سرشناسه:یوسفیان، حسن، 1361-
Yusufiyan, Hasan
عنوان قراردادی:کلام جدید . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور:Kalam Jadid[Book]: Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama/ Hasan Yusufiyan; penterjemah : Ali Passolowangi.
مشخصات نشر:Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.
مشخصات ظاهری:484 ص.
فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/280/187، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 26.
شابک:978-964-195-063-9
وضعیت فهرست نویسی:فیپا
یادداشت:اندونزیایی.
موضوع:کلام
موضوع:دین -- فلسفه
شناسه افزوده:پسولواغی، علی، مترجم
شناسه افزوده:Passolowangi, Ali
شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)
شناسه افزوده:Almustafa International UniversityAlmustafa International Translation and Publication center
رده بندی کنگره:BP203/ی9ک7049519 1393
رده بندی دیویی:297/4
شماره کتابشناسی ملی:3649510
p:1
بسم الله الرحمن الرحیم
p: 2
Kalam Jadid
Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama
Dr. Hasan Yusufiyan
penerjemah:
Ali Passolowangi
pusat penerbitan dan
penerjem ah an internasional al Musthafa
p: 3
Kalam Jadid Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama
penulis: Dr. Hasan Yusufiyan
penerjemah: Ali Passolowangi
cetakan: pertama, 1393 sh/2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-063-9
کلام جدید
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعه
تیراژ: 300
قیمت: 145000 ریال
مؤلف: حسن یوسفیان
مترجم: علی پسولواغی
چاپ اول: 1393 ش / 2014م
چاپخانه: نارنجستان
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
Stores:
ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
p: 4
p: 5
p: 6
TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA – vii
PRAKATA – XV
BAGIAN 1: AGAMA DAN TELAAH KEAGAMAAN – 1
Definisi agama – 2
Pelbagai Definisi Agama (Berdasarkan Ruang Lingkupnya) – 3
Aliran-Aliran Kepercayaan yang Menerima Tuhan (Teisme) dan
yang Menolaknya (Ateisme) – 4
Aliran-Aliran yang Menyakini Keberadaan Supra-Insani – 5
Aliran-Aliran yang Percaya Tuhan (Teisme): Tauhid dan Non-
Tauhid – 6
Aliran-Aliran Kepercayaan yang Bertauhid (Monoteis) – 7
Definisi Agama Berdasarkan Teori Kemiripan Keluarga – 9
Agama dan Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar Manusia – 11
Filsafat Agama dan Kalam Jadid – 13
Teologi Filsafat – 17
Studi Agama-Agama – 18
Kesimpulan – 19
Pertanyaan – 21
BAGIAN 2: ASAL USUL AGAMA – 23
Pelbagai Macam Pandangan tentang Asal Usul Agama – 24
Ketakutan pada Peristiwa-peristiwa Alam – 24
Ketidaktahuan Sebab-Sebab Riil dari Fenomena-Fenomena – 28
Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama X
p: 7
Kompleks-Kompleks Psikis – 33
Alienasi – 44
Wahyu, Akal, dan Fitrah – 54
Kesimpulan – 57
Pertanyaan – 58
BAGIAN 3: PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN – 61
Beberapa Argumen Pembuktian Wujud Tuhan – 65
Argumen Ontologis – 67
Argumen Shiddiqin – 72
Argumen Kosmologis – 77
Argumen Keteraturan (Argument from Design) – 88
Argumen Fitrah – 97
Beberapa Argumen Lainnya – 105
Kesimpulan – 109
Pertanyaan – 112
BAGIAN 4 SIFAT-SIFAT TUHAN – 115
Pelbagai Macam Dimensi Pembahasan Sifat-Sifat Tuhan – 116
Kepemilikan Tuhan atas Sifat-Sifat – 116
Hubungan Sifat-Sifat antara Satu dengan Lainnya dan dengan
Dzat – 118
Mungkinnya Mengetahui Sifat-Sifat Tuhan – 123
Jalan Mengenal Sifat-Sifat Tuhan – 124
Sifat-Sifat Ilahi dan Insani (Komparasi Etimologis) – 128
Kesesuaian Internal dan Eksternal – 128
Keselarasan Internal Sifat-Sifat Tuhan – 129
Paradoks Kekuasaan Mutlak – 132
Permasalahan-Permasalahan Ilmu Azali dan Menyeluruh – 136
Tuhan dan Pengetahuan tentang Kejadian-kejadian
Partikular – 137
Pengetahuan Apriori Tuhan dan Ikhtiar Manusia – 140
Tidak Berubah, Kesempurnaan atau Kekurangan? — 143
Kesimpulan – 148
Pertanyaan – 149
p: 8
BAGIAN 5: POSISI KEBURUKAN DALAM SISTEM
PENCIPTAAN – 151
Mengingkari Keburukan atau Mengingkari Sifat-Sifat Tuhan? – 153
Keselarasan Keburukan-Keburukan dengan Tuhan Agama-
Agama Tauhid - 158
Tiadanya Keburukan – 158
Relativitas Keburukan – 161
Keburukan Adalah Prasyarat bagi Terwujudnya Kebaikan-
Kebaikan – 163
Keburukan Merupakan Instrumen untuk Penyempurnaan
Manusia – 169
Kesimpulan – 173
Pertanyaan – 174
BAGIAN 6: KEBUTUHAN TERHADAP AGAMA – 177
Dalil Kebutuhan terhadap Agama Wahyu – 179
Jawaban Agama atas Kebutuhan Mendasar Jiwa – 183
Memberi Makna bagi Kehidupan – 184
Mengurangi Dahaga akan Keabadian – 188
Menguatkan Kesabaran dan Ketabahan – 190
Mengurangi Kecemasan dan Kekhawatiran – 192
Selamat dari Pusaran Kesepian – 192
Fungsi Sosial Agama – 194
Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan – 195
Jaminan Pemenuhan Keadilan dan Peradilan – 198
Jaminan Keriangan dan Dinamisasi – 200
Mendukung Moralitas Mulia – 203
Mengatur Hubungan-Hubungan Sosial – 205
Harapan Manusia terhadap Agama – 208
Kesimpulan – 212
Pertanyaan – 213
BAGIAN 7: BAHASA AGAMA – 215
Bahasa Wahyu – 217
Peran Budaya Zaman – 218
Agama dan Bahasa Simbolis – 222
p: 9
Kebutuhan atas Takwil – 228
Bahasa Manusia dan Sifat-Sifat Ilahi – 229
Teologi Penegasian – 230
Kesamaan Makna – 233
Predikasi Analogis – 237
Kebermaknaan Proposisi-Proposisi Religius – 240
Kesimpulan – 244
Pertanyaan – 245
BAGIAN 8: AKAL DAN WAHYU – 247
Terminologi – 249
Akal dan Wahyu – 250
Akal dan Agama – 251
Agama dan Filsafat – 252
Ilmu dan Agama – 254
Pelbagai Macam Cara Pandang terhadap Masalah "Akal dan
Wahyu" – 255
Rasionalisme – 256
Fideisme – 264
Literalisme – 268
Kesimpulan – 274
Pertanyaan – 275
BAGIAN 9: PENGALAMAN KEAGAMAAN – 277
Faktor-Faktor yang Berpengaruh atas Cara Pandang Empiris
terhadap Agama – 280
Lemahnya Sistem-Sistem Filosofis dalam Melakukan Pembelaan
Rasional terhadap Doktrin-Doktrin Keagamaan — 280
Kritik terhadap Kitab Suci – 281
Perjumpaan dengan Agama-Agama Lain – 283
Kebersamaan dalam Kafilah Ilmu Empiris – 283
Antroposentrisme Menggantikan Teosentrisme – 284
Analisis Materialistis terhadap Fenomena-Fenomena yang
Tampak Bersifat Supranatural – 285
Klasifikasi Beberapa Pengalaman Keagamaan – 286
p: 10
Pengalaman-Pengalaman Indriawi (Pseudo Indriawi) dan Bukan
Indriawi – 286
Pengalaman Religius yang Orisinal dan Pengalaman
Pengalaman yang Bersifat Tafsiran – 292
Pengalaman-Pengalaman yang Menghasilkan Pengetahuan serta
Menghidupkan – 295
Watak Pengalaman Keagamaan – 296
Pandangan tentang Pengalaman Wahyu dalam Dunia Islam – 298
Tafsiran Pengalaman Keagamaan dan Batasan-Batasan
Manusiawi – 300
Kesimpulan – 305
Pertanyaan – 307
BAGIAN 10: PLURALISME AGAMA – 309
Ragam Pandangan Ihwal Kebenaran dan Keselamatan Agama-
Agama – 310
Eksklusivisme – 310
Inklusivisme – 313
Pluralisme – 315
Jenis-Jenis Pluralisme Agama – 317
Pluralisme dalam Perilaku – 318
Pluralisme dalam Keselamatan – 320
Pluralisme dalam Kebenaran – 323
Dasar-Dasar Filosofis-Teologis Pluralisme Agama – 326
Relativitas Hakikat – 327
Kesempitan-Kesempitan Persepsi Manusiawi – 329
Keluasan Rahmat dan Hidayah Ilahi – 332
Pluralisme dalam Agama (Variasi Tafsiran) – 335
Kesimpulan – 339
Pertanyaan – 341
BAGIAN 11: AGAMA DALAM ARENA SOSIAL – 343
Terminologi – 344
Sekularisme dan Sekularisasi – 345
Laisisme dan Laisisasi – 350
Almāniyah – 351
p: 11
Dukungan-Dukungan Pemikiran bagi Sekularisme – 352
Humanisme – 353
Rasionalisme – 357
Liberalisme – 359
Agama dan Politik dalam Islam – 361
Ruang Lingkup Agama, Kajian Eksternal Agama atau Internal
Agama? – 362
Nabi Islam dan Pembentukan Pemerintahan – 366
Hubungan Agama dan Politik dalam Beberapa Ayat dan
Riwayat – 367
Lampiran: Uraian tentang Liberalisme – 372
Kesimpulan – 376
Pertanyaan – 377
BAGIAN 12: AGAMA DAN MORALITAS – 379
Kebutuhan Moralitas kepada Agama – 381
Dalam Defenisi Konsep-konsep – 382
Dalam Benarnya Proposisi-Proposisi – 383
Dalam Menyingkap Proposisi-Proposisi – 390
Dalam Kenyataan Praktis – 392
Moralitas dan Bantuan Kepada Agama – 393
Argumen Moral Pembuktian Wujud Tuhan – 394
Tiadanya Keselarasan antara Klaim Agama dan Moral – 396
Lemahnya Fondasi-Fondasi Moralitas Akibat Keterjauhan
Agama dari Akal – 397
Pengetahuan Primordial Ilahi, Perusak Moral – 398
Agama, Pencetus Moralitas yang Bersifat Niaga – 399
Keteguhan Etika Religius dan Perubahan pada Alam – 402
Tiadanya Perhatian Etika Religius atas Kemuliaan Manusia – 403
Agama dan Promosi Moralitas Perbudakan – 405
Kesimpulan – 411
Pertanyaan – 413
DAFTAR PUSTAKA – 415
INDEKS – 463
p: 12
Alhamdulillāh al-ladzī hadāna lihadzā wa mā kunnā linahtadiya laulā an hadānaLlāh (QS Al-A'rāf [7]: 43).
Buku yang ada di depan Anda merupakan buku pelajaran (daras) yang disusun berdasarkan penelitian dalam tema Kalām Jadīd (filsafat agama).
Apa yang populer sebagai ilmu Kalam di tengah-tengah kaum Muslim, setidaknya semenjak abad kedua hijriah,(1) merupakan ilmu yang membahas tentang penjelasan dan pembuktian akidah-akidah Islam serta pembelaan atasnya. Ilmu ini, dengan alasan mengkaji dasar-dasar akidah dan "prinsip-prinsip agama atau ushuluddin" (dan puncaknya adalah masalah tauhid dan sifat-sifat Tuhan) —disebut pula dengan nama-nama seperti "fikih agung (fiqh al-akbar)(2) sebagai bandingan dari fikih kecil (fiqh al-ashgar) yang bertanggung jawab menjelaskan tugas-tugas praktis dan cabang-cabang agama (furū'uddīn),
p: 13
'ilmu tauhid dan sifat', 'ilmu ushuluddin'.(1)" Dalil-dalil penamaan ilmu ini dengan “Kalām" (Teologi) dapat disebutkan dalam bentuk sebagaimana berikut ini :
1. Pada karya-karya awal yang ditulis dalam tema ini, bagian-bagian berbeda-beda dari tulisan tersebut dipisahkan antara satu dengan lainnya dengan judul "al-Kalām fi .... "(2) 2. Salah satu masalah awal dan menjadi perdebatan sengit dalam ilmu ini ialah masalah kekekalan (qadim) dan kebaruan (hadits) "kalām" Tuhan.
3. Mempelajari ilmu ini, dapat menjadikan seseorang mampu berbicara (takallum) dalam hal-hal yang bersifat akidah atau kepercayaan.
4. Kekuatan argumen-argumen yang diterapkan dalam ilmu ini sedemikian rupa sehingga seolah nama kalām (pembicaraan), dibandingkan dengan ilmu ini, tidak dapat diletakkan bagi doktrin-doktrin ilmu-ilmu lainnya.
5. Sebagaimana para filsuf menggunakan suatu ilmu yang dinamakan dengan "logika (mantiq)", para ilmuwan agama pun memilih suatu nama yang serupa bagi pengetahuan mereka (kalām-sebagaimana mantiq [logika]—dalam kamus bermakna "pembicaraan atau percakapan"). Dengan penjelasan lain, sebagaimana mantiq (logika) menjadikan seseorang mampu berbicara dalam hal-hal yang bersifat rasional ('aqliyyat), "kalām" akan melebihkan kemampuan dialog tentang hal-hal yang bercorak syar'i. (syar`iyyat).(3) Bagaimanapun, dewasa ini terkadang sifat "jadīd (baru)" ditambahkan pula pada "kalam" dan dipakai dengan sebutan "kalām
p: 14
jadīd." Maksud dari istilah ini serta hubungannya dengan istilah-istilah seperti "filsafat agama" dan "teologi filosofis" akan dijelaskan pada bagian pertama buku ini.
Mengawali pembicaraan, dengan tujuan pengenalan secara global atas kekhususan-kekhususan karya ini serta pengajuan saran-saran guna pemanfaatan semaksimal mungkin darinya, kami mengajak para pembaca untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini :
1. Tujuan penulisan buku ini bukan hanya sekedar mengadakan suatu teks pelajaran dalam tema yang telah disebutkan, salah satu tujuan utama penulis adalah ikut andil dalam penelitian-penelitian yang dilakukan dalam tema ini khususnya dalam upaya pembumian pembahasan-pembahasan yang mempunyai warna dan bau Barat.
2. Bagian-bagian yang berbeda-beda dalam buku ini, di samping menjaga kesingkatannya, secara relatif terbilang lengkap atau menyeluruh; di mana terkadang di bawah suatu tema dapat ditemukan poin-poin yang tidak terlihat dalam karya-karya tersendiri yang membahas tema yang sama. Pengabungan antara dua kekhususan ini (singkat dan menyeluruh) mungkin saja menyulitkan bagi sebagian pelajar (mahasiswa) dalam menelaah karya ini (khususnya bagi mereka yang menganggap sama antara "buku daras" dan "buku pelajaran untuk belajar sendiri (otodidak)".
Bahkan, dalam pembahasan-pembahasan yang bersifat cabang dan catatan pinggir pun, kebanyakan kami dasarkan pada "kelengkapan dalam penelitian" dan "pemilihan ucapan dalam penulisan." Terkadang gagasan-gagasan dalam satu bingkai atau catatan kaki pendek merupakan hasil dari beberapa jam penelitian disertai dengan pemakaian kitab-kitab dalam bentuk software komputer.
3. Sedapat mungkin kami berupaya merujukkan pembaca pada sumber-sumber awal. Begitu pula, guna memperhatikan kondisi para pembaca, di samping penggunaan sumber dengan bahasa asli, terkadang kami rujukkan pula kepada terjemahan Persia-nya.
Poin yang perlu kami tegaskan di sini adalah bahwa penggunaan buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa lain, tidak mesti bermakna sebagai pengesahan terjemahan mereka.
p: 15
4. Gagasan-gagasan yang terdapat pada bingkai (frame) kebanyakan dirancang untuk memancing atau mengajak partisipasi para pelajar (mahasiswa) dan keaktifan mereka. Tulisan dalam bingkai ini terkadang mengisyaratkan poin komplementer dan terkadang pula memberi kedalaman pada gagasan-gagasan teks inti. Saran atau rekomendasi kami kepada para dosen (guru) yang terhormat adalah agar tidak melewatkan begitu saja aktivitas-aktivitas dalam kelas ini dan sedapat mungkin memanfaatkannya secara maksimal. Walaupun demikian, tulisan-tulisan dalam bingkai- bingkai ini menjadikan teks pelajaran lebih fleksibel dan jika dalam pandangan para dosen (guru) yang mulia lebih maslahat [tidak memasukkannya], anda dapat menghapus sebagiannya atau menyerahkannya kepada para pelajar (mahasiswa).
5. Pengajaran secara sempurna buku ini, setidaknya memerlukan waktu yang setara dengan empat SKS mata kuliah. Meskipun demikian, para dosen (guru) yang terhormat dapat memilih bagian- bagian tertentu untuk diajarkan dengan memperhatikan aspek aspek, seperti tingkat pembelajaran para pelajar (mahasiswa) serta bacaan-bacaan (penelaahan) mereka sebelumnya.
Terakhir, saya merasa berkewajiban untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas upaya semua orang-orang yang turut andil dalam penyusunan atau penyelesaian karya ini, khususnya kepada para guru yang mulia bapak Dr. Ahmad Ahmadi dan Dr. Mahmud Fath Ali—atas petunjuk dan arahan-arahan berharga mereka. Tindak lanjut dan penanganan yang sungguh-sungguh bapak Sayyid Abul Fadhil Hasani, pimpinan pengadaan teks-teks (daras] Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini beserta rekan-rekan beliau dan penghargaan yang layak pula atas usaha para penanggung jawab lembaga pengkajian dan pengadaan buku-buku ilmu-ilmu humaniora universitas.
Tentunya penulisan buku ini-yang kadang-kadang terhenti dalam rentang waktu yang cukup lama-dilakukan selama lima tahun dan sekitar setengah darinya (lima bagian dari dua belas bagian) terpilih sebagai penelitian terbaik pada tahun 1383 S. oleh kongres peneliti agama dalam negeri.
Wa akhir da wānā 'anil hamdu lillāhi rabbil alamin Dr. Hasan Yusufiyan
p: 16
Semoga Allah mengasihi orang yang mengetahui dari mana ia datang, di mana ia sedang berada, dan kemana ia akan pergi.(1) hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa sejarah manusia sejak awal telah berkelindan dengan agama dan seseorang tak pernah mendapati dirinya tidak butuh dengannya.(2) Bahkan, banyak pula di antara kaum ateis yang meyakini bahwa "kosongnya dunia dari agama" merupakan angan-angan absurd lantaran masa depan masyarakat manusia sebagaimana masa lalunya-senantiasa bersama atau beriringan dengan kepercayaan-kepercayaan agama.
Penelitian tentang fenomena lama (tua) ini (dengan memanfaatkan akal dan teks-teks agama) senantiasa menyita pikiran manusia dan tulisan ini sendiri merupakan sebuah usaha untuk menempuh jalan tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita menganalisis kembali definisi agama dan meninjau lagi pelbagai term yang terkait dengan studi keagamaan.
p: 1
Betapa banyak term yang digunakan secara berulang-ulang dalam obrolan sehari-hari, tetapi pengajuan definisi yang tepat dan akurat terhadap term-term tersebut bukanlah pekerjaan mudah. Menurut sebagian peneliti, agama berada dalam deretan term-term yang penggunaannya mudah, tetapi merefleksikan hakikat-hakikat yang begitu variatif dan beragam bukanlah hal yang mudah.(1) Agama Islam dengan pandangan ketauhidan (Monoteisme) menekankan wahyu dan teosentris, orang-orang Kristen berpijak kuat pada doktrin Trinitas (meskipun mereka menyebut hal itu tidak bertentangan dengan tauhid), para pengikut ajaran Zoroaster cenderung kepada konsep Dualisme serta menggambarkan pencipta keburukan dan kebaikan terpisah antara satu dengan lainnya.(2) Pada sebagian sekte-sekte ajaran Budha, tidak dapat ditemui adanya jejak Tuhan (dalam pengertian yang sesungguhnya dari kata ini),(3) dari sisi lain August Comte (1798—1857 M) mendirikan agama "pemuja manusia"(4) dan Karl Marx (1818–1883 M) yang memandang agama-agama pada masa itu sebagai candu masyarakat,(5)telah menjadi perintis dan pendiri sebuah agama baru.(6) Kebanyakan di antara orang-orang yang mendefinisikan agama, mengamati sekte yang ia terima dan menutup mata dari agama-agama lainnya. Walaupun demikian, apabila kita ingin mengajukan suatu definisi universal atas agama (bukan hanya pada agama benar) dari sudut pandang seorang peneliti agama, kita akan diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut:
p: 2
Apakah sebuah definisi yang mencakup seluruh aliran-aliran kepercayaan memungkinkan disebut sebagai agama? Kesamaan ciri-ciri manakah yang menghubungkan antara agama-agama langit yang percaya Tuhan (theism) dengan aliran-aliran keagamaan bumi yang humanis? Sebelum kita berupaya mencari sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, terlebih dahulu kita tinjau sebagian di antara definisi-definisi yang diajukan oleh para pemikir Muslim maupun non-Muslim.
Definisi agama dapat diklasifikasi berdasarkan sudut pandang yang beragam.(1) Misalnya, sebagian di antara definisi membahas fungsi agama dan sebagiannya lagi menganalisis tentang esensi agama.(2) Begitu pula, berdasarkan sebagian definisi, agama merupakan sesuatu yang bersifat personal dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan; sementara pada saat yang sama menurut sebagian definisi lainnya, agama merupakan suatu petunjuk praktis yang komprehensif yang mencakup segala sesuatu sedemikian sehingga tak ada satu pun masalah-masalah duniawi atau ukhrawi yang terlewatkan di dalamnya tanpa sebuah jawaban.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Merenungkan Kembali Sebagian dari Definisi- Definisi Agama Dengan menyebutkan beberapa definisi psikologis, sosiologis, dan naturalistis (materialistis) dari agama, John Hick (1922 M) mengajukan beberapa contoh berikut ini untuk setiap masing-masing darinya:
1. Definisi psikologis: Perasaan-perasaan, perbuatan- perbuatan, serta pengalaman pengalaman individu
p: 3
ketika berada dalam kesendirian, pada saat ketika mereka mendapati diri mereka berhadapan dengan setiap apa yang mereka namakan Tuhan (William James).
2. Definisi sosiologis: Sekumpulan keyakinan-keyakinan, perbuatan-perbuatan, syair-syair, serta institusi- institusi religius yang dibangun oleh individu-individu manusia dalam masyarakat yang berbeda-beda (Parsons).
3. Definisi naturalistis (materialistis): Sekumpulan perintah-perintah dan larangan-larangan yang mencegah bekerjanya potensi-potensi kita secara bebas (Reinach).(1) Dengan membandingkan ketiga definisi di atas, diskusikanlah tentang sisi perbedaannya! Dari sudut pandang lain, sebagian definisi mencakup banyak di antara aliran-aliran yang heterogen (misalnya: penyembah Tuhan dan penyembah manusia); sementara sebagian lainnya mengeluarkan sebagian besar aliran-aliran ini dari lingkaran cakupan agama. Berdasarkan kriteria yang terakhir, beragam definisi tentang agama dapat dibagi atau dikelompokkan sebagai berikut:
Sebagian pemikir memaknai istilah agama dengan begitu luas hingga meliputi banyak aliran-aliran kepercayaan yang umumnya tidak disebut sebagai agama, Allamah Thabathabai (1281–1360 S) berpendapat bahwa menurut pandangan al-Qur'an, agama disebut sebagai jalan dan tata cara kehidupan serta berdasarkan hal ini
p: 4
Mukmin dan kafir (bahkan mereka yang sama sekali ingkar terhadap wujud Pencipta) bukanlah tanpa agama. (1) Tak dapat dipungkiri bahwa manusia dalam kehidupannya memiliki jalan dan tata cara sendiri serta menggunakan metode atau cara-cara yang tipikal. Menurut Allamah Thabathabai, "agama adalah cara hidup itu sendiri"(2) entah itu berasal atau diperoleh dari kenabian dan wahyu atau dengan jalan penetapan dan kesepakatan manusia. (3) Tentu sangat jelas bahwa pengajuan definisi seperti ini tidaklah bermakna sebagai pengakuan atau penerimaan atas seluruh cara-cara dan jalan-jalan yang ada, karena pada tahap selanjutnya, dengan pembagian agama menjadi "Ilahi" dan "insani"(4) begitu pula "agama benar" dan "agama batil"(5) menjadi jelas, bahwa tidak setiap agama dapat diterima.
Sebagian pemikir Kristen berkeyakinan bahwa agama setiap orang adalah ketundukan atau penyerahan diri terhadap sesuatu yang diyakini sebagai tujuan akhir kehidupannya. Berdasarkan hal ini, "permasalahan kita bukan pada tidak adanya jalan atau mazhab", tetapi pada "adanya mazhab tidak benar." (6)
Terdapat segolongan penulis yang sedikit membatasi atau mempersempit cakupan definisi agama dan menyebut kepercayaan terhadap suatu eksistensi suprainsani atau supranatural(7)—yang tidak mesti sama dengan konsep Tuhan-sebagai faktor pembentuk agama.
Berdasarkan hal ini, James J. Prizer (1854—1941 M) seorang antropolog Inggris menulis: "Agama adalah sejenis pengaduan
p: 5
hati terhadap kekuatan-kekuatan yang lebih unggul dari manusia serta menganggap bahwa kendali alam dan kehidupan manusia berada ditangannya."(1) Dalam suatu definisi lain yang searus dan sealiran dengan ini disebutkan: "Agama terbentuk dari sekumpulan kepercayaan-kepercayaan, perbuatan-perbuatan, dan perasaan perasaan (individual dan kolektif) yang terangkai di seputar konsep hakikat akhir."(2) Penulis buku "Reason and Religious Belief" menambahkan penjelasan berikut ini pada definisi yang terakhir, bahwa hakikat akhir ini-bergantung pada pelbagai macam kepercayaan-kepercayaan agama yang berbeda-beda-bisa "satu atau banyak", "tertentu atau tidak tertentu", "Ilahi atau non-Ilahi."
Sebagian dari pemikir berkeyakinan bahwa apabila dalam suatu ideologi atau aliran keagamaan jejak-jejak kepercayaan akan adanya Tuhan tidak dapat ditemukan, maka ia tidak pantas dinamakan sebagai agama. Berdasarkan hal ini, salah seorang pemikir Muslim berkata, "Agama ... secara terminologis bermakna kepercayaan atau keyakinan atas adanya pencipta bagi alam semesta dan manusia, begitu pula dengan petunjuk-petunjuk praktis yang bersesuaian dengan keyakinan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mutlak tidak memercayai eksistensi pencipta dan menyatakan kemunculan fenomena-fenomena alam sebagai suatu kebetulan atau hanya sebagai akibat dari aksi reaksi materi yang bersifat natural, dikatakan sebagai orang-orang yang tidak beragama. Berlawanan dengan itu, orang- orang yang percaya dengan keberadaan pencipta alam semesta- meskipun kepercayaan-kepercayaan religius mereka disertai dengan penyimpangan-penyimpangan dan berbagai bentuk khurafat-disebut sebagai orang-orang yang beragama. Atas dasar itu, agama-agama yang
p: 6
hadir di tengah-tengah umat manusia kita bagi menjadi benar dan batil. "(1) Kebanyakan di antara pemikir Barat memasukkan pula unsur kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan ke dalam definisi-definisi agama. Sebagai contoh, mereka mengatakan: "Agama yakni percaya kepada Tuhan atau tuhan-tuhan tertentu yang layak ditaati dan disembah."(2)
Kebanyakan ulama atau pemikir Muslim mengemukakan defenisi- definisi agama yang tidak mencakup aliran-aliran kepercayaan non-Ilahi dan non-Tauhid.(3) Sebagai contoh, Ibn Maitsam Bahrani (636–699 H) menyebut agama (dīn) setara atau sama dengan syariat-syariat yang telah disampaikan nabi-nabi Tuhan(4) dan istilah ini sendiri oleh sebagian ulama Syiah dan Sunni ditafsirkan seperti ini: "Agama merupakan nama bagi segala sesuatu di mana penyembahan di dalamnya diinginkan Allah dari makhluk-Nya dan diperintahkan penegakannya. "(5) Berdasarkan hal ini, seorang pemikir Muslim-dalam suatu pernyataan di mana pernyataan semacam ini banyak pula ditemui dalam perkataan para pemikir lainnya mengungkapkan bahwa agama mempunyai dua rukun dasar, 1) Percaya dengan keberadaan Tuhan Yang Esa, pemilik seluruh sifat-sifat kesempurnaan. 2) Program atau tuntunan praktis dalam rangka bergerak ke arah tujuan (meliputi moralitas dan hukum-hukum fikih).(6) Para pemikir non-Muslim pun terkadang mengaitkan agama dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa. Sebagai contoh, mereka berkata seperti ini: "Agama adalah kepercayaan terhadap
p: 7
Tuhan yang senantiasa hidup, menguasai alam semesta, dan memiliki jalinan atau hubungan-hubungan etis dengan golongan manusia. (1) Poin penting yang patut diperhatikan ialah bahwa mereka yang di suatu waktu menunjuk beberapa objek (mishdāq) dari istilah agama ini dengan begitu luas-misalnya; "Setiap bentuk metode atau cara hidup disebutnya sebagai agama" — tetapi pada waktu lain menjadikannya begitu sempit, yaitu "Suatu dasar-dasar dan aturan-aturan ilmiah di mana dengan meyakini dan beramal dengannya, akan menjamin kebahagiaan hakiki manusia."(2) Diajukannya berbagai macam definisi ini, tidak serta-merta bermakna timbulnya suatu perubahan atau adanya sikap inkonsistensi dalam pandangan para pemikir ini, tetapi yang sebenarnya ialah sesuatu yang didefinisikan itu terkadang adalah "agama nyata" (agama secara mutlak) dan terkadang pula "agama benar." Bagaimanapun, kesulitan-kesulitan mendefinisikan agama dengan jalan menunjuk unsur kesamaan di antara agama-agama, menyebabkan sebagian pemikir menempuh jalan lain dan dengan menghitung tipologi khusus yang bersifat fleksibel, seluruh atau sebagian di antara tipologi tersebut, mereka sebut sebagai unsur-unsur pembentuk agama. (3) Misalnya, sebagian peneliti agama dari Barat menyebutkan bahwa keenam dimensi di bawah ini (tentunya dengan berbagai manifestasi dan penampakan yang sangat beragam) dapat ditemukan pada seluruh agama, (4)yaitu syiar-syiar (ritual dan peribadatan), mitos-mitos (cerita dan kisah-kisah yang bersifat metaforis serta enigmatis), kepercayaan,
p: 8
etika, urusan-urusan sosial, dan urusan-urusan yang berkenaan dengan pengalaman (penyaksian-penyaksian batin). (1) Sebagian lain, setelah menghitung sembilan ciri-ciri khusus, menekankan poin ini bahwa sesuatu yang menjadikan sebuah agama itu agama, bukan semuanya tetapi seukuran yang diperlukan dari pelbagai tipologi tersebut, sesuai dengan takaran secukupnya. (2) Pendapat ini-yang akan dijelaskan sekarang-menjadi lebih jelas dalam kerangka "teori kemiripan keluarga (family resemblances)."
Wittgenstein seorang filsuf terkenal Austria, dengan mengemukakan suatu teori yang ia namakan dengan teori "kemiripan keluarga" (family resemblances),(3) berkeyakinan bahwa hakikat-hakikat yang beraneka ragam yang terhubungkan antara satu dengan lainnya dalam satu jaringan, tetapi tidak mempunyai kesamaan menyeluruh, dapat disebut dengan satu nama.
Ia menjelaskan teori ini dengan menggunakan term yang sebelumnya telah dikenal yaitu "permainan" (game). Pertanyaan yang jawabannya ia cari adalah kesamaan ciri-ciri manakah yang menghubungkan ragam fenomena yang dinamakan sebagai permainan antara satu dengan lainnya; menang dan kalah, menggunakan bola, berkelompok serta lain sebagainya? Sebagaimana yang diungkapkan Wittgenstein, tipologi atau ciri- ciri manapun yang kita tunjuk di antara pelbagai tipologi ini dan istilah "permainan" itu kita definisikan dengannya, maka sebagian dari permainan-permainan yang ada yang tidak memiliki ciri-ciri ini- tidak termasuk dalam amatan kita. Lalu bagaimanakah seharusnya mendefinisikan istilah ini? Jalan keluar yang digagas oleh Wittgenstein adalah secara prinsip kita tidak perlu mencari kesamaan tipologi.
Menurut keyakinannya, kemiripan (resemblance) yang terdapat di
p: 9
antara permainan-permainan, sama dengan kemiripan yang ada di tengah-tengah anggota sebuah keluarga. Apakah beberapa orang yang merupakan sesama saudara (saudari) semuanya harus memiliki kesamaan pada salah satu di antara tipologi atau ciri-ciri (seperti warna rambut dan mata, ukuran badan dan lain sebagainya)? Jawabannya adalah negatif (tidak), meskipun tipologi atau ciri-ciri yang berbeda- beda telah menghubungkan mereka semua dalam bentuk satu jaringan.
Bagan di bawah ini adalah bukti atau penjelasan bahwa kelima fenomena-fenomena gambaran yang setidaknya sama dalam tiga kekhususan dengan fenomena-fenomena lainnya, tetapi pada saat yang sama, tak satu pun ciri atau tipologi yang ditemukan dapat menghubungkan setiap dari lima fenomena antara satu dengan lainnya:(1)
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN
Pengunaan Teori Kemiripan Keluarga dalam Definisi Agama Bagaimana dapat menggunakan teori kemiripan keluarga dalam masalah definisi agama?(2) Dalam bagan di atas nama salah satu di antara agama-agama dapat ditempatkan pada posisi angka dan sebagian di antara doktrin agama (seperti kepercayaan pada tauhid, hari
p: 10
kiamat, reinkarnasi, wahyu, dan seterusnya) dapat ditempatkan pada posisi huruf (abjad). Tentunya tidak mudah melakukan hal ini secara tepat (akurat) dan memerlukan pengenalan terhadap agama-agama yang beraneka ragam serta pengetahuan terhadap doktrin- doktrin dasar mereka; meskipun demikian, buatlah latihan bersama teman-teman Anda dan diskusikanlah tentang hasilnya! Untuk mengetahui lebih jauh tentang teori kemiripan keluarga dan bagaimana penerapannya secara praktis, Anda dapat memulainya dengan contoh-contoh yang lebih mudah (misalnya: definisi meja dengan menggunakan ciri- ciri khusus seperti jumlah kakinya, bentuk bundar, atau segiempatnya)
Sepertinya dengan teori kemiripan keluarga, suatu definisi dari agama yang mencakup seluruh agama-agama dunia dapat diajukan, (1) yaitu "agama adalah sekumpulan dari suatu ajaran-ajaran yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang awal dan akhir eksistensi serta menampakkan jalan guna mencapai tujuan penciptaan."(2) Jawaban dari pelbagai macam agama atas pertanyaan- pertanyaan ini beraneka ragam, tetapi aliran kepercayaan (maktab) yang membiarkan pertanyaan-pertanyaan ini tanpa jawaban, secara terminologis tidak bisa dinamakan agama.
Definisi yang telah disebutkan di atas diambil dari sebuah hadis terkenal yang disandarkan kepada Imam Ali, "Rahimallahu imrā'an ...
‘alima min aina wa fi aina wa ilā aina"( Semoga rahmat Tuhan tercurah
p: 11
atas orang yang ... tahu dari mana ia datang, di mana ia sedang berada, dan kemana ia akan pergi). (1) Pertanyaan-pertanyaan ini-sebagaimana yang telah disinggung pada hadis-melihat batasan ruang dan waktu dalam cahaya, serta senantiasa memaksa kebanyakan pemikir untuk merenung dan berpikir, sebagaimana Alexis Carrel (1873–1944 M) seorang pemikir Prancis berkata, "Manusia bertanya kepada dirinya tentang apa makna kehidupan? Mengapa dan dari mana kita datang? Bahwa kita ada? Bagaimana kedudukan akal dalam semesta? Semua kesulitan kesedihan, dan kegalauan ini ... untuk apa? Apa makna kematian? Jika harus cepat kembali pada ketiadaan, apa untungnya membangun jiwa dan raga sesuai dengan kebaikan ideal? Apakah kepahlawanan, iman, dan patriotisme bukan olok-olokan alam? Kemana kita akan pergi? Apakah setelah kematian, jiwa pun seperti halnya tubuh akan hancur berserakan atau tetap utuh?"(2) Blaise Pascal (1623–1662 M) menuliskan pikirannya tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan fundamental manusia, seperti "Aku berada di salah satu sudut alam ini ... tanpa kutahu mengapa aku ada di sini, ... dalam keadaan itu pula tak tahu dari mana aku datang, aku tak tahu kemana akan pergi."(3) Pertanyaan semacam ini oleh seorang penyair dan penulis Spanyol, Miguel Unamuno (1864—1936 M), dinyatakan seperti ini, "Aku datang dari mana dan dari manakah alam yang di dalam dan dengannya aku hidup, mengada? Kemanakah aku akan pergi? Kemudian, sesuatu yang meliputiku, kemanakah ia akan pergi? ... Apa maksud semua ini?" (4) Poin penting yang perlu kami tekankan di akhir bagian ini adalah bahwa kebenaran atau kesetaraan agama-agama tidak akan pernah dapat dihasilkan dari definisi agama. Tolok ukur "kebenaran" dan
p: 12
"kesetaraan atau ketidaksetaraan" agama-agama adalah suatu bahasan tersendiri yang mesti dikaji atau dibahas pada tempatnya tersendiri.
Terkadang sebagian orang tidak memperhatikan poin penting ini dan dengan hanya mengajukan suatu definisi umum dari agama, mereka menyatakan bahwa yang terpenting adalah "beragama" bukan jenis agamanya!
Pembahasan-pembahasan yang akan diketengahkan dalam tulisan (buku) ini, dewasa ini umumnya terhimpun dalam suatu kumpulan- kumpulan pembahasan dengan tema filsafat agama. Filsafat agama adalah suatu istilah yang setidaknya sejak zaman ketika Hegel (1770- 1831 M) seorang filsuf kenamaan Jerman, memilih nama ini untuk rangkaian ceramah-ceramah ilmiahnya tentang agama, menjejakkan kaki dalam ranah kajian-kajian studi keagamaan.(1) Setelah mengalami dan melalui berbagai bentuk perubahan, sebutan tersebut sekarang ini bermakna sebagai(2) "berpikir rasional dan filosofis tentang agama" (3) dan menempatkan tema-tema berikut ini ke dalam cakupan bahasannya: definisi agama, sumber agama, kebutuhan manusia terhadap agama, pengalaman religius, bahasa agama, argumen-argumen pembuktian eksistensi Tuhan, dalil-dalil orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan, masalah keburukan, akal dan wahyu (iman), ilmu dan agama, mukjizat, agama dan moralitas, pluralisme agama, kehidupan setelah kematian (keabadian ruh).
Sebagian peneliti agama menekankan adanya perbedaan antara filsafat agama dengan Teologi (Kalām)(4) dan mengatakan bahwa "keyakinan atau keterikatan pada agama tertentu" serta "cara pandang
p: 13
berpihak" merupakan ciri khas dalam pembahasan-pembahasan teologi. (1) Sebagian lainnya menyatakan ketidakpuasannya dengan kenyataan bahwa pada tingkat praktis filsafat agama telah terbatas pada wilayah agama-agama tauhid.(2) Walaupun demikian, pemilahan atau pembatasan-pembatasan semacam ini masih belum diterima oleh semua pihak;(3) sebagian kalangan pemikir Kristen pun dalam buku- buku filsafat agama mereka bahkan membahas doktrin-doktrin seperti "inkarnasi dan penebusan" di mana hal itu tidak mempunyai dasar kecuali iman agama.(4) Sebagian lainnya menyebut filsafat agama sebagai bentuk atau tahapan sempurna dari teologi.(5) Meskipun demikian, filsuf agama tidaklah mesti seorang penganut agama apatah lagi harus menyusun argumen-argumen rasionalnya demi keuntungan agama tertentu.
Bagaimanapun, mereka yang dari kalangan muslim memilih istilah "Kalām" (Teologi) untuk kajian dan pembahasan masalah- masalah tersebut dan kebanyakan pula menambahkannya dengan kata sifat "jadīd (baru)". Syibli Nu'mani (1857–1914 M) seorang pemikir India adalah salah seorang yang pertama kali menggunakan istilah Kalām Jadīd (Teologi Baru) di dunia Islam. (6) Jilid ke-2 dari buku sejarah ilmu Kalām-nya ia namakan dengan "Kalām Jadīd" dan di dalamnya ia membahas sebagian permasalahan-permasalahan penting yang sedang dihadapi agama dalam dunia modern.
p: 14
Murtadha Muthahhari (1299–1358 S) menyebutkan bahwa salah satu tugas penting para pemikir Muslim saat ini adalah membangun "Kalām Jadīd" serta mengajak mereka memperhatikan masalah- masalah berikut ini: merancang dan mengkaji masalah-masalah baru (seperti berbagai pandangan tentang sebab-sebab kemunculan agama), mengkaji ulang sebagian masalah-masalah klasik (seperti wahyu dan ilham, dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, imāmah, dan kepemimpinan) dengan memperhatikan pelbagai kesamaran (syubhat) dan wacana-wacana baru. (1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Baru atau Masalah-Masalah Baru Teologi? Tak syak lagi, ilmu Kalām (Teologi) —sebagaimana ilmu-ilmu lainnya-telah melalui suatu tahapan-tahapan penyempurnaan dan berbagai bentuk perubahan.
Sebagaimana Ibn Khaldun membedakan antara cara atau metode para mutakallim (teolog) awal dan belakangan serta masalah-masalah yang dikemukakan dari mereka.(2) Sebagai contoh: masalah-masalah seperti "qadim atau hadits-nya kalam Ilahi" yang merupakan salah satu pembahasan teologi yang paling diributkan, pada zaman- zaman berikutnya berubah menjadi bahasan-bahasan yang bersifat selingan dan historis serta posisinya tergantikan dengan masalah-masalah lain.
Perubahan mencengangkan yang saat ini timbul dalam ilmu Kalam, memunculkan sebuah pertanyaan bagi kalangan pemikir yang maknanya seperti ini: Apakah sesuatu yang baru tersebut, ilmu itu sendiri ataukah masalah-masalahnya? Dengan kata lain, manakah yang lebih benar di antara dua penyebutan ini: Teologi baru (Kalām Jadīd), atau masalah-masalah baru teologi (Masā'il
p: 15
Jadid Kalāmī)? Terdapat segolongan-dengan berbagai macam kriteria-yang cenderung dengan perubahan esensial pada ilmu ini dan segolongan lainnya tidak melihat adanya perubahan selain daripada masalah-masalah yang dikemukakan. (1) Dalam pandangan golongan kedua, penerapan istilah "Kalām Jadīd" tidak tepat dan tidak dapat diterima, kecuali jika ajektif "jadīd" tersebut tidak berhubungan dengan ilmu Kalām itu sendiri, melainkan terkait dengan masalah-masalahnya. (Dalam bahasa Arab terkadang kita mengatakan: "Zaidun Qāimun" dan terkadang "Zaidun Qāimun Abūhu." Pada kalimat kedua, qiyām [berdiri] tampak secara formal dinisbahkan kepada Zaid, tetapi pada hakikatnya terkait dengan ayahnya [Abūhu]. Dalam pembahasan yang telah disebutkan juga dapat dikatakan: "Kalāmun Jadīdun Masāiluhu") Sebelum Anda mencari dalil-dalil dari kedua golongan ini dengan merujuk pada literatur-literatur lainnya, dalam pandangan awal, manakah di antara pandangan-pandangan tersebut yang Anda dapati lebih benar? Para penulis Kristen-guna mengisyaratkan wajah baru "Teologi"-memakai pula istilah "Modern Theology" (Teologi Modern) dalam karya-karya mereka dan menyebut Schleiermacher (1768-1834 M) sebagai peletak dasarnya.(2) Term ini—dibandingkan dengan filsafat agama-tidak begitu populer dan penekanannya lebih banyak pada pembahasan-pembahasan seperti pengalaman keagamaan, kristologi, demitologisasi kitab suci, dan pengajuan tafsiran-tafsiran baru atas doktrin-doktrin Kristen-semisal: Doktrin wahyu, keselamatan (salvation), dan Trinitas. (3)
p: 16
Dengan demikian, apa yang kita sebut sebagai "Kalām Jadīd" di negeri Iran pada umumnya adalah apa yang orang-orang Barat namakan sebagai "Filsafat Agama." Hal lain yang juga patut diperhatikan ialah filsuf-filsuf agama kebanyakan berbahasa Inggris, tetapi istilah "Teologi Modern (Kalām Jadīd)" dikaitkan dengan nama orang-orang yang bermazhab Protestan dan bahasa asli mereka adalah bahasa Jerman. (1)
Seiring dengan apa yang telah disampaikan sebelumnya, dalam khazanah budaya Barat terdapat pula beberapa term lainnya yang kadang digunakan seakan-akan sejajar dengan filsafat agama, salah satu di antaranya ialah "Teologi Filsafat."(2) Antony Flew (1923 M) dan MacIntyre (1929 M) dalam menamai sebuah buku yang diterbitkan dengan penyuntingan mereka berdua (pada tahun 1955 M) menggunakan istilah tersebut dan menyebutnya telah dipinjam dari Paul Tilich.
Dalam pengantar (mukadimah) buku tersebut, mereka menegaskan bahwa sekiranya istilah Filsafat Agama tidak disertai dengan gagasan-gagasan idealis Hegelian, maka istilah tersebut bisa menjadi judul yang tepat bagi buku tersebut. (3) Sebelum dua orang ini pun, sebagian penulis Barat(4) menggunakan judul "Teologi Filsafat" dalam menamai karya-karya mereka.
Dalam budaya Islam, istilah "Kalām Falsafi" (Teologi Filsafat) mempunyai latar belakang yang cukup lama, sebagaimana Muhammad bin Ishaq al-Nadim (w 438 H) menamakan kalam (teologi) Muktazilah
p: 17
dengan Teologi Filsafat-yang boleh jadi menggunakan metode dan pembahasan-pembahasan filsafat.(1)
Para penulis berbahasa Parsi dalam menamakan buku-buku yang mengkaji masalah-masalah yang telah disebutkan dengan pendekatan atau cara pandang yang sama, selain dari pada beberapa term sebelumnya (Filsafat Agama, Kalām Jadīd, Teologi Filsafat) mereka juga menggunakan istilah-istilah lainnya seperti "Dīn Syināsi" (Studi Agama).
Term terakhir terkadang disepadankan dengan istilah Filsafat Agama dan terkadang pula dianggap memiliki ruang lingkup yang lebih luas di mana ilmu-ilmu seperti Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Filsafat Agama, dan Sejarah Agama-Agama disebut sebagai cabang-cabangnya.
Kendati demikian, penamaan ini sepertinya diadopsi dari "The (Scientific) Study of Religion" atau "Religious Studies." Terlebih hal itu menggiring benak kita pada pahaman "Kajian Perbandingan Agama- Agama", sebagaimana halnya dalam sebutan bahasa Inggrisnya pun kebanyakan digunakan dalam makna seperti ini.(2) Bagaimanapun, di tempat kelahirannya, jurusan "Studi Agama" berbeda dengan "Filsafat Agama"(3) walaupun masih berhubungan dengannya. (4)
p: 18
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Memilih Salah Satu dari Istilah-Istilah Tanpa Melihat Latar Belakang Ke-Barat-annya Sebagaimana yang telah lalu, Syahid Muthahhari mengajak para pemikir Muslim untuk membangun "Kalām Jadīd" atau "Neo-Teologi" atau "Teologi Modern" dan kemudian menempatkan beberapa masalah di dalamnya yang belum dibahas dalam Filsafat Agama dan Teologi Modern Kristen, menurut Anda, apakah latar belakang ke-Barat-an istilah-istilah tersebut dapat dikesampingkan? Kemudian, masalah-masalah yang dianggap penting oleh para teolog Muslim ditempatkan di bawah salah satu dari istilah-istilah tersebut? Jika jawabannya positif, term manakah yang Anda pilih?
1. Menurut sebagian kalangan peneliti, agama berada dalam deretan istilah-istilah yang meskipun penggunaan mereka mudah, tetapi mencerminkan hakikat-hakikat yang beragam dan sangat variatif.
2. Definisi-definisi agama yang beragam dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda.
3. Berdasarkan salah satu dari pengelompokan ini, dari satu sisi, terdapat beberapa definisi di mana segala bentuk jalan dan cara hidup dinamakan dengan agama; dan pada sisi lain, definisi- definisi yang menyesuaikan agama dengan salah satu di antara objek-objeknya (seperti Islam).
4. Guna mendefinisikan agama secara universal (bukan hanya agama yang benar) para peneliti agama dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, kesamaan ciri manakah yang
p: 19
menghubungkan agama-agama tauhid dengan agama-agama yang mengandung kesyirikan atau nonteistik? 5. Berdasarkan teori kemiripan keluarga, untuk mendefinisikan agama, tidak perlu menemukan kesamaan ciri di antara semua agama-agama; hakikat-hakikat beragam yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya dalam bentuk sebuah jaringan, tetapi tidak memiliki sisi kesamaan umum, dapat disebut dengan satu nama.
6. Salah satu di antara definisi agama (meskipun tidak sesuai dengan teori kemiripan keluarga), Agama ialah sekumpulan doktrin doktrin yang menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia tentang awal dan akhir eksistensi serta menampakkan jalan untuk mencapai tujuan penciptaan.
7. Tema-tema pembahasan yang dibahas dalam buku ini (asal-usul agama, kebutuhan manusia terhadap agama, pengalaman religius, bahasa agama, akal dan wahyu, agama dan moralitas, pluralisme agama, dan lain sebagainya) sekarang ini umumnya terhimpun dalam suatu kumpulan-kumpulan dengan judul "Filsafat Agama".
Istilah ini setelah melalui pelbagai perubahan, lebih banyak digunakan dengan makna perenungan rasional dan filosofis tentang agama.
Sebagian peneliti agama menegaskan perbedaan antara Filsafat Agama dan Teologi (kalam) dan menyebut "kewajiban (tersyarati) dengan agama tertentu" dan "cara pandang memihak" sebagai ciri- ciri pembahasan-pembahasan teologis.
9. Mereka yang dari kalangan muslim, memilih istilah "Kalām" untuk pembahasan masalah-masalah tersebut dan kebanyakan menambahkannya pula dengan sifat "jadīd".
10. Penulis-penulis Kristen pun-guna menunjukkan wajah baru teologi (Ilāhiyyat) - menggunakan sebutan "Teologi Modern (Kalām Jadīd)" dalam karya-karya mereka, tetapi apa yang sekarang ini di Iran disebut dengan "Kalām Jadīd", pada umumnya adalah apa yang dinamakan orang-orang Barat dengan "Filsafat Agama."
p: 20
11. Dalam budaya Barat, istilah Kalām Falsafī (Teologi Filosofis) terkadang juga digunakan sebagai padanan dari Filsafat Agama.
12. Istilah studi agama (studi perbandingan agama) di tempat kelahiran aslinya berbeda dari Filsafat Agama, meskipun masih berhubungan dengannya.
1. Mengapa para peneliti agama menyebut pendefinisian agama sebagai sesuatu yang sulit dilakukan? 2. Definisi-definisi agama yang bervariasi dapat dibagi atau dikelompokkan dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Tunjukkanlah salah satu dari pengelompokan atau pembagian- pembagian tersebut! 3. Bagaimana Allamah Thabathabai mendefinisikan agama? 4. Mengapa sebagian di antara para penulis memuat konsep "hakikat akhir" menggantikan "Tuhan" dalam definisi agama? 5. Orang-orang yang terkadang menamakan "segala bentuk cara hidup" sebagai agama dan terkadang pula menyelaraskannya terhadap agama-agama tauhid atau mengkhususkannya pada agama Islam, apakah pembicaraan mereka kontradiksi? Mengapa? 6. Jelaskanlah maksud dari penyataan ini: "sebagian kalangan peneliti agama dengan menyebutkan kekhususan-kekhususan yang fleksibel, menyebut keberadaan semua atau sebagian mereka sebagai penegak agama".
7. Jelaskanlah teori kemiripan keluarga dengan bantuan bagan dan dalam bentuk satu contoh! 8. Definisi manakah di antara definisi-definisi agama yang dipilih oleh penulis? Tulislah pendapat Anda tentangnya! 9. Dalam makna apakah istilah filsafat agama diterapkan oleh orang- orang Barat? Apakah dapat dikatakan bahwa dalam perbuatan, semua filsuf-filsuf agama memiliki cara pandang yang tidak memihak? Jelaskan!
p: 21
10. Apa perbedaan fungsi istilah kalām jadīd bagi kalangan Muslim dan non-Muslim antara satu dengan lainnya? 11. Apa maksud dari Kalām Falsafi (Teologi Filosofis)? Mengapa sebagian penulis mengutamakan rangkapan (istilah) ini dari istilah filsafat agama? 12. Apakah istilah "studi agama" dapat disebut sebagai padanan atas istilah "Filsafat Agama"? Mengapa?
p: 22
Maka hadapkanlah wajahmu dengan kecondongan penuh atas haq (kebenaran), kepada agama ini, dengan fitrah di mana Allah menciptakan manusia menurut fitrah itu; tidak ada perubahan pada penciptaan Allah (QS Al-Rūm [30]: 30).(1) Sebagaimana telah lalu, kebanyakan pemikir berpendapat bahwa bukan hanya pada masa lalu, bahkan di masa mendatang pun, dunia tidak akan dapat ditemukan kosong tanpa agama di dalamnya.(2) Menurut Ernest Remnant (1823–1892 M) seorang filsuf dan sejarawan Prancis, "Mustahil hubungan terhadap agama menjadi terputus atau terhapus, sebaliknya (agama) senantiasa dan selalu akan tinggal."(3) Realitas ini mengundang kebanyakan di antara pemikir untuk melakukan perenungan tentang rahasia religiusitas da usul agama (mazhab) serta memunculkan pelbagai ragam pandangan-
p: 23
pandangan. Segolongan pemikir dengan cara pandang ateistik,(1) menyebut faktor-faktor psikis seperti rasa takut dari peristiwa-peristiwa alam sebagai faktor yang berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya(2) dan segolongan lainnya menunjuk fungsi-fungsi sosialnya.(3) Dari sisi lain, tidak sedikit di antara pemikir yang dengan bersandar pada faktor-faktor seperti akal dan fitrah menegaskan sumber agama yang bersifat Ilahi.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebagian kaum ateis, mencari atau meneliti asal usul agama-agama dengan praasumsi bahwa Tuhan dan agama-wahyu tidak lebih dari sebuah fatamorgana, menyebut faktor-faktor psikologis dan sosiologis berpengaruh atas munculnya agama dan begitu pula dengan kecenderungan kepadanya.
Sebelum kami mengetengahkan pandangan yang benar dalam masalah ini, sepintas kami akan menyebutkan sebagian di antara faktor-faktor tersebut:
Merujuk pada manuskrip yang ada, penyair Roma, Titus Lucretius (sekitar tahun 55—94 SM) adalah salah seorang yang pertama kali mengorelasikan doktrin-doktrin religius dengan fenomena ketakutan.
Ia yang menamakan ketakutan sebagai "ibu para tuhan"(4) dan menyebut "keterbebasan manusia dari ketakutan terhadap tuhan-tuhan"(5) sebagai
p: 24
tujuan aslinya, menyanjung permusuhan Epicure (270—341 SM) terhadap agama seperti ini.
Ketika agama dari balik (atas) bintang-bintang dengan suatu keadaan dan bentuk yang menakutkan, menampakkan cakar dan taring pada manusia; pada saat yang sama, seorang pria Yunani mengangkat kepala dan berdiri tegak. Dari mata fana-nya (mata matinya), terlihat kemurkaan pada dirinya. Ia adalah orang yang pertama kali melakukan perlawanan terhadap agama. Bukan legenda-legenda Tuhan, bukan petir dan kilat, dan bukan langit dengan gemuruh halilintarnya yang menakutkan, tak satu pun dapat merobohkannya dengan hina, bahkan keberanian semakin membangkitkan spiritnya karena ia ingin menjadi orang yang pertama kali mematahkan pintu-pintu alam natural yang tertutup. ... oleh sebab itulah, sekarang ini agama telah runtuh di hadapan kaki masyarakat.(1) David Hume (1711-1776 M) kendati menerima kenyataan bahwa totalitas sistem alam memberi kesaksian atas keberadaan Tuhan yang sadar, (2) berkeyakinan bahwa apa yang benar-benar sedang terjadi, bukan bersumber dari kedalaman berpikir dan rasionalitas, melainkan berasal dari suatu kekhawatiran tentang peristiwa-peristiwa kehidupan serta ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan yang mendorong pemikiran-pemikiran seseorang untuk semakin berkembang. (3) Menurut keyakinannya, manusia-manusia awal berpaling pada pemujaan dan doa-doa demi meredam kemarahan tuhan-tuhan serta membuatnya jadi penyayang.
Sigmund Freud (1856–1939 M), seorang psikoanalis Austria adalah di antara orang-orang yang menyerang dari sudut pandang ini dan membahas teori tersebut dalam buku The Future of an Illusion.(4)
p: 25
Dalam pandangannya, manusia menciptakan tuhan-dengan cita pikirannya-untuk mengurangi rasa kecewa mereka terhadap alam dan guna membalas penderitaan-penderitaan yang didesakkan oleh kehidupan sosial terhadap manusia. (1) Berdasarkan pandangan ini, sebagaimana seorang anak kecil mengalahkan rasa tidak aman dengan bersandar pada seorang ayah, manusia-manusia yang secara rasional tidak berkembang pun, menganggap tuhan sangkaan mereka sebagai pelindung bagi keamanan mereka dari kekerasan alam. (2) Akhirnya, filsuf kontemporer Inggris, Bertrand Russell (1872– 1970 M) pun menyebut agama atau mazhab sebagai sesuatu yang lahir dari rasa takut (ketakutan) manusia dan menyerupakan Tuhan seperti saudara tua (sulung) yang senantiasa hadir dan menemani manusia dalam seluruh kesulitan dan hal-hal yang tidak baik baginya.
Ia kemudian menambahkan, ilmu dapat menyelamatkan manusia dari ketakutan yang telah menyesatkan sangat banyak generasi ini serta mengarahkan kedua mata mereka ke bumi ketimbang ke langit.(3) Telaah dan Kritik Dalam mengkritisi pandangan-pandangan tersebut, kami akan mengemukakan beberapa poin:
1. Praasumsi analisis-analisis tentang asal usul agama seperti ini, yang terkadang pula disebut the scientific study of religion(4)– adalah tiadanya prakondisi-prakondisi yang bersifat rasional dan fitrawi; apabila kecenderungan fitrawi manusia terhadap Tuhan dan pandangan rasional seseorang dalam mengesahkan doktrin-doktrin religius terbukti, maka dengan sendirinya, ruang bagi estimasi-estimasi semacam ini tidak tersisa lagi. Murtadha Muthahhari (1299-1358 S) berkata: "Kelompok ini berasumsi
p: 26
ihwal kepercayaan terhadap Tuhan dan konsep-konsep religius lainnya sebagaimana halnya dalam berasumsi tentang angka tiga belas dan ketika itu, mereka melakukan rasionalisasi atau justifikasi atasnya; jika tidak demikian halnya dengan adanya faktor logis atau fitrawi, ruang untuk asumsi-asumsi seperti ini menjadi mentah dengan sendirinya."(1) 2. Meskipun di tengah-tengah sebagian masyarakat dapat ditemui orang-orang yang berpaling kepada agama demi mengalahkan rasa takut, estimasi semacam ini secara logis tidak dapat digeneralisasikan kepada semua manusia dan dengan generalisasi tak beralasan, menyebut relegiusitas seluruh manusia bersumber dari "rasa takut."(2) Bahkan, sebagian di antara orang-orang ateis pun menegaskan tiadanya dukungan terhadap pandangan ini.
Sebagian orang berusaha mengembalikan pemahaman- pemahaman awal religiusitas, yaitu perasaan lemah dan bergantung kepada ketakutan dan kegundahan yang ditunjukkan manusia dalam interaksinya dengan alam. Dengan demikian, manusia seakan-akan membayangkan-korban mimpi buruk yang ia buat bagi dirinya sendiri ini—di mana hal-hal yang berkenaan dengannya dipenuhi kekuatan-kekuatan permusuhan dan menakutkan yang dengan bermediakan adab-adab penghambaan dan penyembahan dapat menenangkan mereka ... kaidah terkenal "ketakutan adalah yang pertama kali menciptakan tuhan-tuhan di alam semesta" merupakan suatu kaidah yang tidak bisa terjelaskan dengan penyaksian riil (nyata) apa pun dari realitas-realitas yang ada (3)
p: 27
3. Perkataan ini pun dapat diterima bahwa agama mampu menyingkirkan kebanyakan ketakutan manusia dan menjadi tempat berlindung yang menenangkan dalam berbagai kesulitan dan permasalahan, tetapi jarak perkataan ini dengan anggapan bahwa agama merupakan sesuatu yang lahir dari ketakutan sangatlah jauh.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pada proposisi-proposisi berikut ini, tentukanlah mana yang benar dan mana yang tidak benar serta jelaskanlah dalil-dalil Anda:
a. Semua agama-agama muncul akibat faktor-faktor seperti ketakutan atas peristiwa-peristiwa alam.
b. Sebagian dari agama-agama mempunyai asal usul yang bersifat rasional dan fitrawi, tetapi kepercayaan orang-orang beriman senantiasa bertumpu di atas faktor-faktor seperti ketakutan.
C. Meskipun keberadaan agama bersifat rasional dan fitrawi, sebagian di antara orang-orang beriman berpaling kepadanya dengan dalil masalah-masalah seperti ketakutan.
d. Semua orang-orang beriman dengan keyakinan kepada Tuhan dapat menyingkirkan ketakutan pada selain-Nya dari dalam hati mereka.(1)
Kebanyakan di antara orang yang memandang agama dengan pandangan ateistik, menyebut kebodohan dan ketidaktahuan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh dalam religiusitas. Secara spesifik, korelasi agama dengan kebodohan lebih sering dihubungkan dengan nama sosiolog Prancis, Auguste Comte (1798—1857 M) dan
p: 28
pernyataan-pernyataannya menjadi referensi penting bagi kebanyakan teoretikus-teoretikus lainnya. (1) Auguste Comte dalam kaitannya dengan proses perubahan dan perkembangan pemikiran manusia, membedakan tiga tahapan antara satu dengan lainnya:
a. Tahapan rabbani (imajinatif). Tahapan ini merupakan suatu esensi yang secara sempurna bersifat religius, tahapan ini sendiri terbagi ke dalam tiga bagian yang lebih kecil. Pada tahapan kecil pertama, manusia menganggap benda-benda tak bernyawa hidup dan memiliki ruh serta jiwa di mana dalam berhadapan dengan kepatuhannya menunjukkan respon atau reaksi. Pada tahapan kecil kedua yang disertai dengan pemujaan tuhan-tuhan tak terlihat-memalingkan perhatian manusia dari faktor-faktor sebab yang terdapat dalam benda-benda kepada faktor-faktor sebab yang berada di luarnya. Dengan kata lain, pada tahapan kecil pertama, berangkat dari suatu kepercayaan bahwa-sebagai contoh- pada batin setiap pohon Ek terdapat suatu ruh, pada tahapan selanjutnya ruh yang bersifat umum dan meliputi dinisbahkan kepada semua pohon Ek hingga pada akhirnya dinisbahkan kepada seluruh pohon dan memunculkan konsep "Tuhan hutan." Tahapan kecil ketiga merupakan penjelasan tentang keterhubungan di antara tuhan-tuhan yang beragam (seperti tuhan hutan, tuhan laut, dan lain sebagainya) dan dengan terbentuknya konsep Tuhan satu, kemudian terwujudlah agama-agama tauhid (theisme).
