سرشناسه:هاشمی، سیدحسین، 1344 - Hasyim, Sayyid Husain
عنوان قراردادی:ارتداد و آزادی . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور: Hukum murtad hak Allah atau manusia[Book] / Sayyid Husain Hasyimi ; penterjemah: Nasir Dimyati.
مشخصات نشر: Qom : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa , 2014 = 1393.
مشخصات ظاهری: 149ص.
فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله ؛ پ1393/276/183 ، نمایندگی المصطفی در اندونزی ؛ 22.
شابک: 978-964-195-061-5
وضعیت فهرست نویسی:فیپا
یادداشت:اندونزیایی.
موضوع:ارتداد
موضوع:آزادی بیان -- جنبه های مذهبی -- اسلام
موضوع: آزادی عقیده (اسلام)
شناسه افزوده:دیمیاطیناصر، مترجم
شناسه افزوده:DimyatiNasir
شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)
شناسه افزوده:Almustafa International UniversityAlmustafa International Translation and Publication center
رده بندی کنگره: BP196/5 /ه2الف 4049519 1393
رده بندی دیویی: 297/377
شماره کتابشناسی ملی:3649509
P: 1
بسم الله الرحمن الرحیم
P: 2
Hukum Murtad
Hak Allah Atau Manusia
Sayyid Husain Hasyimi
penerjemah:
Nasir Dimyati
pusat penerbitan dan
penerjem ah an internasional al Musthafa
P: 3
Hukum Murtad Hak Allah Atau Manusia
penulis: Sayyid Husain Hasyimi
penerjemah: Nasir Dimyati
cetakan: pertama, 1393 sh/2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-061-5
ارتداد و آزادی
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله
تیراژ: 300
قیمت: 85000 ریال
مؤلف: سید حسین هاشمی
مترجم: ناصر دیمیاطی
چاپ اول: 1393 ش /2014م
چاپخانه: نارنجستان
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
ORAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
P: 4
PENGANTAR IICT -- ix
Pendahuluan — xi
Tujuan dan Signifikansi — xi
Rumusan Masalah — xii
Hipotesis — xii
Sistematika Penelitian — xiii
Bab I: Kerangka Umum: Pengertian dan Landasan Teori - 1
Definisi dan Relasi Kemurtadan-Penistaan Simbol Agama - 1
Murtad – 1
Penistaan Simbol Sakral — 3
Sistem Hukum Islam — 3
Sistem Hukum Barat — 8
Relasi Kemurtadan-Penistaan Simbol Sakral — 11
Definisi dan Bentuk Konkret Ajaran Niscaya — 14
Pengertian — 14
Bentuk Konkret – 16
Kemurtadan dan Landasan Syariatnya — 19
Kritik atas Landasan Riwayat — 19
Kritik atas Landasan Al-Qur'an — 22
Kritik atas Penegakan Hukum di Masa Kegaiban — 26
Ikhtisar — 36
Bab II: Kemurtadan dalam konteks Intelektualitas dan Ilmiah — 43
Kemurtadan dan keraguan Ushuluddin - 44
Pandangan Fukaha — 44
Evaluasi Kritis — 46
P: 5
Makna Kafir — 46
Makna 'Lemah Pikiran' — 47
Keraguan dan Bisikan Hati — 48
Munafik Sehukum Muslim — 53
Relasi Dua Pengingkaran: Ajaran Niscaya dan Eksistensi Agama — 56
Teori Variabel Independen — 56
Teori Implikasi — 58
Kemurtadan Intelektual — 63
Mengingkari Prinsip Tauhid dan Kenabian — 63
Mengingkari Ajaran Niscaya — 64
Kemurtadan Intelektual tidak Berdasarkan Teori Variabel Independen
— 73
Kemurtadan Intelektual Berdasarkan Teori Variabel Independen — 73
Kemurtadan Intelektual di Era Awal Islam — 75
Periode Abu Bakar — 75
Periode Ali bin Abi Thalib — 77
Ikhtisar — 79
Bab III: Eksekusi Hukuman Murtad dan Penista Simbol Sakral — 87
Eksekusi Hukuman Murtad — 87
Eksekusi Hukuman Penista Simbol Sakral — 89
Hukuman Penistaan Simbol Sakral — 89
Hukuman Penistaan Simbol Sakral oleh Pemerintah Islam — 93
Ikhtisar — 96
Bab IV: Falsafah Kemurtadan dan Penistaan Simbol Sakral — 99
Falsafah Pidana Kemurtadan — 99
Ancaman Ketertiban Umum dan Etika Sosial — 100
Definisi — 100
Peran Agama — 100
Relasi Kemurtadan dan Hukum Eksekutif — 103
Batas Kebebasan Berekspresi di Barat - 108
Falsafah Pidana Penistaan Simbol Sakral — 113
Ikhtisar – 118
Daftar Pustaka — 123
INDEKS - 131
LAMPIRAN - 135
P: 6
Transliterasi Arab
P: 7
Transliterasi Persia
P: 8
Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan memulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M diatas sebuah paradigma pemikiran pembaruan.
Hingga kini, konstruksi pemikiran sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe, yakni tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius. Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas, menghadapi berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.
Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas secara negatif.
Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kompatibel dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.
Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada posisi diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemikiran modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsipal dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsepkonsep-nya.
Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan, paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung pada negasi total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan paradigma humanisme serta mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini, modernisme religius,dan terutama paradigma pemikiran pembaruan-tampil konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang pergaulannya dengan konsep- konsep modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi dan mereproduksi pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah terma-terma seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan makna khasnya jika dibandingkan dengan
P: 9
kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial sebagaimana yang dipahami dalam paradigma
modern.
Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma pemikiran pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai kebenaran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini pula, tentu saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan reproduksi pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya, ekonomi, politik, dan sosial.
Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis sekularisme dan humanisme sebagai dua pandangan dunia yang dominan di Barat, karya-karya ini juga dengan kekuatan kritis yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran baru di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.
Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad Direktur INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE AND THOUGHT (IICT)
P: 10
Di tengah kehidupan generasi muda dewasa ini arus informasi begitu gencarnya.
Media-media penyedia informasi juga terdiri dari banyak pilihan, baik media konvensional maupun yang bersifat media alternatif seperti situs-situs berita dan informasi, forum-forum diskusi di internet, maupun situs-situs jaringan sosial.
Secara sadar atau tidak, kita banyak menemukan informasi yang memasok deras kontroversi di seputar hubungan antara bertindak murtad dan menistakan simbol- simbol agama dengan hak asasi manusia, termasuk dengan kebebasan berpendapat (freedom of expression), berkeyakinan, bertukar kepercayaan, atau berpindah agama.
Dengan kata lain, pasokan informasi yang melimpah itu menjadi sesuatu yang bisa berdampak serius dalam konteks kehidupan beragama. Sebab seringkali prinsip- prinsip kebebasan berpikir seperti yang sering diintrodusir menyerempet pada nilai-nilai paling hakiki dalam sebuah keyakinan.
Tentu saja penting untuk diikhtiarkan sejumlah langkah untuk memberikan semacam panduan kepada generasi muda, khususnya mereka yang saat ini menduduki kursi perguruan tinggi dalam upaya memahami secara lebih lengkap nilai-nilai agamanya. Anak-anak muda di kampus yang memang menjadi konsumen informasi perlu dibekali dengan pemahaman yang lebih luas mengenai dampak-dampak arus informasi dalam pembentukan pikiran dan keyakinannya.
Tentu saja langkah-langkah itu harus mencakup beberapa hal. Pertama, menjelaskan fatwa fikih mengenai tindakan murtad yang terkait dengan prinsip kebebasan, seraya menguraikan aspek filosofisnya. Kedua, membandingkan aturan ini dengan beberapa aturan seputar kemurtadan di sejumlah negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Semua itu diharapkan dapat memberi jawaban sekaligus meredakan kontroversi tersebut.
P: 11
Pertanyaan mendasar dalam pembahasan mengenai kemurtadan dapat diajukan dalam beberapa poin, antara lain:
1. Apakah mengajukan pertanyaan ilmiah dan menyatakan keraguan terhadap ajaran agama niscaya mengakibatkan kemurtadan? 2. Apakah pengingkaran terhadap suatu ajaran niscaya (dharûrî) agama, sejauh diupayakan melalui telaah teoretis dan ilmiah, akan menimbulkan kemurtadan? 3. Apakah menerima aturan Islam berkenaan dengan kemurtadan yang berarti menolak kebebasan berpendapat dan berkeyakinan? Ketika telah memilih Islam, apakah hak seseorang menukar agama menjadi hilang? 4. Apa falsafah dari predikat kriminal pada kemurtadan dan penistaan simbol sakral keagamaan? Apakah dalam perspektif Islam, predikat kriminal bagi kemurtadan dan penistaan simbol sakral keagamaan merupakan predikat mandiri dan substansial, ataukah hanya predikat aksidental dan indikatif? Dengan rumusan lain, apakah kemurtadan dikategorikan sebagai kriminal lantaran merugikan orang lain dan merusak ketertiban dan etika sosial? Atau pada dasarnya, predikat ini merupakan hukum politis dan eksekutif negara? Dalam perspektif hukum di sejumlah negara Barat, penistaan simbol sakral keagamaan dan adakalanya, kemurtadan, dikategorisasi sebagai tindakan kriminal. Apakah kategorisasi itu didasarkan pada pelanggaran terhadap etika sosial atau argumentasi lain? Sementara beberapa negara lain telah menghapus aturan tindak kemurtadan dan penistaan simbol sakral keagamaan dari sistem hukum mereka. Yang menjadi pertanyaan apakah keputusan itu dalam rangka menghargai hak asasi manusia atau karena surutnya peran agama? 5. Apakah penetapan hukum murtad dan eksekusinya (termasuk penistaan terhadap simbol keagamaan) harus berlangsung di bawah pengawasan negara? Ataukah siapa saja boleh melakukannya?
1. Perdebatan, sikap kritis dan sanggahan ilmiah terhadap ajaran niscaya (dharûrî) agama yang menjadi sumber kontroversi, tidak mengakibatkan kemurtadan, kecuali jika itu dilakukan dengan motif merusak pemerintahan Islam dan menularkan skeptisisme dalam masyarakat religius. Dalam
P: 12
undang-undang dan praktik yang berlaku di negara-negara Barat, kebebasan berekspresi tidak diakui jika mengganggu struktur masyarakat demokratis.
2. Kebebasan berekspresi --sekalipun dalam konsep Barat-- tidak berarti absolut atau tetap memiliki pengecualian. Bahkan dalam beberapa dokumen PBB tentang hak asasi manusia, kebebasan berpendapat juga memiliki batasan.
3. Kemurtadan dalam perspektif Islam memiliki syarat mendetail dan kompleks, serta tidak dapat dikategorikan begitu saja. Penetapan hukum murtad dan eksekusinya (bahkan terhadap pelaku penistaan simbol sakral agama) harus di bawah pengawasan pemerintahan Islam.
4. Kemurtadan yang menyertakan sikap menolak dan mengingkari prinsip keyakinan Kristen (Ketuhanan, Nabi Isa as, dan Injil) dalam sistem hukum Common Law dikategorikan sebagai tindak kriminal. Pakar hukum Barat meyakini bahwa pada praktiknya, pengadilan mengacu mengenai kategori ini hanya dalam kasus penistaan simbol sakral agama Kristen, bukan agama lain. Mereka tidak memperlakukan perkara kemurtadan sebagai kriminalitas.
Namun begitu, secara teoretis, istilah blasphemy (memfitnah) didefinisikan secara luas oleh mereka hingga mencakup tindak kemurtadan.
Karena itulah duduk dasar persoalan kemurtadan di sejumlah negara maju seperti Inggris, hingga hari ini memiliki tempat dalam hukum dan undang- undang. Telah disebutkan bahwa pakar hukum mereka meyakini bahwa pada praktiknya aturan ini digunakan hanya dalam kasus penistaan simbol sakral agama. Sebagai pengusung sistem hukum Common Law, Inggris memanfaatkan aturan tersebut hanya untuk melindungi agama Kristen saja.
Di sisi lain, perlu diingat, Inggris bukanlah negara berdasarkan agama.
5. Bila dikomparasikan dengan perspektif Barat, sebetulnya pembahasan seputar kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama dalam perspektif Islam, dari beberapa aspeknya, ternyata lebih sesuai dengan prinsip hak asasi manusia masa kini.
6. Merujuk substansi dominan dalam aturan fikih Islam tentang kemurtadan, dapat disimpulkan bahwa predikat kriminal pada kemurtadan tidak bersifat independen. Dengan ungkapan lain, predikat ini ditetapkan syariat lantaran tindak kemurtadan mengganggu ketertiban masyarakat Islam dan etika sosial.
Karya penelitan ini terdiri dari empat bab. Bab I mengetengahkan hal-ihwal definisi dan batasan konseptual kemurtadan. Etimologi dan definisi operasional
P: 13
kemurtadan akan mengawali pembahasan pada bagian ini. Pembahasan diurai sampai menelaah penistaan terhadap simbol sakral dan relasinya dengan kemurtadan. Sementara itu, pembahasan kedua akan mengupas ajaran niscaya (dharûrî) agama dan mengidentifikasi bentuk-bentuk konkretnya.
Bab II menelaah ‘Kemurtadan Diskursif dan Teoretis' sebagai tema sentral dalam membahas kemurtadan. Di dalamnya akan dikaji, apakah sekadar meragukan ajaran niscaya agama akan menyebabkan kemurtadan? Demikian pula apakah pengingkaran terhadap ajaran tersebut berdasarkan penalaran dan argumentasi mengakibatkan kemurtadan? Sekalipun kenyataannya atau menurut sebagian orang argumentasi itu tidak benar, sebagaimana yang dilakukan sebagian pemikir dan filosof.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu ditelaah beberapa pertanyaan seperti apakah ingkar terhadap ajaran niscaya agama an sich menjadi variabel independen (sabab mustaqil) terjadinya kemurtadan? Atau, ingkar itu disebut variabel kemurtadan manakala berdampak pada pengingkaran Tuhan dan atau Nabi? Ihwal mengingkari ajaran niscaya agama sebagai variabel kemurtadan yang independen atau bukan, merupakan persoalan mendasar. Untuk itu, pertama- tama, ini mesti dipaparkan secara luas, untuk kemudian dikaji khusus: apakah sekadar keraguan terhadap ajaran niscaya agama, atau keraguan yang muncul dari kerancuan intelektual (syubhah), dikategorikan sebagai kemurtadan? Bab III mengkhususkan uraian seputar eksekusi hukuman terhadap kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama. Yakni apakah dalam perspektif Islam eksekusi hukuman ini termasuk kewenangan institusional khusus pemerintahan Islam? Ataukah terdapat legitimasi bagi pribadi-pribadi untuk melaksanakannya? Masalah ini dikemukakan dalam dua sesi pembahasan. Kesimpulannya eksekusi hukuman kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama pada masa eksisnya pemerintahan Islam merupakan kewenangan khusus pemerintahan Islam.
Filosofi kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama akan dibahas panjang lebar dalam Bab IV. Di dalamnya juga akan dicermati, kendati kemurtadan terjadi hanya lantaran aksi pengingkaran, tetapi penelitian terhadap bentuk-bentuk konkretnya pada masa para Imam Ahlul Bait justru mengapirmasi sebuah hipotesis.
Yakni, pada praktiknya, hal yang menjadi fokus sensitif (para Imam) hanyalah kemurtadan via penistaan simbol sakral agama, atau kondisi-kondisi pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama bermakna sebagai propaganda terencana untuk menentang agama.
P: 14
Dengan ungkapan lain kemurtadan memiliki definisi, cakupan, dan prasyarat yang berkaitan dengannya. Dari sana, dapat disimpulkan bahwa kemurtadan pada hakikatnya merupakan ekspresi pengingkaran agama dan ajakan melawan (agama) yang didorong motif kebencian dan sikap bermusuhan; bukan berlandaskan pada argumentasi logis yang bersumber dari kerancuan intelektual, kekeliruan, atau ketidaktahuan.
Atas dasar itu, esensi kemurtadan dapat diamati sebagai seruan melawan agama dan berujung ancaman terhadap sistem dan etika sosial Islam. Ini sama halnya dengan sebagian pakar hukum Inggris sekarang yang memaknai tindak penistaan simbol sakral sebagai sebuah kondisi yang dirancang untuk merusak tatanan sosial.
Peradilan Amerika juga menyatakan tindak tersebut sebagai kriminal hanya dengan mempertimbangkan aspek negatifnya terhadap sistem dan moralitas publik.
Kiranya perlu dicermati bagaimana pembenaran dunia Barat terhadap hukuman pada penistaan simbol sakral keagamaan berlangsung dengan kondisinya dewasa ini. Pertama, saat ini, di negara-negara Barat tak ada lagi hubungan saling kebergantungan antara masyarakat dan agama Kristen. Kedua, teks wahyu agama Kristen berbeda dengan agama Islam. Teks keagamaan Kristen tidak cukup kredibel sekalipun bagi penganutnya. Lain dari itu, alih-alih teks agama di sana sekarang dianut sebagai paket hukum dan ketentuan yang dikhususkan bagi kalangan penganutnya, justru diperlakukan tak lebih dari bunga-rampai norma perilaku (etiket) yang sudah mengalami distorsi. Ilmuwan Barat bahkan mengakui bahwa hukum Gereja tidak bersumber dari wahyu.
Perlu juga diingatkan, definisi penistaan simbol sakral religius dalam sistem hukum Common Law juga mencakup tindak kemurtadan, dengan istilah blasphemy (pemfitnahan). Kendati dalam hal ini kalangan pakar hukum Inggris menekankan bahwa secara praktis, kasus-kasus penistaan simbol sakral agama Kristen saja yang mendapat sanksi hukum.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah bekerja sama dalam menerbitkan buku ini, khususnya kepada pimpinan Lembaga Penelitian Budaya dan Pemikiran Islam (Pazhuhesygoh-e Farhang va Andisyeh-e Eslomi) dan Pusat Pemikiran Generasi Muda (Ko-nûn-e Andisyeh-e Javon).
P: 15
P: 16
Bab ini membahas definisi, arti konseptual, dan basis teoretis kemurtadan.
Pembahasan pertama mengulas etimologi dan definisi operasional kemurtadan, penistaan simbol sakral agama, serta relasi keduanya. Pembahasan kedua menelaah ajaran niscaya agama dan bentuk-bentuk konkretnya. Adapun teks-teks (landasan) hukum yang berkaitan dengan kemurtadan dan isu-isu kontroversial diseputarnya akan menempati pembahasan ketiga.
Secara etimologis, irtidâd ‘kemurtadan' berarti ‘kembali’. Kata Arab ini berakar pada kata riddah.(1) Seorang pakar bahasa Arab, Raghib Ishfahani, menyatakan:
Irtidad dan riddah berarti kembali dari satu jalan yang sebelumnya dilewati.
Dengan perbedaan; riddah digunakan hanya untuk kaum kafir, sedangkan irtidad digunakan untuk kaum kafir dan selainnya.(2) Dalam terminologifikih, irtidad (atau kemurtadan) memerlukan definisi dan batasan yang lebih terperinci karena sebagian besar pembahasannya dipengaruhi kejelasan definisi operasional, batasan detail, dan ruang lingkup kemurtadan itu sendiri.
Sebagian fukaha Syiah menerima definisi kemurtadan hanya pada batasan berikut:
P: 1
Murtad adalah menjadi kafir sesudah beriman.(1) Salah satu fukaha Syiah lainnya, Syaikh Thusi, mendefinisikan murtad sebagai berikut:
Murtad adalah menjadi kafir setelah memeluk Islam, entah individu itu (telah) Muslim sejak awal lalu menjadi murtad (murtadd fithri), atau individu itu sebelumnya kafir, kemudian memeluk Islam dan kembali kafir (murtadd millî).(2) Kalangan fukaha lainnya mengemukakan definisi yang lebih terperinci. Abu Shalah Halabi, yang juga salah satu fukaha Syiah, menyatakan:
Murtad adalah ekspresi identitas kekafiran setelah menyatakan kelmanan. Ini meniscayakan pengingkaran atas kenabian para utusan Tuhan atau salah satu dari ajaran niscaya agama. Sebagai contoh, mengingkari kewajiban shalat dan zakat, atau menyangkal keharaman zina dan meminum minuman keras.(3) Allamah Hilli, salah satu fakih terkemuka Syiah, membawakan definisi murtad secara lebih cermat dan spesifik, sekaligus menyebutkan beberapa pola tindakannya:
Murtad berarti setelah menjadi Muslim, seseorang kemudian menjadi kafir...
Murtad dapat terjadi dengan salah satu tindakan berikut: bersujud di hadapan berhala, menyembah matahari, membuang Al-Qur'an ke tempat sampah, serta tindakan lainnya yang jelas-jelas bernuansa pelecehan. Atau lewat ucapan, misalnya mengatakan kalimat yang jelas-jelas mengingkari suatu kewajiban atau keharaman sesuatu yang merupakan ihwal penting dalam agama, terlepas apakah ucapan itu didasari kebencian atau bertolak dari keyakinan tertentu atau bermaksud melecehkan.(4) Fukaha prominen Syiah lainnya Kasyif Githa, mendefinisikan murtad sama dengan yang sebelumnya. Mengingkari Nabi atau kitab suci samawi, yang dalam perspektif Islam merupakan prinsip, digolongkan sebagai kemurtadan. Masih menurutnya, mengingkari Hari Kiamat juga dikategorikan sebagai bentuk
P: 2
kemurtadan. (1)Namun, sebagian fukaha berpendapat bahwa mengingkari Hari Kiamat bersifat tentatif. Sementara itusebagian lain memastikan bahwa Hari Kiamat merupakan ajaran niscaya agama. Pendapat terakhir ini menyatakan bahwa mengingkari Hari Kiamat identik dengan mengingkari tauhid dan kenabian; tindakan yang menyebabkan kemurtadan.(2) Definisi mirip dengan di atas juga diajukan oleh Kasyif Litsam, fakih kenamaan Syiah. Dia menekankan bahwa tindakan murtad harus dilandasi pengetahuan, adapun mengingkari ajaran niscaya agama dikarenakan kebodohan, tidak dikategorikan sebagai tindak kemurtadan.(3) Poin penting yang perlu diperhatikan dari keterangan Kasyif Litsam dan sebagian besar fukaha lainnya adalah identifikasi bentuk konkret kemurtadan dalam upaya mereka mendefinisikan subjek masalah. Ini menimbulkan pertanyaan seputar relasi kemurtadan dengan penistaan simbol sakral keagamaan.
Berkenaan dengan hal tersebut sepatutnya dikemukakan definisi dan batasan dari penistaan segala hal yang disakralkan. Pembahasan ini akan difokuskan pada problematik kemurtadan dan (dalam hubungannya dengan) kebebasan berpendapat. Selanjutnya, pengertian ini akan ditelaah dari sudut pandang sistem hukum Common Law yang dianut beberapa negara, seperti Inggris.
Berikut ini akan dikemukakan definisi penistaan simbol sakral, seraya memperhatikan isu kebebasan berpendapat. Akan dibahas pula sejauh mana cakupan konseptual ihwal penistaan simbol sakral keagamaan. Dengan rumusan lain, apakah kriminalitas penistaan simbol sakral dalam sistem hukum Islam dan Common Law hanya menyangkut simbol sakral agama tertentu, atau termasuk pula simbol sakral agama lain?
Perspektif Syiah Dalam pandangan fukaha Syiah, penistaan terhadap simbol sakral agama akan
P: 3
dinyatakan sebagai tindak kriminal, misalnya jika Nabi Islam Saw dan atau para Imam Ahlul Bait dihinakan atau dilecehkan (ihầnah aw istihzâ).(1) Mayoritas fukaha Syiah berpendapat bahwa penistaan terhadap Siti Fathimah Zahra (yang dipandang sebagai bagian dari Ahlul Bait Nabi Saw) juga termasuk dalam kategori ini.(2) Dengan satu kriteria umum dapat dirumuskan, penistaan terhadap perkara apa saja yang bersifat niscaya (dharûrî) dan pasti-jelas (qathî) dalam pandangan Islam, adalah tindak kriminal. Misalnya seperti menistakan Al-Qur'an, Masjidil Haram, Ka'bah, syiar Allah Swt, dan semua hal yang secara prinsipal disakralkan dalam Islam. Kendati memang dari segi bobot hukuman,(3) ada perbedaan satu kasus dengan lainnya.(4) Berdasarkan kaidah haramnya penistaan simbol sakral, dengan demikian aksi apapun yang diarahkan untuk menistakan simbol sakral agama adalah haram.(5) Namun demikian, kategorisasi penistaan simbol sakral yang bukan setingkat ajaran niscaya agama, masih diperlukan argumentasi khusus. Atas dasar ini, setiap penistaan terhadap simbol sakral yang berhubungan dengan seluruh agama Ilahi, termasuk juga dengan Islam, berada dalam ranah hukum penistaan tersebut.
Sebagai contoh, keharusan menghormati para Nabi atau Taurat dan Injil autentik yang belum diselewengkan.
Lain dari itu sejumlah fukaha prominen Syiah menerangkan bahwa penistaan dan penghinaan terhadap para Nabi juga berdampak hukuman yang berlaku pada penistaan terhadap Nabi Saw dan para Imam suci. Syahid Tsani termasuk fukaha yang berpendapat bahwa menistakan para nabi sama dengan menistakan Nabi Saw. Kedua pelakunya layak dijatuhi hukuman.(6) Masih menurutnya, penistaan terhadap para Nabi selain Nabi Saw itu dilarang, karena Islam mengharuskan mereka dihormati dan diagungkan. Oleh sebab itu, melecehkan mereka mengakibatkan kemurtadan.(7)
P: 4
Tampaknya konsekuensi dari argumentasi logis yang dikemukakan Syahid Tsani menunjukkan larangan atas tindak penistaan simbol sakral seluruh agama Ilahi, termasuk simbol sakral Islam. Sebagai contoh, berdasarkan keterangan tegas Al- Qur'an, sosok Siti Maryam AS merupakan figur perempuan suci di masanya. Lantaran tuduhan yang tidak senonoh,(1) Al-Qur’an lantas menegaskan kesuciannyal(2) sekaligus menyebutnya sebagai perempuan par excellence.(3) Siapapun yang melontarkan tuduhan keji terhadap perempuan mulia ini akan dianggap menistakan simbol sakral Islam. Tindakan itu akan diidentikkan dengan penistaan atas ibunda Nabi Islam Saw atau putri Beliau yang, karenanya, layak diganjar hukuman (sekaligus dikategorikan sebagai penistaan atas pribadi para nabi).
Contoh lainnya, penistaan terhadap Injil dan Taurat yang autentik. Pada hemat Al-Qur'an, kedua kitab suci itu --selama belum diselewengkan-- mengandung kesucian dan nilai sakral seperti Al-Qur'an.(4) Syaikh Abu Shaleh Halabi, nama besar lain dari jajaran fukaha Syiah, terang- terangan menyamakan penistaan terhadap seorang nabi dengan penistaan terhadap Nabi Muhammad Saw.(5) Oleh karena itu berdasarkan kaidah fikih Syiah dosa penistaan simbol sakral agama bisa mencakup penistaan terhadap Nabi selain Nabi Muhammad Saw.
Memang, hanya beberapa fukaha Syiah saja yang jelas-jelas menyatakan seperti itu.
Namun demikian tidak ada fukaha yang secara jelas menentang pendapat ini. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hal itu adalah pendapat para fukaha. Inilah barangkali alasan Ibnu Zuhrah mengklaim adanya ijma' (konsensus) dalam masalah ini.(6)
P: 5
Setelah menukil pendapat Syahid Tsani dan klaim konsensus Ibnu Zuhrah, Sahib Jawahir(1) menunjukkan kecenderungannya pada pendapat ini. Ia meyakini bahwa riwayat dari Nabi Saw secara jelas menyatakan hukuman mati bagi orang yang mencela seorang Nabi.(2) Riwayat ini tercatat dalam sejumlah buku referensi muktabar Syiah.(3) Namun sekelompok fukaha tidak merujuknya untuk mengategorikan para nabi selain Nabi Muhammad Saw sebagai simbol sakral Islam.
Dalam pasal 513 Undang-Undang Pidana Islam Iran (Ta'zirat) tahun 1375 HS, berdasarkan hukum Islam, termaktub bahwa penistaan salah satu Nabi Allah terlarang dan dinyatakan sebagai tindak kriminal.(4) Perspektif Mazhab Lain Tidak terdapat perbedaan berarti di antara mazhab-mazhab Islam dengan Syiah sekaitan dengan luasnya makna penistaan simbol sakral, termasuk syarat-syarat yang berkaitan dengannya.
Mazhab Malikiyah berkeyakinan bahwa konsekuensi dari penistaan terhadap Nabi Muhammad Saw dan atau Nabi lain adalah hukuman mati.(5) Oleh karena itu, para fukaha Malikiyah secara jelas mengategorikan penistaan Nabi lain sebagai penistaan atas simbol sakral Islam.(6) Ahli fikih mazhab Hanbaliyah meyakini bahwa penistaan terhadap Tuhan, Nabi Muhammad Saw, nabi lain, dan atau kitab suci, menyebabkan kekafiran.(7)
P: 6
Demikian pula sebagian ahli fikih mazhab Syafi'iyah bahkan membahas penistaan yang dilakukan kaum kafir dzimmi (kafir yang hidup dalam hukum Islam dan terikat perjanjian keamanan). Yakni setiap bentuk penistaan terhadap Al-Qur'an, Tuhan, Nabi Islam Saw, dan nabi lain mengakibatkan batalnya perjanjian keamanan mereka dengan catatan: konvensi itu menyertakan syarat di atas.(1) Berbeda halnya dengan Hanafiyah. Mazhab ini tidak menganggap penistaan yang dilakukan kaum kafir dzimmi terhadap Nabi Muhammad Saw sebagai sebab mereka divonis hukuman, sekalipun itu termasuk perbuatan yang dilarang.
Mengingat penistaan kaum kafir dzimmi terhadap Nabi Muhammad Saw hanya menambah kekafiran maka mereka tidak harus diganjar hukuman.(2) Sementara dalam pandangan mazhab Zaidiyah, penistaan Nabi Muhammad Saw mengakibatkan hukuman mati.(3) Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kalangan fukaha segenap mazhab Islam pada ghalibnya memandang penistaan terhadap Nabi termasuk dalam konteks penistaan simbol sakral keagamaan. Dari sumber-sumber hadis mereka ada sejumlah riwayat khusus tentang perkara ini bahwa setiap penista Nabi Allah harus diganjar hukuman mati.(4) Berkaitan dengan itu, boleh jadi suatu kritik diajukan bahwa Islam menggunakan dasar internal dalam melindungi kesakralan simbol agama lain. Misalnya, dalam kasus para Nabi. Kritik ini dapat ditanggapi dengan beberapa argumen. Pertama, dalam konteks ini, tidak berpengaruh apakah dasar perlindungan hukum bagi agama Tuhan lainnya, dalam konsep Islam, bersifat internal atau eksternal, terutama dari segi efek perlindungan dan pengaruh positif dari sikap menghormati agama lain. Demikian halnya dalam perspektif hak asasi manusia, sebuah undang-undang disebut memenuhi kriteria dan logis manakala lebih koheren dengan semangat hak asasi manusia. Adapun apa dasar penetapan undang-undang itu, entah bersifat
P: 7
internal maupun eksternal, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan.
Kedua, hal ini juga berlaku pada konvensi dan hukum positif. Misalnya, konvensi internasional akan memiliki kekuatan hukumnya di sebuah negara bila telah diratifikasi dan ditetapkan melalui undang-undang internal negara tersebut.
Ketiga, Injil juga menghormati Nabi Musa as dan para Nabi lainnya. Kitab suci bahkan mengabarkan ihwal yang berkaitan dengan Rasulullah, Muhammad Saw.
Dengan demikian doktrin Kristen dan hukum yang berlaku di Inggris memiliki dasar internal berkenaan dengan perlindungan atas kesakralan simbol agama lain, kendati hal ini tidak dijumpai pada level praktis.
Dalam agama Yahudi dan Kristen, kemurtadan dikenal sebagai tindak kriminal:
pelakunya dijatuhi hukuman mati. Berkenaan dengan itu, Bibel yang diakui (sebagai kitab autentik keagamaan) oleh para penganut Kristen dan Yahudi, menyatakan:
Jika di antara kalian terdapat peramal atau penafsir mimpi, lalu dia berkata bahwa Nabi menyembah Tuhan yang lain, bunuhlah peramal itu. Jika kerabat terdekatmu atau sahabat karibmu menyerukan Tuhan yang lain, umumkanlah seruannya. Janganlah kalian mengasihinya; bunuhlah dengan tangan kalian sendiri, atau hujani dia dengan batu. (1) Hal di atas juga koheren dengan Common Law sebagai sistem hukum yang sangat dipengaruhi hukum Gereja. Dewasa ini, sejumlah negara Barat, di antaranya Inggris dan Amerika, menganut sistem hukum ini. Atas dasar itu, penistaan simbol suci sudah dikenal sejak lama dengan predikat blasphemy.
Berdasarkan definisi terkait yang dirumuskan pakar hukum Barat, predikat itu tidak hanya meliputi penistaan simbol suci, tetapi juga mencakup kemurtadan Sebab berdasarkan definisi tersebut, setiap pengingkaran terhadap nilai kebenaran ajaran Kristen, Injil, dan atau eksistensi Tuhan merupakan bentuk konkret dari tindak kriminal (penistaan) tadi.(2) Beberapa di antara mereka bahkan berpendapat bahwa secara konvensional pemahaman primer kaidah ini, dalam sistem Common Law, jauh lebih luas. Artinya, segala bentuk tindakan yang sesuai kaidah agama Kristen berhubungan dengan kepentingan umum dinilai sangat vital. Sedemikian
P: 8
vitalnya, sampai-sampai tak seorang pun dibolehkan mengingkarinya. (1) Dapat dikatakan bahwa berdasarkan Common Law, arti asal dari kata blasphemy lebih general dari kemurtadan(2) dan penistaan simbol suci. Karena, dalam definisi yang telah disebutkan, hanya pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama Kristen yang layak diganjar hukuman, sekalipun tanpa unsur penistaan.
Sejumlah buku bertema hukum yang terbit beberapa tahun terakhir juga menekankan makna umum yang mencakup kemurtadan.(3) Namun dikarenakan luasnya pengertian blasphemy secara hukum, dalam beberapa tahun belakangan ini di Inggris muncul kritik terhadap agama Kristen. Kalau saja dibubuhi penghinaan pelecehan, akan berdampak hukuman.(4) Berdasarkan undang-undang Inggris, predikat kriminal hanya diberlakukan pada tindak mengingkari kebenaran ajaran Kristen dan keautentikan Injil—terlepas apakah tindakan itu dinyatakan berupa tulisan, penerbitan, pendidikan, dan atau statement yang disertai pesan normatif.
Terhadap tindakan itu, ada sekian hukuman beragam yang telah diprediksikan. Ini yang lantas membuat heran banyak kalangan.(5) Kajian seputar skala pengertian blasphemy dalam Common Law dengan memperhatikan kekuatan hukumnya dalam tata hukum Inggris dewasa ini, menimbulkan persoalan yang lebih serius: apa kriteria dan logika yang berlaku di Inggris sehingga berdasarkan kaidah tersebut, negara hanya melindungi simbol sakral Kristen; perlakuan istimewa yang tidak diperoleh agama lain? Bukankah aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan antidiskriminasi antarpemeluk agama, sebagaimana ditegaskan dalam sekian banyak konvensi internasional HAM? Coba simak kasus penistaan Salman Rushdie lewat karya tulisnya Ayat-ayat Setan, terhadap sosok Rasulullah Saw. Bagaimana pengadilan Inggris itu berdalih bahwa aturan blasphemy berlaku efektif hanya pada kasus penistaan simbol sakral
P: 9
Kristen, sementara untuk agama lain, tidak.(1) Sejumlah pakar hukum Barat yang bersikap netral menentang putusan pengadilan Inggris. Selain mengapresiasi protes kaum Muslimin, mereka menilai kecenderungan membatasi efektivitas hukum untuk golongan tertentu dikategorikan sebagai tindak diskriminasi pada ranah agama. Kesimpulan mereka undang-undang itu bertentangan dengan pasal 9 dan 14 Konvensi Eropa tentang HAM. Konvensi itu menyatakan bahwa setiap diskriminasi berdasarkan agama adalah terlarang. (2) Ada juga sebagian pakar hukum Barat yang mengajukan beberapa saran sebagai jalan keluar. Di dalamnya mereka mendesak agar undang-undang yang berlaku di Inggris seputar penistaan simbol sakral juga memberi perlindungan hukum yang setara kepada agama lain.(3) Demikian pula dalam tata hukum Amerika. Kurang dari tiga dekade terakhir, tepatnya sampai tahun 1970, penista simbol sakral divonis hukuman mati.
