Keindahan Dan Keagungan PerempuanPerspektif Studi Perempuan DalamKajian Alquran, Filsafat, Dan Irfan

BOOK ID

سرشناسه:جوادی آملی، عبدالله، 1312 -

عنوان قراردادی:زن در آیینه جلال و جمال . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور:Keindahan Dan Keagungan PerempuanPerspektif Studi Perempuan DalamKajian Alquran, Filsafat, Dan Irfan[Book]/ Jawadi Amuli; penterjemah Muhdhor Ahmad, Hasan Saleh, Sabar Munanto.

مشخصات نشر:Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری:424ص.؛ 5/14×5/21 س م.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/268/175. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 14.

شابک:200000ریال 978-964-195-045-5 :

وضعیت فهرست نویسی:فاپا

یادداشت:اندونزیایی.

یادداشت:نمایه.

موضوع:زنان در قرآن

موضوع:زنان در اسلام

شناسه افزوده:احمد، مهدار، مترجم

شناسه افزوده:Ahmad ,Muhdhor

شناسه افزوده:صالح، حسن، مترجم

شناسه افزوده:Saleh ,Hasan

شناسه افزوده:مونانتو، صابر، مترجم

شناسه افزوده:Munanto,Sabar

رده بندی کنگره:BP104/ز9 ج94049519 1393

رده بندی دیویی:297/4831

شماره کتابشناسی ملی:3649496

p: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Keindahan Dan Keagungan Perempuan

Perspektif Studi Perempuan Dalam

Kajian Alquran, Filsafat, Dan Irfan

Ayatullah Jawadi Amuli

penerjemah:

Muhdhor Ahmad

Hasan Saleh

Sabar Munanto

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Keindahan Dan Keagungan Perempuan Perspektif Studi Perempuan Dalam

Kajian Alquran, Filsafat, Dan Irfan

penulis: Ayatullah Jawadi Amuli

penerjemah: Muhdhor Ahmad, Hasan Saleh, Sabar Munanto

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-045-5

*********

زن در آئینه جلال و جمال

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعه

تیراژ: 300

قیمت: 200000 ریال

مؤلف: آیت الله جوادی آملی

مترجم: مهدار احمد، حسن صالح، صابر مونانتو

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

*****

Stores:

*RAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

*IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

*IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

*IRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

***

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

Pedoman Transliterasi Arab

photo

p: 5

Pedoman Transliterasi Persia

photo

p: 6

Daftar I si

photo

p: 7

photo

p: 8

photo

p: 9

photo

p: 10

photo

p: 11

photo

p: 12

photo

p: 13

photo

p: 14

Sekapur Sirih

Buku ini merupakan intisari dari materi kuliah yang disampaikan di hadapan para mahasiswi Studi Ilmu Agama yang sedang mempelajari "Ilmu “Aqlî dan Naqli" di Universitas al-Zahra, Qum, Iran, pada tahun 1989 M.

Buku ini mengkritisi beberapa interpretasi hukum fikih yang masih meragukan, dan ulasan beberapa pembahasan lain yang terwujud berkat kerja sama yang baik di antara para mahasiswi. Mereka telah rela berlelah- lelah dengan penuh kesabaran dan ketulusan hati untuk menyalin beberapa data pembahasan tersebut dari pita rekaman, memperbaikinya, lalu mengoreksi dan merapikannya lagi. Oleh karena itu, kami sangat berterima kasih kepada seluruh jajaran akademia Universitas Al-Zahra, baik para ibu pegawai, para dosen maupun para mahasiswi.

Beberapa tema dalam pendahuluan buku ini merupakan pembahasan penting dari hasil seminar yang diadakan oleh siaran Radio dan Televisi Republik Islam Iran. Seminar ini membahas kedudukan perempuan dan perjalanannya dalam Islam, baik dalam perilaku, pembicaraan, tulisan, pekerjaan, status sosial, dan perlindungan mereka.

Bagian lain yang dibahas dalam pendahuluan buku ini adalah jawaban terhadap berbagai pertanyaan ilmiah yang disampaikan oleh para pejabat Pusat Studi Perempuan. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan, dalam buku ini, sebuah pembahasan khusus tentang beberapa tema yang dikupas dari berbagai sudut pengetahuan Alquran yang amat luas.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para pemerhati dari pusat studi

p: 1

tersebut, dan kami turut berdoa, semoga mereka selalu berbahagia dan memperoleh keberhasilan dalam mendalami pengetahuan tentang "Keindahan dan Keagungan Perempuan".

Perbaikan akhir, koreksi dan pengawasan secara ilmiah berada di bawah tanggung jawab Hujjatul Islâm Sayyid Mahmûd al-Lathîfî, salah se- orang pengajar di Universitas Al-Zahra. Semoga beliau dapat memperoleh kesuksesan dalam upayanya dan mendapatkan pahala dari Allah Swt.

Penerbitan buku ini ditangani oleh Markaz al-Raja' li al-Nasyr al- Tsaqâfî. Semoga seluruh staf di penerbitan itu selalu memperoleh kebaikan, keselamatan dan kesuksesan. []

Jawâdî Âmulî

p: 2

Mukadimah

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Akal perempuan ada pada keindahannya, dan keindahan pria ada pada akalnya.(1)

Segala hal yang ada di bumi ini merupakan fenomena dari salah satu asma Allah Swt karena mencipta merupakan salah satu sifat fiʻliyyah ('perbuatan')-Nya, bukan salah satu dari sifat dzâtiyyah ('esensi')-Nya.

Semua itu merupakan bukti nyata akan keberadaan Sang Pencipta. Ini sesuai dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s, “Segala puja bagi Allah Swt yang menjelma lewat makhluk ciptaan-Nya.(2)

Tajallî ('manifestasi') Al-Haqq(3) adalah salah satu tema 'irfân ('makrifat Ilahi') dalam Alquran dan hadis-hadis Ahlul Bait. Cita rasa ini membawa para pesuluk untuk mengetahui dan merasakan lezatnya tanda-tanda yang dituju sebelum para pemikir, yang juga mencari dan membahasnya, berhasil merengkuhnya. Sungguh, para pesuluk sejati tak akan pernah merasa puas hanya dengan mendengar suara lonceng kafilah di jalan kebenaran, tetapi dia akan selalu berusaha untuk "me- nyeberang dari ilmu menuju mata air dan dari mendengar hingga dapat bertemu".

Manifestasi Al-Haqq memiliki beberapa tingkatan, di antaranya ada yang bisa menyebabkan kehancuran gunung yang kokoh, yang menjadi

p: 3


1- Âmâlî al-Shadüg, majlis ke-40
2- Nahj al-Balâghah, khutbah 108.
3- Tajalli adalah gambaran tentang kehadiran Tuhan melalui salah satu Nama atau Sifat-Nya dalam hati sang hamba.

penjaga dan penguat bumi. Allah Swt berfirman, “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan" (QS Al-A'râf:143).

Salah satu bentuk manifestasi (Al-Haqq) dalam hati sang hamba dapat juga berupa landasan yang dapat membangun kembali (jiwa para hamba) yang semula hancur luluh dan kemudian mengantarkannya dari alam kehinaan menuju puncak kemuliaan. Selain itu, ia juga dapat mengangkat derajat orang-orang yang hina dan menghancurkan derajat orang-orang yang sombong. Semua itu dapat dibangun di atas pondasi ini.

Manifestasi Al-Haqq terkadang menyebabkan kematian, tapi ter- kadang juga menyebabkan kehidupan. Hal ini dapat kita lihat pada malaikat pencabut nyawa dan malaikat pemberi kehidupan, yang satu muncul pada saat ia memberikan ruh pada makhluk hidup, dan yang lain muncul pada saat mencabut nyawa. Keduanya menunjukkan tajalli Allah Swt. Oleh karena itu, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s, ketika menyinggung permasalahan ini, berkata, “... Lalu hadirlah malaikat maut dari balik tabir kegaiban untuk mencabutnya."(1)

Bertolok dari perkataan Imam Ali Zainal Abidin a.s tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses kematian merupakan salah satu bentuk tajallî Allah Swt. Begitu pula proses penghidupan yang juga merupakan pertanda tajallî-Nya.

Kata yang paling cocok untuk mengungkapkan istilah alam kebergantungan eksistensial adalah kata ayah 'tanda'. Ini adalah kata yang menunjukkan arti tanda yang dapat mengantarkan kepada budaya, seni, intelektual dan kekuatan Alquran, karena semua mawjûd imkânî berikut setiap zat, sifat dan perbuatannya merupakan tanda-tanda Allah Swt. Ia tidak memiliki sesuatu selain Diri-Nya, karena Dia menjadi bayang-bayang, bukan sebagai tanda. Lantaran sesuatu yang bebas, yang berkuasa atas dirinya, maka Dia tidak dapat menjelaskan “Jati diri-Nya" kepada yang lain. Berangan-angan akan kemandirian juga akan menjadi

p: 4


1- Al-Shahifah al-Sajjadiyah, doa ke-42

penghalang untuk melihat Allah Swt yang tampak dengan jelas, sementara wajah Allah Swt adalah tampak, ke mana pun kita menatap, maka kita akan melihat-Nya. Allah Swt berfirman, “Maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah" (QS al-Baqarah:115). Akan tetapi,manusia yang hsombong dan suka berangan-angan hidup dengan tertutup angan-angan egoisnya, atau merasa tidak membutuhkan orang lain sehingga dia akan terhalang untuk menemukan kebenaran.

Allah Swt sebagai Dzat Penyingkap Kebenaran tidak memiliki tanda yang banyak dan bermacam-macam. Seluruh sifat Dzat-Nya adalah Dzat-Nya sendiri, dan seluruh nama Allah yang indah atau al-Asmâ' al-Husnâ adalah tanda dari ke-Esa-an Dzat-Nya. Artinya, setiap nama Allah menunjukkan aneka bentuk kesempurnaan, baik dalam Dzat, Sifat maupun perbuatan-Nya. Adapun nama-nama Allah yang berbeda- beda, yang tak mengenal ruang lingkup dan pembatasan dalam bentuk apa pun, akan tetap sempurna meski terdapat perbedaan dalam kemunculan dan keterbatasannya. Dengan kata lain, setiap nama-Nya menunjukkan kesempurnaan mutlak pada-Nya beserta seluruh peng- gambaran-Nya. Namun, ada perbedaan pada nama-nama tersebut pada saat kesempurnaan itu tampak ataupun tersembunyi. Oleh karena itu, fenomena setiap nama-Nya memiliki nama-nama lain yang sempurna pula, meskipun nama-nama tersebut tidak tampak dengan sendirinya secara langsung Keagungan' (al-jalâl) dan keindahan' (al-jamâl), keduanya merupakan Nama Allah Swt yang memiliki berbagai macam fenomena.

Keagungan Al-Haqq terkandung dalam keindahan-Nya, sementara keindahan-Nya tertutupi oleh keagungan-Nya. Sesuatu yang menjadi fenomena keagungan Tuhan memiliki keindahan Al-Haqq, dan sesuatu yang menjadi fenomena keindahan-Nya pasti memiliki ke- agungan-Nya.

Contoh konkret tersembunyinya keindahan Allah Swt dalam keagungan-Nya adalah ayat-ayat yang menjelaskan tentang qisas, pertahanan, atau hukuman qisas dan hukuman mati, pembunuhan,

p: 5

penumpahan darah, penindasan, balas dendam, kemarahan, kekuasaan, dan hal-hal lain yang serupa dan menjadi fenomena keagungan-Nya.

Begitu pula dengan hal-hal yang berlawanan dengannya, seperti penganugerahan kehidupan, menjaga pertumpahan darah, memberi belas kasih, balasan setimpal, dan menggembirakan orang serta hal-hal lain yang serupa, yang menjadi fenomena keindahan Allah Swt.

Hal ini dapat kita baca pada firman Allah Swt yang menyatakan, "Dan dalam hukum qisâs itu terdapat (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal" (QS Al-Baqarah:179).

Hukuman qisas yang secara lahiriah terkesan sadis, pada hakikatnya, justru memberi kehidupan kepada banyak orang karena bisa mencegah kesewenangan orang-orang zalim untuk menghabisi nyawa orang lain. Kematian seseorang merupakan jaminan dan kelangsungan hidup masyarakat secara kolektif. Demikianlah, kemurkaan yang tidak lama akan segera sirna disusul oleh rahmat dan kasih sayang yang terus- menerus tercurah secara saling berkesinambungan. Begitu pula dengan masalah mempertahankan kesucian diri dan perintah perang melawan musuh. Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS Al-Anfâl:24).

Ayat ini adalah satu dari sekian banyak ayat yang turun sehubungan dengan perintah berperang dan mempertahankan wilayah negara Islam. Ayat tersebut merupakan dalil untuk membantah dugaan orang-orang kafir yang menyangka bahwa mati di jalan Allah Swt merupakan kebinasaan semata.

Juga, sebagai bantahan terhadap pemikiran mereka yang menggambarkan bahwa jihad dan mempertahankan agama merupakan kebinasaan yang sia-sia.

Dari kandungan ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyerangan terhadap orang-orang yang melakukan penyerbuan, melawan berbagai bentuk penindasan, dan berjuang di medan perang

p: 6

untuk melawan kebatilan merupakan fenomena keagungan Allah Swt. Itu karena hal tersebut akan berakhir dengan berdamai terhadap kebenaran, patuh kepada keadilan dan memberi jaminan hidup kepada orang lain, dan ini semua merupakan fenomena-fenomena keindahan-Nya. Hal ini berlaku pada seluruh perintah Allah Swt yang disebutkan Alquran.

Semuanya merupakan bentuk penganugerahan kehidupan (sebagaimana dijelaskan oleh QS Al-Anfàl:24 di atas).

Kehidupan tidak hanya dengan jihad dan pertahanan semata.

Ayat di atas, bahkan, menyebutkan perang melawan kebatilan, sikap mengutamakan kepentingan orang lain, dan berkorban di jalan Allah demi membela kebenaran. Ayat itu juga menyatakan bahwa memenuhi panggilan untuk berjihad berarti menjamin kelangsungan hidup manusia.

Begitu pula, setelah menyebutkan peperangan, berjuang dan pergi ke medan perang untuk memerangi kebatilan dan meraih maqam kesyahidan yang mulia, Alquran menegaskan, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki" (QS Ali Imrân:169).

Pertahanan wilayah Islam adalah salah satu fenomena keagungan Allah Swt. Ia akan menjadi faktor yang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia, baik individu maupun sosial. Ia juga akan menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Inilah arti “Keindahan yang terkandung dalam keagungan” dan “Keagungan yang tersembunyi di balik keindahan".

Keserasian antara murka dan Rahmat Allah Swt serta keagungan dan keindahan-Nya tidak hanya ada pada masalah-masalah tersebut, yakni pada masalah qisas dan pertahanan wilayah Islam, tetapi juga terkandung dalam setiap ketetapan syariat yang diturunkan-Nya.

Segala sesuatu yang tidak disukai (sang hamba secara lahir) di dalamnya terkandung kehendak Allah Swt. Sebaliknya, kebencian-Nya (terhadap sesuatu) berada di balik kecenderungan (sang hamba) untuk

p: 7

menyukai(nya). Oleh karena itu, Allah Swt berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu" (QS Al-Baqarah:216). Ini artinya, berperang secara lahir merupakan sesuatu yang buruk. Namun, faktor ketidaksenangan yang tampak secara lahir dan dirasakan oleh sang hamba justru baik dan mengandung ke- maslahatan baginya. Demikian pula, berbagai problem yang biasa terjadi di sebuah keluarga, misalnya derita dan musibah yang selalu menimpa mereka, ditafsirkan sebagai sesuatu yang buruk. Akan tetapi, ia justru mengandung kebaikan yang banyak dan tak terhitung. Ia berguna untuk mengokohkan hubungan keluarga dan menjaga kelestariannya.

Allah Swt berfirman, “(Maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak" (QS al-Nisa':19).

Bertolok dari ayat tersebut, kiranya, dapat disimpulkan bahwa tuntutan Tuhan, sekalipun mengandung kepayahan dan kesulitan, merupakan tanda keagungan Allah Swt. Ia menyimpan kemuliaan sebagai tanda keindahan Allah Swt, dan dengan itu, setiap mukallaf memperoleh kemuliaan. Segala kesulitan dan kepayahan yang didapati dalam melakukan segala perintah Allah Swt akan membawa kepada kemuliaan hamba-Nya.

Dari sini kita membaca perintah wudhu, mandi dan tayamum dalam Alquran yang diakhiri dengan firman Allah Swt yang menyatakan, “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur" (QS Al-Ma'idah: 6). Artinya, tugas lahiriah yang harus dilakukan oleh seseorang, baik wudhu, mandi maupun tayamum-memiliki makna penyucian yang lain, yaitu penyucian maknawi yang dilakukan untuk memperoleh keindahan hati.

Begitu pula dengan zakat, secara lahir ia akan membuat harta menjadi berkurang, atau bahkan habis. Namun pada hakikatnya tidak

p: 8

demikian, justru dengan zakat harta tersebut akan berkembang dan menjadi banyak. Allah Swt berfirman, “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS Al-Baqarah:276); “Dan apa pun yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)" (QS Al-Rûm: 39).

Bukti lain yang menunjukkan bahwa keindahan Allah Swt tersem- bunyi dalam keagungan-Nya adalah ungkapan yang mengatakan bahwa untuk memperoleh ganjaran surga, harus melalui berbagai macam ke- sulitan, kesusahan, kesabaran dan istiqamah dalam berjihad, baik jihad yang kecil, menengah maupun yang besar. Diriwayatkan bahwa surga dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai. Begitu pula sebaliknya, neraka berada di dalam berbagai keindahan. Diriwayatkan bahwa neraka dikelilingi oleh berbagai keinginan karena segala keinginan, nafsu, ke- senangan dan yang serupa dengannya merupakan gambaran keindahan.

Jika hal tersebut tidak seimbang dan melampaui batasan halal, maka dia akan mengambil sisi kebinatangan semata, dan hal itu akan mengantarkannya pada murka Allah.

Contoh terpenting yang menjadi bukti tersembunyinya keindahan dalam keagungan dan tersembunyinya kasih sayang dalam kemurka- an adalah penjelasan Alquran tentang keadaan neraka dengan berbagai macam siksa di dalamnya, seperti dalam surah Al-Rahmân. Kandungan surah ini secara umum mengingatkan manusia akan nikmat-nikmat Allah Swt yang khusus, serta menuntut mereka untuk mau tidak mau mengakui nikmat-nikmat tersebut sehingga tidak ada lagi peluang bagi mereka untuk mendustakannya. Dijelaskan dalam surah itu, neraka Jahanam dengan apinya yang membakar adalah nikmat Tuhan yang khusus. Mendustakan keniscayaannya adalah sesuatu yang terlarang karena ia adalah nikmat Allah. Allah Swt berfirman, "Inilah Neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa. Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air yang mendidih yang memuncak panasnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah

p: 9

yang kamu dustakan?" (QS Al-Rahmân:43-45).

Sebagaimana siksa neraka mengandung keselarasan antara ke- agungan dan keindahan, begitu pula dengan siksa duniawi yang ditimpakan oleh Allah Swt kepada umat-umat terdahulu. Keduanya memiliki keselarasan antara murka Allah Swt dan kasih sayang-Nya, dan antara azab dan nikmat-Nya. Hal tersebut seperti yang telah diterangkan dalam Alquran. Allah Swt berfirman, “Dan bahwasanya Dialah Tuhan (yang memiliki) bintang syi'râ dan bahwasanya Dia telah membinasakan kaum 'Âd yang pertama.

Dan kaum Tsamûd, maka tidak seorang pun yang ditinggalkan- Nya (hidup), dan kaum Nûh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka, dan negeri-negeri kaum Lúth yang telah dihancurkan Allah, lalu Allah menimpakan atas negeri itu azab besar yang menimpanya. Maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu-ragu?" (QS Al-Najm: 49-55).

Tidak diragukan lagi bahwa tergulingnya penguasa zalim adalah salah satu anugerah dan nikmat Allah Swt. Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa pengingkaran terhadap nikmat-nikmat Allah Swt akan mengakibatkan datangnya azab dan murka-Nya, seperti yang telah dialami oleh umat-umat terdahulu. Namun demikian, secara lahir, ayat tersebut menunjukkan bahwa penggulingan rezim yang zalim (melalui turunnya siksa kepada mereka) didasarkan pada belas kasih Tuhan terhadap orang-orang yang tertindas dan bernasib buruk.

Itu artinya, belas kasih Tuhan dan sifat keindahan-Nya tersebut muncul dalam bentuk murka dan keagungan-Nya sehingga bercampur antara menolong kaum yang tertindas dengan menghancurkan orang-orang yang angkuh di muka bumi. Hal itu terjadi agar kesabaran dapat mengalahkan kesombongan dan pengingkaran nikmat.

Inilah perpaduan antara murka Allah Swt dan kasih sayang-Nya.

Perpaduan itu tampak dalam setiap maujud, sesuai dengan kapasitas

p: 10

keberadaannya. Penampakan kedua sifat ini lebih kuat dalam entitas yang abstrak (seperti ruh-peny.) secara maksimal, ketimbang entitas-entitas yang semiabstrak (seperti jiwa-peny.). Kedua sifat itu tampak lebih maksimal pada maujud semi abstrak daripada maujud yang lebih rendah (seperti raga-peny.), dan ini, pada Dzat Allah keduanya tampak lebih jelas dan meng- ungguli semua maujud, karena mencapai puncak kesempurnaan.

Inilah yang banyak berkembang dalam dunia materi karena kemunculannya secara majemuk sangat sedikit sehingga tidak mungkin dapat menyelaraskan antara keindahan dan keagungan. Dia akan muncul, tetapi sebagian saja. Yang memiliki murka tidak memiliki belas kasih, dan yang memiliki belas kasih tidak memiliki murka. Petunjuk kebenaran dan kebajikan yang akan menilai adalah rasa. Kekurangan rasa tersebut akan dinilai dengan analisis pemahaman melalui keagungan yang terlihat. Maka segala sesuatu yang sifatnya tidak dapat muncul secara utuh, tidak mungkin dapat menjadi tanda kebesaran Allah Swt, meskipun sebenarnya tanda tersebut terdapat di dalamnya.

Manusia dapat menjadi sempurna karena dia dapat menghimpun seluruh kesempurnaannya sebagai makhluk karena dia adalah cermin dari nama-nama Allah. Jika keselerasan muncul, maka dia akan menjadi makhluk yang termulia. Oleh karena itu, ketika Rasulullah Saw mendapatkan musibah dalam perang Uhud, beliau menolak untuk melaknat musuh, walaupun beliau telah menahan derita dan kesusahan. Beliau bersabda, “Aku diutus bukan untuk menjadi pelaknat, tetapi aku diutus untuk menjadi pendakwah dan pemberi rahmat. Ya Allah, ya Tuhanku, berilah petunjuk kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui." Alquran menamai jenis perpaduan antara murka dan belas kasih ini dengan istilah hajran jamîlan, artinya 'menjauh dengan cara yang baik'.

Rasulullah Saw juga diperintahkan untuk melakukan hal tersebut. Allah Swt berfirman, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik" (QS Al-Muzammil:10).

p: 11

Selain itu, tugas dasar setiap hamba dalam mengemban ajaran Ilahi adalah bersabar dengan cara yang baik. Allah Swt berfirman, “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik" (QS. Al-Ma'ārij:5). Kese- larasan dua sifat di atas dapat juga kita lihat dalam cerita Nabi Ya'qub a.s yang telah diuji keimanannya oleh Allah Swt dengan kepergian putranya, Yusuf a.s, dan sikap anak-anaknya yang tidak memiliki belas kasih. Hal ini seperti diceritakan Alquran, "Ya'qûb berkata, 'Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu, maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan'" (QS Yûsuf:18).

Manusia yang sempurna dapat menyatukan kedua sifat yang berbeda itu dengan mudah. Dia juga dapat menjaga keseimbangan antara kedua sifat itu dalam menghadapi berbagai masalah. Oleh karena itu, keagungan murka Rasulullah Saw dapat menyatu dengan keindahan belas kasih beliau, baik dalam menghadapi permasalahan politik maupun kemiliteran. Begitu pula dalam masalah budaya, kedua sifat tersebut juga dapat menyatu pada diri beliau. Allah Swt berfirman, “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat Kiamat itu pasti akan datang, maka maafkanlah mereka dengan cara yang baik” (QS Al-Hijr:85).

Rasulullah Saw juga senantiasa menjaga keseimbangan antara sifat- sifat yang saling bertolok belakang di atas ketika menyikapi berbagai permasalahan keluarga yang sederhana. Hal ini seperti apa yang telah diperintahkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik” (QS Al-Ahzâb: 28). Itu karena inti dari etika manusia yang sempurna adalah Alquran, dan keduanya terpancar dari satu sumber yang Mahatinggi. Perbedaannya adalah salah satunya (manusia sempurna) diutus menjadi rasul dan yang lainnya (Alquran) diturunkan. Dengan kata

p: 12

lain, Alquran diturunkan untuk menyertai manusia sempurna (Rasul), tetapi tidak sebaliknya, yakni manusia sempurna itu tidak diutus untuk menyertai Alquran. Allah Swt berfirman, “Dan mereka mengikuti cahaya (Alquran) yang diturunkan bersama (Muhammad Saw)" (QS Al-A'râf:157). Oleh karena itu, Alquran menghimpun keindahan dan keagungan Tuhan yang mengandung keserasian antara murka dan belas kasih-Nya.

Allah Swt juga memperkenalkan Kitab-Nya sebagai obat yang manjur untuk mengobati segala penyakit, di samping dapat menimbulkan penyakit dan menjadi faktor kerugian [bagi orang zalim]. Allah Swt berfirman, “Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian" (QS Al-Isra':82).

Di satu sisi, Alquran adalah penawar dan rahmat, tetapi di sisi lain, ia juga dapat mengakibatkan kerugian. Begitu pula dengan hidayah dan kesesatan. Keduanya dapat ditimbulkan oleh Alquran. Allah Swt berfirman, “Dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi- Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang- orang yang fasik” (QS Al-Baqarah:26).

Jika kita renungkan kedua ayat di atas akan menjadi jelas ketetapan hukum yang digambarkan keduanya. Artinya, gambaran zalim dalam ayat pertama dan gambaran fasik dalam ayat kedua menunjukkan bahwa orang yang lalim dan fasik itu bagaikan orang yang sakit pencernaannya. Tentu ia tidak akan dapat mencerna buah yang segar dan lezat, dan kalaupun ia memakannya, maka ia akan merasa sakit lantaran percernaannya tidak dapat menerima, reaksinya adalah penolakan.

Begitu pula dengan kesesatan dan kerugian, penyebab sakitnya bukanlah Alquran.

p: 13

Pada dasarnya, kesesatan dan kerugian bukan termasuk sifat negatif Alquran. Sungguh mustahil kesucian Alquran ternodai oleh kedua sifat buruk itu. Akan tetapi, penyesatan dan kerugian yang merupakan gambaran dari kemurkaan Allah Swt itu muncul selaras dengan keaslian dan kemurnian hidayah serta kesembuhan yang bersinambungan (bagi yang melaksanakan perintah-Nya).

Menurut Alquran, makhluk juga memiliki keindahan, yaitu keindahan jiwa' (jamâl nafsî) dan keindahan relatif (jamâl nisbî), baik dalam batasan alam materi maupun alam maknawi (abstrak). Setiap makhluk-baik yang berwujud materi maupun nonmateri, memiliki keindahan jiwa. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan Alquran yang dipaparkan dalam dua ayat berikut.

Pertama, firman Allah Swt, “Allah adalah Pencipta segala sesuatu..." (QS Al-Zumar:62). Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu selain Allah Swt adalah makhluk-Nya, baik yang maujud secara esensial maupun aksidental.

Kedua, firman Allah Swt, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya..." (QS Al-Sajdah:7). Ayat ini menerangkan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah Swt diciptakan dengan ciptaan yang baik, tidak ada kekurangan dan aib dalam wujudnya, baik pada makhluk yang berkembang secara materi maupun yang berkembang dalam kawasan nonmateri.

Adapun keindahan yang bersifat relatif dapat ditemukan pada makhluk jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Hal ini dipahami dari penjelasan ayat-ayat ini, “Sesungguhnya Kami telah men- jadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya" (QS Al-Kahfi:7).

Pada ayat lain, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah meng- hias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang" (QS Al- Shaffật:6).