Tahapan filosofis (rasional). Pada tahapan ini manusia melakukan penelitian tentang sebab-sebab dari fenomena-fenomena ketimbang menisbahkan fenomena atau kejadian-kejadian alam kepada tuhan-tuhan serta menggantikan takhayul dengan aktivitas berpikir. Walaupun demikian, di sini pun perhatian senantiasa tertuju pada faktor-faktor gaib (rahasia) dan ke-"mengapa"-an fenomena-fenomena tetap dipertanyakan.
p: 29
C. Tahapan ilmu (studi). Sebagaimana yang diakui oleh Comte, manusia pada tahap ketiga akan melewati kepercayaan atau anggapan tentang adanya ruh pada benda-benda serta kebergantungan mereka pada kehendak tuhan-tuhan, begitu pula dengan upaya pencarian sebabnya, mereka tidak lagi berbicara tentang ke-"mengapa"-an, tetapi menggantinya dengan ke-"bagaimana"-an. Sebagai contoh, orang yang menjejakkan kaki pada tahapan ini, tidak lagi mencari sebab-muasal "efek menidurkan [pada] heroin" dalam kehendak Tuhan (seperti pada tahap pertama) dan tidak pula menisbahkannya (seperti pada tahap kedua) kepada suatu kekuatan tak dikenal seperti kekuatan yang membuat lengar atau linglung, tetapi dengan cara atau metode eksperimen berupaya menguak korelasi antara penggunaan heroin dengan efek menidurkan dan dengan bantuan proposisi-proposisi empiris lainnya, lalu menyimpulkan suatu kaidah universal.(1) Berdasarkan pandangan ini, setiap kali ilmu menjejakkan langkah ke depan, Tuhan selangkah menjejakkan kaki ke belakang, sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Comte: "Ilmu, memisahkan bapak alam dan seluruh eksisten (yaitu Tuhan) dari pekerjaannya; mendesaknya menuju tempat pengasingan dan dalam kondisi di mana ia menyatakan rasa terima kasih atas segala khidmat dan pelayanannya yang sementara, menuntun Tuhan hingga ujung batas keagungannya."(2) Gaung pernyataan ini, sebelumnya juga terdengar dalam kalimat-kalimat Epicur: "Ilmu dapat menjustifikasi suatu fenomena yang disandarkan oleh kaum pemuja khurafat kepada kekuatan tuhan-tuhan, melalui cara-cara natural." (3)
p: 30
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Tuhan Penutup Celah Salah satu konsepsi tidak benar tentang Tuhan ialah apa yang dalam budaya Barat dinamakan sebagai "The God of gaps. "(1) Istilah ini bermakna bahwa kita menganggap Tuhan sebagai penutup celah ketidaktahuan dan setiap kali kita tidak mengetahui sebab suatu fenomena, kita merujukkannya pada keinginan dan kehendak Tuhan.
Menurut Anda pengaruh apa yang ditimbulkan oleh interpretasi-interpretasi seperti ini terhadap religiusitas?(2) Tentu saja Comte, kendati menyebut perkembangan dan perluasan ilmu sebagai penyebab punahnya agama-agama tradisional, ia sendiri tengah berupaya membangun fondasi suatu agama baru di mana para sosiolog adalah pendeta-pendetanya. Menurut pernyataan sebagian penulis, ia "terlihat sangat sungguh-sungguh dengan pandangannya ini hingga bahkan telah mendesain pakaian resmi para pendeta-pendeta sosiolog, begitu pula dengan ritual-ritual yang mesti dilakukannya."(3) Telaah dan Kritik Pendapat atau teori ini, sebagaimana pandangan sebelumnya, dihadapkan pula dengan kritik mendasar bahwa ia tidak mempunyai alasan atau argumen yang jelas bagi klaimnya serta bertumpu pada asumsi bahwa agama-agama tidak dilatari dengan suatu sumber atau pijakan yang bersifat rasional dan fitrawi. Selain itu, kebanyakan pemikir telah mencatat kekurangan-kekurangan lainnya dari teori ini, di mana sebagian di antaranya akan kami tunjukkan di sini:
p: 31
1. Berdasarkan pandangan ini, pemikiran religius manusia dimulai sebelum era filsafat, sementara menurut kesaksian sejarah, munculnya kebanyakan agama besar terjadi pada masa-masa kejayaan pemikiran filsafat. Sebagai contoh, sebelum agama Ibrahim, filsafat telah dikenal luas di India, Mesir, dan Kasdim; Kristen lahir setelah masa filsafat Yunani; dan Islam memulai dakwahnya juga setelah kejayaan filsafat Yunani dan Iskandariah.(1) Demikian juga, berdasarkan fondasi teori ini, dengan munculnya ilmu, ruang bagi agama dan kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat supranatural tidak lagi tersisa, sementara betapa banyak di antara orang-orang yang dalam disiplin keilmuannya sangat dihormati oleh kalangan ilmuwan dan dalam kondisi itu pula, menaruh hati dalam jaminan salah satu dari agama-agama yang telah dikenal luas.(2) Secara global, jejak ketiga jenis pemikiran ini dapat ditemukan pada semua masa, sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang pemikir Barat:
"Ketiga pola berpikir; rabbani, metafisik, dan temuan (ilmiah) saling berbaur dan saling bersesuaian bahkan dalam satu masa dan pada satu orang. Sebagaimana yang kita saksikan pada masyarakat primitif yang menerangkan penjelasan-penjelasan metafisika disertai dengan penjelasan-penjelasan logis, misalnya, Apabila masyarakat primitif dalam menjelaskan suara-yang sebabnya tidak tampak-berperantarakan Tuhan, pada saat yang sama mereka meyakini jatuhnya benda-benda disebabkan oleh gravitasi dan lain sebagainya. Dalam era metafisika, Aristoteles dan St. Albertus, mereka bukan hanya ahli dalam penyaksian dan pengalaman, tetapi juga ahli dalam metafisika ... Pemikiran abad pertengahan yang merupakan pemikiran yang bersifat takhayul (rabbani), terilhami pula oleh pemikiran-pemikiran metafisika lama ... Pada zaman sekarang di mana sains atau ilmu-ilmu studi telah melahirkan pelbagai kemajuan ini, kita
p: 32
tengah menyaksikan kegandrungan dan pembaruan metafisika."(1) 2. Berdasarkan pemikiran orisinal Islam, ketiga penjelasan teologis, filosofis, dan ilmiah tersebut bersesuaian antara satu dengan lainnya; sedemikian sehingga Tuhan dapat disebut sebagai sebab hakiki seluruh fenomena-fenomena dan pada saat yang sama, menyatakan pula kecenderungan atas "sebab" (cause) yang diperkenalkan sains dan filsafat.(2) Tuhan bukanlah dalam posisi horizontal berhadap-hadapan dengan fenomena-fenomena alam sehingga pembuktian kausalitas salah satu dari keduanya akan berujung kepada penafian yang lain; semua keberadaan- keberadaan mumkin memperoleh wujud mereka dari Dia serta merupakan hubungan itu sendiri kepada-Nya dan dari sisi ini, Tuhan disebut sebagai sebab dari semua sebab seluruh fenomena- fenomena alam semesta.
Sigmund Freud, selain dari pada apa yang telah lalu, mengemukakan analisis lain tentang asal usul agama di mana berdasarkan itu, akar kepercayaan terhadap Tuhan harus ditelusuri dalam kesalahan-kesalahan normatif psikis manusia serta keinginan- keinginan seksual yang telah dikekang. Ia berkeyakinan bahwa anak laki-laki pada masa kecilnya memiliki sejenis kecenderungan seksual terhadap ibunya dan menganggap ayah dalam hal ini sebagai rivalnya.
Ia menamakan kesalahan bentuk atau formasi ini dengan "oedipus complex" di mana hal yang mirip dengan itu ditemukan pula pada anak-anak perempuan dengan nama "electra complex". (3)
p: 33
UNTUK KITA KETAHUI:
Legenda Oedipus dan Electra Nama Oedipus dalam perkataan-perkataan Freud diambil dari suatu legenda Yunani. Menurut legenda ini, Layus (Raja Tebs) meninggalkan putranya yang baru lahir, Oedipus, di atas puncak sebuah gunung karena para pendeta telah meramalkan bahwa anak ini kelak akan membunuh ayahnya dan menjadikan ibunya sebagai istri. Setelah sekian tahun lamanya berlalu, Oedipus yang sudah mengetahui tentang rahasia ini, ingin menjauh dari wilayah kekuasaan ayahnya, tetapi takdir memperhadapkan keduanya antara satu dengan yang lain dan selain dari terbunuhnya sang ayah, dengan tanpa sadar pernikahan dengan sang ibu pun terjadi. (1) Begitu pula, dalam legenda-legenda Yunani, Electra, nama seorang putri raja yang terbunuh akibat konspirasi yang dilakukan wanitanya sendiri. Pada akhirnya saudara laki-laki Electra-dengan dorongan dan kerjasama saudara perempuannya,membalaskan dendam sang ayah dan membunuh sang ibu. "(2) Menurut Freud, keinginan seksual anak-anak -yang telah ada sejak lahir(3)– dalam usia yang berbeda-beda akan tampak dalam pelbagai ragam bentuk. (4) Freud kadang-kadang menegaskan perbedaan antara
p: 34
dua konsep "seksual" dan "reproduksi" dan menyebut kecenderungan seksual memiliki makna umum meliputi segala jenis keinginan untuk mendapatkan kelezatan dari berbagai bagian sisi tubuh.(1) Walaupun demikian, dalam menjelaskan kecenderungan seksual anak-anak serta akibat-akibat yang timbul dari pengekangan kecenderungan ini, Freud menggunakan perumpamaan- perumpamaan(2) yang berdasarkan itu perbedaan esensial antara kecenderungan-kecenderungan ini dengan keinginan-keinginan syahwat orang-orang dewasa tidak bisa ditunjukkan.(3) Menurut Freud, rivalitas atau perasaan bersaing inilah yang menggiring anak laki-laki untuk takut kepada ayah. Dengan merujuk pada sebagian eksperimen- eksperimen psikologis, bahkan ketakutan anak pada binatang-binatang sekalipun, ia telusuri dalam ketakutan yang bersumber dari rivalitas seksual dengan sang ayah.(4)
p: 35
Dari sisi lain, menurut Freud, dorongan dan dukungan ayah terhadap anak juga merupakan pelayanan berharga yang tidak dapat dipungkiri dan menempatkan kasih sayang ayah di dalam hati anak.
Kedua jenis perasan ini (cinta dan benci) ada pada kedalaman batin manusia dan menjadi sumber kepercayaan kepada Tuhan; Tuhan yang dari satu sisi layak pujian dan kasih sayang dan dari sisi lain menakutkan dan ... Pada hakikatnya, sifat-sifat yang disandarkan manusia kepada Tuhan ini adalah buatan, perlakuan mereka sendiri dan secara tidak sadar diproyeksikan kepada Tuhan. (1) Menurut Freud, keinginan-keinginan yang telah mengalami pengekangan tidak akan hilang, melainkan ada pada bagian "alam bawah sadar" (2) manusia dan pada saat yang tepat tampak dalam bentuk samar.
Untuk penampakan ini terdapat berbagai macam cara di mana salah satu di antaranya dinamakan "sublimasi". Maksud dari sublimasi ialah peninggian atau peluhuran suatu keinginan-keinginan di mana mereka dianggap rendah dan hina oleh dimensi "kesadaran" wujud manusia.(3) Berdasarkan hal ini, manusia secara tak sadar menampakkan keinginan-keinginan yang telah dikekang dalam bentuk-bentuk seperti aktivitas-aktivitas seni(4) atau keyakinan-keyakinan religi. Di antara dalil Freud guna mencari atau menelusuri akar agama pada penyiksaan
p: 36
jiwa adalah suatu kemiripan-kemiripan yang menurut dugaannya tampak atau terlihat di antara para pemeluk agama dan orang-orang yang melakukan penyiksaan jiwa. Sebagai contoh, dua kelompok ini berupaya melakukan perbuatan-perbuatan mereka dalam bentuk suatu ritual (upacara) serta dalam bentuk keteladanan; dua kelompok merasa berdosa dan pada akhirnya, penyiksaan jiwa biasanya berakar pada pengekangan pelbagai stimulus seksual dan agama menuntut pula pengekangan keangkuhan (sikap egois) serta pengendalian insting pribadi. (1) Freud tidak mencukupkan diri dengan apa yang telah lalu, dengan suatu penjelasan berupa kisah legenda terkait dengan manusia-manusia pertama, ia mengembangkan sejenis "alam bawah sadar kelompok"(2) dan menampilkannya seperti ini; bahwa pada masa-masa sebelumnya, kompleks "keinginan terhadap ibu" (Oedipus complex) tampak dalam bentuk kejahatan yang sangat mengerikan dan penyesalan atasnya, menjadi sumber munculnya agama. Ringkasan kisah tersebut sebagaimana berikut:
Suatu hari di kehidupan masa lampau, manusia pertama atau mungkin nenek moyang manusia sebelum manusia menjadi manusia, hidup dalam suatu kondisi yang dinamakan oleh Darwin sebagai "kawanan binatang pertama". Kawanan ini terdiri dari jantan yang berkuasa dengan sejumlah betina-betina yang dikhususkan untuknya dan dengan rakus menginginkan semuanya hanya untuk dirinya. Ayah yang lebih kuat, pendengki, dan lebih kasar menempatkan jantan- jantan lainnya dalam kelompok mereka-yang juga merupakan putra- putra serta anak-anak dari betina-betinanya-jauh dari tempat betina- betina [yang dikhususkan untuknya) dan menyingkirkannya ke bagian pinggiran.
Dengan segala cara, tibalah suatu hari di mana lelaki-lelaki terpinggirkan ini ... bahu membahu dan membunuh sang ayah.
makhluk-makhluk buas kanibal ini memakan korban mereka. ...
setelah mereka menang, beberapa saudara ini kemudian menyesali perbuatan mereka ... mereka lalu menetapkan dua pelarangan:
p: 37
pertama, menempatkan wakil simbolis dalam bentuk jenis hewan(1) pada posisi sang Ayah. Kedua, menutup mata dari buah kemenangan mereka dengan mengharamkan betina-betina yang telah terbebaskan bagi diri mereka. (2) Setelah mengemukakan kisah ini, Freud menyimpulkan bahwa semua aliran humanis merupakan sebuah respon atau reaksi dalam berhadapan dengan peristiwa-peristiwa besar ini di mana peradaban manusia dimulai dengannya dan semenjak hari itu tak pernah mengizinkan manusia untuk tenang sesaat pun.(3) Berdasarkan hal ini, ia menyebut agama sebagai penyiksaan jiwa yang bercampur dengan perasaan-perasaan was-was serta meliputi manusia secara umum."(4) Freud yang lahir dari kalangan keluarga Yahudi, menyebut mesianisme Yahudi bukan tak berhubungan dengan pembunuhan ayah pertama. Ia, dalam Moses and Monotheism, menuduh kaum Yahudi sebagai pembunuh Nabi Musa dan mengemukakannya seperti ini, bahwa "pembunuhan Musa semakin meneguhkan perasaan berdosa yang terwariskan ini-yang tinggal dalam benak dari sejak pembunuhan ayah pertama-dan memunculkan perasaan dosa secara tidak sadar pada diri kaum Yahudi." Menurut Freud "Sesuatu hal yang bisa diterima adalah kita memperkirakan bahwa penyesalan atas pembunuhan Musa adalah suatu perangsang (penggerak) yang menimbulkan fantasi harapan tentang kedatangan sang penyelamat, seorang messiah yang suatu hari akan kembali dan membebaskan kaumnya dan akan memimpin kembalinya kekuasaan atas dunia.(5)
p: 38
Freud berusaha pula untuk menggunakan doktrin-doktrin gereja dan dengan bantuan doktrin-doktrin tersebut, menyiapkan bukti- bukti dalam melegitimasi teorinya. Dalam pandangan Freud, dosa asal (the origin of sin) yang dikemukakan dalam Kristen dan keyakinan pengorbanan putra Tuhan (Isa al-masih) sebagai dendanya (kaffarah), merupakan sesuatu yang tak lain adalah pembunuhan ayah pertama itu sendiri.
Akan tetapi, di sini muncul suatu masalah, umat Kristiani dalam upacara ekaristi (misa kudus) menyebut roti dan minuman sebagai ganti dari daging dan darah sang anak, bukan sang ayah.
Freud dalam menanggapi kritikan ini, dengan begitu pandai dan cerdik menggunakan dua jenis perasaan psikis (cinta dan benci) serta mencitrakannya seperti ini bahwa dalam kondisi ketika sang anak membayar denda kepada sang ayah, ia tengah membalas dendam kepadanya dan menjadikan ajarannya sebagai ganti ajaran sang ayah. Seperti ini pulalah dalam upacara misa kudus, ayah tersingkirkan sekali lagi dan mereka menyebut roti dan minuman suci sebagai ganti dari daging dan darah sang anak. (1) Telaah dan Kritik Dalam menganalisis pandangan Freud, Totemisme dapat dipisahkan dari Oedipus Complex dan masing-masingnya dapat dibahas secara terpisah. Namun, mengingat hubungan dekat keduanya antara satu dengan yang lain, kami tidak memilahnya dan akan mengemukakan sebagian kekurangan pandangan Freud.
1. Metode psikoanalisis Freud serta penegasannya terhadap insting seksual telah dihadapkan dengan begitu banyak kritikan serta memiliki penentang-penentang kenamaan. Menurut para kritikusnya, permasalahan yang sangat menonjol pada apa yang dilakukan Freud ialah bahwa dengan mengkaji serta menguji beberapa orang di antara orang-orang yang memiliki perilaku tak normatif, melakukan suatu generalisasi secara luas, dan
p: 39
menambahkannya dengan dimensi-dimensi global. (1) Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang psikolog:
"Kenyataan ini bahwa terdapat sejumlah orang yang kebingungan secara psikis (atau orang-orang terkesan atau tertarik dengan pandangan-pandangan Freud atau merasa senang dengan ketidakberaturan dirinya dan berada di bawah psikoanalisis) mengingat kembali hasrat-hasrat seksual mereka di masa kanak- kanak, dan hal ini sama sekali tidak akan membuktikan bahwa hasrat-hasrat tersebut bersifat umum. Selain dari kenyataan ini, yang dikemudian hari ditemukan melalui Freud, bahwa dalam kebanyakan atau lebih banyak di antara hal-hal tersebut 'ingatan' merupakan sesuatu yang bersifat fantasi dan gambaran- gambaran mereka dalam kenyataannya adalah sejenis 'menghayal' (berfantasi), bukti-bukti yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap anak-anak memiliki norma menunjukkan bahwa adanya hasrat seksual yang mengarah kepada salah seorang dari kedua orang tua, lebih tidak berdasar dari semuanya."(2) 2. Psikoanalis Swiss, Karl Gustav Jung-yang awalnya merupakan sahabat dan murid Freud-memahami agama bukan sejenis penyiksaan diri (jiwa), melainkan pengganti atau alternatif baginya.(3) Sebagian lainnya berkeyakinan bahwa kemiripan lahiriah antara kaum yang menyiksa diri (jiwa) mereka dan kaum religius yang disebutkan Freud terlihat pula pada kebanyakan di antara pemikir yang membenamkan pikiran-pikiran mereka dalam sebuah masalah keilmuan. (4)
p: 40
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Psikoanalisis dan Psikoanalis! Freud di masa kanak-kanaknya memiliki dua jenis perasaan terhadap saudara kandungnya: Dari satu sisi, ia simpati (tertarik) kepadanya dan dari sisi lain merasa nikmat dengan mengganggunya. Sebagian pemikir menyebut metode psikologi yang diterapkan Freud kepada dirinya, berefek pada bangunan teori pemikirannya selanjutnya.
Kelompok lainnya, dalam kaitan ini menunjuk masalah-masalah seperti kebergantungan Freud kepada ibunya, serta kekesalan atas ayahnya.(1) Sebagian lainnya, dengan berpegang pada kenyataan-kenyataan semacam ini dan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat kecaman, menulis seperti ini "Ribuan manusia sehat dikatakan sakit dengan dalil adanya satu orang yang sakit dan ia menyandarkan seluruh simptom atau tanda-tanda yang bersumber dari masa kanak-kanak kepada seluruh manusia. Seluruh dunia dihubungkan dengan seksualitas dan semua hasrat-hasrat telah menyimpang dari prinsipnya karena setiap manusia otoriter mendesakkan pandangan yang ia terima kepada semua manusia."(2) Dari sisi lain, sebagian penulis tidak menerima cara pandang seperti ini dalam mengkritik pandangan Freud dan mengatakan: "Sekarang, mungkin pengetahuan kita bahwa Freud sendiri adalah seorang yang terganggu secara psikologis, membuat kita ragu atas klaimnya bahwa orang-orang yang percaya agama adalah orang-orang yang mengalami gangguan psikologis, tetapi alasan atau dalil ini tidak membuat keyakinan-keyakinannya kosong dari
p: 41
validitas. Bahwa, si fulan adalah seorang pencuri, tidak menyebabkan pengakuan atau pernyataan-pernyataannya bahwa yang lain adalah pencuri, menjadi tidak valid serta tidak dapat diterima, mungkin saja hal ini membuat kita lebih berhati-hati dalam kaitannya dengan bukti- bukti yang ia tunjukkan, tetapi dengan sendirinya tidak berimplikasi pada kesalahan mereka. ... pengetahuan akan hal ini bahwa Freud mengalami penderitaan dari Oedipus Complex, (1) dengan sendirinya tidak menjadikan penyimpulan-penyimpulannya tentang kemenduniaan hal itu, tidak valid. Begitu pula dengan temuan ini bahwa Freud sesungguhnya berwatak peragu atau was-was, tidak menyebabkan klaimnya tentang kewas-wasan kaum religius menjadi tidak penting. ... dengan demikian, kritik ini bahwa Freud memulai pekerjaannya dari bukti-bukti kehidupannya sendiri dan tidak mengecualikan dirinya, tidak begitu kuat. ... sesungguhnya, hal ini merupakan aspek-aspek menonjol dari pekerjaan besar Freud di mana dalam seluruh teori atau pandangannya, tidak pernah mengecualikan dirinya."(2) Diskusikanlah dua pandangan tersebut antara satu dengan lainnya, begitu pula dengan keutamaan yang satu dari yang lain! 3. Pemikiran Freud lebih banyak terbentuk dalam kerangka budaya Kristen-Yahudi dan tidak dapat digeneralisasikan kepada agama-agama lainnya. (3) Sebagai contoh, Hubungan ke-'ayah'-an Tuhan dengan manusia-dengan makna tipikalnya-terkhusus kepada Kristen dan Freud-dengan pengakuannya-tidak punya
p: 42
penjelasan atau dalil bagi agama-agama yang menyembah tuhan- tuhan perempuan. (1) 4. Asal usul kisah tentang pembunuhan ayah oleh manusia-manusia awal tidak dapat diperoleh selain dari dugaan dan anggapan, sedemikan sehingga sebagian orang menyebutnya dengan "pernyataan-pernyataan yang bersifat imajinatif" dan "kisah-kisah peri."(2) Secara umum, penggunaan cerita-cerita atau legenda- legenda kuno serta upaya pembuatan legenda-legenda baru untuk menjelaskan dan melegitimasi suatu pandangan yang secara formal bersifat ilmiah, sangat mengurangi nilai analisis-analisis Freud. Cerita-cerita yang digunakan Freud, tidak terbatas pada apa yang hingga saat ini kami nukilkan darinya, efek kebergantungan ini dapat pula dilihat dalam hal-hal lainnya; sebagaimana ia mengatakannya dalam satu kesempatan, "Tak syak lagi kalian akan sangat heran, jika kalian mendengar bahwa kebanyakan anak-anak laki-laki takut jangan sampai ayah mereka memakan mereka! Kalian tentunya akan kembali ragu jika saya menyebut ketakutan ini sebagai bagian dari manifestasi-manifestasi hal- hal yang bersifat seksual. Akan tetapi, sekarang saya akan mengingatkan kisah atau cerita dari legenda-legenda Yunani yang kalian telah baca di sekolah sewaktu masih kanak-kanak, cerita tentang Tuhan bernama Corunus yang menelan dan memakan anak-anaknya."(3) Ia pun berkeyakinan bahwa sebagian dari kisah-kisah ini-meski diasumsikan tidak benar sekalipun-dapat dikatakan sebagai bukti terbaik akan adanya Oedipus Complex. (4) 5. Freud-senada dan seirama dengan sebagian kaum ateis abad sembilan belas dan dua puluh lainnya dan dalam menentang apa yang menjadi kecenderungan agama-agama Ilahi-dengan menelusuri akar agama-agama pada pemujaan totem manusia- manusia awal, menyebut proses perjalanan religius masyarakat manusia dari syirik menuju tauhid, sementara menurut sebagian
p: 43
sosiolog, hingga sekarang belum ada dalil memuaskan yang diajukan, di mana berdasarkan itu totemisme dinyatakan sebagai agama manusia pertama kali dan agama-agama lainnya merupakan penyempurnaan darinya.(1) 6. Tidak ada bukti yang didapatkan guna membuktikan klaim ini bahwa kehidupan awal manusia dulunya berbentuk "kawanan (gerombolan) pertama." Menurut sebagian penulis, sumber konsepsi Darwin ini ialah sebuah pernyataan atau proposisi- proposisi di mana kebohongan atau ketidakbenarannya hari ini telah terbukti. Demikian pula, "teori" Freud bertumpu pada konsep "memori rasial atau kesukuan" dan terwariskannya peristiwa-peristiwa permulaan, suatu kejadian-kejadian yang dari generasi ke generasi melanjutkan pengaruhnya; sekarang, pemikiran ini telah ditolak mentah-mentah oleh ekologi modern". (2)
Ludwig Feurbach (1804–1872 M), filsuf empiris berkebangsaan Jerman, berkeyakinan bahwa filsafat Hegel dan agama-agama seperti Kristen, dengan keterkurungan dalam domain suatu kesalahan merugikan, memproyeksikan sifat-sifat yang selayaknya bagi manusia, kepada suatu wujud asing seperti ruh mutlak atau Tuhan. (3) Menurutnya, hal ini merupakan tanda "alienasi atau
p: 44
keterasingan diri"(1) manusia di mana sifat-sifat seperti baik, indah, hakikat, dan hikmah yang terkait dengan dirinya, ia nisbahkan kepada wujud lain serta tunduk dalam berhadapan dengannya.
Katanya, "Zat Ilahi bukanlah sesuatu selain dari pada zat manusiawi itu sendiri atau-dengan kata lain,merupakan tabiat (nature) manusia yang telah tersucikan dan bebas dari segala bentuk batasan-batasan individualitas; suatu watak atau tabiat yang berbentuk riil, yaitu sebagai suatu keberadaan berbeda yang direnungi dan dihormati. ... kalian percaya bahwa Tuhan adalah wujud yang bijak serta menginginkan kebaikan karena kalian tidak mengetahui sesuatu yang lebih baik daripada kebijakan dan keinginan baik yang ada pada diri kalian."(2) Erich Fromm (1900–1980 M) seorang psikolog berkebangsaan Jerman, dalam sebuah analisis yang sama, agama-agama yang dinamakannya diktator, ia sebut terjebak dalam alienasi. Dalam kaitannya dengan penyembahan Tuhan, Erich Fromm berkata, "Manusia setelah segala sesuatu yang dimilikinya ia berikan kepada Tuhan, sekarang menginginkan dari-Nya untuk mengembalikan apa yang pada dasarnya terkait dengan dirinya-atau sebagian dari mereka."(3) Karl Marx (1818–1883 M) juga mengemukan teori ini sebagai sesuatu yang sangat bisa diterima dan mengimbuhkan bahwa menurut kepercayaan kaum Kristiani, Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk diri-Nya;(4) sementara dalam kenyataannya, manusialah yang telah memberikan esensi ketuhanan pada sifat-sifat mereka serta menciptakan Tuhan dalam bentuk wajah mereka. "(5)
p: 45
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Makna Hadis "innallāha khalaga ādama `alā shūratihi" Doktrin Kristen yang sedang diisyaratkan Marx, dalam referensi-referensi Islam dilaporkan pula dalam bentuk seperti ini "innallāha khalaga ādama ‘alā shūratihi" (sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan bentuknya) Imam Ridho dalam menafsirkan hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. ini, mengatakan:
Seseorang di hadapan Rasulullah Saw. mengejek orang lain seperti ini: "Qabbahallāhu wajhaka wa wajha man yusyabbihuk (Semoga Allah menjadikan buruk wajahmu dan wajah orang yang sepertimu)." Rasulullah Saw. bersabda: "Jangan katakan seperti itu karena Tuhan juga menciptakan Adam dalam bentuk seperti ini pula."(1) Berdasarkan riwayat ini, kata ganti dalam "shūratihi" merujuk kepada "orang yang diejek." Sebagian lainnya merujukkan kata ganti (dhamir) tersebut kepada Tuhan dan pada saat yang sama berusaha mengajukan tafsiran yang tidak berujung pada penyerupaan Tuhan dengan benda. Kembalinya kata ganti (dhamir) kepada Adam juga dapat mempersiapkan suatu tafsiran yang diterima.
Masing-masing dari dua perkiraan terakhir, memiliki tafsiran-tafsiran yang berbeda-beda di mana untuk masing- masingnya akan kami tunjukkan satu contoh:
a. Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa di mana ia dapat serupa dengan Tuhan (berbentuk Tuhan).
b. Adam -berlawanan dengan manusia-manusia lainnya- sejak awal diciptakan dalam bentuk manusia sempurna dan tidak melalui tahapan-tahapan seperti nutfah dan alaqah.(2)
p: 46
Dari sisi lain, Marx menyebut ekonomi sebagai infrastruktur masyarakat dan urusan-urusan seperti politik, filsafat, seni, dan agama sebagai suprastruktur.(1) Bagian kedua-di mana ia menamakannya dengan ideologi dan menyebut agama sebagai bagian yang paling merugikan-merupakan alat atau instrumen yang ada di tangan para penguasa yang digunakan dalam menjustifikasi keadaan atau kondisi yang ada serta mencegah masyarakat guna melakukan pemberontakan terhadap pemerintah (kekuasaan). Menurut pandangan ini, agama seperti candu (opium) yang setelah menghadirkan ketenangan yang berlalu begitu cepat, menimbulkan kesengsaraan-kesengsaraan yang menyedot jiwa dan bersifat permanen.
Walaupun demikian, konfrontasi sesungguhnya adalah antara Marx dan sistem kapitalisme karena menurutnya, segala bentuk perubahan dalam infrastruktur masyarakat (ekonomi) akan mengubah pula hal-hal yang bersifat suprastruktur seperti agama (mazhab) dan dengan terwujudnya masyarakat komunis, dengan sendirinya agama dan pemerintahan pun akan sirna.(2) Telaah dan Kritik 1. Apakah hanya dengan merujuk kepada poin ini bahwa "manusia mencintai sifat-sifat yang layak seperti baik, bijak, dan keadilan" dapat disimpulkan bahwa Tuhan yang merupakan sumber dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah sesuatu hal yang bersifat delusif atau imajinatif tanpa melihat argumen-argumen yang membuktikan keberadaan Tuhan? Dengan kriteria- kriteria rasional empiris manakah pandangan orang-orang seperti Feurbach bisa dikatakan lebih legitimate dari pandangan religius ini, di mana manusia dengan alasan bahwa ia adalah
p: 47
pencari kebebasan-kebebasan psikologis (kejiwaan), melakukan pengingkaran terhadap Tuhan dan kiamat?(1) "Bal yurīdu al-insānu liyafjura amāmahu. Yas'alu ayyāna yaumul qiyāmah."(2) 2. Tak diragukan lagi, orang-orang yang memiliki kekuatan dalam masyarakat dapat menjadikan agama sebagai mainan dan dengan memanfaatkan teknologi-teknologi, kecenderungan- kecenderungan fitrawi masyarakat mereka jadikan alat atau instrumen guna mencapai tujuan-tujuannya. Sangat jelas bahwa pernyataan ini sama sekali tidak bermakna bahwa agama tidak lain merupakan sumber manipulasi atau penipuan para penguasa(3) dan seperti yang diungkapkan Marx "pemikiran-pemikiran yang mengendalikan atau menguasai masyarakat selalu adalah pemikiran-pemikiran strata penguasa". (4) Berdasarkan bukti-bukti sejarah, kebanyakan agama-agama mengajak masyarakat untuk melawan atau berhadapan dengan para penguasa di zamannya serta menyebarkan suatu ajaran-ajaran yang tidak menguntungkan strata penguasa. (5) 3. Karl Marx dari satu sisi menyebut agama sebagai produk keterasingan diri atau alienasi dan menampakkannya seperti ini bahwa "agama bersumber dari orang-orang yang teralienasi melebihi lainnya, yaitu strata bawah tangan."(6) Dari sisi lain, ia menamakan agama sebagai suatu ideologi dan menyebut ideologi sebagai sesuatu yang diciptakan oleh strata penguasa guna menjustifikasi kondisi yang ada serta menjaga kekuasaannya.
p: 48
Kedua pernyataan ini (agama merupakan cabang strata bawah tangan dan agama adalah cabang strata atas tangan) tidak mudah diselaraskan.(1) 4. Pengalaman historis periode kontemporer, khususnya di negara-negara komunis menunjukkan bahwa perubahan sistem perekonomian tidak berpengaruh pada kecenderungan atau tendensi agama dan perkembangan informasi atau pengetahuan tidak berujung kepada keberpalingan dari agama.(2) Selain dari pada itu, sosiolog berkebangsaan Jerman, Max Weber (1864—1920 M) dengan menulis buku "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism"(3) berhadapan dengan Karl Marx, menggambarkan bagaimana agama menjadi suatu bentuk infrastruktur bagi ekonomi(4) dan etika keagamaan protestan berpengaruh dalam kemunculan sistem kapitalisme. (5) Dengan mengkaji dasar-dasar bangunan pemikiran Marx, kelemahan-kelemahan lainnya pun dapat ditemukan di mana penjelasan tentangnya akan kami lewatkan dan kami mengajak para pembaca untuk menelaah referensi atau sumber-sumber yang membahas subjek pembahasan secara lebih rinci. (6) 5. Kecenderungan dalam menjaga keutuhan sosial. Menurut pandangan Emile Durkheim (1858–1917 M), seorang sosiolog terkemuka berkebangsaan Prancis, jalan terbaik untuk mengetahui unsur-unsur asli agama serta asal usulnya ialah penelitian atas
p: 49
suatu masyarakat yang belum berkembang di mana dari segi industri dan teknologi berada pada tingkatan paling rendah.(1) Dengan tujuan inilah, ia memanfaatkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang suku-suku pribumi Australia dan mengembangkan teorinya dalam buku The Elementary Forms of Religious Life.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keterbelakangan dan Prinsip (Asal Usul)? Durkheim dengan mengkritik orang-orang yang melakukan teoretisasi tentang masa lalu melalui dugaan dan perkiraan, dan dengan jalan ini berupaya mencari rahasia pertama kali dari kecenderungan-kecenderungan religius manusia, sesungguhnya mengusulkan suatu penelitian atau kajian tentang contoh yang bersifat kontemporer dan terjangkau serta menganggap kabilah- kabilah pribumi Australia ibarat sebuah cermin yang menunjukkan wajah sejarah kemanusiaan masa lalu dihadapan manusia hari ini. (2) Bagaimanakah Anda menilai poin ini? Menurut Anda, apakah dengan belum berkembangnya industri suatu masyarakat, prinsip atau dasar keberagamaan mereka dapat disimpulkan?(3) Berdasarkan laporan-laporan para peneliti sosial di mana Durkheim mencari keuntungan dari penelitian-penelitian lapangan mereka, setiap dari masing-masing suku pribumi Australia di dalamnya terdapat beberapa klan di mana masing-masingnya menganggap suci seekor binatang atau suatu tumbuhan khusus dan terkadang suatu benda tak bernyawa-yang dinamakan dengan totem-dan
p: 50
menjadikannya sebagai simbol mereka. (1) Setiap totem disertai dengan “ketabuan-ketabuan" atau "keharaman-keharaman" yang diletakkan untuk menjaga kehormatan totem. Menurut Durkheim, Totemisme bukan penyembahan hewan atau tumbuhan, melainkan penghormatan dalam berhadapan dengan suatu kekuatan impersonal dan abstrak (Tuhan) yang termanifestasi atau tampak dari setiap fenomena- fenomena ini dan tidak sama (satu) dengan satu pun di antara mereka. (2) Berdasarkan hal ini, dari satu sisi totem merupakan simbol kekuatan impersonal (Tuhan) dan dari sisi lain merupakan simbol masyarakat; kesimpulannya Tuhan bukanlah sesuatu selain dari masyarakat itu sendiri:
"Totem dari satu sudut pandang merupakan wajah yang tampak dan terlihat dari sesuatu, di mana saya menamakannya sebagai asli suatu totem atau Tuhan; dari sudut pandang lainnya, merupakan suatu simbol masyarakat khusus yang disebut dengan suku (klan); totem adalah bendera suku dan merupakan suatu tanda yang membedakan setiap suku dari suku-suku lainnya. ...
dengan demikian, jika totem juga sebagai simbol Tuhan dan juga sebagai simbol masyarakat, apakah hal ini bukan karena dalil tersebut bahwa Tuhan bukanlah sesuatu selain dari masyarakat itu sendiri?"(3) Menurut Durkheim, kaum religius dengan menjalankan ritual keagamaan, secara tidak sadar melakukan penguatan atas relasi- relasi sosial serta menegaskan prinsip masyarakat dan kedahuluan kepentingan-kepentingan bersama (kelompok). Segala sesuatu yang membantu kelangsungan masyarakat adalah “sakral" dan mendapatkan tempat dalam wilayah agama dan segala sesuatu selain ini adalah "profan."(4) Kewajiban-kewajiban moral juga bukan merupakan
p: 51
sesuatu selain dari pada desakan opini-opini umum.(1) Kebanyakan doktrin-doktrin religius juga dapat dijelaskan dengan bantuan prinsip totemis, ruh merupakan prinsip atau asli totemis yang menempati batin individu-individu(2) dan kekekalan jiwa bermakna bahwa dengan meninggalnya seseorang (satu individu), kehidupan masyarakat tetap berlanjut. (3) Telaah dan Kritik Sebagian pemikir Barat menempatkan kekurangan-kekurangan pandangan Durkheim ke dalam tiga bagian: metodologis, sosiologis, teoretis.(4) Penjelasan terperinci atas tiga jenis kekurangan ini-dan juga pembagian-pembagian lainnya yang telah diajukan tentang hal ini(5)—lebih luas dari cakupan yang dapat diturunkan dalam tulisan ini. Oleh karena itu, kami akan mencukupkan diri dengan menjelaskan beberapa poin penting tentang hal ini: (6) 1. Salah satu kritikan metodologis terhadap analisis Durkheim ialah bahwa ia bersandar pada data-data terbatas tentang suku- suku pribumi Australia dan dengan generalisasi yang tidak pada tempatnya, menyimpulkan suatu teori yang secara formal tampak universal. Pertanyaan mendasar ialah dari mana dapat meyakini bahwa substansi suatu agama tertentu (khusus) merupakan substansi semua agama?(7) Pada hakikatnya, tak ada suatu dalil jelas yang membuktikan bahwa totemisme adalah sumber atau asal usul semua agama-agama. (8) Selain dari pada itu, hari ini data-data yang berhubungan dengan suku-suku Australia dan
p: 52
interpretasi Durkheim dari mereka telah dihadapkan dengan pelbagai permasalahan serius.(1) 2. Durkheim dengan berdalih bahwa asumsi-asumsi yang belum terbukti dan hal-hal seperti "pengajuan definisi", berupaya untuk membuktikan maksudnya (2) Sebagai contoh, ia dalam bagian- bagian awal dari bukunya The Elementary Forms of Religious Life, memperkenalkan agama sebagai "suatu sistem terpadu bagi kepercayaan-kepercayaan dan perbuatan-perbuatan yang terkait hal-hal suci"(3) dan kemudian membuat suatu hubungan langsung antara masalah-masalah sosial dan hal-hal yang bersifat suci. Tentu sangat jelas, bahwa dengan merujuk atau bersandar pada asumsi-asumsi ini ... memuluskan jalan untuk mendapatkan kesimpulan ini bahwa agama merupakan sesuatu yang tak lain adalah cerminan atau refleksi dari kebutuhan-kebutuhan sosial.(4) Sementara menurut kalangan sosiolog, pada sebagian budaya-budaya, antara hal-hal yang sakral dan profan tidak dapat dibedakan (5) dan sesuatu hal yang suci pun bisa tampak dalam bentuk yang tidak bersifat sosial.
3. Hubungan dekat antara agama dan masyarakat serta adanya kemiripan-kemiripan di antara keduanya merupakan sesuatu hal yang diakui, tetapi kesamaan atau kemiripan dua fenomena secara logis tidak dapat menyimpulkan kesatuan dari keduanya. (6) Argumen Durkheim pun (totem adalah simbol masyarakat; totem adalah simbol Tuhan; dengan demikian, Tuhan adalah masyarakat itu sendiri) tidak lebih dari sebuah fallasi. Boleh jadi, totem adalah simbol dari suatu wujud supranatural, tetapi pada saat
p: 53
yang sama juga merupakan panji dari suatu kelompok atau suku rena merupakan poros persatuan orang-orang yang menyakini totem tersebut. Dengan kata lain, kesimpulan dari argumen yang telah disebutkan-dengan mengasumsikan kebenaran premis- premisnya-adalah bahwa simbol masyarakat adalah simbol Tuhan (bukan bahwa "masyarakat adalah Tuhan itu sendiri). (1) 4. Tekanan opini publik tidak bisa disebut sebagai sumber dari kewajiban-kewajiban moral, karena tekanan sosial dapat berujung kepada suatu tindakan-tindakan tak berperasaan dan keriangan atau semangat berkelompok terkadang menggiring orang-orang kepada suatu perilaku tak bermoral. Selain dari pada itu, sejarah membuktikan bahwa para pahlawan atau tokoh-tokoh besar moral pada umumnya gigih dan teguh dalam berhadapan dengan mayoritas masyarakat serta tidak menerima atau menoleransi perilaku-perilaku yang sifatnya telah umum. (2) 5. Berdasarkan analisis Durkheim, Tuhan dan doktrin-doktrin keagamaan lainnya merefleksikan kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat khusus dan merupakan suara dari suku. Berdasarkan ini, bagaimana dapat menjustifikasi keberadaan aturan-aturan umum dan universal dalam agama-agama di mana semua orang menjadi audiensnya?(3)
Istilah sumber atau asal usul agama setidaknya digunakan dalam dua makna aslinya di mana pencampuran antara keduanya harus dihindari, yaitu "sebab kemunculan agama" dan "rahasia kecenderungan kepada agama".(4) Kebanyakan di antara orang-orang yang melakukan analisis tentang asal usul agama, lalai dari poin ini
p: 54
dan dengan mengkaji keingintahuan tentang rahasia kebergantungan segolongan dari masyarakat terhadap agama, mengeluarkan suatu hukum, atau kesimpulan umum tentang sebab kemunculannya.
Bagaimanapun, kemunculan agama dapat dicari atau ditelusuri dalam kehendak Tuhan guna membimbing manusia-yang termanifestasi dalam bentuk turunnya wahyu kepada para nabi—di mana dalil-dalilnya akan dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya. Jika saja tak ada Tuhan atau Tuhan membiarkan makhluk-makhluk-Nya dalam kondisi mereka masing-masing, agama tidak akan berdiri kokoh di atas sebuah landasan rasional. Dengan kata lain, agama hakiki memiliki sumber atau asal usul yang bersifat Ilahi (divine), meskipun bagian dari faktor-faktor yang disebutkan oleh kaum ateis, bisa bermuara kepada munculnya agama-agama menyimpang dan berupa bikinan manusia.
Kecenderungan kepada agama dari satu sisi juga merupakan buah dari pemikiran rasional, ketika seseorang melakukan perenungan tentang rahasia eksistensi, ia akan menemukan tanda-tanda pencipta tunggal di dalam dan di luar dirinya serta tidak melihat penciptaan awan, angin, bulan, matahari, juga bintang sebagai sebuah mainan.
Sebagai contoh, keteraturan dan keselarasan di antara fenomena- fenomena serta penataan sistemik yang diterapkan dalam penciptaan mereka sedemikian sehingga seolah seluruh fenomena-fenomena yang tampak diam membuka mulut dan berbicara tentang Tuhan yang bijak dan kuasa:(1) "Apa pun yang diciptakan-Nya merupakan argumen (burhan) bagi-Nya dan menjadi tanda atas kekuasaan dan kebijakan- Nya" dan "Meskipun ciptaan tampak terdiam, tetapi (sejatinya) berbicara atas pengaturan-Nya dan merupakan dalil yang cukup bagi keberadaan Sang Pencipta."(2) Dari sisi lain, watak (fitrah) seseorang telah terbentuk dengan kecenderungan kepada Tuhan.(3) Meminjam tuturan Rumi,
p: 55
"Itteshāli bi Takayyuf bi Qiyās Hast Rabbun Nās rā Bā jān-e Nās" (Keterhubungan tanpa tahu bagaimana dan tanpa perbandingan Adanya Tuhan manusia dengan jiwa manusia/(1) Bahkan, sebagian di antara pemikir yang tidak meyakini agama berpandangan bahwa "manusia secara fitrah adalah religius. "(2) Al- Qur'an menyebutkan pula bahwa agama merupakan salah satu di antara fitrah-fitrah manusia dan mengajak orang-orang untuk menjawab kebutuhan batin ini, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan kecondongan penuh pada kebenaran (haq), pada agama ini, dengan fitrah itu pula di mana Tuhan menciptakan manusia menurut fitrah itu; tidak ada perubahan pada penciptaan (fitrah) Tuhan," (QS Al-Rūm [30]: 30).
Kebutuhan fitrawi ini-berlawanan dengan insting-insting natural dan kebinatangan-tidak mekar atau berkembang dengan sendirinya serta sangat sering dilupakan atau dilalaikan.(3) Dari sisi ini, para nabi senantiasa mengingatkan kontrak atau perjanjian yang bersifat fitrawi ini kepada manusia dan menghendaki mereka untuk memenuhi ikrar perjanjian ini serta mendengarkan bisikan batinnya.
Berdasarkan hal ini, Imam Shadiq mengingatkan seseorang lantaran dialog tentang Tuhan tidak lagi mengantarkannya pada suatu tempat dan berada dalam keheranan, ihwal suatu kondisi di mana harapan atas semua sebab-sebab materiel telah terputus, tetapi tetap berharap kepada penolong yang lebih tinggi. (4) Benar! Tatkala pelbagai badai peristiwa dan masa menghempaskan kapal kekuatan- kekuatan manusia dan menampakkan kekurangan-kekurangan serta ketidakberdayaan mereka, muncullah suatu daya lain dan menyingkap hijab dari wajah. Ketika itu, semua menyeru Tuhan dengan penuh etulusan niat, meskipun hanya segolongan dari mereka yang tetap
p: 56
tinggal, "Dan apabila mereka dihantam ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Tuhan dalam keadaan memurnikan agama mereka kepada-Nya. Maka tatkala Tuhan menyelamatkan mereka sampai ke daratan, maka hanya sebagian saja di antara mereka yang serius dan benar," (QS Luqmān [31]: 32).(1) Selain dari pada itu, agama orisinal yang bersumber dari Sang Pencipta seluruh eksistensi dengan alasan kesesuaiannya dengan fitrah manusia, menjawab pula kebutuhan-kebutuhan psikologis dan sosiologis manusia serta menampilkan dirinya selaras dengan mereka.
Dari sisi inilah, kebutuhan-kebutuhan ini dapat disebut berefek dalam memotivasi atau memberikan stimulasi ke arah agama. Menurut salah seorang penulis Barat, "Agama yang hakiki lahir dari kebingungan manusia atau bukan merupakan keinginan untuk menjaga diri. ...
agama memiliki akar pada wujud manusia; entah, manusia ... dari segi eksistensi memiliki wajah yang mengarah kepada Tuhan dan di dalamnya ia terbuat dan di dalamnya ia bergerak dan eksistensinya di dalam Dia. ... Seluruh daya atau kekuatan-kekuatan seseorang senada dan selaras dengan apa yang diperoleh akal tentang Tuhan(2)
1. Kaum ateis mencari sumber atau asal usul agama-agama dengan asumsi bahwa Tuhan dan agama-agama wahyu tidak memiliki hakikat, menyebut faktor-faktor psikologi dan sosial sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan padanya.
2. Segolongan orang mencari rahasia religiusitas dalam ketakutan atas peristiwa-peristiwa alam, mereka berkeyakinan bahwa manusia menciptakan tuhan-tuhan guna mengurangi kerisauan dari alam dan menjadi tempat berlindung yang aman dari berbagai kejadian.
p: 57
3. Sebagian lainnya menyebut kebodohan manusia sebagai prakondisi bagi kepercayaan terhadap Tuhan dan menganggap kemajuan ilmu pengetahuan sebagai penyebab kemunduran agama.
4. Freud menyebut Oedipus Complex sebagai sumber agama-agama dan menganggap rasa penyesalan atas pembunuhan ayah pertama sebagai sumber kepercayaan-kepercayaan religius.
5. Karl Marx mengikuti Feurbach mencari akar agama dalam “keterasingan diri" manusia dan menyebutnya sebagai candu masyarakat.
6. Emile Durkheim dengan meneliti dan mengkaji informasi- informasi tentang sebagian suku-suku Australia, menyebut Totemisme sebagai sumber seluruh agama-agama lainnya serta menganggap Tuhan dan masyarakat sebagai satu.
7. "Kemunculan agama" dapat dicari pada kehendak Tuhan untuk menuntun manusia (dalam bentuk penurunan wahyu) dan rahasia "kecenderungan" pada agama pun, di samping dalil-dalil rasional, dapat dicari dalam fitrah pencarian Tuhan manusia serta kebutuhan-kebutuhan mendasar psikis dan sosial.
1. Menurut pandangan orang-orang seperti Freud dan Russell, bagaimana ketakutan atas peristiwa-peristiwa natural dapat berujung pada kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya? Pandangan manakah tentang asal usul agama yang dijelaskan proposisi-proposisi berikut-yang menurut anggapan sebagian orang, menunjukkan tahapan-tahapan kesempurnaan pemikiran manusia-dan bagaimanakah dapat dievaluasi? a. Tuhan → sakit panas b. Tuhan → mikroba → sakit panas C. Tuhan → ... → mikroba sakit panas d.... → mikroba → sakit panas
p: 58
3. Manakah tiga tahapan-tahapan perubahan pemikiran manusia menurut pandangan Auguste Comte? Tulislah salah satu di antara kritikan-kritikannya! 4. Apa Oedipus Complex itu? Bagaimanakah Freud menggunakannya untuk menunjukkan asal usul agama? 5. Telaah dan kritiklah kisah pembunuhan ayah pertama yang terdapat dalam analisis Freud! 6. Apa pendapat Karl Marx tentang doktrin Kristen: "Tuhan menciptakan manusia dengan bentuk diri-Nya"? 7. Marx dari satu sisi menyebut agama sebagai hasil dari keterasingan (alienasi) diri manusia dan dari sisi lain menamakannya sebagai ideologi (dalam makna khusus), apakah kedua penyataan ini sesuai antara satu dengan lainnya? Jelaskan! 8. Dengan analisis manakah Emile Durkheim menyimpulkan kesatuan Tuhan dan masyarakat? 9. Masalah-masalah manakah yang mempersoalkan pandangan Durkheim tentang sumber agama? Tulislah tiga hal! 10. Menurut pandangan para pemikir muslim, faktor-faktor apakah yang dapat berpengaruh dalam kemunculan agama serta kecenderungan kepadanya? 11. Manakah di antara orang-orang di bawah ini yang menggunakan istilah "proyeksi" dalam menganalisis sumber atau asal usul agama? a. Freud b. Feurbach C. Marx d. Ketiganya
p: 59
p: 60
Apakah ada keragu-raguan tentang Tuhan-yang menciptakan langit dan bumi ?!(QS Ibrāhim [14]: 10).
upaya pengkajian tentang pencipta alam semesta (Tuhan) senantiasa menjadi kekhawatiran atau kebimbangan pemikiran paling penting manusia. Sebagian menyebut wujud Tuhan adalah aksiomatik (badihi) dan tidak memerlukan penalaran (istidlāl/ reasoning); sekelompok lainnya menganggap keberadaan-Nya tidak dapat dibuktikan (1)dan golongan ketiga berpegang teguh pada dalil-dalil guna membuktikan eksistensi-Nya. Sebelum kita membahas dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan, kami akan mengarahkan pembaca untuk memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Sebelum melakukan bentuk dialog apa pun antara satu dengan lainnya, kaum ateis dan orang-orang yang percaya kepada Tuhan (theis) harus memperjelas maksud mereka tentang istilah "Tuhan." Sesuatu yang bisa dipahami oleh semua orang serta dapat menjadi titik memulai pembahasan ialah bahwa "Tuhan merupakan pencipta alam semesta"; sebagaimana Bertrand Russel (1872–1970 M) filsuf ateis berkebangsaan Inggris dan Frederick Copleston (1907–1994 M) seorang filsuf dan teolog Kristen- dalam memulai debat mereka-menyepakati definisi ini, "Suatu
p: 61
entitas konkrit (individual) yang berbeda dengan alam semesta dan merupakan penciptanya."(1) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Pembuktian Wujud Tuhan Sebelum Menjelaskan Sifat-Sifat-Nya? Metode umum bagi sebagian besar penulis- penulis yang berbicara tentang Tuhan dan sifat-sifat- Nya ialah bahwa pertama, membuktikan wujud Tuhan dan kemudian melacak sifat-sifat-Nya. Sebagian penulis kontemporer tidak menerima metode ini dan mengedepankan pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan.
Sebagaimana yang dikatakan: "Jika kita tidak memiliki konsepsi apa pun tentang "apakah Tuhan itu", maka dalam kondisi seperti itu apa maknanya kita bertanya bahwa apakah Tuhan ada atau tidak?"(2) Bagaimana Anda menilai pandangan ini? Menurut Anda, apakah sebelum mengkaji secara rinci sifat-sifat Tuhan, dapat dilakukan pembuktian wujud-Nya? 2. Sekelompok pemikir Timur dan Barat menyatakan wujud Tuhan bersifat badihi (swabukti) atau aksiomatik serta tidak memerlukan pembuktian (reasoning);(3) sebagaimana Allamah Thabathabai (1281–1360 HS) dalam ulasannya (taqrir) terhadap al-Asfar setelah mengemukakan ulasan argumen shiddiqin, yang akan kami kemukakan dalam bagian-bagian selanjutnya, mengatakan: "Dengan merenung seseorang akan mendapati dari
p: 62
penjelasan kami ini bahwa prinsip adanya wajib secara esensial (wājib bi al-dzāt) bagi manusia sifatnya adalah swabukti (badihi) dan argumen-argumen (demonstrasi) yang membuktikan wujud Tuhan pada hakikatnya mengarahkan perhatian kita kepada hal yang bersifat badihi tersebut."(1) Ke-badihi-an wujud Tuhan, entah itu berdasarkan ilmu hushuli ataupun berdasarkan ilmu hudhuri-sebagaimana halnya diisyaratkan Allamah, tidaklah bermakna salah atau sia-sianya argumentasi terhadap wujud Tuhan, argumen rasional dapat menyadarkan orang-orang lalai serta menampakkan kesalahan pandangan orang-orang ingkar.
Menarik untuk diketahui bahwa sebagian di antara pemikir Kristen menyebut "ketidakperluan pada pembuktian", tidaklah mensyaratkan "ke-badihi-an." Mereka yakin bahwa wujud Tuhan tidak butuh pada pembuktian, tetapi pada saat yang sama, bukan pula badihi (swabukti).(2) 3. Pelbagai macam agama-agama menyebut atau menyeru Tuhan dengan nama-nama seperti Allah, God, Yehova,(3) dan memujanya dengan sifat-sifat seperti ilmu dan kekuatan mutlak serta menyebutnya sebagai pencipta langit dan bumi. Dalam karya-karya filsafat tentang entitas semacam ini pun, terdapat penyebutan-penyebutan seperti berikut ini, wājib al-wujūd bi al- dzāt, sesuatu yang bukan akibat, Sebab Pertama (First Cause), Entitas mandiri, sempurna mutlak, Entitas nir-batas. Orang- orang yang memilih argumen rasional untuk membuktikan Tuhan-agama, sejak awal menerima poin ini bahwa kebanyakan di antara penyifatan-penyifatan filosofis dan religius yang telah disebutkan-dan juga penyifatan lainnya yang kami tidak sebutkan di sini-dapat disimpulkan atau dihasilkan dari yang satu dengan lainnya. Walaupun demikian, terdapat orang-orang lainnya yang menyatakan keraguannya dalam poin yang telah disebutkan dan
p: 63
mengemukakan suatu pertanyaan yang seperti ini, Apakah Tuhan- agama adalah Tuhan-filsafat itu sendiri?(1) Sebagian pemikir Muslim dalam membela positifnya jawaban persoalan ini,(2) menggunakan dua premis (mukaddimah) di bawah ini:
a. Beberapa deskripsi filosofis yang telah disebutkan dapat bersesuaian dengan suatu eksistensi yang bukan makhluk.
b. Menurut al-Qur'an "bukan makhluk" adalah di antara penyifatan-penyifatan yang hanya dikhususkan kepada Tuhan. (3) Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa kebanyakan dari orang-orang yang membedakan antara Tuhan agama dengan Tuhan filsafat, tidak menilai kedua hal tersebut sepenuhnya benar-benar saling terasing antara satu dengan lainnya, melainkan mereka percaya bahwa apa yang telah dibuktikan melalui dalil- dalil rasional adalah "bayangan dengan warna kurang" dari Tuhan-hidup yang disebutkan oleh agama. (4) Berdasarkan hal ini, Blaise Pascal (1623–1662 M) menulis, "Tuhan Ibrahim, Tuhan Ishak, dan Tuhan Yakub, bukanlah Tuhan para filsuf dan para ilmuwan."(5) Jumlah dalil-dalil yang sudah dikemukakan dalam pembuktian wujud Tuhan yang mana sebagian di antaranya termuat dalam pasal ini-dengan melihat keragaman ulasan- ulasannya telah mencapai puluhan item. Sebagian dari dalil-
p: 64
dalil ini seluruhnya mesti dinyatakan tidak valid; sebagian lainnya memiliki validitas yang sifatnya relatif(1) dan bagian yang ketiga sepertinya terlihat sempurna dan tanpa cacat.
PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Tiadanya Kesempurnaan Dalil-Dalil atau Harapan-Harapan yang Tidak pada Tempatnya? Salah satu kritikan yang menampakkan ketidaksempurnaan sebagian dari dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan adalah bahwa apa yang terbukti dengan dalil-dalil ini, tidak mencakup pelbagai dimensi-dimensi dakwaan kaum ateis. Sebagai contoh, argumen keteraturan (argument from design) —dengan asumsi dapat membuktikan keberadaan pengatur-tidak bisa menjadi penjelasan suatu sifat-sifat terpuji yang dinisbahkan oleh kaum yang percaya Tuhan kepada pengatur yang berpengetahuan ('alim). (2) Bagaimana Anda menilai kritikan ini? Menurut Anda, apakah prinsip keberadaan Tuhan yang tidak dapat dibuktikan dengan satu argumen dan dengan argumen- argumen lain, sifat-sifat transendennya dapat disimpulkan?
Berdasarkan suatu pembagian rasional, argumen-argumen (barāhin) (3) pembuktian wujud Tuhan dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. Dalil-dalil yang dengan hanya bertumpu pada konsep "wujud" melakukan pembuktian terhadap objek-objek (mishdāq) aslinya.
p: 65
Para pembela jenis argumen ini terkadang pada awalnya mengajukan suatu definisi ontologis tentang Tuhan (seperti entitas paling sempurna), kemudian dengan menganalisis konsep ini, menyimpulkan realitas eksternalnya. Selain pada kata "Tuhan", klaim seperti ini tidak pernah dilakukan, di mana dengan mengajukan definisi semata serta melakukan perenungan pada konsep (nazhariyah) dapat mengetahui keberadaan objeknya (mishdāq).
b. Dalil-dalil yang menjadikan suatu "objek tak tertentu" dari wujud (Entitas Mutlak) sebagai perantara atau wasilah pembuktian Tuhan. Orang-orang yang menggunakan argumen semacam ini, meyakini bahwa syarat perlu untuk pembuktian wujud Tuhan adalah tidak menjadi seorang sofis dan mengakui keberadaan "suatu wujud" di alam eksternal. Mengingat bahwa pada argumen ini, tak satu pun wujud dari suatu keberadaan tertentu yang kita asumsikan sebelumnya atau bahwa di akhir argumen seperti ini kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa wujud sesuatu yang kita duga atau asumsikan sejak awal pada hakikatnya adalah Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa dalam membuktikan eksistensi Tuhan kita tidak dibantu oleh selain diri-Nya.
C. Dalil-dalil yang menggunakan "objek-objek tertentu" dari wujud seperti wujud mumkin atau hadits-untuk membuktikan wujud Tuhan. Misdaq ini sudah pasti akan menjadi "selain Tuhan" karena suatu argumen yang sedari awal mengasumsikan keberadaan Tuhan, tidak ada lain kecuali sebuah penegasan atau penetapan bagi yang diinginkan (yaitu wujud Tuhan).
Di dunia Barat, bagian pertama dari tiga pembagian ini dinamakan dengan argumen ontologis (ontological argument), meskipun penggunaan argumen semacam ini tidak terkhususkan bagi orang-orang Barat.
Bagian kedua-yang mungkin hanya terkhusus bagi para pemikir Islam-disebut dengan argumen shiddiqin (the veracious argument).
Bagian ketiga mencakup beberapa bentuk argumentasi yang sebagian di antaranya akan kami ketengahkan sesudah penjelasan argumen ontologis dan argumen shiddiqin (burhān shiddīgīn).
p: 66
Anselm (1033–1109 M) Uskup Agung Gereja Canterbury, dalam buku Proslogium(1) pasal dua hingga pasal empat, untuk membuktikan wujud Tuhan mendesain suatu argumentasi yang dikenal dengan argumen ontologis. Ulasan sederhana dari argumen ini adalah sebagai berikut:
a. Tanpa ragu, orang-orang yang mengingkari wujud Tuhan mampu menggambarkan konsep ini di dalam benak (akal)-nya, yaitu "eksistensi yang lebih besar(2) darinya tidak dapat dibayangkan." b. Dalam kondisi ini, klaim orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan ialah bahwa apa yang mereka gambarkan di dalam akal, tidak berada di luar akal.
C. Sudah pasti, sesuatu yang ada "baik di dalam akal maupun di luar akal", lebih sempurna daripada sesuatu yang "hanya ada di dalam akal."(3) d. Berdasarkan hal ini, apa yang digambarkan oleh seorang yang mengingkari wujud Tuhan, merupakan paling sempurnanya sesuatu yang dapat digambarkan (premis a) dan juga merupakan paling sempurnanya sesuatu yang tidak dapat digambarkan (premis b dan c) dan ini adalah suatu kontradiksi yang sangat tampak Dengan penjelasan lain, apabila "suatu wujud yang lebih sempurna darinya tidak dapat digambarkan" kita namakan "x", suatu silogisme disjungtif dapat dibuat dalam bentuk seperti dibawah ini:
p: 67
• Jika "x" di luar akal tidak eksis, maka saat itu "x" bukanlah "x" Tetapi "x" adalah "x".
• Dengan demikian, "x" di luar akal ada atau eksis.