Sebuah media online di sana, Constitutional Rights Foundation (CRF), yang menyoroti diskursus hak-hak asasi Amerika pernah menerbitkan satu makalah yang menguntungkan posisi Salman Rusdhie.(4) Pembelaan tegasnya dibubuhi sebuah poin menarik bahwa sebelum tahun 1970, telah diberlakukan hukuman mati terhadap tindak penistaan simbol sakral di sejumlah negara bagian Amerika Serikat.(5) Dalam upaya melengkapi landasan hukumnya, majalah itu bahkan bersandar pada laporan sebuah arsip hukum. Tercatat di dalamnya empat nama Quakers Protestant telah dijatuhi hukuman mati, dan berhasil dieksekusi pada 1659.(6) Kasus lain adalah penistaan simbol sakral di New York. Pengacara pihak
P: 10
terdakwa (ruggles) memanfaatkan kekosongan undang-undang yang mengatur hukuman pelaku penistaan simbol sakral di negara bagian tersebut sebagai dalih.
Dia bermaksud membebaskan kliennya dari tuduhan menista Isa Al-Masih a.s.
dan Siti Maryam a.s. Namun, mahkamah agung AS sepakat menolak permohonan peninjauan ulang kasus ini berdasarkan dalih yang diajukan tadi. Argumentasinya, undang-undang blasphemy yang diakui sebagai warisan sistem Common Law dinilai telah memadai untuk memvonis penista simbol sakral Kristen sebagai pelaku kriminal. Berdasarkan tafsir terhadap undang-undang ini, pengadilan New York menyatakan bahwa penistaan terhadap Isa Al-Masih a.s. selain mengganggu ketertiban umum, juga merusak etika sosial.(1) Dari uraian seputar sistem hukum Common Law, dapat disaksikan adanya campur-aduk antara kemurtadan dan penistaan simbol sakral. Memang, saat ini hanya penistaan simbol sakral saja yang diakui sebagai tindak kriminal. Namun demikian, jalur hukum untuk mengidentifikasi status kriminal pada kemurtadan dalam aturan blasphemy warisan Common Law ini, masih tetap terbuka. Dewasa ini aturan tersebut tidak lagi diacu sebagai dasar hukum. Alasannya masyarakat Barat sudah tidak punya keterikatan emosional dengan simbol sakral keagamaan. Oleh karena itu, penistaan simbol sakral dan seruan menentang Kristen (yang sudah diselewengkan dan bercampur mitos) tidak akan mengusik emosi, etika sosial, dan etika publik. Jika kondisi ini lalu muncul di negara-negara tersebut, tentunya- menurut aturan-penista simbol sakral dan orang murtad akan diperlakukan sebagai pelaku kriminalitas dengan catatan: tindakan itu bertentangan dengan tatanan dan etika sosialnya sendiri.
Dibandingkan dengan Common Law dalam hal melindungi agama samawi lain, hukum Islam jelas memiliki tingkat relevansi yang lebih tinggi dengan butir-butir HAM.
Sebagaimana telah disebutkan, dalam rangka mendefinisikan kemurtadan, kalangan fukaha menerangkannya sebegitu rupa hingga pada sebagian kasus juga mencakup penistaan simbol sakral. Sebab dalam definisi dinyatakan penistaan
P: 11
simbol sakral agama lewat kata-kata maupun tindakan menyebabkan terjadinya kemurtadan.(1) Masalahnya menjadi kian rumit tatkala sebagian fukaha mengidentifikasi kemurtadan penista Nabi dan para Imam sebagai faktor penyebab jatuhnya hukuman atas perbuatan tersebut.(2) Padahal jenis hukuman murtad berbeda dengan jenis hukuman menista para Nabi dan Imam. Diantara perbedaan signifikan dua jenis ini:
1. Eksekusi Hukuman Merujuk pendapat banyak fukaha, setiap orang berhak mengeksekusi hukuman terhadap orang yang menista para nabi dan imam maksum.
Namun, pada kasus murtad tugas ini sepenuhnya berada pada kewenangan pemerintah Islam.
2. Pihak Tervonis Jika perempuan divonis sebagai murtad, hukuman yang dijatuhkan padanya lebih ringan dibanding dengan yang dijatuhkan pada laki- laki (hukuman mati). Selain itu hukuman atas kemurtadan tidak dapat diberlakukan pada non-Muslim. Sebaliknya hukuman menista para nabi dan imam maksum tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, juga tidak antara Muslim dan non-Muslim.(3) Hukuman penistaan ini tetap tidak berlaku pada non-Muslim sekalipun dia kemudian menjadi Muslim setelah dijatuhi hukuman. Hal ini berdasarkan kaidah jubb yang mengatakan ‘Islam menghapus catatan lampau'. Artinya, hukuman itu dianulir baginya.(4)
P: 12
3. Penerimaan Taubat Taubat kaum perempuan dan pelaku murtad millî (orang yang lahir dari ayah-ibu non-Muslim) terkabulkan. Namun berkenaan dengan pengabulan taubat kaum laki-laki yang murtad fithri, terdapat perbedaan pandangan.
Sebagian besar pakar berpendapat bahwa taubat mereka tidak terkabulkan.
Adapun taubat yang dilakukan orang yang menista Nabi Saw dan Imam maksum menurut keyakinan para fukaha tidak akan terkabulkan, kecuali si penista berstatus kafir kemudian menjadi Muslim.
Oleh karena itu, dengan mencermati perbedaan dan hukuman dari dua tindak kriminal di atas (kemurtadan dan penistaan), maka kriteria khusus masing-masing harus dirumuskan secara tegas. Dalam rangka ini perlu digarisbawahi bahwa status kriminal pada penistaan Nabi Saw dan para imam maksum terbuktikan dengan argumen khusus. Oleh karena itu tindakan ini dikategorikan sebagai kriminalitas tersendiri dhukumnya juga khusus. Dengan demikian, penistaan itu tidak masuk dalam kategori kemurtadan.
Memang, ada banyak kesamaan dengan tindakan murtad sehingga dalam keterangan beberapa fukaha, dinyatakan bahwa penista Nabi Saw dan para Imam sama hukumnya dengan orang murtad. (1) Adakalanya penetapan hukuman bagi penista Nabi Saw dan para imam maksum bahkan berpijak pada argumen kemurtadan.(2) Kendati demikian tindak menista itu tetap memiliki hukum khas yang tidak mengikuti hukum kemurtadan. Adapun penistaan terang-terangan terhadap simbol sakral dan ajaran niscaya agama seperti Al-Qur'an dan Ka'bah, termasuk dalam kriminalitas murtad, tentu saja mengikuti kaidah hukumnya.
Hanya yang perlu dicatat bahwa dampak hukuman dua tindak kriminal ini (pengingkaran ajaran niscaya agama dan penistaan terhadap simbol sakral) tidak
P: 13
dapat diterapkan pada tindak kriminal penistaan terhadap simbol sakral yang tidak dasar (seperti penistaan terhadap imam yang punya dalil khusus, dan merupakan simbol sakral menurut mazhab Ahlul Bait-penj.).
Alhasil hipotesis awal dapat ditelusuri secara lebih serius. Sekalipun dalam praktiknya kemurtadan bisa saja terjadi hanya dengan pengingkaran,tetapi penelitian terhadap bentuk kemurtadan pada masa para Imam maksum justru menguatkan hipotesis awal. Pada praktiknya hanya kemurtadan dengan penistaan simbol sakral saja yang jadi kasus sensitif.(1) Kasus selanjutnya yang berdampak hukuman adalah pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama dengan maksud melemahkan posisinya dan menyerukan penentangan (vis-à-vis agama). Masalah ini akan ditelaah secara mendetail pada bab yang akan datang seputar falsafah kemurtadan.
Pertanyaan berikut ini juga perlu diajukan: pengingkaran apa saja yang menyebabkan kemurtadan? Jawabannya, pengingkaran terhadap Tuhan, atau Nabi Saw, dan atau mengingkari salah satu ajaran niscaya agama. Hanya yang perlu diselidiki lebih lanjut adalah pertama, apa makna dan pengertian dari ajaran niscaya agama? dan kedua, apa saja bentuk konkretnya?
Dalam terminologi fikih, ajaran niscaya (dharûrî) agama tidak berbeda dengan yang dimaksud dalam ilmu logika, yaitu proposisi (aksiom) yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa memerlukan perumusan argumentasi dan dalil. Perihal sebaliknya adalah proposisi spekulatif (nazhari) yang memerlukan argumentasi untuk dapat diakui sebagai kebenaran.(2) Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada kepastian minimal (qadr mutayaqqan) seputar pengertian ajaran niscaya agama, yaitu sekumpulan hukum yang disepakati
P: 14
seluruh mazhab Islam, Syiah maupun Ahli Sunnah. Dengan kata lain sedemikian jelasnya ajaran itu ada dalam Islam hingga tak memerlukan argumentasi. Lawannya adalah ajaran niscaya mazhab yang hanya diterima, misalnya kalangan Ahli Sunnah atau kalangan Syiah saja tetapi tidak oleh seluruh kaum Muslimin.(1) Sebagian fukaha meyakini pengingkaran ajaran niscaya mazhab oleh pengikutnya sebagai sebab kemurtadan. Artinya seorang Syiah otomatis menjadi murtad manakala dia mengingkari suatu hukum yang disepakati mazhabnya sendiri. Terkait dengan hal ini ada sejumlah riwayat yang dapat dipahami bahwa ingkar terhadap kedudukan imamah para Imam maksum merupakan bentuk konkret dari kemurtadan. (2) Namun, ada masalah penting lain yang kemudian muncul. Misalnya jika seseorang mengingkari sebuah hukum yang bukan ajaran niscaya agama Islam, akan tetapi dia justru mengingkarinya dengan keyakinan bahwa itu adalah bagian dari ajaran niscaya Islam. Dalam asumsi ini, apakah pengingkaran ini menyebabkan kemurtadan? Sebagian fukaha berpendapat bahwa pada kasus di atas, si pelaku telah murtad.
Muqaddas Ardabili menuliskan:
Tampaknya maksud dari ajaran niscaya (dharûrî) yang pengingkarnya dianggap kafir yaitu hukum yang diyakini niscaya oleh pengingkarnya sendiri sebagai bagian dari agama, meskipun keyakinannya diperoleh secara argumentatif (karena ajaran niscaya agama tidak memerlukan argumentasi) dan hukum itu bukan titik kesepakatan. Ini disebabkan bukti atas kekafiran orang seperti itu, menurut kami, adalah pengingkarannya terhadap, misalnya, syariat dan kebenaran Nabi Saw.
Padahal asumsinya dia meyakini keniscayaan hukum tersebut. (3) Pada prinsipnya Ardabili meyakini bahwa kaidah ini berlaku pada semua hukum Islam, bahkan pada hukum yang masih belum jelas. Sekalipun bagi pengingkar itu merupakan hukum yang pasti-jelas (qath’), pada saat yang sama, dia mengingkarinya.
Lain halnya jika dia sadar bahwa yang diyakini sebelumnya itu keliru. Ini tentu sudah tidak relevan lagi sebab dia masih belum menyadari kekeliruannya, dan membantah hukum yang diyakini sebagai bagian dari syariat nabi.
Mengapa asumsi kemurtadan dibahas dalam konteks ajaran niscaya (dharûrî) dan disepakati semua kalangan, para fukaha berdalil bahwa dalam konteks itulah
P: 15
keyakinan yang lebih pasti diperoleh. Sebab, hukum-hukum itu sebegitu jelasnya hingga tak seorang muslim pun dapat meragukannya. Ini tidak berlaku pada orang yang mengklaim adanya ketakjelasan. Klaim mereka ini dapat diterima kalau memang kemungkinan seperti ini mereka alami. Oleh karena itu, ketetapan fukaha berkaitan dengan pengingkaran hukum agama bersifat general (artinya, bukan hanya sebatas ajaran niscaya agama).(1) Dalam pandangan mereka pengingkaran terhadap setiap hukum agama menyebabkan kemurtadan, kendati itu tidak termasuk ajaran niscayanya. Dengan catatan, hukum itu diyakini si pelaku sebagai hukum yang pasti-jelas (qath’î) dalam Islam. Hal demikian begitu jelas dan pasti hingga pengingkaran tersebut meniscayakan pengingkaran kenabian yang berdampak pada pengingkaran Tuhan.
Di sini menjadi jelas bahwa kemurtadan akan terjadi dalam konteks pengingkaran Tuhan atau kenabian; bukan dalam konteks mengingkari salah satu hukum Islam.
Bagaimanapun itu, kritik khusus terhadap ajaran niscaya agama masih kuat diajukan. Artinya, apabila seseorang mengingkari ajaran niscaya agama tanpa bermaksud ingkar terhadap Tuhan dan atau kenabian maka implikasi dari argumentasi di atas menjadikan orang seperti ini bukan murtad. Ini adalah subjek yang akan menempati fokus pembahasan selanjutnya.
Bentuk kemurtadan paling konkret berkenaan dengan kewajiban shalat. Tak ada mazhab dan golongan dalam Islam meragukan kemutlakan hukum wajib shalat ini. Oleh karenanya tindakan yang membolehkan tidak dikerjakannya shalat akan menyebabkan kemurtadan.
Kewajiban berpuasa merupakan bentuk lain dari ajaran niscaya (dharûrî) agama sebagaimana disebutkan fukaha. Dengan demikian setiap Muslim yang mengingkari status wajib berpuasa akan dikategorikan murtad.(2) Demikian pula menganggap seorang muslim boleh tidak membayar zakat:
anggapan yang digolongkan sebagai pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama.
Akan tetapi seseorang yang tidak membayar zakat tanpa bermaksud menolak ajarannya atau dia tidak membayarnya lantaran keraguannya atas status wajib- tidaknya zakat itu sendiri? Hal ini menurut pandangan fukaha Syiah tidak
P: 16
menyebabkan kemurtadan.
Ini berbeda dengan sejumlah kalangan Ahli Sunnah. Mereka menjustifikasi kebijakan khalifah pertama dalam menindak kelompok yang tidak membayar zakat sebagai murtad. Bertolak dari pandangan ini setiap penolakan pembayaran zakat akan diidentikan dengan kemurtadan.(1)Padahal dalam kasus tindakan menolak pembayaran zakat tanpa bermaksud menganggapnya sebagai tindakan yang memang harus dilakukan, terdapat aturan tersendiri. Pemerintah Islam hanya dapat menyikapi tindakan itu sebagai aksi subversif (al-khurûj 'ala) bukan tindak kemurtadan.
Sebagaimana diketahui, pascawafatnya Nabi Saw ada beberapa orang yang telah dikenal sebagai murtad namun secara hukum syariat mereka bukanlah murtad. (2) Meskipun secara etimologis dapat dikategorikan status mereka demikian.(3) Yang pasti ada satu kaidah umum yang perlu dicermati: memperbolehkan setiap perbuatan haram atau membenarkan pengabaian setiap kewajiban agama, akan menyebabkan kemurtadan, disebabkan karena anggapan dan penilaian itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama. (4) Atas dasar kaidah ini pula, misalnya, menganggap halal mengonsumsi minuman keras bisa dianggap sebagai bentuk kemurtadan.(5) Beberapa fukaha berpendapat bahwa mengklaim diri sebagai nabi juga merupakan salah satu bentuk kemurtadan. Landasannya klaim ini terbilang bertentangan dengan ajaran niscaya agama. (6) Berkenaan dengan kedudukan Imamah para imam maksum tidak ada konsensus yang mengategorikannya sebagai ajaran niscaya agama. Misalnya, menurut sejumlah fukaha besar boleh jadi kedudukan Imamah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib merupakan ajaran niscaya agama bagi generasi pertama sahabat Nabi Saw di era awal Islam, khususnya bagi Ahl Al-Hall wa Al-Aqd, dan penentangan terhadapnya terbilang sebagai penentangan sengaja terhadap perintah Nabi Saw.
Oleh karenanya beberapa riwayat tentang orang-orang menjadi murtad pasca
P: 17
nabi Saw mengindikasikan ihwal sekelompok sahabat tersebut, dan bukannya semua orang yang hadir di masa wahyu, bukan pula generasi selanjutnya yang hanya bersandar dan mempercayai sahabat generasi pertama yang mengalami era wahyu.
Ada kemungkinan lain yang lebih kuat untuk kandungan riwayat di atas.
Maksud murtad di dalamnya bukan dalam konteks syar'i, yaitu kembali keluar dari agama, tetapi sekadar pengingkaran terhadap perjanjian (komitmen penuh dalam konteks Imamah).(1) Sebagian fukaha menegaskan bahwa Imamah merupakan ajaran niscaya mazhab, bukan bagian dari ajaran niscaya agama. Berdasarkan argumen ini kalangan penentang Syiah yang mengingkari Imamah tidak tergolong murtad sejauh tidak bermaksud mengingkari dan mendustakan Nabi Saw.(2) Perlu diingat pula jika pandangan sebagian besar fukaha ini diacu maka pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama an sich tidak menyebabkan kemurtadan. Jelasnya kemurtadan hanya terjadi jika meniscayakan pengingkaran terhadap Tuhan dan atau nabi.
Berdasarkan pendapat ini, pengingkaran kewajiban dalam Islam, seperti menjalankan shalat, puasa, dan perkara halal atau haram lainnya, akan menyebabkan kemurtadan. Dengan catatan pelaku pengingkaran meyakininya sebagai hukum Tuhan. Umpamanya, dia tetap mengingkari shalat sekalipun mengakuinya sebagai hukum pasti dari Allah Swt dan kewajiban yang diperintahkan Nabi Saw.
Namun ada gejala kritik yang merancukan pikirannya lantas dia berkesimpulan bahwa Tuhan dan nabi, pada dasarnya tidak pernah menetapkan hukum tersebut.
Dia tidak tergolong sebagai murtad. Persoalan ini akan dikaji lebih lanjut secara komprehensif pada pembahasan selanjutnya.
Dari segenap uraian di atas dapat dipahami bahwa kalangan fukaha meng- identifikasi bentuk kemurtadan dalam jumlah terbatas. Penyebabnya adalah keterbatasan lingkup kemurtadan mengingat landasan definisi yang telah dikemukakan. Telaah tentang masalah ini juga memerlukan kehati-hatian. Oleh karena itu, dalam perkara-perkara yang masih diragukan: apakah suatu hukum
P: 18
itu berstatus sebagai ajaran niscaya agama atau bukan, maka prinsip utama yang dipegang adalah hal tersebut masih dianggap tanpa status hukum yang pasti sebagai ajaran yang niscaya sampai ada argumen yang membuktikan statusnya demikian.
Lebih cermatnya dapat dikatakan bahwa keraguan mengenai niscaya-tidaknya sebuah hukum sudah cukup untuk memastikan bahwa hukum itu tidak niscaya (bukan ajaran niscaya).
Mengenai vonis hukuman bagi orang yang dianggap murtad muncul sejumlah kritik dan reaksi skeptis khusus terhadap kredibilitas landasan hukum fikih dan syariat. Oleh karenanya kendati tidak dibahas secara luas namun tema seputar hukuman kemurtadan di sini akan ditelaah hanya dengan mendiskusikan rangkaian kritik tersebut. Dalam uraian dan jawaban terhadap berbagai kritik itu akan tampak jelas rumusan global dari argumen dan landasan yang melatari hukuman kemurtadan.
Terdapat sejumlah kritik yang menyasar masalah hukuman kemurtadan dan hukum-hukum lain yang berkaitan dengannya:
Semua landasan hukum yang telah disebutkan sekaitan dengan eksekusi hukuman mati bagi orang murtad adalah khabar wähid, sementara dalil kredibilitas (hujjiyyah) khabar tsiqah (khabar wâhid-penj.) adalah legitimasi akal sehat (uqala’i). Jadi, menurut akal sehat dalam masalah krusial dan sangat "desisif" — berbeda dengan perkara-perkara lainnya, mereka tidak cukup bersandar pada khabar tsiqah.(1) Terhadap kritik ini dapat dikatakan bahwa landasan hukum seputar kemurtadan tidak hanya berupa khabar wähid. Selain ada sekian banyak khabar wähid yang sahih, kalangan fukaha Syiah dan Ahli Sunnah juga menyatakan adanya konsensus dalam konteks ini.(2) Kasyif Litsam, seorang fakih besar Syiah, selain berargumentasi dengan beberapa riwayat sahih, juga menyatakan adanya konsensus.(3) Dalam hal ini Sahib Jawahir
P: 19
juga bersandar pada riwayat sahih bahkan menyatakan ijmở” manqûl (konsensus nukilan) dan muhashshal (konsensus simpulan dari studi literatur).(1) Tentu saja status konsensus sebagai landasan hukum atau kemungkinan statusnya demikian sudah memadai (untuk dinilai) bahwa konsensus dalam masalah ini dengan sendirinya tidak punya nilai kredibilitas yang terpisah dari riwayat. Hanya kritik tajam masih mengemuka: kenapa Ibnu Idris juga mengakui hukuman mati bagi orang murtad?(2) Padahal jelas diketahui bahwa ia termasuk fukaha yang tidak komit pada khabar wähid. Ia hanya mengaplikasikan riwayat yang mencapai kualitas mutawâtir atau paling tidak riwayat mustafidh dan kalangan fukaha menganggap telah diakui.(3)
P: 20
Kalau memang landasan fikih hukum murtad itu adalah khabar wähid yang tidak mencapai kualitas riwayat mustafidh dan tidak juga dianggap oleh kalangan fukaha sebagai riwayat yang diakui, sudah seharusnya fukaha, seperti Ibnu Idris, tidak meratifikasi hukuman-hukuman murtad karena mereka tidak merujuk khabar wâhid dalam merumuskan fatwa.
Sayyid Murtadha juga termasuk fakih yang tidak bersandar pada khabar wâhid.(1)Akan tetapi, dari seluruh statement-nya seputar kemurtadan, dipahami jelas bahwa ia menyetujui hukuman bagi orang murtad.(2) Selain ahli fikih Syiah, fukaha Ahli Sunnah juga menyepakati prinsip hukuman bagi pelaku kemurtadan,(3) hanya ada beberapa perbedaan di antara mereka.
Fukaha Syiah tidak menjatuhkan hukuman mati pada perempuan murtad, tetapi hanya menetapkan hukuman kurungan hingga dia bertobat. Mayoritas fukaha Ahli Sunnah tidak membedakan hukuman pada perempuan murtad dari laki-laki murtad.(4) Dengan demikian, harus diakui bahwa konsensus memiliki kredibilitas independen bagi kalangan fukaha, dan / atau riwayat tentang kemurtadan mencapai kualitas khabar wähid yang dilengkapi indikasi-indikasi definitif. Terdapat argumen terbaik atas adanya indikasi definitif untuk riwayat kemurtadan yaitu tak satu pun dari fukaha Syiah dan Ahli Sunnah menolak asas keberadaan hukuman atas tindak kemurtadan tak terkecuali Ibnu Idris dan Sayyid Murtadha. Perbedaan pendapat di antara mereka hanya berkisar pada syarat-syarat dan perkara-perkara parsial kemurtadan.
Kiranya perlu juga dikemukakan satu poin tentang khabar wâhid. Dalam kondisinya disertai indikasi-indikasi definitif, fukaha dari kalangan Ushuli (yang berpedoman pada ilmu Ushul Fikih) memiliki kesamaan pendapat bahwa khabar wâhid tersebut merupakan mukhashshish (keterangan detail dan khususpenj.) dari Al-Qur'an. Karena khabar wähid yang dilengkapi indikasi-indikasi definitif pada dasarnya sekualitas dengan riwayat mutawâtir. Hanya perbedaan pendapat
P: 21
di kalangan fukaha Ushuli berkisar pada apakah khabar wähid yang kosong dari indikasi definitif dapat dianggap sebagai mukhashshish ayat Al-Qur’an.(1) Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa riwayat yang berkaitan dengan kemurtadan merupakan khabar wähid yang sekualitas dengan riwayat mutawâtir.
Berkenaan landasan Al-Qur'an bagi hukuman orang murtad terdapat kritik yang dirumuskan sebagai berikut:
Menurut teks tegas Al-Qur’an pemaksaan dalam agama itu terlarang. Oleh karena itu, hukuman mati terhadap pelaku murtad bertentangan dengan ayat “Là ikrâh fi al-dîn” (tak ada pemaksaan dalam agama), serta beberapa ayat lain yang telah disebutkan di awal pembahasan. ...Ayat-ayat ini tak dapat diberi keterangan khusus (takhshish) sebab ia berkenaan dengan hukum akal. ... Dengan demikian, riwayat terkait gugur kredibilitasnya dan pengetahuan tentangnya diserahkan pada para pemilik otoritas. Artinya kandungan riwayat itu bagi kita tidaklah jelas dan dapat diatasi dengan merujuk para Imam maksum. Namun selama kondisinya demikian kita tidak bisa mengamalkan kandungannya.(2) Dalam rangka menjawab kritik, perlu dikemukakan bahwa dalam perspektif Islam kemurtadan merupakan tema hukuman yang dijatuhkan pada tindak penghasutan teoretis atau praktis terhadap prinsip-prinsip agama. Dengan mencermati falsafah kemurtadan(3) dapat dikatakan bahwa hukuman kemurtadan tidak bertentangan dengan ayat “Lâ ikrâh fi al-dîn” (Al-Baqarah (2): 265). Karena makna ayat ini pada prinsipnya menjelaskan bahwa pemaksaan atas seseorang agar memiliki suatu kepercayaan tidaklah mungkin secara rasional. Agama adalah urusan hati dan perkara keyakinan. Oleh sebab itu, secara rasional, ia tidak dapat dipaksakan.(4) Ini berbeda dengan hukuman kemurtadan. Hukuman ini ditetapkan bukan karena seseorang dipaksa harus memiliki keyakinan tertentu atau pelaku mau tidak mau harus melepaskan keyakinannya. Sebab sekadar memiliki keyakinan non-agama tidak serta-merta membuat pemiliknya jadi murtad. Akan tetapi, kemurtadan terjadi karena kapasitasnya sebagai ekspresi keyakinan hati yang
P: 22
berbahaya bagi masyarakat beragama. Oleh karena dilakukan tidak dengan cara rasional, ekspresi keyakinan itu merusak etika sosial. Allamah Thabathaba’i sebagai salah satu mufasir yang disegani di dunia Islam, menjawab kritik tersebut:
Sungguh aneh! Bagaimana kalangan pemikir dan ahli tafsir ingin membuktikan sekuat tenaga kebebasan berkeyakinan dalam Islam dengan merujuk ayat “Lâ ikrâh fi al-dîn" atau ayat serupa. Perlu dikemukakan di sini bahwa tauhid merupakan prinsip dan fondasi agama. Lalu bagaimana mungkin Islam menganut kebebasan dalam keyakinan? Tidakkah kontradiksi terlihat jelas? Penganut kebebasan itu berkeyakinan tak bedanya dengan saat dinyatakan bahwa dalam undang-undang sipil dan hukum positif dunia, ada kebebasan (ketakterikatan) dari kedaulatan undang-undang. Padahal tak satu pun sistem undang-undang di dunia mengakui kebebasan pelanggaran undang-undang.
Tak dapat disangkal bahwa keyakinan yang berarti pemahaman kebenaran yang ada dalam pikiran manusia bukanlah tindakan kesengajaan. Oleh karenanya, ia juga tidak dapat dijadikan objek pelarangan, perizinan, pembebasan, atau pengekangan.
Akan tetapi, yang dapat dilarang atau diizinkan adalah konsistensi pada implikasi dan dampak praktis keyakinan, seperti seruan dan anjuran kepada masyarakat untuk (memeluk) keyakinan tertentu, atau menulis buku dan menyebarkannya, merusak keyakinan orang banyak, dan semacamnya. Semua itu dapat dilarang atau diizinkan.
Sudah jelas bahwa jika dalam sistem undang-undang negara keyakinan seperti itu bertentangan dengan butir-butir undang-undang yang berlaku dalam masyarakat, atau dengan salah satu pasal konstitusi yang merupakan asas undang- undang, terpaksa sistem undang-undang negara akan melarang ekspresi keyakinan tersebut.
Demikian pula Islam sebagai agama yang dibangun di atas prinsip monoteis (Tauhid, Kenabian, dan Hari Akhir). Prinsip ini pula yang menjadi kesepakatan para pengikut agama Ilahi: Muslimin, Yahudi, Kristen, dan Zoroaster (Ahli Kitab).
Pada lingkup prinsip inilah kebebasan berkeyakinan dimungkinkan. Di luar itu, kebebasan tidak akan bermakna selain penghancuran asas agama. Ya! Islam mengakui suatu bentuk kebebasan ekspresi keyakinan, yaitu tatkala ekspresi itu dilakukan dalam koridor diskusi dan telaah.(1) Selanjutnya, bentuk kebebasan ekspresi terakhir ini diuraikan oleh Allamah
P: 23
Thabathaba’i dalam kerangka prespektif Islam.
Selain berlandaskan perspektif khas Ilahi agama Islam juga memberi kebebasan berpikir. Seorang Muslim wajib memikirkan nilai kebenaran ajaran-ajaran agama.
Dalam perspektif Islam mereka harus berijtihad secara kolektif dan melalui hubungan dialogis. Tidak masalah bila timbul perdebatan seputar kebenaran dan pengetahuan agama, atau mencapai kesimpulan yang saling bertentangan.Akan tetapi, dalam keadaan demikian, keraguan atau pendapat yang berlawanan mesti ditimbang dengan Al-Qur'an. Jika dengan cara ini masalah tidak terselesaikan, dalam rangka menjawab keraguan dan meluruskan pemikiran, harus merujuk hadis Rasulullah Saw atau pengganti beliau karena Allah Swt berfirman, “Mereka yang mendengarkan semua perkataan lalu mengambil yang terbaik di antaranya mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai aka” (QS. Al-Zumar (39): 18). Kebebasan berkeyakinan dan berpikir yang dimaksud berbeda dengan menyebarluaskan keraguan ke khalayak umum sebelum merujuk referensi tersebut. Karena, jika demikian, tindakan ini akan berakibat perpecahan dan rusaknya tatanan sosial yang kokoh.(1) Berdasarkan jawaban logis Allamah Thabathaba'i, asal-usul kritik yang disampaikan dalam pembahasan sebelumnya sebenarnya dari pemahaman yang tak akurat terhadap ayat Al-Qur'an, “Là ikrâh fi al-dîn". Ayat ini menyatakan klaim Islam terhadap kebebasan berkeyakinan dan berpikir. Memang, kebebasan mengekspresikan setiap keyakinan bukan milik khas Islam. Namun, begitu tak satu pun aturan dan sistem hukum yang ada menerima kebebasan sepenuh-penuhnya.
Perlu dicatat, Islam memberi kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan yang menentang tauhid. Namun dengan syarat hal itu, dilakukan pada kanal yang tepat dan proporsional, yakni di forum ilmiah dan spesialis dalam bidangnya, bukan ke ruang publik dan nonspesialis, dan akan berakibat menyulut perpecahan dan berujung pada runtuhnya ketertiban umum.
Kritik lain atas dalil Al-Qur'an menyatakan bahwa pelaku kemurtadan tidak layak mendapat hukuman di dunia. Menurut Al-Qur'an hukumannya justru hanya bersifat ukhrawi. Seorang penulis menyatakan:
Meskipun mengecam murtad, namun berdasarkan kekuatan logikanya sendiri Al-Qur'an hanya mengabarkan hukuman akhirat, dan tidak membenarkan segala bentuk hukuman dunia, seperti hukuman mati dan kurungan seumur hidup. ...
P: 24
Memang terdapat ayat yang mengabarkan kematian bagi (orang) murtad. Namun yang tampak dari kalimat lalu dia mati dalam keadaan kafir'dalam ayat (QS. Al- Baqarah, 217) mengindikasikan kematian alamiah, bukan hukuman mati atau dibunuh. Jika pelaku murtad harus dibunuh (dijatuhi hukuman mati) niscaya ayatnya akan berbunyi, ‘Fa man yartadd minkum ‘an dînihi fa yuqtal aw yushlab (siapa saja di antara kalian yang berlaku murtad dari agamanya lalu dibunuh atau disalib). Namun dari kalimat ‘lalu dia mati dalam keadaan kafir' dipahami bahwa ada kemungkinan orang itu mati dalam keadaan beriman. Artinya, pertama, agar layak mendapat hukuman di alam berikutnya dia harus tetap dalam keadaan kafir ketika murtad. Kedua, taubat pelaku murtad dalam kondisi normal akan diterima, yaitu ketika dia meraih taufiq untuk bertaubat.(1) Ada beberapa poin yang patut dicermati dalam menjawab kritik ini. Pertama, ahwa Al-Qur'an tidak membenarkan adanya hukuman mati atau penjara seumur hidup adalah klaim yang tidak benar. Sekalipun tidak menyebutkan secara khusus perihal hukuman dunia bukan berarti Al-Our'an tidak membolehkannya.
Karena dalam ayat yang dijadikan dalil oleh penulis, (2) tidak terdapat kata pengkhusus seperti “Innama” (hanya) yang dengannya ayat itu bermakna bahwa hukuman yang disebutkan hanya bersifat ukhrawi, dan hukuman apapun selain itu (baik ukhrawi ataupun duniawi, termasuk yang telah ditetapkan Sunnah Nabi) tidak dibolehkan.
Oleh karena itu berkaitan dengan hukuman duniawi tentang kemurtadan Al- Qur’an tidak berkomentar. Sikap ini bukan berarti ia menerangkan sesuatu hukum yang bertentangan dengan Sunnah Nabi.
Selain itu anggaplah ada hukum muthlaq atau umum dalam Al-Qur'an. Dalam asumsi ini, kesimpulannya sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yaitu hukum muthlaq atau umum itu menjadi bersyarat (muqayyad) atau khusus melalui riwayat kemurtadan yang dan yang dilengkapi indikasi-indikasi definitif. Sekalipun tidak dilengkapi hal yang demikian, berdasarkan perspektif kalangan fukaha Ushuli, sebuah riwayat tetap dapat berfungsi sebagai penjelas-khusus bagi (makna mutlak) ayat Al-Qur'an, meskipun riwayat itu berupa khabar wähid yang tidak disertai indikasi definitif. (3)
P: 25
Kedua, kalimat ‘lalu dia mati dalam keadaan kafir' disimpulkan oleh penulis bahwa di dalamnya ada kemungkinan si murtad mati dalam keadaan beriman.
Agar layak mendapat hukuman di alam berikutnya, orang itu harus tetap dalam keadaan kafir setelah murtad.
Menjawab pernyataan ini perlu diperhatikan ‘ada kemungkinan mati dalam keadaan beriman'. Argumen ini mengandung kesamaran antara probabilitas tasyri’i (opsional) dan takwini (kreasional/penciptaan). Probabilitas yang dimaksud ayat tersebut adalah kreasional. Jadi, ayat itu tidak menyatakan bahwa penguasa harus memberikan peluang kepada si murtad untuk tetap dalam kekafirannya sehingga hukuman berikutnya (di akhirat, sebagaimana terdapat dalam ayat) dapat diberlakukan. Penafsiran ini akan menjadi benar bila, dari segi kejadian di alam luar, ungkapan ‘lalu dia mati dalam keadaan kafir' terbatas maksudnya hanya pada asumsi yang diklaim penulis. Padahal, ada asumsi lain, bahkan banyak asumsi yang kejadiannya berhubungan dengan probabilitas kreasional.
Pada dasarnya ayat tersebut justru mengindikasikan asumsi terakhir. Contohnya, mungkin saja si murtad kabur setelah dijatuhi hukuman dan tetap murtad hingga menemui kematian alamiah. Dalam kondisi ini, orang itu representasi dari kalimat ayat ‘lalu mati dalam keadaan kafir'. Artinya, dia mati secara alami dalam keadaan kafir yang akhirnya layak mendapat hukuman di alam berikutnya. Akan tetapi orang ini telah kabur dari hukuman dan bertaubat, kemudian menemui kematian, maka Allah akan menerima taubatnya.
Oleh karena itu, banyak probabilitas kreasional yang bisa diajukan sebagai referensi konkret dari ayat ini. Dengan demikian, tafsiran sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah benar.
Kritik lain yang pernah dikemukakan berkaitan dengan hukuman kemurtadan adalah seperti di bawahini.
