserah diri kepada Allah. Salah satu contohnya acalah tawakal Rasulullah Saw., dan para sahabatnya dalam menghadapi ancaman kaum musyrik, sepeti yang digambarkan di dalam Al-Quran ketika mereka diberi tahu:

Orang-orang yang kepada mereka ada yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan kekuatan menghadapi kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَکِیلُ (173) “Cukuplah bagi kami Allah dan Dia adalah sebaik-baik Wakil.” (QS Ali-'Imrân (3): 173) Adapun penyerahan diri terjadi sebelum munculnya sebab yang mendorongnya untuk menyerah. Sebagai mana tampak pada doa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw:

اللاتی اکم فی النیک والجات ظهری الثک وضت امری إلیک

p: 262

Ya Allah, daku serahkan diriku kepada-Mu; kusandarkan punggungku kepada-Mu; dan kuserahkan urusanku kepada-Mu. Namun, dapat juga sikap penyerahan diri ini muncul setelah terjadinya sebab yang mengharuskannya, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang Mukmin dari keluarga Fir'aun (QS Al-Mu'min [40]:44).

Pembahasan di atas adalah hasil terjemahan yang diringkaskan dari penjelasan arif terkemuka 'Abdul Razzaq Kasyani atas ucapan Khwajah 'Abdullah Al-Anshari. Apa yang dikatakan Khwajah membuktikan kebenaran apa yang kami jelaskan di atas. Namun, ucapannya yang mengatakan bahwa tawakal adalah cabang dari penyerahan diri, perlu dikaji kembali. Tak ada alasan untuk memandang penyerahan diri sebagai bagian dari tawakal. Demikian pula, tidak ada argumentasi yang dapat membuktikan bahwa tawakal muncul setelah sebab yang mengharuskannya muncul.

Berkenaan dengan hadis suci yang sedang kita bahas, , “maka bertawakallah kepada Allah, dengan berserah dirilah kepada-Nya”, dapat dikatakan bahwa tidak ada tawakal kecuali disertai dengan adanya kemungkinan pelaksanaan urusan-urusan oleh diri yang bersangkutan. Dan oleh sebab itu, ia menjadikan Allah sebagai Wakilnya dalam segala urusan-urusan khususnya. Hanya saja dalam hadis di atas Imam ingin mengangkat orang yang bertanya kepadanya dari magâm tawakal ke magâm penyerahan diri, dengan membuatnya memahami bahwa Allah Yang Mahakuasa bukanlah pengganti atau pelaksana urusan-urusannya. Namun, Dia adalah Penguasa dan Pengatur dalam kerajaan milik-Nya. Hal ini juga sempat disinggung oleh Khwajah sendiri dalam bukunya, Manâzil Al-Sâ'irin, ketika membahas derajat ketiga dari tawakal. Sedangkan sikap percaya kepada segala ketetapan Allah (tsiqah), seperti dikatakan Khwajah, berbeda dari tawakal dan penyerahan diri: “percaya kepada-Nya adalah bulatan hitam pada mata tawakal, titik (yang bergerak) pada lingkaran penyerahan diri (tafwidh), dan

p: 263

lubuk hati terdalam dar sikap menerima segala ketentuan-Nya (taslim).(1) Yakni, ketiga maqâm itu tak dapat dicapai tanpa disertai rasa percaya penuh terhadap Allah Zat Yang Mahakuasa serta segala ketentuan-Nya. Sifat ini adalah inti dari maqâm-maqâm tersebut. Selama seorang hamba tidak percaya akan ketetapan-Nya, tidak mungkin ia dapat meraih maqâm-maqâm itu. Dari sini, kita dapat memahami mengapa setelah menyebut tawakal dan penyerahan diri, Imam a.s. berkata ".. percayalah kepadanya dalam hal itu dan hal-hal lainnya."()

p: 264


1- 4. Ibid.

14 Hadis tentang Kecemasan dan Harapan

Point

عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ حَدِیدٍ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ یُونُسَ عَنِ اَلْحَارِثِ بْنِ اَلْمُغِیرَةِ أَوْ أَبِیهِ عَنْ أَبِی عَبْدِ اَللَّهِ عَلَیْهِ اَلسَّلاَمُ قَالَ: قُلْتُ لَهُ مَا کَانَ فِی وَصِیَّةِ لُقْمَانَ قَالَ کَانَ فِیهَا اَلْأَعَاجِیبُ وَ کَانَ أَعْجَبَ مَا کَانَ فِیهَا أَنْ قَالَ لاِبْنِهِ خَفِ اَللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ خِیفَةً لَوْ جِئْتَهُ بِبِرِّ اَلثَّقَلَیْنِ لَعَذَّبَکَ وَ اُرْجُ اَللَّهَ رَجَاءً لَوْ جِئْتَهُ بِذُنُوبِ اَلثَّقَلَیْنِ لَرَحِمَکَ ثُمَّ قَالَ أَبُو عَبْدِ اَللَّهِ عَلَیْهِ اَلسَّلاَمُ کَانَ أَبِی یَقُولُ إِنَّهُ لَیْسَ مِنْ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلاَّ [وَ] فِی قَلْبِهِ نُورَانِ نُورُ خِیفَةٍ وَ نُورُ رَجَاءٍ لَوْ وُزِنَ هَذَا لَمْ یَزِدْ عَلَی هَذَا وَ لَوْ وُزِنَ هَذَا لَمْ یَزِدْ عَلَی هَذَا .

Dengan sanadku yang tersambung dengan Tsiqât Al-Islâm, pilar umat Muslim, Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini), dari sejumlah sahabat kami, dari Ahmad ibn Muhammad, dari 'Ali ibn Hadid, dari Manshur ibn Yunus, dari Al-Harits ibn Al-Mughirah atau ayahnya, dari Abu 'Abdullah (Al-Imam Al-Shadiq), diriwayatkan

p: 265

bahwa Al-Harits atau ayahnya berkata, “Aku bertanya kepadanya (Al-Imam Al-Shadiq), 'Hal-hal apa saja yang disebutkan dalam wasiat Luqman?' Ia menjawab, 'Ada beberapa hal yang sangat mengagumkan di dalam wasiat itu dan yang paling mengagumkan yang dikatakannya kepada anaknya adalah sebagai berikut: Takut-lah kepada Allah sedemikian sehingga engkau merasa jika engkau datang kepada-Nya dengan kebaikan (birr) sebesar dua dunia (tsaqalain), Dia akan tetap menghukummu. Berharaplah kepada Allah dengan harapan yang sedemikian sehingga engkau merasa jika engkau datang kepada-Nya dengan dosa sebesar dua dunia, Dia akan tetap mengasihimu.” Lalu, Abu 'Abdullah menambahkan, “Ayahku berkata, 'Yang ada pada hati seorang Mukmin hanya dua cahaya; cahaya kecemasan dan cahaya harapan. Jika diukur, yang satu tak akan melebihi selainnya dan sebaliknya.(1)

Penjelasan Makna Hadis

Al-Jauhari dalam kamus Al-Shihah menyebutkan bahwa kata al-a'ajib adalah bentuk jamak dari u'jūbah yang memiliki pola kata yang sama dengan ahâdîts sebagai jamak dari uhdûtsah. Menurutnya, u'jūbah memiliki arti 'sesuatu yang menakjubkan', baik karena keindahan maupun keburukannya. Maksud hadis di atas adalah rasa takjub karena keindahan. Kata itu tampaknya memiliki makna khusus untuk sesuatu yang sangat indah dan mengagumkan. Kata birr (ketaatan) adalah lawan dari ‘uqûq, yang berarti kedurhakaan. Kok berarti seseorang yang taat atau patuh kepada Penciptanya, seperti penjelasan Al-Jauhari. Kata tsaqalain berarti manusia dan jin. Maksud hadis di a'as adalah bahwa masing-masing dari rasa cemas dan harapan kepada Allah haruslah merupakan faktor yang saling melengkapi pada pribadi Mukmin. Ia tidak boleh sedikit pun berputus asa dari rahmat Allah atau merasa dirinya telah selamat dari ancaman siksa-Nya, lantaran kecenderungannya terhadap salah satu dari kedua sifat ini tidak boleh melebihi siſatnya yang lain. Hal ini ditegaskan oleh sekian banyak ayat Al-Quran dan hadis. Insya Allah kita akan membahas hal ini dan aspek-aspek lain dari hadis suci tersebut dalam beberapa bagian.

p: 266


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 'Ali Akbar Al-Ghifari (ed.) edisi keempat, Dar Mush'ab Dar Al-Ta‘âruf, Beirut, 1401 H, II, 67, hadis 1.

Antara Harapan dan Kecemasan dalam Pandangan Arif

Ketahuilah bahwa manusia yang (dapat) mencerap realitas dan mengetahui hubungan antara Zat Yang Wajib Wujud-Nya dengan semua maujud mungkin memiliki dua macam perspektif. Pertama, dia melihat dirinya dan seluruh alam semesta serta seluruh maujud mungkin memiliki kekurangan secara esensial. Melalui perspektif ini, baik yang berasal dari pengalaman langsung maupun tidak, ia akan menemukan bahwa totalitas alam wujud tenggelam dalam gelombang keku- rangan dan kehinaan serta selalu berada dalam samudra kepapaan, kebutuhan, dan kebergantungan kepada Zat Yang Wajib Wujud-Nya. Sebagai maujud yang mungkin, ia sama sekali tak kuasa sedikit pun atas dirinya sendiri. Semua ini adalah maujud yang terliputi oleh ketiadaan dan hanya merupakan kesia-siaan dan kekurangan mutlak. Bahkan, ungkapan-ungkapan ini sama sekali tidak dapat mencerminkan kenyataan yang sebenarnya, lantaran keadaan sebenarnya jauh

lebih rendah daripada semua gambaran dan ungkapan itu. Kita menggunakan semua ungkapan itu hanya karena keterbatasan bahasa kita selaku makhluk yang berkekurangan. Sejatinya, kecacatan, kemiskinan, kebergantungan, dan sebagainya adalah ciri-ciri 'sesuatu' (syai'), sementara semua makhluk bukanlah 'sesuatu pada dirinya sendiri'. Apabila orang yang memiliki pengetahuan seperti di atas tadi berdiri di hadapan Tuhannya dengan semua ibadah, ketaatan, ilmu pengetahuan, dan makrifat, niscaya dia tidak akan dapat berbuat apa-apa kecuali menundukkan kepalanya karena perasaan hina, cemas, dan malu kepada-Nya. Kepatuhan

apa yang bisa diberikan si hamba kepada Tuhannya? Ibadah apa? Dari siapa? Untuk siapa? Seluruh sifat mulia adalah milik-Nya. Wujud dan eksistensi si hamba itu tidak berhak menyandang sifat-sifat mulia Tuhan itu pada dirinya sendiri. Bahkan, ketika ia sengaja memuji Nama-Nya, pujian itu justru menunjukkan keburukan dan ketakmampuan dirinya dan mengotori kemurnian dan kemutlakan Nama-Nama Suci-Nya. Inilah pokok masalah yang akan kita bahas dalam bab ini, (yakni keterbatasan dan kebergantungan eksistensial hamba di hadapan ketakberhinggaan dan kemutlakan Wujud Wajib). Allah berfirman:

p: 267

«أَیْنَمَا تَکُونُوا یُدْرِکْکُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ کُنْتُمْ فِی بُرُوجٍ مُشَیَّدَةٍ وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ یَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَیِّئَةٌ یَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِنْدِکَ قُلْ کُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا یَکَادُونَ یَفْقَهُونَ حَدِیثًا (78)» «مَا أَصَابَکَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَکَ مِنْ سَیِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِکَ وَأَرْسَلْنَاکَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَکَفَی بِاللَّهِ شَهِیدًا (79)»

Apa pun kebaikan yang ada padamu berasal dari Allah; apa pun keburukan yang ada padamu berasal dari dirimu. (QS Al-Nisa' [41: 78-79)

Dalam hubungannya dengan permasalahan yang pertama (wujud-yang-mungkin selalu berada dalam posisi bergantung secara mutlak), Allah berfirman:

Katakanlah, “Segalanya berasal dari Allah.” (QS Al-Nisã’ [4): 78) Dengan pesan yang sama, penyair Hafizh berkata:

افرین بر نظر پاک خطاپوش بار

بیریا گفت خطا بر قلمصنع نفت

Berkata guru kami, “Pena penciptaan tak melakukan kesalahan apa-apa. Semua kesalahan berasal dari diri kita.” Terpujilah Pandangan cemerlang (Ilahi) yang menyembunyikan seluruh aib. Semuanya berasal dari sisi-Nya. Pernyataan sang guru berkaitan dengan perspektif kedua, sedangkan pernyataan sang penyair berkaitan dengan perspektif pertama. Dengan demikian, perspektif pertama akan memenuhi hati manusia dengan perasaan takut, cemas, sedih, malu, dan hina. Dalam perspektif yang kedua, hamba menatap Kesempurnaan Wujud Wajib, limpahan rahmat, dan kelembutan-Nya. Ia melihat betapa aneka rahmat dan nikmat-Nya itu Dia limpahkan tanpa batas, tanpa syarat apakah si penerima layak ataupun tidak layak untuk menerimanya. Da telah membuka sekian pintu rahmat-Nya bagi semua makhluk-Nya tanpa syarat apa pun. Semua nikmat-Nya adalah curahan kebaikan-Nya yang tidak didahului oleh permohonan siapa pun.

Imam Sayyidus Sajjidin Zainul Abidin, 'Ali ibn Al-Husain ibn Abi Thalib a.s. dalam doa-doanya yang dikenal dengan Al-Shahifah Al-Kâmilah dan doa-doa yang lain, merujuk berulang-ulang pada perspektif kedua ini. Harapannya pada rahmat Tuhannya menjadi semakin kuat, dambaannya akan Zat Yang Maha Pemurah dan Raja Segala Raja semakin besar. Dia yang tidak menganugerahi kemurahan-Nya kecuali karena sifat Maha Penyayang dan Mahalembut-Nya, walaupun seorang hamba tidak bersusah payah atau memohon kepada-Nya. Akal tidak mampu memahami satu titik pun dari segenap nikmat-Nya.

p: 268

Pembangkangan para pendosa tidak mengganggu tatanan kerajaan-Nya yang sangat luas, dan ketaatan orang-orang yang taat tidak menambah sesuatu pun bagi-Nya. Petunjuk dari Zat Yang Mahasuci itu pada jalan ketaatan dan larangan-Nya untuk melenceng adalah karena bimbingan dan perhatian-Nya serta limpahan nikmat-Nya, agar kita semua dapat mencapai maqâm kesempurnaan dan derajat yang tinggi, terhindar dari berbagai bentuk kecacatan, kehinaan, dan keburukan. Apabila kita menghadap ke hadirat Yang Mahakuasa, kita harus berkata, “Ya Allah, Engkau telah memberi kami pakaian wujud. Engkau juga telah menganugerahi kami semua sarana kehidupan dan kenyamanan melampaui bayangan semua yang berpikir. Engkau telah memperlihatkan kepada kami bermacam-macam jalan menuju petunjuk-Mu. Engkau telah melimpahkan kepada kami aneka nikmat-Mu, dan semua itu Engkau berikan untuk kepentingan kami sehingga kami dapat menikmati pemberian-Mu. Inilah kami, hamba-hamba yang menghampiri tempat curahan karunia, dan kami selalu berada di bawah kekuasaan-Mu. Kami datang dengan membawa dosa sebesar dua dunia (manusia dan jin). Padahal, dosa-dosa para pendosa tidak akan pernah mengurangi perbendaharaan kekayaan-Mu. Kesalahan mereka tidak akan menggoyahkan kerajaan-Mu. Ya Allah, apakah yang layak Kaulakukan kepada kami yang penuh dosa dan tidak memiliki arti apa pun di hadapan kekuasaan-Mu, selain belas kasih yang luas?" Manusia harus selalu menjaga keseimbangan kedua perspektif tersebut. Dia tidak boleh menutup mata dari kegagalannya memenuhi tugas-tugasnya sebagai makhluk, tetapi ia juga tidak boleh melepaskan harapan akan rahmat yang meliputi segalanya, cinta, dan belas kasih Allah Yang Mahakuasa.

Tingkat dan Derajat Rasa Takut

Sahabatku, ketahuilah bahwa rasa takut memiliki beberapa tingkat dan derajat sesuai dengan keadaan manusianya dan tingkat pengetahuan (maʼrifah) mereka. Rasa takut orang awam adalah rasa takut terhadap siksaan Allah Swt. Rasa takut orang-orang pilihan adalah

p: 269

rasa takut terhadap teguran-Nya, sementara rasa takut orang-orang terpilih di antara orang-orang pilihan adalah rasa takut akan tertutupnya hijab dari memperoleh ridha-Nya. Kami tidak bermaksud menjelaskan permasalahan ini disini, tetapi kita akan membatasi perbincangan kita pada beberapa masalah yang telah dikemukakan sebelum ini. Ketahuilah bahwa tak satu makhluk pun dapat beribadah kepadaNya sebagaimana layaknya Dia disembah, lantaran ibadah berarti

memuliakan dan memuja Zat Allah Yang Suci dan pujaan adalah buah dari pengetahuan tentang-Nya. Pada hakikatnya, tak ada hamba yang mampu menjangkau Keagungan Zat Tuhan Yang Mahatinggi, sehingga tak ada yang dapat memuji keindahan, keagungan, dan kebesaran-Nya secara hakiki. Hal ini telah diakui sendiri oleh manusia termulia dan makhluk paling mengetahui Allah, yaitu Rasul Saw., manakala beliau bersabda:

وَ قَالَ صَلَّی اَللَّهُ عَلَیْهِ وَ آلِهِ : مَا عَبَدْنَاکَ حَقَّ عِبَادَتِکَ وَ مَا عَرَفْنَاکَ حَقَّ مَعْرِفَتِکَ.

“Kami tidak menyembah-Mu sebagaimana mestinya Engkau disembah. Dan kami tidak mengenal-Mu sebagaimana mestinya Engkau dikenali.(1) Kalimat kedua di atas merupakan alasan bagi kalimat pertama. Beliau Saw. juga bersabda: انگما أثنیت علی نفسک

“Engkau adalah seperti Engkau memuja Diri-Mu.(2)

Oleh karena itu, ketaksempurnaan adalah hal yang esensial bagi wujud-yang-mungkin dan kemuliaan mutlak adalah semata-mata milik Zat Suci Yang Mahakuasa. Dan tatkala para hamba tidak mampu memuja atau menyembah Allah Swt. sebagaimana selayaknya Dia disembah dan dipuji, karena tidak disertai pengetahuan yang utuh tentang Zat-Nya Yang Mahasuci, maka tidak seorang pun dapat mencapai tangga-tangga kesempurnaan menuju akhirat sebagaimana dijelaskan pada tempatnya oleh para ulama dengan beragam bukti jelas. Akan tetapi, orang-orang awam tidak mengetahui hal itu. Mereka menganggap persoalan akhirat tidak ada artinya atau hampir tidak berarti—Mahasuci Allah dari anggapan semacam itu. Oleh karena

p: 270


1- 2. Safinah Al-Bihar, II, 180.
2- 3. Ibid., h. 181.

kemustahilan pengenalan, penyembahan sekaligus pemujaan hamba pada Zat Yang Mahakuasa, dengan kelembutan-Nya dan rahmat-Nya yang luas, Dia membuka pintu rahmat dan bimbingan-Nya bagi semua hamba-Nya melalui petunjuk-petunjuk gaib berupa wahyu dan ilham serta penurunan malaikat dan pengutusan para nabi. Inilah gerbang menuju penghambaan diri dan pengenalan tentang kebesaran- Nya yang telah disediakan-Nya untuk para hamba. Dia memperkenalkan hamba-hamba-Nya akan pelbagai cara beribadah kepada-Nya dan membuka jalan menuju pengenalan terhadap Zat-Nya, agar mereka dapat mengurangi semua kelemahan dan kenistaan hamba semampu mereka, dan agar mereka dapat mencapai derajat-derajat kesempurnaan yang sepantasnya. Mereka juga diharapkan dapat bersuluh dengan secercah sinar penghambaan menuju alam kemuliaan Zat Al-Haqq, menuju alam ketenteraman, kecemerlangan, surga rahmat atau menuju keridhaan Allah yang lebih besar daripada semua itu. Dengan demikian, Dia membukakan gerbang ibadah dan penghambaan sebagai salah satu rahmat-Nya yang paling besar. Setiap hamba berutang budi dan syukur yang mungkin mereka balas kepadaNya, karena setiap ungkapan rasa syukur yang diucapkan adalah

pertanda terbukanya pintu kemurahan-Nya terhadap hamba yang bersangkutan, yang tidak mungkin pula dapat dibalasnya. Apabila manusia mengetahui demikian itulah keadaan dirinya dan hatinya menghayati semua kenyataan tersebut, niscaya ia akan mengakui kelemahan dirinya sendiri. Bahkan, jika ia dapat menghadap ke hadirat Tuhan-Nya Yang Mahakuasa dengan membawa amal ibadah seluruh umat manusia, jin dan para malaikat yang dekat dengan-Nya, niscaya dia akan tetap memiliki rasa takut dan menyadari kekerdilan dirinya. Demikian pula hamba-hamba Allah yang memiliki pengetahuan mendalam tentang-Nya dan orang-orang pilihan-Nya yang dekat denganNya—yang telah Allah bukakan bagi mereka pintu rahasia takdir dan hati mereka tercerahkan oleh cahaya makrifat---pastilah hati

dan jiwa mereka akan tetap bergetar dan dipenuhi rasa takut. Bahkan, seandainya aneka rupa kesempurnaan telah mereka peroleh dan seluruh kunci pengetahuan tentang-Nya telah diberikan kepada mereka, rasa takut mereka tetap juga tak akan berkurang setitik pun,

p: 271

sebagaimana pernah diungkapkan oleh salah seorang dari mereka, “Sebagian manusia takut akan akhir (nasib) dan aku takut akan permulaan (nasib)."Subhânallâh! Sungguh tak ada daya dan upaya kecuali pada Allah! Aku berlindung kepada Allah Yang Mahakuasa. Allah Mahatahu, sungguh kata-kata seperti ini harus mencincang hati manusia dan membuatnya leleh ketakutan. Sudah sewajarnya apabila dia tidak lagi dapat merasa tenang hidup di dunia ini. Akan tetapi, nyatanya manusia tak pernah selesai dari kealpaannya! Satu hal lain yang telah kami sebutkan ketika membahas salah satu hadis sebelum ini adalah bahwa seluruh ketaatan dan ibadah yang kita lakukan adalah demi kepentingan diri kita sendiri. Motivasi pelaksanaannya adalah cinta diri. Ketaatan kita di dunia ini hanyalah demi memperoleh kesenangan-kesenangan di akhirat. Dan ini mirip dengan golongan orang yang meninggalkan kesenangan dunia demi dunia. Padahal kalaupun seandainya kita menghadap ke hadirat Allah Yang Mahasuci dengan membawa amal ibadah seluruh manusia dan jin, kita tetap tidak berhak memperoleh apa pun kecuali keterasingan dari wilayah kedekatan dengan-Nya. Allah Yang Mahabesar telah mengundang kita untuk memasuki wilayah kedekatan dan cinta suci-Nya, dengan berfirman: "Telah kuciptakan engkau demi Diriku". Dia telah menjadikan pengetahuan tentang-Nya sebagai tujuan penciptaan kita dan menunjukkan kepada kita jalan pengetahuan dan penghambaan. Namun, meskipun demikian, yang kita lakukan hanyalah menyibukkan diri kita dalam pemuasan nafsu-nafsu rendah kita, tanpa memiliki tujuan apa pun kecuali egoisme dan cinta diri.

Maka, wahai marusia yang malang, yang tidak kamu peroleh dari ibadah dan penghambaanmu kecuali keterasingan dan penolakan dari wilayah kedekatan suci Allah serta kelayakanmu memperoleh murka dan siksa-Nya, pada apakah kau akan menyandarkan dirimu? Mengapa rasa takut pada kepedihan siksa-Nya tidak menggelisahkan dirimu? Apakah engkau memiliki tempat perlindungan lain? Apakah engkau memercayai amal-amal baikmu dan merasa tenang bahwa amal-amalmu itu akan diterima-Nya? Jika demikian, celakalah engkau akibat kesimpulan dan penilaianmu yang salah tentang diri-

p: 272

mu dan Raja Segala Raja itu. Namun, jika engkau bersandar pada kemurahan Zat Yang Mahasuci dan keluasan rahmat-Nya serta cakupan pengawasan dan bimbingan-Nya yang meliputi seluruh makhluk, sesungguhnya engkau menyandarkan diri pada apa yang selayaknya dijadikan sandaran; engkau telah bersandar pada Zat yang Maha kukuh, dan berlindung da bawah Perlindungan Yang Mahakuat.

Harapan dan Doa

Ya Allah, Ya Rabbi! Sungguh kami benar-benar lemah, tidak dapat menjangkau sesuatu apa pun. Kami mengetahui bahwa kami memiliki banyak kekurangan dan tak berarti apa-apa. Kami tak memilki apa pun yang pantas kami bawa ke hadirat-Mu. Totalitas kami adalah cacat dan kekurangan. Wujud lahir dan batin kami terbenam dalam dosa-dosa yang membinasakan. Siapakah kami sehingga kami bermohon kepada-Mu agar diberikan kemampuan memuja-Mu, padahal salah seorang terdekat-Mu berkata, “Apakah mungkin dengan lidah yang lemah dan kelu ini aku berterima kasih kepada-Mu?", sambil mengakui ketakmampuan dan kelemahannya? Bagaimana dengan kami, para pendosa yang tertolak dari hadirat keagungan-Mu? Tidak ada yang dapat kami ungkapkan kecuali menyatakan dengan gerak-gerak bibir kami yang tanpa arti, “Sungguh harapan kami hanya ada pada rahmat-Mu. Kami hanya memercayakan diri kami kemurahan, ampunan, dan kebesaran Zat Suci-Mu”, seperti yang diungkapkan oleh orang-orang terdekat-Mu:

عِدَّهٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ کَثِیرٍ عَنْ أَبِی عُبَیْدَهَ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ ع قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص قَالَ اللَّهُ تَبَارَکَ وَ تَعَالَی لَا یَتَّکِلِ الْعَامِلُونَ عَلَی أَعْمَالِهِمُ الَّتِی یَعْمَلُونَهَا لِثَوَابِی فَإِنَّهُمْ لَوِ اجْتَهَدُوا وَ أَتْعَبُوا أَنْفُسَهُمْ أَعْمَارَهُمْ فِی عِبَادَتِی کَانُوا مُقَصِّرِینَ غَیْرَ بَالِغِینَ فِی عِبَادَتِهِمْ کُنْهَ عِبَادَتِی فِیمَا یَطْلُبُونَ عِنْدِی مِنْ کَرَامَتِی وَ النَّعِیمِ فِی جَنَّاتِی وَ رَفِیعِ الدَّرَجَاتِ الْعُلَی فِی جِوَارِی وَ لَکِنْ بِرَحْمَتِی فَلْیَثِقُوا وَ فَضْلِی فَلْیَرْجُوا وَ إِلَی حُسْنِ الظَّنِّ بِی فَلْیَطْمَئِنُّوا فَإِنَّ رَحْمَتِی عِنْدَ ذَلِکَ تُدْرِکُهُمْ وَ مَنِّی یُبَلِّغُهُمْ رِضْوَانِی وَ مَغْفِرَتِی .

p: 273

تُلْبِسُهُمْ عَفْوِی فَإِنِّی أَنَا اللَّهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِیمُ وَ بِذَلِکَ تَسَمَّیْتُ

Al-Kulaini, dengan isnâd-nya, dalam Al-Kâfi, meriwayatkan dari Imam Al-Baqir yang berkata, “Rasullah Saw. bersabda, 'Allah Yang Mahatinggi berkata, “Janganlah orang-orang yang beramal demi Aku mengandalkan amal-amal mereka karena ingin memperoleh ganjaran dari-Ku. Sebab, seandainya mereka bersungguh-sungguh menghabiskan tenaga mereka sepanjang hidupnya dalam mengabdi kepada-Ku, ibadah mereka tetap kurang dan tidak akan mencapai hakikat penghambaan terhadap-Ku, dalam pencarian mereka akan kemurahan, rahmat dan kebesaran-Ku, aneka nikmat di surga-Ku dan maqâm-maqâm tinggi di sisi-Ku. Namun, dengan rahmat-Ku-lah mereka harus bersandar, kemurahan-Ku-lah hendaknya yang mereka harapkan, dan dengan berprasangka baik pada-Ku-lah hendaknya mereka merasa tenang, karena, sesungguhnya dengan itu rahmat-Ku akan mencapai mereka, ridha-Ku akan sampai kepada mereka, dan pengampunan-Ku akan meliputi diri mereka. Sesungguhnya, Aku, Akulah Allah, Yang Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, dan karena itulah Aku dinamakan dernikian. (1)

Tafakur, Rasa Takut, dan Harapan

Salah satu hal yang menimbulkan rasa takut kepada Allah adalah tafakur akan kedahsyatan kekuatan Allah, sempitnya jalan akhirat, dan bahaya yang harus dihadapi manusia selama hidupnya dan pada saat kematiannya, juga kesukaran-kesukaran yang akan dialaminya di alam barzakh dan hari kiamat, serta adanya pertanggungjawaban dan penimbangan amal-amal perbuatan manusia. Demikian pula, rasa takut ini akan timbul dengan merenungkan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang janji-janji Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam salah satu hadis, diriwayatkan bahwa pada Hari Kebangkitan Allah menghamparkan rahmat-Nya, demikian berlimpahnya hingga iblis pun berharap memperoleh pengampunan-Nya. Disebutkan pula bahwa Allah sebelum itu tidak pernah memandang alam

ini semenjak awal penciptaannya dengan pandangan kelembutan. dan Allah tidak melimpahkan rahmat-Nya ke alam ini kecuali sebiji atom dibandingkan dengan limpahan rahmat-Nya ke alam-alam lain.

p: 274


1- 4. Al-Kafi, II, 71, hadis 1.

Rahmat sekecil itu telah dapat meliputi semua makhluk dengan aneka nikmat, rahmat, ampunan, dan kemahalembutan-Nya. Yang tampak dan yang gaib dari nikmat-nikmat itu adalah sekumpulan hidangan aneka nikmat Allah yang amat melimpah dan merupakan pemberian-Nya yang tak sesuatu atau seorang pun yang dapat mencerap dan menampungnya secara menyeluruh. Jika memang demikian itu halnya nikmat-nikmat-Nya di dunia, lalu bagaimana dengan nikmat-nikmat-Nya di alam yang merupakan tempat curahan seluruh rahmat dan kemurahan-Nya serta alam jamuan-Nya, di mana Dia Yang Maha suci melimpahkan sifat Rahmân dan Rahim-Nya. Tentu saja, kita bisa memahami mengapa iblis berharap memperoleh rahmat dari-Nya. Oleh karena itu, sempurnakanlah prasangka baikmu kepada Allah dan percayalah sepenuhnya kepada karunia-Nya, sebagaimana bunyi firman-Nya:

«قُلْ یَا عِبَادِیَ الَّذِینَ أَسْرَفُوا عَلَی أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ یَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِیعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِیمُ (53)»

Sungguh Allah akan mengampuni dosa-dosa seluruhnya .... (QS Al-Zumar (39]: 53)

Allah Swt. membenamkan semua makhluk-Nya dalam samudra karunia dan kemurahan-Nya, serta tidak mungkin Dia mengingkari janji-Nya, meskipun mungkin saja Dia membatalkan ancaman-ancaman-Nya_dan betapa sering Dia melakukan itu! Oleh karena itu, bergembiralah hatimu dengan berharap rahmat-Nya, karena kalau

saja rahmat itu tidak meliputi dirimu, tentu engkau takkan tercipta menjadi makhluk; setiap makhluk adalah penerima rahmat-Nya. Dia

berfirman: وَرَحْمَتِی وَسِعَتْ کُلَّ شَیْءٍ بِآیَاتِنَا یُؤْمِنُونَ (156)» ... Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu .... (QS Al-A'râf (7): 156)

Perbedaan antara Harapan dan Keteperdayaan

Namun, Saudaraku, waspadalah selalu agar Anda tidak salah membedakan antara rasa berharap dan rasa bangga karena teperdaya oleh diri sendiri, karena mungkin Anda teperdaya oleh diri sendiri sehingga Anda berpikir bahwa Anda termasuk hamba-hamba Allah yang selalu berharap akan rahmat-Nya. Sebenarnya tidak sulit untuk membedakan keduanya dengan melihat motivasinya masing-masing. Perhatikanlah keadaan diri Anda yang membuat Anda beranggapan bahwa

p: 275

Anda termasuk para pengharap karunia-Nya. Amalilah baik-baik, apakah keadaan itu disebabkan oleh sikap menganggap remeh perintah-perintah Allah atau karena keyakinan akan rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu dan keagungan Zat Suci-Nya. Kalau ernyata hal itu sulit Anda bedakan, dapat juga Anda lihat perbedaan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Jika perasaan akan kebesaran Allah tertanam di dalam hati seorang Mukmin dan hati itu merasa diliputi oleh aneka karunia dan rahmat-Nya yang sangat luas, niscaya ia akan benar-benar patuh dan mengabdi kepada-Nya. Ini karena pengakuan akan kebesaran Zat Yang Mahabesar Pemberi aneka nikmat dan kecenderungan penghambaan diri terhadap-Nya adalah salah satu ciri fitrah manusia yang tak seorang pun mengingkarinya.

Apabila dalam melaksanakan tugas penghambaan diri dan pengerahan upaya dan daya dalam ketaatan serta ibadah kepada-Nya, Anda tidak menganggap berarti amal-amal ibadah tersebut-sedangkan Anda berharap karunia dan rahmat-Nya dan Anda menemukan diri Anda patut menerima segala kemurkaan dan kutukan-Nya karena perbuatan-perbuatan buruk Anda sendiri-dan jika sandaran utama Anda hanya kepada rahmat Zat Yang Maha Pemurah dan Mahamutlak, jika Anda menyadari semua itu, berarti Anda termasuk para pengharap karunia Allah Swt. Maka, bersyukurlah kepada-Nya dan bermohonlah kepada Zat-Nya Yang Suci agar Dia memantapkannya dalam hati Anda dengan kukuh dan memberi Anda derajat yang lebih tinggi daripada derajat Anda sebelumnya. Namun, jika Anda selalu menganggap enteng dan remeh perintah-perintah Allah, dan menganggap tidak penting ajaran-ajaran-Nya, ketahuilah bahwa Anda telah teperdaya oleh diri Anda sendiri. Sifat itu telah tertanam di hati Anda sebagai akibat tipu daya iblis dan nafsu Anda yang selalu memerintahkan berbuat keburukan. Sebab, jika benar Anda merasa puas dan tenang akan kebesaran dan keluasan rahmat-Nya, pastilah akibat-akibat yang ditimbulkannya akan tampak di hati Anda. Seseorang yang hanya mengklaim dirinya sebagai orang-orang taat, sedangkan ucapannya itu berbeda dengan perbuatan-perbuatannya adalah seorang yang telah mendustai dirinya sendiri. Ada banyak hadis yang mendukung permasalahan ini.

p: 276

Hadis tentang Kecemasan dan Harapan

اعَنْهُ عَنِ ابْنِ أَبِی نَجْرَانَ عَمَّنْ ذَکَرَهُ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ: قُلْتُ لَهُ قَوْمٌ یَعْمَلُونَ بِالْمَعَاصِی وَ یَقُولُونَ نَرْجُو فَلَا یَزَالُونَ کَذَلِکَ حَتَّی یَأْتِیَهُمُ الْمَوْتُ فَقَالَ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ یَتَرَجَّحُونَ (4) فِی الْأَمَانِیِّ کَذَبُوا لَیْسُوا بِرَاجِینَ إِنَّ مَنْ رَجَا شَیْئاً طَلَبَهُ وَ مَنْ خَافَ مِنْ شَیْ ءٍ هَرَبَ مِنْهُ.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini dengan isnâd-nya meriwayatkan dari Ibn Abi Najran, dari seorang perawi yang disebutnya, dari Imam Al-Shadiq bahwa ia berkata, “Aku berkata kepada Imam, ‘Ada sekelompok manusia yang berbuat dosa dan berkata bahwa mereka berharap (rahmat-Nya). Mereka berada dalam keadaan ini hingga

mereka wafat.' Imam berkata, “Mereka adalah orang-orang yang telah diombang-ambingkan oleh angan-angan. Mereka telah mendustai (diri mereka), bukanlah mereka para pengharap (rahmat-Nya). Sesungguhnya barang siapa yang mengharapkan sesuatu, pasti ia akan mengejarnya, dan siapa yang takut akan sesuatu, ia

akan menghindar darinya.(1)

Dengan makna yang sama, disebutkan dalam Al-Kâfi sebuah hadis berikut:

عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ سِنَانٍ عَنِ ابْنِ مُسْکَانَ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِی سَارَهَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع یَقُولُ لَا یَکُونُ الْمُؤْمِنُ مُؤْمِناً حَتَّی یَکُونَ خَائِفاً رَاجِیاً وَ لَا یَکُونُ خَائِفاً رَاجِیاً حَتَّی یَکُونَ عَامِلًا لِمَا یَخَافُ وَ یَرْجُو

Dengan isnâd-nya dari Al-Husain ibn Abi Sarah bahwa ia berkata, saya mendengar Abu 'Abdullah berkata, “Tidaklah seseorang dikatakan benar-benar Mukmin sebelum ia memiliki rasa takut dan berharap, dan ia baru dikatakan telah memiliki rasa takut dan berharap apabila ia berperilaku sesuai dengan perasaan takut

dan berharap yang dimilikinya.(2) Ada yang berpendapat bahwa orang yang berharap ridha Tuhan-nya dan menunggu curahan rahmat-Nya tanpa mengerjakan apa

p: 277


1- 5. Ibid., II, 68, hadis 5.
2- 6. Ibid., II, 71, hadis 11, dari Al-Hasan ibn Sarah.

pun adalah seperti orang yang menunggu hasil tanpa mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan; seperti petani yang menunggu panen tanpa menabur benih, tanpa membajak, dan mengairi tanahnya; orang semacam ini tidak bisa dikatakan berharap. Itu adalah kebodohan dan kekonyolan. Orang yang tidak memperbaiki akhlak dan perbuatan-perbuatannya, tidak pula menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan dosa, lalu ia bangkit melakukan beberapa perbuatan sambil berharap dapat menyucikan dirinya, adalah seperti petani yang menaburkan benihnya di tanah mati: jelas bahwa tidak ada hasil apa pun yang dapat dipetiknya dari benih yang telah ditaburkannya itu. Sikap berharap yang sebenarnya dan dianjurkan bagi seorang hamba harus dimulai dengan persiapan seluruh sarana yang dapat

diperolehnya seperti yang telah diperintahkan Allah Swt. Selanjutnya, sang hamba harus memanfaatkan sarana-sarana tersebut sesuai dengan kemampuan yang telah diberikan-Nya kepada yang bersangkutan, serta berdasarkan perhatian, bimbingan, dan pemberitahuan-Nya akan jalan kebenaran dan keburukan. Barulah setelah itu ia dapat menunggu dan berharap agar Allah menyempurnakan perhatian dan bimbingan-Nya terhadap sarana-sarana yang telah diberikan-Nya dan yang telah ia peroleh sebelumnya, sehingga ia dapat mewujudkan hal-hal positif lain yang tidak masuk ke dalam cakupan kehendak dan pilihan-Nya setelah itu serta dapat menghilangkan rintangan-rintangan dari jalannya.

Demikianlah, ketika sang hamba telah membersihkan hatinya dari keburukan-keburukan moral dan dari batu-batu dosa yang membinasakan, lalu menaburkan benih perbuatan baik di hatinya itu, mengairinya dengan air jernih pengetahuan yang bermanfaat dan keimanan yang tulus, serta menjaganya dari berbagai penyakit hati

yang merusak seperti 'ujb dan riyâ', dan lain sebagainya,yang mirip dengan hama yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman-kemudian, ia menunggu anugerah Allah, berharap agar Yang Maha-kuasa memantapkan hatinya di jalan yang benar, dan agar Dia menjadikan kesudahan hidupnya diwarnai oleh kebaikan, apabila ini yang dilakukan sang hamba, inilah harapan yang sejati, seperti yang telah dinyatakan oleh Allah:

p: 278

«إِنَّ الَّذِینَ آمَنُوا وَالَّذِینَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِی سَبِیلِ اللَّهِ أُولَئِکَ یَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِیمٌ (218)»

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah—merekalah yang mengharapkan rahmat Allah; dan Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih. (QS Al-Baqarah 12): 218)

Keseimbangan antara Rasa Takut dan Berharap

Di akhir hadis yang sedang kita bahas ini, disebutkan bahwa rasa takut tidak boleh melebihi harapan, dan demikian sebaliknya; hal yang sama disebutkan pula dalam hadis mursal Ibn Abi Umair dari Imam Al-Shadiq. Ketika seseorang menyaksikan puncak kegagalannya dalam memenuhi tuntutan-tuntutan ibadah sebagai seorang hamba dan ketika ia merenungkan sempitnya jalan menuju akhirat, hal ini akan melahirkan rasa takut yang sangat pada dirinya. Dan, ketika ia menyaksikan dosa-dosanya dan merenungkan keadaan mereka yang pada mulanya saleh, tetapi kemudian jatuh ke dalam keadaan yang sangat buruk dan meninggalkan dunia ini sebagai kafir dan tanpa memiliki perbuatan baik, berakhir pada kejahatan, rasa takutnya bertambah-tambah. Dalam sebuah hadis yang di muat di dalam Al-Kafi,

Al-Imam Al-Shadiq diriwayatkan berkata:

قَالَ: الْمُؤْمِنُ بَیْنَ مَخَافَتَیْنِ ذَنْبٍ قَدْ مَضَی لَا یَدْرِی مَا صَنَعَ اللَّهُ فِیهِ وَ عُمُرٍ قَدْ بَقِیَ لَا یَدْرِی مَا یَکْتَسِبُ فِیهِ مِنَ الْمَهَالِکِ فَهُوَ لَا یُصْبِحُ إِلَّا خَائِفاً وَ لَا یُصْلِحُهُ إِلَّا الْخَوْفُ.

Orang Mukmin berada di antara dua hal yang menakutkan: dosa-dosa masa lalunya—ia tak tahu apa yang akan dilakukan Tuhan terhadapnya karena dosa-dosa itu—dan sisa hidupnya—ia tak tahu dosa besar apakah yang akan dilakukannya di masa depan. Maka, ia tidak terjaga kecuali dalam keadaan takut dan tak sesuatu

pun yang menjaganya (tetap di jalan yang lurus) kecuali rasa takut.(1)

Hal yang sama dinyatakan dalam khutbah Rasulullah yang diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Al-Shadiq dalam Al-Kafi.(2)

Memang, manusia sudah seharusnya berada dalam perasaan akan ketaksempurnaan dirinya dan selalu melihat Tuhannya berada pada

p: 279


1- 7. Ibid., hadis 12.
2- 8. Ibid., hadis 2.

puncak kebesaran, keluasan rahmat, dan anugerah-Nya. Hendaklah seorang hamba selalu berada dalam dua keadaan yang berimbang antara rasa takut dan berharap. Dan, karena sifat-sifat kebesaran dan keindahan-Nya memancarkan cahayanya secara berimbang pada hati manusia, rasa takut dan berharap tidak dapat melampaui yang lainnya. Sebagian orang mengatakan bahwa kadang kala rasa takut lebih bermanfaat bagi manusia seperti ketika fisik dalam kondisi sehat agar ia dapat berusaha untuk mencapai kesempurnaan dalam melakukan amal-amal baik; dan bahwa harapan lebih baik pada keadaan-keadaan tertentu—seperti ketika tanda-tanda kematian sedang mendekat sehingga manusia dapat bertemu Tuhannya dalam keadaan yang lebih dicintai-Nya. Akan tetapi, pendapat ini tidak sesuai dengan kesimpulan pembahasan kita di atas dan tidak cocok dengan pesan hadis-hadis yang telah kami sebutkan karena harapan yang sejati juga dapat mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Rasa takut terhadap Allah juga merupakan sesuatu yang dicintai-Nya dan tak bertentangan dengan harapan kepada-Nya. Sebagian orang lain lagi menyatakan bahwa rasa takut bukanlah merupakan suatu perbuatan terpuji ataupun ciri kesempurnaan jiwa seorang hamba Mukmin di akhirat nanti. Mereka menganggap perasaan tersebut hanyalah merupakan salah satu sifat yang manfaatnya terbatas pada kehidupan dunia ini saja—yang merupakan arena untuk melakukan berbagai amal baik--di mana rasa takut ini mencegahnya untuk melakukan perbuatan dosa, dan sebaliknya, mendorongnya

sehingga bersemangat dalam melakukan amal-amal ibadah. Rasa takut tidak berguna setelah dunia ini ditinggalkan. Sedangkan rasa berharap tak akan pernah berakhir. Ia akan berlanjut hingga alam akhirat karena semakin banyak manusia menerima rahmat Allah, semakin banyak pula ia mengharapkan karunia-Nya, dan karena rahmat Tuhan tidak pernah ada penghabisannya. Dengan demikian, rasa takut berakhir, tetapi harapan berlanjut. Seorang pakar hadis besar, Al-Majlisi, semoga Allah melimpahkan rahmat kepada-Nya, berkata, "Sesungguhnya yang benar adalah bahwa selama hamba masih berada pada alam kewajiban (yaitu dunia ini)

p: 280

ia pasti memiliki rasa takut serta harapan. Namun, setelah menyaksikan segala sesuatunya di akhirat, salah satu di antara keduanya-rasa takut atau harapan--pasti akan melebihi yang lainnya." Penulis di sini ingin menambahkan bahwa pendapat tentang lebih dominannya rasa takut atau harapan di alam akhirat tidak sejalan

dengan yang telah disebutkan di atas tentang makna rasa takut dan harapan. Bahkan jika itu benar, hal ini akan berlaku hanya kepada mereka yang berada pada maqâm-maqâm pertengahan, di mana keduanya-rasa takut dan berharap-didasari oleh takut akan ancaman-Nya atau berharap akan pahala-Nya.

Adapun maqam orang-orang pilihan dan orang-orang terdekat Allah Swt. jelas berbeda dengan mereka yang maqâm-nya lebih rendah. Rasa takut dan berharap yang tertanam dalam hati mereka, dan yang lahir dari penyaksian akan kebesaran dan keagungan Allah serta manifestasi dari Nama-Nama-Nya Yang Mahaindah dan Mahalembut, tidak akan pernah sirna hingga di akhirat nanti. Salah satu dari keduanya tidak akan melampaui yang lain. Bahkan, dampak kebesaran dan keagungan Allah serta manifestasi keindahan dan kemahalembutan-Nya di akhirat nanti lebih besar, sehingga rasa takut dan kagum karena kebesaran Allah dapat menjadi suatu kenikmatan spiritual; ini tak bertentangan dengan ayat:

«أَلَا إِنَّ أَوْلِیَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَیْهِمْ وَلَا هُمْ یَحْزَنُونَ (62)»

Sesungguhnya sahabat-sahabat Allah-mereka tak memiliki rasa takut dan mereka tak menderita. (QS Yûnus (10): 62)

Apa yang telah dikutip dari pendapat sebagian orang bahwa rasa takut bukanlah merupakan suatu pencapaian spiritual. Takut di sini bukan terhadap kebesaran dan keagungan Allah, karena sebaliknya, perasaan tersebut adalah suatu nilai lebih dan pertanda kesempurnaan manusia yang disempurnakan Allah Swt. sebagaimana rasa takut selain mereka ada yang lebih besar lagi. Dan, segala puji bagi Allah, keagungan dan keindahan-Nya, dan semoga Dia melimpahkan rahmat-Nya kepada Muhammad Saw. dan keluarganya.[

p: 281

15 Hadis tentang Cobaan dan Penderitaan sang Mukmin

Point

عَلِیُّ بْنُ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنِ اِبْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِی عَبْدِ اَللَّهِ عَلَیْهِ اَلسَّلاَمُ قَالَ إِنَّ فِی کِتَابِ عَلِیٍّ عَلَیْهِ اَلسَّلاَمُ : أَنَّ أَشَدَّ اَلنَّاسِ بَلاَءً اَلنَّبِیُّونَ ثُمَّ اَلْوَصِیُّونَ ثُمَّ اَلْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ وَ إِنَّمَا یُبْتَلَی اَلْمُؤْمِنُ عَلَی قَدْرِ أَعْمَالِهِ اَلْحَسَنَةِ فَمَنْ صَحَّ دِینُهُ وَ حَسُنَ عَمَلُهُ اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَ ذَلِکَ أَنَّ اَللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَمْ یَجْعَلِ اَلدُّنْیَا ثَوَاباً لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ عُقُوبَةً لِکَافِرٍ وَ مَنْ سَخُفَ دِینُهُ وَ ضَعُفَ عَمَلُهُ قَلَّ بَلاَؤُهُ وَ أَنَّ اَلْبَلاَءَ أَسْرَعُ إِلَی اَلْمُؤْمِنِ اَلتَّقِیِّ مِنَ اَلْمَطَرِ إِلَی قَرَارِ اَلْأَرْضِ .

Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah imeridhainya meriwayatkan dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibn Mahbub, dari Sama'ah, dari Abu 'Abdillah a.s. (Imam Ja'far Al-Shadiq) bahwa beliau berkata, "Sesungguhnya disebutkan dalam Kitab ‘Ali bahwa, Manusia paling berat cobaannya adalah para nabi,

dan setelah mereka adalah para washi(1) dan setelah mereka adalah

p: 282


1- Yang dimaksud dengan washi di sini adalah Dua Belas Imam Syi'ah-penerj.a

orang-orang pilihan yang seperti mereka. Sungguh, orang Mukmin pasti mengalami cobaan sesuai dengan kadar amal baiknya. Maka, orang yang baik agamanya dan baik pula amalnya, akan lebih berat cobaannya. Hal itu disebabkan Allah Swt. tidak menjadikan dunia ini sebagai tempat memberikan pahala bagi orang Mukmin

dan tempat menyiksa orang kafir. Barang siapa yang lemah imannya dan buruk amalnya, ia akan lebih ringan cobaannya. Sesungguhnya, cobaan itu menimpa orang beriman dan bertakwa, lebih cepat daripada air hujan yang turun ke dasar bumi.(1)

Penjelasan Makna Hadis

Sebagian orang mengatakan bahwa maksud kata “manusia” dalam hadis di atas adalah manusia sempurna seperti para nabi, para wali, dan para washi. Sesungguhnya merekalah “manusia" yang sebenarnya. Sementara manusia-manusia lain selain mereka adalah nisnâs, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis Namun, pendapat ini tidak sepenuhnya benar. Lebih baik kita memahami kata “manusia” di atas dalam arti manusia secara umum, dan makna itu dengan jelas dapat kita tangkap dari hadis di atas. Makna yang sama juga dapat diamati dari hadis-hadis yang terdapat dalam bab yang sama dari kitab Al-Kâfî tentang masalah ini. Apabila ditemukan dalam beberapa hadis bahwa yang dimaksudkan dengan "manusia” adalah manusia-manusia sempurna, tidaklah itu berarti

bahwa kata tersebut bermakna demikian sehingga menjadi alasan pembenaran makna tersebut.

Lagi pula, kata balâ' pada hadis di atas berarti ujian dan cobaan pada manusia yang bersifat baik maupun buruk, sebagaimana ditegaskan oleh para pakar bahasa Arab di antaranya Al-Jauhari, dalam Mu'jam Al-Shihah-nya. Allah Swt. berfirman,

«فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَکِنَّ اللَّهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَیْتَ إِذْ رَمَیْتَ وَلَکِنَّ اللَّهَ رَمَی وَلِیُبْلِیَ الْمُؤْمِنِینَ مِنْهُ بَلَاءً حَسَنًا إِنَّ اللَّهَ سَمِیعٌ عَلِیمٌ (17)»

agar Dia menguji orang-orang Mukmin dengan ujian yang baik (QS Al-Anfâl [8]: 17).

Setiap cobaan Allah Swt. terhadap hamba-hamba-Nya di dalam bahasa Arab disebut balâ' dan ibtilâ’, baik itu berupa penyakit berat atau ringan, atau kesengsaraan seperti kemiskinan, penghinaan, dan kehilangan keuntungan-keuntungan duniawi, atau yang berlawanan

p: 283


1- 1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kafi, Vol. II, h. 259, hadis No. 29.

dengan itu, seperti cobaan melalui jabatan dan kedudukan yang tinggi, kekuasaan dan kebesaran, kekayaan, kepemimpinan, kehormatan, dan lain sebagainya. Namun, dalam konteks hadis ci atas, bilamana bala”, baliyyah, atau ihtilâ' dan yang seperti itu disebutkan secara umum tanpa ada sesuatu yang mengikatnya, jenis pertamalah (balâ') yang dimaksudkan. Kata antsal artinya lebih mulia dan lebih baik. Ini lebih utama daripada yang itu, yakni lebih dekat kepada kebaikan. Maka, makna kalimat pada hadis di atas berarti bahwa orang yang lebih baik dan lebih mulia setelah para nabi dan para washiy pasti menghadapi ujian dan cobaan yang lebih berat daripada orang lain, dan orang yang lebih baik dan lebih mulia setelah mereka pasti menghadapi tingkat ujian yang lebih keras. Derajat kerasnya cobaan adalah berdasarkan tingkat kesalehannya di sisi Allah Swt. Pernyataan seperti ini tidak ada dalam bahasa Persia.

Kata sukhf berarti kelemahan pada akal' atau 'kebodohan', seperti disebutkan Al-Shihah dan karya-karya leksikografi lainnya. Kata qarâr artinya 'tempat yang tenang', seperti disebutkan dalam kamus-kamus je bilo obtaig33. Qarâr adalah sesuatu tempat yang tenang di muka bumi. Analogi itu maksudnya adalah, sebagaimana bumi adalah tempat tinggal bagi hujan yang turun ke bumi, seorang Mukmin adalah tempat tinggal dan bersemayamnya aneka penderitaan dan

kesengsaraan, yang menerpanya dengan cepat, menetap dalam diri-nya, dan tak lepas darinya. Insya Allah, akan kami jelaskan beberapa hal penting untuk men-

jelaskan hadis mulia ini dalam beberapa bagian di bawah.

Makna Cobaan dan Dampaknya

Perlu diketahui bahwa jiwa manusia semenjak awal mula kelahirannya dan keterikatannya dengan jasmani, serta proses penurunannya ke alam fisik (mulk), secara potensial memiliki berbagai kemampuan pemahaman, pengetahuan, serta pengalaman. Secara bertahap, ia bergerak dari potensialitas ke aktualitas dengan rahmat Allah Yang

p: 284

Mahakuasa dan Mahamulia. Pada mulanya tampak jangkauannya yang bersifat lemah dan partikular, seperti indra perasa dan indra luar lainnya, bergerak dari yang rendah ke yang lebih tinggi. Berikut-nya, jangkauannya yang bersifat batiniah mulai muncul secara bertahap pula. Namun, keberadaan semua bakat dan sifat bawaan tersebut hanya bersifat potensial saja. Jika tidak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memunculkan potensi-potensi baik dan ia dibiarkan begitu saja tanpa ada yang menumbuh-kembangkannya, niscaya sifat-sifat buruklah yang akan lebih dominan, dan terbentuklah sifat-sifat buruk itu sehingga jiwa manusia lebih cenderung pada keburukan. Sebab, seperti diketahui, faktor-faktor penggerak yang bersifat batin, seperti syahwah (syahwat), ghadhab (kemarahan), dan lain-lain selalu mendorongnya pada dosa, kebobrokan, agresi, dan tirani. Setelah manusia tunduk pada kekuatan dalamnya yang buruk ini selama beberapa waktu, ia akan berkembang menjadi monster dan iblis yang sangat aneh.

Namun, karena kasih sayang dan rahmat Allah Swt. telah meliputi umat manusia semenjak azali, Dia menganugerahi mereka—berdasarkan sebuah penilaian cermat--dua guru dan pendidik yang merupakan dua “sayap”, dengannya ia terbang dari jurang kebodohan, kerusakan, keburukan, kejelekan menuju puncak pengetahuan, kesempurnaan, keindahan, kebahagiaan, dan membebaskan diri mereka dari lembah alam yang sempit untuk mencapai cakrawala alam ruh (malakút) yang luas dan terbuka. Yang pertama adalah “guru" yang bersifat batin, yaitu akal dan kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dari yang buruk,

dan yang kedua merupakan “guru” lahiriah, yaitu para nabi dan para pembimbing Ilahi yang menunjukkan jalan kebahagiaan dan membedakannya dari jalan keburukan. Salah satu dari keduanya tidak dapat melaksanakan peran yang semestinya tanpa bantuan yang lainnya, karena intelek manusia itu sendiri tidak dapat mengenali jalan kebahagiaan dan keburukan maupun menemukan jalan menuju dunia yang tersembunyi dan dunia kemaujudan ukhrawi. Demikian pula, bimbingan para nabi tidak dapat efektif tanpa penggunaan kemampuan akal dan kemampuannya dalam membedakan.

p: 285

Tuhan Yang Mahasuci yang telah menganugerahi kita dua macam guru dan pembimbing ini bertujuan agar kita dapat merealisasi serta mengaktualisasi setiap potensi dan kemampuan yang terpendam di dalam jiwa kita. Allah Swt. telah menganugerahi dua anugerah besar ini untuk menguji dari mencoba kita, karena kedua anugerah inilah yang memisahkan manusia menjadi yang bahagia dan yang sengsara, yang taat dan yang membangkang, yang sempurna dan yang tak sem-

purna. Sebagaimana dikemukakan oleh wali orang-orang Mukmin, ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.:(1)

وَ الَّذِی بَعَثَهُ بِالْحَقِّ لَتُبَلْبَلُنَّ بَلْبَلَهً وَ لَتُغَرْبَلُنَّ غَرْبَلَهً

“Demi yang mengurus Nabi Saw. dengan kebenaran, kamu benar-benar akan dicampurbaurkan dan kemudian dipisahkan dalam saringan (ujian dan penderitaan Tuhan).(2)

Di dalam Al-Kâfi , pada bab yang berkenaan dengan ujian dan penderitaan, Ibn Abi Ya'fur meriwayatkan bahwa Imam Al-Shadiq pernah berkata:

لَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ أَنْ یُمَحَّصُوا وَ یُمَیَّزُوا وَ یُغَرْبَلُوا وَ یُسْتَخْرَجُ فِی الْغِرْبَالِ خَلْقٌ کَثِیرٌ.

“Tak dapat dihindari bahwa umat manusia mesti dibersihkan, dipisahkan, dan disaring sehingga sejumlah besar dikeluarkandari saringan itu.(3) Al-Kulaini juga meriwayatkan hadis berikut ini dengan isnâd- nya dari Manshur:

p: 286


1- b Dalam tulisan ini, para pembaca akan menjumpai penyebutan kata wali. Wali dalam konteks ini berarti orang yang memiliki kualitas wilayah. Dalain kepercayaan Syi'ah, mereka adalah orang-orang yang paling utama dari kalangan para nabi dan Dua Belas Imam yang meneruskan kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Lihat Hamid Algar (ed.), Islam and Revolution, Mizan Press, Barkeley, 1981-penerj.
2- 2. Nahj Al-Balaghah, Khutbah No. 16.
3- 3. Ushûl Al-Kafi, Vol. I, h. 370, hadis No. 2.

Hadis tentang cobaan dan Penderitaan sang Mukmin

قَالَ لِی أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع یَا مَنْصُورُ إِنَّ هَذَا الْأَمْرَ لَا یَأْتِیکُمْ إِلَّا بَعْدَ إِیَاسٍ وَ لَا وَ اللَّهِ حَتَّی تُمَیَّزُوا وَ لَا وَ اللَّهِ حَتَّی تُمَحَّصُوا وَ لَا وَ اللَّهِ حَتَّی یَشْقَی مَنْ یَشْقَی وَ یَسْعَدَ مَنْ یَسْعَدُ

Imam Al-Shadiq a.s. berkata kepadaku, “Hai Manshur! Sungguh masalah ini (yakni munculnya Al-Mahdi a.s.) tak akan datang kepadamu kecuali setelah adanya keputusasaan, dan demi Allah, tak akan datang kepadamu sampai engkau disisihkan, dan demi Allah, sampai engkau disucikan, dan demi Allah, sampai orang

yang sengsara memperoleh kesengsaraannya dan orang yang bahagia memperoleh kebahagiannya.(1)

Dalam hadis lain, Abu Al-Hasan a.s. diriwayatkan berkata:

یُخْلَصُونَ کَمَا یُخْلَصُ الذَّهَبُ.

“Engkau akan disepuh seperti disepuhnya emas.(2)

Dalam Al-Kafi, pada bab ujian dan cobaan, hadis berikut ini diriwayatkan dengan isnâd dari Imam Al-Shadiq a.s.:

قَالَ: مَا مِنْ قَبْضٍ وَ لَا بَسْطٍ إِلَّا وَ لِلَّهِ فِیهِ مَشِیئَهٌ وَ قَضَاءٌ وَ ابْتِلَاءٌ.

“Tidak ada qabdh (kesempitan) dan basth (kelonggaran) kecuali di situ ada kehendak, ketentuan, dan cobaan Allah(3) Dalam hadis lain, diriwayatkan beliau berkata:

قَالَ: إِنَّهُ لَیْسَ شَیْ ءٌ فِیهِ قَبْضٌ أَوْ بَسْطٌ مِمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَوْ نَهَی عَنْهُ إِلَّا وَ فِیهِ لِلَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ ابْتِلَاءٌ وَ قَضَاءٌ

“Sungguh tak ada kesempitan dan kelonggaran yang diperintahkan dan dilarang Allah kecuali di situ ada penderitaan, ujian, dan ketetapan-Nya.(4)

Qabdh berarti menahan, mencegah, menghalangi, dan menyita. Basth adalah membeberkan, menyebarkan, dan memberi. Karena itu, setiap pemberian, kelonggaran, dan gangguan, serta setiap perintah,

p: 287


1- 4. Ibid., hadis No. 3.
2- 5. Ibid., hadis No. 4.
3- 6. Ibid., Vol. I. h. 152
4- 7. Ibid.

larangan, dan pembebanan tugas adalah termasuk dalam kategori cobaan. Demikian pula pengutusan para nabi dan rasul, penurunan kitab-kitab suci samawi, semuanya dimaksudkan untuk menyeleksi manusia, memisahkan mereka yang bahagia dari yang celaka, antara yang taat dan pendosa. Selanjutnya, makna cobaan dan ujian Tuhan adalah pemisahan itu sendiri, yang tampak pada dataran alam realita, bukan pengetahuan-Nya tentang keterpisahan itu, karena pengetahuan Allah Swt. bersifat azali, dan meliputi segala sesuatu, sebelum terciptanya. Para hukama telah membahas secara panjang lebar makna dan hakikat ujian serta cobaan, dan ini di luar lingkup pembahasan kita pada tulisan ini. Yang jelas, hasil dari cobaan dan ujian ini adalah pemisahan antara orang-orang yang beruntung dari orang-orang yang celaka di alam nyata. Selama berlangsungnya cobaan itulah, hujah Allah dikukuhkan terhadap semua makhluk. Lalu, kehidupan mereka, kebahagiaan, dan keselamatan mereka, atau kesusahan dan kecelakaan mereka terjadi setelah kukuhnya hujah dan penjelasan (bayyinah), dan tak ada ruang untuk penolakan bagi siapa pun. Kebahagiaan dan kehidupan ukhrawi seseorang diperoleh melalui pertolongan dan bimbingan Tuhan, karena Tuhan telah menganugerahkan berbagai sarana untuk memperolehnya. Demikian pula, seseorang yang memperoleh keburukan dan jat uh ke dalam kerusakan padahal segala petunjuk-Nya telah tersedia—maka dia telah memilih bagi dirinya jalan kebinasaan dan kesengsaraan. Hujah akhir Allah telah dikukuhkan terhadapnya dan tak ada ruang untuk dalih apa pun. Karenanya, Al-Quran berkata:

«لَا یُکَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا کَسَبَتْ وَعَلَیْهَا مَا اکْتَسَبَتْ رَبَّنَا (286)»

Baginya (jiwa) apa yang diperolehnya dan terhadapnya apa yang telah dikerjakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Para Nabi dan Cobaan Allah

Telah disebutkan di atas bahwa setiap perilaku manusia, atau bahkan setiap peristiwa yang terjadi di alam lahiriah dan yang berkaitan dengan persepsi jiwa, meninggalkan semacam bekas di dalam diri. Ini berlaku

p: 288

baik pada amal buruk maupun amal baik (dalam hadis-hadis, dampaknya terhadap jiwa biasa disebut sebagai “titik putih” dan “titik hitam”), demikian pula kesenangan dan kepedihan. Misalnya, setiap pengalaman yang lezat dan menyenangkan, yang berasal baik dari makanan, minuman, nafsu syahwat, atau sesuatu yang lain, meninggalkan bekas pada jiwa dan menciptakan atau meningkatkan cinta dan kesukaan terhadap jenis kenikmatan itu di dalam jiwa. Semakin jauh seseorang terjun ke dalam kenikmatan dan nafsu itu, semakin besar pula kecintaan dan kesukaan jiwa terhadap dunia ini serta kebergantungannya padanya. Demikianlah, jiwa semakin memiliki ketergantungan dan kecintaan terhadap dunia yang lebih besar(1). Makin besar kenikmatan lahiriah yang diperolehnya, makin kuatlah akar kecintaan ini; dan makin banyak sarana yang tersedia untuk kesenangan dan kemewahan, makin kukuhlah akar kecintaan terhadap dunia. Makin besar perhatian jiwa terhadap dunia, makin besar pula kelalaian terhadap Tuhan dan alam akhirat. Sebab, ketika secara total jiwa telah bergantung pada dunia, sehingga orientasinya bersiſat materialis dan keduniaan, niscaya pada akhirnya jiwa menjadi semakin berpaling dari jalan Allah Swt. serta rahmat dan anugerah-Nya.

Jiwa seperti inilah yang dikatakan oleh Al-Quran:

«وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَکِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَی الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ (176)»

... ia mengekal ke dunia dan mengikuti hawa nafsunya. (QS Al-Afrâf (7): 176)

Akibat yang tak terelakkan dari ketenggelaman jiwa ke dalam samudra kenikmatan dan nafsu ini adalah cinta dunia, dan cinta dunia menciptakan sikap menolak terhadap yang selainnya; perhatian

p: 289


1- c Kalimat ini, dan kalimat lain yang serupa isinya, tak dapat dianggap menyiratkan kutukan terhadap dunia sebagai suatu arena untuk berusaha memperoleh kebahagiaan llahiah atau sebagai sebuah sistem besar dari ayat-ayat (tanda-tanda) Tuhan. Hal ini bukanlah ajakan pada sikap “keduniawian yang lain", sebagaimana tampak jelas dalam seluruh hidup Imam Khomeini. “Dunia” yang dicela di sini adalah keseluruhan tujuan yang duniawi dan keterikatan pada dunia yang dinisbahi nilai mutlak dan quasi-Ilahiah oleh manusia. Hal ini dikemukakan secara eksplisit dalam kuliah kedua Imam tentang Tafsir Al- Fatihah”. (Dikutip dari Hamid Algar (ed.), Islam and Revolution, Mizan Press, Barkeley, 1981.)-penerj.

akan dunia materiil (mulk) membawa kelalaian akan dunia spiritual (malakût). Sebaliknya, apabila seseorang memiliki pengalaman buruk dan pahit mengenai sesuatu, kesan dari pengalaman itu menciptakan rasa kebencian dan ketidaksukaan akan pengalaman itu. Makin kuat kesan itu, makin besar sikap perlawanan batinnya. Misalnya, apabila setelah memasuki suatu kota seseorang diuji dengan suatu penyakit dan berbagai kepedihan, yang menyebabkannya mengalami problema lahir dan batin, ia pasti akan membenci tempat itu. Makin banyak kemalangan yang ia hadapi di situ, makin besar kebenciannya terhadap tempat itu. Apabila ia mengetahui tempat lain yang lebih baik, ia akan pergi ke sana, dan apabila ia tak mampu mengadakan perjalanan, paling tidak hatinya akan selalu teringat dan merindukan kota yang disukainya itu.

Jadi, apabila manusia menghadapi kemalangan, kepedihan, dan kesengsaraan di dunia ini, kemudian ia merasa bahwa gelombang bencana dan kecelakaan semakin dekat dengannya, ia pasti akan membencinya. Kecintaannya terhadap dunia akan berkurang dan ia tidak memercayainya. Apabila ia percaya akan alam lain, alam luas yang bebas dari segala jenis kepedihan dan duka cita, ia pasti ingin pindah ke sana; dan apabila ia tak mampu untuk mengadakan perjalanan fisik, ia akan membawa hatinya ke sana. Lagi pula, telah terbukti bahwa semua kejahatan spiritual, moral, dan tingkah laku, seluruhnya berasal dari cinta terhadap dunia dan

kelalaian akan Allah Swt. serta hari akhirat. Cinta dunia adalah sumber segala dosa, dan sebaliknya, cinta kepada Tuhan serta tiadanya kebergantungan dan kepercayaan pada perhiasan dunia merupakan sumber dari semua obat spiritual serta merupakan perbaikan moral dan perilaku.

Melalui beberapa pendahuluan ini, kita mengetahui bahwa bilamana Allah Swt. memiliki perhatian yang lebih besar terhadap seorang hamba, sehingga ia diliputi oleh kasih sayang Zat Yang Mahasuci secara sempurna, niscaya Dia akan menghalangi sang hamba dari dunia dan keindahannya dengan gelombang bencana dan cobaan,

p: 290

sehingga hilang kecintaannya terhadap dunia dan perhiasannya, serta ia mengarahkan wajah dan hatinya—sesuai dengan tingkat keimanan—pada alam akhirat.

Apabila tidak ada alasan apa pun kecuali alasan ini bagi kesabarannya menghadapi bencana yang keras, hal itu sudah cukup. Sebuah hadis mulia juga menunjukkan masalah ini.

عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ ع قَالَ: إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَ جَلَّ لَیَتَعَاهَدُ الْمُؤْمِنَ بِالْبَلَاءِ کَمَا یَتَعَاهَدُ الرَّجُلُ أَهْلَهُ بِالْهَدِیَّهِ مِنَ الْغَیْبَهِ وَ یَحْمِیهِ الدُّنْیَا کَمَا یَحْمِی الطَّبِیبُ الْمَرِیضَ

Muhammad ibn Ya'qûb dengan isnâd-nya meriwayatkan bahwa Imam Al-Baqir a.s. berkata, “Sungguh, Allah Swt. memberi orang Mukmin ujian dan cobaan, sama seperti seorang manusia membawakan untuk keluarganya bingkisan setelah bepergian, dan Dia menghalanginya dari dunia seperti seorang dokter memberikan

pantangan atas orang yang sakit.(1) Masih ada hadis lain yang menyebutkan hal yang sama. Dan, janganlah seseorang membayangkan bahwa cinta Tuhan dan perhati- an yang besar dari Zat-Nya Yang Mahasuci terhadap sebagian hambaNya--semoga Allah melindungi kita--diberikan begitu saja dengan tanpa arah dan tujuan. Sebab, setiap langkah menuju Allah yang dilakukan oleh salah seorang hamba-Nya yang Mukmin, rahmat Allah akan tercurah kepadanya dan Dia akan menyambutnya dengan mendekat kepadanya. Kiasan bagi derajat-derajat keimanan dan adanya sarana-sarana pertolongan Ilahi adalah seperti seseorang berjalan di kegelapan malam dengan membawa sebuah lampu; setiap ia maju selangkah ke depan, ia telah menerangi jalan di depannya, yang memungkinkannya untuk makin melangkah lagi ke depan. Setiap kali manusia melangkah ke depan menuju jalan akhirat, jalan itu tampak lebih jelas baginya dan rahmat Allah terhadapnya semakin bertambah. Segala faktor kedekatan dengan Allah semakin tersedia dan sikap penolakan terhadap alam dunia semakin kuat pada dirinya. Rahmat Allah yang

p: 291


1- 8. Ibid., Vol. II, h. 255, hadis No. 17.

azali dan perhatian-Nya terhadap para nabi dan para wali telah meliputi para nabi dan para wali, berdasar pengetahuan-Nya yang azali tentang ketaatan mereka selama masa tugasnya. Misalnya, apabila Anda memiliki dua anak yang pada masa kecilnya telah Anda ketahui bahwa salah satu dari mereka akan memberi

Anda kepuasan pada masa yang akan datang, sementara yang lain akan tumbuh dewasa dan membuat Anda merasa kecewa dan kesal, maka tentulah cinta Anda terhadap anak yang patuh akan lebih besar sejak masa-masa pertumbuhan awalnya.

Mengingat Allah

Hal lain yang berkaitan dengan kerasnya penderitaan orang-orang pilihan di antara hamba-hamba Allah adalah bahwa, melalui kesengsaraan dan penderitaan ini, mereka dibuat agar selalu mengingat Allah, berdoa, dan meratap di hadirat-Nya Yang Suci. Ini membuat mereka terbiasa mengingat-Nya dan menyibukkan pikiran mereka dengan-Nya. Adalah hal yang amat wajar bahwa manusia pada saat-saat sengsara selalu berpegangan dengan sesuatu yang diharapkan dapat menyelamatkannya, dan pada saat-saat senang dan sejahtera, mereka mengabaikannya dan lalai sehingga tidak lagi menganggapnya sebagai penentu keselamatannya. Dan, karena manusia-manusia pilihan dari para hamba Allah mengetahui bahwa tak ada sumber bantuan selain Allah, perhatian mereka pun hanya mengarah kepada- Nya. Mereka bergantung sepenuhnya pada takhta-Nya yang suci, dan, melalui cinta dan perhatian khusus-Nya terhadap mereka, Allah Swt. juga menyediakan sarana-sarana yang membuat mereka selalu bergantung total terhadap-Nya. Namun, hal ini tidaklah berlaku bagi para nabi dan para wali

yang telah menyempurnakan diri mereka dan disempurnakan Allah Swt., karena kedudukan mereka terlalu tinggi dalam kesucian dan hati mereka terlalu teguh dalam keimanan untuk dapat tertarik pada hal-hal duniawi. Kebergantungan total mereka kepada Tuhan tidak pernah tergoyahkan bersama dengan berubahnya berbagai keadaan di sekeliling mereka.

p: 292

Ini mungkin disebabkan para nabi dan para wali yang sempuma melalui cahaya batiniah dan pengalaman ruhaniah mereka-yakin bahwa Allah Swt. tak punya perhatian kelembutan terhadap dunia dan perhiasannya ini dan bahwa segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah rendah dan hina di mata-Nya yang Suci, dan karena alasan inilah mereka mengutamakan kemiskinan daripada kekayaan, kesengsaraan daripada kesenangan dan kemudahan, serta kepedihan daripada sesuatu yang berlawanan dengannya. Beberapa hadis mulia juga mendukung pandangan ini.

Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Jibril memberikan kunci perbendaharaan bumi kepada Nabi terakhir Saw. dan ia berkata kepada beliau bahwa meskipun beliau menerimanya, tak ada yang akan mengurangi kedudukan ukhrawinya sedikit pun. Akan tetapi, Rasul Saw. menolaknya demi kerendahannya di hadapan Allah Swt. dan ia lebih memilih kemiskinan. Dalam Al-Kâfî, Al-Kulaini, dengan sanad yang bersambung kepada Imam Al-Shadiq a.s., meriwayatkan bahwa Imam pernah berkata:وَ إِنَّ الْکَافِرَ لَیَهُونُ عَلَی اللَّهِ حَتَّی لَوْ سَأَلَهُ الدُّنْیَا بِمَا فِیهَا أَعْطَاهُ ذَلِکَ

“Sungguh benar-benar hina seorang kafir di sisi Allah, sehingga jika ia meminta dunia beserta isinya, Dia akan memberikannya kepadanya.(1) Hal itu demikian karena dunia tak berharga sama sekali di mata Allah Swt. Dalam hadis lain, juga disebutkan bahwa sejak saat pertama Allah menciptakan dunia ini, Dia tidak pernah memandangnya dengan pandangan penuh perhatian ataupun kelembutan. Hal lain yang berkaitan dengan kerasnya penderitaan orang Mukmin yang telah disebutkan dalam beberapa hadis adalah bahwa ada maqâm-maqâm tertentu bagi orang-orang Mukmin yang tidak dapat mereka capai tanpa mengalami kesengsaraan, kepedihan, dan bencana. Mungkin saja hikmah di balik bencana-bencana--yang dialami manusia-ini merupakan bentuk gaib dari ketaatan kepada Allah dan penolakan terhadap dunia, yakni boleh jadi pula bahwa kesengsaraan ini mempunyai bentuk tersendiri di alam malakût yang di dalamnya

p: 293


1- 9. Ibid., h. 259, hadis No. 28.

manusia tak dapat mencapai maqâm-maqam tersebut tanpa kemunculannya di dunia fisik dalam bentuk bencana-bencana yang di alaminya. Imam Al-Shadiq a.s., dalam sebuah hadis dari Al-Kaſi dengan sanad yang bersambung kepadanya, mengatakan:

قَالَ: إِنَّهُ لَیَکُونُ لِلْعَبْدِ مَنْزِلَهٌ عِنْدَ اللَّهِ فَمَا یَنَالُهَا إِلَّا بِإِحْدَی خَصْلَتَیْنِ إِمَّا بِذَهَابِ مَالِهِ أَوْ بِبَلِیَّهٍ فِی جَسَدِهِ.

"Sungguh, seorang hamba memiliki suatu maqam tertentu di sisi Allah yang tak dapat diraihnya kecuali dengan dua keadaan ini; kehilangan harta atau penderitaan pada tubuhnya.(1) Dalam sebuah hadis tentang syahidnya penghulu para syuhada (Imam Al-Husain) a.s., disebutkan bahwa beliau melihat Rasulullah di dalam mimpi berkata kepada beliau, “Engkau memiliki kedudukan di surga yang tak dapat kau capai kecuali melalui kesyahidan.(2) Seperti diketahui, bentuk kesyahidan di jalan Allah Swt. pada alam malakût tak dapat terwujud tanpa kemunculan nya di alam mulk (fisik), seperti dibuktikan dengan aneka argumen dalam ilmu-ilmu tertentu. Disebutkan pula dalam hadis-hadis yang telah disebutkan sebelum ini bahwa se:iap perbuatan memiliki bentuknya sendiri di alam lain. Di dalam Al-Kâſî disebutkan bahwa Imam Al-Shadiq a.s. pernah berkata:

إِنَّ عَظِیمَ الْأَجْرِ لَمَعَ عَظِیمِ الْبَلَاءِ وَ مَا أَحَبَّ اللَّهُ قَوْماً إِلَّا ابْتَلَاهُمْ.

"Sesungguhnya besarnya pahala seseorang benar-benar sebanding dengan besarnya ujian (yang dialaminya) dan tidaklah Allah mencintai suatu kaum kecuali Dia menguji mereka.(3)

Penderitaan Nabi Saw.

Pakar hadis agung, Al-Majlisi-semoga Allah merahmatinya--berkata: "Dalam hadis-hadis yang berkenaan dengan penderi'aan para nabi ini, yang diriwayatkan baik lewat rantai periwayatan Ahl Al-Sunnah

p: 294


1- 10. Ibid., h. 257, hadis No. 23.
2- 11. Ibid., h. 252, hadis No. 3.
3- 11. Ibid., h. 252, hadis No. 3

maupun Syi'ah, terdapat indikasi jelas yang menunjukkan bahwa para nabi dan para wali berbeda dari yang lain berkenaan dengan penyakit dan bencana fisik. Mereka menerima cobaan lebih besar daripada yang lain, agar pahala mereka lebih besar sehingga kedudukan dan derajat mereka lebih tinggi dibandingkan selain mereka. Bukan saja hal ini tidak mengusik sedikit pun kedudukan mereka, penderitaan ini bahkan menjadi peneguh kedudukan dan misi mereka, bahwa mereka adalah manusia biasa, yang jika saja mereka tidak mengalami bencana-terlepas dari manifestasi mukjizat dan hal-hal luar biasa di tangan mereka-orang akan berkata tentang mereka sama seperti yang dikatakan orang-orang Nasrani terhadap nabi mereka.”

Peneliti yang cermat dan filosof yang agung dan suci, Al-Thusi-semoga Allah mengharumkan kuburnya—menyatakan dalam bukunya, Al-Tajrîd, “Hal-hal yang harus terhindar dari para nabi adalah apa yang dipandang sebagai sesuatu yang menjijikkan.” Al-Majlisi, semoga Allah meridhainya, juga menambahkan ketika mengomentari Al-Tajrid, bahwa para nabi harus bebas dari penyakit-penyakit yang menjijikkan itu, seperti tidak terkontrolnya buang angin, air kencing,

penyakit kusta, dan eksim karena sifat menjijikkan itu bertentangan dengan tujuan kenabian.

Penulis ingin menambahkan di sini bahwa kedudukan kenabian adalah berkenaan dengan tingkatan dan keunggulan spiritual dan tak berkaitan dengan alam jasmani. Oleh karenanya, penyakit-penyakit dan kerusakan fisik tidak membahayakan bagi kedudukan spiritual para nabi dan bencana dengan penyakit-penyakit yang menjijikkan tidak mengurangi kemuliaan dan keagungan kedudukan mereka, jika hal itu semua tidak memperkuat kedudukan dan derajat keunggulan mereka. Akan tetapi, apa yang telah dikemukakan dua ulama di atas juga bukannya tidak benar. Ini karena orang awam tidak dapat membedakan antara dua kedudukan

ini (ruhani dan jasmani) dan beranggapan bahwa ketaksempurnaan fisik berkaitan atau disebabkan oleh ketaksempurnaan spiritual. Mereka juga memandang bahwa salah satu perhatian khusus Allah Swt. terhadap para nabi yang merupakan pembawa risalah dan penyampai syariat Allah adalah bahwa seharusnya Dia Swt. tidak menimpakan aneka penyakit yang dipandang sebagai menjijikkan

p: 295

dan dibenci oleh masyarakat. Dan, tidak adanya bencana seperti ini terhadap mereka bukan karena ia berbahaya bagi kedudukan kenabian, melainkan untuk memaksimalkan keefektifan misi kenabian dalam menyampaikan ajaran-ajaran Ilahi. Oleh karena-nya, tidak salah jika beberapa nabi yang bukan pembawa syariat

(baru), para wali agung, dan orang-orang Mukmin ditimpa bencana semacam ini, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ayyub dan Habib Al-Najjar. Ada banyak hadis tentang bencana Nabi Ayyub a.s. di antaranya dua hadis berikut:

رُوِیَ عَن تفسیر عَلِیی بنِ اِبرَاهِیم عَن آبیِ بَصِیر عَن عَبدِللهِ فِی حَدِیثٍ طَوِلٍ, قَالَ: فَسَلَّطَهُ عَلَی بَدَنِهِ مَا خَلاَ عَقلَهُ وَعَینَهُ فَنَفَخَ فِیهِ اِبلِیسُ فَصَارَ قُرحَهً وَاحِدَهً مِن قَرنِهِ اِلیَ فَدَمِهِ فَبَقِئَ فِی ذَللکَ دَهراً حَتَّی وَقَعَ فِی بَدَنِهِ الدُّودُ کآنَت تَخرُجُ مِن بَدَنِهِ فَیَرُدُّهَا آو یَقُولُ لَهَا: اِرجِعِی اِلَی مَوعِضِکِ الَّذِی خَلَقَکِ اللَّهُ مِنهُ وَنَتِنَ حَتّی آخرَجَهُ آهلُ القَریَهِ وَ آلقُوهُ فِی المَزبَلَهِ خَارِجَ القَریَهِ

*Ali ibn Ibrahim, dalam sebuah hadis panjang, meriwayatkan dari Abu Bashir bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “... lalu seluruh tubuhnya, kecuali akal dan kedua matanya, terkena penyakit. Lalu, iblis meniupkan sesuatu kepadanya dan ia menjadi laka bernanah sepenuhnya yang nienjalar dari kepala hingga kaki. Dia (Ayyub)

tetap dalam keadaan demikian untuk beberapa lama, memuji dan bersyukur kepada Allah, hingga tubuhnya penuh dengan ulat. Setiap kali seekor ulat jatuh dari tubuhnya, ia mengembalikan ke tempatnya, seraya berkata kepadanya, 'Kembali ke tempatmu, dari situ Allah menciptakanmu.' Kemudian, tubuhnya mengeluarkan

bau busuk sehingga masyarakat desanya mengusirnya dari desanya dan melemparkanrya ke tempat sampah di luar desa itu.”

فِی الکَافِی بِاِسنَآدِهِ عَن آبِی بَصِرٍعَن آبِی عَبدِ اللهِ (ع) قَلَ:قُلتُ فَاِذَا قَرَاتَ القُرآنَ فَاستَعِذ بِاللهِ مِنَ الشَیطاَنِ الَّجیم, اِنَّهُ لَیسَ لَهُ سُلطَانٌ

p: 296

عَلَی الَّذِینَ اَمَنوا وَعَلیَ رَبِّهِم یَتَوَکَّلون. فَقَالَ : یَاآبَا مُحَمَّد تَسَلَّطَهُ وَاللهِ عَلیَ المُئو مِنِ عَلَی بَدَنِهِ وَلاَ یُسَلِّطُ عَلَی دِینِهِ وَقَد سَلَّطَ عَلَی آیُّبَ فَشَوَّهَ خَلقَهُ وَلَم یُسَلِّطُ عَلَی دِینِهِ وَقَد یُسَلِّطُ مِنَ المُئومِنِینَ عَلیَ آبدَنِهِم ولاَیُسَلِّطُ عَلَی دینِهِم

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Imam Al-Shadiq tentang ayat,

«فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّیْطَانِ الرَّجِیمِ (98)»

«إِنَّهُ لَیْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَی الَّذِینَ آمَنُوا وَعَلَی رَبِّهِمْ یَتَوَکَّلُونَ (99)»

“Apabila engkau membaca Al-Quran, berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk; ia tidak punya kekuasaan atas orang-orang beriman dan yang bertawakal kepada Tuhan mereka” (QS Al-Nahl (16): 98-99). Imam berkata, “Hai Abu Muhammad, demi Allah, Dia memberikan kekuasaan kepada setan atas tubuh orang Mukmin, tetapi tidak atas keimanannya. Sungguh tubuh Ayyub telah dikuasai (setan) dan setan merusak bentuk tubuhnya, tetapi Dia tidak memberinya kekuasaan atas keimanannya. Dan, terkadang Dia memberikan kekuasaan kepadanya atas tubuh orang-orang yang Mukmin, tetapi tidak atas keimanannya."

و بإسناده عن ناجیة، قال قلت لأبی جعفر، علیه السّلام، إنّ المغیرة یقول إنّ المؤمن لا یبتلی بالجذام و لا بالبرص و لا بکذا و لا بکذا. فقال: إن کان لغافلا عن صاحب یاسین، إنّه کان مکنّعا. ثمّ ردّ أصابعه فقال: کأنّی أنظر إلی تکنیعه. أتاهم فأنذرهم، ثمّ عاد إلیهم من الغد فقتلوه. ثمّ قال: إنّ المؤمن یبتلی بکلّ بلیّة و یموت بکلّ میتة، إلّا أنّه لا یقتل نفسه

Dengan isnad yang bersambung dari Najiyah, ia berkata, “Saya berkata kepada Abu Ja'far a.s. bahwa Al-Mughirah mengatakan bahwa orang Mukmin tak akan ditimpa penyakit kusta, leukoderma, dan penyakit-penyakit seperti itu. (Benarkah itu?) Imam menjawab, 'Tidakkah ia tahu bahwa Shahib Ya-Sin (Habib Al-Najjar,

orang yang disebutkan dalam Surah Ya-Sîn) buntung?' Beliau a.s.

p: 297

merapatkan jari-jarinya dan berkaia, 'Seolah-olah aku melihatnya pergi kepada kaumnya dalam keadaan buntung untuk memperingatkan mereka dan kembali lagi di hari berikutnya lalu mereka membunuhnya.' Lalu beliau menambahkan, "Sesungguhnya, orang Mukmin akan mengalami segala macam bencana dan mati dengan

berbagai cara kecuali membunuh dirinya.(1)

Shahib Yâ-Sîn ada ah Habib Al-Najjar dan kata takannu' (kata ini dengan nun dalam kebanyakan tulisan), menurut A.-Majlisi, artinya penyusutan atau pemotongan. Ia menambahkan bahwa, “Mungkin penyebab terputusnya jari beliau adalah penyakit lepra." Namun, pendapat ini perlu dikaji kembali. Bagaimanapun, berbagai hadis yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa para nabi dan orang-orang Mukmin terkadang ditimpa penyakit-penyakit yang menjijikkan disebabkan hikmah kebijaksanaan tertentu, meskipun terdapat pula banyak hadis lain yang menolak rusaknya tubuh Hadhrat Ayyub dan kengeriannya serta terciumnya bau busuk dari tubuh suci beliau a.s. Permasalahan ini tidak terlalu bermanfaat untuk kita bahas lebih jauh lagi. Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa penyakit-penyakit seperti yang tersebut di atas tidaklah mengurangi kedudukan orang-orang beriman bahkan para nabi sama sekali, dan bukan merupakan

suatu cacat yang merusak citra mereka, bahkan sebaliknya, itu dapat menyebabkan kedudukan mereka semakin tinggi. Wa Allâh Alam. Dunia Ini Bukanlah Tempat Pahala dan Siksa Ketahuilah bahwa dunia ini, dengan segala sifatnya yang tak sempurna. rendah, dan lemah, bukanlah merupakan tempat kemurahan Allah.

bukan tempat untuk menikmati pahala-Nya ataupun tempat dijatuhkannya hukuman dan siksaan-Nya. Hal ini disebabkan kemurahan Allah ada dalam suatu alam yang rahmatnya bersifat murni, tidak dicampuri dengan siksaan, dan kenikmatannya iidak bercampur dengan kepedihan dan duka cita. Anugerah seperti itu tidak terdapat di dunia ini, karena alam ini adalah tempat berkumpulnya segala sesuatu yang saling bertentangan dan berselisih. Setiap kesenangan di dunia ini dipenuhi oleh berbagai macam kepedihan, kesusahan,

p: 298


1- 12. Ibid., h. 254, hadis No. 13.

dan kesengsaraan. Bahkan, seperti dikatakan oleh para arif, kenikmatan di dunia ini terletak pada saat ketika menghindari kepedihan. Dapat juga dikatakan bahwa setiap kenikmatannya dapat menyebabkan kepedihan dan kesusahan karena setiap lahir suatu kenikmatan, akan menyusul setelahnya kesengsaraan, kelelahan, dan kepedihan. Bahan-bahan pembentuk dunia ini sendiri tak memiliki kapasitas untuk menerima kebaikan absolut dan karunia yang muri. Demikian pula sebaliknya, kepedihan, kesusahan, dan kesengsaraan di dunia ini tidak sepenuhnya murni; setiap kepedihan dan kesusahan di dunia ini pasti mengandung di dalam dirinya kebaikan dan anugerah, dan tak ada satu pun dari bencana dan malapetakanya yang tidak bercampur dengan kenikmatan. Bahan-bahan pembentuk dunia ini

sendiri tak mempunyai kapasitas untuk menerima kesengsaraan yang murni dan absolut.

Sesungguhnya tempat siksaan Allah adalah tempat yang di dalamnya terdapat siksaan dan hukuman yang bersifat murni dan absolut; kepedihan dan bencananya tidak seperti yang ada di dunia ini, yang sementara ia mengenai salah satu bagian tubuh, tetapi tidak mengenai bagian yang lain. Sementara organ yang sehat sedang dalam kesenangan, anggota yang terkena penyakit merasakan sakit dan menderita. Hadis berikut ini mengisyaratkan apa yang telah kami jelaskan:

و ذلک أنّ الله لم یجعل الدّنیا ثوابا لمؤمن و لا عقوبة لکافر.

“Itu alasan mengapa orang Mukmin ditimpa oleh berbagai cobaan-karena Allah tidak menjadikan dunia ini sebagai tempat memberi pahala bagi mereka yang beriman dan siksaan bagi orang-orang kafir.”

Dunia ini adalah tempat melaksanakan tugas dan merupakan ladang bagi hari akhirat. Ia adalah tempat berniaga dan mendapat penghasilan, sementara akhirat adalah tempat anugerah dan pembalasan, pahala, dan siksa. Mereka yang mengira bahwa Tuhan akan segera menghukum orang yang melakukan dosa atau kejahatan di dunia ini atau melaku-

p: 299

kan kezaliman dan agresi terhadap seseorang, dan memotong tangannya serta mencoretnya dari dunia kemaujudan, tidak menyadari bahwa anggapan mereka bertentangan dengan tatanan dunia ini dan berlawanan dengan hukum-Nya (sunnatullah) yang telah ditetapkan-Nya. Di sini adalah tempat ujian dan tempat pemisahan orang yang celaka dari yang beruntung, dan para pedosa dari yang taat. Di sini adalah alam perwujudan perbuatan, bukan tempat munculnya hasil-hasil

amal dan kualitas pribadi. Apabila terkadang Allah menyiksa seorang zalim atau penindas, dapat dikatakan bahwa itu terjadi karena kasih sayang Allah atas penindas itu (karena hal itu menghentikannya untuk terus berbuat dosa). Dan, apabila Allah Swt. membiarkan para pendosa dan tiran dalam kelalaian dan kesesatan mereka, itu berarti Allah Swt. mengulur siksa mereka. Oleh karenanya, Allah Swt. berfirman:

«وَالَّذِینَ کَذَّبُوا بِآیَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَیْثُ لَا یَعْلَمُونَ (182)»

«وَأُمْلِی لَهُمْ إِنَّ کَیْدِی مَتِینٌ (183)»

“Nanti Kami akan menarik mereka setahap demi setał.ap dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (QS Al-Afrâf (7]: 182-183)

Dia juga berfirman:

«وَلَا یَحْسَبَنَّ الَّذِینَ کَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِی لَهُمْ خَیْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِی لَهُمْ لِیَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِینٌ (178)»

Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangku bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah mengakibatkan bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan. (QS Ali Imrân (3): 178)

Dalam Majma' Al-Bayân, hadis berikut ini diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s.:

إذا أحدث العبد ذنبا، جدّد له نعمة فیدع الاستغفار. فهو الاستدراج

Imam a.s. berkata, “Apabila seseorang melakukan dosa, dan nikmat terus mengalir kepadanya, sementara dia tidak pernah memohon ampun, maka itu adalah istidraj (penguluran siksa).” Pada akhir hadis suci yang menjadi tema pembahasan pada bab ini, Imam a.ş. berkata:

و من سخف دینه و ضعف عقله قلّ بلاؤه

p: 300

"Dan orang yang lemah iman dan lemah akalnya, ringan pula cobaannya." Ini menunjukkan bahwa cobaan dapat bersifat jasmaniah dan dapat juga bersifat ruhaniah, karena orang yang lemah akal dan perasaannya akan aman dari cobaan spiritual dan kegelisahan intelektual. Sebaliknya, mereka yang memiliki akal yang sempurna dan perasaan yang lebih tajam pasti merasakan cobaan intelektual, yang semakin hari semakin hebat. Mungkin karena alasan inilah Nabi Saw. bersabda:

ما أوذی نبیّ مثل ما أوذیت

“Tak seorang nabi pun yang menderita seperti apa yang kuderita.” Ucapan Nabi Saw. ini menunjuk pada persoalan ini karena orang yang memahami kebesaran dan keagungan Allah pada tingkat yang lebih tinggi dan mengetahui kedudukan suci Allah Swt. lebih daripada yang lain, ia tentu akan mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih tinggi disebabkan dosa-dosa dan pelanggaran makhluk-makhluk lain terhadap kesuciaan-Nya. Demikian pula, seseorang yang memiliki kecintaan dan kasih yang lebih tinggi kepada hamba- hamba Allah, akan menghadapi kesengsaraan yang lebih besar disebabkan keadaan dan jalan mereka yang menyimpang. Dan, tentu saja, Nabi Saw. lebih sempurna dalam semua kedudukan ini dan lebih tinggi daripada semua nabi dan wali dalam hal tingkat keagungan dan kesempurnaannya. Oleh karena itu, cobaan dan kesengsaraannya pun lebih besar daripada siapa pun di antara mereka. Sebenarnya masih ada lagi penjelasan lain tentang pernyataan Rasulullah seputar permasalahan ini yang tidak tepat apabila disebutkan di sini. Hanya Allahlah Yang Mahatahu dan segala puji bagi-Nya.[]

p: 301

16 Hadis tentang Sabar

Point

کا، [الکافی] ، عَنِ اَلْعِدَّةِ عَنِ اَلْبَرْقِیِّ عَنْ أَبِیهِ عَنْ عَلِیِّ بْنِ اَلنُّعْمَانِ عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مُسْکَانَ عَنْ أَبِی بَصِیرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اَللَّهِ عَلَیْهِ السَّلاَمُ یَقُولُ: إِنَّ اَلْحُرَّ حُرٌّ عَلَی جَمِیعِ أَحْوَالِهِ إِنْ نَابَتْهُ نَائِبَةٌ صَبَرَ لَهَا وَ إِنْ تَدَاکَّتْ عَلَیْهِ اَلْمَصَائِبُ لَمْ تَکْسِرْهُ وَ إِنْ أُسِرَ وَ قُهِرَ وَ اُسْتُبْدِلَ بِالْیُسْرِ عُسْراً کَمَا کَانَ یُوسُفُ اَلصِّدِّیقُ اَلْأَمِینُ لَمْ یَضْرُرْ حُرِّیَّتَهُ أَنِ اُسْتُعْبِدَ وَ قُهِرَ وَ أُسِرَ وَ لَمْ یَضْرُرْهُ ظُلْمَةُ اَلْجُبِّ وَ وَحْشَتُهُ وَ مَا نَالَهُ أَنْ مَنَّ اَللَّهُ عَلَیْهِ فَجَعَلَ اَلْجَبَّارَ اَلْعَاتِیَ لَهُ عَبْداً بَعْدَ إِذْ کَانَ مَالِکاً فَأَرْسَلَهُ وَ رَحِمَ بِهِ أُمُّهُ وَ کَذَلِکَ اَلصَّبْرُ یُعْقِبُ خَیْراً فَاصْبِرُوا وَ وَطِّنُوا أَنْفُسَکُمْ عَلَی اَلصَّبْرِ تُؤْجَرُوا .

Dengan sanad yang bersambung dengan Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga ridha Allah atasnya—dari guru-gurunya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari ayahnya, dari 'Ali ibn Al-Nu'man, dari 'Abdullah ibn Maskan, dari Abu Bashir, dia ber-

p: 302

kata, “Aku mendengar Abu 'Abdillah a.s. berkata, Manusia bebas itu adalah manusia yang senantiasa bebas dalam setiap keadaannya. Jika musibah menimpanya, dia menanggungnya dengan sabar. Jika malapetaka menimpanya, malapetaka itu tak menghancurkannya. Apabila ditawan dan ditundukkan, dan keadaannya berubah dari kesulitan menjadi kemudahan—seperti yang terjadi pada Yusuf a.s. yang sangat jujur dan tepercaya--dia tidak merugikan kemerdekaannya karena ia ditawan dan ditundukkan, meskipun dia dijadikan budak, ditaklukkan, dan ditawan. Gelapnya sumur, kesendiriannya, dan apa pun yang ia alami tidak embahayakan-

nya, sampai Allah Swt. menganugerahinya (karunia-Nya) ketika dia mengubah seorang tiran angkara sebagai budaknya, setelah sebelumnya adalah tuannya—maka Allah mengangkatnya sebagai Rasul-Nya, dan melaluinya Allah mengasihi suatu umat. Demikianlah, kesabaran membuahkan hasil kebaikan. Maka, bersabarlah

dan biasakanlah dirimu dalam kesabaran, niscaya kamu memperoleh pahala.(1)

Penjelasan Makna Hadis

Kata nâ’ibah adalah bentuk tunggal yang berbentuk jamak nawâ'ib yang berarti bencana-bencana’. Kamus Al-Shihâh mendefinisikannya sebagai 'musibah'. Sedangkan kata dakka bermakna 'memecahkan', ‘mengetuk', 'memukul', dan 'menumbuk”. Al-Shihah menyebutkan و قد دککت الشّی ء أدکّه دکّا إذا ضربته و کسرته حتّی سوّیته بالأرض aku menumbuk sesuatu yakni memukulnya, mematahkannya, dan meratakannya dengan tanah. Kata ini juga dapat diartikan berkerumun' dan 'berdesakan'. Di dalam Al-Nihâyah disebutkan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin ('Ali ibn Abi Thalib---penerj.) a.s. mengatakan, تداککتم علی حیاضها. أی، ازدحمتم kalian saling berdesakan mengerumuniku seperti berkerumun dan berdesakannya untu-unta liar di tempat mereka minum.(2) Disebutkan dalam Al-Nihâyah bahwa dakka juga mengandung arti ‘memecahkan’, tetapi yang lebih tepat dalam hadis di atas adalah maknanya yang pertama, yaitu 'berkumpul, meskipun di sini makna yang kedua juga tepat. Kata in yang berarti jika berfungsi sebagai huruf penyambung, sedangkan kata quhir, yakni ditundukkan atau dikalahkan adalah kelanjutan dari kalimat usir, yakni tertawan. Al-Majlisi mengemukakan bahwa

p: 303


1- 1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-shabr, 128, hadis No. 6.
2- 2. Ibn Al-Atsir, Al-Nihâyah, II, 128.

dalam beberapa manuskrip tertulis wa ustubdila bi al-'usri yusran yang artinya keadaannya berubah dari kemudahan menjadi kesulitan (sementara redaksi hadis di atas bermakna sebaliknya, yakni keadaannya berubah dari kesulitan menjadi kemudahan-peny.) dar, karenanya kalimat wa istubdil, yakni berubah merupakan kelanjutan dari kata lam taksirhu, yakni lidak menghancurkannya, sehingga dengan demikian jelaslah kesan dari puncak kesabaran yang digambarkan oleh hadis

di atas. Kata untuh an ustu bid, yakni dijadikan budak merupakan bentuk pasif, yang merupakan subjek aktif dari kata kerja I. lam yudhrir yakni tidak membahayakan. Sementara dalam Mir'ât Al-'Uqúl, tertulis ustubid yang berarti dijauhkan atau diasingkan dan tertulis dalam Wasâ’il Al-Syifah seperti redaksi hadis di atas. Tampaknya penulisan versi Mir’ât Al-'Uqúl itu adalah kekeliruan penulisan meskipun maknanya tidak sepenuhnya keliru. Sedangkan, yang tertulis dalam Wasâ'il lebih sesuai dengan kandungan hadis mulia ini. Kalimat alles wa râ nâlahu adalah kelanjutan dari kalimat Web zhulmat al-jubb, yakni kegelapan sumur, yang maknanya adalah bahwa Yusuf tidak dirugikan oleh penderitaan yang ditimpakan kepadanya oleh saudara-saudaranya, juga tidak dirugikan oleh kesendirian, ke-

terasingan, dan kemalangan. Adapun kalimat k an manna Allah, yakni Allah menganugerahinya, tampaknya itu dengan melibatkan tanda pengganti (elipsis) yang tidak disebutkan, yaitu huruf ilâ sampai, dan merupakan kelanjutan dari lam yudhrir. Al-Majlisi-semoga rahmat atasnya—mengemukakan beberapa kemungkinan makna dari dua kata itu--yakni an manna Allah dan lam yudhrir—diiringi dengan penjelasan panjang lebar. Sedangkan makna dari kalimat 'abdan ba'da idz kana mâlikan, yakni (tuannya Yusuf a.s. menjadi) budak setelah sebelumnya adalah tuannya adalah bahwa sang tuan ini menjadi tunduk dan patuh kepada Yusuf a.s.

Hawa Nafsu, Sumber Segala Perbudakan Ketahuilah bahwa jika manusia tunduk pada dominasi hawa nafsu dan kecenderungan jiwa buruk lainnya, kehinaan dan keterbudakan-nya sebanding dengan kekalahannya dalam menghadapi dominasi

p: 304

hawa nafsunya tersebut. Sebab, penghambaan seseorang terhadap tuannya berarti ketundukan dan kepatuhannya secara penuh. Seorang yang patuh dan menyerah di hadapan hawa nafsunya-yang selalu memerintah pada keburukan-adalah budak dari hawa nafsunya sendiri. Dia sepenuhnya mematuhi segala perintah nafsunya. Setiap kali nafsunya mengisyaratkan sesuatu, segera ia melaksanakan perintahnya dengan penuh ketundukan. Orang itu terus menjadi hamba yang patuh dari nafsunya sendiri, sampai pada suatu keadaan dimana ia lebih mengutamakan ketaatan dan penghambaan diri terhadap nafsunya daripada ketaatan dan penghambaan dirinya kepada Sang Pencipta langit dan bumi, Raja dari segala raja yang sebenarnya. Dalam keadaan demikian, lenyaplah kehormatan dari hatinya,

martabat serta kemerdekaannya sebagai seorang manusia. Lalu debu-debu kehinaan, kepapaan, dan perbudakan pun menyelimuti hatinya. Dia tunduk di hadapan manusia-manusia yang mendewakan dunia. Hatinya tunduk-sujud di hadapan mereka dan di hadapan para pemilik kekuasaan dan kemegahan duniawi. Untuk mendapatkan kepuasan nafsu dan syahwatnya dan untuk memuaskan idaman perutnya dan yang di bawah perutnya, dia tunduk pada segala bentuk kehinaan. Selama dia menjadi budak hawa nafsu dan syahwat, dia tidak segan-segan untuk melanggar segala sesuatu yang bertentangan dengan kehormatan, kemerdekaan, kesopanan, dan kekesatriaan. Serta-merta dia pun tunduk patuh kepada siapa pun, dan mau menerima pemberian orang tak berarti sekalipun, begitu dia melihat adanya kemungkinan mendapatkan apa yang diinginkannya dari orang itu, meskipun orang itu adalah serendah-rendah dan sehina-hinanya makhluk, dan meskipun kemungkinan itu cuma angan-angan belaka, karena mereka menganggap bahwa sekadar angan-angan meraih sesuatu yang diinginkan sudah merupakan sesuatu

yang patut diwujudkan. Sesungguhnya para budak dunia yang telah mengenakan belenggu penghambaan diri terhadap aneka kesenangan nafsu, menghamba-

kan diri terhadap siapa pun yang mereka anggap sebagai pemilik berbagai kesenangan duniawi. Jika mereka berbicara tentang kesucian

p: 305

dan kehormatan diri, pernyataannya itu hanya muslihat belaka, kata-kata dan perbuatannya bertentangan dengan pernyataannya itu. Watak budak ini merupakan sesuatu yang selalu menyebabkan penderitaan, kehinaan, dan kesulitan manusia. Oleh karena itu, orang yang merasa memiliki rasa hormat dan martabat diri sudah

seharusnya berupaya keras membersihkan dirinya dari hal yang dibenci ini, dan membebaskannya dari perbudakan ini. Pembersihan dan pembebasan ini hanya dapat dilakukan dengan cara penyucian jiwa, dan itu baru dapat terwujud bila disertai dengan pengetahuan dan langkah-langkah praktis yang bermanfaat.

Adapun langkah-langkah praktisnya adalah dengan melakukan latihan-latihan keagamaan dan melawan hasrat diri yang bersifat negatif. Setelah beberapa lama dilakukan, ini akan membebaskan jiwa dari cinta dunia yang berlebihan dan dari memperturutkan hawa nafsu hingga jiwa menjadi terbiasa dengan kebajikan dan keluhuran akhlak. Sementara pengetahuan, itu dilakukan dengan cara mengingatkan diri akan suatu kenyataan bahwa tidak sedikit manusia lain yang mengalami keadaan serupa dalam hal kelemahan, kepapaan, kebergantungan, dan kelemahan seperti dirinya. Mereka mirip dengannya dalam hal kebutuhannya kepada Zat Yang Mahakaya, yang Mahakuasa atas segala sesuatu yang bersifat partikular maupun universal. Hendaknya dia tahu bahwa semua manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan seorang pun dari mereka sendiri sama sekali. Mereka adalah makhluk yang amat terlalu hina untuk dapat dijadikan sumber bantuan dan pemberian. Sedangkan Yang Mahakuasa menganugerahkan kepada mereka kehormatan, martabat, dan kekayaan, kuasa pula memberikan apa saja kepada siapa pun.

Sungguh benar-benar memalukan manusia yang tunduk dan merendah sedemikian rupa hanya demi pemuasan nafsu perut dan seksnya, dan yang mau menerima pemberian apa pun dari seorang makhluk yang tidak berarti, miskin, tak kuasa, dan rendah, yang tak memiliki kearifan ataupun kesadaran.

Kalau kamu—wahai manusia—menginginkan suatu pertolongan ataupun pemberian, mintalah kepada Yang Mahakaya, Pencipta

p: 306

langit dan bumi karena jika kamu hadapkan wajahmu kepada Zat Suci-Nya dan menundukkan seluruh totalitas dirimu di hadapan- Nya, hal itu akan membuatmu hanya bergantung kepada-Nya, dan terbebas dari menyembah makhluk-makhluk alam semesta ini, dan itu berarti bahwa kamu telah melepaskan belenggu perbudakan dari lehermu, seperti disebutkan bahwa:

العُبودِیَّةُ جَوهَرَةٌ کُنهُها الرُّبوبیّةُ

Penghambaan diri adalah (ibarat) sebuah intan, hakikatnya adalah rubûbbiyah (ketuhanan).(1)

Yakni bahwa hakikat dari penghambaan diri kepada Allah itu adalah kemerdekaan dan ketuhanan. Maka, penghambaan diri kepada Allah, dan memfokuskan totalitas diri hanya mengarah kepada-Nya., serta meleburkan segala kekuatan dan dominasi jiwa-dengan nafsu buruknya—pada kedaulatan-Nya, akan menciptakan suatu keadaan di hati sang hamba sehingga ia dapat mengalahkan kekuatan seluruh alam semesta. Ruhnya akan tampak kukuh dan agung sedemikian sehingga enggan tunduk dan patuh kecuali kepada Zat Suci Allah Swt. atau kepada manusia-manusia yang ketaatan kepada mereka berarti ketaatan kepada-Nya pula. Dan, apabila dalam saat-saat yang tidak diduga-duga dia terpaksa harus dikuasai orang lain, hal itu tak akan mengguncangkan hatinya untuk tetap menjaga status kemerdekaan dirinya, seperti yang terjadi pada Yusuf a.s. dan Luqman a.s. Meskipun keduanya terlihat tunduk dan menjadi budak, hal itu tidak merusak prinsip keduanya untuk tetap menjadi manusia bebas dan merdeka. Berapa banyak para pemilik kerajaan dan kekuasaan yang tidak pernah menghirup nikmatnya kemerdekaan jiwa, martabat, dan kehormatan diri. Mmereka adalah hamba-hamba hina dan budak-budak yang patuh pada hawa nafsu dan yang selalu menjilat kepada makhluk hina.

Diriwayatkan bahwa Imam 'Ali ibn Al-Husain a.s. pernah berkata:

إنّی لآنف أن أطلب الدّنیا من خالقها، فکیف من مخلوق مثلی

p: 307


1- 3. Mishbâh Al-Syari'ah, Bab 100.

“Aku enggan meminta sesuatu duniawi dari Penciptanya, maka mana mungkin aku memintanya dari makhluk-makhluk sepertiku ini?(1) Saudaraku, jika engkau tidak merasa diri kurang dengan pencarian dunia, setidaknya janganlah memintanya dari makhluk-makhluk

lemah seperti dirimu sendiri. Pahamilah bahwa makhluk tidak kuasa memberikan kebaikan duniawi. Barangkali dengan penuh kerendahan dan kehinaan engkau bisa berhasil menarik perhatian seseorang-orang yang kamu harapkan darinya keperluan duniawimu. Akan tetapi, kehendaknya tidak berpengaruh pada kerajaan Allah, dan tak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat berperan dalam kerajaan Rajanya para raja. Oleh karena itu, janganlah kamu merendahkan martabat dirimu sendiri sedemikian dengan menjilat kepada makhluk tak berarti hanya demi menjamin perolehan dunia fana dan demi mewujudkan keinginan rendahmu. Jangan lupakan Tuhanmu dan pertahankan kemerdekaanmu. Singkirkanlah belenggu perbudakan, peliharalah kemerdekaanmu, dan tetaplah kamu bebas dan merdeka

dalam keadaan apa pun. Sebab, seperti dikatakan dalam hadis mulia: ان الحر الحر لجمیع أحواله

"Orang yang merdeka itu adalah orang yang merdeka dalam keada an apa pun."

Ketahuilah bahwa kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati, yang tak ada kaitannya dengan soal-soal lahiriah yang ada di luar diri manusia. Saya sendiri pernah melihat beberapa orang kaya yang mengucapkan hal-hal yang tak pantas diucapkan orang miskin papa sekalipun, yang pernyataan-pernyataannya sangat memalukan. Orang seperti inilah yang sebenarnya miskin yang jiwanya telah diselimuti kehinaan dan kepapaan.

Masyarakat Yahudi, berdasarkan jumlah mereka, adalah bangsa yang paling kaya di muka bumi ini. Akan tetapi, sepanjang hidupnya mereka berada dalam kesengsaraan dan kehinaan. Tampak pada raut wajah mereka kepapaan, kemiskinan, dan kemalangan. Ini tak lain karena kemiskinan dan kehinaan spiritual yang mereka derita.

p: 308


1- 4. 'lla Al-Syarâ'i, 1, 165; Wasâ'il Al-Syi'ah, X, 29.

Kita juga dapat menyaksikan adanya beberapa orang saleh yang lebih memilih hidup sederhana dan menjauh dari hiruk pikuk dunia dan gemerlapnya. Namun, hati mereka dipenuhi rasa kecukupan dan sedemikian terbebas dari keinginan dan kebutuhan sehingga mereka melihat dunia ini dengan ketakpedulian dan memandang

hanya Zat Suci Allah Swt. yang patut dimintai. Demikian pula engkau wahai Saudaraku! pelajarilah dengan saksama keadaan orang-orang pencari dunia, yang berambisi untuk memperoleh popularitas dan kedudukan tinggi di mata masyarakat, agar kamu temukan kehinaan mereka karena kurangnya harga diri dan kemerosotan martabat mereka yang selalu menjilat dan tunduk patuh kepada orang lain. Ketundukan mereka itu lebih besar daripada ketundukan mereka kepada selain pemilik fasilitas keduniaan. Mereka yang mengklaim dirinya sebagai para pendidik ada yang sanggup menerima kehinaan demi kehinaan dan berperilaku menjilat demi pemuasan nafsu perut dan seks mereka. Ketundukan hati sang guru-pencari kenikmatan dunia di hadapan muridnya yang dididik, lebih besar daripada ketundukan sang murid itu sendiri terhadap gurunya dengan perbedaan yang amat mencolok antara dua motivasi ketundukan tersebut. Kerendahan hati dan

kecintaan sang murid bersifat spiritual dan kesalehan, sementara ketundukan sang guru bersifat keduniaan dan setani. Semua yang disebutkan ini merupakan bentuk-bentuk keburukan dan kehinaan yang bersifat duniawi. Begitu tirai disingkapkan, akan terlihat jelas bentuk spiritual (malakût) dari perbudakan yang selama ini berada dalam belenggu nafsu dan syahwat jasmaniah serta diikat oleh rantai-rantai keinginan-keinginan buruk jiwa, dan pada saat itu dapat diketahui pula bagaimana bentuk dari perbudakan tersebut.

Barangkali rantai yang panjangnya tujuh puluh cubit(1) seperti yang difirmankan oleh Allah Swt., yang merupakan rantai yang akan membelenggu dan mengikat kita di alam akhirat itu, adalah bentuk spiritual (malakût) dari ketundukan pada dominasi nafsu dan amarah. Allah Swt. menyatakan:

p: 309


1- b Ukuran kuno untuk panjang. Satu cubit = 45 hingga 56 cm-penerj

« وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا یَظْلِمُ رَبُّکَ أَحَدًا (49)»

Dan akan mereka dapati semua yang telah mereka lakukan hadir .... (QS Al-Kahfi (18]: 49)

Dan, Allah juga berfirman:

«لَا یُکَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا کَسَبَتْ وَعَلَیْهَا (286)»

Baginya apa yang telah diusahakan dan atasnya apa yang telah ia usahakan. (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Maka, apa pun yang kita peroleh di akhirat nanti adalah bentuk dari amal-amal kita sendiri. Oleh karena itu, lepaskan rantai syahwat dan hawa nafsu yang saling menyilang satu sama lain itu. Bukalah kunci-kunci hati dan bebaskan dirimu dari perbudakan. Hiduplah di dunia ini sebagai seorang manusia merdeka, agar kamu juga bisa bebas merdeka di akhirat nanti. Kalau tidak, pastilah engkau temukan bentuk spiritual (malakût) dari ketertawanan ini di akhirat nanti. Ketahuilah bahwa itu akan memedihkan sekali bagimu. Sesungguhnya hati para wali Allah meskipun sepenuhnya terbebas dari perbudakan dan merasakan kemerdekaan mutlak, hati mereka tetap cemas akan hasil akhir di hari kemudian nanti. Mereka tidak jarang meratap dan mengeluh dalam keadaan yangg mencengangkan orang yang melihatnya. Saya sadar bahwa masalah-masalah yang dikemukakan dalam halaman-halaman buku ini bersifat umum dan mengulang. Betapapun, tak ada salahnya mengingatkan diri dan mengulangi pengucapan sesuatu yang benar karena hal itu diperlukan sekali. Itulah sebabnya kita dianjurkan agar mengulang-ulang bacaan-bacaan kita pada saat berdoa, berzikir, dan melaksanakan berbagai amal ibadah. Tujuan utamanya adalah agar diri terbiasa dengan latihan-latihan yang berulang-ulang. Oleh karena itu, Saudaraku, janganlah pernah engkau merasa bosan dengan pengulangan semacam ini. Pahamilah bahwa selama manusia masih berada dalam belenggu nafsu dan syahwat serta selama rantai panjang keinginan-keinginan setan masih melilit di lehernya, mustahil dia dapat mencapai prestasi-prestasi spiritual. Otoritas batiniah jiwa dan dominasi kehendaknya yang lebih tinggi tidak akan tampak pada dirinya Juga tak mungkin terwujud. kebebasan dan

p: 310

kehormatan jiwanya yang merupakan cerminan dari puncak kesempurnaan spiritualnya. Sebaliknya, perbudakan ini membelenggu manusia dan tidak memberinya sedikit pun kesempatan untuk dapat memberontak terhadap dominasi nafsunya dalam keadaan apa pun. Apabila dominasi nafsu—yang selalu memerintahkan pada keburukan-ini bersatu dengan kekuatan setan dalam menguasai alam batin sehingga segenap kekuatan jiwanya menjadi budak yang patuh dan tunduk secara penuh

kepada keduanya, dua kekuatan jahat ini tidak hanya menjerumuskan manusia terbatas ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat kecil, tetapi sedikit demi sedikit keduanya akan mendorongnya melakukan berbagai perbuatan maksiat dan dosa besar, di antaranya menyebabkan kelemahan iman pada manusia yang bersangkutan, lalu mendorongnya pada kegelapan akal, dan seterusnya ke arah sikap penolakan dan pengingkaran terhadap kebenaran, hingga pada sikap benci dan memusuhi para nabi dan wali. Melewati tahap-tahap ini, diri-yang merupakan budak yang dikuasai keduanya—tidak mungkin dapat membangkang terhadap keduanya. Akhirnya, kepatuhan dan ketertawanan ini berakibat buruk dan menjadi sedemikian kuat sehingga membawa manusia ke titik yang sangat berbahaya.

Sesungguhnya manusia berakal yang menyayangi dirinya haruslah mencoba dengan segenap upayanya untuk membebaskan dirinya dari perbudakan ini. Selama masih ada peluang untuk dapat berubah, serta kekuatannya masih prima, dan selama Allah Swt. masih memberinya kesempatan hidup di dunia ini, kesehatan dan kemudaannya pun masih ada, dan selama kekuatan jiwanya tidak sepenuhnya ditaklukkan (oleh setan dan hawa nafsu), dia mesti bangkit melaksanakan tugas ini. Untuk beberapa lama, dia harus mewaspadai dirinya, menelaah keadaan ruhaninya sendiri, merenungkan keadaan orang-orang yang telah meninggal dunia dengan menghadapi nasib buruk, dan membuat hatinya memahami kenyataan bahwa kehidupan duniawi ini akan berlalu dan sirna. Dia harus menyadarkan hatinya dan memberitahunya tentang kebenaran yang diriwayatkan dari Nabi Suci Saw. yang bersabda:

p: 311

الدّنیا مزرعة الآخرة

“Dunia adalah lahan ladang akhirat(1)

Jika kita tidak menabur benih amal saleh dalam hari-hari yang terbatas ini, niscaya hilanglah kesempatan itu untuk selamanya. Ketika malaikat maut tiba dan kita sampai di ambang kematian, untuk memasuki alam lain, berakhirlah sudah segala amal dan harapan. Mungkin saja saat itu setan merenggut keimanan kita—yang merupakan tujuan utama dari usahanya selama ini memperbudak dan menggoda umat manusia—dan memerdaya kita serta menampakkan dirinya di hati kita sedemikian rupa sehingga kita meninggalkan dunia ini sebagai musuh Allah dan musuh para nabi serta wali-Nya. Jika hal itu terjadi, hanya Dia Swt. yang mengetahui kegelapan dan kengerian macam apakah yang menanti kita. Wahai diri yang hina! Hati yang lalai! Bangkitlah dari kelelapan tidurmu dan bersegeralah menghadapi musuh yang selama bertahun-tahun telah mengekang dan membelenggumu, dan menyeretmu ke mana pun dia mau, serta yang selama ini memaksa kamu untuk melakukan berbagai perbuatan buruk dan merusak! Hancurkan ikatan-ikatan ini! Putuskan rantai ini! Jadilah engkau manusia bebas dan merdeka! Campakkan kehinaan ini dan kenakanlah belenggu penghambaan diri kepada Allah Swt. supaya kamu terbebaskan dari segala bentuk perbudakan, semoga kamu sampai di kerajaan mutlak Allah Swt. di kedua alam.

Saudaraku, memang dunia ini—yang merupakan penjaranya orang Mukmin-bukanlah tempat pahala Allah dan tempat penampakan kerajaan Allah. Namun, apabila di dunia ini kamu terbebas dari tawanan nafsu dan menjadikan dirimu budak yang hanya menghambakan diri kepada Allah Yang Mahatinggi, dan engkau jadikan

hatimu sebagai muwahid, lalu kamu bersihkan cermin ruh dari debu-debu kemunafikan dan kebergandaan, dan engkau palingkan perhatian hatimu ke titik fokus Kesempurnaan Mutlak, maka pasti kamu akan menyaksikan pengaruh-pengaruhnya di dunia sendiri, dan hatimu akan menjadi lapang sedemikian sehingga menjadi tempat manifestasi

p: 312


1- 5. Ihyâ'Al-'Ulûm, IV, 14.

kedaulatan penuh Allah, yang dengan demikian hatimu menjadi lebih besar daripada seluruh alam. Dia berfirman:

لا یسعنی أرضی و لا سمائی بل یسعنی قلب عبدی المؤمن

Bumi-Ku dan langit-Ku tidak akan dapat memuat-Ku. Hati seorang Mukminlah yang dapat memuat-Ku. Pastilah hatimu akan merasakan kekayaan dan kesenangan yang teramat jelas sehingga semua dunia lahiriah dan batiniah menjadi tidak berharga di matamu sedikit pun, dan kehendakmu akan menjadi sedemikian kuat sehingga tidak akan pernah terpikat pada alam mulk dan alam malakút. Bahkan kamu tidak menemukan dari keduanya sedikit pun kelayakan untuk kamu jadikan sebagai perhatianmu.

«طیران مرغ دیدی تو ز پایبند شهوت

بدر آی تا ببینی طیران آدمیت»

Burung terbang, tentu telah kau lihat Jika kausingkirkan belenggu-belenggu nafsu Akan kau lihat manusia terbang Sabar: Hasil Keterbebasan dari Hawa Nafsu

Salah satu hasil besar dan buah berharga dari keterbebasan manusia dari hawa nafsu adalah sabar menghadapi musibah dan bencana. Akan kami jelaskan secara singkat makna sabar, buah-buahnya, dan kaitannya dengan kemerdekaan. Seperti didefinisikan oleh peneliti dari mazhab yang lurus, penjelajah seluk-beluk iman yang kukuh, yang sempurna pengetahuan dan amalnya, Nashiruddin Al-Thusi—semoga Allah memuliakan ruh sucinya-sabar adalah menahan diri untuk tidak teragitasi (terguncang) ketika menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan. Arif termasyhur (Khwajah ‘Abdullah Al-Anshari) mengatakan dalam bukunya, Manâzil Al-Sâ'irîn, “Sabar adalah menahan diri untuk tidak mengeluh karena derita terpendam.” Dan, ketahuilah bahwa sabar telah dianggap sebagai salah satu maqâm-nya orang-orang kelompok tengah (mutawassithûn). Sebab,

p: 313

selama diri tidak menyukai musibah dan dan ia terguncang karenanya, berarti ma'rifat-nya kurang. Selain itu, sikap rela menerima terhadap takdir Tuhan dan merasa senang ketika mendapat musibah, adalah gambaran tentang maqûm yang lebih tinggi daripada sikap sabar, meskipun kerelaan itu termasuk juga sebagai salah satu maqâm kaum mutawassithûn. Demikian pula halnya dengan kesabaran dalam menahan diri dari berbuat maksiat dan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, itu juga merupakan kaum mutawassithûn. Sebab, kalau sekiranya manusia mengetahui rahasia-rahasia ibadah dan bentuk-bentuk akhirati dari perbuatan dosa dan ketaatan, tentu tidak berarti lagi baginya kesabaran dalam hal-hal tersebut. Namun, tidak demikian apabila yang terjadi adalah sebaliknya. Seperti apabila manusia merasakan suatu kegembiraan dan kenyamanan ketika ia meninggalkan ibadah atau melakukan maksiat, bentuk-bentuk ketaatan tersebut

pastilah tidak disukainya sehingga guncangan batinnya akan semakin besar ketika ia berjuang agar sabar melakukan aneka ketaatan dan menahan perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Kehebatan guncangan dalam kesabaran semacam ini lebih dahsyat ketimbang kesabaran menahan berbagai musibah dan bencana.

Diriwayatkan dari seorang hamba saleh yang mengetahui tugas-tugas penghambaan diri, pemilik maqâm-maqam mulia, 'Ali ibn Thawus—semoga Allah menyucikan ruhnya–bahwa setiap tahun beliau merayakan hari pertama kalinya ia menjadi mukallaf (yang terkena kewajiban keagamaan-penerj.). pada hari jadi”-nya itu ia

membagi-bagikan hadiah kepada sahabat-sahabat dan kerabatnya, karena Allah Swt. telah memberikannya suatu kehormatan sehingga mengizinkannya untuk menunaikan kewajiban dalam beribadah pada hari itu. Apakah dapat dikatakan bahwa ketaatan sang hamba saleh itu adalah termasuk jenis kesabaran dalam menahan hal-hal yang tidak disukai manusia? Tentu kita menjawab ya. Lalu, mengapa begitu besar perbedaan antara kita dan hamba-hamba Allah yang taat itu? Lihat saja, bagaimana sikap kita terhadap berbagai perintah Allah Swt. dan larangan-Nya. Kita beranggapan bahwa Allah Swt. telah membebani kita dengan berbagai perintah dan larangan-Nya yang telah membatasi

p: 314

dan mempersempit kebebasan kita. Kita memandang kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya itu sebagai menyusahkan dan mengganggu kita. Jika salah seorang di antara kita berusaha shalat pada awal waktu, dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa lebih baik saya melakukannya di awal waktu dan semakin cepat semakin baik, setelah itu saya akan merasa lega dan puas karena telah menunaikan kewajiban saya! Memang, segala kemalangan kita ini sebabnya

adalah kebodohan dan kejahilan serta kurang atau tak adanya penge- tahuan dan hilangnya keimanan kita.

Bagaimanapun, hakikat sabar adalah upaya pencegahan diri dari mengeluh atas guncangan yang terpendam di dalam jiwa. Apa yang telah disebutkan tentang para nabi agung dan para imam suci yang sering disifati sebagai orang-orang yang senantiasa sabar dalam hidup-nya, agaknya yang dimaksud adalah sabar dalam menghadapi penderitaan fisik, yang secara alamiah manusia akan merasakan hal itu menyakitkan dirinya; atau itu bisa juga berarti sabar ketika berpisah

dengan orang-orang yang dicintai, yang merupakan salah satu maqâm mulia pencinta sehingga sangat layak jika hal ini disebutkan dalam penilasan biografi-biografi mereka. Sedangkan kesabaran dalam hal melaksanakan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa serta sabar dalam menanggung musibah-selain dua macam kesabaran yang telah kami sebutkan sebelumnya-maka kesabaran dalam hal-hal ini tidak berarti bagi mereka dan bagi para pengikut setia mereka.

Seorang arif termasyhur, 'Abdurrazzaq Al-Kasyani, ketika mengomentari buku Manâzil Al-Sâ'irîn, mengatakan, “Yang dimaksud oleh Khwajah Al-Anshari dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa ‘kesabaran adalah mencegah diri dari mengeluh’, keluhan yang di maksud di sini adalah mengeluh kepada makhluk. Adapun mengeluh kepada Allah Swt. serta menunjukkan ketakutan dan keguncangan jiwa di hadapan-Nya, hal itu tidak bertentangan dengan kesabaran.

Hadhrat (Nabi) Ayyub mengeluh kepada Allah Swt. seraya berkata, «وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِکْرَی لِأُولِی الْأَلْبَابِ (43)»

Sesungguhnya aku telah disentuh oleh setan dengan kepayahan dan siksaan (QS Shâd (38]: 41). Meskipun demikian, Allah memuji beliau sebagai-mana firman-Nya, «وَاذْکُرْ عَبْدَنَا أَیُّوبَ إِذْ نَادَی رَبَّهُ أَنِّی مَسَّنِیَ الشَّیْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ (41)» Sesungguhnya Kami mendapatinya seorang penyabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia selalu kembali (QS Shâd (38): 44)

p: 315

Di ayat lain kita temukan bahwa Nabi Ya'qub a.s. mengeluhkan keadaannya kepada Allah karena kehilangan putranya, Yusuf a.s., dengan berkata, Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahanku dan kesedihanku (QS Yûsuf (12): 86). Padahal beliau a.s. adalah orang yang penyabar. Bahkan, apabila manusia tidak mengeluh kepada Allah, berarti kita telah menunjukkan kekeraskepalaan dan kecongkakan kita." Tampak dari riwayat hidup para nabi agung dan imam maksum-salawat Allah atas mereka semua-bahwa meskipun maqâm mereka jauh di atas maqâm sabar, ridha, dan pasrah, toh mereka senantiasa memohon, meratap, dan mengungkapkan ketakberdayaan mereka di hadapan Yang Patut Disembah. Mereka mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Allah Swt. dan ini tidak bertentangan dengan magâm spiritual mereka. Bahkan ingat kepada Allah, mendekatkan diri dan menunjukkan sikap penghambaan dan kerendahan hati di depan Yang Mahabesar dan Mahasempurna, merupakan tujuan akhir harapan kaum 'arifin dan tujuan akhir perjalanan kaum sâlik (penempuh jalan kesempurnaan Allah-penerj.).

Hasil-Hasil Sabar

Ketahuilah bahwa sabar memberikan banyak hasil, di antaranya adalah pendidikan dan pembinaan jiwa. Kalau manusia sabar menghadapi musibah dan kemalangan untuk beberapa lama, jika dia tabah menghadapi kesulitan yang ditimbulkan oleh ibadah dan pahitnya meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasadi, dan apabila dia melakukan semua ini demi menaati perintah-perintah Tuhan Maha Pemberi rezeki, secara berangsur-angsur jiwanya akan menjadi terbiasa dengan

hal-hal ini. Lalu, jiwanya penuh disiplin dan taat serta pasti ia menyingkirkan kedurhakaan yang dimilikinya. Berbagai kesulitan yang dihadapinya menjadi mudah dan berkembanglah di dalam jiwanya suatu potensi nûrânî yang kukuh, yang dengannya ia dapat melampaui maqâm sabar menuju maqâm spiritual lain yang lebih tinggi. Bahkan, sabar tidak berbuat dosa melahirkan ketakwaan diri. Sabar dalam ketaatan dapat menciptakan keakraban dengan Allah. Sedangkan sabar dalam menerima musibah menyebabkan manusia

p: 316

ridha atau puas menerima takdir Allah. Inilah maqâm-maqâm para pemilik keimanan sekaligus maqâm-maqâm para ahli ‘irſân. Dalam hadis-hadis mulia yang diriwayatkan dari para pemuka Ahl Al-Bait yang maksum, banyak sekali kita temukan pujian terhadap sifat ini. Berikut ini adalah hadis dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. dalam Al-Kafi, yang dalam hadis itu Imam mengatakan:

اقال: الصّبر من الإیمان بمنزلة الرّأس من الجسد، فإذا ذهب الرّأس، ذهب الجسد، و کذلک إذا ذهب الصّبر، ذهب الإیمان

"Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh. Apabila kepala hancur, tubuh pun hancur. Demikian pula apabila kesabaran lenyap, lenyap pulalah keimanan.” Dalam hadis lain, yang sanadnya sampai ke Al-Imam Al-Sajjad ('Ali Zainal Abidin), beliau diriwayatkan mengatakan:

قال: الصّبر من الإیمان بمنزلة الرّأس من الجسد، و لا إیمان لمن لا صبر له

“Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh: tidak beriman orang yang tidak memiliki kesabaran.(1)

Banyak hadis yang berkaitan dengan topik ini. Kami akan mengemukakan sebagiannya nanti, yang relevan dengan konteksnya. Sabar merupakan kunci pembuka pintu kebahagiaan dan sarana utama untuk melepaskan diri dari bahaya besar. Bahkan, sabar membuat manusia menganggap ringan musibah yang dihadapinya dan dapat memudahkan berbagai kesulitan. Sabar memperkuat tekad dan kehendak hati. Sabar juga dapat membentuk keterbebasan jiwa. Di lain pihak, sedih dan cemas—selain keduanya ini merupakan aib yang memalukan, sekaligus merupakan pertanda kelemahan jiwa-membuat orang selalu gelisah dan tidak stabil, melemahkan ketetapan hati, dan meloyokan akal.

Peneliti ahli, Khwajah Nashiruddin Al-Thusisemoga Allah menyucikan ruhnya-mengatakan, "Sabar mencegah terjadinya kegusaran dan kegelisahan pada batin, keluhan pada lidah, dan mencegah terjadinya gerakan-gerakan tidak normal pada anggota tubuh.”

p: 317


1- 8. Ibid., hadis No. 3.

Sebaliknya, batin orang yang tidak sabar itu penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Hatinya penuh dengan guncangan, dan ini sendiri merupakan bencana terbesar yang dapat menimpa manusia, dan membuat manusia kehilangan kedamaian. Sementara sabar dapat meringankan musibah yang diderita dan menjadikan hati dapat mengatasi kesulitan, dan membantu kehendak manusia dalam mengatasi bencana. Orang yang tidak sabar senantiasa mengeluhkan kesulitan-kesulitannya bukan saja kepada mereka yang seriang mendengar keluhan, bahkan kepada yang tidak biasa mendengarnya sekalipun. Hal ini, selain membuat dia buruk di mata orang dan dipandang rendah sebagai orang lemah yang berwatak labil, juga membuatnya kehilangan kedudukannya di sisi Tuhan Yang Mahasuci dan di depan para malaikat-Nya. Seorang hamba yang tidak sanggup menahan suatu musibah yang ditimpakan Allah Zat Yang Mahatinggi dan Maha mutlak-kepada-nya, satu musibah saja sudah cukup untuk membuatnya meneriakkan keluhannya dari perlakuan Allah Swt. terhadapnya itu, padahal selama ini ia bergelimang ribuan karunia dan rahmat-Nya dan tenggelam dalam samudra anugerah-Nya. Keimanan macam apakah yang dimiliki oleh hamba seperti dia? Kerelaan seperti apa yang diungkapkannya di hadapan Allah Swt.? Maka, tepat kalau dikatakan bahwa orang yang tidak sabar itu tidak memiliki iman. Jika kamu beriman kepada Tuhamu dan percaya semua urusan ada di tangan-Nya Yang Mahaperkasa, dan kamu percaya bahwa tidak ada kekuasaan di hadapan aneka musibah dan bencana besar selain milik-Nya, tentu kamu tidak akan mengeluh tentang kesulitan hidup dan kemalangan atau kesengsaraan yang menimpamu di hadapan Allah Swt., bahkan boleh jadi kamu malah akan menerimanya dengan rela hati dan bersyukur kepada-Nya atas karunia dan rahmat-Nya.

Setiap guncangan batin, keluhan diri, dan gerak-gerik tubuh yang tidak menentu dan biasanya, semuanya ini membuktikan bahwa kita ini bukan termasuk para pemilik keimanan teguh. Selama kita merasakan karunia dan rahmat, kita bersyukur dengan syukur yang bersifat formal belaka dan tidak mengandung substansi batiniah, sesuatu syukur yang diucapkan karena menghendaki lebih banyak lagi karunia.

p: 318

Namun, apabila tragedi terjadi, atau kesedihan atau penyakit menimpa kita, kita pun lalu mengeluh tentang Allah Swt. di depan umum. Dengan lidah yang mengeluh dan nada mencela serta sinis, kita mengeluh tentang Dia kepada semua orang. Berangsur-angsur keluhan, kecemasan, dan kegusaran di dalam dirinya itu berubah menjadi benih-benih permusuhan terhadap Allah dan ketentuan-Nya. Perlahan-lahan benih-benih itu pun bertunas dan tumbuh sehingga menjadikan perasaan itu sebagai watak yang abadi. Bahkan, na'ûdzu billah min dzalik, bentuk batin orang itu berubah menjadi suatu bentuk yang membenci dan memusuhi Allah dan ketentuan-ketentuan-Nya. Apabila hal itu terjadi, segalanya tidak dapat dikendalikannya dan dia pun tak dapat lagi mengendalikan pikiran dan perasaannya. Lahir dan batinnya pun diwarnai dengan permusuhan terhadap Allah Swt. dan dia meninggalkan dunia ini untuk menghadapi kesengsaraan dan kegelapan yang abadi, sementara ruhnya diwarnai permusuhan dan kebencian terhadap Tuhan Maha Pemurah. Aku berlindung kepada Allah dari buruknya suatu akhir yang membawa malapetaka dan dari keimanan palsu yang tidak abadi dan mengakar di dalam jiwa. Dengan demikian, tepat sekali sabda Imam maksum bahwa “Ketika kesabaran lenyap, keimanan pun lenyap”. Saudaraku, masalah ini sangat penting dan jalannya penuh dengan bahaya. Kerahkan segenap kekuatan yang ada padamu dan bersabarlah menghadapi pasang-surutnya kehidupan. Hadapilah segenap musibah dan kemalangan dengan sikap jantan. Pahamilah bahwa keguncangan dan ketakutan jiwa, selain sangat memalukan, juga tidak ada gunanya dalam menghadapi penderitaan dan musibah. Tidak ada gunanya mengeluh tentang takdir Tuhan dan kehendak-Nya yang sudah pasti dan tidak dapat ditolak, di depan makhluk yang lemah tak berdaya, seperti dikemukakan oleh hadis mulia dalam Al-Kâfi

ini:

محمّد بن یعقوب بإسناده عن سماعة بن مهران، عن أبی الحسن، علیه السّلام، قال: قال لی: ما حبسک عن الحجّ؟ قال قلت: جعلت فداک، وقع علیّ دین کثیر و ذهب مالی، و دینی الّذی قد لزمنی هو أعظم من

p: 319

ذهاب مالی، فلو لا أنّ رجلا من أصحابنا أخرجنی ما قدرت أن أخرج. فقال لی: إن تصبر تغتبط، و ألّا تصبر ینفذ الله مقادیره، راضیا کنت أم کارها.

Muhammad ibn Ya'cub Al-Kulaini meriwayatkan dengan rangkaian isnâd-nya dari Sama'ah ibn Mihran dari Al-Imara Al-Kazhim a.s., dia berkata, "Imam Al-Kazhim berkata kepadaku, 'Apa yang telah menghentikan mu sehingga kamu tidak pergi haji? Aku berkata, 'Semoga Aku menjadi tebusanmu, aku memiliki utang yang

banyak dan aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih berat bagiku daripada hilangnya hartaku. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.' mari berkata, Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran rasa iri (karena mendapat ganjaran dan pahala kesabaran

dari sisi Allah Swt.--peny.) dan jika kamu tidak bersabar, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, baik kamu suka atau tidak.(1)

Ketahuilah bahwa cemas dan takut bukan saja tak ada gunanya, melainkan juga dapat menimbulkan lahirnya ancaman besar terhadap keselamatan iman. Di lain pihak, sabar, tabah, dan menahan diri memberikan banyak pahala dan kebaikan, serta di alam barzakh bentuknya indah dan mulia. Hal ini disebutkan pada akhir hadis mulia yang kami paparkan secara terperinci:

و کذلک الصّبر یعقّب خیرا، فاصبروا و وطّنوا أنفسکم علی الصّبر توجروا

“Demikianlah kesabaran, membuahkan hasil kebaikan. Maka bersabarlah dan biasakanlah dirimu dalam kesabaran, niscaya kamu memperoleh pahala."

Jadi, hasil puncak dari sabar adalah kebaikan di dunia ini—seperti diketahui dari teladan Hadhrat Yusuf a.s. yang disebutkan oleh hadis di atas, yang menjadi topik pembahasan kita ini—dan menyebabkan perolehan pahala di akhirat. Dalam hadis mulia lainnya, yang termaktub dalam Al-Kâfî, yang sanadnya sampai ke Abu Hamzah Al-Tsumali-rahmat Allah atasnya---Al-Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan telah berkata:

p: 320


1- 9. Ibid., hadis No. 10.

قال أبو عبد الله علیه السّلام: من ابتلی من المؤمنین ببلاء فصبر علیه، کان له مثل اجر ألف شهید

“Barang siapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya lalu dia sabar menghadapinya, pahala-nya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.(1)

Masih banyak lagi hadis lain yang berkaitan dengan pokok permasalahan ini. Kami akan mengemukakan sebagiannya dalam bagian berikut. Namun, mengenai yang disebutkan di atas bahwa sabar memiliki bentuk akhirati yang indah. Ini disebutkan terlepas dari dalil-dalil yang mengukuhkannya-oleh hadis berikut dalam Al-Kâfi dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. bahwa beliau berkata:

قال: إذا دخل المؤمن [فی ] قبره، کانت الصّلاة عن یمینه و الزّکاة عن یساره و البرّ مطلّ علیه و یتنحّی الصّبر ناحیة، فإذا دخل علیه الملکان اللّذان یلیان مساءلته، قال الصّبر للصّلاة و الزّکاة و البرّ: دونکم صاحبکم، فإن عجزتم عنه فأنا دونه.

“Ketika sang Mukmin memasuki kuburnya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar berada pada suatu sudut (yang tidak dekat dengannya, peny.). Ketika dua malaikat datang menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat, dan kebajikan, “Bantulah sahabatmu dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan membantunya."(2)

Derajat dan Tingkatan Sabar

Ketahuilah bahwa seperti ditunjukkan oleh hadis-hadis mulia di atas, ada berbagai derajat dan tingkatan sabar. Pahala dan kebaikan sabar bervariasi, selaras dengan derajat dan tingkatannya. Hal ini diuraikan oleh hadis dalam Al-Kafi yang diriwayatkan oleh Penghulu orang-orang bertakwa, Amir Al-Mukminin 'Ali a.s. dari Nabi Suci Saw.:

p: 321


1- 10. Ibid., hadis No. 17.
2- 11. Ibid., hadis No. 8.

قال: قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله، الصّبر ثلاثة: صبر عند المصیبة، و صبر علی الطّاعة، و صبر عن المعصیة. فمن صبر علی المصیبة حتّی یردّها بحسن عزائها، کتب الله لما ثلاثمائة درجة ما بین الدّرجة إلی الدّرجة، کما بین السّماء و الأرض. و من صبر علی الطّاعة، کتب الله له ستّمأة درجة ما بین الدّرجة إلی الدّرجة، کما بین تخوم الأرض إلی العرش. و من صبر عن المعصیة، کتب الله له تسعمائة درجة ما بین الدّرجة إلی الدّرجة، کما بین تخوم الأرض إلی منتهی العرش.

'Ali berkata, “Rasulullah bersabda, 'Ada tiga macam sabar: sabar ketika mendapat musibah, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang sabar ketika mendapat musibah, dan menerimanya dengan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya, seperti jarak antara bumi dan langit. Dan barang siapa yang sabar dalam ketaatan, Allah menuliskan baginya enam ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lain-nya, seperti jarak antara dalamnya bumi dan 'Arsy. Dan barang siapa yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat (yang tinggi), ketinggian satu derajat atas derajat lainnya, seperti jarak antara dalam bunii dan batas-batas terjauh ‘Arsy."(1)

Dapat dipahami dari hadis mulia ini bahwa kesabaran untuk tidak berbuat maksiat lebih unggul daripada bentuk kesabaran lainnya, sebab tidak saja jumlah derajatnya lebih besar, bahkan jarak antara derajat-derajatnya lebih besar dibandingkan dengan derajat-derajat dalam jenis kesabaran yang lain. Ini juga memperlihatkan bahwa luasnya surga itu jauh lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat dalam bayangan kita yang terhalangi oleh dosa dan penuh keterba-

tasan ini. Apa yang disebut sebagai gambaran tentang surga bahwa «سَابِقُوا إِلَی مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّکُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا کَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ (21)»

luasnya seperti luasnya langit dan bumi ... (QS A-Hadîd (57]: 21), barang-kali menunjuk ke surga amal perbuatan. Sedangkan pada hadis mulia di atas yang dimaksuckan adalah surga akhlak dan perilaku manusia.

p: 322


1- 12. Ibid., hadis No. 15.

Kriteria surga akhlak adalah kuat dan sempurnanya kehendak. Oleh karena itu, luasnya tidak akan terbatas. Sebagian orang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh hadis di atas adalah penjelasan sisi ketinggian surga, sedangkan maksud ayat 21 QS Al-Hadid itu adalah lebarnya surga, sehingga dua pen jelasan ini tidak bertentangan karena mungkin saja lebarnya surga berukuran tetap sementara ketinggiannya berbeda-beda. Pendapat ini jelas salah, sebab “lebar” di sini menunjuk pada luasnya surga, bukan pada lebar-lawannya panjang, sebab langit dan bumi tak memiliki ukuran yang “lebar”, berdasarkan pengertian umumnya, yaitu sesuatu yang berlawanan dengan panjang, meskipun keduanya memiliki “lebar” dalam pengertian "dimensi kedua" menurut terminologi ahli fisika. Namun, Al-Quran tidak pernah berbicara menurut terminologi sains atau lainnya. Al-Kâfi mencatat hadis Nabi Saw. berikut, dengan rantai periwayatannya yang sampai ke Al-Imam Al-Shadiq a.s.:

قال: قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله، سیأتی علی النّاس زمان لا ینال فیه الملک إلّا بالقتل و التّجبّر، و لا الغنی إلّا بالغصب و البخل، و لا المحبّة إلّا باستخراج الدّین و اتّباع الهوی. فمن أدرک ذلک الزّمان فصبر علی الفقر و هو یقدر علی الغنی و صبر علی البغضة و هو یقدر علی المحبّة و صبر علی الذلّ و هو یقدر علی العزّ، آتاه الله ثواب خمسین صدّیقا ممّن صدّق بی

Imam berkata, “Rasullullah Saw. bersabda, 'Akan tiba suatu masa ketika kekuasaan tidak dapat dicapai kecuali melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang tidak lahir kecuali melalui pencampakan agama dan mengikuti hawa nafsu. Barang siapa yang mengalami masa seperti itu dan sabar dalam menghadapi kemiskinan padahal ia mampu untuk menjadi kaya (secara haram), dan sabar menghadapi permusuhan padahal ia

p: 323

dapat mengambil hati orang, dan barang siapa yang sabar menanggung penghinaan padahal ia dapat memperoleh penghormatan, Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang selalu berlaku benar (shiddiqûn), di antara orang-orang yang membenarkan-Ku. (1)

Terdapat hadis lain dengan pesan yang sama yang diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin 'Ali a.s., dan masih banyak lagi hadis yang berkaitan dengan tema ini. Beberapa yang disebutkan di sini sudah cukup untuk tujuan kita.

Derajat Sabar 'Urafa'

Ketahuilah bahwa pembahasan yang hingga sekarang dibicarakan adalah berkaitan dengan kesabaran orang awam dan orang-orang yang menempati maqâm pertengahan (mutawassitûn), seperti yang telah kami isyaratkan pada awal pembahasan bab ini. Namun, sabar memiliki tingkatan-tingkatan lain, yaitu tingkatannya para penempuh jalan kesempurnaan (salik) dan para wali. Salah satu tingkatan sabar seperti itu adalah sabar di jalan Allah (shabr fillah), yang artinya adalah

kukuh dalam ber-mujahadah (berjuang secara spiritual) dan menahan diri dari segala sesuatu yang dikenal di kalangan masyarakat dan digemari mereka. Kesabaran ini bahkan berarti melupakan dirinya demi Sang Tercinta. Tahap ini adalah tahapnya para pesuluk (penempuh jalan kesempurnaan menuju Allah Swt.). Tingkatan lainnya adalah tingkatan sabar bersama Allah (shabr ma'allah), yaitu bagi orang-orang yang diberkati dengan kehadiran dan penyaksian keindahan-Nya

(ahl al-syuhûd wa al-'ayân), yang terjadi pada saat keluar dari pakaian kemanusiaan, dan pada saat terbebas dari tirai-tirai perbuatan dan sifat, pada saat tersinarinya hati oleh Cahaya-Cahaya, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya, dan pada saat memasuki keadaan keakraban dan kekaguman, dan terlindunginya diri terhadap perubahan dari warna ke warna, dan kemangkiran dari keakraban dan penglihatan ruhani. Tingkatan lainnya lagi yaitu tingkatan shabr ‘anillâh (sabar dari

Allah), yang berkaitan dengan maqam pencinta Allah dan pendamba Allah, di antara ahl al-syuhûd wa al-'ayân pada saat kembali ke dunia mereka sendiri, dunia pluralitas dan ketenangan hati (setelah mabuk

p: 324


1- 13. Ibid., hadis No. 12.

kepayang dengan Allah). Inilah maqâm paling sulit, suatu maqâm yang disebut-sebut oleh Penghulu para Salik dan Pemimpin Kaum Yang Sempurna (yaitu ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.) dalam doa Kumail:

و هبنی صبرت علی عذابک، فکیف أصبر علی فراقک

Ya Ilahi, Jungjunganku, Pelindungku, Tuhanku! Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?!

Berikut ini kisah tentang Al-Syibli:

و روی أنّ شابّا من المحبّین سأل الشّبلی عن الصّبر فقال: أیّ الصّبر أشدّ؟ فقال: الصّبر لله. فقال: لا. فقال: الصّبر بالله. فقال: لا. فقال: الصّبر علی الله. فقال: لا. فقال: الصّبر فی الله. فقال: لا. فقال: الصّبر مع الله. فقال: لا. فقال: ویحک فأیّ؟ فقال: الصّبر عن الله. فشهق الشّبلی و خرّ مغشیّا علیه

Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kalangan kaum pencinta bertanya kepada Al-Syibli tentang sabar, “Sabar macam mana yang paling sulit?” “Sabar demi Allah," jawab Al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Sabar dengan Allah," kata Al-Syibli. “Bukan," kata si pemuda lagi. “Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?”

kata Al-Syibli dengan jengkel. “Sabar dari Allah,” begitu jawabnya. Al-Syibli menangis, lalu pingsan. (1)

Tingkatan lainnya adalah tingkatan shabr billâh, yaitu tingkatan-nya orang-orang yang diberkati kemantapan, tingkatan yang dicapai setelah keadaan ketenangan hati dan baka dengan Allah (baqa' billâh). Tingkatan yang hanya dapat dicapai oleh orang yang sempurna. Karena kita belum mencapai maqâm-maqâm itu, tidaklah layak membahas lebih terperinci masalah-masalah ini di sini. Dan, segala puji bagi Allah, pada awal dan akhirnya. Dan, shalawat Allah atas Muhammad dan keturunannya yang suci. Il

p: 325


1- 14. Syarh Manâzil Al-Sâ'irîn, bab al-shabr, 88.

17 Hadis tentang Tobat

Point

بالسّند المتّصل إلی الإمام الأقدم، حجّة الفرقة و رئیس الأمّة، محمّد بن یعقوب الکلینی، رضی الله عنه، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد بن عیسی، عن الحسن بن محبوب، عن معاویة بن وهب، قال سمعت أبا عبد الله، علیه السلام، یقول: إذا تاب العبد توبة نصوحا، أحبّه الله، فستر علیه فی الدّنیا و الآخرة. فقلت: و کیف یستر علیه؟ قال: ینسی ملکیه ما کتبا علیه من الذّنوب، ثمّ یوحی إلی جوارحه: اکتمی علیه ذنوبه. و یوحی إلی بقاع الأرض، اکتمی علیه ما کان یعمل علیک من الذّنوب. فیلقی الله حین یلقاه و لیس شی ء یشهد علیه بشی ء من الذّنوب.

Dengan sanad yang bersambung sampai kepada Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini--ridha Allah atasnya—dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, dari Al-Hasan ibn Mahbub, dari Mu'awiyyah ibn Wahhab, yang berkata, “Aku mendengar Abu Abdillah a.s. berkata, 'Apabila seorang hamba bertobat dengan tobat yang tulus, Allah niscaya mencintainya dan menutupi

p: 326

(dosa-dosa) nya di dunia dan akhirat.' Aku berkata, “Bagaimana Dia menutupinya?' Imam a.s. menjawab, 'Dia membuat dua malaikat (yang ditugaskan untuk mencatat perbuatannya) lupa akan apa yang telah dicatat keduanya mengenai dosa-dosanya, kemudian Dia mewahyukan kepada anggota badannya, 'Sembuyikanlah dosa-dosanya', dan Dia mewahyukan kepada tempat-tempat di bumi, Sembunyikanlah dosa-dosa yang biasa dilakukannya di atasmu.' Lalu, ketika dia bertemu dengan Allah dan tidak ada sesuatu apa pun yang dapat memberikan kesaksian bahwa dia telah berbuat dosa.(1)

Hakikat Tobat

Ketahuilah bahwa tobat merupakan salah satu tahapan yang sulit dan juga penting. Tobat adalah kembali dari alam materi ke alam ruhani, setelah terbutakannya cahaya fitrah dan ruhani tersebut oleh gelapnya hawa nafsu karena dosa-dosa dan kedurhakaan. Jelasnya, ruhani pada mulanya tidak memiliki keunggulan, keindahan, cahaya, atau kesenangan. Jiwa juga pada mulanya terbebas dari berbagai sifat seperti kehinaan, keburukan, kegelapan, atau kedukaan serta sifat-

sifat yang berlawanan dengannya. Jiwa manusia dapat diibaratkan seperti lembaran kosong yang belum ada tulisannya sama sekali. la tidak memiliki kebaikan spiritual ataupun keburukan. Hanya jiwa ini telah dilengkapi oleh suatu kesiapan serta kelayakan untuk memperoleh kedudukan tinggi atau rendah. Fitrahnya tumbuh berkembang dalam keadaan lurus, dan asal usul penciptaannya mengandung kilauan hakiki. Ketika manusia melakukan suatu perbuatan buruk, secara otomatis sebuah titik hitam mewarnai hatinya. Semakin ia melakukan perbuatan dosa, semakin meningkat pula jumlah dan kadar hitam dan kegelapan pada hatinya, hingga titik hitam dan kegelapan itu menyelimuti hatinya seluruhnya, hingga hati benar-benar gelap-gulita. Cahaya fitrah pun menjadi padam dan berubah sampai kepada suatu kesengsaraan yang abadi. Namun, apabila manusia sadar akan apa yang sedang dialaminya itu sebelum terjadinya kegelapan total yang menyelimuti totalitas hati, kemudian ia bangkit dari kelalaiannya, disertai dengan melangkah menuju tobat, sambil melengkapi syarat-syarat terkabulnya tobat tersebut-yang khusus

p: 327


1- 1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-taubah, hadis No. 1.

akan kami jelaskan permasalahan ini pada bagian mendatang-maka kegelapan yang menyelimuti hatinya serta merta akan menjadi hilang dan kembali ke keadaannya semula. Seakan-akan keadaannya berbalik seketika menjadi seperti lembaran yang kosong dari kebaikan dan keburukan, seperti disebutkan dalam hadis termasyhur: التّائب من الذّنب کمن لا ذنب له.

“Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak pernah berbuat dosa.(1)

Jelas bahwa hakikat tobat sesungguhnya adalah kembali dari keadaan materi (perangai jasmaniah) dan hukum-hukumnya menuju wilayah kekuasaan spiritualitas dan fitrah. Demikian pula, inabah (kembali) adalah kembali dari fitrah dan spiritualitas menuju Allah dan meninggalkan habitat jiwa menuju tujuan puncaknya. Oleh karena itu, tobat mendahului inabah. Menguraikan secara teperinci masalah ini bukanlah tempatnya di sini.

Tobat dan Penangguhan

Satu hal penting yang perlu disadari oleh penempuh jalan bimbingan-Nya adalah bahwa untuk sampai dapat melakukan tobat yang sempurna, yang memenuhi semua persyaratannya-yang nanti akan kami sebutkan--itu sulit dan jarang terjadi. Bahkan, perbuatan dosa yang dilakukan manusia dapat menjadikannya lalai akan mengingat bertobat selamanya, khususnya apabila yang dilakukannya adalah dosa-dosa. Dan, apabila “pohon” kemaksiatan semakin tumbuh kukuh di “kebun” hati manusia sehingga menghasilkan buah, dan akar-akarnya telah demikian dalam menghunjam ke tanah, hal ini akan mengakibatkan lahimya beberapa dampak buruk pada manusia yang bersangkutan, yang salah satunya adalah memalingkan manusia secara total dari berpikir untuk melakukan lobat. Apabila terkadang dia

berpikir akan bertobat, dia akan bermalas-malasan melakukannya dan menundanya dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan, sambil mengatakan kepada dirinya sendiri, “Aku akan melakukan tobat pada akhir hidupku dan di usia tua,” sementara dia lupa bahwa hal ini merupakan muslihat Tuhan:

p: 328


1- 2. Ibid., hadis No. 10.

«وَمَکَرُوا وَمَکَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَیْرُ الْمَاکِرِینَ (54)»

... Dan Allahlah sebaik-baik perencana. (QS Ali `Imrân (3): 54)

Janganlah manusia membayangkan bahwa ia dapat bertobat dan memenuhi syarat-syarat tobat, setelah kuatnya akar-akar dosa pada dirinya. Saat yang paling tepat untuk melaksanakan tobat adalah masa-masa muda, karena saat itu dosa-dosa tidak terlalu banyak, kotoran-kotoran pada hati masih relatif ringan, dan persyaratan tobat masih lebih mudah diperoleh. Sebaliknya, pada usia tua, kecintaan manusia pada harta semakin menjadi-jadi. Ambisinya semakin kuat

dan angan-angannya semakin bertambah tinggi. Ini dibuktikan oleh pengalaman dan dikuatkan oleh hadis mulia Nabi Saw. Meskipun seandainya manusia pada usia tua dapat bertobat, lalu apakah jaminan terus berlanjutnya usia yang bersangkutan hingga usia tua dan bahwa orang itu tidak dihampiri oleh kematian secara

mendadak di usia mudanya pada saat ia masih disibukkan oleh aneka perbuatan dosa? Siapa yang menjamin itu semua terjadi? Seperti diketahui bahwa menurunnya jumlah manula membuktikan bahwa kematian lebih dekat kepada kalangan muda daripada kalangan tua. Di sebuah kota berpenduduk lima puluh ribu jiwa, kita tidak melihat lebih dari lima puluh orang manula yang usianya mencapai 80 tahun.

Oleh karena itu, Saudaraku, waspadalah terhadap tipuan setan dan janganlah memerdayakan Tuhanmu dengan mengatakan kepada dirimu sendiri, “Selama lima puluh tahun lebih aku akan memperturutkan hawa nafsuku dan kemudian memperbaiki masa lalu dengan memohon ampun kepada-Nya.” Inilah impian khayal.

Kalau Anda pernah membaca atau mendengar dalam sebuah hadis bahwa Allah Swt. telah memberikan karunia kepada umat ini dan menerima tobatnya sampai sebelum datangnya kematian atau tanda-tandanya, hal itu ada benarnya. Akan tetapi, sungguh mustahil hal itu dapat dilaksanakan oleh seorang manusia.

Apakah Anda mengira bahwa tobat hanyalah perkataan belaka? Tidak, sama sekali tidak demikian. Sungguh tobat adalah suatu pekerjaan yang teramat sulit. Tekad untuk kembali kepada Allah dengan disertai tekad untuk tidak mengulangi kembali perbuatan dosa memerlukan upaya keras melalui latihan-latihan praktis atau dengan

p: 329

cara mempelajarinya secara matang, karena jarang sekali ditemukan manusia yang berpikir akan bertobat berkat inisiatifnya sendiri, atau berhasil bertobat, atau memenuhi persyaratan sah dan diterimanya tobat, atau persyaratan sempurnanya tobat. Sebab, mungkin saja ia dihampiri oleh kematian sebelum memperoleh kesempatan untuk berpikir akan bertoba, atau terlaksananya tobat itu sendiri, sehingga kematian membawanya ke alam lain dalam keadaan ia memikul beban-

beban dosa yang berat dengan diselimuti kegelapan abadi dosa-dosa yang tak berujung itu. Hanya Allahlah yang tahu malapetaka dan bencana apa yang akan menimpanya. Sekalipun diasumsikan bahwa orang (Muslim) pada akhirnya akan selamat dan bahagia di akhirat, di alam itu penebusan dosa bukanlah sesuatu yang mudah. Tugas ini mengharuskan adanya tekanan, kesulitan, dan kepayahan yang berat sekali, serta manusia harus dibakar terlebih dahulu sebelum layak memperoleh syafaat dan ampunan Yang Maha Pengampun.

Saudaraku, bulatkanlah tekad dan kemauan Anda segera. Bertobatlah dari dosa-dosa yang telah Anda lakukan selama Anda masih muda dan masih diberi kesempatan hidup di dunia ini. Jangan biarkan berlalu begitu saja kesempatan yang diberikan oleh Allah ini. Janganlah Anda pedulikan tipuan, bujuk-rayu, dan angan-angan setan serta hawa nafsu yarg selalu memerintahkan pada keburukan itu. Hal Penting Perlu juga di sini kita tambahkan satu hal penting lain, yaitu bahwa orang yang bertobat tidak akan dapat memulihkan sepenuhnya kesucian ruhaniahnya yang sebelumnya ia miliki. Sebab, seperti selembar kertas putih yang telah Anda kotori dengan tinta hitam, mustahil kertas itu kembali kepada kejernihannya semula meskipun Anda berusaha keras untuk menghapus warna hitam pada kertas tersebut. Demikian pula, sulit mengembalikan ke wujud semulanya jambangan yang pecah lalu diperbaiki. Sungguh besar perbedaan antara sahabat

tepercaya, setia, serta tulus dan sahabat yang merninta maaf setelah berkhianat.

p: 330

Lagi pula, tidak banyak orang yang dapat memenuhi dengan benar tugas-tugas tobat. Oleh karena itu, manusia harus mencoba sekeras mungkin untuk tidak memasuki dosa dan kedurhakaan karena memperbaiki jiwa setelah berbuat kerusakan itu merupakan tugas yang sulit. Dan jika ia terjebak dalam suatu perbuatan dosa, ia perlu segera melakukan langkah penyembuhan secepat mungkin karena kerusakan kecil sebaiknya segera diperbaiki.

Saudaraku, janganlah Anda membiarkan keadaan ini berlalu begitu saja, tanpa Anda memedulikannya sama sekali! Renungkanlah keadaan dirimu dan tujuan akhirmu. Kajilah Kitab Allah, Sunnah Nabi Saw., dan riwayat para Imam–shalawat dan salam Allah atas mereka semua—serta pernyataan-pernyataan para ulama umat. Dengarkan dan patuhilah suara akal dan hati nuranimu. Bukalah pintu ini, yang merupakan kunci bagi terbukanya pintu-pintu yang lain, dan masukilah “rumah” ini, yang merupakan “rumah tempat kembali” paling utama bagi kita. Perhatikanlah masalah ini dengan sungguh-sungguh. Mohonlah kepada Allah Swt. keberhasilan mencapai tujuanmu itu. Carilah pertolongan dari maqâm spiritual Rasul Mulia dan para Imam--salam atas mereka-dan berlindunglah kepada Wali

Al-Amr, kemuliaan zaman, dan pemimpin zaman (Imam Kedua Belas)—semoga Allah menyegerakan kedatangannya. Tentu saja, insan suci itu tidak akan membantu orang yang lemah dan orang yang papa dan tidak menjawab panggilan orang yang putus asa.

Hal-Hal Pokok dalam Bertobat

Ketahuilah bahwa untuk melaksanakan tobat diperlukan beberapa hal pokok yang merupakan rukun-rukun tobat yang apabila itu semua tidak terpenuhi, tidak akan terjadi tobat yang sebenarnya. Berikut ini kami akan mengemukakan hal-hal pokok dalam bertobat dan syarat-syarat utamanya yang terpenting. Pertama yang terpenting adalah menyesali dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan masa lalu. Yang kedua adalah bertekad tidak akan mengulangi perbuatan dosa lagi untuk selama-lamanya. Pada dasarnya kedua hal ini telah dapat mewujudkan hakikat tobat yang sebenarnya

p: 331

dan merupakan unsur-unsur penting tobat. Dalam hubungan ini, yang utama adalah mencapai keadaan tersebut dan mewujudkan kenyataannya, dengan cara sedemikian rupa sehingga manusia menyadari dampak dan pengaruh dosa pada jiwanya serta konsekuensi-konsekuensinya di alam barzakh dan Hari Kebangkitan. Kenyataan ini juga dapat dibuktikan baik melalui cara perenungan rasional atau pun merujuk pada Al-Quran dan hadis Nabi serta riwayat para Imam Ahl Al-Bait yang suci-salam atas mereka. Salah satunya adalah informasi yang diriwayatkan oleh para pemuka Ahl Al-Bait yang menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan maksiat memiliki wujud-wujud tersendiri sesuai dengan jenis perbuatan dosa yang dilakukan. Wujud-wujud ini menjelma menjadi bentuk yang buruk di barzakh dan

pada masa Kebangkitan. Ia hidup dan mempunyai kehendak di alam itu, lalu menyiksa manusia dengan sadar dan kehendaknya sendiri. Begitu pula, api neraka juga membakar manusia dengan sadar dan kehendaknya sendiri. Hal itu karena alam tersebut rnerupakan alam kehidupan total.

Di alam itu, kita akan menjumpai wujud-wujud vang merupakan hasil dari perbuatan buruk dan baik yang telah kita perbuat selama di dunia dan akan dibangkitkan bersama kita. Masalah ini sudah sering disebutkan, secara tersurat maupun tersirat, dalam Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis mulia. Juga selaras dengan pernyataan keyakinan filosof emanasionis serta pengalaman dan penemuan kaum arif dan kaum sufi. Demikianlah, setiap dosa juga berpengaruh dan meninggalkan bekasnya pada jiwa, yang disebut dalam beberapa hadis dan dikenal dengan istilah “noktah hitam”. Itulah kegelapan yang muncul di kalbu dan jiwa, dan berkembang setahap demi setahap. Akhirnya, ia menjadi kegelapan total dan membawa manusia kepada kekafiran, kemurtadan, dan ke keadaan yang sangat menyedihkan seperti telah dijelaskan tadi. Seandainya manusia berakal menyadari kenyataan ini dan sangat memerhatikan pernyataan-pernyataan para nabi dan wali, seperti perhatiannya terhadap nasihat dokter, tentu tidak diragukan lagi, ia akan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan tidak akan kembali mendekatinya. Kalau pun ia berbuat dosa, pastilah segera ia menun-

p: 332

jukkan kebenciannya terhadap dirinya, dan hatinya akan dipenuhi penyesalan, dan penyesalan ini akan berpengaruh baik dan besar terhadap jiwanya. Tekad untuk meninggalkan kedurhakaan dan dosa merupakan konsekuensi dari penyesalan ini. Jika kedua hal penting ini terpenuhi—menyesali perbuatan dosa dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi—jalan yang akan dilalui sang penempuh jalan menuju akhirat akan menjadi lebih mudah. Allah pun akan menolongnya, seperti yang telah dijanjikan-Nya melalui hadis pembuka bab ini dan firman-Nya:

«وَیَسْأَلُونَکَ عَنِ الْمَحِیضِ قُلْ هُوَ أَذًی فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِی الْمَحِیضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّی یَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَیْثُ أَمَرَکُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ یُحِبُّ التَّوَّابِینَ وَیُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِینَ (222)»

... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang bersungguh-sungguh menyucikan diri (QS Al-Baqarah (2): 222). Sang hamba yang bertobat akan dicintai-Nya apabila ia benar-benar tulus dalam tobatnya itu. Untuk benar-benar bertobat, manusia harus berupaya merenung, bertafakur, dan beramal serta menyadari bahwa menjadi orang yang dicintai Allah itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga harga dan nilainya. Hanya Allahlah yang tahu kegemilangan spiritual dan kesempurnaan sang hamba, dan apa yang akan menjadi bentuk akhirati dari kecintaan-Nya itu. Dan, hanya Allah Swt. yang tahu bagai mana perlakuan-Nya terhadap orang-orang yang dicintai-Nya ini. Wahai manusia! Betapa berdosa dan bodohnya engkau kalau tidak mengetahui nilai nikmat dari Sang Pemberi Kenikmatan (wali al-niʻam). Setelah bertahun-tahun berbuat durhaka dan membangkang kepada Tuhan yang telah memberimu segenap sarana kesenangan dan kemudahan—sementara sedikit pun kamu tidak manaatiNya—kamu malah melanggar kesucian-Nya dan secara tidak kenal malu pelanggaranmu menjadi-jadi. Kemudian, apabila kamu menyesal dan bertobat, Allah Swt. segera menyambutmu dan memasukkan kamu ke dalam kelompok hamba yang dicintai-Nya. Betapa ini suatu rahmat dan karunia yang tak terhingga. Ya Allah! Kami tidak sanggup berterima kasih kapada-Mu atas karunia dan nikmat-Mu itu. Lidah kami dan lidah makhluk lain pun kelu, tidak sanggup memuji-Mu. Yang dapat kami lakukan hanyalah menundukkan kepala kami dengan penuh rasa malu dan meminta

p: 333

ampunan-Mu atas perilaku kami yang tak kenal malu itu. Siapa kami sehingga patut mendapatkan rahmat-Mu? Akan tetapi, keluasan rahmat-Mu dan berlimpahnya karunia-Mu lebih luas dari apa yang kami gambarkan. أنت کما أثنیت علی نفسک Engkau adalah sebagaimana Engkau telah memuji Diri-Mu sendiri.? Manusia harus selalu berusaha meningkatkan rasa penyesalan dan dosa yang mendalam di hatinya, agar hati selalu terbakar (setiap melakukan kemaksiata?). Yaitu, dengan merenungkan dampak-dampak buruk dosa dan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan. Ia harus mengobarkan api penyesalan di dalam hatinya sehingga, dengan demikian, apinya itu tetap menyala. Api yang oleh Al-Quran dikatakan, Api Allah yang menyala (yang berdesar-desar menjilati hati) (QS Al-Humazah (104): 6). Hendaknya ia tahu bahwa apabila ia selalu membakar hatinya dengan api penyesalan, dosa-dosa berbagai karatnya akan serta merta menjadi lenyap. Dan, kalau dia tidak menyalakan sendiri api penyesalannya di dunia ini, dan kalau dia tidak membuka bagi dirinya pintu neraka (penyesalan) ini-yaitu pintu yang merupakan gerbang utama menuju surga—tak pelak lagi dia akan meninggalkan dunia fana ini menuju dunia lain dalam keadaan akan menghadapi api yang menyala-nyala dan mengerikan, yang disediakan baginya di sana. Sehingga, pintu-pintu neraka akan terbuka baginya, sementara pintu-pintu surga menjadi tertutup. Ya Allah! Anugerahilah kami dada yang terbakar oleh api penyesalan. Bakarlah hati kami dengan api duniawi dan api penyesalan. Singkirkan karat yang ada di hati kami dan bawalah kami dari dunia ini dalam keadaan terbebas dari konsekuensi-konsekuensi dosa-dosa. Sesungguhnya Engkaulah Tuhan pemilik karunia dan Mahakuasa atas segala sesuatu.

Syarat-Syarat Tobat

Apa yang dikemukakan di atas merupakan syarat-syarat pokok dalam bertobat. Di sini, kami akan menyebutkan syarat-syarat diterimanya

p: 334

tobat, dan syarat-syarat sempurnanya tobat. Syarat-syarat tersebut, akan kami sebutkan berikut ini. Syarat utama agar tobat diterima ada dua. Begitu pula, ada dua

syarat utama agar tobat ini sempurna. Di sini, kami akan membawakan sabda mulia Hadhrat pemuka para pemimpin, Ali ibn Abi Thalib a.s. yang merupakan puncak hakikat kearifan, dan "ucapan para raja dan rajanya ucapan":

روی فی نهج البلاغة أنّ قائلا قال بحضرته، علیه السّلام: أستغفر الله. فقال له: ثکلتک امّک! أ تدری ما الإستغفار؟ إنّ الإستغفار درجة العلیّین، و هو اسم واقع علی ستّة معان: أوّلها النّدم علی ما مضی. و الثّانی العزم علی ترک العود إلیه أبدا. و الثّالث أن تؤدّی إلی المخلوقین حقوقهم حتّی تلقی الله سبحانه املس لیس علیک تبعة. و الرّابع أن تعمد إلی کلّ فریضة علیک ضیّعتها فتؤدّی حقّها. و الخامس أن تعمد إلی اللّحم الّذی نبت علی السّحت، فتذیبه بالأحزان حتّی تلصق الجلد بالعظم و ینشأ بینهما لحم جدید. و السّادس أن تذیق الجسم ألم الطّاعة کما أذقته حلاوة المعصیة.

Diriwayatkan oleh Al-Sayyid Al-Radhi r.a. dalam Nahj Al-Balaghah bahwa seseorang berkata “Astaghfirullah” (Aku memohon ampun kepada Allah) di depan 'Ali a.s. 'Ali berkata kepadanya, “Sesungguhnya istighfar adalah derajat 'Illiyyîn, dan merupakan sebuah kata yang mencakup enam hal. Pertama adalah menyesali masa lalu. Kedua, bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Ketiga, mengembalikan pada makhluk hak-haknya (yang pernah dirampas pada masa lalu) sehingga engkau bertemu Allah Swt. dalam keadaan bersih sedemikian sehingga tak ada yang dapat menuntutmu. Keempat, memenuhi setiap kewajiban yang pernah engkau lalai-

kan. Kelima, membereskan daging tubuhmu yang ditumbuhkan oleh sesuatu yang haram. Engkau melelehkannya dengan kesedihan (tangis dan penyesalan) sehingga yang kaubiarkan hanya kulit

p: 335

yang melekat di tulang, dan setelah itu tumbuhlah daging baru di antara kulit dan tulang itu. Keenam, buatlah tubuhmu merasakan kepedihan dalam melakukan ketaatan sebagaimana telah engkau rasakan manisnya kemaksiatan. Setelah melakukan keenam hal ini, barulah katakan, 'Astaghfirullâh.(1)

Hadis mulia ini menyebutkan pertama-tama dua hal pokok dalam bertobat, yaitu penyesa an yang dalam dan tekad untuk tidak berbuat dosa lagi. Lalu, disebutkan dua syarat penting bagi diterimanya tobat, yaitu mengembalikan hak-hak makhluk dan hak-hak Sang Pencipta. Tobat seseorang tidak akan diterima kalau hanya sekadar menyatakan astaghfirullâh. Orang yang ingin bertobat kepada Allah adalah orang yang mengembalikan segala sesuatu yang diambil dari yang lain secara tidak halal. Jika ia masih menemukan hak-hak orang berada padanya, dan dia mampu mengembalikannya kepada pemilik yang sebenarnya, atau ia hendak bermohon maaf dari mereka, ia tidak boleh segan-segan melakukannya. Dia juga harus menjalankan kewajiban-kewajiban dari Allah yang pernah tidak ditunaikannya, dan kalau kewajiban itu tidak semuanya dapat dilaksanakannya, dia harus berusaha membayarnya sejauh yang dapat dilakukannya. Perlu dike-

tahuinya bahwa jika dia tidak mengembalikan apa yang pernah dirampasnya dari orang lain di dunia ini, dia akan dituntut oleh orang yang pernah dirampas haknya itu di akhirat dalam keadaan yang amat menyulitkan, dan dia tidak akan dapat memenuhinya, kecuali dengan memikul dosa-dosa orang lain dan menukarkan amal saleh-nya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan ini. Pada saat itu dia akan tak berdaya dan papa, dan tak ada jalan keluar yang dapat menolongnya. Saudaraku, jangan sampai setan dan hawa nafsu, menguasaimu, menanamkan kebimbangan dan bisikannya pada dirimu, sehingga keduanya membuatmu menganggap bahwa tobat itu adalah suatu pekerjaan yang sulit dilakukan, dan karenanya kamu berpaling dari tobat. Ketahuilah bahwa sebaiknya segera bertindak dalam hal ini,

sekalipun secara kecil-kecilan. Janganlah berputus asa dari rahmat Allah, meskipun kamu belum sepenuhnya menunaikan ataupun membayar kewajiban shalat, puasa, dan kewajiban-kewajiban lain yang diperintahkan-Nya yang telah lalu. Berharaplah akan ampunan-

p: 336


1- 4. Nahj Al-Balaghah, ed. Shubhi Al-Shaleh, Beirut 1387/1967, h. 549, Hikam, No. 417. Hadis 18

Nya dosa dan kesalahanmu bertumpuk tak terhitung jumlahnya, dan meskipun masih banyak hak orang yang kau rampas dan belum dikembalikan. Allah Swt. akan memudahkan jalanmu jika kamu bertindak sesuai dengan kemampuanmu, dan Dia akan menunjukkan kepadamu jalan keselamatan. Ketahuilah ba hwa putus asa akan rahmat Allah merupakan salah satu dosa yang paling besar. Saya kira tidak ada dosa lain yang lebih buruk pengaruhnya pada jiwa selain dosa putus asa

akan rahmat Allah. Apabila kegelapan telah menyelimuti orang yang berputus asa akan rahmat Allah, keadaan ini tak mungkin dapat diatasi. Orang ini akan berubah menjadi seorang yang jahat dan durjana sehingga tidak ada cara untuk dapat mengendalikannya. Berhati-hatilah, jangan sampai kamu lupa akan rahmat Allah, lalu memandang dosa-dosa dan konsekuensi-konsekuensinya tidak dapat diatasi. Sesungguhnya rahmat Allah lebih besar daripada segala sesuatu dan meliputi segala sesuatu, dan, seperti bunyi sebuah puisi, “Pemberian Allah tidak dibatasi oleh kapasitas makhluk yang akan diberi.” Bagaimanakah awal mula keadaan dirimu? Dahulu, kamu berada dalam ketiadaan. Kamu tidak memiliki potensi dan kemampuan untuk dapat terwujud. Kemudian, Allah Swt. menganugerahimu karunia

kemaujudan dan aneka kesempurnaannya. Lalu, Dia memberimu karunia dan anugerah-Nya yang tak terbatas, dengan menundukkan semua makhluk kepadamu, tanpa ada sedikit pun kepantasan atau kesiapan menerima aneka anugerah-Nya ini. Kamu diberi-Nya aneka anugerah tanpa harus kamu berdoa ataupun meminta terlebih dahulu kepada-Nya. Kini pun keadaanmu tidak lebih buruk daripada kehampaan dan ketidakmaujudan mutlak. Lagi pula, Allah telah menjanjikan rahmat dan ampunan-Nya. Melangkahlah ke depan di ambang pintu Suci-Nya, niscaya Dia sendiri akan membantumu sesulit apa pun permintaan kamu. Jika kamu tak berhasil mengembalikan hak-hak-Nya, Dia akan memaafkan kegagalanmu itu. Jika kamu tidak dapat melayani hak-hak orang lain, Dia akan menggantinya.

p: 337

Pernahkah kamu mendengar kisah tentang seorang pemuda yang menggali kubur pada masa Rasulullah—shalawat can salam Allah atas beliau dan keturunannya?

