سرشناسه:لبیب، محسن
Labib, Muhsin
عنوان و نام پدیدآور: Pemikiran Filsafat Ayatullah M.t. Mishbah Yazdi (Filsuf Iran Kontemporer) Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan[Book] / Muhsin Labib.
مشخصات نشر: Qom : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa , 2014 = 1393.
مشخصات ظاهری: 339 ص.
فروست: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله ؛ پ1393/273/180 ، نمایندگی المصطفی در اندونزی ؛ 19.
شابک: 160000ریال 978-964-195-051-6 :
وضعیت فهرست نویسی:فاپا
یادداشت :اندونزیایی.
آوانویسی عنوان:پمیکرین...
موضوع:مصباح ، محمدتقی ، 1313 -
موضوع:Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi
شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)
شناسه افزوده:Almustafa International UniversityAlmustafa International Translation and Publication center
رده بندی کنگره: BP55/3 /م56 ل2 1393
رده بندی دیویی: 297/998
شماره کتابشناسی ملی:3649505
P:1
بسم الله الرحمن الرحیم
P: 2
Pemikiran Filsafat
Ayatullah M.t. Mishbah Yazdi (Filsuf Iran Kontemporer)
Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat
Wujud dan Filsafat Ketuhanan
Dr. Muhsin Labib
pusat penerbitan dan
penerjem ah an internasional al Musthafa
P: 3
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.t. Mishbah Yazdi (Filsuf Iran Kontem-
porer) Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat
Ketuhanan
penulis: Dr. Muhsin Labib
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-051-6
تفکرات فلسفی آیت الله مصباح یزدی
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی ال
r.
مؤلف: محسن لبیب
چاپ اول: 1393 ش / 2014م
چاپخانه: نارنجستان
قیمت: 160000 ریال
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
Stores:
ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
P: 4
PROLOG 1 Profil Pemikiran Prof. M.T. Mishbah Yazdi....1
PROLOG 2 Prakata Prof. M.T Mishbah Yazdi...11
KATA PENGANTAR .....15
BAB I PENDAHULUAN.........................17
BAB II LATAR BELAKANG STUDI FILSAFAT DI HAWZAH ILMIYAH QOM. ........21
A. Perkembangan Filsafat Islam ..............21
B. Perkembangan Filsafat Islam di Dunia Syi'ah. .........27
C. Kedudukan Filsafat di Haw zah-hawzah Ilmiyah. ...38
D. Filsafat di Hawzah `Ilmiyah Qom......40
1. Periode Qazwînî. ..................................................41
2. Periode Karaki ...................42
3. Periode `Abd al-Karîm Haerî Yazdî....46
4. Periode Khomeini dan Thabâthabâ'î. .....54
5. Periode Muthahhari....57
6. Periode Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî....61
Bab III PROFIL MUHAMMAD TAQÎ MISHBÂH YAZDI.........63
A. Biografi........................63
B. Pendidikan........................65
1. Jenjang Muqaddimat...65
2. Jenjang Suthuh..............67
3. Jenjang Khari.....70
P: 5
C. Kiprah dalam Pendidikan..............73
1. Bekerjasama dengan Behesyti dan Quddusi di Haqqani. Madrasah....82
2. Mendirikan Divisi Pendidikan Di YayasanRahe-Haq ........83
3. Mendirikan Biro Kerjasama Hawzah dan Universitas.................84
4. Mendirikan Institut Cultural Baqir Ulum. ......85
5. Mendirikan Pusat Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini.........85
D. Kiprah dalam Penelitian dan Pengembangan Metodologi .................85
1. Fiqh dan Ushul Fiqh ..........85
2. Tafsir........................86
3. Filsafat...........................88
E. Guru-gurunya......91
1. Thabâthaba'î...91
2. Khomeini.......93
F. Murid-muridnya.............95
G. Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dan Para Pemikir Haw zah.................96
1. Muthahhari dan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî................. 97
2. Javâdi Âmulî dan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî.......101
BAB IV PEMIKIRAN FILSAFAT MUHAMMAD TAQÎ MISHBÂH YAZDÎ....109
A. Pengertian, Subjek, dan Tujuan Studi Filsafat dalam Tradisi Haw zah............112
B.Anatomi Filsafat dan Ilmu.....118
C. Klarifikasi tentang Homonimitas dalam Pembahasan Filsafat ...............125
D. Klarifikasi seputar Konsep-konsep Universal........130
P: 6
BAB V PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI MUHAMMAD TAQI MISHBÂH YAZDÎ .....139
A. Pengertian ...........139
B. Relasi Epistemologi dan Ontologi........143
C. Filsafat dan Ilmu......148
D. Ragam dan Hakikat Ilmu.....154
E. Prinisp Hudhûri.......158
1. Objek Aksidental dan Substansial..............162
2. Kebersatuan Subjek dan Objek Pengetahuan ....167
3. Pengetahuan Maujud Abstrak terhadap Maujud Konkret..................169
F. Prinsip Badâhah.............171
1. Badîhî Awwalî....185
2. Badîhî Tsânawi ........186
BAB VI PEMIKIRAN ONTOLOGI MUHAMMAD TAQI MISHBÂH YAZDÎ.............189
A. Wujûd........190
1. Ashâlat al-Wujûd..................193
2. Wahdat al-Wujûd. ...........202
3. Tasykîk al-Wujûd......215
4. Râbith dan Mustaqil......217
5. Wajib dan Mumkin...........222
6. 'Illah dan Ma'lûl....224
B. Mâhiyyah.....................230
C. Jawhar dan `Aradh ....................234
D. Harakah Jawhariyyah.......237
BAB VII PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD TAQI MISHBÂH YAZDÎ ............243
A. Sistematika Teologi .........243
B. Kedudukan Teks dalam Teologi ..........246
C. Kedudukan Ilmu Hudhûrî dan Hushûlî dalam Teologi.....252
D. Mabda'...258
P: 7
1. Keberadaan dan Keesaan Tuhan ...... .....259
2. Dua Pola Argumentasi Tauhid .......263
3. Tiga Dimensi Tauhid ......267
4. Keadilan Tuhan .....................288
a. Rasionalitas Baik dan Buruk ....................289
b. Qadhấ' dan Qadar ......294
c. Kebebasan dan Pemaksaan (Penentuan).296
E. Ma'âd ....................298
1. Dalil Hikmah.. ...................300
2. Dalil Keadilan................................302
3. Kebangkitan Jasmani dan Rohani ...........304
BAB VIII PENUTUP ......307
A. Kesimpulan ................307
1. Epistemologi...310
2. Ontologi..........314
3. Teologi ..........318
B. Saran-saran ..............321
DAFTAR PUSTAKA.......325
INDEKS .......333
IKLAN BUKU.....341
P: 8
TRANSLITERASI ARAB
P: 9
TRANSLITERASI PERSIA
P: 10
PROLOG 1: PROFIL PEMIKIRAN PROF. M.T. MISHBAH YAZDI(1) Muhammad Legenhausen and ‘Azim Sarvdalir Filsafat dan tafsir Alquran, seperti juga mistisisme ('irfan), pernah dipandang sinis oleh banyak pemuka Syi'ah yang mengajarkan hukum Islam (fiqh) dan yurisprudensi (ushul fiqh). Sejak kemenangan Revolusi Islam, situasi itu sedikit berubah mengingat Imam Khomeini turut mengembangkan bidang-bidang pengajaran ini, di samping juga karena wibawa Allamah Thabathaba’i(2) yang karya-karyanya dalam bidang-bidang tersebut telah menjadi standar. Permasalahan (penerimaan filsafat) di dunia Islam sebenarnya tidak melulu menyangkut metode- metode filsafat yang terkait dengan doktrin-doktrin tertentu. Di kalangan sarjana Islam, filsafat bukan sekadar tradisi pemikiran yang membentang dari Yunani kuno dan mengalir melalui para penganut Neoplatonisme, orang-orang Islam, Kristen, orang-orang Eropa modern hingga melahirkan kajian akademis tentang filsafat ilmu, agama, hukum, dan politik kontemporer. Di dunia Muslim, filsafat lebih dari sekadar suatu metode dan himpunan topik yang mempunyai sejarahnya sendiri; filsafat ialah sesuatu yang menuntut penerimaan doktrin-doktrin tertentu, yang oleh beberapa kalangan dianggap tidak sejalan dengan Islam. Para filsuf Muslim, seperti para Sufi dan Syi'ah (serta kalangan pemikir terkemuka yang menyatakan setia terhadap ketiga-tiga aliran esoterik tersebut), menawarkan penafsiran nonliteral terhadap ayat-
P: 1
ayat Alquran dan hadis Nabi dan keluarga beliau. Reaksi kalangan yang berpegang pada makna literal terhadap tawaran kelompok di atas -seperti bisa diramalkan- ialah tuduhan melakukan bid'ah, penyim- pangan, dan kekufuran.
Dalam Alquran, kita sepertinya disuguhi konsep ketuhanan (deity) yang personal, untuk tidak menyebut antropomorfis (menyerupakan Tuhan dengan manusia), sementara para filsuf dan sufi meyakini Tuhan sebagai eksistensi itu sendiri, hakikat eksistensi, eksistensi mut- lak, atau wujud. Islam tampak seperti mengajarkan bahwa pada kurun waktu setelah kematian (barzakh) manusia akan menerima berbagai pahala dan siksa fisik. Menurut para filsuf dan sufi, pahala dan siksa terjadi berbarengan dengan kehidupan kita sekarang. Kebangkitan jas- mani juga diberi aneka penafsiran mistis dan filsufis yang haram men- urut kelompok literalis. Tak ayal lagi, kelompok literalis terlalu sempit dalam memaksakan keunggulan otoritas firman Tuhan atas penggunaan nalar manusia yang tidak punya padanannya dalam fundamentalime Kristen. Dalam bergulat dengan filsafat, kedua belah pihak (literalis dan nonliteralis) sama-sama piawai menggunakan argumen-argumen filsufis dalam mempertahankan pendapat masing-masing, setidaknya sejak Al- Ghazali (w. 1111 M). Kelompok literalis menuding para filsuf dan sufi memperlakukan teks-teks suci (scriptures) secara tidak lazim. Dan se- kalipun kiranya kita condong pada pendekatan nonliteral, harus diakui bahwa para filsuf maupun sufi sering memberikan penafsiran yang sulit dicerna.
Bagaimanapun, dalam lingkungan Syi'ah, penafsiran esoteris terhadap teks merupakan bagian terpadu dari ortodoksi. Para Imam sendiri mengungkapkan berbagai tingkatan pengetahuan esoteris yang diturunkan oleh Nabi Muhammad Saw kepada mereka, berkaitan dengan status mereka sebagai penyandang kepercayaan atau perwalian (trusteeship). Pengetahuan esoteris tersebut lebih menyangkut penafsiran terhadap Alquran dan doktrin-doktrin lain, ketimbang secara langsung berkaitan dengan rincian masalah hukum ibadah. Bagi para ulama fiqih
P: 2
yang berurusan dengan penyediaan bukti-bukti tekstual yang jelas untuk menyokong putusan-putusan hukum, seperti perbuatan-perbuatan apa yang termasuk dalam wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram, kiranya wajar jika mereka cenderung lebih mengunggulkan akal-sehat (common sense) dalam membaca teks. Oleh karena itu, terdapat ketegangan hermeneutik berkelanjutan di hauzah-hauzah(1) Syi'ah. Di satu pihak, ada kepekaan tertentu terhadap pendekatan esoteris yang dianjurkan oleh pernyataan-pernyataan para Imam, dan di lain pihak ada kepentingan kajian-kajian fiqih yang menyuburkan kecenderungan pada pandangan literal dan penalaran akal-sehat.
Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy (Buku Daras Filsafat Islam karya Prof.M.T.Mishbah Yazdi peny.) menampilkan keseimbangan antara kecenderungan literalis dan esoteris dalam konteks mempertahankan filsafat Islam. Tuduhan (kalangan literalis) akan adanya misinterprestasi teks suci tertepiskan oleh ketiadaan sandaran meyakinkan dalam Alquran. Nalar, seba- gaimana dipahami dalam tradisi skolastik pembelajaran Syi'ah, adalah satu-satunya standar untuk mengimbau manusia. Bahasa Kitab Suci ser- ing menggunakan gaya kiasan (figurative), sehingga penafsiran esoteris yang didiktekan nalar pada akhirnya harus diterima untuk mendamaikan filsafat dan agama.
Bertahannya filsafat Islam adalah berkat karya-karya Shadr Al- Din Al-Syirazi (w.1641 M), umumnya dikenal sebagai Mulla Shadra, atau biasa dirujuk dalam buku ini dengan sebutan kehormatannya, Shadr Al- Muta’allihin (kebanggaan para teosof). Shadr Al-Muta’allihin sendiri adalah pelaku sintesis yang membangun sistem bernama Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (hikmah yang memuncak atau teosofi transenden) yang mencakup elemen-elemen pemikiran Ibn Sina (w.1037 M), Suhrawardi (w.1191 M), dan beberapa teolog Syi'ah terkemuka, seperti Khwajah
P: 3
Mulla Shadra juga terkena serangan orang-orang yang menganggap penafsiran esoterisnya sebagai bid'ah. Dengan jengkel, ia menanggapi para penuduh itu dengan cercaan moral yang pedas dalam satu-satunya risalah yang dia tulis dalam bahasa Persia'. Pengaruh Shadra justru lambat laun terasa setelah kematiannya. Namun, pada abad ke-19 pemikirannya telah memantapkan diri di tengah-tengah para pelajar filsafat Syi'ah.
Dan selanjutnya, Syarh Al-Manzhumah, karya Mulla Hadi Sabzawari (w.1878 M)— yang sejalan dengan tesis-tesis utama teosofi transenden Shadra—menjadi buku daras standar bagi para mahasiswa yang secara privat belajar filsafat di berbagai Hauzah.
Pada paruh kedua abad ke-20, ulama dihadapkan pada kenyataan meningkatnya minat anak muda terhadap Marxisme, dan mereka mencoba menyongsong tantangan filsufis ini dengan menjabarkan prins- ip-prinsip teosofi transenden. Buku Ushul-e Falsafah va Ravisy-e Ri'alism (Prinsip-Prinsip Filsafat dan Metode Realisme) ditulis oleh Al- lamah Thabathaba'i dalam bahasa Persia untuk maksud tersebut, disusul dengan Falsafatuna, karya Syahid Muhammad Baqir Al-Shadr yang ditulisnya di Najaf".
Tentangan terhadap pengajaran filsafat secara terbuka tidak selamanya berangkat dari ketidaksetujuan terhadap prinsip-prinsip filsafat, tetapi sering berasal dari keberatan-keberatan keagamaan. Adalah dosa besar memperlemah iman seorang Muslim, dan filsafat dipandang berbahaya lantaran bisa menanamkan benih keraguan dalam benak yang kurang jeli sehingga bisa-bisa tak mampu melepas belenggu diri sendiri.
Gagasan semacam ini bahkan pernah diungkapkan oleh Ibn Sina, manakala ia memperingatkan pembaca awam untuk tidak melanjutkan ke bagian filsafat setelah menamatkan bagian logika dalam karya Al-Isyarat wa Al- Tanbihať.(1) Tidak jarang kita menemukan peringatan serupa dalam karya- karya para filsuf dan 'urafa Islam bahwa latar belakang dan latihan yang memadai diperlukan sebelum penghayatan (appreciation) jitu terhadap suatu ajaran bisa diharapkan. Sungguh, bukankah ini maksud prasasti
P: 4
yang bergantung di pintu Akademia?(1) Selain pengajaran filsafat secara terbuka, perang ideologi antara Marxisme dan Islam juga telah membantu lahirnya sejumlah inovasi dalam filsafat Islam. Hingga abad ke-20, karya-karya filsafat Islam ditulis untuk menjawab persoalan yang diajukan para pemikir Muslim dalam konteks kebudayaan Islam. Tidak ada rujukan yang dibuat kepada pemikiran Eropa modern. Lewat ancaman Marxisme, para filsuf Muslim dihadapkan pada bantahan-bantahan yang diajukan oleh orang- orang Eropa, terutama menyangkut persoalan-persoalan epistemologi.
Sementara filsafat Islam klasik berputar-putar pada masalah-masalah metafisika, ciri-khas penting filsafat Islam abad ke-20 justru terletak pada perhatiannya terhadap epistemologi. Ushul Falsafeh-nya Allamah Thabathaba’i adalah karya filsafat Islam yang pertama-tama memuat dan mengembangkan pembahasan isu-isu penting epistemologi yang dikaitkan dengan filsafat Barat modern (terutama Marxisme). Perhatian serupa juga diberikan dalam Falsafatuna, karya Baqir Shadr. Dalam karyakarya tersebut, sebagaimana dalam Philosophical Instructions-nya Mishbah Yazdi ini, skeptisisme diserang, sementara kemampuan-kemampuan nalar dikukuhkan. Kaum rasionalis Eropa modern, dengan perhatian utama pada Descartes, lebih diunggulkan ketimbang empirisisme dan Kant.
Alasan lain untuk menyoroti filsafat Eropa modern dan problemanya ialah karena filsafat Barat sudah sedemikian merasuki kurikulum universitas-universitas di Dunia Islam (dan sialnya, filsafat Islam telah dan, lebih sialnya, terus terabaikan). Sejumlah karya terjemahan filsafat Eropa mulai tampak dalam bahasa Arab maupun Persia. Pada abad ke-20, Sayyid Muhammad Kazhim Ashshar, mahaguru yang berlatar belakang tradisional, merupakan orang pertama yang belajar di Prancis, lalu kembali ke Hauzah dan mengajar di Najaf dan kemudian di Universitas Teheran(2)
P: 5
Pada sisi lain, filsafat Islam mengimbau pada patokan-patokan akal, ditambah pengetahuan dengan kehadiran (ilm hudhuri), yang tanpa keduanya keyakinan agama bisa disingkirkan sebagai tak berpijakan.
Baik Schleiermacher maupun Prof. Mishbah sama-sama menemukan kebergantungan penuh eksistensi manusia pada “introspeksi”. Tetapi, sementara Schleiermacher menghindarkan doktrin-doktrinnya dari segala bentuk teologi filsufis demi memperoleh pengalaman “kebergantungan” itu sendiri, Prof. Mishbah justru menemukan introspeksi sebagai cara meneguhkan semua data yang diperlukan bagi teologi alamiah yang sejalan dengan teosofi transenden. Dan dalam teosofi transenden eks- istensi Tuhan dibuktikan melalui perenungan rasional terhadap (hasil) pengenalan langsung dengan eksistensi itu sendiri.
TENTANG PROF. M.T.MISHBAH YAZDI Ayatullah Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi lahir tahun 1934 di Kota Yazd. Di kota kelahirannya itu pula beliau menamatkan pelajaran dasar ilmu-ilmu Islam dan memulai pembacaan naskah-naskah klasik utama dalam bidang hukum Islam dan yurisprudensi.
Untuk mengikuti jenjang lanjutan, Prof. Mishbah berangkat ke Najaf.
Tetapi, karena kesulitan keuangan, setahun kemudian beliau kembali ke Iran dan meneruskan studi di Qum. Dari 1952-1960, beliau menghadiri pelajaran-pelajaran Imam Khomeini, sambilmengikuti pelajarantafsir Al Quran, Al-Syifa', karya Ibn Sina, dan Al-Asfar, karya Mulla Shadra oleh ‘Allamah Thabathaba'i. Bertahun-tahun lamanya beliau habiskan dalam diskusi seputar signifikansi sosial Islam, termasuk masalah jihad, yudikasi, dan pemerintahan Islaam.
Sekitar tahun 1964, ia bekerjasama dengan Syahid Bahesyti, Syahid Bahon- ar, dan HujjatulIslam HasyemiRafsanjani untukmelakukan perlawananatas rezim Syah Pahlevi dan menulis dua karya, Bitsat (Misi Kenabian) dan Intiqam (Tindak Pembalasan), yang kedua-dua nya ia terbitkan sendiri. Prof. Mishbah juga ikut andil dalam mendirikan organisasi politik ulama Qum, yang terutama dipimpin oleh Ayatullah
P: 6
Rabbani Syirazi dan antara lain beranggotakan Ayatullah Khamenei, Hujjatul Islam Rafsanjani dan Syahid Quddusi. Dokumen- dokumen pendirian organisasi ini lalu dirampas dan nama-nama yang tertera padanya diusut, sehingga orang-orang ini harus bersembunyi, termasuk juga Ayatullah Mishbah. Ketika suhu politik mendingin, dia balik ke Qum untuk melanjutkan aktivitas-aktivitas keilmuannya.
Setelah itu, dia bekerja pada Bagian Administrasi Madrasah Haqqani bersama-sama dengan Ayatullah Jannati, Syahid Bahesyti, dan Syahid Quddusi. Selama kira-kira sepuluh tahun di madrasah tersebut, dia mengajarkan filsafat dan kajian-kajian Alquran. Lantas, beberapa waktu menjelang dan bersamaan dengan pecahnya Revolusi Islam, atas dukungan dan dorongan Imam Khomeini, dia berpartisipasi mendirikan sejumlah sekolah dan institut. Di antara yang terpenting dari semua itu adalah pendirian Lembaga Dar Rah-e Haqq, Yayasan Baqir Al-'Ulum dan Lembaga Pendidikan dan Riset Imam Khomeini (saat ini beliau menjabat direktur dan mengajarkan kitab Al-Asfar). Pada 1996, dia terpilih untuk waktu lima tahun sebagai anggota Majlis-e Khubrigan (Dewan Pakar Agama) dari daerah pemilihan Provinsi Khuzistan.
Berikut ini adalah sebagian karya penting yang ditulis oleh Prof. Ayatullah Mishbah Yazdi:
• Chikideh-ye Bahts-e Falsafi (Ringkasan Beberapa Pembahasan Filsafat), Qum: Dar Rah-e Haqq, 1357/1978 M. Sebuah ikhtisar dari diskusi-diskusi yang berlangsung di London dalam serangkaian kon- ferensi yang juga memuat komentar-komentar para pelajar Iran yang tinggal di Amerika Serikat mengenai konsep filsafat dan sejarahnya, pengetahuan rasional (rational knowledge), sebab-akibat, maujud tetap, dan tak tetap aktualitas serta potensialitas.
• Pasdari Az Sangarha-ye lydi’uluzhik (Pengawal Benteng-Benteng Ideologi), Qum: Dar Rah-e Haqq, 1361/1982 M. Buku ini merupakan kumpulan tulisan singkat, ditambah sebuah artikel dari Dr. Ahmad Ahmadi yang menyoroti masalah idealisme dan realisme. Topik yang dibahas oleh Prof. Mishbah meliputi makna pandangan dunia, penge- tahuan, sebab akibat, gerak, dialektika, pandangan dunia materialis.
P: 7
• Durus-e Falsafeh-ye Akhlaq (Pelajaran-Pelajaran Filsafat Etika), Teheran: Iththila'at, 1367/1988 M. Buku ini merupakan hasil transkrip dan suntingan dari delapan belas pelajaran yang disampaikannya di Institute Dar Rah-e Haqq. Terkandung di dalamnya pembahasan- pembahasan mengenai kedudukan etika dalam filsafat, karakteristik konsep-konsep etika, kebaikan dan keburukan rasional, konsep-konsep nilai, mazhab-mazhab pemikiran etika, relativisme, serta hubungan antara etika dan agama.
• Ushul-e Aqa'id (Prinsip-Prinsip Akidah) 2 jilid. Qum: Markaz-e Mudiriyyat Hawzah 'Ilmiyyah, 1368/1989 M. Buku ini dibakukan oleh Bagian Administrasi Hauzah Qum sebagai buku daras para pela- jarnya. Jilid pertama buku ini berisi pembahasan mengenai tauhid dan keadilan Ilahi, dan jilid kedua berisi pembahasan mengenai misi para nabi dan para imam (a.s.).
• Ma'arif-e Qur'an (Ajaran-Ajaran Alquran), Qum: Dar Rah-e Haqq 1368/ 1989 M. Karya ini terbagi dalam tiga bagian; teologi, kosmologi, dan an-tropologi.
• Jami'ah va Tarikh az Didgah-e Qur'an (Masyarakat dan Sejarah dalam Perspektif Alquran), Qum: Sazman-e Tablighat-e Islami, 1368/1989 M. Hasil transkrip dari kulial-kuliah penulis di Institut Dar Rah-e Haqq, yang ditranskrip dari kaset rekamannya oleh Prof. Dr. Malikiyan mengangkat berbagai isu yang berkaitan dengan filsafat ilmuilmu sosial, seperti hubungan individu, masyarakat dan pertanyaan mana dari keduanya lebih dahulu, Revolusi Islam serta kepemimpinan dalam Islam • Hukumat-e Islami va Vilayat-e Faqih (Pemerintahan Islam dan Kepemimpinan Seorang Faqih), Qum: Sazman-e Tablighat-e Islami, 1369/1990 M. Buku ini berisi kumpulan kuliah yang disampaikan penulis di Institut Dar Rah-e Haqq berkenaan dengan kebutuhan akan pemerintahan Islam, kebutuhan akan hukum dalam masyarakat, karak- teristik badan legislatif, sebab-musabab perbedaan hukum Ilahi dalam masyarakat Islam, konflik keputusan dan standar kepentingan suatu hukum, keperluan akan dewan legislatif dalam sistem Islam, aparat
P: 8
aparat pemerintah dalam sistem Islam, kemerdekaan, prasyarat dan pertanggungjawaban penguasa Islam, dan kepemimpinan ahli fiqih.
• Amuzisy-e 'Aga'id (Pelajaran-Pelajaran Akidah) 3 jilid, Qum: Sazman- e Tablighat-e Islami, 1370/1991 M. Karya ini dipersiapkan oleh Prof.
Mishbah dengan mendapatkan bantuan dari sekelompok sarjana di In- stitut Dar Rah-e Haqq, untuk keperluan para pelajar tingkat menengah.
Setiap jilidnya terdiri dari dua puluh pelajaran. Topik-topik yang diba- has menyangkut teologi,kajian-kajian agama, pembuktian akan Wujud Niscaya-ada, sifat-sifat kritik atas materialisme, keesaan Tuhan, kebebasan berkehendak dan keterpaksaan kritik atas materialisme, ke- bebasan berkehendak dan keterpaksaan (determinisme), kebutuhan akan para nabi dan imam serta kemaksuman mereka, Alquran, Imam Mahdi, immaterialitas ruh, kebangkitan, kehidupan setelah mati, keimanan dan kekafir-an, serta masalah wasilah.
• Akhlaq dar Qur'an (Etika dalam Alquran), Teheran: Amir Kabir, 1372/1993 M. Buku ini merupakan hasil transkripsi kuliah-kuliah yang disampaikannya di Institut Dar Rah-e Haqq dan disunting oleh Aqa-ye Iskandari. Karya ini tidak sekadar menjelaskan prinsip-prinsip etika dalam Alquran, tetapi juga membandingkannya dengan perspektif para penulis Muslim lain yang berpijak pada berbagai mazhab pemikiran yang berbeda, serta mempertahankan pendekatan filsufis terhadap etika dalam tradisi Islam.
• Tarjumeh va Sharh-e Burhan-e Syifa' (Terjemahan dan Komentar atas Bagian “Pembuktian Demostratif” dari kitab Al-Syifa'), Teheran:
Amir Kabir 1373/1994 M. Hasil transkrip dan suntingan Dr. Muhsin Gharaviyan ini berisi terjemahan dan komentar Prof. Mishbah atas ba- gian pertama bab logika dalam Al-Syifa', karya Ibn Sina.
• Rahiyyan-e Ku-ye Dust (Para Pelancong dijalan sang Teman), Qum:
Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1374/1995 M. Kum- pulan dua belas kuliah menyangkut moralitas Islam, seperti keiman-an kepada Allah, cinta Ilahi, kekhusukan dalam shalat, kehidupan setelah mati, dan bagaimana mencintai Tuhan, yang disajikan dalam
P: 9
bentuk syarah atas riwayat-riwayat sekitar peristiwa Mi'raj Nabi Muhammad Saw.
• Rah-e Tusyeh (Bekal Perjalanan), Qum: Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1375/1996 M. Buku ini merupakan kumpulan dua puluh kuliah menyangkut masalah moral Islam, diuraikan sebagai syarat atas hadis populer mengenai nasihat Nabi Muhammad Saw kepada Abu Dzar.
• Syarh-e Asfar al-Arba'ah, jilid pertama (Ulasan atas Empat Perjalanan), Qum: Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini, 1375/1996 M. Jilid pertama dari transkrip kuliah-kuliah yang mengulas dan mengomentari mahakarya Mulla Shadra, Al-Asfar.
P: 10
PROLOG 2: PRAKATA PROF. M.T. MISHBAH YAZDI TENTANG PENTINGNYA PENGAJARAN FILSAFAT ISLAM(1) Dengan Nama Allah Yang Pengasih dan Penyayang. Puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam.
Dan semoga shalawat Allah limpahkan atas Junjungan Kita, Muhammad Saw. serta keluarganya yang suci.
Selama bertahun-tahun saya merasa sedih melihat keadaan program- program pendidikan di Hauzah, keterbatasan bahan, dan buku pelajaran serta ketidaklaikan mutu pengajaran, terutama di bidang filsafat. Saya mencita-citakan keadaan yang sedemikian rupa sehingga saya bisa memaparkan rancangan baru dan mereformasi serta mereorganisasi kondisi yang ada. Dalam kondisi yang menyesakkan di bawah rezim Syah yang bejat, tekanan yang kami rasakan, terutama kepada ulama, diikuti keterbatasan dan kendala yang menimpa Hauzah, menyulitkan saya untuk mewujudkan cita-cita di atas. Satu hal yang dapat kami lakukan saat itu adalah mendirikan departemen pendidikan di Institut Dar Rah- e Haqq. Dengan minimnya fasilitas, kami tetap sanggup membentuk program pendidikan jangka menengah, termasuk studi tafsir Alquran tematis, filsafat perbandingan, ekonomi Islam, bahasa asing, dan lain- lain, untuk menyempurnakan mata pelajaran sekelompok siswa Hauzah. Kemudian, setelah melalui rangkaian perjuangan dan pen- gorbanan di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, Tuhan yang Ma- haagung menganugerahkan kemenangan kepada kaum Muslim Iran dalam menumbangkan rezim Pahlevi yang anti-Islam, sehingga terse- dialah kondisi yang memadai bagi aktivitas-aktivitas pembangunan.
P: 11
Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran, kekuatan-kekuatan yang terlepas dari kekangan kolonialisme dan tirani menggunakan seluruh tenaga dan menyadari pentingnya segera membenahi semua kekurangan dan keterbatasan. Di antara mereka adalah para ulama yang berandil paling besar dalam revolusi politik dan kebudayaan ini. Setelah berpuluh tahun terhalang dari peran mendasar mereka dalam memahamkan dan menunjukkan kebenaran Islam dan meme- lihara posisi praktis dan teoretis mereka, akhirnya mereka menemukan landasan yang cocok guna meningkatkan daya upaya.
Meskipun begitu, pelbagai intrik dan persekongkolan musuh- musuh Islam oleh beberapa kelompok politik dalam negeri tidak mem- berikan tempat bagi para ulama untuk melaksanakan tugas-tugas men- dasar mereka. Berbagai kondisi setelah revolusi memaksa alim-ulama untuk terlibat dalam kegiatan legislatif, yudikatif, dan bahkan jabatan- jabatan eksekutif dalam pemerintahan, agar sejarah Gerakan Konstitu- sional (masyruthiyyah) tidak terulang dan Revolusi Islam tidak terpelanting dari jalurnya. Akibatnya, alih-alih kekuasaan ulama itu dipakai untuk mengatasi kendala-kendala yang selama ini dihadapi Hauzah dan mengembangkan fasilitas pendidikan ilmu-ilmu agama, kebanyakan tenaga-tenaga bermutu dari Hauzah ditarik untuk mengisi lembaga-lembaga yang baru didirikan, sehingga beban dan tanggung jawab mereka yang tetap tinggal di Hauzah semakin berat. Arus per- mintaan dari remaja yang setia menuntut ilmu-ilmu keislaman, termasuk filsafat Ilahiah, meningkat setelah adanya nasihat Pemimpin Besar Revolusi (Imam Khomeini).
Demikianlah, sudah semestinya program-program jangka pendek bagi pendidikan remaja tingkat menengah disusun untuk mempersiapkan mereka menyongsong tanggung jawab memandu, menyebarkan agama dan budaya. Atas dasar itu, program-program pendidikan Institut ini ditinjau ulang, dan progran-program intensif lain dirancang, mencakup pengajaran bunga-rampai filsafat Islam dengan metode modern. Kaset hasil rekaman ditranskrip oleh be- berapa mahasiswa untuk kemudian diterbitkan.
P: 12
Selanjutnya, mengikuti saran Sazman-Tablighat-e Islami (Organisasi Dakwah Islam) dan bantuan kelompok siswa di Institut (kelompok riset dan penulisan) untuk melengkapi, menyusun ulang, serta merevisi buku ini sampai akhirnya terbit seperti yang ada di hadapan Anda. Harapan kami, mudah-mudahan buku ada, dan disambut dengan baik oleh Yang Mulia Imam Zaman (Imam Mahdi a.s.), semoga Allah menyegerakan kemunculannya. Semoga karya ini dapat perkenan dan restu dari Sang Imam Kedua Belas a.s. yang kemunculannya kembali ditunggu oleh umat Syi'ah di akhir zaman ini. Di antara pelbagai pela- jaran di Hauzah, filsafat memiliki kondisi khusus dan pengecualian.
Masalah penting yang dihadapi filsafat pada periode ini ialah sebagai berikut:
Akibat kesalahpahaman terhadap filsafat, beberapa tokoh Hauzah mempersoalkan keberadaan pelajaran ini. Tidak saja karena manfaatnya yang diduga tidak jelas, tetapi minat ke arah itu pun dicurigai.
Tentu saja, di Hauzah Qum, berkat usaha keras dari orang sekaliber Imam Khomeini dan ‘Allamah Thabathaba’i (semoga Allah meridhainya), situasi ini mengalami perubahan, sehingga berkuranglah tokoh yang berpendirian seperti itu. Meskipun demikian, banyak orang yang masih memperlakukan filsafat dengan hati-hati. Sebaliknya, sebagian orang yang menaruh minat dan membela filsafat dari para penentangnya, ter- tulari dogmatisme buta manakala melihat kandungan buku-buku filsa- fat. Agaknya mereka merasa wajib membenarkan semua pendapat para filosof. Sikap ini tampak makin keras dan gawat vis-a-vis Shadr Al- Muta’allihin, pemrakarsa fase baru dalam filsafat, sehingga mereka memperlakukan filsafat sekadar sebagai sesuatu untuk disimak dan ditiru belaka. Semangat kritis yang merupakan faktor terpenting kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan pun akhirnya menghilang
P: 13
Tujuan pengajaran filsafat tidak pernah terpapar dalam buku-buku teks maupun dalam perkuliahan. Banyak pelajar yang telah menghabiskan bertahun-tahun umurnya untuk membaca buku-buku filsafat tidak juga memahami dengan tepat apa kebutuhan kita pada filsafat, celah apa yang bisa ditutupinya, serta manfaat yang diberikannya buat umat manusia. Kebanyakan mereka bela- jar filsafat hanya dengan menyimak para pemikir terkemuka. Dan karena metode semacam ini dipakai oleh umumnya para ahli tata bahasa, mereka pun ikut-ikutan menggunakannya. Sudah barang tentu, tidak banyak kemajuan yang dapat dicapai dengan cara belajar seperti itu.
Penyajian dan penyusunan masalah-masalah (filsafat) selama ini tidak membantu para pelajar untuk dengan mudah menangkap mo- tivasi di balik penyajian itu, tidak pula memahamkan mereka akan pertautan antarsatu masalah dengan masalah lainnya. Lebih lanjut, membaca satu bagian buku tidak menggairahkan para pelajar untuk mau membaca bagian-bagian lainnya. Buku-buku filsafat terlalu penuh sesak dengan istilah-istilah membingungkan yang hanya bisa dipahami secara tepat setelah berlama-lama melakukan latihan. Di awal-awal tahun pengajaran, sebagian besar pelajar gagal menukik ke inti subjek pembicaraan. Wajar kalau buku-buku tersebut tidak memerha- tikan masalah-masalah yang menjadi isu di lingkaran lingkaran Barat, apalagi menjawab keraguan-keraguan modern yang telah dan terus dilemparkan oleh mazhab-mazhab pemikiran ateistik.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi Qum Tirmah A.H.S. 1363 (tahun Iran) atau Juni/Juli 1984
P: 14
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat, yang pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan tulisan yang berjudul “Pemikiran Filsafat Ayatullah M. T. Mishbâh Yazdî (Filsuf Is- lam Kontemporer): Studi Atas Studi atas Filsafat Pengetahuan, Filsafat Wujud dan Filsafat Ketuhanan.” Tulisan ini merupakan hasil penelitian disertasi penulis dalam Bidang Pemikiran Islam yang diajukan pada Seko- lah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Untuk kepentingan yang lebih luas, maka hasil penelitian ini diterbitkan dalam bentuk buku.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ke- pada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongannya, yaitu Yang Terhormat:
• Prof. Ayatullah Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, Ketua Institut Penelitian dan Pendidikan Imam Khomeini, Qom, Iran dan seluruh dosen pengajar, terutama narasumber penulis.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
• Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, MA, selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan pendapat, koreksi dan arahannya ketika penulisan disertasi.
Dr. Ir. Haidar Bagir, MA, selaku Pembimbing II yang juga telah me- luangkan waktu untuk memberikan koreksi dan arahannya ketika penulisan disertasi.
Seluruh dosen dan staf Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis selama masa kuliah.
P: 15
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi Duta Besar Republik Indonesia dan seluruh staf KBRI di Tehran yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di Qom.
• ICC (Islamic Cultural Center) yang dipimpin oleh Hojjatul Islam wal-Muslimin Mohsen Hakim Ilahi • Islamic College-Paramadina.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan seangkatan 2002 konsentrasi Pemikiran Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, rekan-rekan HPI (Himpunan Pelajar In- donesia) di Iran, terutama Ammar Fauzi, Purkon Hidayat, Yusuf Bafa- gih, Saleh Lapadi, dan Dede Azwar Abdullah Beik, Ibrahim Muharam, Musa Kazhim, Harja Saputra, Khalid Sitaba, Khalid Alwalid dan selur- uh rekan di Al-Huda, ICAS dan VoP. Penulis juga berterima kasih ke- pada keluarga yang dapat memaklumi atas berkurangnya perhatian dan waktu untuk keluarga ketika penulis menyelesaikan disertasi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, karena adanya keterbatasan kemampuan serta pengetahuan penulis. Kritik dan saran selalu diharapkan oleh penulis dengan lapang dada. Akhir kata, penulis mendoakan semoga Allah memberikan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini.
P: 16
Pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menarik untuk ditelaah karena pengaruhnya cukup signifikan dalam arena filsafat dan pendidikan kontemporer di pusat-pusat studi tradisional (haw zah ‘ilmiyah) Qom, Iran. Meski tumbuh di bawah pengaruh Hikmah Muta`âliyah, namun banyak karya text book filsafatnya (juga kuli- ah-kuliah, wawancara, dan artikel-artikelnya) cenderung mengambil ja- rak atau bernuansa kritis terhadap Hikmah Muta’âliyah.
Salah satu karya jenial Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî—yang banyak beredar di Indonesia adalah terjemahan dari Philosophical Instruction. Dalam karya itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menyuguhkan 70 pelajaran (lessons) dalam tujuh bab yang mengupas seluk beluk filsafat Islam dengan cara yang luar biasa mengagumkan.
Darinya, dapat disaksikan betapa tradisi intelektual Islam masih hidup sampai sekarang. Dari hasil rekaman kuliah-kuliah Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang kemudian ditranskripsikan dalam Philosophical Instruction, bisa diketahui bahwa sampai hari ini pembahasan ilmiah filsufis yang rumit sudah biasa disajikan dalam lembaga-lembaga ilmiah tradisional di Iran.
Kecanggihan dan detail pemikiran filsufis Islam jelas tersaji dalam buku ini. Tentu tidak mudah menyampaikan 70 bab berisi tema-tema filsafat Islam yang rumit. Dalam buku ini, di samping melakukan telaah pemikiran internal keislaman, Yazdî juga melontarkan kritik tajam terhadap sejarah dan muatan filsafat Barat sekaligus sangat rasional
P: 17
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi dalam memosisikan dan menguraikan studi kritis seputar kelebihan dan kekurangan filsafat Barat. Tokoh ulama tradisional ini ternyata mampu merespons sekaligus melakukan telaah kritis terhadap filsafat Barat sejak masa Renaisans sampai kontemporer. Semua itu dibedah Yazdî dengan menggunakan metode-metode tradisi keilmuan Islam.
Sayang, penelitian tentang profil maupun pandangan-pandangan filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî di kalangan civitas akademika hawzah ilmiah Qom belum dilakukan secara akademis dan komprehensif. Hal itu disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain: 1) Minimnya literatur seputar pemikiran Syi'ah akibat terjadinya ketegangan dan kesalahpaham- an berkepanjangan antara kelompok Islam Syi'ah dan kelompok Islam Sunni; 2) Minimnya informasi yang memadai seputar hawzah ilmiah, terutama di Qom dan Najaf, sebagai dampak faktor pertama; 3) Min- imnya literatur berbahasa Arab dan Inggris tentang hawzah ilmiah dan filsafat di Iran yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia, termasuk karya-karya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî; 4) Minimnya alumnus hawzah ilmiah Qom di Indonesia sebagai akibat dari faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan kajian literatur dan riset empiris penulis, terdapat be- berapa pandangan filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang ber- beda dengan Mulla Sadrâ dan Thabathaba'i. Perbedaan tersebut ant- ara lain:
Dalam filsafat pengetahuan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mel- ontarkan sejumlah pandangan kritis yang sebagian besar dijelaskannya dalam Âmûzesy-e Falsafeh dan Pâsokh beh Porsesy-hâ-ye Falsafidar Âmûzesy-e Falsafeh, yaitu, (a) ia menganggap bahwa filsafat penge- tahuan sebagai “logos mengetahui” merupakan pintu gerbang penge- nalan filsafat, sehingga 'ilm hudhûri (pengetahuan via kehadiran atau knowledge by presence) mesti dipisahkan dari tema-tema filsafat; (b) ia mendukung pendapat Mullâ Hâdî Sabzevârî yang menolak definisi Mullâ Sadrâ tentang al-'ilm sebagai hudhûr mujarrad ladâ mujarrad (bersemayamnya sebuah entitas abstrak pada sebuah entitas abstrak).
P: 18
Pendahuluan Karena menurutnya, pengetahuan dari sesuatu yang secara eksistensial termulia (Tuhan) mampu mengenali entitas-entitas nonabstrak (konkret) secara langsung, tanpa mediasi entitas-entitas abstrak lainnya; Dalam filsafat wujud, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî melontarkan beberapa kritik seperti dijelaskannya dalam Ta’liqeh bar Nihâyat al- Hikmah, Âmûzesy-e Falsafeh dan Pâsokh beh Porsesy-hâ-ye Falsafi dar Âmûzesy-e Falsafeh, antara lain; a) wahdat al-wujûd tidak bersifat syakhshiyyah (personal), dan prinsip tauhid tidak mutlak didasarkan padanya; b) gradasi wujud (tasykîk al-wujûd) hanya mungkin berlaku secara vertikal (thûlî), karena ia hanya dapat dipahami dan dijelaskan dalam relasi kausal; sedangkan dalam konteks gradasi horizontal (tasykîk ‘ardhî) tidak terdapat relasi semacam itu; c) menolak analisis terhadap prinsip kausalitas sebagai dalil sahih atas keniscayaan wujûd râbith; d) menolak gagasan sinkhiyyah (equality, kesepadanan) dalam maujud (eksisten) yang basîth (sederhana) berkenaan dengan kaidah al-wahid lâ yashduru minhu illâ al-wahid (entitas tunggal hanya meniscayakan akibat berupa entitas tunggal); e) berpendapat bahwa harakah jawhariyyah (gerak substansial) dapat bersifat shu 'ûdiyyah (gerak menanjak, ascending motion), dan bisa pula bersifat nuzûliyyah (gerak menurun, descending motion).
Dalam filsafat ketuhanan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî melontarkan kritikan seperti dimuat dalam bukunya Amûzesy-e Aqâed dan Ma’âref-e Qor'ân, antara lain; a) teks-teks suci mesti diperlakukan sebagai premis sehingga pola argumentasi tetap rasional; b) prinsip filsafat ketuhanan cukup berdiri di atas dua bagian utama, yaitu mabda’ (teologi) dan ma'âd (eskatologi). Sedangkan tema keadilan Tuhan, yang semula dianggap sebagai prinsip tersendiri dalam usuluddin mazhab Syiah dimasukkannya sebagai prinsip turunan dari sifat-sifat fi’liyyah Tuhan, terutama al-hikmah al-ilâhiyyah yang juga melahirkan prinsip kenabian.
P: 19
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan utama penelitian ini dirumuskan ke dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi perkembangan pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî? 2. Bagaimana pandangan filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam filsafat pengetahuan, filsafat wujud, dan filsafat ketuhanan? Sesuai rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, tujuan penelitian ini diarahkan kepada upaya untuk mengetahui:
a. Latar belakang pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî.
b. Pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang filsafat pengetahuan, filsafat wujud, dan filsafat ketuhanan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan pada aspek-aspek berikut:
a. Aspek ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengem- bangan ilmu pengetahuan, khususnya filsafat Islam yang berkaitan dengan filsafat pengetahuan, filsafat wujud dan filsafat ketuhanan yang dikembangkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî. Kontribusinya untuk membuktikan kontinuitas pemikiran filsafat di dunia Islam, khususnya belahan dunia behind the river dalam istilah Madjid, yaitu kawasan dunia Islam di pinggir laut merah (khususnya Iran). Selain itu, juga un- tuk meretas jalan ke arah perluasan cakrawala pemikiran filsafat Islam di Indonesia pada masa mendatang.
b. Aspek praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber referensi bagi penelitian filsafat Islam selanjutnya, yang berkaitan dengan pemikiran Yazdî, yang sampai saat ini pemikirannya belum banyak diteliti, baik sebagai tesis maupun disertasi khususnya di Indonesia. Hal ini relevan dengan upaya pembentukan atmosphere intelektual umat Islam Indone- sia dalam proses membangun peradabannya, karena hampir tidak ada peradaban yang tidak berdiri di atas suatu filsafat tertentu.
P: 20
Filsafat Islam telah memasuki usia 1200 tahun. Dinamika rasional dalam dunia Islam dimulai dengan gerakan penerjemahan karya-karya Yunani dan Alexandria pada abad kedua, ketiga dan keempat.(1) Disebutkan pula bahwa sebagian dari buku-buku terjemahan itu tidak lolos dari distorsi dan kekeliruan yang fatal, seperti buku Tasu’at atau Ontologia yang ditulis dengan nama Aristoteles, padahal tidak sepenuhnya sesuai dengan pandangannya. Namun gerakan ini mencapai puncaknya pada
P: 21
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi abad ketiga. Pada abad inilah umat Islam memasuki era penulisan dan penelitian.
Dalam peta sejarah pemikiran, filsafat bercorak Islam disinyalir baru menemukan bentuknya yang sistematis dan tertulis sejak Abû Yûsuf Ya'qub bin Ishâq al-Kindî'(1) yang dijuluki sebagai “filsuf Arab pertama”.
Salah satu perannya yang paling siginifikan dalam mengembangkan corak filsafat Islam adalah menjembatani pemikiran Islam dengan filsafat Yunani Kuno.(2) Misalnya, dengan menggunakan pemikiran Aristoteles (dari bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab) sebagai basis karya-karya filsafatnya.(3) Sepeninggalan al-Kindi, muncul filsuf Islam kenamaan, yaitu al-Farabi (257—339/870950). Ia sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam.
Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan al-Farabi ke dalam bahasa Arab.
Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif. Di samping itu, ia dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Karena jasanya ini, maka al- Farabi diberi gelar “Guru Kedua”, sedangkan gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.(4)
P: 22
Kontribusi lain dari al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang, yaitu:
logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fikih (hukum). Buku al-Farabi tentang anatomi ilmu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu, seperti ilmu kimia, optik, dan geologi.(1) Memasuki masa setelahnya, filsafat Islam semakin menemukan bentuknya yang khas, kendati pengaruh filsafat Yunani masih terasa di sana-sini. Misalnya adalah Abû ‘Alî al-Hosain bin Sînâ (337—429/980— 1037). Menurut Fakhry, kedua filsuf tersebut merupakan filsuf-filsuf Muslim pertama yang membangun sistem metafisika yang sangat terperinci dan rumit.(2) Inilah era kematangan filsafat Peripatetik (masya'iyyah)(3) yang cenderung berporos pada mazhab Aristotelian daripada Platonian.
Karakteristik filsafat ini adalah penggunaan argumentasi yang bersifat rasional (burhâni) daripada intuisional (ʻirfani) atau teologikal (kalâmi)—kendati secara pribadi, keduanya juga mempraktikkan gaya hidup zuhud dan tekun dalam beribadah. Juga, penggunaan deduksi rasional (silogisme), pendasaran pada premis kebenaran primer, fokus pada penelaahan eksistens qua eksistens, serta, menurut Murtadha Muthahhari(4), mencuatkan problem eksistensialisme (ashâlat al-wujûd)
P: 23
versus esensialisme (ashâlat al-mâhiyyah)(1), dan seterusnya. (2) Kehadiran dan kiprah Ibn Rusyd telah memperpanjang nafas filsafat Islam, apalagi setelah memberikan bantahan terhadap al-Ghazali dan para penentang filsafat melalui karyanya yang monumental, Tahâfut at- Tahâfut (Kerancuan Buku Tahấfut al-Falâsifah).
Ibn Rusyd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah mengarang buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibn Sina, tetapi lebih dikenal sebagai seorang filsuf. Ibn Rusyd juga diakui sebagai salah satu juru bicara fikih mazhab Maliki, dan karyanya, Bidâyat al- Mujtahid hingga kini dijadikan sebagai salah satu sumber utama fikih mazhab maliki.(3) Ibn Rusyd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu:
komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Ibrani. Dalam komentar besar, Ibn Rusyd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aristoteles sebagai Magister Digit, sedangkan pada komentar kecil filsafat yang diulas
P: 24
murni pandangan Ibn Rusyd. (1) Pandangan Ibn Rusyd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibn Rusyd sebagai atheis.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibn Rusyd sudah dikemukakan pula oleh al-Kindi dalam bukunya al-Falsafah al-Úlâ (First Philosophy).
Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai. (2) Pertentangan antara filsuf yang diwakili oleh Ibn Rusyd dan kaum ulama yang diwakili oleh al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan al-Ghazali yang berjudul The Inconsistency of the Philosophers (Tahâfut al-Falâsifah), yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropa pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Menurut al-Ghazali, hanya ada satu cara untuk mencapai kebenaran sejati, yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibn Rusyd dalam karyanya, Tahâfut-al-Tahāfut (The Incohenrence of the Incoherence).(3) Dukungan para ulama tradisional dan penguasa saat itu terhadap kampanye antifilsafat yang dilancarkan al-Ghazali telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan Islam.
Pelarangan penyebaran filsafat Ibn Rusydmerupakan titik awal peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya
P: 25
filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Seiring dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropa mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filsuf Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Pada zaman itu, bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropa. Penerjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi Uskup Besar Kristen di Toledo pada tahun 1130—1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. (1) Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibn Rusyd dianggap dapat membahayakan iman Kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada tahun 1209, kemudian disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibn Rusyd. (2) Pada tahun 1215, saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa Latin karya para sarjana Muslim. Berkembangnya ajaran filsafat Ibn Rusyd di Eropa Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menerjemahkan komentar Ibn Rusyd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima (3) Kaisar Frederick II menerjemahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan
P: 26
di Eropa Barat. Setelah itu, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini, putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256.
Hermann kemudian menerjemahkan Ikhtishar al-Manthiq karya al-Farabi dan Ikhtishar Syair karya Ibn Rusyd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibn Rusyd telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, termasuk buku Tahâfut al-Tahâfut yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.(1) Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibn Rusyd, sehingga saat itu berkembang 2 paham, yaitu paham pembela Ibn Rusyd (Averroisme) dan paham yang menentangnya.
Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibn Rusyd ini, antara lain, adalah pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan, dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh al-Ghazali dalam Tahafut-al-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa yang diperdebatkan oleh kalangan filsuf di Eropa Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filsuf Islam.(2)
Sampai di sini, Barat menganggap perlawanan terakhir kaum filsuf yang diwakili oleh Ibn Rusyd terhadap gerakan anti filsafat dan logika sebagai masa akhir rasionalisme dalam sejarah Islam. Anggapan ini ternyata meleset. Bahkan ketika di dunia sunni, filsafat mengalami kemunduran, di dunia Syiah, filsafat sedang bangkit dengan Hikmah Muta’âliyyah yang dicetuskan oleh Mullâ Sadrâ.
Sebagaimana dijelaskan oleh Jalâl al-Dîn Asytiâni, Barat mempunyai tendensi terselubung di balik anggapannya tersebut. Menurutnya, Barat mengagungkan Ibn Sina dan Shurawardi karena keduanya dianggap
P: 27
pewaris filsafat Barat kuno, yaitu Yunani. Sedangkan Mullâ Sadrâ tidak mendapat perhatian dan perlakuan yang adil dan setimpal karena menggagas mazhab filsafat yang orisinal dan berbasis pada kesyiahannya.
Tetapi, menurut Muthahhari, hipotesis bahwa Plato adalah seorang iluminasionis patut diragukan bahkan ditolak, karena tidak ada bukti- bukti autentik dari buku-buku para filsuf sebelumnya yang memunculkan ide iluminasi Plato. Muthahhari memastikan bahwa Suhrawardi sengaja menyebut Plato sebagai guru iluminasi-nya agar pandan- ganpandangannya lebih bisa diperhatikan semua kalangan.(1) Jika merunut lebih jauh ke belakang, pemikiran Islam kritis dan rasional pasca Ibn Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid'ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah al-Ghazali (1058—1111 M) menggugat dan mempertanyakan kaum filsuf dalam bukunya, Tahâfut al-Falâsifat (Kerancuan Para Filsuf). Ia mempersoalkan penggunaan Aristotelianisme (sebagai dasar pijakan paripatetisme) dalam filsafat Islam.(2)Al-Farabi (257 H/870 M) dan Ibn Sina (980—1037 M) adalah dua filsuf Muslim yang menjadi objek kritikan keras al-Ghazali, dan dianggap banyak melakukan kesalahan dalam logika pemikiran metafisika (ketuhanan).
Menurut Ibn Sina, alam semesta (selain Tuhan) sepenuhnya terdiri dari pelbagai peristiwa yang ditentukan dan dipastikan. Hanya Tuhan
P: 28
sajalah satu-satunya Dzat yang tidak diakibatkan oleh sesuatu di luar diri- Nya. Tuhan adalah sebab pertama dari serangkaian sebab-akibat yang membentuk struktur realitas.(1) Akan tetapi menurutnya, pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan ipso facto tentang segala sesuatu di luar diri- Nya, dan dengan mengetahui diri-Nya maka tidak pelak lagi mengetahui segala mawjûd di luar diri-Nya. Bagi Ibn Sina, Tuhan hanya tahu terhadap esensi-esensi (universal-univesal), bukan pada mawjûd-mawjûd khusus karena yang khusus secara pasti diketahui secara inderawi—ini didasarkan pada tradisi filsafat helenisme. (2) Hal demikian dikritik oleh al- Ghazali karena pemaknaan yang dilakukan oleh Ibn Sina ini mengingkari setiap pemahaman tentang keagungan ilahi, artinya mendekatkan keadaan Tuhan kepada keadaan sebuah benda yang tidak hidup, yang tidak membutuhkan kabar berita tentang alam semesta. Melalui bukunya itu, al-Ghazali menyerang dua hal utama. Pertama, filsafat menentang prinsip-prinsipnya sendiri. Kedua, filsafat tidak bersesuaian dengan agama dan filsafat tidak memberi ruang pada agama. Hal ini berarti bahwa yang dipikirkan oleh kaum filsuf tentang Tuhan, mereka hanya memperlakukan-Nya sebagai nama (nominal) sehingga Tuhan tidak diberi ruang untuk bertindak apa-apa.(3) Anggapan bahwa al-Ghazali telah mengakhiri riwayat filsafat dalam dunia Islam dipersalahkan oleh Oliver Leaman. Menurut Leaman, sesungguhnya al-Ghazali berusaha untuk memberikan “rem kendali” bagi kaum filsuf untuk tidak secara bebas berfikiran filsufis- rasional (4) Al-Ghazali sendiri telah memberikan contoh bagi sebuah perdebatan intelektual yang mencerdaskan. Tetapi, ternyata gaya kafirmengkafirkan pemikiran para filsuf yang dikritiknya memberikan
P: 29
citra buruk tersendiri, sehingga para ulama konservatif yang tidak suka filsafat kemudian menjadikan landasan argumen al-Ghazali sebagai penguat basis penolakan. Al-Ghazali, ketika mengkritik filsafat sesungguhnya dia menggunakan logika dan pemikiran filsafat, walaupun dia sendiri kemudian menganggap filsafat bertentangan dengan agama. Ibn Rusyd (1126—1198 M), mengkritisi pandangan al-Ghazali dalam bukunya, Tahafut at-Tahafut, yang isinya setebal 1006 halaman.(1) Ibn Rusyd membangkitkan gairah intelektual dengan pendekatan filsufis-rasional, yang kemudian diadopsi oleh Barat sebagai jalan menuju pencerahan. Aspek rasionalitas filsafat Aristoteles mencapai puncaknya pada Ibn Rusyd. Ia membidas balik kritik al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Ia diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filsuf muslim. Kontribusi utama Ibn Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran.(2) Kedua, Ibn Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah al-Kindi, filsuf pertama yang memadukan keduanya, bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inheren adalah agama yang filsufis karena agama mewajibkan kita berfilsafat.(3) Kedua filsuf muslim di atas beserta filsuf lainnya membalikkan pandangan al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.
Pemikiran filsafat di belahan barat Dunia Islam mengalami kemun- duran setelah serangan al-Ghazali. Tetapi, di sebelah timur, filsafat terus berkembang. Pendapat ini dikemukakan oleh Corbin yang mengkaji se- cara khusus mengenai sejarah filsafat Islam dalam bukunya. (4) Pendapat ini pun diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyebutkan
P: 30
bahwa filsafat tidak pernah padam khususnya di negara yang ia sebut ”behind the river”, yaitu kawasan dunia Islam di pinggir laut merah (khususnya Iran). (1) Hal itu pun dikemukakan oleh Mulyadhi Kartengara bahwa tradisi intelektual di belahan Timur dunia Islam diakui tidak pernah terputus, khususnya di kawasan Persia, di mana sekte atau aliran keislaman yang dominan adalah Syi'ah. Kondisi ini jelas berbeda dengan di dunia Sunni, terutama setelah al-Ghazali melancarkan kritik tajam terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Akibatnya, grafik aktivitas intelektual, khususnya dalam disiplin filsafat, di dunia Sunni cenderung terus menurun. Sementara di dunia Syi'ah, hampir di setiap babak sejarah, ditemukan sejumlah filsuf yang mewakili zamannya.
Jadi, mata rantai filsuf tidak pernah terputus, alias terus berlanjut dan bergairah dari waktu ke waktu. Masih banyak filsuf—dalam pengertian yang sesungguhnya yang masih hidup sampai sekarang. (2) Filsuf yang lahir di kawasan Timur ini antara lain adalah Suhrawardi (1154—1191 M). Suhrawardi adalah konseptor aliran isyrâqiyyat atau filsafat illuminasi, dan dia mencoba memadukan antara tradisi mistis dan filsafat Paripatetik. Seperti dikemukakan oleh Corbin, pengertian isyrâqiyyat (filsafat iluminasi) dapat didekati melalui tiga pengertian:
pertama, isyrâqiyyat bermakna the wisdom-the theosophy-of which the isyraq is the source, teosofi yang mendasarkan pada sumber penyinaran; kedua, oriental philosophy atau teosofi dalam wujudnya sebagai doktrin yang didasarkan pada kehidupan filsuf yang memiliki kematangan dan kesiapan untuk pencerahan langsung ke dalam jiwanya, suatu pengetahuan yang berasal dari timur, akal murni yang merupakan Oriental knowledge; ketiga, isyrâq dapat dipahami dengan theosophy of the orientals, (isyrâqiyyûn), yaitu teosofi dari para ahli Persia Kuno. Jadi, pengertian isyrâq tidak hanya karena mereka secara geografis berada
P: 31
pada bagian timur dunia Islam saat itu, tetapi juga karena pengetahuan mereka yang memahami timur dalam arti kasyf dan musyahadat. Istilah Isyrâqiyyûn juga berarti bahwa pengetahuan dari para ahli Yunani Kuno, selain pengikut Aristoteles yang mengikuti penalaran diskursif dan argumen logika. (1) Dalam pandangan Suhrawardî, pengetahuan sejati terjadi ketika manusia diiluminasi oleh Sumber Cahaya dan Sumber Realitas itu.
Menurutnya, hal ini tidak bertolak-belakang dengan filsafat Paripatetik yang juga dianggap sebagai pemikiran shahîh dalam pengetahuan konseptual. Hanya saja, bagi dia, filsafat iluminasi sanggup bergerak lebih jauh melebihi filsafat Paripatetik dengan menyodorkan pembuktian dan penerimaan pengetahuan secara lebih sempurna. (2) Suhrawardi menganggap metode definisi Parepatetik sebagai cara yang tidak valid untuk memperoleh pengetahuan. Bagi Suhrawardî, tujuan yang ingin dicapai dalam epistemologi iluminasi adalah jenis pengetahuan yang unqualified, yaitu yang diketahui melalui kepastian (yaqîn), dengan menggabungkan antara pengetahuan dengan esensi semata dan pengetahuan dengan bentuk-bentuk abadi yang tidak berubah.(3) Suhrawardi juga telah melakukan satu contoh dialog yang sangat bagus antara Sufisme dan tradisi-tradisi serta agama-agama lain. Filsafat Iluminasi Suhrawardi adalah hasil dialog spiritual dan intelektual yang dilakukannya secara sungguh-sungguh dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain dalam kapasitasnya sebagai seorang Sufi yang filsuf atau sebagai seorang filsuf yang Sufi. Suhrawardi mengambil unsur- unsur dari berbagai sumber untuk membangun filsafat Iluminasinya.
Sumber-sumber itu diakuinya berasal dari satu sumber, yaitu Hermes Agathsdaemon (yang dalam Islam tokoh ini dianggap sebagai Nabi Idris). (4) Hermetisme disebarkan oleh kaum Sabaean, “para pengikut
P: 32
Nabi Idris,” yang memperkenalkan ke dunia Islam tulisan-tulisan yang dianggap berasal dari Hermes. Di dunia Islam pengetahuan esoterik Hermetik sampai kepada Suhrawardî. (1) Kebijaksanaan Iluminasi (hikmat al-isyrâq) sebagai aktualisasi autentik “filsafat perenial” (hîkmat atîqat) umat manusia mempunyai sumber awalnya pada wahyu-wahyu ilahi yang diterima oleh Nabi Idris, yaitu Hermes, yang dengan demikian menjadi “nenek moyang” filsafat.
Kebijaksanaan Hermetik ini kemudian tersebar kepada generasi-generasi berikutnya melalui dua jalur: Yunani-Mesir dan Iran Kuno. Cabang pertama Hermetisme, setelah berkembang di Mesir Kuno, tersebar di Yunani, yang melahirkan para bijak gnostik seperti Pythagoras, Empedokles, Plato, dan Plotinus. Tradisi ini kemudian dipertahankan dalam Islam oleh para Sufi awal, termasuk Dzû al-Nûn al-Mishrî (w. 859 H/1438 M) dan Abu Sahl al-Tustarî (w. 896 H/1475 M). Cabang kedua Hermetisme, yang diwakili di Iran Kuno oleh para raja-pendeta mistik Kayumarth, Faridun, dan Kai Khusraw, berkembang ke dalam Sufisme Abû Yazîd al-Busthamî dan al-Hallâj. (2) Suhrawardi jika dilihat dari aliran wujudiyyah (ontologis) termasuk filsuf yang mempercayai prinsip ashâlat al-mâhiyyah sebagai lawan dari prinsip ashâlat al-wujûd sebagaimana diyakini oleh Mullâ Sadrâ (979 H/1571M–1050 H/1640 M),(3) seorang filsuf yang datang setelah generasi Suhrawardî. Menariknya, perkembangan sejarah pemikiran filsafat Islam berputar lagi ke belakang, di mana pada periode Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî suara ajakan untuk meninjau ulang prinisp ashâlat al-wujûd kembali terdengar, bahkan pendapat tentang ashâlat al wujûd wa al-mâhiyyah pun mulai dianggap sebagai sintesis
P: 33
yang cukup menggetarkan.(1) Di tangan Mulla Sadra, metafisika mengalami perubahan besar, suatu perubahan yang bisa dianggap seb gai lompatan maju dalam filsafat Islam. Lompatan ini sudah tentu didahului dengan aneka langkah perubahan bertahap yang telah dilakukan para filsuf lainnya. Untuk lebih tegasnya, di masa lalu, Filsafat Peripatetik dan Ilmuminasionis mengambil dua pendekatan yang berbeda, sedangkan ‘irfan (mistisisme Islam) menapaki jalur yang terpisah. Kalam (teologi) yang meneliti ajaran-ajaran Islam juga merupakan bidang yang terpisah dari kedua bidang di atas.
Hikmah Muta’âliyyah adalah sintesis atas berbagai aliran pemikiran dan filsafat sebelumnya. Namun, sebagaimana diakui Alparslan Acikgence, aliran baru ini juga menciptakan dimensi intelektual baru yang bukan sekadar ensiklopedia dialektis (menghimpun secara dialogis dan kritis berbagai teori dan pandangan) melainkan juga interpretasi segar dari berbagai khazanah tradisional. (2) Sintesis ini dihasilkan tidak semata-mata oleh ‘rekonsiliasi' dan ‘kompromi' dangkal, tetapi atas dasar suatu prinsip filosofis. Toshihiko Izutsu, meskipun menyatakan bahwa aliran ini bisa dilihat sebagai “sesuatu yang didasarkan pada pengalaman transintelektual dan gnostik”, menyebutnya “suatu sistem rasional yang solid” (3)
P: 34
Perbedaan mazhab Peripatetik dan Iluminasionis kemudian didamaikan oleh Mullâ Shadra sehingga mazhab filsafat baru yang tidak terbatas pada pendapat-pendapat Peripatetik maupun Iluminasionis muncul ke permukaan. Dalam beberapa isu, filsafat itu bersepaham dengan aliran pertama, sedangkan dalam beberapa isu lain bersepaham dengan aliran kedua. Karena itulah, Hikmah Muta’âliyyah merupakan titik temu semua aliran pemikiran: Peripatetisme, iluminasionisme, mistisisme, dan kalam.(1) Hikmah Muta’âliyyah telah menyingkap sejumlah realitas yang selama ini masih misterius dan kabur. Ia telah mengganti sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap baku dan tidak bisa dibantah.
Ia mendobrak dunia filsafat metafisika dengan konsep kesejatian wujud (ashâlah al-wujûd) dan menggugurkan klaim orisinalitas esensi (ashâlat al-mâhiyyah) Suhrawardi dan para pendukung Iluminasi. Ia juga mengganti klaim multiplisitas wujud Ibn Sina dan para pendukung Filsafat Peripatetik dengan gagasan tentang unitas wujud yang gradual (al-wahdah fi 'ain al-katsrah) dan gagasan tentang ‘wujud mandiri’ (al-wujûd al-mustaqil) dan ‘wujud bergantung" (wujûd râbith). Shadr al-Muta’allihin (Penghulu para filsuf ketuhanan, gelar Mulla Shadra) juga melahirkan konsep baru tentang ‘gerak substansial (harakah jawhariyyah) dan memberikan penafsiran baru tentang kesatuan subjek ‘akal'dan objek akal (ittihâd al-aqil wa al-ma'qûl). Mullâ Sadrâ juga memberikan kritik-kritik tajam atas para teolog, tanpa terkecuali para teolog Syiah, seperti Khâjeh (Khawajeh) Nashîr al-Din Thûsi,(2) Fadhil
P: 35
al-Miqdâd, (1) dan lainnya.(2) Masih sejalan dengan tradisi filsafat, subjek utama dalam filsafat Hikmah Muta’âliyyah hanyalah ‘maujud sebagai maujud”, sebagai sebuah pengertian universal yang memiliki ekstensi (mishdâq) yang beragam. Sementara sasaran pengetahuan atau ilmu adalah mâhiyyah, yang merupakan ciri pembeda antarsegala sesuatu. Karena itulah filsafat bersifat sederhana dan unik. (3) Kata Ibn Sina, “filsafat adalah pengetahuan yang paling utama tentang objek yang paling mulia”(4). Ia adalah filsafat yang utuh dan sederhana. Ia tidak dapat dipilah-pilah menjadi beberapa penggalan tema. Kalaupun dibagi, misalnya, filsafat dalam arti umum (wujud) dan filsafat dalam arti khusus (Tuhan), maka pembagian ini semata-mata demi mempermudah pencari kebijakan dan kebenaran, bukan karena objek pembahasannya berlainan.
Hikmah Muta’âliyyah telah bangkit dengan sebuah gagasan revolusioner, yaitu mengubah corak filsafat yang esensialis dengan corak yang eksistensialis. Kebangkitan ini telah menciptakan sebuah gairah baru dalam dunia filsafat yang sebelumnya menunjukkan gejala stagnasi sejak Ibn Rusyd. Eksistensialisme Mullâ Sadrâ telah men- cairkan kebekuan an menghidupkan kembali stoa-stoa (hawzah- hawzah) di Isfahan, Tehran, Syiraz, Qom dan lainnya. (5)
P: 36
Hikmah Muta’âliyyah bisa didekati dari beberapa aspek; dari metodologinya yang mengharmoniskan akal, kalbu dan teks-teks para Imam Syiah, tema-temanya (baik yang merupakan gagasan baru maupun gagasan lama yang disempurnakan) dan melaui perbandingannya dengan filsafat Barat, baik Yunani kuno maupun modern.(1) Metode Hikmah Muta’âliyyah lebih mirip dengan metode filsafat Iluminasi, meski keduanya berbeda dalam prinsip-prinsip dan kesimpulan-kesimpulan. (2) Meskipun demikian, Hikmah Muta’âliyyah dan pandangan- pandangan Mullâ Sadrâ tidak luput dari kritik dan tuduhan. Pada masa dinasti Qajar, para filsuf di Tehran terbagi dalam dua kelompok. Salah satu dari dua kelompok tersebut mendukung filsafat Mullâ Sadrâ, seperti Muhammad Qomsyeh (3) dan Modarres Zonûzî.(4)Sedangkan kelompok lainnya adalah para filsuf yang mendukung filsafat Ibn Sina, seperti Mirza Jalweh. (5) Para penduduk filsafat Peripatetik aktif melakukan eksplorasi terhadap sumber-sumber filsafat Mulla Sad- râ demi membuktikan bahwa ia bukanlah seorang filsuf dan pengg gas pandangan filsafat baru, namun hanyalah seorang penjiplak. Bahkan
P: 37
tidak sedikit filsuf dari pendukung filsafat Ibn Sina berani menggunakan katakata pedas ketika berbicara atau menulis tentang Mullâ Sadrâ, sep- erti Dhiyâ' al-Dîn al-Durri yang dalam pengantar buku Kanz al-Hikmah karya Syahrazuri menuding Mullâ Sadrâ sebagai plagiator karya Ibn Sina. (1) Namun, apabila mempelajari secara seksama karya-karya Mullâ Sadrà dan sumber-sumbernya, dapat disimpulkan bahwa Hikmah Muta’âliyyah adalah sebuah sistem pemikiran dan mazhab filsafat yang benar-benar unik dan baru, meski tidak terlepas dari jasa dan karya serta pandangan-pandangan yang pernah dikemukan oleh para pendahulunya dalam filsafat dan ‘irfan.
Pada awalnya, filsafat sebagai sebuah disiplin intelektual mulai dilirik dan mendapat perhatian sejumlah pemikir yang berasal dari luar Qom. Khususnya, ketika Mullâ Hosain-Qali Hamadani mulai menga- jarkan filsafat Mullâ Sadrâ kepada murid-muridnya di Karbala (Irak).
Tepatnya lagi, saat Mullâ Sabzawari memindahkan pengajaran filsafat dari kawasan Sabzawar ke Najaf. Walaupun Mirza Hasan, putra Mullâ Muhammad Ismail Wahîd al-Ain Isfahani, juga tinggal di kawasan yang sama untuk beberapa waktu, mayoritas pelajar filsafat di sana lebih memilih menimba ilmu dari Mullâ Hosain-Quli Hamadani. (2) Di antara murid menonjol Mullâ Hosain-Quli Hamadani adalah Jamaluddin Asad-Abadi al-Afghani, Abd al-Hosain Lari, Ahmad Karbala'i, Sa'id al-Habubi, Muhammad Baqir Istahbanâti (yang terbunuh di masa Masyrutiyat pada tahun 1326 Hijriah, di Istahbanat), Mehdi Ilahi Qomsyeh’i, dan Mirza Jalweh.(3) Kemudian, Mirza Jalweh memperkenalkan filsafat ketuhanan kepada
P: 38
murid-muridnya di Najaf, seperti Muhammad Hosain Gharawi Isfahani dan Muhammad Ridha Yazdi. Adapun guru lainnya dalam bidang filsafat di Najaf sepanjang periode itu adalah `Alî Muhammad Najaf-Abadi. Ia mengajarkan kitab Syarh Manzhûmah karya Sabzawari kepada Gharawi(1) dan Muhammad Hosain Kasyif al-Ghitha. (2) Selama periode ini, atmosfer hawzah Irak (Najaf dan Karbala), yang semula merupakan pusat pendidikan Syi'ah di seluruh dunia, demikian pula hawzah di Iran (Qom dan Masyhad(3)), kurang mendukung kemajuan pemikiran filsafat. Hal ini lebih disebabkan kecenderungan pada ilmu-ilmu tekstual, seperti fikih, masih sangat dominan di sana. Bahkan tidak sedikit ulama dan marja' (otoritas hukum/fatwa) yang menunjukkan sikap negatif terhadap pengajaran filsafat. Namun kemudian, keadaan berangsur-angsur berubah ketika muncul halaqah-halaqah pelajar filsafat, ‘irfan, dan ilmu-ilmu rasional yang diasuh sejumlah ulama yang dinilai sukses dalam ilmu-ilmu tekstual, bahkan bergelar mujtahid. (4) Pada tahun 1499, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar 200 tahun. Selama periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran dalam matriks mazhab Syi'ah. Filsafat menjadi salah satu disiplin pemikiran yang paling berkembang pesat. Sejak itu, filsafat terus diajarkan, bahkan menjadi tradisi yang hidup sepanjang zaman di
P: 39
pusat-pusat seminari (hawzah) Syi'ah yang didirikan dinasti Safawi.
Pada periode Safawi inilah, tepatnya abad XIII sampai XVII, filsafat di Iran mencapai puncaknya. Dari hawzah-hawzah tersebut, bermuncu- lan para tokoh filsafat Iran. Bahkan pada masa kemudian, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat, bagi dunia Islam, yang banyak didatangi umat Islam dari seluruh penjuru dunia.(1)
Qom adalah kota di Iran yang paling masyhur dalam bidang pengajaran dan pendidikan ilmu-ilmu keislaman, yang mendapat ju- lukan “kota sejuta ulama”. Kota ini berjarak 135 kilometer dari Tehran, ibukota Iran. Secara administratif, Qom merupakan ibukota propinsi, yang menurut data statistik tahun 1997, jumlah penduduknya mencapai 44,850 jiwa; 16,91 persen tinggal di kota, sementara 82,8 persennya tinggal di daerah pedesaan. Terletak di bagian tengah Iran, posisi Qom persis berada di tengah padang gersang dan jauh dari laut. Iklim Qom sangat kering dan memiliki curah hujan yang terbilang kecil. Sebagian besar tanahnya tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian.(2) Tanahnya tidak subur, antara lain, disebabkan posisinya yang ber- dekatan dengan danau garam. Di musim panas, suhu udara di sana bisa mendekati 40 derajat celsius. Meskipun demikian, di musim dingin, suhu udaranya juga bisa anjlok hingga di bawah nol derajat celsius, dengan sesekali turun salju, meskipun jarang sekali lebat, tidak sebagaimana Tehran.(3) Dewasa ini, banyak kalangan yang mengidentikkan Iran, terutama Qom, dengan radikalisme politik atau menganggap Qom hanya sebagai pusat Islam Syi'ah semata. Selain itu juga banyak pihak, terutama para tokoh yang dinobatkan sebagai kaum intelektual di perguruan ting- giperguruan tinggi Barat, memandang hawzah 'Ilmiyah Qom dengan
P: 40
sebelah mata. Hal itu boleh jadi, lantaran mereka tidak mampu menangkap dinamika intelektual yang terus berkembang di sana; atau disebabkan tidak berusaha menyelami spiritnya dan menyingkap misterinya.
Padahal, bila sedikit saja ingin mencari tahu tentangnya, niscaya akan diketahui bahwa Iran pada umumnya, dan Qom pada khususnya, merupakan kawasan kaya-ilmu yang cadangannya tidak akan habis dieksploitasi sampai kapan pun. Di sana banyak lahir para pemikir Islam nomor wahid, khususnya dalam disiplin filsafat, ‘irfan, dan teologi.
Sejak al-Hikmah al-Muta’âliyyah dikembangkan, ketiga disiplin tersebut berpadu sehingga menciptakan formula pemikiran keagamaan yang kompak, komprehensif, dan kredibel. Hal ini dapat dilihat dari pengaruhnya dalam dinamika pemikiran aqli dan naqli para ulama, mulai dari hawzah Karbala, Isfahan, Hillah, sampai Qom.
Sejak kepindahan Mullâ Sadrâ beserta sejumlah murid unggulannya dari Isfahan ke Qom(1), hawzah Qom kemudian menjadi lebih dikenal sebagai pusat al-Hikmah al-Muta’âliyyah, meskipun sete- lah Mullâ Sadrâ wafat, hawzah ‘Ilmiyah Qom kembali didominasi corak tekstual kalangan fuqaha. (2) Sejarah hawzah 'Ilmiyah Qom dapat diklasifikasi ke dalam enam periode sebagai berikut:
Periode ini meliputi abad keenam sampai abad kesepuluh Hijriyyah.
Iklim politik yang menyelimuti hawzah ilmiyah Qom sepanjang periode ini sangat tidak kondusif. Para penduduknya berkali-kali terbunuh secara massal dan eksistensi kota (pada saat itu) sedang menuju fase kehancuran.
Meskipun pada suatu masa, kota tersebut sempat menjadi ibukota kaum Timuriyan.
P: 41
Menurut catatan sejarah, Qom pernah menjadi ajang pembantai- an massal dan vandalisme. Barangkali serangan Mongol pada tahun 631 H/1210 M terhitung sebagai sekuel terburuk dari episode pembantaian massal dan vandalisme yang tak kunjung reda sampai memasuki era Timuriyan (sebagaimana diisyaratkan Zakaria Qazwînî dan Hamdullâh Mustaufa). Konon, salah satu madrasah yang termasyhur sampai sekarang, Faiziyyah, dibangun pada periode ini. (1) Berkenaan dengan pembunuhan yang meruyak sepanjang periode ini, Buzurg, dalam kitabnya Thabaqât A'lamu asy-Syî’ah, menyebut lebih dari 30 nama ulama abad VI, yang kemudian pada abad VII, jumlahnya berkurang menjadi tiga orang, dan pada abad VIII tinggal satu orang. Namun, pada abad IX, disebutkan sekitar tujuh nama ulama di Qom. Berdasarkan konstruksi tersebut, stagnasi keilmuan baru dimulai pada abad keenam dan semakin menjadi-jadi pada abad ketujuh dan kedelapan diakibatkan serangkaian serangan perusak yang dilancarkan bangsa Mongol dan Timuriyan. Pada abad IX, ulama Qom bangkit seraya menyusun persiapan-persiapan matang guna menghadapi stagnasi kebudayaan, serta mengokohkan fondasi keilmuan di hawzah unggulan Qom.(2) Qom sekarang memiliki kedudukan istimewa dalam konteks keilmuan dan spiritualitas, sekaligus dianggap sebagai salah satu kota Iran paling makmur, terpadat, dan menjadi kawasan perlintasan yang paling pesat pertumbuhannya. Beberapa tahun lalu, kota yang semula merupakan bagian dari propinsi Tehran ini, diresmikan sebagai propinsi mandiri.(3)
Periode ini dimulai sejak abad X hingga abad XIII, dan berlangsung sepanjang periode Shafawiyyah Afneh, Afsyariyyah, Zanadiyyah, dan Qajariyyah.
P: 42
Rentang periode ini diawali dari silsilah Shafawiyyah, yang bersamaan dengan hijrahnya ulama Syi'ah asal Jabal Amil, Libanon, ke Iran dan menyebarnya pemikiran ushûli (dasar-dasar fikih) Syi'ah.
Itulah zaman ketika dalam beberapa tahun pertama terpilihnya daulat Shafawi, pengemban pemerintahannya adalah wali faqîh. Akan tetapi, setelah beberapa lama, pemikiran ini mulai terlupakan, yang berbarengan dengan kembalinya ulama filsuf seperti Muhaqqiq Karaki ke Atabât Âliyât (makam-makam para imam Syi'ah di Irak).
Hawzah 'ilmiyah Isfahan yang menarik perhatian orang- orang Shafawi, merupakan hawzah yang paling penuh dengan gerakan di dunia Syi'ah sepanjang periode ini. Setelah dibangunnya madrasah- madrasah Syi'ah di Isfahan dan kota-kota lainnya, seperti Qom, Syiraz, Qazwin, dan Masyhad, berkembanglah ilmu-ilmu agama dan pemikir- an Syi'ah, di antaranya ilmu-ilmu ‘aqli (rasional)—filsafat dan kalam.