Katakan saja semua aspek argumen yang ada itu benar, persoalan yang masih tersisa adalah apakah pelaksanaan hukum syariat termasuk hukum yang berlaku semasa kehadiran Imam? Atau bersifat mutlak, entah hadir atau tidaknya Imam, dan dengan demikian, tugas itu bagian dari hukum supratemporal agama? Ada
P: 26
dua pendapat di kalangan fukaha Syiah. Pendapat masyhur(1) tidak membolehkan pelaksanaan hukuman di masa kegaiban Imam (Mahdi).(2) Sebagian lainnya bahkan mengklaim demikian sebagai konsensus.(3)(4) Selain mempertanyakan pelaksanaan hukuman kemurtadan, kritik ini juga memperkarakan penegakan semua hukum di masa kegaiban Imam. Kiranya diperlukan kajian lebih luas terhadap tema ini agar maksud pendapat tersebut menjadi jelas. Apakah benar sebagaimana klaim bahwa penegakan hukum di masa kegaiban Imam (Mahdi) oleh fukaha yang memenuhi kriteria (al-jâmiʻli al-syarâ’ith) dapat dipertanyakan. Khususnya era pemerintahan Syiah di Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan fukaha yang memenuhi kriteria. Apakah pelaksanaan ini justru ditopang pilar hukum syar’i yang kokoh? Sebagai jawaban harus dikemukakan bahwa konsensus yang diklaim Ibnu Idris tidak mengandungi kebenaran. Buktinya tak satu pun ulama fikih menguatkan konsensus tersebut, hingga dinyatakan sedemikian kuat dalam kalimat dari segenap kaum Muslimin'. Konsensus tersebut hanya dinisbatkan pada Ibnu Zuhrah. Segera akan disinggung bahwa konsensus kedua fukaha ini mengandungi semacam kerancuan yang dapat disangkal, setidaknya tak punya tingkat kejelasan setinggi yang dibutuhkan. Andaikata memiliki kejelasan seruan ini tidak relevan dengan kenyataan. Sebagaimana telah dikemukakan Sahib Jawahir, bukan hanya tidak terjadi konsensus, melainkan malah terbangun pandangan yang berbeda dengan mereka.(5)
P: 27
Bukti yang layak untuk melegitimasi pernyataan ini adalah klaim besar (konsensus dari kalangan fukaha dan segenap kaum Muslimin atas tidak dibolehkannya pelaksanaan hukum di Masa Kegaiban) hanya menyertakan bukti pendapat dua pakar yaitu Muhaqiq Hilli dan Khunsari. Padahal, berdasarkan kutipan dari sejumlah komentator kitab Syarâ’i“ Al-Islâm, seperti Sahib Jawahir, Muhaqiq Hilli menyatakan abstain dalam hal ini, tidak berpendapat boleh tidaknya melaksanakan hukuman.(1) Bahkan, klaim Khunsari yang mengemukakan soal pendapat masyhur tentang tidak bolehnya penegakan hukum di masa kegaiban, tidak sesuai dengan kenyataan. Karena, pertama, beberapa fukaha besar seperti Sahib Jawahir dan Khu’i menentang klaim ini. Mereka percaya pendapat paling masyhur justru menyepakati dibolehkannya penegakan hukum di masa kegaiban. Tidak ada gejala penentangan yang sempat dinukil dalam pendapat ini, kecuali dari Ibnu Zuhrah dan Ibnu Idris, sementara konsensus yang dimaksud juga belum terbukti.(2) Kedua, kebanyakan fukaha Syiah sepakat dengan penegakan hukum di Masa Kegaiban oleh fukaha yang memenuhi seluruh kriteria. Ini bukan hanya klaim konsensus tidak benar, justru klaim adanya pendapat masyhur yang bertentangan dengan sudut pandang ini tidak dapat diterima. Sebagai contoh, akan dikemukakan sejumlah pendapat fukaha berkenaan dengan pelaksanaan hukum di Masa Kegaiban.
Darinya akan menjadi jelas, betapa tidak berdasarnya klaim adanya konsensus yang bertentangan dengan pendapat ini.
Syaikh Mufid (w. 413 H) hidup hampir 200 tahun (185) sebelum Ibnu Idris (w.
P: 28
598 H). Tidak ada yang meragukan tingkat keilmuan dan akhlaknya. Ia membela pendapat yang membolehkan pelaksanaan hukum Masa Kegaiban dan menegaskan pelimpahan otoritasnya oleh Imam maksum kepada fukaha Syiah.(1) Abu Hamzah Dailami, yang dikenal dengan julukan Salar (w. 448 H), merupakan fakih kenamaan sebelum Ibnu Idris. Ia berpendapat sama dengan Syaikh Mufid dalam persoalan ini.(2) Syaikh Thusi juga sepakat dengan pandangan Syaikh Mufid.(3) Layak disebutkan bahwa ia merupakan seorang fakih tersohor sebelum Ibnu Idris. Sementara itu Ibnu Idris kerap menentang dan bersikap sinis terhadap pendapatnya. Karena itulah kredibilitas Ibnu Idris jatuh di mata kalangan fukaha.
Allamah Hilli menisbatkan pendapat yang membolehkan penegakan hukum di Masa Kegaiban Imam Mahdi kepada Syaikh Mufid. Kendati pada awalnya tidak menyatakan pendapatnya sendiri secara tegas, tetapi pada halaman berikutnya, ia menerima pandangan tersebut. (4) Selain itu, Allamah Hilli menerima pandangan ini
P: 29
secara tegas dalam buku fikih lainnya. (1) Syahid Tsani termasuk fukaha yang menyandarkan pandangan ini pada Syaikh Mufid, Syaikh Thusi, dan sekelompok fukaha besar. Ia juga menerima pandangan tersebut.(2) Sebagian besar fukaha Syiah meyakini bahwa pelaksanaan hukuman oleh fukaha Syiah di masa kegaiban adalah legal secara hukum.(3) Nama besar lain yang patut disebutkan di sini ialah seorang fakih ternama Syiah, penulis karya berharga, Jawâhir Al-Kalâm fi Syarh Syarâ'i' Al-Islâm, Muhaqiq
P: 30
Najafi, atau dikenal juga dengan Sahib Jawahir. Ia membela dengan panjang lebar ihwal legalitas pelaksanaan hukuman di masa kegaiban termasuk pemberian otoritas kepada fukaha seraya bersandar pada pelbagai argumentasi. Sekian argumen menegaskan bahwa fakih mujtahid yang memenuhi seluruh kriteria (al-jîmi' li al-syarå’ith) direkomendasikan sebagai penerus Nabi Saw dan para Imam dalam melaksanakan hukum Ilahi.(1) Banyaknya jumlah riwayat yang ditransmisikan berbagai perawi mengukuhkannya layak digunakan. (2) Di akhir argumentasinya, Sahib Jawahir menyatakan:
Dan secara umum masalah ini termasuk masalah yang sudah jelas dan tidak perlu lagi argumen ... Mengherankan bila sebagian meragukan masalah ini, seolah- olah mereka tidak mengecap sedikit pun selera fikih.(3) Di akhir pembahasan, dinukil satu riwayat dari kitab Al-Asy'atsiyyât. Riwayat itu menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman merupakan otoritas khusus Imam maksum. Penulis mengomentari bahwa sanad (mata rantai) riwayat itu lemah dan tidak mendapat pengakuan. Bahkan, kitab tersebut juga tidak kredibel.(4) Terdapat sejumlah fukaha lain yang menerima pandangan yang ulasan selengkapnya membutuhkan tempat khusus.(5) Dari uraian di atas, beberapa hal menjadi perhatian. Ibnu Idris sedikit banyak mengetahui pandangan fukaha ternama sebelumnya, seperti Syaikh Mufid, Salar, dan Syaikh Thusi (w. 460 H). Dengan kekuasaan ilmu fikih yang dimiliki, ia tidak semestinya melakukan kesalahan sedemikian fatal. Dari sini, boleh jadi maksud Ibnu Idris ihwal konsensus memerlukan penjelasan khusus. Di Masa Kegaiban seluruh fukaha sepakat tak seorang pun selain fakih (orang biasa) yang berhak menjadi eksekutor hukuman. Ini berdasarkan pernyataannya, 'Kecuali para Imam
P: 31
dan penguasa eksekutif dengan izin mereka dalam hal tersebut.' Statement ini dinyatakan tanpa disertai penjelasan sehingga dapat dipahami mencakup kalangan eksekutif dengan izin Imam maksum secara khusus, juga izin secara umum, seperti fukaha di Masa Kegaiban. Karena dalam terminologi ahli fikih, kata 'yang ditunjuk' bukan hanya meliputi penunjukan umum oleh imam- yakni penunjukan fakih yang memenuhi seluruh persyaratan tetapi bahkan dalam keadaan tertentu digunakan bagi imam sendiri. Namun maksud Ibnu Idris dalam yang ditunjuk secara umum, yaitu fukaha di Masa Kegaiban.(1) Pernyataan ini dibuktikan dengan keyakinan yang dimiliki sejumlah fukaha pra Ibnu Idris, seperti Syaikh Thusi dan Qadhi Ibnu Barraj (w. 481 H). Fukaha Syiah yang ditunjuk mengeksekusi hukuman, meskipun oleh penguasa zalim demi menegakkan kebenaran, dapat melakukannya dengan niat benar-benar ditunjuk penguasa Islam (Imam maksum).(2)Klaim Ibnu Idris seputar konsensus seluruh
P: 32
fukaha dan kaum Muslimin berkaitan dengan masalah ini dan dimaksudkan untuk menafikan pendapat tersebut, (1) karena ia mengajukannya langsung setelah menukil pendapat Syeikh Thusi.'(2) Oleh karena, itu kecil kemungkinan bahkan untuk bisa menisbatkan kepada Ibnu Idris bahwa ia menentang penegakan hukum Ilahi di Masa Kegaiban Imam, sekalipun aktif secara independen dan terlepas dari penguasa zalim. Dengan demikian dalam beberapa kalimatnya setelah menyatakan konsensus, ia menegaskan bahwa penetapan aturan dan peradilan umum di Masa Kegaiban adalah otoritas khusus fukaha Syiah. Menurut keyakinannya otoritas ini telah didelegasikan Imam maksum kepada mereka. Di bagian ini disebutkan pula soal penegakan hukum, termasuk eksekusi hukuman.(3) Di bagian lain, buku Al-Sarâ'ir, Ibnu Idris menyinggung keniscayaan pengetahuan hakim dalam statusnya sebagai eksekutor hukuman Ilahi. Jika awal dan akhir uraiannya diamati akan tampak bahwa syarat ini (syarat pengetahuan kefakihan) secara definitif dikemukakan untuk kondisi Masa Kegaiban.(4) Bukti lain dari catatan ini, tak seorang pun menguatkan konsensus tersebut.
Mungkin, lantaran inilah penulis menukil Muhaqiq Hilli ketika menjelaskan catatan kaki sebelumnya. Kalimat berikut, “Siapa yang ditunjuk untuk melaksanakannya, ditafsirkan sebagai penunjukan khusus sehingga fukaha di Masa Kegaiban keluar dari cakupannya. Pada penjelasan kalimat, ketentuan ini tidak disertakan padahal
P: 33
pernyataan konsensus oleh Ibnu Idris telah dimanfaatkan sebagai bukti. Katakanlah konsensus yang dinukil dari Ibnu Idris tentang ketiadaan izin penegakan hukum di Masa Kegaiban benar demikian adanya, lalu bandingkan dengan kutipan pendapat mayoritas fukaha pada masa sebelum dan sesudahnya, niscaya akan diperoleh kesimpulan betapa klaim ini tidak benar dari sudut pandang peneliti yang objektif dan netral.
Klaim konsensus dari Ibnu Zuhrah juga nyaris tidak ada bedanya dengan klaim Ibnu Idris: sama-sama menyimpan kerancuan, dan boleh jadi statement-nya cenderung mengarah pada penafian hukum dibolehkannya pelaksanaan hukuman oleh masyarakat umum.(1) Poin penting lainnya, dalam rangka menerangkan penjelasan Muhaqiq Hilli, penulis kritik dalam catatan kakinya menisbatkan kepada Sahib Jawahir bahwa maksud Muhaqiq Hilli dari kalimat siapa yang ditunjuk olehnya untuk menegakkan hukum' adalah orang yang ditunjuk khusus oleh imam, bukan yang ditunjuk secara umum, yaitu fukaha di Masa Kegaiban.
Penisbatan ini terbantahkan bila merujuk uraian Sahib Jawahir sebelum dan sesudah kalimat tersebut. Pemahamannya atas penjelasan Muhaqiq Hilli adalah tak seorang pun (selain fukaha) berhak mengeksekusi hukum. Uraian dalam beberapa baris sebelumnya menegaskan pemahamannya ini. Di sana, ia menyatakan selain pendapat tidak dibolehkannya penegakan hukum di Masa Kegaiban, ada pendapat bahwa (otoritas) penegakan hukum di masa itu dimiliki fukaha yang memenuhi seluruh kriteria.(2) Pada beberapa baris kalimat berikutnya, setelah penjelasan Muhaqiq Hilli, ia membubuhkan, “Saya tidak menemukan polemik dalam hal ini.(3) Terdapat kejanggalan bila Sahib Jawahir memaksudkan penentuan khusus sebagai tidak bolehnya penegakan hukum di Masa Kegaiban, sekalipun bagi fukaha yang memenuhi seluruh kriteria karena dalam beberapa baris kalimatnya, tercantum dua statement yang jelas-jelas bertentangan satu sama lain. Artinya, dari satu sisi, ia mengklaim selain pendapat tidak dibolehkannya penegakan hukum di Masa
P: 34
Kegaiban, ada pendapat bahwa (otoritas) penegakan hukum di masa itu dimiliki fukaha yang memenuhi seluruh kriteria. Namun di sisi lain, setelah beberapa baris setelahnya, ia menyatakan bahwa dirinya tidak menemukan perselisihan dalam pendapat ini. (1) Selanjutnya, berkenaan dengan pernyataan Sahib Jawahir saat menjelaskan ucapan Muhaqiq Hilli, “orang yang ditentukan Imam untuk menegakkan hukum." Di sini, ia mengatakan “yang khusus atau untuk perkara yang menjadi bagian darinya.” Kata “khusus” ini bukan terminologi fikih, tetapi bermakna “kelayakan khusus” sebagai lawan kata dari “kelayakan umum” yang dibebankan imam kepada wakilnya, termasuk kelayakan menegakkan hukum. Maka, frasa “penentuan khusus” bukan sebuah terminologi, karena itu pula tak memerlukan penjelasan.
Bukti berikutnya adalah pernyataan Sahib Jawahir persis setelah pendapat Muhaqiq Hilli:
Barangkali, mengingat apa yang telah kami sebutkan seperti munculnya fasad dan kerusakan akibat penyerahan otoritas kepada masyarakat umum, ia menyatakan, “Tidak boleh bagi siapa pun melaksanakan hukuman kecuali Imam saat beliau ada, dan punya kekuasaan, ‘atau orang yang ditunjuk' oleh Imam untuk melaksanakannya secara khusus atau untuk perkara yang menjadi bagian darinya.
Sahib Jawahir menjelaskan falsafah privilese hukum kepada Imam atau orang yang ditunjuknya demikian karena penyerahan (otoritas) eksekusi hukuman kepada masyarakat umum akan menyebabkan kekacauan. Jadi dapat dikatakan maksud Muhaqiq Hilli dengan 'yang ditunjuk adalah penunjukan khusus. Ini artinya menolak penyerahan otoritas kepada orang awam (publik) untuk menegakkan hukum di Masa Kegaiban. Pemberian otoritas kepada fukaha yang memenuhi kriteria sah-sah saja. Karena itulah, tidak lagi diperlukan penjelasan lebih lanjut.
Bukti penting lainnya, fukaha tidak menisbatkan pendapat tidak bolehnya menegakkan hukum di Masa Kegaiban kepada Muhaqiq Hilli. Bahkan sebagian mereka, termasuk Sahib Jawahir, meyakini dirinya tidak menyatakan pendapat apa pun berkaitan dengan penegakan hukum di masa itu;(2)ia abstain dan tidak mengajukan pandangan baik negatif ataupun positif. Menurut Sahib Jawahir, hanya Ibnu Idris dan Ibnu Zuhrah yang menentang penegakan hukum di Masa Kegaiban, sementara yang lain tidak.(3)
P: 35
Kalau memang pernyataan itu secara eksplisit bermakna penentuan khusus, ini berarti menguatkan pendapat tidak bolehnya eksekusi hukum pada masa itu. Maka seorang fukaha besar seperti Sahib Jawahir tidak layak menisbatkan sikap abstain kepada Muhaqiq Hilli. Bukti atas sikapnya ini tertera dalam bab lainnya pada buku yang sama. Muhaqiq Hilli memaparkan pendapat ihwal otoritas fukaha yang memenuhi seluruh kriteria untuk menegakkan hukum di Masa Kegaiban. Dalam hal ini, ia tidak menunjukkan sikap yang jelas; apakah menolak atau menguatkan pendapat tersebut. (1) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa klaim penulis kritik tidaklah benar. Betapapun dia berusaha membuktikan tidak adanya otoritas eksekusi, termasuk dalam delik kemurtadan di Masa Kegaiban dengan cara menisbatkannya kepada sejumlah kecil fukaha. Justru tidak hanya klaim adanya konsensus, bahkan klaim adanya pendapat masyhur dalam masalah ini juga tidak berdasar. Tak seorang pun peneliti yang meragukan bahwa mayoritas fukaha mengakui otoritas legitimasi pelaksanaan hukuman di masa itu.
1. Dalam perspektif Islam, murtad adalah orang yang menjadi kafir setelah memeluk Islam. Kemurtadan terjadi dengan cara berikut:
a. Dengan tindakan seperti bersujud di hadapan berhala, menyembah matahari, membuang Al-Qur'an ke tempat sampah, serta segala jenis tindakan yang terang-terangan melecehkan.
Dengan ucapan, seperti terang-terangan mengingkari kewajiban atau yang diharamkan terkait dengan ajaran niscaya (dharûrî) agama.
Ini terlepas: apakah kata-kata itu didasari kebencian, kepercayaan, keyakinan, atau dengan niat menghina.
Syarat kemurtadan adalah pelaku mengetahui dan menyadari penyebab kemurtadan. Pada kasus pengingkaran ajaran niscaya agama yang dilandasi kebodohan, tidak terjadi kemurtadan.
P: 36
2. Dalam pandangan fukaha Syiah, penistaan terhadap simbol sakral agama akan dinyatakan sebagai tindak kriminal jika Nabi Muhammad Saw dan atau para Imam Ahlul Bait dihinakan dan dilecehkan (ihânah aw istihza).
Mayoritas fukaha Syiah berpendapat bahwa penistaan terhadap Siti Fathimah Zahra (yang dipandang sebagai komponen Ahlul Bait Nabi Saw) juga termasuk dalam kategori ini.
Dengan satu kriteria umum dapat dirumuskan, penistaan terhadap perkara apa saja yang bersifat niscaya (dharûrî) dan pasti-jelas (qathî) dalam pandangan Islam, adalah tindak kriminal, seperti menistakan Al- Qur'an, Masjidil Haram, Ka'bah, dan syiar Allah Swt, serta semua hal yang secara prinsip disakralkan dalam Islam. Kendati memang dari segi bobot hukuman, ada perbedaan satu kasus dengan lainnya.
Selain itu, sejumlah fukaha prominen Syiah menjelaskan bahwa penistaan dan penghinaan terhadap para nabi juga berdampak hukuman yang berlaku pada penistaan terhadap Nabi Saw dan para Imam. Syahid Tsani termasuk fukaha yang berpendapat bahwa menistakan para Nabi sama dengan menistakan Nabi Saw. Kedua pelakunya layak dijatuhi hukuman.
Masih menurutnya, penistaan terhadap para nabi selain Nabi Saw itu dilarang karena Islam mengharuskan mereka dihormati dan diagungkan.
Oleh sebab itu, melecehkan mereka mengakibatkan kemurtadan.
Pada pasal 513 Undang-undang Pidana Islam Iran (Ta’zirat) tahun 1375 HS, berdasarkan hukum Islam, tercantum: penistaan salah satu Nabi adalah tindakan yang dilarang dan dinyatakan sebagai tindak kriminal.
3. Berkaitan dengan hal ini boleh jadi suatu kritik diajukan bahwa Islam menggunakan basis internal dalam melindungi kesakralan simbol agama lain. Misalnya, dalam kasus para nabi Allah.
Kritik ini dapat ditanggapi dengan beberapa argumen. Pertama, dalam konteks ini tidak berpengaruh apakah dasar perlindungan hukum bagi agama Tuhan lainnya, dalam konsep Islam, bersifat internal atau eksternal, terutama dari segi efek perlindungan dan pengaruh positif dari sikap menghormati agama lain. Demikian halnya dalam perspektif hak asasi manusia, sebuah undang-undang disebut memenuhi kriteria dan logis manakala lebih koheren dengan semangat hak asasi manusia. Adapun apa dasar penetapan undang-undang itu, entah bersifat internal maupun eksternal, tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan.
Kedua, hal ini juga berlaku pada konvensi dan hukum positif. Misalnya
P: 37
konvensi internasional akan memiliki kekuatan hukumnya di sebuah negara bila telah diratifikasi dan ditetapkan melalui undang-undang internal negara tersebut.
Ketiga, Alkitab juga menghormati Nabi Musa a.s. dan para nabi lainnya.
Alkitab bahkan mengabarkan ihwal yang berkaitan dengan Rasulullah Saw.
Dengan demikian doktrin Kristen dan hukum yang berlaku di Inggris memiliki dasar internal berkenaan dengan perlindungan atas kesakralan simbol agama lain, kendati hal ini tidak dijumpai pada level praktis.
4.Dalam agama Yahudi dan Kristen, kemurtadan dikenal sebagai tindak kriminal: pelakunya dijatuhi hukuman mati. Berkenaan dengannya, Bibel yang diakui (sebagai kitab autentik keagamaan) oleh para penganut Kristen dan Yahudi, juga menghukumi kemurtadan sebagai tindak kriminal.
Hal di atas juga relevan dengan Common Law sebagai sistem hukum yang sangat dipengaruhi hukum Gereja. Dewasa ini, sejumlah negara Barat, di antaranya Inggris dan Amerika, menganut sistem hukum ini.
Atas dasar itu, penistaan simbol suci sudah dikenal sejak lama dengan predikat blasphemy.
Berdasarkan definisi terkait yang dirumuskan kalangan pakar hukum Barat, predikat itu tidak hanya meliputi penistaan simbol suci, tetapi mencakup kermurtadan. Sebab berdasarkan definisi tersebut setiap pengingkaran terhadap nilai kebenaran ajaran Kristen, Injil, dan atau eksistensi Tuhan merupakan bentuk konkret dari tindak kriminal (penistaan) tadi.
Beberapa di antara mereka bahkan berpendapat bahwa secara konvensional, pemahaman primer kaidah ini, dalam sistem Common Law, jauh lebih luas. Artinya segala bentuk tindakan yang sesuai kaidah agama Kristen berhubungan dengan kepentingan umum dinilai sangat vital. Sedemikian vitalnya sampai-sampai tak seorang pun dibolehkan mengingkarinya. Dengan kata lain, berdasarkan Common Law, arti asal kata blasphemy lebih general dari kemurtadan dan penistaan simbol suci.
Namun, dikarenakan luasnya pengertian blasphemy secara hukum, dalam beberapa tahun belakangan ini di Inggris, muncul arus kritik terhadap agama Kristen yang, kalau saja dibubuhi penghinaan dan pelecehan, akan berakibat hukuman.
Kajian seputar skala pengertian blasphemy dalam Common Law, dengan memperhatikan kekuatan hukumnya dalam tata hukum Inggris dewasa
P: 38
ini, menimbulkan persoalan yang lebih serius: apa kriteria dan logika yang berlaku di Inggris sehingga berdasarkan kaidah tersebut, negara ini hanya melindungi simbol sakral Kristen; perlakuan istimewa yang tidak diperoleh agama lain? Aturan itu jelas-jelas bertentangan dengan antidiskriminasi antarpemeluk agama, sebagaimana ditegaskan dalam sekian banyak konvensi internasional HAM.
Coba simak kasus penistaan Salman Rushdie lewat karya tulisnya, Ayat-ayat Setan, terhadap sosok Rasulullah Saw. Bagaimana peradilan Inggris itu berdalih bahwa aturan blasphemy berlaku efektif hanya pada kasus penistaan simbol sakral Kristen, sementara untuk agama lain, tidak.
Sejumlah pakar hukum Barat yang bersikap netral menentang pandangan pengadilan Inggris. Selain mengapresiasi protes kaum Muslimin, mereka menilai kecenderungan membatasi efektivitas hukum untuk golongan tertentu dikategorikan sebagai tindak diksriminasi di ranah agama. Pada konklusi mereka, undang-undang itu bertentangan dengan pasal 9 dan 14 Konvensi Eropa tentang HAM.
Sebelum 1970, telah diberlakukan hukuman mati terhadap tindak penistaan simbol sakral di sejumlah negara bagian Amerika Serikat. Dalam upaya melengkapi landasan hukumnya, majalah itu bahkan bersandar pada laporan sebuah arsip hukum. Tercatat di dalamnya bahwa ada empat nama Quakers Protestant telah dijatuhi hukuman mati, dan dieksekusi pada 1659.
Pengadilan New York berkaitan dengan kasus serupa menyatakan bahwa penistaan terhadap Isa Al-Masih a.s. mengganggu etika sosial.
Selain itu, tindakan ini juga merusak ketertiban umum.
Dari uraian seputar sistem hukum Common Law, dapat disaksikan adanya campur-aduk antara kemurtadan dan penistaan simbol sakral.
Memang, saat ini hanya penistaan simbol sakral saja yang diakui sebagai tindak kriminal. Namun demikian, jalur hukum untuk mengidentifikasi status kriminal pada kemurtadan dalam aturan blasphemy warisan Common Law ini masih tetap terbuka. Dewasa ini, aturan itu tidak lagi diacu sebagai dasar hukum. Alasannya, masyarakat Barat sudah tidak punya keterikatan emosional dengan simbol sakral keagamaan. Oleh karena itu, penistaan simbol sakral dan seruan menentang Kristen (yang sudah diselewengkan dan bercampur mitos) tidak akan mengusik emosi dan etika publik. Jika kondisi ini lalu muncul di negara-negara itu, tentunya-berdasarkan aturan
P: 39
tersebut-penista simbol sakral dan orang murtad akan diperlakukan sebagai pelaku kriminalitas dengan catatan: tindakan itu bertentangan dengan tatanan dan etika sosialnya sendiri.
Dengan mencermati perbedaan dan dampak khas hukuman pada setiap dari dua tindak kriminal di atas (kemurtadan dan penistaan), maka kriteria khusus masing-masing harus dirumuskan secara tegas. Dalam rangka ini, perlu digarisbawahi bahwa status kriminal pada penistaan Nabi Saw dan para Imam maksum terbuktikan dengan argumen khusus, dan karena inilah tindakan itu dikategorikan sebagai kriminalitas tersendiri dengan dampak hukumnya yang juga khas. Dengan demikian, penistaan itu tidak masuk dalam kategori kemurtadan.
Memang, terdapat banyak kesamaan dengan tindakan murtad hingga, dalam keterangan beberapa fukaha, dinyatakan bahwa penista Nabi Saw dan para imam sama hukumnya dengan orang murtad. Adakalanya penetapan hukuman bagi penista Nabi Saw dan para Imam maksum bahkan berpijak pada argumen kemurtadan. Kendati demikian, tindak menista itu tetap memiliki hukum khas yang tidak mengikuti hukum kemurtadan. Adapun penistaan terang-terangan terhadap simbol sakral dan prinsip agama, seperti Al-Qur'an dan Ka'bah, termasuk dalam kriminalitas murtad dan tentu saja mengikuti kaidah hukumnya. Hanya perlu dicatat bahwa dampak hukuman dua tindak kriminal ini (pengingkaran ajaran niscaya agama, dan penistaan simbol sakral) tidak dapat diterapkan pada tindak kriminal penistaan terhadap simbol sakral yang tidak dasar (seperti penistaan terhadapImam yang punya dalil khusus, dan merupakan simbol sakral menurut mazhab Ahlul Bait as-penj.).
6.Ajaran niscaya (dharûri) agama tidak berbeda dengan yang dimaksud dalam ilmu logika, yaitu proposisi (aksiom) yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa memerlukan perumusan argumentasi dan dalil. Perihal sebaliknya adalah proposisi spekulatif (nazhari) memerlukan argumentasi untuk dapat diakui sebagai kebenaran.
Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada kepastian minimal seputar pengertian ajaran niscaya agama, yakni sekumpulan hukum yang disepakati seluruh mazhab Islam, entah Syiah maupun Ahli Sunnah.
Dengan kata lain, sedemikian jelasnya ajaran itu ada dalam Islam hingga tak memerlukan argumentasi. Lawannya adalah ajaran niscaya mazhab yang hanya diterima kalangan Syiah, tidak oleh seluruh Muslim.
P: 40
Dalam pandangan sebagian fukaha Syiah, pengingkaran terhadap setiap hukum agama menyebabkan kemurtadan, kendati itu tidak termasuk ajaran niscayanya, dengan catatan: hukum itu diyakini si pelaku sebagai hukum yang pasti-jelas (yaqînî) dalam Islam. Sebegitu jelas dan pasti sehingga pengingkaran tersebut meniscayakan pengingkaran Kenabian yang berdampak pada pengingkaran Tuhan. Dengannya menjadi jelas bahwa kemurtadan akan terjadi dalam konteks pengingkaran Tuhan atau Kenabian; bukan dalam konteks mengingkari salah satu hukum Islam.
7. Dari segenap uraian yang dibawakan, dapat dipahami bahwa kalangan fukaha mengidentifikasi bentuk kemurtadan dalam jumlah terbatas.
Penyebabnya barangkali keterbatasan lingkup kemurtadan mengingat landasan definisi yang telah dikemukakan. Selain itu, telaah masalah ini memerlukan kehati-hatian. Oleh karena itu, dalam perkara-perkara yang masih diragukan: apakah suatu hukum itu berstatus sebagai ajaran niscaya agama atau tidak, asas utama di dalamnya adalah ketiadaan status itu (bukan sebagai ajaran niscaya), sampai ada argumen yang membuktikan statusnya demikian. Lebih cermatnya, keraguan mengenai niscaya-tidaknya sebuah hukum, sudah cukup untuk memastikan bahwa hukum itu tidak niscaya (yakni, bukan ajaran niscaya agama).
8. Landasan hukum kemurtadan bukan hanya khabar wahid. Selain khabar wâhid yang shahih, fukaha Syiah dan Ahli Sunnah juga menyatakan adanya konsensus (ijma) dalam hal ini. Ibnu Idris juga menerima kemestian ganjaran bagi pelaku murtad. Jika landasan hukum kemurtadan itu khabar wähid, figur fikih semacam Ibnu Idris dan Sayyid Murtadha semestinya tidak menguatkan hukum kemurtadan karena keduanya tidak menyandarkan fatwanya pada khabar wahid.
Maka, dapat dinyatakan bahwa di mata fukaha, konsensus punya kredibilitas mandiri. Atau, riwayat yang berhubungan dengan kemurtadan mencapai level khabar wâhid yang dilengkapi indikasi-indikasi pasti-jelas.
Dalil terbaik adanya indikasi pasti-jelas untuk riwayat terkait adalah tak satu pun fukaha Syiah dan Ahli Sunnah yang menolak kemestian ganjaran bagi kemurtadan, termasuk Ibnu Idris dan Sayyid Murtadha.
Perbedaannya hanya pada persyaratan dan masalah-masalah parsial yang berkaitan dengan kemurtadan.Dengan demikian, riwayat seputar kemurtadan dianggap telah diterima di kalangan fuhaka.
9. Berdasarkan ayat “Lâ ikrâh fi al-dîn”, Islam mengakui kebebasan
P: 41
berkeyakinan dan berpikir. Namun, kebebasan dalam mengungkapkan dan mengekspresikan setiap keyakinan bukan hanya ditolak oleh agama Islam. Bahkan, tak satu pun aturan dan sistem hukum yang menerima kebebasan sepenuhnya. Hanya perlu dicatat, Islam memberi kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan yang menentang tauhid dengan syarat, itu dilakukan di kanal yang tepat dan proporsional, yakni di forum ilmiah dan spesialis dalam bidangnya; bukan ke ruang publik dan nonspesialis, yang akan menyulut perpecahan dan berujung pada runtuhnya norma- etika sosial.
10. Dapat disimpulkan bahwa klaim penulis kritik tidaklah benar. Betapa dia berusaha membuktikan tidak adanya otoritas eksekusi, termasuk dalam delik kemurtadan, di Masa Kegaiban dengan cara menisbatkannya kepada sejumlah kecil fukaha. Justru, bukan hanya klaim adanya konsensus, bahkan klaim adanya pendapat masyhur dalam masalah ini juga tidak berdasar. Tak seorang pun peneliti yang meragukan bahwa mayoritas fukaha mengakui otoritas legitimasi pelaksanaan hukuman di masa itu.
P: 42
Salah satu persoalan yang paling fundamental dalam konteks kemurtadan akan diulas dalam bab ini. Rumusannya, apakah seseorang dianggap murtad dengan hanya meragukan ajaran niscaya (dharûrî) agama? Boleh jadi pengingkaran ajaran niscaya agama itu dilandasi pemikiran dan argumentasi -kendati hakikatnya atau menurut keyakinan sebagian pihak, itu pasti argumentasi yang keliru, seperti yang dilakukan beberapa pemikir dan filosof dalam sejarah. Apakah pengingkaran ini menyebabkan kemurtadan? Sebelum menjawab pertanyaan ini ada satu hal perlu diteliti, apakah pengingkaran ajaran niscaya agama an sich menyebabkan kemurtadan? Atau hanya jika itu meniscayakan pengingkaran ketuhanan dan atau kenabian? Pengingkaran ajaran niscaya agama menurut sebagian kalangan dapat dianggap sebagai variabel independen (sabab mustaqil) terjadinya kemurtadan. Termasuk di dalamnya yang didasari kajian ilmiah dan pemikiran, sekalipun tidak ada maksud mengingkari Ketuhanan dan atau Kenabian dalam pengambilan kesimpulannya.
Namun pada pembahasan selanjutnya sebagian fukaha bahkan mempertanyakan status murtad dalam konteks ini.
Ini akan berbeda manakala pengingkaran ajaran niscaya agama tidak diakui sebagai variabel independen kemurtadan. Kemurtadan akan menggejala jika tindakan itu beranjak sampai pengingkaran Ketuhanan dan atau Kenabian. Dengan demikian pengingkaran ajaran niscaya agama jika bersumber dari kajian ilmiah dan aktivitas intelektual, idak menyebabkan kemurtadan. Kecuali jika dengan tindakan itu bermaksud mengingkari ketuhanan dan / atau kenabian. Tentunya,
P: 43
jika unsur maksud ini dijadikan prasyarat maka pihak pengadilan dan hakimlah yang bertanggung jawab untuk membuktikannya, bukan pihak tertuduh.
Persoalan ‘apakah pengingkaran ajaran niscaya agama adalah variabel independen kemurtadaan atau bukan?' menjadi tema yang mendasar. Oleh karena itu, pertama- tama akan diketengahkan pembahasan ini secara memadai, kemudian disusul dengan dua masalah berikut, apakah “keraguan dalam konteks ushuluddin' dan ‘kemurtadan yang bersumber dari kerancuan intelektual (syubhah)' juga termasuk kasus kemurtadan atau tidak?
Satu lagi pertanyaan penting dalam kajian kemurtadan, apakah kemurtadan berlangsung sebatas pada meragukan ketuhanan, atau kenabian, dan atau ajaran niscaya agama? Atau di dalamnya juga disyarati unsur penentangan dan pengingkaran ? Kebanyakan fukaha Syiah mendefinisikan kemurtadan dengan rumusan hingga meliputi kondisi keraguan. Ibnu Hamzah Thusi menyebutkan, Barang siapa yang terjebak keraguan setelah mengakui kebenaran sabda Nabi Saw; atau mengatakan tak tahu apakah nabi itu jujur atau pendusta; darahnya mubah.(1) Pandangan ini disandarkan pada riwayat terkait yang telah dinukil seperti riwayat dari Imam Shadiq.(2) Sahib Jawahir, salah seorang fakih terbaik Syiah, menetapkan bahwa kemurtadan dialami meski hanya sebatas keraguan.(3) Demikian pula Allamah Hilli, Kasyif Githa, serta sekelompok fukaha lainnya. (4) Di sisi lain istilah ‘ragu' bermakna lebih umum, mencakup titik imbangnya dua
P: 44
sisi (positif dan negatif) dan yang lebih (zhann: prasangka). Dalam pengertian ini muncul kajian teologis; apakah dalam konteks ushuluddin, mencapai titik yakin menjadi sebuah kelaziman? Atau itu cukup dengan kepercayaan umum (ithmi'nân 'urfi) yang kenyataanya merupakan kata lain dari prasangka (zhann)? Mayoritas teolog percaya bahwa khusus dalam konteks ini mencapai titik yakin merupakan kelaziman. Namun, dari sebagian mereka juga dicatat bahwa prasangka dalam ushuluddin saja sudah memadai.(1) Menanggapi pandangan di atas, Mulla Saleh Mazandarani mengatakan, kendati pendapat sekelompok teolog dianggap benar, namun tetap dibutuhkan justifikasi yang rasional. Barangkali maksud taraf kepercayaan yang memadai dalam konteks ushuluddin pada dasarnya adalah seseorang menerima ushuluddin dengan argumen yang pasti, dia tidak punya kemampuan menjelaskan dan merumuskan argumennya, seperti orang awam. Orang yang berprasangka pada ushuluddin secara batiniah namun menunjukkan seolah dia keyakinannya secara penuh, dia tergolong Muslim. Karena, seorang munafik saja yang keyakinannya bertentangan dengan ushuluddin, secara lahiriah terbilang Muslim. Orang yang berprangka akan kebenaran ushuluddin itu tentu lebih berhak menyandang status Muslim.(2) Pandangan bahwa nilai prasangka (zhann) yang melahirkan kepercayaan dalam ushuluddin sama dengan keyakinan itu disanggah Mazandarani demikian:
P: 45
Berkaitan dengan sebuah kepercayaan tidak ada kemungkinan salah. Jika kemungkinan salah itu ada, sekalipun kecil, bukan bagian dari keyakinan.