Saudaraku, jalan Allah itu mudah dan sederhana. Yang diperlukan hanyalah sedikit perhatian. Melangkahlah dan jangan menunda-nunda niat baikmu itu, karena menunda dan membiarkan dosa bertumpuk-tumpuk hari demi hari inilah yang mempersulit persoalan. Sedangkan bersegera membereskan segala urusan dan bertekad membenahi diri, itu akan mempercepat jalanmu kepada perolehan rahmat-Nya. Cobalah bertindak, bergeraklah ke arah itu. Apabila kamu mendapat hasilnya, kebenaran masalah ini akan terbukti bagimu. Kalau tidak, akan terbukalah jalan penyimpangan dan akan panjang pula tangan dosamu.

Dua hal lainnya yang disebutkan oleh Amir Al-Mukminin ‘Ali a.s.--yaitu hal kelima dan keenam dalam sabda Imam a.s. di atas- adalah syarat-syarat bagi sempurnanya tobat. Bukannya tanpa kedua hal itu tobat tidak bisa lerwujud, tetapi tobat itu tidak akan sempurna tanpa kedua hal itu. Ketahuilah bahwa orang-orang yang berada pada setiap maqâm para sâlik (penempuh jalan kesempurnaan) memiliki tahapan-tahapan yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan hati mereka. Jika orang yang bertobat ingin mencapai derajat tobat yang sempurna, setelah membereskan apa-apa yang pernah dilalaikan—yaitu setelah memperbaiki tugas-tugas yang dilalaikan—dia harus membereskan apa-apa yang ditimbulkan oleh pelalaian tugas itu. Yaitu, dia harus membereskan keadaan spiritual yang didapat selama masa-masa berbuat dosa. Ini terjadi dengan menyingkirkan sepenuhnya pengaruh-pengaruh jasadi dan spiritual yar.g timbul dalam diri sehingga jiwa kembali ke fitrahnya melalui proses penyucian sempurna. Seperti sudah kamu ketahui, setiap dosa dan kesenangan akan memengaruhi jiwa. Begitu pula tubuh, karena tubuh mendapatkan makanannya dari kedua hal itu. Orang yang bertobat harus berusaha keras memusnahkan semua pengaruh itu can bekas-bekasnya dengan cara melakukan berbagai latihan jasmani maupun ruhani, sampai hilangnya dampak

p: 338

dan bekas dari kesalahan-kesalahannya itu, seperti diajarkan oleh Maula 'Ali a.s. Melalui cara latihan jasmani dengan berpantang terhadap makanan yang disenangi dan dapat menguatkan tubuh, di samping menjalankan puasa wajib dan sunnah, daging yang tumbuh dari makanan yang haram dan yang tertimbun di tubuhnya akan menyusut sehingga bekas-bekasnya menjadi hilang. Melalui latihan-latihan spiritual seperti pelaksanaan beberapa ibadah, dia dapat menyingkirkan hal-hal yang ditimbulkan oleh hawa nafsu. Ini karena bentuk-bentuk kesenangan jasmani masih tetap ada dirasakan di dalam jiwa, dan kalau bentuk-bentuk ini masih

ada dalam jiwa, hawa nafsu akan cenderung kepadanya, dan hati pun menjadi tergila-gila padanya, serta dikhawatirkan bahwa diri akan memberontak lagi dan merebut kembali kendali hati. Semoga Allah melindungi kita. Oleh karenanya, sang penempuh jalan akhirat dan orang-orang bertobat perlu membuat jiwa merasakan sakitnya ke latihan-latihan spiritual itu. Jika suatu malam dilewatkan dengan berbuat dosa, ia harus menggantinya dengan malam lain yang diisi

dengan beribadah kepada Allah. Kalau satu hari dilewatkan dengan kesenangan, ia harus menggantikannya dengan hari lain, diisinya dengan berpuasa dan berbagai bentuk ibadah yang dianjurkan. Ini perlu agar jiwa dapat tercuci bersih dari pengaruh dan bekas-bekas perilaku cinta dunia. Jika ini dilakukan, sempurnalah tobatnya dan kecemerlangan fitrahnya pun kembali memancar. Di sepanjang latihan-latihan seperti itu, dia juga harus merenungkan konsekuensi dosa, dahsyatnya kekuasaan Allah Swt., tepatnya neraca amal, dan pedihnya hukuman di alam barzakh dan Hari Kebangkitan. Dia harus mengerti dan menjadikan diri dan hatinya

memahami bahwa semuanya ini merupakan konsekuensi dan bentuk-bentuk dari perbuatan-perbuatan buruk, bentuk-bentuk dari penentangan terhadap Rajanya para raja. Mudah-mudahan setelah tahu dan setelah merenung, jiwa akan merasa benci kepada dosa dan jijik kepada dosa dengan sejijik-jijiknya sehingga, dengan demikian, tercapailah hasil tobat yang dikehendaki, dan tobatnya pun menjadi sempurnalah sudah.

p: 339

Jadi, kedua tahapan itulah yang membuat maqâm tobat sempurna. Tentu saja, apabila mariusia ingin memasuki maqâm tobat, dia tidak boleh beranggapan bahwa dirinya dituntut untuk mencapai tahapan terakhir sehingga terlihat olehnya jalan itu penuh kesulitan, lalu dia pun memutuskan tidak akan menempuh jalan itu.

Sejauh apa pun sang penempuh jalan akhirat dapat melewati jalan ini, sejauh itu pula hal itu baik dan diperlukan sekali. Selanjutnya, apabila dia mulai melangkah di jalan itu, Allah Swt. membuat perjalanan itu mudah baginya. Kesulitan perjalanan itu tidak boleh membuat orang tidak mau melangkah menuju tujuannya karena

tujuan itu sangat penting dan sangat besar artinya. Begitu orang memahami betapa besarnya arti tujuan itu, kesulitan yang ada dalam jalan itu menjadi mudah dan dapat diatasi. Adakah sesuatu yang lebih penting dan lebih tinggi selain keselamatan abadi, kegembiraan, dan kebahagiaan abadi? Bahaya mana lagi yang lebih besar dibandingkan dengan keadaan buruk dan terkutuk untuk selama-lamanya? Dengan tidak mau bertobat, atau menunda-nunda kesempatan tersebut, berarti manusia telah menyerahkan dirinya kepada kesengsaraan abadi, menyerahkan dirinya untuk disiksa selama-lamanya dan dikutuk terus-menerus. Dengan melakukan tobat, kebahagiaan sempurna bisa diperoleh, dan kita pun dicintai oleh Allah. Maka apabila tujuan itu sangat besar nilainya, mengapa kita takut menghadapi kesulitan yang hanya beberapa hari lamanya? Ketahuilah bahwa apa pun yang dapat kita lakukan menuju pintu tobat, biarpun itu kecil, ada manfaatnya. Bandingkanlah masalah-masalah akhirat dengan urusan-urusan duniawi, karena orang-orang yang menggunakan akalnya, jika tidak dapat mencapai tujuan terting-

ginya, mereka tidak berputus asa sehingga berusaha mencapai tujuan yang lebih rendah. Jika mereka tidak dapat mencapai tujuan secara penuh, itu tidak mencegahnya dari meraihnya secara sebagian. Kamu juga, kalau kamu tidak dapat mencapai tujuan ini sampai pada derajatnya yang sempurna, tidak boleh menyerah dalam mencapai tujuan utama itu sendiri. Cobalah untuk mencapainya sejauh kamu dapat mencapainya.

p: 340

Hasil Istighfar

Di antara hal-hal yang perlu dilakukan oleh orang yang bertobat adalah berlindung dalam maghfirah (ampunan) Allah Swt. dan mencapai keadaan istighfir. Dia harus memohon dari Zat Yang Mahasuci agar menutupi dosa-dosanya dan menghapuskan konsekuensi-konsekuensi dosa-dosanya. Itu harus dilakukannya dalam keadaan apa pun, baik secara terang-terangan maupun secara rahasia, dalam kesendirian, dengan meratap, dan dengan air mata serta keluhan tentang

kesengsaraan. Tentu saja, ampunan dan rahmat Zat Yang Mahasuci mengandung arti menutupi cacat dan mengampuni konsekuensi- konsekuensi dosa, karena bentuk-bentuk spiritual dari perbuatan itu merupakan “anak keturunan” manusia, atau sesuatu yang bahkan lebih dekat hubungannya dengannya, dan karena realitas tobat dan bentuk istighfar sama dengan menafikan penisbahan anak atau pengutukan (liân) dalam istilah fiqih. Maka Allah Swt., karena Dia Maha Pengampun dan Maha Menutupi, memisahkan keturunan itu dari orang yang bertobat sebab dia telah memungkiri dan mengutuknya. Dia menutupi dosa itu dari pandangan semua makhluk yang tahu tentang dosanya, termasuk pula para malaikat dan malaikat pencatat amal perbuatan, waktu dan tempat terjadinya perbuatan dosa, bahkan seluruh anggota dan organ tubuhnya sendiri, dan membuat mereka semua lupa akan dosa itu, seperti dijelaskan dalam hadis mulia ini:

ینسی ملکیه ما کتبا علیه من الذّنوب “Dia membuat kedua malaikat-Nya lupa akan dosa-dosa yang pernah mereka catat.”

Barangkali maksud dari ungkapan “Allah mewahyukan pada anggota tubuh dan tempat-tempat di bumi” adalah membuatnya lupa akan semua maksiat yang pernah dikerjakan orang yang bersangkutan. Ungkapan itu dapat juga berarti menghapus kesaksian anggota tubuh dan tempat-tempat di bumi itu atau menghapus pengaruh dosa pada anggota tubuh tersebut. Sebab, seandainya orang itu tidak

p: 341

bertobat, pastilah setiap anggota tubuhnya memberikan kesaksian terhadap segala perbuatan dosanya. Ampunan Allah dan rahmat-Nya yang bersifat menutupi itu,

menuntut agar semua organ dan anggota tubuh kita tidak bersaksi tentang perbuatan kita dan agar waktu dan tempat menyembunyikan segala perbuatan buruk kita. Demikian pula menuntut tertutupnya amal-amal buruk kita di alam sana, setelah kita bertobat kepada-Nya dengan tobat yang sebenarnya, dan memohon ampunan-Nya atas segala perbuatan kita dengan permohonan ampun yang disertai ketulusan penuh, sampai kita meninggalkan alam fana ini. Atau barangkali manusia terhalangi untuk dapat melihat keburukan kita. Agaknya, keterangan kedua lebih mengena, kalau kita ingat kemurahan hati Allah Swt. sehingga orang yang bertobat tidak mendapat malu di depan siapa pun. Wa Allâh Alam.

Mengenai Penafsiran Makna Taubah Nashûha

Ketahuilah bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai tafsir istilah taubah nashứh. Agaknya lebih tepat kalau kita menyebutkannya secara ringkas. Kami hanya akan menerjemahkan kata-kata peneliti agung, Al-Syaikh Al-Baha'i—semoga Allah menyucikan jiwanya. Ahli hadis, Al-Majlisi-semoga rahmat Allah tercurah atasnya- mengutip Al-Syaikh Al-Baha'i yang mengatakan bahwa para mufasir telah memberikan beberapa arti taubah nashûh. Seorang mufasir mengatakan bahwa artinya adalah tobat yang “menasihati” orang-orang, yaitu mengajak mereka untuk meniru dia karena pengaruh baik yang dirasakan orang yang bertobat itu, atau itu berarti tobat yang “menasihati” pelaku tobat agar mencabut habis dosa-dosa dan agar jangan lagi melakukan perbuatan dosa. Penafsiran lain menyatakan bahwa taubah nasrûh merupakan tobat yang dilakukan semata-mata “murni” demi karena Allah. Dan, sebagaimana penggunaan bahasa Arab biasa menyebut madu murni yang bersih dari lilin sebagai 'asal nashûh, maka tobat yang nashûh berarti juga tobat yang murni, tulus demi karena Allah semata, yaitu dengan menyesali keburukan perbuatan dosa atau menyesal karena

p: 342

dosa itu bertentangan dengan keridhaan Allah, bukan karena takut akan api neraka. Peneliti mulia, Al-Thusi, telah menggariskan dalam bukunya, Al-Tajrîd, bahwa menyesali dosa-dosa karena takut akan api neraka, sama sekali bukanlah tobat. Menurut penafsiran lain, nashûh berasal dari kata nashahah, yang artinya adalah menjahit, sebab tobat menjahit kembali tubuh iman yang dikoyak-koyak dosa, atau karena menggabungkan orang yang bertobat dengan para wali Allah dan orang-orang yang dicintai-Nya, seperti potongan-potongan kain dijadikan satu dengan cara dijahit. Pendapat lain memahami kata nashûh di sini sebagai sifat bagi orang yang bertobat dan kaitannya dengan tobat dipahaminya sebagai bermakna kiasan. Yaitu, taubah nashûh merupakan tobat yang pelakunya menasihati dirinya sendiri supaya melakukan tobat dengan sempurna karena memang sepatutnya begitulah tobat, sampai pengaruh dosa sepenuhnya tersingkirkan dari hati, dan ini dapat dicapai dengan cara menjadikan jiwa lebur dengan penyesalan dan kesedihan, serta dengan cara membersihkan gelapnya dosa dengan cahaya kebajikan. Semua Makhluk Dianugerahi Hidup dan Pengetahuan Ketahuilah bahwa ada realitas, misteri, dan seluk-beluk tertentu pada tobat. Bagi masing-masing penempuh jalan menuju Allah, ada tobat tertentu yang sesuai dengan maqâm-nya. Karena kita belum mencapai maqâm itu, di sini tidak layak memerinci detail-detailnya. Oleh karena itu, lebih baik mengakhiri pembahasan ini dengan menyebutkan apa yang bisa disimpulkan dari hadis mulia-yang menjadi topik permasalahan kita pada bab ini yang selaras dengan makna harfiah ayat-ayat Al-Quran Al-Karim dan sejumlah besar hadis yang tersebar di berbagai bab. Yang bisa disimpulkan itu adalah bahwa semua makhluk yang ada di alam semesta ini ini memiliki pengetahuan, hidup, dan kesadaran. Bahkan, semua yang ada ini memiliki makrifat tentang

kedudukan Allah Swt. Wahyu yang diberikan pada organ dan anggota tubuh serta tempat-tempat di bumi agar menyembunyikan (dosa) dan taatnya mereka kepada perintah Allah, bertasbihnya segala yang ada yang diungkapkan dengan jelas dalam Al-Quran Al-Karim, dan

p: 343

hadis-hadis mulia banyak menyebutkannya-semua ini membuktikan bahwa mereka (seperti anggota dan organ tubuh serta tempat-tempat di bumi-penerj.) tahu, sadar, dan hidup. Semuanya itu merupakan bukti adanya hubungan khusus antara Pencipta dan makhluk, dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Zat Suci Allah

Swt. dan mereka yang ridha dan diridhai Allah. Inilah salah satu ajaran yang disampaikan oleh Al-Quran Al-Karim dan hadis-hadis para Imam yang maksum kepada manusia, yang juga sesuai dengan pandangan filosof emanasionis dan kaum sufi maupun pengalaman sufi. Dalam ilmu metafisika, terbukti bahwa eksistensi itu identik dengan keunggulan-keunggulan, Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, dan pada tingkat apa pun memanifestasikan diri serta terefleksikan dalam cermin, manifestasinya disertai semua aspek dan keunggulannya, termasuk hidup, sadar, dan tujuh sifat utama. Setiap fase manifestasi realitas wujud dan setiap tingkat pancaran cahaya keindahan sempurna Tuhan memiliki hubungan khusus dengan Yang Esa. Melaluinya ia memiliki makrifat lentang Tuhan, seperti dinyatakan dalam ayat yang mulia:

.«إِنِّی تَوَکَّلْتُ عَلَی اللَّهِ رَبِّی وَرَبِّکُمْ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِیَتِهَا إِنَّ رَبِّی عَلَی صِرَاطٍ مُسْتَقِیمٍ (56)»

.. Tidak ada makhluk yang melata kecuali Dia memegang jambulnya. (QS Hûd (11): 56)

Konon, huwa (Dia) menunjuk ke misteri Tuhan dan “memegang jambulnya” adalah hubungan eksistensial primordial misterius yang jalan untuk mengetahuinya tertutup bagi semua wu ud. []

p: 344

18 Hadis tentang Zikir kepada Allah

Point

بالسّند المتّصل إلی فخر الطّائفة و ذخرها، محمّد بن یعقوب الکلینی، رضوان الله علیه، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد بن عیسی، عن ابن محبوب، عن عبد الله بن سنان، عن أبی حمزة الثمالی، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: مکتوب فی التّوراة الّتی لم تغیّر أن موسی [علیه السّلام ] سأل ربّه فقال: یا ربّ، أ قریب أنت منّی فأناجیک، أم بعید فأنادیک؟ فأوحی الله عزّ و جلّ إلیه، یا موسی، أنا جلیس من ذکرنی. فقال موسی، فمن فی سترک یوم لا ستر إلّا سترک؟ فقال: الّذین یذکروننی فأذکرهم و یتحابّون فیّ فأحبّهم، فأولئک الّذین إذا أردت أن أصیب أهل الأرض بسوء، ذکرتهم فدفعت عنهم بهم.

... Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah meridhainya dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, dari Ibn Mahbub, dari ‘Abdullah ibn Sinan, dari Abu Hamzah Al-Tsumali, dari Abu Ja'far a.s. yang berkata, “Tertulis dalam Taurat yang tidak berubah bahwa Musa a.s. bertanya kepada Tuhannya, 'Wahai Tuhan, (katakan) apakah Engkau dekat dengan-

p: 345

ku sehingga aku harus berdoa kepada Engkau dengan bisikan atau Engkau jauh sehingga aku harus bersuara keras menyeru-Mu?' Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepadanya, 'Wahai Musa! Aku bersama yang mengingat-Ku.' Musa berkata, “Siapakah mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika tidak akan ada perlin- dungan kecuali perlindungan-Mu? Dia menjawab, “Mereka yang mengingat-Ku, dan Aku mengingat mereka; mereka yang saling mencintai demi Aku. dan Aku mencintai mereka. Mereka adalah orang-orang yang Kuingat saat Aku hendak menimpakan musibah atas penduduk bumi sehingga musibah terhindarkan dari penduduk bumi karena mereka.(1)

Hadis mulia ini memperlihatkan bahwa Taurat yang sekarang ada di tangan kaum Yahudi itu sudah dirusak dan diubah. Ahl Al-Bait a.s. tahu betul kitab Taurat itu. Dari kandungan Taurat dan Injil yang ada sekarang ini, terlihat bahwa kedua kitab ini tidak memenuhi standar pembicaraan yang umumnya diterima orang sekalipun (apa-lagi standar firman Tuhan). Kedua kitab itu sudah cerisi khayalan-khayalan beberapa pergikut hawa nafsu. Peneliti dan ahli hadis, Al-Majlisi—semoga rahmat Allah tercurah atasnya—berkata, “Tampaknya maksud Hadhrat Musa dengan pertanyaan itu adalah mencari tahu tata cara berdoa. Padahal beliau tahu bahwa Allah lebih dekat dengan seseorang daripada urat lehernya sendiri, dengan kedekatan yang didasarkan pada pengetahuan, kekuasaan, dan kekuatan sebab-akibat. Beliau bermaksud mengatakan, 'Apakah Engkau suka kalau hamba-Mu berdoa kepada-Mu dengan bisikan, seperti orang yang berbicara dengan orang lain di dekatnya,

ataukah aku harus menyeru-Mu seperti orang yang menyeru orang lain yang ada di tempat jauh?' Dengan kata lain, 'Apabila aku melihat-Mu, aku dapati Engkau lebih dekat denganku dibandingkan semua yang dekat dan apabila aku melihat diriku sendiri, aku dapati diriku ada di tempat jauh. Maka, aku tidak tahu apakah aku harus mempertimbangkan situasi-Mu dalam doaku atau kondisiku sendiri. Mungkin juga pertanyaan ini diajukan atas nama orang lain, seperti pertanyaan yang berkaitan dengan kemungkinan melihat Yang Mahaindah” (tersebut dalam Al-Quran Surah Al-Afrâf(7): 143).

p: 346


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, II, kitab al-du'a', bâb mâ yajib min dzikrillâh fi kulli majlis, hadis No. 4.

Mungkin Musa bermaksud mengungkapkan rasa kebingungannya dan rasa ingin tahunya mengenai sikap berdoa yang tepat. Dia bermaksud mengatakan, “Ya Tuhan! Engkau terlalu Suci dan di atas segalanya untuk dikenai sifat dekat ataupun jauh, sehingga aku akan menyapa-Mu sebagai yang dekat atau yang jauh. Oleh karena itu, aku kebingungan dalam masalah ini sebab aku tidak melihat cara berdoa yang sesuai dengan kedudukan-Mu yang Agung. Maka, izin-kanlah aku berdoa dan tunjukkanlah caranya. Ajarilah aku cara yang sesuai dengan kedudukan-Mu yang Suci.” Datanglah jawaban dari Sumber Agung lagi Mulia itu, “Aku, sebagai Pemberi rezeki, ada dalam semua tingkat dan eksistensi. Segenap alam merupakan kehadiran-Ku. Namun, Aku bersama mereka yang mengingat-Ku dan bersama

mereka yang menyeru-Ku.”

Tentu saja, dekat dan jauh tidak dapat dikenakan kepada Zat Suci itu. Zat Suci itu memberikan rezeki kepada segala yang maujud (ihateh-ye qayyumi, yaitu Allah Swt. meliputi segala yang maujud dan memberi rezeki kepada semuanya) dan keberadaan-Nya meliputi (syumul-e wujudi) segenap wilayah maujud dan seluruh aliran realitas. Namun, yang disebutkan dalam ayat-ayat mulia kita Allah yang Suci ini mengenai penisbahan dekat kepada Allah Swt., seperti ayat-ayat:

«وَإِذَا سَأَلَکَ عِبَادِی عَنِّی فَإِنِّی قَرِیبٌ أُجِیبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْیَسْتَجِیبُوا لِی وَلْیُؤْمِنُوا بِی لَعَلَّهُمْ یَرْشُدُونَ (186)»

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (katakan kepada mereka bahwa) Aku dekat untuk menjawab seruan orang yang menyeru-Ku .... (QS Al-Baqarah [2]: 186) «وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَیْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِیدِ (16)» ...dan Kami tahu apa yang dibisikkan jiwanya di dalam dirinya, dan Kami lebih dekat dengannya daripada urat lehernya. (QS Qảf (50): 16)

Ayat-ayat seperti itu merupakan semacam kiasan. Sebab Wujud Suci-Nya berada di atas sifat dekat dan jauh, fisik maupun imateriil. Sebab kualitas-kualitas ini mengandung pembatasan/kualifikasi (tahdid) dan penyerupaan (tasybih), sedangkan Allah Swt. berada di luar semua itu. Dan, kehadiran segala wujud di Istana Suci-Nya merupakan kehadiran relasional dan bahwa Zat Suci itu meliputi semua partikel alam semesta dan mata rantai maujud. Dialah yang memberikan rezeki pada semuanya itu. Kehadiran-Nya bukan sekadar

p: 347

pada tataran spiritual atau intelektual, dan bukan pula secara lahiriah dan batiniah semata-mata. Dari hadis mulia di atas, dan beberapa hadis lainnya juga, dapat

disimpulkan bahwa zikır tersembunyi (dzikr-e khafi) dan zikir di dalam hati lebih disukai. Hal ini juga dikemukakan oleh ayat mulia berikut ini:

««وَاذْکُرْ رَبَّکَ فِی نَفْسِکَ تَضَرُّعًا وَخِیفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَکُنْ مِنَ الْغَافِلِینَ (205)»

Ingatlah Tuhanmu dalam jiwamu, dengan rendah hati dan takut, bukan dengan suara keras, pada pagi dan petang hari. (QS Al-A'râf [7: 205)

Dalam sebuah hadis mulia, disebutkan bahwa pahala (tsawâb) zikir ini, mengingat keagungannya, tidak ada yang lalu kecuali Allah Swt. Dalam beberapa keadaan, yang lebih disukai adalah zikir dengan bersuara keras, seperti zikir di depan orang yang lalai demi mengingatkannya. Dalam Al-Kafi, disebutkan bahwa siapa pun yang berzikir kepada Allah Swt. di tengah-tengah orang-orang yang lalai, maka dia seperti orang yang berperang melawan kaum muhâribún (para agresor yang melawan Allah dan Islam). Dalam 'Uddah Al-Dâ'î, karya Ibn Fahd, ada hadis berikut ini:

قال: قال النّبیّ، صلّی الله علیه و آله: من ذکر الله فی السّوق مخلصا عند غفلة النّاس و شغلهم بما فیه، کتب الله له ألف حسنة و غفر الله له یوم القیامة مغفرة لم تخطر علی قلب بشر... Perawi mengatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, “Orang yang berzikir kepada Allah di pasar, dengan ikhlas, di tengah-tengah lalainya orang-orang dan kesibukan mereka dengan pelbagai urusan (duniawi), Allah menuliskan baginya seribu kebaikan dan mengampuninya pada hari kiamat dengan ampunan yang belum pernah terlintas dalam hati manusia." Begitu pula, mustchabb hukumnya berzikir dengan keras dalam azan, khutbah, dan lain-lain.

Dalam hadis mulia ini, disebutkan bahwa berzikir kepada Allah dan saling cinta dan bersahabat demi Allah, memiliki karakteristik-

p: 348

karakteristik tertentu. Salah satunya dan yang terpenting adalah bahwa zikir kepada Allah yang dilakukan sang hamba mengakibatkan Allah ingat kepadanya dan masalah ini juga disebutkan dalam hadis-hadis lain. Zikir ini merupakan lawan dari kelalaian (nisyân), seperti disebutkan oleh Allah Swt. dalam hubungannya dengan orang yang melupakan ayat-ayat Allah:

Dia mengatakan, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu dapat melihat?” Allah menjawab,

«قَالَ کَذَلِکَ أَتَتْکَ آیَاتُنَا فَنَسِیتَهَا وَکَذَلِکَ الْیَوْمَ تُنْسَی (126)» 'Demikianlah, ayat Kami datang kepadamu, tetapi kamu melupakannya. Maka hari ini kamu pun terlupakan.' (QS Thâ Hà (20):126) Nah, kalau melupakan ayat-ayat Allah dan batin tidak melihat manifestasi-manifestasi keagungan dan keindahan Allah dapat mengakibatkan kebutaan di akhirat, mengingat ayat-ayat Allah, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya serta keindahan dan kemuliaan-Nya dapat memperkuat penglihatan batin dan menyingkirkan tabir-tabir penghalang, sebanding dengan intensitas zikir dan cahaya yang ditimbulkannya. Apabila mengingat ayat-ayat Allah telah menjadi malakah

(kebiasaan yang terpendam), penglihatan batiniah juga akan menjadi semakin kuat sehingga mulailah terlihat keindahan Ilahiah dalam ayat-ayat-Nya. Mengingat Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah akan berakibat pada penglihatan Allah dalam segenap manifestasi Nama dan Sifat (tajalliyât-e asma'iyyah wa shiſätiyyah). Mengingat Zat tanpa tabir ayat, Nama dan Siſal dapat menyingkirkan segala bentuk tabir dan membuat kita dapat melihat dengan jelas Sang Kekasih. Inilah salah

satu interpretasi mengenai "tiga kemenangan” (futuhat-e tsalâtsah) yang merupakan kegembiraan puncak para 'urafa' dan wali: fathun qarib (kemenangan yang dekat), fathun mubîn (kemenangan yang nyata), dan fathun muthlaq (kemenangan mutlak) yang merupakan fath al-futûh (puncak kemenangan). Kalau tiga zikir menyingkirkan tiga tabir, saling cinta demi Allah juga akan menyebabkan timbulnya cinta Allah dan hasil dari cinta ini juga menyingkirkan tabir-tabir, seperti dikemukakan oleh para ‘urafâ'. Jelaslah, cinta Allah ini juga memiliki berbagai derajat. Sebab cinta demi Allah juga memiliki banyak tingkat dalam hal keikhlasan

p: 349

dan kelemahannya. Keikhlasan penuh bahkan bebas dari cacat pluralitas Nama dan Sifat (katsrat-e asmâ’i wa shiſâti) bakal melahirkan cinta yang sempurna. Pencinta sejati senantiasa selaras dengan peraturan cinta dan tidak akan ada penghalang antara pencinta dan Yang Dicintai. Berdasarkan penjelasan ini, dapat kita buat hubungan antara dua pertanyaan Musa a.s. Karena setelah mendengar Allah Swt. menyatakan bahwa Dia bersama orang yang mengingat-Nya dan setelah mendengar dari Yang Dicintai janji yang didambakannya di dalam hatinya, yaitu bersama dengan Yang Mahaindah, dia ingin menemukan identitas orang-orang yang akan mencapai persatuan itu sehingga dia dapat menunaikan tugasnya dalam segala aspeknya. Karenanya, dia bertanya: Siapakah mereka yang akan Engkau lindungi pada hari ketika yang ada hanyalah perlindungan-Mu? Yaitu, siapakah yang Engkau lindungi dan terbebas dari segala keterikatan dan merdeka dari segala rintangan dan bersama-sama dengan Engkau yang Mahaindah? Datanglah jawaban, “Mereka adalah dua golongan: merekalah orang-orang yang mengingat-Ku dan orang-orang yang saling mencintai satu sama lain yang juga mengingat-Ku dan ingat akan manifestasi sempurna Keindahan-ku. Mereka Aku lindungi. Aku bersama mereka dan milik mereka.” Ini memperlihatkan bahwa kedua golongan ini memiliki satu kualitas mulia, yang melahirkan karakter niulia lainnya. Karena Allah mengingat mereka dan mencintai mereka, mereka pun mendapatkan perlindungan- Nya pada hari ketika tidak ada perlindungan, dan mereka bersama Allah di tempat yang benar-benar istimewa. Karakteristik lainnya adalah bahwa Allah Swt. menghindarkan makhluk-makhluk-Nya dari siksaan demi kemulian mereka. Yaitu, selama mereka berada di tengah-tengah makhluk, Dia tidak menurunkan azab dan malapetaka atas segenap makhluk demi mereka.

Perbedaan antara Tafakkur dan Tadzakkur

Ketahuilah bahwa tadzakkur (pengingatan) merupakan hasil dari tafakkur (perenungan). Oleh karena itu, kedudukan tafakur dianggap mendahului kedudukan tadzakkur. Khwajah 'Abdullah Al-Anshari berkata, “Tadzakkur berada di atas tafakur (tafakkur) karena sesungguh-

p: 350

nya tafakur adalah mencari (Yang Dicintai), sedangkan tadzakkur adalah mencapai (Yang Dicintai)." Selama manusia berada dalam pencarian, dia terpisah dari yang

dicari. Dengan ditemukannya yang dicari, dia terbebas dari upaya mencari. Kuat dan sempurnanya tadpakkur bergantung pada kuat dan sempurnanya tafakur. Kebaikan dan keutamaan tafakur yang menghasilkan tadzakkur-sempurna tentang Yang Disembah tidak dapat dibandingkan dengan amalan-amalan lain. Oleh karena itu, dalam hadis-hadis mulia, satu jam bertafakur dipandang lebih baik daripada ibadah satu tahun atau bahkan ibadah enam puluh atau tujuh puluh

tahun. Jelaslah bahwa tujuan akhir dan buah ibadah adalah tahu dan ingat akan Allah, dan ini lebih dapat dicapai melalui tafakur yang sempurna. Barangkali, satu jam bertafakur akan membukakan bagi sang salik jalan menuju pengetahuan mistis dan jalan ini tidak dapat dibuka walau dengan tujuh puluh tahun beribadah atau tafakur itu akan membuat manusia sedemikian ingat akan Yang Tercinta, sedangkan berzuhud selama beberapa tahun belum tentu dapat memberikan hasil serupa.

Saudaraku, ketahuilah, ingat akan Yang Tercinta dan menyibukkan hati dengan mengingat Yang Disembah memberikan banyak hasil bagi semua golongan manusia. Bagi kaum sempurna, yaitu para wali dan 'urafa', itu merupakan tujuan puncak harapan-harapan mereka dan berdasarkan inilah mereka bersama kemegahan Yang Tercinta dan ini memberikan banyak kebaikan kepada mereka! Bagi orang biasa dan kaum mutawassithûn (tingkat menengah), ingat itu adalah semulia-mulianya sarana pembentuk moralitas dan perilaku yang baik dalam kehidupan lahiriah maupun batiniah mereka. Kalau manusia senantiasa ingat akan Allah Swt. dalam keadaan apa pun dan menyadari dirinya hadir di hadapan Zat Suci, tentu dia menahan diri dari masalah-masalah yang tidak sesuai dengan keridhaan-Nya, dan mengendalikan diri agar tidak bersikap durhaka. Semua malapetaka dan penderitaan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu dan setan terkutuk disebabkan oleh kelupaan akan Allah dan hukuman-Nya. Lupa akan Allah semakin mempergelap hati dan memberi peluang pada hawa nafsu dan setan untuk menguasai ma-

p: 351

nusia, dan ini artinya memperbesar penderitaannya hari demi hari. Ingat akan Allah membersihkan dan mengilapkan hati dan menjadikannya sebagai tempat (penjelmaan) keindahan Yang Tercinta. Ingat akan Allah menyucikan jiwa dan membebaskan diri dari perbudakan. Cinta akan dunia, yang merupakan sumber segala kesalahan dan dosa, akan tersingkirkan dari hati yang berada dalam keadaan ingat pada-Nya. Semua kecemasan dan ketakutan digantikan oleh kepe-

dulian menyucikan hati demi masuknya para perajurit Sang Mahapengasih.

Oleh karena itu, Saudaraku, apa pun penderitaan dan kesulitan yang kamu alami di jalan zikir dan ingat akan Yang Tercinta, tidak begitu berarti. Biasakanlah hatimu mengingat Yang Tercinta, agar insya Allah, hati itu sendiri membentuk zikir sehingga kalimat lâ ilâha illa Allâh menjaci bentuk akhir dan kesempurnaan baginya.

Tidak ada lagi bekal yang lebih baik bagi sang salik dalam perjalanannya menuju Allah, tidak ada lagi yang lebih dapat memperbaiki cacat-cacat jiwanya dan tiada lagi yang lebih dapat membimbing menuju ajaran-ajaran Allah melebihi ingat kepada-Nya. Nah, kalau kamu mencari keutamaan-keutamaan formal dan spiritual, kalau kamu menempuh jalan akhirat, kalau kamu sedang menuju Allah, biasakanlah hatimu untuk ingat akan Yang Tercinta.

Zikir Sempurna

Sekalipun berzikir kepada Allah merupakan kualitas hati dan hati yang tenggelam dalam zikir yang akan memperoleh manfaat-manfaat zikir, tetap saja zikir hati itu sebaiknya diikuti dengan zikir lisan. Derajat paling sempurna dan paling baik dari zikir adalah zikir pada semua tingkat wujud manusia, yakni zikir yang wilayahnya meliputi alam wujud lahiriah maupun batiniah, dimensi tampak dan gaib manusia. Dengan demikian, Allah Swt. akan menjelma dalam pusat wujudnya. Bentuk batiniah hati dan jiwa manusia ini akan berbentuk zikir pada Yang Tercinta, dan gerak-gerik hati serta tubuhnya juga akan berbentuk zikir tersebut. Tujuh bidang wujud jasadi maupun batiniah manusia harus didominasi oleh dzikrullâh dan dikuasai oleh ingatan pada Yang Mahaindah.

p: 352

Kalau bentuk batiniah hati berubah menjadi hakikat zikir dan alam hati telah dipenuhi dengannya sehingga kedaulatan hati meliputi semua wilayah lain wujud manusia, gerak dan diamnya mata, lidah, tangan, kaki, dan gerak-gerik semua anggota dan fakultas manusia lainnya akan disertai dengan ingatan pada Allah. Jika sudah demikian, tidak akan ada gerakan yang bertentangan dengan tugas-tugas (yang telah Allah tetapkan) sebagai tanggung jawab mereka. Kemudian, gerak dan diamnya orang seperti ini akan dimulai dan diakhiri dengan dzikrullah: Bismillah akan menjadi jalannya dan tempat berlabuhnya. (QS Hûd [11]: 41)

Akibat selanjutnya, pengaruh zikir itu akan sampai ke semua dimensi yang merupakan hasil yang selaras dengan realitas Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi. Semua bidang itu membentuk Nama Agung Allah (ism Allâh al-aʻzham), dan menjadi manifestasi (mazhhar) bagi-Nya. Inilah batas puncak kesempurnaan manusia dan tujuan akhir yang didambakan oleh orang-orang pilihan Allah (ahl Al-Allâh). Pengaruh zikir juga ada kekurangannya, kalau derajat keutamaan manusia belum sempurna karena kekurangannya yang batin dan yang lahir saling memengaruhi satu sama lain. Ini karena berbagai tingkat eksistensi manusia saling berkaitan dan saling memengaruhi Dari sinilah, diketahui bahwa zikir lisan yang merupakan tingkat terendah zikir juga ada manfaatnya. Yakni, pertama, lidah melaksanakan kewajibannya, meskipun gerakannya bersiſat formal belaka dan tidak ada ruhnya. Kedua, ada kemungkinan bahwa terus melakukan zikir lisan ini, asalkan sesuai dengan syarat-syaratnya, bisa menjadi sarana untuk membuka lidah hati.

Guru kami, arif sempurna, Syahabadi-semoga jiwaku menjadi tebusannya—berkata, “Dzâkir (orang yang berzikir), selama berzikir harus seperti orang yang mengajarkan kata-kata kepada seorang anak kecil yang belum bisa berbicara. Dia harus mengulangi kata itu sampai lidah anak kecil itu dapat mengucapkannya. Setelah itu, sang guru mengikuti sang anak, sampai kelelahannya yang disebabkan pengulangan itu tersingkirkan, seakan-akan dia telah menerima bantuan

p: 353

dorongan dari sang anak. Begitu pula, orang yang berzikir harus mengajarkan zikir pada hatinya, yang belum dapat mengucapkannya dengan baik. Maksud di balik pengulangan zikir itu adalah agar lidah hati terbuka. Tanda terbukanya lidah hati adalah bahwa setelah itu lidah mengikuti hati dan tersingkirkanlah kesulitan dan kepenatan dalam melakukan pengulangan zikir. Jadi, mula-mula lidah yang berzikir dan lalu hati juga berzikir dengan dibantu oleh lidah dan dengan bimbingan lidah. Setelah itu, lidah hati menjadi tahu cara mengucapkannya dengan benar, maka lidah mengikutinya dalam berzikir dibantu oleh hati atau bantuan gaib dari Allah.” Ketahuilah bahwa tindakan lahiriah dan tindakan formal tidak memiliki kapasitas hidup di alam gaib atau malakút, kecuali setelah mendapat bantuan dari alam batiniah jiwa dan lubuk hati. Bantuan itu akan memberikan tindakan-tindakan tersebut dengan kehidupan spiritual (hayat-e malarûtî). Napas spiritual itu, yang merupakan bentuk keikhlasan niat, adalah seperti jiwa batiniah yang tubuhnya juga akan dibangkitkan kembali di alam malakût dan diizinkan masuk kehadirat Ilahi. Oleh karena itu, dalam hadis-hadis mulia dikatakan bahwa diterimanya perbuatan-perbuatan (fisik) didasarkan pada ukuran kehadiran dan kesediaan hati untuk menerima. Meskipun demikian, hendaknya seseorang melakukan zikir lisan karena hal ini membawa manusia untuk mencapai kebenaran. Oleh karena itu, dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat, zikir lisan sangat dipuji dan ada beberapa topik yang dibahas oleh banyak hadis, sebanyak hadis yang membahas topik zikir. Zikir lisan juga sangat dipuji dalam ayat-ayat suci, sekalipun kebanyakan bertalian dengan zikir batiniah (dikreqalbi) dan jiwa yang berzikir. Ingat akan Allah (zikir) mendatangkan rahmat, pada tingkat apa pun zikir itu terjadi. Pada tahap ini kami akhiri pembicaraan ini dengan menyebutkan beberapa hadis mulia demi mendapatkan barakahnya:

کافی بسند صحیح عن الفضیل بن یسار قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: ما من مجلس یجتمع فیه أبرار و فجّار فیقومون علی غیر ذکر الله عزّ و جلّ إلّا کان حسرة علیهم یوم القیامة

p: 354

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dengan sanadnya yang sahih dari Al-Fudhail ibn Yasar bahwa Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. berkata, “Tidak ada majelis orang-orang bajik dan pendosa duduk bersama-sama dan setelah itu bangkit pergi tanpa menyebut Allah Swt., kecuali hal itu akan menyebabkan mereka semua menyesal di

hari kiamat.(1)

Jelaslah bahwa apabila manusia mengetahui manfaat-manfaat besar zikir kepada Allah pada hari kiamat, sementara dia sendiri tidak mendapatkan manfaat-manſaat itu, dia akan tahu betapa besar kerugiannya yang tidak bisa ditebus itu, yaitu lewatnya pelbagai karunia dan kenikmatan yang seharusnya bisa ia peroleh. Akibatnya, dia terbenam dalam penyesalan. Oleh karena itu, selama masih ada kesempatan, manusia supaya memanfaatkan majelis-majelisnya, jangan sampai

majelis-majelis itu tidak ada dzikrullâh di dalamnya.

کافی بسند موثّق عن أبی جعفر، علیه السّلام: من أراد أن یکتال بالمکیال الأوفی فلیقل، إذا أراد أن یقوم من مجلسه: «سبحان ربّک ربّ العزّة عمّا یصفون. و سلام علی المرسلین. و الحمد لله ربّ العالمین.»

Dalam Al-Kâfî, diriwayatkan dengan sanad muwatstsaq dari Imam Al-Baqir a.s. yang berkata, “Barang siapa ingin mendapatkan rahmat Allah yang penuh, hendaknya mengatakan ketika bangkit dari majelisnya, 'Subhâna Rabbika Rabbi Al-'Izzati 'Ammâ Yashifûn wa salâmun 'ala Al-Mursalîn wa Al-Hamdulillahi Rabbi Al-'Alamin (Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Mahaperkasa, dari apa yang mereka sifatkan dan salam sejahtera atas para rasul serta segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.(2)

Dan diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq bahwa Amir Al-Mukminin ‘Ali a.s. berkata, “Barang siapa ingin menerima pahala yang penuh pada hari kiamat, hendaknya membaca ayat-ayat mulia ini setelah shalat.(3) Juga diriwayatkan dalam sebuah hadis mursal dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa membaca ayat-ayat ini pada akhir suatu majelis merupakan penghapus dosa-dosa.(4)

کافی بإسناده عن ابن فضّال رفعه قال: قال الله عزّ و جلّ لعیسی،

p: 355


1- 3. Al-Kafi, II, kitab al-du'à', bâb mâ yajib min dzikrillâh fi kulli majlis,
2- 4. Ibid., hadis No. 5.
3- 5. Jami' Al-Ahadits, kitab al-shalâh, hadis No. 3487.
4- 6. Wasâ'il Al-Syi'ah, XV, hadis No. 28901.

علیه السّلام: یا عیسی، اذکرنی فی نفسک، أذکرک فی نفسی، و اذکرنی فی ملاک أذکرک فی ملا خیر من ملا الآدمیّین، یا عیسی، ألن لی قلبک و أکثر ذکری فی الخلوات، و اعلم أنّ سروری أن تبصبص إلیّ، و کن فی ذلک حیّا و لا تکن میّتا،،

Al-Kafi, dalam sebuah hadis marfü', meriwayatkan dengan sanadnya dari Fadhdhal, dari Imam a.s. yang berkata, “Allah Swt. berkata kepada Isa a.s., 'Wahai Isa, ingatlah Aku dalam dirimu sehingga Aku akan mengingatmu dalam Diriku. Sebutlah Aku dalam majelismu sehingga Aku akan menyebutmu dalam suatu majelis yang lebih baik daripada majelisnya manusia. Wahai Isa, lembutkanlah hatimu untuk-Ku dan ingatlah Aku banyak-banyak dalam kesendirianmu. Ketahuilah bahwa Aku senang kalau kamu melakukan tabashbush kepada-Ku. Dan hiduplah di situ dan janganlah mati.(1)

Arti tabashbush adalah anjing yang mengibaskan ekornya karena takut atau berharap, dan ini menggambarkan intensitas hasrat dan kerendahan hati. Yang dimaksud dengan “hidup” dalam zikir adalah kehadiran dan perhatian hati.

کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: إنّ الله عزّ و جلّ یقول: من شغل بذکری عن مسألتی، أعطیته أفضل ما أعطی من سألنی

Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, "Sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman, 'Orang yang karena mengingat-Ku lalu, tidak sampai meminta sesuatu dari-Ku maka Aku berikan kepadanya sebaik-baik apa yang telah Aku berikan kepada pemohon yang meminta sesuatu dari-Ku. (2)

عن أحمد بن فهد فی عدّة الدّاعی، عن رسول الله، صلّی الله علیه و آله، قال: ... و أعلموا أنّ خیر أعمالکم [عند ملیککم ] و أزکاها و أرفعها فی درجاتکم و خیر ما طلعت علیه الشّمس ذکر الله سبحانه و تعالی، فإنّه أخبر عن نفسه فقال: أنا جلیس من ذکرنی.

p: 356


1- 7. Al-Kafi, II, kitab al-du'a, bab dzikrullah fi al-sirr, hadis No. 3.
2- 8. Ibid., bâb al-isytighal bi dzikrillâh, hadis No. 1.

... Ahmad ibn Fahd meriwayatkan dalam 'Uddah Al-Da'i dari Rasulullah Saw. yang bersabda, “Sebaik-baik perbuatanmu di sisi Allah, dan sesuci-suci serta semulia-mulia perbuatanmu, dan sebaik-baik yang disinari matahari, adalah zikir kepada Allah Swt. Sesungguhnya Dia telah memberitahumu, dengan kata-kata, 'Aku bersama dia yang mengingat-Ku.(1)

Hadis-hadis mengenai keutamaan zikir, caranya, tata caranya, dan syarat-syaratnya banyak sekali sehingga tak dapat disebutkan semuanya dalam halaman-halaman buku ini. Dan, segala puji bagi Allah pada awal dan akhirnya batiniah maupun lahiriah.[}

p: 357


1- 9. 'Uddah Al-Da'i, 238.

19 Hadis tentang Ghibah (Mengumpat)

Point

بسندی المتّصل إلی ثقة الإسلام و المسلمین، محمّد بن یعقوب الکلینی، رضوان الله تعالی علیه، عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن النّوفلیّ، عن السّکونیّ، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: الغیبة أسرع فی دین الرّجل المسلم من الأکلة فی جوفه.

Dengan sanadku yang bersambung kepada Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini---semoga Allah Taala meridhainya-dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Al-Naufali, dari Al-Sakuni, dari Abu 'Abdillah a.s. yang berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, 'Ghibah lebih cepat (merusak) pada agama seseorang daripada penyakit

aklah (yang merusak) pada tubuhnya.” Imam a.s. bersabda, “Rasulullah Saw. bersabda, 'Duduk di masjid menanti (waktu) shalat itu ibadah, selama tidak melakukan perbuatan (buruk). Rasul Saw. ditanya, 'Ya Rasulullah, perbuatan buruk apa itu?' Rasul menjawab, Ghibah.(1)

p: 358


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-ghibah wa al-buht, hadis No. 1.

Hadis tentang Ghibah (Mengumpat)

Ghîbah adalah mashdar (kata jadian) dari kata kerja ghâba dan juga ism mashdar dari ightiyâb. Al-Jauhari dalam Al-Shihah-nya menyebutkan bahwa ightâbahu ightiyâban berarti seseorang yang terjerumus pada perbuatan ightiyâb. Ghibah dan ightiyâb artinya adalah membicarakan sesuatu berita tentang seseorang di belakangnya, yang tidak disukainya, jika dia mendengarnya. Jika berita tentangnya itu benar, ia disebut ghibah dan jika tidak benar, ia disebut buhtân (mengumpat,

memfitnah).”

Ulama hadis, Al-Majlisi, mengomentari bahwa yang disebutkan di atas definisi ghibah secara bahasa. Akan tetapi, tampaknya yang dikemukakan penulis Al-Shihah di atas adalah definisi terminologisnya (ishthilâhî), bukan makna kebahasaannya. Sebab, makna harfiah dari ghâba, ightâba, dan yang seakar kata dengannya tidak bermakna demikian, tetapi lebih umum dari definisi tersebut. Para penulis kamus terkadang langsung menyebutkan definisi terminologis dalam karya-karya mereka. Penulis Al-Qâmûs mengatakan bahwa ghibah atau ghâba adalah sinonim dari kata ‘âba yang berarti mencela. Menurut penulis Al-Mishbâh Al-Munir, kata ightâbahû bermakna menyebut suatu cacat seseorang yang tidak disenanginya, yang merupakan fakta.” Hemat penulis ini, makna-makna di atas itu tidak memberikan

makna harfiah; tetapi pada masing-masing definisi yang disebutkan terdapat benang merah yang saling memiliki hubungan dengan definisi terminologisnya. Tak perlu terlalu jauh kita membahas persoalan ini karena tidak ada manfaatnya, yang penting adalah kita dapat mengetahui hukumnya secara menurut Islam. Akan terbaca nanti pada saat mengkaji masalah ini lebih dalam bahwa ghibah memiliki ketentuan-ketentuan khusus berdasarkan hukum Islam yang tidak sampai ter-

jangkau oleh definisi kebahasaan maupun yang biasa dipahami oleh masyarakat umum.

Al-Majlisi menyebutkan bahwa kata aklah-yang bunyi bacaannya seperti kata farhah-adalah suatu penyakit pada salah satu anggota tubuh manusia yang dapat menghabiskannya, seperti disebutkan dalam Al-Qâmûs dan kamus-kamus lain. Kata ini biasa juga dibaca âkilah, dengan madd pada huruf hamzah-seperti bunyi kata fā'ilah-

p: 359

yang berarti penyakit yang menggerogoti daging. Makna pertama lebih sesuai dengan makna kebahasaannya. Betapapun, maksud dari kata itu adalah bahwa apabila penyakit itu menyerang organ tubuh manusia, khususnya yang bersifat lembut seperti bagian dalam tubuh manusia, ia akan menggerogoti tubuh

dengan cepat dan menghancurkannya. Demikian pula halnya ghibah, dapat menggerogoti iman manusia dan menghancurkan iman itu, bahkan lebih cepat dari penyaki aklah di atas. Kata kerja mâ lam yuhdits (selama ia tidak melakukan perbuatan), pada hadis di atas subjeknya adalah jālis (orang yang duduk) yang

tersirat dalam kata julûs. Kata ightiyâb adalah objek yang manshûb dari kata kerja yuhdits yang tersirat dalam ucapan si penanya. Dalam beberapa manuskrip, tertulis ما الحَدَثُ bukannya وَمَ یُحَدِّثُ, yang dalam kasus ini ightiyâb berkedudukan sebagai predikat (khabar) yang terbaca marfü".

Definisi Ghibah

Ketahuilah bahwa para faqih—semoga ridha Allah atas mereka semua- telah memberikan banyak definisi tentang ghibah, yang di sini tidak mungkin dapat ditelaah satu per satu secara mendalam kecuali secara ringkas saja. Syaikh Syahid (Zainuddin ‘Ali, yang dikenal sebagai Al-Syahid Al-Tsani) dalam Kasyf Al-Ribah'an Ahkam Al-Ghîbah-nya menyebutkan dua definisi ghibah. Definisi pertama terkenal di kalangan ulama fiqih, yaitu:

هو ذکر الإنسان حال غیبته بما یکره نسبته إلیه، ممّا یعدّ نقصانا فی العرف بقصد الانتقاص و الذّمّ.»

(Ghibah) adalah menyebut-nyebut keburukan seseorang yang tidak disukainya pada saat dia tidak hadir, keburukan yang pada umumnya merupakan suatu aib dengan maksud merusak dan menjelek-jelekkan (reputasinya)-nya.

p: 360

Definisi kedua Ghibah

«التّنبیه علی ما یکره نسبته إلیه

Mengucapkan sesuatu yang penisbahannya kepada orang yang bersangkutan dianggap menjijikkan olehnya.” Definisi kedua lebih umum dari definisi pertama. Kesimpulan dari definisi pertama adalah bahwa ghibah merupakan suatu pekerjaan menyebutkan keburukan seseorang di belakangnya, yang apabila dia mendengarnya, niscaya dia membenci penyebutan tersebut karena itu merupakan kekurangan dan cela bagi yang bersangkutan. Penyebutan keburukan ini sengaja dilakukan dengan maksud menjelekjelekkan dan merusak nama baik yang bersangkutan. Sementara kesimpulan definisi kedua adalah bahwa ghibah adalah mengucapkan secara lisan keburukan orang lain.

Tentunya definisi kedua lebih bersifat umum daripada definisi pertama, yaitu apabila kata dzikr dalam definisi pertama diartikan sebagai penyebutan secara lisan, sebagaimana begitulah kata itu dipahami secara umum. Sedangkan kata tanbih artinya lebih luas dan mencakup ucapan, tulisan, narasi, dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Namun, apabila kata dzikr diartikan sebagai sesuatu yang lebih luas daripada kata tanbih, sebagaimana begitulah artinya secara harfiah, kedua definisi itu menunjuk pada sesuatu yang sama, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis yang mengemukakan dua definisi ini. Ini sesuai dengan riwayat Abu Bashir--sebagaimana dikutip Al-Syaikh Al-Thusi dalam Majális-nya--mengenai wasiat Nabi Saw. kepada Abu Dzar r.a, yaitu:

فی وصیّة النبیّ، صلّی الله علیه و آله، لأبی ذرّ، رضوان الله علیه. و فیه: قلت: یا رسول الله، ما الغیبة؟ قال: ذکرک أخاک بما یکره. قلت: یا رسول الله، فإن کان فیه الّذی یذکر به؟ قال: اعلم، أنّک إذا ذکرته بما هو فیه، فقد اغتبته، و إذا ذکرته بما لیس فیه، فقد بهتّه

Abu Dzarr berkata, “Aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah ghibah itu?” Rasul menjawab, '(Apabila) kamu menyebutkan sesuatu yang

p: 361

diperbuat saudaramu, berarti kamu telah meng-ghibah-nya, dan apabila kamu menyebutkan sesuatu yang tidak dilakukannya, berarti kamu telah mem-buhtân-nya.(1)

Dalam hadis lain, Nabi Saw. bersabda: هل تدرون ما الغیبة؟ فقالوا: الله و رسوله أعلم. قال: ذکرک أخاک بما یکره

(Nabi saw. bertanya kepada sahabat-sahabatnya), “Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasul Saw. berkata, "Itu adalah menyebutkan sesuatu tentang saudara kalian tidak disukainya." Dua hadis yang baru saja disebutkan ini dapat dikatakan sesuai dengan definisi pertama ghibah, apabila kita pahami makna dzikir seperti yang umumnya digunakan, dapat juga dikatakan sama dengan definisi kedua, berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa dzikr lebih luas cakupannya daripada gaul. Hadis-hadis ini tidak memberi penekanan pada masalah ketidakhadiran yang sedang dibicarakan

karena secara implisit sudah dijelaskan dari makna ghibah itu sendiri. Jelaslah bahwa arti “saudara” di sini adalah saudara seiman, bukan saudara sedarah. Kalimat mâ yakrahu berarti menyebutkan hal-hal yang dianggap sebagai suatu cacat, aib, dan kekurangan yang sedang dibicarakan. Adapun niat untuk merugikan dan meremehkan. meskipun tidak disebutkan dalam hadis mulia yang diriwayatkan oleh Abu Dzarr atau hadis mulia Nabi, toh dapat dipahami dari konteksnya. Namun, pembukaan riwayat Abu Dzarr mengindikasikan-nya, dan tak perlu disebutkan secara tersurat. Riwayat itu dibuka dengan kata-kata seperti ini:

الغیبة أشدّ من الزّنا. قلت: و لم ذاک یا رسول الله [صلّی الله علیه و آله ]؟ قال: لأنّ الرّجل یزنی فیتوب إلی الله فیتوب الله علیه، و الغیبة لا تغفر حتّی یغفرها صاحبها ... ثمّ قال: و أکل لحمه من معاصی الله

(Nabi Saw. bersabda), “Ghibah merupakan suatu dosa yang lebih berat daripada berzina.” Kataku, “Bagaimana itu, Ya Rasul Allah?"

p: 362


1- 2. Al-Hurr Al-Amili, Waså’il Al-Syirah, VIII, hadis No. 16312.

"Itu karena seseorang yang berzina dan bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun, ghibah tidak diampuni (oleh Allah) sampai diampuni oleh korbannya ....” Lalu beliau Saw. bersabda, “Memakan dagingnya merupakan dosa terhadap Allah.(1)

Dapat dipahami pula dari pembuka hadis riwayat Abu Dzar r.a. di atas bahwa penyebutan (keburukan orang lain) yang disertai niat untuk menjelek-jelekkan adalah ghibah, sedangkan jika penyebutan itu dimaksudkan karena rasa kasihan pada (yang sedang disebutkan keburukan)-nya, itu tidak dikatakan ghîbah, sehingga tidak perlu meminta maaf kepadanya dan tidak pula dikatakan “memakan daging saudaranya”. Ghibah juga bersifat lebih umum daripada sekadar penyebutan secara lisan. Ini dipahami dari riwayat ‘A’isyah berikut ini:

قالت: دخلت علینا امرأة، فلمّا ولّت، أومأت بیدی أنّها قصیرة فقال، صلّی الله علیه و آله: اغتبتها

("Aisyah berkata), “Seorang wanita datang mengunjungi kami. Dan, ketika dia pergi, aku memberikan isyarat dengan tanganku untuk menunjukkan bahwa dia itu kurang tinggi. Kemudian beliau salam dan shalawat Allah atasnya dan keturunannya—bersabda, "Kamu telah berbuat ghibah terhadapnya.(2)

Dapat dikatakan bahwa makna hadis-hadis mengenai ghibah, seperti dipahami menurut pemakaiannya, tidak membatasinya pada ungkapan kebahasaan saja, tetapi juga mencakup semua bentuk komunikasi. Disebutkannya secara khusus ungkapan kebahasaan (ghibah) ini dengan maksud bahwa kata itu merupakan salah satu

cara untuk memahamkan makna dan kesan dari kata itu, yakni bahwa ghîbah umumnya dalam bentuk ucapan, tetapi, sekali lagi, ungkapan kebahasaan tidak membatasi jenis perbuatan ghibah tersebut. Satu hal lagi yang dapat disimpulkan dari hadis-hadis di atas bahwa menyingkap rahasia-rahasia orang Mukmin adalah haram. Dengan kata lain, dilarang mengungkapkan keburukan ataupun cacat-cacat orang Mukmin, entah itu cacat tubuh, moral, atau perangai, tak soal apakah orang itu suka atau tidak, dan tak soal apakah si

p: 363


1- 4. Wasa'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16312.4. Wasa'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16312.
2- 5. Al-Naraqi, Jâmi' Al-Sa'adah, II, 294. (Sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan dengan judul Penghimpun Kebahagiaan-penerj.).

pengungkap keburukan itu berniat jahat atau tidak. Namun, kalau hadis-hadis ini ditelaah secara mendalam, kita dapat melihat bahwa niat jahat itulah yang inendasari pelarangan itu kecuali apabila tindakan itu sendiri sedemikian sehingga menyebutnya dan menyiarkannya dilarang oleh syariat-seperti dosa terhadap Allah, yang pendosa bahkan tidak boleh menyatakannya, dan yang menyiarkannya sama saja dengan menyiarkan ketidaksenonohan—dan ini tidak ada

kaitannya dengan pengharaman berbuat ghibah. Tidaklah mustahil mengungkapkan rahasia orang Mukmin yang tidak disukainya tetap saja haram, meskipun tidak ada maksud buruk dari pengungkapan itu. Tidak perlu lagi kita pemerinci lebih lanjut persoalan ini karena itu berada di luar ruang lingkup pembahasan kami.

Ketahuilah bahwa pengharaman ghîbah merupakan sesuatu yang telah disepakati, bahkan termasuk salah satu masalah penting dalam ilmu fiqih, dan pelakunya dianggap telah melakukan dosa besar yang membinasakan. Bukan tempatnya di sini untuk membahas aspek fiqihnya dan pengecualian-pengecualian yang berkaitan dengannya. Di sini, yang penting adalah menginformasikan tentang kejinya dosa besar ini beserta konsekuensi-konsekuensinya sehingga insya Allah dengan merenungkannya kita dapat menghindarkan diri dari ghibah itu. Dan kalau toh, na’üdzu billâh, kita melakukan ghibah, kita dapat segera menghentikannya dan lalu bertobat, menyucikan diri kita dari sesuatu yang sangat dibenci ini, dan tidak membiarkan diri untuk tetap melakukan kekejian ini dan tidak membiarkan diri senantiasa menderita dosa besar yang melenyapkan iman sampai berpisah dengan dunia ini. Ini karena cosa besar tersebut memiliki bentuk yang mengerikan di alam spiritual yang tersembunyi dan di balik tabir-tabir dunia fana ini. Selain buruk, ia juga menimbulkan aib di hadapan Allah Swt. yang dihadiri para rasul, para nabi, dan para malaikat (Al-Mala' Al-A'là). Bentuk spiritualnya adalah seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam kitab mulia-Nya dan yang telah dikemukakan

secara tersurat maupun tersirat dalam hadis-hadis mulia. Allah Swt. berfirman:

«وَلَا یَغْتَبْ بَعْضُکُمْ بَعْضًا أَیُحِبُّ أَحَدُکُمْ أَنْ یَأْکُلَ لَحْمَ أَخِیهِ مَیْتًا فَکَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِیمٌ (12)»

... dan jangan sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya

p: 364

yang sudah mati? Maka kamu jijik kepadanya. (QS Al-Hujurat [49]:12)

Kita lupa akan kenyataan bahwa perbuatan kita akan kembali kepada kita di akhirat sebagai sesosok makhluk, yang bentuknya sesuai dengan karakter perbuatan itu. Kita tidak tahu bahwa bentuk perbuatan (ghibah) ini adalah bentuk pemakan mayat. Orang yang berbuat ghibah itu menyerupai seekor anjing dalam hal kebuasannya mencabik-cabik kehormatan orang lain dan melahap dagingnya. Bentuk malakûtî dari perbuatannya yang buruk ini—anjing pemakan daging orang yang sudah mati-akan mendampinginya di neraka nanti. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa pada saat Rasulullah Saw. menjatuhi hukum rajam pada seorang lelaki karena perbuatan zina, salah seorang yang hadir berkata kepada sahabatnya (yang sedang dirajam itu):

و فی روایة أنّ رسول الله لمّا رجم الرّجل فی الزّنا، قال رجل لصاحبه: هذا اقعص کما یقعص الکلب. فمرّ النّبیّ معهما بجیفة، فقال: انهشا منها. فقالا: یا رسول الله، ننهش جیفة! فقال: ما أصبتما من أخیکما أنتن من هذه.

“Orang ini (semoga) kematiannya dipercepat, seperti anjing yang (harus) segera dibunuh.” Setelah itu, Nabi, dengan disertai kedua orang itu, melewati bangkai, lalu beliau Saw. berkata kepada mereka berdua, “Nah, gigitlah bangkai itu.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, haruskah kami menggigit bangkai?” Nabi menjawab, “Apa yang telah kamu lakukan (ber-ghîbah) tentang saudaramu itu lebih busuk dibandingkan dengan ini.(1) Benar, sesungguhnya Rasul mulia Saw., dengan cahaya pengetahuannya yang luar biasa, melihat sangat busuknya perbuatan mereka, lebih busuk dibandingkan dengan bangkai yang sudah membusuk, dan melihat bentuk malakûtî perbuatan itu lebih menjijikkan. Dalam hadis lain, disebutkan bahwa pelaku ghibah akan melahap dagingnya sendiri pada hari kiamat. Disebutkan pula dalam buku Al-Wasâ’il, sebuah hadis yang dikutip dari buku A‘mal, karya Al-Shaduq, yang

p: 365


1- 6. Al-Mahajjah Al-Baidha', V, 253

meriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin mendatangi ‘Ali a.s. Nauf Al-Bakali dan menasihatinya, sampai ketika sahabat mulia itu berkata kepada Imam 'Ali as., “Tambahkan untukku lagi (nasihatmu). "Lalu, Imam a.s. berkata:

اجتنب الغیبة، فإنّها إدام کلاب النّار. ثمّ قال: یا نوف، کذب من زعم أنّه ولد من حلال و هو یأکل لحوم النّاس بالغیبة. الحدیث.

""Hindarilah perbuatan ghibah sebab itu adalah makanan anjing-anjing neraka.' Lalu, beliau berkata, "Wahai Nauf, berdustalah orang yang mengaku dilahirkan secara halal (sah) sementara dia melahap daging orang melalui ghîbah.(1)

Di antara hadis-hadis mulia ini tidak ada kontradiksi. Dan, semua ini mungkin saja. Bisa saja pelaku ghibah akan melahap daging bangkai, memakan dagingnya sendiri, berbentuk anjing yang memakan bangkai, dan pada saat yang sama ia berbentuk bangkai yang dicabik-cabik dan dimakan anjing-anjing neraka. Di sana, bentuk-bentuknya berdasarkan perbuatan-buruk yang dilakukan si pelaku, sehingga satu wujud bisa memiliki beberapa bentuk-ebagaimana dijelaskan kajian-kajian filsafat dan ilmu 'irfân. Dalam buku 'lqab Al-Afmål, disebutkan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa dalam sebuah hadis panjang, di antaranya Rasulullah bersabda:و عن عقاب الأعمال بإسناده عن رسول الله، صلّی الله علیه و آله، فی حدیث: ... و من مشی فی غیبة أخیه و کشف عورته، کانت أوّل خطوة خطأها وضعها فی جهنّم و کشف الله عورته علی رءوس الخلائق “... barang siapa berjalan dengan meng-ghîbah saudaranya dan membuka keburukan-keburukannya, langkah pertama yang dilakukannya telah dia letakkan di neraka, dan Allah akan membuka keburukan-keburukannya di depan semua makhluk.(2) Begitulah keadaannya pada hari kiamat dan di neraka, Allah Swt. akan mempermalukannya di hadapan makhluk-makhluk dan di hadapan para penghuni alam samawi dan alam surgawi.

p: 366


1- 7. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16319.
2- 8. Al-Syaikh Al-Shaduq, 'Igab Al-A'mal, 340.

Dalam Al-Wasa'il, dengan sanad yang sampai ke Imam Al-Shadiq a.s., Nabi Saw. diriwayatkan bersabda: و قال: من اغتاب امرء مسلما، بطل صومه و نقض وضوءه و جاء یوم القیامة یفوح من فیه رائحة أنتن من الجیفة، یتأذّی به أهل الموقف. و إن مات قبل أن یتوب، مات مستحلّا لما حرّم الله عزّ و جلّ.

“Barang siapa mengumpat seorang Muslim berarti dia membatalkan puasa dan wudhunya, dan pada hari kiamat mulutnya berbau busuk daripada bangkai, dan ini akan membuat kesal mereka yang disekelilingnya. Jika dia mati sebelum bertobat, matinya (seperti matinya orang yang mati) dalam keadaan menghalalkan apa-

apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla.(1)

Inilah keadaannya sebelum dia masuk ke neraka sehingga dia dipermalukan di depan umat manusia dan dia tergolong ke dalam kelompok orang-orang kafir, orang yang menghalalkan sesuatu yang haram itu kafir. Nasib akhir seorang pengumpat (mughtâb) pada hari kiamat mertyerupai nasib orang kafir, karena menurut hadis mulia ini, mereka sama-sama menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah Mengenai keadaan orang seperti itu di alam barzakh, hadis Nabi Saw. yang lain menyebutkan:عن أنس قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: مررت لیلة اسری بی علی قوم یخمشون وجوههم بأظافیرهم. فقلت: یا جبرئیل، من هؤلاء؟ قال: هؤلاء الّذین یغتابون النّاس و یقعون فی أعراضهم.

Anas ibn Malik berkata, “Rasulullah Saw. bersabda, 'Pada malam aku di-isra’-kan aku melewati satu kaum yang sedang mencakar-cakar wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku jemari mereka. Aku berkata, 'Wahai Jibril, siapakah mereka itu?' Jibril menjawab, "Mereka itu orang-orang yang melakukan ghibah terhadap manusia dan merusak kehormatan mereka.(2)

p: 367


1- 9. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16316.
2- 10. Al-Mahajjah Al-Baidhâ', V, 251.

Ini semakin memperjelas bahwa pelaku ghibah akan dipermalukan di alam barzakh, dan dipermalukan di depan orang-orang yang berada di Mahsyar ketika semua manusia menghadapi pertanggung jawaban amal mereka di hadapan Tuhan seru sekalian alam. Orang itu akan dicampakkan ke dalam api neraka dalam keadaan terhina. Bahkan beberapa jenis perbuatan ghîbah ini akan menyebabkan pelakunya dipermalukan di dunia. Dalam Al-Kafi, disebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ishaq ibn 'Ammar sebagai berikut:

عن إسحاق بن عمّار قال: سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: یا معشر من أسلم بلسانه و لم یخلص الایمان إلی قلبه لا تذمّوا المسلمین و لا تتّبعوا عوراتهم فإنّ من تتّبع عوراتهم، تتّبع الله عورته، و من تتّبع الله عورته، یفضحه و لو فی بیته.

“Aku mendengar Abu 'Abdullah Al-Shadiq a.s. bersabda; 'Rasulullah Saw. bersabda, 'Wahai yang telah memeluk Islam dengan lidahnya tetapi iman belum memasuki hatinya, janganlah menghina orang-orang Muslim. Dan janganlah menelusuri keburukar mereka karena siapa yang menelusuri keburukan mereka, Allah akan telusuri keburukannya. Dan siapa yang Allah telusuri keburukannya, Allah akan mempermalukannya sekalipun orang itu berada di rumahnya sendiri. (1)

Sesungguhnya Allah Swt. bersifat ghayûr (yaitu sensitif tentang kehormatan-Nya). Membuka rahasia dan cacat orang Mukmin sama saja dengan melanggar kehormatan-Nya. Jika seseorang sudah melampaui batas dalam meremehkan kesucian batas-batas-Nya, Allah Yang Ghayûr akan membuka keburukan orang itu, Dia yang senantiasa menutup aib hamba-hamba-Nya karena sifat Maha Menutupi-Nya, rahmat dan kemahalembutan-Nya. Maka, Allah Swt. akan mempermalukan orang itu di hadapan manusia di dunia fana ini dan akhirat nanti di depan malaikat-malaikat, para nabi, dan wali salam atas mereka semua. Sebuah hadis mulia dalam Al-Kafi, yang isnád-nya bersambung ke Imam Al-Baqir a.s., diriwayatkan bahwa beliau as. berkata:

p: 368


1- 11. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab man thalaba ‘atsarât al-mu'minin, hadis No. 2.

Hadis tentang Ghibah (Mengumpat)

قال: یا محمّد، من أهان لی ولیّا، فقد بارزنی بالمحاربة، و أنا أسرع [شی ء] إلی نصرة أولیائی.

“Pada malam Nabi Saw. di-isra’-kan, beliau berkata kepada Allah, "Ya Tuhanku, bagaimanakah keadaan orang Mukmin di hadapan-Mu?' Allah menjawab, 'Ya Muhammad, barang siapa menghinakan hamba tercinta-Ku, berarti dia telah mengumumkan perang terha- dap-Ku, dan Akulah yang paling cepat dalam menolong hamba-hamba tercinta-Ku.(1)

Ada banyak hadis mengenai hal ini. Dalam sebuah hadis yang isnâd-nya sampai ke Imam Al-Shadiq a.s., Al-Syaikh Al-Shaduq meriwayatkan bahwa Imam berkata:

و من اغتابه بما فیه، فهو خارج من ولایة الله تعالی داخل فی ولایة الشّیطان

“Barang siapa meng-ghibah seseorang dengan (membuka) sesuatu (aib dan keburukan) yang ada padanya, dia keluar dari wilâyah Allah dan memasuki wilayah setan."(2)

Jelaslah bahwa orang yang keluar dari wilayah Allah dan memasuki wilayah setan, tidak akan lagi memiliki iman dan keselamatan. Seperti disebutkan dalam hadis Ishaq ibn 'Ammar, Islamnya pelaku ghibah hanyalah Islam secara lisan belaka, tidak masuk ke hatinya. Juga jelas bahwa orang yang beriman kepada Allah dan Hari Pembalasan serta meyakini pertemuannya dengan bentuk-bentuk perbuatannya dan hakikat dosa-dosa yang dilakukannya, orang semacam itu tidak akan berbuat dosa besar yang dapat menimbulkan terbongkarnya aib di alam gaib dan alam nyata, di dunia fana ini, di alam barzakh maupun di akhirat nanti. Ia tak akan melakukan dosa yang menyebabkannya diseret ke dalam api neraka, ataupun mengeluarkannya dari wilayah Allah dan membawanya masuk ke wilayah setan.

Jika kita melakukan dosa besar seperti itu (ghîbah), kita harus mengetahui bahwa dasar perbuatan ini tidak benar. Realitas iman belum sepenuhnya memasuki hati kita. Kalau iman sudah memasuki hati, segala masalah akan menjadi baik, dan pengaruhnya akan menembus ke alam lahiriah dan batiniah wujud kita.

p: 369


1- 12. Ibid., bâb man adhâ al-muslimîn, hadis No. 8.
2- 13. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, LXXV, bâb al-ghibah, hadis No. 12, dari Al-Amāli, karya Al-Shaduq.

Karena itu, perlu ada upaya penyembuhan penyakit hati dan jiwa ini. Hadis-hadis yang cukup banyak mengenai persoalan ini mengindikasikan bahwa kelemahan dan ketidaktulusan iman di samping menyebabkan kerusakan moral dan lahinya berbagai penyimpangan dalam perilaku, juga dapat menimbulkan merosotnya iman

bahkan lenyapnya keimanan itu sendiri. Ini berdasarkan argumentasi yang mendukungnya, seperti telah diuraikan dalam tempatnya yang tepat.

Ketahuilah bahwa dosa ini lebih berat dan konsekuensinya lebih besar daripada dosa-dosa lain. Selain melanggar hak Allah, juga melanggar hak dan kehormatan manusia, dan Allah tidak mengampuni pelaku ghibah, kecuali korbannya mau memaafkannya. Tema ini disebutkan dalam hadis mulia melalui beberapa sanad.

عن محمّد بن الحسن فی المجالس و الأخبار بإسناده عن أبی ذرّ، عن النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، فی وصیّة له قال: یا أبا ذرّ، إیّاک و الغیبة! فإنّ الغیبة أشدّ من الزّنا. قلت: و لم ذاک یا رسول الله؟ قال: لأنّ الرّجل یزنی فیتوب إلی الله فیتوب الله علیه، و الغیبة لا تغفر حتّی یغفرها صاحبها.

Diriwayatkan dalanı buku Al-Majális wa Al-Akhbar dengan isnád nya dari Muhammad ibn Al-Hasan dari Abu Dzarr cari Nabi Saw. yang ketika menasihatinya berkata, “Wahai Abu Dzarr, waspadalah dari perbuatan ghîbah sebab ghibah lebih berat daripada berzina.”

"Aku (Abu Dzarr) berkata, "Mengapa demikian, Ya Rasulullah?' Rasul menjawab, ' Itu karena apabila seseorang melakukan zina dan lalu bertobat kepada Allah, Allah akan mener ma tobatnya. Namun, ghibah tidak diampuni kecuali setelah dimaafkan oleh korbannya. (1)

Hal serupa juga disebutkan oleh hadis-hadis lain, seperti yang terdapat dalam ‘Ilal Al-Syarâ'i, Al-Khishâl, Majma' Al-Bayân, dan Kitâb Al-Ikhwân.

Apabila manusia meninggalkan dunia fana ini dengan berkalungkan hak-hak manusia, na'ûdzu billâh, masalah akan menjadi sangal sulit. Adapun hak Allah, kita berurusan dengan Yang Maha mulia

p: 370


1- 14. Wasâ'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16312.

dan Maha Penyayang, yang wujud Suci-Nya bebas dari dendam, permusuhan, kebencian, dan dorongan untuk melampiaskan dendam. Namun, jika orang harus berurusan dengan makhluk, mungkin sekali dia berurusan dengan seseorang yang sifat-sifatnya sedemikian sehingga tidak mudah memaafkan atau tidak mudah diajak berdamai. Manusia perlu memerhatikan dirinya dan masalah-masalah ini dengan baik sebab bahayanya sangat besar dan masalahnya sulit sekali.

Hadis mengenai bahaya perbuatan ghîbah lebih banyak daripada yang dapat dikutip di sini dan kami akan hanya mengutip beberapa diantaranya.

مثل ما روی عن النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، أنّه خطب یوما، فذکر الرّبا و عظّم شأنه فقال: إنّ الدّرهم یصیبه الرّجل من الرّبا أعظم من ستّ و ثلاثین زنیة. و إنّ أربی الرّبا عرض الرّجل المسلم.

Dalam sebuah khutbah, Nabi Saw. berbicara tentang riba dan keburukannya yang besar. Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya, satu dirham yang diperoleh seseorang melalui riba lebih besar (dosa-nya) dibandingkan dengan tiga puluh enam kali berbuat zina.

Dan, sesungguhnya yang lebih mengerikan daripada riba adalah (melanggar) kehormatan seorang Muslim.(1)

و روی عنه، صلّی الله علیه و آله، أنّه قال: ما النّار فی الیبس بأسرع من الغیبة فی حسنات العبد

Nabi Saw. berkata, “Tidak ada api yang lebih cepat melahap kayu kering dibandingkan dengan ghibah yang melahap kebajikan seorang hamba.(2)

و عن النّبیّ، صلّی الله علیه و آله: یؤتی بأحد یوم القیامة فیوقف بین یدی الربّ عزّ و جلّ و یدفع إلیه کتابه، فلا یری حسناته فیه. فیقول: إلهی، لیس هذا کتابی [فإنّی ] لا أری فیه حسناتی. فیقال له: إنّ ربّک لا یضلّ و لا ینسی، ذهب عملک باغتیاب النّاس. ثمّ، یؤتی بآخر و یدفع إلیه کتابه، فیری فیه طاعات کثیرة.

p: 371


1- 15. Al-Mahajjah Al-Baidha”, V, 253.
2- 16. Ibid., 264.

فیری فیه طاعات کثیرة. فیقول: إلهی، ما هذا کتابی، فإنّی ما عملت هذه الطّاعات. فیقال له: إنّ فلانا اغتابک فدفع حسناته إلیک

Nabi Saw. berkata, “Seseorang akan dibawa dan dihadapkan kepada Tuhan Azza wa Jalla pada hari kiamat lalu diberikan bukunya. Karena tidak melihat adanya perbuatan baik di dalamnya, dia akan berkata, 'Ya Tuhan, ini bukan bukuku karena aku t.dak melihat kebajikan-kebajikanku di dalamnya.' Akan dikatakan kepadanya, Sesungguhnya Tuhanmu tidak keliru dan tidak lupa. Perbuatan-perbuatan baikmu sirna karena kamu berbuat ghibah terhadap manusia.' Lalu, orar.g lain akan dibawa dan diberikan bukunya. Dia akan melihat di dalamnya banyak amal ketaatan, lalu dia akan berkata, 'Ya Tuhan, ini bukan bukuku sebab aku tidak pernah

melakukan amal-amal ketaatan ini.' Akan dikatakan kepadanya ‘Si Fulan berbuat ghibah terhadapmu, maka amal-amal baiknya telah diberikan kepadamu.(1)

و عن النّبی، صلّی الله علیه و آله: أدنی الکفر أن یسمع الرّجل من أخیه کلمة یحفظها علیه یرید أن یفضحه بها. أولئک لا خلاق لهم

Nabi Saw. berkata, “Derajat kekafiran yang rendah adalah mendengar sesuatu dari saudaranya lalu mengingat-ingatnya dengan maksud membuatnya terhina. Orang-orang seperti itu tidak memiliki kelayakan (mendapat surga di akhirat).(2)

Hadis-hadis yang dikutip di sini khususnya berkaitan dengan pokok bahasan ini (ghibah), padahal masih banyak lagi perbuatan dosa lainnya yang dapat dicakup oleh hadis-hadis yang telah kami paparkan tadi di atas, seperti menghina, merendahkan, dan meremehkan seorang Mukmin, mengungkapkan dan menghitung-hitung

kelemahannya, dan memfitnahnya. Masing-masing perbuatan ini adalah penyebab kebinasaan pelakunya. Banyak sekali hadis yang mengutuk perbuatan-perbuatan itu. Kami tidak akan mengutipnya lagi disini demi keringkasan.

p: 372


1- 17. Jâmi' Al-Akhbâr, 171, meskipun susunan katanya berbeda.
2- 18. Hadis yang sama dalam Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man thalaba ‘atsarât al-mu'minîn.

Kerugian Sosial Akibat Ghîbah

Dosa perbuatan ghibah yang sangat mengerikan dan fatal ini, di samping menghancurkan iman dan moral, lahir dan batin, serta dapat membawa aib dan malu bagi manusia di dunia ini dan di akhirat nanti--seperti disinggung dalam bagian terdahulu juga mengandung kerusakan sosial sehingga keburukan perbuatan ini lebih besar dibandingkan dengan keburukan banyak dosa lainnya. Salah satu tujuan besar ajaran-ajaran para nabi mulia a.s.-selain sebagai tujuan yang mandiri itu sendiri dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih besar, selain merupakan syarat utama dalam membentuk sebuah masyarakat yang sempurna-adalah menyatukan keimanan dan kepercayaan serta membentuk suatu kesepakatan dalam segala masalah penting, dan membatasi agresi kaum penindas, yang menyebabkan rusaknya kemanusiaan dan menghancurkan fondasi masyarakat. Tujuan besar ini-tempat bertumpunya pembaruan individu dan masyarakat--tidak akan tercapai kecuali dengan persaudaraan, solidaritas, saling mencintai, dan persatuan di kalangan anggota masyarakat, serta ketulusan hati dan kesucian lahir dan batin mereka dengan suatu bentuk persatuan yang setiap individu dapat bahu-membahu membangun keutuhan masyarakatnya yang solid, sehingga mereka dapat mengubah sebuah masyarakat menjadi seakan-akan seperti satu pribadi yang individu-individunya menjadi bagian dan anggotanya. Segenap upaya mereka berkisar pada satu tujuan besar Ilahiah ini dan tujuan rasional yang penting ini, yang di dalamnya terletak kebaikan individu dan masyarakat.

Seandainya dalam suatu ras atau suku bangsa lahir cinta dan persaudaraan seperti itu, suku bangsa atau ras itu pasti akan menguasai suku-suku bangsa atau ras lain yang tak memiliki kualitas ini. Kebenaran masalah ini menjadi terang-benderang kalau kita mempelajari sejarah, khususnya sejarah peperangan dan kemenangan besar Islam. Dengan adanya keyakinan akan Allah ini, karena ada kesatuan dan solidaritas ini di kalangan kaum Muslim, dan karena upaya mereka

disertai niat yang ikhlas, mereka dapat meraih kemenangan-kemenangan besar dalam masa yang singkat. Dalam masa yang singkat itu, mereka menguasai empirium-empirium besar pada masa itu,

p: 373

yaitu Persia dan Romawi. Meskipun jumlahnya lebih kecil, toh mereka dapat mengalahkan tentara bersenjatakan lengkap yang banyak sekali jumlahnya. Rasulullah membuat perjanjian persaudaraan di kalangan kaum Muslim awal dan terwujudlah hubungan persaudaraan antara segenap Muslim, yang didasarkan pada nash Al-Quran:

Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. (QS Al-Hujurât (49]: 10)

Hadis-hadis berikut ini termaktub dalam Al-Kâfi:

قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول لأصحابه: اتّقوا الله و کونوا إخوة بررة متحابّین فی الله متواصلین متراحمین، تزاوروا و تلاقوا و تذاکروا أمرنا و أحیوه.

Berkata Al-'Arqufi, “Aku mendengar Abu 'Abdillah a.s. berkata kepada sahabat-sahabatnya, 'Takutlah kepada Allał, dan bersaudaralah dengan bajik, yang mencintai satu sama lain demi Allah, saling berjalin erat dan mengasihi. Saling bertemu dan kunjung mengunjungilah kamu satu sama lain, dan saling mengingatkanlah

satu sama lain tentang urusan (yakni kepemimpinan Ahl Al-Bait) kita dan hidupkanlah urusan kita itu ."(1)

و عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال یحقّ علی المسلمین الاجتهاد فی التّواصل و التّعاون علی التّعاطف و المواساة لأهل الحاجة و تعاطف بعضهم علی بعض حتّی تکونوا کما أمرکم الله عزّ و جلّ: «رحماء بینهم

Abu 'Abdillah a.s. berkata, “Semua Muslim harus bersungguh-sungguh dalam saling berhubungan, bekerja sama, berbaik hati, dan bermurah hati kepada kaum fakir, dan saling menyayangi di antara mereka sendiri, sampai kamu menjadi seperti apa yang diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla (dalam firmari-Nya), “Mereka

saling mengasihi satu sama lain.(2)

و عنه علیه السّلام: تواصلوا و تبارّوا و تراحموا، و کونوا إخوة أبرارا کما أمرکم الله عزّ و جلّ.

p: 374


1- 19. Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-tarahum wa al-ta'athus, hadis No. 1.
2- 20. Ibid., hadis No. 4.

Al-Imam Al-Shadiq a.s. juga berkata, “Saling berhubungan, berbaik hati dan saling berbelas kasihlah kalian satu sama lain dan jadilah kalian saudara-saudara yang baik satu sama lain, seperti kamu diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla.(1)

Jelaslan bahwa apa pun yang memperkuat saling cinta dan bersaudara ini disukai dan diperlukan sekali, dan apa pun yang merusak ikatan persaudaraan ini dan yang menciptakan perpecahan, dibenci oleh Sang Pemberi Hukum dan bertentangan dengan tujuan-tujuan besar-Nya. Jelaslah sekali bahwa jika dosa besar ini berkembang dalam sebuah masyarakat, niscaya akan timbul permusuhan, kebencian, dan kecemburuan di kalangan mereka. Dan melalui dosa besar inilah,

akar-akar kerusakan pun merajalela. Lalu, berdiri kukuhlah pohon kemunafikan yang akan merusak kesatuan dan solidaritas masyarakat, yang akan melemahkan dasar-dasar kesalehan, yang pada gilirannya akan memperparah kerusakan masyarakat, dan karakter buruk masyarakat pun semakin menjadi-jadi.

Oleh karena itu, setiap Muslim yang saleh dan terhormat berkewajiban-agar pribadinya sendiri terlindungi dari kerusakan-melindungi saudara-saudara seagamanya dari kemunafikan, menjaga masyarakat islami, menjaga kesatuannya, dan mempererat ikatan persaudaraan, melindungi dirinya dari keburukan ini, dan mencegah

orang lain agar tidak melakukan tindakan menjijikkan ini. Dan kalau, na'ûdzu billâh, ada orang yang telah melakukan perbuatan buruk ini, dia harus bertobat dan-jika mungkin dan tidak terjadi konsekuensi-konsekuensi buruk-memohon maaf kepada korban. Kalau tidak, dia harus memohonkan ampunan kepada Allah Swt. baginya. Dia harus meninggalkan keburukan ini dan menyirami akar-akar keikhlasan, persatuan, dan solidaritas dalam hatinya sehingga menjadi anggota masyarakat yang baik dan menjadi salah satu jeruji roda Islam yang penting. Dan, Allah pemandu semuanya menuju jalan lurus.

Tentang Menyembuhkan Penyakit Ghîbah

Ketahuilah bahwa obat untuk menyembuhkan keburukan besar ini, seperti obat untuk keburukan-keburukan lainnya, yaitu berupa

p: 375


1- 21. Ibid., hadis No. 3.

pengetahuan dan perbuatan bermanfaat. Pengetahuan bermanfaat itu dapat diperoleh dengan merenungkan manfaat dari perbuatan ini dan membandingkannya dengan akibat-akibat buruknya. Dia harus menimbang-nimbangnya dengan nalar dan menilainya. Tentu saja manusia tidak memusuhi dirinya sendiri. Dia berbuat dosa karena tidak menyadari, bodoh, dan melalaikan konsekuensi dari perbuatan dosa itu.

Manfaat yang dibayangkan seakan-akan dapat cipetik dari perbuatan dosa ini adalah hanya pemuasan hawa nafsu selama beberapa menit, yaitu menyebut-nyebut kelemahan orang dan membeberkan rahasianya, atau duduk-duduk bergerombol seraya mengolok-olok dan menyebarkan gosip, fitnah, yang diilhami bisikan-bisikan setan dan bertujuan memuaskan dahaga hati yang menyimpan dendam. Dalam bagian-bagian sebelumnya, sudah diuraikan sebagian pengaruh buruknya. Kini, simaklah sebagiannya lagi, perhatikan dan nilailah, lalu ambillah pelajaran darinya karena tentu saja pembandingan dan perenungan ini akan memberikan hasil yang positif. Salah satu pengaruh ghibah di dunia ini adalah membuat seseorang dipandang rendah oleh orang lain dan membuat dia tidak cipercaya orang.

Pada pokoknya manusia itu menyukai kesempumaan, kebajikan, dan kebaikan, serta membenci kelemahan, kehinaan, dan keburukan. Oleh karena itu, manusia dapat menilai dan membedakan antara orang yang tidak suka membeberkan cacat tersembunyi dan tidak merobek tabir yang menjaga kehormatan manusia dengan orang yang selalu menjaga rahasia mereka, dan orang berbuat hal-hal sebaliknya dari orang pertama tadi. Bahkan orang yang melakukan ghibah itu sendiri, berdasarkan petunjuk nalar dan fitrahnya, memandang orang yang tidak melakukan ghibah sebagai lebih baik daripada dirinya sendiri. Lagi pula, kalau dia melampaui batas, yaitu melakukan keburukan ini dan merobek tabir yang menjaga kehormatan manusia, Allah akan mempermalukannya di dunia ini sendiri, seperti disebutkan dalam riwayat Ishaq ibn 'Ammar yang sudah dikutip di atas. Manusia harus takut akan kehinaan yang diwujudkan oleh Allah Swt. karena kehinaan ini tidak dapat diperbaiki. Aku berlindung kepada Allah dari murka-Nya.

p: 376

Sesungguhnya sangatlah mungkin bahwa merusak nama orang Mukmin dan membeberkan kelemahan tersembunyinya akan menimbulkan kemalangan di alam baka. Sebab jika perbuatan ini sudah menjadi bagian dari watak dan ciri kepribadiannya, itu akan meninggalkan dampak dan pengaruh-pengaruh tertentu pada jiwanya, yang salah satunya berupa memusuhi dan membenci korban ghibah, yang sedikit demi sedikit akan semakin menjadi-jadi. Pada saat kematian menjemputnya, ketika beberapa realitas gaib terlihat oleh manusia, dan dia melihat alam-alam tertentu yang melampaui batas-batas pikirannya, tabir-tabir malakût pun tersibakkan, lalu dia melihat kedudukan tinggi orang-orang yang selalu dia ghîbah di sisi Allah Swt., dan bagaimana Dia memuliakan mereka, dan memasukkan mereka kedalam kelompok orang terdekat-Nya-sehingga seketika itu juga muncul rasa kebencian terhadap Allah Swt., karena manusia memiliki tabiat dapat memusuhi orang yang dicintainya disebabkan sikap musuhnya dan begitu pula, membenci yang dicintainya karena sikap orang yang membencinya. Akhirnya, si pengumpat itu pergi meninggalkan dunia ini dalam keadaan memusuhi Allah dan para malaikat-Nya sehingga memperolah kehinaan dan kesengsaraan abadi untuk

selamanya. Saudaraku, bersahabatlah dengan hamba-hamba Allah yang mendapat rahmat dan karunia-Nya dan yang dihiasi dengan pakaian Islam dan iman, dan perkuatlah rasa kasih sayangmu kepada mereka. Janganlah kamu sampai merasa memusuhi orang yang dicintai Allah sebab Allah Swt. adalah musuhnya para musuh hamba tercinta-Nya, dan Dia akan melemparkanmu keluar dari arena rahmat-Nya. Sesungguhnya hamba-hamba pilihan Allah tersembunyi di antara sekian

banyak hamba-Nya, dan sikapmu yang memusuhi dan melanggar kehormatan dan membeberkan kelemahan-kelemahan hamba Mukmin itu, sangat mungkin untuk dapat membawamu pada akhirnya melanggar kemuliaan Allah. Hamba-hamba Mukmin itu merupakan wali-wali (orang-orang tercinta) Allah. Kecintaan terhadap mereka berarti kecintaan terhadap Allah. Permusuhan kepada mereka berarti permusuhan dengan-

p: 377

Nya pula. Jangan sampai kamu terkena murka Allah dan dimusuhi pemberi syafaat pada hari kiamat.

ویل لمن شفعاؤه خصماؤه

Celakalah dia yang pemberi syafaatnya (yaitu mereka yang dianggap akan memberikan syafaat kepadanya) adalah musuhnya. Pikirkanlah sejenak tentang buah dari dosa ini di dunia ini dan di akhirat nanti. Renungkan sejenak tentang bentuk-bentuk mengerikan yang akan mengelilingimu di dalam kubur, di alam barzakh,

dan pada hari kiamat. Tengoklah karya-karya autentik ulama-ulama besar kita, semoga ridha Allah atas mereka semua, dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam yang maksum ‘aiaihim al-salam. Sebab apa yang perlu mereka katakan dalam hal ini benar adanya. Bandingkanlah antara bersenda-gurau, menyebar gosip kosong, dan memuaskan hawa nafsu selama seperempat jam dengan beribu-ribu tahun penderitaan (juga bandingkanlah dengan apabila kamu terma-

suk orang yang patut memperoleh keselamatan dan meninggalkan dunia ini dalam keadaan beriman) atau selamanya terkutuk dan mendapat siksaan pedih di neraka (dan kami berlindung kepada Allah dari hal itu). Seandainya kamu benar-benar memusuhi seseorang yang kamu umpat, sebetulnya dari sekadar keimananmu terhadap hadis-hadis mulia yang menuntut agar kamu tidak melakukan ghibah, kamu sudah harus segera menghentikan perbuatanmu itu. Sebab, dalam hadis dikatakan bahwa perbuatan baik pelaku ghibah dipindahkan ke buku amal korban ghibah dan dosa-dosa korban ghibah dipindahkan ke buku pelaku ghibah. Jadi, kalau kamu memusuhinya, i.u berarti kamu memusuhi dirimu sendiri. Oleh karena itu, ketahuilah bahwa tak mungkin kamu bisa melawan Tuhan. Allah kuasa membuat orang itu disukai dan terhormat di mata manusia melalui ghibah-mu terhadapnya dan membuatmu terhina di mata mereka, juga melalui ghîbah-

mu terhadapnya. Dia dapat memperlakukanmu dengan cara yang sama di hadapan para malaikat utama. Dia dapat memenuhi buku amalmu dengan keburukan dan menghinakanmu. Dia dapat mengisi

p: 378

buku amal korbanmu dengan amal saleh dan menganugerahinya karunia serta kehormatan. Maka, pahamilah dengan baik kekuasaan yang Mahakuasa yang

kamu perangi dan janganlah sampai kamu memusuhi-Nya! Secara praktis, hentikanlah kebiasaan burukmu dari perbuatan dosa ini untuk beberapa saat, meskipun terasa sulit buat kamu. Kekanglah lidahmu dan awasilah selalu dirimu. Bertekad dan berjanjilah pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan tercela

ini. Insya Allah, setelah beberapa lama, dirimu pun dapat diperbarui dan terbebas dari bekas-bekasnya. Lambat-laun tugas itu mudah bagimu, dan setelah beberapa lama kamu akan merasakan bahwa dirinya memiliki watak yang tidak menyukai dan membenci dosa itu. Barulah kemudian kamu akan mengenyam kedamaian spiritual dan bahagia karena terbebas dari kekejian ini. Prioritas Berpantang dari Ghibah yang Diperbolehkan Ketahuilah bahwa ulama dan para ahli fiqih—semoga ridha Allah atas mereka-telah mengecualikan kasus-kasus tertentu dari larangan melakukan ghîbah, yang menurut kata-kata sebagian mereka, jumlahnya lebih dari sepuluh. Di sini, kami tidak bermaksud menguraikannya karena bukanlah tempatnya di sini untuk melakukan pembahasan hukum. Yang penting disebutkan di sini adalah bahwa manusia tidak boleh sekali-kali menganggap dirinya aman dari tipu muslihat hawa nafsunya. Dia harus menjaga dirinya dengan hati-hati dan tidak

boleh mencari-cari dalih untuk berolok-olok dan mencari-cari kesalahan dengan berlindung pada salah satu pengecualian yang diperbolehkan itu.

Tipu muslihat hawa nafsu itu sangatlah lembut. Manusia dapat dijerumuskannya atas nama syariat, ke dalam bahaya mengerikan. Misalnya, diperbolehkan melakukan ghibah terhadap orang yang terang-terangan melanggar perintah-perintah Allah atau bahkan wajib dalam kasus-kasus tertentu apabila ghibah terhadapnya dapat membantu menahannya dan dianggap sebagai salah satu tahap dari al-amr bi al ma'rûf wa al-nahi'an al-munkar. Akan tetapi, orang juga harus memeriksa apakah motif pribadinya dalam melakukan ghibah ini semata-mata

p: 379

demi Allah dan syariat, atau itu didorong oleh motif setani dan egoisme. Jika motifnya itu demi karena Allah semata, perbuatannya akan dianggap sebagai ibadah. Apalagi jika ghîbah terhadap pendosa itu dilakukan dengan niat memperbaikinya, dan menjelekkannya agar ia dapat mengungkapkan kebaikan hati dan kemurahan hati kepada- nya, lebih-lebih jika orang yang di-ghibah tidak merasakan hal itu, hal itu menjadi lebih baik lagi. Namun, apabila tujuannya sudah ternodai oleh hawa nafsu dan keburukan, orang harus terlebih dahulu menyucikan niatnya dan tidak mencampuri kehormatan manusia. Membiasakan diri dengan contoh-contoh ghibah yang diperbolehkan juga dapat merugikan diri karena diri menjadi cenderung pada ketidaksenonohan. Mungkin saja, tidak ditahannya diri untuk tidak melakukan contoh-contoh yang diperbolehkan itu larnbat-laun dapat membawa diri ke tahap lain, yaitu ke contoh-contoh yang diharamkan. Ini sama dengan memasuki syubhat (contoh-contoh yang masih diragukan kehalalannya), yang diperbolehkan, tetapi tidak diinginkan karena hal ini dekat dengan hal-hal yang diharamkan muharramât).

Sebab, manusia bisa terseret ke dalam muharramât apabila dia memasuki hal-hal syubhât. Manusia harus sebisa mungkin menjauhkan dirinya dari perbuatan ghîbah yang diperbolehkan sekalipun, dan menjaga dirinya dari segala sesuatu yang bisa menyebabkan dirinya sukar dikendalikan. Tentu saja, orang harus bertindak jika ghibah itu wajib, seperti dalam kasus yang sudah disebutkan tadi, dan dalam beberapa kasus lain yang ditunjukkan oleh ulama. Namun, orang harus pula membersihkan niatnya dari keinginan hawa nafsu dan bisikan setan. Adapun apabila diperbolehkan, sebaiknya jangan melakukannya. Manusia tidak boleh melakukan segala yang diperbolehkan, khususnya dalam masalah-masalah seperti ini, karena di sini bujukan diri dan setan sangat efektif.

Diriwayatkan bahwa Isa a.s. bersama-sama murid-muridnya suatu kali melewati bangkai seekor anjing. Murid-muridnya berkata, “Busuk sekali bau bangkai ini!” Isa a.s. berkata, “Betapa putih giginya!” Tentu saja seorang guru spesies manusia harus memiliki diri yang suci. Isa a.s. tidak suka kalau makhluk Allah Swt. disebut-sebut dengan cara menghina. Mereka melihat cacat makhluk itu, sedangkan Hadhrat

p: 380

‘Isa menunjukkan kepada mereka salah satu keutamaannya. Saya mendengar bahwa dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Isa a.ş. diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Janganlah seperti lalat yang hinggap di atas kotoran, di mana kamu selalu hanya memerhatikan cacat atau kelemahannya orang.” Diriwayatkan bahwa Rasul mulia Saw. bersabda:

قال: طوبی لمن شغله عیبه عن عیوب النّاس

“Beruntunglah orang yang disibukkan oleh aibnya sendiri sehingga tidak memerhatikan aib orang lain.(1) Sudah sepatutnya menusia mencari-cari aib dan kelemahannya sendiri, seperti keinginannya mengetahui aib dan kelemahan orang lain. Betapa buruk orang yang dirinya memiliki beribu-ribu kelemahan, tetapi lalai akan kelemahannya itu dan yang diperhatikannya hanyalah kelemahan orang lain, dan dengan perbuatan ghibah-nya itu sendiri ia telah menambahkan keburukan lain pada dirinya. Kalau manusia memeriksa keadaannya, perilaku, dan perbuatannya sendiri, serta sibuk memperbaikinya, segala urusannya akan menjadi baik. Namun, jika dia menganggap dirinya tidak memiliki kelemahan, berarti di situlah puncak kejahilan (kebodohan)-nya. Karena seburuk-buruk kelemahan adalah orang yang lalai akan kelemahannya sendiri yang hanya memerhatikan kelemahan orang lain, padahal dia sendiri penuh dengan kelemahan.

Tentang Larangan Mendengarkan Ghîbah

Sesungguhnya Ghibah itu dilarang. Begitu juga mendengarkannya. Beberapa hadis menunjukkan bahwa mendengarkan ghibah itu sama saja dengan melakukan ghibah itu sendiri, dalam keadaan apa pun, bahkan memaklumi perbuatan ghibah-yang terjadi di hadapan seseorang, misalnya-pun sudah termasuk dosa besar.

مثل النبوی، صلّی الله علیه و آله: المستمع أحد المغتابین

Nabi Saw. besabda, “Yang mendengarkan adalah salah satu dari dua orang yang melakukan ghibah.(2)

p: 381


1- 22. Syarh Syihab Al-Akhbâr, 306; Al-Mahajjah Al-Baidha , V. 264.
2- 23. Al-Mahajjah Al-Baidhâ', V, 260.

و عن علیّ، علیه السّلام: السّامع أحد المغتابین.

Ali a.s. berkata, “Yang mendengarkan adalah salah satu dari dua orang yang melakukan ghibah.(1)

Bahkan tidak sedikit hadis yang mewajibkan setiap Mukmin untuk menolak, melarang, dan menghentikan perbuatan gnìbah ini.

عن الصّدوق بإسناده عن الصّادق، علیه السّلام، فی حدیث مناهی النّبی، صلّی الله علیه و آله: أنّ رسول الله، صلّی الله علیه و آله، نهی عن الغیبة و الاستماع إلیها. إلی أن قال: ألا، و من تطوّل علی أخیه فی غیبة سمعها فیه فی مجلس فردّها عنه، ردّ الله عنه ألف باب من الشّرّ فی الدّنیا و الآخرة. فإن هو [لم یردّها و هو] قادر علی ردّها، کان علیه کوزر من اغتابه سبعین مرّة.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq, dengan isnâd-nya dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., dalam sebuah hadis yang merupakan kumpulan larangan Nabi Saw., Imam Al-Shadiq berkata, Sesungguhnya Nabi mulia Saw. melarang ghibah dan melarang juga mendengarkan ghibah. Lalu beliau Saw. berkata, “Barang siapa melakukan kebaikan bagi saudaranya dengan menolak ghibah ketika mendengarkannya dalam suatu majelis, Allah akan menyelamatkannya dari seribu keburukan di dunia ini dan di akhirat. Dan, jika dia tidak berbuat demikian, padahal dia dapat menolaknya, beban orang yang melakukan ghibah akan dibebankan kepadanya sebanyak tujuh puluh kali.(2)

و عن الصّدوق بإسناده عن جعفر بن محمّد، علیهما السلام، عن آبائه فی وصیّة النبیّ لعلیّ، علیهما السّلام: یا علیّ، من اغتیب عنده أخوه المسلم فاستطاع

نصره فلم ینصره، خذله الله فی الدّنیا و الآخرة

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq, dengan isnâd-nya dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., Nabi Saw. diriwayatkan berkata kepada Amir Al-Mukminin a.s. ketika menasihatinya, “Wahai,

p: 382


1- 24. Dalam Ghurar Al-Hikam, 11, 12.
2- 25. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16316.

‘Ali! Apabila seseorang mendengar ghibah tentang saudaranya yang Muslim yang dilakukan di hadapannya, dan dia tidak membantu korban ghibah padahal dia mampu melakukannnya, Allah akan mempermalukannya di dunia dan di akhirat. (1)

و عن عقاب الأعمال بسنده عن النّبیّ، صلّی الله علیه و آله: من ردّ عن أخیه غیبة سمعها فی مجلس، ردّ الله عنه ألف باب من الشّرّ فی الدّنیا و الآخرة فإن لم یردّ عنه و أعجبه، کان علیه کوزر من اغتاب ،،

Dalam ‘lqab Al-A'mal, Al-Shaduq meriwayatkan dengan isnâdnya dari Nabi Saw. yang mengatakan, “Barang siapa menolak ghibah tentang saudaranya yang didengarnya dalam suatu majelis, Allah akan menghalau darinya seribu keburukan di dunia ini dan di akhirat. Dan, jika dia tidak dapat menolaknya, bahkan merasa

senang, beban dosanya seperti beban dosa pelaku ghibah.(2)

'Allâmah-nya ulama masa belakangan ini, peneliti besar dan perwujudan kebaikan ilmu dan amal, Al-Syaikh Al-Anshari—semoga ridha Allah atasnya—berkata, “Tampaknya di sini yang dimaksud dengan menolak' (radd) adalah bukanlah melarang ghibah, melainkan radd mengandung arti membela dan membantu korban ghîbah. Misalnya, kalau kelemahan yang disebut-sebut itu kelemahan dalam urusan duniawi, dia dapat mengatakan untuk membelanya bahwa ‘Baru disebut aib dan cacat kalau Allah Swt. menganggapnya demikian, seperti dosa, dan sebesar-besar dosa adalah kamu melakukan ghibah tentang saudaramu dengan menisbahkan kepadanya sesuatu yang Allah tidak menganggapnya sebagai kelemahan (cacat)-nya. Dan, jika berkaitan dengan agama, dia dapat menjelaskannya sedemikian rupa sehingga mengeluarkan pelakunya dari perbuatan tercela itu. Dan, kalau dia tak mau menerima nasihatmu, dia harus membelanya dengan mengatakan, misalnya, 'seorang Mukmin itu terkadang berbuat dosa dan tepatlah kalau kita memohonkan ampunan baginya kepada Allah, bukannya membeberkan kesalahan-kesalahannya. Barangkali perbuatanmu membeberkan kesalahannya itu merupakan dosa yang lebih besar di hadapan Allah Taala dibandingkan dengan di mata-

nya.”

p: 383


1- 26. Ibid., hadis No. 16336.
2- 27. Ibid., hadis No. 16340.

Terkadang si pendengar, bukannya tak membebaskan korban dari ghibah, malah mendorong orang melakukan ghibah, dengan keterlibatannya dalam perbuatan tersebut dan menganggapnya baik. Atau jika yang mendengarkan ghibah itu termasuk orang saleh yang tampak darinya sikap-sikap dan kepribadian islami, dia malah memberi semangat pelaku ghibah dengan mengucapkan kata-kata suci seperti “Astaghfirullâh” atau lainnya, perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya merupakan kelicikan setan. Mungkin hadis mulia yang menyebutkan beban si pendengar tujuh puluh kali beban si pelaku ghibah, merujuk ke orang-orang seperti ini. Kami berlindung kepada Allah dari hal itu!

Penutup: Wacana Al-Syahid Al-Tsani

Syaikh, peneliti sekaligus syahid yang mulia, Al-Syahid Al-Tsani, semoga ridha Allah atasnya, berkata tentang hal ini, dan dengan wacana mulia ini kami tutup bagian ini. Dia berkata, “Seburuk-buruk ghîbah adalah ghibah yang dilakukan beberapa orang yang berpakaian orang berilmu. Mereka selaku orang-orang yang (tampak secara lahir) memiliki ketakwaan dan kelurusan beragama memahami ghîbah, dan tampak dari mereka sikap-sikap yang menunjukkan seakan-akan me-

reka menghindar dan berlindung kepada Allah dari perbuatan tercela itu. Mereka tidak tahu karena kebodohan mereka bahwa mereka telah melakukan dua ketidaksenonohan sekaligus: riyâ' dan ghîbah. Misalnya jika suatu ketika seseorang disebut-sebut (dengan maksud menjelek-jelekkannya) di hadapannya, lalu orang itu mengatakan: 'Alhamdulillah, kami tidak dijangkiti cinta kedudukan', atau ... kami tidak dijangkiti cinta dunia' atau 'kami tidak memiliki kualitas seperti itu'. Atau, misal, dia akan berkata, 'Na'udzu billah dari tidak punya rasa malu itu', atau '... dari ketakmampuan', atau dia akan berkata, “Semoga Allah melindungi kami' dari perbuatan itu "Terkadang pujian kepada Allah itu sendiri adalah ghibah, jika dari pujian itu dapat dipahami adanya kesalahan seseorang. Namun, itulah ghibah yang diungkapkan dalam bentuk yang membenarkan diri sendiri. Orang seperti ini ingin menyebutkan kesalahan seseorang melalui ucapan yang sekaligus mengandung ghibah, riyâ', dan peng-

p: 384

akuan terbebas dari cacat, meskipun dia memiliki cacat-cacat ini yang lebih besar daripada cacat yang dinisbahkannya kepada orang lain. “Terkadang salah satu cara ghibah adalah dia (pelaku ghibah) akan memuji orang yang ingin dijadikan korban ghîbah-nya. Misalnya, dia akan berkata, “Si Fulan memiliki keadaan spiritual yang tinggi. Ibadahnya sempurna. Namun, karena kurang tabah, hal ini menimpa kita semua, dia menjadi agak lesu dalam menunaikan tugas-tugas ritualnya.' Dengan begini, dia sendiri seolah-olah patut disalahkan, sementara dia bermaksud mencari kesalahan orang lain. Sebenarnya mak- sudnya adalah memuji dirinya sendiri dengan cara meniru orang saleh melalui kritik diri. Orang seperti ini melakukan tiga kejahilan: ghibah, riyâ', dan merasa benar sendiri. Dia membayangkan dirinya benar dan tidak melakukan ghibah. Beginilah cara setan mempermainkan si jahil dan padahal dia tidak kuat di jalan itu. Setan membuntuti dan menyirnakan amal-amal baik keduanya serta menertawakannya "Termasuk juga orang yang, ketika ghibah dilakukan dalam suatu majelis dan sebagian orang yang hadir tidak mendengar, berkata, 'Subhanallah, luar biasa!' agar mereka memerhatikan ghibah itu. Orang seperti ini menjadikan dzikrullah sebagai alat untuk mencapai maksud

buruknya. Sekalipun demikian, dia membayangkan telah beribadah kepada Allah Taala dengan zikir tersebut dan ini tak lain hanyalah kebodohan, kesia-siaan, dan kesombongan belaka. "Yang juga termasuk ini adalah orang yang berkata bahwa sesuatu menimpa si Fulan, atau sesuatu menimpa 'sahabat kita' lalu menambahkan, 'Semoga Allah mengampuni dia dan kita.' Orang seperti ini pura-pura bersimpati dan baik hati, serta melakukan ghîbah dengan berkedok doa. Allah mengetahui kekejian hatinya dan niatnya. Dia tak tahu bahwa Allah lebih murka kepadanya dibanding dengan kemurkaan-Nya kepada si jahil yang melakukan ghibah secara terang-terangan. “Yang termasuk ghibah tersembunyi adalah mendengarkan ghîbah dengan takjub sebab orang seperti itu mengungkapkan ketakjuban-

nya agar pelaku ghibah lebih bersemangat melakukan ghîbah-nya.

p: 385

Misalnya, dia akan berkata, “Memang ini menakjubkanku!' atau 'Entahlah!' atau 'Masak, dia mau berbuat begitu!' Ungkapan-ungkapan ini dimaksudkan untuk memperkuat pernyataan pelaku ghibah, dan agar pelaku ghibah semakin bersemangat, padahal memperkuat ghibah itu juga ghibah; atau mendengarkannya atau malah diam saja ketika mendengarnya, itu pun juga ghibah.” (Akhir dari wacananya, semoga Allah meninggikan kedudukannya.) Terkadang ghibah diperparah dengan keburukan-keburukan lain, yang menambah semakin jahatnya ghibah dan semakin besar hukumannya, seperti pelaku ghibah yang menyatakan bersahabat dan akrab di depan korban ghibah-nya dan memuji-mujinya. Inilah kemunafikan yang jelas-jelas dikutuk dalam hadis-hadis:

ففی الکافی الشّریف بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: من لقی المسلمین بوجهین و لسانین جاء یوم القیامة و له لسانان من نار.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Imam Al-Shadiq a.s. yang berkata, “Barang siapa menghadapi orang Muslim dengan dua wajah dan dua lidah, pada hari kiamat dia akan memiliki dua lidah api."(1) Begitulah bentuk perbuatan buruk ini dan hasil dari kemunafikan seperti itu di akhirat. Saya berlindung kepada Allah Taala dari kejinya lidah dan hawa nafsu. Dan, segala puji bagi Allah semata, pada awal dan akhirnya. []

p: 386


1- 28. Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb dzial-lisânain, hadis No. 1.

20 Hadis tentang Ikhlas

Point

بالسّند المتّصل إلی الشّیخ الثّقة الجلیل، محمّد بن یعقوب الکلینی، قدّس سرّه، عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن القاسم بن محمّد، عن المنقریّ، عن سفیان بن عیینة، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، فی قول الله تعالی: «لِیَبْلُوَکُمْ أَیُّکُم أَحْسَنُ عَمَلًا.» قال: لیس یعنی أکثرکم عملا، و لکن أصوبکم عملا. و إنّما الإصابة خشیة الله و النّیّة الصادقة و الخشیة. ثمّ قال: الإبقاء علی العمل حتّی یخلص أشدّ من العمل. و العمل الخالص، الّذی لا ترید أن یحمدک علیه أحد إلّا الله تعالی، و النّیّة أفضل من العمل. ألا، و إنّ النّیّة هی العمل. ثمّ تلا قوله عزّ و جلّ: «قل کلّ یعمل علی شاکلته » یعنی علی نیّته.

Dengan isnâd-ku yang sampai ke Syaikh Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini yang tepercaya dan mulia—semoga Allah menyucikan ruhnya—dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari Al-Minqari, dari Sufyan ibn 'Uyainah, dari Abu 'Abdillah a.s. yang, ketika menjelaskan firman Allah Taala, “Agar Dia dapat mengujimu (untuk melihat) mana di antara kamu yang

p: 387

paling baik amalannya” (QS Al-Mulk (67): 2), berkata, “Itu bukan berarti salah seorang di antaramu yang amalnya lebih banyak, melainkan orang yang lebih baik perilakunya dan ini tak lain adalah menyangkut ketakutan, keikhlasan niat, dan kekhawatirannya kepada Allah.” Lalu Imam a.s. menambahkan, “Tekun berbuat

sampai perbuatan itu menjadi ikhlas itu lebih sulit daripada (melakukan) perbuatan itu sendiri, dan perbuatan akan menjadi ikhlas kalau seseorang tidak menginginkan pujian orang lain dengan perbuatan itu kecuali (yang datang dari) Allah Taala, dan niat itu menggantikan tindakan. Sesungguhnya niat itu adalah tindakan itu sendiri.” Lalu Imam membacakan ayat Al-Quran. “Katakanlah, setiap orang bertindak menurut karakternya (syâkilatihi)” (QS Al-Isra' (17«قُلْ کُلٌّ یَعْمَلُ عَلَی شَاکِلَتِهِ فَرَبُّکُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَی سَبِیلًا »: 84), lalu menambahkan, “Arti (syâkilah) itu adalah niat.(1) Arti balâ' (yang disebutkan dalam QS Al-Mulk [67]: 2) adalah 'cobaan' dan ‘ujian'. Menurut Al-Shihah, arti balautuhû balwan adalah 'aku mengujinya’, dan balâhû Allâhu balâ’an, atau ablâhu iblâ’an hasanan atau ibtalâhu artinya adalah 'Dia (Allah) mengujinya'. Menurut Al-Majlisi, “ayyukum” adalah objek kecua (maf'ül tsâni), untuk li yabluwakum, yang arti 'mengetahui tersirat di dalamnya. Namun, ini tampaknya tidak tepat sebab kata ganti tanya ayy menjadi-

kan kata kerjanya bergantung pada tindakan (‘amal). Yang benar adalah bahwa ایُّکُم اَحسَنُ عَمَلَ itu merupakan kalimat nominal (jumlah mubtada' wa khabar) dan merupakan objek dari kata kerja balwâ. Kalau ayy itu kata ganti penghubung (maushủlah), pernyataan Al-Majlisi, semoga rahmat Allah atasnya, dapat diterima. Namun, yang lebih jelas adalah karakter interogatif (tanya)-nya. Menurut Al-Jauhari, shawab merupakan lawannya khatha' (kesalahan). Khasyyah (takut) yang kedua tidak ada dalam beberapa manuskrip, seperti dikemukakan oleh Al-Majlisi. Dan kalau pun ada, tentu ada beberapa penafsirannya yang mungkin. Yang lebih jelasnya adalah wau di

sini artinya maʻa (dengan). Dan, frasa ini disebutkan dalam Asrar Al-Shalâh, karya Al-Syahid Al-Tsani, semoga rahmat Allah atasnya النِّیِّه الصَّادِقَهُ الحَسَنَهُ

niat ikhlas dan baik, bukannya النِّیِّه الصَّادِقَهُ الخَسَمَهُ artinya adalah terus-menerus berbuat, seperti ditunjukkan oleh Al-Jauhari yang berkata:

p: 388


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-ikhlash, hadis No. 4.

أبقیت علی فلان. إذا أرعیت علیه و رحمته»

Syâkilah (juga) artinya adalah thariqah (jalan), syahl (bentuk), dan nâhiyah (daerah), menurut Al-Qâmûs dan Al-Shihah. Al-Qamus mengatakan:

«الشاکلة، الشکل، و الناحیة، و النّیة، و الطریقة.» Insya Allah, kami akan menerangkan apa yang perlu dijelaskan dalam hadis mulia ini nanti. Makna "Cobaan” dalam kaitannya dengan Allah Klausa, “Agar Dia dapat mengujimu ..."(terkutip dalam hadis) merujuk ke firman Allah Taala:

«تَبَارَکَ الَّذِی بِیَدِهِ الْمُلْکُ وَهُوَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ (1)»

«الَّذِی خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَیَاةَ لِیَبْلُوَکُمْ أَیُّکُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِیزُ الْغَفُورُ (2)»

Mahasuci Dia yang di tangan-Nya Kerajaan dan Yang Mahakuasa atas segalanya. Yang menciptakan kematian dan kehidupan agar Dia dapat mengujimu yang mana di antara kamu yang paling baik amalnya. (QS Al-Mulk [67]: 1-2) Al-Muhaddis Al-Majlisi, semoga Allah menyucikan ruhnya, berkata, “Ayat mulia ini (yang merujuk pada 'penciptaan' kematian) menunjukkan bahwa mati itu sesuatu yang maujud, dan yang dimaksud ayat mulia ini adalah mati itu sesuatu yang terjadi pada hidup

atau noneksistensi yang esensial.”

Makna ayat mulia itu menunjukkan pengertian yang di dalamnya penciptaan berkaitan dengan kematian sebagai substansi; ayat itu tidak menunjukkan pengertian yang hubungannya bersifat aksidental, menurut muhaqqiqûn. Kemungkinan arti kematian sebagai noneksistensi yang esensial, tidak berlaku di sini sebab menisbahkan wujud pada sesuatu yang pada hakikatnya tidak ada, itu mengandung kontradiksi dan menisbahkan arti noneksistensi esensial pada kematian, kelihatannya keliru. Namun, yang benar adalah bahwa “mati” itu artinya adalah peralihan dari alam jasadi (nasy'eh-ye zhahereh-ye mulkiyyeh) ke alam gaib

yang lebih tinggi (nasy’eh-ye malakütiyyeh). Atau arti “mati" adalah kehidupan kedua di dalam malakût (alam yang lebih tinggi daripada

p: 389

alam fisik) setelah kehidupan pertama di alam mulk (alam fisik). Kedua pengertian ini melibatkan wujud atau menunjukkan modus yang lebih sempurna daripada modus fisik. Ini karena hidup di dunia atau alam fisik ini bercampur dengan benda-benda fisik yang tak bernyawa dan berlangsung sementara, berbeda dengan kehidupan substansial di alam nonfisik (malakût) yang di dalamnya jiwa bebas (dari segala elemen tak bernyawa yang menjadi ciri dunia fisik). Alam ini merupakan alam kehidupan, bahkan kehidupan merupakan kualitas esensialnya, dan eksistensi benda-benda jasadi alam barzakh (abdan-e mitsaliye barzakhi) bergantung pada jiwa-jiwa, seperti telah dipaparkan di tempat yang sesuai untuk bahasan ini. Lagi pula, kehidupan malakût—yang diungkapkan oleh “mati” (al-maut, dalam ayat di atas) agar tidak memperberat telinga pendengar—berkaitan dengan penciptaan, dan di bawah kuasa Zat Suci Ilahi. Makna “cobaan” dan “ujian” serta sifat pengaitannya kepada Allah Swt. sudah dikemukakan ketika menjelaskan beberapa hadis terdahulu. Sudah dijelaskan bahwa kebodohan (yang tersirat dalam makna

“cobaan” dan “ujian") tak dapat dinisbahkan kepada Zat Suci Ilahi, dan hal ini tak perlu lagi ditafsirkan secara panjang lebar di sini. Kini, kami akan menerangkan secara singkat masalah tersebut. Pada awal diciptakannya, jiwa manusia hanyalah potensialitas yang punya kecenderungan pada kebahagiaan atau kemalangan, dan belum ada aktualitas di dalamnya. Hanya setelah jiwa terkena gerakan fisik yang substansial, barulah potensialitas dan kapasitas menjadi aktualitas itu berubah secara berbeda-beda. Oleh karera itu, perbedaan antara orang yang bahagia dan yang malang, yang gemuk dan yang kurus, terjadi dalam kehidupan jasadiah (hayat-e mulki). Maksud diciptakannya kehidupan ini adalah agar jiwa itu memiliki kekhasan, pengujian, dan penempaan jiwa. Jadi, jelaslah sudah hubungan cobaan

dengan penciptaan. Diciptakannya mati juga berperan melahirkan kekhasan-kekhasan ini, atau merupakan mata rantai terakhir dalam proses yang menyebabkan (terjadinya perbedaan dalam alam aktualitas). Sebab, kriteria dalam aktualitas merupakan bentuk puncak yang digunakan manusia untuk beralih (dari mulk ke malakût). Juga, kriteria dalam perbedaan

p: 390

itu merupakan bentuk malakûtî di alam akhirat yang terjadi melalui gerakan substansial alam jasadi. Ini pun menjelaskan hubungan ujian dan cobaan dengan diciptakannya mati dan hidup dan tentu saja ini ada dalam pengetahuan Allah. Masalah ini akan menjadi jelas sehingga dapat menghilangkan keraguan tentangnya, kalau kita membahas pengetahuan esensial Allah sebelum terjadinya penciptaan ('ilm-e Dzati qabl al-ijad), tetapi ini di luar lingkup buku ini. Allah berfirman, “Cagar Dia dapat mengetahui) siapa di antara kamu yang paling baik perbuatannya,” cobaan yang berkaitan dengan ukuran amal yang paling baik, berhubungan dengan masalah yang sudah disebutkan pada hadis mulia di atas. Ini karena kebaikan relatif amal (perbuatan) ditafsirkan sebagai kebenaran relatif amal, yang pada gilirannya ditentukan oleh takut dan niat yang ikhlas. Keduanya ini merupakan bentuk-bentuk batiniah jiwa, yang merupakan ciri-ciri khas yang nyata dari jiwa atau merupakan perwujudan kekhasan yang tersembunyi pada semua entitas. Dan, disebabkan oleh fakta bahwa tindakan lahiriah memengaruhi hati dan jiwa batiniah, maka kekhasan-kekhasan ini diaktualkan melalui perbuatan. Oleh karena itu, menguji perbuatan juga menguji entitas dan esensi sesuatu. Dan, jika ayat suci itu ditafsirkan berdasarkan pengertian tersuratnya dan tanpa merujuk ke penjelasan Imam a.s., arti ujian itu adalah seperti yang disebutkan di atas sebab kehidupan di dunia ini dan diciptakannya hidup dan mati itu sendiri menimbulkan kekhasan yang menjadi ciri perbuatan baik dan buruk. Adapun diciptakannya hidup, maka artinya sudah jelas. Keberadaan mati dalam hubungan dengan semua ini juga menjadi jelas apabila kita mengetahui watak sementara dari kehidupan duniawi dan keharusan adanya peralihan dari kehidupan fana yang tentu saja disertai kekhasan-kekhasan yang terjadi akibat berbeda-bedanya perbuatan.

Takut, Niat ikhlas, dan Amal yang Benar

Ketahuilah bahwa dalam hadis mulia ini baik dan benarnya perbuatan (amal) ditentukan oleh dua dasar, yang juga merupakan kriteria kesempurnaannya. Salah satunya adalah takut dan khidmat kepada Allah

p: 391

Taala, dan yang lainnya adalah niat yang ikhlas dan bersih. Kami akan menerangkan hubungan kedua prinsip ini dengan kesempurnaan serta kebaikan dan kebenaran suatu perbuatan. Takut dan khidmat kepada Allah Taala menimbulkan takwa dan kesalehan jiwa. Takut can khidmat ini membuat perbuatan menjadi

sangat berdaya guna dan berpengaruh. Jadi, seperti disebutkan ketika menerangkan hadis-hadis sebelumnya, setiap perbuatan, baik ataupun buruk, pasti akan memengaruhi jiwa. Nah, kalau perbuatan itu berupa ibadah, pengaruhnya pun akan membuat fakultas-fakultas jasadi tunduk pada fakultas-fakultas intelektual sehingga aspek malakûtî dari jiwa mendominasi aspek mulkî-nya. Akibatnya, diri fisik tunduk pada dimensi spiritual, sampai jiwa mencapai tahap emosi spiritual

dan mencapai tujuan esensialnya. Setiap perbuatan yang memperbesar pengaruh ini, niscaya lebih baik dan lebih efektif untuk mencapai tujuan esensial itu. Juga, segala sesuatu yang berperan menciptakan keefektifan ini, berperan menciptakan benar-tidaknya perbuatan. Sebagian besar ini juga merupakan kriteria kebaikan-relatif suatu perbuatan, dan hadis termasyhur berikut ini juga menunjuk pada hal tersebut: اَفضَلُ الاَعمَالُ آَحمَزُهَا “Sebaik-baik amal adalah amal yang paling sulit.(1) Semua ini memperlihatkan bahwa takwa menyucikan jiwa dari noda dan ketercemaran. Jelaslah, jika lembaran jiwa itu tidak ternoda dosa, perbuatan baik akan lebih berpengaruh dan lebih mendorong jiwa untuk mencapai tujuannya sehingga dapat mernenuhi maksud besar dari rahasia semua ritus ibadah, yang tak lain adalah penundukan dimensi jasmaniah dan mulkî kepada malakût, dan penguatan daya kehendak aktif jiwa (iradeh-ye fa'ileh-ye nafs). Oleh karena itu, takut dan khidmat kepada Allah, yang sangat memengaruhi jiwa agar bertakwa, merupakan salah satu agen utama pembaruan spiritual yang berperan meluruskan perbuatan, mernperindah dan menyempurnakan perbuatan. Ini karena takwa—selain merupakan agen pembaru jiwa-juga memengaruhi perbuatan lahiriah dan

p: 392


1- 2. Ibn Al-Atsir, Al-Nihâyah, 1, 440.

batiniah manusia, dan yang menyebabkan perbuatan itu bisa diterima, seperti difirmankan oleh Allah Taala:

«وَاتْلُ عَلَیْهِمْ نَبَأَ ابْنَیْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ یُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّکَ قَالَ إِنَّمَا یَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِینَ (27)»

Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang takwa. (QS Al-Ma'idah (5): 27) Faktor utama kedua dalam benar dan sempurnanya perbuatan

yang sesungguhnya sama dengan daya efisiennya perbuatan (sebagaimana khidmat dan takwa yang terjadi karenanya juga sama dengan syarat keefektifannya, dan yang sebenarnya menyucikan reseptor dan menyingkirkan rintangan). Sempurna dan cacatnya ibadah, sah, dan tidak sahnya ibadah, ditentukan oleh niat yang ikhlas dan maksud yang bersih. Kalau ibadah itu bersih dari menyekutukan Allah dan niat kotor, ibadah itu ikhlas dan sempurna. Yang penting dalam ibadah adalah

niat dan kesucian niat itu, sebab hubungan niat dengan ibadah itu seperti hubungan jiwa dengan raga. Bentuk fisik ibadah berasal dari aspek fisik diri dan raganya, sedangkan niat dan ruh ibadah berasal dari aspek batin diri dan hati. Ibadah yang diterima Allah Taala adalah ibadah yang dilakukan dengan niat ikhlas dan bersih dari mulkî riyâ' lahiriah (satu jenis riyâ' yang disebut-sebut oleh para faqih, semoga Allah meridhai mereka) dan syirik, hal-hal yang membatalkan bagian-bagian lahiriah (ibadah). Jika ibadah tidak bersih dari syirik batin, meskipun ibadah itu benar dari segi lahiriah syariat dan ketentuan fighî, ibadah seperti itu batal dan ditolak oleh Allah Taala, dari segi batin dan dari segi realitas dan rahasia ibadah. Oleh karena itu, tidak ada hubungan yang pasti antara sahnya ibadah dan diterimanya ibadah, satu hal yang sering disebutkan dalam hadis-hadis. Definisi mendalam syirik dalam ibadah yang meliputi segala aspeknya “memasukkan keridhaan dan kepuasan dari selain Allah, entah itu diri sendiri atau orang lain”. Jika demi kepuasan orang lain, itu adalah syirik lahiriah dan riyâ' fighî. Jika demi kepuasan diri sendiri, itu adalah syirik tersembunyi dan batiniah; ini juga membatalkan ibadah, menurut ahli makrifat, dan membuat ibadah tidak diterima oleh Allah. Contohnya adalah melakukan shalat tahajud demi mendapatkan rezeki yang lebih banyak, memberikan sedekah

p: 393

demi menyelamatkan diri dari bencana, atau memberikan zakat demi memperbesar kekayaan; yaitu, apabila orang melakukan ini semua demi Allah Taala agar dapat memperoleh hal-hal ni dari rahmat-Nya. Meskipun ibadah seperti itu batal, dan orang yang melakukannya dianggap telah menunaikan tugasnya dan memenuhi syarat-syarat, itu tidak sama dengan ibadah kepada Allah Taala, juga tidak didasari niat yang ikhlas dan maksud yang bersih. Namun, ibadah seperti itu

bertujuan memperoleh maksud-maksud duniawi dan memenuhi kehendak hawa nafsu. Oleh karena itu, perbuatan orang seperti itu sangat keliru. Begitu pula, jika ibadah itu karena takut akan neraka dan mendambakan surga, ibadah itu bukan semata-mata karena Allah dan niatnya tidak ikhlas. Namun, dapat dikatakan bahwa ibadah seperti itu semata-mata karena setan dan hawa nafsu. Keridhaan Allah tidak ada dalam niat orang yang melakukan ibadah seperti itu sehingga bahkan dapat dianggap syirik. Dia beribadah semata-mata kepada berhala besar, induknya segala berhala, yaitu berhala hawa nafsu. Namun, Allah Taala menerima ibadah seperti ini dari kita karena Maharahman-Nya dan karena kita ini lemah, dengan memberikan kelonggaran. Yaitu, Dia memberikan pengaruh-pengaruh tertentu

atasnya dan memberikan karunia-karunia tertentu kepadanya sehingga jika manusia memenuhi syarat-syarat lahiriah bagi diterimanya ibadah dan menunaikannya dengan khusyuk, akar. diikuti segenap pengaruh itu dan akan dipenuhi pula segala janji terkait yang berupa pahala itu.

Begitulah kondisi ibadah para budak dan pedagang. Namun, ibadahnya orang-orang yang merdeka (ahrâr), yang ditunaikannya demi cinta kepada Allah Taala dan demi mendapat perhatian dari Zat Suci, sama sekali tidak ada motif karena takut akan neraka dan mendambakan surga. Inilah maqâm pertama para wali dan ahrâr. Ada maqâm-maqâm dan derajat-derajat lain mereka yang tidak bisa diuraikan di sini. Selama perhatian jiwa tertuju pada ibadah, yang beribadah dan diibadahi, ibadah itu ikhlas. Hati harus kosong dari segalanya kecuali Allah agar ibadah itu ikhlas, demikain menurut sebuah hadis mulia dalam Al-Kafi:

p: 394

قال: سألته عن قول الله عزّ و جلّ: «إلّا من أتی الله بقلب سلیم.» قال: القلب السّلیم الّذی یلقی ربّه و لیس فیه أحد سواه. قال: و کلّ قلب فیه شرک أو شکّ فهو ساقط. و إنّما أراد بالزّهد فی الدّنیا لتفرغ قلوبهم لآخرة

Sufyan ibn 'Uyainah (perawi hadis-hadis sebelumnya) berkata, “Aku bertanya kepada Al-Imam Al-Shadiq a.s. tentang firman Allah Azza wa Jalla mengenai hari kiamat, (Hari ketika kekayaan dan anak-anak tidak akan ada gunanya) kecuali dia yang datang dengan hati yang murni?' یوم لا ینفع مال و لا بنون. إلّا من أتی الله بقلب سلیم (Q5 Al-Syu'arâ’ [26]: 88-89). Imam a.s. menjawab, 'Hati yang murni adalah hati yang menemui Tuhannya dalam keadaan yang ada di dalamnya hanyalah Dia.' Lalu Imam a.s. menambahkan, “Setiap hati yang mengandung syirik atau keraguan, maka akan gagal. Sungguh, yang dimaksudkan-Nya dengannya (murninya hati) tak lain adalah zuhud terhadap dunia sehingga hati siap untuk akhirat.'(1)

Tentu saja, hati yang berisikan selain Allah dan tercemari keraguan dan syirik-entah syirik nyata (jali) atau syirik tersembunyi (khafi) -tidak patut berada di hadirat suci Tuhan. Syirik khafi berkaitan dengan mengandalkan sarana dan bergantung pada selain Allah. Dalam hadis bahkan disebutkan bahwa mengubah posisi cincin

demi mengingatkan diri akan sesuatu, ini juga syirik khafi.* Membiarkan selain Allah memasuki hati dianggap syirik khaſi, dan niat yang ikhlas adalah mengusir selain Allah dari tempat suci-Nya (yaitu hati). Juga ada berbagai derajat keraguan (syakk), sebagiannya dianggap nyata dan sebagiannya lagi dianggap tersembunyi, yang disebabkan oleh lemahnya keyakinan dan iman. Ragu dalam masalah juga disebabkan oleh keraguan. Di antara tahap keraguan tersembunyi itu adalah dapat berubah dan tidak adanya kemantapan dalam tauhid. Oleh karena itu, tauhid sejati itu adalah melepaskan hubungan, batasan dan pluralitas, bahkan pluralitas yang berkaitan dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat, dan mantap dalam tauhid berarti bersih dari keraguan. Murninya hati berarti sepenuhnya terbebas dari syirik dan

keraguan.

p: 395


1- 3. Al-Kulaini, op. cit., hadis No. 5.

Dalam hadis, frasa “Yang dimaksudkan-Nya tak lain adalah zuhud ..." merujuk ke fakta bahwa tujuan puncak zuhud adalah agar hati berangsur-angsur terbebas dari dunia dan tidak menyukainya sehingga yang diperhatikannya hanyalah tujuan sejati dan objek sejati segala kerinduan. Dari bagian permulaan hadis itu, terlihai. bahwa makna “akhirat” adalah batas akhir dari lingkaran eksistensi dan tujuan akhir. Inilah makna “akhirat” clalam pengertiannya yang mutlak. Oleh karena

itu, dunia merupakan lingkaran lengkap manifestasi, sedangkan zuhud terhadap dunia menimbulkan pembersihan hati dari segala selain Allah. Karenanya, orang yang di hatinya ada selain Tuhan dan terikat kepada yang lain-entah itu masalah jasmaniah, masalah mulkî, atau masalah spiritual yang berkaitan dengan bentuk-bentuk akhirati, kemuliaan dan derajat akhirati, dan segala selain Tuhan-maka dia itu orang duniawi, bukan zâhid (orang yang zuhud) terhadap dunia, tidak akan menikmati akhirat sejati dan surganya bersama Tuhan, yang merupakan setinggi-tingginya tingkat surga, meskipun dia itu memiliki derajat-lain kemuliaan spiritual dan mencapai tingkat tinggi surga, seperti berbeda-bedanya milikan manusia duniawi akan kekayaan dan status duniawi, tetapi kedudukan mereka jauh dari kedu-

dukan manusia pilihan Allah.

Definisi Ikhlas

Ketahuilah bahwa berbagai definisi ikhlas telah dikemukakan. Sebagiannya lazim di kalangan para penempuh jalan sufi. Dan, inilah yang akan kami sebutkan secara ringkas di sini. Arif mulia dan salik bijaksana, Khwajah 'Abdullah Al-Anshari, quddisa sirruh, berkata, “Arti ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari segala ketidakmurnian.” Dan, ketidakmurnian yang disebutkan di sini adalah ketidakmurnian umum, termasuk apa yang timbul dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri dan makhluk lain. Diriwayatkan dari Syaikh Baha'i bahwa ahli hati telah memberikan berbagai definisi ikhlas, “(Arti ikhlas adalah) membebaskan perbu-

atan dari selain Tuhan yang berperan dalam perbuatan itu." Definisi ini dekat dengan definisi sebelumnya. “(Arti ikhlas adalah) pelaku suatu perbuatan tidak menginginkan balasan di dunia dan akhirat."

p: 396

Dan, telah diriwayatkan dari penulis Gharâ’ib Al-Bayân bahwa orang yang ikhlas itu orang yang beribadah kepada Allah sedemikian rupa sehingga tidak memerhatikan kalau dirinya itu sedang beribadah, juga tidak memerhatikan dunia atau penghuninya, juga tidak melebihi batas-batas hamba dalam melihat Tuhan.

Oleh karena itu, apabila orang yang beribadah ini tidak memerhatikan imbalan dan mempertaruhkan segalanya, dari bumi sampai takhta ('arsy), dia dapat melintasi jalan din, yang merupakan jalan pengabdian dan ibadah. Di jalan ini jiwa tidak ambil peduli terhadap berbagai peristiwa karena jiwa menyaksikan keindahan Tuhan. Inilah dîn yang telah dipilih oleh Allah Taala untuk diri-Nya dan telah dibersihkan-Nya dari noda syirik. Dia berfirman:

«أَلَا لِلَّهِ الدِّینُ الْخَالِصُ وَالَّذِینَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِیَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِیُقَرِّبُونَا إِلَی اللَّهِ زُلْفَی إِنَّ اللَّهَ یَحْکُمُ بَیْنَهُمْ فِی مَا هُمْ فِیهِ یَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا یَهْدِی مَنْ هُوَ کَاذِبٌ کَفَّارٌ (3)»

janganlah engkau meninggalkan pekerjaanmu! Bagi Allahlah agama yang tulus (al-dîn al-khâlish). (QS Al-Zumar (39): 3)

Dan, “agama yang tulus” (kesetiaan yang tulus) adalah cahaya prakeabadian (qidam) yang datang setelah lenyapnya huduts (contingency, kemungkinan) di dalam belantara cahaya gemilang monisme. Itu seakan-akan Allah Taala telah mengundang hamba-hamba-Nya dengan menunjukkan dan mengisyaratkan kepada mereka agar mereka menyucikan jiwa mereka dari hal-hal lain, dan hanya berpaling kepada-Nya. Telah diriwayatkan dari Al-Syaikh Al-Muhaqqiq Muhyidin Al-'Arabi yang berkata, "Bagi Allahlah kesetiaan yang tulus', yang bersih dari semua noda dan egoisme. Dan kamu harus sepenuhnya fanâ (sirna) dalam Dia agar Dia tersambung dengan esensi, perbuatan, dan dîn-mu. Selama kesetiaan belum disucikan secara hakiki, kesetiaan itu bukanlah untuk Allah.”

Selama masih ada penghambaan (ʻubûdiyyah), ke-selain-Tuhan (ghairiyyah) dan egoisme (anâniyyah), dan selama masih ada yang beribadah dan yang diibadahi, ibadah, ketulusan, dan dîn, selama itu pula ada noda-noda ghairiyyah dan anâniyyah. Dan hal ini dianggap syirik oleh para ahli makrifat. Ibadah orang-orang yang tulus merupakan jejak perwujudan (tajalliyât) Sang Kekasih, dan yang melintas di hatinya hanyalah Zat Allah. Meskipun ufuk kemungkinan (imkân)

p: 397

dan keniscayaan (wujûn) telah dipadukan bagi mereka dan mereka telah mencapai kedekatan esensial (tadalli-ye dzati) dan benar-benar dekat dengan Yang Hakiki (dunuww-e muthlaq-e haçiqi), dan jejak- jejak ghairiyyah telah sirna sepenuhnya, toh mereka tetap menunaikan tugas-tugas sebagai hamba. 'Ubûdiyyah mereka bukarılah melalui perenungan dan pemikiran, melainkan melalui manifestasi-satu hal yang diindikasikan doa (shalat) Rasulullah Saw. pada malam mi'raj

beliau.

Ikhlas Itu Buah Tindakan

Ketahuilah bahwa arti dari apa yang dikatakan dalam hadis mulia التل Terus bertindak sampai tindakan itu menjadi) الإبقاء علی العمل حتّی یخلص أشدّ من العمل ikhlas, lebih sulit daripada tindakan itu sendiri), adalah untuk mendorong manusia supaya peduli dan tekun bertindak pada saat melakukan tindakan itu maupun setelahnya. Sebab, terkadang manusia melakukan perbuatan tanpa cacat dan tanpa riyâ' atau 'ujb (bangga diri); tetapi setelah itu dia menjadi riyâ’dengan cara menyebut-nyebut

perbuatan itu, seperti dikemukakan dalam hadis mulia berikut yang termaktub dalam Al-Kâfi:

عن أبی جعفر، علیه السّلام، أنّه قال: الإبقاء علی العمل أشدّ من العمل. قال: و ما الإبقاء علی العمل؟ قال: یصل الرّجل بصلة و ینفق نفقة لله وحده لا شریک له، فکتب له سرّا، ثمّ یذکرها فتمحی، فتکتب له علانیة، ثمّ یذکرها فتمحی، فتکتب له ریاء

Al-Imam Al-Baqir a.s. berkata, “Terus berbuat (beramal) itu lebih sulit daripada perbuatan itu sendiri.” Imam ditanya, “Apa maksudnya terus berbuat itu?” Imam menjawab, “Seseorang berbuat kebaikan kepada sanak keluarganya atau membelanjakan sesuatu demi Allah Yang Esa yang tiada sekutu bagi-Nya. Maka, pahala

untuk perbuatan baik yang dilakukan diam-diam itu tertulis baginya. Kemudian, dia menyebut-nyebut perbuatan itu kepada orang lain, maka apa yang sudah dituliskan itu pun sirna, dan sebagai gantinya pahala untuk perbuatan baik yang dilakukan secara terang-terangan dituliskan baginya. Kemudian, dia menyebut-nyebutnya

p: 398

lagi, maka yang tertulis baginya adalah (sebagai ganti pahala yang sudah dituliskan sebelumnya) perbuatan buruk riyâ'.(1) Manusia tidak pernah aman dari kejahatan setan dan dirinya sampai akhir hayatnya. Dia tidak boleh membayangkan bahwa begitu

berbuat semata-mata demi Allah tanpa adanya keinginan menyenangkan makhluk, kemurnian perbuatannya akan selalu aman dari kejahatan dari kejinya. Kalau dia tidak hati-hati dan waspada, diri akan mendorongnya menyebut-nyebut perbuatan itu atau, seperti yang terkadang terjadi, mengungkapkannya dengan isyarat halus. Misalnya, keinginan membuat orang terkesan dengan shalat tahajudnya, akal bulus halus diri itu akan mendorongnya memberikan isyarat dengan berbicara tentang kondisi cuaca yang baik atau buruk pada pagi hari atau tentang azan sehingga menjadikan perbuatannya batal. Manusia harus mengawasi dirinya, seperti dokter atau perawat yang baik, dan jangan sampai diri yang mengajak durhaka ini tak terkendalikan. Karena sebentar saja lalai, berarti memberinya kesem-

patan untuk lepas kendali dan membawa manusia untuk berbuat buruk. Oleh karena itu, dia harus selalu berlindung kepada Allah Taala dari kejahatan setan dan diri jasmaniah: «وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِی إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّی إِنَّ رَبِّی غَفُورٌ رَحِیمٌ (53)»

Sesungguhnya diri manusia itu mengajak pada kejahatan—kecuali kalau Tuhanku mengasihi. (QS Yûsuf [12]: 53) Perlu kamu ketahui bahwa menyucikan niat dari segala tingkatan syirik, riyâ', dan lain-lain terus-menerus mewaspadainya dan menjaga kesuciannya itu sangat sulit dan merupakan tugas penting. Namun,

sebagian derajatnya tidak akan dapat dicapai oleh siapa pun kecuali para wali ikhlas Allah. Ini karena niat merupakan motif efisien tindakan dan tunduk pada tujuan-tujuan lain. Tujuan-tujuan ini pada gilirannya tunduk pada sifat spiritual yang merupakan esensi batin manusia dan karakter spiritual manusia. Jika seseorang mencintai jabatan dan kedudukan serta cinta ini menjadi bagian dari karakter spiritualnya, yang diinginkannya adalah mencapai tujuan itu dan perbuatan

yang dilakukannya adalah demi tujuan itu. Selama cinta ini masih ada di hatinya, perbuatannya tidak akan ikhlas, dan orang yang karakter spiritualnya dibentuk oleh cinta diri dan egoisme, maka tujuan akhir-

p: 399


1- 5. Al-Kulaini, Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-riyâ', hadis No. 16.

nya adalah memuaskan diri, yang juga merupakan motif perbuatannya, tak soal apakah perbuatannya ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan duniawi atau tujuan-tujuan akhirat, seperti bidadari, istana, surga, dan karunia akhirat. Namun, selama masih ada egoisme, meskipun dia berusaha menuntut ilmu tasawuf dan keutamaan spiritual, semuanya ini dicari demi diri, bukan demi Allah. Jelaslah, demi diri dan demi Allah tidak mungkin dapat disatukan. Dan, jika mencari

Allah demi diri, tujuan akhirnya adalah diri dan ego. Jadi, jelas bahwa membersihkan niat sebersih-bersihnya dari syirik merupakan tugas besar yang tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Cacat dan sempurnanya perbuatan disebabkan oleh cacat dan sempurnanya niat, sebab niat merupakan bentuk efisien dan malakûtî

dari perbuatan, seperti ditunjukkan di atas. Hadis mulia ini juga merujuk ke pokok masalah ini:

النّیّة أفضل من العمل. ألا، و إنّ النّیّة هی العمل

“Dan, niat itu lebih baik daripada perbuatan atau niat itu realitas penuh dari perbuatan itu sendiri.”

Dalam hal ini, tidak ada unsur berlebihan, seperti dikemukakan sebagian hadis; tetapi didasarkan pada fakta bahwa karena niat itu bentuk lengkap dari perbuatan dan esensinya itu sendiri, kesempurnaan dan cacatnya perbuatan ditentukan oleh niat. Oleh karena itu, suatu perbuatan, karena niatnya, terkadang terpuji dan terkadang tercela, terkadang sempurna dan terkadang cacat, terkadang sangat tinggi tingkat spiritualnya, bentuknya indah dan diberkati, terkadang

rendah tingkat spiritualnya dan bentuknya menjijikkan. Bentuk lahiriah shalatnya ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. tidak berbeda unsur-unsur dan kondisi-kondisinya dengan bentuk lahiriah shalatnya seorang munafik. Namun, bagi 'Ali ibn Abi Thalib a.s., shalat merupakan mi'raj spiritual menuju Allah (mi'raj ilâ Ailâh) dan memiliki bentuk spiritual tertinggi. Sedangkan bagi seorang munafik, shalat merupakan sarana turun ke neraka dan bentuk spiritualnya luar biasa hitamnya disebabkan oleh intensitas gelapnya.

p: 400

Disebabkan oleh beberapa buah roti yang diberikan oleh Bait Al-Ma'shûmîn (Ahl Al-Bait Nabi) a.s. demi Allah, Allah Taala menurunkan beberapa ayat yang memuji mereka. Orang yang jahil akan berpikir bahwa dua atau tiga hari lapar dan memberikan makanannya kepada orang miskin merupakan masalah penting, padahal perbuatan seperti itu dapat dilakukan oleh siapa pun dan tidak banyak konsekuensinya. Nilai pentingnya mereka terletak pada maksud dan keikhlasan niat

mereka (Ahl Al-Bait). Yang membuat sedemikian pentingnya perbuatan mereka adalah daya dan keindahan ruh perbuatan mereka, yang muncul dari hati mereka yang suci. Sosok lahiriah Nabi Saw. tidak banyak berbeda bentuknya dengan sosok lahiriah orang lain. Oleh karena itu, sering ketika beliau Saw. sedang duduk bersama sekelompok orang, lalu beberapa pendatang dari suku Badui Arab datang menemui beliau Saw. Mereka akan bertanya, “Siapa di antara kalian yang menjadi Rasul?" Yang membedakan Rasul Saw. dari orang lain adalah daya dan keindahan ruh beliau, bukan tubuh mulia beliau. Dalam ilmu-ilmu rasional, diperli-

hatkan bahwa wujud sesuatu itu ditentukan oleh bentuknya, bukan oleh materinya. Suatu definisi yang berdasarkan spesies itu berarti lengkap, sedangkan apabila berdasarkan genus dan spesies, definisi itu cacat (lemah) karena bercampur-baur dengan apa yang asing bagi sesuatu itu bertentangan dengan realitasnya, definisinya, dan kesempurnaannya, sedangkan materi dan genus itu asing dan aneh bagi realitasnya, yang terletak dalam bentuknya, aktualitasnya, dan spe-

siesnya. Oleh karena itu, realitas-total perbuatan merupakan realitas total bentuknya dan dimensi malakûtî-nya, yang dicerminkan oleh niat.

Diskusi ini memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Shadiq a.s. dalam hadis mulia ini pertama-tama adalah mengingat bentuk perbuatan dan materinya. Yang dikatakan Imam adalah bahwa aspek formal keduanya mendahului aspek materii) keduanya, dan karena niat itu mendahului perbuatan, ruh juga mendahului tubuh. Ini tidak meniscayakan sahnya suatu perbuatan yang tidak dilandasi niat dan tidak meniscayakan kemungkinan tubuh tanpa ruh. Yang menjadikan perbuatan dan tubuh itu sebagai adanya

p: 401

keduanya adalah menghubungkan niat dengan perbuatan dan mengikatkan ruh dengan tubuh. Keduanya ini merupakan senyawa niat dan perbuatan, tubuh dan ruh serta aspek mulki formal, yang aspek malakûtî masing-masingnya lebih unggul daripada aspek materiilnya. Inilah makna dari hadis termasyhur:

النیَّهُ الموئمن خَیرٌ مِن عَمَلِهِ

“Niat sang Mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya."* . Kedua, yang dikatakan oleh Imam a.s. itu mengingat berakhirnya perbuatan dalam niat, mulk dalam malakût, dan manifestasi (mazhhar) dalam yang nyata (zhahir). Karena itu, Imam a.s. mengatakan:

الاَ وَ اِنَّ النیَّهَ هِیَ العَمَل

“Sesungguhnya niat adalah perbuatan itu sendiri.” Selain niat, tidak ada yang terlibat; dan totalitas perbuatan terlebur dalam niat. Perbuatan tidak memiliki realitasnya sendiri yang mandiri. Kemudian, Imam a.s. mengutip firman Allah Taala sebagai saksi:

«قُلْ کُلٌّ یَعْمَلُ عَلَی شَاکِلَتِهِ فَرَبُّکُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَی سَبِیلًا (84)»

“Katakanlah: “Setiap orang berbuat sesuai dengan karakternya (syâkilatihi).” (QS Al-Isra' (17]: 84)

Perbuatan itu tunduk pada (menurut) karakter (syâkilah) jiwa. Meskipun karakter jiwa dibentuk oleh bentuk batiniahnya dan ciri-ciri (malakat) yang inheren di dalamnya, niat merupakan karakter lahiriahnya. Bisa dikatakan bahwa sifat spiritual merupakan karakter pokok jiwa dan niat serta perbuatan ditentukan oleh karakter jiwa dan niat. Perbuatan inilah karakter kedua jiwa. Oleh karena itu, Imam a.s. mengatakan bahwa syûkilah itu niat. Ini menunjukkan bahwa jalan untuk menyucikan perbuatan dari segala bentuk syirik, riyâ’, dan lain-lain itu hanyalah dengan cara memperbarui jiwa dan malakat-nya karena jiwa itu sumber pembaru-

an dan segala keutamaan serta derajat kesempurnaan. Oleh karena itu, jika manusia menyingkirkan cinta dunia dari hatinya dengan

p: 402

cara berpantang dan latihan yang berdasarkan ilmu dan amal, dunia akan tidak lagi menjadi tujuan akhirnya, dan perbuatannya akan tebersihkan dari syirik terbesar, yaitu keinginan untuk menarik perhatian orang dunia dan terhormat di mata mereka. Apabila ini terjadi, dia akan sama saja, baik ketika sendiri maupun ketika bersama orang lain, baik batiniah maupun lahiriah. Begitu dia berhasil membersihkan hatinya dari cinta diri, melalui keberpantangan spiritual, cinta akan Allah akan memasuki hatinya, dan hatinya pun tersucikan dari syirik khafi (tersembunyi). Dan, selama cinta diri tetap ada di hati dan manusia tetap dikuasai diri, maka dia itu tidak menuju Allah (musafir ilâ Allah). Namun, dia itu orang yang berpegang teguh pada bumi (mukhalladûn ilâ al-ardh). Langkah pertama perjalanan menuju

Allah adalah mencampakkan cinta diri dan menghancurkan kepala egoisme dengan kaki. Ada sebagian yang berkata bahwa salah satu makna ayat mulia:

«وَمَنْ یُهَاجِرْ فِی سَبِیلِ اللَّهِ یَجِدْ فِی الْأَرْضِ مُرَاغَمًا کَثِیرًا وَسَعَةً وَمَنْ یَخْرُجْ مِنْ بَیْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَی اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ یُدْرِکْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَی اللَّهِ وَکَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِیمًا (100)»

Barang siapa keluar dari rumahnya sebagai orang yang menuju ke Allah dan Rasul-Nya, dan kemudian kematian merenggutnya, maka balasannya ada pada Allah .... (QS Al-Nisa' [4]: 100)

adalah bahwa jika seseorang meninggalkan kebiasaan diri dan menuju kepada Allah dan melangkah melakukan perjalanan spiritual, dan kemudian dia mengalami kesirnaan penuh (fana'-e tamm), pahalanya ada pada Allah Taala. Jelaslah bahwa penempuh perjalanan spiritual tidak patut mendapat balasan kecuali menyaksikan (musyâhadah) Zat Suci dan memasuki istana-Nya. Kata-kata ini mengungkapkan perasaan mereka:

«در ضمیر ما نمی گنجد به غیر دوست کس

هر دو عالم را به دشمن ده که ما را دوست بس»

Yang ada di hatinya hanyalah Sang Kekasih, Berikan semuanya kepada musuh,

sebab Sang Kekasih sudah cukup bagi kami. []

p: 403

21 Hadis tentang Syukur

Point

بالسّند المتّصل إلی حجّة الفرقة و إمامهم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، کرّم الله وجهه، عن حمید بن زیاد، عن الحسن بن محمّد بن سماعة، عن وهیب بن حفص، عن أبی بصیر، عن أبی جعفر، علیه السلام، قال: کان رسول الله، صلّی الله علیه و آله، عند عائشة لیلتها، فقالت: یا رسول الله لم تتعب نفسک و قد غفر الله لک ما تقدّم من ذنبک و ما تأخّر؟ فقال: یا عائشة، أ لا أکون عبدا شکورا؟ قال: و کان رسول الله، صلّی الله علیه و آله، یقوم علی أطراف أصابع رجلیه، فأنزل الله سبحانه و تعالی: «طه . ما أَنْزَلْنا عَلَیْکَ الْقُرْآنَ لِتَشقی.»

Melalui sanadku yang bersambung sampai ke hujah dan imam mazhab (Syi'ah) Ibn Ya'qub Al-Kulaini (karramallâhu wajhah) dari Humaid ibn Ziyad, dari Al-Hasan ibn Muhammad ibn Sama'ah, dari Wahaib ibn Hafsh, dari Abu Bashir, dari Abu Ja'far a.s. yang bersabda, “Suatu malam Rasulullah Saw. bersama dengan A'isyah.

‘A’isyah berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau bersusah diri padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu

p: 404

maupun yang kemudian?” Nabi Saw. menjawab, "Wahai ‘A’isyah, tak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?" Imam a.s. menambahkan, “Rasulullah Saw. biasa berdiri di ujung jari kakinya (jika shalat pada malam hari), lalu Allah Swt. menurunkan ayat: ‘Thâha. Kami tidak menurunkan Al-Quran atasmu untuk

menyebabkanmu kesulitan.(1)

Kata-kata qad ghafarallâhu laka (Allah telah mengampunimu) merujuk pada firman Allah Swt. berikut dalam Surah Al-Fath:

«إِنَّا فَتَحْنَا لَکَ فَتْحًا مُبِینًا (1)»

«لِیَغْفِرَ لَکَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَمَا تَأَخَّرَ وَیُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَیْکَ وَیَهْدِیَکَ صِرَاطًا مُسْتَقِیمًا (2)»

Sesungguhnya Kami telah mengaruniaimu suatu kemenangan yang nyata (fath, yang juga berarti 'pembukaan”), agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang dahulu maupun yang kemudian .... (QS Al-Fath (48]: 1–2)

Para ulama telah menerangkan ayat ini sedemikian sehingga tidak berbenturan dengan kemaksuman ('ishmah) Rasul yang mulia. Di sini, kami akan mengutip beberapa sudut pandang yang dikemukakan oleh almarhum 'Allamah Al-Majlisi, semoga Allah merahmatinya. Setelah itu, kami akan mengemukakan secara singkat apa yang dikatakan kaum ‘urafâ(2) dalam hubungan ini. Dan sebenarnya perbedaan pandangan ini selaras belaka dengan cita rasa dan landasan masing-masing. Almarhum Majlisi menyatakan bahwa kalangan Syi'ah memberikan dua pandangan mengenai ayat tersebut. Salah satunya, dosa-dosa (dzunûb: bentuk tunggalnya dzanb) yang disebutkan dalam ayat itu mengandung arti dosa-dosa umat yang dahulu berkat syafaatmu di kemudian hari. Dosa-dosa umat ini dikaitkan kepada Rasul lantaran hubungan erat beliau dengan umatnya. Kemungkinan ini didukung oleh riwayat berikut dari Mufadhdhal ibn 'Umar dari Al-Imam Ja'far Al-Shadiq a.s.

قال: سأله رجل عن هذه الآیة، فقال: و الله، ما کان له ذنب و لکنّ الله سبحانه ضمن له أن یغفر ذنوب شیعة علیّ ما تقدّم من ذنبهم و ما تأخّر

p: 405


1- 1. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-syukr, hadis No. 2
2- a 'Urafâ' (bentuk tunggalnya ‘ariſ) adalah ahli 'irfân. 'Irfan melukiskan sintesis filsafat, teologi spekulatif, dan pemikiran mistis yang berkembang di kalangan Islam-penerj.

Mufadhdhal berkata, “Seseorang bertanya kepada Imam mengenaiayat ini. Imam menjawab, “Demi Allah, beliau (yaitu Rasulullah) sama sekali tidak mempunyai dosa. Namun, Allah menjamin akan mengampuni semua dosa yang dilakukan oleh para pengikut ‘Ali (Syi'ah 'Ali),

و روی عمر بن یزید عنه، علیه السلام، قال: ما کان له ذنب، و لا همّ بذنب، و لکنّ الله حمّله ذنوب شیعته ثمّ غفرها له

'Umar ibn Yazid meriwayatkan bahwa Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Beliau tidak melakukan dosa sama sekali, bahkan tidak pernah bermaksud untuk berbuat dosa. Namun, Allah membebankan dosa para pengikutnya kepada beliau. Kemudian, Allah mengampuni semua dosa itu demi beliau.(1)

Penulis ini berkata, “Penjelasan di atas memiliki pijakan yang kuat dalam pandangan kaum ‘urafâ', dan tentu ada manfaatnya untuk mengemukakannya secara singkat. Ketahuilah, seperti telah dibuktikan pada tempatnya, bahwa entitas ('ain tsâbit) manusia sempurna (insan kâmil) adalah manifestasi (mazhhar; jamaknya mazhahir) Nama Teragung Allah (Ism Allah Al-Afzham) yang merupakan puncak semua Nama Allah. Esensi ('ain) semua maujud selain manusia sempurna

berada di bawah naungan manusia sempurna, baik pada tingkat idealnya di alam konseptual maupun pada tingkat aktualnya di alam perwujudan ("alam tahaqquq).

Jadi, semua entitas yang terkandung dalam alam wujud merupakan manifestasi manusia sempurna pada tingkat konseptualnya sekaligus manifestasi keindahan dan kemuliaannya pada tingkat pengejawantahan eksternalnya. Oleh karena itu, setiap kelemahan atau kekurangan aktual, dan setiap dosa yang tampak pada suatu manifestasi (mazhhar), entah secara takwînî (2) ataupun secara tasyri'z, dapat

p: 406


1- 2. Bihar Al-Anwâr, XVII, 76.
2- b Takwini berarti sesuatu yang tidak dapat diubah atau kodrati, sementara tasyri'i berarti sesuatu yang terjadi karena pilihan dan kehendak subjek itu sendiri--peny.

dinisbahkan pada sisi zhahir (yakni sisi yang tampak dari mazhhar) karena hubungan niscaya antara zhahir dan mazhhar. Penisbahan ini bukan metaforis, melainkan literal dan faktual. Karena itu, jika QS Al-Nisâ’ (4): 79 benar adanya, niscaya QS Al-Nisa' (4): 78 juga benar adanya. Ayat yang pertama berbunyi:

«وَمَا أَصَابَکَ مِنْ سَیِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِکَ (79)»

... Keburukan apa pun yang mendatangimu adalah dari dirimu sendiri. (QS Al Nisâ’ [4]: 79) dan ayat yang kedua berbunyi:

« قُلْ کُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ (78)» Katakanlah, “Segalanya adalah dari Allah”. (QS Al-Nisa' [4]: 78) Hal yang sama juga banyak disebut dalam hadis-hadis Rasulullah

yang Mulia: نحن السّابقون الآخرون “Kami adalah yang terdahulu dan yang terakhir.(1) آدم و من دونه تحت لوائی یوم القیامة “Adam dan siapa pun yang datang setelahnya berada di bawah benderaku pada hari kiamat.(2) أوّل ما خلق الله روحی- یا- نوری "Yang pertama-tama diciptakan Allah adalah cahayaku.(3)

سبّحنا فسبّحت الملائکة، قدّسنا فقدّست الملائکة "(Sebelum Adam diciptakan), kami bertasbih kepada Allah, lalu para malaikat bertasbih setelah kami. Kami memuji-Nya, dan lalu para malaikat memuji-Nya setelah kami.(4) و فرماید: لولانا ما عرف الله “Seandainya kami tidak ada, Allah tentu tidak akan dikenal.(5) لولاک لما خلقت الأفلاک Allah berkata kepada Nabi, “Seandainya engkau tidak ada, Aku tidak akan menciptakan langit.(6)

p: 407


1- 3. Ibid., XXIV, 1-9.
2- 4. Ibid., XVI, 402.
3- 5. Ibid., XV, 3 dst.
4- 6. Al-Shaduq, 'Uyûn Akhbar Al-Ridha, I, 263.
5- 7. Bihar Al-Anwar, XXVI, 247.
6- 8. 'Ilm Al-Yaqin, 1, 381.

نحنُ وَجهُ اللِه “Kami adalah wajah Allah.(1) Dalam sebuah hadis yang berkaitan dengan para pecinta Ahl Al-Bait, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku adalah pohon, Fathimah cabang-nya, 'Ali benihnya, Hasan dan Husain buahnya, dan para pencinta mereka dari kalangan umatku adalah daunnya."(2) Keindahan pohon suci wilayah tampak pada pelbagai menifestasinya, sedangkan kelemahan yang terdapat dalam (sebagian) manifestasi itu juga memantul pada pohon secara keseluruhan. Maka, dosa-dosa semua wujud merupakan dosa-dosa wali mutlak (al-wali al-muthlaq). Dan Allah Swt., dengan rahmat-Nya yang sempurna dan magfirah-Nya yang luas, telah menyayangi Rasulullah Saw. dengan berfirman:

«إِنَّا فَتَحْنَا لَکَ فَتْحًا مُبِینًا (1)»

«لِیَغْفِرَ لَکَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَمَا تَأَخَّرَ وَیُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَیْکَ وَیَهْدِیَکَ صِرَاطًا مُسْتَقِیمًا (2)»

“agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang dahulu maupun yang kemudian .... (QS Al-Fath [48]: 1-2). Dengan syafaat Rasulullah, semua maujud akan mencapai kebahagiaannya yang utuh. Dan sudah barang tentu: و آخر من یشفع أرحم الرّاحمین Yang terakhir memberikan syafaat adalah Yang Maha Pengasih (yaitu Allah).

Mengikuti penjelasan ini, ayat 1 dan 2 dari Surah Al-Fath itu termasuk dalam janji Allah dalam ayat yang berbunyi:

ارجی ایة فی القران«وَلَسَوْفَ یُعْطِیکَ رَبُّکَ فَتَرْضَی (5)» Dan pasti Tuhanmu akan menganugerahimu sampai engkau puas. (QS Al-Dhuha (93]: 5)

Ayat ini dikatakan sebagai:

“Ayat yang paling memberikan harapan dalam Al-Quran.(3) Wilayah atau walâyah adalah kewenangan atau perwalian untuk memimpin dan diikuti oleh umat. Orangnya disebut wali dan pengikut atau pecintanya disebut muwâli. Yang dimaksud dengan wilayah oleh Imam Khomeini di sini adalah kepemimpinan (imamah) dalam ajaran Syi'ah-peny.

p: 408


1- 9. Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 150.
2- 10. Al-Mufid, Al-'Amalia, Majelis No. 28, h. 245.
3- 11. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân, X, 505.

Ada juga kemungkinan arti dosa-dosa yang terdahulu dalam ayat di atas adalah dosa-dosa umat terdahulu, mengingat semua umat merupakan bagian dari umat wujud suci (Nabi) ini, sedangkan semua seruan (da'wah) para nabi merupakan ajakan menuju syariat pamungkas yang dibawanya, yang merupakan mazhâhir al-wali al-muthlaq (manifestasi dari wali mutlak). Adam dan semua yang datang setelahnya merupakan daun dari pohon wilâyah. Keterangan kedua diberikan oleh Sayyid Al-Murtadha, semoga ridha Allah tercurah atasnya. Dia berkata bahwa dzanb (dosa) adalah mashdar (verbal noun) yang bisa berupa fa il ataupun mafûl. Dalam ayat ini, kata Sayyid Al-Murtadha, dzanb dikaitkan dengan mafûl Jadi, maksud ayat (QS Al-Fath (48]: 2) itu adalah “Dosa-dosa mereka yang telah lampau terhadapmu karena mencegahmu memasuki Makkah dan Masjid Al-Haram.” Arti maghfirah atau ghufrân (yang juga berarti 'menutupi') menurut takwil ini adalah mengakhiri dan menghilangkan penganiayaan musuh-musuh Islam terhadap Nabi Saw. Arti ayat selanjutnya: “Allah akan mengakhiri dan menghapus penghinaan yang ditimpakan atasmu oleh kaum musyrikin dengan penaklukan Makkah, sehingga engkau akan segera memasuki Kota Makkah dengan kemenangan.” Karena itu, dalam ayat itu, maghfirah dijadikan sebagai tujuan penaklukan Makkah. Sayyid Al-Murtadha berkata, “Jika maghfirah dalam ayat itu diartikan sebagai pengampunan dosa-dosa, tidak dapat diturunkan makna yang masuk akal karena pengampunan dosa-dosa tidak berkaitan sama sekali dengan kemenangan, juga tidak dapat dianggap sebagai tujuan dan manfaat kemenangan. Adapun frasa mâ taqaddama wa mâ ta'akhkhara, tidak ada keberatannya kalau diartikan sebagai “kekejaman yang telah ditimpakan atas dirimu dan umatmu pada masa-masa lalu”. Ketiga, ayat itu dijelaskan sebagai mengandung arti, “Jika kamu telah berbuat dosa pada masa lalu atau kalau kamu melakukannya sesudah ini, sungguh Aku akan mengampunimu.” Dan proposisi bersyarat (jika A, maka B) tidak meniscayakan kejadian faktual. Keempat, yang dimaksud dengan “dosa” di sini adalah melalaikan mustahabbât (hal-hal sunnah), karena Nabi Saw. tidak pernah lalai

p: 409

menunaikan wajibất (hal-hal yang wajib). Mungkin, berkat kedudukannya yang tinggi dan mulia, apa yang dianggap sebagai bukan dosa bagi orang lain, bisa dianggap sebagai dosa bagi Nabi Saw. Takwil kelima menyebutkan bahwa ayat ini dimaksudkan untuk memuliakan Nabi Saw. dan sama dengan kata-kata pujian seperti: فالک Keenam, Al-Majlisi berkata: مجلسی فرموده: و قد روی الصّدوق فی العیون بإسناده عن علیّ بن محمّد بن الجهم قال: حضرت مجلس المأمون و عنده الرّضا، علیه السّلام، فقال له المأمون: یا ابن رسول الله، أ لیس من قولک أنّ الأنبیاء معصومون؟ قال: بلی. قال: فما معنی قول الله: «لیغفر لَکَ الله ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَ ما تَأخَّرَ» ؟ قال الرّضا، علیه السّلام: لم یکن أحد عند مشرکی مکّة أعظم ذنبا من رسول الله، صلّی الله علیه و آله، لأنّهم کانوا یعبدون من دون الله ثلاثمائة و ستّین صنما، فلمّا جاءهم، صلّی الله علیه و آله، بالدّعوة إلی کلمة الإخلاص، کبر ذلک علیهم و عظم، و قالوا: «أ جعل الآلهة إلها واحدا إنّ هذا لشی ء عجاب.» إلی قوله: «إن هذا إلّا اختلاق.» فلمّا فتح الله تعالی علی نبیّه، صلّی الله علیه و آله، مکّة، قال له: یا محمّد، «إنّا فَتَحْنا لَکَ فَتْحاً مُبینا. لِیَغْفِر لَکَ الله ما تَقَدَّمَ من ذنْبِکَ وَ ما تَأخَّرَ.» عِنْدَ مُشْرِکی أَهْلِ مَکَّةَ بِدْعائِکَ إلی تَوْحیدِ الله فیما تَقَدَّمَ وَ ما تَأخَّرَ، لأنّ مشرکی مکّة أسلم بعضهم، و خرج بعضهم عن مکّة، و من بقی منهم لم یقدر علی إنکار التّوحید علیه إذا دعا النّاس إلیه، فصار ذنبه عندهم فی ذلک مغفورا بظهوره علیهم. فقال المأمون: لله درک یا أبا الحسن!

Dalam 'Uyûn Akhbâr Al-Ridhà, Al-Shaduq meriwayatkan dengan isnâd-nya dari ‘Ali ibn Muhammad ibn Al-Jahm, “Aku berada pada majelis Al-Ma'mun ketika Imam 'Ali Al-Ridha bersamanya.

p: 410

“Al-Ma'mun berkata kepada Imam Al-Ridha a.s., Wahai putra Rasulullah, tidakkah engkau menyatakan bahwa para nabi bebas dari kesalahan (ma’shûmûn)?'

“Beliau menjawab, 'Ya.' “Al-Ma'mun berkata, “Lalu, apa artinya firman Allah, liyagh fira lakallâhu mâ taqaddama min dzanbika wa mâ ta’akhkhara?'

“Al-Ridha a.s. menjawab, “Kaum musyrikin Makkah menganggap Nabi sebagai pendosa terbesar, sebab mereka menyembah 360 berhala selain Allah. Jadi, ketika Nabi Saw. datang kepada mereka dengan menyerukan ikhlâsh (penyembahan pada satu Tuhan yang Esa), mereka mengira hal ini sebagai keanehan. Mereka

menyatakan, “Apa, dia telah menjadikan tuhan-tuhan itu satu Tuhan semata? Sungguh hal ini aneh dan ganjil ... setialah kepada tuhan-tuhanmu; inilah yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar tentang hal ini dalam agama terakhir, sungguh ini merupakan hal yang dibuat-buať (QS Shâd (38): 5–7).

“Ketika Allah Swt. membukakan Makkah untuk Nabi-Nya, Allah berkata kepada Nabi, 'Wahai Muhammad! Sesungguhnya Kami telah membukakan bagimu suatu kemenangan (fath) yang nyata, dan Allah mengampuni apa yang dianggap oleh kaum musyrikin Makkah sebagai dosa-dosa’ lampau ataupun akan datang yang disebabkan oleh seruanmu pada tauhid. Bentuk 'pengampunan' itu juga terlihat pada masuknya sebagian musyrikin ke dalam Islam, dan sebagian yang tetap musyrik tidak kuasa menolak seruan Nabi yang mengajak kepada tauhid. Dengan demikian, apa yang ada di mata mereka sebagai 'dosa' menjadi 'terampuni'

karena kemenangan Nabi atas mereka. "Lalu Al-Ma'mun berkata, 'Luar biasa engkau, wahai Abu Al-Hasan!"(1) Hemat kami, terdapat takwil keenam mengenai ayat di atas yang tercantum dalam hadis mulia ini. Yakni, makna "dosa” di sini adalah apa yang oleh kaum musyrikin disangka sebagai dosa dalam benak mereka yang tersesatkan.