(1) Karena banyaknya informan dari kubu pemikiran yang berlawanan, yang menyusup ke dalam hawzah Isfahan, membuat kebanyakan orang mulai meninggalkan (enggan belajar kepada) ulama-ulama ushûli di hawzah ini. Lebih lagi, sebagian ulama ‘aqli (rasionalis) juga terusir dari daerah tersebut, termasuk filsuf termasyhur, Shadr al-Din Syirazi, yang punya nama sanjungan, Shadr al-Muta’allihin, namun lebih dikenal dengan sebutan “Mullâ Sadrâ” (2) Menurut Yahya Yathrebi, hijrahnya Shadr al-Muta' allihin dari Isfahanke Qom, mau tak mau mengakibatkan kemunduran ilmu-ilmu ‘aqli di hawzah Isfahan, dan sebaliknya malah menyebabkan semaraknya ilmuilmu ‘aqli di hawzah Qom. Di hawzah ini, dengan mengajar murid- murid dan menulis sejumlah karya ilmiah, ia telah menyiapkan lahan besar bagi penyemaian potensi dasar-dasar pemikiran di hawzah Qom sebelum periode ini, yang kemudian menjadi rahim bagi lahir dan mekarnya
P: 43
para muhaddits Syi'ah. (1) Alhasil, poin yang perlu diperhatikan dalam kaitan ini adalah bahwa para muhaddits Qom sendiri (mengambil hadis) dari para ‘ârif yang tidak asal menerima setiap hadis serta mengambil sikap yang bijak terhadap sebagian riwayat dha'if yang dinukil. Hal ini sebagaimana pernah dilakukan Ahmad bin Muhammad bin Isa, seorang alim besar Qom. Akibat dari sikap dan tindakan itu, banyak muhaddits yang diasingkan dari kota ini, antara lain Ahmad bin Muhammad bin Khalid Barqi, Sahl bin Ziyad Adami Razi, dan Abu Saminah Muhammad bin `Alî Shairfî.
Sejak itu, tahun 225 H/804 M menjadi termasyhur dengan sebutan “Tahun Pengasingan para muhaddits dan ulama Qom”. Setelah lama hidup di pengasingan, Khalid Barqi (Ahmad bin Ahmad bin Khalid Barqi) lalu dipulangkan ke Qom. Namun, dua orang lainnya yang disebutkan di atas masih harus hidup di pengasingan lantaran menukil riwayat-riwayat dari para perawi yang dha'if dan termasyhur dengan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap para tokoh Ahlulbait.(2) Shadr al-dîn Muhammad bin Ibrahim al-Syirazi (979—1050 Hijriah/1571 M) adalah salah seorang filsuf dan ahli tafsir Syi'ah yang hidup dalam periode ini. Masa kehadirannya di hawzah Qom berbarengan dengan masa 'uzlah dan pemisahan diri (dari masyarakat), dengan mengajar murid-murid, menulis, menyusun buku, dan memprioritaskan perenungan dalam konteks ilmu-ilmu daripada berinteraksi dengan masyarakat.(3) Kehadiran para filsuf Islam pada periode ini di hawzah ilmiyah Qom memicu kemunculan ilmu ushûl. Hal ini disebabkan sosok filsuf seperti Mullâ Sadrâ telah menciptakan lahan pemikiran yang be-bas dalam hawzah Qom. Karena itu, Mirza Qommi, setelah belajar di makammakam im- am Sy’iah. dan menimba ilmu dari guru-guru fikih dan ushûl di hawzah ilmiyah Najaf dan Karbala (di antaranya kepada Wahid Bahbahani),
P: 44
mentransmisikan pelajaran ilmu ushûl fiqh dari Atabất Aliyât ke Qom. Proses tersebut berlangsung setelah ia kembali dari Irak. Saat itu ia tidak menganggap hawzah Isfahan dan Syiraz sebagai tempat yang cocok bagi dirinya untuk mengajar.
Setelah berada di hawzah 'ilmiyah Qom, ia mengajar murid-murid yang haus ilmu-ilmu Jaʼfari (ajaran Imam Ja'far Shadiq) dengan fikih Syi'ah dan dasar-dasar ijtihâdinya. Kemudian ia menjadi marja' keagamaan kaum Syi'ah di masanya. Ia dikenal dengan gelar “Muhaqqiq Qommi” karena penulisan dan pengajaran ushûl istibâth dan manthiq ijtihâd-nya. Kitab al-Qawanin al-Muhkamah fi Ilmil Ushul, dapat dikategorikan sebagai mahakaryanya yang sampai sekarang menjadi salah satu kitab standar pelajaran di haw zah.(1) Sementara itu, Mirza Abu al-Qasim, yang dari segenap upayanya menunjukkan kualitas dirinya sebagai pakar dalam bidang ushûli, dikenal sebagai pencerah ilmu ushûl di hawzah 'ilmiyah Qom. Ia membina banyak murid yang memiliki prestasi ilmiah sangat menonjol pada masa berikutnya. Mereka, antara lain, adalah Muhammad Ibrahim Kalbasi, Muhammad Alî Hizar Jaribi, Ahmad Kirmansyahi, Muhammad Mahdi Khansari, Sayyid Ali Khunsari, Mirza Abu Thalib Qommi, Mulla Asadullah Borujerdi, dan Mulla Muhammad Kazazi.
Dengan semua itu, ia telah mentransmisikan pemikiran ushûli dari hawzah Qom ke hawzah Isfahan, Qomsyeh, dan Kirmansyah. Berkat pembaharuan-pembaharuan yang ia (Mirza Abu al-Qasim) ikhtiarkan, terciptalah sejumlah perubahan yang signifikan di hawzah Qom. Alhasil, setelah beberapa tahun kemudian, ia berhasil mengakhiri (masa) stagnasi dan kevakuman serta mengubahnya menjadi masa keemasan jihâd dan ijtihâd.(2)
P: 45
Periode ini dimulai sejak akhir abad XIII dan berlanjut sampai sekarang. Titik perubahan periode ini dimulai sejak Hâ’erî memilih tinggal di hawzah ini. Berkat kontribusinya, ia mendedikasikan “nyawa baru” bagi hawzah 'ilmiyah Qom. Karena itulah, ia dikenal dengan sebutan “Mua'ssis” (Sang Pendiri).
Sebelum kedatangan Hâ’erî, Muhammad Taqi Mishbah Yazdî telah lebih dulu hijrah dari Najaf ke Qom. Berkat upayanya menjalin kerjasama dengan beberapa ulama, di antaranya Abu al-Qasim Kabîr Qommi, Haji Mahdi, dan Haji Muhammad Arbâb, ia membangun premis-premis bagi pendirian hawzah. Setelah melakukan serangkaian kajian dan penelitian, mereka akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa orang luar yang datang ke kota ini hendaknya mengibarkan bendera ilmu dan fikih. Sosok paling menonjol dari segi keilmuan, serta telah mencapai tingkat kesempurnaan cukup tinggi dalam hal ketakwaan, dan memiliki potensi sebagai mahkota keilmuan Syi'ah, tiada lain adalah Abd al-Karîm Hâ'erî. (1) Hijrahnya Hâ’erî dari Arak ke Qom, serta kiprahnya dalam memfasilitasi sistem pendidikan di sana, sedemikian penting di mata Khomeini. Menurutnya, ketidakhadiran Hâ’erî pada periode itu sama dengan hilangnya nama dan wajah seorang Muslim. Atas dasar inilah, Abd al-Karim Ha’eri dijuluki “Mu'assis” (Pendiri), karena sebelum kedatangannya, jejak-jejak hawzah 'Ilmiyah Qom nyaris terhapus.(2)
P: 46
Kedekatan hawzah 'Ilmiyah Qom dengan pusat kekuasaan menjadikan pemimpin kaum Syi'ah dan kalangan marja’taqlid memiliki pengetahuan yang memadai seputar basis kebijakan politik negara. Akibatnya, jika suatu kebijakan politik yang digulirkan dianggap tidak sesuai dengan standar Islam, maka pada saat itu pula, tindakan penentangan segera mencuat. Peletakan kaidah dasar “kebangkitan keilmuan di Qom” ini mengikuti formasi hawzah di Samara, sebuah kawasan yang letaknya berdekatan dengan Baghdad (ibukota Irak).
Berdirinya hawzah Qom yang diwakili oleh tiga stoa utama yaitu Madreseh Faizhiyeh, Madreseh Dar al-Syifa', dan Madreseh Hojjatiyeh(1) berbarengan dengan fenomena pengasingan sebagian marja' besar dan ulama terkemuka abad XIV Hijriah, dari Irak ke Iran. Abu al-Hasan Isfahani, Mirza Hosain Na ini, `Alî Syahristani, Abd al-Hosain Hujjat Karbala'i (w. 1332 H/1901 M), dan Muhammad Hosain Isfahani Gharwi (1296—1361 H) adalah sejumlah ulama yang bersama murid-muridnya diasingkan ke Iran dan menetap di hawzah Qom.(2) Tahun 1363 Hijriah(1941 M)bertepatan dengan kedatangan Borujerdi ke hawzah 'Ilmiyah Qom. Kendati telah diundang Mu'assis (Sang Pendiri, Ha’eri) di masanya ke Qom, tetapi ia lebih memilih menjauh dari jabatan- jabatan sosial. Ia tidak menyambut undangan Ha’eri hingga akhir tahun 1363 Hijriah (1941 M). Ia datang ke Qom di masa kepemimpinan tiga
P: 47
marja' besar, yakni Khansari, Hujjat Kuhkamari, dan Sadrud-Din Shadr, serta lebih memilih tinggal di hawzah 'Ilmiyah Qom.(1) Borujerdi, di samping tergolong pakar dalam bidang ilmu-ilmu Islam, seperti fikih, ushul, rijâl, hadis, filsafat, kalam, dan astronomi, juga memiliki daya tarik yang sangat luas sebagai sosok guru. Sebelum datang ke hawzah 'Ilmiyah Qom, ia pernah mengajar filsafat. Ketika memasuki hawzah 'Ilmiyah, ia memulai dengan mengajar fikih dan ushul (pengajaran ushul-nya berlangsung selama enam tahun, sedangkan pengajaran fikih dilakukan hingga hari akhir hayatnya). (2) Sementara itu, Khomeini menjadi salah seorang marja’taqlid Syi'ah dan figur ulama yang memegang tampuk kepemimpinan hawzah Ilmiyah Qom setelah Borujerdi. Di samping mengajar, Imam juga melanjutkan perlawanan politiknya terhadap rezim Pahlevi. Akibatnya, ia divonis oleh hakim pengadilan sebagai seorang eksil.
Adapun Syihabuddin Hosaini Mar’asyi Najafi merupakan seorang ulama Cârif yang datang ke Qom atas permintaan Mu'assis dan membina para pelajar agama. Tokoh-tokoh ulama yang hidup sezaman dengannya adalah Muhammad Reza Golpaigani dan `Alî Araki (dua sosok ulama besar hawzah 'Ilmiyah Qom yang mengemban kepemimpinan dan ke- marja’-an umat dan hawzah Qom). Di samping menjadi para marja' mulia sepanjang periode ini serta rijal ilmu dan ulama dalam berbagai ilmu keislaman hawzah ilmiah Qom, mereka menjadikan hawzah Qom sebagai pusat kajian ilmu, pendidikan, dan pembinaan. Mereka membina para guru, mujtahid (ahli ijtihad), dan mubaligh untuk periode mendatang.
Menilik kandungan filsufis dalam ucapan-ucapan para pemikir terkemuka Syi'ah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hawzah-hawzah ‘ilmiyah di dunia Syi'ah mengungguli hawzah-hawzah di dunia Sunni.
Ketika bangsa Iran menerima mazhab Syi'ah sepeninggal Ibn Sina,
P: 48
hawzah filsafat pun berpindah ke kawasan Iran dan hampir semua filsuf besar Islam dalam sejarah filsafat berasal dari kaum Syi'ah dan bangsa Iran. Periode keempat hawzah 'Ilmiyah Qom merupakan awal periode hawzah filsafat di kota suci ini, yang mekar setelah hijrahnya Mullâ Sadrâ (979 H/1571 M) dan terbinanya sejumlah murid, antara lain Mullâ Mohsen Fayz Kâsyânî (w. 1091 H/1680 M)(1) dan Mullâ Abd al-Razzaq Lâhijî (w. 1072 H/1661 M) yang dilanjutkan dengan kemunculan filsuf debutan yang cukup tekun, Qadhi Said Qommi. (2) Mungkin mazhab Syi'ah memberi ruang yang relatif bebas dan leluasa untuk menyingkap hakikat-hakikat ilmu dengan metode analisis, kritis, dan kajian rasional, serta cukup kentalnya kandungan filsafat dalam ucapan-ucapan para pemukanya, maka kelompok ini (Syi'ah) memiliki potensi yang lebih besar dalam mempelajari dan menekuni filsafat daripada kelompok-kelompok Islam lainnya. Kemudian, diakibatkan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani dan lainnya ke dalam bahasa Arab dan sedikit-banyak menyebar di tengah kaum muslimin (yang kebanyakan belum mengenali tema-tema penting filsafat), muncul pengaruh yang sangat mendalam dalam diri kaum Syi'ah daripada yang lainnya, seraya pula membentuk seraut wajah yang lebih terang.
Mula-mula pemikiran mazhab filsafat Isyrâq tidak menyebar dalam Islam, sementara kebanyakan filsuf Islam tengah merayakan pemikiran mazhab filsafat Masya`i (para pengikut Aristoteles). Namun, tidak lama kemudian, hubungan filsafat dan agama menjadi lebih akrab, bahkan di sana-sini mulai terjadi titik temu. Mereka kemudian melakukan pembahasan-pembahasan yang bersifat sederhana dan elementer, hingga akhirnya hakikat persoalan filsafat ditemukan dalam karya-karya Mu'allim Tsani (Guru Kedua) Abu al-Nashr Muhammad bin Tharkhan al-Farabi, dan untuk selanjutnya dalam karya-karya Ibn Sina.
Berdasarkan penjelasan Muthahhari, para filsuf Islam menemukan bahwa dengan menempuh masing-masing dari tiga jalan, yakni agama,
P: 49
filsafat, dan ‘irfan, niscaya akan tercapai hakikat-hakikat ciptaan yang universal. Dengan ciri bahwa bahasa agama adalah bahasa semua manusia, yang dengan penjelasan sederhana saja, seseorang dapat mengetahui rahasia-rahasia ciptaan. Namun, tema-tema filsafat hanya dipahami orang-orang tertentu yang terbiasa dengan latihan-latihan intelektual serta memilah argumentasi dari analogi-analogi dialektis dan retorik. Sedangkan para ahli ‘irfan dengan ajaran-ajaran agama dan praktik-praktik syar’i semakin menjadikan ‘cermin diri’-nya jernih berkilau sehingga mampu menyaksikan pelbagai hakikat dengan bantuan ilahiah. Menurutnya lagi, kunci rahasia-rahasia itu telah jatuh ke tangan filsafat Islam yang tidak akan pernah tergapai dalam filsafat-filsafat klasik Mesir, Yunani, dan Elexandria (Iskandariyyah).(1) Dalam hal ini, tema-tema filsafat menurut buku-buku filsafat tempo dulu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan sampai ke tangan kaum muslimin, kira-kira mencapai 200 butir. Adapun dalam ruang pemikiran filsufis dewasa ini, semua itu telah mencapai sekitar 700 tema. Tema-tema filsafat, khususnya dalam pemikiran mazhab filsafat Masya`i, diambil alih para filsuf Yunani secara acak dan masing- masingnya terpisah serta tidak berkaitan satu sama lain. Sementara dalam pemikiran filsafat ini, telah ditemukan corak riyâdhi (matematis) yang satu sama lain saling terkait dan bersifat sistematis.
Dengan kata lain, menyelesaikan dua-tiga masalah utama dalam filsafat sama saja dengan menuntaskan dan meluruskan seluruh persoalan filsufis. Oleh karena itu, mata rantai filsafat dapat diceraikan dari tabî’iyât (fisika) klasik dan astronomi klasik. Selain itu, pada kesimpulannya, sama sekali tidak terjadi pertemuan dan pertentangan antara pemikiran filsufis ini dan pengetahuan kontemporer.
Sebelumnya, filsafat nyaris beku dan punah. Namun, berkat metode pemikiran ini, kondisi dan formasi filsafat mengalami perubahan total sekaligus selaras dengan karakter dan kecenderungan manusia, serta nalar dan syariat. Lagipula, pemikiran filsufis ini memiliki andil yang
P: 50
cukup besar-bahkan keseluruhannya—dalam menyiapkan fondasi bagi ketersingkapan dan terselesaikannya masalah-masalah yang dicapai secara gemilang oleh ilmu-ilmu baru. Sebagaimana masalah “harakah jauhariah” (gerak subtansial) yang akhirnya tuntas berkat penggunaan metode filsufis ini setelah melewati masa tiga ratus tahun, problem "dimensi keempat dalam jisim (fisik)” juga akhirnya terselesaikan secara elegan.
Pada periode belakangan, hawzah filsafat Qom dengan sendirinya memunculkan figur-figur arif yang berpengaruh dan punya peran penting dalam konteks pemikiran filsufis dan politik di dunia Islam, antara lain adalah Sayyid Abu al-Hasan Rafi'i Qazwînî, (1) yang merupakan salah seorang figur alim dan filsuf yang belajar ilmu-ilmu rasional dari Abd al-Nabi Nuri, Mirza Mohsen Kermansyahi, Fadhil Tehrani, dan Mirza Mahmud Qommi. Dia datang ke Qom pada masa Ha’eri dan mengajar ilmu-ilmu rasional. Salah satu murid istimewanya pada zaman ini adalah Khomeini. Ia sempat tinggal di Qom selama dua bulan. Namun, berkat dipindahkannya hawzah filsafat Tehran ke Qom dan adanya keharusan untuk membina para pelajar filsafat tahap awal, ia akhirnya kembali bermukim di Qom. (2) Berdasarkan catatan sejarah, serbuan bangsa Mongol pada (1258 M)(3) telah menghancurkan dinasti Abbasiah dan terjadinya gnosida komunitas Muslim di Andalusia.(4) Bersamaan dengan itu, umat Islam mulai
P: 51
tenggelam dalam tidur panjangnya. Abad keenam Masehi akibatnya menjadi awal “kematian Islam”. Namun, perlu digarisbawahi bahwa semua itu hanya berlangsung di dunia Islam belahan Barat, khususnya di kawasan Sunni. Sebaliknya, abad ketujuh Masehi justru menjadi awal munculnya sebuah imperium Islam di belahan Timur, persisnya di kawasan Syi'ah Berdasarkan sejarahnya, Iran yang secara geografis terletak di belahan Timur dunia Islam, dikenal sebagai rahim kelahiran para filsuf, sufi, ilmuwan, dan penyair terkenal. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat, selama fase akhir sejarah Islam. Hal ini se- bagaimana dilaporkan Hossein Nasr bahwa filsafat Islam memiliki ke- hidupan yang lebih panjang di belahan Timur (khususnya di Iran) daripada di belahan Barat dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki lahan subur bagi disiplin filsafat untuk terus bertahan hidup sampai sekarang, tetapi juga secara definitif menjadi ajang utama perkembangan filsafat Is- lam. Sekurang-kurangnya terdapat dua faktor pendukung bagi perkem- bangan pemikiran filsafat di Iran. Pertama, faktor geografishistor- is. Kedua, tradisi keagamaan Syi'ah.(1) Dalam sejarah kontemporer, khususnya sejak kedatangan Baha'i,(2) Iran telah menjadikan mazhab Syi'ah sebagai mazhab resmi di sana- diakui secara luas bahwa warisan filsafat Islam, khususnya mazhab Sadrian dan Sabzawarian—sebagai tonggak “sistem filsafat yang sangat Islami”—berkembang jauh lebih ekstensif daripada di wilayah lain yang mayoritas atau minoritas penduduknya bermazhab Syi'ah. Parviz Morewedge dan Oliver Leaman memberi kesaksian tentangnya, “There is a continuing tradition of interest in illuminasionist and mystical
P: 52
thought, especially in Iran where the influence of Mullâ Sadrâ and al- Suhrawardi has remained strong."(1) Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwasannya warisan filsafat Islam di dunia Syi'ah ini diapresiasi dalam beragam cara.
Sebagian pihak bahkan kembali pada mazhab filsafat sebelumnya, seperti Iluminasionisme, Peripatetisme, kendati arus utamanya tetap pada mazhab Hikmah. Meskipun demikian, dalam situasi kekinian, ragam cara yang diterapkan kalangan pemikir pasca-Sadrian di Iran khususnya, kiranya dapat diklasifikasikan dalam dua kategori umum, berdasarkan sumber dan corak apresiasinya terhadap filsafat Sadrian (mazhab Mullâ Sadrâ), yaitu tradisional dan modern.
Apresiasi modern terhadap filsafat Sadrian berkembang di kalangan akademisi, atau setidaknya kalangan yang tumbuh dalam sekolah atau khasanah pemikiran modern. Mereka pada umumnya mengulas butir- butir gagasan filsafat Sadrian dengan menggunakan penghampiran modern, mulai dari metodologi hingga skema eksposisinya. Tidak jarang pula mereka mencoba melakukan telaahan kritis terhadap filsafat Islam melalui studi komparatif atau dengan menggunakan teori-teori filsafat Barat kontemporer. Figur-figur paling menonjol di kalangan ini adalah Henry Corbin, Seyed Hossein Nasr, dan Mehdi Hae'ri Yazdi.
Sementara apresiasi tradisional terhadap filsafat Sadrian lebih bertahan di kalangan pesantren atau hawzah 'ilmiyah, khususnya kalangan yang mengenyam pendidikan tradisional keagamaan di Qom.
Berbeda dengan kalangan pemikir dan pengkaji filsafat Islam yang terdidik dalam sekolah modern, kalangan pemikir tradisional terlihat begitu tenggelam dalam filsafat Mullâ Sadrâ. Jadinya, mereka cenderung mengapresiasinya secara afirmatif serta mengeksplorasinya lebih jauh dan mendalam demi mengonstruksi fundamental akidah keislaman yang bersifat filsufis, argumentatif, sekaligus mistis. Para tokoh terkemuka sekaligus pendahulunya adalah Khomeini dan Muhammad Hosein
P: 53
Thabàthabâ”.(1) Dengan kata lain, kedua pemikir yang boleh dibilang menjadi representasi mazhab Sadrian dalam versi tradisional itu merupakan sedikit di antara kalangan pemikir yang berhasil mendasarkan akidah keislaman pada kalam (teologi), filsafat, ‘irfan nazhari (teoritis), sekaligus menduduki strata teringgi dalam bidang ‘irfan amali (praktis).
Mazhab ‘irfan dan teologi pada abad ketujuh pernah mencapai masa keemasan. Namun, pada saat yang bersamaan, seluruh aliran pemikiran dalam Islam akhirnya menjadi bagian integral dari akidah. Menurut Mottahedeh, inilah salah satu fenomena krusial yang meratakan jalan bagi kebangkitan Safawi yang punya warna khas Syi'ah .(2)
Dengan berkuasanya rezim Baath yang sangat sekuler dan represif di wilayah Irak, dan seiring didirikannya hawzah 'Ilmiyah(3) oleh Abd al-Karim Haerî Yazdi, kota Qom menjadi pusat alternatif bagi seluruh aktivitas intelektual kaum Syi'ah di seluruh dunia.
Tanpa perlu waktu lama, untuk kedua kalinya, gairah filsafat di Najaf, Karbala, dan Isfahan kembali bergejolak di Qom. Para alumnus hawzah Najaf dan Isfahan pun bermunculan, di antaranya adalah Ruhullah Khomeini dan Muhammad Hosein Thabâthabâ’î, yang berjasa besar
P: 54
dalam mengintroduksi filsafat ke dalam lingkungan hawzah Qom dan menjadikannya sebagai salah satu mata kuliah dasar.(1) Kedua tokoh ini telah mengantarkan filsafat dan ‘irfan ke puncak kejayaannya manakala sukses memasukkan kedua bidang ilmu tersebut ke dalam kurikulum studi hawzah, mulai dari tingkat dasar (muqaddimat) dengan dua karya pengantar filsafat, Bidayat al-Hikmah, lalu tingkat menengah (suthuh) dengan buku daras, Nihâyat al-Hikmah, dan tingkat atas (bahts khârij) dengan kuliah-kuliah berisikan komentar (catatan kritis) dan penjelasan rinci terhadap Syarh al-Manzhûmah karya Mullâ Hâdî Sabzawârî dan al-Asfâr al-Arba'ah karya Mullâ Sadrâ. (2) Khomeini adalah seorang filsuf sekaligus ‘ârif besar yang mengajarkan filsafat setelah kematian gurunya. Ciri khasnya adalah kecermatannya dalam masalah-masalah filsufis serta perhatiannya terhadap berbagai dimensi ilmu-ilmu Islam. Karena itu, pembahasan- pembahasan filsufis, fikih, akhlak, dan ‘irfani yang berperan dalam pemikiran filsafat politiknya, sering dikemukakan setiap kali ia mengajar dan konsep wilâyat al-faqih pun berangsur-angsur menyempurna. Dalam kelas-kelas filsafat dan fikih di hawzah-hawzah ilmiyah, terdapat murid dan sejumlah pengikutnya. Berkat tersebarluasnya (pemikiran-pemikiran filsufis dan kefikihan) dari hawzah 'Ilmiyah Qom itulah, ia berhasil mencetuskan revolusi Islam serta mendirikan pemerintahan Islam.
Sementara Muhammad Hosain Thabâtabâ'i adalah seorang filsuf yang punya andil besar dalam penyebaran pemikiran Mullâ Sadrâ.
Selama beberapa waktu, ia mengajarkan beberapa tahap teks al-Asfâr
P: 55
al-Arba'ah karya Mullâ Sadrâ dan al-Syifâ karya Ibn Sina, serta menulis kitab Bidâyat al-Hikmah dan Nihâyat al-Hikmah. Karya-karya Thabâtabâ'i tidak terbatas pada dua karya ini. Ia mempunyai puluhan karya berupa buku, risalah, dan hâsyiah (catatan pinggir) yang berkenaan dengan filsafat Islam. Bukti sumbangsihnya dalam konteks perfilsafatan Qom adalah rumusan metode baru bagi penyampaian teori-teori filsafat ketuhanan dan jawaban-jawabannya terhadap filsafat materialisme- dialektis. Salah satu karyanya yang mengundang decak kagum banyak sarjana filsafat Barat adalah Ushûl-e Falsafeh wa Ravesy-e Realism. (1) Pada periode ini, dasar-dasar pemikiran politik Islam mulai digali secara mendalam dan kerangka utamanya disusun agar teori wilâyat alfaqîh(2) terumuskan dalam bentuk yang sempurna dan komprehensif; dan kritik terhadap filsafat Barat menemukan posisinya di tengah masyarakat serta mulai digarap untuk kemudian dikembangkan oleh para penerusnya dalam formula yang lebih “akademis”. (3) Setelah 1400 tahun, prinsip-prinsip keyakinan dan filsafat politik Islam mulai ditulis dalam buku-buku yang kemudian memenuhi perpustakaan-perpustakaan dan menjadi bahan perbincangan publik sehingga tersebar luas di tengah masyarakat. Sejak itulah, “masa depan Islam” mulai menemukan momentum optimistisnya. Sepanjang periode ini, khususnya sejak Khomeini dan Thabâthabâ’î menjadi figur utama dalam hawzah 'Ilmiyah Qom, filsafat Islam menjadi salah satu primadona materi perkuliahan, yang menggeser mata kuliah ilmu-ilmu textual-oriented yang sebelumnya sangat populer. (4)
P: 56
Meskipun sekarang ini Khomeini dan Thabâthabâ’î (dua tokoh pemikir filsafat Muslim kontemporer) telah wafat, dinamika pemikiran filsafat di hawzah 'Ilmiyah Qom terus berdenyut, bahkan semakin kencang dan bergairah. Gejala ini tercermin dari makin maraknya polemik filsufis dan terbentuknya sub-sub mazhab dalam lingkaran Hikmah Muta’âliyyah. Berkaitan dengannya, yang penulis temukan, setidaknya terdapat beberapa kelompok filsuf yang memiliki kecenderungan berbeda.
Salah satu ikon pemikiran filsafat produk hawzah 'Ilmiyah Qom yang mendunia adalah Murtadha Muthahhari. Tokoh ini seolah jauh lebih aktif setelah wafatnya. Sebagian besar buku yang beredar saat ini merupakan transkripsi dari pidato atau ceramahnya selama hidup.
Sedangkan buku yang ditulisnya sendiri sedikit jumlahnya, antara lain Usul-e Falsafah va Realism, yang berisikan komentar atas pandangan gurunya, Thabâthabâ’î.
Murtadha Muthahhari lahir di Faryan, 2 Februari 1920. Usai menamatkan pendidikan dasarnya, ia pindah ke Masyhad, sebuah wilayah pusat ziarah dan belajar. Di tempat inilah ia mulai berkenalan dengan filsafat Islam dan ilmu-ilmu rasional. Dari Masyhad, Muthahhari pindah ke Qom. Kepindahannya ke kota tersebut karena mengikuti guru yang memperkenalkan dirinya pada filsafat, yakni Mirza Mehdi Shahidi Ravazi. Muthahhari baru menetap di Qom pada 1936. Di kota inilah ia berjumpa Khomeini serta Thabâthabâ’î, dua tokoh yang sangat mewarnai pandangannya. Sepanjang hidupnya ia selalu mengatakan pelajaran yang ia terima dari Khomeini selalu terngiang di telinganya, seolah baru satu atau dua hari saja ia dapat.
Dari Khomeini, Muthhahari memperoleh pelajaran filsafat dan ‘irfan.
Tahun 1941, Muthahhari meninggalkan Qom menuju Isfahan. Di sini, minatnya terhadap Nahjul Balaghah makin tinggi. Ia mempelajarinya dengan bimbingan Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani, guru yang memiliki otoritas untuk naskah-naskah Syiah. Tetapi, untuk ilmu ushul fiqh,
P: 57
Muthahhari tetap kembali ke Qom. Hasratnya terhadap ilmu filsafat masih belum berhenti. Muthahhari kemudian membaca Manzumah, sebuah naskah filsufis karya Mulla Hadi Sabzawardi. Ia kemudian melanjutkan kajian filsafatnya dengan mempelajari Kifayah al Usul, sebuah kitab hukum dari Akhud Khorasani. Dari kitab Kifâyat al-Uhsûl, kemudian Muthahhari memulai komitmennnya untuk mempelajari Marxisme.
Sumber yang diperoleh Muthahhari untuk mempelajari Marxisme umumnya dari buku dan lembaran yang dibuat oleh partai Tudeh.
Pemikirannya terus berjalan dengan mempelajari al-Asfar al-Arba`ah, juga sebuah buku yang mengkaji pemikiran filsafat. Tumpuan lebih keras pada pembelajaran falsafah dengan mempelajari secara terperinci, Introduction to Philosophy. Ia juga bergabung dengan diskusi Kamis bersama Thabatabai tentang filsafat materialisme. Diskusi itu berlangsung tiga tahun, hingga menghasilkan sebuah buku Ushul el Falsafah va Ravesh-e Realism (Prinsip Falsafah dan Metode Realistik).
Muthahhari memperbaiki naskah dan memberi tambahan lebih luas kemudian menerbitkannya secara bertahap. Ia juga mempelajari buku karya Ibn Sina dan lainnya. Pada 1954, Muthahhari mulai mengajar di Fakultas Teologi Universitas Tehran.
Pada saat yang sama, ia juga mulai aktif dalam organisasi masyarakat keagamaan bulanan (Anjoman-e Ye dini) dan menerbitkan majalah bulanan Goftar-e Mah. Ia juga secara berkala mengajarkan ilmu Islam kepada masyarakat biasa. Kendati lama bergelut dengan filsafat, Muthhahari tetap boleh berhubungan dengan masyarakat biasa. Ia tetap mengajar ilmu agama sehingga ia lebih dikenal sebagai ulama daripada filsuf. Bahasanya cair dan ilmu yang diajarkan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Muthahhari bukan hanya masuk pada kajian agama untuk kehidupan sehari-hari, melainkan juga memasuki perdebatan tentang feminisme, teori evolusi, dan bahkan prinsip kebersebaban dan penciptaan alam semesta yang selalu menjadi perdebatan para filsuf (1) Revolusi Islam Iran telah mencuatkan nama-nama di baliknya. Selain
P: 58
Khomeini yang menjadi tokoh yang dikenal sebagai rahbar (pemimpin), nama Muthahhari sebagai salah satu murid terdekatnya pun melambung Karya-karyanya diterjemahkan, diseminarkan dan dikaji hingga saat ini di dunia Islam dan Barat.
Sejak saat itu, di hawzah 'Ilmiyah Qom, minat terhadap filsafat tradisional dan Barat semakin meluas. Pelajar-pelajar asing, termasuk dari Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, juga ikut menekuni studi dalam disiplin ini. Mereka menghadiri atau mendengarkan rekaman kuliah-kuliah filsafat (dalam bentuk kaset atau compact disc) yang diajarkan dalam aneka bahasa, seperti Persia, Arab, Inggris, Perancis, Azari, Urdu, Swahili, dan Melayu. Sekarang ini, mereka dikonsentrasikan di sebuah pusat pendidikan Madrasah 'Ilmiyah Khomeini yang sangat megah dengan fasilitas cukup lengkap. Hal inilah ladang persemaian filsafat Islam di era mikrochip. (1) Dewasa ini, posisi akademik dari disiplin filsafat dan ilmu-ilmu rasional lainnya di hawzah 'Ilmiyah Qom, sudah berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu tekstual, seperti fikih dan ushul fikih. Semua itu berkat kerja keras dan reformasi kurikulum yang dilancarkan Khomeini dan Thabâthabâ’î sepanjang beberapa dekade. Keduanya telah mencetak ratusan ulama pemikir dan filsuf besar dengan berbagai kekhasan dan kecenderungan masing-masing. Di antara nama-nama besar hasil didikan mereka adalah Murtadha Mutahhari, Seyyed Hossein Nashr, dan Mehdi Ha'eri Yazdî (2)
P: 59
Namun, perkembangan zaman, menurut kearifan lama, selalu memunculkan spirit, konteks, dan tuntutan yang berbeda. Oleh karena itu, berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang cenderung mengemas kanon filsafat sebagai kritik ideologi dan pemenuhan tuntutan politik, kini spektrum pemikiran yang terbentuk lebih berorientasi pada kritik filsafat dan dialog atau kombinasi gagasan filsufis dalam semangat keterbukaan. Arus baru yang mengalir dalam kanal disiplin filsafat di hawzah Qom inilah yang kemudian memunculkan beberapa figur guru besar filsafat Islam kontemporer.
Figur ini menjadi yang paling menarik perhatian disebabkan lontaran kritik-kritiknya terhadap beberapa butir pemikiran filsufis Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î; bahkan terhadap ortodoksi pemikiran filsafat di hawzah 'Ilmiyah Qom secara umum (yang karenanya, ia dianggap menyempal dari arus utama pemikiran hawzah filsafat yang terkesan taken for granted terhadap Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’i). Di antara pemikir-pemikir filsafat produk Thabâthabâ’î di hawzah 'Ilmiyah Qom yang kini menjadi pelopor kebangkitan filsafat neo-Peripatetik atau post-Sadrian filsafat Islam adalah tokoh yang menjadi objek penelitian dalam disertasi ini. Dia adalah Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî.
P: 60
Sejak wafatnya Murtadha Mutahhari, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi figur pemikir produk hawzah 'Ilmiyah Qom yang paling menonjol dan produktif. Ia memainkan peran penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan wacana filsafat Islam yang berusaha mengharmoniskan antara Sadraisme, Masyyâ'iyyah (Peripatetisme Ibn Sina), filsafat modern, dan visi politik Khomeini yang berpijak di atas basis welâyat-e faqih (wilâyat al- faqih).(1) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat dianggap sebagai produk orisinal hawzah Qom yang diyakini mampu memberikan respons terhadap wacana-wacana pemikiran kontemporer, termasuk sejumlah aliran pemikiran modern dan pascamodern. Selain itu, ia berupaya untuk mendialogkan tradisionalisme dan modernisme dalam wawasan filsafat yang diproyeksikan pada terciptanya reformasi sistem pendidikan hawzah.
Berkat kiprah Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang berkolaborasi dengan Muhammad Legenhausen, pakar filsafat Barat yang ‘nyantri' di hawzah Qom dan menjadi sumber autentik tangan pertama’ filsafat Barat, berdirilah sejumlah pusat studi filsafat yang dikelola secara modern, yang mampu mencetak puluhan, bahkan ratusan sarjana rohaniawan sekaligus filsuf muda yang cukup produktif dan aktif menjadi narasumber dalam berbagai seminar keislaman lokal maupun internasional, menulis buku dan artikel di jurnal-jurnal, surat kabar, dan majalah. Mereka cukup bersemangat dan memiliki kemampuan berbahasa asing, terutama Arab dan Inggris. Sebagian besar mereka melengkapi studinya dengan menempuh dan merampungkan pendidikan formal di perguruan tinggi lokal dan internasional hingga meraih gelar doctor of philosophy (PhD). (2)
P: 61
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi Berkat usaha gigih Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, kini di hawzah 'Ilmiyah Qom, minat terhadap bidang studi filsafat Islam makin luas, dan wacana pemikiran Barat mulai dikaji secara mendalam. Pelajarpela- jar asing, termasuk dari Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya, juga ikut menekuni studi dalam disiplin ini. Mereka menghadiri atau mendengarkan rekaman kuliah-kuliah filsafat (dalam bentuk kaset atau compact disc) yang diajarkan dalam aneka bahasa, seperti Persia dan Arab. (1)
P: 62
Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî lahir di kota Yazd, Iran, pada 11 Bahman 1313 Hijriah Syamsiyyah,(1) bertepatan dengan 17 Rabiul Awal, 1353 Hijriah Qamariyyah (1934). Kehidupan ekonomi orang tuanya yang tinggal di rumah warisan neneknya terbilang sangat sulit. Berkat bantuan bibi, sang ibu membuka usaha jahitan kaus kaki di rumah, yang hasilnya kemudian dijual sang ayah di sebuah toko. Hal ini dilakukan demi kelangsungan hidup mereka. Uang yang dihasilkan dari usaha tersebut tentu masih jauh dari mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Karena itu, sang ayah terpaksa meminjam sejumlah uang untuk membuka usaha dagang Berkenaan dengan situasi saat itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menuturkan:
“Saya masih ingat makanan terbaik yang kami sukai dan seminggu sekali kami santap. Kala itu, sepulang dari madrasah, saya bersama saudara saya membeli yoghurt (susu fermentasi) seharga dua riyal. Lalu ibu saya membuat air gula dalam ukuran tertentu, untuk kemudian dicampurkan dengan lemak susu yang kami beli. Hal inilah makan malam terbaik di akhir minggu.(2)
P: 63
Masa kecil Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dihabiskan dalam keluarga religius yang hangat. Kemudian, setelah cukup usia, ia memasuki sekolah dasar demi memperoleh pendidikan dan pengetahuan yang lebih luas. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sangat menyukai dan mencintai ilmu pengetahuan, sampai-sampai dalam setiap ujian akhir setiap tahunnya, ia selalu terpilih sebagai yang terbaik. Ia juga termasuk murid yang sangat disukai dan dihormati para guru, termasuk kepala sekolah. Mereka terus memotivasi dirinya agar terus meningkatkan ketekunan dan keseriusannya dalam belajar agar kelak menjadi seorang ilmuwan terkenal di tanah airnya, Iran. Namun, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sejak awal sudah memendam cita-citanya sendiri, ia ingin men- jadi ahli agama.
Berkenaan dengannya, ada sebuah kejadian menarik. Saat sedang mengikuti pelajaran mengarang di kelas empat, ia diminta sang guru untuk menulis artikel pendek. Kemudian, dalam artikel yang ditulisnya itu, ia pun mengungkapkan keinginannya untuk belajar ke Najaf, Irak, demi mendalami ilmu agama. Tentu saja artikel itu mengejutkan gurunya.
Disebabkan teman-teman sekelasnya rata-rata bercita-cita menjadi pilot, perwira dan lainya, mereka pun menilai janggal cita-cita Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî.
Keterkejutan dan penilaian di masa tersebut bukan tanpa alasan.
Saat itu kebanyakan orang kurang menaruh perhatian pada ilmu- ilmu agama, kaum rohaniawan, dan tokoh-tokoh agama. Sistem pe- merintahan sekuler Reza Pahlevi yang represif telah memekarkan sikap ini lewat propaganda yang sangat gencar. Sebagian ulama pada masa itu umumnya terpaksa atau atas pilihan sendiri, menanggalkan profesinya sebagai mubaligh dan guru agama akibat stigma politik dan himpitan ekonomi. Dalam situasi dan kondisi sulit semacam itu, bila seorang saja menyatakan ingin menjadi seorang akhun (mulah, alim ulama), hal itu sudah cukup mengejutkan—malah dianggap punya keinginan yang bukan-bukan. (1)
P: 64
Selain lembaga pendidikan, serta pembinaan ayah ibunya, yang menarik Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mendekat ke kutub spiritualitas ada- lah pesona spiritual yang terpancar dari pribadi Ahmad Âkhûndî.
Figur rohaniawan yang mengagumkan dan dikenal sangat saleh ini tinggal di Najaf. Setiap kali menginspeksi Mauqufeh, sebuah lembaga pendidikan yang dikelolanya, ia selalu menyempatkan diri singgah di bilik (asrama) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang kala itu juga belajar di situ. (1) Kesantunan Ahmad dan konsistensinya dalam menjalani pola hidup spiritual benar-benar membuatnya terpesona. Lelaki tua itu terbiasa bangun di tengah malam, berwudu, lalu mengambil lentera dan pergi ke masjid, kemudian baru pulang ke rumah saat cahaya mentari mulai menerangi setiap sudut kota. Pengaruh ini makin mengental ketika Ahmad Âkhûndî mendorongnya menekuni pendidikan agama secara total. Dorongan itulah yang merajut semangat dan cita-cita besar Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, sekaligus membulatkan tekadnya untuk menimba ilmu di hawzah ’Ilmiyah, Najaf, Irak. Langkah pertama yang ditempuhnya adalah membekali diri dengan dasar-dasar ilmu yang kokoh.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî muda, pada tahun 1325—1326 Hijriyyah Syamsiyyah (1365—1366 H/1944–1945 M), berhasil merampungkan studi tingkat dasarnya. Waktu yang dinanti pun tiba.
Hasratnya yang bergelora untuk menimba ilmu-ilmu agama membuatnya menjauhi liburan dan rekreasi. Tanpa buang-buang waktu, ia segera saja mendaftarkan diri ke hawzah 'Ilmiyah Yazd di awal musim panas. Di situ, ia menghuni salah satu kamar Madrasah Syafi'iyyah-yang lokasinya persis di dekat alun-alun Khan. Meski kondisi hawzah kurang terawat, dengan bangunan yang mengalami kerusakan di sana-sini, termasuk
P: 65
kamar-kamarnya, di samping kurangnya tenaga pengajar (ustadz) dan tiadanya kurikulum yang sistematis, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî muda tetap tekun dan fokus melakukan mubahatsah (pembahasan) dan muthala'ah (telaahan). Hasilnya, dalam kurun waktu empat tahun, ia berhasil merampungkan studi tingkat pertama dan sathh mutawasith (menengah) sampai tahap mempelajari Rasâil (Farâ'id al-Ushûl) karya Anshârî dan al-Makâsib karya Akhud Khorasani dengan kesungguhan luar biasa. Umumnya, untuk menamatkan tingkat studi tersebut, diper- lukan waktu minimal delapan tahun.(1) Prestasi dan keberhasilannya ini sebagian besar disebabkan bantuan dan dukungan guru-gurunya, teristimewa almarhum Muhammad Ali Nûrî yang banyak meluangkan waktu untuk mengajarnya secara pribadi.
Selama proses belajar mengajar, Nûrî sering melontarkan sederet pertanyaan kepada muridnya itu atau memintanya merangkum pelajaran yang disampaikannya, untuk kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab. Setelah itu, ia memeriksa secara cermat catatan yang sudah dialihbahasakan tersebut.
Selain itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga belajar kepada sejumlah ulama. Muhammad Ali Nahwî yang memiliki kamar di Madrasah Syafi'iyyah adalah salah satunya. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga menekuni sastra (adabiyat) dan sebagian besar (pelajaran- pelajaran) tingkat menengah dari almarhum Nahwi. Adapun guru-guru lainnya adalah almarhum `Abd al-Hasan (penulis Syarh Nidham), almarhum ‘Alî Ridha Mudarisî (murid Dhiya' al-dîn 'Irâqı) yang mengajarinya sebagian Syarh al-Lum'ah al-Dimasyqiyyah dan Fara’id al-Ushul, dan Mirza Muhammad Anwârî, yang mengajarinya beberapa bab dari buku Qawânîn Ushûl.
Disamping menekuni pelajaran-pelajaran resmi hawzah, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga sangat bersemangat mencari kebenaran dan sedemikian mencintai ilmu dalam berbagai bidang. Ia, misalnya, mempelajari ilmu fisika, kimia, psikologi, dan bahasa Perancis di bawah
P: 66
bimbingan seorang ulama terkemuka bernama Muhaqiq Rasytî yang diutus ke Jerman oleh Borûjerdî.
a. Hijrah ke Najaf Pelajar muda ini ternyata menyimpan hasrat yang bergejolak besar untuk kembali belajar dan mengunjungi Ahmad Akhundî. Merasakan dan menyaksikan perkembangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang mengagumkan itu, Ahmad segera mendorongannya hijrah ke Najaf guna melanjutkan, mematangkan, dan menyempurnakan pendidikannya.
Ia juga menyarankan keluarganya untuk bersama-sama berhijrah dan bermukim di Najaf.
Disebabkan cintanya yang sangat besar kepada sang putra, akhirnya kedua orang tua Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî memutuskan untuk menjual rumah berikut segenap aset usahanya dan bertolak ke Najaf. Mulanya, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî berniat untuk bertolak lebih dulu ke Qom guna menuntaskan studinya. Namun, keluargan- ya sudah mengambil keputusan untuk pergi dan menetap di Najaf pada penghujung tahun 1330 Hijriah/1939 M.(1) Menurut rencana semula, pelajar muda ini akan menekuni dan memperdalam ilmunya tanpa dibebani apa pun sehingga dapat berkonsentrasi penuh; sementara kedua orang tuanya akan membuka usaha pemintalan benang di tempat baru itu. Namun, setelah enam bulan orang tuanya bekerja keras, kondisi ekonomi keluarga masih belum menunjukan perkembangan yang diharapkan. Padahal, ayahnya juga sudah membanting tulang dengan melakukan pekerjaan tambahan sebagai buruh kasar; tetapi keadaan ekonominya tetap saja tidak berubah.
Akhirnya, setelah merasa tidak ada lagi pilihan lain, mereka pun pulang kampung ke Iran. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memohon dengan sangat kepada orang tuanya agar mengizinkannya tinggal sendiri selama
P: 67
beberapa waktu di Najaf untuk melanjutkan studinya dan akan segera pulang ke Iran bila kondisi ekonomi keluarganya sudah pulih kembali. Namun, kedua orang tuanya, terlebih sang ibu, tidak men- gizinkannya. Muhammad Ali Sarabî dan `Ali Fanî Isfahani kemudian mendatangi rumah mereka dan meminta kedua orang tuanya membiarkan MuhammadTaqi Mishbâh Yazdî tetap tinggal di sana dalam beberapa waktu untuk melanjutkan studinya.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tampaknya memang sudah tidak ditakdirkan untuk tinggal di Najaf. Setelah menempuh segala cara untuk memperoleh izin orang tua dan selalu saja gagal, di akhir bulan Urdubehest atau awal-awal bulan Mordâd tahun berikutnya, setelah hampir setahun belajar di Najaf, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî bersama keluarganya bertolak ke Teheran. Karena kehidupan ekonomi keluarganya belum juga kondusif, sementara masa belajar sudah berakhir, ia bersama keluarganya sepanjang musim panas tahun itu menetap di Teheran. Selama di najaf ia sempat mengikuti kuliah Muhsin al-Hakîm(1), Mahmud Syahrudî, Abd al-Hâdî Syirazi(2), Istahbanâtî, dan Abû al-Qasim al-Khûî.(3) b. Hijrah ke Qom Setelah tinggal beberapa waktu di Teheran. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî kemudian memutuskan untuk kembali melanjutkan studinya. Pilihannya jatuh ke hawzah 'Ilmiyah Qom. Semula, niatnya dicegah orang tuanya yang mengatakan, “Kondisi kita masih belum mantap. Ayah masih belum punya penghasilan yang memadai untuk menyokong kamu melanjutkan studi.” Bukan cuma itu, orang tuanya bahkan meminta kaum kerabatnya yang sebagiannya adalah ulama untuk membujuknya agar mengurungkan niat belajar ke Qom (seraya berjanji bah- wa tahun depan, setelah tabungan keluarganya mencukupi, mereka akan membiayai studinya). Namun, ia tetap pada pendirian dan prinsipnya bahwa menempuh studi di hawzah merupakan kewajiban agama dan
P: 68
tidak ada sangkut pautnya dengan kerelaan orang tua. Setelah berkali- kali berbincang penuh santun dengan kedua orang tuanya seraya mengajukan alasan-alasan yang gamblang, akhirnya ia berhasil meyakinkan mereka.
Sambil menunggu dimulainya masa studi, Muhammad Taqi Mish- bâh Yazdî mengajar di sebuah sekolah musim panas dengan upah 60 tuman. Selanjutnya, 20 hari menjelang dimulainya masa pelajaran baru, ia segera bertolak ke Qom untuk menyiapkan semua kebutuhan belajarnya, termasuk kamar tidurnya (semacam mess khusus pelajar).
Namun, mendapatkan kamar di Qom bukanlah urusan mudah. Pada masa itu, terdapat sekitar dua, tiga madrasah kecil di Qom, dua madrasah besar dekat Haram (makam Fathimah Ma'shumah, adik Ali Ridha, im- am kedelapan Syi'ah) Madrasah Faidhiyyah dan Madrasah Hujatiyyah.
Besar kemungkinan, kedua madrasah besar itu menyediakan kamar ba- ginya bila ia menempuh studi di situ. Namun, ia dipastikan tidak akan mendapat kamar bila menempuh studi di Hujatiyyah yang kala itu baru dibangun. Karena syarat untuk mendapatkan kamar di situ, seorang pelajar harus sudah berusia 20 tahun, sementara dirinya masih 19 tahun.
Pilihan pun jatuh pada Madrasah Faidhiyyah.(1) Setiap hari, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengikuti empat mata pelajaran. Pada pagi hari, ia mengikuti kuliah Makasib yang disampaik- an Murtadhâ Hairi di rumahnya. Setelah itu ia mengkaji jilid pertama buku Kifayah di bawah bimbingan Abd al-Jawad di Masjid Isyq’ali dan dilanjutkan dengan mendiskusikan materi yang telah diajarkan bersama rekan-rekannya. Kemudian, sore harinya, ia mengikuti kuliah jilid ke- dua penulisan buku Kifâyat al-Ushûl yang disampaikan Murtadha Hairi di rumahnya. Mata kuliah lain yang diikutinya adalah studi kitab al- Mandhûmah. Ia menghabiskan waktu seharian untuk menekuni semua mata kuliah itu. Malam harinya, sekitar lima sampai enam jam, ia ber- istirahat dan memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan lain.
Kendati banyak kendala dan kesulitan yang harus dihadapinya, ia tetap bersemangat dan berkonsentrasi penuh terhadap studinya.
P: 69
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, meski dengan segala kepayahan tersebut, dalam kurun setahun berhasil merampungkan studi tingkat suthuh-nya. Pada tahun berikutnya, ia mengikuti pelajaran Bahtsul Kharij dalam bidang fiqh dari Burujerdi dan Bahtsul Kharij bidang ushul fiqh dari Khomeini.
Setelah usianya menginjak 20 tahun dan memenuhi syarat diterima di Madrasah Hujatiyyah, ia pun memperoleh fasilitas kamar tidur. Sejak itu, ia berkenalan dengan sejumlah ulama besar, seperti Khomeini, Thabâthabâ’î, dan Behjat yang diakuinya sebagai karunia Tuhan yang sangat besar. Ia pun menyadari bahwa kepergiannya dari Najaf ke Qom merupakan sebuah keberuntungan.(1) Mir Sepah, salah satu murid Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, juga pernah menyebut-nyebut sosok Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî (yang disarikan dari hasil wawancara dengannya). Ia berkata:
“Saya akan tunjukan, siapa sebenarnya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, dan ini bukan basa-basi atau berlebih-lebihan. Banyak hal yang berkaitan dengan (keistimewaannya) yang tidak dapat saya sampaikan di sini. Namun, untuk membuktikan itu, saya akan memberikan beberapa contoh sekadarnya.”:(2) Mir Sepah menuturkan sebagai berikut:
“Saya masih ingat kalau saya pernah menyampaikan keberatan (kritik) dan Anda pun menanggapinya. Namun saya belum puas terhadap jawaban Anda. Selepas kuliah, saya segera menemui Anda di salah satu ruang istirahat yang biasa digunakan untuk minum teh.
Lalu saya menyampaikan kembali ketidakpuasan saya. Anda pun memberikan jawabannya. Namun karena belum juga merasa puas,
P: 70
saya kemudian berkata, “Mengapa jawaban Anda tidak meyakinkan saya!” (1) Ungkapan semacam ini barangkali dapat menyinggung perasaan seseorang, namun Mir Sepah malah mengatakan:
“Tahukah Anda, mengapa jawaban saya tidak memuaskan Anda?” Alasannya, saya memahami kata-kata yang saya ucapkan seperti ini, sementara Anda memahaminya secara lain. Karena itulah jawaban saya sama sekali tidak relevan dengan kritik dan keberatan Anda.
Untuk menyelesaikan masalah ini, marilah kita menyamakan persepsi mengenai istilah tersebut.” Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî berkata, “Sejenak saya merenung.
Lalu saya pun menyadari bahwa ia (Mir Sepah) memang benar, sebenarnya persoalan itu berkisar pada pemahaman masing-masing terhadap istilah tersebut.” (2) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga mengatakan bahwa tidak jarang ia menemui kesulitan dalam mencerna satu atau lebih kuliah yang disampaikan, yang kemudian diajukan kepada gurunya. Kemudian Mir Sepah dengan suka hati memberikan jawaban. Hal ini sebagaimana dikemukakan sendiri oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî:
“Memang, tidak seperti dugaan orang yang tidak memahaminya, ia (Mir Sepah) bukanlah guru yang tidak bertanggung jawab dan arogan di hadapan orang lain. Ia seorang penyabar, terbuka, dan selalu menanggapi kritik-kritik yang kami lontarkan. Namun sembari itu, ia juga berusaha meluruskan kesalahan kami secara cermat... Umpama, beberapa kali ia mengatakan kepada saya, “Coba perhatikan konteks maknanya.' Lalu, setelah itu, kami pun baru memahami bahwa sebenarnya pertanyaan atau kritik itu tak perlu lagi dilontarkan
P: 71
karena kami sendiri sudah menjawabnya!”(1) Pada kesempatan lain, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî kembali mengungkapkan pengalamannya, "Saya juga masih ingat dalam sebuah dialog yang dihadiri Mir Sepah, yang membahas masalah kemasyarakatan, di mana setiap orang mengajukan kritik dan pendapatnya. Sekalipun acara dialog sudah hampir selesai, Mir Sepah masih tetap terdiam. Lalu seseorang menghampirinya dan menanyakan pendapatnya. Saat itu pula, ia malah melontarkan sejumlah kritik yang sangat gamblang dan bermanfaat bagi kami. Semua itu dikemukakannya dengan cara yang benar dan bagus. (2) Ia mengatakan:
“Kalau kalian ingin mengkritik seseorang, pertama-tama yang harus kalian lakukan adalah menempatkan diri pada posisi orang tersebut. Saat itu kalian dapat membayangkan yang telah kalian lakukan dan yang dapat diperbuat, lalu kritiklah.' Nasihat ini ditujukan kepada semua yang hadir dalam acara tersebut. Mereka semua sangat terkesan ke- padanya lantaran telah mengingatkan mereka untuk bersikap cermat dan hati-hati dalam menilai.”(3) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengawali profesi mengajarnya secara terprogram di Madrasah Haqqânî (Madrasah Montadhiriyyah).
Selain menempa daya nalar, ideologi, dan loyalitas sejumlah murid agar berguna dan menjadi kader-kader masa depan pemerintahan Islam, ia juga mengajarkan al-Qur'an, tafsir, dan filsafat. Kuliah tafsir dalam tiga tingkat, digabungkan waktu penyampaiannya dengan kuliah
P: 72
akhlak dan pendidikan bertema mengenal diri untuk membentuk diri. (1) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga anggota dalam kuliah tentang Falsafatunâ (Filsafat Kita) karya Muhamad Bâqir Shadr dan Bidâyat al- Hikmah karya Thabâthabâ’i selama 10 tahun. Setelah beberapa waktu bekerjasama dengan Yayasan Rah-e-Haq, atas usulan Mohsen Kharrâzî, dibentuklah divisi pendidikan di bawah yayasan tersebut. Sejak itulah, ia mengajarkan Falsafatunâ, Iqtishâduna (Ekonomi Kita), Nihâyat al- Hikmah, dan tafsir tematik.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi guru pertama yang mengajarkan karya-karya tersebut, yang kemudian dijadikan sebagai modul. Sebelumnya belum pernah ada buku daras hawzah 'Ilmiyah yang membahas pemikiran-pemikiran filsafat modern. Selain itu, ia juga menggunakan buku Dasar-dasar Filsafat dan Metode Realisme Thabâthabâ’î, namun disebabkan buku-buku tersebut berbahasa Persia, maka pihak hawzah belum mengakuinya sebagai modul. Di luar kegiatan mengajarnya yang teratur dan sistematis di Madrasah Haqani dan Rahe- Haq, ia juga mengajarkan karya-karya filsafat secara komprehensif, seperti Asfar Arba'ah, kepada para peminatnya dalam kuliah khusus filsafat.
Berkenaan dengan metode dan bobot kuliah yang disampaikan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, sejumlah kolega dan muridnya memberikan komentar dan kesaksian di bawah ini.
Fayyadhi menuturkan, “Kuliah-kuliah, khususnya kuliah-kuliah bertema makrifat dan ‘mengenal diri untuk membentuk diri sedemikian (berbobotnya) sehingga kami merasa bahwa tema-tema ini tak pernah diberikan di hawzah mana pun. Pengetahuan al-Qur'an—seperti yang diajarkan,
P: 73
dengan bersumberkan pada keimanan dan keyakinan terhadap ilmuilmu agama dan kepercayaan pada Mahdi—memiliki pengaruh yang sangat khusus. Pelajaran-pelajaran ini sangat diperlukan semua institusi hawzah, supaya para pelajar tidak terbius dan tergelincir dalam aliran kanan atau kiri dan mampu melangkah di jalur agama yang lurus."(1) Sementara Muhammad Garwi mengatakan, “Pelajaran akhlak dan al-Qur'an yang diberikan sebetulnya mencerminkan kepribadiannya sendiri—tanpa sedikitpun mengurangi dan berlebihan memuji—sangat memberi pengaruh yang sangat luar biasa. Ia sedemikian rupa membentuk karakter pikiran dan kepribadian sahabat-sahabatya sehingga semua temante- man kami, di mana saja berada, menjalani kehidupannya dengan prinsip-prinsip yang ditanamkan lewat kuliah-kuliahnya. Saya tidak lupa bagaimana seorang teman begitu tertarik dengan kuliahnya, sampai-sampai selama seminggu, ia selalu menunggu tibanya hari Kamis dan mengikuti kuliah akhlaknya. Sebagian muridnya bahkan mendapatkan pengalaman rohani saat kuliah berlangsung, karena memang, kuliah yang disampaikannya sangat menyentuh hati. ”(2) Mahmud Rajabi juga memberikan komentarnya, “Begitu kuliah periodik dibuka di Institut Rahe-Haq, proses pengenalan saya terhadapnya segera dimulai. Saya mengikuti sebuah tes penerimaan murid baru dan lulus. Dari semua kuliah sebelumnya dan sebagian besar materi yang disampaikan dalam kuliah-kuliah sejumlah guru, saya mendapatkan manfaat darinya. Kalau saya punya suatu kelebihan, maka itu tak lain berkat kuliah yang disampaikannya di sana. Semua itu diakui teman-teman yang mengikuti kuliah
P: 74
tersebut. Semua orang mengakui bahwa materi ulum al-Qur'an dan pengenalan diri serta materi filsafat membentuk perjalanan hidup dan sangat memengaruhi mereka. Meminjam ungkapan seorang teman, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî adalah kebenaran hidup yang melilit di leher kami.' Kehidupan spiritual, daya analisis, dan semangat kami sangat berhutang besar pada percikan pemikiran Islam yang benar dan kokoh.”(1) Selanjutnya, Mahmud Rajabi mengungkapkan seputar kepakaran dan kecendekiaan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang tercakup dalam tiga hal dan terpaut dengan dimensi intelektualnya:
1. Pembaharuan dalam konteks pembinaan dan pendidikan manusia.
2. Kegiatan-kegitaan penelitiannya.
3. Siapa pun yang jeli membaca dan merujuk karya-karyanya yang berkenaan dengan filsafat, teologi, dan tafsir, akan menemukan adanya gagasan-gagasan baru.(2) Dalam bidang pendidikan dan pembinaan, terdapat beberapa hal yang patut digarisbawahi. Pertama-tama, harus dipahami lebih dulu, apa itu manusia berikut segenap potensinya. Selanjutnya, mesti dilakukan survei seputar kebutuhan dan motif individu. Kedua hal ini merupakan faktor kunci dalam pelaksanaan program pendidikan. Bila pembinaan pribadi tidak diberangi dengan pemahaman tentangnya, berikut potensi- potensinya, niscaya rencana dan program tersebut tidak akan selaras dengan kondisi audiens (peserta), dan dipastikan bakal gagal. Seperti itu pula bila kebutuhan-kebutuhan masyarakat tidak diperhatikan sehingga tidak diketahui kelemahan dan kekurangannya, baik dari segi keagamaan maupun problematika wacana pemikiran, politik, dan sosial, serta tidak berusaha memahami kendala-kendala tersebut, maka kinerja dan upaya mendidik pribadi-pribadi serta tekad untuk mengoperasikan tema-tema penelitian, niscaya akan sia-sia belaka. Sosok-sosok hasil binaan itu umumnya tidak akan berguna bagi masyarakat.
P: 75
Menurut pengamatan Rajabi, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sangat memperhatikan dua tema pokok tersebut. Untuk itu pula, ia banyak memikirkan dan merancang persiapan-persiapan untuk menggapai tujuan-tujuan tersebut, misalnya dengan mengadakan program-program pendidikan dan penelitian. “Saya kira,” lanjut Rajabi, “kalau tidak mengatakan yang paling berhasil, setidaknya lembaga yang relatif berhasil memenuhi kepentingan masyarakat Muslim untuk mengenyam ilmu-ilmu keislaman melalui proses pembinaan pribadi-pribadi manusia adalah Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini yang dipimpin oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî.” Dalam proses pendidikan dan pembinaan yang dilaksanakan lem- baga ini, Muhammad Taqi Mishbâh_Yazdî pertama-tama membentuk suatu kelompok dengan sejumlah tujuan yang telah direncanakan dan diidentifikasi melalui individu-individu tertentu, yaitu guru-guru hawzah. Kepada mereka lalu dikenalkan, siapa saja di antara pelajar atau murid terbaik yang diketahui masing-masing. Tokoh-tokoh seperti Ahmadî, Kharrazî, dan lainnya menunjuk pelajar-pelajar (talabeh) yang mereka kenal baik. Orang-orang yang disebutkan antara lain Muham- madî ‘Araqî, Fayadhî, Garwî, Mirsepâ’h, Syabzendehdâr, dan Mumin.
Mereka adalah para pelajar yang selama bertahun-tahun bertekun di tingkat khârej (tingkat studi tertinggi) fiqh dan ushul fiqh. Hal ini juga diakui para pakar. Mereka juga diharuskan menempuh ujian tulis. Namun jen- jang ujian tulis juga belum dianggap memadai. Oleh karena itu, mereka yang lulus tes tertulis harus menghadapi tes wawancara langsung, dengan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sendiri yang bertindak seba- gai pewawancara. Saat itu, masing-masing pelajar itu diuji secara serius dengan meminta mereka menerangkan materi pelajadan kharej. Dengan demikian, kondisi para kandidat itu dapat diketahui dari semua sisi, baik dari segi potensi, kemampuan, kapasitas, serta latar belakangnya.
Setelah berhasil lulus dari seluruh rangkaian ujian itulah, mereka baru dinyatakan diterima dan berhak mengikuti perkuliahan.
P: 76
Selain berpengetahuan mendalam dan berwawasan luas, serta memiliki jaringan dengan sejumlah figur besar, seperti almarhum Behesyti, Qudûsî, dan lainnya. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga kerap melakukan kontak dan berkomunikasi dengan sejumlah tokoh penting, seperti Ahmadî—karena ia juga aktif mengajar di universitas.
Selain itu, mengingat kalangan pejabat Republik Islam Iran sesekali harus bepergian ke berbagai negara, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengungkapkan soal pentingnya sekarang ini menguasai bahasa Inggris, selain bahasa Arab tentunya.
Sebagaimana kesaksian beberapa muridnya, selama mengikuti kuliahnya (pendidikan dan pembinaan), mereka sama sekali belum memahami bila segenap apa yang mereka cecap kelak akan berguna.
Kini, mereka baru memahami bahwa seluruh rangkaian kuliah yang disampaikan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî berpengaruh besar dalam memuaskan kebutuhan nalar masyarakat. Hal inilah bukti dirinya telah berhasil memahami kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya di masa depan dan telah merancang program dan perencanaannya dengan begitu apik- berikut pengukuran, survei, dan riset yang cermat.
Semasa mengikuti proses pendidikan, para pelajar diberi mater- imateri filsafat yang sangat melimpah ruah, khususnya filsafat komparat- if yang dimaksudkan untuk menelaah masalah-masalah dan pandangan- pandangan filsufis baru dan aktual. Untuk itu, misalnya, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî memilih buku Falsafatuna, juga Iqtishaduna (keduanya karya Baqir Shadr) sebagai text-book perkuliahan, dengan alasan untuk membandingkan aliran-aliran filsafat kontemporer atau mengenali lebih jauh masalah-masalah Kapitalisme dan Marxisme. Kupasan mengenai semua itu, secara rasional, dikaitkannya dengan prinsip-prinsip kerja.
Selain itu, ia juga menyampaikan materi kuliah ilmu-ilmu al-Qur'an.
Hal ini diorientasikan untuk membangun pilar-pilar pemikiran kalangan pelajar yang kelak menjadi para ilmuwan, di atas basis pandangan al-Qur'an. Di sela-sela program pendidikan ini juga dis- ampaikan ragam metodologi rasional, termasuk cara menghadapi dan
P: 77
mengatasi masalah-masalah naqli, seraya pula mendorong para pelajar untuk giat melakukan penelitian.
Dalam hal ini, metode mengajar Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memiliki kekhasan. Umpama, dalam setiap pertemuan, ia menetapkan dua atau tiga orang dengan cara diundi untuk memaparkan ringkasan kuliah.
Cara ini ternyata sangat efektif, mendorong setiap orang belajar dengan sungguh-sungguh dan melakukan telaah secara cermat. Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî juga acapkali meminta murid-muridnya melakukan penelitian dengan beragam metode. Selain itu, ia kerap menyuruh muridmuridnya mengkaji dan merangkum kuliah-kuliah yang disampaikannya; lalu ia sendiri yang memeriksa hasilnya seraya mem- berikan catatan pinggir (hâsyiyah) secukupnya. Ia juga sering memberi motivasi, misalnya, dengan cara meminta semua murid melakukan sebuah penelitian dalam setahun, untuk kemudian memberikan hadiah bagi hasil penelitian terbaik. Dalam menyampaikan kuliah filsafat, khususnya filsafat modern, ia selalu menunjukkan sumber-sumber rujukan yang digunakannya. Pernah suatu ketika, setelah menyampaikan kuliah seputar metode Realisme dan mendiskusikannya dalam beberapa pertemuan, ia menyuruh murid-muridnya menelaahnya lebih jauh dan menuangkannya dalam bentuk makalah dengan mengandalkan buku- buku yang sudah disebutkannya. Dalam perkuliahan seputar al-Qur'an, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengulas tafsir tematik tentang tema- tema seperti makrifatullah, mengenal al-Qur'an, dan memahami manusia.
Setelah itu, biasanya ia menyebutkan sejumlah ayat yang berkenaan dengan salah satu tema tersebut, dan meminta murid-muridnya mengklasifikasi, menganalisis, dan menyimpulkan muatan yang dikandung ayat-ayat tersebut (lalu ia sendiri yang memeriksa hasilnya dan memberi penilai- an). Pada tahap berikutnya, ia menyodorkan sebuah tema kepada murid- muridnya seraya meminta mereka menentukan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema dimaksud, untuk kemudian mengembangkan dan mengu- lasnya secara mendalam.
P: 78
Kelebihan lain yang dimiliki Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî adalah kemampuannya dalam mengembangkan nalar dan menjadikan cara berpikir para calon ilmuwan lebih fokus, logis, sistemis, dan sistematis (sebagaimana dirinya). Semua itu diperagakan lewat kuliah-kuliahnya selama masa studi. Hasilnya, para calon ilmuwan ini pun menjadi terlatih dan lebih sistematis (dalam berpikir) serta mampu bersikap rasional sehingga sanggup mengurai pernyataan yang berbelit-belit dan tidak sistematis. Hal inilah salah satu warisan berharga yang benar-benar dirasakan murid-muridnya selama ini.
Selain itu, gaya dan retorikanya dalam menyampaikan materi kuliah juga sangat memikat—selain isinya memang sangat mencekam dan mengakibatkan murid-muridnya selalu berhasrat untuk terus mengikuti kuliah-kuliahnya. Misalnya, kuliah bertema ‘mengenal diri untuk membentuk diri’. Tema kuliah ini disampaikan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dengan sangat ilmiah, namun juga dibarengi dengan pancaran aura akhlak, sehingga murid-muridnya sempat hanyut secara spiritual. Demikian pula dalam perkuliahan filsafat. Ia benar-benar mampu merangsang dan menghidupkan (nalar) murid-muridnya yang terus fokus dan antusias menyimak kupasannya yang sedemikian memesona sejak awal sampai akhir. Hal ini menggambarkan kemampuan intelektual Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî yang sangat luar bi- asa; sebentang kemampuan yang sangat bagus dalam hal menguraikan tematema perkuliahan dan dengan gaya yang pas.
Ciri khas lain Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam mengajar dan berceramah metode pembahasannya yang selalu disertasi solusi dan jawaban atas sejumlah kesalahpahaman (syubuhât), tanpa memberi celah sedikit pun bagi kemungkinan munculnya jenis kesalahpahaman lain di benak audiensnya. Sementara itu, banyak pihak yang berusaha melontarkan jawaban terhadap satu kesalahpahaman (syubuhât), pada saat yang sama, secara sadar maupun tidak, justru menciptakan syubuhat lain yang lebih rumit dalam pemahaman audiens.
P: 79
Berkenaan dengan modal intelektual Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ia memiliki tingkat kecermatan, semangat keilmuan, dan ketekunan yang sangat tinggi. Dalam melakukan riset ilmiah dan pemikiran, ia cukup tekun. Selain itu, analisisnya selalu tajam dan penarikan kesimpulannya relatif sangat akurat. Ia sering mengatakan kepada murid-muridnya bahwa untuk menuntaskan persoalan-persoalan yang dihadapi, mereka harus memulainya dari aksioma-aksioma yang ada. Berkat prinsip ini, kerumitan pembahasan seputar ayat-ayat mutasyabihat al-Qur'an dapat diuraikan. Satu demi satu misteri yang dikandung ayat-ayat tersebut dapat diungkap dan terdefinisikan, sehingga maksud yang dikandungnya dapat dipahami dengan jelas. Hal inilah metode yang tepat untuk menganalisis semua persoalan.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga memiliki kemampuan untuk memilah secara tegas, antara metode dan isi atau kandungan pen- getahuan. Dalam salah satu kuliahnya, ia pernah mengutip ayat ke-7 surah Ali Imran yang mengatakan: Dan orang-orang yang memiliki kekokohan dalam ilmu mengatakan, ya tuhan kami, kami beriman ke- pada semua dari sisi tuhan kami. Maksud kata râsikh (orangorang yang kokoh dalam ilmu), menurutnya, adalah orang-orang yang memahami batasan setiap ilmu, termasuk batas-batas ilmu manusia. Orang- orang semacam ini juga mengetahui bahwa mayoritas keterangan yang tercantum dalam al-Qur'an (yang disampaikan Tuhan) berada di luar kemampuan mereka. Tak ada lain bagi mereka kecuali meyakini bahwa semua itu hak atau benar adanya. Yang dimaksud dengan kokoh (rusukh) dalam ilmu, menurutnya, adalah “saya tahu betul batas-batas pengetahuan saya Dalam pada itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sering mewanti- wanti agar seseorang tidak sampai menyimpulkan bahwa disebabkan filsafat menyatakan suatu persoalan sebagai begini dan begitu, maka sudah seharusnya ayat juga mengatakan hal yang sama. Padahal persoalan filsafat memiliki kekhasan, begitu pula persoalan-persoalan yang
P: 80
berkenaan dengan ayat-ayat suci al-Qur'an. Akibatnya, banyak mufasir yang menciptakan bias dalam karya-karya tafsirnya. Apabila terbilang ahli sastra, seorang mufasir akan lebih banyak berbicara tentang keindahan sastrawi ayat-ayat al-Qur'an dan melahirkan kesimpulan beraroma satra.
Bila tergolong filsuf seperti Mullâ Sadrâ, niscaya sang mufasir akan cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an secara filsufis, yang hasilnya boleh jadi berbeda atau sangat jauh dari maksud asli ayat-ayat tersebut.
Nah, dalam konteks ini, metode tafsir yang dikembangkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî benar-benar berbeda, khas, proporsional, dan nyaris tidak dipengaruhi bidang utama keahliannya, yaitu filsafat dan pemikiran.
Perlu dicatat bahwa dalam bidang tafsir, ia acapkali menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan tingkat akurasi dan kecermatan yang mengagumkan.
Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî juga cukup menonjol dan berbakat dalam bidang riset dan penelitian. Ia selalu mampu bersikap netral, objektif, dan begitu menghargai bidang-bidang ilmu lainnya. Minat dan selera pribadinya tidak pernah menodai kerja risetnya. Memang, ia merupakan filsuf dan sangat bertalenta dalam bidang ini. Namun begitu, sebagaimana telah dikatakan, kecenderungan ini sama sekali tidak memengaruhi sedikit pun kegiatannya dalam bidang tafsir.
Dalam menanggapi, menerima, atau menolak suatu pendapat, ia selalu melontarkan kritik, menerima, atau menolaknya dengan cara yang sangat ilmiah, gamblang, terbuka, dan terbilang fair (tetap menghargai dan mempertimbangkan posisi lawan).
Meski terlihat sebagai sosok yang santun, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tergolong pemberani sehingga acap kali melakukan terobosan dan menciptakan kreasi dalam bidang pemikiran. Ia tidak segan-segan menerima kebenaran suatu pendapat dan mengakuinya (sebagai kebenaran) dalam waktu lama. Namun bila kemudian mengetahui adanya sejumlah kelemahan yang dikandung dalam pendapat tersebut, maka ia juga tidak akan segan-segan mematahkan dan menolaknya, seraya menyodorkan alternatif lain yang tentu saja dilandasi dengan sejumlah argumen rasional.
P: 81
Selanjutnya, Rajabi juga menyebutkan beberapa terobosan baru Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam bidang pemikiran:
Pertama, menemukan dan mengajukan pendapat-pendapat baru.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memiliki sejumlah pendapat baru, baik dalam bidang filsafat, ilmu-ilmu (al-Qur'an), maupun tema-tema sosial politik. Namun, sayangnya belum dikemukakan atau diuraikan, secara lugas dan gamblang.
Kedua, terobosannya dalam bidang sistematisasi gagasan. Sudah umum diketahui bahwa relasi atau keterkaitan antarsebagian besar ga- gasan-gagasan Islam masih terlihat samar satu sama lain. Dalam hal ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî telah membangun sebuah skema baru yang lebih sistematis untuk mengungkapkan dan menunjukkan adanya jalinan dan keterkaitan antargagasan-gagasan tersebut.
Ketiga, mentradisikan penyusunan buku daras (text-book) perkuliahan.
Dalam hal ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi orang pertama yang menulis dan menyusun buku-buku kuliah akidah dan filsafat dalam bentuk text-book. Tulisan-tulisannya itu, selain padat, cermat, sistematis, dan sangat indah, juga enak dibaca. Jelas, ini merupakan terobosan baru dalam tradisi perkuliahan di hawzah.
Haqani Behesyti dan Qudusi mendirikan madrasah baru dengan program- program baru agar dapat melahirkan lulusan yang matang dan siap dalam waktu yang singkat. Madrasah ini dibawah pengawasan Golpaegânî.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî bergabung dengan kelompok ini se- cara aktif dengan memberikan masukan-masukan yang sangat berharga.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam kelompok ini diangkat sebagai anggota Dewan Syura. Kesempatan yang sangat baik ini digunakan oleh profesor dan sahabat-sahabatnya untuk mencurahkan segala kemampuan dalam melatih para cendekiawan masa depan Republik Islam Iran
P: 82
Ia mendirikan lembaga ini sebelum Revolusi Islam Iran dengan mengemban amanat untuk menolak tuduhan dan serangan-serangan agama kristen yang bisa merusak akidah para mahasiswa dan para pela- jar Iran. Pendiri utamanya adalah Muhsin Kharazi, salah seorang profe- sor dan mujtahid terpandang dari hawzah. Kemudian di akhir dekade 40-an, menyusul berkembangnya paham marxisme di Iran dan keter- tarikan para pemuda Iran kepada paham Materialisme dan Material- isme, (1) datanglah rombongan para tokoh agamawan Tehran yang anak- anak mereka terjerat dengan ajaran-ajaran ini ke hawzah-hawzah dan juga termasuk ke Institut Râh-e Haq. Para penanggung jawab menyusun strategi untuk menerbitkan majalah yang bisa memberikan jawaban atas kekeliruan berpikir Paham marskisme dan materialisme. Untuk mereka mengundang para tokoh dan cendekiawan dari hawzah termasuk Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sendiri.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengawali kiprahnya di yayasan tersebut dengan menulis artikel dengan judul Pasdari az Sanggarha-ye Ideologi (Membela Prinsip-prinsip Ideologi). Kemudian ia juga mengu- sulkan kepada para talabeh untuk membentuk divisi pengajaran yang bergerak dalam bidang pemikiran dan mempertahankan akidah islam.
Sebelum memulai aktivitasnya, ia ingin menimba pelajaran dari neg- aranegara islam dalam melawan pemikiran-pemikiran Asing. Untuk itu ia bersama Ahmadi yang juga mengadakan kerja sama dengan yayasan Rahehaq berkunjung ke Mesir, Lebanon, dan Suriah. Namun ternyata di neg-ara-negara itu tidak ada program baru dalam bidang tersebut.
Akhirnya ia berinisatif sendiri untuk menggerakan aktivitas divisi pen- didikan. Untuk itu ia merekrut para talabeh yang memiliki perhatian
P: 83
dan minat yaitu para talabeh yang telah sampai kepada pelajaran khraej, untuk dibina selama 8 tahun dengan pelajaran-pelajaran akidah dan prinsip-prinsip Islam. Syarat untuk diterima dalam proyek pendidian ini adalah talabeh yang telah mengikuti pelajaran kharej selama 10 tahun.
Dalam program ini profesor adalah guru yang paling aktif menga- jar. Materi-materi yang diajarkan dalam program ini meliputi Falsafa- tuna, Nihâyat al-Hikmah, tafsir tematik al-Qur'an, tema-tema psikologi dan ilmu-ilmu al-Qur'an. Para dosen lain juga diundang untuk ikut serta memberikan kontribusinya seperti Hosein Mazhaherî dalam bidang pengajaran ushul fiqh, Ali Taskhîrî dalam bidang pengajaran bahasa Arab, dan juga Ahmadi yang mengajarkan bahasa Inggris. Setelah kemenan- gan revolusi Islam Iran, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî beserta para pengurus Yayasan Rahe-Haq seperti Muhammad Gîlanî mengadakan pertemuan dengan Khomeini. Dalam pertemuan tersebut Khomeini meminta agar Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî meneruskan program-program Yayasan Rah-e Haq. Ia sendiri mengatakan, “Yang di sana teruskan dan kembangkan, selama aku masih hidup aku akan membiayainya.”
Salah satu peran penting Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî adalah mendirikan biro kerjasama Hawzah-Universitas. Biro ini dibuat atas saran Khomeini agar cita-cita dan aspirasi revolusi Islam Iran bisa bersemi. Ia mengatakan, bahwa di tahun-tahun pertama kemenangan revolusi ketika universitas-universitas masih libur, dibentuklah sebuah Pusat Kebudayaan Revolusi demi memberikan warna islam kepada perguruan tinggi. Tugasnya adalah melakukan evaluasi atas buku-buku Di perguruan tinggi, Khomeini sangat menggarisbawahi usaha ini dan meminta dukungan dari haw zah-hawzah. Untuk melaksakan saran Khomeini ini, sebuah tim dikirim ke hawzah dan juga ke istitut Rah-e Haq. Kemudian diadakan pertemuan yang juga dihadiri oleh Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî untuk membuat program yang lebih praktis dan efektif.