Namun kemungkinan itu tidak ada, sehingga prasangka (zhann) pun tidak ada ...
Bagaimana akan dianggap Muslim seseorang yang tidak mengakui, meskipun atas dasar kemungkinan kecil, kejujuran Nabi Saw dalam klaim beliau sebagai nabi?(1) Yang perlu digarisbawahi dari argumentasi ini ialah zhann yang dimaksud di sini yaitu prasangka yang menyebabkan kepercayaan sama nilainya dengan yakin, bukan yakin itu sendiri. Jadinya, tanggapan di atas tadi tidak tepat.
Kritik mendasar yang dilontarkan dalam hal ini menyasar keyakinan. Keraguan murni terhadap kenabian, atau ketuhanan serta ajaran niscaya agama, dalam pandangan umum, tidak dipahami sebagai “keyakinan'. Dalam surat Abdul Rahman Qashir, telah dinukil dari Imam Shadig:
Kafirnya seorang Muslim akan terjadi hanya dengan mengingkari dan menghalalkan sesuatu. Yaitu, mengharamkan yang halal dan atau menghalalkan yang haram, dan dia yakin terhadap hal itu.(2) Jelas, meragukan sesuatu bukan berarti yakin terhadapnya. Ada kalanya seseorang meyakini sesuatu, ada kalanya pula dia yakin kebalikannya. Atau, dia merasa ragu: apakah yakin terhadapnya atau tidak.
Berbeda dengan pendapat sebagian pakar, pada kondisi ini dapat dipahami adanya garis demarkasi antara Islam dan kafir: yang pertama yakin terhadap ushuluddin, sementara yang belakangan, tidak. Garis demarkasi di antara kedua keyakinan ini adalah keraguan atau zhann ‘kepercayaan' terhadap salah satunya.
Memang secara mendasar, etimologi kafir adalah pengingkaran. Seseorang yang meragukan Tuhan, atau Tauhid, atau kenabian Rasulullah Saw, namun belum sampai mengingkari, secara etimologis belum kafir.(3)
P: 46
Jika seorang Muslim ragu dalam konteks ushuluddin, maka yang berlaku adalah asas keislamannya, sampai dia terang-terangan menunjukkan dirinya tidak lagi yakin terhadap ushuluddin. Oleh karena itu, berdasarkan riwayat yang telah disebutkan, keyakinan merupakan unsur penting terjadinya kemurtadan. Dalam pada itu, hanya keraguan atau zhann tidak tergolong keyakinan. Sebaliknya, jika meragukan kebenaran ushuluddin, seorang kafir tetap dikategorikan kafir; sampai dia mencapai keyakinan pada ushuluddin.
Rujukan konsep ini adalah riwayat yang menafsirkan mustadh afin (orang yang lemah) sebagai berikut:
Zurarah berkata, “Saya bertanya pada Imam Shadiq ... Ia menjawab, 'Orang yang terlemahkan (mustadh‘af) adalah orang yang di hadapannya tidak ada jalan kekafiran terbuka sehingga akan cenderung kepadanya; juga tidak terbimbing ke jalan keimanan. Dia tidak mampu beriman, tak juga mampu menjadi kafir.
Kelompok ini terdiri dari anak-anak, dan / atau laki-laki atau perempuan yang akalnya seperti anak-anak. Taklif (beban kewajiban) mereka sudah terangkat."(1) Dalam riwayat ini, juga riwayat serupa lainnya,(2) secara jelas kondisi ini dibenarkan: ada kemungkinan seseorang karena kelemahan pemikirannya, tidak menjadi kafir, tidak pula Muslim. Karena setidaknya, dalam pandangan umum berdasarkan tradisi orang-orang yang komit pada syariat, terdapat pilihan ketiga.
Dengan kata lain, jelas keliru bila seseorang secara pasti mau tidak mau harus jadi kafir atau muslim tanpa adanya posisi tengah.(3) Dalam menentukan hubungan berbanding diametris antara kekafiran dan Islam, sebagian fukaha mengacu istilah logika bahwa perbandingan dua kondisi ini adalah oposisi dua lawan (tadhâdd), atau oposisi ada dan tiada secara potensial (adam wa malakah).(4) Tentunya, dengan bentuk oposisi ini, Islam dan kekafiran
P: 47
tidak akan berkumpul hanya pada subjek yang sama, tetapi kedua-duanya bisa berkumpul (sama-sama tidak berlaku) dari subjek yang sama. Dengan demikian, mustahil seorang kafir sekaligus Muslim. Namun tidak mustahil bila seseorang tidak kafir juga tidak Muslim, seperti orang yang dalam suatu kondisi meragukan hukum agama.
Atas dasar ini, anak orang kafir yang belum baligh tidak digolongkan kafir selama belum masuk usia baligh, kecuali jika telah masuk, dirinya akan menentukan pilihan. Dengan demikian, pada dirinya belum terbentuk potensi berislam, dan karenanya dia tidak bisa dinisbatkan kepada kekafiran.(1)
Dalam keadaan tertentu, manusia boleh jadi didera waswas intelektual dan bisikan hati (hadîts al-nafs). Itu menyebabkan sirnanya ketetapan dan keyakinan dalam dirinya, lalu berubah menjadi keraguan. Dalam kitab berharga, Ushủl Al-Kâfi, terdapat bab yang berjudul Bâb Al-Waswasah wa Hadîts Al-Nafs ‘Bab Keraguan dan Bisikan Hati'.(2) Dalam bab ini dinukil riwayat jawaban Imam Shadiq saat ditanya perihal banyaknya keraguan:
Tak ada masalah. Dalam kondisi ini ucapkanlah zikir lâ ilâha illa-Allah dengan lisan.(3) Adapun makna keraguan atau waswas adalah:
... bisikan hati (hadîts al-nafs) yang terbetik di hati seseorang; ia mengungkapkannya tanpa niat apa-apa, dan/atau tanpa keyakinan terhadapnya, tanpa pula tujuan menyebarkannya, seperti siapakah yang menciptakan Tuhan,
P: 48
dan lainnya. Menurut sebuah pendapat, keraguan adalah tingkatan yang lebih kuat dari bisikan hati.(1) Mayoritas pakar bahasa menetapkan keraguan sinonim dengan bisikan hati.(2) Berdasarkan itu, selama keraguan dan kebimbangan dalam ushuluddin masih pada taraf bisikan jiwa dan belum diungkapkan, tak akan berdampak apa-apa. Ini sebagaimana dinyatakan pula dalam sejumlah riwayat yang dinukil Ahli Sunnah.(3) Namun jika keraguan diekspresikan sedemikian rupa, yang berpotensi menular kepada yang lain, akan ada dampak yang kelak muncul, terutama jika itu sebentuk provokasi untuk menentang agama.
Berbeda halnya dengan ekspresi keraguan yang dimaksudkan untuk mendapatkan solusi ilmiah dan menepis kerancuan intelektual (syubhah). Itu pun dilakukan justru di komunitas yang spesifik dan khusus. Dalam kondisi ini, tentu tak akan ada efek samping yang muncul. Ini tak ubahnya dengan arus pertanyaan dan kritik yang pernah diajukan kepada para Imam suci: bagaimana mereka menjawabnya dengan elegan dan raut wajah yang manis, tanpa terpengaruh ekspresi pihak penanya. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, kekuatiran yang bersumber dari keraguan dianggap sebagai pertanda keimanan. Ini sebagaimana riwayat dari salah satu kerabat Imam Shadiq, “Ada satu perkara penting dalam hati saya (analogi tentang keterjebakan dirinya dalam keraguan dan bisikan hati).' Imam menjawab, 'Ucapkanlah zikir, la ilaha illa-Allah.'(4) Dalam riwayat lain, Muhammad bin Muslim mengatakan:
Seseorang berkesempatan bertemu dengan Nabi Saw yang mulia. Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah! Saya sudah hancur.' Nabi Saw bertanya, 'Setan telah mendatangimu dan berkata, “Siapa yang telah menciptamu'. Lalu engkau menjawabnya, “Allah”. Kemudian setan berkata, “Siapa yang mengadakan Tuhan.' Orang itu mengiyakan dan berkata, “Sumpah demi Tuhan Yang Mengutusmu! Semuanya seperti engkau katakan.' Nabi Saw bersabda, 'Demi Allah! Ini pertanda iman yang murni.' Ibnu Abi 'Umair mengaku telah membahas hadis ini bersama Abdurrahman bin
P: 49
Hajjaj. Dia berkata:
Ayahku mengutip dari Imam Shadiq ihwal maksud dari sabda, 'Demi Allah! Ini pertanda iman yang murni.' Yaitu, ketakutan orang itu bahwa keraguan yang memerangkapnya jangan-jangan akan menyebabkan kehancuran dirinya, merupakan pertanda iman.(1) Dalam hadis yang isinya mirip dengan sebelumnya, seseorang bertanya pada Nabi Saw:(2) 'Wahai Rasul Allah! Aku telah terjerumus kemunafikan.' Nabi Saw menjawab, ‘Demi Allah! Engkau bukan munafik. Sebab kalau munafik, kamu tidak akan bertanya kepadaku guna menyelesaikan masalah dan menepis keraguanmu.' Selanjutnya, Nabi Saw mengatakan kalimat yang sama dengan riwayat sebelumnya. Jadi, dapat dipahami bagaimana seseorang yang terjebak keraguan dan kebimbangan merasa dirinya munafik. Namun pada taraf ini, Nabi Saw malah mendukungnya seraya menunjukkan wajah yang cerah. Dengan semua ini, lantas bagaimana mungkin keraguan dalam konteks ushuluddin menyebabkan kekafiran? Sebagian ahli bahasa memberikan penafsiran terhadap hadis tersebut.
Kesimpulannya, keraguan tersebut merupakan fase di antara kebimbangan dan keyakinan.(3) Kedua riwayat yang saling bertentangan ini seyogianya dijembatani.
Serangkaian riwayat yang mengindikasikan keraguan terhadap kenabian sebagai penyebab kekafiran, tentunya mengandungi maksud tertentu. Keraguan akan menyebabkan kemurtadan manakala pelakunya secara ekspresif menggiring orang lain dibelit keraguan dari segi pemikiran dan keyakinan. Dengan kata lain ekpsresi keraguannya sedemikian rupa sehingga berdampak pada penistaan agama dan Nabi Saw. Ini sebagaimana isi riwayat yang bercerita tentang orang yang mendatangi Nabi Saw seraya bertanya, “Apakah kamu benar-benar utusan Allah atau bukan?'
P: 50
Pola mengatakan langsung dan mengekspresikan keraguan di depan Nabi Saw, secara normatif, merupakan bentuk pelecehan.
Lebih dari itu, dengan mencermati hikmah yang terkandung dalam riwayat ini, (1) dapat dipahami bahwa Nabi Saw menghadapi masalah sangat serius dengan kalangan munafik di masanya. Karenanya, dapat dikatakan bahwa ekspresi face to face yang meragukan kenabian Nabi Saw merupakan salah satu skenario kaum munafik. Dari aspek inilah, terdapat dimensi khas persoalan sehingga riwayat ini tidak bisa serta-merta dijadikan sumber suatu hukum yang berlaku general.
Sebagai catatan, terdapat riwayat lain yang darinya dapat diderivasi hukum umum. Karena, dalam riwayat itu dikatakan, “Kafirlah orang yang meragukan Tuhan dan nabi'.(2) Namun, terdapat sejumlah hal yang dapat dicermati. Pertama, riwayat ini hanya mengandung hukum kafir, tidak meliputi hukuman mati sebagai vonis orang murtad. Kedua, mungkin saja riwayat ini, sebagaimana sebelumnya, mengarah kaum munafik secara khusus. Artinya, ekspresi keraguannya diiringi maksud provokasi menentang agama.
Selain itu, dalam riwayat itu, terdapat redaksi, siapa yang ragu dan bimbang lalu bertahan kuat dalam kondisi itu'. Artinya, orang itu tidak berusaha mengatasi keraguannya. Alih-alih berfungsi sebagai jembatan menuju keyakinan yang sanggup mendorongnya berkembang dan matang, kondisi ini justru menjadi tempatnya berhenti dalam proses berpikir. Ketika itulah keraguan akan berkorelasi dengan kemunafikan. Atau dalam deskrispsi Al-Qur'an, peragu layaknya orang yang dirundung penyakit hati.(3) Rujukan tafsiran ini adalah riwayat yang dinukil dari pidato Imam Ali bin Abi Thalib yang bernuansa nasihat:
P: 51
Janganlah kalian bimbang hingga menjadi ragu. Janganlah kalian ragu karena kalian akan tertimpa musibah kekafiran.(1) Dari riwayat ini dapat dipahami bahwa keadaan ragu dan bimbang tidak otomatis menyebabkan kekafiran. Namun, kekafiran dapat diakibatkan oleh keraguan. Artinya, boleh jadi keraguan, dalam beberapa kondisi, berujung pada kekafiran. Kondisi ini terjadi manakala keraguan berfungsi sebagai tempat berhenti; bukan lintasan menuju keyakinan.
Untuk menghilangkan keraguan dan bisikan hati yang menjerat, seseorang seyogianya merujuk kalangan pakar di bidangnya. Dalam kondisi ini, paling tidak, pengaruhnya tidak ada pada tahap pembuktian (itsbâtan). Apalagi, tatkala keraguannya tidak diutarakan kepada pakar di bidangnya, pengaruhnya tidak akan ada pada tahap kenyataan (tsubûtan). Artinya, orang itu di hadapan dirinya sendiri dan Tuhannya tidak tergolong kafir sehingga dampak kemurtadan pun tidak muncul.
Terdapat sebuah riwayat yang menjadi bukti terpenting bagi keraguan murni yang tidak mengakibatkan kekafiran dan kemurtadan. Salah seorang perawi terpandang, Muhammad bin Muslim, meriwayatkannya dari Imam Shadiq:
Pada saat itu, saya sedang duduk di sebelah kiri Imam, dan Zurarah di sebelah kanannya. Lalu datanglah Abu Bashir dan berkata, “Ya Aba Abdillah! Apa pendapat tuan tentang orang yang meragukan Tuhan?’Imam menjawab, 'Dia kafir.' Kembali dia bertanya, 'Bagaimana jika dia meragukan Nabi?' Imam menjawab, “Dia kafir. Setelah itu, Imam berkata kepada Zurarah, “Tentunya dia kafir manakala dia menentang.(2) Poin penting yang patut disorot dalam hadis ini adalah kenyataannya, di masa itu pertanyaan tersebut salah satu persoalan krusial di kalangan tokoh dan ulama. Oleh sebab itu, dalam sebuah forum terbatas yang dihadiri tiga sahabat besar sekaligus
P: 52
murid terdekat bersama Imam Ja'far Shadiq, secara rasional amat dinantikan bila ada persoalan yang sangat penting dikemukakan. Pola periwayatan Muhammad bin Muslim yang memerinci kejadian dan catatan pinggirnya menunjukkan betapa pentingnya masalah itu baginya. Selain pula membuktikan tingkat ketelitiannya dalam merekam riwayat ini.
Memang, ada sekelompok hadis yang membubuhkan catatan ‘ingkar?—di samping keraguan terhadap ajaran niscaya agama—sebagai syarat terjadinya kekafiran dan kemurtadan. Sebagian fukaha berusaha menakwilnya. Kesimpulan mereka, kemungkinan besar, hadis-hadis yang mensyaratkan ‘ingkar' ditujukan kepada orang yang dikenal kemuslimannya: selain menyatakan dua kalimat Syahadat, secara lahiriah dia komit pada hukum dan tuntunan agama. Dalam kondisi ini, jika dia mengalami keraguan dan kerancuan intelektual (syubhah) karena ketidaktahuannya, namun tidak beranjak sampai ke fase pengingkaran, maka pengalaman itu tidak menyebabkan dirinya keluar dari kategori Muslim.
Kendati pengingkaran itu terbukti lewat sikap tidak komit pada konsekuensi praktis Islam, seperti meninggalkan shalat, mengabaikan puasa, dan sebagainya.(1)
Bukti paling kuat bagi pendapat-bahwa sekadar keraguan tidak menyebabkan murtad—adalah cara Nabi Saw menyikapi kaum munafik. Orang munafik sama sekali tidak percaya Islam dalam lubuk hati, tetapi secara lahiriah tampil bersikap sebaliknya. Nabi Saw memperlakukan mereka sama dengan orang Muslim. Ini berbeda dengan penyikapan beliau terhadap orang murtad atau kafir. Oleh karena itu, nyawa dan harta mereka terlindungi sebagaimana Muslim. Sebab, perbedaan ‘Islam dan ‘iman' terletak pada kenyataan perihal bahwa untuk menjadi Muslim,
P: 53
seseorang tak memerlukan komitmen hati. Adapun untuk menaiki jenjang berikutnya dan menjadi mukmin, dia dituntut memiliki komitmen hati sekaligus komitmen lahiriah berupa tindakan.(1) Itulah sebabnya, Al-Qur’an menyatakan:
Orang-orang Arab dusun itu berkata, “Kami telah beriman.'Katakanlah, Kalian belum beriman,' tapi katakanlah, Kami telah Islam,' dan belumlah masuk keimanan dalam hati kalian. Dan jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada mengurangi sedikit pun pahala amal-amal kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Hujurat [49]: 14).
Pada ayat berikutnya disebutkan:
Hanya sesungguhnya orang-orang mukmin itu ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tiada ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan diri mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang- orang yang benar (QS. Al-Hujurat [49]: 15).
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa jika membiarkan keraguan dan bimbang merasuki hatinya, seorang Muslim telah keluar dari kategori Muslim hakiki alias mukmin, kendati secara lahiriah masih dianggap Muslim. Berdasarkan bukti- bukti tersebut, bagaimana mungkin seorang Muslim lantas divonis murtad hanya lantaran terjangkiti keraguan dan ketidakjelasan? Sebagian fukaha dengan tegas menambahkan variabel ‘ingkar dalam definisi kafir. Agaknya mereka membubuhkan syarat itu guna menepis asumsi keraguan.(2) Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa perspektif kalangan fukaha yang membubuhi syarat ingkar untuk kemurtadan lebih sesuai dengan kaidah serta bukti riwayat dan hadis. Sekalipun rangkaian hadis seputar persoalan ini satu sama lain tak ayal saling bertentangan, pada proses seleksi prioritasnya dapat dipastikan bahwa ayat Al-Qur'an lebih mendukung hadis-hadis yang menegaskan keraguan murni tidak menyebabkan kemurtadan. Kalaupun hadis-hadis yang saling bertentangan itu tidak memihak salah satunya, maka jalan terakhir adalah mengembalikannya pada prinsip-prinsip praktis (ushûl ‘amaliyyah). Berkaitan dengan Muslim, prinsip praktis akan menetapkan dirinya masih berstatus tidak murtad selama tak ada bukti autentik yang menguatkan kemurtadannya.
Sebagaimana diutarakan sebagian fukaha kontemporer, pada tahap kompromisasi (maqâm al-jam) hadis-hadis yang saling bertentangan, minimal dapat disimpulkan
P: 54
bahwa keraguan terhadap ajaran niscaya agama, pada tahap kenyataan (tsubûtan), menyebabkan seseorang murtad. Pada tahap pembuktian (itsbâtan), sesuai asumsi ini, dirinya tidak dapat divonis murtad, kecuali keraguannya disertai penentangan dan pengingkaran.(1) Persoalan lain berkisar pada: apakah untuk menyebut seseorang Muslim harus ada kepercayaan dalam hatinya? Ataukah cukup lewat pengakuan lahiriahnya tentang Islam? Ataukah harus kedua-duanya? Menurut sebagian fukaha, harus dibedakan antara orang yang Muslim sejak lahir dan yang semula kafir kemudian menjadi Muslim. Berkenaan dengan asumsi pertama, tak disyaratkan adanya keyakinan dalam hati, termasuk pengakuan keislaman secara lahiriah. Selama tidak mengungkapkan kekafirannya, orang itu masih Muslim. Fakta sejarah yang tersambung sampai para manusia suci mencerminkan bahwa anak seorang Muslim yang sudah baligh tidak dapat diwajibkan menyatakan dua kalimat syahadat.
Hanya saja, jika mengingkari hukum-hukum Islam yang telah nyata baginya, dia dihukumi murtad.
Adapun berkenaan dengan asumsi kedua, semula kafir lalu Muslim, agar dinyatakan suci dan Muslim cukup dengan menyatakan dua kalimat syahadat, kendati pernyataan itu hanya bersifat formal (shûrî) dan dalam hatinya sama sekali tidak meyakini. Ketentuan itu karena; pertama, sejarah Nabi Muhammad Saw secara ti mendeskripsikan bahwa Beliau menerima orang-orang kafir yang ingin menjadi muslim dengan menyatakan dua kalimat syahadat, sekalipun Beliau tahu, dalam hatinya, mereka sebenarnya sama sekali tidak mempercayai Islam. Sebagian mereka memeluk agama Islam demi kepentingan tertentu. Apalagi, ayat Al-Qur'an juga telah menegaskan bahwa Allah Swt memberi kesaksian atas kebohongan orang-orang munafik. Lalu, di ayat lain disebutkan bahwa iman masih belum masuk ke lubuk hati mereka. Kendati demikian, Nabi Saw memperlakukan mereka layaknya muslim.
Kedua, kesimpulan yang dapat ditarik dari hadis-hadis itu adalah bahwa keislaman merupakan pernyataan (pengakuan) dengan dua kalimat syahadat. Semacam hadis ini juga banyak ditemukan dalam literatur Ahli Sunnah, namun umumnya tidak disinggung soal keharusan yakin dalam hati. Padahal, jika ingin menjadi mukmin, seseorang harus memiliki keyakinan hati. Seandainya keyakinan itu tidak ada di lubuk hati, niscaya Tuhan akan memperlakukan mereka layaknya orang kafir, meskipun di
P: 55
kehidupan dunia, mereka tetap diperlakukan sebagai muslim.(1) Dengan demikian, meski keraguan dan rasa bimbang bertentangan dengan kualitas mukmin, namun status muslim masih layak disandang orang yang mengalaminya.
Jelasnya, dia dihukumi muslim sebatas lahiriah. Bahkan, lebih dari itu, pengingkaran hati seseorang masih mungkin berpadu dengan status Muslimnya. Begitu pula sebaliknya. Kalau dia meyakini Islam sepenuh hati, namun bersikeras menolak berucap dengan dua kalimat syahadat, dia tidak dikategorikan sebagai muslim. (2) Satu asumsi lain perlu ditambahkan jika dia tidak percaya Islam dalam hatinya, namun menyatakan dua kalimat Syahadat, kemudian terbukti melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan pernyataan verbal keislamannya, dia dihukumi murtad. Contohnya, melecehkan Islam. Secara terminologis, orang semacam ini disebut ‘zindiq'. Namun, selama tindakannya itu tidak terbukti, dia disebut munafik, dan sekadar kemunafikan tidak mengeluarkannya dari status Muslim.(3)
Menurut sekelompok fukaha Syiah, pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama (dharûriyyât al-dîn) an sich menjadi variabel independen (sabab mustaqil) terjadinya kemurtadan. Namun menurut kalangan fukaha lain, ini hanya terjadi jika pengingkaran itu berdampak sampai menolak asas eksistensi agama (ashl al- dîn), yaitu menolak Ketuhanan atau Kenabian. Masing-masing teori ini akan diulas secara terpisah.
Sahib Jawahir merupakan seorang pakar fikih yang mendukung teori ini.
Menurutnya, para fukaha sebelumnya berpandangan sama. Setelah memaparkan teori lawan,(4) dia mengatakan:
Sungguh tak beralasan klaim bahwa mengingkari kewajiban agama hanya mengakibatkan kekafiran jika itu berdampak pengingkaran Kenabian. Teori ini juga malah bertentangan dengan makna teks ucapan kalangan fukaha. Ya, jika orang mengingkari sebuah ajaran niscaya (dharûrî) agama karena tidak mengetahui statusnya sebagai ajaran niscaya lantaran tinggal jauh dari negara-
P: 56
negara Islam boleh jadi klaimnya benar, namun sekadar pengingkaran itu tidak menjadikannya layak divonis murtad.(1) Kesimpulannya, kapan pun seseorang mengetahui status suatu hukum Islam sebagai ajaran niscayanya. Namun, pada saat yang sama tetap mengingkarinya, sudah tentu dia kafir, entah pengingkaran itu berupa ucapan, atau sikap keras kepala, atau kedua-duanya sekaligus.
Berdasarkan analisis ini, dapat dipahami perbedaan antara pengingkaran ajaran niscaya agama dan hukum pasti-jelas (ahkâm qath‘iyyah) lainnya, seperti hukum yang terbukti melalui konsensus (ahkâm ijma'iyyah). Dengan demikian, sekaitan dengan asumsi kedua, sekadar pengingkaran tidak cukup membuat seseorang jadi kafir. Lain halnya jika itu dilakukan seraya menyadari konsekuensinya yang berujung pada pengingkaran Tuhan atau nabi. Adapun asumsi pertama, (pengingkaran ajaran niscaya agama) tidak memerlukan syarat sebagaimana asumsi kedua. Kekafiran dan kemurtadan pasti terjadi hanya dengan mengingkari ajaran niscaya.(2) Kemudian, penulis menjustifikasi teori di atas dengan mengatakan:
Barangkali itu lantaran pengingkaran ajaran niscaya agama yang identik dengan pengingkaran asas keberadaan agama dan syariat itu sendiri. Identik karena itu dilakukan oleh orang yang dipastikan tahu statusnya sebagai ajaran niscaya menurut sejumlah bukti, seperti fakta dirinya lahir dan melewati masa mudanya di Islam. Adapun kemungkinan dia mengingkari ajaran niscaya agama lantaran kerancuan intelektual yang muncul dalam dirinya; atau keyakinannya bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama tidak berdampak pada pengingkaran terhadap Tuhan atau nabi, [kemungkinan dan keyakinan] ini masih belum cukup [sebagai bukti kemurtadan]. Pada asumsi ini, dirinya seumpama seorang yang secara lahiriah mengingkari dan menentang kenabian, namun meyakini Kenabian sepenuh hati.
Artinya, pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama sama saja dengan mengatakan, Agama ini tidak benar.' Di sini, keyakinan hati pengingkar akan kebenaran agama tidak punya pengaruh apa pun pada asas keislamannya.(3) Penulis lantas mencari dukungan bagi teorinya dengan merujuk pandangan para fukaha seputar kelompok Khawarij. Menurut mereka, orang-orang Khawarij kafir, sementara paling tidak, sebagian mereka dipastikan tidak meragukan Allah
P: 57
Swt dan Nabi Muhammad Saw, kalau bukan justru mustahil mengingkarinya.(1)
Berbeda dengan teori di atas, kalangan fukaha kontemporer, seperti Kasyif Ghitha, berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya (dharûri) agama bukanlah variabel independen kemurtadan, kecuali jika berimplikasi (istilzâm) dan berdampak pada pengingkaran prinsip ketuhanan atau kenabian. Pada kondisi ini, kemurtadan akan terjadi. (2) Sementara itu, Fadhil Hindi mensyaratkan pengetahuan dalam pengingkaran ajaran niscaya agama. Oleh karena itu, tolok ukur kemurtadan se mengingkari salah satu hukum Islam seraya sadar (tahu dan percaya) bahwa itu bagian dari hukum pasti-jelas (gathi) agama. Sebab, aksi pengingkaran ini- kendati atas dasar keyakinan pelakunya-identik dengan pendustaan Nabi Saw. Kesimpulannya, siapa saja yang mengingkari ajaran niscaya agama karena ketidaktahuannya akan status ajaran itu sebagai dasar, belum dapat divonis murtad. (3) Jadi, teori ini menempatkan pengetahuan sebagai syarat. Dalam kondisi tidak tahu, pengingkaran ajaran niscaya agama tak akan pernah berakibat pendustaan Allah Swt dan Nabi Saw. Namun menurut Sahib Jawahir, teori ini melawan kemutlakan redaksi hadis dan statement fukaha.(4) Muqaddas Ardabili juga mendukung teori bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama hanya menyebabkan kekafiran jika berdampak pada pengingkaran syariat dan kebenaran Nabi Saw.(5)
P: 58
Begitu pula dengan Syaikh Anshari dalam kajian mendetailnya seputar persoalan ini. Menurutnya, para ulama umumnya berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama otomatis menyebabkan kemurtadan. Dalam penilaiannya, pendapat itu tidak berdasar. Jika demikian, mengapa mereka mengecualikan kondisi seseorang yang mengalami kerancuan intelektual dari hukum itu? Padahal, berdasarkan teori mereka yang berkaitan dengan hukum kekafiran bagi orang yang mengingkari ajaran niscaya agama, seperti tauhid dan kenabian, tidak semestinya dibedakan antara pengingkaran berdasar pengetahuan dan keyakinan dengan pengingkaran berdasar kerancuan intelektual (syubhah). Di samping itu, hadis-hadis yang mendefinisikan dan menerangkan batas-batas Islam sama sekali tidak menjelaskan bahwa ajaran niscaya agama harus dipercaya dalam kapasitasnya sebagai ajaran niscaya agama (sebagai variabel independen).(1) Sayyid Muhsin Hakim, dalam rangka menanggapi teori variabel independen, khususnya seputar hadis-hadis terkait, menuliskan:
Hadis-hadis yang terkait dengan masalah ini dapat diklasifikasi dalam dua kategori. Kategori pertama menggunakan kata juhûd (penentangan).
Berdasarkan itu, hadis kategori ini dapat dikhususkan untuk pandangan yang mensyaratkan pengetahuan. Karenanya, hadis kategori ini berseberangan dengan teori Variabel Independen. Adapun dari kategori kedua, tidak dapat diperoleh kesimpulan seperti ini, dia mencakup ajaran niscaya dan ajaran tak niscaya (ghair dharûrî). Adapun fungsi hadis-hadis ini sebagai pengkhusus ajaran niscaya agama tidak lebih unggul jika dibandingkan dengan fungsi pengkhususnya pada [syarat] pengetahuan. Sebagaimana telah disebutkan dalam sebagian hadis seputar masalah ini, terdapat catatan juhûd yang mengkhususkannya hanya pada pandangan yang mensyaratkan pengetahuan. Kalaupun hadis-hadis yang saling bertentangan itu sama-sama kuat, niscaya kepastian minimalnya (qadr mutayaqqan) adalah hadis-hadis yang menyebutkan catatan juhûd.(2) Setelah mengkritik teori variabel independen dan membuktikan kesahihan
P: 59
teori Implikasi (bahwa kemurtadan hanya terjadi jika pengingkaran ajaran niscaya agama berakibat pada pengingkaran Tauhid atau Kenabian), Sayid Muhsin Hakim mengatakan:
Semua pembahasan yang diulas di sini berkenaan dengan pengingkaran sekelompok ajaran niscaya agama yang terkait dengan ‘hukum-hukum praktis'.
Adapun tentang pengingkaran ajaran niscaya agama yang terkait dengan masalah- masalah akidah, orang yang mengingkari masalah akidah-baik yang bersifat diskursif (nazhari) maupun niscaya (dharûri)—hanya dihukumi murtad jika terbukti bahwa komitmen (iltizâm) religiusnya pada masalah-masalah akidah secara mendetail (tafshili), bukan hanya global (ijmâlî), adalah kewajiban. Jadi, pengingkaran terhadap masalah-masalah ini tidak bisa menyebabkan kekafiran pelakunya sekadar masalah-masalah tersebut berstatus sebagai ajaran niscaya.
Akan halnya jika kita menerima asumsi bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama merupakan variabel independen kekafiran. Padahal, kesahihan teori ini masih belum terbukti.(1) Dalam hal ini, Imam Khomeini juga memiliki catatan khusus:
Hakikat Islam dan kemusliman adalah kepercayaan terhadap tiga prinsip agama; Ketuhanan, Keesaan, dan Kenabian-barangkali termasuk pula Hari Kebangkitan. Adapun ajaran-ajaran lain termasuk kategori hukum Islam dan tidak ada hubungannya dengan esensi Islam; baik pada tahap terbentuknya status keislaman maupun pada tahap kelanjutannya. Oleh karena itu, kalau saja bisa diasumsikan ada seseorang meyakini prinsip-prinsip akidah ini, pada saat yang sama, dia tidak mempercayai selainnya lantaran kerancuan intelektual yang menyelimuti dirinya-tentunya, selama tidak sampai berujung pada pengingkaran prinsip-prinsip tersebut-dia masih dianggap Muslim. Namun penolakan seluruh hukum Islam tentunya mustahil berpadu dengan kepercayaan pada Kenabian.(2) Mengenai rangkaian hadis yang terkait persoalan ini, Imam Khomeini juga berpendapat bahwa semua itu tidak mengemukakan hukum kafir bagi pengingkar ajaran niscaya agama hanya karena semata-mata telah mengingkarinya.(3) Bahkan, ia juga tidak menerima klaim Sahib Jawahir dan sebagian fukaha lain. Mereka mengatakan bahwa seluruh fukaha terdahulu atau pendapat masyhûr mereka
P: 60
mendukung teori Variabel Independen. Oleh karena itu, dalam konteks ini, bukan saja tak dapat ditarik kesimpulan adanya konsensus fukaha terdahulu, melainkan juga tak dapat ditarik pendapat masyhûr di antara mereka. (1) Menurut sebagian ulama, kesamaan pandangan fukaha terdahulu seputar najisnya kaum Khawarij dan Nashibi (musuh pendengki Ahlul Bait)—itu pun dengan argumentasi: mereka telah mengingkari ajaran niscaya agama-menjadi sebuah bukti konkret bahwa mereka bersepakat pada pendapat ‘sekadar pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama merupakan variabel independen untuk kepastian kenajisan (dan kekafiran) pelakunya'. Sebab, kebanyakan Khawarij telah menghujat dan memerangi imam maksum dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt, dan tetap mempercayai Tauhid serta Kenabian.
Imam Khomeini menyanggah argumentasi ini dengan mengatakan:
Memang tak diragukan lagi, fukaha terdahulu menyepakati kenajisan orang- orang Khawarij. Namun mereka tidak bersepakat tentang hukum itu [terbit] dengan alasan pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama. Tampaknya bagi mereka bahkan sebuah aksioma bahwa sebab kenajisan kelompok Khawarij dan Nashibi adalah tindak menghujat dan memerangi Ahlul Bait. Oleh karena itu, kendati menyepakati kenajisan mereka, kalangan fukaha terdahulu tidak punya pendapat yang sama dalam hal: apakah pengingkaran ajaran niscaya agama an sich menyebabkan kemurtadan atau tidak. Dengan demikian, orang yang mengingkari ajaran niscaya agama hanya dihukumi najis jika pengingkarannya berakibat pada pengingkaran Tauhid atau Kenabian. Bahkan, hukum ini tetap berlaku kendati seandainya kita meyakini pengingkaran ajaran niscaya agama menjadi variabel independen bagi terjadinya kekafiran.(2)
P: 61
Khu’i juga meyakini bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama hanya akan menyebabkan kemurtadan jika itu berdampak pada pengingkaran kenabian. (1) Sebagian fukaha kontemporer juga mendukung teori ini. (2) Namun, kalau diakui bahwa kemurtadan hanya terjadi jika pengingkaran ajaran niscaya agama berdampak pada pengingkaran tauhid atau kenabian. Jika muncul sebuah kritik demikian, kemurtadan itu niscaya terjadi jika pengingkaran terhadap suatu ajaran agama, bahkan yang tak niscaya sekalipun, berimplikasi pada pengingkaran tauhid atau kenabian. Artinya, pembatasan kemurtadan hanya pada pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama tidaklah berdasar. (3) Sementara itu, dari sudut pandang yurisprudensi dan sistem prosedur hukum dalam Islam, terdapat satu hal yang patut dikemukakan di sini. Kalau memang berdampak pada pengingkaran tauhid atau kenabian, pengingkaran salah satu hukum Islam, entah niscaya atau tidak akan menyebabkan terjadinya kemurtadan.