Sebagian dari para pemikir Muslim pun-seperti halnya Anselm-telah berusaha merenungkan konsep wujud, mengupayakan pembuktian objek aslinya (Tuhan) sebagaimana salah seorang dari arif abad kedelapan H yang bernama Abu Hamid Isfahani dalam kitab Qawāid al-Tawhīdl(1) mengatakan, "Hakikat wujud-qua hakikat wujud, secara esensial tidak menerima ketiadaan, karena salah satu di antara dua kontradiksi tidak dapat tersifati antara satu dengan lainnya dan tak satu pun tabiat akan berubah menjadi tabiat lainnya, karena hakikat wujud secara esensial tidak menerima ketiadaan, maka secara esensial adalah wajib (Wajib al-wujūd).(2) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Pro dan Kontra Argumen Ontologis Di dunia Barat, argumen Anselm memiliki pendukung dan penentang kenamaan. Di antara pendukung- pendukung argumen ini-yang terkadang mengemukakan ulasan-ulasan baru darinya-beberapa tokoh di bawah ini yang paling menonjol dari yang lain, Descartes (1596– 1650 M), Spinoza (1632–1677 M), Leibniz (1646–1716 M), Hegel (1770—1831 M), Karl Bart (1886–1968 M). Di antara penentang argumen ini, Thomas Aquinas (1225–1274 M) dan Immanuel Kant (1724–1804 M) memiliki reputasi atau popularitas yang lebih.(3)
p: 68
Dalam dunia Islam, orang-orang di bawah ini, mengajukan pula suatu argumen ontologis yang mirip dengan argumen Abu Hamid Isfahani, misalnya, Muhammad Mahdi Naraqi (1128–1209 H), Muhammad Ridha Qumsyei (W 1306 H), Muhammad Husein Gharawi Isfahani, terkenal dengan Kumpani (1296–1361 H), dan Mahdi Haeiri Yazdi (1301—1378 S).(1) Salah seorang pendeta yang sezaman dengan Anselm, bernama Gaunilo, dengan kritik pembalikan (reversal) mempermasalahkan argumen ontologis Anselm.(2) Menurutnya, jika argumen seperti ini benar, maka dengan menggunakan argumen tersebut eksistensi setiap sesuatu yang sifatnya imajinatif bisa dibuktikan! Misalnya, perhatikan konsep ini: "Sebuah pulau yang lebih sempurna darinya tidak dapat dibayangkan." Apakah dengan menggunakan premis-premis seperti yang ada dalam argumen Anselm keberadaan pulau seperti itu tidak dapat dibuktikan?(3) Selain dari pada itu, argumen ontologis telah dihadapkan pula dengan berbagai kritikan-kritikan lainnya dari kalangan pemikir Timur dan Barat.(4) Salah satu di antaranya yang menunjukkan ketidakbenaran seluruh ulasan argumen ontologis adalah bahwa argumen semacam ini telah mencampuradukkan antara konsep dengan objek (mishdāq).
Untuk menjelaskannya lebih lanjut, sebaiknya kita gunakan dua
p: 69
istilah: "predikasi esensial primer (primary essential predication)" dan "predikasi teknis umum (common technical predication). "(1) Ketika suatu predikat kita nisbahkan kepada suatu subjek, terkadang kita memandang kesatuan konsepsi dari keduanya dan terkadang pula melihat kesatuan objeknya. Jenis pertama dinamakan predikasi esensial primer dan jenis kedua predikasi teknis umum.
Para filsuf dan logikawan Muslim dengan menggunakan istilah-istilah tersebut, menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi formal di antara proposisi-proposisi, seperti "bagian adalah bagian" dan "seluruh adalah bagian." Jika yang dimaksudkan adalah kesatuan konsep dan predikasi esensial, maka bagian tidak bisa tidak kecuali adalah bagian, tetapi dengan predikasi teknis umum, bagian termasuk pula di antara objek- objek universal karena konsep "bagian" dapat diterapkan pada banyak hal, misalnya, buku ini, buku tulis itu, dsb.(2) Dengan memperhatikan apa yang telah lalu, klaim orang-orang yang mengingkari eksistensi Tuhan bahwa "wājib al-wujūd adalah tiada" tidak dapat dijawab dengan ungkapan-ungkapan semacam ini, "Ada secara mesti adalah ada." Benar bahwa dengan predikasi esensial primer, segala sesuatu dapat dipredikatkan kepada dirinya sendiri dan "setiap A secara mesti adalah A." Namun, dari kesatuan konsepsional ini-yang kedudukannya pada alam mental (mind)— tidak bisa disimpulkan (ditarik keluar) suatu hukum tentang objek- objek eksternal dari subjek dan predikat. Bahkan tentang hal-hal yang mustahil sekalipun-yang sama sekali tidak mempunyai objek eksternal-dengan predikasi esensial primer dapat dijadikan suatu proposisi benar, "Lingkaran empat sudut secara mesti adalah lingkaran empat sudut." Tentang bagaimana kritik ini masuk pada argumen Anselm, memerlukan ketelitian yang lebih. Ia mendefinisikan Tuhan seperti ini, "Suatu entitas di mana yang lebih sempurna darinya tidak
p: 70
dapat digambarkan." Dengan memperhatikan penjelasan-penjelasan Anselm, syarat mesti bagi kesempurnaan memiliki wujud eksternal.
Berdasarkan hal ini, pernyataan atau klaim Anselm dapat dijelaskan seperti ini, "Sesuatu yang memiliki seluruh kesempurnaan (termasuk di antaranya entitas di luar akal), secara mesti eksis di luar akal." Dengan penjelasan yang mirip dengan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa jika yang dimaksud adalah predikasi esensial primer, maka pernyataan atau klaim ini benar, tetapi tidak membuktikan keberadaan eksternal Tuhan. Dengan kata lain,(1) dalam silogisme disjungtif yang telah disebutkan, jika yang dimaksudkan adalah predikasi primer, premis pertama tidak benar karena entah "X" berada di luar akal atau tidak, "X" adalah "X." Akan tetapi, jika yang dimaksudkan adalah predikasi umum, premis kedua tidak dapat digunakan karena jika demikian, premis ini bukan sesuatu hal yang bersifat aksiomatis (badihi), bahkan merupakan idealitas itu sendiri di mana ia mesti dibuktikan.
Kritik (isykalan) yang telah disebutkan dapat pula dijelaskan dengan menggunakan istilah "analitik" — di mana Kant termasuk peletak dasarnya.(2) Maksud dari proposisi analitik adalah sebuah proposisi di mana predikatnya diperoleh dengan menganalisis subjek, misalnya, "setiap suami adalah lelaki" dan "setiap segitiga mempunyai tiga sisi." Para pembela argumen ontologis seolah beranggapan seperti ini bahwa pengingkaran eksistensi Tuhan dengan ke-'analitik'-an proposisi-proposisi seperti: "Keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan adalah ada ſyakni memiliki wujud)" tidak saling bersesuaian, sebagaimana menurut pandangan Descartes: "Penggambaran Tuhan (yakni suatu dzat sempurna mutlak) tanpa wujud (yakni tanpa suatu kesempurnaan) ternafikan oleh akal seperti halnya ketika kita ingin membayangkan suatu gunung tanpa
p: 71
lembah atau tebing dan segitiga tanpa sisi."(1) Kant menjawabnya dengan berkata, (2) "Memastikan adanya segitiga dan pada saat yang sama mengingkari kepemilikannya atas tiga sisi, akan meniscayakan terjadinya kontradiksi, tetapi jika keberadaan (eksternal) segitiga dan ketiga sisinya kita ingkari sekaligus, kita belum terjerumus ke dalam kontradiksi. Gagasan ini dibenarkan pula dalam kaitannya dengan konsep "wujud secara mutlak adalah wajib. "(3)
Dalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan pada tanda-tanda luar dan dalam (ayat-ayat āfaqi dan anfusi) yang mempersaksikan eksistensi Tuhan, seperti ini, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu adalah benar (al-Haqq). Apakah Tuhan-mu belum cukup bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu?" Filsuf terkemuka dunia Islam, Ibn Sina (370—428 H) berkeyakinan bahwa bagian pertama ayat tersebut menunjuk kepada suatu argumen-argumen di mana Tuhan dibuktikan melalui karya dan ciptaan-ciptaan-Nya, tetapi bagian kedua berbicara tentang suatu argumen yang lebih unggul di mana para "shiddiqin" mengambil manfaat darinya dan berdasarkan itu, mereka memosisikan "Tuhan" sebagai bukti (saksi) bagi segala sesuatu yang lain, bukannya menjadikan selain Tuhan sebagai perantara dalam membuktikan-Nya. (4) Sebagaimana yang telah disebutkan, argumen shiddiqin-seperti halnya argumen ontologis-dimulai dengan perenungan dalam
p: 72
"eksistensi", tetapi bukan dalam konsepnya, melainkan suatu eksistensi riil dan eksternal yang mengenakan busana kewujudan serta dijelaskan dalam bentuk sebuah proposisi seperti "suatu keberadaan ada." Dari sisi lain, argumen ini-berlawanan dengan argumen-argumen yang akan datang, tidak menjadikan selain Tuhan sebagai perantara dalam pembuktian-Nya. Ibn Sina dengan mengisyaratkan kekhususan- kekhususan tersebut berkata:
"Lihatlah bagaimana penjelasan yang kami bawakan dan dengannya Tuhan dan ketunggalan (wahdaniyyah) ... Dia kami simpulkan tidak memerlukan sesuatu selain perenungan pada diri wujud. Dalam argumen ini, kita tidak perlu memperhatikan ciptaan-ciptaan dan perbuatan-perbuatan-Nya, meskipun mereka itu juga berimplikasi terhadap eksistensi-Nya, tetapi jalan yang kami tempuh lebih kokoh dan lebih bernilai."(1) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Sisi Perbedaan antara Argumen Ontologis dan Argumen Shiddiqin Argumen shiddiqin mempunyai ulasan-ulasan yang beragam(2) di mana sebagian di antaranya dalam pandangan pertama, seakan-akan sama dengan ulasan dari para pemikir muslim tentang argumen ontologis, sebagaimana Allamah Thabathabai dalam kitab Ushūl Falsafah wa Rawesy Realism mengatakan:
"Hakikat eksistensi di mana kita sama sekali tidak ragu dengan ketetapannya, sama sekali tidak menerima penafian dan tidak terpahami darinya kehancuran. Dengan ibarat yang lain, realitas eksistensi tanpa batasan dan syarat adalah realitas eksistensi dan dengan tanpa syarat dan batasan apa pun, tidak akan menjadi bukan realitas.
p: 73
Karena alam berlalu dan setiap bagian dari bagian-bagian alam menerima penafian, maka tidak sama persis dengan realitas yang tidak menerima penafian itu sendiri, bahkan dengan realitas itu ia merealitas dan tanpanya tidak memiliki keberadaan dan negatif."(1) Kebanyakan pemikir kontemporer yang menyebut penjelasan ini sebagai satu-satunya ulasan dari argumen shiddiqin yang secara sempurna tetap loyal dengan definisi argumen ini dan untuk membuktikan wujud Tuhan, tidak menggunakan sesuatu apa pun selain perenungan dalam wujud.(2) Menurut Anda, apa bedanya yang terdapat dalam perkataan Allamah Thabathabai dengan argumen ontologis? Khajah Nashiruddin Thusi (597—672 H) dengan menerima argumen shiddiqin Ibn Sina serta dengan penjelasan yang sangat ringkas, menuliskannya seperti ini: "Al-maujud in kāna wājiban (fahuwa al-mathlūb) wa al-istilzāmahu; līstihālati al-daur wa al-tasalsul (Suatu keberadaan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd ataukah ia meniscayakannya karena daur (circular reasoning) dan tasalsul [infinite sequence) adalah mustahil). (3) Mulla Hadi Sabzewari (1212–1289 H) pun dalam kitab Manzhumah-nya menuliskan seperti ini: "idza al-wujūdu kāna wājiban fahuwa-wa ma'al imkāni qadis talzamuhu" (Jika suatu wujud adalah wajib, maka dia terbukti-dan jika dengan imkān, akan meniscayakannya). (4) Argumen ini didasari atas beberapa praasumsi di
p: 74
mana entah itu merupakan hal-hal yang bersifat badihi (swabukti) atau akan dibuktikan dengan suatu argumentasi yang mudah:
1. Segala sesuatu yang ada, ketiadaannya adalah mustahil ataukah tidak mustahil. Kedua bagian ini secara tertib kita namakan "wājib al-wujūd" dan "mumkin al-wujūd."(1) Sebagaimana terlihat dengan jelas, mengingat eksistensi mumkin al-wujūd bukan dari dirinya, maka ia perlu kepada sebab.
2. Rentetan sebab-sebab, daur, atau rangkaian tak terhingga (tasalsul) merupakan sesuatu yang mustahil. Untuk lebih jelasnya apa yang dimaksud, perhatikanlah contoh-contoh di bawah ini:
Jika masing-masing dari dua kelompok yang saling berseteru.
mensyaratkan dimulainya perkelahian atau pertempuran dari pihak lawannya (A-B) apakah pertempuran di antara mereka tidak akan pernah terjadi? Begitu pula, bayangkan barisan tak terhingga dari para prajurit. Jika masing-masing dari orang-orang ini berkata:
"Sebelum prajurit ada di belakang saya, saya tidak akan menembak" (A -ke B -ke C -ke ...) apakah sebutir peluru tidak akan pernah ditembakkan? Dengan inilah tidak dapat dikatakan bahwa "A" mendapatkan keberadaannya dari "B" dan "B" dari "A" (daur) atau bahwa "B" mendapatkan pula wujudnya dari "C" dan "C" dari "D" dan ... (tasalsul-rangkaian tak terhingga).(2) Dengan memperhatikan kedua asumsi ini, (3) argumen Shiddiqin Sinaian [merujuk pada Ibn Sina, sebagaimana halnya Shadrian merujuk pada Mulla Sadra) tersebut akan kami jelaskan dalam bentuk beberapa premis:
a. Suatu keberadaan itu ada (berlawanan dengan apa yang disangkakan kaum sofis, di luar akal [mental], terdapat suatu realitas).
p: 75
b. Jika keberadaan ini adalah wājib al-wujūd, maka ideal kami telah terbukti.
C. Jika keberadaan ini bukan wājib al-wujūd, maka ia adalah mumkin al-wujūd dan memerlukan sebab pewujud. Dalam bentuk seperti ini, sesuatu yang mewujudkan mumkin al-wujūd, entah itu adalah:
c.1 Mumkin al-wujūd yang lain di mana ia sendiri adalah akibat dari mumkin al-wujūd yang pertama (daur).
c.2. Mumkin al-wujūd yang lain di mana ia adalah akibat dari mumkin al-wujūd ketiga dan mumkin al-wujūd ketiga adalah akibat dari mumkin al-wujūd keempat dan seterusnya (rangkaian tak terhingga atau tasalsul).
d. Mengingat daur dan tasalsul adalah mustahil, maka sesuatu yang dalam premis pertama eksistensinya telah kita pastikan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd atau meniscayakan wājib al-wujūd.
Shadr al-Muta`allihin al-Syirazi (Mulla Sadra, 979–1050 H) juga menerima argumen shiddiqin Ibn Sina, terkadang ia menamakannya argumen shiddiqin(1) dan terkadang pula menyebutnya tidak layak dengan nama ini.(2)Ia sendiri mengemukakan ulasan lain dari argumen ini yang sebagiannya bertumpu pada prinsip filsafat hikmah (semisal prinsip wujud dan gradasi wujud) dan tidak memerlukan pembatalan daur serta rangkaian tak terhingga.(3) Begitu pula dalam argumen ini, imkān-māhuwi (kontingen-kuiditas) tergantikan dengan imkān-fagri.(4) Sebagian pengikut aliran filsafat Mulla Sadra melakukan upaya-upaya penelisikan lebih dalam pada premis-premis argumen(5) dan pada akhirnya Allamah Thabathabai —
p: 76
sebagaimana yang telah diisyaratkan-mengemukakan ulasan paling mudah dengan hanya melalui perenungan dalam wujud atau eksistensi itu sendiri. (1)
Terma kosmologis adalah suatu nama yang ditujukan kepada sekumpulan argumen-argumen di mana premis pertamanya merupakan penjelasan suatu hukum tentang alam semesta (misalnya alam adalah baru [baca diadakan), bergerak, mumkin al-wujūd) dan premis keduanya mengambil bentuk prinsip kausalitas (misalnya setiap yang baru, bergerak, mumkin al-wujūd butuh kepada sebab).(2) Bagian- bagian argumen-argumen kosmologis yang paling penting di mana sebagiannya-menurut pengakuan pemikir Barat-memiliki asal usul ketimuran,(3) di antaranya ialah argumen imkān dan wujūb, argumen kebaruan (huduts), serta argumen gerak (harakah).(4) PIKIRAN DAN DISKUSIKAN Argumen-Argumen Kosmologis dan Bagian- Bagiannya Menurut sebagian penulis Barat, yang benar ialah argumen yang dikenal dengan "kosmologis" kita namai dengan "argumen kontingen" (The argument from
p: 77
contingency).(1) Kelompok lainnya-di samping argumen- argumen seperti argumen imkān dan wujūb-memasukkan pula sebuah argumen yang bernama argumen kausalitas dalam argumen-argumen kosmologis.(2) Golongan lain menyebut argumen sebab sebagai nama lain dari argumen kosmologis. Sebagian dari penerjemah-penerjemah berbahasa Parsi menggunakan kedua penyebutan "argumen kosmologis" dan "argumen imkān dan wujūb" layaknya padanan kata antara satu dengan lainnya. (3) Dengan memperhatikan definisi dari argumen- argumen kosmologis yang kami sebutkan, berilah penilaian atas poin-poin ini.
Argumen Imkān dan Wujūb Argumen imkān dan wujūb secara formal (lahiriah) tidak berbeda jauh dengan argumen shiddiqin Sinaian.(4) Jika dalam premis pertama argumen tersebut kita tempatkan proposisi "Suatu mumkin al-wujūd adalah ada" menggantikan "Suatu keberadaan adalah ada" dan pada premis-premis lainnya pun kita lakukan sedikit perubahan-yang sesuai dengan premis pertama, maka kita akan mendapatkan ulasan argumen imkān dan wujūb. Sebagian penulis Barat menamakan argumen ini sebagai "suatu ulasan tomistik dari argumen kosmologis" dan mereka berupaya mengatakan seakan-akan pengajuan argumen semacam ini merupakan temuan orisinal teolog besar Kristen, Thomas Aquinas; (5) sementara ulasan jelas argumen ini, setidaknya dua abad sebelum Thomas Aquinas, telah disebutkan pada karya-karya Ibn
p: 78
Sina. (1) Bagaimanapun, premis-premis argumen ini menurut ulasan sebagian penulis Barat-adalah seperti ini:
a. Suatu mumkin al-wujūd (wujud kontingen) ada.
b. Keberadaan mumkin al-wujūd ini memerlukan sebab.
C. Sebab keberadaan mumkin al-wujūd ini adalah sesuatu selain dirinya.
d. Sekumpulan sebab-sebab yang mewujudkan keberadaan mumkin al-wujūd ini, tiada lain adalah entah hanya sekedar meliputi wujud- wujud mumkin atau setidaknya mencakup satu wujud wajib.
e. Suatu kumpulan sebab-sebab yang hanya meliputi wujud-wujud mumkin, tidak dapat menjadi sebab keberadaan wujud mumkin ini. (2) f. Berdasarkan hal itu, sekumpulan sebab-sebab yang mewujudkan keberadaan mumkin al-wujūd ini, sudah pasti mencakup setidaknya satu wujud wajib.
g. Dengan demikian, suatu keberadaan wajib adalah ada. (3) Sepertinya, di antara dalil-dalil filosofis pembuktian wujud Tuhan, kelompok argumen-argumen yang dibantu dengan analisis dua konsep imkān dan wujūb (baik dalam bentuk argumen shiddiqin maupun selain argumen shiddiqin) di samping memiliki kekokohan yang cukup, juga lebih dapat dipahami bagi masyarakat umum. Walaupun demikian, pemahaman keliru atas premis-premis argumen mendorong sebagian orang untuk melakukan kritik atasnya; sebagaimana Kant menganggap argumen ini bertumpu pada argumen ontologis(4) dan berdasarkan hal itu, ia melakukan kritik. (5) David Hume (1711–1776 M) juga berkeyakinan bahwa sesudah penjelasan kausatif bagian-bagian suatu kumpulan, tidak perlu lagi
p: 79
untuk melakukan pencarian sebab total kumpulan tersebut, (1) "Dalam rangkaian mata rantai seperti ini... setiap bagian adalah akibat rantai sebelumnya dan merupakan sebab rantai setelahnya. Lalu masalahnya apa? Anda mengatakan: Totalitas kumpulan memerlukan sebab.
Jawaban saya adalah... bahwa dalam satu kumpulan yang terdiri dari dua puluh bagian, jika saya menunjukkan sebab-sebab khusus tiap bagian, menurut pandangan banyak orang adalah tidak rasional jika setelah itu Anda menanyakan sebab total kedua puluh bagian.
Ketika kita telah menjelaskan sebab bagian-bagian, sebab total pun secukupnya telah terjelaskan."(2) Salah seorang penulis menggunakan permisalan di bawah ini untuk menjelaskan kritik David Hume:
"Bayangkan ketika kita sedang mencari tahu alasan kedatangan lima orang Eskimo ke kota New York, kita akan mendengar jawaban- jawaban seperti berikut ini:
- Udara di kutub sangat dingin; saya senang tinggal di daerah yang udaranya lebih seimbang.
Saya adalah istri dari Eskimo pertama dan saya datang ke sini untuk menemaninya.
Saya tertarik ke sini setelah membaca sebuah pengumuman dalam surat kabar New York Times, dll." Penulis tersebut kemudian menambahkan: "Jika kita telah jelaskan mengapa masing-masing dari lima anggota ada di New York, maka pada hakikatnya kita telah menjelaskan mengapa kelompok tersebut ada di sana"(3) Jawaban atas kritikan ini bagi mereka yang telah mengenal filsafat Islam, sangatlah mudah. Jika dalam satu rangkaian rantai kausalitas, tidak ditemukan adanya wujud mandiri yang bukan merupakan akibat dari sebab yang lain, maka kemunculan setiap masing-masing dari rantai tersebut tidak akan memiliki penjelasan rasional. Dalam bentuk
p: 80
seperti ini-berlawanan dengan apa yang dibayangkan David Hume dan para pengikutnya kita tidak sedang berupaya menjelaskan sebab kumpulan setelah sebelumnya menjelaskan sebab masing-masing bagian.
Dengan penjelasan lain, tegaknya argumen imkān dan wujūb disebabkan oleh "ke-mumkinul wujūd-an masing-masing anggota kumpulan", bukan oleh "kumpulan itu sendiri." Pada dasarnya orang- orang seperti Khajeh Nasiruddin Thusi-beberapa abad sebelum David Hume-berkeyakinan bahwa kumpulan wujud-wujud mumkin tidak memiliki realitas mandiri dari satuan atau individu-individu sehingga mengemuka pembicaraan tentang ke-mumkinul wujūd-annya. (1) Penggunaan contoh-contoh empiris, sebagaimana dapat mempermudah dalam memahami masalah-masalah rasional, terkadang dapat pula menghalangi ide dan gagasan. [Misalnya] Klaim atau pernyataan orang-orang seperti David Hume bahwa dalam rangkaian rantai kausalitas wujud-wujud mumkin, masing-masing dari setiap rantai adalah pewujud bagi rantai yang lain dan tidak butuh dengan faktor luar (wājib al-wujūd). Permisalan Eskimo hanya akan sesuai dengan klaim atau pernyataan ini ketika kita memahami jawaban satu persatu dari mereka sebagai hal-hal yang sejenis dengan hal ini:
"Kawan-kawan saya (empat orang lainnya) membawa saya ke sini secara paksa." Betulkah, jika sekiranya dari kelima orang tersebut jawaban ini pula yang kita dengarkan, apakah kita dapat mengetahui motivasi mereka untuk berhijrah? Begitu pula jika masing-masing dari Eskimo tersebut-dalam keadaan berdiri berdampingan membentuk lingkaran-menyebut dirinya sebagai bawaan sebelah kanannya. Selain dari pada itu, permisalan-permisalan lainnya dapat menggantikan permisalan Eskimo, sebagai contoh: Dalam setiap jam gerakan setiap roda dan gigi khusus dihitung dan ditentukan melalui perputarannya secara berpasangan dengan roda sebelah. Meskipun demikian, metode kerja secara total sistem ini tetap tidak dapat terjelaskan, kecuali kita mengakui suatu faktor yang berada di luarnya yaitu belitan pegas. (2)
p: 81
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Kritikan Russel Terhadap Argumen Imkān dan Wujūb Bertrand Russell adalah salah seorang yang menyebut argumen imkān dan wujūb tidak sempurna. Menurutnya, ciri-ciri yang berhubungan dengan individu-individu suatu kumpulan tidak dapat dipindahkan kepada kumpulan itu sendiri. Ia dalam debat dengan Copleston menjelaskan klaimnya dengan contoh berikut ini: "Setiap orang mempunyai seorang ibu. Sepertinya argumen Anda ialah bahwa dengan demikian bangsa manusia pun mesti memiliki seorang ibu. Sekarang adalah jelas bahwa bangsa manusia tidak mempunyai ibu."(1) Terlepas benar dan tidaknya kaidah umum (universal) Russell, untuk menunjukkan ketidakbenaran universalitas kaidah ini, telah digunakan contoh-contoh atau permisalan semacam ini: "Setiap biji memiliki ukuran, maka satu genggam biji juga memiliki ukuran."(2)Apakah secara prinsip dalam argumen imkān dan wujūb sifat individu- individu (kemumkinan-nya) mesti dipindahkan kepada rangkaian itu sendiri? Argumen Kebaruan (Huduts) Kebanyakan teolog Muslim menjadikan "kebaruan temporal (huduts-e zamāni)" alam semesta atau sebagian dari wujud-wujud di dalamnya sebagai perantara pembuktian eksistensi Tuhan. Sebagian dari mereka juga memadukan argumen kebaruan ke dalam argumen imkān dan wujūb dan secara bersamaan menyimpulkan keberadaan wujud "kekal (gadīm)" dan "wājib. "(3)
p: 82
Ya'qub Ibn Ishaq al-Kindi (wafat sekitar 250 H) salah seorang filsuf Islam awal, juga menggunakan argumen ini untuk membuktikan wujud Tuhan: "Berdasarkan apa yang telah lalu, tak diragukan lagi materi (jism) adalah suatu hal yang diadakan dan setiap yang diadakan memiliki pengada karena kedua hal ini adalah berpasangan (mutadhāifān). Oleh karena itu, tak ada keraguan dalam hal ini bahwa segala apa yang ada pada alam materi memiliki pengada."(1) Sekelompok teolog Barat-sebagaimana telah disebutkan- menamakan argumen kebaruan tersebut dengan argumen kosmologis- teologis dan menyatakannya sebagai argumen yang menarik, salah seorang di antara mereka guna membela argumen ini menulis buku tersendiri dengan nama ini.(2) Bagaimanapun juga, apabila dalam argumen imkān dan wujūb, dua redaksi "baru"(3) dan "kekal" kita jadikan pengganti dua istilah "mumkin" dan "wājib", maka kita akan mendapatkan suatu ulasan dari argumen kebaruan di mana dengan bersandar pada absurdnya daur dan tasalsul, menyimpulkan eksistensi sesuatu yang kekal secara zaman.
Ringkasan argumen ini seperti berikut:
- Suatu keberadaan baru (hādits) di alam itu ada.
- Setiap yang baru (hādits) memerlukan pembaru (muhaddits) - Dengan alasan absurdnya daur dan tasalsul, maka keberadaan suatu pembaru (muhaddits) yang kekal terbuktikan.
Berdasarkan ulasan seperti ini dari argumen kebaruan, dengan menerima keberadaan "sesuatu yang baru" pembuktian atas
p: 83
suatu eksistensi yang kekal dapat dilakukan;(1) pada saat itu, jika kita memahami kekekalan tersebut sebagai tolok ukur tiadanya kebutuhan dari sebab,(2) maka dapat dikatakan bahwa eksistensi Tuhan telah terbukti. Dari sisi lain, sebagian teolog yang memahami "imkān" sebagai dalil ketidakbutuhan dari sebab, untuk menyempurnakan argumen kebaruan, tak terelakkan mereka mengambil bantuan dari argumen imkān dan wujūb serta menambahkan premis ini bahwa "setiap yang baru adalah mumkin al-wujūd".(3) Mungkin dapat dikatakan bahwa kelompok ini memosisikan "baru" sebagai tanda dari "imkān" dan dengan jalan ini mereka melakukan pembuktian atas keberadaan wajib.
Seperti yang diungkapkan Syahid Muthahhari, "tanda dan dalil terbaik bagi kontingennya alam adalah kebaruan alam dan jika kita tidak menyaksikan tanda-tanda seperti baru dan berubah pada alam, dari manakah kita mampu menghukumi bahwa alam adalah mumkin al-wujūd!"(4) Telah diketahui bahwa para teolog biasanya dalam premis pertama argumen kebaruan, melangkah lebih jauh dari apa yang telah disebutkan dan menekankan kebaruan seluruh alam semesta (segala sesuatu yang dari Allah).(5) Untuk pembuktian premis pertama ini pelbagai cara pun telah ditempuh di mana untuk menukil dan mengkajinya-dan juga ulasan lainnya dari argumen ini membutuhkan waktu atau ruang yang lebih dari ini.(6)
p: 84
Argumen Gerak Dalam karya-karya tertulis manusia, dalil tertua di antara dalil- dalil kosmologis untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah suatu argumen di mana dengan bersandar pada adanya gerak pada alam semesta, dapat disimpulkan eksistensi "penggerak yang tidak bergerak." Argumen ini biasanya dikaitkan dengan nama Aristoteles (385 322 SM), tetapi jejaknya dapat pula ditemui dalam karya-karya Plato (427—348 SM). Poin yang patut diperhatikan bahwa tuhan-tuhan platonis adalah penggerak-penggerak "yang bergerak", pertama menggerakkan dirinya dan kemudian menggerakkan wujud-wujud yang lain:
"Apakah sumber seluruh gerakan dan perubahan ini bukan sesuatu yang pertama kali dengan kekuatannya sendiri menggerakkan dirinya? ... ruh dengan gerakannya, memerintah seluruh apa yang ada di langit, bumi, dan lautan. Tak satu pun ruh makhluk bernyawa yang dapat dilihat, ... melainkan mereka hanya dapat disaksikan dengan penglihatan batin dan dengan bantuan pikiran kita menemukan jalan menuju mereka. ... Ruh matahari-entah seperti kusir kereta memacu kereta matahari dan menyebarkan cahayanya keseluruh penjuru alam dan dalam bentuk lain membuatnya berputar dan berkeliling-bukan hanya dzat yang lebih unggul dan lebih tinggi dari matahari, melainkan semua tak terelakkan untuk membenarkan bahwa itu tidak bisa kecuali Tuhan."(1) Aristoteles secara lebih sempurna mendesain argumen gerak dan menekankan "ketidakbergerakan" penggerak awal serta "kekekalan" dan "ketunggalannya." Meskipun demikian, menurut keyakinan kebanyakan agama Ilahi, Tuhan Aristoteles tetap saja berjarak dengan Tuhan agama: "Tuhan metafisik Aristoteles bukan hanya tidak mewujudkan alam, juga tidak menyebabkannya tinggal. Ia hanya membangkitkan gerak di dalam alam."(2) Bagaimanapun juga, di antara
p: 85
asumsi-asumsi dari argumen Aristoteles ialah "rangkaian tak terhingga (tasalsul) adalah absurd" dan "tak ada penggerak satu pun yang dapat disebut penggerak dirinya." Setiap yang bergerak haruslah menemukan gerak melalui suatu faktor (penggerak). ... dan faktor tersebut juga mendapatkan geraknya dari faktor bergerak lainnya. ... tentu saja rangkaian ini tidak bisa berlanjut hingga tak terbatas, melainkan mesti terdapat suatu pengerak awal. ... dan "penggerak awal" ini haruslah tidak bergerak, ... tunggal, dan kekal."(1) Di antara pemikir Kristen, Thomas Aquinas menyebut argumen gerak sebagai dalil paling penting untuk pembuktian wujud Tuhan.(2) Sebagian filsuf Muslim pun-seperti Ibn Miskawaih (W. 421 H) dan Ibn Rusyd (520–595 H)-menyatakan implikasi argumen ini lebih baik dan lebih terang dari dalil-dalil teologis lainnya.(3) Mulla Sadra juga menerima argumen ini dan menyebutnya sama atau sepadan dengan argumen kebaruan (hudūts) karena para teolog mengaitkan antara "kebaruan" dan "gerak" dan untuk membuktikan kebaruan benda-benda atau materi (pada umumnya) berargumentasi seperti ini:
"Tak satu pun benda (materi) yang kosong dari gerak dan diam, gerak dan diam adalah hal-hal yang termasuk baru dan segala sesuatu yang tidak kosong dari hal-hal yang baru, ia sendiri adalah baru." Ia sendiri (Mulla Sadra) berusaha menyempurnakan kedua argumen ini dengan menggunakan teori "gerak substansial"-nya.(4) Dari sisi lain, sebagian pemikir kontemporer berkeyakinan bahwa teori "gerak substansial"
p: 86
tidak menyelesaikan kekurangan mendasar kedua argumen gerak dan argumen kebaruan.
Gerak substansial dengan seluruh layanan yang dilakukannya dalam menyelesaikan dan mengembangkan kedua argumen kebaruan dan gerak, belum menutupi kekurangan atau kecacatan mendasar kedua argumen ini dalam membuktikan zat wajib. ... sumber yang abstrak dan nonmateri tersebut adalah penggerak dan pembaru (muhaddits) benda-benda natural, ia sendiri dapat berupa wujud nonmateri atau kekal dan pada saat yang sama kontingen dan butuh.
Dengan dalil ini, selama tidak dibantu dengan argumen imkān dan wujūb, penalaran (reasoning) atas suatu realitas yang di dalam zatnya ia wajib dan tidak butuh yang lain, tidak akan berakhir.(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Beragam Ulasan Argumen Gerak Argumen gerak mempunyai ragam yang berbeda- beda. Bentuk yang paling luas dari argumen ini dimulai dengan premis-premis bahwa di alam terdapat "suatu gerak". Kemudian dengan mengisyaratkan butuhnya gerak kepada penggerak, serta absurdnya daur dan tasalsul, keberadaan wujud penggerak yang tidak bergerak akan terbukti. Ulasan-ulasan lain argumen ini, dalam premis pertama, menunjuk kepada suatu gerakan-gerakan khusus seperti "gerakan bintang-gemintang" dan "gerakan jiwa".
Pada masing-masing bagian ini, selain dari sebab pelaku gerak (prime mover), sebab tujuannya (sebab akhir) pun dapat ditemukan.
Dalam menjelaskan argumen terakhir (sebab tujuan gerakan jiwa), dikatakan seperti ini, (2) "Gerak adalah pencarian. Setiap pencarian butuh kepada yang dicari.
Jiwa manusia ketika sampai pada setiap yang dicari, tidak
p: 87
merasa tenang dan menginginkan sesuatu yang lebih tinggi. Ketenangan sempurna hanya dapat dicapai dengan pencapaian Tuhan (sampai kepada Tuhan). (1)
Salah satu argumen yang telah dikenal secara umum dalam membuktikan wujud Tuhan adalah argumen yang populer dikalangan filsuf dan pemikir Muslim sebagai "argumen keteraturan" dan terkadang-dengan mengadopsi dari sebagian riwayat(2) — disebut dengan argument from design. Padanan argumen ini dalam kamus Barat adalah sesuatu yang biasanya mereka namakan dengan argumen teleologis. (3) Ketika kita berbicara tentang satu kesatuan atau kumpulan yang dimaksud ialah kerjasama atau saling pengertian di antara bagian- bagian dan anggotanya untuk sampai kepada suatu tujuan tunggal.
Sebagai contoh, bagian-bagian suatu alat dengan sistem teratur seperti jam sedemikian rupa berada berdampingan di mana setiap bagian menyempurnakan bagian lain dan membantu kesatuan bulat ini untuk mencapai tujuan yang diinginkan (yaitu menunjukkan waktu).
Berdasarkan hal ini, dalam konsep keteraturan, akar kedua unsur "kerjasama atau saling pengertian" dan "bertujuan" dapat dicari.
Sebagian memilah kedua unsur yang disebutkan (yaitu kerjasama dan bertujuan) antara satu dengan lainnya, masing-masing disebutnya sebagai penjelasan jenis khusus dari keteraturan (atau desain dan pengaturan).(4) Sebagian dari penulis Barat menambahkan bagian
p: 88
ketiga di sini (dalam bentuk keteraturan estetis)(1) dan secara umum, melakukan pembedaan di antara ketiga jenis keteraturan (estetis, bertujuan, dan kausatif). (2) Sebagian lainnya, dengan mengisyaratkan poin bahwa masing-masing dari tiga jenis keteraturan tersebut dapat ditelusuri dalam "satu persatu" bagian-bagian alam atau "seluruh-nya" atau "keduanya", menyebut argumen keteraturan terdiri dari sembilan bagian.(3) Bagaimanapun juga, pengajuan argumen semacam ini- sebagaimana argumen sebelumnya-memiliki latar belakang yang panjang, sedemikian panjang di mana sebagian jejaknya dapat pula ditemukan dalam perkataan-perkataan Socrates (469—399 SM) dan Plato. (4) Filsuf dan orator besar Roma, Cicero (106—43 SM) menyebutkan pula bahwa argumen keteraturan adalah argumen paling penting dalam membuktikan eksistensi tuhan-tuhan.(5) Aquinas pun mengkhususkan jalan kelima dari lima jalannya kepada argumen ini dan menyebut pula perkataan Paulus (sekitar 3—62 M)(6) tidak kosong dengan isyarat atas argumen ini.(7) Dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat Islam pun, isyarat kepada pengaturan yang berlaku atas alam semesta-sebagai tanda wujud Tuhan atau sifat-sifat tinggi-Nya-banyak ditemukan, sebagaimana dalam pandangan Imam Ali, keteraturan dan keselarasan di antara fenomena-fenomena serta pengaturan yang berlaku di dalamnya sedemikian rupa seakan-akan seluruh makhluk yang tampak diam,
p: 89
membuka mulut dan berbicara dengan Tuhan Yang Mahakuasa lagi bijaksana:
"Pada apa yang diciptakan-Nya, tampak efek-efek penciptaan serta tanda-tanda kebijaksanaan-Nya, sebagaimana bahwa segala apa yang diciptakan-Nya adalah argumen bagi-Nya dan tanda atas kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Dan meskipun ciptaan terlihat diam, tetapi bagi pengaturan-Nya tampak benderang dan merupakan dalil yang cukup bagi pengada atau pencipta."(1) Para pemikir dunia Islam pun dengan berpegang pada warisan pemikiran ini, menyebutkan argumen keteraturan sebagai salah satu di antara argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan.
Sekelompok teolog menyebut argumen ini-dengan alasan dapat terpahami oleh seluruh lapisan masyarakat dan di samping wujud Tuhan, sebagian sifat-sifat-Nya (seperti ilmu dan kuasa) pun dapat dibuktikan-memiliki keistimewaan tersendiri serta banyak berbicara tentangnya secara terperinci.(2) Bukan hanya dalam kitab-kitab teologi, dalam ungkapan-ungkapan para filsuf Muslim sekalipun, khususnya sebelum terbentuknya argumen-argumen khusus filosofis, argumen ini dapat disaksikan, sebagaimana al-Kindi mengatakan:
"Sesungguhnya keteraturan dan ketertiban fenomena-fenomena ala serta kekokohan susunannya merupakan dalil terbesar bagi adanya pengaturan paling tangguh dan kebijakan paling kuat karena bagi setiap pengaturan ada pengatur dan bagi setiap kebijaksanaan ada hakim karena semua hal ini adalah berpasangan (mutadhāifayn)."(3) Dalam beberapa abad terakhir, mengemuka pembahasan secara luas tentang argumen keteraturan di antara pemikir Barat. Orang- orang seperti William Paley (1743–1805 M) dan Fredrick Tennant
p: 90
(1866–1957 M) membela keras validitas argumen ini.(1) Paley dengan mengomparasikan alam semesta dengan sebuah jam, menekankan poin ini bahwa keteraturan dan ketertiban sebagaimana yang berlaku pada jam-dalam tingkatan yang jauh lebih tinggi-juga terlihat pada alam natural.
Menurutnya, bahkan jika untuk pertama kalinya kita berhadapan dengan suatu jam atau terkadang dalam proses kerjanya kita melihat ada ketidakaturan dan kita tidak mengetahui fungsi sebagian organ- organnya, tetap saja kita tidak mampu mengabaikan pembuat jam.(2) Tennant berkeyakinan pula bahwa desain teleologis alam, sedemikian apik dan sistemik sehingga menjadikannya berpotensi bagi kemunculan dan keberlangsungan makluk-makhluk, ketelitian-ketelitian akal manusia, pelampiasan hasrat, atau keinginan-keinginan estetis serta penyempurnaan moral manusia.(3) Sebagian penulis lainnya hadir pula membantu argumen keteraturan dengan menulis karya-karya tentang keajaiban-keajaiban alam penciptaan.(4) Dari sisi lain, orang-orang seperti David Hume dengan begitu keras melakukan serangan terhadap argumen ini dan menurut anggapan sebagian orang ia telah menghilangkan daya gunanya. (5)
p: 91
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Argumen Keteraturan dan Pengatur-Pengatur yang Berbeda-beda Salah satu objeksi dan kritikan David Hume terhadap argumen keteraturan adalah seperti ini: "Beberapa orang saling membantu dalam membangun sebuah rumah atau kapal atau membangun suatu kota ... mengapa sesembahan atau tuhan-tuhan yang berbeda-beda seperti ini tidak boleh berpartisipasi dalam persiapan dan pembentukan satu alam?"(1) Syahid Muthahhari dengan mengisyaratkan keberatan-keberatan semacam ini mengatakan: "Hume ...
mengira orang-orang yang percaya Tuhan menyimpulkan seluruh masalah-masalah teologi dengan satu argumen dan itu adalah argumen keteraturan." Diskusikanlah tentang objeksi ini dan kritiknya, antara satu dengan yang lain!(2) Beberapa penulis mengulas beberapa objeksi dan kritikan David Hume dengan berbagai bentuk yang sedikit banyaknya berbeda dan mereka tidak sepakat dalam beberapa hal di antaranya.(3) Sepertinya salah satu kritikan mendasar tersebut ialah suatu objeksi yang dengan berpegang pada keburukan-keburukan yang terjadi di alam, mempermasalahkan premis minor (adanya keteraturan pada alam).(4) Keberatan kedua David Hume-yang menyebut premis mayor pada argumen tersebut belum lengkap atau tidak selesai (implikasi
p: 92
keteraturan kepada wujud pengatur)-adalah yang akan kita bahas sekarang ini.
eksi: Keteraturan dan keselarasan tidak mesti adalah hasil pengaturan dan desain sebelumnya. Bahkan [hasilnya] terkadang timbul secara perlahan dengan eksperimen dan kesalahan. Menurut Hume, ketika kita menyaksikan sebuah kapal, pada awalnya mungkin kita menganggap pembuatnya sangat terampil dan ahli, tetapi pada akhirnya dengan sangat heran kita memahami kenyataan bahwa dia adalah seorang dungu dan lamban yang hanya sekedar meniru orang-orang sebelumnya. Seni atau keterampilan yang diwarisinya di sepanjang tahun setelah melakukan percobaan, kesalahan-kesalahan, pembenahan-pembenahan, dan diskusi-diskusi yang banyak, berbentuk kekinian seperti sekarang ini. Berdasarkan hal ini, mungkin sangat banyak alam-alam yang telah rusak dan hancur hingga pada akhirnya timbul keteraturan atau sistem terkini ini."(1) Sebagian di antara penulis seperti John Hospers (1918–M) mengangkat teori Darwin dalam mendukung objeksi David Hume.
Menurut Hospers, sejak ribuan tahun silam terdapat orang-orang yang telah berupaya menjelaskan kemunculan dan kesempurnaan makhluk- makhluk hidup dengan mengajukan pelbagai teori tanpa berpegang pada adanya pengatur alam. Teoretisasi ini mencapai puncaknya melalui Darwin dan kekurangan-kekurangan yang tersisa setelahnya pun telah terselesaikan. "Darwin mengemukakan suatu asumsi di mana berdasarkan itu, makhluk-makhluk hidup melalui pertarungan kelangsungan hidup (struggle for the fittest), secara perlahan mulai dari makhluk bersel satu yang paling sederhana hingga paling rumitnya makhluk berkulit mengalami penyempurnaan (evolusi)." (2) Berdasarkan hal ini, mekanisme yang berkuasa atas makhluk-makhluk serta keselarasan yang ada di antara mereka adalah hal yang sepenuhnya
p: 93
bersifat kebetulan, bukan hasil desain dan pengaturan sebelumnya.
Sebagai misal, kuping binatang-binatang pemangsa merunduk ke depan dan binatang-binatang yang dimangsa senantiasa merunduk kebelakang bukan karena alasan terencana dan desain dari suatu pengatur yang cerdas, melainkan binatang-binatang yang disebabkan "loncatan loncatan acak atau bersifat kebetulan" memiliki kuping-kuping seperti ini, melebihi yang lain mampu beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap tinggal."(1) Telaah dan Kritik Jawaban atas objeksi dan kritikan yang telah disebutkan, kita mulai dari pernyataan-pernyataan Hume dan Hospers sendiri. Hume setelah melayangkan pukulan-pukulan kritis, pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa "argumen keteraturan meskipun bukan argumen valid, tetapi memuaskan dalam batas tertentu."(2) Hospers pun, kendati mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mengkritisi argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan, setelah mengangkat teori Darwin, mengakui ketidaklengkapan objeksi yang telah disebutkan seperti ini, "Walaupun demikian, kebatilan asumsi akan adanya pengatur tidak dapat ditunjukkan melalui jalan ini. Seseorang yang sejak awal telah percaya dengan keteraturan, bahkan dengan menerima seluruh kesimpulan teori Darwin sekalipun, tetap dapat teguh dalam keyakinannya. (3) Orang seperti ini dalam membela kepercayaannya dapat mengatakan bahwa sebelumnya Tuhan digambarkan menciptakan seluruh jenis-jenis [mahkhluk] dalam sesaat, tetapi sekarang kita meyakini bahwa Tuhan demi terealisasinya keteraturan yang
p: 94
diinginkan-Nya, memilih proses penyempurnaan secara perlahan dan gradual. Berdasarkan ini, sesuatu yang mengalami perubahan adalah metode realisasi keteraturan, bukan prinsipnya.(1) Para pemikir Muslim pun-dengan pernyataan-pernyataan yang mirip dengan pernyataan Hospers-menegaskan poin ini bahwa perubahan tiba-tiba (daf i) dari suatu fenomena tidak akan menambah atau semakin menguatkan dugaan atas kebutuhan pada pengatur, sebagaimana gradualitasnya pun tidak akan mengurangi atau memperkecil dugaan tersebut. Di samping itu, prinsip kemampuan teori Darwin untuk menjelaskan bagaimana proses terbentuknya organ- organ rumit makhluk hidup sangat diragukan. Syahid Muthahhari dengan mengisyaratkan kepada sistem penglihatan yang rumit, mengatakan:
"Jika semua perubahan-perubahan yang tampak pada tubuh makhluk hidup sejenis tabir atau sekat di sela-sela jari-jari kaki sebagian jenis burung, mungkin saja kita mengatakan bahwa secara kebetulan muncul di sela-sela jemari kaki seekor burung dan sekat ini bermanfaat untuk ia berenang di dalam air. ... tetapi sebagian organ-organ bermanfaat dan diperlukan makhluk hidup-dalam bentuk suatu sistem rumit yang sangat mengagungkan-hanya dapat digunakan dan dimanfaatkan ketika mewujud dengan sistem sempurna, seperti sistem penglihatan yang begitu agung. Dalam hal-hal seperti ini, bagaimana kita dapat mengatakan bahwa secara kebetulan terjadi suatu perubahan pada tubuh makhluk hidup dan menjadikannya lebih utama untuk tinggal. (2)
p: 95
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Argumen Keteraturan dan Perhitungan atas Perkiraan-Perkiraan(1) Bayangkan anak-anak yang duduk di depan komputer dan secara aksidental atau kebetulan menindih keyboard.
Apakah perkiraan bahwa hasil perbuatan salah satu di antara mereka adalah buku Ghulistan Sa di atau setidaknya bait ini: "Daun pepohonan hijau dalam pandangan terjaga setiap lembarnya adalah daftar pengetahuan?" Seberapa besar nilai perkiraan ini? Apakah kemunculan secara kebetulan organ-organ rumit makhluk-makhluk dapat disamakan dengan tersusunnya buku Ghulistan secara kebetulan? Sebagian pemikir dengan suatu perhitungan menunjukkan bahwa bahkan perkiraan kemunculan molekul-molekul secara aksidental merupakan sesuatu yang berada dalam tingkatan nol. (2) Bagaimanapun nilai perkiraan ini meskipun sangat kecil, tetapi tidak sampai pada tingkatan nol. Berdasarkan hal ini, segolongan dari para filsuf Muslim-berabad-abad sebelum David Hume menjejakkan kaki di alam eksistensi serta dikemukakannya teori Darwin-menyebut validitas argumen keteraturan tidak setingkat dengan argumen- argumen seperti imkān dan wujūb karena menurut mereka, argumen ini meskipun sangat menenangkan, tetapi perkiraan-perkiraan pengganti tidak sampai pada nol.(3) Diskusikanlah tentang pandangan ini serta kebenaran dan ketidakbenarannya, antara satu dengan yang lain!
p: 96
Argumen Fitrah (1) Menurut kebanyakan ilmuwan, watak atau tabiat manusia terhubung dengan Tuhan dalam dua dimensi visi atau pandangan- pandangan dan tendensi atau kecenderungan-kecenderungan, sedemikian sehingga masalah teological dan deist dapat disebut sebagai hal-hal yang fitrawi (innate). Pengetahuan fitrawi tentang Tuhan dapat dikaji dalam dua wilayah ilmu; hudhuri dan hushuli. Pengetahuan fitrawi (deist) tersebut tampak dalam pelbagai bentuk seperti teisme, pencarian kesempurnaan, dan pencarian Tuhan. (2) Pengetahuan fitrawi tentang Tuhan Salah satu makna kefitrahan pengetahuan tentang Tuhan ialah bahwa semua manusia mendapati Tuhan dengan ilmu hudhuri dan jika karat-karat kelalaian tersingkirkan, (3) mereka akan melihat wujud-Nya lebih terang dari segala sesuatu.(4) Sebagian mufasir, menyebut ayat "Apakah ada keraguan pada Allah pencipta langit dan bumi" (QS Ibrāhim [14]: 10) sebagai penjelasan akan hal ini. (5) Imam Husain dalam doa Arafah berseru lirih, "Eksistensi manakah yang lebih tampak dari- Mu sehingga menjadi pengenal-Mu! Kapankah Engkau gaib dari kami sehingga butuh kepada dalil dan petunjuk! dan Kapankah Engkau jauh dari kami sehingga ciptaan-ciptaan-Mu mendekatkan kami kepada-Mu! Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu!" (6) Berdasarkan hal itu, kebanyakan pemikir Muslim berkeyakinan bahwa sesuatu yang mencegah sebagian besar orang untuk
p: 97
menyaksikan keindahan Tuhan ialah kuatnya penampakan-Nya. (1) "Wahai yang tersembunyi lantaran begitu terang cahaya-Nya-yang tampak dan yang batin dalam ketertampilan-Nya." (2) Dengan kata lain, eksistensi Tuhan ada dalam kejelasan yang sempurna, meskipun penglihatan orang-orang yang tenggelam dalam materi, tidak melihat- Nya; sebagaimana seekor kelelawar lebih jelas melihat jalannya dalam kegelapan malam dibandingkan di hari yang terang. (3) Selain penjelasan-penjelasan irfan ini, penjelasan-penjelasan filosofis digunakan pula untuk kehudhurian dan kefitrian teologi; sebagaimana filsuf terkemuka Prancis, Rene Descartes, setelah mengatasi keraguannya dengan proposisi "Aku berpikir, maka aku ada," dengan suatu penjelasan filosofis berkesimpulan bahwa sejak awal penciptaan manusia, konsep Tuhan telah tersimpan di dalam wujudnya "sehingga menyerupai suatu tanda yang ditempelkan pembuat produk kepada produknya."(4) Leibnitz (1646–1716 M) mendukung pula pandangan Descartes, ia mengatakan: "Saya selalu berpendapat dan sekarang pun masih berpendapat bahwa konsep Tuhan-sebagaimana yang diyakini Descartes-adalah fitrawi. (5) Sebagian ilmuwan Barat lainnya pun dengan mengemukakan bahwa masalah kepercayaan terhadap wujud Tuhan tidak butuh kepada pengajaran dan pembelajaran, mengatakan:
"Pada saat Adam diciptakan, ia percaya kepada Tuhan."(6) Pengetahuan hushuli terhadap Tuhan juga dapat bersifat fitrawi.
Orang-orang yang menyebut pengetahuan terhadap Tuhan adalah
p: 98
badihi (swabukti) dan tidak memerlukan penalaran (reasoning), dalam kenyataannya berkeyakinan bahwa watak (fitrah) manusia dicipta dengan pengetahuan seperti ini. Berdasarkan pandangan yang masyhur, proposisi-proposisi badihi (aksiomatis) ilmu hushuli terdiri dari enam bagian: [1]proposisi-proposisi primer (awwaliyyāt), [2] proposisi-proposisi penyaksian (musyahadāt) yang meliputi proposisi-proposisi indriawi (hissiyyāt) dan proposisi-proposisi kesadaran (wijdāniyyat), [3] proposisi-proposisi empiris (tajrubiyyāt), [4] proposisi-proposisi mutawatir (mutawatirāt), [5] proposisi- proposisi intuitif (hadsiyyāt), [6] proposisi-proposisi fitrawi (fitriyyāt). (1) Orang-orang yang menyebut pengetahuan hushuli terhadap Tuhan sebagai badihi dapat menyatakan proposisi "Tuhan ada" sebagai hasil dari proposisi-proposisi primer, proposisi-proposisi kesadaran, dan proposisi-proposisi fitrawi. (2) Proposisi-proposisi primer ialah suatu proposisi-proposisi yang apabila subjek dan predikatnya kita gambarkan secara benar dan memperhatikan hubungan antara keduanya, maka dengan segera kita akan membenarkan atau menerimanya, misalnya, "Bergabungnya dua kontradiksi adalah mustahil." Proposisi-proposisi kesadaran (wijdaniyyāt) disebut sebagai suatu proposisi-proposisi yang melazimkan ilmu hudhuri, misalnya: "Saya sedang lapar." Dan yang dimaksud proposisi-proposisi fitrawi (fitriyyāt) dalam ilmu Logika adalah suatu proposisi-proposisi seperti, "Dua puluh adalah separuh dari empat puluh" di mana dalilnya ada bersamanya. Artinya, untuk menerima atau membenarkan proposisi-proposisi semacam ini-berlawanan dengan proposisi-proposisi primer-tidak cukup dengan hanya menggambarkan subjek dan predikat serta hubungan antara keduanya, meskipun demikian, dalil yang menjadikan tetapnya predikat bagi subjek akan hadir dalam akal dengan sedikit perenungan.
Bagaimanapun, apabila proposisi "Tuhan ada" kita tempatkan pada salah satu di antara bagian-bagian proposisi-proposisi
p: 99
badihi (swabukti) ini, maka kita telah menyebut pengetahuan tentang Tuhan (teologi) sebagai suatu hal yang bersifat fitrawi. (1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Mengetahui Tuhan dengan Jalan Ilmu Hushuli Aksiomatis (badihi) a. Sebagian penulis mengajukan perkiraan ini bahwa mungkin Anslem dapat disebut sebagai salah seorang yang menyebut pernyataan yang menempatkan wujud Tuhan sebagai proposisi-proposisi primer, karena pada hakikatnya, perkataan Anslem bahwa penggambaran subjek proposisi secara benar (yaitu Tuhan) akan menyampaikan kita kepada konsep berikut, "Suatu enitas di mana lebih sempurna darinya tidak dapat tergambarkan." Pada saat itu pembuktian eksistensi bagi subjek seperti ini tidak akan butuh dengan aktivitas lain. (2) Bagaimanakah Anda menilai perkiraan ini? b. Orang-orang seperti Taftazani (722–792 H) menyebutkan bahwa kebanyakan di antara argumen- argumen pembuktian wujud Tuhan mengisyaratkan suatu hal yang bersifat fitrawi: "Inna iftigara al-mumkin ilā al-mujīd wa al-hādits ilā al-muhaddist dharūriyun tusyhadu bihi al-fitratu (Sesungguhnya perlunya mumkin kepada pewujud dan hadis kepada muhaddist adalah kemestian yang tersaksikan dengannya fitrah)."(3) Menurut Anda, apakah proposisi-proposisi seperti "mumkin al-wujūd memastikan adanya wājib
p: 100
al-wujūd" dapat disebut sebagai proposisi-proposisi fitrawi (innate)?" (1) Kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan (deist) Sebagian dari kecenderungan-kecenderungan manusia seperti:
pencari Tuhan dan penyembah Tuhan dapat digolongkan sebagai hal-hal yang bersifat fitrawi. (2) Poin ini bahkan, dalam pandangan sebagian ilmuwan-ilmuwan yang tidak percaya kepada Tuhan sekalipun, juga diakui. (3) Menurut sebagian pemikir, salah satu bukti kefitrian kecenderungan-kecenderungan seperti ini ialah tak satu pun golongan masyarakat yang dapat ditemui,di mana individu- individu di dalamnya, meskipun terdapat perbedaan suku dan budaya, tidak berupaya mencari Tuhan(4) dan tidak patuh (sembah sujud) di hadapan sesuatu yang mereka anggap sebagai Tuhan.
Dari sisi lain, sebagian sosiolog-untuk menunjukkan ketidakbenaran klaim atau pernyataan-pernyataan semacam ini, berbicara tentang suatu golongan-golongan masyarakat yang bahkan tidak memiliki konsepsi tentang Tuhan sekalipun. (5) Bagaimanapun, segolongan urafa Muslim memberikan penjelasan tentang kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan sedemikian rupa hingga keberatan-keberatan tersebut tidak sampai merusaknya. Dengan menggunakan kedua premis di bawah ini, mereka meyimpulkan bahwa bahkan mereka yang secara terang-terangan mengingkari Tuhan-tanpa mereka sadari-sedang berada dalam proses pencarian Tuhan.
a. Semua manusia berupaya mencapai kesempurnaan mutlak.
b. Kesempurnaan mutlak adalah Tuhan itu sendiri.
Salah satu bukti kebenaran premis pertama ialah tak satu pun manusia (baik dalam rangka mencapai kekuatan maupun menumpuk atau
p: 101
mengumpulkan ilmu pengetahuan dan selainnya) merasa puas dengan tingkat kesempurnaan yang telah dicapainya saat ini dan ia senantiasa mencari kesempurnaan yang lebih tinggi darinya. (1) Imam Khomeini (1281–1368 S) dalam pesan historisnya kepada pemimpin Uni Soviet dengan mengisyaratkan kepada argumen ini, menulis: "Manusia dalam fitrahnya menghendaki setiap bentuk kesempurnaan secara mutlak dan Anda tahu dengan baik bahwa manusia ingin menjadi kekuatan mutlak dunia dan tidak bergantung pada kekuatan apa pun yang sifatnya cacat atau tidak sempurna. Jika alam berada dalam kendali-Nya, lalu dikatakan bahwa alam yang lain masih ada, maka secara fitrah ia menginginkan agar alam yang lain tersebut berada dalam kendali-Nya.
Manusia, seukuran apa pun ia berilmu kemudian dikatakan bahwa ilmu-ilmu lainnya masih ada, maka secara fitrah ia menginginkan pula untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dengan demikian, kekuatan dan ilmu mutlak haruslah ada, sehingga manusia bergantung kepadanya dan itu adalah Tuhan Yang Mahatinggi, di mana kita semua memperhatikannya, meskipun kita sendiri tidak mengetahuinya." (2) Sebagian dari kalangan pemikir Barat pun dengan sebuah analisis yang sama, mengatakan bahwa: "Manusia memiliki kecenderungan fitrawi terhadap kebahagian dan kebaikan, tetapi tidak mampu memenuhinya secara lengkap dan sempurna dalam kebaikan-kebaikan yang terbatas atau sekumpulan darinya. Oleh karena itu, kebaikan agung mesti ada; jika tidak demikian, akan terjadi kerusakan mendasar dalam kerja dan muatan alam natural."(3) Keberatan yang sama dari semua argumen-argumen yang menyatakan kecenderungan terhadap Tuhan sebagai suatu jalan yang bersifat mandiri guna membuktikan wujud Tuhan ialah bahwa bagaimana bisa dari adanya sebuah kecenderungan dalam diri manusia (meskipun itu bersifat umum), dapat menyimpulkan keberadaan objeknya?
p: 102
Jawaban yang biasanya diberikan terhadap keberatan seperti ini adalah tak ada seorang pun pecinta tanpa adanya sosok yang dicintai dan tak ada seorang pun pengasih tanpa adanya sosok kekasih, sebagaimana tiadanya sesuatu yang tinggi tanpa adanya sesuatu yang rendah. (1) Akan tetapi, apakah tidak memungkinkan mencintai sesuatu yang bersifat fantasi (kecintaan atau kekasih imajinatif)? Salah satu jawaban para pembela pandangan yang telah disebutkan adalah karena kecintaan merupakan suatu hal yang nyata, maka tidak akan pernah berkaitan dengan kekasih (yang dicintai) yang tidak nyata, meskipun mungkin saja terkadang terjadi kesalahan dalam mengenali sosok yang dicintai. Untuk lebih jelas mengenai apa yang dimaksud, analogi di bawah berikut dapat diterapkan: adanya rasa haus dalam diri manusia menunjukkan adanya air di alam nyata dan kenyataan bahwa sebagian orang menyangka fatamorgana adalah air, tidak akan merusak klaim tersebut. (2) Jawaban ini terasa masih kurang sempurna. Kemestian pernyataan ini adalah jika saat ini seluruh air-air yang ada di alam ini habis atau tiada, maka tak ada lagi seorang pun yang akan merasakan haus pada dirinya! Jawaban lain-yang mengingatkan argumen wujud Anselm–ialah bahwa jika kecintaan fitrawi manusia hanya ada dalam akal, maka ia bukan lagi keberadaan yang sempurna, sementara asumsinya adalah bahwa manusia secara fitrah menghendaki kesempurnaan mutlak. (3)
p: 103
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Hikmah dan Fitrah 1. Sebagian orang guna menjawab pertanyaan bahwa "bagaimana kecenderungan fitrah manusia kepada Tuhan dapat disebut sebagai suatu dalil dalam membuktikan wujud-Nya?" berlindung di balik hikmah yang ada dalam sistem penciptaan dan mengemukakan poin bahwa jika Tuhan tiada, maka adanya kecenderungan seperti ini akan menjadi sia-sia; persis seperti adanya mata dan telinga, tetapi cahaya untuk penglihatan serta suara untuk pendengaran tidak ada. (1) Sebagian lainnya, dalam suatu penjelasan yang mirip, berbicara tentang kemaksuman fitrah.(2) 2. Kebanyakan pemikir, setelah pembuktian wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya, menjadikan kecenderungan manusia kepada keabadian sebagai suatu dalil atas adanya kehidupan setelah mati. Menurut mereka, jika jalan untuk melampiaskan kecenderungan ini tidak ada, keberadaannya akan menjadi batal dan sia-sia. (3) Menurut Anda, apakah kedua argumentasi ini sama antara satu dengan lainnya? Mengapa?(4) Poin yang mesti kita tekankan di sini ialah jika pengetahuan terhadap Tuhan kita sebut sebagai suatu hal yang fitrawi dan merupakan jenis dari ilmu hudhuri, maka keberadaan Tuhan tidak memerlukan pembuktian dan persepsi tentangnya pun tidak akan
p: 104
bisa salah, meskipun berpegang pada pengetahuan seperti ini, sesuatu hal yang bersifat personal-dalam berhadapan dengan orang- orang yang mengingkari wujud Tuhan tidaklah begitu berguna. Akan tetapi, jika kecenderungan terhadap Tuhan (dalam bentuk pencarian kesempurnaan) kita sebut sebagai suatu hal yang fitrawi, dengan terpaksa, guna membuktian wujud Tuhan, kita harus menempuh jalan ilmu hushuli. Bagaimanapun, kedua klaim atau pernyataan di bawah ini sangatlah berjarak:
a. Manusia pertama-tama "menyaksikan Tuhan Yang Mahatinggi, kemudian cenderung kepada-Nya." b. Karena cenderung kepada-Nya dan kecenderungan adalah suatu hakikat keterhubungan dan bukan tanpa objek, maka Tuhan Yang Mahatinggi ada. (1)
Selain dari pada argumen-argumen yang telah disebutkan, beberapa argumen lainnya dapat pula ditemui dalam karya-karya para pemikir Timur dan Barat yang akan kami sebutkan sebagian di antaranya secara sepintas di sini(2). Adapun kritik terhadapnya akan kami lalui.