P: 84
Institut ini didirikan untuk menampung lulusan Yayasan Rahe Haq yang ingin meneruskan kuliah dalam bidang mata pelajaran ilmu-ilmu sosial dan kajian perbandingan antara ragam paham dan pandangan Is- lam
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî juga sangat aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan keilmuan, politik dan kebudyaan di luar Iran (ada 30 negara yang dikunjunginya). Selama dalam perjalanan di luar negeri, ia tidak pernah lalai dalam menyampaikan misi dan nilai-nilai Islam serta kewajiban untuk mempertahakankan nilai-nilai tersebut.
Melakukan penelitian dan riset dalam berbagai bidang disiplin ilmu seperti fiqh, ushul fiqh, tafsir, filsafat, dan juga mata kuliah-mata kuliah perguruan tinggai dalam bidang ilmu sosial dan bahasa asing (Inggris dan Perancis)
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mempelajari ilmu fiqh dari para guru hawzah terkemuka seperti Burujerdi, Araki, Khomeini dan Behjat, dan ia berhasil meraih hadiah dari Burujerdi dan kemudian mencapai posisi ijtihad (mujtahid). Atas dasar ini bisa disimpulkan bahwa ia juga memiliki penelitan dan kajian yang mencukupi mendalam dalam sub materi pelajaran yaitu seperti ushul fiqh, rijal dan dirayah.
Menurut Mahmud Rajabi, dalam bidang tafsir di hawzah 'Ilmiyah Qom-Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî selama 8 tahun secara aktif
P: 85
Pemikiran Filsafat Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi mengikuti pelajaran fiqh dari Burujerdi. Dalam tes/imtihan pertama level kharej yang diadakan oleh Burujerdi dan yang memberi imtihan adalah Sulthani dan Muqadasi Araki, ia berhasil menjadi seorang pelajar yang istimewa, berprestasi sangat baik. Malahan sebagian dosen mengusulkan bahwa kalau ia meneruskan pelajatan itu empat tahun lagi, maka ia pasti akan mencapai derajat ijtihad.
Tidak lama kemudian ramalan ini terbukti. Dalam usia 27 tahun ia mencapai derajat ijtihad, tapi dalam waktu yang sama ia juga tetap meneruskan mengikuti pelajaran-pelajaran Fiqh dan ushul dari Khomeini selama 8 tahun dan 15 tahun mengikuti pelajaran fiqh dari Behjat dan 2 tahun mengikuti pelajaran dari Araki.
Behjati (imam Jumat Urdukan) berkomentar tentang mubahasah ini:
Pertemuan-pertemuan ini adalah diskusi (mubahasah) yang sangat serius untuk menetapkan (itsbat) kewajiban berjuang (mubarazah) di zaman dan situasi seperti itu, mereka ingin membuktikan bahwa secara fiqh perjuangan yang digelorakan oleh Khomeini adalah wajib karena, pilar-pilar islam sedang dalam keadaan bahaya. Saya ka- dangkadang sesekali ikut dalam mubahasah tersebut. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sangat antusias supaya diskusi terus berlanjut dan memang kemudian dilanjutkan. Di masa itu efek, hasil dari mubahasah memang tampak dalam jenjang studi. (1)
Mengenal ‘Thabâthabâ'î banyak mendorong Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî untuk lebih memaksimalkan usahanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur'an dan tafsir. Pada awalnya ia banyak mengikuti pelajaran tafsir Alamah dan dengan bimbingan dan pengajarannya secara khusus. Ia bisa lebih mendalami al-Qur'an dan menguasai susunan- susunan ayatnya yang sangat indah. Ia sendiri menjadi seorang ahli dalam al-Qur'an dan karena semakin matang, maka Alamah ingin meminta
P: 86
bantuan pandangan-pandangan dan ketajaman analisisnya, untuk itu ia menyerahkan pembacaan kembali tafsir Al-Mizan kepadanya sebelum naik cetak.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sendiri menganggap kepercayaan Thabâthabâ’i ini sebagai kebaikan hati (lutf) dan kerendahan hatinya. Ia mengatakan:
Suatu hari, sebelum menyerahkan buku tafsirnya ke penerbit, ia menyerahkan kepadaku dan berkata, “Anda juga harus melihatnya,” katanya. Karena suka mempelajari tafsir, saya terima lalumembacanya lembar demi lembar. Bila ada sesuatu yang harus aku kritik dan analisa, saya tanyakan kepadanya. Kadang-kadang ia membenarkan dan menerima kritik itu dan kadang melakukan klarifikasi. Satu saat saya memberikan saran dan ia menerima dengan meralatnya; mengurangi dan menambahnya. Dalam acara peluncuran itu, ia mencari-cari saya di antara teman-teman seraya berkata, “seseorang ikut membantu saya dalam penyusunan buku tafsir ini.(1) Ia juga melakukan kajian besar-besaran dalam bidang tafsir dengan menelaah berbagai tafsir-baik itu tafsir-tafsir ulama Syi'ah dan ahlusunah.
Buah dari kajian-kajian ini adalah silsilah pelajaran tafsir tematik al- Qur’an, Pelajaran pertama tafsir tematik di hawzah 'Ilmiyah Qom.
Fayadhi dengan latar belakang sebagai pengkaji karya-karya tafsir al-Qur’an selama bertahun-tahun mengatakan demikian :
Saya juga sampai sekarang mengakui bahwa diantara para tokoh yang saya kenal ia adalah seorang mufasir paling terdepan , jarang orang yang saya kenal dalam bidang ini, seperti beleiau yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip ijtihad dan sumber-sumber yang sahih. (2)
P: 87
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî lebih banyak lagi menghabiskan waktu dan energi ilmunya dalam bidang ini. Latar belakang kegandrungannya kepada filsafat karena kecintaan dan ketertarikan dengan Thabâthabâ’î. belajar Asfar dan Syifa darinya. Ia melakukan berbagai kreatifitas dan pembaharuan-pembaharuan dengan menerapkan metodologi filsafat Thabâthabâ’i ia pun mencapai posisinya, dimana sekarang ini dianggap sebagai salah filsafat paling terpandang di hawzah ’Ilmiyah Qom. Ia pun seperti gurunya memiliki pandangan bahwa kajian filsafat harus ditempatkan sebagai pokok kajian-kajian keilmuan.
Ruang lingkup penelitian filsafat sangat luas dan menarik perhatian.
Ia melakukan kajian dan penelitian kitab-kitab filsafat Ibnu Sinâ, Bahmaniyâr, Suhrawardî, Fakhr al-din al-Razi, Khâjeh Nashîr al-dîn Thûsî, Abû al-Barakât al-Baghdadi, Mîrdâmâd, Mullâ Sadra, Mullâ Hâdî Sabzawârî, demikian juga dengan cataan pinggir dan syarah atas kitab- kitab tersebut. Setelah melakukan penelitian yang tak terkira jumlahnya, lahirlah kitab hasiyyah atas Nihâyat al-Hikmah (ke dalam bahasa Arab) dan ia juga menuangkan pandangan-pandanganya sendiri dalam kitab Âmûzesy-e Falsafeh (dalam bahasa Persia). Di samping menguasai filsafat Islam, juga memahami filsafat barat dibuktikan dengan kutipanku- tipan dan melakukan perbandingan berbagai pemikiran Filsafat barat.
Gholam Reza Fayyâdhî, seorang pakar filsafat Islam mengomentari demikian :
Sesuatu yang memberikan bahan pemikian dan sangat membangun kami adalah sikap dan tindakan kepakaran dan ilmiah dalam masalah filsafat. Dalam masalah filsafat adalah ia seseorang yang berpikiran netral, objektif, dan kritis. Ia sebelum melakukan elaborasi setiap masalah, terlebih dahulu masalah itu dikaji secara ketat, yaitu dengan mengkritisi pemikiran-pemikiran para filsuf. Kami juga melihat bahwa semangat ijtihad yang selalu dominan dalam fiqh dan ushul fiqh di hawzah, tampak lebih kuat lagi terlihat dalam metode
P: 88
filsafat, sehingga seorang fakih tidak hanya cukup mengandalkan pendapat-pendapat penyusun kitab Jawhar atau anshari atau fukaha besar yang lain, namun ia juga harus, selain (memahami) pendapat- pendapat mereka juga mengkritisinya. Ia juga dengan terbuka dan tanpa dibebani, tentu saja dengan penuh penghormatan kepada para ahli pemikir, melakukan kritik kepada pemikiran-pemikiran filsafat mereka, sebab -menguktip sebuah ayat- al-Haq ahaqqu an yuttaba'(kebenaran lebih berhak untuk diikuti).
Sayangnya, sejauh pengamatan penulis, keterlibatan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam proses politik di Iran, terutama menjelang dan setelah Mahmoud Ahmadinejad terpilih menjadi presiden, menimbulkan kekhawatiran sejumlah kalangan mengenai kemungkinan pemikirannya menjadi bias dan tereduksi oleh kepentingan politik kelompok tertentu dalam konstelasi politik di Iran dewasa ini.
Hanya saja kekhawatiran ini tidak cukup beralasan mengingat keterlibatan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, seperti umumnya ulama di sana, dalam proses politik lebih bersifat tidak langsung. Pengalaman politiknya pasca revolusi hingga kini menegaskan konsistensinya untuk tetap berada dalam kapasitasnya sebagai ideologi revolusi dan Negara. Dan kapasitas ini tidak mewajibkan dirinya berada dalam kekuasaan dan perebutannya. Dengan kata lain, konstelasi politik di iran sesungguhnya selalu menguji tingkat aplikasi, kompatibilitas dan akseptabilits pemikiran-pandangan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî sepanjang pergantian generasi bangsa di sana. Hal ini justru telah dialami sebelumnya oleh kawan seniornya, Mutahhari.
Proteksi dirinya dari pembiasan dan reduksi oleh kepentingan kelompok dan politik praktis diperkuat dengan tetap melakukan kritik terhadap pemerintahan Ahmadinejad yang didukungnya melalui media koran mingguan lembaganya “Partou”.
Namun di sisi lain, sebagai ideolog Revolusi Islam Iran, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî tampil lebih konsisten daripada sebagian rekan-
P: 89
rekan seperjuangannya, sepertti Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani, (1) Muhammad Khatami.(2) Boleh jadi, bagi sebagian tokoh ulama seperti Jawadi Âmulî yang- d lam masalah ideologi dan visi negara—punya kesamaan pandangan dengan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, konsistensi itu berlangsung hingga kini lantaran mereka berada di luar kekuasaan dan politik se- hingga pandangan mereka tidak pernah diuji oleh desakan-desakan ruang dan waktu sebagaimana yang telah dialami oleh Rafsanjani dan lainnya.
Namun, ini tidak berlaku sepenuhnya ada dalam diri Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî. Sedikit banyaknya ia terlibat dalam konstelasi politik di iran, meski lebih bersifat tidak langsung.
Dengan semua ketokohannya dalam bidang filsafat Islam, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak menunjukkan konsistensi dalam menerapkan pola pikir rasional dan filsufis terhadap tema-tema dan keagamaan dan kemazhaban. Ia terlihat sangat rasional mana kala mengupas tema-tema filsafat pengetahuan (epistemologi), filsafat keberadaan (ontologi) dan filsafat ketuhanan (teologi), namun tampak tidak bisa menerapkannya mana kala memasuki tema-tema agama, terutama dalam bingkai mazhab yang dianutnya, yaitu Syi'ah Itsna-asyariyyah. Terbukti, ia tetap saja menggunakan pendekatan tekstual–yang diambil dari sumber-sumber utama riwayat jalur Syi'ah, atau enggan mengupas secara rasional sub- sub keyakinan dalam mazhab Syi'ah.
Tentu saja, ia mempersiapkan alasan untuk menjustifikasi hal ini. Saat ditanyakan oleh penulis ‘inkonsistensi ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menejlaskan adanya dua himpunan tema dalam keyakinan, yaitu tema mayor dan tema minor. Menurutnya, tema keberadaan dan ketuhanan merupakan prinsip mayor yang harus dipahami secara rasional, sedangkan tema-tema yang berada di bawahnya merupakan prinsip minor yang merupakan konsekuensi rasional, termasuk keyakinan akan kenabian yang merupakan turunan dari prinisp ketuhanan dan prisnip
P: 90
kebangkitan (eskatologi) yang dapat dipahami secara rasional sekaligus tekstual, karena telah melewati prinsip kenabian yang memuat supremasi wahyu sebagai dasar.
Karena pembedaan antara prinsip mayor yang mesti dipahami secara rasional dan prinsip minor yang bisa dipahami secara rasional dan tekstual itulah, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak bisa bersikap eklektik, bebas dan independen total dalam sejumlah tema, terutama saat mengafirmasi eskatologi fisikal dan spiritual yang dipilih oleh Mullâ Sadrà.
Padahal, menurut penulis, bila Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membiarkan dirinya memilih setiap pendapat tanpa beban kemazhaban sebagaimana Sayed Hossein Nasr, maka pandangan-pandangannya akan lebih mendunia dan diterima oleh semua kalangan, karena ia bisa dipandang sebagai tokoh pemikir tanpa atribut kemazhaban yang bisa membatasi ruang geraknya. Meski demikian, keberanian dan sikap kritisnya dalam pemikiran filsafat Islam di hawzah 'Ilmiyah Qom merupakan sebuah gebrakan baru yang cukup mengundang kontroversi.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdîmerupakan produk sistem pendidikan tradisional hawzah ‘Ilmiyah Qom. Ia banyak melewati semua jenjang pendidikan hawzah hingga pendidikan tertinggi dalam berbagai bidang, seperti fiqh, ushul fiqh. Namun di luar itu, ia adalah hasil didikan dua tiga tokoh terkemuka hawzah, yaitu Thabâthabâ’î, Behjat Fumani dan Ruhullah Khomeini. Kecenderungannya pada ilmu-ilmu rasional, seperti filsafat, teologi, logika, dan matematika serta ‘irfan telah menjadikannya sebagai salah ikon ilmu-ilmu rasional.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Hosein bin Muhammad bin Ali Asghar Thabâthabâî Tabrîzî Qâdhî. Ia dilahirkan pada tanggal 29
P: 91
Dzulhijjah 1321 H (1892 M), di desa Shâdegan (Propinsi Tabriz).
Ia memadukan ilmu-ilmu 'naqliyyah dan ‘aqliyyah dalam dirinya.
Sayed Hossein Nasr menyebutnya sebagai filsuf, teolog, dan sufi yang dalam dirinya kerendahan hati seorang sufi dan kemampuan analisis intelektual terpadu. Yang membedakannya dari Mullâ Sadrâ dan Sabzewari ialah bahwa ia tidak menggabungkan dzauq dengan nalar. Ia sangat menjunjung Faidh al-Kasyani, karena begitu mengusai ilmu-ilmu keislaman sehingga tak pernah memasukkan sebuah disiplin ilmu ke disiplinyang lain. Demikian pula iamemujiIbnu Sina, danmenganggapnya lebih kokoh dari Mullâ Sadrâ dalam argumentasi filsufis. Namun pada saat yang sama, ia terheran-heran oleh implementasi baru Mullâ Sadrâ terhadap filsafat Yunani dengan teori-teori seperti ashâlat al-wujûd, ittihâd al-âgil wa al-ma'qûl, dan harakah jaw hariyyah. Ia menganggap filsafat Mullâ Sadrâ lebih mendekati kenyataan.
Thabâthabâ’î adalah sosok yang memiliki wewenang keagamaan yang dihormati masyarakat Syi'ah karena menjadi mujtahid yang mendapat gelar unik al-(yang sangat pandai). Namun pada saat yang sama, ia cukup mengenal baik dunia Barat dan suasana kejiwaan para pembaca Barat.(1) Thabâthabâ’î merupakan sosok yang memberikan banyak pengaruh terhadap Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî. Darinya ia banyak memperdalam ilmu-ilmu filsafat. Namun, ia pun banyak mengkritisi
P: 92
gurunya. Dalam berbagai karya-karya Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî, ia banyak mengutip pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Thabâthabâ’î dan melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya, terutama dalam masalah ontologi.(1) Tentang sosok Thabâthabâ’î, ia bertutur:
Saya masih ingat semasa alamah Thabâthabâ’î masih hidup, ia pernah mengatakan kalau orang-orang mengenal Thabâthabâ’î dan Muhamamd Taqi Behjat maka debu sepatu mereka akan dijadikan obat matanya, namun meskipun demikian percayanya terhadap pribadi dan Behjat, ia tetap saja dalam masalah –masalah keilmuan berpikiran kritis dan netral. Berkat jiwa mereka dan berkat murid- muridnya yang ada di hadapan mereka, kita ditulari semangat ini. Kita melakukan ijtihad dalam filsafat sebagimana kita juga menggunakan dalam persoalan-persoalan fiqh dan ushul fiqh. Ijtihad harus digunakan sesuai salurannya (pintu). Dalam fiqh kita menggunakan dalil-dalil lafdhi berdasarkan al-Qur'an dan sunnah, sementara dalam filsafat kita memakai rasio, nalar, seorang harus bersikap akademis dalam masalah ini. Kuliah-kuliah yang disampaikan telah mengikis semangat ta’abud (dogmatis) kami dalam menghadapi segala macam pemikiran. Kami sekarang menyadari bahwa kami tidak memilik lagi ruh ta’abud, ketika menghadapi pemikiran Ibn Sina, Mullâ Sadrâ dan lainnya. Hal ini berkat kuliah-kuliah kritis. Semangat kritis dan analisis selama tahun-tahun ini dan juga dalam kajian-kajian ilmiahnya juga tampak dalam diri kami. (2)
Khomeini dilahirkan pada 20 Jumadil Akhir 1320 H (24 September 1902) di kota Khomain, sebelah barat Iran, dan meninggal pada bulan Juni 1989. Ayahnya adalah Mustafa yang berasal-usul dari kintar, sekitar
P: 93
40 mil arah timur laut Locknow, India, dan bergaris keturunan dari al- Hosain dari Musa al-Kazhim. Ibunya, Hajar, adalah putri Mirza Ahmad Mujtahid Khunsari, seorang guru madrasah di Najaf dan Karbala.
Ayahnya meninggal dunia ketika ia berumur lima bulan, dan dalam usia 16 tahun, ibunya pun meninggal dunia. Ia memasuki maktab. Salah satu gurunya adalah Mullâ Abu al-Qasim. Pada tahun 1918, ia menempuh pendidikan Islam di dekat kota Arak melalui bimbingan Abd al-Karim Haeri. Pada tahun 1920, Haerî hijrah ke Qom.
Tidak lama setelah kepindahan Haerî ke Qom, Khomeini juga hijrah ke kota itu. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia menyempurnakan pendidikan hawzah-nya di bawah bimbingan guru-guru besar kota Qom.
Muhammad Taqi Khunsârî, Yatsrebî, dan Abd al-Karîm Haerî adalah guru-guru Khomeini. Ia juga mempelajari matematika, geometri, filsafat, ahlak, serta gnostik (irfan) teoritis dan praktis.
Setelah berselang 10 tahun di Iran, Haeri meninggal dunia. Khomeini bersama para ulama di Iran menggagas dan Burujurdi untuk menjadi pemimpin hawzah 'Ilmiyah di kota Qom. Saat itu, Khomeini adalah salah satu pengajar dan mujtahid yang punya pandangan luas di bidang- bidang fiqh, ushul, filsafat, teosofi, dan akhlak.
Sejak Borûjerdî wafat, Khomeini didukung secara luas oleh para pelajar dan tokoh-tokoh Islam sebagai salah satu marja’ taqlid.
Khomeini banyak menghabiskan waktunya dengan mengajar fiqh, ushul fiqh, dan filsafat di hawzah 'Ilmiyah Qom. Di hawzah ‘Ilmiyah Najaf, ia mengajar di kelas tertinggi selama lebih kurang 14 tahun. Di Najaf itulah, pertama kalinya ia mencuatkan wacana wilâyah al-faqih sebagai konsep kepemimpinan Islam pasca Imamah dan menjadikannya sebagai mata kuliah untuk level bahts kharij (tingkat lanjut).
Ali Mishbâh, putra Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, menerangkan hubungan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dengan Khomeini:
Setelah mengikuti Khomeini, dalam masa liburan pelajaran tersebut ia memberikan perintah kepada murid-muridnya agar meneruskan
P: 94
pelajarannya dengan mubâhatsah. Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dan beberapa orang yang terkemuka seperti Muhammad Gilani Muhamad Yazdi, Hosain Mazhaheri, Ali Akbar Musawi, dan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî melaksanakan perintah Khomeini tersebut dengan mubahasah secara bersama-sama. Mubahatsah ini terus berlangsung sampai menangnya revolusi Islam Iran. Tem- atema yang dibahas dalam masalah ini sangat penting dan berkualitas, yang umumnya adalah masalah-masalah sosial islam seperti ammar ma'ruf nahi munkar dan lain-lain. (1)
Buah dari kegiatan menyampaikan ilmu dan mengajar, yang tiada henti dilakukannya dengan penuh perhatian, adalah tercetaknya sejumlah murid istimewa dan pelajar teladan yang dapat diandalkan Islam di masa depan. Kekayaan tak ternilai yang diwarisi murid-muridnya untuk masa sekarang dan masa mendatang lewat pengajarannya adalah nalar logis, kekuatan argumentasi, dan kebebasan menyatakan pendapat, yang dibarengi akhak Islam, idealisme, selera, intuisi, kepekaan, serta kemampuan untuk mengelola, mengatur, dan mengayomi masyarakat.
Mereka semua mengecap seluruh potensi, kapasitas, dan kekayaan ilmuakhlak tersebut berkat kerja keras dan upaya gigihnya.
Mengingat ruang dan waktu yang sangat terbatas, serta relevansinya dengan tujuan penulisan disertasi ini, maka dalam kesempatan ini, penulis hanya menyebutkan beberapa muridnya yang dianggap paling menonjol.
Meraka masing-masing menjadi guru-guru terkemuka, pemikir di hawzah saat ini. Murid-murid utama Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî antara lain:
Gholam Reza Faiyazhi, Hasan Moallemî, Khorso Panah, Ali Syirwani, Fanâê Eshkavari, Mahmud Rajabi (kepala bidang penelitian ilmu-ilmu al- Qur’an di Institut Pendidikan dan Riset Imam Khomeini), Akbar Mir Sepah (guru besar etika Islam), Rasul Obudiyat, Muhammad Taqi Fa’ali,
P: 95
Muhammad Legenhausen (doktor filsafat Barat berkebangsaan Amerika Serikat dan menjadi salah seorang pengajar di pusat kajian-penelitian budaya dan pemikiran Khomeini), Ali Reza A’rafi (direktur Institut Riset Hawzah-Universitas dan International Center of Islamic Studies). (1)
Ketiga, mentradisikan penyusunan buku daras (text-book) perkuliahan.
Dalam hal ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi orang pertama yang menulis dan menyusun buku-buku kuliah akidah dan filsafat dalam bentuk text-book. Tulisan-tulisannya itu, selain padat, cermat, sistematis, dan sangat indah, juga enak dibaca. Jelas, ini merupakan terobosan baru dalam tradisi perkuliahan di haw zah.
Bisa dikatakan, Shadraisme mencapai puncak kejayaannya di era Thabathaba'i. Ia bahkan rela mengorbankan karir fiqhnya sehingga tidak menjadi marja' atau menyandang gelar ”Ayatullah al-Uzhma”, sebagaimana rekan-rekan semasanya, demi menekuni bidang filsafat yang mulanya kurang populer di kalangan hawzah Najaf dan Qom saat itu. Ia berhasil mendirikan sebuah akademi tradisional yang mengajarkan filsafat al-Hikmah al-Muta’aliyyah pada kuliah level tertinggi (bahts kharej), sementara selainnya mengajarkan teknik-teknik penyimpulan hukum (ijtihad).
Berkat kegigihan dan perhatiannya yang total, filsafat di hawzah Qom dan Iran secara umum kini telah sejajar dengan fiqh dan ushul fiqh, sehingga dijadikan mata pelajaran untuk pelajar tingkat pertama atau muqaddimat (setingkat strata satu), menengah atau suthuh, dan tingkat lanjut (al-bahts al-kharij). Bukunya, Bidâyat al-Hikmah dan Nihâyat al-Hikmah, kini dijadikan buku pelajaran resmi hawzah dalam bidang filsafat sebelum Syarh al-Manzhûmah karya Mullâ Sabzewari dan al- Asfâr al-Arba'ah-nya Mullâ Sadrâ.
P: 96
Berkat kegigihan yang rela mengabdikan umur dan karir keulamaannnya demi memperjuangkan studi filsafat di hawzah sehingga kesempatannya untuk menjadi marja'—sebuah posisi paling prestisius di hawzah—terhambat, filsafat dan ilmu-ilmu rasional lainnya berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu tradisional lainnya, seperti fiqh dan ushul fiqh.
Ia telah mencetak puluhan ulama dan pemikir yang memberikan kontribusi besar dalam pengembangan studi filsafat, politik, ‘irfan, tafsir, dan lainnya. Diantara puluhan muridnya yang dikenal luas adalah Murtadha Muthahhari; Hasan Hasan Zâdeh Âmulî; Mehdi Hae’ri Yazdi; Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî; Sayed Hossein Nasr. Akibatnya, persaingan intelektual samar di_ hawzah 'Ilmiyah Qom saat ini antar tokoh-tokoh tersebut pun tak terelakkan.
Ditinjau dari segiwawasan filsafat dan teologi, kemiripan ini bukanlah tidak pada tempatnya. Barangkali Yazdî bukan Mutahhari itu sendiri sekalipun prototipe keduanya sangat dekat sekali(1) dan pernah hidup sezaman. Perbedaan keduanya berkaitan dengan masa hidup atau periode masing-masing; yang satu (Muthahhari) lebih dulu wafat daripada yang lain (Yazdî). Lebih dari itu, tantangan dan formasi wacana intelektual yang dialami keduanya juga jauh berbeda. Di masa Muthahhari, tantangan intelektual yang paling mengemuka berkaitan dengan isu (kritik) peradaban dan purifikasi kebudayaan, konsep pergerakan dan Revolusi Islam, memosisikan tradisi dalam konteks kemodernan, prinsip politik Islam, polemik dan kritik ideologi akibat meruyaknya pengaruh grand-ideologies seperti Marxisme dan Sosialisme, serta pen- dasaran rasionalisme dalam bidang keimanan.
Sementara di masa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî Yazdî sekarang ini, tantangan dan formasi wacananya lebih mengarah pada dialog antar-peradaban, fenomena akademis pemikiran, kritik nalar filsafat
P: 97
(ontologi dan epistemologi), reformasi bidang pendidikan akibat pengaruh globalisasi, isu-isu modern (seperti HAM, liberalisme, humanisme, demokrasi, pluralisme, industrialisme, kapitalisme, dan lain-lain), hingga gelagat pascaisme berikut segenap pengaruhnya yang berasal dari bursa gagasan Barat kontemporer (seperti pascatradisionalisme yang berkenaan dengan tradisi keagamaan, pascamodernisme yang berkaitan dengan basis kebudayaan masyarakat, pascastrukturalisme sebagai kritik sastra atau literatur dan filsafat, dan seterusnya) dan berkembangnya ilmu-ilmu baru berlabel humaniora.
Dengan demikian, tentunya kurang fair jika membandingkan Muthahhari dengan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî secara historis.(1) Pasalnya, masing-masing pemikir tersebut, sebagaimana telah dijelaskan, menghadapi tantangan historis dan formasi wacana intelektual yang khas zamannya. Dalam hal ini, terdapat hubungan saling pengaruh yang bersifat kreatif dan dialektis antara kedua individu yang bertalenta dan tergolong pakar dalam bidang pemikiran, dengan zaman yang melingkupinya. Karenanya, kedua sosok ulama cendekia ini “mencipta” sekaligus “dicipta” struktur zamannya masing-masing.
P: 98
Kendati demikian, corak pemikiran politik Muhammad Taqi Misbâh Yazdî diakui sendiri, tergolong “keras”—dibanding Muthahhari yang agak moderat. Sekalipun kecenderungan ini tidak berlandaskan filsafat, namun itu bukan berarti tidak ada kaitannya dengan pemikiran teologi dan filsafatnya. Dari segi pemikiran, pola pikirnya sangat bagus. Akan tetapi, di masa awal revolusi, metode yang digunakan untuk memaparkan pemikiran ini dan membela agama, mirip dengan metode Ali Syariati.
Seluruh metode yang digunakan tergolong keras, dan efek negatifnya cenderung lebih banyak daripada manfaatnya. Muhammad Taqî Misbâh Yazdî sendiri pernah mengaku bahwa terkadang sikpanya bisa seketika mengeras takala berurusan dengan masalah politik. (1) Menurut Haidar Bagir, Muthahhari berkiprah di suatu masa yang menyaksikan derasnya arus pengaruh pemikiran yang datang dari Barat.
Disamping adanya pengaruh-pengaruh positif dari Barat, Muthahhari merasakan tantangan pemikiran-pemikiran Barat tertentu terhadap agama. Di antara tantangan yang terasa sangat menekan adalah Marxisme.
Iran sejak tahun 60-an memang banyak diterpa oleh pengaruh aliran ini.
Pengaruhnya terasa makin lama makin kuat. Hal ini tampak antara lain dalam bermunculan dan menguatnya partai dan kelompok-kelompok yang bersifat kekiri-kirian.
Dalam Masyarakat dan Sejarah—yang merupakan bagian dari Pengantar terhadap Pandangan Dunia Islam (Muqaddima-ye Jahan Biniy Islamiy)—ia menyatakan: “Saat ini, di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu (kecenderungan kepada Marxisme dan pandangan bahwa Islam mengandung paham-paham Marxistik) mendapatkan penerimaan yang luas dan dipandang sebagai tanda keluasan pikiran dan mode yang lagi in... ” Pada saat yang sama, Muthahhari juga merasakan adanya pengaruh paham lain Barat yang mencengkeram kuat atas negara-negara Muslim, termasuk Iran. Itulah materialisme. Ia bahkan merupakan soko guru berbagai paham yang muncul dalam peradaban Barat modern. Untuk meng-address isu-isu ini, Muthahhari pun ia banyak
P: 99
menghasilkan karya-karya yang berupa kritik terhadap paham-paham ini, termasuk Masyarakat dan Sejarah dan (Argumentasi-argumentasi) Pendukung (Paham) Materialisme. Berbeda dengan karya-karya yang, kurang lebih, popular di atas, Muthahhari juga menelurkan karya-karya yang benar-benar bersifat filsufis, antara lain komentar ekstensifnya atas karya salah seorang guru utamanya, Allamah Thabathaba'i yang berjudul Usus-e Falsafah wa Raw isy-e Rialism (Dasar-dasar Falsafah.
Dan Mazhab Realisme). Karya 4 jilid yang berupaya mengkritik materialisme sekaligus memaparkan dasar-dasar filsafat dan pandangan dunia Islam yang dianggap dapat merupakan alternatif yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Hal inilah tujuan ketiga Muthahhari.
Dasar pemikiran yang sama kiranya terkait dengan tujuan keempat di balik segala kegetolan Muthahhari untuk membangun landasan filosofis dan pandangan dunia Islam ini adalah kesadarannya akan perlunya suatu landasan yang kuat dan koheren bagi pembangunan sistem-sistem Islam di berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Muthahhari memang dikenal juga dengan tulisan-tulisannya mengenai soal-soal ekonomi, sosial, bahkan budaya dalam sorotan ajaran-ajaran Islam. Dalam Pengantar kepada Pandangan Dunia Islam itu Muthahhari memasukkan berbagai tema pembahasan yang dianggapnya sebagai unsur-unsur dari pandangan dunia: Konsepsi tentang Manusia, Pandangan Dunia Tauhid, Konsepsi Kenabian dan Wahyu, Konsepsi tentang Masyarakat dan Sejarah, Imamah, dan Konsepsi tentang Hari Akhir. (1) Sejak wafatnya Murtadha Mutahhari, (2) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi figur pemikir produk hawzah Qom yang paling menonjol
P: 100
dan produktif. Bahkan sebagian kalangan menjulukinya sebagai ‘Muthahhari kedua'. Ia memainkan peran penting dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi perkembangan wacana filsafat Islam yang berusaha mengharmoniskan antara Sadraisme, Masyyaʼiyyah (Peripatetisme Ibnu Sina), filsafat modern, dan visi politik Khomeini yang berpijak di atas basis welayat-e faqih (wilâyat al-faqih).
Sebagaimana Muthahari, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memiliki ciri khas dalam pemikiran maupun dalam pola dan metode pembahasan filsafat. Sebagaimana Muthahhari pula, iaa dapat dianggap sebagai produk orisinal hawzah 'Ilmiyah Qom yang diyakini mampu memberikan respon terhadap wacana-wacana pemikiran kontemporer, termasuk sejumlah aliran pemikiran modern dan postmodern. Selain, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berupaya untuk mendialogkan tradisionalisme dan modernisme dalam wawasan filsafat yang diproyeksikan pada terciptanya reformasi sistem pendidikan hawzah.
Keduanya adalah generasi kedua stoa Thabâthabâ’î dan Khomeini.
Yang membedakan keduanya antara lain sebagai berikut: pertama, Jawadi Âmulî (1) lebih mewakili sebagai pembela pandangan-pandangan Thabâthabâ’î dan mempertahankan metode tradisional hawzah.
Sedangkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî cenderung bersikap kritis terhadap pandangan-pandangan flsafat Thabâthabâ’î dan para pendahulunya, termasuk Mullâ Sadrâ.
P: 101
Kedua, Jawadi Âmulî terlihat lebih low profile, terutama dalam menghadapi diskursus-diskursus kalangan liberal.(1) Sedangkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî terlihat sangat intens menanggapinya. Dalam sejum- lah jurnal ilmiah, bahkan dalam surat kabar dan televisi polemik antara Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dan para pemikir liberal yang dikenal dengan sebutan para pengusung Kalâm-e jadîd ( Teologi baru), terutama dengan Abdul-Kareem Shorous sering menjadi pusat perhatian. (2) Ketiga, Jawadi Âmulî tetap aktif menekuni bidangnya dalam pendidikan, terutama misistisme (ʻirfan) dan tafsir al-Qur'an, dan menjaga jarak dengan persoalan politik. Sedangkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membagi aktivitasnya dalam bidang pendidikan dan politik. Dalam bidang pendidikan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî cenderung menjaga jarak dengan kalangan tradisional hawzah dengan berkonsentrasi penuh dalam mengelola Imam Khomeini Institute for Reaseach and Education, yang dijadikan sebagai pilot project penggabungan sistem tradisional dan modern. Sejak saat itu, ia menghentikan kuliah filsafat untuk strata bahts Kharij dan giat menghadiri seminar di luar negeri sebagai bagian dari usaha untuk memperluas jaringan lembaga yang dikelolanya. Dalam bidang politik, keterlibatannya secara tidak langsung dalam proses pemilihan presiden dan dukungannya yang tersirat pada Mahmoud Ahamdinejad yang berhadapan dengan figur Hasyemi Rafsanjani, yang didukung oleh mayoritas kalangan Hawzah, yang berujung dengan kemenangan tak terduga Ahamdinejad merupakan sebuah inisiator yang melawan arus utama di Hawzah saat itu. (3)
P: 102
Keempat, Jawadi Âmulî melahirkan karya-karya besar dan bersi- nambung dan berseri. Tema-tema pembahasannya runut, panjang lebar dan melebar. Namun, metode penyajiannya cenderung tradisional dan tidak inovatif, bahkan kadang terkesan rigit dan sukar dipahami karena menggunakan terminologi yang be-lum bisa ditemukan padanananya.(1) Boleh jadi, ini merupakan salah satu sikapnya kehati-hati dalam menjelaskan tema-tema filsafat dan ‘irfan. Sedangkan Muhammad Taqi Mishbâh terlihat lebih inovatif, meski sebagian karyanya tidak mencerminkan pemikiran filsafatnya, bahkan kadang tidak mendalam. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tampak tidak berminat menulis karya-karya referensial, karena ia lebih menitikberatkan pada upaya pengkaderan dan pembibitan gen- erasi muda yang kritis melalui lembaga yang dikelolanya.
Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî telah menawarkan sebuah sistem dan metode baru dalam pengajaran filsafat melalui karya besarnya Âmûzesy-e Falsafeh. Namun karena gagasannya dalam filsafat, terutama yang tertuang dalam buku tersebut, bertentangan dengan mainstream filsafat di hawzah 'Ilmiyah yang cenderung mempertahankan tradisi Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î pada paruh pertama kehidupannya, maka gagasan reformasi terhadap sistem pengajaran terutama filsafat yang digulirkan oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdî tidak tidak mendapat respon yang memadai. Bahkan buku tersebut tidak berhasil menggeser buku-buku wajib pelajaran filsafat, yaitu Bidâyat al-Hikmah dan Nihâyat al-Hikmah(2) karya Thabâthabâ’î, gurunya. Selain itu, sejauh pengamatan penulis, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî kurang diterima secara luas oleh kalangan pemikir hawzah karena dia lebih dikenal sebagai seorang
P: 103
pemikir dan pewacana daripada ulama bergaya tradisional yang lebih diakui posisi sipitualnya. Alasan lain, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak diakui sebagai mujtahid yang menonjol dalam bidang fiqh. Ia sendiri bahkan tidak membuka kelas kuliah tingkat atas (kharej), yang diakui secara historis sebagai jenjang karir kemarjaan yang sangat dihormati. Kelima, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memang tidak pernah berada dalam struktur inti kepengurusan hawzah tradisional.
Sejak kepindahannya ke Qom ia hanya menjadi salah satu guru besar.
Mungkin karena itulah, semua gagasan filsafat dan politiknya terbatas pada lembaga yang didirikannya.
Namun, keadaan tampak berbeda pada paruh kedua dari kehidupan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî. Keberadaan namanya dalam susunan kepengurusan pusat Hawzah ‘Ilmiyah Qom dan keterlibatannya dalam Jamiah mudarrisin menempatkannya sebagai ulama yang dipercaya dan disegani. Terutama dari itu, pengalaman lembaga yang didirikannya dinilai oleh banyak kalangan hawzah sukses melakukan sejumlah terobosan, sehingga banyak murid-muridnya dan karya-karya menjadi pedoman pengajran di sekolah-sekolah hawzah. Sudah barang tentu, keadaan ini membantu posisi karya besarnya Âmûzesy-e Falsafeh di kelas-kelas filsafat dasar sejak awal 90 dewasa ini dan menjadi alternative untuk memulai pengajaran filsafat di samping buku-buku wajib pelajaran filsafat, yaitu Bidâyat al-Hikmah dan Nihâyat al-Hikmah karya Thabâthabâ’î, gurunya.
Menurut penulis, salah satu kekurangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dibandingkan dengan Jawadi Âmulî adalah keputusannya untuk memberikan kuliah filsafat di hawzah 'Ilmiyah Qom.
Kuliah filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî telah dibuka sebelum Revolusi Islam Iran. kuliah aplikatif' filsafatnya digagas dalam rangka melawan arus pemikiran marxisme yang pada masa itu cukup dominan di kalangan remaja Iran. Melalui lembaga Dar Râh-e Haq, ia membuka kuliah-kuliah filsafat dan agama yang kemudian didiskripsikan dan dicetak menjadi buku.
P: 104
Pengagasan ini sebenarnya tidak terbilang baru, karena jauh sebelumnya oleh gururnya sendiri, Thabâthabâ’î dan teman seniornya; Muthahhari, telah disadari dan diawali pembukaan kuliah filsafat Islam.
Hal ini beranjak dari kesadaran kolektif mereka bahwa pemikiran Marxisme dan ekses-ekses psikologis dan sosiologis adalah ancaman utama di hadapan tugas hawzah 'Ilmiyah dan misi Revolusi Islam Iran.
Kuliah filsafatnya tentang filsafat Islam membuahkan hasil dan dapat menghambat sampai menghancurkan benih-benih Marxisme, dengan kemenangan Revolusi Islam Iran. Sejak itu, beberapa rangkaian kuliah filsafatnya terfokus pada ontologi dan epsitemologi semata denga mengacu pada beberapa buku induk seperti al-Asfâr al-Arba'ah, Ilâhiyât al-Syifâ' dan Manthiq al-Syifa'.(1) Namun tetap saja kecendungannya menurunkan tema-tema dan kajian-kajian metafisisnya secara aplikatif tampak menonjol pascarevolusi. Hal ini lebih disebabkan oleh kepeduliannya pada revolusi, ideologi negara, dan tantangan demi tantangan yang muncul pasca kemenangannya. Maka dari itu, kuliah filsafat ontologism dan logisnya dikembangkan sampai kepada filsafat etika, filsafat sejarah, dan lainnya.
Meski demikian, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî masih diakui sebagai salah satu ikon pemikiran yang paling handal dalam menghadapi trend pemikiran liberal yang dikembangkan oleh Abdelkareem Soroush dan para intelektual modern yang cenderung melakukan gugutan terhadap beberapa pandangan klasik yang masih dipertahankan oleh kalangan hawzah.
Selain itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî bisa dianggap sebagai satu-satunya alumnus akademi filsafat Thabâthabâ’î —tentunya setelah mutahhari yang mau melakukan elaborasi secara berani dengan karya- karya Barat, bahkan melakukan kunjungan dan kerjasama dengan sejumlah pemikir Katolik, Protestan dan Yahudi dalam bidang pemikiran dan dialog wacana
P: 105
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî telah melakukan sebuah gebrakan yang spektakuler dengan melakukan kritik atas pemikiran Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î yang hingga saat ini masih dipertahankan oleh rekan- rekannya, seperti Abdullah Jawadi Âmulî dan Hasan Zadeh Amoli.
Penulis berpendapat, bahwa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dengan semua ketokohannya dalam bidang filsafat Islam, tidak menunjukkan konsistensi dalam menerapkan pola pikir rasional dan filsufis terhadap tema-tema dan keagamaan dan kemazhaban. Ia terlihat sangat rasional mana kala mengupas tema-tema filsafat pengetahuan (epistemologi), filsafat keberadaan (ontologi) dan filsafat ketuhanan (teologi), namun tampak tidak bisa menerapkannya mana kala memasuki tema-tema agama, terutama dalam bingkai mazhab yang dianutnya, yaitu Syi'ah Itsna-asyariyyah. Terbukti, ia tetap saja menggunakan pendekatan tekstual -yang diambil dari sumber-sumber utama riwayat jalur Syi'ah, atau enggan mengupas secara rasional sub-sub keyakinan dalam mazhab Syi'ah.
Tentu saja, ia mempersiapkan alasan untuk menjustifikasi hal ini. Saat ditanyakan oleh penulis ‘inkonsistensi' ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menejlaskan adanya dua himpunan tema dalam keyakinan, yaitu tema mayor dan tema minor. Menurutnya, tema keberadaan dan ketuhanan merupakan prinsip mayor yang harus dipahami secara rasional, sedangkan tema-tema yang berada di bawahnya merupakan prinsip minor yang merupakan konsekuensi rasional, termasuk keyakinan akan kenabian yang merupakan turunan dari prinisp ketuhanan dan prisnip kebangkitan (eskatologi) yang dapat dipahami secara rasional sekaligus tekstual, karena telah melewati prinsip kenabian yang memuat supremasi wahyu sebagai dasar.
Karena pembedaan antara prinsip mayor yang mesti dipahami secara rasional dan prinsip minor yang bisa dipahami secara rasional dan tekstual itulah, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak bisa bersikap eklektik, bebas dan independen total dalam sejumlah tema, terutama saat
P: 106
mengafirmasi eskatologi fisikal dan spiritual yang dipilih oleh Mullâ Sadrã.
Padahal, menurut penulis, bila Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membiarkan dirinya memilih setiap pendapat tanpa beban kemazhaban sebagaimana Seyed Hossein Nasr, maka pandangan-pandangannya akan lebih mendunia dan diterima oleh semua kalangan, karena ia bisa dipandang sebagai tokoh pemikir tanpa atribut kemazhaban yang bisa membatasi ruang geraknya. Meski demikian, keberanian dan sikap kritisnya dalam pemikiran filsafat Islam di hawzah ‘Ilmiyah Qom merupakan sebuah gebrakan baru yang cukup mengundang kontroversi.
P: 107
P: 108
Menelaah pemikiran filsafat Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidaklah mudah. Hal itu karena beberapa fakta: pertama, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak membangun sebuah aliran filsafat yang utuh dan terencana.
Dalam wawancara dengan penulis, ia mengaku hanyalah berusaha untuk konsisten dengan pandangan-pandangan rasionalnya. Sehingga karena itu, kadang ia mendukung Mullâ Sadrâ, dan kadang pula memihak Ibn Sina, atau memilih pendapat lain. Hal inilah yang juga bisa dianggap sebagai pembeda antara dia dan Muthahhari. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî cenderung mempertajam kritik dan pendalaman terhadap filsafat Islam, baik Mullâ Sadrâ maupun Ibn Sina. Sedangkan Muthahhari cenderung menerima filsafat Shdara dan tanpa berlam-lama melakukan kritik menariknya ke sisi samping dengan melakukan komparasi dan kritik terhadap pemikiran filsafat yang berkembang pada masanya. Artinya, Muthahhari tidak bersikap kritis terhadap filsafat Sadrian, dan lebih memfokuskan perhatian terhadap wacana pemikiran kontemporer.
Kedua, hampir seluruh pandangan dan pendapat Muhammad Taqi Misbah Yazdî dalam filsafat bersifat polemis, tidak demonstratif.
Karena itu, merangkum pendapat-pendapatnya menjadi persoalan yang memerlukan kehati-hatian dan kecermatan. Itulah yang diperagakannya dalam Syarh al-Asfâr al-Arba'ah, Ta lîqah bar Nihâyat al-Hikmah dan Âmûzesy-e Falsafeh. Hanya pada tema-tema tertentu, ia melakukan kritik atau isykâl, dan terkadang tidak dilengkapi dengan argumentasi yang cukup. Menurut penulis, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî melalui kritik-
P: 109
kritik sporadis dan kecenderungan eklektiknya dalam filsafat Islam ingin memberikan kesempatan kepada generasi berikutnya, terutama murid- muridnya, untuk lebih berani melakukan inovasi, kritik, rekonstruksi bahkan dekonsktruksi agar filsafat Sadrian tidak menjadi mitos dan al- Asfâr al-Arba'ah diperlakukan laksana kitab suci.
Ketiga, ketidaktegasannya memihak menjadikannya lebih pantas dipandang sebagai kritikus filsafat, daripada filsuf dan pelaku filsafat.
Namun, di sisi lain, kehadirannya sebagai kritikus telah membuka angin perubahan dalam tradisi studi filsafat di hawzah, yang sebelumnya hanya mengapresiasi guru dan mulla yang mengajarkan karya-karya filsafat Mullâ Sadrâ. Atas dasar itu, menurut penulis, sebagian besar pengajar filsafat di hawzah, selain bukan kritikus, juga bukan filsuf, namun komentator (syârih).
Keempat, adanya tarik ulur antara pemisahan epistemologi(tema-tema pengetahuan dan kebenaran) dari ontologi dan penggabuan epistemologi dalam ontologi, terutama bila dikaitkan dengan prinsip ilmu hudhûrî, menjadi faktor yang menyulitkan upaya penyajian pemikirannya secara anatomis. Persoalan lain, adanya relasi interseksional antar tema-tema ontologi, teologi dan epistemologi. Fenomena ini akan terlihat dengan jelas saat penulis berusaha untuk merekonstruksi pandangan-pandangan khasnya dalam filsafat.
Kelima, begitu banyak tema filsafat yang dibahas Muhammad Taqî Misbâh Yazdî dalam empat karya utama filsafatnya, namun karena tidak semua pandangan alternatifnya dan kritiknya tertuang dalam satu karya, maka penulis merasa perlu memilah-milah dan memilih pandangan- pandangan khas. Selain itu, ada kalanya pandangan kritisnya ditujukan kepada tema mayor atau isu utama filsafat, sebagaimana pandangannya yang menolak dimasukkannya quwwah (materi pertama, potensi) dalam deretan jawâhir maujûdah. Kadangkala, ia mengkritik sebuah tema minor yang merupakan sub isu utama, sebagaimana penolakannya terhadap pembagian gerak susbtansi (harakah jawhariyyah) kepada pola gerak vertikal (harakah jawhariyyah thûliyyah) dan pola gerak horizontal
P: 110
(harakah jawhariyyah ‘aradhiyyah). Dasar penolakan Muhammad Taqî Misbâh Yazdî adalah konsistensinya pada prinsip kausalitas, yang menurutnya, hanya meniscayakan akibat secara vertikal. Kadangkala, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengkritik metode penyajian tema dan struktur pembahasan juga pengajaran tema-tema filsafat, seperti pendapatnya yang menganggap ‘irfan nazharî (mistisisme praktis) yang dianalisis dengan pendekatan filsafat sebagai bagian dari filsafat.
Lagi-lagi, ia tidak merasa perlu mengargumentasikannya lagi, karena konsistensinya pada rasionalisme. Sebenarnya, pandangan yang tampak sporadis ini, bisa dianggap sebagai dekonstruksi terhadap filsafat Sadrian.
Dengan semua alasan-alasan itu, penulis berusaha untuk memasuki belantara pemikiran filsafat Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dan gagasan- gagasan alternatif serta kritisnya yang berserak di berbagai karyanya, kemudian mengkonfrontasikannya dengan Muhammad Taqî Misbah Yazdî secara langsung dan dengan murid-muridnya. Sebelum memasuki tiga bidang filsafat yang menjadi subjek utama dalam disertasi ini, penulis merasa perlu untuk memulainya dengan menjelaskan beberapa tema filsafat dalam pemikiran Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sebagai gambaran umum Menurut penulis, yang patut disayangkan ialah ketidakterusterangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî untuk membangun sebuah pemikiran alternatif, atau paling tidak neo-Sadraisme, sebagaimana penulis simpulkan dari wawancara dengan beliau. Hal itu, menurut pengamatan penulis, karena ia tidak terlalu gigih melawan arus besar yang dihadapinya dari kalangan hauzah yang sangat kritis dan jeli. Alasan lain yang mungkin tidak patut diabaikan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak sunguh-sungguh berencana membangun sebuah submazhab Sadraisme yang baru secara utuh, namun hanya memberikan catatan-catatan kritis yang menurut kalangan hauzah sudah cukup berani.
Boleh jadi, rencana membangun sebuah mazhab baru dan pemikiran alternatif bukanlah bagian dari niat dan konsentrasi Muhammad Taqî
P: 111
Mishbâh Yazdî. Seperti yang dia tuangkan pada pendahuluan karya perdananya, Ta'lîqat ala Nihâyat al-Hikmah, dapat dipahami bahwa catatan-catatan kritis atas filsafat Mullâ Sadrâ adalah dalam rangka mengetengahkan filsafat Mullâ Sadrâ secara lebih koheran dan utuh di atas akal demonstratif. Dari sekian karya-karyanya yang lain, wajar kiranya bila terjadi pengembangan dan penyempitan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî atas sebagian tema dan argumentasi al-Hikmah al- Muta âliyyah.
Problem dalam disiplin filsafat bukan hanya rumit dan bervariasi dalam hal objek dan eksposisinya, melainkan bahkan definisinya itu sendiri. Tidak satupun definisi filsafat yang tidak mengundang perdebatan, alias selalu penuh kontroversi, dan secara historis mengalami perluasan dan perubahan, tergantung pada jenis persoalan apa yang diminati atau relevan dengan kondisi zaman yang ada. Namun demikian, secara umum disepakati bahwa filsafat adalah sebuah metode daripada seperangkat klaim, proposisi, atau teori. Penyelidikannya dilandasi pemikiran rasional, diorientasikan untuk menciptakan asumsi-asumsi yang aksiomatis, dan tidak melompat begitu saja pada tema-tema keimanan atau analogi murni.(1) Karena itu, diperlukan sedikit penjelasan tentang maksud dan pengertian kata filsafat yang berkembang dalam tradisi Barat dan pengertian kata filsafat dalam tradisi Islam terutama hauzah 'Ilmiyah Qom. Selain itu, perlu diperjelas maksud dari pengertian kata 'ilmu' dalam tradisi Barat dan dalam tradisi hawzah 'Ilmiyah Qom. Penjelasan ini diperlukan agar pemikiran filsafat Muhammad Taqi Misbah Yazdî dapat dilihat dalam konteks dan tradisinya.
P: 112
Hampir semua filsuf hingga kalangan sarjana dan sejarahwan filsafat menyepakati atau setidaknya acapkali mengembalikan definisi filsafat pada pengertiannya yang paling purba, yang dirumuskan pada masa kemunculannya oleh para pemikir Yunani kuno; philos (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Sejak itulah, pengertian filsafat berkembang dalam berbagai varian, sesuai dengan orientasi, paradigma, objek/subjek, dan metode yang digunakan masing-masing filsuf.
Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, istilah “filsafat” sejak semula diterapkan sebagai sebutan umum untuk semua ilmu hakiki (sebagai lawan dari ilmu-ilmu konvensional). Pada abad pertengahan, wilayah filsafat direntangkan hingga meliputi beberapa ilmu konvensional, seperti sastra dan retorika. Kemudian, para positivis meletakkan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) sebagai lawan dari pengetahuan filsufis dan metafisis, dan memandang bahwa ilmu empiris semata yang laik menyandang nama “ilmiah”.
Lebih lanjut menurutnya, mengikuti pengertian pertama, yang juga lazim pada periode filsafat Islam, filsafat mempunyai banyak bagian.
Tiap-tiap bagiannya disebut dengan ilmu khusus. Wajar bila tidak ada pertentangan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengertian kedua muncul di Eropa pada abad pertengahan, dan segera diabaikan setelah berakhirnya era tersebut. Menurut pengertian ketiga, yang tetap lazim di Barat sampai sekarang, filsafat dan metafisika diletakkan berhadap- hadapan dengan ilmu.
Menurutnya, lantaran pengertian ketiga ini juga cukup menyebar di negara-negara Timur, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memilih makna filsafat mencakup logika, epistemologi, ontologi atau metafisika, teologi, psikologi teoretis (lawan psikologis empiris), estetika, etika dan politik.
Meskipun terdapat sejumlah perbedaan pendapat dan kadang-kadang filsafat dipakai hanya untuk filsafat pertama atau metafisika, dan ini bisa dikatakan sebagai makna teknis filsafat keempat.(1) Istilah “filsafat” juga
P: 113
mempunya beberapa penggunaan teknis lain yang biasanya dimodifikasi dengan kata adjektif atau genitif, seperti “filsafat ilmiah” atau “filsafat ilmu” (1) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengkritik partikularisasi oleh Barat terhadap bidang filsafat sehingga “filsafat” dipakai dalam konstruksi- konstruksi genitif seperti “filsafat moral”, “filsafat hukum”, dan lain-lain.
Menurutnya, penggunaan semacam ini acapkali digunakan oleh mereka yang mengetatkan istilah “ilmu” pada ilmu-ilmu empiris dan “filsafat” untuk bidang-bidang ilmu kemanusiaan yang tidak bisa dibuktikan lewat pengalaman indrawi. Alih-alih menggunakan “ilmu teologi”, umpamanya, kalangan ini menggunakan “filsafat teologi”. Penggunaan “filsafat” secara genitif ini semata-mata demi menyisyaratkan jenis kandungan dan topik-topik yang dibahas pada ilmu bersangkutan.(2) Demikian pula, kalangan yang tidak memandang soal-soal yang berkaitan dengan tindak-tanduk dan nilai sebagai “ilmiah” dan menganggapnya tidak mempunyai pijakan objektif dalam kenyataan dan sepenuhnya diatur oleh hasrat dan kecenderungan masyarakat, menggolongkan corak soal-soal ini dalam wilayah filsafat. Sebagai misal, alih-alih menyebut “ilmu akhlak”, mereka menyebutnya “filsafat akhlak”, dan alih-alih menyebut “ilmu politik”, mereka menyebutnya "filsafat politik” Muhammad Taqî Misbâh Yazdî juga mengkritik pelebaran pengertian filsafat yang tidak lagi membahas substansi, namun lebih menekankan pada aspek formal. Sehingga terkadang istilah filsafat dipakai untuk menjelaskan prinsip-prinsip ilmu lain. Lebih jauh, soal-soal seperti sejarah, pendiri, tujuan, metode penelitian, dan jalan perkembangan suatu ilmu juga dibahas dalam tajuk (filsafat) ini.
Istilah ini tidak khas dipakai kalangan positivis dan yang sepaham dengan mereka, melainkan juga dipakai oleh kalangan yang memandang pengetahuan filsafat dan nilai serta metode penelitian dan penyelidikannya
P: 114
sebagai “ilmiah”. Untuk menghindarkan tumpang-tindih dengan penggunaan sebelumnya, terkadang mereka mengimbuhkan kata “ilmu” pada konstruksi genitif tersebut. Misalnya, mereka menyebut “filsafat ilmu sejarah” sebagai bandingan “filsafat sejarah”, atau mereka menyebut “filsafat ilmu akhlak” sebagai bandingan “filsafat akhlak” dalam arti yang digunakan kalangan positivis.
Istilah lain yang dipakai sebagai lawan “ilmu” adalah “metafisika”.
Istilah ini sendiri berakar dari kata Yunani metataphysica. Dengan membuang ta tambahan dan mengubah physica ke fisika (physics), jadilah istilah metafisika. Kata ini di-Arab-kan menjadi hewball sesto / mâ ba’da al-thabî'ah (sesuatu setelah fisika). Metafisika (Bahasa Yunani:
uetá (meta)=”setelah atau di balik”, qúoika (phúsika)=”hal-hal di alam”) adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakikat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas.
Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang untuk merujuk pada “hal-hal yang di luar dunia fisik”. “Toko buku metafisika”, sebagai contoh, bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib, pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya. (1) Menurut penuturan para sejarawan filsafat, kata ini pertama kali digunakan sebagai judul buku Aristoteles setelah bagian Fisika dan memuat pembahasan umum tentang eksistensi. Pada Era Islam, bagian ini dinamai dengan umûr ‘âmmah (perkara-perkara umum). Sebagian filsuf Muslim merasa lebih cocok menggunakan istilah ما قبل الطبیعة mâ qabla al-thabî'ah (sesuatu sebelum fisika) untuk menamai bagian
P: 115
ini. Tampaknya, bagian di atas berbeda dengan teologi atau 6 gg.
Dalam karya-karya para filsuf Muslim, semua pembahasan di atas digabungkan dalam bagian “ketuhanan dalam arti umum. Sedangkan teologi dikhususkan denagn nama “ketuhanan dalam arti khusus”.
Sebagian mengira bahwa metafisika setara dengan “transphysical atau sesuatu di luar alam fisik (baca: adialami). Mereka menganggap penggunaan istilah tersebut untuk bagian ini sebagai contoh penggunaan istilah umum untuk sesuatu yang lebih khusus. Pasalnya, pada bagian “ketuhanan dalam arti luas”, terdapat pula pembahasan tentang Tuhan dan hal-hal mujarad (di luar alam fisik). Bagaimanapun, agaknya pengertian pertamalah yang paling tepat.
Metafisika dipakai untuk menyebut kumpulan soal-soal teoretis- intelektual filsafat dalam arti umum. Kini, istilah filsafat telah diketatkan pada soal-soal ini, dan salah satu makna baru filsafat adalah “metafisika”.
Alasan para positivis mengira soal-soal macam ini sebagai tidak ilmia ialah ketidakmungkinan mereka diverifikasi dengan pengalaman indrawi.
Begitu juga Kant menganggap nalar teoretis tidak memadai untuk memverifikasi soal-soal ini dan menyebut mereka sebagai “dialektis” atau bisa diperdebatkan dari dua sudut-pandang.(1) Namun, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, mengingat filsafat setara atau setidaknya berasal-muasal dari filsafat pertama (proto- philosopia) atau metafisika, dengan subjek “maujud mutlak” (bukan maujud secara mutlak), maka filsafat layak didefinisikan sebagai ilmu yang membahas keadaan-keadaan maujud mutlak atau ilmu yang memaparkan hukum-hukum umum ke-maujud-an; atau serangkaian persoalan yang menyangkut maujud sejauh itu adalah maujud (existent qua existent).(2)
P: 116
Sebagaimana subjek fisika elementer adalah “benda mutlak”, maka subjek metafisika adalah “maujud mutlak” atau “maujud qua maujuď”.
“Maujud mutlak(1)bukanlah subjek ilmu yang bersifat spesifik; karena itu, ilmu dengan nama metafisika atau belakangan disebut “ilmu universal” ( العلم الکلی ) ’’atau filsafat utama ( الفلسفة الاولی )mulai mengemuka (2)Dengan kata lain, pengertian filsafat di hawzah ‘Ilmiyah Qom berbeda dengan pengertian filsafat yang berkembang di Barat. Artinya, metafisika adalah induk fisafat bukan cabangnya. Semua istilah filasafat dalam bab ini mengacu pada definisi di atas.
Hal lain yang perlu diperjelas adalah subjek filsafat dalam tradisi hawzah 'Ilmiyah. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî beranggapan bahwa karena manusia menghadapi serangkaian masalah pokok dan mendasar yang tidak bisa dijawab oleh sebarang ilmu, maka mesti ada ilmu khusus yang disebut dengan metafisika atau ilmu umum atau filsafat pertama yang menjadi bidangnya. Subjek ilmu ini tidak khusus menyangkut satu jenis maujud atau zat partikular dan tertentu. Karena mencakup kedua dimensi itu, maka subjeknya mestilah berupa konsep paling universal yang berlaku pada semua yang nyata dan objektif, yaitu “maujud mutlak”, atau maujud qua maujud. Ilmu semacam ini patut diberi gelar “induk segala ilmu”. Karena ia mendahului ilmu, maka konsep masalah utama filsafat (baca: maujud) adalah aprior (self-evident) dan tidak
P: 117
membutuhkan pada definisi, yang didasarkan pada ilmu yang berada pada urutan setelah filsafat.
Menurut penulis, pendapat Muhammad Taqi Misbâh yang membatasi subjek filsafat hanya pada wujud menimbulkan ambiguitas, karena mestinya subjek filsafat berbeda dalam cakupan dengan ontologi yang juga menjadikan wujud sebagai subjek pembahasannya. Itulah sebabnya mengapa istilah ontologi kurang digunakan dalam literatur filsafat di hawzah ‘Ilmiyah Qom, karena ontologi telah diperlakukan sama dengan filsafat. Akibatnya, bangunan anatomi ilmu yang memposisikan filsafat sebagai induk pengetahuan menimbulkan tanda tanya. Mungkin yang perlu diperjelas oleh Muhammad Taqi Misbah memposisikan filsafat sebagai induk lalu membaginya dalam filsafat teoritis dan filsafat praktis dengan semua bagiannya.
Karena subjeknya adalah sesuatu yang mendului konsep itu sendiri, yaitu wujud, maka filsafat tidak memerlukan prinsip-prinsip konseptual, sedangkan definisi pokok-pokok masalah partikularnya tertera pada permulaan setiap pembahasan—sebagaimana biasanya terjadi dalam ilmu-ilmu lain. (1) Sejak pertama kali Socrates menyebut dirinya sebagai filsuf, istilah filsafat digunakan sebagai lawan dari sophistry (ke-sophis-an atau kerancuan berpikir), dan memuat seluruh ilmu hakiki seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi, matematika dan teologi. Sampai sekarang, dalam banyak perpustakaan terkenal dunia, buku-buku fisika dan kimia masih dikelompokkan dalam kategori filsafat. Haya bidang-bidang berdasarkan kesepakatan seperti bidang kosakata, tata kalimat dan tata bahasa yang berada di luar wilayah filsafat.
Atas dasar itu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî lebih memilih pola pembagian Yunani daripada pola pembgain modern, dengan menjadikan filsafat sebagai kata umum untuk seluruh ilmu hakiki, yang
P: 118
dibagi menjadi dua kelompok umum: ilmu-ilmu teoretis dan praktis.
Ilmu-ilmu teoretis meliputi ilmu-ilmu alam, matematika dan teologi.
Ilmu-ilmu alam pada gilirannya meliputi kosmogoni, mineralogi, botani dan zoologi; matematika meliputi aritmetika, geometri, astronomi dan musik. Teologi dibagi menjadi dua kelompok: metafisika atau perbincangan umum seputar wujud; dan teologi ketuhanan. Ilmu-ilmu praktis bercabang tiga: moralitas atau akhlak; ekonomi. (1) Karena perbedaan makna yang disebutkan tentang ilmu dan filsafat, hubungan di antaranya juga menjadi berbeda sesuai dengan makna yang digunakan. Jika “ilmu” dipakai untuk arti kesadaran secara tidak terikat, atau jika ia dipakai untuk arti kumpulan proposisi yang saling berkaitan, maka ia artinya jadi lebih umum daripada filsafat. Soalnya, ia mencakup proposisi-proposisi partikular dan ilmu-ilmu konvensional. Jika ilmu dipakai untuk arti proposisi-proposisi universal hakiki, ia menjadi setara dengan filsafat dalam arti kuno. Jika dipakai untuk arti proposisi- proposisi empiris, ia menjadi lebih sempit daripada filsafat dalam arti kuno dan bertentangan dengan filsafat dalam arti modern. Demikian pula, metafisika merupakan bagian filsafat dalam arti kuno dan setara dengann filsafat dalam salah satu makna modernnya.
Demikian ia menjelaskan:
Perlu dicatat bahwa pertentangan filsafat dan ilmu dalam arti modern, seperti diketengahkan oleh para positivis, tidak lain bertujuan untuk merendahkan nilai filsafat dan mengingkari kedudukan akal dan nilai pemahaman intelektual. Anggapan itu jelas-jelas tidak benar.
Saat mengupas epistemologi, saya akan menerangkan bahwa nilai pemahaman intelektual bukan saja tidak kurang dibandingkan dengan pengetahuan indrawi dan hasil pengalaman (experiential), melainkan lebih tinggi daripada keduanya. Bahkan, nilai pengetahuan hasil pengalaman bermuara pada nilai pemahaman intelektual dan proposisi-proposisi filsufis.
P: 119
Atas dasar itu, penyempitan makna ilmu pada pengetahuan empiris dan filsafat pada sesuatu yang non empiris bisa diterima kalau hanya sebatas perkara terminologi, tetapi perbedaan kedua istilah itu tidak untuk mencitrakan soal-soal filsafat dan metafisika sebagai persangkaan kosong. Demikian pula, label “ilmiah” tidak memberikan keunggulan pada suatu kecenderungan filsufis. Label itu laksana tambalan yang tidak pas pada filsafat, sehingga hanya akan menandakan kebodohan dan upaya demagogis pemasangnya.
Klaim bahwa prinsip-prinsip filsafat seperti materialisme dialektika berasal dari hukum-hukum empiris adalah keliru, lantaran tiada hukum- hukum suatu ilmu (empiris) yang dapat digeneralisasikan pada ilmu lain, apalagi pada seluruh eksistensi. Misalnya, hukum-hukum psikologi dan biologi tidak dapat digeneralisasikan pada fisika atau kimia atau matematika dan demikian pula sebaliknya. Hukum-hukum suatu ilmu tidak berarti apa-apa di luar bidangnya sendiri.(1) Dari penjelasan diatas, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengajukan alasan pemilahan ilmu. Menurutnya, masalah-masalah yang bisa dikenali merupakan spektrum yang luas. Dalam spektrum itu, sebagian masalah saling berhubungan erat, sedang sebagian lainnya tidak. Pada sisi lain, pemahaman satu jenis pengetahuan bergantung pada pemahaman lainnya, atau paling tidak pemahanan satu jenis pengetahuan membantu pemahaman lainnya, sementara hubungan ini tidak terwujud pada jenis- jenis pengetahuan lainnya.
Menurutnya, karena adanya fakta bahwa memperoleh seluruh pengetahuan mustahil bagi seseorang, dan kalaupun mungkin, tidak semua tergerak untuk itu, sejak dahulu para pengajar memutuskan untuk secara jitu mengklasifikasi topik-topik yang bertalian, kemudian menentukan pelbagai tipe ilmu dan pengetahuan. Beragam ilmu dikategorikan dan kebutuhan atas masing-masingnya dijabarkan, dan akibtanya prioritas masing-masing tertandaskan. Dengan begitu, pertama, seorang yang berbakat dan berselera tertentu bisa menemukan apa yang dicarinya dari
P: 120
tumpukan masalah tak berbilang dan jalan untuk mencapai tujuannya.
Kedua, orang yang hendak mengenal bidang pengetahuan lain bisa mengetahui titik memulai dan mempermudah jalan untuk memperoleh bidang pengetahuan lain itu.
Oleh sebab itu, ilmu-ilmu dipilah-pilah ke dalam beberapa bagian.
Tiap-tiap bagian, pada gilirannya, diletakkan pada kategori dan tingkat tertentu. Secara umum, ilmu dibagi menjadi teoretis dan praktis. Ilmu- ilmu teoretis dipecah menjadi ilmu-ilmu alam, matematika dan ketuhanan, sedang ilmu-ilmu praktis dipecah menjadi etika, ekonomi rumah tangga dan politik—sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Setelah menjelaskan pendapatnya tentang kemestian klasifikasi ilmu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî membahas tolok ukur dan dasar klasifikasinya. Menurutnya, ilmu dapat diklasifikasi sesuai dengan beragam standar, di antara yang terpenting adalah sebagai berikut.
Menurut metode dan prosedur penelitian. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa semua soal tidak bisa dikaji dan diteliti dengan satu metode. Berdasarkan metode umum penyelidikannya, semua ilmu dapat dipecah menjadi tiga kelompok:
1. Ilmu-ilmu rasional, yang diselidiki lewat bukti-bukti rasional dan penyimpulan mental belaka, seperti logika dan filsafat ketuhanan.
2. Ilmu-ilmu empiris, yang diverifikasi lewat metode-metode empiris, seperti fisika, kimia dan biologi.
3. Ilmu-ilmunukilan(narrative sciences), yang ditilik lewat dokumentasi naratif atau historis, seperti sejarah, biografi (‘ilm al-rijâl) dan fiqh.
Menurut tujuan dan sasaran. Tolok-ukur lain untuk mengelompokkan ilmu ialah berdasarkan pelbagai manfaat dan akibatnya. Hal inilah tujuan dan sasaran yang dituju oleh mereka yang hendak mempelajarinya, semisal tujuan-tujuan material, spiritual, individual, dan sosial dari ilmu bersangkutan. Jelas bahwa orang yang hendak mencari jalan penyempurnaan spiritual harus mempelajari berbagai hal yang tidak dibutuhkan oleh seorang yang ingin menjadi hartawan dengan bertani dan berindustri. Begitu pula seorang pemimpin masyarakat membutuhkan
P: 121
jenis pengetahuan yang khusus. Karenanya, ilmu-ilmu manusia juga bisa diklasifikasi sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut.
Menurut pokok soal (subject matter). Mengingat bahwa semua masalah mempunyai pokok soal dan sejumlah soal bisa dihimpun dalam satu topik induk, maka topik induk inilah yang berperan sebagai poros bagi semua masalah yang di bawahnya, seperti angka adalah pokok masalah aritmatika, volume (kuantitas-kuantitas bersinambung) adalah pokok masalah geometri dan tubuh manusia adalah pokok masalah ilmu kedokteran.
Klasifikasi ilmu berdasarkan pokok-pokok masalah kiranya lebih menjamin tercapainya tujuan pemilahan ilmu, lantaran dengan metode ini kaitan-kaitan internal dalam tatanan dan susunan mereka tetap terpelihara.
Oleh sebab itu, sejah dahulu para filsuf besar menggunakan metode ini dalam klasifikasi ilmu. Tetapi, dalam subdivisinya dapat dipertimbangan metode-metode lain. Umpamanya, seorang bisa menetapkan suatu ilmu bernama teologi, yang pokok masalahnya berkisat tentang Tuhan Mahabesar. Kemudian, ilmu ini sendiri dapat disubdivisikan ke dalam teologi filsufis, gnostis dan religius, yang masing-masingnya dapat diselidiki dengan prosedur yang khas. Dalam kenyataannya, tolok-ukur subdivisi ini ialah metode penelitiannya. Dengan cara yang sama, pokok masalah matematika bisa dibagi menjadi beberapa cabang berdasarkan tujuan spesifiknya masing-masing, seperti matematika, fisika, dan matematika ekonomi.
Selanjutnya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menjelaskan tujuan studi filsafat. Menurutnya, tujuan jangka pendek dan langsung semua ilmu adalah menyadarkan manusia terhadap pelbagai masalah yang terungkap dalam ilmu tersebut, serta memuaskan dahaga kodratinya untuk memahami kebenaran. Pasalnya, salah satu naluri paling mendasar manusia adalah mencari kebenaran atau keingintahuan yang tidak terhingga dan tidak terpuaskan. Pemuasan relatif atas naluri ini akan memenuhi salah satu kebutuhan jiwa. Walaupun tidak semua individu memilikinya dalam tingkat yang sangat aktif dan penuh gelora, namun
P: 122
naluri ini tidak pernah sepenuhnya lenyap dari diri manusia. (1) Pada galibnya, setiap ilmu mempunyai pelbagai manfaat dan dampak tidak langsung serta bertindak sebagai medium kehidupan material dan spiritual manusia. Umpamanya, ilmu-ilmu alam lebih memudahkan proses pemanfaatan alam dan meningkatkan kesejahteraan fisik manusia, serta terpaut dengan kehidupan alami dan hewani manusia melalui satu sarana. Matematika memiliki dua medium untuk mencapai tujuan-tujuan di atas-kendati dengan cara lain, dapat pula memengaruhi kehidupan spiritual dan dimensi maknawi manusia. Khususnya, saat matematika berkelindan dengan isu-isu filsafat, ketuhanan, dan penghayatan gnotis ('irfâniyyah) hati, serta membeberkan gejala-gejala alam sebagai imbas keteraturan, keagungan, kebijaksanaan, dan kasih sayang (luthf) ilahi. (2) Hubungan dimensi-dimensi spiritual dan maknawi manusia dengan ilmu-ilmu filsafat lebih dekat daripada hubungannya dengan ilmu-ilmu alam. Bahkan, ilmu-ilmu alam berhubungkan dengan dimensi maknawi manusia melalui perantaraan ilmu-ilmu filsafat. Hubungan tersebut paling tampak dalam teologi, psikologi filsufis, dan etika. Demikian itu karena filsafat ketuhanan (teologi) memperkenalkan seseorang kepada Tuhan, Sang Mahabesar, berikut sifat-sifat keindahan dan keagungan- Nya, seraya mempersiapkan manusia untuk berhubungan dengan sumber pengetahuan, kekuasaan, dan keindahan tidak terhingga.
Psikologi filsufis, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, memudahkan manusia untuk mengenali ruh berikut sifat-sifat dan ciri-cirinya serta menggugah kesadaran terhadap substansi (jawhar) kemanusiaan. Ia memperluas cakrawala seputar hakikat diri manusia, seraya mengajaknya melampaui alam fisik berdimensi spasio-temporal (ruang-waktu). Selain pula memasok pemahaman bahwa hidup manusia tidaklah terbatas dan terkungkung dalam bingkai kehidupan duniawi dan material yang serba sempit dan gelap. Etika dan akhlak menjabarkan pola-pola menyucikan dan menghiasi kalbu serta menggapai kebahagiaan
P: 123
abadi dan kesempurnaan puncak. (1) Dalam upaya mencecap semua pengetahuan tidak terhingga itu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menyarankan sejumlah masalah dalam epistemologi dan ontologi mestilah dipecahkan terlebih dahulu. Karena itu, menurutnya, filsafat pertama merupakan kunci perbendaharaan tidak terhingga dan tidak tertandingi, yang menjajakan kebahagian dan keuntungan abadi itu. Itulah akar yang diberkahi dari “pohon yang baik”.
Setiap saat ia membuahkan beraneka kebajikan spiritual dan intelektual serta kesempurnaan spirtual dan Ilahi yang tiada habis-habisnya. Dengan demikian, ia berperan sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi kesempurnaan dan kememuncakan manusia. (2) Selain itu, filsafat juga membantu manusia menghalau godaan was- was setan dan menampik gelenyar materialisme dan ateisme; menjaganya dari penyimpangan berpikir dan ragam jerat yang memerangkap; melindunginya dengan senjata pamungkas di arena adu gagasan dan membuatnya mampu membela pandangan-pandangan dan aliran-aliran yang benar, sekaligus menyerbu dan membidas pandangan-padangan dan aliran-aliran keliru, palsu, dan tidak sehat. (3) Selain dengan unik berperan positif dan konstruktif, filsafat juga punya peran tidak tertandingi dalam hal pertahanan dan serangan. Pengaruhnya sungguh kuat dalam konteks penyebaran budaya Islam serta penggusuran budaya-budaya lawan.
Dari penjelasannya tentang subjek dan tujuan filsafat, penulis menyimpulkan bahwa Muhammad Taqî Misbah Yazdî berpandangan bahwa filsafat yang terutama adalah ontologi, dan yang terutama dalam ontologi adalah teologi, dan bahwa tujuan ultimumnya adalah pengenalan terhadap Causa Prima, Tuhan.
Menurut penulis, sebagaimana pada kritik atas penentuan Muhammad Taqi Misbah terhadap subjek dan pengertian filsafat dan subjek ontologi yang menyisakan tanda tanya, klarifikasinya tentang isytirak lafzhi dan isytirak ma'nawi kata ‘wujud merupakan indikasi nyata ketidadisiplinan
P: 124
para filsuf hawzah pada khususnya dan para filsuf Muslim pada umumnya dalam menggunakan terminologi. Sedemikian rancu dan menimbulkan penafsiran ganda pengertian di balik kata “wujud” sehingga Muhammad Taqî Misbâh perlu membahas masalah ini secara panjang lebar. Harus diakui, langkah dan inisiatif ini sangat berguna, namun pada saat yang sama, ini memberikan kesan bahwa sebagian polemik dalam literatur filsafat Islam boleh jadi diakibatkan oleh sengketa etimologis dan hermuentik, bukan filsufis.
Karena menyadari adanya kerancuan istilah dan pengertiannya dalam pembahasan tema-tema filsafat, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî merasa perlu memulai membahas dan mengkarifikasi (al-isytirak al-lafdhi), dengan harapan agar perbedaan-perbedaan dalam makna dan makna- makna teknis suatu kata dalam pembahasan filsafat dapat ditangkap dengan benar dan tidak mengalami distorsi. Menurutnya, dalam semua bahasa (sejauh yang saya ketahui), terdapat kosakata yang mempunyai makna harfiah yang umum diterima masyarakat dan makna teknis. Hal inilah yang disebut dengan homonimitas (kesekataan), bill sljüy! | isytirâk al-lafzhy. Sebagai misal, dalam bahasa Persia, kata dûsy mempunyai arti ‘tadi malam”, “pundak' dan ‘mandi', dan kata syîr (dalam bhasa Persia) dipakai untuk menunjuk ‘singa', 'susu' dan ‘kran'.
Keberadaan homonimitas berperan penting dalam sastra dan sajak.
Tetapi, dalam ilmu pengetahuan, utamanya dalam filsafat, ia melahirkan berbagai kesulitan. Khususnya apabila makna-makna yang berbeda itu sangat dekat satu sama lain hingga membedakannya menjadi pelik.
Banyak kekeliruan (kesalahan) timbul akibat homonimitas seperti ini, dan adakalanya para pakar pun terjebak dalam perangkapnya.
Atas dasar itu, beberapa filsuf besar, seperti Ibn Sina, harus menjernihkan makna pelbagai istilah dan nuansa-nuansa perbedaan
P: 125
antara satu makna teknis dan makna teknis lainnya sebelum memulai perbincangan filsafat yang tepat, supaya kebingungan dan kekeliruan dapat dielakkan. Ia mengilustrasikan makna ambigu dari kata jabr yang kerap melahirkan banyak kesalahpahaman, yaitu istilahجبر / jabr. Makna harfiah jabr adalah menutupi atau membuang kekurangan. Selanjutnya, kata ini dipakai dalam artian “membalut tulang patah”. Mungkin ia mengambil makna kedua itu karena membalut luka adalah cara menutupi kekurangan. Boleh jadi, kata ini mula-mula dipakai untuk membalut luka kemudian dirampatkan (generalized) untuk semua tindakan menutupi semua jenis kekurangan atau kecacatan. Makna ketiga kata ini adalah memaksa atau menekan seseorang. Mungkin ia mengambil makna ini akibat perampatan (generalization) atas kemestian tindak membalut tulang patah. Yakni, karena membalut tulang patah biasanya mengharuskan bagian yang patah untuk ditekan agar bisa benar-benar rapat, perampatan ini lantas mencakup semua tindakan orang untuk menekan pihak lain secara paksa. Mungkin saja mula-mula kata ini dikapai cuma untuk tekanan fisik lalu tekanan mental, dan akhirnya konsep ini direnggangkan hingga mencakup semua jenis perasaan tertekan, sekalipun tidak diakibatkan oleh pihak lain.
Sedangkan salah satu makna ilmiah jabr dipakai dalam matematika dalam arti kalkulasi yang menggunakan tanda-tanda atau huruf-huruf untuk menggambarkan atau mewakili angka-angka (aljabar). Boleh jadi makna ini dipakai karena dalam kalkulasi-kalkulasi aljabar kuantitas positif dan negatif saling menutupi (mengkompensasi) atau karena kuantitas yang tidak diketahui pada satu sisi persamaan menjadi diketahui dengan melihat pada sisi lain atau dengan mengalihkannya ke sisi lain, dan kesemuanya itu membawa makna harfiah jabr.
Makna teknis lainnya terkait dengan psikologi, dan dipakai sebagai lawan dari kehendak-bebas. Serupa dengan makna itu adalah masalah ‘kehendak-bebas dan determinisme yang dikaji dalam teologi. Istilah ini juga dipakai dalam etika, hukum dan fikih. Penjelasan masing-masingnya akan terlalu panjang.
P: 126
Sejak masa lampau konsep jabr (sebagai lawan kehendak-bebas) dikacaukan dengan kepastian, keniscayaan dan keniscayaan filsufis ( الوجوب الفلسفی al-wujûb al-falsafy). Dalam kenyataannya, istilah jabr telah dirancukan dengan kepastian dan keniscayaan, dan “determinisme” sering dianggap sebagai padanannya dalam bahasa-bahasa asing (non- Arab dan Persia). Juntrungnya, terciptalah waham bahwa setiap kali ada keniscayaan (hubungan) sebab-akibat, kehendak-bebas tiada.