Meski begitu, terdapat perbedaan di antara dua jenis pengingkaran itu. Berdasarkan prosedur hukum dan pembuktian tindak kriminal, objek pengingkaran itu ajaran tak niscaya (ghair dharûrî) agama. Pembuktian klaim bahwa itu berakibat pada pengingkaran kenabian menjadi tanggung jawab pengadilan, bukan tugas terdakwa. Adapun objeknya adalah ajaran niscaya agama. Pembuktian klaim bahwa itu berakibat pada pengingkaran kenabian menjadi tanggung jawab terdakwa.
Sebagian fukaha juga menyinggung poin ini dengan penjelasan yang tidak jauh berbeda.(4) Kesimpulannya, sekelompok besar fukaha Syiah, khususnya fukaha terakhir dan kontemporer, berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama hanya mengakibatkan kemurtadan hal yang berdampak pada pengingkaran Tuhan atau kenabian. Oleh karenanya, pengingkaran itu bukanlah variabel independen kemurtadan.
P: 62
Sebelumnya telah dikemukakan salah satu pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan masalah kemurtadan, yakni apakah pengingkaran Tuhan, kenabian, atau ajaran niscaya agama yang dilakukan atas dasar intelektualitas dan argumentasi, kendati itu salah-sebagaimana terungkap dari pernyataan dan karya sebagian pemikir dan filosof, akan berakibat pada kekafiran dan kemurtadan? Dalam menelaah persoalan ini, terlebih dulu harus dipisahkan antara mengingkari prinsip ketuhanan atau kenabian dan mengingkari ajaran niscaya agama.
Bilamana prinsip ketuhanan atau kenabian diingkari secara langsung, kemurtadan telah terjadi, kendati pengingkaran itu berawal dari aktivitas intelektual.
Sebagaimana telah diingatkan sebelumnya, kepastian minimal dari definisi Islam dan kemusliman adalah ‘kepercayaan terhadap tauhid dan kenabian'. Mengingat dalam hal ini tak ada perbedaan pendapat di kalangan fukaha, (1) kami tak akan mengulasnya lebih jauh.
Tentunya, ada satu persoalan lain yang harus diperhatikan dalam konteks ini bahwa semua yang telah disebutkan di atas berada pada tahap kenyataan (tsubûtan).
Adapun pada tahap pembuktian (itsbâtan)—yaitu penerapan hukum pidana dan perdata, serta hukum-hukum fikih lain yang terkait kemurtadan terhadap pelaku pengingkaran-penetapan status pelaku kafir atau murtad bergantung pada ‘pengetahuan mengenai fakta bahwa dia mengingkari Tuhan dan Nabi secara 'sadar dan sengaja', bukan lantaran kerancuan intelektual, keteledoran, atau sikap emosional. Pengetahuan itu boleh jadi diperoleh lewat data-data dan saksi-saksi,
P: 63
atau pengakuan si pelaku, bahkan dari fakta bahwa objek yang diingkari sedemikian jelas statusnya sebagai ajaran niscaya (dharûrî) agama sehingga tidak menyisakan lagi kemungkinan ketidaktahuan pelaku. Dalam konteks ini, dalih ketidaktahuan pelaku bahkan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, sekalipun si pelaku benar- benar jujur mengakui tindakannya, tak ada jalan selain dalam proses penetapan pengadilan atas statusnya sebagai murtad. (1)
Sehubungan dengan masalah mengingkari ajaran niscaya (dharûrî) agama, sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, pemecahannya sampai batas tertentu bergantung pada persoalan sebelumnya. Apakah pengingkaran ajaran niscaya agama an sich merupakan variabel independen kemurtadan atau tidak. Atas dasar ini, duduk persoalan di sini akan diuraikan dalam dua asumsi berikut.
Kemurtadan Intelektual tidak Berdasarkan Teori Variabel Independen Hakikat Islam dan Esensi Keislaman Dalam masalah ini, poin penting yang harus ditelaah lebih dulu adalah apa hakikat dan esensi kepercayaan terhadap Islam? Dengan kata lain, apakah itu sekadar kepercayaan global terhadap seluruh hukum Islam sudah cukup bagi seseorang menyandang predikat Muslim? Ataukah juga harus memiliki kepercayaan detail terhadapnya? Menjawab pertanyaan ini, sebagian fukaha Syiah berpendapat bahwa keberagamaan dan kepercayaan mendetail terhadap seluruh hukum Islam bukan sebuah keharusan. Justru kepercayaan global terhadap semua yang disampaikan Nabi sudah cukup. Maksudnya, untuk menjadi Muslim, seseorang harus mempercayai secara umum kebenaran semua hukum yang disampaikan Nabi Saw dari sisi Allah Swt. Berdasarkan teori ini, pengingkaran mendetail selama tidak bertolak belakang dengan kepercayaan global tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Dengan kata lain, pelaku pengingkaran akan menyesali tindakannya jika pandangannya ternyata bertentangan dengan ajaran yang dibawa Nabi Saw. (2) Berbeda dengan pandangan sebagian fukaha (seperti pendapat Syaikh Anshari yang tampaknya diutarakan hanya sebatas hipotesis pembahasan, bukan
P: 64
sebagai kepercayaan), Islam bukan bermakna kepercayaan terhadap semua yang disampaikan Nabi Saw akibatnya inkonsistensi pada setiap bagiannya menyebabkan kemurtadan. Apabila demikian, siapa pun yang mengingkari hukum tertentu, sekalipun bukan termasuk ajaran niscaya agama, dapat divonis murtad. Padahal, tak seorang fakih pun yang berpendapat seperti itu.(1) Mengingat kemurtadan intelektual diakibatkan kerancuan intelektual, kapan pun pelaku pengingkaran memiliki kesiapan untuk menanggalkan pendapatnya yang terbukti bertentangan dengan wahyu Ilahi atau sabda Nabi Saw, dengan demikian kemurtadannya belum terjadi, sekalipun pendapatnya itu terkait dengan pengingkaran salah satu ajaran niscaya agama. Berkat kesiapannya, pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama tidak berakibat pada pengingkaran kenabian, karena pelakunya masih memiliki kepercayaan global.
Menjaga Etika Menafsir dan Menakwil Hal penting berikutnya adalah kapanpun etika menafsir dan menakwil itu dominan dalam proses pengingkaran ajaran niscaya agama yang bersumber dari kerancuan intelektual-pengingkaran tidak berdampak kemurtadan.
Mulla Sabzawari, yang menentang aksi pengafiran mazhab-mazhab Muslim satu sama lain, menegaskan bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama yang disebabkan kerancuan intelektual, tidak berakibat kekafiran.(2) Dalam merumuskan dasar teori ini, dia beragumentasi:
Kafir adalah mendustakan Nabi Saw atas apa yang disampaikan dari sisi Beliau sebagai ajaran niscaya agama. Adapun iman adalah kepercayaan terhadap beliau atas seluruh yang Beliau sampaikan. Hakikat kepercayaan terhadap Nabi Saw adalah mengakui keberadaan seluruh yang disampaikan Beliau.
Kemudian, Mulla Sabzawari menyebutkan ragam tingkatan keberadaan dan menjelaskan pancatingkatannya (substansial, perseptual, imajinatif, rasional, dan rancu) seraya mengatakan:
Siapa pun yang mempercayai Nabi Saw dengan salah satu dari pancatingkatan, dan menafsirkan hukum syariat berdasarkan salah satu tingkatan yang telah kami sebutkan, tetap berada dalam kategori Muslim karena dia telah memperhatikan etika menakwil dan menafsir. Kenyataannya, tak satu pun mazhab Islam yang
P: 65
tidak membutuhkan takwil.(1) Pandangan Syaikh Anshari Berdasarkan uraian sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa menurut sekelompok besar fukaha, pengingkaran ajaran niscaya agama an sich bukanlah variabel independen kemurtadan. Pengingkaran ini hanya mengakibatkan kemurtadan jika berdampak pada pengingkaran Tuhan atau kenabian.
Berdasarkan asumsi ini, pakar fikih kenamaan Syiah, Syaikh Anshari, berpendapat bahwa-syarat pertama-jika subjek yang diingkari termasuk ‘hukum-hukum praktis' (bukan akidah), dan-syarat kedua itu dilakukan bukan akibat keteledorannya (taqshîr), melainkan karena kelemahannya (qushûr), pelaku tidak dapat divonis murtad. Sebab, kemutlakan makna hadis-hadis yang terkait dengan persoalan ini tidak mencakup orang yang tak punya. Adapun vonis murtad untuk kaum Khawarij dan Nashibi bukan sekadar akibat dari pengingkaran ajaran niscaya agama, melainkan lantaran kecintaan pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan para Imam suci lainnya berdimensi kenabian. Dengan kata lain, pengingkaran mereka identik dengan pengingkaran kenabian dan sama-sama menyebabkan kekafiran dan kemurtadan. Oleh karena itu, kaum Khawarij yang menyimpan kebencian terhadap para imam suci divonis murtad, sekalipun dengan motif mendapat ridha Allah Swt dan karena kelemahannya.
Di samping itu, berbeda dengan masalah akidah yang senyatanya harus dipercayai, kepercayaan orang yang punya kelemahan (qashir), secara mandiri,
P: 66
bukanlah keharusan dalam persoalan yang terkait dengan hukum-hukum praktis.
Berdasarkan kaidah Dar, (1) hukum had tidak akan berlaku pada orang yang tidak mengetahui hukum segala hal yang diharamkan. Namun argumentasi bahwa ketidakberlakuan hukum itu berarti ketidakmurtadan tidak dapat diterima karena dalil-dalil yang menerangkan kaidah Dar' sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa pada dasarnya, orang seperti itu tidak murtad, bukan dia itu murtad lantas diampuni dari hukuman had karena ketidaktahuannya.(2) Khusus mengenai pengingkaran ajaran niscaya agama di ranah akidah- yang meniscayakan komitmen dan kepercayaan terhadapnya, dan keharusannya bukan sekadar mengamalkan atau meninggalkan-vonisnya adalah kemurtadan berdasarkan kemutlakan makna hadis-hadis terkait; entah pengingkaran itu akibat keteledoran atau kelemahan pelaku.(3) Perlu diketahui, Syaikh Anshari mengutarakan persoalan ini sebagai sebuah kemungkinan. Maksudnya, jika teori ini (pengingkaran ajaran niscaya agama hanya menyebabkan kemurtadan jika berakibat pada pengingkaran tauhid atau kenabian) diterima, harus juga diterima bahwa kerancuan intelektual, pengingkaran itu tidak mengakibatkan kemurtadan, walaupun kerancuan itu muncul akibat keteledoran.
Karena. Dalam konteks ini sekalipun, seseorang tidak mendustakan Tuhan Swt atau nabi. Paling tidak, dia akan dihukum lantaran keteledorannya dalam mengabaikan komitmennya pada agama Islam.(4)
P: 67
Terdapat bukti bagi kebenaran pendapat Syaikh Anshari. Bahwa orang yang mengingkari ajaran niscaya agama akibat keteledorannya sekalipun jika kemudian menyadari kekeliruannya bahkan, katakan saja, dengan cara kebetulan dan begitu saja—umumnya akan membalik pandangannya. Pada dasarnya, dia masih mempercayai tauhid dan kenabian. Atas dasar itu, sudah tentu orang yang mengingkari ajaran niscaya agama saat beradu argumen dan terlibat diskusi seraya tidak melakukan keteledoran, pada kenyataanya sedang mengalami kerancuan intelektual. Itulah sebabnya, orang semacam ini justru lebih layak dihukumi bukan murtad. Ini terjadi pada sebagian filosof. Sekalipun dalam aktivitas intelektual dan ilmiahnya-sejauh tidak sampai teledor, kerancuan menyelubungi nalarnya-mereka mengajukan pandangan-pandangan yang, kalaulah mengingkari ajaran niscaya agama, ghalibnya tidak berdampak pada pengingkaran Tauhid dan Kenabian.
Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari ajaran niscaya agama dengan sikap keras kepala dan motif permusuhan, sudah pasti tidak tercakup dalam asumsi keteledoran.
Pandangan Ridha Hamadani Ridha Hamadani termasuk fukaha yang menelaah persoalan ini secara terperinci.
Dalam hal ini, dia mengatakan:
Pengingkaran terhadap ajaran niscaya (dharûrî) agama tidak bertolak belakang dengan kepercayaan global terhadap Nabi Saw. Yakni, boleh jadi seorang Muslim mengakui kebenaran dan kejujuran Nabi Saw, tetapi pada saat yang sama mengingkari salah satu ajaran niscaya agama akibat berbagai kerancuan intelektualnya. Pengingkaran seperti ini tidak bertentangan dengan iman, juga tidak menyebabkan kemurtadan, kecuali menurut teori yang mengatakan bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama an sich menjadi variabel independen terjadinya kemurtadan.(1) Kemudian, dalam rangka menelaah hubungan antara pengingkaran ajaran niscaya agama dan kepercayaan global (dari segi kemungkinan keduanya berposisi diametris), Ridha Hamadani memaparkan beberapa asumsi secara terperinci:
Asumsi pertama: orang yang mengingkari ajaran niscaya agama menyadari tindakannya bertentangan dengan kepercayaan global. Asumsi ini merupakan
P: 68
bentuk konkret paling gamblang dari kemurtadan.(1) Hanya saja, asumsi ini di luar konteks pembahasan sekarang, yaitu lantaran kerancuan intelektual, pelaku tidak menyadari pengingkarannya terhadap ajaran niscaya agama berposisi diametris dengan kepercayaan global terhadap nabi.
Lain dari itu, masih dalam asumsi ini, sebagian fukaha berpendapat bahwa pemerintah Islam harus menanggapi positif tuntutan seorang murtad millî (non- Muslim yang masuk Islam lalu kembali keluar darinya) agar berusaha menghilangkan kerancuan intelektual yang dialaminya, selama usaha ini mungkin. Berdasarkan akal sehat, mereka memenuhi tuntutan orang yang sedang mencari petunjuk dan jalan kebenaran merupakan kebajikan. Sebaliknya, merupakan keburukan bila menolak tuntutan orang seperti itu, kecuali pemerintah Islam memiliki bukti nyata atas sikapnya berkeras kepala.(2) Oleh karena itu, berkaitan dengan orang murtad millî, minimal selama belum memiliki bukti atas sikapnya berkeras kepala, pemerintah Islam harus berusaha menetralisasi kerancuan intelektualnya. Adapun hadis-hadis(3) yang menunjukkan sebagian imam suci tidak berbuat seperti itu bisa dipahami dengan maknanya yang khas, yaitu imam yakin bahwa orang murtad saat itu sudah tidak mungkin lagi menerima petunjuk. Atau boleh jadi, pada dasarnya, orang itu benar-benar diliputi sifat keras kepala sehingga sama sekali tidak mengajukan permintaan agar kerancuannya dihilangkan.
Memang, sebagian fukaha Syiah dan Ahli Sunnah menentang pendapat ini.(4)
P: 69
Hanya saja, argumentasi Muqaddas Ardabili yang mendukung pendapat tersebut tampak lebih kuat.
Asumsi kedua: pelaku pengingkaran ajaran niscaya agama lalai bahwa tindakannya itu bertolak belakang dengan kepercayaan global. Kelalaian ini sendiri bisa diakibatkan oleh sikap meremehkan dan tak peduli terhadap agama, atau karena mengultuskan seseorang-sebagaimana kalangan awam terhadap para tokohnya. Sesuai asumsi ini, kemurtadan juga akan terjadi; kecuali pandangan positif terhadap para tokoh itu membuatnya ragu terhadap inti persoalan bahwa ajaran niscaya agama benar-benar berasal dari Nabi Saw. Dalam kondisi ini, lantaran pemahamannya rancu, sementara kepercayaan terhadap Nabi Saw masih terpelihara, seseorang tidak dapat divonis murtad.(1) Boleh jadi, kelalaian orang itu karena mengabaikan martabat Kenabian.
Akibatnya, dia mengira hukum tertentu yang diketahuinya berasal dari Nabi Saw lebih berdasarkan ijtihad pribadi beliau, atau hasil dari kecenderungan subjektif (nafsânî) beliau. Sesuai asumsi ini, jika kerancuan intelektual itu tidak hanya bersifat dangkal (ibtidâî), tetapi telah melapisi kokoh keimanan, mereka itu terbilang sikap mendustakan Nabi Saw dan menyebabkan kemurtadan. Sekalipun demikian, asumsi ini memungkinkan bila karena kerancuan intelektual seseorang lantas menduga hukum itu pada dasarnya, bukan berasal dari Nabi Saw; dia belum layak divonis murtad. Contohnya, dia menganggap shalat yang diperintahkan Nabi Saw secara esensial bermakna doa, bukan ritual biasa yang dilakukan Muslim.(2) Ada poin sangat penting yang diperhatikan Hamadani: pengingkaran yang tidak bertentangan dengan kepercayaan global terhadap Nabi Saw mungkin saja terjadi dalam berbagai bentuk:
1. Boleh jadi pelaku pengingkaran berusaha menakwil sabda Nabi Saw dan menerangkannya, seraya menganggap dirinya telah memperhatikan kaidah-kaidah literal, indikasi-indikasi rasional dan tekstual (mencakup redaksional dan kontekstual). Umpama, atas dasar indikasi-indikasi ini, dia memahami kata shalat (shalâh) secara etimologis bermakna doa, dan dia tidak menemukan makna selain itu. Sementara itu, prinsip dasar juga menyatakan bahwa makna suatu kata tidak akan bergeser ke makna lain, kecuali terdapat bukti autentik atas pergeseran ini. Pengingkaran tata cara
P: 70
shalat dengan alasan seperti ini, kendati argumentasinya tidak berdasar, sudah tentu tidak sampai menyebabkan kemurtadan. Tentunya ini berdasarkan teori 'pengingkaran terhadap ajaran niscaya agama bukanlah variabel independen kemurtadan².(1) 2.Boleh jadi dia menyimpulkan sabda Nabi Saw berdasarkan indikasi- indikasi yang lazimnya ('urf) tidak punya kelayakan sebagaimana layaknya indikasi. Contohnya, klaim sekelompok sufi yang mengingkari kewajiban shalat. Menurut mereka, shalat dimaksudkan untuk menyempurnakan jiwa. Karenanya, orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan tidak lagi diwajibkan shalat. Begitu pula dengan klaim bahwa sebuah ajaran niscaya agama tertentu disampaikan para manusia suci berdasarkan tauriyah (mengaburkan pemahaman lawan bicara-penj.) maupun taqiyyah (merahasiakan status iman di ranah publik-penj.). Dalam konteks ini, kemurtadan sangat sulit diidentifikasi.(2) Dalam asumsi-asumsi ini, terjadinya kemurtadan juga masih belum bisa dipastikan.
3. Boleh jadi seseorang mengklaim bahwa risalah Nabi Saw adalah memberi petunjuk orang-orang yang taraf pemahamannya di bawah rata-rata.
Oleh karena itu, risalah Beliau tidak mengarah kalangan cendekia dan filosof. Sebab, dengan bermodal kecerdasannya, mereka sendiri mampu mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan, tanpa perlu bimbingan nabi. Atau dia mengklaim bahwa Nabi Saw diutus untuk memberi petunjuk kepada bangsa Arab, bukan kepada semua umat manusia. Pengingkaran semacam ini, kendati tidak vis-à-vis kepercayaan global seketika menyadari kekeliruannya, dia akan membuang pendapatnya, lantaran masih percaya nabi namun, mengingat secara global pengingkaran ini melawan risalah Nabi Saw, hukumnya sama, yaitu menyebabkan kekafiran dan kemurtadan.(3) Asumsi ketiga, mengingkari ajaran niscaya agama karena tidak mengetahui hukum yang berasal dari Nabi Saw. Ketidaktahuan ini dialami si pelaku lantaran baru memeluk Islam, atau karena tidak hidup di komunitas Muslim. Dalam asumsi ini, dia juga tidak dapat dihukumi murtad karena masih mempercayai kenabian Nabi Saw.
P: 71
Dengan demikian, kriteria 'tidak murtad' dalam semua asumsi di atas adalah pengingkaran ajaran niscaya agama tidak sampai bertentangan dengan kepercayaan global.(1) Pandangan Imam Khomeini Menurut Imam Khomeini, jika seorang Muslim punya kepercayaan global terhadap prinsip-prinsip Islam (Tauhid dan Kenabian), tetapi mengalami sejumlah kerancuan intelektual sehingga membuatnya ingkar terhadap salah satu ajaran niscaya agama—misalnya, mengira shalat dan haji hanya wajib di masa awal Islam, sementara sekarang tidak wajib lagi bagi kaum Muslimin. Orang seperti ini, dalam tradisi kalangan komit syariat (ʻurf mutasyarri'ah) tidak tergolong murtad.(2) Beliau mendasarkan teori ini pada sejumlah besar hadis yang mengindikasikan bahwa kriteria keislaman hanyalah pernyataan dua kalimat syahadat. Dalam topik pembahasan ini, asumsi yang dibangun adalah terdakwa mengingkari ajaran niscaya agama akibat kerancuan intelektualnya, bukan didorong motif keras kepala ('inâd).
Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dianggap mengingkari dua kalimat syahadat, yaitu Tauhid dan kenabian.(3) Beberapa kalangan menentang teori ini, mereka berusaha mencari justifikasi dengan mengatakan bahwa maksud hadis-hadis yang mencukupkan dua kalimat syahadat untuk menjadi Muslim itu dikhususkan untuk kalangan non-Muslim yang hendak memeluk Islam. Dengan kata lain, kandungan hadis-hadis itu berkenaan dengan ihwal menjadi Muslim', bukan 'tetap sebagai Muslim'.
Imam Khomeini menolak justifikasi ini, ‘Bukan saja tak ada bukti untuk klaim mereka, melainkan dalam hadis-hadis itu sendiri terkandung sejumlah bukti yang
P: 72
menentang klaim tersebut.(1)
Menurut sebagian fukaha, berdasarkan teori variabel independen sekalipun, masih dapat dinyatakan bahwa dalam asumsi ada kerancuan intelektual, pengingkaran ajaran niscaya (dharûrî) agama tidak serta-merta menyebabkan kemurtadan. Dengan kata lain, kalangan yang berteori bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama sebagai variabel independen kemurtadan, bahkan mengecualikan kondisi seseorang yang rancu pemahamannya.
Menurut Syaikh Anshari, sekalipun harus menerima teori bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama bukanlah variabel independen kemurtadan, namun tetap tak dapat dipungkiri bahwa pengingkaran itu tidak menyebabkan kemurtadan jika terjadi kerancuan intelektual yang diakibatkan oleh kelemahannya (qushûr). Sebab, orang yang lemah (qashir) tidak dibebani kewajiban agar mempercayai apa yang tidak diketahuinya, karena pada kenyataannya, apa pun yang menjadi kepercayaan orang lemah adalah agamanya itu sendiri.(2) Hamadani juga berpandangan bahwa kelompok fukaha yang mendukung teori variabel independen juga mengecualikan kondisi kerancuan intelektual, sekalipun pengecualian ini inkoheren dengan teori ini.(3)
P: 73
Kiranya penting diperhatikan bahwa mayoritas fukaha, termasuk kalangan penganut teori variabel independen, telah mengecualikan pengingkaran yang terjadi akibat kerancuan intelektual dan ketidaktahuan (dari kemurtadan].(1) Sebagian fukaha menjustifikasi sikap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang menerima taubat kaum Khawarij. Dalam konteks ini, mereka mengutarakan sebuah alternatif, bahwa kemurtadan yang muncul akibat kerancuan intelektual menjadikan taubat orang murtad layak diakomodasi.(2) Disamping itu, bila merujuk dampak-dampak khas pidana dan perdatanya, vonis murtad bertentangan dengan prinsip dasar. Oleh karenanya, dalam kondisi-kondisi yang masih diragukan, hanya kepastian minimal saja yang harus diberlakukan.
Dalam konteks kemurtadan, kepastian itu berupa asumsi ketidakrancuan dan ketidakbodohan pelaku saat mengingkari ajaran niscaya agama. Sebab, jika sedang mengalami kerancuan intelektual, dirinya masuk dalam kaidah Dar’ Artinya, dia tidak berhak dijatuhi hukuman had.
Dari seluruh uraian di atas seputar pandangan sejumlah fukaha, dapat disimpulkan bahwa sekelompok besar dari mereka, khususnya fukaha terakhir dan kontemporer, berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama yang dipicu kerancuan intelektual, aktivitas intelektual dan teoretis, pada hakikatnya tidak menyebabkan kemurtadan. Oleh karena itu, variabel dalam pengingkaran ini adalah ketidaktahuan dan ketidaksadaran yang lantas menggugurkan tanggung jawab seseorang. Kalaupun ketidaktahuan itu diakibatkan keteledoran (taqshîr); paling tidak, si pelaku telah melakukan tindakan salah lantaran keteledorannya, bukan karena kemurtadannya.
P: 74
Dalam beberapa hadis(1) disebutkan bahwa pascawafat Nabi Muhammad Saw, nyaris semua orang terjangkiti kemurtadan-kecuali tiga sahabat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Sebagian pakar, seperti Imam Khomeini, berpendapat bahwa hadis-hadis itu tidak bermakna semua orang telah murtad. Bahkan pada dasarnya, rangkaian hadis tersebut tidak bermakna kemurtadan terminologis. Makna paling tepat untuk hadis-hadis tersebut adalah bahwa pascawafat Nabi Saw, masyarakat mengingkari ikrar wilayah dan kepemimpinan mereka, sekalipun secara lahiriah dan atas dasar taqiyah.(2) Hanya yang pasti, setelah periode khalifah pertama, terdapat beberapa kelompok yang dikenal sebagai golongan murtad (ashhâb al-riddah). Menurut seluruh kalangan Muslim masa itu, kelompok yang dipimpin Musailamah Kadzdzab, Thulaihah, dan Isa memang benar-benar murtad. Adapun kelompok lain, karena kerancuan intelektual, keliru mengira bahwa zakat hanya wajib di masa Nabi Saw, karenanya, tidak mau membayar zakat kepada khalifah pertama.(3) Maka, oleh penguasa masa itu, mereka dinyatakan sebagai murtad. Itulah sebabnya penguasa memperlakukan mereka layaknya pelaku murtad. Awalnya Umar bin Khatthab tidak sependapat dengan Abu Bakar. Bahkan, menurut beberapa sejarawan, (4) selama sehari penuh Umar secara khusus menemui Abu Bakar dan berusaha mencegahnya memerangi kelompok tersebut. Namun sebaliknya, setelah mendapat penjelasan dari Abu Bakar, Umar pun sepakat dengannya.(5)
P: 75
Hanya saja, menurut pandangan mayoritas fukaha Syiah, kelompok ini hanya terjangkit kerancuan intelektual (syubhah). Mereka pada hakikatnya bukan murtad. Seandainya mereka benar menolak membayar zakat, langkah pertama yang semestinya ditempuh penguasa saat itu adalah mengharuskan mereka membayarnya. Lalu, jika mereka tetap menolak, tetapi tidak sampai menghalalkan penolakannya, penguasa hanya berhak memvonis mereka sebagai subversif, bukan murtad.(1) Namun, sebagaimana telah diingatkan sebelumnya, menghalalkan pengabaian zakat juga dapat menyebabkan kemurtadan karena hal itu merupakan pengingkaran ajaran niscaya agama secara sengaja dan keras kepala (“inâd).(2)Namun, penghalalan jelas berbeda dengan menolak membayar zakat. Oleh karena itu, jika penolakan membayar zakat-umpama-dilakukan lantaran kerancuan intelektual seputar asas keberadaan zakat wajib itu, tidak menyebabkan kemurtadan.(3) Ada poin penting yang patut diperhatikan dalam kasus ini: keengganan orang- orang pada masa itu dari membayar zakat dilatari argumen tertentu sekalipun keliru. Menurut fukaha Syiah, pengingkaran seperti ini tidak menyebabkan kemurtadan. Ini merupakan bukti paling kuat bahwa pada prinsipnya, kalangan fukaha Syiah mengecualikan kondisi kerancuan intelektual (syubhah) dalam konteks
P: 76
kemurtadan. Ini mengingat mereka masih mempercayai Islam, sekalipun keliru dalam memahami ayat Al-Qur'an.(1) Akibatnya, mereka menduga, pascawafat Nabi Saw, zakat tidak wajib dibayarkan kepada penguasa Islam (khalifah kedua) yang doanya tidak menciptakan ketenteraman.(2)
Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, distorsi dan kerancuan intelektual telah mencapai klimaksnya. Kondisi ini jauh sebelumnya sudah ia diperkirakan. Menurut sejumlah hadis, tatkala surah Al-Nashr [110] diwahyukan, Nabi Saw menatap Ali bin Abi Thalib, mengabarkan kesyahidannya kelak, dan bersabda:
'Hai Ali! Kapan saja engkau menyaksikan masyarakat menyimpang dari jalan hidayah menuju jalan kesesatan, berjuanglah melawan mereka ... Engkau kelak akan berhadapan dengan orang-orang yang berusaha menakwil Al-Qur'an.
Mereka terjangkiti kerancuan-kerancuan, menghalalkan minuman keras dan .... Ali bin Abi Thalib bertanya, “Apakah orang-orang yang berbuat demikian itu murtad atau tergolong pelaku fitnah?' Nabi Saw menjawab, 'Mereka itu pelaku fitnah.'(3) Masalah penting dalam hadis ini ialah Nabi Saw menyebut orang-orang yang rancu intelektualitasnya mengingkari salah satu ajaran niscaya agama, seperti hukum haram minuman keras, sebagai biang fitnah, bukan pelaku kemurtadan.
P: 77
Pengingkaran mereka terhadap ajaran niscaya agama tidak secara terang-terangan sehingga akan berdampak pada pengingkaran asas keberadaan agama dan kenabian.
Mereka hanya melakukan itu karena kerancuan intelektual (syubhah). Mengingat pentingnya kerancuan ini dan efeknya yang signifikan, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata:
Setelahku kelak, janganlah kalian membunuh orang-orang Khawarij. Karena, orang yang mencari kebenaran, namun salah jalan, sama sekali berbeda dengan orang yang mencari kebatilan dan telah mencapainya.(1) Ia berwasiat demikian sementara tidak seorang pun dari sahabatnya yang menentang sikap tegasnya dalam menumpas kaum Khawarij.(2) Atas dasar itu, menurut fukaha Syiah, salah satu syarat suatu aksi dinyatakan sebagai pemberontakan (bagby, yakni terhadap penguasa Islam yang sah, peny.) adalah tak adanya kerancuan intelektual yang dialami pelakunya.(3) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. menyikapi kaum Khawarij dengan metode yang begitu mengagumkan. Kendati mereka telah melakukan kekerasan bersenjata—ini memaksa Beliau melakukan sesuatu yang tidak selaras dengan keinginannya, yakni memerangi mereka sebagai kelompok bâghỉ pemberontak'.
Namun, sebelum memulai perang, beliau lebih dulu mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dengan mereka guna menangani kerancuan yang menyelimuti pemahaman mereka.
Berdasarkan hadis ini, sebagian fukaha berpendapat bahwa sebelum memerangi kelompok pemberontak dan penentang imam yang adil, hendaknya pemerintahan Islam mengirim utusan kepada mereka untuk mengklarifikasi alasan dan motif pemberontakan mereka, menuntaskan pelbagai kerancuan intelektual, dan menyeru mereka ke jalan yang benar. Tentunya, pengiriman delegasi ini hanya mungkin dilakukan jika tidak malah membuat pihak lawan akan bersikap lancang (tajarri). (4)
P: 78
Inilah pendapat kalangan fukaha Syiah, sekalipun menurut mereka, pemberontakan terhadap penguasa Islam yang sah (baghy) termasuk kemurtadan.(1) Oleh karena itu, klaim adanya kerancuan intelektual pada diri terdakwa pengingkar ajaran niscaya agama-tentunya jika klaim ini masih mungkin diarahkan kepadanya—dapat menggugurkan hukuman had. Klaim ini telah menciptakan keraguan dalam proses pembuktian perkara. Jadi dalam kondisi ini, orang terdakwa itu tercakup dalam kaidah Dar: (2)
1. Meragukan bukan berarti mempercayai. Dengan kata lain, ada kalanya seseorang mempercayai sesuatu, ada kalanya pula mempercayai hal yang sebaliknya, dan ada kalanya pula ragu: antara percaya dan tidak, terhadapnya. Itu artinya, terdapat garis tengah antara Islam dan kekafiran (kufr). Islam adalah kepercayaan terhadap prinsip-prinsip agama, sementara kekafiran adalah ketidakpercayaan terhadapnya. Adapun garis demarkasi percaya dan tidak percaya adalah keraguan atau prasangka terhadap salah satu di antara keduanya. Pada dasarnya, sebagaimana telah disebutkan, secara etimologis, kufr adalah penentangan dan pengingkaran. Namun orang yang meragukan Tuhan, keesaan-Nya, atau kenabian Muhammad Saw, selama tidak mengingkarinya, secara etimologis tidak dapat disebut kafir. Oleh karena itu, diperlukan bukti autentik untuk mengaplikasi istilah kafir di luar makna etimologisnya.
Dengan demikian, jika seorang Muslim meragukan prinsip-prinsip agama, pada level pembuktian (maqâm al-itsbât), asas hukum (ashl)
P: 79
yang diacu adalah keislamannya, sampai dia sendiri terang-terangan mengungkapkan ketidapercayaannya terhadap prinsip-prinsip agama.
Berdasarkan hadis yang telah disebutkan, unsur kepercayaan itu sebuah kemestian dalam realisasi kekafiran seseorang. Adapun keraguan atau prasangka bukan termasuk kepercayaan. Begitu pula sebaliknya; jika orang kafir ragu atau berprasangka terhadap kebenaran prinsip-prinsip agama, maka dirinya tetap kafir sampai percaya pada prinsip-prinsip tersebut.
Menurut hadis, orang yang lemah intelektualitasnya (mustadh'af fikri) adalah orang yang tidak memiliki akses dan kecenderungan pada kekafiran, juga tidak terarah pada keimanan; dia tidak dapat menjadi mukmin maupun kafir. Kategori ini meliputi anak-anak kecil, serta lelaki dan perempuan yang daya pikirnya seperti anak kecil yang meniscayakan tugas dan kewajibannya gugur.
Oleh karena itu, terbuka kemungkinan bahwa seseorang bukan kafir sekaligus bukan mukmin lantaran kelemahan intelektualitasnya. Jadi setidaknya, sesuai pengamatan yang lazim (tahlîl urfi) dan tradisi kalangan komit syariat (ʻurf mutasyarri`ah) yang didukung sejumlah hadis—bukan oleh studi filosofis, terdapat kemungkinan lain atau status ketiga selain status kafir dan Muslim.
Selama keraguan dan kebimbangan terhadap prinsip-prinsip agama hanya disuarakan dalam hati dan tidak diungkapkan secara verbal, itu tidak akan berdampak apa pun. Namun, jika itu diungkapkan secara verbal hingga berpotensi menular ke orang lain, niscaya akan dihadang berbagai dampak hukum, terlebih jika itu membentuk propaganda anti agama. Jika semua itu diungkapkan dengan motif mencari jawaban yang tepat dan menepis kerancuan intelektual, khususnya di tengah kalangan pakar dan spesialis di bidangnya, tak akan berdampak hukum apa pun. Ini sebagaimana pertanyaan dan kerancuan intelektual yang kerap diutarakan kepada para imam suci, lalu imam menjawabnya dengan arif dan wajah ceria. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, para imam menyebut kegelisahan akibat keraguan hati sebagai indikator keimanan.
2.Pada tahap kompromisasi hadis-hadis yang saling bertentangan, dapat dikatakan bahwa maksud serangkaian hadis yang mengindikasikan sekadar ragu terhadap kenabian Muhammad Saw menyebabkan kemurtadan, yaitu manakala orang yang ragu, lewat lontaran pernyataannya, membuat orang lain juga ikut ragu dan bimbang secara pemikiran dan akidah. Begitu pula,
P: 80
jika dia mengungkapkan keraguannya sedemikian rupa, yang berindikasi melecehkan agama dan Nabi Saw.
Di samping itu, mengingat alasan dan filosofi yang terkandung dalam hadis, juga masalah serius yang dihadapi Nabi Saw sekaitan dengan kaum munafik di masanya, dapat dikatakan bahwa mengungkapkan keraguan terhadap kenabian Beliau, bahkan secara bertatap muka, merupakan salah satu intrik kaum munafik. Inilah mengapa kondisi itu memiliki kekhasan tersendiri, dan kesimpulan hukum yang bersifat umum tak dapat ditarik dari rangkaian hadis tersebut.