Walaupun demikian, upaya kami adalah agar pembaca dapat mengetahui bagaimana perbedaan dan saling silang (tadakhul) sebagian di antara argumen-argumen berikut ini dengan argumen-argumen sebelumnya yang telah kita bicarakan.(3)
p: 105
Argumen Kesepakatan Umum Kalangan pemikir Barat menamakan salah satu dari argumen- argumen pembuktian wujud Tuhan dengan "argumen kesepakatan umum."(1) Sebagian ulasan argumen ini merupakan penjelasan atas inherenitas pengetahuan terhadap Tuhan atau kecenderungan terhadap-Nya. Oleh karena itu, kembali kepada argumen fitrah itu sendiri. Terdapat pula ulasan lainnya dari argumen ini yang lebih cocok dengan nama "kesepakatan umum" dan lebih menegaskan kepada universalitas(2) pengetahuan atau kecenderungan terhadap Tuhan menggantikan inherenitasnya.(3) Salah satu di antara ulasan tersebut bertumpu pada premis-premis di bawah ini:
a. Sepanjang sejarah, kepercayaan kepada Tuhan merupakan sesuatu hal yang bersifat universal.
b. Kepercayaan ini bersumber dari perintah akal yang bersifat pasti (jika panggilan akal bersifat tidak pasti, manusia tidak akan menerima kepercayaan seperti ini dengan begitu mudah, sebab manusia lebih mengutamakan kebebasan dari pada ketundukan).
C. Jika semua manusia dalam kepercayaan ini berada dalam kesalahan, maka kehujahan akal dipertanyakan dan kita akan mengarah kepada keraguan yang ekstrem.(4) Argumen Pengalaman Keagamaan Istilah pengalaman keagamaan-sebagaimana yang akan dijelaskan dalam bagian sembilan-mempunyai aplikasi-aplikasi yang beragam di mana dalam penggunaannya yang paling luas mencakup setiap jenis pengalaman yang terkait dengan kehidupan beragama.
Oleh karena itu, pengetahuan dan kecenderungan terhadap Tuhan dapat pula digolongkan ke dalam jenis pengalaman keagamaan. Jika
p: 106
pengalaman keagamaan dikemukakan dalam batasan pengalaman umum dan universal ini, maka ia tidak disebut sebagai suatu argumen yang mandiri dari argumen fitrah.
Dari sisi lain, terkadang yang dimaksud dengan istilah ini adalah pengalaman-pengalaman atau kondisi-kondisi khusus yang timbul akibat penyaksian kejadian-kejadian khusus dan luar biasa seperti mukjizat, karamah, dan kemustajaban doa, begitu pula dengan penyingkapan serta syuhūd irfani. (1) Kalangan ilmuwan Barat juga menggunakan pengalaman-pengalaman khusus ini-dalam bentuk argumen tersendiri (2) atau secara implisit dalam argumen pengalaman keagamaan(3)—guna membuktikan wujud Tuhan, walaupun pemikir Muslim pada umumnya menggunakan kejadian-kejadian seperti mukjizat hanya dalam pembahasan pembuktian kenabian.
Argumen Moral Filsuf terkemuka Jerman, Imanuel Kant menyebut argumen- argumen yang membuktikan wujud Tuhan melalui "akal teoretis" — seperti argumen ontologis dan teleologis-sebagai argumen tidak sempurna dan melakukan kritik atasnya.(4) Meskipun demikian, ia berkeyakinan bahwa berdasarkan "akal praktis" dan sebagai praasumsi hukum-hukum moral, eksistensi Tuhan harus diterima.(5) Menurut pendapat sebagian penulis Barat, argumen moral-seperti halnya argumen fitrah dan sebagian ulasan argumen pengalaman keagamaan-ketimbang mencari bukti-bukti keberadaan Tuhan di alam realitas, menelisik ke dalam batin dan hati nurani manusia,(6) dengan
p: 107
kata lain disebut dengan argumen internal (anfusi). Argumen ini terdiri dari beberapa macam ulasan, di mana salah satu di antaranya akan dikemukan pada bagian dua belas (Agama dan Moralitas).
Argumen Derajat-Derajat Kesempurnaan Aquinas pada jalan keempat dari lima jalannya mendesain suatu argumen yang dikenal dengan argumen derajat-derajat kesempurnaan.
Berdasarkan argumen ini, kesempurnaan-kesempurnaan terbatas dari fenomena-fenomena alam akan menuntun kita kepada suatu eksistensi di mana ia sendiri merupakan kesempurnaan mutlak dan sumber dari segala kesempurnaan. Premis-premis argumen ini dapat dipilah antara satu dengan lainnya dalam bentuk seperti di bawah ini:
a. Dengan membandingkan wujud-wujud alam antara satu dengan lainnya, kita mendapati sebagian di antara mereka lebih baik, lebih mulia, dan lebih riil dari sebagian lainnya.
b. Setiap sifat terperinci (seperti lebih baik) merupakan penjelasan atas ukuran kemiripannya dengan suatu wujud yang memiliki sifat ini (seperti baik) dalam batasan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, "ini lebih panas dari itu," yakni "kesamaan atau kemiripannya dengan wujud paling panas lebih banyak." C. Berdasarkan hal ini, ada sesuatu yang lebih riil, lebih baik, dan lebih mulia dari segala sesuatu dan kesimpulannya,(1) serta paling sempurnanya wujud-wujud.
d. Dari sisi lain-sebagaimana yang dikatakan Aristoteles-unit (fard) tertinggi setiap jenis (genus) adalah sebab bagi unit-unit yang lebih rendah, sebagaimana api-yang merupakan paling panasnya sesuatu-adalah sebab bagi panas-panas lainnya.
e. Berdasarkan hal itu, sesuatu mesti ada, di mana eksistensi, kebaikan, dan seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud-
p: 108
wujud yang lain bersumber darinya. Hal ini adalah wujud itu sendiri, di mana kita menamakan-Nya sebagai Tuhan.
1. Dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan dapat dibagi ke dalam tiga bagian: 1) Dalil-dalil yang hanya dengan bersandar pada "konsep" wujud (ada) membuktikan objek aslinya (ashīl). 2) Dalil-dalil yang menjadikan "objek tak tertentu" dari wujud (atau wujud secara mutlak) sebagai perantara pembuktian Tuhan. 3) Dalil-dalil yang guna membuktikan wujud Tuhan, memanfaatkan "objek-objek tertentu" dari wujud-seperti wujud hadīts (baru) atau mumkin (kontingen). Dua dalil pertama secara berurutan dinamakan argumen ontologis (barāhin-e wujūdī) dan argumen shiddiqīn.
2. Tumpuan argumen ontologis Anselm adalah pada poin bahwa jika "keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan" tidak ada di luar pikiran (zihn), maka ketika itu "keberadaan paling sempurna yang dapat digambarkan" tidak akan ada.
3. Sebagian pemikir Muslim pun mengajukan argumen ontologis dengan makna seperti ini: "tidak akan pernah bekumpul dua kontradiksi. Oleh karena itu, hakikat keberadaan (hakikat wujud) secara esensial tidak akan menerima ketiadaan ('adam), dan [dengan demikian) ia merupakan wājib al-wujūd." 4. Kritik utama argumen ontologis adalah pembauran antara konsep dan objek (predikasi esensial primer (primary essential predication)" dan "predikasi teknis umum (common technical predication)).
5. Argumen shiddiqin-seperti halnya argumen ontologis-dimulai dengan perenungan dalam "eksistensi", tetapi bukan dalam konsepnya, melainkan suatu eksistensi riil dan eksternal yang mengenakan busana kewujudan serta dijelaskan dalam bentuk sebuah proposisi seperti "suatu keberadaan ada." 6. Argumen shiddiqin Ibn Sina dengan penjelasan yang sangat ringkas dari Muhaqqiq Thusi menyebutkan: "Suatu keberadaan, entah ia sendiri adalah wājib al-wujūd ataukah ia meniscayakannya; sebab,
p: 109
daur dan tasalsul atau rangkaian tak terhingga (infinite sequence) adalah absurd." 7. Shadr al-Muta`allihin,dengan memanfaatkan sebagian prinsip- prinsip filsafat Hikmah-memberikan ulasan argumen shiddiqin yang tidak memerlukan pembatalan daur dan tasalsul, di mana di dalamnya imkān fagri menggantikan imkūn māhiyah.
8. Terma kosmologis adalah suatu nama yang ditujukan kepada sekumpulan argumen-argumen di mana premis pertama mereka merupakan penjelasan suatu hukum tentang alam semesta (misalnya: alam adalah baru, bergerak, mumkin al-wujūd) dan premis keduanya mengambil bentuk prinsip kausalitas.
9. Jika premis pertama argumen shiddiqin Sinaian kita tempatkan proposisi "suatu mumkin al-wujūd adalah ada" menggantikan "suatu keberadaan adalah ada," maka kita akan mendapatkan ulasan argumen imkān dan wujūb.
10. David Hume mengkritik argumen imkān dan wujūb seperti ini:
setelah penjelasan kausatif bagian-bagian suatu kumpulan, kita tidak perlu mencari sebab keseluruhan kumpulan tersebut.
11. Jawaban terhadap kritikan ini ialah jika dalam satu rangkaian rantai kausalitas tidak ditemukan adanya wujud mandiri, di mana ia bukan akibat dari sebab yang lain, maka kemunculan setiap masing-masing dari rantai tersebut (bagian-bagian kumpulan) tidak akan memiliki penjelasan rasional.
12. Kebanyakan teolog Muslim menjadikan "kebaruan temporal (huduts zamānī)" alam semesta atau sebagian dari wujud-wujud di dalamnya sebagai perantara pembuktian eksistensi Tuhan.
Sekarang ini, sebagian kalangan Barat menemukan argumen ini sebagai argumentasi menarik dan menamakannya dengan argumen kosmologis kalam.
13. Argumen gerak, yang biasanya dikaitkan dengan nama Aristoteles, menyimpulkan eksistensi "penggerak yang tidak bergerak" melalui "gerak yang ada pada alam" atau "gerak bintang-bintang" atau "gerak jiwa."
p: 110
14. Argumen keteraturan-yang dinamakan pula dengan argument from design dan argumen teleologis-menyebut kesesuaian dan kebertujuan (fenomena-fenomena) alam menunjukkan adanya pengatur yang pintar.
15. David Hume dengan begitu keras melakukan serangan terhadap argumen ini dan menurut anggapan sebagian orang, ia telah menghilangkan daya gunanya.
16. Di samping kritik yang mempermasalahkan premis minor argumen keteraturan (adanya keteraturan pada alam), kritikan terpenting Hume-yang menyebut premis mayor argumen (implikasi keberaturan atas adanya pengatur) tidak lengkap-ialah seperti ini: keteraturan dan kesesuaian tidak mesti merupakan hasil desain dan pengaturan sebelumnya, melainkan terkadang muncul secara perlahan, dengan pengujian dan kesalahan. Para pengikut Hume dalam mengesahkan kritikan ini menggunakan pula teori Darwin.
17. Jawaban terhadap kritikan ini ialah bukan perubahan tiba- tiba suatu fenomena akan menambah kemungkinan butuh terhadap pengatur dan bukan pula perubahan perlahannya akan mengurangi kemungkinan tersebut. Di samping itu, kemampuan teori-teori seperti teori Darwin untuk menjelaskan bagaimana terbentuknya organ-organ rumit makhluk-makhluk hidup, masih sangat diragukan. Penggunaan hitungan perkiraan-perkiraan pun menunjukkan nilai kemungkinan ke-acak-an alam adalah sesuatu yang menghampiri nol.
18. Argumen fitrah terkadang menyebut pengetahuan ketuhanan (dalam dua ruang lingkup ilmu hudhuri dan ilmu hushuli) dan terkadang pula kecenderungan pada Tuhan (dalam bentuk-bentuk seperti pencarian Tuhan, penyembahan Tuhan, dan pencarian kesempurnaan) sebagai sesuatu hal yang bersifat fitrawi.
19. Pembuktian kecenderungan pada Tuhan sebagai hal yang bersifat fitrawi dengan bersandar pada pencarian kesempurnaan manusia bertumpu pada dua premis berikut: 1) Semua manusia sedang berupaya mencapai kesempurnaan mutlak; sebagaimana
p: 111
ketika mencapai tingkatan ilmu dan kekuatan apa pun, ia [senantiasa) mencari suatu tingkatan yang lebih tinggi darinya. 2) Kesempurnaan mutlak adalah Tuhan itu sendiri.
20. Salah satu ulasan argumen kesepakatan umum adalah: dengan memperhatikan keumuman keyakinan terhadap Tuhan, jika kita menyebut manusia-manusia dalam keyakinan ini sedang salah, kita telah mengingkari kehujjahan akal.
21. Menurut sebagian kalangan pemikir Barat, pengalaman religius kaum beriman pun dapat digunakan untuk membuktikan wujud Tuhan; khususnya bagian pengalaman-pengalaman khusus dan adikodrati (seperti pengalaman-pengalaman yang dihasilkan dari mukjizat, terkabulnya doa, dan penyaksian-penyaksian irfani).
22. Immanuel Kant berkeyakinan bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui akal teoretis; walaupun demikian, berdasarkan akal praktis dan sebagai asumsi-asumsi hukum-hukum etika, wujud Tuhan harus diterima.
23. Berdasarkan argumen yang dikenal dengan argumen derajat- derajat kesempurnaan, kesempurnaan-kesempurnaan terbatas fenomena-fenomena alam menuntun kita kepada suatu wujud di mana ia merupakan kesempurnaan mutlak serta sumber seluruh kesempurnaan-kesempurnaan.
1. Jelaskanlah maksud dari pertanyaan berikut serta cara menjawabnya! "Apakah Tuhan agama merupakan Tuhan filsafat itu sendiri?" 2. Bagaimanakah argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan dapat dikelompokkan? Jelaskan! 3. Sambil mengulas argumen ontologis Anselm, bandingkanlah dengan argumen ontologis para pemikir Muslim! 4. Jelaskanlah kritik paling utama terhadap argumen-argumen ontologis!
p: 112
5. Apa yang dimaksud dengan argumen shiddiqin? Apa perbedaan dan kemiripan argumen ini dengan argumen ontologis? 6. Tulislah ulasan Ibn Sina atas argumen shiddiqin! 7. Apa yang dimaksud dengan argumen kosmologis? Mengapa ia disebut dengan nama ini? 8. Dengan mengisyaratkan sejarah singkat argumen imkān dan wujūb, jelaskanlah sisi perbedaannya dengan argumen shiddiqin Sinaian! 9. Keberatan apakah yang disebutkan oleh Hume terkait dengan argumen imkān dan wujūb? Tulislah jawabannya! 10. Dengan apakah argumen kebaruan (hudīts) tegak; adanya sesuatu yang baru atau kebaruan seluruh alam? Jelaskan! 11. Apa perbedaan ulasan Plato atas argumen gerak dengan ulasan Aristoteles? 12. Apa pandangan para filsuf muslim tentang dua argumen; kebaruan dan gerak? 13. Bagaimanakah tafsiran-tafsiran beragam atas istilah keteraturan dapat berujung pada bervariasinya argumen keteraturan? 14. Bagaimanakah kedudukan argumen keteraturan di tengah-tengah kalangan pemikir Timur dan Barat? Tulislah sebagian pandangan- pandangan yang ada! 15. Apa dua kritik utama Hume terhadap argumen keberaturan? 16. Apakah dengan berpegang pada teori Darwin, argumen keberaturan dapat disebut tidak lengkap? 17. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan fitrawi terhadap Tuhan:
kefitrahan ilmu Hudhuri atau ilmu Hushuli? Jelaskan! 18. Bisakah menyebut Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat fitrawi dengan bersandar pada "watak pencarian kesempurnaan" manusia? 19. Apakah dari kecenderungan fitrawi terhadap Tuhan dapat membuktikan wujud Tuhan? Bagaimana?
p: 113
20. Apakah argumen kesepakatan umum dapat diulas sedemikian rupa hingga ia berbeda dengan argumen fitrah? Jelaskan! 21. Apa argumen pengalaman keagamaan itu? Apakah argumen ini dapat dirujukkan kepada argumen fitrah? 22. Perkenalkanlah secara singkat argumen moral! 23. Jelaskanlah argumen derajat-derajat kesempurnaan dan tulislah pendapat Anda tentangnya!
p: 114
"Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran-Nya). Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana; Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu; Dia-lah yang awal dan yang akhir, yang zahir dan yang batin, dan Dia maha mengetahui segala sesuatu," (QS Al-Hadid [57]: 1–3).
dalam pelbagai macam agama, pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan senantiasa bernilai dan memiliki arti yang sangat besar.
Kebanyakan agama-agama menyebut eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang aksiomatis dan tak dapat diragukan, alih-alih mereka seharusnya membuktikan wujud Tuhan, mereka malah mengkaji dan menghitung sifat-sifat-Nya.
Segolongan dari kalangan kaum ateis dengan bersandar pada sifat-sifat yang diyakini oleh kaum penyembah Tuhan (theism), berbicara pula tentang kontradiksi internal dalam konsep Tuhan atau menganggap eksistensi Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang sedemikian rupa, tidak selaras dengan keberadaan peristiwa-peristiwa merugikan dan bencana-bencana alam seperti banjir dan gempa bumi yang secara terminologi dinamakan sebagai syurūr (keburukan-keburukan).
p: 115
Hari ini, kebanyakan orang-orang beriman masih menekankan pada pemahaman tradisional atas konsep Tuhan, tetapi segolongan dari mereka (khususnya di antara orang-orang Kristen) telah meninggalkan sebagian dari pandangan-pandangan lama (sebelumnya) tentang Tuhan, sebagai contoh, mereka tidak menyebut-Nya sebagai "berilmu" dan "berkuasa" secara mutlak.
Pada bagian ini, pertama-tama kami akan menyinggung pelbagai dimensi-dimensi pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, kemudian kami akan menjawab sebagian pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana keselarasan internal sifat-sifat ini.
Pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan-dengan memperhatikan berbagai macam aspek-aspek ontologis, epistemologis, etimologis- memunculkan pelbagai macam pertanyaan-pertanyaan, di mana yang paling penting di antaranya akan kami ulas di sini:
Salah satu di antara awal permasalahan dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah apakah secara mendasar Tuhan dapat disebut memiliki suatu sifat atau sifat-sifat? Segolongan pemikir Timur dan Barat secara gamblang menegaskan kesucian atau kemurnian Tuhan dari segala macam sifat, sebagaimana menurut Plotinus (sekitar 203—270 M): "Kita tidak dapat mengatributkan sifat apa pun kepada Tuhan karena Tuhan lebih unggul dari seluruh kesempurnaan."(1) Demikian juga dengan Qadhi Said al-Qummi (sekitar 1045–1103 H) seorang filsuf dan arif Syi'ah-mengikuti gurunya, Mulla Rajab Ali Tabrizi (W 1080 H)(2)–cenderung dan sangat mendukung pandangan ini. Salah satu di antara keberatan- keberatan atas pandangan tersebut, ia jawab demikian, "Sesungguhnya
p: 116
para nabi yang agung dan sebagian filsuf-filsuf besar menjadikan Wājib al-Wujūd (Mahatinggi kedudukan-Nya) tersifati dengan suatu sifat, disebabkan oleh keawaman dan kelalaian pemahaman (persepsi) mereka, bukan disebabkan bahwa Wājib al-Wujūd dalam kenyataannya dapat tersifati dengan suatu sifat dari sifat-sifat."(1) Yang tampak dalam pernyataan Qadhi Said al-Qummi ialah Tuhan tidak memiliki sifat dalam tingkatan apa pun, tetapi sebagian arif lainnya mengkhususkan penafian sifat-sifat pada maqam zat dan mengatakan, "Nama-nama dan sifat-sifat-qua nama-nama dan sifat- sifat-adalah terbatas dan bagi zat wajib tidak ada batasan. Oleh karena itu, seluruh nama-nama dan sifat-sifat dalam maqam tersebut menjadi terlarang, menghilang, dan tiada."(2) Pada sisi lain, dari perkataan orang-orang seperti Shadr al- Muta`allihin (979—1050 H) dipahami bahwa penerimaan gagasan yang menyatakan bahwa dalam tingkatan yang dikenal dengan "Ahadiyah"; nama, jejak, tanda, dan sifat yang tidak bisa dibicarakan, tidaklah bermakna penafian terhadap sifat-sifat Tuhan, tetapi apa yang "tidak tampak" (transenden) pada tingkatan ini, pada tingkatan selanjutnya, yang dalam terminologi para arif disebut dengan "Wāhidiyah" — menjadi terang dan tampak, "fi hadzihi al-martabat (al-Wāhīdiyyah) tatamayyaz al-shifāt ‘an al-dzāti wa tatamayyaz al-shifāti ba dhuha ‘an ba`dhin."(3) Pada tingkatan Wāhidiyah, sifat berbeda dari zat dan sifat-sifat (yang beraneka ragam) berbeda antara satu dengan lainnya.
Golongan lainnya menyatakan dalam suatu pernyataan yang- pada pandangan pertama-tampak kontradiktif, "Tuhan bukan baik dan bukan buruk, dan bukan dari keduanya. Dia bukan pemilik sifat- sifat dan bukan tanpa sifat-sifat."(4)
p: 117
Pandangan yang diterima secara luas di kalangan para filsuf Muslim(1)dan para teolog Imamiyah(2) dan Muktazilah (3)adalah bahwa sifat-sifat Tuhan tidak memiliki wujud yang terpisah dengan zat-Nya, seluruh sifat-sifat ini adalah diri atau hakikat yang sama persis (identik) dengan zat itu sendiri dan oleh karena itu antara satu dengan lainnya adalah sama persis.
Kebanyakan arif Muslim menerima pandangan ini dengan suatu penafsiran khusus.(4) Para pemikir terkemuka Kristen dan Yahudi pun menyatakan dukungan atas pandangan ini, sebagaimana Thomas Aquinas (1225–1274 M) seorang teolog Kristen, mengatakan:
"Ketika kita menyebut seorang manusia dengan berakal, kita sedang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dengan substansi, kuasa, dan eksistensinya; sementara kebijakan dan kerasionalan Tuhan tidak terpisah dari zat, kuasa, dan eksistensi-Nya."(5) Spinoza (1632-1677 M) seorang filsuf keturunan Yahudi juga berkeyakinan bahwa: "Kuasa Tuhan sama persis dan identik dengan zat-Nya." (6) Para penulis Muslim menyandarkan pandangan ini kepada sebagian filsuf Yunani, seperti Empedocles (Abad ke-5 SM)(7) dan Aristoteles (385–322 SM).
"Aristoteles dalam sebagian buku-bukunya berkata, Tuhan adalah suatu
p: 118
eksistensi yang seluruhnya merupakan ilmu, kekuatan, kehidupan, pendengaran, dan penglihatan." (1) Bagaimanapun, salah satu dalil atas klaim ini adalah sebagaimana berikut:(2) • Apabila sifat-sifat Tuhan berbeda dengan zat-Nya, entah itu adalah Wājib al-Wujūd atau mumkin al-wujūd (dan merupakan akibat dari zat).
Kemestian (prasyarat) keadaan pertama ialah adanya beberapa Wājib al-Wujūd yang telah digugurkan oleh argumen-argumen tauhid.
Bentuk kedua (mumkin al-wujūd) setidaknya akan berhadapan pula dengan kritikan berikut, bahwa: Suatu zat yang sebelumnya tidak memiliki kesempurnaan, bagaimana dapat mewujudkan mereka!(3) Dalam beberapa riwayat dapat pula ditemukan bukti-bukti yang menguatkan pandangan ini, sebagaimana Imam Shadiq dengan menyinggung pendapat orang-orang yang menyebut pendengaran, penglihatan, pengetahuan, dan kuasa Tuhan diperantarai oleh suatu telinga, mata, ilmu, dan kuasa yang berbeda pada dzat-Nya, mendengar dengan pendengaran dan melihat dengan penglihatan dan tahu dengan ilmu dan kuasa dengan kekuasaan, berkata: "Seseorang yang berkata seperti ini serta meyakininya adalah musyrik. ... Tuhan adalah dzat yang diri-Nya-bukan dengan perantaraan sifat-sifat yang berbeda dari-Nya adalah Mahatahu, mendengar, melihat, dan kuasa."(4) Dalam suatu riwayat dari Imam Ridha disebutkan, "Dia yang Mahasuci dan Mahakuasa dengan zat-Nya bukan dengan kekuasaan."(5)
p: 119
Orang-orang seperti Ibn Sina (370—428 H) melangkah lebih jauh dari apa yang telah ada sebelumnya (kesamaan objek antara zat dan sifat) dan menyebut pula sifat-sifat Tuhan yang beraneka ragam dari sudut pandang "konsep" (teori) sama antara satu dengan lainnya, (1) tetapi pandangan ini tidak didasari dengan suatu pijakan yang kokoh.(2) Terdapat pula orang-orang lainnya (golongan dari Muktazilah) yang menyebut zat Tuhan sebagi pengganti (wakil) dari sifat-sifat.(3) Syahristani (479–548 H) meletakkan suatu perbedaan antara pandangan ini-yang bernama teori delegasi zat dari sifat-sifat-dengan pandangan "kesamaan total ("ainiyyat)" seperti berikut: "Pada pandangan pertama, yakni teori delegasi, segala bentuk sifat-sifat akan ternafikan dari Tuhan, tetapi pada pendangan kedua, suatu zat akan terbukti sama persis dengan sifat-sifat atau suatu sifat di mana ia adalah zat itu sendiri."(4) Meski demikian, banyak ilmuwan yang menyebut padangan "delegasi zat dari sifat-sifat" sangat dekat dengan pandangan "kesamaan total (`ainiyyat)"(5) atau salah satu di antara tafsiran-tafsirannya, sebagaimana Mulla Muhammad Mahdi Naraqi (1128–1209 H) menempatkan delegasi sebagai salah satu dari tiga tafsiran "kesamaan" dan melakukan kritik atasnya. (6) Qadhi Abdul Jabbar Mu'tazili (W. 415 H) juga berkeyakinan bahwa, maksud sekelompok syekh Muktazilah yang menyebut Tuhan sebagai “Alimun bi ‘ilmin huwa-huwa" tidak lain adalah "Sesungguhnya Dia Yang Mahatinggi, mengetahui bukan dengan ilmu."(7) Dari perbandingan kedua kalimat Syekh Isyraq (549–587 H) berikut, akan tampak seperti bahwa seakan-akan ia pun memahami
p: 120
"kesamaan total ("ainiyyat)" setara atau sama dengan "pewakilan (niyabat)":(1) a. Kehidupan Nür al-Anwār (Tuhan) dan pengetahuan Dia kepada zat-Nya, tidak berbeda dari zat-Nya.(2) b. Keberadaan yang kosong dari sifat-sifat, lebih sempurna dari keberadaan yang memiliki sifat-sifat, ketika keberadaan yang pertama dengan sendirinya juga memiliki kesempurnaan- kesempurnaan keberadaan yang kedua atau lebih dari itu.(3) Golongan Muslimin lainnya (Asy`ariah dan Karamiyyah) menyebut sifat-sifat Tuhan berbeda dengan zat-Nya. Asy`ariah menekankan ke-qadim-an (keabadian atau keazalian) sifat-sifat ini(4) dan Karamiyyah menyebut kebaruan (hadits) sifat pun dapat diterima. (5) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kesempurnaan Ikhlas Bagi-Nya adalah Penafian Sifat-Sifat Dari-Nya Sebagian sabda Imam Ali menjelaskan bahwa manusia Mukmin akan mencapai suatu keyakinan tulus dan murni ketika menafikan sifat-sifat dari Tuhan: "Kesempurnaan
p: 121
tauhid adalah ikhlas kepadanya dan kesempurnaan ikhlas kepadanya adalah penafiaan sifat-sifat darinya. "(1) Pelbagai macam tafsiran atas perkataan ini telah dikemukakan. Berikut ini, kami akan menyebutkan yang paling penting di antaranya:
a. Orang-orang seperti Qadhi Said al-Qummi menyebut perkataan Imam Ali ini seperti halnya riwayat- riwayat lain-sebagai penjelasan tentang perlunya penafian segala bentuk sifat dari Tuhan.(2) b. Para teolog seperti Ibn Abil Hadid Mu'tazili (586–655 H) yang memahami zat Tuhan sebagai wakil seluruh sifat-sifat, menyebut perkataan Imam Ali sebagai sebuah ilham bagi kaum Muktazilah dalam masalah ini. (3) c. Kebanyakan teolog dan filsuf Imamiyah berkeyakinan bahwa yang dimaksud Imam Ali ialah penafian sifat-sifat yang berbeda dengan zat serta melekat atau menempel atasnya; khususnya dengan memperhatikan poin bahwa beliau sendiri berkali- kali memuji Tuhan dengan penggunaan sifat-sifat. (4) d. Berdasarkan sebuah penafsiran irfani, perkataan tersebut tengah menyinggung tingkatan suluk tertinggi yang di dalamnya, selain zat Tuhan (bahkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya) sesuatu yang lain tidak tersaksikan.(5) Menurut Quthbuddin Rawandi (W 573 H) maksud perkataan ini ialah bahwa Tuhan mesti disebut terlepas atau terjauhkan dari sifat-sifat makhluk;
p: 122
sebagaimana pada lanjutan khotbah ini sendiri dalam menyifati malaikat-malaikat Ilahi dikatakan sebagai berikut: "Tidak berlaku atasnya sifat-sifat ciptaan."(1) f. Berdasarkan tafsiran lainnya, maksud Imam Ali adalah isyarah atas ketidakcukupan persepsi- persepsi seorang manusia dalam mengenal Tuhan; keterbatasan-keterbatasan manusiawi sedemikian berpengaruh dalam interpretasinya terhadap sifat-sifat Tuhan sehingga sifat-sifat seperti ini tidak mungkin dinisbahkan kepada Tuhan. (2) Diskusikanlah tentang tafsiran-tafsiran yang telah disebutkan, begitu pula dengan sisi perbedaannya!
Mayoritas orang-orang yang menyebut bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, menekankan atas mungkinnya mengetahui sifat-sifat ini.
Dengan mengingatkan hal bahwa semua manusia dalam kemampuan semacam ini tidak sama antara satu dengan lainnya dan tak ada seorang pun yang dapat mengenal Tuhan sebagaimana layaknya Dia.
Berdasarkan hal ini, menurut pandangan al-Qur'an, selain golongan yang dinamakan dengan "orang-orang yang diikhlaskan (mukhlasin)", tak ada seorang pun yang mampu mendeskripsikan Tuhan, "Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari dosa (mukhlashin)," (QS Al-Shāffat [37]: 159– 160). Orang-orang ikhlas (para pemimpin maksum) pun mengakui ketidakberdayaan dan kelemahan diri mereka dalam memuja Tuhan, seperti ungkapan, "Aku tidak mampu menghitung pujian atasmu, sebagaimana Engkau memuji dirimu sendiri. "(3) Dalam sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Baqir juga kita baca seperti: "kullu mā mayyaztumuhu biauhāmikum-fi adaqqi
p: 123
ma'āniyahu-makhlūgun mashnū un mitslukum mardūdun ilaykum. Wa la`allan namlu al-shigāra tatawahhamu annallāha ta`alā zabāniyatayn; fainna dzālika kamāluha wa tatawahhamu anna adamahumā nugshānun liman lā yattashifu bihimā. "(1) (Semua tipologi yang kalian capai dengan pemikiran-pemikiran kalian yang tidak sempurna dan setelah memurnikan mereka dari berbagai kekurangan, kalian nisbahkan kepada Tuhan dengan makna yang paling akurat adalah [ternilai] ciptaan seperti kalian dan kembali kepada kalian sendiri. Mungkin saja semut-semut kecil mengira bahwa Tuhan adalah dua antena ſalat peraba pada serangga] karena kepemilikan atas antena merupakan kesempurnaan bagi semut-semut dan menurut anggapan mereka setiap makhluk [entitas] yang tidak memiliki antena-antena ini adalah cacat [tidak sempurna]).(2)
Pelbagai macam agama telah menghitung sangat banyak nama nama dan sifat-sifat bagi Tuhan. (3) Untuk pembuktian banyaknya sifat- sifat ini, dapat pula digunakan argumen-argumen rasional; sebagaimana segolongan dari para filsuf dan teolog dengan melakukan analisis terhadap konsep "kemestian wujud (Wājib al-Wujūd)" menyimpulkan kebanyakan di antara sifat-sifat Tuhan yang lain.(4) Begitu pula, kapan
p: 124
saja "kesempurnaan mutlak" Tuhan dapat kita buktikan, maka kita dapat menisbahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan (seperti ilmu dan kuasa) secara mutlak dan tak terbatas kepada-Nya.(1) Berdasarkan hal ini, sebagian kalangan pemikir Kristen menyebut "argumen ontologis" Anselm-dengan memperhatikan definisi yang ia berikan tentang Tuhan: "Suatu keberadaan di mana lebih sempurna darinya tidak dapat digambarkan" —sebagai sebuah contoh jelas dari suatu cara pandang yang dapat dinamakan dengan "teologi yang didasari dengan keberadaan sempurna"(2) serta menyebutnya seperti sebuah kawat yang menghubungkan sifat-sifat Tuhan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya.(3) Sebagian kalangan pemikir menyebut pula "ketakterhinggaan" sebagai sifat Tuhan yang paling mendasar(4) dan kebanyakan sifat-sifat lainnya mereka simpulkan darinya.(5) Selain dari pada itu—dalam suatu perjalanan dari akibat menuju sebab-dengan menyaksikan ciri-ciri kesempurnaan makhluk-makhluk, hakikat ini dapat dipahami bahwa pencipta mereka tidak bisa kosong dari kesempurnaan-kesempurnaan ini. (6) Walaupun demikian, dalam teks-teks agama dapat pula ditemukan sifat-sifat lainnya bagi Tuhan, di mana akal (tanpa bantuan wahyu) tidak mampu membuktikannya. Sebagai contoh, argumentasi rasional
p: 125
murni tidak dapat menisbahkan sifat seperti "duduk atau bersemayam di atas arsy" kepada Tuhan. Dalam menafsirkan sifat-sifat ini,di mana para pemikir Muslim menamakannya dengan "sifat khabariyah"— telah muncul pelbagai pandangan yang berbeda-beda, di mana kami akan membahasnya pada bagian kedelapan (akal dan wahyu).
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perbedaan Nama dan Sifat dalam Kamus Islam Ism (nama) dalam kamus bahasa bermakna tanda dan alamat. Dan nama sesuatu adalah yang membedakannya dengan hal-hal lainnya. "Sifat" dalam suatu penerapan, juga merupakan bentuk atau jenis dari "ism", di mana (nama) —selain ke-tanda-an-juga berimplikasi kepada adanya suatu makna; sebagaimana Mir Sayid Syarif Jurjani (740–816 H) dalam mendefinisikan sifat menulis, "Sifat merupakan nama yang mengimplikasikan sebagian kondisi-kondisi zat." (1) Berdasarkan hal ini, setiap sifat juga dapat disebut sebagai nama, Zamakhsyari (467–538 H) dalam menafsirkan bagian dari ayat 45 surah Ali 'Imrān (ismuhu al-Masih Isabnu Maryam) mengisyaratkan bahwa "nama (ism)" adalah suatu tanda yang membedakan "yang dinamai (musamma)" dari selainnya; dari sisi inilah, dalam penggunaan umum, gelar dan sifat (seperti al-Masih dan Ibn Maryam) juga termasuk sebagai nama(2) sementara setiap nama tidak kita sebut sebagai sifat. Dari sisi lain, mungkin tak ada satu pun nama di antara nama-nama Tuhan yang bisa ditemukan yang tidak menjelaskan suatu kesempurnaan di antara kesempurnaan-kesempurnaan- Nya. (Berdasarkan hal ini, antara nama dan sifat terjalin hubungan "umum dan khusus mutlak", sementara itu
p: 126
sebagian pemikir Muslim menyebut relasi tersebut sebagai sejenis tabāyun (berbeda sama sekali). Walaupun demikian, definisi pemikir ini tentang nama dan sifat, memiliki kesamaan dengan apa yang terdapat dalam teks: "Al-shifātu ... mā yadullu `alā mainā zāidun “alā al-dzāt" [sifat adalah apa yang merujuk pada makna yang ditambahkan pada dzat] dan "al-ismu ... mā yadullu `alā nafsi al-dzāt" [nama adalah apa yang merujuk pada dzat itu sendiri].(1) Karena itu, seluruh nama-nama Tuhan juga dapat disebut sebagai sifat-sifat-Nya, (2) sebagaimana yang terdapat dalam salah satu riwayat, misalnya, "nama-nama Tuhan merupakan sifat-sifat yang dibawa oleh-Nya dalam menyifati diri- Nya."(3) Demikian pula dalam hadis-hadis Islam, beberapa redaksi seperti "sami'un" dan "bashirun" terkadang disebut nama dan terkadang pula disebut sifat. (4) Walaupun demikian, sebagian ulama meletakkan perbedaan antara nama dan sifat Tuhan seperti, "Nama merupakan turunan (derivasi), seperti ‘ālim dan qadīr serta selain keduanya, sedangkan sifat merupakan dasar atau sumber turunan, seperti ilmu (film)dan kuasa (qudrat) dan semacamnya."(5) Perbedaan ini sendiri dalam berbagai aliran teologi, filsafat, dan irfan telah ditafsirkan dalam bentuk yang berbeda-beda. (6)
p: 127
Salah satu pertanyaan yang patut diperhatikan dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah bagaimana dapat berbicara tentang Tuhan yang transenden dengan suatu bahasa yang mengingatkan ciri-ciri manusiawi. Makna dari kata-kata seperti ilmu, kuasa, adil, dan bijak yang ada dalam akal (mental) kita telah terikat oleh batasan-batasan manusiawi dan hal ini menyebabkan penggunaan kata-kata ini dalam mendeskripsikan "Keberadaan Nir-batas" berhadapan dengan pelbagai kesulitan.
Berdasarkan hal ini, apakah maksud dari sifat-sifat ini ketika dinisbahkan kepada Tuhan merupakan sesuatu yang juga digunakan dalam kaitannya dengan manusia? Dewasa ini, salah satu kebimb mendasar dalam lokus pembahasan yang dikenal dengan "bahasa agama" ialah memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Kami sendiri mengangkat pembahasan tersebut pada bagian yang berhubungan dengan subjek pembahasan ini (bagian keenam).
Salah satu pertanyaan di mana jawaban negatif atasnya akan mendorong segolongan orang menentang kepercayaan terhadap Tuhan (atau pemahaman tradisional tentang-Nya) adalah "Apakah sifat-sifat yang dinisbahkan kaum beriman kepada Tuhan, selaras dalam dirinya dan antara satu dengan lainnya?" Sebagian berkeyakinan bahwa sebagai contoh,"kekuasaan mutlak" adalah suatu sifat yang kontradiktif, menurut anggapan mereka, jika kita menyebut Tuhan berkuasa mutlak, maka kita tidak akan memiliki suatu jawaban yang kosong dari kontradiksi untuk pertanyaan berikut (dan pertanyaan- pertanyaan semacamnya): "Apakah Tuhan mampu menciptakan sebongkah batu di mana Ia sendiri tidak sanggup mengangkatnya?" (1) Demikian pula, orang-orang yang menganggap kepemurahan dan keinginan baik Tuhan tidak selaras dengan ketiadaan reaksi pada diri- Nya; dengan justifikasi bahwa konsekuensi sifat kepemurahan Tuhan ialah penderitaan dan musibah hamba-hamba-Nya akan membuat-Nya
p: 128
sedih atau tersiksa dan hal ini tidak selaras dengan ketiadaan reaksi pada diri Tuhan. (1) Permasalahan-permasalahan semacam ini menyebabkan sebagian penulis berpendapat bahwa sebelum pembuktian wujud Tuhan, mereka meneliti sifat-sifat yang diklaim-Nya serta mengkaji keselarasan internalnya. Menurut pendapat kelompok ini, jika di akhir pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, kita sampai pada kesimpulan bahwa pemahaman khusus tentang Tuhan tersebut mengalami kontradiksi internal yang tidak dapat terselesaikan, maka dalam kondisi seperti itu, kita tidak perlu lagi untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya serta melakukan pembuktian wujud-Nya; Tuhan yang esensinya tidak dapat dijelaskan kecuali dalam bentuk kontradiksi-kontradiksi, tidak akan dapat mungkin mengada dan mengasumsikan wujud Tuhan seperti ini adalah tak bermakna. (2) Selain dari pada kesesuaian internal sifat-sifat Tuhan, masalah keselarasan mereka dengan hakikat-hakikat alam pun senantiasa disertai dengan keraguan-keraguan dan bahkan telah menggiring orang- orang kepada pengingkaran wujud Tuhan. Klaim dari sebagian kaum ateis ialah bahwa keberadaan Tuhan dengan sifat-sifat seperti itu tidak selaras dengan terwujudnya peristiwa-peristiwa merugikan (bencana) seperti banjir dan gempa bumi serta penderitaan-penderitaan yang diakibatkan oleh penyakit dan perbuatan-perbuatan aniaya (keburukan- keburukan). Pada bagian ini, kita akan menggali atau meneliti lebih jauh permasalahan-permasalahan terpenting terkait dengan keselarasan internal sifat-sifat Ilahi dan pada bagian berikutnya kita akan mengkaji masalah keburukan-keburukan.
Sebagaimana telah disebutkan, sebagian agama menyebutkan sederetan nama-nama dan sifat-sifat bagi Tuhan. Sebagian riwayat- riwayat Islam-yang terdapat dalam literatur Syi'ah dan Sunni- menyebutkan Tuhan memiliki 99 nama; "huwallāh al-ladzī lāilāha illa huwa al-rahmānu al-rahīmu al-maliku al-quddūsu al-salāmu al-mu'minu al-
p: 129
muhaiminu al-azīzu al-jabbāru al-mutakabbiru ... "(1), sementara jumlah nama-nama Tuhan dalam al-Qur'an bahkan lebih banyak dari pada jumlah yang telah disebutkan; (2) boleh jadi terdapat pula hadis-hadis lainnya yang menambahkan jumlah nama-nama ini;(3) terkadang dalam kedudukan doa berbicara tentang seribu tipologi kesempurnaan Tuhan.(4) Kenyataan ini menunjukkan bahwa nama-nama dan sifat-sifat Tuhan tidak dapat dibatasi dalam suatu angka khusus, sebagaimana dikatakan "Lā nihāyat li asmāihi al-husnā wa li shifātihi al-ulyā" (tak ada batasan bagi nama-nama-Nya yang baik dan bagi sifat-sifat-Nya yang tinggi).427 Walaupun demikian, sebagian dari sifat-sifat Tuhan lebih menonjol dan merupakan sumber dari pada sifat-sifat lainnya. Di samping itu, terdapat segolongan Muslimin yang menegaskan tujuh sifat "hidup, kuasa, ilmu, pendengaran, penglihatan, kehendak (irādah), dan kalam"(5) serta terkadang untuk menunjukkannya, mereka pun menggunakan redaksi atau perumpamaan-perumpamaan seperti "al- ummūhat min al-shifāt (induk dari sifat-sifat)" dan "al-aimmatu al-sab`ah (imam-imam yang tujuh)."(6) Sementara sifat-sifat penting seperti "tunggal (wahdah), rahmat, dan bijaksana" tidak terdapat dalam daftar urutan ini.(7)
p: 130
Dari sisi lain, golongan dari kalangan pemikir Barat menyebut tiga sifat di bawah ini sebagai sifat-sifat Tuhan yang paling menonjol dalam agama-agama Ibrahim: "Ilmu mutlak, kuasa mutlak, dan berkeinginan baik mutlak."(1) Bagaimanapun, para pengikut agama-agama yang telah disebutkan, menekankan pula sifat-sifat lainnya (baik positif maupun negatif) dan sebagai contoh, mereka menyebut Tuhan sebagai pencipta alam semesta, adil, kekal (melintasi waktu), nonmateriel, simpel (basīth, ahad), dan tidak berubah.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Sifat-Sifat Tuhan dalam Agama-Agama India Abu Raihan al-Biruni (362—440 H) dengan menukil dari sebagian buku-buku agama Hindu menyebutkan redaksi atau perumpamaan dalam menyifati Tuhan yang sangat dekat dengan sebutan agama-agama Ibrahimik tentang Tuhan, "Dialah yang tahu secara sarmadi (primordial) kepada zat diri-Nya. ... Dialah yang tinggi sempurna dalam ketentuan (qadar) bukan dalam tempat karena "kepemilikan tempat" tidak layak bagi-Nya. Dan Dialah kebaikan sempurna nan murni sedemikian sehingga setiap wujud merindukan- Nya. Dialah pengetahuan murni yang jauh dari noda kesalahan dan kejahilan. ... Mereka (para filsuf) menjadi filsuf pada zaman dan bahwa mereka bukan filsuf dan bukan teolog, mereka berbicara dan mentransformasi pengetahuan-pengetahuan mereka kepada orang lain dengan menggunakan instrumen bahasa atau perkataan dan dengan satu ungkapan, kebanggaan-kebanggan mereka adalah berada dalam rangkuman zaman. Sementara urusan- urusan Ilahi tidak bergantung dengan zaman dan Tuhan Yang Mahasuci adalah sosok bijak juru bicara sejak azali.
... karena tak pernah sekalipun ternisbahkan kepada jahil, secara esensial (dengan zat-nya) adalah tahu dan tidaklah bahwa pengetahuan yang kadang dimilikinya, ia peroleh atau
p: 131
dapatkan. ... Dia meskipun gaib dari indra dan dengannya (yakni indra) tidak dapat dijangkau, tetapi di sisi jiwa adalah rasional (ma`qul) dan pikiran meliputi sifat-sifat-Nya."(1) Sesuatu yang sangat signifikan dalam hal ini adalah bahwa dari masing-masing sifat ini, kita telah menyimpulkan makna rasional, sedemikian sehingga tidak kontradiksi dengan sifat-sifat lainnya. Sangat jelas bahwa kajian jeluk atas semua sifat-sifat yang telah disebutkan memerlukan ruang yang lebih luas melebihi kapasitas buku ini. Di sini, kami hanya mengupayakan suatu langkah kecil terkait dengan persoalan semantik sebagian di antaranya dan akan menelisik lebih jauh keselarasan internal mereka.
Apakah Tuhan mampu melenyapkan diri-Nya(2) atau menciptakan suatu eksistensi yang lebih sempurna dari diri-Nya? Apakah Tuhan kuasa menciptakan sebongkah batu di mana Dia sendiri tidak mampu mengangkatnya?(3) Apakah Tuhan mampu memasukkan alam semesta ke dalam sebutir telur (tanpa alam semesta ini menjadi kecil dan telur menjadi besar)?(4) Apakah Tuhan dapat melakukan perbuatan-perbuatan tak pantas?(5) Pertanyaan-pertanyaan semacam ini telah berkali-kali terulang dalam pelbagai budaya dan dengan aneka ragam bahasa serta
p: 132
mempunyai daya tarik yang khas.(1) Sebagian pertanyaan ini (seperti dua pertanyaan pertama) telah didesain sedemikian rupa sehingga jawaban positif ataupun negatif atasnya akan berujung kepada pengingkaran kekuasaan mutlak Tuhan. Jawaban positif untuk sebagian pertanyaan lainnya tidak mengakibatkan konsekuensi seperti ini, tetapi berimplikasi kepada penafian atau penginjak- injakan prinsip-prinsip aksiomatis seperti "absurdnya berkumpul dua kontradiksi" serta penafian sifat-sifat Tuhan yang lain.
Jika kita menerima bahwa alam yang begitu luas dapat dimasukkan ke dalam sebutir telur kecil, pada hakikatnya kita telah tunduk kepada kontradiksi bahwa dalam keadaan di mana alam semesta lebih besar dari pada sebutir telur, juga tidak lebih besar darinya. Kemampuan Tuhan untuk melakukan perbuatan-perbuatan zalim dan aniaya terhadap hamba-hambanya juga dianggap tidak sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Proses dan Pengingkaran terhadap Kekuasaan Mutlak Tuhan Hari ini segolongan kaum agamawan (seperti kaum Kristiani dan Yahudi pengikut teologi proses) — kebanyakan dengan maksud menjustifikasi wujud keburukan(2) – berlepas tangan dari pandangan tradisional tentang Tuhan, sebagai contoh, mereka menafikan kepercayaan terhadap kekuasaan mutlak Tuhan atau mengajukan suatu tafsiran baru darinya. (Para pendukung teologi proses menyebut pandangan mereka sebagai suatu tafsiran yang berbeda dari kekuasaan mutlak, bukan pengingkaran atasnya.(3)
p: 133
Salah seorang pendukung aliran tersebut, tentang hal ini menulis, "Tuhan (benar-benar) tidak mampu memaksa masyarakat atau alam untuk menaati keinginan-Nya. ...
perkataan ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak berdaya atau terbatas. Para teolog proses berkeyakinan bahwa kebanyakan kita (kaum agamawan) tidak memiliki persepsi yang benar atas esensi kekuasaan Tuhan.
Seorang manusia mampu mengangkat sebuah batu kecil dari tanah (bumi). Berdasarkan hal ini, kita beranggapan seperti ini bahwa Tuhan dengan kekuatan tak terbatasnya, harus mampu mengangkat bebatuan yang besarnya tidak terbatas. Ayah dan ibu mampu menyelamatkan seorang anak yang tidak berhati-hati dari bahaya tabrakan; dengan demikian, Tuhan pun harus mampu membelah laut merah dan menyelamatkan Bani Israel. Sementara dalam hal ini kita punya tangan dan Tuhan tidak punya atau dengan bahasa lain, setiap kali butuh kepada tangan guna mengerjakan sesuatu, Tuhan mesti bersandar pada tangan-tangan makhluk-Nya. ... Tuhan tidak punya badan sebagaimana badan kita (walaupun kita dapat menyebut seluruh alam semesta sebagai badan Tuhan). Tuhan tidak memiliki tangan-tangan dari diri-Nya sendiri yang dengan bantuannya menarik atau mengangkat sesuatu. Oleh karena itu, Tuhan tidak mampu melakukan sebagian pekerjaan-pekerjaan yang mampu kita lakukan."(1) Penulis tersebut dengan melanjutkan pernyataan- pernyataannya, dalam menjawab kritikan bahwa "Tuhan yang tidak memiliki kekuatan (kuasa) dalam mengatur alam semesta, tidaklah pantas menyandang nama Tuhan" berkata: "Apakah sesuatu yang menjadikan suatu wujud layak disembah adalah kemampuan mengangkat batu?" Diskusikanlah pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan antara satu dengan lainnya!
p: 134
Sebagaimana telah disebutkan, pertanyaan ketiga dari empat pertanyaan di atas mengandung sebuah kontradiksi. Analisis akurat pada dua pertanyaan pertama-dengan merujukkannya pada kalimat di bawah-akan menampakkan pula kontradiksi yang tertimbun di dalamnya:(1) "Apakah wujud sempurna (kuasa) mutlak dapat menjadi tidak sempurna (kuasa) mutlak?" Berdasarkan hal ini, dalam menjawab objeksi-objeksi dan kritikan-kritikan semacam ini, terkadang dikatakan, misalnya, bahwa sesuatu yang menunjukkan kontradiksi, berada di luar wilayah kekuasaan Tuhan.(2) Dengan kata lain, bahkan Tuhan sekalipun tidak dapat mendudukkan dua kontradiksi secara berdampingan.(3) Ungkapan yang lebih tepat ialah pada dasarnya soal atau pertanyaan itu sendiri dengan alasan kontradiktif-tak bermakna dan tidak layak menerima jawaban apa pun;(4) sebagaimana kemahiran seorang matematikawan tidak bisa diuji dengan pertanyaan- pertanyaan semacam ini: Apakah ia dapat membuktikan kebenaran padanan dari "2+2=5?" Berdasarkan hal ini, Imam Ali dalam menjawab pertanyaan ketiga bersabda, "Ketidakmampuan tidak dapat dinisbahkan kepada Tuhan, tetapi apa yang ada dalam pertanyaanmu, adalah sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terjadi."(5) Sebagian pemikir Muslim dan Kristen memberikan pula jawaban yang serupa bagi tiga pertanyaan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat menyebut pandangan Ibrahim bin Sayyar, terkenal dengan nama Nazzam (160—231 H) seorang teolog Muktazilah dan Thomas Aquinas (1225–1274 M) dari kalangan Kristen. Menurut Nazzam, Tuhan bukan
p: 135
hanya suci atau terjauhkan dari perbuatan zalim, (1) kemampuan untuk melakukannya pun tidak punya, dengan alasan atau argumen bahwa keburukan esensial yang terdapat pada perbuatan zalim mencegah kita untuk menyebut Tuhan mampu melakukannya.(2) Ia menegaskan ketidakberdayaan Tuhan untuk melakukan apa yang tidak maslahat bagi hamba-hamba-Nya dengan argumentasi seperti ini pula. (3) Aquinas sendiri menilai kemampuan melakukan perbuatan seperti ini tidak sesuai dengan kesempurnaan Tuhan, yakni tidak selaras dengan kekuasaan mutlak-Nya, ia berkata: "Dengan alasan itu pula di mana Tuhan adalah penguasa mutlak, Tuhan tidak memiliki kemampuan melakukan perbuatan yang tidak pantas."(4) Anselm (sekitar 1033—1109 M) juga mengatakan: "Kekuatan melakukan perbuatan-perbuatan buruk bukanlah kekuatan, melainkan kelemahan."(5) Walaupun demikian, menurut kami jawaban pertanyaan keempat adalah positif.
Tuhan mampu dan kuasa untuk membakar orang-orang beriman di dalam neraka dan sebaliknya, memberi nikmat kepada orang-orang kafir di dalam surga, tetapi tuntutan kebijaksanaan-Nya tidak akan pernah seperti ini.
Pada dasarnya, keharusan atau bahkan perkiraan akan terwujudnya suatu perbuatan tidak dapat disimpulkan dari adanya kemampuan untuk melakukan perbuatan tersebut; (6) sebagaimana kita mengalami atau merasakan sebagian objek-objek (mashādiq) hukum universal ini dalam diri kita.
Apakah Tuhan mengetahui seluruh kejadian-kejadian alam yang bersifat partikular?
p: 136
Apakah ilmu primordial Tuhan selaras dengan kehendak bebas (ikhtiar) manusia? Kepercayaan tradisional para penganut agama-agama tauhid ialah bahwa ilmu Tuhan Maha Meliputi dan azali (primordial), yakni Tuhan "senantiasa" mengetahui "segala sesuatu." Klaim ini sejak masa-masa awal pemikiran manusia, memunculkan pertanyaan-pertanyaan di mana dua pertanyaan yang telah disebutkan merupakan di antara pertanyaan yang terpenting.
Terdapat orang-orang yang menyebut pengetahuan Tuhan atas hal-hal yang bersifat partikular (seperti apa yang telah lalu dalam kekuasaan mutlak) meniscayakan kontradiksi atau penafian terhadap sifat-sifat- Nya yang lain. Terdapat pula golongan yang mengeluarkan perbuatan- perbuatan ikhtiar manusia dari wilayah cakupan ilmu azali (primordial) Tuhan sehingga sifat keadilan-Nya tetap terjaga, dengan alasan atau argumen bahwa ramalan atau perkiraan secara pasti atas perilaku manusia akan berujung pada keterpaksaan dia, sedangkan perbuatan terpaksa tidak boleh dikenai hukuman.
Mayoritas pengikut agama-agama Ilahi-dengan bersandarkan kepada dalil-dalil rasional (aqli) dan referensial (nagli) -menegaskan pengetahuan mutlak Tuhan atas seluruh urusan (termasuk kejadian- kejadian partikular). (1) Meskipun demikian, orang-orang yang menentang kepercayaan tradisional ini, menyebut hal itu memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diterima.
Abu Hamid al-Ghazali (450—505 H) menyebut "pengingkaran atas ilmu Tuhan terhadap bagian-bagian partikular" merupakan salah satu di antara tiga kepercayaan kaum filsuf yang bersifat kufur(2) dan
p: 137
al-Ghazali memandang penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh filsuf seperti Ibn Sina belum memadai.(1) Sebagian pemikir Kristen kontemporer pun-dengan mengatakan bahwa suatu proposisi seperti "Marta menikah pada hari Minggu yang lalu" adalah benar hanya dalam rentang waktu sepekan (dari hari Senin setelah menikah hingga hari Minggu pekan setelahnya) -menyebut pemahaman tradisional tentang pengetahuan mutlak Tuhan sebagai sesuatu hal yang tidak dapat diterima dan mereka menyeimbangkannya seperti, "Tuhan dalam setiap zaman, mempunyai ilmu (mengetahui) hanya dalam hubungannya dengan proposisi-proposisi yang benar pada zaman itu."(2) Orang-orang yang mengingkari pengetahuan Tuhan atas hal-hal yang bersifat partikular, menyatakan hal itu memiliki dampak atau konsekuensi-konsekuensi semacam ini:
Menerima Perubahan(3) Bayangkan, Ali sekarang ini sedang berdiri dan sesaat setelahnya duduk. Apabila setelah duduknya Ali, Tuhan tetap memiliki ilmu tentang proposisi "Ali sedang berdiri", maka ilmu ini tidak lain adalah “ketidaktahuan" dan jika proposisi ini tergantikan posisinya dengan proposisi lain, maka hal itu akan meniscayakan adanya perubahan pada Tuhan (Tuhan mengalami perubahan) di mana para pemeluk agama- agama tauhid tidak akan dapat menerima hal ini. (4) Kesalahan orang-orang yang menerapkan argumen ini ialah bahwa mereka menganggap ilmu Tuhan bersifat temporal. (5) Di samping itu,
p: 138
bahwa dalam analisis ini secara jelas tampak adanya jejak pelbagai keterbatasan yang berkaitan dengan dialog yang bersifat manusiawi.
Kita manusia, guna menjelaskan maksud kita terkadang menggunakan kalimat-kalimat yang di dalamnya memakai batasan-batasan tempo, seperti "sekarang" dan "Minggu yang lalu." Sekiranya bukan karena keterbatasan-keterbatasan manusiawi, tanpa penggunaan instrumen- instrumen bahasa, melalui cara atau metode-metode seperti "telepati" kita dapat mentransformasikan maksud kita kepada yang lain.
Ketelitian pada poin tersebut akan semakin memperjelas kenyataan bahwa bahkan dalam diri manusia pun, pengetahuan tentang suatu hakikat yang dinyatakan oleh proposisi "Ali sekarang ini sedang berdiri", sesudah duduknya Ali pun tidak akan mengalami perubahan.(1) Berdasarkan hal ini, guna tidak mengungkung hakikat ilmu Tuhan dalam limitisasi-limitisasi bahasa, kita dapat mengonsepsikan suatu garis tak terhingga sedemikian sehingga setiap titik darinya merupakan tanda dari suatu tahapan di antara tahapan-tahapan sejarah dan "berdirinya Ali" serta "pernikahan Marta" mendapatkan ruang khusus dalam suatu titik di antara titik-titik garis ini. Nah, apabila suatu eksistensi nontemporal (eksis di luar waktu) meliputi garis tak terhingga ini, maka tak syak lagi pasti mengetahui seluruh kejadian- kejadian alam semesta; tanpa timbulnya suatu perubahan pada dirinya akibat "berlalunya waktu" dan "berubahnya kondisi-kondisi ciptaan atau para makhluk". (2) Serba Meliputi(3) Dalam setiap detik (saat) alam senantiasa menyaksikan terjadinya milyaran peristiwa, seperti jatuhnya sehelai daun, bangunnya seorang
p: 139
bocah dari tidurnya, sergapan seekor hewan yang berlari mengejar mangsanya. Apabila alam memiliki awal dan akhir sekalipun, tetap saja serba meliputi terhadap seluruh kejadian-kejadian ini tidak mungkin terjadi; apatah lagi, setidaknya dari satu sisi, kita menyebut alam tidak terhingga.
Objeksi ini lebih lemah dari objeksi sebelumnya. Tuhan merupakan wujud yang tidak terhingga dan serba meliputi- Nya terhadap peristiwa-peristiwa yang tak terhingga tidak akan menyertakan konsekuensi yang bersifat negatif.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Ilmu Mutlak dan Keburukan-Keburukan yang Tidak Dapat Dijustifikasi Ibn Maimun melaporkan sebagian dalil para filsuf dalam mengingkari ilmu mutlak Tuhan sebagai berikut, "Mengingat eksistensi pelbagai keburukan pada alam ini tidak dapat diingkari, pilihan terbaik adalah kita menyebut Tuhan tidak tahu tentang hal-hal yang sifatnya partikular (juz`iyah); bukan mengingkari kekuasaan mutlak-Nya atau menyebut-Nya tidak punya perhatian terhadap kondisi- kondisi makhluk-Nya.(1) Jawaban rinci atas objeksi ini akan diulas pada bagian selanjutnya. Menurut Anda, anggaplah! dengan asumsi bahwa tidak ada jalan lain kecuali memilih salah satu dari tiga pilihan yang telah disebutkan, apakah mesti, sikap terbaik yang harus kita lakukan adalah mengingkari ilmu mutlak Tuhan?
Hubungan pengetahuan azali Tuhan dengan ikhtiar manusia merupakan sebuah masalah dengan latar belakang yang sangat panjang, sedemikian sehingga salah satu objek ilmu Tuhan terhadap partikular-
p: 140
partikular (juz`iyah) dari sudut pandang khusus, telah menjadi sebuah bahan renungan (dan terkadang pula diingkari).(1) Fakhruddin Razi (544—606 H) berkeyakinan bahwa sekiranya seluruh manusia berakal di seantero alam saling tolong-menolong antara satu dengan lainnya, mereka tidak akan mampu menyelaraskan pengetahuan azali Tuhan dengan ikhtiar atau kehendak bebas manusia.(2) Keyakinan atas adanya ketidaksesuaian di antara keduanya, telah menyeret segolongan orang kepada determinisme dan pengingkaran ikhtiar(3) dan segolongan lainnya memperbarui pandangan dalam konsep pengetahuan mutlak Tuhan.(4) Reaksi pertama (pengingkaran ikhtiar) dalam sebuah syair yang dinisbahkan kepada Khayyam Naishabury (W sekitar 515 H) tampak dengan begitu baik, Aku makan dan setiap yang sepertiku adalah layak; Makannya aku di sisinya adalah gampang-Makannya aku sejak dahulu telah diketahui sang Haqq; jika aku tak makan, ilmu Tuhan adalah kejahilan. (5) Kelompok kedua-dengan bersandar pada tidak diragukannya masalah ikhtiar manusia-berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mengetahui perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia dan bagaimana pilihan-pilihannya karena ramalan secara pasti terhadap suatu perilaku tidak sesuai dengan keikhtiarannya. Golongan ini terkadang menyebut perbuatan-perbuatan ikhtiar sebagai suatu urusan-urusan yang "secara logis tidak mungkin" diketahui sebelumnya; sebagaimana
p: 141
kekuasaan tidak bergantung atau tidak berhubungan dengan hal-hal yang secara logis absurd, "Jika hal ini bahwa Tuhan tidak mampu melukis gambar-gambar "yang tak bisa terlukis" tidak menimbulkan kecacatan dalam kekuasaan mutlak-Nya, dalam kondisi seperti itu, hal ini pun di mana Tuhan tidak dapat mengetahui realitas-realitas“ yang tak dapat diketahui" yang terkait dengan masa depan perbuatan- perbuatan ikhtiar manusia, tidak akan menimbulkan kecacatan bagi pengetahuan mutlak-Nya. Pada saat di mana realitas-realitas ini telah menjadi "dapat diketahui", maka Tuhan-lah yang pertama kali akan menemukan ilmu terhadap mereka. (1) Walaupun demikian, analisis benar atas relasi yang telah disebutkan akan menampakkan secara lebih baik adanya keselarasan antara "pengetahuan azali Tuhan" dengan "ikhtiar manusia" serta tidak menyisakan jalan untuk mengingkari satu pun di antara keduanya. (2) Guna menjelaskan apa yang dimaksud, kami akan memakai permisalan berikut: Bayangkan seorang pengajar yang meramal masa depan studi para siswa dan bahkan nilai-nilai mereka dengan kemungkinan salah sekitar tiga puluh persen. Sangat jelas bahwa ramalan ini-yang merupakan hasil pengenalan yang sepertinya cukup sempurna seorang guru dari siswa-siswanya-tidak mencerabut ikhtiar dari mereka serta tidak membuat seseorang terpaksa dalam perbuatannya. Nah, jika pengenalan atau pengetahuan pengajar menjadi lebih sempurna dan kemungkinan salah dalam ramalannya semakin sedikit dan lebih sedikit, tetap saja tidak menimbulkan perbedaan dalam ikhtiar dan pilihan para siswa. Contoh sederhana ini menguatkan pandangan bahwa ilmu selalu mengikuti yang diketahui, bukan sebaliknya. (3)
p: 142
Augustine (354–430 M) salah seorang teolog awal Kristen, tentang hal ini berkata: "Hanya dengan kenyataan bahwa engkau jauh sebelumnya telah mengetahui "keberdosaan" seseorang, tidak menjadikannya terpaksa dalam perbuatannya; bahkan sekiranya perbuatan ini bersifat pasti (sebagaimana kemestian dari ramalanmu seperti ini). Dengan demikian, pengetahuanmu sebelumnya selaras dengan kebebasan dan ikhtiarnya; artinya engkau mengetahui bahwa ia dengan kehendaknya akan menjadi seperti ini. Oleh karena itu, Tuhan pun tidak menjadikan seseorang terpaksa dalam melakukan dosa, meskipun sebelumnya telah mengetahui siapa orang-orang yang dengan kehendaknya sendiri akan terlumuri dengan dosa. (1) Dengan kata lain, sesuatu terkait dengan pengetahuan Tuhan, bukan hanya prinsip eksistensi perbuatan-perbuatan ini, melainkan [termasuk] eksistensi mereka bersama dengan seluruh tipologinya (seperti keikhtiarannya). Oleh karena itu, tuntutan dari tidak bisanya ramalan ini salah adalah bahwa perbuatan-perbuatan manusia bersifat bebas atau dengan ikhtiar. (2)
Apakah kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan bisa bertambah? Apakah Tuhan seperti halnya dengan kita manusia, mempunyai perasaan dan emosi? Apakah penderitaan dan kesulitan-kesulitan manusia menyiksa serta menyedihkan Tuhan? Apakah perilaku kita dapat menimbulkan perubahan dalam program-program Ilahi? Mayoritas filsuf dan para penganut agama-agama Ilahi menyebut "adanya potensi perubahan"(3) sebagai suatu jenis kekurangan dan
p: 143
mereka menyebut Tuhan senantiasa terjauhkan dari kekurangan ini.