Dari kedua ayat tersebut, jelaslah bahwa perhiasan dan keindahan nisbî terdapat pada makhluk dan ciptaan-ciptaan yang bersifat materi, setelah dibandingan antara satu makhluk dengan yang lain. Maka dari ayat

p: 14

“Tetapi Allah menjadikan kami cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan" (QS Al-Hujurât:7) dapat dipahami bahwa Allah Swt telah menjadikan keimanan sebagai sesuatu yang dicintai oleh hati dan menjadikannya hiasan untuk ruh manusia. Karena ruh manusia nonmateri atau abstrak, maka keimanan juga merupakan sesuatu yang abstrak (tidak bermateri). Artinya, keimanan yang bersifat maknawi ini menjadi penyebab keindahan hal lain yang maknawi pula, yaitu ruh manusia. Alquran telah menjelaskan secara terperinci perbedaan antara keindahan takwînî' (jamâl takwînî) dan ‘keindahan i'tibârî(jamâl i'tibârî), dan keistimewaan ‘keindahan Tuhan' (jamâl rahmânî) dibandingkan hiasan setan.

Pembagian keindahan, baik keindahan maknawi maupun keindahan materi, bukan saja disebutkan dalam Alquran, tetapi juga sering disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Saw dan perkataan para imam suci.

Di antaranya adalah perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s, "Keindahan lahir adalah fisik yang indah. Keindahan batin adalah hati yang tulus."(1)

Dalam kesempatan lain, Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Niat yang baik adalah cermin hati yang tulus."(2)

Anjuran untuk menggapai keindahan dan melakukan perbuatan yang baik banyak ditemukan dalam Alquran dan perkataan para imam suci. Dalam salah satu firman-Nya, Allah Swt menyebutkan pengambilan manfaat dari binatang ternak (kambing), karena memeliharanya dapat memberi manfaat dari sisi ekonomi. Allah Swt berfirman, “Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan” (QS Al-Nahl:6).

Diriwayatkan bahwa Imam Ali as berkata, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang selalu khusyuk dalam beribadah

p: 15


1- Al-Ghurar wa al-Durar, juz 1 hlm.313
2- Ibid., juz 3 hlm.382.

dan berhias dengannya, sekalipun mereka dalam keadaan miskin dan membutuhkan sesuatu."(1)

Dalam kesempatan lain, Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah berpesan kepada sahabatnya, Kumail bin Ziyâd, “Menggapai ilmu adalah sebuah ketaatan yang akan membuat seseorang mulia. Dengan ilmu, seorang hamba dalam hidupnya dapat melakukan ketaatan, dan setelah wafat, ia akan menjadi buah bibir." Imam Ali bin Abi Thalib a.s juga pernah berkata, “Memperindah diri adalah perangai orang Mukmin."(2)

Memperindah diri yang menjadi perilaku orang Mukmin mencakup keindahan maknawi dan keindahan materi, meskipun keindahan tersebut lebih cenderung pada keindahan maknawi. Imam Ali bin Abi Thalib a.s berpesan kepada putranya, Imam Hasan a.s, “Hendaklah yang kau cari adalah sesuatu yang selalu memberimu keindahan, sesuatu yang menjauhkan bahaya dan bencana dari dirimu. Adapun harta, ia tidak akan kekal untukmu dan kamu tidak akan abadi bersamanya."(3)

Keindahan manusia ada pada makrifat dan kemuliaannya. Tidak ada perbedaan antara perempuan dan pria dalam masalah-masalah ini. Tolok ukurnya adalah kemanusiaan dan keimanan.

Hal tersebut dapat dilihat dari perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s yang menyatakan, “Akal perempuan ada pada keindahannya, dan keindahan pria ada pada akalnya." Maksud perkataan sang imam ini bukan menyifati manusia dengan dua sifat. Karena jika akal pikiran perempuan terbatas pada keindahan atau kecantikan, maka hal tersebut merupakan penghinaan. Begitu pula dengan keindahan atau ketampanan pria, jika itu berada pada akal pikirannya, maka ini pujian untuknya. Yang dimaksud, bisa jadi adalah sebuah ketetapan atau gambaran positif, bukan dalam konteks me- muji atau menghina. Artinya, perempuan mukallaf dan bertanggung jawab di hadapan Allah dapat menunjukkan akal dan pikirannya

p: 16


1- Nahj al-Balaghah, khutbah 193.
2- Al-Ghurar wa al-Durar, juz 1 hlm.307.
3- Nahj al-Balâghah, surat ke-31.

dengan kehalusan perasaannya, keindahan tutur katanya, dan kelembutan perilakunya, baik dalam berbicara, berdebat, bergaul, bercerita maupun dalam hal-hal lainnya. Begitu pula dengan pria mukallaf, dia juga memiliki beban dan tanggung jawab. Dia dapat menunjukkan jiwa seninya dalam berpikir rasional.

Perempuan, misalnya, dapat meniru kesucian istri Nabi Ibrahim a.s (Sarah a.s), ketika dia memperlakukan malaikat yang men- datanginya dan mendengarkan kabar gembira tentang kelahiran anak- nya (Ishaq a.s) sambil menunjukkan emosinya yang indah, seperti diceritakan dalam Alquran, kemudian istrinya datang memekik, yakni tercengang lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata, “Aku adalah seorang perempuan tua dan mandul." Pada ayat lain disebutkan bahwa, “Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishậq dan dari Ishậq (akan lahir putranya) Ya'qub" (QS Hûd:71). Ayat di atas akan kami jelaskan lebih lanjut, insya Allah.

Tidak mudah bagi seorang perempuan untuk mengungkapkan hal-hal seperti itu, yang juga merupakan gambaran kecemerlangan akal pikirannya. Seorang perempuan yang terdidik, berpengetahuan dan memahami arti perjuangan, di samping sebagai seorang ibu yang memiliki rasa belas kasih dan rindu kepada anaknya, tentu mampu menunjukkan kecemerlangan akalnya secara indah, misalnya ketika mendorong putranya untuk turut serta terlibat dalam sebuah peperangan di jalan Allah Swt, dengan penuh kerelaan ketika berpisah dengan putranya, atau menanti kedatangan putranya dari medan perang. Begitu pula dengan pria, dia juga mampu dengan akal pikirannya yang cemerlang melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh perempuan.

Ringkasnya, seorang perempuan harus mampu menampilkan akal pikiran yang cemerlang secara indah. Artinya, keagungan perempuan tersembunyi dalam keindahannya dan keindahan pria terlihat dalam keagungannya. Pembagian tugas kerja seperti ini bukan penghinaan Mukadimah 17

p: 17

bagi perempuan, bukan pula pujian bagi pria. Namun ia merupakan petunjuk praktis yang harus dilakukan oleh keduanya.

Setiap individu diperintahkan untuk melakukan pekerjaannya yang khusus. Ketika dia sombong dan bertindak sewenang-wenang, maka dia akan mendapat celaan. Perbedaan antara perempuan dan pria tampak pada cara mengemukakan pemikiran yang benar. Selain itu, keduanya memiliki kesamaan, yakni masing-masing dapat mempelajari berbagai ilmu pengetahuan sehingga masing-masing dapat memperoleh penghargaan dan pujian.

Mari kita cermati masalah yang bermanfaat ini, yaitu bahwa beberapa ketentuan dan sifat yang berkenaan dengan perempuan dapat kita bagi menjadi dua bagian berikut ini:

Pertama, ketentuan dan sifat perempuan berdasarkan sifat keperempuanannya. Hal ini tidak pernah diperselisihkan sepanjang zaman. Misalnya, keharusan mengenakan hijab, menjaga kesucian diri, serta berbagai macam ibadah dan hukum lainnya yang khusus untuk perempuan, yang tidak dapat berubah selama-lamanya. Dalam hukum tersebut tidak ada perbedaan antara satu perempuan dengan perempuan lain.

Kedua, sifat perempuan yang tidak merujuk kepada hakikat keperempuanannya, tetapi merujuk kepada pola pendidikan dan lingkungannya. Jika seorang perempuan dididik dengan pendidikan yang benar atau disekolahkan sehingga dia mampu berpikir seperti pria, yakni dia dapat berpikir dan mempertimbangkan akibat baik dan buruknya sesuatu, maka dalam sisi ini, ia tidak berbeda dengan pria.

Kalaupun terjadi perbedaan, maka perbedaan itu sama saja dengan yang juga biasa atau lazim terjadi di kalangan pria sendiri. Contohnya, jika para perempuan turut belajar di perguruan tinggi atau lembaga ilmu pengetahuan hingga mereka memperoleh berbagai ilmu secara sempurna- baik ilmu agama maupun umum, seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu- ilmu umum lainnya yang berkaitan dengan alam, manusia, dan dunia serta ilmu agama dengan berbagai masalahnya, dan apa yang mereka peroleh

p: 18

serupa dengan yang telah diperoleh oleh kaum pria, dan cara memper- olehnya pun sama, maka apakah dapat dibenarkan riwayat-riwayat yang menyudutkan kaum perempuan, seperti hadis yang mencegah pria untuk ber- musyawarah dengan perempuan karena kurangnya akal mereka? Hadis yang menyatakan kurangnya akal pikiran perempuan itu adalah hadis yang masih bersifat umum. Perempuan-perempuan yang berpendidikan dan memiliki ilmu tidak termasuk dalam kriteria hadis tersebut.

Contoh lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s tentang lemahnya akal pikiran perempuan.

Beliau bersabda, "Wahai orang-orang yang menyerupai pria namun bukan pria, akal dan pikiran mereka seperti akal pikiran anak-anak dan kaum perempuan."'(1)

Dalam kesempatan lain, Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Janganlah kalian bermusyawarah dengan para perempuan karena pi- kiran dan kemauan mereka lemah."(2)

Perempuan berilmu dan terpelajar dikecualikan dari pernyata- an Imam Ali a.s di atas. Jadi, perkataan bahwa akal perempuan seperti akal anak-anak dari sisi penalarannya, yang disebabkan oleh keperempuanan tubuhnya, sedangkan kehendak dan tekad mereka lemah, dari sisi amaliahnya, semua itu dengan melihat kenyataan umum kalangan perempuan, sebagai akibat dari metode pendidikan yang bersifat diskriminatif terhadap mereka: kaum perempuan kurang men- dapatkan perhatian dalam hal ini. Mereka tidak menerima pendidikan yang layak. Adapun jika perempuan itu terpelajar atau telah meng- enyam pendidikan, maka tidak dapat dikatakan demikian. Justru yang terjadi pada perempuan seperti demikian adalah sebaliknya. Dia tidak sepatutnya menyandang aib dan cela seperti itu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lemahnya ke- mauan perempuan tidak dapat digolongkan ke dalam kriteria pertama

p: 19


1- Nahj al-Balaghah, khutbah ke-27.
2- Ibid., surat ke-31.

di atas, yakni diserupakan dengan ketentuan keharusan menggunakan esucian diri dan lain-lain.

Sesungguhnya, bukti kecerdasan dan keunggulan telah terdapat pada sebagian perempuan, yakni keistimewaan dalam hal keterdahuluan mereka memperoleh hidayah ketimbang kaum pria. Sejarah membuktikan bahwa banyak dari kaum perempuan yang lebih dahulu memperoleh hidayah daripada kaum pria. Pada saat Islam datang di Hijaz, untuk membuktikan kebenarannya tentu dibutuhkan kecerdasan yang tinggi, begitu pula untuk mempercayainya, ia juga membutuhkan kemauan dan tekad yang kuat agar dapat tahan menghadapi berbagai macam bahaya dan ancaman.

Orang yang telah masuk Islam lebih dahulu dalam kondisi zaman seperti itu pasti memiliki keistimewaan yang khusus.

Terdahulunya mereka dalam memeluk Islam daripada yang lain adalah lantaran keunggulan dan keistimewaan pikiran mereka. Hal itu bukan lantaran mereka lebih dulu masuk Islam dari sisi waktu dan tempat saja, tetapi mereka juga lebih dahulu dalam memperoleh derajat tinggi di sisi Allah, sebagaimana halnyakedudukan dan derajat khusus Imam Ali a.s sebagai salah seorang yang memeluk Islam lebih dahulu dari kalangan anak muda.

Dengan demikian, dapat diketahui bagaimana kecerdasan dan keunggulan para perempuan yang telah masuk Islam lebih dahulu sebelum suami mereka. Dengan akal yang mereka miliki, mereka mampu menentukan kebenaran, sehingga dengan tekad yang kokoh, mereka mau beriman. Sementara pada saat itu, banyak kaum pria yang masih enggan menerima agama Islam, bahkan meragukan kebenarannya dan berusaha untuk memadamkannya.

Malik bin Anas (95-179 H) dalam kitab hadisnya, Muwaththa', menjelaskan bahwa ada beberapa orang perempuan yang telah memeluk agama Islam pada saat suami mereka masih kafir. Di antara mereka adalah Bintu al-Walid bin al-Mughirah, istri Shafwan bin Umayyah dan Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam, istri Ikrimah bin Abu Jahal.(1)

p: 20


1- Muwaththa', kitab al-Nikâh, hlm. 370-371.

Sesungguhnya masyarakat manusia membutuhkan beberapa faktor yang dapat mewujudkan terciptanya kejernihan hati nurani individunya, dan itu tidak cukup dengan sekadar adanya aturan kemasyarakatan seperti undang-undang politik, militer dan ekonomi. Komunitas manusia yang besar itu terbentuk dari kumpulan masyarakat kecil, yaitu keluarga.

Artinya, anggota keluarga yang berbilang merupakan faktor terwujudnya sebuah masyarakat. Dan selama anggota keluarga tersebut belum memiliki rasa kasih sayang, maka kejernihan nurani, semangat kerja sama dan jalinan cinta antarsesama mereka tak mungkin terwujud - sehingga karenanya, tak akan terwujud pula komunitas manusia yang bernama masyarakat. Faktor terpenting yang dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, pengorbanan dan sifat mengutamakan orang lain dalam sebuah keluarga adalah hadirnya jiwa ibu dalam anggota keluarga.

Meskipun ayah berperan mengurusi segala aktivitas manajerial dalam masyarakat terkecil itu, yaitu dengan alasan, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan (QS Al-Nisa':34), tetapi terciptanya bangunan keluarga di atas landasan kasih sayang, kesetiaan, dan ikatan adalah tanggung jawab ibu karena ibu adalah yang melahirkan anak-anak sehingga karenanya antara masing-masing anggota keluarga merasa memiliki sebuah ikatan.

Orang-orang yang dilahirkan dari satu bibit tidak seperti buah- buahan yang tumbuh besar dari sebuah pohon karena pohon tidak memiliki semangat untuk mengutamakan orang lain seperti pada diri manusia. Mereka juga tidak seperti anak-anak binatang karena ia juga tidak memiliki semangat kerja sama seperti yang dimiliki oleh manusia.

Manusia berbeda dengan itu semua, dia memiliki ikatan kemanusiaan yang khas. Anak-anak yang dilahirkan dari satu bibit, baik itu terpisah dengan jangka waktu maupun tidak, akan saling mengasihi dan menaroh belas kasih antara satu dengan lainnya. Mereka merasa perlu menumbuhkan semangat kerja sama antarindividu berdasarkan petunjuk agama dan naluri fitrah yang tertanam dalam jiwa mereka.

p: 21

Menjaga hubungan antarsesama manusia dan tidak melalai- kannya merupakan suatu kewajiban penting dalam agama. Jika ada yang memutuskan hubungan fitri ini, maka dia tidak akan memperoleh rahmat Allah, karena menjalin hubungan dengan kerabat merupakan salah satu perintah-Nya, bahkan orang yang memutuskannya akan mendapatkan kutukan dari-Nya.

“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi" (QS Al-Baqarah:27).

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam)" (QS Al-Ra'd:25).

Barangkali, rahasia penyebutan ungkapan “membuat kerusakan di bumi Allah" setelah kalimat “memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya" adalah bahwa anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah lingkungan keluarga yang taat beragama dan memahami aturan silaturahmi, serta menjaga hubungan keluarga kemudian mereka mengamalkannya, maka setelah masuk dan bersosialisasi ke tengah-tengah masyarakat luas, mereka tidak mungkin membuat kerusakan di atas muka bumi. Itu karena, mereka masuk ke dalam masyarakat dengan berbekal jiwa yang selalu cenderung menjaga hubungan kekerabatan dan mengutamakan orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang tumbuh dalam lingkungan keluarga nonagamis, karena panggilan fitrah mereka untuk selalu menjaga hubungan silaturahmi, kerja sama dan mengutamakan orang lain seringkali mereka abaikan, maka ketika mereka masuk ke dalam masyarakat luas, karakter mereka akan menjadi liar.

p: 22

Kesimpulannya, silaturahmi merupakan sebuah fundamen penting untuk mendidik keluarga sebagai langkah awal menuju terciptanya sebuah masyarakat maju yang lebih besar. Silaturahmi juga merupakan pijakan dalam menjalin hubungan dengan sanak kerabat, keluarga dan saudara. Penyebab terjalinnya hubungan tersebut adalah mereka lahir dari satu rahim, dan rahim yang melahirkan anggota keluarga yang terjalin hubungan itu ada pada perempuan. Ringkasnya, tujuan pokok keluarga adalah menjaga perempuan, sekalipun pria yang bertanggung jawab dalam mengurusi berbagai urusan rumah tangga, memberi nafkah dan hal-hal yang lain.

Oleh karena itu, di dalam Alquran, kita menemukan perintah ber- buat baik kepada kedua orang tua, dalam konteks penjelasan jerih payah dan usaha sang ibu. Allah Swt berfirman, "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan" (QS Al-Ahqâf:15).

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman, "Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun" (QS Luqmân:14).

Imam Ali Zainal Abidin a.s, dalam Risalah al-Huqûq (yang menjelaskan tentang kewajiban dan hak asasi manusia), memerintahkan kita untuk selalu menunaikan hak-hak kita kepada sanak kerabat. Beliau menekankan bahwa hal pertama yang harus kita penuhi haknya dalam keluarga adalah hak ibu, kemudian hak ayah dan seterusnya.

Beliau a.s berkata, “Adapun hak-hak sanak kerabatmu banyak sekali. Ia saling berhubungan sesuai dengan dekatnya kekerabatan. Yang paling wajib kamu laksanakan terlebih dahulu adalah hak ibumu,

p: 23

kemudian hak ayahmu, kemudian hak anakmu, lalu hak saudaramu dan setelah itu kerabatmu yang terdekat dan seterusnya." Olehkarena itu, peranan perempuan bukan hanya mewujudkan hubungan silaturahmi antara anggota keluarga dalam satu nasab dan satu keluarga saja, tetapi juga mewujudkan hubungan silaturahmi dengan kerabat yang disebabkan oleh mushâharah ('perkawinan') karena kerabat yang disebabkan oleh perkawinan dalam pandangan Islam seperti kerabat dalam nasab. Mereka merasa sangat bangga dengan hubungan kerabat yang khusus seperti itu.

Hubungan kekeluargaan yang terjalin melalui perkawinan (misalnya menantu, ipar, mertua dan sebagainya) atau yang disebut dengan mushâharah memiliki banyak ketetapan, antara lain, seperti yang disebutkan dalam pidatoyang disampaikan oleh Nabi Saw ketika menikahkan putrinya Fathimah al-Zahra a.s dengan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Beliau menyatakan bahwa hubungan kekeluargaan melalui perkawinan akan membuahkan jalinan hubungan nasab. Menantu menjadi anak dari kedua keluarga tersebut, begitu pula dengan anggota keluarga dari kedua keluarga tersebut, mereka juga menjadi anggota keluarga dalam satu keluarga, khususnya para ayah dan ibu.(1) Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Ali bin Musa al-Ridha a.s pada saat menikahkan putranya, Imam Muhammad bin Ali al-Jawad a.s. Allah Swt berfirman, “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Mahakuasa" (QS al-Furqân: 54).

Di sini, kita akan memasuki sebuah tema penting, yaitu kejelasan peranan perempuan dalam menciptakan hubungan dengan pria sebagai ayah dan hubungan dengan anggota keluarga lain yang dihasilkan dari hubungan tersebut, yakni anak-anak. Perempuan, pada awalnya, memikat pria, lalu dia menumbuhkan belas kasih dan simpati (pada diri sang pria), kemudian membuatnya merasa tentram. Setelah itu, berkat

p: 24


1- Bihar al-Anwâr, cet. Beirut, juz 100, hlm. 164-167.

peran perempuan yang berperasaan lembut, penuh kasih sayang dan dapat membuat hati pria menjadi tentram – terbentuklah sebuah keluarga yang damai dan kekerabatan yang penuh kasih sayang. Jika masalah ini sudah jelas, maka jelasl pula bahwa indahnya keluarga ada pada tanggung jawab perempuan. Perempuan menjadi landasan utama dalam membangun lingkungan kekerabatan dan keluarga yang penuh kasih sayang, yaitu pertama, dengan memberi belas kasih kepada pria asing (yakni suami), kemudian, kedua, mengikat hubungan dua keluarga dengan keturunan karena mushậharah, dan ketiga, membuat orang asing menjadi muhrim karena penyusuan, dan hubungan penyusuan adalah seperti hubungan mushaharah.

Sekarang kita kembali ke pokok permasalahan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.

Pertama, apakah perempuan dan pria diciptakan dari dua unsur yang berbeda dan saling terpisah sehingga keduanya memiliki pengaruh dan kebutuhan yang khas, seperti dua mutiara yang diambil dari dua tambang yang terpisah: jenis yang satu berbeda dengan jenis lainnya? Kedua, apakah perempuan dan pria terbuat dari satu unsur sehingga dari sisi keberadaannya, dia tidak memiliki keistimewaan antara satu dengan lainnya, kecuali dengan sifat dan karakter yang telah diperolehnya? Ketiga, apakah pria itu diciptakan dari sebuah unsur tertentu, ke- mudian setelah itu, perempuan diciptakan dari sisa-sisa dasar pen- ciptaannya, yakni menjadi bagian darinya? Keempat, apakah perempuan diciptakan dari unsur tertentu, lalu setelah itu, diciptakan pria dari sisa-sisa dasar penciptaan perempuan sehingga ia ikut dengannya? Kemungkinan pertama tidak memiliki landasan yang kokoh yang dapat menguatkan pernyataan tersebut, baik dalil Alquran maupun dalil lainnya. Begitu pula dengan kemungkinan keempat, ia juga tidak memiliki dalil, baik dari Alquran maupun hadis. Adapun

p: 25

kemungkinan yang dapat dipegang adalah kemungkinan kedua dan ketiga.

Kemungkinan yang sesuai dengan penjelasan Alquran yang membahas proses penciptaan manusia dan yang dikuatkan oleh beberapa hadis adalah kemungkinan kedua. Adapun kemungkinan ketiga, tidaklah sesuai dengan maksud ayat-ayat yang menjelaskan tentang proses penciptaan manusia, begitu pula dengan hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut juga kurang sahih.

Ayat-ayat Alquran yang menceritakan proses penciptaan ma- nusia, antara lain, sebagai berikut:

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu" (QS Al-Nisa':1).

Maksud katadiri yang merupakan terjemahan dari kata nafs pada ayat di atas adalah 'unsur', 'zat', 'dasar' dan 'hakikat dari sesuatu', bukan berarti 'ruh' atau j'iwa' dan 'sesuatu yang serupa dengannya'. Misalnya, jika orang Arab mengatakan inna fulân syai'un fi nafsihi, itu artinya si fulan memiliki sesuatu pada dirinya', yakni dalam zat dan wujudnya yang asli. Ketika dikatakan jâ'anî fulân nafsuhu, itu berarti fulan datang kepadaku dengan dirinya', yakni bahwa dia datang seorang diri. Dari sini, kata nafs adalah sinonim dari kata 'ain yang berarti zat asli atau hakikat dari sesuatu'(1)

Tidak dibenarkan untuk mengaitkan ayat tersebut dengan pembahasan-pembahasan ilmu kejiwaan, atau mempertimbangkan pemahaman ayat tersebut dengan menghubungkannya ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan ruh yang ditiupkan pada jiwa manusia dan

p: 26


1- 14 Tafsir al-Mizân, juz 4 hlm. 144.

kembalinya kepada Allah Swt. Oleh karena itu, arti kata nafs adalah ‘zat' dan 'hakikat sesuatu'. Adapun maksud ayat di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, seluruh manusia, baik pria maupun perempuan – karena kata nafs dalam ayat di atas mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun perempuan— diciptakan dari satu unsur, yakni dari satu elemen dasar.

Kedua, bahwa perempuan yang pertama diciptakan adalah istri dari pria yang pertama diciptakan (Adam a.s dan Hawa a.s). Perempuan diciptakan dari zat dan hakikat yang sama dengan zat dan hakikat penciptaan pria, bukan dari unsur yang lain. Dia bukan pula bagian dan sisa dari unsur penciptaan pria. Allah Swt menciptakan perempuan pertama dari zat dan hakikat asal-usul perempuan itu sendiri. Dari hal itu, Allah Swt menciptakan seluruh manusia, baik pria maupun perempuan. Allah Swt kemudian menjelaskan proses berkembang biak dan memperbanyak keturunan. Tidak mungkin pembahasan tersebut kami jelaskan terperinci dan panjang lebar dalam pendahuluan buku ini.

Berkaitan dengan permasalahan ini, pada ayat lain tentang penciptaan, Allah Swt berfirman, “Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya. Dia menciptakan istrinya" (QS Al- A'râf:189). Begitu pula firman Allah Swt yang berbunyi, “Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya" (QS Al-Zumar:6).

Kedua Ayat di atas menjelaskan bahwa asal-usul penciptaan manusia-pria dan perempuan, adalah dari unsur yang serupa dan dari satu elemen.

Adapun hadis-hadis yang menceritakan tentang unsur dasar diciptakannya manusia seperti hadis yang telah diriwayatkan oleh Muhammad bin Bâbawaih al-Qummî (Syaikh ash-Shadûq) dalam kitab Man là Yahdhurohu al-Faqih – antara lain, riwayat Zarârah bin A'yan yang menyebutkan bahwa suatu ketika Imam Abu Abdillah (Ja'far al- Shadiq) a.s ditanya tentang penciptaan Hawa a.s, “Orang-orang di sekitar

p: 27

kami mengatakan bahwa Allah Swt menciptakan Hawa .as dari tulang rusuk kiri Nabi Adam a.s." Beliau menjawab, “Mahasuci Allah dari hal yang semacam itu. Bukankah dengan perkataan itu berarti dia mengatakan bahwa Allah Swt tidak mampu menciptakan Hawa a.s dari selain tulang rusuknya? Secara tidak langsung, ungkapan tersebut juga merupakan penghinaan kepada Adam a.s karena seakan-akan dia menikahi sesamanya..." Selanjutnya al-Shadiq berkata “...Setelah itu Adam a.s berkata, “Wahai Tuhanku, siapakah makhluk indah yang telah menghiburku dengan kedekatan dan penglihatanku padanya?' Allah Swt berfirman, 'Wahai Adam, dia adalah Hawa, abdi-Ku. Apakah kamu suka kalau dia akan menyertaimu, menghibur dan mengajakmu berbicara, dan dia akan selalu patuh dengan perintahmu?' Adam a.s berkata, “Ya, wahai Tuhanku. Dengannya aku sampaikan puji syukur kepada-Mu.' Lalu Allah berfirman, 'Pinanglah dia kepada-Ku, karena dia adalah abdi-Ku.

Dia juga sah bagimu untuk menjadi istri demi menyalurkan syahwatmu.' Maka Adam a.s berkata, "Wahai Tuhanku, aku meminangnya kepada- Mu, lalu apa kerelaan-Mu untuk itu?' Lalu Allah berfirman, “Kerelaan-Ku adalah dengan kamu ajarkan kepadanya panji-panji agama-Ku.'" Hadis ini sekalipun penjelasannya agak terperinci, tetapi ada beberapa alinea yang tidak disebutkan, sehingga hadis tersebut perlu diteliti lagi dari sisi sanadnya, karena sebagian silsilah perawi hadis tersebut sangat kacau dan sebagian yang lain tidak diketahui. Begitu pula dengan isi dan kandungannya, juga perlu dijelaskan lebih banyak lagi.

Namun di sini, ada beberapa masalah penting yang dapat ditarik dari hadis tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, penciptaan Hawa a.s dari tulang rusuk kiri Nabi Adam a.s adalah tidak benar.

Kedua, penciptaan Hawa a.s - seperti penciptaan Adam a.s - indah dan mengagumkan.

Ketiga, kedekatan dan penglihatan Adam a.s kepada Hawa a.s adalah faktor yang membuatnya suka dengan Hawaa.s. Allah telah menjadikan hal tersebut sebuah landasan terjalinnya ikatan antarkeduanya. Kesenangan

p: 28

manusia itu sudah ada sebelum munculnya naluri syahwat seksual ka- rena masalah naluri adalah sesuatu yang timbul setelah peristiwa itu.