Adapun jika orang yang terjangkiti keraguan, rasa was-was, dan bisikan hati mendatangi para pakar di bidangnya demi menepis keraguannya, maka pada tahap pembuktian (istbâtan), tak ada satu pun dampak hukum yang akan mengarah kepada dirinya. Apalagi jika dia pada dasarnya memang tidak mengungkapkan keraguannya sekalipun kepada para pakar bidang.
Dalam kondisi ini, pada kenyataannya (tsubûtan) juga tidak akan ada dampak hukum terhadapnya. Artinya, orang tersebut, baik di sisi dirinya sendiri maupun di sisi Tuhan, tidak terhitung sebagai murtad sehingga akan ada dampak hukum yang harus diterapkan terhadapnya.
Bukti paling kuat bahwa sekadar keraguan tidak menyebabkan kemurtadan adalah cara Nabi Muhammad Saw menyikapi orang-orang munafik. Mengingat hati orang munafik sama sekali tidak percaya Islam, namun secara lahiriah berpura-pura mempercayainya, beliau menyikapi mereka layaknya Muslim. Ini tidak sebagaimana sikap beliau terhadap orang murtad atau kafir. Oleh karena itu, nyawa dan harta mereka terlindungi, layaknya nyawa dan harta Muslim.
Pandangan sekelompok fukaha yang menambahkan pengingkaran sebagai syarat untuk memvonis murtad seseorang lebih sesuai dengan kaidah dan bukti riwayat serta hadis. Memang, isi rangkaian hadis yang ditransmisikan seputar persoalan ini cenderung saling bertolak belakang.
Namun, dalam proses seleksi prioritasnya (tarjih), dapat dipastikan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an lebih mendukung hadis-hadis yang menandaskan bahwa sekadar keraguan tidak menyebabkan seseorang murtad. Kalaupun tidak ditemukan bukti-bukti yang memihak salah satu dari dua tipe hadis yang saling bertentangan itu, jalan terakhirnya adalah merujuk asas praktis (ushủl amaliyyah). Berkenaan dengan kaum Muslim, asas praktis akan menetapkannya berstatus tidak murtad selama tak ada bukti autentik yang
P: 81
memastikan kemurtadannya.
3. Beberapa fukaha Syiah berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama merupakan variabel independen kemurtadan. Namun, sejumlah fukaha lain (kebanyakannya para fukaha terakhir dan kontemporer) berpendapat sebaliknya; bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama bukanlah variabel independen kemurtadan. Hanya saja, jika berakibat pada pengingkaran Tuhan atau kenabian, maka itu akan menyebabkan kemurtadan.
Oleh karena itu, kebanyakan fukaha Syiah, khususnya fukaha muta’akhkhir, dan kebanyakannya kontemporer, berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama hanya akan menyebabkan terjadinya kemurtadan jika berdampak sampai pengingkaran Tuhan atau kenabian.
Menurut mereka, pengingkaran ajaran niscaya agama an sich bukanlah variabel independen kemurtadan.
4. Dari sudut pandang yurisprudensi dan prosedur hukum dalam Islam, satu poin kiranya perlu dikemukakan di sini. Kalau memang berdampak pada pengingkaran tauhid atau kenabian, pengingkaran salah satu hukum Islam, entah niscaya atau bukan, akan menyebabkan terjadinya kemurtadan. Meski begitu, entah terdapat perbedaan di antara dua jenis pengingkaran itu.
Berdasarkan prosedur hukum dan pembuktian tindak kriminal, jika objek pengingkaran itu ajaran tak niscaya (ghair dharûrî) agama, pembuktian klaim bahwa itu berakibat pada pengingkaran Kenabian menjadi tanggung jawab pengadilan, bukan tugas terdakwa. Adapun objeknya adalah ajaran niscaya (dharûrî) agama, dan pembuktian klaim bahwa itu berakibat pada pengingkaran kenabian menjadi tanggung jawab terdakwa.
Bila Tuhan atau kenabian diingkari secara langsung, maka kemurtadan akan terjadi, sekalipun tindakan itu dilatari aktivitas intelektual. Sebagaimana telah kami ingatkan sebelumnya, kepastian minimal dari definisi Islam dan kemusliman ialah 'kepercayaan pada tauhid dan kenabian’.
6. Sebagian fukaha Syiah berpendapat bahwa kepercayaan mendetail (tafshili) terhadap seluruh hukum agama Islam bukan sebuah keharusan. Dengan kata lain, kepercayaan global (ijmâlî) terhadap risalah Nabi Saw sudah dianggap cukup. Maksudnya, untuk berstatus Muslim, secara umum seseorang harus mempercayai secara global kebenaran seluruh hukum yang disampaikan Nabi Saw yang berasal dari Allah Swt. Berdasarkan teori ini, 'pengingkaran mendetail selama tidak bertolak belakang dengan
P: 82
‘kepercayaan global tidak menyebabkan murtad dari Islam. Maksudnya, seseorang segera berpaling dari pengingkarannya jika pandangannya bertentangan dengan risalah Nabi Saw.
Demikian pula kemurtadan intelektual, terjadi akibat kerancuan intelektual, tatkala pelaku pengingkaran siap membuang pendapatnya- yang terbukti bertentangan dengan wahyu Ilahi atau sabda Nabi Saw, kemurtadannya belum terjadi, kendati tindakannya itu berkaitan dengan salah satu ajaran niscaya agama. Berkat kesiapannya, pengingkaran dirinya terhadap ajaran niscaya agama tidak menjadikannya ingkar terhadap kenabian, sebab dirinya masih memegang kepercayaan global.
7. Apabila etika menafsir dan menakwil tetap dijunjung dalam proses mengingkari ajaran niscaya agama-yang diakibatkan keraguan atau kerancuan intelektual, pengingkaran tidak menyebabkan kemurtadan.
8. Syaikh Anshari berpendapat, (pertama], jika objek yang diingkari termasuk 'hukum-hukum praktis' (bukan akidah), dan (kedua) itu bukan dikarenakan keteledoran pelakunya (taqshîr) melainkan kelemahannya menemukan kebenaran (qushûr). Dengan dua syarat ini si pelaku tidak dapat divonis murtad. Oleh sebab itu kemutlakan (ithlâq) makna hadis- hadis yang terkait tidak meliputi orang yang lemah (qâshir).
Di samping itu, berbeda dengan masalah akidah yang sebenarnya harus dipercayai, kepercayaan orang yang punya kelemahan (qâshir), secara mandiri, bukanlah keharusan dalam persoalan yang terkait dengan hukum-hukum praktis. Berdasarkan kaidah Dar, hukum had tidak akan berlaku pada orang yang tidak mengetahui hukum segala hal yang diharamkan. Namun argumentasi bahwa ketidakberlakuan hukum itu berarti ketidakmurtadan tidak dapat diterima karena dalil-dalil yang menerangkan kaidah Dar’sudah cukup jelas mengindikasikan bahwa pada dasarnya, orang seperti itu tidak murtad, bukan dia itu murtad lantas diampuni dari hukuman had karena ketidaktahuannya.
Adapun pengingkaran ajaran niscaya agama di ranah akidah-yang mengharuskan kepercayaan dan keharusan ini bukan sekadar mengamalkan atau meninggalkannya-sudah semestinya ditetapkan sebagai kemurtadan mengingat kemutlakan makna hadis-hadis terkait, baik itu dikarenakan keteledoran ataupun kelemahan pelaku.
Perlu diketahui, Syaikh Anshari mengutarakan persoalan ini sebatas sebuah kemungkinan. Maksudnya, jika kita menerima teori implikasi
P: 83
(pengingkaran ajaran niscaya agama hanya menyebabkan kemurtadan jika berdampak pengingkaran tauhid atau kenabian), maka konsekuensinya tidak mengakibatkan kemurtadan selama dipicu kerancuan intelektual, sekalipun munculnya kerancuan ini akibat dari keteledoran. Dalam konteks ini, dia tidak mendustakan Tuhan atau nabi. Paling tidak, dia dihukum karena keteledorannya dalam mengabaikan komitmen pada agama Islam.
9. Menurut Imam Khomeini, jika seorang Muslim mempercayai prinsip- prinsip Islam (tauhid dan kenabian) secara global, namun karena mengalami sejumlah kerancuan intelektual, dia mengingkari salah satu ajaran niscaya agama-umpama, mengira shalat dan ibadah haji hanya wajib di masa awal Islam, sementara sekarang tidak. Hal ini menurut tradisi kalangan komit syariat (ʻurf mutasyarri`ah) tidak tergolong murtad, kendati dia telah mengingkari ajaran niscaya agama.
10. Mayoritas fukaha-termasuk kalangan yang meyakini pengingkaran ajaran niscaya agama sebagai variabel independen kemurtadan-mengecualikan pengingkaran akibat kerancuan intelektual dan ketidaktahuan dari konteks hukum.
Di samping itu, bila merujuk dampak-dampak khas pidana dan perdatanya, vonis murtad bertentangan dengan prinsip dasar. Oleh karena itu, dalam kondisi-kondisi yang masih diragukan, hanya kepastian minimal dapat dipastikan saja yang harus diberlakukan. Dalam konteks kemurtadan, kepastian itu berupa asumsi ketidakrancuan dan ketidakbodohan pelaku saat mengingkari ajaran niscaya agama. Jika sedang mengalami kerancuan intelektual, dirinya masuk dalam kaidah DarArtinya, dia tidak berhak dijatuhi hukuman had.
Dari seluruh uraian di atas seputar pandangan sejumlah fukaha, dapat disimpulkan bahwa sekelompok besar dari mereka, khususnya fukaha muta’akhkhir dan kontemporer, berpendapat bahwa pengingkaran ajaran niscaya agama yang dipicu kerancuan intelektual, aktivitas intelektual dan teoretis, pada hakikatnya tidak menyebabkan kemurtadan. Oleh karena itu, variabel dalam pengingkaran ini adalah ketidaktahuan dan ketidaksadaran yang lantas menggugurkan tanggung jawab seseorang.
Kalaupun ketidaktahuan itu diakibatkan keteledoran; paling tidak si pelaku telah melakukan tindakan salah lantaran keteledorannya (taqshîr), bukan karena kemurtadannya.
P: 84
11. Setelah periode khalifah pertama, terdapat beberapa kelompok yang dikenal sebagai golongan murtad (ashhâb al-riddah). Menurut seluruh kalangan Muslim masa itu, kelompok yang dipimpin Musailamah Kadzdzab, Thulaihah, dan Isa memang benar-benar murtad. Adapun kelompok lain, karena kerancuan intelektual, keliru mengira bahwa zakat hanya wajib di masa Nabi Saw, dan karenanya tidak sudi membayar zakat pada khalifah pertama. Mereka dinyatakan penguasa masa itu sebagai murtad. Itulah sebabnya penguasa memperlakukan mereka layaknya pelaku murtad.
Hanya saja, menurut pandangan mayoritas fukaha Syiah, kelompok ini hanya terjangkit kerancuan intelektual (syubhah). Mereka pada hakikatnya bukan murtad. Seandainya mereka benar menolak membayar zakat, langkah pertama yang ditempuh penguasa saat itu semestinya mengharuskan mereka membayarnya. Lalu, jika mereka tetap menolak namun tidak sampai menghalalkan penolakannya, penguasa hanya berhak memvonis mereka subversif, bukan murtad.
Ada masalah penting yang patut diperhatikan dalam kasus ini:
ketidaksudian orang-orang pada masa itu untuk membayar zakat dilatari oleh argumen tertentu—sekalipun keliru. Menurut fukaha Syiah, pengingkaran seperti ini tidak menyebabkan kemurtadan. Ini merupakan bukti paling kuat bahwa pada prinsipnya, kalangan fukaha Syiah mengecualikan kondisi kerancuan intelektual (syubhah) dalam konteks kemurtadan. Ini mengingat mereka masih mempercayai Islam, sekalipun keliru dalam memahami ayat Al-Qur'an. Akibatnya, mereka menduga, pascawafat Nabi Saw, bahwa zakat tidak wajib dibayarkan kepada penguasa Islam (khalifah) yang doanya tidak menciptakan ketenteraman.
12. Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, distorsi dan kerancuan intelektual telah mencapai klimaksnya. Ia menyikapi kaum Khawarij dengan metode yang begitu mengagumkan. Kendati mereka bahkan telah melakukan kekerasan bersenjata—ini memaksa beliau melakukan sesuatu yang tidak selaras dengan keinginannya, yakni memerangi mereka sebagai kelompok båghî 'pemberontak’-namun sebelum memulai perang, beliau lebih dulu mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dengan mereka guna menangani kerancuan pemahaman mereka.
Berdasarkan hadis ini, sebagian fukaha berpendapat bahwa sebelum memerangi kelompok pemberontak dan menentang imam yang adil,
P: 85
pemerintah Islam mengirim utusan kepada mereka untuk mengklarifikasi alasan dan motif pemberontakan mereka, menuntaskan pelbagai kerancuan intelektual, dan menyeru mereka ke jalan yang benar. Tentunya, pengiriman delegasi ini hanya mungkin dilakukan jika tidak malah membuat pihak lawan akan bersikap lancang (ta-jarri). Inilah pendapat kalangan fukaha Syiah, sekalipun menurut mereka, pemberontakan terhadap penguasa Islam yang sah (baghy) termasuk kemurtadan.
13. Klaim adanya kerancuan intelektual pada diri terdakwa pengingkar ajaran niscaya agama-tentunya jika klaim ini masih mungkin diarahkan kepadanya—dapat menggugurkan hukuman had, karena telah menciptakan keraguan dalam proses pembuktian sebagai orang salah. Jadi dalam kondisi ini, orang itu tercakup dalam kaidah Dar.
P: 86
Salah satu persoalan yang harus dikaji dalam konteks kemurtadan dan penistaan simbol sakral adalah 'mekanisme eksekusi hukuman'. Ini berada dalam rumusan pertanyaannya apakah menurut Islam eksekusi hukuman atas tindak kemurtadan dan penistaan simbol sakral merupakan privilese pemerintah Islam? Ataukah orang biasa juga boleh melaksanakan hukuman itu? Persoalan ini akan diuraikan dalam dua ulasan terpisah.
Sebelum memasuki pokok pembahasan mengenai hal ini terlebih dulu harus kita harus menjawab pertanyaan apakah kemurtadan termasuk masalah had sehingga eksekusi hukumannya menjadi privilese pemerintah Islam atau bukan? Tentunya ini bukan berarti jika kemurtadan diyakini sebagai taʼzîr, maka hukuman mengenai hal tersebut dapat dilakukan oleh pihak-pihak nonaparat pemerintahan Islam. Akan tetapi, kemurtadan termasuk wilayah had, secara pasti yang berhak mengeksekusi hukuman hanyalah pemerintahan Islam. Dari pernyataan beberapa fukaha dapat ditarik kesimpulan bahwa kemurtadan masuk dalam kategori had.
Muhaqiq Hilli secara tegas menyatakan itu dan mengidentifikasi kemurtadan sebagai had —bahkan yang tergolong 'hak Allah'.(1)
P: 87
Syaikh Thusi juga menegaskan bahwa eksekutor hukuman murtad adalah pemerintah dan bukan pihak lain di luar pemerintah.(1) Dalam kitab Tahrîr Al- Ahkâm, Allamah Hilli juga menyatakan hal yang sama.(2) Bahkan, pada bagian lain buku itu dia menyebutnya sebagai keniscayaan yang sudah disepakati (mafrúdh).(3) Namun, dalam kitab Qawa'id Al-Ahkâm, ia sendiri secara implisit (ghair sharih) menyatakan sebaliknya.(4) Mayoritas fukaha Syiah juga berpendapat bahwa eksekutor hukuman murtad merupakan privilese pemerintah Islam.(5) Sekarang telah diperoleh kejelasan seputar dua hal. Pertama, kemurtadan termasuk had. Kedua, kemurtadan juga termasuk hak Allah dan bukan menjadi hak manusia. Oleh karena itu, eksekusi hukuman murtad dan proses pengadilan sebelum dan sesudah hukuman merupakan tugas pemerintah Islam dan bukan menjadi tanggungjawab pihak lain baik itu individu maupun institusi formal.
Di samping itu, berdasarkan keistimewaan-keistimewaan hak Allah, munculnya keraguan terhadap hukum atau subjeknya dalam proses pengadilan bukan saja mengharuskan kaidah Dar' diberlakukan, melainkan juga kaidah-kaidah lain yang berhubungan dengan hak Allah. Sebagai contoh dalam konteks hak Allah hakim berkewajiban sedapat mungkin untuk mengalihkan terdakwa sebagai pelanggar hak Allah dari pengakuannya (melanggar hak Allah).
P: 88
Selain itu, esensi kriminalitas murtad dan kondisi-kondisi khas yang harus diperhatikan dalam kasus ini menjadikannya benar-benar rumit dan istimewa. Itulah sebabnya selain pihak lembaga peradilan menentukan fakta konkret kriminalitas murtad dan memastikan kondisi-kondisi yang terkait dengannya sangat sulit.
Misalnya, seseorang melontarkan statement bernada kekafiran karena emosi yang tinggi. Dalam kasus ini, kemurtadan masih belum terjadi karena pelaku tidak punya kesadaran (ikhtiar) yang semestinya. Syarat ini dikemukakan oleh banyak fukaha.(1) Rujukannya adalah hadis-hadis khusus yang diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq.(2) Adapun berkenaan dengan kriminalitas yang lain, syarat khusus seperti ini tidak disebutkan, baik dalam hadis maupun keterangan fukaha. Sekalipun penyebab syarat ini berupa 'potensi menyebar ke semua jenis kriminalitas lain. Namun demikian, mengingat pentingnya masalah murtad dan dalil khusus tentangnya boleh jadi syarat ini hanya dikhususkan dalam konteks murtad.
Menurut Islam menuduh berzina (qadzf), menista, dan memfitnah Muslim (iftirâ) bahkan non-Muslim dari kalangan agama samawi lainnya, hukumnya terlarang.(3) Masing-masing kriminalitas itu telah ditentukan hukuman had atau takzir.(4) Berdasarkan pendidikan agama dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari
P: 89
para imam suci menista, melaknat, dan mengutuk binatang(1) bahkan makhluk tak bernyawa tergolong perbuatan buruk dan makruh.(2) Saat berperang melawan Muawiyah, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib melarang sahabatnya menghina atau melaknat sahabat Muawiyah.(3) Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa Imam Ja'far Shadiq menegur keras sahabatnya yang kala itu sedang mencaci-maki musuh-musuhnya di masjid, dan Imam menasehatkan agar mereka berhenti melakukan itu.(4) Yang penting diperhatikan sekarang betapa agama ini sedemikian peka terhadap penistaan atau caci-maki terhadap manusia, binatang, makhluk tak bernyawa, bahkan musuh-musuhnya. Lalu, seberapa besar kepekaannya terhadap fenomena penistaan simbol-simbol sakral agama, terutama terhadap penistaan dan pelecehan terhadap nabi dan Imam suci sebagai para insan termulia? Blasphemy atau pelecehan simbol sakral dalam agama Kristen menurut sistem Common Law, baik lisan maupun tulisan, terbilang kriminalitas dan dosa.(5) Pelakunya akan diganjar salah satu jenis hukuman yuridis yang paling umum dewasa ini di semua negara Barat, yaitu penjara. (6)Dalam konteks ini hukuman dijatuhkan tanpa pandang agama.
P: 90
Adapun menurut Islam terdapat klasifikasi logis dari segi identitas agama di antara pelaku penistaan simbol-simbol sakral. Jika pelaku penistaan itu seorang Muslim, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mayoritas mazhab Islam menetapkan vonis paling keras yang tersedia dalam sistem hukum Islam terhadapnya yaitu hukuman mati.(1) Jika pelakunya seorang kafir dzimmi, menurut pendapat banyak fukaha dari berbagai mazhab Islam, ganjarannya bukan hukuman mati.
Namun, sebagian fukaha Syiah berpendapat tak ada beda antara kafir dzimmi dan Muslim dalam soal hukuman atas penistaan simbol-simbol sakral: kedua-duanya patut dihukum mati. Perbedaan keduanya hanyalah jika pelaku yang berstatus kafir dzimmi memeluk Islam setelah melakukan penistaan, maka hukumannya batal.
Karena orang semacam ini masuk dalam kategori Kaidah Jubb.(2) Para pengikut mazhab Malikiyah juga berpendapat bahwa kapan pun seorang kafir dzimmi menista simbol-simbol sakral (Tuhan dan nabi) lewat cara selain yang membuatnya kafir maka layak dihukum mati kecuali jika dia memeluk Islam.(3) Namun demikian, ada pula pendapat lain yang dinukil dari kalangan mazhab Malikiyah, bahwa hukuman bagi kafir dzimmi sama dengan yang berlaku pada seorang Muslim, sekalipun kafir dzimmi itu akhirnya memeluk Islam.(4) Menurut mazhab Hanafiyah pada dasarnya seorang kafir dzimmi dalam masalah ini tidak layak dihukum mati tetapi cukup dicegah dari perbuatan itu. Kendati begitu sebagian kalangan Mazhab Hanafiyah juga berpendapat bahwa kafir dzimmi harus dihukum takzir. (5) Syafi'iyah berpendapat bahwa kapan pun orang kafir dzimmi memaki Nabi Saw akan dihukum mati. Di samping itu tindakan tersebut menyebabkan ikatan
P: 91
wilayah dzimmah gugur dengan sendirinya.(1) Ada pula pendapat lain yang dinisbatkan kepada Imam Syafi'i bahwa ikatan wilayah dzimmah hanya digugurkan jika di dalamnya dicantumkan syarat untuk tidak menista simbol-simbol sakral.
Dengan demikian jika di dalamnya tidak dibubuhi syarat tersebut secara jelas, ikatan wilayah dzimmah tidak bisa digugurkan.(2) Sebagian fukaha Syiah berpendapat bahwa memaki Tuhan atau Nabi Saw yang dilakukan oleh seorang kafir dzimmi layak dihukum mati sekaligus digugurkan ikatan wilayah dzim mah-nya. Namun, jika tidak mencapai bentuk caci-maki, ungkapan-ungkapan tak senonohnya terhadap Tuhan dan Nabi Saw itu hanya berdampak hukuman taʼzir. Perbuatan itu hanya menggugurkan ikatan wilayah dzimmah jika memang dijadikan persyaratan saat dibuat.(3) Menurut mazhab Hanafiyah, memaki Nabi Saw tidak menggugurkan ikatan wilayah dzimmah kecuali jika setelah melakukan pelanggaran itu si pelaku yang kafir dzimmi kabur dan bersuaka di negara kafir (dâr al-harb) atau memerangi pemerintahan Islam.(4) Dari seluruh referensi yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa dibandingkan Common Law, khususnya berkenaan dengan pelaku penistaan simbol- simbol sakral agama, hukum Islam bukan hanya melarang tindak diskriminatif terhadap non-Muslim (kafir dzimmi). Bahkan, jika dibandingkan dengan seorang Muslim, ganjaran hukuman bagi seorang non-Muslim dilengkapi kelembutan dan keringanan. Ini layak dipertimbangkan dari segi hak asasi manusia. Adapun kriminalitas murtad pada dasarnya dikhususkan bagi kaum Muslim dan tak ada relasinya dengan non-Muslim, kecuali ditinjau dari doktrin yang mengatakan bahwa perpindahan dari agama samawi lain ke selain agama Islam juga terlarang.
P: 92
Namun doktrin ini tidak terlalu penting bagi kalangan fukaha Syiah.(1)
Dalam konteks hukum Islam eksekusi hukuman pada prinsipnya harus dilaksanakan pemerintahan Islam. Tentunya itu setelah melewati tahapan-tahapan tertentu dan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Pelanggaran itu berkenaan dengan hak Allah Swt, prinsip-prinsip dan prosedur hukumnya harus diaplikasikan secara cermat dan ketat agar cenderung menguntungkan pihak terdakwa- khususnya dari segi syarat dan bukti. Meskipun demikian, hukuman atas kriminalitas memaki Nabi Saw dan Imam suci menurut pendapat masyhur fukaha Syiah boleh dilaksanakan siapa pun yang mendengar langsung makian itu (bukan semua orang, tentunya) tanpa lebih dulu meminta izin pemerintah.(2) Pandangan ini juga berlandaskan hadis.(3) Sebagian fukaha kenamaan Syiah, yang ditokohi Syaikh Mufid dan Allamah Hilli, menolak pandangan ini. Syaikh Mufid mengatakan :
Orang yang memaki Nabi Saw atau salah seorang imam suci telah murtad dan darahnya halal dikucurkan; dan orang yang bertanggung jawab melaksanakan hukuman adalah pemimpin kaum Muslimin.(4) Allamah Hilli juga mendukung pandangan Syaikh Mufid dan berargumentasi bahwa kriminalitas murtad termasuk had dan eksekutornya adalah pemerintah
P: 93
Islam.(1) Untuk membuktikan itu, dia mengemukakan hadis dari Imam Ja'far Shadiq.(2) Kasyif Litsam juga mendukung pandangan ini. (3) Selain menyandarkan bukti pada hadis, pandangan ini juga tampak lebih selaras dengan prinsip dan kaidah yang telah disepakati dalam fikih Syiah. Pasalnya, pemberian izin secara umum dan penuh kepada siapa pun selain aparat pemerintah Islam untuk melaksanakan hukuman. Apalagi di era formatif pemerintahan Islam, secara tipikal (nau'an) menyebabkan hiruk-pikuk dan chaos, khususnya proses identifikasi kondisi dan syarat-syarat kriminalitas murtad pada umumnya melampaui kemampuan orang biasa. Contohnya sebagaimana telah diingatkan dalam bab sebelumnya, mayoritas fukaha Syiah Imamiyah berpendapat bahwa seseorang yang mengungkapkan hal-hal bernuansa penistaan dan kekafiran dalam kondisi yang sangat emosional, hingga membutakan kesadarannya, tidak layak divonis sebagai murtad. (4) Selain itu, sebagaimana dinyatakan Allamah Hilli, menurut salah satu kaidah yang disepakati kalangan Syiah, pelaksanaan hukuman had termasuk privilese pemerintah Islam. Berdasarkan informasi, banyak hadis hak ini kewenangan eksklusif aparat pemerintahan Islam, bukan menjadi hak semua orang. (5) Hadis- hadis yang bertentangan dengan prinsip tersebut tak punya kapasitas untuk menentang kaidah yang telah disepakati itu.
P: 94
Pandangan ini juga tidak bertolak belakang dengan kewajiban publik melakukan amar makruf nahi munkar. Karena jika berdampak melukai atau membunuh, menurut kebanyakan fukaha Syiah Imamiyah, langkah mengenai amar makruf nahi munkar harus dilaksanakan dengan seizin fakih mujtahid yang memenuhi kriteria (jâmi' al-syarà’ith).(1) Namun, amar makruf nahi munkar dipastikan merenggut nyawa pihak lawan, tak ada lagi alasan (legal) untuk melaksanakannya. Karena tujuan pelaksanaan amar makruf nahi munkar adalah meninggalkan perbuatan yang dituntut kewajiban ini, sementara salah satu syarat dalam kewajiban ini adalah ‘kemungkinan adanya pengaruh'. Jadi, dalam kondisi ketika amar makruf nahi mungkar berefek pembunuhan, baik tujuan maupun syaratnya tidak terpenuhi.(2) Berkenaan dengan kasus penistaan Salman Rushdi terhadap Nabi Saw, Imam Khomeini sebagai fakih mujtahid sekaligus kepala pemerintahan Islam, setelah mencermati kasus ini dari segi hukum dan objeknya, menerbitkan perintah eksekusi publik hukuman murtad. Ini bukan berarti menyerahkan proses penetapan objek kriminalitas, syarat dan kondisinya kepada khalayak umum. Sudah tentu semua jenjang ini membutuhkan proses pengadilan yang sangat khusus dan rumit sekali.
Kendati demikian, berdasarkan bukti-bukti khusus yang ada, pelaksanaan sebagian hukuman had diserahkan kepada pribadi-pribadi yang bukan aparat pengadilan. Contohnya, kapan pun seorang lelaki menyaksikan lelaki lain bersetubuh dengan istrinya, jika istrinya berada dalam keadaan terpaksa, dia berhak membunuh lelaki pemerkosa istrinya, saat itu juga. Jika istrinya ternyata sukarela dalam perselingkuhan itu, dia berhak melaksanakan hukuman had Allah pada dua pelaku zina tersebut, saat itu juga. (3) Namun hukuman itu juga hukuman serupa lainnya tidak dapat dianalogikan dengan persoalan di sini. Karena, pertama, zina dalam kasus tadi —seandainya kesahihan landasan hukumnya telah terbukti, merupakan kriminalitas personal dan terkait dengan hak manusia. Ini mengingat dalam asumsi kedua sekalipun- istri sukarela bersetubuh dengan selain suaminya, hak suami telah dilanggar.
Sementara itu, kriminalitas yang sedang dibicarakan di sini, yakni penistaan simbol- simbol sakral agama, tergolong kriminalitas sosial dan terkait dengan hak Allah Swt. Dalam konteks pelanggaran hak Allah Swt, khususnya had-had-Nya, prinsip
P: 95
dasar pembuat syariat adalah keringanan (takhfif) dan kehati-hatian (ihtiyâth).
Itulah sebabnya, bersandarkan kaidah Dar’dapat dipastikan bahwa keraguan dan kebimbangan sudah memadai untuk membatalkan hukuman had dari seorang terdakwa.
Kedua, menentukan objek pelanggaran, seperti zina, berikut syarat-syaratnya dalam kondisi di atas, bukanlah persoalan pelik. Ini berbeda dengan kasus penistaan simbol sakral agama. Pelanggaran ini memiliki kerangka dan kondisi yang sangat rumit. Pada umumnya, orang biasa tak mampu memahaminya secara benar dan akurat. Selain itu, menurut hukum pidana Islam, jika terjadi pertentangan yang seimbang di antara bukti-bukti yang ada, hukum yang ‘menguntungkan terdakwa’ lebih diprioritaskan. Berkenaan dengan kriminalitas penistaan simbol sakral agama, dakwaan hukum dan eksekusinya dalam proses pengadilan dan pemerintahan harus menguntungkan pihak terdakwa, serta harus sesuai dengan sikap hati-hati dalam mengadili. Sikap ini juga harus lebih ditingkatkan jika berhubungan dengan darah dan nyawa.
1. Dari pernyataan beberapa fukaha dapat ditarik kesimpulan bahwa kemurtadan masuk dalam kategori had, bahkan tergolong ‘hak Allah'.
Selain itu, esensi kriminalitas murtad dan kondisi-kondisi khas yang harus diperhatikan dalam kasus ini, menjadikannya benar-benar rumit dan istimewa. Itulah sebabnya, selain pihak lembaga peradilan, menentukan fakta konkret kriminalitas murtad dan memastikan kondisi-kondisi yang terkait dengannya sangatlah sulit. Misalnya seseorang melontarkan statement bernada kekafiran karena emosi yang tinggi. Dalam kasus ini, kemurtadan masih belum terjadi karena pelaku tidak punya kesadaran (ikhtiar) yang semestinya.
Mengingat kemurtadan termasuk hak Allah, dan bukan hak manusia, munculnya keraguan terhadap hukum atau subjeknya dalam proses pengadilan bukan saja mengharuskan kaidah Dar' diberlakukan tetapi kaidah-kaidah lain yang berhubungan dengan hak Allah. Sebagai contoh, dalam konteks hak Allah, hakim berkewajiban sedapat mungkin untuk mengalihkan terdakwa sebagai pelanggar hak Allah dari pengakuannya (melanggar hak Allah). Atau, tidak dibolehkan menjatuhkan vonis in absentia. Bahkan asas utama pembuat syariat dalam mengadili pelanggaran hak Allah adalah sebisa mungkin proses peradilan menguntungkan
P: 96
3.
terdakwa.
Blasphemy atau pelecehan simbol sakral dalam agama Kristen, menurut sistem Common Law, baik lisan maupun tulisan, terbilang kriminalitas.
Pelakunya diganjar salah satu jenis hukuman yuridis yang paling umum dewasa ini nyaris di semua negara Barat, yaitu penjara. Dalam konteks ini, hukuman dijatuhkan tanpa pandang agama.
Adapun menurut Islam, menuduh berzina (gadzf), menista, dan memfitnah Muslim (iftirâ) bahkan non-Muslim dari kalangan agama samawi lainnya dianggap terlarang. Masing-masing kriminalitas itu telah ditentukan hukuman had atau taʼzir.
Masih dalam Islam terdapat klasifikasi logis dari segi agama di antara pelaku penistaan simbol-simbol sakral. Jika pelaku penistaan itu seorang Muslim, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, mayoritas mazhab Islam memilih hukuman paling keras yang tersedia dalam sistem hukum Islam terhadapnya, yaitu hukuman mati. Jika pelakunya seorang kafir dzimmi, menurut pendapat banyak fukaha dari berbagai mazhab Islam, ganjarannya bukan hukuman mati. Namun, sebagian fukaha Syiah berpendapat tak ada beda antara kafir dzimmi dan Muslim dalam soal hukuman atas penistaan simbol-simbol sakral. Kedua-duanya patut dihukum mati. Perbedaan keduanya, hanyalah pelaku yang berstatus kafir dzimmi memeluk Islam setelah melakukan penistaan, maka hukumannya batal, karena orang semacam ini termasuk dalam kaidah Jubb.
4.Sebagian fukaha Syiah berpendapat bahwa jika memang memaki Tuhan atau Nabi Saw, seorang kafir dzimmi layak dihukum mati sekaligus digugurkan ikatan wilayah dzimmah-nya. Jika tidak mencapai bentuk caci- maki, ungkapan-ungkapan tak senonoh terhadap Tuhan dan Nabi Saw itu hanya berdampak hukuman taʼzir. Perbuatan itu hanya menggugurkan ikatan wilayah dzimmah jika memang dijadikan persyaratan saat dibuat.
5.Dalam konteks hukum Islam eksekusi hukuman pada prinsipnya harus dilaksanakan pemerintahan Islam. Tentunya hal itu dilakukan setelah melewati tahapan-tahapan tertentu dan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Jika pelanggaran itu berkenaan dengan hak Allah Swt, maka prinsip-prinsip dan prosedur hukumnya harus diaplikasikan secara cermat dan ketat agar cenderung menguntungkan pihak terdakwa —khususnya dari segi syarat dan bukti. Beberapa pandangan mengatakan hukuman atas kriminalitas memaki Nabi Saw dan Imam suci, boleh dilaksanakan
P: 97
siapa pun yang mendengar langsung makian itu (bukan semua orang, tentunya) tanpa lebih dulu meminta izin pemerintah. Pandangan ini juga berlandaskan hadis. Namun, sebagian fukaha kenamaan Syiah, yang ditokohi Syaikh Mufid dan Allamah Hilli, menolak pandangan di atas.
Selain menyandarkan bukti pada hadis, pandangan ini juga tampak lebih selaras dengan prinsip dan kaidah yang telah disepakati dalam fikih Syiah.
Pasalnya, pemberian izin secara umum dan penuh kepada siapa pun selain aparat pemerintah Islam untuk melaksanakan hukuman, apalagi di era formatif pemerintahan Islam, secara tipikal (nau‘an) menyebabkan hiruk-pikuk dan chaos, khususnya proses identifikasi kondisi dan syarat- syarat kriminalitas murtad pada umumnya melampaui kemampuan orang biasa.
P: 98
Hipotesis seputar realisasi kemurtadan yang cukup dengan sekadar pengingkaran sebagaimana diulas sebelumnya patut ditindaklanjuti. Namun, kajian seputar fakta-fakta kemurtadan dalam sejarah Nabi Saw dan imam suci mendukung hipotesis bahwa praktis hanya kemurtadan lewat penistaan simbol- simbol sakral agama saja yang memiliki kepekaan sangat tinggi. Demikian pula fakta kemurtadan yang pelakunya berniat memprovokasi sikap anti-agama secara terencana, berupa pengingkaran ajaran niscaya (dharûrî) agama. Sekarang hipotesis akan dipertimbangkan dalam dua topik kajian seputar falsafah kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama.
Berdasarkan pembahasan sebelumnya seputar definisi, kerangka, kondisi, dan syarat-syarat kemurtadan dapat disimpulkan bahwa makna hakiki dari kemurtadan adalah ekspresi pengingkaran terhadapagama dan propaganda anti-agama dengan sikap keras kepala ("inâd) dan motif permusuhan.(1)Sikap ini bukan didorong argumentasi dan logika, atau dipicu kerancuan dan kekeliruan intelektual.(2) Oleh
P: 99
karena itu dasar sebuah sikap dikatakan murtad adalah propaganda anti-agama dan selanjutnya ancaman bagi ketertiban umum dan etika sosial masyarakat Islam.
Berkenaan dengan definisi ketertiban umum, kalangan pakar hukum menyebutkan:
Ketertiban adalah ekstensi dari serangkaian ketetapan yang dengannya jiwa, kehormatan, dan kepentingan material serta spiritual terlindungi secara serius.