Penjelasan Mistis (Irfâni)

Ketahuilah bahwa ada satu interpretasi mengenai ayat mulia itu yang didasarkan pada aliran kaum ‘urafã dan ahli jalan kalbu. Untuk dapat

p: 411


1- 12. Bihâr Al-Anwâr, XVII, hh. 73-76, lihat 'Uyün Akhbâr Al-Ridhâ, I,292, Bab 15.

menggambarkannya, perlu disebutkan apa yang mereka namakan dengan “Fath (Pembukaan) Tiga Lapis” (atau “kemenangan tiga lapis", futûhat tsalâtsah). Fath, menurut mereka, adalah terbukanya pintu pelbagai makrifat (ma'arif), pengenalan ('awârif), ilmu, dan penyingkapan (mukâsyafât) untuk seorang hamba dari sisi Allah. Selama manusia masih mendekam dalam rumah gelap ego dan terikat oleh pesona-pesona rumah itu, semua pintu makrifat dan penyingkapan akan tetap tertutup baginya. Namun, begitu dia keluar dari tempat gelap ini melalui pengekangan ego, cahaya hidayah dan penyingkiran jerat-jerat ego, hatinya akan terbuka untuk menerima berbagai makrifat dan penyingkapan, dan dia akan mencapai “tahapan kalbu” (maqâm al-qalb). Tahapan ini disebut dengan fath qarib (pembukaan yang dekat), karena pembukaan pertama merupakan pembukaan yang paling dekat. Fath inilah yang termaktub dalam firman Allah Swt.

berikut: «وَأُخْرَی تُحِبُّونَهَا نَصْرٌ مِنَ اللَّهِ وَفَتْحٌ قَرِیبٌ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِینَ (13)» ... pertolongan dari Allah dan suatu pembukaan yang dekat. (QS Al-Shaff (61): 13)

Tentu saja, semua pembukaan terjadi dengan bantuan dan pertolongan Allah serta dengan cahaya petunjuk dan daya-tarik Esensi (Zat) Suci Ilahiah. Akan tetapi, selama sang pelancong spiritual (salik) berada di alam kalbu ('ålam qalb) dan terikat oleh sejumlah “pahatan” dan sifat kalbu, pintu Sifat-Sifat dan Nama-Nama Ilahi tertutup baginya. Manakala penampakan (tajalli) Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi merasuki kalbu hamba, pahatan, sifat, dan kesempurnaan kalbu pun meluruh. Pada saat itu, terjadilah fath mubin (pembukaan yang nyata), ditandai dengan terbukanya Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi bagi sang hamba. Lalu, pahatan-pahatan ego (nafs) yang terdahulu dan sifat kalbu yang terkemudian terhapus (maghfur) oleh sifat menghapus (ghaffâriyyah) Nama-Nama Ilahi. Pembukaan inilah yang disebutkan dalam ayat di atas sebagai pembukaan yang nyata.

إنّا فَتَحْنا لَکَ فَتْحاً مُبیناً. لِیَغْفِرَ لَکَ الله ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَ ما تَأخَّرَ .

Yaitu, kami telah mengantarmu pada pembukaan yang nyata menuju alam Nama dan Sifat Ilahi, sehingga dosa-dosamu yang ber-

p: 412

kaitan dengan tahap ego yang terdahulu maupun tahap kalbu yang belakangan, sudah terhapus bersih oleh rahmat penghapusan yang berasal dari Nama-Nama Allah. Dan inilah pembukaan pintu wilayah (kewalian atau kewenangan). Manakala seorang salik masih berkutat di balik tirai keberagaman (katsrah) Nama (katsârah asmâʻi) dan kekhasan Sifat (taʻayyunah shifāti), pintu tajali Zat Suci Ilahi tertutup baginya. Tetapi, apabila tajali Zat yang Maha Esa terjadi padanya sedemikian sehingga semua pahatan dan ukiran alam ciptaan (khala) dan perintah (amr) sirna di hadapannya, hamba akan karam dalam puncak penghimpunan

(jam”). Pada saat itulah tercapai fath muthlaq (pembukaan mutlak), sehingga dosa mutlak (dzanb muthlaq) terhapus (maghfûr). Dosa esensial (dzanb dzâtî) yang merupakan sumber segala dosa dan dirujuk dalam perkataan berikut: وُجُودُکَ ذَنبٌ لاَ یُقاسُ بِهِ ذَنبٌ Keberadaanmu merupakan dosa yang tak tertandingi oleh dosa apa pun. terselubungi dan tertutup oleh tajali Sang Maha Esa di hadapannya. Menurut ahli makrifat, inilah fath yang dirujuk dalam firman Allah di bawah ini.

«إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1)» Apabila datang pertolongan Allah dan pembukaan. (QS Al-Nashr (110): 1) Oleh karena itu, lewat fath qarîb pintu-pintu pengetahuan hati

terbuka dan dosa-dosa ego (dzunûb nafsiyyah) terampuni. Dengan fath mubin, pintu-pintu wilayah dan tajali Ilahiah terbuka, dan sisa-sisa dosa ego yang terdahulu dan dosa kalbu yang belakangan semuanya terhapuskan. Dan akhirnya, dengan fath muthlaq pintu menuju tajali Zat Maha Esa terbuka, dan dosa mutlak terampuni.

Mesti diketahui bahwa fath qarîb dan fath mubîn mungkin dicapai oleh para wali, nabi, dan ‘urafâ', demikian juga orang-orang biasa. Namun, fath muthlaq adalah kedudukan khusus yang dicapai oleh Nabi Muhammad. Dan kalau pun ada seseorang yang berhasil mencapainya, itu pasti melalui syafaat Baginda Nabi Besar Muhammad Saw.

p: 413

Uraian di atas mengungkapkan bahwa dosa dan kebejatan memiliki berbagai tingkatan. Sebagian dosa merupakan kebaikan bagi golongan abrâr (para pelaku kebajikan), dan kebejatan bagi golongan mukhlishin (para pencapai maqam ikhlas). Diriwayatkan bahwa Rasul Mulia Saw. pernah bersabda:

لیران (أو لیغان) علی قلبی، و إنّی لأستغفر الله فی کلّ یوم سبعین مرّة

“Agar hatiku tidak berkarat, aku memohon ampunan kepada Al-lah sebanyak tujuh puluh kali sehari."(1) Karat ini tak lain adalah perhatian, sekecil apa pun, pada sisi keragaman ciptaan (dan bukan pada keesaan Pencipta-peny.). Dalam suatu hadis, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak berdiri dari duduknya-walaupun hanya sebentar-kecuali beliau beristigfar sebanyak dua puluh lima kali.(2) Hadis-hadis semacam ini memperlihatkan bahwa istigfar idak hanya terbatas pada dosa-dosa yang bertentangan dengan ‘ishmah (kemaksuman). Dzanb dan maghfirah dalam konteks para nabi dan wali tidak seperti yang lazimnya dipahami.

Oleh karena itu, ayat mulia di atas tidak bertentangan dengan maqâm spiritual Nabi yang tinggi. Ayat itu malah mengukuhkan dan menegaskan ketinggian maqâm spiritual beliau, karena ampunan atas dosa-dosa yang berkaitan dengan berbagai tahap perkembangan spiritual merupakan keniscayaan untuk mencapai puncak kesempurnaan manusia sebagai maujud alam fisik-bendawi yang berdimensi mulkihewani dan manusiawi. Pada kedua dimensi itu terdapat pelbagai daya yang sebagiannya telah bersifat aktual dan sebagian lainnya masih bersifat potensial. Nah, kalau seseorang hendak melancong dari alam ini ke alam lain, dan dari sana menuju tingkat “kedekatan Ilahi” (qurb Ilahi), mestilah dia melewati tahap demi tahap yang ada di tengah-tengah perjalanan. Setiap kali satu tahap terlewati, dosa-dosanya pada tahap sebelumnya terampuni dan demikian seterusnya sehingga dia mencapai maqâm tertinggi. Pada maqâm tertinggi itu semua dosanya terampuni di bawah tajali Zat yang Maha Esa. Di sini, dosa “eksistensial” (dzanb wujûdî) yang merupakan sumber segala dosa dan kebejatan terhapuskan berkat Kebesaran Zat Maha Esa. Inilah tahap tertinggi perjalanan

p: 414


1- 13. Shahih Muslim, kitâb al-dzikr, 41; Al-Syaikh Al-Baha'i, Al-Arba'in dalam menerangkan hadis No. 22, dengan kata-kata, “seratus kali”(mi'ah marrah).
2- 14. Safinah Al-Bihar, 11, 322.

seorang makhluk menuju kesempurnaannya. Pada maqâm inilah “kematian” dan fanâ' (kesirnaan) yang sempurna tercapai. Oleh karena itu, ketika ayat mulia yaitu diwahyukan, Rasul Mulia Saw. bersabda: “Surah ini merupakan berita tentang kematianku.” Wallahu a'alm.(1)

Hakikat Syukur

Ketahuilah bahwa arti syukur adalah menghargai ni'mah (karunia, nikmat, pemberian, anugerah) yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi (Mun'im). Pengaruh penghargaan seperti itu akan terlihat di dalam hati, lidah, tindakan, dan gerakan tubuh. Di dalam hati pengaruhnya adalah ketundukan, kekhusyukan, kecintaan, ketakutan, dan sebagainya, pengaruhnya di lidah adalah ungkapan pujian dan pengagungan; dan pengaruhnya pada anggota tubuh adalah ketaatan dan

penggunaan anggota-anggota tubuh untuk mendapatkan keridhaan Sang Pemberi dan lain sebagainya. Al-Raghib berkata:

القمة وإظهارها انترنت “Bersyukur adalah merenungi dan mengungkapkan nikmat. (2)

Kata syukr (syukur) adalah pergeseran dari kata kasyr yang berarti kasyf (penyingkapan, pengungkapan) dan lawan dari kata kufr yang berarti melalaikan dan menutupi ni'mah. Dabbah syakûr (hewan yang bersyukur) adalah hewan yang menghargai tuan dan pemberi rezeki-nya melalui kesegaran dan ketegaran tubuhnya. Disebutkan juga bahwa akar kata syukr adalah 'ainun syakra (mata yang bulat). Syakrâ di sini artinya adalah mumtali’ah (penuh). Jadi, arti syukur adalah memenuhi

diri dengan memuja-muji Sang Pemberi (Mun'im). Syukur ada tiga macam: (1) syukur hati dengan merenungkan anugerah; (2) syukur lidah dengan memuji Sang Pemberi; dan (3) syukur anggota tubuh dengan memerhatikan ni'mah sebagaimana ni'mah itu patut diperhatikan (yaitu diakui dan digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan ni'mah itu).

p: 415


1- 15. Tafsir Nûr Al-Tsaqalain, V, 689
2- 16. Al-Raghib Al-Ishfahani, Al-Mufradât fi Gharib Al-Qur'ân, h. 265.

Peneliti 'irfan yang unggul, Khwajah 'Abdullah Anshari, berkata, “Syukr adalah sebutan lain untuk pengetahuan (ma'rifah) dan nikmat, karena syukr merupakan sarana untuk mengetahui Sang Pemberi nikmat (Mun'im).” Pensyarah karyanya yang kawakan berkata: Merenungkan datangnya ni'mah dari Mun'im dan mengetahui bahwa ni'mah itu berasal dari-Nya adalah syukur. Diriwayatkan bahwa Nabi Daud a.s. berkata, “Wahai Tuhan! Bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, karena syukurku juga merupakan anugerah-Mu yang perlu aku syukuri!” Allah berfirman kepadanya, “Wahai Daud, apabila engkau tahu bahwa setiap ni'mah yang engkau nikmati itu berasal dari-Ku, berarti engkau telah bersyukur kepada-Ku.”

Penulis berkata, apa yang dikatakan para peneliti di atas sebetulnya tidak terlalu tepat, sebab syukur bukanlah pengetahuan hati, ucapan dengan lidah, atau tindakan tubuh itu sendiri. Syukr adalah keadaan jiwa (hâlah nafsâniyyah) yang merupakan hasil dari pengetahuan tentang Sang Pemberi, nikmat yang diberikan-Nya, dan bahwa nikmat itu datang dar:-Nya. Dari keadaan itulah, muncul sejumlah respons dalam hati dan tindakan dengan tubuh. Beberapa pakar ada yang mengungkapkan pandangan di atas, sekalipun pernyataan mereka juga tidak sepenuhnya tepat. Muhaqqiq Al-Thusi berkata:

Syukur adalah perbuatan yang paling mulia dan paling patut. Ketahuilah bahwa syukur adalah tindakan “membalas” pemberian dengan perkataan, perbuatan, dan niat (yang baik-peny.). Ada tiga dasar syukur: pertama, mengetahui (ma'rifah) Sang Pemberi dan Sifat-Sifat yang sesuai dengan-Nya, dan juga mengetahui bahwa pemberian itu adalah karunia yang baik untuknya. Pengetahuan ini tidak akan sempurna kecuali dipahami bahwa semua anugerah yang terlihat dan tidak terlihat berasal dari Allah Swt., dan bahwa Dialah yang sesungguhnya memberikan semua anugerah itu lantaran semua perantara tunduk pada hukum dan perintah-Nya. Kedua, keadaan (di dalam hati-peny.) yang merupakan buah dari pengetahuan di atas. Keadaan itu terdiri atas ketundukan, kerendahan hati, dan kegembiraan mendapatkan nikmat karena ia merupakan hadiah yang menunjukkan kepedulian dan perhatian Sang Pemberi. Tan-

p: 416

danya adalah bahwa engkau tidak menyenangi dunia kecuali yang bisa mendekatkanmu kepada Allah. Ketiga, tindakan yang muncul dari keadaan di atas. Oleh kare-

na itu, apabila keadaan ini muncul dalam hati, lahirlah dorongan untuk mendekat kepada Allah, baik dengan hati, lidah, ataupun anggota tubuh lainnya. Tindakan hati terdiri atas memuji dan memuliakan Sang Mun'im, merenungkan ciptaan-Nya, tindakan-Nya, pengaruh-pengaruh rahmat-Nya, dan kedermawanan-Nya

kepada semua makhluk. Tindakan lidah terdiri atas mengungkapkan kedermawanan itu melalui pujian dan pemuliaan serta pernyataan keesaan Allah, dan juga melalui penunaian kewajiban al-'amr bi al-ma'rûf wa al-nahi 'an al-munkar dan penunaian kewajiban-kewajiban lainnya. Tindakan anggota tubuh lainnya berupa

memanfaatkan anugerah-anugerah yang terlihat dan tidak terlihat untuk mengikuti, menyembah, dan mencegah perbuatan dosa terhadap Allah dan tidak melanggar perintah-perintah-Nya. Dengan demikian, mata digunakan untuk mempelajari ciptaan-Nya, membaca Kitab Suci-nya, dan mengajarkan ilmu para nabi dan Aushiya (1) a.s. Begitu pula untuk anggota tubuh lainnya. (2)

Cara Bersyukur

Ketahuilah bahwa mensyukuri anugerah lahiriah dan batiniah dari Allah Swt. merupakan salah satu kewajiban hamba dan makhluk. Semua orang harus berusaha menunaikan kewajiban itu semampunya meskipun tidak ada makhluk yang dapat secara tuntas menunaikan kewajiban bersyukurnya kepada Allah Swt. Tujuan akhir bersyukur adalah mengetahui ketidakmampuan untuk sepenuhnya memuaskan rasa syukur, sebagaimana tujuan akhir penghambaan adalah menyadari ketidakmampuan memenuhi tuntutan-tuntutannya. Karena itu, Rasul Mulia Saw. mengakui ketidakmampuannya meskipun tidak ada makhluk yang telah berusaha menunaikan kewajiban-kewajiban hamba dan kewajiban untuk bersyukur seperti yang dilakukan oleh Rasul mulia. Kesempurnaan dan kekurangan seorang hamba dalam

p: 417


1- d Aushiya' adalah para Imam Ahl Al-Bait-penerj.
2- 17. Ini adalah ikhtisar wacana Al-Ghazali dari Al-Mahajjah Al-Baidha', karya Al-Faidh Al-Kasyani, VII, hh.144-149.

bersyukur sebanding dengan pengetahuannya tentang Sang Pemberi dan segenap anugerah-Nya. Dan karena tak seorang pun sanggup mengetahui Allah secara sempurna, tak ada pula yang sanggup bersyukur kepada-Nya secara sempurna. Hamba bisa dianggap telah bersyukur apabila dia sepenuhnya mengetahui hubungan makhluk dengan Khalik, mengetahui seluruh rahmat Ilahi, mengetahui awal dan akhir penyingkapan Ilahi, mengetahui kaitan satu karunia dengan karunia lainnya, dan mengetahui rantai wujud dengan sebenar-benarnya. Pengetahuan seperti ini tidak akan tercapai kecuali bagi para wali Allah, can yang paling mulia serta paling agung di antara mereka semua adalah esensi kudus Nabi Penutup, Muhammad ibn 'Abdullah Saw. Selain mereka jelas terhijab dari tingkatan-tingkatan pengetahuan semacam ini, terutama puncaknya yang tertinggi. Selama hakikat kehadiran Ilahi tidak tergores dalam hati hamba dan selama dia tidak meyakini bahwa: لاَموئثِّرُ فِ الوُجُودِ اِلاَّ للّهُ Tidak ada pengaruh yang berarti di alam wujud selain Allah sehingga debu syirik dan keraguan (syakk) terus menyelimuti hatinya, dia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah sebagaimana mestinya. Orang yang terpana pada sebab-sebab dan sarana-sarana perantara akan mengira bahwa semua nikmat bukan dari Allah Sang Pemberi nikmat, dan dia akan kufur pada nikmat-nikmat Allah Swt. Orang seperti itu telah membuat berhala-berhala dan enganggapnya sebagai berdaya-guna. Adakalanya dia akan menisbahkan sejumlah tindakan kepada dirinya dan menganggap dirinya sebagai pengendali segala kejadian dan persoalan; adakalanya dia menganggap benda-benda alam wujud sebagai beraktivitas secara mandiri; dan adakalanya dia mengaitkan semua nikmat itu kepada tuhan-tuhan” fenomenal, dan menganggap Allah sebagai tidak berdaya dan tangan-Nya telah terbelenggu, padahal:

«وَقَالَتِ الْیَهُودُ یَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَیْدِیهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ یَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ یُنْفِقُ کَیْفَ یَشَاءُ وَلَیَزِیدَنَّ کَثِیرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَیْکَ مِنْ رَبِّکَ طُغْیَانًا وَکُفْرًا وَأَلْقَیْنَا بَیْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَی یَوْمِ الْقِیَامَةِ کُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَیَسْعَوْنَ فِی الْأَرْضِ فَسَادًا وَاللَّهُ لَا یُحِبُّ الْمُفْسِدِینَ (64)»

Terbelenggulah tangan-tangan mereka, dan mereka terkutuk karena apa yang telah mereka katakan. (QS Al-Ma'idah (5): 64)

p: 418

Tangan-tangan Allah yang memberikan itu bebas tak terbelenggu, dan seluruh alam wujud sesungguhnya milik-Nya, dan tak ada lain yang berperan di dalamnya. Seluruh alam semesta merupakan perwujudan kekuasaan dan kedermawanan-Nya, dan kedermawanan-Nya meliputi segala sesuatu. Seluruh nikmat berasal dari-Nya, dan tidak ada yang memiliki nikmatnya sendiri, dalam arti dia sendiri yang memberikan nikmat itu. Namun, seluruh alam keberadaan ada berkat Dia, dan segalanya tidak ada dengan sendirinya sehingga sesuatu ada karena atau berkat sesuatu itu sendiri. Namun, mata telah buta, telinga telah tuli, dan hati telah tertutup tabir. دیده میخواهم سبب سُراخ کن Aku mencari mata yang dapat menembus (tirai) sebab-sebab lahiriah menuju Sebab Hakiki.

Sampai kapan hati kita yang telah mati ini terus mengufuri nikmat-nikmat Allah, dan terikat pada alam, pelbagai kondisi, dan individunya? Sesungguhnya segenap keterikatan dan perhatian ini sama dengan kekufuran pada anugerah Zat Suci Ilahi dan pengingkaran pada rahmat-Nya.

Karena itu, memenuhi kewajiban untuk bersyukur tidak bisa dikerjakan oleh setiap orang, dan bahwa Zat Suci Allah Swt. telah berfirman: wa qalilun min "ibâdiyasy-syakûr (Sedikit sekali hamba-Ku yang bersyukur).(1) Artinya, sedikit sekali hamba yang mengetahui nikmat-nikmat Allah secara cukup dan sebagaimana sepatutnya diketahui. Karena itu, hanya sedikit hamba yang dapat menunaikan kewajiban untuk bersyukur sebagaimana sepatutnya.

Berbagai Tingkatan dalam Bersyukur

Ketahuilah bahwa tingkatan-tingkatan pengetahuan hamba itu bermacam-macam, begitu pula tingkatan-tingkatan mereka dalam bersyukur. Tingkatan dalam bersyukur juga bermacam-macam karena bersyukur adalah memuji Sang Mun‘im atas anugerah-anugerah-Nya.

p: 419


1- e QS Saba' (34): 13.

Dengan demikian, nikmat-nikmat lahiriah memerlukan satu macam bersyukur dan nikmat-nikmat batiniah memerlukan bersyukur jenis lainnya. Jika nikmat itu berupa pengetahuan dan makrifah, syukurnya mesti dengan satu cara; dan jika nikmat itu berupa tajali Nama-Nama Allah, syukurnya juga dengan cara lain. Karena semua kategori dan tingkatan nikmat itu dinikmati hanya oleh sedikit hamba-Nya, upaya untuk menunaikan kewajiban bersyukur pada semua tingkatannya hanya bisa dilakukan oleh segelintir kecil orang. Mereka yang tergolong wali-wali yang ikhlas (khullâsh) yang keberadaan mereka meliputi seluruh sisi kehadiran Ilahi (jami' jami’-i hadharat) dan berperan sebagai perantara semua perantara (barzakh al-barâzikh), baik secara lahiriah maupun batiniah. Oleh sebab itu, syukur mereka ter-

wujud melalui segenap lidah lahiriah dan batiniah. Pada galibnya, syukur dianggap sebagai maqam yang berkaitan dengan orang kebanyakan (awâm), lantaran setiap orang berkehendak untuk membalas jasa Sang Pemberi. Tentu saja, ungkapan "kehendak untuk membalas jasa” ini tidaklah sopan bila ditujukan kepada

Allah (karena tidak mungkin ada yang bisa membalas jasa Allah-peny.) Akan tetapi, pada hakikatnya, maqam syukur hanya dapat dicapai oleh para wali, khususnya yang sempurna (kummal) di antara mereka, yakni kalangan wali yang sudah meliputi semua sisi kehadiran Ilahi dan menyeimbangkan sisi ketunggalan (wahdah) dan keragaman (katsrah). Sekalipun menyatakan bahwa syukur merupakan salah satu kedudukan yang dimiliki oleh orang kebanyakan, Khawajah 'Abdullah

Anshari menambahkan:

و الدّرجة الثّالثة أن لا یشهد العبد إلّا المنعم. فإذا شهد المنعم عبودة، استعظم منه النّعمة، و إذا شهده حبّا، استحلی منه الشّدّة، و إذا شهده تفریدا، لم یشهد منه نعمة و لا شدّة

Artinya, derajat ketiga syukur terletak di tempat sang hamba tidak melihat apa pun kecuali keindahan Sang Mun'im, dan dia tenggelam dalam keindahan-Nya. Keadaan ini terdiri atas tiga kedudukan. Per-

p: 420

tama, dia mematuhi-Nya seperti budak hina melihat tuannya. Dalam keadaan ini, ia menyadari bahwa dirinya berada di hadapan-Nya, dia benar-benar takzim, dia tidak memandang dirinya bernilai. Apabila dalam kerendahan hati ini, jika dia dianugerahi nikmat, dia sangat menghargainya, dan menganggap dirinya tidak berarti dan tidak patut menerima nikmat itu. Kedua, ketaatannya seperti ketaatan seseorang kepada kekasihnya. Dalam keadaan seperti ini, dia tenggelam dalam keindahan Sang Kekasih, dan apa pun yang diterima dariNya, dia hargai, sekalipun hal itu adalah penderitaan dan kesulitan. Ketiga, dia menaati-Nya tanpa sekat Nama-Nama. Dalam keadaan seperti ini, dia akan melupakan dirinya sendiri dan orang lain, dan hanya melihat Zat Allah, sambil tidak menyadari mana yang nikmat

dan mana yang bukan nikmat. Dengan demikian, jelaslah bahwa tahap pertama dalam semua perjalanan salik adalah tahap yang dilalui banyak orang, tetapi tahap-

tahap lanjutan dan puncaknya hanya berkaitan dengan wali-wali yang ikhlas dan sempurna.

Kedudukan Syukur dalam Hadis

Kami akan menyempurnakan bagian ini dengan menyebutkan beberapa hadis tentang syukur:کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال، قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: الطّاعم الشّاکر له من الأجر کأجر الصّائم المحتسب. و المعافی الشّاکر له من الأجر کأجر المبتلی الصّابر. و المعطی الشّاکر له من الأجر کأجر المحروم القانع.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanad dari Abu 'Abdillah a.s. bahwa beliau bersabda, “Rasulullah Saw. bersabda, ‘Orang yang menyantap makanan dengan rasa syukur dia akan diberi pahala seperti orang berpuasa yang menjaga dirinya; orang sehat yang mensyukuri kesehatannya akan diberi pahala seperti

orang yang menanggung penderitaan dengan sabar; dan orang

p: 421

yang memberi dengan rasa syukur akan mendapat pahala seperti orang yang menanggung kerugian, tetapi tetap men aga diri.(1)

و بإسناده عن عبد الله بن الولید قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: ثلاث لا یضرّ معهنّ شی ء: الدّعاء عند الکرب، و الإستغفار علی الذّنوب، و الشّکر عند النّعمة

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Ubaid ibn Al- Walid bahwa dia berkata, “Aku mendengar Abu 'Abcillah a.s. berkata, 'Siapa saja yang berpegang pada tiga perkara ini tidak akan mendapat petaka: (1) berdoa saat dalam kesulitan; (2) meminta ampunan saat berbuat dosa; dan (3) bersyukur saat menerima

anugerah.(2)

و بإسناده عن أبی بصیر قال قال أبو عبد الله، علیه السلام: إنّ الرّجل منکم لیشرب الشّربة من الماء، فیوجب الله له بها الجنّة. ثمّ قال: إنّه لیأخذ الإناء فیضعه علی فیه فیسمّی، ثمّ یشرب فینحیّه و هو یشتهیه فیحمد الله، ثمّ یعود فیشرب، ثمّ ینحّیه فیحمد الله، ثمّ یعود فیشرب ثمّ ینحّیه فیحمد الله، فیوجب الله عزّ و جلّ بها له الجنّة

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa Abu Abdillah a.s. berkata, “Sesungguhnya ada orang di antara kalian yang meminum air, lalu Allah memberinya surga." Kemudian beliau berkata lagi, "Sesungguhnya orang yang mengambil bejana berisi air, menempelkannya ke mulut dan menyebut nama Allah,

baru kemudian meminum airnya, lalu dia menjauhkan air itu padahal dia masih menghendakinya, kemudian memuji Allah lagi dan meminumnya, lalu menghentikan minumnya dan memuji Allah, maka Allah Swt. pasti akan memasukkannya ke dalam surga.(3)

Memuji Allah itu setara dengan syukur. Dalam banyak hadis, termaktub bahwa orang yang mengucapkan alhamdulillâh (memuji Allah), berarti telah bersyukur kepada-Nya. Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan hadis ini dengan sanad dari 'Umar ibn Yazid.

p: 422


1- 18. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-syukr, hadis No. 1.
2- 19. Ibid., hadis No. 7.
3- 20. Ibid., hadis No. 16.

قال: سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: شکر کلّ نعمة، و إن عظمت، أن تحمد الله عزّ و جلّ

'Umar ibn Yazid berkata, “Aku mendengar Abu 'Abdillah a.s. bersabda, '(Cara) bersyukur atas segala nikmat, betapapun besarnya, ialah bertahmid (memuji) kepada Allah.(1)

و بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: شکر النّعمة اجتناب المحارم، و تمام الشّکر قول الرّجل: الحمد لله ربّ العالمین

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu ´Abdillah a.s. bahwa beliau bersabda, “Mensyukuri nikmat ialah menghindari hal-hal yang telah diharamkan Allah, dan melaksanakan syukur cukup dengan ucapan, 'Alhamdulillâhi Rabbil 'Alamîn (Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta).(2)

و بإسناده عن حمّاد بن عثمان قال خرج أبو عبد الله، علیه السّلام، من المسجد و قد ضاعت دابّته، فقال: لئن [ردّها] الله علیّ، لأشکرنّ الله حقّ شکره. قال [فما] لبث أن أتی بها، فقال: الحمد لله. فقال له قائل: جعلت فداک، أ لیس قلت لأشکرنّ الله حقّ شکره؟ فقال أبو عبد الله، علیه السّلام: أ لم تسمعنی قلت: الحمد لله.

Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Hamad ibn 'Utsman bahwa dia berkata, “Imam Abu 'Abdillah, Ja'far Al-Shadiq a.s. suatu kali keluar dari masjid dan kehilangan kudanya. Kemudian Imam berkata, 'Seandainya Allah mengembalikannya kepadaku, aku akan bersyukur dengan syukur yang layak bagi-Nya.' Tak lama

kemudian binatang itu kembali kepada beliau. Lalu, Imam berkata, Alhamdulillah.'Seseorang bertanya kepada Imam, 'Semoga nyawaku menjadi tebusanmu, tidakkah engkau tadi mengatakan bahwa engkau akan bersyukur kepada Allah dengan syukur yang layak bagi-Nya? Imam Al-Shadiq a.s. berkata kepadanya, Tidakkah engkau mendengarku berucap alhamdulillah?'(3)

p: 423


1- 21. Ibid., hadis No. 11.
2- 22. Ibid., hadis No. 10.
3- 23. Ibid., hadis No. 18.

Hadis ini menunjukkan bahwa bertahmid adalah contoh paling baik dalam bersyukur dengan lidah. Di antara pengaruh syukur adalah bertambahnya nikmat, seperti disebutkan dengan terang dalam Al-Quran yang mulia: Kalau kamu bersyukur, sesungguhnya Aku akan menambahkan (nikmat) padamu .... (QS Ibrâhîm (14]: 7)

Dalam Al-Kâfî, tercantum hadis dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. yang berbunyi:

من أعطی الشّکر أعطی الزّیادة، یقول الله عزّ و جلّ: «لئن شکرتم لأزیدنّکم.

Imam Al-Shadiq a.s. bersabda, “Barang siapa telah diberi syukur berarti telah diberi tambahan (nikmat). Allah Azza wa Jalla berfirman, "Kalau kamu bersyukur, Aku akan menambahkan (nikmat) padamu. (1)

Kesimpulan

Ketahuilah bahwa ‘A’isyah beranggapan bahwa motif di balik ibadah itu terbatas pada takut disiksa atau mengharap ampunan. Dia mengira bahwa ibadah Nabi Muhammad yang mulia Saw. seperti ibadahnya orang kebanyakan. Karena itu, ia bertanya-tanya alasan di balik kegigihan Nabi dalam beribadah. Anggapan seperti ini timbul karena dia tidak mengetahui maqam ibadah dan penghambaan, dan juga maqam kenabian dan kerasulan. Dia tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak pernah beribadah layaknya budak atau pegawai. Keagungan Allah dan pelbagai anugerah-Nya yang tak terbatas telah melenyapkan kesantaian dan kemalasan dari wujud suci Baginda Nabi. Sebaliknya, ibadah para wali yang ikhlas merupakan cerminan dari tajali (pencerahan spiritual) Sang Kekasih yang tak terbatas, sebagaimana tampak pada shalat beliau saat mi'raj. Kendati karam dalam keindahan dan keagungan Sang Kekasih dan sirna dalam Sifat-Sifat

dan Zat-Nya, para wali suci a.s. tidak pernah melalaikan tahap-tahap

p: 424


1- 24. Ibid., hadis No. 8.

penghambaan dan ubudiah. Gerakan tubuh mereka mengikuti gerakan ruh mereka yang terliputi kecintaan. Tubuh mereka senantiasa menampakkan keindahan Sang Kekasih (dalam beragam ritus yang dikehendaki-Nya-peny.). Hanya, untuk orang seperti ‘A’isyah, Baginda Nabi memberikan jawaban yang secukupnya dan bukan jawaban yang sesungguhnya. Baginda Nabi hanya menyebutkan tingkat yang rendah agar ‘A’isyah mengerti bahwa ibadah beliau tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan sepele. Dan segala puji bagi Allah.

روی علیّ بن إبراهیم فی تفسیره، بإسناده عن أبی جعفر و أبی عبد الله، علیهما السّلام، قالا: کان رسول الله إذا صلّی قام علی أصابع رجلیه حتّی تورّمت، فأنزل الله تبارک و تعالی: «طه» بلغة طیّ: یا محمّد. ما أنزلنا ... الآیة

'Ali ibn Ibrahim, dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja'far a.s. dan Abu 'Abdillah a.s. bahwa mereka berdua bersabda, “Rasulullah Saw. shalat di atas jari-jari kakinya sampai membengkak.(1) Lalu Allah Tabâraka wa Ta'ala menurunkan ayat: Thaha .... (Qs Tha Ha [20]: 1-2)-yang artinya Wahai Muhammad—Kami tidak menurunkan Al-Quran atasmu untuk menyulitkanmu. (2)

و عن الصّدوق فی معانی الأخبار بإسناده عن سفیان الثّوریّ، عن الصّادق، علیه السّلام، فی حدیث طویل قال فیه: و أمّا «طه» فاسم من أسماء النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، و معناه: یا طالب الحقّ الهادی إلیه

Al-Shaduq, dalam Ma'ânî Al-Akhbâr, meriwayatkan dengan sanad-nya kepada Sufyan Al-Tsauri dari Imam Al-Shadiq a.s. dalam sebuah

p: 425


1- f Hukum shalat di atas jari-jari kaki atau seperti dalam beberapa riwayat lain di atas satu kaki hanya dikhususkan bagi Rasulullah Saw. Boleh jadi hukum ini semula berlaku secara umum bagi semua orang, tetapi kemudian dikhususkan oleh Allah bagi Baginda Nabi Saw.- Imam Khomeini.
2- 25. Tafsir Al-Qummi, 11, 58.

hadis yang panjang. Antara lain beliau berkata, “Thâhâ adalah salah satu nama Nabi Saw., yang berarti 'Wahai pencari Al-Haqq (thalib Al-Haqq) dan pemandu menuju-Nya (al-hâdî ilaih).” (1)

Diriwayatkan dari Ibn`Abbas dan selainnya bahwa Thâhâ berarti 'Wahai Lelaki'. Beberapa ulama mazhab Sunni menyatakan bahwa Thâ' merujuk pada kesucian (thahârah) hati Nab:, sedangkan hâ merujuk pada petunjuk (hidayah) dalam hati beliau menuju Allah. Dan disebutkan pula bahwa thâ berarti kegembiraan (tharab) yang dirasakan oleh para penghuni surga, sedangkan hâ' berarti kehinaan. (hawân) yang dirasakan oleh para penghuni neraka. Al-Thabrisi, semoga Allah merahmatinya, berkata, “Diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa Al-Hasan membaca (Thâ hâ) sebagai thà' dengan fathah pada thâ’ dan sukûn pada hâ’. Kalau bacaan ini benar, kata thâhâ tentu berasal dari thâ', yang hamzah-nya berubah menjadi hâ'. Mengikuti pendapat terakhir, makna ayat di atas menjadi seperti berikut:

طإ الأرض بقدمیک جمیعا Injaklah bumi dengan kedua kakimu (dan bukan dengan satu kaki belaka-peny.).(2) Terjadi perselisihan sengit mengenai maksud rangkaian huruf terpisah (al-huruf al-muqaththa'ah) pada awal sebagian surah Al-Quran. Pandangan paling masuk akal adalah bahwa huruf-huruf itu merupakan kode rahasia antara yang mencintai dan yang dicintai, dan maksudnya tidak dapat dimengerti oleh selain keduanya. Apa yang dikemukakan oleh sebagian ahli tafsir dalam kaitan ini pada umumnya hanyalah perkiraan tanpa dasar. Hadis yang diriwayatkan oleh Sufyan Al-Tsauri juga menunjukkan bahwa huruf-huruf itu merupakan kode-kode rahasia, dan bukan mustahil bahwa huruf-huruf itu berkaitan dengan perkara yang tidak mungkin ditangkap oleh pemahaman manusia biasa. Melalui huruf-huruf itu, Allah berbicara kepada para hamba pilihan-Nya, dan tidak ada hal mutasyâbih (ambigu) dalam Al-Quran kecuali telah mereka ketahui maknanya.(3) Syaqa' dan syaqâwah (yang kata turunannya, tasyqa, terdapat dalam QS Thâ Hâ (20]: 1) merupakan lawan kata dari sa'adah (kebahagiaan)

p: 426


1- 26. Ma'âni Al-Akhbâr, 22.
2- 27. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân; sebelum datangnya perintah ini, Nabi Saw. selalu shalat dengan mengangkat satu kakinya.
3- 28. Ini merujuk ke QS Qashash (28): 56.

dan artinya adalah kesengsaraan dan kesulitan. Inilah yang dinyatakan Al-Jauhari:

قال الجوهری: «الشّقاء و الشّقاوة، بالفتح، نقیض السّعادة.»

Al-Thabrisi meriwayatkan hadis ini dalam Al-Ihtijaj:

روی الطّبرسی فی الاحتجاج عن موسی بن جعفر، علیه السّلام، عن آبائه، علیهم السّلام، قال قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: و لقد قام رسول الله، صلّی الله علیه و آله، عشر سنین علی أطراف أصابعه حتّی تورّمت قدماه و اصفرّ وجهه. یقوم اللّیل أجمع حتّی عوتب فی ذلک، فقال الله عزّ و جلّ: «طه. ما أَنْزَلْنا عَلَیْکَ الْقُرْآن لِتَشْقی .» بل لتسعد به

Imam Musa ibn Ja'far a.s. meriwayatkan dari leluhurnya bahwa Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. bertutur, “Selama sepuluh tahun Rasulullah Saw. berdiri di atas jari-jari kakinya (saat shalat) sehingga kakinya membengkak dan wajahnya menguning. Beliau biasa berdiri sepanjang malam sampai beliau ditegur. Allah Swt. berfirman, 'Thâhâ, Kami tidak menurunkan Al-Quran untuk menyengsarakanmu.' Artinya, Kami menurunkan Al-Quran untuk membahagiakanmu.”

Diriwayatkan dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. bahwa Baginda Nabi Saw. mengangkat salah satu kakinya yang mulia selama shalat agar terasa lebih sulit baginya. Lalu, Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat mulia di atas. Sebagian mufasir berpendapat bahwa ayat mulia tersebut dimaksudkan sebagai tanggapan atas kaum musyrikin yang mengira bahwa Nabi telah menjadi sengsara karena menentang mereka, lalu Allah berfirman: Wahai lelaki! Kami tidak menurunkan Al-Quran untuk

membuatmu sengsara. Guru kami, ahli makrifat yang sempurna, Syahabadi, berkata, Setelah beberapa waktu Rasulullah Saw. mengajak orang untuk beriman, tetapi tidak ditanggapi sebagaimana yang beliau kehendaki, Baginda mulia itu merasa bahwa mungkin ada yang kurang dalam upaya dakwah beliau. Maka bersegeralah beliau “memaksakan

p: 427

dirinya” (dalam ibadah) selama sepuluh tahun, sampai kedua kaki mulia beliau membengkak. Lalu, turunlah ayat di atas yang menyatakan kepada beliau agar tidak mempersulit diri: Wahai Muhammad, engkau suci dan pembimbing sejati. Tidak terdapat sedikit pun cacat dan kekurangan padamu, tetapi pada orang-orang

yang kau seru, dan bahwa: «إِنَّکَ لَا تَهْدِی مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَکِنَّ اللَّهَ یَهْدِی مَنْ یَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِینَ (56)»

Engkau tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang engkau kehendaki, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki .... (QS Al-Qashash (28): 56) Yang dapat disimpulkan dari ayat mulia tersebut adalah bahwa Nabi Saw. pernah mencurahkan diri dalam pelbagai ibadah dan hal-hal yang sulit, seperti yang dapat kita pahami dari keseluruhan pendapat para mufasir---walaupun mereka berselisih mengenai hal-hal sulit apa yang telah beliau lakukan. Hal ini hendaknya menjadi contoh dan pelajaran bagi umat Muhammad Saw., khususnya mereka yang menyeru manusia ke jalan Allah. Insan yang suci ini, dengan kesuci-

an hati dan kesempurnaan wujudnya, masih berdisiplin secara ketat dan bersusah-payah seperti itu, sampai beliau diminta untuk bersusah diri oleh ayat mulia yang diturunkan oleh Zat Ilahi yang Suci. Dan kita yang banyak dosa dan pelanggaran ini senantiasa lalai pada kehidupan setelah mati dan kebangkitan kembali, seakan-akan kita telah dijamin bakal bebas dari hukuman dan api neraka! Alasan semua itu tak lain adalah kecintaan kita pada dunia telah menutup telinga kita, sedemikian sehingga kita tidak lagi dapat mendengarkan kata-kata Baginda Nabi Saw. dan para wali Allah. ()

p: 428

22 Hadis tentang Takut Mati

Point

بالسّند المتّصل إلی رکن الإسلام و ثقته، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، عن بعض أصحابه، عن الحسن بن علیّ بن أبی عثمان، عن واصل، عن عبد الله بن سنان، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: جاء رجل إلی أبی ذرّ فقال: یا أبا ذرّ، ما لنا نکره الموت؟ فقال: لأنّکم عمّرتم الدّنیا و أخربتم الآخرة، فتکرهون أن تنقلوا من عمران إلی خراب. فقال له: فکیف تری قدومنا علی الله؟ فقال: أمّا المحسن منکم، فکالغائب یقدم علی أهله، و أمّا المسی ء منکم، فکالآبق یردّ علی مولاه. قال: فکیف تری حالنا عند الله؟ قال: اعرضوا أعمالکم علی الکتاب: إنّ الله یقول: «إنّ الأبرار لفی نعیم. و إنّ الفجّار لفی جحیم. [1] » قال: فقال الرّجل: فأین رحمة الله؟ قال «رحمة الله قریب من المحسنین.» قال أبو عبد الله، علیه السّلام: و کتب رجل إلی أبی ذرّ، رضی الله عنه: یا أبا ذرّ، أطرفنی بشی ء من العلم. فکتب إلیه: إنّ العلم کثیر، و لکن إنّ قدرت أن لا تسی ء إلی من تحبّه، فافعل. فقال له الرّجل: و هل رأیت أحدا یسی ء إلی من یحبّه! فقال له: نعم، نفسک أحبّ الأنفس إلیک، فإذا أنت عصیت الله، فقد أسأت إلیها

p: 429

Dengan sanadku yang bersambung sampai ke pilar dan otoritas Islam, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari beberapa gurunya, dari Al-Hasan ibn 'Ali ihn Abi 'Utsman, dari Washil, dari 'Abdullah ibn Sinan, dari Abu `Abdillah a.s. yang bersabda, “Seorang lelaki datang kepada Abu Dzarr dan berkata, “Wahai Abu Dzarr, apa yang tidak beres pada diri kami sehingga kami segan mati?” Abu Dzarr menjawab, “Karena engkau telah mengembangkan duniamu dan menghancurkan akhiratmu. Maka dari itu, engkau tidak mau berpindah dari kemakmuran ke kehancuran.” Abu Dzarr ditanya,

“Bagaimanakah keadaan kami ketika menghadap Allah?" Abu Dzarr menjawab, “Orang yang berbuat baik di antara kamu akan seperti seseorang yang kembali kepada keluarganya setelah lama berpisah. Adapun orang yang berbuat buruk akan seperti seorang budak yang melarikan diri lantas dikembalikan kepada tuannya." Abu Dzarr ditanya, “Bagaimanakah keadaan kami di hadapan Allah?” Abu Dzarr menjawab, “Nilailah segenap perbuatanmu dengan menggunakan kriteria Al-Quran. Allah berfirman, Sesungguhnya orang yang saleh akan bahagia, dan orang yang keji akan ditempat- kan di dalam api yang menyala-nyala” (QS Al-Infithâr [82]: 12-

13). Al-Imam a.s. menambahkan, “Lalu lelaki itu berkata, 'Lantas di manakah rahmat Allah?" Abu Dzarr menjawab, “Rahmat Allah diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat baik.” Abu 'Abdillah a.s. melanjutkan, “Seseorang menulis kepada Abu Dzarr 1.a., 'Wahai Abu Dzarr, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang baru mengenai pengetahuan.' Abu Dzarr menulis kepadanya, 'Pengetahuan itu luas. Namun, jika kamu dapat inenahan diri dari berbuat buruk kepada seseorang yang kamu cintai, bersikaplah demikian.'Orang itu bertanya kepada Abu Dzarr, 'Pernahkah engkau melihat seseorang berbuat tidak baik terhadap seseorang yang dicintainya?' Abu Dzarr menjawab, 'Pernah. Dirimu sendiri adalah hal yang paling kau cintai. Dan apabila kau durhaka kepada Allah, berarti kau telah berbuat buruk kepada dirimu sendiri.(1)

p: 430


1- 1. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb muhasabah al-'amal, hadis No. 20.

Ketahuilah bahwa rasa takut mati yang ada pada manusia berbeda-beda, begitu pula alasan-alasan di baliknya. Apa yang telah dilukiskan Hadhrat Abu Dzarr r.a. di atas bertalian dengan keadaan orang-orang di tengah (mutawassithûn), dan di sini kami akan menguraikan secara singkat kondisi orang-orang cacat (nâqishûn) dan orang-orang sempurna (kamilûn).

Perlu diketahui bahwa ketakutan dan keseganan kita—yang cacat ini-untuk mati timbul karena yang telah disebutkan ketika kami menerangkan beberapa hadis terdahulu. Yaitu, sesuai dengan kodrat dan fitrahnya, semua manusia mencintai kehidupan dan kelangsungan hidup dan membenci kematian dan kehancuran (kesirnaan). Rasa cinta ini berkaitan dengan kelangsungan hidup yang abadi, bebas dari kesirnaan, dan tidak mengenal akhir. Beberapa pembesar (makrifat Allah) kita yang mulia membuktikan pastinya Hari Kebangkitan dengan menggunakan prinsip fitrah manusia. Tetapi, saat ini kami tidak sedang bertujuan untuk menguraikan argumen-argumen mereka. Nah, karena rasa cinta pada keabadian dan benci pada kesirnaan ada dalam fitrah setiap manusia, manusia akan mencintai apa yang dianggapnya sebagai alam kehidupan abadi itu. Akan tetapi, karena kita tidak meyakini alam akhirat dan hati kita tidak mengimani kehidupan abadi di sana, kita mencintai alam ini dan membenci kematian sesuai dengan fitrah itu.

Pada penjelasan hadis terdahulu, telah kami sebutkan bahwa persepsi dan kesimpulan rasional itu berbeda dengan keimanan dan keyakinan hati. Menurut persepsi rasional atau kesimpulan ikut-ikutan (ta’abbudan) yang didasarkan pada hadis para nabi dan wali, kita mengakui bahwa kematian yang merupakan peralihan dari

tingkatan jasmani (mulkî) yang rendah dan gelap pada alam kehidupan penuh cahaya dan tingkatan spiritual (malakût) yang tinggi dan abadi—adalah suatu kebenaran. Namun, hati kita tidak memiliki pengetahuan ini dan mengabaikannya. Bahkan, hati kita telah menjadi sedemikian terpaku pada alam duniawi dan jasadi, dan menganggap kehidupan itu hanya yang bersifat hewani dan jasmani yang rendah ini. Hati kita tidak melihat adanya kehidupan dan keabadian di alam lain, yaitu alam akhirat dan alam kehidupan sejati.

p: 431

Oleh karena itu, kita menjadi benar-benar cenderung dan bergelayut pada alam materiil ini sambil merasa takut, jijik, dan benci pada alam akhirat. Segenap kemalangan kita disebabkan oleh tiadanya kepercayaan dan keyakinan dalam hati terhadap hari kiamat dan kehidupan akhirat. Seandainya sepersepuluh keyakinan pada kehidupan, keberadaan, dan kelangsungan alam duniawi ini kita ubah menjadi keyakinan pada alam akhirat dan kehidupan abadinya, pasti hati kita akan lebih terpikat padanya dan merindukannya, dan kita akan sedikit-banyak berupaya untuk melempangkan jalan menujunya. Namun, sialnya, keimanan kita pada hari akhirat sangatlah goyah, sehingga kita terpaksa menjadi takut mati, takut pada kesirnaan dan keberakhiran dunia ini. Obat yang mujarab untuk penyakit ini adalah menumbuhkan iman di dalam hati melalui pemikiran, zikir yang bermanfaat, pengetahuan, dan perbuatan yang saleh. Ihwal ketakutan dan kebencian pada mati yang terdapat dalam hati kaum mutawassithûn disebabkan hati mereka terfokus pada pemakmuran dunia dan melupakan pemakmuran akhirat. Fokus ini membuat mereka tidak mau meninggalkan tempat yang makmur untuk menuju ke tempat yang rusak dan hancur, seperti yang dikemukakan oleh Hadhrat Abu Dzarr r.a. di atas. Sikap seperti ini juga terjadi karena kurangnya keimanan dan keyakinan. Sebaliknya, kalau keimanan telah sempurna, mustahil manusia hanya berkulat pada

urusan-urusan duniawi yang rendah ini, dan melalaikan urusan-urusan ukhrawinya.

Singkat kata, ketakutan, kecemasan, dan kebencian pada mati ini timbul karena kesia-siaan perbuatan kita, perlawanan dan penentangan kita pada Tuan kita. Sebaliknya, kalau kita berjalan dengan benar dan meneliti diri kita secara jeli, tentu kita tidak akan takut pada perhitungan Allah lantaran perhitungan Allah itu pasti adil dan hakim di akhirat adalah hakim yang adil. Jadi, ketakutan kita pada perhitungan Allah di akhirat tak lain disebabkan oleh keburukan perbuatan kita, ketidakjujuran, dan kecurangan kita dalam menilai diri kita sendiri. Dalam Al-Kâfî yang mulia, termaktub hadis musnad dari Imam Musa ibn Ja'far a.s. berikut ini:

p: 432

قال: لیس منّا من لم یحاسب نفسه فی کلّ یوم، فإن عمل حسنا، استزاده الله، و إن عمل سیّئا، استغفر الله منه و تاب إلیه.

Imam a.ş. bersabda, “Orang yang tidak menilai dan mengevaluasi dirinya sendiri setiap hari bukanlah dari golongan kami (yaitu dia bukan pengikut Nabi dan Ahl Al-Bait). (Orang yang mengeva- luasi dirinya sendiri setiap hari), jika berbuat baik, dia memohon kepada Allah untuk meningkatkan kebaikannya dan jika dia ber-

buat buruk, dia memohon ampun kepada Allah atas dosanya dan bertobat kepada-Nya.(1)

Maka dari itu, jika kita telah menghitung diri sendiri, kita tidak akan takut pada hari perhitungan dan tidak akan menemukan kesulitan di sana. Sebab, penderitaan dan kesengsaraan di alam itu ditentukan oleh perbuatan-perbuatan yang kita lakukan di dunia fana ini. Misalnya, jika engkau di dunia ini menempuh jalan (shirâth) kenabian dan wilayah (kewalian) yang lurus tanpa menyimpang dari jalur wilayah ‘Ali ibn Abi Thalib a.s., engkau tidak akan takut dan tidak akan susah melewati shirâth di hari kiamat. Sebab, hakikat shirâth di hari kiamat adalah bentuk batiniah dari wilayah. Seperti disebutkan dalam sejumlah hadis, Amir Al-Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib a.s. adalah shirâth. Dalam hadis lain, disebutkan: “Kami (para Imam Ahl Al- Bait) adalah shirâth."(2)

Dalam Al-Ziyârah Al-Jami'ah, tertulis paragraf berikut: أنتم السّبیل الأعظم و الصّراط الأقوم

Kalian (para Imam Ahl Al-Bait) adalah jalan (sabil) terbesar dan shirâth yang terkukuh." Barang siapa menapaki jalan (wilayah) di dunia lana ini dengan lurus dan mantap, tanpa ke kanan atau ke kiri, kelak kedua kakinya pun akan melewati shirâth secepat kilat. Begitu pula, barang siapa yang akhlaknya baik, adat kebiasaannya bersifat seimbang dan bercahaya, dia akan terbebas dari kegelapan dan kengerian alam kubur, alam barzakh, dan alam kiamat. Hati orang yang seperti ini sedikit

pun tak merasa takut berada di seluruh alam tersebut.

p: 433


1- 2. Ibid., hadis No. 2.
2- 4. Ibid., 51.

Dalam hal ini, kita sendirilah yang bertanggung jawab atas penyakit ketakutan ini, dan obatnya ada pada tangan kita, seperti ditunjukkan oleh Hadhrat Amir Al-Mukminin dalam bait-bait berikut:

دواؤک فیک و ما تشعر

و داؤک منک و ما تبصر

Obatnya ada pada dirimu, tetapi kau tak tahu; penyakitnya dari kamu, tetapi kau tak merasa.(1)

Al-Kâfi memuat hadis musnad Imam Al-Shadiq a.s. berikut ini:

أنّه قال لرجل إنّک قد جعلت طبیب نفسک، و بیّن لک الدّاء، و عرّفت آیة الصّحّة و دللت علی الدّواء، فانظر کیف قیامک علی نفسک

Imam a.s. berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau telah dijadikan sebagai dokter untuk dirimu sendiri. Penyakitnya telah diterangkan kepadamu, tanda sehatnya juga telah dijelaskan kepadamu, dan obatnya telah ditunjukkan kepadamu. Oleh karena itu, perhatikan bagaimana perlakuanmu terhadap dirimu sendiri.(2)

Wahai manusia! Akidah, akhlak, dan perbuatanmu banyak yang rusak. Ajaran-ajaran para nabi, cahaya fitrah, dan akal adalah obat yang mujarab. Maka cari itu, sembuhkanlah penyakit-penyakitmu dengan berupaya untuk menyucikan dan membersihkan diri. Demikianlah penjelasan ringkas mengenai keadaan kaum mutawassithûn. Adapun keadaan kaum yang sempurna (kâmilûn) dan kaum yang akidahnya kuat, mereka tidak membenci kematian, sekalipun mungkin saja mereka mencemaskannya karena ketakjuban dan kekaguman mereka dalam memandang keagungan Allah Azza wa Jalla. Dan karena itu, Rasul Allah Saw. pernah mengatakan: فأین هول المطّلع! “Bagaimana orang yang mengetahui dapat merasa benci?” Pada malam kesembilan belas bulan Ramadhan, Hadhrat Amir

Al-Mukminin a.s. juga merasakan ketakjuban dan kedahsyatan meskipun beliau pernah berkata:

p: 434


1- 6. Diwan ini dinisbahkan kepada Amir Al-Mukminin, 57.
2- 7. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb muhasabah al-'amal, hadis No. 6.

و الله لابن أبی طالب آنس بالموت من الطّفل بثدی أمّه

"Demi Allah, putra Abu Thalib lebih akrab pada kematian dibandingkan dengan bayi pada tetek ibunya.(1) Pendek kata, ketakutan orang-orang seperti Imam ‘Ali tentu disebabkan oleh hal-hal lain yang berbeda dengan penyebab ketakutan yang timbul pada orang-orang seperti kita yang terbelenggu oleh angan-angan, dambaan-dambaan, dan sangat mencintai dunia fana ini. Penyebab ketakutan pada hati para wali juga berlainan sesuai dengan tingkat spiritual mereka yang berbeda-beda sehingga mustahil rasanya untuk dapat diuraikan satu demi satu. Di sini, kami hanya akan secara singkat memaparkan beberapa pokok masalah. Hati para wali berbeda-beda dalam kemampuannya menerima tajali (tajalliyât) Nama-Nama Allah. Sebagian wali berwatak penuh cinta dan rindu, serta Allah muncul dalam hati mereka melalui Nama-Nama yang Indah (Jamâliyyah). Tajali seperti itu menimbulkan kerinduan sekaligus ketakutan. Tetapi, keadaan takut ini lebih disebabkan oleh pengejawantahan keagungan Allah di hadapannya. Hati sang pencinta juga diliputi ketakutan dan kecemasan menjelang detik-detik pertemuan dengan Sang Kekasih. Namun, kecemasan dan ketakutan ini berbeda dengan takutnya kebanyakan orang menjelang kematian mereka. Hati sebagian wali yang diwarnai dengan ketakutan dan kesedihan, dan Allah Azza wa Jalla muncul dalam hati mereka melalui Nama-Nama yang Agung dan Suci. Tajallî seperti itu akan menimbulkan keterkesimaan dan kerinduan yang bercampur dengan ketakutan, kebingungan yang bercampur dengan kesedihan. Diriwayatkan dalam hadis bahwa Hadhrat (Nabi) Yahya a.s. pernah melihat Hadhrat (Nabi) Isa a.s. tertawa. Nabi Yahya berkata kepada Nabi Isa, “Tampak-nya seolah-olah engkau tidak akan terkena hukuman Allah!” Nabi Isa menjawab, “Tampaknya seakan-akan engkau sudah putus asa dengan rahmat dan keutamaan Allah!” Allah berfirman kepada keduanya bahwa "Siapa pun di antara kamu berdua lebih berbaik sangka tentang Aku, maka dia itu yang lebih Aku sayangi.”

p: 435


1- 8. Nahj Al-Balâghah, khutbah No. 5.

Dengan demikian, Allah tampak dalam hati Nabi Yahya a.s. melalui Nama-Nama Agung sehingga beliau selalu merasa takut dan Allah tampak dalam hati Nabi Isa a.s. dalam tajalliyat kasih-sayang sehingga dia memberikan jawaban seperi itu kepada Isa a.s.

Hakikat Surga dan Neraka

Makna harfiah hadis yang mengatakan: 'Ammartum a'-dunyâ wa kharrabtum al-âkhirah (engkau bangun dunia dan engkau hancurkan akhirat) adalah bahwa akhirat dan surga merupakan tempat-tempat yang sudah dibangun kemudian hancur lebur akibat perbuatan kita. Jelas bahwa maksudnya adalah penyerupaan keduanya. Oleh karena itu, kata ta'mir (pembangunan) digunakan bertalian dengan dunia, sedangkan lawannya, takhrîb (penghancuran), digunakan bertalian dengan akhirat. Jadi, meskipun neraka dan surga merupakan ciptaan (Allah), daya yang memakmurkan surga dan bahan untuk membangun neraka adalah perbuatan para penghuni keduanya, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis.(1) Interpretasi ini juga sesuai dengan bukti demonstratif-rasional (burhân) dan penyingkapan missis (mukasyafah). Oleh karena itu, sejumlah muhaqqiq di antara para ahli ‘irfan berpendapat:

Ketahuilah oleh kalian—semoga Allah menjaga kalian dan kami semua dari kesalahan-bahwa neraka (Jahanam) merupakan salah satu ciptaan besar Allah, dan merupakan penjara Allah di akhirat. Disebut Jahanam karena dasarnya sangat dalam, sebagaimana sumur yang dalam disebut dengan bi'r jahnâm. Neraka mengandung (hawa) panas dan dingin yang sangat menusuk. Dinginnya neraka merupakan puncak dingin, demikian pula dengan panasnya. Jarak antara bagian atas dan bawah neraka adalah tujuh ratus lima puluh tahun perjalanan. Orang berselisih mengenai apakah neraka itu ciptaan atau bukan, demikian pula menyangkut surga.

Namun, menurut kami dan sahabat-sahabat kami yang bermakrifat dan bermukasyafah, surga dan neraka itu ciptaan-dari satu sisi dan bukan ciptaan dari sisi lain. Saat kami katakan bahwa surga dan neraka itu ciptaan, hal itu seperti mengatakan orang yang membangun dinding-dinding luar rumah sebagai “pembangun

rumah”. Namun, jika orang melihat ke dalam rumah tersebut, ia

p: 436


1- 9. Al-Shaduq, Al-Amāli, Majelis No. 69, h. 405.

tidak akan melihat kecuali ruang kosong yang dikitari dinding-dinding pembatas. Baru setelah itu dibuatlah kamar, ruang tamu, dan penampung air sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang akan menghuninya. Disebutkan dalam suatu hadis bahwa ketika Rasul Allah Saw. melaksanakan mi'raj, beliau melihat beberapa malaikat di surga yang untuk beberapa saat sibuk membangun dan untuk beberapa saat lain berhenti. Nabi Saw. bertanya kepada Jibril a.s., “Mengapa bisa

demikian?” Jibril a.s. menjawab, “Bahan bangunan ini diambil dari zikirnya manusia.” Apabila mereka berzikir, tersedia bahan untuk bangunan itu dan para malaikat itu melanjutkan kembali pekerjaan mereka. Namun, apabila manusia berhenti berzikir, malaikat-malaikat ini pun berhenti bekerja.(1) Dengan demikian, bentuk jasmani surga dan neraka adalah amal-amal baik dan buruk manusia yang tertampakkan di alam akhirat kelak. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam ayat-ayat mulia Al-Quran dan hadis-hadis Nabi dan Imam. Misalnya, firman Allah berikut ini:

« وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا یَظْلِمُ رَبُّکَ أَحَدًا (49)» Dan, mereka akan mendapati semua yang telah mereka lakukan hadir (di hadapan mereka). (QS Al-Kahfi [18]: 49)

Dan, hadis qudsi berikut: قوله: إنّما هی أعمالکم تردّ إلیکم. “Sungguh ini adalah perbuatan-perbuatanmu sendiri yang dikembalikan kepadamu.(2)

Mungkin juga surga dan neraka adalah dua tingkatan dan alam yang berdiri sendiri-sendiri dan dituju oleh anak-anak Adam dalam gerak-gerik substansial (harakah jauharî), dorongan-dorongan spiritual (malakûtî) dan kehendak mereka yang berasal dari perilaku dan tindakan mereka. Dengan demikian, nasib setiap orang nanti akan persis sesuai dengan bentuk perbuatan mereka di dunia ini. Surga adalah alam malakûtî yang tinggi dan mandiri, tempat akhir jiwa-jiwa yang berbahagia. Sebaliknya, neraka adalah alam malakutî yang rendah, tempat akhir bagi jiwa-jiwa yang celaka. Namun, apa

p: 437


1- 10. Bihar Al-Anwâr, XVIII, h. 292.
2- 11. Al-Majlisi,ʻIlm Al-Yaqin, II, h. 884.

yang ditemui masing-masing jiwa di sana tak lain dari bentuk-bentuk menyenangkan dan mengasyikkan atau menyedihkan dan mengerikan dari perbuatan-perbuatan mereka sendiri. Gambaran seperti ini menyelaraskan makna harfiah Al-Quran dan hadis yang tampak bertentangan, selain juga sesuai dengan bukti filosofis dan aliran ahli ‘irfân.

Jelas bahwa perkataan Hadhrat Abu Dzarr r.a, ini merupakan paparan yang lengkap dan utuh. Setiap manusia harus mematuhinya dengan sungguh-sungguh. Manakala Hadhrat Abu Dzarr berkata bahwa perilaku kita supaya diperiksa berdasarkan Kitab Allah, Allah berfirman, Manusia itu terdiri dari dua kelompok. Pertama, kelompok saleh yang bahagia; kedua, kelompok durhaka yang akan menghuni neraka (QS Al-Infithâr [82]: 13-14). Orang (yang bertanya kepada Abu Dzarr) berusaha berpegang erat pada rahmat Allah ketika dia mengatakan, “Kalau memang demikian, lantas di manakah rahmat Allah?" Abu Dzarr menjawab, “Rahmat Allah diberikan dengan syarat dan ikatan, yakni untuk orang-orang yang berbuat baik.” Ketahuilah bahwa setan yang terkutuk dan jiwa bejat yang mengajak pada kekejian (nafs ammârah), menipu manusia dengan banyak cara, dan mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang akan membuatnya mendapa: kehancuran abadi. Sarana terakhir yang dipakai keduanya untuk mengecoh manusia ialah keluasan rahmat Allah, dan dengan begitu manusia akan terjauhkan dari arnal saleh. Sikap menggantungkan diri pada rahmat Allah ini merupakan salah satu jerat tipuan dan trik satan untuk menyesatkan manusia. Buktinya, kita tidak pernah memercayai keluasan rahmat Allah Swt. dalam urusan-urusan duniawi kita. Perhatian kita senantiasa tertuju pada sebab-akibat materiil dan sarana-sarana fenomenal. Kita menganggap semua itu bersifat mandiri dan efektif, sedemikian sehingga kita percaya bahwa tidak ada sebab efisien di dunia ini selain sebab-sebab fenomenal. Namun, dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan akhirat, kita sepenuhnya menyandarkan diri pada apa yang kita duga sebagai "keluasan rahmat Allah" sembari terus melalaikan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya; seakan-akan Allah tidak menganugerahi kita

p: 438

daya untuk bertindak dan tidak menunjukkan jalan keselamatan dan kehancuran. Dalam masalah-masalah dunia, kita berpegang pada aliran tafwidh (kepercayaan bahwa Allah telah memberikan kebebasan penuh kepada manusia), sedangkan dalam kaitannya dengan masalah-masalah akhirat kita berpegang pada aliran jabr (fatalisme). Kita lupa bahwa kedua aliran itu melenceng dan bertentangan dengan ajaran para nabi a.s., para imam, dan para wali yang dekat dengan Allah. Kendati keimanan mereka pada rahmat Allah jelas lebih kukuh daripada siapa pun, mereka tidak pernah mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka dan tidak berhenti berusaha walaupun sekejap. Saudaraku, pelajarilah catatan amal mereka! Bacalah doa Sayyid Al-Sajidin Zainal Abidin (Penghulu orang-orang yang bersujud dan hiasan orang-orang yang beribadah) 'Ali ibn Husain ibn Abi Thalib a.s. Perhatikan baik-baik, apa yang beliau lakukan dalam suasana penghambaannya ('ubûdiyyah) kepada Allah? Bagaimana beliau menunaikan kewajiban-kewajiban beliau sebagai hamba? Sekalipun demikian, tatkala beliau menengok pada catatan amal Maula Al-Muttaqin (Pemimpin orang-orang yang bertakwa) 'Ali ibn Abi Thalib a.s., beliau mengungkapkan penyesalan dan ketidakmampuan! Apakah hal itu berarti bahwa, na'udzubillah, kita perlu mempertanyakan ketulusan mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak mengimani dan meyakini rahmat Allah seperti kita? Ataukah kita justru harus meragukan ketulusan kita sendiri dan memahami bahwa semua yang kita katakan tak lebih dari perangkap setan dan tipuan nafsu yang bermaksud menyimpangkan kita dari jalan yang lurus? Kita berlindung kepada Allah Swt. dari maksud jahat setan dan diri jasmaniah ini!

Saudaraku, seperti dinyatakan oleh Hadhrat Abu Dzarr kepada seseorang, ilmu itu banyak. Tetapi, ilmu yang bermanfaat bagi orang-orang seperti kita adalah tidak berbuat buruk terhadap diri kita sendiri dan memahami bahwa perintah-perintah para nabi dan wali a.s. mengandung kebenaran-kebenaran yang tersembunyi dari kita. Mereka mengetahui bahwa akhlak tercela dan perbuatan buruk kita

p: 439

memiliki bentuk-bentuk asli (malakûtî) yang mengerikan dan dampak-dampak yang merusak, sebagaimana akhlak dan perbuatan luhur memiliki bentuk-bentuk asli (malakûtî) yang indah. Mereka telah menguraikan semua penyakit dan menyodorkan obatnya. Kalau engkau benar-benar menyayangi dirimu, janganlah melalaikan ajaran-ajaran ini dan ambillah keputusan untuk menyembuhkan segenap penyakit yang kau derita. Seandainya kita tetap berada dalam kondisi kita seperti ini ketika meninggalkan dunia menuju akhirat, hanya Allah yang mengetahui penderitaan, bencana, dan kesedihan macam apa yang bakal menimpa kita! Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir. 1)

p: 440

23 Hadis tentang Tipe-Tipe para Penuntut Ilmu

Point

بالسّند المتّصل إلی حجّة الفرقة و ثقتها، محمّد بن یعقوب الکلینی، رضی الله عنه، عن علی بن إبراهیم، رفعه إلی أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: طلبة العلم ثلاثة. فاعرفهم بأعیانهم و صفاتهم: صنف یطلبه للجهل و المراء، و صنف یطلبه للاستطالة و الختل، و صنف یطلبه للفقه و العقل. فصاحب الجهل و المراء موذ ممار متعرّض للمقال فی أندیة الرّجال بتذاکر العلم و صفة الحلم، قد تسربل بالخشوع و تخلّی من الورع، فدقّ الله من هذا خیشومه و قطع منه حیزومه. و صاحب الاستطالة و الختل ذو خبّ و ملق، یستطیل علی مثله من أشباهه، و یتواضع للأغنیاء من دونه، فهو لحلوائهم هاضم و لدینه حاطم، فأعمی الله علی هذا خبره و قطع من آثار العلماء أثره. و صاحب الفقه و العقل ذو کآبة و حزن و سهر، قد تحنّک فی برنسه و قام اللّیل فی حندسه، یعمل و یخشی و جلا، داعیا مشفقا مقبلا علی شأنه، عارفا بأهل زمانه مستوحشا من أوثق إخوانه، فشدّ الله من هذا أرکانه و أعطاه یوم القیامة أمانه.

p: 441

قال الکلینیّ، رحمه الله: و حدّثنی به محمّد بن محمود، أبو عبد الله القزوینیّ، عن عدّة من أصحابنا، منهم جعفر بن احمد الصّیقل بقزوین، عن أحمد بن عیسی العلویّ، عن عبّاد

بن صهیب البصریّ، عن أبی عبد الله، علیه السّلام

Dengan sanadku yang bersambung sampai ke hujah dan otoritas mazhab, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini r.a. Dari ‘Ali ibn Ibrahim yang meriwayatkan dari sebuah hadis marfû' (yaitu tanpa menyebutkan rantai perantaranya), Abu 'Abdillah a.s. bersabda, “Para penuntut ilmu terbagi menjadi tiga golongan, maka kenalilah kualitas dan karakter khas mereka. Pertama, golongan yang mencari ilmu demi (menyebarkan) kebodohan dan perselisihan. Kedua, golongan yang mencari ilmu demi (meraih) gengsi dan (mengukuhkan) penipuan. Ketiga, golongan yang menuntut ilmu demi (meningkatkan) pemahaman dan akal. "Golongan yang menuntut ilmu demi kebodohan dan perselisihan itu berbahaya dan suka berselisih. Mereka suka tampil memberikan pendapat dalam pelbagai forum untuk (meramaikan)

pembicaraan ilmu dan sifat kesabaran (hilm). Acapkali mereka mengenakan pakaiar kekhusyukan, walaupun tidak pernah memiliki wara' (kesungguhan dalam menjaga aturan agama). Akibatnya, Allah akan menumbuk hidung mereka dan memotong pinggang mereka. “Golongan yang mencari ilmu demi dominasi dan penipuan cenderung berpura-pura dan suka menjilat. Bersikap menguasai pada orang-orang yang sederajat, tetapi merendah di hadapan orang kaya. Makanan lezat orang kaya mereka kunyah, can (tatanan) agama mereka hancurkan. Akibatnya, Allah akan membutakan penglihatan mereka dan menghapuskan jejak mereka dari khazanah orang-orang berilmu.

“Golongan yang menuntut ilmu demi pemaharian dan akal sering berduka cita dan bergadang pada waktu malam. Kerap menggantungkan peci pada ujung serbannya dan selalu berdiri (untuk shalat) di kegelapan malam. Mereka beramal dalain ketakutan, banyak merasa malu, dan berdoa dengan penuh damba. Meskipun sering mawas diri, mereka tetap mengerti (dinamika) masyarakat sezamannya dan memedulikan (keadaan) saudara-saudara yang

p: 442

mereka percaya. Akibatnya, Allah memperkuat posisi mereka (di dunia) dan mengampuni mereka di hari kiamat.(1) Al-Kulaini-semoga Allah merahmatinya—berkata, “Hadis ini diriwayatkan kepadaku oleh Muhammad Abu 'Abdillah Al-Qazwini dari beberapa sahabat kami, antara lain: Ja'far ibn Muhammad Al-Shaiqal yang tinggal di Qazwin, dari Ahmad ibn Isa Al-`Alawi(2), dari ‘Abbad ibn Shuhaib Al-Bashri, dari Abu 'Abdillah, Imam Ja'far ibn Muhammad Al-Shadiq a.s."

Kalimat bi a'yânihim (secara langsung) dalam hadis di atas untuk menekankan kata fa'rifhum (kenalilah mereka). Maksudnya, “Kenali- lah mereka secara langsung agar mereka menjadi benar-benar tercirikan, dan mengaku tidak salah dalam mengidentifikasi mereka.” Kalimat itu juga dipakai dalam ungkapan ra’aituhû biʻainihî (aku melihatnya secara langsung) dan و کلّ شی ء فیه حلال و حرام، فهو لک حلال حتّی تعرف الحرام بعینه Segala sesuatu yang halal dan haramnya bercampur-aduk adalah halal bagimu sampai kau mengetahui keharamannya secara langsung. Ahli hadis yang otoritatif, Al-Majlisi—semoga Allah merahmati- nya—menyebutkan bermacam-macam kemungkinan makna (dari kalimat bi a'yânihim) yang terlalu jauh dan kurang mengena. Kemudian, dia mengatakan bahwa makna yang jelas dan tepat, yakni yang kita sebutkan di atas, tidak termasuk dalam daftar tersebut. Beliau mengatakan:

Arti bi a'yânihim ialah 'karakter dan perilaku khas mereka’, atau "tindakan-tindakan mereka yang terlihat dan tersaksikan'... Lalu dia mengatakan, bi a'yânihim artinya 'jenis dan kategori golongan mereka'. Dia juga mengatakan, arti bi a'yânihim adalah tampilan mereka, seperti keadaan tenang dan khusyuk yang mereka tampakkan'.

p: 443


1- 1. Al-Kafi, I, kitab fadhl al-'ilm, bâb al-nawâdir, hadis No. 5.
2- a Imam Ahmad ibn Isa Al-'Alawi adalah kakek dari hampir seluruh keturunan Nabi Muhammad yang berasal dari Yaman, dan lebih dikenal dengan nama Ahmad ibn Isa Al-Muhajir lantaran beliau berhijrah dari Kufah ke Yaman-peny.

Lalu, beliau mengemukakan kemungkinan-kemungkinan lain yang juga tidak mengena. Atlana's artinya sifat-sifat mereka', yaitu keadaan batin yang selaras dengan pelbagai watak dan maksud tertentu dari ketiga golongan ini, seperti membahayakan, suka berselisih, dan seterusnya. Dengan sifat-sifat inilah, kita mengenali keadaan batin dan kepribadian mereka secara langsung. Jahl (kebodohan) adalah lawan kata 'ilm (pengetahuan). Dalam hadis ini, barangkali maknanya adalah sifat 'menyembunyikan kebenaran' atau 'berpura-pura tidak mengetahui dan tidak mau menerima suatu kebenaran'. Pada saatnya kami akan membahas masalah

ini secara lebih luas. Dalam hubungan ini, Al-Majlisi berkata: «الجهل السّفاهة و ترک الحلم. و قیل: ضدّ العقل

Arti jahl adalah kedunguan (safâhah) dan keteledoran. Jahl juga disebutkan sebagai lawan akal. Arti mirâ' adalah jidal (perselisihan, kontroversi) dalam pendapat

dan diskusi. Kata ini berakar sama dengan kata kerja jadal (dialektik atau perdebatan) yang merupakan salah satu dari lima bentuk argumentasi dalam logika (al-sinâʻah al-khams). Dalam Al-Sinihah, Al-Jauhari berkata Meskipun Al-Jauhari berbicara secara . یقال: ماریت الرّجل أماریه مراء. إذا جادلته

umum, mencakup jadal dalam logika, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan jadal atau jidâl dalam hadis di atas sebagaimana yang telah kami sebutkan. Ada arti lain yang mungkin di sini akan kami sebutkan dalam salah satu pasal kajian ini. Arti istithâlah adalah mencari kemuliaan dan ketinggian. Khatl,

dengan fathah pada khui dan sukun pada tâ, berarti menipu. Al-Jauhari

berkata: «ختله و خاتله، أی خدعه. و التخاتل، التّخادع

Arti kata mumâr (suka berselisih pandang). Nanti akan kami jelaskan mengapa orang yang suka mirâ' (perselisihan) disebul mumâr dan yang tenggelam dalam istithalah dan khathl disebut sebagai orang yang berupaya mendominasi dan orang yang mengambil jalan khibb yang seperti khathl juga berarti menipu. (Penjelasan ini diperlukan karena tautologi verbal yang terdapat dalam hadis itu dapat dianggap

p: 444

sebagai menyalahi aturan definisi yang sah menurut logika—Imam Khomeini.) Adapun frasa متعرّض للمقال berarti mengajukan pendapat. Seorang ahli kamus memberikan contoh penggunaannya sebagai berikut:یقال: عرضت له الشّی ء إذا أظهرته له و عرض له أمر کذا. و یعرض، أی ظهر.

Andiyah adalah bentuk jamaknya nâdî, yang artinya forum atau klub yang menjadi tempat orang berkumpul untuk bertemu dan berdiskusi. Dari kata ini, diturunkan kata dâr al-nadwah, suatu tempat di Makkah yang dibangun untuk pertemuan dan permusyawaratan. nâdi, nadwah, muntada, dan mutanadda memiliki arti yang sama, seperti yang dikemukakan oleh Al-Jauhari.

Frasa bi tadzâkur al-'ilm merujuk ke maqâl atau merupakan badalnya, dan wa shifah al-hilm dihubungkan dengan bi tadzâkur al-'ilm. Maksudnya, mereka berbicara tentang ilmu agar dianggap sebagai orang yang berilmu dan berdiskusi serta memuji kesabaran (hilm) agar dianggap sebagai orang yang sabar, meskipun sejatinya mereka tidak termasuk orang berilmu maupun orang yang bersabar. Ilmu mereka adalah kejahilan yang menyerupai ilmu dan kesabarannya tidak mengandung kualitas kesabaran yang terpuji. Topik ini nanti akan sedikit kami singgung. Tasarbala berkaitan dengan formasi derivatif tafa'lal yang artinya mengenakan sirbål (pakaian). Menurut ahli kamus: یقال: سربلته فتسربل. أی، ألبسته السّربال. و تسربل بالخشوع Dengan demikian, tasarbala bi al-khusyû berarti dia memakai pakaian kekhusyukan dan kerendahan hati' dan menampakkan hubungan erat dengan sifat itu seperti hubungan pakaian dan tubuh. Padahal, dia sama sekali tidak memiliki sifat itu, mirip dengan pakaian yang hanya sesaat menempel pada tubuh. Wara' dengan fathah pada râ'artinya berpantang sepenuhnya dari apa yang haram atau meragukan kehalalannya (syubhah).

Kalimat fa daqqa Allâh dan dua frasa berikutnya bisa mengandung doa atau berita tentang kondisi mereka di dunia dan di akhirat atau

p: 445

di dunia sekaligus di akhirat. Daqq mengandung arti mengetuk atau merupakan kata benda yang mendenotasikan suara (seperti tok, tok-peny.). Kata-kata min hâdzâ berarti akibat sifat ini'. Khaisyûm merupakan bagian atas hidung, dan “menumbuk hidung” berkonotasi “menghinakan dan mempermalukan”. Yaitu, Allah membuat mereka malu dan hina karena sifat-sifat itu dan kami akan membahasnya lebih jauh nanti. Haizum, dengan fathah pada hâ’dan dhammah pada zây berarti 'tempat dililitkannya ikat pinggang' atau 'bagian tengah dari dada”, atau ‘tulang yang melingkar seperti kerongkongan leher'. Arti pertama jelas paling sesuai karena memang cocok dengan gagasan ‘memotong. Khibb berarti menipu. Seperti kata Al-Jauhari,رجل خبّ artinya seorang lelaki penipu. Malaq artinya adalah menjilat dan menyiratkan apa yang dikatakan Al-Jauhari dalam Al-Shihah, یعطی بلسانه ما لیس فی قَلبِهِ yaitu ‘orang yang mengungkapkan dengan lidahnya perkataan yang bukan dari hatinya’. Keterangan terakhir ini lebih merupakan konsekuensi umum dari malaq atau tamalluq, dan bukan makna harfiah. Sebab, arti sebenarnya ialah mengungkapkan cinta dan kasih sayang dengan kerendahan hati, tetapi tidak keluar dari dalam hati (pura-pura belaka). Adapun kalimat لحلوائهم, Al-Majlisi mengatakan bahwa terdapat huruf nûn (sebagai ganti hamzah) pada beberapa naskah. Jika memang begitu, kata itu berarti komisi untuk makelar dan peramal nasib atau uang suap untuk orang tertentu. Jadi, orang kaya rnemberi uang ini kepada penipu yang lihai atas segenap jasanya dan sebagai imbalan atas kemauannya mengorbankan sikap-sikap keagamaannya. Al-hathm artinya memecahkan. Al-Majlisi mengatakan bahwa memecahkan (iman) di sini menunjukkan kemunduran dan kerusakan (fasad). Khubrahû di sini barangkali dengan dhammah pada khâ’dan sukûn pada bâ' yang berarti kemampuan untuk mengetahui dan mengenali. Meskipun, boleh jadi kata itu berbunyi khabarahû (informasi yang dimilikinya-peny.) cengan fathah pada khâ'dan bâ'. Menimbang kon-

p: 446

sistensinya dengan kata kerja yang sebelumnya, arti pertama lebih tepat sekalipun arti kedua tetap ada relevansinya. Al-ka'abah adalah kondisi hancur dan kuyu akibat kesedihan dan duka cita yang hebat. Tahannaka ſi burnusihî artinya ‘meletakkan taht al-hanak-bagian ujung serban-pada burnus-nya?. Burnus adalah peci panjang yang digunakan oleh para ahli ibadah pada masa awal Islam, seperti disebutkan oleh Al-Jauhari dalam Shihah Al-Lughah. Al-Majlisi berkata, "Frasa ini menunjukkan bahwa tahannuk adalah mustahabb dalam shalat.” Kesimpulan seperti itu menimbulkan pertanyaan, lantaran berpakaian ala ahli ibadah hanya menunjukkan istihbâb-nya secara umum bukan secara khusus pada waktu shalat. Seandainya burnus itu merupakan pakaian yang dikenakan secara khusus untuk shalat saja, penyimpulan di atas benar adanya. Hindis adalah malam yang sangat gelap gulita, seperti kata Al-Jauhari. Hindis di sini menggantikan malam (lail) dan barangkali yang dimaksud di sini adalah kegelapan malam. Dalam ſa syadda Allah arkânahû, syadd berarti memberikan kekuatan dan daya: یقال: شدّ عضده أی قوّاه (Artinya: memperkuat lengannya). Rukn berarti sesuatu yang menjadi sandaran bagi sesuatu yang lain. Al-Jauhari mengatakan «رکن الشّی ء، جانبه الأقوی.» rukun adalah sisi terkuat dari sesuatu itu.) Demikianlah, dengan bertawakal kepada Allah, kami akan menjelaskan beberapa pokok bahasan penting dalam bagian-bagian berikut.

Bagian Pertama

Ketahuilah bahwa posisi premis dalam suatu silogisme terhadap kesimpulannya atau posisi argumen dan dalil teoretis dalam suatu disiplin terhadap hasil yang dibuktikannya adalah seperti seperangkat persiapan awal (preliminaries). Premis-premis itu tidak mungkin sepenuhnya mandiri atau juga tidak mungkin sepenuhnya terasing dari kesimpulan-kesimpulannya—karena yang pertama akan menghenti

p: 447

kan proses penalaran dan disiplin, sedangkan yang kedua akan memandulkan dan mengacakkan proses penalaran dan disiplin. Dalam konteks ini, para pengikut jabr (keterpaksaan) ataupun para pengikut tafwîd (kebebasan) telah menyimpang dari jalan tengah, masing-masing menggunakan sudut pandang yang sesuai dengan seleranya. Kelompok tafwîd mengatakan bahwa premis bersifat mandiri. Jelasnya, jika pintu alam gaib tertutup dan pancaran wujud dari alam malakût berhenti, manusia akan tetap bisa menarik kesimpulan tanpa bantuan seperangkat premis tersebut. Sebaliknya, kelompok jabr mengatakan bahwa premis-premis itu sepenuhnya tidak berkaitan dengan kesimpulan-kesimpulannya, melainkan kebiasaan yang telah mapan (sunnatullah) menjejalkan sejumlah kesimpulan pada benak manusia setelah munculnya sejumlah premis. Menurut kelompok kedua, premis-premis itu berkaitan dengan kesimpulan-kesimpulannya secara semu dan tidak hakiki. Kedua pandangan ini, demikian pula doktrin-doktrin pokok mereka, tidaklah benar dalam pandangan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan makrifat sejati. Yang benar, selaras dengan pandangan para ahli, premis-premis itu memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghay-biyyeh). Di sini, kami tidak bermaksud menjelaskan atau menyangkal pokok-pokok doktrin kedua kelompok tersebut, mengingat hal itu di luar lingkup tujuan paparan ini. Penyebutan masalah di atas hanyalah sebagai bahan tambahan bagi penjelasan pokok soal berikut. Setelah mengetahui bahwa pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan-jiwa dengan alam tersebut, jelas bahwa pengetahuan dan makrifat adalah seperti yang ditunjukkan oleh hadis berikut:

لیس العلم بکثرة التّعلیم، بل هو نور یقذفه [الله ] فی قلب من یشاء

"Pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, melakukan melalui cahaya yang Allah pancarkan pada hati hamba yang dikehendaki-Nya.”(1)

p: 448


1- 2. Bihar Al-Anwâr, I, h. 225.

Hadis tentang Tipe-Tipe para Penuntut Ilmu

Setiap jiwa yang berhubungan dengan alam malakûtî yang tinggi yakni alam para malaikat yang suci-bakal menerima inspirasi yang berwatak malaikat (suci), dan pengetahuan yang dipancarkan kedalam jiwa manusia yang demikian adalah pengetahuan sejati yang berasal dari alam malaikat. Sebaliknya, setiap jiwa yang berhubungan dengan alam malakûtî yang rendah-yaitu alam jin, setan, dan ruh-ruh jahat--bakal menerima inspirasi-inspirasi yang bersifat setan seperti kejahilan berlipat ganda dan tabir-tabir yang gelap. Oleh karena itu, kaum ‘ârif yang berpengetahuan hakiki-definisi pengetahuan hakiki akan kita bahas kemudian-memandang penyucian jiwa, pengikhlasan niat, dan pelurusan tujuan sebagai langkah pertama dalam menuntut ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Ilahi dan ilmu syariat. Nasihat dan peringatan kepada para pelajar ini jelas sangat relevan, lantaran hubungan dengan sumber-sumber yang tinggi menguat apabila jiwa telah tersucikan. Firman Allah yang berbunyi: ... Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu ... (QS Al-Baqarah [2]: 282)

menunjukkan hubungan antara takwa dan ilmu pengetahuan. Ketakwaan seseorang dapat menyucikan jiwa dan menghubungkannya dengan alam gaib yang kudus, sehingga pengajaran dan pengilhaman Ilahi turun kepadanya. Sumber-sumber yang tinggi tidak mengenal kekikiran (karena kedekatannya dengan Sumber Mutlak),

sehingga setiap jiwa yang berhubungan dengannya pasti akan mendapat segala yang didambanya. Pancaran dari Sumber Mutlak itu bersifat niscaya (wajib), karena Wâjib Al-Wujûd bersifat niscaya dalam segala sisi dan aspek-Nya (sehingga seluruh sifat sempurna seperti sifat pemberi dan pemurah menjadi niscaya pula bagi-Nya--peny.). Namun, kalau jiwa menuntut ilmu demi pemuasan dirinya, demi makanan dan minumannya, serta demi motif-motiſ egoistisnya, tujuannya menjadi bukan untuk Allah sehingga ilham-ilham yang diterimanya berasal dari dan berwatak seperti setan. Dan ini adalah kriteria sederhana-yang saya kira belum disebutkan oleh kaum 'ârif-untuk membedakan antara ilham Allah dan ilham setan, yang dengan gampang dapat diketahui atau disadari oleh setiap orang.

p: 449

Ilham yang diterima oleh jiwa yang kotor dan gelap adalah jahl murakkab (orang bodoh yang tidak tahu kalau dirinya bodoh), suatu penyakit jiwa yang tak tersembuhkan dan rintangan utama dalam perjalanan jiwa menuju kebenaran. Sebab, ilmu bukanlah himpunan konsep universal dan istilah teknis, melainkan penyingkapan penutup mata jiwa dan pembukaan pintu makrifat Ailah. Ilmu sejati adalah pelita yang menunjukkan jiwa ke alam malakut dan jalan yang lurus menuju pada kedekatan dengan Allah dan rahmat-Nya. Selain yang demikian adalah kesia-siaan, kendatipun di alam mulk (fisik) dan sebelum tersingkapnya tabir-Labir materiil kesia-siaan itu terkemas sebagai ilmu dan pemiliknya oleh kalangan penggemar perdebatan dan perselisihan dianggap sebagai alim, 'ârif, atau faqih.

Namun, begitu mata hati sembuh dari kebutaannya, tirai-tirai (hijab) alam malakût terkuak, dan jiwa terjaga dari tidur nyenyaknya di alam mulk dan penjara wadag, semua (yang pernah dilihat sebagai ilmu dan makrifat) itu akan tampak jelas sebagai tirai-tirai yang paling gelap, lebih gelap dari semua tirai yang ada. Semua cabang ilmu pengetahuan formal adalah hijab-hijab spiritual yang tebal. Jarak satu tirai dengan tirai lainnya membentang seluas beberapa mil, tetapi kita semua

tidak mengetahui fakta ini. النّاس نیام فإذا ماتوا انتبهوا "Manusia selalu dalam keadaan tidur, dan baru terbangun saat mereka mati.(1)

Oleh karena itu, watak sejati kesibukan kita itu akan terdedahkar kepada kita. Yang memalukan adalah bahwa sekalipun telah lima puluh tahun atau lebih kita menuntut ilmu dan belajar, kita tetap keliru mengenai diri kita sendiri. Kita membayangkan bahwa studi kita itu untuk Allah. Kita tetap tidak menyadari kelicikan setan dan tipu muslihat diri kita sendiri, karena kecintaan pada diri merupakan tabir yang menyembunyikan cacat-cacat kita dari pandangan kita sendiri. Oleh karena itu, para wali dan imam yang suci a.s. menyebutkan tanda-tanda tertentu agar kita dapat menilai diri kita berdasarkan pada tanda-tanda itu, tanpa berprasangka baik terhadap diri kita sendiri secara tidak jujur.

p: 450


1- 3. Ibn Haitsam Al-Bahrani, Syarh-e Syad Kalimeh-ye Qishar, 54.

Berikut ini kami akan memaparkan tanda-tanda (para penuntut ilmu) yang termaktub dalam hadis mulia di atas. Secara garis besar, para penuntut ilmu dapat dibagi menjadi dua: pertama, golongan yang bertujuan untuk Allah; kedua, golongan yang bertujuan untuk dunia. Bisa dikatakan bahwa tujuan akhir golongan kedua ini adalah kebodohan (jahl), sebab apa yang tampak pada mereka sebagai ilmu itu sesungguhnya adalah kebodohan murakab dan tabir spiritual (yang paling tebal). Kedua kelompok yang disebutkan oleh Imam Al-Shadiq a.s. dalam hadis yang kita terangkan ini termasuk dalam golongan kedua, karena semua penipu yang gemar berselisih (kelompok pertama dalam hadis) dan pencari kekuasaan yang suka menjilat (kelompok kedua dalam hadis) berada dalam kebodohan dan kesesatan.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebodohan yang disebutkan olah Imam Ja'far dalam hadis di atas sebagai tanda golongan pertama bukanlah kebodohan dalam arti umum, melainkan pengaburan masalah sehingga orang menjadi bingung dan terjerumus kedalam kebodohan (dalam arti ketidaktahuan). Atau kebodohan yang dimaksud adalah sikap pura-pura bodoh, acuh tak acuh, dan tidak mau menerima kebenaran. Kedua sifat ini ada pada golongan yang suka berselisih (mirâ') dan berdebat (jidal). Golongan ini memang berniat mengingkari fakta dan kebenaran yang sudah pasti, berpura-pura bodoh demi mengukuhkan pendapat mereka sendiri, menyebarkan kepalsuan, dan memasarkan barang dagangan yang rusak. Sekalipun berdasarkan klasifikasi primer-inklusif yang mengikuti

hukum afirmasi dan negasi dengan perspektif klasifikasi tujuan pencarian ilmu para penuntut ilmu tidak lebih dari dua golongan, dengan perspektif klasifikasi lain, kita akan menemukan bahwa mereka bisa lebih dari tiga golongan. Imam membagi para pencari ilmu menjadi tiga golongan untuk mengingatkan kita bahwa dua golongan pertama (golongan yang suka berselisih-berdebat dan kelompok yang suka mendominasi-menjilat) adalah korban kebodohan dan kesesatan yang paling besar dan paling utama. Karenanya, dalam hadis lain kita menemukan bahwa Imam Ja'far a.s. membagi para penutut ilmu ke dalam dua kelompok-mengikuti klasifikasi primer-inklusif.

p: 451

کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: من أراد الحدیث لمنفعة الدّنیا، لم یکن له فی الآخرة نصیب. و من أراد به خیر الآخرة، أعطاه الله خیر الدّنیا و الآخرة.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.s. yang mengatakan, “Orang yang mempelajari hadis demi keuntungan dunia tidak bakal mendapatkan hasil apa-apa di akhirat; dan orang yang mempelajarinya demi akhirat akan Allah berikan kepadanya keuntungan dunia dan akhirat."(1)

Bagian Kedua

Telah kami paparkan keburukan mira' (perselisihan) dan jidal (perdebatan) ketika kami menerangkan salah satu hadis suci yang lampau. Namun, di sini kami akan kembali mengemukakan beberapa hadis yang relevan dan menguraikan beberapa pengaruh buruk perselisihan dan perdebatan. Dalam Al-Kâfi, dengan isnâd-nya dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. Al-Kulaini meriwayatkan hadis berikut:

قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: إیّاکم و المراء و الخصومة، فإنّهما یمرضان القلوب علی الإخوان و ینبت علیهما النّفاق

Amir Al-Mukminin a.s. berutur, “Waspadalah terhadap perdebatan dan permusuhan karena keduanya itu akan menimbulkan kebencian di dalam hati pada sesama saudara, dan menumbuhkan kemunafikan.(2)

Ada hadis-hadis lain dalam Al-Kaſi yang diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s.:

و فی الکافی أیضا عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: إیّاکم و الخصومة، فإنّها تشغل القلب و تورث النّفاق و تکسب الضّغائن

Abu 'Abdillah a.s. bersabda, “Waspadalah terhadap perdebatan, sebab ia dapat menimbulkan rasa tidak senang di hati, menyebabkan terjadinya kemunafikan, dan menciptakan maksud jahat di hati.(3)

p: 452


1- 4. Al-Kafi, 1, kitab fadhl al-'ilm, bâb al-musta'kil bi 'ilmih, hadis 2.
2- 5. Ibid., II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-mira' wa al-khusyûmah, hadis 1.
3- 6. Ibid., hadis 8.

عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: قال جبرئیل للنّبیّ، صلّی الله علیه و آله: إیّاک و ملاحاة الرّجال. ،

Abu 'Abdillah a.s. bersabda, “Jibril berkata kepada Nabi Saw., Janganlah engkau sampai terlibat dalam perdebatan dan perselisihan sengit dengan orang.(1)

Nah, kami akan menjelaskan fakta bahwa perselisihan dan perdebatan menyakitkan hati, menciptakan prasangka buruk di antara teman, dan menumbuhkan kemunaſikan di dalam hati. Telah kami sebutkan pada bahasan terdahulu bahwa perilaku lahiriah meninggalkan pengaruh-pengaruh tertentu pada jiwa dan hati yang sesuai dengan sifat perilaku tersebut. Dan harus segera ditambahkan bahwa perbuatan keji berpengaruh lebih kuat dan lebih cepat pada hati

(ketimbang perbuatan baik). Hal ini terjadi karena manusia adalah produk alam wadag (thabi'ah), yang di dalamnya daya-daya nafsu (syahwah), amarah (ghadhab), dan setan (syaithâniyyah) menyertainya dan bekerja secara aktif di dalam dirinya, seperti disebutkan dalam sebuah hadis:إنّ الشّیطان یجری مجری الدّم من بنی آدم “Setan beredar di dalam diri manusia seperti beredarnya darah dalam urat nadi. "(2)

Jadi, hati manusia mengarah pada keburukan dan kerusakan. selaras dengan sifat-sifat alam fisik yang menyertainya. Sedikit saja rangsangan dari luar, baik dari salah satu organ tubuh maupun dari sahabat yang bejat dan menyimpang, akan melahirkan pengaruh yang tertanam kuat di dalam hati. Oleh karena itu, terdapat peringatan dalam hadis-hadis mulia agar kita tidak bersahabat dengan orang-orang seperti itu:

کافی: عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: لا ینبغی للمرء المسلم أن یواخی الفاجر، فإنّه یزیّن له فعله و یحبّ أن یکون مثلهو لا یعینه علی أمر دنیاه و لا أمر معاده، و مدخله إلیه و مخرجه من عنده شین علیه

p: 453


1- 7. Ibid., hadis 6.
2- 8. Sunan Al-Dârimî, II, 320.

Al-Kafi meriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. dari Amir Al-Mukminin a.s. yang mengatakan, “Seorang Muslim tidak pantas bersaudara dengan orang yang bejat (fâjir) karena orang bejat akan membuat perilakunya tampak baik di hadapan orang lain dan menginginkan agar orang lain sama seperti dirinya. Dia tidak pernah

menolong orang lain, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Bergaul dengan orang seperti itu hanya akan mendatangkan aib dan kehinaan.(1)

و عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: لا ینبغی للمرء المسلم أن یواخی الفاجر و لا الأحمق و لا الکذّاب.

Imam Al-Shadiq a.s. bersabda, “Seorang Muslim tidak pantas bersaudara dengan orang yang bejat, orang bodoh, atau pembohong.(2)

Hal penting di balik larangan bergaul dengan orang-orang ahli maksiat, atau menghadiri suatu pertemuan yang bermaksiat kepada Allah, atau bersahabat dan bermesraan dengan musuh-musuh Allah adalah pengaruh akhlak dan perilaku para ahli maksiat pada diri seseorang. Yang lebih penting lagi ialah pengaruh akhlak dan perilaku manusia pada ruhnya sendiri. Sedikit perilaku buruk akan berpengaruh besar pada ruh, dan untuk membebaskan diri dari pengaruh itu dan membuat ruh kembali suci seperti sediaka a tidaklah mudah sekalipun bertahun-tahun lamanya.

Demikianlah, kalau kita terlibat dalam percekcokan dan perdebatan sengit, hati kita akan terselimuti oleh kegelapan yang dahsyat. Tidak berapa lama setelahnya, permusuhan verbal-lahiriah itu akan segera berubah menjadi permusuhan batin yang merupakan penyebab utama kemunafikan dan hipokrasi. Oleh karena itu, keburukan kemunafikan bisa dilacak akarnya pada keburukan percekcokan dan perdebatan. Kami telah menguraikan keburukan sikap munafik dan bermuka dua pada saat menerangkan hadis tentang kemunafikan, dan kiranya tidak perlu lagi kami mengulanginya di sini.

p: 454


1- 9. Al-Kafi, kitab al-isyrah, bâb man tukrahu mujâlasatuh, hadis 2.
2- 10. Ibid., hadis 3.

Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. telah menyebutkan sejumlah pengaruh dan gejala orang bodoh dan penggemar kontroversi. Antara lain: menyakiti orang lain dan menyusahkan orang yang bergaul dengannya. Kedua pengaruh ini saja sudah merupakan keburukan yang cukup untuk menghancurkan seseorang. Dalam Al-Kafi, hadis mulia berikut ini telah disebutkan:

من آذی لی ولیّا فقد بارزنی بالمحاربة

(Allah Azza wa Jalla berfirman): Barang siapa menyakiti kekasih-Ku, berarti dia telah menantang perang dengan-Ku.(1)

Hadis ini menunjukkan bahwa menyakiti hati kekasih Allah dan orang yang beriman kepada-Nya sama dengan menyatakan perang kepada Allah dan bermusuhan dengan Wujud Suci-Nya. Hadis-hadis yang berkenaan dengan topik ini terlalu banyak untuk dikemukakan dalam bahasan singkat ini.

Ciri lain kelompok ini adalah mirâ’ (beradu pendapat dan berdebat demi mendominasi dan membuktikan keunggulan). Alasan dijadikannya mirâ' sebagai konsekuensi dari mirâ' dalam hadis di atas barangkali karena mirâ' yang pertama merupakan kualitas batin dan watak buruk yang terdapat dalam hati, sedangkan mira' yang disebutkan sebagai konsekuensinya merupakan gejala dan perilaku lahiriahnya. Gejala lain pada kelompok ini adalah kepura-puraan dalam bersabar walaupun mereka tidak sungguh-sungguh bersabar. Dan sikap ini sendiri adalah kemunafikan, riyâ', dan syirik. Begitu pula kepurapuraan rendah hati dan khusyuk tanpa sifat wara' adalah contoh paling jelas dari syirik, riyâ’, kemunafikan, dan sikap berwajah dua. Setelah mengetahui bahwa mirâ’ ini mengandung pelbagai keburukan besar, yang masing-masingnya membawa bencana dan kerusakan, kita perlu berusaha sekuat mungkin untuk melepaskan diri kita dari watak hina yang merusakkan hati dan meluluhkan keimanan ini. Kita mesti bangkit untuk menyucikan jiwa dari kegelapan dan debu ini dengan menghiasi dan mencerahkan hati dengan keikhlasan niat dan kejujuran batin. Dalam hal ini, ada satu hal yang cukup untuk menghancurkan kita apabila kita merenungkannya sejenak,

p: 455


1- 11. Ibid., kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimîn, hadis 8.

yaitu apa yang disebutkan Imam Al-Shadiq a.s. setelah melukiskan ciri-ciri kelompok ini:

فدقّ الله من هذا خیشومه و قطع منه حیزومه "Akibatnya, Allah akan meremukkan hidungnya dan memutuskan pinggangnya (dapat pula diterjemahkan menjadi: Oleh karena itu, semoga Allah meremukkan hidungnya dan memutuskan pinggangnya'). Bagaimanapun, baik sebagai doa atau berita, keadaan itu pasti akan terjadi. Sebab, apabila kalimat itu merupakan berita, pembawa berita itu adalah orang yang pasti jujur dan dapat cipercaya (shâdiq mushaddaq). Kalau kalimat itu merupakan doa, berarti doa seorang ma'shûm dan wali Allah pasti akan dikabulkan. Remuknya hidung adalah metafora (kinayah) untuk menunjukkar. kehinaan dan kenistaan, yang bisa terjadi di dunia atau di akhirat. Kehinaan di dunia terjadi di hadapan orang-orang yang penghormatan mereka amat ingin dia dapatkan dengan cara lagak-lagu dan pura-pura berilmu. Alih-alih mendapat penghormatan dan penghargaan mereka, orang ini pasti akan terhinakan dan terinjak-injak harga dirinya di depan orang-orang yang ingin dia kuasai dan dia ungguli. Akan halnya kehinaan di akhirat berarti kehinaan di hadapan para malaikat, nabi, rasul, wali Allah yang maksum, dan hamba-hamba Allah yang saleh. Di hadapan mereka semua, orang ini tidak punya nilai sedikitpun dan akan mereka abaikan. Jika demikian, celakalah kita, korban-korban mira' dan jidál, yang tenggelam dalam motif-motif nafsu dan sikap permusuhan! Betapa besar penderitaan kita akibat ulah diri yang keji dan tidak mengenal kasih sayang ini, yang tidak mau membiarkan kita selamat. Diri ini berupaya mencelakakan kita dalam semua tingkat kehidupan dar. eksistensi. Namun, kita tidak pernah berusaha memperbaikinya! Telinga kita tertutup oleh sumbat kelalaian! Kita menolak bangun dari tidur lelap di alam fisik ini! Ya Allah, Engkaulah yang memperbaiki hamba-hamba-Mu, dan di tangan-Mulah hati mereka. Wujud yang ada terjadi berkat Kuasa-

p: 456

Mu dan hati berada di bawah pengaruh total kehendak-Mu. Kami tidak kuasa atas diri kami sendiri, tidak kuasa menimbulkan manfaat dan mudarat bagi diri kami sendiri, dan tidak kuasa atas kehidupan dan kematian kami sendiri. Terangilah hati kami yang gelap dengan cahaya rahmat-Mu, bereskanlah kesalahan kami dengan rahmat dan kemurahan-Mu, dan tolonglah makhluk-Mu yang tak berdaya dan lemah ini!

Bagian Ketiga

Telah kami sebutkan ketika memaparkan mirâ pada bagian pertama hadis mulia itu bahwa mirâ’ memiliki wujud batiniah dan fenomena lahiriah yang merupakan produk, tanda, dan gejala dari mirâ' jenis pertama. Hal yang sama berlaku pada bagian kedua dari uraian yang diberikan oleh Imam a.s. mengenai istithalah dan khatl (suka dominasi dan penipuan), bahwa kedua sifat itu memiliki tingkatan batiniah berupa kualitas dan watak jiwa dan gejala lahiriah yang merupakan produk dari kualitas dan watak itu.

Sebagian besar aktivitas hati memiliki berbagai tingkatan: tingkatan melahirkan ciri dan watak (malakah) yang sedemikian melekat, tingkatan keadaan sesaat (hâl) yang mudah hilang, dan tingkatan perilaku lahiriah yang merupakan hasil dari malakah batin. Oleh karena itu, mereka yang malakah untuk mendominasi dan melakukan tipu muslihat, pasti juga membawa sejumlah gejala dan tanda lahiriah malakah tersebut. Sebagian gejala dan tanda lahiriahnya telah disebutkan oleh Al-Imam Al-Shadiq a.s. dalam hadis di atas. Salah satunya adalah hasrat untuk menipu dan mengecoh orang dengan berlagak seperti orang saleh dan bertakwa, padahal secara batin dia tidak demikian. Kelompok ini adalah serigala berbulu domba dan setan berbentuk manusia. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk Allah dan keburukan mereka bagi keimanan manusia lebih besar dibandingkan dengan keburukan tentara-tentara musuh dalam suatu peperangan. Sifat lain kelompok ini adalah sikap merendah dan menjilat pada orang yang menjadi sasaran kerakusan mereka. Mereka menyebarkan jaring-jaring tipu muslihat mereka, penjilatan dan kerendahan hati yang palsu, untuk menjebak orang yang lemah, untuk mengambil

p: 457

keuntungan dari kecintaan, kedekatan dan kekaguman mereka yang seluruhnya bersifat duniawi. Untuk itu, mereka mengeksploitasi agama dan menjual iman demi memperoleh keuntungan-keuntungan duniawi. Inilah kelompok manusia yang oleh hadis dikatakan bahwa ketika sebagian manusia di surga melihat mereka, mereka

akan mengatakan, “Bagaimana ini, kami masuk ke surga karena ajaran dan pendidikanmu, tetapi kamu sendiri masuk reraka?” Mereka akan menjawab, “Kami tidak berbuat menurut apa yang kami ucapkan.(1)

Ciri lain mereka adalah sikap tinggi hati terhadap orang-orang yang sederajat dengan mereka, yakni kalangan yang tidak merangsang kerakusan duniawi mereka dan malahan bisa menjadi sandungan di tengah jalan. Mereka memperlakukan kalangan setara ini dengan angkuh dan mencoba sedapat mungkin merendahkannya melalui kata-kata atau tindakan tertentu. Sebetulnya mereka khawatir bahwa suatu waktu nanti kalangan yang setara dengan mereka ini akan sanggup menyaingi dan menjatuhkan kredibilitas mereka. Perlu diketahui bahwa hal yang paling sulit dan sukar ialah menjaga (kelurusan) agama dan (kebersihan) hati sesecrang yang secara formal mengenakan pakaian ilmu pengetahuan, kezuhudan, dan ketakwaan. Seorang individu dari golongan ini yang berhasil bangkit untuk menunaikan tugas-tugasnya dengan ketulusan niat, melangkah di jalan ilmu dengan konsisten, berupaya memperbaiki orang lain setelah memperbaiki diri sendiri dan melindungi anak-anak yatim dari keturunan Rasulullah Saw. pasti akan termasuk orang yang dekat (muqarrabûn) dan menang bertanding (sâbiqûn). Hal demikian telah

disebutkan oleh Iman Ja'far Al-Shadiq berkenaan dengan empat sahabat Imam Muhammad Al-Baqir a.s. seperti yang tertulis dalam Al-Wasâ'il dari Rijal Al-Kasysyi dengan sanad yang sampai ke Abu “Ubaidah Al-Hadzdza':

قال: سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: زرارة، و محمّد بن مسلم، و أبو بصیر، و برید، من الّذین قال الله تعالی: «وَ السّابِقُونَ السّابِقُونَ. أُولئِکَ الْمُقَرَّبُونَ.

p: 458


1- 12. Wasâ'il Al-Syi'ah, XI, 420.

Abu Ubaidah berkata, “Aku mendengar Abu 'Abdillah a.s. bertutur, ‘Zurarah, Muhammad ibn Muslim, Abu Bashir, dan Buraid (Ibn Mu'awiyah) termasuk orang-orang yang disebut oleh Allah dalam Al-Quran sebagai: Orang yang menang, orang yang menang--merekalah orang-orang yang dekat."(1) (QS Al-Waqi'ah (56): 10-11) Hadis yang bertalian dengan masalah di atas sangat banyak, dan keutamaan orang yang berilmu (ahl al-'ilm) lebih banyak daripada yang dapat diungkapkan dengan kata-kata. Cukuplah kiranya kita mengutip hadis Baginda Rasul Saw. berikut ini:

من جاءه الموت و هو یطلب العلم لیحیی به الإسلام، کان بینه و بین الأنبیاء درجة واحدة فی الجنّة

“Apabila kematian mendatangi orang yang sedang menuntut ilmu demi menghidupkan Islam, hanya akan ada satu derajat antara dia dan para nabi di surga."(2) Nanti, insya Allah, kita akan memaparkan keutamaan-keutamaan orang yang berilmu (ahl al-'ilm). Namun, jika—na'ûdzu billâh- ahli ilmu keluar dari jalan keikhlasan dan mengambil jalan kebatilan, dia akan menjadi ‘ulama' al-sü’ (ulama durjana) yang merupakan seburuk-buruk makhluk Allah. Terdapat banyak hadis yang menggunakan ungkapan-ungkapan kasar mengenai makhluk seperti ini. Hal pertama yang perlu dipikirkan para pelajar yang berjalan di tempat yang sarat dengan bahaya ini agar pertama-tama memperbaiki diri mereka selama masa belajar dan menempatkan upaya perbaikan- diri ini sebagai kewajiban dan tugas utama, karena upaya ini merupakan kewajiban yang paling tinggi, paling mendasar, dan paling sulit dibandingkan dengan segenap kewajiban lain yang ditetapkan oleh syariat dan akal. Wahai penuntut ilmu-ilmu Islam serta penuntut keutamaan-keutamaan dan ajaran-ajaran spiritual! Bangunlah dari tidurmu dan ketahuilah bahwa Allah telah membeberkan bukti-Nya kepada kalian dengan sesempurna mungkin sehingga Dia akan membuat perhitungan kepadamu sesulit mungkin. Timbangan amal dan ilmu kalian akan berbeda sekali dengan timbangan semua hamba yang lain. Jalan

p: 459


1- 13. Ibid., XVIII, 105.
2- 14. Sunan Al-Dâmirî, I, 100

(shirâth)-mu akan lebih tajam serta lebih tipis dan catatan amalmu akan diperiksa dengar lebih saksama. Celakalah para pelajar dan penuntut ilmu yang pelajaran dan ilmunya malah menggelapkan dan mengotori hatinya! Dan kita melihat pada diri kita bahwa kalau kita mempelajari beberapa konsep yang tidak memadai dan beberapa istilah yang sia-sia, hal itu terus mencegah kita dari menapak di jalan Allah. Setan dan hawa nafsu telah menguasai keberadaan kita dan memalingkan serta menjauhkan kita dari jalan kemanusiaan dan bimbingan. Konsep-konsep tak masuk akal itu menjadi perintang terbesar kita, dan tidak ada obatnya kecuali berlindung kepada Allah. Ya Allah, kami mengakui kekurangan dan kelemahan kami. Kami mengaku bersalah atas dosa-dosa kami! Kami telah melalaikan jalan

keridhaan-Mu, dan kami juga tidak beribadah dan taat dengan ikhlas untuk-Mu. Namun, perlakukan kami dengan rahmat-Mu yang meliputi segalanya dan tak terbatas. Sebagaimana Engkau telah menyembunyikan kekurangan kami di dunia ini, maka sembunyikan kekurangan-kekurangan itu dengan ampunan dan rahmat-Mu yang menutupi di akhirat kelak, pada saat kami akan lebih membutuhkannya!

Penting juga kami mengingatkan frasa berikut ini dari hadis di atas:

فأعمی الله علی هذا خبره و قطع من آثار العلماء أثره

Akibatnya, Allah membutakan penglihatannya dan menghapus jejak-jejaknya dari khazanah orang berilmu (ulama). Entah frasa itu berupa doa atau pemberitaan, perkataan Imam itu tentu akan terjadi. Kita harus takut sekali pada kebutaan batin yang merupakan sumber utama segala macam kemalangan, kecelakaan, dan kegelapan ini Begitu pula “penghapusan jejak-jejaknya dari khazanah orang berilmu (ulama)" adalah kehilangan semua kemulian dan jasa yang mereka terima, dan itu akan diikuti dengan kenistaan yang tak terkirakan di hadapan hamba-hamba pilihan Allah pada hari kiamat.

p: 460

Bagian Keempat

Adapun orang yang memahami dan berakal-yaitu orang-orang yang bagi mereka tujuan mencari ilmu adalah menjadi alim dalam agama dan mengetahui kebenaran-kebenaran agama—juga mempunyai tanda-tanda. Tanda-tanda utamanya telah disebutkan dalam hadis, antara lain adalah bahwa ilmu atau pengetahuan menciptakan kesedihan dan kedukaan pada mereka. Tentu saja kesedihan ini bukanlah karena masalah-masalah duniawi yang rendah dan sementara, melainkan karena takut pada hari kembali kepada Allah (ma‘âd) dan takut tidak dapat menunaikan segenap kewajiban ubudiah. Kesedihan ini, selain mencerahkan, menyucikan, dan memengilapkan hati, ia juga mendorong terjadinya perbaikan diri dan pelaksanaan kewajiban ubudiah. Cahaya hati ini akan mencabut kesantaian dan keantengan dari diri sang hamba, membawanya kepada Allah dan tempat anugerah-Nya. Cahaya itu juga akan membuat hati sang hamba merasakan kenikmatan besar dalam beribadah dan bermunajat kepada Allah, sehingga hamba ini akan melewatkan malam-malamnya untuk menunaikan tugas-tugas ibadah. Oleh karena itu, Imam a.s. berkata: قد تحنّک فی برنسه، و قام اللّیل فی حندسه

(Kerap menggantungkan peci pada ujung serbannya dan selalu berdiri (untuk shalat) di kegelapan malam.) Frasa pertama jelas menunjukkan ketekunan hamba dalam beribadah. Ciri lain orang berilmu demi tujuan llahi ini adalah sekalipun dia senantiasa menjaga tugas-tugas ibadah, dia tetap merasa takut. Cahaya ilmu mengungkapkan kepadanya bahwa kendatipun dia taat menunaikan kewajibannya, tetap saja perlu baginya untuk merasa kurang dan teledor lantaran tidak ada orang yang bisa sepenuhnya menuntaskan kewajiban syukur dan ibadah kepada Allah. Kesadaran ini memenuhi hatinya dengan ketakutan, seperti difirmankan oleh

Allah dalam ayat berikut: «وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ کَذَلِکَ إِنَّمَا یَخْشَی اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ (28)»

Orang-orang yang takut kepada Allah itu hanyalah di antara hamba-hamba-Nya yang memiliki ilmu. (QS Fâthir (35): 28)

p: 461

Cahaya ilmu membawa kecemasan dan kesedihan. Walaupun orang seperti ini berkomitmen penuh untuk memperbaiki diri, ketakutannya pada ma'âd dan Hari Kebangkitan tidak akan pernah membuatnya tenteram. Dia akan terus memohon kepada Allah untuk dapat memperbaiki dirinya dan takut disibukkan oleh yang selainNya. Dia menjauhkan diri dari kebanyakan orang sezamannya karena khawatir orang-orang itu akan menjauhkannya dari Allah dan jalan menuju akhirat dengarı membuat dunia dan pesonanya tampak memikat di matanya. Oleh karena itu, Allah akan semakin mendukung orang ini, menonjolkan eksistensinya, dan menganugerahinya ketenangan di hari kiamat.

«وَلَئِنْ أَصَابَکُمْ فَضْلٌ مِنَ اللَّهِ لَیَقُولَنَّ کَأَنْ لَمْ تَکُنْ بَیْنَکُمْ وَبَیْنَهُ مَوَدَّةٌ یَا لَیْتَنِی کُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوزَ فَوْزًا عَظِیمًا (73)»

Aduhai kalau saja aku bisa bersama-sama mereka, tentu aku akan mencapai kemenangan yang besar! (QS Al-Nisa' [4): 73)

Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir, dan semoga shalawat Allah dilimpahkan atas Muhammad dan keluarga beliau yang suci.[)

p: 462

24 Hadis tentang Klasifikasi Ilmu

Point

بالسّند المتّصل إلی أفضل المحدّثین و أقدمهم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن محمّد بن الحسن و علیّ بن محمّد، عن سهل بن زیاد، عن محمّد بن عیسی، عن عبید الله بن عبد الله الدّهقان، عن درست الواسطی، عن إبراهیم بن عبد الحمید، عن أبی الحسن موسی، علیه السّلام، قال: دخل رسول الله، صلّی الله علیه و آله، المسجد فاذا جماعة قد أطافوا برجل. فقال: ما هذا؟ فقیل: علّامة. فقال: و ما العلّامة؟ فقالوا له: أعلم النّاس بأنساب العرب و وقائعها و أیّام الجاهلیّة و الأشعار العربیّة. قال: فقال النّبیّ، صلّی الله علیه و آله: ذاک علم لا یضرّ من جهله و لا ینفع من علمه. ثمّ قال النّبیّ، صلّی الله علیه و آله: إنّما العلم ثلاثة: آیة محکمة، أو فریضة عادلة، أو سنّة قائمة، و ما خلاهنّ فهو فضل.

Dengan sanadku yang sampai ke ahli hadis paling baik dan paling awal, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah meridhai beliau—dari Muhammad ibn Al-Hasan dan 'Ali ibn Muhammad, dari Sahl ibn Ziyad, dari Muhammad ibn Isa, dari 'Ubaidillah ibn

p: 463

‘Abdillah Al-Dihqan, dari Durust Al-Wasithi, dari Ibrahim ibn 'Abdul Hamid, dari Abu Al-Hasan Musa a.s. yang mengatakan, “Rasul Allah, shallallahu 'alaihi wa âlihi (Saw.) suatu hari memasuki masjid yang di dalamnya ada sekelompok orang sedang mengelilingi seorang laki-laki. "Siapa itu?' tanya Nabi Saw. 'Dia itu seorang

‘allamah (yaitu orang yang sangat alim).' 'Apa itu ‘allamah?” tanya Nabi Saw. 'Dia adalah orang yang sangat mengetahui soal silsilah, sejarah masa lalu, zaman jahiliah, dan syair Arab.'Nabi Saw. berkata, "Itu adalah ilmu yang tidak merugi jika orang tidak mengetahuinya dan juga tidak beroleh untung jika orang mengetahuinya.' Kemudian, Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya ilmu itu terdiri atas tiga hal berikut ini: petunjuk yang kuat, tugas yang seimbang, dan sunnah yang mapan. Selain itu, kurang ada gunanya.(1)

Terdapat man hâdzâ (siapa ini?) bukannya mâ hâdzâ (apa ini?) dalam beberapa naskah. Mâhâdza merupakan ungkapan penghinaan. Kata ‘allamah merupakan bentuk (shighah) yang mengungkapkan siſat superlatif (mubalaghah) dan ta'-nya adalah untuk lebih menekankan maksud superlativisme itu, yang berarti 'sangat teramat berilmu'. Perlu diketahui bahwa kata < (siapa) dalam logika digunakan untuk bertanya mengenai seseorang, dan kata lá (apa) untuk bertanya mengenai benda atau fakta tertentu. Karena mereka memberi tahu Nabi Mulia Saw. bahwa lelaki ini adalah ‘allamah, Nabi bertanya kepada mereka mengenai pengertian ‘allamah dan sifat atau kandungan ilmu yang mereka nisbahkan kepadanya. Oleh karena itu, beliau bertanya dengan kata Lo.

Terkadang suatu julukan----allâmah, misalnya--dijadikan sebagai sarana untuk bertanya mengenai esensi. Umpamanya, manakala kita sudah mengerti makna suatu sifat (julukan), tetapi kita tidak mengetahui orang yang menyandang sifat itu. Jika demikiarı, pertanyaannya akan menggunakan kata (siapa) sehingga menjadi telais (siapa sang ‘allamah itu?). Namun, jika orangnya tampak jelas di hadapan kita, tetapi sifat yang diberikan kepadanya tidak kita ketahui atau kalau tujuannya untuk mengetahui sifatnya, pertanyaannya dikemukakan dengan kata mâ. Jadi, pertanyaan ini tentang definisi sifat itu sendiri, bukan tentang orang atau penyifatan sifat itu kepada orang yang bersangkutan. Dalam hadis mulia ini, karena disebutkan bahwa

p: 464


1- 1. Al-Kulaini, Al-Kafi, kitab fadhl al-'ilm, bâb syifah al-'ilm wa fadhluh, hadis No. 1.

orang ini ‘allamah, maksud Nabi dengan pertanyaan itu adalah mencari tahu arti sifat yang mereka nisbahkan kepada orang itu. Oleh karena itu, beliau bertanya, “Apa itu ‘allâmah?” dan bukan “Siapa si ‘allâmah itu?” atau “Mengapa dan karena apa orang ini menjadi ‘allâmah?"

Penjelasan di atas lebih tepat daripada apa yang dikemukakan oleh peneliti (muhaqqiq) di kalangan para filosof dan filosof di kalangan para peneliti, Shadr Al-Muta`allihin-semoga Allah menyucikan jiwanya-mengenai hadis mulia ini. Di sini, kami tidak ingin mengutip penjelasannya karena takut bertele-tele dan karena memang di luar lingkup pembahasan ini.

Bagian Pertama

Telah kami kemukakan bahwa manusia secara garis besar memiliki tiga alam, maqâm, dan fase: pertama, fase akhirat yang merupakan alam gaib, yakni maqâm spiritual dan akal; kedua, fase barzakh yang merupakan jembatan antara kedua alam, yaitu maqâm khayal; dan ketiga, fase dunia yang menjadi daerah kekuasaan mulk (fisik) dan alam kasat indra ('âlam syahadah). Setiap fase ini memiliki kesempurnaannya yang khas dan pendidikannya yang khas, dan seperangkat

aturan dan perilaku yang sesuai dengannya. Para nabi a.s. ditugasi untuk mengajari manusia mengenai seperangkat aturan dan perilaku tersebut. Oleh karena itu, semua ilmu yang bermanfaat dapat dibagi menjadi tiga ilmu ini: ilmu yang berhubungan dengan kesempurnaan-kesempurnaan (kamâlât) akal dan tugas-tugas spiritual, ilmu yang berhubungan dengan perilaku-perilaku dan tugas-tugas hati, serta ilmu yang berhubungan dengan perilaku-perilaku dan tugas-tugas fisik dalam kehidupan lahiriah jiwa.

Ilmu yang berperan mendidik dan memperkuat alam ruh dan akal mujarad (immaterial intellect) adalah makrifat Zat Allah yang Suci, Sifat-Sifat Indah, dan Agung-Nya; ilmu tentang alam-alam gaib yang mujarad, termasuk tentang segenap malaikat, dari yang tingkat tinggi di alam jabarût dan malakút sampai ke tingkat yang rendah di alam malakût berupa malaikat-malaikat bumi dan tentara-tentara Allah Jalla wa ‘Ala; ilmu tentang para nabi dan wali serta maqâm dan derajat

p: 465

mereka; ilmu tentang kitab-kitab suci dan proses pewahyuannya; ilmu tentang proses penurunan para malaikat dan ruh; ilmu tentang fase (nasy’ah) akhirat dan cara kepulangan suatu maujud ke alam gaib; dan terakhir ilmu tentang realitas alam barzakh dan kiamat beserta rinciannya. Singkat kata, ilmu yang berguna untuk alam ruh dan akal adalah ilmu menyangkut asal-usul (mabda'), realitas, derajat dan tingkatan, pengembangan (basth) dan penyempitan (qabdh), penampakan (zhuhûr) dan pengembalian (rujų) wujud secara keseluruhan. Selain para nabi dan wali Allah yang suci a.s., kalangan filosof, ahli hikmah, ahli makrifat, dan ahli 'irfan juga berperan menjelaskan ilmu ini. Ilmu-ilmu yang berkenaan dengan disiplin dan pendidikan hati serta perilaku-perilaku hati ialah ilmu akhlak yang menerangkan prinsip-prinsip yang menyelamatkan (munjiyât) dan merusakkan (muhlikat) karakter jiwa (khulq). Yaitu, ilmu tentang sifat-sifat baik (mahasin al-akhlâg) seperti kesabaran, syukur, rasa malu (hayâ'), rendah hati (tawadhu“), kerelaan (ridhâ), keberanian (syajâah), kemurahan hati (sakhâ-wah), kebersahajaan (zuhd), menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan (wara'), ketakwaan, dan pelbagai keutamaan akhlak lainnya, serta cara-cara, sebab-sebab, dan syarat-syarat mencapai pelbagai keutamaan tersebut. Demikian pula sebaliknya, ilmu tentang keburukan akhlak seperti iri hati (hasad), kesombongan (kibr), kedengkian (hiqd), kelicikan (ghisysy), cinta kedudukan atau jabatan, cinta dunia serta diri, dan sebagainya, dan cara-cara, sebab-sebab, dan syarat-syarat membebaskan diri dari semua itu. Selain para nabi dan pengganti mereka (aushiya') yang dipilih oleh Allah a.s., para ahli ilmu akhlak, orang yang berdisiplin dalam mengolah ruh (al-riyâdhah), dan ahli makrifar bertugas menjelaskan ilmu ini.

Ilmu yang membahas pendidikan dan pengolahan aspek lahiriah terdiri atas ilmu dan prinsip-prinsip fiqih; ilmu etiket (âdâb), ilmu pergaulan sosial (mu'âsyarah), manajemen rumah tangga (tadbir manzil), dan politik atau pemerintahan sipil (siyâsah mudun). Selain para nabi dan aushiyâ'a.s., ilmu ini juga dipaparkan oleh para ahli ilmu fenomenal dan ilmu eksoteris ('ulûm-e zhâhir), ahli hukumi (faqih), dan ahli hadis (muhaddits).

p: 466

Ketahuilah bahwa masing-masing dari tiga alam manusia yang telah disebutkan ini saling berkorelasi sedemikian sehingga pengaruh yang satu-entah itu positif atau negatif-berimbas pada yang lain- nya. Misalnya, kalau orang menunaikan tugas-tugas peribadahan dan ritus-ritus lahiriah sesuai dengan yang ditetapkan oleh para nabi, jiwa dan hatinya akan terpengaruh oleh pelaksanaan ritual-lahiriah tersebut. Akibatnya, akhlak dan budi pekertinya akan membaik, seiring dengan penyempurnaan dalam keimanan dan keyakinannya. Saling pengaruh tersebut terjadi karena adanya hubungan yang erat di antara maqâm-magam yang berlainan ini. Bahkan, (sedemikian eratnya hubungan antara ketiga alam dan maqâm itu sehingga) kata “hubungan” juga tidak dapat mengungkapkannya secara tepat. Mesti

dikatakan bahwa semua (tingkatan) alam itu sesungguhnya adalah wajah dan penampakan yang berbeda dari realitas yang tunggal. Tak boleh dibayangkan bahwa kita dapat memiliki keimanan yang sempurna dan akhlak yang baik tanpa melakukan amal-amal lahiriah dan ibadah fisik yang telah digariskan. Apabila akhlak kita cacat dan tidak baik, perbuatan (lahiriah) kita sempurna dan iman kita sempurna, atau bahwa tanpa iman di hati kita, amal-amal lahiriah kita dapat sempurna dan akhlak kita pun dapat sempurna. Kalau tindakan lahiriah (jasadi) kita cacat dan tidak sesuai dengan ajaran para nabi, terciptalah kegelapan di hati dan jiwa yang pasti akan menghalangi atau mengganggu bersinarnya cahaya keimanan dan keyakinan. Begitu pula, kalau amalan-amalan formal kita yang antara lain tercakup dalam shalat, puasa, dan haji tidak sempurna dan melenceng dari ajaran para nabi dan imam, niscaya timbul hijab di dalam hati dan kekeruhan dalam ruh yang pada gilirannya akan mencegah masuknya cahaya keimanan dan keyakinan. Hubungan yang sama berlaku antara budi pekerti lahiriah dan keimanan di dalam hati.

Oleh karena itu, orang yang menempuh jalan akhirat dan jalan-lurus kemanusiaan harus memantapkan diri dan memerhatikan ketiga aspek ini. Dia tidak boleh mengabaikan segenap kesempurnaan teoretis- intelektual dan praktis-ritual dalam perjalanannya. Kita tidak boleh membayangkan bahwa dengan hanya membersihkan akhlak atau

p: 467

dengan hanya memperkuat keimanan dan keyakinan, atau dengan hanya menyesuaikan diri dengan aspek lahiriah, sucah cukup bagi kita, seperti dipercaya beberapa ahli ketiga disiplin ini. Misalnya, Syaikh Al-Isyraq, Suhrawardi, pada permulaan karya-nya, Hikmah Al-Isyrâq, membagi orang yang sempurrna menjadi tiga: orang yang sempurna dalam ilmu dan amal perbuatannya, orang yang sempurna dalam amal perbuatannya, dan orang yang sempurna dalam ilmunya. Hal ini menunjukkan seakan-akan sempurnanya ilmu dapat terjadi tanpa kesempurnaan dalam aspek amal lahiriah, atau sebaliknya. Dia juga menganggap orang yang sempura ilmunya sebagai orang yang dekat dengan alam gaib dan alam ruhani menuju surga-surga tertinggi ('illiyyîn) dan keintiman dengan para malaikat

utama.

Ada beberapa ahli akhlak dan ilmu batiniah yar.g menganggap pencapaian akhlak yang baik dan penyucian hati serta tindakan-tindakan batiniah sebagai sumber segala keutamaan, dan mengabaikan kebenaran-kebenaran teoretis-intelektual dan aturan-aturan lahiriah. Sebaliknya, mereka bahkan memandangnya sebagai duri bagi orang yang sedang dalam perjalanan ruhani. Ada beberapa ahli aspek lahiriah (fiqih) yang memandang kebenaran-kebenaran teoretis-intelektual dan ilmu-ilmu esoteris serta ajaran-ajaran 'irfan sebagai kekufuran dan memusuhi para ahlinya dan orang yang mempelajarinya. Ketiga kelompok yang memercayai keyakinan-keyakinan keliru ini telah terhijab dari tahapan-tahapan spiritual dan fase-fase (eksistensi) manusia. Mereka tidak dapat merenungkan ilmu-ilmu para nabi dan

wali dengan benar, sehingga selalu saja terjadi pertentangan dan pendustaan di antara mereka. Mereka saling menyerang satu sama lain dan memandang selainnya dalam kesalahan, sekalipun mereka berbeda-beda dalam melihat kesalahan masing-masing. Jelasnya, masing-masing mereka telah menemukan sebagian kebenaran sehingga menyebabkan mereka mempersalahkan yang lain. Mereka tidak sepenuhnya salah, tetapi salah dalam mengidentifikasi tingkatan-tingkatan kesempurnaan manusia. Akibatnya, mereka membatasi tingkatan kesempurnaan manusia pada satu tingkatan tertentu, dan mengabaikan tingkatan-tingkatan kesempurnaan lainnya.

p: 468

Dalam hadis mulia di atas, Rasul Allah Saw. membagi ilmu itu menjadi tiga, dan tak pelak lagi bahwa ketiga ilmu ini berkenaan dengan tiga tingkatan dan tahapan tersebut. Pernyataan ini dibenarkan oleh kitab-kitab suci, hadis-hadis para nabi dan para imam yang maksum—semoga salam dan kedamaian tercurah bagi mereka karena ajaran mereka dapat digolongkan menjadi tiga bagian ini. Salah satunya terdiri dari ilmu tentang Allah, malaikat, kitab suci, para rasul, dan hari kiamat, serta kitab-kitab samawi—khususnya Kitab Suci Allah yang lengkap, yaitu Al-Quran. Namun, dapatlah dikatakan bahwa apa yang diajarkan kitab Allah, lebih dari apa pun, tergolong dalam jenis ilmu ini. Ia terdiri dari mengajak kepada Allah sebagai asal dan tujuan (mabda'wa ma'âd) semua makhluk dengan menggunakan argumen rasional yang absah dan dengan penjelasan yang sempurna, seperti ditunjukkan oleh para otoritas (muhaqqiq). Sebenarnya, posisi dua aspek lainnya di dalam kitab Allah agak lebih kecil dibandingkan dengan aspek pertama ini, dan hadis-hadis para Imam juga penuh dengannya dan tak dapat disebutkan satu demi satu seperti akan menjadi jelas kalau kita merujuk pada buku-buku yang andal yang diterima oleh semua ulama—semoga ridha Allah tercurah atas mereka seperti Al-Kâfi dan Kitâb Al-Tauhid, karya Al-Shaduq. Begitu pula, perhatian yang dicurahkan pada penyucian jiwa dan perbaikan akhlak dalam kitab Allah dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari Ahl Al-Bait a.s. adalah di luar perkiraan kita. Namun, buku-buku dan bab-bab ini tetap terlupakan dan kurang kita perhatikan dan kita percayai, karena kita memang termasuk dalam golongan yang celaka dan terikat dengan harapan-harapan hampa! Akan tiba saatnya ketika Allah Taala akan menanyai kita dan menghukum kita berdasarkan bukti-bukti mereka dan para Imam yang maksum a.s.- semoga Allah melindungi kita—akan berlepas tangan dari kita karena kita meninggalkan hadis-hadis dan ilmu-ilmu mereka. Aku berlindung kepada Allah Taala dari keburukan akibat dan kejelekan di saat terakhir (sű' al-khitâm). Adapun hadis-hadis yang berkaitan dengan fiqih dan ritus-ritus lahiriah, sangat banyak dalam kitab-kitab hadis kita, sehingga tidak perlu lagi kita menyodorkannya di sini. Jadi, jelas bahwa ilmu-ilmu

p: 469

syariat terbatas pada ketiga bagian itu, sesuai dengan liebutuhan manusia pada ketiga aspek tersebut. Para ahli tiap-tiap ilmu ini tak berhak mempersalahkan yang lainnya. Tidak boleh bagi seseorang yang tidak mengetahui sesuatu untuk melecehkan orang yang ahli mengenainya. Akal sehat memandang afirmasi atas suatu yang tidak diketahui sebagai kesalahan dan keburukan akhlak, begitu pula negasi sesuatu yang tidak diketahui; bahkan sikap yang kedua ini lebih buruk dan lebih

keji. Kalau Allah Swt. bertanya, misalnya, “Kamu tidak mengetahui arti kesatuan wujud (wahdah al-wujûd) yang sesuai dengan ajaran kaum hukamâ' (ahli hikmah) dan juga tidak menerima petunjuk mengenainya dari mereka yang ahli dalam hal itu, juga tidak mempelajari ilmu itu dan premis-premisnya, lantas mengapa kamu secara membuta menghina dan menuduh mereka kafir?" Jawaban yang bagaimana yang akan diberikan di hadapan Allah selain menundukkan kepala karena malu? Tentu saja, dalih seperti “aku kira begitu” tak akan diterima. Setiap disiplin memiliki hal-hal pokok dan hal- hal pendahuluan. Tanpa mengetahui semua itu, tidaklah mungkin untuk memahami kesimpulan-kesimpulannya. Ini khususnya berlaku pada persoalan sepelik ini. Dan di sini engkau adalah orang yang ingin memahami pokok-pokok persoalan pelik melalui akalmu yang tidak memadai dengan hanya membaca, misalnya, satu atau dua kitab atau beberapa bait Matsnawi, karya Rumi, padahal para filosof ataupun hukamâ' telah membedah dan membahasnya selama beberapa tahun. Tentu saja engkau tidak akan memahaminya:

رحم الله امرأ عرف قدره و لم یتعدّ طوره Semoga Allah melimpahkan rahmat atas orang yang mengetahui kadarnya sendiri dan tidak melampaui batasnya.(1) Begitu pula, kalau seorang filosof atau 'ârif gadungan ditanya, “Atas dasar apa engkau menyebut faqih sebagai dangkal dan condong pada sisi lahiriah, mencari-cari kesalahannya? Atau mengapa engkau merendahkan dan menghina cabang ilmu keagamaan yang di bawah para nabi a.s. dari Tuhan semesta alam untuk menyempurnakan

p: 470


1- 2. Al-Amidi, Ghurar Al-Hikam, bab al-ra'.

jiwa manusia? Atas dasar rasional dan dasar syariat (syar'i) apa engkau memandang, menghina ulama semacam itu?" Jawaban apa yang akan diberikannya di hadapan Allah selain menundukkan kepala karena malu dan hina? Baiklah, kita tinggalkan bagian ini dan kita menuju ke bagian lain dari uraian kita.

Bagian Kedua

Setelah mengetahui bahwa tiga ilmu yang disebut oleh Rasul Allah Saw. terkait dengan tiga hal yang kita sebutkan di atas, pertanyaannya adalah tiga hal di atas secara keseluruhan terkait dengan ilmu yang mana? Meskipun pertanyaan ini tidak penting karena yang penting adalah memahami prinsip-prinsip ketiga ilmu itu dan berupaya untuk mempelajarinya-penting kiranya untuk menjelaskan hadis mulia di atas secara lengkap.

Ulama-ulama terkenal, semoga Allah meridhai mereka, telah menjelaskan hadis mulia ini secara berbeda-beda. Membahas perbedaan pendapat mereka serta telaah atas masing-masing pendapat mereka hanya akan membuat pembahasan kita bertele-tele, dan ini tidak perlu. Oleh karena itu, saya hanya akan membatasi diri pada apa yang melintas dalam hati, dengan mengutip bukti-bukti pendukung yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Lalu, saya akan menyebutkan satu persoalan penting yang dikemukakan oleh Syaikh kami yang mulia, ‘ârif yang sempurna, Syahabadi, semoga bayang-bayangnya dikekalkan untuk kita selamanya!

Ketahuilah bahwa ungkapan “tanda yang kuat” (âyât muhkamât) menunjukkan ilmu-ilmu rasional dan doktrin-doktrin yang sejati serta ajaran-ajaran Ilahi; “kewajiban yang adil atau tugas yang seimbang” Varidhah 'âdilah) menunjukkan ilmu-ilmu akhlak dan penyucian diri. "Sunnah yang mapan” (sunnah qa'imah) menunjukkan ilmu tentang aspek lahiriah serta perilaku tubuh (yang melibatkan gerakan fisik tertentu). Alasan bagi pertalian ini adalah kata âyât berarti 'tanda' dan

tepat untuk ilmu-ilmu rasional dan doktrinal karena keduanya membahas tanda-tanda Zat, Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah, dan masalah lainnya, dan sejak dahulu belum pernah kata âyât digunakan untuk ilmu-ilmu lain. Misalnya, dalam kitab Allah, dalam banyak kasus, setelah

p: 471

memberikan hujah-hujah mengenai Wujud Suci Sang Pencipta atau Nama-Nama dan Sifat-Sifat Zat-Nya, atau mengenai kiamat dan sifat-sifatnya, atau alam gaib dan barzakh, pernyataan seperti yang berikut ini merupakan pengingat, "inilah suatu tanda” atau “inilah tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir” atau “ini adalah tanda-tanda bagi orang yang berakal”. Âyât adalah kata yang penggunaannya dalam ilmu-ilmu dan ajaran-ajaran ini bersifat sangat umum. Namun,

kalau kalimat “ini adalah suatu tanda” disebutkan setelah menyebutkan satu masalah hukurn atau ritual atau setelah satu prinsip moral, tentu tidak tepat. Oleh karena itu, kita tahu bahwa âyât (tanda) adalah sesuatu yang khusus untuk ilmu-ilmu (akal dan jiwa) yang berkaitan dengan doktrin ('ulûm naârip). Begitu pula, karakterisasi âyât sebagai muhkam (kuat, tepat, tidak bermakna ganda) juga sesuai dengan ilmu-ilmu ini, karena ilmu-ilmu ini tunduk pada kriteria intelektual dan

didasarkan pada dalil-dalil rasional yang kuat (burhân muhkam). Namun, ilmu-ilmu lain yang sesuai dengan sifatnya tidak meniliki dalil-dalil rasional yang kuat dan tetap. Alasan mengapa ungkapan faridhah ‘âdilah (kewajiban yang adil) itu menunjukkan ilmu akhlak adalah karena pemberian sifat 'âdilah (adil, moderat, seimbarg) pada kewajiban. Hal itu karena kebajikan (khula hasan), sebagaimana ditunjukkan dalam ilmu itu berdiri antara dua esktrem: keberlebihan dan pengabaian (kekurangan), atau ifrath dan tafrîth, dan kedua ekstrem ini tercela, sedangkan keadilan ('adalah) artinya jalan tengah di antara kedua ekstrem itu, yang bersifat terpuji. Misalnya, keberanian (syaja'ah) yang merupakan salah satu kebajikan pokok dan keutamaan akhlak ditunjukkan oleh posisi tengah antara kesembronoan (tahawwur), yaitu tidak takut saat dibutuhkan rasa takut dan sifat pengecut (jubn) yang sama dengan takut saat tidak layak untuk takut. Begitu pula kearifan (hikmah) juga merupakan satu kebajikan moral yang pokok, titik tengah antara kelicikan (jurbuzah) yang merupakan penggunaan akal pikiran dalam masalah-masalah yang sebenarnya tidak patut menggunakan akal pikiran dan kebodohan, yaitu tidak menggunakan akal pikiran dalam masalah-masalah yang sebenarnya akal pikiran patut digunakan. Begitu pula, membatasi diri ('iffah) dan murah hati (sakhâwah) adalah dua kebajik-

p: 472

an yang ditunjukkan oleh posisi tengah antara iri hati atau tamak (syarah) dan apatis atau kelesuan (khumûd) dan antara boros atau royal (isráf) dan kikir atau bakhil (bukhl). Oleh karena itu, dilekatkannya kata sifat 'âdilah pada farîdhah menunjukkan bahwa ungkapan farîdhah 'âdilah dapat disamakan dengan ilmu akhlak. Lagi pula, istilah farîdhah itu sendiri menegaskan konotasi seperti itu, mengingat farîdhah ini-yang dibedakan dengan sunnah sebagai ilmu ketiga---adalah sesuatu yang dapat diketahui melalui akal seperti juga ilmu akhlak. Keduanya ini berbeda dengan sunnah yang mengandung masalah-masalah yang hanya bersandar

pada ketaatan penuh (taʻabbud) dan tidak dapat dipahami oleh akal. Karena itu, kami katakan bahwa ungkapan sunnah qa'imah merujuk pada ilmu yang didasarkan pada ketaatan-penuh (ta'abbud) dan tata cara syariat yang dalam hadis ini disebut dengan “sunnah yakni perbuatan, sikap, dan perkataan seorang yang ma'shûm. Sifat ilmu demikian ini pada umumnya tidak dapat memahami dasar pemikirannya oleh akal. Penggunaan kata sifat qâ’imah untuk sunnah di sini juga sesuai dengan (pelaksanaan) kewajiban syariat, karena kata iqâmah (pelaksanaan) kewajiban shalat, zakat, dan sebagainya memang cocok untuk sunnah. Kata igâmah ini tidak tepat untuk digunakan dalam kedua ilmu lainnya. Inilah yang dapat dikatakan berkenaan dengan koherensi kalimat-kalimat dalam hadis di atas, dan segala pengetahuan itu ada pada Allah.

Bagian Ketiga

Kini, kami akan menyebutkan pokok persoalan yang kami janjikan sebelumnya, yakni bahwa dalam hadis mulia tersebut ilmu tentang akidah dan makrifat disebut sebagai ayah, dan ayah berarti tanda atau lambang. Alasan penggunaan istilah ini adalah bahwa jika ilmu rasional dan kebenaran doktrinal dipelajari hanya untuk ilmu dan kebenaran itu sendiri; atau hanya untuk menghimpun konsep, istilah dan wacana yang mentereng; atau hanya untuk memperindah diksi dan bahasa di hadapan orang-orang yang lemah pikiran demi mendapatkan status duniawi, semua itu tidak dapat disebut sebagai ayah muhkamah, tetapi harus disebut sebagai tabir-tabir penggelap dan

p: 473

waham-waham palsu. Hal itu karena, kalau tujuan mempelajari ilmu-ilmu tersebut bukan untuk mencapai Al-Haqq, dan bukan untuk merealisasikan (tahaqquz) Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ketuhanan dalam jiwa dan berperilaku seperti yang digambarkan Allah (takhalluq bi akhlâqillah), semuanya itu tak lebih dari ruang bawah neraka dan tabir hitam yang mempergelap hati dan membutakan penglihatan, serta menjadikan orang itu di antara yang terkena hukum dalam

ayat mulia berikut ini:

«وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِکْرِی فَإِنَّ لَهُ مَعِیشَةً ضَنْکًا وَنَحْشُرُهُ یَوْمَ الْقِیَامَةِ أَعْمَی (124)» «قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِی أَعْمَی وَقَدْ کُنْتُ بَصِیرًا (125)» «قَالَ کَذَلِکَ أَتَتْکَ آیَاتُنَا فَنَسِیتَهَا وَکَذَلِکَ الْیَوْمَ تُنْسَی (126)» Namun, barang siapa berpaling dari mengingat-Ku, kehidupannya akan menjadi sempit, dan pada hari kiamat Kami akar. bangkitkan dia dalam keadaan buta. Berkatalah ia, Wahai Tuhanku, mengapa Engkau himpunkan aku dalam keadaan buta padaha! dahulunya aku bisa melihat. Allah berkata, Demikianlah, telah datang kepada-mu ayat-ayat Kami, maka kau melupakannya, dan begitulah (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan.(QS Thâ Hâ (20): 124-126)

Kriteria bagi penglihatan di alam akhirat adalah penglihatan dengan hati. Tubuh dan segenap dayanya akan tunduk pada (keadaan) hati dan akal (lubb). (Karena di alam sana tubuh hanyalah pantulan jiwa), keserasian antara pantulan dan sumbernya menjadi sempurna. Pantulan ketulian, kebutaan, dan kebisuan (fisik) serasi dengan keadaan jiwa dan hati.

Oleh karena itu, jangan dikira bahwa pakar-pakar konsep, istilah, wacana, dan penghafal pelbagai buku benar-benar merupakan orang yang mengenal Allah, para malaikat, dan hari kiamat! Kalau ilmunya merupakan tanda, mengapa ilmu itu tidak menerangi hatinya? Mengapa ilmu itu justru semakin mempergelap hatinya dan merusak akhlaknya? Al-Quran mulia menyebutkan kriteria untuk mengenali ulama sejati dalam ayat berikut:

«وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ کَذَلِکَ إِنَّمَا یَخْشَی اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِیزٌ غَفُورٌ (28)»

Sesungguhnya hanya hamba-hamba Allah yang takut kepada Allah itulah yang berilmu .... (QS Fâthir (35): 28)

Takut kepada Allah merupakan sifat khas ulama (orang berilmu), dan orang yang tidak takut kepada Allah bukanlah ulama. Nah, mari kita lihat diri kita sendiri. Apakah tanda takut kepada Allah ada pada diri kita? Kalau ada, mengapa tak terlihat pengaruhnya pada perilaku lahiriah kita?

p: 474

Dalam kitab Al-Kafi yang mulia, Al-Kulaini meriwayatkan hadis berikut ini dengan sanad kepada Abu Bashir

.قال: سمعت أبا عبد الله علیه السّلام، (خ ل: أبا جعفر) یقول کان أمیر المؤمنین، علیه السّلام، یقول: یا طالب العلم، انّ العلم ذو فضائل کثیرة: فرأسه التّواضع، و عینه البراءة من الحسد، و أذنه الفهم، و لسانه الصّدق، و حفظه الفحص، و قلبه حسن النّیّة، و عقله معرفة الأشیاء و الامور، و یده الرّحمة، و رجله زیارة العلماء، و همّته السّلامة، و حکمته الورع، و مستقرّة النّجاة، و قائده العافیة، و مرکبه الوفاء، و سلاحه لین الکلمة، و سیفه الرّضا، و قوسه المداراة، و جیشه محاورة العلماء، و ماله الأدب، و ذخیرته اجتناب الذنوب، و زاده المعروف، و ماؤه الموادعة، و دلیله الهدی، و رفیقه محبّة الأخیار.

(Abu Bashir) berkata, “Aku mendengar Abu 'Abdillah a.s. (Abu Ja'far, menurut manuskrip lain) bersabda, Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. pernah mengatakan, 'Wahai penuntut ilmu, Ilmu itu memiliki banyak faedah. (Kalau kamu membayangkan faedah itu sebagai manusia) kepalanya adalah rendah hati, matanya adalah keadaan tidak iri hati, telinganya adalah memahami, lidah-nya adalah kejujuran, ingatannya adalah pencarian, hatinya adalah niat baik, akalnya adalah mengetahui (ma'rifah) sesuatu dan masalah, tangannya adalah kasih sayang, kakinya adalah ziarah kepada orang yang berilmu, tekadnya adalah kewarasan, kearifannya adalah wara', tempat tinggalnya adalah keselamatan, pengemudinya adalah kesehatan, tunggangannya adalah kesetiaan, senjatanya

adalah kelembutan tutur bahasa, pedangnya adalah kerelaan, busurnya adalah tenggang rasa, tentaranya adalah diskusi dengan orang-orang berilmu, hartanya adalah sopan santun, ternaknya adalah kejauhan dari dosa, bekal perjalanannya adalah kebajikan, air minumnya adalah kelemah-lembutan, pemandunya adalah petunjuk Allah, dan sahabatnya adalah kecintaan kepada orang-orang yang terbaik (al-akhyâr).(1)

p: 475


1- 3. Al-Kulaini, op. cit., bâb al-nawâdir, hadis No. 3.

Yang disebutkan oleh Amir Al-Mukminin a.s. di atas adalah tanda-tanda ulama dan pengaruh-pengaruh ilmu yang sejati. Oleh karena itu, jika seseorang mengetahui ilmu-ilmu tradisional (al-'ulûm al- rasmiyyah), tetapi tidak memiliki hal-hal tersebut di atas, dia harus menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa tentang ilmunya. Dia tak lebih dari orang bodoh dan sesat, dan di akhirat konsep-konsepnya dan karya-karya ilmiahnya yang masing-masingnya merupakan perwujudan kebodohan ganda akan membuatnya buta, dan penyesalannya di hari kiamat akan merupakan sebesar-besarnya penyesalan.

Dengan demikian, kriteria ilmu adalah keniscayaannya menjadi tanda dan lambang (dari objek yang diketahui) dan tidak boleh ada keakuan dan egoisme di dalamnya. Manakala seseorang memperoleh lmu, keakuan dan egoismenya menghilang, bukannya malah menjadi penyebab kesombongan, kecintaan pada diri, dan keangkuhan. Kemudian, hadis mulia di atas memberikan sifat muhkamah (mantap, pasti) pada ilmu, lantaran ilmu yang benar memancarkan cahaya ke dalam hati dan menghilangkan keraguan dan ketidakpastian. Bisa saja terjadi seseorang menghabiskan hidupnya untuk mempelajari premis-premis dan argumen-argumen, dan melontarkan berbagai dalil dan argumen untuk memperkuat doktrin-doktrin Ilahiah serta mengalahkan rekan-rekannya dalam perdebatan, tetapi semua ilmu

itu tidak memberikan kesan dan pengaruh di dalam hatinya. Orang seperti itu bukan saja tidak memperoleh keyakinan, bahkan ilmunya semakin membuatnya ragu-ragu, bimbang, dan ambigu. Karenanya, semata-semata mengumpulkan konsep dan istilah tidak bermanfaat sama sekali, kalau tidak malah hal itu membuat hatinya sibuk dengan selain Allah dan membuat orang yang berilmu itu melalaikan Allah Mahasuci. Saudaraku yang terhormat, obat paling mujarab agar ilmu kita itu benar-benar untuk Allah ialah bersegera melakukan mujahadah di dalam diri dan dengan disiplin ruhani yang tinggi berupaya untuk mengikhlaskan niat ketika hendak mempelajari ilmu tertentu. Modal utama dan sumber cahaya (Ilahi) terletak pada pengikhlasan niat dan tujuan yang ikhlas:

p: 476

Hadis tentang Klasifikasi Ilmu

من أخلص لله أربعین صباحا جرت ینابیع الحکمة من قلبه علی لسانه

“Barang siapa yang ikhlas kepada Allah selama empat puluh hari, mata air kearifan akan memancar dari hatinya ke lidahnya.(1)

Itulah pengaruh dan manfaat bersikap ikhlas selama empat puluh hari. Namun, di sini kita selama empat puluh tahun atau lebih hanya berupaya mengumpulkan istilah-istilah dan konsep-konsep yang berkaitan dengan setiap disiplin. Bilamana engkau menganggap dirimu sebagai 'allamah dan termasuk dalam tentara-tentara Allah, padahal engkau tidak menemukan sedikit pun kearifan pada hatimu sendiri dan juga tak sedikit pun merasakan kearifan itu pada lidahmu, ketahuilah bahwa ilmu dan usahamu itu tidak disertai niat yang ikhlas. Sebaliknya, engkau hanya berupaya demi tujuan-tujuan setan dan egoistik. Nah, kalau engkau melihat bahwa ilmu-ilmu ini tidak melahirkan kualitas ruhani di dalam dirimu, ujilah keikhlasan niat dan kesucian hatimu dari berbagai nista dan kotoran. Kalau engkau mulai

melihat hasilnya, teruskanlah. Sekalipun motivasi untuk menguji keikhlasan ini sendiri belum tentu berasal dari keikhlasan, usaha seperti itu tetap dapat memasukkan secercah cahaya (Ilahi) yang akan memandumu.

Betapapun engkau memerlukan doktrin-doktrin Allah dan ilmu-ilmu sejati dan juga akhlak yang baik serta amal saleh dan seberapa pun kebutuhanmu terhadap semua itu, berusahalah untuk meningkatkan keikhlasanmu dan bersihkan angan-angan egoistis dan bisikan setan dari hatimu. Tentu saja, hal itu akan memberikan hasil untuk-mu, dan engkau akan menemukan jalan menuju realitas, dan jalan bimbingan akan terbuka untukmu. Semoga Allah akan menolongmu. Hanya Allah yang tahu, kalau kita meninggalkan dunia ini dengan ilmu palsu dan sia-sia ditambah dengan angan-angan rendah dan akhlak yang buruk untuk menuju ke akhirat, bencana dan kepedihan macam apakah yang menanti kita, dan jalan sempit serta lubang neraka seperti apa yang akan kita temui, serta kegelapan, ketakutan,

serta kobaran api seperti apakah yang dipersiapkan oleh ilmu dan akhlak buruk kita ini untuk kita kelak!

p: 477


1- 4. Lihat 'Allamah Bahr Al-'Ulum, Risalah fi Al-Sair wa Al-Sulûk, 22-23, catatan kaki.

Bagian Keempat

Sang muhaqqiq di kalangan para filosof, Shadr Al-Hukama' Al-Muta’allihin (bapak para teosof, yaitu Mulla Shadra) —semoga Allah menyucikan jiwanya dan melipatgardakan pahalanya--dalam Syarh Ushûl Al-Kâfî memuat kutipan panjang dari Syaikh Al-Ghazali mengenai pembagian ilmu menjadi ilmu “duniawi” dan ilmu “ukhrawi”. Al-Ghazali menempatkan ilmu fiqih dalam ilmu-ilmu “duniawi", serta membagi ilmu-ilmu "ukhrawi" menjadi ilmu mukâsyafah (pemahaman dan in-

tuisi miştis) dan ilmu muamalah (perilaku, hubungan, dan pergaulan sosial; dalam Al-Ghazali, ilmu penyucian akhlak dan pembinaan spiritual).

Al-Ghazali menganggap ilmu mu'âmalah sebagai ilmu tentang keadaan-keadaan hati, dan ilmu mukâsyafah yakni sebagai cahaya yang diperoleh hati yang telah suci dari segala siſat hina Melalui cahaya itu, tersingkaplah pelbagai hakikat, sehingga pengetahuan sejati tentang Allah, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya juga tindakan-tindakan-Nya, serta kearifan di balik itu semua didapatnya, dan kebenaran-kebenaran lain pun diketahuinya.

Nah, mengingat sang otoritas (yaitu Mulla Shadra) menerima pembagian itu berkenaan dengan hadis ini sambil mengatakan bahwa "Tampaknya pembagian dan batasan yang dibuat oleh Rasulullah Saw. di atas terkait dengan ilmu-ilmu mu'âmalah. Sebab, ilmu-ilmu inilah yang dimanfaatkan oleh kebanyakan orang, sedangkan ilmu-ilmu mukâsyafah hanya bisa diketahui oleh sedikit orang, dan mereka itu jarang, lebih jarang dibandingkan dengan obat mujarab untuk

segala penyakit (hibrit ahmar), sebagaimana juga ditunjukkan oleh hadis-hadis dalam bab Al-Imân wa Al-Kufr”. Begitulah ringkasan dari perkataan Mulla Shadra sehubungan dengan hadis yang sedang kita bahas. Penulis ini (Imam Khomeini-peny.) melihat ada ambiguitas dalam pernyataan Syaikh Al-Ghazali, dan jika itu dibenarkan, akan tetap ada hal lain yang tidak dapat diterima dalam pernyataan Akhund (yaitu Mulla Shadra), semoga rahmat Allah dicurahkan atasnya. Ada-

pun keberatan terhadap pernyataan Mulla Shadra-dengan asumsi

p: 478

bahwa pernyataan-pernyataan Al-Ghazali benar adanya—ialah bahwa Al-Ghazali memandang ilmu mu'âmalah berkaitan dengan keadaan- keadaan hati; yaitu kualitas-kualitas yang membawa keselamatan, seperti sabar, bersyukur, takut, berharap, dan seterusnya, juga kualitas-kualitas yang membawa kebinasaan, seperti iri hati, menipu, dengki, dan seterusnya. Oleh karena itu, tiga ilmu yang disebutkan oleh Rasul Allah Saw. tidak hanya menyangkut ilmu-ilmu mu'âmalah; kecuali

satu, yaitu farîdhahâdilah, seperti yang telah diterangkan secara terperinci pada bagian sebelumnya.

Bagaimanapun, ada dua keberatan yang dapat diajukan terhadap pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Ghazali. Pertama, beliau menganggap ilmu fiqih termasuk dalam ilmu-ilmu duniawi dan faqih termasuk di antara pakar-pakar duniawi, padahal ilmu fiqih adalah salah satu ilmu akhirat yang paling bernilai. Ambiguitas ini terjadi karena kecin taan pada diri sendiri dan kecintaan pada disiplin yang dia anggap dirinya sebagai ahli di dalamnya, yaitu ilmu akhlak dalam arti yang biasa digunakan. Oleh karena itu, dia menepis disiplin-disiplin lain, termasuk ilmu-ilmu rasional (seperti filsafat). Kedua, dia melihat mukâsyafah sebagai bagian dari ilmu dan memasukkannya dalam klasifikasi yang dibuatnya. Hal ini bertentangan dengan fakta karena yang bisa dianggap sebagai ilmu adalah sesuatu yang dapat diselidiki,

direnungkan, dipikirkan, dan dibuktikan secara demonstratif dan rasional. Sebaliknya, mukâsyafah dan musyâhadah adakalanya didapat sebagai hasil dari ilmu-ilmu doktrinal ('ulûm haqiqiyyah) dan adakalanya didapat sebagai hasil dari tindakan-tindakan hati (a'mâl qalbiyyah). Singkat kata, musyahadah, mukâsyafah, dan realitas Nama-Nama serta Sifat-Sifat tidak boleh dimasukkan dalam klasifikasi ilmu karena keduanya terpisah secara jelas sekali.

Bagian Kelima

Ketahuilah bahwa banyak di antara ilmu-ilmu itu, dari satu segi, termasuk satu di antara golongan yang disebutkan oleh Rasul Allah Saw. Misalnya, ilmu kedokteran, ilmu anatomi, ilmu astronomi, ilmu astrologi, dan sebagainya, apabila dipandang sebagai tanda-tanda dan simbol-simbol Allah, dan ilmu sejarah, dan sebagainya, apabila dipan

p: 479

dang sebagai sarana untuk mengambil pelajaran, termasuk ayatun muhkamah karena melalui ilmu-ilmu itu Allah dapat diketahui atau hari kiamat dapat diketahui, serta dapat dikukuhkan kebenarannya. Kadang-kadang mempelajari ilmu itu termasuk faridhah 'âdilah, dan terkadang sunnah qâ'irr.ah. Namun, kalau kita mempelajarinya demi ilmu itu sendiri atau demi maksud lain, dan kalau sampai membuat kita melalaikan ilmu-i.mu akhirat, hal itu tercela karena niat yang bersifat aksidental bagi ilmu tersebut (madzmûm bi cl-'aradh). Kalau tidak, tidak membawa manfaat dan tidak pula mudarat, sebagaimana ditunjukkan oleh Rasul Allah Saw. Dengan demikian, semua ilmu dapat dibagi menjadi tiga jenis:

pertama, ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi perkembangan tahap-tahap eksistensi manusia sebagai tujuan akhir penciptaan. Inilah kelompok yang oleh Nabi Terakhir dianggap sebagai ilmu, dan beliau membaginya menjadi tiga bagian. Kedua, ilmu-ilmu yang merugikan manusia dan membuat manusia melalaikan kewajiban-kewaiban pokoknya. Jenis ini berupa ilmu-ilmu yang tercela seperti sihir, sulap, alkemia, dan sebagainya–beliau menganjurkan kita untuk ricak mempelajarinya. Ketiga, ilmu-ilmu yang tidak membawa mudarat dan tidak pula membawa manfaat. Inilah ilmu-ilmu yang kita pe ajari ketika kita ada waktu luang demi menghibur diri, seperti maternatika, geometri, astronomi, dan sebagainya. Jauh lebih baik kalau kita dapat mengaitkan pencarian ilmu-i mu (jenis ketiga) ini dengan tiga ilmu (yang disebutkan oleh Nabi), kalau tidak, lebih baik kita menghindarinya. Hal itu karena apabila orang yang berpikiran sehat tahu bahwa dirinya tidak dapat mempelajari semua ilmu itu dan tidak dapat memperoleh semua kesempurnaannya karena masa hidup yang singkat, kurang tersedianya waktu dan banyaknya rintangan, dia akan merenungkar dan menyibukkan diri mencari ilmu-ilmu yang bermanfaat baginya. Tentu saja, ilmu yang paling bermanfaat adalah yang paling bermanfaat bagi kehidupan ruhani dan abadi, dan ilmu yang diperintahkan oleh para nabi a.s. untuk dicari dan dipelajari. Ilmu seperti itu ada tiga, seperti yang telah disebutkan di atas. Segala puja dan puji bagi Allah Taala. [1]

p: 480

25 Hadis tentang Was-was

Point

بسندی المتّصل إلی شیخ المحدّثین و أفضلهم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رحمه الله تعالی، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، عن ابن محبوب، عن عبد الله بن سنان، قال ذکرت لأبی عبد الله، علیه السّلام، رجلا مبتلی بالوضوء و الصّلاة، و قلت: هو رجل عاقل. فقال أبو عبد الله، علیه السّلام: و أیّ عقل له و هو یطیع الشّیطان؟ فقلت له: و کیف یطیع الشّیطان! فقال: سله هذا الّذی یأتیه من أیّ شی ء هو، فإنّه یقول لک: من عمل الشّیطان.

Melalui sanadku yang bersambung sampai ke syaikh para ahli hadis dan yang terbaik di antara mereka, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini--semoga Allah Taala merahmati beliau—yang meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Ibn Mahbub, dari ‘Abdullah ibn Sinan yang mengatakan,

“Aku sebutkan kepada Abu `Abdullah a.s. tentang seseorang yang mendapat kesulitan karena waswas dalam wudhu dan shalatnya, lalu aku tambahkan bahwa dia itu orang yang pandai. Lalu, Abu *Abdullah bersabda, “Apa bisa disebut pandai jika dia mematuhi

p: 481

setan?' Kataku, 'Bagaimana dia bisa disebut mematuhi setan?' Imam menjawab, “Tanyakan kepadanya, maka dia akan menjawab bahwa (waswas) itu adalah pekerjaan setan.(1)

Ketahuilah bahwa waswasah (waswas), keraguan, kehilangan iman, syirik, dan sejenisnya, berkaitan dengan sugesti setan dan insinuasi iblis

yang ditiupkan ke dalam hati manusia. Sebaliknya, keyakinan, ketetapan, keikhlasan, ketenangan hati, dan sejenisnya terjadi berkat ilham Ilahiah (ifâdhah rahmâniyyah) dan bisikan malaikat (ilqa'ah malakiyyah). Singkat kata, hati manusia adalah realitas halus yang menghubungkan alam mulk (wadag) dan malakût (ruhani), alam dunia dan alam akhirat. Satu sisinya menghadap ke alam mulk dan dunia untuk memakmurkan aspek jasmani dari kehidupan, dan sisi lainnya meng-

hadap ke alam akhirat, malakût, dan kegaiban untuk memakmurkan kehidupan ruhani (malakûtî)-nya. Oleh karena itu, hati ibarat cermin bersisi dua. Salah satu sisinya menghadap ke dunia gaib dan pada sisi inilah memantul bentuk-bentuk gaib, sedangkan sisi lainnya menghadap ke alam syahadah (alam fenomenal), dan pada sisi inilah memantul bentuk-bentuk mulkî dan duniawi. Bentuk-bentuk fenomenal (duniawi) tampak pada indra-indra lahiriah dan sebagian daya kognitif (untuk mengetahui) batin seperti khayal dan wahm (fantasi). Bentuk-bentuk akhirat tampak pada akal batin dan rahasia terdalam (sirr) hati. Kalau aspek duniawi hati dan perhatiannya pada pemakmuran hal-hal duniawi menjadi lebih kuat, sisi batin imajinasi akan menjadi sangat akrab dengan alam maiakût yang rendah (malakût suflâ) yang merupakan pantulan gelap dari alam mulk dan thâbiah (tabiat, perangai, natur) (di alam malakût--seperti alam jin, setan, dan ruh jahat). Karena keakraban (dengan alan malakût rendah) ini, bisikan-bisikan yang terdengar di dalamnya merupakan bisikan-bisikan setan yang menjadi sumber pikiran-pikiran tidak beralasan dan fantasi-fantasi liar. Jiwa mengembangkan hasratnya pada angan-angan tak berdasar ini karena ia tenggelam dalam hal-hal duniawi, dan kehendak serta fakultasnya untuk membuat keputusan menjaci tunduk semata-mata pada hal-hal duniawi. Akibatnya, segenap perilaku ruhani dan jasmani orang yang bersangkutan menjadi bagaikan setan, seperti sifat waswas, keraguan, ketidakpastian, maju-mundur, dan

p: 482


1- 1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, I, kitab al-'aql wa al-jahl, hadis No. 10.

fantasi-fantasi kosong. Aktivitas jasmani orang ini terfokus pada hal- hal duniawi, karena aktivitas jasmani merupakan gambaran kehendaknya, dan kehendak merupakan gambaran angan-angan dan fantasi yang mengikuti arahan hati. Oleh karena itu, kalau hati mengarah ke alam setan, bisikan yang diterimanya bersifat setani, yang menyebabkan kebodohan kompleks (jahl murakkab). Akibatnya, waswas, keraguan, syirik, dan kemenduaan muncul dari dalam diri orang itu dan pada akhirnya akan mewarnai seluruh aspek jasmaninya. Selaras dengan analogi yang sama, kalau hati mengarah ke pemakmuran akhirat dan makrifat-makrifat yang benar, perhatiannya akan diarahkan ke alam gaib, dan hati menjadi akrab dengan malakût yang tinggi, alam malaikat, dan ruh-ruh suci yang merupakan bayangan

terang dari alam thâbi'ah, Pengetahuan yang tertanam di dalam hati menjadi bersifat Ilahi dan malaikat, seperti yang dikukuhkan oleh akidah yang benar, dan pikirannya muncul dari ilham Ilahi yang tidak tercemari oleh keraguan dan syirik. Akibatnya, di dalam jiwa tercipta keadaan mantap dan bahagia. Keinginan dan kecenderungannya menjadi selaras dengan makrifat yang seperti itu, sehingga perilaku batiniah dan lahiriah, ruhani dan jasmaninya menjadi selaras pula dengan kriteria akal dan kearifan. Bisikan-bisikan setan, malaikat, dan Ilah memiliki beberapa tahap dan maqâm, yang tidak tepat untuk diuraikan di sini. Sebagian hadis mulia, seperti hadis yang diriwayatkan dalam Majma' Al-Bayân dari Al-Ayyasyi berikut ini, memperlihatkan keabsahan apa yang telah disebutkan.

روی العیّاشی بإسناده عن أبان بن تغلب، عن جعفر بن محمّد، علیهما السّلام، قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: ما من مؤمن إلّا و لقلبه فی صدره أذنان: أذن ینفث فیها الملک، و أذن ینفث فیها الوسواس الخنّاس. یؤیّد الله المؤمن بالملک، و هو قوله سبحانه: «وَ أَیَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ.

Al-'Ayyasyi meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Aban ibn Taghlib dari Ja'far ibn Muhammad a.s. yang mengatakan, “Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada orang Mukmin yang hatinya tidak memiliki dua telinga; malaikat membisikkan ke salah satu telinganya, dan

p: 483

pembisik (setan) yang mundur maju (al-waswas al-khannâs) membisiki telinga lainnya. Allah menguatkan sang Mukmiin dengan sarana malaikat dan itulah yang dimaksudkan oleh firman-Nya, وَأَیَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَیُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِی (22)»' Dan Dia menguatkan mereka dengan satu ruh dari-Nya." (QS Al-Mujadilah (58): 22)(1)

Inilah hadis lain dari Majma' Al-Bahrain:

إنّه قال: الشّیطان واضع خطمه علی قلب ابن آدم، له خرطوم مثل خرطوم الخنزیر، یوسوس لابن آدم أن أقبل علی الدّنیا، و ما لا یحلّ الله. فإذا ذکر الله خنس

Beliau (yaitu Nabi) bersabda, “Setan meletakkan hidungnya yang seperti moncong bagi ke hati anak Adam, dan mendorongnya untuk berpaling menuju dunia dan apa yang telah diharamkan oleh Allah. Namun, kalau dia ingat pada Allah, setan menyelinap kabur.(2)

Dan terdapat hadis-hadis lain yang serupa.

Penjelasan Sederhana mengenai Sifat Waswas

Setelah kita mengetahui melalui ajaran-ajaran kaum 'arif bahwa was-was merupakan pekerjaan setan-seperti yang disebutkan dalam hadis mulia di atas dan hadis-hadis lain yang serupa—kami merasa perlu menjelaskan masalah ini dengan cara yang lebih dapat dipahami oleh pikiran orang kebanyakan dan lebih mengena pada hati mereka. Sekalipun uraian di atas sejalan dengan prinsip-prinsip rasional dan filosofis dan pengalaman mistis kaum 'arif, penjelasan itu membutuhkan pada sejumlah pemaparan premis yang berada di luar lingkup buku ini. Karena itu, kami tidak akan meneruskannya, tetapi akan menguraikannya dengan cara sebagai berikut. Waswas dan tindakan-tindakan yang diakibatkannya merupakan pekerjaan setan yang dibisikkan oleh makhluk terkutuk itu. Tidak

ada motif keagamaan atau kesalehan di dalam waswas—lantaran pertentangan tindakan-tindakan itu dengan hukum-hukum syariat dan hadis-hadis para Imam Ahl Al-Bait yang maksum-meskipun

p: 484


1- 2. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân, X, 571.
2- 3. Majma' Al-Bahrain, di bawah “خنس", jil 2. h 707.

penderita mungkin secara keliru percaya bahwa tindakannya bermotifkan keagamaan atau kesalehan Misalnya, telah disebutkan dalam hadis-hadis mutawatir dari Ahl Al-Bait a.s. bahwa wudhunya Rasulullah Saw. berupa sekali basuhan (pada wajah dan lengan). Dalam fiqih, merupakan suatu fakta tak terbantahkan bahwa membasuh wajah, lengan kanan, dan lengan kiri, masing-masing sekali basuhan dengan satu ghurſah (segenggam) air sudah cukup. Namun, di antara faqih terjadi perselisihan mengenai dibolehkannya menggunakan dua ghurfah. Dapat disimpulkan dari penulis Al-Wasâ’il bahwa beliau menyatakan hal itu sebagai tidak dibo-

lehkan atau setidaknya beliau meragukan kebolehannya. Meskipun, sebagian berpendapat sebaliknya, yakni diperbolehkannya melakukan dua basuhan tanpa ragu-ragu. Bahkan, pendapat yang masyhur di kalangan faqih dan ditunjang oleh banyak hadis menunjukkan bahwa melakukan dua basuhan sebagai istihbâb. Memang, tidaklah mustahil kalau satu basuhan yang sempurna membasahi bagian-bagian yang wajib dibasuh lebih dianjurkan. Namun, yang tidak perlu diragukan lagi ialah bahwa tiga kali basuhan-yaitu membasuh bagian-bagian yang harus dibasuh tiap kali sedemikian sehingga bagian-bagian itu sepenuhnya basah oleh air-adalah haram dan bid'ah yang membatalkan wudhu kalau air hasil basuhan itu sampai ikut terpakai untuk mash (pengusapan bagian-bagian yang wajib diusap dan bukan

dibasuh seperti kepala dan kedua kaki-peny.) Disebutkan dalam hadis-hadis Ahl Al-Bait a.s. bahwa basuhan ketiga dalam wudhu itu bid'ah, dan bahwa setiap bid'ah itu mengakibatkan neraka. Dalam kasus ini, orang jahil yang mengidap waswas akan membasuh setiap bagian sampai sepuluh kali dengan mengalirkan air ke

seluruh bagian yang harus dibasuh dengan amat cermat, atau dia pertama-tama membasahi seluruh bagiannya dengan sempurna sehingga air menyebar sepenuhnya dan tercapailah pembasuhan yang sah, dan kemudian mengulangi tindakan ini berkali-kali. Kriteria apa yang menjadi landasan tindakannya ini? Hadis dan fatwa mana yang membenarkannya? Orang yang celaka ini berarti melakukan shalat yang tidak sah karena batalnya wudhu seperti itu, selama dua puluh tahun, dan menganggap dirinya amat saleh dan bersih di mata

p: 485

orang. Sementara setan mempermainkannya, dan hawa nafsu terus mengecohnya, dia mencari-cari kesalahan orang lain, dan menganggap dirinyalah yang benar.