Keempat, Allah Swt mengajari Adam a.s nafsu seksual dan per- nikahan setelah timbul rasa suka dan cinta pada diri Hawa a.s.

Kelima, mahar (mas kawin) termulia adalah mengajarkan ilmu Tuhan dan memberi tahu tentang ajaran agama, sebagaimana mahar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt kepada Adam a.s untuk Hawa a.s.

Keenam, setelah selesai pernikahan, Adam a.s memerintahkan Hawa a.s agar datang kepadanya dan memperlihatkan wajahnya. Lalu Hawa as berkata kembali kepada Adam a.s agar dia yang menghampirinya.

Namun, tiba-tiba Allah Swt memerintahkan Adam a.s untuk bangun dan pergi menemui Hawa a.s. Inilah rahasia pertunangan seorang pria dengan perempuan. Jika tidak demikian, yakni Hawa a.s yang menghampiri Adam as, maka perempuanlah yang akan melamar pria. Tentu meminang dalam hadis tersebut bukan meminang sebagaimana biasanya yang dilakukan sebelum akad nikah dalam budaya kita.

Sampai di sini, jelaslah bahwa penciptaan perempuan dan pria adalah bersumber dari satu unsur. Seluruh perempuan dan pria memiliki unsur dasar yang sama dan yang meletakkannya adalah Allah Swt yang Mahatunggal dan Maha Esa. Tidak ada keistimewaan tertentu bagi pria ataupun perempuan dalam asal-usul penciptaannya. Jika ada beberapa hadis yang menyebutkan keistimewaan tersebut, maka ia memiliki dua kemungkinan: pertama, sanad hadis tersebut dha'if ('lemah'), dan kedua, maksud dan arti hadis tersebut tidak sempurna. Jika dilihat dari kedua sisi tersebut tidak memiliki cacat, maka hadis tersebut tidak dapat dikuatkan dengan dalil zhannî ('dalil yang kebenarannya tidak pasti'), yakni bukan dalil qath î ('dalil yang pasti benar seperi Alquran dan hadis mutawatir”).

Pokok pembahasan dalam masalah ini bukan masalah yang bersifat ta'abbudi ('murni bersifat penghambaan kepada Allah Swt, dan tidak ada ruang bagi akal untuk mempermasalahkannya' – peny.), seperti beberapa permasalahan fikih murni lainnya. Akan tetapi, pembahasan kita di sini adalah dalam konteks mengupas berbagai masalah yang telah dimaklumi

p: 29

pembahasannya, yaitu bahwa perempuan adalah pondasi dalam membentuk keluarga berdasarkan kasih sayang, kesenangan dan keterpikatan hati sebagaimana pria yang juga merupakan landasan dalam pembentukan keluarga, yaitu dalam mengurusi rumah tangga, memberi nafkah keluarga dan mengatur perekonomian mereka serta pekerjaan- pekerjaan rumah tangga lainnya. Adapun yang berkaitan dengan tugas pria tidak membutuhkan penjelasan yang panjang lebar karena dalil-dalil yang menjelaskan hal tersebut sangat banyak, baik dari Alquran maupun dari sejarah kaum Muslim. Hal ini juga ditegaskan oleh firman Allah Swt, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan” (QS Al- Nisâ':34), dan lain-lain.

Yang penting dalam pembahasan ini adalah mengukuhkan tema pertama, yaitu perempuan sekadar pondasi bangunan keluarga karena jika kita menganalisis secara mendalam kedua tema tersebut, maka kita harus menjelaskan gambaran dasar dari kedua tema itu yang pada akhirnya kita harus menerima dasar-dasar pembenarannya. Gambaran dasar yang terpenting dalam masalah ini adalah membedakan antara rasa belas kasih dengan kemuliaan akal, di satu sisi, dan antara karakter cinta kasih dengan nafsu birahi, di sisi lain. Dengan demikian, landasan keluarga harus ber- asaskan cinta yang manusiawi dan rasional, bukan berasaskan nafsu seksual.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa peranan perempuan merupakan wujud keindahan Tuhan dalam bentuk manusia, bukan sebagai alat pelampiasan nafsu dan syahwat belaka.

Hal yang juga perlu diperhatikan di sini adalah kerinduan dan kecenderungan antara dua jenis merupakan sebuah ikatan yang khas.

Hakikat kekhasan itu memiliki beberapa tingkatan yang dapat me- nimbulkan berbagai penafsiran. Dengan ini, dapat dipahami bahwa kerinduan dan ketertarikan terdapat dalam seluruh bagian terkecil makhluk di alam ini. Namun, setiap tingkatan tersebut memiliki sebuah ketetapan tertentu. Terkadang, ia muncul dengan cara menarik dan menolak, terkadang ia juga muncul dengan cara mengambil dan memberi. Contoh-contoh lain yang serupa dengannya dapat kita temukan

p: 30

dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Terkadang, ia juga muncul dalam bentuk syahwat dan kemarahan, seperti yang terjadi pada binatang buas.

Terkadang, ia juga muncul dalam bentuk kesenangan dan ketidaksukaan, seperti yang terjadi pada binatang-binatang jinak dan pada orang- orang yang tidak terdidik. Dari sini, manusia harus melewati beberapa tahap perjalanan spiritual yang melelahkan agar dapat sampai ke sebuah keadaan dia dapat mencintai dan membenci karena Allah Swt, dan sete- rusnya.

Kita perhatikan dengan jeli masalah berikut ini: Apakah rahasia di balik penciptaan perempuan dan pria dan kecenderungan mereka untuk menyukai satu sama lain, serta faktor yang men- dorong mereka untuk membangun dan mendidik keluarga serta untuk menciptakan manusia-manusia sempurna adalah karena kecenderungan seksual semata-manusia tidak memiliki tujuan lain kecuali pelampiasan luapan syahwat, seperti binatang buas – ataukah rasa saling mengasihi antara perempuan dan pria dan tujuan membentuk lingkungan yang penuh belas kasih, serta mendidik manusia untuk menjadi khalifatullah di muka bumi, di samping berusaha menyerap keagungan, keindahan dan seluruh asma Allah Swt? Tentu, kemungkinan kedua adalah jawaban yang tepat karena jika sekadar kecenderungan seksual belaka, maka hal itu juga terdapat pada binatang-jantan dan betina. Namun, tidak ada dorongan ilahiah atau akal pada binatang.

Maka dari itu, rahasia utama di balik penciptaan perempuan adalah sesuatu yang lebih tinggi daripada sekadar pemenuhan kebutuhan seksual. Allah Swt berfirman, huwal-ladzî khalaqakum min-nafsin wâhidatin wa jaʻala minhâ zaujahâ liyaskuna ilaihâ.

‘Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya...' (QS Al-A'râf:189) Dalam ayat lain Allah Swt berfirman,

p: 31

wa min âyâtihî an khalaqa lakum min anfusikum azwajan litaskun û ilaihâ wa jaʻala bainakum mawaddatan wa rahmatan, inna fi dzâlika la âyâtin liqaumin yatafakkarûn.

‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir' (QS Al- Rûm:21).

Kedua ayat di atas menjelaskan ketentraman perempuan dan pria.

Namun, dijelaskan di sana bahwa sumber ketentraman tersebut adalah perempuan karena perempuan dianggap sebagai dasar adanya ketenangan jiwa. Adapun pria, dia akan tertarik dengan belas kasih perempuan, meskipun pada hakikatnya, perempuan dan pria berasal dari satu unsur dan tidak ada keistimewaan tertentu antarkeduanya dari sisi ciptaannya.

Maksud min nafs wahidah adalah 'hakikat dan unsur yang satu'.

Artinya, dasar diciptakannya seluruh manusia adalah dari hakikat yang satu. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara perempuan dan pria, sebagaimana tidak ada keistimewaan antara manusia pertama dan manusia bukan pertama. Hal ini serupa dengan makna “anak-anak Adam a.s" dalam firman Allah yang berbunyi, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS Al-A'râf:172).

Maksud anak-anak Adam dalam ayat tersebut adalah untuk seluruh umat manusia, termasuk Nabi Adam a.s.

p: 32

Dalam bahasa Arab dan kebiasaan umum masyarakat Arab sebagai para pengguna bahasa tersebut, nafs termasuk gender feminin (mu'annats) secara majâzî ('kiasan'). Oleh karena itu, wahidah dalam kalimat tersebut berbentuk feminin (mu'annats) pula, yakni dengan penambahan huruf tâ marbûthah pada akhir kata tersebut. Maka arti nafs wahidah adalah ‘hakikat dan asal yang satu'.

Adapun makna zauj dalam ayat tersebut adalah perempuan yang menjadi istri pria. Sebaik-baik ungkapan untuk perempuan adalah zauj yang bentuk jamaknya azwaj, bukan zaujah yang bentuk jamaknya zaujât. Ungkapan perempuan dengan zaujah dianggap kurang fasih, bahkan menurut Al-Raghib al-Ishfahani, orang yang menggunakan kata tersebut berarti telah menggunakan bahasa yang buruk. Oleh karena itu, istri tidak pernah disebutkan oleh Alquran dengan zaujah. Begitu pula dalam menyebutkan para perempuan teladan di dunia dan akhirat, Alquran tidak pernah menyebut mereka dengan zauját. Mereka disebut dengan zauj atau azwaj. Adapun alasan mengapa istri selalu disebut dengan zauj adalah berdasarkan kesimpulan yang diambil dari ayat tersebut, yang dalam ayat itu disebutkan liyaskuna, dengan kata ganti orang ketiga maskulin yang artinya agar pria tersebut memperoleh ketentraman' karena pria tanpa perempuan hidupnya tidak akan tentram, sehingga dia mem- butuhkan seorang teman yang dapat menghiburnya.

Kata ganti hâ pada kalimat ilaihâ kembali kepada kata zauj, yakni ‘istri' sehingga maksud kalimat tersebut adalah kecenderungan untuk memperoleh ketentraman hati adalah dari pihak suami kepada istri.

Suami tidak akan merasa akrab dan tentram tanpa keberadaan istri karena bersama istrilah, suami merasakan kebahagiaan dan ketentraman.

Sebenarnya ayat tersebut masih mengandung berbagai masalah yang lain, tetapi itu di luar pembahasan ini.

Kata ganti hâ pada ilaihâ tidak kembali kepada nafs, tetapi ia kembali kepada zauj, seperti yang telah kami jelaskan. Zauj berarti 'istri', seperti bunyi firman Allah Swt:

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

p: 33

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS Al- Rûm:21).

Dari ayat tersebut, dapat kita ambil beberapa kesimpulan, di antaranya, sebagai berikut:

Pertama, dasar asal-usul penciptaan perempuan dan pria adalah sama. Tidak seorang perempuan pun yang diciptakan dari unsur dasar yang berbeda dengan pria. Namun, dalam masalah tanah ada sedikit perbedaan antara tanah para kekasih Allah dengan tanah yang lainnya. Tanah para kekasih Allah Swt tentunya lebih istimewa daripada tanah lainnya, tetapi pembahasan tersebut tidak ada kaitannya dengan masalah penciptaan pria ataupun perempuan. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara manusia yang pertama diciptakan dengan manusia- manusia sesudahnya, dan begitu pula antara para kekasih Allah Swt dengan manusia lainnya.

Kedua, seluruh perempuan pada hakikatnya berasal dari unsur yang sama dengan pria, sebagaimana firman Allah Swt ketika menjelaskan tentang Nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri" (QS Âli 'Imrân:164).

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu" (QS Al-Taubah:128).

Sudah barang tentu, keberadaan Rasulullah Saw berbeda dengan keberadaan makhluk-makhluk lainnya. Namun, perbedaan tersebut tidak berarti keberadaan beliau berbeda dengan jenis makhluk lainnya.

Begitu pula dengan Fathimah Al-Zahra a.s, beliau juga memiliki banyak

p: 34

keistimewaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali para nabi dan para imam yang suci. Dengan adanya keistimewaan tersebut, tidak berarti keberadaan beliau berbeda dengan para perempuan lainnya.

Ketiga, sumber kecenderungan pria pada perempuan dan ke- tentramannya adalah berupa rasa kasih dan sayang (mawaddah wa rah- mah) yang telah Allah tanamkan pada diri keduanya, bukan kecenderungan seksual antara keduanya seperti pada binatang. Alquran tidak pernah menyebutkan bahwa kecenderungan seksual binatang sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan dari Zarârah ketika Imam Ja'far al-Shadiq a.s mengatakan bahwa kecenderungan pria pada perempuan disebabkan adanya cinta Ilahi karena nafsu seksual diberikan oleh Allah Swt kepada Nabi Adam a.s setelah timbul rasa cinta dan suka kepada Hawa a.s.

Dalam keterangan yang lalu, ketika kita membahas masalah kasih sayang, kita sama sekali tidak menyinggung masalah nafsu seksual.

Sementara, di satu sisi, perempuan adalah sesuatu yang dicintai oleh Nabi Saw. Beliau bersabda, “Aku mencintai tiga hal dari kesenangan dunia kalian, yaitu perempuan, wewangian dan kesejukan hatiku dalam salat." Mengenai masalah ini, Imam Muhammad al-Baqir a.smeriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda, “Tidak ada bangunan dalam Islam yang lebih dicintai oleh Allah daripada bangunan pernikahan." Imam Ja'far al- Shadiq a.s meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menikah, dia telah memperoleh separoh agamanya." Dalam kesempatan lain, Imam al-Shadiq a.s berkata, “Kebaikan yang paling banyak terdapat pada para perempuan." Keselarasan hubungan antara perempuan dan pria, jika dilihat dari dimensi alam malakût, seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, jika dilihat dari dimensi fisik-duniawi (mulkî), maka ia (hubungan fisik antara pria dan perempuan) seperti dilukiskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s, “Hilangnya rasa malu, terhimpunnya berbagai aib dan cela, sangat serupa

p: 35

dengan kegilaan, tetap melakukannya akan membuatnya menjadi tua renta, dan sadar dengannya akan menimbulkan penyesalan."'(1)

Tentu, pernikahan adalah sunah para nabi, khususnya Rasulullah Saw. Sebaliknya, sesuatu yang sangat menyerupai kegilaan dan mengakibatkan hilangnya rasa malu serta penyebab timbulnya penyesalan bukanlah perbuatan sunah. Akan tetapi, ketentraman dan rasa kasih sayang, yang merupakan daya tarik Tuhan yang diberikan kepada perempuan dan pria untuk dijadikan landasan dalam membentuk lingkungan keluarga, dan fundamen untuk menjalin hubungan kekerabatan dan muhrim, serta hubungan keluarga yang penuh belas kasih, adalah Tahan untuk membangun norma kemanusiaan yang tinggi.

Akad nikah, menurut beberapa ulama fikih, tidak dianggap sebagai akad yang bersifat muſâwidh, yakni akad saling memberi kompensasi antara dua pihak – suami dan istri. Namun, mereka menganggap bahwa akad tersebut adalah sebuah janji dan ikrar bersama yang mengandung unsur ibadah. Oleh karena itu, mereka tidak mengharuskan akad dilakukan seperti akad jual beli, sewa dan lain- lain. Mereka juga menganggap bahwa syarat khiyâr ('memilih') dalam nikah adalah batil atau tidak benar. Meskipun para ahli fikih masih berselisih tentang sah atau tidaknya akad nikah dengan syarat khiyâr, tetapi pokok masalah tersebut ada dalam penjelasan berikut ini:

Kelaziman melakukan akad dibagi menjadi dua, yaitu (1) berdasarkan hak atau yang disebut dengan luzûm haqqî, dan (2) berdasarkan ketetapan, atau yang disebut luzûm hukmî.

Yang pertama, karena itu merupakan hak kedua pihak dalam bertransaksi, maka hal tersebut dapat mengakibatkan pembatalan, tetapi dengan beberapa syarat yang khusus. Dalam keharusan yang pertama ini, menurut syariat Islam, diperbolehkan melakukan khiyâr ('memilih') seperti khiyâr majlis ('memilih di tempat dilakukannya akad jual beli'), khiyâr hayawân ('memilih binatang untuk dibeli'), dan khiyâr dalam jenis lainnya. Dengan adanya khiyar tersebut, transaksi yang telah dilaksanakan

p: 36


1- 15 Al-Ghurar wa al-Durar, juz 3, hlm. 417.

oleh kedua pihak dapat menjadi batal. Pembatalan itu akan sah jika kedua pihak tersebut saling berhadapan karena hanya dengan kerelaan antarkeduanya, pembatalan itu menjadi sah.

Adapun yang kedua adalah keharusan hukmî, yaitu keharusan ter- sebut bukan hak kedua pihak, tetapi merupakan ketetapan Allah Swt.

Tidak seorang pun dari mereka yang bertransaksi tersebut berhak untuk mengubah atau membatalkan akad itu, kecuali jika dia memperoleh izin secara syarî, seperti cerai atau adanya aib yang dapat merusak akad nikah tersebut.

Alasan mengapa sebagian ulama fikih menyatakan tidak sah akad nikah dengan syarat khiyâr karena dalam akad tersebut didapati unsur ibadah, bukan sekadar akad mu'awidh.(1)

Pandangan Islam terhadap perempuan dan dalam mengatur hak- haknya adalah hak Allah, bukan hak manusia. Siapa pun tidak boleh menodai kesuciannya. Seluruh manusia dibebani tanggung jawab untuk menjaga kemuliaan dan kedudukan perempuan. Jika seseorang telah melampaui batas, lalu dia merusak kemuliaan perempuan tersebut, maka dia wajib dijatuhi hukuman. Hukuman atas perbuatan zina tidak dapat digugurkan dengan alasan apa pun, meski disertai kerelaan pelaku yang bersangkutan, pria ataupun perempuan, karena hal tersebut merupakan hak Allah Swt.

Perempuan tidak seperti harta. Harta, jika dicuri, lalu orang yang kecurian merelakannya, maka gugurlah hukuman yang dijatuhkan pada pencuri tersebut. Namun, peradaban materialistis baik Barat maupun Timur, menganggap bahwa perempuan bagaikan barang dagangan. Oleh karena itu, terdakwa akan bebas dari hukuman cukup jika perempuan atau suaminya bisa merelakan perbuatan tersebut. Perbuatan semacam itu telah berjalan pada masa jahiliah, tetapi setelah Islam datang, tidak ada lagi kesempatan bagi jahiliah baru maupun jahiliah lama untuk mengulangi perbuatan tersebut. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan

p: 37


1- 16 Masâlik al-Afhâm, al-Syahid al-Tsani.

memulai dan tidak (pula) akan mengulangi'"(QS Saba':49).

Terakhir, kami ingin mengutip pernyataan seorang manusia sempurna, yaitu Imam Ali a.s, yang mengutip dari seorang manusia sempurna lainnya, Fathimah al-Zahra a.s:

"Pada saat Fathimah ditinggal oleh ayahnya (Nabi Saw), para perempuan Bani Hasyim turut sibuk membantu pemakaman Nabi Saw.

Maka Al-Zahra menegur mereka, 'Tinggalkanlah pekerjaan kalian, dan lekaslah berdoa.'\(1)

Fathimah al-Zahra as menyuruh para perempuan yang sedang ber- kabung agar tidak berhias dan memakai busana kesedihan. Namun, beliau menyuruh mereka untuk berdoa.

Maksud kami menukil hadis ini adalah untuk menunjukkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib a.s, sekalipun seluruh perkataannya sudah maksum (terjaga) dan menjadi hujah, tetapi beliau masih berpegang pada perkataan orang lain yang sama maksumnya untuk menguatkan sebuah masalah. Manusia yang maksum adalah sama, baik pria maupun perempuan dalam seluruh perilaku, pembicaraan maupun tulisannya. Sunah para imam suci merupakan hujjah, begitu pula sunah Fathimah al-Zahra a.s juga merupakan hujjah, baik dalam syariat maupun dalam sanad fikih.

Jika perempuan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan dan me- ninggalkan hiasan dunia, maka dia akan dapat menjadi seperti pria. Begitu pula sebaliknya, jika pria tak mau mempelajari ilmu Tuhan, kemudian dia sibuk dengan hiasan dunia, maka dia seperti perempuan. Rahasia di balik adanya pembagian yang cenderung bersifat diskriminatif ini adalah adanya dominasi eksternal (kaum pria) yang telah berpindah generasi demi generasi akibat buruknya sistem pendidikan yang tidak islami.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa gambaran kepribadian perempuan sejati bukan dengan sibuk berhias sehingga dia tidak dapat turut serta dalam forum-forum ilmiah. Sementara itu, Allah Swt berfirman,

p: 38


1- 17 Al-Khishal, karya Syaikh al-Shaduq, hlm. 618.

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam perhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran" (QS Al-Zukhruf:18).

Ayat ini bukan dalam konteks menjelaskan hakikat jenis perempuan dan menerangkan susunan strukturnya yang tidak dapat berubah dengan perubahan sistem pendidikan.

Sekarang jelaslah bagaimana keagungan perempuan dan penciptaannya. Keindahannya yang menawan tampak dalam keagungan pemikirannya yang cermerlang. Jelaslah pula bahwa misi perempuan adalah menampakkan keagungan Tuhan dalam keindahan belas kasih.

Begitu pula dengan misi pria, yaitu untuk menampakkan keindahan yang tercermin dalam keagungan akal pikirannya. Oleh karena itu, buku ini diberi judul Keindahan dan Keagungan Perempuan. Meskipun keagungan dan keindahan merupakan hal nyata dan telah dipahami, tetapi tidaklah mudah untuk membatasi keduanya secara hakikat. Keindahan lahir dapat dilihat dengan indra lahir. Begitu pula dengan keindahan batin, ia hanya dapat dilihat dengan indra batin. Segala puji syukur ke hadirat Allah Swt, Tuhan semesta alam.

Qum, Jawâdî Âmulî Mukadimah

p: 39

p: 40

Perempuan dalam Alquran

Point

Dengan anugerah Allah Swt, mari kita mulai pembahasan tentang perempuan dalam Alquran. Pertama, alangkah baiknya jika kita kenali terlebih dahulu dua metode penafsiran Alquran, yaitu tafsir maudhûſî dan tafsir tartîbî.

Tafsir Maudhûrî dan Tafsir Tartîbî

Tafsir maudhûri adalah sebuah pembahasan tentang ayat- ayat Alquran berdasarkan tema-tema khusus. Tema tersebut, di samping memaparkan sudut pandang Alquran, juga memaparkan sudut pandang Ahlul Bait Nabi Saw karena Alquran tidak mungkin dapat terpisah dengan Ahlul Bait, dan sebaliknya, Ahlul Bait juga tidak dapat dipisahkan dengan Alquran. Hal yang demikian itu juga lantaran kelahiran Islam tidak dapat dilepaskan dari Alquran dan Ahlul Bait. Oleh karena itu, pembahasan yang dipaparkan oleh Alquran dan Ahlul Bait merupakan pemaparan yang sebenarnya dikehendaki oleh Islam. Dapat kita katakan bahwa perempuan dalam Islam sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Alquran dan Ahlul Bait Nabi Saw.

Dalam dunia pendidikan, tafsir maudhûrî dipelajari setelah tafsir tartîbî. Seseorang yang mengkaji Alquran secara tartîbî harus menggu- nakan urutan ayat-ayatnya secara benar, yakni dari awal hingga akhir surah sampai dia memiliki kepandaian dan pengetahuan tentang Alquran secara menyeluruh sehingga ketika disuguhkan kepadanya sebuah ayat, maka dia telah mengetahui kandungan dan maksud ayat tersebut.

p: 41

Setelah dia mempelajari kandungan ayat-ayat tersebut melalui tafsir tartîbî, dengan bekal itu, dia dapat mengkaji tafsir maudhûrî dengan memilih sebuah tema untuk dibahasnya. Artinya, pengkaji tafsir maudhû î menghimpun beberapa ayat Alquran yang membahas tentang sebuah tema, menyusunnya, lalu mengumpulkan beberapa hadis yang membicarakan tema tersebut. Pada tahap terakhir, dia dapat melakukan penyusunan terhadap seluruh ayat dan hadis yang membahas tema yang dikajinya sehingga dia dapat memberikan keterangan bahwa itu adalah pendapat Islam, Alquran dan Ahlul Bait Nabi Saw.

Bahan referensi tafsir maudhûî dan tafsir tartîbî adalah penjelasan hadis dan fikih yang telah dikemukakan oleh para ulama. Artinya, digunakan hadis-hadis yang telah diakui derajat kesahihannya oleh para ulama dan yang berkaitan erat dengan tema-tema fikih yang sedang dikaji.

Setelah melalui tahapan ini, hasil kajian tafsir maudhû î dinilai oleh Alquran, akal dan ijma'. Setelah itu, barulah pengkaji dapat mengemukakan fatwanya berkenaan dengan tema fikih tersebut. Di sini, tafsir maudhû“î dan tafsir tartîbî seperti penjelasan fikih terhadap hadis.

Karena fikih merupakan kajian tematis terhadap hadis, maka fikih dapat diibaratkan dengan tafsir maudhûſî dan hadis sebagai tafsir tartîbî.

Tafsir Tartîbî Mendahului Tafsir Maudhûçî

Pernyataan bahwa tafsir tartîbî mendahului tafsir maudhûſî mengandung pengertian bahwa barang siapa hendak membahas sebuah tema dari sudut pandang Alquran, selamanya dia tidak dapat mengambil istinbâth ('ketetapan hukum') dalam tema tersebut dari Alquran dengan hanya berpegangan pada kamus, lalu menyandarkannya kepada Alquran.

Itu karena masih banyak permasalahan terkait dengan tema tersebut yang tidak dapat dijelaskan dengan bahasa.

Oleh karena itu, jika seseorang hendak menulis tafsir maudhûrî dan masuk pada ayat yang akan dibahas, maka dia tidak boleh melihat ayat tersebut terpisah dengan konteks ayat, baik sebelum maupun

p: 42

sesudahnya. Dia harus mempertimbangkan konteks ayat secara umum dan ciri-ciri khusus tema yang sedang dibahas hingga dia dapat memastikan bahwa ayat ini menerangkan tema tertentu.

Dengan keterangan ini, jelaslah bahwa penafsiran maudhûrî tidak dapat dilakukan tanpa penafsiran tartîbî. Hal itu hanya dapat dilakukan jika pelakunya memang benar-benar mengetahui tema yang dikaji dan mampu mengambil istinbâth dari Alquran yang berkaitan dengan tema tersebut. Ini tentu saja setelah dia terlebih dahulu mengkajinya melalui penafsiran tartîbî, kemudian dia mempertimbangkan seluruh ayat tersebut dengan melihat bagian depan dan bagian akhirnya.

Dia juga harus memperhatikan seluruh ayat yang memiliki hu- bungan dengan tema yang dibahas, baik dalam bentuk menguatkan dan mengkokohkan maupun dalam bentuk menyangkal dan menafikan.

Tahapan Tafsir Maudhûrî

Jika seseorang hendak melakukan kajian terhadap sebuah tema dari sudut pandang Alquran dan Ahlul Bait, maka paling tidak, dia harus menempuh enam tahapan penelitian hingga dia dapat menemukan pendapat Islam tentang tema tersebut.

Tahap pertama, mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut. Pada tahap ini, dia harus memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang Alquran sehingga dia mampu mengeluarkan seluruh ayat yang berkaitan dengan tema itu, baik ayat-ayat yang mendukung maupun ayat-ayat yang menyangkal. Dalam hal ini, tidak cukup dengan ayat-ayat yang memiliki kaitan dengan tema itu dari sisi lafalnya saja, tetapi juga dari sisi kandungannya.

Tahap kedua, menyusun ayat-ayat yang telah dikumpulkan.

Maksudnya, dilakukan pemilahan antara ayat-ayat muthlaqah dengan muqayyadah, âmmah dengan khâshshah, mujmalah dengan mubayyinah, muta- syâbihah dengan ayat-ayat muhkamah, dan ayat-ayat yang saling me- miliki hubungan. Hal tersebut dilakukan agar bisa dihasilkan kesimpulan yang benar.

Perempuan dalam Al-Quran

p: 43

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Tahap ketiga, menguasai sejarah Ahlul Bait Rasulullah Saw, yaitu dengan mengumpulkan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tema tersebut, baik riwayat yang menyangkal maupun yang mendukung.

Riwayat-riwayat tersebut dapat berupa perkataan ataupun perbuatan mereka.