Sebaliknya juga demikian: pengingkaran kepastian dan keniscayaan berarti peneguhan kehendak-bebas.
Dampak waham ini kentara sekali dalam beberapa masalah filsafat.
Umpamanya, para teolog terdahulumenyangkalkeniscayaankausal dalam kaitan dengan pelaku-pelaku berswakarsa ( liso mukhtâr). Buntutnya, mereka menuduh para filsuf tidak meyakini Tuhan yang Mahasuci bersifat swakarsa. Pada sisi lain, para determinis (jabriyyûn) meyakini adanya nasib tertentu sebagai dalil pendapat mereka. Di seberangannya, kaum Mu'tazilah yang meyakini kehendak-bebas mengingkari adanya nasib atau takdir pasti. Padahal, jabr sama sekali tidak tersambit dengan soal kepastian takdir atau nasib. Semua gegap-gempita yang bersejarah panjang ini sebenarnya diakibatkan oleh tumpang-tindih antara konsep jabr dan keniscayaan.
Walhasil, munculnya homonimitas, khususnya bilamana makna- maknanya saling berdekatan atau bermiripan, telah membawa pelbagai masalah dalam pembahasan-pembahasan filsafat. Kepelikan-kepelikan ini berlipat-ganda manakala dalam satu ilmu terdapat satu istilah yang mempunya banyak makna teknis, seperti istilah “intelek' ( عقل laql) dalam filsafat dan istilah “esensial (ذاتی/dzâty) dan “aksidental (عرضی ardhy) dalam logika. Oleh sebab itu, jelas sekali kita mesti menjabarkan aneka-rupa makna dan menentukan makna yang dituju dalam masing- masing pembahasan.
Menurut penulis, klarifikasi Muhammad Taqi Misbâh Yazdî ini mengantisipasi kerancuan yang dikhawatirkan menghinggapi para peneliti filsafat Hawzah ‘Ilmiyah saat memasuki pembahasan wujud
P: 127
dan maujud. Salah satu persoalan yang rentan disalahpahami adalah kata wujud. Lebih-lebih ketika Mullâ Sadrâ membagi pengertian wujud ke dalam wujud kopulatif (wujud rabthi) dan wujud predikatif (wujud hamli).
Selain mempunyai dua konsep substantif dan bebas (subjek dan predikat), proposisi-proposisi logika juga mempunyai konsep lain yang menunjukkan hubungan di antara keduanya. Dalam bahasa Indonesia, konsep penghubung itu disimbolkan secara verbal dengan adalah atau ast (است) dalam bahasa Persia atau is dalam bahasa Inggris. Tetapi, bahasa Arab tidak mempunyai padanan untuk konsep penghubung seperti itu, melainkan susunan-susunan kalimatnya yang menunjukkan hubungan tersebut (dengan ciri khas hukum gramatik yang berlaku atas kata yang berposisi sebagai mubtada' (subjek) bila terbentuk mu'arraf dan sebagai khabar bila terbentuk munakkar sviso dan ). Konsep itu mirip dengan konsep verbal, seperti konsep-konsep yang menggunakan preposisi yang tidak bisa dipahami secara independen, melainkan mesti dipahami melalui konteks kalimat. Para ahli logika menyebut makna verbal ini dengan ‘wujud relasional (وجود رابط atau,وجود ربطی ). Makna “wujud” ini dilawankan dengan makna substantifnya yang dapat dijadikan sebagai predikat bagi subjek faktual, dan karenanya dinamakan ‘wujud predikatif' (وجود حملی).
Dalam al-Asfâr al-Arba'ah, Mullâ Sadrâ menegaskan bahwa penggunaan kata "wujud” pada makna kopulatif itu merupakan istilah khas yang berbeda dengan makna umumnya yang substantif dan independen. Karena itu, penggunaan kata wujud untuk dua makna dan . pengertian berbeda ini mestilah dilihat sebagai ekuivokasi (اشتراک لفظی) Meski berusaha untuk memberikan justifikasi atas penggunaan yang terkesan serampangan ini, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî terlihat sangat kecewa dengan ketidakdisiplinan sebagian filsuf Muslim, yang ceroboh menyangka bahwa konsep wujud berlaku secara univokal. Sebagian lain bahkan mencoba mengisbatkan (mengafirmasi) wujud nyata (entified existence, wujud ‘aini) dalam konsep relasional itu. Muhammad Taqî
P: 128
Misbâh Yazdî mencontohkan kerancuan itu saat para filsuf menggunakan contoh sebagai berikut: Saat kita berkata, misalnya, “Ali adalah orang yang berilmu”, maka kata Ali, misalnya, menunjukkan orang tertentu dan berilmu menunjukkan keberadaan ilmu eksternal, sedangkan konsep hubungan yang diisyaratkan dengan adalah dalam perkataan tersebut merujuk pada hubungan objektif antara ilmu dan Ali. Dengan demikian, dalam konteks eksternal terdapat juga apa yang disebut dengan wujud relasional tersebut.
Menurutnya, kerancuan dan pencampura-adukan ini terjadi karena ketidakmampuan mereka membedakan konsep-konsep dan prinsip- prinsip logika dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip filsafat (ontolog). Akibatnya, prinsip-prinsip logika yang hanya mengatur proposisi diperluas hingga mencakup (prinsip-prinsip yang mengatur) instanta-instanta objektf. Atas dasar itu, kalangan ini mengingkari adanya hubungan dalam proposisi sederhana (yaitu dalam pernyataan “X adalah maujud”), lantaran orang tidak bisa membayangkan hubungan sesuatu dengan dirinya sendiri.
Akan tetapi, hubungan dalam proposisi yang merujuk pada sesuatu yang sederhana tidak meniscayakan wujud objektif hubungan itu dalam instanta (aktual-individualnya), malahan mustahil menganggap hubungan semacam itu sebagai sesuatu yang terjelmakan secara objektif. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa hubungan dalam ‘proposisi sederhana' (yaitu proposisi eksistensial yang menyatakan wujud sesuatu) merupakan tanda kemanunggalan instanta (aktual-individual) subjek dengan instanta predikatnya (yaitu perwujudan luarnya). Adapun dalam ‘proposisi-proposisi kompleks' (yang tidak menyatakan wujud subjek), hubungan semacam itu menandakan kesatuan objektif subjek dan predikat.
Secara implisit Muhammad TaqîMisbâh Yazdîmenyesalkan intervensi Mullâ Sadrâ yang terkesan ‘asal comot' terminologi yang sudah mapan dalam bidang lain, yaitu logika, untuk digunakan dalam pembahasan ontologi. Menurutnya, mestinya bahasan-bahasan filsafat (ontologi,
P: 129
maksudnya) tidak mengandalkan otak-atik bahasa. Ia menjelaskan bahwa mestinya aturan-aturan gramatika dan linguistika tidak dijadikan sebagai landasan pemecahan tema-tema filsafat. Diperlukan kewaspadaan agar tidak terjebak pada ciri-ciri kata untuk mengetahui konsep-konsep secara tepat dan agar ciri-ciri konsep tidak merancukan pengetahuan tentang prinsip-prinsip segenap maujud yang menjelma (entified existents). (1) Menurut penulis, penolakan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî diatas lebih disebabkan oleh banyaknya kompilasi dan elaborasi yang terkesan "serampangan”. Penolakannya terhadap penggunaan argumentasi logika dalam bidang filsafat juga disadarkan pada kekhawatiran munculnya kesalahpahaman sebagai akibat dari ketidakcermatan membedakan konteks satu kata yang digunakan dengan dua pengertian berbeda.
Namun, semestinya penolakan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî diatas tidak bersifat permanen karena hal itu malah menunjukkan bahwa filsafat, yang diyakininya sebagai induk ilmu, adalah sebuah bidang ilmu yang tidak melampaui dan meliputi bidang ilmu lain.
Salah satu temuan Muhammad Taqî Misbâh Yazdî adalah usahanya untuk memperjelas posisi universalia (al-amafahim al-kulliyyah) sebagai bekal bagi setiap pengkaji filsafat sebelum memasuki bidang-bidangnya.
Ia mengklasifikasinya secara umum dalam dua kategori: Pertama, universalia, yaitu pengetahuan hushûlî yang tidak akan berubah meski objeknya mengalami perubahan. Gambar atau konsep rumah’, misalnya, dalam diri dan benak arsitek atau tukang bangunan saat membangunnya, tidak akan pernah berubah meski realitas dan objek rumahnya berubah atau bahkan hancur.
Kedua, partikularia, yaitu pengetahuan hushûlî yang berubah karena 'objek yang diketahui’-nya mengalami perubahan. Contohnya, pengetahuan saya melalui indra mata tentang ‘gerak Agus' ketika sedang
P: 130
bergerak. Bila Agus tidak lagi bergerak, maka pengetahuan saya (tentang gerak Agus saat bergerak) akan berubah. Contoh lain, konsep tentang “Socrates” yang hanya berlaku terhadap sosok objektif tertentu yang pernah hidup di Yunani dan menjadi guru Plato.(1) Selanjutnya, berdasarkan sumber kemunculannya, partikularia terbagi dalam tiga jenis: Pertama, partikularia parsial sensual (juz'iyyah hissiyyah), yaitu konsep parsial yang muncul akibat pengindraan langsung dengan objeknya yang ada di sekelilingnya, seperti konsep atau gambar telapak tangan kiri yang tengah disaksikan dengan kasat mata atau diraba dengan tangan kanan.
Kedua, partikularia imajinatif (juz'iyyah khayâliyyah), yaitu konsep parsial yang muncul akibat mengingat dan membayangkan (imagine) suatu objek yang telah diindra, seperti gambar atau konsep telapak tangan kiri tadi saat kita merogoh kocek. Parsial imajinatif dalam terminologi David Hume disebut “idea”, sedangkan parsial sensual disebut “impresi”.
Ketiga, partikularia intuitif, yaitu konsep parsial yang muncul dari kondisi-kondisi emosional dan perasaaan psikologis, seperti konsep tentang cinta, benci, jengkel, malu, dan lain-lain. Sebagian pakar memaknai partikularia intuitif sebagai perasaan psikologis itu sendiri.
Namun, akan lebih tepat jika makna-makna itu digolongkan dalam pengetahuan hudhûrî.(2) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî bahkan menyayangkan keteledoran para filsuf Barat, seperti Immanuel Kant dan Hegel, dalam menggunakan terminologi tanpa rujukan yang jelas. Hal ini bukan hanya tidak dapat dipahami, melainkan malah membingungkan. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî membahas masalah kerancuan dalam memahami universalia ini secara mendetail. (3)
P: 131
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî merasa perlu mengulas secara terperinci tema al-ma`qûlat demi menghindarkan peminat filsafat dari kekeliruan yang muncul akibat kerancuan memahami perbedaaan pengertian di balik terminologi yang sama. Karena itulah, pertama- tama, ia berusaha menjelaskan titik perbedaan dan signifikansi konsep- konsep yang hanya berbasis pada prinsip ashalah al-wujud, yang disebut ma`qûlat falsafiyyah.(1) Di hadapannya terhampar istililah-istilah yang hanya digunakan bukan untuk menunjuk sesuatu yang hadir secara objektif, namun diperlakukan sebagai sesuatu yang riil. Sebagaimana diakui Muhammad Taqi Misbah Yazdî sendiri, konsep-konsep esensial hanyalah bersifat artifisial namun harus selalu disertakan dalam pembahasan ontologi. Konsep-konsep universal (universalia) inilah yang disebut dengan ma'qûlat awwaliyyah mâhawiyyah.(2) Dalam pada itu, universalia terdiri dari dua jenis. Pertama, konsep primer atau universalia esensial (maʼqûlât mâhawiyyah), yaitu konsep universal yang tercerap benak setelah menetapkan individu-individu yang berada dalam himpunannya, seperti konsep tentang pena, buku, dan manusia. Universalia jenis ini merupakan konsep universal yang diidentifikasi setelah pertanyaan ‘apakah itu' (mâ hiya). Dengan kata lain, ia menjelaskan ke-apa-an (whatness) atau esensi sesuatu. Oleh karena itu, universalia ini disebut juga universalia esensial atau maʼqûl awwali atau maʼqûl mâhawî. Lebih jauh, ia juga didefinisikan sebagai konsep-konsep yang dicerap dari realitas objektif. Universalia primer atau esensial (kulli awwali) adalah konsep-konsep yang menentukan batas wujud esensi dan
P: 132
realitas segala sesuatu, seperti genus dan diferensia bagi esensi spesies manusia. Namun, sebagian filsuf memasukkannya dalam himpunan universalia sekunder.
Kedua, konsep universal (universalia) sekunder atau ma`qûlât tsânawiyyah. Universalia sekunder ini tidak berkaitan dengan pertanyaan ‘apakah”.(1) Berkenaan dengan universalia primer (maʼqûlât mâhawiyyah), Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengemukakan sejumlah kekhasannya, di antaranya:
a) Universalia primer diperoleh melalui kontak langsung antara fakultas mental dan realitas objektif segala sesuatu. Artinya, ia bergantung sejak awal pada peran alat-alat indra; b) Universalia primer dapat disandangkan pada entitas-entitas objektif, seperti konsep ‘manusia' yang disandangkan pada Agus, Budiman, dan Ahmad, sehingga dikatakan ‘Budiman adalah manusia”; c) Universalia primer merupakan komunikator dan indikator esensi segala sesuatu. Dengan kata lain, ia memperjelas batas segala sesuatu.
Sedangkan universalia sekunder, menurutnya lagi, terbagi dalam dua jenis:
Universalia sekunder logis atau universalia sekunder artifisial, yang merupakan konsep-konsep universal yang menjelaskan karakter segala konsep mental, seperti spesies, genus, definisi, proposisi atau universalia dan partikularia, antesenden dan konsekuen, dan sebagainya. Objek-objek tersebut hanya eksis secara mental. Istilah-istilah dalam logika muncul dari sini. Ia juga disebut maʼqûl tsânawi manthiqi atau maʼqûlât kulliyyah tsanawiyyah manthiqiyyah yang merupakan konsep-konsep universal yang perwujudannya hanya terjadi dalam benak, seperti konsep mengenai ‘konsep’, ‘manifes', 'proposisi’, dan istilah-istilah yang digunakan dalam logika.(2) Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, konsep-konsep sekunder
P: 133
logis sebenarnya tidak termasuk dalam kategori universalia sekunder dalam pandangan sebagian filsuf, melainkan termasuk ‘universalia primer'.(1) Universalia sekunder eksistensial atau universalia filsufis ontologis; konsep-konsep universal yang menjelaskan kenyataan atau hakikat sesuatu, serta sifat-sifat eksistensi, seperti konsep ‘ada’, ‘mungkin', sebab, akibat, dan lain-lain. Konsep universal ini biasanya muncul lewat pengamatan dan perbandingan mental di antara konsep-konsep yang ada di dalammya.
Istilah-istilah dalam metafisika dan ontologi merupakan produk konsep-konsep ini. Para filsuf abad Pertengahan menyebut universalia ini sebagai ihwal transendental. Ia juga disebut maʼqûl tsanawî falsafi atau maʼqûlât kulliyyah tsânawiyyah falsafiyyah,(2) yaitu konsep-konsep yang dilahirkan dalam bidang filsafat melalui komparasi dan diskusi.
Istilah-istilah dalam ontologi atau metafisika adalah produk dari universalia pertama; seperti pengertian “kausa” (illah) dan “efekta” (ma`lûl) yang disimpulkan secara reflektif melalui interaksi kongkrit.(3)
P: 134
Selanjutnya, Muhammad Taqî Misbah Yazdî, sebagaimana Mullâ Sadrâ, memilah universalia ontologis ke dalam tiga jenis: 1) Pasti ada (wujûb), yaitu keberadaan (ke-ada-an) sesuatu yang tidak diakibatkan penyebab lain atau sesuatu yang eksis secara pasti dan niscaya. Hal inilah yang disebut wâjib al-wujûd li dzâtihi. Dengan kata lain, ‘keniscaya- ada-an' adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat; 2) Pasti tiada (imtinâ'), yaitu kenir-ada-an yang tidak diakibatkan penyebab selain dirinya, atau 'sesuatu yang tiada secara pasti dan niscaya. Dengan kata lain, keniscaya-tiada-an adalah bentuk hubungan niscaya antara subjek dan predikat; 3) Tidak pasti (imkân), yaitu ke-ada-an sesuatu yang diakibatkan sebab yang mengadakannya, atau sesuatu yang ke-ada-an dan ketiadaannya tidak pasti. Hal inilah yang disebut dengan wâjib al-wujûd li ghairihi. Dengan kata lain, ketidakpastian' (imkân) adalah bentuk hubungan tidak niscaya antara subjek dan predikat.(1) Ketiga pembagian di atas dipahami berkat pengamatan terhadap relasi konsep dengan wujûd. Oleh karena itu, wujûb, imkân, dan imtinâ’ merupakan sifat-sifat relasi. Dengan demikian, maqsam (pokok pembagian)nya adalah relasi, dan bagian-bagiannya adalah wujûb, imkân, atau imtinâ'. Ketiga bagian ini juga, dengan relasi sebagai maqsamnya, masih sebatas konsep yang yang dibahas dalam logika. Maqsam semua itu bukanlah wujûd muthlaq, apalagi wujûd dzihnî (eksistensi mental) sebagai qism (bagian)nya, karena wujud muthlaq hanya terbagi dua; wujûb dan imkân.
Muhammad Taqî Misbâh Yazdî mengkritik pembagian Thabâthabã’î dalam dalam Nihâyat al-Hikmah di atas. Menurutnya, pembagian itu tidak bersifat filsufis karena lebih patut dianggap sebagai bagian dari tema-tema logika.(2) Sebenarnya, dalam filsafat Sadrian terdapat universalia universal maupun partikular, mengikuti prinsip pembagian lain, yang dapat
P: 135
dikategorikan ke dalam beberapa tipologi. Pertama, gagasan-gagasan indrawi. Ia dalah gejala-gejala sederhana yang terdapat dalam jiwa sebagai hasil hubungan antara organ-organ pancaindra dan kenyataan-kenyataan material, seperti citra pemandangan yang disaksikan dengan mata atau suara yang didengar telinga. Kelangsungan gagasan ini sepenuhnya bergantung pada kelangsungan kontak dengan realitas eksternal. Begitu kontak terputus, gagasan-gagasan ini pun kontan akan lenyap (misalnya, dalam hitungan seper-sepuluh detik).
Kedua, gagasan-gagasan khayali (imaginary ideas). Ia adalah gejala- gejala sederhana dan khas dalam jiwa yang secara langsung diakibatkan oleh timbulnya gagasan-gagasan indrawi dan hubungan dengan realitas eksternal. Berbeda dengan gagasan indrawi, kelangsungan gagasan khayali tidak bergantung pada hubungannya dengan realitas eksternal.
Sebagai misal, citra mental mengenai pemandangan kebun akan menetap dalam jiwa kendati kedua mata kita terpejam, dan ingatan tentangnya akan dapat dimunculkan kembali bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu.
Ketiga, gagasan-gagasan kewahaman (Jypas /al-wahmiyyah atau ideas of apprehension). (1) Para filsuf menyebutkan adanya jenis lain gagasan partikular yang terkait dengan makna-makna partikular seperti rasa permusuhan antar-binatang yang menyebabkan mereka saling menjauh. Sebagian filsuf memperluasnya untuk mencakup segenap pengertian dan makna partikular lain, termasuk rasa kasih-sayang (affection) dan benci (enmity) dalam diri manusia.
Terhadap gagasan-gagasan kewahaman, Muhammad Taqi Misbah Yazdî melontarkan kritiknya dengan menambahkan bahwa konsep- konsep universal seputar kasih-sayang dan kebencian pada hakikatnya tergolong gagasan-gagasan universal, bukan partikular. Afeksi dan kebencian dalam diri pelaku persepsi sebenarnya adalah pengetahuan presentasional seputar kualitas-kualitas jiwa, dan bukan termasuk pengetahuan perolehan (acquired knowledge). Menurutnya, perasaan
P: 136
tentang kebencian pihak lain, sesungguhnya bukanlah perasaan langsung yang mengemuka tanpa mediasi (bukan pengetahuan presentasional), melainkan terjadi melalui perbandingan keadaan diri kita dengan orang lain yang berada dalam situasi dan kondisi sama.
Hal yang dapat diterima sebagai bagian gagasan partikular ialah gagasan yang ditimbulkan oleh keadaan-keadaan jiwa yang sewaktu- waktu dapat diingat kembali, mirip dengan gagasan imajinal dalam kaitannya dengan gagasan indrawi. Ia mencontohkan ingatan tentang ketakutan tertentu yang mengemuka pada saat tertentu atau afeksi tertentu yang muncul pada saat tertentu. Patut dicatat bahwa adakalanya gagasan-gagasan pad / wahm digunakan untuk mengacu pada gagasan- gagasan yang tidak bersandarkan pada realitas apa pun dan ada kalanya juga dimaksudkan sebagai “fantasi' (ző gäll/at-tawahhum). (1) Menurut penulis, inisiatif Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menjadikan tema seputar konsep-konsep universal sebagai pendahuluan demi mengantisipasi munculnya kerancuan, malah menimbulkan kebimbangan tentang ketidakjelasan kedudukan epistemologi dalam pemikiran filsafat Muhammad Taqi Misbah Yazdî. Hal itu karena sebagian universalia (maʼqûlât) yang dipilah-pilah sesuai bidang, memuncukan kesan bahwa sebenarnya para filsuf Muslim tergopoh-gopoh mengikuti sistematika pembagian modern filsafat, epistemologi, ontologi dan aksiologi. Karena itu, menurut penulis, sebaiknya istilah ma`qûlât tsanawiyyah falsafiyah (universalia sekunder filsufis) diganti dengan ma`qûlât tsanawiyah wujûdiyyah (universalia sekunder ontologis) agar kedudukan filsafat sebagai induk pembagian tetap terjaga, atau maʼqulât wujûdiyyah (universalia eksistensial) yang berposisi sebagai lawan maʼqulât mâhawiyyah (universalia esensial).
P: 137
P: 138
Epistemologi (logos mengetahui) dan ontologi (logos ada sebagai ada atau being qua being) merupakan dua cabang dalam displin filsafat, khususnya filsafat Barat. Sekalipun secara etimologis, keduanya berakar dari kosa kata Yunani, namun statusnya sebagai cabang filsafat baru dirumuskan beberapa abad belakangan.
Upaya merumuskan keduanya lebih didorong oleh tuntutan diskursif untuk memahami, dan mensistematisasi gagasan-gagasan filsafat yang berserakan dalam sejarah filsafat Barat sejak zaman Yunani kuno, serta mengkarakterisasi ide-ide yang muncul kemudian. Gagasan dualisme Plato, misalnya, tentang realitas imaterial (dunia ide) dan material (dunia inderawi), serta teori anamnesis (pengingatan kembali) yang ditolak Aristoteles. Dualisme Plato merupakan ontologi, sementara teori anamnesisnya adalah epistemologi. Secara historis, kedua cabang ini disemai dalam tradisi metafisika sejak Aristoteles menganut asumsi bahwa pada prinsipnya pengetahuan harus memusatkan perhatian pada esensi universal.
Istilah ontologi yang berasal dari kata Yunani: to on hei on, pertama kali diintroduksikan ke dalam wacana filsafat Barat oleh seorang pemikir Skolastik-Protestan dari Jerman, Rudolphus Gockel dalam bukunya Lexicon Philosophicum yang terbit pada tahun 1613. Immanuel Kant
P: 139
(1724—1804) menjadi filsuf yang pertama kali “membalik” orientasi filsafat yang sebelumnya ontological-minded menjadi kental bernuansa epistemologis setelah merumuskan relasi subjek-objek yang diketahui dalam proses kognitif. Dalam pada itu, misalnya, kategori-kategori yang dipercaya Aristoteles menata realitas eksternal apa adanya, justru dipahami Kant dalam semangat epistemologi sebagai kategori- kategori yang inheren dalam benak, bukan di luar benak. Atau asumsi metafisis sejak Thales (580 SM) yang lebih menyoal objek, diputar-balik berdasarkan prinsip “revolusi Copernican"nya, menjadi mempersoalkan subjek itu sendiri (syarat-syarat kemungkinan subjek memahami objek yang juga berorientasi kepada subjek).(1) Para filsuf terpecah menjadi aliran besar dalam epistemologi.
Pertama adalah Representasionisme. Sebagian besar filsuf, termasuk kaum idealis seperti Josiah Royce (1855–1916) berpendapat bahwa mental manusia dalam konteks persepsi, tidak cukup dengan sendirinya berhubungan dengan suatu objek. Ia hanya akan bisa mengetahuinya lewat perantara, yaitu gambar yang ada pada mental dari objek tersebut. John Stuart Mill (1806–1873), W. James (1842–1910) dan Baldwin secara radikal mengatakan bahwa pengetahuan kita akan diri kita sendiripun hushûlî (representatif) dan tidak aksiomatis.
Kedua adalah Presentasionisme. Pendangan ini didukung oleh Perseptionisme dan neo realisme yang dibidani oleh William Pepperell Montaque (1873—1955), sebagai reaksi atas kritik-kritik Royce atas filsuf-filsuf seperjuangannya.(2) Ketiga adalah Empirisme Nominalistik, yang meyakini independensi setiap entitas, dan segala relasi yang kita cermati di antara entitas mesti dipandang sebagai entitas mandiri pula. Menurut mereka, mental manusia dengansendirinyabisamengetahui langsung objek-objek pengetahuannya, tanpa perlu perantara gambar apa pun. Klaim ini dibubuhi dengan kritik
P: 140
balik Montaque atas Royce yang dipandang oleh sebagian filsuf, seperti A.O. Lovejoy (1873–1962), G. Santayana (1863—1952), C.A. Strong (1862–1940) sebagai sikap penyepelean terhadap Royce. Dengan cara ini, mereka menggalang barisan baru di dalam tubuh Realisme yang dikenal dengan Critical Realism of America.(1) Perbincangan di atas tidak tebatas pada sastra filsafat Barat Anglo Saxon, tetapi dua pandangan itu dapat kita saksikan di dunia Islam.
Mullâ Sadrâ berpendapat bahwa seluruh pengetahuan manusia pada dasarnya diperoleh secara langsung dan presentif, kendati pada prima facie (tinjauan awal) penegetahuan berperantara atau representatif berikut pembagian pengetahuan di atas tadi dianggap valid, sebagaimana yang diyakini oleh filsuf-filsuf sebelumnya.(2) Kelak pandangan ontologis Mullâ Sadrâ baru menemukan harmon- inya di Barat di tangan Martin Heidegger (1889–1976), yang membalikkan lagi arah perjalanan filsafat kepada ontologi yang dibedakan dengan ontoteologi (ontologi semu yang sebenarnya adalah teologi implisit Kristiani). Justru epistemologi, dalam terang ontologi fundamental (lawan dari ontologi tradisional) yang dirumuskan Heidegger, cenderung menjadi rezim pengetahuan yang menangkap lalu memasung, mengosongkan, dan mereduksi “ada” yang kongkrit, riil, dan timbul-tenggelam sepanjang sejarah. Sebelum semua persoalan “tahu” (epistemologi) dikemukakan, semestinya penyelidikan difokuskan lebih dulu pada “ada” yang mengajukan persoalan itu sendiri. Eksistensi yang diposisikan Kant sebagai subordinat esensi manusia, justru dipandang Heidegger sebagai esensi manusia itu sendiri lewat diktumnya “esensi das sein terletak pada eksistensinya.”(3) Menurut hemat penulis, pada mulanya filsafat Islam tidak mengenal pencabangan ini, setidaknya sampai abad ke-19. Baru belakangan ini, akibat interaksi yang semakin intensif dengan pemikiran Barat dan mulai
P: 141
banyaknya peminat filsafat Islam yang dididik dalam tradisi filsafat Barat, beberapa pemikir menerapkannya dalam dikursus dan sejarah filsafat Islam.
Bagi Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, sebelum menuntaskan masalah-masalah epistemologi, seseorang tidak akan pernah mampu memecahkan seluruh masalah ontologi atau cabang-cabang filsafat. Hal ini merupakan penegasan sikapnya yang menolak pembatasan filsafat pada ontologi dan metafisika, sekaligus penegasan atas urgensi pengetahuan representasional atau ilmu hushûlî sebagai gerbang tunggal menuju filsafat. Hal inilah salah satu ‘area konflik Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dengan para pendahulunya.
Menurutnya, sebelum memastikan nilai (dan manfaat) akal manusia, segenap praduga yang diajukan sebagai pemecahan aktual atas pelbagai masalah di atas akan menjadi tuna-makna dan tidak dapat diterima, lantaran akan selalu menyulut timbulnya pertanyaan yang menyangkut kemampuan akal manusia dalam menyediakan solusi tepat atas pelbagai masalah tersebut.(1) Eepistemologi dalam kajian-kajian filsafat Islam terbilang baru. Tema ini tidak akan ditemukan dalam karya-karya para filsuf muslim terdahulu kecuali secara sporadis. Tokoh yang pertama kali mendiskripsikannya atas dasar filsafat Islam adalah Thabâthabâ’i dalam Ushûl-e Falsafeh va Ravesy-e Reālism.(2) Upaya ini dilanjutkan oleh Mutahhari dengan memberikan komentar-komentar terinci atas karya ini. Faktor dominan yang mendesak mereka mengambil langkah ini adalah masuknya karya- karya filsafat Barat dan interaksi mereka deengan pemikir-pemikir Barat, dan berkembangnnya filsafat Marxisme.
Selanjutnya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî turut menyusun epistemologi yang berbasis di atas tradisi filsafat Islam seperti yang
P: 142
tampak dalam karyannya, Jahân-bînî wa ideoloji dan Âmûzesy-e Falsafeh. Jelas, dinamika sejarah dan jaman telah memberikan peluang yang lebih luas untuk Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sehingga ia dapat merangkum berbagai banyak pandangan dari dalam dan luar negerinya dan membantunya untuk mendiskripsikan epsitemologi Islam secara lebih rapi, utuh dan kaya dari yang telah dilakukan sebelaumnya. Kendati sekian kelebihan ini, epistemologi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî masih menyisakan persoalan-persoalan baru yang belum terjamah dalam karya-karyanya, seperti topik-topik yang berkaiatan dengan pengetahuan indrawi dan problem-problem paradoksikal seperti al-jadr al-ashamm.
Berkaitan dengan penempatan kajian-kajian epistemologi sebelum ontologi—segaimana dalam Âmûzesy-e Falsafeh, boleh jadi itu sekadar mengikuti cara penyusunan yang telah dilakukan lebih dahulu oleh gurunya dalam Ushûl-e Falsafeh va Ravesy-e Realism. Namun, dalam karya itu pula kita menyimak sekian keterangan yang mendesak agar epistemologi didahulukan sebelum ontologi. Meski demikian, alasan- alasan tersebut pada dasarnya sebatas penegasan atas apa yang telah tertuang dalam Ushûl-e Falsafeh va Ravesy-e Realism, terutama pada bab pertama.
Mengingat pengertian pengetahuan mencakup persepsi dan kesadaran, banyak topik epistemologi yang dapat dikemukakan, termasuk sebagian yang tidak secara formal terkait dengan ilmu ini, seperti persoalan menyangkut wahyu, ilham, dan berbagai jenis penyingkapan serta intuisi mistis. Namun demikian, persoalan yang lazimnya menjadi poros pembahasan adalah panca-indra dan akal. Namun, epistemologi yang menjadi tema utama dalam disertasi ini adalah tema-tema pengetahuan yang berhubugan dengan filsafat ontologi, baik umum maupun khusus, juga dengan beberapa bidang pengetahuan rasional-metafisis, seperti psikologi dan etika filsufis.
P: 143
Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, salah satu keunggulan epistemologi adalah ke-badîhî-annya. Epistemologi tidak perlu meminjam aksioma-aksioma luar untuk semua pokok bahasannya, karena semuanya dapat dijelaskan semata-mata dengan landasan-landasan asasi yang aprior (self-evident atau 381 641 / badîhiyyât awwaliyyah).
Selanjutnya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî melontarkan sebuah kritik sebelum menjawabnya; bila segenap solusi atas masalah-masalah ontologi dan ilmu-ilmu lain yang dicapai melalui metode-metode rasional bergantung pada kesanggupan akal untuk itu, maka bukankah itu berarti bahwa filsafat pertama (metafisika) juga membutuhkan epistemologi untuk menyediakan aksioma-aksioma dasar bagi filsafat, padahal sebelumnya dikatakan bahwa filsafat (ontologi) tidak membutuhkan pada ilmu lain, sebagaimana disepakati dalam tradisi filsafat Hawzah? Ia memberikan jawaban sebagai berikut. Pertama, premis-premis yang secara langsung dibutuhkan oleh metafisika sesunggunya merupakan penyataan-pernyataan apriori (self-evident) yang sama sekali tidak memerlukan dalil baru. Semua wacana yang tertera mengenainya dalam logika dan filsafat sebetulnya lebih merupakan ulasan daripada pembuktian, yakni berfungsi untuk menggugah perhatian kita pada kebenaran yang dapat ditangkap oleh akal manusia tanpa pembuktian sedikitpun. Alasan untuk membahas penyataan-pernyataan semacam ini dalam ilmu-ilmu tertentu tidak lain karena adanya pelbagai miskonsepsi yang pada gilirannya menjadi keraguan-keraguan seperti dalam kasus prinsip kemustahilan kontradiksi. Miskonsepsi seputar kemustahilan kontradiksi telah menggiring sebagian untuk tidak sajamengkhayalkannya sebagai suatu hal yang mungkin adanya, melainkan menganggapnya sebagai gejala dalam semua kejadian.
Keragu-raguan tentang nilai pengetahuan rasional pada dasarnya berasal dari kesalah-pahaman serupa, dan untuk membongkar keragu-raguan serta menepis kesalahpahaman tersebut, kita mesti mendiskusikannya. Tindakan memasukkan penyataan-pernyataan aprior dalam pembahasan logika dan epistemologi pada hakikatnya merupakan
P: 144
sebentuk penyimpangan, ikut-ikutan dan tenggang rasa kepada kelompok yang mengidap kebimbangan. Masalahnya, apabila ada orang yang benar-benar tidak menerima nilai pengetahuan rasional, meskipun tanpa sadar, bagaimana mungkin kita beradu nalar dengannya melalui pembuktian rasional? Padahal, argumen-argumen yang mereka ajukan untuk membangkitkan keragu-raguan itupun sebetulnya juga berwatak rasional.
Kedua, kebutuhan filsafat pada prinsip-prinsiplogika danepistemologi pada dasarnya untuk melipatgandakan pengetahuan, atau secara teknis disebut “penerapan pengetahuan untuk menambah pengetahuan”, bukan untuk meneguhkan kebenaran dan validitasnya. Menurutnya, orang yang belum teracuni oleh keragu-raguan mengenai nilai pengetahuan rasional bisa bernalar (to reason) untuk mencapai kesimpulan tentang hampir semua hal, tanpa sadar bahwa penalarannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip logika atau cocok dengan bentuk pertama dari silogisme Aristotelian dan syarat-syarat yang mengaturnya. Dia pun belum tentu tahu akan adanya akal yang berfungsi mengenali premis-premis dan menerima validitas kesimpulan yang membuntutinya. Pada sisi lain, sebagian orang yang mau menolak rasionalisme dan metafisika bisa saja menggunakan penalaran tanpa menyadari bahwa dia telah menggunakan sejumlah premis rasional dalam metafisika. Ada pula orang yang mau menolak kaidah-kaidah logika (rules of logic) dengan bersandar pula pada kaidah-kaidah logika. Bahkan, ada juga yang secara gegabah dan tanpa sadar mementahkan prinsip non-kontradiksi dengan menggunakan prinsip non kontradiksi. Apabila kepada orang-orang dungu ini kita katakan, “penalaran anda ini sekaligus sahih dan tidak sahih”, maka mereka segera saja akan tersinggung dan merasa tercemooh.(1) Denganpenjelasan diatas, MuhammadTaqiMisbah Yazdîmemberikan klarifikasi tentang relasi epistemologi dengan ontologi, dan karakteristik dari pengertian ‘kebergantungan”. Artinya, kebergantungan penalaran filsufis pada prinsip-prinsip logika dan epistemologi sesungguhnya
P: 145
berbeda dengan kebergantungan sains lain pada prinsip-prinsip utamanya.
Soalnya, kebergantungan penalaran filsufis pada prinsip-prinsip logika hanya bersifat sekunder, persis dengan kebergantungan prinsip-prinsip sains pada sains itu sendiri, yakni kebutuhan dalam rangka rekonfirmasi atas konfirmasi (kebenaran) hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mengantur di atasnya. Hal itu mirip dengan contoh proposisi-proposisi aprior (self-evident propositions) yang membutuhkan pada prinsip kemustahilan kontradiksi. Sungguh jelas, kebergantungan proposisi- proposisi aprior pada prinsip non kontradiksi tidak sama dengan pola kebergantungan proposisi-proposisi aposterior (nazhariyyah, speculative propositions) pada proposisi-proposisi aprior. Bila tidak demikian, hilanglah perbedaan antara proposisi-proposisi aprior dan proposisi- proposisi duga-sangka. Jadi, paling kurang kita mesti menerima satu proposisi aprior sebagai nyata-nyata aprior, yaitu prinsip non kontradiksi.(1) Dalam skema filsafat Mullâ Sadrâ, epsitemologi tidak berdiri sejajar dengan ontologi, bahkan epistemologi cenderung diperlakukan sebagai “sisipan” ontologi yang tidak punya otonomi dan independensi sama sekali. Epistemologi, paling tidak, hanya diposisikan sebagai salah satu akses atau jalan masuk ke dalam misteri ada (ontos)—yang selanjutnya tidak memiliki fungsi apa-apa. (2)Aroma epistemologi Mullâ Sadrã sebenarnya ada dalam pandangan-pandangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî. Pengetahuan bila diperlakukan sebagai entitas (maujud), maka ia merupakan bagian dari ontologi, dan karenanya ia tidak perlu dipisahkan Mullâ Sadrâ mula-mula memperlakukan ilmu sebagai sebuah entitas atau maujud sehinga ‘mengetahui bukan transfer data dari objek ke subjek melalui sensasi (ihsâs), melainkan bersatunya objek dan subjek dengan modus "berpindahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain”.(3)
P: 146
Namun, Muhammad Taqî Misbah Yazdî seakan menyadari kesulitan yang akan dihadapi tatkala seseorang tidak mungkin serta merta memasuki ranah ontologi (ada) tanpa melalui ‘tahu’, meski nantinya ‘tahu' ternyata, bila dianalisis secara eksistensial, meruipakan bagian dari mujarradât.
Karena itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî rela berbeda dengan Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ'î dengan tetap memulai pembahasan filsafat dari pengetahuan ('ilm) sebelum wujûd. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mendukung pendapat Mulla Hadi Sabzawarî yang menolak definisi Mullâ Sadrâ tentang al-'ilm sebagai hudhur mujarradin ladâ mujjarad entitas abstrak pada diri entitas abstrak lain). Karena, menurutnya, pengetahuan sesuatu yang memiliki esksistensi termulia (Tuhan) mampu mengenali entitas-entitas non abstrak secara langsung, tanpa medium entitas-entitas abstrak lainnya.(1) Penolakan ini juga secara implisit diekspresikan melalui penyusunan bab-bab pembahasan dalam buku Âmûzesy-e Falsafeh. Karyanya itu dimulai dengan pembahasan khusus epistemologi. Hal ini dapat diartikan bahwa ia lebih mendahulukan ‘tahu? daripada ‘ada.
Terbukti, pengetahuan hadir dalam epistemologi juga hadir dalam ontologi. Ilmu (hushûli) menjadi tema epistemologi karena Muhammad Taqi Misbah Yazdî menganggap “tahu' mendahului “ada’, namun ilmu juga masuk dalam tema ontologi karena Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menganggap ilmu (hudhûrî) sebagai maujud abstrak. (2) Ketidaktegasan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengambil posisi sebagai peripatetis- rasionalis atau transendentalis membuatnya memasukkan pengetahuan dalam dua epistemologi dan ontologi. Padahal, epsietmologi dikhususkan sebagai bidang yang membahas pengetahuan dan tema-tema konsep lainnya.
P: 147
Lebih lanjut, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menjelaskan secara terperinci perbedaan filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Menurutnya, berbeda dengan ilmu-ilmu empiris dan naratif, problem filsafat hanya dapat dipecahkan melalui metode rasional (yang tentu saja tidak hanya eksklusif filsafat pertama lantaran digunakan juga dalam logika, teologi, psikologi filsufis, dan beberapa ilmu lain, seperti etika dan matematika).
Berdasarkan itu, menurutnya, filsafat memiliki sejumlah tujuan. Pertama, membangun fondasi sekaligus penegasan (assertion) terhadap prinsip- prinsip ilmu-ilmu lain. Itulah sebabnya, ilmu-ilmu lain membutuhkan filsafat, yang kemudian disebut induk segala ilmu (mother of science); Kedua, berposisi sebagai instrumen dan tolok ukur yang memisahkan ihwal yang benar-benar nyata dan hakiki dari ihwal waham dan rekaan.
Oleh karena itu, tujuan utama filsafat adakalanya dianggap untuk memahami ihwal yang benar-benar nyata dan hakiki berikut pemilahannya dari ilusi. Tetapi, ada baiknya jika hal itu diletakkan sebagai tujuan epistemologi.
Ketiga, Konsep-konsep filsafat sama-sekali tidak dicerap dengan pancaindra atau pengalaman (indrawi), seperti konsep sebab-akibat, keniscayaan-kemungkinan, wujud material-wujud abstrak, dan lain- lain. Konsep-konsep ini secara teknis disebut konsep-konsep sekundar ontologis, disebut ma`qûlât tsânawiyyah falsafiyyah, (philosophical secondary intelligibles). (1) Mengamati kekhasan-kekhasan tersebut, dapat dimengerti bahwa Muhammad Taqi Misbâh Yazdî bermaksud menegaskan bahwa tema- tema filsafat hanya mungkin didemonstrasikan melalui metode rasional.(2) Ia juga ingin manyatakan bahwa aksioma-aksioma filsafat tidak diperoleh dengan merampatkan (generalizing) pelbagai hukum ilmu-
P: 148
ilmu empiris.(1) Salah satu cara membatasi topik induk adalah dengan “menyempitkan kemutlakannya” (ÖLYI l / qayd al-ithlâq). Dalam ilmu (yang lebih umum), fokus pembicaraan berkisar pada prinsip-prinsip tetap dalam esensi subjek secara umum, atau secara mutlak, tanpa mempertimbangkan ciri-ciri khasnya. Pembicaraan ini berlaku bagi seluruh contoh subjek individual yang bersangkutan. Umpamanya, prinsip-prinsip dan ciri- ciri khas benda ditetapkan secara umum atau mutlak; apakah bersifat mineral atau organik, nabati atau hewani (manusia). Subjek ilmu tersebut dapat ditetapkan sebagai “benda mutlak”, yang nantinya bisa dijadikan lebih spesifik dan rigid menjadi ilmu-ilmu tertentu. Ahli-ahli teosofi (hukamâ') mengkhususkan bagian pertama fisika untuk mengulas prinsip-prinsip umum tersebut dengan nama samâ' tabî’i (fisika umum elementer) dan sam’al-kiyân (astronomi umum elementer). Baru setelah itu, mereka mengkhususkan sekelompok benda untuk ilmu tertentu, seperti kosmologi, minerologi, botani, dan zoologi.(2) Pola yang sama juga dapat diberlakukan pada sub-sub ilmu yang lebih partikular. Misalnya, masalah-masalah yang terkait dengan semua binatang dapat dijadikan sebagai ilmu khusus dengan subjek 'binatang mutlak' atau 'binatang sebagai binatang’. Kemudian, hukum-hukum khusus untuk tiap-tiap binatang dibahas dalam ilmu-ilmu yang lebih khusus lagi.(3) Dengan cara seperti itu, benda secara umum menjadi pokok masalah (subject matter) dalam filsafat kuno yang disebut ‘ilmu alam’, dan benda mutlak menjadi subjek bagian pertama fisika yang disebut “fisika umum elementer?. Tiap-tiap (jenis) benda, seperti benda-benda kosmik, benda- benda tambang, dan benda-benda hidup, menjadi subjek kosmologi, minerologi, dan biologi. Selanjutnya, benda hidup secara umum menjadi subjek ilmu biologi umum, dan benda hidup mutlak menjadi subjek ilmu
P: 149
yang membahas prinsip-prinsip segenap maujud hidup. Masing-masing jenis maujud hidup membentuk subjek dari cabang-cabang tertentu biologi. (1) Di sini sebuah pertanyaan kritiks dilontarkan; bilamana suatu prinsip terdapat pada beberapa jenis subjek universal dan tidak mencakup semuanya, maka bidang ilmu apakah yang relevan digunakan untuk menelaah prinsip-prinsip semacam itu? Misalnya, bila terdapat satu hal pada beberapa maujud hidup tidak dapat dianggap sebagai sifat aksidental maujud hidup mutlak, karena tidak mencakup seluruh maujud hidup; maka di sisi lain, pembahasan pada masing-masing ilmu yang bersangkutan akan menjadi pengulangan yang sia-sia. Jadi, di manakah seharusnya prinsip semacam ini dikerangkakan? Menjawab pertanyaan di atas, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menyatakan bahwa masalah semacam ini ditelaah dalam ilmu bersubjek mutlak. Prinsip-prinsip subjek mutlak العوارض الذاتیة'awâridh dzâtiyyah, aksiden-aksiden substansial) didefinisikan sebagai prinsip menyangkut substansi subjek sebelum terjamah pembatasan dan pengetatan ilmu- ilmu partikular. Sebetulnya, kelonggaran definisi ini lebih baik daripada mengulang-ulang masalah yang berkenaan dengan ihwal filsafat pertama atau metafisika.(2) Sebagian filsuf menyatakan bahwa disiplin tersebut merupakan ilmu yang membahas hukum dan aksiden yang ditetapkan pada maujud mutlak (atau maujud qua maujud), sebelum maujud itu dipagari pembatasan ‘alamiah' atau ‘matematis'.
Dalam setiap ilmu terdapat serangkaian proposisi yang saling berhubungan. Kenyataannya, sasaran jangka pendek serta motivasi belajar dan mengajar ilmu itu adalah menganalisis proposisi-proposisi tersebut dan membuktikan keberlakuan predikat pada subjek ilmu itu. Jadi, pada setiap ilmu, subjek diasumsikan mewujud dan pelbagai predikatnya dapat dibuktikan sebagai bagian atau contoh individual dari subjek tersebut. Karena itu, sebelum berurusan dengan pemaparan dan
P: 150
penguraian masalah-masalah suatu bidang ilmu, perlu dikenali sederet hal berikut:
1. Ke-apa-an (and lo/mâhiyyah) dan konsep subjek.
2. Keberadaan subjek.
3. Prinsip-prinsip memecahkan pelbagai persoalan ilmu tersebut.(1) Se- genap hal di atas ada kalanya aprior dan tidak memerlukan penjabaran dan penghayatan, sehingga tidak ditemukan kesulitan sama-sekali; dan ada kalanya pengetahuan mengenai semua itu perlu dijabarkan dan dibuktikan. Misalnya, bisa saja keberadaan subjek (seperti ruh manusia) masih diperselisihkan, serta diduga merupakan subjek imajiner dan tidak nyata sehingga keberadaan sesungguhnya mesti dibuktikan. Juga, boleh jadi muncul keraguan seputar prinsip- prinsip pemecahan masalah dalam suatu ilmu, sehingga pertama-tama kita mesti membuktikan prinsip-prinsip tersebut. Kalau tidak demikian, maka semua kesimpulan yang diderivasi dari prinsip-prinsip tersebut tidak akan berbobot ilmiah atau melahirkan kepastian.(2) Tema-tema semacam ini diistilahkan dengan “prinsip-prinsip ilmu” (مبادی العلم mabâdi' al-'ilm), yang terbagi menjadi prinsip-prinsip konseptualالمبادئ التصدیقیة) dan prinsip-prinsip asertif (المبادئ التصوریة (3) Prinsip-prinsip konseptual yang memuat pelbagai definisi dan penjelasan ke-apa-an tentang hal-hal yang dibahas ini biasanya tercakup dalam pengantar ilmu bersangkutan. Adapun prinsip-prinsip asertif suatu ilmu kerapkali dibicarakan dalam ilmu-ilmu lain.(4) Filsafat masing-masing ilmu sebenarnya adalah ilmu yang menjelaskan dan menetapkan prinsip- prinsip ilmu tersebut. Akhirnya, prinsip-prinsip paling umum seluruh ilmu dibicarakan dan diteliti dalam filsafat utama atau metafisika.(5)
P: 151
Dari sini, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî memasukkan hukum kausalitas. Menurutnya, di antara prinsip-prinsip tersebut adalah “kausalitas”, yang diandalkan seluruh pakar empirisis.(1) Mau atau tidak, sadar maupun tidak, pada dasarnya, segenap penelitian ilmiah yang dilakukan bertumpu pada prinsip ini, lantaran seluruh penelitian berkisar pada upaya menemukan hubungan-hubungan kausal antar berbagai gejala. Namun demikian, prinsip dan hukum ini sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan pembahasannya hanya mungkin dilakukan dalam konteks disiplin filsafat.(2) Cara terbaik untuk mendefinisikan ilmu adalah dengan mencirikan (specify) subjeknya. Bila subjek itu memiliki batasan atau ikatan, seorang peneliti harus mencermatinya dengan saksama. Kemudian, masalah- masalah ilmu itu diperkenalkan sebagai proposisi-proposisi yang berkisar pada subjek tersebut. Di sisi lain, pencirian dan pembatasan (qualifications) bergantung pada penetapan masalah-masalah yang ditujukan untuk menjabarkan suatu ilmu, hingga batas tertentu, bergantung pada konvensi dan kesepakatan. Umpamanya, dengan memperhatikan topik “maujud” sebagai konsep paling umum untuk sesuatu yang bersifat hakiki, akan ditemukan bahwa subjek semua persoalan hakiki bernaung di bawahnya. Dan jika menjadikannya subjek suatu ilmu, maka ia akan meliputi segenap masalah ilmu hakiki. Ilmu bersubjek “maujud” inilah yang disebut “filsafat dalam pengertian kuno. (3) Rumusan ilmu yang sedemikian luas (inclusive) ini, tentu, tidak sejalan dengan tujuan klasifikasi ilmu. Untuk memenuhi tujuan tersebut, tidak ada pilihan lain kecuali memandang subjek secara lebih terbatas.
Para pengajar di zaman kuno membagi seluruh masalah teoretis dalam dua kelompok, yang masing-masingnya berkisar pada sekumpulan isu.
Kelompok pertama disebut fisika dan lainnya matematika. Kemudian,
P: 152
masing-masing kelompok ini dipecah-pecah lagi ke dalam ilmu-ilmu yang lebih partikular. Selain kedua kelompok teoretis tersebut, terdapat kelompok ketiga yang berkisar pada Tuhan, yang disebut teologi. (1) Kelompok keempat yang termasuk dalam ranah intelektual teoretis berada di luar subjek-subjek yang telah disebutkan dan tidak terbatas atau terikat pada subjek tertentu. Tampaknya, karena nama atau istilah yang tepat untuk menyebut kumpulan masalah dalam kelompok keempat yang didiskusikan setelah fisika ini tidak ditemukan, maka ia pun disebut metafisika (melampaui fisika). Posisi persoalan ini terhadap persoalan ilmu-ilmu teoretis lainnya persis dengan posisi fisika elementer terhadap ilmu-ilmu alam lainnya.
Pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dikritik oleh para pemikir segerasinya, bahkan oleh sebagian muridnya. Alasan-alasan kritiknya beragam. Umumnya mereka mempertanyakan konsistensi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam membangun pandangan filsafatnya. Dengan tetap mengaku sebagai penganut Sadraisme--karena meyakiniashâlatal-wujûd--iamenolakmemasukkanilmuhudhûrîsebagai bagian dari metodologi dan justifikasi filsafat ontologi. Padahal dalam pandangan filsafat Mullâ Sadrâ dan Thabathabâ’î, karena pengetahuan diperlakukan sebagai maujud, epistemologi menjadi bagian integral dari ontologi, berdasarkan kaidah ‘ittihad al-âqil wa al-ma'qûl’. Rupanya, karena menghindari keterlibatan dzauq dalam filsafat, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî melakukan sebuah aksi eklektik dengan tetap memulai pembahasan filsafat dari pengetahuan. Secara singkat, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî mendahulukan pengetahuan atas keberadaan (w ujûd).
Dengan kata lain, ia ingin mensitesakan filsafat Mullâ Sadrâ yang teosofis dan filsafat Ibn Sina yang skolastik.
Namun, dengan merujuk karya utamanya, Âmûzesy-e Falsafeh dan Ta'liqah ala Nihâyat al-Hikmah, dapat dipastikan bahwa penolakan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî atas keterlibatan ilmu hudhûrî dalam filsafatontologihanya sebatas motode pembuktianatas proposisi-proposisi
P: 153
aposterior (nazhari/ spekluatif). Ia menegaskan bahwa jangkauan ilmu hudhûrî dalam memecahkan persoalan-persoalan ontologis dan teologis sangatlah terbatas, sehingga jenis ilmu ini, meski tetap dipandang penting dan krusial, mendapatkan ruang yang sempit sekaligus tinggi. Ketinggian tempat ilmu hudhûrî dalam ontologi, menurut Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, dikuatkan oleh kepercayaannya pada foundasionalisme dan oleh padanngannya bahwa ilmu hudhûrî adalah salah satu basis pengetahuan badîhî. (1) Boleh jadi, kritik di atas itu ini muncul karena Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak menyediakan sebuah karya yang menghimpun uraian yang cukup untuk melakukan klarifikasi. Alih-alih melakukan itu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî malah meninggalkan forum diskusi filsafat ontologi dan mendirikan sebuah lembaga penelitian dan pengajaran yang bercita-cita menghubungkan filsafat dengan humaniora.
Sebagaimana dikutip Mehdi Hae’ri Yazdi, Mullâ Sadrâ berpendapat bahwa al-'ilm adalah wujud sesuatu secara aktual, terlepas apakah itu wujud substansial (wujûd li nafsihi) ataukah eksistensi aksidental (wujûd li syay’in âkhar),(2) bahkan ia menganggapnya sebagai wujûd maujud atau sesuatu yang abstrak (kosong dari mâddah).(3) Menurut Mullâ Sadrâ, ilmu memiliki tiga tingkatan; 'ilm al-yaqîn, ‘ain al- yaqîn, dan haqq al-yaqîn. Tingkatan pertama diyakini sebagai pengetahuan argumentatif, yang kedua sebagai presensi (syuhûdi), dan yang ketiga didapat dengan adanya relasi eksistensial dengan realitas.
Dengan demikian, Sadrâ meyakini bahwa untuk mencapai realitas tidak hanya ada satu jalan, yaitu argumentasi rasional atau representasi saja, bahkan juga tidak hanya dengan wahyu dan “melebur” dalam diri Tuhan. Menurutnya, membatasi pencapaian realitas hanya dengan satu
P: 154
cara bukanlah kerja kalangan filsuf Muslim; sebab Allah SWT telah membuka berbagai jalan serta menyalakan berbagai mercusuar dan cahaya untuk menggapai dan menjamah realitas. (1) Dengan kata lain, Mullâ Sadrâ menganggap hakikat 'ilm tidak lain adalah kehadiran. Pengetahuan akan sesuatu berarti kehadiran sesuatu tersebut dalam diri subjek (yang mengetahui). Mullâ Sadrâ mengganti al-'âlim (subjek yang mengetahui) dengan istilah 'âqil, dan menyebut objek yang diketahui (maʼlûm) dengan al-ma'qûl. (2) Dalam pada itu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mendefiniskan pengetahuan sebagai keyakinan yang selaras dengan realitas. Keyakinan ini mesti bersifat permanen dan lestari. Pengetahuan paling sejati adalah premis-premis badîhî.(3) Premis badîhî paling sejati adalah ‘kemustahilan pertemuan afirmasi dan negasi' (kontradiksi) yang dapat ditunjukkan (dibuktikan) dengan hanya menggambarkan (menghadirkan) subjek dan predikatnya serta menimbang-nimbang di antara keduanya.
Terdapat tiga elemen utama yang harus digarisbawahi dalam pengertian tersebut: pertama, keyakinan yang merupakan lawan dari keraguan (syak), dugaan (zhan); kedua, kesesuaian dengan realitas, artinya bukan kebodohan kompleks (jahl murakkab). Ketiga, maksud dari ‘kelestarian' (tsabât) bukan keyakinan yang dapat hilang dan berubah menjadi sebaliknya (lawannya).
Dengan menggarisbawahi ketiga prinsip tersebut berikut ekstensinya, Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengganggap sebagian kritik yang dilontarkan oleh epistemolog Barat terhadap definisi pengetahuan sejati (keyakinan yang benar dan terjustifikasi /al-muwajjah) tidak tepat sasaran. Sebab, yang umumnya dijadikan sasaran kritik itu adalah keraguan, dugaan, dan kebodohan ganda, meskipun sebenarnya klaim
P: 155
tidak adanya ekstensi (misdâq) definisi tersebut dalam pengetahuan manusia adalah masalah penting yang harus diperjelas. (1) Istilah “ilmu”—menurut empat dari lima pengertian yang tercantum—berlaku pada kumpulan proposisi yang diduga saling bertautan. Lebih jauh, jelas sudah bahwa hubungan-hubungan yang berbeda itu meniscayakan satu bidang ilmu terpisah dari bidang ilmu lainnya. Hubungan paling dekat di antara berbagai masalah sebagai tolok ukur pemilahan ilmu adalah relevansi subjek-subjeknya. Dengan kata lain, pelbagai masalah yang memiliki subjek terdiri dari bagian- bagian keseluruhan atau partikular-partikular universal yang kemudian membentuk suatu ilmu. Oleh sebab itu, masalah-masalah ilmu terdiri atas proposisi-proposisi yang subjek-subjeknya berada di bawah cakupan topik induknya (sebagai keseluruhan atau universal). Subjek ilmu adalah topik induk yang mencakup pelbagai masalah.(2) Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, mungkin saja suatu topik menjadi subjek dari lebih dari satu ilmu, dan perbedaan ilmu yang satu dengan yang lain terkait dengan perbedaan tujuan dan metode penelitian masing-masing. (3) Namun, tidak boleh diabaikan bahwa adakalanya suatu topik diposisikan sebagai subjek absolut suatu ilmu, sementara pada saat yang sama, ia menjadi subjek ilmu itu secara terikat. Perbedaan ikatan ini pada gilirannya mengakibatkan munculnya beberapa ilmu berikut perbedaannya. Semisal. “materi”. Ditinjau dari segi komposisi internalnya, berikut perpaduan dan penguraian unsur-unsurnya, ia merupakan subjek ilmu kimia. Namun, ditinjau dari segi perubahan- perubahan lahiriah dan ciri-ciri khasnya, ia merupakan subjek ilmu fisika.
Contoh lain adalah kata. Ditinjau dari segi perubahan konstruksinya, ia merupakan subjek morfologi, dan dari segi perubahan infleksinya,
P: 156
merupakan subjek sintaksis.
Oleh sebab itu, diperlukan kehati-hatian untuk menentukan apakah topik induk itu merupakan subjek suatu ilmu secara mutlak atau subjek yang ditetapkan berdasarkan ikatan dan batasan tertentu. Betapa sering suatu topik induk dianggap sebagai subjek suatu ilmu secara mutlak, namun berkat tambahan ikatan tertentu, justru menjadi subjek ilmu- ilmu lain. Misalnya, dalam klasifikasi termasyhur filsafat kuno, benda adalah subjek seluruh ilmu alam. Setelah ditambah beberapa ikatan, ia menjadi subjek minerologi, botani, zoologi, dan sebagainya. Mengenai pola klasifikasi ilmu, telah disinggung bahwa adakalanya semua itu berasal dari pengetatan lingkup dan batasan subjek utama ilmu yang lebih umum.(1) Sebagaimana kaitan ilmu-ilmu, filsafat sebagai disiplin ilmu punya kaitan yang khas dengan manusia. Dalam tradisi filsafat islam sendiri, ada istilah yang dikenal dengan “ru'ûs tsamâniyyah” yaitu depalan prinsip ilmu. (2) Di antaranya, fungsi suatu ilmu. Dalam tradisi filsafat Islam, fungsi ilmu filsafat dijelaskan sebagai upaya mengetahui hakikat sesuatu sebagaimana adanya, atau kata Ibn Sina dan Mulla Shadra “tasyabbuh bi al-'illah”, berserupa dengan Allah. Sejak awal, filsafat Islam menyimpan kecendurungan keagamaan. Filsafat adalah untuk manusia dalam rangka mendekati Allah.
Sayangnya, dalam pemikiran filsafat Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, fungsi filsafat tidak diterangkan sebagaimana penjelasan-penjelasan di atas ini, tetapi dikaitkan dengan manusia dan kehidupannya yang mencakup cara pandang dan cara tindaknya. Baginya, filsafat adalah basis langsung sistem kepecayaan dan asas kedua system tindakan Hal ini dijabarkan secara panjang lebar dalam beberapa pasal pertama dari karyanya, Âmûzesy-e Falsafeh.
Dalam pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, kedudukan filsafat Islam tidak didefinsikan seperti di atas ini, meski ia
P: 157
tidak menolaknya. Namun, yang lebih menjadi fokus Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dari kedudukan filsafat adalah aspek pengaruhnya pada ilmu-ilmu lain. (1) Baginya, semua ilmu, termasuk ilmu empiris dan bahkan tasawuf/'irfan, sangat bergantung pada justifikasi filsafat. Namun, pada saat yang sama, ia secara adil menerangkan kedudukan penting ilmuilmu lain dan apa saja yang dapat disuplai oleh mereka untuk filsafat.
Pada titik ini, sesungguhnya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, secara sadar atau tidak, telah bersentuhan dengan sebagian tema filsafat ilmu, dan bila saja ini dirangkum dengan kajian-kajian logikanya atas Manthiq al-Syifâ karya Ibn Sina dan al-Usus al-Manthiqiyyah li al-Istiqrâ karya Muhammad Baqir Shadr, totalitas ini akan secara relatif membentuk filsafat ilmu Islam.
Sebagaimana Mullâ Sadrâ dan para penerusnya, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî melandaskan pengetahuan pada prinsip hudhûr (kehadiran).
Hal ini merupakan infrasturkur yang menjamin tidak meniscayakan akibat tasalsul. Menurutnya, pengetahuan setiap orang tentang dirinya sebagai maujud pelaku persepsi adalah pengetahuan yang tidak dapat disangkal.
'Aku' dan ego yang melakukan pencerapan dan pemikiran, yang dengan penyaksian batinnya (شهود/ syuhûd) sadar akan dirinya sendiri, tanpa sarana penginderaan, percobaan, (perolehan) bentuk-bentuk atau konsep- konsep mental. Dengan kata lain, diri itu sendiri adalah pengetahuan, dan dalam pengetahuan serta kesadaran ini, pengetahuan dan subjek dan objek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ‘kemanunggalan subjek dan objek pengetahuan' adalah instanta (instance/mishdâq) paling sempurna dari kehadiran objek pengetahuan pada subjek yang mengetahui'.
Lebih lanjut, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menjelaskan bahwa pengetahuan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dianalisis dan
P: 158
diuraikan (dalam konsep-konsep), tidak seperti proposisi “saya adalah...
(i am)' atau “saya ada (i exist) yang tersusun dari dua konsep (saya+ada).
Dengan demikian, pengertian ‘pengetahuan tentang diri sendiri' ialah kesadaran yang bersifat intuitif ( Gazzg ), sederhana dan langsung tentang jiwa (atau ruh) kita sendiri. Pengetahuan dan kesadaran ini merupakan peri keadaan esensial jiwa. Pada saatnya nanti, kita akan membuktikan bahwa jiwa merupakan substansi non material, dan bahwa semua substansi non material menyadari dirinya sendiri. Kedua topik ini terkait dengan ontologi dan psikologi filsufis, yang tidak relevan dengan bahasan saat ini. (1) Kesadaran kita terhadap beragam keadaan, sentimen dan perasaan jiwa kita juga merupakan instanta-instanta (instances) pengetahuan yang langsung hadir dalam diri. Manakala kita takut pada sesuatu, kita langsung bisa menyadari keadaan itu tanpa perantaraan bentuk atau konsep mental atau santiran apapun juga. Manakala cinta pada seseorang atau sesuatu merasuki diri, kita pun secara kontan dapat menilik getaran itu dalam diri kita, tanpa perantaraan apa pun. Demikian pula manakala kita memutuskan untuk berbuat sesuatu, niscaya kita sepenuhnya menyadari keputusan dan kehendak itu. Adalah mustahil kita takut, cinta atau ingin melakukan sesuatu tanpa kesadaran akan ketakutan, kecintaan dan keinginan itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada orang yang meragukan atau menduga sesuatu tanpa menyadari atau mengetahui keraguannya, dengan cara meragukan keberadaan keraguannya.
Kekeliruan persepsi mudah dibayangkan apabila terdapat penyulih antara pelaku persepsi dan entitas yang dipersepsi. Dalam kasus pengetahuan perolehan inilah bisa timbul pertanyaan apakah bentuk dan konsep yang menengahi antara subjek dan objek telah benar- benar menyantirkan objek secara tepat dan sempurna atau tidak.
Sebelum bentuk dan kosep terbukti benar-benar sesuai dengan objek yang dipersepsi, kepastian akan kesahihan persepsi tidak akan pernah didapatkan. Akan tetapi, dalam hal objek atau sesuatu yang dipersepsi
P: 159
hadir tanpa perantaraan atau bahkan manunggal dengan eksistensi pelaku persepsi, kekeliruan tidaklah dapat dibayangkan. Tidak mungkin timbul pertanyaan ihwal apakah pengetahuan subjek telah sesuai dengan objek yang diketahui, mengingat dalam kasus ini subjek pengetahuan identik dengan objek yang diketahui.
Berdasarkan paparan di atas, pengertian kebenaran dan kekeliruan dalam konteks persepsi (dan pengetahuan) manusia menjadi jelas adanya. Kebenaran adalah persepsi yang sesuai dan sepenuhnya menyingkapkan realitas sesuatu, sedangkan kekeliruan adalah anggapan (atau kepercayaan) yang tidak sejalan dengan realitas.
Seluruh aktivitas dan proses mental yang berlangsung kilat itu berbeda dengan hadirnya ketakutan sebagai pengetahuan presentasional. Tetapi, keseiringan dan keserentakannya dengan pengetahuan presentasional sering menjebak orang dalam kerancuan. Orang kerap menyangka bahwa karena ia menemukan keadaan takut dalam dirinya melalui pengetahuan dengan kehadiran, ia pun mengetahui sebab-musabab ketakutan tersebut melalui pengetahuan dengan kehadiran. Padahal, apa yang dicerap melalui pengetahuan dengan kehadiran senantiasa besifat sederhana, tanpa bentuk dan konsep, dan bebas dari segala macam penafsiran dan penjabaran. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan dengan kehadiran tidak mungkin keliru. Sebaliknya, penafsiran seketika yang mengiringi hadirnya ketakutan dalam diri itu merupakan persepsi-persepsi perolehan (dari informasi yang telah atau baru kita terima dari luar diri kita) sehingga tidak mejamin kebenaran dan kesesuaiannya dengan realitas yang sesungguhnya Dengan paparan itu, terjawablah mengapa dan bagaimana sebagian pengetahuan perolehan mengalami kekeliruan. Umpamanya, ada orang merasa lapar dan menyangka bahwa dia memerlukan makanan, padahal selera makan itu sebetulnya tidak nyata dan dia tidak memerlukan makanan. Hal demikian terjadi lantaran rasa tertentu yang ditangkapnya melalui pengetahuan dengan kehadiran yang tidak mungkin keliru itu telah diikuti dengan tafsiran mental yang membandingkan rasa tersebut
P: 160
dengan beberapa rasa terdahulu yang diduga berasal dari kebutuhan pada makanan. Hanya saja, perbandingan itu ternyata tidak benar dan karenanya muncul kekeliruan yang bermula dari tafsiran mental atas penyebab rasa tersebut. Kekeliruan serupa juga lazim belaku dalam pengalaman dan penyingkapan mistis. Oleh sebab itu, adalah suatu keniscayaan untuk sepenuhnya jeli dalam menentukan pengetahuan presentasional dan memilahnya dari pelbagai tafsiran mental yang mengiringinya, supaya tidak terjatuh dalam kekeliruan yang diakibatkan oleh kebingungan tersebut.
Pengetahuan dengan kehadiran tentang keadaan-keadaan jiwa juga punya derajat kelemahan dan kedahsyatan. Sebagai contoh, ketika orang sakit yang menderita dan mempersepsi rasa sakitnya melalui pengetahuan dengan kehadiran melihat temannya dan mengalihkan perhatiannya pada si teman, persepsinya akan rasa sakit itu akan membuyar. Penyebab rendahnya derajat pengetahuan dengan kehadiran adalah kurangnya perhatian. Sebaliknya, dalam kesendirian, terutama di malam hari manakala tidak ada lagi objek yang dapat diperhatikannya, sakit itu akan terasa lebih dahsyat. Sebab, dari kedahsyatan rasa sakit itu tiada lain daripada perhatiannya yang utuh.
Perbedaan derajat pengetahuan dengan kehadiran bisa berdampak pada tafsiran-tafsiran mental yang terkait dengannya. Umpamanya, meskipun sangat rendah, manusia selalu mengetahui dengan kehadiran tentang jatidirinya. Hanya saja, akibat rendahnya derajat pengetahuan dengan kehadiran tentang diri itu, orang sering membayangkan bahwa jatidirinya identik dengan tubuhnya. Ujung-ujungnya, ia akan menyimpulkan bahwa hakikat dirinya tidak lebih dari tubuh dan gejala- gejala material yang membalutnya. Namun, seiring peningkatan derajat pengetahuan dengan kehadirannya dan penyempurnaan substansi dirinya, kekeliruan semacam itu tidak lagi terjadi.
Ilmu hudhûrî telah dikenal sebagai salah satu ciri khas filsafat Islam, sejak awal diketengahkan oleh al-Farabi, Ibn Sina, dan Surhawardi.
Tokoh yang berperan penting dalam pengembangan jenis ilmu ini adalah
P: 161
Mullâ Sadrâ. Pada masa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, ilmu hudhûrî yang terus dikaji akhirnya didefiniskan secara beragam. Paling tidak, ada enam definisi untuk ilmu hudhûr(1), di samping definisi yang ia ajukan sendiri. Hingga kini, definisi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî lebih diterima dan menjadi postulat kajian-kajian seputar ilmu hudhûrî.
(2) Namun, satu hal yang diabaikan oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam pembahasan ilmu hudhûrî ialah (milak) criteria suatu pen- getahuan itu dipastikan sebagai ilmu hudhûrî. Pembelaan terkecil yang biasa dibawakan di sini ialah bahwa meski hingga kini masalah kriteria ilmu hudhûrî telah menuai tiga teori yang dikemukakan oleh Ibn Sina, Thabâthabâ’î dan Mutahhari, namun ketiga-tiganya menujukan penjelasan mereka pada kajian-kajian ontologis,(3) suatu hal yang boleh jadi tidak terkait langsung dengan kajian epistemologis.
Pembelaan ini kecil mengingat penjelasan ontologis atau apa pun sifat- nya selama ia intelektual dan reasonable, dapat dijadikan sebagai inter- pretasi atas sebuah persoalan suatu ilmu, dan penjelasan ontologis yang diajukan oleh tiga filsuf tadi tidak serta merta merusak identitas masalah yang djelaskan dari sifatnya sebagai epistemologi, sebagaimana wahdat al-wujûd dalam tasawuf tidak akan berubah dari cirinya sebagai prinsip tasawuf kendati telah dibuktikan oleh Mullâ Sadrâ dengan sistem filsa- fatnya.
Sebagaimana Mullâ Sadrâ dan Thabấthabâ’î, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî membuktikan meneguhkan prinsip hudhur sebagai induk semua pengetahuan dengan membagi dua macam objek pengetahuan:
(1) objek pengetahuan yang diperantarai oleh konsep “objek aksidental” (ma`lûm bi al-'aradh), yaitu objek yang tidak berkaitan langsung dengan subjek yang mengetahui ('alim) dan tidak menyatu dengannya;
P: 162
(2) objek pengetahuan yang tidak diperantarai oleh konsep. (1) Pembagian ini, menurut pengamatan penulis, merupakan hasil adaptasi dan inovasi Mullâ Sadrâ atas gagasan filsafat Aristotelian tentang intensionalitas(2) yang membedakan dua jenis perbuatan manusia, yaitu 'perbuatan imanen' dan 'perbuatan transitif”. (3) Sekilas adaptasi Mullâ Sadrâ yang didukung oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî terkesan “memaksakan diri', karena suatu perbuatan dan tindakan, yang imanen maupun yang transitif, tidak pernah dapat diaplikasikan dan diterapkan kepada objek-objek tindakan tersebut. Memang, suatu tindakan imanen seperti halnya pengetahuan kita, bisa dianalisis secara sangat logis menjadi subek yang mengetahui ('âlim) dan objek yang diketahui (maʼlûm). Dengan demikian, anatomi objek yang diketahui pada gilirannya bisa dianalisis menjadi objek internal dan objek eksternal.
Karena pada esensinya bersifat intensional, maka tidak mengetahui senantiasa dimotivasi, ditentukan, dan dibentuk oleh objeknya. Karenanya objek memiliki saham, bersama subjek, dalam penyusunan dan penentuan tindak mengetahui, namun berbeda dari subjek karena memiliki peran yang unik dalam memotivasi tindak mengetahui. Karenanya, sementara ciri utama objek adalah memotivasi tindakan subjek, sebaliknya subjek tidak bisa mengambil bagian dalam prosedur memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan alasan sederhana bahwa orang yang selalu hadir bagi dirinya sendiri tidak mungkin menjadi objek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa efisien bagi tindak intensional mengetahui sesuatu, dan
P: 163
objek berfungsi sebagai kausa final untuk bagi pelaksanaan tindakan itu.
Kausa efisien ('illah fâ'ilah) tidak dianggap mutlak identik dengan kausa final ('illah gha'iyyah) dalam sistem kausalitas Aristotelian. Dengan demikian, suatu subjek tidak mungkin identik dengan objeknya.
Dengan meletakkan hubungan subjek-objek dalam konteks sistem kausalitas Aristotelian, lebih lanjut bisa disimpulkan adanya distingsi khas lain antara subjek yang mengetahui sebagai kausa efisien dan sesuatu yang diketahui sebagai kausa final bagi tindak pengetahuan. Sementara kausa efisien didefinisikan sebagai agen yang bertindak, artinya yang melahirkan tindak mengetahui,(1) maka kausa final berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan internalnya.(2) Subjek yang mengetahui ('alim) sebagai kausa efisien ('illah fa'ilah) pada gilirannya disebabkan dan digerakkan oleh bayangan mental dan pikiran objek dalam pelaksanaan tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang objek itulah yang pertama kali mengefektifkan kausalitas potensial subjek dengan memindahkannya dari posisi potensial (bi al- quwwah) ke posisi aktual (bi al-fi'il). Seandainya gagasan tentang objek tidak terdapat dalam gagasan subjek yang mengetahui, niscaya subjek potensial tersebut tidak akan pernah sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam rangkaian kausa ini gagasan tentang objek muncul lebih dahulu, dan dipandang sebagai kausa prima (sebab pertama) atau salah satu kausa dari sistem kausalitas.
Dari semua ini bisa dipahami bagaimana semua situasi dan kondisi ini membenarkan pengandaian-pengandaian oleh para pemikir yang berorientasi pencerahan dan iluminatif, semisal Mullâ Sadrâ, yang menegaskan bahwa benda-benda yang termasuk dalam tatanan dunia
P: 164
eksternal harus dipandang sebagai “objek-objek tak hadir” yang diperlawankan dengan “objek-objek yang hadir”. Objek-objek eksternal ini, dalam pengertian yang sesungguhnya, tidaklah hadir bagi, dan diidentifikasikan dengan, kita dalam dataran eksistensi, akan tetapi konsepsi-konsepsi mereka dan representasi-representasinya memang hadir bagi, dan identik dengan, kita.
Dalam hal ini Mullâ Sadrâ menulis, “Sebuah risalah tentang teori bahwa pengetahuan mengenai objek-objek ini yang eksistensinya absen dari kita hanya mungkin melalui perantaraan representasi objek-objek di dalam diri kita”.(1) Akan tetapi, menurut pendapatnya, adalah absurd apabila realitas objektif objek-objek ini pernah hadir dalam pikiran kita sedemikian rupa sehingga sebuah objek eksternal menjadi internal secara total, dan suatu eksistensi yang mandiri jatuh dari dataran eksistensinya ke dataran konsepsi yang hidup dalam keadaan mentalitas kita (yakni berada di alam pikiran kita). Dalam pandangan filsuf agung ini, kita masih dapat mencapai komunikasi dengan “objek-objek tak hadir” tersebut hanya melalui representasi-representasi yang bersifat perseptual maupun konseptual dalam pikiran kita. Representasi-representasi ini pada mulanya adalah milik kita dan dibangkitkan serta ditegakkan oleh kekuatan intelektual kita.
Karena objek tanpa perantara (maʼlûm bi al-dzât) bebas dari keterikatan dengan materi, dia dapat dicontohkan sebagai objek yang bisa diindera, dibayangkan, dan sangat bisa dipahami secara transendental, bergantung pada derajat pengetahuan abstrak dan kekuatan pemahaman mental kita. Bahkan objek terindrakan (ma lum mahsus) yang imanen dalam pengetahuan empiris kita menikmati suatu derajat primitif abstraksi dan transendentalitas karena dia bebas dari materi. Artinya, dia berada bukan dalam materi, akan tetapi di alam pikiran dan mental.
Di lain pihak, objek aksidental dan transitif adalah bentuk objek yang eksternal, material, ataupun immaterial, yang secara eksistensial
P: 165
tidak bergantung pada, dan terpisah dari, keadaan mentalitas kita dan tidak mempunyai kerentanan terhadap derajat abstraksi. Dalam kasus objek material, dia terikat dan bergantung dengan materi, ruang, dan waktu. Di samping itu, dalam contoh objek non material, apabila objek seperti itu memang ada, dia berdiri sendiri tanpa hubungan pasif dengan materi, ruang, ataupun waktu. Objek-objek aksidental dan transitif ini dapat dikomunikasikan hanya dengan menginisiasi representasi- representasi ini, karena berada dalam tatanan konsepsi, mesti dipandang sebagai objek-objek imanen yang sebenarnya, dan objek-objek yang direpresentasikan oleh mereka "yang eksistensinya tetap berada dalam wujûd- harus dianggap sebagai objek-objek transitif dan aksidental.
Karena objeknya tidak lain hanya bersifat imanen dan esensial, maka arti objektivitas objek ini, seperti yang telah kita tunjukkan bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri. Sebaliknya, objek transitif, karena secara keseluruhan bersifat aksidental, tidak menjadi bagian dari inti esensial kesadaran dan pengetahuan manusia.
Objek transitif dan aksidental dengan demikian menjadi konstitutif hanya ketika yang dipersoalkan adalah pengetahuan tentang objek eksternal. Ini adalah spesies pengetahuan tertentu yang dalam terninologi kita akan dinamakan “pengetahuan dengan korespondensi” (ilmu hushuli) yang diperlawankan dengan “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhûrî). Akan tetapi, bentuk primordial pengetahuan adalah “pengetahuan dengan kehadiran”, dan terlebih lagi dalam teori pengetahuan, objek transitif eksternal sama sekali tidak berfungsi sebagai bagian pembentuk konsep umum pengetahuan.
Dari semua ini dengan sendirinya dapat disimpulkan bahwa gagasan prospektif kita tentang “pengetahuan dengan kehadiran”, sebagaimana dicirikan oleh swa-objektivitas, benar-benar dan dengan sendirinya dijelaskan oleh bentuk dasar pengetahuan, tanpa mempunyai objek fisik eksternal yang berkorespondensi dengan objek yang hadir secara esensial. Akan tetapi, “pengetahuan dengan kehadiran” secara harfiah termasuk, bahkan merupakan contoh utama, dalam kategori pengetahuan
P: 166
seperti itu, sebab dia bersifat noetic dan objektif dalam hakikatnya dan memenuhi semua persyaratan esensial konsepsi pengetahuan, mekipun tidak mempunyai objek transitif yang aksidental.
Singkatnya, ilmu hudhûrî secara harfiah berarti pengetahuan dengan kehadiran karena dia ditandai oleh keadaan noetic dan mempunyai objek imanen dan esenssial yang menjadikannya pengetahuan swaobjek (self object-knowledge), yang memadai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan objek transitif dan aksidental yang berkoresponden, selain objek yang imanen dan esensial.
Salah satu isu penting dalam filsafat pengetahuan Sadrian adalah ittihâd al-'âqil wa al-aql wa al-ma'qûl. Doktrin ini menyatakan adanya tiga pihak dalam proses mengetahui, yaitu: subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan proses pengetahuan, yang kemudian menyatu.
Jadi, ketika menjadi subjek yang mengetahui, diri adalah ‘aqil, ketika menjadi objek yang diketahui, diri adalah ma'qûl, dan ketika menjadi proses pengetahuan, diri adalah 'aql.
Ibn Sînâ berpendapat bahwa ittihâd semacam itu tidak terjadi dalam pengetahuan hushûlî, karena pengetahuan hushûlî merupakan pengetahuan yang prosesnya membutuhkan perantara. Mullâ Sadrâ dan Thâbathabâ’î berpendapat bahwa pengetahuan hushûlî pada hakikatnya merupakan salah satu bagian dari pengetahuan hudhûrî atau paling tidak bermuara pada pengetahuan hudhûrî.(1) Karena itulah, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî beranggapan bahwa pengetahuan, baik hudhûrî maupun hushûlî, termasuk tema besar “maujud tak terindra' (maujûd ma'qûl).(2) Sampai di sini, menurut penulis, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî terlihat gamang untuk mengambil sikap tegas. Di satu sisi ia menerima peran sentral ilmu hudhûrî yang berarti kehadiran yang meniscayakan abstraksi, namun di sisi lain juga menganggap ilmu hudhûrî berstatus
P: 167
supra-filsafat. Namun, dari pembelaannya terhadap pendapat Mullâ Hâdi Sabzawarî yang menolak definisi Mullâ Sadrâ tentang al-'ilm sebagai hudhûr mujarrad ladâ mujjarad, ia sebenarnya sudah menentukan sikap.