Haruskah sesuatu yang bertentangan dengan nash mutawâtir yang terang dan kosensus (iima) ulama dianggap sebagai kesalehan dan kesucian diri yang sempurna, atau pekerjaan setan? Kalau tindakan itu adalah sesuatu yang diilhami oleh sikap takut kepada Allah dan berhati-hati dalam agama, mengapa kebanyakan orang yang menderita waswas dan berpura-pura suci itu tidak berbuat hati-hati dalam masalah-masalah yang memerlukan kehatian-hatian (ihtiyath) dan dianjurkan

untuk berhati-hati? Pernahkah engkau temui penderita waswas yang juga waswas dalam masalah harta yang meragukan? Pernahkah kita menjumpai penderita waswas yang membayar khumus lima kali lipat dari yang diwajibkan, atau pergi haji beberapa kali? Atau berpantang dari makanan yang masih diragukan halal haramnya? Mengapa kaidah ashâlah al-hilliyah(1) berlaku dalam kasus-kasus seperti itu, sedangkan kaidah ashâlah al-thahârah(2) tidak berlaku sekalipun dalam masalah yang bertalian dengan thahârah (kesucian) itu sendiri? Padahal, ada alasan lebih kuat untuk menjauhi hal-hal yang halal-haramnya masih diragukan-sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadis mulia, seperti hadis tatslist(3)---sedangkan dalam masalah-masalah thaharah, hukumnya justru sebaliknya. Salah satu Imam maksum pernah menyiramkan air dengan tangannya yang diberkati ke atas pahanya yang diberkati pada saat membuang hajat (seperti kencing) sedemikian sehingga mungkin saja terdapat percikan yang tidak terlihat. Namun, orang malang yang menganggap dirinya pengikut para Imam maksum ini dan mengikuti ajaran-ajaran mereka tidak berpantang dari apa pun dalam masalah-masalah yang menyangkut pendapatan dan pengeluaran harta. Dia melahap makanan (tanpa mempertanyakan kehalalannya) dengan bersandar pada kaidah ashalah al-thahârah, dan setelah makan, dia membersihkan mulut dan tangannya. Jadi, dalam soal makan dan minum, dia bersandar pada kaidah ashålah al-thaharah, tetapi setelah makan, dia menyatakan bahwa segala hal najis. Dalam angan-angannya, dia menganggap dirinya itu alim dan pandai, lalu dia mengatakan

p: 486


1- 4. Ashalat al-hilliyyah artinya aturan bahwa setiap sesuatu itu halal kecuali ada bukti yang menunjukkan keharamannya.
2- 5. Ashâlah Al-Thahârah artinya aturan bahwa apabila ragu mengenai kesucian sesuatu yang diketahui pasti suci sebelum terjadi keraguan, keraguan itu tak berkonsekuensi dan supaya diabaikan.
3- 6. Hadis tatslits menunjuk ke hadis berikut ini yang dicatat dalam Wasâ’il Al- Syi'ah, XVIII, 114: Al-Kulaini (dalam Al-Kafi, I, 67, hadis No. 10) meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Muhammad ibn Al-Husain, dari Muhammad ibn Isa, dari Shafwan ibn Yahya, dari Daud ibn Al-Husain, dari 'Umar ibn Hanzhalah bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata (dalam sebuah hadis yang panjang), “Segala hal itu dibagi menjadi tiga golongan: yang kehalalannya sudah jelas dan karenanya diikuti; yang keharamannya sudah jelas dan karenanya dihindari; dan yang meragukan, mengenai bagaimana hal itu, merujuklah kepada Allah dan RasulNya. Rasulullah Saw. bersabda, 'Ada sesuatu yang jelas-jelas halal (halál bayyin) dan sesuatu yang jelas-jelas haram (harâm bayyin), dan di antara keduanya ini adalah hal-hal yang meragukan (syubhah). Orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan, diselamatkan dari jatuh ke dalam hal-hal yang haram, orang yang mendekatkan diri dengan hal-hal yang meragukan, akan jatuh ke dalam hal-hal yang haram dan binasa tanpa mengetahuinya.' Pada akhir hadis, Imam menyatakan, Menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan itu lebih baik dibandingkan dengan menerjunkan diri ke dalam apa yang membinasakan.” Hadis yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Shaduq dalam Man Lâ Yahdhuruhú Al-Faqih, III, 5, hadis No. 2 dengan isnád-nya dari Daud ibn Al-Husain, dan oleh Al-Syaikh Al-Thusi dalam Al-Tahdhib, IV, 301, hadis No. 52. Ini disebut hadits tatslits karena di dalamnya disebutkan “tiga perkara” (umûr tsalatsah).

bahwa dia ingin melakukan shalat dengan thaharah yang sejati. Sejujurnya, pengaruh shalat dengan thaharah yang sejati merupakan sesuatu yang masih belum jelas, dan para faqih—semoga Allah meridhai mereka juga tidak pernah mengetahuinya. Orang seperti itu perlu ditanya, kalau kamu memang suka dengan thaharah yang sejati, mengapa kamu tidak juga suka dengan hilliyyah (kehalalan) yang sejati? Seandainya saja dia suka mencapai thaharah yang sejati, lantas apa

tujuannya dia membasuh sepuluh kali dengan air kurr (kira-kira sebanyak 5 galon) atau air yang jari (mengalir)? (Untuk mendapatkan thahârah, cukuplah kita membasuh letak yang najis dengan air jârî sekali atau dengan air kurr sekali. Bahkan kalau penyebabnya itu air kencing, menurut pendapat masyhur, cukup untuk membasuh sekali dengan air kurr, dan menurut pendapat ijmâ', cukup membasuhnya dua kali.) Basuhan berkali-kali ini tidak lain diilhami oleh setan dan diri yang menipu untuk dipakai sebagai modal berlagak suci di hadapan diri sendiri atau orang lain. Yang lebih buruk dan lebih memalukan dibandingkan dengan semua itu adalah waswas dalam hubungannya dengan niat dan takbîrah al-ihrâm (takbir untuk memulai shalat), karena penderita waswas semacam ini melakukan beberapa muharramât sekaligus, sementara mereka merasa saleh dan menganggap perbuatan seperti ini membawa kebaikan bagi diri mereka. Niat adalah sesuatu yang

tanpanya manusia tidak dapat menunaikan tindakan yang disengajanya, dan itulah sesuatu yang harus menyertai semua tindakan yang disengaja. Manusia tidak mungkin melaksanakan suatu perbuatan, ritual ataupun nonritual, tanpa disertai niat tertentu. Namun, selaras dengan keiblisan jiwa dan tingkat dominasi setan atas diri mereka, para penderita waswas membuang-buang satu atau beberapa jam hanya untuk mendapatkan apa yang merupakan suatu kemestian yang tidak boleh dilewatkan, dan pada akhirnya biasanya tetap saja mereka tidak mencapai suatu niat! Haruskah masalah ini dianggap sebagai hasil bisikan setan dan pekerjaan iblis terkutuk yang mengendalikan orang yang malang ini dan yang menyembunyikan apa yang memang benar-benar sebagai kemestian dari suatu tindakan sehingga

orang yang malang ini terlibat dalam banyak muharramât seperti

p: 487

membatalkan shalat, mengabaikannya, dan membiarkan waktu shalat berlalu-atau hal itu merupakan sesuatu yang didorong oleh kesucian batin dan ketakwaan?

Jenis waswas yang lain berkaitan dengan penolakan untuk shalat berjamaah di belakang imam yang ‘âdil sebagaimana dianjurkan oleh nashsh dan fatwa, yakni seseorang yang menjaga kesalehan perilaku lahiriah dan patuh kepada syariat. Akan halnya kualitas batin seseorang, kita tidak akan mengetahui karena hanya Allah yang tahu bagaimana persisnya, sehingga tidak perlu dan bahkan tidak patut kita meneliti dan mengamatinya terlalu jauh. Penderita waswas yang dikendalikan oleh setan lebih suka menjauhkan diri dari jamaah dan melakukan shalat sendirian di sudut masjid. Dia memberikan pembenaran untuk tindakannya itu seperti, “aku khawatir” dan “itu tidak memuaskan diriku”, dan sebagainya. Padahal, dia sendiri tak pernah khawatir atau ragu-ragu untuk mengimami shalat jamaah, sekalipun pekerjaan menjadi imam itu jauh lebih sulit dan lebih mengkhawatirkan. Namun, tidaklah dia merasa ragu atau khawatir di sini karena hal itu sesuai dengan tujuan egoistis yang menguasai dirinya.

Di antara jenis waswas yang lebih umum adalah waswas yang berkaitan dengan bacaan (qirâ’ah) dalam shalat, yang karena upaya berulang-ulang dan berlebihan untuk memfasih-fasilkan bunyi-bunyi huruf sering melanggar aturan membaca yang benar, atau bentuk kata berubah sepenuhnya. Misalnya, kata dhâllîn dibaca oleh sebagian orang sedemikian rupa sehingga dzâd berbunyi seperti gaf. Memfasih-fasihkan hâ' dalam rahmân, rahim, dan kata-kata lain sedemikian rupa sehingga terdengar bunyi yang aneh, dan huruf-huruf dalam sebuah kata sedemikian terpisah satu dengan yang lainnya sampai-sampai bentuk dan akar katanya sepenuhnya berubah dan tidak lagi seperti bentuk aslinya. Akhirnya, segenap aspek spiritual dan rahasia-rahasia Ilahi shalat yang merupakan kenaikan ruhani (mi'raj) orang

Mukmin, sarana untuk mendekatkan diri (kepada Allah) bagi orang saleh, dan tiang keimanan, menjadi terlalaikan karena segenap perhatian dicurahkan pada “hal-hal yang mengenakkan” dalam bacaan. Sekalipun begitu, pelafalan kata tetap saja salah sehingga bacaan tidak

p: 488

sesuai dengan ketentuan syariat. Mengingat hal ini, haruskah (obsesi buruk dengan bacaan) ini dianggap sebagai waswas setan atau ilham Ilahi pada penderita waswas yang berlagak suci? Meskipun ada hadis-hadis yang berkaitan dengan hadirnya niat dan perhatian hati selama shalat, orang sial yang mengerti teori dan praktik menghadirkan hati saat shalat lebih terobsesi dengan waswas dalam niat atau bacaan vokal panjang wus dan memilinkan mulut, mata, dan wajahnya

ketika memvokalkan kata-kata tersebut. Bukankah petaka besar kalau seseorang selama bertahun-tahun melalaikan hadirnya hati dan obat untuk pikirannya yang terganggu, tanpa pernah memikirkan bagaimana mengambil langkah dalam hal ini, tanpa menganggapnya sebagai salah satu segi penting ibadah dan tanpa mempelajari cara memperolehnya dari para ahli hati? Bukankah bencana kalau pengabaian ini menyebabkannya terobsesi dengan kebatilan-kebatilan, dan menganggap semua itu sebagai kesalehan dan kesucian batin? Waswas merupakan “pekerjaan pembisik terkutuk” menurut teks Kitab Suci dan “pekerjaan tangan setan” menurut hadis para shâdiqûn-alaihim al-salam dan kalau beribadah berdasarkan “pekerjaan tangan setan” itu, batallah ibadahnya menurut keputusan para faqih. Acapkali waswas muncul dan bertambah kuat pada seseorang akibat ulah orang-orang bodoh penderita waswas yang menganggapnya sebagai salah satu keutamaan. Misalnya, orang-orang bodoh ini lalu memuji kesalehan, kesucian, dan ketakwaan penderita waswas dengan mengatakan bahwa “karena sedemikian religius dan bertakwanya dia sehingga timbul waswas pada dirinya”, meskipun waswas bukan saja tidak berhubungan dengan kesalehan, melainkan juga berten-

tangan dengan kesalehan dan terjadi karena kebodohan dan kedunguan. Namun, karena mereka tidak mengatakan apa yang sebenarnya dan tidak menolaknya, malah sebaliknya mereka memuji dan menyanjungnya, dia terus melakukan keburukan ini sampai pada puncaknya ia menjadikan dirinya sebagai mainan di tangan setan dan bala tentaranya yang menjauhkannya dari kelompok orang-orang suci yang dekat dengan Allah.

p: 489

Saudaraku, setelah kauketahui melalui akal dan hadis bahwa waswas adalah kerjaan setan dan bahwa lintasan-lintasan pikiran seperti itu merupakan bisikan iblis yang membatalkan amal-amal kita dan memalingkan hati kita dari Allah Taala, bersikaplah waspada! Sebab, waswas tidak saja akan mengganggu perbuatan, tetapi juga bisa merasuk ke dalam keimanan dan keyakinan, dan dengan demikian menjauhkan jalan hidupmu dari agama Allah. Dengan menjadikanmu ragu dengan keimananmu kepada Allah dan hari kiamat, waswas akan membawamu pada kebinasaan abadi. Karena gagal menyesatkan orang sepertimu melalui kebejatan dan keſasikan, setan menyesatkanmu melalui peribadatan dan ritus. Dengan begitu, dia menjadikan amal perbuatanmu yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai kedekatan dengan Allah Taala sebagai kesia-siaan dan amalan yang tidak sah, dan mengubahnya menjadi sarana untuk menjauhkanmu dari Allah Taala, dan sarana untuk dekat dengan iblis dan pasukannya. Pada puncaknya yang paling ditakutkan, dia bisa menjadikan iman dan keyakinanmu sebagai mainan dan bulan-bulanan. Oleh karena itu, ambillah langkah-langkah untuk mengobatinya dengan segenap cara dan upaya yang diperlukan.

Obat Waswas

Ketahuilah bahwa penyakit hati seperti ini, sebagaimana pelbagai penyakit hati lainnya yang bisa membinasakan manusia selama-lamanya, dapat disembuhkan dengan sangat mudah dan sederhana melalui ilmu dan perbuatan yang bermanfaat. Namun terlebih dahulu penderita penyakit ini harus menyadari bahwa dirinya terserang penyakit. Sebab, hanya dengan demikianlah dia dapat mengambil langkah untuk menyembuhkan penyakitnya. Kesulitannya adalah bahwa bisikan setan yang menyatakan bahwa dia tidak sakit sering diterima oleh si penderita. Penderita ini kemudian menganggap orang lainlah yang tidak menaati dan melalaikan agama. Adapun teori pengobatannya, berupa perenungan atas masalah-masalah ini seperti yang telah disebutkan. Adalah perlu bagi seseorang untuk beramal berdasarkan pada hasil perenungan dan pemikiran. Dia harus memikirkan amal yang ingin dilakukannya untuk keridhaan

p: 490

Allah Taala itu didasarkan pada apa dan siapa? Lalu, mengapa harus dilakukan dengan tata cara spesifik seperti itu? Kita tahu bahwa orang pada umumnya mengetahui tata cara amal ibadah dari para faqih dan marâji' taqlid (otoritas-otoritas hukum) yang menyimpulkannya secara langsung dari Al-Quran, Sunnah, dan kaidah-kaidah fiqih melalui ijtihad. Apabila kita merujuk pada karya-karya mereka, kita tahu bahwa mereka menolak perilaku orang yang waswas dan meng-

anggap sebagian tindakannya tidak sah. Apabila kita merujuk pada kitab Allah dan hadis-hadis mulia, kita melihat bahwa perilaku ini dimunculkan oleh setan, dan pelakunya dianggap tidak berakal. Oleh karena itu, kalau memang begitu, orang berakal harus berpikir sejenak, apakah setan mengendalikan pikirannya atau tidak? Kemudian, dia harus mengesampingkan perilaku seperti ini dan memperbaikinya karena dalam perbaikan ini terletak keridhaan Allah. Kalau seseorang melihat ada tanda-tanda waswas pada dirinya, dia harus segera bertanya kepada ulama dan faqih mengenai perilakunya untuk mengetahui apakah perilaku itu merupakan waswas atau bukan. Hal itu karena penderita waswas hampir-hampir tidak menyadari kondisinya sendiri dan menganggap dirinya objektif, sedangkan orang lain lalai dalam soal agama. Namun, jika dia berpikir sedikit, dia akan tahu bahwa keyakinan ini juga merupakan bisikan setan. Sebab, apabila dia tahu bahwa praktik ulania besar yang dia percayai ilmu dan amal mereka atau praktik marāji' taqlid yang merupakan sumber pengetahuan segenap Muslim mengenai hal yang halal dan yang haram bertentangan dengan praktiknya sendiri, dia tidak dapat mengatakan bahwa segenap ulama, para pemimpin kaum Mukmin, dan pengikut-pengikutnya tidak setia pada agama Allah dan hanya penderita waswas ini yang teguh dalam kesalehan. Setelah dia mengetahui bahwa dia sakit dan perlu disembukan, dia memasuki tahap tindakan yang merupakan pokok persoalan dengan cara mengabaikan seluruh waswas dan bisikan setan yang masuk

ke dalam dirinya. Misalnya, kalau dia itu waswas dalam soal wudhu, dia harus menggunakan segenggam air meskipun setan memprotesnya. Kalau setan mengatakan bahwa tindakannya itu akan membatalkan wudhu, dia harus menjawab, “Jika tindakan ini tidak sah, berarti

p: 491

praktik Rasulullah Saw. dan para Imam Suci a.s. serta segenap faqih juga tidak sah. Rasulullah Saw. dan para Imam a.s. berwudhu selama hampir tiga ratus tahun, dan cara mereka berwudhu sama seperti ini menurut hadis-hadis mutawatir. Nah, kalau wudhu mereka tidak sah, biarlah wudhu saya pun begitu.” Jika engkau itu seorang yang taklid kepada seorang mujtahid, katakan pada setan, “Aku berbuat menurut ketetapan muſtahid yang aku rujuk. Kalau wudhuku batal,

Allah tidak akan membebani tanggung jawab kepadaku, dan Dia tidak akan menyalahkanku.” Kalau si terkutuk itu meragukan ketetapan mujtahid, dan mengatakan bahwa mujtahid itu tidak memberikan ketetapan seperti itu, ambillah buku sang mujtahid, buka, dan tunjukkan kepada si terkutuk itu. Kalau engkau mengabaikan bisikannya beberapa kali dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan bisikannya, dia pun akan meninggalkanmu dengan putus asa. Dan semoga engkau dapat benar-benar menyembuhkan penyakitmu untuk selamanya, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadis.

فعن الکافی بإسناده عن زرارة و أبی بصیر، قالا: قلنا له: الرّجل یشکّ کثیرا فی صلاته حتّی لا یدری کم صلّی و لا ما بقی علیه؟ قال: یعید. قلنا: فانّه یکثر علیه

ذلک، کلّما أعاد شکّ. قال: یمضی فی شکّه. ثمّ قال: لا تعوّدوا الخبیث من أنفسکم بنقض الصّلاة، فتطمعوه، فإنّ الشّیطان خبیث یعتاد لما عوّد. فلیمض أحدکم فی الوهم، و لا یکثرنّ نقض الصّلاة، فإنّه إذا فعل ذلک مرّات، لم یعد إلیه الشّکّ. قال زرارة: ثمّ قال: إنّما یرید الخبیث أن یطاع، فإذا عصی، لم یعد إلی أحدکم.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan bersanadkan kepada Zurarah dan Abu Bashir yang keduanya mengatakan, “Kami bertanya kepada beliau (yaitu Imam Al-Baqir a.s.) tentang seseorang yang sering ragu-ragu dalam shalatnya, sampai-sampai dia tidak tahu berapa rakaat yang sudah dijalaninya dan berapa yang belum.

p: 492

Imam berkata, “Dia harus mengulangi (shalatnya).” Kata kami, "Itu sering terjadi padanya, apabila dia mengulangnya, dia pun ragu lagi.” Imam berkata, “(Kalau begitu) dia harus mengabaikan keragu-raguannya.” Lalu Imam menambahkan, “Jangan biarkan si jahat membiasakan dirinya mendatangimu untuk membatalkan

shalatmu. Karena setan itu jahat dan suka untuk membuatmu terbiasa (dengan hal-hal yang jahat). Nah, kalau ada di antara kalian yang mengabaikan keraguannya dan tidak membatalkan shalatnya beberapa kali, keraguan itu tidak akan merasukinya lagi.” Zurarah berkata, “Lalu Imam menambahkan, “Si jahat suka diikuti, dan

jika dia ditentang, dia tidak akan kembali kepadamu.(1)

و بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: إذا کثر علیک السّهو، فامض فی صلاتک، فإنّه یوشک أن یدعک. إنّما هو من الشّیطان

(Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanad dari Abu Ja'far a.s. yang mengatakan, “Apabila sahw (yaitu kelupaan atau perihal terlewatkan dari perhatian) sering kamu alami dalam shalat, abaikanlah ia. Sebab, hal itu akan membuat setan meninggalkanmu. Sesungguh-nya, sahw itu disebabkan oleh (perbuatan) setan.(2) Tentu saja, apabila engkau menentang dan tidak memedulikan bisikan-bisikannya, setan tidak akan lagi punya harapan dan jiwamu pun akan kembali mantap. Namun, ketika engkau menentangnya, mohonlah dengan air mata kepada Allah Taala, dan berlindung kepada Zat Suci-Nya dari kejahatan si terkutuk dan dari kejahatan hawa nafsu. Tentu Dia akan menolongmu. Dalam hadis yang terdapat dalam Al-Kâfi berikut ini, kita diperintahkan untuk memohon pertolongan

Allah terhadap kejahatan setan.

بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: أتی رجل النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، فقال: یا رسول الله أشکو إلیک ما ألقی من الوسوسة فی صلاتی حتّی لا أدری ما صلّیت من زیادة أو نقصان. فقال: إذا دخلت فی صلاتک، فاطعن فخذک الأیسر بأصبعک الیمنی المسبّحة، ثمّ قل: «بسم الله و بالله»، توکّلت علی الله، أعوذ باللهالسّمیع العلیم من الشّیطان الرّجیم.» فإنّک تنحره و تطرده

p: 493


1- 7. Al-Kulaini, Furû Al-Kafi, III, 358
2- 8. Ibid., III, 359.

Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah Saw., dan berkata, 'Ya Rasulullah, aku mengeluh kepada engkau mengenai waswas yang sedemikian menyulitkanku selama shalat sehingga aku tidak tahu berapa rakaat yang sudah aku lakukan.' Nabi berkata kepadanya, 'Apabila engkau memasuki shalat, pukullah paha kirimu dengan telunjuk jari tangan kananmu, lalu katakan, 'Bismillah wabillah, aku bertawakal kepada Allah, aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar dari setan yang terkutuk.” Engkau akan mengusirnya dan membuatnya pergi.(1) Dan segala puji bagi Allah, yang pertama dan yang terakhir secara lahiriah serta batiniah, dan semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atas Muhammad dan al-ma'shûmîn dari keturunan beliau. 1]

p: 494


1- 9. Ibid., 111, 358.

26 Hadis tentang Penuntut Ilmu

Point

بالسّند المتّصل إلی ثقة الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، عن محمّد بن الحسن و علیّ بن محمّد، عن سهل بن زیاد و محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، جمیعا، عن جعفر بن محمّد الأشعریّ، عن عبد الله بن میمون القدّاح، و علیّ بن إبراهیم، عن أبیه، عن حمّاد بن عیسی، عن القدّاح، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: من سلک طریقا یطلب فیه علما، سلک الله به طریقا إلی الجنّة. و إنّ الملائکة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا به. و إنّه یستغفر لطالب العلم من فی السّماء و من فی الأرض حتّی الحوت فی البحر. و فضل العالم علی العابد کفضل القمر علی سائر النّجوم لیلة البدر. و إنّ العلماء ورثة الأنبیاء، إنّ الأنبیاء لم یورّثوا دینارا و لا درهما، و لکن ورّثوا العلم، فمن أخذ منه، أخذ بحظّ وافر

Dengan sanadku yang bersambung sampai ke Tsiqât Al-Islâm Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari Muhammad ibn Al-Hasan dan 'Ali ibn Muhammad, dari Sahl ibn Ziyad dan Muhammad ibn

p: 495

Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Ja'far ibn Muhammad Al-Asy'ari, dari 'Abdullah ibn Maimun Al-Qaddah, dan dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Hammad ibn Isa, dari Al-Qaddah, dari Abu 'Abdillah a.s. yang mengatakan, “Rasulullah--shallallâhu 'alaihi wa âlihi—bersabda, 'Bagi orang yang berada di jalan me-

nuntut ilmu, Allah akan menjadikan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka untuk para penuntut ilmu dengan sukacita. “Sesungguhnya setiap makhluk di langit dan di bumi memohonkan ampunan bagi si penuntut ilmu, bahkan ikan di laut. Keutamaan orang berilmu ('âlim) melebihi ahli ibadah, seperti keutamaan bulan atas bintang pada malam purnama. Orang alim adalah pewaris para nabi, sebab para nabi tidak meninggalkan

warisan kekayaan kecuali warisan ilmu. Orang yang memperoleh ilmu berarti telah memperoleh banyak manfaat.(1)

Ketahuilah, kata-kata dalam hadis mulia itu tidak perlu lagi diterangkan. Namun, dalam beberapa bagian, kami akan menerangkan kualitas-kualitas yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. sebagai dimiliki oleh orang alim dan penuntut ilmu. Kepada Allah jualah kami bertawakal.

Mengenai Jalan Ilmu dan Jalan Menuju Surga

Terlebih dahulu perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu duniawi yang tujuan akhirnya adalah mencapai sasaran-sasaran duniawi. Kedua, ilmu-ilmu ukhrawi yang tujuan akhirnya adalah mencapai peringkat-peringkat malaküti dan ukhrawi. Pada bagian lalu telah kami sebutkan bahwa perbedaan antara dua jenis ilmu ini sebagian besarnya terletak pada perbedaan niat atau tujuan (menuntut ilmu), meskipun pada dasarnya ilmu memang terbagi menjadi dua jenis. Dampak-dampak yang digambarkan dalam hadis mulia di atas bagi penuntut ilmu dan orang berilmu jelas berkaitan dengan jenis kedua, yaitu ilmu ukhrawi. Di muka juga telah disebutkan bahwa semua ilmu ukhrawi tercakup dalam tiga kelompok: ilmu tentang Allah dan doktrin-doktrin (ma'ârif) agama; ilmu yang berkaitan dengan pembelajaran dan peng-

p: 496


1- 1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, I, kitab fadhl al-'ilm, bâb tsâwab al-'âlim wa al-muta'allîm”, hadis No. 1.

alaman spiritual menuju Allah; dan ilmu yang berkaitan dengan hukum, sopan santun, dan aturan ibadah. Pemakmuran (taʼmîr) kehidupan akhirat bergantung pada ketiga aspek ini secara serempak, dan karenanya ada tiga jenis surga bagi penuntut ilmu: surga Zat yang merupakan tujuan puncak ilmu dan makrifat tentang Allah; surga sifat yang merupakan tujuan pembersihan diri dan pendisiplinan jiwa; dan ketiga, surga amal perbuatan yang merupakan bentuk (ukhrawi) dari

penunaian kewajiban beribadah dan hasilnya. Ketiga surga ini bukanlah dalam keadaan yang sudah jadi (pada permulaannya). Oleh karena itu, tanah surga amal perbuatan merupakan tanah datar, seperti tanah jiwa pada permulaannya. Pembangunan dataran ini berlangsung seiring dengan pengembangan dan pembangunan

jiwa. Maka dari itu, kalau jiwa dalam aspek gaibnya tidak dibangun melalui ajaran-ajaran Allah dan tarikan-tarikan gaib Zat Kudus (jadzbah ghaibiyyah dzâtiyyah), manusia tidak akan sampai pada “surga Zat dan perjumpaan dengan Allah (jannah liqa”)”. Kalau batin manusia belum dibersihkan dan jiwanya tidak diperindah, kalau kehendak dan tekad tidak diperkuat dan hati tidak menerima cahaya Nama dan Sifat Ilahi, manusia tidak akan sampai pada "surga Nama dan Sifat yang merupakan surga pertengahan”. Kalau orang tidak dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai hamba, yakni perbuatan, gerakan, serta diamnya tidak selaras dengan syariat Ilahi, maka dia tidak akan sampai pada “surga amal perbuatan”, yang disebut sebagai: Yang di dalamnya ada apa pun yang diinginkan jiwa dan mata merasa senang. (QS Al-Zukhruf (43): 71)

Berdasarkan beberapa pendahuluan yang sesuai dengan dalil-dalil filosofis, pengalaman para ahli 'irfan dan hadis-hadis para nabi dan wali—'alaihim al-salam-di samping yang dapat disimpulkan dari Al-Quran, apa pun tingkat ilmu, entah berkaitan dengan ma'ārif atau yang lainnya-merupakan jalan untuk mencapai surga yang sesuai dengan masing-masing ilmu itu sendiri. Jadi, orang yang menapaki jalan ilmu berarti menapaki salah satu jalan menuju surga. Telah kami kemukakan pada bagian-bagian lalu bahwa ilmu pada dasarnya merupakan sarana untuk bertindak, sekalipun ilmu itu

p: 497

berupa ma'arif (ilmu-ilmu mistis) yang merupakan sarana bagi tindakan-tindakan hati dan gravitasi batin. Dampak dan bentuk batin ilmu-ilmu ini adalah surga Zat dan perjumpaan. Karenanya manusia yang menyusuri jalan ilmu berarti menyusuri jalan menuju surga karena sarana (ilmu) yang bersambung dengan jalan adalah juga bagian dari jalan.

Satu Rahasia Penting

Perjalanan di jalan ilmu itu dilakukan oleh makhluk, sedangkan tarikan menuju surga dilakukan oleh Zat Suci Allah (seperti dalam frasa vidad (). Sebab, pada tingkat keserbaragaman (alam fenomenal fisik), segi akuisitif (kegigihan untuk mendapatkan sesuatu) makhluk diberi kesempatan, sedangkan pada tingkat kembali pada ketunggalan (alam gaib spiritual), segi Ilahiah yang mendominasi. Dari sudut pandang lain, dapatlah dikatakan bahwa perjalanan menuju surga juga dilakukan oleh makhluk.

«وَوُضِعَ الْکِتَابُ فَتَرَی الْمُجْرِمِینَ مُشْفِقِینَ مِمَّا فِیهِ وَیَقُولُونَ یَا وَیْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْکِتَابِ لَا یُغَادِرُ صَغِیرَةً وَلَا کَبِیرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا یَظْلِمُ رَبُّکَ أَحَدًا (49)»

Dan (di akhirat) mereka akan mendapati semua yang dilakukan (dikehidupan duniawi) hadir. (QS Al-Kahfi (18]: 49)

» «فَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ (7)» وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ (8)

... Dan barang siapa telah berbuat kebaikan walau seberat atom, kan melihatnya, dan barang siapa telah berbuat keburukan walau seberat atom, akan melihatnya. (QS Al-Zalzalah (99): 7-8)

Pemilik wewenang (muhaqqiq) di antara para filosof dan kebanggaan mazhab kebenaran, Shadr Al-Muta'allihin-radhiya Allahu 'anhu--- dalam hal ini menyatakan bahwa “melihat hal-hal yang menyenangkan" itu sendiri adalah surga dan “melihat hal-hal yang tidak menyenangkan" itu sendiri adalah neraka. “Pengetahuan” atau “ketidaktahuan" mengenai hal-hal yang menyenangkan jiwa bertentangan dengan jiwa (sehingga membawa kepedihan di dalam jiwa-peny).

Akan tetapi, hal ini tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri dalam karya-karya filosofisnya yang menolak keyakinan Syaikh Al-Ghazali-seperti yang dia nukil-yang menganggap surga dan neraka sebagai kenikmatan dan kepedihan yang dirasakan oleh jiwa, dan menyangkal penjelmaan objektif keduanya. Selain bertentangan

dengan dalil-dalil para filosof, keyakinan ini juga bertentangan dengan

p: 498

hadis para nabi, kitab-kitab samawi, dan ajaran-ajaran agama. Filosof besar itu sendiri juga telah menolak dan memperlihatkan ketidakabsahan pendapat ini. Namun, dalam konteks ini, pribadi terhormat ini sendiri telah membuat pernyataan yang mirip dengan pandangan Al-Ghazali yang ditolaknya. Pernyataan ini agaknya tidak tepat menurut pendapat hamba yang rendah ini, kendati ulasan lebih lanjut mengenainya bukan di sini tempatnya.

Mengenai Malaikat yang Membentangkan Sayapnya untuk Penuntut Ilmu

Ketahuilah bahwa malaikat itu beraneka macam, dan tidak seorang pun mengetahui (jumlah) abdi-abdi Allah ini kecuali Zat Suci yang mengetahui semua hal gaib.

... Dan tiada yang mengetahui abdi-abdi Tuhanmu kecuali Dia. (QS Muddatstsir (74): 31)

Salah satunya berupa malaikat yang sepenuhnya tenggelam dalam cinta kepada Allah (muhayyamun majdzûbun), yang tidak menyadari adanya alam wujud; mereka tidak tahu kalau Allah telah menciptakan alam ini. Mereka tenggelam dalam keindahan dan kemuliaan Ilahi dan terserap dalam keagungan-Nya. Disebutkan bahwa huruf “nun” dalam ayat mulia:

«ن وَالْقَلَمِ وَمَا یَسْطُرُونَ (1)» Nun. Demi pena, dan apa yang mereka tuliskan. (QS Al-Qalam (68]: 1) merujuk kepada mereka.

Kelompok lain adalah para malaikat terpenting dan para penghuni jabarût yang tinggi, dan mereka ini banyak jenisnya, yang masing-masingnya memiliki pekerjaan khasnya sendiri. Di antara mereka ada yang berperan mengelola alam ini. Kelompok lainnya adalah para malaikat yang berada di malakût yang tinggi dan surga yang tinggi (jannah ‘âliyah), dan mereka juga bermacam-macam jenisnya. Kelompok lainnya adalah para malaikat yang ada di alam barzakh (alam sesudah mati dan sebelum kiamat) dan mitsâl (alam imajinal). Kelompok lainnya adalah para malaikat yang bertugas mengurusi

p: 499

alam dunia dan mulk (fisik), yang masing-masingnya memiliki tugas dan fungsi mengelola bagian tertentu dari alam ini. Kelompok yang mengurusi alam mulk ini berbeda dengan para malaikat yang ada di alam barzakh dan alam mitsal, sebagaimana ditegaskan pada tempatnya yang tepat dan seperti yang juga dapat disimpulkan dari hadis-hadis mulia.

Perlu diketahui bahwa sayap, bulu, dan anggota-anggota serupa lainnya tidak terdapat pada semua jenis malaikat. Namun, dari para malaikat yang tenggelam dalam cinta kepada Allah, sampai para penghuni malakût yang tinggi, semuanya bebas dari dan tidak memiliki anggota-anggota seperti itu. Mereka bebas dari segala bentuk materi, sifat-sifatnya, dan segala yang berkaitan dengan materi. Adapun para malaikat di alam mitsal dan alam barzakh, mereka bisa saja memiliki

bagian-bagian, anggota-anggota, sayap-sayap, bulu-bulu, dan sebagainya. Karena mereka berhubungan dengan alam kuantitas dan kualitas, masing-masing dari mereka disifati dengan kuantitas, anggota-anggota, dan organ-organ yang khas. Ayat-ayat berikut:

«وَالصَّافَّاتِ صَفًّا (1)»

Demi barisan-barisan yang berbaris .... (QS Al-Shaffât (37): 1)

«الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِکَةِ رُسُلًا أُولِی أَجْنِحَةٍ مَثْنَی وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ یَزِیدُ فِی الْخَلْقِ مَا یَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ (1)»

(Segala puji bagi Allah, Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat-malaikat itu sebagai rasul-rasul) yang memiliki sayap-sayap dua, tiga, dan empat .... (QS Fâthir (35): 1)

merujuk pada jenis malaikat-malaikat ini. Namun, mengenai para malaikat terpenting (al-muqarrabûn) dan para penghuni jabarût yang tinggi, mereka dapat mewujudkan diri di alam yang mana pun sesuai dengan bentuk dan tampilan yang sesuai dengan alam tersebut, disebabkan oleh sifat mereka yang meliputi segenap tingkat eksistensi (ihathah wujûdiyyah qayyûmiyyah). Oleh karena itu, Jibril Al-Amin yang dekat dengan Allah, pembawa wahyu Ilahi, dan salah satu makhluk tertinggi yang menghuni jabarût, senantiasa menjelmakan dirinya demi zat suci Rasulullah Saw. di alam mitsâl yang terbatas, dua kali di alam mitsâl mutlak dan sekali-kali di alam mulk. Kadang-kadang Jibril bahkan menampakkan diri dalam bentuk Dihyah Al-Kalbi, saudara angkat Rasulullah Saw., dan lelaki yang paling rupawan.

p: 500

Perlu diketahui bahwa penjelmaan mulkî (fisik) oleh malaikat itu bukanlah sesuatu yang ada di tingkat wujud mulki, yang dapat dilihat oleh orang yang berindra penglihatan sehat. Namun, segi malakúti mereka mengatasi segi mulkî mereka, dan itulah sebabnya mengapa orang tidak dapat melihat mereka dengan mata fisiknya walaupun malaikat itu telah menjelma secara mulki. Hanya beberapa sahabat yang dapat melihat Jibril muncul dalam bentuk Dihyah Al-Kalbi, dan itu pun hanya dengan izin Allah dan izin Penutup para Nabi Saw. Oleh karena itu, semua malaikat Allah bersikap lembut terhadap para penuntut ilmu dan ma'rifah-anak turunan ruhani Adam, hamba-hamba terpilih Allah Swt. yang kepada mereka inilah para malaikat bersujud dan yang perintahnya dipatuhi di seluruh alam-setelah

mereka berpaling kepada Allah dan kebenaran, menapaki jalan keridhaan Allah. Allah menugasi mereka (yaitu para malaikat) untuk membantu dan mendidik orang-orang ini. Dan apabila wujud fisik ini menjadi malakûtî, dan apabila makhluk bumi ini menjadi makhluk samawi, dia berjalan dengan sayap-sayap para malaikat; dan kalau mata penglihatan malakûtî dan mitsali-nya terbuka, dia akan melihat dirinya berdiri di atas sayap-sayap para malaikat dan berjalan dengan

bantuan mereka. Ini adalah mengenai mereka yang melintas dari mulk ke malakût, meskipun mereka masih dalam perjalanan (di dunia fisik-peny.)

Mengenai mereka yang masih bersifat mulki dan belum memasuki (ranah) malakût, mungkin saja para penghuni malakût datang membantu mereka, dan dengan rendah hati terhadap mereka membentangkan sayap-sayap mereka di bawah kaki mereka karena merasa senang melihat perilaku mereka yang mulki dan belum memasuki malahût itu, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis mulia dari Ghawali Al-La'la'i

فیه عن المقداد، رضی الله عنه، أنّه قال سمعت رسول الله، صلّی الله علیه و آله، یقول: إنّ الملائکة لتضع اجنحتها لطالب العلم حتّی یطأ علیها رضا به

p: 501

Diriwayatkan dari Miqdad—radhiya Allahu 'anhu-yang mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, 'Sesungguhnya para malaikat member tangkan sayap mereka untuk penuntut ilmu karena merasa senang kepadanya sehingga dia berjalan di atas sayap mereka.(1)

Dari sini, kita tahu bahwa orang yang mengambii langkah awal menuju Allah dan keridhaan-Nya akan berdiri di atas bahu dan sayap para malaikat. Permadani ini terus terbentang hingga tahap-tahap akhir pencarian dan pembelajaran ilmu pengetahuan. Namun, karena perbedaan tahap, para malaikat yang membantu penuntut ilmu ini pun berganti-ganti, sampai dia mencapai suatu tahap ketika dia menjejakkan kakinya di atas kepala para malaikat muqarrabûn, hingga ia melintasi pelbagai alam dan mendaki pelbagai tingkat yang tak dapat dicapai oleh para malaikat muqarrabûn. Jibril, malaikat yang dipercaya menyampaikan wahyu-wahyu Ilahi kepada para rasul, sampai mengaku tidak mampu dan berkata, “Kalau aku mendekat satu langkah lagi, aku akan habis terbakar.(2) Karena penggambaran di atas sesuai belaka dengan dalil-dalil filosofis, ungkapan Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka untuk para penuntut ilmu tidak perlu lagi ditakwilkan seperti yang dilakukan oleh filosof besar, Shadr Al-Muta’allihin. Padahal, dalam pelbagai buku filsafat dan karya ilmiahnya, dengan paparan menarik yang hanya dapat dilakukan oleh orang terhormat ini, beliau mengakui (keberadaan) klaim bahwa para malaikat di alam mitsal dan penjelmaan mereka di alam mulk dan malakût membentangkan sayap-sayapnya bagi para penuntut ilmu.

Bagian mengenai Penghuni Langit dan Bumi yang Memohonkan Ampunan bagi Penuntut Ilmu

Ketahuilah bahwa sudah dijelaskan pada tempatnya bahwa realitas (hakikat) wujud itu adalah rangkaian Kesempurnaan, Nama, dan Sifat Allah. Wujud itu benar-benar sempurna, dan karena itu Allah sebagai Zat yang benar-benar Maujud adalah totalitas segala kesempurnaan, Nama dan Sifat Indah (jamal) serta Mulia (jalâl). Mengenai Wujud yang benar-benar Maujud ini, dalam suatu hadis disebutkan:

p: 502


1- 2. Ibn Abi Jumhur, Ghawâlî Al-Laʻāli, I, 106.
2- 3. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, XVIII, 382.

عوده

“Dialah ilmu seluruhnya dan kekuasaan seluruhnya.” Telah dibuktikan melalui demonstrasi filosofis bahwa alam semesta adalah cerminan totalitas kesempurnaan, dan mustahil kesempurnaan dapat dipisahkan dari wujud. Namun, penampakan kesempurnaan-kesempurnaan itu bergantung pada luas dan sempit-nya (tampungan) dan terang atau suramnya cermin suatu maujud. Oleh karena itu, penampakan seluruh kesempurnaan merupakan tanda-tanda Zat, dan maujud merupakan cermin yang memantulkan Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Di samping sesuai dengan hujah-hujah filosofis, bahkan sedikit sekali klaim yang lebih kuat dan lebih kukuh dalilnya dibandingkan dengan klaim ini, prinsip ini juga sesuai dengan pengalaman para ahli ‘irfan dan ayat-ayat Kitab Suci serta hadis-hadis Ahl Al-Bait yang suci dan maksum a.s. Oleh karena itu, di beberapa tempat dalam Kitab Suci, semua maujud dikatakan sibuk mengagungkan Allah.

«یُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِی السَّمَاوَاتِ وَمَا فِی الْأَرْضِ الْمَلِکِ الْقُدُّوسِ الْعَزِیزِ الْحَکِیمِ (1)»

Segala yang di langit dan bumi itu bertasbih kepada Allah .... (QS Al-Jumu'ah (62): 1)

«تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِیهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَیْءٍ إِلَّا یُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَکِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِیحَهُمْ إِنَّهُ کَانَ حَلِیمًا غَفُورًا (44)»

(Tujuh langit dan bumi, serta segala sesuatu yang di dalamnya, bertasbih kepada-Nya) tidak ada yang tidak bertasbih kepada-Nya, hanya saja kalian tidak mengerti tasbih mereka. (QS Al-Isra' [17]: 44)

Jelas sekali bahwa tasbih, pengkudusan (taqdis), dan pengagungan Allah memerlukan ilmu mengenai kedudukan-Nya yang suci, SifatNya yang indah dan mulia, yang tidak akan terjadi tanpa ilmu seperti itu. Fakta ini telah disebutkan dengan terang sekali dalam hadis-hadis mulia sehingga tidak ada peluang untuk ditakwilkan atau disimpangkan maknanya (taujih). Namun, orang-orang yang tidak berilmu dan yang terhijab dari kalangan ahli debat (jadal) dan flisafat tradisional telah mencoba memberikan takwil menyimpang tentang firman Allah tersebut. Selain jelas-jelas bertentangan dengan makna harfiah ayat-ayat Al-Quran_seperti dalam kisah semut yang berbicara kepada Nabi Sulaiman dalam Surah Al-Naml-takwil ini juga

p: 503

bertentangan dengan banyak hadis yang terang-benderang dari para Imam yang maksum a.s. dan dalil-dalil metafisika yang kuat. Namun, rasanya tidak tepat bagi kita untuk menguraikan dalil-dalil serta premis-premis dasar prinsip itu dalam tulisan ringkas ini. Dengan demikian, segala maujud memuji Allah berdasarkan pada

kesadaran yang tertanari dalam diri mereka. Dalam hadis yang diri- wayatkan oleh Imam Muhammad Al-Baqir, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sebelum diangkat menjadi Rasul, aku biasa menggembalakan domba dan unta (dan belum pernah ada nabi yang tidak mengurusi domba). Ketika aku memerhatikan mereka, aku melihat bahwa tiba-tiba mereka gelisah dan lari dengan cepat tanpa ada apa pun yang mendorong mereka. Aku selalu merenungi kejadian itu, sampai Jibril datang kepadaku. Setelah kutanya tentang kejadian itu, Jibril berkata, 'Pada saat itu orang kafir yang telah mati mendapatkan pukulan yang sedemikian rupa sehingga semua makhluk mendengarnya dan menjadi ngeri karenanya, kecuali manusia dan jin.(1)

Kaum 'ârif mengatakan bahwa manusia adalah makhuk yang paling terjauhkan dari malakût lantaran dia terlalu sibuk dengan mulk. Karena kuat dan besarnya kesibukannya dalam urusan dunia, manusia bisa berada pada tingkat yang paling terpisahkan dan jauh dari alam malakût dibandingkan dengan segenap makhluk lainnya. Selanjutnya, segala makhluk memiliki segi malaküti, yang dengan segi ini mereka memiliki kehidupan, kesadaran, dan fungsi-fungsi lain kehidupan. Allah berfirman:

«وَکَذَلِکَ نُرِی إِبْرَاهِیمَ مَلَکُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِیَکُونَ مِنَ الْمُوقِنِینَ (75)»

Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim malakût-nya langit dan bumi sehingga dia dapat menjadi di antara mereka yang memiliki keyakinan yang teguh. (QS Al-An'âm (6): 75)

Ayat ini membenarkan adanya fakta bahwa kesadaran dan kehidupan itu meliputi segala sesuatu. Nah, kita mengetahui bahwa semua maujud memiliki pengetahuan dan kesadaran yang merupakan segi malakûtî mereka. Lantas, karena manusia berada pada derajat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk lain tetapi tertabiri dari alam malakût, tidaklah mengherankan kalau segenap makhluk memohonkan ampunan bagi manusia yang menuntut ilmu dan berjalan

p: 504


1- 4. Ini merujuk ke hadis berikut ini dalam Furû Al-Kafi, III, 233 :روایت در «کافی» شریف است عن الباقر علیه السلام قال: قال النبی صلی الله علیه و آله: «انی کنت أنظر إلی الإبل و الغنم و أنا أرعاها- و لیس من نبیّ إلّا و قد رعی الغنم- فکنت انظر إلیها [قبل النبوّة] و هی متمکّنة فی المکینة ما حولها شی ء یهیجها حتّی تذعر فتطیر، فاقول: ما هذا؟ و أعجب حتّی جاءنی جبرئیل فقال: انّ الکافر یضرب ضربة ما خلق الله شیئا إلّا سمعها و یذعر لها الّا الثقلین. ن

menuju Allah, Sumber Wujud dan Pemberi Rezeki alam semesta, dan memohon dengan sangat kepada Zat yang Maha Pemurah dan Suci itu dengan suara-suara malakûtî mereka yang jelas—yang dapat didengar oleh telinga-telinga malakûtî yang terbuka—agar menenggelamkan keturunan mulk ini dan bentuk fisik yang sempurna ini (baca: manusia) ke dalam samudra ampunan-Nya dan menutupi segala kekurangan makhluk yang paling mulia di alam fisik ini. Boleh jadi juga bahwa semua makhluk selain manusia mengetahui bahwa mereka tidak mungkin mencapai wilayah Zat Suci dan tidak mungkin menyelam ke dalam lautan kesempurnaan kecuali melalui perantaraan esensi suci manusia sempurna-yang menggabungkan ilmu dan amal di dalam dirinya, sebagaimana telah terbukti pada tempatnya. Maka dari itu, makhluk-makhluk ini bersegera memohon kepada Allah dengan memintakan ampunan bagi seluruh manusia yang menuntut ilmu agar terbentuklah manusia sempurna (atau kesempurnaan manusia) yang dapat menjadi perantaraan bagi mereka untuk mencapai tingkat-tingkat kesempurnaan yang sesuai

dengan mereka. Dan Allah yang paling mengetahui.

Bagian mengenai Keunggulan 'Âlim atas Âbid

Ketahuilah bahwa hakikat ilmu dan iman-yang kekuatannya juga didasarkan pada ilmu-adalah cahaya. Di samping sesuai dengan dalil filosofis dan pengalaman mistis, pernyataan ini juga selaras dengan nashsh-nashsh dan hadis-hadis Ahl Al-Bait yang suci dan maksum a.s. karena sifat “cahaya” yang terang pada dirinya sendiri dan mampu menerangi selainnya juga sesuai dengan ilmu. Kesesuaian sifat ini dengan realitas ilmu bersifat sejati, sedangkan kesesuaiannya dengan

cahaya indriawi bersifat kiasan. Hal itu karena cahaya indriawi tidak memanifestasikan dirinya sendiri dalam arti yang sesungguhnya sebagaimana sifat cahaya, tetapi lebih merupakan salah satu contoh dari konsep cahaya. Sebaliknya, realitas ilmu pada hakikatnya merupakan wujud itu sendiri, sekalipun dalam konsepsi keduanya berbeda, keduanya bersatu dalam realitas objektifnya. Dengan kata lain, realitas wujud identik dengan (sifat hakiki) cahaya dan cahaya identik dengan

ilmu dan kesadaran.

p: 505

«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ (35)»

Allah adalah cahaya langit dan bumi. (QS Al-Nûr (24 : 35) Oleh karena itu, ilmu itu sama dengan cahaya, dan dalam ayat-ayat Al-Quran yang mulia iman dan ilmu disebut sebagai cahaya. «وَمَنْ لَمْ یَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40)»Dan barang siapa tidak diberi cahaya oleh Allah, dia tidak memiliki cahaya. (QS Al-Nûr 24: 40)

Dalam ayat Cahaya (Al-Nûr) di atas, menurut penafsiran Ahl Al-Bait yang maksum a.s., cahaya ditafsirkan sebagai ilmu:

عن الفضیل بن یسار قال : قلت لای عبد الله الصادق - علیه السلاؤ۔ و آله و الموت و الارض ، قالک :گذیک الله عز وجل . لنوو » صل الله علیه گوشکوة ، قال : صدرا

صلی الله علیه والهقال وآله « فیها مصباع ، قال : فیه و التموین اللبوة ,, المصبا اجة ، قال : علی رسول اللہ صدرالی قلب علیفی

(Al-Fudhail ibn Yasar berkata, “Aku bertanya kepada) Abu 'Abdillah Al-Shadiq a.s. mengenai arti 'Allah adalah cahaya langit dan bumi.' Beliau menjawab, 'Itulah Allah Azza wa Jalla'. Aku bertanya kepada beliau (tentang arti frasa) perumpamaan cahaya-Nya. Beliau berkata, (Itu artinya) Muhammad Saw. Aku bertanya kepada

beliau, (Apa artinya) 'seperti ceruk?' Beliau men'awab, 'Dada Muhammad Saw.' Aku bertanya kepada beliau. '(Apa artinya) yang di dalamnya ada lampu?Beliau menjawab, '(Artinya): Di dalamnya ada cahaya ilmu, yaitu kenabian.' Aku bertanya kepada beliau, '(Apa artinya) 'Lampunya ada di dalam kaca?' Beliau menjawab,

(Artinya): ilmu Rasulullah Saw. memancar ke hati 'Ali a.s. ...!(1)

و عن الباقر، علیه السّلام، أنّه یقول: أنا هادی السّماوات و الأرض. مثل العلم الّذی أعطیته- و هو النّور الّذی یهتدی به- مثل المشکوة فیها المصباح فالمشکوة قلب محمّد، صلّی الله علیه و آله، و المصباح نوره الّذی فیه العلم.

p: 506


1- 5. Al-Syaikh Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 157.

Diriwayatkan dari Al-Imam Al-Baqir a.s. yang mengatakan, “Akulah pemandu langit dan bumi. Perumpamaan ilmu yang telah diberikan kepadaku--yang merupakan cahaya, yang dengan cahaya itu mereka dipandu—adalah seperti sebuah ceruk yang di dalamnya ada sebuah lampu. 'Ceruk' itu adalah hati Muhammad Saw., sedangkan ‘lampu' itu adalah ilmu: yaitu cahayanya yang ada di dalamnya.(1)

و فی روایة قال: فالمؤمن ینقلب فی خمسة من النّور: مدخله نور، و مخرجه نور، و علمه نور، و کلامه نور، و مصیره إلی الجنّة یوم القیامة نور

Dalam sebuah hadis dikatakan, “Orang Mukmin bergerak dengan lima cahaya: masuk dengan cahaya; keluar dengan cahaya; mengetahui dengan cahaya; berkata dengan cahaya; dan berjalan ke surga pada hari kiamat dengan cahaya.(2)

Dan hal serupa disebutkan dalam hadis yang masyhur berikut ini: العلم نور یقذفه الله فی قلب من یشاء

“Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati siapa pun yang dikehendaki-Nya.(3) Cahaya ini memiliki berbagai tingkat, sesuai dengan berbagai tingkat iman dan ilmu seseorang. Perlu diketahui bahwa cahaya hakiki inilah yang terdapat pada diri orang-orang yang beriman dan berilmu. Dan karena cahaya ini berhubungan dengan cahaya-cahaya alam akhirat, ia memancar di alam itu laksana cahaya indriawi memancar sesuai dengan aktivitas jiwa. Dan inilah cahaya yang akan menerangi shirâth. Oleh karena itu, ada cahaya suatu golongan seperti cahaya matahari, cahaya golongan lain seperti cahaya bulan, dan seterusnya sampai cahaya yang hanya cukup untuk menerangi tanah di seputar kakinya.

Seperti telah kita ketahui, meskipun ilmu adalah “cahaya” dan "penampakan”, dalam arti yang sesungguhnya dan tanpa sedikit pun adanya ungkapan kiasan, kita orang-orang yang malang ini tertabiri dari matahari sejati ilmu karena adanya tirai gelap hawa nafsu dan

p: 507


1- 6. Tafsir Nûr Al-Tsaqalain, III, 605.
2- 7. Al-Bahrani, Tafsîr Al-Burhân, III, 135.
3- 8. Catatan penulis: Ini adalah bagian dari sebuah hadis yang panjang yang terdapat pada keterangan mengenai Muniat Al-Murid, karya Syahid (Al-Syahid Al-Tsani) yang telah diterbitkan bersama dengan Ruwadh Al-Jinân. (Lihat pula Bihar Al-Anwâr, I, 225, yang di dalamnya hadis itu dimuat dengan sedikit perbedaan dalam kata-katanya.)

karena kita berada di kekelaman alam mulk. Kita tertabiri dari cahaya terang keariſan dan pengertian, dan kita membayangkan bahwa ini adalah ibarat yang berdasarkan kiasan dan dugaan. Memang, selama kita masih terbius dalam kelalaian kehidupan dan hawa nafsu, kita tidak dapat membedakan realitas dan kiasan, sehingga realitas tampak seperti kiasan di mata kita, karena sesungguhnya di alam kiasan yang menampilkan realitas sebagai kiasan itulah kita berada.

النّاس نیام إذا ماتوا انتبهوا Manusia itu tertidur. Setelah mereka mati, barulah mereka terbangun.(1)

Apabila mata kita terbuka, kita akan melihat bahwa seperti cahaya matahari dan bulan yang berkilauan dan menerangi, maka demikian juga cahaya manusia yang berilmu. Di dunia ini dia menerangi hati-hati yang suram dan menghidupkan mayat kebodohan dengan cahaya ilmu pengetahuannya, dan di alam akhirat cahayanya juga akan meliputi. Dengan liputan cahaya itu, ia menolong mereka yang berada di halaman kesuciannya. Perlu diketahui bahwa ibadah juga tidak dapat terjadi tanpa ilmu, dan karena itu sang ‘âbid (orang yang beribadah) juga memiliki cahaya yang khusus baginya. Namun, esensi iman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya itu adalah cahaya, dengan perbedaan bahwa cahaya sang 'âbid terbatas paca dirinya; cahayanya itu menerangi jalan di sekitar kakinya, tetapi tidak menerangi orang lain. Oleh karena itu, cahayanya seperti cahaya bintang pada malam bulan purnama yang kecemerlangannya tersuramkan oleh cahaya bulan. Cahayanya itu

menyinari dirinya sendiri, dan tidak bermanfaat bagi orang lain. Oleh karena itu, perbandingan antara 'âbid dan alim adalah bahwa sang 'âbid itu seperti cahaya bintang, dan bukan cahaya bintang pada malam yang tidak berbulan purnama sehingga bintang menjadi sumber penerangan, tetapi cahaya bintang pada malam bulan purnama sehingga bintang itu hanya bersinar bagi dirinya sendiri tanpa dapat menerangi benda-benda lain.

Shadr Al-Muta`allihin—semoga jiwanya disucikan-berkata, “Yang dimaksud dengan 'alim’dalam hadis mulia ini tidak lain adalah

p: 508


1- 9. Ibn Maitsam Al-Bahrani, Syarh Mi'ah Kalimah, 54.

manusia Ilahi yang berilmu (âlim rabbânî) dengan ilmu laduni (yaitu diperoleh melalui anugerah Ilahi) seperti ilmu para nabi dan wali a.s. sebagaimana ditunjukkan oleh kiasan bulan; sebab kalau tidak, kiasan matahari tidak akan lagi tepat karena cahayanya terjadi berkat kemurahan hati Allah, tanpa adanya sesuatu yang mengantarai dari sang penerima cahaya." Berakhirlah di sini kata-katanya—semoga Allah meninggikan kedudukannya.

Bagian mengenai Ulama sebagai Pewaris para Nabi

Pewarisan ini bersifat spiritual karena turunnya kepada ulama dari para nabi bersifat malakûtî. Sebagaimana manusia merupakan keturunan mulk berdasarkan kehidupan mulki-nya, dia pun mengalami kelahiran malakûtî berkat pendidikan para nabi dan pencapaian maqâm kalbu. Kalau sumber kelahiran yang pertama adalah ayah biologis, sumber kelahiran yang kedua adalah para nabi a.s. Oleh karena itu, para nabi itu adalah leluhur spiritual. Warisan mereka bersifat spiri-

tual dan batin, dan kelahiran anak turunan mereka merupakan kelahiran yang kedua, yaitu kelahiran malakûtî. Setelah para nabi, fungsi mengajar dan membimbing ada pada ulama yang merupakan pewaris sejati para nabi. Para nabi a.s., berdasarkan kedudukan spiritual ini, bukanlah pemilik kekayaan dan harta benda, atau tidak berkaitan dengan alam mulk dan segala urusan fisiknya. Dengan demikian, warisan mereka, berdasarkan pandangan spiritual ini, tidak lain adalah ilmu dan ajaran Allah. Meskipun berdasarkan kelahiran jasadiah dan pandangan kehidupan duniawi, mereka mempunyai status yang berkaitan dengan seorang manusia biasa.

«قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُکُمْ یُوحَی إِلَیَّ أَنَّمَا إِلَهُکُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ کَانَ یَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْیَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا یُشْرِکْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (110)»

Katakanlah: “Aku hanyalah seorang manusia (manusia dalam arti jasadiah) seperti kamu”.... (QS Al-Kahfi (18): 110)

Berdasarkan status manusiawi ini, pewaris para nabi bukanlah ulama, melainkan keturunan biologis mereka, dan karena itu warisan mereka adalah kekayaan dan harta benda materiil. Hadis mulia ini dengan jelas menunjukkan atau dengan pasti menyatakan fakta warisan spiritual itu, seperti yang sudah dijelaskan. Dan maksud Rasulullah Saw. dengan kata-kata beliau:

p: 509

نحن معاشر الأنبیاء لا نورّث

“Kami, para nabi, ticak meninggalkan warisan apa pun.”(1) -dengan asumsi bahwa kata-kata itu memang diucapkan oleh beliau—adalah bahwa para nabi, berdasarkan fungsi kenabian dan warisan spiritual mereka, tidak memberikan warisan materiil, tetapi warisan spiritual berupa ilmu pengetahuan. Dan perkara ini kiranya jelas sekali. Wasalam. []

p: 510


1- 10. Musnad Ahmad, II, 463.

27 Hadis tentang Konsentrasi dan Perhatian Hati

Point

بالسّند المتّصل إلی الشیخ الأجلّ و الثّقة الجلیل، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن عدّة من أصحابنا، عن أحمد بن محمّد، عن ابن محبوب، عن عمر بن یزید، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: فی التّوریة مکتوب: یا ابن آدم، تفرّغ لعبادتی، أملأ قلبک غنی و لا أکلک إلی طلبک، و علیّ أن أسدّ فاقتک و املأ قلبک خوفا منّی. و إن لا تفرّغ لعبادتی، أملأ قلبک شغلا بالدّنیا، ثمّ لا أسدّ فاقتک و أکلک إلی طلبک

Dengan sanadku yang sampai ke syaikh yang amat dimuliakan dan Al-Tsiqah (otoritas tepercaya) Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-ridhwân Allah 'alaih—yang meriwayatkan dari sekelompok sahabat kami, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Ibn Mahbub, dari 'Umar ibn Yazid, dari Abu ´Abdillah a.s. yang mengatakan,

"Termaktub dalam Taurat, 'Wahai putra manusia, jika kamu ‘mengosongkan diri (yaitu melepaskan segala kesibukan lain untuk mempersiapkan diri) bagi ibadah kepada-Ku, Aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan, dan Aku tidak akan meninggalkanmu dalam apa yang kau cari dan dambakan. Dan, Aku pasti akan

menutup pintu kemiskinan bagimu, dan memenuhi hatimu

p: 511

dengan perasaan kagum kepada-Ku. Dan jika kamu tidak 'mengosongkan diri untuk beribadah kepada-Ku, Aku akan mengisi hatimu dengan kesibukan duniawi, dan Aku tidak akan menutup pintu kemiskinan, dan akan meninggalkanmu dalam apa yang kamu cari.(1)

Tafarrugh sama dengan bentuk verbal taful dan tafarragha li kadza artinya dia telah mencurahkan segenap waktunya untuk sesuatu hal tanpa tersibuki oleh hal lainnya’. Tafarrugh hati demi ibadah artinya “mengosongkan” hati demi ibadah sedemikian sehingga tidak memerhatikan hal lain. Para ahli kamus menerangkan kata kerja malâ'a (memenuhi) sebagai berikut.

و ملأ الإناء ماء و من الماء و بالماء، وضع فیه بقدر ما یأخذه

Dia memenuhi bejana itu dengan air, yakni dia mengisi bejana dengan kuantitas yang dapat ditampungnya. Akilu adalah varian orang pertama dari yakilu. Para ahli kamus menerangkan penggunaannya seperti berikut: و کل إلیه الأمر، أی سلّمه و فوّضه و ترکه إلیه و اکتفی به.

Dia “memasrahkan" urusan kepada seseorang. Artinya dia mendelegasikan, memercayakan, dan menyerahkan urusan sepenuhnya pada tanggung jawabnya.

Asuddu, kata kerja pada orang pertama yang berasal dari sadda, yasuddu, saddan, artinya menutup, dan lawan katanya al-fath, yang artinya membuka. Faqah artinya hâjah dan faqr artinya kemiskinan dan kekurangan. Adapun kelihatannya ini (yaitu kata kerja) menunjukkan orang pertama dalam bentuk imperfect tense, dan tidak mungkin kata ini dipakai dalam kasus perintah bersama dengan klausa pertama. Kami akan menerangkan hal-hal yang perlu diterangkan dalam hadis mulia ini dalam beberapa bagian berikut, insya Allah.

Arti Ibadah

Ketahuilah bahwa bebas dari kesibukan lain demi tenggelam dalam ibadah dapat terjadi apabila kita meluangkan waktu dan hati untuknya.

p: 512


1- 1. Al-Kulaini, Ushil Al-Kafi, II, kitab al-iman wa al-hufr, bab al-'ibadah, hadis No. 1.

Dan ini merupakan salah satu hal paling penting dalam ibadah. Tanpa hal ini, kehadiran hati tidak mungkin terjadi dan ibadah yang dilakukan tanpa kehadiran dan perhatian hati tidak bernilai. Ada dua hal yang mendorong perhatian hati. Pertama, memiliki waktu yang luang dan hati yang masih belum disibukkan oleh apa pun; kedua, membuat hati memahami pentingnya ibadah. Yang dimaksud dengan “waktu luang” adalah kita harus menyisihkan waktu khusus untuk ibadah, waktu yang kita curahkan diri semata-mata untuk ibadah, tanpa diganggu pikiran atau kesibukan lain. Kalau kita mau memahami bahwa ibadah adalah satu hal yang penting dan mempunyai arti lebih besar dibandingkan dengan aktivitas lainnya, kita tentu akan menyisihkan waktu untuknya dan dengan saksama memanfaatkan waktu ibadah itu sebaik-baiknya. Setelah paparan singkat di atas, kami akan mencoba menjelaskan pentingnya ibadah secara sekilas.

Orang yang saleh tentu akan memerhatikan waktu-waktu ibadahnya dalam keadaan apa pun. Tentu saja, dia akan memerhatikan waktu-waktu shalat yang merupakan amal ibadah yang penting, melaksanakannya pada waktu-waktunya yang terbaik (awal waktu), dan tidak memikirkan pekerjaan lain selama waktu-waktu itu. Seperti halnya dia sudi menyisihkan waktu khusus untuk mencari nafkah, belajar dan berdiskusi, dia pun juga harus sudi mengkhususkan sebagian waktunya untuk ibadah dan bebas dari pikiran tentang hal lain sehingga dia mendapatkan konsentrasi hati yang merupakan inti ibadah. Namun, seperti penulis ini, kalau dia beribadah karena terpaksa dan menganggap ibadahnya kepada Tuhan sebagai masalah yang kurang penting, tentu saja dia akan menunda-nundanya selama itu dapat ditunda dan dalam beribadah dia tidak bersungguh-sungguh atau asal-asalan karena menganggap ibadah sebagai menghalangi apa yang dibayangkannya sebagai tugas yang lebih penting. Ibadah semacam itu bukan saja tidak memiliki kecemerlangan spiritual, melainkan juga menyebabkan murka Allah dan dia tergolong orang yang meremehkan dan mengabaikan ibadah. Aku berlindung kepada Allah dari meremehkan ibadah dan dari tidak memberikan makna yang sepatutnya terhadap ibadah. Halaman-halaman buku ini tidak dapat memuat seluruh hadis yang ada dalam konteks ini, dan di sini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya demi memetik pelajaran darinya.

p: 513

عن تدین یعقوب پیشتادون ای کممر علیه الشلار قال : ولاتتهاونم نی من بصلاتک و التی صلی الله علیه وآله قال عند موته : لاشتق یصلاته لیش منی من شرب مسکر لایرد علی الموضةوالله

Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) meriwayatkan dengan isnâdnya dari Abu Ja'far a.s. yang berkata kepada Zurarah-semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas beliau, “Janganlah melalaikan shalatmu. Sesungguhnya ketika menjelang wafatnya, Nabi Saw. berkata, 'Orang yang menggampangkan shalatnya bukanlah golonganku, orang yang mereguk minuman yang memabukkan juga demikian, dan demi Allah dia tidak akan kembali kepadaku di kolam (Al-Kautsar).(1)و بإسناده عن أبی بصیر، قال قال أبو الحسن الأوّل، علیه السّلام: لمّا حضرت ابی الوفاة، قال لی: یا بنیّ، لا ینال شفاعتنا من استخفّ بالصّلاة

Al-Kulaini meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Abu Bashir bahwa Abu Al-Hasan Al-Awwal (Imam Al-Kazhim) a.s. berkata, “Pada saat wafatnya ayahku berkata kepadaku, 'Putraku, orang yang menggampangkan shalat tidak akan menerima syafaat (perantaraan)-ku.(2)

Masih banyak lagi hadis mengenai hal ini, tetapi hadis-hadis yang dikutip di atas sudah cukup bagi orang yang mau mengambil pelajaran. Allah mengetahui bencana besar macam apakah kalau orang terpisahkan dari Rasulullah Saw. dan kalau tidak mendapat pertolongan beliau! Betapa suatu kehinaan besar kalau orang tidak mendapatkan syafaat Rasul dan Ahl Al-Bait beliau yang mulia! Jangan bayangkan bahwa orang akan menerima ampunan Allah dan masuk ke surga yang telah dijanjikan tanpa perantaraan dan perlidungan insan mulia itu. Nah, perhatikan apakah dirimu lebih mengutamakan hal-hal yang remeh atau sesuatu yang manfaatnya hanya bersifat imajiner dibandingkan dengan shalat yang merupakan sesuatu yang amat dicintai Rasulullah Saw. dan sarana utama mendapatkan rahmat Allah? Mengabaikan, menunda-nundanya tanpa alasan yang benar, dan

p: 514


1- 2. Furu Al-Kafi, Ill, 269.
2- 3. Ibid., III, 270.

tidak memerhatikan prasyarat-prasyaratnya, sama dengan mengentengkan shalat. Jika begitu, ketahuilah bahwa kamu sesuai dengan kesaksian Rasulullah Saw. dan kesaksian para Imam yang maksum a.s., telah keluar dari wilayah mereka dan tidak akan mendapatkan syafaat mereka. Camkan, kalau kamu memerlukan syafaat mereka dan ingin menjadi umat Rasulullah Saw., jagalah amanat Allah ini dan pandanglah ia sebagai sesuatu yang penting! Jika tidak, bersiaplah kamu menghadapi akibat-akibat kelalaianmu itu. Allah dan para kekasih-Nya tidak membutuhkan pekerjaan-pekerjaanmu dan pekerjaan-pekerjaanku.

Yang justru ditakutkan bahwa jika kamu tidak dapat mementingkannya sebagaimana semestinya, sehingga hal itu sampai membuatmu meninggalkannya atau pada akhirnya kamu menyangkalnya sebagai kewajiban, dirimu akan terkutuk dan celaka untuk selamanya. Hal yang lebih penting daripada meluangkan waktu untuk shalat adalah meluangkan hati, meskipun meluangkan waktu merupakan prasyarat untuk bisa meluangkan hati. Memiliki hati yang luang artinya bahwa pada waktu shalat atau ibadah lainnya, kita harus melepaskan diri dari urusan dan dari memikirkan hal-hal duniawi, dan memalingkan hati kita jauh-jauh dari segala perhatian duniawi, dengan mengosongkan hati sepenuhnya demi ibadah dan berdoa kepada Allah. Kalau kita tidak dapat membersihkan hati kita dari hal-hal ini, kita tidak bakal memperoleh keadaan yang diperlukan untuk ibadah. Celakanya, kita acap menimbun segala jenis pikiran sesat sampai waktu ibadah kita ikut tersita olehnya. Begitu kita mengucapkan takbir al-ihram untuk shalat, seakan-akan kita membuka toko atau buku besar akuntasi atau album. Hati kita mengembara ke masalah-masalah lain dan kita menjadi sepenuhnya lalai pada shalat kita. Ketika kita sadar, kita telah sampai pada saat salam terakhir. Akibatnya, kita menjalankan shalat sebagai kebiasaan belaka. Sesungguhnya ibadah seperti ini memalukan, dan berdoa kepada Allah dengan cara seperti ini merupakan aib.

Saudaraku, bandingkan shalat yang kamu lakukan dengan percakapanmu dengan salah seorang hamba-Nya yang tidak berarti. Jadikan keadaanmu sewaktu shalat layaknya keadaanmu sewaktu berbicara dengan orang asing—apalagi seorang kawan—yang begitu kamu per-

p: 515

hatikan sampai kamu lupa dengan orang lain. Mengapa ketika berbincang dan berkomunikasi dengan Tuhanmu, Pemberi rezekimu dan Tuhan sekalian alam, kamu tidak sepenuhnya memerhatikan-Nya, dan yang kamu perhatikan bahkan hal-hal lain? Apakah kedudukan dan nilai makhluk lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan dan nilai Zat Suci Tuhan? Apakah berbincang dengan makhluk lebih bernilai dibandingkan dengan berdoa kepada yang memenuhi seluruh

kebutuhanmu? Memang, aku dan kamu tidak mengetahui arti berdoa kepada Allah. Kita menganggap kewajiban-kewajiban dari Allah itu sebagai beban dan paksaan. Dan tentunya, seseorang akan bersikap ogah-ogahan dalam melaksanakan beban dan paksaan. Karena itu, sumber masalah ini perlu diperbaiki. Kita harus mencari sumber keimanan kepada Allah dan mendengar nasihat serta peringatan para nabi, sehingga kita dapat memperbaiki keadaan kita yang menyedihkan ini.

Segenap kemalangan kita terjadi karena kelemahan iman kita dan belum mantapnya keyakinan kita. Imannya Sayyid ibn Thawus-ridhwân Allâh'alaih—telah membawanya pada keadaan sehingga beliau selalu merayakan setiap hari ulang tahunnya menjadi mukallaf, karena pada hari itu Allah telah menganugerahinya izin untuk beribadah kepada-Nya dan telah mengenakan atasnya pakaian taklif (kewajiban syariat). Coba bayangkan, betapa suci dan cemerlang hati beliau itu!

Kalau perilaku Sayyid mulia itu bukan merupakan dalil yang mengikat (hujjah) bagimu, perilaku pemimpin kaum pengesa Allah (Sayyid Al-Muwahhidîn) yaitu Nabi Saw., dan keturunan beliau yang maksum tentu merupakan hujah bagimu. Pelajarilah keadaan jiwa-jiwa mulia itu dan sifat ibadah, shalat, dan doa mereka. Ketika sedang shalat, warna wajah mulia mereka menjadi pucat dan tubuh mereka bergetar ketakutan. Mereka takut jangan-jangan ada yang terlewatkan dalam beribadah kepada Allah, meskipun mereka itu sejatinya maksum dan terhindar dari kekurangan. Semua orang tahu bahwa kaki mulia Maulâ ('Ali ibn Abi Thalib)

pernah tertusuk anak panah sampai beliau tidak sanggup menanggung beban sakit yang luar biasa saat hendak dicabut. Lalu, beliau meminta anak panah itu dicabut ketika beliau melakukan shalat,

p: 516

sampai akhirnya beliau bahkan tidak tahu kalau anak panah itu sudah dicabut. Saudaraku, hilangnya rasa sakit dalam keadaan seseorang berkonsentrasi bukan tidak mungkin. Hal seperti itu sangat sering terjadi kepada orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Terkadang seorang pria benar-benar lupa segalanya ketika sedang marah atau dimabuk cinta. Salah seorang sahabat kita yang tepercaya pernah meriwayat- kan bahwa “ketika sedang bertempur melawan para bajingan di Isfahan, saya melihat bahwa sebagian dari mereka menghujaniku dengan kepalan tinju mereka, dan aku tidak tahu pukulan seperti apa itu. Kemudian, ketika pertempuran usai dan saya sadar, saya ternyata menderita beberapa luka akibat pisau yang digunakan mereka untuk menyerang saya. Saya terbaring di tempat tidur selama beberapa hari sebelum akhirnya saya sembuh dari luka-luka itu”. Tentu saja, alasan di balik itu jelas: apabila perhatian jiwa tertuju pada hal tertentu, jiwa sepenuhnya lupa pada tubuhnya, dan tidak dapat merasakan keadaan jasmaninya. Segenap perhatiannya terserap oleh satu hal saja. Manakala kita berdebat sengit dalam suatu majelis-semoga Allah melindungi kita dari hal ini—kita sering melihat diri kita menjadi benar-benar lupa pada segala yang lain yang terjadi di sekitar kita. Namun sayang, yang menyerap perhatian kita bukannya ibadah kepada Allah, melainkan hal-hal sepele seperti itu. Itulah sebabnya mengapa kita cenderung menganggap peristiwa-peristiwa seperti itu (peristiwa Imam 'Ali) sebagai kemustahilan.

Bagaimanapun, terlepasnya hati dari segala sesuatu selain Allah merupakan hal yang penting dan harus kita coba dengan sekuat daya. Keadaan itu mungkin dan mudah terjadi dengan sedikit perhatian dan kewaspadaan. Kita harus berusaha sejenak untuk mengendalikan terbangnya khayalan kita, dan menahannya kapan pun ia hendak terbang dari satu cabang ke cabang lain. Setelah masa pengendalian itu, khayalan akan menjinak dan tidak mengembara ke mana-mana.

Menurut suatu peribahasa, teres (kebaikan adalah kebiasaan). Artinya, setelah terlepas dari khayalan-khayalan lain, pikiran kita akan menjadi terbiasa memerhatikan Allah dan penghambaan kepada-Nya.

p: 517

Di antara prasyarat terpenting untuk ibadah adalah kehadiran hati yang sebenarnya merupakan esensi ibadah. Tanpa itu, ibadah tidak ada artinya dan tidak diterima di sisi Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis suci berikut:

کافی: بإسناده عن أبی جعفر و أبی عبد الله، علیهما السلام، أنّهما قالا: إنّما لک من صلاتک ما أقبلت علیه منها، فإن أوهمها کلّها، أو غفل عن آدابها، لفّت فضرب بها وجه صاحبها.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Abu Ja'far dan Abu 'Abdillah a.s. yang keduanya berkata kepada Fudhail ibn Yasar, “Pahala yang kamu dapatkan dari shalatmu bergantung pada sejauh mana kamu melakukannya dengan hati yang hadir. Dan jika seseorang merusaknya atau melalaikan etiketnya, shalat itu akan dilemparkan ke wajah pelakunya.(1)

رضوان الله علیه، فی التّهذیب، بإسناده عن الثّمالیّ قال: رأیت علیّ بن الحسین، علیهما السّلام، یصلّی، فسقط رداؤه عن منکبه فلم یسوّه حتّی فرغ من صلاته. قال: فسألته عن ذلک، فقال: ویحک! أ تدری بین یدی من کنت؟ إنّ العبد لا یقبل منه صلاة إلّا ما أقبل منها. فقلت: جعلت فداک، هلکنا! قال: کلّا، إنّ الله متمّم ذلک للمؤمنین بالنّوافل

Al-Syaikh Muhammad ibn Al-Hasan (Al-Thusi-ridhwan Allah 'alaih...-meriwayatkan dalam Al-Tahdzib dengan sanadnya dari Abu Hamzah Al-Tsumali yang mengatakan, “Aku melihat ‘Ali ibn Al-Husain (Zainal Abidin) a.s. sedang menunaikan shalat ketika mantelnya jatuh dari kedua bahunya. Imam tidak memperbaikinya

sampai beliau menyelesaikan shalatnya. Ketika aku tanyakan hal ini kepada beliau, beliau berkata, "Celaka kamu, tidakah kamu tahu di hadapan siapa aku berdiri? Yang diterima dari shalatnya seorang hamba adalah apa yang dilakukannya dengan perhatian hati yang penuh.' Lalu, aku berkata kepada beliau, “Semoga aku

p: 518


1- 4. Ibid., III, 363.

menjadi tebusan bagi Anda (kalau memang demikian), maka kami (yaitu orang-orang seperti kami) celakalah sudah!' Beliau menjawab, 'Tidak juga. Sesungguhnya, Allah mengganti kerugian itu bagi orang Mukmin dengan shalat-shalat sunnah.(1)

و عن الخصال: بإسناده عن علیّ، علیه السّلام، فی حدیث الأربعمائة، قال: لا یقومنّ أحدکم فی الصّلاة متکاسلا و لا ناعسا، و لا یفکرنّ فی نفسه، فإنّه بین یدی ربّه عزّ و جلّ. و إنّما للعبد من صلاته ما أقبل علیه منها بقلبه

Dalam Al-Khishâl, (Al-Syaikh Al-Shaduq) meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Ali a.s. yang mengatakan, “Janganlah kamu melakukan shalat dalam keadaan malas atau mengantuk, juga jangan biarkan pikiranmu mengembara ke mana-mana (sewaktu shalat). Sebab, shalat itu adalah berdiri di hadapan Tuhanmu. Sesungguhnya, pahala yang didapat seorang hamba dari shalatnya selaras dengan yang dilakukannya sepenuh perhatian.(2) Masih banyak lagi hadis seputar hal ini dan juga manfaat-manfaat kehadiran hati. Di sini, kami akan mengutip sebagian yang memadai bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

عن محمّد بن علیّ بن الحسین، صدوق الطائفة، بإسناده عن عبد الله بن أبی یعفور، قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: یا عبد الله، إذا صلّیت، فصلّ صلاة مودّع یخاف أن لا یعود إلیها أبدا، ثمّ اصرف ببصرک إلی موضع سجودک. فلو تعلم من عن یمینک و شمالک، لأحسنت صلاتک، و اعلم أنّک بین یدی من یراک و لا تراه.

Muhammad ibn `Ali ibn Al-Husain, yang bergelar Syaikh Al-Shaduq, meriwayatkan dengan isnâd-nya dari 'Abdullah ibn Abi Ya'ſur bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata kepadanya, “Wahai Abdullah, apabila kamu menunaikan shalat, shalatlah kamu seperti orang yang mengucapkan salam perpisahan dan takut kalau-kalau tidak akan pemah kembali lagi (yaitu shalat yang seakan-akan itu adalah shalat

p: 519


1- 5. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, IV, 688.
2- 6. Ibid., IV, 687.

terakhir dalam hidupmu). Lalu, pusatkan pandanganmu ke tempat sujudmu. Kalau kaniu tahu bahwa ada seseorang di sebelah kiri dan kananmu, kian perhatikanlah shalatmu; ketahuilah bahwa kamu berdiri di hadapan Zat yang melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Nya.(1)

و بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، فی حدیث أنّه قال: لأحبّ للرّجل المؤمن منکم إذا قام فی صلاة فریضة أن یقبل بقلبه إلی الله و لا یشغل قلبه بأمر الدّنیا. فلیس من عبد یقبل بقلبه فی صلاته إلی الله تعالی، إلّا أقبل الله إلیه بوجهه و أقبل بقلوب المؤمنین إلیه بالمحبّة بعد حبّ الله إیّاه

Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Aku paling menyukai orang Mukmin yang menghadap Allah dengan hatinya pada saat shalat, dan tidak mengisinya dengan masalah-masalah duriawi. Sebab, apabila seorang hamba menghadap Allah dengan sepenuh hati selama shalat, Allah akan menghadapkan Wajah-Nya kepadanya,

dan menghadap pulalah hati orang-orang Mukmin kepadanya dengan kasih sayang karena kasih sayang Allah kepadanya.(2)

Coba renungkan berita bagus dan menyenangkan dari si tepercaya (al-shâdiq) keluarga Muhammad Saw. kepada orang Mukmin! Namun malang, kita tertutupi dari pengetahuan tentang dan perhatian (tawajjuh) kepada Allah yang mau bersahabat dan menerima kita. Kita menyamakan cinta-Nya dengan cinta makhluk-makhluk-Nya! Mereka yang memiliki ma'rifah menyatakan bahwa Allah menyingkirkan pelbagai tirai dari pandangan orang-orang yang dikasihi-Nya. Hanya

Allah yang mengetahui kemuliaan-kemuliaan apa yang terdapat pada penyingkapan tirai seperti itu. Itulah harapan dan tujuan akhir para wali.

Amir Al-Mukminin a.s. beserta keturunannya yarg mulia meminta kepada Allah dalam doa yang dikenal sebagai Munajat Sya'bâniyyah dengan berkata:

p: 520


1- 7. Ibid., IV, 685.
2- 8. Ibid., IV, 686.

إلهی، هب لی کمال الانقطاع إلیک، و أنر أبصار قلوبنا بضیاء نظرها إلیک حتّی تخرق أبصار القلوب حجب النّور، فتصل إلی معدن العظمة، و تصیر أرواحنا معلّقة بعزّ قدسک »

Tuhanku, anugerahilah aku keterserapan yang total kepada-Mu, dan terangilah penglihatan hati kami dengan cahaya PenglihatanMu, sampai pandangan hati-hati ini dapat menembus tirai-tirai cahaya dan mencapai sumber Keagungan dan ruh-ruh kami berlabuh di ambang pintu Kesucian-Mu.(1) Tuhanku! Penerangan penglihatan hati seperti apa yang dimohon dan ingin dicapai oleh para wali-Mu? Wahai Tuhan, tirai-tirai penyembunyi cahaya seperti apa yang dibicarakan para Imam kami yang maksum itu? Bagaimanakah sumber keagungan, kemuliaan, kesucian, dan kesempurnaan yang pencapaiannya merupakan tujuan yang didambakan selalu oleh jiwa-jiwa yang suci itu dan selalu berada di luar pengetahuan teoretis kami, dan tentu saja belum pernah kami alami dan saksikan? Wahai Tuhan, wajah-wajah kami hitam legam dan hari-hari kami gelap gulita; kami tidak tahu apa-apa di luar kerakusan dan tidur lelap, kebencian dan hawa nafsu; kami tidak berupaya menemukan apa pun di luar itu semua. Pandanglah kami dengan kelembutan-Mu, bangunkanlah kami dari tidur nyenyak ini dan dari kealpaan jiwa yang membius ini. Bagaimanapun, hadis ini sudah cukup untuk orang-orang yang patut mendapatkan pelajaran dan mau menghabiskan segenap hidup mereka untuk mencapai cinta Allah dan untuk mencari WajahNya. Namun, mengenai orang-orang seperti kita, yang bukan dari ladang dan lembah ini, sebaiknya kita mencamkan hadis-hadis lain seperti berikut ini:

عن ثواب الأعمال بإسناده عمّن سمع أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: من صلّی رکعتین یعلم ما یقول فیهما، انصرف و لیس بینه و بین الله ذنب إلّا غفر له

p: 521


1- 9. Mafâtih Al-Jinân, al-munâjât al-sya'bâniyyah.

Dalam Tsawâb Al-A'mâl, Al-Syaikh Al-Shaduq meriwayatkan dengan isnâd-nya dari seseorang yang mendengar Al-Imam Al-Shadiq a.s. bahwa Imam mengatakan, “Orang yang melakukan dua rakaat shalat dan mengetahui apa yang dia ucapkan dalam shalatnya, setelah menyelesaikannya, Allah akan mengampuni segala

dosanya yang ada antara dirinya dan Allah.(1)

و عن رسول الله، صلّی الله علیه و آله، أنّه قال: رکعتان خفیفتان فی تفکّر خیر من قیام لیلة

Rasulullah Saw bersabda, “Dua rakaat yang dilakukan dengan bertafakur lebih baik dibandingkan dengan ibadah semalam suntuk (qiyam al-lail).(2)

Berbagai Tingkat Konsentrasi

Setelah mengetahui bahwa hati yang penuh perhatian merupakan jantung dan ruhnya ibadah, dan bahwa kecemerlangan dan derajat kesempurnaannya ditentukan oleh derajat perhatian hati, perlu diketahui bahwa terdapat berbagai tingkat perhatian hati. Sebagiannya hanya dicapai oleh para wali Allah, sedangkan orang lain tidak mampu mendaki ke puncak-puncak itu; namun sebagian tingkatnya dapat dicapai oleh kebanyakan orang. Dan perlu diketahui pula bahwa perhatian dalam ibadah pada umumnya dapat dibagi menjadi dua jenis utama. Pertama, perhatian hati terhadap ibadah; kedua, perhatian hati terhadap Allah.

Sebelum menerangkan masalah ini, perlu kami sebutkan dulu satu pengantar, yaitu begini: kaum ‘ârif mengatakan bahwa ibadah itu pada dasarnya adalah pemujaan Tuhan. Namun, tiap-tiap ibadah adalah pemujaan Allah menurut salah satu Nama atau Sifat-Nya, kecuali shalat yang merupakan pemujaan terhadap Allah dengan segenap Nama dan Sifat-Nya. Ketika menjelaskan beberapa hadis yang lampau, kami te ah menyebutkan bahwa memuji Sesembahan merupakan kecenderungan yang tertanam dalam diri semua manusia Hal itu merupakan suatu keharusan yang dituntut oleh fitrah yang membuat manusia tunduk dalam kerendahan hati terhadap Zat yang Mahasempura, Mahaindah, Pemberi rezeki, dan Mahabesar. Dan

p: 522


1- 10. Wasâ'il Al-Syi'ah, IV, 686.
2- 11. Ibid., IV, 688.

karena tidak seorang pun dapat menemukan makna hakiki memuji Zat Suci--karena hal itu bergantung pada mengetahui Zat dan Sifat-Nya dan hakikat hubungan timbal-balik antara alam nyata dan alam gaib—tidak mudah bagi orang untuk mengetahuinya kecuali melalui sarana wahyu dan ilham dari Allah. Oleh karena itu, amal-amal ibadah sepenuhnya ditentukan oleh Allah dan tidak satu pun berhak membuat aturan-aturannya sendiri dalam hal ini dan memperbarui aturan ibadah. Jenis upacara penghormatan yang dianut di istana-istana para raja dan pangeran tidak ada arti atau nilainya di hadapan Zat Suci-Nya. Oleh karena itu, manusia harus duduk, memerhatikan, dan mempelajari cara beribadah melalui perantaraan wahyu dan kenabian, serta tidak boleh membuat-buat sendiri. Setelah tahu bahwa ibadah merupakan pemujaan terhadap Zat yang Disembah (Ma'bûd), perlu dicatat bahwa konsentrasi dan perhatian hati ada dua jenis utama: perhatian terhadap ibadah dan perhatian terhadap Ma'bûd.

Perhatian terhadap Ibadah

Jenis perhatian ini memiliki berbagai derajat yang dapat dibagi menjadi dua tingkat utama. Pertama, adalah perhatian yang tidak sempurna dan ringkas (ijmâli). Dalam jenis perhatian ini, sementara menunaikan satu tindakan ibadah-apa pun tindakan ibadah itu, apakah berkaitan dengan thahârah, seperti wudhu atau ghusl, atau dengan shalat, puasa, atau haji atau lainnya secara sepintas orang ini mengetahui bahwa dia sedang mengagungkan Tuhan, meskipun dia tidak mengetahui sifat pengagungannya sendiri dan juga tidak mengerti Nama Tuhan yang mana yang dia puji. Syaikh kami, Syahabadi, seorang 'ârif yang sempurna dan semoga

jiwaku menjadi tebusannya, menyebutkan sebuah analogi yang membandingkan ibadah jenis ini dengan bacaan seorang anak yang diminta untuk membacakan sebuah pujian untuk seseorang. Anak yang dirinya sendiri tidak memahami pujian itu diberi tahu bahwa hal itu dimaksudkan untuk memuji orang sehingga di hadapan orang itulah pujian dibacakan. Ketika dia membacanya, anak itu tahu secara ringkas bahwa dia sedang memuji seseorang tanpa mengetahui sifat pujian-

p: 523

nya. Kita juga adalah anak-anak yang melantunkan pujian untuk Allah tanpa mengetahui rahasia-rahasia yang ada dalam tindakan-tindakan ibadah kita. Kita juga tidak memahami sifat hubungan yang dimiliki oleh tiap-tiap dari bentuk-bentuk Ilahiah ini dengan Nama Ilahiah, juga tidak tahu dengan cara bagaimana itu merupakan pemujaan terhadap Zat Yang Mahasempurna sebagaimana telah Dia gariskan dan Dia perintahkan untuk melakukan-Nya dengan cara seperti

itu di hadapan-Nya yang Suci. Tingkat lain perhatian hati adalah perhatian yang rinci (tafshili) terhadap ibadah; orang tidak mungkin mencapai tingkat ini secara

sempurna kecuali para wali yang ikhlas dan para ‘ârif. Namun, beberapa derajatnya yang rendah dapat dicapai oleh orang lain, yaitu tahap pertama berupa memusatkan perhatian pada makna kata-kata dalam shalat dan doa. Hadis yang telah dikutip di atas dari Tsawab Al-A'mâl merujuk ke tahap ini. Tahap berikutnya adalah bahwa orang harus memahami semampunya misteri-misteri ibadah dan sifat pemujaan terhadap Ma'bûd yang mendasari tiap-tiap bentuk ritual. Para

'âriſ sedikit banyak telah melukiskan misteri-misteri shalat dan bentuk-bentuk lain ibadah. Sejauh mungkin 'ârif telah memperoleh manfaat dari pernyataan-pernyataan yang terkandung dalam hadis-hadis para ma'shûmîn a.s. Sekalipun orang jarang dapat memahami hakikat masalah itu, apa pun yang telah dikemukakan merupakan satu karunia cuma-cuma bagi yang berbakat untuk itu.

Perhatian terhadap Ma'bûd

Perhatian hati terhadap Ma'büd juga memiliki berbagai derajat yang dapat dibagi menjadi tiga derajat utama. Pertama, berkaitan dengan memusatkan perhatian hati pada penampakan Ilahi (iajalliyât) dalam berbagai tindakan-Nya. Kedua, berkaitan dengan pemusatan perhatian hati pada tajalli Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Ketiga, berupa pemusatan perhatian hati pada tajalli Zat. Tiap-tiap tingkat ini terdiri dari empat wilayah, yang secara umum dapat disebut sebagai wilayah

pengetahuan, wilayah keimanan, wilayah pengalaman langsung, dan wilayah fanâ’ (kehilangan diri sendiri).

p: 524

Yang dimaksud dengan pemusatan perhatian hati pada tajali dalam berbagai tindakan-Nya pada wilayah pengetahuan adalah bahwa hamba yang bersuluk mengetahui dengan dalil dan meyakini bahwa segenap tingkatan wujud dan segala tingkatan yang dapat dilihat dan yang gaib merupakan pengejawantahan dari Curahan-curahan (rahmat) Zat Suci. Semua itu, mulai dari tingkat-tingkat rendah alam natural sampai ke sumber malakût yang tinggi dan jabarût yang besar

adalah sama dan secara seragam hadir di hadapan Kesucian-Nya. Mereka itu merupakan perwujudan kehendak-Nya yang membentang, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis suci berikut dari Al-Kâfi:

عن أبی عبد الله، علیه السّلام: خلق الله المشیّة بنفسها، ثمّ خلق الأشیاء بالمشیّة.

Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Allah menciptakan kehendak itu dengan sendirinya, lalu mewujudkan segalanya melalui peran- taraan kehendak tersebut. (1)

Oleh karena itu, kehendak itu sendiri merupakan perwujudan Zat, dan semua maujud lain diciptakan melalui sarana kehendak. Namun, di sini kami tidak bermaksud memberikan dalil untuk pokok persoalan yang tinggi ini. Hamba yang memahami masalah ini pada tingkat teori dan dalil metafisis tahu bahwa wujudnya sendiri, ataupun ibadahnya, pengetahuannya, kehendaknya, hatinya, tindakan hatinya, dan wujud batiniah ataupun lahiriahnya-semuanya itu hadir di hadapan kesucian-Nya, atau bahkan semuanya itu merupakan kehadiran itu sendiri. Kalau pena akalnya menuliskan kebenaran ini di lembaran hatinya, dan kalau hati menjadi yakin pada premis aksiomatis ini melalui sarana latihan-latihan teoretis dan praktis, dia akan mendapatkan hatinya memerhatikan tajali-tajali pada wilayah keimanan. Setelah iman menyempurna karena pelatihan dan kezuhudan dan ketakwaan sempurna hati tercapai, sang hamba yang bersuluk menuju Allah itu melalui bimbingan Ilahiah diberi kesempatan untuk menyaksikan tajalliyât, tindakan-tindakan llahi langsung dilihat dan disaksikannya dengan hatinya, sampai hatinya menjadi

p: 525


1- 12. Ushủl Al-Kafi, I, kitâb al-tauhid, bâb al-irâdah annahâ min shifah al-fi'l, hadis No. 4.

cermin sempurna bagi tajalliyât itu, dan dia mencapai keadaan pingsan (sha'q) dan kesirnaan (fana'). Inilah tahap perhatian yang pada puncaknya membuat pemerhati itu terserap dalam tajalliyât tindakan-tindakan. Banyak di antara para penempuh jalan 'irfan tetap untuk selamanya tenggelam dalam keadaan pingsan ini dan tidak pernah sadar kembali. Kalau hati sang penempuh jalan itu lebih besar kemampuannya dibandingkan dengan ini sebagai hasil dari cahaya curahan kudus

(faidh aqdas) di alam pra-keabadian, dia akan sadar dari pingsan ini, kembali bermasyarakat (uns) dan kembali ke wilayahnya dan menerima tajalliyât Nama-Nama dan, dengan melewati tahap-tahap yang sama, mencapai kesirnaan dalam Sifat-Sifat (fanâ' shiſäti) yang sebanding dengan prototipe abadinya ('ain tsâbit), menjadi sirna dalam salah satu Nama Ilahiah. Banyak penempuh jalan ‘irſân tetap dalam keadaan fanâ dalam Nama-Nama (fanâ' asmâ î) dan tidak sadar kembali.

Mungkin hadis suci berikut ini merujuk pada kelompok wali ini:

إنّ أولیائی تحت قبابی لا یعرفهم غیری “Sesungguhnya, para kekasih-Ku berada di bawah jubah-Ku. Tidak ada yang mengenali mereka kecuali Aku.(1) Dan kalau kemampuan yang diberikan kepadanya oleh perwujudan curahan Mahasuci (dalam prakeabadian) itu lebih besar dibandingkan dengan ini, dia akan sadar dari pingsan dari kesirnaan ini, kembali bergaul, sadar lagi, dan menerima tajalliyât Zat, sampai men- capai tahap terakhir fanâ' dalam Zat dan pingsan total, dan kemudian perjalanannya berakhir dan tercapai pulalah fanâ’ yang sempurna. Sebagian mengatakan bahwa ayat:

«وَمَنْ یُهَاجِرْ فِی سَبِیلِ اللَّهِ یَجِدْ فِی الْأَرْضِ مُرَاغَمًا کَثِیرًا وَسَعَةً وَمَنْ یَخْرُجْ مِنْ بَیْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَی اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ یُدْرِکْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَی اللَّهِ وَکَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِیمًا (100)»

Barang siapa keluar dari rumahnya untuk hijrah ke Allah dan rasul-Nya, dan kemudian maut merenggutnya, balasannya ada pada Allah .... (QS Al-Nisa' [4]: 100)

menunjuk ke kelompok wali Allah ini dan penempuh jalan kepada-Nya, dan pahala para penempuh jalan ini hanya pada Zat Suci.

p: 526


1- 13. Al-Ghazali, Thyâ' 'Ulûm Al-Dîn, IV, 256.

Dan kadang-kadang penempuh jalan itu kembali dari kedudukan ini, lantas sesuai dengan kemampuannya dan lingkup prototipe abadinya, dia mengabdikan dirinya untuk membimbing para makhluk:

«یَا أَیُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1)» «قُمْ فَأَنْذِرْ (2)»

Wahai yang berselimut, bangun, dan berilah peringatan! (QS Al-Muddatstsir (74]: 1-2)

Dan lantaran prototipe abadi beliau berasal dari Nama Teragung Allah (ism a'zham), dia menjadi penyempurna kenabian. Dan begitulah yang terjadi pada Rasulullah dan penutup agung para Nabi Saw. Prototipe abadi semua makhluk, sejak dari makhluk yang pertama sampai yang terakhir, atau prototipe abadi para nabi dan rasul, tidak ada yang langsung berasal dari Nama Teragung Allah dan juga tidak mengungkapkan Zat Ilahiah dalam segala segi-Nya. Oleh karena itu,

realitas Esensial Rasul mewujudkan segenap aspek Zat Ilahiah. Perwujudan suci ini menandai akhir bimbingan, meliputi segenap realitas, dan membawa kenabian ke puncaknya. Dan kalau ada wali Allah yang mencapai kedudukan ini dengan mengikuti zat suci Nabi dan melalui bimbingan beliau, intuisi (kasyn-nya akan menjadi sama dengan beliau, padahal pengulangan sedemikian tidak mungkin terjadi. Dengan demikian, kenabian disempurnakan oleh wujud suci Baginda Nabi dan batu bata terakhir kenabian diletakkan oleh beliau, seperti yang disebutkan dalam hadis.

Perlu diketahui bahwa ibadah dan keadaan spiritual orang-orang yang berada pada tiap-tiap kedudukan tersebut sangat berbeda-beda dan beragam. Masing-masing memiliki bagian yang sesuai dengan kedudukannya. Tentu saja, apa yang dialami oleh Imam Al-Shadiq a.s. dalam beribadah merupakan sesuatu yang tidak mungkin dialami oleh orang selain beliau. Diriwayatkan dari Sayyid Ibn Thawus- semoga Allah menyucikan jiwanya—sebagaimana disebutkan dalam kitab Falah Al-Sâ’il bahwa beliau mengatakan: فقد روی أنّ مولانا، جعفر بن، محمّد الصادق، علیه السّلام، کان یتلو القرآن فی صلاته، فغشی علیه فلمّا أفاق سئل ما الّذی أوجب ما انتهت

حالک إلیه؟ فقال ما معناه: ما زلت أکرّر آیات القرآن حتّی بلغت إلی

p: 527

حال کأنّنی سمعتها مشافهة ممّن أنزلها علی المکاشفة و العیان، فلمتقم القوّة البشریّة بمکاشفة الجلالة الالهیّة

Diriwayatkan bahwa maulâ kami, Ja'far ibn Muhammac Al-Shadiq a.s. suatu kali membaca Al-Quran dalam shalatnya. Beliau lalu jatuh pingsan dan ketika kembali sadar, beliau ditanya, “Apa yang menyebabkan Anda demikian?” Imam menjawab, yang artinya, “Aku terus mengulang ayat-ayat Al-Quran itu sampai aku mencapai

suatu keadaan seakan-akan aku mendengarnya langsung dari Zat yang telah menurunkannya. Menyaksikan keagungan Allah itu di luar kemampuan manusia (maka itu aku jadi pingsan--peny.)(1)

Keadaan yang dialami Rasulullah Saw. tidaklah mungkin dialami oleh semua makhluk lain, seperti yang disebutkan dalam hadis masyhur berikut ini:

لی مع الله حال لا یسعه ملک مقرّب و لا نبیّ مرسل

“Aku mengalami suatu keadaan bersama Allah yang malaikat muqarrab atau nabi yang diutus pun tidak mencapainya.(2) Kita cukupkan wacana ini sampai di sini karena kita tidak tahu apa pun tentangnya kecuali hanya sebatas kata-kata. Yang paling penting bagi orang-orar.g seperti kita yang jauh dar: maqâm para wali untuk tidak menyangkal keberadaan maqam-maqâm tersebut. Menerima kebenaran perihal para wali memiliki manfaat yang besar, sementara menolaknya—semoga Allah melindungi kita-akan me- اللهمّ إنّی مسلم لأمرهم، صلوات الله علیهم أجمعین .nimbulkan kerugian yang besar ,Ya Allah) ذا aku menerima perihal mereka. Shalawat Allah semoga tercurahkan atas mereka semua.)

Perwujudan Perbuatan di Akhirat

Ketahuilah bahwa konsertrasi hati (hudhûr al-qalb) dalarn ibadah tidak dapat tergapai tanpa pemahaman hati akan arti penting amalan-amalan ibadah, dan itu tidak mungkin tanpa memahami pelbagai rahasia (sirr) dan hakikatnya. Sekalipun hal semacam itu ada di luar pengetahuan kita, sesuai kemampuan orang seperti saya, saya akan

p: 528


1- 14. Falah Al-Sâ’il, 107.
2- 15. Lihat Furuzanfar, Ahadits-i Matsnawi, 39.

menyebutkan apa yang dapat disimpulkan dari hadis-hadis Ahl Al-Bait yang maksum a.s. dan pernyataan-pernyataan para 'âriſ, sejauh hal itu tepat untuk halaman-halaman ini. Ketahuilah bahwa sebagaimana telah berkali-kali dikemukakan di muka—setiap amal kebajikan dan ibadah memiliki bentuk batiniah dan malakûtî-nya, dan memiliki pengaruh pada hati hamba. Bentuk batiniah inilah yang muncul di bangunan alam-alam barzakh dan surga jasmani, sebab tanah surga merupakan lapangan kosong seperti yang disebutkan dalam sejumlah hadis. Shalat dan perbuatan kita merupakan bahan untuk membangun lapangan itu, seperti yang disebutkan dalam hadis, dan terdapat banyak ayat dalam Kitab Suci Allah yang menunjukkan penjelmaan amal-amal kita, seperti beberapa firman Allah berikut ini

(8)» «فَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ(7)» «وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ

Dan barang siapa berbuat kebaikan sebesar zarah, dia akan melihatnya, dan barang siapa berbuat kekejian sebesar zarah, dia akan melihatnya. (QS Al-Zalzalah (99: 7-8) «وَوُضِعَ الْکِتَابُ فَتَرَی الْمُجْرِمِینَ مُشْفِقِینَ مِمَّا فِیهِ وَیَقُولُونَ یَا وَیْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْکِتَابِ لَا یُغَادِرُ صَغِیرَةً وَلَا کَبِیرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا یَظْلِمُ رَبُّکَ أَحَدًا (49)» Dan mereka akan menemukan segenap yang telah mereka lakukan hadir (di hadapan mereka). (QS Al-Kahfi (18]: 49)

Hadis-hadis yang menunjukkan penjasadan perbuatan (tajassum al-a'mal) dan bentuk malakûtî-nya yang gaib sangat banyak dan tersebar di berbagai bab. Di sini, kami hanya akan mengemukakan beberapa di antaranya:

روی الصّدوق، قدّس سرّه، بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: من صلّی الصّلوات المفروضات فی أوّل وقتها و أقام حدودها، رفعها الملک إلی

السّماء بیضاء نقیّة، تقول: حفظک الله کما حفظتنی، استودعنی ملک کریم. و من صلّیها بعد وقتها من غیر علّة و لم یقم حدودها، رفعها الملک سوداء مظلمة، و هی تهتف به: ضیّعتنی ضیّعک الله کما ضیّعتنی، و لا رعاک الله کما لم ترعنی

Al-Syaikh Al-Shaduq-semoga Allah menyucikan jiwanya-meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. yang

p: 529

mengatakan, “Apabila seseorang menunaikan shalat wajib pada awal waktunya, dan memenuhi syarat-syaratnya, malaikat akan membawa shalat itu ke langit dalam keadaan putih dan suci. Lalu, (shalat itu) berkata, 'Semoga Allah memerhatikanmu sebagaimana kamu memerhatikanku. Aku telah diserahkan ke dalam penjagaan malaikat yang mulia.' Namun, apabila seseorang menunaikannya tanpa alasan apa pun setelah lewat waktunya dan tidak memenuhi syarat-syaratnya, shalat itu akan diangkat oleh malaikat dalam keadaan hitam dan gelap. Lalu (shalat itu) berteriak, “Kamu telah mengabaikan aku. Semoga Allah mengabaikanmu, seperti kamu mengabaikan aku. Semoga Allah tidak memedulikanmu, seperti kamu tidak memedulikan aku." (1)

Selain soal bentuk malakûtî perbuatan, hal lain yang dapat disim pulkan dari hadis mulia ini adalah bahwa perbuatan itu memiliki kehidupan dan sifat-sifatnya. Ini juga dapat disimpulkan dari sebuah dalil metafisis, dan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa semua yang ada itu memiliki kehidupan malakûtî, atau alam malakût itu adalah kehidupan dan kesadaran, seperti disebutkan oleh ayat Al-Quran berikut:

«وَمَا هَذِهِ الْحَیَاةُ الدُّنْیَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِیَ الْحَیَوَانُ لَوْ کَانُوا یَعْلَمُونَ (64)»

Sesungguhnya kampung akhirat itulah kehidupan (yang sejati), kalau saja mereka tahu. (QS Al-'Ankabût (29]: 64)

و فی الکافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، فی حدیث طویل: إذا بعث الله المؤمن من قبره، خرج معه مثال یقدم أمامه، کلّما یری المؤمن هولا من أهوال یوم القیامة، قال له المثال: لا تفزع و لا تحزن و أبشر بالسّرور و الکرامة من الله عزّ و جلّ، حتّی یقف بین یدی الله عزّ و جلّ فیحاسبه حسابا یسیرا و یأمر به إلی الجنّة، و المثال أمامه، فیقول له المؤمن: یرحمک الله، نعم الخارج. خرجت معی من قبری و ما زلت تبشّرنی بالسّرور و الکرامة من الله حتّی رأیت ذلک. فیقول: من أنت؟ فیقول: أنا السّرور الّذی کنت أدخلته علی أخیک المؤمن فی الدّنیا، خلقنی الله عزّ و جلّ منه لأبشّرک.

p: 530


1- 16. Wasâ'il Al-Syi'ah, III, 90, dengan sedikit perbedaan pada kata-katanya.

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. Beliau mengatakan dalam sebuah hadis yang panjang, “Apabila orang Mukmin dibangkitkan dari kuburnya oleh Allah, sebuah sosok halus muncul bersamanya yang berjalan di depannya. Setiap kali orang Mukmin itu melihat kengerian di

antara sekian kengerian hari kiamat, sosok itu berkata kepadanya, Jangan takut dan jangan bersedih hati, terimalah kabar baik yang menggembirakan dan mulia dari Allah!' Sampai akhirnya orang Mukmin itu berhenti di hadapan Allah untuk membuat perhitungan ringan terhadap amal-amalnya dan Dia menyuruhnya masuk

ke surga (dan dia memasukinya) bersama sosok halus yang berjalan mendahuluinya. Kemudian, orang Mukmin itu akan berkata kepada sosok itu, 'Semoga Allah merahmatimu. Engkau adalah sahabat baik yang bersamaku dari kuburku. Kamu terus memberiku kabar baik yang menyenangkan dan mulia dari Allah sampai

aku sendiri menjumpainya.' Kemudian, sosok akan bertanya pada bentuk itu, 'Siapa kamu?' Bentuk itu akan menjawab, 'Akulah kegembiraan yang biasa kamu bawa kepada saudaramu yang seiman di dunia. Allah menciptakanku dari kegembiraan itu untuk memberimu kabar baik.(1)

Hadis mulia ini juga dengan jelas menunjukkan bahwa perbuatan itu memiliki jasad dan bentuk di kehidupan akhirat. Syaikh Baha'uddin-semoga jiwanya disucikan dalam ulasannya mengenai hadis mulia ini menyatakan, “Beberapa hadis menunjukkan juga penjasadan keyakinan dan akidah. Oleh karena itu, perbuatan dan keimanan yang benar akan muncul dalam sosok yang indah dan cemerlang sehingga membuat pemiliknya sangat senang dan gembira. Perbuatan dan keimanan yang tidak benar akan muncul dalam sosok yang buruk dan gelap sehingga menyebabkan pemiliknya bersedih dan tersiksa, seperti dinyatakan oleh sekelompok mufasir sehubungan dengan ayat mulia berikut ini:

«یَوْمَ تَجِدُ کُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَیْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَیْنَهَا وَبَیْنَهُ أَمَدًا بَعِیدًا وَیُحَذِّرُکُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ (30)»

Hari ketika setiap jiwa akan mendapati apa yang telah dilakukannya yang berupa kebaikan, dikedepankan, dan apa yang telah dilakukannya yang berupa kekejian: ia akan menginginkan supaya jarak dirinya dan itu jauh. (QS Ali-'Imrân (3]: 30)

p: 531


1- 17. Ushủl Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb idkhâl al-surûr ‘alâ al-mu'minîn, hadis No. 8.

Dan mengenai firman berikut ini:

«یَوْمَئِذٍ یَصْدُرُ النَّاسُ أَشْتَاتًا لِیُرَوْا أَعْمَالَهُمْ (6)» «فَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ (7)» «وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ (8)»

Pada hari itu orang akan berhamburan untuk melihat amal-amal mereka, (dan barang siapa telah melakukan kebaikan seberat atom, akan melihatnya, dan barang siapa telah melakukan kekejian seberat atom, akan melihatnya). (QS Al-Zalzalah (99): 6-8)

“Dan orang yang percaya bahwa ada yang terhapus dalam ayat mulia ini, lalu mengatakan bahwa yang dimaksud adalah li yurau jaza a'mâlihim (untuk melihat pahala atau balasan perbuatan mereka), dengan tidak melihat kata ganti pada yarahu yang menunjukkan per- buatan, telah gagal menangkap kebenaran.(1) Berakhirlah di sini terjemahan kata-katanya, semoga Allah meninggikan kedudukannya yang mulia. Beberapa ahli hadis mengungkapkan pandangan-pandangan yang lebih baik tidak usah dikemukakan. Pandangan-pandangan ini muncul akibat dugaan mereka yang mengatakan bahwa memercayai penjasadan perbuatan itu bertentangan dengan memercayai kebangkitan jasadiah, meskipun yang pertama mendukung yang kedua dan kata tamatstsul (memiliki bentuk jasadiah) dalam hadis mulia ini artinya sama dengan yang terdapat dalam firman Allah berikut:

«فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَیْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِیًّا (17)» Kemudian, kami kirimkan kepada dia (yaitu Maryam] Ruh kami) yang menghadirkan dirinya kepada dia dalam bentuk seorang manusia yang tidak ada cacatnya. (QS Maryam (19): 17). Di sini, ruh sungguh-sungguh berjasad, bukan sesuatu yang imajiner, seperti bentuk yang muncul dalam mimpi. Bagaimanapun, melepaskan ayat-ayat dan hadis-hadis seperti ini dari--padahal arti harfiah seluruh ayat dan hadis itu selaras dengan dalil-dalil metafisis yang kuat, yang telah dikemukakan pada tempatnya--hanya karena tidak sesuai dengan pikiran kita atau karena selaras dengan akidah para filosof dan ahli metafisika, bukanlah suatu hal yang terpuji. Pendekatan terbaik adalah menerima tanpa protes di hadapan ayat-ayat Allah yang Mahasuci dan hadis-hadis para kekasih Allah yang maksum. Demikianlah, telah diketahui bahwa setiap perbuatan yang diterima di pelataran Tuhan yang Suci memiliki bentuk yang indah dan menye-

p: 532


1- 18. Al-Syaikh Al-Baha'i, Al-Arba'in, h. 202, lihat ulasan mengenai hadis ketiga puluh tiga.

nangkan sesuai dengan sifatnya—seperti bidadari, istana, taman yang tinggi, dan sungai yang mengalir di surga. Tidak ada sesuatu yang mewujud dengan asal-asalan dan sia-sia. Antara satu maujud dengan maujud lain terdapat hubungan-hubungan rasional yang hanya ditemukan oleh para wali yang sempurna. Singkatnya, penjelasan di atas sejalan dengan patokan-patokan rasional dan metafisis. Dengan demikian, kehidupan akhirat dan kesenangan-kesenangannya terkait dengan bentuk-bentuk perbuatan yang dipindahkan ke sana. Perbuatan-perbuatan itu adalah amal-amal ibadah yang telah disingkapkan dan diberitakan kepada umat ini melalui penyingkapan Nabi Muhammad Saw. Kesempurnaan dan keindahan semua amal ibadah bergantung pada niat dan konsentrasi hati kita, serta pemenuhan syarat-syaratnya. Kalau suatu amal tidak kehilangan salah satu atau semua syarat-syarat di atas, perbuatan itu menjadi tidak sah atau bahkan memiliki bentuk yang buruk dan kacau yang akan ditemui oleh pelakunya kelak di akhirat, sebagaimana kita ketahui melalui sejumlah hadis. Oleh karena itu, setiap orang yang beriman pada alam gaib dan hadis-hadis para nabi, para wali, dan ‘ârif, serta memedulikan kehidupan abadi harus memperbaiki semua perbuatannya

dengan segenap daya upaya dan kehati-hatian yang mungkin. Setelah menyesuaikan segi lahiriah perbuatan-perbuatannya dengan ketentuan-ketentuan ijtihad atau pendapat para faqih—semoga Allah meridhai mereka dia harus berusaha memperbaiki sifat batin perbuatan-perbuatannya, dan berupaya sekuat mungkin untuk menunaikan paling tidak amal yang wajib dengan kekhusyukan hati dan mencoba menghilangkan cacat-cacatnya. Baru kemudian dia melakukan yang sunnah, karena seperti disebutkan di dalam hadis-hadis mulia, amal sunnah itu menutupi kekurangan yang ada pada yang fardhu (wajib) dan menyebabkan yang fardhu diterima di sisi Allah.

فی العلل بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: إنّما جعلت النّافلة لیتمّ بها ما یفسد من الفریضة

Dalam ‘llal Al-Syarâ'i' (Al-Syaikh Al-Shaduq) meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Abu Ja'far a.s. yang mengatakan, “Sesungguhnya,

p: 533

tindak-tindak ibadah sunnah digariskan untuk menggarti apa yang rusak pada tindak-tindak ibadah wajib."(1)

و روی الشّیخ، قدّس سرّه، بإسناده عن أبی بصیر، قال قال أبو عبد الله علیه السّلام: یرفع للرّجل من الصّلاة ربعها أو ثمنها أو نصفها أو أکثر بقدر ماسها،

Al-Syaikh Al-Thusi—semoga jiwanya disucikan--meriwayatkan dengan isnâd-nya dari Abu Bashir bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Dari shalat yang dilakukan oleh seorang manusia hanya separuhnya atau seperempatnya atau seperdelapannya yang naik ke langit sesuai dengan apa yang terlewatkan olehnya di dalamnya

بقدری ما سها, (2) Namun, Allah Taala mengganti itu melalui sarana shalat-shalat sunnah.

Terdapat banyak hadis lainnya yang seperti ini, dan jelaslah bahwa kita tidak terlepas dari kealpaan, ketidakkhusyukan, dan hal-hal lain yang dapat merusak shalat atau mengurangi kese:npurnaannya. Allah dengan rahmat-Nya yang sempurna telah mengajarkan berbagai shalat sunnah untuk memampukan kita menutupi kekurangan- kekurangan itu. Karena itu, sangat penting bagi kita untuk tidak melalaikan masalah ini clan tidak mengabaikan shalat-shalat sunnah. Saudaraku, tinggalkanlah keadaan lalai ini; renungilah urusanmu, dan periksalah catatan perbuatanmu. Jangan sampai amal-amal yang kamu bayangkan sebagai amal-amal saleh, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya menjadi penyebab kebinasaan dan kenistaanmu di akhirat. Oleh karena itu, selama masih ada kesempatan, periksalah perilakumu sendiri secara saksama dalam timbangan syariat dan wilâyah Ahl Al-Bait a.s., dan temukan sendiri mana perilakumu yang buruk dan yang baik, yang sempurna dan yang cacat, lalu perbaikilah yang buruk dan cacat serta tingkatkan yang baik dan sempurna selagi waktu dan kesempatan masih ada.

Kalau kamu tidak dapat memeriksa perhitunganmu sendiri di sini dan memperbaiki yang salah, perhitunganmu akan dilakukan di sana (akhirat), dan amal-amalmu akan ditempatkan di neraca amal,

p: 534


1- 19. Wasâ'il Al-Syi'ah, II, 54.
2- 20. Catatan penulis: Adapun kata-kata Imam bi qadari mâ sahâ, maka yang dimaksud hadis mulia itu adalah bahwa, seperti disebutkan dalam hadis-hadis lain, jumlah shalat yang naik ke hadapan Allah dan diterima-Nya adalah yang ditunaikan dengan hati yang penuh perhatian (khusyuk). Oleh karena itu, kata-kata bi qadari mâ saha menunjukkan rasionya, bukannya jumlah yang naik. Barangkali yang dimaksud di sini dengan sahâ adalah ketenangan dan kelembutan hati, seperti dinyatakan oleh Al-Jauhari.

dan di sana mungkin bencana telah menantimu. Takutlah pada neraca keadilan Ilahi, jangan membanggakan apa pun dan jangan mengabaikan upaya yang sungguh-sungguh. Coba lihatlah dan cermatilah buku amal Ahl Al-Bait Rasulullah a.s. yang maksum. Lihat, betapa kesulitan besar sedang menghadang kita serta betapa sempit dan gelap jalan di hadapan kita! Kini, renungkanlah hadis berikut ini dan perkirakan kebesaran masalahnya dari hadis singkat ini:عن فخر الطائفة و سنادها و ذخرها و عمادها، محمّد بن محمّد بن النّعمان المفید [17] ، رضوان الله علیه، فی الإرشاد: عن سعید بن کلثوم، عن الصّادق جعفر بن محمّد، علیهما السلام، قال: و الله، ما أکل علیّ بن أبی طالب، علیه السّلام، من الدّنیا حراما قطّ حتّی مضی لسبیله، و ما عرض له أمران کلاهما لله رضا إلّا أخذ بأشدّهما علیه فی بدنه (خ ل: دینه)، و ما نزلت برسول الله، صلّی الله علیه و آله، نازلة قطّ إلّا دعاه ثقة به، و ما أطاق أحد عمل رسول الله، صلّی الله علیه و آله، من هذه الامّة غیره، و ان کان لیعمل عمل و جل کان وجهه بین

p: 535

الجنّة و النّار یرجو ثواب هذه و یخاف عقاب هذه. و لقد أعتق من ماله ألف مملوک فی طلب وجه الله و النّجاة من النّار ممّا کدّ بیدیه و رشح منه جبینه. و إنّه کان لیقوت أهله بالزّیت و الخلّ و العجوة، و ما کان لباسه إلّا کرابیس، إذا فضل شی ء عن یده، دعا بالجلم فقصّة. و ما أشبهه من ولده و لا أهل بیته أحد أقرب شبها به فی لباسه و فقهه من علیّ بن الحسین، علیهما السلام. و لقد دخل أبو جعفر، علیه السّلام، ابنه علیه فإذا هو قد بلغ من العبادة ما لم یبلغه أحد: فرآه قد اصفرّ لونه من السّهر و مضت عیناه من البکاء و دبرت جبهته و انخرم أنفه من السّجود و ورمت ساقاه و قدماه من القیام فی الصلاة. و قال أبو جعفر، علیه السّلام: فلم أملک حین رأیته بتلک الحال البکاء، فبکیت رحمة له فإذا هو یفکّر، فالتفت إلیّ بعد هنیئة من دخولی، فقال: یا بنیّ، أعطنی بعض تلک الصّحف الّتی فیها عبادة علیّ بن أبی طالب، علیه السّلام. فأعطیته. فقرأ فیها شیئا یسیرا، ثمّ ترکها من یده تضجّرا، و قال: من یقوی [علی ] عبادة علیّ بن أبی طالب، علیه السّلام.

Kebanggaan umat dan otoritasnya, kekayaan dan pilarnya, Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Nu'man Al-Mufid—semoga keridhaan Allah menyertainya—meriwayatkan dalam Al-Irsyad dari Sa'id ibn Kultsum bahwa Imam Ja'far ibn Muhammad Al-Shadiq--semoga salam dilimpahkan kepada beliau dan ayah beliau,

berkata, “Demi Allah, 'Ali ibn Abi Thalib—semoga salar dilimpahkan kepada beliau-tidak pernah makan apa pun yang haram selama hidup di dunia. Jika ada dua pilihan yang sama-sama diridhai Allah diajukan kepadanya, dia selalu akan mengambil pilihan yang paling memberatkan tubuhnya. Dan tidak pernah Rasulullah Saw. menghadapi kesulitan tanpa menyeru kepada ‘Ali a.s., karena tingkat kepercayaan Rasulullah padanya. Tidak seorang pun dari umat ini yang lebih mampu mengikuti amal Rasulullah melebihi ‘Ali a.s. Meskipun demikian, beliau beramal dengan perasaan malu (di hadapan Allah), sehingga wajahnya berada di antara surga dan neraka, senantiasa mengharapkan pahala dari yang satu dan takut pada siksa yang lain.

Sesungguhnya beliau telah membebaskan seribu budak dengan uangnya sendiri yang didapat dengan kerja keras tangannya dan keringat dahinya di jalan Allah demi terbebas dari sikisa neraka. Makanan rumah tangganya berupa minyak, cuka, dan kurma, serta pakaiannya tidak pernah terbuat dari apa pun kecuali katun kasar. Jika lengan bajunya yang diberkati terlalu panjang, beliau akan meminta untuk digunting dan dipendekkan. Di antara keturunannya dan keluarganya tidak ada yang pernah lebih menyerupainya dalam ilmu dan pakaian seperti Ali ibn Al-Husain. Suatu kali Abu Ja'far (Imam Muhammad Al-Baqir) a.s.

mendapatinya telah mencapai keadaan ibadah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Wajahnya pucat karena tidak tidur bermalam-

p: 536

malam; matanya memerah karena terlalu banyak menangis; dahi dan hidungnya menghitam karena sujud yang berkepanjangan; dan kakinya serta pergelangan kakinya membengkak karena terlalu lama berdiri dalam shalat. “Abu Ja'far a.s. berkata, 'Ketika aku melihatnya dalam keadaan seperti itu, aku pun serta-merta menangis. Aku menangis karena kasih sayangku padanya, sementara beliau terus tenggelam dalam perenungan. Setelah beberapa waktu berlalu, beliau berkata pada-ku, Putraku, beri aku salah satu kitab yang melukiskan ibadah ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.' Aku berikan kitab itu padanya. Beliau membacanya sebentar lalu meletakkannya kembali dalam keadaan lesu sambil berkata, 'Siapa yang memiliki kekuatan untuk beriba-dah seperti ‘Ali ibn Abi Thalib a.s.!(1)

و عن أبی جعفر، علیه السّلام: کان علیّ بن الحسین، علیهما السلام، یصلّی فی الیوم و اللّیلة ألف رکعة، و کانت الرّیح تمیّله مثل السّنبلة

Al-Imam Al-Baqir a.s. berkata, “Ali ibn Al-Husain a.s. biasa menunaikan seribu rakaat shalat setiap siang dan malam. Angin akan menggoyangkannya seperti tanaman jagung.” (2)

Saudaraku! Coba renungkanlah hadis-hadis mulia ini. Perhatikan bagaimana Imam Al-Baqir a.s. adalah seorang imam yang maksum sampai menangis begitu melihat kedahsyatan dan keadaan ibadah ayahnya. Perhatikan pula bagaimana Imam Al-Sajjad (‘Ali ibn Al- Husain) a.s., sekalipun beliau telah begitu keras dan penuh dedikasi dalam beribadah, menyatakan bahwa dirinya lemah setelah membaca sebentar kitab 'Ali ibn Abi Thalib a.ş. Tentu saja, semua orang tidak

dapat beribadah seperti pemimpinnya para pemimpin (maulâ al-mawâli) dan orang biasa tidak dapat beribadah seperti beribadahnya para Imam maksum. Namun, apabila kita tidak dapat mencapai suatu kedudukan yang tinggi, kita tidak boleh menyerah. Kita harus mengerti bahwa ibadah mereka ini bukanlah-semoga

Allah melindungi kita—pura-pura. Namun, karena jalan untuk melewati kematian dan kebangkitan itu sedemikian berbahaya dan sempit, sehingga memaksa orang-orang ahli makrifat yang sejati ini memohon

p: 537


1- 22. Al-Syaikh Al-Mufid, Al-Irsyâd, hh. 255–256.
2- 23. Ibid., h. 256.

dengan sangat dan mengakui kelemahan mereka. Sikap kita yang tidak ambil pusing ini terjadi karena keimanan dan keyakinan kita yang lemah, dan karena kejahilan kita yang luar biasa. Ya Tuhan! Dikau mengetahui watak hamba-hamba-Mu dan mengetahui kecacatan, kekurangan, kelemahan, dan ketakberdayaan kami, maka celupkan kami dalam Rahmat-Mu, bahkan sebelum kami memintanya. Karunia-Mu diberikan tanpa diminta, dan pertolonganMu diberikan sebelum diminta. Kini, kami mengakui kekurangan dan kelemahan kami, serta ketidakbersyukuran kami atas segenap nikmat-Mu yang tidak terbatas. Kami akui bahwa kami patut mendapatkan hukuman pedih dan patut dimasukkan ke neraka. Kami tidak punya alasan dan cara untuk mendapatkan ampunan-Mu kecuali apa yang

telah Engkau firmankan melalui lidah para nabi-Mu, tentang Diri-Mu dan ampunan-Mu, rahmat-Mu, dan kedermawanan-Mu. Kami mengetahui Engkau melalui Sifat-Sifat-Mu ini sejauh kemampuan kami. Bagaimana Engkau akan memperlakukan segenggam debu ini? Bakal jadi apa diri ini kalau tanpa kasih sayang dan kemurahan-Mu? أین رحمتک الواسعة؟ أین أیادیک الشّاملة؟ أین فضلک العمیم؟ أین کرمک یا کریم؟

Di manakah rahmat-Mu yang maha meliputi? Di manakah pertolongan-Mu yang maha mencakup? Di manakah kemurahan-Mu yang maha meliputi? Di manakah keluhuran-Mu, Wahai yang Mahaluhur?

Ibadah dan Bebas dari Kebutuhan

Perlu diketahui bahwa ghinâ (kaya, sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri, mandiri, dan tidak memerlukan yang la:n) adalah satu kebajikan jiwa atau satu kebajikan wujud sebagai wujud. Oleh karena itu, ghinâ adalah satu sifat hakiki Zat Suci Allah. Harta dan benda tidak akan membawa kekayaan dalam diri. Bahkan, dapat dikatakan bahwa mereka yang tidak memiliki kekayaan diri menjadi semakin serakah dengan harta benda. Kebutuhan mereka pada harta benda akan semakin besar saja Kekayaan sejati hanya dapat diperoleh mela-

p: 538

Hadis tentang Konsentrasi dan Perhatian Hati

lui Allah, Yang Mahakaya dalam Zat-Nya. Segala maujud lainnya, sejak dari debu yang hina dina sampai langit tertinggi, sejak dari helium sampai jabarût yang tinggi, semuanya itu miskin dan fakir. Oleh karena itu, semakin kuat hati dalam memerhatikan hal selain Allah dan semakin masygul pada hal-hal duniawi dan jasadi (mulk), semakin miskin dan fakir ia. Segi spiritual dari kemiskinan ini sangatlah jelas, sebab keterikatan dan perhatian itu sendiri adalah kefakiran. Segi lahiriah dari kemiskinan ini yang juga memperbesar kemiskinan spiritual seseorang tampak pada ketidakmandirian dalam mengerjakan sesuatu, karena tidak ada orang yang bisa mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, orang yang kaya secara lahiriah memang tampak mandiri. Namun, kalau dilihat dari dekat

akan terlihat bahwa ketakmandiriannya akan sebanding dengan pertumbuhan hartanya. Oleh karena itu, orang kaya adalah orang miskin yang berpakaian kekayaan, dan orang fakir yang berpakaian kecukupan diri.

Makin besar perhatian dan kecintaan hati pada masalah-masalah duniawi, makin tertutup ia pada debu kehinaan dan kemiskinan. Dan ketika semakin besar kebutuhannya, semakin bertambah pula kehinaannya. Sebaliknya, kalau seseorang memalingkan perhatiannya dari dunia menuju Kekayaan Mutlak dan kecukupan diri dengan meyakini bahwa semua makhluk itu pada hakikatnya miskin, tidak memiliki apa-apa, tidak berdaya kecuali dengan Allah, dan meyakini bahwa semua hati seluruh penguasa dan orang terhormat telah mendengar panggilan malakûtî dari alam gaib sebagai berikut:

«یَا أَیُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَی اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِیُّ الْحَمِیدُ (15)»

Wahai manusia, kalian semua butuh (faqîr) kepada Allah; dan Allah lah yang Mahakaya lagi terpuji. (QS Fâthir (35): 15)

Maka, dia akan makin merasa kaya dari seluruh alam dan terbebas dari kebutuhan, sehingga kerajaan Sulaiman pun tidak lagi berharga di matanya. Jika kunci-kunci kekayaan bumi diberikan kepadanya, dia akan acuh tak acuh terhadapnya, seperti diriwayatkan dalam hadis bahwa ketika Jibril membawa dari Allah kunci kekayaan dunia untuk diberikan kepada para nabi Saw., beliau menolaknya dengan rendah hati, dan memandang kemiskinan sebagai pakaian kebang-

p: 539

gaannya. Amir Al-Mukminin (“Ali ibn Abi Thalib) a.ş. berkata kepada Ibn 'Abbas, “Duniamu ini sama saja di mataku dengan sepatu tua yang penuh tambalan ini.” Imam 'Ali ibn Al-Husair. a.ş. berkata, “Hinalah aku kalau meminta kepada Pencipta dunia ini suatu karunia duniawi, apalagi memintanya dari makhluk-makhluk lain yang sama seperti diriku."

Tidak seperti kebanyakan orang, Najmuddin Kubra, setelah bersumpah, menyatakan, “Kalau kekayaan dunia ini dan juga surga di akhirat beserta para bidadari dan istananya ditawarkan kepadaku dengan syarat aku harus bergaul hanya dengan orang kaya; dan jika kesengsaraan serta kemalangan yang ada di dunia ini dan akhirat ditawarkan kepadaku dengan syarat aku harus bergaul dengan orang miskin, aku akan memilih bergaul dengan orang miskin dan tidak akan menyerahkan diriku pada aibnya pergaulan dengan orang kaya, dan (neraka lebih baik dibandingkan dengan kehinaan). Ya, mereka tahu sekali watak kegelapan dan karat yang terbentuk di hati akibat mencintai dunia dan pergaulan dengan orang-orang yang memiliki harta duniawi ini. Mereka tahu berapa hal-hal ini melemahkan kehendak dan membuat hati merasa butuh dan miskin, serta membuat hati tidak bertawajuh pada kesempurnaan Mutlak.

Namun, apabila engkau menyerahkan hati kepada Pemiliknya dan menyerahkan rumah ini kepada Tuannya, tidak membuat dispensasi di dalam hati dalam soal ini, lalu menyingkirkan segala yang asing dari rumah hatimu, dan tidak mau menyerahkan hati kepada para penjarah, Tuan rumah ini akan menampakkan diri-Nya di dalam hatimu. Kehadiran yang Mahakaya di dalam hati akan membawa pada kecukupan-diri yang mutlak dengan mencelupkan hatimu ke dalam samudra kemuliaan dan keridhaan, serta mengisinya dengan kebebasan dari kebutuhan:

«یَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَی الْمَدِینَةِ لَیُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِینَ وَلَکِنَّ الْمُنَافِقِینَ لَا یَعْلَمُونَ (8)»

Dan kemuliaan itu milik Allah, dan milik Rasul-Nya serta milik orang-orang yang Mukmin. (QS Al-Munafiqûn (63): 8)

Dengan demikian, urusan-urusan rumah hatimu akan dikelola oleh Tuannya yang sejati dan Dia tidak akan membiarkan makhluk asing untuk berbuat sesukanya di situ. Dia akan memerhatikan segala

p: 540

persoalan hamba-Nya. Bahkan, Dia akan menjadi pendengaran, penglihatan, dan anggota badan orang yang seperti ini. Dan kedekatan ini merupakan hasil dari nawafil (shalat sunnah), seperti yang disebutkan dalam hadis yang termaktub dalam Al-Kâfi berikut ini: کافی بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، فی حدیث: و إنّه لیتقرّب إلیّ بالنّافلة حتّی أحبّه، فإذا أحببته، کنت سمعه الّذی یسمع به، و بصره الّذی یبصر به، و لسانه الّذی ینطق به، و یده الّتی یبطش بها

Dalam Al-Kafi, (Al-Kulaini meriwayatkan) dengan isnâd-nya dari Abu Ja'far a.s. bahwa dalam sebuah hadis qudsi Allah berfirman, "... Dan sesungguhnya, seorang hamba berupaya mendekati-Ku melalui nawafil, sampai Aku mencintainya. Dan, apabila Aku mencintai- nya, Aku akan menjadi telinga yang dia pakai untuk mendengar, mata yang dia pakai untuk melihat, lidah yang dia pakai untuk berbicara, dan tangan yang dia pakai untuk memegang .... ” (dan seterusnya, sampai akhir hadis). (1)

Demikianlah, kemiskinan hamba sepenuhnya akan sirna dan dia akan terlepas dari kebutuhan akan dua alam sekaligus, dunia dan akhirat. Tentu saja, dengan tajali Ilahiah (di dalam hati), maka sirnalah dari dirinya rasa takut pada semua dan yang ada dalam dirinya hanyalah rasa takut kepada Allah yang kebesaran dan kemu-

liaan-Nya telah mengisi seluruh hati sehingga dia tidak lagi melihat kebesaran, kemuliaan, atau kegunaan pada apa pun kecuali kepada Allah. Orang yang telah melihat dalam hatinya kenyataan ini akan berkata: Tidak ada yang berpengaruh di alam wujud ini kecuali Allah ... و حقیقت لا مؤثّر فی الوجود إلّا الله ,Hal ini disebutkan dalam hadis yang mengatakan تفرّغ لعبادتی أملأ قلبک غنی (kosongkan dirimu untuk beribadah kepada-Ku, sehingga Aku akan memenuhi hatimu dengan ghina). “Pengosongan” hati demi ibadah ini berangsur-angsur dapat membawa kita pada derajat-derajat konsentrasi hati dalam beribadah yang lebih tinggi.

p: 541


1- 24. Ushûl Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimin, hadis No. 8.

Inilah sekelumit pengaruh ibadah, seperti yang juga telah dibicarakan. Kalau hati berpaling dari memerhatikan Allah, dan tidak dapat mencapai keleluasaan yang diperlukan untuk memberikan perhatian pada-Nya, hal itu akan menjadi sumber segala bentuk keburukan dan penyakit hati. Jika itu terjadi, kegelapan akan menguasai hati, dan tirai tebal yang menghalangi lewatnya cahaya petunjuk akan menjadi penghalang antara hati dan Allah sehingga hali tidak mendapat pertolongan Allah dan hati menjadi sepenuhnya tenggelam di dunia dan pencarian kenikmatan-kenikmatan jasadiah. Lalu, dia akan diselimuti dinding-dinding egoisme dan egotisme. Jiwa akan menjadi semaunya sendiri, dan gerakan-gerakannya akan ditentukan oleh egoismenya. Kemudian, timbullah kehinaan hakiki dan kefakiran sejati padanya; semua gerak dan diamnya akan menjauhkannya dari Allah serta kegagalan dan kekalahan menyeluruh akan menjadi nasibnya. Hadis mulia berikut ini menyebutkan beberapa konsekuensi yang kami kemukakan, “Aku akan mengisi hatimu dengan kemasygulan dalam dunia, dan Aku tidak akan menghalangi timbulnya kemiskinan dan kebutuhan pada hatimu, dan Aku akan membiarkanmu untuk berbuat sesukamu sendiri."

Suatu Peringatan

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan membiarkan makhluk berbuat sesukanya bukanlah berarti menyerahkan semua urusan kepada si hamba itu sendiri (taſwidh), karena hal itu mustahil terjadi menurut sudut pandang ‘irfânî dan ajaran agama yang benar. Tidak ada satu pun maujud yang dapat melepaskan diri dari alam pengaturan dan kekuasaan Allah, dan tidak ada satu pun maujud yang dapat bebas mengatur urusan-urusannya sendiri. Apabila satu makhluk berpaling

dari Allah dan tenggelam dalam dunia, hawa nafsu akan menguasainya. Jiwa orang ini akan dikuasai dan perilakunya diarahkan oleh egoismenya. Dan, inilah yang dimaksud dengan membiarkannya berbuat sesukanya sendiri. Namun, seorang hamba yang hatinya menghadap kepada Allah dan malaküt yang tinggi serta sepenuhnya tenggelam dalam cahaya Allah, maka semua perilakunya akan bersifat Ilahiah, bahkan pada tingkat-tingkat tertentu segenap wujudnya akan men-

p: 542

jadi Ilahiah sebagaimana disinggung dalam hadis mulia yang termaktub dalam Al-Kâfî mengenai kedudukan ini yang dapat dicapai melalui ibadah-ibadah sunnah. Dan Allahlah yang Maha Mengetahui. []

p: 543

28 Hadis tentang Pertemuan dengan Allah

Point

بالسند المتصل إلی ثقة ألاشا یر ین یعقوب اللیبی - رحمه الله عن مین یی ، ک الحمدین متمی ، محمد بن خالی وألحسن بن سعید بها، عن القاسیم بن متد ، عن عبد الصمد بن بشیر عن بعض اصحابهعن ابی عبدالله علیه السکر قال : ل : أصلحک الله من أحب لقاء اللهاحب الله لقاء ، ومن ابغض لقاء الله ابغض اللقاء . قال : لم.الان :والله لا له الموت . فقال : لذلک ح تذهب ، اما ذلک عندالمعایتة انا ای مایحب قل شیء أحب إلیه من أن یتقدم علی اللهوالله تعالی یحب لقاءه وهوی لقاء الله حین ، واذا رأی مایه فلیت

ش ابغض الیه من لقاء الله والله یبغض لقاءه ،

Dengan sanadku yang sampai ke Tsiqat Al-Islâm, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-rahimahu Allâh—dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammmad, dari Muhammad ibn Khalid dan Al-Husain ibn Sa'id, dan keduanya dari Al-Qasim ibn Muhammad, dari ‘Abdushshamad ibn Bashir, dari seseorang dari kalangan

sahabat-sahabatnya yang meriwayatkan dari Abu 'Abdillah-alaihi

p: 544

Hadis tentang Pertemuan dengan Allah

al-salâm—yang menyatakan, “Aku berkata padanya (yaitu Imam Al-Shadiq), 'Ashlahakallâh (Semoga Allah memberimu kebaikan)! Benarkah perkataan kalau seseorang senang bertemu Allah (liqâ’ Allâh), Allah juga senang bertemu dia, dan kalau seseorang tidak suka bertemu Allah, Allah juga tidak suka bertemu dia?' 'Benar,' jawab Imam. Aku berkata, 'Sungguh, demi Allah, kami tidak suka kematian.' Imam berkata, 'Hal itu bukan seperti yang kamu bayangkan, melainkan saat menghadapi kematian. Pada saat itu, apabila dia melihat (yang menantinya) adalah apa yang disukainya, tidak ada yang lebih disukainya selain menuju kepada Allah. Allah suka bertemu dia, dan dia juga suka bertemu Allah. Namun, kalau dia melihat (yang menantinya) adalah apa yang dibencinya, tidak ada yang lebih dibencinya selain bertemu Allah, dan Allah juga tidak suka bertemu dia.(1)

Ashlahakallâh adalah sebuah doa. Dan dalam doa, orang yang didoakan tidak mesti tidak memiliki kebaikan yang kita inginkan pada dirinya. Bahkan, ungkapan-ungkapan doa seperti itu sangat lazim, sekalipun apa yang dimohonkan sudah ada. Berdoa bagi Imam Al-Shadiq a.s. dan meminta kesejahteraaan bagi beliau tidak keluar dari kebiasaan umum tersebut. Oleh karena itu, benar juga kalau dikatakan “Semoga Allah mengampunimu” (ghafarallâhu lak) dan “Semoga Allah memaafkanmu” ('afallâhu ´ank) terhadap insan-insan suci seperti beliau. Beberapa mufasir menafsirkan ayat suci:

«لِیَغْفِرَ لَکَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَمَا تَأَخَّرَ وَیُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَیْکَ وَیَهْدِیَکَ صِرَاطًا مُسْتَقِیمًا (2)»

... agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang dahulu maupun yang kemudian .... (QS Al-Fath (48]: 2)

dengan arti yang sama, yang menyatakan bahwa itu seperti mengatakan kepada seseorang “Semoga Allah mengampunimu” dan dalam ungkapan-ungkapan doa seperti itu tidaklah perlu mempertimbangkan apakah orang yang dituju sudah memiliki kebaikan yang dikandung dalam doa atau tidak. Penafsiran semacam itu memang tampak tidak jauh dari kemungkinan, berkenaan dengan ayat mulia ini dan kami sudah membahasnya ketika membahas salah satu hadis sebelumnya(2). Namun, pada dasarnya, ada-tidaknya secara aktual apa yang diserukan dalam doa-doa seperti itu pada yang didoakan tidak menjadi pertimbangan.

p: 545


1- 1. Al-Kulaini, Furû' Al-Kafi, III, 134.
2- 2. Lihat penjelasan mengenai hadis kedua puluh satu.

لقاء(dengan fathah pada lam, atau kasrah) adalah mashdar (verbal noun) لقی (yang divokalkan seperti رضی) begitu pula لقیا, لقیانا, لقاءه, لقایه (semua dengan kasrah pada lam) dan لقی,لقیانا,لقیه,لقیا,لقیانه (semua dengan dhammah pada lam) merupakan mashdar dan mengandung arti 'melihat'. Dalam penjelasan ini, selanjutnya kami akan menerang kan arti liqâ' Allâh, sebatas yang sesuai dengan buku ini.

,گرم seperti بغض ,Dan .فعالة berkaitan dengan bentuk nominal افض non (adalah akar tiga hurufnya). (Ahli-ahli kamus menjelaskan:) بغض Bughdh (kebencian) merupakan lawan kata hubb (kecintaan), dan lain serta leku artinya derajat-derajat yang lebih kuat. Singkat kata, cinta dan benci merupakan kualitas jiwa (shifah nafsâniyyah) yang bertentangan satu sama lainnya. Pengertian kedua kata itu sangat jelas bagi diri, seperti sifat-sifat jiwa lainnya yang dialami secara langsung diri seseorang, karena realitasnya lebih jelas dibandingkan dengan uraian verbalnya (yaitu, kata-kata yang menunjukkan hal-hal itu). Namun, penjelasan tentang arti penisbahan “cinta” dan “benci” pada Zat Suci Allah akan diberikan kemudian, insya Allah. Adapun pernyataan perawi, “Sungguh, kami tidak menyukai kematian,” itu dikatakannya karena dia mengira bahwa kematian itu serentak dengan liqâ' Allâh atau identik dengan liqâ'Allâh. Maka, dia beranggapan bahwa keengganan terhadap kematian adalah keengganan terhadap liqa' Allah, dan karenanya dia bertanya seperti itu. Imam menjawab bahwa kriterianya tidak terletak pada keenggan terhadap kematian itu sendiri, tetapi pada saat kematian ketika orang melihat jejak-jejak alam malakût dan alam-alam lain.

Adapun kata-kata Imam a.s. لیس ذلک حیث تذهب tak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Persia. Arti ungkapan ini bisa dilihat melalui ungkapan-ungkapan Persia seperti گمانم رفت و گمان کردم atau 3 dan seterusnya, dan ungkapan Arab ini juga mengandung arti 'perjalanan' (dzahâb) imajinasi (wahm). Bahasa Arab sarat dengan ungkapan seperti itu. Namun, penggunaan yang lazim dzahâb dan ungkapan-ungkapan yang diturunkan dari kata dzahâb mengandung arti dzahâb wahm, 'aqidah (keyakinan) dan semacamnya, dan kata “madzhab” (kecenderungan, aliran, pendapat, agama, pernyataan keyakinan, ideologi,

p: 546

mazhab) menunjukkan arti yang sama, yang didasarkan pada kiasan, sebab kata itu diturunkan dari dzahâb lahiriah dan eksternal. Adapun pernyataan Imam عندالمعینه, muâyanah adalah mashdar yang berbentuk mufā'alah: (Ahli-ahli kamus menerangkan artinya sebagai berikut): عاینت الشیءعیانا

Saat kematian disebut muâyanah (memandang, melihat, mengamati) karena orang yang sedang sehat melihat tanda-tanda akhirat dengan jelas. Mata spiritual gaibnya terbuka dan tampaklah olehnya sebagian realitas malakût. Kemudian, dia melihat sekilas beberapa jejak, perbuatan, dan keadaannya. Kami akan menerangkan dalam beberapa bagian hadis suci ini yang perlu dijelaskan, dengan bertawakal pada Allah.

Liqa' Allâh dan Sifatnya

Ketahuilah bahwa jumlah ayat dan hadis yang menyebutkan pertemuan dengan Allah (liqâ' Allâh), baik secara tersurat maupun tersirat, sangat banyak dan dalam penjelasan singkat ini tidak dapat dikemukakan seluruhnya. Di sini, kami hanya akan menyebutkan beberapa di antaranya. Bagi yang menghendaki rincian lebih lanjut, silakan merujuk ke buku Risaleh-ye liqa' Allâh, karya almarhum Al-Haj Mirza Jawad Tabrizi, seorang ‘ârif-semoga Allah menyucikan jiwanya. Dalam karya tersebut, terdapat sejumlah besar hadis mengenai tema ini. Ketahuilah bahwa sebagian ulama dan mufasir sama sekali menolak kemungkinan liqa' Allâh (pertemuan dengan Allah), penyaksian langsung (musyâhadah ‘ainiyyah) dan penampakan (tajalliyât) Nama-Nama dan Zat Allah. Penolakan ini mereka anggap sebagai penyucian (tanzih) Zat Suci Ilahi dan menafsirkan semua ayat dan hadis yang menyebutkan liqa' Allah itu sebagai pertemuan dengan pelbagai balasan, pahala, dan hukuman di hari akhirat. Sekalipun penafsiran seperti itu mengenai arti umum liqâ' dalam ayat-ayat dan hadis-hadis tertentu bukan tidak masuk akal, penafsiran seperti itu jelas tidak masuk akal mengenai arti liqa' dalam beberapa doa dan hadis mu'tabar dan beberapa hadis masyhur yang diandalkan oleh para ulama besar dan tertera dalam kitab-kitab hadis yang tepercaya.

p: 547

Ketahuilah bahwa maksud mereka yang menerima kemungkinan liqa' Allah dan musyâhadah (penyaksian-langsung) akan keindahan dan keagungan Zat Allah tidak mengarah pada kemungkinan pengungkapan Hakikat dan Zat Ilahi atau pengetahuan dengan kehadiran ('ilm hudhûrî) dan pengalaman indriawi dan spiritual terhadap Zat Ilahi yang meliputi segala sesuatu. Kemustahilan untuk mengungkap Zat Ilahi melalui pemikiran rasional dalam ‘ilm kulli (filsafat) dan melalui penglihatan mistis (bashirah) dalam ‘irfân merupakan satu hal yang tak dapat dipungkiri; semua orang berakal maupun mereka yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mistis (arbâb al-ma'arif wa al-qulüb) sama-sama sepakat menyatakan kemustahilan hal itu. Akan tetapi, maksud orang-orang yang menyatakan kemungkinan ligâ' Allâh adalah sebagai berikut: Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, sehingga hati tidak lagi memerhatikan seluruh alam, menolak (untuk memiliki kenikmatan-peny.) kedua tingkatan alam (yaitu alam fisik dan non-fisik) dan merendahkan egoisme dan egosentrisme, sehingga hati benar-benar terpusat pada dan terserap dalam Allah, dalam Nama-Nama serta Sifat-Sifat Zat Suci itu, maka hati akan terbenam dalam kecintaan pada-Nya. Hati hamba yang demiki-

an pun akan menjadi suci dan terang menyala, sehingga tajalliyât Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi terpantul dalam hati tersebut. Kemudian, tirai-tirai tebal yang lazimnya menutup hati hamba dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi terkoyakkan. Esensi hamba ini pun menjadi sirna dalam Nama-Nama dan Sifat-Sifat, melekat dengan kekuatan kesucian Zat dan menjadi benar-benar dekat (radalli) denganNya. Dalam keadaan ini, tidak ada lagi hijab yang menabiri ruh suci hamba dari Zat Ilahi kecuali Nama-Nama dan Sifat-Sifat Ilahi itu sendiri.

Bagi beberapa pesuluk, tabir Nama-Nama dan Sifat-Sifat yang bercahaya itu pun dapat menghilang sehingga mereka sampai pada tajalliyât Zat yang gaib can melihat dirinya sedemikian dekat dengan Zat Suci sehingga dia menyaksikan keserbahadiran abadi Al-Haqq (al-iháthah al-qayyûmiyyah li Al-Haqq) dan mengalami kesirnaan hakiki mereka (fanâ dzâtî). Kemudian, dengan jelas dia akan melihat wujud-

p: 548

nya dan juga wujud segala sesuatu hanyalah sebagai bayang-bayang Wujud Ilahi. Dalil metafisik mengukuhkan bahwa tidak ada hijab antara Allah dan makhluk pertama yang bebas dari segala materi dan kebergantungan kepada selain Allah. Kalau dalil-dalil metafisik menunjukkan bahwa tidak ada hijab antara seluruh maujud nonmateriil dan Allah, jelas tidak mungkin terdapat hijab antara hati yang sedemikian luasnya sehingga ia meliputi seluruh maujud nonmateriil (bahkan hati

ini telah meninggi sedemikian sehingga ia menundukkan seluruh kepala maujud nonmateriil) dan Allah. Hal tersebut seperti disebutkan dalam hadis suci yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî dan Al-Tauhid berikut ini:

إنّ روح المؤمن لأشدّ اتّصالا بروح الله من اتّصال شعاع الشّمس بها

"Sesungguhnya ruh orang Mukmin lebih kuat ikatannya dengan ruh Allah dibandingkan dengan ikatan sinar matahari dengan mata-hari.(1)

Dalam Munajat Sya'bâniyyah yang diterima oleh para ulama dan isinya memang menunjukkan keautentikan asal-usulnya dari para Imam Ahl Al-Bait—alaihim al-salâm—terdapat ungkapan berikut:

إلهی، هب لی کمال الإنقطاع إلیک، و أنر أبصار قلوبنا بضیاء نظرها إلیک حتّی تخرق أبصار القلوب حجب النّور، فتصل إلی معدن العظمة، و تصیر أرواحنا معلّقة بعزّ قدسک. إلهی، و اجعلنی ممّن نادیته فأجابک و لاحظته فصعق لجلالک فناجیته سرّا و عمل لک جهرا

Tuhanku, karuniai daku keterserapan total dalam Diri-Mu dan terangi penglihatan hati kami dengan cahaya (yang ditimbulkan oleh) penglihatan hati pada-Mu, sehingga penglihatan hati ini mampu membakar tirai-tirai cahaya (yang memisahkanku dari-Mu) dan mencapai sumber Keagungan-Mu dan ruh-ruh kami

terikat-erat (hanya) pada Kemuliaan-Mu yang Mahasuci.

p: 549


1- 3. Ushủl Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb ukhuwwuh al-mu'minin, hadis No. 4.

Tuhanku, jadikan daku salah seorang dari mereka yang jika Engkau berseru, ia bersegera menjawab-Mu; jika Engkau perhatikan, ia langsung pingsan karena terpesona oleh Keagungan-Mu; dan jika Engkau berbisik diam-diam, ia akan berbua: demi Diri-Mu secara terus terang. (1)Dalam menceritakan mi'raj Rasul Mulia Saw., dalam Al-Quran mulia Allah berfirman:

«ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّی (8)» «فَکَانَ قَابَ قَوْسَیْنِ أَوْ أَدْنَی (9)»

Kemudian beliau) mendekat dan makin mendekat; maka jadilah dia (sedekat jarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi .... (QS Al-Najm (53): 8–9)

Pengalaman kesirnaan (fanâ') secara langsung ini tidak bertentangan dengan dalil (filosofis) kemustahilan meliputi dan mengungkap Zat Suci Allah dan juga tidak bertentangan dengan pelbagai ayat dan hadis yang mentransendensikan Allah dari segenap cacat, kekurangan, dan keterbatasan. Sebaliknya, kejadian ini justru mendukung dan sesuai dengan semua itu. Sekarang perhatikan, apa perlunya semua penafsiran yang dibuat-buat (taujih) dan penakwilan yang terlalu jauh itu? Dapatkah kita men-taujíh pernyataan Amir Al-Mukminin a.s. ketika beliau berkata: فهبنی صبرت علی عذابک، فکیف أصبر علی فراقک “Seandainya aku dapat menanggung azab-Mu, mana raungkin aku dapat menanggung pedihnya perpisahan dengan-Mu?(2)

Apakah ratapan dan kepedihan para wali Allah ini karena mereka berpisah dengan bidadari dan istana-istana di surga? Dapatkah kita menafsirkan ratapan berikut ini, “Kami tidak menyembah Allah karena takut neraka atau karena menginginkan surga, melainkan kami beribadah kepada Allah sebagai orang-orang merdeka dan semata-mata karena Allah patut disembah,” karena keterpisahan mereka dari surga dan berbagai makanan, minuman, dan kenikmatannya? Sungguh hal tak mungkin, dan sungguh suatu taujih yang tak bisa diterima! Dapatkah dikatakan bahwa tajalli Keindahan Ilahi pada malam mi'raj dan pertemuan yang tidak dihadiri seluruh makhluk kecuali

p: 550


1- 4. Mafatih Al-Jinan, Munajat Sya'bâniyyah.
2- 5. Ibid., Du'ã' Kumail.

Rasul dan yang rahasia-rahasia (dalam pertemuan itu) tak diketahui oleh Jibril, malaikat yang dipercaya membawa wahyu, tidak lebih dari penyaksian Rasul atas surga dan gedung-gedungnya? Bahwa cahaya Kemuliaan dan Keagungan Ilahi tidak lain dari penyingkapan sejumlah karunia Allah? Apakah tajalliyât yang dialami para nabi a.s.-seperti yang disebutkan dalam pelbagai riwayat doa yang sahih—adalah aneka karunia makanan, minuman, taman, dan istana?

Sungguh kita adalah orang-orang sial yang terperangkap dalam tirai gelap hawa nafsu dan terbelenggu oleh rantai harapan dan angan-angan rendah yang tidak tahu apa-apa kecuali makanan, minuman, seks, dan sebagainya. Dan kalau ada seorang filosof atau ‘ârif berupaya mengangkat hijab-hijab ini, kita memandang upaya itu sebagai kesalahan dan kehilapan. Selama kita masih terpenjara dalam lubang gelap dunia mulk (wadag), maka kita tidak akan dapat memahami ajaran-

ajaran makrifat (ʻirfân) dan penyaksian-penyaksian para ahli makrifat. Oleh karena itu, Saudaraku, jangan samakan para wali dengan dirimu sendiri, dan jangan bayangkan hati para nabi dan ahli makrifat itu seperti hati kita.

Hati kita tertutupi debu keterikatan pada dunia dan nafsu duniawi. Keterbenaman kita dalam lembah hawa nafsu ini membuat hati kita tidak bisa menjadi cermin yang memantulkan tajalli Ilahi dan tempat bagi hadirnya Sang Kekasih Sejati. Tentu saja, dengan adanya egoisme dan cinta diri, kita tidak akan dapat menyadari tajalliyât Al-Haqq dan Keindahan serta Keagungan-Nya. Kalau keadaan kita tetap seperti ini, kita pasti akan menolak kata-kata para wali dan ahli makrifat. Sekalipun kita tidak sampai mendustakannya dengan lidah kita secara lahiriah, pasti hati kita akan mendustakannya secara batin. Dan, kalau tidak ada jalan untuk mendustakannya-karena kita meyakini kebenaran sabda Rasul dan para Imam maksum a.s.- kita akan membuka pintu ta'wil dan tafsir sehingga pada akhirnya

kita menutup pintu pengetahuan (ma'rifah) tentang Allah. Oleh karena itu, kita menafsirkan perkataan (Imam 'Ali) berikut ini:

ما رأیت شیئا إلّا و رأیت الله معه و قبله و فیه

p: 551

"Aku tidak melihat sesuatu tanpa melihat Allah bersama sesuatu itu, sebelum sesuatu itu, dan di dalam sesuatu itu."

sebagai mengandung arti melihat pengaruh-pengaruh (kemahakuasaan Allah). Lalu, kita menerangkan perkataan (Imam 'Ali a.s.) berikut ini:

لم أعبد ربّا لم أره

“Aku tidak menyembah tuhan yang tidak aku lihat,(1)

sebagai mengandung arti mengetahui konsep-konsep universal yang sifatnya sama dengan pengetahuan kita. Kita menafsirkan ayat-ayat yang menyebutkan liqâ'Allâh sebagai saat-saat menghadapi hari kiamat, dan mengartikan hadis (Nabi Saw.): لی مع الله حالة “Aku memiliki suatu keadaan bersama Allah,”

sebagai rasa kelembutan di hati, dan doa: و ارزقنی النّظر إلی وجهک الکریم Dan anugerahilah aku penglihatan akan Wajah-Mu yang Maha-mulia,

dan semua ratapan para wali dan tangis perpisahan mereka sebagai kepedihan berpisah dengan bidadari-bidadari dan burung-burung surga!

Alasan di balik semua interpretasi itu adalah karena kita bukanlah ahli di bidang ini. Kita tidak memahami apa-apa, kecuali kenikmatan-kenikmatan hewani dan jasadi. Kejahilan kita mendorong kita menolak semua ajaran makrifat (ma'ârif). Penolakan ini merupakan bencana terburuk yang menghalangi kita dari memahami ajaran-ajaran tinggi tersebut, menghalangi kita dari menuntut ajaran-ajaran itu, membuat kita tetap puas pada tingkat eksistensi hewani dan pada gilirannya

membuat kita tidak dapat memasuki alam-alam gaib dan merintangi kita dari cahaya-cahaya Ilahi. Hal itu membuat orang-orang celaka seperti kita ini tidak dapat mengalami tajalliyât, bahkan tidak dapat

p: 552


1- 6. Al-Syaikh Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 305.

menerima realitas keadaan-keadaan spiritual itu. Keyakinan akan realitas yang demikian itu sendiri sudah merupakan suatu kesempurnaan jiwa yang bisa membawa kita ke tahap yang lebih maju. Kita menjauh dari pengetahuan (teoretis) yang merupakan titik-tolak dan benih segenap penyaksian ('irfân). Kita tutup kedua mata dan telinga kita dengan kapas supaya kita tidak bisa mendengarkan ungkapan kebenaran. Jika kita mendengar kebenaran itu dari mulut seorang arif yang bergairah, seorang pesuluk yang bersedih hati atau seorang ahli teosofi (hâkim muta'allih), segera saja kita menyerangnya karena ketiadaan daya pada telinga kita untuk mendengarkan kebenaran dan karena egoisme kita mencegah kita untuk menjadikan hakikat-hakikat seperti itu di atas daya pemahaman kita. Maka, kita

jadikan orang itu sasaran kutukan, cacian, pengafiran, dan pembejatan, serta tanpa segan-segan kita jadikan ia sebagai bahan pergunjingan dan tuduhan.

Kita mewakafkan sebuah buku di perpustakaan dan kita minta pada para pembaca untuk mengutuk almarhum Mulla Muhsin Faidh (Kasyani)—pengarang berbagai buku dalam bidang hadis, akhlak, kalâm, dan taſsir-sebanyak seratus kali sehari! Kita menyebut Shadr Al-Muta'allihin (Mulla Shadra), seorang pengikut tauhid terkemuka, sebagai zindiq dan tidak pernah kikir untuk mencacinya. Kita menyebutnya sebagai sufi-palsu, padahal dalam semua karyanya tidak terdapat

kecenderungan ke arah tasawuf semacam itu, bahkan dia sendiri telah menulis karya yang berjudul Kasr Ashnâm Al-Jahiliyyah fi Al-Radd 'alâ Al-Shûfiyyah (Penghancuran Berhala-Berhala Jahiliah, tentang Penolakan atas Mazhab Kaum Sufi). Kita tidak mengutuk mereka yang layak dikutuk dan yang telah dikutuk oleh Allah dan RasulNya—shalallahu 'alaihi wa âlihi—tetapi kita mengutuk mereka yang secara terbuka menyatakan keimanan kepada Allah, Rasulullah, dan para Imam pembimbing—alaihim al-salâm. Saya tahu bahwa kutukan dan cacian ini tidak merusak kedudukan mereka sedikit pun, bahkan mungkin hal itu akan menambah pahala mereka dan menyebabkan semakin tingginya derajat mereka di sisi Allah. Namun, hal itu justru akan merugikan diri kita sendiri, dan membawa kehinaan dan tercabutnya taufik Allah kepada kita.

p: 553

Syaikh kami, seorang ‘ârif sempurna (yaitu Syahabadi) —semoga jiwaku menjadi tebusannya--berkata, “Janganlah sekali-kali mengutuk (la‘n) seseorang, walaupun dia orang kafir yang tidak kamu ketahui dengan agama apa dia meninggalkan dunia, kecuali seorang wali maksum memberi tahumu mengenai keadaannya setelah mati. Sebab, mungkin saja dia telah beriman sebelum kematiannya. Maka dari itu, lakukan pengutukan secara umum (tanpa menyebut nama orang yang dikutuk-peny.)”

Betapa beda antara orang yang berjiwa suci ini sampai dia tidak membolehkan untuk melaknat orang yang telah mati dalam keadaan kafir secara lahiriah (karena mungkin saja ia telah beriman pada detik-detik kematiannya) dengan orang-orang seperti kita ini! Hanya kepada Allah aku mengeluh, terdapat di sebuah kota seorang penceramah yang berilmu dan terhormat sering berkata di hadapan para pendengar yang juga berilmu dan terhormat bahwa “si Fulan rupa-rupanya

membaca Al-Quran walaupun dia ahli filsafat”. Perkataan ini sebenarnya sama dengan, “Si Fulan beriman kepada Allah dan hari kiamat walaupun dia seorang nabi!” Saya juga termasuk orang yang tidak begitu berpegang pada pengetahuan semata-mata, lantaran pengetahuan yang tidak membawa keimanan merupakan hijab yang paling besar. Namun, kalau kita tidak mendekati dan mempelajari hijab itu, kita tidak akan dapat mencabiknya.

Ilmu merupakan benih-benih penyaksian (spiritual). Meskipun terkadang orang bisa saja mencapai magâm-maqâm yang tinggi tanpa mempelajari hijab peristilahan dan ilmu, hal itu tidak lazim, bertentangan dengan kebiasaan hukum alam, dan jarang sekali terjadi. Oleh karena itu, jalan menuju pencarian Allah adalah dengan memulai mencurahkan waktunya untuk bertafakur dan mendapatkan pengetahuan tentang Allah dan Nama-Nama serta Sifat-Sifat Zat Suci sebagai jalan yang lazim bagi para pelajar (masyayikh) dalam ilmu ini. Kemudian, berbekalkan latihan teoretis dan praktis, dia akan pasti mencapai hasil yang dikehendaki.

Kalau dia tidak pakar dalam peristilahan ilmu ini, dia bisa mendapatkan hasil yang dikehendaki melalui dzikir (pengingatan) tentang Sang Kekasih dan dengan menyibukkan hatinya dengan Zat Suci.

p: 554

Tentu saja, penyibukan hati dan perhatian ruhani seperti ini akan menjadi hidayah baginya, dan Allah akan membantunya dalam hal ini. Satu demi satu hijab akan terangkat dari matanya, sehingga dia pelan-pelan akan menanggalkan sikapnya yang skeptis——terhadap para ahli makrifat dan filsafat. Dan semoga dia dapat menemukan jalan menuju ma'ârif dengan karunia khusus Allah. Sesungguhnya إنّه ولیّ النّعم. Dialah Pemegang segala karunia

Terungkapnya Sebagian Keadaan Gaib Menjelang Kematian

Hadis suci ini menunjukkan bahwa pada saat menghadapi kematian, manusia akan melihat beberapa maqâm dan keadaan ruhaninya. Hal ini sesuai dengan sejumlah dalil metafisik, pengalaman para ahli kasyf, dan serangkaian hadis dan riwayat. Selama manusia sibuk dengan urusan dunianya, hatinya tertuju pada tingkatan (alam fisik), kemabukan alam fisik membius dan menghilangkan kesadarannya serta syahwat dan amarah menjadi candu baginya, maka dia akan secara

penuh tertutupi dari bentuk-bentuk (spiritual) semua perbuatan dan wataknya. Pelbagai efek segenap perbuatan dan wataknya tidak akan tampak dalam malakût hatinya. Akan tetapi, begitu sakaratulmaut merambatinya dan dia merasakan tekanan-tekanannya, sedikit demi sedikit dia akan merasakan keterpisahan dari dunia ini. Lantas, apabila dia memiliki keimanan dan keyakinan serta memiliki hati yang terpaut dengan (ikatan-ikatan) alam materiil ini, pada saat menjelang kematian, hatinya akan tertuju pada alam lain. Para pengemudi spiritual, yakni para malaikat Allah yang ditugaskan untuk mengurus hati manusia, akan mengemudikan

hatinya memasuki alam itu. Setelah pengemudian dan keterpisahan ini terjadi, suatu simulasi dari alam barzakh akan terlihat olehnya dan jendela yang menghubungkannya ke alam gaib akan terbuka baginya. Lalu, sekilas dari keadaan dan kedudukannya di sana akan tampak padanya, sebagaimana diriwayatkan dari Amir Al-Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. berikut ini: حرام علی کلّ نفس أن تخرج من الدّنیا حتّی تعلم أنّه من أهل الجنّة هی، أم من أهل النّار

p: 555

Diharamkan atas jiwa untuk meninggalkan dunia ini tanpa mengetahui apakah dirinya termasuk ahli surga atau ahli neraka.(1) Dalam konteks ini, ada sebuah hadis suci yang akan kami sebutkan selengkapnya sekalipun itu panjang karena hadis ini berisi kabar baik bagi para pengikut wilayah penghulu para pemimpin (maulâ al-

mawâli, yaitu 'Ali ibn Abi Thalib a.s.) dan mereka yang berpegang pada bantuan Ahl Al-Bait yang maksum—alaihim al-salâm. Hadis ini diriwayatkan oleh Faidh Al-Kasyani dalam kitabnya, 'Ilm Al-Yaqin:

قال: و فی کتاب الحسین بن سعید الأهوازیّ، عن عبّاد بن مروان، قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: منکم و الله یقبل: و لکم و الله یغفر، إنّه لیس بین أحدکم و بین ان یغتبط و یری السّرور و قرّة العین إلّا أن تبلغ نفسه ههنا- و أومی بیده إلی حلقه. ثمّ قال، علیه السّلام: إنّه إذا کان ذلک و احتضر، حضره رسول الله، صلّی الله علیه و آله، و علیّ و الأئمّة و جبرئیل و میکائیل و ملک الموت، علیهم السلام، فیدنو منه جبرئیل، علیه السّلام، فیقول لرسول الله، صلّی الله علیه و آله: إنّ هذا کان یحبّکم أهل البیت، فأحبّه. فیقول رسول الله، صلّی الله علیه و آله: یا جبرئیل، إنّ هذا کان یحبّ الله و رسوله و أهل بیته، فأحبّه. فیقول جبرئیل: یا ملک الموت، إنّ هذا کان یحبّ الله و رسوله و آل رسوله، فأحبّه و ارفق به. فیدنو منه ملک الموت، علیه السّلام، فیقول: یا عبد الله، أخذت فکاک رقبتک؟ أخذت امان براءتک؟

تمسّکت بالعصمة الکبری فی الحیاة الدّنیا؟ فیوفّقه الله، فیقول: نعم. فیقول له: و ما ذاک؟ فیقول: ولایة علیّ بن أبی طالب، علیه السّلام. فیقول: صدقت. أمّا الّذی کنت تحذر، فقد آمنک الله، و أمّا الّذی کنت ترجو، فقد أدرکته، أبشر بالسّلف الصالح، مرافقة رسول الله، صلّی الله علیه و آله، و علیّ و الأئمّة من ولده، علیهم السلام. ثمّ یسلّ نفسه سلا رفیقا، ثمّ ینزل بکفنه من الجنّة و حنوطه حنوط کالمسک الأذفر، فیکفن بذلک الکفن و یحنط بذلک الحنوط، ثمّ یکسی حلّة صفراء من حلل

p: 556


1- 7. Faidh Al-Kasyani, 'Ilm Al-Yaqin, II, 853.

الجنّة. فإذا وضع فی قبره، فتح له باب من أبواب الجنّة، یدخل علیه من روحها و ریحانها. ثم یقال له: نم نومة العروس علی فراشها، أبشر بروح و ریحان و جنّة نعیم و ربّ غیر غضبان.

قال: و إذا حضر الکافر الوفاة، حضره رسول الله، صلّی الله علیه و آله، و علیّ و الأئمّة و جبرئیل و میکائیل و ملک الموت، علیهم السلام، فیدنو منه جبرئیل، فیقول: یا رسول الله، إنّ هذا کان مبغضا لکم أهل البیت، فأبغضه. فیقول رسول الله، صلّی الله علیه و آله: یا جبرئیل، إنّ هذا کان یبغض الله و رسوله و أهل بیت رسوله، فأبغضه. فیقول جبرئیل: یا ملک الموت، إنّ هذا کان یبغض الله و رسوله و أهل بیته، علیهم السلام، فأبغضه و اعنف علیه. فیدنو منه ملک الموت، فیقول: یا عبد الله، أخذت فکاک رقبتک؟ أخذت براءة أمانک؟ تمسّکت بالعصمة الکبری فی الحیاة الدّنیا؟ فیقول: لا. فیقول له: أبشر یا عدوّ الله بسخط الله و عذابه و النّار. أمّا الّذی کنت ترجو، فقد فاتک، و أمّا الّذی کنت تحذر، فقد نزل بک. ثمّ یسلّ نفسه سلّا عنیفا، ثمّ یؤکّل بروحه ثلاثمائة شیطان یبزقون فی وجهه و یتأذّی بریحه. فإذا وضع فی قبره، فتح له باب من أبواب النّار، یدخل علیه من فیح ریحها و لهبها. »

Diriwayatkan dalam kitab Al-Husain ibn Sa'id Al-Ahwazi, dari ‘Abbad ibn Marwan yang mengatakan, “Aku mendengar Abu *Abdillah-alaihi al-salâm--berkata, 'Demi Allah, amal (perbuatan)- mu akan diterima dan dosamu akan diampuni. Tidak ada yang menghalangi kalian dari sesuatu yang membuat cemburu, kesenangan, dan penyejuk mata kecuali ketika nyawamu sudah di sini. Lalu dengan tangannya beliau menunjuk ke arah tenggorokan.

p: 557

Selanjutnya beliau a.s. berkata, “Dan apabila saat itu, tiba, yaitu saat kematian, Rasulullah Saw., ‘Ali, para Imam, Jibril, Mikail, dan Malaikat Maut akan hadir di hadapannya. Lantas, Jibril(1) mendekatinya dan berkata kepada Rasulullah, 'Orang ini mencintaimu dan Ahl Al-Baitmu, maka aku pun mencintainya.' Lalu, Rasulullah berkata, “Wahai Jibril, sesungguhnya orang ini mencintai Allah, Rasul-Nya, dan Ahl Al-Bait beliau, maka aku pun akan mencintainya.' Kemudian, Jibril berkata (kepada Malaikat Maut), 'Wahai Malaikat Maut, orang ini mencintai Allah, Rasul-Nya dan Ahl Al-Bait beliau, maka cintailah dia dan bersikaplah lemah lembut terhadapnya.' “Kemudian, Malaikat Maut berkata (kepada orang yang sedang sekarat ini), 'Wahai hamba Allah, apakah kamu telah mendapatkan pembebasan, keselamatan, dan ampunanmu? Apakah kamu berpegangan pada pegangan terbesar dalam kehidupan di dunia? Lalu, dengan pertolongan Allah, dia menjawab, 'Ya.' Lalu, Malaikat Maut bertanya lagi, “Apakah pegangan terbesar itu?' '(Itu adalah) wilayah Ali ibn Abi Thalib a.s.,' jawabnya. Malaikat berkata, 'Kamu telah berkata benar, Allah telah menganugerahimu keselamatan dari apa yang menakutkanmu dan kamu telah mencapai apa yang kamu dambakan. Terimalah berita baik (bahwa kamu) bersama para pendahulu yang lurus, Rasul Allah--shallallahu 'alaihi wa âlihi—dan para Imam dari keturunannya—'alaihim al-salam.' “Kemudian, Malaikat Maut dengan lembut menarik ruhnya, mengafaninya dengan kafan surga dan meminyakinya (hunûth) dengan kesturi yang harum. Kemudian, dia engenakan padanya busana berwarna kuning dari busana surga. Lalu, ketika dia diletakkan di kuburnya, terbukalah baginya sebuah pintu dari sekian pintu surga dan kesegaran serta keharuman surga menerpanya. Kemudian, dikatakan kepadanya, “Tidurlah, seperti tidurnya seorang pengantin di ranjangnya. Terimalah berita gembira berupa kesenangan dan keharuman dari Surga Na'im dari Tuhan yang tidak murka.” Al-Imam Al-Shadiq a.s. melanjutkan, “Ketika seorang kafir menghadapi saat-saat kematiannya, Rasulullah Saw., 'Ali, para Imam, Jibril, Mikail, dan Malaikat Maut-'alaihim al-salam-hadir di hadapannya. Kemudian, Jibril mendekatinya seraya berkata,

p: 558


1- 8. Kalimat hadis ini diriwayatkan dalam bentuk berikut dalam versi-nya yang ada dalam Furü' Al-Kafi, 111, h. 131, “Kemudian, 'Ali a.s. mendekatinya seraya berkata, 'Ya Rasul Allah, orang ini mencintai kami, Ahl Al-Bait, maka cintailah dia,' dan Rasul Allah Saw. berkata, "Wahai Jibril ...,' Kemudian, dalan narasi ini-yang lebih dapat dipercaya dan tepat—Ali yang berkata kepada Nabi, 'Ya Rasul Allah, orang ini membenci kami, Ahl Al-Bait,maka bencilah dia."

'Ya Rasulullah, sesungguhnya orang ini membencimu, Ahl Al-Baitmu, maka aku pun membencinya.' Lalu, Rasul Allah berkata, Ya Jibril, sesungguhnya orang ini membenci Allah, Rasul-Nya, dan Ahl Al-Bait Rasul, maka bencilah padanya.' Kemudian Jibril berkata, 'Wahai Malaikat Maut, sesungguhnya orang ini membenci

Allah, Rasul-Nya, dan Ahl Al-Bait Rasul-Nya, maka bencilah juga padanya dan bersikaplah kasar kepadanya.' “Kemudian, Malaikat Maut mendekati orang yang sedang sekarat ini dan berkata, 'Wahai makhluk Allah, apakah kamu telah mendapatkan pembebasan, keselamatan, dan ampunan? Apakah kamu berpegangan pada pegangan terbesar dalam kehidupan di dunia? Dia menjawab, 'Tidak.' Kemudian, Malaikat Maut berkata, 'Wahai musuh Allah terimalah berita tentang murka dan hukuman Allah serta neraka-Nya. Kamu telah kehilangan apa yang kamu dambakan, dan apa yang menakutkanmu telah menimpamu.' Lalu, Malaikat Maut menarik ruhnya dengan keras dan menyerahkannya kepada tiga ratus setan yang kemudian meludahi wajahnya, dan dia pun tersiksa karena bau busuk ludah itu. Dan ketika dia diletakkan di kuburnya, terbuka baginya satu pintu di antara sekian pintu neraka dan nyala api neraka menerpanya.(1)

Perlu diketahui bahwa alam barzakh setiap orang mencerminkan keadaannya pada hari kiamat dan bahwa alam barzakh merupakan alam yang ada di antara dunia ini dan alam kebangkitan kembali (qiyâmah). Di alam itu terdapat sebuah jendela yang terbuka, sehingga tampaklah bagi penghuninya surga ataupun neraka, seperti yang disebutkan dalam hadis mulia di atas dan hadis Nabi yang termasyhur berikut ini.

القبر إمّا روضة من ریاض الجنّة، أو حفرة من حفر النّیران

“Kubur bisa berupa sebuah taman di antara taman-taman surga dan bisa pula berupa sebuah lubang di antara lubang-lubang neraka.(2)

Oleh karena itu, jelaslah sudah bahwa ketika menjelang kematian, manusia bakal melihat efek-efek dan bentuk-bentuk (spiritual) dari perbuatannya dan mendengar berita tentang surga atau neraka

p: 559


1- 9. 'Ilm Al-Yaqin, II, hh 854-856.
2- 10. Sunan Al-Tirmidzi, IV, 640, kitâb shifah al-qiyâmah, al-jâmi' al-shaghir,1,63

dari Malaikat Maut. Dia juga akan melihat efek-efek perbuatannya pada hatinya sendiri berupa kecemerlangan, kelapangan, dan keterbukaan atau sebaliknya berupa kekotoran, kesempitan, dan kegelapan. Kalau dia tergolong sebagai Mukmin, manakala menghadapi barzakh, hatinya bersiap menyaksikan siraman lembut dan halus serta keindahan Allah. Di dalam hati itu pun akan muncul berkas-berkas tajalliyât kelembutan dan keindahan Allah, sehingga muncul di dalam hatinya kerinduan untuk liqâ’ Allâh. Api kerinduan terhadap keindahan Sang Kekasih bakal membara dalam hatinya. Kalau dia tergolong orang luhur, pencinta Allah dan majdzûb (tenggelam dalam kehadiran Ilahi), hanya Allah yang tahu kadar kelezatan dan kemuliaan (karâmât) yang terdapat dalam tajalli dan kerinduan ini.