Jika ketertiban umum kacau perasaan masyarakat akan terlukai. Oleh karena itu, segala bentuk tindak pemaksaan atau pencegahan demi menjaga ketertiban umum dipandang tepat dan layak.(1) Adapun berkaitan dengan etika sosial (moral publik)(2), mereka mengatakan:
(Etika sosial) adalah norma-norma yang harus diperhatikan mayoritas masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu atau yang dipandang baik bila dipraktikkan, namun tidak ada jaminan pelaksanaannya.(3) Hanya perlu diingat, catatan tanpa jaminan pelaksanaan' dalam definisi etika sosial menjadi poin yang sangat krusial untuk direnungkan kembali. Karena dalam hukum yang berlaku di berbagai negara, bahkan dalam hukum internasional, terdapat jaminan pelaksanaan hukum terhadap setiap pelanggaran etika sosial.
Menurut sejumlah pakar Muslim, jalan untuk mencapai tujuan syariat adalah pembelaan terhadap lima prinsip yang populer disebut al-darâriyât al-khams:
agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta manusia. Artinya, telah tersedia mekanisme tertentu untuk melindungi masing-masing prinsip tersebut. Adapun
P: 100
cara melindungi agama berupa “jihad' dan 'hukuman kemurtadan'.(1) Dari beberapa ayat Al-Qur'an perihal murtad dapat pula disimpulkan bahwa pada dasarnya kepekaan Al-Qur'an sekaitan dengan fenomena kemurtadan terpusat pada sekelompok orang yang dengannya hendak menggerogoti agama dan keimanan religius Muslimin. Jelasnya lagi, orang-orang musyrik berusaha melemahkan semangat Muslimin dengan berpura-pura masuk Islam. Tak lama kemudian, mereka pun memproklamasikan diri keluar dari agama tersebut.(2)Ini berbeda dengan kasus keluarnya anak-anak seorang sahabat nabi dari Islam dan kembali memeluk agama Kristen. Mereka melakukan itu secara wajar dan jauh dari tipikal konspirasi. Allah Swt lalu menenangkan kegelisahan ayah Muslim mereka yang berusaha memaksa mereka kembali memeluk Islam, lewat firman-Nya, 'Lâ ikrâh fi al-dîn .... (3) Dalam masyarakat beragama khususnya, manakala pemerintah punya komitmen yang sama dengan khalayak terhadap hukum-hukum agama, propaganda anti- agama akan merusak ketertiban dan etika sosial. Itulah mengapa, pemerintah juga layaknya individu dalam masyarakat, berkewajiban melindungi eksistensi agama.
P: 101
Sungguh memprihatinkan bila di sejumlah negara sekuler dan liberal para penguasa di sana tidak sudi menerima fakta bahwa wanita Muslim (tetap) berjilbab dengan dalih bahwa jilbab tidak sejalan dengan prinsip mereka!(1) Namun, di sisi lain, terhadap sejumlah negara Islam yang—berdasarkan propaganda sepihak Barat- melarang propaganda anti prinsip-prinsip Islam, mereka justru melancarkan tuduhan 'menginjak-injak hak-hak asasi manusia'! Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa memperkarakan kemurtadan secara pidana, dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial di negara yang menetapkan kemurtadan sebagai delik pidana, khususnya negara Islam, sudah sesuai dengan hak asasi manusia dalam hukum internasional. Menurut laporan khusus perihal kebebasan berpendapat, butir ke-3 pasal ke-19 mengenai hak-hak sipil dan politiko,(2) kebebasan berpendapat dibatasi sedemikian rupa guna melindungi etika sosial. Itulah sebabnya, pihak pemerintah berhak melakukan intervensi dalam hal kebebasan berekspresi dan membatasi seperlunya dalam kerangka konstitusi demi melindungi etika sosial.(3) Laporan khusus hak asasi manusia juga menekankan bahwa etika sosial merupakan konsep yang luas dan berbeda-beda, sesuai prinsip undang-undang dan pemahaman lokal setiap negara yang diakomodasi dari berbagai latar politik dan
P: 102
budaya nasional.(1) Oleh karena itu, bobot subversif kemurtadan vis-à-vis ketertiban umum dan etika sosial sangat bergantung pada tingkat keterikatan setiap bangsa dengan agama.
Kadar subversif kemurtadan terhadap ketertiban umum dan etika sosial semakin kuat bila keterikatan bangsa dengan agama juga semakin kokoh. Sebaliknya, semakin rapuh keterikatan bangsa dengan agama, semakin minim pula bobot subversif kemurtadan vis-à-vis ketertiban umum dan etika sosial. Inilah sebabnya dasar keputusan negara-negara Barat dalam bidang ini tidak layak dijadikan standar bagi negara-negara Islam.
Selain itu, pada pasal 29 Deklarasi Hak Asasi Manusia juga menegaskan peran tuntutan etis' dan 'ketertiban umum' dalam membatasi kebebasan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kemurtadan merupakan hukum eksekutif (al-hukm al-hukûmatî) negara yang berubah-ubah sesuai perubahan ruang dan waktu. Mengingat falsafah pidana kemurtadan dalam pandangan Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, persoalan apakah secara mendasar kemurtadan itu hukum eksekutif ataukah hukum primer (al-hukm al-awwalî) syariat pada akhirnya menjadikan kebijakan pemerintah Islam, berdasarkan prinsip maslahat, dapat memasuki ruang lingkup ini (sebagaimana hukum-hukum primer lain yang dalam kondisi tertentu, mendahulukan hukum eksekutif atas hukum primer).
Terdapat sejumlah indikasi bahwa pada dasarnya kemurtadan di masa fajar Islam merupakan hukum eksekutif negara. Contohnya Nabi Saw membatalkan vonis terhadap sekelompok orang yang layak dihukum mati-kemungkinan besar salah satu penyebab hukuman mati itu adalah kemurtadan mereka—hanya lantaran adanya maslahat dan dalam rangka mengantisipasi isu yang direkayasa pihak musuh bahwa setelah meraih kemenangan atas musuh, Nabi Saw akan membantai kaum yang telah dimintai bantuan oleh beliau.(2)
P: 103
Bahkan menurut pandangan kelompok tertentu, Nabi Saw membatalkan pelaksanaan hukuman mati terhadap sejumlah orang Yahudi karena adanya maslahat yang beliau pertimbangkan.(1) Di sisi lain bertolak belakang dengan konsensus (ijma') fukaha yang menyatakan perempuan murtad tidak patut dihukum mati, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang perempuan dengan tuduhan murtad. Itulah sebabnya, setelah menukil hadis ini, Syaikh Thusi mengatakan, Mungkin dalam kasus ini, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib memandang hukuman mati bagi perempuan itu sesuai dengan maslahat.'(2) Syaikh Thusi menambahkan boleh jadi vonis yang dijatuhkan itu bersifat kebijakan pemerintahan. Oleh karenanya itu, tak dapat diterapkan pada kasus- kasus serupa.
Hanya saja, seluruh bukti itu tampaknya tidak mengindikasikan bahwa kemurtadan termasuk hukum eksekutif. Sebaliknya, dari landasan landasan hukum urtadan dapat dipahami bahwa kemurtadan merupakan hukum primer syariat, kendatipun pertimbangan maslahat pemerintah Islam terlibat di dalamnya. Ini sebagaimana hukum-hukum primer lain yang, kendati berkedudukan sebagai undang-undang tetap, namun dalam kondisi tertentu yang bergantung pada pertimbangan pemerintah Islam, hukum eksekutif negara lebih diprioritaskan ketimbang hukum primer. (3) Atas dasar ini, termasuk pula ihwal kemurtadan, selama falsafah hukumnya masih berlaku hukumannya juga tetap ada. Hanya, ketika memandang pelaksanaan hukuman murtad benar-benar bertolak belakang dengan maslahat Islam dan Muslimin, pemerintah Islam berhak mengurungkannya selama maslahat itu masih ada. Kasus-kasus di atas juga mempertimbangkan aspek ini.
Menurut sejumlah cendekiawan hipotesis bahwa kemurtadan dapat dikenai esensi taʻzir dan karenanya, masuk dalam kategori hukum eksekutif negara,
P: 104
diutarakan sekadar sebuah kemungkinan.(1) Dalam menanggapi hipotesis di atas perlu dikatakan bahwa kemungkinan hukuman sebuah vonis beresensi had atau taʼzir sama sekali tidak otomatis membuktikan hukum itu berkategori eksekutif negara (hukûmatî) atau tidak.
Oleh karena itu boleh jadi sebuah hukum berkategori hukum primer syariat yang tetap, tetapi hukuman yang ditetapkan untuknya beresensi taʼzir. Ini sebagaimana hukuman yang telah ditetapkan untuk berbagai hukum haram yang primer dan tetap merupakan taʼzir, bukan had. Dengan demikian kendatipun dapat dibuktikan bahwa hukuman murtad beresensi taʼzir tetap saja tak dapat ditarik kesimpulan implikatif bahwa kemurtadan bersifat hukum eksekutif.
Sebagian pihak juga memandang ihwal kemurtadan sebagai hukum eksekutif dengan cara berbeda:
Konteks kemurtadan dan ketegasan menindak lawan bukanlah konteks benar- salah, melainkan konteks subversi dan ancaman yang dialamatkan pada sebuah komunitas yang masih lemah. Tatkala Islam masih berada dalam fase infansi, bibit yang baru tumbuh ini dapat dengan mudah dicerabut. Oleh sebab itu, Islam dilindungi dari segala bahaya yang mengancam, sekecil apa pun. Namun, sekarang pohon ini sudah kokoh dan tegak berdiri sehingga tak seorang pun dapat berkhayal mencerabutnya. Kekuatan apa pun tak lagi sanggup melakukannya.
Dipetiknya sehelai daun dari pohon itu tak lagi berpengaruh apa-apa.(2) Dalam menanggapi pandangan di atas perlu dinyatakan bahwa memang keimanan religius kaum Muslimin sekarang jauh lebih kokoh daripada di masa fajar Islam dan pohon Islam kini sudah sangat kekar. Namun, gejala itu jangan sampai meleburkan fakta bahwa di era teknologi dan komunikasi dewasa ini pihak lawan telah menguasai media massa: arus utama dan jauh lebih unggul dalam bidang konstruksi kebudayaan. Seolah penulis yang terhormat itu telah melupakan data konkret dan analisis objektifnya sendiri tatkala berpidato di Amerika:(3) Statement ini juga benar. Contohnya, benar bahwa negara Amerika mengklaim diri sebagai (negara) demokrasi liberal. ...Akan tetapi, jika praktik dan struktur negara ini dicermati, kalian akan tahu faktanya tidaklah demikian. Artinya, semua
P: 105
orang sangat berhati-hati agar tidak sampai dari mulutnya keluar kata-kata, atau dari penanya mengalir tulisan yang sekiranya bakal menamatkan riwayat profesi, kebebasan, dan kehormatannya.
Di Amerika, jika seseorang terlalu banyak bicara tentang (Zionis) Israel, apalagi sampai melawan hal-hal seperti itu, pada dasarnya ia sedang berhadapan dengan bahaya yang sangat serius. Jangankan rakyat biasa, kalangan akademisi sekalipun yang seyogianya berkewajiban menyampaikan pandangan-pandangan seputar itu, lebih-kurang beraktivitas dalam bingkai kebijakan-kebijakan resmi dan tidak berani melangkahkan kaki di luar garis merah. Seandainya segelintir orang seperti Chomsky bergerak di trek lain mereka setidaknya sudah berada di posisi aman dari gangguan dan ancaman orang lain.
Selain itu, orang biasa atau dosen-dosen umum mempersoalkan masalah ini, sudah tentu akan memenuhi banyak gangguan yang muncul di sekitarnya...
gangguan-gangguan itu dimunculkan agar tak ada lagi orang yang berani buka suara; agar tidak ada lagi kata-kata yang terdengar, dan tidak semua keberanian diperagakan. Keberanian terlebih dulu ditakar dan kata-kata dipola sedemikian rupa. Lebih khusus lagi keberadaan pelbagai media massa yang siang-malam memproduksi pemikiran dan menyuntikkannya dengan kisah tersendiri. Secara lahiriah, memang berlaku kebebasan berekspresi dan berpendapat, tetapi pendapat seperti apa? Rumi mengatakan, “Tak ada ikat tak ada belenggu, kita semua terikat, kenapa? Baik ikat maupun belenggu, semua bekerja, wahai Tuhan! Ribuan pengikat dan belenggu sedang membelit tangan dan kaki. Di dunia sekarang, negara-negara demokratis punya kekuasaan yang bahkan tak pernah diimpikan diktator-diktator dalam sejarah. Kita mengecam Jenghis Khan Mongol, Hitler, Nero, Attila, dan orang-orang seperti mereka yang berbuat zalim pada rakyat serta menguasai nyawa, harta, dan martabat mereka.
Kita mengira dunia kontemporer tidak seperti itu; alias rumah-rumah keadilan telah berdiri tegak dan pengadilan-pengadilan serta para hakim senantiasa menghakimi secara adil. ...Sudah tentu saya tidak mengingkari semua itu. Namun, kalian jangan lupa, sekarang ini kekuasaan hidup di tengah masyarakat dan rezim berkuasa yang bahkan tak pernah diimpikan orang-orang di masa silam. Mereka tak pernah membayangkan mampu menguasai rakyat dalam segala dimensi dan miliknya.
Mereka juga tak pernah membayangkan rakyat sampai tertawan seperti itu ...
Gerbang menuju ekspresi bebas adalah pemikiran bebas. Tapi apakah di negara-negara ini pikiran benar-benar bebas? Bagaimana mungkin orang-orang yang selama 24 jam menyimak siaran radio dan televisi serta melahap isi surat
P: 106
kabar mampu berpikir merdeka? Banjir data dan informasi telah meluap di benak mereka. Kalaupun mereka ingin mengekspresikan sesuatu maka data dan informasi itulah yang mereka ekspresikan. Masih untung jika data dan informasi yang mereka cerap itu memang berharga! Sebagian besar data dan informasi itu berkisar tentang aktor ini atau aktris itu yang bertingkah ini-itu: kawin dengan siapa, apa makanan favoritnya, apa model yang dipakai, ke mana ia berwisata... dan data lain yang nilainya rendah atau bahkan tidak berharga sama sekali.(1) Mencermati demikian dominasi dan serangan budaya Barat, mungkinkah rakyat diserahkan secara sukarela kepada koloni budaya semacam itu seraya mengatakan:
falsafah pidana hukum murtad di masa fajar Islam sudah tidak berlaku lagi di masa sekarang? Sungguh, apakah di masa sekarang, keluar dan murtadnya seseorang atau kelompok tertentu dari Islam sama sekali tidak memengaruhi keimanan kaum Muslimin? Apakah akar-akar penindasan agama dan keimanan rakyat sudah benar- benar kering dan rapuh? Hakikatnya Islam di masa sekarang identik dengan di masa Nabi Saw, sama- sama teraniaya di tangan musuh-musuhnya. Berbagai media massa dunia bukan saja merenggut kebebasan berpikir rakyat mereka sendiri melainkan juga dari kaum Muslimin sekaligus menindas keimanan religius mereka.
Oleh karena itu, sebagaimana diakui penulis di atas, setelah negara-negara adidaya berhasil menguasai rakyatnya lewat fasilitas media dan modus propagandis lalu melihat peluang serupa di negara Muslim, niscaya mereka akan mengganggu sistem negara itu dengan cara memperalat antek-anteknya di sana.
Perlu dicatat juga bahwa menurut Nabi Saw, melindungi masyarakat Islam merupakan tindakan mustahil kecuali dengan menjaga pemerintahan Islam. Ini tidak sebagaimana dibayangkan para juru bicara teori pemisahan agama dari politik; juga oleh sebagian orang yang berpikir naif bahwa masyarakat religius dan Muslim yang kuat sekaligus dinamis juga dapat dibangun tanpa pemerintahan agama. Jika demikian kenapa Nabi Saw harus sampai bersusah-payah mendirikan sistem politik; tidak puas hanya dengan memberi nasihat dan berpidato di depan masyarakat?! Dengan demikian, ada konsekuensi dari argumentasi yang dirumuskan penulis itu: bahwa di dunia sekarang ini pun, acapkali kemurtadan seseorang menyebabkan goncangan terhadap fondasi keimanan masyarakat, maka hukuman murtad-
P: 107
minimal sebagai hukum eksekutif negara-menjadi legitimate. Sebab dengan tetap eksisnya falsafah kemurtadan di masa Nabi Saw pada masa sekarang, tak ada alasan untuk menolaknya.
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa dalam pandangan Islam kemurtadan merupakan vonis bagi propaganda anti-ajaran niscaya agama, baik berupa praktik maupun teori. Berdasarkan falsafah kemurtadan dapat dikatakan bahwa hukuman murtad bukan dalam rangka memaksa seseorang menganut atau menanggalkan akidah tertentu. Pada dasarnya seseorang tak dapat dinyatakan murtad hanya karena berkeyakinan non-agama.
Dengan kata lain kemurtadan hanya dapat diklaim lewat pengungkapan keyakinan hati yang membahayakan masyarakat religius dan bertolak belakang dengan ketertiban umum serta etika sosial. Sebagaimana pelaksanaan pelbagai hukuman had lain, seperti untuk pencurian dan hukuman Islam lainnya, atau hukuman yang termaktub dalam undang-undang resmi berbagai negara, eksekusi hukuman murtad sama sekali tidak bertentangan dengan kebebasan berpikir dan berkeyakinan; melainkan bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan mengungkapkan keyakinan.
Di sejumlah sistem hukum dunia juga tidak berlaku kebebasan mutlak dalam mengungkapkan setiap keyakinan. Masing-masing sistem hukum itu menetapkan batas-batas tertentu bagi kebebasan berekspresi atau mengungkapkan keyakinan.
Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa tak satu pun negara di dunia ini yang mengakui kebebasan berekspresi secara absolut. Mereka telah menetapkan sejumlah batasan bagi kebebasan tersebut sesuai jenis ideologi dan tingkat konsistensinya terhadap prinsip moral.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bangsa Barat konon sangat memuja prinsip demokrasi, sekalipun di sana banyak juga kalangan yang menentangnya.
Jadi, demi mempertahankan prinsip-prinsip tersebut mereka merasa berhak menghancurkan bangsa lain. Oleh karena itu, pada kenyataannya, dalam sistem demokrasi—yang menentang hukum kemurtadan versi Islam sendiri terdapat sejenis larangan untuk memprovokasi sikap anti-prinsip dan doktrin yang diusung logika demokrasi. Kalaupun tidak mengakui larangan itu secara formal, namun pada praktiknya, mereka begitu komit terhadapnya.
Masih melekat dalam ingatan umat Islam bagaimana di sejumlah negara Barat jilbab Muslimah di perkantoran dan forum-forum publik dianggap sebagai aksi pemberontakan melawan asas-asas demokrasi. Sungguh tak dapat dibayangkan apa
P: 108
jadinya bila sekelompok perempuan Kristen di salah satu negara Barat tiba-tiba dan secara massal mengenakan busana lengkap Muslimah di tempat umum! Bila negara-negara yang mengklaim demokratis itu tak sanggup menerima fakta seorang Muslimah berjilbab sudah tentu mereka akan memandang negatif perbuatan kelompok perempuan tersebut dan menilainya sebagai tindakan merusak ketertiban umum masyarakat demokratis. Reaksi kalangan Barat ini dapat disebut dengan ‘hukuman atas kemurtadan modern' atau 'larangan keluar dari prinsip-prinsip demokrasi'.
Juga telah dikatakan sebelum ini, sistem kehidupan Barat-minimal secara praktis—bahkan tak sanggup menerima fakta provokasi anti-Kristen atau penentangan terhadap prinsip-prinsip ajaran Kristen. Bagi mereka sama saja apakah penentangan itu diekspresikan orang lain atau oleh warga negaranya sendiri.
Selain kasus jilbab, contoh kebrutalan lain dari sikap antitoleransi keagamaan bangsa Barat dapat disaksikan pula dalam aksi kekerasan polisi Amerika (FBI) yang membunuh 80 pengikut Branch Davidians secara massal. Perlakuan brutal itu dilindungi dewan peradilan Amerika. Insiden ini terjadi pada 19 April 1993 di daerah Waco yang terletak di propinsi Texas, Amerika Serikat. Sebanyak 80 pengikut Branch Davidians, termasuk David Koreshsang pemimpin, dikepung di sebuah hunian selama 51 hari oleh pihak kepolisian Amerika. Lantas mereka dibakar hidup-hidup dengan cara menembakkan gas air mata yang juga efektif untuk menyulut kebakaran. Di antara korban terdapat sejumlah perempuan dan 14 anak kecil!(1) Mayoritas media massa Barat, khususnya media Amerika Serikat, berusaha keras mempertahankan citra demokrasi Barat, juga polisi Amerika, dengan menyebarkan isu bahwa insiden itu sebagai kecelakaan yang masih diselidiki. Namun, pengacara yang membela korban insiden mendakwa penguasa Amerika dengan tuduhan pembunuhan tanpa dasar hukum. Menurut mereka jaksa pengadilan tidak netral.(2) Mengherankan sekali pengadilan AS menolak dakwaan korban yang selamat dari insiden ini dan menjatuhkan vonis yang menguntungkan pihak kepolisian Amerika.
P: 109
Alasannya aparat keamanan Amerika sama sekali tidak bersalah dalam insiden itu.
Sebaliknya mereka mendakwa para korban insiden itulah biang kerok kebakaran!(1) Padahal, tuduhan konspirasi untuk menutup-nutupi bukti kriminalitas ditujukan tepat ke sejumlah pejabat keamanan dan pengadilan Texas!(2) Namun mengingat kesalahan pejabat pengadilan dan polisi Amerika dalam menggunakan gas air mata yang berakibat kebakaran itu, tak seorang pun yang dihukum!(3)Padahal, dari sekian bukti yang ditemukan, kesalahan mereka dalam tragedi berdarah ini benar-benar gamblang dan valid.(4) Sebab tak satu pun orang merdeka dan bersikap adil akan setuju dengan perlakuan terhadap hunian penduduk yang dikepung polisi selama 51 hari. Kapan pun dapat terjadi bahaya serius; lalu, pada saat yang sama, tak satu pun antisipasi keamanan yang ditempuh aparat berwajib, seperti menyediakan fasilitas antikebakaran. Polisi malah hanya berpangku tangan menonton 80 orang tak bersalah (lelaki, perempuan, dan anak-anak) terpanggang hidup-hidup! Poin yang patut diperhatikan di sini; kelompok Branch Davidians meyakini dirinya hamba-hamba pilihan Tuhan untuk akhir zaman. Atas dasar itu pula mereka percaya Tuhan senantiasa mengutus nabi guna membimbing mereka.(5) David Koresh sangat menguasai kitab suci. Kata-katanya juga punya pengaruh besar di hati para pengikutnya. Dalam komunitas Kristen keyakinan ini terbilang bid'ah. Agaknya faktor utama yang memicu heboh kasus ini adalah keyakinan tersebut, kendati pihak kepolisian Amerika seolah menampilkan diri berselisih dengan mereka dalam kasus penimbunan senjata dan amunisi.
P: 110
Perlu diketahui berdasarkan pernyataan sejumlah penulis Barat, di Texas, untuk memiliki (membawa) senjata, seseorang tidak perlu mendaftarkannya secara hukum, tetapi cukup dengan membayar 30 Dolar AS kepada Kantor Alkohol, Tembako, Senjata Api, dan Bahan Peledak Amerika (ATF). Itulah sebabnya, masyarakat sangat gampang dan dengan biaya murah dapat mengakses senjata di negara bagian ini. Berdasarkan statistik jumlah korban terbunuh oleh senjata api di Texas lebih banyak dari jumlah korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas. (1) Oleh karena itu, tuduhan membawa senjata ilegal di kawasan yang begitu gampang mengeluarkan izin kepemilikannya tidak selayaknya direspon sedemikian keras dan dijatuhi hukuman (bunuh) semacam itu.
Dengan kata lain, tak satu pun negara dan sistem hukum di dunia, sejak dulu sampai sekarang, yang dapat mengklaim mengakui kebebasan berekspresi secara absolut. Negara-negara yang mengklaim demokratis dalam kondisi tertentu ternyata memberlakukan batas yang jauh lebih ketat bagi kebebasan berekspresi. Tentunya bentuk dan skala batasan itu sangat bergantung pada kecenderungan intelektual dan tingkat kepekaan masing-masing terhadap subjek tertentu. Umpamanya, di sejumlah negara Barat, segala bentuk kerusuhan (riot) umumnya ditindak secara tegas. Di Inggris, misalnya, kerusuhan dipandang sebagai kriminalitas dan mengakibatkan hukuman berat yang tidak dapat dielakkan.
Berdasarkan undang-undang Inggris, jika sekelompok individu berjumlah lebih dari 12 orang dan bertujuan sama telah menyulut aksi kekerasan atau berpotensi untuk itu, yang mengakibatkan masyarakat umum merasa terancam, mereka akan langsung diklaim penjahat. Sementara itu, orang yang hanya ikut-ikutan dalam kelompok itu, namun tidak sampai melakukan aksi kekerasan secara langsung, dianggap sebagai pembantu kejahatan.(2) Dalam undang-undang Inggris, untuk kerusuhan yang memenuhi kriteria tersebut, ditetapkan hukuman 10 tahun
P: 111
penjara, atau denda kontan tak terbatas, atau bahkan kedua-duanya.(1) Layak digarisbawahi, masih menurut undang-undang Inggris, untuk menyulut kerusuhan ‘tujuan bersama di antara para pelakunya tidak mesti tanpa dasar hukum. Andaipun itu atas dasar hukum, mereka tetap akan divonis sebagai pelaku kerusuhan dengan syarat-syarat yang lain.(2) Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Islam di Republik Islam Iran (RII), kendati tak ada tema tersendiri bagi kriminalitas kerusuhan, namun dari kumpulan pasal yang berkaitan dengan kerusuhan, dapat disimpulkan bahwa dari berbagai aspeknya, undang-undang RII lebih ringan dari undang-undang Inggris.
Contohnya, pada pasal 610 Undang-Undang Hukum Pidana RII disebutkan:
Kapan saja dua orang atau lebih berkumpul atau bersekongkol untuk melakukan kriminalitas antikeamanan internal atau eksternal negara, atau untuk mempersiapkan sarana dan prasarana kriminalitas itu, jika mereka tidak layak menyandang sebutan muhârib, mereka akan dihukum penjara dua sampai lima tahun.
Berdasarkan pasal 183 Undang-Undang Hukum Pidana RII, salah satu syarat penetapan predikat muhârib yang memerangi' bagi seseorang adalah mengangkat senjata. Berdasarkan catatan ini, dapat dikatakan bahwa umumnya, oknum kerusuhan yang beraksi tanpa menggunakan senjata, baik senjata tajam maupun senjata api, tercakup dalam pasal 610 Undang-Undang Hukum Pidana. Dapat dipastikan bahwa undang-undang Hukum Pidana RII bagi para oposan politiknya, selama tidak mengangkat senjata, jauh lebih ringan dari undang-undang Inggris, karena:
Pertama, dalam hukum RII, berdasarkan pasal 610, telah ditetapkan hukuman penjara dua sampai lima tahun bagi oknum kerusuhan, sedangkan dalam aturan hukum Inggris, sebagaimana telah disebutkan, vonis mereka adalah 10 tahun penjara.
Kedua, dalam aturan hukum Inggris, selain 10 tahun hukuman penjara bagi oknum kerusuhan, telah ditetapkan pula hukuman denda kontan tanpa batas”. Yang justru menarik, dalam undang-undang Inggris, jarang sekali terjadi kriminalitas yang dihukumi dengan 'denda kontan tanpa batas', sedangkan dalam aturan hukum RII, tidak ada hukuman denda semacam itu.
P: 112
Ketiga, menurut aturan hukum RII, hendaknya maksud atau motif oknum kerusuhan adalah ‘konspirasi melakukan kejahatan antikeamanan internal dan eksternal negara'. Akan tetapi menurut aturan hukum Inggris, seandainya pun tujuan bersama oknum kerusuhan itu bersifat ‘atas dasar hukum’, maka tetap saja selama kerusuhan itu menyulut aksi kekerasan atau berpotensi ke arah itu, kerusuhan itu dinyatakan telah sebagai kriminalitas.
Dari seluruh uraian di atas dapat ditarik kesimpulan betapa sejumlah negara Barat yang mengklaim demokratis, seperti Inggris, melangkah terlalu jauh dan keras dalam menindak secara hukum segala bentuk kerusuhan dan kriminalitas lain yang mengusik ketertiban umum dan keamanan masyarakat. Mereka juga membatasi kebebasan berekspresi dengan alasan mengancam ketertiban umum'.
Batas kebebasan berekspresi tidak hanya dalam contoh-contoh tersebut. Masih banyak contoh lain yang layak dikemukakan seputar pembatasan kebebasan berekspresi di Barat; misalnya, larangan pornografi.(1) Yaman Akdinez, seorang pakar hukum melakukan penelitian untuk disertasi doktoralnya yang bertajuk 'Internet dan Kebebasan Berekspresi', di fakultas hukum Universitas Leeds, Inggris.(2) Dalam tulisannya yang mengupas larangan pornografi berdasarkan aturan hukum Barat, seperti Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat, dia menelaah berbagai arsip hukum pengadilan di bidang ini. Menurut sebuah arsip yang ditelitinya, pengadilan federal Amerika di Memphis menjatuhkan hukuman berat terhadap pasangan suami-istri asal AS karena telah menyebarkan hal-hal yang bertentangan dengan etika umum via internet. Atas dasar itu, Robert Thomas dijatuhi hukuman 37 bulan penjara dan Carleen Thomas 30 bulan penjara yang sama. Di samping itu, perangkat komputer mereka juga disita pemerintah federal Amerika. Pengadilan tingkat banding di sana juga mendukung hukuman ini.(3)
Sekarang pun, di kebanyakan negara Barat, termasuk yang mengadopsi sistem Common Law, moralitas dan agama hanya berperan sekunder. Secara keseluruhan ruang lingkupnya juga terpisah dari ranah hukum. Contohnya, dalam aturan hukum Amerika Serikat dan berdasarkan komplemen pertama undang-undang tulisan cabul yang bertentangan dengan
P: 113
dasarnya, Kongres tidak berhak menetapkan undang-undang yang menjadikan agama tertentu mendapat dukungan atau sebaliknya menjadikan agama tertentu terhalang dari kebebasannya.(1) Kendati demikian, dalam sistem Common Law sendiri, dapat dijumpai adanya akar-akar pengaruh agama terhadap aturan hukum. Di dalamnya tertera sebuah kaidah yang karenanya para hakim harus mengikuti prinsip-prinsip yang dibubuhkan dalam semua keputusan yuridis sebelumnya. Sebelum AS merdeka, seorang pakar hukum Inggris terkemuka bernama Black Stone menjustifikasi kaidah otentisitas latar belakang dengan cara yang menarik. Penjelasannya aparat pengadilan hanya bertugas menjelaskan hak-hak dan tidak berwenang menetapkan undang-undang. Tegasnya, dia harus menghormati semua yang telah diputuskan para hakim sebelumnya. Kendati demikian, Black Stone mengecualikan satu kondisi dari kaidah ini: jika vonis yang dijatuhkan secara jelas bertolak belakang dengan ‘moralitas dan undang-undang Ilahi’. (2) Berdasarkan pengaruh agama terhadap hukum ini, undang-undang yang berkaitan dengan blasphemy masih diapresiasi nilai hukum di Inggris. Padahal, belakangan banyak pihak berupaya menghapus undang-undang tersebut.(3) Menurut mereka, di samping fakta bahwa undang-undang yang tidak melindungi agama-agama lain ini tidak logis, pada dasarnya agama Kristen tidak perlu perlindungan hukum.(4) Argumentasi ini otomatis menjadi bukti paling konkret bahwa mengingat negara-negara Barat tak punya ketergantungan pada agama, banyak sekali upaya untuk menghapus undang-undang tersebut. Itu bukan lantaran adanya penghormatan terhadap kebebasan berekspresi. Artinya, tak adanya penekanan atas undang-undang ini dikategorikan negatif lantaran ketiadaan subjeknya.
Kapanpun propaganda anti-Kristen, atau penistaan simbol sakral agama, dianggap benar-benar—dan secara serius—bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial, niscaya negara-negara Barat akan langsung memaksakan delik pidana atas kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama. Mengingat negara-negara Barat dewasa ini aktif penyokong sekularisme, baik secara terbuka maupun diam-diam.
Kebanyakan mereka menganggap propaganda anti-agama seirama dan tidak
P: 114
bertentangan dengan tujuan mereka. Sebagian pakar hukum Barat berpendapat kalaupun melindungi semua agama, undang-undang ini tetap bertolak belakang dengan konvensi Eropa tentang hak asasi manusia.(1) Sejumlah pakar hukum Inggris melakukan pembelaan atas undang-undang ini seraya menjelaskan falsafah pidana blasphemy. Menurut mereka, penistaan simbol sakral agama dimaksudkan untuk melukai perasaan umat manusia, secara terbuka menghina gereja resmi, atau menyebarkan hal-hal asusila. Hal itu terbilang kriminalitas.(2)Dengan justifikasi ini, mereka berniat menjelaskan falsafah kriminalitas tersebut, yaitu to wound the feelings of mankind (melukai perasaan umat manusia) dan to promote immorality (menyebarkan hal-hal tak etis) yang semuanya berkorelasi dengan etika sosial.
Beberapa pakar hukum Barat menganggap kriminalitas ini sebagai kondisi yang berpotensi mengobrak-abrik struktur kehidupan sosial.(3) Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, saat memvonis penistaan simbol sakral agama sebagai tindak kejahatan, pihak pengadilan AS sendiri beralasan karena hal itu melawan ketertiban umum dan etika sosial.(4) Namun, rangkaian justifikasi untuk memidanakan penistaan simbol sakral agama ini tidak begitu berarti. Alasannya, pertama: masyarakat Barat sekarang ini pun pada umumnya tak punya ikatan spiritual yang cukup kokoh dengan ajaran Kristen. Kedua, kontras dengan Islam, agama Kristen tak lagi memiliki legitimasi dari segi teks keagamaan dan sumber wahyu, khususnya di kalangan penganutnya sendiri. Di sisi lain, teks-teks ajaran Kristen sekarang ini lebih banyak mengemukakan bimbingan moral yang telah terdistorsi sedemikian rupa dari pada undang-undang yuridis. Bahkan menurut pengakuan para pemikir Barat, hukum gereja bukanlah produk wahyu.(5) Kendati demikian, prinsip memperkarakan secara pidana penistaan simbol sakral agama dan pembelaan undang-undang blasphemy dalam undang-undang Inggris, patut diapresiasi, khususnya dari aspek perlindungan terhadap etika sosial.
Hanya dari aspek nepotisnya yang tidak melindungi agama-agama samawi non-
P: 115
Kristen, undang-undang ini dianggap cacat dan mendapat gugatan dari kaum Muslimin juga ari sejumlah pakar hukum Barat sendiri. Berbeda halnya dengan undang-undang Islam yang telah merasuki relung kehidupan masyarakat Islam.
Bukan saja telah menyerap karakter moral yang begitu pekat, melainkan pada hakikatnya, undang-undang ini telah menjadi pembentuk hukum masyarakat tersebut, sekaligus berperan penting dalam membangun dan menentukan sistem hukum negara. Di samping itu undang-undang Islam juga menjadi variabel entukan dan khas bagi ketertiban umum di tengah masyarakat Muslim, dan pelanggaran terhadapnya dipandang kontra etika sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penistaan simbol sakral di sejumlah masyarakat Kristen saja dapat melukai perasaan publik serta mengusik tatanan sosialnya, lantas bagaimana dengan penistaan simbol sakral di tengah masyarakat Islam yang jelas-jelas tidak dapat dibenarkan berdasarkan falsafah pidananya. Padahal di negara-negara Muslim, sumber ajaran Islam (Al-Qur'an dan Sunnah) jauh lebih diapresiasi kaum Muslimin ketimbang sumber ajaran Kristen (Alkitab) oleh para pengikutnya. Tuntunan-tuntunan Islam juga punya pengaruh dominan dalam konteks hukum di negara Muslim ketimbang tuntunan ajaran Kristen di negaranya. Para pemimpin Islam khususnya Nabi Muhammad Saw jauh lebih dicintai dan disakralkan umat Islam daripada pemimpin Kristen di kalangan pengikutnya sendiri. Bahkan, berdasarkan ajaran Islam, kaum Muslimin juga mewajibkan dirinya menghormati dan menyucikan nabi-nabi Ilahi lain.
Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa memperkarakan secara pidana penistaan simbol sakral agama, seperti kemurtadan, karena berbahaya bagi ketertiban umum dan moral publik, sepenuhnya sejalan dengan hukum humaniter internasional.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, berdasarkan laporan khusus perihal kebebasan berpendapat dan berekspresi, artikel 3 pasal 19 Perjanjian Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, telah membatasi kebebasan berekspresi demi melindungi etika sosial. Itulah sebabnya pihak pemerintah berhak campur tangan dalam masalah kebebasan berekspresi dan membatasi seperlunya, dalam kerangka ketetapan konstitusional, demi melindungi etika sosial dan moral publik.(1) Dalam laporan itu, blasphemy atau penistaan simbol sakral agama telah diputuskan sebagai fakta subversif vis-a-vis etika sosial. Kebebasan bereskpresi layak dibatasi. Kendati pada praktiknya, negara-negara yang secara konstitusional
P: 116
menggunakan hak ini berdasarkan undang-undang resminya, senantiasa digugat lembaga-lembaga internasional hak asasi manusia.(1) Kesimpulan umumnya, falsafah pidana atas penistaan simbol sakral dalam konteks hukum Islam ialah melindungi ketertiban umum dan etika sosial, serta menghormati perasaan publik pengikut agama-agama samawi. Filsafat hukum ini juga maktub dalam Common Law. Namun pada saat yang sama, para pengikut Islam-seraya mengingat nilai sumber ajarannya serta keterikatan yang erat dengan aturan agama—meyakini kesakralan dan kesucian khusus para nabi dan tokoh-tokoh agama, khususnya Nabi Muhammad Saw. Kenyataannya, mereka memandang penistaan para nabi atau tokoh agama identik dengan penistaan terhadap semua pengikut agama samawi.
Merujuk penjelasan seputar falsafah status penistaan simbol sakral sebagai kriminalitas dapat dipastikan bahwa memperkarakan secara pidana kasus tersebut, khususnya di tengah masyarakat Islam sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Malah sejalan dengan butir 3 pasal 19 Perjanjian Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (bahwa kebebasan berekspresi layak dibatasi sedemikian rupa demi melindungi ‘etika sosial').
Dalam konteks ini terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa memperkarakan secara pidana penistaan simbol sakral agama bertentangan dengan kebebasan berekspresi, bahkan kebebasan beragama.(2) Menanggapi pendapat ini, perlu dikatakan bahwa jika sebagian negara, seperti AS mengakomodasi kebebasan beragama dalam undang-undang dasarnya, itu berarti setiap orang bebas memilih agama yang diminatinya. Namun, kebebasan itu tidak sampai memberinya hak untuk melecehkan keyakinan dan agama yang tidak dipilihnya.
Secara prinsip, penistaan bukanlah ekspresi, melainkan tindak kriminal. Karena menurut semua sistem hukum yang secara formal mengakui kebebasan berekspresi, penistaan terhadap yang lain adalah terlarang. Penistaan ini dapat ditujukan kepada individu atau juga keimanannya. Objek ini jelas relatif. Maksudnya, berbeda-beda sesuai adat dan budaya setempat. Oleh karena itu, di negara Islam
P: 117
yang penduduknya punya keterikatan yang sangat erat dengan agama dan simbol sakralnya, kemurtadan yang senyatanya propaganda anti-agama jelas bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial.
Atas dasar itu falsafah pidana penistaan simbol sakral agama menurut hukum Islam tak lain adalah subversi terhadap ketertiban umum dan etika sosial. Oleh karena itu dalam masyarakat beragama, terlebih yang hidup di bawah pemerintahan agama, mengingat opini para pengikut agama samawi berkaitan sangat erat dengan ihwal sakral dan para pemimpin agama. Selain status mereka sebagai figur personal juga figur hukum-bagaimana mungkin penistaan simbol sakral dibiarkan begitu saja? Padahal, dalam masyarakat yang bernaung di bawah rezim sekuler sekalipun penistaan prinsip-prinsip sosial yang dapat mengusik ketertiban umum atau etika sosial secara hukum tidak diperbolehkan minimal secara praktis dipandang ilegal.
Banyak contoh fakta di atas dapat dengan mudah dijumpai pada sikap negara adidaya barat dalam memperlakukan negara-negara dunia ketiga, dan khususnya negara Islam. Kalangan liberal di dunia tentu masih ingat bagaimana negara-negara Barat dalam konteks pemilu bebas di Aljazair—yang akhirnya dimenangkan kelompok Islam-menggunakan kekerasan untuk melawan suara rakyat dengan alasan: membela kebebasan dan demokrasi, minimal mendukung pembungkaman massal suara publik! Belakangan, seorang pejabat tinggi Amerika secara resmi menyatakan, “Kami tidak akan membiarkan rakyat Irak mendirikan pemerintahan seperti pemerintahan Republik Islam Iran! Inilah nilai demokrasi Barat! Oleh karena itu, menurut demokrasi ala Amerika, rakyat Irak hanya berhak menuntut sesuatu yang diinginkan AS untuk masa depannya!
1. Berdasarkan pembahasan sebelumnya seputar definisi, kerangka, kondisi, dan syarat-syarat kemurtadan dapat disimpulkan bahwa, makna hakiki dari kemurtadan adalah ekspresi pengingkaran terhadap agama dan propaganda anti-agama dengan sikap keras kepala (“inâd) dan motif permusuhan, bukan didorong argumentasi dan logika, atau dipicu kerancuan dan kekeliruan intelektual. Oleh karena itu, dapat dikatakan falsafah kemurtadan adalah propaganda anti-agama dan selanjutnya ancaman bagi ketertiban umum dan etika sosial masyarakat Islam.
Menurut sejumlah pakar Muslim, jalan untuk mencapai tujuan syariat adalah pembelaan terhadap lima prinsip yang populer disebut al-darâriyât
P: 118
al-khams: agama, nyawa, akal, keturunan, dan harta manusia. Menurut mereka, telah tersedia mekanisme tertentu untuk melindungi masing- masing prinsip tersebut. Adapun cara melindungi agama adalah “jihad' dan ‘hukuman kemurtadan'.
Dalam masyarakat religius khususnya, manakala pemerintah mepunyai komitmen yang sama dengan khalayak terhadap hukum-hukum agama, propaganda anti-agama akan merusak ketertiban dan etika sosial. Itulah mengapa pemerintah, juga individu dalam masyarakat, berkewajiban melindungi eksistensi agama.
Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa memperkarakan kemurtadan secara pidana, dengan alasan bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial di negara yang menetapkan kemurtadan sebagai delik pidana, khususnya negara Islam, sesuai dengan hak asasi manusia dalam hukum internasional. Menurut laporan khusus perihal kebebasan berpendapat dan berekspresi, artikel ke-3 pasal ke-19 mengenai hak-hak sipil dan politik, kebebasan berekspresi dibatasi sedemikian rupa guna melindungi etika sosial. Itulah sebabnya, pihak pemerintah berhak intervensi dalam hal kebebasan berekspresi dan membatasi seperlunya dalam bingkai konstitusi demi melindungi etika sosial.
Laporan khusus hak-hak asasi manusia juga menekankan bahwa etika sosial merupakan konsep yang luas dan berbeda-beda, sesuai prinsip undang- undang dan pemahaman domestik setiap negara, yang diakomodasi dari berbagai latar politik dan budaya nasional.
2.Selain itu, pasal 29 Deklarasi Hak Asasi Manusia juga menegaskan peran tuntutan etis dan ketertiban umum dalam membatasi kebebasan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa kemurtadan merupakan hukum eksekutif (al-hukm al-hukûmatî) negara yang berubah-ubah sesuai perubahan ruang dan waktu. Mengingat falsafah pidana kemurtadan dalam pandangan Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, persoalan apakah secara mendasar kemurtadan itu hukum eksekutif ataukah hukum primer (al-hukm al-awwalî) syariat, pada akhirnya menjadikan kebijakan pemerintah Islam. Berdasarkan prinsip maslahat, dapat memasuki ruang lingkup ini (sebagaimana hukum-hukum primer lain yang dalam kondisi tertentu, mendahulukan hukum eksekutif atas hukum primer).
Atas dasar ini, termasuk pula ihwal kemurtadan, selama falsafah hukumnya masih berlaku, hukumannya juga tetap ada. Hanya ketika
P: 119
memandang pelaksanaan hukuman murtad benar-benar bertolak belakang dengan maslahat Islam dan Muslimin, pemerintah Islam berhak mengurungkannya selama maslahat itu masih ada.
3. Undang-undang yang berkaitan dengan blasphemy masih diapresiasi nilai hukum di Inggris. Padahal, belakangan, banyak pihak berupaya menghapus undang-undang tersebut. Menurut mereka, di samping fakta bahwa undang-undang yang tidak melindungi agama-agama lain ini tidak logis, pada dasarnya agama Kristen tidak perlu perlindungan hukum.
Argumentasi ini otomatis menjadi bukti paling konkret, bahwa mengingat negara-negara Barat tak punya ketergantungan pada agama.
Dengan demikian banyak sekali upaya untuk menghapus undang- undang tersebut. Jadi, itu bukan lantaran adanya penghormatan terhadap kebebasan berekspresi. Dengan kata lain, tidak adanya penekanan atas undang-undang ini dikategorikan negatif lantaran ketiadaan subjeknya.
Karenanya, kapan pun propaganda anti-Kristen, atau penistaan simbol sakral agama, dianggap benar-benar—dan secara serius—bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial, niscaya negara-negara Barat akan langsung memaksakan delik pidana atas kemurtadan dan penistaan simbol sakral agama. Namun, mengingat negara-negara Barat dewasa ini aktif penyokong sekularisme, baik secara terbuka maupun diam-diam, kebanyakan mereka menganggap propaganda anti-agama seirama dan tidak bertentangan dengan tujuan mereka.
Sejumlah besar pakar hukum Inggris melakukan pembelaan atas undang-undang ini seraya menjelaskan falsafah pidana blasphemy.
Menurut mereka, jika penistaan simbol sakral agama dimaksudkan untuk melukai perasaan umat manusia, secara terbuka menghina gereja resmi, atau menyebarkan hal-hal asusila, akan termasuk kriminalitas. Sebenarnya, dengan justifikasi ini, mereka berniat menjelaskan falsafah kriminalitas tersebut, yaitu to wound the feelings of mankind(melukai perasaan umat manusia) dan to promote immorality(menyebarkan hal-hal tak etis) yang semuanya berkorelasi dengan etika sosial.
Rangkaian justifikasi untuk memidanakan penistaan simbol sakral agama ini tidak begitu berarti. Alasannya, pertama: masyarakat Barat sekarang ini pun pada umumnya tak punya ikatan spiritual yang cukup kokoh dengan ajaran Kristen. Kedua, kontras dengan Islam, agama Kristen tak lagi memiliki legitimasi dari segi teks keagamaan dan sumber wahyu,
P: 120
khususnya di kalangan penganutnya sendiri. Di sisi lain, teks-teks ajaran Kristen sekarang ini lebih banyak mengemukakan bimbingan moral yang telah terdistorsi sedemikian rupa daripada undang-undang yuridis.
Bahkan, menurut pengakuan para pemikir Barat, hukum gereja bukanlah produk wahyu. Berbeda halnya dengan undang-undang Islam yang telah merasuki relung kehidupan masyarakat Islam. Jadinya, bukan saja telah menyerap karakter moral yang begitu pekat, melainkan pada hakikatnya, undang-undang ini telah menjadi pembentuk hukum masyarakat tersebut, sekaligus berperan penting dalam membangun dan menentukan sistem hukum negaranya. Di samping itu, undang-undang Islam juga menjadi variabel menentukan dan khas bagi ketertiban umum di tengah masyarakat Muslim Secara prinsip, penistaan bukanlah ekspresi, melainkan tindak kriminal.
Karena, menurut semua sistem hukum yang secara formal mengakui kebebasan berekspresi, penistaan terhadap yang lain adalah tindakan terlarang. Penistaan ini dapat ditujukan kepada individu atau juga keimanannya. Objek ini jelas relatif. Maksudnya, berbeda-beda sesuai adat dan budaya setempat. Oleh karena itu, di negara Islam yang penduduknya punya keterikatan yang sangat erat dengan agama dan simbol sakralnya, kemurtadan yang senyatanya propaganda anti-agama jelas bertentangan dengan ketertiban umum dan etika sosial.
Bahkan, dalam masyarakat yang bernaung di bawah rezim demokratis sekalipun, penistaan prinsip-prinsip sosial yang dapat mengusik ketertiban umum atau etika sosial secara hukum tidak diperbolehkan minimal secara praktis dipandang ilegal. Banyak contoh fakta di atas dapat dengan mudah dijumpai pada sikap negara adidaya barat dalam memperlakukan negara-negara dunia ketiga, dan khususnya negara Islam.
P: 121
P: 122
Al-Qur'an Nahj Al-Balâghah Literatur Parsi David, Rene: Nezdomho-ye Buzurg-e Huqûqi-e Mu'osher, terj. Dr. Ashuri, Safa'i and Iraqi, Markaz-e Nasyr-e Doneshgohi, Tehran, cet. 3, 1375 HS.
Hashimi, Sayid Muhammad: Huqûq-e Asosi-e Jumhuri-e Eslomi-e Iron, jld. 2, Mujtama'-e Omuzesy-e Oli-e Qom, cet. 2, musim semi, 1375 HS.
Hashimi, Sayid Husain: Majma'-e Tasykhish-e Mashlahat (Tahlil-e Mabo-ni-e Feqhi va Huqûqi), Markaz-e Mutole ot va Pazhuhesyho-ye Farhangi-e Hauzeh-e Elmiyyeh, Qom, cet. 1, 1381 HS.
Jaʼfari Langgarudi, Muhammad Jaʼfar: Terminologi-e Huquq, Ganj-e Danesy, Tehran, cet. 8, 1376 Hs.
Kadiwar, Muhsin: “Ozodi-e `Aqideh va Madzhab dar Eslom va Asnod-e Huqûq-e Basyar”, Majmu’eh-e Maqolot-e Hamoyesy-e Beinal Melali-e Huquq-e Basyar va Goftegu-ye Tamaddunho, Moasseseh-e Entesyorot-e Doneshgoh-e Mufid, cet. 1, 1380 HS.
Soroush, Muhammad: "Oyo Ertedod Kaifar-e Hadd Dorad?”, majalah Hukûmat-e Eslomi, vol. 19.
Soroush, Abdulkarim: “Ozodi-e Bayon”, bulanan Oftob, vol. 24, Farvar-din, 1382 HS.
__: “Ozodi-e Bayon: Haqq-e Ezdhor-e Nazdar va Ozodi-e `Aqideh”, dalam bulanan Oftob, vol. 25, Ordibehesht, 1382 HS.
Tunc, André: Huqûq-e Eyolot-e Muttahedeh-e Omriko, terj. S. Hasan Safa’i, Entesyorot-e Doneshgoh-e Tehran, cet. 4, musim panas, 1374 HS.
P: 123
Abi (Fadhil), Zainudin: Kasyf Al-Rumûz fi Syarh Al-Mukhtashar Al-Nafi', Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, cet. 3, Qom, 1417 H.
Alu Bahril Ulum, Sayid Muhammad Taqi: Bulghat Al-Faqih, Maktabah Al-Shadiq, Tehran, cet. 4, 1403 H.
Amili (Syahid Awal), Abu Abdillah Muhammad bin Makki: Al-Durûs Al-Syar'iyah, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, 1412 H.
_ : Al-Qawa'id wa Al-Fawâ’id, Maktabah Al-Mufid, Qom.
_ : Al-Lumʻah Al-Dimisyqiyah, Dar Al-Fikr, Qom, cet. 1, 1411 H.
Amili, Muhammad bin Hasan Hur: Tafshîl Wasâ'il Al-Syi'ah ilâ Tahshil Maså'il Al- Syariah, (20 jilid) Dar Ihya' Al-Turats Al-Arabi, Bairut.
_ : Waså'il Al-Syiah ilâ Tahshil Masá’il Al-Syariah, (30 jilid) Muassasah Alu Al-Albait, Qom, cet. 2, 1414 H.
Anshari, Syaikh Murtadha: Farấ'id Al-Ushủl, Majma' Al-Fikr Al-Islami, cet. 2, Qom, 1415 H.
Ardabili (Muqaddas), Ahmad: Majma' Al-Fâ'idah wa Al-Burhân Fî Syarh Irsyad Al- Adzhân, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, cet. 1, Qom, 1416 H.
Bahrani, Syaikh Yusuf: Al-Hadâ'iq Al-Nadhirah fi Ahkâm Al-'Itrat Al-Thâhirah, diteliti oleh Muhammad Taqi Irawani, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom.
Dailami (Sayyar), Abu Hamzah bin Abdulaziz: Al-Marâsim Al-'Alawiyah Fî Al- Ahkâm Al-Nabawiyah, Muawenate Farhanggie Majma’e Jahanie Ahle Bait, Qom, 1414 H.
Hakim, Sayid Muhsin: Mustamsak Al-'Urwah, Kitabkhanehe Ayatullah Mar’asyi, Qom, 1404 H.
Halabi, Taqiudin Abu Shalah: Al-Kâfi fi Al-Fiqh, diteliti Ridha Ustadi.
Hilli (Allamah), Hasan bin Yusuf: Tahrîr Al-Ahkâm Al-Syar'iyah ‘alâ Madzhab Al- Imâmiyyah, Muassasah Al Al-Bait, cetakan batu.
_ : Tadzkirat Al-Fuqahở” (Th. J.), Muassasah Al Al-Bait li Ihya' Al-Turats, Qom, cet. 1, 1414 H.
_ : Qawa'id Al-Ahkâm fi Maʼrifat Al-Halâl wa Al-Harâm, Muassasah Al- Nasyr Al-Islami, Qom, cet. 1, 1413 H.
: Muntahà Al-Mathlab, Nasyre Ahmad, Tabriz, 1333.
_ : Irsyad Al-Adzhân ilâ Ahkâm Al-Îmân, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, cet.1, 1410 H.
_: Mukhtalaf Al-Syi'ah fi Ahkâm Al-Syariah, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami,
P: 124
Qom, cet. 1, 1412 H.
Hilli (Fakhrul Muhaqiqin), Abu Thalib Muhammad bin Hasan: ſdhâh Al-Fawâ'id fi Syarh Isykâlât Al-Qawâʻid, Muassasah Ismailiyan, Qom, cet. 1, 1389 H.
Hilli (Muhaqiq), Syaikh Ja'far: Syarâi" Al-Islâm fi Masâ'il Al-Halâl wa Al-Harâm, Entesyorot-e Esteqlol, Tehran, cet. 2, 1403 H.
Ibnu Idris Hilli, Abu Ja'far Muhammad bin Mansur: Kitâb Al-Sarâ'ir Al-Hâwî li Tahrir Al-Fatâwî, Intisyarat Jami'ah Mudarrisin, Qom, cet. 2, 1410 H.
Ibnu Barraj, Abdulaziz: Al-Muhadzdzab, Entesyorot-e Jomi'eh Mudarrisin, Qom, 1406 H.
Ibnu Hamzah Thusi, Abu Ja'far: Al-Wasilah ilâ Nayl Al-Fadhilah, Maktabah Ayatullah Al-Mar‘asyi, Qom, cet. 1, 1408 H.
Ibnu Zuhrah, Abu Makarim: Ghunyat Al-Nazů“ ilâ 'Ilmai Al-Ushủl wa Al-Furû', Muassasah Al-Imam Al-Shadiq as, cet.1, Qom, 1417 H.
Ibnu Fahad Hilli, Jamaludin Ahmad bin Muhammad: Al-Muhadzdzab Al-Bâri' fi Syarh Al-Mukhtashar Al-Nafi", Intisyarat Jami'ah Mudarrisin, Qom, 1413 H.
Hamadani, Aqha Ridha: Mishbâh Al-Faqih, Maktabah Al-Shadr.
Isfahani, Muhammad Husain: Al-Fushủl Al-Ghariwiyah, Dar Ihya' Al-Ulum Al- Islamiyah, Qom, 1404 H.
Isfahani (Fadhil Hindi), Bahaudin Muhammad bin Hasan: Kasyf Al-Litsâm wa Al-Ibhâm 'an Kitâb Qawa'id Al-Ahkâm, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, cet. 1, Qom, 1416 H.
_ : Kitâb Al-Thahârah, Muassasah Alu Al-Bait, Qom, tanpa tahun.
Jab’i Amili, Zainudin (Syahid Tsani): Masâlik Al-Afhâm fi Syarh Syarâ'i' Al-Islâm, Intisyarat Bashirati, Qom.
__: Al-Rawdhat Al-Bahiyah fi Syarh Al-Lumʻah Al-Dimisyqiyah, Dar Al-Hadi li Al-Mathbu’at, Qom, 1403 H.
Karaki (Muhammad Tsani), Ali bin Husain: JâmiAl-Maqashid fi Syarh Al-Qawa'id, Muassasah Al Al-Bait as li Ihya' Al-Turats, Qom, cet. 1, 1408 H.
: Raså'il Al-Karakî, Maktabah Ayatullah Mar‘asyi, Qom, cet. 1, 1409 H.
Kasyif Ghitha, Syaikh Ja'far: Kasyf Al-Ghithâ’ ‘an Mubhamât Syariat Al-Gharra, Intisyarat Mahdawi, Isfahan.
Khomeini (Imam ra.), Sayid Ruhullah: Tahrîr Al-Wasîlah, Entesyorot-e Eftimod, cet. 2, 1403 H.
_ : Kitâb Al-Thahârah, Muassasah Isma'iliyan, Qom, 1410 H.
Khurasani, Muhammad Kazdim: Kifayat Al-Ushủl, Muassasah Al Al-Bait li Ihya' Al-Turats.
P: 125
Khu’i, Sayid Abul Qasim: Kitâb Al-Thahârah, Dar Al-Hadi, Qom, cet. 3, 1410 H.
_ : Mabânî Takmilat Al-Minhâj, Dar Al-Hadi, Qom, 1407 H.
_: Muhadharât fi Al-Ushûl, Ansharian, Qom, cet. 4, 1417 H.
Khunsari (Muhaqiq), Sayid Ahmad: Jâmi' Al-Madârik fi Syarh Al-Mukhtashar Al- Nåfi, Maktabah Al-Shaduq, Tehran, cet. 2, 1355 Hs.
Khunsari (Muhaqiq), Jamaludin Muhammad: Masyâriq Al-Syum ûs, Muassasah Al Al-Bait as.
Kulaini, Ya'qub: Ushûl Kâfi, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Tehran, 1365 Hs.
Mazandarani, Maula Muhammad Shaleh: Syarh Ushủl Al-Kafi, dengan catatan kaki Mirza Abu Hasan Sya’rani.
Mufid (Syaikh), Muhammad bin Nu'man: Al-Amâlî, Intisyarat Jami'ah Mudarrisin.
_: Al-Muqni'ah, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, cet. 4, Qom, 1417 H.
: Al-I'tiqâdât, Dar Al-Mufid, cet. 2, 1414 H.
Musawi Bujnurdi, Sayid Hasan: Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah, Muasseseh Mathbuati Ismailiyan, Qom, cet. 2, 1371 Hs.
Musawi Baghdadi (Alamul Huda), Sayid Murtadha: Al-Intishâr, Muassasah Al- Nasyr Al-Islami, Qom, 1415 H.
Musawi Gulpaigani, Sayid Muhammad Ridha: Al-Durr Al-Mandhûd fi Ahkâm Al- Hudúd, keterangan Ali Karimi Jahrumi, Dar Al-Qur'an Al-Karim, Qom, cet. 1, 1412 H.
_. Taqrîrât Al-Hudúd wa Al-Ta zîrât, cet. batu.
. Natâ’ij Al-Afkâr, Dar Al-Qur'an Al-Karim, Qom, cet. 1, 1413 H.
Najafi, Syaikh Muhammad Hasan: Jawâhir Al-Kalâm fi Syarh Syarâi“ Al-Islâm, Dar Ihya' Al-Turats Al-Arabi, cet. 7, Bairut, 1981 M.
Naraqi, Ahmad. Awa'id Al-Ayyâm, Maktabeh-e Bashirati, Qom, cet. 3, 1408 H.
Nuri, Mirza Husain: Mustadrak Al-Waså'il wa Mustanbath Al-Masá’il, Muassasah Al Al-Bait li Ihya' Al-Turats, cet. 1, Qom.
Qumi Sabzawari, Ali bin Muhammad: Jâmi' Al-Khilaf wa Al-Wifâq, Pasdar-e Eslom, Qom, cet. 1.
Raghib Isfahani, Abu Qasim Husain bin Muhammad: Al-Mufradât Fi Gharîb Al- Qur'ân, Daftar-e Nasyr-e Ketob, cet 2, 1404 H.
Sabzawari, Mulla Hadi. Syarh Asmå Al-Husna, Maktabah Bashirati.
Sayuri Hilli, Miqdad bin Abdullah. Nadhd Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, Maktabah Ayathullah Al-Mar'asyi, Qom, 1403 H.
Shadr, Syahid Sayid Muhammad Baqir. Syarh Al-'Urwat Al-Wutsqâ, Mathba'ah Al-
P: 126
Adab, Najaf, cet. 1, 1391 H.
Shaduq, Ali bin Babuwaih: Ilal Al-Syarâi, Al-Matbaah Al-Haidariyah, Najaf, 1386H.
_;. Man là Yahdhuruh Al-Faqih, Entesyorot-e Jomi'eh-e Mudarrisin, Qom, cet. 2, 1404 H.
Thabathaba'i, Sayid Ali: Riyadh Al-Masâ'il fi Bayân Al-Ahkâm bi Al-Dalâ'il, Muassasah Al Al-Bait, Qom, 1404 H.
Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husain: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'ân, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom.
Thuraihi, Fakhrudin: Majma' Al-Bahrain, tanpa penerbit, tanpa tahun.
Thusi, Ibnu Hamzah: Al-Wasîlah ilâ Nail Al-Fadhilah, Ketobkhoneh-e Ayatullah Mar‘asyi, cet. 1, Qom, 1408 H.
Thusi, Syaikh Abu Ja'far: Al-Tibyân fi Tafsir Al-Qur'ân, Maktab Al-I’lam Al-Islami, cet. 1, Qom, 1409 H.
__: Al-Khilâf, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, Qom, cet. 1, 1407 H.
.: Al-Nihâyah fi Mujarrad Al-Fiqh wa Al-Fatâwâ, Entesyorot-e Quds-e Muhammadi, Qom, tanpa tahun.
_ Al-Mabsûth fi Fiqh Al-Imâmiyah, Entesyorot-e Ketobkhoneh-e Murtadhawiyeh, 1351 Hs.
.: Tahdzîb Al-Ahkâm, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Tehran, cet. 4, 1365 Hs.
Ahli Sunnah Asqalani, Syihabudin bin Hajar: Fath Al-Bâri, Dar Al-Ma'rifah, Bairut, cet .2, tanpa tahun.
: Subul Al-Salâm, Syirkah Maktabah Wa Mathaba'ah Al-Babi, Mesir, cet. 4, 1379 H.
Baihaqi, Ahmad bin Hasan: Al-Sunan Al-Kubrâ, Dar Al-Fikr, Bairut, tanpa tahun.
Dardir Abu Barakat, Ahmad: Al-Syarh Al-Kabîr, Dar Al-Fikr, Bairut.
Hadi, Yahya bin Husain bin Qasim: Al-Ahkâm fi Al-Halâl wa Al-Harâm.
Haitsami, Ali bin Abi Bakar: Majma' Al-Zawa'id wa Manba' Al-Fawâ’id, Dar Al- Kutub Al-Ilmiah, Bairut, 1408 H.
Ghazali, Muhammad Abu Hamid: Al-Mustashfa, Dar Al-Kutub Al-Islamiah, Bairut, cet. 1, 1413 H.
Ibnu Abil Hadid: Syarh Nahj Al-Balaghah, diteliti oleh Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Dar Ihya' Al-Kutub Al-Arabiyah, tanpa tahun.
Ibnu Atsir, Mubarak bin Muhammad: Al-Nihâyah fi Gharib Al-Hadîts wa Al-Atsar, Muasseseh Isma'iliah, Qom, cet. 4, 1364 Hs.
P: 127
Ibnu Hazm Andalusi: Al-Muhalla, Dar Al-Fikr, Bairut.
Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram: Lisân Al-Arab, Nasyr Adab Al-Hauzah, Qom, cet. 1, 1405 H.
Ibnu Qudamah Maqdisi, Abdurrahman: Al-Syarh Al-Kabîr. Dar Al-Kutub Al- Arabi, Bairut.
: Al-Kâfi fi Fiqh Ibnu Hambal, Al-Maktab Al-Islami, Bairut, cet. 5, 1408 H/1988 M.
_: Al-Mughnî, Dar Al-Fikr, Bairut, cet. 1, 1405 H.
Ibnu Qutaibah Dinawari, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim: Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, Intisyarat Al-Syarif Al-Radhi, cet. 1, Qom, 1371 H.
Jauhari, Isam’il bin Hammad. Al-Shihah, Dar Al-Ilm li Al-Malayin, Bairut, cet. 4, 1407 H.
Khathib Syabini, Muhammad: Mughnî Al-Muhtâj, Dar Al-Fikr, Bairut.
Kasyani, Alaudin: Badâ'' Al-Shanâ'i, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Bairut, cet. 2, 1982 M.
Mardawi, Ali bin Sulaiman: Al-Inshaf fi Ma'rifat Al-Rajih min Al-Khilaf, Dar Ihva? Al-Turats Al-Arabi, Bairut.
Marghinani, Ali bin Abi Bakar bin Abdil Jalil: Al-Hidayah Syarh Al-Bidâyah, Al- Maktabah Al-Islamiah, Bairut.
: Bidâyat Al-Mubtadí, Mathba'ah Muhammad Ali Shabih, Kairo, cet. 1, 1355 H.
Nawawi, Muhyidin bin Syaraf: Al-Majmů fi Syarh Al-Muhadzdzab, Dar Al-Fikr, Bairut, tanpa tahun.
: Rawdhat Al-Thâlibîn, Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, Libanon.
Qurthubi, Abu Umar Yusuf bin Abdillah bin Abdil Bar: Al-Kâfi, Dar Al-Kutub Al- Ilmiah, Bairut, cet. 1, 1407 H.
Qirawani, Abdullah bin Abi Zaid: Risâlat Al-Qirawânî, Dar Al-Fikr, Bairut.
Sha'idi Adwi Maliki, Ali: Hâsyiyah Al-'Adwi, Dar Al-Fikr, Bairut, 1412 H.
Tamimi Maghribi, (Qadhi) Nu'man bin Muhammad: Daa'im Al-Islâm wa Dzikr Al-Halâl wa Al-Harâm, Dar Al-Ma'arif, Mesir, 1383 H.
Wahidi Naisaburi, Abu Hasan: Asbấb Nuzủl Al-Ayât, Muassasah Al-Halabi, Kairo, tanpa tahun.
Zaid bin Ali: Musnad Zaid ibn Aliy, Dar Maktabah Al-Hayah, Bairut.
Literatur Latin Akdeniz, Yaman: Pornography on the Internet, 1996.
Commission on Human Rights, Fifty-first session, item 10 of the provisional agenda,
P: 128
E/CN. 4/1995/32, (14 December 1994).
Dicey, A.V.: Law of Constitution, Macmillan, 9th ed., London, 1950.
Dworkin, Ronald: Freedom's Law (The moral reading of the American constitution), Oxford, 1996.
Ganey, Terry: Former U.S. Attorney is Accused of Obstructing Waco Investigation, St.
Louis Post-Dispatch, November 9, 2000.
Linedecker, Clifford: Massacer AT WACO TEXAS (The shocking true story of cult leader DAVID KORESH and the Branch Davidians).
Mason, Alpheus Thomas and Beaney, William: American Constitutional Law, Prentice Hall, inc., 3rd ed.. New Jersey, 1964.
Nossiter, Adam: Branch Davidians Make Little Headway in Push for New Trial against U.S., News Observer.com, February 10, 2003.
Peter Carey: Media Law, Sweet and Maxwell, London, 1996.
Smith, John and Hogan, Brian: Criminal Law, 8th ed., Butterworths, London, Edinburgh, 1996.
Stange, Joe: Davidian Prosecutor Gets Probation, Associated Press, June 7, 2001.
WWW.CRF-USA.org/terror/rushdie: Terrorism, Blasphemy! Salman Rushdie and Freedom of Expression.
WWW.Fountain.btinternet.co.uk\koresh: What Happened at Waco?
P: 129
P: 130
Carleen Thomas
Chomsky
Common Law
D
al-jâmi'li al-syarâ'ith
Aljazair
al-jîmi'li al-syarâ'ith
al-khuruj 'alà
Allamah Hilli
Allamah Thabathaba'i
Al-Sarâ'ir
Amerika
Amerika Serikat
Anshari
Ardabili
ashhâb al-riddah
Dar
David Koresh
dharûrî
dharûriyyât al-dîn
dzimmah
ashl
adam wa malakah
inâd
‘ugalai
"urf
‘urf mutasyarri`ah
Abdul Rahman Qashir
Abdullah bin Abbas
Abdurrahman bin Hajjaj
Abu Bakar
Abu Bashir
Abu Hamzah Dailami
Abu Shalah Halabi
Abu Shaleh Halabi
ahkâm ijma'iyyah
ahkâm qath‘iyyah
Ahl Al-Hall wa Al-Agd
Ahlul Bait
ajaran niscaya
ajaran niscaya agama
Al-Asy'atsiyyât
al-darûriyât al-khams
al-hukm al-awwali
al-hukm al-bukûmatî
Ali bin Abi Thalib
ashl al-dîn
Attila
Ayat-ayat Setan
Fadhil Hindi
freedom of expression
fukaha Syiah
ghair dharûrî
Bab Al-Waswasah
wa Hadits Al-Nafs
baghy
Black Stone
blasphemy
Blasphemy
Branch Davidians
H
had
hadîts al-nafs
Hamadani
Hanafiyah
Indeks
Hukum Murtad, Hak Allah atau Manusia
P: 131
K
Hitler
Hukum Eksekutif
hukum Gereja
Hukum Primer
Ibnu Abi 'Umair
Ibnu Hamzah Thusi
Ibnu Idris
Ibnu Zuhrah
ibtida'
iftirãº
ihậnah aw istih zå'
ihtiyâth
ijma'
ijmâ” manqûl
ijmâli
iltizam
Imam Khomeini
Inggris
irtidad
Irtidad
Ka'bah
kafir dzimmi
Kaidah Jubb
Kasyif Githa
Kasyif Litsam
Kegaiban Imam
kemurtadan
Kemurtadan
khabar tsiqah
khabar wâhid
Khawarij
Khui
Khunsari
konsensus nukilan
konsensus simpulan
Konvensi Eropa
Kristen
kufr
muhârib
muhashshal
Muhsin Hakim
mukhashshish
Mulla Sabzawari
Mulla Saleh Mazandarani
Muqaddas Ardabili
muqayyad
murtad
Murtad
murtad fithri
murtadd fithri
murtadd milli
Murtadha
Musailamah Kadzdzab
Muslim
mustadh'af
mustadh‘af fikri
mustadh'afin
muta'akhkhir
mutawatir
muthlaq
Isa
N
Isa Al-Masih
istbâtan
istilzâm
ithlâq
itb mi mân urf
itsbâtan
M
Mahdi
Malikiyah
maqam al-itsbât
maqâm al-jam
Masjidil Haram
masyhûr
Mazandarani
mazhab Hanbaliyah
Mazhab Malikiyah
mazhab Syafi'iyah
mazhab Zaidiyah
Mufid
Muhammad bin Muslim
Muhaqiq Hilli
Muhaqiq Najafi
Nabi Isa
Nabi Muhammad Saw
Nabi Musa
Nabi Saw
nafsânî
Nashibi
nau'an
nazhari
nazharî
New York
non-Muslim
1
Ja'far Shadiq
Jenghis Khan
jubb
juhûd
P: 132
W
Waco
Qadhi Ibnu Barraj
qadr mutayaqqan
qadzf
qâshir
qathî
Yahudi
Yaman Akdinez
Quakers Protestant
yaqînî
qushûr
zhann
zindig
Zurarah
Raghib Ishfahani
Rasulullah Saw
riddah
Ridha Hamadani
tazir
Ta'zirat
tadhådd
tafshili
tahlil ‘urfi
tajarri
takhfif
takhshish
Taklif
takwini
taqiyah
taqiyyah
taqshîr
tarjih
tasyri'i
tauriyah
teori Implikasi
teori Variabel
Independen
Texas
Thulaihah
Thusi
tsubûtan
riot
Robert Thomas
ruggles
Rusdhie
U
sabab mustaqil
Sahib Jawahir
Salar
Salman Rushdie
sanad
Shadiq
shûrî
simbol keagamaan
Siti Fathimah Zahra
Siti Maryam
Syahid Tsani
Syaikh Thusi
Syarâ'i' Al-Islâm
Syiah
Umar
Umar bin Khatthab
ushủl 'amaliyyah
Ushûl Al-Kâfî
ushuluddin
V
syubhah
variabel independen
kemurtadan
variabel kemurtadan
P: 133
P: 134