Ia menolak anggapan bahwa semua pengetahuan harus didasarkan pada ‘kehadiran' karena, menurutnya, pengetahuan sesuatu yang memiliki esksistensi termulia (Tuhan) mampu mengenali entitas-entitas non abstrak secara langsung, tanpa medium entitas-entitas abstrak lainnya. (1) Meski tetap menganut fondasionalisme, yang menganggap pengetahuan hudhûri sebagai induk dan basis semua pengetahuan husûlî badîhî, bahkan hukum nonkotradiksi dan hukum identisitas (hu- huwiyyah). Menurut Muhammad Taqî Misbah Yazdî, semua pengetahuan hushûlî yang paling badîhî sekalipun masih bisa dibuktikan oleh pengetahuan hudhûrî, betapapun pengetahuan hudhûri tidak meleset, namun ruangnya sangat sempit dan terbatas, sehingga tidak dapat dijadikan sumber bagi penyelesaian seluruh problema dalam konteks pengetahuan. Hanya dengan mengandalkan pengetahuan hudhûri, proses transformasi, komunikasi, dan persuasi tidak akan berjalan, yang pada akhirnya sebagian besar pengetahuan tidak dapat dimunculkan, selain pengetahuan tentang diri dan sejenisnya. Karena itulah, pengetahuan hushûlî sangat diperlukan.(2) Setelah membatasi jalur pengetahuan dalam filsafat hanya melalui hushûlî, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memperjelas rambu-rambunya.
Pengetahuan hushûlî terbangun di atas tiga pilar: (1)Pengetahuan (mudrik); (2) Yang diketahui (mudrak). Dalam hal ini, sebagian filsuf Muslim membagi objek pengetahuan hushûlî ke dalam dua kategori: a) Esensi- esensi yang maujud sebagai maujud; b) Hakikat (realitas) eksistensi secara umum (muthlaq al-wujûd) yang dikenali atau ditandai dengan kode- kode atau terminologi-terminologi umum yang sesuai dengannya;(3) (3) Gambaran (shûrah) tentang sesuatu yang diketahui secara inheren.
P: 168
Konkret Salah satu pandangan khas Muhammad Taqi Misbah Yazdî dalam bidang epistemologi berkaitan dengan masalah “pengetahuan Tuhan tentang entitas-entitras material” ('ilm Allah bi al-maddiyât). Para filsuf sepakat salah satu syarat subjek pengetahu ("âlim) adalah ke- mujarrad-an, karena ilmu merupakan entitas immaterial dan bagian dari nafs yang immaterial, bukan sekadar produk kerja otak dan indera, yang hanya berfungsi sebagai penyedia (i’dâdiyyah). Karena itu, meja yang ditumpuk satu sama lain tidak saling mengerti, padahal kalau definisi ilmu itu adalah “hadirnya sesuatu pada sesuatu”, mencakup materi juga.
Pertanyaan yang muncul di kalangan para filsuf adalah apakah ma`lum (objek pengetahuan) haruslah sesuatuyang immaterial pula? Yang bisa dipahami dari penjelasan bahwa ilmu itu adalah non materi, maka objek ilmu yang dipahami oleh diri subjek juga demikian. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, seperti para pendahulunya meyakini bahwa ilmu haruslah sesuatu yang immaterial. Karenanya, ia mengemukakan berbagai argumentasi atas hal itu Pertama, Ilmu tidak menerima pembagian. Jika ilmu itu materi, maka konsekuensinya di saat kita mendapatkan ilmu, artinya akan hadir sesuatu yang besar pada sesuatu yang kecil, yakni ilmu yang didapatkan dari pandangan atau lainnya yang ukurannya jauh lebih besar dari bola mata kita, bahkan dari badan kita semuanya tercetak (inthibâ') dalam bola mata kita dan tersimpan pula di dalam otak kita yang kecil.
Kedua, Bila ilmu adalah materi, maka tidak bisa kita mengetahui (menghadirkan gambaran konsep) lebih dari satu, sementara hal itu kita saksikan dan kita rasakan kita bisa lakukan hal itu dan bahkan membandingkan antara satu dengan yang lain.
Ketiga, Bisanya kita menghadirkan ilmu (konsep) yang tesimpan dalam diri kita setelah berlalu puluhan tahun lamanya, padahal jika ia sesuatu yang materi, maka akan hilang dengan hilangnya tempatnya dan sel-sel otak kita dengan berlalunya masa juga sudah berubah-ubah.
P: 169
Namun berkenaan dengan ilmu Allah atas makhluk (akibat)nya yang materi sesuai dengan kaidah di atas seharusnya juga tidak bisa langsung demikian, namun ia mengatakan, bahwa Allah bisa saja mengetahui yang materi secara langsung, tidak perlu perantara non materinya, seperti yang diyakini oleh Thabathabâ’î melanjutkan pandangan Mullâ Sadrâ.
Tentang ketakmustahilan hal itu, sayangnya Muhammad Taqî Misbâh Yazdî tidak mengemukakan dalil apa-apa, hanya menyebutkan karena Allah memiliki peliputan eksistensial (ihâthah wujûdiyyah). (1) Jadi, ia ia tidak memberikan dalil apa-apa, padahal semestinya ia, paling tidak, menolak dalil yang dikemukakan Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î, bahwa materi itu kegelapan yang satu sama lain tidak bisa mengenal, karenanya ia pun tidak bisa menjadi objek ilmu, dan itu yang menjadi kritik Thabâthabâ’î kepada Suhrawardi saat mendeskripsikan ilmu Allah kepada materi sebagai “kehadiran materi” pada diri Tuhan.(2) Menurut penulis, pandangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî yang menerima prinsip hudhur namun juga menolak definisi ‘ilm sebagai “kehadiran entitas abstrak pada entitas abstrak lain” yang menjadi melahirkan prinsip hudhûr membingungkan dan cenderung kontradiktif.
Penolakan Muhammad Taqî Misbah Yazdî juga terhadap definisi ilmu yang diberikan oleh Mullâ Sadrâ sama dengan penolakan terhadap prinsip hudhur yang diakuinya sebagai dasar validitas pengetahuan hushûlî. Konsekuensinya tentu lebih buruk, yaitu runtuhnya bangunan epistemologi.
P: 170
Setelah menganggap' ilm hudhûrî sebagai induk semua pengetahuan, Muhammad Taqi Misbah Yazdî tidak larut dengan ilmu hudhûrî, namun memasuki ranah ilmu hushûlî. Dalam ilmu hushûlî, ia menjelaskan pandangannya tentang prinsip badâhah.(1) Ini sangat ditekankan demi memberikan jaminan nilai pengetahuan.
Berikut penjelasannya:
Masalah mendasar menyangkut nilai pengetahuan ialah bagaimana membuktikan bahwa pengetahuan manusia sesuai dengan realitas.
Masalah ini muncul akibat adanya penengah antara subjek pengetahu (atau ilmuwan) dan objek pengetahuannya (atau ilmu). Penengah inilah yang menyebabkan subjek disebut dengan ilmuwan dan objek disebut dengan ilmu pengetahuan. Jadi, objek ilmu berbeda dengan subjek atau ilmuwan. Tetapi, dalam hal tiadanya penengah, di mana ilmuwan langsung menemukan keberadaan objektif ilmunya, segala rupa pertanyaan ini tentu saja menjadi tidak relevan.
Oleh sebab itu, pengetahuan yang bisa benar-dalam arti sesuai dengan kenyataan dan bisa keliru —dalam arti melenceng dari kenyataan—tidak lain adalah pengetahuan hushûlî. Jika pengetahuan dengan kehadiran disifati sebagai benar, maka artinya adalah kemustahilannya menjadi keliru.
Dengan demikian, definisi kebenaran dalam konteks nilai pengetahuan adalah kesesuaian forma mental pengetahuan dengan objek realitas yang dicerapnya. Di samping itu, ada sejumlah definisi lain tentang kebenaran dalam kaitan ini, antara lain definisi kalangan pragmatis, "kebenaran adalah pemikiran yang berguna bagi kehidupan praktis manusia,” atau definisi kalangan relativis, “kebenaran adalah pengetahuan yang cocok dengan perangkat persepsi yang sehat,” atau definisi ketiga yang
P: 171
berbunyi “kebenaran adalah apa yang disepakati semua orang,” atau definisi keempat yang berbunyi, “kebenaran adalah pengetahuan yang bisa dialami secara indrawi.” Semua definisi ini menyimpang dari pokok pembicaraan, mengelak dari masalah asasi nilai pengetahuan. Definisi- definisi itu bisa dilihat sebagai tanda ketakberdayaan para pendefinisi untuk memecahkan masalah sebenarnya.(1) Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, kesulitan pokok dalam pengetahuan hushuli ialah cara menentukan kesesuaiannya dengan realitas, karena kita senantiasa berhubungan dengan alam luaran melalui hasil kognisi dan pengetahuan perolehan tersebut. Oleh karena itu, kunci pemecahan masalah ini mestilah dengan menilik bentuk pemahaman sekaligus objek acuan, sedemikian sehingga kita menghadirkan pemahaman akan kesesuaian itu secara langsung, tanpa perantaraan apa pun. Proposisi-proposisi fitriah memang serentak hadir dengan objek acuannya. Umpamanya, saat kita merasa takut, bentuk mental perasaan itu langsung hadir dalam diri kita. Karenanya, proposisi-proposisi seperti “Aku ada”, atau “Aku takut”, atau “Aku ragu” sepenuhnya tidak mungkin diragukan atau dibimbangkan. Jadi, proposisi-proposisi yang berasal dari fitrah dan indra batin manusia ini merupakan proposisi yang seratus persen terbukti, dan mutlak nirgalat (bebas kesalahan).
Tilikan seperti di atas juga dapat kita temukan dalam proposisi- proposisi logika yang memerikan forma dan konsepmental. Karena, meksi perian dan objek yang diperikan muncul dalam dua aras pikiran yang berbeda, tapi kedua aras itu sama-sama hadir dalam sang diri (yaitu, Aku yang menjadi subjek pemahaman). Misalnya, “Konsep manusia adalah
P: 172
konsep universal” adalah proposisi yang memerikan ciri-ciri khas ‘konsep manusia', suatu konsep yang hadir dalam benak. Kita dapat memilah ciri-ciri ini lewat pengalaman mental, tanpa menggunakan organ-organ indra atau perantara atau cerapan apa pun juga. Kita memahami bahwa konsep ‘manusia tidak memerikan individu tertentu, melainkan berlaku pada individu yang tidak berhingga. Jadi, proposisi “konsep manusia adalah konsep universal” adalah benar (secara fitriah). (1) Melalui ini, terbukalah jalan untuk mengenali dua kelompok proposisi, kendati tidak memadai untuk memecahkan semua jenis kognisi pengetahuan hushûlî. Jika kita bisa mendapatkan jaminan ketepatan proposisi-proposisi aprior primer (badîhîyyât awwaliyyah), kita telah sepenuhnya berhasil melangkah maju. Melalui bantuan proposisi-proposisi aprior primer ini kita bisa mengenali dan menilai proposisi-proposisi teoretis, termasuk proposisi-proposisi indrawi dan hasil pengalaman. Dalam rangka itu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengajak kita mesti mendalami esensi proposisi-proposisi ini. Pada satu sisi, kita mesti memeriksa konsep-konsep yang terkandung di dalamnya, meneliti jenis konsep-konsepnya dan cara perolehannya. Pada lain sisi, kita mesti melihat hubungan-hubungan di antara mereka dan bagaimana akal mampu memutuskan kesatuan subjek dan predikatnya.
Proposisi-proposisi semacam ini terbentuk dari konsep-konsep filsafat yang berujung pada pengetahuan presentasional (hudhûri).
Kelompok pertama konsep-konsep filsafat, seperti kebergantungan' dan ‘kemandirian serta “sebab' dan ‘akibat dan sebagainya diabtraksi dari pengetahuan langsung dan indra batin. Kita bisa menyaksikan kesesuaiannya dengan sumber abstraksi secara menghadir. Sebagian besar konsep filsafat termasuk dalam kelompok ini.
Sisi kedua berkenaan dengan cara memutuskan kesatuan subjek dan predikat dalam proposisi-proposisi ini. Caranya tidak lain ialah melalui perbandingan antara pelbagai subjek dan predikat dalam proposisi- proposisi ini. Demikian itu karena seluruh proposisi ini bersifat
P: 173
analitis, konsep predikat mereka diturunkan dari analisis terhadap konsep subjek. Umpamanya, kalau kita menganalisis dan menguraikan konsep subjek dalam proposisi “semua akibat meniscayakan sebab”, kita akan menyimpulkan bahwa ‘akibat adalah maujud yang dalam wujudnya bersandar pada maujud lain yang disebut sebab”. Jadi, konsep kebergantungan pada sebab tertera dalam konsep ‘akibat. Kesatuan antara subjek dan predikat ini segera bisa ditemukan lewat pengalaman mental batin. Sebaliknya, dalam proposisi “semua maujud menuntut sebab" kita tidak menemukan bahwa analisis terhadap konsep ‘maujud menelurkan konsep ‘menuntut sebab’, sehingga kita tidak menganggapnya sebagai proposisi aprior. Bahkan, proposisi di atas juga tidak dapat disebut sebagai proposisi teoretis atau proposisi duga-sangka yang benar. Dengan cara ini, menjadi jelas bahwa proposisi aprior primer (badîhî awwalî) berujung pada pengetahuan dengan kehadiran, sehingga sepenuhnya dijamin benar.
Cara untuk mengidentifikasinya adalah melihat koherensi antara pengetahuan dan objeknya yang terbukti dan diketahui secara presentasional (hudhûrî). Proposisi-proposisi yang tidak aprior mesti dinilai melalui patokan-patokan logika, yakni bila suatu proposisi diperoleh lewat aturan-aturan logika tentang penyimpulan (inference), maka ia benar; bila tidak, maka ia salah. Tentunya, mesti dicamkan bahwa kekeliruan dalil dalam suatu proposisi tidak senantiasa berbuntut pada kekeliruan kesimpulan. Karena, boleh jadi orang hendak membuktikan kesimpulan yang benar dengan memakai dalil yang keliru. Oleh sebab itu, ketidaksahihan dalil hanya merupakan alasan untuk tidak meyakini kesimpulan, dan bukan alasan untuk menegaskan kekeliruan dan ketahakikian kesimpulan.
Bisa saja keraguan berikut muncul: mengikuti definisi kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas, kebenaran dan kekeliruan hanya berlaku pada proposisi-proposisi yang dapat dibandingkan dengan alam luaran (external realm). Proposisi-proposisi metafisika, sayangnya, tidak memiliki realitas eksternal yang bisa dijadikan patokan kesesuaian. Oleh
P: 174
karena itu, seluruh proposisi metafisika tidak bisa dianggap benar ataupun salah, tapi mesti dianggap absurd dan tidak bermakna (meaningless).
Oleh sebab itu, kriteria umum kebenaran dan kekeliruan proposisi adalah kesesuaian atau ketaksesuaiannya dengan apa yang ada di balik konsep-konsepnya. Dengan demikian, untuk mengenali kebenaran dan kesalahan proposisi ilmu-ilmu empiris, kita mesti membandingkannya dengan realitas bendawi yang terpaut dengannya. Misalnya, untuk menemukan kebenaran proposisi “besi meleleh saat dipanaskan”, kita memanaskan besi di alam luaran dan mengamati perbedaan ukurannya.
Akan tetapi, dalam hal proposisi-proposisi logika, kita mesti menilainya melalui konsep-konsep mental yang terkait dengannya. Untuk mengenali kebenaran dan kesalahan proposisi-proposisi filsafat, kita mesti memperhatikan dan mempertimbangkan hubungan antara (konsep dalam) benak dan objeknya. Proposisi ontologis dianggap benar ketika benak bisa sedemikian rupa mengabstraksi pelbagai konsep dari acuan- acuan objektifnya, baik acuan-acuan objektif itu bersifat bendawi ataupun mujarad. Proses ini terlaksana secara langsung dalam kasus proposisi- proposisi yang berasal dari indra batin, dan dalam kasus proposisi- proposisi lainnya ia terlaksana dengan satu atau dua perantaraan. (1) Dalam bahasa sebagian besar filsuf, sering ditemukan ungkapan:
“Pokok bahasan ini sesuai dengan 'perkaranya sendiri' ( نفس الامر/ nafs al-amr atau the case itself).” Termasuk di antaranya ialah 'proposisi- proposisi hakiki' ( القضایا الحقیقیة / qadhâyâ haqîqiyyah). Proposisi hakiki adalah proposisi yang seluruh subjeknya tidak memiliki contoh-contoh luaran, tetapi bila subjek itu diasumsikan mewujud, predikat dalam proposisi hakiki itu pastilah berlaku padanya. Kriteria kebenaran dalam proposisi semacam ini adalah kesesuaiannya dengan perkara atau kasusnya sendiri, lantaran seluruh subjeknya tidak memiliki contoh- contoh yang mewujud di alam luaran untuk bisa kita lihat kesesuaian mereka dengan kandungan proposisi.(2)
P: 175
Demikian pula dengan proposisi-proposisi yang terbuat dari objek- objek kawruhan sekunder, seperti proposisi-proposisi logika atau proposisi-proposisi yang mengandung penetapan hukum bagi hal-ihwal yang tiada atau mustahil. Kriteria kebenaran dalam dua jenis proposisi tersebut adalah kesesuaiannya dengan ‘hal atau perkaranya itu sendiri.' Ada beberapa pengertian ungkapan ini: sebagiannya sangat ganjil, seperti dinyatakan sejumlah filsuf bahwa kata “amr' (perkara atau kasus) berarti ‘alam semesta mujarad”; dan sebagian lainnya sama sekali tidak memecahkan masalah, seperti perkataan bahwa nasf al-amr adalah “sesuatu itu sendiri’, mengingat perkataan ini mengabaikan pertanyaan inti: Dengan apa kita membandingkan proposisi-proposisi ini untuk mengetahui kebenaran mereka? Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian nasf al-amr bukanlah realitas luaran (waqi' khariji), melainkan wadah pembuktian akal (intellectual demonstration) atas objek-objek yang dirujuk oleh proposisi yang berbeda dalam tiap-tiap kasus. Dalam beberapa kasus, seperti dalam kasus proposisi-proposisi logika, wadah pembuktian itu adalah tingkatan tertentu dalam benak. Dalam kasus-kasus lain, seperti dalam kasus objek yang dirujuk oleh proposisi kemustahilan bersatunya dua lawan kontradiktif (contradictory), wadah pembuktian itu adalah asumsi pembuktian eksternal. Dalam kasus terjadinya hubungan tidak-langsung (accidental relation), seperti kalau dikatakan “sebab ketiadaan akibat adalah ketiadaan sebab”, padahal hubungan sebab-akibat sebenarnya adalah antara keberadaan (bukan ketiadaan) sebab dan keberadaan akibat, maka hubungan antara keberadaan sebab dan akibat itu secara aksidental bisa diterapkan pada ketiadaan sebab dan akibat.
Tak pelak, pandangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tentang peran sublim pengetahuan badîhî berimplikasi pada penolakannya terhadap basis epistemologi Barat modern yang bertumpu pada Positivisme, yang merupakan buah pemikiran Empirisme dan sintesisnya dengan Rasionalisme. Secara tegas Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengatakan bahwa epistemologi tidak perlu meminjam aksioma-aksioma luar untuk
P: 176
semua pokok bahasannya, karena semuanya dapat dijelaskan semata- mata dengan landasan landasan asasi yang aprior(self-evident atau البدیهیات الأولیة/badihiyyat awwaliyyah Bila segenap solusi atas masalah-masalah ontologi dan ilmu- ilmu lain yang dicapai melalui metode-metode rasional bergantung pada kesanggupan akal untuk itu, maka bukankah itu berarti bahwa filsafat pertama (metafisika) juga membutuhkan epistemologi untuk menyediakan aksioma-aksioma dasar bagi filsafat, padahal sebelumnya dikatakan bahwa filsafat tidak membutuhkan pada ilmu lain? Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengemukakan sejumlah alasan.
Pertama, premis-premis yang secara langsung dibutuhkan oleh metafisika sesunggunya merupakan penyataan-pernyataan aprior (self-evident) yang sama sekali tidak memerlukan dalil baru. Semua wacana yang tertera mengenainya dalam logika dan filsafat sebetulnya lebih merupakan ulasan daripada pembuktian, yakni berfungsi untuk menggugah perhatian kita pada kebenaran yang dapat ditangkap oleh akal manusia tanpa pembuktian sedikitpun. Alasan untuk membahas penyataan-pernyataan semacam ini dalam ilmu-ilmu tertentu tidak lain karena adanya pelbagai miskonsepsi yang pada gilirannya menjadi keraguan-keraguan seperti dalam kasus prinsip kemustahilan kontradiksi. Miskonsepsi seputar kemustahilan kontradiksi telah menggiring sebagian untuk tidak saja mengkhayalkannya sebagai suatu hal yang mungkin adanya, melainkan menganggapnya sebagai gejala dalam semua kejadian! Hal yang menarik adalah kesimpulan Muhammad Taqi Misbah Yazdî tentang akar sikap keraguan epistemik ini. Menurutnya, keragu- raguan tentang nilai pengetahuan rasional pada dasarnya berasal dari kesalahpahaman serupa. Untuk membongkar keragu-raguan dan menepis kesalahpahaman tersebut kita mesti mendiskusikannya. Tindakan memasukkan penyataan-pernyataan aprior dalam pembahasan logika dan epistemologi pada hakikatnya merupakan sebentuk penyimpangan, ikut-ikutan dan tenggang rasa kepada kelompok yang mengidap kebimbangan. Apabila ada orang yang benar-benar tidak menerima nilai
P: 177
pengetahuan rasional, meskipun tanpa sadar, bagaimana mungkin kita beradu nalar dengannya melalui pembuktian rasional? Padahal argumen- argumen yang mereka ajukan untuk membangkitkan keragu-raguan itu pun sebetulnya juga berwatak rasional.
Kedua, kebutuhan filsafat pada prinsip-prinsip logika danepistemologi pada dasarnya untuk melipatgandakan pengetahuan, atau secara teknis disebut “penerapan pengetahuan untuk menambah pengetahuan”.
Penjelasannya, orang yang belum teracuni oleh keragu-raguan mengenai nilai pengetahuan rasional bisa bernalar (to reason) untuk mencapai kesimpulan tentang hampir semua hal, tanpa sadar bahwa penalarannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip logika atau cocok dengan bentuk pertama dari silogisme Aristotelian dan syarat-syarat yang mengaturnya.
Orang inipun belum tentu tahu akan adanya akal yang berfungsi mengenali premis-premis dan menerima validitas kesimpulan yang membuntutinya.
Pada sisi lain, sebagian orang yang mau menolak rasionalisme dan metafisika bisa saja menggunakan penalaran tanpa menyadari bahwa dia telah menggunakan sejumlah premis rasional dalam metafisika. Ada pula orang yang mau menolak kaidah-kaidah logika (rules of logic) dengan bersandar pula pada kaidah-kaidah logika. Bahkan, ada juga yang secara gegabah dan tanpa sadar mementahkan prinsip non kontradiksi dengan menggunakan prinsip non kontradiksi.
Dengan dua alasan di atas, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menjelaskan perbedaan karaker kebergantungan. Menurutnya, Kebergantungan penalaran filsufis pada prinsip-prinsip logika hanya bersifat sekunder, persis dengan kebergantungan prinsip-prinsip sains pada sains itu sendiri. Hal itu mirip dengan contoh proposisi-proposisi aprior (self-evident propositions) yang membutuhkan pada kemustahilan kontradiksi. Bila tidak demikian, hilanglah perbedaan antara proposisi- proposisi aprior dan proposisi-proposisi duga-sangka. Jadi, paling kurang kita mesti menerima satu proposisi aprior sebagai nyata-nyata aprior, yaitu prinsip non kontradiksi.
P: 178
Persis pada titik inilah para tokoh terkenal dari kalangan filsuf Barat seperti tokoh Empirisme-Skeptisisme, David Hume (1711—1776), figur sintetikus Empirisme-Rasionalisme, Immanuel Kant (1724—1804), kampiun Positivisme, Auguste Comte (1798—1857), dan para pewaris Positivisme setelahnya terjebak blunder. Dengan pandangan-pandangan mereka yang rancu itulah basis-basis kebudayaan masyarakat Barat dibangun. Kalangan ilmuwan, terutama kaum behavioris dalam disiplin psikologi, juga terjerat dalam pandangan-pandangan rancu tersebut- yang disayangkan, gelombang bertubi-tubi dan destruktif dari ajaran- ajaran ini telah menyeruak ke berbagai penjuru dunia. Kecuali bangunan filsafat ketuhanan yang menjulang tinggi dengan kekar, stabil, dan kokoh, hampir semua aliran pemikiran tergerus arus Positivisme. Inilah celah besar, ungkap Muhammad Taqi Misbah Yazdî, untuk memasukkan kembali peran rasio murni sebagai induk pengetahuan, termasuk sains.
Menurutnya, tanpa berpusat pada badâhah, pengetahuan yang selama ini dibanggakan sebagian besar pemikir Barat hanya berujung pada nihilisme, karena terjebak dalam continuum ad infinitum (tasalsul).
Oleh sebab itu, lanjutnya, harus segera ditempuh seayun langkah tegas dan segera untuk menegakkan landasan bagi 'rumah' ide-ide filsufis secara kukuh. Setelah itu, barulah perjalanan ke fase-fase berikutnya dapat dilakukan, yang pada gilirannya akan menjadikan tujuan yang dipatok tercapai.(1) Boleh jadi faktor yang mendorong kalangan pemikir untuk bersibuk dengan pokok masalah ini ialah tersingkapnya berbagai kekurangan dan kekeliruan pancaindra dalam mengungkap hakikat kejadian-kejadian eksternal (di luar pikiran). Sikap skeptis pada kemampuan pancaindra, sejauh bukti-bukti literer yang tersedia, pernah didengungkan aliran Eleatik. Aliran ini benar-benar meragukan kemampuan pencerapan indrawi (sensory perception) dan lebih mempercayai penalaran rasional.
Namun kemudian, timbul perbedaan di kalangan pemikir menyangkut masalah-masalah rasional dan adanya pertentangan bukti-bukti untuk
P: 179
mendukung dan meneguhkan suatu gagasan dan pandangan. Kondisi ini lantas memberi celah lebar bagi kaum Sophis untuk menolak mentah- mentah semua nilai cerapan rasional. Lebih dari itu, kaum Sophis juga meragukan, bahkan menyangkal, (keberadaan) realitas eksternal.
Sejak itulah, masalah tersebut menjadi bahan perdebatan serius.
Jasa Aristoteles mengumpulkan dan merumuskan prinsip-prinsip logika sebagai standar berpikir benar dan menilai kesahihan suatu bukti rasional, terasa sangat besar. Setelah sekian puluh abad, prinsip-prinsip ini masih tetap berguna. Kalangan Marxis yang semula habis-habisan menentangnya, akhirnya mengakui kebutuhan pada bagian tertentu dari logika. (1) Setelah abad-abad mekarnya filsafat Yunani, timbul kekisruhan dalam menakar nilai pengetahuan indrawi dan rasional manusia.
Sedikitnya, dua kali Eropa dilanda krisis Skeptisisme. Baru setelah masa Renaisans (Renaissance) dan perkembangan sains-sains empiris, secara bertahap Empirisme diterima oleh kalangan yang lebih luas. Sampai dewasa ini, Empirisme tetap menjadi aliran paling dominan, meski dari waktu ke waktu, muncul sejumlah pemikir rasionalis kawakan untuk menggugatnya.
Penyelidikan sistematis pertama dalam bidang epistemologi dilakukan oleh Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716) di dataran Eropa dan John Locke (1632—1704) di Inggris. Dengan cara itulah, epistemologi menjadi salah satu cabang filsafat yang bersifat otonom. Hasil-hasil penyelidikan Locke lalu dimanfaatkan para penerusnya, yakni George Berkeley (1685—1753) dan David Hume. Empirisme kedua filsuf ini menemukan momentum kemasyhuran luar biasa dan berangsur-angsur memperlemah posisi kalangan rasionalis sedemikian, sehingga Kant yang rasionalis sekalipun, menjadi sangat terpengaruh dan “terbangun dari tidur dogmatisnya” oleh ide-ide Hume.(2) Kant berpendapat bahwa tugas filsafat yang paling penting ialah mengukur nilai pengetahuan manusia dan bahwa akal mampu memikul
P: 180
tugas tersebut. Akan tetapi, ia mengakui nilai kesimpulan-kesimpulan akal teoretis hanya berada di sekitar lingkaran sains empiris, matematika, dan bidang-bidang yang menjadi cabang semua ilmu tersebut. Dengan demikian, satu pukulan berat dari kalangan rasionalis ditujukan pada metafisika Hume, seorang figur Empirisme terpandang. Jauh sebelum itu, pukulan yang mematikan telah dilancarkan pada metafisika, yang kemudian dilanjutkan dalam intensitas yang lebih serius oleh kalangan positivis. Dengan demikian, jelas sudah, besarnya pengaruh epistemologi terhadap segenap ilmu pengetahuan, sekaligus penyebab terjadinya involusi filsafat Barat. (1) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menanggapi Positivisme dengan menyatakan bahwa sebagian besar pemikir Barat menampik ide-ide universal. Jadi, wajar saja bila mereka tidak mengakui kemampuan yang dengannya ide-ide itu dicerap, yakni ‘intelek' atau ‘akal. Kaum positivis zaman ini tidak hanya mengembangkan selera yang sama, melainkan justru bertindak lebih jauh. Mereka berpendapat bahwa fungsi persepsi hanya terbatas pada persepsi indrawi, yang dihasilkan dari sentuhan pancaindra dengan fenomena bendawi. (2) Setelah terputusnya persentuhan dengan alam eksternal (material), persepsi itu akan bertahan dalam kadar ya ng lebih lemah. Kaum positivis percaya bahwa manusia merajut sejumlah simbol verbal untuk objek- objek persepsi yang sama. Ketika berbicara atau berpikir, alih-alih menghadirkan kembali seluruh kasus yang serupa, manusia cenderung menggunakan simbol-simbol verbalnya. Sebetulnya, kegiatan berpikir mirip dengan percakapan mental. Jadi, menurut kalangan positivis, apa yang disebut para filsuf sebagai ide-ide universal itu sejatinya tidak lain dari kosakata mental. Jika kosakata ini dapat secara langsung mewakili objek-objek persepsi indrawi dan contoh-contohnya mampu dicerap pancaindra, barulah dapat dianggap bermakna dan dapat diversifikasi.
Semua itu sebelumnya hanyalah kata-kata tuna-makna (meaningless).(3)
P: 181
Kenyataannya, kaum positivis hanya menerima sebagian konsep ke-mâhiyyah-an (whatish concept). Itupun hanya sebatas kosakata mental yang maknanya merujuk pada contoh-contoh partikular indrawi.
Adapaun berkenaan dengan objek-objek kawruhan sekunder, terlebih konsep-konsep metafisika, mereka menganggapnya sebagai kata-kata mental yang tidak bermakna secuil pun. Atas dasar ini, kaum positivis memandang wacana-wacana metafisika mutlak bersifat tidak ilmiah dan tuna-makna.
Di lain sisi, kaum positivis membatasi pengalaman hanya pada ihwal indrawi (sensory), dan sama sekali menyampakkan pengalaman- pengalaman batin (inner experiences) yang diperoleh melalui “pengetahuan dengan kehadiran” (knowledge by presence). Setidak- tidaknya, pengalaman-pengalaman itu dianggap tidak ilmiah, lantaran “ilmiah” itu sendiri menurut mereka hanya dapat diterapkan pada perkara-perkara yang dapat dibuktikan pihak lain melalui pancaindra.(1) Dalam pada itu, Muhammad Taqi Misbah Yazdî melontarkan sejumlah kritik terhadap Positivisme. Pertama, mengikuti kecenderungan tersebut, asas-asas pengetahuan paling kukuh, yaitu “pengetahuan dengan kehadiran” dan proposisi-proposisi yang terbukti secara rasional, lenyap sudah. Dengan demikian, tidak ada lagi argumen intelektual yang dapat diajukan untuk menopang kebenaran pengetahuan dan kesesuaiannnya dengan realitas. Kaum positivis berupaya mendefinisikan kebenaran dengan cara berbeda, yaitu pengetahuan yang dapat diterima pihak lain dan dibuktikan melalui pengalaman indrawi. Tentu saja perubahan terminologi ini tidak memecahkan masalah seputar nilai pengetahuan.
Penerimaan atau persetujuan pihak-pihak yang tidak mencermati persoalan juga tidak bernilai dan tak berarti apa-apa.(2) Kedua, kaum positivis mengandalkan persepsi indrawi yang sebenarnya merupakan titik pengetahuan paling limbung dan rapuh.
Lebih dari tipe pengetahuan lainnya, pengetahuan indrawi paling mudah
P: 182
VIDUP-KOLSep metallsika tidak punya makna.
terdistorsi. Mengingat bahwa pengetahuan indrawi pada hakikatnya terjadi dalam sukma manusia, kalangan positivis sesungguhnya telah menutup jalan bagi bukti logis tentang alam eksternal dan kehilangan cara untuk mematahkan keraguan kaum idealis mengenainya.(1) Ketiga, klaim bahwa konsep-konsep metafisika tida nyata-nyata absurd dan keliru. Bila kosakata yang mengacu pada konsep- konsep itu dianggap omong-kosong, perbedaan antara konsep-konsep itu dan omong-kosong menjadi nihil, sehingga disangkal ataupun tidak, hasilnya tetap sama. Padahal, konsep api sebagai penyebab bahang tidak sama dengan konsep api sebagai akibat bahang. Lebih dari itu, orang yang mengingkari hukum kausalitas niscaya mengerti betul makna hukum itupenyangkal kausalitas sesungguhnya mustahil menganggap kausalitas sebagai omong-kosong tak bermakna.(2) Keempat, menurut kaum positivis, tidak mungkin menganggap hukum-hukum ilmiah sebagai universal, konstan, dan niscaya, lantaran ketiga ciri itu mustahil dibenarkan secara indrawi. Suatu perkara dapat mereka terima jika dan hanya jika diperoleh lewat pengalaman indrawi (tentunya dengan menutup mata pada kemungkinan menyusupnya kekeliruan dalam persepsi indrawi yang merembesi seluruh perkara lainnya). Jadi, dalam perkara yang tidak dapat dialami secara indrawi, orang seharusnya berdiam diri dan tidak sekali-kali menyangkal atau membenarkannya.
Kelima, kebuntuan utama yang menghadang kaum positivis berkenaan dengan subjek matematika yang (hanya dapat) dijabarkan dan dipecahkan melalui konsep-konsep intelektual, yaitu konsep-konsep yang serupa dengan yang mereka asumsikan sebagai omong-kosong.
Padahal, tidak ada orang bijak yang nekat memandang proposisi-proposisi matematika sebagai omong-kosong dan tidak ilmiah. Sekelompok neopositivis terpaksa menerima sejenis pengetahuan mental tentang konsep-konsep logika dan berupaya menggabungkan konsep-konsep
P: 183
matematis ke dalamnya. Untuk menunjukkan kerancuan mereka, cukup dikatakan bahwa konsep-konsep matematis memiliki sejumlah contoh di alam ekstrenal. Bahasa teknis, atribusi, dan karakterisasi konsep-konsep matematis berlangsung di alam eksternal, sedangkan ciri-khas konsep- konsep logika tidak bersesuaian kecuali dengan konsep-konsep mental lainnya. (1) Dengan penjelasan itu, Muhammad Taqi Misbah Yazdî ingin membuktikan bahwa tidak ada jalan untuk membangun sebuah anatomi ilmu yang valid dan dapat dijustifikasi secara logis kecuali rasio yang bermuara pada prinsip badâhah.(2) Dengan demikian, jelaslah bahwa Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memulai pembahasan ilmu dari “kehadiran”, yang diyakini sebagai gerbang tunggal menuju ilmu-ilmu hushûlî. Selanjutnya, ia menjadikan ilmu badîhî (fitri) sebagai biang seluruh pengetahuan hushûlî non badîhî. Selanjutnya Muhammad Taqî Misbah Yazdî membagi pengetahuan hushûlî badîhî, dilihat dari aspek kualitas isinya terbagi dua; pengetahuan baidhi awwali (ilm badîhî aww alî) dan pengetahuan badîhî tsânawi (ilm badîhî tasnawi).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa para filsuf Muslim pada umumnya menganut fondasionalisme. Mereka percaya bahwa korespondensi semua pengetahuan manusia dengan fakta mereka harus dijastufikasi berdasarkan satu atau sejumlah basis pengetahuan yang tidak perlu lagi justifikasi. Mereka menyebut basis-basis pengetahuan itu sebagai badîhîyyat awaliyyah (propisisi-proposisi aksiomatis primer).
Persoalannya, mengapa premis-premis badîhî ini tidak perlu lagi justifikasi untuk memastikan korespondensinya dengan faktanya? Biasanya pertanyaan ini dijawab demikian, bahwa dalam pengetahuan-pengetahuan basis, sebab kepastian itu ada di dalam
P: 184
proposisi itu sendiri, yaitu sekadar memahami subjek dan predikatnya secara baik maka kepastian/jugement pun diperoleh. Namun, bagi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, pengetahuan-pengatehuan badîhî itu sebenarnya berasal dari ilmu hudhûrî melalui proposisi-proposisi analitik (qadhâyâ tahlilîyyah), dan pengetahuan itu pasti benar dan sesuai dengan faktanya karena sumbernya, yakni ilmu hudhûrî tidak akan pernah keliru sebagaimana telah dijelaskan.(1) Teori Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî ini benar-benar baru sehingga menuai banyak gugatan dan tanggapan. Sejauh penelitian kami, hanya satu catatan kritis yang mengganggu konsistensi teori tersebut; bahwa tidak semua pengetahuan basis (hushuli) dapat diurai kepada proposisi analitik sehingga dirujukkan kepada ilmu hudhûrî.
Pengetahuan ekstemporal primer adalah bahan baku "pembuktian langsung”, atau sebuah atau beberapa pernyataan pasti benar yang menjadi cikal bakal dan dasar bagi setiap pernyataan ekstemporal sekunder (kedua) dan setiap pernyataan premis non-ekstemporal.
Pernyataan (premis) ekstemporal primer meliputi dua hukum, hukum non kontadiksi dan hukum kausalitas. Hukum non kontradiksi adalah pernyataan bahwa “dua hal yang berkontradiksi tidak bertemu”, yang lazim disebut "hukum kontradiksi” atau “hukum non kontradiksi” (tanâqudh). Hukum ini merupakan postulat aksiomatis yang disepakati oleh setiap manusia, secara sadar dan tidak.
Untuk memahaminya, kita perlu menyoroti pengertian “kontradiksi” dan pengertian “bertemu” yang terkandung dalam hukum tersebut. Setelah kita mengkaji wacana dialektika secara kritis. Ia adalah pertentangan mutual antara sesuatu yang afirmatif dan negatif.(2)
P: 185
Dalam filsafat Yunani ada delapan kesatuan (al-wahdah, unitas) yang seluruhnya merupakan syarat dalam paradoks kontradiksi, yaitu kesatuan (wahdat al-mauzhu'), wahdat al-mahmûl (kesatuan predikat), wahdat al-makân (kesatuan lokasi), wahdat al-zamân (kesatuan durasi), wahdat al-nisbah (kesatuan relasi), wahdat al-qauwwah wa al-fi'l (kesatuan potensi dan aktus), wahdat al-kul wa al-ba`dh (kesatuan besaran), wahdat al-syarth (kesatuan kondisi). Mullâ Sadrâ menambahkan syarat kesembilan, yaitu wahdat al-haml.(1) Hukum kausalitas adalah pernyataan "setiap yang mungkin pasti membutuhkan sebab”, yang lazim disebut hukum kausalitas (qanun illiyah).
Pengetahuan aprior sekunda kedua (badîhiyât tsânawiyah) adalah pengetahuan-pengetahuan gamblang yang lahir dari pengetahuan- pengetahuan ekstemporal primer, seperti pengetahuan bahwa angka 1 lebih kecil dari angka 2. Badîhî tsanawî terbagi menjadi lima; Pertama, pengetahuan ekstemporal sekunda sensual (musyâhadât), yaitu premis- premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir atau batin, seperti penilaian (kesimpulan) bahwa matahari bersinar, api panas dan sebagainya, yang dipastikan oleh akal dengan bantuan indera lahir, pengetahuan kita tentang nyeri dan lapar yang ditangkap oleh akal dengan perantara indera batin.
Kedua, pengetahuan badîhî sekunda eksperimental (tajribiyât), yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara indera lahir yang dilakukan berulang kali.
Ketiga, pengetahuan badîhî sekunda popular (mutawâtirât), yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang bersemayam dalam benak secara kuat sehingga tidak mungkin akan diusik oleh setitikpun keraguan terhadap isinya karena diyakini oleh banyak orang, sehingga sulit dipercaya bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, seperti
P: 186
pengetahuan tentang adanya sebuah kota bernama Isfahan di Iran.
Keempat, pengetahuan badîhî sekunda inspiratif (hadsiyyât), yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara insting, seperti pengetahuan kita bahwa cahaya bulan diperoleh dari matahari.
Kelima, pengetahuan badîhî sekunda intuitif (fithriyyât), yaitu premis-premis atau pengetahuan-pengetahuan yang dinilai oleh akal dengan perantara premis itu sendiri, seperti pengetahuan bahwa dua adalah seperlima dari sepuluh.
Menurut penulis, pembagian badîhî ke dalam dua himpuanan, prima dan sekunda, kurang sistematis, karena pada hakikatnya, badihi hanya berlaku pada jenis pertama, yang disebut badîhî awwali, karena ia merupakan premis yang tidak memerlukan argumen dan bukti, sedangkan badîhî tsanawi, betatapun sangat jelas, tetap memerlukan argumen dan bermuara kepada badîhî awwali.
P: 187
P: 188
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ralitas memang bisa didekati ontologi dengan dua perpektif. (1) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? (2) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.(1)
P: 189
Salah satu kritik tajam Muhammad Taqi Misbâh_Yazdî terhadap Mullâ Sadrâ dan para filsuf Sadrian adalah ketidakcermatan dalam menggunakan istilah-istilah dalam pembahasan filsafat, terutama istilah dan konsep Karena kata wujûd atau existence merupakan akar kata maujud (existent), ia adalah(1) مصدر yang berarti kejadian atau peristiwa ( حدث/ occurrence). Masdar ini bisa dikenakan pada subjek (فاعل) ataupun objek (مفعول) Karena itu padanan kata .وجود dalam bahasa Persia adalah بودن (yang berarti suatu peristiwa yang terjadi) dan dalam bahasa Inggris adalah to be. Dari perspektif gramatikal, kata maujûd adalah مفعول اسم (kata benda pasif) yang menujukkan (hasil) tindakan verba atas suatu ذات (esensi).
Dari maujûd terkadang suatu masdar artifisial dimunculkanvseperti dalam bentuk موجودیة(kemaujudan) yang digunakan sepadan dengan wujûd atau eksistensi. Kosakata Arab yang dipakai dalam bentuk masdar adakalanya tidak dikaitkan dengan subjek atau objek, lalu dipakai dalam bentuk nomina verbal (اسم مصدر) yang menunjukkan (hasil) kerja verba itu sendiri. Makna ini juga bisa dipertimbangkan untuk kata wujud.
Pada sisi lain, kata yang menujukkan kejadian atau gerakan atau setidaknya menujukkan keadaan (state) dan kualitas, tidak bisa secara langsung dipredikatkan pada sesuatu. Misalnya, tidak mungkin kita mempredikatkan jalan yang merupakan masdar atau 'berjalan' yang merupakan nomina verbal pada sesuatu atau seseorang. Ia terlebih dahulu mesti dibentuk, sehingga lahir kata “pejalan' yang bisa dijadikan predikat atau ditambah dengan kata imbuhan lain yang sesuai dengannya seperti kata ذو (dzû) atau صاحب (shâhib). Dengan demikian, umpamanya, muncul kalimat “Ali menyandang keberanian (علی ذو شجاعة).” Bentuk pertama (“pejalan”) secara teknis disebut predikasi hû hû (hal itu sendiri), dan yang kedua disebut predikasi (menyandang hal itu). Sebagai contoh,
P: 190
'binatang’ pada manusia merupakan predikasi hû hû (hal itu sendiri) dan 'hidup' merupakan predikasi dzû hû (menyandang hal itu).
Menurut Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî penjelasan diatas lebih terkait dengan tatabahasa yang sepenuhnya bersifat konvensional.
Padahal satu bahasa berbeda dengan bahasa lain dalam soal ini. Sebagian bahasa mempunyai kosakata dan tatabahasa yang lebih kaya daripada sebagian lainnya.
Bagaimanapun, mengingat eratnya hubungan kata dan makna yang kerap menggiring orang pada sejumlah kesalahan dalam perbincangan filsafat, maka kita perlu mencamkan bahwa w ujûd dan maujûd dalam pemakaian filsafat tidak terkait dengan pernak-pernik kebahasaannya.
Bahkan, perhatian (yang berlebihan) pada hal-hal itu cenderung merusak pemahaman kita terhadap makna-makna yang sebenarnya.
Dalam filsafat, saat kata wujûd digunakan, maksud sebenarnya bukanlah makna masdar yang menunjukkan (hasil) tindakan dari satu verba. Demikian pula saat kata maujûd digunakan, maksud sebenarnya bukanlah kata bentukan atau kata benda pasif.
Misalnya, saat Tuhan disebut sebagai “wujûd murni (wujûd mahdh, wujûd shirf, sheer existence, wujud mahdh)”, apa ungkapan ini bisa ditafsirkan sebagai (hasil) tindakan verba (hadats) atau berhubungan dengan subjek dan objek ataupun bermakna kualitas dan keadaan yang menunjukkan hubungan keduanya dengan suatu esensi? Apa kita perlu bercekcok mengenai kemungkinan kita menerapkan ungkapan “wujud murni” pada Tuhan, padahal ia merupakan masdar yang tidak bisa dilekatkan sebagai predikat suatu esensi? Saat kata maujûd diterapkan untuk semua realitas, termasuk “Maujud Niscaya” dan maujud-maujud serba mungkin (contingent existents), apakah maujûd ini mengandung makna kata-benda pasif (passive participle)? Dan bila demikian, apa bisa dikatakan bahwa karena suatu kata benda pasif menuntut subjek, maka Tuhan pun menuntut subjek (yang mewujudkan-Nya)? Atau sebaliknya, menerapkan
P: 191
kata-benda pasif pada “Maujud Niscaya” (wâjib al-wujûd) tidaklah benar karena kata itu menunjukkan makna seperti di atas sehingga ungkapan “Tuhan adalah maujud” adalah keliru? Pembahasan demikian ini tidak memiliki tempat dalam filsafat.
Alih-alih bisa memecahkan suatu masalah filsafat, bergulat dalam diskusi semacam itu, menerutnya, malah akan menambah masalah dan mendistorsi pikiran. Karena itu, ia menganjurkan para peminat filsafat Islam berusaha menghindari beragam kesalahpahaman dan kerancuan itu, seseorang mesti jeli mencermati makna teknis kata tertentu. Dan bilamana terdapat perbedaan antara makna teknis satu kata dalam filsafat dan makna umumnya atau makna teknisnya dalam ilmu-ilmu lain, perbedaan ini mesti dicermati sepenuhnya sehingga tidak membawa kebingungan dan kekeliruan.(1) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî hendak membuktikan bahwa wujûd dalam makna teknis filsafat sama dengan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan (nothingness). Secara teknis, keduanya bersifat kontradiktif (contradictory). Wujud mencakup segala hal, mulai dari Dzat Kudus Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan. Manakala realitas-realitas yang terjelmakan secara eksternal (واقعیات عینیة/entified realities) ini memantul pada pikiran dalam bentuk proposisi, sedikitnya ada dua himpunan konsep substantif yang bisa diperoleh darinya: (1) himpunan konsep subjek yang biasanya merupakan konsep-konsep ke-mâhiyyah-an (whatish concepts); dan (2) himpunan konsep maujud yang terkait dengan predikat yang merupakan konsep-konsep filsufis (universalia ontologis)(2). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, predikat mestilah merupakan bentukan respectival dari suatu subjek.(3)
P: 192
Menurut penulis, penjelasan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang wujud diatas terkesan rumit dan pelik. Akan lebih mudah mudah dipahami dan lebih sistematis bila Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membagi wujud sebagaimana dilakukan oleh Reza Shadr. Murid Thabathba’i ini mula-mula membagi wujud dalam dua pengertian: pertama, “Wujud” sebagai pengertian umum, yaitu arti umum dan aprior yang menjadi dasar perangkaian kata serta menjadi predikat yang dilekatkan pada setiap quiditas atau esensi (mâhiyyah), misalnya “manusia itu ada”, “bulan itu ada”, “putih itu ada”; kedua, “Wujud” sebagai pengertian khusus atau terikat, yaitu predikat yang dilekatkan atas sesuatu, misalnya “benda itu putih”, yang berarti “benda yang ada itu berwarna putih”. Dengan demikian, pengertian “wujud yang umum” itu merupakan wujud subjek, sedangkan pengertian "wujud yang terikat” adalah wujud predikat dalam setiap premis.(1)
Sebagaimana Mullâ Sadrâ, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menganggap prinsip kesejatian wujud sebagai masalah badîhî sehingga tidak perlu pembuktian, karena wujud identik belaka dengan realitas dan hakikat; sedangkan esensi (mâhiyyah) berbeda dengan realitas, bahkan mâhiyyah hanya eksis bila bersanding dengan wujud. Tanpa wujûd, apapun termasuk esensi (mâhiyyah) tidak nyata.
Mullâ Sadrâ dianggap telah mengakhiri dominasi mazhab ashâlat al-mâhiyyah dalam mahakaryanya, al-Asfâr al-Arba'ah. Salah satu paling argumentasinya yang paling populer ialah, esensi adalah entitas buatan (maujûd i’tibârî). Esensi (mâhiyyah, ke-apa-an, quiditas) adalah setiap “sesuatu' yang muncul sebagai jawaban atas “apa itu'. Ia adalah sesuatu yang dikenali dari substansinya. Lebih jauh, Mullâ Sadrâ menegaskan bahwa esensi tidak menyandang sifat universal maupun partikular, plural atau singular. Manusia, misalnya, sebagai esensial tidak dapat dikaitkan dengan pluralitas karena apabila terikat dengan “kesatuan”, maka semestinya ia (manusia) tidak mungkin banyak; juga tidak dapat dikaitkan dengan singularitas, karena manusia juga bisa banyak. Esensi manusia adalah manusia an sich tanpa kondisi apapun.(1)
P: 194
Sebagaimana diketahui, Mullâ Sadrâ mendeklarasikan sebuah mazhab baru sa t menegaskan ashâlat al-wujûd. Berdasark n penghayatan spiritual yang sangat intensif dan analisis intelektual yang amat tajam, akhirnya Mullâ Sadrâ melahirkan sebuah gagasan baru dalam fils fat; bahwa wujud bukan hanya “lebih” prinsipal d ri mâhiyyah, melainkan juga menjadi fondasi dari semua hal yang disebut realitas; bahkan ia realitas itu sendiri.(1) Sejak itu, kata Fazlurrahman, wujûdiyyah atau “eksistensialisme”(2) lahir sebagai mazhab filsafat dalam komunitas Muslim.
Deskripsi Muhammad Taqi Misbah Yazdî atas prinsip ashalat al-wujud adalah satu dari sekian penafsiran terhadap asalatul wujud yang digagas oleh Mullâ Sadrâ. Sama dengan filsuf-filsuf pasca Mullâ Sadrâ yang lain, dia menguatkan diskripsinya dengan menurunkan beberapa kutipan dari karya-karya utama Mullâ Sadrâ. Ini merupakan bukti bahwa ia pertama-tama telah menerima Hikmah Muta' aliyah yang berdiri secara principal pada asalatul wujud sebagai basis konstruk filsafatnya. Pada saat yang sama, deskripsinya yang khas menunjukkan bahwa ia tampil
P: 195
sebagai filsuf yang “berijtihad” dalam mendedah duduk persoalan dan menerangkannya dengan tetap membuka kemungkinan berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh pengagas pertama; yakni Mullâ Sadrâ. Maka, masih layak untuk ditelusuri secara lebih cermat lagi; apakah penjelasan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sudah konsisten? Setidaknya dapat dipastikan, bahwa entah Muhammad Taqi Misbah Yazdî atau filsuf lainnya, semua sepakat dengan definisi akhir mula sadra bahwa mahiyat adalah ada secara aksidensial (maujûd bi al- ‘aradh). Seperti yang telah kita simak dalam Amuzesy-e Falsafeh dan ilustrasi potongan-potongan kertas dan bentuk-bentuknya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menafsirkan kedududkan mâhiyyât di samping wujud sekadar sebagai batas (hadd) wujûd; tidak lebih. Secara lebih tegas ia menyatakan bahwa hadd wujûd adalah “sesuatu yang tiada” (amr 'adamî); ia tidak bisa dikatakan wujud; tidak bisa juga dikatakan “ketiadaan” ('adam); tetapi ia adalah sesuatu yang tiada; yakni sesuatu yang terkait dengan tiada. Dengan kata lain, ia adalah tiada secara relatif. Maka dengan demikian, wujud mahiyat adalah wujud yang juga relatif dan ikut pada wujud (bi al-taba"); maka ia pun ikut pada hukum- hukumnya.
Jadi, hubungan antara wujud dan mahiyyat semacam hubungan antara muatan dan batas. Ketika kita menyatakan, “wujud adalah manusia”, yakni “wujud itu bermanusia (mempunyai manusia)”. Namun dalam asumsi ini, justru tidak ada lagi identitas antara keduanya, karena dalam predikasi tadi, wujud bukanlah manusia, juga manusia bukanlah wujud.
Dengan kata lain, predikasi (haml) antara wujûd dan mâhiyyât adalah predikasi isytiqaqi (derivatif)' bukan muwâthat yang hanya padanya identitas (hu huw iyat) berlaku.
Ketiadaan unsur identitas dan predikasi muwâthat di antara wujud dan mâhiyyât menunjukan inkonsistensi uraian Muhammad Taqî Misbah Yazdî atas prinsip ashalat al-wujud. Uraiannya menegaskan bahwa kendati wujud dan mahiyat itu berbeda di mental, namun kedua satu di alam luar. Namun, dengan ketiadaan identitas dan predikasi itu, kesatuan
P: 196
mahiyat ddengan wujud di alam luar menjadi sulit dicerna, karena identitas dan predikasi itu juga mengacu kea lam luar; yakni predikasi objektif (qadhiyyah khârijiyyah); bukan semata-mata predikasi subjketif (dzihniyyah) Saat dikonfirmasi oleh penulis tentang pendapat muridnya, Gholam Reza Faiyazhi dan Kamal Haydari yang mengemukakan pendapat tentang ashâlat al-wujûd wa al-mâhiyyah (kemendasaran eksistensi dan esesnsi secara bersamaan), Muhammad Taqi Misbah Yazdî cenderung mengabaikan hal itu sembari menganggapnya sebagai guruan filsufis kalangan hawzah semata.
Dalam wawancara dengan Fayyadhi, penulis sempat menanyakan keseriusan pendapatnya tentang ashâlat al-wujûd wa al-mâhiyyah.
Fayyâzî bahkan berjanji untuk menulis sebuah buku yang berisikan argumen-argumen tentang pendapat kontroversial itu.
Terlepas dari sengketa filsufis antara guru dan murid diatas seputar kemendasaran wujud atau mâhiyyah atau kemendasaran keduanya, penulis menemukan adanya penyebab samar di balik sengketa ini.
Boleh jadi, yang dimaksud oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tentang kemendasaran wujud dengan semua argumen-argumennya berbeda dalam pengertian dengan kemendasaran wujûd dan mâhiyyah yang dimaksud oleh Fayyadhi, yang menurut penulis, lebih bisa dipertanggungjawabkan secara argumentatif.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, isu ashâlat al-wujûd dan ashâlat al- mâhiyyah merupakan dua kutub pemikiran ontologi yang nyaris tidak dapat dikompromikan; dari Syahrawardi hingga Thabâthabâ’î.
Setiap filsuf mendemonstrasikan argumentasi penegasian ataupun pengafirmasian atas kedua konsep di atas selama beberapa abad. Ahmad Ihsâi, misalnya, berusaha menyatukan dua konsep di atas. Namun, hal itu tidak menjadi solusi “perdamaian” dari pertentangan di antara dua konsep filsufis tersebut. Bahkan, konsep yang beliau paparkan menjadi “musuh bersama” bagi kedua konsep yang saling berlawanan. Mungkin saja, di poin ini sajalah terjadi “gencatan senjata” di antara konsep ashâlat
P: 197
al-wujûd dengan ashâlat al-mâhiyyah. Karena, mereka berdua bersama- sama “membombardir” konsep yang ditawarkan oleh Ihsâi.
Dalam wawancara dengan penulis, Gholam Husain Fayâdhi, salah satu murid terkemuka Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, menyayangkan sikap “taqlid Muhammad Taqi Misbah Yazdî terhadap ashâlat al-wujûd yang dikemukan oleh Mullâ Sadrâ dan Sabzawari.
Fayyadhi mengemukakan beberapa kritik fundamental terhadap ashâlat al-wujûd , antara lain sebagai berikut:
Pertama, para pendukung ashâlat al-wujûd, termasuk Mullâ Sadrâ, Thabâthabâ’î dan Muhammad Taqî Misbâh Yazdî terlihat tidak konsisten saat mendefiniskan mâhiyyah. Kadang, mendefinisikannya sebagai sesuatu yang bersufat mental, kadang juga di eksternal. Sebagai contoh, dalam argumentasi pengafirmasian ashâlat al-wujûd dan penegasian ashalat al-mâhiyyah, digunakan mâhiyyah dengan “al-mâhiyyah fi haddi nafsiha, laysat maûjudah wa lâ ma`dûmah” atupun dengan istilah “al- mâhiyyah la bi al-syarth”. Sedangkan dalam kitab al-Masyâ' ir, Mullâ Sadrâ mengatakan “al-mâhiyyah ‘ain al-wujud”, (mâhiyyah adalah wujud itu sendiri) dan dalam bagian lain, ia mengatakan, “al-mahiyyah hiya had al-wujud (mâhiyyah adalah sparator wujud.(1)) Kedua, sejak Mullâ Sadrâ hingga Thabâthabâ’î, tidak terjadi perubahan pendefinisian temyamh ma`qûl awwali dan ma`qûl tsanawi.
Ketika membagi pengetahuan universal menjadi dua bagian; ma`qûl awwali mahaw i (esential first intelligible) dan ma`qûl tsanawi falsafi (philosophical second intelligible), Mullâ Sadrâ hingga Muhammad Taqi Misbah Yazdî, tidak memberikan perubahan makna yang sesuai dengan paradigma ashâlat al-wujûd. Para filsuf mengartikan ma`qûl awwali mahawi sebagai “wujuduha wa ‘urudhuha khârijiyyan (eksistensi dan predikasinya bersifat eksternal). Sedangkan untuk ma`qûl tsânaw i falsafi sebagai "wujuduha dzihnî wa ‘urudhuha khâriji (eksistensinya bersifat mental dan predikasinya bersifat eksternal.
P: 198
Menurutnya, definisi di atas terhadap kedua bagian dari pengetahuan universal tidak sesuai dengan paradigma ashâlat al-wujûd, karena mâhiyyah (ma`qûl awwali mahawi) tidak memiliki nilai eksistensi eksternal, sesuai pandangan ashâlat al-wujûd. Dan yang memiliki nilai eksistensi eksternal hanyalah wujud. Sedangkan wujud masuk dalam bagian definisi ma`qûl tsanawi falsafi, dan ini sama sekali tidak sejalan dengan pandangan dan paradigma ashâlat al-wujud. Selain itu, dalam pembahasan kuaditas (mâhiyyah) dan pembagiannya menjadi dua; jawhar dan 'aradh, mazhab Hikmah Muta’aliyah mendefinisikan jawhar dengan “in w ujidat wujidat lâ fi maudhû”” dan aradh dengan “in wujidat wijidat fi maudhû””. Dari definisi yang mereka paparkan, jelas ada nilai wujudiyyah bagi jawhar dan aradh di eksternal, dan ini lebih sesuai dengan definisi maʼqûl awwalî mâhawî yang belum diubah pendefinisiannya. (1) Menurut penulis, inilah salah satu bukti inkonsistensi penggunaan kata dan definisi mâhiyyah. Meski belakangan Javâdî Âmoli, dalam Syarh Asfar arba'ah –rahiq makhtûm— mengubah posisi dan definisi maʼqûl awwali mâhawi dan ma`qûl tsanawî, namun hal itu tidak mengubah hal- hal lainnya, seperi tolok ukur kebenaran berkenaan dengan isu nafs al-amr.
Ketiga, setelah berdiksusi dengan Fayyadhi, penulis menemukan kerancuan dalam penafsiran pandangan ashâlat al-wujûd yang didukung oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî. Kerancuan ini diakibatkan oleh dominasi pengaruh taste gnostik dalam menafsirkan pandangan ashâlat al-wujûd. Dengan kata lain, pendapat filsafat Mullâ Sadrâ tentang ashâlat al-wujûd, dalam tafsiran Mullâ Sabzawâri, sama dengan pandangan para ahli gnostik Keempat, menurut pengamatan penulis, pandangan ashâlat al-wujûd versi Mullâ Hadi Sabzawârî sama dengan pandangan kaum gnostik; “lâ wujûda illa-llâh” (tiada wujud selain Allah) menjelaskan bahwa Allah adalah wujud murni yang tidak bercampur dengan mâhiyyah. Namun, dalam perjalanan dan perkembangannya para pendukung ashâlat
P: 199
al-wujûd, demi menyelamatkan permasalah qadha dan qadar yang berhubungan dengan ilmu Allah, menyatakan bahwa Allah memiliki ilmu husuli (pengetahuan dengan perantara mâhiyyah). Padahal klaim ini tidak sesuai dengan pandangan ashâlat al-wujûd yang menganggap Allah sebagai wujud murni yang tidak bercampur dengan mahiyyah, yang tentu tidak memiliki ke-sinkhiyah-an dengan kepemilikian ilmu hushûlî yang diperantarai oleh mâhiyyah.
Berbeda dengan pandangan Gholam Hosain Fayâdhi yang menyatakan bahwa Allah juga memiliki mâhiyyah, tentu memiliki ke- sinkhiyah-an dengan kepemiliki ilmu husuli bagi Allah. Dan ini, sekali lagi, menunjukkan inkonsistensi Muhammad Taqi Misbah Yazdî yang mendukung ashâlat al-wujûd versi Mullâ Hadi Sabzawârî, yang berlaku hingga pra Fayadhi.
Dengan beberapa keberatan dan kritikan yang dipaparkan oleh Gholam Husain Fayâdhi, maka menurut penulis, ashâlat al-wujûd Mullâ Sadrâ yang didukung oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî lebih tepat jika diartikan dengan ashalat al kilaihima ma'an (kemendasaran wujud dan mâhiyyah secara bersamaan). Namun demikian, ashalat kilaihima ma'an yang beliau paparkan tidak berkonsekwensi dualisme eksistensi seperti yang dipaparkan oleh Ahmad Ahsâî(1).
Fayyadhi berpendapat bahwa wujud tidak akan merealisasi di eksternal kecuali dengan mâhiyyah dan demikian sebaliknya. Karena wujud kulli (mutlak) seperti kulli thabi'i yang tidak akan terealisasi kecuali dengan afrad-nya.
Menurut penelitian penulis, dalam buku-buku filsafat disebutkan bahwa objek filsafat adalah wujud kulli (eksistensi universal), sedangkan telah disepakati bahwa kullî adalah bagian dari konsep first intelligible logic (ma`qûl tsanawi mantiqi), di mana dalam pendefinisiannya "wujuduha wa ‘urudhuha dzihniyan”. Padahal predikasi kulli pada wujud
P: 200
yang menjadi objek filsafat tidaklah tepat, dan ini melanggar aturan yang telah disepakati dalam filsafat al-Hikmah al-Muta’âliyah yaitu ashâlat al-wujûd.
Karenanya, ini menjadi bukti bahwa wujud, dari sisi lain, merupakan bagian dari konsep first intelligible filsufis, di mana dalam pendefenisiannya adalah “wujuduha dzihnî wa ‘urudhuha khâriji”.
Artinya, predikasi kulli kepada objeknya, yaitu wujud, terlihat sangat ganjil.
Selain itu, dalam pembahasan wujud dzihnî dalam bab nafs al- amr dikatakan bahwa tolok ukur kebenaran adalah kesesuaian antara dzihnî dengan khariji, namun ada suatu kejanggalan dalam pendapat ashâlat al-wujûd, yaitu kesesuaian tersebut bersufat esensial (mâhawîî), padahal mâhiyyah tidak diakui eksistensinya di alam eksternal oleh para pendukung ashâlat al-wujûd.
Akhirnya, ashâlat al-wujûd dalam Hikmah Muta’aliyah yang didukung oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, sebagaimana ditegaskan oleh Gholam Husain Fayâdhi perlu dikoreksi secara fundamental.
Meski demikian, kalangan filsuf penduikung ashâlat al-wujûd masih berbeda pendapat tentang wujud yang disepakati sebagai ashîl, sejati, atau mendasar itu; apakah sembarang wujud atau wujud tertentu. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî meyakini bahwa wujud sejati yang menjadi lawan mâhiyyah hanyalah wujud mandiri saja (mahmûlî), sedangkan ‘wujud bergantung' tidak tercakup di dalamnya. (1) Sebaliknya, Jawadi Amoli beranggapan bahwa wujud dalam permasalahan ini sekaligus mencakup keduanya (mandiri dan bergantung). Menurutnya, wujud menjadi syarat bagi mâhiyyah ketika menyandang predikat. Sedangkan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak meyakini wujud sebagai syarat bagi mâhiyyah dalam predikasi primer (haml awwali, yaitu proposisi yang bermuatan subjek dan objek yang konseptual subjektif, haml mafhûm 'alâ al-mafhûm). Bahmanyâr (murid
P: 201
Ibn Sina) memastikan bahwa penolakan terhadap kesejatian wujud meniscayakan sikap agnosistik. (1) Penjelasan tentang sikap Muhammad Taqî Misbâh Yazdî yang mendukung prinsip ashâlat al-wujûd ini menjadi sangat penting untuk memberi batasan bahwa gagasan-gagasan barunya tidak keluar dari prinsip dan pakem filsafat Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’i.(2) Saat ditanya, apakahiajugameyakini ashâlat al-wujûdwaal-mâhiyyah sekaligus, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî bersikukuh mempertahankan ashâlat al-wujûd. Boleh jadi, sikapnya ini demi menjauhkan atmosfer filsafat di hawzah dari situasi kacau. Harus diakui, pandangan ashâlat al-wujûd wa al-mâhiyyah bisa dianggap sebagai sebuah ancaman serius terhadap bangunan megah filsafat Sadrâ yang berdiri di atas fondasi ashâlat al-wujûd. (3) Gholâm Fayyâdhî, salah satu murid Muhammad Taqi Misbah Yazdî, malah menampilkan sejumlah keberatan jitu terhadap pandangan wujûd dzihnî, bahkan terhadap isu utama dalam filsafat Mullâ Sadrâ, bahwa wujûd dzihnî dengan pendekatan dan argumen-argumen pembuktiannya adalah wacana yang selaras dengan prinisp kesejatian mahiyyah dan wujud (dualisme)yang dianutnya. Ringkasnya, segala sesuatu mempunyai keberadaan; objektif dan subjektif. Hanya saja, bedanya, entitas objektif menyandang predikat-predikat material, seperti es objektif yang dingin, sedangan es yang subjektif (eksis dalam benak) tidak dingin.
Sebagaimana diketahui, Mullâ Sadrâ berpendapat bahwa realitas wujud berporos pada prinsip kesamaan dan kesatuan sekaligus prinsip perbedaan. Dengan kata lain, realitas wujud yang berlainan itu satu belaka. Namun perbedaan itu tidak meniscayakan ketersusunan sehingga
P: 202
tidak dapat diuraikan menjadi genus dan diferensia.(1) Perbedaan tersebut hanya terjadi dalam hal intensitas dan gradasinya, sebagaimana lilin dan lampu 500 wat atau sama-sama lampu namun kualitas pencahayaannya berbeda-beda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu bergradasi atau bertingkat-tingkat.(2) Mullâ Sadrâ menganggap kesatuan (wahdah) sebagai pasangan intim ke-ada-an, sehingga setiap kali terdapat kesatuan, niscaya terdapat pula wujud, begitu pula sebaliknya. Keduanya sama belaka dalam hal keberlakuan atas entitas-entitas objektifnya, sehingga bila kualitas wujud sesuatu lemah, maka kesatuannya juga akan melemah; dan bila kesatuannya lemah, maka ke-ada-annya juga lemah.(3) Kali ini, Mullâ Sadrâ berseberangan dengan Ibn Sina. Ia, se- bagaimana kaum iluminasionis dan ‘urafâ, mendukung prinsip kesatu- an wujud, meski berbeda dalam detailnya. Mullâ Sadrâ mengemukakan teori al-wahdah fi 'ain al-katsrah, yaitu bahwa hakikat-hakikat wujud ‘ainî mempunyai kesekutuan dan kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat. Namun dalam kesatuan terse- but, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada pendapat Mullâ Sadrâ tentang pembagian wujud; mandiri (mustaqil) dan bergantung (râbith).
Tentang isu kesatuan seluruh maujud, termasuk zat kudus Allah, per- tama-tama Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengggelar pendapatpendapat populer dalam khazanah filsafat Islam, sebelum mengungkapkan
P: 203
pilihannya.
Pertama adalah pendapat kalangan sufi yang meyakini bahwa wujud hakiki terbatas pada zat suci Tuhan dan bahwa semua maujud lain hanya memiliki wujud metaforis. Pendapat ini dikenal dengan ‘wahdat al-wujûd wa al-maujûď (kesatuan wujud dan maujud). Pendapat ini memang tampak bertentangan dengan apa yang jelas dan (dinyatakan oleh) kesadaran. Akan tetapi, pendapat ini masih mungkin ditafsirkan dalam bentuk pendapat keempat yang akan kita sebutkan di bawah.(1) Kedua adalah pendapat Dawâni yang menyatakan bahwa kesatuan adalah keharusan 'pembawaan Ilahi' (divine temperament). dikenal dengan nama 'wahdat al-wujûd wa katsrat al-maujûd (kesatuan wujud dan keberagaman maujud). Menurut pendapat ini, wujud hakiki hanya khusus buat Tuhan, sedangkan maujud hakiki mencakup segenap makhluk. Maujud hakiki dalam konteks makhluk bermakna ‘terhubungkan kepada wujud hakiki', dan bukan memiliki wujud hakiki.’ Sebagian iktibar (morfologis) juga bermakna begitu, seperti kata ‘tâmir' yang berakar pada kata 'tamr' (kurma) berarti 'penjual kurma?
P: 204
atau ‘terhubungkan dengan kurma'. Demikian pula halnya dengan kata musyammas' yang berakar pada kata 'syams' (matahari) berarti 'benda yang tersinari cahaya matahari, sehingga antara matahari dan benda itu terjalin hubungan tertentu.(1) Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, pendapat ini juga tidak bisa diterima. Karena, meskipun faktanya kata 'tâmir' dan 'musyammas' bisa berhubungan dengan penjualan kurma dan penyinaran matahari, pendapat ini berimplikasi bahwa istilah maujûd mempunyai dua makna yang berbeda dan melibatkan semacam ambiguitas. Dan karena wujûd tidak ambigu, maka ambiguitas maujûd pun tidak bisa diterima. Lagi pula, pendapat ini juga berdasarkan pada kemendasaran mahiyyah yang telah dipastikan invaliditasnya.
Ketiga adalah pendapat kalangan Peripatetik, dan dikenal dengan sebutan “katsrat al-wujûd wa al-maujûď (keberagaman wujud dan maujud). Menurut pendapat ini, keberagaman maujud adalah sesuatu yang tak bisa diingkari, dan pastinya masing-masing maujud itu memiliki wujud yang khas baginya. Dan karena wujud adalah realitas yang sederhana, maka tiap wujud akan berbeda sama-sekali (bi tamâm al-dzât) dengan semua wujud lainnya.
Pada pendukung pendapat ini mengajukan dalil sebagai berikut:
individu-individu wujud pasti merupakan salah satu dari tiga keadaan berikut, (i) mereka adalah individu sejati yang manunggal, layaknya individu dari suatu spesies; (ii) mereka adalah beragam spesies dari satu genus, layaknya partisipasi beragam spesies binatang dalam satu genus
P: 205
binatang; (iii) mereka sama sekali tidak memiliki kesamaan, dan mereka secara esensial saling berbeda. Alternatif ketiga ini bersesuaian dengan pendapat ketiga (di atas) yang masih dipertimbangkan. Bila dua alternatif pertama gugur, maka alternatif ketiga terisbatkan.
Muhammad Taqi Misbah Yazdî menganggap pendapat di atas sebagai invalid. Lantaran pendapat ini, menurutnya, meniscayakan realitas wujud terdiri atas aspek kesamaan (common aspect), yakni terdiri atas genus dan pembeda, yang tegas-tegas bertentangan dengan kesederhanaan realitas wujud itu sendiri. Dan ini kembali lagi ke kaidah bahwa aspek kesamaan (semua maujud) itu sebenarnya adalah wujud itu sendiri; dengan ditambahkannya sesuatu lain padanya, ia mengambil bentuk dalam beragam spesies. Akan tetapi, sesuai prinsip ashâlat al-wujûd, di alam maujud, tidak ada sesuatu selain wujud yang bisa ditambahkan pada wujud dan menjadi aspek pembedanya yang menjelma.
Menurut hipotesis Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, jika diandaikan adanya aspek kesamaan di antara maujud-maujud yang menjelma, maka aspek itu pastilah merupakan kesamaan lengkap yang bermakna bahwa wujud memiliki suatu mâhiyyah spesifik dan memiliki banyak individu, atau aspek itu merupakan kesamaan parsial yang berarti bahwa wujud memiliki mâhiyyah generik dan memiliki sejumlah spesies. Namun, kedua-dua pengandaian tersebut tidak sahih. Maka itu, tidak ada pilihan lain kecuali mengakui bahwa semua wujud yang menjelma berbeda- beda satu dan lainnya secara menyeluruh (completely distinct). Akan tetapi, dalil ini tidaklah sempurna, lantaran alternatif segitiga yang kita asumsikan berkenaan dengan realitas wujud yang menjelma di atas dipinjam dari prinsip-prinsip yang mengatur mâhiyyah. Dengan menolak bahwa wujud terdiri atas genus dan pembeda dan dengan menolak bahwa wujud terdiri atas sifat spesifik dan aksiden-aksiden pengindividuasi, mereka mencoba mengisbatkan distingsi esensial di antara wujud, seperti distingsi antar mâhiyyah-mâhiyyah sederhana. Padahal, kesamaan antar wujud dalam realitas wujud tidak seperti kesamaan genus atau spesies, sebagaimana distingsi mereka tidak seperti distingsi spesies-spesies (atau
P: 206
mâhiyyah-mâhiyyah) sederhana.
Argumen di atas tidak bisa menafikan kopartisipasi(co-participation) wujud-wujud yang menjelma dalam bentuk yang berlainan dengan kesamaan genus dan spesies. Nanti akan menjadi jelas bahwa terdapat corak lain kesatuan dan kesamaan yang bisa dibuktikan bagi wujud- wujud yang menjelma.
Keempat adalah pendapat yang dialamatkan oleh Mullâ Sadrâ kepada para filsuf Iran kuno, yakni pendapat yang dikenal dengan nama ‘jill ju sjösa ell /al-wahdah fi 'ain al-katsrah' (kesatuan dalam keberagaman itu sendiri). Menurut pandangan ini, realitas-realitas wujud yang menjelma memiliki kesatuan dan kesamaan sekaligus memiliki perbedaan dan distingsi. Akan tetapi, aspek kesamaan dan aspek perbedaannya tidak sedemikian rupa sehingga mengakibatkan susunan atau komposisi pada wujud yang menjelma atau membuatnya bisa dianalisis menjadi genus dan pembeda. Sebaliknya, perbedaan mereka berasal dari kelemahan dan kekuatan, laksana perbedaan antara cahaya lampu yang kuat dan yang lemah, dimana kelemahan dan kekuatan ini bukanlah sesuatu di luar cahaya itu sendiri. Cahaya yang kuat (A) adalah cahaya, sebagaimana cahaya lemah (B) juga adalah cahaya. Pada saat yang bersamaan, perbedaan antara (A) dan (B) terletak pada derajat kekuatan dan kelemahannya. Namun demikian, perbedaan derajat itu tidak mengganggu kesederhanaan hakikat cahaya yang mencakup semua anggotanya. Dengan kata lain, wujud-wujud yang menjelma memiliki perbedaan yang bergraduasi, dan sisi yang membedakan mereka datang dari sisi kesamaan mereka. (1) Bagaimanapun, pendapat di atas bisa ditafsirkan dalam dua pola:
pertama, perbedaan pada tingkat wujud antara satu wujud dan wujud lain, yang juga terjadi antar-individu satu mâhiyyah atau beberapa mâhiyyah yang berada pada tingkat horizontal yang sama; kedua, perbedaan tingkat
P: 207
yang hanya terjadi antara sebab dan akibat. Dan karena semua maujud secara langsung maupun tidak merupakan akibat Tuhan Mahatinggi, maka alam maujud terdiri atas wujud yang secara mutlak mandiri dan wujud-wujud yang secara relatif bergantung pada selainnya, dan setiap sebab memiliki kemandirian relatif dari akibatnya, sehingga sebab lebih sempurna daripada akibatnya dan berada di tingkat wujud yang lebih tinggi. Akibat-akibat yang berada pada tingkat horizontal setara dan tidak memiliki hubungan sebab-akibat antar-mereka, tidak memiliki sifat kegradualan dan dari satu sudut-pandang mereka secara esensial dianggap berbeda.
Penafsiran pertama agaknya memang jauh panggang dari api dan tidak bisa diterima, meskipun ia diisyaratkan oleh Mullâ Sadrâ dan para pengikutnya di beberapa tempat. Perlu dicatat bahwa Mullâ Sadra menasfirkan kata-kata para arif dan peneliti sufi dalam pengertian di atas, dan menganggap maksud ungkapan para sufi tentang ‘maujud dan wujud hakiki' sebagai maujud dan wujud yang mutlak dan mandiri, sedangkan ungkapan ‘maujud dan wujud kiasan (majasi)' sebagai maujud dan wujud bergantung, relatif dan berpijak pada selain dirinya.
Meski menyatakan keberatan terhadap pandangan Mulla Sadrâ diatas, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî berusaha untuk mengembangkannya dengan mengajukan dua corak dalil yang bisa diajukan berkenaan dengan derajat wujud yang bergradasi. Salah alah satunya sesuai dengan penafsiran pertama (yang telah disebutkan di atas) dan yang kedua sesuai dengan penafsiran kedua. Dalil pertama diajukan oleh Mullâ Sadrâ dan para pengikutnya dalam pokok masalah ini, dan dalil kedua diambil dari penjelasan mereka tentang sebab dan akibat.
Dalil pertama, pada kenyataannya, mengarah pada afirmasi (itsbât, establishment) sesuatu menjelma yang merupakan sumber kesamaan segenap realitas objektif. Hal ini bisa dijelaskan sebagai bermakna bahwa pendapat keempat terbagi menjadi dua kasus: pertama ialah bahwa multiplisitas dikenakan kepada wujud-wujud objektif dan secara pasti wujud-wujud ini berbeda-beda di antara mereka; kasus kedua ialah
P: 208
bahwa titik atau segi yang membedakan mereka sama persis dengan segi kesamaan. Dalam multiplisitas mereka itu terdapat segi kesatuan dan kesamaan yang sejalan dengan simplisitas dan multiplisitas mereka. Dan mengingat kasus pertama dianggap badîhî dan tak-terbantahkan, mereka berupaya untuk mengisbatkan kebenaran kasus kedua.
Dalil ini tersusun dalam pola berikut: dari semua realitas yang menjelma, satu konsep tunggal yang tidak lain adalah konsep wujud dapat diabstraksikan. Abstraksi konsep tunggal dari beragam realitas adalah bukti bahwa di situ terdapat (hakikat) menjelma yang menjadi (segi) kesamaan mereka dan sumber abstraksi konsep tunggal ini. Bila tidak terdapat segi pemersatu di antara semua wujud objektif, maka konsep tunggal seperti itu tidak akan mungkin diabstraksikan.
Dalil ini sendiri berpijak pada dua premis: pertama, konsep wujud merupakan konsep univokal yang tunggal; kedua, abstraksi konsep tunggal dari hal-hal yang berbilang menunjukkan adanya satu segi kesamaan di antara mereka. Alasannya, bilamana pengabstraksian satu konsep tunggal tidak meniscayakan segi kesamaan, artinya pengabstraksian itu berlangsung tanpa kriteria sehingga segala macam konsep bisa diabstraksikan dari segala macam hlm Tetapi, kebatilan asumsi yang disebut belakangan ini nyata adanya.
Dari sini Muhammad Taqi Misbah Yazdî menyimpulkan bahwa semua wujud yang menjelma memiliki segi kesamaan objektif yang sama.
Lantas satu premis lain ditambahkan, yakni bahwa wujud yang menjelma bersifat sederhana dan hanya memiliki satu segi yang menjelma. Wujud tidak bisa dianggap terdiri atas dua aspek yang berbeda. Jadi, aspek distingtif segenap wujud yang menjelma pastilah tidak bertabrakan dengan aspek kesatuan dan persamaan di antara mereka. Dengan demikian, perbedaan antar-wujud bersifat gradasional/meningkat (SIS.