Oleh karena itu, tak ada satu pun jenis perubahan yang terjadi pada zat Tuhan dan tak ada seorang pun yang dapat memalingkan-Nya dari mengerjakan suatu putusan atau mendekatkan-Nya untuk melakukan suatu perbuatan. Walaupun demikian, beberapa masalah-di mana sebagian darinya telah terefleksikan dalam pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan sebelumnya-membuat segolongan berpendapat bahwa pandangan tradisional tentang hal ini tidak benar dan secara khusus menegaskan poin bahwa seorang yang menghendaki kebaikan hamba-hambanya, semestinya terusik atau tersiksa dengan musibah dan penderitaan mereka dan jika ia tidak mengurangi rasa sakit mereka, setidaknya turut serta dalam kesedihan-kesedihan mereka. (1) Pengetahuan Tuhan terhadap masalah-maslaah partikular (juz`iyah) — sebagaimana yang telah lalu-juga dianggap tidak sesuai dengan kemustahilan perubahan pada diri-Nya. Di samping itu, penerimaan taubat para hamba serta pengabulan hajat-hajat mereka merupakan masalah-masalah yang mungkin saja termasuk tanda timbulnya suatu perubahan dalam zat Tuhan.(2) Tentu saja para pendukung teologi proses-di mana ia sendiri bertumpu pada falsafah proses-menekankan mobilitas dan dinamisasi ketimbang stagnan atau statis, dan mereka berkeyakinan bahwa Tuhan sebagaimana halnya makhluk (entitas-entitas) yang lain senantiasa dalam keadaan berubah dan menyempurna. (3)
p: 144
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN BERSAMA Ayat-Ayat dan Riwayat-Riwayat yang Mengesankan Perubahan Tuhan Sebagai tambahan atas ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang berbicara tentang penerimaan taubat dan terijabahnya doa, redaksi-redaksi, atau ungkapan-ungkapan lainnya dapat pula ditemukan dalam pelbagai teks-teks agama yang pada pandangan pertama, menampilkan Tuhan tidak dapat berubah, sebagaimana yang kita baca dalam salah satu ayat-ayat al-Qur'an seperti ini, "Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami membalas/menghukum) mereka, dan kami tenggelamkan mereka semua." (QS Al- Zukhruf [43]: 55) Dalam riwayat-riwayat juga disebutkan penisbahan murka dan marah kepada Tuhan; sebagaimana salah satu di antaranya menyebutkan, "Ketika kalian memberi janji kepada anak-anak kalian, maka penuhilah; Tuhan tidak akan sedemikian murka atas sesuatu yang lain, sebagaimana bagi para perempuan dan anak-anak."(1) Sifat-sifat seperti kasih dan sayang juga mengesankan bahwa Tuhan bersedih atau tersiksa atas musibah-musibah hambanya; khususnya dalam sebagian riwayat-riwayat, rahmat Tuhan dan kelembutan hati serta perasaan iba seorang ibu pada seorang anak telah dibandingkan dan disebut [rahmat Tuhan] lebih baik darinya. (2) (Dalam teks- teks agama lainnya juga dapat ditemukan redaksi atau ungkapan semacam ini yang akan kami cukupkan dengan salah satu di antaranya-yang dalam perkataan Aquinas
p: 145
mengemuka sebagai sebuah kesamaran (syubhat) dalam masalah tidak berubahnya Tuhan.(1) Masalah kedekatan Tuhan kepada hamba-hambanya terlihat pula dalam teks-teks Islam; sebagaimana yang terdapat dalam suatu hadis Qudsi: "Siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta."(2) Walaupun demikian, tiadanya perubahan pada Tuhan-merujuk kepada dalil-dalil rasional dan referensial-sepertinya tidak disertai dengan konsekuensi yang bersifat negatif dan juga sesuai dengan sifat- sifat lainnya. Tuhan senantiasa menghendaki kemaslahatan seluruh hamba-hamba-Nya serta tidak kikir dengan rahmat umumnya bagi siapa pun (bahkan pada pendosa dan pembangkang). Orang-orang yang mengaitkan keinginan baik serta inayah dengan "penderitaan" dan "ketersiksaan", telah lalai dengan perbedaan antara keberadaan yang terbatas dan nir-batas. Kita manusia ketika melihat orang yang teraniaya dengan begitu pedih, kita akan terpengaruh dan terkadang menenangkan diri kita dengan tetasan air mata. Namun, Tuhan tanpa adanya reaksi seperti ini pada diri-Nya sesuai dengan kesempurnaan zat-Nya, lebih penyayang dari siapa pun. (3) Jika kita melakukan sebuah upaya untuk mengurangi beban sakit orang lain, dalam tingkatan pertama, kita sedang berupaya mengurangi ketersiksaan batin diri kita; sementara rahmat Tuhan tidak punya tujuan kecuali menyampaikan kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.(4) Kegembiraan dan kemarahan Tuhan juga harus ditafsirkan seperti ini. Sebagian dari perbuatan-perbuatan hamba tidak selaras dengan pelbagai tanggung jawab yang telah ditetapkan bagi mereka.
p: 146
Perbuatan-perbuatan ini dapat diliputi dengan kemurkaan dan kemarahan Tuhan serta berhak mendapatkan azab-Nya. Tentu sangat jelas bahwa semakin buruk sebuah perbuatan, maka semakin besar pula ketidaksenangan dan kemurkaan Tuhan. Meskipun demikian, kita tidak boleh memandang Tuhan sama seperti makhluk kemudian membayangkan bahwa besarnya kemurkaan, telah membuat darah- Nya mendidih dan urat-urat leher-Nya membengkak. Dari sisi ini pula, pada sebagian riwayat-riwayat dalam menjawab pertanyaan bahwa "Apakah Tuhan dapat dikatakan memiliki keridaan dan kemarahan?" ditemukan seperti berikut, "Ia (benar)! tetapi tidak sama dengan apa yang ada pada para makhluk ... Tuhan adalah Esa serta memiliki zat dan makna (sifat-sifat) yang satu. (1) Oleh karena itu, kegembiraan-Nya adalah ganjaran pahala-Nya itu sendiri dan kemurkaan-Nya adalah ganjaran siksaan-Nya itu sendiri; tidak berarti bahwa sesuatu dalam diri-Nya terjadi, membuatnya riang dan membalikkan-Nya dari satu kondisi kepada kondisi yang lain karena hal ini merupakan sifat-sifat makhluk yang lemah dan membutuhkan". (2) Masalah-masalah seperti diterimanya taubat para hamba serta dikabulkannya doa-doa mereka juga mengikuti aturan-aturan tetap dan bersifat azali, yakni sebagaimana halnya hukuman bagi para pelanggar bersumber dari suatu hukum Ilahi, penerimaan taubat mereka pun seperti itu; bukan berarti bahwa hamba-hamba yang menyesal dengan tangisan dan berkeluh kesah menimbulkan suatu keadaan baru dalam diri Tuhan dan membuat-Nya jadi pengasih. Menurut ungkapan sebagian ulama: "Tuhan senantiasa mempunyai sifat-sifat sempurna nan indah yang dimilikinya sejak dahulu (primordial)." (3) Sesungguhnya, dengan perubahan yang kita munculkan pada diri kita,
p: 147
kita merasakan kepatutannya untuk terliputi dengan suatu aturan lain di antara aturan-aturan Ilahi.
Salah satu masalah utama dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan ialah apakah secara mendasar Tuhan dapat disebut memiliki sifat atau sifat-sifat? Segolongan dari kalangan pemikir Barat dan Timur secara gamblang menegaskan kemurnian atau kesucian Tuhan dari segala bentuk sifat.
2. Kebanyakan pemikir Muslim dan non-Muslim menyebut sifat-sifat Tuhan sama dengan (diri) zat-Nya. Segolongan lainnya menyebut sifat-sifat-Nya berbeda atau di luar zat-Nya.
3. Sebagian besar orang-orang yang menyebut Tuhan memiliki sifat- sifat, menegaskan mungkinnya mengetahui sifat-sifat ini; dengan mengingatkan bahwa semua orang tidak mempunyai kemampuan yang sama antara satu dengan lainnya dan tak ada seorang pun yang akan mengenalnya (mengetahuinya) sebagaimana Ia layak diketahui.
4. Segolongan filsuf dan teolog menyimpulkan kebanyakan di antara sifat-sifat Tuhan dengan berperantarakan konsep-konsep seperti "wujub-nya wujud", "kesempurnaan mutlak", dan "tiadanya keterhinggaan." Ciri-ciri kesempurnaan makhluk-makhluk dapat pula disebut sebagai tanda atau petunjuk dari sifat-sifat pencipta mereka.
5. Sebagian kaum ateis berbicara tentang kontradiksi internal konsep Tuhan dengan bersandar pada sifat-sifat yang diyakini kaum penyembah Tuhan atau menganggap tak selaras keberadaan Tuhan dengan sifat-sifat seperti itu dengan adanya peristiwa- peristiwa merugikan seperti banjir dan gempa bumi yang secara etimologi dinamakan dengan syurūr (keburukan-keburukan).
"Kekuasaan mutlak" bukanlah suatu konsep yang mengandung kontradiksi internal. Pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah Tuhan mampu melenyapkan diri-
p: 148
Nya?" — dengan alasan mengandung kontradiksi-adalah tak bermakna dan tidak berhak mendapatkan jawaban apa pun.
7. Ilmu Tuhan terhadap partikular-partikular, tidak menyertakan perubahan pada diri-Nya; bahkan pada diri manusia pun pengetahuan atas suatu hakikat yang mengisyarahkan proposisi "Ali sekarang sedang berdiri", tidak berubah setelah ia (Ali) duduk.
8. Keyakinan akan adanya ketidaksesuaian antara "ilmu primordial Tuhan" dan "ikhtiar (kehendak bebas) manusia" telah menggiring segolongan orang pada pengingkaran ikhtiar dan segolongan lainnya pada pembatasan ilmu Tuhan. Hal ini terjadi dalam keadaan di mana sesuatu (objek) yang berkaitan dengan ilmu Tuhan, bukan hanya prinsip pewujudan perbuatan-perbuatan ini, melainkan kewujudan mereka bersama seluruh kekhususan- kekhususannya (seperti keikhtiaran).
9. Ketidakberubahan Tuhan-yang didukung dengan dalil-dalil rasional serta bukti-bukti naqli-tidak disertai dengan konsekuensi negatif dan selaras pula dengan sifat-sifat-Nya yang lain.
1. Menurut pandangan Qadhi Said Qummi, apa yang dimaksudkan Imam Ali tentang penafian sifat-sifat (Kamāl ikhlās lahu Nafiy al- sifāti 'anhu)? Sebutkan pula setidaknya tiga tafsiran lainnya dari ungkapan ini! 2. Dalil (dali-dalil) apakah yang dimiliki orang-orang yang mengklaim bahwa sifat-sifat Tuhan adalah sama dengan zat-Nya (atau zat-Nya itu sendiri)? 3. Dalam masalah hubungan zat dan sifat-sifat Tuhan antara satu dengan lainnya, apakah dua pandangan "pewakilan" dan "kesamaan total ("ainiyah)" dapat dirujukkan kepada yang satu dengan lainnya? Jelaskan! 4. Bagaimana dapat memahami (mengetahui) sifat-sifat Tuhan yang berbeda-beda? 5. Apa perbedaan nama dan sifat Tuhan antara satu dengan lainnya?
p: 149
6. Apa yang dimaksud kesatuan dan keselarasan internal sifat-sifat Ilahi? 7. Apa yang dimaksud dengan "paradoks kekuasaan mutlak" dan bagaimana dapat menyelesaikannya? 8. Jelaskanlah pandangan aliran yang dikenal dengan "teologi proses" tentang kekuatan mutlak Tuhan serta ketiadaan perubahan pada- Nya! 9. Apakah ilmu Tuhan terhadap partikular akan berujung pada perubahan di dalam zat-Nya? Mengapa? 10. Orang-orang yang menyebut Tuhan sebagai tahu secara mutlak dan pada saat yang sama, mengingkari pengetahuan-Nya atas perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia, apa justifikasi yang mereka miliki untuk pandangan ini? Kajilah pandangan ini! 11. Apakah konsekuensi penerimaan taubat para hamba serta terijabahnya doa mereka adalah perubahan pada diri Tuhan? Bagaimana? 12. Secara tertib, pandangan manakah yang diisyarahkan oleh ketiga ungkapan-ungkapan berikut tentang hubungan dzat dan sifat-sifat Tuhan: "Alimun lā bi ilmin", "Alimun bi ilmin", Alimun bi ilmin huwa huwa"? A) Kesamaan total (`ainiyah), pewakilan (niyābah), perbedaan (ziyādah).
B) Pewakilan, perbedaan, kesamaan total.
C) Perbedaan, kesamaan total, pewakilan D) Perbedaan, pewakilan, kesamaan total.
p: 150
BAGIAN 5 POSISI KEBURUKAN DALAM SISTEM PENCIPTAAN(1) Agama-agama Ibrahimi memahami Tuhan sebagai penguasa mutlak, mengetahui secara mutlak dan murni menginginkan kebaikan. Di sisi lain, adanya keburukan-keburukan di alam semesta tak dapat diingkari. Berdasarkan hal ini, apakah pada saat yang sama keempat proposisi-proposisi di bawah ini dapat diterima? 1) Keburukan itu ada (punya eksistensi). 2) Tuhan berkuasa secara mutlak. 3) Tuhan mengetahui secara mutlak. 4) Tuhan menginginkan kebaikan hamba- hamba-Nya.
Setiap tahunnya, peristiwa-peristiwa merugikan dan bencana alam seperti banjir dan gempa bumi menyebabkan sebagian besar orang meninggal dan menjadikan sebagian besar mereka kehilangan tempat tinggal. Sejak awal kemunculan manusia, banyak anak-anak yang lahir dengan tubuh cacat, penyakit dan kelaparan membenamkan banyak orang ke dalam kubangan penderitaan yang berketerusan.
Sepanjang sejarah, sebagian manusia sedikit pun tak pernah lalai dari perbuatan aniaya (penindasan) atas sesamanya dan untuk sampai kepada keinginan-keinginan rendahnya, mereka membelah perut- perut dan memisahkan kepala-kepala. Apakah Tuhan tidak mampu menciptakan suatu alam yang terlepas dari keburukan-keburukan ini?
p: 151
Apakah Tuhan tidak mengetahui musibah-musibah ini serta tidak tahu cara atau jalan untuk mencegahnya? Apakah Tuhan tidak menghendaki kebaikan makhluk-makhluk-Nya.(1) Menurut David Hume (1711–1776 M) semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang setidaknya sejak zaman Epicure (341—270 SM) telah mengemuka dan senantiasa tetap tinggal tak terjawab.(2) Setelah pembuktian wujud Tuhan dan dalam mempertahankan atau membela keadilan Ilahi, para pemikir Muslim melakukan pemetaan atas masalah keburukan-keburukan serta menjawab pelbagai keraguan tentangnya. Dari ayat-ayat al-Quran juga dapat dipahami seperti ini bahwa prinsip dasar penciptaan manusia memiliki kemaslahatan-kemaslahatan yang menjustifikasi keburukan-keburukan yang bersumber dari ikhtiar buruk sebagian manusia.(3) Di antara kalangan pemikir Kristen, Irenaeus (140–202 M) dapat disebut sebagai orang yang pertama kali-dengan berpegang pada keberikhtiaran manusia-melakukan upaya rasionalisasi atau justifikasi terhadap keburukan-keburukan.(4) Salah satu dari kitab-kitab perjanjian lama pada dasarnya terkhususkan pula untuk permasalahan ini serta untuk mengkaji atau meneliti lebih jauh alasan dari pada musibah-musibah yang menimpa Nabi Ayyub.(5) Hari ini, persoalan ini bukan hanya sekedar menjadi permasalahan bagi sifat-sifat Tuhan, tetapi bahkan termasuk sebagai "tempat berlindung bagi ateisme" dan merupakan dalil terpenting dalam menentang keberadaan Tuhan.(6) Bahkan, sebagian kaum ateis
p: 152
menyebut keberadaan Tuhan agama-agama Ibrahimi bertentangan secara logis dengan adanya keburukan-keburukan; sebagaimana John Makcy (1917–1981 M) dalam sebuah makalah terkenal "Keburukan dan Kekuasaan Mutlak" — dalam menjelaskan apa yang saat ini disebut dengan "permasalahan logis keburukan"-mengatakan: Untuk menunjukkan kontradiksi di antara dua proposisi "Tuhan ada" dan “keburukan ada" kita perlu menggunakan sebagian dari premis-premis pembantu (extension) terkait dengan kata-kata "kebaikan", "keburukan", dan "berkuasa mutlak." Prinsip-prinsip ekstensi ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kebaikan bertentangan dengan keburukan; sedemikian rupa sehingga wujud yang menginginkan kebaikan sedapat mungkin senantiasa menghilangkan keburukan.
2. Sesuatu yang dapat dilakukan wujud yang berkuasa mutlak sama sekali tak terbatas.
Konklusi premis-premis tersebut adalah bahwa entitas yang berkeinginan baik dan berkuasa mutlak menyebabkan keburukan tercabut secara menyeluruh. Oleh karena itu, kedua proposisi di bawah ini tidak selaras antara satu dengan lainnya:
"Wujud yang berkeinginan baik dan berkuasa mutlak ada" dan "keburukan ada". (1)
Mayoritas para penganut agama-agama Ilahi berupaya menyiapkan suatu justifikasi untuk terealisasinya keburukan-keburukan tanpa mengingkari keempat proposisi-proposisi yang telah disebutkan.
Meskipun demikian, dapat pula ditemukan orang-orang yang mengingkari masing-masing dari keempat proposisi-proposisi tersebut.
p: 153
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Tidak Melihat Sesuatu Selain Kebaikan pada Alam Segolongan dari kalangan orang-orang yang bertauhid berkeyakinan bahwa jika kita memandang alam dari sudut pandang ketuhanan, kita tidak akan melihat sesuatu di dalamnya selain kebaikan(1) sebagaimana Zainab pasca peristiwa Karbala, dalam menjawab pertanyaan "Bagaimana engkau melihat perlakuan Tuhan terhadap saudara dan keluargamu?" Dengan tangkas Zainab menjawab, "mā ra'āytu illā jamīla, tak kulihat sesuatu selain keindahan (dan kebaikan)." (2) Dinukil dari sebagian filsuf Yunani bahwa "Ketika sesuatu dipandang dari sudut pandang keabadian dan kekekalan (sarmadiyyah), maka keburukan benar-benar tiada."(3) Hafiz dengan pandangan ini pula, melantunkannya seperti ini:
"Tua kita berkata, kesalahan atas pena penciptaan belumlah pergi"— "hebat! bagi pandangan suci penutup kesalahan" Menurut Anda dengan pandangan seperti ini terhadap alam semesta, apakah kita tetap dapat (atau mesti) berbicara tentang sebuah masalah yang bernama "keburukan?" Sebagian agama dan aliran Ibrahimi serta non-Ibrahimi menyebut keburukan tidak lebih dari sebuah fantasi dan khayalan belaka. (4) Golongan lainnya, guna mengingkari eksistensi keburukan,
p: 154
menonjolkan kekurangan daya persepsi manusia(1) dan kadang-kadang menampakkan keputusan-keputusan penilaiannya sebagai penilaian yang tidak valid dan mereka menekankan poin bahwa "jalan-jalan Tuhan lebih baik dari jalan-jalan kita". (2) Dari sisi lain, segolongan orang yang percaya dengan Tuhan, guna menyelesaikan masalah keburukan memperbarui pandangan mereka terhadap sebagian sifat-sifat Tuhan dan kali ini mereka menyatakan pandangan tradisional agama-agama Ilahi sebagai pandangan yang tidak benar. Sebelumnya telah kita ketahui upaya yang dilakukan para teolog guna membatasi kekuasaan Ilahi. (3) John Stuart Mill (1806–1873 M) dengan motivasi ini pula mengingkari ilmu dan kekuasaan mutlak Tuhan. (4) William James (1842–1910 M) juga menyebutkan bahwa anggapan atas keterbatasan ilmu dan kekuasaan Tuhan merupakan satu-satunya jalan penyelesaian masalah keburukan.(5) Begitu pula, menurut Ibn Maimun, salah satu motivasi utama orang-orang yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular adalah untuk menjustifikasi keburukan-keburukan yang telah terjadi pada alam semesta. (6) Di samping itu, di antara orang-orang yang memercayai Tuhan terdapat pula orang-orang yang-dengan memperbarui pandangan mereka pada sifat ketiga dari ketiga sifat-sifat tersebut, menyatakan bahwa "keinginan baik Tuhan sesungguhnya hanya ada
p: 155
pada perbuatan awal penciptaan" bukan dalam "kasih sayang seorang ayah yang berkelanjutan". (1) Dengan mendukung pandangan ini, harga yang mesti dibayar guna menjustifikasi keburukan-keburukan ialah bahwa kita harus menyebut Tuhan seperti layaknya seorang arsitek dan pembuat jam di mana sesudah membuat produk-produknya, Dia tidak lagi turut campur dengan produknya.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pencipta Kebaikan-Kebaikan dan Keburukan- Keburukan Para penganut ajaran Zoroaster, membedakan pencipta kebaikan-kebaikan dari pencipta keburukan- keburukan.(2) Menurut penulis buku "Tārikh-e Jāme' Adyān" [Sejarah Lengkap Agama-Agama), tidak begitu jelas apakah pencipta keburukan-keburukan (Ahriman) adalah makhluk dari pencipta kebaikan-kebaikan (Ahuramazda) atau ia sendiri merupakan suatu wujud yang kekal dan abadi :
"Nas-nas dari kitab-kitab Zoroaster tentang batasan tanggung jawab Ahuramazda dalam masalah pewujudan ruh buruk sangat abstrak dan tidak jelas. Tidak diketahui pula bahwa Ahriman (yakni jiwa kotor) sejak dahulu telah mewujud bersama dengan Ahuramazda, ataukah Ahuramazda yang menciptakannya kemudian. Dengan kata lain, apakah ahuramazda menciptakan jiwa tidak suci Ahriman atau Ahriman dulunya merupakan suatu wujud kotor dan Mazda yang menemukannya?"(3)
p: 156
Ia di tempat lain menambahkan: "Jika dia merupakan pencipta hakiki seluruh keburukan-keburukan, maka semestinya ia pun harus memiliki kekekalan (primordialitas) sebagaimana Tuhan Yang Mahatinggi.
Jika tidak, konsekuensinya kita akan mengatakan bahwa penciptaan keburukan dan kejelekan adalah di tangan Tuhan kebaikan."(1) Ibn Hazm Andalusia (384—456 Hq.) dalam menjawab pertanyaan tersebut menunjuk kepada dua pandangan, di mana berdasarkan salah satu di antaranya, Ahriman merupakan wujud yang baru (hādits) dan berdasarkan pandangan lainnya, merupakan wujud primordial (gadīm). Pandangan pertama adalah bahwa karena kesendirian Tuhan terlampau lama, ia lalu menjadi takut dan disebabkan itu timbul suatu pikiran tidak benar.
Pikiran ini berubah menjadi kegelapan serta berujung pada kemunculan Ahriman. Karena Tuhan tidak mampu menjauhkan kelahiran yang tak dikehendaki ini (Ahriman) dari dirinya, maka ia mengarah pada penciptaan kebaikan-kebaikan dan Ahriman menciptakan keburukan- keburukan.
Ibn Hazm menyebut pandangan ini tidak berdasar dan menyatakan perkataan-perkataan Majusi bertumpu pada kepercayaan terhadap lima keberadaan primordial: "Tuhan (Uruman), Iblis (Ahriman), waktu (kām)[ghāh), tempat(jam) [jae], hayula (substansi, fitrat) kemudian mengatakan:
"Ahriman adalah pencipta keburukan-keburukan dan Uruman adalah pencipta kebaikan-kebaikan."(2) Menurut Anda, apakah kepercayaan kepada dualitas (dengan tafsiran yang telah disebutkan) dapat disebut sebagai suatu jalan untuk melepaskan diri dari permasalahan keburukan-keburukan?
p: 157
Mayoritas para penganut agama-agama Ilahi-tanpa menarik diri dari pendapat-pendapat mereka tentang Tuhan beserta sifat- sifat-Nya,melakukan justifikasi terhadap keburukan-keburukan dan menampakkannya sebagai selaras dengan sifat-sifat transendental Tuhan.(1) Sekumpulan jawaban-jawaban variatif atas masalah keburukan-dengan memperhatikan ruang lingkup dan batasan masing- masing jawaban-dapat disusun dan menyiapkan sebuah penjelasan lengkap tentang keadilan Ilahi. Berikut ini, kami akan menyebutkan yang terpenting di antara jawaban-jawaban yang disodorkan dalam masalah ini.
Kebanyakan ulama dan pemikir Timur dan Barat menyebut keburukan sebagai sesuatu yang tiada(2) serta tidak memerlukan sebab. Sebagai contoh, masing-masing dari kondisi miskin, sakit dan mati mengasumsikan sejenis ketiadaan (tiadanya harta, tiadanya sehat, tiadanya hidup) dan selain dari "tiadanya sebab" bagi hal- hal yang ada itu, tak ada sebab yang lain. Untuk menjelaskan klaim ini-yang tergolong aksiomatis-beberapa argumen juga telah dikemukakan.(3) Peruntukan utama pandangan ini di mana filsuf seperti Mir Damad menisbahkannya kepada Plato (427–348 S.M.)-
p: 158
adalah guna menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: "Siapakah yang mengadakan keburukan-keburukan?" dan "Bagaimanakah keburukan- keburukan tercipta dari keberadaan yang merupakan kebaikan murni?" Pandangan ini, dengan menyebut keburukan sebagai ketiadaan (non- existent), akan memperlihatkan secara baik ketidakbenaran pandangan dualisme karena berdasarkan pandangan ini, keburukan-keburukan pada dasarnya tidak memerlukan pencipta sehingga kita menyebut pencipta mereka berbeda dengan pencipta kebaikan-kebaikan.(1) Wa al-syarru a damun, fakam qad dalla man Yaqūlu bi al-yazdan tsumma al-ahriman(2) Meskipun demikian, segolongan filsuf dan teolog-kadang-kadang dengan berpegang pada dua premis di bawah ini-menegaskan poin bahwa sebagian dari keburukan-keburukan tidak bisa disebut sebagai hal-hal yang tiada:
a. Sakit adalah suatu jenis persepsi.
b. Setiap persepsi adalah sesuatu hal yang sifatnya ada. (3) Dengan kata lain, lezat dan sakit keduanya berimplikasi pada "penemuan" sesuatu dan merupakan suatu jenis persepsi; yang satu merupakan persepsi atas sesuatu yang kita terima (hal yang cocok [mulāyim]) dan satu lainnya merupakan persepsi sesuatu yang kita tidak terima (hal yang tak cocok [munāfir), kesimpulannya ialah sebagian dari keburukan-keburukan bisa didapati bukan sebagai hal-hal yang tiada. Sebagai contoh, terpotongnya organ dapat disebut sebagai hal tiada (tiadanya ketersambungan di antara organ-organ), tetapi sakit bersumber dari sesuatu hal yang eksis. Oleh karena itu, pada contoh ini kita berhadapan dengan dua keburukan di mana satu di antaranya merupakan keberadaan dan satu lainnya adalah ketiadaan. Tentu saja,
p: 159
masing-masing dari kedua hal ini apabila sebelumnya tidak bersama dengan yang lain, tetap saja keburukannya tidak akan berkurang (1) Mulla Shadra telah mengemukakan sebuah jawaban atas objeksi dan kritikan ini sedemikian sehingga Mulla Hadi Sabzewari sendiri belum merasa puas dengan jawaban tersebut dan dengan jalan lain-yang diambil dari karya-karya para filsuf sebelumnya (2)—ia menyelesaikan sendiri kritikan tersebut.(3)Menurut Hakim Sabzewari, rasa sakit walaupun bukan keinginan manusia; secara esensial adalah baik karena setiap keberadaan, cocok atau sesuai dengan esensi dirinya; sebagaimana kelayakan substansial bisa ular dan api adalah membinasakan dan membakar. Meski demikian, keberadaan yang cocok dengan esensi dirinya serta baik secara substansial itu sendiri, dapat pula menjadi tidak cocok dengan tabiat atau watak manusia dan secara aksiden terhitung sebagai keburukan. (4) Berdasarkan ini, kaidah universal ini tetap berlaku bahwa "Segala sesuatu yang secara esensial buruk adalah sesuatu yang bersifat tiada."(5) Bagaimanapun, menyebut keburukan sebagai ketiadaan-tanpa mengindahkan keberatan yang telah disebutkan-belum mampu menuntaskan secara menyeluruh permasalahan keburukan dalam pembahasan yang ada sekarang ini karena pertanyaan ini masih tetap dapat diajukan bahwa mengapa Tuhan tidak memenuhi kekosongan yang terjadi pada alam dengan hal-hal yang bersifat ada? atau dengan perumpamaan yang lebih jelas: "Mengapa tempat "ketiadaan" ini tidak diambil oleh "keberadaan"(6) Jawaban-jawaban selanjutnya atas permasalahan keburukan dapat disebut sebagai sebuah upaya atau langkah-langkah dalam menyempurnakan langkah awal ini.
p: 160
Jawaban kedua atas permasalahan keburukan ialah bahwa keburukan adalah sesuatu yang bersifat relatif dan komparatif.(1) Tak ada satu pun fenomena yang dapat ditemukan di alam semesta yang ia merupakan keburukan substansial dan tanpa kebaikan-kebaikan sedikit pun. Sebagai contoh, sengatan ular dan kalajengking merupakan sebuah alat atau instrumen yang digunakan binatang-binatang ini untuk menghadapi musuh-musuhnya; dari segi ini, tak ada sesuatu selain kebaikan dan kesempurnaan. Kendatipun demikian, instrumen pertahanan ini sendiri mungkin saja menyebabkan kematian bagi yang lain dan secara aksiden (bil aradh) termasuk keburukan. Sebagaimana ungkapan Rumi (604—672 H):
Pas bad mutlaq nabāsyad dar jahān Bad be nisbat bāsyad in rā ham bedān Zahr Mār ān Mār ra bāsyad hayāt Nisbatasy bā Adami bāsyad mamat (Maka tak ada keburukan mutlak pada alam Buruk adalah dinisbahkan pada ini juga pada itu Bisa bagi ular adalah kehidupan Dinisbahkan dengan manusia adalah kematian|(2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Menjadikan Manusia Tolok Ukur dalam Menganggap Buruk Fenomena-Fenomena Manusia menyebut dirinya sebagai tolok ukur seluruh alam dan segala sesuatu yang tidak cocok dengan keinginannya, dianggapnya sebagai keburukan. Syekh Isyraq (548–587 H) dengan mengisyaratkan cara pandang ini mengatakan: "Seorang berbicara panjang lebar tentang kebaikan dan keburukan karena mengira gerakan-gerakan
p: 161
bintang adalah demi kemaslahatan manusia atau demi kesenangan Zaid dan Amr."(1) Kemudian menambahkan: "Wujud, tidak bisa lebih lengkap dan lebih sempurna dari pada apa yang telah ada." Filsuf Yahudi, Baruch Spinoza (1632-1677 M) tentang hal ini menulis: "Setelah manusia memuaskan dirinya bahwa segala sesuatu terwujud karena dirinya, mau tak mau ia harus menyebutkan sesuatu yang terpenting di antara segala sesuatu di mana hal itu paling menguntungkan baginya; ... dengan demikian, ia terpaksa membuat suatu konsep-konsep yang dengannya ia menjelaskan alam, misalnya konsep-konsep kebaikan dan keburukan. ...
manusia berpikir seperti ini bahwa segala sesuatu murni tercipta untuk mereka dan menamakan watak atau tabiat sesuatu berdasarkan efek yang ada pada mereka sebagai baik, buruk, sehat, busuk, atau cacat."(2) Menurut Anda, jika dengan bersandar kepada doktrin- doktrin agama, kita menyebut manusia sebagai makhluk termulia dan merupakan tujuan hakiki penciptaan, apakah kita tetap dapat menyebut anggapan buruk terhadap fenomena-fenomena bersumber dari keangkuhan dan egoisme manusia? Relativitas keburukan-yang kadang digunakan pula untuk menjelaskan ketiadaannya-merupakan jawaban tersendiri yang seharusnya tidak bercampur dengan jawaban pertama. Oleh karena itu, jika semua atau sebagian dari keburukan-keburukan merupakan hal-hal yang bersifat ada sekalipun, kerelatifan mereka dapat menjadi justifikasi bagi alasan keberadaan mereka. Walaupun demikian, di sini pun pertanyaan ini masih belum terjawab
p: 162
bahwa mengapa Tuhan tidak menciptakan suatu alam di mana pemberian kebaikan kepada suatu wujud tidak diikuti dengan timbulnya keburukan bagi wujud-wujud lainnya? Jalan penyelesaian ketiga permasalahan keburukan akan menjawab pertanyaan ini.
Salah satu jawaban orisinal atas masalah keburukan adalah bahwa untuk menghindar dari keburukan (kecil) tak berarti tidak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak; sebagaimana seluruh orang-orang berakal di alam ini rela memotong satu organ di antara organ-organ tubuhnya, demi mendapatkan kesehatan bagian-bagian tubuh yang lebih banyak.(1) Jawaban ini bertumpu atas premis-premis di bawah ini:
1. Di alam materiel, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan tidak terpisah antara satu dengan lainnya; 2. Kebaikan-kebaikan alam materiel lebih banyak dibanding keburukan-keburukannya;(2) 3. Untuk menjauh dari keburukan-keburukan sedikit (kecil) tak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak.
Penjelasan lebih jauh tentang dua premis terakhir akan kami mulai dengan suatu klasifikasi yang disandarkan kepada Aristoteles.
Berdasarkan klasifikasi ini, alam-alam kontingen(3) (mumkināt)- dari segi jumlah atau ukuran kebaikan-kebaikan dan keburukan- keburukan yang ada di dalamnya-terbagi ke dalam lima bagian yang dapat disebutkan dengan penamaan berikut ini: Kebaikan murni, keburukan murni, kebaikan dominan, keburukan dominan, kebaikan dan keburukan sama banyak. Hal yang tidak sesuai dengan sifat-sifat transenden Tuhan ialah penciptaan tiga alam dari lima alam yang telah disebutkan, yaitu sesuatu yang hanya meliputi keburukan (keburukan murni); suatu alam di mana keburukan-keburukannya melebihi
p: 163
kebaikan-kebaikannya (keburukan dominan); dan suatu alam di mana kebaikan dan keburukannya sama banyak. Tuhan tidak akan pernah menciptakan ketiga alam ini, tetapi tak bisa meninggalkan penciptaan kedua alam lainnya. Menurut penjelasan sekelompok pemikir, "Tidak terciptanya kebaikan dominan demi menghindari keburukan sedikit, ia sendiri adalah keburukan dominan." (1) Berdasarkan hal itu, mayoritas orang-orang yang percaya Tuhan menyebut alam materiel sebagai objek dari suatu alam di mana kebaikan-kebaikannya lebih dominan dari keburukan-keburuka (kebaikan dominan) dan banyak di antara para pemikir mengatakan bahwa alam nonmateri merupakan perwujudan dari suatu alam di mana tak dapat ditemukan sesuatu di dalamnya kecuali kebaikan (kebaikan murni). (2) Poin yang patut menjadi perhatian adalah bahwa dari sebutan- sebutan seperti "sedikit" dan "banyak" dalam premis-premis argumen ini tampak bahwa seolah yang menjadi perhatian hanyalah perbandingan "kuantitatif" antara kebaikan-kebaikan dan keburukan- keburukan. Bagaimanapun juga, sebagian dari kalangan pemikir secara gamblang berbicara tentang komparasi "kualitatif" dan mengemukakan pernyataan-pernyataan dengan makna seperti: "Dengan asumsi bahwa ukuran keburukan-keburukan alam melebihi kebaikan-kebaikannya, kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial manusia-manusia sempurna lebih unggul atau lebih baik dari seluruh keburukan-keburukan alam.(3) Sebenarnya, apakah untuk tidak terciptanya orang-orang seperti Hitler,
p: 164
Tuhan mesti menahan diri dari penciptaan Confucius dan Musa serta jutaan manusia-manusia yang unggul lainnya!(1) Sekarang mari membahas premis pertama. Untuk menjelaskan premis ini, pertama-tama kami harus menunjukkan jenis-jenis keburukan. Keburukan memilki klasifikasi yang beragam, (2) di mana salah satu di antaranya yang paling orisinal ialah klasifikasi keburukan kepada natural dan moral (etis). (3) Maksud dari keburukan-keburukan natural ialah peristiwa- peristiwa mengerikan (seperti penyakit dan gempa bumi) yang- setidaknya dalam suatu pandangan yang sifatnya dangkal dan sepintas-tidak berakar dari perbuatan-perbuatan bebas (ikhtiar) manusia. Keburukan-keburukan moral atau etis disebut pula dengan suatu intoleransi atau ketidaknyamanan yang muncul akibat perbuatan zalim dan aniaya manusia kepada dirinya atau kepada orang lain.
Untuk menjelaskan ketidakterpisahan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan di alam materiel, masing-masing dari kedua jenis yang telah disebutkan harus dikaji secara terpisah.
Keburukan-Keburukan Natural Adalah Kemestian Alam Natural Alam natural adalah alam paradakos dan saling mengganggu.
Serigala lapar, untuk mengenyangkan perutnya, memangsa binatang- binatang lainnya. Di tanah kering, ilalang dan pepohonan tidak tumbuh dan kemarau menjadikan hewan-hewan di ambang kepunahan.
Berbagai faktor-yang kebanyakan bersumber dari pengaturan buruk
p: 165
manusia-mengubah hujan rahmat Tuhan menjadi banjir yang menenggelamkan rumah-rumah dan seterusnya ..., alam yang tidak memilki "paradoks" seperti ini, bukanlah alam materiel.
Dari sisi lain, manusia mampu mengetahui aturan-aturan yang berlaku di alam ini dan hingga batas tertentu mampu mengamankan diri dari bencana atau kerugian-kerugiannya. Bagaimanapun, entah Tuhan harus melewatkan penciptaan alam materi atau keburukan sedikit Dia mengompensasi dengan kebaikan yang banyak. Sebagaimana yang telah lalu, para muwahhid (orang-orang bertauhid) berkeyakinan bahwa yang selaras atau sesuai dengan hikmah Tuhan ialah pilihan kondisi kedua.
Dengan kata lain, jika alam kita lihat sebagai satu "keseluruhan" kita tidak akan menemukan satu pun keburukan di dalamnya.(1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Paling Baiknya Alam Kontingen (Mumkin) Kebanyakan orang yang memercayai Tuhan, bukan hanya menyebut alam ini sebagai alam yang baik, melainkan dengan suatu pandangan primordial serta argumen limmi (causal demonstration) menyebutnya sebagai "sistem terbaik" dan "paling baiknya alam kontingen."(2) Bahkan ulama seperti al-Ghazali-sebagaimana orang- orang Asy'ariah lainnya yang menyebut Tuhan tidak perlu
p: 166
menghiraukan yang terbaik(1)—terkadang berlawanan dengan prinsip mazhabnya sendiri, dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan di mana ringkasannya hari ini muncul dalam bentuk sebuah kaidah terkenal: "Laysa fil imkān abda`u mimma kāna" (lebih baik dari apa yang ada, tidak bisa ada). Ia tentang hal ini dalam kitab kimia-e saadat menulis: "Segala apa yang dicipta-Nya, sedemikian la ciptakan di mana tidak ada yang lebih baik dan lebih bagus darinya...dan jika lebih sempurna dari ini memungkinkan lalu tidak diciptakan-Nya, entah karena ketidakmampuan atau kekikiran dan keduanya bagi Dia adalah mustahil." (2) Di antara pemikir-pemikir Barat, Leibnitz (1646–1716 M) adalah tokoh paling terkenal di mana dengan penegasan berkali-kali menyebut alam sekarang sebagai paling baiknya alam mumkin. (3) Menurut Anda, apakah untuk menyelesaikan permasalahan keburukan-keburukan adalah cukup dengan kita membuktikan "kebaikan" alam ini? ataukah seharusnya kita mesti menjelaskan "keterbaikannya"? Keburukan Moral Merupakan kemestian Ikhtiar Manusia Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan memilki ikhtiar dan dengan ciri kesempurnaan ini, ia dijadikan lebih unggul dari makhluk- makhluk lainnya. Dari sisi lain, kemestian terealisasinya kehendak bebas atau ikhtiar adalah bahwa manusia mampu memilih salah satu di antara jalan-jalan yang ada di hadapannya. Tentu sangat jelas bahwa pilihan bebas ini dapat berakhir kepada penginjak-injakan hak-hak yang lain serta penindasan dan penganiayaan terhadap mereka. Kebanyakan pemikir-sejak pertama kali masalah keburukan mengemuka-dalam
p: 167
menghadapi pernyataan-pernyataan semacam ini memberikan suatu jalan penyelesaian, sebagaimana Augustine mengatakan, "Seekor kuda bandel atau pembangkang lebih baik dari sebongkah batu yang tidak membangkang karena tidak memiliki persepsi (1) dan dorongan atau rangsangan dari dirinya sendiri." Berdasarkan analogi ini pula, makhluk yang berbuat dosa atas dasar ikhtiar, boleh jadi lebih tinggi dari entitas yang tidak berdaya melakukan dosa disebabkan tidak memiliki kebebasan dan ikhtiar. "(2) Dalam beberapa dekade terakhir, jalan keluar ini menimbulkan perdebatan atau dialog yang lebih sering di antara pemikir Barat.
Kalangan ateis seperti John Mackie dan Antony Flew (3) (1923 M) mengetengahkan pertanyaan kritis bahwa apakah Tuhan tidak mampu menciptakan suatu alam di mana makhluk-makhluk yang mempunyai ikhtiar di dalamnya senantiasa memilih jalan kebaikan dengan ikhtiarnya sendiri?(4) Dengan penjelasan lain, di sini banyak alam-alam kontingen (mumkin) lainnya yang dapat dibayangkan, di antaranya:
suatu alam di mana seluruh makhluk di dalamnya terpaksa (tanpa ikhtiar); suatu alam di mana mayoritas makhluk di dalamnya secara bebas menempuh jalan yang salah; suatu alam di mana di dalamnya, pilihan kebaikan lebih dominan dari pada pilihan keburukan dan suatu alam di mana seluruh makhluk-makhluk yang mempunyai kehendak bebas (ikhtiar) di dalamnya dengan selalu memilih jalan kebaikan dengan ikhtiarnya sendiri. (5) Pertanyaan orang-orang ateis adalah apakah Tuhan tidak mampu menciptakan alam [sebagaimana yang disebut] terakhir ini? Sebagian pemikir memberikan jawaban negatif terhadap pertanyaan ini.
p: 168
Menurut salah seorang di antara mereka, hal itu bukan hanya mustahil secara logis, bahkan kebanyakan dari alam-alam kontingen (mumkin) pun berada di luar wilayah kekuasaan Tuhan. (1) Suatu alam yang di dalamnya seluruh individu senantiasa dengan kehendak bebas berada di jalan kebaikan, tak diragukan lagi adalah "mumkin", tetapi penciptaan kondisi hal-hal seperti ini bukan di tangan kekuasaan Tuhan. Dalam kenyataannya, makhluk-makhluk berikhtiar dari alam seperti ini membantu terwujudnya alam tersebut dengan pilihan-pilihannya yang bersifat bebas. (2) Jawaban ini menurut hemat kami tidak benar. Sebagaimana yang telah lalu, segala perbuatan yang bisa terjadi, Tuhan mampu melakukannya; walaupun demikian, kemestian atau bahkan perkiraan kewujudannya tidak dapat disimpulkan dari adanya kuasa atas suatu perbuatan (pekerjaan). Kehendak Tuhan didasari dengan hikmah dan mengikuti adanya kemaslahatan. Boleh jadi, alam tanpa keburukan- keburukan tidak dapat mengantarkan manusia kepada kesempurnaan- kesempurnaan yang terbayangkan baginya. Poin ini adalah yang akan dibahas dalam jalan penyelesaian keempat permasalahan keburukan.
Selain jalan-jalan penyelesaian yang telah lalu, terdapat beberapa faedah atau kegunaan bagi keburukan-keburukan, di antaranya adalah bahwa konsepsi terhadap keindahan-keindahan alam tidak memungkinkan kecuali dengan mengomparasikan hal tersebut dengan keburukan-keburukan: "Jika semua orang tampan atau cantik, sesungguhnya tak satu pun di antara mereka yang tampan atau cantik" (3) Begitu pula keburukan dapat disebut sebagai sebuah instrumen bagi kesempurnaan manusia. (4) Seorang teolog Kristen yang bernama
p: 169
Santo Irenaeus dalam menyelesaikan permasalahan keburukan sangat menekankan poin ini. John Hick-termasuk sebagai pembela pandangan ini-dalam kaitannya dengan hal ini mengatakan, "Berdasarkan teori keadilan Tuhan Santo Irenaeus, Tuhan tidak bermaksud membuat surga dunia sedemikian sehingga orang-orang yang tinggal di dalamnya semaksimal mungkin menikmati kelezatan dan sesedikit mungkin menahan penderitaan. Namun, alam adalah tempat "menempa atau mendidik ruh" atau membangun manusia sehingga makhluk-makhluk yang mempunyai ikhtiar di dalamnya berubah menjadi "anak-anak Tuhan" dan "pewaris-pewaris kehidupan abadi" dalam berhadapan dengan tugas-tugas atau tanggung jawab serta tantangan-tantangan yang berhubungan dengan kehidupan dalam suatu lingkungan yang sama."(1) Doktrin-doktrin Islam juga menyebut peristiwa-peristiwa mengerikan sebagai sebuah instrumen bagi penyempurnaan manusia dan kesabaran dalam menghadapinya adalah prakondisi atas balasan- balasan ukhrawi, sebagaimana dikatakan:
Har keh dar in bazm muqarrabtar ast Jāme balā bistarasy midahand (Siapapun yang lebih dekat dalam perjamuan ini Akan diberikan baginya piala petaka yang lebih banyak) Syair ini diambil dari makna-makna yang terkandung dalam suatu riwayat-riwayat yang isinya disebutkan seperti ini: "Inna asyadda al-nāsi balā`an al-anbiya, tsumma alladzina yalūnahum, tsumma al-amt sāluh fa al-amtsāluh" (Sesungguhnya manusia yang paling keras cobaannya (bala - nya) adalah para nabi, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang sepertinya, lalu yang sepertinya). Dan "man shahha imānuhu wa hasuna ilmuhu, isytadda balāuhu" (Siapa yang sehat imannya dan baik ilmunya, cobaannya akan bertambah). (2)
p: 170
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keburukan, Suatu Hukuman bagi Para Pendosa Al-Qur`an menyebut peristiwa-peristiwa mengerikan individu dan masyarakat berkaitan langsung dengan dosa-dosa manusia. (1) Sebagai contoh, disebutkan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia" (QS Al-Rūm [30]: 41) begitu pula: "Dan apa saja musibah yang menimpa kalian, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri." (QS Al-Syūrā [42]: 30). Makna-makna ini pun banyak terdapat dalam riwayat-riwayat. Sebagaimana Maulawi (Rumi) dengan mengisyaratkan sebagian darinya, melantunkannya seperti ini: "Abr bar nayad pey man zakāt-wāze zena uftād wabā andar jahat (Orang yang menolak untuk membayar zakat, tidak akan terselimuti awan—dan perbuatan zina akan menularkan wabah)."(2) Demikian pula, menurut perkataan-perkataan para maksum, urusan-urusan seperti; kehilangan rezeki(3) dan secara umum nikmat-nikmat Ilahi, (4) terjauhkan dari ibadah-ibadah seperti salat malam,(5) terjangkiti dengan
p: 171
berbagai penyakit,(1) merupakan konsekuensi dosa-dosa manusia.
Berdasarkan kitab perjanjian lama, sebagian di antara orang-orang yang sezaman dengan Nabi Ayyub menganalisi pula masalah-masalah atau kendala-kendala mereka seperti ini: "Coba pikirkan dan lihatlah apakah hingga sekarang engkau melihat manusia yang benar dan tanpa dosa binasa? ... mereka yang kembali kepada Tuhan sepertinya sangat langka, tetapi bala' akan turun secara mendadak kepada mereka ... berbahagialah seseorang di mana Tuhan menghukumnya. Maka ketika Dia menghukummu, janganlah sedih".(2) Kalangan pemikir Muslim-dalam menjelaskan pandangan yang telah disebutkan-berkeyakinan bahwa percaya kepada adanya efek yang diberikan oleh faktor- faktor spiritual tidak bermakna pengingkaran atas sebab-sebab materiel dari kejadian-kejadian yang telah disebutkan karena salah satu dari kedua sebab ini berada dalam rentangan sebab lainnya.(3) Dari sisi lain, sebagian di antara penulis menyebut justifikasi keburukan-keburukan dengan jalan ini tidak benar dan dalam mengkritiknya berkata seperti ini: "Teori hukuman ini ... bagaimana bisa menjustifikasi suatu keburukan-keburukan yang sepertinya benar-benar nihil dan bombastis (semisal matinya bayi tak berdosa atau musibah kematian seluruh penduduk desa)?"(4) Tentang keberatan atau permasalahan ini, diskusikanlah antara satu dengan lainnya.
p: 172
1. Klaim segolongan kaum ateis ialah bahwa dengan alasan adanya keburukan, keberadaan Tuhan (yang menurut kaum beriman, memiliki tiga sifat: ilmu mutlak, kekuasaan mutlak, dan keinginan baik mutlak) tidak dapat diterima. Sebagian kalangan kaum religius (yang percaya Tuhan) dalam merespon kritikan ini, mengingkari satu atau beberapa sifat yang telah disebutkan, tetapi sebagian besar mereka tanpa berlepas tangan dari kepercayaan- kepercayaan ini, menyiapkan suatu justifikasi (rasionalisasi) bagi keburukan-keburukan.
2. Kebanyakan pemikir Timur dan Barat menyebut keburukan sebagai suatu hal yang tiada dan menyebutnya tidak perlu kepada sebab. Ketiadaan keburukan, akan menampakkan ketidakbenaran pandangan dualisme. Namun, pertanyaan ini tetap berlaku bahwa mengapa Tuhan tidak memenuhi kekosongan-kekosongan yang terjadi pada alam dengan hal-hal yang bersifat keberadaan? Jawaban-jawaban selanjutnya terhadap masalah keburukan bisa disebut sebagai langkah-langkah dalam menyempurnakan langkah pertama ini.
3. Jawaban kedua atas masalah keburukan-keburukan ialah bahwa keburukan (ketiadaan atau keberadaan) merupakan sesuatu yang bersifat relatif dan komparatif. Tak satu pun fenomena yang dapat ditemui pada alam yang merupakan keburukan esensial serta kosong dari seluruh kebaikan-kebaikan. Walaupun demikian, di sini pun terdapat pertanyaan yang belum terjawab: Mengapa Tuhan tidak menciptakan suatu alam di mana pemberian kebaikan kepada suatu wujud tidak diikuti dengan timbulnya keburukan bagi wujud-wujud lainnya? Jalan penyelesaian ketiga permasalahan keburukan akan menjawab pertanyaan ini.
4. Jawaban ketiga permasalahan keburukan bertumpu pada premis- premis di bawah ini: A) Di alam materiel, kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan tidak terpisah antara satu dengan lainnya; B) Kebaikan-kebaikan alam materiel lebih banyak dibanding keburukan-keburukannya; C) Untuk menjauh dari keburukan
p: 173
keburukan sedikit (kecil) tak semestinya meninggalkan kebaikan yang banyak.
5. Alam natural adalah alam pertentangan dan paradoks.
Alam yang tidak memiliki "kesalinggangguan" ini, bukanlah alam materiel. Entah, Tuhan harus melewatkan penciptaan alam materi; ataukah keburukan sedikit la tebuskan bagi kebaikan yang banyak. Keburukan-keburukan yang bersumber dari manusia juga bersumber dari ikhtiar buruk mereka.
6. Di samping apa yang telah lalu, beberapa faedah bagi keburukan juga disebutkan, di antaranya ialah bahwa alam yang kosong dari keburukan-keburukan tidak akan mampu mengantarkan manusia kepada kesempurnaan-kesempurnaan yang tergambarkan bagi mereka.
1. Dengan memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan bagi terjadinya kontradiksi (di antaranya perbedaan antara kualitas dan kesatuan pada subjek) bagaimana mungkin terdapat orang-orang yang menyebut dua proposisi "Tuhan ada" dan "keburukan ada" saling kontradiksi antara satu dengan lainnya? 2. Apakah di antara kalangan kaum religius (yang percaya Tuhan) dapat ditemui orang-orang yang guna menyelesaikan permasalahan keburukan-keburukan, mengingkari adanya keburukan atau salah satu dari tiga sifat-sifat Tuhan (ilmu, kekuasaan, dan keinginan baik mutlak)? Jelaskan! 3. Apakah para penganut ajaran Zoroaster menyebut pencipta keburukan-keburukan sebagai baru (hādits), ataukah qadīm? Tafsiran manakah dari dualisme yang dapat disebut sebagai jawaban terhadap masalah keburukan-keburukan? 4. Mereka yang menyebut seluruh keburukan-keburukan sebagai hal-hal yang bersifat tiada, justifikasi apa yang mereka ajukan bagi ketiadaan sakit?
p: 174
5. Apa maksud dari kerelatifan keburukan? Apakah jawaban ini dapat disebut sebagai jawaban final atas permasalahan keburukan- keburukan? 6. Dengan mengisyarahkan kepada lima alam kontingen (mumkin) berdasarkan ukuran kebaikan dan keburukan yang ada di dalamnya, jelaskan bagaimana keburukan-keburukan natural dapat disebut sebagai konsekuensi (kemestian) dari alam natural? 7. Sesuatu apa yang dapat menjustifikasi adanya keburukan, kelebihan "kuantitas" kebaikan-kebaikan, atau keutamaan "kualitas" mereka? Jelaskan! 8. Menurut Anda, apakah Tuhan dapat menciptakan suatu alam di mana makhluk-makhluk yang berikhtiar di dalamnya, dengan ikhtiar mereka senantiasa memilih jalan kebaikan? Mengapa? 9. Dengan merujuk kepada ayat-ayat dan riwayat-riwayat Islam, jelaskan maksud dari pernyataan di bawah: keburukan merupakan alat atau instrumen bagi kesempurnaan manusia dan hukuman bagi orang-orang bersalah.
10. Pilihan manakah yang bisa disebut mengandung jawaban-jawaban terhadap masalah keburukan (terlepas apakah jawaban-jawaban ini benar atau tidak)? A) Keburukan tidak ada; Tuhan tidak kuasa secara mutlak; Tuhan tidak mengetahui secara mutlak; B) Tuhan tidak menginginkan kebaikan hamba-hamba-Nya; Pencipta keburukan-keburukan yang ada bukan pencipta kebaikan-kebaikan; Keburukan adalah sesuatu yang bersifat relatif; C) Keburukan adalah sesuatu yang bersifat tiada; Keburukan-keburukan merupakan pra-syarat (kemestian) bagi terwujudnya kebaikan-kebaikan; Keburukan merupakan instrumen bagi kesempurnaan manusia; D) Semua pilihan.
p: 175
p: 176
"Maka lihatlah bagaimana nikmat-nikmat Tuhan turun kepada mereka, ketika seorang Nabi dibangkitkan (diutus) bagi mereka. Menjadikan mereka taat kepada Tuhan dan membuat mereka bisa saling bersesuaian antara satu dengan lainnya dengan mengajak mereka kepada-Nya; Dan bagaimana nikmat melebarkan sayap besarnya di atas kepala mereka dan memperlancar aliran-aliran kesenangan dan kesejahteraan bagi mereka, dan masyarakat Islam dengan keberkahan-keberkahannya mempersiapkan mereka. Maka mereka tenggelam dalam nikmat syariat dan mencicipi kelezatan hidup senang dan gembira.
... Kebaikan telah mengantarkan kondisi mereka pada kemuliaan dan keagungan, dan pekerjaan-pekerjaan mereka menjadi kukuh dan pemerintahan mereka menjadi kuat:
sebagaimana mereka telah menjadi penguasa atas penduduk alam dan raja-raja bumi pada daratan ini dan daratan itu."(1) Kebutuhan mendasar manakah yang menggiring manusia ke arah agama? Apa fungsi agama dalam kehidupan personal dan sosial manusia? Apakah dalam memenuhi keinginan-keinginan ini agama tak dapat digantikan? Apakah harapan-harapan diri kita senantiasa mesti
p: 177
diselaraskan dengan ajaran-ajaran keagamaan, atau bisakah berbicara tentang "harapan manusia terhadap agama"? Pada pasal ini kita akan membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang meskipun sebelumnya telah mengemuka,(1) tetapi kali ini menemukan bentuk yang baru serta memerlukan jeda yang lebih.
"Dalil kebutuhan kepada agama" merupakan suatu pertanyaan "luar agama" (eksternal agama) dan tidak dapat dijawab dengan kepatuhan dan ketundukan dalam berhadapan dengan agama-agama.
Setiap orang sebelum memilih suatu agama, ia harus menemukan alasan dan sebab kebutuhan terhadapnya.(2) Meskipun demikian, agama-agama Ilahi selalu membantu akal dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan biaya yang sangat berat, disuguhkan secara gratis di hadapan manusia.
Penggunaan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dalam pembahasan- pembahasan seperti ini menjadi semakin kokoh atas dasar ini.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Dimensi-dimensi kebutuhan terhadap agama apakah termasuk dalam masalah internal agama atau eksternal agama? Setelah kita memalingkan diri kepada agama dengan dalil-dalil yang sifatnya eksternal serta mencari jawaban atas kebutuhan-kebutuhan azasi manusia di dalamnya, apakah kebutuhan-kebutuhan yang lebih spesifik dapat ditanyakan kepada agama itu sendiri dan dengan perantaraan ini jalan untuk mengenali pelbagai dimensi- dimensinya dapat terbuka? (Di akhir bagian ini dan juga pada bagian sebelas, terdapat poin-poin tentang hal ini).
p: 178
Di samping itu, apabila kita menyebut akal telah mencukupi dalam urusan-urusan seperti ekonomi, kesehatan dll, apakah fungsi agama dalam urusan-urusan ini-dengan merujuk kepada ajaran-ajaran para imam atau pemuka agama-masih tetap dapat dibicarakan? Sebagai contoh, apakah kepercayaan-kepercayaan agama dapat memberi pengaruh dalam proses penawaran (supply) dan permintaan (demand)? Apakah menjauhi keharaman- keharaman syariat dapat mendatangkan kesehatan atau keselamatan jasmani?
Pada saat manusia merenungkan penciptaan langit dan bumi, tak satu pun fenomena yang ia saksikan tanpa tujuan, bahkan ia menjadi takjub dengan keteraturan yang berlaku dalam tiap-tiap keberadaan (makhluk) begitu pula dengan keselarasan antara satu dengan lainnya.
Imam Ali bin Abi Thalib dengan menyebutkan segala keajaiban yang tersembunyi dalam penciptaan makhluk berkata, "Sekiranya mereka merenungkan keagungan kekuasaan-Nya dan luas-Nya nikmat- Nya, tentu mereka sudah kembali ke jalan yang benar dan takut akan hukuman neraka, tetapi hati berpenyakit dan mata tak murni.
Tidakkah mereka melihat hal-hal kecil yang telah diciptakan-Nya, bagaimana la memperkuat jaringannya dan membuka bagi mereka pendengaran dan penglihatan dan membuat bagi mereka tulang dan kulit? Lihatlah semut dengan tubuhnya yang kecil dan bentuknya yang halus. Ia hampir tak terlihat di sudut mata, tak dapat pula ditangkap oleh imajinasi-betapa ia berjalan di bumi dan menggunakan rezekinya. la membawa gabah ke lubangnya dan menyimpannya di tempat kediamannya. la mengumpulkannya selama musim panas untuk musim dinginnya dan bila cukup untuk masa lemahnya.
Rezekinya terjamin dan diberi makan menurut pantasnya. Allah Yang
p: 179
Baik tidak melupakannya dan (Allah Yang Pemberi) tidak merenggut haknya, walaupun ia berada di batu kering atau karang yang kokoh."(1) Ketika kita menemukan kenyataan bahwa kehidupan manusia bukanlah permainan dan Tuhan Yang Mahabijak tentu tidak akan membiarkan manusia sebagaimana halnya dengan binatang, maka mau tak mau manusia mesti bangkit dari kelalaian dan kebodohan serta berupaya mencari atau menemukan suatu program untuk menjamin kebahagiaannya.
Sebagai langkah pertama, kita tidak mendapati indra dan akal mampu memperinci suatu program holistik dan menyeluruh untuk kehidupan di alam ini,(2) apalagi menggambarkan denah seputar kehidupan setelah kematian serta menunjukkan jalan hidup yang benar. Dari sisi ini, dengan memperhatikan hikmah Tuhan akan menuntun kita kepada sumber pengetahuan lain yang dalam referensi- referensi keagamaan disebut dengan "wahyu".(3) Nabi-nabi Ilahi dengan mendapatkan anugerah khusus ini, mengemban tugas membimbing manusia-manusia lainnya. Para Imam Maksum Syi'ah mengembangkan argumen-argumen ini sehingga peran mereka sangat berjasa bagi para pemikir dan pencari kebenaran;(4) sebagaimana Imam Ridha berkata: "Mengingat dalam penciptaan manusia dan daya-daya serta potensi-potensi mereka, apa yang secara sempurna memberi maslahat bagi mereka, sebelumnya tak ada dan Tuhan adalah lebih baik di mana Dia tidak terlihat dengan mata lahiriah dan terjalin hubungan langsung dengan-Nya ... tak ada jalan lain kecuali seorang utusan maksum menjadi mediator antara Dia
p: 180
dengan manusia dan yang menyampaikan perintah dan larangan Ilahi kepada mereka."(1) | Al-Qur'an, dengan menyinggung dalil ini, menyebut terbukanya jalan wahyu sebagai penyebab tertutupnya jalan untuk berdalih.