Tahap keempatmenyusun kembali riwayat-riwayat yang telah dikumpulkan, yaitu dengan melakukan pemilahan antara riwayat-riwayat yang muthlaqah dengan muqayyadah, âmmah dengan khâshshah, muhkamât rawâ'iyyah dengan mutasyâbihất, nâsikh dengan mansûkh, dan mujmalah dengan riwayat-riwayat yang mubayyinah. Dalam setiap tema harus dilakukan pemilahan untuk mengambil ketetapan hukum fikih sehingga dapat diambil kesimpulan yang benar dalam mengkaji riwayat-riwayat tersebut.

Tahap kelima, mengeluarkan berbagai macam kesimpulan yang diperoleh dari ayat-ayat tersebut dalam bentuk kaidah umum.

Selanjutnya, dikemukakan ragam kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat dalam bentuk kaidah.

Tahap keenam, tahapan penyusunan terakhir, yaitu menyelaraskan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari Alquran dengan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tersebut.

Dari sini akan dihasilkan sebuah tema yang sesuai dengan Alquran dan Ahlul Bait Nabi Saw.

Jika seseorang telah menempuh keenam tahap penelitian tersebut, dan dia hendak membicarakan tema yang dikaji, maka menurut aturan agama dan prinsip ihtiyâth ilmu (kehati-hatian ilmiah'), sebaiknya dia mengatakan, “Maksud ayat ini adalah demikian." Atau dia mengatakan, “Maksud riwayat ini adalah ini." Bukan mengatakan, “Islam mengatakan demikian." Adapun jika dia ingin menukil pendapat Islam, maka jangan me- nyandarkan pendapat tersebut pada dirinya, tetapi kita mengambil dari hasil kesimpulan penelitian orang-orang yang telah menempuh enam tahapan tersebut. Dan sebaiknya, kita mengatakan, “Ini adalah pendapat

44 Perempuan dalam Al-Quran

p: 44

AYATULLAH JAWADI AMULI

para peneliti kami." Atau dia mengatakan, “Pandangan Islam dalam hal ini adalah demikian."

Akal dan Ijmâ' dalam Ilmu Pengetahuan Islam

Seorang peneliti dalam menempuh seluruh tahapan tersebut tentu tidak akan lalai pada akal dan ijma' sebagai pemandu. Ijmâ'dapat menjadi hujah jika ia dikembalikan kepada hadis Nabi Saw dan Ahlul Bait yang suci. Dalam melakukan ijma' diharuskan memenuhi dua hal berikut:

Pertama, hendaklah ijma' menjadi penyingkap pendapat para imam Ahlul Bait yang maksum. Atau hendaklah para imam yang maksum adalah bagian dari mereka yang melakukan ijma' tersebut.

Kedua, apabila terbukti ijma' menyingkap pendapat para imam yang suci, maka akal yang akan menilai bahwa sesuatu yang menyingkap pendapat para imam adalah hujah. Jika mereka termasuk yang melakukan ijmâ', maka akal juga akan mengatakan bahwa pendapat para imam telah memberi nilai terhadap pendapat-pendapat lain, lalu menjadikan pendapat itu sebagai hujah. Maka hasil dari ijma' itu kembali kepada hadis, di satu sisi, dan kepada akal, di sisi lain.

Adapun akal, sekalipun merupakan kekuatan yang sangat kuat untuk menarik sebuah kesimpulan, tetapi dalam menentukan sebuah masalah, ia harus kembali kepada keterangan Alquran dan hadis, suka ataupun tidak. Meskipun sumber-sumber yang dapat dijadikan hujah adalah Alquran, hadis, ijma' dan akal, tetapi hujah akal dan ijmâ' bergantung pada hujah Alquran dan hadis. Oleh karena itu, keberadaan akal hanyalah sebagai penguat, bukan sebagai pendapat yang bersifat mandiri.

Jika pada suatu ketika akal memberikan pendapatnya secara mandiri, maka pendapatnya tersebut boleh jadi dikuatkan oleh teks keagamaan (syariat) atau syariat mendukungnya secara implisit. Oleh karena itu, diperbolehkan menyandarkan sebuah masalah kepada Alquran jika masalah tersebut telah dikaji dari sumber-sumber hukum lain yang kuat.

Perempuan dalam Al-Quran

p: 45

Pengajaran Beberapa Tema Melalui Alquran

Mengingat tema pembahasan ini adalah “Perempuan dalam Alquran" atau "Perempuan dalam pandangan Alquran dan Ahlul Bait Saw" atau dengan kata lain, “Perempuan dalam Islam", berarti Alquran juga telah mengajarkan tema tersebut kepada seluruh manusia sebagaimana tema-tema lainnya, yaitu berdasarkan firman Allah Swt, “Dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah" (QS Ali 'Imrân:164).

Banyak orang membicarakan masalah ini hingga mereka menulis berbagai buku, tetapi apakah tema yang dibicarakan Alquran sama dengan apa yang dibicarakan oleh mereka? Alquran mengatakan bahwa Rasulullah Saw adalah guru bagi seluruh manusia. Beliau Saw mengajarkan hikmah, Kitab Tuhan, membersihkan jiwa mereka dan lain-lain. Pada dasarnya, setiap guru berjalan di atas sebuah jalan untuk menunjukkan kepada orang lain agar mereka mengetahui jalan itu, sehingga mereka dapat berjalan seperti dirinya.

Namun, jalan yang dilalui oleh Rasulullah Saw para nabi dan para rasul bukanlah jalan yang dapat diketahui dan dilalui oleh selain mereka.

Rasulullah Saw beserta para nabi dan rasul hanya menunjukkan jalan sesuai dengan kemampuan umat manusia sehingga mereka dapat mengenalnya dan menempuhnya. Oleh karena itu, metode pengajaran para nabi berbeda dengan metode pengajaran orang-orang selain mereka.

Macam-Macam Pengajaran Alquran

Pembagian jenis pengajaran sesuai dengan pembagian jenis ilmu.

Karena ilmu terbagi menjadi tiga jenis, maka pengajaran juga terbagi menjadi tiga jenis. Ketiga jenis ilmu tersebut dibedakan oleh Alquran dengan penjelasan sebagai berikut:

Pertama, pengetahuan indrawi yang bersifat empiris (ilmu hissî).

Cabang-cabang ilmu penelitian yang beraneka ragam seluruhnya masuk ke dalam kategori ilmu hissî.

p: 46

AYATULLAH JAWADI AMULI Kedua,

pengetahuan nalar atau akal (ilmu ‘aqlî), yaitu sekumpulan ilmu pengetahuan yang tidak dapat dijangkau oleh indra. Objeknya adalah konsep, dan indra tetap merupakan sandarannya. Oleh karena itu, peranan ilmu ‘aqlî adalah setelah ilmu hissí.

Ketiga, pengetahuan suhani (ilmu qalbî atau ilmu syuhûdî). Ia lebih tinggi dari ilmu hissî dan ilmu ‘aqlî.

Metode Pengajaran Ketiga Ilmu

Masing-masing dari ketiga jenis ilmu tersebut memiliki pakar yang ahli di bidangnya. Setiap kelompok pakar ketiga ilmu tersebut akan melakukan penelitian, menjelaskannya kepada orang lain dan menerangkannya kepada generasi sesudah mereka. Landasan utama para guru dalam hal ini adalah latar belakang pengetahuan mereka.

Orang yang melakukan kajian terhadap ilmu hissî dan pengetahuan yang bersifat empiris ini akan berbicara berdasarkan latar belakang pengetahuan. Pengajaran-pengajarannya pun akan berlandaskan pada penelitian yang telah dilakukan. Adapun orang-orang yang mengkaji hikmah dan filsafat, dia juga akan mengemukakan cara-cara rasional yang telah dilakukan oleh orang-orang yang menelitinya. Sandaran pembicaraannya adalah dalil-dalil akal yang telah dia pelajari.

Jika seseorang telah menjadi shâhib al-bashar ('kaum spiritual') dalam ilmu syuhûdî dan ilmu hudhûrî, maka langkah-langkah yang akan diterapkannya tidak berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh shahib al- nazhar ('rasionalis'), yaitu memadukan antara pendapat mereka dan pendapat orang lain sehingga mereka menjadi para pencetus gagasan. Mereka juga selalu mengambil pelajaran dari hasil penemuan orang lain ataupun penemuan mereka sendiri untuk mereka sampaikan kepada orang lain. Demikian pula kaum spiritual yang arif biasa mengambil pelajaran dari pandangan spiritual mereka dan orang lain untuk mereka jadikan materi pelajaran yang mereka ajarkan, lalu mereka menjadi penunjuk jalan bagi para penempuh ilmu syuhûdî dan ilmu hudhûrî.

p: 47

Intinya, seorang ahli spiritual yang arif, apabila mengajar, akan menggunakan pendekatan berupa bukti-bukti rasional sebagai pijakannya karena ia adalah ‘irfân yang masih bersifat teoretis, sekaligus merupakan langkah awal menuju 'irfan praktis. Itu karena sesuatu yang dapat diinformasikan adalah makna-makna dan persepsi konseptual, bukan objek-objek yang hanya dapat disaksikan oleh penglihatan batin: realitas eksternal adalah hakikat dari objek syuhûd ('penyaksian') tersebut.

Terkadang, para kekasih Allah dapat menyampaikan apa yang disaksikan oleh kalbunya kepada orang lain, tetapi hal seperti itu jarang sekali terjadi.

Hikmah dan filsafat dalam dunia 'irfan memiliki peranan yang sama dengan peranan logika dalam dunia filsafat. Ini berarti, tolok ukurnya adalah perbuatan. Inilah ilmu manusia. Para cendekiawan berpijak pada ketiga ilmu tersebut sebagai modal pengajaran dan pendidikan.

Metode Pengajaran Rasulullah Saw

Allah Swt menyebut Rasulullah Saw sebagai seorang guru. Dia berfirman, "Dan dia mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah" (QS Ali 'Imrân:164).

Maksud ayat di atas adalah Nabi Saw mengajari mereka berbagai pengetahuan Alquran- tak ubahnya seperti seorang dokter yang mengandalkan latar belakang pengetahuan empirisnya, atau beliau seperti orang bijak yang menggunakan modal pemikiran dan penemuannya? Atau apakah beliau seperti orang spiritualis yang me- nyampaikan apa yang telah disaksikannya kepada orang lain? Allah berfirman bahwa Dia-lah Guru pertama dan guru yang sebenarnya, “Dia mengajarkan kepada (manusia) apa yang tidak diketahuinya" (QS Al-'Alaq:5).

Makna pengajaran ini tidak termasuk bagian dari ketiga ilmu di atas.

Ilmu tersebut ada yang dipelajari dengan indra (ilmu hissî), ada yang

p: 48

dengan akal (ilmu 'aqî) dan ada yang dengan hati dan perasaan (ilmu qalbî) kemudian diajarkan kepada orang lain.

Maksud ilmu di sini adalah ilmu murni, yaitu ilmu yang pengajarannya tumbuh murni dari ilmu Tuhan. Inilah pembahasan kita.

Adapun kenyataan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah pergi ke sekolah, dapat dipastikan bahwa pengetahuan beliau tidak diperoleh melalui ‘ilm hissî atau ilmu ‘aqlî. Artinya, beliau tidak menjadi seorang yang berpengetahuan karena penguasaannya terhadap berbagai argumentasi rasional ataupun latar belakang empiris yang dimilikinya.

Seluruh perjalanan hidup Rasulullah Saw menunjukkan bahwa beliau memperoleh pengetahuan melalui metode syuhûd (penyaksian kalbu).

Beliau adalah seorang murid dan Allah adalah Maha Gurunya. "Sekolah” Allah Swt dimulai dari hati, bukan dari indra. Ilmu-Nya bukan ilmu yang orang-orang katakan, “Barang siapa kehilangan indra, berarti dia telah kehilangan ilmu." Ilmu Rasulullah Saw adalah ilmu yang digambarkan dengan, “Tutuplah seluruh indramu, maka kamu akan mengetahui." Kebalikan dari ilmu-ilmu sekolah, mereka mengatakan, "Gunakan indramu, maka kamu akan mengetahui." Oleh karena itu, langkah pertama perjalanan kenabian Muhammad Saw dimulai dengan mimpi. Artinya, awal kenabian beliau dimulai dengan menutup mata, telinga dan indra lainnya. Nabi Muhammad Saw bermimpi dengan impian yang baik, dan setiap mimpi yang beliau lihat sangat jelas sekali dan sesuai dengan fakta. Inilah yang disebut ilmu syuhûdî.

Ilmu Rasulullah Saw adalah ilmu syuhûdî. Adapun metode pengajaran ilmu beliau saat mengajarkan kepada orang lain ditempuh melalui tiga cara, yaitu pengalaman indrawi yang bersifat empiris, pemaparan bukti-bukti rasional, serta melalui pengalaman batin yang disampaikan kepada sahabat-sahabatnya.

Adapun pengetahuan Rasulullah Saw seperti telah disebutkan di atas adalah pengetahuan yang khusus, bukan yang biasa ditempuh oleh manusia biasa. Allah Swt berfirman,

p: 49

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan" (QS Al-An’âm:124).

la adalah anugerah khusus yang tidak dapat diperoleh dengan usaha, penyucian diri dan lainnya. Ini merupakan “kontrak khusus" antara manusia sempurna dengan Allah Swt. Hal ini di luar pembahasan kita.

Artinya, manusia tidak boleh turut campur dalam masalah tersebut.

Ketika Alquran berbicara dengan kita tentang tiga ilmu di atas, maka digunakanlah bahasa kita. Allah Swt berfirman, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya" (QS İbrâhîm:4).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Rasulullah Saw membawa risalah Allah Swt yang bersifat universal. Seluruh masyarakat manusia adalah kaum beliau. Beliau berbicara dengan bahasa seluruh manusia. Beliau berbicara dengan bahasa orang-orang yang mengetahui ilmu hissî, berbicara tentang fenomena pragmatis, juga berbicara dengan bahasa orang-orang yang menguasai ilmu akal murni. Beliau juga berbicara tentang bukti-bukti nalar, serta pengalaman syuhûdî.

Inilah metode pengajaran Rasulullah Saw. Ketika Alquran berbicara tentang perempuan, maka pembicaraan tersebut juga masuk dalam ketiga metode tersebut, yaitu dengan menggunakan metode empiris, rasional dan suhani. Alquran juga mengajarkan kepada kita keagungan perempuan dengan ketiga metode tersebut.

p: 50

Penjelasan Tema Buku I ni

Pendahuluan

Sebelum mengemukakan berbagai dalil dan bukti, terlebih dahulu kita harus menerangkan tema dan pokok permasalahan yang sedang dibahas. Itu karena setiap permasalahan harus dilihat terlebih dahulu apakah ia dalam konteks menegaskan sesuatu atau menafikannya.

Apa maksud ditentukannya hak-hak perempuan dalam Alquran? Kita terlebih dahulu harus menerangkan apa makna perempuan (al-mar'ah) yang menjadi pokok pembahasan kita ini, baru kemudian kita menerangkan referensi materi yang sedang dibahas. Kita juga harus menjelaskan beberapa masalah yang berkaitan dengannya. Dalam hal ini, misalnya, perempuan (al-mar'ah) yang merupakan lawan dari pria (al-rajul), bukan lawan dari suami (al-zauj). Adapun ragam status perempuan ditinjau dari beberapa dimensi fikih yang secara otomatis melahirkan konse- kuensi hukum yang bemacam-macam adalah di luar pembahasan kita.

Sebagai contoh, hak-hak perempuan dalam statusnya sebagai saudara perempuan, anak, dan istri, atau sebagai seorang ibu, nenek dan bibi (baik dari jalur ayah maupun ibu), serta keponakan.

Masing-masing status tersebut, baik dalam masalah waris mau- pun masalah lainnya, memiliki konsekuensi hukum fikih dan hak yang berbeda-beda. Tidak ada satu pun dari masalah-masalah tersebut yang masuk dalam pembahasan ini.

p: 51

Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan bahwa maksud pria (rajul) dalam pembahasan ini adalah lawan dari perempuan (mar'ah). Itu karena pria juga memiliki banyak status jika ditinjau dari kacamata beberapa permasalahan fikih, sehingga melahirkan konsekuensi hukum yang berbeda-beda. Misalnya, seorang pria terkadang dapat berstatus sebagai seorang anak, saudara, ayah, dan kakek, dan terkadang ia juga dapat menjadi seorang paman (dari pihak suami atau istri) sebagaimana ia dapat juga menjadi keponakan (dari pihak ayah atau ibu). Itu semua tidak masuk ke dalam pembahasan kita di sini.

Status-status pria atau perempuan di atas tidak dapat dicampur- adukkan dengan masalah yang sedang kita bahas. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan bahwa perempuan berbeda dengan pria, karena dalam masalah waris, bagian saudara perempuan lebih sedikit daripada bagian saudara laki-laki karena hal itu berkaitan dengan tinjauan fikih terhadap perempuan. Meski demikian, hal ini akan kami bahas nanti setelah selesai menganalisis tema pokok pembahasan ini.

Dasar dan Sumber Kajian

Sumber-sumber kajian tidak dapat disamakan dengan dasar-dasar kajian. Dasar-dasar kajian adalah landasan yang menjadi penyebab terbentuknya sebuah argumentasi. Adapun sumber-sumber kajian adalah referensi yang dari situ kita dapat menyimpulkan sebuah ketetapan hukum.

Sumber-sumber kajian kita dalam buku ini adalah Alquran, Ahlul Bait, "irfân dan argumentasi nalar (burhân). Artinya, manusia terkadang bersandar pada ayat-ayat Alquran atau riwayat-riwayat Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Bait a.s, sehingga sumber tersebut bersifat naqli. Terkadang dia cukup mengambil dalîl ‘aqlî ('argumentasi akal atau nalar') dan tidak menggunakan dalil naqli. Terkadang, dia juga bersandar pada pengetahuan suhani atau penyaksian kalbu (kasyf dan syuhûd), sehingga sumber dalil tersebut adalah 'irfân, bukan burhân.

p: 52

Oleh karena itu, dalil burhân dan dalil' irfan keduanya adalah pembantu Alquran sehingga Alquran menganalisis argumentasi nalar yang dikemukakan kalangan cendekiawan, dan menjelaskan pengalaman kalbu kaum arif. Dari sini, jelaslah bahwa ada keselarasan yang tak dapat dipisahkan antara 'irfân dan burhân di satu sisi, dan pembahasan- pembahasan Alquran di sisi lain. Maka ketika membahas Alquran, terkadang kita juga masih perlu menggunakan dalîl burhân atau dalîl 'irlân sambil mengutip sesekali ayat-ayat Alquran dan riwayat-riwayat Ahlul Bait (hadis) sebagai penguat. Namun, tetap saja sumber-sumber kajian tersebut berbeda antara satu dengan lainnya.

Catatan:

Kehujahan dalil ‘aqlî sama dengan dalil-dalil lainnya karena ke- mampuannya dalam membuktikan sebuah permasalahan sangat jelas. Adapun kehujahan dalil syuhûd dan kasyf hanya dapat dijadikan hujah oleh pemilik dalil tersebut. Itu pun setelah ditemukan adanya kesesuaian dalil tersebut dengan neraca Tuhan, yaitu Alquran dan Ahlul Bait, kecuali jika orang lain telah menempuh dalil syuhûd dan kasyf, maka dalil tersebut menjadi hujah baginya.

Dari sini, jelas bahwa pokok pembahasan kita adalah perempuan sebagai lawan dari pria, bukan dalam statusnya sebagai suami. Adapun sumber-sumber pembahasan yang dapat membantu memecahkan permasalahan ini adalah burhân, 'irfân dan Alquran. Pembahasan pada buku ini akan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu perempuan menurut pandangan Alquran dan hadis, pandangan 'irfan dan pandangan burhân.

Perlu diingat dalam pendahuluan ini bahwa sebagaimana dalam Alquran, terdapat hal-hal yang bersifat ta'abbudî ('murni mengandalkan sikap penghambaan kita kepada Allah Swt tanpa sedikit pun ruang bagi akal untuk dapat menjangkau dan memahami hakikatnya') dan ada pula yang bersifat ‘aqlî, dan bahwa Alquran juga menggunakan pengetahuan yang didasari pengalaman kalbu (syuhûd), maka

p: 53

begitu pula dengan hadis-hadis, ia juga menggunakan ketiga metode tersebut.

Setelah jelas pokok pembahasan dan analisis hubungan di antara sumber-sumber pembahasan tersebut, sekarang kita dapat masuk ke dalam pokok pembahasan, yaitu "apa hak-hak perempuan dan pria dalam pandangan Alquran dan Ahlul Bait?". Artinya, bagaimana pandangan Islam tentang hal tersebut? Dan apa perbedaan antara pria dan perempuan?

p: 54

Perempuan Dalam Pandangan Alquran

Alquran sebagai Petunjuk bagi Manusia

Perempuan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Alquran.

Tidak pernah ditemukan di dalamnya ungkapan yang mengatakan bahwa ia sebagai petunjuk bagi kaum pria saja karena Alquran adalah petunjuk untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, ketika Alquran menjelaskan tujuan risalah Tuhan dan tujuan diturunkannya wahyu, Allah Swt berfirman, "(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia" (QS Al-Baqarah:185).

Makna manusia dalam Alquran tidak terbatas pada jenis dan golongan manusia tertentu, tetapi ia mencakup seluruh jenis manusia, baik pria maupun perempuan semuanya sama.

Pada saat menyebut manusia, terkadang Alquran menggunakan kata al-nâs dan terkadang juga menggunakan kata al-insân. Allah Swt berfirman, Al-Rahman, allamal quân, khalagal insần, allanahul bayân.

“Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Alquran, Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai bicara" (QS Al-

p: 55

Rahmân:1-4).

Setelah Allah Swt disebut sebagai al-Rahmân (Yang Maha Pengasih) pada ayat pertama, selanjutnya ayat kedua menyebutkan bahwa Allah mengajarkan Alquran, menciptakan manusia (ayat ketiga) dan mengajar al-Bayân (ayat keempat). Sementara, seharusnya urutan secara alami adalah, pertama, manusia diciptakan, lalu diajarkan kepandaian berbicara dan setelah itu barulah diajarkan Alquran. Sekali lagi, Alquran tidak mengatakan demikian. Al-Rahmân adalah 'guru yang memiliki rahmat dan belas kasih yang sangat luas'. Allah Swt berfirman, “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu" (QS Al-Afrâf:156).

Ketika dikatakan bahwa seorang insinyur sedang mengajar, itu berarti, dia sedang mengajarkan tekni. Jika dikatakan bahwa seorang dokter sedang mengajar, tentu yang diajarkannya adalah ilmu kedokteran.

Begitu pula jika dikatakan bahwa sastrawan itu sedang mengajar, itu artinya, dia sedang mengajarkan ilmu sastr. Jika dikatakan bahwa Allah Yang Maha Pengasih mengajar, itu berarti, Dia mengajarkan rahmat dan belas kasih-Nya yang tak terbatas.

Jika arti rahmat beserta eksistensi yang ada dalam Alquran dijelaskan, maka dapat diketahui pelajaran apa yang diajarkan oleh Sang Mahaguru, Dzat Pemberi rahmat terhadap seluruh manusia itu. Sementara itu, Rasulullah Saw dijuluki dengan rahmatan lil-'alamîn ('rahmat bagi seluruh alam'). Diri beliau merupakan pelajaran yang dapat mengajar.

Jika seseorang tidak membutuhkan rahmat Allah Swt, berarti dia “bukan manusia". Jika dia bukan manusia, berarti dia “binatang". Jika dia telah menjadi binatang, maka “pembicaraannya tidak jelas". Jika per- kataannya tidak jelas, bagaimana dapat dijadikan “sebagai penjelasan"? Oleh karena itu, dengan empat tingkatan dan kriteria di atas, maka Allah Swt adalah “Guru” dengan sifat belas kasih-Nya yang mendahului.

Selanjutnya, jika seorang murid telah terdidik di“ sekolah rahmat" tersebut, maka dia akan menjadi manusia. Setelah menjadi manusia, perkataannya akan menjadi jelas dan dapat dijadikan sebagai penjelasan. Oleh karena

p: 56

itu, empat hal yang disebutkan oleh surah Al-Rahmân di atas urutannya sangat tepat dan saling melengkapi dan memiliki ketergantungan.

Ringkasnya, Allah Swt, ketika menyebutkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia, murid-murid-Nya adalah manusia sehingga pada saat itu, tidak ada pembicaraan tentang pria maupun perempuan. Adapun yang dimaksud dengan firman Allah Swt yang berbunyi, “Barangsiapa mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku" (QS Ibrahîm:36), dan ayat-ayat yang serupa dengannya. Artinya, siapa saja yang mengikuti wahyu, berarti dia telah memperoleh sebuah pertolongan, tidak ada perbedaan antara pria maupun perempuan. Inilah sebuah contoh bahwa Alquran adalah program pendidikan untuk umat manusia secara keseluruhan, bukan hanya untuk satu jenis golongan manusia.

Alquran sebagai Guru Spiritual Manusia

Alquran adalah Kitab Suci yang diturunkan Allah Swt untuk mengajarkan dan menyucikan ruhani manusia. Ruh, di satu sisi, adalah sebuah eksistensi abstrak yang tidak bersifat feminin ataupun maskulin.

Alquran berbicara tentang pembersihan ruhani, dan tidak membicarakan jenis perempuan atau pria sehingga keduanya adalah sama.

Dunia Barat menganggap bahwa manusia ada dua macam, yaitu perempuan dan pria. Namun, dalam hal menerima pengajaran dan pen- didikan, keduanya disamakan. Artinya, mereka menganggap pria setara dengan perempuan. Pernyataan mereka itu invalid karena predikatnya tidak ada. Itu berarti, ada perempuan ada pria, tetapi keduanya tidak berbeda.

Ketika Islam mengatakan bahwa tujuan penurunan wahyu adalah untuk memberikan pengajaran dan pendidikan, serta menyucikan jiwa dan hati, tentunya tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Hal itu invalid karena subjeknya tidak ada, bukan karena pre- dikatnya tidak ada. Artinya, sasaran pengajaran dan pendidikan adalah ruh manusia. Ruh itu bukan pria maupun perempuan. Oleh karena itu, memberi predikat sama tidaklah tepat dalam sebuah premis afirmatif.

p: 57

Pemberian predikat tidak sama juga tidak tepat karena subjeknya (ruh) tidak berkategori pria atau perempuan. Selain itu, hendaklah dibedakan antara premis afirmatif dan premis negatif yang memuat sebuah subjek dan yang tidak memuat predikat dari predikat negatif yang valid apabila tidak memuat subjek.

Kesimpulan dari pembahasan tersebut sebagai berikut:

Pertama, pria dan perempuan hanya berkaitan dengan tubuh, bukan berkaitan dengan ruh.

Kedua, pengajaran, pendidikan, bimbingan dan kesucian berkaitan dengan nafs (jiwa).

Ketiga, nafs (jiwa) bukan jasad, dan jasad bukan nafs. Dalam Alquran terlihat bahwa ruhlah yang dijadikan dasar, bukan raga. Ruh bukanlah pria atau perempuan.

Sesungguhnya dilihat dari satu sisi, ruh adalah eksistensi immateri.

la tidak memiliki kerangka untuk menjadi seperti ini atau itu. Allah Swt berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya" (QS Al-Syams:7-8).

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud" (QS Al-Hijr:29).

"Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya" (QS Al-Insyiqâq:6).

Lalu, apakah jasad itu ikut bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Allah, sehingga dikatakan bahwa mereka yang pergi ada dua unsur, yaitu sebagian mereka kaum pria, sebagian yang lain kaum perempuan? Tentu tidak. Yang pergi menuju Allah adalah ruh manusia, dan ia tidak berjenis kelamin perempuan ataupun pria.

p: 58

Dalam Alquran, Allah Swt mengatakan bahwa ada beberapa hal yang diajarkan-Nya kepada manusia, yang bukan saja jauh dari jangkauan manusia pada masa lalu, sekarang ataupun masa yang akan datang, tetapi lebih dari itu, manusia tidak akan mampu memahami dan menjangkaunya tanpa pengajaran langsung dari sisi-Nya. Itulah pengetahuan yang hanya dibawa oleh para nabi.

“Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui" (QS Al-Baqarah:151).

Bukan hanya mengajarkan sesuatu yang belum diketahui, tetapi Alquran juga mengajari manusia sesuatu yang tidak mampu dipahami sendiri oleh manusia. Ayat ini akan selalu tetap segar setiap hari. Setiap hari, ia mengajak bicara kita dan berkata, “Sesungguhnya aku memiliki sebuah penjelasan yang baru dan segar yang tidak dijangkau oleh manusia." Inilah ungkapan yang tinggi yang difirmankan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, “Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui" (QS Al-Nisår:113).