/ tasykîkî) dan menunjukkan ragam aras satu realitas/hakikat tunggal.
Akan tetapi, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menganggap dalil di atas masih belum kuat dan bisa diperdebatkan. Menurutnya, kesatuan dan keberagaman universalia-universalia sekunder (maʼqûlât
P: 209
tsnâw awiyyah) bukanlah alasan tegas bagi kesatuan dan keberagaman aspek-aspek objektif yang menjelma; melainkan ia bersesuaian dengan kesatuan dan keragaman sudut-pandang yang diambil oleh akal saat mengabstraksi konsep-konsep ini. Seringkali akal mengabstraksi banyak konsep dari satu realitas sederhana, seperti dari Dzat Ilahi yang suci, akal dapat mengabstraksi konsep wujud, pengetahuan, kekuasaan dan kehidupan, padahal tidak terbayangkan terdapat multiplisitas dan pluralitas aspek yang menjelma pada tingkat (Wujud) yang tinggi seperti itu. Dan betapa seringnya akal melihat hakikat-hakikat yang berbeda dari satu sudut-pandang dan mengabstraksi dari semua itu sebuab konsep tunggal, seperti konsep satu yang diabstraksi dari beraneka macam hakikat objektif. Konsep wujud dan maujûd pun begitu adanya, seperti juga pengabstraksian konsep aksiden dari sembilan kategori; dan pengabstraksian konsep mâhiyyah, kategori, genus tertinggi dari kesepuluh kategori tersebut—kendati Mullâ Sadrâ menyatakan bahwa semua itu tidak memiliki sisi kesamaan. Karenanya, kesatuan konsep- konsep itu hanya memperlihatkan kesatuan sudut-pandang akal saat mengabstraksikan mereka dan bukan kesatuan segi objektif yang umum pada mereka (common among them). Sekiranya aspek semacam itu memang benar-benar ada, maka ia mesti dibuktikan dengan cara yang berbeda.
Selanjutnya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membahas dalil kedua.
Dalil kedua terdiri atas dua premis. Premis pertama kita ialah bahwa terdapat hubungan sebab dan akibat dalam segenap maujud, dan tidak ada maujud yang berdiri di luar matarantai sebab dan akibat. Tentu saja, di pangkal matarantai ini terdapat maujud yang hanya menyandang ke-sebab-an (aulell atau causehood), sementara di ujung matarantai ini terdapat maujud yang hanya menyandang ke-akibat-an (@bebeall atau effecthood). Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak ada maujud yang tidak berhubungan sebab dan akibat dengan maujud lain sehingga ia bukan merupakan sebab untuk sesuatu dan bukan pula akibat dari sesuatu.
P: 210
Premis kedua kita adalah bahwa wujud suatu akibat yang menjelma tidaklah terpisah dari wujud sebab yang mewujudkannya. Tidaklah benar bahwa keduanya memiliki wujud yang mandiri, dan bahwa keduanya terjalin oleh hubungan dari luar wujud mereka; sebaliknya, wujud akibat sedikitpun tidak terpisah dari wujud sebab yang mewujudkannya. Dengan kata lain, akibat adalah hubungan dan kebergantungan pada sebab itu sendiri dan bukan merupakan hal terpisah yang 'berhubungan dengan sebab, sebagaimana bisa kita tilik dalam hubungan antara kehendak dan jiwa. Inilah kaidah filsafat paling dahsyat yang telah dikukuhkan oleh Mullâ Sadra. Dengan kaidah ini dia telah menyediakan solusi bagi seabrek kepelikan filsufis. Memang, kaidah ini mesti dianggap sebagai buah filsafat Islam yang paling berharga dan paling bermutu.
Dengan menggabungkan dua premis itu, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menggiring kita kepada sebuah kesimpulan yang berbeda dengan wahdat al-wujud Mullâ Sadrâ, bahwa wahdat al-wujûd tidak lain adalah hubungan wujud seluruh akibat pada sebab yang mewujudkannya, dan pada akhirnya pada Maujud Ilahi yang Mahakudus, sebagai Sumber seluruh wujud selain Diri-Nya. Artinya kesatuan wujud tidak lain daripada kebergantungan itu sendiri. Semua makhluk adalah manifestasi wujud ilahi. Selaras dengan tingkat masing-masing, mereka memiliki (derajat) kekuatan dan kelemahan, prioritas dan posterioritas, dan sebagian mereka relatif independen dari sebagian lain; tetapi independensi mutlak hanya untuk Dzat Ilahi yang Mahakudus.
Seluruh maujud terdiri atas matarantai wujud yang menjelma, dimana kekuatan (qiwâm) tiap matarantai, lebih terbatas dan lebih lemah dibandingkan dengan yang di atasnya. Kelemahan dan keterbatasan inilah yang menjadi kriteria suatu akibat. (Matarantai ini terus bersambung ke atas) hingga mencapai sumber wujud yang memiliki intensitas wujud yang tak-berhingga dan yang melampaui semua aras kontingensi serta melestarikan wujud semua itu. Tidak ada maujud yang independen dan tidak membutuhkan pada-Nya dalam semua aspek atau faset; semua selain-Nya bersifat fakir, papa, membutuhkan dan bergantung pada-Nya.
P: 211
Hubungan eksistensial ini bermakna kesatuan khusus yang menafikan independensi segenap maujud kecuali Maujud Suci Tuhan, dan konsep ini berdiri dalam wujud yang menjelma dan berdasarkan prinsip kemendasaran wujud. Sekiranya seseorang melihat maujud independen, maka instantanya tidak lain dari Maujud Ilahi yang tak-berhingga.
Atas dasar ini, maujud independen mesti dianggap tunggal, dan bahwa ketunggalan ini tidak bisa tersifati dengan keberagaman sedikitpun.
Karenanya, ia disebut dengan kesatuan hakiki' (wahdah haqqah). Saat seorang melihat pada pelbagai tingkat dan manifestasi wujud, tampaklah multiplisitas. Namun demikian, pada saat yang sama, pada pelbagai tingkat dan manifestasi wujud juga memperlihatkan sejenis ‘persatuan' (aliyl). Singkatnya, meski akibat tidak identik dengan sebab, tapi akibat tidak bisa dianggap ‘kedua' dari sebab, melainkan akibat mesti dianggap sebagai berdiri dengan sebab dan salah satu aspek dan manifestasi sebab.
Akhirnya, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî “persatuan' mereka ialah bahwa kedua-duanya saling bergantung dan tidak bebas dari selainnya, kendati ungkapan ‘persatuan' ini bersifat kabur dan tak memadai dan makna tepatnya tidak dipahami oleh pikiran awam, kalau tidak malah mengundang kesalahpahaman.(1) Dengan demikia, tampak Muhammad Taqi Misbâh Yazdî secara implisit mengoreksi pola argumentasi Mullâ Sadrâ tentang wahdah syakhshiyyah, yang didukung oleh rivalnya, Jawadi Âmulî.
Pendapat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang wahdat al-wujûd memperjelas sikap dan pandangannya yang berusaha memisahkan ‘irfan (mistisime) dari filsafat. Sedangkan filsafat, menurut Jawadi Âmulî, adalah garis start yang harus dilintasi, dan berujung pada ‘irfan sebagai garis finish. Secara tegas, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengatakan bahwa ‘irfan bukan sebuah ilmu yang dideskripsikan dan dikomunikasikan. Ia menolak apa yang disebut sebagai ‘irfan teoritis ('irfan nazharî), dan hanya mengakui ‘irfan praktis (-irfan ‘amali).
P: 212
Berkenaan dengan konsep wahdat al-wujud, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menunjukkan penolakannya.26 Thabâthabâ’î, Murtadha Mutahhari, Jawadi Âmulî, dan Khomeini beraliran wahdat al-wujûd.
Sementara Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sendiri tidak mengusung doktrin wahdat al-wujûd, melainkan justru doktrin katsrat (pluralitas wujud) sebagaimana yang pernah diusung kaum Peripatetik. (1) Dengan enteng, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî (2)mengatakan bahwa menerima atau menolak wahdah al-wujud dan tidak meniscayakan gugurnya validitas argumentasi dalam tema-tema lain. Umpamanya, dalam konteks pembahasan kenabian, hal itu sama sekali tidak berpengaruh. Begitu pula dalam konteks pembahasan ma’âd (eskatologis atau keahiratan) dan maʼrifatullah (mengenal Tuhan).(3) Karena, menurutnya, Tauhid mengandungi dua makna. Pertama, wujud hanya milik Allah, sedangkan lain-Nya adalah manifestasi- Nya. Kedua, Allah meimiliki wujud, demikian pula lain-Nya, memiliki wujud Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dan Jawadi Âmulî sama-sama menerima kasrat dalam konteks ini. Artinya, Tuhan ada, dan kasrat (keberadaan lain-Nya) juga ada, seperti langit dan bumi. Yang disebut pertama merupakan doktrin ktasrat al-zhuhur yang banyak diusung kaum ‘arif. Adapun yang terakhir disebut, yakni katsrat al-wujûd, diusung kalangan filsuf.
26 Pendapat ini dikonfirmasi Dr. Ali Syirvani dalam wawancara dengan penulis. Menurutnya, sikap Muhammad Taqi Misbah Yazdi ini tidaklah mengherankan lantaran dasar-dasar pemikiran Mulla Sadrã (sendiri) adalah ittihad-e wahdate shakhsiyye wujud. Artinya, dasar-dasar pemikiran Mulla Sadra yang terdiri dari ashâlat al-wujud, tasykik al-wujud, dan hubungan kausalitas; ketiganya memproses wahdat syakhsi, yang dapat menghasilkan wahdat syakhsi, bisa juga menghasilkan katsrat. Akan tetapi, MullaSadrâ sendiri menerima wahdah syakhsyah
P: 213
Lebih jauh, saat ditanya mengenai posisi wahdat al-wujûd sebagai prinsip dan postulat yang diterima kalangan pakar filsafat, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menjelaskan:
“Pertama, kata-kata “disepakati harus ditunda lebih dulu.
Sebelum Muhyiddin Ibn Arabi, (konsep tersebut) belum dibuktikan (keandalannya) oleh para ‘arif tersohor. Kebanyakan bukti dan penetapan tentangnya banyak dikemukakan pada masa pasca Ibn Arabi. Oleh karena itu, kata “disepakati masih perlu ditunda.
Kedua, penafsiran dari permahaman tentangnya. Secara terperinci, apa yang dikandungnya? Apa penjelasan paling paripurna untuk mencecap kebenaran ini? Umpama, apa makna dari terminologi 'syakhsi’? Wahdah syakhsiyyah merupakan istilah filsafat, yang maknanya berkebalikan dengan wahdah jinsiyyah (kesatuan jenis) dan wahdat nau’i (kesatuan spesies). Tentunya hal ini tidak sesuai dengan pembahasan wahdah ‘irfaniyyah dan wahdat al-wujûd.
Wahdah syakhsiyyah berhubungan dengan bilangan. Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan wahdah syakhsiyyah tadi? Ini harus jelas lebih dulu. Jika belum jelas, maka klaim dasarnya tidak dapat diterima. Saya punya klaim yang saya tidak peduli apakah orang lain mau mengakuinya atau tidak, bahwa apa yang dijumpai dalam filsafat sebagai wujûd mustaqil (keberadaan independen) sebagai kebalikan dari wujûd râbith (wujud kopulatif, dependen). Mereka menggunakan istilah wujud hakiki sebagai ganti wujud mustaqil, dan menggunakan istilah wujud majazi sebagai ganti wujud rabith.
Kalau itu yang dimaksud, maka dapat diterima, dan dalam dasar- dasar filsafat juga dapat dikonfirmasi. Ini sebagaimana ditulis Mullâ Sadrâ, dan kami bangga karenanya. Akan tetapi, jika bukan itu yang dimaksud dengan wahdah syakhsiyyah, maka terus terang saja, sulit diterima.”(1)
P: 214
Namun, sejauh pengamatan penulis, Muhammad Taqi Misbah Yazdî dan Jawadi Amoli sama-sama menerima ashâlat wujud, tasykîk al-wujûd, dan relasi kausalitas. Tetapi, dalam masalah wahdah syakhsiyyah, kedua tokoh utama filsafat di hawzah ‘Ilmiyah Qom ini berbeda pendapat.
Artinya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sadalah pemikir Sadraian namun ada kalanya juga cenderung pada prinsip katsrah peripatetisme disebabkan mempunyai interpretasi bebeda tentang prnsip unitas yang dikenal dengan qâ'idat al-wâhid sebagaimana diuraikan pada bagian kausalitas.
Hal lain yang menurut penulis amat disayangkan adalah penolakan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî wahdah tidak diajukan secara komprehensif. Bahkan, saat dikonfirmasi, ia cenderung menganggap persoalan wahdat al-wujud hanyalah konsumsi para penggemar polemik filsufis yang tidak banyak memberikan pengaruh bagi penguatan pandangan dunia tauhid.(1) Yang mengherankan lagi, ia yang semestinya mendukung prinsip wahdat al-wujud secara totak, karena rasionalis, malah lebih mirip dengan para mutakallim yang sejak semula tidak mendasarkan ushuluddin pada wahdat al-wujud.
Latar belakang teori “Gradasi Wujud” Sadrâ bertaut erat dengan logika Aristotelian tentang perbedaan dua jenis universalia atau pengertian yang mengandungi konotasi keberlakuan secara universal (kullî), antara kullî mutâwathi' (universal univocal, seperti manusia [universal] yang membawahi si Ahmad, Ali, dan sebagainya, dimana di antara individu-individu tersebut tak terdapat perbedaan dari sisi “humanness” ([kemanusiaan]nya) dan kullî musyakkik (universalia equivocal atau universalia ambigu, seperti warna “putih” yang membawahi persona- persona [afrâd] “putih” yang ragamnya bergradasi, ada putihnya saju, putihnya kapas, dan sejenisnya). Persoalannya, apakah “universalia
P: 215
gradual” (kullî musyakkik) yang membawahi suatu esensi dengan segala gradasinya ini akan mengalami perubahan wujud bila intensifikasi terjadi dalam dirinya ataukah tidak? Dalam redaksi lain, apakah ketika warna putih tertentu mengalami intensitas keputihannya, maka esensi “putih”nya juga berubah, atau tidak? Apakah perbedaan gradasional dalam satu esensi akan menyebabkan esensi tersebut juga berubah atau tetap dengan esensinya yang terdahulu? Sebelumnya telah diuraikan secara ringkas bagaimana Mullâ Sadrâ, yang datang belakangan, mengatasi kebuntuan polemis antara dua aliran, Peripatetisme dan Iluminasionisme, dengan menawarkan dua prinsip baru sebagai gantinya.
Pertama, selain wujûd—beradasarkan prinisp ashâlat al-wujûd- tidaklah nyata, termasuk mâhiyyah (yang diklaim bersifat artifisal).
Karena itulah Mullâ Sadrâ mengimbau para filsuf untuk mengadopsi pembagian universalia dalam logika tersebut lalu menerapkannya pada wujud. Meski demikian, Mullâ Sadrâ juga menerapkan hal itu pada esensi derivatif (bi al-'aradh). Gagasan ini pada masa itu sangat menghebohkan dan mencengangkan. Jika esensi bersifat univokal (tak bergradasi), maka eksistensi niscaya bergradasi (ambigu). Karena wujud ambigu (bukan semata karena wujud itu satu, sehingga tidak dapat menjadi prinsip pembeda), maka hanya wujud-lah yang menyebabkan perbedaan antar maujud-maujud, bukan esensi, sebagaimana klaim kaum esensialis. Mullâ Sadrâ mengatakan: Mâ bihi al-ittifaq huwa 'ain mâ bihi al-ikhtilâf (sesuatu yang menjadi sumber kesamaan pastilah menjadi sumber perbedaan). (1) Kedua, wujud tidak hanya musyakkik (gradual, ambigu), tapi juga berurutan, tidak acak, tertata mulai dari yang umum, kemudian samar, lalu khusus (bercirikan), lalu individual, dan tunggal. Gerak gradual dalam wujud dimulai dari kurang sempurna ke arah yang lebih sempurna, dan tidak bergerak ke arah sebaliknya. Itulah sebabnya, mengapa Mullâ Sadrâ dan para filsuf Muslim menolak reinkarnasi, karena hal itu
P: 216
mengindikasikan gerak ke belakang, ke posisi yang lebih rendah secara eksistensial. Dari sini, kita dapat menyingkap hubungan antara prinisp “gradasi wujud” dan prinisp “gerak subtansial”. (1) Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, kesatuan individual semua maujud yang menjelma tidak bertentangan dengan keberagaman hakiki semua maujud. Demikian pula, kesatuan berkesinambungan alam material tidak bertentangan dengan keberagaman benda-benda material, keberagaman yang diperoleh dari bayangan multiplisitas forma yang berbeda-beda. Lalu, kesatuan individual alam sebagai maujud bernyawa dan berjiwa tunggal tidak bisa diisbatkan. Dan kalaupun bisa diisbatkan, maka kesatuan itu (mesti diandaikan) bersifat aksidental. Bagaimanapun juga, subjek kesatuan dalam tiga pengandaian di atas adalah alam semesta atau, alam maujud-maujud kontingen. (2) Menurut penulis, bila Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak sepenuh hati menerima wahdah syakhsyiyyah dan menolak prinsip al-wahid, semestinya ia tidak perlu memberikan pembelaan terhadap konsep tasykîk al-wujûd. Ini membuktikan bahwa ia tidak bertujuan membangun sebuah konsep dalam ontologi.
Sebagaimana Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî mengklasifikasi wujud dalam dua jenis; mustaqil (mandiri) dan râbith (tidak mandiri, dependen). (3)
P: 217
Mullâ Sadrâ melukiskan seluruh maujud di alam imkan (kemungkinan) sejak malak (alam fisik) hingga malakût (alam ruh) sebagai “kebergantungan' (rabth) itu sendiri. Jatidiri setiap maujud mumkin (serba-mungkin dalam konteks ada-tiadanya) terletak pada ‘kebergantungan pada Sebab Pemilik, sebagai wujud yang mandiri. (1) Dari sinilah, Mullâ Sadrâ memulai sebuah pembagian baru, yaitu wujûd râbith dan wujûd mustaqil. Ia adalah realitas yang menjadi substansi eksistensial. Entitas atau realitas yang memiliki wujud mandiri hanyalah satu, yaitu wujud Tuhan sebagai kausa prima; sedangkan wujud selain-Nya hanyalah ‘wujud bergantung'.
Wujûd râbith diyakini sebagai infrastruktur sistem kosmik. Tanpa wujûd râbith, sistem eksistensi tidak akan pernah dipahami. Seseorang yang hendak memahami alam eksistensi tanpa wujûd râbith hanya akan menangkap serangkaian konsep yang acak. Tanpa wujûd râbith pula, seseorang tidak akan mampu menyandingkan konsep (sebagai subjek) dengan konsep lain sebagai predikatnya. Wujûd râbith berfungsi menyadarkan manusia terhadap pola relasi ciptaan dengan Sang Pencipta.
Alhasil, wujûd râbith merupakan realitas yang berfungsi sebagai predikat yang bergantung pada substansi.(2)
P: 218
Namun, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menolak argumen wujûd râbith yang dikemukakan oleh Thabâthabâ’i, yang kemudian dipertahankan Jawadi Âmulî:(1) Menurutnya, argumen seputar wujûd râbith dengan menganalisis proposisi tidaklah valid. Sebab, pembahasan tentang proposisi terdapat dalam logika dan tidak bersangkut-paut dengan realitas objektif. Ia menganggap analisis prinsip kausalitas sebagai dalil sahih atas keniscayaan wujûd râbith.(2) Seraya itu, ia menganggap analisis prinsip kausalitas sebagai dalil sahih bagi keniscayaan wujûd râbith. Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, secara filsufis, setiap proposisi terdiri dari tiga elemen; subjek, predikat, dan kopula (penghubung).(3) Menurut penulis, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang wujûd râbith (wujud kopulatif) jelas berbeda dengan tradisi filsafat islam.
Para penganut ashâlat al-wujûd percaya bahwa wujud yang dibahwa dalam topik ashâlat al-wujûd bukan semata-mata konsep wujud; akan tetapi mishdâq (isntanta) di luar. Hakikat real wujud ini mencakup wujud redikatif (mahmûli) dan wujud kopulatif (râbith). Bagi Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî, wujud kopulatif tidak termasuk dalam pembahasan ashâlat al-wujûd, karena ia semestinya dibahas dalam ilmu mantiq.
Alasan ini diperkuat dengan sanggahan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî atas penjelasan wujud rabith (eksistensi kopulatif) yang diketengahkan oleh gururnya dalam Nihâyat al-Hikmah. Atas dasar inilah ia percaya bahwa pembahasan ashâlat al-wujûd menjadi tepat setelah dibahas
P: 219
pembuktian atas validitas satu macam wujud; yaitu wujud predikatif.(1) Dalam pandangan kami, wujud atau kakikat real wujud mencakup wujud redikatif (mahmuli) dan wujud kopulatif (râbith), dan pandangan Muhamamd Taqi Misbâh Yazdi tidaklah benar, karena pembahasan tentang asas wujud kopulatif itu sendiri adalah pembahasan filsufis, sementara mantiq membahasnya dalam batas-batas sifat dan hukum- hukumnya. Ini persis ketika filsafat membahas wujud-nya keniscayaan (dharûrat) dan kemungkinan (imkân) secara prinsipal, lalu mantiq membahas pembagian proposisi-proposal formal atas dasar keniscayaan dan kemungkinan itu.
Selain itu, filsafat tidak hanya membahas prinsip wujud kopulatif, bahkan wujud ini juga menjadi aksis untuk banyak argumentasi- argumenyasi filsufis; termasuk salah satu bukti atas ashâlat al-wujûd.
Oleh karena itu, Mullâ Hâdi Sabzawari menuturkan dalam syairnya:
Andai saja wujud itu bukan ashil tak kan ada kesatuan Sebab selain wujud hanyalah sumber keragaman(2) Bila wujud itu tidak ashil, maka wujûd râbith yang merupakan bagian dari wujud mutlak adalah i’tibârî (konvensional) dan dengan demikian maka predikasi dalam setiap propopsisi yang berbeda subjek dan predikatnya tidak akan pernah terjadi, karena predikasi (haml) selain adanya perbedaan, mesti ada kesatuan, tentunya dari sisi yang berbeda.
Maka dari itu, ashâlat al-wujûd dan wujud râbith sangat menentukan prinsip predikasi dan proposisi dalam pembahasan-pembahasan logika.
Perlu diperhatikan pula bahwa proposisi analitik semirip ketat dengan apa yang dikenal dalam filsafat Mullâ Sadrâ dengan istilah haml awwalî dzâtî dengan penjelasan yang telah dibawakan. Padangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat disimpulkan bahwa dalam proposisi analitik mesti ada kopula (râbith), tetapi râbith ini tidak mesti
P: 220
wujud; yakni wujûd râbith (1). Ia hanyalah hubungan logis yang mesti dalam analisis mental, dan ini tidak mesti ia sebagai wujud, karena ada banyak hal yang berkembang dalam konstruksi mental (i’tibâriyyât aql/ mafhûm intizâ'i, ma'qûl tsânî manthiqi) yang sama sekali tidak punya acuan di luar mental, seperti proposisi, universal, partikular, dan konsep- konsep sekunder logis lainnya.
Pandangan ini sebenarnya melawan pandangan gurunya yang menegaskan bahwa dalam proposisi primer; termasuk proposisi analitik, tidak ada râbith. Perselisihan ini akan menjadi krusial tatkala dihubungkan dengan ashâlat al-wujûd. Menurut Thabâthabâ’î, setiap hukum yang dinisbahkan kepada mâhiyyât, pada dasarnya adalah hukum wujud, lalu dengan wujud, hukum itu berlaku pada mâhiyyat, baik hukum itu sifat- sifat aksidental mâhiyyât ataupun sifat-sifat substansialnya. (2) Namun bagi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, meski ia tepat pada hukum-hukum aksidental mâhiyyat (dimana keberlakuannya pada mâhiyyât berlangsung dengan wujud), akan tetapi tidak demikian pada hukum-hukum substansial mâhiyyat, sperti hewan untuk mâhiyyât manusia, sebab predikasi hewan pada manusia menjadi benar hanya dengan kesatuan konseptual saja, oleh karena itu tidak perlu mengasumsikan kesatuan itu adalah wujûd ashîl itu.(3) Tampaknya, apapun predikasi, baik analitik ataupun sintetik, baik awwali ataupun syai’shinâ’î, pasti melazimkan adanya semacam kesatuan. Dan dalam kaidah dasar filsafat, kesatuan itu musâwiq (identik seketat-ketatnya) dengan wujud. Maka, sekalipun kesatuan itu dalam poros konsep, tetap saja wujud terselubung di sana. Yakni, kesatuan subjek dan predikat atau kesatuan dua konsep dalam satu proposisi yaitu keterbuhungan dua sesuatu, dan jelas sekali keterhubungan ini adalah bagian dari corak wujud. Maka bagaimanapun wujud tidak bisa diasumsikan lepas dari suatu gejala.
P: 221
Kadang membingungkan bila terminologi wujûb dan imkân, sebagaimana kata lainnya, ditemukan dalam epistemologi dan ontologi.
Karena itu, perlu diperjelas konteks pembahasannya serta relasinya. Kata wujûb dan imkân merupakan dua frase yang ada dalam setiap pembahasan filsafat tradisional.
Untuk itu, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, melakukan klarifikasi.
Menurutnya, setiap proposisi, sekalipun yang paling sederhana, sekurang- kurangnya mesti tersusun dari dua konsep; subjek dan predikat. Misalnya, proposisi yang berbunyi “matahari bersinar”. Proposisi ini terdiri dari matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat.(1) Dalam hal ini, tidak terdapat alternatif lain terkait dengan korelasi predikat dan subjek selain dari tiga kondisi berikut Pertama, korelasi predikat dan subjek bersifat mustahil (mumtani').
Contohnya, angka tiga lebih besar dari angka empat. Kedua, korelasi predikat dan subjek merupakan sesuatu yang mesti (dharûrî). Contohnya, dua adalah setengah dari empat. Ketiga, korelasi predikat dan subjek bersifat tidak mustahil sekaligus bukan kemestian. Contohnya, matahari berada di atas kepala kita.(2) Dalam logika, dijelaskan bahwa proposisi pada kondisi pertama bersifat mumtani', alias tidak mungkin terjadi (sebagaimana contoh pertama, angka tiga lebih besar dari angka empat). Pada kondisi kedua, proposisi bersifat dharûrî atau wajib, yaitu mesti dan niscaya. Sedangkan pada kondisi ketiga, proposisi bersifat mumkin (mungkin) dengan makna khusus. Namun, lantaran filsafat hanya membahas sesuatu yang ada, maka para filsuf hanya membagi konsep wujud dalam dua kategori; wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd.(3)
P: 222
Wâjib al-wujûd adalah wujud ſyang maujud) dengan dirinya sendiri, tidak bergantung pada yang lain. Tentu, wujud semacam ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Karena, apabila sesuatu ma'dum (tiada) pada masa tertentu, maka ia bukan wujud dengan dirinya sendiri, alias membutuhkan selainnya yang merupakan penyebab atau syarat keberadaannya. Tentunya, jika penyebab atau syarat tidak ada, ia juga tidak akan meng-ada.
Sedangkan mumkin al-wujûd adalah sesuatu yang meng-ada bukan dengan dirinya sendiri, melainkan diadakan dan bergantung kepada selainnya. Dengan kata lain, mumkin al-wujûd tidak mungkin terwujud kecuali dengan mediasi selainnya.(1) Penjelasan rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani’ al-wujûd (wujud mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini tidak mengidentifikasi apakah wujud eksternal (khârij) itu wâjib al-wujûd ataukah mumkin al-wujûd. Dengan kata lain, kebenaran proposisi tersebut dapat dipetakan dalam tiga asumsi. Pertama, setiap wujud adalah wajib al-wujûd. Kedua, setiap wujud adalah mumkin al-wujûd. Ketiga, sebagian realitas adalah wajib al-wujûd, dan sebagian lainnya mumkin al-wujûd.(2) Berdasarkan asumsi pertama dan ketiga, menurut Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, keberadaan wajib al-wujûd sudah diafirmasi. Selanjutnya beliau mempertanyakan: Apakah mungkin setiap keberadaan itu mumkin al-wujûd? Kalau asumsi ini dapat digugurkan, maka keberadaan wajib al-wujûd secara pasti dapat ditegaskan-kendati untuk mengafirmasi keesaan dan seluruh sifat-Nya, diperlukan argumentasi tersendiri. (3) Untuk menggugurkan asumsi kedua, menurutnya, perlu ditambahkan premis lain pada argumen sebelumnya; bahwa seluruh keberadaan tidak mungkin bersifat mumkin al-wujûd. Namun, premis ini bukanlah premis badîhî (aprior). Oleh karena itu, mumkin al-wujûd membutuhkan penyebab, yang karenanya, rangkaian penyebab tak berujung itu muhal (mustahil). Maka dari itu, rangkaian penyebab harus berakhir pada
P: 223
maujud yang bukan mumkin al-wujûd dan juga tidak lagi butuh kepada penyebab. Artinya, ia wajib al-wujûd. (1)
Selain hukum Imtinâ’ ijtimâ'al-naqîdhain (prinisp non kontradiksi), salah satu prinsip metafisika Sadrian adalah hukum kausalitas. Secara umum, pendapat Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tentang prinsip kausalitas tidaklah berbeda dengan Mullâ Sadrâ.(2) Namun, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam tema harakah jawhariyyah dan tasykîk al-wujûd, ia menolak rute gerak dan tasykîk yang menyamping ('aradhiyyah) karena tidak berbasis kausalitas.
P: 224
Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, dalam konteks filsafat, wujud yang bergantung disebut akibat (maʼlül), dan wujud selainnya (yang menjadi medium bergantung bagi wujud ma’lûl) disebut sebab ('illah). Dan, boleh jadi sebab itu sendiri masih bergantung pada sebab yang lain. Karena itu diperlukan distingsi tentang ragam 'illah.(1) Dengan kata lain, pada gilirannya, “wujud sebab” itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada sebab lain, yang hakikatnya juga merupakan akibat dari wujud ketiga tersebut. Namun, jika sebab tersebut bukan akibat dan tidak bergantung pada yang lain, maka ia adalah sebab mutlak yang sama sekali tidak membutuhkan selainnya. Dengannya, dikenal dua istilah filsafat, yakni “sebab" dan "akibat", berikut definisinya masing-masing (2) Selanjutnya, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengemukakan premis bahwa setiap mumkin al-wujûdmembutuhkan sebab.(3) Mengingat mumkin al-wujûd itu meng-ada bukan dengan dirinya sendiri, maka mumkinul wujud bergantung pada sesuatu yang lain. Proposisi (qadhiyyah) berikut ini diakui cukup gamblang; bahwa saat suatu predikat disandingkan dengan suatu subjek, maka adakalanya predikat dapat diafirmasi pada subjek secara dzati (substansial), dan adakalanya secara aradhi atau aksidental, karena sesuatu yang lain (misal, sesuatu terkadang terang secara substansial (dengan sendirinya], adakalanya disebabkan sesuatu yang lain, misalnya cahaya; atau, setiap benda (jism] berminyak dengan sendirinya, atau berminyak berkat mediasi yang lain, seperti minyak- sementara asumsi yang mengatakan bahwa sesuatu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui mediasi yang lain, tak lain dari asumsi yang absurd). Karenanya, jika afirmasi wujud suatu subjek tidak dengan dirinya sendiri, maka dipastikan wujudnya itu diafirmasi melalui mediasi yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkin al-wujûd (yang
P: 225
mungkin meng-ada) eksis melalui mediasi lain dan ia adalah akibat baginya. (1) Terdapat kaidah logika yang niscaya masuk akal; bahwa setiap mumkin al-wujûd membutuhkan penyebab. Namun, bertolak dari perspektif hukum Kausalitas (bahwa setiap keberadaan membutuhkan sebab), sebagian orang lantas berasumsi bahwa wujud Allah SWT juga seharusnya memerlukan penyebab. Namun, tak dapat disangkal bahwa subjek dari hukum kausalitas bukanlah keberadaan absolut, melainkan keberadaan yang mumkin atau ma’lül (akibat). Dengan kata lain, setiap keberadaan "yang tidak berdiri sendiri” membutuhkan penyebab, bukan setiap keberadaan tanpa ajektif itu.(2) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî juga mengargumentasikan wâjib al-wujûd dengan prinsip imtinâ’ at-tasalsul (continuum ad infinitum).
Menurutnya, premis terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa matarantai penyebab harus berakhir pada keberadaan yang dengan sendirinya bukan lagi merupakan akibat. Sebagaimana telah dikemukakan kaum teolog, tasalsul (continuum ad infinitum atau matarantai sebab-akibat tak berujung pangkal) itu mustahil. Atas dasar ini, wujud Tuhan dapat dibuktikan sebagai wâjib al-wujûd yang merupakan penyebab pertama yang maujud dengan sendirinya dan tidak memerlukan selainnya.(3) Kalangan filsuf telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan tasalsul ini; meski pada dasarnya, itu merupakan persoalan yang nyaris badîhî (tidak memerlukan argumentasi rasional). Setiap orang, sejenak saja merenungkan, akan mampu memastikan kemustahilan tasalsul. Artinya, setiap wujud akibat membutuhkan penyebab. Dengan kata lain, keberadaan penyebab menjadi syarat keberadaannya.
Menurutnya, apabila diasumsikan bahwa segala sesuatu merupakan akibat (wujud yang diakibatkan) yang membutuhkan penyebab, tentu
P: 226
tidak akan ada keberadaan apapun. Karena, tidaklah masuk akal bila mengasumsikan adanya matarantai yang saling bergantung tanpa mengandaikan eksistensi yang memuncaki matarantai kesaling- bergantungan itu. Lomba lari marathon, misalnya. Apabila seluruh peserta berdiri di garis start, itu artinya mereka sudah siap berlomba.
Namun ternyata, semua peserta tidak mau memulai untuk berlari kecuali jika yang lainnya memulai lebih dulu. Nah, apabila keputusan ini diambil seluruh peserta, niscaya perlombaan lari itu tidak akan berlangsung Begitu pula dengan wujud; jika segala sesuatu diakibatkan wujud yang lain, niscaya tidak akan terwujud apapun, sama sekali.
Dengan demikian, adanya hal-hal eksternal yang bersifat objektif merupakan bukti dari keberadaan sesuatu yang secara eksistensial tidak membutuhkan wujud (penyebab) selainnya.(1) Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, wujud segala sesuatu "yang mungkin meng-ada” tidak terlepas dari dua kondisi: wujudnya bersifat niscaya, ada dengan dirinya sendiri, yang diistilahkan dengan wâjib al- wujûd (wujud niscaya-ada), atau tidak bersifat niscaya, namun wujudnya tergantung pada yang lain (sebagaimana diistilahkan sebelumnya dengan mumkin al-wujûd).
Dengan kata lain, sesuatu itu wâjib al-wujûd atau mumkin al-wujûd.
Jelas, jika bersifat mumtani' (tidak mungkin), maka sesuatu sama sekali tidak akan pernah terwujud, dan tidak akan dinilai sebagai sesuatu apapun.
Dengan demikian, setiap sesuatu adalah, entah sebagai wujud niscaya- ada (wajib al-wujûd) atau wujud kontingen (mumkin al-wujûd).(2) Lalu, jika konsep wujud kontingen (mumkin al-wujûd) dikaji secara teliti, jelas bahwa sesuatu yang menjadi mishdâq(3) atau objek [eksternal
P: 227
maupun mental] yang koheren dengan konsep itu niscaya merupakan [maujud] akibat dan membutuhkan penyebab. Karena, sesuatu yang maujud tidak dengan dirinya sendiri dan keberadaannya membutuhkan mediasi selainnya, maka wujudnya menjadi niscaya melalui mediasi selainnya. Ini sebagaimana setiap sifat yang tidak dapat ditetapkan dengan sendirinya, melainkan harus ditetapkan melalui mediasi.(1) Inilah, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, yang merupakan makna hukum kausalitas, bahwa setiap sesuatu yang wujudnya lemah atau bergantung serta bersifat mumkin al-wujûd, tentu membutuhkan penyebab. Bila dikatakan bahwa “setiap sesuatu” membutuhkan penyebab, maka itu bukan bermakna bahwa Tuhan juga memerlukannya (penyebab), atau bukan bermakna bahwa iman kepada Allah, Zat Tak Bersebab, bertentangan dengan hukum kausalitas.
Di sisi lain, jika dikatakan bahwa setiap keberadaan adalah wujud kontingen (mumkin al-wujûd) dan membutuhkan penyebab, niscaya tidak akan terwujud apapun. Ini sebagaimana contoh yang telah dikemukakan; bahwa bila setiap peserta lomba marathon menggantungkan keputusan untuk berlari kepada selainnya, niscaya perlombaan itu tidak akan pernah berlangsung. Dengan demikian, hal-hal yang ada di luar itu merupakan dasar pembuktian atas keberadaan wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd).(2) Dari sini, gerbang teologi (al-ilâhiyat bi al-ma'nâ al-akhash) pun terbuka. Melalui inferensi tentang (badâhah) ke-badîhî-yan—hubungan sebab-akibat, keberadaan sebab yang pre-eternal menjadi sebuah keniscayaan.
Salah satu pandangan khas Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dalam masalah al-'illiyyah adalah penolakannya terhadap generalitas prinsip unitas sebab bagi akibat yang dikenal dengan qâ'idat al-wâhid.
P: 228
Para filsuf Muslim bergumentasi bahwa keidentikan inheren (sinkhiyyah dzâtiyyah) antara sebab dan akibat adalah keniscayaan logis. Hal itu karena andaikan ada dua hal yang bertentangan atau lebih merupakan akibat dari satu sebab, maka di dalam sebabnya haruslah ada beberapa hal bertentangan yang sesuai (tusanikh) dengan setiap yang ada di akibat. Artinya, sebab itu tidak lagi basîth (sederhana), padahal asumsi Asumsi sebelumnya sebab itu adalah basîth.
Secara gelobal terdapat dua sudut pandang yang berbeda tentang kaidah ini. Sebagian dari filsuf memandang dan memahaminya secara umum dan gelobal, dimana satu sisi mencakup seluruh cabang sebab bahkan termasuk juga sebab-sebab mu`idd (provider). Dan dari sisi lain, jugamencakup seluruh pembagian jenis wâhidtermasuk jugawâhidnau'âi (satu sebagai spesies). Menurut mereka ini, mufad(mafhum-)nya kaidah al-wahid adalah bahwa setiap hal yang tunggal (wâhid) hanya dapat memiliki satu sisi kekhususan dari kausalitas dan keterpengaruhan”.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa lingkup kaidah al-wâhid hanya berlaku pada wâjib al-wujûd. Hal itu karena, menurut mereka, yang dimaksudkan dengan "Sebab Tunggal” adalah sebab yang memiliki dimensi tunggal dan basâthah (ketidak terangkaian) secara sempurna, bahkan tidak juga terangkai dari esensi (mâhiyyah) dan eksistensi (eksistensi).(1) Jelasnya, dalam kaidah al-wâhid tedapat dua hal yang pokok; yaitu ketunggalan dan basathah (ketidak terangkaian).(2) Dengan kata lain, bahwa yang dimaksudkan al-wâhid dalam kaidah tersebut adalah sesuatu
P: 229
yang bukan kastrat (berbilang) dan bukan pula murakkab (terangkai).(1) Muhammad Taqi Misbah Yazdî menolak argumentasi diatas.
Pertama, kaidah tersebut tidak berlaku khusus untuk Allah SWT, namun mencakup segala sesuatu yang basiyth dalam alam realitas. Kedua, kaidah tersebut tidak khusus untuk satu yang bersifat personal (syakhshî), tapi juga mencakup satu spesies (nau'). Oleh karena itu, kaidah tersebut hanya bisa diterapkan kepada yang sebab basith yang memiliki satu macam kesempurnaan, seperti 'uqûl ‘ardhiyyah (intelektus-intelektus horizontal)-bagi yang meyakininya—hanya bisa menghasilkan akibat yang memiliki kesempurnaan di bawahnya. Sedangkan 'uqûl thûliyyah (intelektus-intelektus vertikal) apalagi Allah, walaupun basith, memiliki kesempurnaan yang banyak. Karenanya, bisa saja untuk menghasilkan akibat yang banyak dan berbeda-beda.
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak menolak kaidah sinkhiyyah (tasanukh) dalam sebab dan akibat, namun menurutnya, kaidah itu tidak belaku umum, dan hanya berlaku untuk yang basîth dan memiliki satu kesempurnaan.(2)
Istilah mâhiyyah dalam filsafat bermakna dua; salah satunya lebih umum daripada selainnya. Makna khususnya didefinisikan sebagai “sesuatu yang dikatakan sebagai jawaban atas pertanyaan “Apakah itu?” Tentunya ia bisa diterapkan pada segenap maujud yang dapat dikenali oleh pikiran yang, secara teknis, dikatakan memiliki batasan- batasan spesifik eksistensi (specific limits of existence) dan yang tersantir dalam benak sebagai bentuk objek-objek universalia primer (primary
P: 230
intelligibles)atau yang kita sebut juga dengan konsep-konsep mâhiyyah (whatish concepts). (1) Tetapi, istilah yang lebih umumnya didefinisikan sebagai ما به الشیی هوهو (hal yang menjadikan A adalah A/ that which the thing itself is.). Dalam definisi kedua ini, mâhiyyah juga mencakup pengertian hakikat objektif wujud dan Dzat Suci Tuhan. Dalam pengertian inilah dikatakan bahwa “mâhiyyah Tuhan adalah wujud-Nya (الحق ماهیتة انیته).” Kalangan filsuf Muslim membagi quiditas-quditas (mâhiyat) yang telah mengenakan busana wujud dalam realitas memiliki wujud lain yang tidak menyandang pengaruh-pengaruh objektif yang bersifat eksternal.
Wujud yang tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi eksternal inilah yang disebut wujud zihni (eksistensi subjektif, wujûd dzihnî), yaitu pengetahuan dan konsep seseorang tentang quiditas segala sesuatu.
Sesuatu yang ada karena manusia mempersepsinya disebut sesuatu yang eksis secara konseptual. Eksistensi konseptual tak ubahnya bayangan atau pantulan dari eksistensi eksternal objektif. Gambar dalam benak tentang [sosok bernama) Salim, misalnya, adalah sesuatu yang eksis secara konseptual setelah tidak lagi bertemu dan melihat sosok Salim yang eksis secara eskternal.
Eksistensi subjektif ini, dalam kamus ontologi, disebut shurah (konsep, ide). Kata “ide” (idea) berasal dari kata Yunani, eidos, yang semula berarti “visi” atau “kontemplasi”.(2) “Ide” didefinisikan berdasarkan teori paripatetik sebagai gambaran yang muncul sebagai hasil refleksi dari entitas eksternal dan objektif—dan sebagai curahan (faidh), menurut pendapat Muhammad Taqi Misbâh Yazdî. Sedangkan “realitas” didefinisikan sebagai entitas objektif yang eksis secara eksternal vis-à- vis subjek berikut segenap pengaruhnya. Pemilik eksistensinya disebut maujud (entitas) atau quiditas yang berwujud (mâhiyyah maujudah).
P: 231
Menurut Javadi Amuli, pembahasan wujûd dzihnî sangat terbuka dengan kehadiran epistemologi-kendati sebagian isunya mesti dilengkapi tema pembahasan al-'âqil wa al-ma'qûl (ontologi al-Hikmah al-Muta’aliyah). Jika menyoroti ilmu dalam kaitannya dengan objeknya (al-mahkî), maka ia dapat dibahas dalam tema wujud dzihnî. Namun bila memandang hakikat ilmu itu sendiri sebagai sebuah realitas objektif (khârijî) dalam an-nafs, maka seseorang harus memasuki kawasan al-aqil wa ma`qûl (ontologi al-Hikmah al-Muta’aliyah). Dengan kata lain, wujud zihni merupakan bagian dari pengetahuan hushûlî, karena merupakan pengetahuan yang dimediasi konsep. Sedangkan pengetahuan hudhûrî yang tidak dimediasi konsep berada di luar ranah wujûd dzihnî, karena merupakan entitas objektif yang tak terindra. Itu artinya, pengetahuan hushûlî merupakan isu epistemologis, sementara pengetahuan hudhûrî termasuk isu ontologis. (1) Muhammad Taqi Misbah Yazdî juga menerima pendapat Mullâ Sadrâ seputar pembagian primer mâhiyyah ke dalam dua kategori; 1) esensi kompleks (mâhiyyah murakkabah),(2) 2) esensi simpleks (mâhiyyah basîtah).(3) Namun, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak memandang pembagian Mullâ Sadrâ berdasarkan mâhiyyah kepada jawhar (subsantasi)(4) dan
P: 232
‘aradh (aksiden)(1) sebagai sisa pengaruh mazhab ashâlat al-wujûd yang dianut sebelumnya oleh Mullâ Sadrâ. Ia baru menyadarinya beberapa tahun setelah tidak lagi aktif memberikan kuliah al-Asfâr al-Arba'ah- sebagaimana diungkapkan murid utamanya, Gholâm Rezâ Fayyâdhî, dalam kuliah Nihâyat al-Hikmah beberapa tahun silam. Karena menyadari hal itu, banyak pengajar filsafat yang tidak merasa perlu menjelaskan secara terperinci sifat-sifat aksiden dan jenis-jenisnya. Selain karena sebagian isinya tidak dapat dipertanggungkjawabkan secara argumentatif, juga dianggap sudah memasuki ranah kosmologi dan fisika.
Selanjutnya, klasifikasi eksistensial terhadap substansi yang dilakukan Sadrâ menjadi lima kategori, yaitu mâddah(2), shûrah”,(3) jism(4), nafs(5), dan aql(6), mulai dipertanyakan validitas dan legitimasinya oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî. (7) Menurutnya, pembagian yang menghasilkan lima substansi itu merupakan sebuah keterlanjuran. Ia tidak berkeberatan bila pembagian itu dirampingkan menjadi tiga, yaitu jism (benda), nafs (jiwa), dan aql (intelek). Dalam pada itu, ia menolak mâddah (materia, hyle, hayûlî)yang otonom tanpa forma (shûrah), karena menurutnya, hayâlâ adalah sesuatu yang bersifat artifisal. Lebih dari itu, ia malah mencurigainya sebagai imbas dari mitologi Yunani kuno yang memengaruhi cara pandang para filsuf Stoik. Selanjutnya, ia menelurkan dua opsi. Pertama, hyle itu eksis. Bila demikian, itu artinya ia tidak memerlukan forma-sementara
P: 233
ia hanya eksis secara eksternal bila dibubuhi forma. Kedua, bila hyle (hayâlâ) tidak eksis, maka menggolongkannya sebagai salah satu kategori substansi menjadi invalid. Nampaknya, inilah kritik pertama Muhammad Taqî Misbâh Yazdî terhadap al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Mullâ Sadrâ membagi substansi, ditinjau dari eksistensinya terbagi menjadi lima; 1) Forma, (shûrah), yaitu tampilan khusus seseuatu, seperti gambar (tampilan) manusia, pohon, dan sebagainya. 2) Benda (materi, mâddah), yaitu inti setiap entitas dan mengenakan forma, seperti benda kayu dalam tampilan kursi, benda katun dalam forma kemeja, dan sebagainya. 3) Raga, (body, jsm) yaitu entitas (sesuatu) yang terdiri atas benda dan forma. 4) Jiwa (nafs), entitas non bendawi namun berhubungan (bersambung) dengan raga material dan bekerja di dalamnya secara misterius. 5) Akal ("aql, intelek), yaitu substansi unik yang mempunyai kemampuan untuk memahami dengan perantara benda, dan kadang kala tanpa perantaranya.
Aksiden-aksiden yang berjumlah 9 itu adalah genus-genus maksimum (ajnas ‘aliyah) yang tidak berada di bawah level genus apapun. Karena itulah, masing-masing aksiden tidak dapat didefinisikan secara hakiki dengan genus dan deferentia. (1) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mempertanyakan dasar pembagian substansi ini, karena, menurutnya, potensi adalah sesuatu yang semestinya tidak berada di dalamnya. Sebagaimana diketahui, raga atau jism adalah gabungan dari quwwah atau mâddah ûlâ dan shûrah atau forma yang bertugas memberikan baju realitas (wâqi'). Artinya, sejak semula ditetapkan bahwa quwwah (potensi) tanpa shûrah (aktus) tidaklah ada. Dari definisi ini, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menganggap
P: 234
keanggotaan quwwah yang disebut al-hayula dalam substansi adalah sesuatu yang percuma dan tidak berdasar. (1) Dalam wawancara dengan penulis, saat dikonformasi tentang pola baru pembagian substansi, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengusulkan agar pembagian substansi dirampingkan menjadi tiga; ‘aql, nafs dan jism.
Sedangkan shurah, karena tidak lagi dianggap sebagai pasangan mâddah ûlâ, maka dia menjadi bagian dari tak terpisahkan dari setiap entitas ragawi. Sayangnya, dalam Âmûzesy-e Falsafeh, ia tidak menggunakan pola pembagian tersebut. (2) Salah satu pandangan khas Muhammad Taqi Misbâh Yazdî adalah penolakannya terhadap sepuluh intelektus ('uqûl asyrah).
Meskitidak menyetujui adanya jumlah akal yang sepuluh, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî sebagimana para filsuf sebelumnya, bependapat bahwa terdapat hirarki wujud (silsilah marâtib al-wujûd) dan bahwa yang pertama adalah paling sempurna serta hanya ada satu tidak lebih, disebut dengan al-'aql al-awwal, namun Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak mendasarkannya kaidah al-wahid, melainkan mendasarkannya pada prinsip ashâlat al-wujûd, karena, menurutnya, bila wujud semakin kuat, maka semakin basith dan semakin dekat dengan ketunggalan (al- wahdat). (3) Mereka yang menerima bahwa kaidah al-wahid mencakup selain Allah SWT, maka mereka harus menajwab pertanyaan bagaimana munculnya yang banyak dari Akal ke 10 thûliyyah dan begitu juga al- ‘uqul al-`aradhiyyah (Isyraq). Para pengiman 10 akal menjelaskan bahwa walaupun akal pertama itu adalah satu personal, namun memiliki banyak aspek (jihat), yaitu
P: 235
(1) ilmunya tentang esensi dirinya yang mumkin, --→ menjadi sebab munculnya jurm al-falak al-aqshâ.
(2) pengetahuannya, bahwa ia wajib bi al-ghair, --> menjadi sebab munculnya falak aqsha.
(3) ilmunya pada `illah-nya, yaitu wajib, --> menjadi sebab munculnya akal ke-2 dan begitulah seterusnya hingga akal ke-9.
Sedangkan akal 10 yang muncul darinya tanpa keikutsertaan yang lain, ialah jurm âlam al-anâshir. Menurut mereka, yang tercipta dengan keikutsertaan yang lain adalah shuwar (forma-forma) dan 'a'radh (aksiden-aksiden), karena itu yang banyak ini tidaklah tercipta dari pelaku wahid bimâ annahu wâhid (satu sebagai yang satu).
Muhammad Taqi Misbah Yazdî mempertanyakan penjelasan para filsuf pendukung 10 akal. Apakah sisi yang tiga itu banyaknya haqîqî atau i'tibârî? Jika haqîqî, maka berarti akan bertentangan dengan kaidah al-wâhid itu sendiri, karena telah tercipta sesuatu yang banyak dari satu sebab di tingkat pertama. Sebaliknya, andaikan ia berisfat i'tibârî, maka hal itu juga keniscayaan pada tingkat ke dua.
Lebih lenjut, Muhammad Taqi Misbah Yazdî mempertanyakan hubungan antar masing-masing ilmu dengan akibatnya. Dengan kata lain, ia mepertanyakan jenis hubungan inheren apakah yang mengharuskan masing-masing secara niscaya (bi al-dharûrah), padahal di dalam pelaku ilmi, yang diharuskan adalah pengetahuannya dengan akibatnya bukan dengan lainnya? Mengapa ‘akal kedua” tidak menghasilkan akibat yang lebih banyak, padahal dia memiliki ilmu lain, yaitu pengetahuannya dengan akal pertama? Pertanyaan sanggahan ini juga berlaku untuk setiap akal berikutnya.(1) Menurut penulis, pandangan Muhammad Taqi Misbah Yazdî tentang potensi yang dianggapnya sebagai non eksis, dan karenanya tidak mesti
P: 236
menjadi bagian dari substansi, memang rasional. Namun, sikap tersebut tidak ditunjukkan secara ekspilisit dalam karya-karyanya. Mestinya, ia membagi substansi pada tiga bagian saja, yaitu ‘aql sebagai substansi abstrak, nafs sebagai substansi semi abstrak, dan jism sebagai substansi konkret. Namun dalam bukunya, ia tetap membagi substansi menjadi lima, aql, nafs, jism, potensi dan aktus.
Hal lain yang menimbulkan tanda tanya, ialah kalaupun potensi dan aktus diakui keberadaannya sebagai pasangan yang tak terpisahkan, maka sebenarnya keduanya juga tidak patut dimasukkan dalam pembagian substansi, karena quwwah dan shûrah tidak lain dari bagian membentuk jism yang telah disebutkan pada urutan substansi sebelumnya. Jadi, memasukkan keduanya merupakan inkonsistensi dan ketidakcermatan dalam pembagian.
Secara filsufis gerak biasanya didefinisikan dengan perubahan bertahap sejalan dengan perputaran waktu. Wacana gerak, seperti halnya wacana-wacana filsafat lainnya telah lama menjadi perhatian para filsuf. Perhatian itu bahkan telah ada sejak masa Yunani Kuno.
Persoalan krusial yang muncul di seputar wacana gerak ini adalah pertama, apakah perubahan-perubahan yang terjadi di alam semesta ini merupakan perubahan-perubahan yang bersifat luaran, yaitu hanya menyangkut konfigurasi, bentuk dan aksiden dari alam semesta, ataukah merupakan sesuatu yang fundamental, sehingga tidak terdapat fenomena yang konstan di alam semesta? Kedua, apakah perubahan-perubahan yang terjadi di alam ini bersifat sesaat dan sementara, ataukah bersifat gradual dan berlarut-larut? Democritus menyatakan bahwa seluruh perubahan atau pergantian bentuk, hanya terjadi pada bagian luar saja (konfigurasi, bentuk dan aksiden alam semesta). Karena maujud-maujud alamiah dibentuk oleh partikel-partikel atomik yang selamanya berada dalam keadaan sama dan tak dapat berubah.
P: 237
Singkatnya perubahan sesuatu menurut Demokritus adalah perubahan dari satu bentuk ke bentuk lain. Sedangkan ciri atau watak alamiah tidak pernah mengalami perubahan. Aristoteles mengikut Demokritus meyakini bahwa gerak atau perubahan yang terjadi pada sesuatu adalah perubahan bagian luar. Karena itu, gerak atau perubahan kuantitatif dan perubahan lokal (gerak aksiden). Mullâ Sadrâ mengritik rumusan gerak atau perubahan yang terjadi pada empat kategori di atas, dan mengajukan satu konsep gerak yang cukup fundamental, harakah jawhariyyah.
Dalam konsep ini, Mullâ Sadrâ menyatakan bahwa perubahan yang terjadi tidak terbatas pada empat kategori aksiden, tapi juga terjadi pada kategori substansi. Sebab, menurutnya, jika substansi benda tidak berubah maka keadaan-keadaan, sifat-sifat dan aksiden-aksidennya pun tidak akan mungkin berubah. (1) Susbtansi adalah poros geraknya. Karena itu ia mesti bergerak.
Mullâ Sadrâ meyakini bahwa setiap maujud ragawi mesti bergerak, karena maujud stagnan (yang tidak bergerak) pastilah abstrak (bebas dari materia). Dengan kata lain, menurutnya, hanya maujud immaterial yang tidak mengalami gerak. Gerak dalam aksiden-aksiden (gerak aksidental)- yang sebelumnya diyakini oleh para filsuf sebelumnya, adalah akibat dari gerak dalam substansi. Itu berarti, gerak terjadi dalam substansi dan terjadi pula dalam aksiden, sebagai akibatnya.(2) Yang dimaksud Mullâ Sadrâ dengan gerak substansi (gerak substansial), adalah perjalanan (perpindahan) dari sebuah substansi ke substansi lainnya, sehingga substansi menjadi rute bagi diri substansi sekaligus menjadi rute perpindahan bagi substansi tersebut. Jadi, yang bergerak (mutaharrik) dalam semua macam gerak adalah substansi, bukan selain-Nya. Contohnya adalah gerak yang dialami makanan.
Asumsikan bahwa substansi yang dikonsukmsi manusia itu adalah substansi padat, ia bergerak menuju kesempurnaan ketika dimakan, lalu menjadi tanaman dan substansi berkembang. Ia melanjutkan prosesnya
P: 238
dan menanjak dalam peringkat-peringkat tumbuh-tumbuhan hingga mencapai peringkat tertinggi. Tahap berikutnya adalah peringkat paling rendah kebinatangan, yang merupakan gerak dalam kategori substansi, lalu memasuki peringkat kemanusiaan dan menjadi substansi insani.
Dengan kata lain, perpindahan dari makanan ke sperma, dari sperma ke binatang adalah gerak substansial.(1) Menurut Mullâ Sadrâ, pola wujud rag -raga natural (ajsâm thabî'iyyah) adalah keberbaharuan (tajaddud) dan keberakhiran (inqidhâ') yang terus menerus, dan bahwa proses keluar dari potensi ke aksi juga merupakan salah satu pola wujud. (2) Setelah menerima pandangan Mullâ Sadrâ tentang harakah jawhar- iyyah, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengecualikan dua sub tema di dalamnya, yang secara tegas ditolaknya, yaitu seputar klaim bahwa gerak substansi selalu mengarah pada kesempurnaan (sair takâmulî) dan klaim tentang harakah 'ardhiyyah (menyamping).
Muhammad Taqi Misbah Yazdî menolak rute horizontal dalam gradasi wujud dan gerak substansi yang dikemukan Mullâ Sadrâ. Menurutnya, gradasi (tasykîk wujûd) hanya bersifat vertikal (thûlî), karena gradualitas dalam wujud hanya bisa diinterpretasi berdasarkan prinsip kausalitas, sedangkan pada gradasi horizontal (tasykîk 'ardhî) tidak terdapat relasi kausal. Pendapat ini memperluas jarak antara Muhammad Taqi Misbah Yazdî dengan para pemikir hauzah lainnya, seperti Javadi Âmuli yang mengikuti jejak Thabâthabâ’îyang meyakini dua jenis gradasi (gradulitas) vertikal dan horizontal sekaligus.
Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî—barangkali hanya dirinya yang berpandangan demikian, gerak substansial tidak selalu menyempurna, seperti gerak apel yang matang ke (menjadi) apel busuk.
Gerak dari kondisi matang ke kondisi busuk tidak dapat dikatakan sebagai
P: 239
proses menyempurna buah apel. (1) Atas dasar ini, substansi manusia tetap bergerak, yang apabila menyempurna, akan sampai ke surga; atau sebaliknya, jika merosot, akan terperosok ke neraka.(2) Menurutnya, harakah jawhariyyah (gerak substansial) dapat bersifat shu'ûdiyyah, bisa pula nuzuliyyah.(3) Pandangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî yang menolak rute horizontal dalam gerak substansi memang cukup menggetarkan. Namun, semestinya Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menguraikan pandangannya secara lebih komprehensif. Sayangnya, ia hanya mengungkapnya secara sporadis sehingga peluang untuk membandingkannya dengan pendapat para pembela harakah ardhiyyah tetap terbuka.
Menurut penulis, penentangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî terhadap rute horizontal gerak substansi yang dikemukakan Mullâ Sadrâ didasarkan pada asumsinya yang membatasi pengertian kausalitas pada rute vertikal, padahal Muhammad Taqi Misbâh Yazdî saat membahas tema-tema teologi, terutama saat menganalisa persitiwa-peristiwa kosmik yang bisa dinisbatkan kepada alam sebagai kausa horizontal dan kepada Tuhan sebagai kausa vertikal, juga mukjizat takw iniyah, mengisyaratkan adanya dua pols relasi kausal, vertikal dan horizontal. (4) Dari penjelasan yang dibawakan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, kiranya perlu dibedakan dua dimensi dari isu gerak substansial; pertama adalah dimesi filsufis; Apakah gerak itu pasti dan selalu menyempurna ataukah tidak; kedua adalah dimensi epistemologis dan pembuktian atas realitas gerak menyempurna diluar; Apakah semua gerak di alam ini menyempurna ataukah tidak? Dalam pembahasan filsufis, tidak semestinya kita mengacu pada instanta (mashadiq) di luar, karena fokus pada misdaq seperti membusuknya buah apel yang dicontohkan oleh Muhammad Taqi
P: 240
Misbâh Yazdî adalah kasuistik dimana mungkin sekali bagi seseorang, suatu gerak dipandang sebagai gerak melemah, dan bagi orang lain justru itu menyempurna. Atau proses kematian manusia yang jadi perselisihan; bagi sebagian orang itu adalah ketiadaan, bagi orang lain itu adalah cara penyempurnaan jiwa.
Tampaknya, pandangan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tentang melemahnya sebagian gerak substansial terfokus pada dimensi kedua semata. Dengan demikian, menurut penulis, kritik dan argumentasinya tidak dapat menggugurkan dimesi filsufis isu ini, dan tidak juga dapat mendukungnya untuk mengagas pandangan baru, melemahnya sebagian gerak substansi. Dengan kata lain, perbedaan Muhammad Taqi Misbah Yazdî dengan pengertian dominan tentang proses menyempurnannya gerak substansi dalam Hikmah Muta`aliyah, sebatas verbal; tidak tajam sampai pada dasar filsufis, karena bagaimana pun Muhammad Taqi Misbah Yazdî juga menerima prinsip esesni gerak sebagai peralihan dari potensi ke aktus; dan dia juga menerima bahwa aktus itu lebih sempurna dari potensi karena aksi identik dengan wujud.
Hal lain yang mengundang tanda tanya sekaitan dengan harakah jawhariyah ialah kelalaian Muhammad Taqi Misbah Yazdî tidak membatasi gerak substansi pada materi. Padahal jelas yang dimaksudkan dengan gerak itu hanya dialami oleh substansi jism bukan 'aql dan nafs karena keduanya abstrak.
Dalam wawancara dengan penulis, Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengatakan bahwa pembatasan gerak subtansi pada jism sudah bisa diketahui secara implisit, meski tidak dijelaskan secara ekplisit. Menurut penulis, sebaiknya harakah jawhariyah ditambahkan dengan harakah jawhariyah jismiyah atau harakah jawhariyah fi al-ajsâm.
P: 241
P: 242
Kata ‘teologi’ berasal dari bahasa Yunani klasik, tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini, khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun demikian, di masa kini istilah ini dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen sendiri, disiplin ‘teologi’ melahirkan banyak subdivisi. Pada abad pertengahan, teologi merupakan subjek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa disebut sebagai “The Queen of the Sciences”. Dalam hal ini, ilmu filsafat merupakan dasar yang membantu pemikiran dalam teologi.(1)
P: 243
Karena konsisten pada prinisp rasionalisme dan pandangannya yang menganggap filsafat sebagai induk semua ilmu, Muhammad Taqi Misbah Yazdî tidak memperlakukan bidang Kalam, ilmu yang membahas Tuhan dan tema-tema turunannya sebagai bidang yang terpisah. Karena itu, menurut pengamatan penulis, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî lebih memilih pembagian ontologi pada dua bagian, yaitu ontologi (mabâhits al-wujûd, hastî shenâsî, ilâhiyyât bi al-ma'nâ al-a'am) yang mengambil subjek ‘ada sebagai tema utama, dan teologi (mabâhits al-ilâhiyyah, khodâ shenâsî, ilâhiyyât bi al-ma'nâ al-akhash), yang menjadikan wajib al-wujûd sebagai tema utama. Lebih ekstrem lagi, semua tema filsafat disebutnya dengan al-ilâhiyât (teologi) yang terbagi dua: teologi umum, yaitu ontologi (ilahiyyât bi al-ma`nâ al-a`am), dan teologi khusus (ilâhiyyât bi al-ma`nâ al-akhash). Pengertian al-ilahiyât bi al-ma`nâ al-akhash itulah yang digunakan oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sebagai ganti dari ilmu kalam.(1) Tampaknya, kalam yang selama ini dipahami oleh kalangan mutakallimin Sunni dan Syi'ah sebagai ilmu yang membahas tema-tema ketuhanan dan agama dengan interpretasi rasional, secara implisit tidak diakui oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdî. Aqidah Syi'ah Imamiyyah dapat dibagi dalam tiga metode, yang masing-masing melahirkan bangunan keyakinan yang berbeda dalam argumentasi dan pola urutan.
Karenanya, setiap penganut Syi'ah memiliki rancangan aqidah sendiri- sendiri sesuai dengan metode pendekatan yang digunakannya. Ada yang membangun aqidah dengan metode kalam, ada yang dengan metode filsafat wahdah al-wujud atau katsrat al-wujûd, bahkan ada yang membangun aqidah dengan ‘irfan. Aqidah dengan pondasi kalam telah ditetapkan terdiri atas tiga prinsip umum, yaitu ketuhanan, kenabian, dan kebangkitan, dan dua prinsip khusus, yaitu keimaman (imamah) dan keadilan Tuhan.(2) Aqidah yang didasarkan pada filsafat (ontologi), terutama ontologi wahdat al-wujud, tidak terikat pada pola susunan prinisp keyakinan
P: 244
sebagaimana dalam kalam. Aqidah falsafi lebih ringkas, meski tidak lebih mudah untuk dianut. Pembentukan aqidah dengan pondasi filsafat dimulai dengan mendefiniskan terma wujud, mengeksplorasi hukum-hukum wujud dan melakukan distingsi terhadap terma-terma yang berlawanan dengan wujud. Biasanya, para penganut aqidah falsafi, yang umumya pelajar hawzah tingkat menengah atau kalangan akademis, mula-mula membagi dua pengertian, “ada” dan “tiada”, kemudian membedakan “ada” sebagai pengertian dan “ada” sebagai realitas itu sendiri (fi nafs al-amr), kemudian membagi “ada’ menjadi dua; yang beresensi dan yang tidak beresensi, dan diakhiri dengan mengidentifikasi kriteria-kriteria masing-masing dan memastikan pilihan dan kesimpulan tentang adanya sesuatu yang tidak beresensi, tidak ter-apakan, tidak terdiri dari substansi (subjek) dan aksiden (predikat), tidak tunduk pada kaidah persepsi yang memposisikan setiap sesuatu sebagai kategori dan terma, baik partikular maupun universal. Langkah kedua adalah menimbang-nimbang pendapat ashalah al-wujud dan ashâlat al-mahiyyah dengan mencari titik lemah semua pendapat yang pernah dikemukakan oleh kedua kelompok filsuf.
Langkah ketiga adalah membandingkan pendapat tentang wujud sebagai realitas tunggal dan pendapat tentang wujud sebagai realitas plural.
Langkah berikutnya adalah mengurai sifat sifat maujud, dari yang abstrak murni (mujarrad mahdh, maujûd asyfaf), yang semi abstrak atau interval (mitsâlî, barzakhî, nafsânî) sampai yang konkret (jism, raga, body) dengan dua elemen dasarnya: materia (quwwah, hyle) dan forma (aktus, shûrah). (1) Inilah gambaraan singkat tentang langkah-langkah umum dalam ontologi umum atau ilâhiyât bi al-ma'nâ al-âm (teologi umum). Setelah menemukan maujud beresensi dan yang tidak beresensi, mulailah ia memasuki tema ketuhanan (ilâhiyât bi al-ma'nâ al-akhash, teologi khusus) dan membanding-bandingkan semua pendapat dan aliran antara ketunggalan atau kebinenkaan zat dan sifat, dan begitulah seterusnya.
P: 245
Menurut penulis penggunaan istilah ilâhiyât pada bidang ontologi menimbulkan kerancuan, karena pada bagian itu, Tuhan tidak dibahas secara eksplisit. Artinya, dalam bidang itu, pembahas semestinya tidak diposisikan sebagai pencari wujud Tuhan, namun berposisi sebagai pencari wujud. Dengan demikian, ontologi dipisahkan secara otonom dari filsafat ketuhanan.
Hal lain yang juga patut dipertanyakan adalah ketidakjelasan sistematika saat kalam diistilahkan secara akademik sebagai teologi, padahal teologi adalah bidang filsafat ketuhanan yang hanya menjadikan rasio sebagai dasar argumen. Sedangkan ilmu kalam menjadikan teks ayat sebagai dasar argumen. Oleh karena itu, ilmu kalam semestinya diterjemahkan sebagai ilmu teologi Islam, sedangkan ilâhiyat sebagai ilmu ketuhanan semata, karena pembahasnya bisa siapa saja dari agama apa pun.
Muhammad Taqi Misbah Yazdî menolak penggunaan doktrin atau teks murni sebagai dasar argumentasi. Karena itu, ia secara fundamental menolak konstruksi ilmu kalam. Sebagai gantinya, ia menawarkan tafsir filsufis. Maksudnya, teks-teks suci dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian selama ia merupakan premis yang telah divalidasi dalam inferensi rasional yang bermuara pada prinisp badahah. Dengan kata lain, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tidak mengaanggap ilmu kalam dengan pengertian umum yang selama ini dipegang oleh para teolog sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara epistemologis.
Ia malah mengajak semuanya kembali ke filsafat dan menjadikan nalar deduksi sebagai dasar argumentasi, termasuk saat menghadapi teksteks suci. Menurutnya, teks-teks suci, agar bisa dijadikan sebagai dasar penalaran, mesti dipandang terlebih dahulu sebagai premis-premis yang perlu diargumentasikan, bukan sebagai dogma yang melampaui premis dan figura-figura penalaran.(1)
P: 246
Lebih lanjut, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menepis kekhawatiran timbulnya kesan dan stigma negatif tentang upaya merasionalisasikan wahyu. Menurutnya, mestinya keyakinan kita akan kebenaran mutlak wahyu Tuhan tidak malah membuat kita khawatir bahwa akal, yang juga ciptaannya, tidak mampu mengungkapnya. Semestinya, keyakinan akan mutlaknya kebenaran wahyu membuat kita bersunggug-sungguh mencari dasar rasionalnya. Ia ingin membuktikan bahwa wahyu dan teks suci lainnya memang menjadi kebenaran supra-rasional bila dikaitkan dengan premis mayornya, namun saat mamasuki tema-tema minor di dalamnya, rasio mesti dijadikan dasar, bukan teks itu lagi. Bila tidak, maka yang muncul adalah daur paradoks siklus.
Ketika Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ'i menggunakan teks-teks ayat sebagai dalil penguat dalam menjelaskan keesaan Tuhan, Muhammad Taqî Misbah Yazdî malah memunculkan sebuah pandangan lain.(1) Menurutnya, teks-teks al-Qur'an dan riwayat (hadis) bisa dikemukakan sebagai dalil, namun bukan sebagai wahyu yang mesti diterima karena kewahyuannya yang pasti benar. Menurutnya, teks-teks suci itu dalam pembahasan teologi mesti diperlakukan sebagai premis yang validitasnya harus dibuktikan melalui proses penalaran. Untuk mempertegas klaimnya, ia menulis seri buku berjudul Ma’âref-e Qor'ân. Menurutnya, menggunakan teks-teks suci sebagai dalil utama dalam pembuktian keberadaan dan keesaan Tuhan, tidaklah dilarang, namun tidak bisa melahirkan sebuah konklusi yang valid, karena meniscayakan daur atau siklus.
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dengan tegas menolak dasar teks sebagai titik awal argumentasi rasional. Namun, ia tidak berpendapat
P: 247
bahwa ayat-ayat tersebut dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan diargumentasikan dalam silogisme dan deduksi.(1) Lebih jauh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, berpendapat bahwa ayat-ayat seputar keesaan Tuhan dapat dibagi tiga, berdasarkan kandungan dan signifikansinya: pertama adalah ayat-ayat deskriptif (ayât tawshîfiyyah); kedua adalah ayat-ayat instruktif (ayât taklîfiyyah); dan ketiga adalah ayat-ayat argumentatif (ayât istidlâliyyah).
Menurutnya, ada kalanya al-Qur'an menerangkan diri, keesaan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuat Allah dalam bentuk keterangan, seperti “Tiada sesuatu yang menyerupainya”(2). Biasanya, ayat-ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini diletakkan pada bagian akhir rangkaian ayat , seperti و الله سمیع بصیرatau والله بما تعملون خبیر -dan sebagainya.Ayat ayat yang berbentuk proposisi predikatif ini sangat banyak, karena sebagian besar sasaran dakwah Nabi Saw adalah masyarakat awam yang menjadikan figur Nabi sebagai tolok ukur kebenaran.
Ada kalanya al-Qur'an menjadikan keesaan sebagai taklif, dalam bentuk perintah, baik kepada Nabi ataupun kepada masyarakat, seperti firman Allah dalam surah al-ikhlas, “Katakanlah bahwa Allah itu satu”.
Bentuk ayat yang berupa proposisi aktif ini tidaklah banyak, karena ia hanya berlaku bagi orang-orang yang telah mengimani keesaan Allah.
Biasanya, ayat-ayat demikian diawali dengan kata kerja perintah “katakanlah” (perintah), karena ditujukan kepada Nabi. Ada kalanya pula al-Qur’an memuat firman Allah yang dapat dijadikan sebagai argumentasi atas wujud, keesaan dan sifat-sifat-Nya. Ayat-ayat argumentatif cukup banyak. Tetapi, hampir bisa disepakati bahwa ayat-ayat argumentatif tersebut berkenaan dengan keesaan Allah dan sifat-sifat-Nya.(3) Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, dalam al-Qur'an terdapat banyak ayat argumentatif tentang keesaan (wahdaniyyah) Tuhan.
P: 248
Pertama, “Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak” (1) Dalam terminologi ilmu mantiq (logika Aristotelian), argumentasi di atas disebut dengan qiyas istitsnâ’î.(2) Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini: jika matahari terbit, maka siang tiba, namun jika siang belum tiba, berarti matahari belum terbit. Jika Tuhan itu berbilang, maka alam raya ini tidak teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut para mutakallimin dan filsuf dengan istilah burhân tamânu’ (bukti kontradiksi)?. (3) Ayat lain yang juga diajukan oleh Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî adalah firman Allah: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam- macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”:(4) Nabi Yusuf mengajak berpikir teman satu selnya, manakah yang rasional, meyakini beberapa tuhan yang beraneka macam ataukah satu Tuhan? Dari ayat introgratif ini, al-Qur'an memperkenalkan sebuah argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan, yaitu burhân al-nadhm (keteraturan). (5) Menurutnya, yang dimaksud dengan keteraturan dalam ayat ni adalah keharmonisan dan keterikatan antar setiap bagian atau antar masing-
P: 249
masing person, baik dari esensi yang sama, maupun berlainan, menuju suatu tujuan tertentu, seperti keharmonisan antar bagian-bagian pohon atau keseimbangan yang merupakan konsekuensi antara kehidupan manusia dan hewan. Jika setiap fenomena alam diatur oleh beberapa tuhan, maka tentu alam akan menjadi kacau. Bayangkan, bila air dikendalikan oleh satu Tuhan, mendung diurus oleh Tuhan lain, matahari berada di bawah kendali Tuhan lain, maka hujan yang merupakan akibat dari akumulasi fenomena sebelumnya itu tidak akan pernah terwujud.
Dengan kata lain, seandainya benar bahwa mereka adalah tuhan- tuhan, maka masing-masing tidak membutuhkan hasil penciptaan dan pengaturan Tuhan lainnya. Seandainya membutuhkan, maka berarti Tuhan yang membutuhkan selain dirinya itu bukanlah Tuhan. Itulah kontradiksi. Bila setiap fenomena alam diciptakan oleh beberapa Tuhan, niscaya matahari tidak akan butuh pada mendung, mendung tidak akan membutuhkan angin, dan begitulah seterusnya. Ketika masing- masing fenomena alam itu berdiri sendiri, maka akan bercerai-berai.
Ketika bercerai-berai, maka tidak akan mewujudkan fenomena yang namanya hujan.(1) Karena itulah “khair” (yang bisa diartikan baik dan bisa pula diartikan lebih baik) dalam ayat “Apakah beberapa tuhan yang berpencaran lebih baik dari satu Tuhan Yang Maha Perkasa” mungkin bisa diartikan secara modern dengan “lebih rasional”.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menyodorkan ayat yang memuat argumentasi ontologis tentang wujud Allah adalah firman Allah: ام خلقوا من غیر شی ام هم الخالقون Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri)”. (2) Muhammad Taqi Misbah Yazdî sependapat dengan komentar Fakhr al-din al-Razi.
Menurutnya, dalam ayat ini, ada satu kalimat introgatif yang asumtif (muqaddar), yaitu “am khuliqu” (tidakkah mereka diciptakan?) sebelum "apakah mereka diciptakan dari selain sesuatu ataukah mereka adalah pencipta-pencipta”. (3) Pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang yang
P: 250
mendustakan keesaan Allah. Kata syay’, menurutnya, berarti sesuatu yang ada, karena ke-sesuatu-an (al-sy-syay’iyyah, thingnes) identik dengan ke-ada-an atau keberadaan, sedangkan ke-tidak-sesuatuan atau la syay’iyyah atau nothingnes(1) berarti ketiadaan. (2) “Adakah mereka diciptakan bukan dari dari sesuatu” berarti “Adakah mereka diciptakan oleh yang tiada (al-ma'dum)(3) Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengakui bahwa ayat di atas tidak secara eksplisit membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, menurutnya, dari kandungan ayat yang bersifat introgatif ini dapat digali sebuah argumentasi rasional. Keberadaan manusia dapat diasumsikan dalam salah satu dari tiga kemungkinan: manusia muncul dengan sendirinya tanpa pencipta atau sebab pengada; manusia menciptakan dirinya sendiri, dan manusia diciptakan oleh selain dirinya. Seandainya mereka beranggapan bahwa mereka tidak diciptakan, maka berarti mereka menolak kausalitas yang berujung pada penolakan terhadap eksistensi mereka sendiri, atau mengangggap diri mereka sebagai pencipta. Bila mereka masing-masing adalah pencipta, maka berarti mereka telah ada sebelum ada. Ia harus ada karena menjadi pencipta, dan sekaligus tidak ada karena akan diciptakan.
Bertolak dari kesimpulan bahwa prinsip agama adalah keimanan kepada wujud Tuhan yang menciptakan alam semesta, dan bahwa perbedaan mendasar antara pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia materialisme terletak pada ada-tidaknya keimanan kepada Tuhan Pencipta alam ini, maka upaya pertama yang perlu dijalani seorang pencari kebenaran sebelum segala sesuatunya adalah memberi jawaban terhadap pertanyaan: Apakah Tuhan itu ada atau tidak?(4) Jawaban tentangnya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hanya mungkin dirumuskan lewat penggunaan properti akal atau dengan menalar. Ini menjadi sebuah kemestian agar jawaban yang diperoleh,
P: 251
entah positif atau negatif, betul-betul meyakinkan. Bila jawabannya positif, pembahasan masalah-masalah berikutnya baru bisa dilakukan, seperti tauhid, keadilan Ilahi, dan seluruh sifat Tuhan. Adapun, bila jawabannya negatif, yang sekaligus membuktikan kebenaran pandangan dunia materialisme, maka seluruh persoalan yang berkaitan dengan agama tak perlu lagi dibahas panjang lebar.(1)
Pengenalam terhadap Tuhan, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, dapat ditempuh melalui dua jenis pengetahuan; hudhûrî (presentasional) dan hushûlî (representasional). Pengetahuan hudhûrî memungkinkan seseorang mengetahui dan mengenal Tuhan dengan jalur hati dan batin (syuhûdî, qalbi), tanpa mediasi pemahaman-pemahaman berupa gambaran konseptual dalam benak. Jelas, orang yang memiliki pengetahuan hudhûrî tentang Tuhan, sebagaimana diakui para ‘urafa', tidak membutuhkan argumentasi rasional.(2) Meskipun demikian, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menganggap pengetahuan hudhûrî atau syuhûdî tidak dapat dikuasai manusia biasa tanpa terlebih dahulu membina jiwanya melalui sair suluk Islami.
Adapun level-level rendah dari pengetahuan ini, kendati dapat dicapai orang kebanyakan, tidak memadai bagi terbangunnya pandangan dunia yang berbasis kesadaran. (3) Karena itu, ia tidak memasukkannya dalam bidang bahasannya.
Mengingat jangkauan pengetahuan empirik terbatas pada fenom- enafenomena alam materi, kita tidak mungkin dapat mengetahui dasar-dasar pandangan dunia mengenai penciptaan alam semesta dan mengatasi berbagai persoalan yang bersangkutan hanya dengan mengandalkan
P: 252
data-data pengetahuan tersebut. Sebab, persoalan-persoalan semacam ini di luar jangkauan ilmu-ilmu empiris. Ilmu empiris mana pun tidak berbicara seputar masalah-masalah tersebut, baik menafikan ataupun menetapkannya. Dengan nada bergurau, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî bergumam, “tidaklah mungkin menafikan wujud Allah melalui penelitian di laboratorium. Pengalaman indrawi tidak mampu menilai ada tiadanya sesuatu di luar lingkaran materi." Karenanya, pandangan dunia empiris tiada lain adalah fatamorgana dan tidak dapat dikatakan sebagai pandangan dunia mengenai wujud dan alam semesta dalam arti yang sebenarnya. Maksimalnya, ia dapat disebut sebagai “pengetahuan tentang alam materi”. Pengetahuan semacam ini tidak mampu menuntaskan persoalan-persoalan mendasar dalam pandangan dunia.