Di samping itu, al-Qur'an menegaskan bahwa sekiranya para nabi tidak ada, segelintir orang dapat menyebut ketidakbecusan akal dan indra sebagai penyebab kesesatan mereka dan membuat alasan bagi ketidakberimanan mereka: "Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, sehingga tidak ada dalih dan alasan (hujjah) bagi manusia, setelah pengiriman para nabi, dalam berhadapan dengan Tuhan." (QS Al-Nisā [4]: 165).
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Keraguan atau Kesangsian Kaum Brahma Berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab-kitab teologi, Kaum Brahma (Hindu) dengan membangun suatu argumen yang memiliki dua batasan, mempermasalahkan kebutuhan terhadap agama wahyu seperti ini: Sesuatu yang dibawa para nabi, entah sesuai dengan akal, atau bertentangan dengannya.
Dalam bentuk yang pertama, akal dengan sendirinya telah mencukupi dan tidak butuh dengan apa yang dibawa para nabi. Dalam bentuk kedua, ajaran-ajaran wahyu disebabkan pertentangan mereka dengan rasionalitas (akal) harus disingkirkan pula.(2) Simak dan kritiklah argumentasi ini! (Penjelasan:
Untuk menunjukkan adanya fallasi pada argumen dilemma (yang terdiri dari dua bagian], bagian ketiga dapat ditambahkan, atau salah satu dari dua bagian diterima dan terbuktilah kerancuan konklusinya).
p: 181
Argumen yang telah lalu bertumpu pada premis-premis di bawah ini:
1. Tuhan Yang Mahabijaksana tidak akan berbuat sia-sia dan Dia menciptakan manusia untuk sampai kepada kesempurnaan akhir serta kebahagiaan abadi; 2. Kehidupan dunia adalah pendahuluan kehidupan akhirat dan kebahagiaan serta penderitaan abadi bergantung pada bagaimana menjalani hidup di alam ini; 3. Pemilihan jalan hidup, selain dari pada kehendak (irādah), bergantung pula pada pengetahuan dan kesadaran; 4. Instrumen umum pengetahuan (indra dan akal) tak mampu memahami jalan kehidupan yang benar serta hubungan antara dunia dan akhirat.
Sebagian filsuf Muslim, untuk membuktikan kebutuhan terhadap wahyu mangambil jalan lain dan menyiapkan suatu argumen yang berpijak pada premis-premis seperti berikut:
1. Manusia secara esensial adalah makhluk sosial; 2. Dalam bertemu dengan sesama jenis, manusia tidak mungkin lari dari perbedaan; 3. Untuk menyingkirkan perbedaan, perlu kepada suatu aturan sempurna serta meliputi alam yang memperhatikan seluruh tipologi manusia; 4. Kodifikasi aturan seperti ini, tidak bisa terwujud kecuali bersumber dari yang menciptakan manusia dan makhluk-makhluk lainnya.(1)
p: 182
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perbandingan Dua Argumen Kemestian Nubuwwah (kenabian) Bandingkanlah kedua argumen yang telah disebutkan-di mana satu di antaranya menekankan kehidupan di alam sana dan lainnya menekankan kehidupan di dunia ini-antara satu dengan lainnya.
Menurut Anda, argumen manakah yang lebih baik dan kokoh dalam menampakkan tujuan asli pengutusan para nabi?
Dewasa ini, sekelompok peneliti agama, alih-alih berpolemik atau berdebat ihwal benar dan salahnya agama-agama, mereka malah memilih suatu cara pandangan fungsionalistik. (1) Dalam hal ini, sebagian menyebut agama memiliki fungsi-fungsi negatif(2) dan sebagiannya lagi menekankan atas fungsi-fungsi positif.
Kelompok kedua sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu mereka yang memahami fungsi-fungsi tersebut berlaku selamanya dan tak tergantikan dan mereka yang-meski dengan adanya sanjungan terhadap pelayanan agama di masa lalu-menyebut era tersebut telah berakhir.
Bagaimanapun, salah satu dimensi studi keagamaan bagi mereka yang tidak memiliki kecenderungan kepada Tuhan telah memperhatikan hal ini sebelum orang-orang yang percaya Tuhan
p: 183
ialah jawaban agama atas kebutuhan-kebutuhan jiwa manusia. (1) Segolongan kaum ateis dengan suatu praasumsi menyatakan bahwa Tuhan dan pengetahuan-pengetahuan wahyu tidak lebih dari sebuah fatamorgana. Mereka menyebut faktor-faktor psikologis sebagai asal usul kepercayaan terhadap wujud-wujud supranatural. Pada hakikatnya, orang-orang anti agama ini telah menempuh separuh jalan dengan benar dan menemukan secara benar hubungan atau kaitan langsung antara ruh dan jiwa manusia dengan agama dan mazhab, tetapi mereka keliru dalam mencari akarnya serta menunjuk faktor- faktor yang tidak benar.
Agama wahyu-karena keselarasannya dengan fitrah manusia- selain kebahagiaan ukhrawi, juga menjamin ketenangan duniawi dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar jiwa-yang akan kami tunjukkan di antara fungsi agama yang paling penting- dalam bentuknya yang paling baik. (2)
Perasaan hampa, nihil, dan tidak bermaknanya kehidupan merupakan salah satu krisis mendasar dalam kehidupan masa kini.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Erich Fromm (1900–1980 M), psikolog berkebangsaan Jerman: "Manusia hari ini tidak merasakan ketenangan dan lebih banyak mengalami kebingungan. Bekerja dan berusaha, tetapi merasa sia-sia dengan pelbagai aktivitasnya. "(3) Sebagian psikolog bahkan menyebut pelarian (eskapis) mengonsumsi bahan-bahan narkotika sebagai salah satu cara untuk
p: 184
bebas dari perasaan ini.(1) Bagaimanapun, salah satu dari fungsi terpenting agama ialah memberi makna bagi kehidupan dunia. (2) Menurut pandangan orang-orang yang percaya Tuhan, tak satu pun sesuatu ditempatkan di luar dari tempatnya dan pada seluruh fenomena-fenomena alam berlaku suatu keberaturan yang akurat.
Meminjam ungkapan Syahid Muthahhari, "Alam Ilahi, merupakan alam kebaikan, keadilan, kesatuan, dan keselarasan. ... Setiap eksistensi dalam setiap tingkatan, sesuai dengan keluasan wujudnya, bersentuhan dengan suatu jenis petunjuk (hidayah) —dan dengan perumpamaan al- Qur'an lainnya, yaitu "wahyu" — ... Sesuai dengan pandangan dunia ini, kehendak Tuhan serta qadha dan qadar Ilahi, menciptakan alam dalam bentuk sebuah sistem dengan serangkaian hukum-hukum dan aturan-aturan."(3) Dengan berpijak pada pandangan seperti ini terhadap alam, sistem penciptaan yang disebut sebagai "sistem terbaik" (ahsan taqwim) dan "paling baiknya alam kontingen (mumkin)", maka ketenangan luhur nan agung akan meliputi seluruh wujud manusia.
p: 185
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teori Darwin dan Teleologis Alam Menurut sebagian ilmuwan, kemunculan teori Darwin (1809–1882 M) telah mempermasalahkan kebertujuan alam dan berujung pada terbenamnya tafsiran-tafsiran teistik dan teleologis atas eksistensi.
Darwin sendiri dalam sebagian karyanya mengemukakan pandangan bahwa "Hukum-hukum evolusi kehidupan merupakan ciptaan Tuhan, meskipun sebagian jenis- jenis yang mewujud dari evolusi adalah hasil kebetulan, bukan desain dan pengaturan sebelumnya." Menurut Anda, apakah gradualitas penciptaan makhluk-makhluk (eksistensi-eksistensi) serta fenomena-fenomena seperti "keharusan beradaptasi (sesuai) dengan lingkungan" tidak selaras dengan kebertujuan sistem penciptaan? Mengapa? Menurut Freud, "Agama dengan mengajukan suatu gambaran dari keberaturan alam yang di dalamnya segala sesuatu bermakna dan berada pada tempatnya masing-masing serta tak ada sesuatu pun yang berada di luar keteraturan dan bersifat aksidental, melakoni peran restitusi atau pemulihannya."(1) Walaupun demikian, Freud menyebut pemberian makna ini sebagai suatu rekaan atau fiksi dan menamainya sebagai sejenis penipuan diri (self-cheating).
Clifford Geertz (1926–M) seorang antropolog berkebangsaan Amerika adalah salah seorang pemikir yang memberikan perhatian pada fungsi agama-agama(2) dan menyebut pengajuan suatu penjelasan paripurna tentang alam sebagai salah satu di antara konsekuensi-konsekuensi utama agama. (3) Sebagian lainnya melangkah lebih jauh lagi dan secara mendasar
p: 186
menganggap agama sebagai "suatu reaksi atau respon dalam menghadapi ancaman nihilisme dalam kehidupan manusia."(1) Filsuf ateis Prancis, Jean Paul Sartre (1905–1980 M) pun berceloteh: "Ketika orang-orang masih percaya kepada Tuhan langit, mereka dapat menyebutnya sebagai sumber cita-cita moral mereka.
Alam yang merupakan makhluk dan di bawah pemerintahan Tuhan yang menyerupai ayah, akan terasa hangat dan tulus bagi seorang miskin. Kita bisa menjadi tenang bahwa keburukan pada alam seberapa pun banyaknya, pada akhirnya kebaikan akan mendominasi mereka dan bala tentara keburukan akan menjadi cacing dan lari lintang pukang. Namun, saat ini dengan menghilangnya Tuhan dari langit kondisi telah berubah secara total. Alam tidak berada di bawah pemerintahan suatu wujud yang bersifat kudus; bahkan sebaliknya, berada di bawah kekuasaan kekuatan-kekuatan buta. Alam ini merupakan alam yang telah mati."(2) Hingga saat ini kita berbicara sedemikian rupa seakan-akan semua orang mempunyai interpretasi atau pemahaman yang jelas dan sama tentang "kebermaknaan kehidupan." Namun, kenyataannya adalah bahwa dalam kaitannya dengan makna dari pada "makna" itu sendiri telah memunculkan banyak dialog-dialog yang tidak dapat dibahas secara mendalam pada tulisan ini.(3) Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam pernyataan- pernyataan kebanyakan pemikir, maksud kehidupan yang bermakna ialah "adanya tujuan akhir" bagi sistem penciptaan dan "adanya tujuan" bagi penciptanya. Golongan lainnya mengaitkan makna kehidupan manusia dengan masalah kematian dan menegaskan poin bahwa jika kehidupan manusia berakhir dengan kematian, maka kehidupan tersebut akan menjadi hampa dan tanpa makna.(4)
p: 187
Kecenderungan kepada kekekalan dan keabadian merupakan salah satu di antara kebutuhan-kebutuhan yang berakar pada kedalaman jiwa manusia, sedangkan ketakutan akan berakhirnya kehidupan sangat mengganggu dirinya.(1) Para pemikir ateistik telah berusaha banyak guna menyingkirkan ketakutan ini dari hati seseorang, tetapi tidak begitu sukses serta tidak mampu mengekang kecenderungan substansial manusia kepada keabadian.(2) Poin yang patut diperhatikan ialah seseorang tidak akan pernah gembira hanya dengan mengingat dan menghidupkan namanya, melainkan secara fitrah menginginkan keabadian jiwanya. Alexis Carell (1873–1944 M), seorang pemikir berkebangsaan Prancis, berkata:
"Masyarakat ... bukan hanya di alam ini, melainkan di balik kubur pun sangat menghendaki kehidupan dan bagi mereka tidaklah cukup hidup hanya dalam karyanya... Sesuatu yang kita kehendaki.
sebelum segala sesuatu adalah kelangsungan individu (diri) dan bahwa setelah mati, kita melihat orang-orang yang kita sayangi dan berjalan di atas dunia yang penuh dengan kedamaian dan keadilan.(3) Orang-orang yang menganggap kematian sebagai akhir kehidupan manusia akan sampai pada kehampaan dan mendapati kehidupan di alam ini tak bermakna.(4) Menurut sebagian pemikir, "Kematian tidak begitu menakutkan disebabkan tiadanya yang mengenal atau berakhirnya kehidupan personal, melainkan menjadi kekhawatiran lebih karena alasan bahwa kematian pada masa hidup seseorang akan menyebabkan kehidupan menjadi tak bermakna dan sia-sia baginya."(5) Dari sisi ini, asal mula kebutuhan manusia kepada keabadian adalah cita-cita atau keinginan untuk lepas dari kehancuran dan ketiadaan, bukan karena keangkuhan dan keegoisan. Pencarian nama ... bukan
p: 188
dari keangkuhan juga bukan dari ketakutan akan terputusnya generasi.
Kita mencita-citakan segala sesuatu hanyalah dari sisi bahwa kita ingin lari dari ketiadaan. Iya, kita bercita-cita menyelamatkan kesan, memori, dan nama diri kita. Kesan dan memori ini sejauh mana dapat bertahan? Maksimalnya sejauh manusia masih tersisa. Apa yang terjadi jika kesan dan nama kita, tinggal dalam diri Tuhan!(1) Benar, agama Ilahi dengan menekankan pada kehidupan abadi dan kehidupan setelah mati, menjawab kebutuhan mendasar manusia ini dan di samping menunjukkan suatu tafsiran yang dapat diterima hati tentang kematian, juga mengurangi dahaga akan kehidupan abadi.(2) Dalam pandangan agama-agama samawi, kematian adalah awal kehidupan hakiki. Tafsiran atas kematian ini memberi makna pada "kehidupan" dan "pengabdian serta pengorbanan" serta menarik orang- orang yang memercayai Tuhan pada kecintaan menjemput kematian suci (syahadah). (3) Seperti inilah Iman Ali bertutur bijak: "Demi Allah, kecintaan putra Abi Thalib terhadap kematian melebihi perhatian atau kebergantungan bayi terhadap susu ibunya. "(4) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kecenderung kepada keabadian dan pembuktian ma`ūd (hari kebangkitan) Apakah kecenderungan fitrawi manusia kepada keabadian dapat dijadikan sebagai suatu dalil guna membuktikan ma’ād dan kehidupan setelah kematian? Bagaimana?
p: 189
Peranan agama dalam meningkatkan daya tahan terhadap berbagai problem sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian kalangan sosiolog yang menyebut hakikat ini sebagai asal mula kemunculan agama- agama serta berpandangan bahwa "agama pada dasarnya merupakan sebuah jawaban atas pelbagai kesulitan dan ketidakadilan hidup serta akan berupaya menjustifikasi kedukaan-kedukaan ini."(1) Orang yang menyatakan ini sebagaimana kebanyakan di antara ang-orang lainnya yang menyebut agama sebagai suatu reaksi atas kebutuhan-kebutuhan individu dan sosial serta lalai dari dimensi supranaturalnya-tidak membedakan antara asal mula agama dengan konsekuensi-konsekuensi darinya dan dalam sebuah analisis yang sifatnya satu arah, menyebut agama sebagai justifikasi atas kedukaan- kedukaan hidup. Meskipun demikian, hakikat ini tidak dapat diabaikan bahwa tak ada sesuatu pun yang menyerupai agama mampu mengokohkan seseorang dalam berhadapan dengan pelbagai kesulitan dan menyingkap secercah harapan pada jalan-jalan yang buntu. (2) Menurut William James: "Ketika semua harapan-harapan menguap lenyap dalam pertarungan kehidupan. ... emosi-emosi keagamaan ... dalam diri kita, membuat sensasi dan rasa semangat sedemikian hingga menjadikan kita muda serta mengubah kehidupan batin kita, yang dulunya hitam dan kelam."(3) James berkeyakinan bahwa tak ada sesuatu yang memiliki fungsi seperti ini selain agama.
Manusia yang percaya dengan agama, mendapati kemenangan dan kekalahan, kesejahteraan dan kesengsaraan, kebaikan hidup dan keaiban hidup sebagai sesuatu yang dapat diterima dan tanpa berhenti untuk berusaha, merasa senang dengan apa saja yang diperkenangkan
p: 190
jiwa-jiwa. Menurut pandangan kaum Mukmin, tak ada perdagangan yang paling menguntungkan daripada bersabar atas kepedihan- kepedihan dunia yang cepat berlalu hingga mendapatkan kesejahteraan dunia abadi.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Literatur-literatur Islam, dari satu sisi, menyebut perjalanan dan suluk religius sebagai perniagaan dan kaum agamawan sebagai saudagar-saudagar yang memanfaatkannya, sebagaimana Amirul mukminin mengatakan: "Mereka melewatkan beberapa hari dengan ketabahan yang membuahkan kesenangan yang lama bagi mereka; suatu perniagaan menguntungkan yang dipersiapkan Tuhan bagi mereka. "(1) Dari sisi lain, ibadah profesi yang melakukan penghambaan dengan syarat upah, telah dikecam dan bersama dengan orang-orang yang menyembah Tuhan karena takut dari siksaan- tidak termasuk sebagai orang-orang yang merdeka:
"Sesungguhnya segolongan kaum yang menyembah Tuhan dengan mengharapkan keuntungan (pemberian), ibadah mereka adalah ibadah para pedagang dan segolongan kaum yang menyembah Tuhan karena rasa takut, ibadah mereka adalah ibadah para budak dan segolongan kaum yang menyembah Tuhan guna bersyukur, ibadah mereka adalah ibadah orang-orang merdeka. "(2) Bagaimana dapat menyelaraskan kedua perkataan ini antara satu dengan lainnya? Menganggap ringan kesulitan-kesulitan dunia sampai pada tahap ketika Nabi Saw. meramalkan kesyahidan Amirul Mukminin dan menanyakan bagaimana kesabarannya, ia mendengarkan jawaban ini: "Wahai Rasulullah! Bukan tempat ketabahan, melainkan tempat
p: 191
memperoleh imbalan dan bersyukur."(1) Zainab setelah peristiwa Karbala, dalam menjawab pertanyaan Ibn Ziyad, "Bagaimana engkau melihat perbuatan Tuhan atas saudara dan kerabatmu?" Zainab dengan tangkas menyampaikan suatu kalimat yang tidak akan dapat dipahami maknanya oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, "Aku tak melihat (tragedi Karbala) kecuali keindahan."(2)
Percaya kepada Tuhan pengasih yang mengetahui segala urusan serta mampu dalam setiap pekerjaan, di samping meringankan dalam menahan kesulitan-kesulitan yang datang, juga menghilangkan kecemasan dan kekhawatiran tentang masa depan. Manusia yang percaya kepada Tuhan tidak memikirkan sesuatu selain menjalankan tugas Ilahi dan setelah memaksimalkan usahanya, ia tidak pernah khawatir dengan kekalahan dan kedukaan. Berdasarkan hal ini, bahkan kematian atau terbunuh sekalipun dalam menjalankan tugas (taklif) dapat termasuk di antara dua hal yang baik (diinginkan): "Katakanlah, "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (kemenangan atau syahadah)" (QS Al-Tawbah [9]: 51).
Manusia seukuran dinding-dinding waktu dan ruang yang diruntuhkannya serta melihat cita-cita kehidupan dalam perkampungan dunia (global village) yang semakin dapat dijangkau, disertai dengan sejenis perasaan kesepian atau kesendirian dan tidak menemukan obat penawar (remedy) untuknya di antara sesama jenis mereka.
Menurut Paul Tilich (1886–1965 M), "Kemajuan teknologi telah menghilangkan jarak ruang dan waktu, tetapi keterasingan hati (aleniasi) antara satu dengan lainnya, dengan sangat menakjubkan
p: 192
semakin bertambah."(1) Perasaan sepi ini yang merupakan salah satu di antara faktor-faktor penyebab munculnya depresi, menemukan bentuknya yang beraneka ragam dan dalam kondisi jangkauan paling luas tampak dalam bentuk pengetahuan ini bahwa orang lain- seukuran ia menggunakan kekuatannya-dengan alasan tiadanya kompetensi dalam ilmu dan kekuatan, tidak mampu membuka lilitan atau ikatan kebanyakan dari masalah-masalah saya.(2) Dalam kondisi seperti ini, kepercayaan terhadap Tuhan yang tidak tersaingi dalam ilmu dan kekuasaan, akan membebaskan seseorang dari pusaran kesendirian dan mengubah penyepian atau khalwat dengan Tuhan Yang Maha Esa menjadi saat-saat paling manis. Imam Ali berbisik lirih kepada Tuhan hakikat ini sebagai berikut. "Ya Allah, Tuhanku! Engkaulah yang paling tertaut pada pencinta-Mu dan yang paling sedia menolong orang-orang yang bertawakal kepada-Mu. Engkau melihat mereka dalam ketersembunyian mereka, (Engkau) mengetahui apa saja yang ada dalam kesadaran mereka dan (Engkau) tahu sampai di mana pikiran mereka. Karenanya, rahasia mereka terbuka bagi-Mu dan hati mereka bergairah pada-Mu. Apabila kesepian membosankan mereka, ingatan kepada-Mu memberikan lipuran. Apabila kesusahan menimpa mereka, mereka memohon perlindungan-Mu karena mereka tahu bahwa kendali urusan berada di tangan-Mu dan bahwa gerakan mereka tergantung pada perintah-Mu. Ya Allah, Tuhanku! Apabila aku tak mampu mengungkapkan permohonanku atau tak dapat melihat keperluan-keperluanku, maka bimbinglah aku ke arah perbaikanku dan bawalah hatiku kepada tujuan yang benar, yang tidak bertentangan dengan jalan petunjuk-Mu dan bukan pula sesuatu yang baru yang menentang jalan-jalan dukungan-Mu. Ya Allah, Tuhanku! Perlakukanlah kiranya aku dengan ampunan-Mu dan jangan perlakukan aku menurut keadilan-Mu." (3)
p: 193
Cara pandang sosiologis terhadap agama, membagi kalangan pemikir penganut Teisme ke dalam dua golongan: Sebagian seperti Emile Durkheim (1858–1917 M) memahami agama sebagai manifestasi solidaritas dan kesatuan masyarakat. Ia menyebut agama memiliki peran positif dan membangun serta segolongan lainnya seperti Feurbach (1804–1872 M) dan Karl Marx (1818–1883 M) menyebut agama sebagai faktor penyebab kelemahan dan keterbelakangan masyarakat dan mereka berjuang melawannya.(1) Kaum yang percaya kepada Tuhan pun meski tidak menyebut kebutuhan sosial sebagai sebab munculnya agama, mereka tidak mengabaikan fungsi sosialnya dan mendudukkan dunia dan akhirat secara berdampingan.
Lebih dari segala hal, sesuatu yang menjadikan kebenaran itu terhormat, keadilan itu suci, setiap hati saling mengasihi antara satu dengan lainnya serta mewujudkan sikap saling percaya di antara orang- orang, menjadikan taqwa dan kesucian merasuk hingga kekedalaman hati nurani seseorang, memberikan validitas bagi nilai-nilai moral, menimbulkan keberanian dalam menghadapi penindasan, dan menghubungkan seluruh individu-individu menyerupai organ-organ dari satu tubuh serta menyatukan mereka adalah iman religius. (2) Bagaimanapun, poin yang menurut kebanyakan pemikir tak dapat diragukan ialah bahwa agama sepanjang sejarah merupakan fondasi dasar dari kebanyakan peradaban-peradaban manusia. (3)
p: 194
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pandangan-Pandangan Berbeda terhadap Fungsi Sosial Agama Orang-orang yang mengemukakan pembahasan tentang kebenaran atau keabsahan agama-agama dan hanya menggunakan cara pandang yang bersifat fungsional, telah dihadapkan dengan pelbagai kritikan semacam kesatuan tidak mesti menjadi sesuatu yang disambut karena "Agama mungkin saja mempersatukan masyarakat yang adil dan mungkin pula menyebabkan kesatuan bagi masyarakat yang tidak adil."(1) Kekhususan manakah yang menjadikan cara pandang sumber-sumber Islam terhadap fungsi-fungsi sosial agama lebih unggul dari cara pandang para sosiolog Barat?
Ketidaksabaran sebagian orang-orang beragama dalam berhadapan dengan penganut-penganut agama lainnya telah menyebabkan segolongan orang berpendapat bahwa monoteisme merupakan faktor penyebab perpecahan dan keterpisahan serta lebih mengutamakan syirik atau tanpa agama atasnya; sebagaimana David Hume (1711- 1776 M) mengatakan: "Penyembahan berhala dibandingkan dengan monoteisme dengan jelas memiliki keunggulan ini ... sesembahan kelompok-kelompok dan agama-agama lainnya bermitra dengan Tuhan ... berlawanan dengan itu, jika hanya satu zat yang akan disembah, pemujaan tuhan-tuhan lainnya sia-sia dan termasuk perbuatan dosa.
Di samping itu, satunya sesembahan ini, secara alami, hanya pantas dengan satunya ibadah, iman, dan ritual-ritual religius serta memberi dalil atau alasan bagi para pemain tipu muslihat guna menampakkan lawan-lawannya tidak saleh dan layak dengan kedengkian Tuhan
p: 195
serta makhluk. Karena setiap sekte meyakini bahwa hanya iman dan pemujaannya yang diterima secara sempurna di hadapan Tuhan dan satu sesembahan tidak akan puas atau senang dengan ritual-ritual dan upacara-upacara yang beragam dan saling bertentangan, maka tak terhindarkan sekte dan firkah tersebut bangkit saling bermusuhan dan masing-masingnya menjadikan yang lain sebagai sasaran kefanatikan dan kedengkian suci yang merupakan bagian dari emosi manusia yang paling besar dan tidak tenang:"(1) Sebagian kalangan rasionalis yang hidup di dunia Islam dengan menegaskan atas tiadanya kebutuhan terhadap kenabian (dengan alasan kesetaraan manusia dalam akal dan potensi-potensi alami) menganggap agama wahyu sebagai faktor perpecahan dan pertumpahan darah(2) dan-menurut Nasir Khusruw (394–481 H),mereka menyebut malaikat-malaikat Ilahi sebagai setan-setan yang berupaya menebar perbedaan, "Jiwa-jiwa para penjahat yang jadi hantu, menampakkan dirinya dengan suatu bentuk yang terlihat oleh orang-orang dan penglihatan mereka menyatakan bahwa 'pergilah kepada orang-orang dan katakan bahwa malaikat telah datang kepadaku dan berkata bahwa Tuhan menjadikanmu seorang nabi (utusan) dan aku adalah malaikat itu!' sehingga dengan sebab ini, perbedaan terjadi di tengah-tengah masyarakat dan kebanyakan makhluk terbunuh dengan pengendalian jiwa halus (hantu) tersebut."(3) Meski demikian, peran agama dalam menciptakan persatuan dan kesatuan sedemikian hingga orang-orang ateis seperti Durkheim- sebagaimana pada pasal dua yang lalu-menyebut Tuhan dan masyarakat setara antara satu dengan lainnya dan berkeyakinan bahwa kaum agamawan dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan, tanpa sadar melakukan penguatan relasi-relasi sosial serta menegaskan prinsip masyarakat dan kedahuluan kepentingan-kepentingan bersama (golongan).(4)
p: 196
Will Durant (1885–1981 M) juga menyebut agama sebagai suatu faktor guna mencegah pertarungan kelas-kelas. Ia mengatakan:
"Mengingat tiadanya kesetaraan alami manusia, menghukumi sejumlah besar di antara kita sebagai fakir dan kalah (bangkrut), dalam berhadapan dengan keputusasaan dan harapan supranatural adalah satu-satunya penyembuhan. Jika harapan ini bangkit dari tengah, pertarungan kelas-kelas akan semakin keras."(1) Menurut sebagian lainnya dari para peneliti agama, dalam pertarungan-pertarungan yang dikenal dengan peperangan agama senantiasa terdapat suatu faktor lain yang boleh jadi sahamnya tidak lebih sedikit dari fanatisme-fanatisme keagamaan.(2) Dari sisi lain, David Humeselain dari pada analisis-analisis teoretis, juga melakukan pengumpulan bukti-bukti historis dalam menguatkan pandangannya (keunggulan syirik atas tauhid dalam ketekunan dan kesabaran)- mengisyarahkan kepada contoh-contoh peperangan panjang di antara kaum penyembah berhala (seperti kaum penyembah anjing Mesir dengan penyembah kucing serta penyembah serigala). (3) Namun, pada kenyataannya agama-agama tauhid merupakan manifestasi dari konsensus dan solidaritas dan melebihi faktor- faktor lainnya menjamin persatuan masyarakat. (4) Sepanjang sejarah, terdapat orang-orang yang senantiasa melihat tiadanya keselarasan antara doktrin-doktrin para nabi dan permintaan-permintaan dan keinginan-keinginan berlebihan yang bersifat duniawi. Dalam berhadapan dengan hal ini mereka mengibarkan panji penentangan.
Namun demikian, pandangan sepintas dari sejarah menunjukkan bahwa agama-agama Ilahi senantiasa menjadi pembawa pesan-pesan perdamaian dan kecintaan serta menyebut tegaknya keadilan sebagai tujuan terpentingnya.
Dalam pandangan al-Qur'an, bukan hanya Ahlulkitab, bahkan orang-orang syirik yang menginginkan kedamaian adalah pantas dengan
p: 197
kebaikan dan belas kasih dan kaum Mukmin tidak boleh menolak untuk menegakkan keadilan bagi mereka.(1) Persatuan masyarakat Islam di bawah naungan doktrin-doktrin keagamaan juga merupakan kenyataan yang tidak dapat diingkari di mana al-Qur'an menyebutnya sebagai salah satu anugerah terbesar Tuhan: "Dan ingatlah nikmat Tuhan kepada kalian, ketika kalian bermusuhan antara satu dengan lainnya, maka menyatukan antara hati-hati kalian lalu menjadikan kalian dengan nikmatnya bersaudara dan kalian telah berada ditepi jurang neraka, lalu menyelamatkan kalian darinya." (OS Ali Imrān [3: 103).
Imam Ali menjadikan pula antara agama dan solidaritas sebagai suatu hubungan tak terpisahkan(2) dan dengan membandingkan masa- masa jahiliyah dengan era Islam, Imam Ali menyebut persatuan masyarakat sebagai konsekuensi paling mendasar dari dakwah Nabi Saw., "Maka tengoklah bagaimana nikmat-nikmat Tuhan turun kepada mereka, ketika seorang nabi diutus kepada mereka. Membawa mereka taat kepada Tuhan dan dengan mengajak mereka kepada-Nya saling bersesuaian antara satu dengan lainnya. ... sesungguhnya Tuhan Yang Mahasuci telah meletakkan kebaikan atas kebersamaan umat ini dan menghubungkan mereka dengan kasih sayang (ulfat); suatu hubungan di mana mereka bersama dalam naungannya dan saling menolong di bawah lindungannya, dalam suatu nikmat di mana tak ada seorang pun di antara hamba yang mengetahui nilainya."(3)
Jaminan Pemenuhan keadilan dan Peradilan(4) Salah satu kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya yang tidak akan terealisasi kecuali di bawah naungan keyakinan agama adalah
p: 198
kebutuhan atas keadilan dan peradilan.(1) Betapa banyak tirani-tirani yang tidak membayar ganti rugi atau kompensasi atas kejahatan- kejahatannya di dunia ini dan melewatkan hari-harinya dengan kesejahteraan dan kesenangan yang hasilnya hanya menambah kesedihan orang-orang yang teraniaya.
Di samping itu, boleh jadi hukuman-hukuman duniawi tidak selaras dengan timbangan kejahatan dan kriminalitas serta tidak menegakkan keadilan yang sesungguhnya; seseorang yang melumuri kedua tangannya dengan darah ribuan orang serta membuat cacat dan tak berdaya begitu banyak orang, bagaimana bisa mendapatkan hukuman yang pantas bagi kejahatannya? Agama-agama Ilahi dengan penegasannya atas kehidupan setelah mati menjanjikan penegakan keadilan yang sesungguhnya serta menentukan hukuman sepantasnya bagi setiap perbuatan aniaya(2) sebagaimana dituturkan secara bijak oleh Imam Ali, "Posisi para tiran berada dalam jangkauan sergapan Tuhan dan jika Dia memberikan kelapangan atau kesempatan beberapa hari kepada mereka, tidak akan lama hukuman atas perbuatan-perbuatan mereka akan diberikannya dan akan mengambil keadilan orang-orang yang teraniaya dari mereka."(3) Tentu saja, hal ini tidak bermakna dorongan untuk kompromi dan menerima kezaliman, para pemimpin Islam bukan hanya tidak menerima kompromi terhadap kezaliman, bahkan menyebut ungkapan perkataan benar (haqq) di hadapan pemimpin yang zalim lebih utama dari pada jihad di jalan Tuhan.(4) Meski demikian, bagi mereka yang tak berdaya untuk mengambil hak-hak mereka, tak ada sesuatu yang lebih menenangkan atau menghibur dari ungkapan bahwa keadilan Ilahi bagi orang-orang zalim atas kezaliman yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang teraniaya adalah lebih keras (sulit), "Hari keadilan bagi orang-orang zalim, lebih sulit dari pada hari penganiayaan (mereka) terhadap orang-orang yang terzalimi."(5)
p: 199
Karl Marx, dengan interpretasi keliru dari doktrin-doktrin religius menyebut agama sebagai faktor yang melemahkan masyarakat serta menjadi candu bagi mereka. Karl Marx berpendapat bahwa kepercayaan terhadap ketentuan dan takdir Ilahi serta berserah diri kepada nasib telah berujung pada ketertinggalan dan keterbelakangan masyarakat-masyarakat religius serta membawa konsekuensi- konsekuensi yang mengerikan bagi mereka.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Agama dan Pelemahan Kalangan pemikir Muslim menyebut munculnya sebagian pemikiran-pemikiran menyimpang dalam agama sebagai faktor penyebab kemerosotan dan pelemahan, sebagai contoh, mereka menekankan poin bahwa interpretasi keliru atas syafaat para maksum, telah menggiring segolongan masyarakat menjadi kaku dan tidak berbuat.(1) Manakah pemahaman-pemahaman menyimpang lainnya dari doktrin-doktrin keagamaan yang dapat mengubah suatu agama yang dinamis dan menggerakkan menjadi candu dan narkotika?(2) Pandangan ini, walaupun tersimpul dengan nama Karl Marx, tetapi pemahaman dan interpretasi keliru dari ketentuan dan takdir Ilahi (al-qadha wa al-qadar) mempunyai latar belakang yang cukup lama dan sebelum Karl Marx terdapat pula orang-orang yang membangkang menentang agama.(3) Bagaimanapun, Karl Marx pada buku "The Holy Family" dalam mengkritik Kristen mengatakan, "Prinsip-prinsip sosial Kristen menangguhkan kompensasi seluruh aib-aib ke dunia sana,
p: 200
olehnya itu, keberlanjutannya di dunia ini mereka justifikasi sebagai balasan atas dosa asal (The Origin of Sin) atau sebagai yang didesakkan Tuhan guna menguji hamba-hambanya. Prinsip-prinsip sosial Kristen, mendakwahkan kehinaan, tiadanya harga diri, cibiran, kepatuhan, kerendahan diri, dan ringkasnya seluruh sifat-sifat rendah dan hina. "(1) Interpretasi seperti ini mungkin bersesuaian dengan doktrin doktrin sebagian agama-agama dan aliran-aliran dalam agama, tetapi tidak selaras dengan aliran yang meneriakkan slogan "amrun bayna amrayn(2) (in between, sesuatu hal di antara dua hal)" serta memerangi keyakinan atas qadha dan qadar yang bersifat determinis. Menurut pandangan para Imam Maksum, tidak bisa, dengan dalih kepatuhan dalam berhadapan dengan kehendak Ilahi, meninggalkan pekerjaan dan aktivitas serta menyerahkan diri pada topan pelbagai peristiwa; dari sisi inilah, Imam Ali meninggalkan tembok yang akan rusak (runtuh) dan berlindung di balik tembok yang masih baik dan- dalam berhadapan dengan pertanyaan bahwa "Apakah engkau lari (menghindar) dari ketentuan (qadha) Ilahi?" Imam Ali menjawab, "Aku menghindar dari gadha (ketentuan) Ilahi serta berlindung dengan qadar-Nya."(3) Begitu pula dalam menjawab orang yang menganggap sama antara takdir (qadar) Ilahi dan aliran Determinisme (Jabariyah) dan menyebut kehendak manusia seperti jerami yang berhadapan dengan angin kencang pelbagai peristiwa, Imam Ali berkata, "Celakalah Engkau! Engkau menganggapnya sebagai takdir yang terakhir dan tak terelakkan (yang menurutnya kami telah dipastikan akan bertindak).
Apabila demikian, maka tak akan ada masalah ganjaran atau hukuman, dan tak akan ada makna atas janji dan peringatan Allah. (Sebaliknya) Allah Yang Mahasuci telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertindak menurut kehendak bebas, dan telah memperingatkan dan mencegah mereka (dari kejahatan). la telah menempatkan kewajiban- kewajiban ringan pada mereka dan tidak meletakkan kewajiban- kewajiban berat. la memberikan kepada mereka (ganjaran) yang banyak
p: 201
sebagai imbalan atas (amal perbuatan) yang sedikit. la tidak ditaati bukan karena la dikalahkan. la ditaati, tetapi tidak dengan memaksa.
la tidak mengutus para nabi hanya sekadar main-main. Ia tidak menurunkan kitab bagi manusia tanpa tujuan. la tidak menciptakan langit, bumi, dan segala yang ada di antaranya dengan sia-sia. "Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang- orang kafir itu karena mereka akah masuk neraka. "(1) Agama Ilahi bukan menjadi faktor keterbelakangan dan ketertinggalan, melainkan mendorong masyarakat untuk bergerak dan berguncang serta mengajak kaum Mukmin berperang atau melawan kezaliman dan ketimpangan. Orang-orang seperti Hume yang menganggap agama sebagai sumber kehinaan dan kerendahan, dalam penilaiannya memaksudkan sebagian pendeta-pendeta suci gereja-gereja Kristen dan para darwis suci (arif gadungan) Islam;(2) sementara teladan-teladan ideal bagi orang-orang yang percaya kepada Tuhan adalah arif dan seorang pejuang seperti Ali bin Abi Thalib yang memadukan antara kerendahan diri di hadapan Tuhan dan keberanian di medan pertempuran dan keyakinan atas qadha dan qadar Ilahi tidak mencegahnya dalam usaha apa pun. Para pemimpin aliran ini, tidak akan pernah menerima ketundukan dalam berhadapan dengan para perusuh serta memuji kemuliaan dan kehormatan manusia sedemikian rupa, di mana pujian seperti ini darinya belum pernah ada dalam doktrin atau ajaran-ajaran nonreligius, "Jauhkanlah diri Anda dari setiap hal yang rendah, sekalipun itu mungkin membawa Anda kepada tujuan yang Anda hasratkan karena Anda tidak akan mendapatkan suatu kembalian atas kehormatan Anda sendiri yang Anda belanjakan.(3) Janganlah menjadi budak orang lain karena Allah telah membuat Anda bebas. "(4)
p: 202
Mendukung Moralitas Mulia(1) Agama membantu moralitas dalam pelbagai macam dimensi seperti penyusunan sistem nilai, penyiapan jaminan realisasi dan penguatan motivasi internal (2)serta mengajak semua orang kepada penyucian dan pembersihan jiwa. Dukungan agama kepada moralitas sedemikian besar sedemikian sehingga sebagian berkeyakinan bahwa:
"Jika tidak ada Tuhan, maka setiap perbuatan adalah boleh."(3) Generalisasi dan keumuman peryataan ini tidak dapat diterima karena tidak diragukan lagi bahwa orang-orang mendapati kebaikan dan keburukan kebanyakan dari perbuatan-perbuatan yang tidak bersentuhan dengan wahyu dan memandang bahwa ketundukan kepada hukum akal adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Walaupun demikian, sangat sedikit jumlah orang-orang yang mematuhi hukum akal. Seseorang yang membelakangi agama serta memandang perilaku moral dirinya tidak berujung di alam sana, dengan begitu mudah akan meninggalkan sikap kesatria(4) dan tak ada keyakinan pada janji dan sumpahnya. (5) Dari sisi ini pula, menurut sebagian sejarawan abad ke-20-yang mana mereka sendiri tidak begitu cenderung kepada agama, "Dalam sejarah sebelum zaman kita, tak ada contoh yang patut mendapat perhatian tentang suatu masyarakat yang mampu melanjutkan kehidupan moralnya tanpa bantuan agama."(6) Singkat kata, manusia pada wilayah moralitas membutuhkan orang-orang yang mengingatkan mereka akan pahala atau ganjaran atas perilaku-perilaku baik dan menjadikan mereka takut atas balasan perilaku-perilaku buruk. Manusia Mukmin meyakini Tuhan yang tahu akan motivasi dan keinginan-keinginan batinnya dan setelah kematian akan melangsungkan suatu pengadilan, di mana hakimnya adalah saksi atas lahiriah dan batiniah terdakwa (yang tertuduh): "Jauhilah maksiat
p: 203
kepada Allah dalam kesepian (tempat-tempat sunyi), sesungguhnya yang melihat (saksi) adalah yang menghakimi (hakim)."(1) Dari sisi ini, mengingat kematian akan menggiring orang-orang yang percaya kepada Tuhan ke arah perbuatan-perbuatan baik(2) serta melepaskan orang-orang bertakwa dari kotoran-kotoran syahwat. (3) Poin yang patut diperhatikan adalah bahwa pada dasarnya kebanyakan dari tabiat atau bawaan-bawaan moral seperti bakti dan pengorbanan yang tidak memiliki justifikasi rasional hanya terkandung dalam naungan kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan setelah mati. Muthahhari mengatakan, "Manusia benar- benar tidak mempunyai lebih dari dua jalan: entah ia harus egois (memuja diri) dan menjadi pragmatis serta tidak tunduk pada larangan apa pun ataukah ia harus menjadi penyembah Tuhan dan larangan- larangan yang dibebankan baginya sebagai moralitas tidak disebutnya sebagai pelarangan, minimal ia menganggap hal itu telah tergantikan.
Kemanusiaan, ampunan, dan perbuatan baik apabila tidak didasari dengan ketakwaan dan pencarian rida Ilahi, akan didasari dengan sesuatu yang membahayakan. "(4) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Lebih Tinggi daripada Moralitas! Soren Kierkegaard (1813–1855 M) arif berkebangsaan Denmark, menyebut iman religius lebih tinggi dari pada moralitas dan dengan mengisyaratkan kepada penugasan Ibrahim untuk menyembelih putranya. Ia berkata, "Menurut pandangan moral ... ayah semestinya mencintai anak, tetapi relasi moral ini dalam berhadapan dengan
p: 204
hubungan kepada Tuhan menurun sampai pada suatu tingkatan relatif."(1) Menurutnya, Ibrahim, kampiun iman ini ... dengan meletakkan pisau (pedang) pada leher putranya "telah melangkah jauh meninggalkan seluruh ranah moralitas."(2) Pernyataan ini-sebagaimana ungkapan sebagian kalangan pemikir-bermakna bahwa manusia beriman memiliki relasi dengan Tuhan yang "keinginan-keinginan-Nya mutlak dan tidak dapat terukur dengan takaran-takaran akal manusia. "(3) Bagaimana Anda menilai pandangan ini? Apakah moralitas bisa dikorbankan demi agama?
Kehidupan sosial manusia tidak akan terpelihara tanpa adanya sebuah aturan yang memperhatikan pelbagai tipologi manusia serta kekuasaan yang menjalankan aturan tersebut. Agama-agama Ilahi merupakan pembimbing terbesar manusia dalam bidang ini dan mengemban suatu peran yang hanya dapat dilakukan olehnya.(4) Menurut al-Qur'an, salah satu tujuan para nabi adalah memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan di tengah-tengah masyarakat serta menegakkan keadilan.(5) Para nabi dalam hal ini tidak mencukupkan diri dengan menasihati dan mengawasi. Apabila mereka mampu, mereka akan membangun sebuah pemerintahan.
Poin ini tak diragukan lagi, khususnya dalam kaitannya dengan Nabi Islam yang merupakan penutup para nabi dan penyempurna agama-agama sebelumnya, sebagaimana Rousseau dengan menunjuk gagasan pemisahan agama dan pemerintahan dalam Kristen mod
p: 205
mengatakan, "Muhammad dalam hal ini benar-benar memiliki gagasan- gagasan yang akurat serta merancang bangun sebuah sistem politik yang kuat dan kokoh yang ... secara bersambung berlanjut terus di bawah naungan pemerintahan khalifah-khalifahnya. Dalam sistem ini hanya ada satu pemerintahan yang mengendalikan serta mengatur semua urusan-urusan sosial, tetapi karena Arab telah sampai pada suatu pertumbuhan dan perkembangan, secara lahiriah telah mencapai budaya dan peradaban manusia, tetapi pada kenyataannya ... mereka telah berubah menjadi eksistensi yang vakum (tanpa mobilitas); bangsa Barbar menjadi lebih unggul darinya dan menggiringnya berada di bawah kekuasaan mereka. Dalam pada itu, pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan pemerintahan menjadi tampak dan dua kesultanan memperoleh kekuasaan dalam masyarakat."(1) Sirah pengetahuan ('ilmi) dan perbuatan ('amali) para Imam Maksum menunjukkan bahwa perbaikan kondisi sosial masyarakat telah termuat dalam inti agama dan-berlawanan dengan anggapan sebagian orang(2)–bukan merupakan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat kebetulan darinya. Sebagai contoh, Amirul mukminin Ali setelah mengisyaratkan bahwa Tuhan mengutus Nabi Saw.
untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, menyebutkan keluasan rahmat Tuhan ini demikian, "Maka, apa yang dikatakan kepadanya ia tampakkan dan ia sampaikan pesan-pesan Tuhannya. Maka, Tuhan menutup kekalahan baginya dan menjadikan lubang-lubang saling tersambung serta mengamankan jalan-jalan di tangannya. Ia berhasil mengurangi pertumpahan darah dan menjadikan mereka saling menyayangi yang tadinya dada-dada mereka dipenuhi dengan permusuhan dan kedengkian."(3) Kepemimpinan masyarakat Islam di tangan Nabi Muhammad Saw.
dan para Imam Maksum adalah suatu hal yang tidak dapat diragukan.
Dari sisi ini, segolongan kaum Muslim-dengan asumsi bahwa agama tidak bisa disebut memiliki program pemerintahan-mencari rahasia
p: 206
pemerintahan para maksum pada tempat selain dari pada doktrin- doktrin keagamaan. Menurut mereka, para pemimpin maksum tidak menyebut pendirian negara atau pemerintahan sebagai tugas yang bersifat Ilahi, melainkan gerakan mereka bangkit dari sebuah "ajakan atau panggilan yang benar-benar (seratus persen) populis (merakyat) serta demokratis."(1) Berdasarkan hal ini, jika masyarakat menganggap para penghulu agama-seperti para maksum-layak atau pantas dengan kekuasaan, masyarakat akan memilih mereka untuk jabatan ini; jika tidak, maka seseorang tidak boleh melakukan upaya pendirian pemerintahan atas nama agama dan menganggapnya sebagai tugas yang bersifat Ilahiah.
Dalam menjawab pandangan ini, cukup dengan mengingatkan satu poin: Jika demikian halnya, mengapa para pemimpin maksum selalu mengupayakan pembentukan pemerintahan Islam dan berbicara tentang perampasan khilafah yang dilakukan Bani Umayah dan Bani Abbasiyah? Imam Shadiq kepada Sadir Shirafi berkata: "Jika aku mempunyai penolong-penolong sejumlah domba-domba ini, maka aku akan bangkit (melakukan perlawanan dan memerintah)." Sadir berkata:
"Ketika aku menghitung jumlah domba-domba tersebut, (jumlah) mereka tidak lebih dari tujuh belas kepala."(2) Imam Musa Kazhim pun, dalam menjawab klaim atau pernyataan Harun yang berbicara tentang pengembalian tanah Fadak, batasannya sedemikian ia tentukan di mana mencakup seluruh wilayah kekuasaan Harun;(3) Kiasan dari hal ini bahwa kami (para maksum) meyakini dasar kekuasaan kalian (Harun) adalah batil dan kami senantiasa dalam keadaan memikirkan pembentukan pemerintahan religius.
p: 207
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Legitimasi dan Akseptabilitas Imam Ali dalam khotbah terkenal "Syaqsyaqiyah", menyebutkan alasan-alasan penerimaan khilafah seperti ini: "Jika saja orang-orang yang berbaiat ini tak ada dan para penolong belum menyempurnakan hujah atas diriku dan Tuhan tidak mengatakan kepada para ulama sehingga mereka tidak menerima para penindas pengenyang perut dan bersegera membantu orang-orang lapar yang teraniaya, tali pekerjaan ini akan kuletakkan dari tangan dan aku akan menganggap akhirnya seperti awalnya."(1) Apakah Anda dapat membedakan kedua unsur legitimasi Ilahi dan penerimaan rakyat antara satu dengan lainnya? Menurut Anda, bagaimana ketiadaan pemilahan kedua unsur ini dapat menjadi sumber penyimpangan dalam pembahasan yang ada sekarang ini?
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian penulis menggunakan istilah "harapan manusia terhadap agama" (intizhār basyar az din) ketimbang istilah yang telah berlaku secara umum “kebutuhan terhadap agama" (niyāz basyar be dîn) dan menempatkannya sebagai pengantar atau mukadimah atas klaim bahwa sesuatu yang menentukan ruang lingkup agama adalah harapan-harapan manusia:(2)
p: 208
Jika seorang teolog benar-benar berpandangan bahwa agama dianugerahkan kepada masyarakat guna menjelaskan nilai-nilai dan cara-cara, atau berpendapat bahwa agama dalam bab kekuasaan tidak perlu berbicara ... apakah dalam fikih masih tetap akan berupaya mencari atau menemukan bentuk pemerintahan? Awalnya sebagai seorang teolog mesti diterima bahwa kesempurnaan agama menuntut adanya gagasan dalam bab pemerintahan sehingga dengan kefakihan dapat mengikuti gagasan tersebut. (1) Berdasarkan pandangan ini, seakan-akan manusia dalam suatu masa, mencari remedy (obat penyembuh) atas seluruh sakit- sakitnya pada agama dan bahkan mencari tahu ilmu kedokteran dan perbintangan darinya, lama kelamaan dengan memperbaiki penantian- penantianya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka jangan mencari sesuatu di dalamnya selain daripada Tuhan dan akhirat serta jangan pula mencari jalan agama guna menyejahterakan kehidupan dunianya.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perubahan Agama dengan Berubahnya Harapan Manusia? Penulis buku "Qabdh wa Basth-e Teorik-e Syariat" dari satu sisi menekankan ketetapan atau konstannya agama (dengan adanya perubahan dalam pengetahuan religius), dari sisi lain, menyebut harapan manusia terhadap agama sebagai penentu ruang lingkupnya. Menurut salah seorang kritikus—yang mengatakan bahwa teori "Qabdh wa Basth-e Teorik-e Syariat" dengan pelbagai kekurangan- kekurangannya tak tergantikan (2) dengan cara pandang
p: 209
khas penulis terhadap masalah harapan manusia terhadap agama, menyebutkan bahwa bukan hanya pengetahuan tentang agama, melainkan agama sendiri pun harus dalam keadaan berubah. Sebagai contoh, hadis-hadis tentang ketabiban Nabi Saw. dan ketabiban Imam Shadiq dalam suatu masa adalah termasuk bagian dari agama, tetapi dengan berubahnya harapan-harapan manusia, hal tersebut telah keluar dari ruang lingkup agama.(1) Menurut Anda, apakah dengan tafsiran tersebut dari masalah "harapan manusia terhadap agama" seseorang dapat tetap cenderung atas konstannya agama? (Tentu saja pada akhirnya, penulis (Soroush) tersebut senada dengan pengkritik (Mustafa Malikiyan) dan menyebut pula agama itu sendiri mengalami penyempitan (qabdh) dan perenggangan (basth): Di sini tidak ada pembicaraan tentang suatu penyempitan dan perenggangan yang tak terelakkan mengikuti pertanyaan-pertanyaan dan pengetahuan-pengetahuan zaman dalam pengetahuan religius, melainkan pembicaraan tentang penyempitan dan perenggangan yang tak terelakkan mengikuti desakan- desakan dan aksiden-aksiden periode (masa), dalam substansi dan hakikat agama. ... tidak boleh ragu bahwa sekiranya semua riwayat-riwayat yang ada dalam bab- bab ini (kedokteran, perbintangan, dan lain sebagainya) mutawatir dan memiliki petunjuk secara pasti (gath`i al- dilālah), tetap saja tidak dapat kita sebut sebagai riwayat- riwayat religius; ... karena penantian atau harapan para pemeluk agama terhadap agama, bukan pembelajaran kedokteran, perbintangan, fisika, dan bintang-bintang atau planet-planet."(2)
p: 210
Begitu pula berdasarkan teori ini, penentuan harapan-harapan manusia dilakukan di luar agama dan dengan cara pandang yang bersifat internal agama (darun-e dini) kerangka dasar harapan-harapan ini tidak dapat ditentukan. Oleh karena itu, jalan untuk mendapatkan jawaban pertanyaan bahwa "apakah agama membahas pula tentang dunia manusia?" dan sebagai contoh, mengemukakan pandangan dalam masalah pemerintahan, bukan dengan merujuk kepada teks-teks religius, melainkan dengan meneliti harapan-harapan atau penantian- penantian seseorang?(1) Dalil terpenting atas klaim ini adalah bahwa "pemahaman atas teks-teks religius berada dalam jaminan penentuan dan pembatasan harapan-harapan kita dari agama;" Jika sebelum-sebelumnya kita tidak menentukan harapan-harapan kita terhadap agama, semua orang dapat menafsirkan nash-nash religius sesuai dengan kepentingannya dan sebagai contoh, dalam membela campur tangan agama dalam politik atau menepi serta mengundurkan diri darinya, memunculkan pembacaan-pembacaan beragam dari teks-teks religius. (2) Pada bagian kesebelas dari buku ini, kami akan membahas serta mengkaji pandangan ini. Di sini, kami hanya mencukupkan diri dengan menjelaskan bahwa dalam memahami suatu teks kebanyakan di antara asumsi tersebut dapat disingkirkan dan secara netral berupaya mencari maksud hakiki dari pembicara (penulis teks). Berdasarkan hal ini, meskipun sesuatu yang menggiring kita ke arah agama adalah perasaan membutuhkan, tetapi setelah kita menemukan suatu jawaban bagi kebutuhan paling mendasar diri kita (pengetahuan tentang awal dan akhir eksistensi) dalam suatu agama tertentu, maka kita dapat pula mencari kebutuhan-kebutuhan kita yang lebih partikular dari agama tersebut dan dengan perantaraan ini sehingga kita menyeimbangkan kerangka dasar harapan-harapan kita.
Dari pembahasan-pembahasan yang telah lalu menjadi jelas bahwa istilah "harapan-harapan manusia terhadap agama" sejak awal mempunyai kandungan makna tertentu serta bertumpu pada suatu dasar-dasar yang sifatnya khusus. Terkadang sebagian orang yang
p: 211
mereka sendiri tidak menerima dasar-dasar ini, mengabaikan poin yang telah disebutkan dan menerapkan istilah ini sebagai sinonim "ruang lingkup agama!"
1. Mengingat indra dan akal tak mampu menggambarkan cara hidup benar, maka kita butuh kepada sumber pengetahuan lainnya yang dalam sumber-sumber religius disebut dengan wahyu.
2. Selain daripada menjawab kebutuhan mendasar ini, agama akan menjawab masalah-masalah fundamental kehidupan personal dan sosial manusia serta mengemban peran yang tak tergantikan.
3. Agama dengan mengajukan suatu gambaran selaras dari sistem alam, memberi makna pada kehidupan manusia.
4. Dahaga keabadian dan kekekalan manusia hanya teratasi dengan keyakinan kepada hari kebangkitan (ma ād).
5. Tak ada sesuatu pun seperti agama mampu mengokohkan seseorang dalam berhadapan dengan pelbagai kesulitan dan membukakan cahaya harapan dalam berbagai kebuntuan.
6. Kepercayaan terhadap Tuhan yang tidak mempunyai sekutu dalam ilmu dan kekuasaan, membebaskan manusia dari kesendirian dan mengubah kesunyian (khalwat) bersama Tuhan yang tunggal, menjadi saat-saat termanis.
7. Agama-agama tauhid merupakan wadah penampakan konsensus dan solidaritas serta melebihi faktor lain apa pun, menjamin persatuan masyarakat.
8. Hukuman-hukuman duniawi terkadang tidak sesuai dengan ukuran kejahatan dan tidak menegakkan keadilan yang sesungguhnya; agama-agama Ilahi dengan menegaskan kehidupan sesudah mati akan menjawab kebutuhan tuntutan keadilan manusia dan dalam berhadapan dengan segala bentuk kezaliman menetapkan ganjaran yang setimpal (sepantasnya).
9. Agama-agama Ilahi bukan candu masyarakat serta faktor penyebab keadaan statis dan keterbelakangan, melainkan mendorong
p: 212
masyarakat bergerak serta mengajak kaum Mukmin memerangi kezaliman dan ketimpangan.
10. Dalam pelbagai dimensi agama membantu moralitas sedemikian hingga sebagian mengatakan: "Jika Tuhan tak ada, setiap perbuatan dibolehkan." 11. Sirah ilmiah dan praktis para pemimpin maksum menjelaskan hal ini bahwa perbaikan kondisi sosial masyarakat dan pembentukan pemerintahan merupakan di antara tujuan-tujuan mendasar agama.
12. Istilah "harapan manusia terhadap agama" sejak awal disertai dengan kandungan makna khusus dan menampakkannya seperti ini bahwa perubahan dalam pandangan-pandangan dan harapan- harapan manusia akan berujung pada perubahan ruang lingkup agama.
1. Jelaskanlah dalil kebutuhan terhadap agama wahyu dengan menggunakan salah satu di antara ayat-ayat atau riwayat-riwayat! 2. Apa yang dimaksud pandangan fungsional terhadap agama? 3. Apakah agama dapat disebut sebagai "respon atau reaksi dalam berhadapan dengan ancaman atas "ketidakbermaknaan" dalam kehidupan manusia"? 4. Bagaimanakah agama-agama Ilahi menghilangkan dahaga manusia akan keabadian? 5. Apakah penekanan atas peranan agama dalam memperkuat kesabaran dan ketabahan bermakna dukungan atau kecenderungan pada perkataan di bawah: "Agama secara mendasar merupakan sebuah jawaban atas kesulitan-kesulitan dan ketidakadilan-ketidakadilan kehidupan?" 6. Apakah manusia merasakan pula kesepian di antara sesama jenisnya? Apa fungsi agama dalam bidang ini? 7. Apakah semua pemikir yang memercayai Tuhan menafikan fungsi sosial agama? Jelaskan!
p: 213
8. Bagaimanakah agama menjadikan kebutuhan manusia akan keadilan terpenuhi? 9. Apa justifikasi yang dimiliki Karl Marx dalam menganggap agama sebagai candu dan bagaimana dapat memberikan jawaban atasnya? 10. Apakah pernyataan ini dapat diterima bahwa "Jika Tuhan tak ada maka setiap perbuatan adalah dibolehkan"? 11. Justifikasi apa yang diberikan oleh kaum Muslim yang menganggap agama terpisah dari politik bagi kepemimpinan para pemimpin maksum? Lakukanlah kritik atas argumen mereka! 12. Apakah harapan-harapan manusia dapat menentukan ruang lingkup agama? Mengapa?
p: 214
"Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan berbicara dengan bahasa kaumnya, sehingga ia menjelaskan hakikat-hakikat kepada mereka dengan terang." (QS Ibrāhīm [14]: 4).
dengan bahasa manakah Tuhan berbicara dengan hamba-hambanya dan metode apakah yang digunakan untuk menjelaskan maksud- Nya? Bagaimanakah kita dapat berbicara tentang Tuhan? Bagaimana dialog dengan Tuhan berlangsung? Semua ini adalah pertanyaan- pertanyaan penting yang mengemuka dalam berhadapan dengan teks- teks dan literatur keagamaan.(1) Dalam pernyataan-pernyataan para peneliti agama, pertanyaan- pertanyaan di atas mengalami perluasan atau pengembangan dalam bentuk-bentuk seperti dibawah ini: Apakah proposisi-proposisi agama dapat diuji dengan metode-metode tentatif? Jika jawabannya negatif, apakah mereka bisa disebut mempunyai makna? Pengaruh apa yang ditinggalkan budaya zaman terhadap bahasa wahyu? Apa kedudukan majasi dan kiasan dalam bidang ini? Apakah bahasa agama bersifat simbolik? Apakah proposisi-proposisi wahyu memerlukan takwil atau interpretasi? Apakah sifat-sifat seperti ilmu (pengetahuan) dan
p: 215
kudrat (kekuasaan) yang digunakan dalam mendeskripsikan khaliq dan makhluk adalah sama secara lafaz (kata), atau makna, atau tak satu pun dari keduanya? Bagaimanakah kita menyatakan rahasia (menyerupai seorang budak atau pecinta)? Dan bagaimanakah meminta kebutuhan kita dari-Nya? Peneliti-peneliti agama dari Barat memuat pertanyaan-pertanyaan semacam ini dalam suatu kategori bernama "bahasa religius" (religious language) dan terkadang pula menggunakan sebutan "bahasa agama" (the language of religion).(1) Sebagian dari pertanyaan-pertayaan ini sejak lama telah menjadi perhatian para filsuf dan kalangan teolog(2) serta sebagiannya lagi merupakan produk tantangan-tantangan zaman modern.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Pemilahan antara Bahasa Urf dan Bahasa Ilmiah Salah satu dalil dalam mengemukakan pembahasan- pembahasan bahasa agama adalah untuk menyingkirkan adanya ketidaksesuaian secara formal antara ilmu dan agama (akal dan wahyu).(3) Sebagai contoh, doktrin-doktrin keagamaan berbicara tentang terbit dan tenggelamnya matahari, sementara kita tahu bahwa matahari sifatnya tetap dan tidak memiliki sifat "terbit" (sunrise) dan
p: 216
"tenggelam" (sunset). Bagaimana dapat menghilangkan adanya ketidaksesuaian formal ini, dengan menggunakan suatu jalan penyelesaian sederhana seperti pemilahan antara bahasa urf dengan bahasa ilmiah?
Dialog atau percakapan Tuhan dengan manusia-di mana jenis paling tingginya disebut dengan wahyu-meliputi pelbagai macam maksud atau tujuan dan sebagai contoh, membahas nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, fenomena-fenomena natural, masa lalu para nabi dan kaum-kaum sebelumnya serta hak-hak dan kewajiban manusia. (1) Pada umumnya, para pakar menyebut tujuan asli dari pada wahyu sebagai bimbingan spiritual terhadap manusia serta penunjukan jalan keselamatan ukhrawi. Walaupun demikian, tentang bahasa yang digunakan untuk mencapai maksud ini, mereka mengajukan pandangan-pandangan yang beraneka ragam. Sebagai contoh, boleh jadi terdapat orang-orang yang memahami bahasa al-Qur'an dalam mengisyaratkan tujuh langit bersifat polemis atau kontroversial dan cenderung kepada asumsi bahwa kitab Ilahi ini menyerahkan perihal penentuan jumlah sesungguhnya dari langit-langit serta menggantinya dengan mengajak para audiens-Nya untuk berenung tentang "pencipta" langit (atau langit-langit yang jumlahnya secara salah mereka hitung sampai tujuh):(2) "Katakanlah! siapakah Tuhan langit-langit yang tujuh dan Tuhan arsy yang besar?" (QS Al-Mu'minūn [23]:86).
Dari sisi lain, mungkin saja terdapat orang-orang dengan cara pandang ateistik, secara mendasar mengingkari kebahagiaan dan penderitaan ukhrawi serta menganggap pahala dan ganjaran
p: 217
hukuman yang ditegaskan agama-agama, sebagai suatu kebohongan yang mengandung maslahat guna mendapatkan kesejahteraan dan kesenangan duniawi.(1) Bagaimanapun, tentang bahasa wahyu pelbagai macam poin-poin dapat dikemukakan, yang akan kami singgung sebagian yang terpenting di antaranya.
Tak syak lagi, bahasa wahyu akan memperoleh hasil atau efek yang pantas ketika selaras dengan bahasa kaum yang dihadapinya pertama kali. Dari sisi ini, menurut kesaksian sejarah, nabi setiap bangsa atau kaum berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Di samping itu, bahwa tuntutan-tuntutan ruang dan waktu turunnya wahyu secara pasti akan memberi warna dan aroma khusus kepada bahasanya, sedemikian rupa sehingga terkadang merefleksikan kejadian-kejadian dan fenomena-fenomena kekinian.