Maksud ayat tersebut bukanlah mengajarkan kepada Nabi Saw sesuatu yang belum dan tidak beliau ketahui. Nabi Muhammad Saw memiliki kecerdasan dan kemampuan yang sangat tinggi untuk menerima sesuatu yang sangat spesial. Sesungguhnya, Allah Swt mengatakan bahwa diri-Nya telah mengajari Rasulullah Saw sesuatu yang diri Nabi Saw sendiri tidak mampu mengajarkannya, antara lain, masalah gaib, alam barzakh, kiamat, surga, neraka, asmaul husna ('nama-nama Allah yang baik') dan ratusan masalah gaib lainnya. Semua itu tidak dapat dijangkau oleh manusia tanpa anugerah pengajaran langsung dari Allah Swt. Oleh karena itu, Kalam Ilahi setiap hari selalu baru dan segar. Allah Swt berfirman, "Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al-Baqarah:151).

p: 59

p: 60

Hakikat Manusia:B ukan Pria dan Bukan Perempuan

Point

Kita tidak selalu dapat memastikan bahwa kualitas proposisi pada permasalahan yang sedang kita bahas bersifat afirmatif, yakni mengafirmasi atau mengiyakan adanya hubungan antara subjek dan predikat. Itu karena terkadang ada juga yang terbukti negatif. Misalnya, kita mengkaji hak-hak perempuan dan pria, dengan harapan pembahasan tersebut menghasilkan dua kemungkinan, yaitu kesamaan hak atau perbedaan antara keduanya, dan ternyata setelah kita bahas, hasilnya justru negatif.

Kita tidak boleh mengharapkan bahwa selamanya kesimpulan hukum terhadap permasalahan pria dan perempuan akan membuahkan dua hal: perempuan dan pria sama atau salah satunya lebih unggul, bahkan mungkin saja, dari situ akan lahir konsekuensi bahwa perempuan dan pria tidak sama dan keduanya tidak ada yang lebih utama. Dengan kata lain, misalnya apabila dikaji apakah A dan B memiliki kesamaan ataukah berbeda, maka jawabannya ada dua kemungkinan: keduanya sama atau berbeda.

Permasalahan ini benar-benar terpisah dari masalah sebelumnya. Ia hanya dapat ditafsirkan dengan salah satu dari dua asumsi. Namun, terkadang orang membahasnya demi menemukan adanya persamaan atau perbedaan. Ketika ia mengkaji lebih saksama, ia akan berkesimpulan bahwa tema tersebut tidak berkaitan sama sekali. Pada saat itu kita harus

p: 61

mengatakan bahwa subjek yang dibahas – yakni manusia, tidaklah berkaitan dengan masalah kesamaan ataupun perbedaan. Itu karena, dalam hal ini, keduanya masuk ke dalam kategori potensi dan impotensi, bukan merupakan proposisi negatif ataupun afirmatif sehingga menghilangkan keduanya dapat melahirkan konsekuensi bertemunya dua hal yang saling kontradiksi. Artinya, sebuah subjek khusus apabila kita kaitkan dengan subjek lain yang tidak memiliki hubungan dengannya tidak keluar dari dua kemungkinan: memiliki relasi kesamaan atau perbedaan. Akan tetapi, jika subjek tersebut tidak memiliki keragaman, tentu tidak ada yang namanya persamaan atau perbedaan.

Ketika Alquran berbicara mengenai perempuan dan pria, ia mengatakan bahwa keduanya tidak dapat dilihat dari sisi kepriaan atau keperempuanan.

Hakikat keduanya terletak pada sisi ruhaninya, bukan jasmaninya, bukan pula gabungan antara jasmani dan ruhani.

Ruh, Substansi Manusia

Seandainya jasad memiliki peranan dalam memanusiakan manusia, yakni sebagai penyempurna substansi manusia atau bagian darinya, maka tentu akan ada pembahasan tentang pria dan perempuan. Yang perlu dibahas di sini adalah apakah kedua jenis tersebut sama atau berbeda? Namun, jika pada hakikatnya setiap manusia dibentuk oleh ruhnya, sedangkan jasadnya tidak lebih hanya sebagai alat, dan alat tersebut terkadang berupa perempuan atau pria, maka ruh bukanlah pria atau perempuan. Jelas bahwa kita tidak dibenarkan untuk membahas kesamaan antara pria dan perempuan. Artinya, kualitas proposisi dalam hal ini bersifat negatif karena ketiadaan subjek atau penyandang, bukan karena ketiadaan predikat. Itu karena persamaan dan perbedaan bersifat potensi dan impotensi sehingga tidak dapat dinilai afirmatif ataupun negatif. Oleh karena itu, tidak ada pembicaraan tentang persamaan ataupun perbedaan.

Alquran menganggap bahwa hakikat manusia adalah ruhnya, sedangkan jasadnya hanyalah alat. Hal ini tidak berarti menafikan bahwa

p: 62

manusia memiliki tubuh yang dapat berkembang di dunia, di alam barzakh dan pada Hari Kiamat, sebagaimana di dunia manusia memiliki jasad dan jasad baginya merupakan cabang, bukan sesuatu yang substansial atau bagian dari substansi tersebut; begitu pula di alam barzakh dan pada Hari Kiamat. Allah Swt menisbahkan jasad kepada alam, debu dan tanah, sementara menyandarkan ruh kepada Dzat-Nya. Allah Swt berfirman, "Katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.'" (QS Al-Isra':85).

Ketika seseorang mengingkari Hari Kebangkitan dengan mengatakan bahwa sesungguhnya manusia akan binasa, dan tidak ada kehidupan setelah mati, Allah Swt berfirman, “Dan mereka berkata, 'Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru.' Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (men- cabut nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.'" (QS Al-Sajadah:10-11).

Malaikat maut diperintahkan oleh Allah Swt untuk mencabut nyawa manusia. Seandainya pada saat kematian manusia kehilangan sesuatu, maka itu tidaklah berarti bahwa ia mati sesungguhnya karena hakikat manusia ada pada ruhnya dan itulah yang dicabut dan dilepaskan dari jasad. Tentunya, jasad juga akan menemani manusia pada tahapan kehidupan berikutnya, dan dalam setiap tahapan, dia akan cocok dengannya.

Gender Bukan Faktor Penentu Nilai

Penjelasan tentang pemisahan antara makna nilai dan lawannya telah dicontohkan dalam ayat-ayat Alquran yang mengibaratkan ilmu sebagai suatu nilai, sedangkan kebodohan adalah lawan nilai, iman adalah nilai, sedangkan kufur bukan nilai. Demikian seterusnya, dipertentangkan kehinaan dengan kemuliaan, kebahagiaan dengan kesengsaraan, keutamaan dengan kehinaan, kebenaran dengan kebatilan,

p: 63

kejujuran dengan kebohongan, ketaatan dengan kemaksiatan, patuh dengan durhaka, tunduk dengan membangkang menggunjing dengan tidak menggunjing, setia dengan khianat, dan lain-lain. Seluruhnya merupakan hal-hal yang bernilai dan yang tidak bernilai. Dalam sifat-sifat tersebut tidak ada masalah pria ataupun perempuan. Pemisah yang menjelaskan antara hal-hal yang disifati dalam nilai-nilai tersebut mengatakan bahwa sifat- sifat tersebut selamanya tidak memiliki jasad, artinya, ia bukan berupa Muslim, kafir, orang pintar, orang bodoh, orang taat, orang bermaksiat, orang jujur, pembohong, orang mulia atau orang hina, dan seterusnya.

Akal teori yang disifati dengan pemikiran dan ilmu bukanlah pria ataupun perempuan. Hati yang dimanifestasi oleh kasyf dan syuhûd juga bukan pria ataupun perempuan. Ruh yang disifati dengan bermaksiat atau taat juga bukan pria ataupun perempuan. Begitu pula kedurhakaan dan ketaatan; keduanya bukan pria atau perempuan.

Jika masalah-masalah di atas dikembalikan pada ilmu, baik itu ilmu hushûli maupun ilmu hudhûrî, maka dalam hal tersebut tidak ada pria ataupun perempuan karena sesuatu yang pintar yang disifati dengan ilmu hushûli atau ilmu hudhûrî bukanlah pria ataupun perempuan. Oleh karena itu, dalam masalah ilmiah tidak ada pembicaraan pria ataupun perempuan, baik pada sifat maupun yang disifati, bahkan dalam masalah- masalah ilmiah tidak boleh dibahas bahwa perempuan dan pria itu sama atau keduanya berbeda.

Begitu pula dalam masalah akhlak, yang kembali kepada akal praktis, seperti kehendak, keikhlasan, keimanan, pembenaran, kesabaran, dan tawakal. Ia bukanlah pria ataupun perempuan. Artinya, jika dalam kesabaran tidak ada pria ataupun perempuan, maka orang yang sabar juga tidak mengenal jenis pria ataupun perempuan. Kita tidak boleh berpikir untuk mengucapkan shâbir ('pria yang sabar') atau shâbirah ('perempuan yang sabar'), atau "âlim ('pria yang berilmu) atau 'alimah ('perempuan yang berilmu') dengan mendefinisikan lafaz tersebut. Kita juga tidak boleh memasuk- kan hal tersebut kedalam masalah-masalah analisis karena seorang âlim dan seorang Mukmin artinya pemilik sebuah nilai', yaitu ruhnya, dan ruh bu-

p: 64

kanlah pria ataupun perempuan. Jika seseorang menyebutkan pria atau perempuan dalam pembahasan ini, maka hal itu akan berlawanan karena ia masuk ke dalam kategori memperlakukan aksiden sebagai subtansi (yang bukan inheren dijadikan inheren), baik untuk mengokohkan dan menguatkan maupun untuk menafikan dan membatalkan.

Ruh, Pemilik Nilai

Jika bicara seputar nilai adalah tentang masalah-masalah ragawi, dan yang disifati dengan predikat-predikat dan hukum-hukum ini adalah juga badan atau jasmani, ketika itulah bisa dikaji perbedaan atau persamaan perempuan dan pria.

Alquran mengemukakan predikat-predikat sekian banyak masalah, baik nilai maupun lawan nilai – dan juga tentang beberapa subjek. Dalam menjelaskan subjek predikat-predikat ini, Alquran kadang berbicara tentang ruh, kadang tentang nafs, fu'âd atau qalb, dan kadang tentang shudûr.

Semua ini menunjukkan Kemahalembutan Tuhan (al-Lathîfah al-Ilâhiyyah) yang merupakan eksistensi nonmateri. Intinya, Alquran menyebutkan ruh manusia sesuai dengan keadaannya, karena ruh bukanlah sesuatu yang sepenuhnya sederhana (tidak terurai), tetapi ia memiliki keadaan yang bermacam-macam. Kadang ruh disebut qalb atau fu'âd karena adanya kaitan dengan sifat khusus, kadang disebut nafs (jiwa), dan kadang disebut shadr (dada). Ini merupakan sifat predikat yang memiliki nilai.

Ringkasnya, tolok ukur yang mengidentifikasi subjek-subjek penyandang nilai dan yang menentukan norma nilai membuktikan bahwa subjek dan predikat terlepas dari masalah gender sehingga dalam hal ini, kita tidak dapat membicarakan persamaan dan perbedaan. Ketika Islam mengatakan bahwa perempuan dan pria tidak berbeda, itu artinya, proposisi tersebut negatif karena subjeknya atau penyandangnya tidak ada. Ketika kita ketahui bahwa dalam masalah ini tidak ada pembicaraan tentang pria dan perempuan, maka kita yakin bahwa subjeknya bukanlah pria ataupun perempuan, sebab kualitas proposisi dalam hal ini negatif karena ketiadaan subjek. Demikian pula, apabila dalam subjek (ruh) tidak

p: 65

terdapat indikasi tentang adanya gender, maka predikatnya pun tidak berkaitan dengan gender.

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain" (QS Al-Mu'minûn:14).

Ketika Allah Swt berbicara tentang ruh, Dia mengatakan bahwa setelah selesai perkembangan secara alami dan perubahan secara materi, maka dijadikanlah makhluk, “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain". Artinya, ia diciptakan dalam bentuk lain tidak seperti sebelumnya (daging, kulit dan tulang-belulang), bahkan ia adalah sesuatu yang lain, yang terpisah dari perkembangan alaminya. Ia dijadikan makhluk yang lain setelah sempurna menjadi janin, baik itu pria maupun perempuan. Namun setelah itu, tidak ada lagi pembahasan tentang pria ataupun perempuan ketika dia berupa gumpalan darah, lalu diciptakan menjadi tulang belulang, kemudian dibungkus dengan daging: “Kemudian Kami bungkus dengan daging. Lalu pada saat pembentukan: Dia-lah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya (QS Âli'Imrân:6), ketika itulah ada pembicaraan tentang pria dan perempuan.

Wujud Material Tidak Kembali kepada Allah

Ketika kita berbicara tentang kembali kepada Allah Swt, maka disebutlah al-nafs al-muthma’innah ('jiwa yang tenang'). Kembali kepada Allah tidak bersifat ragawi atau jasmani, tetapi bersifat ruhani. Seandainya kembali kepada Allah itu bersifat ragawi, maka kembali tersebut bersifat fisik dan materi, dan tentu tempat kembalinya pun bersifat materi. Jika mendekat kepada Allah itu bersifat ragawi, maka kedekatan itu pun bersifat materi. Kedekatan materi adalah dengan materi juga.

Tentang Dzat, yang diungkapkan oleh Imam Ali Zainal Abidin a.s dalam salah satu doanya, “Engkau yang dekat dalam ketinggian-

p: 66

Mu dan tinggi dalam kedekatan-Mu," disucikan dari dekat dan jauh yang bersifat materi. Dia dekat kepada orang yang memanggilnya dalam kondisi apa pun. Allah Swt berfirman, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaku" (QS Al-Baqarah:186).

Dia disucikan dari dekat dan jauh yang bersifat materi. Ketika seseorang mendekat kepada-Nya dalam salat – karena “salat adalah kedekatan setiap orang yang bertakwa" (Bihâr al-Anwâr, jil. 10, hlm. 99) — atau mendekat kepada Allah dalam ibadat- ibadat yang lain, itu mendekat dalam arti maknawi. Kedekatan secara maknawi tidak maskulin ataupun feminin sehingga sesuatu yang mendekatkan kepada Allah bukan maskulin dan bukan pula feminin.

Ketika kita membaca dalam Alquran bahwa nafs (jiwa) kembali kepada Allah Swt, maka jelas bahwa jiwa itu adalah murni, dan nonmateri.

Sesuatu yang pergi atau kembali kepada Allah Swt bukanlah pergi atau kembali dalam pengertian materi. Sesuatu yang pergi atau kembali tersebut adalah immateri. Atau ketika hati kita datang kepada Allah, Dia berfirman, "(Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci” (QS Al-Shâffât:84).

“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih" (QS Al-Syûrâ:89).

Perbedaan Teisme dan Ateisme

Perbedaan antarateisme dengan ateisme adalah ateisme beranggapan bahwa perempuan dan pria tidak berbeda karena hakikat manusia adalah raga, yang terbuat dalam tipe yang setara.

p: 67

Adapun teisme mengatakan bahwa setiap hakikat manusia adalah ruhnya, meskipun jasad merupakan sesuatu yang inheren dan niscaya. Ruh bukanlah pria ataupun perempuan sehingga hipotesis (premis) perbedaan antara keduanya menjadi tidak berarti (negatif) karena subjeknya tidak ada, bukan predikatnya.

Kejelekan Bukanlah Maskulin ataupun Feminin

Penyakit hati termasuk kategori hal-hal yang tidak memiliki nilai.

Karena ia lawan dari nilai, hal tersebut bukanlah pria ataupun perempuan.

Ini sebagaimana firman Allah Swt yang menceritakan tentang para istri Nabi Muhammad Saw, "Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya" (QS Al-Ahzâb:32).

Kita dapat mengambil kesimpulan dari ayat tersebut bahwa pria yang ingin mendengarkan suara perempuan yang bukan muhrimnya adalah orang yang sakit. Dan “yang sakit" bukanlah pria ataupun perempuan.

Jika seseorang menyembunyikan persaksian yang seharusnya di- ungkapkan dalam pengadilan, maka dia termasuk orang yang berdosa hatinya. Berkenaan dengan masalah ini Allah Swt berfirman, “Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya" (QS Al-Baqarah:283).

Maksiat dan dosa adalah lawan dari nilai, dan hati teruji dengan dosa sehingga keduanya bukanlah pria ataupun perempuan. Yang bodoh adalah hati dan yang pintar juga hati. Oleh karena itu, materi bukanlah zat yang berpikir, dan sesuatu nonmateri tidak akan menerima sifat yang materi. Hal tersebut tidak dapat disifati sebagai pria ataupun perempuan.

p: 68

“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada" (QS Al-Hajj:46).

“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya" (QS Al-Taghabun:11).

Malaikat, Gambaran Ruh

Ketika Alquran mengecam perkataan para penyembah berhala yang mengatakan bahwa malaikat adalah perempuan, tujuan bantahan tersebut bukanlah untuk menegaskan bahwa malaikat adalah pria, tetapi untuk menjelaskan kepada mereka bahwa malaikat bukanlah pria ataupun perempuan. Oleh karena itu, kita temukan bahwa salah satu sifat pada malaikat adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Allah Swt berfirman, “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya" (QS Al-Anbiya':26-27).

Sifat-sifat tersebut juga diberikan kepada para kekasih Allah.

Artinya, sesuatu yang disifati dengan sifat tersebut bukanlah pria ataupun perempuan karena yang disifati bukan manusia dan bukan pula malaikat Hakikat ruh, jika dinyatakan dalam bentuk semacam itu, akan menjadi manusia. Jika ia muncul dalam bentuk ini, maka ia akan menjadi malaikat - yakni hakikat manusia sebagai ruh (peny.). Ia ada, tetapi nonmateri. Zat yang nonmateri memiliki tingkatan berbeda-beda, begitu pula dengan keberadaan-Nya, sebagian sampai pada batasan malaikat dan sebagian lain lebih utama dan lebih sempurna, seperti keberadaan manusia yang sempurna.

Ruh: Murid Alquran

Ketika Allah Swt menjadikan Alquran sebagai sebuah metode belajar dan menyatakan bahwa diri-Nya sebagai guru, maka ilmunya adalah Allah dan metode belajarnya adalah Alquran. Allah Swt berfirman,

p: 69

“(Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Alquran" (QS Al-Rahmân:1-2).

Murid yang mempelajari Alquran adalah ruh, bukan jasad. Dalam alam mimpi, manusia meninggalkan jasadnya dan ia menyelesaikan berbagai masalah. Di alam mimpi tidak ada pria ataupun perempuan karena ia adalah alam barzakhî sehingga disertai dengan zat alam barzakhî.

Namun, perlu dipahami bahwa zat tersebut adalah ruh yang bukan pria ataupun perempuan.

Inti Pembahasan

Keselamatan maknawi merupakan kemuliaan. Sebaliknya, penyakit maknawi adalah kehinaan. Sesuatu yang disifati oleh kedua hal tersebut adalah hati dan ruh. Keduanya bukanlah pria ataupun perempuan.

Sebagian dari hal-hal yang disifati ada yang pria dan ada pula yang perempuan, dan itulah jasad. Bagi yang memiliki jasad pria, antara satu dengan lainnya berbeda. Bagi yang memiliki jasad perempuan, antara satu dengan yang lainnya juga berbeda. Terkadang kedua jenis tersebut berbeda karena sisi jasadnya, bukan sisi ruhnya. Inilah beberapa kriteria khusus yang pasti, dan itu bukan maksud yang disifati atau sifat yang berada dalam pembahasan pokok ini.

Inilah pembahasan kita, sumber-sumbernya, pokok dan objek pembahasannya. Hal tersebut juga dengan menarik kesimpulan dari Alquran. Oleh karena itu, ayat-ayat yang berbicara tentang pria dan perempuan, baik yang ada dalam jasad jenis yang ini atau dalam jenis yang itu, tidak termasuk dalam pembahasan ini karena hal itu menerangkan tidak tercakupnya jasad, bukan menerangkan tidak adanya pembedaan.

sebagaimana jika dikatakan kepada orang yang salat, “Kamu wajib mengenakan pakaian untuk salat, dan pakaian itu harus suci dan halal, baik putih maupun hitam." Artinya, pakaian yang putih atau hitam tidak masuk dalam pembahasan tersebut, tetapi kedua hal tersebut ada dan sama. Namun, apa maksud dikumpulkannya kedua hal tersebut? Adapun

p: 70

masalah pria atau perempuan tidak didapatkan landasan dalam pem- bahasan tentang ruh sehingga yang kita bahas adalah apakah ia memiliki kaitan atau tidak.

Kehidupan yang Baik

Allah Swt berfirman, “Barang siapa yang mengerjakan ‘amal shâlih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesung- guhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS Al-Nahl:97).

Maksud ayat tersebut adalah bahwa hanya ada dua hal yang memiliki peranan yang dapat mengantarkan seseorang menuju kehidupan yang baik. Pertama, perbuatan yang baik atau yang disebut dengan 'al-'amal shâlih'. Kedua, kebaikan zat yang melakukan, yaitu 'iman dan ruh', baik jasadnya pria maupun perempuan. Dengan demikian, frase dalam keadaan beriman berhubungan dengan al-husn al-fâ'ilî ('sifat baik pada pelaku perbuatan'), yaitu ruh, dan ia harus beriman. Adapun frase yang mengerjakan ‘amal shâlih berhubungan dengan al-husn al-fi'li ('sifat baik pada perbuatan'), artinya perbuatan harus dilakukan secara benar.

Perbuatan yang benar bersumber dari pelaku yang benar. Ketika kedua kebaikan tersebut digabung, maka akan membuahkan kehidupan yang baik.

Kesimpulan:

Pertama, Islam membicarakan perempuan dan pria dengan me- nempatkannya pada satu inti sebagai manifestasi adanya ruh.

Kedua, dalam Alquran, Allah menyandarkan pengajaran dan pendidikan kepada ruh, dan ruh bukanlah maskulin ataupun feminim.

Ketiga, Alquran mengajarkan beberapa masalah kepada kita dengan tiga jalan, yaitu (1) pengetahuan indrawi (hissî), (2) pengetahuan nalar (“aqlî), dan (3) pengetahuan suhani (syuhûdî). Di sana juga diterangkan ihwal perempuan dan pria dengan metode tersebut.

p: 71

p: 72

Ketiadaan Gender Dalam Kalam ILAHI

Point

Masalah ini telah dijelaskan secara terperinci pada pembahasan ter- dahulu. Seperti telah dikemukakan, hal-hal yang memiliki nilai tidaklah berpredikat maskulin ataupun feminin. Alquran telah menerangkan masalah ini secara jelas, baik dalam bentuk teks maupun konteksnya. Juga dijelaskan tentang ketetapan yang menyatakan bahwa masalah-masalah nilai tidak berkaitan dengan gender, begitu pula pembahasan yang menerangkan bahwa sesuatu yang disifati dengan beberapa sifat adalah ruh manusia yang tidak berjenis kelamin pria ataupun perempuan.

Petunjuk Maknawi Alquran

Kandungan Alquran menyatakan bahwa rahasia kesempurnaan manusia berada di balik pengetahuannya tentang ideologi ke- tuhanan atau bahwa alam ini dimulai dengan nama-nama Allah Swt yang baik atau 'al-asmâ al-husnâ dan diakhiri dengan al-ma'âd yaitu kiamat, neraka surga dan seterusnya. Di antara permulaan dan penghujung tersebut ada jalan yang lurus atau yang disebut dengan shirâth al- mustaqim, yaitu perihal wahyu dan kenabian.

p: 73

Segala sesuatu (selain Allah Swt) pasti memiliki awal dan akhir. Oleh karena itu, pokok-pokok ajaran agama Islam adalah pengetahuan akan tiga hal, yaitu asal-usul penciptaan, hari akhirat dan kenabian. Ada yang mengatakan bahwa pembagian tersebut adalah dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s, sebagaimana perkataannya, "Allah Swt akan memberi belas kasih kepada seseorang yang mengetahui dari mana dirinya berasal, di mana dia sekarang dan akan ke mana dia kelak." Ketiga hal tersebut berkaitan dengan pokok-pokok agama, dan dalam memahaminya tidak dibatasi pada perempuan ataupun pria saja.

Para nabi yang mengajak manusia kepada tiga hal tersebut tidak diutus untuk kaum pria saja sehingga kaum perempuan tidak diperkenankan untuk turut serta. Allah Swt berfirman melalui lisan Nabi Yusuf a.s, “Katakanlah, Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.'" (QS Yûsuf:108).

Inilah ajakan yang ditujukan untuk seluruh manusia. Jika kita mendengar bahwa ada nabi yang pernah mengajak raja (pria) kepada Islam, maka kita juga membaca bahwa ada seorang ratu (perempuan) yang menjadi sasaran dakwah Islam. Jika Rasulullah Saw mengajak para penguasa pria, di wilayah Arab dan sekitarnya, kepada Islam, maka begitu pula Nabi Sulaiman a.s mengajak seorang ratu kepada Islam. Ajakan-ajakan tersebut bersifat umum, begitu pula orang-orang yang diajak. Tidak ada kekhususan jenis kelamin tertentu dalam hal dakwah Ilahi.

Alquran Menggunakan Bahasa Dialogis

Meskipun Allah Swt berfirman tentang keniscayaan balasan terhadap setiap perbuatan hamba, seperti dinyatakan oleh firman-Nya yang berbunyi, “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakan- nya" (QS Al-Thûr:21), tetapi imri'in yang merupakan terjemahan dari ‘manusia', bukan lawan dari imra'ah yang artinya 'perempuan'.

p: 74

Alquran selalu menyebut manusia secara umum, bukan pria yang meru- pakan lawan dari perempuan ataupun sebaliknya.

Ketika kalangan pria dan perempuan Iran ikut serta dalam menyukseskan revolusi Islam, itu berarti, penduduk Iran melakukan revolusi. Atau jika perempuan dan pria memiliki pertanyaan tentang sebuah masalah, maka kita katakan bahwa "orang-orang berkata demikian." Dalam hal ini tidak ada kekhususan bagi pria ataupun perempuan.

Demikian pula masalah keniscayaan akhirat dan balasan ukhrawî, hal itu tidak dikhususkan untuk sekelompok manusia tertentu. Di sana tidak ada pembicaraan tentang jenis kelamin pria ataupun perempuan.

Alquran biasa menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk manusia yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Pengadilan Tuhan di akhirat nanti. Alquran menyebutkan bahwa setiap jiwa (nafs) bertanggung jawab atas seluruh amal perbuatannya. Disebutkannya pula bahwa setiap manusia (insân) akan menerima balasan di akhirat nanti.

“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya" (QS Al-Muddatstsir:38).

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna" (QS Al-Najm:39-41).

Petunjuk Teks Dalam Alquran

Dalam Alquran, kadang hal-hal yang bersifat maknawi diungkap dengan kata-kata yang khusus agar kita dapat memahami bahwa bahasa Alquran tidak berkaitan dengan gender. Kalaupun ada ungkapan yang dengan jelas menunjuk perempuan atau pria, maka hal itu dalam konteks meminjam bahasa yang digunakan oleh umumnya masyarakat ketika turunnya Alquran. Contohnya adalah dalam surah Ali `Imrân, berkaitan dengan kaum Mukmin yang berhijrah pada masa permulaan Islam.

p: 75

Ketika itu Imam Ali bin Abi Thalib a.s berhijrah bersama beberapa orang perempuan. Berkenaan dengan hal ini, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan" (QS Ali 'Imrân:195).

Perempuan yang berhijrah memperoleh pahala sebagaimana pria. Kandungan ayat tersebut menjelaskan persamaan antara pria dan perempuan dalam keutamaan berhijrah. Pada ayat di atas, Alquran menggunakan sebuah ungkapan yang dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk maskulin yang digunakan Alquran tidaklah berarti lawan dari feminin. Ini seperti bunyi firman Allah Swt, innî lâ udhi'u 'amala 'âmilin minkum min dzakarin aw untsa.

“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan" (QS Ali 'Imrân:195).

Frase min dzakarin aw untsa yang berati 'baik laki-laki maupun pe- rempuan' menjelaskan 'âmilin ('seorang laki-laki yang beramal) yang berbentuk maskulin. Begitu pula huruf min yang digabung dengan kata ganti (orang kedua) jamak maskulin kum ('di antara kamu laki-laki') berbentuk maskulin pula.