Setelah menampik pengetahuan indrawi untuk memahami wujud Allah, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî juga menolak dogma atau pengetahuan yang diperoleh melalui jalur ta’abbudi (taklid) berlaku dan bernilai secara sekunder, karena kita harus membuktikan terlebih dahulu keberadaan pengetahuan sebelumnya sebagai sumber bagi pengetahuan ini. Misalnya, sehubungan dengan masalah kenabian, kita harus menetapkan terlebih dahulu kenabian seorang nabi supaya risalah dan seluruh sabdanya itu dapat diakui. Sebelum itu, kita pun harus membuktikan adanya Sang Pengutusnya, yaitu Allah SWT. Menurutnya, kita tidak akan dapat menetapkan keberadaan Sang Pengutus dan kenabian seorang rasul melalui lisan rasul itu sendiri. Misalnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa mengingat al-Qur'an telah menjelaskan keberadaan Allah, maka masalah keberadaan Allah itu dianggap tuntas (berdasarkan firman-Nya itu sendiri). Seharusnya, yang benar adalah bahwa setelah kita dapat membuktikan keberadaan Allah dan kenabian seorang nabi, dan kita telah mengenalnya secara pasti, juga kita telah membuktikan bahwa al-Qur'an itu adalah kitab Allah yang hak, barulah kita dapat menerima berbagai macam keyakinan far'iyyah (parsial) lainnya dan ajaran-ajaran yang bersifat praktis dengan bersandar kepada
P: 253
informasi orang yang jujur dan sumber yang tepercaya. Pengetahuan ta’abbudî ini tidak mempunyai peran langsung dalam menyelesaikan berbagai persoalan prinsipal di dalam pandangan dunia seputar wujud dan penciptaan alam semesta.
Muhammad Taqi Misbah Yazdî juga berkebartan untuk memasukkan ilmu hudhûrî dan syuhûdî. Ia mengemukakan sejumlah alasan:
pertama, pandangan dunia seputar penciptaan alam semesta merupakan pengetahuan yang terbentuk dari gambaran-gambaran konseptual di dalam pikiran, sementara pada konteks hudhûrî tidak ada tempat lagi bagi gambaran semacam itu. Dengan demikian, penisbahan gambaran konseptual kepada konteks hudhûrî lebih merupakan toleransi dan ditilik dari kapasitasnya sebagai basis kemunculan gambaran konseptual tersebut.
Kedua, menjelaskan berbagai perkara yang hudhûrî dan syuhûdî melalui kata-kata dan konsep membutuhkan kemampuan dan kekuatan nalar tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan dasar-dasar dan latar belakang yang cukup panjang, berupa kemampuan analisis rasional dan filsufis. Seorang yang tidak mempunyai kekuatan semacam ini terpaksa menggunakan kata-kata, ungkapan-ungkapan dan konsep- konsep yang abu-abu (mutasyabih) sehingga sangat mungkin malah menjadi faktor yang berdampak pada distorsi dan penyimpangan.
Melalui pengetahuan hushûlî, pengenalan tentang Tuhan diperoleh melalui konsep-konsep universal, seperti Sang Pencipta, Mahakaya, Mahatahu, Mahakuasa, dan meyakini keberadaan-Nya. Kemudian, semua itu dikombinasikan dengan pengetahuan hushûlî lain sehingga terbangunlah sebentuk pandangan dunia yang utuh dan kompak. Semua pengetahuan yang dicecap manusia adalah melalui telaahan rasional dan argumentasi filsufis, termasuk pengetahuan jenis ini (hushûlî). Bila sudah memiliki ilmu semacam ini, manusia baru dapat mengenal Tuhan melalui ilmu hudhûrî.(1) Ketiga, seringkali terjadi kesamaran dan kekeliruan antara hakikat
P: 254
realitas yang disaksikan dalam konteks syuhûdî itu, yang hakiki, dengan gambaran-gambaran khayalan serta penafsiran konseptual terhadap hakikat tersebut. Bahkan, kekeliruan dan kekaburan itu bisa juga menimpa sekalipun pada si pelaku syuhud (musyahid) itu sendiri.
Keempat, seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah melakukan sair-suluk‘irfani (pelatihan rohani) bertahun- tahun lamanya. Akan tetapi, keimanan dan keyakinan seseorang terhadap metode sair-suluk yang dianggap sebagai pengetahuan praktis- bergantung kepada dasar-dasar teoretis dan persoalan-persoalan yang mendasar dalam pandangan dunia.
Oleh karenanya, sebelum seseorang itu mulai mengamalkan sair- suluk, ia harus mampu menuntaskan persoalan-persoalan itu dengan baik. Sedangkan pengetahuan syuhûdî itu baru bisa diperoleh tatkala ia berada di dalam atau di puncak perjalanan sair-suluk tersebut. Pada hakikatnya, “irfan hakiki itu baru akan dapat dicapai oleh seseorang tatkala ia berusaha dengan sungguh-sungguh dan penuh ikhlas beribadah kepada Allah. Sementara usaha dan suluknya itu sendiri bergantung kepada pengetahuan tentang Allah dan tentang cara ibadah kepada-Nya.
Dengan demikian, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, satu- satunya jalan bagi seseorang yang berusaha untuk mencari solusi dalam menghadapi masalah-masalah pokok pandangan dunia adalah jalan logika atau metode rasional. Oleh karena itu, pandangan dunia yang sebenarnya adalah pandangan dunia falsafi.
Namun, perlu diketahui bahwa membatasi upaya mencari solusi atas masalah-masalah tersebut pada metode rasional dan premis-premis filsufis tidak berarti bahwa untuk pencapaian pandangan dunia semacam itu bergantung kepada pemecahan atas seluruh persoalan filsafat. Upaya itu cukup dengan mengkaji sebagian masalah filsafat yang sederhana dan tampak gamblang. Dengan cara inilah kita dapat membuktikan wujud Allah. Hal ini merupakan masalah yang paling penting dalam pandangan dunia, walaupun studi khusus mengenai masalah-masalah ini dan cara menghadapi berbagai kritik serta keraguan dan pemecahannya
P: 255
membutuhkan kejelian filsufis secara luas.
Begitu pula ketika kita membatasi berbagai pengetahuan yang dapat membuahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang mendasar melalui pengetahuan rasional, bukan berarti kita membuang pengetahuan- pengetahuan lainnya untuk memecahkan masalah-masalah tersebut.
Bahkan kita dapat menggunakan argumen-argumen rasional, yang sebagian premisnya dihasilkan dari jalur ilmu hudhûrî atau indra dan eksperimen. Sebagaimana juga kita dapat menggunakan pengetahuan ta'abbudi untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah rincian yang biasanya dibuktikan dengan ayat al-Qur'an dan Hadis yang merupakan sumber agama. Akhirnya, tatkala pandangan dunia dan ideologi yang benar itu dapat dicapai, seseorang akan melangsungkan usahanya hingga sampai ke mukasyafah dan musyahadah (penyaksian mata batin) melalui usaha yang gigih dalam menempuh jenjang-jenjang sair-suluk sehingga dapat menyaksikan—tanpa melalui konsep-konsep mental—berbagai hakikat yang dibuktikan oleh argumen-argumen rasional.
Setelah mengutamakan prinsip rasional, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menawarkan fitrah, yang bila ditelusuri bermuara kepada prinsip badâhah. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti "bentuk penciptaan”. Sesuatu bersifat fitriah (dinisbahkan kepada fitrah) tatkala bentuk penciptaan suatu makhluk menuntut sesuatu itu.(1) Dari sinilah dapat dipahami tiga karakteristik ihwal fithriyyah: pertama, adalah perkara-perkara fitriah merupakan titik kesamaan dari makhluk- makhluk berspesies sama, kendati keberadaannya berbeda dari segi intensitas, lemah-kuatnya. Kedua, adalah perkara-perkara fitriyah selalu eksis sepanjang sejarah manusia. Jelas, mustahil setiap makhluk mempunyai fitrah yang mengalami perubahan dan perbedaan dari waktu ke waktu.”(2) Ketiga, arena merupakan sebuah kemestian dari penciptaan makhluk, maka perkara-perkara fitriah tidak dapat diraih melalui proses
P: 256
pembelajaran, kendati untuk memperkuat dan mengembangkannya dibutuhkan bimbingan dan arahan.(1) Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menggolongkan ihwal fitrah dalam dua jenis. Pertama, pengetahuan-pengetahuan inheren (fithriyyah) yang dimiliki setiap orang tanpa memerlukan proses belajar. Kedua, kecenderungan-kecenderungan fitriah. Dalam pada itu, jika dalam diri seseorang terbukti terdapat semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullâh) yang tidak perlu proses belajar, maka pengetahuan semacam itu dapat disebut pengenalan fitriah terhadap Allah (maʼrifatullâh ‘ala al-fithrah). Apabila kecenderungan kepada Allah dan kecondongan menghamba kepada-Nya pada setiap manusia terbukti ada, maka itu dapat dinamakan sebagai penghambaan fitriah kepada Allah.(2) Kebanyakan pemikir memandang agama dan kecenderungan kepada Allah sebagai keistimewaan setiap manusia, berupa perasaan atau kesadaran beragama. Perlu ditambahkan pula bahwa mengenal Allah dapat dikategorikan sebagai kelaziman fitrah setiap manusia. Namun, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, sebagaimana dorongan fitrah dalam konteks penghambaan diri kepada Allah bukan termasuk dorongan berbasis kesadaran (syu'ûri), begitu pula dengan dorongan fitriah mengenal Tuhan. Keduanya bukanlah pengetahuan berbasis kesadaran, atau tidak dilambari kesadaran yang dibangun dari telaah rasional mengenai keberadaan Tuhan.(3) Di samping itu, patut diperhatikan pula bahwa pada setiap individu terdapat derajat pengenalan kepada Allah yang bersifat hudhûrî (presentasional) atau fithriyyah, walaupun itu sangatlah rendah. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan bila setiap orang meyakini adanya Tuhan hanya dengan merenung sejenak atau bernalar secara sederhana.
Selanjutnya, ia akan berusaha secara bertahap untuk meningkatkan dan memperkokoh pengenalannya kepada Tuhan hingga mata batinnya terbuka, atau bahkan mencapai derajat syu'ûriyyah (pengetahuan-
P: 257
sadar) Dengan penjelasan di atas, Muhamamd Taqi Mishbâh Yazdî berpendapat bahwa mengenal Tuhan secara fitriah bermakna bahwa hati seseorang dapat mengenal-Nya, dan dalam jiwanya tersimpan potensi pengenalan secara sadar, yang kemudian menguat secara berangsur- angsur. Akan tetapi, pada diri orang biasa, potensi-potensi fitriah semacam ini tidak begitu kuat disadari. Oleh karena itu, diperlukan argumentasi rasional. Artinya, selain potensi fitrah, mengenal Allah secara sadar membutuhkan kupasan rasional. (1) Menurut penulis, ini merupakan salah satu bukti inkonsistensi Muhamamd Taqi Mishbâh Yazdî. Di satu sisi, ia mengaku sangat rasionalis, namun di sisi lain masih saja menggunakan hati sebagai dasar andalan.
Dari metode pembahasan-pembahasan dalam karya-karyanya, dan karena konsistensinya pada pendekatan rasional murni yang membuatnya menghindari penggunaan kata kalam, Muhammad Taqi Misbah Yazdî merampingkan teologi (ushul al-din) menjadi dua bagian utama, yaitu mabda’(ketuhanan) dan ma'âd.
Dalam bagian mabda', Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memulai pembahasan dengan keberaadaan Tuhan sebagai wajib al-wujûd.
Ia bahkan tidak mendasarkan pembahasan pada wahdat al-wujûd, sebagaimana dalam ontologi. Tentu, teologi dalam struktur filsafat yang dibangunnya, merupakan cabang dari ontologi (al-ilâhiyât bi al- ma`nâ al-a`am). Meski pembahasan tentang keberadaan (wujûd) Tuhan merupakan satu kesatuan yang meniscayakan keesaan, Muhammad Taqi Misbah Yazdî tampak berusaha menjadikan pembahasan keesaan Tuhan sebagai tema kedua yang perlu dibahasnya dengan argumentasi yang agak mirip, karena bermuara kepada prinsip non kontradiksi dan hukum kausalitas yang dipastikannya sebagai induk semua premis (badîhîyât
P: 258
awwaliyyah).
Pada bagian pembahasan keesaan Tuhan, Muhammad Taqi Misbah Yazdî membaginya dalam tiga dimensi, yaitu keesaan dalam zat, keesaan dalam sifat-sifat, dan keesaan dalam perbuatan. Masing-masing tema dibahas secara mendetail dengan pendekatan rasional. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat aktual Tuhan (shifat fi’liyyah), ia memasukan tema “Kebijaksaan Tuhan”. Dari tema inilah, ia membahas rencana dan tujuan di balik penciptaan mausia dan alam yang berujung pada kesimpulan tentang keharusan rasional akan adanya aturan Tuhan.(1) Selanjutnya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî membahas berbagai asumsi, kemudian membuka pembahasan tentang keharusan rasional tentang tentang lembaga mediasi ilahi yang menjadi pewarta atur- anaturan Tuhan. Dengan demikian, ia memasukkan secara diam-diam pembahasan prinsip Keadilan Tuhan dengan tema tema di dalamnya dan nubuwwah, juga imamah yang merupakan suksesi dari nubuwwah.
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memberikan klarifikasi yang sangat komprehensif tentang kata Tauhid. Ini dilakukannya dengan tujuan agar tidak terjadi distorsi dan penyempitan dalam pemahaman. Klarifikasi ini juga menegaskan bahwa keberadaan dan keesaan Tuhan bukanlah dua tema yang terpisah. Menurut penulis, ia ingin menjelaskan bahwa meyakini keberadaan Tuhan yang esa dalam arti kesederhaan dan ketunggalan-berarti meyakini keesaannya, karena wujudnya adalah ketunggalan (al-wujûd'ain al-wahdah).
Pertama kali ia menguraikan arti tauhid secara leksikal. Kata tauhîd, menurutnya, berarti “menganggap sesuatu itu satu”. Menurut istilah kaum filsuf, teolog, ulama akhlak, dan ahli 'irfan, tauhid digunakan dalam arti yang beragam. Masing-masing arti terfokus pada keesaan Allah dari sisi tertentu. Terkadang keragaman itu dipandang sebagai ungkapan dari
P: 259
macam-macam tauhid atau tingkatan-tingkatannya.(1) Pertama adalah negasi terhadap keberbilangan. Istilah pertama yang umum dari tauhid adalah meyakini keesaan Allah, menafikan keberbilangan dari zat-Nya. Arti ini merupakan lawan dari syirik yang nyata, yaitu keyakinan pada dua tuhan atau lebih, dengan pengertian bahwa masing-masing tuhan itu memiliki wujud mandiri dan terpisah dari yang lain.
Kedua adalah negasi terhadap ketersusunan. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menyebutkan tauhîd fi al-basâthah, meyakini keesaan, basathah (kesederhanaan) di dalam Zat Allah, dan ketiadaan rangkapan pada zat-Nya dari bagian-bagian, baik secara aktual (bi al fi'l) maupun potensial (bi al-quwwah). Arti ini pada umumnya diungkapkan dalam bentuk shifât salbiyyah. Sebab, pikiran kita lebih akrab dengan konsep rangkapan dan sekaligus lawannya, yakni menafikan rangkapan, dari pada konsep basîth (sederhana).
Ketiga adalah negasi terhadap perbedaan sifat dari zat. Istilah ketiga berarti keyakinan bahwa sifat-sifat dzâtiyyah itu identik dengan zat Allah dan menafikan sifat-sifat yang berbeda dengan zat-Nya. Istilah ini dinamai dengan tauhîd fi al-shifât. Dalam riwayat disebutkan dengan ungkapan “menafikan sifat-sifat” sebagai lawan dari pandangan sebagian mazhab, seperti Asy'ariyyah, yang meyakini bahwa sifat-sifat Allah itu adalah berbeda dengan zat-Nya. Mereka meyakini al-qudama’ats-tsamâniyyah (delapan sifat pre-eternal). (2) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengargumentasikan tauhid fi al- shifât dengan beberapa asumsi. Pertama, seandainya masing-masing sifat Allah adalah realitas yang mandiri, persoalannya tidak keluar dari beberapa hal berikut ini: Pertama, kita mengasumsikan bahwa realitas sifat-sifat itu berada di dalam zat Allah. Asumsi semacam ini melazimkan tersusunnya zat Allah dari bagian-bagian. Padahal, sebelumnya telah kami jelaskan kemustahilan hal ini. Kedua, kita mengasumsikan bahwa realitas sifat Allah berada di luar zat-Nya. Di sini, kita bisa andaikan sifat
P: 260
ini ke dalam dua hal: ia sebagai wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd) yang tidak butuh kepada pencipta, atau sebagai wujud kontingen (mumkin al- wujûd) yang diciptakan oleh Allah.(1) Selanjutnya Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menjelaskan konskuensi dari dua asumsi di atas. Menurutnya, bila yang dipilih asumsi pertama, bahwa realitas sifat-sifat Allah adalah wujud niscaya-ada (wâjib al- wujûd), maka meniscayakan zat Allah berbilang; bila yang realitasnya diasumsikan sebagai wujud bergantung (mumkin al-wujûd), ini justru melazimkan bahwa zat Ilahi—dalam keadaan tidak memiliki sifat-sifat ini-menciptakan sifat-sifat tersebut kemudian Dia menyandang sifat- sifat yang dibuatnya itu.
Menurutnya, bila secara substansial zat Allah tidak memiliki sifat hayât (hidup), kemudian Dia menciptakan sesuatu maujud yang dinamakan hayât (hidup), setelah itu barulah Dia tersifati dengan sifat hayât ini. Begitu juga dengan sifat ilmu, kuasa dan lainnya. Padahal, mustahil apabila sebab pengada itu secara substansial tidak memiliki kesempurnaan yang ada pada makhluk-Nya. Lebih ganjil lagi, jika kita meyakini bahwa Pencipta itu memperoleh sifat hidup, ilmu, dan kuasa dari makhluk-makhluk-Nya, lalu Dia disifati dengan seluruh sifat kesempurnaan berkat makhluk-Nya tersebut. Selanjutnya, setelah menggugurkan asumsi-asumsi di atas, ia memastikan bahwa masing- masing sifat Ilahi itu bukanlah realitas yang mandiri dan terpisah dari zat-Nya. Pada hakikatnya, semua sifat itu merupakan konsep-konsep yang dicerap oleh akal dari satu realitas yang sederhana (basîth), yaitu zat Allah Yang Suci.
Keempat adalah tauhid dalam tindakan. Istilah keempat yang berkembang di kalangan filsuf dan teolog ini menyatakan bahwa Allah dalam segala tindakan-Nya tidak butuh kepada apa pun, dan tidak mungkin ada satu maujud pun yang memberikan bantuan kepada-Nya dalam segala tindakan-Nya. Tauhid ini dibuktikan melalui sifat khas, sebab pengada, yaitu qayyumiyyah, ketika dikaitkan dengan seluruh
P: 261
akibat-Nya. Yakni, akibat yang terwujud dari sebab seperti ini bergantung mutlak kepadanya. Dalam filsafat, akibat ini bermakna bahwa sejatinya ia (bukan zat yang bergantung, tetapi) relasi ketergantungan itu sendiri kepada sebabnya; ia tidak memiliki kemandirian sedikit pun.(1) Dengan kata lain, segenap yang dimiliki oleh akibat hanyalah anugerah dari Sebab Pengada (Allah), tunduk di bawah kekuasaan cipta dan kepemilikan-Nya yang hakiki. Adapun kekuasaan dan kepemilikan selain Allah adalah kepanjangan dari kekuasaan-Nya. Dua kekuasaan vertikal ini tidaklah berbenturan, layaknya kepemilikan harta yang bersifat konvensional yang diperoleh seorang budak melalui usaha.
Harta itu merupakan kepanjangan dari kepemilikan majikannya. Jika diri budak dan apa yang dimilikinya adalah milik majikannya, bagaimana mungkin Allah membutuhkan bantuan kepada selain-Nya yang seluruh wujud dan urusannya bergantung kepada-Nya.
Kelima adalah Sebab Mandiri. Istilah tauhid yang kelima ini berarti kemandirian dalam memberi pengaruh, yakni bahwa seluruh makhluk dalam segala tindakannya tidak mungkin tidak butuh kepada Allah, bahwa segala bentuk interaksi pengaruh di antara makhluk berlangsung hanya karena izin Allah dan di bawah kekuasaan yang dianugerahkan kepada mereka. (2) Pada hakikatnya, zat yang kuasa—secara mandiri dan tanpa butuh kepada selainnya—memberi pengaruh pada sesuatu dan dalam setiap kondisi hanyalah Allah Yang Mahasuci. Adapun seluruh tindakan dan pengaruh selain Allah adalah perpanjangan dari tindakan dan pengaruh-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya. (3)
P: 262
Konsekuensi pertama dari tauhid tindakan ialah bahwa manusia hendaknya tidak memandang siapa pun dan apa pun yang berhak disembah selain Allah SWT. Seperti yang telah diisyaratkan sebelumnya bahwa apa pun selain Pencipta dan Pengatur makhluk tidak berhak disembah, yakni bahwa ulûhiyyah berkaitan erat dengan khâliqiyyah dan rubûbiyyah Konsekuensi kedua dari tauhid dengan makna terakhir ialah bahwa manusia, dalam segala keadaannya, harus bersandar dan bertawakal kepada Allah, serta memohon pertolongan kepada-Nya dalam segala upaya. Hendaknya ia tidak meminta bantuan kecuali kepada-Nya, tidak mengharap atau merasa cemas kecuali kepada-Nya dan dengan-Nya; sehingga seandainya sebab-sebab yang biasa tidak memenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka ia tidak mengalami rasa putus asa dan kecewa, karena Allah mampu memenuhi kebutuhannya melalui jalur-jalur dan sebab-sebab yang tidak biasa.
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mula-mula memperkenalkan dua macam pola pembuktian dalam teologi, burhân limmî (argumen kausal), pola pembuktian dari sebab ke akibat-akibatnya; dan burhân innî (argumen efektual), pola pembuktian dari akibat ke sebabnya. Burhân innî bermacam dua: Pertama, argumentasi efektual bermuatan terma medium yang berperan sebagai akibat dari terma mayor, bukan sebab. Contoh:
‘Besi ini memuai”, “Setiap besi memuai pasti suhu panasnya naik”.
Penggunaan ‘memuai untuk pembuktian naiknya suhu panas adalah argumentasi dengan efek atau akibat. Dengan kata lain, pengetahuan akan adanya akibat menjadi sebab bagi pengetahuan akan adanya sebab.
Dalam bagian ini, akibat (ma'lûl) berperan sebagai sebab dan media bagi
P: 263
pembuktian (wâsithah fi al-itsbât) atau sebagai sebab bagi pengetahuan tentang adanya sebab.
Kedua, argumentasi efektual, yaitu yang memuat terma medium dan terma mayor yang berperan sekaligus sebagai akibat dari satu sebab, sehingga keduanya saling memastikan ke-ada-an. Dengan kata lain, dalam bagian kedua argumentasi efektual ini, terma medium (hadd aw sath) dalam terma minor menjadi sebab dan media bagi pemastian ke-ada-an terma mayor dalam terma minor, sehinga masing-masing memastikan ke-ada-an lainnya.(1) Burhân limmî, sebagai telah diketahui, adalah argumen yang memuat terma medium sebagai sebab bagi berlakunya terma mayor atas terma minor atau sebagai sebab bagi konklusi. Ia bermacam dua: Pertama, argumen kausal yang terma mediumnya berperan sebagai sebab bagi ke-ada-an terma mayor secara mutlak; baik berada dalam terma minor maupun tidak berada di dalamnya. Karena itulah, terma medium menjadi sebab bagi keberlakuan terma mayor dalam terma minor, dengan asumsi bahwa predikat (mahmûl) dalam premis konklusi, yaitu terma mayor, hanya ada dalam subjek (maudhû')-nya, yaitu terma minor, dan bahwa ia tidak memiliki ke-ada-an yang mandiri terlepas dari ke-ada-an subjeknya, seperti contoh naiknya panas sebagi sebab bagi memuainya besi. Inilah yang disebut argumen kausal mutlak (burhân limmî muthlaq). Kedua, argumen kausal yang terma mediumnya tidak berperan sebagai sebab bagi ke-ada-an terma mayor secara mutlak. Ia hanya berperan sebagai sebab bagi ke-ada-an terma mayor (ketida berada dalam terma minor, dan tidak berperan sebagai sebab bagi ke-ada-an terma mayor itu secara mutlak. Inilah yang disebut dengan argumen kausal terbatas (burhân
P: 264
limmî ghair muthlaq).
Dengan kata lain, terma medium dalam argumen kausal hanyalah berperan sebagai sebab bagi ke-ada-an terma mayor dalam terma minor dalam tiga kondisi sebagai berikut:
Pertama, ketika terma medium menjadi sebab bagi ke-ada-an terma mayor itu sendiri, sebagaimana dalam argumen kausal mutlak, seperti dalam kayu ini api bergerak”, “setiap kayu yang di dalamnya api sedang bergerak pasti bersentuhan dengan api’. Ke-ada-an api adalah terma mayor (hadd akbar), dan gerak api adalah terma medium, dan gerak menjadi sebab bagi ke-ada-an api dalam kayu, namun ia bukanlah sebab bagi ke-ada-an api itu secara mutlak, bahkan sebaliknya, gerak api adalah akibat bagi natur dan kararkteristik api.
Kedua, ketika terma medium menjadi akibat bagi terma minor, seperti “Siku-siku setiap segitiga sama dengan dua garis tegak”, “Setiap sesuatu yang sama dengan dua garis tegak (adalah) sama dengan setengah siku persegi. Terma medium (sama dengan dua garis tegak) adalah akibat dari terma minor (siku-siku segitiga), yang sekaligus merupakan sebab bagi ke-ada-an (keberlakuan) terma mayor (setengah siku-siku persegi) dalam terma minor (siku-siku segitiga).
Ketiga, ketika terma medium tidak menjadi akibat dari terma minor dan terma mayor, seperti 'Hewan ini adalah gagak”, “setiap gagak berwarna hitam’ ‘Gagak' yang merupakan terma medium bukan akibat dari terma minor dan terma mayor, karena bukan semua hewan adalah gagak, dan bukan semua berwarna hitam' adalah gagak. (1) Para filsuf Sadraisme berselisih pendapat tentang manakah yang meniscayakan keyakinan; burhan limmi ataukah burhan inni. Polemik seputar dua metode pembuktian ini cukup panjang dan hangat hingga sekarang. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dan Jawadi Âmulî, misalnya, bersepakat bahwa argumentasi dalam fisafat bertumpu pada burhân limmî (argumen afektual) dan burhân innî muthlaq (argumen kausal yang umum). Sedangkan Thabâthabâ’i, guru mereka berdua, hanya menerima
P: 265
burhân limmî dalam pembuktian rasional.(1) Para filsuf membagi argumen-argumen menjadi beberapa bagian.
Pertama adalah argumen-argumen yang terdiri atas rangkaian padu elemen subjek pembukti, elemen cara pembuktian dan elemen tujuan pembuktian menjadi satu. Kedua adalah pembuktian yang hanya terdiri atas rangkaian padu dua elemen; pelaku pembuktian dan cara pembuktian, sedangkan elemen tujuan pembuktian terpisah. Ketiga adalah pembuktian yang terdiri atas rangkaian padu elemen cara pembuktian dan tujuan pembuktian. Argumen ‘ketidakpastian' (burhân imkân), argumen ‘kebermulaan' (burhân huduts), argumen ‘gerak’ (burhân harakah), dan argumen ‘keteraturan' (burhân nadhm, burhân nizhâm) termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu. Argumenketidakpastian' (burhân imkân), argumen kebermulaan (burhân hudûts), argumen ‘gerak' (burhân harakah), dan argumen keteraturan' (burhân nazhm) termasuk dalam kategori pembuktian bagian pertama, karena di dalam empat argumen tersebut, tiga elemen pembuktian bersatu.
Salah cara pembuktian atas keberadaan Tuhan adalah 'pengetahuan akan jiwa’, yaitu bahwa manusia dengan pengembaran subjektif dan perenungan dalam diri, melalui pengetahuan hushûlî, akan dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Dalam pembuktian demikian, cara pembuktian dan pelaku pembuktian menjadi satu, sedangkan tujuan pembuktian terpisah. Mullâ Sadrâ menganggap argumen “ash-shiqqin’ sebagai argumen bagian ketiga. Menurutnya, inilah argumen yang paling mulia dan kokoh.(2) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengutip pendapat sejumlah filsuf, seperti Ibn Sina dalam al-Ta lîqât, yang menolak pembuktian keberadaan Tuhan. Menurutnya, ke-ada-an Tuhan hanya bisa dibuktikan dari diri- Nya sendiri. Dengan kata lain, menurut Ibn Sina, keberadaan Tuhan
P: 266
tidak dapat diketahui secara hushûlî).(1) Namun, pendapat ini dibantah oleh banyak filsuf dengan sejumlah argumen dan justifikasi. Salah satu justifikasi menyimpulkan bahwa, boleh jadi, yang dimaksud tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan dengan data hushûlî adalah bahwa zat Tuhan (wujûd ainî) Tuhan tidak dapat dibuktikan secara hushûlî. (2)
Selanjutnya Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membagi Tauhid dalam tiga dimensi. Dimensi pertama adalah tauhîd fi al-dzât. Ia terdiri atas dua prinsip. Pertama, prinsip bahwa Dzat Tuhan adalah sederhana (homogen), tidak terdiri atas bagian-bagian. Kedua, prinsip bahwa Tuhan tidak berbilang. Artinya, keesaan Tuhan meliputi kesederhaan dzat-Nya (wahdat al-basathah) dan ketunggalan atau ketakaterbilangan (wahdah ‘adadiyyah). Ketidaktersusunan Tuhan telah diterangkan pada bagian sebelumnya. Sedangkan bukti-bukti ketidak-berbilangan Tuhan adalah sebagai berikut:
Pertama, keterbilangan meniscayakan ketersusunan. Seandainya ada sesuatu yang wajib (pasti ada dengan sendirinya), maka niscaya kedua entitas wajib tersebut berlainan. Seandainya masing-masing yang sama-sama wajib itu memiliki ciri khas, maka berarti masing-masing terdiri dari dua unsur; unsur persamaan (sama-sama wajib), dan unsur perbedaan karena masing-masing berjumlah dua.
Kedua, eksistensi tak terhingga tidak berbilang. Sesuatu yang pasti ada dengan sendirinya tentu tidak berhingga, karena keterbatasan (keberhinggaan) wujud meniscayakan ketiadaan (kekosongan). Atas dasar inilah, zat (substansi) Tuhan tidak dapat diasumsikan sebagai wujud yang terbatas.
Ketiga, wujud yang murni tidak berbilang. Sesuatu yang wajib ada dengan sendirinya tidak mempunyai esensi (quiditas, mâhiyyah), karena setiap realitas yang bebas campuran (aksiden, genus, predikat, difrentia)
P: 267
bertentangan dengan dualitas dan pluralitas.
Adapun sifat-sifat Allah yang disebutkan dalam karya-karya filsafat dan teologi Islam amatlah terbatas. Dalam pada itu, sifat-sifat tersebut dapat diklasifikasi sebagai dzâtiyyah (sifat zat) dan fi’liyyah (sifat laku).(1) Sifat-sifat yang dinisbatkan (disandangkan) pada Tuhan bermacam dua:
sifat-sifat substansial atau inhern(shifât dzâtiyyah), dan sifat-sifat aksional (shifât fi liyyah). Sifat-siftat inheren (dzâtiyyah) adalah konsep-konsep yang ditarik atau diserap dari zat Tuhan sebagai salah satu dari macam- macam kesempurnaan, seperti hidup, mengetahui, dan berkuasa. Para teolog dalam memperlakukan sifat-sifat substansial (shifât dzâtiyyah) Tuhan terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menganggap sifat-sifat Tuhan inhern dengan DzatNya. Kelompok kedua meyakini sifat-sifat Tuhan sebagai wujud lain yang disandangNya.(2) Muhammad Taqî Misbâh Yazdî dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa sebagian besar argumen filsufis tersebut digunakan untuk mengafirmasi zat yang dikenal sebagai wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd). Jika argumen itu ditambahkan dengan argumen-argumen lain, maka akan dapat ditentukan sifat-sifat salbiyyah (negatif) dan sifat-sifat tsubûtiyyah (afirmatif) pada wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd).(3) Melalui semua argumen itu, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, manusia dapat mengenal Allah dengan segala sifat-Nya yang khas, yang membedakan Zat-Nya dari segenap makhluk-Nya. Jika tidak demikian, maka sekadar menetapkan bahwa Allah itu wujud niscaya-ada (wajib al- wujûd), tidaklah memadai untuk mengenal Allah sebagaimana mestinya.
Karena, sangat mungkin sebagian orang mempunyai keyakinan bahwa materi atau energi, misalnya, merupakan mishdâq dari konsep wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd).
Dari sinilah pentingnya menetapkan sifat-sifat salbiyyah kepada Allah, supaya dapat diketahui bahwa wujud niscaya-ada itu suci dari sifat-sifat yang khas pada makhluk-makhluk-Nya, yang tidak mungkin
P: 268
diterapkan pada Zat-Nya.(1) Di sisi lain, harus pula ditetapkan sifat-sifat tsubûtiyyah pada Zat Allah, agar menjadi jelas bahwa Dialah yang layak disembah, sekaligus agar terbuka peluang untuk menetapkan semua keyakinan lainnya, seperti kenabian dan hari kebangkitan, berikut segenap detailnya.
Seperti telah diungkapkan pada argumen di atas, Muhammad Taqi Misbah Yazdî berpendapat bahwa wujud niscaya-ada (wâjib al- wujûd) tidak membutuhkan penyebab (untuk ada). Lebih dari itu, justru Dialah penyebab semua keberadaan yang mungkin meng-ada. Dengan demikian, hal ini telah menetapkan dua sifat bagi wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd). Pertama, wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd) tidak membutuhkan selain-Nya. Sebab, jika ia butuh pada yang lain, sekecil apa pun, niscaya sesuatu yang lain akan menjadi penyebab bagi-Nya.
Kedua, semua wujud yang mungkin (mumkin al-wujûd) merupakan akibat dan membutuhkan penyebab. Jadi, wujud niscaya-ada (wajib al- wujûd) merupakan penyebab utama bagi kemunculan dan keberadaan segala yang mungkin meng-ada itu.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, terdapat konsekuensi yang masing-masing berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Ini akan membuktikan adanya sifat-sifat negatif dan sifat-sifat afirmatif bagi wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd).(2) Sifat lainnya yang merupakan kemestian wujud niscaya-ada (wajib al- wujûd) adalah basatah (sederhana dan tidak berkomposisi). Setiap yang berkomposisi niscaya membutuhkan elemen-elemen atau bagian-bagian, sedangkan wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd) terbebas dari segala kebutuhan. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengatakan bahwa apabila diasumsikan wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd) itu tersusun, tetapi bagian-bagiannya tidak ada secara fi'li (aktual) dan akan muncul secara bi al-quwwah (potensial)layaknya sebuah garis yang diasumsikan terbelah dua-maka asumsi ini jelas-jelas keliru dan absurd. Karena, sesuatu yang mempunyai bagian-bagian secara bi al-quwwah dapat
P: 269
dibagi secara rasional, walaupun secara fi'li(aktual) belum menjadi wujud eksternal. Asumsi bahwa ia dapat dibagi ialah bahwa secara keseluruhan, ia bisa sirna, seperti garis yang panjangnya satu meter. Apabila garis itu dibagi dua, garis yang panjangnya satu meter tersebut tidak akan ada lagi. Seperti telah diketahui sebelumnya, wujud niscaya-ada (wâjib al- wujûd) tidak mungkin mengalami kefanaan dan kesirnaan.
Mengingat komposisi dari bagian-bagian bi al-fi'li (aktual) dan bi al- quwwah(potensial) termasuk karakterjism(benda), maka dapat ditetapkan bahwa setiap benda tidak mungkin merupakan wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd). Dengan demikian, dapat sekaligus ditetapkan tajarrud (non- materialitas) Tuhan. Menjadi jelas pula bahwa Tuhan tidak mungkin dicandra oleh mata kepala fisik, bahkan mustahil dijangkau alat indra apa pun. Sebab, setiap hal yang dapat dijangkau alat indra merupakan sifat khas benda dan materi.
Demikian pula dengan penegasian ihwal kebendaan dari Zat Allah yang akan menegasi semua sifat khusus bendawi dari wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd), seperti kebutuhan pada ruang dan waktu. Ini mengingat "ruang” sebagai kategori realitas memiliki bentuk dan meliputi dimensi lebar, tinggi, dan panjang. Begitu pula dengan segala sesuatu yang “mewaktu”, yang dapat dikategorikan sebagai ekstensi (perpanjangan atau perluasan) dan durasi (detik, menit, jam, dan seterusnya). Kedua hal ini merupakan elemen-elemen potensial (bi al-quwwah) pada semua benda.
Dengan demikian, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, sama sekali mustahil menggambarkan Allah sebagai Zat yang “meruang” dan “mewaktu”. Begitu pula, segala sesuatu yang meruang dan mewaktu bukanlah wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd). Kemudian, dengan dinegasinya waktu dari wujud niscaya-ada (wâjib al-wujûd), ternegasi pula gerak, perubahan, dan penyempurnaan zat. Karena, setiap gerak atau perubahan apa pun tidak mungkin terwujud tanpa adanya ruang dan waktu.
Oleh karena itu, setiap orang yang meyakini bahwa Allah berada
P: 270
di satu tempat seperti 'arasy atau menisbatkan-Nya gerak dan turun dari langit, atau meyakini-Nya dapat dicandra dengan mata fisik, atau mengalami perubahan dan peningkatan, bisa dipastikan tidak mengenal Allah sebagaimana ada-Nya. Secara umum, setiap makna dan konsep yang menunjukkan kekurangan, keterbatasan, dan kebutuhan, dengan sendirinya tidak mungkin diatributkan pada zat Allah. Inilah makna sifat salbiyyah ilâhiyyah (sifat negatif bagi Allah).(1) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî berpendapat bahwa sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran mental) yang dicerap rasio berdasarkan telaahannya terhadap zat Allah; seraya menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakupi berbagai kesempurnaan, seperti sifat hidup (al-hayah), ilmu (`ilm), kuasa (qudrah), dan lainnya. Atau, adakalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang dicerap akal dari hasil cermatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, seperti penciptaan (al-khâliqiyyah) dan pemberian rezeki (râziqiyyah). Kelompok pertama disebut sifat- sifat zat (dzâtiyyah), dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat perbuatan (fi’liyyah).(2) Perbedaan mendasar antara kedua sifat tersebut adalah bahwa sifat- sifat dalam kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi zat Ilahi. Adapun sifat-sifat dalam kelompok kedua merupakan relasi (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Dalam hal ini, zat Allah dan zat makhluk-Nya memiliki pertautan, misalnya, dari segi khâliqiyyah.
Sifat ini merupakan konstruksi intelektual yang menghasilkan konsep hubungan antara makhluk-makhluk-Nya dengan zat Allah. Dalam hal ini, seolah-olah Allah dan seluruh makhluk memiliki posisi masing-masing pada sisi relasi tersebut. Akan tetapi, kenyataannya, tidak terdapat apapun selain zat Allah yang suci dan zat-zat makhluk-Nya. Artinya, khâliqiyyah bukanlah keberadaan yang nyata.
Jelas, pada level zat, Allah memiliki sifat qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzâtiyyah. Adapun
P: 271
khalq (penciptaan) merupakan mafhûm idhâfi (konsep relasional) yang diperoleh pada level tindakan Allah. Oleh karena itu, khâliq (pencipta) termasuk sifat perbuatan (fi liyyah). Lain hal jika kita menafsirkan khâliq dengan al-qâdir ‘alâ al-khalq (kuasa untuk mencipta); dalam padanya, itu kembali pada sifat dzâtiyyah, yakni qudrah.
Sifat-sifat dzâtiyyah Allah yang penting ialah hầyah (hidup), al- ‘ilm (tahu), dan qudrah (kuasa). Adapun bila sifat mendengar (samî') dan melihat (bashîr) ditafsirkan bahwa Allah mengetahui apa saja yang didengar dan dilihat, atau kuasa mendengar dan melihat, maka keduanya menginduk pada al-'alim dan al-qadir (Mahatahu dan Mahakuasa).
Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan (fi'li) yang dicerap akal dari hubungan Zat yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka keduanya harus dikategorikan sebagai sifat perbuatan (fi liyyah). Inilah yang diistilahkan sebagai 'ilm fi lî.(1) Sebagian teolog menggolongkan sifat “berkata-kata” (al-kalâm) dan “berkehendak” (irâdah) ke dalam sifat dzâtiyyah.
Menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, cara paling mudah untuk menetapkan sifat hayâh, qudrah, dan ‘ilm pada Allah adalah bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, maka itu merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya, sifat- sifat itu pun terdapat pada Sebab-Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna.(2) Hal itu karena setiap kesempurnaan yang eksis pada makhluk manapun bersumber dari Sebab-Pengada, yaitu Allah. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat tersebut sehingga mampu menganugerahkannya kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, mustahil suatu zat menjadi Pencipta kehidupan, sementara Dia Sendiri tidak memilikinya; atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah.
Jelas, setiap hal yang tidak memiliki sesuatu tidak akan mampu
P: 272
memberikan sesuatu kepada selainnya (fâqidu al-syai’lâ yu’thihî). (1) Oleh karena itu, menurutnya, adanya sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas adanya sifat-sifat tersebut pada khâliq (pencipta), tanpa diiringi kekurangan atau keterbatasan.
Artinya, Allah memiliki sifat hidup, ilmu, dan kuasa secara absolut dan tidak terbatas. Berdasarkan itulah, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.(2) Sifat dzâtiyyah pertama adalah hidup (hayât) yang pertama umumnya digunakan untuk dua kelompok makhluk. Kelompok pertama terdiri dari tumbuhan yang punya potensi untuk tumbuh dan berkembang. Kelompok kedua terdiri dari hewan dan manusia yang punya perasaan dan kehendak.
Akan tetapi, makna pertama dari pengertian hidup meniscayakan kekurangan dan kebutuhan. Karena kodrat tumbuh dan berkembang pada tumbuhan melazimkan sesuatu yang tumbuh, yang pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan. Akan tetapi, terdapat sebagian faktor dan efek eksternal yang menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan sehingga tercapailah kesempurnaan paripurna secara berangsur-angsur.
Kelaziman ini mustahil dinisbatkan kepada Allah-sebagaimana telah dibahas pada tema sifat-sifat salbiyyah (negatif).
Adapun makna kedua dari hidup adalah pengertiannya yang sempurna (tidak melazimkan kekurangan dan kebutuhan), walaupun pada sebagian keberadaan yang mungkin meng-ada (mumkin al-wûjud), [makna ini] diliputi sejumlah kekurangan dan keterbatasan. Meski begitu, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, kita dapat memahami makna hidup ini secara tak terbatas dan tak berkekurangan, murni dari batasan ataupun kebutuhan, sebagaimana makna w ujûd dan kamâl.(3) Sifat hidup yang meniscayakan pengetahuan dan pelaku yang berkehendak termasuk kelaziman wujud non-materi. Meskipun dinisbatkan kepada makhluk-makhluk hidup fisik, sebenarnya sifat hidup
P: 273
ini merupakan sifat bagi ruhnya, bukan tubuh fisiknya. Tubuh disifati hidup karena mempunyai hubungan yang erat dengan ruh. Dengan kata lain, sebagaimana imtidâd (ekstensi) merupakan keniscayaan wujud material—yang diistilahkan Rene Descartes sebagai res-extensa, demikian pula hidup yang merupakan keniscayaan wujud mujarrad (abstrak). (1) Dari sini, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, terbetik argumen lain seputar sifat hidup Allah, yaitu bahwa Allah yang Suci bersifat non materi dan tak berbentuk. Juga, bahwa setiap yang non material memiliki sifat hidup (hayat) secara substansial (dzâtî). Dengan demikian, Allah memiliki sifat hidup secara substansial. (2) Sifat dzâtiyyah kedua adalah “tahu” ('ilm) merupakan konsep yang paling jelas dan gamblang. Akan tetapi, bila diterapkan pada makhluk-makhluk-Nya, objek (eksternal maupun mental) yang koheren (mishdâq) dengan konsep tersebut sangatlah kurang dan terbatas. Sifat tahu seperti itu, yang merupakan atribut makhluk, mustahil berlaku bagi Allah. Namun, rasio mampu menggambarkan objek (eksternal maupun mental) yang koheren dengan konsep tersebut secara murni dan terbebas dari kekurangan dan keterbatasan. Maksudnya, “tahu” identik belaka dengan zat yang mengetahui itu sendiri. Inilah ‘ilm dzâtî (pengetahuan substansial) Allah.(3) Untuk membuktikan sifat tahu Allah, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, kita dapat menggunakan beberapa cara. Pertama, cara yang digunakan untuk menetapkan seluruh sifat-sifat dzâtiyyah bagi- Nya. Artinya, mengingat “tahu” terdapat pada makhluk-makhluk Allah, sudah pasti sifat itu juga ada pada-Nya dalam intensitas yang lebih mulia dan sempurna.
Kedua, menggunakan dalil keteraturan (argument of design). Dalil ini mengatakan bahwa setiap fenomena atau makhluk yang memiliki keteraturan atau keutuhan lebih banyak, dengan sendirinya memantulkan
P: 274
pengetahuan penciptanya. Ini sebagaimana karya ilmiah atau larik puisi yang indah, atau detail sebuah karya seni, yang menunjukkan sejauhmana penciptanya memiliki pengetahuan, cita-rasa, dan pengalaman. Mustahil orang yang berakal sehat akan menganggap sebuah buku ilmiah atau karya filsafat ditulis orang bodoh dan tidak berpendidikan. Oleh karena itu, bagaimana mungkin alam semesta beserta isinya yang sarat misteri dan keunikan ini diciptakan Zat yang tidak tahu apa-apa.
Ketiga, menggunakan premis-premis filsafat teoritis yang ghairu badîhîyyah (memerlukan pembuktian). Misalnya, kaidah filsafat yang berbunyi “setiap maujud non materi yang mandiri itu tahu”—sebagaimana dibuktikan dalam buku-buku yang khusus mengupas masalah ini.(1) Alhasil, perhatian seseorang terhadap pengetahuan Tuhan mempunyai peranan yang sangat besar dalam membangun kepribadiannya. Oleh karena itu, al-Qur'an seringkali menekankan hal ini. Di antara ayat- ayat suci yang menyinggung masalah itu adalah: Dia itu mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
(QS al-Mu'minun: 19).(2) Sifat dzâtiyyah ketiga adalah “kuasa” (al-qudrah). Muhammad Taqi Misbah Yazdî mengatakan bahwa setiap individu yang bertindak sesuai kehendak dan pilihannya diandaikan memiliki kemampuan atas tindakan tersebut. Dengan demikian, kuasa adalah kekuatan dan modal bagi individu yang memiliki pilihan untuk melakukan tindakan yang mungkin. Semakin intensif kesempurnaan individu dari segi derajat wujudnya, semakin banyak pula dirinya mempunyai kekuasaan dan kemampuan.(3) Maka dari itu, sudah pasti substansi yang mempunyai kesempurnaan tak terbatas akan memiliki kekuasaan dan kemampuan tak terbatas pula. Allah berfirman: Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.(QS al-Baqarah: 20).
P: 275
Sehubungan dengannya, perlu ditekankan beberapa poin berikut.
Pertama, setiap tindakan yang terkait dengan kuasa harus bersifat mumkin tahaqquq (mungkin terealisasi). Karenanya, sesuatu yang secara substansial tidak mungkin (mumtani”) terwujud, atau meniscayakan kemustahilan, tidak memiliki relasi apa pun dengan kuasa. (1) Ungkapan bahwa Tuhan Mahakuasa atas segala tindakan, bukan berarti Dia mampu menciptakan Tuhan selain-Nya, karena Dia adalah Tuhan yang bermakna zat yang tidak diciptakan, juga bukan berarti Dia mampu menjadikan angka 2 (dua) sebagai angka 2 (dua) lebih besar dari angka 3 (tiga); atau Dia menciptakan anak sebagai anak sebelum menciptakan bapaknya. (2) Kedua, kuasa atas segala tindakan tidak otomatis mengharuskan zat yang berkuasa melakukan segala tindakan yang sanggup dilakukan.(3) Akan tetapi, ia hanya melakukan tindakan yang selaras dengan kehendak- Nya. Allah yang Mahabijak tidak menghendaki kecuali tindakan-tindakan yang bajik dan bijak. Dia tidak akan pernah merealisasikan tindakan- tindakan yang tidak bajik dan tidak bijak, meskipun Dia Mahakuasa dan mampu melakukan tindakan yang buruk dan mungkar. Persoalan ini biasanya diulas lebih jauh dalam pelajaran hikmah ilâhiyyah (teosofi).
Ketiga, kuasa juga mengandung ikhtiyâr (kebebasan). Di samping memiliki derajat kekuasaan dan kemampuan paling tinggi, Tuhan juga punya ikhtiyâr paling puncak dan paripurna. Mustahil terdapat faktor apa pun yang memaksa-Nya melakukan suatu tindakan atau mencabut ikhtiyâr dari-Nya. Justru wujud dan kemampuan segala sesuatu bersumber dari-Nya. Oleh karena itu, mustahil Dia dipaksa dan dikalahkan berbagai kekuatan dan kekuasaan yang justru Dia berikan kepada makhluk- makhluk-Nya.(4) Adapun sifat-sifat fi liyyah dalam konsepsi Muhammad Taqi Misbah Yazdî merupakan konsep-konsep mental yang dikonstruksi nalar dari hasil perbandingan antara zat Allah dan makhluk-makhluk-Nya, dengan
P: 276
cara mengamati relasi tertentu di antara keduanya. Dalam pada itu, khâliq dan makhluk-Nya merupakan dua posisi yang terhubung satu sama lain:
seperti konsep al-khaliqiyyah yang dikonstruksi nalar setelah mengamati relasi wujud makhluk dengan Tuhan. (1) Apabila hubungan keduanya tidak diamati, konsep semacam itu mustahil dibayangkan.
Relasi-relasi yang mungkin antara Allah dan makhluk-Nya itu tidak terbatas. Akan tetapi, secara umum dan dari satu sisi, relasi-relasi dimaksud dapat diklasifikasi dalam dua kategori. Pertama, relasi khâliq dan makhluk-Nya dapat dipahami melalui pengamatan secara langsung, seperti îjâd (mewujudkan), khalq (menciptakan), ibdâ' (mengadakan), dan sejenisnya.
Kedua, relasi-relasi yang dipahami setelah lebih dulu mempersepsi relasi-relasi lain, seperti rezeki. Karena, sejak awal sudah harus diasumsikan adanya relasi antara pemberi rezeki dan penerimanya.
Setelah itu, baru dapat dipahami ihwal limpahan rahmat Allah kepada ciptaan-Nya, sehingga dengan begitu terajutlah konsep râziq (pemberi rezeki) dan razzâq (maha pemberi rezeki).(2) Bahkan, menurutnya, adakalanya berbagai relasi antara satu makhluk dengan makhluk lainnya dapat dikonsepsikan lebih dulu, sebelum sifat fi'liyyah Tuhan dipahami, dan pada gilirannya, semua itu dikorelasikan dengan Tuhan.(3) Di samping itu, terdapat pula konsepsi yang muncul dari sejumlah relasi sebelumnya antara Tuhan dan makhluk, seperti konsep maghfirah yang bersumber dari doktrin rubûbiyyah tasyrî'iyyah ilâhiyyah (pengaturan syariat ilahi), penentuan Allah terhadap hukum-hukum syariat, dan penyimpangan hamba darinya. Dengan demikian, untuk memahami sifat-sifat fi'liyyah, harus dilakukan upaya perbandingan antara Tuhan dan makhluk-makhluk-Nya, yang darinya akan dipahami adanya relasi antara zat pencipta dan yang dicipta. Dengan cara ini, konsep idhâfi (relasional) dari relasi tersebut akan muncul dengan sendirinya. Oleh karena itu, zat Tuhan yang suci tidak dapat dijadikan
P: 277
objek (eksternal maupun mental) yang koheren (mishdâq) dengan sifat- sifat fi’liyyah secara mandiri, tanpa mengamati relasi tersebut. Inilah perbedaan utama antara sifat-sifat dzatiyyah dan sifat-sifat fi’liyyah.
Selain itu, sifat-sifat fi’liyyah juga dapat dicermati dari konteks asal- usulnya. Dalam hal ini, sifat-sifat fi’liyyah akan bermuara pada sifat-sifat dzâtiyyah, sebagaimana khâliq (pencipta) dan khallâq (Mahapencipta).
Apabila sifat ini ditafsirkan dengan qadîr (Mahakuasa) atas makhluknya, maka itu berasal dari sifat qâdir (Mahakuasa). Atau, sifat samî (Mahamendengar) dan sifat bashîr (Mahamelihat), yang bila ditafsirkan dengan mengetahui (al-'âlim) atas hal-hal yang mungkin didengar dan dilihat, maka itu sesungguhnya berasal dari sifat al-'âlim (Mahatahu).
Terdapat pula sejumlah konsep yang dapat dikategorikan oleh Muhammad Taqi Misbâh Yazdî sebagai sifat-sifat dzâtiyyah, namun pada saat bersamaan, dijumpai pada dirinya makna idhâfi (relasional) dan makna fi'li (aksional). Oleh karenanya, menurutnya, semua sifat itu dapat diperlakukan sebagai sifat-sifat fi liyyah, seperti konsep `ilm (tahu) yang digunakan al-Qur'an dalam sejumlah ayatnya, dengan makna relasional. (1) Satu hal yang perlu dicatat bahwa bila penjelasan Muhammad Taqi Misbâh Yazdî di atas diperhatikan secara seksama, ditemukan relasi yang seolah-olah bersifat langsung antara Tuhan dan hal-hal material, sehingga darinya muncullah pemahaman tentang sifat fi'liyyah tertentu pada zat Tuhan. Tentu, sifat ini bersifat spasio-temporal (dibatasi ruang-waktu), berdasarkan aspek keterpautannya dengan maujud-maujud material (yang tunduk pada aturan-aturan ruang-waktu) yang menempati salah satu posisi dari bentangan relasi tersebut. Kendati demikian, bila ditinjau dari aspek keterkaitannya dengan Tuhan yang “menempati posisi yang lain” dari bentangan relasi tersebut, sifat ini terbebas dari batasan apa pun.
Misalnya, Tuhan hanya mungkin memberi rezeki kepada seseorang pada ruang dan waktu tertentu. Pada hakikatnya, batasan ruang dan waktu ini berkaitan dengan si penerima rezeki, bukan Tuhan, Sang Pemberi rezeki,
P: 278
karena Dia Mahasuci dari atribut ruang dan waktu.
Catatan ini menjadi kunci penyelesaian terhadap berbagai kekaburan yang berkaitan dengan upaya mengenal sifat-sifat dan tindakan Tuhan, yang pada masa sebelumnya telah menyulut kontroversi dan polemik berkepanjangan di kalangan ulama dan cendekiawan.
Muhammad Taqi Misbâh Yazdî selanjutnya menjelaskan bahwa wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd) merupakan penyebab keberadaan makhluk-Nya. Setiap penyebab, berdasarkan makna generiknya, dapat diterapkan pada setiap eksistensi yang menjadi locus bergantungnya eksistensi lain. Menurut pengertian ini, penyebab mencakup syarat-syarat dan sebab-penyiap ('illah mu`iddah). Penyebab semacam ini jelas tidak berlaku bagi Allah. Tidak adanya penyebab bagi Allah bermakna bahwa Dia tidak memiliki ketergantungan apa pun pada keberadaan yang lain.
Dengan demikian, mustahil dikatakan bahwa Allah mempunyai syarat dan pengada (bagi wujud-Nya).(1) Adapun makna “Allah sebagai penyebab seluruh keberadaan” adalah bahwa sebagai pencipta dan pengada, Dia merupakan makna khusus dari ‘illah fa iliyyah (sebab-pelaku, efficient cause). Untuk menjelaskan poin ini, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, terlebih dahulu harus diketahui secara global beragam penyebab. (2) Telah diketahui bahwa secara pasti tumbuhnya tanaman di permukaan tanah disebabkan adanya bibit, tanah yang subur, air, dan udara. Namun, di samping itu, harus terdapat pula faktor-faktor lain, baik yang bersifat alamiah maupun insaniah, yang menebarkan bibit-bibit tersebut di atas tanah dan menyiramkan air kepadanya. Berdasarkan itu, semua faktor yang disebutkan di atas merupakan penyebab tumbuhnya tanaman tersebut.
Berdasarkan kategori-kategori tertentu, seluruh penyebab itu dapat diklasifikasi sebagai berikut. Pertama, rangkaian penyebab yang keberadaannya selalu dharûri (mesti) bagi terwujudnya suatu akibat,
P: 279
dinamakan sebagai sebab-hakiki. Kedua, rangkaian penyebab yang tidak diperlukan bagi kesinambungan perwujudan akibat (misalnya, petani, dalam kaitannya dengan tanaman), dinamakan sebab-penyiap.
Ketiga, kumpulan penyebab yang posisinya dapat digantikan penyebab lainnya dinamakan sebab-alternatif (“illah badîlah). Dan keempat, himpunan penyebab yang posisi dan pengaruhnya tidak mungkin digantikan selainnya, yang diistilahkan dengan sebab-definitif (ʻillah munhasirah).(1) Terdapat satu jenis penyebab yang berbeda dengan yang telah disebutkan pada kasus maujud tanaman di atas. Sehubungan dengan penyebab ini, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî mengatakan bahwa itu dapat dijumpai mishdâq (wujud eksternal)-nya pada jiwa manusia, khususnya pada sebagian keadaan dan kondisi kejiwaannya. Ketika seseorang menciptakan suatu bayangan dalam benaknya atau bertekad mengerjakan suatu tindakan, dalam dirinya akan terjadi fenomena nafsiyyah (kejiwaan) yang disebut dengan gambaran mental (shûrah dzihniyyah), atau kehendak yang keberadaannya merupakan akibat dan bergantung pada keberadaan jiwa (nafs). Jelas, akibat semacam ini tidak memiliki kemandirian sedikit pun dari penyebabnya, dan tidak mungkin berpisah atau mandiri dari wujud penyebabnya.(2) Akan tetapi, pada saat yang sama, penciptaan jiwa (fâ iliyyah nafs) atas gambaran mental atau kehendak, memerlukan syarat-syarat tertentu yang muncul lantaran kekurangan, keterbatasan, dan kemungkinan (imkan) wujud yang merupakan sifat-sifat substansial jiwa.
Oleh karena itu, tindak penciptaan (fâ iliyyah) wujud niscaya- ada (wâjib al-wujûd) terhadap alam semesta jauh lebih hebat dan lebih sempurna dibandingkan tindak penciptaan jiwa atas keadaan dan pengalaman-pengalaman dirinya. Menurut Muhammad Taqî Misbah Yazdî, kita tidak akan mendapatkan padanan tindak penciptaan (fâ iliyyah) Tuhan dibanding seluruh tindak penciptaan, karena tindak penciptaan Tuhan sama sekali tidak membutuhkan apa pun untuk
P: 280
mengadakan akibat-Nya, yaitu akibat yang sekujur wujudnya hanyalah kebergantungan mutlak kepada-Nya.(1) Selanjutnya, Muhammad Taqi Misbah Yazdî menyebutkan sifat-sifat khas penting yang dimiliki Sebab-Pengada:
Pertama, Sebab-Pengada memiliki seluruh kesempurnaan (yang dimiliki maujûd) akibat secara lebih sempurna, sehingga dapat memberikan kesempurnaan kepada setiap (maujûd) akibat sesuai dengan kapasitas wujudnya masing-masing. Berbeda dengan sebab-penyiap dan sebab-materi yang berlaku sebagai pengadaan lahan yang sesuai untuk perubahan pada (maujud) akibat, bukan untuk wujudnya itu sendiri.
Oleh karena itu, sebab-penyiap dan sebab-materi tidak mesti mencakupi kesempurnaan akibatnya.
Misalnya, ketersediaan tanah tidak memerlukan kesempurnaan yang dimiliki tumbuh-tumbuhan, atau keberadaan kedua orang tua tidak membutuhkan kesempurnaan anak-anaknya. Adapun Allah sebagai Sebab-Pengada (illah mûjidah), mesti memiliki seluruh kesempurnaan wujud segala sesuatu, di samping sifat basâthah (ketidak-tersusunan)- Nya.(2) Kedua, Sebab-Pengada mewujudkan akibatnya dari ketiadaan, yakni Dia menciptakan (khalq) akibatnya. Akan tetapi, penciptaannya ini tidak mengurangi wujudnya sedikit pun. Berbeda dengan penyebab alamiah (fâ'il taba'î) yang bersifat aktif dan mengubah akibat yang ada dengan mengerahkan seluruh potensinya. Apabila diasumsikan adanya sesuatu yang terpisah dari wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd), maka ini berarti bahwa zat Allah dapat dibagi-bagi dan berubah-ubah. Padahal, anggapan ini jelas-jelas mustahil.
Ketiga, Sebab-Pengada merupakan sebab-sejati (“illat haqiqiyyah).
Oleh sebab itu, keberadaannya merupakan niscaya untuk kesinambungan wujud yang diakibatkannya. Berbeda dengan sebab-penyiap, kesinambungan akibatnya tidak lagi butuh kepadanya.(3)
P: 281
Searah dengan penjelasan ini, menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdî, maka pandangan sebagian teolog (mutakalimin) Sunni bahwa kekekalan alam semesta tidak membutuhkan Allah, begitu pula dengan yang dikatakan sebagian filsuf Barat bahwa alam materi ini laksana jam yang telah diatur dan diukur putaran waktunya, kemudian secara otomatis bergerak sendiri, sehingga alam semesta tidak lagi memerlukan Tuhan dalam melanjutkan aktivitasnya, jelas-jelas jauh dari kebenaran.
Karena, alam wujud ini selalu butuh dan bergantung kepada Allah dalam segala keadaannya. Apabila Allah menghentikan anugerah-Nya, meski dalam sekejap, niscaya tidak akan ada lagi yang tersisa dalam kehidupan ini. (1) Lebih jauh, Muhammad Taqî Misbah Yazdî menandaskan bahwa Allah merupakan Sebab-Pengada alam semesta ini, yang seluruh kesempurnaan wujud terdapat pada Zat-Nya dan berbagai kesempurnaan yang dimiliki segenap maujud bersumber dari-Nya, tanpa mengurangi kesempurnaan Zat-Nya sedikit pun manakala Dia menganugerahkannya (kesempurnaan tersebut) kepada seluruh makhluk-Nya. Noktah ini dapat dihampiri lewat contoh berikut. Tatkala seorang guru mengajarkan berbagai ilmu kepada murid-muridnya, niscaya ilmu yang dimilikinya tidak akan berkurang sedikit pun. Sudah tentu, dalam hal ini, anugerah wujud dan segenap kesempurnaan wujud Allah jauh lebih unggul dan mulia daripada contoh yang dikemukakan.(2) Barangkali ungkapan yang lebih mendekati hal ini adalah bahwa alam wujud merupakan cahaya dan tajalli (manifestasi) zat Ilahi yang Mahasuci. Ungkapan semacam ini dapat ditemukan dalam ayat: Allah adalah cahaya (nûr) bagi langit dan bumi. (QS an-Nûr: 35).
Mengingat kesempurnaan Ilahi tidak terbatas, maka setiap konsep (mafhûm) yang mengungkapkan kesempurnaan, yang tidak melazimkan kekurangan dan batasan apa pun, dapat diterapkan kepada Allah, sebagaimana konsep-konsep kesempurnaan yang diungkapkan ayat-ayat
P: 282
al-Qur'an, hadis-hadis, doa-doa, serta munajat para imam; seperti cahaya (nûr), sempurna (kamâl), indah (jamâl), cinta (mahabbah), dan ungkapan lainnya (yang menjelaskan kesempurnaan Allah yang absolut).
Selanjutnya, ungkap Muhammad Taqî Misbâh Yazdî, salah satu relasi yang dapat diamati antara Tuhan dan makhluk-Nya adalah bahwa makhluk-makhluk tersebut bukan hanya butuh kepada Allah sebagai asal-muasal wujudnya. Lebih dari sekadar itu, segala hal yang berkaitan dengan wujud dan kesinambungannya bergantung secara absolut kepada-Nya. Secara ontologis, makhluk sama sekali tidak mandiri. Oleh karena itu, Tuhan memiliki hak tasharruf (pengelolaan) atas mereka dan mengatur berbagai urusannya sesuai kehendak-Nya.
Dengan mengamati relasi tersebut secara umum, akan dicerap konsep rubûbiyyah (pengaturan) yang kelazimannya adalah mengatur segala urusan. Konsep ini memiliki berbagai mishdâq atau objek (eksternal maupun mental) yang koheren, seperti hâfizh (penjaga), muhyî (menghidupkan), mumît (mematikan), râziq (pemberi rezeki), hâdi (pemberi hidayah), amîr (pemerintah), an-nâhi (pelarang), dan sebagainya.
Dalam hal ini, hal-hal yang berhubungan dengan rubûbiyyah dapat dikategorikan dalam dua jenis:
1. Rubûbiyyah takwîniyyah (pengaturan cipta) yang meliputi pengaturan berbagai urusan setiap maujud dan pemenuhan berbagai kebutuhannya. Ringkasnya, ia meliputi pengaturan alam semesta.
2. Rubûbiyyah tasyri îyyah (pengaturan titah) yang hanya berlaku atas makhluk yang dapat merasa dan memilih. Rubûbiyyah ini meliputi beberapa masalah seperti pengutusan para nabi, penurunan kitab- kitab samawi, penetapan tugas dan kewajiban, serta perumusan hukum dan undang-undang (1) Dengan demikian, rubûbiyyah absolut Ilahi bermakna bahwa seluruh makhluk dalam segala urusan hidup dan wujudnya bergantung kepada
P: 283
Tuhan. Dalam pada itu, berbagai hubungan yang terjalin di antara sesama mereka pada akhirnya berujung kepada-Nya. Dialah yang mengatur dan mengurus sebagian makhluk-Nya dengan perantara makhluk-makhluk- Nya yang lain. Dialah yang melimpahkan rezeki kepada segenap makhluk melalui sumber-sumbernya yang telah dihamparkan-Nya. Dialah yang memberi hidayah kepada seluruh makhluk yang berperasaan, baik melalui sarana-sarana internal (seperti akal dan seluruh alat indra) maupun sarana-sarana eksternal (seperti para nabi dan kitab samawi). Dia pulalah yang menetapkan hukum-hukum, aturan-aturan, serta berbagai tugas dan kewajiban kepada para mukallaf (orang yang terbebani tugas- tugas syariat).
Sebagaimana khâliqiyyah, rubûbiyyah juga merupakan konsep relasional (idhafi). Bedanya, aspek-aspek yang diamati pada konsep tersebut adalah hubungan hubungan khusus antara berbagai makhluk itu sendiri (sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan yang berkenaan dengan konsep râziqiyyah). Apabila cermat merenungkan konsep khâliqiyyah dan rubûbiyyah sebagai sifat idhâfiyyah, akan tampak jelas bahwa di antara kedua sifat tersebut terdapat talazum (hubungan niscaya); bahwa pengatur alam semesta ini mustahil bukan penciptanya.
Oleh karena itu, zat yang menciptakan seluruh makhluk dengan ciri-ciri tertentu dan menciptakan hubungan antara sesamanya itu pulalah yang memelihara dan mengaturnya. Pada hakikatnya, konsep rubûbiyyah dan tadbîr dikonstruksi nalar dari proses penciptaan berbagai makhluk, dan adanya relasi antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. (1) Menurut Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, syarat terakhir yang mesti dipenuhi adalah keyakinan bahwa hanya Tuhan-lah yang wajib ditaati dan disembah. Artinya, bahwa setelah kita meyakini bahwa Tuhan itu Esa, Esa dalam Zat-Nya, sifat dan tindakan-Nya. (2) Dalam Maâref-e Qor'ân, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî secara panjang lebar membuktikan bahwa kaum Quraisy dianggap musyrik bukan karena
P: 284
meyakini adanya pencipta selain Allah, namun semata-mata karena tidak mengesakan Allah sebagai al-ma`mud. Allah berfirman, “Dan apabila kamu (Muhammad) tanya pada mereka siapa yang mencipatakan langit dan bumi, niscaya mereka (orang-orang musyrik) menjawab: Allah”.
Selanjutnya, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menggiring pada sebuah pertanyaan besar, bagaimana seorang muwahhid dapat menyembah Tuhan dan bagaimana ia bisa memastikan bahwa Tuhan melarang dan memerintahkannya melakukan perbuatan yang dikehendakiNya? Dari pertanyaan ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengajak kita untuk memasuki sebuah premis teologis baru, yaitu agama. Agar dapat melaksanakan undang-undangnya, maka kita tentu harus lebih dulu mengetahui undang-undang-Nya. Karena itulah, kita harus memilih:
menerima secara utuh dan “pasrah” agama sebagai aturan dan undang- undang Tuhan, atau meyakini bahwa Tuhan yang tidak mengatur kehidupan ciptaanNya. (1) Kalangan ulama Islam, menurut Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, sudah banyak mendedah konsep al-ilah dan ulûhiyyah dalam kitab-kitab tafsir. Dalam hal ini, ilah bermakna al-ma'bûd (sembahan) atau yang berhak disembah dan ditaati. Ini sama halnya dengan kata al-kitab yang berarti al-maktub (yang ditulis), sesuatu yang layak ditulis. Berdasarkan pengertian ini, ulûhiyyah merupakan sifat yang dapat dipahami dengan lebih dulu mengasumsikan adanya relasi antara ibadah seorang hamba dan ketaatannya. Seseorang akan diklaim sesat, meskipun menjadikan sesuatu sebagai sesembahannya. Pasalnya, yang berhak untuk disembah dan ditaati hanyalah Tuhan semata, al-khâliq dan al-rabb.
Keyakinan seperti itu merupakan kadar yang mesti dipenuhi setiap orang dalam konteks ketuhanan. Artinya, di samping mengimani Tuhan itu wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd), pencipta, pengatur, dan bahwa alam ini tunduk di bawah kehendak-Nya, ia juga harus mengimani Dia sebagai yang berhak ditaati dan disembah. Dari sinilah diderivasikan
P: 285
konsep ulûhiyyah sebagai salah satu prinsip Islam, yaitu lâ ilâha illallâh.(1) Setelah memberikan pandangannya tentang tauhid fi al-dzât dan tauhid fi al-shifat, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî memnjelaskan tauhîd fi al-af"âl. Ia membagi tauhid dalam perbuatan ke dalam tiga tahap:
Pertama adalah tauhîd fi al-khâliqiyyah. Setelah memastikan bahwa hanya Tuhan-lah yang pasti ada dengan sendirinya, maka niscaya kita memastikan bahwa hanya Yang Ada dengan sendirinya-lah yang bisa memberikan keberadaan kepada selain diri-Nya. Karena hanya Tuhan yang mempunyai keberadaan secara wajib, maka niscaya hanya Tuhan yang bisa memberikan keberadaan (mengadakan). Artinya, pengadaan (pengentasan dari ketiadaan) dan penciptaan hanyalah dilakukan oleh Tuhan. Dialah Pencipta Yang esa.
Banyak orang meyakini Tuhan sebagai satu-satunya dzat yang wajib ada. Meyakini keesaan Tuhan sebagai Pencipta tidaklah cukup untuk dianggap sebagai bertauhid atau menyandang predikat “monoteis” (muwahhid). Iblis, misalnya, meskipun meyakini keesaan Tuhan sebagai Dzat yang wajib dan sebagai Pencipta, sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, namun dianggap sebagai makhluk yang tidak bertauhid. Jadi, jika selama ini kita menganggap bertauhid itu hanya meyakini Tuhan sebagai Dzat Yang Ada satu-satunya dan sebagai Pencipta satu-satunya, maka hal itu tidaklah cukup. Orang-orang kafir Quraisy, sebagaimana diceritakan dalam al-Qur'an, bila ditanya “siapa Tuhan kalian”, mereka menjawab “Allah”. (2) Para politeis meyakini bahwa pencipta mereka bukalah arca atau batu yang mereka buat sendiri. Mereka, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, berdalih bahwa menyembah berhala yang terbuat dari batu atau bahkan buah korma hanyalah ekspresi cinta ekspresi kepada Tuhan sejati Yang Esa dan tidak berbentuk batu. Mereka
P: 286
meyakini keesaan Tuhan sebagai Pencipta, tetapi mereka tetap dianggap dalam a-Qur'an sebagai penganut politeisme (syirk). (1) Setelah membuktikan prinsip wujud niscaya-ada (wajib al-wujûd) yang merupakan penyebab utama bagi keberadaan mumkin al-wujûd, seraya memperhatikan fakta bahwa segala keberadaan secara ontologis (pada wujudnya sendiri) bergantung mutlak kepada Allah, maka pemahaman mengenai sifat pencipta (khâliqiyyah) pada wâjib al- wujûd dan sifat yang dicipta (makhlûqiyyah) pada makhluk-Nya dapat dikonstruksi. Dalam hal ini, sifat pencipta identik dengan Sebab-Pengada.
Sementara seluruh (ihwal) yang mungkin meng-ada (mumkin al-wujûd) membutuhkan pencipta serta menempati salah satu posisi dalam konteks relasi penciptaan, yang kemudian diberi atribut makhlûqiyyah (ciptaan, yang dicipta).
Muhammad Taqi Misbah Yazdî menekankan pula bahwa kadangkala kata al-khalq (penciptaan) mengandung makna mahdudiyyah (keterbatasan) yang lebih banyak. Dalam pada itu, objek penciptaan ini merupakan maujud yang hanya dicipta dari materi sebelumnya. Adapun makna yang berlawanan dengannya adalah ibda (pewujudan). Makna ini digunakan untuk realitas yang wujudnya tidak didahului materi.(2) Dengan demikian, tindak mencipta yang dilakukan Tuhan tidak sama dengan tindak mencipta yang dilakukan manusia manakala dirinya menciptakan sesuatu (manusia membutuhkan gerak dan anggota tubuh untuk bertindak dan ihwal yang terjadi atau tercipta merupakan hasilnya).
Adapun penciptaan (yang dilakukan) Tuhan tidaklah seperti itu.
Artinya, penciptaan bukan sesuatu, dan yang dicipta juga bukan sesuatu yang lain. Karena, selain Tuhan Mahasuci dari gerak dan ciri-ciri khas yang disandang segala maujud material, jika tindak mencipta-Nya berupa realitas eksternal yang bersifat objektif dan mandiri, maka itu berarti tindak mencipta tersebut merupakan wujud mungkin meng- ada yang, pada dasarnya, merupakan makhluk dan ciptaan Tuhan.
P: 287
Jika demikian, ulasan akan kembali lagi ke seputar penciptaan (yang dilakukan) Allah atas tindakan mencipta-Nya, dan ini justru melazimkan lingkaran setan (daur) yang nihil. Namun, sebagaimana telah disinggung dalam pembicaraan mengenai sifat-sifat filiyyah, sifat-sifat tersebut merupakan konsep-konsep (mafhûm) yang dipahami dari berbagai relasi antara Tuhan dan makhluk-Nya. Sedangkan instrumen untuk menilai relasi-relasi tersebut adalah akal. (1) Kedua adalah al-tauhîd fi al-rubûbiyyah. Muhammad Taqi Misbâh Yazdî beranggapan bahwa guna mencapai kuota minimal dalam tauhid, setelah meyakini keesan Tuhan sebagai Pencipta Tunggal, seorang monoteis haruslah meyakini Tuhan sebagai Pengatur yang esa. Menurutnya, bila manusia memberikan kepada orang hak untuk memerintah dan melarang, maka itu berarti ia memperlakukannya sebagai rab.(2) Selanjutnya, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî membagi Tauhîd fi al- rubûbiyyah dalam dua dimensi: rubûbiyyah takwîniyyah dan rubûbiyyah tasyri`iyyah.(3)
Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak menjadikan prinsip Keadilan Tuhan sebagai bab tersendiri dalam teologi, namun menjadikannya sebagai salah produk prinisp rubûbiyyah, yang merupakan salah satu shifât filiyyah Tuhan.
“Kemahaadilan” seakan dipisahkan dari tema ketuhanan dan tauhid semata-mata karena sangat luas dan menjadi dasar bagi prinsip ken- abian. Hal itu, bisa disimpulkan dari pembagiannya atas teologi dalam dua bagian, almabda' (teologi) dan al-ma'ad (eskatologi). Dalam teo- logi Muhammad Taqi Misbâh Yazdî, prinsip Keadilan Tuhan(4) mencak- up tiga tema utama,
P: 288
yaitu al-husn wa al-qubh, al-qhadâ' wa al-qadar dan al-jabr wa al- ikhtiyâr.
Salah satu gebrakan teologis Muhammad Taqi Misbah Yazdî adalah:
pertama, memasukkan aksiologi dalam teologi; kedua, memasukkan prinsip kenabian dalam pembahasan Keadilan ilahi melalui prinsip aksiologi (ál-husn wa al-qubh al-aqliyain)(1) yang pada gilirannya akan melahirkan prinsip al-hikmah al-ilahiyyah (kemaha-bijaksanaan Allah). (2)
P: 289
Salah satu makna dari “kebijaksanaan” adalah lawan dari ketidakpatutan. Seorang yang bijaksana adalah seseorang yang tidak melakukan sesuatu perbuatan yang buruk. Untuk membuktikan dan memastikan kemaha-bijaksanaan Allah, kita mesti lebih dulu membuktikan bahwa kebaikan dan keburukan adalah dua pengertian rasional. Artinya, Allah bisa dipastikan sebagai Mahabijaksana apabila manusia dengan akal sehatnya dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk. (1) Menurut Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, kebaikan dan keburukan dengan standar pertama dan ketiga berada di luar area kontroversi.
Kebaikan dan keburukan dengan standar kepentingan umum, bahkan standar kepentingan personal dikeluarkan dari area kontroversi oleh sebagian teolog. Salah satu proposisi ekstemporal (al-badîhîyyah) dalam akal praktis adalah tema “kebaikan dan keburukan rasional” yang sangat menentukan validitas sejumlah premis, seperti “keadilan adalah baik”, “kezaliman adalah buruk”, dan sebagainya.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjelaskan dalil-dalil rasionalitas baik dan buruk sebagai berikut:
Pertama, apabila akal secara mandiri menilai kejujuran sebagai kebaikan dan kebohongan sebagai keburukan, maka “penilaian Pembuat syariah (syari') tentang kejujuran sebagai kebaikan dan kebohongan sebagai keburukan” bisa dianggap sebagai kebaikan. Namun, seandainya akal secara mandiri tidak bisa menilai (menetapkan hukum) “penilaian Pembuat syari'at tentang baiknya kejujuran dan buruknya kebohongan” sebagai sesuatu yang baik, maka kita tidak akan pernah bisa memastikan penilaian Pembuat syariat (tentang baiknya kejujuran dan buruknya kebohongan) tersebut sebagai penilaian yang jujur, sebelum meyakini
P: 290
kebenaran isinya (bahwa kejujuran adalah baik dan bahwa kebohongan adalah buruk), karena kemungkinan tentang ketidakjujuran syâri masih terbuka lebar. Kemungkinan tentang ketidakjujuran dalam menilai “kejujuran sebagai baik dan kebohongan sebagai baik” itu masih ada, selama (apabila) berdasarkan asumsi pertama, kita akan mengetahui tentang baiknya kejujuran dan buruknya kebohongan setelah ada penilaian dari syâri.
Kedua, seandainya kebaikan dan keburukan tidak rasional namun bersifat tekstual, maka niscaya tidak ada sesuatu apa pun dari Allah yang bisa dianggap sebagai buruk, karena sebagaimana dijelaskan dalam bukti pertama—tidak ada suatu perbuatan apa pun yang baik atau buruk secara mutlak. Bila demikian, niscaya Allah tidak akan menilai “mukjizat yang ditampilkan oleh para Nabi palsu sebagai sesuatu yang buruk. Seandainya mukjizat para Nabi palsu tidak bisa dinilai sebagai buruk, maka pintu untuk mengenal nubuwwah tertutup. Menurutnya, seandainya peluang untuk mengenal nubuwwah tertutup, setiap Nabi yang menampilkan mukjizat setelah mengaku sebagai nabi, tidak bisa dibenarkan, selama kita tidak menolak (memungkinkan) seorang pembohong (Nabi palsu) bisa menampilkan mukjizat dalam rangka mengukuhkan klaim (pengakuan)-nya. (1) Prinsip rasionalitas kebaikan dan keburukan meniscayakan prinsip teologis yang memastikan kesucian Tuhan dari perbuatan sia-sia. Inilah isu kontoversial antara kelompok rasionalis (Syi'ah dan Mu'tazilah) dan kelompok tekstualis atau normatif. Kelompok rasionalis di kalangan para teolog (adliyyah) berargumen bahwa perbuatan yang tidak bertujuan dan tidak bersasaran adalah kesia-siaan, yang tentu merupakan salah satu dari keburukan-keburukan irasional. Kelompok normatif, seperti Asy'ariyyah berargumentasi bahwa seandainya perbuatan Tuhan bertujuan, maka niscaya Tuhan tidak sempurna karena mengharapkan sesuatu yang menjadi tujuan Pendapat dan argumenasi ini ditolak oleh Muhammad Taqi Mishbâh
P: 291
Yazdî, Menurutnya, tujuan bermacam dua: pertama adalah tujuan yang bermuara kepada pelaku, yang meniscayakan ketidaksempurnaan; kedua adalah tujuan yang bermuara kepada perbuatan itu sendiri yang tidak meniscayakan ketidaksempurnaan. Tuhan menciptakan makhluk dengan tujuan, namun tujuan penciptaan tersebut tidak bermuara kepada Tuhan.