Kalau dia tergolong dalam orang yang beriman dan beramal saleh, dia akan mendapatkan berbagai kemuliaan dari Allah yang sebanding dengan keimanan dan amal salehnya. Dia akan melihat semua itu secara sekilas pada saat kematiannya. Lantas, muncullah dalam dirinya kerinduan untuk mati dan menemukan kemuliaan-kemuliaan dari Allah, sehingga dia akan meninggalkan dunia ini dengan keriangan, kegembiraan, kelegaan, dan kesegaran. Mata jasmaniah dan organ-

organ indriawi sungguh tak sanggup untuk melihat kemuliaan-kemuliaan dan menyaksikan keriangan dan kesenangan semacam ini. Namun, kalau dia tergolong dalam orang yang celaka, ingkar, kafir, munafik, dan berbuat keburukan serta kekejian, sesuai dengan kadar perbuatan buruknya di dunia, dia akan melihat efek-efek kemurkaan dan keperkasaan Allah dan akan menyaksikan simulasi dari tempat orang-orang yang celaka. Kengerian itu akar. menguasainya sehingga baginya tidak ada lagi yang lebih dibencinya selain tajalli keagungan dan keperkasaan Allah. Akibat dari kebencian dan keengganan yang dahsyat ini dia akan merasakan tekanan, kegelapan, siksaan, dan kepedihan yang hanya Zat Suci Allah yang dapat mengetahui kadar semua derita itu. Hal ini adalah untuk orang yang di dunia

ini telah menolak kebenaran dan menjadi munafik serta memusuhi Allah dan para wali-Nya. Satu bagian dari neraka terlihat jelas pula oleh para pendosa dan orang-orang yang berbuat dosa besar yang sebanding dengan sifat buruk perilaku mereka dan dalam keadaan

p: 560

seperti ini bagi mereka tidak ada yang lebih dibenci selain meninggalkan dunia ini. Mereka dipindahkan dari dunia ini secara keras dan kasar dengan menanggung kesulitan dan kepedihan, sehingga hati mereka diliputi suasana sesal yang tak lagi berguna pada waktu itu. Uraian ini memperlihatkan bahwa pada saat kematian, manusia akan menyaksikan apa yang telah dia perbuat sebelumnya, tetapi tak disadarinya. Pada saat itu, bagian tersembunyi dari wujudnya akan terlihat jelas olehnya. Kehidupan dunia ini merupakan tirai yang menyembunyikan cacat-cacat kita dan hijab yang menutupi ahli makrifat. Manakala tirai dan hijab ini disibakkan dan dikoyakkan, manusia bakal melihat suatu simulasi dari apa yang ada pada dirinya dan apa yang telah dipersiapkannya sendiri. Di alam-alam kelak, manusia

tak akan menghadapi hukuman atau siksaan, kecuali apa yang telah dihasilkannya di dunia ini. Di alam kemudian, dia hanya akan menyaksikan bentuk dari apa yang telah diupayakannya berupa perbuatan saleh, budi luhur, dan akidah yang benar di dunia ini, disertai sejumlah kemuliaan lain yang akan dianugerahkan Allah padanya dengan kelembutan-Nya. Di akhir ayat mulia berikut ini:

Dan, barang siapa telah berbuat kebajikan walaupun seberat atom, dia akan melihatnya, dan barang siapa telah berbuat keburukan walaupun seberat atom, dia akan melihatnya. (QS Al-Zalzalah (99:7-8)مَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ (7)»وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ (8)»9:

Terdapat hadis dari Imam 'Ali yang dikutip dalam Tafsîr Al-Shafi dari Majma' Al-Bayân sebagai berikut. (1)

هی أحکم آیة فی القرآن، و کان رسول الله [صلّی الله علیه و آله ] یسمّیها «الجامعة»

Itu merupakan ayat paling muhkam dalam Al-Quran dan Rasulullah-shalallâhu alaihi wa âlihi--menyebutnya sebagai ayat “al-jâmi'ah”. Oleh karena itu, kita perlu tahu bahwa jika kita memupuk cinta pada Allah dan para wali-Nya di dunia ini dan menaati Zat Suci itu dan menerima kilau Cahaya Ilahi dalam hati kita, pada saat kematian realitas batiniah itu akan kita lihat dengan jelas dalam bentuk-bentuk-

p: 561


1- 11. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân (Qum. 1403), V, 527.

nya yang indah. Sebaliknya, jika hati kita hanya memerhatikan aspek- aspek duniawi dan berpaling dari Allah, benih kebencian pada Allah dan para wali lambat laun akan tertabur dalam hati kita. Kemudian, saat menghadapi maut, kebencian ini akan memperlihatkan intensitasnya dan menampakkan sifat-sifat yang aneh dan mengerikan seperti telah Anda dengar sebelumnya. Oleh karena itu, salah satu hal terpenting bagi manusia adalah berupaya menciptakan dan memupuk satu keadaan Ilahiah dalam hatinya dan mengarahkan hatinya kepada Allah, para wali-Nya, dan tempat yang penuh dengan karunia-Nya. Hal ini dapat dicapai de-

ngan cara merenungkan pelbagai nikmat dan karunia. Zat Suci serta mengabdikan diri untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun, manusia tidak boleh mengandalkan dirinya dan amal-amalnya semata-mata mata. Pada setiap saat, khususnya pada saat-saat sendirian, manusia harus memohon dengan rendah hati dan cucuran air mata agar Allah menaruh kecintaan-Nya di hatinya dan menerangi hatinya dengan cahaya pengetahuan dan kecintaan-Nya, serta membersihkan hatinya dari cinta dunia dan segala sesuatu selain-Nya. Tentu saja, doa ini pada mulanya merupakan suatu latihan kata-kata dan kurang terasa karena sulit sekali menginginkan sirnanya cinta dunia dari hati kita apabila hati telah dikuasai oleh cinta dunia. Akan tetapi, setelah berkali-kali merenung, berupaya dengan tekun, dan membuat hati memahami hasil-hasil cinta Allah dan hasil-hasil cinta dunia, mudah-mudahan hati akan sadar, insya Allah.

Makna "Cinta” dan “Benci” Apabila Dinisbahkan kepada Allah

Ketahuilah bahwa kualitas kecintaan, kebencian, dan semisalnya yang dalam Al-Quran dan hadis-hadis mulia telah dinisbahkan kepada Allah Swt. tidak mungkin dipahami dalam makna konvensionalnya. Sebab, makna konvensional dari semua sifat itu mengandung implikasi perasaan jiwa (infi'al nafsânî), sedangkan Allah bebas dari hal seperti itu. Mengingat pembahasan mendalam seputar isu ini berada di luar lingkup buku ini, kami hanya akan membicarakannya secara sepintas.

Perlu diketahui bahwa semua sifat dan kualitas yang turun dari alam-alam abstrak-gaib pada tingkatan alam fisik-yang merupakan

p: 562

alam farq (diferensiasi) atau bahkan alam farq al-farq (diferensiasi dalam diferensiasi)—menjelma dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk-bentuk abstrak-gaibnya sehingga semua itu memiliki efek dan pengaruh yang juga berbeda. Kaum Platonis menganggap semua maujud materiil sebagai manifestasi dari ruh-ruh gaib, refleksi dari realitas-realitas malakútî, dan tiruan dari ide-ide Platonis (mutsul aflâ-thûniyyah). Mereka berpendapat bahwa semua aksiden dan kualitas

yang tidak memiliki eksistensinya sendiri di alam ini-berbeda dengan substansi yang memiliki eksistensinya sendiri menjelma di alam abstrak-gaib sebagai bentuk-bentuk esensial yang bereksistensi mandiri dan tidak bersandar pada selain dirinya sendiri. Atas dasar itu, kami dapat mengatakan bahwa semua sifat dan

kualitas yang di alam fisik ini selalu disertai pembaruan dan perubahan mewujud di alam-alam gaib, tingkatan-tingkatan abstrak, dan khususnya di alam Nama-Nama Ilahi dan maqam al-wahidiyyah (pada sifat Keesaan Ilahi) dalam bentuk yang suci dan terbebas dari segala kekurangan. Maka dari itu, pada tingkatan abstrak-imateriil dan pada sisi Ilahi, ekspresi tentang semua bentuk itu mestilah berbeda dengan ekspresinya di alam ini.

Misalnya, tajalliyât (manifestasi) kasih-sayang (rahmâniyyah) dan rahmat (rahimiyyah), yang juga disebut tajalliyât keindahan (jamâliyyah), kelembutan (luthf), kecintaan (hubb), dan keakraban (uns), menjelma di alam ini dalam bentuk cinta, rahmat, dan kelembutan yang disertai sentimen (infi'al) dan reaksi (ta’atstsur). Dan hal itu disebabkan oleh sempitnya (cakupan) alam ini. Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa dari seratus bagian rahmat Allah (rahmah) hanya satu bagian yang diturunkan ke alam ini. Dan satu bagian rahmat itu sudah cukup untuk meliputi semua manifestasi rasa sayang di dunia ini, seperti rasa sayang antara anak dan orangtua dan semacamnya. Begitu pula halnya dengan tajalliyât keperkasaan (qâhiriyyah) dan kepemilikan (mâlikiyyah) Allah yang merupakan bagian dari tajalliyât Keagungan (jalâliyyah) terejawantahkan di dunia ini dalam bentuk kebencian (bughdh) dan kemarahan (ghadhab) yang beriringan dengan sentimen

dan reaksi psikologis.

p: 563

Ringkas kata, segi batin kecintaan, kebencian, kemarahan, rahmâniyyah dan qahhâriyyah Allah, dan tajalliyât keindahan dan keagungan Ilahi mewujud dengan sendirinya (maujûdah bi ‘ain al-dzât), tidak bersifat plural (katsrah), tidak berubah-ubah, dan bukan merupakan reaksi dari sesuatu. Mengingat kecintaan dan kebencian yang ada di alam ini merupakan penjelmaan rahmâniyyah dan qahhâriyyah Allah, dapat kita mengekspresikan keduanya dalam istilah dan makna

yang sama. Sebab, penjelmaan (mazhhar) bergantung sepenuhnya pada yang menjelmakan (zhâhir) dan yang menjelmakan (zhâhir) tampak pada penjelmaannya (mazhhar). Dengan demikian, kemarahan Allah pada hamba-Nya merupakan penjelmaan kemahaperkasaan-Nya dan dan pembalasan-Nya, sedangkan kecintaan-Nya merupakan penjelmaan dari rahmat dan kemurahan-Nya. Dan Allahlah yang Maha Mengetahui. ()

p: 564

29 Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib

Point

بالسّند المتّصل إلی أفضل المحدّثین و أقدمهم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضی الله عنه، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد بن عیسی، عن علیّ بن النّعمان، عن معاویة بن عمّار، قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول کان فی وصیّة النّبیّ، صلّی الله علیه و آله و سلّم، لعلیّ، علیه السّلام، أن قال: یا علیّ، أوصیک فی نفسک بخصال، فاحفظها عنّی. ثمّ قال: اللهمّ أعنه. أمّا الأولی فالصّدق. و لا یخرجنّ من فیک کذبة أبدا. و الثّانیة، الورع. و لا تجتری علی خیانة أبدا. و الثّالثة، الخوف من الله عزّ ذکره کأنّک تراه. و الرّابعة، کثرة البکاء من خشیة الله تعالی. یبنی لک بکلّ دمعة ألف بیت فی الجنّة. و الخامسة، بذلک مالک و دمک دون دینک. و السّادسة، الأخذ بسنّتی فی صلاتی و صومی و صدقتی: أمّا الصّلاة فالخمسون رکعة، و أمّا الصّیام فثلاثة أیّام فی الشّهر: الخمیس فی أوّله و الأربعاء فی وسطه و الخمیس فی آخره، و أمّا الصّدقة فجهدک حتّی تقول قد أسرفت و لم تسرف. و علیک بصلاة اللّیل.

p: 565

و علیک بصلاة اللّیل، و علیک بصلاة اللّیل، و علیک بصلاة الزّوال، و علیک بصلاة الزّوال، و علیک بصلاة الزّوال، و علیک بتلاوة القرآن علی کلّ حال، و علیک برفع یدیک فی صلاتک و تقلیبهما، و علیک بالسّواک عند کلّ وضوء، و علیک بمحاسن الأخلاق فارتکبها، و مساوی الأخلاق فاجتنبها. فإن لم تفعل، فلا تلومنّ إلّا نفسک

Dengan sanadku yang bersambung sampai ke sebaik-baik ahli hadis dan yang terkemuka di antara para ahli hadis, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-radhiyallahu 'anhu-dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, dari ‘Ali ibn Al-Nu'man, dari Mu'awiyah ibn 'Ammar, yang berkata, “Dalam sebuah wasiat

Nabi Saw. kepada 'Ali a.s. disebutkan, 'Wahai ‘Ali, aku wasiatkan kepadamu tentang sejumlah perilaku (khishal) yang harus kamu jaga dalam dirimu (sebagai amanat) dariku.' Lalu, beliau berdoa, “Ya Allah, tolonglah dia.' (Lalu beliau melanjutkan): ‘Pertama, kejujuran; maka jangan sampai mulutmu berkata dusta. Kedua, wara' (kesalehan), maka jangan berani-berani berbuat khianat. Ketiga, ketakutan kepada Allah-yang mulia sebutan-Nya, sehingga seakan-akan kamu melihat-Nya. Keempat, banyak menangis karena takut kepada Allah; seribu gedung di surga akan dibangunkan buatmu untuk setiap tetesnya. Kelima, mempersembahkan harta dan darahmu (tanpa mengorbankan) agamamu. Keenam, mengikuti sunnahku dalam shalat, puasa, dan sedekah. Shalatku adalah lima puluh rakaat (setiap hari); puasaku adalah tiga hari dalam satu bulan (pada hari Kamis di awal bulan, pada hari Rabu di tengahnya, dan pada hari Kamis di akhirnya); dan sedekahku adalah upayamu (untuk memberi) sehingga kamu berkata kepada dirimu, 'Aku telah berlebihan dalam memberi,' pada kamu tidak berlebihan. "Lakukanlah shalat malam! Lakukanlah shalat malam! Laku-kanlah shalat malam! Jagalah shalat zawâl (shalat sunnah ketika matahari tergelincir dari tengah langit)! Jagalah shalat zawâl! Jagalah shalat zawâl! Biasakanlah untuk selalu membaca Al-Quran. Angkat dan balikkan kedua tanganmu dalam shalat. Gunakanlah siwak (sikat gigi) setiap kamu hendak melakukan wudhu Perhatikan kebajikan-kebajikan akhlak dan praktikkan semuanya;

p: 566

perhatikan hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib keburukan-keburukan akhlak dan jauhilah. Jika kamu tidak melakukannya, jangan salahkan orang lain kecuali dirimu.(1)

Khishal adalah bentuk jamak dari khashlah, yang artinya keutama an yang timbul dari suatu watak seperti yang disebutkan dalam kamus

Al-Shihah. Karena itu, penggunaannya untuk semua tindakan dan watak-seperti dalam hadis mulia di atas dan dalam tempat-tempat lain-bersifat kiasan (majāz). Boleh jadi khashlah artinya lebih umum daripada arti watak baik yang tertanam dalam diri manusia, sehingga penggunaannya dalam hadis ini merupakan penggunaan harfiah (haqiqah). Adapun kata wara' (dengan fatah pada ra') dan kata ri'ah adalah bentuk mashdar dari wari'a dan yari'u (dengan kasrah pada kedua ranya) berarti takut kepada Allah (takwa), sangat takut, dan kesalehan atau kehati-hatian yang tinggi. Mungkin itu diturunkan dari ورّعته توریعا yang artinya کففته(saya menahannya). Sebab, wara' sesungguhnya bermakna menahan jiwa dari melanggar batas-batas syari'ah dan akal sehat. Mungkin diturunkan dari kata warra'a yang berarti radda (meminta supaya jangan melakukan sesuatu). Perkataan di "Warra'tul ibila 'anil ma'" berarti 'saya memalingkan/menghalau (raddatuhû) unta dari air'. Karena itu, seorang Mukmin menghalau dirinya dari godaan-godaan nafsu dan mengupayakan agar tidak terperosok ke dalamnya. Adapun kata-kata Nabi tuý itu berkenaan dengan bentuk kata kerja je dan artinya kelancangan, keberanian, dan kegemaran melakukan suatu perkara. Pengarang Al-Shihah, mengutip dari Abu Ziyad, الجرأة مثال الجرعة الشّجاعة ,mengatakan jur'ah merupakan contoh dari jur'ah yang berarti syajā'ah [keberanian]). Juga dalam A-Shihah disebutkan bahwa الجریئ: المقدام (jari' sama dengan miqdâm (pelopor dalam sesuatu]). (2)

p: 567


1- a Dalam kitab Al-Wasäil, jilid 18, Bab 12 tentang "Sifat-Sifat Qadhi", dari Abu 'Abdillah, beliau berkata, “Seluruh perkara terdiri atas tiga. Pertama, perkara yang jelas baiknya, maka mesti diikuti. Kedua, perkara yang jelas buruknya, maka mesti dijauhi. Dan ketiga, perkara yang pelik baik-buruknya, maka mesti dikembalikan ilmunya kepada Allah dan Rasul-Nya Saw. dalam hadis: 'Perkara yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, dan di antara keduanya ada syubhat. Barang siapa meninggalkan syubhat, dia akan selamat dari yang haram”-peny.
2- 1. Nahj Al-Balaghah, ed. Faidh Al-Islam, Kutub, No. 47.

Adapun kata فجهدک dalam hadis di atas الجهد temu dengan dhammah atau fatah pada jîm berarti daya upaya dan jerih payah اطاقه و المشقه . Dikatakan bahwa جهد دابته وجهدها la apabila orang menggunakan hewan tunggangan-nya lebih dari kekuatannya. Jahd juga dipakai dalam pengertian kesungguhan dan kengototan. Dan arti terakhir ini, tampaknya (paling) tepat untuk pengertian kata itu dalam hadis di atas. Adapun kata علیک بصلاه الیل di sini علیک adalah ism al-fi'l (mashdar) yang digunakan dalam arti sebuah kata kerja transitif atau sebagai pengganti kata kerja transitif. علیکم انفسکم artinya الزموا انفسکم (yaitu “jagalah diri kalian ...).(1) Oleh karena itu, bâ' ini (dalam bi al-shalâh) untuk menekankan dan menggarisbawahi dan bukan untuk mentransitifkan kata kerja itu. Dalam Majma' Al-Bahrain, disebutkan bahwa jika bâ' itu ditransitifkan, ia berarti استمسک (yaitu jagalah dengan sungguh-sungguh). Ungkapan seperti ini tidak ada dalam bahasa Persia, dan dalam bahasa Arab hal itu digunakan untuk menekankan secara intensif satu perkara tertentu. Barangkali, satu ungkapan Persia yang dekat dengannya adalah two de Grammy. Namun, terjemahan ungkapan itu ke dalam bahasa Persia tidak sesuai dengan penggunaan umum. Kami akan menjelaskan tema-tema yang relevan dengan hadis di atas dalam beberapa bagian, insya Allah.

Mukadimah

Sejumlah segi (bahasa) dalam hadis mulia ini mengungkapkan bahwa butir-butir wasiat Rasulullah yang mulia Saw. kepada Amir Al-Mukminin ('Ali ibn Abi Thalib) a.s. tersebut sangat penting di mata Rasulullah. Hal itu karena beberapa sebab berikut ini. Pertama, wasiat ini disampaikan kepada Amir Al-Mukminin a.s., meskipun dia jauh dari kemung kinan melalaikan hukum-hukum syari'ah dan perintah-perintah Allah. Namun, karena masalah ini sendiri sangat penting dalam pandangan

Baginda Rasul, beliau mewasiatkannya kepada Imam 'Ali. Dan tidak

p: 568


1- Meskipun teks hadis itu dikutip langsung oleh Imam Khomeini, di sini kami tidak mencantumkannya karena redaksi hadis itu sendiri sebenarnya sama dengan yang telah beliau uraikan di sini-peny.

mungkin beliau mewasiatkan satu masalah yang remeh atau tidak penting, sekalipun dalam kasus ini beliau sudah mengetahui bahwa penerima wasiat ini pasti akan memenuhinya. Kecil sekali kemungkinannya bahwa wasiat Baginda Nabi kepada pribadi suci ‘Ali sesungguhnya dimaksudkan untuk orang lain, seperti

dalam pepatah ایاک اعنی واسمعی یا جاره (“Aku berkata padamu agar yang di sebelahmu mendengarnya"). Hal itu karena konteks hadis itu sendiri bersaksi bahwa kandungan wasiat yang beliau sampaikan secara khusus beliau tujukan kepada Imam 'Ali, seperti ditunjukkan oleh kata-kata فی نفسک (pada dirimu sendiri) dan perintah untuk menjaganya serta doa beliau agar Allah menolong Imam 'Ali (dalam melaksanakan kandungan nasihat tersebut). Selain itu, wasiat atau nasihat seperti ini lazim dilakukan oleh Ahl Al-Bait dan para Imam maksum a.s. kepada sesama mereka. Konteks tiap-tiap wasiat itu dengan jelas menunjukkan bahwa pribadi-pribadi suci itu menujukannya kepada sesama mereka. Oleh karena itu, dalam wasiat Amir Al-Mukminin a.s. kepada Imam Hasan dan Imam Husain a.s. disebutkan, “Ini adalah wasiatku kepada kalian berdua dan anggota-anggota lain keluargaku, juga kepada siapa saja yang membaca suratku ini .."? Jelaslah bahwa Imam Hasan dan Imam Husain a.s. termasuk dalam wasiat itu. Wasiat dan nasihat yang demikian itu memperlihatkan betapa pentingnya masalah yang disampaikan dan kecintaan tinggi di antara pribadi-pribadi suci tersebut. Fakta bahwa Amir Al-Mukminin a.s. yang menjadi tujuan wasiat dalam hadis di atas mengungkapkan sedemikian pentingnya perkara-perkara yang hendak disampaikan oleh Baginda Nabi Saw.

Kedua, meskipun ditujukan kepada Imam 'Ali yang tak akan pernah melakukan apa pun yang bertentangan dengan anjuran Rasulullah Saw. atau melalaikannya, beliau memandang perlu untuk memberikan kata-kata penekanan yang berulang-ulang dalam redaksi wasiat di atas. Ketiga, setelah mengatakan, “Aku wasiatkan kepadamu," beliau menambahkan, “Jagalah wasiat ini sebagai amanat dariku” untuk menitikberatkan pentingnya isi wasiat tersebut. Kemudian, karena beliau menghendaki agar Imam 'Ali menunaikan pesan-pesan penting ini, beliau berdoa, “Ya Allah, tolonglah dia." Keempat, ada kata-kata

p: 569

penekanan lain yang tersebar dalam redaksi wasiat ini seperti ditunjukkan oleh huruf nûn al-ta'kid (seperti dalam لا یخرجنَ), sejumlah pengulangan dan sebagainya yang tak perlu disebutkan satu demi satu. Semua itu menunjukkan pentingnya masalah-masalah yang terkandung dalam wasiat di atas. Tentu saja, Baginda Nabi Saw tidak memiliki kepentingan atau mengambil manfaat secara pribadi dari butir-butir wasiat ini, tetapi semua manfaat kembali kepada si penerima wasiat. Sekalipun Imam 'Ali a.s. adalah yang pada mulanya dituju oleh wasiat ini, tugas-tugas yang termuat dalam wasiat ini bersifat umum. Karenanya, kita harus berbuat sedemikian rupa sehingga isi wasiat Rasulullah Saw. itu tidak kita abaikan. Kita perlu tahu bahwa besarnya kecintaan Rasulullah Saw. yang mulia kepada Imam 'Ali

a.s. menunjukkan bahwa ada manfaat yang sangat besar dalam masalah-masalah ini, sampai-sampai beliau menggunakan bahasa penekanan berulang-ulang seperti itu. Allah yang paling tahu.

Keburukan-Keburukan Dusta

Salah satu butir dalam wasiat Rasulullah Saw. adalah menyuruh berlaku jujur dan melarang berdusta. Fakta bahwa soal ini disebutkan paling awal menunjukkan arti pentingnya yang terbesar dibandingkan dengan semua butir wasiat lainnya. Kami akan menyebutkan sejumlah keburukan dusta sebelum menyebutkan sejumlah manfaat kejujuran. Ketahuilah bahwa kenistaan ini telah disepakati keburukannya oleh akal maupun wahyu. Pada dirinya sendiri, kenistaan ini merupakan maksiat dan ketidaksenonohan yang besar, seperti yang ditunjukkan oleh banyak hadis. Kenistaan ini juga membawa sejumlah akibat lain yang tak kurang kejinya dari dosa itu sendiri. Sekali saja seseorang berdusta dan kemudian terungkap, orang itu akan jatuh di mata masyarakat dan tak mampu memperbaikinya sampai akhir

hayatnya. Kita berlindung kepada Allah dari menjadi seorang pendusta, karena agaknya tak ada yang lebih mudarat bagi kepribadian seseorang selain berdusta. Selain itu, banyak yang telah disebutkan tentang kerugian-kerugian religius dan balasan-balasan ukhrawi dari perbuatan dusta. Di sini, kami hanya akan menyebutkan segelintir hadis

p: 570

Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib mulia yang berkenaan dengan topik ini. Karena keburukan dusta sudah jelas bagi sebagian besar orang, kami tidak akan membahasnya secara mendetail.

روی فی الوسائل عن محمّد بن یعقوب بإسناده عن أبی جعفر، علیه السلام، قال: إنّ الله عزّ و جلّ جعل للشّرّ أقفالا، و جعل مفاتیح تلک الأقفال الشّراب، و الکذب شرّ من الشّراب

Dalam Al-Wasâ'il, diriwayatkan dari Muhammad ibn Ya'qub, yang meriwayatkan dengan bersanadkan kepada Abu Ja'far (Imam Muhammad Al-Baqir) a.s. yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menjadikan beberapa penutup untuk suatu keburukan dan menjadikan minuman keras sebagai kunci untuk

membukanya. Akan tetapi, kebohongan lebih buruk daripada minuman keras.(1)

Nah, renungkanlah sebentar hadis suci yang bersumber dari penghimpun ilmu keluarga Muhammad ('Âlim Ali Muhammad), dimuat dalam kitab hadis yang merupakan rujukan bagi semua ulama umat--semoga Allah meridhai mereka--dan diterima oleh mereka. Apakah setelah ini masih ada lagi dalih bagi kita (untuk berdusta)? Bukankah penyepelean terhadap dusta tidak lain dari kelemahan iman pada hadis-hadis Ahl Al-Bait yang maksum a.s.? Kita tidak mengetahui bentuk-bentuk gaib yang timbul dari segenap perbuatan kita. Kita tidak juga mengetahui hubungan-hubungan gaib antara alam mulk dan alam malakût (yang ditimbulkan dari segenap perbuatan kita di alam fisik—peny.). Akibatnya, kita menganggap hadis-hadis seperti ini sebagai mengada-ada dan memandang ungkapan-ungkapannya sebagai pernyataan yang berlebihan (hiperbola).

Sebenarnya, anggapan seperti itu sendiri merupakan metode yang salah dan timbul karena kebodohan dan kelemahan iman kita. Kalau kita memandang hadis mulia ini sebagai hiperbola, apakah kiranya alasan dan kondisi yang mendorong berlakunya hiperbolisme dalam hadis-hadis seperti itu? Mungkinkah kita mengatakan segala sesuatu sebagai lebih buruk daripada minuman keras? Atau sebaliknya, pasti

p: 571


1- 2. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, Vol. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-kidzb, hadis No. 3

ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan munculnya ungkapan lebih buruk daripada minuman keras itu?

و بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: الکذب هو خراب الإیمان

Hadhrat Bâqir Al-'Ulum (yaitu Imam Muhammad Al-Baqir) a.s. bertutur, “Dusta adalah kehancuran bagi iman.(1) Hadis-hadis seperti ini menggetarkan relung hati manusia dan mematahkan tulang punggung seseorang. Saya yakin dusta memang merupakan salah satu perbuatan buruk. Akan tetapi, kepekaan manusia terhadap keburukannya menghilang karena ia telah menjadi sedemikian lumrah di tengah-tengah masyarakat. Pada saatnya kita akan menyadari bahwa keimanan yang merupakan modal utama kita menempuh kehidupan akhirat akan tiba-tiba menghilang tanpa kita sadari lantaran kita meremehkan perbuatan dusta ini.

Diriwayatkan dari Imam Kedelapan a.s. (Imam 'Ali ibn Musa Al-Ridha) yang mengatakan, “Penutup para nabi ditanya, 'Apakah seorang Mukmin bisa menjadi pengecut dan penakut? Beliau menjawab, 'Ya. Kemudian, mereka bertanya, 'Apakah seorang Mukmin bisa menjadi kikir. Beliau menjawab, 'Ya.''Dapatkah dia menjadi pendusta? Beliau menjawab, 'Tidak!

Diriwayatkan dari Shaduq Al-Tha'ifah, yaitu Syaikh Al-Shaduq, yang mengatakan, “Di antara sabda-sabda Rasulullah terdapat ucapan berikut: أربی الرّبا الکذب

“Dusta melebihi riba (dalam hal kejahatannya).(2)

Bagaimana dusta bisa lebih buruk daripada riba, padahal keharaman dan keburukan riba telah sedemikian ditekankan sampai mengherankan pikiran manusia.

Perkara yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa banyak hadis melarang perbuatan dusta, walaupun sekadar untuk bergurau dan bercanda. Para ahli juga memfatwakan keharamian dusta meskipun untuk bergurau dan bercanda. Karena itu, penulis Al-Wasā'il pada bab mengenai dusta telah memberikan judul yang selaras dengan fatwanya sebagai berikut:

p: 572


1- 3. Ibid., hadis No. 4.
2- 4. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. VIII, h. 574.

باب تحریم الکذب فی الصغیر و الکبیر و الجدّ و الهزل عدا ما استثنی

“Bab mengenai larangan berdusta, dalam masalah kecil maupun besar, dalam pembicaraan serius maupun gurauan, dengan mengesampingkan apa yang telah dikecualikan sebelumnya."

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan melalui sanad yang sampai ke Al-Imam Al-Baqir a.s. sebuah hadis berikut, “Ali ibn Al-Husain a.s. biasa berkata kepada putra-putranya, 'Dalam bicaramu, jauhkanlah dirimu dari kepalsuan, entah itu soal kecil atau besar, entah itu diucapkan dengan serius atau bercanda, lantaran berdusta dalam masalah-masalah sepele akan melahirkan keberanian untuk berdusta dalam masalah-masalah besar. Tidakkah kalian tahu bahwa Rasulullah Saw. bersabda,

Ada seorang hamba Allah yang teguh dalam kejujuran sehingga Allah menuliskan namanya sebagai shiddiq (yang sangat jujur) dan ada seorang hamba yang biasa berdusta sehingga Allah Taala menulisnya sebagai kadzdzâb (sangat dusta)?(1) Al-Kafi juga meriwayatkan dengan sanad ke Ashbagh ibn Nubatah sebuah hadis yang berbunyi:

قال قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: لا یجد عبد طعم الإیمان حتّی یترک الکذب هزله و جدّه

Amir Al-Mukminin a.s. berkata, “Orang tidak merasakan iman kecuali setelah dia tidak melakukan dusta, baik dalam pembicaraan serius maupun senda-gurau.(2)

Dalam nasihatnya kepada Abu Dzarr Al-Ghifari, Rasulullah Saw. bersabda:

یا أبا ذرّ، ویل للّذی یحدّث فیکذب لیضحک به القوم. ویل له، ویل له

“Wahai Abu Dzarr, celakalah orang yang berdusta dengan maksud membuat orang lain tertawa. Celakalah dia! Celakalah dia!”(3)

Nah, setelah mengetahui hadis-hadis dan peringatan-peringatan keras Rasulullah Saw. dan para Imam yang mendapat bimbingan Allah ini, orang yang mau melakukan kekejian (dusta) serius ini perlu keberanian besar untuk menanggung celaka.

p: 573


1- 5. Ushul Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-kidzb, hadis No. 2.
2- 6. Ibid., hadis No. 11.
3- 7. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-shidq wa ada’ al-amânah, hadis No. 10.

Seperti halnya dusta telah dianggap sebagai salah satu kejahatan sangat berat, kejujuran dalam berbicara juga dianggap sebagai salah satu kebajikan paling utama. Kejujuran sangat dipuji dalam hadis-hadis Ahl Al-Bait, dan di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa di antaranya.

محمّد بن یعقوب بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: کونوا دعاة للنّاس بالخیر بغیر ألسنتکم لیروا منکم الاجتهاد و الصّدق و الورع

Muhammad ibn Ya'qub meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.s. Dia berkata, “Serulah orang pada kebaikan dengan sarana selain lidahmu agar mereka melihat kesungguhan, kejujuran, dan kesalehan dalam dirimu.(1)

Al-Shaduq meriwayatkan dengan sanadnya dari Rasulullah Saw. yang bersabda, “Yang paling dekat denganku pada hari kiamat dan yang paling patut mendapatkan syafaatku adalah yang paling jujur, yang paling dapat dipercaya, yang paling ramah, dan yang paling akrab di antara kalian dengan kebanyakan orang."

Makna dan Tingkat-Tingkat Wara'

Wara' dianggap sebagai salah satu tahap dalam perjalanan pesuluk. Menurut definisi yang diberikan oleh 'ârif terkemuka, Khwajah ‘Abdullah Ansyari, wara' adalah:

هو توقّ مستقضی علی حذر، أو تحرّج علی تعظیم.

Wara' adalah “kehati-hatian yang tinggi disertai rasa takut atau disiplin ketat untuk memuliakan Allah'. Dan ini meliputi semua tingkatan, karena wara' itu sendiri bertingkat-tingkat. Wara' pada kebanyakan orang adalah meninggalkan dosa-dosa besar. Wara' pada orang-orang terpilih adalah berpantang dari hal-hal yang syubhat karena takut tergelincir ke dalam hal-hal yang haram, seperti ditunjukkan oleh hadis al-tatslits.(2) Wara' pada kaum zâhid adalah berpantang dari hal-hal yang halal demi menghindari beban tanggung jawab yang menyertainya. Wara' pada kaum penempuh jalan ‘irfan adalah

p: 574


1- 8. Lihat penjelasan mengenai hadis kedua puluh lima tentang waswas.
2- 9. Ushûl Al-Kafi, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-wara', hadis No. 11.

berpantang dari memandang dunia demi mencapai pelbagai maqâm. Wara' pada kaum yang tertawan hatinya dalam Wujud Ilahiah (majdzûb) adalah melepaskan maqâm demi mencapai ambang pintu Allah dan menyaksikan keindahan-Nya. Wara' para wali Allah adalah menghindari perhatian pada tujuan-tujuan (ghâyât). Masing-masing tingkatan itu mempunyai uraian yang panjang, tetapi tidak ada manfaatnya menguraikan semua itu di sini.

Yang perlu diketahui dalam hubungan ini adalah bahwa wara' terhadap apa yang telah diharamkan Allah (muharrâmât) merupakan dasar bagi semua keutamaan ruhaniah dan maqâmât ukhrawi. Tak seorang pun dapat mencapai suatu maqam sebelum dia berpantang dari hal-hal yang haram (muharrâmât). Hati yang tidak memiliki wara' pada tingkat ini menjadi sedemikian berkarat dan gelap sehingga tidak ada lagi harapan untuk menyelamatkannya. Melalui wara' ini, jiwa dapat menjadi bersih dan bening. Inilah tahap terpenting bagi kebanyakan orang. Mencapai tahap ini merupakan salah satu bekal terpenting menuju akhirat. Keutamaan wara' ini, seperti yang diuraikan dalam hadis-hadis Ahl Al-Bait a.s. lebih dari apa yang dapat dikemukakan dalam halaman-halaman buku ini. Kami hanya akan

menyebutkan beberapa di antara hadis-hadis itu. Bagi yang menginginkan rincian lebih lanjut, silakan merujuk pada kitab-kitab hadis yang ada.

کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: أوصیک بتقوی الله، و الورع، و الاجتهاد. و اعلم أنّه لا ینفع اجتهاد لا ورع فیه

Dalam Al-Kafi, Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.s., beliau yang berkata, “Aku wasiatkan dirimu agar bertakwa kepada Allah, bersikap wara' dan tekun (dalam beribadah). Ketahuilah bahwa ketekunan (dalam beribadah) tidak berguna tanpa wara".(1)

Ada riwayat lain dengan kandungan yang sama dengan hadis di atas. Hadis itu menunjukkan bahwa beribadah tanpa wara' tidak ada nilainya. Jelaslah bahwa tujuan utama ibadah adalah mendisiplin-

p: 575


1- 10. Ibid., hadis No. 3.

kan dan mengekang jiwa, agar alam malakût mendominasi alam mulk dan jasad yang tak dapat terwujudkan tanpa melalui wara' yang kuat dan ketakwaan yang sempurna. Jiwa yang ternodai oleh ketidaktaatan kepada Allah tak dapat menerima gambar atau bentuk (spiritual) sebelum dibersihkan dan disucikan dari kotoran. Penggambar tidak akan dapat memberi gambar pada jiwa yang kotor. Maka dari itu, ibadah yang merupakan bentuk-bentuk sempurna jiwa, tetap tidak berguna sebelum jiwa itu sendiri disucikan dari debu-debu dosa. Tanpa kebersihan seperti itu, maka ibadah hanya akan menjadi bentuk tanpa isi dan sosok tanpa ruh.

و بإسناده عن یزید بن خلیفة، قال و عظنا أبو عبد الله، علیه السّلام، فأمر و زهّد، ثمّ قال: علیکم بالورع، فإنّه لا ینال ما عند الله إلّا بالورع

Yazid ibn Khalifah berkata, “Abu 'Abdillah a.s. memberikan wejangan kepada kami. Beliau menasihati dan mengarahkan kami agar kami bersikap zuhûd. Kemudian beliau berkata, 'Bersikaplah wara' karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak mungkin tercapai tanpa wara'."(1)

Implikasinya, orang yang tidak bersikap wara tidak akan mendapatkan karunia-karunia (karâmât) yang dijanjikan Allah untuk para hamba-Nya. Dan inilah puncak kenistaan dan kegagalan. Hadis berikut ini diriwayatkan dengan sanad dari Imam Al-Baqir a.s.

قال: لا تنال ولایتنا إلّا بالعمل و الورع.

Imam bersabda, “Wilayah kami tidak akan digapai kecuali dengan amal (saleh) dan wara'."

Dalam hadis lain, Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Tidak ada karunia dan karâmah bagi orang yang tinggal di suatu kota dengan penduduk seratus ribu atau lebih, kalau di antara mereka ada orang yang lebih wara' darinya (karena semua karunia dan karâmah itu hanya akan diberikan kepada orang yang lebih wara' tersebut-peny.). (2)

p: 576


1- 11. Wasā'il Al-Syi'ah, kitab al-imân wa al-kufr, bâb al-shida wa adâ' al-amânah, hadis No.12.
2- 12. Ibid., hadis No. 194.

Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib Pernyataan yang sama dikemukakan dalam sebuah hadis yang termaktub dalam Al-Kâfi.(1)

Perlu diketahui bahwa menurut hadis-hadis mulia itu, ukuran kesempurnaan wara' terletak pada sejauh mana seseorang berpantang dari apa yang diharamkan oleh Allah. Makin kuat seseorang menahan diri dari apa yang diharamkan Allah, makin tinggi wara'-nya. Jangan sampai setan membuat masalah ini terlihat sangai sulit di matamu, dan membuatmu berputus asa karena kebiasaan makhluk terkutuk ini adalah membawa orang ke dalam kesengsaraan abadi melalui putus asa. Misalnya, dalam hubungan ini setan akan berkata padamu, “Mana mungkin menjadi orang paling wara' di sebuah kota yang berpenduduk seratus ribu orang atau lebih?" Inilah salah satu tipuan makhluk terkutuk itu dan bisikan nafs ammârah (jiwa yang menyuruh pada kejelekan). Jawabannya, sesuai dengan hadis, setiap orang yang menahan diri dari apa yang telah diharamkan Allah, berada dalam barisan orang-orang yang wara' dan bahkan paling wara'. Berpantang dari segala yang diharamkan Allah bukanlah pekerjaan yang sangat sulit. Namun, dengan sedikit pembiasaan jiwa dan upaya praktis, kita dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang haram. Tentu saja, jika kita ingin menjadi orang yang bahagia dan selamat, dan jika kita mendambakan supaya diri kita dilindungi wilayah Ahl Al-Bait dan mendapat rahmat Allah tanpa memiliki setidak-tidaknya sikap menahan diri dari dosa, maka harapan itu mustahil adanya. Tentu saja, ketahanan, kegigihan, kesabaran, dan kedisiplinan itu semua penting sekali.

Keburukan Khianat dan Makna Amanat

Ada satu hal di sini yang perlu dijelaskan, yaitu mengapa Rasul Mulia Saw. menyebutkan hal menjauhkan diri dari berkhianat atas amanat untuk melengkapi wasiat beliau mengenai wara'. Sekalipun fakta bahwa wara' berkaitan dengan keadaan umum muharramât (hal-hal yang haram), atau seperti yang disebutkan bahwa wara' adalah sesuatu yang lebih mencakup. Oleh karena itu, “khianat" di sini harus dilihat dalam pengertian yang lebih luas yang sama dengan wara', dibandingkan dengan artinya yang lazim, dalam kasus ini mencakup ke-

p: 577


1- 13. Ushủl Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-shida wa adâ' al-amânah, hadis No. 12.

adaan umum dosa-dosa dan pekerjaan melakukan apa pun yang menjadi rintangan di jalan menuju Allah dan sama dengan mengkhianati amanat. Hal itu karena tugas-tugas dari Allah merupakan amanat dari Allah, seperti yang ditunjukkan dalam ayat mulia ini. Kami tawarkan amanat pada langit dan bumi serta gunung-gunung. (Namun, mereka menolak untuk menerima dan takut pada amanat itu; dan manusia mau menerimanya. Sesungguhnya dia itu zalim lagi bodoh.) (QS Al-Ahzâb(33): 72) Sebagian mufasir menafsirkan (“amanat” dalam ayat ini) sebagai tugas-tugas dari Allah. Bahkan semua anggota, organ, dan fakultas tubuh merupakan amanat dari Allah, dan penggunaannya dengan cara yang bertentangan dengan keridhaan Allah berarti mengkhianati amanat. Begitu juga, memalingkan perhatian hati pada apa pun selain Allah berarti berkhianat.

«این جان عاریت که به حافظ سپرده دوست

روزی رخش ببینم و تسلیم وی کنم»

Nyawa yang dipinjamkan Sang Sahabat kepada Hafiz adalah amanat, akan aku kembalikan kepada-Nya nanti apabila aku melihat Wajah-Nya.

Atau, yang dimaksud dengan “berkhianat” di sini adalah pengertian yang lazim. Pengkhususan itu menunjukkan betapa pentingnya masalah ini, seakan-akan totalitas wara' terletak pada sikap menolak berkhianat apabila diberi amanat. Kalau hadis-hadis para Imam a.s. mengenai penunaian amanat dan penolakan berkhianat ditelaah, akan dipahami betapa pentingnya masalah ini dalam pandangan Pemberi hukum Suci (Allah). Lagi pula, watak keji perbuatan khianat ini tidak tersembunyi bagi orang yang berakal sehat. Pengkhianat patut dikucilkan dari masyarakat, dan digolongkan sebagai setan yang paling hina. Jelaslah bahwa seseorang yang terkenal sebagai pengkhianat di tengah masyarakat akan mengalami kesempitan dan kesulitan hidup, bahkan di dunia ini. Manusia dapat hidup sejahtera di dunia ini hanya melalui pertolongan dan kerja sama. Tidaklah mungkin seseorang hidup menyen-

p: 578

diri, kecuali bila ia meninggalkan masyarakat manusia dan bergabung dengan binatang-binatang buas. Roda raksasa yang menggerakkan kehidupan sosial berporos pada saling percaya antar-anggota. Kalau, naʻūdzu billah, saling percaya ini sirna dari kehidupan sosial manusia, maka manusia tak dapat hidup tenteram dan sejahtera. Pilar besar yang menopang saling percaya ini adalah amanat dan penolakan atas pengkhianatan. Oleh karena itu, orang yang berkhianat tidak dipercaya orang lain dan dicampakkan dari kehidupan bermasyarakat. Keanggotaannya otomatis dicabut oleh para penduduk Kota Utama (al-madinah al-fadhilah), dan hidupnya pasti akan serba kesulitan dan penuh dengan kesedihan.

Supaya manfaat bahasan ini makin sempurna, kami akan mengutipkan beberapa hadis dari Ahl Al-Bait mengenai pokok masalah di atas. Beberapa hadis ini pasti sudah mencukupi bagi hati yang sadar dan mata yang terbuka.

محمّد بن یعقوب بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: لا تنظروا إلی طول رکوع الرّجل و سجوده، فإنّ ذلک شی ء اعتاده، فلو ترکه استوحش لذلک، و لکن انظروا إلی صدق حدیثه و أداء أمانته.

Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanad dari Abu 'Abdillah a.s. yang bersabda, “Jangan lihat lamanya ruku' dan sujud seseorang, sebab hal itu boleh jadi adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukannya sehingga dia merasa terganggu kalau tidak melakukannya. Namun, lihatlah pada kejujuran ucapannya dan penunaian amanatnya."(1)

و بإسناده عن أبی کهمس، قال قلت لأبی عبد الله، علیه السّلام: عبد الله بن أبی یعفور یقرئک السّلام. قال: علیک و علیه السّلام. إذا أتیت عبد الله فأقرئه السّلام و قل له إنّ جعفر بن محمّد یقول لک انظر ما بلغ به علیّ عند رسول الله، صلّی الله علیه و آله، فالزمه. فإنّ علیّا، علیه السّلام، إنّما بلغ ما بلغ به عند رسول الله بصدق الحدیث و أداء الأمانة.

p: 579


1- 14. Ibid., hadis No. 5.

(Al-Kulaini meriwayaikan) dengan sanadnya dari Abu Kahmas yang mengatakan, “Aku berkata kepada Abu `Abdullah a.s., 'Abdillah ibn Abi Ya'fur mengirim salam kepada Anda.' Imam menjawab, 'Alaika wa 'alaihi al-salam (semoga salam dicurahkan untukmu dan untuknya). Apabila engkau berjumpa 'Abdullah, sampaikan salamku dan katakan kepadanya bahwa Ja'far ibn Muhammad berkata kepadamu, “Renungkanlah apa yang membuat ‘Ali mencapai kedudukan yang beliau capai di sisi Rasul Allah Saw. dan bertahanlah sebab sesungguhnya 'Ali a.s. telah mencapai kedudukan yang dicapainya di sisi Rasul Allah melalui kejujuran ucapan dan penunaian amanat.'(1)

Saudaraku, renungkanlah hadis suci ini, dan lihatlah betapa luhur kedudukan sifat jujur dan sifat dapat dipercaya sehingga menyebabkan 'Ali ibn Abi Thalib a.s. sampai pada ketinggian seperti itu. Hadis ini menunjukkan bahwa Rasul Allah menyukai dua sifat ini lebih dari yang lainnya. Di antara semua sifat sempurna Maula 'Ali a.s., kedua sifat inilah yang membuat beliau sedemikian dekat dengan Nabi dan membawa beliau pada kedudukan seistimewa itu. Di antara semua perbuatan dan sifat baik, Al-Imam Al-Shadiq a.s. menekankan dua sifat ini kepada Ibn Abi Ya fur, seorang pengikut setia beliau. Beliau mengirimkan kepadanya pesan yang memintanya untuk secara khusus berpegang teguh pada kedua sifat yang sangat penting dalam pandangan beliau itu.

و بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال قال أبو ذرّ [رضی الله عنه ] سمعت رسول الله، صلّی الله علیه و آله، یقول: حافّتا الصّراط یوم القیامة الرّحم و الأمانة، فإذا مرّ الوصول للرّحم المؤدّی للأمانة، نفذ إلی الجنّة، و إذا مرّ الخائن للأمانة القطوع للرّحم، لم ینفعه معهما عمل و تکفأ به الصّراط فی النّار.

(Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanadnya dari Abu Ja'far a.s. yang berkata, “Abu Dzarr ra, berkata, “Aku mendengar Rasul Allah Saw. bersabda, 'Pada hari kiamat, rahm (ikatan kekerabatan) dan amanat akan berdiri di dua sisi shirâth. Apabila orang yang

p: 580


1- 15. Ibid., bâb shilah al-rahim, hadis No. 11.

telah menunaikan tugas-tugas rahm dan menunaikan amanat- amanatnya melewati (shirâth), dia akan sampai ke surga. Namun, apabila orang yang suka berkhianat atau melanggar hak-hak rahm melewatinya, amalnya tidak akan ada manfaatnya baginya karena kedua keburukan ini, dan shirâth akan menjungkalkannya ke dalam neraka."(1)

Hadis ini menunjukkan bahwa bentuk (ukhrawi) rahm dan amanat di alam sana berada pada dua sisi shirâth. Orang yang bersilaturahmi dan menunaikan amanatnya akan ditolong, sedangkan seluruh amal orang yang melanggar keduanya tidak akan bermanfaat dan dia akan dicampakkan ke dalam neraka.

بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: أدّوا الأمانة و لو إلی قاتل ولد الأنبیاء

(Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanad dari Abu 'Abdillah a.s., beliau bersabda, “Amir Al-Mukminin a.s. bersabda, 'Tunaikan seluruh amanatmu, sekalipun amanat itu berkaitan dengan pembunuh keturunan para nabi.(2)

و بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، فی وصیّته له: اعلم، أنّ ضارب علیّ، علیه السّلام، بالسّیف و قاتله لو ائتمننی و استنصحنی و استشارنی، ثمّ قبلت ذلک منه، لأدّیت إلیه الأمانة

(Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.s. dalam salah satu nasihat beliau, Abu 'Abdillah bertutur, “Ketahuilah bahwa kalau pembunuh dan pemecah kepala ‘Ali a.s. memberikan amanat kepadamu, meminta nasihat dariku, atau meminta pandanganku tentang sesuatu lalu aku menerimanya, aku

pasti akan melaksanakannya.(3)

محمّد بن علیّ بن الحسین بإسناده عن أبی حمزة الثّمالی، قال سمعت سیّد العابدین، علیّ بن الحسین بن علیّ بن أبی طالب، علیه السّلام، یقول لشیعته:

علیکم بأداء الأمانة، فو الّذی بعث محمّدا، صلّی الله علیه و آله،

p: 581


1- 16. Al-Kulaini, Furû' Al-Kafi, Vol. V, h. 133.
2- 17. Ibid.
3- 18. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XIII, h. 225, dikutip dari Al-Shadiq, Al-Majális, majlis No. 43.

بالحقّ نبیّا، لو أنّ قاتل أبی الحسین بن علیّ، علیهما السّلام، ائتمننی علی السّیف الّذی قتله به، لأدّیته إلیه

Muhammad ibn 'Ali ibn Al-Husain meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hamzah Al-Tsumali, “Aku mendengar Sayyid Al-'Abidin, yaitu 'Ali ibn Al-Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib a.s. berkata kepada para pengikut (Syi'ah) beliau, 'Peganglah amanat yang dipercayakan kepadamu, karena demi Dia yang benar-benar telah

mengutus Muhammad Saw. sebagai nabi, seandainya pembunuh ayahku, Al-Husain ibn 'Ali a.s., memercayakan kepadaku pedang yang digunakannya untuk membunuh ayahku, aku tidak akan melalaikan amanatnya.”(1)

و بإسناده عن الصّادق، علیه السّلام، عن آبائه، علیهم السلام، عن النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، فی حدیث المناهی أنّه نهی عن الخیانه، و قال: من خان أمانة فی الدّنیا و لم یردّها إلی أهلها، ثمّ أدرکه الموت، مات علی غیر ملّتی، و یلقی الله و هو علیه غضبان. و من اشتری خیانة و هو یعلم، فهو کالّذی خانها

(Al-Shaduq meriwayatkan) dengan sanad dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. yang meriwayatkan dari para leluhurnya sampai kepada Baginda Nabi Saw. Dalam bagian mengenai larangan atas khianat, Nabi Saw. bersabda, “Barang siapa mengkhianati suatu amanat di dunia ini dan tidak mengembalikan amanat itu pada yang berhak lantas dia mati, ia mati dalam keadaan di luar agamaku dan dia akan menemui Allah dalam keadaan Dia murka kepadanya. Dan barang siapa dengan sengaja membeli barang-barang hasil pengkhianatan, dia sama dengan si pengkhianat."(2)

Banyak riwayat serupa yang terdapat dalam kitab-kitab hadis. Jelas bahwa konsekuensi-konsekuensi dari murka Wujud Suci Allah kepada seorang hamba. Tentu saja, para pemberi syafaat yang mulia juga tidak akan memberikan syafaat kepada seseorang yang dimurkai. oleh Allah, khususnya karena pengkhianat keluar dari agama Rasul

p: 582


1- 19. Ibid., dikutip dari Al-Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhû Al-Faqih, Vol.II, h. 226.
2- 20. Ibid., h. 198.

Allah Saw. Dalam sebuah hadis Baginda Nabi Saw. dikatakan, “Barang siapa melanggar amanat yang berkenaan dengan seorang Mukmin, dia bukan termasuk dalam golonganku."(1)

Disebutkan dalam hadis lain bahwa orang seperti itu “tidak lagi berada di dalam agama Islam dan akan menemui Allah dalam keadaan marah kepadanya sehingga dia akan dicampakkan ke dalam jurang neraka untuk selamanya."(2) Saya berlindung kepada Allah dari keburukan ini. Jelas bahwa mengkhianati seorang Mukmin mencakup pengkhianatan finansial dan pengkhianatan-pengkhianatan lain terhadap amanat yang bersifat lebih serius. Oleh karena itu, kita harus mewaspadai nafs ammârah (jiwa yang suka pada keburukan) ini yang dapat membuat kita gelap mata dan membuat kekejian terlihat remeh dan sepele, padahal semua itu akan menyebabkan kecelakaan dan ketercelaan abadi. Inilah keadaan orang-orang yang berkhianat terhadap makhluk-makhluk Allah, dan dari sini kiranya kita bisa mengetahui dampak orang yang mengkhianati amanat Allah.

Tentang Beberapa Amanat Allah

Perlu diketahui bahwa Allah Mahatinggi lagi Mahasuci telah menganugerahi kita berbagai daya dan organ fisik dan batin. Dia juga telah menggelar berbagai karunia dan kemurahan bagi aspek lahiriah dan batiniah kita. Lalu, Dia menundukkan semua itu pada kuasa dan pengaturan kita. Dia memberikan semua itu kepada kita sebagai amanat dalam bentuk yang suci, tidak ternoda, dan bersih dari noda-noda lahiriah ataupun spiritual. Segala yang Dia turunkan untuk kita dari alam gaib bersifat suci dan bersih dari ketercemaran apa pun. Oleh karena itu, kalau ketika menghadap Wujud Suci itu kita mengembalikan semua amanat ini kepada-Nya dalam keadaan tidak tercemar oleh alam materiil dan noda-noda mulki dan duniawi, kita telah menunaikan amanat; kalau tidak, kita akan disalahkan karena meng-

khianati amanat dan dicampakkan keluar dari Islam sejati dan agama Rasulullah Saw.

p: 583


1- 21. Ibid.
2- 22. Ithaf Al-Sâdah Al-Muttaqin, Vol. VII, h. 234.

Dalam sebuah hadis termasyhur disebutkan: قلب المؤمن عرش الرّحمن “Hati orang Mukmin adalah singgasana Maha Pengasih.” Dan dalam hadis qudsi yang terkenal disebutkan: لا یسعنی أرضی و لا سمائی، و لکن یسعنی قلب عبدی المؤمن “Bumi dan langit-Ku tidak mampu menampung-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang Mukmin mampu menampung-Ku."(1)

Hati sang Mukmin adalah takhta, singgasana, dan tempat kediaman Wujud Suci. Wujud Suci adalah pemilik tempat kediaman itu. Memusatkan perhatian hati pada selain Allah Taala berarti tidak menunaikan amanat-Nya. Mencintai sesuatu selain Wujud Suci dan hamba-hamba pilihan-Nya berarti, dalam keyakinan ‘irfân, meng-

khianati Allah. Wilayah dan kecintaan kepada Ahl Al-Bait a.s. serta pengetahuan akan kedudukan suci mereka merupakan amanat dari Allah. Oleh karena itu, dalam banyak hadis mulia, kata "amanat" dalam QS Al-Ahzâb (33): 72 ditafsirkan sebagai wilâyah Amir Al-Mukminin ‘Ali, a.s. Penjarahan atas wilayah dan khilafah beliau merupakan suatu pengkhianatan. Kegagalan untuk mengikuti pribadi suci itu juga merupakan salah satu bentuk pengkhianatan. Disebutkan dalam hadis-hadis suci bahwa Syi'ah adalah kepatuhan penuh (kepada Ahl Al-Bait) secara penuh. Sekadar mengaku-aku sebagai Syi'ah, tanpa kepatuhan penuh, tidak akan dianggap sebagai Syi'ah. Banyak angan-angan kita (yang palsu) seperti (palsunya) selera makan dalam keadaan perut yang kenyang. Dengan sedikit cinta

kepada Hadhrat Amir ('Ali ibn Abi Thalib) a.s. dan anak keturunannya, kita menjadi bangga dan menyangka bahwa kecintaan ini akan terus lestari sekalipun kita tidak lagi mengikuti mereka. Namun, mana mungkin kecintaan ini akan terus menyala kalau kita tidak menjaganya dan melalaikan konsekuensi-konsekuensi darinya, yakni kepatuhan dan ketaatan pada mereka? Mungkin saja orang melupakan ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. akibat kepedihan dan penderitaan yang ditim-

p: 584


1- 23. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 688.

bulkan oleh pelbagai tekanan pada orang-orang yang tidak ikhlas dan tidak kukuh iman (dalam mencintai beliau). Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa sekelompok pendosa yang menghadapi siksaan di neraka akan melupakan nama Nabi Muhammad Saw. Manakala masa siksaan mereka hampir selesai dan mereka telah dibersihkan dari noda-noda dosa, mereka kembali mengingat atau diingatkan dalam hati mereka nama mulia Nabi Muhammad Saw. Kemudian, mereka

akan berseru “Wa Muhammada!" (Oh, Muhammad!)—shallallahu 'alaihi wa alihi. Setelah itu, barulah mereka akan menerima rahmat Ilahi. Kita membayangkan bahwa menghadapi peristiwa kematian dan sakaratulmaut sama dengan menghadapi peristiwa-peristiwa di dunia ini. Saudaraku, terserang sakit kecil saja kamu sudah melupakan segala ilmu dan etika. Pikirkan apa yang akan terjadi apabila bencana, kepedihan, tekanan, ketakutan, dan kepanikan dahsyat yang menyertai kematian dan sakaratulmaut menimpamu! Jika kamu mencintai seseorang demi Allah, memenuhi syarat-syarat kecintaan itu dan mengingat serta mengikuti sang kekasih, tentu saja kecintaan kepada sahabat mutlak dan kekasih Allah itu akan mendapatkan keridhaan di sisi Allah. Namun, jika orang sekadar mengaku-aku dan tidak disertai perbuatan, atau malah disertai penentangan, mungkin sebelum dia meninggal dunia, berbagai pemandangan yang silih berganti akan membuatnya melupakan kecintaan kepada Maula 'Ali ibn Abi Thalib itu, atau, na'udzu billâh, membuat orang menjadi musuh beliau. Kita menjumpai orang-orang yang mengaku menolong Allah dan Rasul Saw., tetapi setelah keadaan menjadi buruk (akibat perjuangannya di jalan itu—peny.), mereka berbalik menjadi memusuhi Nabi

dan keluarga beliau a.s. yang suci. Dan, seandainya orang meninggalkan dunia fana ini dalam keadaan memiliki cinta itu, meskipun dia akhirnya akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan, menurut beberapa hadis mulia dan ayat suci, dia akan tetap harus menjalani penderitaan-penderitaan di alam barzakh dan kengerian-kengerian maut dan Hari Kebangkitan kembali. Begitulah menurut hadis berikut ini, “Kami akan memberikan syafaat untuk kalian pada hari kiamat.

Namun, kehidupan barzakh terserah pada (amal perbuatan) kalian."(1)

Saya berlindung kepada Allah dari siksaan dan tekanan-tekanan ku-

p: 585


1- 24. Ushul Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-khauf wa al-raja',hadis No. 2

bur, serta kesulitan dan siksaan barzakh yang tidak ada kemiripannya dengan apa pun di dunia ini. Pintu neraka yang menghadap ke arah kubur itu, jika dibukakan untuk dunia fana ini, akan hancurlah segala makhluk yang ada di dunia fana ini. Semoga Allah menjadi pelindung kita dari kengerian-kengerian seperti itu.

Tentang Takut kepada Allah Taala

Ketahuilah bahwa takut kepada Allah Taala merupakan salah satu tahap yang terpenting bagi kebanyakan orang. Selain karena ketakutan kepada Allah itu sendiri merupakan salah satu kesempurnaan ruhani, ia juga merupakan sumber pelbagai keutamaan jiwa dan salah satu faktor penting untuk memperbaiki jiwa. Bahkan, ia merupakan sumber utama bagi segala perbaikan dan penyembuhan penyakit-penyakit jiwa. Orang yang beriman kepada Allah, berjalan, dan berhijrah menuju Allah harus mementingkan tahap ini. Dia harus memerhatikan segala segi yang dapat membangkitkan rasa takut ini di dalam hatinya lalu memperkuat akar-akarnya, misalnya dengan mengingat siksaan dan hukuman, kengerian-kengerian menjelang dan saat-saat setelah kematian, kengerian-kengerian barzakh, Hari Kebangkitan

kembali, shirâth, neraka, pengadilan, dan berbagai siksaan neraka. Dia juga harus mengingat kemuliaan, keagungan, keperkasaan, kedaulatan, tipu muslihat (makr) Allah, akibat buruk yang akan menimpanya, dan lain sebagainya. Mengingat semua tahap itu sudah kami uraikan pada bagian lain buku ini, di sini kami hanya akan mengutip beberapa hadis mengenai keutamaan-keutamaan (fadha'il) takut kepada Allah.

پمحمّد بن یعقوب بإسناده عن إسحاق بن عمّار، قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: یا إسحاق، خف الله کأنّک تراه، و إن کنت لا تراه فإنّه یراک. و إن کنت تری أنّه لا یراک فقد کفرت، و إن کنت تعلم أنّه یراک ثمّ برزت له بالمعصیة، فقد جعلته من أهون النّاظرین علیک (ن خ: إلیک)

Muhammad ibn Ya'qub meriwayatkan dengan sanad dari Ishaq ibn 'Ammar, “Abu 'Abdillah a.s. bersabda, "Wahai Ishaq, takutlah

p: 586

kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, setidaknya Dia pasti melihatmu. Kalau engkau membayangkan bahwa Dia tidak melihatmu, berarti engkau telah kafir. Dan jika engkau tahu bahwa sesungguhnya Dia pasti melihatmu, lalu engkau tidak mematuhi-Nya, berarti engkau telah

menganggap-Nya sebagai seremeh-remehnya penonton!(1)

Ketahuilah bahwa jika seseorang mengenali sifat tajalli (manifestasi) Ilahiah di alam mulk dan malakût serta penampakan (zhuhûr)-Nya di seluruh langit dan bumi melalui penyaksian langsung (musyahadah hudhuriyyah), penyingkapan batin (mukâsyafah qalbiyyah) atau keimanan hakiki, dan mengenali sifat hubungan Allah dengan seluruh makhluk dan hubungan seluruh makhluk dengan Allah secara benar, dan mengenali sifat kehendak llahi dan kesirnaan seluruh maujud dalam

kehendak-Nya seperti apa yang sesungguhnya terjadi, pasti dia akan mengetahui bahwa Allah Swt. hadir dan meliputi segenap tempat. Melalui pengetahuan dengan kehadiran ('ilm hudhûrî), orang ini akan menyaksikan Allah Swt. dalam segala maujud, seperti dinyatakan Al-Imam Al-Shadiq a.s. berikut ini:

ما رأیت شیئا إلّا و رأیت الله معه أو فیه “Aku tak melihat sesuatu tanpa melihat Allah bersamanya atau di dalamnya."

Dalam keadaan itu, terungkaplah baginya hakikat makna hadis qudsi berikut: کنت سمعه و بصره و یده

“Aku akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan tangannya”.

Disebutkan dalam hadis itu bahwa keadaan tinggi ini dapat diperoleh melalui pendawaman shalat-shalat sunnah (nawafil). Kemudian, sesuai dengan kedudukannya, dia akan melihat kehadiran Allah pada semua tingkat wujud, baik melalui pengetahuan (‘ilm), keimanan (imân), penglihatan ('ain) ataupun melalui penyaksian (syuhûd).

p: 587


1- 25. Untuk hadis yang dikutip dalam bagian ini, lihat Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XI, hh. 175-179.

Tentu saja, pada setiap tahap musafir harus menjaga kehadiran Allah dan mencegah dirinya dari menentang Zat Suci-Nya. Hal itu karena menjaga kehadiran dan mahdhar adalah fitrah manusia. Betapapun sembrono dan tak tahu malunya seseorang, dia pasti akan membedakan kehadiran dan keabsenan pihak lain, apalagi bila kehadiran itu menyangkut Sang Pemberi nikmat yang Mahaagung dan Mahasempurna. Kalau secara fitri manusia menjaga kehadiran siapa saja, jelas dia akan menjaga kehadiran Sang Pemberi nikmat yang Maha agung dan Maha sempurna tersebut.

Perbedaan Orang dalam Menjaga Kesopanan Di Hadapan Allah

Perlu diketahui bahwa setiap Mukmin, pesuluk, 'ârif, dan wali menjaga kesopanan di hadapan kehadiran Allah yang sesuai dengan tahap (ruhani) mereka masing-masing. Oleh karena itu, seorang yang beriman dan bertakwa kepada Allah menjaga kesopanan di hadapan kehadiran Allah dengan berpantang dari semua larangan dan menjalankan semua perintah-Nya. Kaum majdzûbûn bersopan-santun dengan tidak memerhatikan selain Allah dan memusatkan diri sepenuhnya

kepada-Nya. Para wali dan orang-orang yang sempurna menjaga kesopanan di hadapan kehadiran Allah dengan menafikan selain-Nya dan menafikan ego mereka.

Singkat kata, salah satu kedudukan tinggi yang dicapai oleh para 'ârif dan ahli hati adalah menyaksikan kehadiran Allah dan menjaga kesopanan di hadapan-Nya. Jadi, sebagaimana penyaksian mereka melahirkan pemahaman tentang sifat ilmu aktif ('iln fili) Allah atas segala sesuatu dan kesirnaan segala sesuatu dalam Zat Suci-Nya serta kehadiran segala sesuatu di hadapan-Nya, penyaksian mereka pasti juga akan membuat mereka menjaga sopan santun di hadapan-Nya, sesuai dengan tingkat ruhani mereka masing-masir.g. Hal ini jelas merupakan pembawaan yang tertanam dalam fitrah manusia. Rasul Mulia Saw. menyebutkan kedudukan pertama ini--yakni, penyaksian kehadiran Allah Swt.-ndalam wasiat beliau kepada Hadhrat Amir Al-Mukminin a.s. Kedudukan pertama itu juga diisyaratkan dalam hadis riwayat Ishak ibn 'Ammar melalui kata-kata Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. berikut ini:

p: 588

Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib و الثّالثة الخوف من الله عزّ ذکره کأنّک تراه. و بقوله، علیه السلام: خف الله کأنّک تراه."... Dan yang ketiga adalah takut kepada Allah Swt. seakan engkau melihat-Nya.” Dan di mana beliau berkata: و إن کنت لا تراه فإنّه یراک “Takutlah kepada Allah seakan engkau melihat Dia.” Imam Ja'far a.s. lalu menyebutkan kedudukan kedua—yakni, kesaksian atas sifat ilmu aktif Allah Swt.--melalui kata-kata: و إن کنت تعلم أنّه یراک “Kalau engkau tidak melihat-Nya, pasti Dia melihatmu."

Al-Imam Al-Shadiq a.s. menyebutkan kefitrian dalam menjaga kesopanan di hadapan kehadiran Ilahi melalui ungkapan: وانت تراه یراک

“Dan jika engkau tahu bahwa Dia pasti melihatmu ..." Ada berbagai tingkat takut kepada Allah yang sesuai dengan tingkat-tingkat kaum Mukmin, penempuh jalan menuju Allah, dan ahli disiplin ruhaniah serta ‘irfân. Salah satu tingkat tertingginya adalah takut kepada kemuliaan Allah dan manifestasi-manifestasi keperkasaan

dan keagungan-Nya. Boleh saja kita tidak menganggap kedudukan ini sebagai salah satu tingkat “takut kepada Allah”, seperti yang dikatakan ‘ârif terkenal dalam Manâzil Al-Sâ’irin: و لیس فی مقام أهل الخصوص وحشة الخوف، إلّا هیبة الإجلال Dalam maqâm para ahli hati yang khusus, tak ada rasa takut, melainkan rasa kagum keagungan Allah.

p: 589

Tentang Fadilah Menangis

Menangis dan meratap karena takut kepada Allah mengandung fadilah yang besar. Seperti yang disebutkan dalam hadis di atas bahwa Allah akan membangun seribu gedung di surga untuk setiap tetesan air mata. Syaikh Al-Shaduq r.a. meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung sampai ke Imam Al-Shadiq a.s. dari para leluhurnya hingga Rasul Mulia Saw. Dalam sebuah hadis yang berkaitan dengan berbagai larangan (manâhî) beliau bersabda, “Orang yang matanya menangis karena takut kepada Allah, dia akan dikaruniai untuk setiap air matanya sebuah istana surga yang berhiaskan batu permata dan mutiara. Di dalamnya terdapat hal-hal yang belum pernah terlihat oleh mata, yang belum pernah terdengar oleh telinga, dan yang belum pernah terbayangkan oleh hati.”

و عن ثواب الأعمال بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال قال رسول الله صلّی الله علیه و آله: لیس شی ء إلّا و له شی ء یعد له إلّا الله. فإنّه لا یعد له شی ء و لا اله إلّا الله» لا یعد له شی ء. و دمعة من خوف الله فإنّه لیس لها مثقال، فإن سالت علی وجهه، لم یرهقه قتر و لا ذلّة بعدها أبدا

Dalam Tsawâb Al-A'mâl (Syaikh Al-Shaduq meriwayatkan), dengan sanadnya dari Abu Ja'far a.s. yang mengatakan, “Rasul Allah Saw. bersabda, 'Segala sesuatu memiliki persamaannya kecuali (tiga hal): Allah Zat tidak memiliki persamaan, (kalimat) 'Tidak ada Tuhan kecuali Allah', dan tetesan air mata karena takut kepada

Allah juga tidak memiliki tandingan karena wajah yarig dialiri air mata tidak akan pernah tertutup kehinaan.""|

Dalam 'Uyûn Al-Akhbâr, diriwayatkan dari Al-Hasan ibn `Ali Al-‘Askari yang mengambil dari para leluhurnya bahwa Imam Ja'far Al-Shadiq berkata, “Akibat berbagai dosa, jarak antara seseorang dan surga bisa lebih jauh dari jarak antara bumi dan Arsy, sampai ia menangis karena takut kepada Allah dan menyesali semua dosanya. Setelah itu, jadilah jarak antara dia dan surga lebih dekat dari jarak antara bulu mata dan mata.”

p: 590

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dari Imam Al-Shadiq a.s. bahwa, “Segala sesuatu memiliki bobot dan ukuran kecuali air mata karena air mata cukup untuk memadamkan lautan api.” Beliau bersabda, “Jika ada satu orang yang menangis (karena takut kepada Allah) dalam sebuah umat, semua anggota umat itu akan menerima rahmat Allah.” Banyak sekali hadis yang memuat tema seperti ini.(1)

Tentang Balasan yang Tak Sepadan

Yang penting untuk dikemukakan di sini adalah bahwa beberapa jiwa yang lemah dan kurang yakin mempertanyakan apa yang terdapat pada banyak hadis tentang balasan yang sangat besar untuk hal-hal yang sepele. Mereka tidak mengetahui bahwa sesuatu yang terlihat kecil di mata kita di dunia ini tidak membuktikan bahwa bentuk gaib dan malakûtî-nya juga kecil dan sepele. Malahah, sering terjadi bahwa suatu maujud kecil memiliki bentuk batin dan malakûtî yang sangat besar dan sangat penting. Maka dari itu, postur fisik dan tubuh Rasulullah yang termulia Saw. merupakan sosok kecil di dunia ini, tetapi ruh suci beliau meliputi alam mulk dan malakût serta merupakan sebab perantara untuk penciptaan segenap langit dan bumi. Oleh karena itu, menilai bentuk batin dan malakûtî sesuatu memerlukan

pengetahuan tentang alam malakût dan realitas batin segala sesuatu. Dan jelas orang-orang seperti kita tidak berhak untuk membuat penilaian seperti itu. Sebaliknya, kita harus menerima semua ujaran orang-orang yang mengetahui alam akhirat, yaitu para nabi dan para wali a.s. Selain itu, alam sana bertumpu pada karunia dan rahmat Ilahi yang berlimpah ruah dan tak terbatas. Dan jelas bahwa karunia Allah tak ada batasannya. Maka dari itu, sungguh merupakan puncak kebo-

dohan kalau kita meragukan kemurahan Yang Maha Pemurah dan rahmat tak terbatas Yang Maha Penyayang. Semua rincian karunia yang Dia berikan pada semua makhluk-Nya yang tak dapat dibayangkan oleh pikiran-bahkan pikiran juga tak akan sanggup memahami ciri-ciri umum pelbagai karunia tersebut-telah Dia berikan tanpa diminta dan tanpa melihat pada kepatutan atau ketidakpatutan semua makhluk untuk menerimanya. Lantas mengapa Dia yang Maha Pemurah dan tak pernah melihat patut atau tidak suatu makhluk untuk

p: 591


1- 26. Untuk hadis-hadis yang dikutip dalam pasal ini, Wasa'il Al-Syi'ah, jilid XI, hh. 175-179.

menerima beragam karunia-Nya, kita anggap mustahil memberikan pahala yang berlipat-lipat kepada para hamba-Nya? Apakah kita memustahilkan balasan yang sangat besar di alam yang telah ditetapkan mengikuti prinsip yang disebutkan Allah sebagai: «یُطَافُ عَلَیْهِمْ بِصِحَافٍ مِنْ ذَهَبٍ وَأَکْوَابٍ وَفِیهَا مَا تَشْتَهِیهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْیُنُ وَأَنْتُمْ فِیهَا خَالِدُونَ (71)» Di dalamnya ada semua yang dikehendaki jiwa dan yang disukai mata. (QS Al-Zukhruf [43]: 71)

padahal apa yang diinginkan dan dikehendaki jiwa manusia itu tak ada batasnya? Allah Swt. telah menetapkan alam gaib dalam bentuk tak terbatas dan telah menciptakan kehendak manusia yang juga tak terbatas. Dengan begitu, apa pun yang dikehendaki manusia akan terwujud, bilamana manusia itu mau mengupayakan amal yang sesuai dengan kehendak tersebut. Jadi, balasan yang sangat besar dan banyak untuk hal-hal yang sepele tidaklah mustahil adanya.

Saudaraku! Hadis dan riwayat yang berkaitan dengan balasan-balasan besar itu bukan hanya dalam hitungan jari sehingga ada kemungkinan untuk menyangkalnya. Jumlah hadis dan riwayat seperti itu sebenarnya melebihi batas tawâtur. Semua karya (kitab) hadis yang tepercaya penuh dengan hadis-hadis seperti itu. Hladis-hadis itu sedemikian seakan kita mendengarnya langsung dari para pribadi maksum itu sendiri. Watak hadis-hadis itu sedemikian sehingga tak memberi peluang bagi adanya interpretasi (ta'wil). Oleh karena itu, menolak kebenaran perkara ini tanpa dasar—apalagi perkara itu sesuai dengan teks-teks mutawatir dan tidak bertentangan dengan dalil diskursiſ bahkan malah bersesuain dengan sederet dalil diskusi menandakan kelemahan iman dan kebodohan yang luar biasa. Manu-

sia harus tunduk menerima pernyataan-pernyataan para nabi dan wali a.s. Tak ada yang lebih baik bagi kesempurnaan manusia selain tunduk kepada para wali Allah, khususnya dalam perkara-perkara yang tak dapat diukur akal manusia dan yang hanya dapat dipahami melalui wahyu dan kenabian. Kalau manusia mencoba menolak, dengan bersandar pada akalnya yang tidak memadai dan sangkaan-sangkaannya, perkara-perkara gaib dan ukhrawi serta yang berkaitan dengan ibadah dan hukum keagamaan, hal itu akan membuatnya sedikit demi sedikit menolak keniscayaan-keniscayaan agama (dharû-riyyât al-dîn) yang telah terbukti dengan sendirinya.

p: 592

Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib Seandainya, engkau meragukan keautentikan dan sanad hadis- hadis itu padahal tak ada ruang bagi keraguan semacam itu, engkau, tak dapat mempertanyakan otoritas Kitab Suci Allah, Al-Quran Al-Karim. Pahala-pahala seperti itu juga disebutkan dalam Al-Quran,

seperti dalam firman Allah Taala berikut. «لَیْلَةُ الْقَدْرِ خَیْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3)» Malam Al-Qadr itu lebih baik dibandingkan dengan seribu bulan. (QS Al-Qadr [97]: 3)

«مَثَلُ الَّذِینَ یُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِی سَبِیلِ اللَّهِ کَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِی کُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ یُضَاعِفُ لِمَنْ یَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِیمٌ (261)»

Perumpamaan mereka yang membelanjakan kekayaan mereka di jalan Allah itu adalah seperti sebutir biji jagung yang bertunas tujuh tangkai jagung, pada setiap tangkai ada seratus biji. Maka, Allah mempergandakan bagi apa yang dikehendaki-Nya .... (QS Al-Baqarah (2): 261)

Menurut saya, salah satu faktor yang menimbulkan penolakan dan pemustahilan balasan sebesar itu untuk perbuatan sepele adalah ‘ujub dan kebanggaan pada amal-amal kita. Misalnya, jika seseorang berpuasa sehari dan melakukan shalat sunnah sepanjang malam, lalu dia mendengar bahwa balasan amal-amalnya itu sangat besar, dia tidak akan memustahilkannya. Dalam kasus ini, dia memandang balasan yang sangat besar itu sebagai sepadan dengan amalnya dan membanggakan amal-amalnya, sehingga dia membenarkan pahala besar di akhirat bagi amal-amalnya. Tetapi, jika dikatakan padanya bahwa amal sepele tertentu akan melahirkan balasan yang sangat besar, dia akan memandang kemungkinan seperti itu kecil adanya. Jadi, semua ini sebenarnya bersumber dari ‘ujub dan bangga diri. Saudaraku! Taruhlah bahwa dalam masa hidup kita yang lima puluh atau enam puluh tahun ini kita selalu melaksanakan semua tugas dan perintah syariat dan mati dengan membawa iman yang baik, amal-amal saleh, dan tobat diterima, maka layakkah kita menerima pahala sebesar itu bagi iman dan amal kita tersebut? Menurut Al-Quran dan Sunnah, serta kesepakatan segenap keyakinan agama, orang seperti itu memang akan menerima rahmat Allah dan masuk

surga, sebuah surga di mana dia akan menerima karunia-karunia dan kenikmatan abadi dan tinggal dalam rahmat, kebahagiaan, dan kesentosaan abadi. Kalau kita bandingkan balasan ini dengan seluruh amal tersebut-dengan asumsi bahwa setiap amal akan mendapatkan

p: 593

balasan yang sepadan-seluruh amal kita tidak akan mungkin sepadan dengan kualitas atau kuantitas balasan yang sukar dibayangkan oleh akal tersebut. Ini menunjukkan bahwa perkara ini bukan didasarkan pada prinsip balasan untuk amal, melainkan didasarkan pada prinsip yang lain--yakni rahmat Allah yang sangat luas. Jika kita memahami perkara ini, tak ada lagi alasan untuk memustahilkan balasan yang sangat besar itu untuk amal-amal kita yang sepele. Tentang Jumlah Nawafil Baginda Rasul yang mulia Saw. bersabda bahwa lima puluh rakaat shalat, yang beliau disebut sebagai sunnahnya, terdiri atas shalat- shalat wajib dan nafilah (jamaknya: nawafil). Dengan demikian, selain dua rakaat setelah shalat fardu isya yang ditunaikan sambil duduk yang dihitung sebagai satu rakaat, maka shalat-shalat wajib dan nafilah jumlahnya menjadi lima puluh satu rakaat. Barangkali, Rasul Allah Saw. tidak menyebutkan dua rakaat setelah shalat isya ini karena lima puluh rakaat itulah yang merupakan sunnah mu'akkadah (yang ditekankan), seperti diisyaratkan oleh riwayat Ibn Abi 'Umair berikut ini:

قال: سألت أبا عبد الله، علیه السّلام، عن أفضل ما جرت به السّنّة من الصّلاة. قال: تمام الخمسین

(Ibn Abi 'Umair) berkata, “Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah a.s. mengenai sebaik-baik shalat sunnah. Beliau menjawab, 'Yaitu menunaikan lima puluh (rakaat) itu."(1)

Yang dapat disimpulkan dari beberapa hadis adalah bahwa kebiasaan Rasul Allah Saw, adalah menunaikan lima puluh rakaat ini, (2) sekalipun beberapa hadis lain menunjukkan bahwa beliau juga menunaikan 'atamah (dua rakaat setelah shalat isya yang dilakukan sambil duduk). (3) Mungkin ‘atamah ini tidak beliau sebutkan karena fatamah sesungguhnya merupakan bagian dari shalat witir (witr) yang tidak berdiri sendiri, seperti yang diindikasikan oleh riwayat Fudhail ibn Yasar, (4) dan dalam sebuah hadis mulia disebut-sebut sebagai witir, (5) Beberapa hadis lain menyatakan bahwa orang yang menunaikannya sebelum kematiannya adalah seperti orang yang mati setelah

p: 594


1- 27. FurûAl-Kafi, Vol. III, h. 443, Kitâb Al-Shalâh, båb shalâh al-nawafil, hadis 4.
2- 28. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. III, hh. 31-32, hadis 1; ibid., Abwâb A dâd Al-Farâ'idh wa Nawafiluhâ, Bab 13, hadis 4.
3- 29. Yang dimaksud dengan ‘atamah adalah nafilah yang menyertai shalat isya. Ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Hammad ibn 'Utsman dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. dalam Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 35, Abwäb Adad Al-Farâ'idh wa Nawafiluhâ,hadis 15.
4- 30. Ibid., h. 31 hadis 2.
5- 31. Riwayat Zurarah dari Al-Imam Al-Baqir, a.s.; lihat Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 70, Kitâb Al-Shalah, abwab a'dad al-farâ'idh wa nawafiluhâ, Bab 29, hadis No. 1, 2, 4, 5, dan 7.

menunaikan shalat witir.(1) Dua rakaat ini sebenamya adalah shalat witir yang ditunaikan sebelum masanya karena khawatir akan kematian yang sudah dekat masanya. Namun, apabila waktu shalat witir tiba, dua rakaat ini tidak dapat menggantikannya. Disebutkan dalam beberapa hadis bahwa dua rakaat ini bukanlah bagian dari shalat- shalat lima waktu, dan dua rakaat ini ditambahkan agar jumlahnya sebanyak itu sehingga jumlah shalat nafilah dua kali lebih banyak daripada jumlah shalat wajib.(2) Makna hadis-hadis ini tidak bertentangan satu sama lain. Barangkali yang paling baik adalah menunaikan lima puluh rakaat, dan dua rakaat ini merupakan suatu sunnah yang tidak mu'akkad, dan diperintahkan demi mewaspadai saat kematian agar jumlahnya sebanyak itu.

Menunaikan shalat-shalat nâfilah harian ini mengandung kebaikan yang besar. Dalam beberapa hadis lain disebutkan bahwa Allah akan menjatuhkan hukuman atas mereka yang mengabaikan sunnah ini (3). Pada hadis-hadis tertentu, sunnah ini malah disebut-sebut sebagai wajib.(4) Hal ini adalah untuk menekankan agar sunnah ini ditunaikan dan jangan sampai dilalaikan. Yang tepat adalah agar kita sebisa mungkin tidak mengabaikannya, karena menurut hadis-hadis mulia itu maksud diperintahkan semua sunnah itu adalah agar shalat-shalat wajib kita menjadi sempurna dan diterima.(5) Dalam beberapa hadis, disebutkan bahwa “Syi'ah (para pengikut) kami adalah mereka yang menunaikan lima puluh satu rakaat shalat ini".(6) Dari hadis ini, jelas bahwa yang dimaksud adalah menunaikan rakaat-rakaat ini, bukan semata-mata memercayainya saja. Yang demikian ini diindikasikan oleh hadis tentang tanda seorang Mukmin.(7) Tentang Istihbâb Berpuasa pada Tiga Hari dalam setiap Bulan Adapun sunnah kedua dari Rasul Mulia Saw. yang terdiri atas puasa tiga hari dalam setiap bulan, terdapat lebih dari empat puluh hadis

mengenai kebaikannya.(8) Di antara para ulama terkemuka terjadi perselisihan pendapat mengenai hal ini. Pendapat yang umum di antara mereka, yang juga sesuai dengan hadis dan praktik Rasul Mulia Saw. selama bagian terakhir dari hidup beliau dan juga dengan praktik para Imam maksum adalah tiga hari ini terdiri atas Kamis pertama

p: 595


1- 32. Riwayat Abu Bashir dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., lihat ibid., Vol.III, h. 71, hadis 8.
2- 33. Ibid., Vol. III, h. 70, hadis 3.
3- 34. Riwayat Hannan dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., lihat Wasa'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 33, hadis 6.
4- 35. Mustadrak Al-Wasā'il, Vol. III, h. 50, Kitâb Al-Shalâh, Bab 12, hadis 4 dan 5.
5- 36. Seperti riwayat Muhammad ibn Muslim dari Al-Imam Al-Baqir a.s. dan riwayat Hisyam ibn Salim dari Al-Shadiq a.s., lihat Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. II, Bab 17, h. 52, hadis 2-4.
6- 37. Shifat Al-Syi'ah, hadis 1, Wasâ’il Al-Syi'ah, Vol. III, Bab 13, hadis 26.
7- 38. Ibid., h. 42 hadis 29.
8- 39. Ibid., Vol. VII, Bab 7-12, hh, 303-321.

sebagai hari penyampaian amal-amal (semua Mukmin ke hadapan Baginda Nabi dan para Imam maksum), Rabu pertarria dari sepuluh hari berikutnya sebagai hari yang tidak menguntungkan dan hari turunnya hukuman Allah, dan terakhir adalah Kamis terakhir sebagai hari disampaikannya amal-amal.(1) Dalam sebuah hadis, dikatakan bahwa hukuman yang menimpa umat-umat terdahulu terjadi pada salah satu di antara hari-hari ini. Oleh karena itu, Rasul Mulia Saw. berpuasa pada hari yang menakutkan ini.(2) Dalam sebuah hadis, dinyatakan bahwa berpuasa pada tiga hari ini sama dengan berpuasa di sepanjang hidup. (3) Dan dalam beberapa hadis, ayat suci yang berikut ini ditafsirkan sebagai merujuk ke puasa-puasa ini:

«مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّیِّئَةِ فَلَا یُجْزَی إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا یُظْلَمُونَ (160)»

Barang siapa membawa satu amal kebajikan, dia memiliki sepuluh sepertinya .... (QS Al-An'âm (6): 160)

Adapun yang disebutkan dalam beberapa hadis lain mengenai berbagai derajat kebaikan, dan kalau terdapat pertentangan, ada banyak alasan untuk lebih berpegang pada riwayat-riwayat ini. Dapatlah dikatakan bahwa pertentangan di antara mereka adalah pertentangan antara nashsh dan zhahir atau antara azhhar dan zhâhir. Adapun hadis mursal yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq, yang di dalamnya disebutkan bahwa “kalau terdapat dua Kamis pada sepuluh hari terakhir,

berpuasalah pada Kamis yang pertama karena engkau belum tentu dapat melihat Kamis yang kedua", (4) ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis di atas karena hal itu adalah untuk mencapai kebaikan yang lebih dekat karena khawatir tidak ada kesempatan lagi disebabkan oleh kematian atau sebab lain. Alasan yang sama juga disebutkan untuk anjuran shalat ‘aramah. Hadis ini sendiri termasuk hadis yang mendukung kebaikan yarg lebih besar yang terkandung dalam berpuasa pada Kamis terakhir dan hadis ini tidak mendukung hadis-hadis yang menunjukkan makna yang sebaliknya. Makna harfiah (zhâhir)-nya adalah jika orang berpuasa pada Kamis terakhir, begitu mencapai Kamis terakhir, lebih baik memanfaatkan kebaikan berpuasa pada hari itu lagi dan puasa yang pertama tidak dapat menggantikan-nya. Apa yang dikatakan muhaqqiq yang mulia, Al-Faich Al-Kasyani, (5) dan ahli hadis mulia penulis Al-Hadâ'iq(6), dan khususnya yang disebut

p: 596


1- 40. Ibid., Vol. VII, Bab 7, hh. 304-306, hadis 2, 5, 6, dan 8.
2- 41. Ibid., h. 303, hadis 1.
3- 42. Ibid., h. 309, hadis 15.
4- 43. Ibid., h. 305, hadis 4.
5- 44. Ibid., hadis 28, catatan-catatan No. 16.
6- 45. Al-Syaikh Yusuf ibn Ahmad ibn Ibrahim Al-Bahrani (1107 H-1186 M1695 H - 1772 M), penulis Al-Hadâ'iq Al-Nadhirah fi Ahkâm Al-'Itrah Al-Thahirah.

terakhir, (1) semoga Allah melimpahkan rahmat atas mereka berdua, tentang pendamaian hadis-hadis itu, tidak dapat diterima.

Tentang Kebaikan Sedekah

Sunnah Rasul Mulia Saw. yang ketiga adalah sedekah dan berupaya keras untuk bersedekah “sehingga engkau sampai merasa telah berlebihan padahal engkau tidak berlebihan”. Sedekah jelas termasuk perbuatan mustahabb yang sulit ditandingi balasan dan pahalanya oleh amal-amal lainnya. Hadis-hadis mengenai sedekah, bahkan kepada orang-orang yang tidak seiman dan binatang-binatang di darat maupun di laut, sangatlah banyak sehingga tidak mungkin untuk me-

ngutipkan semuanya di sini. Namun, kami hanya akan mengutip beberapa di antaranya:

محمّد بن یعقوب بإسناده عن عبد الله بن سنان فی حدیث قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: لیس شی ء أثقل علی الشّیطان من الصّدقة علی المؤمن، و هو تقع فی ید الرّبّ تبارک و تعالی قبل أن تقع فی ید العبد

Dalam hadis yang diriwayatkan Muhammad ibn Ya'qub (Al-Kulaini) dengan sanad dari 'Abdullah ibn Sinan, Abu 'Abdillah a.s. berkata, “Tidak ada yang lebih menyusahkan setan selain bersedekah kepada seorang Mukmin. Sedekah itu akan sampai ke tangan Tuhan sebelum sampai ke tangan hamba (yang menerimanya).(2)

و بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، فی حدیث قال: إنّ الله لم یخلق شیئا إلّا و له خازن یخزنه إلّا الصّدقة، فإنّ الرّبّ یلیها بنفسه. و کان أبی إذا تصدّق بشی ء، وضعه فی ید السّائل، ثمّ ارتدّه منه فقبّله و شمّه ثمّ ردّه فی ید السّائل

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Al-Kulaini dengan sanadnya, Abu 'Abdillah a.s. berkata, “Sesungguhnya Allah tidak pernah menciptakan apa pun tanpa menunjuk bendaharawan untuk menjaganya, kecuali sedekah karena Allah langsung yang menanganinya. Karena itu, ayahku (Al-Imam Muhammad Al-Baqir) apabila

p: 597


1- 46. Al-Wafi, kitab al-shiyam, Bab 4, h. 9; Al-Hada'iq Al-Nadhirah fi Ahkâm Al-'Itrah Al-Thahirah, Vol. VI, Kitab Al-Shaum, fi al-shaum al-mandûb”, h. 188
2- 47. Furû Al-Kafi, Vol. VI, Kitâb Al-Zakâh, bâb fadhl al-shadaqah, h. 3,hadis 5.

bersedekah kepada orang yang membutuhkan, beliau meletakkannya ke tangan si peminta lalu menariknya kembali dan menciumnya kemudian meletakkannya kembali ke tangan si peminta.(1)

Tema yang sama terdapat juga dalam beberapa hadis lain.(2) Semua itu menunjukkan kedudukan sedekah yang tinggi dan mulia. Bendahara atau penjaga sedekah tidak diserahkan kepada siapa pun selain Allah Swt. sendiri. Dengan tangan kekuasaan-Nya dan Sifat-Nya yang maha meliputi segala sesuatu secara abadi, Dia akan menjaga bentuk gaib sedekah itu secara sempurna. Dengan merenungkan hadis suci ini dan hadis-hadis serupa lainnya yang termaktub dalam berbagai bab kitab-kitab para sahabat kami--semoga Allah meridhai mereka semua—terungkaplah masalah keesaan Allah dalam semua tindakan-Nya (tauhid fi'li) dan manifestasi

abadi Allah (tajjali qayyümî) pada para ahli hati dan makrifat. Ada satu perkara penting yang perlu diperhatikan oleh orang yang melaksanakan sedekah. Yakni, jika pemberi sedekah mengungkit-ungkit pemberiannya dan melukai hati si fakir, pertama-tama dia telah berbuat tidak baik kepada Allah, baru kemudian kepada si fakir-kami berlindung kepada Allah dari hal seperti itu. Demikian pula kalau dia bersedekah dengah rendah hati dan penuh malu kepada seorang Mukmin, berarti dia telah merendahkan hati kepada Allah. Begitulah kebiasaan penampung ilmu Keluarga Muhammad ('Âlim Âli Muhammad, yaitu Al-Imam Muhammad Al-Baqir)-shallallahu alaihi wa âlihi—dan pencinta keindahan Ilahiah yang selalu memeluk dan mencium sedekahnya setelah diletakkan ke tangan peminta dan menciumi keharumannya yang suci dan sedap. Hanya Allah yang mengetahui betapa sentosa jiwa dan betapa damai hati insan suci yang tenggelam dalam kecintaan kepada Allah ini. Sungguh isyarat-isyarat cinta ini sedikit mengurangi kobaran api hatinya dan kegairahan cinta Imam Muhammad Al-Baqir yang suci itu.

Sayang, seribu kali sayang, penulis ini justru tenggelam dalam lautan hawa nafsu, tertawan oleh perut dan yang di bawah perut, karam dalam alam materiil, dan mabuk oleh egoisme dan cinta diri! Saya akan segera meninggalkan alam fana ini tanpa merasakan kecintaan para wali dan tanpa memahami kedudukan kemesraan, kegairahan,

p: 598


1- 48. Ibid., bab shadaqah al-lail, hadis 3.
2- 49. Mustadrak Al-Wasa’il, Vol. VII, Kitab Al-Zakâh, Bab 4, hh. 164-166,hadis 1-6.

ke-majdzûb-an, dan pesona kecintaan mereka. Kehadiran saya di dunia ini sebatas kehadiran seekor binatang, dan gerak-gerik saya di dunia ini serupa dengan gerak-gerik binatang dan setan. Dan kalau saya tetap demikian, kematian saya akan menjadi kematian binatang dan setan!

اللهمّ إلیک المشتکی و علیک المعوّل

Ya Allah, aku sampaikan keluh kesahku hanya kepada-Mu dan hanya kepada-Mu aku bergantung! Ya Allah tolonglah aku dengan cahaya petunjuk-Mu! Bangunkan

aku dari tidur lelap ini dan bawalah aku ke alam gaib, alam cahaya, kampung kesenangan dan keceriaan, tempat keintimaan dan kesendirian yang khusus dengan-Mu! و بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: أرض القیامة نار ما خلا ظلّ المؤمن فإنّ صدقته تظلّه

(Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanad dari Abu 'Abdillah a.s. yang mengatakan, “Rasul Allah Saw. bersabda, “Bumi hari kiamat adalah api kecuali bumi yang ada diinjak oleh orang Mukmin, karena sesungguhnya sedekahnya akan menaunginya."(1)

Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa, “Allah Taala membesarkan sedekah seperti engkau membesarkan anak unta. Kalau engkau menyedekahkan separuh kurma, Allah Taala melipatgandakannya. dan pada Hari Kebangkitan kelak, apa yang engkau sedekahkan itu akan dikembalikan kepada hamba dalam bentuk seperti atau lebih besar daripada Gunung Uhud."(2) Terdapat banyak hadis seperti itu dan disebutkan dalam banyak hadis bahwa sedekah menyelamatkan orang dari kematian yang buruk,(3) membawa rezeki,(4) memudahkan pembayar utang, (5) memperpanjang usia, mengelakkan tujuh puluh bentuk kematian yang buruk(6), dan Allah Taala membalasnya sampai sepuluh hingga seratus ribu kali lipat. (7) Sedekah juga menambah kekayaan(8), orang yang bersedekah di waktu pagi, maka dia akan diselamatkan dari bencana alam sepanjang hari itu. Jika orang bersedekah pada permulaan malam, dia akan diselamatkan dari bencana

p: 599


1- 50. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, Kitâb Al-Zakâh, bâb fadhl al-shadaqah, h. 3,hadis 6.
2- 51. Bihar Al-Anwâr, Vol. XCIII, Kitab Al-Zakâh, Bab 14. hh. 122-123,hadis 30.
3- 52. Furû' Al-Kafi, Vol. IV h. 2, Kitab Al-Zakah, bâb fadhl al-shadaqah, hadis 1, h. 5, bâb anna al-shadaqah tadfa' al-bala', hadis 3.
4- 53. Lihat Furű' Al-Kafi, Vol. IV, hh. 9-10, Kitab Al-Zakâh, bâb fi anna al-shadaqah tuzîd fi al-mal, hadis 3 dan 4.
5- 54. Ibid., hadis 1.
6- 55. Ibid., hadis 2.
7- 56. Wasâ'il Al-Syi'ah Vol. IV, h. 256, Kitâb Al-Zakâh, abwab Al-shadaqah, Bab 1, hadis 5.
8- 57. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, h. 9, Kitab Al-Zakâh, bâbfi anna al-shadaqah tuzid fi al-mal, hadis 2

di sepanjang malam.(1) Melalui sedekah, sakit bisa sembuh.(2) Kalau orang memenuhi kebutuhan rumah tangga seorang Muslim, menyelamatkan mereka dari kelaparan, memberi mereka pakaian, dan melindungi kehormatan mereka, amalnya lebih baik dibandingkan dengan berhaji sebanyak tujuh puluh kali. Padahal, berhaji itu lebih baik dibandingkan dengan membebaskan tujuh puluh budak, (3) dan orang yang membebaskan seorang budak, maka Allah akan membebaskan setiap anggota tubuhnya dari api neraka untuk satu anggota tubuh seorang budak yang dibebaskan itu (4). Amir Al-Mukminin a.s. membebaskan seribu budak dengan pendapatan yang diperolehnya dari kerja kerasnya.(5) Masih banyak hadis lain yang kalau dikutip di sini akan memperpanjang pembahasan ini.

Satu Perkara Penting Lain Topik ini akan kami tutup dengan satu perkara lain yang juga perlu diketahui. Perkara itu berkaitan dengan apa yang disebutkan dalam

ayat suci berikut ini: «لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّی تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَیْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِیمٌ (92)»

Engkau tak akan mencapai kebajikan sampai engkau menginfakkan apa yang engkau sukai .... (QS Ali-'Imrân (3): 92)

Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Al-Imam Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib dan Al-Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. sering menyedekahkan gula. Ditanya mengapa melakukan demikian, keduanya menjawab-dalam riwayat yang terpisah tentunya-, “Aku lebih menyukai gula dibandingkan dengan yang lain dan aku ingin menyedekahkan apa yang sangat aku sukai."(6)

Ada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Amir Al-Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib a.s. suatu kali membeli pakaian yang disukainya. Lalu, beliau menyedekahkan pakaian itu dengan mengatakan, “Aku mendengar Rasul Allah Saw. bersabda, 'Barang siapa lebih mementingkan orang lain dibandingkan dengan dirinya sendiri, dia akan lebih dipentingkan oleh Allah untuk masuk surga pada hari kiamat. Barang siapa mencintai sesuatu lalu menjadikannya untuk Allah, pada hari kiamat Allah akan berkata kepadanya, 'Hamba-hamba-Ku biasa memberikan balasan kepada sesama mereka dengan yang sepadan, maka Aku akan memberimu surga-Ku sebagai irnbalanmu. "(7)

p: 600


1- 58. Ibid., Vol. IV, h. 70, bâb anna al-shadaqah tadfa' al-balâ', hadis 9.
2- 59. Ibid., Vol. IV, h. 3, Kitâb Al-Zakah, bâb fadhl al-shadaqah, hadis 5.
3- 60. Ibid., Vol. IV, h. 2, hadis 3.
4- 61. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XVI, h. 2, Kitâb Al-'Itq, Bab 1, hadis 1.
5- 62. Ibid., h. 3, hadis 3.
6- 63. Tahdzib Al-Ahkâm, Vol. IVh, 231, Kitab Al-Shiyâm, bâb al-ziyârah,hadis 104.
7- 64. Majma' Al-Bayân, di bawah ayat QS Al-'Imrân (3): 92.

Diriwayatkan bahwa ketika ayat (QS Ali-'Imrân (3): 92) turun, salah seorang sahabat Nabi membagikan sebuah kebun buah yang paling disayanginya kepada sanak familinya. Kemudian, Rasul Saw. berkata kepadanya, “Bagus! Bagus! Itulah harta yang telah memberimu banyak keuntungan. "(1)

Pernah seorang tamu datang berkunjung kepada Abu Dzarr Al-Ghifari. Dia berkata kepada si tamu, “Aku sedang masygul. Ada beberapa unta milikku; tolong ambilkan yang paling bagus." Kemudian, tamu itu pergi dan mengambil unta yang kurus. Abu Dzarr berkata, “Anda telah mengkhianatiku.” Sang tamu berkata, "Yang paling bagus adalah unta jantan, tetapi aku pikir Anda suatu hari nanti memerlukannya.” Abu Dzarr berkata, “Hari ketika aku paling memerlukannya

adalah hari ketika aku dibaringkan di dalam kubur. Karena Allah Taala berfirman, 'Engkau tidak akan mencapai kebaikan kecuali engkau memberikan apa yang engkau sukai." Kemudian, Abu Dzarr menambahkan, “Setiap harta disertai oleh hal; pertama, takdir yang tidak membeda-bedakan apakah sesuatu itu berharga atau tidak; ia tetap akan menghancurkannya. Kedua, ahli waris yang menanti kematian kita, sedangkan kamu akan menjadi nista. Dan ketiga, diri kita sendiri.

Kalau kau tidak menjadi yang paling lemah di antara ketiga hal ini, jangan perlakukan dirimu sebagai yang paling lemah. Allah Taala berfirman, 'Engkau tidak akan mencapai kebajikan sebelum engkau memberikan apa yang engkau sukai.' Unta ini adalah harta yang paling aku sukai, maka aku ingin menginvestasikannya sebagai bekalku sendiri. (2)

Salah Satu Rahasia Sedekah

Perlu diketahui bahwa manusia tumbuh dewasa dengan kecintaan kepada harta, kekayaan, dan perhiasan-perhiasan duniawi. Kecintaan ini lalu menimbulkan bekas dalam hatinya, dan lama-lama bekas itu menjadi sumber bagi banyak keburukan akhlak dan penyimpangan dari agama, seperti disebutkan dalam banyak hadis. (3) Persoalan ini telah kami paparkan ketika menerangkan beberapa hadis terdahulu. (4) Karena itu, kalau kita dapat meniadakan atau memperkecil rasa cinta ini melalui sedekah dan itsår (sikap mendahulukan kepentingan orang lain), kita akan dapat mencerabut bahan kerusakan dan mem-

p: 601


1- 65. Ibid.
2- 66. Ushul Al-Kafi, Vol. II, hh. 315-320, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb hubb al-dunya wa al-hirsh'alaiha, hadis 1 - 17, dan di lain tempat.
3- 67. Ibid., h. 122.
4- 68. Lihat penjelasan mengenai hadis keenam tentang “cinta dunia”.

basmi benih kekejian ini. Dengan demikian, akan terbuka pintu-pintu makrifat Ilahiah, alam gaib, dan malakût, serta tertancaplah pelbagai kebiasaan dan watak mulia dalam jiwa kita. Jadi, salah satu rahasia di balik pemberian harta (infâq) yang wajib ataupun yang sunnah-lebih khususnya lagi pemberian harta yang sunnah (sedekah)—ialah untuk menjebol keterikatan jiwa kita pada dunia ini.

Catatan Tambahan

Perlu diketahui bahwa bersedekah secara diam-diam itu lebih baik daripada bersedekah secara terbuka. Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dengan sanad 'Ammar Al-Sabathi bahwa Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata:

یا عمّار، الصّدقة فی السّرّ و الله أفضل من الصّدقة فی العلانیة، و کذلک و الله العبادة فی السّرّ أفضل منها فی العلانیة.

"Wahai 'Ammar! Demi Allah, sedekah yang dilakukan secara diam-diam lebih baik daripada sedekah yang dilakukan secara terbuka.

Begitu pula, demi Allah, ibadah yang dilakukan secara diam-diam itu lebih baik dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan secara terbuka."(1)

Dalam banyak hadis, disebutkan bahwa bersedekah secara diam-diam mencegah murka Allah.(2) Dalam sebuah hadis dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. disebutkan bahwa, “Ada tujuh kelompok orang yang dilindungi oleh Allah Taala pada hari ketika tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Salah satunya adalah orang yang bersedekah secara diam-diam sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya.”(3)

Mungkin alasan keunggulan ini adalah bahwa beribadah secara diam-diam itu lebih jauh dari riyâ' dan lebih dekat dengan keikhlasan. Alasan lainnya mungkin adalah bahwa bersedekah secara diam-diam itu menjaga martabat si miskin. Bersedekah kepada sanak keluarga lebih baik daripada bersedekah kepada orang lain. Sebab, hal ini termasuk bermurah hati kepada sanak saudara yang merupakan salah satu bentuk ibadah yang terbaik,

p: 602


1- 69. Furü' Al-Kafi, Vol. IV, h. 8, Kitâb Al-Zakah, bâb fadhl shadaqah al-sirr, hadis 2.
2- 70. Ibid., h. 7, hadis 1-3; Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. IV, hh. 275-278, Kitâb Al-Zakah, Bab 12, hadis 1, 2, 4, 5, 6, dan 7.
3- 71. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. VI, h. 277, Kitâb Al-Zakah, Bab 12, hadis 11.

seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis yang mengatakan bahwa, “Sebaik-baik bersedekah adalah kepada sanak keluarga. Pahala bermurah hati kepada saudara adalah dua puluh kali lipat dan kepada keluarga sedarah dua puluh empat kali lipat."(1) Dalam beberapa hadis, dinyatakan bahwa bersedekah kepada bukan sanak keluarga tidak akan diterima apabila masih ada sanak keluarga yang membutuhkan.(2)

Penutup

Dari perkataan "Bersedekahlah sedemikian rupa hingga engkau mengira bahwa engkau telah melewati batas padahal tidak ..." terlihat bahwa yang dikehendaki dalam bersedekah adalah bersedekah sebanyak-banyaknya. Dalam sedekah, tak akan ada yang berlebihan. Dalam suatu riwayat, disebutkan bahwa Al-Imam Hasan Al-Mujtaba a.s., dalam hidupnya tiga kali membagikan separuh miliknya untuk seorang peminta sehingga kalau beliau memiliki dua pasang sandal, dua potong baju atau dua keping uang, beliau membagikan separuhnya kepada si peminta.(3)

Dalam hadis lain, disebutkan bahwa Al-Imam Ali Al-Ridha a.s. pernah menulis surat kepada Al-Imam Muhammad Al-Jawad a.s. sebagai berikut, “Aku mendengar bahwa jika engkau keluar untuk berkendaraan (dari rumah atau istana orang kaya-peny.), mereka membawamu keluar dari pintu yang kecil sehingga tidak banyak kuli yang bisa ikut menerima upahmu. Orang-orang itu berbuat demikian karena kekikiran mereka dan mereka tidak mau ada banyak orang menerima upah darimu. Demi hakku atasmu, janganlah engkau keluar atau masuk ke suatu tempat kecuali dari pintu yang paling besar. Apabila engkau keluar, bawalah emas dan perak sebanyak mungkin. Jangan sampai ada seorang peminta yang tidak engkau beri. Jika ada di antara paman-pamanmu dari pihak ayah yang membutuhkan bantuanmu, jangan beri dia kurang dari lima puluh dinar dan boleh engkau beri lebih banyak jika engkau berkenan. Dan jika ada di antara bibi-bibimu dari pihak ayah yang membutuhkan sesuatu darimu, jangan beri dia kurang dari dua puluh lima dinar dan boleh engkau beri dia lebih banyak jika engkau berkenan. Aku ingin agar Allah meninggikan kedudukanmu. Oleh karena itu, berinfaklah dan jangan takut Allah akan mempersempit rezekimu.”(4)

p: 603


1- 72. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, h. 101, Kitâb Al-Zakâh, bâb al-shadaqah ‘ala al-Qarabah, hadis 2-3.
2- 73. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 276, Kitâb Al-Zakâh, Bab 20, hadis 4 dan 7.
3- 74. Ibid., h. 336, Bab 52, hadis 1.
4- 75. Bihar Al-Anwar, Vol. 50, h. 102, Tarikh Al-Imâm Al-Jawwad, Bab 5,hadis 16.

Hadis-hadis ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa berlebihan dalam bersedekah, sampai-sampai menempatkan keluarga dalam kesulitan keuangan, sama dengan pemborosan (isran) dan bahwa Allah tidak mengabulkan doa orang yang bermurah hati tanpa memerhatikan nafkah hidup keluarga-nya.(1) Dalam suatu hadis, disebutkan bahwa sebaik-baik sedekah adalah yang diberikan dari kelebihan makanan dan minimum yang diperlukan untuk menopang kehidupan.(2) Alasan mengapa kedua jenis hadis-hadis itu tidak bertentangan adalah bahwa bersedekah tidak perlu sedemikian rupa sampai-sampai menyebabkan kesulitan bagi keluarga, lantaran banyak juga orang yang dapat memberikan separuh dari kekayaannya atau lebih untuk sedekah tanpa menjerumuskan keluarganya ke dalam kesulitan hidup.

Tentang Kebaikan Shalat Malam

Dalam hadis mulia di atas, penunaian shalat malam dan tengah hari (zawal) sangat ditekankan. Mengenai shalat malam, kita telah membahasnya pada hadis-hadis terdahulu.(3) Di sini, kami hanya akan memberikan terjemahan beberapa hadis yang relevan demi mendapatkan barakahnya. Penulis Al-Wasā'il mengutip dari Al-Kâfi sebuah hadis dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Al-Shadiq a.s. yang mengatakan, “Kebanggaan orang Mukmin terletak pada penunaian shalat malam, dan kemuliaannya terletak pada berpantang dari melakukan apa pun yang dapat merusak kehormatan orang lain."(4) Dalam hadis lain, Al-Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan berkata, “Rasul Mulia Saw. meminta Jibril untuk menasihatinya. Jibril berkata, “Wahai Muhammad, hiduplah seperti yang engkau inginkan, tetapi ingat bahwa pada akhirnya engkau akan mati; sukailah apa pun yang engkau ingin sukai, tetapi ingat bahwa pada akhirnya engkau akan berpisah darinya; dan lakukanlah apa pun yang engkau ingin lakukan, tetapi ingat bahwa engkau akan menjumpainya kelak. Ketahuilah bahwa ciri khas seorang Mukmin adalah dia menunaikan shalat malam dan martabatnya terletak pada tidak melakukan apa pun yang merusak kehormatan orang lain.”(5)

p: 604


1- 76. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, hh. 322-323, Kitab Al-Zakâh, Bab 42, hadis 1 dan 3.
2- 77. Ibid., h. 323, hadis 4.
3- 78. Lihat keterangan mengenai hadis kedua belas, bagian mengenai "Kebajikan Shalat Tengah Malam".
4- 79. Ibid., Vol. V, h. 268, Kitab Al-Shalah, Bab 39, hadis 2.
5- 80. Al-Khishal, Vol. 1, h. 7, Bab 1, hadis 19.

Dalam hadis lain dengan sanad yang juga sampai kepada Al-Imam Al-Shadiq a.s. diriwayatkan bahwa, “Anak dan harta adalah perhiasan kehidupan dunia ini dan delapan rakaat menjelang akhir malam ditambah satu shalat witir adalah perhiasan kehidupan akhirat, dan terkadang Allah Taala menganugerahkan keduanya kepada sebagian orang. "(1) Al-Syaikh Al-Mufid, semoga ridha Allah tercurah atasnya, meriwayatkan bahwa Rasul Allah Saw. bersabda, “Apabila salah seorang hambaku bangkit dari tempat tidurnya dan meninggalkan nikmatnya tidur untuk shalat malam demi mendapatkan keridhaan Allah, Allah Taala membanggakannya di hadapan para malaikat. Allah berfirman, 'Saksikanlah bahwa Aku telah mengampuninya.""(2) Terdapat banyak hadis yang seperti ini, tetapi kami tidak dapat mengutip semuanya di sini karena alasan ruang lingkup pembahasan yang ringkas ini.

Tentang Shalat Al-Wustha

Shalat zawâl yang disebutkan dalam wasiat Rasul Mulia Saw. itu adalah shalat nafilah yang menyertai shalat zhuhur, seperti yang diterangkan dalam beberapa hadis lain.(3) Ditekankannya shalat-shalat nafilah ini adalah karena nilainya yang penting, atau karena keterkaitannya dengan shalat tengah hari (al-wusthâ) atau zhuhur dan karena merupakan penyebab kesempurnaan dan diterimanya shalat zhuhur. Mungkin juga maksud shalat zawâl yang disebutkan dalam wasiat itu adalah shalat zhuhur itu sendiri yang merupakan shalat tengah hari (al-wustha), lantaran waktunya yang berada di tengah-tengah shalat-shalat fardhu harian (subuh dan magrib-isya). Allah Taala memerintahkan agar shalat ini diberi perhatian khusus dalam firman: Jagalah shalat-shalat dan shalat al-wusthâ; dan berdirilah dengan taat kepada Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 238)

Pendapat di atas didukung oleh tiga dasar: pertama, pendapat itulah yang paling masyhur di kalangan para faqih, semoga Allah meridhai mereka; kedua, pendapat itu juga merujuk pada pelbagai kekhususan kedua shalat tengah hari (zhuhur dan ashar) di antara shalat-shalat fardhu harian lain; dan ketiga, shalat ini adalah shalat pertama yang diperintahkan Allah melalui Jibril a.s. kepada Adam,

p: 605


1- 81. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. V, h. 276, Kitâb Al-Shalah, Bab 39 hadis 34.
2- 82. Ibid., h. 277, hadis 36.
3- 83. Ibid., Vol. III, hh. 42-44, Bab 14, hadis 1-3, dan 6.

bapak umat manusia—semoga shalawat dan salam Allah tercurah senantiasa atas Nabi kita dan Ahl Al-Baitnya dan atas Adam. Barangkali wasiat Rasul Mulia Saw, yang menyatakan, “Jagalah shalat tengah hari” merujuk pada keharusan memerhatikan penunaian shalat tengah hari dengan seluruh syarat, ketentuan, nâfilah, dan waktunya, serta bukan ke semata-mata pada penunaiannya. Hal yang sama dapat disimpulkan dari perintah (dalam ayat tersebut) mengenai menjaga semua shalat khususnya shalat tengah hari. Dalam hadis-hadis Ahl Al-Bait yang maksum a.s., terlihat bahwa menjaga waktu-waktu shalat dan waktu-waktu yang paling afdalnya sering ditekankan. Menunda waktu shalat sampai lewat batasnya tanpa alasan yang tepat dapat dianggap sama dengan melalaikannya, khususnya kalau hal itu telah menjadi kebiasaan. Jelas, jika orang memandang penting suatu tugas, dia akan berupaya menunaikannya secepat dan sebaik mungkin. Namun, jika orang menganggapnya kurang penting, dia akan menangguhkannya dan melalaikan penunaiannya. Kita berlindung kepada Allah dari perilaku meremehkan dan mengabaikan kedudukan shalat.

Al-Imam Muhammad Al-Jawad meriwayatkan, “Suatu kali Rasul Allah Saw. duduk-duduk di masjid bersama beberapa sahabatnya lalu datang seseorang untuk shalat. Dalam shalatnya itu, dia tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, ‘Dia shalat seperti burung gagak. Jika dia mati dengan sikap sepertiitu terhadap shalatnya, dia akan mati dalam keadaan di luar agamaku."(1) Terkadang, kurangnya perhatian yang memadai terhadap shalat dan melalaikannya membuat orang pada akhirnya akan meninggalkannya sama sekali. Wajarlah kalau sesuatu tidak bernilai di mata seseorang, dia akan melupakannya. Kita jarang melupakan urusan duniawi kita karena jiwa selalu mengingatnya dan memerhatikannya dan menganggapnya penting dan mencintainya. Tentu saja, hal-hal seperti itu tak akan pernah terlupakan. Jika seseorang berjanji mau memberimu uang yang menurutmu sangat banyak, dan kalau engkau mengira dia pasti menepati janjinya, engkau tentu tak sabar menanti saat yang dijanjikan itu. Engkau tentu tak sabar menanti saat yang dijanjikan dan tiba di tempat yang ditentukan pagi-pagi dengan per-

p: 606


1- 84. Furû' Al-Kafi, Vol. III, h. 268, Kitab Al-Shalâh, bâb man hâfazha ‘ala shalâtihî aw dhayya'aha.

hatian penuh. Itu karena kecintaan jiwa pada hal itu, dan nilai penting hal itu bagi jiwa telah membuatmu terpesona dengannya, dan engkau tak akan sekali-kali melalaikannya. Hal yang sama juga berlaku pada soal-soal duniawi yang lain yang menyita perhatian setiap orang sesuai dengan keadaannya. Namun, jika sesuatu itu tidak atau kurang penting di matamu, sekalipun itu melintas di benakmu, lintasan itu akan terjadi sebentar dan semuanya akan berlalu begitu saja. Bahkan di

lain waktu engkau akan melupakannya sama sekali. Kini, kita dapat memahami mengapa kita melalaikan persoalan agama. Itu karena kita kurang meyakini yang gaib dan karena dasar dasar iman dan keyakinan kita lemah. Kita tak meyakini janji Allah dan para nabi dengan hati dan jiwa kita. Itulah sebabnya semua perin-

tah Allah dan hukum agama tak berarti dan tak penting di mata kita. Peremehan ini lambat laun membuat kita melalaikannya. Pelalaian ini menguasai kita selama hidup kita di dunia ini, sampai kita direnggut maut.

Shalat-shalat fardhu ini merupakan tiang agama dan landasan iman.

Setelah keimanan itu sendiri, tidak ada yang menyamai kedudukan shalat-shalat fardhu ini. Pencerahan batin dan bentuk-bentuk malakûtî-nya yang gaib hanya diketahui oleh Allah Taala dan hamba-hamba-Nya yang khawash. Di antara segi penting yang terdapat dalam shalat adalah berulang-ulangnya zikir kepada Allah dengan tata aturan yang khas dan kesopanan yang tinggi. Semua itu akan memperkuat sendi-sendi keimanan dan mempererat ikatan manusia dengan Allah Taala dan alam-alam gaib. Ia juga akan menciptakan kebiasaan tunduk patuh kepada Allah di dalam hati dan memperkuat akar-akar pohon suci tauhid di dalamnya, sehingga tidak ada yang dapat menghancurkannya. Ia juga akan membuat orang berhasil melalui cobaan berat dari Allah pada saat-saat sakaratulmaut dan ketakutan-ketakutan ketika menyaksikan pemandangan pertama alam gaib, sehingga keyakinannya tidak menjadi guncang karena tekanan-tekanan menjelang kematian. Saudaraku, waspadalah! Waspadalah! Semoga Allah menolongmu di dunia ini dan di akhirat kelak. Janganlah melalaikan shalat lima waktu. Jangan meremehkan shalat lima waktu. Allah tahu bahwa

p: 607

peringatan para nabi, para wali, dan para pemimpin yang mendapat bimbingan a.s. telah mendorong manusia kepada shalat dan mencegah mereka dari melalaikannya, padahal mereka tidak mengambil manfaat apa-apa dari keimanan kita dan amal perbuatan kita.

Tentang Kebaikan Membaca Al-Quran

Salah satu butir wasiat Rasul Mulia Saw. ialah menyangkut soal membaca Al-Quran. Kebaikan membaca dan menghafal Al-Quran, mengikuti, mengajarkannya, serta senantiasa merenungkan makna-makna dan rahasia-rahasianya, lebih dari yang dapat dimengerti pemahaman kita yang tidak memadai ini, dan tidak dapat termuat oleh halaman-halaman buku ini. Oleh karena itu, kami hanya akan mengutip beberapa hadis Ahl Al-Bait a.s. yang maksum berkenaan dengan hal ini.

کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: القرآن عهد الله إلی خلقه، فقد ینبغی للمرء المسلم أن ینظر فی عهده و أن یقرأ منه فی کلّ یوم خمسین آیة

Dalam Al-Kafi, (Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.ş. yang mengatakan, “Al-Quran adalah perjanjian Allah dengan makhluk-makhluk-Nya (atau suatu petunjuk Allah untuk makhluk-rnakhluk-Nya). Oleh karena itu, seorang Muslim berkewajiban merenungkan perjanjian-Nya dan membaca lima puluh

ayatnya setiap hari."(1)

و بإسناده عن الزّهریّ قال سمعت علیّ بن الحسین، علیهما السّلام، یقول: آیات القرآن خزائن، فکلمّا فتحت خزینة، ینبغی لک أن تنظر فیها

Dalam Al-Kafi, (Al-Kulaini meriwayatkan) dengan sanadnya dari Al-Zuhri yang mengatakan, “Aku mendengar 'Ali ibn Al-Husain a.s. berkata, 'Ayat-ayat Al-Quran merupakan harta karun dan kapan pun harta karun terbuka bagimu, engkau tentu ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya. "(2)

p: 608


1- 85. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 609, Kitab Fadhl Al-Qur'ân, bâb fi qirà'atih, hadis 1.
2- 86. Ibid., h. 609, hadis 2.

Makna yang tersurat dari kedua hadis ini adalah bahwa para pembaca Al-Quran harus juga merenungkan dan memikirkan makna-maknanya. Merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah yang terang (muhkam) dan memahami pelbagai ajaran, kebijaksanaan, dan perkara tauhid yang terkandung di dalamnya, berbeda dengan menafsirkan Al-Quran menurut pandangan subjektif (tafsir bi al-ra'i), yang telah dilarang. Sebab, praktik demikian itu merupakan bagian dari keyakinan yang menyimpang dan hawa nafsu yang rusak, dan bertentangan dengan ajaran rumah tangga wahyu yang menjadi sasaran Kalam Ilahi tersebut. Pada tempatnya yang tepat, masalah ini telah kami buktikan sehingga tidaklah layak untuk merincinya kembali di sini. Dalam hubungan ini, firman Allah Taala berikut ini sudah sangat memadai.

«أَفَلَا یَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَی قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (24)» Apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran? Atau hati-hati mereka terkunci? (QS Muhammad (47): 24)

Dalam hadis-hadis, terdapat banyak contoh yang di dalamnya kita diperintahkan untuk merenungkan makna-makna Al-Quran. Telah diriwayatkan bahwa Amir Al-Mukminin ('Ali ibn Abi Thalib) a.s. berkata, “Tidak ada manfaatnya membaca (Al-Quran) tanpa merenungkannya. "(1)

و بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال قال رسول الله، صلّی الله علیه و آله: من قرأ عشر آیات فی لیلة، لم یکتب من الغافلین. و من قرأ خمسین آیة، کتب من الذّاکرین. و من قرأ مائة آیة. کتب من القانتین. و من قرأ مائتی آیة. کتب من الخاشعین. و من قرأ ثلاثمائة آیة، کتب من الفائزین. و من قرأ خمسمائة آیة. کتب من المجتهدین. و من قرأ ألف آیة، کتب له قنطار من برّ: القنطار خمسة عشر ألف (خمسون ألف) مثقال من ذهب، و المثقال أربعة و عشرون قیراطا: أصغرها مثل جبل أحد، و أکبرها ما بین السّماء و الأرض

(Al-Kulaini, dalam Al-Kafi, meriwayatkan) dengan sanadnya dari Abu Ja'far a.s. yang mengatakan, “Rasul Allah Saw. bersabda,

p: 609


1- 87. Al-Mahajjah Al-Baidha', Vol. 11, h. 237, Kitab Adâb Tilawah Al-Quran, Bab 3.

'Orang yang membaca sepuluh ayat (Al-Quran) pada suatu malam tidak dicatat sebagai orang yang lalai dan orang yang membaca lima puluh ayat dicata: sebagai orang yang ingat pada Allah. Orang yang membaca seratus ayat ditulis sebagai orang yang khusyuk. Orang yang membaca tiga ratus ayat ditulis sebagai orang yang berhasil dan yang membaca lima ratus ditulis sebagai orang yang tekun. Dan bagi yang membaca seribu ayat, dicatatkan baginya berkuintal-kuintal kesalehan. Satu kuintal terdiri atas lima belas ribu (atau lima puluh ribu) mitsqâl emas, dan satu mitsqal 24 karat, yang terkecilnya adalah seperti Gunung Uhud dan yang

terbesarnya sama dengan apa yang ada antara bumi dan langit.(1)

Banyak hadis yang tidak dapat kami kutipkan satu demi satu di sini berbicara tentang Al-Quran yang berbentuk indah (pada hari kiamat) dan memberi syafaat kepada para pembacanya.(2) Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa apabila seorang Mukmini membaca Al-Quran di masa mudanya, Al-Quran memasuki darah dan dagingnya, dan Allah menempatkannya di antara para utusan mulia sementara Al-Quran menjadi perisainya (dari kengerian-kengerian) hari kiamat. la akan berkata kepada Allah, “Ya, Allah! Setiap pekerja telah menerima upahnya kecuali orang yang bekerja untukku. Maka, berikan kepadanya sebaik-baik balasan-Mu.” Lalu, Allah Tabaraka wa Ta'alâ membusanainya (yaitu orang yang bekerja melayani Al-Quran) dengan dua pakaian surga dan menempatkan mahkota kemuliaar. di atas kepalanya. Kemudian, Al-Quran ditanya, “Apakah itu memuaskanmu?” Al-Quran menjawab, “Ya, Tuhanku! Aku ingin dia menerima sesuatu yang lebih baik daripada itu.” Lalu, dia diberi keselarnatan di tangan kanannya dan keabadian di tangan kirinya, dan begitu memasuki surga dia diseru, “Bacalah dan naiklah satu derajat.” Lalu, Al-Quran ditanya, “Apakah Kami telah memberikan kepadanya apa yang engkau inginkan? Apakah Kami memuaskanmu?” Al-Quran berkata, “Ya. (3) Al-Imam Al-Shadiq a.s. berkata, "Orang yang banyak membaca Al-Quran dan memperbarui perjanjian dengannya seraya berupaya keras menghafalnya, dia akan menerima pahala dua kali lipat untuk itu. (4) Dari hadis ini, kita menjadi tahu bahwa tujuan membaca Al-Quran mulia adalah pengaruhnya pada hati manusia sehingga ruh ini membawa bentuk Kitab Suci Ilahi dan pengaruh Al-Quran

p: 610


1- 88. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 612, hadis 5.
2- 89. Ibid., Vol. II, hh. 596-602, hadis 1, 11, 12, 14.
3- 90. Ibid., h. 603, bab nâmil Al-Qur'ân, hadis 4, Tsawâb Al-A'mâl wa “Iqab Al-A'mal, h. 126, tsawab man qara'a Al-Qur'ân wa huwa syabbun mu'min.
4- 91. Bihar Al-Anwâr, Vol. 90, h. 187, Kitâb Al-Qur'ân, Bab 20, hadis 7.

Hadis tentang Wasiat Rasulullah Saw. kepada 'Ali ibn Abi Thalib bergerak dari tingkat potensial ke tingkat aktual dan aktif. Pernyataan Imam bahwa Al-Quran memasuki darah dan daging seorang Mukmin yang membaca Al-Quran di masa mudanya merujuk ke poin bahwa bentuk Al-Quran tertanam di hati sedemikian rupa sehingga batinnya itu sendiri menjadi Kitab Suci Allah yang mulia dan Al-Quran yang terpuji sesuai dengan kemampuan dan kesiapannya. Di antara para pembawa Al-Quran terdapat sebagian yang batinnya merupakan realitas sempurna Kitab Suci Ilahi yang jami' (mencakup seluruh tingkat wujud) dan al-furqân (kriteria untuk memisahkan kebenaran dan kepalsuan), seperti 'Ali ibn Abi Thalib a.s. dan para Imam maksum dari keturunannya yang merupakan perwujudan utuh dari ayat-ayat suci Allah dan tanda-tanda teragung Allah. Sesungguhnya, ini berlaku untuk semua tindak ibadah dan salah satu rahasia utama ibadah dan watak tindakannya yang berulang adalah agar kita menjadi realitas ibadah itu sendiri dan perubahan batin dan hati menjadi bentuk suci ibadah. Dalam sebuah hadis, dikatakan bahwa “Ali a.s. adalah shalat dan puasa orang Mukmin”.(1)

Tentang Pengaruh Ibadah pada Usia Muda

Pengaruh (ibadah) pada hati dan pembentukan batin ini akan lebih baik di kala usia muda karena hati seorang pemuda masih lembut dan sederhana, serta kemurniannya lebih besar. Kesibukannya masih sedikit dan masih belum banyak menghadapi konflik dan tekanan. Oleh karena itu, ia sangat pasif dan gamblang untuk menerima. Setiap sifat baik dan buruk memasuki hati kaum muda dengan sangat gamblang dan lebih cepat serta lebih kuat pengaruhnya. Sangat sering

terjadi bahwa pemuda menerima kebenaran atau kepalsuan atau sesuatu yang baik atau buruk dengan hanya bergaul dengan orang dan tanpa meminta bukti atau argumen yang masuk akal. Oleh karena itu, kaum muda perlu mewaspadai watak teman-teman mereka dan agar tidak terlibat dalam pergaulan yang buruk, sekalipun mereka memiliki iman yang kuat. Bergaul dengan orang-orang yang tidak bermoral dan suka berbuat dosa merugikan segala lapisan masyarakat. Hendaknya kita jangan terlalu yakin dengan diri kita sendiri

p: 611


1- 92. Ibid., Vol. 24, h. 303, Kitab Al-Imâmah, bâb al-shalâh wa al-zakâh, hadis 14.

dan membanggakan iman, moral, dan perilaku kita. Hadis-hadis suci melarang kita bergaul dengan orang-orang yang suka berbuat dosa. (1)

Tentang Adab Qira'ah

Pada umumnya, sasaran membaca (qira'ah) Al-Quran adalah agar bentuk gaibnya terpatri di dalam hati, perintah dan larangannya ada pengaruhnya pada hati, dan berakar kuat di dalam hati. Sasaran ini tidak mungkin tercapai tanpa mengikuti adab (etiket) dalam membacanya. Yang kami maksud dengan adab di sini bukanlah seperti praktik sebagian pembaca (qurra') yang perhatian penuhnya adalah vokalisasi dan tajwid kata-kata yang akibatnya orang tidak saja sepenuhnya melalaikan makna-makna Al-Quran, tetapi pembacaan itu sendiri menjadi rusak dan banyak kata sepenuhnya terdistorsi. Inilah salah satu tipu muslihat setan. Dengan tipu muslihat ini, setan membuat orang saleh terus lalai di sepanjang hidupnya, lalai pada tujuan di-wahyukannya Al-Quran, lalai pada arti perintah dan larangannya,

lalai pada ajaran yang benar dan akhlak yang lebih tinggi. Setelah lima puluh tahun membaca Al-Quran, hasilnya begitu-begitu saja karena tajwid yang berlebihan dan dibuat-buat yang dibacanya mendistorsi bentuknya sehingga bentuknya menjadi aneh. Yang dimaksud di sini adalah adab yang digariskan syariat suci, terutama seperti yang disebutkan sebelumnya, yang memerlukan pemikiran dan perenungan terhadap ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran dari ayat-ayat itu.

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dengan sanad Al-Imam Al-Shadiq a.s. yang mengatakan:

قال: إنّ هذا القرآن فیه منار الهدی و مصابیح الدّجی، فلیجل جال بصره و یفتح للضّیاء نظره، فإنّ التّفکّر حیاة قلب البصیر، کما یمشی المستنیر فی الظّلمات بالنّور

Sesungguhnya Al-Quran itu menara petunjuk dan pelita dalam kegelapan malam. Hendaknya mata penyelidik menyelidikinya dan membuka penglihatannya untuk mendapatkan pencerahannya. Sesungguhnya merenung itu kehidupan bagi hari yang meli-

p: 612


1- 93. Ushul Al-Kafi, Vol. 11, hh. 639-642, Kitâb Al-Isyrah, bâb man tukrahu mujalasatuhû wa muráfaqatuh, hadis 1-3.

hat. Sebagaimana orang berjalan saat kegelapan dengan bantuan “cahaya”, orang juga harus melihat Al-Quran untuk mendapatkan

cahayanya yang memberikan petunjuk saat kegelapan. (1)

و من المجالس بإسناده عن أمیر المؤمنین، علیه السّلام، فی کلام طویل فی وصف المتّقین: و إذا مرّوا بآیة فیها تخویف، أصغوا إلیها مسامع قلوبهم و أبصارهم، فاقشعرّت منها جلودهم، و وجلت قلوبهم، فظنّوا أنّ صهیل جهنّم و زفیرها و شهیقها فی أصول آذانهم. و إذا مرّوا بآیة فیها تشویق، رکنوا إلیها طمعا، و تطلّعت أنفسهم إلیها شوقا، و ظنّوا أنّها نصب أعینهم

Dalam Al-Majális, (Al-Mufid meriwayatkan) dengan sanadnya dari Amir Al-Mukminin a.s. yang berkata dalam sebuah khutbah panjang yang di dalamnya beliau menggambarkan sifat-sifat takwa, "... Dan apabila mereka (yaitu orang yang takwa kepada Allah) menemukan sebuah ayat yang membangkitkan rasa takut, mereka

memerhatikannya dengan hati dan jiwa mereka, dan itu membuat bulu roma mereka berdiri dan hati mereka bergetar seolah-olah mereka sedang mendengar gemuruh dahsyat neraka dan keluhan serta ratapan para penghuninya. Apabila mereka menemukan sebuah ayat yang membangkitkan kerinduan (pada surga), mereka merenungkannya dengan penuh kedambaan dan jiwa mereka melangkah maju ke arahnya, dengan penuh semangat seakan itu ada di depan mata mereka. (2) Jelaslah bahwa jika orang merenungkan dan memikirkan makna-makna Al-Quran, makna-makna itu akan berpengaruh pada hatinya dan dia berangsur-angsur mencapai kedudukan takwa kepada Allah. Kalau pertolongan Allah datang, dia pun bergerak maju melebihi kedudukan itu, dan setiap anggota tubuh dan dayanya pun menjadi salah satu ayat Allah. Barangkali pesona dan daya tarik firman-firman Allah akan menempatkannya di samping dirinya sendiri, dan dia akan mencapai realitas “Membaca dan miʻrâj” di dunia ini sendiri sehingga dia akan mendengar kata Allah dari Allah sendiri tanpa ada-

p: 613


1- 94. Ibid., Vol. II, h. 600, Kitâb Fadhl Al-Qur'an, hadis 5.
2- 95. Al-Syaikh Al-Shaduq, Al-Amáli, h. 458, Majális 84, hadis 2, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 829, Kitâb Al-Shalah, Bab 3, hadis 6.

nya perantara, dan mencapai apa yang tak dapat dibayangkan oleh orang-orang seperti saya dan Anda.

Tentang Ketulusan dalam Membaca

Bagian penting adab membaca Al-Quran adalah ketulusan, yang penting dari segi pengaruhnya pada hati dan yang tanpanya tidak ada perbuatan yang bernilai atau sesuatu menjadi sia-sia dan malah menyebabkan kemurkaan Allah. Ketulusan adalah aset untuk mencapai kedudukan-kedudukan ukhrawi, dan merupakan modal untuk perniagaan akhirat. Dalam hubungan ini, juga terdapat penekanan yang kuat dalam hadis-hadis Ahl Al-Bait yang maksum a.s. Di antaranya adalah yang diriwavatkan oleh Al-Kulaini r.a. berikut ini:

بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: قرّاء القرآن ثلاثة: رجل قرأ القرآن فاتّخذه بضاعة و استدرّ به الملوک و استطال به علی النّاس. و رجل قرأ القرآن فحفظ حروفه و ضیّع حدوده و أقامه إقامة القدح. فلا کثّر الله هؤلاء من حملة القرآن. و رجل قرأ القرآن فوضع دواء القرآن علی داء قلبه، فأسهر به لیله، و أظمأ به نهاره، و قام به فی مساجده، و تجافی به عن فراشه، فبأولئک یدفع الله العزیز الجبّار البلاء، و بأولئک یدیل الله من الأعداء، و بأولئک ینزل الله الغیث من السّماء. فو الله، لهؤلاء فی قرّاء القرآن اعزّ من الکبریت الأحمر

Dia meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Ja'far a.s. yang berkata, “Ada tiga tipe pembaca Al-Quran. Pertama, pembaca yang membaca Al-Quran dan menjadikannya sebagai barang dagangan untuk menarik perhatian para raja dan menyenangkan orang dengan cara sok kuasa; kedua, pembaca yang membaca Al-Quran, menghafalkan tulisannya, tetapi melalaikan perintah-perintahnya. Semoga Allah tidak membiarkan pembaca-pembaca Al-Quran seperti itu bertambah jumlahnya! Ketiga, pembaca yang membaca Al-Quran dan menggunakannya untuk mengobati penyakit hatinya. Dengan disertai Al-Quran, dia bangun malam (untuk

p: 614

beribadah), berpuasa di sepanjang hari, mendatangi masjid untuk shalat, dan meninggalkan nikmatnya tidur. Demi mereka, Allah Al-'Aziz Al-Jabbâr akan menghindarkan bencana-bencana (alam), menghalangi musuh-musuh, dan menurunkan hujan dari langit. Demi Allah, mereka ini lebih jarang adanya di antara para pembaca Al-Quran dibandingkan dengan elksir.(1)

و عن عقاب الأعمال بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، عن أبیه، عن آبائه، علیهم السّلام، قال: من قرأ القرآن یأکل به النّاس، جاء یوم القیامة و وجهه عظم لا لحم فیه

Dalam 'Iqab Al-A'mal, (Al-Syaikh Al-Shadiq meriwayatkan) dengan sanadnya dari Abu 'Abdillah a.s. dari ayahnya dari leluhur-leluhurnya a.s. bahwa beliau (yaitu Nabi Saw.) berkata, “Orang yang membaca Al-Quran untuk mengeksploitasi orang, pada hari kiamat dia akan tiba dengan wajah yang tak berdaging. (2)

و بإسناده عن رسول الله، صلّی الله علیه و آله، فی حدیث قال: من تعلّم القرآن فلم یعمل به و آثر علیه حبّ الدّنیا و زینتها، استوجب سخط الله، و کان فی الدّرجة مع الیهود و النّصاری الّذین ینبذون کتاب الله وراء ظهورهم. و من قرأ القرآن یرید به سمعة و التماس الدّنیا، لقی الله یوم القیامة و وجهه عظم لیس علیه لحم و زجّ القرآن فی قفاه حتی یدخله النّار و یهوی فیها مع من هوی. و من قرأ القرآن و لم یعمل به، حشره الله یوم القیامة أعمی، فیقول: یا ربّ، لم حشرتنی أعمی و قد کنت بصیرا. قال: کذلک أتتک آیاتنا فنسیتها و کذلک الیوم تنسی. [3] فیؤمر به إلی النّار. و من قرأ القرآن ابتغاء وجه الله و تفقّها فی الدّین، کان له من الثّواب مثل جمیع ما أعطی الملائکة و الأنبیاء و المرسلون. و من تعلّم القرآن یرید به ریاء و سمعة لیماری به السّفهاء و یباهی به العلماء و یطلب به الدّنیا، بدّد الله عظامه یوم القیامة و لم یکن فی النّار أشدّ عذابا منه، و لیس نوع من أنواع العذاب إلّا [و] یعذّب به من شدّة غضب الله علیه و سخطه.

ص: 615


1- 96. Ushủl Al-Kafi, Vol. II, h. 627, Kitab Fadhl Al-Qur'ân, bab al-nawâdir, hadis 1.
2- 97. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 837, Kitâb Al-Shalah, abwâb qira'ah Al-Qur'ân, Bab 8, hadis 7, Tsawab Al-A'mal wa ‘lgab Al-A'mâl, h. 329, 'Iqab Al-Musta'kil bi Al-Qur'ân,hadis 1.

و من تعلّم القرآن و تواضع فی العلم و علّم عباد الله و هو یرید ما عند الله، لم یکن فی الجنّة أعظم ثوابا منه و لا أعظم منزلة منه، و لم یکن فی الجنّة منزل و لا درجة رفیعة و لا نفیسة إلّا و کان له فیها أوفر النّصیب و أشرف المنازل

(Al-Syaikh Al-Shadiq meriwayatkan) dengan sanadnya bahwa Rasul Allah Saw. bersabda, “Barang siapa mempelajari Al-Quran tanpa berbuar sesuai dengannya, lebih mengutamakan kecintaan pada dunia beserta perhiasan-perhiasannya, dia patut mendapat murka Allah dan tergolong dalam kelompok Yahudi serta Nasrani

yang meninggalkan kitab suci Allah di belakang mereka. "Orang yang membaca Al-Quran demi kemasyhuran dan keuntungan duniawi, dia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dengan wajah tanpa daging, dan Al-Quran akan memukul belakang lehernya dan mencampakkannya ke dalam neraka bersama dengan orang-orang yang tercampak di dalamnya. “Orang yang membaca Al-Quran tanpa berbuat sesuai dengan-nya, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan buta. Dia akan berkata, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau bangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dulu melihat?' Allah akan berkata, 'Yang demikian itu karena ayat-ayat Kami telah sampai kepadamu, tetapi kamu melupakannya; maka hari ini kamu terlupakan.(1) Kemudian, dia akan diperintahkan masuk neraka. "Orang yang membaca Al-Quran demi Allah dan untuk dapat memahami agama, maka pahalanya seperti pahala semua malaikat, nabi, dan rasul. "Orang yang mempelajari Al-Quran demi berlagak, mencari kemasyhuran, menipu orang-orang bodoh, berlagak di hadapan

p: 616


1- 98. QS Tha Ha (20): 125.

orang alim, dan untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan duniawi, maka Allah akan mencerai-beraikan tulang-tulangnya pada hari kiamat dan tak ada seorang pun yang akan menerima siksaan yang lebih mengerikan di neraka melebihinya, dan tidak akan ada bentuk siksaan yang tidak akan diterimanya karena dahsyatnya

murka Allah atasnya dan ketidaksukaan Allah kepadanya. “Dan orang yang mempelajari Al-Quran dan rendah hati dalam mempelajarinya, mengajarkannya kepada makhluk-makhluk Allah dan mencari apa yang ada di sisi Allah, maka tidak ada yang akan menerima pahala yang lebih besar daripadanya di surga, juga tidak

ada yang akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripadanya. Tidak ada derajat, tidak ada kedudukan yang tinggi dan mulia yang tidak akan dicapainya dengan sepenuhnya.(1)

Tentang Makna Tartîl

Di antara adab membaca Al-Quran yang melahirkan pengaruh pada jiwa dan yang patut diikuti oleh orang yang membaca Al-Quran adalah tartil dalam membaca. Tartil, seperti yang disebutkan dalam berbagai hadis, mengandung arti tidak terlalu tergesa-tesa dan juga tidak terlalu lamban sampai-sampai kata-katanya terpisah-pisah satu sama lain.

عن محمّد بن یعقوب بإسناده عن عبد الله بن سلیمان، قال، سألت أبا عبد الله، علیه السّلام، عن قول الله تعالی: «وَ رَتِّلِ الْقُرْانَ تَرْتیلًا.» قال قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: تبیّنه تبیانا، (خ ل: تبیینا) و لا تهذّه هذّ الشّعر [و لا تنثره ] نثر الرّمل، و لکن أفزعوا قلوبکم القاسیة، و لا یکن همّ أحدکم آخر السّورة

Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanad-nya dari Abdullah ibn Sulaiman yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah a.s. mengenai firman Allah Taala, 'Dan baca-lah Al-Quran dengan tartil! (QS Al-Muzzammil (73): 4). Beliau menjawab, 'Amir Al-Mukminin a.s. berkata, (Itu berarti) jangan

membacanya seperti caramu membaca puisi (sehingga terlalu

p: 617


1- 99. Tsawab Al-A'mal wa ‘lgab Al-A'mal, hh. 332, 346, 337, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 837, Kitâb Al-Shalah, abwab qira'ah Al-Qur'ân, Bab 8, hadis 8.

cepat) dan juga jangan seperti caramu membaca prosa (yang lamban) sehingga kata-katanya tercerai-berai seperti pasir. Bacalah dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat menggugah hatimu yang tak berperasaan dan janganlah bertujuan agar cepat sampai di akhir surah.(1)

Tujuan kita tidak boleh asal selesai membaca Al-Quran dalam beberapa hari atau cepat menyelesaikan sebuah surah.

Orang yang mau membaca firman Allah dan mengobati hatinya yang tak berperasaan, menyembuhkan penyakitnya dengan obat Kitab Suci Ilahi, dan mendapatkan jalan untuk mencapai kedudukan-kedudukan ukhrawi dan derajat-derajat tinggi kesempurnaan dengan cahaya pemandu yang cemerlang dari alam gaib dan cahaya dari segala cahaya ini, mula-mula harus mempersiapkan sarana-sarana lahiriah dan batiniah serta mengikuti adab formal dan spiritual yang diperlukan. Hal itu artinya kita tidak boleh membaca Al-Quran dengan melalaikan makna-makna dan tujuan-tujuannya, perintah dan larangannya, serta teguran dan nasihatnya, seakan-akan ayat-ayatnya yang menguraikan sifat-sifat neraka dan siksaannya yang pedih atau sifat-sifat surga beserta karunia-karunianya, tidak menarik perhatian

kita. Kita sering mengabaikan adab lahiriah dan (adab batin berupa) kekhusyukan pikiran, bahkan adab lahiriah dan kekhusyukan batin kita lebih besar saat kita membaca buku cerita daripada mengaji kitab mulia Allah.

Dalam sebuah hadis, dianjurkan agar kita membaca Al-Quran dengan suara yang bagus disertai sentuhan kesedihan. (2) Al-Imam ‘Ali ibn Al-Husain a.s. biasa membaca Al-Quran dengan cara yang menarik sedemikian sehingga orang yang lewat akan berhenti untuk mendengarkan dan sebagian orang sangat tersentuh perasaannya sampai mereka jatuh pingsan karena mendengarkannya.(3) Adapun kita, suka menggunakan Al-Quran atau azan sebagai sarana untuk memamerkan suara merdu kita. Tujuan kita bukanlah membaca Al-Quran dan melaksanakan kewajiban ini. Kelicikan iblis dan hawa nafsu banyak jumlahnya dan sering menimbulkan kekacauan antara yang baik dan yang buruk. Kita harus berlindung kepada Allah dari tipu muslihat mereka.

p: 618


1- 100. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 614, Kitâb Fadhl Al-Qur'ân, bâb tartil Al-Qur'ân bi al-shaut al-hasan, hadis 1.
2- 101. Ibid., Vol. II, h. 614, Majma' Al-Bayan, Vol. X, h. 378.
3- 102. Ushul Al-Kafi, Vol. II, h. 615, hadis 4.

Mengangkat dan Membalikkan Kedua Tangan

Point

Hal lain yang tercantum dalam wasiat di atas adalah “Angkat dan balikkan kedua tanganmu dalam shalat”. Tampaknya, yang dimaksud di sini adalah mengangkat kedua tangan pada setiap takbir dalam shalat. Adapun maksud membalikkan kedua tangan adalah menghadapkan sisi dalam kedua tangan ke arah kiblat saat melakukan takbir. Mengangkat kedua tangan saat melakukan takbir jelas merupakan perkara yang disunnahkan (muştahabb). Tetapi, mungkin juga yang dimaksud di sini adalah mengangkat kedua tangan saat qunût (doa dalam shalat), sehingga “membalikkan kedua tangan” berarti menghadapkan sisi dalam kedua tangan ke arah langit. Para ahli fiqih-semoga Allah meridhai mereka-telah memfatwakan sunnahnya melakukan hal tersebut dalam qunût. Dalam hal ini, mereka telah

mengajukan dalil-dalil, meskipun agaknya hal semacam ini tidak memerlukan dalil mengingat praktik itu telah menjadi tradisi yang pasti dan disyariatkan dan tiadanya kemungkinan lain kecuali bentuk qunût yang seperti itu bagi semua orang yang melakukan qunût dalam shalat. Namun, bagaimanapun, kemungkinan pertama lebih mengena dalam wasiat ini (yakni, mengangkat kedua tangan dan menghadapkan sisi dalam keduanya ke arah kiblat dalam takbir-peny.).

Ketahuilah bahwa yang masyhur di kalangan ahli fiqih--semoga Allah meridhai mereka-adalah mustahabnya mengangkat kedua tangan dalam takbir, tetapi sebagian mereka mewajibkannya dengan bersandar pada sejumlah riwayat dan hadis berkenaan dengan ayat “Maka dirikanlah shalat demi Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsar 108]: 2). Menurut sejumlah riwayat itu, maksud dari wanhar dalam ayat tersebut adalah mengangkat kedua tangan saat takbir. Akan tetapi, lebih banyak lagi dalil yang menunjukkan kesunnahan (istihbâb) mengangkat kedua tangan saat takbir dan bukan kewajibannya (wujûb). Misalnya, hadis berkenaan dengan takbir yang diriwayatkan oleh Fadhl ibn Syadzan dari Imam 'Ali Al-Ridha a.s. dan hadis shahih dari 'Ali ibn Ja'far yang secara jelas menunjukkan tidak wajibnya mengangkat tangan saat takbir. Dengan demikian, sejumlah riwayat berkenaan dengan (QS Al-Kautsar (108): 2) yang secara zhahir menunjukkan

p: 619

kewajiban mengangkat kedua tangan dan sejumlah riwayat lain yang juga secara zhahir menunjukkan kesunnahan—di samping adanya berbagai qarînah lain-mendorong kita untuk menghukumi tindakan mengangkat kedua tangan saat takbir sebagai sunnah berdasarkan prinsip haml al-nashsh'ala al-zhâhir (mengikuti arti harliah suatu teks). Boleh jadi riwayat 'Ali ibn Ja'far di atas hanya menunjukkan kewajiban mengangkat kedua tangan saat takbir pada imam shalat, dan bukan pada makmum. Riwayat ini juga bisa merujuk pada keadaan imam dan makmum dalam shalat jamaah, tetapi tidak terkait secara langsung dengan orang yang shalat sendirian. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan antara kewajiban mengangkat kedua tangan saat takbir pada imam dan makmum serta orang yang shalat sendirian, dan kesunnahannya pada makmum untuk melakukannya. Hal ini misalnya terjadi dalam kewajiban membaca fatihah. Dalam shalat berjamaah, bacaan imam telah menggugurkan kewajiban membaca fatihah pada makmum.

Atas dasar itu, apa yang dikemukakan oleh sejumlah peneliti fiqih kontemporer bahwa mengangkat tangan saat takbir hanya diwajibkan pada imam dan bukan pada makmum bisa menyebabkan terjadinya (kerancuan) hami al-muthlaq'alâ al-muqayyad (menundukkan proposisi tak-terikat pada proposisi terikat). Akan tetapi, pendapat yang masyhur di kalangan ahli fiqih terdahulu maupun kontemporer dan berbagai qarinah eksternal dan internal semuanya menunjukkan kesunnahan mengangkat kedua tangan saat takbir. Barangkali bahasan yang demikian panjang di atas sudah melebihi porsi buku ini. Akan tetapi, meskipun mengangkat kedua tangan saat takbir ada- lah sunnah, sangat dianjurkan agar kita sebisa mungkin melakukannya, terlebih mengingat ada sebagian ulama yang mewajibkannya.

Maka dari itu, prinsip ihtiyâth (kehati-hatian dalam syariat) menuntut kita untuk tidak meninggalkannya.

Rahasia Mengangkat Kedua Tangan

Bagaimanapun, mengangkat kedua tangan saat takbir adalah perhiasan shalat, mengingat begitulah cara shalat Jibril a.s. dan para malaikat penghuni tujuh langit seperti yang terdapat dalam riwayat Al-Ashbagh

p: 620

ibn Nubatah dari ‘Ali ibn Abi Thalib a.s. Dinukil dari Al-Imam 'Ali Al-Ridha dalam kitab ‘llal Al-Syara'i' dan 'Uyûn Al-Akhbâr riwayat berikut:

"Diangkatnya kedua tangan dalam takbir untuk memperagakan ketundukan, kerendahan, dan kekhusyukan. Allah menginginkan agar saat mengingat-Nya seorang hamba bersikap, tunduk, merendah, dan khusyuk. Selain itu, mengangkat kedua tangan juga berperan untuk memantapkan niat dan memusatkan hati.”

Riwayat di atas sesuai dengan keterangan para ahli makrifat mengenai falsafah pengangkatan kedua tangan saat takbir sebagai upaya menyingkirkan selain Allah ke belakang, upaya mencabut duri-duri yang berada di jalan menuju Sang Kekasih, dan upaya melepaskan diri dari selain Allah agar ia dapat menjadi murni dan ikhlas untuk-Nya—tanpa sedikit pun memerhatikan kepada selain-Nya karena “keselainan" (al-ghairiyyah) di mata orang-orang yang masyuk ('usysyâq) dan pencinta adalah kemusyrikan. Dari situ, kemudian dia memulai miʻrâj ruhaninya yang hakiki dan safari menuju Allah. Safari dan mi'râj ini tidak akan terjadi tanpa menolak selain Allah dan keselainan” serta meninggalkan aku dan keakuan. Pada tujuh takbir sebelum shalat, kita sebenarnya mengoyak tujuh hijab alam fisik dan alam

malakût secara total. Setiap takbir dari tujuh takbir sebelum shalat para wali, ada pengoyakan satu hijab dan penolakan atas semua alam yang terdapat pada masing-masing hijab beserta seluruh penghuninya yang berputus. Kemudian, tersingkaplah satu hijab lain dan termanifestasi dalam hati mereka sebuah manifestasi (Allah) yang terikat, maka mereka kembali mengoyakkannya dengan takbir agar duri tercerabut dari jalan. Mereka tidak puas dengan alam di balik satu hijab

dan penghuninya, seakan-akan lubuk hati mereka berseru Allahu Akbar (Allah lebih besar) dari kemungkinan memanifestasikan Diri dalam manifestasi yang terikat. Begitulah seruan penghulu para wali dan orang-orang ikhlas, khalil al-rahmân (kekasih Allah), Nabi Ibrahim a.s. dalam perjalanan ‘irfan syuhûdî-nya menuju Allah. Seorang pesuluk menuju Allah, pejalan di pelataran Sang Kekasih dan majdzûb (terserap) ke arah pertemuan dengan Buah Hati akan mengoyak segenap hijab satu demi satu hingga sampai pada takbir terakhir untuk memasuki shalat manakala ia mulai mengoyak hijab ketujuh dan

p: 621

menolak selain-Nya dan keselainan. Lalu berkatalah dia, «إِنِّی وَجَّهْتُ وَجْهِیَ لِلَّذِی فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِیفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِکِینَ (79)»

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (QS Al-An'âm (6): 79). Begitulah Nabi Ibrahim a.s., sang kekasih Allah, berujar. Selanjutnya, terbukalah baginya berbagai pintu dan terungkaplah nuansa-nuansa Keagungan Ilahi, dan berlindunglah ia dari setan yang terkutuk dan mulailah ia membaca basmalah.

Muhammad ibn 'Ali ibn Al-Hasan r.a. mengisyaratkan hal tersebut dalam riyawat yang bersanadkan kepada Imam 'Ali ibn Abi Thalib bahwa takbir mempunyai sebab lain, “Manakala Baginda Nabi Saw. melakukan perjalanan ke langit, beliau mengoyakkan tujuh lapis hijab dan setiap kali satu hijab terkoyak, beliau bertakbir sampai Allah mengantarkan beliau mencapai puncak karâmah (kemuliaan).” Dalam hadis lain yang serupa dari Imam Musa Al-Kazhim, dituturkan bahwa Husyam r.a. bertanya, “Mengapa tujuh kali takbir menjelang shalat lebih afdal?” Imam Musa menjawab, “Allah menciptakan langit berlapis tujuh, bumi berlapis tujuh, dan hijab berlapis tujuh. Manakala Baginda Nabi Saw. melakukan perjalanan ke langit dan berada sedekat jarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi, Allah mengangkat satu hijab dari hijab-hijab-Nya. Lalu, Rasulullah Saw. bertakbir dan berucap seperti ucapan yang disebutkan saat menjelang shalat. Ketika hijab kedua terangkat, beliau juga bertakbir dan demikian seterusnya sampai tujuh hijab dan beliau bertakbir sebanyak tujuh kali. Maka, karena itulah kita bertakbir tujuh kali menjelang shalat.”

Hadis ini lebih selaras dengan intuisi dan pendapat 'irfân dibanding dengan hadis sebelumnya, yakni bahwa mengangka setiap tangan dalam setiap takbir berarti pengoyakan hijab, penyingkiran tabir, dan pemunculan cahaya dari cahaya-cahaya karamah. Dan karena cahaya ini sebetulnya adalah sejenis hijab-hijab cahaya (hujub nûrâniyyah), pengangkatan tangan itu mengisyaratkan pemutusan ikatan dan pengoyakan hijab. Begitulah seterusnya hingga Zat Ilah: termanifestasi dan pelaku shalat sampai pada puncak karâmah (kemuliaan) sebagai

p: 622

tujuan seluruh cita-cita para wali. Jadi, kita bisa menafsirkan riwayat sebelumnya dengan mengacu pada makna riwayat ini. Walhasil, kita masih terhalang untuk memahami makna-makna di atas, apalagi untuk menyaksikan atau sampai ke sana. Pasalnya, kita senantiasa menolak semua maqâm dan derajat ini, dengan mengira bahwa shalat dan mi'raj para wali sama saja dengan shalat dan mi'raj kita; kesempurnaan amal mereka sama saja dengan kesempurnaan amal kita. Alhasil, kita menduga bahwa shalat para wali lebih baik daripada kita hanya dalam segi bacaan, pelaksanaan adab dan syarat, tidak mengandung syirik, ria dan ujub, atau bahwa ibadah para wali bukan karena takut neraka atau rakus pada surga, dan tidak lebih dari itu. Padahal, shalat dan mi'raj ruhani para wali mempunyai tingkat-tingkat yang demikian tinggi sehingga tak tercerap oleh imajinasi kita.

Peringatan tentang Tipuan Setan

Kesimpulan masalah di atas adalah bahwa penghalang paling buruk untuk mencapai kesempurnaan dan maqam-maqâm ruhani serta jebakan setan yang sering memotong di tikungan adalah penyangkalan atas adanya pelbagai maqâm serta tahap gaib dan spiritual. Penyangkalan ini ialah pangkal semua kesesatan dan kejahilan, penyebab kemandegan dan kemunduran, pembunuh semangat kerinduan yang menjadi kendaraan manusia menuju puncak kesempurnaan dan pemadam

api kecintaan yang menjadi pengantar mi'raj ruhani dan pendorong kesempurnaan manusia. Dengan begitu, pada akhirnya semua pencarian ruhani manusia bakal terbengkalai dan terhenti. Sebaliknya, bilamana seseorang meyakini pelbagai maqâm ruhani dan peringkat ‘irfan tersebut, keyakinan ini akan menyulut api gairah

manusia (pada segenap kesempurnaan Ilahi) yang selama ini masih terpuruk di bawah tumpukan hasrat egoistis dan memancarkan cahaya kerinduan dalam hatinya. Sedikit demi sedikit dan setapak demi setapak, manusia yang demikian akan terlecul untuk mencari (segenap kesempurnaan Ilahi) dan bangkit melakukan jihâd (melawan ego) sampai ia terliputi oleh hidayah dan karunia Allah Swt., dan segala puji bagi-Nya.

p: 623

Fadilah Siwak

Ketahuilah bahwa wasiat Baginda Nabi Saw. “Gunakanlah siwak (sikat gigi) setiap kamu hendak melakukan wudhu” merupakan adab syariat yang disunnahkan secara umum. Sunnah ini menjadi muakkad dalam beberapa kondisi, semisal sebelum wudhu, sebelum shalat, menjelang membaca Al-Quran, pada waktu fajar dan setelah bangun tidur. Banyak riwayat menekankan tindakan ini, dengan menyebutkan sejumlah besar pengaruh positinya. Di sini, kami hanya akan menyebutkan

beberapa di antara sekian banyak riwayat seputar hal ini. Dalam Al-Kafi, dengan sanad dari Imam Ja'far Al-Shadiq, Al- Kulaini meriwayatkan hadis berikut ini, “Dalam siwak, ada dua belas keutamaan: ia merupakan sunnah Nabi; membersihkan mulut; menajamkan mata; meridhakan Allah; menghilangkan lendir; menguatkan ingatan; memutihkan gigi; melipatgandakan kebaikan; menghilangkan sariawan (gigi); mengukuhkan gusi; meningkatkan selera; dan menyenangkan para malaikat.” Terdapat juga hadis lain dengan kandungan yang sama. Karat yang tercantum dalam hadis di atas adalah infeksi yang terjadi pada akar gigi akibat karat. Dalam ilmu kedokteran, penyakit ini disebut sebagai pyorrhea yang bisa menyebabkan keluarnya nanah dan bengkak. Jika bercampur dengan makanan, penyakit ini bisa mengakibatkan pelbagai penyakit lain, seperti gangguan pencernaan dan sebagainya. Untuk menyembuhkan penyakit ini, kadang-kadang dokter terpaksa mencabut gigi yang terinfeksi. Terlepas dari pelbagai manfaat batin dan gaibnya, yang tertinggi darinya adalah keridhaan Allah, manusia harus membiasakan diri menggunakan siwak yang berguna bagi kesehatannya dan membersihkan giginya, serta mengikut jejak sunnah para rasul.

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja'far Al-Shadiq, disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Jibril mengingatkanku untuk bersiwak hingga aku khawatir akan keadaan gigiku.” Rasulullah Saw. bersabda, “Sekiranya aku tidak khawatir memberatkan umatku, akan aku suruh mereka bersiwak setiap wudhu untuk setiap shalat.” Dalam hadis riwayat Imam Ja'far, “Jika Rasulullah

p: 624

hendak shalat isya, beliau bersiwak lalu berwudhu kemudian beliau tidur beberapa saat. Sebangun dari tidur, beliau bersiwak, berwudhu, dan melakukan shalat empat rakaat lalu tidur keinbali. Beberapa saat kemudian, beliau bangun dari tidur, bersiwak, berwudhu, dan melakukan shalat, Lalu, beliau membacakan ayat Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu telah ada suri teladan yang baik bagi kalian ... (QS Al-Ahzâb (33): 21)."

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja'far Al-Shadiq disebutkan, “Dua rakaat dengan siwak lebih baik daripada tujuh puluh rakaat tanpa siwak.” Dalam hadis Al-Ma'la ibn Khunais, “Aku bertanya kepada Imam Ja'far Al-Shadiq tentang bersiwak setelah wudhu. Beliau berkata, 'Bersiwaklah sebelum wudhu.' Aku berkata, 'Bagaimana kalau lupa hingga selesainya wudhu?' Beliau menjawab, 'Bersiwaklah dan berkumurlah tiga kali." Riwayat-riwayat seputar masalah ini banyak sekali. Jika Anda mau lebih menelaah masalah ini, silakan rujuk buku-buku para sahabat kami.

Prinsip-prinsip Akhlak Mulia dan Akhlak Buruk di Akhir Wasiat Rasulullah

Meskipun beberapa kali dalam beberapa topik kami telah membahas watak-watak jiwa secara panjang lebar dan cara memiliki akhlak terpuji dan menjauhi akhlak tercela secara sedehana dan dalam batas yang relevan dengan konteks yang ada, di sini kami ingin memaparkan suatu penjelasan menyeluruh berkaitan dengan topik ini. Ketahuilah bahwa sikap (tunggal: khulą; jamak: akhlâq) adalah ungkapan tentang keadaan jiwa (hâlah nafsâniyyah) yang dapat mendorong manusia bertindak tanpa pertimbangan dan perenungan. Misalnya, orang yang bersikap dermawan (sakhâ') akan terdorong untuk bermurah hati dan memberi tanpa perlu menyusun sejumlah rencana atau membuat sejumlah pertimbangan. Sikap ini ada yang menetap sehingga mirip dengan perilaku alamiah manusia seperti melihat

dan mendengar. Demikian pula halnya dengan jiwa yang berakhlak "iffah (pertarakan) akan berpembawaan 'afif (menahan diri dari nafsu

p: 625

atau sopan). Sebelum jiwa mencapai tingkat seperti ini lewat perenungan, pertimbangan dan pelatihan, ia takkan memiliki kesempurnaan dan kematangan yang kukuh. Dalam kondisi itu, akhlak yang luhur dikhawatirkan akan mudah menghilang dan digantikan dengan akhlak yang buruk. Tetapi, apabila akhlak telah menjadi setingkat dengan perilaku alamiah dalam diri manusia dan menjadi layaknya pelbagai daya dan kemampuan kodrati sehingga menjadi sangat dominan dan mantap, ia tidak akan mudah hilang acau luntur. Sebagian pakar akhlak berpendapat bahwa keadaan dan sikap jiwa ini ada yang telah menjadi alamiah dan fitri pada manusia, entah akhlak itu baik dan luhur atau buruk dan berbahaya. Seperti umum diketahui bahwa ada sebagian orang yang sejak kecil telah cenderung pada keluhuran, ada yang cenderung pada keburukan, ada yang cepat bereaksi, ada yang mudah khawatir, ada yang gampang takut, dan sebagian lain lagi ada yang sama sekali berbeda dengan semua itu. Sebagian sikap kejiwaan ini ada yang berasal dari pembiasaan, pergaulan, perenungan dan pertimbangan, serta ada pula yang hanya berasal dari perenungan dan pendidikan hingga menjadi malakah (watak).

Terdapat perselisihan sengit di kalangan para pakar akhlak seputar masalah di atas, tapi di sini kami tidak mempunyai kesempatan untuk membahasnya karena akan mencegah kita mendalami pokok masalah yang sebenarnya. Maka dari itu, kami hanya memberikan pengantar yang relevan dengan buku ini. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa ungkapan "akhlak ada yang menjadi alamiah dan fitri pada jiwa manusia” bukanlah bertujuan untuk menyatakan bahwa "ia bersifat esensial dan tak mungkin diubah”. Sebaliknya, semua watak dan sikap jiwa bisa diubah dan diperbaiki selagi jiwa itu masih hidup di alam gerak dan perubahan yang tunduk pada dimensi waktu dan pembaruan serta memiliki materi dan potensi. Di alam yang demikian itu, manusia tetap mampu untuk mengubah segenap wataknya.

Pelbagai dalil deduktif dan induktif, ajakan para nabi beserta pelbagai syariat yang mereka kemukakan untuk berakhlak dengan sifat-sifat terpuji dan menjauh dari akhlak yang buruk, menunjukkan kebenaran pernyataan di atas.

p: 626

Para pakar akhlak menegaskan bahwa segenap keutamaan akhlak berpangkal pada empat perkara: kebijaksanaan (hikmah); keadaan bertarak dan menahan diri ("iffah); keberanian (syaja'ah) dan keseimbangan atau keadilan (adalah). Mereka meletakkan kebijaksanaan sebagai keutamaan bagi jiwa penghasil pikiran (al-nafs al-nâthiqah) yang membedakan manusia dari selainnya, keberanian sebagai keutamaan bagi jiwa penghasil amarah (al-nafs al-ghadhabiyyah), menahan diri seba-

gai keutamaan bagi jiwa penghasil nafsu (al-nafs al-syahwiyyah) dan keseimbangan sebagai pemelihara ketiga keutamaan tersebut. Menurut mereka, semua keutamaan dan kesempurnaan jiwa bersumber pada empat perkara di atas. Lagi-lagi, ukuran buku ini tidak mendukung kita untuk membahas semua itu secara rinci, selain juga kemampuan orang-orang macam kita tidak memungkinkan kita untuk menyelami topik semacam ini.

Yang harus kita pahami dan yang tersurat dari hadis Baginda Nabi “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan-kemuliaan akhlak (makârim al-akhlâq)” adalah bahwa penyebab di utusnya para nabi dan tujuan dakwah Nabi Terakhir Saw. adalah penyempurnaan akhlak. Banyak hadis yang menunjukkan perhatian besar terhadap masalah kemuliaan akhlak, baik dengan ungkapan yang rinci maupun global, lebih dari masalah-masalah lainnya kecuali masalah-masalah menyakut makrifat ketuhanan. Dengan bantuan Allah, kami akan menyebutkan beberapa di antara sekian banyak hadis itu di sini. Signifikansi masalah kemuliaan akhlak di atas kemampuan kita untuk menerangkannya. Akan tetapi, hal yang bisa kami katakan di sini bahwa dasar kehidupan abadi di akhirat dan modal hidup di alam sana adalah watak yang luhur dan kemuliaan akhlak. Surga yang diberikan kepada manusia sebagai akibat dari wataknya yang mulia, yakni surga yang bernama Surga Sifat (jannah al-shifát), jauh lebih utama dibandingkan dengan surga yang didapatnya sebagai akibat dari amal-amal fisiknya-meskipun pada surga

yang terakhir ini semua yang lezat dan enak muncul dalam bentuk yang melebihi karunia-karunia materiil dan fisik. Demikian pula kegelapan dan kengerian (di neraka) yang diakibatkan oleh watak-watak buruk merupakan siksaan yang paling pedih.

p: 627

Selama masih hidup (di alam ini), manusia berpeluang untuk mengentaskan dirinya dari gelombang kegelapan itu menuju ke alam yang penuh cahaya. Memang kita bisa mencapai alam yang penuh cahaya itu, tetapi tidak dengan kebekuan, keengganan, kemalasan, dan ketakpedulian yang menimpa kita ini. Semua sudah tahu bahwa sejak masa kanak-kanak, kita tumbuh bersama watak yang tercela dan perilaku yang menyimpang sebagai dampak dari lingkungan buruk berupa salah asuhan dan pergaulan yang tak patut. Lalu, kita memelihara semua itu dan menambahkan pada sifat-sifat buruk itu dosa demi dosa, seakan-akan kita tidak meyakini adanya alam akhirat dan kehidupan lain yang abadi. Keadaan kita seperti dalam ungkapan syair berikut: Celakalah aku bila setelah hidup ini ada kehidupan lain!

Seolah-olah dakwah para nabi a.s. tidak bersangkut paut dengan kita, sampai kita tidak tahu lagi akan dibawa ke mana kita oleh akhlak dan perilaku buruk yang demikian ini? Dalam bentuk seperti apa kita akan dibangkitkan kelak di hari kiamat? Ketika kita mulai insaf dan bangkit, kita sadar bahwa kesempatan telah lewat. Tinggallah penyesalan dan rintihan yang menjadi nasib kita. Pada saat itu, tiada yang perlu kita caci kecuali diri kita sendiri.

Para nabi a.s. telah meletakkan peta menuju pada kebahagiaan di hadapan kita, dan para ahli ilmu dan ahli hikmah telah menafsirkan ucapan-ucapan mereka untuk kita. Mereka juga telah menjelaskan dan memahamkan kepada kita beragam metode untuk menyembuhkan penyakit-penyakit batin, tetapi kita menghindarkan diri untuk mencerapnya dan berpaling dari semua petunjuk dan pernyataan mereka. Maka dari itu, semua caci maki mesti diarahkan kepada kita, seperti sabda Baginda Nabi Saw. “Jika kamu tidak melakukannya, jangan salahkan orang lain kecuali dirimu.” Sungguh begitu banyak hadis yang menekankan pentingnya kemuliaan akhlak dan memperingatkan kita agar tidak berpaling darinya, tetapi kita etap saja lupa dan lalai untuk menelaahnya kembali.

Oleh sebab itu, Saudaraku, kalau engkau mau mempelajari berbagai hadis dan riwayat, kajilah kitab-kitab kumpulan hadis terutama kitab Al-Kafi, supaya kamu mengetahui tingkat perhatian orang-orang maksum terhadap akhlak yang luruh. Sekiranya kamu

p: 628

termasuk orang yang suka penjelasan akademis dan kata-kata para ilmuwan, rujuklah buku Thahârah Al-A'râq, karya Ibn Miskawaih dan karya-karya almarhum Faidh Al-Kasyani, Al-Majlisi, Mahdi ibn Abu Dzar Al-Kasyani Al-Naraqi dan anaknya, Ahmad ibn Mahdi Al-Naraqi. Semua itu agar engkau memahami pengaruh-pengaruh dan dampak-dampak dari kemuliaan akhlak. Tetapi, kalau engkau merasa tidak perlu keutamaan atau tidak perlu menjauh dari akhlak yang buruk,

cobalah untuk menyembuhkan kebodohanmu yang merupakan induk semua penyakit.

Sebelum mengakhiri bahasan ini, baiklah kiranya kita bertabaruk dengan menyebutkan sejumlah hadis mulia seputar pokok masalah ini. Dalam kitab Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqih, dengan sanad dari Imam Ja'far Al-Shadiq, tercantum hadis berikut ini, “Allah mengkhususkan Rasul-Nya (Muhammad) Saw. dengan puncak kemuliaan akhlak, karenanya ujilah diri kalian dengan kemulian-kemuliaan itu. Jika kalian menemukannya ada pada jiwa kalian, pujilah Allah dan mintalah ke-

pada-Nya untuk menambahkannya kepadamu." Kemudian, Imam Ja'far Al-Shadiq menyebutkan beberapa di antara kemuliaan akhlak tersebut, yakni: keyakinan, keadaan merasa cukup (gana'ah); kesabaran (shabr); bersyukur, ketabahan (hilm); sikap yang baik (husn al-khulq); kedermawanan (sakhâ'); kecemburuan dalam kebaikan; keberaniaan dan kesatriaan (muruwwah). Hadis ini dinukil melalui beberapa jalur. Tetapi, dalam kitab Ma'âni Al-Akhbâr, sebagai ganti kata ketabahan (hilm) disebutkan kata keridhaan (ridhâ). Al-Faidh Al-Kasyani dalam kitab Al-Wafi menyebutkan hadis di atas dengan sedikit perbedaan (redaksi).

Dalam kitab Al-Majális, dengan sanad dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s., disebutkan bahwa, “Berpeganglah pada kemuliaan-kemuliaan akhlak karena sesungguhnya Allah menyukainya. Dan hati-hatilah dari perilaku-perilaku tercela karena Allah membencinya.” Hadis ini berlanjut sampai Imam Ja'far berkata, “Berpeganglah sikap yang baik (husn al-khula) lantaran itu akan mengantarkan penyandangnya ke derajat orang yang berpuasa dan melakukan shalat.” Dalam Al-Kafi, dengan bersandar pada sanad Imam Muhammad Al-Baqir a.s., disebutkan, “Paling sempurnanya iman seorang Mukmin

p: 629

adalah yang paling mulia akhlaknya.” Dan dengan bersandar pada sanad Imam ‘Ali ibn Husain Zainal Abidin a.s., disebutkan, “Rasulullah Saw. bersabda, 'Tiada yang lebih baik untuk diletakkan pada timbangan seorang Mukmin melebih akhlak yang mulia."" Dan dengan bersandar pada sanad Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. disebutkan, “Rasulullah Saw. bersabda, 'Hal yang paling banyak memasukkan umatku ke surga adalah ketakwaan dan kemuliaan akhlak."

Dengan bersandar pada sanad Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. disebutkan, “Kebaktian (al-birr) dan kemuliaan akhlak memakmurkan negara dan memanjangkan usia.” Dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.ş. disebutkan, “Allah Swt. akan mengganjar seorang hamba karena berakhlak baik dengan pahala yang sepadan dengan orang yang berjihad di jalan Allah sampai ia meninggal dunia.” Dan masih banyak lagi hadis lain seputar topik ini.

Sebagaimana kemuliaan akhlak melahirkan kesempurnaan iman, memberatkan timbangan (amal baik), menyebabkan masuk surga, demikian pula keburukan akhlak merusak iman dan memasukkan penyandangnya ke neraka. Begitulah yang diisyaratkan oleh beberapa hadis berikut ini. Dalam Al-Kâfi, dengan bersandar pada sanad Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. disebutkan, “Akhlak buruk akan merusak amal (baik) seperti cuka merusak madu." Dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s.

disebutkan, “Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak berkenan menerima tobat orang yang berakhlak buruk.' Lalu beliau ditanya, 'Mengapa demikian, ya Rasulullah?' Rasulullah menjawab, “Kalau dia diampuni dari satu dosa, dia akan terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar.” Dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s. disebutkan, “Siapa yang berakhlak buruk berarti telah menyiksa dirinya sendiri.” Dan jelas, akhlak yang buruk akan menyiksa diri penyandangnya secara terus-menerus dan menyebabkan siksaan dan kegelapan yang bertumpuk. Hal ini sebelumnya telah kita terangkan saat kita memberikan syarah beberapa hadis yang lalu. Segala puji bagi Allah, di awal dan di akhir, []

p: 630

30 Hadis tentang Bagian-Bagian Hati

Point

بسندی المتّصل إلی ثقة الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن عدّة من أصحابنا، عن أحمد بن محمّد بن خالد، عن أبیه عن هارون بن الجهم، عن المفضّل، عن سعد، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: إنّ القلوب أربعة: قلب فیه نفاق و إیمان، و قلب منکوس، و قلب مطبوع، و قلب أزهر أجرد. فقلت: ما الأزهر؟ قال: فیه کهیئة السّراج. فأمّا المطبوع فقلب المنافق، و أمّا الأزهر فقلب المؤمن: إن أعطاه شکر، و إن ابتلاه صبر. و أمّا المنکوس فقلب المشرک، ثمّ قرأ هذه الآیة: «ا فَمَنْ یَمْشی مُکِبّاً عَلی وَجْههِ أَهْدی أَمَّنْ یَمْشی سَوِیّا علی صِراطٍ مُسْتَقیم.» [1] فأمّا القلب الّذی فیه إیمان و نفاق، فهم قوم کانوا بالطّائف. فإنّ أدرک أحدهم، أجله علی نفاقه هلک، و إن أدرکه علی إیمانه نجاادرکاحد اجله علی نفاقه ملک ، وان أثره علی ایمانه نجا (1)

Dengan sanadku yang bersambung hingga ke Tsiqah Al-Islâm, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini r.a., dari sejumlah sahabat kami, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari bapaknya, dari Harun ibn Jahm, dari Mufadhdhal, dari Sad, dari Abu Ja'far a.s., "Sesung-

p: 631


1- 1. Ushủl Al-Kafi, jilid II, kitâb îmân wa al-kufr, bab tentang kegelapan hati.

guhnya hati terbagi menjadi empat. Pertama, hati yang menyimpan kemunafikan (nijâq) dan keimanan; kedua, hati yang terbalik; ketiga, hati yang gelap (mathbû'); serta keempat, hati yang cemerlang dan bersih.” Perawi bertanya, “Apakah artinya hati yang cemerlang?" Imam menjawab, “Hati yang cemerlang adalah seperti pelita. Adapun hati yang gelap adalah hati yang kotor dan tertutup. Hati yang cemerlang adalah hati orang Mukmin. Jika diberi kenikmatan, ia bersyukur; dan jika diuji dengan cobaan, ia bersabar. Hati yang terbalik adalah hati orang musyrik." Kemudian, Imam membaca ayat Maka apakah orang yang berjalan terjungkal

di atas mukanya itu lepih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus. “Adapun hati yang di dalamnya terdapat keimanan dan kemunafikan adalah hati segolongan orang dari Thaif. Apabila ajal menjemput mereka pada saat hati mereka niſâu, celakalah mereka; dan jika kematian tiba

pada saat mereka dalam keadaan beriman, selamatlah mereka."