Seandainya maksud âmil adalah pria yang beramal' yang merupakan lawan dari kamilah ('perempuan yang beramal), maka tidak perlu ada lagi penjelasan berikutnya min dzakarin aw untsa ('baik laki-laki maupun perempuan').

Begitu pula jika yang dimaksud dengan minkum ('di antara kalian laki-laki') adalah lawan dari minkunna ('di antara kalian perempuan'), maka hal ini juga tidak perlu dijelaskan dengan kalimat berikutnya, min dzakarin aw untsâ. Demikianlah, âmilin tidak dapat dipahami sebagai lawan

p: 76

dari 'âmilah dan minkum bukan lawan dari minkunna. Inilah bukti kuat yang menunjukkan bahwa ungkapan Alquran yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang berbentuk maskulin merupakan bahasa khusus Alquran, dan – khusus dalam hal ini — tidak terikat dengan aturan tata bahasa Arab yang berlaku. Dari sini, jelaslah bahwa 'âmilin dan minkum, meski berbentuk maskulin, tetap mencakup pria dan perempuan.

Pada ayat lain, kita juga dapat menemukan fenomena serupa. Allah Swt berfirman, “Man ‘amila shâlihan min dzakarin aw untsâ wa huwa mu'minun falanuhyiyannahu hayâtan thayyibatan.' “Barangsiapa yang mengerjakan amal shâlih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS Al-Nahl:97).

Dalam ayat tersebut terdapat beberapa kata yang berbentuk maskulin (“amila, wa huwa mu'min, falanuhyiyannahu). Namun demikian, Allah Swt menegaskan dengan min dzakarin aw untsa (baik laki-laki maupun perempuan').

Sekali lagi, kami tegaskan bahwa Allah Swt, dalam redaksi ayat di atas dan ayat-ayat serupa, hendak memahamkan kepada kita bahwa Alquran memiliki bahasa khusus, di antaranya penggunaan bentuk maskulin yang tidak hanya menunjuk kaum pria. Kita tidak boleh terjebak dalam kesulitan menafsirkan ayat-ayat semacam itu. Ini juga dapat kita temukan dalam beberapa redaksi hadis Rasulullah Saw. Misalnya, sabda beliau, “Thalabul ilmi farîdhatun 'alâ kulli Muslim ('mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim')." Meski dalam riwayat lain ada tambahan wa Muslimah, tetapi dalam redaksi hadis yang kami kemukakan di sini, wa Muslimah ('seorang Muslim perempuan') tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanya Muslim, yang menurut tata bahasa Arab berarti seorang Muslim laki-laki'.

p: 77

Ringkasnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu dan amal – yang disebutkan dalam ayat-ayat Alquran- tidaklah menunjuk jenis ke- lamin tertentu.

Kesetaraan Anugerah, Baik Material Maupun Spiritual

Alquran, dalam beberapa ayatnya, mengemukakan hukum ke- setaraan antara perempuan dan pria dalam hal perolehan anugerah material dan spiritual. Hal ini, misalnya, dapat kita baca pada firman Allah Swt, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan masjid al-Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” (QS Al-Hajj:25).

Frase yang bermukim dan (yang bermukim) di padang pasir mengisyaratkan dua komunitas masyarakat yang menetap di dua tempat yang berbeda. Mereka adalah penduduk kota dan penduduk padang pasir. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan ciri-ciri fisik yang membutuhkan tempat tinggal — kota dan padang pasir - dan tidak menunjuk kepada ruh manusia yang bersangkutan.

Pembagian wilayah secara geografis menjadi benua atau ber- dasarkan ciri-ciri khusus berupa kota atau desa, berkaitan dengan fisik manusia, bukan ruhnya. Ruh manusia tidaklah dapat dikatakan bermukim di kota ataupun desa, ia tidak bersuku bangsa Arab, non-Arab (Ajam), Persia, Turki, dan sebagainya. Pembicaraan tentang ruh tidak berkaitan dengan ungkapan baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir. Akan tetapi, fisiklah yang terkadang tinggal di kota dan tinggal di desa. Oleh karena itu, Allah Swt mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang berasal dari padang pasir telah mencakup di dalamnya penduduk Makkah dan Madinah.

Selain itu, perlu diketahui bahwa terkadang Alquran menggunakan redaksi kalimat yang mengandung kesamaan jenis. Misalnya, sesuatu

p: 78

yang bersifat materi disamakan dengan sesuatu lainnya yang bersifat materi pula. Demikian pula sebaliknya, sesuatu yang bersifat spiritual disamakan dengan yang sejenis.

Contohnya adalah firman Allah Swt berkenaan dengan masalah rezeki. Allah Swt berfirman, "Dan Dia menjadikan di sana (di bumi) gunung-gunung yang kokoh di atasnya dan Dia memberkahinya dan (di samping itu) Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (para penghuni)- nya. (Semua itu terlaksana) dalam empat hari (yang terbagi) secara adil (Penjelasan yang dikemukakan ini adalah jawaban) bagi para penanya" (QS Fushshilat:10).

Hal yang perlu digarisbawahi pada ayat di atas adalah frase Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (para penghuni)-nya dalam empat hari (yang terbagi) secara adil, bagi para penanya. Pertanyaan para penanya yang dimaksud dalam ayat ini adalah pertanyaan yang ber- sifat praktis, bukan hanya pertanyaan secara lisan. Artinya, siapa saja yang secara potensi dapat berusaha dan mencari nafkah, maka dia dapat mengambil manfaat dari hasil-hasil bumi, secara adil dan merata, bagi para penanya, yakni bagi siapa pun yang mencarinya-pria ataupun perempuan, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.

Begitu pula jika ayat di atas kita kaitkan dengan pertanyaan secara lisan, misalnya hal-hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, ayat di atas mengandung arti bahwa setiap orang yang bertanya pasti memperoleh jawaban. Berkenaan dengan “makanan" — baik yang berbentuk materi maupun spiritual — juga ditegaskan oleh firman Allah Swt, "Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya" (QS 'Abasa:24).

Ketika menerangkan ayat di atas, al-Kulainî mengomentarinya dengan membawakan sebuah riwayat dari Imam Ja'far al-Shadiq a.s yang menyatakan bahwa maksud firman Allah Swt, “Maka hendaklah manusia

p: 79

itu memperhatikan makanannya”, adalah hendaklah manusia memper- hatikan ilmunya dari siapa ia memperolehnya. (1)

Di sini tidak dibedakan antara makanan jasmani dan ruhani. Para sâ'ilîn adalah para penanya atau pencari rezeki jasmani, sekaligus para penanya atau pencari hal-hal yang bersifat ruhani, seperti ilmu pengetahuan. Dalam kondisi semacam itu, ruh dan jasad sama-sama memiliki kebutuhan. Manusia-pria ataupun perempuan yang merupakan para penanya, memiliki ruh yang sama pula.

Terkadang kita temukan bahwa Alquran lebih banyak menghargai pria daripada perempuan sehingga tampak bahwa kebanyakan yang disebutkan oleh Alquran adalah pria. Contohnya adalah ketika Alquran memuji seorang perempuan yang memiliki keunggulan, dia tidak digolongkan dengan para perempuan lain yang memiliki keunggulan yang sama, tetapi justru dia dimasukkan ke dalam golongan para pria yang memiliki keunggulan. Misalnya, firman Allah, "Wa shaddaqat bikalimati rabbihâ wa kutubihî wa kânat minal- qânitîn." "Dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab- Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang (laki-laki) yang taat" (QS Al-Tahrîm:12).

Allah Swt tidak mengatakan, wa kânat minal-qânitât ('dan dia termasuk para perempuan yang taat').

Maryam digambarkan sebagai orang yang membenarkan kalam Ilahi, percaya pada kitab-kitab-Nya, dan termasuk orang-orang yang tunduk kepada Allah Swt. Bersamaan dengan itu, Allah Swt memberikan kemandirian kepada kaum pria dan menyebut Maryam berada dalam lingkup kaum pria. Dia berfirman, “Dan dia termasuk qânitîn ('para pria yang taat')", bukan qânitât ('para perempuan yang taat').

Jawaban terhadap masalah yang samar tersebut adalah bahwa bahasa dialog tidak sama dengan bahasa etika formal.

p: 80


1- 18 Ushûl al-Kâfi, juz 1, hlm. 50.

Dalam surah Al-Ahzâb dijelaskan bahwa pria dan perempuan sama dalam masalah keunggulan. Kebanyakan keunggulan tersebut berkaitan dengan masalah keutamaan akhlak. Keduanya diberi kebebasan oleh Allah Swt, meskipun Dia berfirman dalam surah Ali `Imrân dengan kata- kata berbentuk maskulin. Allah Swt berfirman, “Ash-shâbirîna wash-shâdiqîna wal-qânithîna wal munfiqîna wal- mustaghfirîna bil-ashâr." "[Yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya [di jalan Allah], dan yang memohon ampun di waktu sahur" (QS Âli 'Imrân:17).

Ayat di atas menggunakan bentuk maskulin, tetapi dalam su- rah Al-Ahzâb menggunakan bentuk maskulin dan feminin. Allah Swt berfirman, “Innal-Muslimîna wal-Muslimâti wal-mu'minîna wal-mu'minâti wal-qânitîna wal-qânitâti wash-shâdiqîna wash-shâdiqâti wash-shâbirîna wash-shâbirâti wal-khâsyi îna wal-khâsyi ‘âti wal-mutashaddiqîna wal- mutashaddiqâti wash-shâ'imîna wash-shâ'imâti wal-hâfizhîna furûjahum wal-hâfi-hâti wada-dzâkirînallâha katsîran wa-d-dzâkirâti a'addallâhu lahum maghfiratan wa’ajran ‘azhîma." “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki-laki dan perempuan yang Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu', laki- laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar" (QS Al-Ahzâb:35).

Allah Swt mengungkapkan hal tersebut dengan menggunakan sebuah metode guna memahamkan kepada kita tentang sebuah makna (arti kontekstual) dan menunjukkan bahwa Dia berbicara berdasarkan bahasa tersendiri yang digunakan Alquran. Oleh karena itu, Allah Swt

p: 81

berfirman, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang Muslim, laki- laki dan perempuan yang Mukmin." Namun pada akhir ayat tersebut Allah mengatakan, a'addallâhu lahum, ('Allah telah menyediakan untuk mereka [laki-laki]'), tidak mengatakan a'addallâhu lahum wa lahunna ('Allah telah menyediakan untuk mereka laki-laki dan mereka perempuan'). Hal tersebut mengandung arti bahwa janganlah kita berpikir bahwa setiap ada kata ganti (jamak maskulin) hum atau kum, maka pasti berarti mereka laki-laki, kecuali kalau ada indikasi yang menunjukkan demikian.

Orang yang mengetahui penggunaan Alquran, pada umumnya, tidak akan mengalami kesulitan dalam memahami redaksi-redaksi kalimat di atas. Ini tidak berbeda dengan hadis Nabi Saw, “Mencari ilmu wajib bagi seorang Muslim." Selama kita mengetahui kebiasaan Alquran ini, maka kita akan memahami bahwa Allah Swt menyebutkan secara jelas dan terperinci laki-laki dan perempuan Mukmin dalam beberapa ayat. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman tentang Maryam, “Dan dia membenarkan kalimat Tuhannya, dan kitab-kitab-Nya dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat" (QS Al-Tahrîm:12).

Redaksi ayat seperti demikian ('dan adalah dia termasuk orang- orang [kaum lelaki) yang taat') tidaklah berarti bahwa kita tidak memiliki para perempuan taat yang layak diabadikan Alquran karena dengan jelas Allah Swt berfirman, “Wal-qânitîna wal-qânitât (ʻlaki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatan'). Semua itu hanya berkaitan dengan kebiasaan Alquran. Begitu pula sebaliknya, perempuan yang melakukan kesalahan juga digolongkan dengan laki-laki yang melakukan kesalahan (menggunakan kata ganti maskulin).

Allah Swt berfirman melalui lisan Nabi Yûsuf a.s, ketika berbicara kepada istri al-Aziz, “Dan mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah (minal-khâthi în)" (QS Yûsuf:29).

p: 82

Dalam ayat tersebut Allah Swt tidak menyebut...minal-khâthi'ât ('...

orang-orang perempuan yang berbuat salah'). Sekali lagi, ini berdasarkan bahasa Alquran semata, bukan karena kita tidak memiliki perempuan- perempuan yang taat.

Kesimpulan:

Pertama, Allah Swt menjelaskan bahwa Dia berbicara dengan ruh manusia, dan ruh manusia bukan pria ataupun perempuan.

Kedua, tema tentang pria ataupun perempuan adalah pembicaraan di luar inti manusia, dan hal tersebut tidak berkaitan dengan masalah keutamaan ataupun pengetahuan.

Ketiga, tidak ada alasan khusus dalam model ungkapan-ungkapan Alquran. Itu bukan pula merupakan tuntutan aturan-aturan penulisan.

Seluruh ayat Alquran dan firman Allah Swt harus dipahami berdasarkan kebiasaan umum Alquran dalam memaparkan ayat-ayatnya.

Keempat, mereka yang menyerukan persamaan antara pria dan perempuan ketika hendak berbicara di hadapan orang banyak yang tentunya mereka terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan, apakah mereka akan mengatakan, “Wahai pria dan perempuan, bangkitlah! wahai pria dan perempuan, proteslah! wahai pria dan perempuan, bersuara- lah!" atau mereka cukup mengatakan, "Wahai manusia, bangkitlah! tunjukkanlah suara kalian!" dan seterusnya. Namun demikianlah adanya metode penuturan bahasa di dunia pada umumnya. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa “Alquran hanya memperhatikan pria dan tidak memperhatikan perempuan".

Penyebutan Gender dalam Alquran

Ada beberapa ayat dalam Alquran yang dengan jelas menyebutkan nama pria dan perempuan. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan pikiran jahiliah yang telah membedakan antara pria dan perempuan.

Mereka menganggap bahwa ibadah dan kemuliaan hanya milik kaum pria.

Ketiadaan Gender dalam Kalam Ilahi

p: 83

Keindahan dan Keagungan Perempuan Oleh karena itu, Alquran datang dengan analisis nalar bahwa sesuatu yang harus disempurnakan adalah ruh, dan ruh bukan perempuan ataupun pria.

Sebelum kedatangan Islam, perempuan merupakan makhluk yang tak berharga sehingga masyarakat Arab selalu memandangnya dengan sebelah mata. Begitu pula di negara-negara maju, khususnya negara-negara industri, perempuan tidak lagi merupakan sosok manusia yang bernilai. Mereka memandangnya hanya sebagai objek pelampiasan nafsu semata. Hal ini merupakan penghinaan terhadap kedudukan perempuan yang tinggi. Allah telah menyebutkan dalam Alquran bahwa perempuan adalah sosok yang mengurusi pendidikan hati dan ruh manusia, sementara ruh dan hati manusia bukanlah pria ataupun perempuan. Oleh karena itu, Alquran meniadakan tema perempuan dan pria agar tidak ada lagi tempat untuk menjelaskan persamaan atau perbedaan antara kedua jenis manusia tersebut. Ketika masalah perempuan dibahas oleh Alquran dan hadis, hal tersebut tidak dapat dilihat sebagai sebuah keistimewaan yang melebihkannya dari pria.

Dalam pembahasan mendatang, yaitu pada pembahasan tentang perempuan dalam ‘irfân, akan diutarakan dengan jelas keempat jalan yang harus dilalui oleh pria dan perempuan karena mereka seluruhnya pasti melalui jalan tersebut. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya dalam teknis pelaksanaannya saja. Dalam masalah ibadah, misalnya, tidak ada satu ibadah pun yang tidak melibatkan perempuan, bahkan dalam masalah haid sekalipun, meski ada riwayat yang mengatakan, “Tinggalkanlah salat ketika kamu dalam keadaan haid'(1)

Ada riwayat yang menyatakan, jika seorang perempuan dalam ke- adaan haid kemudian berwudhu dan duduk di tempat salatnya pada saat waktu salat wajib tiba, lalu menghadap kiblat sambil berzikir, maka ia akan memperoleh pahala salat yang saat itu tidak boleh dilakukannya.

Maka itu, tidak ada satu pun bentuk kesempurnaan yang hanya dapat digapai kaum pria sehingga perempuan terhalang untuk mendapatkannya.

p: 84


1- 19 Furû al-Kâfî, juz 3, hlm. 85.

Tentu, masalah-masalah fikihlah yang mengurusi pembagian masalah teknis pelaksanaan, apa saja yang harus dilakukan pria dan yang tidak boleh dilakukan perempuan. Namun sekali lagi, ini hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis semata. Adapun dalam masalah pengetahuan tafsir, filsafat dan 'irfân, tidak ada pembahasan tentang perbedaan antara pria dan perempuan, tetapi yang menentukan adalah sisi kemanusiaan.

Oleh karena itu, jika permasalahannya adalah pendidikan ruh, maka ruh bukan pria ataupun perempuan karena di sini semua sama.

Sementara itu, ayat-ayat Alquran yang banyak menggunakan bentuk maskulin dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Kelompok pertama, ayat-ayat yang tidak dikhususkan untuk satu jenis saja seperti ayat yang menyebutkan al-nâs atau insân (manusia) atau yang disebut dengan man (siapa).

Kelompok kedua, ayat-ayat yang berbicara tentang pria seperti ayat-ayat yang menggunakan bentuk maskulin (kata yang mengan- dung arti banyak yang diakhiri dengan huruf wau dan nûn atau ya' dan nûn seperti Muslimûn atau Muslimîn), dan ayat yang mengandung arti maskulin sebagai kata ganti dari kata nas atau yang lainnya, misalnya yu'allimukum, yu'allimuhum dan lain-lain. Semua itu berdasarkan bahasa tersendiri yang digunakan Alquran.

Ketika mereka ingin mengatakan, "Orang-orang berkata demikian, orang-orang mengharapkan demikian, orang-orang menyuarakan demikian", maka "orang-orang" yang dalam bahasa Arabnya al-nâs bukanlah lawan dari kata al-nisâ' ('para perempuan'). Namun, yang dimaksudkan dengan al-nâs ('orang-orang') adalah khalayak ramai. Dari sini, kita pun tidak dapat meyimpulkan bahwa Alquran selalu cenderung menggunakan bentuk maskulin dalam ungkapan-ungkapannya karena hal itu cukup populer digunakan dalam sastra Arab.

Kelompok ketiga, ayat-ayat yang menggunakan kata pria dan perempuan. Dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa dalam hal ini bukan masalah pria dan perempuan, tetapi untuk menjelaskan bahwa antara

p: 85

pria dan perempuan tidak terjadi perbedaan. Hal itu seperti dalam firman Allah, "Barangsiapa yang mengerjakan ‘amal shâlih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS Al-Nahl:97).

Alquran turun untuk membersihkan ruh. Ketika ruh beribadah dan mendekat kepada Allah Swt, dia dihukumi sebagai 'âmil, artinya pelaku', baik fisiknya berjenis perempuan maupun pria, ia tidak berbeda. Jika demikian, maka dalam hal makrifat Allah, keikhlasan dan berkemauan teguh, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Jelaslah bahwa gender tidaklah berperan dalam hal menerima ajaran-ajaran Alquran. Allah Swt mengatakan bahwa fisik manusia pertama (Adam a.s) bersumber dari tanah (thîn), “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah (thîn)" (QS Shầd:71).

Kadang-kadang, Dia menyatakan dari turâb ('tanah'), shalshâl ('tanah liat kering'), dari thîn ('tanah'), dan sebagainya. Kadang-kadang pula, Dia menyatakan bahwa perempuan dan pria termasuk dalam punggung kalian (manusia sekunder). Berdasarkan hal ini, apa yang akan kalian banggakan? Jika kalian ingin saling membanggakan, maka kebanggaan kalian adalah dalam ketidakbanggaan. Faktor kebanggaan hanyalah ketakwaan yang tidak boleh disertai kebanggaan dan saling membanggakan.

Ayat dalam surah Al-Hujurat yang sudah sering kita dengar mencakup aspek badan dan ruh. Firman Allah, “Hai manusia (al-nâs)", yakni manusia yang disebut Alquran untuk diberi hidayah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan" (QS Al-Hujurât:13). Maksudnya, jika kalian ingin membanggakan fisik, maka pria diciptakan dari seorang perempuan dan seorang pria, dan perempuan juga dilahirkan dari seorang perempuan dan seorang pria.

Fisik pria tidak lebih utama daripada fisik perempuan, atau sebaliknya.

p: 86

Jika ada orang atau ras yang ingin membanggakan diri atas orang atau ras lain, juga dikatakan kepadanya setiap kelompok dari kalian berasal dari perempuan dan pria.

Mengenai masalah ras dan bahasa pun, Allah menyatakan bahwa hal itu merupakan sebuah faktor untuk saling mengenal dan identitas alami. Maka seseorang tidak dapat membawa serta identitas negaranya ke mana pun yang dia kunjungi. Wajah, fisik, bahasa dan dialek merupakan identitas alami manusia yang melekat pada tubuhnya. Adapun ruh, tidak ke Timur dan tidak ke Barat, bukan Arab serta bukan pula non-Arab, dan seterusnya.

Identitas bukanlah faktor kebanggaan. Jika seseorang ingin membanggakan diri, tidak ada tempat untuk itu karena semuanya adalah dari pria dan perempuan. Suku dan bangsa berkaitan dengan badan. Sementara ruh memiliki perhitungan tersendiri. Ruh memiliki ruang lain yang bukan tempatnya untuk membicarakan identitas dan sebagainya. Kemudian, jika seseorang ingin mendapat kedudukan tinggi, dia harus mencapainya tanpa membanggakan diri. Inilah firman-Nya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu" (QS Al-Hujurât:13).

Masih banyak ayat yang menegaskan hal ini dan akan ditunjukkan di sini sebagiannya saja.

p: 87

p: 88

Kesaksian Alquran -1

Malaikat Bukan Pria atau Perempuan

Mukadimah pertama: Dalam Alquran disebutkan beberapa kesempurnaan yang dimiliki oleh para malaikat dan juga manusia yang berilmu dan sadar – baik kesempurnaan ilmiah maupun kesempurnaan amaliah.

Mukadimah kedua: Malaikat bukan fisik dan luput dari sebutan pria dan perempuan sehingga akan tampak jelas persamaan antara malaikat dan manusia. Persamaan itu adalah pada ruh manusia, bukan pada fisiknya dan bukan pula gabungan jasad dan ruhnya.

Dengan dua mukadimah tersebut, jelaslah – seperti telah dikemukakan bahwa dalam masalah nilai tidak ada pembicaraan tentang gender. Pria dan perempuan dalam hal ini sama. Oleh karena itu, landasan masalah ini adalah negatif karena menegasikan subjek. Namun, kaum materialis memandang masalah ini negatif karena menegasikan predikat, dan mereka memandang hakikat manusia adalah badan, sedangkan badan bisa pria atau perempuan. Lalu mereka mengatakan bahwa perempuan dan pria tidak berbeda dalam masalah nilai. Sebaliknya, Islam memandang ruh manusia sebagai hakikat yang sempurna dan, pada saat yang sama, memandang badan merupakan hal yang penting tetapi hanya alat, bukan esensi yang sempurna, bukan pula bagian dari esensi tersebut.

Islam menyatakan bahwa perempuan dan pria tidak berbeda, yakni dalam masalah nilai tidak ada pembicaraan tentang pria dan perempuan sama sekali, bukan karena berbeda.

p: 89

Untuk menguatkan masalah ini, kita melihat bahwa ketika menyebutkan masalah-masalah keilmuan, Alquran menganggap malaikat dan orang- orang yang berilmu adalah sama.

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang ber- hak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana" (QS Ali `Imrân:18).

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, pertama, Alquran menyandarkan kesaksian akan keesaan Allah kepada Allah Swt, lalu menyebut para malaikat dan orang-orang yang berilmu pada kedudukan yang sama, dan malaikat itu bukan pria ataupun perempuan. Namun, dalam masalah keilmuan, Allah menghargai kesaksian para malaikat dengan menyebut kesaksian mereka setelah kesaksian-Nya atas keesaan-Nya. Lalu, Dia menyebutkan orang-orang yang berilmu di samping para malaikat itu. Dari sini, jelaslah bahwa maksud ûlû al-ilmu ('orang-orang yang berilmu') ini bukan para pria yang berilmu sebagaimana tidak mengkhususkan para perempuan yang berilmu.

Yang berilmu adalah ruh manusia, dan ia tidak berjenis kelamin pria ataupun perempuan. Ruh dapat menjadi seperti malaikat. Yang dapat menjadi saksi akan keesaan Allah bukan jasad, bukan pula gabungan antara jasad dan ruh. Di sinilah sisi kesamaan antara malaikat dan orang-orang yang berilmu, yakni dalam hal kegaiban ruh.

Berkenaan dengan masalah kesempurnaan dalam perbuatan, Allah Swt berfirman dalam konteks dukungan dan pertolongan-Nya terhadap Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang Mukmin yang saleh, dan selain dari itu malaikat- malaikat adalah penolongnya pula” (QS Al-Tahrîm:4).

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw ber- ada di bawah perlindungan Allah Swt, dan orang-orang Mukmin yang

p: 90

saleh dan para malaikat adalah penolongnya pula. Penyebutan kaum Mukmin sebagai manusia saleh menunjukkan bahwa orang Mukmin mengerjakan amal yang saleh pula.

Dalam kondisi seperti ini, terkadang orang-orang Mukmin yang saleh disebut sebelum malaikat, dan terkadang sebaliknya, malaikat disebut sebelum orang-orang yang berilmu.

Ketika berbicara tentang ilmu ketuhanan (pada surah Âli 'Imrân:18 di atas), malaikat disebut sebelum orang-orang yang berilmu. Sebaliknya, ketika menyebutkan dukungan terhadap ajaran Ilahi (pada surah Al-Tahrîm di atas), malaikat disebut setelah kaum Mukmin karena sekelompok kaum Mukmin merupakan guru para malaikat, dan guru, tentu saja, memiliki kedudukan yang lebih utama daripada murid.

Di sini juga terlihat sisi persamaan antara malaikat dan kaum Mukmin yang saleh (keluarga Rasulullah Saw adalah contoh yang paling menonjol dalam hal ini) yaitu dalam hal kemurnian ruh dan kegaibannya.

Inilah dua contoh, yang pertama dalam hal kesempurnaan ilmu, dan yang kedua dalam hal kesempurnaan amal perbuatan. Sesungguhnya malaikat dan manusia sama, artinya sama dalam memiliki kesempurnaan akal dan ruh.

Malaikat Terbebas dari Gender

Alquran terkadang menganggap malaikat sebagai perempuan.

Namun hal itu disebutkannya dalam konteks meminjam bahasa masyarakat Arab pada masa Alquran turun. Allah Swt berfirman, "Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala.

Dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka" (QS Al-Nisa':117).

Ayat tersebut tidak ingin mengatakan bahwa malaikat adalah perempuan, tetapi maksud firman Allah Swt yang berbunyi, "Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala (inâtsan)" adalah sebagai berikut,

p: 91

Pertama, para penyembah berhala menganggap bahwa para malaikat adalah perempuan.

Kedua, mereka menganggap malaikat sebagai perantara dalam menurunkan anugerah Ilahi.

Ketiga, mereka menganggap adanya kemandirian pada malaikat, sehingga mereka menyembahnya.

Keempat, hal ini merupakan salah satu bentuk tipu daya serta muslihat setan. Karenanya, Allah Swt menyebutkan dua batasan yang saling berdampingan, seperti tampak pada firman-Nya di atas.

Dua bentuk pembatasan (Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka) tersebut menunjukkan bahwa keduanya berada dalam satu kaitan. Dengan kata lain, Allah Swt menyatakan bahwa yang mereka sembah hanyalah berhala dan bahwa yang mereka inginkan hanyalah menyembah setan yang durhaka. Artinya, anggapan bahwa malaikat adalah perempuan, seperti anggapan mereka tentang pertolongan malaikat dan adanya pengaruh atas penyembahan mereka terhadap malaikat, merupakan tipu muslihat setan: dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka.

Setan adalah pendurhaka karena ia telah durhaka terhadap ke- benaran. Tipu muslihatnya batil.

Dalam ayat lain, malaikat disebut dengan sifat perempuan, tetapi hal itu dalam konteks pengandaian. Allah Swt berfirman, "Apakah patut untuk kamu anak laki-laki dan untuk Allah anak perempuan?" (QS Al-Najm:21).

“Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan- Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki” (QS Al- Zukhruf:16).