Halyang menarik adalah bahwa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdîtidak menggunakan dalil al-luthf yang biasa digunakan oleh para mutakkallim Syi'ah untuk membutikan keniscayaan kenabian. (1)Ia malah menawarkan argumen teologis yang didasarkan pada prinsip al-hikmah al-ilâhiyyah, sebagai konsekuensi dari rasionalitas baik dan buruk. Menurutnya, keniscayaan prinsip kemahabijaksaan Tuhan merupakan masalah yang paling penting dalam prinsip kenabian. Untuk membuktikan klaimnya, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî menyusunnya dalam tiga premis sebagai berikut:
Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan sengaja (ikhtiyârî) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain, manusia itu diciptakan oleh Allah SWT agar—dengan amal ibadah dan ketaatannya kepada Allah—berhak memperoleh rahmat ilahi yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang sempurna. Hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat dicapai
P: 292
kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiyârî (disengaja), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan, yaitu jalan kanan (yamîn) dan jalan kiri (yâsir). Tujuan adanya dua jalan ini ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya.
Jelas bahwa jalan kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bi al-taba').
Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan kemampuan dan faktor-faktor eksternal serta adanya kecondongan dan motivasi untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya.
Dengan demikian, kebijaksanaan (hikmah) Tuhan menuntut tersedianya sarana bagi manusia agar memperoleh pengetahuan tentang hal-hal di atas. Karena, jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, tetapi dia tidak mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya (dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan lebih banyak lagi.
Ketiga, pengetahuan manusia biasa yang pada umumnya diperoleh melalui kerjasama indra dan akal-meskipun mempunyai peran begitu efektif dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang, baik yang bersifat individu maupun kelompok, bendawi maupun maknawi, duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, jika tidak ada jalan lain untuk menutupi berbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah dari penciptaan manusia ini
P: 293
menjadi sia-sia.
Dengan dasar tiga premis di atas ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menyimpulkan bahwa hikmah Ilahiah melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indra dan akal, bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di berbagai bidang, sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung maupun melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan kepada para Nabi sehingga dapat memanfaatkan wahyu secara langsung, dan melalui merekalah umat manusia dapat memanfaatkannya dan mempelajari segala apa yang mereka perlukan darinya demi mencapai puncak kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi. (1)
Setelah menyelesaikan problema “baik dan buruk”, Muhammad Taqî Misbâh Yazdî menjelaskan isu utama kedua dalam “Keadilan Tuhan”, yaitu qadhâ' dan qadar:
Pertama-tama Muhammad Taqi Misbah Yazdî menguraikan pengertian di balik dua frase yang sering dipahami secara beragam ini. Para ahli bahasa mengartikan (mendefinisikan) qadar atau qadr atau taqdîr sebagai penjelasan tentang kuantitas sesuatu.(2) Sedangkan qadha' didefinisikan sebagai “prinsip legal yang menujukkan tertata dan terlaksananya sebuah perintah (urusan). (3) Ia juga didefinisikan sebagai “penetapan sebuah masalah baik berupa tindakan (fisik) maupun (tindakan) verbal (ucapan). Secara etimologis teologis, qadhâ’ didefinisikan sebagai “pelaksanaan sebuah hukum”(4) Qadhâ' dan qadar masing-masing terbagi tersusun menjadi dua; Pertama adalah qadhâ’ tasyrî’i dan qadar tasyrî'i, yaitu perintah-perintah dan larangan Tuhan yang tertera dalam al-Qur'an dan hadis. Kedua adalah qadhâ’takwînî
P: 294
dan qadar takwînî, yaitu yang berkeaan dengan realitas-realitas alam.(1) Muhammad Taqi Misbâh Yazdî membagi masing-masing qadha' takw ini dan qadar takwînî menjadi tiga: pertama, qadhâ’takwînî ilmi dan qadar takwînî ilmî (subjektif), yaitu penentuan segala sesuatu dengan rinciannya dalam Ilmu azali Allah sebelum diciptakan. Ia mengetahui batasan, ukuran dan ciri-ciri khas material dan immatrialnya. Qadha' ‘ilmî adalah pengetahuan Allah tentang keharusan (keniscayaan) adanya segala sesuatu dan pengadaannya (pelaksanaan pengadaannya, ibram) ketika seluruh syarat dan sebab keberadaannya telah terkumpul dan kendala-kendalanya lenyap. (2) Kedua, qadhâ’ takwînî aini dan qadar takwînî ainî (objektif). Ia adalah ciri-ciri khas yang diperoleh oleh sesuatu dari sebab-sebabnya ketika ia menjadi ada secara objektif dan riil. Qadhâ' ainî adalah kemestian objektif riil akan adanya atau berlakunya sesuatu ketika sebab sempurnanya ( illah tâmmah) ada. Kedua macam qadhâ' dan qadar aini ini senantiasa mengikuti bahkan berintegritas dengan keberadaan sesuatu, sedangkan qadhâ' dan qadar ilmi mendahului keberadaan sesuatu.
Setelah menguraikan dua jenis perbedaan-perbedaan qadhâ' dan qadar di atas, Muhammad Taqi Mishbah Yazdî mencoba melakukan aplikasi terhadap alam. Menurutnya, alam material tidak bebas dari qadha' dan qadar. Takdirnya ialah berupa penentuan segala sesuatu berkenaan dengan keberadaannya, efek-efek keberadaannya serta ciri- ciri keberadaannya sebagai yang bergantung dalam keberadaan dan efek- efek keberadaannya kepada entitas-entitas (maujud-maujud) lainnya, yaitu sebab-sebab dan syarat-syarat bagi keberadaan sesuatu tersebut.
Sedangkan taqdîr menuntun entitas-entitas ini menuju seseuatu yang telah ditaqdirkan untuknya dalam perjalanan (nasib) wujudnya, sebagaimana
P: 295
ditegaskan dalam surah al-A’la: 3—4.
Sedangkan gadhâ’-Nya, karena keberadaan dan keterwujudan segala peristiwa pasti bermuara kepada Allah, maka selama sebab-sebab dan syarat-syarat mutlak bagi keberadaan belum sempurna dan terkumpul, ia akan berada dalam area interval antara menjadi realitas dan tidak. Bila sebab-sebab dan syarat-syarat keberadaan telah lengkap, maka tentu ia mengada (menjadi ada). Itulah qadhâ’Allah yang telah diputuskan dan dilaksnakan. Karena itulah, kita sering menemukan ayat al-Qur'an yang berisi penegasan Allah bahwa menisbahkan qadhâ' dan qadar kepada diri-Nya. (1) Ketiga, qadhâ’ takwînî kulli dan qadar takwînî kullî (general), yaitu hukum dan undang-undang Tuhan yang berlaku atas alam semesta, masyarakat manusia dan individu-individunya, seperti hukum sebabakibat, dan kematian yang pasti dialami oleh setiap entitas.
“Setiap sesuatu yang ada di atasnya (bumi, duni) akan lenyap”. (2)
Isu teologis lain yang dianggap oleh Muhammad Taqi Misbah Yazdî sebagai bagian dari prinsip Keadilan Tuhan adalah “Kebebasan (ikhtiyâr) dan determinasi (jabr)”. Ini merupakan dua tema kontroversial yang menarik perhatian para pemikir dan teolog di sepanjang sejarah. (3) Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, dengan berpijak pada prinsip gerak substansi dan berusaha mengkaitkannya dengan dua macam sebab panjang (al-'illat al-ba'idah) dan sebab dekat (al-'illat al-qaribah).
Berikut penjelasannya:
Manusia adalah entitas yang terus menanjak hingga tahap
P: 296
kesempurnaan kemakhlukan tertinggi. Dialah maujud unik (satu-satunya) yang menikmati kehendak yang mandiri seara relatif dan menikmati pengetahuan sempurna seara relatif. Meski demikian, dalam naluri (gharizah) ia lemah. Ia merdeka dalam berkehendak bila dibandingkan dengan entitas di bawahnya, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dibanding makhluk lainnya, manusia telah menikmati kebebasan berkehendak seara lebih sempurna, meski sarananya lemah. Allah berfirman, “Dan manusia diiptakan dalam keadaan lemah' (QS al-Nisa': 27).
Manusia bebas bertindak dalam urusan-urusan yang berada dalam area ikhtiarnya, namun ia juga harus tunduk terhadap undang-undang dan hukum alam yang berada di luar area kehendak dan kebebasannya.
Ia dilahirkan tanpa kehendak dan mati betapapun ia menolaknya.
Manusia mempunyai kebebasan memilih, namun tidak seratus persen.
Ia tidak bisa melanggar batas dan kehendak Allah yang tertuang dalam hukum alam yang permanen. Namun, pada saat yang sama, ia bukanlah tawanan yang terkungkung oleh nalurinya sebagaimana binatang Allah berfirman; “Kami menyediakan jalan syukur dan jalan kufur' (QS al-Dahr: 3). Dengan kata lain, ia dipaksa untuk bebas dalam ruang ikhtiyarnya memilih jalan. (1) Karena itulah, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikaitkan dalam rangkaian kausal yang panjang dengan Tuhan selaku pemberi keberadaan dan kehidupan, namun dapat juga dikaitkan dengan manusia sebagai pelaku yang berkehendak dan merdeka. “Tiadalah melempar saat melempar, namun Allah-lah yang melempar” (QS al-Anfal: 17).
‘Perangilah mereka, nisaya Allah akan menyiksa mereka dengan tangan kalian. ’(2) Menurut penulis, dengan penjelasan kausal ini, tampak bahwa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî berusaha untuk menggabungkan teologi dengan aksiologi, kosmologi, dan antropologi. Kemudian menjadikan keduanya sebagai gerbang untuk memasuki eskatologi. Tidak dapat
P: 297
dipungkiri, semua pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat ditebak rangkainnya dan tujuan akhirnya, meski cenderung bersikap rasional, yaitu mempertemukan dua prinsip utama dalam pandangan teologinya, mabda’(teologi) dengan semua subtema di dalamnya dengan ma'âd (kebangkitan). Dengan demikian, secara implisit ia menawarkan sistematika teologi yang lebih ramping, meski substansinya sama dengan struktur ushuluddin dalam kalam Syi'ah.
Bagian utama kedua atau terakhir dalam struktur teologi Muhammad Taqi Misbâh Yazdî adalah eskatologi (ma`âd). Berbeda dengan pembahasan-pembahasannya dalam teologi yang lebih mengutamakan atau bahkan hanya mengggunakan pendekatan dan argumentasi rasional, Muhammad Taqi Misbâh Yazdî dalam bagian eskatologi lebih longgar melalui penggabungan argumentasi rasional dengan argumentasi tekstual yang didasarkan pada ayat suci, riwayat Nabi dan ucapan para imam Syi'ah, terutama Nahj al-Balaghah.
Konstruksi teologi atau ushuluddin Muhammad Taqi Misbâh Yazdî tampak lebih sistematis, ramping dan mudah dijabarkan. Hal itu karena, salah satu faktor utamanya, konsistensinya dalam menggunakan pola argumentasi. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mencoba memulai argumentasi keniscayaan eskatologi dengan argumentasi rasional, lalu mengukuhnya dengan argumentasi tekstual. Karena itu, ia mulai dengan menjelaskan kedudukan ruh dalam esakatologi sebagai berikut:
Seseorang yang dihidupkan setelah kematian adalah pribadinya itu sendiri yang hidup sebelumnya. Ini menjadi mungkin bila ruhnya tetap ada, meskipun tubuhnya telah hancur. Dengan kata lain, setiap manusia itu memiliki substansi (jawhar) yang nonmateri dan mandiri dari tubuhnya, dimana hakikat kemanusiaannya terkait erat dengannya. Jika tidak demikian, asumsi kehidupan yang baru bagi seseorang tidaklah
P: 298
logis. Karenanya, sebelum membahas ma'âd, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengajak kita mengkaji masalah ruh. (1) Sejak dahulu, para ulama telah banyak membahas masalah ruh.
Dalam filsafat Islam, ruh yang disebut dengan istilah nafs, menjadi fokus penting, sehingga para filsuf menulis secara khusus bagian-bagian yang berkaitan dengan masalah ini. Mereka bahkan menulis kitab-kitab dan risalah-risalah tersendiri, lalu mengkritisi— dengan sekian banyak dalil—pandangan yang menyatakan bahwa ruh itu merupakan aksiden (‘aradh) bagi tubuh atau forma material (shûrah mâddiyyah) yang ada pada tubuh material. Tentunya, pembahasan luas mengenai masalah ini tidak sesuai dengan buku ini. Untuk itu, kami berusaha membahasnya secara ringkas, jelas, dan padu.
Kita menyaksikan warna kulit dan bentuk tubuh kita dengan mata kepala kita sendiri. Kita pun dapat merasakan kasar-lembutnya bagian- bagian tubuh kita dengan indra sentuhan, dan kita tidak dapat mengetahui bagian dalam tubuh kita kecuali secara tidak langsung. Namun begitu, kita dapat mengetahui rasa khawatir, cinta, benci, kehendak, dan pikiran kita tanpa melalui indra. Begitu pula, kita dapat mengenal “aku” kita yang memiliki perasaan-perasaan dan berbagai keadaan tersebut tanpa menggunakan indra. Jadi, manusia itu memiliki dua macam pengetahuan:
pengetahuan melalui indra dan pengetahuan tidak melalui indra.
Premis lainnya ialah terjadinya kekeliruan-kekeliruan pada pengetahuan melalui indra. Oleh karena itu, juga sangat mungkin terjadi kekeliruan pada pengetahuan macam pertama. Berbeda dengan pengetahuan macam kedua, yang tidak mengalami kekeliruan keraguan.
Seseorang bisa ragu terhadap warna kulitnya; apakah senyatanya memang demikian apa yang ia lihat. Akan tetapi, ia tidak akan ragu; apakah ia itu berpikir atau tidak, menghendaki sesuatu atau tidak, dan merasa ragu atau tidak Premis ini dinyatakan sebagai berikut: bahwa pengetahuan hudhûrî itu bersentuhan langsung dengan hakikat wujud objeknya. Oleh karena
P: 299
itu, ia tidak mengalami kesalahan. Adapun ilmu hushûlî, lantaran diperoleh melalui gambaran perseptual di benak, ia pada dasarnya bisa mengalami keraguan dan kesalahan. (1) Berdasarkan premis di atas Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menyimpulkan sebagai berikut: pertama, kita mengetahui “aku” masing- masing secara hudhûrî. Adapun tubuh kita ini diketahui melalui bantuan indra. Dengan demikian, “aku” (nafs atau ruh) bukanlah tubuh.
Kedua, “aku” adalah hakikat yang tetap dan utuh selama puluhan tahun dengan sifat kesatuan dan identitas dirinya sendiri. Kesatuan dan identitasnya dapat diketahui melalui pengetahuan hudhûrî yang tidak akan bisa keliru. Adapun bagian-bagian tubuh mengalami perubahan dan pergantian berulang kali, sehingga ia tidak mempunyai standar kesatuan hakikatnya di antara bagian-bagiannya yang terdahulu dan yang baru.
Ketiga, sesungguhnya “aku” ini bersifat sederhana (tak tersusun) yang tidak mungkin dapat dipecah. Misalnya, kita tidak dapat memecah “aku” menjadi dua bagian. Ini berbeda dengan anggota tubuh yang berbilang dan dapat dipecah.
Keempat, mengingat bahwa seluruh keadaan jiwa seperti perasaan, kehendak dan selainnya itu tidak memiliki ciri-ciri dasar materi, yakni ekstensi dan keterpecahan, maka kita tidak dapat menganggap hal-hal yang nonmateri itu sebagai aksiden ( aradh) bagi materi (mâddah). Oleh karena itu, subjek hal-hal nonmateri itu adalah substansi (jawhar) yang nonmateri (mujarrad). (2)
Setelah menggunakan dalîl al-hikmah dalam pembuktian kenabian, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menggunakannya lagi
P: 300
untuk membuktikan keniscayaan kebangkitan (eskatologi). Berikut penjelasannya:
Penciptaanmanusia tidaklah sia-sia, bahwamanusia diciptakan dengan tujuan tertentu. Sebab, cinta Allah akan kebaikan dan kesempurnaan, sebagai sifat dzâtiyyah-Nya, secara dasar dan langsung berkaitan dengan zat-Nya sendiri, dan secara tidak langsung berkaitan dengan kesan- kesannya yang memiliki tingkat-tingkat kebaikan dan kesempurnaan.
Karena itu, diciptakanlah alam semesta ini yang melazimkan kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin.
Atas dasar ini, kita membuktikan adanya sifat hikmah pada Allah, yang meniscayakan agar setiap makhluk dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan yang semestinya. Akan tetapi, mengingat begitu banyak dan luasnya benturan di alam materi ini, tempat di mana kebaikan dan kesempurnaan setiap makhluk saling berbenturan, maka pengaturan Ilahi Yang Mahabijak melazimkan tertatanya semua makhluk sedemikian rupa sehingga muncullah kebaikan dan kesempurnaan sebanyak mungkin dari mereka.
Dengan ungkapan lain, alam materi ini memiliki tatanan yang baik dan sempurna. Karena itu, tertatalah berbagai unsur, kuantitas, kualitas, interaksi dan gerakan-gerakannya sebegitu rupa sehingga lahan dan kondisi yang memadai untuk penciptaan tetumbuhan dan hewan-hewan.
Selanjutnya, akan tersedia pula lahan yang sesuai untuk penciptaan manusia, yang merupakan makhluk yang paling sempurna di alam materi ini. Namun, jika penciptaan alam materi ini terjadi dalam bentuk yang tidak memungkinkan terciptanya makhluk-makhluk hidup, atau tidak memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan mereka, tentu hal itu bertentangan dengan hikmah ilahiah (kemaha-bijaksaan Allah).(1) Maksudnya, bila diasumsikan bahwa kehidupan manusia itu hanya terbatas pada kehidupan dunia ini saja, ini sama sekali tidak sesuai dengan hikmah Ilahiah. Dengan menggabungkan dua premis tersebut, yaitu hikmah ilahiyyah dan kemungkinan adanya kehidupan abadi "
P: 301
bagi manusia, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mengharapkan adanya kesimpulan bahwa mestinya ada kehidupan yang lain bagi manusia di balik kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini, sehingga tidak terdapat kehidupannya tidak menyimpang dari hikmah Ilahiah. Karena, jika tidak demikian, berlangsungnya kehidupan dunia dengan berbagai kelelahan dan kesusahannya-meskipun bersifat kekal dan abadi — tidaklah sesuai dengan hikmah Ilahiah. (1)
Dengan menggunakan pendekatan psikologis, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjelaskannya sebagai berikut:
Disadari atau tidak, manusia mempunyai ikhtiar dan kebebasan di alam dunia ini dalam melakukan perbuatan yang baik atau buruk. Dari satu sisi, kita temukan bagaimana sebagian manusia menghabiskan seluruh usianya dalam ibadah kepada Allah dan berbakti kepada sesamanya.
Dari sisi lain, kita melihat pula bagaimana sebagian orang yang jahat dan durhaka berani melakukan berbagai kezaliman dan dosa demi mencapai ambisi dan kepentingan busuknya.
Selain itu, tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi ini, dilengkapinya dengan berbagai kecenderungan yang saling berlawanan, dengan kekuatan memilih, kehendak, dan dengan berbagai macam pengetahuan rasional maupun data-data literal, serta dipenuhinya kondisi untuk melakukan berbagai perbuatan dan berada di hadapan dua jalan:
kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan keburukan. Tujuan diadakannya semua itu ialah sebagai lahan untuk berusaha secara bebas dan menerima berbagai cobaan agar mereka dapat memilih jalan kesempurnaannya berdasarkan kehendak dan usaha masing-masing, sehingga mereka akan memperoleh hasil dari usaha bebas tersebut, baik berupa pahala atau siksa.
Pada dasarnya, kehidupan dunia ini diciptakan untuk manusia sebagai tempat ujian dan lahan pembinaan kepribadian insaninya.
P: 302
Hingga detik-detik akhir hidup di dunia, ia tidak lepas dari ujian, cobaan, tanggung jawab, dan berbagai kewajiban. Akan tetapi, kita melihat bagaimana orang-orang yang baik dan orang-orang yang jahat tidak memperoleh pahala dan siksa yang sesuai dengan perbuatan mereka di dunia ini. Bahkan kita temukan kebanyakan orang jahat itu lebih banyak mendapatkan kesenangan daripada orang-orang baik. Kita sadari pula bahwa kehidupan dunia ini tidak dapat memenuhi ganjaran ataupun siksa atas orang-orang yang berbuat baik ataupun buruk. Misalnya, seorang penjahat yang telah membunuh ribuan orang yang tidak berdosa, tidak mungkin akan dihukum mati di dunia ini kecuali sekali saja. Dengan begitu, betapa banyak kejahatannya berlangsung tanpa terkena hukuman.
Padahal, sesuai dengan keadilan Ilahi, ia seharusnya mendapat balasan yang setimpal atas berbagai perbuatannya. (1) Dengan demikian, sebagaimana dunia ini adalah tempat ujian dan tugas, semestinya ada alam lain yang merupakan tempat pembalasan dan penampakkan hasil-hasil segenap perbuatan, agar setiap orang menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya, dan agar keadilan Ilahi terealisasi secara nyata. Untuk mengukuhkan argumentasi psikologis ini, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî mengutip sebuah ayat yang menegaskan bahwa ruh manusia itu ada, karena ruh adalah hakikat yang dinisbatkan kepada Allah SWT.” Dan ia meniupkan ke dalamnya dari ruh-Nya. (QS as-Sajdah: 9). Hal ini, menurutnya, tidaklah berarti bahwa ada sesuatu yang terpisah dari Zat Allah kemudian berpindah ke dalam tubuh manusia.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdî memastikan bahwa ruh bukanlah tubuh, bukan pula sebagai sifat-sifat dasar dan ciri-ciri khasnya, dan bahwa ruh—tanpa raga—memiliki potensi untuk tetap kekal. Dengan demikian, menurutnya, standar hakikat manusia itu adalah ruhnya yang dicabut oleh malaikat maut dan senantiasa kekal, bukan bagian-bagian tubuh yang mengalami kehancuran dan melebur di dalam tanah. (2)
P: 303
Kesimpulan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dari ayat-ayat tersebut adalah pertama, di dalam diri manusia terdapat suatu hakikat yang dinamakan ruh. Kedua, sesungguhnya ruh manusia itu dapat kekal dan mandiri dari tubuhnya. Ruh bukan layaknya aksiden dan forma dari materi, yang akan sirna ketika subjek yang menampungnya itu hancur.
Ketiga, sesungguhnya hakikat setiap orang itu terletak pada ruhnya.
Dengan ungkapan yang lain, hakikat setiap manusia itu adalah ruhnya.
Adapun tubuh manusia hanya berperan sebagai alat bagi ruh.
Setelah mengargumentasikan keniscayaan adanya kebangkitan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memasuki tema eskatologi paling rumit, yaitu ‘kebangkitan jasmani dan rohani”. Sekelompok para ahl al-hadîts dan para fuqaha' di kalangan muslimin meyakini kebangkitan fisik semata, karena roh atau spirit, menurut mereka, adalah materi yang ada dalam tubuh, sebagaimana api dalam batu bara atau arang. (1) Sebagian besar filsuf, terutama kaum Paripatetis, antara lain Ibn Sina, menganggapnya sebagai kebangkitan spiritual (rohani) semata, karena fisik telah musnah ketika terpisah dari jiwa, dan karena sesuatu yang telah tiada tidak akan kembali menjadi ada. Namun, para tokoh ‘irfan dan para filsuf serta teolog terkemuka, seperti Ghazali, dan sebagian besar teolog Syi'ah, seperti Mufid, Thûsî, Sayyid Murtadhâ, dan Hilli, meyakini kebangkitan sebagai peristiwa fisikal dan spirtitual sekaligus, sebagaimana dikutip oleh Mullâ Sadrâ. (2) Mullâ Sadrâ mengemukakan sebuah gagasan baru yang berusaha menghimpun rasionalitas kebangkitan rohani sekaligus jasmani dengan prinisp Jasmâniyyah al-hudüts wa ruhâniyyâh al-baqa'. (kebangkitan
P: 304
munculnya bersifat jasmani, namun keabadiannya bersifat rohani).
Maksudnya adalah proses terjadinya jiwa yang bersifat baharu dan berasal dari jasmani atau materi dan selanjutnya mengalami proses kesempurnaan melalui gerakan transsubstansial dan kemudian menyempurna menjadi rohani dan tetap abadi pada kondisi tersebut. (1) Pandangan ini sangat bertentangan pada umumnya dengan para filsuf pendahulu Mullâ Sadrâ, yang meyakini bahwa jiwa telah tercipta terlebih dahulu sebelum tubuh diciptakan, baru kemudian bergabung dengan fisik yang baru diciptakan tersebut. Bagi Mullâ Sadrâ, jiwa terjadi bersamaan dengan terjadinya fisik dan sama-sama berasal dari materi, ketika materi pertama terbentuk ada dua unsur utama yang membentuk materi tersebut, yaitu forma dan dasar materi (hayâlâ).
Perkembangan forma inilah yang kemudian teraktualisasi menjadi jiwa, sedangkan materi dasar teraktualisasi menjadi raga. (2) Di luar dugaan, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang rasionalistik
P: 305
meyakini kebangkitan rohani dan jasmani. Ia seakan mengabaikan sikapnya yang rasionalitik karena tidak kuasa mencari interpretasi rasional terhadap banyak ayat suci al-Qur'an yang menurutnya secara jelas menegaskannya. (1) Saat dikonfirmasi tentang hal ini, ia mengatakan bahwa pembuktian eskatologi dengan teks ayat dan riwayat adalah konsekuensi logis, karena alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, argumentasi-argumentasi Mullâ Sadrâ tentang kebangkitan sebagai rohani sekaligus jasmani, dengan didasarkan pada prinsip ruhâniyat al-baqâ' jasmâniyat al-hudûts, mampu menggabungkan metode rasional, mistik, dan tekstual.
Kedua, meyakini kebangkitan rohani dan jasmani tidak menegasikan inferensi rasional. Hal itu, karena setelah melewati pembuktian rasional atas keberadaan dan keesaan Tuhan (teologi), maka pembuktian prinsip kebangkitan (eskatologi) secara tekstual merupakan konsekuensi yang runut dan koheren dengan kenabian yang telah dibuktikan di dalamnya, yaitu kesahihan wahyu. Karena itu, keyakinan tentang eskatologi spiritual dan material, dengan pendekatan Mullâ Sadrâ, sama sekali tidak membuktikan inkosistensi dalam pendekatan rasional.
Ketiga, meyakini kebangkitan secara rohani akan melahirkan paradoks yang lebih menyulitkan, karena hal itu bisa memberikan konsekuensi bahwa kesenangan di sorga dan siksa di neraka hanyalah persitiwa psikis. (2)
P: 306
Dari serangkaian pembahasan analitis yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan umum, yaitu bahwa pandangan-pandangan kritis Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dalam filsafat tidak ditujukan untuk mendekonstruksi Filsafat Transendental Mullâ Sadrâ maupun Filsafat Peripatetis Ibn Sînâ juga Thabâthabâ'i, dan karena itulah ia tidak membangun sebuah mazhab baru, namun didasarkan pada sejumlah keberatan substansial, formal dan material, dalam ontologi, epistemologi dan teologi. Kritik dan gagasan alternatif yang disodorkan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam tiga bidang utama tersebut menurunkan konsekuensi-konsekuensi fundamental dalam bidang-bidang lainnya, seperti etika, filsafat politik, dan sebagainya.
Secara umum, pandangan-pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mencerminkan sosok rasionalis yang sangat berani mendobrak tradisi pemikiran filsafat yang menurutnya telah menjadi semacam postulat dan disakralkan. Sebagai bukti, ia membuat kavling-kavling pemikiran sesuai dengan cakupan pembahasan masing-masing. Karena itulah, dalam bidang ontologi, ia cenderung transendentalis; dalam bidang epistemologi, cenderung peripatetis, dalam bidang tafsir cenderung teologis (kalam), dan dalam bidang akhlak cenderung mistis. Sekalipun terkesan eklektik, ia mendalami semua bidang itu dengan penuh disiplin seraya menetapkan garis demarkasi masing-masing yang tidak dapat
P: 307
dilampaui (un-overlapped) satu sama lain. Setiap bidang tersebut digarapnya secara hati-hati dengan menggunakan metode yang khas, sistematis, dan tidak tumpang tindih dengan metode yang diperuntukan bagi bidang yang lain.
Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mampu mereformasi sejumlah pemikiran filsofis yang diwariskan Ibnu Sina, Suhrawardi, Mullâ Sadrâ, dan Thabâthabâ’î. Karena itulah, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat dianggap sebagai pelopor filsafat Neo-Peripatetik atau Transendentalisme non-mistis. Tidak hanya itu, kritisisme Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî seakan memberikan angin segar kepada para pelajar muda di hawzah 'Ilmiyah Qom untuk melakukan enovasi dan pengembangan wacana- wacana filsafat yang sebelumnya dianggap tabu, sensitif atau bahkan terlarang Langkah revolusioner Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang mendobrak hegemoni pemikiran Sadrian dinilai terlalu cepat. Akibatnya, gagasan-gagasannya dan usaha untuk melakukan reformasi paradigma filsafat di hawzah 'Ilmiyah Qom tidak mendapatkan sambutan yang diharapkan. Guna menampung arus besar kalangan muda yang progresif inilah, ia membangun sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menambal kekurangan metodis hawzah sekaligus menjawab tantangan pemikiran kontekstual.
Menurut Penulis, meskipun Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dikenal sebagai pengritik Transendentalisme Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’i serta para filsuf hawzah 'Ilmiyah Qom segenerasinya, namun sebetulnya ia belum sepenuhnya berhasil membangun sistem filsafat yang utuh, skematis, dan komprehensif. Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî terlihat gamang dan ragu-ragu dalam melakukan konfrontasi filsufis secara terang-terangan dan sistematis di hawzah 'Ilmiyah yang sampai sekarang masih sangat dipengaruhi pandangan filsafat Mullâ Sadrâ, yang diproteksi murid-murid Thabâthabâ'i, yang juga rekan-rekan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sendiri, seperti Jawadi Amolî, Hasan Hasan Zâdeh Âmulî, dan Murtadha Mutahhari. Kendati demikian, harus
P: 308
diakui betapa kuat pengaruh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî di sebagian filsuf muda dan guru-guru filsafat. Bagi mereka, berguru padanya adalah kebanggaan yang seringkali melengkapi kata pengantar karya- karya metafisika, filsafat agama dan teologi baru mereka.(1) Penulis juga menyimpulkan bahwa pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî pada mulanya belum pernah dipresentasikan secara akademis serta dibahas dan didiskusikan kalangan pemikir kritis yang berbeda aliran dengannya. Karena itulah, sebagian muridnya beranggapan bahwa figur Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadi besar bukan karena kekuatan dan ketajaman pandangannya, melainkan lebih disebabkan keberaniannya melawan arus utama pemikiran filsafat di hawzah ilmiah.
Namun demikian, dalam banyak kuliah filsafat Mullâ Sadrâ, catatan-catatan kritis dan teori-teori baru Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî acapkali diketengahkan sebagai suatu indikasi atas kekuatan argumen-argumennya yang layak dipertimbangkan. Hingga terbitnya buku 10 jilid Rahîq Makhtûm karya Javâdî Amoli yang merupakan syarh terrnci atas dua jilid pertama Asfar Arbaah, dan diangkatnya semangat nasional “Kursi Nazariyeh-e Pardazi” (forum penggagasan teori baru) oleh Ali Khamenei, pandangan-pandangan dan kritik-kritik Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mulai menarik perhatian dan didiskusikan kalangan pemikir kritis yang berbeda aliran dengannya. Hanya, sayang, bahasan dan diskusi ini tidak memancing tanggapan lisan dan tulisan dari Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, sehingga proses diskusi dialogis di antara mereka sampai sekarang pun tidak terjadi.
Berikut beberapa kesimpulan penulis yang disertai dengan catatan kritis:
P: 309
Dalam epistemologi, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang menganggap seluruh konsep harus tunduk pada formulasi logika peripatetik. Dalam hal ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî bersikukuh bahwa meskipun ilmu dengan kehadiran (film hudhûrî atau knowledge by presence) diakuinya sebagai induk segala pengetahuan, namun ilmu hushûlî tetap merupakan sarana yang secara koheren menjembatani antara subjek dan objek.
Penulis menemukan inkonsistensi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî di balik pandangan-pandangan kritisnya dalam epistemologi.
Dengan tetap mengaku sebagai penganut Sadraisme—karena meyakini ashâat al-wujûd—ia menolak memasukkan ilmu hudhûrî sebagai bagian dari metodologi dan justifikasi filsafat ontologi. Padahal dalam pandangan filsafat Mullâ Sadrâ dan Thabâthabâ’î, karena pengetahuan diperlakukan sebagai maujud, epistemologi menjadi bagian integral dari ontologi, berdasarkan kaidah ‘ittihâd al-âqil wa al-ma'qûl’. Rupanya, karena menghindari keterlibatan dzauq dalam filsafat, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî melakukan sebuah aksi eklektik dengan tetap memulai pembahasan filsafat dari pengetahuan. Secara singkat, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî mendahulukan pengetahuan atas keberadaan (wujud).
Dengan kata lain, ia ingin mensitesakan filsafat Mullâ Sadrâ yang teosofis dan filsafat Ibn Sina yang skolastik.
Namun, dengan merujuk karya utamanya, Âmûzesy-e Falsafeh dan Ta'lîgah bar Nihâyat al-Hikmah, dapat dipastikan bahwa penolakan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî atas keterlibatan ilmu hudhûrî dalam filsafat ontologi hanya sebatas motode pembuktian atas proposisi- proposisi spekulatif (nazharî). Ia menegaskan bahwa jangkauan ilmu hudhûrî dalam memecahkan persoalan-persoalan ontologis dan teologis sangatlah terbatas, sehingga jenis ilmu ini, meski tetap dipandang penting dan krusial, mendapatkan ruang yang sempit sekaligus tinggi. Ketinggian tempat ilmu hudhûrî dalam ontologi, menurut Muhammad Taqi Mishbâh
P: 310
Yazdî, dikuatkan oleh kepercayaannya pada foundasionalisme dan oleh padanngannya bahwa ilmu hudhûrî adalah salah satu basis pengetahuan- pengetahuan badîhî.(1) Kedua, ilmu hudhûrî telah dikenal sebagai salah satu ciri khas filsafat Islam, sejak awal diketengahkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina dan Surhawardî. Tokoh yang berperan penting dalam pengembangan jenis ilmu ini adalah Mullâ Sadrâ. Pada masa Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, ilmu hudhûrî yang terus dikaji akhirnya didefiniskan secara beragam.
Paling tidak, ada enam definisi untuk ilmu hudhûrî,(2) di samping tentunya definisi yang ia ajukan sendiri. Hingga kini, definisi Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî lebih diterima dan menjadi postulat kajian-kajian seputar ilmu hudhurî. (3) Namun, menurut penulis, satu hal yang diabaikan oleh Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dalam pembahasan ilmu hudhûrî ialah kriteria suatu pengetahuan itu dipastikan sebagai ilmu hudhûrî. Pembelaan terkecil yang bias dibawakan di sini ialah bahwa meski hingga kini, masalah kriteria ilmu hudhûrî telah menuai tiga teori yang dikemukakan oleh Ibn Sina, Thabâthabâ’î dan Mutahhari, namun ketiga-tiganya merujukan penjelasan mereka pada kajian-kajian ontologis, (4)suatu hal yang boleh jadi tidak terkait langsung dengan kajian epistemologis.
Pembelaan ini kecil mengingat penjelasan ontologis atau apa pun sifatnya selama ia intelektual dan reasonable, dapat dijadikan sebagai interpretasi atas sebuah persoalan suatu ilmu, dan penjelasan ontologis yang diajukan oleh tiga filsuf tadi tidak serta merta merusak identitas masalah yang djelaskan dari sifatnya sebagai epistemologi, sebagaimana wahdat al-wujûd dalam tasawuf tidak akan berubah dari cirinya sebagai prinsip tasawuf kendati telah dibuktikan oleh Mulla Sadrã dengan sistem filsafatnmya.
P: 311
Ketiga, pada umumnya, para filsuf Muslim menganut fondasionalisme. Mereka percaya bahwa korespondensi semua pengetahuan manusia dengan fakta mereka harus dijastufikasi berdasarkan satu atau sejumlah basis pengetahuan yang tidak perlu lagi justifikasi. Mereka menyebut basis-basis pengetahuan itu sebagai badîîhiyyât awaliyyah (propisisi-proposisi aprior primer). Persoalannya, mengapa premis-premis aprior (badîhî) ini tidak perlu lagi justifikasi untuk memastikan korespondensinya dengan faktanya? Biasanya pertanyaan ini dijawab dengan menyatakan bahwa dalam pengetahuan-pengetahuan basis, sebab kepastian itu ada di dalam proposisi itu sendiri, yaitu sekadar memahami subjek dan predikatnya secara baik maka kepastian/jugement pun diperoleh. Namun, bagi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, pengetahuan-pengetahuan badihi itu sebenarnya berasal dari ilmu hudhûrî melalui proposisi-proposisi analitik (gadhâyâ tahliliyyah), dan pengetahuan itu pasti benar dan sesuai dengan faktanya karena sumbernya, yakni ilmu hudhûrî tidak akan pernah keliru sebagaimana telah dijelaskan.(1) Menurut penulis, teori Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî ini benar- benar baru sehingga menuai banyak gugatan dan tanggapan. Sejauh ini, hanya satu catatan kritis yang mengganggu konsistensi teori tersebut, yaitu bahwa tidak semua pengetahuan (hushûlî) dapat diurai kepada proposisi analitik sehingga dirujukkan kepada ilmu hudhûrî.
Keempat, sebagaimana diketahui, epistemologi dalam kajian-kajian filsafat Islam terbilang baru. Tema ini tidak akan ditemukan dalam karya-karya para filsuf muslim terdahulu kecuali secara sporadis.
Tokoh yang pertama kali mendiskripsikannya atas dasar filsafat Islam adalah Thabâthabâ’i dalam Ushûl-e Falsafeh va Rawesy-e Realism.
Upaya ini dilanjutkan oleh Muthahhari dengan memberikan komentar- komentar terinci atas karya ini. Faktor dominan yang mendesak mereka mengambil langkah ini adalah masuknya karya-karya filsafat Barat dan interaksi mereka deengan pemikir-pemikir Barat, serta merebaknya
P: 312
filsafat Marxisme pada masa itu. Selanjutnya, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî turut menyusun epistemologi yang berbasis di atas tradisi filsafat Islam, seperti yang tampak dalam karyannya, Jahân-bînî wa ideology dan Âmûzesy-e Falsafeh.
Jelas, dinamika sejarah dan zaman telah memberikan peluang yang lebih luas untuk Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sehingga ia dapat merangkum berbagai banyak pandangan dari dalam dan luar negerinya dan membantunya untuk mendiskripsikan epsitemologi Islam secara lebih rapi, utuh dan kaya dari yang telah dilakukan sebelumnya.
Kendati sekian kelebihan ini, sejauh pengamatan penulis, epistemologi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî masih menyisakan persoalan-persoalan baru yang belum terjamah dalam karya-karyanya, seperti topik-topik yang berkaiatan dengan pengetahuan indrawi.
Kelima, proposisi analitik semirip ketat dengan apa yang dikenal dalam filsafat Mullâ Sadrâ dengan istilah haml awwali dzâtî (predikasi konsep atas konsep) dengan penjelasan yang telah dibawakan. Padangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat disimpulkan bahwa dalam proposisi analitik mesti ada kopula (râbith), tetapi rabith ini tidak mesti wujud; yakni wujud râbith.(1) Ia hanyalah hubungan logis yang mesti dalam analisis mental, dan ini tidak mesti ia sebagai wujud, karena ada banyak hal yang berkembang dalam konstruksi mental (i'tibâriyyât aql/ mafhûm intizâ'i, maʼqûl tsânî manthiqî) yang sama sekali tidak punya acuan di luar mental, seperti proposisi, universal, partikular, dan konsep- konsep sekunder logis lainnya.
Pandangan ini sebenarnya melawan pandangan gurunya yang menegaskan bahwa dalam proposisi primer, termasuk proposisi analitik, tidak ada râbith. Perselisihan ini akan menjadi krusial tatkala dihubungkan dengan ashâlat al-wujûd. Menurut Thabâthabâ’î, setiap hukum yang dinisbahkan kepada mâhiyyât, pada dasarnya adalah hukum wujud, lalu dengan wujud, hukum itu berlaku pada mâhiyât, baik itu itu sifat-sifat aksidental mâhiyât ataupun sifat-sifat substansialnya(2)
P: 313
Namun bagi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, meski ia tepat pada hukum-hukum aksidentalmâhiyyat(dimana keberlakuannya pada mahiyat berlangsung dengan wujud), akan tetapi tidak demikian pada hukum- hukum substansial mâhiyyat, sperti hewan untuk mâhiyyat manusia, sebab predikasi hewan pada manusia menjadi benar hanya dengan kesatuan konseptual saja, oleh karena itu tidak perlu mengasumsikan kesatuan itu adalah wujûd ashîl itu”.(1) Tampaknya, apapun predikasi dalam setiap proposisi, baik analitik ataupun sintetik, baik awwali ataupun syayi' shinâ'i, pasti melazimkan adanya semacam kesatuan. Dalam kaidah dasar filsafat, kesatuan itu musâwiq (identik seketat-ketatnya) dengan wujûd. Karena itu, sekalipun kesatuan itu dalam poros konsep, tetap saja wujud terselubung di sana, yakni kesatuan subjek dan predikat atau kesatuan dua konsep dalam satu proposisiyaitu keterbuhungan dua sesuatu, dan jelas sekali keterhubungan ini adalah bagian dari corak wujûd. Bagaimanapun juga, w ujûd tidak bisa diasumsikan lepas dari suatu gejala.
Pandangan-pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menentukan pilihannya pada Esksistensialisme (ashâlat al-wujûd) yang karena itu ia masih dianggap sebagai filsuf Sadrian. Berkenaan dengan masalah ini, penulis menemukan, paling tidak dua hal, yang perlu dikritisi.
(1) Para pendukung ashâlat al-wujûd, termasuk Mullâ Sadrâ, Thabâthabâ’î dan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî terlihat tidak konsisten saat mendefiniskan mahiyyah. Kadang, mendefinisikannya sebagai sesuatu yang bersufat mental, kadang juga di eksternal. Sebagai contoh, dalam argumentasi pengafirmasian ashâlat al-wujûd dan penegasian ashâlat al-mâhiyyah, digunakan mahiyyah dengan “al-mâhiyyah fi haddi nafsihâ, laysat maujûdah wala ma’dûmah” atupun dengan istilah “al-
P: 314
mâhiyyah lâ bi al-syarth”. Sedangkan dalam al-Masyâ ir, Mullâ Sadrâ mengatakan “al-mâhiyyah ‘ain al-wujûď”, (mâhiyyah adalah wujud itu sendiri) dan dalam bagian lain, ia mengatakan, “al-mâhiyyah hiya hadd al-wujud” (mâhiyyah adalah sparator wujûd); (2) Sejak Mullâ Sadrâ hingga Thabâthabâ’î, tidak terjadi perubahan pendefinisian ma`qûl awwalî dan ma`qûl tsanawi. Ketika membagi pengetahuan universal menjadi dua bagian; ma`qûl awwalî mahawi (first esential intelligible) dan ma'qûl tsanawî falsafi (philosophical second intelligible), Mullâ Sadrâ hingga Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, tidak memberikan perubahan makna yang sesuai dengan paradigma ashâlat al-wujud. Para filsuf mengartikan ma'qûl awwalî mâhawî sebagai “wujuduha wa ‘urudhuha khârijiyyan (eksistensi dan predikasinya bersifat eksternal). Sedangkan untuk maʼqul tsanawi falsafî sebagai “wujuduha dzihni wa ‘urudhuha khâriji (eksistensinya bersifat mental dan predikasinya bersifat eksternal. (1) Definisi di atas terhadap kedua bagian dari pengetahuan universal tidak sesuai dengan paradigma ashâlat al-wujûd, karena mâhiyyah (ma`qûl awwalî mâhawî) tidak memiliki nilai eksistensi eksternal, sesuai pandangan ashâlat al-wujûd, dan yang memiliki nilai eksistensi eksternal hanyalah wujud. Sedangkan wujud masuk dalam bagian definisi ma`qûl tsânawi falsafi, dan ini sama sekali tidak sejalan dengan pandangan dan paradigma ashâlat al-wujûd. Selain itu, dalam pembahasan quiditas (mâhiyyah) dan pembagiannya menjadi dua; jawhar dan 'aradh, mazhab Hikmah Mutâ’âliyah mendefinisikan jawhar dengan “in wujidat wujidat lâf maudhũ” (yang ada sebagai penyandang, subjek), dan 'aradh dengan “in wujidat wijidat fi maudhu” (hanya ada sebagai sandangan, predikat) . Dari definisi yang mereka paparkan, jelas ada nilai wujûdiyyah bagi jawhar dan 'aradh di eksternal, dan ini lebih sesuai dengan definisi ma`qûl awwalî mâhawî yang belum diubah pendefinisiannya. Menurut penulis, inilah salah satu bukti inkonsistensi penggunaan kata dan definisi mâhiyyah.
P: 315
Kedua, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang wujûd râbith (wujud kopulatif) jelas berbeda dengan tradisi filsafat Islam. Para penganut ashâlat al-wujûd percaya bahwa wujud yang dibawa dalam topik ashalat al-wujud bukan semata-mata konsep wujud, akan tetapi mishdâq (hakikat real)-nya di luar. Hakikat riil wujud ini mencakup wujud predikatif (mahmûlî) dan wujud kopulatif (râbith). Bagi Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî, wujud kopulatif tidak termasuk dalam pembahasan ashâlat al-wujûd, karena ia semestinya dibahas dalam ilmu mantiq.
Alasan ini diperkuat dengan sanggahan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî atas penjelasan wujud kopulatif (râbith) yang diuraikan gururnya dalam Nihâyat al- Hikmah. Atas dasar inilah ia percaya bahwa pembahasan ashâlat al-wujûd menjadi tepat setelah dibahas pembuktian atas validitas satu macam wujud; yaitu wujud predikatif (mahmûlî). (1) Dalam pandangan penulis, wujud atau kakikat riil wujud mencakup wujud redikatif (mahmuli) dan wujud kopulatif (râbith), dan pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidaklah benar, karena pembahasan tentang asas wujud kopulatif itu sendiri adalah pembahasan filsufis, sementara mantiq membahasnya dalam batas-batas sifat dan hukum- hukumnya. Ini persis ketika filsafat membahas wujud-nya keniscayaan (dharûrat) dan kemungkinan (imkân) secara prinsipal, kemudian logika membahas pembagian proposisi-proposal formal atas dasar keniscayaan dan kemungkinan itu.
Selain itu, filsafat tidak hanya membahas prinsip wujud kopulatif, bahkan wujud ini juga menadi aksis untuk banyak argumentasi- argumentasi filsufis; termasuk salah satu bukti atas ashâlat al-wujûd.
Oleh karena itu, Mullâ Hâdi Sabzawârî menuturkan dalam syairnya:
Andai saja wujud itu bukan ashil tak kan ada kesatuan Sebab selain wujud hanyalah sumber keragaman(2)
P: 316
Artinya, bila wujud tidak orisinal, maka wujûd râbith yang merupakan bagian dari wujûd muthlaq adalah i’tibârî, dan dengan demikian maka predikasi dalam setiap propopsisi yang berbeda subjek dan predikatnya tidak akan pernah terjadi, karena predikasi (haml) selain adanya perbedaan, mesti ada kesatuan, tentunya dari sisi yang berbeda. Oleh karena itu, ashâlat al-wujûd dan wujud râbith sangat menentukan prinsip predikasi dan proposisi dalam pembahasan-pembahasan logika.
Ketiga, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menerima harakah jawhariyyah yang digagas oleh Mullâ Sadrâ. Menurut pengamatan penulis, Mullâ Sadrâ, Thabâthabâ’i dan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî lalai untuk membatasi gerak pada subtansi material. Bila ditelisik lebih jauh, yang dimaksud dengan gerak substansi adalah gerak pada subtansi material semata, tidak meliputi subtansi abstrak (aql) dan semi abstrak (nafs). Hal ini bisa menimbulkan kesimpulan yang membigungkan.
Keempat, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menolak konsep harakah ardhiyyah, yang menurutnya tidak berhubungan dengan hukum kausalitas. Menurut penulis, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang menolak harakah ardhiyyah lebih karena pembatasannya pengertian kausalitas pada arti utama kausalitas. Padahal dalam Ma’âref-e Qor'ân, dalam pembahasan peristiwa-peristiwa kosmik (hawâdits kauniyyah) dan relasinya dengan mukjizat, ia secara implisit menerima kausalitas menyamping. (1) Dengan kata lain, penolakan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî terhadap ‘gerak menyamping' ini lebih didasarkan pada faktor pemahaman yang tidak komprehensif terhadap kausalitas.
Kelima, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tidak hanya menerima rute menanjak dalam gerak substansi, harakah jawhariyyah shu'ûdiyyah, sebagaimana Mullâ Sadrâ. Namun juga meyakini adanya rute menurun dalam gerak substansi, yaitu harakah jawhariyyah nuzûliyyah. Menurut penulis, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî yang menambahkan rute ‘menurun' dalam harakah jawrahiyyah seakan mengabaikan prinsip bahwa segala sesuatu mesti kembali kepada titik kesempurnaan. Apa
P: 317
yang dilukiskan oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî sebagai “gerak menurun' sebenarnya bisa dianalisis sebagai proses “menanjak' sesuai dengan karakteristik setiap entitas material.
Keenam, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menolak wujud hayâlâ (hyle atau materi murni)—yang diyakini Mullâ Sadrâ dan para filsuf Muslim lainnya, termasuk Thabâthabâ’î, gurunya- sebagai potensia kosong. Menurut penulis, gagasan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tentang substansi ini sangat kuat secara ar- gumentatif. Hanya saja, penulis menyayangkan pembagian substansi ini tidak tercermin dalam Amuzesy-e Falsafeh. Ia tetap membagi substansi menjadi lima; ‘aql, nafs, jism, mâddah dan shûrah.
Dalam bidang teologi, padangan-pandangan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî tetap konsisten menerima konsekuensi-konsekuensi ontologis dari gagasan yang diajukannya.
Hanya saja, ia dengan tegas menolak dasar teks sebagai titik awal argumentasi rasional. Namun, ia tidak berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut dapat diperlakukan sebagai premis-premis dan diargumentasikan dalam silogisme dan deduksi.
Kedua, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî tidak menggun- akan istilah kalam, namun khodâ shenâsî. Khodâ berarti Tuhan dan Shenasi berarti pengetahuan. Agaknya, inilah yang lebih tepat diartikan ilâhiyât daripada kalam.
Menurut pengamatan penulis, penggunaan istilah kalam atau ilahiyat, tidak memiliki signifikansi yang besar, karena yang lebih penting dari istilah adalah metode, sistematika dan validitas argumentasinya. Bila Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî konsisten untuk tidak menggunakan istilah kalam, maka semestinya ia tidak menggunakan metode kalam.
Nyatanya, ia dalam sebagian karyanya tidak bersikap filsufis, bahkan setelah mengundurkan diri sebagai dosen filsafat di hawzah 'Ilmiyah
P: 318
Qom sejak lima tahun lalu, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî mulai menunjukkan kecenderungan mistis dalam sebagian Falsaafeh-ye Akhlâq (3 jilid) dan kecenderungan kalam dalam sebagian buku serial Porsyekh-ha va Pasukh-ha yang memuat tanya jawab seputar konsep Welâyat-e Faqîh.
Ketiga, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menjadikan rasio sebagai dasar pembuktian tema-tema ketuhanan dan tema-tema mayor lainnya.
Menurut penulis, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam sebagian karyanya terlihat tidak sepenuhnya konsisten dengan pendekatan filsufis. Saat dikonfirmasi akan ‘inkosistensi ini, Muhammad Taqî Mishbâh Yazdi dalam wawancara dengan penulis, menjustifikasinya dengan klasifikasi tingkat pembaca. Menurutnya, demi tujuan dakwah, tema 'pandangan dunia' bisa dijelaskan secara kalam bila ditujukan kepada para pembaca non akademis. Bagaimanapun, katanya, pengajian filsufis hanya bisa dicerna oleh kalangan akademis. Dalam hal ini, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî menggunakan metode kalam bila menulis buku-buku non daras.
Keempat, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memperlakukan teks- teks suci, ayat al-Qur'an dan Hadis, dalam konteks pembahasan ketuhanan dan turunannya, sebagai premis-premis, baik badîhiyyah maupun nazhariyyah, seusai hasil inferensi yang diperolehnya. Menurut hemat penulis, pembagian Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî terhadap ayat-ayat al-Qur’an pada ayat-ayat instruktif (takîifiyyah), ayat-ayat deskriptif (taw shîfiyyah) dan ayat-ayat argumentatif (istidlâliyah) malah menunjukkan adanya ayat-ayat yang tidak bisa diargumentasikan atau diperlakukan sejak semula sebagai premis-premis yang tunduk pada inferensi logis. Karena itulah, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî pada akhirnya mengakui bahwa teks-teks suci dapat dijadikan sebagai dasar pendukung dalam pembahasan ketuhanan, bukan dasar utama bila diperlakukan sebagai wahyu yang melampaui piremis.
Keenam, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî berpendapat bahwa tema ketuhanan dan Kenabian tidak bisa dibuktikan dengan teks suci, karena al-
P: 319
Qur'an dan Hadis merupakan produk dari prinsip kenabian. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa tema-tema yang merupakan produk dan konsekuensi dari prinsip kenabian dapat secara langsung diargumentasikan dengan menjadikan teks-teks suci yang telah divalidasi sebagai bagian dari prinsip kenabian pada pembahasan sebelumnya. Menurut hemat penulis, pandangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî ini mempertegas sikapnya yang tidak menggunakan pendekatan kalam.
Ketujuh, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî beranggapan bahwa ketuhanan dan kenabian bukanlah bagian dari bidang agama, karena keyakinan akan agama merupakan konsekuensi dari prinsip kenabian yang mesti diargumentasikan secara rasional, bukan tekstual. Menurut hemat penulis, Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî memposisikan agama sebagai syari'ah semata dengan merujuk kepada arti primer kata dîn, yaitu aturan. Hal ini memperjelas susunan keyakinan yang dimulai dari ketuhanan (mabda') dengan semua subtema sifat-sifatNya dan berujung pada kebangkitan (ma`ad).
Kedelapan, tauhid, menurut Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî, mesti memenuhi tiga syarat minimal, yaitu: tauhîd fi al-dzât, tauhid fi al-khaliqiyyah, tauhîd fî al-rubûbiyyah dan tauhîd fi al-ulûhiyyah.
Menurutnya, kaum kafir Quraisy yang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta, tetap dianggap sebagai musyrikin karena tidak meyakini Allah sebagai Rabb. Pandangan Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî ini, sejauh pengamatan penulis, belum pernah dikemukakan oleh selainnya. Meski demikian, perluasan tauhid pada dimensi selain dzât dan khâliqiyyyah cukup menunjukkan dirinya sebagai seorang fundamentalis.
Dengan memasukkan tauhîd fi al-rubûbiyyah al-tasyri yyah sebagai salah satu syarat tauhid, menulis menyimpulkan bahwa ia memasukkan semua kelompok yang tidak meyakini hukum agama sebagai undang- undang negara dan aturan individual sebagai prilaku politeistik. Inilah yang sangat mungkin menjadi landasan sikapnya yang sangat revolusioner dan fundamentalis. Itu berarti ia seorang rasionalis pada bidang filsafat dan pemikiran, sekaligus konservatif dalam bidang agama dan hukum.
P: 320
Boleh jadi, ia menganggap sikap konservatif itu diterimanya sebagai konsekuensi rasional dari prinsip tauhîd fi al-rubûbiyyah al- tasyri`iyyah yang dipahaminya sebagai sebuah premis yang sangat valid. Menurutnya, produk dari sebuah premis yang diyakini rasional tidak semestinya diargumentasikan lagi secara rasional, karena ia secara langsung merupakan premis minor dari premis mayor yang telah diafirmasi sebelumnya.
Dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan, berikut ini adalah saran-saran yang penulis dapat ajukan:
Pertama, seperti telah disebutkan bahwa penelitian mengenai pemikiran Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî masih jarang ditemukan, khususnya di Indonesia dalam bentuk tesis maupun disertasi. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemikiran-pemikiran Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî dalam bidang-bidang lain seperti kosmologi, eskatologi demi memperkaya khazanah pemikiran Islam dalam bidang filsafat.
Kedua, diperlukan pula penelitian terhadap kiprah dan aktivitasnya dalam mereformasi sistem pengajaran filsafat secara khusus dan sistem pendidikan hawzah 'Ilmiyah Qom secara umum. Hal ini diperlukan karena pemikiran khas Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî berimplikasi terhadap usahanya untuk mensandingkan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), sebagaimana telah dirintisnya dengan mendirikan Institut Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini.
Ketiga, untuk mendukung penelitian lebih lanjut tersebut, perlu juga diperkaya mengenai buku-buku yang ditulis oleh Yazdi, baik dalam bahasa aslinya maupun terjemahan untuk membantu dalam memahami ide-idenya.
Keempat, diperlukan pula sebuah riset khusus tentang konsep filsafat politik yang dikemukakan oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî
P: 321
sebagai langkah untuk melakukan komparasi antar beragam konsep sistem pemerintahan Islami, baik di Indonesia maupun lainnya, serta relevansinya dengan konteks kekinian dan kesinian.
Kelima, pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî merupakan pemikiran yang memiliki corak tersendiri sehingga harus dipahami secara mendalam. Untuk itu, diperlukan alat analisis yang tajam, baik metode maupun pemahaman mengenai filsafat, terutama penguasaan terhadap latar belakang budaya dan sosial masyarakat Iran pada umamnya, dan hawzah 'Ilmiyah Qom pada khususnya. Karena itu, sangat diperlukan adanya kerjasama dalam bidang pendidikan antar perguruan tinggi Iran, terutama pusat-pusat pendidikan di hawzah 'Ilmiyah Qom dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagai perguruan tinggi Islam terbesar di Indonesia.
Keenam, pemikiran filsafat Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî perlu dan karya-karyanya, terutama dalam filsafat, perlu diperkenalkan dan didiskusikan dalam forum akademis demi memberikan gambaran bahwa Syi'ah, sebagai pasangan mazhab Sunni di dunia Islam, bisa dilihat dari perspektif filsafat dan pemikiran, bukan hanya dari perspektif fikih dan sejarah yang sangat sensitif dan membuka peluang konflik dan kesapahaman sektarian. Sudah banyak intelektual Muslim di Indonesia, seperti Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang berusaha mengajak umat Islam yang bermazhab Sunni untuk melihat Syi'ah dari persepktif filsafat dan budaya. Karena dengan dua perspektif ini, peluang untuk menumbuhkan toleransi dan tukar menukar khazanah pemikiran bisa terbuka.
Selain itu, kedatangan Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî ke Indonesia dan kunjungannya ke beberapa perguruan tinggi di Indonesia serta pertemuannya dengan sejumlah cendekiawan beberapa tahun lalu dapat dianggap sebagai langkah awal bagi usaha mulia ini. Penulis menyarankan agar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, sebagai perguruan tinggi Islam terkemuka, menjalin kerjasama dalam pelbagai bidang,
P: 322
terutama pertukaran mahasiswa dengan Reasearch and Education Imam Khomeini Institute yang dipimpin oleh Muhammad Taqi Mishbâh Yazdî di masa mendatang.
P: 323
P: 324
A. Buku
Acikgence, Alparslan “Sistem Pemikiran Filsafat: Sebuah Model yang
Islami”, Jurnal al-Huda, Vol. I, No. 2, 2000.
Adian, Donny Gahral. Matinya Metafisika Barat, Jakarta: Komunitas
Bambu, 2001.
Amoli, Hasan Zadeh, On the Sky of Gnosis, Entesharat e Tashayyu',
Qom, 1997
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Shadr, Reza. al-Falsafah al-'Ulya, Qom: The Center of Publication of
the Office of Islam Propagation, 2000.
Ashtiani, Jalal al-Din. The Existence from View Point of Philosophy
anda Mysticism, Teheran: The Center of Publication of the Office of
Islamic Propagation, 1375HS/1994 M.
_. Syarh Ahwâl wa Aray-e falsafi Molla Sadrâ, second edition,
Qom: The center of publication of the office of Islamic Propagation,
1378 H/1957M.
Asytiani, J. Syarh Ahwâl wa Aray-e falsafi Mollâ Sadrâ, second edition,
Qom: The center of publication of the office of Islamic Propagation,
1378 H/1957M.
Barten, Kamus Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Blackburn, Simon. “Philosophy”, The Oxford Dictionary of Philosophy,
Oxford: Oxford University Press, 1994.
Bostock, Aristotle: Metaphysics Books Z and H. Oxford: Clarendon
P: 325
Press, 1994
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: RajaGrafindo
Perkasa, 2001.
Chisholm, R.M. Theory of Knowledge. California: Sage Publication,
2000.
Corbin, Henry Tarikh Al-Falsafah Al-Islamiyyah, terjemah Arab Uwaidat,
Beirut, 1983.
__ History of Islamic Philosophy, London: Keagan Paul
International Limited, 1983.
- The Book of Metaphysics Penetrations, Paris-Teheran;
Adrien-Maisonneuve, 1965
Creswel, John W. Qualitative Inquiry and research design, Choosing
among Five Traditions, California: SAGE Publications Inc., 1997.
Denzin, N. K. Interpretive Biography, Newbury Park, CA: Sage, 1989.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, edisi III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Dinani, Gholam Hosain Ibrahim. The Adventure of Philosophical
Thought in the Muslim World, Tehran: Vezarat e Farhang va Ershad
e Eslami, 1999, vol 3.
Echols, John M. and Shadily, Hasan. Oxford Advanced Learner's,
Dictionary of Current English, Gramedia, Jakarta, 1984.
Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Eshkawari, M. Fana’ee. Secondary Intelligible (Ma'qol e Tsani), Qum:
The Imam Khomeini Education and Reasearch Institute, 1997.
,,Fana'ee. Elm-e Huzhuri, Qum: The Imam Khomeini Education
and Research Institute, 1997.
Fa’ali, M.T. Maʼrefat Shenasi Dini va Moasher, Teheran: Anjuman
Falsafeye Syohansohi Iron, 1366 HS/1983.
Faqihi, Ali Asghar. Tarikh-e Mazhabi-ye Qom, Hekmat, 1997.
Foulquie, Paul. Falsafah-e 'Umûmi yâ Mâ Ba’da Thabíah, terjemahan
Yahya Mahdawi atas karya, Treité élémentaire de philosophie, Paris,
1951.
P: 326
Haeri, Mehdi. The Pyramid of Existence, Cultural Studies anda Reseach
Institute, Teheran, 1983.
Al-Ghazali, Tahậfut al-Falâsifah, Mesir: Darul Ma'arif, 1972.
Al-Hakimi, Muhammad Ridha. Mazhab e Tafkik dar Falsafeh, Teheran:
Daftar e Nasyr e Farhang e Islami. 1997.
Al-Khunsari, Raudhat Al-Jannat, Al-Maktabah Al-Haydariyyah, Teheran,
1312 H.
Hakim, Sayyid Muhammad Baqir. Al-Hawzah ILMIYAH Nusyu'uha,
Qum: Intisyarat Markaze Asnad-e Enqqlab-e Islami, 2000.
Hashem, Razi. Hikmat e Khosrovani, Tehran, Iran: Behjat publications,
2000.
Hasti Syenasi, Qom: Moasseseh Amuzesyi pezuhesyi Imam Khomeini,
Intisyarat-e Muasseseh wa Pezuhesyi Imam Khomeini, 1999.
Heidegger, Martin. Sein und Zeit, Tubingen; Max Niemeyer, 1953.
Hoesin, O.A. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Idris, Hani. Mâ ba’da al-Rusydiyyah, Beirut: Dar al-Ma'arif, 1408
H/1996 M.
Imam Khomaini, Pandangan, Hidup dan Pejuangan, al-Huda, cet. Ke-2,
2005.
Islami, Muhammad Taqi. Zendegi Nameh Hadhrat Muhammad Taqi
Mishbâh Yazdî, Qum, Intisyarat Partu Wilayat, 1382 HS/2000 M.
Islami, Muhammad Taqi. Zendegi Nameh Muhammad Taqi Mishbâh
Yazdî, Qum, Intisyarat Partu Wilayat, 1382 HS/2000 M.
Izutsu, Toshihiko dan Mohaghegh, Mehdi. The Metaphysics of Sabzavari,
New York: Caravan Books, 1977.
Jameeh Modarresin Hauzeh Ilmiyeh Qom, Az`Aghaz'ta Aknun, Markaz
Asnad-e Inqilab-e Islami, vol. VI, 2007.
Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandar
Maju, 1996.
Kazhim, Musa. Buku Daras Filsafat, Bandung: Mizan, 2003.
Muhammad Taqî Mishbâh Yazdî, Mizan, Bandung: 2003.
Khamenei, Gozoresyi az Sabiqeh-e Tarikhi wa Auzha-e Konuni Hawzah
P: 327
ILMIYAH Mashad, Qom: Jameeh Modarresin, 1992.
Kim, Jaegwon dan Sosa, Earnest (ed), A Companion to Metaphysics,
United Kingdom: Blackwell Ltd., 1995.
Labib, Muhsin. Ahamdinejad, David di Tengah Angkara Goliath, Jakarta:
Hikmah, 2006.
. Para Filsuf Sebelum dan Sesudah Mullâ Sadrâ, Jakarta:
Al-Huda, 2004
Lalande, Andre. Vocabulaire Technique ef Critique de la Philosophie,
terj. Parsi Gholam Reza, 2000.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis.
Bandung: Mizan, 2001.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah
Kritis Tentang Masalah Keislaman, Kemanusiaan dan Kemodernan,
Jakarta : Paramadina, 1995.
Mahdawi, Asghar and Iraj Afsyar, Sayyid Jamaluddin Huseini, Paygozareh
Nehzataye Islami.
Moallemi, Hasan. Maʼrefat Syenasi az Didgah-e Hekmat-e Muta;aiyyah,
Qom: Muaseseh Pezuhesy wa Amuzesy-e Imam, 2001.
- Nighahi Ma'rifat Syinasi dar Falsafah Islami, Qom:
Muassasah Farhangi Danesy, 1379 HS/1998M
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2004.
Morewedge, Parvis. The Metaphysica of Avicenna, London, Routledge
and Kegan Paul; 1973.
_. Essays in Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism.
Binghamton, NY: Global Publ., Binghamton University, State
University of New York, 1997.
Motahedeh, Roy The Mantle of The Prophet, New York: Pantheon Books
1985.
Muassasah Nasyr wa Turats Imam Khomeini, Hasti Syenasi Eslami,
Qom: The Imam Khomeini Education and Reasearch Institute Iran,
1997.
P: 328
Muassasah Tanzhim wa Nasyr ‘Atsar Imam Khomeinî. Awaye Tauhîd:
Nâmeh Imâm Khomeinî bih Gorbachev (A Call to Divine Unity:
Letter of Imam Khomeinî to President Mikhail Gorbachev), (Teheran:
Muassasah Tanzhim wa Nasyr ‘Atsar Imam Khomeinî (International
Affairs Departement), 1372 HS/1991 M.
Mughinyah, Jawad. Ma'a Ulama an-Najaf al-Asyraf, Beirut, Dar al-
Jawad, 1987.
Muhadharat fi Al-Aidiulij iyyyah Al-Muqaranah, Teheran: Wizarah AI-I
rsyad Al-Islami, 1982
Muthahhari, Murtadha, Asynâ'i bâ 'Ulûm-e Islâmi, Qom: Intisyârât
Islami, 1409 H/1988 M.
, Majmoeh Asar, vol 14, Qom: Entesharat-e Shadra, 1997.
. Muhadharat fil Falsafah Al-Islamiyyah, Qom: The Center of
Publication of the Office of Islam Propagation, 1987.
_, Thabaqah ye Falasefeh Islami, Majmoeh Asar, vol. 14, Qom:
Intisyarat e Shadra, 2000.
Nashr, Sayed Hossen. Three Muslim Sages. Cambridge, Harvard
University Press, 1964.,
_. The Islamic Intellectual Tradition in Persia. London: Curzon
Press, 1997.
Ni'mah Abdullah, Falasifah asy-Syiah, Qom: Dar al-Kitab al-Islami,
1987.
Niyazmand, Reza. Syi'eh dar Tarikhe-Iran, Tehran: Hekayat-e Kalam-e
Novin, 1383 HS/2002 M.
Pasdari Az Sangarha-ye lydi’uluzhik, Qom: Dar Rah-e Haqq, 1982 M.
Poespoprodjo. W. Beberapa Catatan Pendekatan Filsafat. Bandung
Remadja Karya, 1987.
Pojman, L.P. (ed.), The Theory of Knowledge, London: Routledge,
2000.
Praja, J.S. Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam. Jakarta: Penerbit
Teraju, 2002
P: 329
Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mullâ Sadrâ, Albany: State
University of New York Press, 1975
Razi, Hashemi. Hekmat e Khosrovani, Teheran: Behjat publications,
2000.
Ricoeur, Paul. From Text to Action Essays in Hermeneutics. Illionis:
Northwestern University Press, 1999.
Rizvi, Sajjad. Transcendent Philosophy, vol. II, no. 1, Maret 2001.
Rusyd, Ibn. Fashl al-Maqâl fi mâ bayn al-Hikmat wa al-Syarî’ah min
al-Ittishâl. Kairo: Dar al-Ma'arif, 1972.
. Tahấfut al-Tahâfut, Beirut: Dar al-Maghreq, 1986 M.
S. Haim, Farhang e Moaser, Parsi English, Entesharat e Farhang e
Moaser, Teheran, 2000.
Sajjadi, Jaʼfar. Farhang-e Falsafi-ye Mulla Shdra (Philosophical
Glossary of Mullâ Sadrâ), , Teheran: Wezarat e Farhang wa Ershad
e Islami, 2001.
Saleh, Mohsen, Jameeh Modarresin Az Aghaz ta Konun, vol I, hlm 345,
Markaz-e Asnad-e Enqelab-e Islami, Qom 2004.
Sarton, Introduction to the history of science. Baltimore, 1927
Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitian Kualitatif and Kuantitatif,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sadrâ, Mullâ, al-Hikmat al-Mu ta'âliyyalı fî al-Asfâr al-“Aqliyyalı al-
Arba'alı. Beriut: Dâr Ihyâ wa Turâts al--Arabi, 1981.
. al-Asfâr al-Arba'ah, Beirut: Dar at-Turats al-Arabi, 1981.
M.
al-Hikmah al-Muta’âliyyah fi al-Asfâr al-'Aqliyyah al-
Arba'ah. Beirut: Dâr Ihyâ wa Turâts al-'Arabi, Beirut, 1981.
Al-Syawahid al-Rububiyyah fi al-Manâhij al-Sulűkiyyah.
Masyhad : Markaze Nasyr Donesgohi, 1360.
Shaduqi, Manu Chohor. Tarikh Hukama wa Urfa-ye Mutaakhir, Teheran,
Intisyarat Hikmat.
Shaliba, Jamil. al-Falsafah al-'Arabiyyah, Dar al-Kitab al-Lubnani,
Beirut, 1973
P: 330
Shan’ati, Ridha. Mishbah Dustan, Qum: Himaye Ghadir, 1383 HS/2001 M.
Sharif, M.M. (ed.). History of Muslim Philosophy. Delhi: Low Prince
Publication, 1995.
Shirkhani Ali dan Zare', Abbas. Tahawulat-e Hauzeh-ye Ilmiyeh-ye Qom,
Qom: Entesharat Markaze Asnad-e Enqqlab-e Islami, 2006.
Sina, Ibn, al-Isyârât wa at-Tanbihất, Qom: Entesharat e Kitab-khaneh
Ayatullah Najafi, 1404 H/1983 M, vol. 4.
Suhrawardi, Majmû’ah Mushannafât Isyraq. Tashhîh wa Muqaddimah
Henry Corbin, Tehran: Mu'assassah Muthala’ah wa Tahqiqat
Pazuhasygah, 1972.
Syahrastani, Muhammad, Kitâb Milâl wa al-Nihâl, jil. II, hlm
Syirkhani, Ali. Tahawulat Haw zah 'Ilmiyah Qum Pis Az Piruzi Inwilab
Islami, Teheran: Markaz Isnad Inqilab Islami, 1386 HS.
Teherani, Agha Buzurg Adz-Dzari'ah ila Tashanif Asy-Syi'ah, hlm 212
Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1408.
Thabâthabâ’î, Muhammad Husain. Nihayat al-Hikmah, Qom: Jameeh
Modartesin, 1997.
Khoda dar Falsafeh, Qom: Jameeh Modarresin, 1997.
Thabathabai, M. H. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, vol. 13 Beirut: Dar Al-
A'lami li Al-Mathbu'at, 1987.
Yathrebi, Theoritical Gnosis, The center of Islamic Propagation, Qom,
1999.
Yathrebi, Yahya. Majara-ye Tafakkor-e Falsafi, vol. I, Tehran: Danesh,
2004.
Yathrebi, Yahya. Theoritical Gnosis, The Center of Islamic Propagation,
Qom, 1999.
Yazdî, Muhammad Taqi Mishbâh. Syarh-e Nihayah al-Hikmah, Qom:
Muaseseye Nashr Islomi, 1415 H/1993 M.
Syarh-e Nihayat al-Hikmah, Qom: Muaseseye Nashr Islomi,
1415 H/1993 M.
Ta'liqah bar Nihayat al-Hikmah, Muassah Thariq al-Haq,
Qom; 1405 H
P: 331
Yazdi, Mehdi Haeri. Safa-e Nafs, Qom: Entesharat e Naqsy-e Jahan,
2000.
: “Pasdari az Sangarha-ye lydi’uluzhik” Qom: Dar Rah-e
Haqq, 1982
Maaref-e Qur'an, Qom: Mu'assasah An-Nasyr Al-Islami,
1987
Amuzesy e Falsafeh, juz 1, Tehran: Muassasah Intisyarat
Amir Kabir,
_. Âmûzesy-e Falsafeh, juz 2, Teheran: Muassasah Intisyarat
Amir Kabir, 1998.
. Durus fil Aqidah al-Islamiyyah, Teheran: Muassasah al-Hadi,
1998.
_. Ma'arif Islamiyyah, Qom: Daarul islamiyyah, 1991.
Ziai, Hossein. Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi
Syeikh al-Isyraq. Atlanta: Georgia Scholar Press, 1990.
B. Jurnal, Ensiklopedia, Internet
Craig, Edward (ed.), Routledge's Encyclopedia of Islamic Philosophy
(disusun kembali dalam versi Islam oleh Mulyadhi Kartanegera),
London and New York: Routledge, 1998.
Eliade, Mircea. (ed.) The Encyclopedia of Religion, Vol. 13 New York:
Simon and Schuster Macmillan, 1987
Jurnal Kitab-e Naqd, vol. 12, Qum: Markaz Intisyarat wa Tabligh,
2000.
Mestika Zed, “Metode Penelitian Kepustakaan”, http://history2001.
multiply.com/journal/item/44, diakses tanggal 30 Maret 2008,
pkl. 20.05.
Microsoft Encarta Dictionary Tools, 2003.
Sunaryo. “Transmisi Kebudayaan Yunani Dalam Peradaban Islam”,
Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003.
www.haw zah.net
P: 332
А
'Abd al-Karîm Hâ'erî 46
Alî Araki 48
Ali Fanî Isfahani 68
‘Alî Syahristani 47
Abd al- Hâdî Syirazî 68
Abd al-Hosain Hujjat Karbala i
47
Abd al-Hosain Lari 38
Abd al-Jawad di Masjid Isyqʻali
69
Abd al-Karim Haerî Yazdi 54
Abd al-Nabi Nuri 51
Abdol-Hosein Khosro Panâh 16
Abdol-Rasul Obudiyat 16
Abdul-Kareem Shorous 102
Abu al-Hasan Isfahani 47
Abû'Ali al-Hosain bin Sînâ 23
Abu al-Nashr Muhammad bin
Tharkhan al-Farabi 49
Abû al-Qâsim al-Khûî 68
Abu al-Qasim Kabîr Qommi 46
Abu Sahl al-Tustarî 33
Abu Saminah Muhammad bin
Alî Shairfî 44
Abû Yazîd al-Busthamî 33
Abû Yûsuf Ya'qûb bin Ishâq al-
Kindî 22
Afsyariyyah 42
agnosistik 202
Ahmad Âkhûndî 65
Ahmad bin Muhammad bin Isa
44
Ahmad bin Muhammad bin
Khalid Barqi 44
Ahmad Karbala’i 38
Ahmad Kirmansyahi 45
Akhud Khorasani 58, 66
Aktus 334
Alexandria 21
Al-Farabi 22, 23, 28
Al-Ghazali 25, 29, 30, 327
al-Hallâj 33
Ali Akbar Hasyemi Rafsanjani 90
Ali Khamenei 309
Ali Reza A'rafi 96
‘Alî Ridhâ Mudarisî 66
Ali Syirwani 95
Alparslan Acikgence 34
A.O. Lovejoy 141
Aristoteles 21, 22, 24, 30, 32, 49,
115, 139, 140, 164, 180, 189,
P: 333
Aritmetika 335
Astronomi 335
Atribusi 335
Filsafat Iluminasi 32
filsafat Paripatetik 31, 32
Frederick II 26
Bahmanyâr 201
Botani 335
C.A. Strong 141
Colonymus 27
Geometri 336
George Berkeley 180
Gholam Husain Fayâdhi 198,
200, 201
Gholam Reza Faiyazhi 95, 197
Golpaegânî 82
Gottfried Wilhelm Leibniz 180
G. Santayana 141
David Hume 131, 179, 180
Dzû al-Nûn al-Mishrî 33
H
Eklektik 335
Elexandria 50
Empedokles 33
Empirisme Nominalistik 140
Empirisme-Rasionalisme 179
Empirisme-Skeptisisme 179
Epistemologi 139, 143, 144, 146,
310
Ernest Renan 27
Haji Mahdi 46
Haji Muhammad Arbâb 46
Hasan Hasan Zâdeh Âmulî 97,
308
Hasan Moallemî 16, 95
Henry Corbin 30, 32, 37, 53, 331
Hermes Agathsdaemon 32
Hermuentik 337
Hosein Mazhaherî 84
Hujjat Kuhkamari 48
Fadhil al-Miqdâd 35
Fadhil Tehrani 51
Faidh al-Kasyani 92
Fanâê Eshkavari 16,95
Faridun 33
Ibn Rusyd 24, 25, 26, 27, 28, 30,
36
Ibn Sina 24, 26, 27, 28, 29, 35, 36,
37, 38, 48, 49, 56, 58, 59, 61,
93, 105, 109, 117, 125, 153,
157, 158, 161, 162, 194, 202,
P: 334
Khorso Panah 95
kosmogoni 119
kosmologi 149
Libanon 43
203, 266, 304, 310, 311
Immanuel Kant 131, 139, 179
Isfahan 36, 37, 41, 43, 45, 54, 55,
57, 187
Istahbanâtî 68
Iran iv, 1, 2, 9, 10, 12, 18, 22, 31,
33, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 47,
48, 49, 52, 53, 58, 60, 63, 64,
67, 68, 77, 82, 83, 84, 85, 89,
93, 94, 95, 96, 99, 104, 105,
187, 207, 224, 322, 327,328,
329
M
Jalâl al-Dîn Asytiâni 27
Jamaluddin Asad-Abadi al-
Afghani 38
Jawadi Âmulî 90, 98, 101, 102,
103, 104, 106, 202, 204, 212,
213, 219, 265
John Stuart Mill 140
Josiah Royce 140
Madrasah Haqqânî 72
Madreseh Dar al-Syifa' 47
Madreseh Faizhiyeh 47
Madreseh Hojjatiyeh 47
Mahmoud Ahmadinejad 89
Mahmud Rajabi 74, 75, 85, 95
Mahmud Syahrudî 68
Martin Heidegger 141, 146
Marxisme 58, 77, 97, 99, 105,
142, 313
Mehdi Haeʼri Yazdi 53, 97, 154
Mehdi Ilahi Qomsyeh'i 38
Metafisika 60, 113, 115, 116, 189,
195, 325
Michael Scot 26
Mineralogi 339
Mîr Sepâh 16
Mirza Abu al-Qasim 45
Mirza Abu Thalib Qommi 45
Mirza Ahmad Mujtahid
Khunsari 94
Mirza Ali Aqa Shirazi Isfahani
57
Mirza Hasan 38
K
Kai Khusraw 33
Kamal Haydari 197
Karbala 37, 38, 39, 41, 44, 47, 54,
94
Kayumarth 33
Khâjeh Nashîr al-Din Thûsi 338
Khalid Barqi 44
Khansari 45, 48
P: 335
Mirza Hosain Na ini 47
Muhammad Mahdi Khansari 45
Mirza Mahmud Qommi 51 Muhammad Qomsyeh'î 37
Mirza Mohsen Kermansyahi 51 Muhammad Reza Golpaigani
Mirza Qommi 37, 44
48
Modarres Zonûzî 37
Muhammad Ridha Yazdi 39
Mohammad Legenhausen 16 Muhammad Taqî Mishbâh
Mohammad Taqi Fa'âli 16
Yazdî 1, 3, 4, 5, 6, 9, 10,
Mohammad Taqi Islami 14
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
Mongol 42,51
19, 33, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
Montaque atas Royce 141
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,
Mua ssis 46
75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,
Muhamad Bâqir Shadr 73
83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90,
Muhammad `Alî Hizar Jaribi 45 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
Muhammad `Ali Nahwî 66
100, 101, 102, 103, 104, 105,
Muhammad Ali Nûrî 66
106, 107, 111, 112, 114, 116,
Muhammad Ali Sarabî 68
117, 118, 119, 123, 124, 130,
Muhammad Baqir Istahbanâti
131, 133, 134, 135, 137, 142,
38
143, 145, 146, 147, 148, 149,
Muhammad Gîlanî 84
150, 151, 152, 153, 154, 155,
Muhammad Hosain Gharawi
156, 157, 158, 159, 162, 163,
Isfahani 39
167, 168, 172, 173, 175, 179,
Muhammad Hosain Isfahani
180, 181, 182, 183, 184, 185,
Gharwi 47
191, 192, 193, 199, 203, 208,
Muhammad Hosain Kasyif al-