Al-mankûsh artinya terbalik (maqlüb). Dikatakan (artinya: aku membalikkan sesuatu). Sementara itu, dalam kitab Al-Shihah disebutkan di (bayi yang keluar kedua kakinya sebelum kepalanya (sungsang]). Jadi, arti kata yang dikutip oleh Imam a.s. dari Surah Al-Mulk (67) ayat 22 mendekati makna itu karena arti si adalah

terbalik. Makna ini mengisyaratkan hati orang-orang musyrik yang terbalik, lantaran perjalanan (ruh) mereka tidak berada pada jalan yang lurus. Insya Allah, masalah ini akan kami terangkan secara lebih terperinci.

Al-Mathbû bisa berarti (disegel). Jika diberi sukun pada huruf thâ’, artinya disegel; dan jika huruf thâ' diberi fathah berarti (noda atau kotoran). Jika Al-Mathbû' diartikan dengan disegel, ia mengisyaratkan tidak masuknya kalimat Allah ke dalam hati mereka dan mereka tidak dapat menerima ucapan kebenaran tersebut. Na-

mun, hal ini tidak berarti bahwa Allah menutup anugerah dan rahmat-Nya pada hati mereka. Walaupun makna yang terakhir itu juga benar, arti yang disebutkan pertama tadi lebih tepat. Al-Azhar artinya putih dan bercahaya sebagaimana yang ada dalam kitab Al-Nihâyah. Dalam kitab Al-Shihậh, kata itu diartikan ut (yang

p: 632

bercahaya), sebagaimana dikatakan men (matahari dan bulan yang bercahaya). Oleh karena itu, Ibn Sikkit menyebut matahari dan bulan dengan الازهران; laki-laki yang putih dan berwajah cerah dinamakan ازهر dan wanitanya dinamakan dengan الزهراء. Al-Ajrad berartive الذینَ فی بَدَنِه شَعرٌ (orang yang badannya tidak ada bulunya sama sekali). Di dalam kitab Al-Shihah, kata ini diartikan dengan al-jurd (ladang yang tidak ada tanamannya sama sekali). Hal ini dimaksudkan sebagai isyarat tidak adanya ikatan dengan dunia, atau sebagai isyarat tentang kebersihan dan kesucian hati.

Dorongan Memperbaiki Diri

Dalam syariat Islam dan peristilahan para ahli hikmah (hukamâ') dan ahli makrifat ('urafâ'), hati atau kalbu memiliki banyak arti. Namun, menerangkan hakikat, istilah-istilah, dan tingkatan-tingakatan hati yang sangat beragam bukan tempatnya di sini, di samping juga kurang begitu bermanfaat. Oleh karena itu, kami tidak akan memaparkan semua itu di sini. Cukuplah kita menerangkan masalah hati secara umum sebagaimana yang telah diterangkan dalam hadis di atas.

Harus diketahui bahwa memperbaiki hati lebih penting daripada kajian tentang hakikat hati itu sendiri dan lebih penting daripada membuat istilah-istilah yang berkaitan dengannya, karena baik dan rusaknya hati merupakan pangkal kebahagiaan dan kesengsaraan manusia.(1)

Alangkah banyaknya orang yang tenggelam dalam istilah serta berupaya memahami definisi, tetapi akhimya lupa akan hatinya sendiri dan tidak memperbaikinya.

Banyak pakar yang hebat dalam menerangkan hakikat, definisi, dan istilah-istilah para hukama' dan 'urafâ' seputar hati, tetapi hatinya sendiri terbalik dan kotor. Ibarat orang yang tahu dan mampu menerangkan pengaruh obat-obatan yang berbahaya dan berguna, tetapi orang itu tidak menjauhi obat yang berbahaya dan tidak menggunakan obat yang berguna. Orang semacam ini, meskipun memiliki ilmu tentang obat-obatan, akhirnya mati sengsara dan ilmu pengetahuannya tidak menjadikannya berbahagia. Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa semua ilmu adalah untuk diamalkan, termasuk ilmu ketuhanan. Meskipun ilmu itu bersifat

p: 633


1- 2. Perlu diketahui bahwa maksud penjelasan ini tidak berarti bahwa ilmu akhlak dan penyelamat hati tidak penting, tetapi yang dimaksudkan adalah bahwa ilmu tersebut harus dianggap sebagai permulaan dan mukadimah yang kemudian diamalkan dan bukannya sebagai tujuan yang utama sehingga kita hanya mempergunakan umur kita untuk mengumpulkan istilah-istilah dan berhenti pada mukadimahnya.

teoretis, ia berdampak secara praktis dalam kehidupan seseorang. Ilmu tentang keadaan, kualitas, kesehatan, penyakit-penyakit, kebaikan, dan keburukan hati adalah pendahuluan untuk melakukan tindakan penyembuhan dan perbaikan hati. Sekadar memahami dan menguasai ilmu hati tidak termasuk dalam kesempurnaan manusia. Untuk itu, hendaklah manusia menjadikan perbaikan dan penyempurnaan hati sebagai tujuan utamanya sehingga ia dapat meraih puncak kebahagiaan dan tahapan-tahapan tertinggi di alam gaib.(1) Apabila ia pandai dan banyak mengetahui hakikat dan bagian-bagian pelik hati, tentu harapan utamanya dalam perjalanannya di alam raya (al-afâq) dan alam jiwa (al-anfus) adalah memperbaiki peri keadaan jiwanya. Jika ia termasuk dalam golongan orang yang celaka, segera ia akan memperbaikinya; dan jika ia termasuk dalam golongan orang yang selamat, ia akan berusaha menyempurnakannya.

Dasar Pembagian Hati dan Tingkatan-Tingkatannya

Ketahuilah bahwa pembagian hati yang ada dalam hadis di atas adalah pembagian hati secara universal dan umum. Setiap bagian itu sendiri memiliki peringkat dan derajat, baik dari segi kemusyrikan dan kemunafikan ataupun dari segi keimanan dan kesempurnaannya. Namun, yang jelas, pembagian hati ini berasal dari pengejawantahan dan geraknya. Gerak yang dimaksud adalah gerak spiritual, bukan gerak yang berangkat dari ſitrah dan pembawaan-asal manusia sehingga

tidak terjadi kontradiksi antara hadis yang memilah-milah keadaan hati di atas dan hadis fitrah yang menjelaskan bahwa setiap bayi yang lahir sudah memiliki fitrah yang bertauhid. Syirik dan nifaq adalah dua hal aksidental dan bukan substansial, meskipun pendapat yang menerangkan bahwa syiriti dan nifaq bisa pula menjadi fitrah juga benar adanya. Namun, menurut beberapa keterangan, keduanya memfitrah dalam kondisi pendidikan dan lingkungan sosial tertentu sehingga pendapat ini tidak meniscayakan fatalisme yang absurd dan terhindar pula dari pertentangan antara riwayat tentang fitrah dan riwayat yang sedang kita bahas ini Namun, asumsi pertama lebih layak diterima dan lebih mendekati kebenaran: bahwa gerak spiritual adalah sumber keberagaman

p: 634


1- 3. Tahapan tinggi ghaibiyyah adalah satu tahapan yang di dalamnya manusia dapat mengetahui hal-hal gaib yang tak dapat diketahui oleh manusia biasa-penerj.

hati. Sebelum ini juga telah kita sebutkan bahwa selagi manusia berada di alam materi..yaitu alam materiil dan perupahan substansial, formal, dan aksidental-ia masih tetap dapat menyelamatkan diri dari segala kekurangan, kesengsaraan, kemusyrikan, kemunafikan, dan sampai pada tahapan kesempurnaan dan kebahagiaan ruhani.(1) Makna di atas tidak bertentangan dengan hadis masyhur berikut:

«الشّقیّ شقیّ فی بطن أمّه

“Orang yang celaka adalah celaka sejak dari perut ibunya.(2) Karena hadis tersebut tidak berarti bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan adalah dua hal esensial yang tidak bisa disusun-ulang-dengan susunan kompleks (ja‘l murakkab). Menurut burhân (demonstrasi) yang telah dijelaskan pada tempatnya, kesengsaraan bersumber pada kekurangan dan noneksistensial, sedangkan kebahagiaan bersumber pada kesempurnaan dan eksistensi pohon yang baik, yakni Eksistensi Zat Tuhan Yang Mahasuci. Demonstrasi itu bisa didasarkan pada metode Nashiruddin Thusi—yang bertumpu pada hukum sebab akibat—atau didasarkan pada metode Mulla Shadra—yang bertumpu pada pantulan cahaya dan Sumber cahaya atau kesatuan dan keberagaman. Dengan demikian, semua kekurangan dan noneksistensi ('adam) merupakan buah dari pohon buruk mâhiyyah (gagasan subjektif-relatif manusia) yang berada di bawah tingkat jal (susunan alam raya). Dapat juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "perut ibu” sebagai wadah kebahagian dan kesengsaraan dalam hadis di atas adalah alam materiil-fisik yang menjadi wadah bagi benda materiil dan transformasi alam itu sendiri. Perut ibu ini tidak dapat diartikan sebagaimana lazimnya, yakni rahim ibu karena makna harfiah riwayat tersebut adalah kebahagiaan aktual dalam perut ibu. Padahal, kebahagiaan yang merupakan kesempurnaan dan aktualitas tidak terjadi secara benar-benar aktual pada jiwa yang masih bersifat potensial (dalam rahim ibu), tetapi kebahagiaan itu hanyalah besifat potensial dan kesiapan.

p: 635


1- 4. Raihâniyyah adalah kesan atau satu tanda yang dihasilkan oleh sâlik (orang yang menempuh jalan ruhani) setelah melakukan riyâdhah (latihan-latihan dalam pengekangan hawa nafsu). Raihâniyyah juga berarti cahaya yang didapatkan dari hasil menyucikan diri-penerj.
2- 5. Al-Jâmi' Al-Shaghir, jilid II, h. 37.

Makna harfiah hadis itu menunjukkan bahwa orang yang bahagia itu benar-benar bahagia secara aktual dalam perut ibunya, sedangkan dalil filosofis mengantarkan kita pada kebahagiaan potensial dan bukan aktual. Oleh karena itu, kita harus menolak pengertiar: harfiah hadis tersebut, dan menyelaraskannya dengan burhân (demonstrasi filosofis) sehingga hadis itu harus ditafsirkan sesuai dengan apa yang telah kita jelaskan di atas.

Sebenarnya, keterangan secara terperinci tentang pokok soal ini, demikian juga dalil-dalilnya, tidak akan cocok untuk buku ini. Namun, kadang-kadang pena berjalan sendiri tidak sesuai dengan tujuan utamanya.

Mengapa Hati Dibagi Menjadi Empat?

Sebagian orang mengatakan bahwa sebab terbaginya hati menjadi empat adalah segi ada atau tiadanya iman dalam hati. Hati beriman terbagi menjadi dua: (1) beriman pada seluruh syaria" yang dibawa oleh Rasulullah Saw.; dan (2) hati yang beriman pada sebagian syariatnya. Yang pertama adalah hati orang Mukmin, dan yang kedua adalah hati yang mencampurkan keimanan dengan kemunafikan. Hati campuran terbagi dua: (3) hati yang tidak beriman secara sembunyi-

sembunyi; dan (4) yang tidak beriman secara terang-terangan. Hati yang tidak beriman secara sembunyi-sembunyi, adalah hati orang munafik; dan hati yang tidak beriman secara terang-terangan adalah hati orang musyrik.

Uraian di atas sebetulnya tidak sesuai dengan pengertian harfiah hadis Baginda Nabi Saw. yang menerangkan bahwa satu hati terkadang beriman pada semua syariat Nabi Saw. dan terkadang menjadi munafik. Jika seseorang ingin membenarkan pembagian empat hati di atas, sebaiknya dia mengatakan: (1) ada hati yang mengiman: semua syariat yang dibawa oleh Nabi; dan (2) ada hati yang tidak mengimani semuanya, melainkan justru menolak sebagiannya. Hati yang tidak meng-

imani semuanya ada dua: (3) hati yang terkadang menampakkan keimanan dan terkadang tidak. Hati yang terkadang menampakkan keimanannya ada yang beriman dengan teguh tanpa mengalami guncangan; dan ada (4) yang goyah sehingga terkadang kembali pada

p: 636

kekufuran walaupun tetap menampakkan keimanan dalam keadaan kufurnya. Selanjutnya, hadis ini menjelaskan bahwa tobatnya orang beriman, yang berpaling dari kekufuran dan kemunafikan, akan diterima walaupun ia sering membatalkan tobatnya dengan melakukan perbuatan dosa. Dalam Al-Kafi, Imam Al-Baqir berkata bahwa hati dibagi menjadi tiga:

کافی شریف است حضرت باقر، سلام الله علیه، قلوب را به سه قلب تقسیم فرموده: قلب منکوس که در آن خیری نیست، و آن قلب کافر است. و قلبی که در آن نکته سوداء است، و شرّ و خیر در آن جنگ کنند تا کدام غالب آید. و قلب مفتوح که در آن چراغهای روشن است که تا روز قیامت انوار آن خاموش نگردد، و آن قلب مؤمن است

Hati ada tiga: pertama, hati terbalik (mankûs) yang tidak menyadari sedikit pun dari kebaikan-inilah hati orang kafir; kedua, hati bertitik hitam yang di dalamnya kebaikan dan keburukan bercampur—inilah hati yang selalu berperang sampai ada salah satu yang menang; dan, ketiga, hati terbuka (maftûh) yang di dalamnya terdapat pelita yang berkilau dan cahaya takkan padam sampai hari kiamat--inilah hati orang Mukmin.(1)

Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis di atas karena bagian pertama hadis ini mencakup dua bagian pertama dalam hadis di atas. Dua bagian itu adalah hati orang musyrik dan hati orang munafik karena hati orang musyrik, munafik, dan kafir sama-sama terbalik. Hal ini tidak berkontradiksi dengan fakta bahwa sifat “terbalik” merupakan sifat hati musyrik dan kafir, sedangkan sifat hati orang munafik adalah “tersegel” (mathbû). Hadis yang sebelumnya memisahkan sifat

hati yang “terbalik” dan yang “tersegel” dalam pembagian empat hati tersebut.

Keadaan-Keadaan Hati

Kita bahas terlebih dahulu mengenai hati orang Mukmin sehingga nantinya pun akan jelas pula keadaan hati yang lain sewaktu dibandingkan dengan hati orang Mukmin.

p: 637


1- 6. Ushủl Al-Kafi, jilid 11, kitab îmân wa al-kufr, h. 3.

Harus diketahui bahwa dalam pelbagai bidang filsafat transendental dan makrifat Ilahi telah dibuktikan bahwa hakikat wujud adalah hakikat cahaya (nûr). Keduanya sama-sama menggambarkan satu hakikat sederhana dan tunggal yang tak terbilang dan tidak majemuk. Telah terbukti pula bahwa semua yang dapat disebut sebagai sempurna dan baik bersumber dari wujud itu sendiri. Dan ini merupakan kaidah yang diberkati. Siapa saja yang memahami dan mencerapnya dengan

jeli, akan memasuki pintu-pintu makrifat lain. Jiwa kita yang lemah ini tampaknya tidak mampu untuk memahami kaidah seperti itu, kecuali datang pertolongan ghâib atau taufik Allah yang azali. Iman kepada Allah tergolong pada kategori ilmu dan kesempurnaan yang mutlak dan karena itu ia termasuk kesempurnaan wujud

yang murni dan hakikat yang murni dari cahaya dan zhuhûr (penjelmaan Ilahi). Jadi, ketakimanan dan segala ikutannya merupakan lawan dari kesempurnaan jiwa manusia dan tergolong dalam kegelapan noneksistensial dan esensial.

Hati Mukmin yang Putih dan Bercahaya

Di dalam Al-Kafi, diriwayatkan bahwa Imam Al-Shaciq berkata:

عن عمرو عن أبی عبد الله (ع) قال قال لنا ذات یوم: تجد الرّجل لا یخطیّ بلام و لا واو، خطیبا مصقعا، لقلبه أشدّ ظلمة من اللّیل المظلم. و تجد الرّجل لا یستطیع یعبّر عمّا فی قلبه بلسانه، و قلبه یزهر کما یزهر المصباح

“Kalian melihat sekelompok manusia yang sangat fasih berbicara dan lihai berkata-kata, padahal hatinya lebih gelap dari gelapnya malam yang gulita; dan sebagian manusia tidak dapat mengungkapkan isi hatinya dengan lidah, padahal hatinya bercahaya bak pelita yang gemerlapan.(1) Hati orang Mukmin bergerak pada jalan yang lurus, yaitu jalan spiritual yang lempang menuju nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu disebabkan oleh dua faktor: pertama, karena sejak semula hati orang Mukmin tidak keluar dari garis fitrahnya yang telah ditetapkan oleh Allah dengan kedua Tangan-Nya (yakni, Tangan Keindahan Jamal) dan

p: 638


1- 7. Ushul Al-Kafi, jilid II, kitab îmân wa al-kufr, h. 1.

Tangan Keagungan (Jalâl]) selama empat puluh hari. Karenanya, hati orang beriman menjadi teguh dalam berjalan di garis fitrah tauhid yang mengarah pada kesempurnaan Mutlak dan keindahan Mahasempurna. Perjalanan spiritual yang bergerak dari tahapan fitrah yang mantap ini pasti mencapai puncak kesempurnaan Mutlak tanpa mengalami penyimpangan. Dan inilah yang disebut-sebut dengan jalan ruhani yang lurus dan jalan gaib yang lempang (al-shirâth al-mustaqim). Telah

diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. membuat garis lurus di atas tanah dan di sekeliling garis lurus itu beliau membuat beberapa cabang, lalu beliau bersabda, “Garis lurus di tengah-tengah inilah jalanku.” Kedua, seorang Mukmin mengikuti manusia sempurna (al-insân al-kâmil). Dan karena manusia sempurna adalah manifestasi dari seluruh Nama dan Sifat Allah Swt. serta menghamba kepada-Nya melalui Nama Lengkap-Nya (al-ism al-jâmi“), tidak satu pun Nama yang mengalahkan Nama lain dalam jiwa manusia ini. Seperti Tuhannya yang Mahatinggi, manusia sempurna merupakan wujud yang utuh dan tidak menonjolkan satu nama atas nama lainnya. Karena itu, manusia sempurna menduduki posisi wasathiyyah (perantara) dan barzakhiyah kubra (jembatan utama).(1) Ia akan mengakhiri jalannya di al-shirât al-mustaqim di jalan tengah sebagai al-ism al-jâmi“. (2) Adapun makhluk selainnya merupakan satu manifestasi dari salah satu nama belaka, baik nama yang muhitâh (mencakup) maupun yang tidak. Hanya pada satu nama itulah ia berkutat, baik di awal maupun di akhir penjelmaannya. Adapun nama lawannya, tersimpan di alam gaib dan alam batin. Nama itu tidak bisa memengaruhi makhluk ini, kecuali melalui penyatuan seluruh nama. Karena sempitnya lingkup bahasan kita, saya tidak bisa menerangkan perkara ini secara lebih luas. Allah Swt. sebagai al-ism al-jámi'-Nya dan Rabb al-insân (Tuhan manusia) berada pada jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqim) sebagaimana tersurat dalam Al-Quran, Sesungguhnya Tuhanku berada pada

p: 639


1- a Inilah posisi perantara yang menghubungkan Wujud Mutlak dengan segenap makhluk-Nya yang relatif-peny.
2- 8. Ism Al-Jami' suatu nama yang mencerminkan keseluruhan Nama-Nama-Nya secara seimbang-penerj.

jalan yang lurus (QS Hûd (11):56). Jalan lurus (al-shirâth al-mustaqim) ini berarti posisi perantara (wasathiyyah) yang juga memiliki sifat mencakup dan lengkap (jâmi'iyyah) tanpa ada satu sifat yang mengalahkan sifat lainnya dan manifestasi satu sifat yang melebihi manifestasi lainnya.

Didikan (baca: hamba) Allah Swt. yang berada pada posisi wasathiyyah dan jâmi'iyyah juga berada di jalan yang lurus, tanpa melebihkan satu maqam atas magam lainnya dan satu perkara atas perkarayang lainnya. Didikan yang berada dalam mi'raj shu'udi (perjalanan menaik) dan puncak pencapaiannya di tempat al-qurb (kedekatan dengan Allah), setelah menghamba dan mengembalikan penghambaan dan penyembahannya kepada Allah Swt., serta membatasi permohonannya dalam seluruh keadaan al-qabdh (ketergenggaman) dan al-bast (keterbentangan) dengan ucapan ایاک نعبد و ایاک نستعینl (Hanya kepada-Mu kami menghamba dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), ia memohon dengan perkataan, اهدنا الصراط المستقیم(Tunjukilah kami jalan yang lurus).

Jalan ini adalah jalan yang diliputi oleh Tuhan mar:usia sempurna dalam bentuk Rubübiyyah dan Zhâhiriyyah-Nya--sifat penampakan dan penciptaan-Nya-dan peran manusia sempurna di sini adalah peran hamba yang terdidik dan terpelihara (marbūbiyyah) dan tampak (muzhhiriyyah)-sifat ciptaan.

Makhluk-makhluk lain yang bergerak menuju Allah tidak lewat jalan yang lurus, tetapi lewat jalan menuju kasih sayang (luthf) dan keindahan (jamål) Allah atau jalan kemurkaan dan keagungan-Nya (jalal). Adapun orang-orang Mukmin yang mengikuti manusia sempuma, melangkah di belakang jejak-jejaknya, bersuluh dengan cahaya hidayah dan pelita makrifatnya, berserah diri pada esensi sucinya dan tidak melangkah menuruti kehendaknya atau berpegang pada diri mereka sendiri dalam perjalanan ruhaninya menuju Allah, maka mereka pun akan bergerak di jalan yang lurus. Orang-orang Mukmin ini kelak di hari kiamat akan dikumpulkan dengan manusia sempurna dan sampai ke tujuan (Ilahi) persis setelah sampainya manusia sempurna. Syarat mutlak bagi semua itu adalah mereka dapat menjaga kebersihan hati mereka dari intervensi setan, egoisme, dan keakuaan,

p: 640

dan sepenuhnya berserah diri dalam perjalanan ini kepada manusia sempurna dan berpegang pada maqâm khâtamiyyah (kedudukan Rasulullah sebagai Nabi Terakhir).

Penjelasan Ihwal Tipuan-Tipuan Setan

Salah satu bentuk intervensi keji setan adalah menyesatkan hati, menggelincirkannya dari jalan yang lurus, dan mengarahkannya kepada gadis penggoda atau guru pembimbing (syaikh mursyid). Salah satu inovasi setan penyulut was-was dalam hati (al-muwaswis) yang unik adalah mengetengahkan suatu penjelasan manis dan kiat menggiurkan, tetapi menipu. Misalnya, si terkutuk ini mengajak kita untuk menggantungkan hati kepada seorang syaikh atau gadis penggoda yang cantik dan kemudian memperbolehkan perbuatan dosa besar ini (yakni menggantungkan diri kepada manusia biasa). Bahkan, di kalangan ‘urafâ’, perbuatan dosa besar itu dianggap sebagai syirik. Setan berdalih, “Jika hati bergantung hanya pada satu hal, tentu akan lebih cepat ia untuk dapat memutuskan ikatannya dengan hal-hal

lain. Caranya adalah dengan memusatkan perhatian hati kepada seorang gadis cantik, dengan alasan agar hati dapat berpaling dari selain gadis cantik ini dan perhatiannya tertuju pada satu titik. Setelah itu, baru kemudian ikatan dengan titik itu diputuskan dan memusatkan perhatian hatinya kepada Allah Swt.”.

Setan kadang-kadang juga memakai orang bodoh untuk memerdaya orang bodoh lain. Misalnya, orang bodoh tersebut diarahkan kepada mursyid terkemuka, tetapi penipu dan bengis. Setan kemudian mengarahkan orang bodoh ini ke perbuatan syirik dengan dalih bahwa sang mursyid adalah manusia sempurna, dan tidak ada jalan lain bagi seseorang agar sampai pada alam gaib yang mutlak kecuali melalui manusia sempurna yang menjelma dalam cermin “keesaan” (pemusatan perhatian yang penuh) kepada sang mursyid. Kedua orang ini, baik mursyid maupun muridnya, akhirnya bergabung di alam jin dan setan. Dengan pikiran-pikirannya yang tertuju pada “keindahan dan godaan kekasihnya”, sang mursyid tersesat hingga akhir hayatnya, dan orang bodoh yang selalu bertaklid kepada mursyidnya ini juga tersesat hingga akhir hayatnya. Sang mursyid tidak

p: 641

pernah bisa lepas dari hubungan hewani ini, sementara sang murid yang bodoh dan buta itu pun tidak akan pernah sampai pada maksud dan tujuannya yang sejati.

Harus juga diketahui bahwa mengingat perjalanan Mukmin di alam ini lempang, hatinya tidak menyamping dan perhatiannya terpusat pada Allah dan jalan-Nya yang lurus, maka di alam sana pun jalannya lurus dan jelas. Badannya tampak tegap, bentuk lahiriah ataupun batinnya juga sama dengan bentuk manusia. Dengan membandingkan hati orang musyrik dan hati orang Mukmin, kita bisa memahami letak dan nasib hati keduanya. Hati orang musyrik telah keluar dari fitrah etuhanannya, melenceng dari titik pusat kesempurnaaan, terlepas dari buaian cahaya dan keindahan, terjauhkan dari pemberi petunjuk yang mutlak dan wali yang sempurna, dan melulu sibuk dalam egoismenya untuk dunia dan isinya, maka di akhirat kelak ia tidak akan dibangkitkan dalam perilaku manusia dan posturnya yang seimbang, dibangkitkan dalam bentuk binatang yang terjungkal kepalanya. Hal demikian itu lantaran bentuk dan postur di akhirat kelak mengikuti keadaan hati. Sişi lahiriah merupakan bayangan dari sisi batin dan kulit luar akan menggambarkan isi hati manusia. Bahan-bahan di alam sana mampu untuk menerima pelbagai bentuk malakûtî dan gaib manusia, persis sebagaimana bahan-bahan alam ini bisa dipola dalam berbagai bentuk. Semua itu telah dibuktikan secara rasional dan filosofis pada tempat yang khusus untuk itu.

Dengan demikian, hati yang berpaling dari kebenaran, melenceng dari fitrah yang lurus, dan terpaku pada dunia saja, kelak pemilik hati itu akan bangkit dalam bentuk yang tidak seimbang, terjungkal dan terbenam ke arah dunia yang merupakan alam yang paling bawah dan hina ini. Mungkin saja di akhirat kelak ada sebagian orang yang berjalan dengan kepalanya dan kakinya di atas serta sebagian lainnya berjalan dengan perutnya dan sebagian lainnya lagi berjalan dengan

tangan dan kakinya layaknya binatang yang melata. Semua ini menggambarkan bagaimana tingkah laku mereka di dunia ini. Maka, apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus. (QS Al-Mulk (67): 22)

p: 642

Mungkin saja penggunaan kiasan di alam kiasan ini nanti bakal menjadi nyata di alam hakiki, alam penampakan wujud ruhani, dan gaib. Dalam hadis shirâth mustaqim, dalam ayat di atas, ditafsirkan sebagai Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Thalib dan para Imam maksum a.s. setelahnya.

عن الکافی بإسناده عن أبی الحسن الماضی، علیه السّلام، قال: قلت: «أَ فَمَنْ یَمْشی مُکِبّاً عَلی وَجْهِهِ أَهْدی أَمَّنْ یَمشی سویّاً عَلی صِراطٍ مُستَقیمٍ»؟ قال: إنّ الله ضرب مثلا من حاد عن ولایة علیّ، علیه السّلام، کمن یمشی علی وجهه لا یهتدی لأمره، و جعل من تبعه سویّا علی صراط مستقیم. و «الصّراط المستقیم» أمیر المؤمنین، علیه السّلام

Abi Al-Hasan berkata, “Allah telah memberikan perumpamaan pada ayat ini bagi orang yang berpaling dari wilayah 'Ali seperti orang yang berjalan terjungkal di atas kepala dan tidak mendapatkan petunjuk, sedangkan orang yang mengikuti Imam 'Ali seperti berjalan di jalan yang lurus dan shirâth mustaqim adalah Amirul

Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib."(1)

عن الفضیل قال: دخلت مع أبی جعفر، علیه السلام، المسجد الحرام و هو متّکی علیّ فنظر إلی النّاس، و نحن علی باب بنی شیبة، فقال: یا فضیل، هکذا کان یطوفون فی الجاهلیة! لا یعرفون حقّا و لا یدینون دینا! یا فضیل، أنظر إلیهم، مکبّین علی وجوههم، لعنهم الله من خلق مسخور بهم مکبّین علی وجوههم. ثمّ تلا هذه الآیة: «أَ فَمَنْ یَمْشی مُکِبّا عَلی وَجْهِهِ أَهْدی أَمَّنْ یَمشی سَویّا علی صِراطٍ مُستَقیم؟» یعنی، و الله، علیّا، علیه السلام، و الأوصیاء، علیهم السلام

Fudhail berkata, “Aku memasuki Masjid Al-Haram bersama Imam Muhammad Al-Baqir. Beliau kemudian bersandar kepadaku seraya melihat orang-orang yang berada di situ. Pada saat itu, kami berada

p: 643


1- 9. Ushûl Al-Kafi, jilid I, Kitâb Al-Hujjah, h. 91.

di pintu Bani Syaibah. Lalu, beliau berkata, 'Pada zaman jahiliah, mereka bertawaf seperti itu karena mereka tidak tahu kebenaran dan tidak berpegang pada satu pun agama. Lihatlah, mereka seakan berjalan dengan kepala mereka. Allah melaknat mereka sebagai makhluk yang telah berubah bentuk dan terbalik.' Maka, apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus. Jalan lurus adalah Amir Al-Mukminin ‘Ali ibr. Abi Thalib dan para washy (yang mendapat wasiat sebagai imam setelah beliau)."(1)

Sebelum ini, kita telah menerangkan bahwa manusia yang sempurna berjalan dalam perjalanan batin dan gaibnya di jalan yang lurus. Adapun penjelasan mengenai bahwa manusia sempurna identik dengan jalan lurus itu sendiri berada di luar lingkup pokok bahasan kita.

Perbedaan Antara Hati Orang Munafik dan Orang Mukmin

Dari keterangan yang telah lalu, kiranya jelas mengenai keadaan hati orang Mukmin, musyrik, dan kafir. Begitu pula hati orang munafik. Hati orang Mukmin tidak keluar dari fitrahnya yang suci. Apa saja yang diungkapkan berupa hakikat keimanan dan makrifat yang benar tentu akan diterimanya. Di dalamnya ada keserasian antara makanan dan penerima makanan, antara objek persepsi berupa pelbagai kebenaran dan hakikat di satu sisi dan subjek persepsi berupa kemurniaan

hati di sisi lain. Oleh karena itu, hati orang Mukmin disebutkan dalam Al-Kâfî sebagai “terbuka" (maftüh).(2) Mungkin saja “terbuka” ini merujuk pada salah satu makna tiga tahap keterbukaan (al-futúhât al-tsalâtsah)(3), tetapi makna yang ini pun juga mengena. Hati orang munafik adalah hati yang telah terkotori dan ternoda serta keluar dari fitrah manusia, dengan timbulnya fanatisme jahiliah, akhlak yang buruk, cinta diri, cinta kedudukan, dan sebagainya dalam hati. Oleh karena itu, hati ini tertutup, tersegel, dan tidak dapat lagi menerima perkataan yang benar. Lembaran hatinya menghitam

p: 644


1- 10. Raudhah Al-Kafi, h. 434.
2- 11. Ushûl Al-Kafi, jilid II, kitâb îmân wa al-kufr, juz 3, h. 423.
3- b.Masalah tiga tahap keterbukaan ini telah dijelaskan oleh Imam Khomeini pada Bab Syukur"-peny.

sehingga tidak bisa lagi dilukis. Beragama dan menampakkan keberagamaan telah menjadi sarana baginya untuk memajukan berbagai urusan duniawinya.

Harus diketahui bahwa hati orang musyrik dan orang munafik sama-sama terbalik dan tersegel. Bedanya, hati orang musyrik dalam ibadahnya tunduk kepada selain Sesembahan Hakiki dan Zat yang Paling Sempurna. Karenanya, hati orang musyrik memiliki dua ciri. Ciri pertamanya ialah adanya ketundukan yang jujur dalam ibadahnya dan ciri keduanya ialah karena ketundukan ini pada sesuatu yang tidak sempurna dan tercipta, hatinya pun menjadi penuh kekurangan dan kotoran. Akhirnya, hatinya menjadi terbalik, dan keterbalikan ini merupakan ciri yang menonjol pada orang musyrik. Adapun orang munafik adakalanya sungguh-sungguh musyrik, sehingga hatinya memiliki keterbalikan yang sama dengan hati musyrik. Tetapi orang munafik memiliki ciri lain-ciri ini akan dijelaskan sebentar lagi. Jadi, orang munafik itu terkadang sebenarnya sama sekali bersikap kafir terhadap aturan-aturan agama sehingga hatinya pun jelas terbalik. Tetapi ia memiliki ciri lain yang lebih tampak, yakni ia masih menyimak kebenaran dalam bentuk formal, hidup di antara orang-orang benar, dan mendengarkan semua ucapan-ucapan

yang didengarkan oleh orang Mukmin. Karena hati orang Mukmin bersih dan terbuka, orang Mukmin menerima sepenuhnya semua kebenaran itu, sebaliknya, karena hati orang munafik gelap dan tertutup, ia tidak dapat menerima ucapan-ucapan itu dan bahkan mengingkarinya.

Selanjutnya, alasan hadis di atas secara khusus mengungkapkan dua sifat Mukmin di antara sekian sifat lain, yaitu jika diberi bersyukur dan jika dicoba bersabar, lantaran dua siſat itu memiliki keutamaan yang tidak ada pada sifat-sifat lain. Keduanya adalah induk dari semua sifat terpuji, dan dari keduanya lahirlah sifat-sifat baik lain. Dan kami telah menjelaskan secukupnya tentang kedua sifat itu dalam beberapa hadis yang lalu. Kami juga telah menjelaskan bahwa kedua sifat itu

berasal dari sifat jalâl dan jamâl, sifat murka dan rahmat yang tergambar dalam pemberian dan cobaan. Walaupun cobaan sebetulnya berasal dari sifat rahmat dan jamal, karena ia tertampakkan dalam

p: 645

bentuk kemurkaan, ia digolongkan dalam sifat-sifat jalâliyyah Allah. Seorang Mukmin selalu bersikap menghamba kepaca Allah dalam kedua keadaan tersebut.

Terbaliknya Hati

Telah disebutkan bahwa meskipun hati beriman pada Allah dan hari akhirat, karena ia tetap mengarah pada dunia dan kemakmurannya, hati itu tetap saja terbalik. Jadi, ukuran keterbalikan hati adalah kelupaan pada Allah dan kemasygulan dengan dunia. Jadi, keimanan kepada Allah dan hari akhirat itu tidak bisa dikategorikan sebagai keimanan dan kepercayaan sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan beberapa hadis lampau—atau karena demikian lemah dan dangkalnya keimanan itu sehingga ia tetap membuat hati terbalik. Bahkan, orang yang menampakkan keimanan pada yang gaib, Hari Kebangkitan, dan Hari Mahsyar tetapi tidak membuatnya takut atau beramal dan beraktivitas secara fisik, ia harus digolongkan sebagai munafik dan bukan sebagai Mukmin.

Mungkin pula orang semacam itu digolongkan sebagai beriman secara formal seperti orang Thâif yang telah dicontohkan pada hadis di atas: “Apabila ajal menjemput mereka pada saat hati mereka bersikap munafik, celakalah mereka; dan apabila ajal menjemput saat mereka dalam keadaan beriman, selamatlah mereka.” Kita berlindung kepada Allah dari hilangnya iman yang tanpa bobot, tanpa substansi, dan tidak mendominasi tubuh ini. Kita berlindung kepada Allah

dari meninggalkan dunia dengan keadaan munafik dan dibangkitkan kelak bersama orang-orang munafik.

Hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan diwaspadai oleh jiwa kita yang lemah ini. Kita perlu bergiat memperdalam keimanan dalam aspek lahiriah maupun batin kita, aspek tersembunyi maupun aspek tampak kita. Sebagaimana kita mengakui keimanan dalam hati, kita juga harus berupaya agar keimanan itu menguasai dan memerintah segenap aspek lahiriah dan aspek yang tampak dari pribadi kita. sehingga keimanan itu menjadi lebih mengakar dalam lubuk hati kita dan tidak dapat sirna akibat adanya penghalang, perubahan, dan pergantian. Demikianlah sampai kita kembalikan amanat Ilahi

p: 646

Hadis tentang Bagian-Bagian Hati

ini dengan hati yang suci berhiaskan fitrah Ilahi dalam keadaan bersih dari campur tangan setan dan noda pengkhianatan. Alhamdulillah, awwalan wa akhiran. :)

p: 647

31 Hadis tentang Allah Tidak Bisa Disifati

Point

بالسّند المتّصل إلی الشّیخ الجلیل، أفضل المحدّثین، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، عن علیّ بن إبراهیم، عن أبیه عن حمّاد، عن ربعیّ، عن زرارة، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال سمعته یقول: إنّ الله عزّ و جلّ لا یوصف. و کیف یوصف، و قال فی کتابه: «و ما قدروا الله حقّ قدره» [1] فلا یوصف بقدر، إلّا کان أعظم من ذلک. و إنّ النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، لا یوصف. و کیف یوصف، عبد احتجب الله عزّ و جلّ بسبع و جعل طاعته فی الأرض کطاعته فی السّماء فقال: «و ما آتاکم الرّسول فخذوه و ما نهاکم عنه فانتهوا.» [2] و من أطاع هذا فقد أطاعنی، و من عصاه فقد عصانی. و فوّض إلیه. و إنّا لا نوصف. و کیف یوصف، قوم رفع الله عنهم الرّجس، و هو الشّکّ. و المؤمن لا یوصف. و إنّ المؤمن لیلقی أخاه فیصافحه، فلا یزال الله ینظر إلیهما و الذّنوب تتحاتّ عن وجوههما کما یتحاتّ الورق عن الشّجر.

p: 648

Dengan sanad yang bersambung pada Syaikh Al-Jalil dan Afdhal Al-Muhadditsin (orang paling terpandang di kalangan ahli hadis), Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari 'Ali ibn Ibrahim, dari ayahnya, dari Hammad, dari Rabi'i, dari Zurarah, dari Abi Ja'far a.s., katanya, “Aku mendengar Imam Abi Ja'far berkata, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak bisa disiſati. Bagaimana mungkin Dia bisa disifati, sedangkan dalam Kitab-Nya Dia berkata, 'Dan mereka tidak akan dapat mengukur Allah dengan sebenar-benar ukuran.' 'Dia tidak dapat disifati dengan qadar (ukuran) kecuali qadar itu lebih besar daripada-Nya. Dan sesungguhnya Nabi Saw.

juga tidak bisa disiſati, sebab bagaimana mungkin hamba yang diselubungi oleh Allah Azza wa Jalla dengan tujuh hijab dan ketaatan kepadanya di dunia disetarakan dengan ketaatan kepada-Nya di langit bisa disifati? Allah Azza wa Jalla berfirman, Apa-apa yang disampaikan oleh Rasul kepadamu, laksanakanlah; dan apa-apa

yang dilarangnya, jauhilah. Barang siapa yang menaatinya, berarti menaati-Ku, dan barang siapa membangkang kepadanya, berarti membangkang kepada-Ku. Lalu, Dia melimpahkan semua urusan kepada beliau. Dan kami juga tidak bisa disifati. Sebab, bagaimana mungkin suatu kaum (para Imam Ahl Al-Bait) yang telah dihilangkan dari mereka segala noda, yakni keraguan, bisa disifati? Seorang Mukmin juga tidak bisa disifati. Sebab, begitu seorang Mukmin bertemu dengan saudaranya dan keduanya berjabat tangan, Allah akan terus memandang keduanya sementara dosa-dosa berguguran dari wajah keduanya seperti daun-daun yang berguguran dari pohon.(1)

Penjelasan

Tentang kata-kata, “Dan mereka tidak dapat mengukur qadar Allah”, Al-Jauhari mengatakan bahwa “qadar ialah kondisi setara dengan yang lain, tidak lebih dan tidak kurang”. Qadar, baik dibaca qadar maupun qadr, merupakan bentuk mashdar (noun) dengan arti yang sama. Allah Swt. berfirman,

«وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَی بَشَرٍ مِنْ شَیْءٍ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْکِتَابَ الَّذِی جَاءَ بِهِ مُوسَی نُورًا وَهُدًی لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِیسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ کَثِیرًا وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُکُمْ قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِی خَوْضِهِمْ یَلْعَبُونَ (91)»

Dan mereka tidak dapat mengukur Allah dengan sebenar-benar qadar (QS Al-An'âm (6]: 91). Artinya, mereka tidak dapat mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan. Penulis terkenal tersebut mengatakan bahwa qadar, dalam arti kondisi setara dengan yang lainnya, merupakan kinayah tentang ke-

p: 649


1- 1. Ushúl Al-Kafi jil. II, kitab al-imân wa al-kufr, bab al-mushafahah, h. 16.

tidakmampuan (seseorang) untuk menyifati dan mengagungkan Allah sebagaimana Dia layak disifati dan diagungkan. Adapun Qadar-Nya, sekalipun ia merupakan sifat, sebetulnya ia juga maushûf (objek yang disifati) yang diungkapkan dalam bentuk siſat. Pada bagian yang akan datang, kami akar. menunjukkan bahwa ungkapan seperti ini tidaklah patut ditujukan kepada Allah Yang Mahatinggi. Zat Allah yang Mahasuci sungguh tidak mungkin dan tidak bisa diberikan penisbahan yang seperti itu. Tentang perkataan Imam Abi Ja'far a.s. yang berbunyi, “Maka, Dia tidak bisa disifati dengan qadr," Syaikh Al-Majlisi--semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya--mengatakan bahwa beliau secara khusus menyebutkan qadr di sini karena sifat inilah yang pada umumnya paling mudah dipahami atau dijadikan contoh. Qadr dapat dibaca qadar sebagaimana yang disebutkan dalam hadis lain dan bacaan inilah yang lebih tepat.(1) Dalam Al-Wafi, kita temukan kalimat biqud-ratin, padahal sepertinya yang dimaksudkan adalah bidadarihî (dengan huruf hâ'), sebagaimana yang tercantum dalam naskah-naskah lainnya. Sedangkan biqudratin (dengan ta) agaknya atau tentunya hanyalah merupakan salah cetak, sebab di situ tidak terdapat konteks yang memungkinkan benarnya bacaan demikian. Penggunaan lafaz al-qudrah tidak bisa dibenarkan lantaran redaksi hadisnya tidak memungkinkan dhamir (kata gantinya bisa dirujukkan untuk kemudian diinterpretasikan dengan menyalahi kaidah yang berlaku. Tentang mengapa Syaikh Al-Majlisi bersandar pada pendapat yang kami kutip di sini, hal itu disebabkan sudah tidak ditemukannya penjelasan lain, di samping tidak adanya kemungkinan untuk membedakan pemahaman terhadap qudrah, ketika beliau mengatakan bahwa sifat inilah yang pada umumnya paling mudah dipahami(2) dari Şifat-Sifat Allah lainnya. Itu sebabnya, kami melihat bahwa justifikasi seperti ini tidak pula beliau gunakan. Syaikh Al-Majlisi mengatakan, “Masalah ini sudah saya kemukakan pada Kitab Al-Tauhid, dan di situ kita temukan lafaz qadar dan itulah yang lebih tepat.(3) Mengenai kata-kata Imam Abi Ja'far a.s. yang berbunyi, “tatahâttu", Al-Jauhari dalam Al-Shihah, mengatakan bahwa al-Latt berarti daun-daun yang berguguran dari tangkainya. Disebutkan pula bahwa tahart al-syai' berarti sesuatu yang berhamburan.

p: 650


1- 2. Mir’at Al-'Ugûl, Dar Al-Kutub Al-Islâmiyyah, Teheran, jil. IX, h. 70.
2- 3. Ibid., hh. 70-71.
3- 4. Ibid., hh. 70-71.

Selanjutnya, di bawah ini kami menjelaskan berbagai sisi yang terdapat dalam hadis di atas.

Maksud Ketaktersifatan Allah

Harus diketahui bahwa kalimat “sesungguhnya Allah tidak bisa disifati” yang terdapat dalam hadis di atas mengisyaratkan pada sifat-sifat Allah yang diberikan oleh sebagian orang bodoh, tukang berdebat, dan mutakallim (teolog). Sifat-sifat yang demikian itu berimplikasi pada pembatasan dan penyerupaan (tasybih) Allah, bahkan pengguguran seluruh sifat (ta'thil)-Nya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh hadis itu melalui firman Allah, Dan mereka tidak akan dapat mengukur

Allah dengan sebenar-benar ukuran.

Tentang larangan memberikan sifat-sifat selain yang diberikan oleh Allah sendiri, dalam Al-Kâfi kita temukan banyak riwayat yang menunjukkan hal itu.

بإسناده عن عبد الرّحیم بن عیتک القصیر، قال: کتبت علی یدی عبد الملک بن أعین إلی أبی عبد الله، علیه السّلام: إنّ قوما بالعراق یصفون الله بالصّورة و بالتّخطیط، (خ ل: بالتّخاطیط) فإن رأیت، جعلنی الله فداک، أن تکتب إلیّ بالمذهب الصّحیح فی التّوحید. فکتب إلیّ: سألت إلیّ، رحمک الله، عن التّوحید و ما ذهب إلیه من قبلک. فتعالی الله الّذی لیس کمثله شی ء، و هو السّمیع البصیر، تعالی عمّا وصفه الواصفون المشبّهون الله بخلقه المفترون علی الله. فاعلم، رحمک الله، أنّ المذهب الصّحیح فی التّوحید ما نزل به القران من صفات الله تعالی. فانف عن الله البطلان و التّشبیه، فلا نفی و لا تشبیه هو الله الثّابت الموجود. تعالی عمّا یصفه الواصفون. و لا تعدّوا القران فتضلّوا بعد البیان. (خ ل: التّبیان)

Dengan sanad dari ‘Abd Al-Rahim ibn 'Atik, disebutkan bahwa dia mengatakan, “Di depan 'Abd Al-Malik ibn A'yan, saya menuliskan

p: 651

sepucuk surat kepada Imam Abu 'Abdullah a.s., yang bunyinya demikian: 'Sesungguhnya di Irak terdapat satu kaum yang menyifati Allah dengan shûrah (bentuk) dan dimensi. Oleh karena itu, sudilah kiranya Baginda, semoga Allah menjadikan diri saya sebagai pembela Tuan, menulis sepucuk surat untukku berisi

penjelasan pandangan yang benar dalam masalah tauhid.' Imam Abi Ja'far kemudian membalas suratku (sebagai berikut): “Engkau bertanya kepadaku-semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu-tentang tauhid dan pandangan yang engkau sampaikan. Mahatinggi Allah yang tiada sesuatu pun yang serupa dengan-

Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Mahatinggi Allah dari segala sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberik an sifat untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya yang membuat berbagai kebohongan terhadap-Nya.

Hendaknya engkau ketahui-semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu_bahwa mazhab yang benar dalam tauhid adalah ajaran tentang Sifat-Sifat Allah Taala yang diturunkan oleh Al-Quran. Oleh karena itu, nafikanlah dari Allah segala kebatilan dan penyerupaan sehingga tidak ada pengguguran (siſat Allah)

dan tidak ada penyerupaan (dengan makhluk-Nya). Dialah Allah, Mahatetap dan Maha Maujud. Mahatinggi Allah dari segala sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan sifat, dan janganlah kamu sekalian menentang Al-Quran sehingga kamu sekalian tersesat sesudah (mendapat) penjelasan.(1)

Setelah melakukan perenungan terhadap awal dan akhir hadis di atas, dapatlah dipahami bahwa maksud yang terdapat di dalamnya bukanlah menafikan sifat-sifat yang benar terhadap Allah, dan tidak berpikir tentang Sifat-Sifat-Nya, lalu menafikan Sifat-Sifat-Nya secara mutlak, sebagaimana yang diyakini oleh sementara kalangan muhadditsin yang mulia. Sebab, dalam hadis di atas dan riwayat-riwayat lainnya dikemukakan tentang perintah untuk menafikan ta'thil (pengguguran menyeluruh atas Sifat-Sifat Allah) dan tasybih (penyerupaan-Nya dengan makhluk). Penafian sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya dilakukan sesudah penegasan tentang Sifat-Sifat yang layak disandang-Nya (yang benar). Namun, yang dimaksudkan oleh Imam Abu 'Abdullah a.s. adalah meniadakan pemberian sifat yang tidak patut

p: 652


1- 5. Ushủl Al-Kafi, Kitâb Al-Tauhid, bâb al-nahi ‘an al-shifát, h.1.

bagi Zat Allah yang Mahasuci, Mahabenar, dan Mahatinggi, semisal menetapkan bentuk, perencanaan, dan lain-lain, merupakan sifat makhluk yang penuh keserbamungkinan dan kekurangan. Mahatinggi Allah dari semua itu. Adapun menyifati Allah dengan Sifat-Sifat yang patut bagi-Nya yang Mahasuci dan yang ditegakkan atas dalil-dalil yang tak terbantah dalam ilmu-ilmu filsafat transendental, hal itu malahan merupakan keharusan. Sebab, Kitabullah, Sunnah Rasul Saw., dan hadis-hadis Ahl Al-Bait ('alaihim al-salam) banyak mengemukakan hal tersebut. Juga, karena dalam hadis di atas, Imam Al-Shadiq a.s. menyebutkan secara eksplisit bahwa kriteria-untuk menetapkan sifat-sifat yang benar bagi Allah adalah bukti yang benar. Namun, pembahasan tentang soal ini bukanlah merupakan tujuan kami di sini.

Apa yang diperintahkan Imam Al-Shadiq a.s. dalam menetapkan Sifat Allah untuk tidak keluar dari apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dalam perkataan “Sesungguhnya mazhab yang benar dalam tauhid adalah menetapkan Sifat-Sifat Allah yang telah dijelaskan oleh Al-Quran", sebenarnya lebih ditujukan kepada orang-orang yang tidak memahami kriteria dalam menetapkan Sifat-Sifat Allah. Jadi, perintah beliau itu bukan berarti larangan untuk menetapkan Sifat-Sifat bagi

Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Itu sebabnya, setelah memerintahkan 'Abdullah ibn 'Ali untuk tidak memberikan sifat kepada Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran, beliau sendiri mengemukakan dua Sifat Allah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran, yakni Al-Tsabit (Yang Mahatetap, Tidak Berubah) dan Al-Maujûd (Yang Maha Maujud). Memang benar, jika seseorang ingin menyifati Allah dengan sifat-sifat yang dia peroleh dari inspirasi akalnya yang terbatas dan penuh waham, tanpa bersuluh dengan cahaya makrifat dan bantuan gaib (dari Allah), pastilah dia akan terjerumus dalam kesesatan ta'thil (penghapusan Sifat-Sifat Allah) atau tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya). Orang-orang seperti kita yang kalbunya terhijab oleh tebalnya kebodohan dan egoisme, tradisi-tradisi yang buruk, dan akhlak yang jelek, hendaknya tidak mengetuk pintu-pintu alam gaib dan tidak memberikan sifat-sifat tertentu kepada Allah berdasar-

p: 653

kan petunjuk akal kita sendiri. Sebab, apa yang terlintas dalam benak kita tak lain adalah makhluk yang sama seperti kita juga. Tidak diragukan bahwa yang dimaksud dengan larangan atas orang-orang seperti kita untuk mengetuk pintu-pintu alam gaib bukanlah berarti bahwa kita harus selalu berada dalam alam kebodohan dan egoisme atau-kita berlindung kepada Allah dari hal ini menyerukan orang banyak untuk mengingkari Nama-Nama Allah. Sebab, Allah Swt. berfirman, Dan tinggalkanlah orang-orang yang mengingkari Nama-Nama-Nya (QS Al-A'râf(7): 180). Atau, melarang orang untuk memperoleh makrifat Ilahiah yang sesungguhr.ya merupakan “mata air” dan lentera para wali, serta landasan dan pilar agama. Namun, yang dimaksud dengan larangan mengetuk pintu-pintu

alam gaib itu ialah seruan untuk menguakkan hijab-hijab tebal mereka. Larangan itu juga merupakan penyadaran bagi manusia yang masih berkubang dalam cinta kedudukan, harta, dunia, dan egoisme bahwa selagi mereka begitu, nasib mereka bakal serupa dengan nasib penulis yang terhijab oleh kebodohan, kesesatan, ujub, dan egoisme--sebagai hijab yang paling tebal-dan senantiasa terjauhkan dari ajaran-ajaran yang benar serta tercegah untuk sampai tujuan. Ketika bantuan gaib dari Allah dan para wali-Nya tidak turun padanya (kita berlindung kepada Allah dari keadaan seperti ini), dia tidak akan sampai pada kebenaran yang berasal dari Allah Yang Mahatinggi atau dari kebenaran yang dimiliki oleh para wali-Nya. Saat itu, tak seorang pun akan tahu ke mana tujuan perjalanan dan gerakan orang ini. Allâhumma, kepada-Mu kami mengadu dan kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. Wahai Tuhan kami, kami adaiah orang-orang yang terombang-ambing di alam kebodohan, berjalar ke sana kemari dalam lembah kesesatan, tertindih oleh ujub (kebanggaan diri), dan egoisme. Kami telah memasuki alam mulk dan materi, alam kegelapan, tanpa membuka mata kami dan menyaksikan keindahan-Mu yang bersinar dalam cermin besar dan kecil, serta tidak pula melihat dengan

Cahaya-Mu yang tampak di lapisan-lapisan langit dan bumi. Kemudian, kami habiskan usia kami dengan mata yang buta dan hati yang terasing, dan kami lewatkan hidup kami dalam kebodohan dan kelalaian.

p: 654

Wahai Tuhan kami, kalau sekiranya rahmat dan pertolongan- Mu yang tak terhingga tidak meliputi dan mencakupi kami dan kalau sekiranya Engkau tidak meletakkan pada hati kami api cinta, bara kerinduan, dan tarikan-tarikan ruhani, niscaya kami selamanya akan berada dalam kebingungan ini dan tidak dapat menempuh jalan kami. Namun, tentu tidaklah demikian prasangka kami kepada-Mu! Padahal Engkau telah lebih dulu memberikan kenikmatan-Mu kepada

kami, dan sesungguhnya rahmat-Mu tidak berawal dan tidak berakhir dan tidak pula ada yang bisa menandinginya. Wahai Tuhan kami, limpahkan anugerah-Mu kepada kami dan jadilah Engkau Penolong kami. Tunjukilah kami cahaya keindahan dan keagungan-Mu dan sinarilah hati kami dengan cahaya Asmâ’ dan Sifat-Mu.

Mengetahui Hakikat Nama dan Sifat Allah Tidaklah Mudah Tidak diragukan bahwa penyelaman terhadap hakikat Sifat-Sifat Allah dan pencerapan atas pola-polanya merupakan masalah yang tak mungkin dijangkau oleh perangkat pembuktian (rasional) yang lemah dan tak akan tergapai puncaknya. Harapan para ‘ârif tak pernah

sampai ke inti masalah ini. Sementara itu, pelbagai pembuktian dan pembahasan rumit yang disodorkan oleh para ahli hikmah dan filsafat atau yang terpapar dalam studi tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang dilakukan oleh para ahli terminologi 'irfân hanya benar dalam kaitan dengan prinsip dan metode mereka.

Namun, ilmu tentang hal-hal itu sendiri adalah hijab yang sangat tebal. Kalau hijab tersebut tidak dapat disibakkan melalui pertolongan Allah Swt. di bawah naungan ketakwaan, latihan menaklukkan diri dan kebergantungan total serta permohonan yang bersungguh-sungguh kepada-Nya, niscaya tidak akan pernah muncul sinar keindahan dan keagungan Ilahi dalam kalbu sang pesuluk. Tidak pula hati itu akan dapat menyaksikan pemandangan gaib dan menemukan kehadiran langsung pelbagai manifestasi (tajalli) Nama-Nama dan Sifat-Sifat apalagi Manifestasi-Manifestasi Zat.

Pengertian seperti itu hendaknya tidak menghalau seseorang dari studi dan belajar yang merupakan sejenis zikir tentang Allah Swt.

p: 655

Sebab, jarang sekali tumbuh subur pohon makrifat yang baik dalam kalbu tanpa bibit ilmu yang benar dengan segala syarat yang mesti dipenuhinya. Tidak bisa tidak, setiap orang mesti terlebih dahulu menempuh berbagai latihan ilmiah dengan segenap prasyarat dan syarat pelengkapnya, dan tidak begitu saja mundur dari gelanggang pengetahuan, mengingat “Pengetahuan adalah benih musyâhadah (penyaksian mistis)". Kalaupun pengetahuan itu tidak membuahkan hasil yang baik dan sempurna di alam ini lantaran beratnya rintangan yang harus dihadapi, setidaknya ilmu itu akan tetap memberikan buah-buah yang baik di alam-alam lain. Jadi, yang terpenting adalah bangkit (untuk mencari ilmu) dengan segenap persyaratan dan pendahuluannya. Pada penjelasan terhadap beberapa hadis terdahulu,

kami telah mengemukakan sebagian dari syarat dan pendahuluan tersebut.

Ilmu tentang Hakikat Spiritualitas para Nabi dan Wali tidak Mungkin Diperoleh Melalui Pemikiran dan Pembuktian Rasional

Hendaknya diketahui bahwa mustahil kita sanggup mengetahui spiritualitas dan kedudukan (maqâm) Penutup para nabi, Baginda Muhammad Saw., secara khusus dan para nabi yang agung serta para wali yang maksum ('alaihim al-salâm) secara umura melalui pemikiran, perenungan, dan penjelajahan fisik dan psikologis, mengingat manusia-manusia mulia itu adalah cahaya-cahaya gaib Ilahi, penampakan-penampakan sempurna dari Keindahan dan Keagungan Ilahi, dan Tanda-Tanda-Nya yang berkilau. Dalam pengembaraan dan perjalanan spiritual, mereka telah sampai kepada Allah sebagai Tujuan Tertinggi, fanâ' dalam Zat-Nya dan tiba pada pengujung mi'raj sebagaimana tergambar dalam ayat “Sedekat dua ujung busur atau lebih dekat lagi”. Pemilik maqâm ini sebenarnya hanyalah Penutup para

nabi Saw. dan semua nabi lain yang bersuluk menuju Allah mengekor di belakang jejak Baginda Nabi Saw.

Di sini, kita tidak sedang membicarakan pola mi'raj Penutup para nabi Saw., dan tidak pula sedang menjelaskan perbedaan antara perjalanan beliau Saw. dan para nabi serta para wali lainnya. Cukuplah kiranya apabila di sini kami mengemukakan satu riwayat yang menu-

p: 656

turkan tingkat cahaya mereka. Sebab, pemahaman tentang tingkat cahaya mereka membutuhkan pula pada cahaya batin dan tarikan Ilahi (jadzbah Ilahiyyah).

کافی بإسناده عن جابر، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: سألته عن علم العالم. فقال لی: یا جابر، إنّ فی الأنبیاء و الأوصیاء خمسة ارواح: روح القدس، و روح الإیمان، و روح الحیاة، و روح القوّة، و روح الشّهوة. فبروح القدس، یا جابر، عرفوا ما تحت العرش إلی ما تحت الثّری. ثمّ قال: یا جابر، إنّ هذه الأربعة أرواح یصیبها الحدثان، إلّا روح القدس، فإنّها لا تلهو و لا تلعب

Dalam Al-Kafi, melalui sanad dari Jabir ibn 'Abdillah Al-Anshari, dari Imam Abi Ja'far a.s. disebutkan bahwa Jabir berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abi Ja'far tentang ilmu seorang 'âlim. Beliau berkata, 'Wahai Jabir, sesungguhnya pada diri para nabi dan para wali terdapat lima ruh: ruh kudus, ruh iman, ruh kehidupan, ruh kekuatan, dan ruh syahwat. Dengan ruh kudus—wahai Jabir-mereka dapat mengetahui apa yang terdapat di bawah 'Arasy hingga yang terdapat di bawah bumi. Seterusnya beliau mengatakan, 'Wahai Jabir, keempat ruh lainnya bisa terkena perubahan, kecuali ruh kudus. Sebab, ia tidak pernah berbuat sia-sia dan tidak pernah lalai. (1)

و بإسناده عن أبی بصیر، قال: سألت أبا عبد الله، علیه السّلام، عن قول الله تبارک تعالی: «وَ کَذلِکَ إلَیْکَ رُوحا مِنْ أمْرِنا ما کَنتَ تَدْری مَا الْکِتابُ وَ لا الإیمانُ» قال: خلق من خلق الله تبارک و تعالی، أعظم من جبرئیل و میکائیل، کان مع رسول الله، صلّی الله علیه و آله، یخبره و یسدّده. و هو مع الأئمّة من بعده، صلوات الله علیهم

Dengan sanad dari Abu Bashir, disebutkan bahwa Abu Bashir berkata, “Saya bertanya kepada Imam Abu 'Abdullah a.s. tentang

p: 657


1- 6. Ushủl Al-Kafijil.I, Kitâb Al-Hujjah, bâb fi dzikr al-arwah allatî fi al-a'immah 'alaihim al-salam", h.1.

firman Allah Swt. yang berbunyi, Dan, demikianlah kami wahyukan kepadamu ruh dengan perintah Kami. Sebelumnya, kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah keimanan itu.' Beliau mengatakan, '(Ruh tersebut) adalah salah satu di antara makhluk Allah yang lebih agung daripada Jibril

dan Mikail. Ia bersama-sama Rasulullah Saw. untuk memberi kabar dan menolongnya dan bersama-sama dengan para Imam sesudah beliau ('alaihim al-salām).(1)

Dari hadis yang pertama dapat dipahami bahwa para nabi dan para wasyî-'alaihim al-salam-mempunyai maqâm spiritual tinggi yang disebut dengan ruh kudus. Dari ruh itu, mereka memperoleh wawasan keilmuan yang kukuh tentang semua hal, termasuk tentang atom-atom yang terkecil. Di situ, tidak dikenal apa yang disebut dengan kealpaan, tidur, kelupaan, pelbagai gejala fisik, beserta perubahan dan kekurangannya. Ia berasal dari alam gaib yang abstrak dan alam jabarût yang agung. Dan dari hadis kedua dapat dipahami bahwa ruh yang sedemikian itu lebih agung daripada Jibril dan Mikail-'alaihim al-salâmpada keduanya (Jibril dan Mikail) merupakan makhluk-makhluk yang paling taat di alam jabarût. Memang benar bahwa substansi (thînah) para wali diolah oleh tangan kekuasaan Allah Yang Mahaindah dan Mahaagung, sedemikian sehingga dalam cermin (hati) mereka yang sempurra Allah menampakkan Diri-Nya saat terjadi penampakan Ilahi (tajalli) yang pertama dengan segenap Nama, Sifat, dan tahap Kemanunggalan Ilahi yang utuh. Dengan demikian, mereka mengenal hakikat Nama dan Sifat Allah sebelum adanya identitas esensial mereka. Maqâm para wali itu terlalu tinggi dan terlalu jauh untuk bisa diraih tepian kebesaran dan keagungan mereka oleh angan-angan para ahli makrifat. Demikian pula para pengasah kalbu (ahl al-qulûb) juga terlalu lemah untuk menengok ke puncak kesempurnaan mereka. Dalam hadis Nabi Saw. yang mulia disebutkan, “Ali bersentuhan langsung dengan Zat Allah Swt. "(2) Tentang ini, penulis telah menyusun sebuah buku sederhana dengan judul Mishbâh Al-Hidayah. Di situ, penulis menyebutkan gambaran tentang magâm kenabian dan kewalian (wilayah), seperti gambaran yang diberikan kelelawar tentang cahaya matahari yang menyinari bumi.

p: 658


1- 7. Al-Kâfî, jil. 1, Kitâb Al-Hujjah, bâb al-rüh allatî yusaddid Allah ..., h. 1.
2- 8. Bihar Al-Anwâr, jil. XXXIX, h. 313.

Terdapat berbagai alternatif makna dalam kalimat yang berbunyi "bagaimana mungkin seorang hamba yang dihijabi oleh Allah dengan tujuh hijab dapat disifati”, dalam hadis terdahulu, antara lain: Pertama, alternatif makna yang dikemukakan oleh salah seorang ahli makrifat (Al-'Arifin), yaitu ahli hadis yang arif dan sempurna, almarhum Al-Kasyani, yang mengatakan bahwa hadis ini mengemukakan bahwa Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab cahaya dan hijab kegelapan. Satu saja dari hijab-hijab itu tersibakkan, niscaya terbakar wajah orang yang pandangannya sampai ke sana. Berdasarkan alternatif ini, dapat dipahami bahwa ucapan yang berbunyi "orang yang dihijabi oleh Allah dengan tujuh hijab” berarti bahwa Nabi Saw. telah mengoyak 70 ribu hijab yang memisahkan beliau dengan

Allah Swt. hingga tinggal tujuh hijab saja.(1)

Berdasarkan penjelasan di atas, pengertiannya mungkin begini: "Allah menghijab Zat-Nya dari Rasulullah Saw. dengan tujuh hijab.” Jadi, ism al-jalâlah (Allah) menjadi fa'il (subjek) bagi kata kerja ihtajaba (menghijab) dalam hadis tersebut. Sekalipun merupakan alternatif terbaik di antara semua alternatif yang ada, alternatif ini tetap bisa diperdebatkan. Dari sudut pandang redaksi, untuk memberikan sifat dan definisi, lebih tepat kalau diungkapkan dengan ucapan, “(Beliau) tidak terhijab dari Allah kecuali dengan tujuh hijab,” atau “Allah tidak menghijab beliau kecuali dengan tujuh hijab.” Dengan kata lain, kesempurnaan dan ketidakmungkinan Nabi untuk disifati, sebagaimana yang disebutkan dalam kalimat “dan bahwasanya Nabi Saw. tidak dapat disifati”, terjadi karena tiadanya hijab dan bukan justru karena adanya tujuh hijab tadi. Jelasnya, untuk alternatif di atas, lebih tepat jika redaksi hadis tersebut menafikan adanya hijab dan bukan mengafirmasikannya. Dari perspektif makna, tampaknya hijab-hijab (yang menghijab Allah) merupakan hijab-hijab yang terdiri dari cahaya dan kegelapan-yakni hijab-hijab penciptaan yang sangat dekat dengan cahaya Rasulullah Saw. yang suci. Padahal, telah terbukti bahwa Rasulullah Saw. sendiri merupakan hijab yang paling dekat dan makhluk pertama Allah, sehingga bagi beliau tidak terdapat hijab Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah-seperti telah ditegaskan pada tempatnya. Sedang-

p: 659


1- 9. Mir’ât Al-'Uqul, Dar Al-Kutub Al-Islâmiyyah, Teheran, jil. IX, h. 71.

kan pelbagai maqâm dan luthf Rasulullah Saw. yang tujuh ilu juga tidak merupakan hijab bagi beliau. Kedua, alternatif yang dikemukakan oleh ahli hadis terkemuka,

Syaikh Al-Majlisi—semoga Allah meninggikan derajatnya di alam kudus-yang menukil dari beberapa alim bahwa kalimat tersebut merupakan pengantar bagi kalimat sesudahnya. Yakni, “Sesungguhnya Allah terhijab dari makhluk-Nya dengan tujuh langit, menjadikannya (Rasulullah Saw.) sebagai khalifah bagi hamba-hamba-Nya, mengaitkan ketaatan padanya dengan ketaatan pada Allah. Kemudian, Dia melimpahkan kepadanya urusan segenap makhluk-Nya dengan mendudukkan beliau sebagai raja dan menjadikan antara beliau dan rakyatnya tujuh hijab dan sejumlah pintu yang tak mungkin mereka masuki. Lalu, Dia mengutus beliau sebagai wazir (pengganti), mengangkat beliau sebagai hakim, dan menuliskan Al-Kitab yang menyebutkan keharusan taat kepada beliau. Semua yang punya hajat kepada

Allah hendaknya datang kepada beliau, lantaran “Perkataan beliau adalah perkataan-Ku, perintahnya adalah perintah-Ku, dan hukumnya adalah hukum-Ku.” Dengan demikian, maksud penghijaban Rasulullah dengan tujuh hijab adalah kinayah (isyarat) bagi ketiadaan wahyu, perintah, larangan, dan ketentuan-ketentuan Allah yang berasal dari tujuh langit kecuali melalui penjelasan Rasulullah Saw. “Itulah salah satu alternatif bagus yang telah terlintas di hati orang bodoh ini (Al-Majlisi), sekalipun mungkin saja ada sebagian orang yang telah memaparkannya sesuai dengan paparan di atas. (1)

Pokok-pokok perdebatan pada alternatif pertama (yang diberikan Al-Kasyani) mengenai makna riwayat di atas memang tidak mengena pada alternatif pengertian yang dikemukakan oleh Al-Majlisi ini, baik dari segi makna riwayatnya maupun redaksinya. Tetapi, alternatif kedua ini dapat diperdebatkan lebih jauh dari sekadar perdebatan redaksional sebagaimana yang terdapat pada alternatif pengertian yang pertama.

Terdapat pula alternatif pengertian ketiga yang lebih sesuai, lebih memuaskan, dan lebih sejalan dengan tema pembicaraan kita. Akan tetapi, kebenaran alternatif pengertian ketiga ini bergantung pada salah satu di antara dua hal berikut ini: (1) Kata ihtajaba (dihijabi)

p: 660


1- 10. Mirat Al-'Uqûl, jil. IX, h. 71.

kita anggap mengandung arti “hajaba” (menghijabi), sehingga ia merupakan kata kerja transitif (muta'addi); atau, kalau tidak begitu, ketransitiſan kata kerjanya kita letakkan pada huruf bâ' yang majrûr. Dengan demikian, maf'ul (objek) dalam kedua kemungkinan itu sama-sama dihilangkan (mahdzûs). Alternatif pengertian ketiga ini kita terima—dengan asumsi benarnya salah satu dari dua hal di atas dengan penjelasan: “Apa mungkin bisa disifati seorang hamba yang telah dihijabi oleh Allah dengan tujuh hijab, yang untuk memperlihatkan keindahan dan ketinggian spiritualitas hamba-Nya yang bernama Muhammad ibn 'Abdullah Saw. ini Allah telah menjadikan tujuh hijab yang dimulai dari alam semesta dan berakhir dengan kehendak Mutlak-Nya, atau dimulai dari alam fisik dan materi hingga tingkat

kegaiban identitas beliau—dan semua itu selaras dengan alam kehendak llahi.”

Sayangnya, dalam bahasa Arab dan dalam penggunaan kata ihtajaba tidak pernah kita temukan bahwa kata ini digunakan dengan pengertian transitif, sekalipun para ahli sastra membenarkan digunakannya lafaz ihtajaba sebagai kata kerja transitif dengan menambahkan bâ' yang majrûr. Semua ilmu ada di sisi Allah, dan mudah-mudahan sesudah ini Allah memutuskan perkaranya.

Pelimpahan Urusan kepada Rasulullah Saw.

Hendaknya diketahui bahwa istilah tafwîdh (pelimpahan) mempunyai arti seperti yang ada dalam diskusi teologis tentang jabr (pendapat yang menafikan kehendak pada manusia) dan tafwidh (pendapat yang melimpahkan semua kehendak pada manusia). Dalam istilah itu, pelimpahan berarti bahwa Allah Swt. telah melepaskan Diri-Nya- na'ûdzu billâh-dari pengaturan langsung setiap persoalan mulai dari alam gaib hingga alam penciptaan dan pembentukan (alam fisik), lalu melimpahkan semua urusan kepada makhluk-Nya, baik makhluk itu bersifat sempurna secara spiritual dan berkehendak maupun makhluk itu bersifat tidak berperasaan dan berkemauan. Dengan pelimpahan itu, makhluk melaksanakan pengaturan semua urusannya secara bebas dan penuh.

p: 661

Pelimpahan seperti itu jelas tidak mungkin terjadi pada diri siapa pun, baik di alam penciptaan maupun alam penentuan syariat dan pengaturan serta pendidikan hamba-Nya. Hal itu dikarenakan pelimpahan yang sedemikian itu meniscayakan adanya kekurangan dan sifat keserbamungkinan ontologis (imkân) pada Wajib Al-Wujûd (Maujud yang Niscaya Mewu ud, dan mustahil tidak mewujud), sekaligus menafikan keserbamungkinan dan kebergantungan (cntologis) pada makhluk yang besiſat mumkin al-wujûd (maujud mungkin mewujud dan mungkin tidak mewujud).

Lawan pandangan taſwîdh di atas adalah pandangan jabr yang menafikan segenap pengaruh khusus tingkat-tingkat wujud (di bawah Tuhan), menggugurkan kausalitas, dan membuang semua perantara secara menyeluruh. Pendapat ini juga merupakan kebatilan dan kekeliruan yang bertentangan dengan bukti-bukti yang tak terbantah. Pengertian jabr seperti itu tidak hanya ternaſikan dari perbuatan-perbuatan orang yang mukallaf (mendapat perintah dari Allah), tetapi juga ternafikan secara keseluruhan dari tataran penciptaan dan tataran pelaksanaan syariat--sebagaimana keyakinan yang masyhur. Penolakan terhadap jabr dan tafwîdh dengan pengertian seperti yang telah kami sebutkan tadi adalah (berlakunya) sunnatullah di seluruh talaran wujud dan fenomena alam yang tampak dan yang gaib. Kajian mendalam tentang kedua masalah itu berada di luar lingkup buku ini.

Riwayat-riwayat yang menafikan perkara jabr dan taſwidh sesungguhnya berkaitan dengan kedua pengertian tersebut. Sebaliknya, riwayat-riwayat yang menegaskan taſwidh atas sebagian hukum-hukum syariat, seperti yang disebutkan dalam Al-Kaſi dengan sanad Al-Kulaini dari Imam Abi Ja'far a.s. berikut ini, “Rasulullah Saw. telah menetapkan diyat (denda) atas pidana terhadap mata dan jiwa, serta keharaman perasan anggur dan semua minuman yang memabukkan.” Lalu seorang laki-laki bertanya kepada Imam Abi Ja'far, “Apakah Rasulullah Saw. menetapkan semuanya itu tanpa ada wahyu yang datang kepada beliau?" Imam Abi Ja'far menjawab, “Ya, dan hal itu dimaksudkan agar bisa diketahui siapa yang taat kepadanya dan siapa pula yang membangkang kepadanya.”(1)

p: 662


1- 11. Ushúl Al-Kâſî jil. I, Kitab Al-Hujjah, bâb al-tafwidh ilâ Rasûlillah Saw., h. 7.

Demikian pula halnya dengan sejumlah riwayat lain yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw. menambahkan beberapa rakaat dalam shalat-shalat tertentu, menetapkan puasa di bulan Sya'ban dan tiga hari di setiap bulan sebagai mustahabb (amalan yang disukai Allah) dan pelimpahan urusan yang berkaitan dengan pengaturan makhluk kepada beliau Saw., sebagaimana yang disebutkan oleh hadis Al-Kâfî berikut ini.

کافی: بإسناده عن زرارة قال سمعت أبا جعفر، علیه السّلام، و أبا عبد الله، علیه السّلام، یقولان: إنّ الله عزّ و جلّ فوّض إلی نبیّه أمر خلقه لینظر کیف طاعتهم. ثمّ تلا هذه الآیة : «ما اتیکم الرّسول فخذوه و ما نهیکم عنه فانتهوا»

Dengan sanad Al-Majlisi dari Zurarah disebutkan bahwa Zurarah berkata, “Saya mendengar Imam Abi Ja'far a.s. dan Imam Abu ‘Abdullah a.s. mengatakan, 'Sesungguhnya Allah Swt. telah melimpahkan kepada Nabi-Nya Saw. urusan makhluk-Nya untuk melihat tingkat ketaatan mereka. Kemudian beliau membacakan ayat berikut, Dan apa-apa yang disampaikan Rasul (kepadamu), maka ambillah; dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.'"(1)

Ada beberapa riwayat ma’tsûr lain yang sama dengan kandungan riwayat-riwayat di atas. Semua riwayat yang berkaitan dengan tafwidh (pelimpahan urusan) ditafsirkan secara berbeda dengan pengertian pelimpahan yang tertolak di atas. Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh sejumlah ulama dapat disebutkan sebagai berikut. Antara lain, pengertian yang dikutip oleh Al-Majlisi-rahimahullah—dari Tsiqat Al-Islam Al-Kulaini dan sejumlah besar ahli hadis, "Ketika Allah Taala menyempurnakan Nabi-Nya sedemikian rupa sehingga dia tidak memilih sesuatu kecuali yang sesuai dengan kebenaran dan tidak pernah pula terlintas dalam hatinya sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya dalam segala hal, Allah melimpahkan kepadanya penentuan beberapa persoalan. Misalnya, menambahkan jumlah rakaat dalam shalat fardhu, menentukan shalat dan puasa sunnah, makanan yang baik, dan lain-lain yang sebagian-

p: 663


1- 12. Ushûl Al-Kâfijil. I, Kitâb Al-Hujjah, bâb al-tafwîdh ilâ Rasûlillah Saw.,h. 3.

nya akan dijelaskan nanti dalam buku ini (Mir'ât Al-'Uqül), guna memperlihatkan kemuliaan dan kehormatan beliau di sisi-Nya. Prinsipnya adalah bahwa penentuan ini dilakukan berdasarkan wahyu dan atau ilham. Kemudian, apa yang telah dipilih oleh Rasulullah Saw. tersebut dikuatkan dengan wahyu.(1)

Syaikh Al-Majlisi mengemukakan beberapa rupa tafsir lain tentang pelimpahan urusan makhluk kepada para nabi dalam bidang-bidang politik, bimbingan, penyempurnaan, dan pengajaran mereka. Sebagai contoh ialah pelimpahan yang berkaitan dengan penjelasan tentang ilmu-ilmu dan hukum-hukum kepada mereka, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki atau yang mereka pandang sebagai maslahat, karena adanya perbedaan tingkat intelektual dan pemahaman di antara manusia atau karena alasan taqiyyah.(2)

Namun, para ulama terhormat itu tidak berbicara tentang bentuk-bentuk kemungkinan yang mereka ajukan tentang pola pelimpahan berbagai urusan kepada para nabi atas kaidah tertentu yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar sahih yang mereka jadikan pijakan. Di samping itu, mereka tidak pula menjelaskan perbedaan antara pelimpahan yang mereka anggap mungkin terjadi itu dengan yang mustahil terjadi. Padahal, menurut ulama tersebut, khususnya Syaikh

Al-Majlisi, beriman pada tafwidh kepada selain Allah dalam urusan penciptaan, rezeki, pendidikan, kehidupan, kematian, dan sebagainya, jelas-jelas kafir. “Kekafiran orang yang beriman terhadap tafwidh ini tidak diragukan sedikit pun di kalangan orang-orang yang berakal sehat,” kata Al-Majlisi.(3) Lalu, para ulama itu menjadikan karâmah dan mukjizat sebagai bagian dari terkabulnya doa. Dan Allah adalah pelaku Tunggal dalam semua urusan itu. Kendati demikian, mereka membenarkan adanya tafwîdh kepada para nabi dalam pengajaran dan pendidikan umat manusia, mencegah atau memberi manusia pelbagai harta rampasan dan khumus serta dalam persoalan penetapan hukum-hukum syariat (tasyri").

Pokok masalah ini kurang memperoleh perhatian dari para pengkaji sehingga terdapat telaah umum yang mendalam, sekalipun pada galibnya mereka menyinggung dan membicarakannya secara parsial.

p: 664


1- 13. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. III, Kitab Al-Hujjah, bâb tafwidh ilâ Rasûlillah Saw., hadis ke-3.
2- 14. Ibid.
3- 15. Mir'ât Al-'Uqúl, jil. III, h. 143.

Dengan bekal yang kurang, ilmu dan persiapan yang minim, pena yang tumpul, dan kertas bekas, saya-penulis—tidak mampu meneliti masalah yang menantang ini dengan jeli. Kendati demikian, saya terpaksa menyinggung masalah ini dalam bentuk hasil pembuktian (al-burhân) dan kami tidak menemukan celah sedikit pun untuk mengelak darinya.

Isyarat Singkat tentang Pengertian Tafwidh (Pelimpahan)

Mesti diketahui bahwa kemustahilan pelimpahan yang berimplikasi pada keterbelengguan tangan dan hilangnya sifat kepelakuan Allah serta mengisyaratkan kemampuan dan kehendak hamba secara bebas tidaklah membedakan urusan besar maupun kecil. Jadi, urusan menghidupkan dan mematikan, mewujudkan (al-îjad) dan meniadakan (al-i'dâm), mengubah satu unsur ke unsur lain dan sebagainya tidak mungkin dilimpahkan kepada makhluk. Bahkan, menggerakkan jari pun tidak mungkin dilimpahkan kepada makhluk, baik makhluk itu malaikat muqarrab, para nabi, maupun lain-lain, dari mulai yang di tingkat akal murni (al-'aql al-mujarrad) di alam jabarût hingga yang di tingkat materi primer (al-hayâlâ al-úlà). Sesungguhnya seluruh partikel dalam semua benda tunduk pada kehendak Allah Swt. yang Mahasempurna tanpa ada kemandirian sedikit pun dalam segenap tindakannya. Semua hal, dalam wujud dan kesempurnaannya, gerak dan diamnya, kehendak dan kemampuannya, serta seluruh urusannya senantiasa butuh dan bergantung (faqir) kepada Allah. Bahkan, semua itu sejatinya adalah kebergan-

tungan dan ketakberdayaan murni. Jadi, tidak ada perbedaan dalam keperkasaan Allah dan ketakmandirian hamba dalam hal besar maupun kecil, demikian pula dengan berlaku dan berpengaruhnya kehendak Allah dalam setiap perbuatan besar maupun kecilnya. Demikianlah, jika kita-hamba-hamba Allah yang lemah ini-

sanggup melakukan perbuatan-perbuatan sederhana semisal gerak dan diam, hamba-hamba Allah yang betul-betul ikhlas dan para malaikatnya

Kesimpulannya: hal atau perbuatan besar dan kecil itu tidak memiliki perbedaan di sisi Allah-peny

p: 665

yang imateriil sanggup melakukan perbuatan-perbuatan besar semisal menghidupkan dan mematikan, memberi rezeki, mewujudkan dan meniadakan. Jika malaikat maut dapat mematikan makhluk, perbuatan ini tidak tergolong sebagai terkabulnya doa, begitu pula perbuatan Israfil menghidupkan makhluk. Semua itu bukan merupakan pelimpahan kehendak yang batil. Oleh karenanya, seorang wali yang sempurna dan jiwa-jiwa yang suci dan kuat, misalnya jiwa para nabi dan para wali mampu mewujudkan dan meniadakan, mematikan dan menghidupkan, dengan kekuasaan Allah Yang Mahatinggi. Perbuatan-perbuatan para wali ini juga bukan termasuk dalam kategori pelimpahan yang mustahil, dan hendaknya kita tidak pula menganggapnya sebagai sesuatu yang batil.

Dengan demikian, pelimpahan urusan hamba-hamba Allah kepada (hamba yang memiliki) spiritualitas sempurna, yang kehendaknya telah fanâ’ (lebur) dalam kehendak Allah dan merupakan bayangan dari kehendak-Nya tidaklah mustahil. Hamba tersebut tidak akan memiliki tujuan kecuali yang dikehendaki oleh Allah, dan tidak pula bergerak kecuali jika gerakan tersebut seirama dengan sistem yang terbaik, baik hal itu berkaitan dengan penciptaan dan pembentukan maupun penetapan syariat dan pendidikan, seperti yang diisyaratkan dalam hadis Ibn Sinan yang akan saya sebutkan dalam pasal yang akan datang

Singkatnya, pelimpahan dalam pengertian yang pertama tidak dibenarkan dalam semua bidang mana pun dan bertentangan dengan bukti-bukti yang tak terbantah. Sebaliknya, pelimpahan dalam pengertian yang kedua dibenarkan dalam semua hal. Bahkan, sistem alam semesta ini tidak tegak kecuali atas dasar kausalitas, lantaran "Allah tidak mau menjalankan suatu urusan kecuali dengan sebab-sebabnya”. (1)

Hendaknya diketahui pula bahwa semua yang saya jelaskan secara singkat di atas merupakan konklusi dari sekian banyak bukti yang tak terbantah, sejalan dengan patokan-patokan filosofis yang sahih, pendapat para ahli 'irfân, dan riwayat-riwayat yang mulia. Hanya Allah- lah yang memberi petunjuk kepada kita semua.

p: 666


1- 16. Al-Kafi, jil. I, Kitâb Al-Hujjah, bab ma'rifah al-imâm wa al-radd ilaih, hadis ke-7.

Isyarat tentang Maqâm para Imam a.s.

Hendaknya diketahui bahwa Ahl Al-Bait yang maksum dan suci mempunyai maqâm spiritual yang tinggi dalam pengembaraan maknawi mereka menuju kepada Allah sehingga tak terjangkau pemahaman manusia, walaupun hanya secara teoretis. Maqâm spiritual mereka lebih tinggi dari kecerdasan orang-orang yang berakal dan penyaksian mistis (syuhûd) para ahli ‘irfân. Dalam hadis-hadis yang mulia, dijelas-kan bahwa para Imam menduduki maqâm spiritual yang bersanding-

an dengan Rasulullah Saw. dan sesungguhnya cahaya mereka yang suci bertasbih dan memperkuduskan Zat Allah Yang Mahatinggi sebelum alam semesta ini diciptakan. Dalam Al-Kafi, disebutkan:

کافی بإسناده عن محمّد بن سنان قال کنت عند أبی جعفر الثّانی، علیه السّلام، فأجریت اختلاف الشّیعة، فقال: یا محمّد، إنّ الله تبارک و تعالی لم یزل متفرّدا بوحدانیّته، ثمّ خلق محمّدا و علیّا و فاطمة، فمکثوا ألف دهر، ثمّ خلق جمیع الأشیاء فأشهدهم خلقها و أجری طاعتهم علیها و فوّض أمورها إلیهم، فهم یحلّون ما یشاءون و یحرّمون ما یشاءون، و لن یشاءوا إلّا أن یشاء الله تعالی. ثمّ قال: یا محمّد، هذه الدّیانة الّتی من تقدّمها مرق، و من تخلّف عنها محق، و من لزمها لحق. خذها إلیک یا محمّد.

Dengan sanad dari Muhammad ibn Sinan, “Saya berada bersama-sama Imam Abi Ja'far a.s. lalu saya menyebut-nyebut perselisihan yang terjadi di kalangan Syi'ah. Mendengar itu, beliau berkata, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah selalu sendirian dengan kemahaesaan-Nya. Kemudian, Dia menciptakan Muhammad, ‘Ali,

dan Fatimah (untuk) berdiam selama seribu tahun. Sesudah itu, Allah menciptakan segala sesuatu, menunjukkan segenap ciptaan-Nya kepada mereka, dan mengharuskan segala sesuatu untuk taat kepada ketiganya. Sesudah itu, Allah melimpahkan berbagai urus-

p: 667

an kepada mereka bertiga, sehingga ketiga ini menghalalkan apa yang mereka kehendaki dan mengharamkan apa yang mereka kehendaki. Akan tetapi, mereka tidak pernah akan berkehendak kecuali sesuai dengan kehendak Allah.' Selanjutnya, Imam Abi Ja'far berkata, "Wahai Muhammad, inilah prinsip agama yang jika orang melebihkannya, dia akan tersingkir; jika orang menguranginya, dia akan hancur; dan jika orang berpegang padanya, dia akan bertemu (dengan kebenaran). Ambillah ia untukmu, wahai Muhammad."(1)

و بإسناده عن المفضّل قال قلت لأبی عبد الله، علیه السّلام: کیف کنتم حیث کنتم فی الأظلّة؟ فقال: یا مفضّل، کنّا عند ربّنا، لیس عنده أحد غیرنا فی ظلّة خضراء، نسبّحه و نقدّسه و نهلّله و نمجّده، و ما من ملک مقرّب و لا ذی روح غیرنا حتّی بدا له فی خلق الأشیاء، فخلق ما شاء کیف شاء من الملائکة و غیرهم، ثمّ أنهی علم ذلک إلینا.

،،Dengan sanad dari Al-Mufadhdhal, “Saya bertanya kepada Imam Abu `Abdullah a.s., 'Bagaimana keadaan tuan-tuan (Nabi Saw. dan para Imam) ketika tuan-tuan berada di alam yang penuh naungan (al-azhillah)?' Beliau menjawab, 'Wahai Mufadhdhal, kami berada di sisi Tuhan kami, tanpa ada siapa pun di sisi-Nya selain kami dalam naungan berwarna hijau. Kami menyucikan-Nya, memperkuduskan-Nya, mengucapkan tahlil kepada-Nya dan memuji-Nya. Tidak ada malaikat dan makhluk bernyawa selain kami sampai tiba saat Allah memuai penciptaan segala sesuatu. Dia menciptakan segala apa yang dikehendak-Nya dan dengan cara yang dikehendaki-Nya dari kalangan malaikat dan lain-lain. Kemudian, ilmu tentang semuanya itu diberikan kepada kami."'(2)

Hadis-hadis ma’tsûr tentang elemen (thinah) tubuh mereka, penciptaan ruh dan jiwa mereka, Nama Teragung (al-ism al-a'zham) dan ilmu-ilmu gaib Ilahi dari ilmu para nabi dan malaikat serta hal yang lebih besar yang tak terlintas dalam benak siapa pun yang diberikan kepada mereka. Demikian pula halnya dengan riwayat-riwayat tentang keutamaan mereka, dalam berbagai hal sebagaimana tertera dalam

p: 668


1- 17. Ushûl Al-Kafijil. I, Kitab Al-Hujjah, bab maulûd Al-Nabi Saw., hadis ke-5.
2- 18. Loc.cit, hadis ke-7.

kitab-kitab terkenal, khususnya Ushûl Al-Kâfi, sangatlah banyak jumlahnya. Jumlah riwayat seputar masalah ini sedemikian banyaknya hingga mencengangkan pikiran manusia. Tak seorang pun mampu mengungkap hakikat dan rahasia mereka kecuali mereka sendiri. Hadis yang kami kemukakan di atas hanya memuat satu di antara sekian keutamaan mereka yang tak terhitung. Salah satu keutamaan mereka yang disinggung dalam hadis di atas dalam frasa “Bagaimana mungkin suatu kaum (Ahl Al-Bait) yang telah dihilangkan dari mereka segala noda (al-rijs), yakni keraguan, bisa disifati?" berkaitan dengan ayat tathhir (penyucian) yang diturunkan untuk mereka. Hal ini juga telah ditegaskan oleh berbagai riwayat mutawatir yang dinukil dari kalangan Ahl Al-Sunnah maupun Syi'ah. Maksud Ahl Al-Bait dalam ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan noda (al-rijs) kalian, wahai Ahl Al-Bait (QS Al-Ahzâb (33]: 33),” dalam kesepakatan Syi'ah dan riwayat-riwayat yang berlimpah ruah dan mutawâtir adalah Ahl Al-Bait yang maksum dan suci. Dan semua riwayat yang menunjukkan turunnya ayat di atas untuk Ahl Al-Bait sebetulnya merupakan (gaya bahasa) untuk “memperjelas sesuatu yang sudah jelas” (taudhih al-wadhihât).

Hakikat 'Ishmah

Dalam hadis di atas dan hadis-hadis lainnya al-rijs (noda) ditafsirkan sebagai al-syakk (keraguan), sedangkan dalam sejumlah hadis lain al-rijs itu ditafsirkan sebagai semua aib (al-'uyûb). Dengan demikian, Ahl Al-Bait disucikan dari semua aib dan cacat itu secara menyeluruh. Melalui penjelasan beberapa hadis terdahulu, kita memperoleh kejelasan bahwa penghilangan keraguan mengharuskan penghilangan segala cacat kalbu dan fisik, bahkan mengharuskan ‘ishmah (keterjaga-

an dari segenap dosa). Sebab, ‘ishmah (adakalanya) bukan berasal dari kehendak dan pilihan, bukan pula berasal dari kodrat alami dan naluri manusia. Sebaliknya, 'ishmah merupakan keadaan jiwa dan cahaya batin yang bersumber dari cahaya keyakinan yang sempurna dan ketenangan yang utuh. Pada hakikatnya sumber dari segala kesalahan dan kemaksiatan manusia adalah kekurangan dalam keimanan dan keyakinan. Tingkat-

p: 669

tingkat keimanan dan keyakinan sangat beragam sehingga tidak mungkin kita hitung dan kita jelaskan semuanya. Keyakinan dan keimanan sempurna para nabi bermuara pada al-musyahadah al- hudhûriyyah (penyaksian-langsung) yang menghindarkan mereka dari segala rupa dosa. Keyakinan Imam 'Ali a.s. telah sampai pada tingkat yang sedemikian rupa seperti yang terlukis dalam ucapan beliau: “Jika kepadaku diberikan tujuh galaksi—beserta segala yang ada di dalamnya-agar aku bermaksiat kepada Allah dengan mengambil sebutir gandum dari seekor semut, niscaya aku tidak akan mau melakukannya."(1)

Pendek kata, hilangnya syirik dan keraguan, penyucian dari segenap noda dan keburukan alam materi, penyucian dari segala rupa kegelapan yang ditimbulkan dari keterikatan pada selain Allah, penyucian dari kenistaan egoisme, penyucian dari hijab tebal egosentrisme dan perhatian pada selain Allah akan menjadikan seseorang-sesuai dengan kehendak Allah yang azali—berwujud cahaya suci Ilahi, tanda-tanda ketuhanan yang sempurna dan orang-orang yang bersikap ikhlas (mukhlish) dan diikhlaskan (mukhlashı) untuk Allah semata-mata. Selain itu, keadaan di atas akan mendatangkan maqâm sangat tinggi bagi seseorang sedemikian sehingga tidak mungkin lagi ia dapat diuraikan, disifati, atau dijangkau oleh angan-angan manusia. la ibarat ‘anqa' mughrab yang tidak diketahui identitasnya. Menggambarkan hal itu, seorang penyair mengatakan:

Wahai pemburu, buanglah jeratmu

Karena tak seorang pun bisa menangkap angsa(2)

Iman Tidak Dapat Disifati

Hendaknya diketahui bahwa iman juga termasuk dalam kalimat-kalimat spiritual yang hakikat nuraninya jarang diketahui orang. Bahkan, orang-orang Mukmin sekali pun tidak mengetahui hakikat cahaya keimanan mereka. Demikian pula halnya dengan pe.bagai karamah (kemuliaan) yang terdapat di sisi Allah Yang Mahatinggi. Mereka tidak

p: 670


1- 19. Nahj Al-Balaghah, editor Subhi Shalih, khutbah ke-224.
2- 20. Al-'unaqa' al-mughrab atau ‘unaqa' mughrab adalah sejenis burung yang dikenal namanya, tetapi tidak diketahui bentuknya. Lihat Agrab Al-Mawârid, entri 'Unuq-penerjemah Persia-Arab.

mungkin mengetahuinya sepanjang mereka masih berada di alam dunia dan kegelapan materi ini. Lantaran kehidupannya dunia, pergumulannya dalam situasi dan

kondisi yang berlaku serta keintimannya dengan hukum-hukum yang berlangsung, sering membanding-bandingkan semua kenikmatan dan kemuliaan alam akhirat atau siksaan dan kehinaan di sana dengan berbagai karunia dan derita alam fisik ini. Maka dari itu, dia cenderung menyerupakan kemuliaan dan anugerah yang dijanjikan oleh Allah Yang Mahatinggi untuk kaum Mukmin--sebagaimana yang dipaparkan oleh para nabi a.s.-dengan pemberian para raja dan penguasa kepada rakyatnya. Atau, ia akan mengira bahwa semua yang di akhirat itu agak sedikit lebih baik dan lebih utama daripada yang di dunia. Jadi, baginya, segenap kenikmatan ukhrawi itu seperti yang ada di alam ini, atau sedikit lebih halus dan lebih enak. Padahal, perbandingan seperti ini jelas-jelas keliru. Kita tidak dapat membayangkan kenikmatan dan kesenangan alam akhirat, dan gambarannya belum pernah terlintas dalam benak kita. Kita tidak dapat membayangkan bahwa seteguk air surga itu mengandung seluruh kenikmatan yang mungkin terlihat di sini, dan bahwasanya setiap kelezatan berbeda dengan kelezatan yang lain.

Kualitas setiap kelezatan di sana tidak bisa disetarakan dengan kualitas kelezatan yang ada di sini.

Dalam hadis mulia di atas, disebutkan salah satu kemuliaan orang-orang beriman yang tak terbandingkan oleh para ahli makrifat dan ahli hati dengan apa pun juga. Kemuliaan itu bisa ditimbang dan ditakar dengan apa pun. Yaitu, “Ketika seorang Mukmin bertemu saudaranya dan saling berjabatan tangan, Allah akan terus melihat mereka berdua.”

Terdapat banyak riwayat yang mengemukakan makna yang sama dengan itu. Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dengan sanad Al-Majlisi dari Imam Abi Ja'far a.s., “Jika dua orang Mukmin bertemu lalu saling berjabatan tangan, Allah akan menengok mereka berdua dengan Wajah-Nya sehingga berguguranlah dosa-dosa mereka sebagaimana bergugurannya daun-daun dari pohon."(1)

p: 671


1- 21. Ushûl Al-Kâfî jil. II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bâb al-mushafahah, hadis ke-4.

Hanya Allah Swt. yang tahu apa yang dimbulkan dari tawajjuh Zat Yang Mahatinggi dengan Wajah-Nya terhadap seorang Mukmin yang berjabat tangan dengan saudara Mukminnya dalam bentuk cahaya dan kemuliaan, tersibaknya hijab yang memisahkan orang Mukmin dari cahaya keindahan Zat Yang Mahatinggi dan inayah

Ilahi yang diturunkan kepada seorang Mukmin. Akan tetapi, haruslah diketahui rahasia sejati dan poin hakiki apa yang ada di balik timbulnya pelbagai kemuliaan itu agar kalbu kita selalu mengingatnya. Juga, agar amal kita menjadi lebih sempurna, bercahaya, dan membawa ruh serta Tiupan Ilahi (naſkhah ilâhiyyah) di dalamnya. Rahasia sejati dan poin hakiki itu adalah tersebarnya kasih sayang dan kecintaan demi Allah, serta pembaruan ikatan persaudaraan demi Dia. Beberapa

hadis menegaskan keharusan memberikan perhatian terhadap rahasia ini. Hadis-hadis yang berkenaan dengan jabat tangan juga mengisyaratkan pada rahasia di atas. Dalam Al-Kâfi dengan sanad Al-Majlisi dari Imarn Abi Ja'far a.s. diriwayatkan bahwa, “Jika dua orang Mukmin bertemu lalu berjabat tangan, Allah akan memasukkan Tangan-Nya di antara kedua tangan mereka dan menjabat tangan orang yang lebih besar cintanya kepada saudaranya."(1)

Dalam riwayat lain dari Ishaq ibn 'Ammar disebutkan bahwa dia (Ishaq ibn 'Ammar) mengatakan, “Aku menemui Imani Abu 'Abdullah a.s, dan beliau berkata, “Tidakkah kau tahu bahwa jika dua orang Mukmin bertemu lalu keduanya berjabat tangan, Allah akan menurunkan rahmat kepada keduanya dengan sembilan puluh sembilan rahmat dilebihkan bagi orang yang paling dalam cintanya kepada saudaranya. Jika cinta kedua orang itu seimbang, Allah akan membanjiri

keduanya dengan rahmat-Nya."(2) Segala puji bagi Allah di awal dan akhir. ()

p: 672


1- 22. Ibid., hadis ke-2.
2- 23. Ushủl Al-Kafi jil. II, kitab al-iman wa al-kufr, bâb al-mushafahah, hadis ke-14.

32 Hadis tentang Rezeki

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب الکلینیّ، عن الحسین بن محمّد، عن المعلیّ بن محمّد، عن الحسن بن علیّ الوشّاء، عن عبد الله بن سنان، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: من صحّة یقین المرء المسلم أن لا یرضی النّاس بسخط الله، و لا یلومهم علی ما لم یؤته الله، فإنّ الرّزق لا یسوقه حرص حریص، و لا یردّه کراهیة کاره، و لو أنّ أحدکم فرّ من رزقه کما یفرّ من الموت، لأدرکه رزقه کما یدرکه الموت. ثمّ قال: إنّ الله بعدله و قسطه جعل الرّوح و الرّاحة فی الیقین و الرّضا، و جعل الهمّ و الحزن فی الشّکّ و السّخط

Dengan sanad yang bersambung pada Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari Al-Husain ibn Muhammad, dari Al-Mu'alla ibn Muhammad, dari Al-Husain ibn 'Ali Al-Wasysya', dari 'Abdullah ibn Sinan, dari Abu `Abdullah a.s., bahwa beliau mengatakan, "Salah satu (di antara tanda) benarnya keyakinan seorang Muslim

adalah bahwa dia tidak mau memperoleh ridha manusia dengan (memperoleh) kebencian Allah dan tidak mencaci mereka atas apa yang tidak diberikan Allah. Sebab, rezeki itu tidak dapat digiring

p: 673

oleh ambisi orang yang berambisi (terhadapnya) dan tidak pula dapat dicegah oleh ketidaksukaan orang yang tidak suka. Kalau salah seorang di antara kalian lari dari rezekinya sebagaimana dia lari dari kematian, niscaya rezeki tersebut tetap akan menemukannya, sebagaimana halnya dengan kematian yang menemuinya."

Selanjutnya beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah, dengan keadilan dan kebencian-Nya, menjadikan ketenteraman dan kesenangan (terletak) dalam keyakinan dan keridhaan dan menjadikan kegelisahan dan kesedihan (terletak) dalam keraguan dan kebencian.(1)

Penjelasan

Al-Jauhari mengatakan bahwa lafaz al-sakhath mengikuti wazan (pola kata) al-faras, sedangkan al-sukhth mengikuti pola kata kerja qufila. Al-sukhth (kebencian) merupakan kontras dari ridha (al-ridha). Al-rauh wa al-râhah sama-sama memiliki arti ketenangan (al-istirá- hah), sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Jauhari. Dengan demikian, hubungan al-râhah atas al-rauh merupakan ‘athaf (hubungan yang membentuk kata majemuk) yang bersifat interpretatif atau bisa pula

dikatakan bahwa al-rauh mengandung arti ketenteraman kalbu, sedangkan al-râhah mengandung arti ketenteraman jasmani, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Majlisi. Al-hamm wa al-huzn, menurut Al-Jauhari, memiliki makna yang sama. Dihubungkannya lafaz yang pertama (al-hamım) kepada lafaz yang kedua (al-huzn) merupakan 'athaf interpretatif. Al-Majlisi mengatakan, “Al-hamm adalah kegelisahan jiwa ketika memperoleh rezeki, sedangkan al-huzn adalah keluh kesah dan kesedihan ketika tidak memperoleh rezeki.(2)

Terdapat dua kemungkinan arti dalam ucapan Imam Abu Abdillah a.s. yang berbunyi, “Dan hendaknya dia tidak mencaci mereka atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya." Pertama, hendaknya dia tidak mencaci maki dan mengumpai mereka karena tidak memberinya harta atau sesuatu yang lain. Sebab, orang yang memiliki keyakinan pasti tahu bahwa barang-barang itu bukanlah merupakan barang yang dianugerahkan Allah sebagai rezeki baginya, karena bararıg-barang tersebut tidak akan membawa kemas-

p: 674


1- 1. Ushủl Al-Kafi, jil. 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bab fadhl al-yaqin, hadis ke-2.
2- 2. Mir’ât Al-'Uqúl, jil. VII, h. 359.

lahatan sama sekali baginya, atau tidak maslahat karena ia melalui tangan orang lain. Namun, Allah akan memberi rezeki kepadanya melalui jalan yang tidak terduga-duga. Oleh karena itu, hendaknya dia tidak mencela siapa pun.

Kemungkinan arti seperti ini dikemukakan pula oleh Al-Muhaqqiq Al-Faidh, Al-Kasyani, dan didukung oleh Al-Majlisi. Kedua, juga dikemukakan oleh Al-Kasyani, hendaknya dia tidak mencela siapa pun atas apa yang tidak diberikan oleh Allah kepada mereka. Sebab, Allah telah menjadikan bagi setiap orang rezeki yang

merupakan haknya, dan setiap orang dimudahkan untuk itu, sehingga artinya sejalan dengan ucapan Imam Abu 'Abdullah a.s. yang berbunyi, “Kalau sekiranya seseorang itu tahu bagaimana Allah menjadikan makhluk ini, niscaya dia tidak akan mencela siapa pun."(1)

Al-Majlisi mengatakan, “Sesudah itu, tidak ada yang kabur lagi, terutama setelah memerhatikan alasan di mana terdapat ucapan beliau yang berbunyi, '(Sebab) rezeki itu tidak bisa digiring ...,"(2) Menurut kami, kemungkinan arti yang kedua di atas lebih tepat dibanding dengan kemungkinan arti yang pertama, terutama apabila dikaitkan dengan ta'lil (alasan) yang disebutkan tadi, yaitu “rezeki itu tidak bisa digiring ....” Sebab, dengan alasan tersebut, manusia dalam kemiskinan dan kesulitan mereka dikembalikan pada kemungkinan ikhtiar mereka untuk memperoleh rezeki melalui usaha dan jerih payah itu, mereka mendapat kelapangan dan kekayaan jiwa. Dalam keadaan seperti itu, bisa saja seseorang berkata kepada kawannya, “Aku telah berusaha dan memeras tenaga, sedangkan engkau duduk-duduk saja, tetapi mengapa aku yang mengalami kesulitan hidup?" Namun, orang yang memiliki keyakinan pasti tahu bahwa keinginan dan usaha tidaklah dapat menjerat rezeki. Oleh karena itu, dia pasti tidak akan mencela siapa pun atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya.

Haruslah diketahui bahwa secara eksplisit, hadis-hadis mulia seperti tersebut di atas mengemukakan bahwa “Rezeki itu telah terbagi dan ditentukan, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Quran”. Hadis-hadis tersebut tidak bertentangan dengan riwayat-

p: 675


1- 3. Mir’ât Al-'Uqûl, jil. VII, h. 356.
2- 4. Mir’ât Al-'Uqúl, jil.VII, h. 357.

riwayat yang mendorong manusia untuk mencari rezeki, bekerja, dan berdagang; memandang buruk orang yang tidak mau bekerja dan mencari rezeki, dan mencela keras orang yang malas bekerja, bahkan menggolongkan orang yang tidak mau bekerja ke dalam kelompok orang-orang yang tidak dikabulkan doanya dan tidak akan dikirim rezeki oleh Allah. Hadis semacam itu sangat banyak jumlahnya, tetapi cukuplah kiranya apabila di sini kami kemukakan salah satu di antaranya.

ہعن محمّد بن الحسن، شیخ الطّائفة، قدّس سرّه، بإسناده عن علیّ بن عبد العزیز قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: ما فعل عمر بن مسلم؟ قلت: جعلت فداک، أقبل علی العبادة و ترک التّجارة. فقال: ویحه! أما علم أنّ تارک الطّلب لا یستجاب له دعوة؟ إنّ قوما من أصحاب رسول الله، صلّی الله علیه و آله، لمّا نزلت: «و من یتّق الله یجعل له مخرجا و یرزقه من حیث لا یحتسب،» [1] أغلقوا الأبواب و أقبلوا علی العبادة، و قالوا: قد کفینا. فبلغ ذلک النّبیّ، صلّی الله علیه و آله، فأرسل إلیهم فقال: ما حملکم علی ما صنعتم؟ فقالوا: یا رسول الله، تکفّل الله لنا بأرزاقنا، فأقبلنا علی العبادة. فقال: من فعل ذلک لم یستجب له. علیکم بالطّلب

Dari Muhammad ibn Al-Husain, Syaikh Al-Tha'ifah, semoga Allah menyucikan dirinya, dengan sanad dari 'Ali ibn `Abdul Aziz, yang mengatakan, “Imam Abu `Abdullah a.s. bertanya, 'Apa yang dikerjakan oleh 'Umar ibn Muslim? Aku menjawab, 'Aku menjadikan diriku sebagai pembela Tuan. Dia memusatkan diri untuk beribadah dan meninggalkan perdagangannya.' Maka, beliau pun berkata, "Celaka, apakah dia tidak tahu bahwa orang yang tidak mau bekerja itu tidak dikabulkan doanya?' Sesungguhnya sekelompok orang dari para sahabat Rasulullah Saw. pada saat turun ayat yang berbunyi, Barang siapa bertakwa kepada Allah, Allah menjadikan baginya jalan keluar (dari kesulitan) dan memberinya rezeki dari arah yang

p: 676

tidak terduga, serta merta menutup pintu rumahnya untuk melulu beribadah. Mereka mengatakan, 'Cukuplah sudah bagi kami.' Ihwal mereka terdengar oleh Rasulullah Saw., lalu beliau menyuruh seseorang untuk memanggil mereka. Kemudian, beliau bertanya kepada mereka, 'Apa yang menyebabkan kalian berbuat begitu?' Mereka menjawab, 'Ya Rasulullah, Allah telah menjamin rezeki kami. Karena itu, kami memusatkan diri untuk beribadah.' Mendengar itu, Rasulullah Saw. berkata, 'Barang siapa melakukan hal seperti itu, tidak diterima doanya. Kalian harus mencari (rezeki).(1)

Ketidakbertentangan hadis ini dengan hadis-hadis sebelumnya terdapat pada penegasannya bahwa mencari rezeki itu merupakan kewajiban manusia. Sedangkan, rezeki dan urusan-urusan lain yang berkaitan dengannya berada di tangan Allah Yang Mahatinggi, dan semata-mata usaha kita untuk mencari rezeki tidaklah cukup untuk menjeratnya. Mencari rezeki adalah kewajiban hamba, sedangkan pengaturan berbagai urusan dan sebabnya, baik yang lahiriah maupun yang bukan lahiriah, yang lazimnya berada di luar jangkauan manusia, semua itu terjadi melalui kemahakuasaan Allah Yang Maha tinggi.

Orang yang memiliki keyakinan yang benar dan yang berjalan seiring dengan pergerakan berbagai urusan wajib mencari rezeki setiap saat. Bahkan, dia akan menjalankan tugas-tugasnya secara rasional dan sesuai dengan syar'i. Dia tidak akan menutup pintu pencarian rezeki, seraya tahu betul bahwa segala sesuatu ini berasal dari Zat Yang Mahatinggi lagi Mahasuci dan bahwasanya dia tidak akan terpengaruh oleh segala sesuatu yang ada di perwujudan dan di kesempurnaan wujud. Pencari, mencari, dan yang dicari, semuanya berasal dari Allah. Sedangkan, kalimat yang terdapat dalam hadis di atas, yang berbunyi, “Dan hendaknya dia tidak mencela mereka atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya," mengandung pengertian bahwa jika telah dilakukan usaha dengan kadar yang semestinya, hendaknya seseorang tidak mencela orang lain atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya. Pengertian ini tidak bertentangan dengan pengertian yang terdapat dalam dua hadis kuat yang disebutkan sebelumnya, yang menganggap buruk orang-orang yang tidak mau mencari rezeki,

p: 677


1- 5. Wasa'il Al-Syi'ah, jil. XXII, Bab V, yang merupakan bagian dari bab-bab tentang Muqaddamât Al-Tijárah, hadis ke-7.

lalu mendorong mereka untuk mencarinya, seperti cisebutkan juga oleh riwayat-riwayat lainnya. Secara singkat, pembicaraan kita ini berkaitan dengan tema yang

termasuk cabang al-jabr (keterpaksaan) dan al-tajwidh (pelimpahan). Pembaca yang ingin mendalami masalah ini dapat membacanya dari kitab-kitab yang memberikan uraian mendalam tentang tema ini. Penjelasan terperinci atas tema ini sangat luas dan berada di luar tanggung jawab dan tugas buku ini.

Tanda-Tanda Hujah yang Yakin

Dalam hadis mulia di atas, Imam Al-Shadiq a.s. menyebutkan dua tanda bagi keyakinan yang benar: pertama, tidak mencari ridha manusia dengan memperoleh kebencian Allah; kedua, tidak mencela orang lain atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya. Kedua tanda tersebut merupakan hasil keyakinan yang sempurna,

sebagaimana halnya dengan kontrasnya, yang merupakan akibat dari lemahnya keyakinan dan buruknya keimanan. Tiba di sini, kita telah sampai pada konteks yang bermacam-macam, dalam hubungannya dengan penjelasan iman, keyakinan, dan buah dari keduanya, semaksimal yang bisa kita lakukan. Sekarang, kami akan memberikan deskripsi singkat terhadap kedua tanda tentang benarnya keimanan dan keyakinan, berikut kedua kontrasnya yang menunjukkan lemah dan berpenyakitnya keyakinan. Hendaknya sama-sama kita ketahui bahwa orang yang ingin mencari perkenan manusia dan yang mengerahkan seluruh kemampuan-

nya untuk menguasai hati dan pikiran mereka, sebenarnya dia melakukan semua itu karena dia yakin bahwa orang-orang itu memegang peranan penting dan menentukan kelancaran rezekinya. Orang-orang yang menyukai harta dan menjadi budak-budak uang pasti tunduk di bawah kaki orang-orang kaya, merendahkan diri, dan menjilat kepada mereka. Sementara itu, orang-orang yang berambisi akan kekuasaan dan kehormatan-kehormatan lahiriah pasti merunduk-runduk di depan para penguasa, seraya mengharap bahwa sikap mereka yang seperti itu bisa menjadi jalan untuk merebut hati para

p: 678

penguasa. Seperti itulah roda digerakkan. Orang-orang yang tertindas terseok-seok di bawah kaki para penguasa dan para pemburu kedudukan dan jabatan. Mereka berusaha keluar dari lingkaran yang berputar dan menghubungkan penguasa dengan orang-orang yang dikuasai, khususnya orang-orang yang terbiasa melatih diri dengan pelatihan-pelatihan jiwa. Mereka berusaha mati-matian untuk meraih perkenan dari Allah Yang Mahasuci. Mereka tidak pernah goyah

menghadapi pengaruh dunia. Bahkan, mereka selalu mencari ridha Allah Azza wa Jalla saat mereka berada dalam penindasan orang lain, dan selalu pula mencari kebenaran saat berkuasa. Dengan demikian, di dunia ini manusia terbagi menjadi dua bagian. Kelompok pertama adalah orang-orang yang dibimbing oleh keyakinan mereka untuk meyakini bahwa sarana-sarana lahiriah dan pengaruh-pengaruh duniawi seluruhnya tunduk pada kehendak Yang Azali dan Mahasempurna. Dengan demikian, mereka tidak menemukan adanya peranan bagi selain Allah, dan tidak mengharap sesuatu dari yang selain-Nya. Mereka beriman bahwa Allah adalah Pemilik dan Penentu di dunia dan akhirat. Dengan seluruh keimanan dan keyakinan yang tidak ternodai oleh kekurangan dan keraguan, mereka

memeluk salah satu ayat Al-Quran yang berbunyi, Katakanlah, “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki” (QS Ali Imrân (3]: 26). Dalam ayat ini, mereka melihat bahwa Allah Swt. adalah Pemilik kerajaan wujud, dan sesungguhnya segenap anugerah berasal dari-Nya Yang Mahasuci. Kelapangan dan kesempitan rezeki di dunia berasal dari-Nya sejalan dengan tertib sistem dan kemaslahatan yang tersembunyi. Adalah jelas bahwa pintu-pintu makrifat selalu membukakan dirinya bagi orang-orang itu dan kalbu mereka pun berubah menjadi kalbu-kalbu Ilahiah. Mereka tidak peduli akan perkenan dan kebenci- an manusia dan tidak pula mempunyai cita-cita kecuali memperoleh ridha Zat Yang Mahatinggi. Mereka tidak berharap kecuali apa yang berada dalam ridha-Nya dan berasal pula dari-Nya. Kalbu mereka tidak pernah melantunkan apa pun kecuali ini, “Tuhanku, jika Engkau memberiku, siapakah yang bisa mencegah pemberian-Mu dariku,

p: 679

dan jika Engkau mencegahnya dariku, siapakah yang bisa memberikannya kepadaku?” Mereka memejamkan mata dari memandang manusia, dari pemberian dan kekayaan dunia mereka. Kepada Yang Mahabenarlah, mereka mengajukan seluruh kebutuhan dan keperluan mereka. Mereka tidak menukar perkenan manusia dengan kebencian Allah, sebagaimana yang ditegaskan oleh Amir Al-Mukminin terdahulu.

Pada saat yang sama, mereka tidak peduli kepada siapa pun kecuali Zat Yang Mahatinggi. Mereka melihat bahwa seluruh makhluk ini membutuhkan Allah. Mereka melihat segala sesuatu dengan mata yang dipenuhi keagungan, kasih sayang, dan cinta, serta tidak pernah mencela siapa pun kecuali dengan maksud memperbaiki dan mendidik orang yang bersangkutan. Seperti itulah yang dilakukan nabi-nabi. Sebab, mereka menganggap manusia sebagai makhluk yang mempunyai ikatan dengan Allah, sekaligus merupakan fenomena keindahan dan keagungan-Nya. Mereka tidak memberi peluang kepada diri mereka untuk melihat hamba-hamba Allah kecuali dengan tatapan sayang dan cinta. Di dalam hati mereka, tidak pernah terlintas rasa tidak senang kepada orang lain karena kekurangan dan kemiskinannya. Kalaupun mencela orang, mereka lakukan melalui ucapan, yang mereka maksudkan untuk kemaslahatan umum dan perbaikan kondisi keluarga umat manusia. Semuanya ini merupakan buah dan hasil dari pohon keyakinan dan keimanan yang baik, ditambah dengan pengetahuan terhadap batas-batas syariat Allah.

Kelompok kedua adalah kelompok orang yang tidak mengetahui kebenaran sedikit pun. Kalau pun mereka meyakini sesuatu, keyakinan dan keimanan mereka lemah dan tidak sempuma. Perhatian mereka terhadap jumlah (kuantitas) dan sarana-sarana lahiriah telah menyebabkan mereka melalaikan Sebab dari segala sebab sabab al-asbab).

Oleh karena itu, mereka bekerja untuk mencari perkenan makhluk. Bahkan, persoalan mereka ini sudah sampai sederikian rupa, sehingga mereka berani membeli perkenan manusia dengan kebencian Allah. Yakni, dengan menyatakan persetujuan mereka terhadap berbagai kemaksiatan dan meninggalkan amar ma'ruf ketika semestinya mereka menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar, atau

p: 680

dengan cara mengeluarkan fatwa yang batil dan mendukung orang yang semestinya tidak didukung, atau mendustakan orang yang tidak semestinya didustakan, menggunjing orang-orang beriman, dan menjelek-jelekkan mereka semata-mata untuk menyenangkan para penguasa dan orang-orang kaya. Semuanya itu tumbuh dari keimanan yang lemah, bahkan ia tergolong dalam kategori syirik. Sikap-sikap seperti ini bisa menimbulkan berbagai kerusakan di tengah-tengah masyarakat, antara lain seperti yang dikemukakan oleh hadis sebelumnya.

Pendapat Mu'tazilah, Asy'ariyyah, dan Mazhab yang Benar

Hendaknya diketahui bahwa Al-Majlisi rahimahullah, ketika menguraikan hadis tersebut, menulis bab khusus dalam kitabnya yang berjudul Mirat Al-'Uqûl, yang menguraikan apakah rezeki itu telah terbagi-bagi (ditentukan) oleh Allah Yang Mahatinggi, mencakup yang halal dan haram, ataukah hanya rezeki yang halal? Beliau mengutip Tafsir Al-Fakhr Al-Razi yang menjelaskan perbedaan pendapat Asy'ariyyah dan Mu'tazilah dalam persoalan ini dan mengutip hadis-hadis serta riwayat-riwayat yang dipegang oleh masing-masing dari dua aliran tersebut, di bawah perspektif beliau sendiri. Di situ, beliau menegaskan pandangan Imâmiyyah yang sejalan dengan Mu'tazilah yang mengatakan bahwa ketentuan rezeki itu tidak mencakup yang haram, tetapi khusus pada yang halal. Al-Majlisi kemudian mengutip

ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang dijadikan dalil oleh kaum Mu'tazilah, dan mengupas istilah rezeki, karena istilah ini dipandang sebagai fokus bagi argumentasi setiap pihak. Al-Majlisi menyetujui pendapat Mu'tazilah sebab pendapat mereka memang sejalan dengan pendapat salah satu mazhab Imâmiyyah terkemuka dan dapat menerima dalil-dalil yang mereka ajukan. Namun, hendaknya diketahui bahwa masalah ini termasuk dalam cabang-cabang pembahasan al-jabr dan al-tafwîdh, yang di situ Imâmiyyah tidak sependapat dengan Mu'tazilahdan Asy'ariyyah. Bahkan pendapat Mu'tazilah terlihat rancu dibandingkan pendapat Asy'ariyyah. Jadi, kalau ada sebagian teolog Imamiyyah—semoga ridha Allah dilimpahkan kepada mereka——setuju dengan pandangan Mu'tazilah, yang demikian ini merupakan akibat dari

p: 681

kelalaian mereka terhadap hakikat yang menyangkut persoalan ujung dan pangkal. Di awal telah saya jelaskan bahwa masalah al-jabr dan al-tafwidh yang muncul di medan kajian mayoritas ulama masih tetap kontroversial bagi kedua aliran tersebut, dan mereka belum bisa memecahkan persoalannya berdasarkan kriteria-kriteria ilmiah yang sahih. Itu sebabnya, para ulama lazimnya tidak menemukan adanya ikatan antara masalah ini dan pengkajian tentang al-jabr dan al-tafwidh,

padahal ia merupakan masalah yang sangat menentukan. Secara singkat, jika Asy'ariyyah menegaskan bahwa rezeki yang halal dan yang haram itu sudah ditentukan pembagiannya (oleh Allah) berdasarkan pandangan mereka yang konsisten terhadap keterpaksaan manusia (al-jabr), atau Mu'tazilah yang berpendapat bahwa rezeki yang haram itu tidak termasuk kategori rezeki yang ditentukan pembagiannya (oleh Allah) berdasarkan keyakinan mereka terhadap pelimpahan (al-tafwidh), tentunya pendapat kedua mazhab ini keliru. Bukti atas kekeliruan pendapat mereka telah saya jelaskan pada pembicaraan yang relevan dengan itu. Berdasarkan bukti-bukti dan prinsip-prinsip yang kita miliki, kita mengimani bahwa rezeki yang halal dan yang haram itu telah ditentukan pembagiannya oleh Allah Yang Mahatinggi, sebagaimana halnya dengan dosa-dosa yang telah ditentukan oleh qadha dan qadar Allah, tanpa harus terjebak pada pengakuan terhadap al-jabr. Kami telah berjanji kepada diri kami(1) untuk tidak melibatkan diri pada kajian-kajian ilmiah yang substansinya tidak kita ketahui sedikit pun. Lebih dari itu, buku ini tidak bertugas mengemukakan dalil-dalil dan bukti-bukti bagi pancangan yang kita setujui. Oleh karena itu, kami pandang cukup dengan memberikan singgungan di atas. Pada bagian akhir penjelasannya terhadap hadis di atas yang dimuat dalam Mir’ât Al-'Uqúl, Al-Majlisi juga mengemukakan kajian lain yang mencoba menjawab pertanyaan, “Apakah Allah wajib memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya dalam bentuknya yang mutlak (tak terbatas), ataukah Dia akan memberi rezeki ketika mereka bekerja dan berusaha memperolehnya?" Kajian ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh para teolog Muslim, dan tidak bisa tidak, harus ditempuh jalan lain yang dapat mencakup seluruh uraian da-

p: 682


1- 6. Karena Allah Swt. adalah Zat yang mengatur segala urusan, kami telah melakukan kajian singkat terhadap masalah ini dalam penjelasan kami tentang hadis ke-39 yang menguraikan bahwa Allah menghapuskan utang-utang dan menghilangkan ketakutan.

lam masalah ini manakala dilakukan analisis terhadap dasar-dasar pembuktian dan analogi-analogi filosofis yang digunakan. Namun, sebaiknya kita tidak memasuki pembicaraan yang tidak banyak gunanya ini. Pada bagian yang lalu, kami telah memberikan isyarat bahwa rezeki itu telah ditentukan pembagiannya di bawah ketentuan Ilahi, yang tidak bertentangan dengan usaha pencariannya. Allah Menempatkan ketenangan dan Kesenangan pada Keyakinan dan Ridha, Kegelisahan dan Kesedihan pada Keraguan dan Kebencian, Berdasarkan Prinsip Keadilan Hendaknya diketahui pula bahwa ketenangan dan kesenangan, kegelisahan dan kesedihan yang dikemukakan dalam hadis sebelumnya, karena disebutkan sesudah dikemukakannya penentuan dan pembagian rezeki, keduanya mengacu pada urusan duniawi dan bekerja mencari rezeki, sekalipun perujukannya pada masalah ukhrawi berdasarkan penjelasan lain, bukan merupakan sesuatu yang salah. Di

bawah ini, kami kemukakan penjelasan terhadap hadis mulia sebelumnya. Untuk itu, hendaknya terlebih dahulu diketahui bahwa orang yang beriman kepada Allah dan ketentuan-Nya dengan keimanan yang betul-betul yakin, dan bersandar pada Sandaran Yang Mahakuat dalam bentuknya yang mutlak, yang menentukan segala urusan di bawah perspektif kemaslahatan Ilahi, serta beriman bahwa Allah mempunyai rahmat yang sempurna dan mutlak, Maha Pengasih dan Maha Dermawan, maka di tengah kesulitan hidupnya yang seperti itu, dia menganggap ringan segala kesulitan. Dia mempunyai cara yang sangat berbeda dari cara orang-orang yang ragu dan syirik dalam mencari rezeki. Orang-orang yang menyandarkan diri pada sarana-sarana lahiriah dalam mencari rezeki selamanya berada dalam kegeli-

sahan dan ketidaktenangan. Jika menghadapi kesulitan, mereka menganggap kesulitan itu demikian serius. Sebab, mereka tidak mempunyai alternatif pemecahan yang berkaitan dengan kemaslahatan-kemaslahatan Ilahi yang tersembunyi.

Secara singkat, orang-orang yang menyandarkan kebahagiaannya pada keberhasilan hidup duniawi pasti berhadapan dengan penderi-

p: 683

taan dan kelelahan batin, dan tidak pernah mengenyam ketenangan dan kedamaian. Ketika mereka menghadapi kesulitan dan musibah, ambruklah vitalitas dan kesabaran mereka di depan peristiwa-peristiwa yang mereka hadapi. Semuanya ini merupakan buah dari keraguan dan tiadanya keimanan terhadap ketentuan dan keadilan Ilahi sehingga muncullah kesedihan, kegelisahan, dan kelelahan batin. Pada bagian yang lain, kami telah memberikan penjelasan singkal terhadap masalah ini. Oleh karena itu, kami tidak memandang perlu untuk mengulasnya kembali.

Adapun penempatan kesenangan dan ketenteraman pada keyakinan dan ridha, kesedihan dan kegelisahan pada keraguan dan kebencian, merupakan keputusan Ilahi, dan itu merupakan suatu keadilan. Semuanya itu sejalan dengan cara efektif yang ditempuh oleh Allah Yang Mahatinggi yang menentukan urutan-urutan dalam semua perwujudan, tanpa mengharuskan adanya keterpaksaan (al-jabr) yang keliru dan mustahil, dan didasarkan atas induksi yang menegaskan bahwa sistem perwujudan ini merupakan sistem yang paling sempurna dan baik. Namun, persoalan-persoalan tersebut berada di luar tugas buku ini. Segala puji bagi Allah, dari awal hingga akhir.()

p: 684

33 Hadis tentang Hubungan antara Iman dan Amal

Point

بالسّند المتّصل إلی الشّیخ الأقدم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن أحمد بن محمّد، عن الحسین بن سعید، عمّن ذکره، عن عبید بن زرارة، عن محمّد بن مارد، قال: قلت لأبی عبد الله، علیه السّلام: حدیث روی لنا أنّک قلت: إذا عرفت فاعمل ما شئت. فقال: قد قلت ذلک. قال قلت: و إن زنوا و إن سرقوا و إن شربوا الخمر؟ فقال لی: إنّا لله و [إنّا] إلیه راجعون. و الله، ما أنصفونا أن نکون أخذنا بالعمل و وضع عنهم! إنّما قلت إذا عرفت فاعمل ما شئت من قلیل الخیر و کثیره، فإنّه یقبل منک.

Dengan sanad yang bersambung kepada Syaikh Al-Aqdam, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah melimpahkan ridha kepadanya—dari Al-Husain ibn Sa'id, dari orang yang dia sebutkan namanya, dari 'Ubaid ibn Zurarah, dari Muhammad ibn Marid, yang mengatakan, “Saya bertanya kepada Imam Abu Abdullah a.s., 'Ada sebuah hadis yang diriwayatkan kepada kami bahwa Tuan mengatakan, "Jika engkau telah mengetahui, kerjakan apa saja yang engkau ingini. Beliau mengatakan, "(Benar), aku

p: 685

memang mengatakar nya.' Muhammad ibn Marid selanjutnya mengatakan, “Saya bertanya pula, "Sekalipun mereka berzina, mencuri, dan minum khamar?' Beliau mengatakan, 'Inna lillâhi wa inna ilaihi raji'ûn. Demi Allah, mereka tidak jujur kepada kami! Kami tidak pernah menyebutkan bahwa amal kami akan dihitung, sedangkan mereka sendiri tidak? Sebenarnya, yang aku katakan adalah, “Jika engkau telah mengetahui, kerjakan apa yang engkau inginkan dari kebaikan yang sedikit maupun banyak. Sebab, ia (perbuatan tersebut) akan diterima darimu."(1)

Penjelasan

Lafaz hadis merupakan mubtada' (subjek dalam kalimat) dan musnad (yang dihubungkan), dan ruwiya adalah predikat (khabar) sekaligus musnad. Sedangkan annaka merupakan predikat dari mubtada' (subjek) yang dibuang, yang apabila disebutkan secara lengkap berbunyi huwa annaka.

Yang dimaksud oleh ucapan Imam Abu 'Abdullah a.s. yang berbunyi, “Apabila engkau telah mengetahui” dalam hadis di atas adalah pengetahuan Imam a.s. Adapun yang dimaksud oleh kalimat yang berbunyi, Qâla, “Qultu”. [Dia berkata, “Aku memang mengatakannya demikian," mengandung kemungkinan bahwa tâ’-nya dibaca dhammah (qultu) sehingga ucapan tersebut dihubungkan dengan si pembicara-nya sendiri (orang pertama), tetapi bisa juga dibaca fathâh (qulta), yang dengan demikian ucapan tersebut dirujukkan kepada orang yang diajak berbicara (orang kedua).)

Wa in zanau (sekalipun mereka berzina): lafaz in berſungsi sebagai kata penghubung. Artinya, “Jika mereka telah mengetahui, mereka boleh melakukan apa saja yang mereka kehendaki, sekalipun termasuk dalam dosa-dosa besar.” Ucapan Imam Abu `Abdullah a.s. yang berbunyi Inna lillâh merupakan kalimat yang lazim disebut istirjá' (pernyataan akan kembali kepada Allah). Kalimat ini diucapkan ketika menghadapi musibah yang besar atau ucapan-ucapan yang serius. Karena ucapan tersebut dipandang sebagai dusta atau menunjukkan pemahaman yang buruk, ia digolongkan dalam musibah yang besar, yang karena itu beliau

mengucapkan kalimat istirjâ' ini.

p: 686


1- 1. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab anna al-îmân lâ yadhurruhû mi’ah sayyi'ah, hadis ke-5.

Hadis tentang Hubungan antara Iman dan Amal

Kalimat an nakûna (bahwa kami) dalam hadis di atas mengandung arti, “Sesungguhnya mereka tidak mengatakan bahwa kami melakukan hal seperti itu, yang untuk itu kami disiksa, sedangkan mereka—karena keyakinan mereka terhadap kami (Ahl Al-Bait)- tidak dikenai kewajiban seperti itu dan tidak pula dihukum karena

perbuatan-perbuatan mereka. Kemudian, Imam Abu 'Abdullah menjelaskan maksud ucapannya yang menyatakan bahwa wilayah itu merupakan syarat bagi diterimanya perbuatan, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.

Mengompromikan Riwayat-Riwayat yang secara Lahiriah Saling Bertentangan

Hendaknya diketahui bahwa orang yang meneliti riwayat-riwayat tentang biografi Rasulullah Saw. (yang mulia) dan para Imam (yang suci)-'alaihim al-salâm—berikut cara dan kesungguh-sungguhan mereka beribadah, ratap dan tangis mereka, kesederhanaan dan kemiskinan mereka, ketakutan dan kesedihan mereka di depan Zat Yang Maha-suci, dan bagaimana pula munajat mereka kepada Zat yang memenuhi segala kebutuhan untuk mengharapkan kedermawanan-Nya, sungguh

tak dapat dilukiskan. Demikian pula halnya jika kita menelaah wasiat-wasiat Rasulullah Saw. kepada Amir Al-Mukminin, wasiat para Imam satu sama lain, dan wasiat mereka kepada orang-orang khawash (kalangan khusus) dari pengikut mereka. Juga, dalam wasiat-wasiat mereka yang sangat indah, yang mereka sampaikan kepada para pencinta mereka dan yang mengingatkan mereka akan kemaksiatan kepada Allah Taala, serta penegasan mereka agar pengikut-pengikutnya menjauhi penentangan terhadap Allah dalam prinsip-prinsip dan cabang-cabang hukum yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Manakala seseorang menelaah hadis-hadis dan wasiat-wasiat itu, niscaya dia mengetahui secara pasti bahwa sebagian dari riwayat yang tampaknya bertentangan dengan hadis-hadis yang disebutkan terdahulu, bukanlah mengandung maksud seperti itu. Kalau sekiranya dapat dilakukan takwil terhadap riwayat-riwayat tersebut dengan bentuk yang tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang qath'i (mempunyai makna yang pasti) dan sharih (jelas), yang dipandang

p: 687

sebagai suatu keharusan dalam agama, niscaya kami akan menakwilkannya. Sedangkan, jika mungkin dilakukan kompromi antara dua kelompok hadis dan riwayat tersebut atas dasar suatu kompromi yang bisa diterima antarberbagai riwayat, niscaya kami pun akan melakukannya. Namun, jika takwil ataupun pengompromian tidak dapat dilakukan, kami akan mengembalikan ilmunya pada yang mengucapkannya. Dalam buku ini, kami tidak dapat mengemukakan seluruh riwayat atau sebagian darinya, lalu menjelaskan bagaimana cara mengompromikannya. Kendati demikian, kami terpaksa menyebutkan beberapa riwayat dari dua kelompok tersebut sehingga persoalannya menjadi jelas. Dalam Al-Kâfi disebutkan:

کافی بإسناده عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال: شیعتنا [هم ] الشّاحبون الذّابلون النّاحلون الّذین إذا جنّهم اللّیل استقبلوه بحزن.

Dengan sanadnya dari Imam Abu 'Abdullah a.s. diriwayatkan bahwa beliau berkata, “Syi'ah kami ialah (orang-orang yang selalu murung, yang tunduk, yang kurus, yang jika malam telah gelap gulita mereka menghadap kepada-Nya dengan kesedihan."(1) Riwayat-riwayat yang mengemukakan makna seperti ini dan yang mengemukakan tanda-tanda ke-Syi'ah-an, jumlahnya sangat banyak.

و عنه، عن المفضّل قال قال أبو عبد الله، علیه السّلام: إیّاک و السّفلة، فإنّما شیعة علیّ، علیه السّلام، من عفّ بطنه و فرجه، و اشتدّ جهاده، و عمل لخالقه، و رجا ثوابه و خاف عقابه. فإذا رأیت أولئک، فأولئک شیعة جعفر

Masih dari Al-Majlisi, dari Al-Mufadhdhal yang mengatakan bahwa Imam Abu 'Abdullah a.s. berkata, “Jauhilah olehmu sikap urakan sebab Syi'ah ‘Ali a.s. adalah orang yang terpelihara perut dan ke-

p: 688


1- 2. Al-Kafi, jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-mu'min wa ‘alāmatuhû, hadis ke-7.

maluannya, yang hebat jihad dan amalnya kepada Penciptanya, mengharap pahala dari-Nya dan takut akan siksa-Nya. Kalau engkau melihat orang-orang seperti itu, mereka itulah Syi'ah Ja'far.(1)

و عن الأمالی، للحسن بن محمّد الطوسیّ، شیخ الطائفة، رحمه الله، بإسناده عن الرّضا، علیه السّلام، عن أبیه، عن جدّه، عن أبی جعفر، علیه السّلام، أنّه قال لخیثمة: أبلغ شیعتنا [أنّا لا نغنی من الله شیئا. و أبلغ شیعتنا أنّه لا ینال ما عند الله إلّا بالعمل. و أبلغ شیعتنا] أنّ أعظم النّاس حسرة یوم القیامة من وصف عدلا ثمّ خالفه إلی غیره. و أبلغ شیعتنا أنّهم إذا قاموا بما أمروا أنّهم هم الفائزون یوم القیامة

Diriwayatkan dari Al-'Amali (himpunan hadis hasil imlâ') milik Al-Husain ibn Muhammad Al-Thusi, Syaikh Al-Tha'iſah, semoga Allah merahmatinya, dengan sanadnya dari Al-Ridha a.s., dari ayahnya, dari kakeknya, dari Imam Ja'far a.s. yang berkata kepada Khaisyamah, “Sampaikan kepada Syi'ah kami bahwa kami tidak pernah tidak membutuhkan Allah. Sampaikan kepada Syi'ah kami bahwa apa yang ada di sisi Allah tidak mungkin bisa diperoleh kecuali dengan amal. Sampaikan kepada Syi'ah kami bahwasanya orang yang paling besar kerugiannya pada hari kiamat adalah orang yang menyebut-nyebut keadilan, tetapi mengingkarinya terhadap

orang lain. Dan, sampaikan kepada Syi'ah kami bahwa jika mereka teguh melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka), mereka itulah orang-orang yang beruntung pada hari kiamat.”(2) Dalam Al-Kafi diriwayatkan pula:

کافی بإسناده عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال: لا تذهب بکم المذاهب. فو الله، ما شیعتنا إلّا من اطاع الل

Dengan sanadnya dari Imam Abu Ja'far a.s. bahwasanya beliau mengatakan, “Janganlah kamu sekalian terbawa oleh mazhab-mazhab, sebab Syi'ah kami hanyalah orang yang taat kepada Allah."(3)

p: 689


1- 3. Ushûl Al-Kâfi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-mu'min wa 'alāmatuhû, hadis ke-9.
2- 4. Åmålí Al-Thûsî, jil. I, h. 380.
3- 5. Al-Kafi, jil. II, “ kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-thâ‘ah wa al-taqwâ, hadis ke-1 dan 3.

و بإسناده عن جابر، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال قال لی: یا جابر، أ یکتفی من ینتحل التّشیّع أن یقول بحبّنا أهل البیت؟ فو الله، ما شیعتنا إلّا من اتّقی الله و أطاعه. إلی أن قال: فاتّقوا الله و اعملوا لما عند الله، لیس بین الله و لا بین أحد قرابة، أحبّ العباد إلی الله تعالی و أکرمهم علیه أتقاهم و أعملهم بطاعته. یا جابر، و الله، ما یتقرّب إلی الله تعالی إلّا بالطّاعة. ما معنا براءة من النّار و لا علی الله لأحد من حجّة. من کان لله مطیعا، فهو لنا ولیّ، و من کان لله عاصیا، فهو لنا عدوّ. و ما تنال ولایتنا إلّا بالعمل و الورع.

Dengan sanadnya dari Jabir, dari Imam Abu Ja'far a.s. yang menyatakan bahwa Jabir berkata, “Imam Abu Ja'far berkata kepadaku, 'Wahai Jabir, apakah seseorang memandang cukup untuk menyatakan ke-Syi'ah-annya dengan mengatakan (bahwa buktinya adalah) kecintaan kami kepada Ahl Al-Bait? Demi Allah, sesungguhnya

Syi'ah kami tak lain adalah orang yang bertakwa dan taat kepada Allah, sehingga beliau mengatakan, 'Oleh karena itu, hendaknya kamu sekalian bertakwa kepada Allah dan beramallah sesuai dengan apa yang ada di sisi Allah. Tidak ada hubungan kekerabatan antara seseorang dan Allah. Sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah Taala dan yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling bertakwa dan paling beramal untuk taat kepada-Nya. Wahai Jabir, demi Allah, kami tidak berusaha mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan ketaatan. Tidak ada beserta kami keterbebasan dari neraka. Barang siapa yang taat kepada Allah, kewajiban kami-lah untuk melindunginya, dan barang siapa maksiat kepada Allah, dia adalah musuh kami. Perlindungan kami tidak dapat diperoleh kecuali dengan amal dan warak.(1) Dalam Al-Kafi, diriwayatkan sebuah hadis dari Imam Abu Ja'far a.ş. yang mengatakan, “Wahai kaum Syi'ah, yakni Syi'ah keluarga Muhammad, jadilah kamu sekalian bantalan tengah (kelompok tengah), yang kepada kalian kembali orang-orang yang menyimpang dan menyusul (mempertemukan diri) kepada kalian orang-orang

p: 690


1- 6. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-tha'ah wa al-taqwa, hadis ke-6.

yang tertinggal." Seorang Anshâr bernama Sa'd bertanya kepada beliau, “Aku jadikan diriku sebagai pembela Tuan, siapakah orang yang menyimpang itu?” Beliau menjawab, “(Yaitu) orang-orang yang mengatakan yang dinisbahkan kepada kami, padahal kami tidak mengatakannya. Mereka bukan dari golongan kami dan kami pun bukan dari golongan mereka.” Orang itu bertanya pula, “Lantas, siapakah yang disebut dengan orang-orang yang tertinggal itu?” Beliau menjawab, “(Yaitu)

orang murtad yang menginginkan kebaikan, tetapi yang ditemukannya adalah kebingungan.” Kemudian, beliau menghadap kepada kami, dan berkata, “Demi Allah, tiada bersama kami keterbebasan dari Allah dan tidak ada hubungan kekerabatan antara kami dan Allah, serta tidak pula ada kepada kami hujah terhadap Allah. Kami tidak berusaha mendekatkan diri kepada Allah kecuali dengan ketaatan. Oleh karena itu, barang siapa di antara kalian taat kepada Allah, bermanfaatlah baginya perlindungan kami, dan barang siapa di antara kamu sekalian maksiat kepada Allah, perlindungan kami tidak berguna baginya. Celakalah kalian, janganlah kalian teperdaya. Celakalah kalian, janganlah kalian teperdaya.(1)

Dalam Al-Kafi, diriwayatkan sebuah hadis dari Imam Abu Ja'far a.s. bahwasanya beliau berkata, “Rasulullah Saw. berdiri di atas Bukit Shafa, kemudian berkata, 'Wahai Bani Hasyim, janganlah kalian berkata bahwa Muhammad itu dari keluarga kami. Oleh karena itu, kami akan masuk ke tempat yang dimasukinya (surga). Sama sekali tidak demikian. Demi Allah, sesungguhnya wilayah-ku tidaklah (berasal) dari kalian dan tidak pula dari kalian semua, wahai Bani Abdul Muththalib, kecuali orang-orang yang bertakwa. Maukah kalian aku beri tahu keadaan kalian pada hari kiamat kelak? Kalian datang dengan membawa kekayaan dunia di atas punggung-punggung kalian, sedangkan orang-orang lain datang dengan membawa (kekayaan) akhirat."

Dalam hadis Jabir dari Imam Abu Ja'far a.s., disebutkan, “... kemudian beliau berkata, “Wahai Jabir, janganlah engkau terseret oleh mazhab-mazhab yang di situ seseorang menganggap cukup dengan mengatakan, 'Aku mencintai ‘Ali dan menjadikan dia sebagai waliku (pelindungku),' tetapi kemudian dia tidak melakukan apa-apa. Sean-

p: 691


1- 7. Raudhah Al-Kafi, hh. 159 dan 205.

dainya dia mengatakan, 'Aku mencintai Rasulullah Saw.' dan Rasulullah Saw. jelas lebih baik daripada 'Ali a.s., tetapi dia tidak mau mengikuti perjalanan beliau dan tidak beramal dengan sunnahrya, kecintaan-nya kepada beliau itu tidak bermanfaat sedikit pun baginya.(1) Thawus Al-Faqih menuturkan, “Saya pernah melihatnya (Imam Zainal Abidin a.s.) sedang thawaf sejak isya hingga waktu sahur dan dilanjutkan dengan beribadah lainnya. Ketika beliau melihat sudah tidak ada siapa pun di sekitarnya, beliau menatap langit seraya menengadahkan tangan dan berdoa, 'Tuhanku, berkelap-kelip bintang-bintang di langit-Mu dan telah terpejam mata hamba-hamba-Mu, sedangkan pintu-pintu-Mu terbuka lebar bagi mereka yang memohon. Aku datang kepada-Mu agar Engkau mengampuniku, merahmatiku, dan menampakkan wajah kakekku, Muhammad Saw., kelak di hari kiamat.' Sesudah itu, beliau menangis tersedu-sedu lalu berdoa pula, *Demi keagungan dan kemuliaan-Mu, dengan kemaksiatanku, aku tidak bermaksud menentang-Mu dan ketika aku melakukan kemak- siatan kepada-Mu, hal itu terjadi bukan karena aku ragu kepada- Mu, dan bukan pula karena aku tidak tahu bencana (akhirat)-Mu, atau karena menentang siksa-Mu. Namun, karena aku telah digelincirkan oleh diriku. Oleh karena itu, berilah aku pertolongan untuk menghadapi semua itu melalui penutup-Mu yang memberi ketenteraman kepadaku. Sekarang, siapakah yang dapat menyelamatkan aku dari siksa-Mu? Dengan tali siapakah aku harus berpegang manakala Engkau putuskan tali-Mu dariku? Duhai, alar.gkah buruknya nasibku kelak ketika aku berdiri di hadapan-Mu. Alangkah celakanya aku, manakala umurku panjang, tetapi dosaku menumpuk, aku tidak bertobat kepada-Mu. Tidakkah aku akan sangat malu terhadap Tuhanku?' Tangisnya semakin menjadi-jadi. Kemudian, beliau melantunkan beberapa bait syair ini:

Apakah Engkau akan membakarku dengan api neraka,

Wahai Puncak segala harapan Lalu, di manakah harapanku

dan di mana pula Kekasihku? Aku datang (kepada-Mu) dengan amal yang buruk

p: 692


1- 9. Ushûl Al-Kâfî jil. 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-thâʻah wa al-taqwa, hadis ke-3.

Hadis tentang Hubungan antara Iman dan Amal dan penuh dosa di persada ini tidak ada orang yang begitu berdosa seperti dosa-dosa yang kulakukan

Kembali beliau menangis tersedu-sedu, lalu berkata, “Mahasuci Engkau, Engkau dimaksiati seakan-akan Engkau tidak terlihat. Sedangkan, Engkau menyayangi makhluk-Mu dengan perbuatan-perbuatan baik seakan-akan Engkau tidak pernah dimaksiati, seakanakan Engkaulah yang membutuhkan mereka. Padahal Engkau, wahai Junjunganku, sama sekali tidak butuh mereka. Sesudah itu, beliau tersungkur, sujud di tanah.”

Thawus melanjutkan penuturannya, “Kemudian, aku mendekati beliau dan mengangkat kepalanya untuk aku letakkan di pangkuanku. Aku pun ikut menangis, sampai-sampai air mataku membasahi pipi beliau. Kemudian, beliau duduk dan berkata, “Siapakah yang mengganggu zikirku kepada Tuhanku ini? "Saya Thawus, wahai putra Rasulullah,' jawabku, 'Duhai, apa gerangan yang membuat Tuan demikian pilu dan bersedih seperti ini? Padahal, kamilah yang seharusnya melakukan semua ini karena kami adalah orang-orang yang banyak maksiat dan penuh dosa. Sedangkan Tuan, ayah Tuan adalah Al-Husain ibn 'Ali. Ibu Tuan adalah Fatimah Al-Zahra', dan kakek Tuan adalah Rasulullah Saw.' "Beliau menatapku dan berkata, 'Sudahlah Thawus, sudahlah. Janganlah engkau berbicara tentang ayah, ibu, dan kakekku. Sebab, Allah menciptakan surga untuk orang-orang yang taat dan berbuat baik kepada-Nya, sekalipun dia orang negro Habsyi dan menciptakan

neraka bagi orang-orang yang melakukan kemaksiatan kepada-Nya, sekalipun dia seorang putra Quraisy. Tidakkah engkau pernah mendengar firman Allah yang berbunyi, Apabila sangkakala ditiup, tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak pula mereka saling bertanya (QS Al-Mu'minûn (23]: 101). Demi Allah, kelak tidak bermanfaat bagimu, kecuali engkau datang dengan membawa amal saleh."(1)

Itulah beberapa hadis yang menyatakan secara jelas bahwa dorongan-dorongan menipu yang ada pada diri kita, para pelaku

p: 693


1- 10. Bihar Al-Anwâr, jil. XIII, h. 82.

maksiat dan pencinta dunia ini, dalam menghadapi kehidupan, merupakan dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan yang merusak dan batil serta tergolong ke dalam hawa nafsu setan, yang bertentangan dengan akal dan naql (wahyu). Terhadap hadis-hadis tersebut dapat ditambahkan ayat-ayat Al-Quran berikut ini:

«کُلُّ نَفْسٍ بِمَا کَسَبَتْ رَهِینَةٌ (38)» Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (QS Al-Muddatstsir (74): 38)

«فَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَیْرًا یَرَهُ (7)» «وَمَنْ یَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا یَرَهُ (8)»

Barang siapa yang beramal baik walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat balasan)-nya, dan barang siapa beramal buruk walaupun seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS Al-Zalzalah (99): 7-8)

Dia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Di samping ayat-ayat tersebut, masih banyak ayat ain yang terdapat dalam setiap lembaran Kitab Al-Quran yang menunjukkan bahwa warak dan amal saleh merupakan dua kekayaan yang menyelamatkan manusia di akhirat. Di sini, kita tidak perlu menakwilkan riwayat-riwayat terdahulu karena tidak terlalu penting untuk kita lakukan.

Sebagai paradoks atas hadis-hadis di atas, adalah hadis-hadis ma'tsûr yang diterima dari Ahl Al-Bait, yang juga disebutkan dalam kitab-kitab hadis terkemuka, yang sebagian nanti akan kami sebutkan. Namun, kita dapat mengompromikan sebagian besar riwayat tersebut dengan kompromi yang benar. Kalaupun kompromi seperti itu tidak bisa diterima dan takwil pun tidak bisa dilakukan, riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan hadis-hadis sahih dan mutawatir yang sejalan dengan pengertian lahiriah nashsh-nashsh Al-Quran dan akal sehat, sekaligus dengan kepastian-kepastian yang dimiliki kaum Muslim yang sepakat bahwa yang menjadi dasar adalah warak dan amal saleh.

Di antara hadis-hadis yang bertentangan dengan riwayat-riwayat di atas adalah hadis yang diriwayatkan oleh Tsiqat Al-Islam Al-Kulaini,

p: 694

dengan sanadnya dari Yusuf ibn Tsabit ibn Abi Sa'dah, dari Imam Abu `Abdullah a.s. yang mengatakan:

قال: الإیمان لا یضرّ معه عمل، و کذلک الکفر لا ینفع معه عمل “Iman tidak akan terganggu (terpengaruh) oleh amal. Demikian pula halnya dengan kekafiran, yang tidak dapat memperoleh manfaat dari amal."(1)

Juga masih terdapat hadis-hadis lain yang sejalan dengan hadis ini. Al-Muhaddits Al-Jalil Al-Majlisi menafsirkan tiadanya bahaya (amal atas keimanan) dalam hadis di atas dengan, “Amal (buruk) itu tidak akan menjadi sebab masuk atau kekalnya seseorang di dalam neraka."(2)

Namun, jika yang dimaksud dengan tiadanya bahaya (amal buruk) terhadap masuknya seseorang ke dalam neraka, di situ tidak ada perbedaan antara tidak masuk neraka, menurut pengertian hadis di atas, dan terjadinya siksa lain di alam barzakh dan keadaan-keadaan lain yang ada pada hari kiamat. Menurut kami, khabar tersebut dapat diinterpretasikan dengan bahwa iman itu sedikit menyinari kalbu dan dalam derajat yang terbatas, yang kalau seseorang melakukan dosa atau kesalahan, dia bisa diobati oleh berkah yang ada dalam cahaya tersebut dan kekuatan iman yang dia miliki. Sedangkan, dosa dan kejahatan bisa diobati dengan tobat dan kembali kepada Allah. Sebab, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir pasti tidak akan membiarkan dirinya meninggalkan amal hingga hari kiamat. Khabar-khabar tersebut pada dasarnya mendorong manusia untuk selalu memiliki keimanan dan memeliharanya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Al-Kafi dari Imam Al-Shadiq a.s., yang mengatakan, “Musa berkata kepada Khidhir a.s., Karena engkau telah melarangku berteman menyertaimu, berilah aku nasihat.' Khidhir berkata, 'Pegang teguhlah sesuatu (keimanan) yang tidak dapat dicelakakan oleh apa pun, sebagaimana halnya bahwa sesuatu itu pun tidak akan bermanfaat bagi yang selainnya (kekafiran)."(3)

p: 695


1- 11. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-îmân la yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-4.
2- 12. Mir'ât Al-'Ugûl, jil. XI, h. 396.
3- 13. Ushûl Al-Kâfi jil. II, kitâb al-imân wa al-kufr, bâb al-îmân lâ yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-4.

Hadis lainnya adalah hadis yang diriwayatkan dengan sanad dari Muhammad ibn Raiyan ibn Al-Shalat, yang di-marfu'-kan, dari Imam Abu 'Abdullah a.s., yang mengatakan, و من ذلک ما رواه بإسناده عن محمّد بن الرّیان بن الصّلت، رفعه عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال کان أمیر المؤمنین، علیه السّلام، کثیرا ما یقول فی خطبته: یا أیّها النّاس، دینکم دینکم! فإنّ السّیّئة فیه خیر من الحسنة فی غیره، و السّیّئة فیه تغفر، و الحسنة فی غیره لا تقبل

Amir Al-Mukminin a.s. sering mengatakan dalam berbagai khutbahnya, “Wahai manusia, peganglah agamamu, peganglah agamamu. Sebab, sesungguhnya kejahatan dalam beragama merupakan kebaikan dibanding dengan kebaikan di dalam yang lainnya (kekafiran), dan kejahatan di dalamnya (beragama) dapat diampuni (oleh Allah), sedangkan kebaikan di dalam yang selainnya (kekafiran) tidak diterima."(1)

Hadis ini, dan hadis-hadis lain yang mendorong manusia untuk selalu berpegang teguh pada agama yang benar, menunjukkan bahwa dosa kaum Mukmin dan para pemeluk agama yang benar ditakwilkan sebagai dosa yang dapat diampuni, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah Swt. yang berbunyi, Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa seluruhnya (QS Al-Zumar (39]: 53). Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa kejahatan kaum Mukmin lebih baik dibanding

dengan kebaikan orang-orang non-Mukmin yang tidak akan diterima Allah selamanya. Bahkan, kemungkinan kebaikan-kebaikan yang tidak disertai syarat-syarat yang menyebabkan dia diterima Allah, misalnya keimanan dan wilayah (ketundukan kepada Ahl Al-Bait), mengandung kegelapan lebih dari yang ada pada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang beriman, yang selalu hidup antara ketakutan dan harapan kepada Allah, yang dipancarkan oleh cahaya keimanan yang bersinar

dalam kalbunya. Namun, bagaimanapun, hadis ini tidak menunjukkan bahwa orang yang beriman tidak dihisab atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan.

Di antara hadis-hadis masyhur yang dikatakan sebagai hadis masyhur di kalangan Syi'ah dan Sunni adalah hadis yang berbunyi:

p: 696


1- 14. Ushûl Al-Kâfî jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-îmân lâ yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-6.

Hadis tentang Hubungan antara Iman dan Amal علی کلای ماسه وه سلایف ها به “Cinta kepada 'Ali adalah kebaikan yang tidak akan terpengaruh oleh kejahatan dan membencinya adalah kejahatan yang tidak akan bermanfaat bagi kebaikan."(1)

Hadis mulia ini termasuk kategori hadis yang berkenaan dengan iman dan makna iman. Sedangkan, hadis yang disebutkan oleh Al-Majlisi dalam khabar-khabar terdahulu mengandung pengertian tentang ternafikannya pengaruh (kejahatan) terhadap keabadian atau masuknya (seorang Mukmin) ke dalam neraka. Dengan demikian, pengertiannya adalah bahwa mencintai 'Ali a.s. adalah azas keimanan dan kesempurnaannya, yang mengharuskan seorang Mukmin-melalui syafaat seseorang--dapat dibebaskan dari siksa neraka. Berdasarkan alasan ini, sebagaimana yang telah kami katakan, kemungkinan arti ini tidak bertentangan dengan adanya berbagai siksa di alam barzakh. Tentang itu, sebuah hadis dari Imam Al-Shadiq a.s. mengatakan, “Demi Allah, yang kami khawatirkan atas kalian adalah (siksa) barzakh. Sedangkan, apabila hal itu mengenai kami, kami adalah orang yang paling patut disiksa dibanding dengan kamu sekalian.” Atau, seperti yang kami sebutkan bahwa cinta kepada Imam 'Ali a.s. dapat memunculkan cahaya dan keimanan yang dapat menjauhkan pemiliknya dari dosa-dosa dan mendorongnya untuk bertobat dan kembali pada kebenaran, manakala dia melakukan kemaksiatan tanpa berlarut-larut dalam kemaksiatan dan dosa.

Di antara hadis-hadis yang seperti itu adalah khabar-khabar yang menafsirkan ayat-ayat dalam Surah Al-Furqan berikut ini. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan selain Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, dan barang siapa

melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa-(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal

p: 697


1- 15. Kitâb Manâqib Ibn Syahrasyub, jil. 111, h. 197.

saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Furqan (25): 68-70)

Di sini, kami hanya akan menyebutkan salah satu di antara khabar-khabar tersebut karena khabar-khabar itu memiliki redaksi dan makna yang mirip satu sama lain.

عن الشّیخ فی أمالیه بإسناده عن محمّد بن مسلم الثّقفی، قال سألت أبا جعفر، محمّد بن علیّ، علیهما السّلام، عن قول الله عزّ و جلّ: «فأولئک یبدّل الله سیّئاتهم حسنات و کان الله غفورا رحیما.» فقال، علیه السّلام: یؤتی بالمؤمن المذنب یوم القیامة حتّی یقام بموقف الحساب، فیکون الله تعالی هو الّذی یتولّی حسابه لا یطلع علی حسابه أحدا من النّاس، فیعرّفه ذنوبه حتّی إذا أقرّ بسیّئاته. قال الله عزّ و جلّ للکتبة: بدّلوها حسنات و أظهروها للنّاس. فیقول النّاس حینئذ: ما کان لهذا العبد سیّئة واحدة! ثمّ یأمر الله به إلی الجنّة. فهذا تأویل الآیة. و هی فی المذنبین من شیعتنا خاصّة

Dari Syaikh Al-Thusi, dalam Al-Amâlî-nya, dengan sanadnya dari Muhammad ibn Muslim Al-Tsaqafi, yang berkata, “Aku bertanya kepada Imam Abu Ja'far Muhammad ibn 'Ali-semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada beliau berduatentang firman Allah Azza wa Jalla yang berbunyi, Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka beliau berkata, 'Seorang Mukmin yang berdosa diajukan untuk dihisab pada hari kiamat. Allahlah yang melakukan hisab terhadapnya, tanpa ada seorang pun yang melihat hisab yang dilakukan-Nya. Kemudian, Allah menunjukkan kepada

orang itu dosa-dosanya, dan ketika dia telah mengakui kesalahan-kesalahannya, Allah berfirman kepada malaikat penulisnya, Ganti-lah kejelekannya dengan kebaikan-kebaikan, dan perlihatkan kepada orang banyak. Maka, ketika itu orang-orang pun berkata, 'Duhai, orang ini betul-betul tidak memiliki kejelekan barang sedikit pun!'

p: 698

Kemudian, Allah memerintahkan orang itu masuk surga. Itulah takwil ayat tersebut. la berkaitan dengan orang-orang Mukmin yang berdosa, khususnya dari Syi'ah kami.(1)

Motif yang mendorong kami untuk menyebutkan ayat-ayat di atas dan berbicara panjang lebar tentangnya adalah karena pembahasan ini sangat penting. Para khatib sering memutarbalikkan pengertian khabar-khabar tersebut di depan orang banyak. Padahal, hubungan khabar-khabar tersebut dengan ayat di atas tidaklah bisa dimengerti kecuali jika kita menyebutkan ayat tersebut. Oleh karena itu, jika saya di sini mengemukakannya panjang lebar, saya betul-betul mohon

maaf atas hal itu. Orang yang membaca ketiga ayat di atas dari awal hingga akhir pasti bisa memahami bahwa semua orang akan disiksa atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya, kecuali orang-orang yang beriman, bertobat dari kesalahan mereka, lalu beramal saleh. Setiap orang yang bisa memenuhi ketiga hal ini (beriman, bertobat, dan beramal saleh) beruntung karena memperoleh kasih sayang Allah Swt. dan dimuliakan di hadirat-Nya. Kejahatan dan keburukannya diganti dengan kebaikan. Imam Al-Baqir a.s. juga menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan penafsiran seperti itu, dan mengatakan bahwa cara perhitungan amal (hisab) yang dilakukan Allah terhadap orang-orang tersebut adalah seperti yang kami kemukakan di atas.

Dengan demikian, ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang memberi interpretasi terhadapnya mesti dipandang sebagai riwayat-riwayat yang termasuk dalam kategori pertama. Sebab, riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa apabila seseorang itu beriman, tetapi tidak berusaha menghapuskan kejahatannya dengan bertobat dan beramal saleh, dia tidak tercakup dalam ayat di atas. Oleh karena itu, wahai pembaca yang budiman, janganlah Anda teperdaya oleh setan dan tertipu oleh hawa nafsu Anda. Hendaknya diketahui bahwa orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya, mencintai dunia, kedudukan, dan harta adalah ibarat seorang penulis yang mencari-cari pembenaran bagi kemalasannya, menerima apa saja yang sesuai dengan dorongan nafsunya, dan memperturutkan

p: 699


1- 16. Syaikh Al-Thusi, Kitâb Al-Amâlî, jil. 1, h. 70.

keinginan dirinya dan prasangka kesetanannya, lalu mencoba memahami riwayat-riwayat di atas tanpa melakukan kajian terhadap makna-maknanya yang mendalam dan tidak melakukan penalaran terhadap riwayat-riwayat lain yang bertentangan dengan itu. Orang malang seperti ini pasti mengira bahwa dengan semata-mata mengklaim diri sebagai Syi'ah dan mencintai Ahl Al-Bait yang suci, na ūdzu billâh, menganggap diperbolehkan melanggar larangan-larangan syara' dan tidak akan dihisab atas perbuatan-perbuatannya itu. Orang yang salah langkah seperti ini tidak sadar bahwa setan telah memerdaya dirinya. Sangat dikhawatirkan bahwa pada akhir hayatnya, cinta-kosongnya yang tidak bermanfaat tersebut hilang dari dirinya sehingga pada hari kiamat kedua tangannya hampa dan tidak dapat bergabung dengan barisan Ahl Al-Bait. Klaim cinta kepada Ahl Al-Bait tanpa bukti, sama sekali tidak diterima. Adalah tidak mungkin jika saya menjadi sahabat Anda dan saya menyimpan rasa cinta yang tulus dalam diri saya, tetapi saya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan dan tujuan-tujuan yang Anda miliki. Pohon cinta memberikan buah-nya pada diri pencinta dalam bentuk amal setara dengan tingkatan cintanya. Jadi, kalau ternyata pohon tersebut tidak berbuah, hendaknya diketahui bahwa cinta tersebut bukanlah cinta yang hakiki, melainkan cinta palsu.

Sesungguhnya Nabi yang mulia Saw. dan Ahl Al-Baitnya 'alaihim al-salam telah mencurahkan seluruh tenaga dan pikiran mereka untuk menyebarkan hukum-hukum syara', akidah, dan akhlak. Dengan itu, mereka ingin mencapai satu sasaran, yaitu menyampaikan hukum-hukum Allah, memperbaiki, dan mendidik umat manusia. Dalam menempuh perjalanan mulia tersebut, mereka mengalami banyak hambatan, kesulitan, pembunuhan, penghinaan, dan penindasan, tanpa pernah surut barang satu langkah. Pencinta dan Syi'ah Ahl Al-Bait adalah orang yang ikut serta dalam memperjuangkan cita-cita tersebut, dan beramal di bawah bimbingan pengalaman-pengalaman dan jejak langkah mereka. Makna yang terkandung dalam riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa pengakuan melalui ucapan dan ber-

amal dengan anggota tubuh merupakan pilar iman merupakan penjelasan terhadap rahasia alam dan sunatullah yang berlaku. Sebab, hakikat

p: 700

iman adalah keharusan adanya amal dan pelaksanaan syariat. Orang yang asyik dengan cintanya terhadap seseorang pasti akan menunjukkan bukti kecintaannya kepada orang yang dicintainya, dan seorang yang beriman jika tidak melaksanakan konsekuensi-konsekuensi dari keimanan dan pernyataan cintanya kepada Allah dan para wali-Nya, tidaklah dapat disebut sebagai seorang Mukmin dan pencinta. Iman yang formal dan cinta yang palsu, yang tidak disertai dengan substansi

dan muatan cinta, pasti akan hanyut oleh berbagai peristiwa sederhana dan guncangan-guncangan kecil, dan pencinta yang seperti ini akan kembali ke kampung akhirat dengan hampa tangan.(1)

p: 701


1- a Pada naskah aslinya, uraian tentang hadis ke-33 ini dilampiri dengan pembahasan ringkas mengenai wilayah Ahl Al-Bait. Mengingat kecilnya relevansi lampiran tersebut terhadap uraian pada bab ini-demi keringkasan lampiran tersebut tidak kami sertakan-peny.

34 Hadis tentang Orang Mukmin

Point

بالسّند المتّصل إلی ثقة الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، قدّس سرّه، عن عدّة من أصحابنا، عن أحمد بن محمّد بن خالد، عن إسماعیل بن مهران، عن أبی سعید القمّاط، عن أبان بن تغلب، عن أبی جعفر، علیه السّلام، قال لمّا أسری بالنّبی، صلّی الله علیه و آله، قال: یا ربّ، ما حال المؤمن عندک؟ قال: یا محمّد، من أهان لی ولیّا، فقد بارزنی بالمحاربة، و أنا أسرع شی ء إلی نصرة أولیائی، و ما تردّدت فی شی ء أنا فاعله کتردّدی فی وفاة المؤمن یکره الموت و أکره مساءته. و إنّ من عبادی المؤمنین من لا [یصلحه ] إلّا الغنی، و لو صرفته إلی غیر ذلک لهلک. و إنّ من عبادی المؤمنین من لا [یصلحه ] إلّا الفقر، و لو صرفته إلی غیر ذلک لهلک. و ما یتقرّب إلیّ عبد من عبادی بشی ء أحبّ إلیّ ممّا افترضت علیه. و إنّه لیتقرّب إلیّ بالنّافلة حتّی أحبّه، فاذا أحببته، کنت إذا سمعه الّذی یسمع به و بصره الّذی یبصر به و لسانه الّذی ینطق به و یده الّتی یبطش بها، إن دعانی أجبته، و إن سألنی أعطیته

p: 702

Hadis tentang Orang Mukmin

Dengan sanad yang bersambung pada Tsiqah Al-Islâm Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah menyucikan dirinya dari sejumlah sahabat kita, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari Isma'il ibn Mahran, dari Abu Sa'id Al-Qummath, dari Aban ibn Taghlib, dari Abu Ja'far a.s., yang mengatakan, “Ketika Nabi Saw. di-isrâ'-kan, beliau bertanya, 'Tuhanku, bagaimana keadaan seorang Mukmin di sisi-Mu?' Allah menjawab, 'Wahai Muhammad, barang siapa yang meremehkan-Ku dengan (menghina) seorang wali, sungguh dia telah memperlihatkan permusuhannya kepadaKu, dan Aku adalah Tuhan yang paling cepat memberikan pertolongan kepada wali-wali-Ku. Dan, Aku tidak pernah ragu-ragu tentang sesuatu lebih dari keragu-raguanKu untuk mematikan seorang Mukmin yang tidak menyukai kematian dan Aku pun tidak suka menyakitinya.

“Di antara hamba-hamba-Ku yang Mukmin terdapat orang yang tidak cocok baginya kecuali kekayaan; dan kalau Aku palingkan dia kepada (keadaan) yang lain, dia pasti akan celaka. Di antara hamba-hamba-Ku yang Mukmin terdapat pula orang yang tidak cocok baginya kecuali kemiskinan; dan kalau Aku palingkan dia kepada (keadaan) yang lain, niscaya dia akan celaka. Tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang di antara hamba-hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada (melaksanakan) kewajiban yang telah Kutetapkan kepadanya. Dia mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan ibadah nafilah sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku sudah mencintainya, saat itu Aku akan menjadi telinganya yang dia pakai untuk mendengar, matanya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang dia pakai untuk berkata-kata, dan tangannya yang dia pakai untuk memegang. Jika dia memohon kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan, dan jika dia meminta kepada-Ku, pasti akan Aku beri.(1)

Usriya adalah fi'il majhůl yang artinya 'dijalankan di malam hari'. Al-Jauhari mengatakan, “Saraitu, suran, masran, dan asraitu dipergunakan dalam arti sirta lailan (engkau berjalan di malam hari).” Adapun lafaz yang menggunakan alif (asraitu) adalah dialek orang-orang Hijaz. Berdasarkan bahwa isra' adalah perjalanan di malam hari, batas-

p: 703


1- 1. Ushủl Al-Kafi, jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimîn, hadis ke-3.

an “malam hari” tersebut berkaitan dengan ayat yang berbunyi, Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam (QS Al-Isra' [17): 1), yang dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada manusia bahwa masa isrâ' tersebut sangat pendek, padahal perjalanan yang ditempuh adalah dari Masjid Al-Haram hingga Masjid Al-Aqsha, yang memakan waktu empat puluh hari jika ditempuh dengan berjalan kaki, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baha'i.

Pengertian seperti itu diperoleh baik dengan me-nakirah-kan (menjadikannya sebagai lafaz dengan pengertian umum) maupun dengan meniadakan alif dan lam (yang menunjukkan arti ma'rifat tertentu). Usriya bi al-nabi: Di sini maksudnya berkaitan dengan peristiwa isrâ' mi'raj yang sudah demikian dikenal. Dengan demikian, misalnya, ia berarti: 'Dia dijalankan pada waktu malam menuju ke tempat yang dekat'. Ucapan Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Bagaimana keadaan se-

orang Mukmin?” mengandung arti, “Bagaimana keadaan seorang Mukmin dan bagaimana pula kedudukannya?"

Man ahâna li waliyyan (Barang siapa menghina-Ku dengan menghina seorang wali): Jika memang ada yang menghina-Nya, artinya istakhaffa bih (meremehkan-Nya), sedangkan istahậna bih dan tahawana fih berarti merendahkan-Nya. Jika dikatakan rajul fin muhậnah, kalimat ini berarti orang itu hina dan lemah. Secara lahiriah, huruf jár dalam kalimat li mungkin berkaitan dengan kata kerja (fi'il) ahậna. Berdasarkan itu, kalimat tersebut berarti menghina seorang Mukmin

karena keimanannya kepada Allah, dan selanjutnya berarti menghina Allah Yang Mahatinggi. Namun, bisa pula ia berkaitan dengan al-wali. Berdasarkan itu, yang dimaksud adalah menghina seorang Mukmin dengan tujuan apa pun. Maksud al-wali acalah kekasih (Allah). Barazani mempunyai arti seperti baraza al-rajul, yabruzu, burūzan, yaitu keluar. Sedangkan yang dimaksud dengan kalimat al-mubarazah bi al-muharabah dalam hadis ini adalah keluar untuk berperang atau memperlihatkan sikap permusuhan. Masâ’atuh adalah mashdar dengan menggunakan mim, dan berasal dari sâ’ahu yang berarti membuatnya tidak suka.

p: 704

Tentang kalimat inna min "ibâdî man la yushlihuhû illa al-ghinâ' (di antara hamba-hamba-Ku terdapat orang yang tidak cocok baginya kecuali kaya), Syaikh Al-Baha'i mengatakan, “Bahwa kinerja nahwû (tata bahasa Arab) mengharuskan bahwa maushủl haruslah isim-nya in, sedangkan jár majrür yang terdapat dalam kalimat di atas merupakan khabar-nya (predikatnya). Namun, yang dimaksud di situ bukanlah memberikan informasi bahwa yang tidak cocok untuk kemiskinan adalah sementara orang (hamba), melainkan sebaliknya. Oleh karena itu, yang lebih baik adalah menjadikan zharaf (dalam kalimat tersebut) sebagai isim in, dan maushủl sebagai khabar (predikat). Sekalipun yang demikian itu kurang dikenal di kalangan sementara orang, dibenarkan oleh kelompok lainnya, seperti yang berlaku pada firman Allah yang berbunyi, wa min al-nâs man yaqûlu âmanna billah wa bi al-yaum al-akhir (Dan di antara manusia ada orang yang mengatakan, Kami beriman kepada Allah dan hari akhir) (QS Al-Baqarah [2]: 8).(1)

Bisa jadi, dalam kalimat seperti itu, mubtada’-nya dibuang dan itu ditunjukkan dengan dibuangnya huruf jár. Pembuangan mubtada' seperti itu tidak bertentangan dengan kaidah nahwu. Kemudian Al-Baha'i mengutip Tafsir Al-Kasysyaf (Al-Zamakhsyari) yang mengatakan bahwa jár-majrûr dalam ayat tersebut merupakan mubtada' yang berarti bahwa “sebagian manusia" atau "sebagian dari mereka" terdapat orang yang memiliki sifat seperti yang dikemukakan di atas. Dengan demiki-

an, makna inti pembicaraannya berkenaan dengan sifat-sifat. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa zharaf (dalam hadis sebelumnya), dengan menakwilkan artinya, adalah mubtada'.(2) Namun, seperti telah kami kemukakan di atas, kami tidak hendak melakukan takwil. Hendaknya diketahui bahwa penyebutan kalimat “Di antara hamba-hamba-Ku terdapat orang yang tidak cocok baginya kecuali kaya”, dalam konteks ini, dimaksudkan untuk menghilangkan ambigu, sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan yang mungkin dilontarkan orang yang berbunyi, “Jika dia (wali) tersebut adalah orang yang dekat dengan Allah dalam derajat begitu rupa sehingga meremehkannya merupakan pernyataan perang terhadap Allah, lantas mengapa Allah mengujinya dengan kemiskinan dan kepapaan?" Lebih

jauh, “Jika dunia ini tidak mempunyai nilai, lantas mengapa sebagian

p: 705


1- 2. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 387.
2- 3. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 388.

dari mereka adalah orang-orang kaya?" Terhadap pertanyaan ini, Allah menjawab bahwa kondisi-kondisi psikologis yang dimiliki hamba-hamba-Nya berbeda-beda dan kalbu mereka pun berubah-ubah. Sebagian dari mereka tidak cocok kecuali bagi kondisi-kondisi kepapaan dan kemiskinan sehingga Allah menjadikan mereka miskin, dan dengan demikian menjadi baiklah keadaannya. Namun, sebagian yang lain membutuhkan kekayaan yang dengan itu mereka menjadi orang- orang Mukmin yang saleh, dan karena itu Allah menjadikan mereka orang-orang kaya. Kedua keadaan tersebut sama-sama merupakan karâmah (kekeramatan) dan kemuliaan seorang Mukmin yang berasal dari sisi Allah Yang Mahasuci. Tentang kalimat yang berbunyi, “Dan ketika salah seorang di antara hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku ...," maka disebutkannya kalimat ini, berikut kalimat selanjutnya yang merupakan penjelasan atasnya, merupakan penjelasan tentang kedudukan orang-orang Mukmin yang sempurna dan dekat dengan Allah. Allah Swt. telah menjelaskan kepada Rasul-Nya yang mulia tentang keadaan orang-orang Mukmin dengan awal dan akhir seperti itu, yang di situ disebutkan secara singkat keadaan mereka dalam bentuk yang umum, melalui firman-Nya yang berbunyi, Barang siapa yang menghina mereka, berarti dia telah menggali kapak perang terhadap-Ku. Sesudah itu, Allah membagi orang-orang Mukmin menjadi dua kelompok bahkan tiga, menurut para ahli makrifat.