Maksud ayat di atas tidak berarti bahwa malaikat itu perempuan sehingga kita menisbahkan anak perempuan kepada Allah Swt, sementara kita lebih menyukai anak laki-laki. Sekali lagi, ayat seperti di atas hanyalah

p: 92

pengandaian semata, bukan bukti kebenaran akan keperempuanan malaikat.

Alquran dengan jelas membantah dugaan-dugaan demikian. Pengandaian semacam ini dapat dilihat pada sekian banyak ayat Alquran.

“Atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan dan mereka menyaksikan(nya)?" (QS Al-Shâffât:150).

“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah, sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat- malaikat itu? Kelak akan diputuskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban" (QS Al-Zukhruf:19).

Kedua ayat ini membantah dugaan-dugaan salah di atas. Artinya, Allah Swt mengatakan bahwa Dia tidak menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan. Mereka bahkan tidak menyaksikan penciptaan malaikat- malaikat. Dugaan mereka itu hanyalah prasangka yang timbul akibat pengingkaran mereka terhadap Hari Akhir dan penyembahan kepada Allah Swt.

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan" (QS Al-Najm:27).

Beberapa Sifat Keilmuan Malaikat

Salah satu sifat keilmuan para malaikat adalah mereka menyaksikan keesaan Tuhan. Mereka juga menyaksikan risalah Rasulullah Saw. Oleh karena itu, kita membaca ayat Alquran, “[Mereka tidak mau mengakui yang diturunkan kepadamu itu), tetapi Allah mengakui Alquran yang diturunkan-Nya kepadamu.

Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya dan malaikat-malaikat pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah menjadi saksi. (QS Al- Nisâ':166).

p: 93

Sifat ini merupakan sifat yang tinggi, artinya kesaksian terhadap risalah Nabi Saw juga berlaku untuk manusia. Dalam surah Al-Ra'd, Allah berfirman, “Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang yang dijadikan rasul.' Katakanlah: “Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu, dan antara orang-orang yang mempunyai ilmu al-Kitab.' (QS Al-Ra'd:43).

Oleh karena itu, manusia juga menyaksikan sesuatu yang di- saksikan oleh para malaikat. Begitu pula seluruh mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan, seluruhnya menyaksikan keesaan Allah Swt dan risalah Nabi- Nya Saw, baik dalam salat mereka, azan maupun iqamat yang mereka kumandangkan. Inilah kesaksian terhadap risalah Rasulullah Saw yang terkandung dalam salat, yang disebut di sela-sela pengumandangan azan dan iqamat. Adapun kesaksian yang dilakukan dalam tasyahud adalah cara ilmiah yang dilakukan malaikat.

Tawallî dan Tabarrî

Salah satu sifat keilmuan malaikat adalah menjadikan para kekasih Allah sebagai wali (Tawallſ) dan berlepas diri dari musuh-musuh-Nya (Ta- barrî). Penjelasan tentang perwalian malaikat telah dipaparkan pada akhir ayat 4 surah Al-Tahrîm di atas. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa hal lain yang serupa dengan ayat tersebut. Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah dan malaikat malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" (QS Al- Ahzâb:56).

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah Swt beserta para malaikat-Nya berselawat kepada Rasulullah Saw. Begitu pula orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, seluruhnya diperintahkan untuk berselawat kepada Rasulullah Saw, baik dalam salat maupun di luar salat.

p: 94

Shalawat dan salam yang dilakukan oleh para malaikat juga di- perintahkan kepada manusia untuk melakukannya. Kesaksian para malaikat dan manusia akan keesaan Allah dan risalah Nabi-Nya Saw merupakan perintah Allah kepada mereka yang bersifat teorietis, yakni sesuatu yang harus diyakini dan diketahui (amr ilmuſ), sedangkan berselawat merupakan perintah yang bersifat praktis, yakni harus diwujudkan dalam bentuk perbuatan — dalam hal ini membaca selawat- yang harus mereka kerjakan (amr ‘amalî). Manusia sama dengan malaikat dalam hal menerima perintah yang baik.

Begitu pula dengan tawallî dan tabarri, ia juga merupakan salah satu kewajiban agama, seperti kewajiban salat dan puasa. Menjadikan para kekasih Allah sebagai wali dan berlepas diri dari musuh-musuh-Nya, juga merupakan sebuah kewajiban bagi setiap malaikat dan manusia mukallaf.

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya" (QS Al-Baqarah:161). Manusia dalam ayat tersebut tidak dikhususkan untuk kaum pria. Seluruh manusia melaknat orang-orang kafir, begitu pula para malaikat.

Malaikat, Duta Allah

Seluruh sifat keilmuan yang sebagiannya kembali kepada kesaksian keesaan Allah dan sebagian lain terhadap risalah Rasulullah Saw, serta sifat-sifat keilmuan lainnya berupa perwalian terhadap para kekasih Allah, dan sebagian lainnya berupa pembebasan diri dari musuh-musuh-Nya, menjadi sebuah faktor yang menyebabkan para malaikat menjadi duta Allah yang mulia. Hal ini dinyatakan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Dan lembaran-lembaran yang disucikan di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti” (QS ‘Abasa:14-16).

Ini artinya Kitab seruan-Ku ini sampai pada kalian dengan perantara para utusan yang berbakti. Maksudnya adalah Allah tidak mengutus seorang

p: 95

utusan yang tidak istimewa, tetapi Dia mengutus seorang utusan yang mulia. Allah Swt menambahkan, “(Yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Alquran), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus" (QS Al-Bayyinah:2-3).

Yang dikirimkan melalui perantara malaikat yang mulia berisikan sebuah risalah yang mulia pula sehingga dengannya, manusia menjadi mulia.

Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam” (QS Al- Isra':70).

Kemuliaan Malaikat

Alquran menjelaskan bahwa para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang mulia. Hal ini sebagaimana pernyataan Allah Swt, “Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak. Mahasuci Allah, sebenarnya (malaikat- malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya" (QS Al-Anbiyâ':26-27).

Sifat hamba-hamba Allah yang dimuliakan, yang diberikan kepada para malaikat, juga diberikan kepada hamba-hamba Allah yang shalih.

Allah Swt berfirman, “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka meng- ucapkan kata-kata yang baik" (QS Al-Furqân:63).

Hamba-hamba Allah yang baik dan dimuliakan ('ibâdurrahmân) adalah salah satu sifat yang paling mulia yang telah dipilih oleh Allah untuk

p: 96

manusia yang mulia. Sifat yang sama diberikan kepada para malaikat. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan tentang itu” (QS Al-Najm:27-28).

Orang-orang yang mengatakan bahwa malaikat adalah perempuan, perkataannya tidak berdasarkan pengetahuan. Apa yang mereka katakan hanyalah prasangka belaka, tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pandangan dunia dan masalah-masalah asasi, dan tidak dapat menduduki posisi ilmu (pengetahuan). Bisa saja prasangka dijadikan hujah dalam masalah-masalah praktis dan bukan prinsip, tetapi tidak bisa menjadi pandangan dunia dan menilai masalah-masalah asasi.

Kesimpulan:

Pertama, Allah Swt telah memuji manusia dengan kemuliaan yang merupakan sifat malaikat dan mengajak mereka untuk menuju kemuliaan tersebut. Inilah bukti bahwa apa yang dijelaskan oleh Allah Swt dalam Alquran tentang malaikat juga ditetapkan kepada hamba-hamba-Nya yang shâlih. Hal ini mencakup kesempurnaan pengetahuan dan kesempurnaan perbuatan.

Kedua, malaikat bukanlah pria ataupun perempuan. Yang menem- puh jalan malaikat bukanlah pria ataupun perempuan. Manusia yang berjalan di jalan malaikat bukanlah pria ataupun perempuan karena kemanusiaan “manusia" adalah ruhnya, dan ruh terbebas dari unsur kepriaan atau keperempuanan.

Ketiga, Allah Swt menjelaskan bahwa orang-orang menduga malaikat adalah perempuan karena jiwa mereka tidak memiliki keimanan. Allah Swt tidak menciptakan malaikat sebagai perempuan dan mereka juga tidak menyaksikan penciptaan malaikat.

p: 97

Keempat, kita akan melihat bahwa Allah Swt bersumpah pada ciptaan perempuan dan pria, dan Dia memberikan “nilai" pada seluruh makhluk dan ciptaan-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

p: 98

Kesaksian Alquran -2

Penciptaan Manusia

Allah Swt menjelaskan bahwa inti manusia adalah ruh, dan cabangnya adalah jasad. Jasad bersumber dari tanah, lumpur, alam dan materi. Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah" (QS Shad:71).

Proses berikutnya adalah memasukkan ruh ke dalam jasad manusia.

Allah Swt berfirman, “Dan telah Ku-tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku" (QS Al- Hijr:29).

Ketika menjelaskan proses penciptaan manusia sampai pada tahap janin, Allah Swt berfirman, “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain" (QS Al- Mu'minûn:14).

Selanjutnya Allah memberinya ruh. Artinya, ruh ditiupkan setelah selesai pembentukan jasad manusia yang berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Kejadian ini digambarkan dalam firman Allah Swt, "Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging" (QS Al-Mu'minûn:14).

p: 99

Ketika Allah membentuk manusia hingga menjadi pria atau perempuan, Allah Swt berfirman, “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain” (QS Al- Mu'minûn:14).

Maksud "makhluk yang berbentuk lain" tidaklah berbentuk pria ataupun perempuan.

Dalam surah Al-Qiyamah, kita juga menemukan beberapa ayat yang menjelaskan secara sempurna bahwa kaitan antara pria dan perempuan kembali kepada alam dan unsur materi, bukan kepada ruh.

Allah Swt berfirman, “Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah men- jadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan" (QS Al- Qiyamah:37-39).

Ayat ini menjelaskan bahwa tugas suami-istri hanya “memancarkan" sperma, sedangkan yang menciptakan manusia adalah Allah Swt. Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa perihal jenis kelamin manusia sumbernya adalah setetes mani yang ditumpahkan, bukan ruh yang Allah tiupkan ke dalam jasadnya – sebagaimana bunyi firman Allah, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku" (QS Al-Hijr:29).

Bentuk tubuh yang berbeda-beda dan penentuan jenis kelamin perempuan atau laki-laki ditetapkan pada saat pembentukan jasad. Setelah itu selesai, barulah ruh berperan, baik itu ruh yang dipahami sebagai sesuatu yang telah ada sebelum keberadaan jasad, atau atas dasar bahwa ruh yang murni adalah ruh yang tercipta bersamaan dengan penciptaan jasad secara sempurna, atau alasan-alasan lainnya. Yang penting adalah ruh itu ada setelah penetapan jenis kelamin.

Meski peranan orang tua dalam penciptaan makhluk adalah hanya "menumpahkan" sperma, tetapi Allah telah menghargainya. Oleh

p: 100

karena itu, Allah bersumpah atas nama kehebatan penciptaan (kedua jenis manusia) ini. Allah Swt berfirman, “Demi malam apabila menutupi cahaya siang, dan siang apabila terang benderang dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan" (QS Al-Lail:1-3).

Mâ pada firman-Nya, wa mâ khalaqadz-dzakara wal-untsâ ('dan penciptaan laki-laki dan perempuan') dalam bahasa Arab disebut mâ mashdariyyah, yang mengisyaratkan bahwa objek sumpah pada ayat di atas adalah [keajaiban) proses penciptaan laki-laki dan perempuan, bukan ciptaannya, yakni bukan makhluk yang telah memiliki wujud jasadnya.

Pada ayat ini, Allah Swt tidak bersumpah atas nama pria dan perempuan, tetapi Dia bersumpah dengan proses penciptaan perempuan dan pria yang merupakan perbuatan-Nya. Karenanya juga, seandai- nya tidak ada sepasang suami-istri yang mulia, maka Allah tidak akan bersumpah dengan penciptaan keduanya.

Suami dan Istri dalam Alquran

Zauj (bentuk maskulin yang artinya “suami’) dan zaujah (bentuk feminin yang berarti 'istri') dalam bahasa Arab merupakan kata yang saling ber- lawanan. Namun, Alquran hanya menggunakan kata zauj, baik untuk menunjuk suami maupun istri. Alquran tidak pernah menyebut istri dengan zaujah yang bentuk jamaknya zaujất, tetapi ia menggunakan azwâj yang merupakan jamak dari zauj. Dijelaskan bahwa Allah Swt telah menciptakan Adam dan menciptakan istrinya dari unsur tersebut. Allah Swt berfirman, “Dan daripadanya Allah menciptakan istrinya" (QS Al- Nisà':1).

Zauj pada mulanya berarti sesuatu yang (semula ganjil) menjadi genap, atau sepasang, setelah bergabung dengan sesuatu yang lain. Maka, ketika Allah berbicara tentang perempuan dan pria, Allah Swt berfirman, "Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang, laki-laki dan perempuan" (QS Al-Qiyamah:37-38).

p: 101

Begitu pula dengan para perempuan surga, Allah menyebut me- reka sebagai azwaj muthahharah, bukan dengan zaujat. Sebagaimana pria adalah zauj ('suami') seorang perempuan, maka perempuan juga zauj ('istri') seorang pria. Terkadang bahasa Arab menggunakan kata zauj dan zaujah hanya untuk menghindari terjadinya kebingungan pada saat penggunaannya sehingga bercampur antara panggilan untuk istri dan suami.

Manusia dan Kekhalifahan

Masalah lain yang dibahas di sini adalah kedudukan tertinggi yang diberikan pada manusia adalah kedudukan sebagai khalifah. Jika dalam statusnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini manusia telah memperoleh kedudukan yang cukup tinggi, maka masih ada maqam- maqam lain, seperti maqam wilayah, kenabian dan kerasulan. Jika manusia berada pada tingkatan tinggi atau rendah, maka itu berkaitan dengan keimanan atau yang serupa dengannya. Namun jika demikian, ia tidak dapat memperoleh maqam kenabian dan kerasulan.

Pertanyaannya adalah apakah tugas kekhalifahan Allah hanya terbatas untuk pria, tidak termasuk perempuan? Ataukah mencakup perempuan? Dan apakah pria saja yang dapat meraihnya, sementara perempuan tidak? Ataukah tidak ada ketentuan harus pria saja ataupun perempuan? Sesungguhnya yang dapat menjadikan mereka khalifah Allah di muka bumi adalah sisi kemanusiaan mereka, bukan jenis kelamin mereka.

Allah Swt berbicara tentang kekhalifahan Adam a.s, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Lalu para malaikat berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan mem- buat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau" (QS Al-Baqarah:30).

p: 102

Allah Swt menjelaskan kepada mereka bahwa Dia adalah “Guru" mereka dan mereka adalah khalifah-Nya dengan mengajarinya nama- nama (al-asmâ'). Maka jelaslah bahwa pembahasan tentang kekhalifahan Adam a.s bukanlah masalah pribadi, atau pribadi tertentu dapat menjadi khalifah, tetapi sisi kemanusiaannyalah yang menjadikannya khalifah Allah.

Oleh karena itu, seluruh nabi, khususnya Rasulullah Saw, adalah khalifah Allah. Bagaimana Adam a.s dapat menjadi khalifah Allah, sementara dia bukan ulûl-'azmi? Sementara nabi lain yang memperoleh gelar ulûl--azmi, khususnya Rasulullah Saw, tidak menjadi khalifah Allah? Sesungguhnya, maksud kekhalifahan Adam a.s adalah statusnya sebagai manusia sempurna, dan tentunya, hal itu tidak hanya menyangkut pribadi Adam a.s secara khusus, tetapi sisi kemanusiaan pada diri Adam a.s yang berarti mencakup manusia-manusia lainnya.

Bukti lain yang menunjukkan kekhalifahan manusia, bukan jenis kelaminnya,adalah pengajaran al-asmâ' ('nama-nama') oleh Allah kepada Adam a.s.

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya" (QS Al-Baqarah:31).

Menerima pengajaran dan pelajaran seperti telah dikemukakan sebelum ini adalah sifat ruh manusia, bukan jasad dan bukan pula pada gabungan antara ruh dan jasadnya. Yang menyebabkan orang menjadi berilmu adalah ruhnya yang bukan pria ataupun perempuan. Oleh karena itu, orang yang mengetahui nama-nama Allah (al-Asmâ' al-Ilahiyyah) adalah ruhnya, bukan jasadnya. Ringkasnya, guru malaikat adalah ruh manusia, bukan jasadnya sehingga dari sini pun dapat disimpulkan bahwa khalifah Allah di muka bumi adalah ruh manusia, bukan jasadnya.

Manusia dan Sujudnya Para Malaikat

Dari pembahasan yang lalu, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang disujudi oleh malaikat adalah ruh manusia, bukan jasadnya, karena malaikat tunduk kepada ruh manusia. Adapun setan adalah musuh

p: 103

ruh manusia. Setan tidak dapat dikatakan jahat terhadap pria karena dia jahat terhadap Adam a.s, tetapi dia merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kemanusiaan dan sebagai musuh manusia, baik pria maupun perempuan. Oleh karena itu, kita temukan bahwa Allah Swt memberitahu umat manusia bahwa musuh nyata mereka adalah setan.

Sujudnya para malaikat adalah kepada maqam kemanusiaan karena guru malaikat adalah maqam kemanusiaan, dan orang yang mengetahui Asmâ' Allah adalah sisi kemanusiaannya sehingga maqam kemanusiaannyalah yang mengetahui Asmâ' Allah, dan ia terbebas dari jenis kelamin pria ataupun perempuan. Kedudukan yang paling tinggi adalah kedudukan khilafah, yaitu kemanusiaan manusia, dia bukan pria ataupun perempuan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada para malaikat, 'Bersujudlah kamu kepada Adam.'" (QS Al-Aʻrâf:11).

Ini artinya Allah menyebutkan bahwa inti manusia adalah maqam ke- manusiaan, yang di situ diwakili oleh Adam a.s. Lalu Allah memerintahkan kepada para malaikat agar tunduk kepadanya karena maqam-nya sebagai sang guru. Meski, sebagian pakar tafsir berpendapat bahwa dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sudah ada manusia sebelum Adam a.s, tetapi pada ayat-ayat yang lain, seperti yang dijelaskan dalam surah Âli 'Imrân dan lain-lain, tidak demikian. Di sana dijelaskan bahwa mereka (umat manusia) adalah anak keturunan Adam a.s, dan Adam a.s berasal dari tanah.

Meskipun banyak riwayat yang menjelaskan bahwa ada manusia sebelum Adam a.s, tetapi (jika riwayat-riwayat itu benar) mereka sudah tiada dan keturunan manusia yang ada berasal pada Adam a.s. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah (seperti) penciptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya. “Jadilah (seorang manusia),'

p: 104

maka jadilah dia" (QS Ali `Imrân:59).

Pada ayat terakhir ini, Allah Swt menekankan bahwa mengapa harus berlebihan terhadap asal-usul Nabi Isa a.s, sehingga mereka menganggapnya sebagai anak Allah, dan harus disimpulkan bahwa Allah adalah salah seorang dari yang tiga (trinitas)? Masalah Isa a.s adalah seperti masalah Adam a.s. Seandainya Adam a.s adalah salah seorang anak dari dua orang tua, yakni bapak dan ibu, tentu masalah Isa a.s akan serupa dengan masalah Adam a.s dan Hawa a.s.

Ringkasnya, yang dapat dipahami dari surah Al-A'raf:11 adalah bahwa kemanusiaan muncul dalam bentuk Adam a.s. Dengan kemanusiaan itu, Adam a.s menjadi khalifah Allah. Malaikat bersujud kepadanya, dan menjadi guru para malaikat. Manusia, setiap kali sisi kemanusiaannya bertambah (mulia), maka kedudukannya sebagai khalifah semakin tinggi, dan dia akan memperoleh “pengajaran Ilahi" lebih banyak lagi serta lebih layak lagi menjadi "objek sujud" para malaikat. Oleh karena itu, dia akan semakin banyak menghadapi rintangan dari setan, kecuali jika setan telah berputus asa.

Pertanyaan Malaikat dan Protes Setan

Ketika Allah Swt hendak menciptakan khalifah, para malaikat dan setan tidak menjangkau apa yang akan dilakukan oleh Allah Swt, hingga mereka pun mempertanyakannya. Namun, pertanyaan yang dilontarkan oleh malaikat dan setan itu memiliki tujuan yang berbeda. Pertanyaan malaikat dilontarkan karena memang meminta keterangan dari Allah tentang penciptaan tersebut. Tidak demikian halnya dengan pertanyaan setan; ia bertanya karena protes dan menyanggah terhadap apa yang akan dilakukan oleh Allah Swt. Keduanya bertanya, tetapi tujuan masing-masing pertanyaan tersebut berbeda. Yang satu meminta keterangan dan yang kedua mencari kelemahan.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan tentang etika bertanya dalam belajar. Beliau as berkata, “Bertanyalah kamu untuk memperoleh

p: 105

pengetahuan dan janganlah kamu bertanya karena untuk mencari kelemahan orang lain. Sesungguhnya orang yang bodoh dan terpelajar menyerupai orang yang berilmu; orang yang berilmu, tetapi suka mengerjakan sesuatu dengan sembarangan, maka dia menyerupai orang bodoh yang suka mencari kelemahan orang lain."(1)

Bertanya adalah kunci ilmu. Banyak keutamaan diperoleh dengan bertanya. Diriwayatkan bahwa ilmu tersimpan dalam sebuah tempat penyimpanan, dan kuncinya adalah bertanya. Suatu perkumpulan yang dihadiri banyak orang, seluruhnya akan memperoleh pahala karena pertanyaan seseorang darinya karena yang menjawab akan memperoleh pahala, demikian pula para pendengarnya. Artinya, baik pendengar maupun penanya akan memperoleh pahala di sisi Allah Swt. Namun, seperti telah dijelaskan di atas, pertanyaan yang dilontarkan harus disertai tujuan memperoleh pengetahuan, bukan untuk mencari kelemahan orang lain.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (QS Al-Baqarah:30).

Para malaikat kemudian bertanya sambil menunjukkan sisi ke- unggulan mereka, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau” (QS Al-Baqarah:30).

Meski demikian, para malaikat memulai pertanyaan mereka dengan tasbih (menyucikan Allah Swt). Mereka berkata, “Mahasuci Engkau", artinya 'bahwa Engkau terbebas dari segala kekurangan dan cela, serta terlepas dari segala kritik dan sanggahan' Kamilah yang bodoh.

Mereka, setelah mengetahui rahasia di balik penciptaan Adam a.s, tetap menyucikan Allah. Mereka berkata,

p: 106


1- 20 Nahj al-Balâghah, tahqiq Shubhî al-Shâlih, hikmah no 320.

“Mahasuci Engkau tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami” (QS Al-Baqarah:32).

Adapun protes setan ketika dia diperintah untuk bersujud kepada Adam adalah sebagai berikut, "Saya lebih baik darinya, Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS Al-A'râf:12).

Karena pertanyaan setan bercampur dengan kritik dan protes, maka Allah Swt mengungkapkan kejahatan setan, "la enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang- orang yang kafir" (QS Al-Baqarah:34).

Macam-Macam Keengganan dan Penolakan

Keengganan atau penolakan ada dua macam, yaitu:

Pertama, penolakan karena tak mampu. Penolakan tersebut bukanlah sesuatu yang tercela. Seseorang yang lemah dan tak mampu membawa suatu beban, tentunya akan menolak untuk membawa beban tersebut. Karena penolakan tersebut berdasarkan kebaikan, maka itu bukan sesuatu yang tercela. Hal ini tidak berbeda dengan jenis keengganan yang diisyaratkan ayat berikut, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya" (QS Al- Ahzâb:72).

Hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela karena ia tidak mampu untuk melakukannya sehingga ia enggan untuk menerimanya.

Kedua, penolakan karena sombong. Hal ini terjadi ketika ada kemampuan untuk melakukan, tetapi mendurhakainya. Alquran mengungkapkan bahwa penolakan setan bercampur dengan kesom- bongan. Allah Swt berfirman,

p: 107

"la enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang- orang yang kafir" (QS Al-Baqarah:34).

Jelas bahwa penyebab adanya kritikan setan dan pertanyaan malaikat adalah karena mereka hanya melihat dimensi fisik manusia saja, tidak melihat ruhnya. Oleh karena itu, para malaikat berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?" (QS Al- Baqarah:30). Setan juga berkata, “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah" (QS Al-A'râf:12).

Adam a.s adalah Guru Al-Asmâ'

Allah Swt menjawab pertanyaan malaikat dan setan sambil memberitahu dan mengajari mereka melalui perantara Adam a.s.

Namun, pengajaran-Nya ini telah mengakibatkan setan terusir dari surga, sementara bagi malaikat, hal ini malah membuat mereka semakin dekat dengan Allah Swt.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui segala yang tidak kamu ketahui" (QS Al-Baqarah:30).

Allah Swt kemudian memberikan pengajaran-Nya kepada mereka melalui Adam a.s. Dia berfirman, "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu" (QS Al-Baqarah:31).

Selanjutnya Allah mengatakan kepada para malaikat bahwa khalifah-Nya bukan orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, tetapi khalifah-Nya adalah manusia yang menge- tahui hakikat alam dan al-asmâ'. Adapun manusia yang menumpahkan darah adalah dia yang sifatnya dilukiskan oleh firman-Nya, “Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu" (QS Al-Taubah:38).

p: 108

Manusia dengan sifat seperti ini dapat dengan mudah melakukan kerusakan dan menumpahkan darah. Manusia, dari satu sisi, memiliki sebuah ruh yang mengetahui berbagai hal karena Allah “Mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya” (QS Al-Baqarah:31), dialah khalifah Allah Swt. Jadi, Allah telah jelaskan bahwa dia (Adam a.s) disujudi bukan karena unsur tanah liat atau lumpur yang merupakan asal-usul penciptaan fisiknya. Namun dia disujudi karena dimensi ruhnya yang dapat meliputi alam semesta.

Malaikat tidak Layak Belajar Secara Langsung

Ketika Allah Swt menjelaskan masalah pengajaran al-asmâ' kepada Adam a.s, dapat disimpulkan bahwa manusia yang sempurna adalah guru para malaikat. Allah telah menjadikan para malaikat sebagai murid manusia, bukan sebagai murid Allah Swt. Seandainya malaikat berpotensi untuk menuntut ilmu kepada Allah secara langsung, tentu Dia tidak mencegah dan merintangi mereka untuk belajar langsung kepada-Nya. Dari sini, jelaslah bahwa malaikat memang tidak dapat menjadi murid Allah secara langsung. Allah menggambarkan keadaan para malaikat melalui firman- Nya, "Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu" (QS Al-Shâffât:164).

Mereka juga tidak memiliki kelayakan mengetahui hakikat seluruh al-asma', seperti manusia. Mereka hanya dapat mengetahui sebatas informasi akan hakikatnya. Kalau bukan karena itu, niscaya Allah Swt akan perintahkan Adam a.s, “Hai Adam, ajari mereka dengan al-asmâ' mereka," atau, “Jadilah kamu guru mereka." Namun Allah Swt berfirman, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini (al-asma)” (QS al-Baqarah:33).

Artinya, 'beritahu mereka nama-nama (al-asma), bukan ajarkan mereka nama-nama ini'.

p: 109

Dengan keterangan tersebut, dapat disimpulkan, pertama, para malaikat tidak dijadikan murid Allah secara langsung. Kedua, para malaikat juga tidak dijadikan murid yang mempelajari seluruh al-asma”, tetapi mereka sekadar menjadi para pendengar, dan itu pun tidak pada seluruh masalah.

Allah Swt menginformasikan malaikat-Nya bahwa khalifah-Nya adalah seorang guru, pemberitahu, dan yang dapat mengetahui seluruh al-asmâ'. Allah Swt juga membantah setan bahwa khalifah-Nya bukanlah sekadar makhluk yang berasal dari tanah, tetapi dia adalah manusia yang dapat meliputi segala sesuatu, termasuk tanah. Hal itu karena sebab- sebab berikut:

Pertama, khalifah adalah seorang pengganti. Kedua, khalifah berarti mengambil ketidakhadiran sosok yang diganti karena jika sosok yang diganti itu masih ada, dia tidak dapat menjadi pengganti (khalifah).

Ketiga, arti khalifah adalah sosok pengganti yang berada di belakang yang diganti, bukan berada di depan. Oleh karena itu, pengganti selalu berada di belakang yang digantikannya. Artinya, dia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan sehingga ada tempat untuk pengganti (khalifah).