Sebagai contoh, al-Qur'an mengajak audiensnya (kaum yang dihadapinya) -yang mayoritas menggunakan unta untuk melintasi padang pasir–untuk merenungkan bagaimana proses penciptaan hewan ini (2)dan begitu pula dalam menjelaskan nikmat-nikmat Tuhan, tidak menyebutkan nama dari buah-buahan yang tidak dikenal oleh orang-orang Arab.
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Bahasa Kaum dan Ajakan Universal serta Eternal Menurut Anda, suatu agama yang menyebut dakwah atau ajakannya bersifat universal dan eternal, apakah dapat menerima keterbatasan-keterbatasan seperti ini? Dengan kata lain, apakah "keberbahasaan dengan bahasa kaum" (yang terbatas) seperti ini selaras dengan klaim atas "suatu ajakan yang bersifat universal?"
p: 218
Sebagian penulis melangkah lebih jauh dan berbicara tentang terwarnainya wahyu dengan budaya zaman.(1) Berdasarkan pandangan ini "bukan hanya bahasa Islam (baca: Arab), budayanya pun adalah Arab."(2) Para nabi-nabi Ilahi dalam doktrin-doktrin religius mereka, tanpa terelakkan memanfaatkan kebanyakan unsur-unsur kebudayaan kaum. Tugas ahli agama yang sesungguhnya (hakiki) adalah memberikan suatu "interpretasi budaya" terhadap ajaran atau doktrin-doktrin tersebut;(3) sebagai contoh, mereka menyebut tiadanya kesetaraan warisan antara perempuan dan laki-laki sebagai ciri masyarakat patriarki pada masa kenabian(4) dan tidak menganggapnya sebagai hukum yang bersifat abadi serta lintas bangsa: Hakikat keibuan kitab al-Qur'an, ingin membebaskan perempuan-yang terlarang dari semua atau sebagian besar hak-haknya-tetapi turunnya al-Qur'an yang bernuansa Arab dalam suatu masyarakat yang sangat patriarkis di mana mayoritas peran-peran sosial serta ekonomi umumnya berada di tangan laki-laki dan pembiayaan (belanja) perempuan serta seluruh keluarga ada pada laki-laki, hingga batas ini mampu melakukan intervensi pada arah dan tujuan umm al-kitāb yang di samping menekankan kemanusiaan, orisinalitas, potensi, dan hak-hak perempuan dalam bentuk hak-hak yang realistis bagi anak-anak perempuan yang hingga saat itu tak ada sedikit pun warisan yang sampai kepada mereka, dapat juga menetapkan bagian warisan setengah dari saham anak laki-laki:
"Allah mensyariatkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS Al- Nisā [4]: 1).
Dari sisi lain, menjustifikasi perempuan untuk mendapatkan ilmu, kerja, dan usaha memperoleh kemandirian ekonomi serta menambah
p: 219
daya keilmuannya sehingga dengan mendapatkan peran sosial dan ekonomi yang lebih baik mampu mengubah budaya dan struktur patriarki serta mengantarkan masyarakat kepada suatu kondisi, sehingga perempuan dan laki-laki bisa memiliki saham warisan yang setara. Oleh karena itu, pernyataan: "Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan" bukan merupakan hakikat itu sendiri, melainkan "reduksi kearaban" atas hakikat yang sebenarnya.(1) Telaah dan Kritik Hari ini, kebanyakan orang Kristen meyakini diri Isa al-Masih sebagai wahyu paling sempurna serta menegaskan keragaman penulis- penulis risalah "Perjanjian Lama dan Baru" serta keterpencaran mereka dari segi ruang dan waktu, dan begitu pula dengan penerimaan mereka dengan budaya zaman. Menurut Ian Barbour (1923 M), “Dalam pandangan baru terhadap kitab suci, perhatian merujuk kepada sudut pandang dan minat individual para penulis kuno serta tujuan-tujuan yang mereka miliki dalam penulisan jenis teks-teks seperti ini, dan begitu pula dengan lingkungan dan peruntukan-peruntukan historis masa kehidupan mereka. Sesuatu yang terjadi dalam hal ini ialah bahwa mereka hanyalah manusia-manusia biasa yang bersentuhan dengan hal-hal yang telah diakui atau diterima secara pasti pada masa mereka dan memadukannya dengan sejumlah gagasan-gagasan legendaris dan menampilkannya dalam bentuk catatan-catatan."(2) Berdasarkan inilah, kitab suci disebut sebagai " sebuah karya tulis yang seluruhnya manusiawi"(3) dan "kebolehan salah" para penulisnya adalah sesuatu hal yang telah ditegaskan.(4) Meskipun pengertian semacam ini dari wahyu dan kitab suci tidak memiliki keselarasan sama sekali dengan hakikat-hakikat yang behubungan dengan kitab samawi Islam, sebagian dari kaum Muslimin, masih saja mengulang pernyataan-pernyataan ini dalam kaitannya dengan al-Qur'an serta
p: 220
menunjuk beberapa masalah di mana untuk melakukan kritik atasnya kami mencukupkan diri dengan menjelaskan dua poin berikut ini:
1. Berdasarkan tuntutan hikmah Ilahi dan untuk memenuhi tujuan pemberian hidayah, para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya dan mereka tunduk atas konsekuensi-konsekuensi satu bahasa ini selama tidak berujung kepada perkataan batil dan tak baik. Sebagai contoh, sebagian dari budaya-budaya kuno (tua) menghubungkan penyakit jiwa (gila) dengan campur tangan para jin dan karena itu, seseorang yang mengalami penyakit ini mereka namakan dengan "majnūn (kerasukan jin)." Tanpa diragukan, masuknya kata-kata seperti ini ke dalam kalimat-kalimat wahyu tentunya tidak bermakna sebagai pengakuan atas latar belakang kultural mereka; (1) sebagaimana hari ini, bahkan mereka yang menyebut jin sebagai sesuatu hal yang sifatnya khurafat, tetap menggunakan tafsiran-tafsiran ini. Walaupun demikian, berlawanan dengan apa yang dikatakan sebagian penulis-sama sekali tak dapat diterima bahwa sebuah kitab wahyu yang tidak mengakui keberadaan para jin, tetapi guna satu bahasa dengan kaum, menyusun cerita tentang keberimanan mereka (!): "al- Qur`an menyinari kembali budaya zaman, tidak mesti dan tidak dalam semua hal, hakikat primordial dan abadi itu. ... dalam al- Qur`an ... disebutkan tentang keberadaan jin dan terdapat satu surah bernama jin dalam menjelaskan keberimanan sebagian dari mereka serta ketertarikan mereka mendengar ayat-ayat al-Qur`an.
Sementara adalah sangat jauh (mustahil) ilmu dan ilmuwan hari ini berpendapat akan adanya jin."(2) 2. Nabi-nabi Ilahi dengan penuh keyakinan berjuang melawan anggapan-anggapan keliru masyarakat serta tidak menerima satu pun perilaku yang tak pantas. Persetujuan Islam atas sebagian adab-adab dan tradisi-tradisi jahiliyah, bukanlah
p: 221
demi kebersamaan dengan kaum, melainkan dengan alasan bahwa tradisi-tradisi ini entah awalnya bersumber dari akal dan fitrah (seperti kebanyakan dari hukum-hukum muamalah) atau terwariskan dari agama-agama tauhid sebelumnya (seperti sebagian adab-adab haji). Bagaimanapun, seorang nabi yang dengan perintah Tuhan mempermasalahkan keyakinan-keyakinan mendasar masyarakat, bagaimana mungkin tidak mampu (sekiranya diperlukan) berbicara tentang kesetaraan warisan perempuan dan laki-laki dan mengapa harus memuat suatu hukum yang ia patuhi dengan alasan darurat dan hanya bersifat sementara, ke dalam pedoman-pedoman praktis agamanya (al- Qur`an) yang bersifat abadi!
Agama dan Bahasa Simbolis(1) Dalam dialog antara sesama manusia khususnya dalam bahasa literer, perpindahan makna-makna-di samping dengan cara umum dan sederhana-dilakukan dengan cara atau metode-metode lainnya di mana yang terpenting di antaranya dalam istilah ilmu "diksi (tentang artikulasi dan pilihan kata) ('ilm bayān)" dinamakan dengan majas metafora, komparasi, dan kiasan.(2) Sebagai contoh, setiap kali kita ingin memuji kepemurahan dan kedermawanan seseorang, di samping mengungkapkan sifat ini secara gamblang, kita dapat pula
p: 222
menyamakannya dengan Hatim al-Tai atau menyebutnya dengan "tangan terbuka" atau dengan perumpamaan "pintu rumahnya terbuka bagi semua." Dalam kondisi ruang dan waktu tertentu, "Banyaknya debu dalam rumah" dan "kurusnya anak unta" dapat pula menjadi kiasan dari sifat ini. Nah, pertanyaannya adalah apakah pembawa wahyu menggunakan pula teknik-teknik literer ini atau senantiasa memilih jalan atau cara-cara sederhana.
Sejak abad-abad permulaan Islam, telah banyak orang-orang yang menjawab pertanyaan ini dan sebagian di antara mereka seperti Sayid Radhi (359–406 H) melahirkan karya tersendiri tentang majas-majas yang digunakan dalam al-Qur'an dan hadis-hadis nabawi.(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Menunduknya Gunung, Suatu Penjelasan Analogis atau Bukan? Salah satu ayat al-Qur'an yang menjelaskan hal ini adalah jika suatu makhluk (entitas) keras dan kokoh seperti gunung juga menjadi audiens kitab Ilahi ini, niscaya ia akan menunduk karena takut kepada Tuhan dan hancur berserakan: "Jika sekiranya al-Quran ini kami turunkan kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Tuhan." (QS Al- Hasyr [59]: 21). Sayid Radhi menyebut perkataan ini bersifat majasi dan dalam menafsirkannya berkata: Jika sekiranya gunung punya kekuatan memahami al-Qur'an, maka sesudah mendengarnya ia akan merendah dan dalam berhadapan dengan keagungannya-dengan seluruh kekokohannya-terkoyak-koyak (tercerai berai); sementara
p: 223
manusia-dengan dalil memiliki ilmu dan pengetahuan- adalah lebih pantas atas keretakan dan kerendahan hati ini. (1) Menurut Anda, poin apa yang menyebabkan Sayid Radhi meninggalkan interpretasi formal (lahir) terhadap ayat dan berpaling kepada makna majas? Apakah ayat tersebut tetap bisa dimaknai dengan makna formalnya? Ibn Qutaibah (213—276 H) dalam kitab Ta'wil Musykil al-Qur'ān mengkhususkan bab-bab tersendiri tentang teknik seperti majasi dan metafora serta menegaskan poin bahwa jika-sebagaimana sebagian telah mengatakannya-kita menganggap majasi sebagai kebohongan dan tidak bijak, maka kita harus lebih banyak lagi menarik kembali ucapan-ucapan keseharian kita.(2) Walaupun demikian, ia menghindarkan audiens al-Qur'an untuk secara berlebihan menyebut keterangan-keterangan wahyu sebagai majasi dan sebagai contoh, ia menyebut ayat-ayat yang mengisyaratkan sebagian perbuatan setan dan para jin atau yang menjustifikasi efek atau pengaruh fenomena-fenomena seperti "sihir" dan "penangkal mudarat yang mengenai seseorang akibat mata buruk", tidak dapat ditakwil. (3) Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa Ibn Qutaibah dalam mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan bahasa religius tidak mencukupkan diri dengan apa yang dihadapi oleh para pengikut al-Qur'an dan menyebut pula asal usul kebanyakan penyimpangan yang dilakukan para penganut agama lainnya disebabkan oleh
p: 224
pemahaman yang keliru dalam masalah ini. Sebagai contoh, ia dengan mengisyaratkan pernyataan Isa al-Masih dalam Injil yang menyebut Tuhan sebagai ayahnya, menghindarkan kaum Kristen untuk meyakini perkataan ini dalam makna formalnya dan apa yang dianjurkannya ini, ia mengutip perkataan-perkataan Isa al-Masih lainnya yang di dalamnya Tuhan disebutkan pula sebagai ayah dari manusia-manusia lainnya.(1) Menurut pandangan pemikir Muslim, sekelompok masyarakat tidak memahami kebanyakan dari hakikat-hakikat transenden, kecuali dalam bentuk bahasa analogi; dari sisi ini, nabi-nabi yang memikul beban hidayah seluruh manusia, berbicara dengan mereka tidak seukuran daya rasionalitasnya,(2) melainkan seukuran kapasitas akal masyarakat.(3) Berdasarkan hal ini, al-Qur'an sedemikian rupa menggambarkan perlindungan wahyu, baik pada tahapan penerimaan maupun pada penyampaiannya, di mana seakan-akan para malaikat Ilahi-seperti layaknya pengawal-pengawal dengan senjata di tangan-melakukan penjagaan atas sepucuk surat yang dibubuhi stempel Tuhan; sementara wahyu bukan berupa tulisan yang terindra, melainkan, setidaknya dalam tingkatan tertingginya-dari sejenis ilmu huduri dan kemustahilan salahnya pun dapat dijelaskan dengan jalan ini pula.(4)
p: 225
Meskipun demikian, keanalogian suatu kejadian yang dilaporkan dalam teks-teks wahyu sama sekali tidak boleh dianggap bermakna sebagai kepalsuannya, dan seperti yang disebutkan oleh salah seorang pemikir, maksud dari pada analogi bukanlah suatu kisah yang sama sekali tidak memiliki realitas dan kesesuaian eksternal, melainkan bermakna sebagai suatu hakikat rasional dan pengetahuan gaib yang menemukan wujud riil, terungkapkan kembali dalam bentuk terindra dan terlihat.(1) Kalangan pemikir Kristen menegaskan pula kemajasian sebagian ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam kitab suci; sebagai contoh, "karang" dan "penggembala"-an Tuhan bermakna sebagai “kepelindungan" dan "kepengasuhan"-Nya. (2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Alasan Penggunaan Bahasa Simbolik dalam Teks- Teks Keagamaan Salah seorang di antara penulis-penulis Kristen menyebutkan alasan-alasan penggunaan bahasa simbolis dalam teks-teks keagamaan sebagai berikut:(3) "Agama-agama diperkirakan menggunakan dua dalil yang sama sekali berbeda dalam bentuk-bentuk:
tidak-langsung, tidak-gamblang serta simbolik, guna menyampaikan maksud atau tujuan-tujuannya. Pertama, agama-agama berusaha supaya pengalaman-pengalaman dan perasaan-perasaan yang dijelaskannya berefek pada tindakan dan karakter manusia. Kedua, berusaha berbicara tentang suatu subjek yang tidak lazim dan sulit dimengerti seperti Tuhan atau tuhan-tuhan, hal-hal yang bersifat supranatural atau stratum-stratum misterius batin. Bahasa
p: 226
tidak gamblang dan alegoris, di samping memenuhi tujuan yang pertama, yakni merangsang atau membangkitkan emosi atau perasaan seseorang dan menyebabkannya bereaksi; dalam batas tertentu, mewujudkan pula tujuan kedua, yakni berfungsi menjelaskan dan mendeskripsikan hal-hal transenden dan nonnatural. "(1) Diskusikanlah tentang kedua faktor ini, berikut kebenaran dan ketidakbenaran antara satu dengan lainnya! Melewati faktor-faktor ini, apakah dengan hanya sekedar sebahasa dengan masyarakat (berbahasa dengan bahasa kaum) penggunaan alegori dan metafora menjadi tak terelakkan? Tentunya, sebagian kalangan pemikir barat seperti Paul Tilich (1886–1965 M) menyebut seluruh proposisi-proposisi religius (terkait dengan sifat-sifat Tuhan) sebagai simbolis dan peralihan serta penerjemahan proposisi ini kepada bahasa yang gamblang dan nonsimbolis ia anggap mustahil.(2) Akan tetapi, perkataan ini sepertinya mengandung fallasi; maksud Tilich yang sesungguhnya ialah menegaskan poin bahwa Tuhan adalah hakikat atau prinsip "eksistensi", bukan "suatu eksistensi di antara eksistensi-eksistensi" di mana perbedaan-Nya dengan wujud-wujud yang lain hanyalah sesuatu yang misalnya "mempunyai kekuasaan lebih tinggi." Menurut keyakinannya, ketika kita berbincang tentang Tuhan, kita harus berbicara secara simbolis. Satu-satunya kalimat yang bisa kita katakan dengan cara tidak simbolis ialah bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Tuhan bukan suatu keberadaan yang ada, melainkan suatu kuasa kewujudan yang ada pada seluruh keberadaan serta memberi kekuatan wujud kepada mereka dan tanpa itu, eksistensi mereka menjadi mustahil. Segala sesuatu lainnya yang kita katakan tentang Tuhan adalah simbolis. Misalnya kita katakan: Tuhan adalah sebab
p: 227
dari sebagian sesuatu, tetapi perkataan ini pun adalah simbolis karena Tuhan adalah sebab dari segala sebab dan tanpa Dia, baik sebab maupun akibat, keduanya tidak ada. Akan tetapi, penggunaan istilah "Sebab segala sebab" juga tidak tepat karena alam semesta tidak terpisah dari Tuhan, melainkan perantara bagi aktivitas-Nya yang berlangsung terus menerus.(1)
Berbicara tentang bahasa simbolik keagamaan tanpa terelakkan akan menggiring manusia kepada pembahasan penggunaan takwil atau interpretasi, (2) karena takwil—dalam maknanya yang digunakan secara umum, tidak lain adalah suatu pelepasan diri dari makna formal (lahiriah) serta mengambil makna yang tidak gamblang.(3) Di sini, tanpa berniat untuk mendedah pembahasan panjang ini secara lebih rinci, kami mencukupkan diri dengan mengisyaratkan bahwa kejumudan atas formalitas kata dari teks-teks suci atau penakwilan teks-teks suci dengan kriteria-kriteria rasional akan memecah penganut agama-agama ke dalam berbagai macam sekte- sekte; sebagaimana dalam sejarah agama-agama, perbedaan utama antara dua golongan Yahudi Saduki dan Farisi disebutkan seperti ini:
Saduki, antara prinsip-prinsip pemikiran-pemikiran logis dan bijak bapak-bapak serta kakek-kakek tua kami yang terjaga dan tergariskan di dalam kitab-kitab suci, dengan ajaran-ajaran dan pemikiran- pemikiran orang-orang Yunani timbul suatu hubungan dan kompilasi; ... tetapi, ... farisiun mengatakan: kewajiban dan taklif komunitas ialah tetap tegar dan setia kepada kitab Taurat, yakni syariat Musa, menjaga bentuk dan makna agama tanpa interpretasi dan tafsiran apa pun.(4)
p: 228
Dalam dunia Islam pun, timbul banyak perbedaan tentang perlunya interpretasi dan takwil serta batasannya dan telah banyak orang-orang yang melakukan kajian terhadap masalah ini. Di antara mereka, filsuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd (520–595 Hq) dengan menulis buku-buku seperti;: Fashl al-Maqāl wa Taqrir mā Bayna al- Syarī ah wa al-Hikmah min al-Ittishāl, menyebut penakwilan ayat-ayat wahyu sebagai satu-satunya jalan mempertahankan keselarasan agama dengan filsafat. Atas maksud ini, Ibn Rusyd membangun suatu aliran rasionalis yang banyak didukung oleh orang Kristen yang sezaman dengannya.(1)
Di antara tiga pertanyaan yang telah lalu di awal pasal, apa yang hari ini lebih banyak dibahas dalam kajian "bahasa religius" adalah bagaimana bisa dengan suatu bahasa yang mencitrakan sifat-sifat atau ciri-ciri manusia, berbicara tentang Tuhan yang transenden.
Makna yang kita dapatkan dari kata-kata seperti ilmu, kuasa, adil, dan bijaksana dalam akal kita, telah tersimpul dengan batasan-batasan manusiawi, dan hal ini menyebabkan penerapan atau penggunaan mereka terhadap "wujud tak terbatas” menemui kesulitan yang sangat besar. Dari satu sisi, suatu pengetahuan tentang Tuhan dapat dicapai di saat tangan kita tidak menyentuh makna umum yang telah diterima dari sifat-sifat (terbebas dari agnostisisme); dari sisi lain, menganggap sama sifat-sifat manusia dan Tuhan akan berujung pada "pengiyasan" dan "antropomorfisme" terhadap Tuhan; suatu cara pandang di mana kebanyakan pengikut-pengikut agama-agama wahyu menyatakan penolakan darinya.
Dengan menggunakan istilah-istilah umum dan baku di kalangan pemikir Muslim, dalam pandangan awal dapat disebutkan dua perkiraan, yaitu kesamaan lafaz (kata) dan kesamaan makna. Selain itu, mungkin saja seseorang memahami penggunaan konsep-konsep
p: 229
ini pada salah satu dari dua objek (Tuhan dan manusia) bersifat hakiki dan lainnya bersifat majasi.
Dari sisi lain, sebagian dari kalangan pemikir Kristen dengan menolak kesamaan lafaz dan makna, mengembangkan teori lain yang mereka namakan dengan "tamsil atau analogi." Pada akhirnya dapat ditemui pula orang-orang yang mengajukan suatu makna penafian dari seluruh sifat-sifat Tuhan yang secara formal bersifat tetap. Pandangan ini dalam istilah pemikir Barat disebut dengan teologi penafian-dapat diposisikan sebagai "bagian yang sejajar atau berdampingan" dengan pandangan-pandangan yang telah disebutkan, meskipun sebagian di antara pembela-pembelanya secara gamblang menyatakan kecenderungan atas kesamaan lafaz (kata) dari pada sifat-sifat.
Sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian dari kalangan pemikir, berpaling kepada teologi penegasian untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan semantik sifat-sifat Tuhan dan dengan menegaskan kesamaran (kemustahilan mengetahui) sifat-sifat ini, mereka menyebut tafsiran yang benar atas "tahu dan kuasanya" Tuhan adalah "tidak jahil dan tidak lemahnya" Dia, sebagaimana Ibn Maimun (530—603 H) mengatakan: "Ketahuilah bahwa penyifatan Tuhan melalui jalan penegasian kekurangan-kekurangan merupakan satu- satunya penyifatan benar yang kosong dari segala bentuk pengabaian (tasāmuh) ... tetapi penyifatan Dia dengan sifat-sifat penetapan (positif) disertai dengan syirik dan kekurangan yang telah kami jelaskan jauh sebelumnya."(1) Ulama terkemuka Yahudi ini, dengan menerima teologi penegasian, berupaya melepaskan diri dari "penyerupaan" dan "agnostisisme" secara bersamaan. Ia mengira pandangan ini secara tegas akan menjauhkan dari penyerupaan Tuhan dengan ciptaan- ciptaan-Nya (pengiyasan), pada saat yang sama juga tidak berujung kepada "agnostisisme" dan menghasilkan suatu pengetahuan tentang
p: 230
Tuhan, karena ketika kita memuji Tuhan dengan sifat-sifat seperti "hidup", dari satu sisi kita tidak memperhatikan makna positif dari sifat ini, sehingga kita terperosok ke jurang "penyerupaan" (tasybih); dari sisi lain, menghiasi Tuhan dengan sifat "kematian" merupakan suatu langkah guna mengetahuinya. Berdasarkan hal ini, semakin bertambah "penegasian-penegasian" tersebut, maka pengetahuan kita terhadap Tuhan akan semakin banyak pula: "Kullamā zidta fī al-salbi anhu taāla qarabta min al-idrāk. "(1) Demikian pula, Syekh Shaduq (w. 381 H) yang menyebut sifat- sifat Tuhan sama persis dengan zat-Nya (atau diri zat itu sendiri), (2) berkeyakinan bahwa untuk membela kesamaan identikal ('ainiyyat) ini, seluruh sifat-sifat zat yang tetap mesti dikembalikan kepada penegasian sifat-sifat yang berlawanan dengannya: "Ketika kita menyebutkan sifat- sifat Tuhan, sejatinya, dengan menyebut setiap sifat, kita menafikan lawannya dari dia. Maka, setiap kali kita mengatakan "Tuhan adalah hidup" kita telah menafikan lawan hidup (mati) dari-Nya. ... jika tidak seperti ini (yakni sifat-sifat tsubūt [positif) tidak kembali pada sifat-sifat penegasian (negatif), maka kita sedang membuktikan hal-hal selain dia dan selalu bersama dia." (3) Qadhi Said al-Qummy (1045–1103 H) sekaitan dengan hal ini juga mengatakan: Tujuan pada setiap sifat di antara sifat-sifat di mana Wājib al-Wujūd tersifati dengannya adalah bahwa Dia tidak tersifati dengan lawan (naqidh) sifat tersebut, misalnya, dikatakan: "Dia tahu (“alim)" bermakna bahwa "Dia bukan tidak tahu (bukan jahil)" dan "Dia kuasa (mampu)" artinya “Dia bukan tidak kuasa (bukan tidak mampu)". (4) Sebagaimana dalam bagian empat yang telah lalu, Qadhi Said menyebut Tuhan suci dari segala bentuk sifat dan ungkapan terkenal dari Imam Ali bin Abi Thalib pun (kesempurnaan ikhlas mengharuskan penegasian sifat-sifat dari-Nya) menyatakan tafsiran ini pula. (5) Ia berdasarkan cara pandang penegasian ini, cenderung kepada teori
p: 231
"kesamaan lafaz (kata)" sifat-sifat dan membedakannya dengan dua pandangan asli lainnya, yaitu A) Kesamaan makna; B) Hakikat dan majasi.(1) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Teologi Penegasian-Telaah dan Kritik Bagaimana Anda menilai pandangan Ibn Maimun tentang makna semantik sifat-sifat Ilahi?(2) Menurut sebagian kritikus, apabila "hidup" Tuhan tidak meninggalkan suatu makna pada pikiran (mental) seseorang, bagaimana "ketidakmatian-Nya" menjadi tampak! Dengan kata lain: "Penafian salah satu dari dua hal yang saling berhadapan di mana tak ada suatu penghubung di antara keduanya (seperti tahu dan tak tahu), pada dasarnya bermakna pembuktian sesuatu hal yang lain. Berdasarkan ini, adalah kontradiktif dan tak bermakna jika kita menafikan "ketidaktahuan" dan "ketidakkuasaan" dari Tuhan, tetapi ilmu dan kekuasaan tidak kita buktikan. Selain itu, konsep-konsep yang bersifat tiada ini (seperti tahu dan tidak tahu) timbul dengan cara penghubungan "tiada" kepada malakah-malakah (pengetahuan yang dikuasai secara inheren). Hal ini (tidak tahu = tiadanya ilmu/tahu) oleh karena itu, selama malakah-malakah tersebut tidak tergambarkan, konsep- konsep yang bersifat tiada ini tidak dapat diabstraksikan, dan selama malakah-malakah tersebut belum terbuktikan bagi subjeknya, ketiadaan mereka dari subjek tersebut tidak dapat dinegasikan."(3)
p: 232
Diskusikanlah tentang kritikan ini antara satu dengan lainnya! Selain itu, apakah Syekh Shaduq dan Qadhi Said dapat dikatakan sependapat dengan Ibn Maimun? Apakah ketiga orang ini memiliki cara pandang yang sama terhadap masalah dan sedang berupaya menemukan suatu jalan untuk penyelesaian kesesatan peyerupaan? Tentunya bahwa dalam dunia Islam kebanyakan para pemikir lebih cenderung kepada teori "kesamaan makna" sementara di dunia Barat, teori "analogi (tamsil)" menemukan popularitas yang lebih luas.
Menurut laporan sebagian literatur, teolog seperti Abu al-Hasan Asy`ari (260—sekitar 324 Hq) dan Abu al-Hasan Bashri Mutazili (w.
436 H) menyebut kata "wujud (eksistensi)" sebagai suatu kesamaan lafaz serta memiliki makna yang tak terhitung (sejumlah esensi-esensi yang ada pada alam). Dengan penjelasan ini, wujud segala sesuatu (Tuhan, manusia, pohon...) adalah bermakna esensinya.(1) Menurut yang dikatakan sebagian lainnya, wujud dalam pandangan keduanya tidak memiliki makna yang sedemikian luas dan hanya merupakan kesamaan lafaz (kata) antara Pencipta (Khāliq) dan makhluk. (2) Filsuf Paripatetik, Mulla Rajab Ali Tabrizi (w. 1080 H) juga termasuk pembela pandangan ini dan secara gamblang mengatakan:
samaan wujud dan maujud antara wājib dan mumkin adalah kesamaan lafaz (ekuivokal), bukan kesamaan makna (univokal). "(3) Ia berusaha menampakkan bahwa kebanyakan filsuf dan arif seperti Abu Nasr al-Farabi (259—339 Hq) sepakat dengan pandangan ini, sebagaimana ia mengatakan: "Guru kedua (second master) dalam
p: 233
pasal-pasal madaniyah, menjelaskan (kesamaan lafaz wujud) dengan ungkapan bahwa "wujud Tuhan Yang Mahatinggi berbeda dengan wujud-wujud lainnya dan tak satu pun di antara mereka yang mempunyai kesamaan makna dengannya; jika terdapat kesamaan, maka hanya sekedar kesamaan dalam nama, bukan dalam makna yang terpahami dari nama tersebut."(1) Walaupun demikian, dari sebagian pernyataan al-Farabi dapat disimpulkan bahwa penegasannya adalah pada gradasi kata-kata ini, bukan kesamaan lafaz mereka; sebagaimana ia ungkapkan: kebanyakan nama yang sama antara Tuhan dan selain-Nya-seperti "maujud" dan "satu"-pada tingkatan pertama, menyiratkan kesempurnaan- Nya, kemudian digunakan untuk selain-Nya berdasarkan tingkatan keberadaan mereka ... Oleh karena itu, kebenaran nama-nama ini atas Tuhan-dibandingkan dengan wujud-wujud lainnya lebih banyak dan lebih dahulu. (2) Bagaimanapun, Fakhrurazi (544–606 H),salah seorang teolog bermazhab Asy'ariah-dalam banyak karyanya melakukan kritikan atas pandangan-pandangan yang disandarkan kepada tokoh-tokoh Asy`ariah(3) dan menyatakan kesamaan makna "wujud" mencapai batas hal-hal yang bersifat badihi (swabukti dan tidak memerlukan argumen).(4) Kebanyakan lainnya dari kalangan pemikir Muslim-baik filsuf maupun teolog-cenderung pula pada kesamaan makna wujud dan pada saat yang sama menegaskan kegradasian konsep ini.(5) Meskipun pada umumnya yang menjadi poros (tema sentral) dari diskusi-diskusi ini adalah "wujud", tetapi dapat ditularkan pula
p: 234
kepada semua sifat-sifat yang sama antara Tuhan dan manusia;(1) sebagaimana al-Farabi menulis: Ketika kita mengatakan "Tuhan ada," kita mengetahui bahwa wujud-Nya tidak sama dengan wujud entitas- entitas yang lebih rendah. Ketika kita mengatakan "Tuhan hidup," kita mengetahui bahwa hidup-Nya lebih baik dari hidup wujud-wujud di bawah-Nya. Begitu pula sifat-sifat Tuhan yang lain.(2) Mulla Hadi Sabzewari (1212—1289 Hq.) dalam suatu risalah tersendiri yang ia tulis tentang tema ini, mengatakan: yang benar ialah bahwa "wujud" merupakan kesamaan makna dan suatu hal yang bergradasi, meskipun semakna dari segi kesempurnaan dan kekurangan (kecacatan), awal dan akhir, kuat dan lemah mempunyai tingkatan-tingkatan yang beragam. Tanpa disebutkan lagi, telah jelas bahwa konsekuensi pernyataan ini bukanlah bahwa hakikat Wajib al-Wujūd (yang maha tinggi) dan mumkin al-wujūd (wujud kontingen) sedang disamakan, karena sesuatu yang sama di antara keduanya, tiada lain kecuali suatu konsep yang dipredikatkan kepada mereka.
Berdasarkan komparasi ini, yang dimaksud dengan alim (yang tahu)— ketika disebutkan bagi selain Tuhan ialah seseorang di mana ide atau sebuah gagasan baginya menjadi tampak (tersingkap) dengan jelas dan yang dimaksud dengan kuasa ialah seseorang yang mengerjakan suatu perbuatan dengan ilmu dan kehendaknya. Ketika kata-kata ini kita gunakan dalam kaitannya dengan Tuhan, makna-makna ini pulalah yang kita maksudkan; meskipun ketersingkapan bagi Tuhan dari segi ukuran, volume, isi, kuatnya adalah tak terhingga dan tidak dapat dibandingkan dengan ilmu terbatas kita (yang pada hakikatnya bayangan, bukan asli [prinsip] dan sesuatu). (3)
p: 235
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kesamaan Kata (Lafaz) atau Makna? Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H) tentang ciri-ciri yang sama bagi Tuhan dan manusia mengatakan seperti ini:
"Segala sesuatu yang dipredikatkan bagi Tuhan dan selain-Nya adalah dengan dua makna yang berbeda dan tidak dalam satu tingkatan; bahkan wujud yang cakupan maknanya lebih luas dari segala hal, sedemikian rupa mencakup Tuhan dan yang lainnya dengan satu bentuk, namun wujud seluruh makhluk Tuhan (mā siwallāh) merupakan bayangan dan simbol dari wujud Tuhan.
Begitu pula dengan sifat-sifat lain-Nya seperti; ilmu ('ilm), kuasa (qudrah), kehendak (iradah) dll... Bahkan sebagaimana halnya yang lain tidak mampu memperoleh peliputan atas hakikat (kunh) zat Tuhan, mereka pun tidak mampu mencapai wujud sifat-sifat-Nya. Segala apa yang dibahasakan orang-orang berakal dalam menyifatinya adalah seukuran pahaman dan kemampuannya karena mereka menerapkan sifat-sifat tentang-Nya yang mereka temukan dalam diri mereka dan sesudah menyucikannya dari kekurangan-kekurangan yang bersumber dari penisbahan mereka kepada manusia, menisbahkannya kepada Tuhan dengan sejenis perbandingan (1) dan penyerupaan. ... oleh karena itu, apa yang mereka katakan dalam menyifati-Nya, pantas bagi daya atau kemampuan mereka, bukan bagi Dia."(2) Menurut Anda, apakah orang yang mengungkapkan pendapat ini dapat disebut sebagai bagian dari orang-orang
p: 236
yang cenderung pada kesamaan lafaz (kata) sifat-sifat? Apakah sebagian dari dialog-dialog yang timbul dalam masalah ini dapat digolongkan sebagai suatu perdebatan seputar lafaz?
Predikasi Analogis(1) Thomas Aquinas (1225–1274 M) seorang teolog terkemuka Kristen, dalam pembahasan semantik sifat-sifat Tuhan mengembangkan suatu teori yang ia namakan dengan "analogi (nisbah)."(2) Ia menyebut analogi sebagai suatu jalan tengah yang dalam perkara semantik sifat-sifat Ilahi menggantikan dua metode umum, yaitu atribusi satu makna (univokal) dan atribusi beberapa makna (ekuivokal). (3) Menurut Aquinas, dari satu sisi, sifat-sifat yang secara sama dipredikatkan kepada khaliq dan makhluk, tidak dapat sama secara persis, sebagai contoh: ketika kita mengatakan seorang manusia adalah berakal, kita sedang mengisyaratkan sesuatu yang berbeda dengan substansi, kuasa, dan eksistensinya; sementara kebijakan dan keilmuan Tuhan tidak terpisah dari zat, kuasa, dan wujud-Nya.(4) Dari sisi lain, makna-makna sifat-sifat ini sama sekali tidak bisa disebut asing antara satu dengan lainnya dan kesamaannya hanya dalam lafaz saja, karena tak diragukan lagi, antara Tuhan dengan makhluk-Nya terdapat sejenis kemiripan.(5) Berdasarkan hal ini, supaya kita tidak menyamakan Tuhan dengan makhluk-makhluk secara sempurna dan pada saat yang sama kita mendapatkan suatu pengetahuan dari-Nya, di hadapan kita tak ada jalan kecuali melakukan analogi (tamtsil).
p: 237
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk menafsirkan dan menjelaskan pandangan ini. Sebagai contoh, menurut pendapat sebagian filsuf-filsuf agama, manusia dalam rangka mengenal makhluk-makhluk lainnya-entah ia lebih tinggi atau lebih rendah dari manusia-menggunakan sejenis analogi dan komparasi yang dapat dibagi ke dalam dua bagian: menaik dan menurun.
Dalam anologi menurun, dengan membandingkan perilaku manusia dengan wujud yang lebih rendah, kita menisbahkan suatu sifat seperti "kesetiaan" kepada seekor binatang semisal anjing- meskipun mungkin saja faktor-faktor seperti pilihan sadar dan bertujuan, menempatkan kesetiaan manusia dalam suatu tingkatan yang lebih tinggi. Dan dalam analogi menaik, kita menyebut sifat- sifat insaniah diri kita sebagai seberkas cahaya dari kesempurnaan- kesempurnaan yang lebih tinggi (dan bahkan tak terhingga) dari suatu wujud suprainsani dan dengan perantaraan ini kita melangkah ke arah mengetahui-Nya.(1) Analogi Atributif dan Perimbangan (Proporsi) Aquinas terkadang menggunakan contoh di bawah ini untuk memperjelas makna analogi; Kata "sehat" selain digunakan dalam menyifati badan yang tidak sakit, juga dalam menjelaskan sifat makanan (dari sisi penyebab kesehatan), juga berkenaan dengan wajah manusia (sebagai tanda sehat). (2) Sebagaimana yang tampak dari contoh ini, dalam jenis penerapan ini, salah satu dari makna-makna (seperti makna pertama dari kata sehat) merupakan asli dan sumber di mana makna-makna lainnya timbul akibat pengembangannya.
Walaupun demikian, tidak boleh menganggap bahwa disebutnya Tuhan sebagai tahu dan bijak semata-mata hanya karena merupakan sumber kebijaksanaan dan pengetahuan (sebagaimana makanan sehat menyebabkan kesehatan), dan dirinya sendiri tidak memiliki kekhususan-kekhususan ini karena seluruh kesempurnaan-
p: 238
kesempurnaan dalam bentuknya yang paling tinggi terkumpul di dalam wujud-Nya, dan mereka sendiri merupakan sumber kesempurnaan makhluk-makhluk. (1) Ungkapan-ungkapan ini merupakan penjelasan dari suatu jenis analogi yang dikenal dengan analogi atributif(2), yaitu atribusi suatu predikat (seperti sehat yang dalam derajat pertama digunakan untuk menyifati badan) kepada suatu subjek kedua (seperti makanan) dengan alasan adanya sejenis hubungan dengan subjek pertama.
Jenis lain analogi dapat disimpulkan dari ungkapan-ungkapan Thomas Aquinas yang dinamai dengan "analogi proporsional."(3) Menurut jenis analogi ini, berdasarkan hubungan di mana zat Tuhan lebih tinggi dari pada tabiat atau kodrat manusia, kesempurnaan- kesempurnaan-Nya pun lebih tinggi; dan pada hakikatnya, hubungan antara kesempurnaan-kesempurnaan dan zat masing-masing, proporsional terhadap hubungan ini sendiri dari yang lain-sebagai contoh, hubungan antara "kebijaksanaan Tuhan" dan "zat tak terhingga"-Nya-sama seperti hubungan antara "kebijaksanaan Socrates" dan "zat terhingga"-Nya.(4) Kebijaksanaan Socrates Zat terhingga Socrates Kebijaksanaan Tuhan Zat tak terhingga Tuhan PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Analogi Atributif dan Proporsi—Telaah dan Kritik Predikasi analogis dalam kedua ulasannya (atributif dan perimbangan) dihadapkan dengan banyak kritik.
Sebagai contoh, jika yang dimaksud Aquinas (dalam
p: 239
predikasi analogis) ialah bahwa disebutnya Tuhan sebagai berilmu dan bijaksana karena ia merupakan sumber kesempurnaan-kesempurnaan ini, mengapa-sesuai dengan analogi ini-sifat-sifat tak terhitung lainnya tidak dapat dinisbahkan kepada-Nya?(1) Begitu pula, salah satu di antara keberatan-keberatan mendasar analogi perimbangan yang mereka sebutkan ialah tidak menghasilkan makna jelas dari sifat-sifat Ilahi dan akan berujung kepada agnostisisme.(2) Dengan penjelasan lain, pada bagan yang lalu (yang seharusnya satu bagian) dua bagian dari keempat bagian keselarasan gaib dan tidak diketahui, yaitu hikmah Tuhan dan Dzat tak terhingga-Nya.(3) Tanpa melihat kritikan-kritikan ini, apakah analogi yang bersifat atribut dapat dikembalikan kepada "hakikat dan majas" serta analogi perimbangan kepada "kesamaan makna dan gradasi sifat-sifat"?
Perhatikanlah proposisi-proposisi di bawah ini:
a. Sekumpulan sudut-sudut bagian dalam dari suatu segitiga adalah 180 derajat.
b. Hari Rabu saya akan pergi ke Teheran.
C. Air murni dalam kedinginan 100 derajat akan membeku dan dalam 0 derajat akan mendidih.
d. Rabu adalah segitiga.
Apa perbedaan proposisi-proposisi ini antara satu dengan lainnya? Jika kita tidak merujuk kepada pengetahuan-pengetahuan kita sebelumnya dan kata-kata yang digunakan dalam kalimat-kalimat ini kita tinggalkan dengan maknanya yang umum (biasa), kita akan
p: 240
menyebut tiga proposisi pertama "bermakna" dan proposisi keempat "tak-bermakna". Proposisi-proposisi bermakna dapat ditempatkan dalam tiga kelompok "mesti benar", "tidak mesti benar", atau "kira-kira benar (dan kira-kira tidak benar)." Namun, dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi tak-bermakna, pada dasarnya tidak bisa dibicarakan tentang "kebenaran atau ketidakbenaran." Golongan dari kaum empiris, yang dinamakan dengan "positivisme logis", menyebut proposisi-proposisi religius sebagai proposisi-proposisi tak-bermakna(1) dan dalam kesimpulannya, mereka menyebut tidak bijak membicarakan tentang benar atau tidak benarnya proposisi- proposisi religius. Menurut pandangan mereka, bermaknanya setiap proposisi (2) bergantung pada "bisanya diverifikasi" dan segala sesuatu yang tidak dapat diuji dengan kriteria-kriteria tentatif (empiris) adalah tak-bermakna. Alfred Jules Ayer (1910–1989 M) dalam kaitannya dengan prinsip verifikasi dan konsekuensinya mengatakan:
Suatu kalimat hanya akan memiliki makna nyata bagi orang tertentu manakala orang tersebut mengetahui bagaimana proposisi yang dinyatakan dalam kalimat tersebut dapat diverifikasi, yakni mengetahui penyaksian-penyaksian apa dan pada kondisi-kondisi bagaimana yang menyebabkan kita menerima proposisi tersebut sebagai proposisi yang benar atau menafikannya sebagai suatu proposisi yang salah atau bohong.(3) Berdasarkan ini, ke-mumkin-an hakikat-hakikat transenden keagamaan menurut pandangan kami ternafikan, karena kalimat-kalimat yang digunakan orang beragama untuk menyatakan hakikat-hakikat ini, tidak mempunyai makna tetap (definite) dan hakiki.(4)
p: 241
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Dapat Diverifikasi (Dibuktikan) dan Dapat Dibatalkan Kalangan positivis tidak sama dalam berpikir tentang kriteria-kriteria kebermaknaan, sebagai contoh, sebagian menegaskan kebisaan-verifikasi dan kelompok lainnya menekankan kebisaan-batal.(1) Guna memperjelas perbedaan kedua istilah ini, berusahalah temukan suatu jalan untuk membuktikan atau membatalkan proposisi- proposisi di bawah ini:
1. Dalam sebuah kamar terdapat satu meja dan empat kursi.
2. Dalam bilangan bilangan desimal angka x tiga angka 5 bisa didapatkan secara kontinu.
3. Semua orang-orang Iran adalah cerdas.
4. Sejak subuh hari ini, volume dan ukuran seluruh benda-benda natural menjadi dua kali lipat.
Apakah proposisi pertama dapat dibuktikan atau dibatalkan? Jika dalam desimal angka x kita lalui hingga sepuluh ribu bilangan dan kita tidak menemukan tiga angka 5 secara kontinu, apakah proposisi kedua dapat kita namakan telah batal? Untuk hal ini, hingga berapa bilangan yang harus kita lalui? Untuk pembuktian tentatif proposisi ketiga, metode atau trik apa yang dapat dipikirkan? Apakah dapat dikatakan bahwa proposisi pertama bisa dibatalkan dan juga dapat dibuktikan; sementara dua proposisi selanjutnya, secara berurutan, hanya dapat dibuktikan dan hanya bisa dibatalkan? Bagaimana dengan proposisi keempat?
p: 242
Sebagian kaum agamawan menerima kriteria kebermaknaan kaum positivis dan juga menyebutkan bahwa agama dapat diverifikasi. (1) Namun, kebanyakan lainnya mempermasalahkan(2) serta menghitung sederet kekurangan-kekurangannya dalam bagian ini:
1. Prinsip verifikasi sendiri adalah merusak; jika prinsip ini kita sebut valid, maka dalam derajat pertama, ia sendiri mesti disebut tak-bermakna, karena tak satu pun cara atau metode tentatif (empiris) yang dapat menyentuh atau mencapai makna dari prinsip ini. (3) Atas dasar prinsip ini, bukan hanya filsafat dan teologi, bahkan kebanyakan di antara proposisi ilmu-ilmu empiris akan menjadi tak bermakna; (4) karena, sebagai contoh, eksperimen (tanpa menggunakan argumentasi rasional) tidak akan pernah berujung kepada munculnya suatu hukum-hukum universal seperti "setiap air mendidih pada seratus derajat." 3. Kewajiban para logikawan dan ahli bahasa (linguis) adalah menemukan dan menganalisis fenomena-fenomena bahasa dan dalam hal ini tidak dapat dikemukakan suatu pandangan atau teori-teori yang tidak selaras dengan temuan-temuan batin yang sifatnya umum. Jika kita menganalisis batin diri kita sendiri, kita tidak akan melihat makna sebuah proposisi dalam jaminan bahwa ia dapat diverifikasi secara empiris; dari sisi ini, bukan hanya kaum agamawan, kebanyakan di antara kaum empiris yang tidak menerima proposisi-proposisi wahyu, menerima pula kebermaknaan mereka.
p: 243
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Suatu Cerita (Hikayat) Bermakna dan Tidak Dapat Diverifikasi Bacalah cerita di bawah dan pikirkanlah tentang bagaimana ia dapat diverifikasi dan dibatalkan:
"Sebagian dari boneka boneka mainan ketika orang- orang sedang tidur dan tak ada satu pun mata atau kamera yang mengawasinya, menari-nari dan setelah berakhir, tidak meninggalkan tanda atau jejak sedikit pun darinya". Apakah dengan membaca cerita ini, suatu makna muncul dalam benak (akal) anda? dengan metode empiris manakah kebenaran atau ketidakbenaran maknanya dapat ditunjukkan?
1. Pertanyaan-pertanyaan seperti "Dengan bahasa manakah Tuhan berbicara dengan hamba-hambanya?" dan "Bagaimanakah kita dapat berbicara tentang Tuhan?" menempati suatu kategori yang bernama "bahasa religius" (bahasa agama).
2. Sebagian penulis berbicara tentang terwarnainya wahyu dengan budaya zaman dan sebagai contoh, bukan hanya bahasa Islam, budayanya pun mereka sebut ke-Arab-an (“Arabī).
3. Pada hakikatnya bahwa dengan tuntutan hikmah Ilahi dan untuk memenuhi tujuan pembimbingan (hidayah), para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya, dan mereka tunduk pada konsekuensi- konsekuensi satu bahasa ini, selama tidak berujung pada perkataan batil dan buruk.
4. Mayoritas pemikir Muslim dan non-Muslim sepakat dengan penggunaan bahasa analogi (tamtsili) dalam teks-teks suci.
5. Salah satu pertanyaan mendasar dalam pembahasan bahasa religius ialah bahwa bagaimana dapat berbicara tentang Tuhan
p: 244
yang transenden, dengan bahasa yang mencitrakan tipologi manusiawi.
6. Sebagian teolog dalam merespon pertanyaan di atas, berpaling kepada teologi penegasian dan dengan menegaskan tidak diketahuinya (tidak dapat diketahuinya) sifat-sifat Ilahi, mereka menyebut "tahu dan kuasanya" Tuhan sebagai sesuatu yang tidak lebih unggul dari "tidak bodoh (tidak-jahil) dan tidak lemahnya".
7. Menurut kebanyakan pemikir Muslim, sifat-sifat sama (musytarak) antara khaliq dan makhluk memiliki kesamaan makna serta penerapan mereka pada objek-objek mereka yang beragam bersifat gradisional.
8. Thomas Aquinas dalam pembahasan semantik sifat-sifat Tuhan, mengembangkan suatu teori yang disebut dengan "analogi" dan memiliki dua ulasan yang dikenal dengan atributif dan perimbangan (proporsional).
9. Kaum positivisme logis, menyebut proposisi-proposisi religius sebagai proposisi-proposisi yang tidak memiliki makna (menghasilkan pengetahuan dan menganggap tidak bijak berbicara tentang benar atau tidak benarnya mereka.
10. Kriteria kebermaknaan positivisme sendiri adalah perusak dan menjadikan pula kebanyakan di antara proposisi-proposisi ilmu- ilmu empiris tak bermakna.
1. Apa makna istilah "bahasa religius?" Apakah terdapat perbedaan di antara kedua ungkapan "bahasa religius" dan "bahasa agama"? 2. Apa maksud orang-orang yang menyatakan bahwa budaya Islam pun-sebagaimana bahasanya-adalah ke-Arab-an (Arabicnized)? 3. Apakah para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya? Bagaimana? 4. Apakah persetujuan Islam dengan sebagian adab-adab dan tradisi- tradisi jahiliyah bermakna sebagai penerimaan efek budaya jahiliyah? Jelaskan!
p: 245
5. Apakah dalam teks-teks suci religius, teknik-teknik seperti majas dan metafora pun diterapkan? Jelaskanlah pandangan Ibn Qutaibah tentang hal ini! 6. Apakah penyebutan suatu cerita (hikayat) sebagai analogi mesti bermakna bahwa ia adalah rekayasa atau palsu? Jelaskan! 7. Menurut kalangan pemikir Kristen, mengapa agama-agama guna mencapai tujuan-tujuan mereka, menggunakan bahasa simbolis? 8. Bahasa manusia, guna menjelaskan sifat-sifat Ilahi, dengan keterbatasan-keterbatasan apakah ia akan dihadapkan? 9. Apa pandangan Qadhi Said Qummi dalam kajian semantik sifat sifat Ilahi? 10. Bagaimanakah perbedaan pemikir muslim tentang kesamaan lafaz dan makna "wujud" terkait dengan pembahasan semantik sifat- sifat Ilahi? 11. Jelaskan maksud dari predikasi analogis dengan menggunakan dua istilah analogi menaik dan menurun! 12. Analogi atribusi itu apa? Apa hubungan antara istilah ini dengan masalah "hakikat dan majas"? 13. Jelaskanlah analogi perimbangan dan tuliskan pandangan Anda tentangnya! 14. Apa prinsip "dapat diverifikasi" itu? Dan bagaimanakah kaum positivis menggunakannya guna membuktikan ketidakbermaknaan proposisi-proposisi religius? 15. Jelaskan perbedaan dua kriteria "dapat dibuktikan" dan "dapat dibatalkan" dengan menyebutkan contoh! 16. Telaah dan kritiklah tolok ukur kebermaknaan Positivisme!
p: 246
BAGIAN 8 AKAL DAN WAHYU(1) Sesungguhnya bagi Tuhan terdapat dua hujjah atas manusia:
hujjah lahir (luar) dan hujjah batin (dalam); hujjah lahir adalah para rasul dan nabi serta para imam as; sedangkan hujjah batin adalah akal manusia. (2) alah satu pertanyaan yang senantiasa dihadapi manusia dan U sekarang ini muncul dalam bentuk-bentuk yang lebih baru dan lebih menantang (kontroversial) adalah apakah data-data akal manusia selaras dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu? Apakah rasionalitas dan kepercayaan atas agama akan saling berdampingan antara satu dengan lainnya? Ataukah mesti salah satu di antara keduanya harus dikorbankan bagi yang lainnya?(3) Hal yang tak dapat diragukan ialah kontradiksi formal (lahiriah) antara kedua sumber akal dan wahyu-pada sebagian doktrin-doktrin- yang telah menjadi sumber munculnya "kaum rasionalis anti agama" dan "kaum agamawan yang kontra rasionalitas." Sepanjang sejarah, pertarungan akal dan wahyu-sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan
p: 247
terkini manusia di setiap zaman-tampil dalam bentuk-bentuk yang beragam dan bentuk paling kunonya tampak dalam pertentangan "filsafat dan agama".
Doktrin-doktrin filosofis-sebagai suatu kumpulan sistematis dari data-data akal manusia-dipahami kontradiksi dengan doktrin-doktrin religius dan terdapat segolongan kaum Mukmin yang berupaya keras membersihkan lingkaran agama dari noda atau kotoran kotoran filsafat.
Cemoohan dan cercaan-cercaan ini bahkan tergiring pula ke wilayah logika dan ilmu kalam (teologi) dan tidak sedikit orang-orang yang menulis dalam bidang ini. Mereka menulis buku-buku dan risalah- risalah tersendiri terkait dengan masalah ini.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Perlawanan terhadap Logika Aristoteles! Ibn Taimiyyah (661–728 H) dengan menulis kitab "Nashihat Ahl al-Imān fi Raddi 'ala Mantiqi Yunānin" mengingatkan orang-orang Mukmin untuk waspada dalam mengikuti logika Yunani. Murid Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim (691–751 H) pun sama dengan orang-orang yang memusuhi logika Yunani menyatakan: "Mengherankan, logika Yunani-betapa banyak ungkapan-ungkapannya yang tidak sah-mencemari pemikiran-pemikiran bersih (suci)—dan membuat fitrah seseorang tidak berkembang- mendiamkan kalbu dan lidah-dan mempunyai dasar- dasar yang begitu rapuh."(1) Menurut Anda, faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang bangkit memerangi ilmu logika- yang merupakan ilmu yang bersifat alat dan instrumental? Wajah baru perjumpaan akal dan wahyu, dinamakan dengan kontradiksi antara ilmu dan agama; sebagian dari data-data ilmu-ilmu empiris dipahami bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu dan telah menggiring segolongan orang menjauhi agama.
p: 248
Sesuatu yang menjadikan proses ini semakin laju dan kuat ialah bahwa pada abad-abad pertengahan, kaum gerejawan secara keliru menganggap kebanyakan di antara pengetahuan-pengetahuan manusia sebagai bagian dari agama dan tidak sanggup menerima ketidaksesuaian mereka dengan data-data ilmu-ilmu baru. Sebagai reaksi negatif terhadap anti rasionalitas ini telah memicu kemunculan gerakan rasionalisme dan dalam memuji akal bergerak maju hingga pada tahap sedemikian, sehingga terkadang mereka mendudukkannya di atas singgasana ketuhanan: "Wahai sekalian alam! Wahai raja seluruh keberadaan! Dan kalian wahai fadhilah, akal dan hakikat yang paling dimuliakan, Jadilah tuhan-tuhan kami selamanya!"(1) Rasionalitas kering dan ekstrem ini pada gilirannya menumbuhkembangkan sejumlah orang-orang yang kontra; sedemikian sehingga muncul suatu kelompok, mencari bagian hati yang terlupakan dan menyebut akal sebagai "bul fudhuli (bapak keusilan)" di mana satu- satunya keterampilan yang ia miliki adalah merusak rupa keindahan- keindahan dan kebaikan-kebaikan:
"bul fuzul 'aql bi tadbir maa—har cheh zibai keh mibinand ze syekl andāzadesy—kur sāzad cyesm ra ta wasm bar abru kesyad" (Keusilan akal tak berbudi kita-apa pun keindahan yang dilihatnya, ia rusak rupanya-menjadikan mata buta, hingga nila terukir di atas alis).(2)
Rangkapan-rangkapan seperti "akal dan wahyu", "akal dan naql", "akal dan agama", "iman dan inteleksi", "agama dan filsafat", serta "ilmu dan agama"-yang terkadang dihadapkan pada posisi antara satu dengan lainnya-apakah mempunyai makna yang satu atau berbeda antara satu dengan lainnya? Guna menjawab pertanyaan tersebut kita akan membahas sebagian dari rangkapan-rangkapan ini.
p: 249
Kata akal-dalam filsafat dan ilmu-ilmu lainnya diterapkan dalam makna-makna yang bermacam-macam dan yang paling umum darinya bermakna suatu daya khusus manusia yang membedakan antara baik dan buruk serta dapat mengenali mana jalan dan mana lubang. Mulla Sadra (979–1050 H) menyebutkan enam makna dari akal dan penerapan akal dalam makna-makna tersebut ia sebut dengan suatu bentuk kesamaan lafaz (kata).(1) Jika kita ingin menambahkan pula bentuk-bentuk penerapan akal dalam kamus Barat,(2) maka satuan makna-makna terminologisnya pun akan lebih banyak daripada ini.
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Sekarang ini, khususnya dalam kajian-kajian sosiologi, tafsiran atau peristilahan seperti "rasionalitas instrumental" makin banyak ditemui dan hal itu menjelaskan bahwa guna mencapai tujuan-tujuan kita, kita harus memilih alat atau instrumen terbaik.(3) Makna rasionalitas ini-yang merupakan peninggalan gagasan-gagasan Max Weber (1864—1920 M)— telah dihadapkan pula dengan pelbagai kritikan dari para sosiolog lainnya. (4) Bagaimanapun, cara pandang ini mempunyai aspek pragmatis;(5) sementara dalam kajian tentang hubungan akal dan wahyu, dengan cara pandang epistemologis, kita akan mengkaji ukuran kemampuan dan ketidakmampuan akal dalam ranah agama.
p: 250
Seseorang guna mendapatkan pengetahuan, di hadapannya tersedia pelbagai macam jalan yang sebagian di antaranya bersifat umum dan seluruh individu manusia sedikit banyaknya bersentuhan dengannya, tetapi agama-agama wahyu berbicara pula tentang sebuah jalan khusus (wahyu) dalam kendali segolongan kecil manusia, dan yang lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk menggunakannya secara langsung. Dalam pembahasan neoteologi, terkadang yang dimaksud dengan akal ialah suatu pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan melalui semua jalan-jalan yang bersifat umum dalam memperoleh pengetahuan;(1) dan yang dimaksud dengan wahyu ialah, bagian dari suatu pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan segolongan khusus dari manusia melalui suatu jalan atau cara khusus.
Tentunya, kata akal terkadang mengisyaratkan suatu "daya" yang merupakan sumber persepsi-persepsi dan pengetahuan- pengetahuan manusia dan terkadang pula (khususnya dalam bahasa Arab) yang dimaksud adalah makna mashdar-nya, yakni berpikir dan perenungan serta dalam penggunaan ketiga, akal sebagai mashdar yang bermakna ism maf ul, yakni dengan kata ini kita mengisyaratkan suatu pengetahuan-pengetahuan yang dihasilkan melalui kesadaran dan perenungan (berpikir). (2)
"Akal dan wahyu" beserta padanan-padanannya (seperti reason and religion) adalah sebuah tema yang di dalamya dapat mencakup pelbagai pembahasan yang berhubungan dengan akal dan wahyu. Ungkapan atau penyebutan ini digunakan pula dalam beberapa tulisan pada
p: 251
umumnya pemikir Timur dan Barat serta terdapat pula suatu kelompok yang menyatakan ketidakpuasannya dengan penggunaan terma seperti ini; dengan argumentasi ini bahwa ketika kita menempatkan agama berhadapan dengan akal, seolah-olah sejak awal, kita menyebut keduanya berbeda atau saling berlawanan antara satu dengan lainnya.
Akal tidak berlawanan dan bukan merupakan bagian (qasim) yang dibedakan dengan agama sehingga dikatakan bahwa "ide atau gagasan ini rasional atau religius dan begitu pula rasional atau syar`i?"; melainkan akal berhadapan dengan naqli (referensial) dan merupakan bagian (qasim) yang dibedakan darinya karena keduanya merupakan bagian-bagian (aqsām) dari sumber inferensi agama dan syariat. (1)
Sebagaimana yang telah lalu, "hubungan akal dan wahyu" telah tampak dalam bentuk "hubungan filsafat dan agama" semenjak masa- masa awal pemikiran (perenungan) filosofis manusia, kebanyakan penganut agama, menganggap doktrin-doktrin filsafat berlawanan dan bertentangan dengan ajaran-ajaran para nabi. Namun demikian, terdapat juga banyak filsuf yang berupaya membuktikan keselarasan keduanya. Sebagai contoh, Ya`kub bin Ishaq al-Kindi (sekitar 185—250 H)-yang disebut sebagai filsuf pertama dunia Islam-menegaskan poin bahwa apa yang telah dibawa Rasulullah Saw. dari sisi Tuhan, disahkan atau didukung pula dengan kriteria-kriteria rasional: "Demi usiaku, sesungguhnya tuturan benar Muhammad dan apa yang bersumber dari Allah, seluruhnya dapat ditimbang dengan timbangan akal. (2) Ibn Rusyd (520–595 H) juga berkeyakinan bahwa penalaran argumentatif (burhani) tidak akan pernah berujung kepada pertentangan dengan syariat yang bersifat revelasional (wahyu) karena secara mendasar kebenaran dan kebenaran tidak memiliki pertentangan.(3) Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum syariat Ilahi yang benar adalah tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan
p: 252
pasti (yakin) akal manusia. Dengan suatu bahasa yang terkesan mencela, ia menuntut atau menginginkan keruntuhan filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras dengan kitab dan sunah.(1) Walaupun demikian, perseteruan para filsuf dengan para penentangnya tidak pernah berhenti dan pada tahap tertentu dalam sejarah, intensitasnya semakin bertambah.
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Tempat Kelahiran Nonreligius Filsafat Sepanjang sejarah agama-agama, kebanyakan agamawan menjadikan tempat kelahiran nonreligius filsafat sebagai bukti atau alasan atas kebatilannya; sebagaimana Syekh Bahai (953—1030 H) lebih mengutamakan jalan hati di atas jalan akal, melantunkan syair seperti ini:
Ilmu bukanlah selain ilmu pecinta, selainnya adalah muslihat iblis yang menjijikkan Ilmu bukanlah selain tafsir dan hadis, selainnya adalah tipuan iblis yang kotor Beberapa dan beberapa dari hikmah (filsafat) orang- orang Yunani, ketahuilah pula hikmah orang-orang beriman Penguasa alam dunia dan agama, jamuan mukmin mengobati wahai kesendirian Jamuan Aristoteles dan jamuan Ibn Sina, kapankah nabi penerang mengobati Pergilah lapangkan dadamu, sucikan hati dari kotoran atau noda-noda itu.(2) Menurut Anda, apakah tempat kelahiran suatu pemikiran dapat dijadikan sebagai kriteria guna melakukan penilaian tentangnya?
p: 253
Di dunia Barat pun analisis dan kajian tentang pertentangan kontradiksi atau kesesuaian filsafat Aristotelian dengan iman Kristen telah membangkitkan banyak perseteruan. Pada abad-abad pertengahan, pemikir-pemikir semisal Thomas Aquinas (1225–1274 M) berusaha mewujudkan rekonsiliasi antara agama dan filsafat, tetapi upaya ini disebut oleh segolongan kaum agamawan sebagai heresy (bid'ah) dan kesesatan. (1) Bagaimanapun, jika yang dimaksud dengan filsafat ialah pengetahuan-pengetahuan rasional secara mutlak (berhadapan dengan pengetahuan-pengetahuan wahyu), maka hubungan agama dengan filsafat, tepat bermakna hubungan antara akal dan wahyu serta merupakan judul lain dari pembahasan ini. Dari sebagian dalil dalil para penentang filsafat tersimpulkan bahwa menurut keyakinan mereka, lingkaran lingkaran pengetahuan wahyu harus senantiasa terjaga, bukan hanya dari filsafat-filsafat umum, melainkan dari segala jenis polusi (kotoran) pemikiran manusia. Sebagaimana sebab penentangan sebagian pemimpin-pemimpin gereja dengan filsafat dijelaskan seperti ini:
Mereka berkeyakinan bahwa pengembaraan rasionalitas, meskipun dalam beberapa hari menghasilkan kekuatan dan keagungan bagi gereja, tetapi sesudah itu mungkin saja akan lari menjauh dari garis pengawasan dan membuat orang-orang sedemikian sesat dari jalan iman, di mana Kristen tertinggal dalam suatu alam yang penuh dengan dosa dan kufur, lemah dan tanpa pelindung.(2)
Hubungan antara ilmu dan agama serta penentuan ruang lingkup masing-masing dari keduanya merupakan salah satu pembahasan utama filsafat agama dan teologi (ilmu kalam) pada masa modern.