Kelompok pertama adalah orang-orang Mukmin pada umumnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh hadis di atas melalui kalimatnya yang berbunyi, “Aku tidak pernah menimbang-nimbang dalam suatu urusan," hingga firman-Nya yang berbunyi, Ketika salah seorang di antara hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku. Bukti bahwa bagian hadis ini berbicara tentang mereka adalah bahwa mereka takut pada kematian dan bawasanya kekayaan dan kemiskinan tidak berpengaruh terhadap mereka. Kedua karakter khusus tersebut (kaya dan miskin) tidak mengacu pada orang-orang Mukmin yang paripurna, tetapi merujuk pada crang-orang Mukmin yang telah dikenal secara luas. Berdasarkan alasan ini, bantahan yang diajukan terhadap hadis ini tidak tertuju pada pengertian lahiriah hadis ini, yang menyatakan

p: 706

bahwa seorang Mukmin takut pada kematian, yang bertentangan dengan hadis-hadis lain yang secara jelas menyatakan bahwa seorang Mukmin yang ikhlas tidak takut pada kematian, sehingga kita memerlukan jawaban yang dikutip oleh Syaikh Al-Baha'i dari Syaikh Al-Syahid, semoga Allah meridhai mereka berdua. Bagi mereka yang ingin mengetahui jawaban tersebut, kami persilakan membaca kitab hadis Syaikh Al-Baha'i yang berjudul Al-Arba'ûn.(1)

Kelompok lainnya adalah orang-orang Mukmin yang sempurna, yang dikemukakan oleh hadis di atas dengan firman-Nya yang berbunyi, Apabila salah seorang di antara hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku ... hingga akhir hadis tersebut. Para ahli makrifat membagi kelompok ini menjadi dua bagian: Pertama, orang-orang Mukmin yang mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah fardhu. Kedua, orang-orang Mukmin yang mendekatkan diri

kepada Allah dengan nawaſil.(2) Bagian akhir dari hadis tersebut mengisyaratkan pada kedudukan orang-orang Mukmin dan hasil dari kedekatan posisi mereka dengan Allah. Pada bagian yang akan datang nanti, kami akan mengemukakan secara singkat kedudukan kedua kelompok ini. Insya Allah.

Tentang lafaz wa yabthisyu, Al-Jauhari mengatakan bahwa al-bathsyah adalah merenggut dan mengambil dengan paksa, dan juga digunakan dalam bentuk bathasya bih (bertindak keras terhadapnya), yabthisyu, wa yabthusyu (mencengkeram), bathsyan (cengkeraman yang hebat). Dalam kalimat di atas, lafaz ini digunakan dalam pengertian mengambil secara umum, bahkan penggunaannya menurut makna lahiriahnya lebih umum dibanding dengan penggunaannya dengan

pengertian mengambil dengan kekerasan.

Catatan

Syaikh Al-Baha'i---semoga Allah menyejukkan tempat berbaringnya-mengatakan bahwa hadis ini sahih sanadnya dan tergolong dalam hadis-hadis masyhur di kalangan khusus maupun umum. Mereka meriwayatkannya dalam kitab-kitab shahih mereka dengan sedikit perubahan. Berdasarkan itu, riwayat ini dinyatakan sahih. Di kalangan umum, hadis ini diriwayatkan melalui jalur yang sahih pula, di sam-

p: 707


1- 4. Syaikh Al-Baha'i mengajukan bantahan terhadap masalah ini ketika beliau menafsirkan hadis ke-35 dalam kitabnya yang berjudul Al-Arbaʻun, dengan mengatakan, “Ini adalah prasangka dan catatan yang mengesankan adanya pertentangan antara hadis ini dan hadis-hadis lainnya yang menyatakan bahwa seorang Mukmin yang ikhlas itu takut pada kematian dan senang pada kehidupan dunia, dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang mengatakan, Barang siapa yang senang bertemu Allah, maka Allah pun senang bertemu dengannya.' Pengertian lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa seorang Mukmin yang sejati tidak membenci kematian dan sangat rindu kepadanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebuah riwayat tentang diri Amir Al-Mukminin, yang mengatakan bahwa putra Abi Thalib (Imam 'Ali) adalah orang yang sangat dekat dengan kematian lebih dari bayi pada susu ibunya, dan bahwasanya beliau berkata, saat ditikam oleh Ibn Muljam, 'Sungguh beruntung aku, Demi Tuhan Ka'bah." Syaikh Al-Syahid memberikan jawaban terhadap sanggahan ini dengan mengatakan bahwa kesenangan untuk bertemu Allah tidaklah terikat oleh waktu dan karena itu ia mencakup kondisi kehadiran maut, pengertiannya, dan hal-hal yang disukai, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Syadiq a.s.-penerj Persia-Arab.
2- 5. Mir’ât Al-'Uqûl, jil. X, mengatakan bahwa al-nawaſil adalah bentuk jamak dari nafilah, yaitu amal-amal nonwajib, yang dikerjakan semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Adapun pengkhususan artinya sebagai shalat mandub (sunnah) hanyalah merupakan pendefinisian yang dangkal.

ping bahwa ia diakui sebagai hadis yang tergolong dalam hadis-hadis masyhur yang disepakati kesahihannya oleh semua mazhab dalam Islam.

Tentang Keraguan dan Kebimbangan Allah Swt.

Dalam penjelasan kami sebelumnya, kami telah mengemukakan masalah penghinaan terhadap orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, rasanya kami tidak perlu menguraikannya kembali di sini. Sekarang, mari kita beralih pada penjelasan tentang bagian-bagian lainnya. Hendaknya diketahui bahwa para ulama mengalami kesulitan dalam menjelaskan masalah penisbahan keragu-raguan pada Zat Allah Swt. yang dikemukakan dalam hadis sebelumnya. Demikian

pula halnya dengan kandungan berbagai hadis sahih, bahkan juga ayat-ayat suci Al-Quran yang menisbahkan hal-hal lain seperti itu kepada Allah, misalnya al-bada' dan al-imtihân. Para ulama mengalami kesulitan dalam menjelaskan penisbahan seperti itu sehingga mereka melakukan takwil yang dilakukan di bawah perspektif jalan yang mereka tempuh. Syaikh Al-Baha'i, dalam Al-Arba'ûn, menjelaskan adanya tiga kemungkinan arti, yang di sini kami kemukakan secara ringkas.

Pertama, dalam kalimat tersebut terdapat beberapa kata ganti (dhamir) yang disembunyikan, yang jika dikemukakan akan membuat kalimat tersebut berbunyi, “Kalau sekiranya dibenarkan bagi-Ku untuk ragu-ragu, Aku tidak pernah ragu-ragu mengenai sesuatu lebih dari keragu-raguan-Ku dalam urusan matinya seorang Mukmin." Kedua, kalau dalam adat berlaku bahwa seseorang merasa ragu-ragu untuk menyakiti orang yang dihormatinya, misalnya sahabat karib atau kekasih yang disayangi, dia tidak ragu-ragu untuk menyakiti orang atau hewan yang tidak perlu dia hormati, misalnya musuh, ular, atau kalajengking. Bahkan, begitu terlintas keinginan dalam hatinya untuk menyakiti mereka, dia segera melaksanakan keinginannya.

Tindakan tersebut dapat dibenarkan bagi orang itu untuk mengungkapkan keragu-raguannya dan menimbang-nimbang terlebih dahulu perbuatannya yang akan menyakiti orang yang dihormatinya serta tidak menghina dan meremehkannya. Dengan demikian, yang dimak-

p: 708

sud firman Allah yang berbunyi, Aku tidak pernah ragu-ragu tentang sesuatu melebihi keragu-raguan-Ku untuk mematikan seorang Mukmin, adalah Tidak ada sesuatu di antara makhluk-Ku yang demikian Kuhargai serta Kuhormati lebih dari kehormatan dan harga seorang Mukmin. Dengan demikian, kalimat ini termasuk dalam kategori kiasan. Ketiga, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan melalui jalur Ahl Al-Sunnah dan Syi'ah dikatakan bahwa Allah Swt. menampakkan kepada

hamba-Nya yang Mukmin, saat datang kepadanya pertolongan, karamah dan berita gembira tentang surga, sesuatu yang dapat menghilangkan rasa takut akan kematian dari hamba-Nya itu serta menyebabkan kepastian akan rasa senang untuk pindah ke kampung abadi. Dengan begitu, menjadi kecillah sakit yang dideritanya akibat kematian dan menjadi senanglah dia untuk masuk ke kampung keabadian tersebut. Lantas, kondisi ini diibaratkan dengan perlakuan orang yang menyakiti kekasihnya dengan suatu kesakitan yang kemudian diikuti dengan anugerah besar. Oleh karena itu, orang tersebut menjadi ragu-ragu tentang cara yang harus dia lakukan untuk meminimalkan rasa sakit yang akan dialami oleh kekasihnya itu. Untuk itu, dia memperlihatkan kepada orang yang dicintainya kenikmatan dan kelezatan yang akan diperolehnya sesudah dia melalui penderitaan tadi, sehingga dia bisa menerima penderitaan tersebut karena melihat sesuatu yang

selama ini dia cita-citakan.(1)

Pandangan Ahli Makrifat

Adapun cara yang ditempuh oleh para ahli hikmah dan makrifat ('irfân) dalam menjelaskan masalah seperti ini berbeda dari cara yang dilakukan aliran-aliran lainnya. Namun, karena sulitnya memahami cara yang ditempuh para ahli hikmah dan ‘irfân, di sini kami tidak akan berpanjang kata tentang itu. Cukuplah kiranya apabila di sini kami kemukakan penjelasan yang mudah-mudahan lebih gampang dicerna dan dipahami. Haruslah diketahui bahwa seluruh peringkat wujud, sejak alam malakût dan alam jabarût yang paling tinggi hingga ke alam kegelapan dan khayalan yang paling rendah, merupakan fenomena keindahan dan keagungan Allah Swt., sekaligus merupakan tingkat-tingkat tajalli

p: 709


1- 6. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 384.

(penampakan Allah Azza wa Jalla). Semua itu pada dasarnya tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan bergantung satu sama lain yang merupakan pernyataan tentang kebutuhan mereka kepada Allah Swi. Semua makhluk yang ada ini ditundukkan di bawah amr (perintah) Allah, dan sepenuhnya taat kepada perintah-perintah llahi tersebut. Ayat-ayat yang menegaskan hal ini banyak sekali, salah satu di antaranya adalah firman Allah Swt. yang berbunyi, Dan bukanlah engkau yang melempar saat engkau melempar, melainkan Allahlah yang melempar (QS Al-Anfâl [8]: 17). Penetapan dan penafian (al-itsbát wa al-nafi) ini, yakni Bukanlah engkau yang melempar saat engkau melempar, merupakan isyarat tentang suatu dilema: engkau memang melempar, tetapi pada saat yang sama engkau tidak melempar dengan kemampuanmu sendiri. Namun, lemparan tersebut terjadi melalui perantaraan kekuasaan Allah yang diberikan pada lemparanmu dan

pada terlaksananya kekuasaan-Nya di dalam tindakanmu sendiri. Dengan demikian, engkau memang melempar, tetap: pada saat yang sama Allahlah yang sebenarnya melempar. Ayat di atas diperjelas pula dengan ayat lain yang terdapat dalam Surah Al-Kahfi, saat Allah menuturkan kisah Khidhir dan Musa a.s. yang berbunyi sebagai berikut: Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di

hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu, kedua orangtuanya adalah orang-orang Mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orangtuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti untuk mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya daripada anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapak-nya). Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta benda simpanan bagi mereka berdua sedangkan ayahnya adalah seorang yang saleh,

maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai pada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari

p: 710

Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. (QS Al-Kahfi (18]: 79–82) Nabi Khidhir a.s. membeberkan rahasia perbuatannya kepada Nabi Musa a.s, dan menisbahkan sumber perbuatan yang lemah dan cacat kepada dirinya dengan mengatakan, “Dan aku bertujuan merusakkannya (bahtera).” Namun, di tempat lain, yakni yang berkaitan dengan sumber kesempurnaan, dia menisbahkannya kepada Allah Swt. dengan mengatakan, “Tuhanmu menghendaki supaya mereka berdua sampai pada kedewasaannya,” dan pada tempat yang ketiga dia menisbahkan perbuatan kepada kedua-duanya dengan mengatakan, “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti untuk

mereka.” Dan semuanya itu adalah benar semata. Termasuk dalam konteks itu adalah firman Allah Swt. yang berbunyi, Allahlah yang mematikan jiwa-jiwa ketika mereka mati (QS Al-Zumar (39): 42), sekalipun malaikat mautlah yang sebenarnya bertanggung jawab atas kematian jiwa-jiwa tersebut. Juga, firman-Nya yang berbunyi, Dia menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS Al-Nahl (16):93). Allahlah Tuhan yang memberi petunjuk dan menyesatkan, padahal malaikat Jibril dan Rasulullah Saw. adalah pembawa petunjuk, sebagaimana yang dinyatakan oleh firman-Nya yang berbunyi, Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk (QS Al-Ra'd (13): 7), dan yang menyesatkan adalah setan. Demikian pula halnya dengan tiupan Ilahi pada sangkakala Israfil yang dilaksanakan oleh Israfil sehingga di situ terdapat dualisme: tiupan Ilahiah dan tiupan Israfil pada satu sisi, dan pada sisi yang lain pada dasarnya semuanya berasal dari dan berpangkal pada-Nya.

Dari satu sudut pandang, Israfil, 'Izrail, Jibril, Baginda Muhammad Saw., dan seluruh nabi pada hakikatnya tidak punya peran apa pun (dan ini disebut dengan perspektif kesatuan). Karena itu, urusannya tidak boleh dinisbahkan kepada mereka, sebagai lawan dari Allah dalam bentuk yang mutlak, dan bertentangan pula dengan kehendakNya yang berlaku. Segala sesuatu merupakan fenomena kekuasaan

p: 711

dan kehendak Allah. Allah berfirman, Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi ... (QS Al-Zukhruf [43]: 84). Dari sudut pandang lain, yakni perspektif pluralitas dan kausalitas, semua sebab ada pemeran/pelaku efektifnya. Sistem alam yang sempurna dibangun atas keserasian sebab dan akibat. Jika terdapat sebab atau perantara yang tidak berfungsi dalam rangkaian sebab-akibat dan keperantaraan, niscaya berhentilah gerak proses perwujudan. Lalu, jika yang hadits (makhluk) tidak terkait dengan yang Qâdim (Allah), melalui sekian perantara dan sebab, niscaya berhentilah aliran rahmat Allah. Jika seseorang, melalui bimbingan deduksi dan induksi logika, khususnya yang dikemukakan dalam buku-buku yang ditulis oleh para anli makrifat dan filsafat Islam, dapat mengetahui sumber keimanan yang amat lezat ini, lalu memasukkannya kedalam relung kalbunya, niscaya terbukalah baginya pelbagai pintu cakrawala yang luas. Dia pasti tahu bahwa penisbahan tersebut adalah benar, dan tidak akan terkacaukan oleh berbagai kalimat kiasan saat dia melakukan studinya yang mendalam. Ketika para malaikat yang ditugaskan untuk mencabut nyawa orang-orang Mukmin dan mengambil ruh mereka yang suci melihat kedudukan orang-orang Mukmin saat mereka harus hadir di haribaan Zat Mahasuci, dan dari sisi lain mereka melihat bahwa orang-orang Mukmin tersebut tidak menyukai kematian, para malaikat itu pun menjadi ragu-ragu. Allah Swt. menisbahkan keragu-raguan para malaikat tersebut kepada-Nya dengan mengatakan, Aku tidak pernah ragu-ragu tentang sesuatu melebihi keragu-raguan-Ku untuk mematikan seorang Mukmin, sebagaimana halnya dengan penisbahan ihwal mematikan, memberi petunjuk, dan menyesatkan kepada diri-Nya pula. Jika penisbahan seperti itu benar dalam pandangar. para ahli ‘irfân, sah pulalah penisbahan keragu-raguan tersebut kepada Allah Azza wa Jalla. Namun, mereguk sumber ‘irfán seperti ini membutuhkan usaha yang gigih, kepekaan, dan intuisi yang tajam. Dan, hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk. Persoalan berikut ini tidaklah perlu diragukan pentingnya, yaitu bahwa jika sekiranya segala perwujudan ini merupakan hakikat ke-

p: 712

sempurnaan--karena kekurangan dan ketidaksempurnaan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Allah Yang Mahatinggi, sebagaimana yang telah terbukti secara tidak terbantah-dan pelimpahan itu lebih mendekati ufuk kesempurnaan dan jauh dari kekurangan dan kelemahan, maka pengaitannya dengan Zat Allah adalah lebih sempurna dan lebih tepat. Sebaliknya, jika kegelapan dan ketidakadaannya lebih banyak serta keterikatan dan keterbatasannya demikian tak terhitung, pengaitannya kepada Allah merupakan sesuatu yang tidak layak dan penisbahannya kepada-Nya merupakan sesuatu yang mustahil.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa nas yang mulia, yakni Al-Quran dan Sunnah, banyak menisbahkan perbuatan yang bersifat penciptaan-yang semata-mata gaib—kepada Allah, pada saat perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan alam materi sangat sedikit yang dinisbahkan kepada Allah.

Ketika mata dan kalbu yang tajam dapat membedakan yang sempurna dari yang lemah, yang baik dari yang buruk, yang indah dari yang buruk, saat itu ia dapat memahami-sekalipun semuanya itu berada di alam realitas yang menampakkan perbuatan Allah Swt. dan berkaitan dengan-Nya—bahwa semua perbuatan-Nya adalah indah dan sempurna dan sama sekali tidak ada kekurangan dan kecacatan pada Zat Allah Yang Mahasuci. Adapun ucapan-ucapan yang berasal dari para ahli hikmah-semoga Allah meridhai mereka-yang menyandarkan kekurangan kepada Allah Swt., yang demikian itu termasuk dalam penisbahan yang bersifat ‘arûdh (aksidental), yang di situ terjalin penisbahan majâzî untuk tujuan pengajaran filsafat bagi kalangan siswa. Pada tingkat pengetahuan ini terdapat berbagai kekeliruan dan kekaburan yang sebaiknya tidak kita bicarakan di sini. Kami bermaksud mengemukakan persoalan mendasar dan penting berikut ini:

pertama, perlunya menapis kalimat-kalimat sesat yang kemungkinan dikaitkan oleh orang-orang bodoh pada ilmu pengetahuan Ilahiah; kedua, perlunya menjelaskan bahwa penisbahan keraguan yang ada dalam dorongan dan hambatan yang terjadi pada sementara penghuni alam malakût kepada Zat Allah Yang Mahatinggi itu lebih patut dibanding dengan penisbahan persoalan alam yang terjadi di dunia ini kepada Allah Swt.; ketiga, bahwasanya orang yang arif terhadap berba-

p: 713

gai hakikat hendaknya menentukan batasan dari apa yang disebut sempurna dan kurang dalam kaitannya dengan masalah keragu-raguan tersebut. Dengan demikian, dia akan menisbahkan keragu-raguan yang sempurna kepada Allah Swt. dan menghilangkan yang kurang dari-Nya.

Pemahaman Lain tentang Masalah keraguan

Point

Dalam masalah ini, terdapat beberapa aspek yang terdapat dalam hadis tersebut yang berkaitan dengan masalah penisbahan keragu-raguan kepada Allah Swt. yang pernah terlintas dalam pikiran saya beberapa waktu yang lalu, yaitu bahwasanya hamba-hamba Allah itu adakalanya merupakan orang-orang arif dan wali-wali Allah. Namun, dalam perjalanan makrifat mereka menuju Allah, mereka mengalami penurunan di jalan yang ditempuh para pemilik kalbu suci (ashhâb

al-qulüb). Perhatian mereka tertarik pada Al-Haqq dan sepenuhnya tertuju pada keindahan-Nya yang tiada terperi, dan menghadapkan cita-cita mereka kepada Zat-Nya Yang Mahasuci, serta berpaling dari apa pun selain-Nya, bahkan dari diri mereka sendiri. Kelompok kedua adalah orang-orang yang terpuruk dalam kubangan kehidupan duniawi dan meraba-raba dalam kegelapan karena ambisi mereka terhadap kedudukan dan kekayaan. Kalbu mereka terkungkung oleh egoisme dan tidak pernah tertarik pada dunia pengetahuan yang lebih suci. Mereka mengabaikan alam malakût yang tinggi dan menjadi orang-orang yang ingkar terhadap Asma Allah Swt.

Kelompok ketiga adalah kelompok orang-orang beriman yang selalu tertuju perhatiannya pada alam yang lebih tinggi karena cahaya keimanan mereka, dan membenci kematian hanya lantaran ketertarikan mereka pada hal-hal duniawi yang bernilai. Allah menyebutkan posisi mereka sebagai posisi yang berada di tengah tarik-menarik antara alam malakût dan alam duniawi, antara alam akhirat yang gaib dan alam dunia yang wadag. Dan, sebagaimana diketahui, mereka

selalu mengalami keragu-raguan dalam menghadapi persoalan mereka Seakan-akan Allah mengatakan, “Tidak ada keragu-raguan pada makhluk mana pun, yang demikian mengombang-ambingkan sese-

p: 714

orang ketimbang keragu-raguan dan keterombang-ambingan seseorang antara alam malakût dan alam dunia, seperti yang ada pada diri seorang hamba Allah yang Mukmin, yang tidak suka pada kematian sehingga dia tidak dapat mencapai kesempurnaan dirinya. Allah Swt. tidak senang menyakiti diri mereka yang menyebabkan mereka terus-menerus terikat oleh alam duniawinya, dan karena itu mereka membenci kematian. Orang-orang lain tidaklah seperti mereka. Sebab, jika benar-benar wali-wali Allah, mereka tidak pernah tertarik pada alam dunia dan alam materi, sedangkan orang-orang yang berkubang di alam dunia

dan materi tidak pernah tertarik pada alam malakût yang gaib. Dengan demikian, penisbahan keragu-raguan kepada Allah Swt. didasarkan atas asas yang kami kemukakan dalam penjelasan kami sebelumnya, sebelum keterangan pelengkap ini.

Muhaqqiq besar Mir Muhammad Baqir Damad dan muridnya yang dikenal dengan Al-Shadr Al-Muta'allihin (Mulla Shadra) mempunyai kajian yang sangat mendalam tentang masalah ini yang mesti kita bicarakan secara detail dalam kajian ini.

Allah Menjadikan keadaan Kaum Mukmin Menjadi Baik dengan Kemiskinan, Kekayaan, dan Lain-Lain

Dari paragraf hadis yang berbunyi, “Di antara hamba-hamba-Ku yang Mukmin terdapat orang yang tidak cocok baginya kecuali kekayaan; dan kalau Aku palingkan dia kepada (keadaan) yang lain, dia pasti akan celaka. Di antara hamba-hamba-Ku yang Mukmin terdapat pula orang yang tidak cocok baginya kecuali kemiskinan; dan kalau Aku palingkan dia kepada (keadaan) yang lain, niscaya dia akan celaka,”

dapatlah dipahami bahwa kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan sakit, ketenteraman dan kegelisahan, yang diberikan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya yang beriman adalah semata-mata demi kemaslahatan mereka, dan untuk membuat hati mereka menjadi ikhlas. Hadis tersebut tidak bertentangan dengan hadis-hadis lain yang menerangkan hebatnya cobaan dalam bentuk penyakit, kelaparan, kesulitan, dan cobaan-cobaan lainnya yang diberikan Allah kepada orang-orang Mukmin. Mengingat rahmat dan anugerah Allah sangat luas, Allah

p: 715

Swt. memperlakukan setiap orang sesuai dengan watak dan kondisinya masing-masing, agar masing-masing betul-betul memperoleh anugerah di dunia, persis seperti sikap yang dilakukan seorang dokter terhadap pasiennya yang memiliki penyakit yang berbeda-beda. Kadang-kadang Allah Swt. memberikan kekayaan kepada seseorang, dan pada saat yang sama Dia mengujinya cengan cobaan-cobaan lain sesuai dengan derajat kekuatan dan kelemahan iman serta kesempurnaan dan kekurangan diri mereka. Bahkan, tidak jarang kekayaan yang dianugerahkan-Nya itu menyembunyikan musibah yang kemudian memalingkan mereka dari kehidupan dunia dan kesenangan-kesenangannya. Pembentukan diri orang tersebut terjadi sesuai dengan kecenderungannya masing-masing, yang jika dia dijadi-

kan sebagai orang miskin, niscaya dia celaka untuk selamanya. Sebab, dia memang memandang bahwa kebahagiaan dan kesejahteraannya terletak pada kedudukan dan kekayaan, dan bahwasanya orang-orang yang sukses dalam kehidupan dunia, menurut pendapatnya, adalah orang-orang yang beruntung. Dengan demikian, dia menunjukkan perhatiannya pada kekayaan duniawi dan bergelut di dalamnya. Namun, kalau dia mengetahui bahwa kekayaan dunia itu menyem-

bunyikan penderitaan dan bencana, niscaya dia berpaling darinya. Dengan demikian, Allah kadang-kadang memberi ujian kepada kaum Mukmin dengan kemiskinan semata-mata untuk kebaikan mereka, dan guna menjauhkan diri mereka dari kekayaan duniawi, seraya menjadikan kemiskinan tersebut sebagai sesuatu yang ringan dan mudah diatasi, dan kadang-kadang Dia melimpahruahkan kekayaan kepada orang lain seraya memperlihatkan bahwa orang-orang yang hidup dalam kelimpahruahan seperti itu tetap hidup dalam kesempitan dan tidak terbebas dari kesulitan. Tidaklah tertutup kemungkinan bahwa pahala dalam menghadapi cobaan dalam bentuk kemiskinan tersebut jauh lebih besar, sebagaimana yang bisa kita pahami dari riwayat-riwayat lain, yang sebagian di antaranya telah kami kemukakan dalam penjelasan kami terhadap salah satu di antara hadis-hadis sebelumnya.

p: 716

Kewajiban-Kewajiban yang Fardhu dan yang Nafilah Bisa Mendekatkan Seseorang kepada Allah dan Pengaruhnya dalam Pandangan Ahli Tasawuf dan 'Irfân

Hendaknya diketahui bahwa seorang penempuh jalan menuju Allah dan orang yang hijrah dari “rumah jiwa yang gelap” menuju Ka'bah hakikat harus menempuh perjalanan ruhani dan suluk ‘irfân, yang pangkalan berangkatnya adalah “rumah ego” dan egoisme. Tempat-tempat persinggahannya (manâzil: jamak dari manzil) terdiri dari berbagai tingkatan yang tertutup oleh tabir-tabir nurani dan kegelapan, yang diungkapkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya yang berbunyi, Sesungguhnya Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab yang terdiri dari cahaya dan kegelapan. Yakni, cahaya-cahaya perwujudan dan kegelapan- kegelapan penglihatan, cahaya malakût dan kegelapan duniawi, sebagai akibat dari keterkaitan nafsu dan cahaya-cahaya suci yang muncul dari keterkaitan yang bersifat kekalbuan. Ketujuh puluh ribu tabir cahaya dan kegelapan tersebut diungkapkan dengan tujuh tabir penutup, seperti yang dikemukakan oleh para Imam yang suci dalam bacaan takbir pembukaan (iftitah) shalat yang berjumlah tujuh, yang setiap takbir menyibakkan satu hijab. Juga ada yang menyatakan bahwa bersujud pada tanah Al-Husain yang disucikan bisa menyingkapkan ketujuh tabir tersebut. Seorang ahli 'irfan (makrifat) menulis bait-bait syair berikut tentang 'Aththar

Al-Naisaburi:

'Aththar telah mengelilingi tujuh kota Cinta sedangkan kita tetap di tepi lorong yang satu ini

Tujuh hijab tersebut diungkapkan pula dalam mikrokosmos (manusia) dengan tujuh luthf. Para ahli ‘irfan mempertahankan hijab tersebut dalam tiga hijab universal dan memberinya istilah di alam ufuk (alam al-afâq) dengan tiga alam (al-'awâlim al-tsalâts), sedangkan di alam kejiwaan (‘ilm al-anfus) ada istilah tiga tingkatan (al-maratib al-tsalâtsah). Ungkapan tentang hijab dilakukan atas dasar batas-batas tengah berupa seribu tempat (manzil) seperti dikenal di kalangan para penempuh 'irfan, dan seratus manzil menurut kalangan lain, sementara kalangan yang lain lagi mengungkapkannya dalam sepuluh

p: 717

manzil. Syaikh Al-'Arif Al-Kamil Syahabadi-semoga Allah selalu memberikan naungan-Nya kepadanya—menegaskan bahwa setiap manzil yang berjumlah seratus itu memiliki sepuluh rumah (bait), yang beliau jelaskan dengan sangat baik sehingga jumlah seluruhnya ada seribu bait. Ibrahim Al-Khalil (Sang Kekasih Allah) a.s. berhasil menyelesaikan pengembaraan ruhani menuju Zat Yang Mahatinggi, dengan melalui tiga manzil, sebagaimana yang dituturkan dalam Al-Quran: Manzil

pertama adalah bintang; yang kedua rembulan; dan yang ketiga matahari.

Bagaimanapun, pengembaraan ruhani menuju Allah Taala tersebut dimulai dengan berangkat dari “rumah jiwa yang gelap" (bait al- nafs al-muzhlam), dengan manâzil yang bertingkat-tingkat yang terdiri dari tingkat-tingkat ufuk (al-marâtib al-âfâqiyyah) dan tahapan-tahapan jiwa (al-marahil al-anfusiyyah). Akhir dari perjalanan tersebut adalah Zat Allah Yang Mahasuci, yang di situ manusia yang sempurna (al-insan al-kamil) berada pada tahapan pertama Zat dengan segenap

Sifat dan Nama-Nama-(Nya), dan tahapan terakhirnya adalah Zat yang di dalamnya menyatu Sifat-Sifat dan Nama-Nama. Sedangkan bagi manusia yang tidak sempurna adalah Zat Yang Suci bersama salah satu di antara Sifat-Sifat dan Nama-Nama.

Begitu seorang penempuh mengangkat kakinya dari ego dan egoismenya, lalu meninggalkan “rumah gelap" (al-bait al-muzhlam) dan melewati berbagai manzil, tahapan dan penampakan (ta'ayyunat), dalam perjalanannya menuju tujuan pokoknya dan pencariannya terhadap Allah, dengan menginjakkan kedua kakinya pada masing-masing persinggahan tersebut, lalu menyibakkan tabir kegelapan dan cahaya, serta memutuskan (melepaskan) harapannya dari segala benda dan

perwujudan lain, seraya menghancurkan berhala-berhala dengan tangan kekuasaan wilayahnya dan dengan Ka'bah hatinya, yang dengan itu lenyaplah bintang-bintang, bulan-bulan, dan matahari-matahari dari ufuk kalbunya, lalu kalbunya menjadi (kalbu) Ilahiah yang memiliki satu bentuk dan satu arah, yang kebeningannya tidak terkotori oleh keterikatan dirinya dengan yang selain Allah, lalu dia mencapai tingkat: Aku hadapkan wajahku kepada Zat yang menciptakan langit dan bumi (QS Al-An'am (6): 79), dan selan jutnya fana' dalam asma,

p: 718

Zat, dan afʻal, maka dia mencapai peleburan total dan tampaklah kepadanya hal yang terang benderang, lalu di situ dia betul-betul menjadi (menyatu dengan) Al-Haqq Al-Mutaʻali (Allah Yang Maha-tinggi) dalam arti dia mendengar dengan “Telinga" Allah, melihat dengan “Mata” Allah, memegang dengan “Tangan” Allah, dan berbicara dengan “Lidah” Allah. Dia melihat Al-Haqq dan tidak melihat yang selain-Nya, berbicara dengan Al-Haqq dan tidak dengan yang selain-Nya. Dengan demikian, pandangan, pendengaran, dan ucapannya terhadap selain Al-Haqq menjadi lenyap, sedangkan penglihatan, pendengaran, dan pembicaraannya dengan Al-Haqq betul-betul terjadi. Maqam tersebut tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan tarikan rubûbiyyah (ketuhanan) dan kobaran api kerinduan, yang dengan itu seseorang mendekatkan diri kepada Al-Haqq dalam bentuk yang terus-menerus, dan melalui tarikan rububiyyah yang menghasilkan cinta yang suci kepada Allah dia dapat menjejakkan kakinya secara kukuh, sehingga tidak tergelincir di lembah kebingungan, dan tidak ambil peduli dengan berbagai petualangan dan hal-hal lain

yang merupakan daki egoisme. Kedua hal tersebut diisyaratkan oleh firman Allah dalam hadis qudsi, yang berbunyi, “Dan dia mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan nafilah, sehingga Aku mencintainya.”

Sesungguhnya kedekatan seorang hamba kepada Allah merupakan hasil dari tarikan kerinduan Ilahiah dan cintanya kepada Al-Haqq.

Sebuah syair mengatakan:

Jika bukan karena tarikan dari arah yang dirindukan

niscaya penempuh yang malang dan penuh rindu

tidak akan memperoleh keberuntungan Taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dengan mengerjakan nafilah akan menghasilkan ke-fanâ’-an (peleburan) total dan penyatuan yang sempurna dengan Zat Yang Mutlak dan hasilnya adalah Aku menjadi telinganya yang dia pakai untuk mendengar dan seterusnya, Sesudah ke-fanâ'-an dan peleburan total, penyatuan dan siraman cahaya yang sempurna, yang kadang-kadang mencakup pula ‘inayah

p: 719

azaliyyah (pertolongan azali), lalu kesadaran (kemanusiaannya) pulih kembali, dan dia kembali ke dunianya dengan kehilangan cahayanya, seraya merasakan ketenteraman dan kedamaian, dan berhasil menyibakkan keindahan dan keagungan, muncullah dalam cermin Zat Ilahi sejumlah sifat (Allah), dan di situ tersingkap baginya penampakan yang tetap dan terus melekat. Kondisi ahli suluk dalam maqam ini adalah seumpama maqam pertama yang di situ dirinya yang tetap

telah melebur dalam nama yang menyertainya, yang kemudian selalu tetap bersamanya, dan seterusnya tersibaklah baginya, saat dia menerima siraman cahaya, nama itu sendiri berikut penampakan yang tetap yang menyertai nama tersebut.

Dengan demikian, tersingkaplah bagi manusia sempurna (insân kamil), yang berada di bawah naungan Nama Yang Agung dan Besar, kemutlakan berbagai persaksian yang tetap dan azal:-abadi. Tersingkap pula baginya ahwal segala ciptaan dan potensi-potensinya, berikut tata cara suluknya dan pertemuannya dengan hiasan cincin penutup dan penutup kenabian sebagai hasil dari suatu penyingkapan mutlak (al-kâsif al-muthlaq). Seterusnya, tersingkap pula bagi masing-masing

nabi lainnya, sejalan dengan persaksiannya terhadap salah satu di antara nama-nama llahi dan setara dengan luasnya lingkup penyingkapan tersebut, segala persaksian yang mengikuti nama tersebut. Dari situ, bergeraklah keluasan atau kesempitan lingkup dakwahnya, kesempurnaan dan kekurangannya, kemuliaan, dan sebagainya yang mengacu pada kepengikutannya terhadap nama tadi sebagaimana yang telah kami jelaskan secara terperinci pada buku kami yang berjudul Mishbâh Al-Hidayah. Singkatnya, setelah tercapainya kemunculan sesudah terjadinya peleburan (al-shahw ba'da al-mâhw), berubahlah wujudnya menjadi wujud yang haqq. Dia melihat Al-Haqq dalam cermin keindahan-Nya, berikut maujud-maujud lainnya. Bahkan, dia berubah menjadi maujud yang selaras dengan kehendak-(Nya). Kalau dia adalah insân kâmil, dia selaras dengan kehendak yang mutlak dan ruhaniahnya menjadi maqâm penampilan aktual bagi Al-Haqq Azza wa Jalla itu sendiri. Dalam bentuk ini, dia melihat Al-Haqq Yang Mahatinggi, mendengar dan memegang, lalu dia pun menjadi irâdah dan kehendak yang ber-

p: 720

laku bagi Allah Yang Mahatinggi, sekaligus ilmu-Nya yang aktual. "Maka, jadilah dia Al-Haqq yang mendengar dan melihat dengannya ...” dan “Ali adalah mata Allah, telinga Allah, dan sisi Allah”, dan seterusnya. Dengan demikian, mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban fardhu akan membimbing manusia menuju penampilan sesudah peleburan dan buahnya adalah segala sesuatu yang didengarnya.

Mesti diketahui bahwa penampilan sesudah peleburan dan kem- bali ke alam plural ini dinamakan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah). Sebab, al-shahw ba'da al-mahw berarti berubahnya wujudnya (yang plural) menjadi wujud Al-Haqq. Dia akan melihat Al-Haqq dalam cermin keindahan-Nya, yakni segala sesuatu yang mewujud. Bahkan, wujudnya akan berpadu dengan kehendak Ilahi. Kalau dia tergolong manusia yang sempurna, dia akan berpadu dengan kehendak Mutlak

Allah. Ruhnya akan benar-benar menyatu dengan manifestasi semua tindakan aktual Allah, sehingga dia menjadi mata, telinga, dan tangan Allah. Dia menjadi pelaksana Kehendak dan Pengetahuan Aktual Allah yang sempurna. Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa “Al-Haqq akan mendengar dan melihat dengannya ..."

Sebab, kepluralan tersebut membentuk hijab-hijab atas diri kita dari menyaksikan wajah Al-Haqq dan cermin persaksian bagi mereka: "Setiap aku melihat sesuatu, pasti di situ aku melihat Allah bersamanya, di dalamnya, sebelum dan sesudahnya."

Pendapat Syaikh Al-Baha'i

Syaikh yang mulia dan arif, Al-Baha'i--semoga Allah meridhainya- ketika menjelaskan riwayat ini mengatakan dalam kitabnya, Al-Arba'ün, “Bagi Ashhab Al-Qulüb yang berada dalam magam ini, terdapat isyarat-isyarat rahasia dan bisikan-bisikan intuitif yang membuat wangi aroma arwah mereka dan menyalakan jiwa mereka, yang tidak dapat ditangkap makna dan hakikatnya kecuali oleh orang-orang yang badannya lelah karena riyâdhah, dan telah mengerahkan seluruh

kesanggupan mereka dalam mujahadah sehingga berhasil mereguk dambaan dan cita-cita mereka. Sedangkan, orang-orang yang tidak

p: 721

paham terhadap lambang-lambang tersebut dan tidak dapat menangkap petunjuk-petunjuk tadi karena keterikatan mereka terhadap dunia dan keterkungkungan mereka dalam jasmani mereka, tatkala mendengar kalimat-kalimat tersebut, mereka berada dalam keraguan yang demikian besar dalam pengingkaran (ilhâd), hulūl, dan ittihad. Mahatinggi Allah dari semuanya itu.”

Di bawah ini, kami akan mencoba mengemukakan masalah ini dengan bahasa yang kami harapkan dapat mudah dipahami. Ungkapan dalam hadis tersebut merupakan ungkapan "tentang kedekatan yang paling dekat", dan penjelasan tentang dominasi kekuasaan cinta (mahabbah) secara lahir dan batin, sisi yang tersembunyi dan tampak, pada seorang hamba. Dengan demikian, maksudnya adalah “Jika Aku telah mencintai hamba-Ku, Aku akan menariknya ke tempat yang amat dekat dan Aku menempatkannya di alam kudus. Kujadikan pikirannya tenggelam dalam rahasia-rahasia malakût, dan indranya terarah pada penampakan cahaya-cahaya jabarût. Pada saat itu, dia tetap berada di maqam yang sangat dekat, dan cinta melumuri darah dan dagingnya sehingga dia gaib dari dirinya sendiri dan apa yang selain itu lenyap dari pandangannya, sampai-sarnpai Aku menggantikan penglihatan dan pendengarannya, sebagaimana yang dikatakan oleh syair berikut ini.

Mabukku terhadap-Mu tak tersembunyi

dan api rinduku kepada-Mu tak pernah padam

Engkaulah pendengaran dan penglihatan, anggota tubuh dan kalbuku.

Pandangan Syaikh Al-Thusi

Afdhal Al-Muta’akhkhirîn wa Akmal Al-Mutaqaddimin, Khawaja Nashir Al-Din Al-Thusi, semoga Allah menyucikan dirinya, mengatakan bahwa jika seorang arif memutuskan dirinya (dari yang selain Allah) dan menghubungkan diri dengan-Nya, dia melihat segala kekuasaan tenggelam dalam kekuasaan-Nya yang berkaitan dengan seluruh yang dikuasai. Semua ilmu tenggelam dalam ilmu-Nya yang tidak ada sesuatu maujud pun yang luput, dan segala kehendak tenggelam dalam

p: 722

kehendak-Nya yang seluruh mumkin (makhluk) tidak terlepas darinya. Bahkan, segala yang maujud dan seluruh wujud yang sempurna bersumber dari pendaran yang berasal dari-Nya. Ketika itu, Al-Haqq menjadi penglihatannya yang dengan itu dia melihat, menjadi pendengarannya yang dengan itu dia mendengar, menjadi kekuasaannya yang dengan itu dia berbuat, menjadi ilmunya yang dengan itu dia mengetahui, dan menjadi wujudnya yang dengan itu dia mewujud (menjadi). Dengan demikian, saat itu orang 'ârif tersebut pada hakikatnya telah berakhlak dengan akhlak Allah.”

Pendapat Syaikh Al-Majlisi

Al-Muhaqqiq Al-Majlisi juga mempunyai pendapat tersendiri dalam masalah ini. Beliau mengatakan(1): Sesungguhnya Allah Swt. telah menempatkan dalam tubuh, kalbu, dan ruh manusia suatu kekuatan yang lemah, yang selalu dalam keadaan siap untuk mengalami kehancuran, peleburan, dan ke-fanâ’-an. Jika dia memandang cukup dengan itu, lalu menggunakannya untuk memperturutkan nafsu syahwatnya, kekuatan tersebut hancur seluruhnya, tanpa ada sedikit pun yang tersisa. Hasilnya, hanyalah kerugian dan penyesalan. Namun, jika dia menggunakan dalam ketaatan kepada Tuhannya dan untuk taat kepada kekasihnya, Allah menggantinya dengan kekuatan yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih kekal, yang terus menyertainya di dunia dan di akhirat: Jika kamu sekalian bersyukur, niscaya Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu (QS İbrâhîm (14): 7). Di antara kekuatan tersebut adalah kekuatan mendengar. Kalau dia menggunakannya untuk menaati setan dan hawa nafsunya, dan terhadap hal-hal yang membuat dia lalai kepada Allah, musnahlah pendengaran ruhaninya. Pendengaran tersebut selalu siap untuk lenyap dan musnah. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman, Apakah kamu menyangka bahwa sebagian besar mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah ibarat binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (QS Al-Furqân (25): 44). Mereka itu buta dan tuli di dunia dan akhirat

Perumpamaan mereka adalah binatang ternak yang tidak dapat mendengar panggilan dan seruan. Begitu pula halnya dengan kehidupan mereka di dunia. Ketika indra mereka hancur karena kematian, yang

p: 723


1- 10. Imam Khomeini, qaddasallâh sirrah, menukil pendapat Syaikh Al-Majlisi dengan menyingkatnya. Di sini, kami kutip pendapat Syaikh Al-Majlisi tersebut secara utuh-penerj. Persia-Arab.

tinggal untuk mereka hanyalah kesesatan dan bencana. Namun, jika dia menggunakan indranya untuk taat kepada Allah, Allah akan menggantinya dengan pendengaran yang sempurna dan ruhani yang tidak mungkin bisa lenyap karena kebutaan dan ketulian, atau karena kematian. Dia bisa mendengar ucapan-ucapan para malaikat, dan dapat menangkap firman-firman Allah di dunia dan di akhirat. Dia dapat memahami firman Allah, dan perkataan para nabi dan para

washi a.s. yang diberikan Allah Swt. kepadanya adalah pendengaran kalbu yang ruhani, yang tidak akan melemah dengan melemahnya badan, dan tidak pula dapat musnah karena kematian. Dengan pendengaran itulah, dia mendengar pertanyaan kubur dan mempersiapkan jawabannya. Lalu, dia dipanggil dengan Sang Kekasih, sebagaimana Rasulullah Saw. memanggil para ahli kalbu. Allah Swt. juga menempatkan indra yang lemah pada penglihatan (mata). Jika dia menggunakannya untuk memperturutkan nafsu syahwatnya, Allah Swt. menghilangkan cahayanya sehingga buta pulalah mata hatinya, dan di akhirat dia lebih sesat dan lebih buta

lagi. Namun, jika dia menggunakannya untuk ketaatan kepada Tuhannya, Allah akan menambahkan cahaya pada mata hatinya, serta menjadikan matanya lebih kuat, yang dengan itu dia dapat melihat alam malakût yang tinggi dan menatap Wajah Allah tanpa memedulikan yang selain-Nya. Mereka juga dapat melihat para malaikat yang bersifat ruhani, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Saw. ketika beliau mengatakan, “Hendaknya kalian takut terhadap firasat seorang

Mukmin sebab dia melihat dengan cahaya Allah,” dan sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi, Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memerhatikan (QS Al-Hijr (15): 75).

Demikian pula halnya dengan kekuatan tubuh, yang jika dia gunakan untuk taat dan taqarrub kepada Allah, serta melatihnya dengan riyâdhah yang benar, niscaya Allah akan menambahkan kekuatan ruhani yang tidak akan menjadi lemah oleh penyakit, dan tidak pula akan hilang karena kematian. Dengan itu, dia dapat bertindak di alam malakût, sebagaimana yang ditegaskan oleh Amir Al-Mukminin melalui

p: 724

ucapan beliau yang berbunyi, “Aku tidak menjebol pintu Khaibar dengan kekuatan jasmani, tetapi dengan kekuatan Rabbani.” Hal sama berlaku pula pada ucapan, yang jika benar dan sejalan dengan perbuatan serta sesuai pula dengan ridha Allah, Allah akan membukakan bagi pemiliknya sumber-sumber hikmah dari kalbunya

yang kemudian meluncur melalui lidahnya. Dengan demikian, menjadi jelaslah sekarang makna firman Allah dalam hadis qudsi di atas, yang berbunyi, “Maka Aku akan menjadi telinga dan matanya ...," dan itu dialami oleh orang yang “mempunyai kalbu atau memasang telinganya, sedangkan Dia menjadi saksi”. (1) Pendapat Syaikh Al-Majlisi ini tetap mengandung beberapa kejanggalan.

Penutup

Syaikh Al-Baha'i mengatakan bahwa jelaslah amal-amal yang wajib itu jauh lebih banyak pahalanya daripada yang sunnah. Kemudian beliau mengatakan pula, “Jika engkau berpendapat bahwa pengertian dari pernyataan tersebut adalah bahwa selain amal wajib kurang disukai Allah dan amal yang bukan wajib bisa lebih disukai Allah sehingga dengan begitu kedua-duanya bisa saja setara?” Saya jawab bahwa pengertian yang dapat ditarik dari pernyataan seperti itu adalah penegasan bahwa yang wajib lebih baik daripada yang selain wajib. Kemudian pada akhir kajiannya terhadap hadis tersebut, beliau membuat pengecualian dalam hal-hal berikut ini. Pertama, membebaskan seseorang dari utang. Sekalipun hal ini mustahabb (sunnah), ia dipandang lebih baik daripada memerhatikan orang yang berada dalam kesulitan yang hukumnya wajib.

Kedua, lebih dulu menyampaikan salam yang dipandang lebih utama dibanding dengan menjawabnya yang hukumnya wajib. Ketiga, mengulang shalat bagi orang yang melakukannya sendirian (munfarid) dengan shalat berjamaah. Sebab, shalat berjamaah secara mutlak lebih baik 27 kali dibanding dengan shalat sendirian. Shalat berjamaah hukumnya mustahabb, tetapi ia lebih utama dibanding dengan shalat yang dilakukan sendirian, sekalipun yang disebut kemudian ini wajib hukumnya. Dan, masih banyak lagi contoh lainnya. (2)

p: 725


1- 11. Mir'ât Al-'Ugûl, jil. X, hh. 392-393.
2- 12. Mir'ât Al-'Uqúl, jil. X, hh. 382-383.

Tiap-tiap pendapat di atas telah didiskusikan panjang lebar. Oleh karena itu, kami tidak memandang perlu untuk mendiskusikannya kembali di sini.

Haruslah diketahui pula bahwa pengertian lahirian hadis tersebut adalah bahwasanya yang wajib itu lebih utama daripada yang mustahabb, sekalipun kedua-duanya tidak berada dalam tataran yang sama, misalnya membalas salam yang hukumnya wajib lebih utama dibanding dengan haji yang mandûb (sunnah karena dilakukan untuk yang kedua dan seterusnya), menyumbang sekolah-sekolah yang besar, dan mengunjungi orang-orang Mukmin, sekalipun masalah ini tampaknya kurang bisa diterima. Oleh karena itu, Al-Majlisi--rahimahullah- mengatakan, “Adalah mungkin bahwa semua khabar dan ucapan itu merupakan takhsish (pengkhususan) yang menegaskan bahwa yang wajib itu lebih utama daripada yang mustahabb dari jenis dan kategori yang sama."(1)

Namun, ketika hal itu telah dibuktikan oleh suatu dalil, pendapat tersebut bukan tidak memiliki peluang kebenaran. Dimungkinkan pula mengartikan kewajiban-kewajiban tersebut dengan kewajiban-kewajiban peribadatan mahdhah, seperti shalat, puasa, haji, dan zakat, dan bukan kewajiban-kewajiban seperti meringankan kesulitan orang dan menjawab salam, sekalipun pendapat ini juga tidak luput dari kritik. Segala puji bagi Allah di awal dan akhir. []

p: 726


1- 13. Mirât Al-'Uqül, jil. X, h. 383.

35 Hadis tentang Kebaikan dari Allah dan Keburukan dari Manusia

Point

بالسّند المتّصل إلی عماد الإسلام و المسلمین، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، عن أحمد [بن محمّد] بن أبی نصر، قال، قال أبو الحسن الرّضا، علیه السّلام: قال الله: یا ابن آدم، بمشیئتی کنت أنت الّذی تشاء لنفسک ما تشاء، و بقوّتی أدّیت فرائضی، و بنعمتی قویت علی معصیتی. جعلتک سمیعا بصیرا قویّا، ما أصابک من حسنة فمن الله، و ما أصابک من سیّئة فمن نفسک. و ذلک أنّی أولی بحسناتک منک، و أنت أولی بسیّئاتک منّی. و ذاک أنّنی لا أسأل عمّا أفعل و هم یسألون

Dengan sanad yang bersambung hingga “Imâd Al-Islam wa Al-Muslimin, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah meridhainya-dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr, yang mengatakan bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Ridha a.s. berkata, “Allah Taala berfirman, 'Wahai anak Adam,

dengan kehendak-Ku, engkau menjadi dapat berkehendak atas apa yang engkau kehendaki, dengan kekuasaan-Ku, engkau menjadi dapat

p: 727

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang Aku bebankan; dan dengan nikmat-Ku, engkau menjadi mampu bermaksiat kepada-Ku. Aku telah menjadikan kau mendengar, melihat, dan kuat. Kebaikan yang menyertaimu adalah dari Allah, sedangkan keburukan yang menimpamu adalah berasal dari dirimu sendiri. Yang demikian itu karena sesungguhnya Aku lebih berhak atas semua kebaikanmu daripada dirimu sendiri, sedangkan engkau lebih berhak atas semua keburukanmu daripada Aku. Sebab, sesungguhnya Aku tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang Aku perbuat, sedangkan mereka semua dimintai pertanggungjawaban (atas apa yang mereka perbuat).(1)

Penjelasan

Dalam hadis yang mulia ini, terdapat sejumlah tema yang agung dan masalah yang penting berkaitan dengan ilmu metafisika yang tinggi. Jika kita ingin menyederhanakannya dengan tetap menjelaskan berbagai pendahuluannya, niscaya akan memakan banyak halaman sehingga buku ini akan keluar dari konteksnya semula. Oleh karena itu, secara terpaksa kita menempuh jalan tengah dan melakukan ringkasan dengan cara mengemukakan kesimpulan-kesimpulan pembuktian

ilmiah dari sebagian masalah dan membaginya dalam beberapa pasal.

Nama-Nama Allah Mempunyai Dua Tingkat

Hendaknya diketahui bahwa kehendak Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi, bahkan semua Nama dan Sifat-Nya, semisal Al-'Ilm (Mengetahui), Al-Hayâh (Hidup), dan Al-Qudrah (Kuasa) mempunyai dua tingkat. Pertama, tingkat Nama dan Sifat Dzâtiyyał.. Telah terbukti dengan argumen-argumen yang tak terbantahkan bahwa Zat Allah Yang Mahasuci, Zat yang Wajib Al-Wujûd, merupakan satu kesatuan dan betul-betul sederhana (basithah), yang menghimpun semua nama dan sifat serta segenap substansi yang sempurna. Segala nama dan sifat keindahan dan keagungan yang sempurna, seluruhnya kembali pada kesatuan Wujud yang sederhana tersebut. Acapun segala hal yang ada di balik Yang Wujud, adalah kurang, terbatas, dan ‘adam (tiada). Karena Zat Allah Yang Mahasuci itu betul-betul wujud, wujud

hakiki yang mutlak, Dia adalah Zat yang betul-betul sempurna dalam

p: 728


1- 1. Ushủl Al-Kâfi, kitab al-tauhid, båb al-masyi'ah wa al-irâdah, hadis ke-6.

arti yang sesungguhnya. Dia adalah “Ilmu seluruhnya, Kekuasaan seluruhnya, dan Hidup seluruhnya”. Kedua, tingkat Nama dan Sifat fi'liyyah, yang merupakan dimensi aktualisasi Nama dan Sifat dzâtiyyah tersebut. Inilah tingkatan tajalli (penampakan) Sifat-Sifat Keindahan dan Keagungan Zat Ilahi yang Mahasuci tersebut. Tingkat ini disebut sebagai partisipasi (ma'iyyah) Sifat Qayyûmiyyah (Kemandirian) Allah: Dia (selalu) bersamamu «هُوَ مَعَکُمْ.» (QS Al-Hadîd (57): 4) dan Dan tidak ada tiga orang yang berkumpul (berbisik), Kecuali Dia merupakan yang keempat dari mereka «ما مِنْ نَجْوی ثَلثَةٍ إلّا هُوَ رابعُهُمْ ...» (QS Al-Mujadilah [58]: 7). Inilah tingkat Wajah Allah: Ke mana pun kamu sekalian menghadap, di situ terdapat Wajah Allah «أَیْنَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ الله.» (QS Al-Baqarah [2]: 115). Atau, tingkat pencahayaan (iluminasi): Allah adalah cahaya langit dan bumi «الله نور السّموات وَ الْأرْضِ.» (QS Al-Nûr [24]: 35). Atau, tingkat kehendak mutlak-Nya: Dan kamu sekalian tidak berkehendak kecuali Allah yang menghendakinya «وَ مَا تَشاءونَ إلّا أَنْ یَشاءَ الله» (QS Al-Dahr (76): 30). Sebuah hadis mengatakan, خلق الله الأشیاء بالمشیّة و خلق المشیّة بنفسها “Allah menciptakan benda-benda dengan kehendak-(Nya), dan menciptakan kehendak-(Nya) dengan Diri-Nya sendiri.(1) Semua tingkatan di atas mempunyai istilah-istilah dan sebutan-sebutan lain yang berlaku di kalangan para ahli akidah. Kedua tingkat tersebut diisyaratkan oleh Al-Quran dalam ayatnya yang berbunyi, Dia Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Yang Lahir dan Yang Batin هُوَ الأوّلُ وَ الآخِرُ وَ الظّاهِرُ وَ الْباطِنُ (QS Al-Hadîd [57]: 3). Singkatnya, sesungguhnya tingkat kehendak efektif mutlak (Maqâm Al-Masyi'ah Al-Fi'liyyah Al-Muthlaqah) ini memiliki lingkup kemandirian terhadap semua maujud di alam duniawi dan alam malakût. Sesungguhnya seluruh yang maujud itu, pada satu sisi, merupakan entifikasi (ta'ayyun) Allah dan, pada sisi lain, merupakan penampakan-Nya. Hadis di atas berbicara tentang tingkat kehendak yang aktual dan fenomenal serta leburnya kehendak hamba di dalamnya. Bahkan, hadis itu juga berbicara tentang leburnya penampakan dan pencerminan hamba beserta seluruh urusannya dalam kehendak Ilahi. Hadis tersebut berbunyi sebagai berikut. “Wahai anak Adam, dengan kehendak-Ku, engkau menjadi dapat berkehendak atas apa yang engkau kehendaki; dengan kekuasaan-Ku, engkau menjadi dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban

p: 729


1- 2. Ushủl Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb al-irâdah, annahâ min shifát al-fil, hadis ke-4.

yang Aku bebankan, dan dengan nikmat-Ku, engkau menjadi mampu bermaksiat kepada-Ku. Aku telah menjadikan kau bisa mendengar, melihat, dan kuat. Sesungguhnya esensi dan kesempurnaan esensimu berasal dari Kehendak dan Kekuasaan-Ku. Bahkan, diri dan semua kesempurnaanmu merupakan penampakan

dan pengejawantahan Kehendak-Ku. وَ ما رَمَیْتَ إذْ رَمَیْتَ وَ لکِنَّ الله رَمی “Sesungguhnya engkau tidak melempar ketika engkau melempar, tetapi Allahlah yang melempar.” (QS. Al-Anfal:17)

Tema-tema 'irfan ini memiliki dalil Al-Quran dan sunnah yang banyak, yang tidak ada perlunya untuk kami beberkan di sini. Ahli Isyrâqiyyah, Suhrawardi-semoga Allah menyucikan jiwanya-berpendapat bahwa ilmu Allah Yang Mahatinggi tentang semua hal tergolong dalam tingkat ilmu fi'li (film al-fi'l). Pendapat ini diikuti oleh Al-Thusi. Sementara itu, Mulla Shadra berpendapat bahwa ilmu Allah tentang semua itu tergolong dalam tingkat Zat yang Sederhana (Al- Dzât Al-Basîth). Mulla Shadra tidak sependapat dengan kedua syaikh yang mulia tersebut. Menurut hemat kami, inti dari kedua pendapat tersebut sama. Perbedaannya hanya pada masalah semantik, yang tidak pada tempatnya kita bicarakan di sini. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, baik ia merupakan substansi yang suci Ilahi maupun substansi yang fisik-duniawi, baik ia merupakan aksiden maupun substansi, sifat, dan perbuatan, semuanya mewujud karena (berlakunya partisipasi) kemandirian Allah, kekuasaan dan kekuatan-Nya.

Berdasarkan itu, dapatlah dikatakan, “Dengan Kekuatan-Ku, engkau melaksanakan segenap kewajiban yang Aku tetapkan.” Tingkat kehendak mutlak ini adalah tingkat rahmat yang mahaluas dan nikmat yang menyeluruh, sebagaimana yang ditegaskan melalui firman-Nya (dalam hadis qudsi di atas) yang berbunyi, “Dan dengan nikmat-Ku, engkau menjadi mumpu bei maksiat kepada-Ku.”

Masalah Al-Jabr dan Al-Tafwidh

Imam Al-Ridha a.s., dalam hadis di atas, secara jelas mengisyaratkan dua masalah al-jabr (keterpaksaan) dan al-tafwidh (pelimpahan kekuasaan), seraya menunjukkan pandangan yang benar dalam dua

p: 730

masalah tersebut yang sejalan dengan cara yang ditempuh oleh para ahli makrifat. Sebab, pandangan beliau mengakui tentang adanya kehendak dan kemampuan hamba, sekaligus menjadikan keduanya sebagai kehendak Allah Swt. Allah Swt. berfirman, Wahai anak Adam, dengan kehendak-Ku engkau berkehendak bagi dirimu apa-apa yang engkau kehendaki, dengan kekuasaan-Ku engkau melaksanakan segenap kewajiban yang Aku tetapkan, dan dengan nikmat-Ku engkau mampu bermaksiat kepada-Ku.

Dengan demikian, perbuatan, penyifatan, dan perwujudan (hamba) tidak dinafikan secara mutlak, sebagaimana beliau juga tidak mengakui keberadaan hal-hal tersebut pada manusia dalam bentuknya yang mutlak. Seolah-olah hadis itu ingin mengatakan demikian, “Engkau berkehendak, tetapi kehendakmu lebur dalam kehendak-Ku. Kehendakmu merupakan penampakan dari kehendak-Ku, dan pengejawantahanmu merupakan penampakan dari pengejawantahan-Ku. Dengan kekuatanmu, engkau dapat melakukan ketaatan dan kemaksiatan kepada-Ku, tetapi hendaknya engkau ketahui bahwa kekuatanmu itu merupakan penampakan dari Kekuasaan dan Kekuatan-Ku."

Lalu, karena mungkin redaksi hadis itu mengandung ambiguitas, sehingga seolah-olah ada penisbahan kekurangan, kerendahan, dan kemaksiatan kepada Allah, Imam Al-Ridha a.ş. menjawabnya dengan ungkapan filosofis yang menukik dan cita rasa 'irfan yang tinggi, yang menegaskan bahwa karena Allah adalah Zat yang Sempurna dan Baik secara mutlak, semua kesempurnaan dan kebaikan itu datang dari sisi-Nya. Bahkan, sistem dan hakikat perwujudan alam gaib dan kasatmata merupakan esensi dan cerminan Kesempurnaan dan Keindahan Ilahi yang mutlak itu. Sedangkan yang tidak sempurna, hina, dan buruk, kembali pada ketiadaan (al-'adam) dan penampakan sesuatu (mahiyah) itu sendiri, dan bukan merupakan pelimpahan dari Allah Swt. Bahkan, semua keburukan yang terdapat di alam

fisik dan alam dunia yang sempit ini merupakan hasil dari pertarungan antara berbagai maujud dan kekacauan yang terjadi di alam ini. Antagonisme antara berbagai maujud bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Kebaikan, kesempurnaan, dan keindahan berasal dari

p: 731

Allah, sedangkan yang tidak sempurna, buruk, dan kemaksiatan berasal dari makhluk, sebagaimana yang dikemukakan Imam Al-Ridha a.s. dalam hadis di atas,

ما أَصابَکَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ الله وَ ما أَصابَکَ مِنْ سَیِّئًةٍ فَمِنْ نَفْسِکَ

“Kebaikan yang engkau peroleh adalah dari Allah dan keburukan yang menimpamu adalah berasal dari dirimu sendiri."

Dengan demikian, seluruh jenis kebahagiaan duniawi dan ukhrawi serta seluruh kebaikan yang ada di alam dunia dan alam malakút, telah dilimpahkan dari Sumber kebaikan dan kebahagiaan, sedangkan seluruh penderitaan duniawi dan ukhrawi serta segenap keburukan yang ada di alam dunia dan alam lainnya berasal dari ketidaksempurnaan dan kekurangan substansial perwujudan dan penampakan yang ada ini. Yang selama ini dikenal adalah bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu bukanlah terjadi sebagai dua ciptaan yang terwujud melalui penciptaan Allah, melainkan kedua-duanya merupakan sifat dzâtiyyah (esensial) pada segenap benda. Maka dari itu, tidak ada hal dalam substansi benda-benda itu yang bisa dinisbahkan pada kebahagiaan, lantaran kebahagiaan tersebut merupakan ciptaan dan limpahan dari Allah Yang Mahatinggi, sedangkan substansi semua benda dan esensi semua perwujudan tidak melahirkan kebahagiaan, tetapi justru merupakan kehancuran semata-mata. Sedangkan semua penderitaan sebetulnya tidak berasal dari esensi ciptaan, tetapi merujuk pada aspek perwujudan dan penampakan

yang jelas lebih rendah dari tingkat penciptaan. Jadi, semua derita yang terdapat pada ciptaan tidak dapat dikaitkan dengan penciptaan Ilahi, tetapi harus dikaitkan dengan penampakan/perwujudan ciptaan itu sendiri. Adapun hadis yang mengatakan, “Orang yang bahagia itu telah ditentukan sejak di perut ibunya dan orang yang menderita itu juga telah ditentukan sejak di perut ibunya,” mempunyai pengertian lain yang mengacu pada ilmu tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang tidak pada tempatnya untuk kita bicarakan di sini.

Setelah kami kemukakan penjelasan yang argumentatif ini, kini tiba saatnya bagi kita untuk menghadapi kesalahpahaman yang lain, yaitu bahwa kita—sejalan dengan penjelasan di atas—telah memutuskan kaitan antara benda-benda yang ada dari kebaikan dan kebahagiaan, di saat kita mengaitkan kebaikan dan kebahagiaan tersebut

p: 732

kepada Allah Taala dan itu termasuk dalam determinisme yang harus ditolak. Kemudian, kita kaitkan penderitaan dan keburukan kepada manusia, seraya menyingkirkannya dari kekuasaan Allah, dan ini termasuk dalam kategori pelimpahan yang diingkari. Penolakan dan pengingkaran ini diakui oleh mazhab ahli ‘irfan dan dibuktikan di bawah perspektif dalil-dalil filosofis. Jadi, bagaimana cara yang harus ditempuh dalam mengompromikan pandangan di atas dengan implikasi-implikasinya dalam bentuk jabr dan tafwidh? Imam Al-Ridha memberikan jawaban berdasarkan dalil terdahulu yang telah kami kemukakan di atas. Yakni, bahwasanya Allah Swt. lebih berhak atas penisbahan kebaikan daripada hamba, dan hamba lebih berhak atas penisbahan keburukan daripada Allah. Pembuktian

kedua premis tersebut merupakan pembuktian penisbahan terhadap kedua belah pihak.

Ihwal Allah Swt. lebih berhak atas penisbahan kebaikan daripada hamba-Nya, hal itu disebabkan oleh penisbahan kebaikan terhadap Sumber dari segala sumber (Mabda' Al-Mabadi') merupakan penisbahan wujûdiyyah (eksistensial) kepada Zat Allah. Sebab, kebaikan itu adalah substansi wujud yang dalam hubungannya dengan Allah adalah hakikat Zat-Nya, sedangkan dalam hubungannya dengan makhluk, ia terjadi melalui penciptaan dan pelimpahan. Berdasarkan itu, sumber pelimpahan kebaikan adalah Allah Swt. Namun, yang menjadi cermin penampakan dan penampilan kebaikan itu adalah makhluk. Penisbahan kebaikan kep ada Sang Pemilik penampakan dan Pemberi limpahan ini lebih niscaya dan lebih tepat dibandingkan dengan penisbahan kebaikan itu pada objek penampakan dan penerima.

Adapun dalam hubungannya dengan keburukan dan kejahatan, persoalannya menjadi terbalik, sekalipun penisbahan pada kedua belah pihak bisa saja dilakukan. Sebab, segala sesuatu yang melimpah dari Al-Haqq adalah sempurna dengan implikasi tercabutnya keburukan secara otomatis atas dasar sifatnya sebagai sesuatu yang berurutan. Dengan demikian, penisbahan keburukan kepada Allah bersiſat aksidental, sedangkan penisbahannya kepada ciptaan (baca: mahiyah) bersifat substansial-karena ketidaksempurnaan dan keterbatasan yang terdapat pada esensi ciptaan tersebut. Kedua pe-

p: 733

nisbahan tersebut dikemukakan berkali-kali dalam Al-Quran. Ketika menegaskan kukuhnya kesatuan dan hancurnya keanekaragaman dan ketidaksempurnaan, Allah berfirman, Katakanlah (bahwa) semua: nya datang dari sisi Allah (QS Al-Nisa' [4]: 78). Namun, ketika yang beraneka ragam dan tidak sempurna itu bertahan melalui berbagai perantaraan, Allah Swt. berfirman, Apa saja kebaikan yang kamu terima adalah dari Allah (QS Al-Nisa' [4]: 79).

Allah Tidak Dimintai Pertanggungjawaban; Manusia Dimintai Pertanggungjawaban

Hendaknya diketahui, para pengkaji filsafat mengatakan bahwa tidak ada tujuan dan maksud apa pun pada perbuatan Allah Swt. kecuali Zat-Nya dan penampakan Zatiah-Nya. Adalah tidak mungkin bahwa Zat Allah Yang Mahasuci, dalam mewujudkan segala sesuatu yang ada, mempunyai tujuan lain kecuali di belakang Zat dan penampakan Zat-Nya Yang Mahasuci. Sebab, saat pelaku (fâ'il) menciptakan sesuatu dan mengharap dari perbuatannya tersebut sesuatu yang selain dirinya

(Zat-Nya), apa pun juga bentuknya, termasuk memberikan manfaat dan faedah kepada pihak lain, untuk tujuan ibadah atau memperoleh pengetahuan, sanjungan dan pujian, maka pelaku yang seperti ini tersempurnakan (dirinya) oleh berlakunya tujuan tersebut. Dengan demikian, tercapainya tujuan tersebut dalam hubungan-

nya dengan dirinya akan menjadikan pelaku itu berada pada posisi lebih baik. Ini mengandung implikasi bahwa dia bersifat kurang, tidak sempurna, dan memperoleh manfaat dari perbuatannya itu. Yang demikian ini jelas mustahil bagi Allah Swt. yang Mahamutlak dan Mahasempurna, yang Niscaya Mandiri dari segala aspek. Dengan demikian, perbuatan-Nya tidak dapat dipersoalkan can dipertanyakan. Lebih dari itu, Dia tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa

yang diperbuat-Nya. Sedangkan semua maujud selain-Nya, dalam perbuatannya pasti tersimpan tujuan-tujuan yang berada di balik esensi mereka. Hamba-hamba yang rindu akan keindahan Allah, yang selalu berusaha mendekatkan diri menuju-Nya, memiliki tujuan masuk ke dalam pintu Allah, bertemu dengan-Nya dan mendekat ke haribaan-Nya Yang Mahasuci. Demikian pula halnya dengan se-

p: 734

mua makhluk lainnya. Mereka pasti mempunyai tujuan yang lain di luar diri mereka, yang besar kecilnya sejalan dengan kesempurnaan dan kekurangsempurnaan mereka masing-masing. Singkatnya, Tuhan Yang Mutlak Sempurna dan Niscaya Kaya dengan sendiri-Nya adalah Niscaya Sempurna dan tidak membutuhkan sesuatu dalam semua aspeknya kepada selain Diri-Nya. Jika kepada-Nya tidak dibenarkan adanya pertanyaan terhadap perbuatanNya pun tidak dapat diajukan pertanyaan dan dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dari-Nya adalah seluruh maujud yang lain. Kepada mereka, sah saja diajukan pertanyaan tentang sebab-sebab

eksistensi diri mereka, sebagaimana halnya pula dengan pertanggungjawaban yang ditujukan terhadap perbuatan-perbuatan mereka. Di samping itu, jika Zat Allah adalah Mutlak Sempurna dan Mutlak Indah, Dia menjadi ka'bah (tujuan) bagi cita-cita seluruh maujud lain, pada saat Dia sama sekali tidak mempunyai tujuan lain di luar Zat-Nya sendiri dalam semua perbuatan dan tindakan-Nya. Sebab, Zat maujud-maujud selain-Nya bersifat kurang dan tidak sempurna dan bahwasanya segala yang kurang, secara fitrah, tidak mereka sukai, sedangkan yang baik dan sempurna pasti mereka sukai. Zat Allah Yang Mahasuci adalah tujuan bagi semua perbuatan dan gerak-gerik semua maujud, sedangkan Zat Allah tidak mempunyai tujuan apa pun kecuali Zat-Nya sendiri. Oleh karena itu, “Dia tidak dimintai

pertanggungjawaban atas perbuatan-Nya, sedangkan mereka dimintai pertanggungjawaban.”

Demikian pula halnya jika Zat Allah Yang Mahasuci itu berada dalam puncak keindahan dan kesempurnaan, sistem peredaran perwujudan yang merupakan bayangan dari keindahan-Nya, pasti berada dalam puncak kesempurnaan yang mungkin dibayangkan. Berdasarkan itu, sistem perwujudan ini merupakan sistem paling sempurna yang bisa digambarkan. Dari situ, pertanyaan tentang tujuan dan kegunaan pasti muncul dari kebodohan dan ketidaksempurnaan.

Hal itu persis dengan tujuh pertanyaan yang diajukan iblis terkutuk yang muncul dari kebodohannya, yang kemudian dijawab oleh Allah secara singkat dan dengan asas "Ajaklah mereka berdebat dengan cara yang paling baik”, yang sekaligus merupakan satu jawaban terha-

p: 735

dap tujuh pertanyaan iblis. Dengan demikian, tidak dapat diajukan pertanyaan terhadap perbuatan Allah Swt. Sebab, perbuatan-Nya berada pada puncak kesempurnaan, sedangkan maujud-maujud lainnya dapat ditanya tentang tujuan perbuatan mereka karena mereka bersifat tidak sempurna, baik dalam zat maupun perbuatan mereka. Lebih jauh lagi, jika Allah Yang Mahatinggi adalah Penguasa Mutlak, segala perbuatan yang muncul dari-Nya pasti sempurna, dan dengan demikian Dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, sedangkan maujud-maujud lainnya dimintai pertanggungjawaban karena mereka tidak seperti itu.

Seterusnya adalah bahwa segala yang muncul dari Maujud Yang Mahasuci pasti keluar dari hakikat Zat-Nya dan Sumber Hakikat-Nya, sedangkan maujud-maujud lain tidak seperti itu. Allah adalah Pelaku dengan Zat-Nya, dan karena itu pertanyaan tidak dapat diajukan kepada Pelaku yang berbuat dengan Zat-Nya. Sedangkan maujud-maujud lainnya, maka mereka adalah pelaku-pelaku yang mempunyai tujuan lain di luar dirinya, yang dengan demikian mereka bisa ditanya tentang tujuan dari perbuatan mereka. Sepanjang kehendak (irâdah), kemauan (masyi'ah), dan kekuasaan (qudrah) merupakan Zat Allah itu sendiri, maka kepelakuan (fâ'iliyyah) untuk Zat-Nya itu merupakan kepelakuan irâdah dan qudrah itu sendiri. Di sini, tidak ada sanggahan yang dapat diajukan. Persoalan ini merupakan tema tingkat tinggi yang dibuktikan dengan pembuktian demonstratif (al-burhân) yang telah dibicarakan pada tempat terpisah. Dengan pembuktian tersebut, dijawablah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para teolog dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan teologi. Dari penjelasan yang kami kemukakan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan tentang adanya kaitan kalimat-kalimat yang disebutkan dalam hadis mulia di atas, satu sama lain, dengan hubungan kausalitas. Yakni, bahwasanya Allah Swt. tidak dapat ditanya tentang perbuatan-Nya karena perbuatan-Nya adalah mutlak sempurna dan mengandung sistem yang sempurna pula. Sedangkan, maujud-maujud lainnya tidak seperti itu sehingga mereka dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan mereka. Yang demikian itu disebabkan

Allah Swt. lebih patut terhadap penisbahan kebaikan, sedangkan

p: 736

hamba lebih patut atas perbuatan buruk. Hamba adalah 'illat (penyebab) munculnya keburukan, apa pun bentuknya, sedangkan semua kebaikan berasal dari Allah Swt. Di samping penjelasan yang telah kami kemukakan di atas, terdapat pula penjelasan lain yang menerangkan jenis-jenis hubungan antara pelaku dan perbuatan, yang tidak pada tempatnya jika kami kemukakan di sini. Segala puji bagi Allah dari awal hingga akhir. []

p: 737

36 Hadis tentang Sifat-Sifat Dzâtiyyah Allah Swt.

Point

بالسّند المتّصل إلی ثقة الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، عن علیّ بن إبراهیم، عن محمّد بن خالد الطّیاسیّ، عن صفوان بن یحیی، عن ابن مسکان، عن أبی بصیر، قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: لم یزل الله عزّ و جلّ ربّنا و العلم ذاته و لا معلوم، و السّمع ذاته و لا مسموع، و البصر ذاته و لا مبصر، و القدرة ذاته و لا مقدور، فلمّا أحدث الأشیاء و کان المعلوم، وقع العلم منه علی المعلوم، و السّمع علی المسموع، و البصر علی المبصر، و القدرة علی المقدور. قال قلت: فلم یزل الله متحرّکا؟ قال فقال: تعالی الله عن ذلک! إنّ الحرکة صفة محدثة بالفعل. قال فقلت: فلم یزل الله متکلّما؟ قال فقال: إنّ الکلام صفة محدثة لیست بأزلیّة، کان الله عزّ و جلّ و لا متکلّم.

Dengan sanad yang bersambung kepada Tsiqah Al-Islârn, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini, dari 'Ali ibn Ibrahim, dari Muhammad ibn Khalid Al-Thayalisi, dari Shafwan ibn Yahya, dari Ibn Muskan, dari Abu Bashir, katanya, “Saya mendengar Imam Abu `Abdullah a.s. berkata, “Selamanya Allah Azza wa Jalla adalah Tuhan kita,

p: 738

Mengetahui (Al-'Ilm) adalah Zat-Nya dan bukan ma'lûm (objek pengetahuan), Mendengar (Al-Sam') adalah Zat-Nya dan bukan masmû' (objek pendengaran), dan Melihat (Al-Bashar) adalah Zat-Nya dan bukan mubshar (objek penglihatan), dan berkuasa (Al-Qudrah) adalah Zat-Nya dan bukan maqdûr (objek kekuasaan).

Ketika Dia menciptakan segala sesuatu dan semuanya itu adalah al-ma'lûm (objek pengetahuan), terjadilah pengetahuan (‘ilm) atas yang ma'lům (objek pengetahuan) itu, pendengaran atas yang di dengar, penglihatan atas yang dilihat, kekuasaan atas yang dikuasai.' Saya bertanya kepada beliau, '(Kalau begitu), apakah Allah selama-nya bergerak?' Beliau menjawab, 'Mahatinggi Allah dari hal itu. Gerak adalah sifat yang baru (yang ditambahkan) pada perbuatan.'

Saya bertanya pula, 'Kalau begitu, apakah Allah selamanya berbicara? 'Beliau menjawab, “Kalâm (berbicara) adalah sifat yang baru (muhdatsah) dan bukan azali. Allah ada dan Dia bukan sesuatu yang berbicara (mutakallîm).(1)

Penjelasan

Kalimat lam yazal Allahu Rabbanâ (Selamanya Allah adalah Tuhan kita), menurut susunan redaksinya, Rabbaná (Tuhan kita) adalah khabar dari zâla (selamanya), dan sekaligus jumlah (kalimat sempurna), sedangkan kalimat wa Al-'Ilm Dzâtuhu (dan Mengetahui adalah Zat-Nya) menerangkan keadaan Rabbanâ (Tuhan kita). Namun, makna kalimat ini belum sempurna dan belum mengandung arti. Sebab, tujuannya bukanlah menetapkan keazalian sifat rubübiyyah, melainkan menetapkan keazalian sifat 'ilm (mengetahui), sebelum adanya ma'lûm (objek pengetahuan; yang diketahui). Dapatlah kita katakan bahwa kita dapat menarik pengertian itu dari himpunan kalimat tersebut, yakni menetapkan keazalian sifat ‘ilm (mengetahui). Namun, mungkin pula kalimat Rabbana (Tuhan kita) dibaca marfü' dengan mengikuti isim zala dan dengan begitu khabar-nya dibuang, yang ditunjukkan oleh kalimat wa Al-'Ilm Dzâtuhu (dan mengetahui itu adalah Zat-Nya). Dengan demikian, kalimat lengkapnya dapat diperkirakan berbunyi: “Dan selamanya Allah, Tuhan kita, mengetahui (karena) pengetahuan (Al-'Ilm) adalah Zat-Nya.”

p: 739


1- 1. Ushul Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb shiſát al-dzât, hadis pertama.

Terdapat kemungkinan bahwa zâla adalah tâmm (sempurna) yang di-maqshûr-kan pada isim yang dibaca rafa' sehingga mudhâri'-nya adalah yazūlu. Dengan demikian, ia tidak membutuhkan khabar. Sementara itu, fil mudhâri' yazûlu yang bentuk madhi-nya adalah yazālu tidak selalu dipandang sebagai termasuk dalam kategori fi'l naqish, yang berbeda dengan yazúlu yang selamanya tâmm (sempurna). Kalimat wa kana al-ma'lûm, jika di sini dinyatakan sebagai kalimat tâmm (sempurna), artinya adalah “Ketika Dia mewujudkan segala sesuatu dan terbentuklah Al-Ma'lûm (objek pengetahuan) ...."

Tentang kalimat muhdatsah bi al-fil, kemungkinan arti bi al-fi'li (secara aktual) di sini adalah lawan kata bi al-quwwah yang berarti 'secara potensial. Maksudnya adalah bahwa sifat yang terealisasikan dengan pewujudan (al-îjad) dan penciptaan (al-khala) tidak mungkin merupakan sifat Allah Swt. Hadis ini mengandung berbagai kajian yang bagus, yang beberapa di antaranya akan kami kemukakan di bawah ini.

Keidentikan Sifat Allah Swt. dengan Zat-Nya

Hendaknya diketahui bahwa di dalam hadis yang mulia ini diisyaratkan tentang keindentikan (‘ainiyyah) Zat Allah Yang Mahasuci dengan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna dan hakiki, semisal al-'ilm (mengetahui), al-qudrah (berkuasa), al-sam' (mendengar) dan al-bashar (melihat). Semuanya ini termasuk dalam kajian yang sangat penting, yang uraiannya berada di luar lingkup buku ini. Di sini, kami hanya akan mengemukakan pandangan yang benar, yang sesuai dengan bukti-bukti kuat yang dikemukakan oleh para filosof dan sejalan pula dengan metode yang ditempuh oleh para ahli ‘irfân.

Perlu diketahui bahwa pada bagian yang lalu telah ditegaskan bahwa sesuatu yang termasuk dalam kategori sempurna, indah, dan baik merujuk pada esensi dan hakikat wujud, yang merupakan keberadaan di alam sementara ini dan sumber dari segala kesempurnaan dan kebaikan. Jika segala yang sempurna bukan merupakan esensi wujud dan segala yang sempurna berbeda secara hakiki dengan wujud, asumsi ini berimplikasi adanya dua sumber di alam raya. Asumsi seperti itu jelas-jelas keliru dan batil. Dengan demikian, segala sesuatu

p: 740

yang sempurna, tidak terjadi sesuai dengan pengertian dan substansi sempurna itu sendiri. Namun, ia menjadi sempurna melalui perealisasian dan keberadaannya di alam aktual. Sedangkan sesuatu yang maujud dan terealisasikan pada tataran nyata yang sesuai dengan dirinya, merupakan sesuatu yang asli-satu, dan itulah yang disebut maujud. Dengan demikian, segala yang sempurna pasti kembali (bersumber) pada sumber yang satu, yaitu Hakikat Wujud (Haqiqah Al-Wujûd).

Juga telah dibuktikan bahwa hakikat wujud itu adalah sesuatu yang sederhana (tidak tersusun) dari segala seginya dan secara mutlak terbebas dari ketersusunan (murakkab), sepanjang ia tetap berada dan selalu dalam Zat aslinya, dan dalam hakikat murninya. Namun, jika dia bergeser dari keaslian dan hakikat dirinya, secara rasional ia menjadi tersusun atau keluar dari posisinya yang semula. Dengan demikian, substansinya sederhana tetapi tersusun akibat masuknya hal asing yang berasal dari luar zat dan esensinya. Dari penjelasan di atas, dua kaidah dapat disimpulkan:

Pertama, sesungguhnya Dia yang sederhana (tidak tersusun) dalam semua seginya adalah Dia yang pada dirinya terhimpun segala kesempurnaan dalam aspek yang tunggal dan mandiri. Wujud-Nya adalah identik dengan Pengetahuan, kekuasaan, Kehidupan, Kehendak, dan seluruh Nama dan Sifat yang Mahasempurna dan Mahaindah dalam bentuk yang mutlak. Jadi, Allah Swt. mengetahui sama dengan Dia berkuasa dan Dia berkuasa sama dengan Dia mengetahui tanpa ada sedikit pun perbedaan antara pengetahuan dan kekuasaan-Nya,walaupun hanya secara intelektual-konseptual. Sedangkan perbedaan satu konsep Nama dengan konsep Nama lain serta perbedaan kata demi kata bahasa yang merepresentasikannya, maka perbedaan ini tidak menunjukkan perbedaan pada tataran hakikat yang sesungguhnya. Jadi, jelas bahwa semua konsep dan pengertian yang berbeda-beda tentang kesempurnaan berasal dari satu Wujud. Bahkan, sejalan dengan penjelasan di atas, yang disebut dengan sederhana yang hakiki adalah sesuatu yang sederhana (tidak tersusun) dalam semua seginya. Berdasarkan itu, tidak bisa tidak pasti muncul pengertian-pengertian kesempurnaan dari aspek yang sama. Namun, jika konsep-konsep

p: 741

kesempurnaan itu muncul dari aspek-aspek yang berbeda dan dari sumber beragam, seperti yang terjadi pada makhluk, kesempurnaan itu pastilah bersifat aksidental (pada si makhluk) dan bercampur dengan ketiadaan.

Kedua, sesuatu yang sempurna dalam semua seginya dan yang sekaligus merupakan sesuatu yang sebenar-benarnya sempurna dan baik, pasti sederhana (tidak tersusun) dalam semua seginya. Dari kedua kaidah di atas, muncul kaidah turunan berikut: segala sesuatu yang tersusun, dalam susunan yang bagaimanapun, pasti bukan sesuatu yang sempurna dalam semua seginya. Sebab, ketidaksempurnaan dan ketiadaan (nonexistence) menyusup dalam dirinya. Dan sebaliknya, sesuatu yang kurang (tidak sempurna) pastilah tidak bersifat sederhana secara mutlak.

Dengan demikian, mengingat Allah Swt. itu sederhana dan sempurna secara mutlak serta jauh dari segala sesuatu yang menjadi konsekuensi makhluk--yang butuh dan memerlukan sesuatu yang lain—maka Allah Swt. sempurna dalam semua sisi-Nya, mencakup semua Nama dan Sifat-Nya dan jelas yang tidak tercampuri oleh

ketidaksempurnaan atau noneksistensi sedikit pun. Dengan demikian, Allah adalah Eksistensi atau Wujud yang sesungguhnya. Sebab, kalau sekiranya ada noneksistensi dalam Diri-Nya, niscaya ia bersifat tersusun dari eksistensi dan 'adam (noneksistensi). Dia Mengetahui, Hidup, Berkuasa, Melihat, Mendengar dalam arti yang sesungguhnya. Berdasarkan alasan ini, Imam Al-Shadiq a.s. benar ketika beliau mengatakan, “Mengetahui, Berkuasa. Mendengar dan Melihat adalah Zat-Nya.”

Pandangan para Filosof tentang Pembagian Sifat Allah Swt.

Hendaknya diketahui bahwa para filosof dan mutakkalîm (teolog) membagi Sifat-Sifat Allah dalam tiga bagian. Pertama, sifat hakiki (al-shifát al-haqiqiyyah) yang terbagi menjadi dua bagian:

a. Sifat-sifat hakiki murni (al-shifát al-haqiqiyyah al-mahdhah), seperti Al-Hayât (Hidup), Al-Tsabât (Tetap), Al-Baqa' (Kekal), Al-Azaliy-yah (Azali), dan lain-lain.

p: 742

b. Sifat-sifat hakiki yang mempunyai hubungan, misalnya, Al-Ilm (Mengetahui), Al-Qudrah (Berkuasa), dan Al-Irâdah (Berkehendak). Sifat-sifat ini dihubungkan dengan sesuatu yang lain, misalnya, al-ma'lum (sesuatu yang diketahui), al-maqdûr (sesuatu yang dikuasai), dan al-murâd (sesuatu yang dikehendaki). Kedua bagian sifat ini dipandang sebagai sifat-sifat hakiki yang mengungkapkan Zat (Allah) itu sendiri ('Ain Al-Dzât).

Kedua, sifat-sifat yang murni dihubungkan (dengan sesuatu yang lain), misalnya, Al-Mabda'iyyah (Yang Memulai), Al-Raziqiyyah (Yang Memberi Rezeki), Al-Rahimiyyah (Yang Maha Pengasih). Al-Âlimiyyah (Yang Maha Mengetahui) Al-Qâdiriyyah (Yang Maha Berkuasa), dan lain-lain.

Ketiga, sifat-sifat salbiyyah murni, misalnya, Al-Quddûsiyyah (Kemahasucian), Al-Fardiyyah (Kesendirian, tidak memiliki sekutu), Al- Subbühiyyah (Kemahasucian), dan lain-lain. Para ulama menganggap kedua jenis sifat ini, yakni yang kedua dan ketiga, termasuk dalam sifat-sifat tambahan (al-shifat al-zâ'idah) pada Zat Yang Mahasuci. Mereka juga mengacukan sifat-sifat salbiyyah pada satu kenegatifan, yakni kenegatifan makhluk. Seluruh sifat yang dihubungkan (al-shifât al-idhafiyyah) mengacu pada satu hubungan, yaitu kemaujudan. Mereka berpendapat bahwa sumber penghubungan tersebut mengacu pada hubungan isyrâqiyyah dan nûriyyah. Yakni, munculnya ma'lül (akibat) dari ‘illah (sebab).

Pembagian sifat menjadi (1) sifat-sifat hakiki atau esensial, (2) sifat-sifat aksidental atau relatif (idhafiyyah), dan (3) sifat-sifat negatif (salbiyyah) yang dijelaskan dengan perspektif para filosof dan teolog, bagi saya tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sesuai dengan pembuktian filosofif yang kuat dan cita rasa "irfân yang sahih. Sebab, jika kita berbicara tentang sifat-sifat Allah Swt. atas dasar konsep Nama-Nama dan Sifat-Sifat dan observasi terhadap konsep-konsep yang

beraneka ragam, hendaknya kita tidak dapat menjadikan suatu sifat di antara sifat-sifat tersebut, bahkan sifat hakiki sekalipun, sebagai Zat Allah itu sendiri. Dan, jika kita menjadikan Zat dalam pengertian sifat-sifat relatif (idhafiyyah) dan negatif (salbiyyah), akibatnya kita telah

p: 743

meletakkan Allah Swt. sebagai idhafah (relasi) dan salb (negasi) bagi Zat-Nya. Demikian pula halnya jika kita jadikan Zat tersebut dalam pengertian sifat-sifat hakiki, di situ pasti muncul konsekuensi bahwa Allah Swt. adalah sederetan konsep dan pengertian yang bersifat spekulatif dan rasional semata. Mahatinggi Allah atas semua itu. Jika kita melakukan penelitian secara cermat terhadap hakikat sifat-sifat dan bukan konsep-konsepnya-dan namia-nama tersebut, niscaya kita akan mengetahui bahwa nama-nama dan sifat-sifat idhafiyyah dan haqiqiyyah tersebut seluruhnya merupakan Zat Allah itu sendiri. Sebab, perbedaan antara Al-'Alimiyyah (bersifat mengetahui) dan Al-'Alim (Yang Mengetahui), Al-Qâdiriyyah (bersifat kuasa) dan Al-Qadir (Yang Berkuasa), tak lebih hanya perbedaan konseptual dan mental belaka. Sementara itu, seluruh sifat idhâfiyyah mengacu pada Al-Rahimiyyah (Kepengasihan) dan Al-Rahmâniyyah (Kepenyayangan) yang merupakan Zat Allah, bahkan Al-Raziqiyyah dan Al-Khâliqiyyah pun termasuk di dalamnya.

Ihwal pengacuan seluruh sifat salbiyyah pada ketiadaan sifat makhluk pada Sang Khalik, seluruh sifat idhafiyyah pada hukum-hukum maujûdiyyah (kemaujudan qua kemaujudan) dan tidak diacukannya sifat-sifat hakiki pada sesuatu apa pun, maka semuanya itu sama saja. Sebab, jika kita membicarakannya dari perspektif konsep (pengertian), niscaya sifat yang mana pun di antara semua sifat tersebut tidak akan mengacu pada sifat yang lainnya, baik sifat salbiyyah, idhâfiyyah, maupun haqiqiyyah. Lalu, kalau kita kaji masalah tersebut atas dasar hakikat dan bukan pengertian atau konsep, seluruh pembagian dan penjenisan sifat tersebut akan mengacu pada satu sifat saja, yakni siſat Allah sebagai Wajib Al-Wujûd.

Kajian tentang Keidentikan Sifat dengan Zat Allah

Pendapat tentang Sifat-Sifat Allah Swt., dalam bahasa filsafat teoretis, menyimpulkan bahwa sifat-sifat hakiki dan relatif Allah secara konseptual berbeda satu sama lainnya. Sedangkan di bawah perspektif hakikat dan realitas, seluruh sifat tersebut mengacu kepada Zat Allah Yang Mahasuci itu sendiri. Namun, terdapat dua ranah dalam deretan sifat tersebut: Pertama, ranah Zat dan sifat dzâtiyyah yang di situ kita

p: 744

dapat mengabstraksikan Al-'Ilm (pengetahuan) dan Al-'Alimiyyah (sifat mengetahui), Al-Qâdiriyyah (sifat berkuasa) dan Al Qudrah (kekuasaan); kedua, ranah sifat-sifat fi'liyyah (perbuatan llahi) yang kita juga bisa mengabstraksikan darinya sifat Al-'Ilm dan Al-'Alimiyyah, Al-Qudrah dan Al-Qâdiriyyah. Sedangkan sifat-sifat salbiyyah, misalnya Al-Quddûs (kekudusan atau ketidaksamaan-Nya dengan makhluk) dan Al-Subbūh (kemahatinggian-Nya, dan sifat-sifat lain yang mengungkapkan kemahasucian Allah, maka sifat-sifat tersebut merupakan sesuatu yang melekat pada Zat Yang Mahasuci dan Zat Yang Mahasuci. Sebab, Allah Yang Maha-tinggi Mutlak Sempurna dan kesucian Allah Yang Mutlak Sempurna berasal pada Zat-Nya. Allah Swt. adalah Sumber hakiki, yang di antara sifat niscaya-Nya adalah ketiadaan sifat-sifat tidak sempurna pada Zat-Nya. Jadi, kesempurnaan tersebut sejalan dengan tiadanya sifat kurang pada-Nya.

Para ahli makrifat berpendapat bahwa tingkat tajalli (penampakan) melalui pelimpahan Yang Mahasuci bersumber dari nama-nama dzâtiyyah dan bahwasanya tingkat tajallî melalui pelimpahan yang suci merupakan sumber bagi sifat-sifat firliyyah. Mereka meyakini bahwa maqâm ini, yakni tajalli melalui pelimpahan yang disucikan, bukan merupakan sesuatu yang “lain” dari Zat, melainkan (limpahan) dari Zat itu sendiri. Pembahasan tentang masalah ini akan menyeret kita pada pembahasan tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat menurut metode yang ditempuh para filosof, dan itu pasti di luar kepentingan buku ini.

Sebagian ulama mengacukan Sifat-Sifat Allah pada masalah-masalah ketiadaan (Al-'Adamiyyah) dan mereka menginterpretasikan Al-'Ilm dengan tidak adanya kebodohan ('adam al-jahl), dan Al-Qudrah (Berkuasa) dengan 'adam al-'ajz (tiadanya kelemahan). Saya melihat bahwa di kalangan para ahli 'irfan terdapat seseorang yang mengikuti makna seperti ini, yakni Al-'Ârif Al-Jalil Qadhi Sa'id Al-Qummi, yang secara ketat mengikuti gurunya, Rajab ‘Ali, yang mengemukakan

penjelasan seperti di atas dalam kitabnya yang berjudul Syarh Al-Tauhid. Dahulu, kami telah mengemukakan jawaban yang tegas atas

p: 745

dalil-dalil yang beliau gunakan dan terhadap riwayat-riwayat yang beliau jadikan sandaran.

Pengetahuan Sebelum Adanya Objek yang Diketahui

Masalah lain yang diisyaratkan hadis yang mulia ini adalah masalah pengetahuan Allah terhadap segenap makhluk-Nya secara azali, sebelum (makhluk-makhluk tersebut) mewujud. Terdapat perbedaan pendapat yang sengit tentang asal pengetahuan ini dan bagaimana ia terjadi: Apakah melalui pengetahuan ijmal (global, konsep) atau melalui tafshil (rincian, partikular)? Apakah pengetahuan ada sebagai tambahan atas Zat (Allah) ataukah merupakan Zat Allah itu sendiri? Apakah ia ada sebelum adanya makhluk yang menjadi objek pengetahuan tersebut, ataukah terjadi bersamaan dengannya? Rincian tentang masalah ini dapat ditemukan dalam buku-buku filsafat, dan di sini kami akan berupaya membatasi diri, seraya menjauhi pendapat-pendapat lain.

Hendaknya diketahui bahwa di kalangan para filosof dan ahli ‘irſân telah dibuktikan bahwa hadis yang mulia ini mengisyaratkan bahwasanya pengetahuan (film) Allah terhadap al-ma'lüm (objek yang diketahui) sudah ada sebelum objek tersebut mewujud (ada), dan bahwasanya ilmu itu identik dengan Zat Allah itu sendiri. Ilmu Allah bersifat tafshîli (rincian) dan bukan ijmali (global), sebagaimana ucapan Imam yang berbunyi, “Mendengar (Al-Sam') itu adalah Zat-Nya dan bukan masmů (objek yang didengar) dan melihat (Al-Bashar) itu adalah Zat-Nya dan bukan mubshar (objek yang dilihat).” Adalah jelas bahwa Mendengar dan Melihat itu merupakan tindakan atas objek yang didengar dan dilihat dalam bentuk yang terperinci. Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa ilmu Allah itu bersifat

terperinci, sebagaimana Imam a.s. mengatakan, “Ketika Dia menjadikan sesuatu dan sesuatu itu adalah al-ma'lüm (objek yang diketahui). terjadi pengetahuan darinya atas objek yang diketahui tersebut ..." Sebab, Allah Swt. tidak mengalami perubahan dalam ilmu-Nya sesudah objek tersebut terwujud. Namun, terjadi pengetahuan dari-Nya atas objek tersebut sesudah objek tadi terwujud. Di bawah nanti, kami

p: 746

akan menjelaskan pengertian terjadinya pengetahuan atas objek yang diketahui tersebut.

Adapun penjelasan tentang tema keimanan yang tinggi tersebut dengan mengikuti metode yang ditempuh para filosof adalah bahwa sudah dijelaskan pada pasal yang lalu bahwa Allah Swt. adalah Wujud dan Sempurna dalam arti sebenar-benarnya, dan bahwasanya Wujud, Kesederhanaan, dan Kemahaesaan-Nya yang sempurna itu merupakan penghimpun dari segala kesempurnaan dan sekaligus merupakan sumber kesempurnaan segala yang mewujud, sedangkan yang berada

di luar lingkaran kewujudan-Nya adalah tidak ada ('adam), tidak sempurna, terbatas, dan bukan sesuatu; lalu penisbahan tingkat kemaujudan yang lain kepada Zat Allah adalah penisbahan "yang kurang” kepada Yang Sempurna, maka kami katakan pula bahwa ilmu dalam pengertiannya yang sempurna dan mutlak adalah ilmu kemutlakan dan kesempurnaan, tanpa ada ketidaksempurnaan dan kekurangan sedikit pun di dalamnya. Contoh untuk ilmu seperti ini adalah ketersingkapan rincian (partikular) yang universal dan sederhana (tidak tersusun), tanpa satu atom maujud pun yang keluar dari liputan ilmu-Nya yang azali dan abadi, dan Allah Swt. tidak tersentuh oleh keterbilangan dan ketersusunan.

Menurut para ahli 'irfan, Allah Swt. merupakan sumber bagi semua nama dan sifat pada tingkat kemahaesaan (maqâm wahidiyyah) dan tingkat keterhimpunan (maqâm jâmi'iyyah) Nama-Nama, dan bahwasanya entitas-entitas yang tetap (tidak berubah) pada semua maujud merupakan hubungan yang tak terpisahkan dari Nama-Nama Ilahi dalam maqâm keterhimpunan Nama-Nama pada masa azali, sebelum semua maujud menjelma. Selanjutnya, penampakan mutlak (al-tajalli

al-muthlaq) bagi Zat Allah pada maqâm kemahaesaan dan kegaiban esensial adalah penyingkapan (kasy) semua Nama dan Sifat, berikut keharusan-keharusannya dari esensi-esensi yang tidak berubah pada seluruh maujud, terjadi melalui satu penampakan (tajalli) dan penyingkapan (kasyf) yang sederhana dan mutlak. Dengan demikian, semuanya itu terjadi melalui penyingkapan yang bersifat ilmu dengan perantaraan tajalli dalam bentuk pelimpahan Yang Mahasuci.

p: 747

Penyingkapan Zat, Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan entitas-entitas, tanpa adanya keterbilangan dan ketersusunan. Kedua metode tersebut adalah metode yang benar-benar meyakinkan, kukuh, dan tinggi. Namun, dari segi tingkat kesulitan dan kesamaan keduanya dalam hal penyerapannya terhadap banyak sekali prinsip filsafat dan peristilahan yang digunakan oleh para teolog dan para ahli ‘irfân, dan dari segi bahwa ia—kalau tidak disertai dengan pengetahuan tentang premis-premis tersebut serta terus-menerus mengakrabinya, dan disertai dengan baik-sangka terhadap para teolog-niscaya sia-sialah kajian tersebut, bahkan akan semakin

membingungkan dan rumit. Oleh karena itu, sebaiknya kita letakkan bahasan tentang persoalan ini pada bahasa yang mudah dipahami. Kepenyebaban (kausasi) dan kepemulaan Wajib Al-Wujûd, Allah Swt., berbeda dengan kepenyebaban pelaku yang bersifat non-Ilahi. Sebab, pelaku yang bersifat non-llahi hanya menyusun dan membagi-bagi materi yang telah ada. Misalnya, tukang kayu mengubah potongan kayu dengan menambah atau menguranginya untuk menjadi benda lain. Demikian pula tukang batu hanya mencampur dan menyusun berbagai bahan yang ada. Namun, Allah sebagai pelaku Ilahi menciptakan benda-benda dengan kehendak-Nya tanpa membutuhkan materi atau bahan awal dan bahwasanya ilmu dan kehendak-Nya merupakan sebab bagi muncul dan wujudnya semua benda. Dengan demikian, perealisasian tersebut terjadi di dalam liputan ilmu-Nya dan keluar dari kegaiban pada saat Allah berkehendak untuk memunculkannya. Al-Quran Al-Karim mengatakan, Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri (QS Al-An'âm (6): 59).

Benda-benda yang berada di alam nyata berhubungan dengan Zat Allah Yang Mahaagung dan Mahasuci ibarat hubungan konsep dengan pikiran manusia yang di situlah seseorang menciptakan apa yang dikehendakinya dengan kehendaknya dan memunculkan apa yang tersembunyi dari alam kegaiban. Segala hal yang ada berada dalam liputan ilmu Allah, muncul dari-Nya, dan kembali kepada-Nya, "Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali” (QS Al-Baqarah [2]: 156).

p: 748

Dengan kata lain, ilmu Allah itulah yang menjadi sebab dan 'illat bagi terwujudnya sesuatu. Ilmu itulah yang melahirkan keniscayaan-mewujud pada benda-benda tersebut. Pengetahuan terhadap terjadi-nya gerhana matahari dan rembulan yang terjadi pada waktu tertentu merupakan hasil dari ilmu-Nya tentang sebab-sebab (terjadinya gerhana), yaitu saat matahari dan bulan tertutup dan ketika bumi berada dalam posisi sejajar dengan matahari dan bulan, lalu terjadilah pengetahuan tentang gerhana matahari atau bulan. Jika gerhana yang terjadi adalah gerhana total, peristiwanya sama sekali tidak berbeda bagi ilmu Allah.

Jika rangkaian sebab-akibat yang ada di alam ini berpangkal pada Zat Allah Yang Mahasuçi sebagai Sumber dari segala sumber dan bahwa Dia Mengetahui dengan Zat-Nya dan ilmu-Nya tentang sebab-sebab keberadaan semua benda, Allah pun pasti mengetahui rangkaian akibat dan musababnya. Jika memang demikian, Allah Swt. mengetahui segala sesuatu dan ilmu-Nya terhadap diri-Nya sendirilah yang menjadi sebab bagi mewujud dan terciptanya segala sesuatu.

Itulah beberapa penjelasan yang dimaksudkan untuk membuktikan ilmu Allah Swt. terhadap segala sesuatu sebelum segala sesuatu tersebut diciptakan. Tiap-tiap orang boleh memilih salah satu cara pembuktian di atas sesuai dengan tingkat intelektualnya, sekalipun ada di antara sekian penjelasan di atas yang lebih kuat dan lebih tepat. Tentang Pendengaran dan Penglihatan Allah Swt.

Salah satu topik pembahasan tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah yang berlangsung di kalangan para filosof besar ialah pengisbatan sifat mendengar dan melihatnya Allah Swt. Sebagian besar filosof dan teolog mengacukan sifat mendengar dan melihat Allah Swt. pada ilmu-Nya. Namun, Syaikh Suhrawardi justru merujukkan ilmu pada sifat mendengar dan melihat-Nya. Masing-masing pendapat memiliki penjelasan panjang lebar, yang jika dikemukakan di sini pasti akan

menyebabkan buku ini keluar dari tujuannya. Oleh karena itu, kami memandang cukup dengan mengemukakan mazhab yang benar,

p: 749

yang lurus agar kebenaran tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah Swt. dapat menjadi terang. Hendaknya diketahui bahwa sebagian besar filosof terkemuka

karena kelalaian mereka terhadap sebagian aspek--terlibat dalam berbagai perbedaan pendapat. Masing-masing merujukkan sebagian dari Nama dan Sifat Allah Swt. pada sifat-sifat yang lain. Sebab, yang selama ini berlaku di kalangan mereka adalah pengidentikkan kehendak Allah Swt. dengan pengetahuan Allah terhadap kemaslahatan dan sistem yang sempurna, dan perujukan sifat mendengar dan melihat Allah, oleh sebagian di antara mereka, pada ilmu-Nya. Sedangkan

sebagian yang lainnya, justru merujukkan ilmu-Nya pada sifat mendengar dan melihat-Nya.

Namun, pelbagai pendapat dan keterangan tersebut berbeda dari apa yang disimpulkan dari pengkajian dan terbentuk karena pengabaian terhadap beberapa aspek pokok masalah ini. Sebab, jika yang dimaksud dengan merujukkan kehendak (irâdah) Allah pada pengetahuan Allah terhadap yang maslahat atau merujukkan ilmu pada sifat mendengar, atau merujukkan mendengar pada ilmu, hal itu berarti bahwa Allah Swt. tidak mempunyai kehendak, tidak mendengar dan melihat, tetapi Dia mempunyai pengetahuan, dan bahwasanya ilmu, pendengaran, dan penglihatan-Nya bisa dinamai dengan ilmu (al-'ilm). Pandangan seperti ini jelas keliru, dan hanya merupakan rekaan orang yang tak mengenal Allah Swt. Sebab, pendapat tersebut memastikan Allah sebagai Sumber wujud tanpa memiliki kehendak dan kebebasan memilih. Di samping itu, kriteria penyifatan Allah Swt. dengan sifat-sifat kesempurnaan (al-shifât al-kamâliyyah), tidak bisa tidak, mesti menetapkan yang maujud sebagai sesuatu yang betul-betul mewujud sehingga sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Artinya, sifat tersebut merupakan hakikat wujud itu sendiri, dan merupakan kesempurnaan-kesempurnaan aktual-autentik yang mempunyai eksistensi. Tidak diragukan bahwa kehendak (irâdah) merupakan sifat sempurna bagi hakikat yang memiliki Wujud Mutlak. Berdasarkan itu, ketika Wujud mengalami gradasi, yang terjadi adalah degradasi irâdah pada objek maujud yang bersangkutan, bahkan bisa sampai pada derajat hilangnya.

p: 750

irâdah sehingga orang melihatnya sebagai sesuatu yang tidak mempunyai irâdah-seperti perwujudan barang-barang tambang dan tumbuh-tumbuhan di alam materi. Sementara itu, ketika suatu Wujud meningkat dalam kesempurnaan dan menaik ke ufuk yang tinggi, dengan melewati tingkat hayüla (materi dasar), jisim (benda), unsur, tambang dan tumbuh-tumbuhan, muncullah irâdah dan ilmu padanya. Ketika ia kita naikkan lebih tinggi lagi, semakin sempurnalah substansi (ke-

hendak) tersebut. Pada tingkat ini, seorang manusia kâmil memiliki irâdah yang sempurna, yang mampu mengubah suatu unsur menjadi unsur lain, yang dengan itu alam materi tunduk di bawah irâdah-nya. Sampai di sini, terungkaplah bahwa irâdah termasuk sifat kesempurnaan bagi wujud, juga bagi maujud ketika ia betul-betul menjelma. Hakikat ini kami tetapkan bagi Allah Swt. tanpa merujukkannya pada hakikat yang lain.

Sesudah melalui kajian mendalam ini, kita temukan bahwa mendengar dan melihat merupakan kesempurnaan bagi Wujud Mutlak. Sebab, hakikat mendengar dan melihat tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan organ-organ tubuh dan juga tidak termasuk dalam kategori pengetahuan indriawi yang membutuhkan alat dan perantara. Yang membutuhkan perantara seperti itu adalah jiwa (makhluk) yang ada di alam materi dan terkait dengan tubuh, agar dengan perantaraan tersebut pendengaran dan penglihatan dapat terjadi. Contohnya adalah pengetahuan yang membutuhkan alat yang disebut dengan pusat otak yang dengan itu pengetahuan dapat terbentuk dan terlihat di dunia fisik dan materi. Kebutuhan terhadap peralatan tersebut muncul di alam fisik dan materi, sebagai akibat dari keti-

daksempurnaan dalam ilmu, pendengaran, dan penglihatan (yang terjadi di alam rendah ini).

Selanjutnya, ketika pendengaran dan penglihatan tersebut terbebas dan tidak membutuhkan materi (alat), niscaya ia akan sampai pada tingkat “melihat” hakikat-hakikat alam gaib, “mendengar" ucapan-ucapan alam malakut dan ruhani, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa Kalim Allah dalam pelbagai munajatnya. Nabi Musa dapat mendengar kalam (firman) Allah. Penutup para Nabi Saw. dapat berbicara dengan malaikat, melihat sosok Jibril yang gaib (malakút). Pem-

p: 751

bicaraan beliau dengan Jibril tersebut tidak dapat didengar oleh telinga orang lain, dan Jibril yang beliau lihat pun tidak dapat dilihat oleh mata mereka sekalipun saat itu banyak orang hadir di samping beliau. Singkatnya, pendengaran dan penglihatan termasuk dalam ilmu yang merupakan tambahan terhadap ilmu asal, dan keduanya berbeda dari hakikat ilmu dan dipandang sebagai dua hal yang termasuk dalam kesempurnaan bagi wujud. Dengan demikian, keduanya harus ditetapkan bagi Allah Yang Mahatinggi sebagai Prinsip Wujud dan Sumber semua kesempurnaan.

Sekalipun yang mereka (para filosof dan teolog) maksudkan dengan merujukkan irâdah, mendengar dan melihat pada ilmu, atau merujukkan ilmu pada irâdah, mendengar dan melihat, mengandung arti bahwa “bentuk” ilmu dan irâdah kepada Allah Swt. adalah "bentuk” tunggal, dan bahwasanya Allah Swt. tidak mempunyai “bentuk-bentuk” yang berbeda pada pendengaran, penglihatan dan ilmu-Nya, serta sekalipun pendapat mereka ini benar, pendapat ini tidak menunjukkan adanya pengkhususan pembicaraan ini pada penetapan sifat-sifat tersebut. Sebab, penetapan sifat-sifat kesempurnaan mengacu pada hakikat wujud yang sebenarnya. Penjelasan ini juga tidak bertentangan dengan pengakuan tentang adanya sifat-sifat yang banyak dan berbeda-beda kepada Allah Swt. Bahkan, ia mendukung

dan memperkuatnya. Sebab, kami telah menjelaskan bahwa suatu wujud, ketika mendekati ufuk tunggal dan menjauh dari lingkaran plural, ia menjadi lebih manunggal dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat, dan selanjutnya sampai pada maqâm wujud yang sebenarnya dan hakikat yang wajib sederhana (tidak tersusun)--Mahaagung Kebesaran-Nya dan Mahabesar Kekuasaan-Nya-yang berada pada tingkat yang betul-betul tunggal dan sederhana (tidak tersusun), dan

menghimpun seluruh Nama dan Sifat yang di situ pengertian kesempurnaan, keagungan dan keindahan, betul-betul sesuai dengan hakikatnya, dan bukan sekadar kiasan. Dapat disimpulkan bahwa manakala suatu ketunggalan (al-wahdah) dalam suatu wujud itu lebih kuat dan sempurna, kesesuaianya dengan pengertian kesempurnaan mutlak jelas lebih tepat, dan jumlah Nama dan Sifat di dalamnya jauh lebih kaya. Sebaliknya, ketika suatu

p: 752

wujud lebih dekat pada keterbilangan, ketepatan pengertian kesempurnaan terhadapnya jauh lebih kecil, dan ia tidak sesuai dengan pengertian kesempurnaan yang sejati, serta lebih dekat dengan pengertian kiasan dan bukan hakikat. Yang demikian itu dikarenakan bahwa ketunggalan itu identik dengan wujud, dan dipandang sebagai kesempurnaan wujud saat ia betul-betul mewujud. Pengertian keidentikan ketunggalan dengan wujud ialah bahwa wujud itu selalu disertai ketunggalan. Sekalipun keduanya secara konsepsional berbeda, hakikat wujud tersebut adalah juga hakikat ketunggalan itu sendiri. Di luar itu, pada saat ditemukan keterbilangan, di situ terdapat ketidaksempurnaan, kelemahan, keburukan, dan ketidakteraturan. Oleh karena itu, ketika suatu wujud merosot ke tingkat bawah, keterbilangan dalam semua tingkat wujud menjadi semakin banyak. Maqâm Rubûbiyyah Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi, yang merupakan Wujud yang sebenar-benarnya, adalah Wujud yang betul-betul tunggal dan sederhana, dan jauh dari keterbilangan dan ketersusunan.

Pada bagian yang lalu, kami telah mengemukakan bahwa Wujud Mutlak adalah sumber hakikat yang sempurna dan mata air keindahan dan keagungan. Wujud yang sebenarnya adalah sebenar-benarnya ketunggalan dan kesempurnaan, sekaligus kesempurnaan yang sebenarnya. Ketika ketunggalan tersebut mencapai tingkat Wujud Ter-tinggi, pengertian Sifat-Sifat dan Nama-Nama sempurna menjadi cocok dengan-Nya, dan pengertian masing-masing Nama dan Siſat tersebut menjadi lebih tepat baginya. Sebaliknya, semua wujud yang semakin terbilang akan menjadi semakin banyak pula ketidaksempurnaannya dan kesesuaiannya dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat sempurna menjadi lebih kecil dan potensi serta kemampuannya pun menjadi lebih lemah.

Allah Yang Mahatinggi menghimpun semua kesempurnaan, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat, tanpa ada perujukan salah satu di antaranya pada yang lainnya. Hakikat kesempurnaan, Nama-Nama, dan Sifat-Sifat-Nya membenarkan Zat-Nya Yang Mahasuci. Dengan demikian, pendengaran, penglihatan, irâdah, dan ilmu-Nya, berlaku

dalam arti yang sebenarnya bagi Zat-Nya. Masing-masing merupakan hakikat tanpa mengharuskan adanya keterbilangan dalam Zat-Nya,

p: 753

dalam bentuknya yang bagaimanapun. Bagi-Nya nama-nama yang baik, contoh-contoh yang tinggi, keagungan, dan anugerah. Hubungan Pengetahuan Allah dengan Objek yang Diketahui Hendaknya diketahui bahwa di bawah perspektif yang saya kemukakan sebelumnya, tersibaklah bagi Allah Swt.—melalui ilmu-Nya yang

sederhana dan dzâtî, dan penyingkapan tunggal dan azali seluruh maujud sebagai maujud di alam pada semua aspek kesempurnaan wujudnya. Dan begitulah Dia mengetahui segala sesuatu. Penyingkapan ini, sekalipun sederhana (tidak tersusun) dan tunggal, bersifat rinci (partikular) dalam bentuk yang di situ tidak ada yang keluar dari liputan ilmu-Nya semua atom di langit dan di bumi, secara azali dan abadi. Pengetahuan dan ketampakan tersebut ada sejak azali, dan itu merupakan Zat Allah itu sendiri. Adapun objek yang diketahui, yang terdeterminasi dan terbatas, yang determinasi dan keterbatasannya mengacu pada ketidaksempurnaan ketika ia berkaitan dengan pembentukannya, terjadi dalam aksiden ('aradh), terealisasi dengan bentuk, dan menjadi diketahui karena bentuk. Dengan demikian,

keterkaitannya dengan bentuk terjadi sesudah ia mewujud. Pengertian ini diisyaratkan oleh Imam a.s. dalam hadis terdahulu, saat beliau mengatakan, “Ketika Dia menjadikan sesuatu dan sesuatu itu menjadi objek yang diketahui, terjadilah pengetahuan terhadap objek yang diketahui tersebut.”

Juga dapat diartikan bahwa kalimat tersebut merupakan isyarat terhadap ilmu fi'li (ilmu pada tingkat perbuatan Ilahi) yang terjadi sebagai hasil dari penampakan pancaran Yang Mahasuci, sehingga yang dimaksudkan dengan objek yang diketahui adalah objek yang diketahui dalam bentuk Zat, yang merupakan substansi wujud yang telah terkait dengan pancaran Yang Mahasuci, bersifat penampakan dan pemancaran yang bercahaya.

Berdasarkan kemungkinan arti yang pertama, maka kalimat tersebut berarti, “Ketika ia tampak melalui pancaran Yang Mahasuci dan alam muncul dalam rupa akisden-aksiden, terjadilah pengetahuan atas objek yang diketahui. Artinya, muncullah pantulan di cermin Pemancar dalam rupa suatu bentuk (aksiden).”

p: 754

Sedangkan berdasarkan kemungkinan arti yang kedua, pengertiannya menjadi begini, “Ketika ia tampak melalui pancaran Yang Mahasuci dan muncul pula perwujudan alam ini dalam rupa bentuk, dalam arti tanpa dimensi batas, terjadilah pemancaran atas yang dipancarkan dalam substansi.”

Berdasarkan kemungkinan yang mana pun di antara dua kemungkinan arti di atas, penampakan tersebut tidak terjadi melalui pancaran Yang Mahasuci dengan terjadinya peristiwa-peristiwa temporal dan kondisi yang berubah-ubah. Sebab, penciptaan yang dilakukan Allah Swt. itu tersucikan dan terbebaskan dari segala sesuatu yang terlekati oleh berbagai peristiwa yang berubah-ubah, tetapi merupakan penentuan dan pemastian. Seperti halnya dengan pengetahuan Allah yang dzâtî dan sederhana dalam semua segi dan meliput semua aspek, demikian pula halnya dengan ilmu fi'li (pengetahuan yang berkaitan dengan perbuatan Ilahi) yang merupakan salah satu tanda hakiki Allah Swt., sekaligus merupakan penampakan substansial dan cermin bagi-Nya. Ilmu fi'li ini sepenuhnya sederhana dan meliput

seluruh wilayah alam semesta dan penjelmaan makhluk, tanpa pernah mengalami penentuan (oleh sesuatu yang lain), perubahan dan ketersusunan. Maksudnya adalah bahwa ilmu fi'li tersebut terdiri dari dan dibentuk oleh Zat Allah Swt. dan merupakan hubungan murni (tanpa perantara) dengan-Nya. Oleh sebab itu, seluruh alam penjelmaan dan realitas ini lebur dalam kebesaran Allah dan hadir di altar kudus-Nya. Bertolak dari sini, para filosof dan teolog menganggap ilmu ini sebagai ilmu Allah Swt. Hal itu dapat diibaratkan dengan seseorang yang berpikir tentang konsep-konsep rasional di alam mental dan ide-ide di alam imajinal. Semua itu merupakan ilmu fi'li bagi orang tersebut dan lebur di dalamnya.

Para filosof mengatakan bahwa hubungan alam wujud dengan Allah Swt. seperti hubungan konsep-konsep intelektual dengan akal. Karena keluasan cakupan, kesederhanaan, dan keterlaksanaan ilmu Allah Swt., mereka mengatakan bahwa Allah Swt. mengetahui hal-hal partikular (juz'iyyât) secara kulli (universal). Artinya, kepartikularan objek yang diketahui itu, berikut kepastian dan keterliputannya, tidak muncul melalui ketentuannya (kepastiannya) dalam pengetahuan.

p: 755

Dengan demikian, ilmu Allah Swt. meliput (segala sesuatu), qadim, azali, dan tidak berubah-ubah, sedangkan objek yang diketahui-Nya merupakan objek yang diliput, ditentukan, diciptakan, dan dapat berubah-ubah. Orang yang tidak paham tentang metode para filosof pasti mengira bahwa mereka (para filosof) telah menafikan ilmu Allah terhadap yang partikular (juz’iyyat). Sebab, mereka menafsirkan kulliyat (universal) dan juz’iyyât (partikular) dengan pengertian yang berlaku di kalangan para ahli logika dan bahasa, dan tidak mengetahui bahwa di situ terdapat pengertian lain dari kulliyât dan juz'iyyat yang berlaku di kalangan para ahli ‘irfân. Kadang-kadang peristilahan yang digunakan para ahli 'irfan ini dipinjam oleh para filosof. Bahkan, para filosof meminjam pengertian ini dari para ahli ‘irfân, ketika mereka berbicara tentang masalah pengetahuan Allah Swt.

Kriteria dalam Sifat Tsubûtiyyah dan Salbiyyah

Kriteria dalam sifat-sifat tsubûtiyyah (afirmatif) Zat Allah Yang Wajib Al-Wujûd dan Mahamulia dan sifat-sifat salbiyah (negatif)-Nya adalah bahwa semua sifat-Nya merupakan sifat-sifat kesempurnaan (shifât kamâliyyah) dan predikat-predikat keindahan yang mengacu pada hakikat dan substansi yang sebenar-benarnya, tanpa ditentukan oleh suatu ketentuan (di luar Zat-Nya) dan tidak pula terwujud di sini dan tidak di sana. Ia merupakan sifat yang mengacu pada esensi Wujud dan Zat-Nya yang bercahaya dan dipandang sebagai sifat-sifat yang harus tetap dan wajib ada bagi Zat Allah Swt. Sebab, jika sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada Zat Allah Swt., niscaya Dia bukan merupakan Zat Yang Mahatinggi, Wujud Mutlak, Kesempurnaan, dan Keindahan yang sebenar-benarnya. Hal yang disebut belakangan ini jelas keliru dalam pandangan para filosof dan ahli ‘irfân, sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu.

Semua sifat dan predikat maujud tidak akan dapat ditetapkan baginya kecuali setelah diturunkan ke suatu titik determinasi yang disertai dengan suatu bentuk pembatasan dan keterkaitannya dengan salah satu tingkat ketidaksempurnaan, yang disertai dengan salah satu makna kelemahan. Singkatnya, setiap sifat yang tidak dapat di-

p: 756

pandang sebagai hakikat Wujud Mutlak, bahkan yang mengacu pada esensi makhluk, pasti termasuk pada kategori sifat maslúbah (harus ditiadakan) yang ditolak realisasinya pada Zat Allah yang mutlak sempurna. Sebab, sebagaimana halnya bahwa Zat yang mutlak sempurna dan merupakan Wujud yang sebenar-benarnya itu menjadi bukti bagi suatu kesempurnaan yang sebenarnya, maka ia pun menjadi bukti pula bagi tiadanya kekurangan, keterbatasan, ketiadaan, dan kebendaan.

Pendapat ini dan juga pendapat-pendapat populer lain di kalangan para pemikir yang menyatakan bahwa semua sifat salbiyyah mengacu pada ketiadaan tunggal, yaitu tiadanya sifat mungkin (imkân, lawan dari wajib), bagi penulis bukanlah merupakan pendapat yang kuat dan benar. Sebab, sebagaimana halnya bahwa Zat Allah Yang Mahasuci itu haruslah sesuai secara zati dan hakiki-dengan setiap sifat sempurna, tanpa ada perujukan sebagian darinya kepada sebagian yang lain seperti yang kami jelaskan terdahulu. Maka, seperti itu pulalah halnya dengan Zat Yang Mahasuci yang harus sesuai dengan setiap sifat salbiyyah.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa ketiadaan dan ketidaksempurnaan merupakan suatu “dimensi" yang tunggal, dan bahwasanya di situ tidak ada “perbedaan dalam ketiadaan”. Sebab, jika kita mengkaji masalah ini secara mendalam atas dasar persoalan itu sendiri, kita simpulkan bahwa ketiadaan mutlak itu merupakan satu dimensi tunggal mengandung arti semua bentuk ketiadaan-sebagaimana halnya dengan Wujud Mutlak. Ia merupakan dimensi tunggal dan merupakan semua bentuk kesempurnaan. Dengan demikian, kita tidak dapat menetapkan sifat kepada Allah Swt. pada tataran kerunggalan yang bersifat anggapan dan kegaiban dari yang gaib, baik itu sifat-sifat hakiki tsubûtî (afirmatif) maupun sifat-sifat salbiyyah (negatif) yang agung.

Kemudian, jika kita mengkaji masalah ini atas dasar magam ketunggalan dan kesatuan nama dan sifat, sebagaimana halnya bahwa sifat-sifat tsubûtiyyah kamâliyyah itu banyak jumlahnya, sifat-sifat salbiyyah pun demikian pula. Sebab, sebagai paradoks dari sifat-sifat kamâliyyah terdapat sifat-sifat tidak sempurna yang harus dinegasikan (mas-

p: 757

lübah): Allah Swt. bersifat mengetahui (CÂlim) membuktikan bahwa Allah Swt. betul-betul tidak jahil (bodoh); Allah berkuasa (Qadir) membuktikan bahwa Dia tidak lemah ('Ajiz). Dan, sebagaimana terbukti dalam ilmu tentang nama-nama bahwa nama-nama dan sifat-sifat tsubûtiyyah (afirmatif) merupakan manifestasi kemencakupan dan ketercakupan, keunggulan, dan keterunggulan Ilahi, maka ada pula nama-nama dan sifat-sifat negatif (salbiyyah) yang mengungkapkan hal-hal sebaliknya. Kesimpulannya adalah bahwa sesudah kita memperoleh kejelasan tentang kriteria sifat-sifat tsubûtiyyah dan salbiyyah, kita dapat memahami bahwa gerakan yang terjadi melalui potensi dan hayūla, peristiwa-peristiwa, dan kejadian-kejadian yang silih berganti muncul dalam potensi, sama sekali tidak dapat dirujukkan pada Zat Allah Yang Mahaagung lagi Mahasuci.

Ihwal "berbicara” dalam pengertian yang berlaku pada tataran kebiasaan yang menjadi sasaran pertanyaan perawi hadis yang kita bicarakan ini adalah berkaitan dengan sifat muhda sah (baru, tidak qadim) dan selalu berubah, yang Allah Swt. harus terbebas darinya. Kesimpulan ini sama sekali tidak berbenturan dengan penetapan Sifat Kalâm dan Mutakallim yang merupakan sifat Dzati Allah Swt. dalam tataran Zat yang sejalan dengan penyucian Allah Swt. dan perubahan dan “kebaruan” (diciptakan). Kesimpulan dari uraian kami di atas adalah bahwa hakikat "berbicara” tidaklah bergantung pada keluarnya huruf-huruf dari sumber

suara yang khusus ada pada tenggorokan dan mulut. Pandangan-pandangan yang berkembang di kalangan para ahli bahasa dan orang-orang awam adalah bahwa berbicara" itu berindikasi pada dan terjadi dengan keluarnya huruf-huruf dari tempat suara. Pendapat yang demikian ini merupakan akibat dari kebiasaan pikiran manusia yang melakukan interpretasi seperti itu, yang juga didukung oleh anggapan dan pemikiran mereka tentang hal itu. Padahal, pengertian asal dari

“berbicara” tidak selamanya terbatasi oleh indikasi huruf. Hakikat “mengetahui" merupakan ungkapan dari diketahuinya sesuatu oleh orang yang mengetahui (al-'alim), tanpa dikaitkan dengan penalaran yang menggunakan alat yang bersifat fisik dan lahiriah,

p: 758

semisal otak atau alat-alat yang bersifat maknawi, seperti indra dan imajinasi. Kalau kita mengasumsikan adanya seseorang yang telah berhasil mengetahui sesuatu melalui tangan atau kakinya, melihat sesuatu dan mendengar suara, benarlah pengetahuan, penglihatan, dan pendengarannya. Demikian pula halnya jika dia melihat, mendengar, berbicara, dan merasakan sesuatu di alam nyata, dapat dibenarkan bahwa dia memang (secara hakiki) melihat, mendengar, berbicara,

dan merasa, tanpa bisa dikaburkan oleh pengertian majasi bahwa melihat, mendengar, berbicara, dan merasanya itu terjadi tanpa bantuan alat indra tertentu, yang digunakan sebagai alat penerima ketika dia berada dalam keadaan sadar. Kriteria bagi benarnya melihat, berbicara, mendengar, dan merasa adalah penalaran khusus itu sendiri. • Hakikat “berbicara” adalah munculnya sesuatu yang tersembunyi dalam pikiran seseorang, dan pengaktualisasian sesuatu yang ada

dalam hati, tanpa harus ada alat khusus yang memerankan hal itu. Jika kita asumsikan bahwa munculnya pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan itu menghasilkan pengetahuan (ilmu) tanpa bantuan alat, yang demikian itu merupakan pengertian majasi dan berdasarkan kebiasaan yang berlaku di kalangan manusia. Namun, hakikat pengertiannya tidaklah terbatasi oleh alat-alat tertentu, yang dengan demikian “mendengar”, “melihat”, “berbicara", dan seterusnya dapat

diterima oleh akal. Pembahasan masalah Nama-Nama dan Sifat-Sifat di sini bukanlah merupakan pembahasan dengan menggunakan pendekatan semantik. Namun, yang dituju adalah membuktikan hakikat-hakikat itu sendiri, sekalipun bahasa dan kebiasaan yang berlaku di kalangan umat manusia tidak dapat menerimanya.

Akhirnya, kami katakan bahwa hakikat munculnya kalam (pembicaraan) adalah pemunculan sesuatu yang ada dalam lubuk hati, melalui alat-alat fisik dan indriawi ataupun tidak, baik pembicaraan tersebut berupa ucapan melalui suara, huruf, dan napas yang naik dari dalam dan terlihat maupun tidak. Berdasarkan kesimpulan ini, kalam merupakan salah satu sifat kamâliyyah bagi Sang Wujud Mutlak (Allah Swt.). Sebab, muncul dan pemunculan (kalâm) merupakan hakikat wujud, dan keduanya mengacu pada hakikat wujud. Jika wujud tersebut semakin sempurna dan kuat, kemunculan dan pe-

p: 759

munculan (kalam) menjadi lebih banyak, sampai akhirnya mencapai ufuk yang paling tinggi dan maqâm wajib yang paling puncak, yang di situ ia merupakan cahaya di atas cahaya, kemunculan di atas kemunculan. Dengan perantaraan pancaran (emanasi) yang mahasuci dan kalimat "kun" yang mewujudkan, terjadilah pemunculan sesuatu yang dari alam kegaiban yang berasal dari maqâm keesaan. Pada penampakan (tajalli) yang bersifat tunggal ini, terdapat Zat Yang Berbi-

cara (Al-Mutakallim), yaitu Zat Yang Mahasuci dan Esa, dan kalâm (firman), yaitu pancaran yang suci dan penampakan dari Zat, serta Yang Mendengar (Al-Sami“), yaitu Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Dengan penampakan yang sama, terjadilah ketundukan penentuan Nama- Nama dan Sifat-Sifat, dan terciptalah ia sebagai ilmu. Kemudian, pada penampakan Yang Tunggal melalui pancaran Zat Yang Mahasuci terdapatlah Al-Mutakallim, yaitu Zat Yang Mahasuci dan Maha Esa yang menghimpun seluruh Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan kalam yang merupakan penampakan itu sendiri, serta Zat Yang Mendengar (Al- Samî') dan Yang Ditaati (Al-Muthi') yang keduanya merupakan esensi sifat mengetahui itu sendiri, yang tak terpisahkan dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat yang keduanya terealisasikan melalui perantaraan perintah "kun" (jadilah), sebagai penjelmaan eksternal. Dengan demikian, maka jika Allah befirman kepada segala sesuatu yang hendak diwujudkan-Nya dengan perintah “kun”, perintah Ilahi tersebut ditaati sehingga sesuatu tersebut ada dan perintah tersebut terealisasi. Dalam uraian ini, kami me mang sengaja tidak mengemukakan dalil-dalil naqli. Segala puji bagi Allah dari awal hingga akhir. []

p: 760

37 Hadis tentang Memakrifati Allah dengan Allah, Memakrifati Rasul dengan Risalah

Point

بالسّند المتّصل إلی محمّد بن یعقوب، عن علیّ بن محمّد، عمّن ذکره، عن أحمد بن محمّد بن عیسی، عن محمّد بن حمران، عن الفضل بن السّکن، عن أبی عبد الله، علیه السّلام، قال قال أمیر المؤمنین، علیه السّلام: اعرفوا الله بالله، و الرّسول بالرّسالة، و أولی الأمر بالأمر بالمعروف و العدل و الإحسان

Dengan sanad yang bersambung pada Muhammad ibn Ya'qub, dari 'Ali ibn Muhammad, dari orang yang disebutkannya, dari Ahmad ibn 'Isa, dan Muhammad ibn Humran, dari Al-Fadhal ibn Al-Sakan, dari Abu `Abdullah a.s. yang mengatakan bahwa Amir Al-Mukminin a.s. berkata, “Makrifatilah Allah dengan Allah, Rasul dengan risalahnya dan uli al--amr dengan amar makruf, keadilan dan kebaikannya (ihsân).(1)

Penjelasan

Terdapat perbedaan yang sangat jelas antara ‘irfan dan ilmu, antara mengenal (ta'arrun dan mengetahui. Disebut-sebut bahwa ilmu, secara semantik, berlaku untuk hal-hal yang kulliyyah (universal), sedangkan ma'rifah (selanjutnya ditulis makrifat) berlaku khusus untuk yang

p: 761


1- 1. Ushủl Al-Kâfi jil. I, kitab al-tauhid, bâb annahủ lâ yu‘raf illâ bih, hadis pertama.

juz'iyyah (partikular) dan tasyakhkhush (individual). Berdasarkan itu, dikatakan bahwa orang yang mengenal Allah ('ârif bi Allah) adalah orang yang mengetahui Allah melalui penyaksian langsung (musyâhadah hudhûriyyah), sedangkan orang yang mengetahui Allah (al-'alim bi Allah) adalah orang yang mengetahui Allah melalui bukti-bukti filosofis (konseptual-universal).

Sebagian orang berpendapat bahwa ada dua hal yang membedakan ilmu dan 'irfân atau makrifat. Pertama, dari segi objek yang terkait dengan keduanya, seperti yang kami kemukakan di atas. Yakni, yang terkait dengan ilmu adalah hal-hal yang universal, sedangkan yang terkait dengan makrifat adalah hal-hal yang partikular (juzi). Kedua, yang terjadi dalam makrifat adalah teringatnya kembali sesuatu yang sebelumnya terlupakan, sedangkan dalam ilmu yang terjadi adalah pengenalan untuk yang pertama kalinya. Objek yang telah diketahui (ma'lûm) lalu terlupakan dan kemudian teringat kembali disebut sebagai memakrifati (arafah). Seorang 'ārif disebut ‘ârif karena dia mengingat kembali eksistensi dan tahap-tahap kehidupan sebelum perwujudannya di alam materiil dan fisik. Sebagian ahli makrifat mengatakan bahwa sebab dari penamaan tersebut adalah keteringatan kembali terhadap alam dzarr (alam sebelum kehidupan fisik). Mereka mengatakan bahwa jika tabir materi yang menyebabkan terjadinya kelupaan itu diangkat dari mata seorang penempuh jalan spiritual, teringatlah dia kembali akan alam yang

dulu pernah diketahuinya. Sebagian ahli dzauq (cita rasa mistis) mengatakan bahwa hakikat mi'raj maknawi dan ruhani adalah teringatnya kembali seseorang

akan masa-masa lampaunya. Jika kita lakukan pengelompokan orang-orang yang mengenang masa kanak-kanak dan masa remaja, niscaya kita menemukan bahwa setiap orang selalu mengenang satu babakan dari kehidupannya dan mengingat kembali hari-hari yang telah berlalu. Ada sebagian orang yang dapat mengingat masa-masa ketika dia masih berusia tujuh tahun, sebagian yang lain dapat mengingat masa-masa ketika dia berusia lima tahun dan sebagian yang lain lagi dapat mengingat masa-masa yang lebih jauh lagi dan mengaku dapat mengingat masa-masa ketika dia masih berusia tiga tahun. Adalah amat jarang

p: 762

adanya orang yang dapat mengingat masa-masa sebelum dia berusia tiga tahun. Syaikh Al-Ra'is, Ibn Sina, dikutip sebagai pernah mengklaim dapat mengingat masa-masa awal kelahirannya. Ibn Sina mengatakan bahwa adalah mungkin bagi seseorang untuk mengingat lebih jauh lagi daripada itu. Yakni, mengingat saat-saat ketika dia masih sesosok janin dalam rahim ibunya, atau masa-masa ketika dia masih berada dalam sulbi ayahnya. Seseorang dapat terus kembali ke masa lalu, mengingat semua proses yang dialaminya menuju dunia fisik, menapak naik ke alam malakût (alam non materiil) dan jabarût (alam penciptaan), dan selanjutnya ke alam jabarût yang lebih tinggi sehingga dengan cara itu dia terus menapak sampai akhirnya dia mengingat kembali keadaannya dalam ilmu rubübiyyah. Itulah yang disebut dengan hakikat mi'raj dan puncak pendakian ruhani.

Sekalipun kiranya uraian di atas ada benarnya, interpretasi hakikat mi'raj ruhani sebagai ingatan mundur sesungguhnya tidaklah tepat menurut kalangan ahli 'irfân. Sebab, hakikat mi'raj ruhani adalah gerakan spiritual melengkung yang mengitari lingkaran wujud dan berakhir kembali ke alam gaib yang merupakan simpul alam kenyataan. Mi'raj ini terjadi secara kurvilinier di sepanjang busur yang menaik. Sedangkan gerakan regresif yang disebut-sebut sebagai interpretasi mi'râj ruhani bertentangan dengan sunnatullah yang berlaku di alam wujud, khususnya pada diri para nabi, dan lebih khusus lagi Nabi Terakhir-salam sejahtera atas beliau, keluarga suci beliau, dan para nabi lain. Pelancongan ini lebih tepat digambarkan sebagai ketersedotan dalam cinta Zat Allah Yang Mahatinggi sebagaimana yang terjadi pada malaikat, yang dapat mengakibatkan guncangan dan keterkesimaan dan kealpaan akan keragaman makhluk, sehingga ia tak menyadari lagi adanya satu makhluk pun yang telah diciptakan.

Guru makrifat yang sempurna, Syaikh Syahabadi-semoga jiwa-ku menjadi tebusannya—mengatakan bahwa keadaan (hal) ruhani Nabi Adam a.s. yang tersedot (tenggelam) di alam gaib sedemikian sehingga dia menjadi alpa akan keadaan fisiknya dan terlebur secara total di alam gaib dan wilayah Ilahi sampai-sampai Nabi Adam menafikan ke-Adam-annya (adamiyyah). Lalu, Allah Swt. memberikan setan

p: 763

kemampuan untuk mengganggunya agar beliau kembali ke “pohon alam fisik” dan menariknya dari gravitas alam malakût menuju mulk (alam fisik).

Kalimat “keadilan dan kebaikan (al-ihsân)" dalarr. hadis di atas merupakan dua kalimat yang dihubungkan dengan kalimat al-'amr bi al-ma'rûf. Jadi, maknanya adalah, “Makrifatilah mereka dengan amar ma'ruf, keadilan, dan kebajikan." Namun, terdapat pula kemungkin- an bahwa kedua kalimat tersebut terkait dengan kata al-ma'ruf sehingga artinya, “Makrifatilah mereka dengan amar ma'ruf (perintah mereka untuk menjalankan yang ma'rûn, dan perintah menegakkan keadilan dan kebaikan."

Pengertian "Makrifatilah Allah dengan Allah”

Hendaknya diketahui bahwa pelbagai ulama—semoga Allah meridhai mereka semuanya-telah menjelaskan maksud “makrifatilah Allah dengan Allah” menurut perspektif ilmiah dan pendekatan filosofis mereka masing-masing. Dengan maksud mencari berkah (tabarruk) pada pendapat orang-orang mulia tersebut, di sini kami akan mengemukakan pendapat-pendapat mereka secara singkat.

Pertama, Tsiqah Al-Islâm Al-Kulaini-semoga Allah melimpahkan keridhaan kepadanya—mengatakan secara ringkas bahwa kalimat Imam yang berbunyi, “Makrifatilah Allah dengan Allah” bermakna bahwa Allah Swt. telah menciptakan semua benda, ruh, dan cahaya. Dan Dialah satu-satunya Pencipta semua itu. Tiada yang membarengi-Nya dan tiada pula yang serupa dengan-Nya dalam penciptaan semua itu. Jadi, siapa saja yang menyerupakan Allah dengan salah satu dari

ciptaan-Nya, berarti dia tidak memakrifati Allah dengan Allah. Sebaliknya, kalau dia menafikan kemiripan semua itu dengan Allah, berarti dia telah memakrifati Allah dengan Allah.(1) Anehnya, Shadr Al-Muta’alli-hin-semoga Allah menyucikan jiwanya--menganggap ulasan Al-Kulaini tersebut sebagai bagian dari hadis di atas, sehingga beliau mengemukakan penjelasan elaboratif berdasarkan mazhab filsafatnya mengenai paragraf itu. Kedua, Syaikh Al-Shaduq-semoga Allah meridhainya-mengatakan bahwa kita memang mau tak mau memakrifati Allah dengan

p: 764


1- 2. Ushủl Al-Kâfi jil. I, kitab al-tauhid, bâb annahû lâ yu‘raf illâ bih, hadis pertama.

Allah. Sebab, jika kita memakrifati Allah dengan akal kita, akal tak lebih adalah anugerah Allah; jika kita memakrifati Allah melalui para rasul, nabi, dan hujjah-Nya, Allah pula yang mengutus dan menciptakan mereka; dan jika kita memakrifati Allah dengan kalbu kita, Allah-lah yang meletakkan makrifat itu ke dalam kalbu.(1) Ketiga, yakni pendapat yang diisyaratkan oleh Shadr Al-Muta’allihin. Beliau mengatakan bahwa dua jalan untuk memakrifati Allah dengan Allah: pertama, musyahadah dan 'irfan yang jelas (sharîh); dan kedua, penyucian dan pengudusan (al-tanzîh wa al-taqdîs). Karena jalan yang pertama tidak mudah kecuali bagi para nabi dan orang-orang yang sempurna, Imam a.s. memilih menjelaskan jalan yang kedua di dalam hadis terdahulu. Shadr Al-Muta’allihin memberikan interpretasi tersebut dengan menganggap bahwa ucapan Syaikh Al-Kulaini sebagai bagian dari hadis dan sebagai penjelasan Imam Al-Shadiq a.s. atas ucapan Imam Amir Al-Mukminin a.s.

Keempat, Muhaqqiq Al-Kasyani-semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya-mengatakan bahwa segala sesuatu itu mempunyai mâhiyah (kuiditas) dan wujud atau eksistensi. Mâhiyah adalah batasan partikular dan aspek esensial sesuatu, sedangkan wujud adalah aspek yang mengarah pada Zat-Nya. Dengan wujud itulah, segala sesuatu memanifestasikan semua efek, potensi, dan perilakunya. Maka dari itu, apabila seseorang memerhatikan esensi dan batasan sesuatu, serta mencoba mengenal Tuhan melalui aspek kemungkinan dan kebergantungannya pada Tuhan, ia akan mengetahui Allah melalui hal-hal selain Allah. Pengetahuan dan makrifat ini bersifat kodrati dan tidak diperoleh dari luar dirinya. Selanjutnya, kalau seseorang mencoba mengenal Allah melalui aspek eksistensial dan wujud segala

sesuatu, dan aspek eksistensial inilah aspek yang mengarah kepada Allah, berarti dia telah memakrifati Allah dengan Allah. Aspek yang mengarah kepada Allah ini diisyaratkan oleh Al-Quran Al-Karim dalam dua ayat berikut, Dia bersamamu di mana pun kamu berada هو معکم أینما کنتم (QS Al- Hadîd (57): 4) dan کُلُّ شَیْ ءٍ هالِکٌ إلّا وَجْههُ Segala sesuatu itu hancur kecuali Wajah-Nya (QS Al-Qashash (28]: 88).

Hakikat itulah yang tetap ada (baqâ ) sesudah segala sesuatu hancur sehingga Imam a.s. mengatakan, “Makrifatilah Allah dengan Allah.”

p: 765


1- 3. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. I. h. 298.

Artinya, lihatlah kepada segala sesuatu pada wajahnya yang mengarah kepada Allah Swt., sesudah kalian membuktikan bahwa benda-benda tersebut mempunyai Tuhan yang menciptakannya. Usahakan makrifat kepada-Nya dengan amar yang terdapat di dalamnya, melalui pengaturan-Nya terhadapnya, melalui ketersendirian kekuasaan-Nya terhadap-Nya, dan penundukan yang dilakukan-Nya terhadapnya, atau melalui kemeliputan-Nya terhadap benda-benda tersebut, sehingga kamu sekalian dapat memakrifati Allah dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya, dan janganlah kamu sekalian melihat melalui wajah-wajah benda-benda itu yang mengarah pada benda-benda itu sendiri, dalam pengertian bahwa benda-benda tersebut mempunyai mâhiyah-mahiyah yang mereka bisa wujud dengan Zat-zat mereka sendiri, tetapi selalu membutuhkan pada Mújid (Yang Menujudkan) yang mewujudkannya. Sebab, jika kamu sekalian melihat benda-benda itu melalui arah tersebut, kalian berarti memakrifati Allah dengan benda-benda. Dalam keadaan seperti itu, kamu sekalian tidak bisa melakukan makrifat kepada-Nya dengan makrifat yang sebenarnya. Sebab, semata-mata mengetahui bahwa sesuatu itu membutuhkan Allah dalam perwujudan benda-benda, pada hakikatnya, bukanlah makrifat.

Namun, hal itu tidak membutuhkan pembuktian seperti itu. Sebab, ia merupakan sesuatu yang fitrah yang berbeda dengan cara melihat yang pertama. Sebab, yang kalian lakukan adalah berpikir tentang benda-benda dengan, pertama-tama, berpikir tentang Allah Yang Mahatinggi dan bukti-bukti tentang adanya Allah, dan baru

kemudian berpikir tentang adanya benda-benda dan kebutuhannya kepada Allah dalam dirinya. (1)

Kelima, ialah kemungkinan yang terlintas dalam pikiran penulis, yaitu pendapat yang dibangun atas premis yang telah dikemukakan pada ilmu tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Yakni, bahwasanya Zat Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi itu bisa dilihat dari sejumlah sudut-pandang. Dan tiap-tiap sudut-pandang memiliki istilah khususnya. Pertama, sudut-pandang tentang Zat sebagaimana Zat itu sendiri, yakni Zat yang majhûl (tidak diketahui) secara mutlak, tanpa ada nama dan bentuk, serta tidak mungkin dijangkau oleh angan-

p: 766


1- 4. Kitab Al-Waſi, h. 75.

angan para ahli 'irfan dan wali, yang di kalangan mereka kadang-kadang diungkapkan sebagai 'anqa'al-mughrab. Sebuah syair mengatakan:

Wahai pemburu ingatlah, bahwa ‘anqâ' itu tidak akan jatuh di hutan karena itu lemparkanlah alat perburuanmu Pada kali lain, Zat tersebut diungkapkan dengan istilah kebutaan (kegelapan). Diriwayatkan bahwa sekali waktu seseorang bertanya kepada Nabi Saw., “Di mana Tuhanmu sebelum Dia menciptakan makhluk?" Nabi Saw. menjawab, “Di dalam kebutaan." Pada kali yang lain lagi, sudut pandang itu diungkapkan dengan istilah gaib dan kegaiban mutlak, dan lain sebagainya. Semua ungkapan dan istilah tersebut sama sekali tidak dapat mengungkapkan makna yang dikehendaki. ‘Anqa’, kegelapan, kegaiban yang gaib, kegaiban mutlak dan

ungkapan-ungkapan lain yang berlaku di kalangan para ahli 'irfân, tidaklah relevan untuk kita bicarakan di sini. Seterusnya adalah sudut-pandang Zat Allah pada medan penjelmaan gaib dan ketiadaan menifestasi secara mutlak yang disebut dengan maqâm ketunggalan (ahadiyyah). Ungkapan-ungkapan yang telah dikemukakan sebelumnya terkait dengan maqâm ini. Pada maqâm ini, ungkapan tentang Nama-Nama Dzâtiyyah, menurut istilah para ulama, berubah menjadi ungkapan tentang Nama-Nama, semisal Al-Bathin Al-Muthlaq (Yang Mutlak Batin), Al-Awwal Al-Muthlaq (Yang Mutlak Awal), Al-'Ali wa Al-'Azhim (Yang Mahatinggi lagi Mahaagung), sebagaimana yang bisa dipahami dari hadis Al-Kafi yang menyatakan bahwa nama pertama yang dijadikan nama oleh Allah Swt. bagi diri-Nya adalah Al-'Alî wa Al-^Azhim. Sudut pandang lainnya adalah yang berkenaan dengan Zat Allah pada maqâm Kemahaesaan (wâhidiyyah)—-yakni sifat keesaan Ilahi dalam medan keberagaman makhluk—atau maqâm kesatuan Nama-Nama dan Sifat. Tingkat ini diungkapkan sebagai pelbagai istilah. Disebut-sebut bahwa maqâm ini, sebagai suatu maqâm ketunggalan himpunan, mempunyai maqâm nama Mahaagung dan nama yang menghimpun semua pengertian, yaitu Allah.

p: 767

Sudut pandang yang lain lagi sesuai dengan tingkat penampakan (tajalli) melalui pancaran Yang Mahasuci, dan maqam munculnya Nama-Nama dan Sifat-Sifat pada “cermin” benda-benda, sebagaimana halnya dengan maqâm kemahaesaan yang terjadi karena pancaran yang suci. Tingkatan munculnya Nama-Nama ini disebut sebagai tingkat kemunculan mutlak, tingkat Ilahiah dan Allah yang sejalan dengan ungkapan-ungkapan yang ditetapkan dalamn Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Hal ini telah kami bicarakan dalam buku kami yang berjudul Mishbâh Al-Hidayah.

Adalah harus juga diketahui bahwa ungkapan-ungkapan yang berlaku di kalangan para ahli makrifat tersebut merupakan informasi (ikhbâr) tentang fungsi berbagai tajallî Allah pada kalbu mereka yang bening. Semua itu sejalan dengan pelbagai tingkat dan suluk para wali serta manâzil yang harus mereka singgahi dalam pengembaraan menuju Allah. Maqâm pertama adalah munculnya nama-nama dan sifat-sifat, yang merupakan maqam Ulühiyyah yang disebut dengan nama “Allah”. Ayat berikut mengisyaratkan tingkat ini, الله نور السّمواتِ وَ الأرْضِ “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah ibarat misykat yang di dalamnya terdapat kandil besar. Kandil itu di dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang penuh berkah. (Yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah Timur dan tidak pula di sebelah Barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing pada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS Al-Nûr (24): 35). Ayat itu juga mengisyaratkan pada maqâm kegaiban tunggal dan Nama-Nama Dzâtiyyah dan Nama yang sangat berpengaruh yang merupakan tujuan akhir dari pengembaraan spiritual. Bisa jadi pula bahwa firman Allah Swt. yang berbunyi, Atau lebih dekat lagi (QS Najm [53]: 9) merupakan isyarat tentang maqâm ini. Selanjutnya, kami katakan bahwa ketika manusia bersandar pada pemikiran dan bukti-bukti (rasional) dalam usahanya mencari Al-Haqq dan dalam pengembaraannya menuju Allah, maka pengembaraannya tersebut merupakan pengembaraan rasional dan ilmiah serta

p: 768

tidak termasuk dalam kategori pengembaraan para ahli makrifat. Sebab, dia telah terjatuh ke dalam hijab yang sangat besar dan agung, tanpa dapat membedakan antara melihat benda-benda melalui mâhiyahnya dan yang dianggap sebagai hijab kegelapan dengan mencari Al-Haqq Yang Mahatinggi melalui itu atau melihat pada benda-benda melalui wujudnya yang merupakan hijab cahaya (nûrâniyyah), seperti yang diisyaratkan oleh Al-Faidh Al-Kasyani pada kemungkinan makna

keempat. Syarat pertama (yang harus dipenuhi) dalam pengembaraan menuju Allah adalah keluar dari "rumah kegelapan” jiwa, zat, dan ego diri sendiri. Seperti halnya dengan seseorang yang bepergian di dunia empiris, dia tidak dipandang telah pergi sepanjang dia masih berada di tempatnya dan di dalam rumahnya, sekalipun khayalannya telah membuatnya seakan-akan telah pergi. Tidak bisa tidak, dia mesti meninggalkan tempat kediamannya dan berangkat dari rumahnya,

yang dengan begitu dia dapat disebut sebagai telah pergi. Dan, sebagaimana halnya dengan orang yang bepergian secara formal yang tidak dapat terlaksana kecuali dengan meninggalkan negerinya dan menghapuskan jejaknya, seperti itu pula halnya dengan pengembaraan ruhani yang tidak mungkin dapat terlaksana kecuali sesudah dia melakukan takhallî (pelepasan diri) dari “rumah kegelapan jiwa", dan menghapuskan bukti-bukti keberadaannya di rumah tersebut. Sebab,

sepanjang tanda-tanda tersebut masih dapat dilihat dan suara-suaranya masih terdengar, dia belum bisa disebut bepergian, tetapi sekadar berkhayal dan membayangkan bahwa dirinya sedang melakukan pengembaraan dan suluk menuju Allah. Allah Swt. berfirman, Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.

وَ مَنْ یَخْرُجْ مِنْ بَیْتِهِ مُهاجِراً إلَی الله وَ رَسولِهِ ثُمَّ یُدْرِکْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَی اللهBarang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum dia sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah (QS Al-Nisa' [4]: 100).

Sesudah sang pengembara berangkat menuju Allah dengan langkah pembersihan jiwa dan bertakwa secara sempurna di rumah jiwa (bait al-nafs), dan ketika keluar dia tidak disertai dengan belitan duniawi dan bendawi serta betul-betul telah melakukan pengembaraan menuju

p: 769

Allah Swt., maka menjadi tampaklah kepadanya Al-Haqq Yang Maha-tinggi sebelum yang lainnya terlihat oleh kalbunya yang disucikan dengan ulûhiyyah. Kalbunya juga akan melihat maqam munculnya Nama-Nama dan Sifat-Sifat. Tajalli ini juga merupakan suatu tingkatan dan sistem yang bergerak dari nama-nama yang mengitarinya sesuai dengan berat dan ringannya perjalanan yang ditempuhnya, dan sejalan pula dengan kuat dan lemahnya kalbu sang pengembara, yang

perinciannya tak mungkin dapat kami kemukakan dalam kesempatan yang sangat terbatas ini. Kemudian, ia bakal sampai pada penolakan terhadap penampakan alam wujud, baik penampakan tersebut mengacu kepada dirinya sendiri atau kepada yang lain. Sesudah dia melakukan penolakan mutlak, yang dengan itu berhasil mencapai tajalli melalui uluhiyyah dan Allah pada maqâm kesatuan yang menyatukan munculnya nama-nama, lalu muncullah “makrifatillah Allah dengan Allah” dalam tingkatnya yang pertama dan paling rendah.

Ketika seorang ‘ârif sampai ke maqâm dan manzilah ini, dia mengalami fanâ (kesirnaan) dalam tajalli tersebut. Jika dia memperoleh inayah Azali, sang 'arif akan mencapai ke-fanâ’-an dalam tajalli tersebut, dan tersingkirlah darinya segala kesulitan yang menghalangi jalannya dan perjalanannya pun akan semakin membubung. Dalam kondisi seperti itu, dia tidak akan puas dengan maqam tadi dan segera melanjutkan pengembaraannya dengan perjalanan yang penuh dengan

kerinduan dan kesyahduan. Dalam perjalanan rindu ini, Al-Haqq merupakan titik awal perjalanan, pendorong perjalanan, dan sekaligus akhir perjalanan. Lang-

kah-langkahnya mengayun di bawah siraman cahaya tajalli, dan dia mendengar suara yang menyuruhnya untuk terus mendekat. Dia terus maju, sampai tercapailah tajalli dalam kalbunya dalam bentuk yang teratur dan sistematis, Nama-Nama dan Sifat-Sifat berada dalam maqâm kemahaesaan, lalu dia pun sampai pada maqam keesaan, magâm nama yang Mahaagung yang disebut dengan Allah. Pada maqam ini. tercapailah “Makrifatilah Allah dengan Allah”, pada tingkat yang tinggi

dan sesudah maqam ini terdapat maqâm lain yang tidak pada tempatnya untuk kita bicarakan di sini.

p: 770

Di samping yang telah kami kemukakan di atas, sebenarnya saya ingin menambahkan pula penjelasan tentang maqâm memakrifati Rasul berdasarkan risalah dan memakrifati uli al-'amr dengan perintah (mereka) terhadap yang makruf, keadilan, dan kebaikan, dengan mengikuti metode 'irfan yang indah, yang membutuhkan penjelasan tentang maqam risalah dan wilâyah. Namun, penjelasan seperti itu agaknya tidak relevan dengan tingkat buku ini. Persoalan tersebut, sebagaimana yang telah kami sebutkan, telah kami jelaskan secara terperinci dalam buku kami yang berjudul Mishbâh Al-Hidayah. Hadis-Hadis tentang Makrifat Tidak Bisa Ditafsirkan secara Lazim Hendaknya pembaca tidak menganggap bahwa tujuan penjelasan kami terhadap hadis ini dengan menggunakan cara yang ditempuh

para ahli 'irfân adalah untuk mereduksi pengertian hadis tersebut tentang hal itu, sehingga penjelasan tersebut dianggap sebagai prakiraan dan interpretasi dengan akal semata. Namun, penjelasan tersebut kami maksudkan untuk menggugurkan anggapan perlunya mereduksi pengertian hadis-hadis yang diriwayatkan dalam bab tentang ushuluddin (pokok-pokok agama) dengan pengertian yang biasa berlaku (sesuai pemahaman awam).

Orang yang akrab dengan hadis-hadis para Imam a.s. pasti tahu bahwa penafsiran terhadap berbagai khabar yang berasal dari mereka dalam masalah akidah dan ushuluddin berdasarkan konsep pengetahuan yang berkembang di kalangan awam bukanlah cara yang tepat dan benar. Bahkan, interpretasi tersebut mesti dilandasi pemahaman filosofis yang mendalam dan puncak pengetahuan para ahli ‘irfân. Siapa saja yang telah menelaah kitab Ushul Al-Kafi dan Al-Tauhid, karya Syaikh Al-Shaduq, pasti setuju dengan pendapat kami. Interpretasi 'irfán yang mendalam dengan mengemukakan corak pemikiran para ahli makrifat ini tidaklah bertentangan dengan corak interpretasi yang diberikan para ulama yang ahli dalam bidang teologi (al-'ulama' billah) karena ucapan-ucapan mereka yang baik dan menggunakan metode yang tepat, yang secara praktis sanggup merebut hati semua pihak sejalan dengan metode mereka masing-masing. Lebih dari itu, tidak ada hak bagi siapa pun untuk membatasi makna

p: 771

suatu hadis dengan pengertian yang dia kehendaki. Sebagai contoh, kita dapat menjelaskan hadis mulia tersebut dengan penjelasan tradisional yang berlaku di kalangan masyarakat umum yang sesuai dengan pengertian redaksionalnya, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "Makrifatilah Allah dengan Allah" adalah “Ketahuilah Allah melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya dan kehebatan ilmu-Nya yang merupakan bukti ketuhanan-Nya”, sebagaimana halnya dengan

kewajiban mengetahui nabi melalui risalahnya dan bukti-bukti yang memperkuat ajarannya. Sementara itu, mengetahui penguasa (uli al-'amr) dilakukan melalui amal-amal mereka yang menyangkut keadilan dan kebaikan yang dengan perbuatan-perbuatan tersebut kita dapat mengenal pelaku-pelakunya. Interpretasi seperti ini sama sekali tidak bertentangan dengan adanya pengertian lain yarg lebih mendalam, yang merupakan interpretasi terhadap makna-makna yang tersimpan lebih dalam. Adanya pengertian yang lebih mendalam daripada pengertian yang lain, semata-mata hanya merupakan kandungan dari kandungan (pendalam) pengertian yang lain. Bagaimanapun, membandingkan pandangan para wali dengan pandangan orang-orang seperti kita adalah tidak benar, persis seperti membandingkan pribadi-pribadi mereka dengan pribadi-pribadi kita. Di sini, kami tidak mungkin dapat menjelaskan persoalan yang pelik ini secara terperinci dengan menyertakan penjelasan-penjelasan filosofisnya. Anehnya, sementara orang yang melancarkan serangan terhadap pengertian ‘irfaniyyah dan filosofis tersebut mengatakan bahwa hadis-hadis para Imam a.s. berfungsi sebagai bimbingan masyarakat. Oleh karena itu, tidak bisa tidak, pengertian hadis tersebut harus disesuaikan dengan pemahaman yang berlaku di masyarakat, dan hendaknya tidak dikemukakan interpretasi-interpretasi filosofis yang berada di luar jangkauan intelektualitas masyarakat awam. Pandangan seperti ini jelas tidak dapat diterima dan muncul dari pemikiran yang dangkal terhadap hadis-hadis Ahl Al-Bait a.s. dan pengetahuan para nabi serta sikap "sok tahu mengenai mereka. Alangkah mengherankan jika para nabi dan para wali tidak bermaksud memberi pengajaran kepada umat manusia tentang ajaran-

p: 772

ajaran tauhid yang mendalam dan pengetahuan para nabi. Kalau demikian, orang yang memiliki kesanggupan untuk itu harus memikul tugas tersebut sendirian?

Selanjutnya, apakah tauhid dan pengetahuan akidah lainnya tidak memiliki pengertian yang lebih mendalam dan ilmiah, lalu apakah semua orang yang harus memahaminya berada pada tataran intelektual yang sama? Apakah pengetahuan Amir Al-Mukminin a.ş. berada pada tingkat yang sama dengan tingkat pengetahuan kita? Lalu, apakah pengetahuan para Imam a.s. juga berada pada tingkat yang sama dengan pengetahuan orang awam? Apakah mengajarkan pengetahuan yang dimiliki para Imam Ahl Al-Bait itu tidak penting dan bukan merupakan suatu keharusan? Atau, apakah tidak ada pengertian lain seperti yang telah kami jelaskan di atas dan bahwasanya para Imam a.s. tidak mementingkan pengetahuan tersebut? Apakah masuk akal bahwa kalangan yang tidak meremehkan

pengajaran tentang adab makan, minum, tidur, dan masuk jamban justru mengabaikan ilmu-ilmu Ilahiah yang merupakan cita-cita paling tinggi para wali? Yang lebih ganjil lagi adalah bahwa sebagian dari para penentang pemahaman yang mendalam tersebut acap kali memperlakukan riwayat-riwayat para Imam Ahl Al-Bait yang berkaitan dengan masalah-masalah kefiqihan dengan pemahaman yang mendalam yang sudah berada di luar jalur akal, apalagi dari jalur pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat. Mereka menggunakan makna-makna yang mendalam yang jauh dari jangkauan awam, sekalipun sudah sama-sama diketahui bahwa pemahaman terhadap riwayat-riwayat yang berkaitan dengan masalah fiqih harus dikaitkan dengan kondisi masyarakat yang ada. Terhadap mereka yang tidak sepakat dengan apa yang kami kemukakan ini, kami menganjurkan kepadanya untuk memahami kaidah yang berbunyi, “Tiap-tiap orang melakukan kewajiban berdasarkan kemampuannya," dan kaidah-kaidah umum lainnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah muamalah. Dengan demikian, mereka dapat memahami secara mendalam ucapan-ucapan para Imam dalam masalah-masalah hukum dan cabang-cabang agama.

p: 773

Akhirnya, bagaimanapun uraian ini telah menyimpang dari pembicaraan kita semula. Penulis menjadikan Allah sebagai saksi bahwa penulis tidak bermaksud apa pun kecuali mengemukakan pengetahuan kepada saudara-saudaranya sesama Mukmin. Kami memohon ampunan kepada Allah atas semua kekeliruan, kelancangan, dan kemalasan kita. Segala puji bagi Allah sejak awal hingga akhir. []

p: 774

38 Hadis tentang Allah Menciptakan Adam Sesuai dengan Bentuk-Nya

Point

بالسّند المتّصل إلی الشّیخ الجلیل عماد الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن عدّة من أصحابنا، عن أحمد بن محمّد بن خالد، عن أبیه، عن عبد الله بن بحر، عن أبی أیّوب الخزّاز، عن محمّد بن مسلم، قال: سألت أبا جعفر، علیه السّلام، عمّا یروون أنّ الله خلق آدم، علیه السّلام، علی صورته. فقال: هی صورة محدثة مخلوقة، [و] اصطفاها الله و اختارها علی سائر الصّور المختلفة، فأضافها إلی نفسه کما أضاف «الکعبة» إلی نفسه، و «الرّوح» إلی نفسه، فقال: «بیتی» و «نفخت فیه من روحی

Dengan sanad yang bersambung hingga Syaikh Al-Jalil, 'Imad Al-Islâm, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah meridhainya—dari sejumlah sahabat kita, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari ayahnya, dari 'Abdullah ibn Bahr, dari Abu Ayyub Al-Khazzaz, dari Muhammad ibn Muslim yang berkata, “Aku bertanya kepada Imam Abu Ja'far a.s. mengenai hadis yang mereka riwayatkan tentang bahwasanya Allah menciptakan Adam sesuai

p: 775

dengan bentuk-Nya. Beliau menjawab, 'Benar. Bentuk itu bersifat baru dan tercipta. Allah memilih dan menyeleksi bentuk itu dari pelbagai bentuk yang berbeda. Kemudian, Allah menghubungkan bentuk tersebut dengan Diri-Nya sebagaimana Dia menghubungkan Ka'bah kepada Diri-Nya dan Ruh kepada Diri-Nya pula dengan

mengatakan, 'Rumah-Ku' (QS Al-Baqarah (2): 125 atau QS Al-Hajj (221: 26) dan 'Aku tiupkan kepadanya sebagian dari Ruh-Ku." (QS Al-Hijr (15]: 29 atau QS Shâd (38]: 72).(1)

Penjelasan

Bagian pertama hadis ini termasuk dalam kategori hadis-hadis yang tergolong masyhur sejak masa para Imam a.s. hingga masa kita sekarang ini. Baik mazhab Sunni maupun Syi'ah sama-sama menggunakan hadis ini dalam berbagai kitab masing-masing. Imam Al-Baqir a.s. menguatkan kesahihan hadis ini dan mengemukakan penjelasan mengenainya.

Terdapat hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Shaduq dalam kitab 'Uyûn Akhbâr Al-Ridha dengan sanadnya yang bersambung hingga ke Imam Kedelapan (Imam 'Ali Al-Ridha), dari Al-Husain ibn Khalid yang mengatakan, “Aku bertanya kepada Al-Ridha a.s., “Wahai putra Rasulullah, banyak orang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.' Beliau menjawab, 'Semoga Allah mengecam mereka. Mereka telah membuang bagian pertama hadis tersebut yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bertemu dengan dua orang laki-laki yang saling mencaci. Beliau mendengar salah seorang di antara mereka berkata kepada kawannya, 'Semoga Allah memburukkan wajahmu dan wajah orang-orang yang mirip denganmu.'Selanjutnya, Al-Ridha a.s. berkata, "Wahai Abdullah, hendaknya engkau tidak berkata seperti itu kepada saudaramu sebab Allah Azza wa Jalla telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya."(2) Oleh karena itu, Al-Majlisi mengaitkan hadis Imam kepada taqiyyah.(3) Al-Majlisi juga mengemukakan suatu kemungkinan lain. Yakni, bahwa Imam a.s. menjawab seperti itu berdasarkan dugaan bahwa khabar tersebut memang benar-benar bisa diterima.(4) Namun, kemungkinan seperti ini sangat jauh.

p: 776


1- 1. Ushûl Al-Kafî jil. I, kitab al-tauhid, bâb al-rûh, hadis ke-4.
2- 2. Bihar Al-Anwâr, jil. IV, Bab 3, dari Kitab Al-Tauhid hadis ke-1, h. 11.
3- 3. Mir‘ât Al-'Ugül, jil. II, h. 83.
4- 4. Ibid.

Terdapat suatu kemungkinan pula bahwa hadis yang diriwayatkan dari Imam Al-Ridha a.s. ini dirujukkan pada hadis pertama, dan yang dimaksud dengan “Adam" pada bagian hadis yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya," adalah spesies manusia. Dengan demikian, kata ganti (dhamir) yang terdapat dalam kalimat ‘alâ shûratih kembali kepada Allah Taala. Karena Imam a.s. tahu bahwa perawi hadis tersebut tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang maksud hadis, beliau mempersingkat riwayatnya dengan hanya menyebutkan bagian awal hadis ini. Akibatnya, si perawi membayangkan bahwa yang dimaksud dengan “Adam” di situ adalah bapak moyang manusia, dan bahwasanya kata ganti yang terdapat dalam kalimat ‘alâ shûratih kembali kepada Adam. Agaknya, kedua hadis di atas diriwayatkan dari Rasulullah Saw. sebagaimana halnya dengan yang terdapat pada hadis Imam Al-Ridha a.s. Namun, Rasulullah Saw. sesekali mengemukakannya tanpa menyebutkan awal hadis tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baqir a.s. secara singkat, dan pada kali lain mengemukakannya dengan menyertakan bagian awal dan pengantar hadis tersebut. Karena Imam Al-Ridha tahu bahwa perawinya kurang dapat memahami makna hadis ini, beliau mengisyaratkan pada hadis mulia yang diawali dengan pengantar tadi. Bukti untuk itu adalah bahwa sebagian dari riwayat tersebut memuat kalimat yang berbunyi “Shûrah Al-Rahmân” (Bentuk Tuhan Yang Maha Penyayang), sebagai ganti dari kalimat “shûratih”. Hadis ini tidak sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dalam 'Uyûn Al-Ridhâ, yang lafaz lahiriahnya menyatakan bahwa Rasulullah Saw. menyebutkan kalimat shûratih sebanyak dua kali.

Kalau pun kita asumsikan bahwa hadis di atas tidak berasal dari Rasulullah Saw., pengertiannya tetap dapat kita temukan dalam hadis-hadis lain, sebagaimana yang akan kami jelaskan di bawah nanti. Insya Allah. Sekarang, mari kita kembali pada penjelasan lafaz-lafaz hadis tersebut. Tentang lafaz “Adam”, Al-Jauhari mengatakan dalam Al-Shihah, bahwa asal katanya adalah A'dama, mengikuti pola af'ala. Kemudian, hamzah yang kedua diganti dengan alif, dan dalam penulisan harakat-nya alif tersebut diganti dengan wau. Bentuk jamaknya adalah Awâdim.

p: 777

Alasan mengapa bapak moyang manusia disebut dengan Adam adalah karena beliau (Nabi Adam) adalah orang yang berkulit kuning. Dalam ungkapan kebahasaan dikatakan, “Al-Adam min al-nâs: al-asmar” (Adam dari manusia: maksudnya adalah manusia berkulit kuning). Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa alasan penamaan tersebut adalah karena “Adam” berasal dari “adîm al-ardh”, yakni tanah yang ada di permukaan (debu).

Lafaz “alâ shûratih” (sesuai dengan bentuk-Nya): al-shûrah adalah gambar atau bentuk. Kita dapat mengatakan bahwa al-shûrah mempunyai arti luas yang di dalamnya terdapat hal-hal yang sama. Kesamaan tersebut adalah "kenyataan dan aktualitas sesuatu”. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu itu mempunyai aktualitas tertentu (karakteristik khas). Berdasarkan ini, sesuatu dapat disebut sebagai dzī al-shûrah (mempunyai bentuk, gambaran) dan karakteristik khas, yakni al-shûrah (sosok, gambar, bentuk). Pemakaian istilah "bentuk” (al-shûrah) dalam bahasa para filosof sebagai “hal-hal yang ada pada aktualitas sesuatu” tidaklah bertentangan dengan pengertian harfiahnya. Pengertian filosofis itu tidak bisa dikategorikan sebagai lawan dari pengertian teknis atau pengertian khususnya.

Syaikh Abu 'Ali Ibn Sina, pada bagian metafisika di Al-Syifa' mengatakan, “Shûrah (bentuk) adakalanya diterapkan untuk menunjukkan semua konfigurasi dan tindakan suatu objek, baik yang bersifat tunggal ataupun tersusun, sedemikian sehingga segenap gerakan dan aksiden (aradh, accident) objek itu disebut dengan shûrah. Shûrah (bentuk) juga dipakai untuk menunjukkan unsur yang mempertahankan keutuhan sesuatu secara aktual, sehingga pelbagai substansi intelektual

dan aksiden tidak bisa disebut sebagai shûrah (bentuk). Istilah shûrah juga terkadang diterapkan untuk unsur yang menyempurnakan ma- teri (mâddah), sekalipun unsur itu tidak mesti bersifat aktual, seperti halnya kesehatan atau tujuan yang diinginkan oleh sesuatu secara alamiah. Shûrah juga dipakai untuk merujuk pada spesies (nau), jenis (genus), diffrentia (faktor pembeda pada suatu spesies) atau pada semua makna itu secara univokal. Keuniversalan konsep universal yang

terdapat pada shûrah (bentuk) contoh-contoh partikular juga adakalanya disebut dengan shûrah (bentuk).(1)

p: 778


1- 5. Al-Syifa', jil. II dari bagian al-Ilahiyyat, h. 282.

Sesudah memahami penggunaan istilah shûrah, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian shûrah yang terkandung dalam berbagai contoh kasus yang saya kemukakan di atas ialah "aktualitas”. Artinya, "aktualitas” adalah makna utama kata shûrah dalam semua contoh pengggunaannya secara univok. Bahkan, Allah Swt. bisa dikatakan sebagai shûrah al-shuwar (aktualitas dari semua aktualitas). Kata isthafâhâ (memilih) dalam hadis di atas berasal dari shafwah (jernih, bersih, muri), dalam arti bahwa ia murni (bersih) dari segala kotoran dan noda. Dengan demikian, makna ishthafâ ialah mengambil yang bersih dan murni. Namun, Al-Jauhari dan ulama lainnya mengatakan bahwa ishthafâ berarti ikhtiyâr (memilih, menyeleksi), sebagaimana yang terlihat ketika mereka menafsirkan kata ishthafâ dengan ikhtiyar dalam kamus-kamus mereka. Namun, bagaimanapun, pendapat mereka itu termasuk dalam penjelasan kata berdasarkan makna yang diimplikasikannya. Sebab, ikhtiyâr dalam bahasa Arab juga berarti mengambil yang terbaik dan terutama (khair). Jadi, ikhtiyâr memang berpadanan dengan ishthafâ di alam realitas eksternal, tetapi keduanya tidak bersifat sinonim. Adapun yang dimaksud dengan Ka'bah adalah Ka'bah yang merupakan nama bagi Rumah Allah. Ia disebut dengan Ka'bah karena, menurut sebagian ulama, ia memperlihatkan bentuk kubus (mukaʻab) atau karena bentuk perseginya. Al-Mukaʻabbah, menurut para ahli geometri, adalah ruang yang berbatas enam bidang segi empat. Al-rüh (ruh), menurut para ahli kedokteran kuno, adalah ungkapan tentang uap halus yang muncul dalam jantung binatang akibat suhu darah. Disebut-sebut pula bahwa jantung (kalbu) mempunyai dua sisi: yang satu di sebelah kanan, yang memompa darah yang datang dari liver (al-kabd) menuju rongga. Karena suhu darah yang ada dalam jantung, darah tersebut menimbulkan uap. Uap tersebut mengalir ke rongga kedua yang terdapat di sebelah kiri dan secara halus mengalir dari detakan-detakan jantung. Dari sinilah, munculnya ruh binatang, yang mengalir di dalam urat-urat nadi yang diakibatkan oleh kontraksi jantung, sebagaimana yang dijelaskan di muka. Dengan demikian, sumber ruh binatang adalah jantung dan saluran-

nya adalah urat-urat nadi.

p: 779

Ruh yang muncul dari darah yang mengumpul dalam jantung dan yang mengalir ke seluruh nadi di atas disebut ruh alamiah. Al-rüh juga digunakan dalam peristilahan para filosof dalam arti ruh yang bersifat nafsiyah (kejiwaan) yang muncul dari otak dan mengalir lewat jaring-jaring syarat. Ia merupakan manifestasi dan tingkat rendahan dari ruh imateriil (al-ruh al-mujarrad) yang merupakan misteri dan terjadi karena perintah (amr) serta disebut dengan Ruh Allah sebagaimana yang diisyaratkan dalam firman-Nya yang berbunyi, Dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian dari Ruh-Ku (QS Al-Hijr (15): 29). Selanjutnya, kami akan menguraikan bahwa ruh ini berasal dari tiupan ilahi dan dipilih oleh Allah Swt. sehingga ia merupakan ruh pilihan-Nya.

Manusia adalah Manifestasi Sempurna dan Nama Teragung Allah Swt.

Point

Hendaknya diketahui bahwa para ahli makrifat dan pemilik kalbu (suci) mengatakan bahwa setiap nama dari nama-nama Ilahi mempunyai shûrah (bentuk) di tingkat kemahaesaan (wahidiyyah) yang merupakan penjelmaan (tajalli) dari pancaran paling suci yang berada di tingkat keilmuan-(Nya). Yang demikian itu terjadi melalui cinta Allah pada Zat-Nya sendiri dan penyingkapan kunci-kunci kegaiban yang tidak diketahui kecuali oleh-Nya. Shûrah tersebut, di kalangan para teolog, diungkapkan sebagai al-'ain al-tsâbitah (entitas yang tetap, tidak berubah), yang muncul pertama-tama dari terlaksananya tajalli melalui pancaran yang suci, yakni penampakan nama-nama, dan yang kedua--melalui penampakan nama-nama tersebut--terealisasikanlah bentuk-bentuk nama yang merupakan entitas-entitas yang tetap. Nama pertama yang muncul dan tampak pada Cermin-Nya melalui tajjalî keesaan dan pancaran yang suci, pada tingkat keilmuan yang bersifat kemahaesaan, adalah nama Yang Mahaagung dan menghimpun segala nama llahi, dan maqam yang disebut dengan “Allah”. Nama ini, dari segi sifatnya sebagai sesuatu yang gaib adalah tajalli itu sendiri, yang muncul dari pancaran yang suci. Dalam tajalli yang bersifat pemunculan, penampakan dan keterlihatannya merupakan maqâm himpunan yang bersifat kemahaesaan

p: 780

itu sendiri, yang juga dipandang sebagai entitas nama-nama yang berbilang. Penampakan nama universal dan bentuk (shûrah) adalah ungkapan tentang entitas yang tetap pada insan kamil dan hakikat Muhammadiyyah pada diri Nabi Saw. Demikian pula halnya bahwa fenomena tajalli yang hakiki dari pancaran yang suci adalah juga pancaran dari Yang Mahasuci, dan bahwasanya fenomena tajalli dari maqâm kemahaesaan merupakan maqâm Ilahiah. Selanjutnya, fenomena tajalli bagi hakikat insân kâmil yang tetap (tidak berubah) adalah Ruh Yang Mahaagung, dan bahwasanya seluruh maujud yang bersifat nama, keilmuan, dan entitas luar merupakan fenomena universal dan partikular dari hakikat-hakikat dan bentuk-bentuk luar, berdasarkan urutan penciptaan, yang tidak mungkin dapat kita bicarakan dalam kesempatan yang sangat terbatas ini. Untuk penjelasan lebih lanjut, kami persilakan pembaca menelaah buku kami yang berjudul Mishbâh Al-Hidayah.

Dari uraian yang telah kami kemukakan di atas, dapatlah kiranya diambil kesimpulan bahwa insân kâmil adalah fenomena dari nama-nama universal, sekaligus cermin tajalli-nya Nama Yang Agung, sebagaimana yang banyak diisyaratkan dalam Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Allah Swt. berfirman, Dan Allah mengajarkan kepada Adam, nama-nama seluruhnya, قال تعالی: وَ عَلَّمَ آدَمَ الأسْماءَ کُلَّها (QS Al-Baqarah (2): 31). Pengajaran Ilahi ini dilakukan oleh tangan-tangan Keindahan dan Keagungan yang dimasukkan ke dalam diri Adam melalui “kemabukan" total yang bersifat gaib, yang terjadi di hadapan kemahaesaan Allah, sebagaimana halnya dengan terjadinya pengajaran yang diberikan kepada Shûrah Adam dan sosoknya di alam fisik dan dalam fenomena yang bersifat fisik dan materi pula, dengan perantaraan munculnya tangan Yang Maha agung dan Mahaindah. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat pada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh إنَّا عَرَضْنَا الأمانَةَ عَلَی السِّمواتِ وَ الأرْضِ(QS Al-Ahzâb [33): 72). Amanat, menurut para ahli ‘irfan adalah wilayah (kewenangan ontologis) yang bersifat mutlak yang tidak layak dipikul kecuali oleh manusia. Wilayah mutlak ini adalah maqâm pancaran Yang Mahasuci.

p: 781

Hal ini diisyaratkan dalam Al-Quran melalui firman-Nya yang berbunyi, Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya کُلُّ شَیْ ءٍ هالِکٌ إلّا وَجْهَهُ (QS Al-Qashash (28): 88). Dalam Al-Kafi, diriwayatkan dengan sanad yang bersambung pada Aswad ibn Sa'id bahwa Imam Al-Baqir berkata, 'Kami adalah hujjah Allah, pintu Allah, Lidah Allah, Wajah Allah, dan karni adalah Mata Allah yang ada di dalam makhluk-Nya, dan kami adalah pemegang wewenang Allah (Wulât 'Amr Allah) di tengah hamba-hamba-Nya. (1) Dalam doa Al-Nudbah disebutkan, “Di manakah Wajah Allah yang kepada-Nya para wali menghadapkan diri? Di manakah perantara yang menghubungkan penghuni bumi dengan langit?”(2) Sementara itu, dalam doa Ziyârah Al-Jami'ah Al-Kabîrah mereka (Ahl Al-Bait yang maksum) dirujuk sebagai, “Contoh-contoh terbaik (al-matsal al-a-la)”. (3) Contoh terbaik dan Wajah Ilahi inilah yang disebut dalam hadis mulia yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.” Artinya, manusia adalah contoh terbaik Allah Swt., tanda kekuasaan-Nya yang paling besar, penampakan-Nya yang paling sempurna dan bahwasanya ia merupakan cermin bagi tajalli (penjelmaan) Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Ia merupakan “wajah”, “mata”, “tangan”, dan “sisi” Allah. Ia mendengar, melihat, dan memegang dengan-Nya, dan Allah melihat, mendengar, dan memegang melalui mereka.” Wajah Allah ini adalah nur (cahaya) yang disebutkan dalam firman-Nya yang berbunyi, Allah adclah cahaya langit dan bumi (QS Al-Nûr (24]: 35). Imam Abu Ja'far (Al-Baqir) a.s. mengatakan, sebagaimana diriwayatkan dalam Al-Kâfi dengan sanad yang bersambung pada Abu Khalid Al-Kamil, “Saya bertanya kepada Imam Abu Ja'far a.s. tentang firman Allah Swt. yang berbunyi, Berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan cahaya yang kami turunkan. Imam Abu Ja'far menjawab, 'Wahai Abu Khalid, demi Allah, yang dimaksud dengan cahaya tersebut adalah cahaya para Imam dari keluarga Muhammad Saw, hingga hari kiamat. Mereka, demi Allah, adalah cahaya yang diturunkan (Allah). Mereka, demi Allah, adalah cahaya Allah yang ada di langit dan di bumi.(4) Dalam Al-Kafi juga diriwayatkan dari Imam Al-Baqir a.s. --semoga Allah menjadikan ruh saya sebagai tebusannya-saat beliau menafsir-

p: 782


1- 6. Ushûl Al-Kafi jil. I, kitâb al-tauhid, bâb al-nawâdir, hadis ke-7.
2- 7. Mafatih Al-Jinan, Doa Al-Nadbah.
3- 8. Ibid.
4- 9. Ushúl Al-Kâfî jil. 1, kitab al-hujjah, bâb anna al-a'immah nûr Allah, hadis ke-1.

kan ayat Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar (QS Al-Naba' (78): 1-2), beliau mengatakan, “Berita besar itu adalah berita tentang Amir Al-Mukminin 'Ali ibn Abi Thalib. Dan Amir Al-Mukminin 'Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, 'Allah tidak mempunyai tanda (kekuasaan) yang lebih besar daripada aku dan Allah tidak mempunyai berita yang lebih besar daripada aku.”(1) Kesimpulannya, insân kâmil yang salah satu contohnya adalah Adam, bapak moyang manusia, adalah tanda kekuasaan paling besar dan manifestasi Al-Haqq. Ia merupakan metafor dan tanda kekuasaan Allah Swt. yang paling baik. Jalas bahwa Allah Swt. memang tidak memiliki serupa (mitsl) atau sekutu, tetapi seseorang tidak bisa menafikan adanya metafor bagi Zat Kudus-Nya. Allah berfirman, Dan bagi-Nya permisalan yang paling tinggi (QS Al-Rům [30]: 27). Segenap atom alam adalah ayat dan cermin tajalli Keindahan dan Keagungan Allah Yang Mahatinggi, walaupun semuanya sejalan dengan bentuk dan kapasitas eksistensial masing-masing. Namun, tidak ada sesuatu yang menjadi tanda bagi Nama “Allah" yang serba mencakup kecuali maujud yang serba mencakup dan tingkatan suci dari perantaraan (barzakh) terbesar, yang menjadi agung karena keagungan Tuhannya (jallat ‘azhamatuhu bi ‘azhamati Rabbihi). Allah menciptakan insân kâmil dan Adam yang pertama sesuai dengan shûrah-Nya yang serba mencakup (jâmi') dan menjadikannya sebagai cermin bagi seluruh Nama dan Sifat-Nya. Syaikh Al-Kabir mengatakan, “Maka muncullah segala nama yang ada dalam shûrah Ilahiah dalam perwujudan manusia, dan tercapailah tingkat keinklusiſan dan kemencakupan dengan wujud ini dan dengan itu tegaklah hujjah Allah atas para malaikat.” Dari uraian kami di atas, jelaslah sudah alasan Allah Swt. memilih shûrah serba inklusif manusia dari segenap bentuk entitas lainnya. Dengan begitu, menjadi jelas pulalah rahasia keutamaan yang diberikan Allah kepada Adam atas para malaikat, kehormatan Adam atas segenap maujud lain, dan penisbahan ruhnya kepada-Nya dalam ayat yang berbunyi, Dan Aku tiupkan ke dalamnya Ruh-Ku وَ نَفَخْتُ فیهِ مِنْ رُوحی(QS Al-Hijr (15): 29).

p: 783


1- 10. Ushul Al-Kâfî jil. I, Kitab Al-Hujjah, bâb anna al-âyât allatî dzakarahâ Allâh fi kitâbih, hadis ke-3.

Karena buku ini menuntut uraian singkat, kami tidak akan menjelaskan hakikat dan karakter tiupan Ilahiah itu dalam diri Adam serta sebab musabab terpilihnya Adam di antara segenap makhluk lainnya. Segala puji bagi Allah dari awal hingga akhir. []

p: 784

39 Hadis tentang kebaikan dan Keburukan

Point

ببالسّند المتّصل إلی رکن الإسلام، محمّد بن یعقوب الکلینیّ، رضوان الله علیه، عن عدّة من أصحابنا، عن أحمد بن محمّد بن خالد، عن ابن محبوب و علیّ بن الحکم، عن معاویة بن وهب، قال سمعت أبا عبد الله، علیه السّلام، یقول: إنّ ممّا أوحی الله إلی موسی، علیه السّلام، و أنزل علیه فی التّوراة: أنّی أنا الله، لا إله إلّا أنا. خلقت الخلق و خلقت الخیر، و أجریته علی یدی من أحبّ، فطوبی لمن أجریته علی یدیه. و أنا الله لا إله إلّا أنا. خلقت الخلق و خلقت الشر، و أجریته علی یدی من أریده، فویل لمن أجریته علی یدیه ،

Dengan sanad yang bersambung hingga Rukn Al-Islâm, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah melimpahkan ridha-Nya—dari sejumlah sahabat kami, dari Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, dari Ibn Mahjub dan 'Ali ibn Al-Hakam, dari Mu'awiyyah ibn Wahab yang mengatakan, “Saya mendengar Imam Abu `Abdillah a.s.

berkata, “Di antara yang diwahyukan Allah kepada Musa a.s. dan diturunkan kepadanya dalam Taurat adalah: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Aku telah menciptakan

p: 785

makhluk dan menciptakan kebaikan, lalu aku jalankan kebaikan tersebut di tangan orang-orang yang Kucintai. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang kebaikannya Aku jalankan pada tangannya. Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Aku telah menciptakan makhluk dan Kuciptakan pula keburukan, lalu Aku jalankan keburukan tersebut di tangan orang-orang yang Kukehendaki, maka celakalah orang yang Kujalankan keburukan tersebut di tangannya."(1)

Penjelasan

Kata ilâh berasal dari alaha-ilâhatan, mengikuti pola ‘anada-'ibâdatan. Bisa juga ilâha dengan mengikuti pola fial dengan arti maf'ül (objek), yakni Al-Ma'bûd (Yang Disembah), seperti kata “imam" yang mengandung arti ‘orang yang diikuti'. Ilâh adalah kata dasar, yang dari situ dibentuk kata “Allah”, dengan memasukkan alif dan lam, kemudian hamzan-nya dibuang agar menjadi ringan bacaannya. Sebagian ulama mengatakan bahwa alif dan lam tersebut dimasukkan sebagai ganti dari hamzah yang dibuang. Masing-masing pendapat di atas mempu nyai dalil kebahasaan yang tidak perlu kami sebutkan di sini. Al-ilâhiyyah dan al-ulûhiyyah lazimnya digunakan dalam peristilah- an para teolog dan ahli 'irfân, pada tataran tajalli (penampakan, penjelmaan) perbuatan, dan pada tingkat pancaran Yang Mahasuci. Mereka menyebut lafaz “Allah” dengan nama Yang Mulia (ism Al-Jalâlah), lazimnya dalam tataran Zat yang menghimpun semua sifat. Kadang-kadang, kata itu dipergunakan untuk makna-makna lain. Al-Ulûhiyyah dan Al-Ilahiyyah digunakan pada tingkat Zat, sedangkan “Allah” pada tingkat tajalli perbuatan dan pancaran Yang Mahasuci. Dalam hadis tersebut, Al-Ilah kemungkinan diartikan menurut pengertian bahasa yang biasa berlaku. Yakni “Aku cdalah Zat Yang Disembah dan tidak ada sembahan lain kecuali Aku.” Berdasarkan itu, dibatasilah penyembahan hanya kepada Allah Swt., baik atas dasar bahwa yang selain Allah itu memang tidak layak untuk disembah sekalipun orang lain melakukan kekeliruan dan melihatnya pantas disembah maupun berdasarkan pandangan para ahli makrifat yang

menyatakan bahwa ibadah-dalam bentuknya yang bagaimanapun-hanya mungkin ditujukan kepada Yang Sempurna secara mutlak

p: 786


1- 1. Ushủl Al-Kâfî jil. I, kitab al-tauhid, bâb al-khair wa al-syarr, hadis ke-1.

dan bahwasanya umat manusia sejalan dengan fitrah yang diberikan Allah kepada mereka selamanya mencari Keindahan mutlak itu, sekalipun manusia yang berstatus sebagai hamba tersebut terhijab dari fitrahnya dengan menganggap bahwa dia telah terikat dengan sesembahan selain Allah Swt. Barangkali juga, yang dimaksud dengan Al-ilâh, sejalan dengan penisbahan kebaikan dan keburukan kepada Allah yang terdapat pada bagian akhir hadis di atas, adalah maqâm ulůhiyyah, yang juga merupakan isyarat terhadap maqam tauhid al-af'al (pengesaan perbuatan Allah) dan yang diungkapkan oleh para filosof besar dengan, “Tiada yang berpengaruh (menentukan) dalam alam wujud kecuali Allah”, sebagaimana yang sebentar lagi akan kami jelaskan. Tentang kata al-khair (kebaikan), Al-Majlisi mengatakan dalam komentarnya atas bagian akhir hadis ini, bahwa al-khair dan al-syarr (kebaikan dan keburukan) dipergunakan untuk ketaatan dan kemak-

siatan, sebab-sebab dan motif-motifnya, dan makhluk-makhluk yang bermanfaat, semisal biji-bijian, buah-buahan, dan binatang yang dapat dimakan, serta untuk benda-benda yang berbahaya, semisal racun, ular, kalajengking, serta untuk kenikmatan dan malapetaka. Para pengikut mazhab Asy'ariyyah berpendapat bahwa semuanya itu (kebaikan dan keburukan) berasal dari perbuatan Allah Swt. Mu'tazilah dan Imâmiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Asy'ariyyah dalam persoalan perbuatan hamba (manusia). Mereka menakwilkan nashsh-nashsh yang berkaitan dengan Allah Swt. sebagai Pencipta kebaikan dan keburukan dengan dua makna yang berbeda. Selanjutnya Al-Majlisi mengatakan, “Sedangkan para filosof sebagian besar mengatakan tidak ada yang berpengaruh (menentukan)

dalam alam perwujudan kecuali Allah. Kehendak manusia dipersiapkan oleh Allah Swt. dalam bentuk perbuatan melalui tangannya. Pandangan ini sejalan dengan mazhab mereka dan sesuai pula dengan pandangan kaum Asy'ari, dan khabar-khabar ini mungkin saja diterima dengan cara taqiyyah.(1) Tentang pernyataan Al-Majlisi yang terdapat pada kutipan di atas yang berbunyi, “Sebagian besar filosof mengatakan bahwa 'Tiada

p: 787


1- 2. Mirât Al-'Uqúl, jil. 11, h. 172.

yang berpengaruh di alam wujud kecuali Allah", maka pernyataan ini sejalan dengan mazhab para filosof dan mazhab Asy'ariyyah. Kalimat yang berbunyi, “Tiada yang berpengaruh di alam wujud kecuali Allah" dipandang benar oleh sebagian besar filosof, bahkan seluruh filosof, dan ahli makrifat. Malahan, mereka mengatakan bahwa filosof yang tidak mengikuti pendapat ini tidak akan memiliki cahaya hikmah dalam lubuk hatinya dan tidak dapat merasakan adanya makrifat.

Namun, hal itu tidak mengandung pengertian bahwa kehendak hamba (manusia) termasuk dalam kategori hal-hal yang mempersiapkan (mengondisikan) perwujudan yang dilakukan oleh Allah Swt. dalam bentuk perbuatan sang hamba, sebagaimana yang dapat kita lihat secara jelas pada pandangan para cerdik pandai dan filosof. Sementara itu, pernyataan Al-Majlisi bahwa "(pendapat ini) sejalan dengan mazhab Asy'ariyyah” adalah tidak benar. Sebab, menghubung-

kan mazhab Asy'ariyyah dengan mazhab para filosof cukup ganjil, lantaran kedua mazhab tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Tidak ada seorang filosof pun yang tidak menentang dan berbeda pendapat dengan mazhab Asy'ariyyah.

Sedangkan, pernyataan beliau bahwa “Khabar-khabar ini mungkin saja diterima dengan cara taqiyyah” harus kami beri beberapa catatan berikut. Pertama, tidak ada perlunya memberi petunjuk (saran) seperti itu (untuk taqiyyah), sebab pengertian redaksional khabar-khabar (riwayat-riwayat) tersebut sesuai dengan pandangan yang benar dan didukung oleh bukti-bukti yang kuat. Kedua, riwayat-riwayat tersebut bersesuaian dengan banyak ayat Al-Quran Al-Karim Dengan demi-

kian, tidak ada artinya memberi petunjuk untuk menerapkan taqiyyah terhadap ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang saling bertemu itu. Ketiga, tidak terdapat riwayat lain yang bertentangan dengan riwayat-riwayat tersebut sehingga kita mesti menyikapinya dengan taqiyyah yang merupakan suatu cara yang diprioritaskan ketika menghadapi masalah-masalah yang saling berbenturan dan kontroversial. Sebab, disitu masih dimungkinkan mengompromikan riwayat-riwayat tersebut

dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa manusia adalah pelaku kebaikan dan keburukan. Keempat, riwayat-riwayat tersebut, menurut anggapan beliau, sejalan dengan mazhab Asy'ariyyah

p: 788

yang lazimnya tidak dianut oleh banyak orang (Syi'ah), sehingga tidak ada perlunya menyikapi riwayat-riwayat tersebut dengan taqiyyah. Kelima, prioritas taqiyyah saat kita berhadapan dengan dua riwayat yang bertentangan tidak berlaku bagi masalah akidah yang sedang kita bicarakan sekarang ini. Selanjutnya, ihwal kata thûbû (beruntunglah), Al-Jauhari mengatakan bahwa thâbâ mengikuti pola fu'là, dan kata ini berakar pada kata thayyib. Sejalan dengan dhammah yang ditempatkan pada thâ', maka ya-nya diganti dengan wau. Di dalam Majmâ” Al-Bahrain disebutkan bahwa thûbâ lahum berarti thayyib al-'îsy (kehidupan yang baik), dan disebut-sebut pula bahwa thúbâ berarti al-khair (baik) dan ketenteraman yang tinggi. Ada pula yang mengatakan bahwa thứbâ merupakan nama surga dalam bahasa India. Ada lagi yang mengatakan bahwa thûbâ merupakan nama pohon di surga. Juga, ungkapan thâbâ laka dan thûbûka dipergunakan dalam bentuk idzáfah pada dhamir mukhâthab (kata ganti orang kedua). Dalam sebuah riwayat yang diterima dari Nabi Saw. disebutkan, “Thâbâ adalah sebuah pohon dalam surga yang akarnya tertanam di rumahku, sedangkan cabang-cabangnya di rumah 'Ali. Ketika hal itu ditanyakan kepada Nabi Saw., beliau menjawab, “Rumahku dan rumah 'Ali berada di satu tempat di surga.(1)

Tentang kata wail (celakalah), Al-Jauhari mengatakan bahwa waih adalah kata yang mengandung konotasi rahmat sedangkan wail mengandung konotasi azab. Sementara itu, Al-Yazidi mengatakan bahwa kedua kata tersebut memiliki konotasi yang sama, misalnya engkau mengatakan, “Waih dan wail dengan dibaca rafa' (waihun dan wailun) sebagai mubtada', dan bisa pula dibaca nashab (waihan dan wailan) sebagai dhamîr fi'il seperti dalam kalimat alzama Allâhu al-waila.(2)

Beberapa Penjelasan Ihwal Kebaikan dan Keburukan dalam Penciptaan dan Masalah Qadhâ.

Hendaknya diketahui bahwa dalam ilmu-ilmu transenden ('ulüm aliyah) telah dibuktikan secara jelas bahwa sistem alam semesta ini benar-benar yang terbaik, dan merupakan jalinan kesempurnaan dan ketepatan, keindahan dan kebaikan dalam derajat yang tiada taranya. Salah satu bukti untuk itu adalah pembuktian yang sesekali bisa dila-

p: 789


1- 3. Majma' Al-Bahrain, judul Tsayyib.
2- 4. Majma' Al-Bahrain, judul Wail.

kukan secara deduktif dan kali lain bisa dilakukan secara induktif dan empiris. Pengetahuan yang mendalam tentang rincian hukum-hukum alam tersebut hanya ada pada Allah Swt. dan orang-orang yang memperoleh wahyu atau yang diberi informasi khusus oleh-Nya. Yang akan dilakukan dalam buku kecil ini hanyalah apa yang

telah disinggung terdahulu, yaitu bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kategori sempurna, indah, dan baik tidaklah mungkin keluar dari lingkaran Hakikat Wujud. Sebab, Dialah yang menjelmakan semua itu dan bukan yang selain-Nya. Adalah jelas bahwa sesuatu yang bertentangan dengan Hakikat Wujud adalah ketiadaan dan mâhiyah (bayangan mental) semata-mata. Kedua-duanya, sesuai dengan substansi dan dirinya, adalah tak bernilai (secara ontologis). la semata-

mata kebatilan (bukan hakikat) dan anggapan. Kedua-duanya tidak mempunyai ketetapan, kecuali jika keduanya bersuluh dengan Cahaya Wujud dan tertampakan dengan penampakan-Nya. Semua selain Wujud sama sekali tidak mempunyai ketetapan dalam Zat, sifat-sifat, dan tanda-tandanya.

Ketika yang selain Wujud itu memperoleh naungan di atas kepalanya dan mendapat sentuhan rahmat yang mahaluas pada wajahnya, jadilah keduanya sebagai sesuatu yang bersosok, memiliki sejumlah kekhususan, dan tanda (bagi wujudnya). Dengan demikian, segenap kesempurnaan itu merupakan hasil dari keindahan Yang Mutlak Indah dan tajalli cahaya suci Yang Mutlak Sempurna. Sedangkan maujud-maujud lainnya mengandung kehancuran dalam dirinya, membutuhkan sesuatu yang lain, dan mutlak tidak sempurna. Jadi, seluruh yang sempurna berasal dari dan kembali kepada Yang Wujud Mutlak. Pada bagian yang lain telah kami tegaskan pula bahwa Zat Yang Mahasuci adalah pusat wujud, tanpa terbatasi oleh suatu ketiadaan dan mâhiyah. Sebab, ketiadaan atau mâhiyah tidaklah muncul dari sesuatu. Semua keterbatasan yang berlaku pada pancaran adalah muncul dari penerima pancaran (al-mufadh) yang terbatas pula. Orang yang menelaah secara mendalam penjelasan para ahli makrifat perihal cara terjadinya pancaran dan pemancaran niscaya setuju bahwa adalah tidak mungkin membayangkan adanya keterbatasan

p: 790

dalam pancaran yang turun dari Tuhan Yang Mahaagung lagi Maha-tinggi. Sebagaimana halnya Zat Yang Mahasuci itu terbebas dari segala kekurangan, kemungkinan dan keterbatasan, adalah wajib pula bahwa pancaran Sang Mahasuci itu terbebas dari segala keterbatasan maujud mungkin (makhluk). Semua keterbatasan mengacu pada kekurangan dan ketidaksempurnaan mahiyah. Dengan demikian, pancaran-Nya yang juga merupakan naungan dari Keindahan Mutlak adalah pasti Mutlak Indah, Mutlak Sempurna, dan Mutlak Baik. Dia Mahaindah dalam Zat, Sifat, dan segenap perbuatan-Nya. Oleh karena itu, penciptaan dan pewujudan tidak bisa dikaitkan kecuali dengan Yang Niscaya Mewujud.

Pada pembahasan yang lalu telah pula kami tegaskan bahwa segenap keburukan, kekurangan, kebinasaan, penyakit, kerusakan, petaka, dan penyakit yang ada di alam fisik dan materi ini, termasuk yang ada di ruang kegelapan yang sempit, seluruhnya muncul dari pertentangan dan perbenturan yang terjadi di tengah-tengah maujud (makhluk). Pertentangan ini tidak mungkin muncul dari Pewujud semua maujud (Allah), tetapi berasal dari adanya kekurangan yang ada di dalam diri maujud, kesempitan dan keterkurungannya di suatu titik (perwujudan) tertentu. Semuanya itu mengacu pada keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang berada di luar Cahaya Penciptaan, bahkan hakikat semua itu bukanlah penciptaan Ilahi. Hakikat yang sejati adalah Cahaya yang bebas dan suci dari segala keburukan, cacat, dan kekurangan. Semua yang tidak sempurna, buruk dan kemudaratan, sekalipun secara dzâtiyyah bukan merupakan ciptaan (bentukan), melainkan sejalan dengan dalil yang kami kemukakan di atas—tetap merupakan ciptaan. Sebab, seandainya asal alam materi ini tidak teraktualkan, dan ia tidak berkaitan dengan penciptaan yang berasal dari Pencipta alam materi ini, niscaya tidak akan ada sesuatu yang disebut dengan ketidaksempurnaan dan keburukan, sekaligus juga tidak akan ada kebaikan, manfaat, dan kesempurnaan. Sebab, segala ketidaksempurnaan dan ketidakadaan tersebut bukan berasal dari ketiadaan mutlak, melainkan berasal dari sejenis peniadaan yang bersifat aksidental/relatif, yang terealisasikan dengan bentuk yang menyertai potensi. Premis ketiadaan yang bersifat aksi-

p: 791

dental/relatif merupakan proposisi ma'důlah atau proposisi proposisi afirmatif dengan predikat negatif (mûjabah sâlibah al-mahmûl), dan bukan proposisi eksistensial negatif (sâlibah muhashshalah). Singkatnya, segala sesuatu yang merupakan ciptaan dan dijadikan oleh Zat Allah Swt. adalah baik dan sempurna, dan sesungguhnya munculnya keburukan dan kemudaratan dalam qadha'Ilahi merupakan lanjutan dan terjadi kemudian. Ayat Al-Quran Al-Karim yang berbunyi, Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka ia dari dirimu sendiri (QS Al-Nisa' [4]: 79) mengisyaratkan pada maqâm yang pertama, yakni Yang Wujud itu merupakan sumber dari kebaikan dan kesempurnaan, sedangkan ayat yang berbunyi, Katakanlah bahwa semuanya itu berasal dari Allah (QS Al-Nisa' [4]: 78) mengisyaratkan pada maqâm yang kedua, yakni penciptaan substansial, dan keburukan serta ketidaksempurnaan itu dijadikan secara aksidental. Dalam banyak ayat Al-Quran dan hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahl Al-Bait yang ma'shûm terdapat pelbagai isyarat tentang kedua bentuk ungkapan tersebut. Di antara riwayat dan hadis tersebut, ada yang memuat kalimat yang berbunyi, “Aku telah menciptakan makhluk, dan Aku telah pula menciptakan keburukan."

Allah Menjalankan Kebaikan dan Keburukan di Tangan Hamba-Nya

Sesudah merenungkan penjelasan dan uraian di atas, kiranya menjadi jelaslah bagi para cerdik pandai perihal bagaimana Allah Swt. menjalankan kebaikan dan keburukan di tangan hamba-hamba-Nya, tanpa mengharuskan adanya keterpaksaan (al-jabr) dan akibat-akibatnya yang batil. Kajian mendalam atas masalah ini mengharuskan adanya pengantar yang cukup banyak yang disertai pula dengan paparan sepintas tentang sejumlah aliran filsafat. Buku kecil ini sama sekali tidak mungkin memuat paparan yang luas itu. Oleh karena itu, kami mohon maaf jika dalam buku ini tidak diberikan penjelasan terperinci. Namun, kami akan mengemukakan uraian singkat yang sejalan

dengan kapasitas buku ini.

p: 792

Hendaknya diketahui bahwa adalah tidak mungkin bahwa akan ada maujud (makhluk) yang bebas dalam melakukan suatu perbuatan, kecuali sesudah Al-Mújid (Yang Mewujudkan) dan Yang Bertindak melakukan penutupan terhadap seluruh pintu ketiadaan yang kadang-kadang dibukakan terhadap suatu ma'lül (akibat). Misalnya, untuk terwujudnya suatu ma'lûl dibutuhkan seratus syarat, sedangkan 'illah (penyebab) hanya bisa memenuhi sembilan puluh sembilan syarat. Artinya dengan menutup sembilan puluh sembilan pintu ketiadaan yang terbuka bagi maujûd yang ma‘lal, (wujudnya bergantung pada 'illah) tersebut, sebab dengan tidak terpenuhinya seluruh syarat tersebut berarti tidak akan ada ma'lül, dan masih tertinggal satu pintų, maka 'illah tersebut tidak menjadi 'illah yang berdiri sendiri

dalam mewujudkan ma'lül. Kebebasan (kemandirian) dalam kausalitas bergantung pada adanya 'illah yang menutup pintu-pintu ketiadaan yang dapat dibuka oleh ma'lül, yang pada akhirnya menjadi tertutup sehingga yang ma'lul tersebut sampai pada batas niscaya mewujud, agar dia bisa menjadi maujûd (ada, terwujud) sebenar-benarnya. Sebab, sesuatu yang tidak niscaya mewujud pasti tidak akan mewujud. Sebagaimana yang telah diketahui melalui bukti-bukti yang tak

terbantahkan, kekuatan efektif yang lahir maupun yang batin yang ada pada semua yang mumkin (makhluk) yang ada di alam semesta ini, sejak dari alam jabarût yang agung dan alam malakút yang tinggi sampai dengan penghuni alam benda dan materi ini, tidak mungkin dapat melakukan perbuatan seperti itu. Sebab, ketiadaan yang mula-mula sekali terbuka bagi sesuatu yang ma‘lül adalah ketiadaan ma'lül di saat tiadanya 'illah yang efektif dan berpengaruh (bagi mewujudnya

ma'lül). Tidak pernah ditemukan dalam rangkaian benda-benda yang wujudnya bersifat mungkin (al-mumkinát), suatu maujud yang dapat menutup pintu tersebut dengan dirinya sendiri. Sebab, jika tidak begitu, kemustahilan berbaliknya yang mumkin al-wujûd menjadi wâjib al-wujûd dengan dirinya sendiri. Keluarnya yang mumkin dari batas-batas wilayah imkân (kemungkinan) secara rasional jelas mustahil. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kemandirian dalam mewujudkan (sesuatu) mengharuskan adanya kemandirian dalam

p: 793

wujud, dan yang demikian itu tidak mungkin bisa terealisasikan di alam mumkinât (makhluk, benda-benda). Juga menjadi jelas bahwa adalah tidak mungkin terjadi pancaran dalam mewujudkan (sesuatu) dalam kondisi kewujudan benda-benda yang bagaimanapun dan bagi maujud yang mana pun. Ketiadaan kemungkinan ini, tidak sekadar khusus pada orang-orang mukallaf dan perbuatan-perbuatan mereka saja sebagaimana yang dipahami dari makna pengkhususan yang berlaku di kalangan para teolog. Namun, penelaahan yang mendalam terhadap pendapat-pendapat mereka dalam bidang-bidang yang berbeda, menyimpulkan bahwa

tiadanya kemungkinan tersebut berlaku umum pada orang mukallaf, perbuatan-perbuatan mereka, dan sebagainya. Karena para ahli ilmu kalâm telah menaruh perhatian pada masalah perbuatan orang mukallaf, dan menjadikan hal itu sebagai pusat kajian mereka, kita temukan bahwa kajian-kajian mereka juga bergerak

seputar perbuatan orang mukallaf. Kesimpulannya, kita tidak akan mendekati perbincangan para teolog, tetapi kita mencoba mencari pendapat yang benar dalam masalah yang kita hadapi dan telah jelas pula akan tidak mungkin terjadi pancaran dalam masalah yang mana pun dan bagi benda-benda maujud apa pun.

Kekeliruan Paham Al-Jabr (Keterpaksaan)

Kita akan segera mengetahui kekeliruan pandangan al-jabr (keterpaksaan) sesudah kami mengemukakan pandangan tersebut. Yakni, bahwasanya tidak ada peranan bagi perantara yang bersifat wujud dalam penciptaan makhluk dan benda-benda yang ada di alam semesta. Kalau pun ada, hal itu merupakan anggapan manusia belaka. Contohnya adalah bahwa api selamanya tidak menimbulkan dan menciptakan panas. Yang ada ialah berlakunya sunnatullâh yang menciptakan panas seiring dengan adanya api, yang di situ api tidak berperan apa pun. Kalau sekiranya sunnatullâh yang berlaku adalah munculnya dingin seiring dengan adanya api, urusannya tidak akan berbeda dari apa yang ada sekarang ini. Jadi, kesimpulannya adalah

p: 794

bahwa Allah Swt., tanpa perantaraan apa pun, secara langsung menciptakan perbuatan orang mukallaf dan pengaruh benda-benda. Para penganut paham al-jabr menganggap bahwa mereka menganut mazhab ini agar mereka dapat membebaskan dan menyucikan Allah Swt. agar “tangan" Allah tidak terbelenggu: Sesungguhnya yang terbelenggu adalah tangan mereka, dan mereka terkutuk (QS Al-Ma'idah (5): 64). Malangnya, pembebasan dan penyucian seperti ini justru

mengharuskan terjadinya ketidaksempurnaan dan tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, antropomorfisme), sebagaimana yang telah dibuktikan oleh berbagai dalil yang tak terbantah, dan sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli 'irfân. Sementara itu, paham tafwidh (pelimpahan) mengharuskan terjadinya ta'thil (ketidakberperanan Tuhan), sebagaimana yang telah kami jelaskan terdahulu, saat kami mengatakan bahwa Allah Swt. adalah Mutlak Sempurna, dan merupakan wujud yang sebenar-benarnya. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan tidak mungkin bisa diba- yangkan ada pada Zat dan Sifat-Nya. “Tempat” bergantungnya pewujudan dan penciptaan-Nya adalah wujud-Nya Yang Mutlak dan pancaran yang suci dan bersifat mutlak pula. Tidaklah mungkin muncul

suatu maujud yang terbatas dan tidak sempurna dari Zat Allah Yang Mahasuci, dan tidak mungkin pula ia muncul dari yang tidak sempurna dalam pewujudannya. Maujud yang terbatas dan tidak sempurna, merupakan hasil dari ketidaksempurnaan dalam diri ma'lül dan yang memancar. Hal ini tidak bertentangan dengan Pelaku Yang Berkehendak, sebagaimana yang diduga oleh para teolog. Masalah ini telah kami buktikan pada bagian terdahulu. Sesuatu maujud dan ma'lül yang dapat dikaitkan secara langsung dengan Zat Yang Mahasuci adalah maujud yang mutlak dan jelas wujudnya, yaitu kalau bukan Pancaran Yang Mahasuci, menurut peristilahan para ahli 'irfân, tentunya adalah akal murni (Al-'Aql Al-Mujarrad) atau cahaya Yang Mulia (Al-Nûr Al-Syarif), menurut istilah para filosof dan

ahli hikmah. Sedangkan wujud-wujud lainnya merupakan wujud-wujud yang diciptakan melalui perantaraan dan tidak secara langsung.

p: 795

Dengan kata lain, wujud-wujud itu bermacam-macam bentuknya apabila dilihat dari segi penerimaan wujudnya. Sebagian di antaranya ada yang menerima wujud dalam bentuk yang mula-mula dan mandiri, misalnya jauhar. Sebagian lainnya tidak menerima wujud kecuali sesudah adanya wujud yang lain dan merupakan kelanjutan dari wujud yang lainnya, misalnya, aksiden ('aradh) dan berda-benda yang wujudnya lemah, seperti berbicaranya Zaid, yang tidak mungkin terjadi kecuali sesudah Zaid ada. Yang juga termasuk kategori wujud yang kedua adalah aksiden-aksiden dan sifat-sifat yang suatu wujud tidak mau terjadi tanpa wujudnya jauhar dan maushuf (sesuatu yang disifati). Ia tidak mau muncul dengan sendirinya. Karena penolakan tersebut muncul dari ketidaksempurnaan substansial (dzâtî) dan ketidaksempurnaan perwujudan yang ada dalam diri maujud tersebut, dan bukan merupakan akibat dari ketidaksempurnaan pembuatnya

dan perwujudan Zat Yang Mahatinggi, menjadi jelaslah bahwa paham keterpaksaan (al-jabr) dan penafian perantaraan perwujudan, tidaklah mungkin terjadi pada rangkaian benda-benda yang maujud, tetapi harus ada perantaraan-perantaraan dalam pewujudannya. Bukti yang sangat kuat tentang kekeliruan paharn al-jabr adalah bahwa mâhiyah itu mempunyai sifat ketiadaan dalam dirinya, yang berpengaruh dan dipengaruhi, dan bukan merupakan bentukan dalam substansi. Sementara itu, Hakikat Wujud Yang Sejati merupakan sumber pengaruh, dan bahwasanya peniadaan pengaruh darinya secara mutlak akan mengakibatkan terjadinya kebalikan substansial. Artinya, akan terjadi peniadaan pengaruh dari dan terhadap dirinya, dan itu merupakan ungkapan dari tiadanya pengaruh. Dengan demikian, terjadinya tingkat-tingkat wujud yang tidak berpengaruh dan tidak memiliki pengaruh, secara menyeluruh, adalah tidak mungkin, sekaligus mengharuskan terjadinya peniadaan sesuatu dari zatnya, tetapi ia terpengaruh dan terwujud melalui berbagai perantaraan dan martabat (tingkatan).

Singkatnya, paham tafwidh (pancaran, pelimpanan) dan al-jabr merupakan hasil dari pembuktian yang pasti, dan dari analogi-analogi rasional yang kedua-duanya keliru dan ditolak. Sedangkan paham al-amr baina al-amrain (sesuatu di antara dua sesuatu) yang dikem-

p: 796

bangkan oleh para filosof dan ahli makrifat merupakan pandangan yang benar. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian al-amr baina al-amrain ini. Pendapat yang benar-benar meyakinkan dan jauh dari perdebatan, serta lebih dekat dengan tauhid, adalah pandangan para ahli makrifat dan ahl al-qulüb. Namun, metode para ahli makrifat dalam semua masalah yang ada dalam pengetahuan ketuhanan, adalah tergolong “gampang-gampang sulit”. Sebab, ia tidak mungkin dipahami berdasarkan penelitian dan pembuktian rasional dan tidak mungkin dicapai tanpa ketakwaan yang sempurna dan pertolongan Ilahi. Oleh karena itu, kami serahkan persoalan ini kepada ahlinya, yaitu para wali Allah, dan mari kita tempuh metode kawan-kawan kita di bawah ini dalam mengkaji masalah tersebut. Kita menolak, baik terhadap paham al-tafwidh yang merupakan pernyataan dari kemandirian maujud dalam berpengaruh, dan al-jabr dalam pengertian tiadanya pengaruh pada sesuatu yang maujud. Kita meyakini manzilah baina al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) yang merupakan pengakuan terhadap adanya pengaruh, seraya menafikan kemandirian pengaruh tersebut. Posisi perwujudan, tidak berbeda dari wujud dan sifat-sifatnya. Sebagaimana halnya dengan benda-benda yang maujud dan mereka tidak mandiri dalam perwujudannya, dan bahwasanya sifat-sifat tersebut terdapat padanya, tetapi bukan merupakan suatu yang berdiri sendiri, dan bahwasanya pula pengaruh dan perbuatan itu ada padanya dan muncul darinya, tetapi tidak mempunyai kemandirian dalam wujudnya, maka seperti pula halnya pelaku dan pewujud, yang melakukan dan mewujudkan, tetapi tidak memiliki kemandirian dalam tindakan dan pewujudannya.

Haruslah diketahui bahwa sesudah kita renungkan penjelasan-penjelasan pada pasal-pasal terdahulu, menjadi jelaslah sekarang bahwa semua kebaikan dan keburukan itu bisa dinisbahkan, baik kepada Allah Swt. maupun kepada makhluk. Oleh karena itu, Imam a.s. mengatakan dalam hadis tersebut bahwa Allah berfirman, Aku telah menciptakan kebaikan dan menjalankannya di tangan orang yang

p: 797

Aku sukai. Oleh karena itu, berbahagialah orang yang Aku jalankan kebaikan tersebut di tangannya. Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Aku telah menciptakan makhluk, dan Aku ciptakan pula keburukan, lalu Aku jalankan keburukan tersebut di tangan orang yang Aku kehendaki. Kendati demikian, penisbahan kebaikan kepada Allah adalah dalam bentuk zat, sedangkan penisbahannya kepada makhluk adalah dalam bentuk aksiden. Sementara itu, penisbahan keburukan kepada makhluk lainnya dalam bentuk zat. dan penisbahannya kepada Allah Swt. dalam bentuk aksiden. Pengertian seperti ini diisyaratkan oleh sebuah hadis qudsi yang berbunyi, "Wahai anak Adam, Aku lebih patut daripadamu terhadap kebaikan-kebaikanmu, dan engkau lebih patut daripada-Ku terhadap keburukan-keburukanmu.” Pada bagian yang lalu, pengertian ini telah kami kemukakan. Oleh karena itu, tidak perlu kiranya untuk kita ulang lagi di sini. Segala puji bagi Allah dari awal hingga akhir.[]

p: 798

40 Hadis tentang Tafsir Surah Al-Tauhid dan Ayat-Ayat Pertama Surah Al-Hadid

Point

بالسّند المتّصل إلی الشّیخ الأقدم و الرّکن الأعظم، محمّد بن یعقوب الکلینیّ. رضی الله عنه، عن محمّد بن یحیی، عن أحمد بن محمّد، عن الحسین بن سعید، عن النّضر بن سوید، عن عاصم بن حمید قال قال: سئل علیّ بن الحسین، علیهما السّلام، عن التّوحید. فقال: إنّ الله عزّ و جلّ علم أنّه سیکون فی آخر الزّمان أقوام متعمّقون، فأنزل الله تعالی: «قُلْ هُوَ الله أَحدٌ.» و الآیات من سورة «الحدید» إلی قوله: «و هو علیم بذات الصّدور.» فمن رام وراء ذلک فقد هلک

Dengan sanad yang bersambung pada Syaikh Al-Aqdam dan Al- Rukn Al-Aʻzham, Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini-semoga Allah melimpahkan ridha-Nya kepada beliau—dari Muhammad ibn Yahya, dari Ahmad ibn Muhammad, dari Al-Husain ibn Sa'id, dari Al-Nadhar ibn Suwaid, dari 'Ashim ibn Humaid yang mengatakan, “Aku bertanya kepada 'Ali ibn Al-Husain a.s. tentang tauhid. Kemudian beliau menjawab, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengetahui bahwasanya di akhir zaman akan ada beberapa kalang-

p: 799

an yang berpikiran mendalam (al-muta'ammiqûn), maka Allah Taala menurunkan Qul Huwa Allâhu Ahad (Katakanlah, 'Dialah Allah Yang Maha Esa') dan beberapa ayat dari Surah Al-Hadîd hingga firman-Nya yang berbunyi, Dan Dia Mahatahu terhadap isi hati. Barang siapa yang mencari yang ada di balik itu (yang selain itu),

maka sungguh celaka dia.(1)

Penjelasan

Al-Shadr Al-Muta'allihin (Mulla Shadra)—semoga Allah menyucikan jiwanya-mengatakan bahwa perawi yang bernama 'Ashim ibn Humaid tidak pernah melihat langsung Imam Al-Sajjad a.s. sebab dia tidak hidup sezaman dengan beliau. Dengan demikian, hadis ini bukan hadis musnad, melainkan hadis marfü”.

Diulangnya lafaz qala (dia berkata) dalam hadis yang mulia ini, kemungkinan dimaksudkan untuk memastikan peristiwa yang terkandung dalam hadis tersebut, atau karena terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh para penyalin dan penulis-(nya). Atau, mungkin juga karena disebutkannya fâ'il (subjek) bagi fi'l (kata kerja, dalam kalimat tersebut, tetapi ia terlewat saat penulisannya. Kemungkinan yang lain adalah bahwa fā'il-nya dibuang. Sebab, membuang (tidak menyebutkan) sesuatu yang telah diketahui memang diperbolehkan. Kemungkinan yang lain lagi adalah bahwa fâ'il yang pertama merupakan dhamîr (kata ganti) yang kembali kepada Nadhar ibn Suwaid. Namun, kemungkinannya sangat jauh.

Tentang kata al-tauhid. Al-Tauhid, mengikuti pola taf'il, yang kemungkinan dimaksudkan untuk memberikan penegasan tentang keesaan. Artinya, untuk menunjukkan suatu hal yang sangat penting, menegaskan keesaan dan kesederhanaan (wujud-Nya). Atau, untuk menghubungkan maf'úl (orang yang menjadi objek perbuatan) kepada fil, misalnya, al-takfir dan al-tafsîq. Sebagian ulama terkemuka berpendapat bahwa lafaz yang termasuk dalam kelompok pola taf'il tidak

pernah digunakan untuk menghubungkan mafül (objek penderita) dengan fi'l (kata kerja), dan bahwasanya penggunaan al-takfir dan al-tafsiq dengan makna seperti itu juga keliru. Yang benar adalah bahwa al-takfir dan al-tafsîq mengandung arti ajakan untuk kafir dan

p: 800


1- 1. Ushủl Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb al-nisbah, hadis ke-3.

fasik. Untuk itu, harus digunakan lafaz al-akfâr (yang amat kafir) guna menggantikan lafaz al-takfir sehingga bisa dilakukan penisbahan (hubungan) maffal kepada fi'l. Penyusun Al-Qâmûs tidak pernah menggunakan judul al-kufr untuk al-takfir dengan ari penisbahan kepada kekafiran.

Penulis tegaskan: saya tidak pernah menemukan dalam kitab Al-Qâmûs penggunaan lafaz al-takfir untuk penisbahan pada kekufuran. Bahkan, Al-Jauhari yang merupakan 'allamah di kalangan para ahli bahasa tidak pula pernah menggunakan lafaz al-takfir dalam penisbahan pada fi'l. Namun, beliau menggunakan lafaz al-akfâr untuk penisbahan, seperti yang beliau katakan. Namun, yang terlihat dalam kitab-kitab sastra adalah bahwa salah satu makna yang terdapat dalam kelompok kata al-taf'il adalah penisbahan pada fi'l, yang untuk itu mereka menunjuk lafaz al-tafsig sebagai contoh. Namun, bagaimanapun, al-tauhid mengandung pengertian penisbahan pada keesaan. Al-muta'ammiqûn—yang berakar pada al-'amaq dan al-'umq (kedalaman sumur) adalah orang-orang yang mendalami sesuatu. Karena

adanya ungkapan ini, para ahli fisika menganggap al-'umą (dalam, tinggi) sebagai dimensi ketiga yang terdapat pada benda. Artinya, jarak yang menghubungkan dua titik puncak dan dasar, sebagaimana halnya dengan dimensi pertama, yaitu panjang dan dimensi kedua, yaitu lebar. Berdasarkan ungkapan ini, mereka memberi sifat kepada manusia yang memiliki pendapat yang brilian sebagai al-muta'ammiq (orang yang berpikiran mendalam). Sedangkan terhadap pemikir

yang tidak mendalam, mereka menyebutnya dengan ghair 'amîq, seakan-akan kajian-kajian ilmiah juga terdapat pendalaman dan penggalian. Sebab, orang yang berpikiran mendalam melakukan pendalaman dan penggalian, lalu mengeluarkan berbagai kebenaran dari kedalaman. Sedangkan kalangan awam pada umumnya hanya berada di permukaan yang dangkal, tanpa mau bersusah-susah melakukan pendalaman. Fa man râma (barang siapa yang mencari): râma-yarûmu artinya

mencari (al-thalab), dan al-murâm digunakan dengan arti al-mathlüb (yang dicari).

p: 801

Warâ'a dzâlik (di belakang itu): Warâ’a berarti belakang', dan kadang-kadang digunakan dengan arti al-amâm (depan). Dengan demikian, kata ini termasuk dalam kategori al-adhdhâd (satu kata yang mengandung kemungkinan dua arti yang bertentangan). Namun, dalam pembahasan kita ini, kata itu digunakan dengan arti yang pertama.

Isyarat tentang Tafsir Surah Al-Tauhid

Hendaknya diketahui bahwa tafsir surah yang penuh berkah ini, yakni Surah Al-Tauhid, dan ayat-ayat pertama Surah Al-Hadîd, terlalu besar untuk dibahas oleh orang sekapasitas diri kita dan terlalu besar pula untuk kita jangkau dengan pikiran dan akal kita. Adalah di luar tugas kita untuk memasuki medan penafsiran ayat-ayat tersebut. Sejujurnya, dapatkan orang seperti saya dibenarkan untuk menafsirkan ayat-ayat yang diturunkan Allah kepada orang-orang tertentu yang memiliki pemikiran mendalam dan para ulama yang ahli dalam bidang ini?

Dalam Tafsir Al-Burhân disebutkan bahwa Imam Al-Baqir a.s., sesudah menjelaskan huruf-huruf yang terdapat dalam lafaz al-shamad, mengatakan, “Sekiranya aku menemukan orang untuk memikul ilmu yang diberikan Allah kepadaku, niscaya aku akan menyebarkan tauhid, Islam, keimanan, agama dan syariat (hanya) dengan (penjelasan) makna al-shamad.(1)

Tentang kekhususan ayat-ayat pertama Surah Al-Hadid, filosof besar Shadr Al-Muta’allihin mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa tiap-tiap ayat dari keenam ayat yang diisyaratkan dalam hadis ini memuat ilmu yang sangat banyak tentang tauhid dan ulühiyyah (ilmu ketuhanan), dan mengandung banyak sekali ilmu al-shamadiyyah dan rubübiyyah. Kalau sekiranya waktu mendukung dan zaman membantu dengan memberikan seorang ‘arif dan rabani, atau seorang ahli hikmah (hâkim) Ilahi, yang memperoleh ilmunya dari misykât (kendil) kenabian Muhammad Saw. dan membentuk filsafatnya dari hadis-hadis Ahl Al-Bait yang suci, semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka, niscaya merupakan kemestian bagi 'arif atau ahli hikmah tersebut dan merupakan hak ayat-ayat tersebut untuk dibuat-kan berjilid-jilid tafsir yang seluas-luasnya atas tiap-tiap ayat tersebut."

p: 802


1- 2. Tafsir Al-Burhân, jil. IV, h. 526.

Singkatnya, orang seperti saya sama sekali tidak termasuk dalam kategori itu. Namun, akal menetapkan (prinsip) bahwa kesulitan tidak boleh membuat kita abai atas yang mudah (untuk diperbincangkan dan dipahami). Oleh karena itu, tidak bisa tidak, harus dipaparkan sejumput uraian yang diambil dari ilmu para ulama besar, kitab-kitab para ahli makrifat, dan pelita cahaya hidayah, yakni ilmu para Imam Ahl Al-Bait yang ma'shûm. Menurut pandangan para ahli 'irfân, basmalah yang ada pada setiap surah tertuju pada surah itu sendiri dan bukan untuk ekspresi "Aku memohon pertolongan dengan Nama Allah” atau yang sejenisnya. Karena, Nama "Allah" sesungguhnya merujuk kepada totalitas Kehendak Ilahi pada ranah manifestasi (zhuhûr) dan tingkat Pancaran Paling Suci (faidh aqdas) pada ranah penyingkapan (tajalli) Kemahaesaan (ahadiyyah). Inilah tingkat yang menghimpun Nama-Nama Ilahi (al-jam' al-ahadî li al-asmâ') pada ranah (siſat) wahidiyyah dan keseluruhan alam raya (kaun) pada ranah Kemahaesaan inklusif-yakni, himpunan objek alam secara inklusif dan tingkat-tingkat wujud dalam tatanan vertikal dan horizontal serta masing-masing entitas objektif di dataran horizontal.

Berdasarkan itu, makna “Allah” berbeda sejalan dengan perspektif di atas, mengingat “Allah” merupakan rujukan dan Musamma (Penyandang) semua Nama tersebut. Jadi, basmalah bervariasi dalam tiap surah Al-Quran sebagai teks yang memanifestasikan makna-makna di baliknya. Bahkan, makna basmalah bisa bervariasi sejalan dengan perbedaan tindakan yang dimulai dengan ucapan basmalah.

Orang yang memiliki makrifat tentang pelbagai manifestasi Nama-Nama Ilahi dapat mengamati dan menyadari bahwa seluruh karya, tindakan, objek, dan aksiden yang ada termanifestasikan dan terealisasikan berkat Nama Teragung (al-ism al-a'zham) dan Kehendak MutlakNya. Karena itu, setiap kali ia hendak melakukan dan membuat sesuatu, dalam kalbunya orang 'ârif itu akan mengingat Nama Teragung dan menyebarkan-Nya ke ranah alam fisik dan tubuhnya dengan mengucapkan bismillâh. Artinya, “Aku makan, minum, menulis, dan mengerjakan ini dan itu ...." dengan perantara Kehendak Mutlak Pemilik maqam Kepengasihan (Rahmâniyyah)-yang ditandai dengan pem-

p: 803

bentangan alam raya-dan maqâm Kepenyayangan (Rahimiyyah) - yang ditandai dengan penyempurnaan alam raya. Atau, “Aku makan, minum, menulis, dan mengerjakan ini dan itu ..." dengan perantara Pemilik maqâm Kepengasihan yang menyeluruh, baik dalam manifestasi eksoterik (tajalli bi al-zhuhûr) dan pembentangan wujud (bast al-wujúd) ataupun Pemilik maqâm Kepenyayangan dalam manifestasi esoterik (tajallî bi al-bathin) dan penyempitan wujud (qabdh al-wujûd). Maka dari itu, di satu sisi, pesuluk dan ‘arif tentang Allah akan melihat segala tindakan dan maujud sebagai manifestasi Kehendak Mutlak dan meleburnya Kehendak itu dalam semua hal. Melalui kaca mata ini, sifat Keesaan Ilahi medominasi segala-galanya, sehingga hamba melihat bismillâh dalam semua surah Al-Quran, tindakan dan kerja mempunyai makna yang sama. Pada sisi lain, saat hamba menoleh ke alam pemisahan dan pembedaan, alam plural yang berbilang, dia

akan melihat bahwa bismillah di awal setiap surah dan tindakan memiliki makna yang berbeda satu dan lainnya.

Sekarang, dalam menafsirkan Surah Al-Tauhid ini, kita dapat menjadikan bismillah berkaitan dengan "Qul” (“Katakanlah”) yang merupakan kalimat setelahnya dalam Surah Al-Tauhid tersebut. Atas dasar itu, makna bismillah dalam perspektif tajrid (pemurnian) dan dominasi tauhid (pengesaan) mengacu kepada Kehendak Mutlak Allah Swt., sedangkan dalam perspektif multiplisitas (eksistensial) dan perhatian hamba pada yang multipel itu, makna bismillâh mengacu pada segenap rincian determinasi (ta'ayyunât) yang berporos pada Kehendak Mutlak-Nya.

Kemudian, dalam perspektif penggabungan dua maqam itu sekaligus—yang disebut dengan tingkat barzakh yang agung (maqam al-barzakhiyyah al-kubra) —maka maksudnya adalah tingkatan penyatuan Keesaan dengan keberbilangan, tingkatan penampakan eksoterik (al-zhuhûr) dan esoterik (al-buthûn) dan tingkatan Kepengasihan dan Kepenyayangan (dalam arti kedua) secara berbarengan. Karena, ayat Katakanlah, “Dialah Allah Yang Maha Esa,” menyatukan Kemahaesaan

yang gaib (transenden) dan ulûhiyyah Nama-Nama llahi (yang nyata), sehingga maksud bismillah di sini adalah perspektif ketiga, yaitu perspektif barzakh yang agung.

p: 804

Pada gilirannya, turun perintah dari maqâm Kemahaesaan yang gaib kepada kalbu Baginda Muhammad yang ahadî dan ahmadî sebagai berikut, “Katakanlah! sesuai dengan ranah barzakh agung (al-barzakhiy-yah al-kubra) yang merupakan manifestasi Nama "Allah", Kehendak Mutlak dan Pemilik semua manifestasi yang terbatas (determined), bergabungnya ke-Rahmân-an Ilahi dalam ke-Rahim-an dan pembentangan (alam fisik-eksoteris) dalam penyempitan (alam nonfisik-esoterik)."

"Huwa" (Dialah), merupakan isyarat pada maqâm ke-Dia-an yang Mutlak, tanpa bisa diperikan oleh salah satu Sifat atau digambarkan oleh Nama yang mana pun, termasuk Nama-Nama Dzâtiyyah yang dianggap sebagai maqam Kemahaesaan. Adalah tidak mungkin bahwa isyarat ini datang dari selain Penguasa kalbu suci Baginda Muhammad dan dari selain Pemilik maqâm yang agung. Kalaulah Nabi Saw. tidak diperintah untuk memperlihatkan kedudukan Allah Yang Mahatinggi

itu, niscaya beliau tidak akan pernah mengucapkan kalimat mulia itu secara azali dan abadi. Namun, ketentuan Allah Swt. telah berlaku untuk Nabi Saw. agar mengucapkan isyarat itu, yakni “Huwa” (Dialah). Mengingat Rasulullah Saw. tidak senantiasa berada dalam pelukan Kemutlakan sehingga beliau juga terkadang berada di wilayah kebarzakhan, maka beliau pun mengucapkan “Allahu Ahad” (Allah Yang Maha Esa). “Allah” adalah Nama yang menyeluruh dan agung bagi

Allah Yang Mahamutlak, yang disampaikan kepada Penutup para nabi. Sedangkan berbilangnya nama pada maqâm penyingkapan Kemahaesaan di alam barzakh, merupakan tajalli yang bersifat gaib dan tersembunyi dalam tingkat Keesaan. Karenanya, tidak ada kekaburan bagi kalbu penempuh jalan menuju Allah antara maqâm Kemahaesaan (ahadiyyah) dan Keesaan (wahidiyyah). Didahulukannya nama “Allah” atas Ahad, sekalipun Nama-Nama Dzâtiyyah “Allah” mendahului Nama-Nama Shifātiyyah-Nya yang berasal dari anggapan manusia, dimaksudkan untuk memberi isyarat pada maqam tajalli kalbu sang penempuh jalan menuju Allah (ihwal prioritas yang satu atas yang lainnya). Sebab, tajalli-tajalli dzâtiyyah terhadap kalbu para wali dimulai dengan tajalli Nama-Nama Shifâtiy-yah yang terdapat di kehadirat Zat Yang Esa, dalam arti Nama-Nama

p: 805

Shifâtiyyah yang bersifat Esa, kemudian baru dilanjutkan dengan tajalli Nama-Nama Dzâtiyyah yang bersifat Maha Esa. Rahasia dipilihnya nama “Allah” dari himpunan Nama-Nama Allah Swt.—sekalipun kalbu sang pesuluk berinteraksi dengan suluk dan tajalli sesuai dengan kondisi kalbunya—dapat dirujukkan pada

salah satu di antara dua hal berikut ini. Kalau tidak pada isyarat terhadap terjadinya tajalli dengan salah satu di antara Nama-Nama Allah, yang juga merupakan tajalli dengan bismillâh, yang termasuk dalam kategori kesatuan antara Yang Menampakkan (Al-Zhahir) dengan Yang Ditampakkan (Al-Mazhhûr), khususnya di haribaan Ilahi, hal itu bisa juga dirujukkan pada isyarat tentang berakhirnya perjalanan yang bersifat wâhidi. Kalau perjalanan wähidî itu tidak terealisasikan,

tentunya perjalanan yang bersifat Ahadi tidak akan pernah dimulai. Kesimpulannya, berdasarkan penjelasan di atas, dhamîr (kata ganti) Huwa (Dia) merupakan isyarat terhadap maqâm yang harapan dan keinginan para ahli makrifat sudah terputus, yang disucikan dari semua nama dan bentuk, serta dari semua penampakan dan pemunculan. Sedangkan Ahad merupakan isyarat terhadap tajallinya Nama-Nama yang bersifat batin dan gaib, dan “Allah” merupakan isyarat terhadap tajalli-nya Nama-Nama lahiriah. Dengan tiga hal tersebut, yakni Huwa (Dia), Allah, dan Ahad, tercapailah pengungkapan awal terhadap hadirat Rubûbiyyah. Adapun keempat nama lainnya, yakni Al-Shamad (tempat bergantung), Lam Yalid (tidak beranak), Lam Yülad (tidak diperanakkan), dan Lam Yakun Lahû Kufuwan Ahad (tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya), yang di situ Al-Shamad merupakan penghimpun bagi ketiga nama lainnya, tergolong dalam

sifat-sifat salbiyyah-tanzihiyyah (negatif dan meniadakan sifat-sifat tercela bagi Allah), yang dianggap sebagai kelanjutan dari nama-nama tsubûtiyyah-jamâliyyah (afirmatif dan mengisbahkan keindahan pada-Nya), sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian akhir salah satu hadis terdahulu.

Yang demikian itu adalah jika kita katakan bahwa bismillah itu berkaitan dengan kalimat mulia “qul” (Katakanlah, wahai Muhammad), yang terdapat pada Surah Al-Tauhid.

p: 806

Kita juga dapat menjadikan bismillâh berkaitan dengan setiap ayat yang terdapat dalam Surah Al-Tauhid. Dan berdasarkan itu, penafsiran Surah Al-Tauhid ini berbeda dari penafsiran bismillâh yang memiliki konteks dengan ayat yang terdapat dalam surah yang lain. Karena harus dilakukan secara terperinci dan detail, penjelasan tentang hal itu kita lewatkan saja. Syaikh Al-'Arif Syahabadi mengatakan bahwa Huwa merupakan bukti tentang enam nama dan kesempurnaan yang disebutkan sesudah kata yang penuh berkah tersebut, yang terdapat dalam Surah Al-Tauhid. Sebab, Zat Yang Mahasuci, karena Dia merupakan Zat Yang Mutlak, Dia ditampilkan dengan Huwa (Dia), yang merupakan ungkapan tentang wujud yang sebenar-benarnya yang menghimpun seluruh kesempurnaan Nama-Nama sehingga muncul nama “Allah”. Dan, karena yang sebenar-benarnya Wujud itu merupakan Wujud yang sederhana secara hakiki, Dia menghimpun seluruh sifat dan

nama, tanpa ada pengaruh dari keterbilangan Nama-Nama tersebut terhadap Zat-Nya Yang Mahasuci, yang merupakan Zat Yang Maha Esa. Dan, karena Dia bukan mahiyah lantaran Dia merupakan Wujud yang sebenar-benarnya, Dia adalah juga Al-Shamad (Tempat Bergantung). Selanjutnya, karena Dia adalah sebenar-benarnya Wujud, Dia tidak memiliki ketidaksempurnaan serta tidak berasal dari yang lain, dan tidak pula bereproduksi: Dia tidak melahirkan dan tidak pula dilahir-

kan, serta tidak ada pula yang setara dengan-Nya. Haruslah diketahui bahwa dalam berbagai hadis yang mulia disebutkan makna-makna dan rahasia-rahasia lafaz Al-Shamad, yang jika kami kemukakan di sini, niscaya buku ini akan menyimpang dari tujuannya yang semula. Namun, di sini kami memandang perlu untuk

mengemukakan satu hal, yaitu bahwasanya jika Al-Shamad merupakan isyarat terhadap Zat, sesuai dengan beberapa ungkapan dan pengertian “Allah” dalam “Allâh Al-Shamad”, lafaz Al-Shamad pasti merupakan ungkapan yang termasuk dalam kategori maqâm ke-Yang Maha Esa-an (Al-Wahidiyyah) dan maqâm kemahaesaan (Al-Ahadiyyah) himpunan Nama-Nama. Namun, jika ia merupakan isyarat terhadap sifat idhafiyyah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa riwayat, Al-Shamad merupakan isyarat terhadap keesaan himpunan Nama-

p: 807

Nama ketika terjadinya tajalli melalui pancaran Yang Mahasuci, disamping bahwa maknanya pasti sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi, Allah adalah cahaya langit dan bumi. Ulasan Singkat tentang Tafsir Enam Ayat Pertama Surah Al-Hadid Adapun ayat pertama (Surah Al-Hadîd) yang berbunyi:

Semua yang ada di langit dan yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu (QS Al-Hadid (57):1), menunjukkan tentang bertasbihnya semua makhluk, termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati, kepada Allah Swt. Barang siapa mengkhususkan tasbih tersebut kepada makhluk-makhluk berakal, pandangannya ini muncul dari keterhijaban akal orang-orang yang berakal. Kalau kita asumsikan bahwa ayat ini dapat ditakwilkan dengan bertasbihnya semua makhluk, terdapat beberapa ayat Al-Quran lain yang tidak dapat ditakwilkan dan ditafsirkan, misalnya ayat yang berbunyi:

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar manusia? (QS Al-Hajj (22): 18).

Menakwilkan tasbih dengan tasbih alamiah dan fitriah termasuk dalam kategori takwil yang jauh dari benar dan lemah. Sebab, penakwilan seperti itu ditolak oleh banyak hadis, dibantah oleh bukti-bukti yang kuat, dan diingkari oleh metode ‘irfân yang indah. Yang cukup mengherankan adalah bahwa filosof besar Shadr

Al-Muta`allihin-semoga Allah menyucikan jiwanya tidak berpendapat bahwa tasbih dalam ayat ini merupakan tasbih berupa ucapan. Beliau menafsirkan berbicaranya benda-benda mati seperti pohon-pohon kecil, dengan suara-suara dan lafaz-lafaz yang sesuai dengan kondisi benda-benda mati dan pepohonan, dimunculkan oleh jiwa suci para wali. eliau berpendapat bahwa pendapat sebagian ahli makrifat, yang mengatakan bahwa semua benda itu bisa berbicara, bertentangan

p: 808

dengan kenyataan yang tak terbantah dan menyebabkan terjadinya ta'thil (pembodohan) untuk selama-lamanya. Sekalipun pendapat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip yang beliau ajukan, sebagaimana diketahui bahwa suara kebenaran dan intisari ‘irfan justru sejalan dengan pandangan tersebut tanpa menimbulkan ta'thil apa pun. Kalaulah sekiranya kami tidak khawatir akan berpanjang kata, ingin sekali rasanya kami memberikan penjelasan tentang hal ini dengan pengantar dan kekeliruan-kekeliruan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, kita cukupkan saja penjelasan tersebut sampai disini.

Sebagaimana yang telah kami singgung pada bagian yang lalu bahwa hakikat wujud adalah kesadaran, pengetahuan, irâdah, kekuasaan, kehidupan, dan seluruh komponen kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, jika sesuatu tidak mempunyai pengetahuan dan kehidupan, ia tidak memiliki wujud. Barang siapa yang berhasil mengenyam hakikat asli wujud dan kebersamaan maknawi dengannya, berdasarkan metode para ahli makrifat, semisal ilmu, irâdah, berbicara, dan seterusnya, dan jika dia telah mencapai magâm musyâhadah (kesaksian) dengan perantaraan latihan jiwa dan pengondisian spiritual, niscaya dia akan menyaksikan dan mendengar suara tasbih yang di-lantunkan oleh segenap maujud. Sayangnya, kemabukan terhadap materi dan kesenangan fisik telah melemahkan mata, pendengaran, dan indra kita, dan semuanya itu menghalangi diri kita untuk menemukan kebenaran-kebenaran wujud dan esensi-esensi sesuatu. Sebagaimana halnya bahwa antara diri kita dan Allah Swt. terdapat hijab cahaya yang menghalangi kita dari musyahadah (persaksian) kelembutan Allah Yang Mahabenar, maka

demikian pula diri kita dan benda-benda lain yang ada di sekitar kitamdan bahkan kita dengan diri sendiri—juga terdapat hijab yang menghalangi kita untuk dapat melihat kehidupan, alam, dan seluk-beluknya.

Hijab yang paling buruk adalah pengingkaran terhadap kehidupan, alam, dan seluk-beluk makhluk lain, yang bertolak dari pemikiran yang terhijab, yang menghalangi seseorang dari segala sesuatu. Sedangkan, cara yang terbaik untuk orang-orang terhijab seperti kita

p: 809

adalah menerima dan membenarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis para wali-Nya, lalu menutup rapat pintu tafsîr bi al-ra'y (tafsir yang berdasarkan asumsi) dan penerapannya di luar bidang akal yang lemah ini. Kalau kita asumsikan bahwa ayat tasbih tersebut dapat ditakwilkan dengan tasbih alamiah atau fitrah, lantas apa yang bisa kita lakukan terhadap ayat-ayat berikut ini? Allah Swt. berfirman:

Seekor semut berkata, “Wahai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. (QS Al-Naml (27): 18) Burung hud-hud berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya dan kubawa kepadamu dari Negeri Saba suatu berita penting yang meyakinkan. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. (QS Al-Naml (27): 22--23) Atau, apa pula yang bisa kita lakukan terhadap berbagai khabar yang diterima dari Ahl Al-Bait yang ma'shum tentang berbagai masalah yang secara tegas menjelaskan kesadaran binatang-binatang dan benda lainnya yang tidak mungkin ditakwilkan?

Singkatnya, merupakan suatu keharusan untuk mengakui adanya kehidupan dan bertasbihnya makhluk-makhluk tersebut secara sadar dan itu merupakan suatu kenyataan yang tak terbantah yang dibuktikan oleh ilmu filsafat yang tinggi, dan dibenarkan pula oleh para ahli ‘irfân. Namun, tentang bagaimana tasbih yang dilakukan oleh semua maujud dan bagaimana pula zikir yang secara khusus dilakukan oleh masing-masing makhluk, dan bahwasanya manusia dan makhluk-makhluk lainnya mempunyai zikir yang sesuai dengan kondisinya masing-masing, diperlukan kajian dan uraian panjang lebar. Akan tetapi, singkatnya adalah bahwa di situ ada kriteria ilmiah dan 'irfaniyyah yang berkaitan dengan ilmu tentang Nama-Nama,

dan perinciannya berkaitan dengan ilmu-ilmu yang dapat dilihat dengan mata dan bisa diungkap oleh manusia, yaitu ilmu yang secara khusus dimiliki oleh para wali Allah yang sempurna.

p: 810

Pada pasal yang lalu, kami telah menjelaskan bahwa bismillâh yang terdapat dalam semua surah berkaitan dengan surah yang dimulai dengannya. Berdasarkan itu, bismillah yang merupakan bagian dari Surah Al-Hadîd, berkaitan dengan ayat Sabbaha lillah (bertasbih kepada Allah). Dari ayat tersebut, dapat diperoleh pemahaman yang benar dalam masalah al-jabr dan al-tafwidh. Sebab, di situ terdapat dua nisbah. Pertama, nisbah kepada nama Allah yang merupakan maqâm kehendak aktual (fi'liyyah); dan kedua, nisbah kepada benda-benda yang maujud di langit dan di bumi, dalam bentuk yang halus yang dipandang sebagai puncak tersingkapnya penyaksian dan makrifat. Didahulukannya penisbahan pada kehendak Allah, dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang kemandirian Allah Swt., seraya mendahulukan aspek kekuasaan Allah atas kekuasaan makhluk. Sekiranya kami tidak khawatir akan berpanjang lebar dalam memberikan uraian terhadap masalah ini, niscaya kami akan menjelaskan hakikat tasbih dan ketakterpisahannya dari tahmid (pujian) dan bahwasanya munculnya semua tasbih dan tahmid dari setiap orang yang bertasbih dan bertahmid adalah semata-mata untuk mengagungkan Allah Swt., dan bahwasanya tasbih dan tahmid dilakukan dengan dan untuk nama Allah, dan bahwasanya dua nama, Al-'Aziz dan Al-Hamid, adalah Nama-Nama Khusus Allah. Di samping itu, saya pun akan menjelaskan hubungan keduanya (tasbih dan tahmid) dengan Allah Swt., perbedaan yang ada antara “Allah” dalam penyebutan nama dan “Allah” yang disebutkan dalam ayat Sabbaha

lillâh, dan yang dimaksud dengan man fi al-samâwât wa al-ardh (yang ada di langit dan yang ada di bumi) menurut para ahli 'irfan dan filsafat. Dan saya juga ingin menjelaskan perbedaan antara Huwa (Dia) dalam ayat yang mulia ini dan Huwa yang terdapat dalam ayat “qul Huwa Allah Ahad” sesuai dengan cita rasa dan keindahan metode ‘irfân. Namun, saya telah mengharuskan kepada diri saya sendiri untuk mengemukakan uraian singkat dalam buku ini. Ayat kedua berbunyi:

Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Hadid (57): 2)

p: 811

Ayat ini mengisyaratkan kepada kepemilikan Allah Swt. terhadap kerajaan langit dan bumi. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan dan kematian, kemunculan dan ketenggelaman, kelapangan dan kesempitan, terjadi sebagai kelanjutan dari kepemilikan Allah Swt. terhadap alam semesta ini, kemenyeluruhan kekuasaan-Nya, dan berlakunya ketentuan dan tindakan-Nya. Pandangan ini mengharuskan terjadinya pemusatan kekuasaan, tindakan, dan pengaturan pada tindakan dan pengaturan Allah Swt. yang merupakan puncak tauhid fi'li (tauhid dalam tindakan). Itulah sebabnya dinisbahkanlah kepada Diri-Nya wewenang untuk menghidupkan dan mematikan-dua hal yang dipandang sebagai fenomena besar tentang tindakan yang bersifat malakût atau sebagai “memberi” dan “menahan”. Penisbahan “me-

matikan” dan “menghidupkan” pada kepemilikan dalam ayat, Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, ini-sekalipun kehidupan berkaitan dengan urusan ke-Maha Penyayangan dan kematian berkaitan dengan kepemilikan bisa merupakan peringatan tentang masalah ‘irfân yang indah, yakni terhimpunnya setiap nama pada semua Nama-Nama dalam bentuknya yang tunggal dan aspek kegaiban yang betul-betul tidak bisa kita kemukakan di

sini karena keterbatasan ruang. Terdapat kemungkinan bahwa bagian awal dan akhir ayat ini merupakan isyarat tentang kesatuan yang berbilang dan keterbilangan

yang satu, dalam maqam tajalli fi'li (tajalli yang bersifat perbuatan) dalam bentuk pancaran Yang Mahasuci, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli 'irfân.

Kata ganti (dhamir) yang terdapat pada kalimat Lahû (bagi-Nya), secara redaksional kembali pada lafaz “Allah”. Namun, bisa pula dirujukkan kepada Al-Aziz Al-Hakim (yang terdapat pada ayat sebelumnya). Di bawah perspektif dua kemungkinan ini, menjadi berbedalah pengertian ayat ini. Hal itu menjadi jelas dalam pandangan para ahli filsafat dan kaum cerdik pandai. Akan halnya penjelasan tentang bagaimana kepemilikan Allah Swt. dan mengapa pula bentuk kata “kematian” dan “kehidupan” dalam ayat tersebut dikemukakan dalam bentuk mudnâri' (kata kerja yang mengandung pengertian “sekarang" atau present continous), yakni

p: 812

Hadis tentang Tafsir Surah Al-Tauhid dan Ayat-Ayat Pertama Surah Al-Hadid Yuhyi wa Yumit, yang menunjukkan pengertian terus dan masih berlangsung, serta penjelasan tentang kembalinya kata ganti Huwa dan perbedaan pengertian yang ada dalam kata ganti tersebut ketika terdapat perbedaan dalam perujukannya dan bahwasanya menghidupkan, mematikan, dan berkuasa adalah termasuk Nama-Nama, Sifat-Sifat, dan perbuatan Dzatiyyah. Maka, semuanya ini akan dibicarakan

pada tempatnya yang tepat. Demikian pula halnya dengan masalah cara menghidupkan dan mematikan, hakikat tiupan Israfil yang menghidupkan dan mematikan, peranan Malaikat Israfil dan Izra'il, semuanya ini mempunyai penjelasan ‘irfaniyyah dan pembuktian filosofis yang panjang lebar, yang tidak mungkin pula untuk kami jelaskan di sini. Ayat ketiga berbunyi: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhâhir dan Yang Båthin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Hadid (57]: 3) Orang-orang yang ‘ârif tentang pengetahuan-pengetahuan yang benar yang dimiliki oleh para ahli makrifat, dan orang-orang yang menempuh metode ahl al-qulüb (para ahli 'irfan), pasti mengetahui bahwa akhir perjalanan dan cita-cita paling tinggi para penempuh jalan menuju Allah adalah memahami ayat yang mulia ini. Saya berani bersumpah demi Allah Yang Mahaperkasa bahwa tidak ada ungkapan yang sanggup menjelaskan hakikat tauhid dzâtî yang lebih mulia dan

lebih tinggi daripada ungkapan di atas. Merupakan keharusan bagi setiap ahli makrifat untuk bertekuk lutut di hadapan makrifat dan kasyaf Nabi Saw. yang menyeluruh dan meletakkan dahi di atas tanah sebagai bukti kerendahan dirinya. Saya juga berani bersumpah dengan kebenaran 'irfan dan kerinduan kepada Allah bahwa orang ‘ârif yang kalbunya merindukan Sang Kekasih pasti mengalami guncangan malakût saat mendengar ayat yang tidak mungkin sepenuhnya dapat

dipahami dan dijelaskan oleh semua makhluk itu. Mahasuci Allah! Alangkah agung Zat Dia, alangkah besar kekuasaan-Nya, alangkah mulia ketentuan-Nya dan alangkah melimpah ruah anugerah-Nya. Orang-orang yang mendalami pandangan para ahli ‘irfân, para teolog Muslim, dan para wali Allah, yang telah berhasil menembus

p: 813

keterbatasan mereka, adalah orang-orang yang seharusnya lebih bisa menikmati ucapan-ucapan para ahli 'irfan dan rabbani agar dengan demikian mereka dapat memperoleh kejelasan bahwa salah seorang di antara mereka dapat memberi keterangan tentang ayat yang mulia ini. Atau, bisa menyodorkan sesuatu yang baru di bursa ilmu pengetahuan. Adalah tanggung jawab para ahli 'irfan untuk menjelaskan ayat Ilahi yang mulia ini sehingga menjadi jelas pula bahwa mereka adalah orang yang memperoleh petunjuk dari Al-Quran Al-Karim. Karena ayat-ayat pertama Surah Al-Hadîd ini mengandung pengetahuan yang sulit dijangkau oleh tangan-tangan para ahli ʻirfân, dan bahwasanya penulis memiliki keyakinan bahwa ayat ini memiliki kelebihan daripada ayat-ayat lainnya karena ia menjelaskan bahwa Allah Swt. adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhâhir dan Yang Bâthin, yang sangat sulit dijangkau oleh ilmu balaghah dan tidak pula dapat dijelaskan oleh tulisan, sebaiknya kita serahkan saja penjelasannya pada kalbu para wali dan kekasih Allah.

Ayat yang keempat berbunyi: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan, Dia bersama kamu dimana pun kamu berada dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Hadid (57): 4)

Ayat ini mengisyaratkan pada penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dan bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy. Otak kaum cerdik pandai mengalami kebingungan dalam menafsirkan ayat yang mulia ini. Masing-masing mereka mer.gambil pendapat sendiri-sendiri dalam menafsirkannya, sejalan dengan pengetahuan dan 'irfân yang mereka miliki. Para ulama zhahirî berpendapat bahwa yang dimaksud dengan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa ialah bahwa kalau kita perkirakan periode periode penciptaan langit dan bumi ini, niscaya ia sesuai dengan enam masa. Filosof besar, Shadr Al-Muta`allihin, memahami enam masa tersebut dengan enam masa rubûbiyyah, yang masing-masing setara dengan seribu

p: 814

tahun hitungan kita. Beliau menganggap masa yang ada sejak diutusnya Nabi Adam a.s. hingga diutusnya Muhammad Rasulullah Saw. adalah enam ribu tahun, lalu menghitung mulai munculnya matahari di hari Jumat, saat Nabi Saw. diutus sebagai rasul, sebagai awal hari ketujuh, awal hari kiamat, dan awal bersemayamnya Allah di atas Arasy. Penjelasan tersebut dikemukakan secara singkat oleh Shadr Al-Muta'allihin dalam syarh-nya terhadap Ushûl Al-Kafi, dan secara teperinci dalam kitab tafsirnya tentang ayat ini. Sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa enam masa tersebut merupakan ibarat dari martabat-martabat perjalanan cahaya mata-

hari wujud pada garis bujur dan garis lintang. Dalam perspektif metode para ahli 'irfân yang melihat wujud sebagai tingkat-tingkat yang turun dari atas hingga tingkat paling bawah, yaitu tingkat terhijabnya matahari wujud dalam hijab penampakan, yang juga merupakan Lailah Al-Qadr dan mulai terjadinya kiamat tingkat pertama hingga pada kembalinya kerajaan ke alam malakút, dan tersingkapnya hijab penampakan hingga akhir tingkat kemunculan dan pengembalian (kepada Allah) yang merupakan fenomena kiamat besar, maka enam hari yang di situ terlaksana penciptaan langit dan bumi dan berakhir dengan bersemayamnya Allah

di atas 'Arasy, yang 'Arasy tersebut merupakan puncak dari segala puncak kekuasaan Allah Swt. dipandang sebagai enam tingkatan naik (dari bawah) di alam raya. Bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy, yang merupakan gambaran tentang kekuasan dan kepemilikan penuh Allah, yaitu martabat kehendak dan pancaran Yang Mahasuci, yang juga merupakan kemunculan sempurna sesudah lenyapnya benda-benda dan selesainya penciptaan langit dan bumi, serta selama langit dan bumi masih ada, maka penciptaannya, bagi para ahli makrifat, belum sempurna berdasarkan firman Allah yang berbunyi, Setiap waktu Dia dalam kesibukan (QS Al-Rahmân 155): 29), dan karena belum terjadinya pengulangan tajallī. Enam tingkatan, plus tingkat ketujuh yang merupakan tingkat bersemayamnya Allah di atas ‘Arasy yang merupakan tingkat kalbu yang hakiki juga terdapat dalam makrokosmos. Kalaulah tidak khawatir akan memakan banyak waktu dan tempat, rasanya ingin sekali

p: 815

saya mengemukakan ulasan sepintas yang menjelaskan bahwa bentuk interpretasi yang paling baik adalah interpretasi di atas. Lebih dari itu, hendaknya diketahui pula bahwa ilmu tentang kitab Ilahi berada di sisi Allah Yang Mahatinggi, dan secara khusus diberikan kepada orang yang diberi wahyu. Kendati demikian, di sini kita berbicara berdasarkan konteks dan kemungkinan-kemungkinan yang ada, sesudah kita tidak sanggup lagi memahami makna lahiriah ayat ini. Terdapat kemungkinan interpretasi lain yang tidak bertentangan dengan interpretasi yang diberikan oleh para ahli 'irfan, yang sejalan dengan teori ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu fisika, yang menolak teori Ptolemeus. Teori tersebut mengatakan bahwa di belakang sistem tata surya kita terdapat tata surya lain yang tak ada yang

tahu jumlahnya kecuali Allah Swt. sebagaimana yang dijelaskan pula oleh ilmu astronomi modern. Dengan demikian, yang dimaksud dengan langit dan bumi adalah sistem.tata surya dan tata planet lainnya. Kemudian, yang dimaksud dengan enam masa yang dikemukakan oleh ayat di atas adalah enam masa dalam perspektif sistem tata surya lain. Interpretasi ini lebih mendekati makna lahiriah ayat di atas dibandingkan dengan interpretasi lainnya, dan tidak pula bertentangan

dengan interpretasi Sirfaniyyah. Sebab, interpretasi 'irfan dipandang sebagai interpretasi terhadap makna batin Al-Quran. Kemudian, melalui bagian akhir ayat yang berbunyi, Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, Al-Quran mengisyaratkan ilmu Allah terhadap semua bagian tingkat wujud dalam silsilah alam gaib

dan alam syahadah dalam garis naik dan garis turun. Sementara itu, dengan kalimat yang berbunyi, Dan Dia bersama kamu, Al-Quran mengisyaratkan kehadiran Allah Swt. di mana pun manusia berada. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bagaimana ilmu Allah terhadap juz'iyyah (partikular), yang merupakan liputan menyeluruh terhadap segala maujud, serta mahaluas dan mandiri. Demikian pula halnya, tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat kemandirian Allah Swt., kecuali orang-orang khusus yang menjadi wali-wali-Nya. Ayat kelima berbunyi: Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS Al-Hadid (57): 5)

p: 816

Ayat ini merupakan isyarat terhadap kepemilikan Allah Swt. dan dikembalikannya seluruh sistem yang berlaku dalam perwujudan ini kepada-Nya. Ia juga mengisyaratkan bahwa sistem wujud ini kembali kepada dan terkait dengan Nama Sang Pemilik, sebagaimana yang disebutkan oleh Surah Al-Hamd melalui ayatnya yang berbunyi, (Dia) Pemilik Hari Kebangkitan (QS Al-Fâtihah (1): 4). Tiap-tiap ayat harus ditafsirkan dan dijelaskan secara teperinci pada bidang yang lain.

Ayat keenam berbunyi: Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.

(QS Al-Hadid (57): 6) Ayat ini merupakan isyarat terhadap silih bergantinya malam dan siang, serta bahwasanya berkurangnya salah satu di antaranya akan ditambahkan pada yang lainnya. Dalam perbedaan malam dan siang tersebut, terdapat manfaat yang sangat banyak, yang jika kita bicarakan di sini pasti akan membuat buku ini keluar dari tugasnya semula. Ayat ini juga memiliki makna 'irfân lain, yang tidak perlu kami kemukakan di sini.

Khatimah

Bagian akhir hadis di atas, yang berbunyi, “Barang siapa yang mencari yang ada di balik itu (yang selain itu), dia sungguh akan celaka” menupakan isyarat bahwa tingkat pengetahuan yang disebutkan dalam ayat-ayat Surah Al-Tauhid dan ayat-ayat yang lain adalah ilmu manusia yang paling puncak. Ia merupakan tujuan paling jauh dari ilmu mereka. Dengan demikian, kalau ada seseorang yang menganggap bahwa di atas tingkat tersebut masih terdapat pengetahuan lain, dia pasti terjerumus dalam kesalahan. Hal yang sama akan terjadi pada orang yang merendahkannya pada tingkat yang lebih bawah dari itu. Ia dipandang sebagai telah mati (sebelum mati) dan bodoh terhadap magâm rubibiyyah. Adalah jelas bahwa hadis di atas mendorong manusia untuk merenung dan memikirkan ayat-ayat yang mulia di atas. Namun, setiap

p: 817

ilmu ada ahlinya sendiri-sendiri. Setiap bidang ada pakarnya masing-masing. Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak memandang dirinya dengan pemikiran dan ilmunya sendiri sebagai orang yang dapat memahami ayat-ayat tauhid tersebut, baik yang ada dalam Surah Al-Tauhid maupun yang ada dalam surah-surah lainnya. Atau, memandang diri sebagai orang yang bisa memahami pelbagai teks hadis, doa, dan munajat para Imam- 'alaihim al-salâm—yang penuh dengan pengetahuan. Anggapan yang demikian itu, jelas merupakan anggapan kosong dan waswas yang dimasukkan setan. Setan selalu menghalangi jalan manusia dengan cara menimbulkan anggapan dalam diri mereka bahwa mereka adalah orang hebat sehingga tidak mau mencari ilmu lagi, yang dengan demikian, tertutuplah baginya hikmah dan makrifat, dan akhirnya dia dibiarkan berada dalam kebingungan dan kesesatan, melalui anggapan bahwa dia sanggup memahami ayat-ayat Al-Quran secara sendiri atau dengan ayat-ayat Al-Quran lain atau hadis-hadis yang mulia, tanpa membutuhkan filsafat, latihan-latihan spiritual, dan mujahadah.

Allah adalah saksi atas apa yang saya sampaikan dan cukuplah Dia sebagai saksi. Dengan pernyataan ini, saya tidak bermaksud memasarkan kajian filsafat dan 'irfan secara formal-institusional. Namun, yang saya maksudkan adalah mendorong saudara-saudara saya sesama Mukmin, khususnya para cerdik pandai, untuk mempelajari ilmu para Imam Ahl Al-Bait a.s. sekaligus mendorong mereka untuk membaca Al-Quran dan tidak menjauhinya. Sebab, tujuan puncak dan paling penting dari diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab adalah untuk memakrifati Allah Swt. yang di bawah naungannya terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Sayangnya, selagi manusia masih hidup di alam dunia ini, dia selamanya berada di bawah berbagai macam hijab yang menghalanginya dari jalan kebahagiaan. Ketika para nabi, para wali, dan para ulama menyeru dan menasihati mereka, tetap saja mereka lelap dalam tidur dan tidak menyambut panggilan-

panggilan mereka. Lalu, ketika mereka terbangun, ternyata mereka melihat (kesempatan) berbahagia telah raib dari tangannya sehingga yang tersisa hanyalah kerugian dan penyesalan.

p: 818

Doa dan Penutup

Tuhanku, Engkaulah yang memenuhi kalbu para wali-Mu dengan cahaya cinta dan Engkau semaikan lidah-lidah kerinduan akan keindahan untuk berbicara tentang diri mereka dan diri orang-orang lain. Jauhkanlah tangan-tangan egoismeku yang membelenggu dari juntaian keagungan-Mu. Tuhanku, kami terjaga dari kemabukan tipuan dunia, dari tidur lelap yang membuat kami tenggelam di alam materi dan alam fisik. Sibakkan, dengan satu petunjuk-Mu, hijab tebal dan tabir-tabir gelap kebanggaan diri dan egoisme ini. Bimbinglah kami menuju majelis orang-orang suci yang ada di haribaan-Mu, dan menuju kelompok orang-orang yang Engkau sucikan dan jauhkanlah kami dari watak yang jahat dan moral yang buruk, dari ucapan yang melantur, munafik, dan menyesatkan. Sertailah gerak dan diam kami, tindakan dan perbuatan kami, yang awal dan yang akhir dari kehidupan kami, yang zhahir dan yang bâthin, dengan keikhlasan dan kesucian. Tuhanku, sesungguhnya nikmat yang Engkau berikan kepada kami, Engkau awali dengan pernyataan, “Tidak disyaratkan dalam nikmat Allah adanya imbalan dari yang diberi kepada Sang Pemberi” dan sesungguhnya anugerah-Mu tiada terhingga. Pintu rahmat-Mu terbuka lebar dan hidangan-Mu tak pernah ada habis-habisnya.

Oleh karena itu, Tuhanku, anugerahkanlah kepada kami kondisi yang menggelisahkan, kalbu yang menyala-nyala, mata yang selalu mengalirkan air mata, kepala yang tidak pernah berhenti berpikir, dada yang selalu mengembuskan semangat dan keprihatinan. Kemudian, akhirilah hidup kami dengan ikhlas kepada-Mu, cinta kepada orang-orang khusus yang ada di haribaan-Mu. Sebab, mereka adalah para pengantar menuju Kitab Wujud dan ujung dari sistem alam gaib dan alam syâhadah, yakni Baginda Muhammad Saw. dan Ahl Al-Bait beliau yang suci, semoga salam sejahtera dilimpahkan kepada mereka semua. Segala puji bagi Allah dari awal hingga akhir.?[]

p: 819

p: 820

Catatan-Catatan

Hadis 2

1. Ushûl Al-Kafi, jilid 2, h. 402.

2. Ibid., jilid 2, h. 450.

3. Ibid., jilid 2, h. 453.

4. Ibid., jilid 2, bab tentang riyâ'.

5. Wasa'il Al-Syi'ah.

6. Ushûl Al-Kâfî, jilid 2, h. 295.

7. Ibid., jilid 2. h. 297.

Hadis 3

1. Ushúl Al-Kâfî, jilid 2, h. 313.

2. Ibid., jilid 2, h. 313.

Hadis 4

1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kaft (Teheran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Hajj Sayyid Jawad Mushthafawi, hh. 421-422).

2. Ibid., Vol. III, h. 426.

p: 821

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

3. Ibid., Vol. III, h. 426.

4. Ibid., Vol. III, h. 424.

5. Al-Hasan ibn 'Ali ibn Al-Husain ibn Syu'bah Al-Harrani, Tuhaf Al-'Uqúl (Kitab Furusyi Islamiyyah, Teheran, 1402 H), teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Ahmad Jannati 'Atha'i, h. 327.

6. Ushul Al-Kafi, Vol. III, h. 425.

7. Ibid., Vol. III, h. 423.

8. Ibid., Vol. III, h. 424.

Hadis 5

1. Ushûl Al-Kâfi (diterbitkan oleh Intisharat-e 'Ilmiyyah, teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Haji Sayyid Mushthafawi), Vol. III, h. 418.

2. Ibid., h. 418.

3. Ibid., h. 416.

4. Wasā'il Al-Syi'ah, “bab al-amr bi al-ma'rûf”.

Hadis 6

1. Al-Kulaini, Ushul Al-Kafi, (Teheran), Volume IV (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Hasyim Rasuli), h. 8.

2. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwâr.

3. Nahj Al-Balaghah (ed. Subhi Al-Shalih), Hikam No. 131.

4. Ushûl Al-Kâfî, Vol. IV, h. 2.

5. Ibid., Vol. IV, h. 3.

6. Nahj Al-Balaghah, Khutbah No. 5.

7. Ushul Al-Kafi, Vol. III, h. 205.

8. Mir Damad, Al-Qabasåt, h. 72.

9. Ushûl Al-Kafi, Vol. IV, h.9.

10. Ibid., Vol. IV, h. 9.

Hadis 7

1. Al-Kulaini, Ushul Al-Kafi (Teheran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Jawad Mushthafawi), h. 412.

p: 822

2. Ibid.

3. Ibid., h. 415.

4. Ibid., hh. 412-13.

5. Ibid.

6. Ibid.

7. Ibid., h. 415.

8. Ibid., h. 412.

Hadis 8

1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kafi, (Intisharat 'Ilmiyyah Islamiyyah, Tehe- ran), Vol. III (teks Arab dengan terjemahan Persia oleh Sayyid Jawad Mushthafawi), h. 419.

2. Ibid.

3. Ibid., h. 420.

4. Ibid.

5. Ibid.

Hadis 9

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, (Akhundi), Vol. 2, h. 343.

2. Al-Syaikh Al-Shaduq, 'Iqab Al-A'mal (Maktabat Al-Shaduq), h. 319.

3. Al-Kafi, Vol. 2, h. 369.

4. Ibid., Vol. 2; Faidh Al-Kasyani, Al-Mahajjah Al-Baidha', Vol. 3, h. 358.

5. Al-Thabarsi, Al-Ihtijaj, Vol. 2, h. 106; Al-Hurt Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. 18, h. 99; Al-Kulaini, op. cit., Vol. 1, h. 112; Al- Syaikh Al-Thusi, Al-Tahdzib, Vol. 6. h. 301; Al-Syaikh Al-Shaduq, Man là Yahdhuruhû Al-Faqih, Vol. 3; Al-Nuri, Mustadrak Al-Wasâ’il, Vol. 3; h. 187; Syaikh Muhammad Hasan, Al-Jawâhir, Vol. 40, h. 32.

6. Hadis qudsi. Sumber tidak terlacak.

Hadis 10

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, Vol. 2, h. 336.

2. Ibid., Vol. 2, h. 335.

p: 823

3. Ibid.

4. Ibid.

5. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Bab 1, hadis 2.

6. Al-Thabarsi, Majma' Al-Bayan, Vol. 3.

7. Al-Amini, Al-Ghadir, Vol. 3, h. 100.

Hadis 11

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, Vol. II, 12, hadis No. 2.

Hadis 12

1. Ushûl Al-Kafi (Akhundi, ed. oleh 'Ali Akbar Ghaffari), II, h. 54.

2. Manâzil Al-Sâ'irîn, I, h. 57.

3. Ushul Al-Kafi, II, h. 55.

4. Ibid., II, h. 50.

5. Al-Mahajjat Al-Baidha', VIII, h. 193. تشروا فی خلق الله ولاتفوا فی الله قال لن تقدواقدره

6. Al-Isyârât wa Al-Tanbihật (Teheran: Haidari), III, h. 419.

7. Al-Asfâr Al-Arba'ah (Dar Al-Ma'arif Al-Islamiyyah), 1, h. 10.

8. Ushul Al-Kafi, 1, h. 93, hadis 1.

9. Ibid.

10. Ibid., I, h. 93, hadis 7.

11. Ibid., II, h. 55, hadis 5.

12. Ibid., 1, h. 91, hadis 3.

13. Ibid., I, h. 93, hadis 5.

14. Al-Kulaini, Raudhah Al-Kafi, h. 162; Al-Hurr Al-Amili, Wasa'il Al-Syi'ah, V, 268; Al-Syaikh Al-Shaduq, Man là Yahdhuruhû Al-Faqih, I, 484; Al-Kulaini, Furû Al-Kafi, 1, h.73.

15. Al-Syaikh Al-Shaduq, Tsawab Al-A'mal, h. 63, hadis 41; man la yahdhuruhû al-faqih, I. h. 471.

16. Wasâ’il Al-Syi'ah, V. h. 275.

17. Al-Syaikh Al-Shaduq, ‘llal Al-Syarâ'i, h. 138.

18. Ibid., h. 23; Wasâ'il Al-Syi'ah, V, h. 276.

p: 824

19. 'Ila Al-Syarâ’i-, h. 23, Wasâ’il Al-Syi'ah, V, h. 276.

20. Syaikh Abbas Al-Qummi, Mafatih Al-Jinân.

21. Wasâ’il Al-Syi'ah.

Hadis 13

1. Ushủl Al-Kafi (Akhundi), Vol. II, 391, hadis No. 3.

2. Khwajah 'Abdullah Al-Anshari, Manâzil Al-Sa'irin.

3. Ibid.

4. Ibid.

Hadis 14

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 'Ali Akbar Al-Ghifari (ed.) edisi keempat, Dar Mush'ab Dar Al-Ta‘âruf, Beirut, 1401 H, II, 67, hadis 1.

2. Safinah Al-Bihar, II, 180.

3. Ibid., h. 181.

4. Al-Kafi, II, 71, hadis 1.

5. Ibid., II, 68, hadis 5.

6. Ibid., II, 71, hadis 11, dari Al-Hasan ibn Sarah.

7. Ibid., hadis 12.

8. Ibid., hadis 2.

Hadis 15

1. Al-Kulaini, Ushủl Al-Kafi, Vol. II, h. 259, hadis No. 29.

2. Nahj Al-Balaghah, Khutbah No. 16.

3. Ushûl Al-Kafi, Vol. I, h. 370, hadis No. 2.

4. Ibid., hadis No. 3.

5. Ibid., hadis No. 4.

6. Ibid., Vol. I. h. 152

7. Ibid.

8. Ibid., Vol. II, h. 255, hadis No. 17.

9. Ibid., h. 259, hadis No. 28.

10. Ibid., h. 257, hadis No. 23.

p: 825

11. Ibid., h. 252, hadis No. 3.

12. Ibid., h. 254, hadis No. 13.

Hadis 16

1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-shabr, 128, hadis No. 6.

2. Ibn Al-Atsir, Al-Nihâyah, II, 128.

3. Mishbâh Al-Syari'ah, Bab 100.

4. 'lla Al-Syarâ'i, 1, 165; Wasâ'il Al-Syi'ah, X, 29.

5. Thyâ'Al-'Ulûm, IV, 14.

6. Chwali Al-Li'ah, IV, 7.

7. Ushûl Al-Kafi, II, bab al-shabr, 128, hadis No.2.

8. Ibid., hadis No. 3.

9. Ibid., hadis No. 10.

10. Ibid., hadis No. 17.

11. Ibid., hadis No. 8.

12. Ibid., hadis No. 15.

13. Ibid., hadis No. 12.

14. Syarh Manâzil Al-Sâ'irîn, bab al-shabr, 88.

Hadis 17

1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-taubah, hadis No. 1.

2. Ibid., hadis No. 10.

3. Mu'jam Al-Ahâdîts Al-Nabawiyyah, 1, 304.

4. Nahj Al-Balaghah, ed. Shubhi Al-Shaleh, Beirut 1387/1967, h. 549, Hikam, No. 417.

Hadis 18

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, II, kitab al-du'a', bâb mâ yajib min dzikrillâh fi kulli majlis, hadis No. 4.

2. Ahmad ibn Fahd, 'Uddah Al-Da'i, 242.

p: 826

Catatan-Catatan

3. Al-Kafi, II, kitab al-du'à', bâb mâ yajib min dzikrillâh fi kulli majlis, hadis No. 1.

4. Ibid., hadis No. 5.

5. Jami' Al-Ahadits, kitab al-shalâh, hadis No. 3487.

6. Wasâ'il Al-Syi'ah, XV, hadis No. 28901.

7. Al-Kafi, II, kitab al-du'a, bab dzikrullah fi al-sirr, hadis No. 3.

8. Ibid., bâb al-isytighal bi dzikrillâh, hadis No. 1.

9. 'Uddah Al-Da'i, 238.

Hadis 19

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-ghibah wa al- buht, hadis No. 1.

2. Al-Hurr Al-Amili, Waså’il Al-Syirah, VIII, hadis No. 16312.

3. Al-Faidh Al-Kasyani, Al-Mahajjah Al-Baidha, V, 256.

4. Wasa'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16312.

5. Al-Naraqi, Jâmi' Al-Sa'adah, II, 294. (Sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Mizan dengan judul Penghimpun Kebahagiaan-penerj.).

6. Al-Mahajjah Al-Baidha', V, 253

7. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16319.

8. Al-Syaikh Al-Shadug, 'Igab Al-A'mal, 340.

9. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16316.

10. Al-Mahajjah Al-Baidhâ', V, 251.

11. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab man thalaba ‘atsarât al- mu'minin, hadis No. 2.

12. Ibid., bâb man adhâ al-muslimîn, hadis No. 8.

13. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, LXXV, bâb al-ghibah, hadis No. 12, dari Al-Amāli, karya Al-Shaduq.

14. Wasâ'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16312.

15. Al-Mahajjah Al-Baidha”, V, 253.

16. Ibid., 264.

17. Jâmi' Al-Akhbâr, 171, meskipun susunan katanya berbeda.

18. Hadis yang sama dalam Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man thalaba ‘atsarât al-mu'minîn.

p: 827

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

19. Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-tarahum wa al-ta'athus, hadis No. 1.

20. Ibid., hadis No. 4.

21. Ibid., hadis No. 3.

22. Syarh Syihab Al-Akhbâr, 306; Al-Mahajjah Al-Baidha , V. 264.

23. Al-Mahajjah Al-Baidhâ', V, 260.

24. Dalam Ghurar Al-Hikam, 11, 12.

25. Wasā'il Al-Syi'ah, VIII, hadis No. 16316.

26. Ibid., hadis No. 16336.

27. Ibid., hadis No. 16340.

28. Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb dzial-lisânain, hadis No. 1. Hadis 20

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-ikhlash, hadis No. 4.

2. Ibn Al-Atsir, Al-Nihâyah, 1, 440.

3. Al-Kulaini, op. cit., hadis No. 5.

4. Hadis ini ada dalam Wasâ'il Al-Syi'ah, dalam bab tentang hukum- nya pakaian (ahkam al-malabis).

5. Al-Kulaini, Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-riyâ', hadis No. 16.

6. Ibid., bâb al-niyyah, hadis No. 2.

Hadis 21

1. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-syukr, hadis No. 2

2. Bihar Al-Anwâr, XVII, 76.

3. Ibid., XXIV, 1-9.

4. Ibid., XVI, 402.

5. Ibid., XV, 3 dst.

6. Al-Shaduq, 'Uyûn Akhbar Al-Ridha, I, 263.

7. Bihar Al-Anwar, XXVI, 247.

8. 'Ilm Al-Yaqin, 1, 381.

9. Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 150.

10. Al-Mufid, Al-'Amalia, Majelis No. 28, h. 245.

p: 828

Catatan-Catatan

11. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân, X, 505.

12. Bihâr Al-Anwâr, XVII, hh. 73-76, lihat 'Uyün Akhbâr Al-Ridhâ, I, 292, Bab 15.

13. Shahih Muslim, kitâb al-dzikr, 41; Al-Syaikh Al-Baha'i, Al-Arba'in dalam menerangkan hadis No. 22, dengan kata-kata, “seratus kali”(mi'ah marrah).

14. Safinah Al-Bihar, 11, 322.

15. Tafsir Nûr Al-Tsaqalain, V, 689.

16. Al-Raghib Al-Ishfahani, Al-Mufradât fi Gharib Al-Qur'ân, h. 265.

17. Ini adalah ikhtisar wacana Al-Ghazali dari Al-Mahajjah Al-Baidha', karya Al-Faidh Al-Kasyani, VII, hh.144-149.

18. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-syukr, hadis No. 1.

19. Ibid., hadis No. 7.

20. Ibid., hadis No. 16.

21. Ibid., hadis No. 11.

22. Ibid., hadis No. 10.

23. Ibid., hadis No. 18.

24. Ibid., hadis No. 8.

25. Tafsir Al-Qummi, 11, 58.

26. Ma'âni Al-Akhbâr, 22.

27. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân; sebelum datangnya perintah ini, Nabi Saw. selalu shalat dengan mengangkat satu kakinya.

28. Ini merujuk ke QS Qashash (28): 56.

Hadis 22

1. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb muhasabah al-'amal, hadis No. 20.

2. Ibid., hadis No. 2.

3. Tafsir Al-Burhân, I, 46.

4. Ibid., 51.

5. Man la Yahdhuruhů Al-Faqih, II, 613; Mafātîh Al-Jinân, al-ziyârah al-jâmi'ah al-kabirah.

6. Diwan ini dinisbahkan kepada Amir Al-Mukminin, 57.

7. Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb muhasabah al-'amal, hadis No. 6.

p: 829

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

8. Nahj Al-Balâghah, khutbah No. 5.

9. Al-Shaduq, Al-Amāli, Majelis No. 69, h. 405.

10. Bihar Al-Anwâr, XVIII, h. 292.

11. Al-Majlisi,ʻIlm Al-Yaqin, II, h. 884.

Hadis 23

1. Al-Kafi, I, kitab fadhl al-'ilm, bâb al-nawâdir, hadis No. 5.

2. Bihar Al-Anwâr, I, h. 225.

3. Ibn Haitsam Al-Bahrani, Syarh-e Syad Kalimeh-ye Qishar, 54.

4. Al-Kafi, 1, kitab fadhl al-'ilm, bâb al-musta'kil bi 'ilmih, hadis 2.

5. Ibid., II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-mira' wa al-khusyûmah, hadis 1.

6. Ibid., hadis 8.

7. Ibid., hadis 6.

8. Sunan Al-Dârimî, II, 320.

9. Al-Kafi, kitab al-isyrah, bâb man tukrahu mujâlasatuh, hadis 2.

10. Ibid., hadis 3.

11. Ibid., kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimîn, hadis 8.

12. Wasâ'il Al-Syi'ah, XI, 420.

13. Ibid., XVIII, 105.

14. Sunan Al-Dâmirî, I, 100

Hadis 24

1. Al-Kulaini, Al-Kafi, kitab fadhl al-'ilm, bâb syifah al-'ilm wa fadhluh, hadis No. 1.

2. Al-Amidi, Ghurar Al-Hikam, bab al-ra'.

3. Al-Kulaini, op. cit., bâb al-nawâdir, hadis No. 3.

4. Lihat 'Allamah Bahr Al-'Ulum, Risalah fi Al-Sair wa Al-Sulûk, 22-23, catatan kaki.

Hadis 25

1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, I, kitab al-'aql wa al-jahl, hadis No. 10.

2. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân, X, 571.

p: 830

Catatan-Catatan

3. Majma' Al-Bahrain, di bawah “kh.n.s.", h. 305.

4. Ashalat al-hilliyyah artinya aturan bahwa setiap sesuatu itu halal kecuali ada bukti yang menunjukkan keharamannya.

5. Ashâlah Al-Thahârah artinya aturan bahwa apabila ragu mengenai kesucian sesuatu yang diketahui pasti suci sebelum terjadi keraguan, keraguan itu tak berkonsekuensi dan supaya diabaikan.

6. Hadis tatslits menunjuk ke hadis berikut ini yang dicatat dalam Wasâ’il Al- Syi'ah, XVIII, 114: Al-Kulaini (dalam Al-Kafi, I, 67, hadis No. 10) meriwayatkan dari Muhammad ibn Yahya, dari Muhammad ibn Al-Husain, dari Muhammad ibn Isa, dari Shafwan ibn Yahya, dari Daud ibn Al-Husain, dari 'Umar ibn Hanzhalah bahwa Imam Al-Shadiq a.s. berkata (dalam sebuah hadis yang panjang), “Segala hal itu dibagi menjadi tiga golongan: yang kehalalannya sudah jelas dan karenanya diikuti; yang keharamannya sudah jelas dan karenanya dihindari; dan yang meragukan, mengenai bagaimana hal itu, merujuklah kepada Allah dan RasulNya. Rasulullah Saw. bersabda, 'Ada sesuatu yang jelas-jelas halal (halál bayyin) dan sesuatu yang jelas-jelas haram (harâm bayyin), dan di antara keduanya ini adalah hal-hal yang meragukan (syubhah). Orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan, diselamatkan dari jatuh ke dalam hal-hal yang haram, orang yang

mendekatkan diri dengan hal-hal yang meragukan, akan jatuh ke dalam hal-hal yang haram dan binasa tanpa mengetahuinya.' Pada akhir hadis, Imam menyatakan, Menjauhkan diri dari hal-hal yang meragukan itu lebih baik dibandingkan dengan menerjunkan diri ke dalam apa yang membinasakan.” Hadis yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Shaduq dalam Man Lâ Yahdhuruhú Al-Faqih, III, 5, hadis No. 2 dengan isnád-nya dari Daud ibn Al-Husain, dan oleh Al-Syaikh Al-Thusi dalam Al-Tahdhib, IV, 301, hadis No. 52. Ini disebut hadits tatslits karena di dalamnya disebutkan “tiga perkara” (umûr tsalatsah).

7. Al-Kulaini, Furû Al-Kafi, III, 358.

8. Ibid., III, 359.

9. Ibid., 111, 358.

p: 831

Hadis 26

1. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, I, kitab fadhl al-'ilm, bâb tsâwab al-'âlim wa al-muta'allîm”, hadis No. 1.

2. Ibn Abi Jumhur, Ghawâlî Al-Laʻāli, I, 106.

3. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, XVIII, 382.

4. Ini merujuk ke hadis berikut ini dalam Furû Al-Kafi, III, 233: کل عن الباقر علیه السلام قال : قال التی صلی الله علیه واله : انظر الی الإبل والقیم وانا اعاها - ولی من نبی الأوقد رعی الغن-فی المکینة ماحولها انظر الیها قبل الثقة ) وهی فیک تغفلی. فأقول : ماهذا وواچبک جاءنی جبریل فقال : ما النافیر باخلق الله شیگا الأسقها ولعلها الا القلین

5. Al-Syaikh Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 157.

6. Tafsir Nûr Al-Tsaqalain, III, 605.

7. Al-Bahrani, Tafsîr Al-Burhân, III, 135.

8. Catatan penulis: Ini adalah bagian dari sebuah hadis yang panjang yang terdapat pada keterangan mengenai Muniat Al-Murid, karya Syahid (Al-Syahid Al-Tsani) yang telah diterbitkan bersama dengan Ruwadh Al-Jinân. (Lihat pula Bihar Al-Anwâr, I, 225, yang di dalamnya hadis itu dimuat dengan sedikit perbedaan dalam kata-katanya.)

9. Ibn Maitsam Al-Bahrani, Syarh Mi'ah Kalimah, 54.

10. Musnad Ahmad, II, 463.

Hadis 27

1. Al-Kulaini, Ushil Al-Kafi, II, kitab al-iman wa al-hufr, bab al-'ibadah, hadis No. 1.

2. Furu Al-Kafi, Ill, 269.

3. Ibid., III, 270.

p: 832

Catatan-Catatan

4. Ibid., III, 363.

5. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, IV, 688.

6. Ibid., IV, 687.

7. Ibid., IV, 685.

8. Ibid., IV, 686.

9. Mafâtih Al-Jinân, al-munâjât al-sya'bâniyyah.

10. Wasâ'il Al-Syi'ah, IV, 686.

11. Ibid., IV, 688.

12. Ushủl Al-Kafi, I, kitâb al-tauhid, bâb al-irâdah annahâ min shifah al-fi'l, hadis No. 4.

13. Al-Ghazali, Thyâ' 'Ulûm Al-Dîn, IV, 256.

14. Falah Al-Sâ’il, 107.

15. Lihat Furuzanfar, Ahadits-i Matsnawi, 39.

16. Wasâ'il Al-Syi'ah, III, 90, dengan sedikit perbedaan pada kata-katanya.

17. Ushủl Al-Kafi, 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb idkhâl al-surûr ‘alâ al-mu'minîn, hadis No. 8.

18. Al-Syaikh Al-Baha'i, Al-Arba'in, h. 202, lihat ulasan mengenai hadis ketiga puluh tiga.

19. Wasâ'il Al-Syi'ah, II, 54.

20. Catatan penulis: Adapun kata-kata Imam bi qadari mâ sahâ, maka yang dimaksud hadis mulia itu adalah bahwa, seperti disebutkan dalam hadis-hadis lain, jumlah shalat yang naik ke hadapan Allah dan diterima-Nya adalah yang ditunaikan dengan hati yang penuh perhatian (khusyuk). Oleh karena itu, kata-kata bi qadari

mâ saha menunjukkan rasionya, bukannya jumlah yang naik. Barangkali yang dimaksud di sini dengan sahâ adalah ketenangan dan kelembutan hati, seperti dinyatakan oleh Al-Jauhari.

21. Wasâ'il Al-Syi'ah, III, 54.

22. Al-Syaikh Al-Mufid, Al-Irsyâd, hh. 255–256.

23. Ibid., h. 256.

24. Ushûl Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimin, hadis No. 8.

p: 833

Hadis 28

1. Al-Kulaini, Furû' Al-Kafi, III, 134.

2. Lihat penjelasan mengenai hadis kedua puluh satu.

3. Ushủl Al-Kafi, II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb ukhuwwuh al-mu'minin, hadis No. 4.

4. Mafatih Al-Jinan, Munajat Sya'bâniyyah.

5. Ibid., Du'ã' Kumail.

6. Al-Syaikh Al-Shaduq, Kitâb Al-Tauhid, 305.

7. Faidh Al-Kasyani, 'Ilm Al-Yaqin, II, 853.

8. Kalimat hadis ini diriwayatkan dalam bentuk berikut dalam versi-nya yang ada dalam Furü' Al-Kafi, 111, h. 131, “Kemudian, 'Ali a.s. mendekatinya seraya berkata, 'Ya Rasul Allah, orang ini mencintai kami, Ahl Al-Bait, maka cintailah dia,' dan Rasul Allah Saw. berkata, "Wahai Jibril ...,' Kemudian, dalan narasi ini-yang lebih dapat dipercaya dan tepat—Ali yang berkata kepada Nabi, 'Ya Rasul Allah, orang ini membenci kami, Ahl Al-Bait, maka bencilah dia."

9. 'Ilm Al-Yaqin, II, hh 854-856.

10. Sunan Al-Tirmidzi, IV, 640, kitâb shifah al-qiyâmah, al-jâmi' al-shaghir, 1,63

11. Al-Thabrisi, Majma' Al-Bayân (Qum. 1403), V, 527.

Hadis 29

1. Nahj Al-Balaghah, ed. Faidh Al-Islam, Kutub, No. 47.

2. Al-Kulaini, Ushûl Al-Kafi, Vol. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al- kidzb, hadis No. 3

3. Ibid., hadis No. 4.

4. Al-Hurr Al-Amili, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. VIII, h. 574.

5. Ushul Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-kidzb, hadis No. 2.

6. Ibid., hadis No. 11.

7. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-shidq wa ada’ al-amânah, hadis No. 10.

8. Lihat penjelasan mengenai hadis kedua puluh lima tentang waswas.

p: 834

9. Ushûl Al-Kafi, kitâb al-îmân wa al-kufr, bab al-wara', hadis No. 11.

10. Ibid., hadis No. 3.

11. Wasā'il Al-Syi'ah, kitab al-imân wa al-kufr, bâb al-shida wa adâ' al-amânah, hadis No.12.

12. Ibid., hadis No. 194.

13. Ushủl Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-shida wa adâ' al-amânah, hadis No. 12.

14. Ibid., hadis No. 5.

15. Ibid., bâb shilah al-rahim, hadis No. 11.

16. Al-Kulaini, Furû' Al-Kafi, Vol. V, h. 133.

17. Ibid.

18. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XIII, h. 225, dikutip dari Al-Shadiq, Al- Majális, majlis No. 43.

19. Ibid., dikutip dari Al-Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhû Al-Faqih, Vol. II, h. 226.

20. Ibid., h. 198.

21. Ibid.

22. Ithaf Al-Sâdah Al-Muttaqin, Vol. VII, h. 234.

23. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 688.

24. Ushul Al-Kafi, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-khauf wa al-raja', hadis No. 2

25. Untuk hadis yang dikutip dalam bagian ini, lihat Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XI, hh. 175-179.

26. Untuk hadis-hadis yang dikutip dalam pasal ini, Wasa'il Al-Syi'ah, jilid XI, hh. 175-179.

27. FurûAl-Kafi, Vol. III, h. 443, Kitâb Al-Shalâh, båb shalâh al-nawafil, hadis 4.

28. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. III, hh. 31-32, hadis 1; ibid., Abwâb A dâd Al- Farâ'idh wa Nawafiluhâ, Bab 13, hadis 4.

29. Yang dimaksud dengan ‘atamah adalah nafilah yang menyertai shalat isya. Ini ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Hammad ibn 'Utsman dari Al-Imam Al-Shadiq a.s. dalam Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 35, Abwäb Adad Al-Farâ'idh wa Nawafiluhâ, hadis 15.

30. Ibid., h. 31 hadis 2.

p: 835

31. Riwayat Zurarah dari Al-Imam Al-Baqir, a.s.; lihat Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 70, Kitâb Al-Shalah, abwab a'dad al-farâ'idh wa nawafiluhâ, Bab 29, hadis No. 1, 2, 4, 5, dan 7.

32. Riwayat Abu Bashir dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., lihat ibid., Vol. III, h. 71, hadis 8.

33. Ibid., Vol. III, h. 70, hadis 3.

34. Riwayat Hannan dari Al-Imam Al-Shadiq a.s., lihat Wasa'il Al-Syi'ah, Vol. III, h. 33, hadis 6.

35. Mustadrak Al-Wasā'il, Vol. III, h. 50, Kitâb Al-Shalâh, Bab 12, hadis 4 dan 5.

36. Seperti riwayat Muhammad ibn Muslim dari Al-Imam Al-Baqir a.s. dan riwayat Hisyam ibn Salim dari Al-Shadiq a.s., lihat Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. II, Bab 17, h. 52, hadis 2-4.

37. Shifat Al-Syi'ah, hadis 1, Wasâ’il Al-Syi'ah, Vol. III, Bab 13, hadis 26.

38. Ibid., h. 42 hadis 29.

39. Ibid., Vol. VII, Bab 7-12, hh, 303-321.

40. Ibid., Vol. VII, Bab 7, hh. 304-306, hadis 2, 5, 6, dan 8.

41. Ibid., h. 303, hadis 1.

42. Ibid., h. 309, hadis 15.

43. Ibid., h. 305, hadis 4.

44. Ibid., hadis 28, catatan-catatan No. 16.

45. Al-Syaikh Yusuf ibn Ahmad ibn Ibrahim Al-Bahrani (1107 H-1186 M1695 H - 1772 M), penulis Al-Hadâ'iq Al-Nadhirah fi Ahkâm Al-'Itrah Al-Thahirah.

46. Al-Wafi, kitab al-shiyam, Bab 4, h. 9; Al-Hada'iq Al-Nadhirah fi Ahkâm Al-'Itrah Al-Thahirah, Vol. VI, Kitab Al-Shaum, fi al-shaum al-mandûb”, h. 188

47. Furû Al-Kafi, Vol. VI, Kitâb Al-Zakâh, bâb fadhl al-shadaqah, h. 3, hadis 5.

48. Ibid., bab shadaqah al-lail, hadis 3.

49. Mustadrak Al-Wasa’il, Vol. VII, Kitab Al-Zakâh, Bab 4, hh. 164-166, hadis 1-6.

50. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, Kitâb Al-Zakâh, bâb fadhl al-shadaqah, h. 3, hadis 6.

51. Bihar Al-Anwâr, Vol. XCIII, Kitab Al-Zakâh, Bab 14. hh. 122-123, hadis 30.

p: 836

52. Furû' Al-Kafi, Vol. IV h. 2, Kitab Al-Zakah, bâb fadhl al-shadaqah, hadis 1, h. 5, bâb anna al-shadaqah tadfa' al-bala', hadis 3.

53. Lihat Furű' Al-Kafi, Vol. IV, hh. 9-10, Kitab Al-Zakâh, bâb fi anna al-shadaqah tuzîd fi al-mal, hadis 3 dan 4.

54. Ibid., hadis 1.

55. Ibid., hadis 2.

56. Wasâ'il Al-Syi'ah Vol. IV, h. 256, Kitâb Al-Zakâh, abwab Al-shadaqah, Bab 1, hadis 5.

57. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, h. 9, Kitab Al-Zakâh, bâbfi anna al-shadaqah tuzid fi al-mal, hadis 2

58. Ibid., Vol. IV, h. 70, bâb anna al-shadaqah tadfa' al-balâ', hadis 9.

59. Ibid., Vol. IV, h. 3, Kitâb Al-Zakah, bâb fadhl al-shadaqah, hadis 5.

60. Ibid., Vol. IV, h. 2, hadis 3.

61. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. XVI, h. 2, Kitâb Al-'Itq, Bab 1, hadis 1.

62. Ibid., h. 3, hadis 3.

63. Tahdzib Al-Ahkâm, Vol. IVh, 231, Kitab Al-Shiyâm, bâb al-ziyârah, hadis 104.

64. Majma' Al-Bayân, di bawah ayat QS Al-'Imrân (3): 92.

65. Ibid.

66. Ushul Al-Kafi, Vol. II, hh. 315-320, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb hubb al-dunya wa al-hirsh'alaiha, hadis 1 - 17, dan di lain tempat.

67. Ibid., h. 122.

68. Lihat penjelasan mengenai hadis keenam tentang “cinta dunia”.

69. Furü' Al-Kafi, Vol. IV, h. 8, Kitâb Al-Zakah, bâb fadhl shadaqah al-sirr, hadis 2.

70. Ibid., h. 7, hadis 1-3; Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. IV, hh. 275-278, Kitâb Al-Zakah, Bab 12, hadis 1, 2, 4, 5, 6, dan 7.

71. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. VI, h. 277, Kitâb Al-Zakah, Bab 12, hadis 11.

72. Furû' Al-Kafi, Vol. IV, h. 101, Kitâb Al-Zakâh, bâb al-shadaqah ‘ala al-Qarabah, hadis 2-3.

73. Wasā'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 276, Kitâb Al-Zakâh, Bab 20, hadis 4 dan 7.

74. Ibid., h. 336, Bab 52, hadis 1.

75. Bihar Al-Anwar, Vol. 50, h. 102, Tarikh Al-Imâm Al-Jawwad, Bab 5, hadis 16.

p: 837

76. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, hh. 322-323, Kitab Al-Zakâh, Bab 42, hadis 1 dan 3.

77. Ibid., h. 323, hadis 4.

78. Lihat keterangan mengenai hadis kedua belas, bagian mengenai "Kebajikan Shalat Tengah Malam".

79. Ibid., Vol. V, h. 268, Kitab Al-Shalah, Bab 39, hadis 2.

80. Al-Khishal, Vol. 1, h. 7, Bab 1, hadis 19.

81. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. V, h. 276, Kitâb Al-Shalah, Bab 39 hadis 34.

82. Ibid., h. 277, hadis 36.

83. Ibid., Vol. III, hh. 42-44, Bab 14, hadis 1-3, dan 6.

84. Furû' Al-Kafi, Vol. III, h. 268, Kitab Al-Shalâh, bâb man hâfazha ‘ala shalâtihî aw dhayya'aha.

85. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 609, Kitab Fadhl Al-Qur'ân, bâb fi qirà'atih, hadis 1.

86. Ibid., h. 609, hadis 2.

87. Al-Mahajjah Al-Baidha', Vol. 11, h. 237, Kitab Adâb Tilawah Al-Quran, Bab 3.

88. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 612, hadis 5.

89. Ibid., Vol. II, hh. 596-602, hadis 1, 11, 12, 14.

90. Ibid., h. 603, bab nâmil Al-Qur'ân, hadis 4, Tsawâb Al-A'mâl wa “Iqab Al-A'mal, h. 126, tsawab man qara'a Al-Qur'ân wa huwa syabbun mu'min.

91. Bihar Al-Anwâr, Vol. 90, h. 187, Kitâb Al-Qur'ân, Bab 20, hadis 7.

92. Ibid., Vol. 24, h. 303, Kitab Al-Imâmah, bâb al-shalâh wa al-zakâh,

hadis 14.

93. Ushul Al-Kafi, Vol. 11, hh. 639-642, Kitâb Al-Isyrah, bâb man tukrahu mujalasatuhû wa muráfaqatuh, hadis 1-3.

94. Ibid., Vol. II, h. 600, Kitâb Fadhl Al-Qur'an, hadis 5.

95. Al-Syaikh Al-Shaduq, Al-Amáli, h. 458, Majális 84, hadis 2, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 829, Kitâb Al-Shalah, Bab 3, hadis 6.

96. Ushủl Al-Kafi, Vol. II, h. 627, Kitab Fadhl Al-Qur'ân, bab al-nawâdir, hadis 1.

97. Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 837, Kitâb Al-Shalah, abwâb qira'ah Al-Qur'ân, Bab 8, hadis 7, Tsawab Al-A'mal wa ‘lgab Al-A'mâl, h. 329, 'Iqab Al-Musta'kil bi Al-Qur'ân, hadis 1.

p: 838

Catatan-Catatan

98. QS Tha Ha (20): 125.

99. Tsawab Al-A'mal wa ‘lgab Al-A'mal, hh. 332, 346, 337, Wasâ'il Al-Syi'ah, Vol. IV, h. 837, Kitâb Al-Shalah, abwab qira'ah Al-Qur'ân, Bab 8, hadis 8.

100. Ushûl Al-Kafi, Vol. II, h. 614, Kitâb Fadhl Al-Qur'ân, bâb tartil Al-Qur'ân bi al-shaut al-hasan, hadis 1.

101. Ibid., Vol. II, h. 614, Majma' Al-Bayan, Vol. X, h. 378.

102. Ushul Al-Kafi, Vol. II, h. 615, hadis 4.

Hadis 30

1. Ushủl Al-Kafi, jilid II, kitâb îmân wa al-kufr, bab tentang kegelapan hati.

2. Perlu diketahui bahwa maksud penjelasan ini tidak berarti bahwa ilmu akhlak dan penyelamat hati tidak penting, tetapi yang dimaksudkan adalah bahwa ilmu tersebut harus dianggap sebagai permulaan dan mukadimah yang kemudian diamalkan dan bukannya sebagai tujuan yang utama sehingga kita hanya mempergunakan umur kita untuk mengumpulkan istilah-istilah dan berhenti pada mukadimahnya.

3. Tahapan tinggi ghaibiyyah adalah satu tahapan yang di dalamnya manusia dapat mengetahui hal-hal gaib yang tak dapat diketahui oleh manusia biasa-penerj.

4. Raihâniyyah adalah kesan atau satu tanda yang dihasilkan oleh sâlik (orang yang menempuh jalan ruhani) setelah melakukan riyâdhah (latihan-latihan dalam pengekangan hawa nafsu). Raihâniyyah juga berarti cahaya yang didapatkan dari hasil menyucikan diri-penerj.

5. Al-Jâmi' Al-Shaghir, jilid II, h. 37.

6. Ushủl Al-Kafi, jilid 11, kitab îmân wa al-kufr, h. 3.

7. Ushul Al-Kafi, jilid II, kitab îmân wa al-kufr, h. 1.

8. Ism Al-Jami' suatu nama yang mencerminkan keseluruhan Nama-Nama-Nya secara seimbang-penerj.

9. Ushûl Al-Kafi, jilid I, Kitâb Al-Hujjah, h. 91.

10. Raudhah Al-Kafi, h. 434.

11. Ushûl Al-Kafi, jilid II, kitâb îmân wa al-kufr, juz 3, h. 423.

p: 839

Hadis 31

1. Ushúl Al-Kafi jil. II, kitab al-imân wa al-kufr, bab al-mushafahah, h. 16.

2. Mir’at Al-'Ugûl, Dar Al-Kutub Al-Islâmiyyah, Teheran, jil. IX, h. 70.

3. Ibid., hh. 70-71.

4. Ibid., hh. 70-71.

5. Ushủl Al-Kafi, Kitâb Al-Tauhid, bâb al-nahi ‘an al-shifát, h.1.

6. Ushủl Al-Kafijil.I, Kitâb Al-Hujjah, bâb fi dzikr al-arwah allatî fi al-a'immah 'alaihim al-salam", h.1.

7. Al-Kâfî, jil. 1, Kitâb Al-Hujjah, bâb al-rüh allatî yusaddid Allah ..., h. 1.

8. Bihar Al-Anwâr, jil. XXXIX, h. 313.

9. Mir’ât Al-'Uqul, Dar Al-Kutub Al-Islâmiyyah, Teheran, jil. IX, h. 71.

10. Mirat Al-'Uqûl, jil. IX, h. 71.

11. Ushúl Al-Kâſî jil. I, Kitab Al-Hujjah, bâb al-tafwidh ilâ Rasûlillah Saw.,h. 7.

12. Ushûl Al-Kâfijil. I, Kitâb Al-Hujjah, bâb al-tafwîdh ilâ Rasûlillah Saw., h. 3.

13. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. III, Kitab Al-Hujjah, bâb tafwidh ilâ Rasûlillah Saw., hadis ke-3.

14. Ibid.

15. Mir'ât Al-'Uqúl, jil. III, h. 143.

16. Al-Kafi, jil. I, Kitâb Al-Hujjah, bab ma'rifah al-imâm wa al-radd ilaih, hadis ke-7.

17. Ushûl Al-Kafijil. I, Kitab Al-Hujjah, bab maulûd Al-Nabi Saw., hadis ke-5.

18. Loc.cit, hadis ke-7.

19. Nahj Al-Balaghah, editor Subhi Shalih, khutbah ke-224.

20. Al-'unaqa' al-mughrab atau ‘unaqa' mughrab adalah sejenis burung yang dikenal namanya, tetapi tidak diketahui bentuknya. LihatAgrab Al-Mawârid, entri 'Unuq-penerjemah Persia-Arab.

21. Ushûl Al-Kâfî jil. II, kitâb al-îmân wa al-kufr, bâb al-mushafahah, hadis ke-4.

22. Ibid., hadis ke-2.

23. Ushủl Al-Kafi jil. II, kitab al-iman wa al-kufr, bâb al-mushafahah, hadis ke-14.

p: 840

Hadis 32

1. Ushủl Al-Kafi, jil. 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bab fadhl al-yaqin, hadis ke-2.

2. Mir’ât Al-'Uqúl, jil. VII, h. 359.

3. Mir’ât Al-'Uqûl, jil. VII, h. 356.

4. Mir’ât Al-'Uqúl, jil.VII, h. 357.

5. Wasa'il Al-Syi'ah, jil. XXII, Bab V, yang merupakan bagian dari bab-bab tentang Muqaddamât Al-Tijárah, hadis ke-7.

6. Karena Allah Swt. adalah Zat yang mengatur segala urusan, kami telah melakukan kajian singkat terhadap masalah ini dalam penjelasan kami tentang hadis ke-39 yang menguraikan bahwa Allah menghapuskan utang-utang dan menghilangkan ketakutan.

Hadis 33

1. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab anna al-îmân lâ yadhurruhû mi’ah sayyi'ah, hadis ke-5.

2. Al-Kafi, jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-mu'min wa ‘alāmatuhû, hadis ke-7.

3. Ushûl Al-Kâfi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-mu'min wa 'alāmatuhû, hadis ke-9.

4. Åmålí Al-Thûsî, jil. I, h. 380.

5. Al-Kafi, jil. II, “ kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-thâ‘ah wa al-taqwâ, hadis ke-1 dan 3.

6. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-tha'ah wa al-taqwa, hadis ke-6.

7. Raudhah Al-Kafi, hh. 159 dan 205.

8. Ushûl Al-Kafî jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bab al-tha'ah wa al-taqwa, hadis ke-6.

9. Ushûl Al-Kâfî jil. 11, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-thâʻah wa al-taqwa, hadis ke-3.

10. Bihar Al-Anwâr, jil. XIII, h. 82.

11. Ushûl Al-Kafi jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-îmân la yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-4.

12. Mir'ât Al-'Ugûl, jil. XI, h. 396.

p: 841

13. Ushûl Al-Kâfi jil. II, kitâb al-imân wa al-kufr, bâb al-îmân lâ yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-4.

14. Ushûl Al-Kâfî jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb al-îmân lâ yadhurruhû mi'ah sayyi'ah, hadis ke-6.

15. Kitâb Manâqib Ibn Syahrasyub, jil. 111, h. 197.

16. Syaikh Al-Thusi, Kitâb Al-Amâlî, jil. 1, h. 70.

Hadis 34

1. Ushủl Al-Kafi, jil. II, kitab al-îmân wa al-kufr, bâb man adhâ al-muslimîn, hadis ke-3.

2. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 387.

3. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 388.

4. Syaikh Al-Baha'i mengajukan bantahan terhadap masalah ini ketika beliau menafsirkan hadis ke-35 dalam kitabnya yang berjudul Al-Arbaʻun, dengan mengatakan, “Ini adalah prasangka dan catatan yang mengesankan adanya pertentangan antara hadis ini dan hadis-hadis lainnya yang menyatakan bahwa seorang

Mukmin yang ikhlas itu takut pada kematian dan senang pada kehidupan dunia, dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. yang mengatakan, 'Barang siapa yang senang bertemu Allah, maka Allah pun senang bertemu dengannya.' Pengertian lahiriah hadis ini menunjukkan bahwa seorang Mukmin yang sejati tidak

membenci kematian dan sangat rindu kepadanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebuah riwayat tentang diri Amir Al-Mukminin, yang mengatakan bahwa putra Abi Thalib (Imam 'Ali) adalah orang yang sangat dekat dengan kematian lebih dari bayi pada susu ibunya, dan bahwasanya beliau berkata, saat ditikam

oleh Ibn Muljam, 'Sungguh beruntung aku, Demi Tuhan Ka'bah." Syaikh Al-Syahid memberikan jawaban terhadap sanggahan ini dengan mengatakan bahwa kesenangan untuk bertemu Allah tidaklah terikat oleh waktu dan karena itu ia mencakup kondisi kehadiran maut, pengertiannya, dan hal-hal yang disukai, seba-

gaimana yang dikemukakan oleh Imam Al-Syadiq a.s.-penerj.Persia-Arab.

p: 842

Catatan-Catatan

5. Mir’ât Al-'Uqûl, jil. X, mengatakan bahwa al-nawaſil adalah bentuk jamak dari nafilah, yaitu amal-amal nonwajib, yang dikerjakan semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Adapun pengkhususan artinya sebagai shalat mandub (sunnah) hanyalah merupakan pendefinisian yang dangkal.

6. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 384.

7. Diriwayatkan dari Imam Abu `Abdullah a.s. yang mengatakan, "Sujud di tanah Abu ´Abdillah a.s. dapat menyingkapkan tujuh hijab”—penerj. Persia-Arab. Lihat Wasâ'il Al-Syi'ah, jil. III, Bab ke-16, dari Abwâb ma Yasjuddu 'Alaih, hadis ke-3.

8. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 390.

9. Mir'ât Al-'Uqûl, jil. X, h. 395.

10. Imam Khomeini, qaddasallâh sirrah, menukil pendapat Syaikh Al-Majlisi dengan menyingkatnya. Di sini, kami kutip pendapat Syaikh Al-Majlisi tersebut secara utuh-penerj. Persia-Arab.

11. Mir'ât Al-'Ugûl, jil. X, hh. 392-393.

12. Mir'ât Al-'Uqúl, jil. X, hh. 382-383.

13. Mirât Al-'Uqül, jil. X, h. 383.

Hadis 35

1. Ushủl Al-Kâfi, kitab al-tauhid, båb al-masyi'ah wa al-irâdah, hadis ke-6.

2. Ushủl Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb al-irâdah, annahâ min shifát al-fil, hadis ke-4.

Hadis 36

1. Ushul Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb shiſát al-dzât, hadis pertama.

Hadis 37

1. Ushủl Al-Kâfi jil. I, kitab al-tauhid, bâb annahủ lâ yu‘raf illâ bih, hadis pertama.

2. Ushủl Al-Kâfi jil. I, kitab al-tauhid, bâb annahû lâ yu‘raf illâ bih, hadis pertama.

p: 843

3. Mir'ât Al-'Ugûl, jil. I. h. 298.

4. Kitab Al-Waſi, h. 75.

Hadis 38

1. Ushûl Al-Kafî jil. I, kitab al-tauhid, bâb al-rûh, hadis ke-4.

2. Bihar Al-Anwâr, jil. IV, Bab 3, dari Kitab Al-Tauhid hadis ke-1, h. 11.

3. Mir‘ât Al-'Ugül, jil. II, h. 83.

4. Ibid.

5. Al-Syifa', jil. II dari bagian al-Ilahiyyat, h. 282.

6. Ushûl Al-Kafi jil. I, kitâb al-tauhid, bâb al-nawâdir, hadis ke-7.

7. Mafatih Al-Jinan, Doa Al-Nadbah.

8. Ibid.

9. Ushúl Al-Kâfî jil. 1, kitab al-hujjah, bâb anna al-a'immah nûr Allah, hadis ke-1.

10. Ushul Al-Kâfî jil. I, Kitab Al-Hujjah, bâb anna al-âyât allatî dzakarahâ Allâh fi kitâbih, hadis ke-3.

Hadis 39

1. Ushủl Al-Kâfî jil. I, kitab al-tauhid, bâb al-khair wa al-syarr, hadis ke-1.

2. Mirât Al-'Uqúl, jil. 11, h. 172.

3. Majma' Al-Bahrain, judul Tsayyib.

4. Majma' Al-Bahrain, judul Wail.

Hadis 40

1. Ushủl Al-Kafi, kitab al-tauhid, bâb al-nisbah, hadis ke-3.

2. Tafsir Al-Burhân, jil. IV, h. 526.

p: 844

No

Indeks

Al-aajib, 266

Aban ibn Taghlib, 703

'Abbad ibn Marwan, 557

'Abbad ibn Shuhaib Al-Bashri, 443

'Abd Al-Malik ibn Afyan, 651

'Abd Al-Rahim ibn 'Atik, 651

'Abdul Aziz Al-'Abdi, 135

*Abdul Razzaq Kasyani, 263,315

'Abdullah Al-Anshâri, Khwajah, 262-

263, 350, 416,574

'Abdullah ibn 'Ali, 653

'Abdullah ibn Abi Ya'ſur, 135,519,580

'Abdullah ibn Bahr, 775

'Abdullah ibn Maimun Al-Qaddah, 496

'Abdullah ibn Maskam, 302

'Abdullah ibn Sinan, 135, 345, 430, 481,

597, 673

'Abdullah ibn Sulaiman, 617

*Abdushshamad ibn Bashir, 544

Abi Al-Hasan, 643

‘âbid, 96

perbandingan , 508

Abu ´Abdillah a.s., 135, 149, 177, 206, 219,241,255, 282, 303,326,374, 387,421-423, 425, 430, 442-443

'Abu 'Abdillah a.s. (lanjutan) 452, 459, 475,496,506,511, 518, 544, 557,574-576, 579- 581,586,594,597,599, 608,615, 617,652,674,785 (Lihat juga Al-Imam Al-Shadiq)

Abu `Abdullah a.s., Imam, 277,368, 481, 652, 657,668, 673, 675-676, 686-688,694, 696,738, 761

Abu 'Ubaidah Al-Hadzdza', 458-459

Abu Al-Hasan Al-Awwal (Imam Musa Al- Kazhim), 254,514

Abu Al-Hasan Al-Ridha a.s., 727

Abu Al-Hasan Musa a.s., 464

Abu Al-Hasan, 287

Abu Ayyub Al-Khazzaz, 775

Abu Bashir, 226, 296, 302, 361, 404, 422, 459, 475, 492,514,534, 657, 738

Abu Dzarr Al-Ghifari, 361-363, 370, 430-432, 438-439,573,580,601

Abu Hamzah Al-Tsumali, 191, 320, 345, 518, 582

doa —, 26

p: 845

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

Abu Ja'far a.s., Imam, 64, 208, 226, 345, 404,425, 493,514, 518, 533, 541, 580,590,610, 614,631, 649-650, 652, 657, 662-663, 667-668, 671-672, 690-691,698,

703, 775

Abu Kahmas, 580

Abu Khalid Al-Kamil, 782

Abu Mahbub, 206

Abu Sa'id Al-Qummath, 703

Abu Ziyad, 567

adalah, 627

Adam a.s., Nabi., 104, 141, 152, 179, 501, 763, 777, 781, 815

menciptakan-, 775

'adam al-'ajz, 745

al-afâq, 634

agama, kebenaran, 209

Ahad, 216

ahl al-'ilm, 459

Ahl Al-Bait, 207,332, 346

imam-, 27

ahl al-qulüb, metode, 813

Ahmad ibn 'Umar Al-Hallal, 254

Ahmad ibn Fahd, 357

Ahmad ibn Isa-'Alawi, 443

Ahmad ibn Mahdi Al-Naraqi, 629

Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, 177, 326, 345, 566,761

Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr, 727

Ahmad ibn Muhammad ibn Khalid, 254, 302, 631, 703, 775, 785, 799

Ahmad ibn Muhammad, 135, 150, 206, 265, 481, 496,511, 544

al-'ain al-tsâbitah, 223

'ain al-yaqin, 185

akhlak

keutamaan-, 627

prinsip — buruk, 625

prinsip— mulia, 625

akidah, memamerkan, 33

alam

akhirat, 17

barzakh, 17, 29, 465,559

fisik, 390

fisik dan duniawi, 18

gaib dan batin, 18

malakût, 294,354

materiil, 137

mulk, 294

nonfisik, 390

ruhani, 46

alam

al-afâq, 717

syahadah, 465

Al-'Ali Al-Ridha a.s., Imam, 410-411,

603, 619,621,776

*Ali ibn 'Abdul Aziz, 676

‘Ali ibn Abi Thalib a.s., 26, 60-61, 74, 85-86, 113, 138-140, 149, 180, 191, 203-204, 221, 240, 286, 303, 325, 335, 338-339, 355, 366, 383, 400, 408, 424, 427,

433, 435, 475,516,519,536-537,540,551, 555-556,558, 568-570, 580, 584-585, 600, 609, 611, 621-522, 643-644, 667,670, 691,697, 783

'Ali ibn Al-Hakam, 785

'Ali ibn Al-Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib a.s., 29, 168, 227, 268, 307, 439, 518,536-537, 540, 573, 582, 608, 618, 799

‘Ali ibn Al-Husain Zairial 'Abidin a.s., 172, 630

'Ali ibn Al-Nu'man, 302,566

‘Ali ibn Asbath, 254

'Ali ibn Hadid, 265

air jâri, 487

kurr, 487

‘A’isyah, 363, 404-405, 424-425

akhirat, 136-137, 465

p: 846

'Ali ibn Ibrahim, 219, 243, 282, 296, 387,425, 442, 496,649, 738

'Ali ibn Ja'far, 620

'Ali ibn Muhammad ibn Al-Jahm, 410, 463,495

'Ali ibn Muhammad, 761

'Ali ibn Musa Al-Ridha, Imam, 572

‘Ali ibn Riab, 206

'Ali ibn Salim, 35

'Ali ibn Suwaid, 254

'Ali ibn Thawus, 314

'Ali Zainal Abidin, 85,317

‘âlim, 496,508, 758

keunggulan --- atas ‘âbid, 505

perbandingan--,508

rabbânî, 509

Alisyârât, 224

Allah Swt.

amanat —,583

bantuan—, 21

derajat cinta —, 349

ilham —,449

kebimbangan, 708

keridhaan-,5

kesatuan wujud —,59

memakrifati —, 761

memuji -, 422

mengingat --, 10,22

nama, 728

nama dan sifat --,655

pembagian siſat —, 742-743

pendengaran —, 749

pengetahuan —, 754

penglihatan — 749

rasa cemas dan harapan kepada , 266

tempat siksaan —, 299

'allamah, 464

Al-A'mal, 74,365

Al-'Amali, 689,698

amanat, 578,581, 781

makna —,577

amarah, 150

manfaat daya -, 151

mengendalikan—, 159

mengobati penyakit —, 161

'Ammar Al-Sabathi, 602

Al-ammarah bi al-sû', 183

Amtsal, 284

Anas ibn Malik, 242, 367

al-anfus, 634

fangâ', 767

angan-angan tinggi, buruknya, 200

Al-Anshari, Al-Syaikh, 315, 383

Al-Aqdam, Syaikh, 685, 799

al-'aql al-mujarrad, 665,795

'Arasy, 815

Al-Arba'ûn, 707-708,721

arbâb al-ma'arif wa al-qulüb, 548

Al-'Arqufi, 374

Al-Asfâr, 224

'ashabiyyah, 165-166, 169, 171

bahaya -, 167

jahiliah, 167, 169, 175

kaum intelektual, 174

ashâlah al-hilliyah, 486

ashâlah al-thahârah, 486

Al-Ashbagh ibn Nubatah, 573,621

ash-hab al-qulüb, 188, 714,721

ashhab al-yamin, 32

'Ashim ibn Humaid, 191, 799-800

Asrar Al-Shalah, 388

Aswad ibn Sa'id, 782

asy'ariyyah, 681

mazhab —, 787-788

‘atamah, 594

'Aththar Al-Naisaburi, 717

Aun ibn Al-Qalanisi, 177

aushiya, 417

al-'awalim al-tsalats, 717

ayah, 473

muhkamah, 471, 473

Al-'Ayyasyi, 483

tafsir—, 138

p: 847

Ayyub a.s., Nabi, 296, 315

tubuh-, 297

cobaan, 283

Allah Swt., 283

makna, 288, 389-390

sifat -, 301

Baha'uddin, 531

Al-Baha'i, Syaikh, 342, 704-705, 707- 708, 721, 725

balâ', 283,388

balasan yang tak sepadan, 591

Al-Baqir a.s., Imam, 64, 99, 123-124, 138, 154, 158, 160, 18., 195, 274, 355, 368-369, 398, 492, 507,573, 576, 699,776-777, 782, 802

bashirah, 548

basith. 216

basth, 287

batin

dimensi —, 2

kerajaan –, 13

permusuhan --, 454

batiniah, kemuliaan, 7

benci, makna, 562

bicara, hakikat, 759

Bimasakti, 110

birr (ketaatan), 266

bismillah, 805

Buhtấn, 359 362

Buraid, 459

burhan al-shiddîqîn, 222

burnus, 447

Dabbah syakûr, 415

Dakka, 303

Daud a.s, Nabi, 74, 416

daya

amarah, 17, 19, 23, 153

imajinasi, 3,17

imajinasi dan pencitraan, 19

intelektual, 235

kebinatangan, 19

syahwat, 19,23

dengki, 125

determinisme, 59

dharûriyyât al-din, 592

din, jalan, 397

diri

mementingkan -- sendiri, 46, 49

mendustai -- sendiri, 276

pengawasan-,8

penghambaan-, 307

penghitungan dan penilaian-,9

pengondisian --,8

perjuangan melawan —,5

doa, 292

dosa, 332, 334

meremehkan--, 75

dunia, 137-138,465

kenikmatan —, 217

pencari kenikmatan-, 309

realitas — 140

yang tercela, 135

duniawi

eksistensi, 137

kenikmatan--,5

Durust Al-Wasithi, 464

dusta, 572-573

keburukan—,570

cahaya, 507

hakikat —,638

cinta akan kesempurnaan, 211

diri sebagai sumber ujub, 79

dunia, 138-139, 289-290

kekuasaan, 123

kepada ‘Ali, 697

makna —,562

rasa -- diri, 47

p: 848

dzātiyyah, sifat, 738, 744

dzikrullah, 353

egoisme, 654

larangan mendengarkan -, 381

menyembuhkan penyakit —, 375

pengharaman -, 364

ghibthah, 120, 134

ghina, 538, 541

guru

batin, 285

dua macam-,286

lahiriah, 285

Al-Fadhal ibn Al-Sakan, 761

Fadhdhal, 356

Fadhl ibn Syadzan, 619

fahsya', 94

Al-Faidh Al-Kasyani, 556, 596,629, 769

fakultas di alam batin manusia, 16

Falah Al-Sâ'il, 527

fantasi, 21

farîdhah'âdilah, 480

Fathara, 206

Fathimah, 408,667

fi'liyyah, sifat, 745

filosof, 228

fiqih, ahli, 15

fisikal, kelezatan, 252

Fithrah Allah, 207

Al-fithrah, 206

fitrah

ciri —, 215

dalam hadis sahih, 208

dua dimensi —,218

hukum —, 208

makna ---, 207

Al-Fudhail ibn Yasar, 355,506,518, 594, 643

al-futúhât al-tsalâtsah, 644

Habib Al-Najjar, 296, 298

Al-Hadâ'iq, 596

Al-Hadid, surah, 799,808

hafizh, 268

Al-Haj Mirza Jawad Tabrizi, 547

hal, 457

Hamad ibn 'Utsman, 423

hamiyyah, 168

Hammad ibn Isa, 496, 649

Hamzah ibn 'Abdul Muththalib, 168

haqq al-yaqin, 185

harakah jauharî, 437

harapan, 191, 279

Hari Kebangkitan (al-ma'âd), 111,216, 274

Al-Harits ibn Al-Mughirah, 265

Hariz, 226

Harun ibn Jahm, 631

hasad, 120, 157

ampunan bagi orang --, 133

definisi --, 120

keburukan , 123

obat --, 131

sebab , 122

Al-Hasan Al-Mujtaba a.s., Imam, 603

Al-Hasan ibn 'Ali ibn Abi 'Utsman, 430, 590

Al-Hasan ibn Mahbub, 326

Al-Hasan ibn Muhammad ibn Sama'ah, 404, 408, 426

Hasan, Imam, 569

Hâsid, 121

gaib, keadaan, 555

ghadhab, 150, 192-194, 453

Ghara’ib Al-Bayan, 397

Ghawali Al-la'la'i, 501

Ghayûr, 368

Al-Ghazali, Syaikh, 478-479, 498-499

ghibah, 17, 358-359, 362-363, 369-370, 378-379, 382, 384-385

definisi --, 360

kerugian sosial akibat —, 373

p: 849

Husain ibn 'Ali (lanjutan) tragedi kesyahidar-,68

Al-Husain ibn Abi Sarah, 277

Al-Husain ibn Khalid, 776

Al-Husain ibn Muhammad Al-Thusi, 191,673,689

Al-Husain ibn Sa'id Al-Ahwazi, 544,557, 685, 799

husn al-'âqibah, 72

Husyam r.a., 622

huwa, 344

hati, 632

ada tiga, 637

bagian—, 631

beriman, 636

bertitik hitam, 637

campuran, 636

cermin --, 42

ciri - orang musyrik, 645

keadaan --, 637

kekayaan, 308

makna —, 220

membersihkan—, 278

mukmin, 638

orang beriman, 47

orang mukmin, 644

orang munafik, 644

pembagian —, 634

penyakit -, 39

terbaliknya —, 646

tindakan-,35

tingkatan 4, 633

yang luang, 515

hawa nafsu, 191

bahaya--, 192

Hawa, 179

al-hawa, 193-194

al-hayâlâ al-úlâ, 665

hijab cahaya, 659

kegelapan, 659

hikmah, 92, 104-105, 627

hilliyah, 487

hilm, 442

Hippocrates, 151

hudhûr al-qalb, 528

hudud, 67, 152

hujah, tanda, 678

hujub nûrâniyyah, 622

Humaid ibn Ziyad, 404

Al-Husain ibn 'Ali Al-Wasysya', 673

Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, Al-Imam. 84, 294, 408, 569,600

ibadah, 513,518

arti -,512

pada usia muda, 611

perhatian terhadap --, 523

sunnah, 60

tujuan—,575

wajib, 60

iblis, 5, 47, 50, 54, 56, 104,482

godaan—,51

Ibn 'Abbas, 242, 426,540

Ibn Abi 'Umair, 279, 594

Ibn Abi Najran, 277

Ibn Abi Ya'fur, 177,286

Ibn Fahd, 348

Ibn Mahbub, 135, 282, 345, 481,511

Ibn Mahjub, 785

Ibn Miskawaih, 150-151,629

Ibn Muskan, 738

Ibn Sikkit, 633

Ibn Sina, 224,763, 778

Ibn Sinan, 666

Ibn Thawus, Sayyid, 527

Ibrahim a.s., Nabi, 139, 243, 245, 621-622,718

Ibrahim ibn 'Abdul Hamid, 464

idhafiyyah, 743

ifadhah rahmâniyyah, 482

fiffah, 627

ifthâr, 207

Al-Ihtijaj, 187,427

p: 850

Indeks

ihtiyât, prinsip, 620

ihtiyâth, 486

ijma', 486

ijmáli, 523

ikhlas dalam beriman, 45

definisi - menurut Abdullah Al- Anshari, 396

definisi — menurut Syaikh Baha'i, 396

Ilahi kedekatan —, 414

kehormatan --, 48

nama-nama dan sifat-sifat-, 353

sifat-sifat-, 49

Ilahiah ilham-,482

kehormatan —,53

'Ilal Al-Syara'i', 242,370,533, 621

ilhad, 87

‘illiyyîn, 50, 468

film al-anfus, 717

'ilm al-fi1, 730

film al-yaqin, 185,556

film fi'li, 588

film hudhuri, 548,587

'ilm kulli, 548

al-'ilm, 750

ilmu, 439,762

Allah, 749

cahaya —, 462

dua golongan penuntut —, 451

duniawi, 496

fi'li, 730, 755

fiqih, 479

-ilmu tradisional, 476

jalan--, 496

laduni, 509

muamalah, 478

mukasyafah, 478

penuntut —,495

rasional, 479

ilmu (lanjutan)

tiga golongan penuntut --, 442

ukhrawi, 496

yang bermanfaat, 465

ilqa'ah malakiyyah, 482

imajinasi, mengendalikan, 20

Imâmiyyah, 681,787

iman, 124, 131, 168, 432, 670, 695

hakikat -, 700

hubungan antara — dan amal, 685

keselamatan , 320

immaterial intellect, 465

infi'al nafsânî, 562

al-insan al-kamil, 406,639, 718,720, 781, 783

‘Iqab Al-A'mål, 366,383,615

iqlim, 3

irâdah, 6

‘irfân, 762, 765

ahli —, 15, 228

iri hati, 25

Al-Irsyâd, 536

Isa a.s, 356, 380-381,435-436

Ishaq ibn 'Ammar, 368-369, 376,586, 588

'Ishmah, hakikat, 669

Ishthilahi, 359

Islam, syariat, 238

Isma'il ibn Mahran, 703

israf, 604

Israfil, 711, 813

istighfar, 341

istihbab, 485,595

istirjâ, 686

istithalah, 457

thmi nân, 58

itsar, 601

Izrail, Malaikat, 204,711, 813

Ja'far Al-Shadiq a.s., Imam, 25,355,405, 427,443,455,458,528, 536, 580, 600,624-625, 629-630,689

p: 851

jihad (lanjutan)

melawan diri di alam batin, 12

nafs, 152

jiwa karakter —, 402

kerajaan —, 15

sifat --, 63

sifat, pengaruh, dan aktivitas —, 235

Ja'far Al-Shadiq a.s., Imam (lanjutan)

(Lihat Abu Ja'far Al-Shadiq a.s)

Ja'far ibn Muhammad Al-Asy'ari, 496

Ja'far ibn Muhammad Al-Sha qal, 443

jal, 635

Jabir ibn 'Abdillah Al-Anshari, 657,690- 691

al-jabr, 439, 448, 730, 733, 796, 811

paham-, 794-795

jadal, 503

jahannam al-firaq (neraka perpisahan), 14

jahl, 444

jahl murakkab, 450, 483

al-jalâliyyah, 36

Al-Jalil, Syaikh, 775

jaliyyah al-hal, 221

jam’, 413

Jamâliyyah, 435

jannah al-liqa' (surga pertemuan), 14, 497

jannah al-shiſât, 627

Jarrah Al-Madaini, 40

jasadiah, kehidupan, 390

jasmani latihan-, 339

penyakit —, 249

Al-Jauhari, 206, 266, 283, 359, 388, 427, 444-447, 650, 674, 703, 707, 777, 779, 789, 801

Jibril a.s., Malaikat, 28, 100-101, 241, 245, 293, 437, 500, 502,504, 539,551,558,604, 658, 711, 752

sosok --, 751

jidál, 451-452, 456

jihad akbar, 1

diri. 36

diri dalam dunia batin, 13

diri dalam dunia lahir, 3

kecil, 1

melawan diri, 32

Al-Kabir, Syaikh, 783 Al-Kafi, 40-41, 52, 61,83,97, 138, 154, 158, 186, 195-196, 222, 225-227, 240, 274, 277, 279, 283,

286-287,293-294, 297,317, 319, 321, 323, 348, 355-356, 368, 386, 398, 421, 424, 432, 434, 452,454-455, 469, 492-493,518,

525,531,541,543, 549.573, 575, 577,591,602, 604, 608, 610,612,624,628,630,637-638, 644,651, 657, 662-663, 667,671-672, 688-691,695, 767, 782

kamâlât, 465

al-kamâliyyah, 36

kamilûn, 431

harâmât, 576

Kasr Ashnam Al-Jahiliyyah fi Al-Raddala

Al-Shufiyyah, 553

Al-Kasyani, 553, 659-660,675, 765

Kasyſ Al-Ribah'an Ahkâm Al-Ghibah, 360

Al-Kazhim, Al-Imam, 320

keangkuhan

menyirnakan -- 107

penyebab —, 102

kebaikan, 785

keburukan, 785

sumber-(maſāsid), 72

kecintaan dan kerinduan akan kesempurna-an, 210

yang hakiki, 214

p: 852

Al-Kulaini (lanjutan) (Lihat Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini)

Kumail, doa, 204,325

lahiriah dimensi , 2

eksistensi —,3

kewajiban - 7

nikmat —, 420

lalai, 349

liqâ Allah, 545, 547,560

Luqman a.s., 307

wasial —, 266

kehendak, 6

keimanan

derajat —, 291

puncak — 36

kejujuran, 573

kemarahan, akibat, 157

kematian, saat, 558

kemuliaan di sisi Allah, 41

kemunafikan, 178

perilaku, 178

ucapan, 178

kenabian, kedudukan, 295

keraguan, masalah, 714

kesabaran orang awam, 324

kesempurnaan, 213

mutlak, 213

wujud wajib, 268

kesombongan, 98

ketulusan dalam membaca, 614

khati, 457

khayal, 465

khianat, 578

keburukan - 577

Khidhir a.s, Nabi, 695,711

kisah-, 710

al-khilqah, 206

Al-Khishal, 74,241,370,519

khumus, 486

kibr, 87

derajat –,88

tahapan -,88

Kitab Al-Ikhwân, 370

Kitâb Al-Tauhid, 469

konsentrasi, tingkat, 522

Kota Utama, 579

kubur, siksa, 111

kufr, 42

Al-Kulaini, 83, 135, 224, 274, 277,286, 293, 297, 404, 421-423, 443, 452, 475, 492-493,518,531, 541, 575, 580-581,599,608, 610, 614, 624, 662-663,694,

764-765

al-ma'âd, 188, 461

Ma'âni Al-Akhbâr, 425,629

Ma'shûmîn, 39

Al-Ma'la ibn Khunais, 625

Al-Ma'mun, 410-411

mabda'wa ma'âd, 469

al-mabda', 188

al-madinah al-fadhilah, 579

madzmûm bial--aradh, 480

maftûh, 637

maghrür, 88

Mahdi a.s., Imam, 28, 287

Mahdi ibn Abu Dzar Al-Kasyani Al-

Naraqi, 629

mâhiyah, 765

Mahsüd, 121

Al-Majális wa Al-Akhbâr, 242,361, 370,629

majdzúb, 68

Al-Majlisi, Syaikh, 66, 122, 136,226, 280, 294, 298, 303-304, 342, 346, 359, 388-389, 405, 410, 443-444, 446-447,613,629,650, 660, 663-664, 671-672,674,

681-682, 688,695,697,723,725-726, 776, 787-788

Majma' Al-Bahrain, 484,568

p: 853

Majma' Al-Bayân, 300, 370, 483,561

maksiat, 26

malaikat, 499

bisikan-,482

maut, 558

al-malakah al bathimiyyah, 16

al-malakah al-syahwiyyah, 16

malakah, 349, 457

malakât syaithâniyyah, 17

malaküti, 152

Man Lâ Yahdhuruhu Al-Faqih, 629

Manâzil Al-Sa'irin, 256, 263, 315,589

mankūs, 637

Manshur ibn Yunus, 265, 285

manusia, 283,465

bebas, 303

merdeka, 310

sempurna, 639, 720

magâm, 63

orang-orang pilihan, 281

para Imam a.s., 667

ridha, 261

tawakal, 261

Maqâmát Al-Salikin, 262

marah, 150, 154-156, 160

al-marahil al-anfusiyyah, 718

maraji' taqlid, 491

al-marâtib al-afaqiyyah, 718

al-marâtib al-tsalatsah, 717

Maryam, 154

mash, 485

maslúbah, sifat, 757

mathbû', 632

mati

ketakutan, 432

takut —,429

Matsnawi, 471

maujud mungkin, 267

Maula Al-Muwahhidun, 138

mi'raj, 437

maknawi, 762

Rasul, 550

mi'raj (lanjutan)

ruhani, 245, 763

Mikail, Malaikat, 558,658

Al-Mingari, 387

Miqdad, 502

Mir Damad, 143

Mir'at Al-'Uqul, 664, 681-682

mira’, 31, 451-452, 455-457

Mirza Muhammad 'Ali Syahabadi, 23

Mishbah Al-Hidayah, 658, 720, 768, 781

Al-Mishbah Al-Munir, 359

mistis penyaksian -,223

penyingkapan — (kasyf), 18

moral ketinggian —, 48

penyakit -, 30

sumber kerusakan —, 129

Mu'alla ibn Muhammad, 191,673

Mu'awiyah ibn 'Ammar, 240,566

Mu'awiyyah ibn Wahhab, 326,785

Mu'jam Al-Shihåh, 206, 283

mu'tazilah, 681,787

Al-Mufadhdhal ibn 'Umar, 405-406, 631,668, 688

Al-Mufid, Syaikh, 605, 613

Al-Mughirah, 297

Muhammad Abu 'Abdillah Al-Qazwini, 443

Muhammad Al-Baqir a.s., Imam, 504, 536-537,571,598,629,637,643

Muhammad Al-Jawad a.s., Al-Imam, 603, 606

Muhammad ibn 'Ali ibn Al-Hasan r.a., 622

Muhammad ibn 'Ali ibn Al-Husain, 519, 582

Muhammad ibn Al-Hasan, Al-Syaikh, 370, 463,495, 518

Muhammad ibn Al-Husain, 676

Muhammad ibn Humran, 761

Muhammad ibn Isa, 463

Muhammad ibn Khalid Al-Thayalisi, 544, 738

p: 854

Muhammad ibn Marid, 685-686

al-muqarrabûn, 500,502

Muhammad ibn Muhammad ibn Al Musa a.s., Nabi, 74, 154, 345-346, 350,

Nu'man Al-Mufid, 536,695, 711, 785

Muhammad ibn Muslim Al-Tsaqafi, 459, kisah - 710, 698, 775

Musa Al-Kazhim, Imam, 622

Muhammad ibn Raiyan ibn Al-Shalat, Musa ibn Ja'far a.s., Imam, 427,432,751,696

musibah, 318

Muhammad ibn Sinan, 177,667 al-musyahadah al-hudhûriyyah, 548,587,

Muhammad ibn Ya'qub Al-Kulaini r.a., 670 177, 191, 206, 219, 254, 265,

musyahadah, 765282, 291, 302, 320, 326, 345, Musyarathah, 8, 387,430, 442, 463, 481, 495,

Mutawassithûn, 314, 431,511,514, 544,566, 571, 574,

Muwazanah, 21, 579,586,597,617,631, 649, 673, 703, 727,738, 761,775,

Nâ’ibah, 303, 785, 799

Nabi Saw., sosok lahiriah, 401

Muhammad ibn Yahya, 135, 177, 206,

nabi, peran, 249

326, 345, 430, 481, 496, 544,

Al-Nadhar ibn Suwaid, 799-800

566, 727, 799

naſkhah ilahiyyah, 627

Muhammad Saw., Nabi, 103, 424,507,

nafs, 73

520, 629, 656, 667-668,711

al-nafs al-ammarah, 86, 178, 438, 577,

Al-Muhaqqiq Al-Faidh, 675

Muhaqqiq Damad, 105

al-nafs al-ghadhabiyyah, 627

Al-Muhaqqiq Muhyidin Al-'Arabi, 397..

al-nafs al-nathiqah, 627

muharramât, 380,575

al-nafs al-syahwiyyah, 627

nafsu

Muhlikât, 72

mujahadah, 3, 476

belenggu dan syahwat, 310

mujahid, 8, 10, 20

godaan—,50

keinginan , 199

mukasyafah, 31

mukasyafah qabiyyah, 587

pemuasan —, 306

tawanan —,312

Mukmin

Nahj Al-Balaghah, 250, 335

orang--, 702

najiyah, 297

penderitaan orang-, 293

Najmuddin Kubra, 540

yang ikhlas, 57

nâqishûn, 431

mulki, 152,431

Nashiruddin Al-Thusi, Khwajah, 317,

mulkî riyâ, 393

635

Mulla Shadra, 478,553,635, 715, 730,

nashuh, 343

800

Nauf Al-Bakali, 366

mumkin al-wujûd, 77, 662, 793

Al-Naufazli, 219

Mun'im, 416

Nawa'ib, 303

munafiqun, 186, 188

nawafil, 541

Munâjât Sya'bâniyyah, 520, 549

jumlah , 594,583

p: 855

neraka, 26, 50, 437

akhlak , 15

hakikat --, 436

jahanam, 155

ni'mah, 415-416

niat, 400, 402

yang ikhlas, 393

nifâq, 41-42,63, 177, 179-181, 183-184, 632

akibat —, 180

mengobati penyakit --, 182

tingkat —, 178

Al-Nihayah, 303,632

nikmat, 421

di akhirat, 244

Al-Nudbah, doa, 782

al-núr al-syarif, 795

Qadhi Sa'id Al-Qummi, 745

Al-Qâmûs, 359, 389, 301

Al-Qasim ibn Muhamımad, 387,544

qath'î, 687

qira'ah, adab, 612

qunût, 619

Al-Quran, 469,610

membaca —,608, 614, 616

al-quwwah al-ghadhabiyyah, 16, 151

al-quwwah al-syahwiyyah, 16

al-quwwah al-wahmiyyah, 16

orang munafik, 645

sempurna, 468

yang berlidah dua, 177

pandangan

batin (bashirah), 18

gaib, 37

pasukan

sang Pengasih, 13

setan, 13

pengalaman, kesan, 290

pengetahuan, 656

perbuatan, motif, 56

perbudakan, 311

Platonis, kaum, 563

pribadi agung, penghormaran kepada,

Rabi'i, 649

Al-Raghib, 415

rahm, 580-581

Al-Rahmân, 3

Rajab ‘Ali, 745

rasul, memakrifati, 761

Rasulullah Saw, 28

kesahajaan –, 112

khutbah -,279

wudhunya—, 485

rezeki, 673, 675,677,681

ria, 51, 60, 82, 85

akibat buruk —, 38

dalam hati, 37 d

dalam ibadah, 50

dalam keimanan, 34

dalam perbuatan, 46

tahap kedua--, 34

tahap ketiga - 34

tahap pertama ---,33

tiga ciri-,61

Al-Ridha a.s., Imam, 221,689, 730-733

Rijal Al-Kasysyi, 458

Risaleh-ye liqa' Allâh, 547

riyâ, 33, 384-385, 399, 455, 602

rubübiyyah, 256

ruh, 657-658, 779-780

alamiah, 780

imateriil, 780

karakter —, 234

Ptolemeus, teori, 816

Al-Qabasật, 143

qabdh, 287,649

Al-Qaddah, 496

qadha, 789

p: 856

ruh (lanjutan)

sifat -, 17

ruhani, penyakit, 58

ruhaniah

kemajuan, 6

keunggulan –,52

Rumi, 470

Sa'd, 631,690

Sa'id ibn Kultsum, 536

sabab al-asbâb, 680

sabar bersama Allah (shabr ma'allah), 324

di jalan Allah (shabr fillah), 324

hakikal --, 315

hasil ,316

puncak -- 320

tidak “-, 318

tiga macam-, 322

tingkatan , 321

Sahl ibn Ziyad, 463, 495

sahw, 493

Al-Sajjad, Al-Imam Al-Sayyid, 26

Al-Sakini, 219

salbiyyah, 743, 756

Sama'ah ibn Mihrah, 282, 320

saqar, 25,99

Sayyid Al-Murtadha, 409

Al-Sayyid Al-Radhi r.a., 335

Sayyid Al-Sajidin, Imam, 26

Sayyid ibn Thawus, 516

sebab mutlak, 58

sedekah, 598, 601-602

kebaikan-, 597

rahasia ---, 601

setan, 482, 484

ilham ---, 449

kejahatan —, 399

tipuan--, 623, 641

tipu daya diri --, 72

waham--, 22

shabr'anillah (sabar dari Allah), 324

shabr billâh, 325

Al-Shadiq a.s., Imam, 33, 35, 40-41,61, 83,97-99, 112, 123, 125, 138, 142, 154, 156, 158, 168, 222, 240, 243, 277, 279, 286-287, 293-294, 296-297, 300, 317, 320, 323, 395, 401, 406, 434,451, 454, 456-457, 494,519-520,522, 525,529,531,534, 545, 582, 587-588, 591,602,604, 610, 612, 615-616, 638, 653, 678,

695, 697, 742, 765

shâdiq mushaddaq, 456

Shadr Al-Muta'allihin, 224,465, 498, 502, 508, 764, 802

Al-Shaduq a.s., Imam, 27, 61, 74, 224, 365, 369, 382, 410, 425, 469, 519,

Al-Shaduq a.s., Imam (lanjutan) 522,529,533, 572, 582, 589, 596,764,771, 776

Shaduq Al-Tha'ifah, 572

Shafwan ibn Yahya, 738

Shahib Ya-Sîn, 297

Al-Shahifah Al-Kamilah, 268

al-shahw ba'da al-mahw, 721

shalat, 95,515

al-wustha, 605

‘atamah, 596

berjamaah, 53,

kebaikan malam, 604

tengah malam, 241-242, 244

witir, 594

zawâl, 566, 605

Shamad, 216

sharih, 687

shifah nafsâniyyah, 546

al-shiſât al-kamâliyyah, 750

Shihah Al-Lughah, 447

Al-Shihah, 221, 303, 359, 388-389,444,

446-447,567,632-633, 650, 777

kamus-, 266

p: 857

Syi'ah 'Ali a.s., 688

Ja'far, 689

kaum-,690

Al-Syifa', 778

syirik, 35, 400

batin, 55

ibadah, 393

khafi, 403

lahiriah, 393

nyata, 395

tersembunyi, 395

tingkat —,36

syuhûd, 91

syukur, 416, 424

cara--, 417

hakikat —, 415

kedudukan dalam hadis, 421

tingkatan —, 419

shirath, 433

shûrah al-shuwar, 779

sijjîn, 45,50

siwâk, 566

fadilah-624

sombong, 25, 47

penyakit - 113

spiritual

kehidupan—,354

kehinaan , 308

kejahatan , 290

kenikmatan —, 252

latihan -- (riyâdhah), 18, 339

nabi, 656

penyakit —, 248-249

wali, 656

sû'al-khitâm, 469

Sufyan Al-Tsauri, 425-426

Sufyan ibn 'Uyainah, 387, 395

Suhrawardi, Syaikh, 468, 730, 749

sukhf, 284

Sulaiman, Nabi, 503

suluk, 46

sum'ah, 56,85

definisi ---, 64

sunnah qa'imah, 480

sunnah yang mapan, 471

surga, 437

akhlak, 15

dan neraka dalam Al-Quran, 14

hakikat -, 436

jalan menuju, 496

sifat-,627

Syahabadi, 46, 73, 128, 197, 200, 210, 353, 427, 471,523,554, 718, 763,807

syahwah, 193, 453

syaithâniyyah, 453

syajá'ah, 627

syâhilah, 402

Syarh Al-Tauhid, 745

Syarh Ushul Al-Kafi, 478

Al-Syibli, 325

ta'mir, 497

ta'thil, 653

taʼzir, 152

ta'abbudan, 431

ta'ayyun, 103

tabashbush, 356

tadzakkur, 10,350

tafakur, 4, 220, 274, 350

manfaat dan keutamaan-, 221

tentang alam dunia, 239

tentang Allah, 222, 226-227

tentang ciptaan, 229

tentang keadaan-keadaan ruh

manusia, 233

tentang Zat Allah, 224

Tafsir Al-Burhân, 802

Tafsir Al-Fakhr Al-Razi, 681

Tafsir Al-Kasysyaf, 705

Tafsir Al-Shafi, 561

tafsir bi al-ra'i, 609

al-tafwidh, 262, 439,448, 661-662,664, 730, 733, 796, 811

pengertian -,665

p: 858

tahaqquq, 91-92

Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-A'raq, 150, 518

tahmid, 424

tajalli, 435

tajalliyât, 524

tajjali qayyûmi, 598

Al-Tajrid, 295, 343

takabur, 87-98, 122

ciri khas iblis, 104

derajat ---, 89

keburukan sosial-, 97

keburukan spiritual —, 97

penyebab utama--,91

takut dan khidmat kepada Allah, 391

derajat rasa ~, 269

kepada Allah Taala, 474, 586

rasa m, 279-280

takwa, 246-247

kaum awam, 248

Takwini, 406

al-tanzih wa al-taqdis, 765

taqiyyah, 664, 787-789

tartil, makna, 617

tasybih, 653

tasyri, 406,664

Taubah Nashuh, 342

tauhid, 209,227

Al-Tauhid, 224,549,771

prinsip-, 192

tafsir surah-, 799

tauhid al-af'al, 58

tauhid fi'li, 598

taujih, 503

Taurat, 345-346

tawajjuh, 520

tawakal, 255-256, 262

derajat --, 260

makna - 255

tingkat hati, 259

tingkat rasional, 258

thabi'ah, 453

Al-Thabrisi, 426-427

thaharah, 126, 486-487

Thaharah Al-A'râq, 629

Thalhah ibn Zaid, 142

Thawus, 693

thûbâ, 789

Al-Thusi, Al-Syaikh, 295, 343, 361, 416, 534, 698,722,730

tobat hakikat --, 327-328

kepada Allah, 336

rukun-rukun-, 331

syarat-syarat --, 334

tugas -, 331

Tsaqalain, 266

Tsawab Al-A'mal, 522,524,590

tsubûtiyyah, 756

Tuhan kekasih --, 243

kerajaan , 15

tulus-ikhlas, 35

U'jūbah, 266

'Ubaid ibn Al-Walid, 422

'Ubaid ibn Zurarah, 685

'Ubaidillah ibn 'Abdillah Al-Dinqan, 464

‘ubūdiyyah, 439

'Uddah Al-Da'i, 248, 357

ujian, 283

ujub, 53, 65-66, 87, 122,593, 654

beberapa tingkat -, 65

derajat -, 67

keburukan --,73

orang tidak beriman, 70

ulama sebagai pewaris para nabi, 509

‘ulama' al-sú', 459

'Umar bin Muslim, 676

'Umar ibn Yazid, 406,422-423,511

'Uqûq, 266

'urafa, 405

Ushul Al-Kafi, 224,771,815

p: 859

40 Hadis Telaah Imam Khomeini

Uyûn Akhbar Al-Ridhâ, 410

'Uyûn Al-Akhbar, 590, 621

'Uyûn Al-Ridhâ, 777

Yahya a.s., Nabi, 435-436

Yahya ibn 'Aqil, 191

Yazid ibn Khalifah, 33,576

Al-Yazidi, 789

Yusuf ibn Tsabit ibn Abi Sa'dah, 694

Yusuf a.s., 307

Al-Waſi, 629,650

Wahaib ibn Hafsh, 404

wahdah al-wujûd, 470

Wahidiyyah, 216

wajib al-wujûd, 77, 449,662 748, 793

wara', 96, 442, 455, 575-578

makna dan tingkat ---, 574

Al-Wasâ'il, 60,240, 365, 367,430,458, 485,567,571-572,604

al-waswas al-khannas, 174, 178, 484

waswas, 481-482, 490

obat, 490

sifat --, 484

Al-Wasysya’, 191

watak budak, 306

buruk, 29

jahat, 123

wilayah, 408, 433,515, 576,696

wilayah al-amr, 185

wujud, 765

hakikat ---, 638, 741,753, 809

mutlak, 753

Zainal Abidin a.s., 268, 439, 692

Al-Zamakhsyari, 705

zaqqūm, 14

zat yang wajib wujud, 267

zikir hati, 352

kepada Allah, 348

lisan, 352-354

maksud pengulangan --, 354

manfaat besar -- pada hari kiamat, 355

tersembunyi, 348

Ziyârah Al-Jami*a1 Al-Kabirah, 433

doa—, 782

Al-Zuhri, 608

zuhûd, 576

Zurarah, 64, 205, 459, 492,514,649, 663

p: 860

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109