Dewasa ini, dengan kemajuan ilmu-ilmu empiris, ufuk-ufuk baru bagi manusia akan terbuka dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan
p: 254
baru tentang alam semesta yang terkadang-secara lahir-tidak begitu selaras dengan doktrin-doktrin keagamaan. Poin yang patut diperhatikan ialah bahwa jika yang dimaksud dengan "ilmu" hanyalah ilmu empiris (science), maka pembahasan tentang "ilmu dan agama" berada di bawah sekumpulan pembahasan tentang "akal dan wahyu" karena-sebagaimana yang telah lalu-yang dimaksud dengan akal di sini ialah seluruh pengetahuan-pengetahuan umum (biasa) manusia yang mencakup pula pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan melalui jalan eksperimen, tetapi jika yang dimaksud dengan ilmu (dengan melihat perlawanannya dengan agama) ialah pengetahuan- pengetahuan secara mutlak yang dihasilkan melalui jalan-jalan umum dalam memperoleh pengetahuan,(1) sebutan "ilmu dan agama" adalah padanan yang tepat bagi "akal dan wahyu".
Mungkin tak ada seorang pun manusia dapat ditemukan yang secara totalitas menyebut akal tidak berdaya dalam memahami dan menilai pengetahuan-pengetahuan wahyu serta menyangka bahwa syarat memasuki kampung iman adalah dengan menanggalkan akal.
Sedikit perenungan dalam perkataan-perkataan musuh-musuh sengit dan radikal rasionalisme akan memperjelas bahwa tujuan atau sasaran serangan mereka adalah kepercayaan ekstrem atau berlebihan terhadap akal atau penerapan jenis tertentu darinya dalam agama.(2) Sebagai contoh, Santo Paulus (sekitar 3—62 M)-dikenal sebagai tokoh fideisme Kristen terlama dan merupakan penentang rasionalisme yang paling gigih-hanya menjadikan akal yang berdebu dan kotor dengan pelbagai hawa nafsu sebagai sasaran serangannya.(3) Dalam dunia Islam pun, golongan-golongan seperti kaum Akhbariyyun-yang meninggalkan banyak perkataan-perkataan dalam menggugat penerapan akal dalam urusan-urusan religius-
p: 255
menekankan kehujahan "akal fitrawi"; meskipun mereka menyebut hanya sedikit manusia yang memiliki atau bersentuhan dengannya. (1) Dari sisi lain, sebagian kaum rasionalis menimbang kebenaran setiap ajaran hanya dengan kriteria-kriteria rasional (akal), dan segolongan di antara mereka melangkah lebih jauh lagi hingga menganggap doktrin- doktrin religius anti terhadap akal (dan hasilnya, mereka tidak dapat diterima). Perbedaan-perbedaan ini, melahirkan pandangan-pandangan yang sangat beragam, di mana yang terpenting di antaranya akan kita bahas sekarang ini.
Rasionalisme adalah suatu titel dengan skop luas yang dapat mencakup sangat banyak di antara golongan-golongan kaum Mukmin dan kaum ateis. Sebagian pemikir Barat, membagi rasionalisme ke dalam dua cabang "radikal" dan "kritis"; kendati demikian, dapat disebutkan pula jenis lain dari rasionalisme yang kita namakan dengan rasionalisme moderat (moderate rationalism) a. Rasionalisme Radika/(2) Yang dimaksud dengan rasionalisme radikal adalah bahwa "kebenaran suatu kepercayaan kita jelaskan sedemikian rupa sedemikian seluruh orang-orang berakal menjadi puas (merasa yakin). "(3) Kriteria ini meskipun dapat disebut sebagai sesuatu hal yang disahkan oleh kebanyakan aliran-aliran Rasionalisme Timur dan Barat, tetapi lebih banyak terkait dengan Evidensialisme(4)–yang merupakan ciri khas zaman pencerahan.
Biasanya sejarah Eropa dibagi ke dalam ragam periode seperti zaman kuno, abad-abad pertengahan, dan era modern. Pada era modern
p: 256
zaman-zaman renaisans (masa pencerahan), reformasi dan pencerahan dapat pula dibedakan antara satu dengan lainnya. Meskipun suatu pemilahan atau pembagian waktu dari beberapa periode zaman ini secara akurat tidak dapat ditunjukkan, tetapi secara umum abad ketujuh belas disebut sebagai abad pencerahan. Ciri khas yang sangat tampak di zaman ini adalah upaya untuk melepaskan diri dari ikatan serta jeratan khurafat (takhayul), dan menurut anggapan sebagian pemikir abad pencerahan salah satu di antara khurafat-khurafat yang paling merugikan di mana seseorang akan tercegah untuk maju dan menyempurna ialah agama dan religiusitas;(1) sebagaimana Denis Diderot (1713–1784 M)-salah seorang pencetus abad pencerahan- membahasakan pesan alam kepada manusia zaman modern seperti ini: Wahai budak khurafat! Janganlah sia-sia mencari kebahagiaan dirimu di balik batas-batas alam ini, di mana engkau aku tempatkan di dalamnya, beranilah dan bebaskanlah dirimu dari belenggu agama dan rival pembangkang yang tidak mengenal hak-hak diriku ini. Buanglah jauh-jauh tuhan-tuhan yang merampas kekuasaanku dan kembalilah kepada aturan-aturanku, serahkanlah kembali dirimu kepada alam, kemanusiaan, dan kedirianmu. Dalam keadaan seperti ini engkau akan menemukan bahwa jalan hidupmu telah ditaburi bunga.(2) Ciri khas abad pencerahan dan kerangka dasar pemikirannya dapat dinamai dengan "evidensialisme", (3) maksud dari evidensialisme ialah bahwa manusia berakal tidak boleh percaya kepada sesuatu tanpa mendapatkan bukti-bukti dan dalil-dalil yang cukup. Slogan utama kaum evidensialis bisa disimpulkan dari ungkapan terkenal Clifford (1845–1879 M) seorang matematikawan Inggris, "Selalu, di semua tempat dan bagi semua orang, percaya kepada setiap sesuatu atas dasar dalil-dalil yang tidak cukup adalah perbuatan tidak benar."(4)
p: 257
Clifford dan kawan-kawannya yang sepemikiran dengan menegaskan bahwa kriteria rasionalitas setiap suatu proposisi ialah adanya dalil-dalil yang mendukung atau mengesahkannya-dengan isyarah atau secara gamblang-kepercayaan-kepercayaan religius mereka jadikan sebagai sasaran serangan dan menyebut keyakinan- keyakinan seperti kepercayaan terhadap eksistensi Tuhan (dengan alasan tidak memiliki dalil-dalil yang didukung akal) sebagai tidak rasional.
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Russell mengklaim atas dalil-dalil yang tidak cukup guna membuktikan wujud Tuhan. Disebutkan bahwa suatu hari Bertrand Russell (1872–1970 M) ditanya:
• Jika setelah mati, engkau dihadirkan kehadapan Tuhan dan ditanya: "Dengan dalil apa engkau tidak memercayai wujud Tuhan dan validitas ajaran-ajaran wahyu?" Apa jawaban yang engkau miliki? Ia dengan tenang menjawab:
Dalam menjawabnya, saya akan mengatakan :
"Tuhan! Dalil yang tidak cukup, dalil yang tidak cukup!"(1) Clifford memublikasikan pandangannya dalam sebuah makalah dengan judul "Prinsip-Prinsip Moral Kepercayaan". Makalah ini dimulai dengan penjelasan suatu proposisi sederhana tentang suatu kapal: "kelapukan dan berkaratnya kapal penumpang-yang sudah siap memulai pelayaran-mengusik pikiran pemiliknya dan pikiran ini sangat menyedihkan dan menyiksanya bahwa mungkin saja badan kapal tak mampu menahan terjangan keras ombak-ombak laut dan hasilnya, ia mengirim penumpang yang tak terhitung pada hasrat kematian. Tanggung jawab moral dan rasionalnya mengharuskan supaya kapal tersebut diuji dan diperiksa kembali, dan bila perlu,
p: 258
memperbaiki dan membangunnya kembali, tetapi pekerjaan ini membutuhkan biaya yang banyak.
Pada akhirnya, ia mengatasi pikiran-pikiran mengerikan ini dan menenangkan hatinya dengan justifikasi bahwa kapal ini hingga sekarang telah melewati kebanyakan pelayaran-pelayaran dengan sukses dan Tuhan adalah lebih penyayang ketimbang dengan menenggelamkan kapal, menjadikan keluarga-keluarga kebanyakan orang berduka. Meskipun demikian, setelah beberapa lama, berita tenggelamnya kapal di tengah samudra sampai ke telinga pemilik kapal dan tanpa kebimbangan sedikit pun pada dirinya, dengan memperoleh biaya asuransi, melanjutkan kehidupannya seperti biasa. "(1) Setelah menjelaskan kisah ini, Clifford mengingatkan poin ini bahwa tanpa ragu kita semua, dengan hukum akal sehat, menyebut pemilik kapal sebagai orang yang bertanggungjawab atas kematian para penumpang, meskipun hukum tidak menyatakannya bersalah.
Menurut Clifford, masalah asasi dalam setiap akidah dan kepercayaan, bukan kepercayaan itu sendiri, melainkan bagaimana memperolehnya; dan pemilik kapal memperoleh keyakinan atas kekokohan kapal dengan tidak mengindahkan bukti-bukti yang berlawanan dan meredakan timbulnya pelbagai keraguan-keraguan, bukan dengan mengkaji dalil- dalil secara teliti.
Menurut keyakinan Clifford, bahkan sekiranya perjalanan kapal ini berakhir dengan selamat, kelalaian dan kekeliruan (ketidakbenaran) yang dilakukan pemiliknya tidak akan berkurang seujung jarum pun, karena masalah benar dan tidak benar berkaitan dengan sumber kepercayaan, bukan pada objeknya; bergantung pada bagaimana kepercayaan dihasilkan, bukan kepada jenisnya. "(2)
p: 259
PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Kritik atas Rasionalisme Radikal dengan Berlindung pada Relativitas Sebagian di antara para penulis, menyebut salah satu dari kekurangan-kekurangan rasionalisme radikal seperti ini:
"Rasionalisme radikal menganggap akal manusia sebagai suatu daya kekuatan yang netral dalam berhadapan dengan pandangan-pandangan dunia yang saling bertentangan; dan olehnya itu, dengan bantuannya, tanpa penilaian sebelumnya serta bebas dari ideologi atau pandangan dunia yang diakui oleh orang-orang-dapat membuktikan sesuatu hal bagi semuanya. Akan tetapi ...
kebanyakan filsuf kontemporer ... sampai pada kesimpulan bahwa tak satu pun sikap yang tulus dan bebas dari sebuah asumsi yang dapat menjadi dasar pengetahuan kita. "(1) Bagaimana Anda menilai kritikan ini? Apakah perkataan ini dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk penerimaan atas relativitas? Dalam keadaan apa pun, apa pendapat Anda tantang rasionalisme radikal? b. Rasionalisme Kritis(2) Berdasarkan pandangan yang dikenal dengan rasionalisme kritis "struktur atau sistem kepercayaan-kepercayaan agama dapat dan mesti dievaluasi serta dikritik secara rasional, meskipun pembuktian secara pasti sistem-sistem seperti ini tidak memungkinkan."(3) Orang- orang yang cenderung kepada pandangan ini, menyebut sikap mereka "kritis" dari dua sudut pandang: penegasan atas peran akal dalam menimbang secara kritis kepercayaan-kepercayaan religius (sebagai
p: 260
ganti pembuktian mereka secara pasti), dan kritik atas pemahaman optimistis dari kemampuan-kemampuan akal.(1) Kelompok ini menyebut "pembuktian bagi semua (umum)"-yang diinginkan rasionalisme radikal-tidak dapat dicapai dan dengan memberi penegasan atas "pembuktian yang bergantung pada person", (2) mereka tunduk kepada suatu jenis relativitas.
Pada hakikatnya, kritik terhadap rasionalisme ekstrem tidak mesti disertai dengan penerimaan apa yang disebut "rasionalisme kritis." Sumber-sumber original Islam tanpa menyebut relativisme sebagai sesuatu yang dibolehkan, menekankan keterbatasan-keterbatasan akal dan kekeliruan-kekeliruan pemikiran serta memperingatkan orang- orang berakal dari sikap ekstrem dan berlebihan dalam kemampuan- kemampuan akal. Pandangan ini dapat dinamakan sebagai rasionalisme moderat.
C. Rasionalisme Moderat Al-Qur'an mengajak manusia untuk berpikir dan berenung serta menamakan mereka yang tidak menggunakan akalnya, lebih sesat dari pada binatang (QS Al-A'rāf [7]: 179). Dalam kitab hidayah ini, mengikuti orang-orang terdahulu secara buta sangatlah dicela (QS Al- Baqarah [2]: 170) dan perkataan-perkataan yang mengajarkan hikmah disebutnya sebagai sebuah pelajaran atau ibrah yang berguna bagi "orang-orang berakal" (QS Shād [38]: 29).
Alih-alih mengajak manusia kepada penghambaan murni serta penerimaan keyakinan-keyakinan agama tanpa dalil, al-Qur'an sendiri justru mengemukakan dalil rasional dan meminta pula argumentasi dari penentang-penentangnya (QS Al-Baqarah [2]: 111). Pada akhirnya, menurut kitab Ilahi ini, dosa manusia yang paling dasar-yang mengondisikan sebab-sebab menjadi penduduk neraka-ialah tidak mematuhi tuntunan-tuntunan akal; sebagaimana ketika membahasakan ulang ungkapan penduduk neraka seperti ini: “Jika saja kami punya telinga yang mendengar atau menggunakan akal kami, kami adalah bukan dari penduduk neraka," (QS Al-Mulk [67]: 10).
p: 261
Ahlulbait Nabi Islam juga mendudukkan akal pada suatu maqam (kedudukan) yang tinggi dan dalam memuji keseimbangan darinya, seakan-akan mereka telah mendahului para pemuja rasionalitas. Dalam kaitan ini, riwayat Hisyam bin Hakam dari Imam Musa bin Ja'far mempunyai kecemerlangan tersendiri. Imam dalam hadis mulia ini, sambil menyebutkan sebagian di antara ciri-ciri akal serta orang-orang berakal, mengatakan: "Tuhan menetapkan dua hujjah bagi masyarakat:
satu hujjah lahir (eksternal) dan satu hujjah batin (internal). Hujjah lahir adalah para nabi serta para imam dan hujjah batin adalah akal manusia. "(1) UNTUK LEBIH DIKETAHUI:
Akal dalam Pandangan Riwayat-Riwayat Islam Tuturan-tuturan pendek yang diambil dari riwayat- riwayat Islam di bawah ini sangat patut untuk direnungkan dan diperhatikan:
Dasar agama berdiri kokoh di atas akal dan Tuhan hanya dapat dikenali dengan instrumen ini.(2) Seseorang menjadi teguh (tidak goyah) dengan akal dan tanpanya, ia tidak bisa menemukan agama yang benar. (3) Mengikuti akal, merupakan sebab dalam menemukan jalan dan ketidakpatuhan darinya, menyebabkan penyesalan.(4) Derajat-derajat penduduk surga akan ditimbang dengan timbangan akal dan setiap orang akan menemukan kedekatan kepada Tuhan seukuran penggunaan akalnya.(5)
p: 262
Tidurnya orang-orang berakal lebih utama (baik) dari pada terjaganya (bangunnya) orang-orang yang sedikit akal dan makannya mereka lebih banyak mendatangkan kedekatan dan kedudukan ketimbang puasa mereka. (1) Ketiadaan akal seperti keterpisahan jiwa seseorang yang tidak menyisakan sesuatu kecuali sebuah bentuk tanpa ruh.(2) Akal adalah rasul dan nabi Ilahi(3) dan tak ada kefakiran yang lebih susah dari keterlarangan darinya. (4) Kepercayaan terhadap agama dan kepemilikan rasa malu tidak akan pernah berpisah dari rasionalitas serta meninggalkannya sendirian. (5) Walaupun demikan, para pemuka Islam mengingatkan pula akan ketidakmampuan-ketidakmampuan akal serta menampilkan sebuah rasionalisme yang moderat; sebagaimana Imam Ali tentang batas efisiensi (daya kerja) akal dalam mengenal Tuhan dan sifat-sifat tinggi- Nya mengatakan:
"Akal-akal tersebut tidak diciptakan untuk mengetahui keadaan sifat-sifat-Nya dan dalam mengetahui diri-Nya-hingga pada yang semestinya tidak meletakkan tirai (penutup) atas penglihatan mereka."(6) Berdasarkan hal ini, kita pun seperti halnya para pembela "rasionalisme radikal" berkeyakinan bahwa "selalunya, di pelbagai tempat dan bagi semua orang, memercayai segala sesuatu yang didasari dengan dalil-dalil yang tidak cukup, merupakan perbuatan yang tidak benar." Hal yang memisahkan kita dengan kelompok ini ialah anggapan cukup atau tidak cukupnya dalil-dalil yang diajukan dalam membuktikan keberadaan Tuhan serta doktrin-doktrin religius.
p: 263
Dengan penjelasan lain, pada bagian ini, perbedaan kita dengan kelompok tersebut, pada premis minor bukan pada premis mayor.
Tentunya sudah jelas bahwa pengkajian satu persatu dalil-dalil ini serta pembuktian tentang kuat atau tidak kuatnya mereka, lebih luas dari kemampuan dan tujuan tulisan ini. Namun demikian, poin yang patut diperhatikan di sini ialah bahwa sebagian di antara kaum anti- agama, dalam suatu fallasi, menonjolkannya seperti ini bahwa setiap orang yang mengingkari klaim-klaim religius dengan "akal" merupakan pencari kebenaran serta rasionalis dan barang siapa yang melakukan pembuktian terhadap klaim-klaim ini dengan klaim telah menggunakan akal adalah dogmatis dan anti-rasionalitas! Apakah pernyataan seperti ini bukan "argumen berputar (daur atau circular reasoning)" serta bertumpu pada asumsi yang belum terbuktikan ini bahwa akal dan wahyu saling memusuhi antara satu dengan lainnya? Jika para pembela rasionalisme radikal menyebut dalil-dalil orang-orang yang percaya Tuhan tidak rasional karena dalil-dalil tersebut hingga saat ini belum mampu memuaskan seluruh orang-orang berakal yang ada di alam ini, memangnya dalil-dalil kaum ateis dalam hal ini lebih baik? Sebenarnya, apakah tuntutan-tuntutan rasionalitas bermakna bahwa kita harus senantiasa menerima arahan atau petunjuk-petunjuk akal, kecuali pada tempat di mana kita diarahkan untuk merujuk kepada sumber pengetahuan lainnya (wahyu)!
Dalam budaya Islam, ilmu dan iman dianggap memiliki hubungan yang sangat erat antara satu dengan lainnya; sedemikian erat di mana sebagian orang membuat perpaduan di antara keduanya serta menyebut iman bukanlah sesuatu selain dari pada pengetahuan dan makrifat; dan segolongan lainnya, meskipun tidak menerima kesatuan mereka, menekankan poin bahwa "iman" tidak dapat dicapai tanpa "pengetahuan" dan "kebergantungannya" pada "pengetahuan."(1) Dalam riwayat-riwayat Islam pun, ilmu disebut sebagai penolong dan teman
p: 264
terbaik bagi iman, (1) dan iman tanpa rasionalitas serta pemikiran adalah sesuatu yang tidak mungkin. (2) Walaupun demikian, dalam budaya Kristen terkadang iman disebut sebagai "ganti daripada akal" dan menegaskan keterpisahan objek keduanya:
Sesuatu yang satu adalah mutahil bahwa ... bagi orang tertentu ... juga merupakan subjek bagi ilmu dan juga merupakan subjek bagi iman. Walaupun demikian, mungkin saja ... sesuatu bagi satu orang adalah subjek bashirah atau ilmu, bagi orang lain adalah bahan iman karena kita berharap, apa yang sekarang ini kita imani tentang trinitas, suatu hari kita saksikan dengan mata. (3) Berdasarkan inilah, Tertullian (160-220 M) mewariskan perkataan ini-yang menurut sebagian penulis, kalimat yang lebih kontradiktif dari pada itu tidak bisa disebutkan(4)—sebagai cendera mata bagi kaum fideis setelah dia [menyebutkan]: "Saya percaya karena tidak rasional." Menurut Augustine (354–430 M), pemahaman adalah buah dan pahala iman, bukan pilar dan kerangka dasarnya: "Janganlah engkau berusaha untuk memahami sehingga engkau beriman, melainkan berimanlah sehingga engkau memahami!"(5) Martin Luther (1483–1546 M) juga mengatakan: "Jika aku dapat memahami dengan bantuan logika tentang bagaimana Tuhan yang pemurah dan penolong dapat murka dan bersikap tidak adil, maka kebutuhan atas iman tidak tersisa lagi."(6) Pada akhirnya, penyair Jacopone merefleksikan perasaan-perasaan sama kaum fideis dalam sepotong syair seperti ini:
Plato dan Socrates saling mendebat dengan seluruh dayanya diskusi mereka tidak memiliki akhir namun apa urusanku dengan perkataan-perkataan ini hanyalah kalbu suci nan sederhana
p: 265
mendapati jalannya, langsung menuju malakut dan memuja Tuhan sang maha raja sementara filsafat para manusia tertinggal di tempat yang sangat jauh.(1) Berdasarkan apa yang telah lalu, maksud dari fideisme adalah suatu pandangan yang mengingatkan kaum religius untuk mewaspadai penilaian rasional atas kepercayaan-kepercayaan agama. Berdasarkan pandangan ini, iman adalah "kebergantungan final" kaum beriman dan penilaian rasional tidak berperan dalam kemapanan atau kejatuhannya.(2) Apabila seseorang berupaya mengkaji imannya secara rasional, pada hakikatnya ia telah mengabarkan ketiadaan iman serta kekufuran batinnya.(3) Pendek kata, iman bermakna penerimaan sesuatu di mana akal tidak memiliki jalan untuk membuktikannya atau bahkan menemukannya tidak beralasan. (4) Telaah dan Kritik Pengajuan suatu definisi baru tentang iman, dengan sendirinya, tidak masalah, tetapi jika perbuatan ini terjadi dengan maksud lari dari mengemukakan dalil-dalil rasional, maka tak ada nama yang tepat baginya kecuali "penghapusan bentuk masalah"; sebagaimana salah seorang penulis Barat mengatakan: Sekadar menggunakan kata iman dalam makna baru ini, tidak membuktikan bahwa iman merupakan jalan untuk mencapai hakikat. Penamaan ini seperti ketika kata "menang" kita gunakan sebagai padanan "permainan", sebagai ganti kita menyebut salah satu di antara hasil perkiraan dalam permainan.
Perbuatan ini adalah sesuatu yang menarik, tetapi sama sekali tidak
p: 266
bisa disebut sebagai suatu cara yang memuaskan guna membuktikan "kemenangan." Setiap kali kita mengganti makna kata "menang" kemenangan hanya akan sekedar menjadi sesuatu yang bersifat khayalan. (1) Bagaimanapun, seperti inilah yang terpahami bahwa tidak ada pertentangan antara adanya keyakinan kalbu yang kuat dan pengajuan dalil rasional. Dengan ungkapan yang lebih komunikatif, meskipun jalan akal dan hati saling terpisah antara satu dengan lainnya, "bergantung" pada sesuatu yang dijustifikasi dengan dalil rasional bukanlah asumsi yang tidak rasional. Telah diketahui bahwa sebagian dari kalangan pemikir-pemikir Kristen pun, menyadari peranan ilmu dan pengetahuan bagi kemunculan iman dan meyakini bahwa iman tegak atau dibangun melalui tiga unsur "pengetahuan, persetujuan, dan kepercayaan". (2) PIKIRKAN DAN DISKUSIKAN Rasionalitas Tanpa Didasarkan atas Premis-Premis Rasional Menurut sebagian kalangan fideis, (3) "rasionalitas" tidak boleh dianggap satu dengan "keberdasaran atas premis-premis rasional"; iman kepada Tuhan dan doktrin- doktrin religius lainnya adalah rasional dan diterima oleh akal, meskipun tidak didasarkan atas asumsi-asumsi rasional(4) karena kepercayaan-kepercayaan ini merupakan bagian dari asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan dengan mengajukan suatu dalil baginya.
Menurut Anda apakah hanya dengan pernyataan bahwa kaum religius menyebut doktrin-
p: 267
doktrin wahyu sebagai bagian dari "asumsi-asumsi yang paling mendasar", dapat menyiapkan suatu justifikasi rasional bagi pandangan Fideisme?(1) Pendek kata, di antara ketiga proposisi-proposisi rasional, meta- rasional dan anti rasional-yang terkadang secara berurutan disebut pula dengan pro akal, (2) eskapis dari akal dan anti akal; iman dalam satu bagian adalah tidak rasional dan pada dua bagian lainnya rasional. Proposisi-proposisi anti akal yang dihukumi akal secara jelas sebagai hal yang batil (seperti bundarnya segiempat) juga tidak bisa menjadi objek iman. Proposisi-proposisi yang hanya dipersepsi oleh akal sendirian serta mendapatinya selaras dengan realitas, dapat pula naik ketingkatan iman; sebagaimana terkadang kita menerima eksistensi Tuhan dengan argumentasi rasional dan terkadang pula kita ubah menjadi kepercayaan batin yang kuat. Dalam proposisi- proposisi jenis ketiga yang kita sebut dengan meta-rasional atau eskapis dari akal, iman berfungsi melebihi segala sesuatu. Tentu saja jika proposisi-proposisi ini keluar dari orang-orang yang sebelumnya telah membuktikan pernyataan-pernyataannya dengan dalil-dalil yang kokoh, akal pun akan memverifikasi iman seperti ini.
Literalisme(3) Dalam suatu agama seperti Islam di mana referensi asli para penganutnya adalah teks wahyu yang bahkan kata-katanya pun diyakini sebagai wahyu langsung Ilahi-munculnya aliran-aliran yang
p: 268
jumud atas makna awal dan formal kata-kata yang digunakan dalam teks-teks religius, sudah dapat ditebak dengan mudah. Cara pandang literalis terhadap agama meliputi spektrum luas dari individu-individu serta kelompok-kelompok di mana ciri kesamaan mereka adalah acuh tak acuh dengan rasionalitas dan pemikiran.
Dalam pandangan mereka, tuntunan akal hanya akan bermanfaat ketika tangan kita ditempatkan dalam tangan pemimpin-pemimpin agama; boleh jadi sebagian di antara mereka bahkan tidak menerima kedudukan seperti ini bagi akal serta tidak mengokohkan pilar-pilar fundamental agama di atas argumen-argumen rasional. Bagaimanapun, kebanyakan kaum literalis sendiri dalam mempertahankan atau membela doktrin-doktrin religius memakai dalil-dalil rasional; dan meskipun demikian, mereka berpandangan bahwa jika akal berupaya mencari pemahaman yang lebih dalam dan lebih luas dari lahiriah kata-kata, maka ia tidak akan sampai kepada suatu tempat (tujuan) serta tidak memperoleh sesuatu, kecuali dugaan dan perkiraan semata.
Dalam dunia Islam dan masyarakat Syi'ah, terdapat golongan- golongan seperti "Akhbariyyun" yang jumud atas formalitas teks teks religius dan terkadang menyebut produk-produk akal tidak lain hanyalah sebuah dugaan-dugaan yang tak berdasar: "Maka hasil (kesimpulan-kesimpulan) akal semuanya berupa dugaan-dugaan serta imajinasi dan berujung pada fantasi dan kalkulasi-kalkulasi (perkiraan). "(1) Kelompok ini dengan mengabaikan ayat-ayat dan hadis- hadis yang memuji akal, menyangka kecaman para maksum tentang penerapan qiyas(2) bermakna ketidakvalidan segala bentuk argumentasi rasional! Walaupun demikian, literalisme juga terdapat di tengah-tengah kalangan Ahlisunah. Sebagian di antara mereka, yang dengan alasan kejumudan terhadap riwayat-riwayat-mereka terkenal dengan
p: 269
"ahli hadis"(1)—menganggap bahwa ketekunan dan perhatian penuh terhadap teks-teks religius sama dengan pengabaian total terhadap akal dan sikap berlebihan dalam tekstualisme sampai pada tahap di mana setiap yang dinamakan "hadis" dipandangnya dengan penuh hormat serta tidak menunjukkan perhatian berarti atas benar dan tidaknya sanad. Kelompok ini-disebabkan penerimaan hadis-hadis tak berdasar dinamakan pula dengan "Hasywiah"-dengan menerapkan metode tekstual dan formalistis, menegaskan kematerian Tuhan tanpa sedikit pun mereka tutup-tutupi(2) dan secara gamblang mengumumkan bahwa orang-orang muslim yang ikhlas dapat mencapai suatu maqam (kedudukan) dengan melalui jalan ketaatan dan penghambaan, di mana mereka bersalaman dan menciumi wajah Tuhan.(3) Meskipun demikian, kebanyakan ahli hadis, takut tergelincir ke dalam lembah penyerupaan (tasybih) dan penjasadan (tajsīm) serta mereka memandang bahwa jalan keluar dalam hal ini ialah dengan tidak membicarakan sesuatu tentang sifat-sifat manusiawi Tuhan. Dari sisi ini, ketika maksud dari "semayam atau duduknya (istawā) Tuhan di atas arsy"(4) ditanyakan kepada Malik bin Anas (93—179 H), ia akan menjawabnya seperti ini: "Makna duduk atau bersemayam (istawā)" adalah jelas(5) dan bagaimananya duduk (semayam) itu tidak jelas.
p: 270
Namun demikian, mengimani hakikat ini adalah mesti dan selayaknya serta mempertanyakannya adalah bid`ah (heresy)."(1) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Ibn Hanbal dan Upaya Kabur dari Penyerupaan Ahmad bin Hanbal (161—241 H)-salah satu imam dari empat mazhab fikih Ahlisunah-sedapat mungkin menghindar dari mengeluarkan fatwa serta dalam hal-hal yang bersifat darurat, tidak keluar dari lafaz-lafaz (kata- kata) yang terdapat dalam riwayat. Shirah atau perilaku- perilaku hidupnya pun menampakkan loyalitas terhadap apa yang dianggapnya sebagai sunah nabi; sebagai contoh, menurut satu riwayat di mana berdasarkan itu, Nabi Saw.
membayar satu dinar kepada seorang tukang bekam, ia pun tidak melakukan pengurangan dari biaya ini serta tidak menambahnya! Duduknya ia sebagai pemegang sanad hadis dan fatwa pada usia empat puluh tahun juga dianggap sebagai tanda mengikut kepada Nabi Mulia Islam.(2) Ia mengumpulkan akidah-akidah yang ia terima dalam sebuah risalah pendek yang sebagian di antaranya sebagai berikut:
"Tuhan Mahatinggi, setiap malam-dengan bentuk yang diinginkan-Nya meskipun "tidak ada sesuatu yang menyerupainya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat" —"turun" ke langit dunia dan hati-hati manusia berada di antara dua "jari" dari jari-jemari Tuhan; ...dan Tuhan menciptakan Adam dengan tangan-Nya; dan pada hari kiamat langit dan bumi berada dalam "telapak tangan- Nya"; dengan "tangan-Nya" mengeluarkan suatu golongan dari api neraka dan penghuni surga menatap ke wajah- Nya dan melihat-Nya; maka Tuhan memuliakan mereka
p: 271
dan menjelma kepada mereka dan membuat mereka menikmati anugerah-anugerah-Nya."(1) Menurut Anda, apakah berpegang kepada ayat "tidak ada sesuatu yang menyerupainya" serta mengungkapkan kalimat "dengan bentuk yang diinginkan-Nya" (kayfa yasyā) dapat membebaskan orang yang mengungkapkan perkataan-perkataan ini dari literalisme ekstrem serta keterjatuhan dalam jeratan-jeratan penyerupaan? Telaah dan Kritik Guna melakukan kritik terhadap pandangan literalistis, kami mencukupkan diri dengan mengemukakan dua poin:
1. Tak syak lagi, konsekuensi iman kepada Tuhan dan rasul adalah penerimaan kalam Ilahi tanpa bertanya ini-itu, dan seseorang tidak bisa menakwilkan dari dirinya sendiri dan tanpa suatu kriteria yang diterima akal serta memaksakan makna-makna yang diinginkannya kepada kitab dan sunah.(2) Hal ini merupakan "tafsir tanpa kaidah (tafsir bi al-ra'y)" yang dikecam keras dalam perkataan-perkatan para penghulu agama.
Berdasarkan hal ini, mengikut kepada lahiriah merupakan suatu perbuatan yang layak dan pantas, tetapi terkadang dari perkataan benar ini yang dimaksudkan adalah suatu makna batil yang terefleksikan dalam pandangan literalisme ekstrem.
Kebanyakan di antara kaum literalis dengan slogan mengikuti formalitas (lahiriah) kitab dan sunah, menyebut Tuhan mempunyai sifat-sifat kebendaan; sementara ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang mereka rujuk sama sekali tidak membuktikan maksud ini. Sebagai contoh, kata "tangan"- di mana pada umumnya menunjuk pada apa yang dikenal sebagai organ tubuh manusia- ketika diterapkan dalam susunan kata "tangan terbuka", tidak lagi tampak (sebagai makna lahiriah) dari organ materi dan secara jelas menerangkan suatu makna metaforis. Kendati demikian,
p: 272
sangat mengherankan di mana orang-orang seperti Ibn Taimiyyah, menyebut pula ayat ini: "bal yadāhu mabsuthatan (melainkan, kedua tangan-Nya terbuka)" (QS Al-Māidah [5]: 64) tak urung untuk membuktikan tangan bendawi! (1) 2. Dalam kaitannya dengan ciri-ciri manusiawi Tuhan-yang dalam istilah kalam Islam, dinamakan sifat-sifat predikatif, sebagian cenderung kepada "agnostisisme" dan menganggap akal manusia tidak mampu melakukan persepsi apa pun terhadap makna sifat- sifat ini. Golongan lainnya terjatuh dalam jurang "penyerupaan" dan tidak pula mengizinkan diri mereka untuk cemas dalam menyebut kematerian Tuhan. Golongan ketiga, dengan ungkapan yang samar dan penuh teka-teki, kadang menegaskan poin bahwa tangan dan kaki Tuhan bermakna sebagaimana makna leksikalnya; dan meski demikian, tidak seperti tangan dan kaki manusia. Begitu pula, Tuhan Mahatinggi, benar-benar turun dari Arsy-Nya; sebagaimana kita turun dari ketinggian ke bawah; dengan perbedaan ini bahwa dengan turunnya Tuhan, Arsy tidak kosong dari wujud-Nya.(2) Terkadang pula kelompok ini menganggap sebutan "bilā kayf" sebagai sebuah benteng kokoh yang menjadikan mereka aman dari segala bentuk tuduhan penyerupaan atau antropomorpisme; "Qad syabbahuhu bikhalqihi wa takhawwafū—syan`al wariyu fatastarrū bil bilākafati" (Mereka menyerupakan Dia dengan makhluk-makhluk dan karena takut dikecam orang-orang mereka berlindung kepada "bilā kayf"). (3) Mungkin lebih dari semuanya, sesuatu yang telah menggiring golongan ahlulhadis kepada kubah-kubah tak menenangkan ini adanya riwayat-riwayat yang tanpa ditutup-tutupi berbicara tentang sifat-sifat kematerian Tuhan. Benar, ketika kita menyebut hadis-hadis yang berhubungan dengan terlihatnya Tuhan pada hari kiamat sebagai hal yang tidak dapat dikoreksi, maka tak terelakkan, bahkan makna yang paling jelas pun dari ayat-ayat
p: 273
akan tercuri, dan kita akan menyebut ayat mulia ini: "lā tudrikuhu al-abshāru wa huwa yudriku al-abshāra" (Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia melihat segala penglihatan itu) (QS Al-An'ām [6]: 103), bukan sebagai ayat yang menafikan penglihatan, tetapi sebagai ayat yang membuktikannya!(1)
1. Sepanjang sejarah, perseteruan akal dan wahyu menemukan bentuk- bentuk yang beragam, dan bentuk paling kunonya tampak dalam pertentangan filsafat dan agama. Wajah baru posisi berhadap- hadapan ini dinamai dengan pertentangan ilmu dan agama.
2. Dalam pembahasan-pembahasan Kalam Jadid (Neoteologi), terkadang yang dimaksud dengan akal ialah semua pengetahuan- pengetahuan yang didapatkan melalui jalan-jalan yang sifatnya umum, dan yang dimaksud dengan wahyu ialah bagian pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh segolongan khusus manusia melalui jalan khusus.
3. Ungkapan-ungkapan seperti "akal dan wahyu", "akal dan agama", "agama dan filsafat " (dan bahkan ilmu dan agama) pada sebagian penggunaannya memiliki makna yang saling mendekati serta dapat digunakan pada posisi masing-masing antara satu dengan lainnya.
4. Pada umumnya, target (tujuan) serangan kaum agamawan yang anti rasional adalah penyandaran secara ekstrem terhadap akal atau penggunaan jenis khusus darinya dalam agama.
5. Maksud dari rasionalisme radikal ialah bahwa "kebenaran suatu kepercayaan kita jelaskan sedemikian rupa di mana seluruh orang-orang berakal menjadi puas (merasa yakin)".
6. Slogan utama kaum evidensialis zaman pencerahan-yang cenderung kepada rasionalisme radikal –adalah seperti ini: "Selalunya, di semua tempat dan bagi semua orang, percaya kepada setiap sesuatu atas dasar dalil-dalil yang tidak cukup adalah perbuatan tidak benar."
p: 274
7. Berdasarkan pandangan yang dikenal dengan rasionalisme kritis "struktur atau sistem kepercayaan-kepercayaan agama bisa dan mesti dievaluasi serta dikritik secara rasional, meskipun pembuktian secara pasti sistem-sistem seperti ini tidak memungkinkan." 8. Sumber-sumber orisinal Islam, meskipun menyebut akal sebagai hujjah Ilahi, menegaskan keterbatasan-keterbatasan akal dan mengembangkan sejenis rasionalisme yang dapat dinamai dengan "rasionalisme moderat".
9. Sebagian kalangan Kristen menyebut iman sebagai "pengganti akal" dan dengan mendukung atau cenderung kepada pandangan yang dinamakan dengan "Fideisme", menyeru kaum religius untuk waspada dalam melakukan penilaian rasional atas kepercayaan- kepercayaan religius.
10. Pengajuan suatu definisi baru tentang iman, tidak melepaskan lilitan dari pekerjaan kaum beriman dan tidak menjadikan mereka tak butuh dengan justifikasi rasional atas kepercayaan- kepercayaan religius.
11. Dalam agama-agama yang rujukan asli para penganutnya merupakan teks wahyu, kemunculan aliran-aliran yang jumud dengan makna formal (zhāhir) dan awal (ibtidā i) dari kata-kata (alfādz) yang digunakan dalam teks-teks religius, tidaklah begitu jauh dari penantian.
12. Sebagian kaum literalis Muslim menganggap sama ketekunan dan perhatian penuh terhadap teks-teks religius dengan pengabaian total terhadap akal dan sikap ekstrim dalam tekstualisme sampai pada tahap di mana setiap yang dinamakan "hadis" dipandangnya dengan penuh hormat serta tidak menunjukkan perhatian berarti atas kebenaran dan ketidakbenaran sai 13. Kebanyakan kaum literalis—dengan kejumudan atas makna-makna awal dan permukaan kata-kata-bukan hanya menyingkirkan akal, dari makna-makna urfi ayat-ayat dan riwayat-riwayat pun mereka berlepas tangan.
p: 275
1. Jelaskanlah potongan pilihan tentang sejarah pendek pembahasan "akal dan wahyu"! 2. Dalam pembahasan Kalam Jadid (Neoteologi), apa yang dimaksud dari dua istilah "akal" dan "wahyu?" 3. Mengapa sebagian pemikir menghindar dari penggunaan istilah "akal dan agama" dan lebih mengutamakan penggunaan rangkapan istilah "akal dan naql?" 4. Apakah dua sebutan "agama dan filsafat" dan "akal dan wahyu" merupakan padanan antara satu dengan lainnya? Jelaskan! 5. Pembahasan apakah yang diisyarahkan dalam istilah "ilmu dan agama"? Dan bagaimana hubungannya dengan pembahasan "akal dan wahyu"? 6. Dengan mengisyaratkan definisi dua pandangan "rasionalisme radikal" dan "rasionalisme kritis", bandingkanlah antara satu dengan lainnya! 7. Bagaimana Clifford menyebut keyakinan-keyakinan kaum religius tidak berdasar dengan menjelaskan kisah bahtera yang diterjang topan? 8. Mengapa orang-orang yang cenderung kepada rasionalisme kritis menyebut pandangan mereka dengan nama ini? 9. Jelaskan ulang maksud dari pada "rasionalisme moderat", dan tulislah pendapat Anda tentangnya! 10. Bagaimanakah kaum fideis Kristen menggambarkan hubungan antara akal dan iman? 11. Jelaskanlah maksud dari pernyataan ini: kaum fideis Kristen, dengan mengajukan suatu definisi baru tentang iman, menghapus bentuk masalah? 12. Apa makna literalisme dan mengapa kemunculannya dalam Islam-dibandingkan dengan kebanyakan agama-agama lainnya, lebih menyebar atau meluas? 13. Siapakah orang-orang Ahlulhadis dan bagaimanakah mereka berpikir tentang sifat-sifat manusiawi Tuhan? 14. Telaah dan kritiklah pandangan Literalisme!
p: 276
"Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya (menuju Mesir), ia melihat api di lereng gunung. Ia berkata kepada keluarganya, "Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah- mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan." Maka tatkala Musa sampai ke tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, "Hai Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam," (QS Al-Qashash [28]: 29–30).
"Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. Musa berkata: "Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?" Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: "Musa, Musa!" dan ia menjawab: "Ya, Allah." Lalu Ia berfirman: "Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu adalah tanah yang kudus. "(1)
p: 277
para peneliti agama Barat menyebut peristiwa-peristiwa semacam ini sebagai "pengalaman keagamaan" (religious experience)(1) dan kebanyakan menyebutnya sebagai esensi dan inti religiusitas. Friedrich Schleiermacher (1768—1834 M) seorang filsuf dan teolog berkebangsaan Jerman dan merupakan orang pertama yang menggunakan ungkapan atau frase yang mendekati istilah ini,(2) meyakini bahwa prinsip dasar ketulusan atau keikhlasan, bukanlah ajaran-ajaran revelasional dan bukan pula akal yang mengajarkan makrifat, melainkan pengetahuan (pengalaman) religius.(3) Ia dari satu sisi mendapati sebagian doktrin-doktrin kitab suci Kristen kontradiktif dengan pemahaman manusia; dan dari sisi lain, tidak setuju dengan pengabaian agama. Oleh karena itu, ia membangun alirannya berasaskan pengalaman religius dan dengan mereduksi kedudukan akidah-akidah dan upacara keagamaan, menyebut perasaan batin sebagai inti atau esensi agama.(4) Setelah Schleiermacher, masalah pengalaman keagamaan menjadi pusat perhatian kebanyakan pemikir Barat dan dewasa ini termasuk salah satu dari argumen-argumen pembuktian wujud Tuhan yang paling umum diterima di Barat.
Meskipun kemunculan istilah ini belum berlalu lebih dari dua abad, tetapi maknanya telah mengemuka sebelumnya dalam bentuk- bentuk, seperti wahyu dan ilham, penyingkapan dan penyaksian mistikal (irfani), teologi intrinsik, penyaksian tangan kekuasaan dan inayah Ilahi (dalam mukjizat dan perbuatan-perbuatan luar bisa seperti penyembuhan penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan serta terkabulkannya doa-doa) serta melihat Tuhan hadir dan mengawasi dalam keseharian kehidupan dunia.(5) Pengalaman keagamaan,
p: 278
sebagaimana tampak dengan jelas-berkaitan secara langsung dengan hal-hal yang bersifat supranatural dan definisi secara umum dan sederhana darinya adalah "perasaan kebergantungan terhadap suatu wujud yang bersifat transenden."(1) Dengan kata lain, secara umum maksud dari istilah ini adalah bahwa seluruh (atau setidaknya kebanyakan di antara) manusia sedikit banyaknya mempunyai pengetahuan tentang "sesuatu yang bersifat transenden" -yang dapat disepadankan dengan Tuhan agama-agama tauhid-dan menemukannya dalam pengalaman-pengalaman mereka.(2) Walaupun demikian, definisi dan penjelasan ini tidak boleh menghalangi pemikiran dan menjadikan seseorang lalai dari penggunaan luas istilah ini dan jenis-jenis pengalaman keagamaan yang beragam.(3) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Beberapa Contoh Pengalaman Keagamaan Apakah Anda memiliki pengalaman keagamaan? Apakah Anda sama sekali tidak pernah merasakan kehadiran Tuhan dengan kalbu dalam kehidupan Anda? Apakah Anda mengenal orang-orang di mana tangan mereka telah terputus dari sebab-sebab materiel, tetapi
p: 279
terbebas dari berbagai masalah dan penyakit melalui tawassul (berperantara) kepada mereka yang dekat dengan gerbang Ilahi? Akhirnya, menurut Anda apakah konsep ini dapat disebut memiliki derajat-derajat dan tingkatan- tingkatan yang beragam?
Faktor-faktor di bawah ini dapat disebut berpengaruh dalam mengemukakan masalah-masalah pengalaman religius dan begitu pula dalam memfokuskan diri kepadanya:
Di dunia Barat, setelah argumen-argumen rasional pembuktian eksistensi Tuhan dihadapkan dengan pelbagai kritik dan sistem-sistem filosofis Barat melihat diri mereka tidak berdaya dalam melakukan pembelaan rasional, maka masalah pengalaman keagamaan menjadi lokus perhatian dan tempat berlindung bagi kelestarian iman agama.
David Hume (1711–1776 M) dengan kritikan-kritikannya, dari satu sisi-menurut pendapat kebanyakan orang-telah menjadikan argumen-argumen keteraturan (the argument from design) melemah atau kehilangan daya,(1) dan dari sisi lain, memperhadapkan mukjizat- mukjizat dengan pelbagai tantangan dan permasalahan. (2) Immanuel Kant (1724–1804 M) dengan mengkritik daya-daya kemampuan akal teoretis (theoritical reason), menyebut wujud Tuhan hanya dapat terbuktikan dalam sorotan akal praktis (desakan kehidupan moral). (3)
p: 280
Dari sisi lain, Schleiermacher-pemegang panji gerakan yang menganggap agama sebagai sebuah pengalaman-hidup dalam suatu zaman di mana posisi rasionalisme radikal abad ke-18 tergantikan oleh Romantisisme(1) yang sedang mencari bagian hati yang terlupakan serta menekankan perasaan-perasaan dan emosi-emosi. Dalam kondisi seperti inilah Schleiermacher-dengan mengisyaratkan bahwa masalah- masalah seperti dalil-dalil pembuktian wujud Tuhan serta mukjizat- mukjizat berada pada tepian agama-sangat bersikeras dengan poin bahwa: "Jantung agama senantiasa adalah perasaan-perasaan serta emosi-emosi, bukan dalil-dalil dan pembahasan-pembahasan rasional ... Tuhan bagi individu yang saleh adalah suatu pengalaman serta hakikat yang hidup." (2)
Salah satu masalah yang menyebar secara umum pada abad ke- 19 dan memperhadapkan para pembela tradisional agama dengan berbagai kritik dan keberatan ialah telaah kritis terhadap kitab suci. (3) Kritik konseptual kitab suci-yang secara terminologis dinamakan dengan higher criticism(4)—dengan menggunakan bukti-bukti internal dan eksternal dalam kaitannya dengan masing-masing dari kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, [menjadikan] masalah-masalah berikut diposisikan sebagai objek sasaran kajian dan kritik, yaitu; jati diri penulis atau para penulis, sejarah penulisan, sumber atau referensi- referensi yang digunakan penulis, latar belakang sejarah, validitas ilmiah, dan lain sebagainya.(5) Hasil-hasil pengkajian ini tidak begitu menyenangkan bagi kalangan kaum beriman Kristen dan Yahudi.
p: 281
Dalam penelitian-penelitian ini, lima kitab pertama Perjanjian Lama-yang secara tradisional disandarkan kepada Musa- menunjukkan tanda-tanda akan keragaman penulis. Pengkajian secara teliti terhadap cerita-cerita yang selalu berulang-ulang serta perbedaan corak, istilah-istilah, dan pikiran, mengimplikasikan bahwa kitab-kitab ini (lima perjalanan) dalam bentuknya sekarang ini, merupakan suatu kumpulan dari beberapa riwayat serta berkaitan dengan beberapa masa yang berbeda-beda. Sebagian di antara bagian-bagiannya ditulis secara bebas dalam masa pengasingan atau penawanan orang-orang Babilonia (yaitu 800 tahun setelah Musa). Analisis serupa dari Injil Yohanes dan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya dengan Injil lainnya-baik dari segi corak dan susunan (struktur) maupun dari segi makna-menghantarkan para peneliti kepada suatu kesimpulan untuk menyatakan bahwa itu hanyalah sirah Isa al-Masih yang ditulis lebih dari setengah abad setelah ia disalib. (1) Schleiermacher dengan menonjolkan masalah pengalaman religius berupaya memindahkan pusat atau lokus agama dari kitab suci ke dalam kalbu orang-orang beriman, dan dengan perantaraan ini, ia mengamankan Kristen dari serangan-serangan kritikan yang dilontarkan terhadap kitab suci. (2) Selain daripada itu, sebagian teolog-teolog Kristen memikirkan suatu cara di mana berdasarkan itu, dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman keagamaan para penulis kitab suci, melakukan rasionalisasi atas masuknya doktrin-doktrin tidak benar ke dalam kitab ini. Mereka dengan menekankan keterbatasan- keterbatasan manusia dalam proses pengalaman dan penafsirannya, menyebarluaskan kepercayaan bahwa kontradiksi antara sebagian doktrin-doktrin kitab suci dengan data-data pengetahuan manusia,
p: 282
tidak membahayakan dimensi keilahian dan kesamawian kitab ini, karena pada dasarnya atensi dan perhatian Tuhan bukanlah mendiktekan sebuah kitab maksum, ... melainkan suatu perjumpaan dengan aturan dan percobaan yang sifatnya Ilahi, dialami, dinyatakan, dan dijelaskan oleh manusia yang bisa saja salah."(1) Dalam lanjutan bagian sembilan buku ini, kami akan lebih banyak berbicara tentang poin terakhir ini.
Dengan meluasnya interaksi dan berkembangnya ilmu studi perbandingan agama, orang-orang Kristen memperoleh informasi atau pengetahuan yang lebih banyak tentang pelbagai ragam agama dan melihat kebanyakan dari keyakinan-keyakinan dan aturan-aturan moral agama-agama tersebut yang serupa dengan doktrin-doktrin religius mereka. Setelah memperhatikan kesamaan-kesamaan ini, yang tentunya disertai pula dengan suatu kontradiksi-kontradiksi dan disparitas—"Tipologi atau eksklusivitas Kristen menjadi dipertanyakan"(2) dan diragukan, bahkan muncul ketakutan di mana agama-agama, bukan hanya kehilangan kebenaran tipikalnya, tetapi prinsip validitas mereka pun akan lenyap dan dalam kondisi terbaik memuluskan jalan bagi penerimaan agama natural dan tidak bersifat wahyu-yang didukung oleh aliran Deisme. Pengalaman religius menyiapkan suatu justifikasi bagi kemengapaan pelbagai kesamaan dan disparitas ini(3) dan sekarang ini masih termasuk sebagai salah satu dasar pluralisme agama.
Kemajuan menakjubkan ilmu-ilmu empiris serta adanya pemahaman tentang tiadanya validitas hal-hal yang bersifat metafisik merupakan salah satu di antara faktor-faktor yang menjadikan sebagian orang memasukkan agama sebagai bagian dari kategori pengalaman
p: 283
dan di samping pengalaman-pengalaman eksternal, menekankan pentingnya pengalaman batin (internal). Iqbal Lahore (1876–1938 M) sepertinya dengan cara pandang ini, berbicara tentang tiga pengalaman- pengalaman batin, eksternal dan historis serta menyebut wahyu sebagai pengalaman batin nabi.(1) Walaupun demikan, sebagian ilmuwan Barat menyebut tipuan (siasat) ini tidak memiliki efisiensi atau daya kerja dan dalam kritiknya, mereka mengatakan: "Para filsuf-filsuf Ilahi liberal ingin menggunakan metode empiris, tetapi mereka menerima atau mengakui pengalaman religius dan melalui ini mereka melangkah ke jalan yang tidak riil dan bukan empiris atau bersifat mental."(2)
Dalam dunia modern dan dengan perkembangan serta dominasi aliran-aliran pemikiran seperti Humanisme, bahkan dalam ranah- ranah religius dan teologi pun, boleh jadi teosentrisme telah tergantikan posisinya dengan antroposentrisme.(3) Sebagai contoh, sebagaimana dalam bagian enam yang lalu-menurut pandangan sebagian peneliti-peneliti agama, suatu hal yang menentukan ruang lingkup agama adalah harapan "manusia" terhadap agama, bukan "teks-teks keagamaan". Menurut golongan ini, manusia dalam suatu masa meyakini bahwa agama memenuhi semua kebutuhan-kebutuhan dan berdasarkan hal ini, ia memunculkan "ilmu pengobatan al-Ridha" (thibb al-Ridhā) dan "ilmu pengobatan al-Shadiq" (Thibb al-Shādig), tetapi sekarang ini, dengan memperbarui pandangan dalam harapan- harapannya menjadikan ruang lingkup agama semakin terbatas.
Berdasarkan cara pandang ini, "pengalaman manusia" tentang Tuhan serta hakikat-hakikat keagamaan lainnya menemukan signifikansi yang lebih besar dan menjadi inti utama agama. Tentunya, sebagian humanis yang beraliran ateis-di mana iman terhadap manusia berserta daya-daya potensialnya mereka jadikan sebagai
p: 284
alternatif guna menggantikan kepercayaan terhadap Tuhan dan urusan-urusan supranatural-menunjukkan kesenangannya dengan pengalaman keagamaan, dengan penjelasan ini bahwa "agama dan pengalaman adalah satu, di mana pun terdapat individu manusia yang sedang menyempurna, maka di situ pula terdapat agama."(1)
Sebagian orang-orang yang mengingkari hal-hal bersifat supranatural sampai pada kesimpulan bahwa seluruh laporan-laporan yang terkait dengan kondisi-kondisi batin dan penyaksian-penyaksian kaum agamawan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Dari sisi ini, mereka menerima keberadaan pengalaman pengalaman seperti ini dan di saat yang sama menegaskan bahwa adanya sensasi batin ini, tidak dapat menjadi justifikasi terhadap keberadaan objeknya.(2) Dengan kata lain, menurut pandangan kelompok ini, Tuhan, wahyu, dan hari kiamat merupakan hal-hal yang bersifat takhayul, meskipun pengalaman keagaman adalah sebuah realitas tak teringkari.
Emile Durkheim (1858–1917 M) yang menyebut Tuhan sebagai masyarakat itu sendiri, dengan mengisyaratkan gagasan tersebut, mengatakan, "Mengingat adanya sejenis "pengalaman keagamaan" dan pengalaman ini pun istilahnya bukan tanpa asas ... sama sekali tak dapat disimpulkan bahwa realitas fundamentalnya persis dengan apa yang diduga oleh orang-orang yang mengimaninya. "(3)
p: 285
Keenam bagian-bagian pengalaman religius yang dikemukakan oleh Caroline Franks Davis(1) telah menarik perhatian sekelompok penulis berbahasa Parsi dan dengan suatu istilah-istilah yang lebih diterima oleh mereka. (2) Walaupun demikian, sepertinya Davis dalam pembagian ini memadukan beberapa kriteria yang berbeda-beda dan memunculkan suatu komposisi yang tidak serasi. (3) Bagaimanapun, dengan memperhatikan kriteria-kriteria yang berbeda dalam suatu pembagian, dapat memberikan pembagian-pembagian yang lebih variatif tentang pengalaman keagamaan, di mana sebagian di antaranya akan kami jelaskan sebagai berikut.
Richard Swinburne (1934 M) menyebut bentuk realisasi pengalaman pengalaman religius-dari sudut pandang kebutuhan pada perantara perantara indriawi (atau ketidakbutuhan dengannya) dan juga keumuman atau personalitas fenomena yang telah dialami-dalam lima jenis:(4) a. Dengan perantaraan sesuatu yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena yang bersifat umum dan lazim. Sebagai contoh, tenggelamnya matahari adalah suatu fenomena umum yang dapat disaksikan oleh semua orang; walaupun demikian,
p: 286
boleh jadi fenomena lazim ini pula yang menyebabkan orang- orang merenung dan kemudian teringat dengan Tuhan.
b. Dengan perantaraan sesuatu yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena yang bersifat umum dan tidak lazim.
Terkadang suatu fenomena yang dialami, bukan fenomena biasa dan tak lazim (seperti terdegarnya suara dari pohon atau dengan ungkapan lain, dari semak belukar yang menyala tapi tidak terbakar),(1) tetapi merupakan suatu yang bersifat umum, yakni sesuai kaidah, semua orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut memperoleh pengalaman perjumpaan dan pendengaran darinya. (2) Swinburne menyebut munculnya Bunda Maria (Maryam) pada Fatima(3) termasuk dalam kategori ini. (4) Menurutnya, hari kebangkitan (kehidupan kembali) al-Masih(5) adalah contoh yang lain dari bagian ini.
Di hari awal pekan, ketika fajar telah menyingsing, mereka mengambil hanuth (obat wangi pengawet mayat) yang mereka telah buat, lalu mereka datang ke kuburan. ...dan mereka melihat batu bergelindingan dari atas kuburan. Mereka masuk dan tidak
p: 287
menemukan jazad tuhan Isa.(1) ... Tiba-tiba Isa berdiri di tengah- tengah mereka dan berkata kepada mereka: "Salam kepada kalian," tetapi mereka gemetaran dan menjadi takut, mereka mengira telah melihat ruh Isa berkata kepada mereka: "Mengapa kalian gugup? Dan untuk apa dalam hati kalian timbul keraguan (syubhat)? Lihatlah tangan dan kakiku, ini adalah aku, letakkanlah tangan kepadaku, lihatlah karena ruh tidak memiliki daging dan tulang."(2) Poin yang ingin ditunjukkan Swinburne ialah bahwa universalitas atau keumuman suatu kejadian tidak begitu bisa dibuktikan.(3) Sebagai contoh, apabila saya melihat wujud berkulit putih dan dengannya saya berbicara, dari mana saya dapat mengetahui bahwa jika sekiranya ada orang lain yang bersama saya, dia pun akan mengalami fenomena ini.(4) DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Keumuman dan Ketidakumuman Pengalaman Wahyu Imam Ali dalam menjelaskan suatu peristiwa, di mana hal itu dalam istilah para peneliti agama Barat- dapat disebut sebagai suatu pengalaman keagamaan, tentang kesannya bersama Rasulullah Saw. dalam gua Hira, berkata seperti ini:
Setiap tahun ia berkhalwat di gua Hira. Aku melihatnya dan selain diriku tak ada seorang pun yang melihatnya. ... Aku melihat cahaya wahyu dan kenabian serta mencium aroma nubuwwah. Ketika wahyu turun
p: 288
kepadanya, aku mendengarkan suara setan. Aku berkata:
"Wahai utusan Tuhan, suara apa gerangan ini?" Nabi Muhammad Saw. berkata: "Ini adalah setan yang sedang khawatir dan berputus asa karena tidak menyembah- Nya. Sesungguhnya engkau mendengar apa yang aku dengar dan melihat apa yang aku lihat, hanya saja engkau bukanlah nabi." (1) Menurut Anda, apakah fenomena tidak lazim ini dapat dikatakan bersifat umum? Yakni sekiranya kita pun menemani Nabi Saw. di gua Hira, apakah kita dapat mendengar apa yang ia dengar dan melihat apa yang ia lihat?(2) c. Dengan perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena personal yang dapat diungkapkan dengan menggunakan kata-kata biasa atau standar. Sebagai contoh, apa yang dialami dalam mimpi benar-benar merupakan sesuatu hal yang bersifat personal (individual) dan tidak disaksikan secara terbuka oleh semua orang, tetapi sangat banyak di antara jenis- jenis pengalaman seperti ini dapat dijelaskan dengan begitu mudah. Swinburne dalam hal ini mengisyaratkan kepada hikayat di bawah ini dari kitab suci:
Kelahiran Isa al-Masih dulunya seperti berikut bahwa karena ibunya Maryam telah bertunangan dengan Yusuf, sebelum mereka bersama, ia hamil dari Ruhul kudus. Suaminya Yusuf, karena ia adalah seorang laki-laki yang saleh, ia tidak ingin memberitahunya, Ia putuskan untuk meninggalkannya secara sembunyi-sembunyi. Namun, ketika ia memikirkan hal ini, tiba- tiba malaikat Tuhan tampak kepadanya dalam tidur, berkata: "Hai Yusuf, putra Dawud, janganlah takut mengambil istrimu Maryam karena apa yang ada padanya adalah dari Ruhul kudus." (3)
p: 289
Sebagaimana yang tampak, kebanyakan perbincangan malaikat dengan manusia dimasukkan dalam bagian ini karena secara umum kejadian seperti ini merupakan suatu fenomena yang bersifat personal dan pesan yang dibawa malaikat meskipun dengan bantuan kekuatan hayal, sebagaimana yang dikatakan para filsuf muslim(1) didapatkan dalam bentuk bahasa yang lazim (biasa) dan dalam bentuk ini dapat ditransmisikan kepada yang lain.
DISKUSIKAN DAN PIKIRKAN Personalitas Pengalaman Wahyu dan Terlihatnya Malaikat Pembawa Wahyu Berdasarkan sebagian riwayat-riwayat Islam, ketika malaikat Jibril hadir mendatangi Nabi Saw., ia duduk berhadapan dengannya sebagaimana halnya para pelayan (budak laki-laki);(2) dan boleh jadi dengan wajah seseorang yang bernama Dahiyah bin Khalifah Kalbi dan dalam keadaan ini, terkadang disaksikan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw.. (3) Menurut Anda, jika kita menyebut wahyu sebagai pengalaman keagamaan nabi, dengan memperhatikan riwayat-riwayat semacam ini apakah fenomena wahyu (yang disertai dengan perantaraan malaikat) dapat dikatakan termasuk dari bagian ketiga ini? d. Dengan perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi dan dalam bentuk suatu fenomena personal yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa biasa (bahasa lazim). Para arif yang mendapati pengalaman religiusnya sulit dan mustahil untuk dideskripsikan,
p: 290
boleh jadi memiliki suatu pengalaman dari jenis ini.(1) Sebagian penulis Kristen, menyebut pengalaman Bunda Teresa (1512–1582 M) sebagai contoh dari bagian ini:(2) Aku pada perayaan megah tradisi Petrus, dalam keadaan memanjatkan puji dan doa melihat al-Masih berada di dekatku atau lebih baik kukatakan: aku mengetahui kehadirannya karena tidak dengan mata kepala aku melihat sesuatu, tidak pula dengan mata hati. Aku merasakan bahwa ia benar-benar dekat denganku dan melihatnya serta mengira bahwa dirinya yang berbicara denganku. ... di sepanjang (dalam seluruh) waktu seolah Isa al- Masih berada di dekatku, tetapi hal ini bukanlah perjumpaan ilusif. Aku tidak mampu melihatnya dalam suatu bentuk apa pun; Aku hanya merasakan bahwa di sepanjang (dalam seluruh) waktu ia tepat berada di belakangku dan mengawasi seluruh amal perbuatanku. (3) e. Tanpa perantaraan suatu hal yang bersifat indriawi. Pada empat bagian sebelumnya, pengalaman keagamaan merupakan suatu fenomena yang sifatnya terlihat dan terdengar; meskipun mungkin saja penglihatan dan pendengaran ini tidak pantas bagi setiap mata dan telinga. Namun pada jenis kelima, tanpa perantaraan hal-hal yang bersifat indriawi suatu pengalaman religius dapat diperoleh, dan "dengan bantuan kedua mata; ruh dan akal" wajah "hakikat tak terlihat" tersebut dipersepsi.