Keempat, Allah Swt adalah Dzat yang meliputi segala sesuatu, dan Dia suci dari kekosongan hingga harus ada sosok yang mengisi kekosongan dan ketidakhadiran tersebut. Kesimpulannya adalah yang menjadi khalifah Allah haruslah sosok yang meliputi segala sesuatu agar dia mampu memikul jabatan khalifah tersebut. Hal itu tidak dapat dilakukan, kecuali oleh manusia sempurna, karena dialah yang menyerupai, yang menyucikan dan yang menghimpun seluruh Asma' Allah. Yang dapat menghimpun Asmâ' Allah yang suci bukanlah para malaikat, bukan pula binatang, melainkan manusia yang penuh dengan keagungan, keindahan, persamaan, dan penyucian. Hanya manusia yang mampu menunjukkan pencakupan. Oleh karena itu, dia adalah 'khalifah yang meliputi segala sesuatu'.

Dengan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi khalifah Allah adalah seseorang yang memiliki maqam spiritual tinggi

p: 110

melebihi dimensi fisiknya. Maqam seperti ini membuatnya pantas mengemban tugas sebagai khalifah. Sesuatu (ruh) yang melebihi dimensi fisik tentunya tidak berkaitan dengan gender. Yang menjadi khalifah Allah bukanlah jasad manusia yang berjenis kelamin pria ataupun perempuan, tetapi ia adalah [ruhani] manusia yang menyebabkan malaikat sujud kepadanya.

Dia adalah kemanusiaan manusia itu sendiri.

Khilafah Tidak Khusus untuk Adam A.s

Tema lain yang perlu dibahas adalah bahwa, meski terkadang dalam permasalahan khilafah-yang diceritakan Alquran-mitra bicara hanya tertuju kepada Adam a.s, bahkan terkadang juga hanya berupa kata ganti tunggal maskulin. Hal tersebut tidak berarti bahwa khalifah atau yang disujudi oleh para malaikat hanya Adam a.s, atau khusus untuk pria saja.

Dalil-dalil yang dapat membuktikan hal tersebut sebagai berikut:

Dalil pertama, pokok pengajaran Alquran adalah pelajaran, dan pela- jaran tentunya bersifat umum.

Dalil kedua, ketika mengungkap cerita Adam a.s dan Hawa a.s, serta permusuhannya dengan setan, Alquran menggunakan gaya pemaparan yang beragam. Terkadang, mitra bicara yang ditunjuknya adalah Adam a.s saja, yakni dengan menggunakan kata ganti tunggal (dhamîr mufrad), kadang digunakan kata ganti berbentuk dual (dhamîr tatsniyah), untuk menunjuk mitra bicara adalah Adam a.s dan Hawa a.s, dan kadang pula kata ganti yang digunakan berbentuk jamak (dhamîr jam') untuk menunjuk keturunan Adam a.s.

Hal itu karena tokoh utama pada kisah-kisah yang disebutkan Alquran terbatas pada mereka yang disebutkan saja, yang dalam hal ini adalah Adam a.s dan Hawa a.s. Namun, ini bukan berarti bahwa pesan ayat-ayatnya hanya berlaku untuk mereka yang disebutkan saja.

Misalnya maksud firman Allah yang menyatakan kepada Adam a.s, “Hai Adam, maukah aku tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (QS Thà Hâ:120), adalah

p: 111

untuk menggambarkan bahwa Adam a.s-yang menjadi mitra bicara (mukhâthab) – merupakan tokoh utama yang mewakili anak cucunya.

Berkenaan dengan penggunaan mitra bicara (kata ganti berbentuk) dual (mutsanná), kita temukan misalnya dalam firman Allah Swt yang ditujukan kepada Adam a.s dan Hawa a.s.

“Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua" (QS Al-A'râf:22).

Ayat ini tidak memberi arti bahwa setan adalah musuh Adam a.s dan Hawa a.s saja sehingga dia tidak berurusan dengan keturunan mereka.

Contoh lain adalah firman Allah Swt -yang melukiskan sumpah setan di hadapan Adam a.s dan Hawa a.s bahwa ia akan memberi nasihat kepada mereka, “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, 'Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua.'" (QS Al-A'râf:21).

Ayat lain menggambarkan bujuk rayu setan kepada Adam a.s yang menyatakan, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surgal" (QS Al-A'râf:20).

Selanjutnya, mitra bicara (kata ganti) berbentuk jamak dapat kita temukan sehubungan dengan sumpah setan di hadapan Allah berkenaan dengan keturunan Adam a.s. Setan berkata, demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya (QS Shâd:82).

Dalil ketiga, ketika Allah menyuruh Adam a.s untuk keluar dari surga, Allah berfirman dengan dua gaya bahasa, pertama, Allah berfirman, “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama" (QS Thà Hå:123), yakni kepada Adam a.s dan Hawa a.s. Ayat perintah serupa pada ayat lain menunjuk kepada mitra bicara jamak, “Turunlah kamu" (QS Al- Baqarah:36). Ini merupakan simbol bahwa sesuatu yang menyebabkan

p: 112

Adam menjadi khalifah adalah faktor kemanusiaannya. Masalah permu- suhannya dengan setan juga merupakan masalah kemanusiaan. Ketika setan memperdaya sisi kemanusiaan seseorang, maka ia akan men- jadikannya kawan. Pada saat itu, berubahlah musuh menjadi teman dan banyak ditemukan kasus semacam ini. Alquran menyebut mereka "Kawan-kawan setan" (QS Al-Nisa':76).

Perlu digarisbawahi di sini, pada firman Allah Swt (QS Al-A'râf:20) yang disebut pada dalil kedua di atas, setan, yang mengaku dirinya lebih baik daripada Adam a.s – menafsirkan perintah Allah yang menyatakan kepada Adam a.s dan Hawa a.s, “Dan janganlah kamu dekati pohon ini" (QS Al-Baqarah:35) dengan pemahamannya sendiri.

Setan menafsirkan firman-Nya ini sesuka hatinya seraya meyakinkan Adam a.s dan Hawa a.s bal mereka berdua makan buah dari pohon ini, niscaya mereka akan menjadi malaikat yang kekal selamany. Karena itulah, Allah mencegah agar mereka tidak dapat kekal. Demikianlah tipu daya setan, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)" (QS Al-A'râf:20).

Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah berkenaan dengan firman Allah Swt, “Maka setan membujuk keduanya untuk memakan buah itu dengan tipu daya" (QS Al-Arâf:22).

Membujuk pada ayat di atas adalah terjemahan dari dalla yang pada mulanya berarti 'menggelincirkan kaki seseorang'. Oleh karena itu, dalam ayat lain dinyatakan, “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan” (QS Al-Baqarah:36).

Manusia akan mudah tergelincir oleh suatu bujukan apabila dia lengah. Alquran melukiskan bahwa setan tampil di hadapan Adam a.s dan Hawa a.s dengan alasan menasehati mereka berdua, tetapi sebenarnya dia sedang membujuk mereka. Pada beberapa ayat, Kesaksian Al-Quran (2) 113

p: 113

Keindahan dan Keagungan Perempuan cerita ini diungkapkan dengan kata ganti berbentuk dual, tetapi ada yang diungkapkan dengan menggunakan kata ganti berbentuk tunggal. Hal ini sekaligus bantahan terhadap pendapat yang salah, yang selama ini dipahami oleh sebagian orang bahwa setan melakukan penyesatan terhadap Adam a.s melalui sosok perempuan (Hawa a.s). Sebenarnya tidak demikian; setan menyesatkan Adam a.s dan Hawa a.s pada saat yang sama.

Pendapat salah ini sebenarnya dapat juga dibantah oleh pendapat salah lainnya yang menyatakan bahwa setan telah membujuk perempuan melalui pria. Kedua pendapat salah ini tidak dapat dipegang. Yang benar adalah setan membujuk Adam a.s dan Hawa a.s sekaligus pada saat yang sama.

Demikianlah penyebutan mitra bicara itu karena Adam a.s adalah tokoh utama dalam kisah tersebut. Dia adalah mitra bicara yang mewakili maqam kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam masalah tersebut, tidak ada kekhususan pada Adam a.s.

114 Kesaksian Al-Quran (2)

p: 114

Kesaksian Alquran -3

Kekhalifahan Manusia

Apa yang akan dipaparkan dalam bab ini adalah lanjutan dari pembahasan yang telah lewat. Yaitu mengapa manusia dapat sampai kepada kedudukan yang tinggi? Dalam Alquran banyak sekali ditemukan keunggulan manusia dalam hal pengetahuan, di antaranya ada yang tidak dapat dimiliki oleh para malaikat. Jelaslah rahasia mengapa malaikat sujud kepada Adam a.s.

Alquran melihat bahwa ketinggian derajat manusia dilihat dari kesempurnaan pengetahuan dan amal perbuatannya. Hal ini tidak berkaitan sama sekali dengan jenis kelamin pria atau perempuan karena yang menjadi tolok ukur di sini adalah sisi kemanusiaan, laki-laki ataupun perempuan. Oleh karena itu, tidak sedikit laki-laki yang memiliki kualitas kemanusiaan rendah sehingga mereka masuk ke dalam kategori mereka yang digambarkan dalam firman Allah Swt, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS Al-A'râf:179). Sebaliknya, banyak pula dari kalangan perempuan yang termasuk ke dalam kelompok hamba-hamba yang diisyaratkan dalam firman Allah, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai- Nya" (QS Al-Fajr:27-28).

115

p: 115

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Beberapa Keunggulan Manusia

Keunggulan pertama:

Yang patut dikemukakan sebagai sebuah keunggulan adalah perihal pengetahuan manusia, pria dan perempuan. Ada beberapa ayat yang menjelaskan hal ini, di antaranya, firman Allah Swt, “Wa id: akhadza rabbuka min baniî âdama min chuhûrihim dzurriyyatahum wa asyhadahum ‘alâ anfusihim, alastu bi rabbikum qâlû balâ syahidnâ an taqûlû yaumal qiyâmati inn â kunnâ 'an hâd:â ghafilîn.” "Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan dari putra-putra Adam, dari punggung mereka, keturunan mereka dan Dia mempersaksikan mereka atas diri mereka, 'Bukankah Aku Tuhan kamu? Mereka menjawab:

'Benar! Kami telah menyaksikan."(Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami adalah orang- orang yang lengah terhadap ini.'" (QS Al-A'râf:172).

Peristiwa pengambilan janji dan kesaksian oleh Allah Swt ini terjadi pada anak cucu Adam a.s. Meski kata ganti dan mitra bicara yang ditunjuk oleh ayat di atas berbentuk maskulin, tetapi jelas bahwa maksud ayat tersebut adalah anak cucu Adam as dari kalangan laki-laki dan perempuan secara keseluruhan. Kata banû ('anak cucu laki-laki') bukanlah lawan dari kata banât (anak cucu perempuan'), tetapi ia bermakna 'seluruh anak cucu Adam a.s', bukan untuk anak cucu laki-laki saja'.

Dalam pengambilan janji itu, seluruh manusia mengatakan, “Betul Engkau Tuhan kami." Mereka menyaksikan penyembahan mereka masing- masing dan mengetahui ketuhanan Allah Swt dengan pengetahuan yang mereka peroleh berdasarkan penyaksian kalbu mereka (syuhûdî), bukan mengetahuinya berdasarkan pengetahuan yang mereka peroleh melalui proses belajar (hushûſî). Kedudukan tinggi manusia semacam ini berkaitan dengan sisi kemanusiaannya, ruhnya, dan tak berkaitan sedikit pun dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang bersifat fisik.

116 > Kesaksian Al-Quran (3)

p: 116

AYATULLAH JAWADI AMULT Keunggulan kedua:

Keunggulan kedua manusia pada sisi kemanusiaannya disebutkan dalam firman Allah, "fa aqim wajhaka liddîn hanîfan, fithratallâhi al-latî fatharan-nâsa 'alaihâ, lâ tabdîla li khalqillâh." "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah, tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah" (QS Al-Rûm:30).

Pada ayat ini, Allah Swt menegaskan bahwa al-nâs yakni ‘manusia', baik pria maupun perempuan, kapan dan di manapun yang hidup di masa lalu, sekarang, ataupun masa mendatang, telah dibekali- Nya, semenjak kelahirannya di dunia, fitrah untuk mengenal dan mengesakan-Nya. Allah Swt berfirman, “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." Penafian bahwa tidak akan terjadi perubahan pada fitrah Allah pada ayat ini menggunakan huruf lam yang menunjukkan penafian jenis sesuatu yang dinafikan untuk selama-lamanya (lâ li nafyil-jins).

Keunggulan ketiga:

Keunggulan ketiga yang dimiliki manusia disebutkan dalam firman Allah Swt, “Demi jiwa sertapenyempurnaan (ciptaan) nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan" (QS Al-Syams:7-8).

Manusia telah diilhami kefasikan dan ketakwaan. Ketika dilahirkan, manusia tidak memiliki sedikit pun pengetahuan hushûlî. Allah Swt berfirman, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun" (QS Al-Nahl:78).

Manusia tidak memiliki pengetahuan tentang segala sesuatu yang berada di luar fisiknya. Dia kemudian mempelajarinya. Namun di sisi lain, dia telah mengetahui dan dapat memanfaatkan pengetahuan yang dibawanya Kesaksian Al-Quran (3) 117

p: 117

Keindahan dan Keagungan Perempuan sejak lahir, yaitu ilmu yang berada dalam jiwanya, misalnya yang berkaitan dengan kemampuan menyucikan dan melatih diri. Ilmu tersebut merupakan modal pokok dan tidak dapat diperoleh di sekolah mana pun. Itulah ilmu-ilmu yang diciptakan Allah bersamaan dengan kelahiran manusia dan dianugerahkan- Nya sebagai modal dasar dalam menghadapi kehidupan dunia.

Adapun pengetahuan hushûlî, yakni 'yang dapat dimiliki manusia setelah berusaha mencari dan melalui proses belajar terlebih dahulu', maka Allah Swt telah menyuruhnya belajar dengan melakukan aktivitas positif (“amal shâlih), memanfaatkan indranya dengan melihat dan mendengar serta menggunakan hati.

Anugerah Allah Swt berupa pengetahuan syuhûdî ini diberikan kepada makhluk Allah yang bernama manusia, pria dan perempuan. Itu karena setiap ruh diciptakan berdasarkan fitrah tauhid. Oleh karena itu, dia diilhami kefasikan dan ketakwaan. Hal tersebut diterima oleh ruh pada saat pengambilan janji dan kesaksian di hadapan Allah Swt. Dalam surah Al-Hasyr dijelaskan bahwa ruh diperintahkan untuk selalu mengontrol dan mengawasi tindakan dirinya. Allah Swt berfirman, “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhiratnya)" (QS Al-Hasyr:18).

Maksud ayat ini bukan berarti seorang laki-laki harus menjadi pengawas atau pengontrol terhadap dirinya. Di sini tidak ada pembahasan tentang jenis kelamin perempuan atau pria yang bersifat materi karena ruh adalah nonmateri sehingga tidak berjenis kelamin. Perintah Allah di atas berlaku bagi setiap jiwa manusia.

Manusia sebagai Pembawa Amanat

Contoh-contoh keunggulan manusia dalam hal pengetahuan syuhûdî di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa manusia sempurna mampu melakukan hal-hal berat yang tidak dapat dipikul langit, bumi dan gunung. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya < 118 Kesaksian Al-Quran (3)

p: 118

AYATULLAH JAWADI AMULI enggan untuk memikulnya itu dan khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikulnya amanat itu oleh manusia" (QS Al-Ahzâb:72).

Manusia pada firman-Nya, “Dan dipikulnya amanat itu oleh manusia" mencakup pria dan perempuan. Dia adalah manusia yang me- miliki kesempurnaan pengetahuan sehingga dapat mencapai kedudukan tinggi di sisi Allah. Dengan kedudukan itu, manusia mampu memikul beban berat yang langit, bumi, dan gunung tidak sanggup memikulnya.

Dia menjadikan kesempurnaan ruhaninya sebagai modal untuk membawa Alquran yang berat, tugas kepemimpinan, pengetahuan agama, dan lain- lain. Sebenarnya, manusia tidak mampu memikul beban berat itu. Allah Swt berfirman, “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Tau- rat, kemudian mereka tiada memikulnya” (QS Al-Jumu'ah:5).

Manusia dapat memikul beban tersebut berkat kehendak Allah Swt.

Oleh karena itu, pada firman-Nya di atas, tidak terdapat ungkapan, “Allah memikulkan padanya amanat itu" karena manusia benar-benar tak akan mampu memikulnya. Namun dinyatakan-Nya, “Dan dipikulnya amanat itu oleh manusia." Dengan demikian, manusia, tanpa adanya perbedaan antara pria dan perempuan, adalah pemikul amanat yang demikian berat, melebihi beban benda-benda duniawi lainnya.

Sampai di sini, tibalah kita pada tahapan puncak keunggulan (ruhani) manusia, yaitu bahwa dalam perjalanan hidup manusia di dunia ini, dia dibekali dengan janji terhadap Allah (QS Al-A'râf:172), fitrah tauhid (QS Al-Rûm:30), ilham ketakwaan dan kefasikan (QS Al-Syams:7-8), dan dengan melakukan kewajiban mengontrol dan mengawasi segala tindakan dirinya (QS Al-Hasyr:18). Setelah semua itu dimilikinya, manusia menjadi mampu memikul beban berat berupa amanat Ilahi. Jika demikian, kemampuannya melampaui kehebatan langit dan bumi. Ketika itu, dia tidak lagi berada di bumi dan tidak pula di langit. Dia telah keluar dari batasan tatanan alam semesta yang bersifat materi, dan di sini tak Kesaksian Al-Quran (3) 119

p: 119

Keindahan dan Keagungan Perempuan ada lagi tempat untuk membicarakan perempuan dan atau pria karena yang berperan adalah kemanusiaan.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa alam semesta tidak kuat memikul amanat Ilahi. Manusialah yang mampu memikulnya. Dia telah sampai ke suatu tingkatan yang tidak dapat dijangkau oleh gunung, langit ataupun bumi.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah manusia dapat sampai ke suatu tingkatan yang tidak dapat dijangkau oleh malaikat? Jawabnya adalah ya, jika manusia mampu memanfaatkan anugerah Ilahi berupa bekal-bekal tersebut, dan selama amanat Tuhan-nya dapat dia bawa sampai ke tujuan-yang dikehendaki-Nya, dalam keadaan aman dan utuh, pada saat itulah manusia akan sampai ke suatu tingkatan yang tidak dapat dijangkau oleh malaikat. Allah Swt berfirman, “Dan tidak terjadi bagi seorang manusia bahwa dia diajak berbicara oleh Allah kecuali dengan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu mewahyukan kepadanya dengan seizin- Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi lagi Mahabijaksana" (QS Al-Syûrâ:51).

Artinya, manusia akan mampu mendengar dan memahami firman Allah Swt melalui salah satu dari tiga cara yang disebutkan ayat di atas, yaitu:

Pertama, melalui penurunan wahyukepadanya, yakni pemberian informasi secara cepat ke dalam kalbunya tanpa perantara yang memisahkan seorang manusia sempurna dengan Allah Swt, baik malaikat atau lainnya.

Kedua, memperdengarkan "suara" tanpa si pendengar dapat melihat pembicaranya. Hal ini serupa dengan apa yang dialami Nabi Musa a.s, dia mendengar firman Allah dari belakang pohon. Pada saat itu, Allah Swt berfirman, "Wahai Musa sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam" (QS Al-Qashash:30).

Ketiga, dengan mengutus seorang utusan berupa malaikat yang kehadirannya dapat dilihat atau dirasakan dan suaranya didengar. Sang 120 > Kesaksian Al-Quran (3)

p: 120

AYATULLAH JAWADI AMULT malaikat kemudian mewahyukan, yakni menyampaikan informasi Allah secara cepat atas izin dan kehendak-Nya.

Manusia dapat sampai ke suatu tingkatan yang di situ dia memperoleh wahyu Allah tanpa perantara, dan tingkatan tersebut tak dapat dijangkau oleh malaikat. Diriwayatkan bahwa dalam peristiwa mikraj, Rasulullah Saw telah memperoleh beberapa ayat Alquran secara langsung dari Allah Swt. Ada yang mengatakan bahwa di antara ayat-ayat tersebut adalah dua ayat terakhir surah Al-Baqarah, “Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang Mukmin. Semuanya telah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan), “Kami tidak membeda- bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari para rasul- Nya, dan mereka mengatakan, “Kami dengar dan kami taat. Dan (kami memohon) ampunan-Mu [Tuhan kami] kepada Engkaulah tempat kembali.'" "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kelapangan (kesanggupan)-nya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan dia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa), 'Tuhan kami! Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagai- mana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami.

Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami atas kaum yang kafir.'" (QS Al-Baqarah:285-286).

Kedua ayat di atas diterima oleh Rasulullah Saw dari Allah Swt secara langsung, tanpa perantara. Masih ada lagi ayat-ayat Alquran yang diterima Rasul Saw secara langsung dan tidak ada keterlibatan sedikit pun malaikat dalam proses penerimaannya. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Kesaksian Al-Quran (3) 121

p: 121

Keindahan dan Keagungan Perempuan Jibril pernah berkata, “Seandainya aku mendekat sejauh langkah seekor semut sekalipun, niscaya akan terbakar(1)

Contoh lain dalam masalah ini adalah salah satu kalimat dalam Doa Kumâ'il yang diriwayatkan dari Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Di sana, Imam mengatakan bahwa terdapat beberapa rahasia batin manusia yang tidak dapat dijangkau oleh malaikat, sekalipun Allah Swt memerintahkan malaikat untuk memantau segala perbuatan manusia. Rahasia batin tersebut demikian lembutnya sehingga malaikat tidak dapat menembus tirainya yang bercahaya serta memahami rahasianya yang tersembunyi.

Imam Ali a.s berkata, “Menyaksikan apa yang tersembunyi pada mereka. Dengan rahmat-Mu, Engkau sembunyikan kejelekan itu dan dengan karunia-Mu Engkau menutupinya." Dalam hal ini Allah Swt mengurus langsung beberapa perbuatan kita.

Allah Swt berfirman, "Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas- bekas yang mereka tinggalkan" (QS Yå Sîn:12).

"Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu" (QS Al- Nisâ':81).

Artinya, Allah Swt mencatatnya dan Dia-lah yang akan langsung menghisabnya agar malaikat tidak menanganinya sehingga amal perbuatan hamba tetap merupakan sebuah rahasia antara dia dengan Tuhannya. Tabir itu tetap terjaga sehingga air muka sang hamba tetap terjaga di mata para malaikat-Nya.

Setiap malaikat memiliki batas tertentu dalam kedudukannya di sisi Allah. Hal ini dinyatakan dan firman Allah Swt yang melukiskan ucapan para malaikat, “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu" (QS Al-Shâffât:164).

p: 122


1- 21 Bihâr al-Anwâr, juz 18, hlm. 382.

AYATULLAH JAWADI AMULT Lalu, bagaimana dengan para malaikat yang diperintahkan Allah Swt untuk mencatat seluruh amal perbuatan manusia, apakah ini berarti mereka memiliki ilmu yang sangat luas dan dalam? Pertanyaan semacam ini tidak sepenuhnya kita iyakan karena dalam permasalahan ini kita tidak dapat menjadikan satu atau dua malaikat yang berkedudukan tinggi di sisi Allah sebagai tolok ukur kemuliaan malaikat atas manusia.

Ketika apa yang kita perbandingkan adalah kedudukan manusia dengan kedudukan malaikat, maka jelas dapat dipastikan bahwa manusia mengungguli malaikat dan dapat mencapai tingkat-tingkat kedekatan kepada Allah Swt yang tidak dapat dijangkau oleh malaikat. Memang, banyak sekali sifat malaikat yang Allah tegaskan dalam Kitab-Nya, tetapi para malaikat tidak dapat menjangkau beberapa masalah yang mampu dijangkau oleh manusia.

Malaikat dan Pengajaran al-Asmâ'

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, jelaslah rahasia di balik kemampuan Adam a.s dalam menerima pengajaran al-asmâ' dari Allah Swt.

Hal ini tidaklah berarti bahwa para malaikat tidak memiliki pengetahuan tinggi atau tidak belajar dan bukan guru. Tentunya, sifat-sifat ini dimiliki oleh para malaikat. Namun, harus diakui bahwa terdapat maqam- maqam tertentu yang tidak dapat dijangkau para malaikat. Di samping itu, ada beberapa hal yang demikian tinggi dan agung yang mereka tak kuasa mempelajarinya, yang dapat mereka peroleh hanyalah informasi tentang hakikat hal-hal tersebut dalam bentuk berita dan untuk mem- perolehnya harus melalui perantara. Seandainya para malaikat mampu mencapai hakikat al-asmâ' sebagaimana telah dicapai oleh Adam a.s, tentu Allah Swt akan mengajari mereka juga.

Oleh karena itu, ketika Allah Swt menjadikan Adam sebagai khalifah, dijelaskan ilmu dan belajarnya para malaikat serta pengajaran Allah kepada mereka. Karenanya para malaikat berkata, "Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau Kesaksian Al-Quran (3) 123

p: 123

Keindahan dan Keagungan Perempuan ajarkan kepada kami" (QS Al-Baqarah:32).

Seandainya para malaikat dapat memperoleh berita tentang hakikat al-asmâ' dari Allah Swt secara langsung, niscaya Allah akan ber- firman kepada malaikat, “Aku akan memberitahukan kepada kalian." Namun, Allah justru berfirman kepada Adam a.s, "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama benda-benda ini" (QS Al-Baqarah:33).

Jelaslah bahwa firman Allah Swt kepada Adam a.s tentang peng- ajaran, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya, “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya (QS Al-Baqarah:31), tidak berarti malaikat tidak diberi pengajaran oleh Allah Swt. Namun, hal itu merupakan berita bahwa, pertama, manusia sempurna akan mengetahui segala hakikat yang tinggi dan, kedua, manusia dapat memperoleh pengajaran dari Allah Swt secara langsung, dan para malaikat memperolehnya dalam bentuk berita dan melalui perantara.

Karenanya, jelaslah bahwa para malaikat tunduk dan sujud di hadapan manusia sempurna atas izin Allah Swt. Lantaran itu pula, para malaikat merendah di hadapan "Guru" mereka secara langsung.

Manusia dan Godaan Setan

Pertanyaan lain adalah mengapa manusia sempurna telah me- ngetahui seluruh al-asmâ', tetapi dia tidak dapat terjaga dari tipu muslihat dan godaan setan? Mengapa setelah mempelajari al-asmâ', dia tidak mengetahui kejahatan setan? Jawabannya, manusia yang selalu terpengaruh oleh tipu muslihat setan dan tidak dapat selamat dari godaannya adalah karena pengaruh ketidaktahuannya terhadap masalah tersebut, atau terkadang karena ia lupa dan lalai. Dalam peristiwa ketergodaan Adam a.s, Allah berfirman, "Dan sesungguhnya telah kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya (124 Kesaksian Al-Quran (3)

p: 124

AYATULLAH JAWADI AMULT kemauan yang kuat” (QS Thâ Hà:115).

Penyebabnya adalah lupa dan kelalaian terhadap janji. Pada ayat lain, Allah menegaskan, "Maka kami berkata, “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka” (QS Thả Hâ:117).

Lalu, apakah pelanggaran Adam as dalam cerita ini adalah dalam statusnya sebagai seorang mukallaf – sebagaimana manusia mukallaf di alam dunia, sementara dia saat itu berada di surga? Apakah perintah dan larangan pada ayat tersebut merupakan larangan Tuhan yang bersifat pengharaman (tahrîmí), atau sekadar larangan yang bersifat petunjuk agar menghindari sesuatu yang dilarang tersebut (tan zîhí)? Persoalan ini membutuhkan pembahasan tersendiri. Namun yang jelas, Adam a.s telah terpengaruh oleh bujukan setan, dan itu bukan karena Adam a.s tidak mengetahui bahayanya atau dia tidak memiliki pengetahuan tentang kejahatan setan atau karena dia mengetahui permusuhan setan. Namun, penyebabnya hanya satu, yaitu dia lalai.

Anugerah Tuhan dan Tingkat Kemanusiaan

Pertanyaan lain berkaitan dengan masalah ini adalah apakah pengajaran al-asmâ' itu khusus untuk manusia teladan ataukah untuk seluruh manusia? Sebab, al-asma' itu sendiri dalam bahasa Arab menunjukkan kandungan aneka hakikat dan pengetahuan yang sangat banyak. Ini dipahami dari bentuk definitif (ma'rifah) pada al-asmâ', yaitu dengan menambahkan alif dan lâm pada awal kata tersebut.

Jika manusia dapat memegang teguh janji dan kesaksian yang telah diikrarkannya di hadapan Allah (QS Al-A'râf:172), tetap kokoh di atas landasan fitrah yang tercipta bersamaan dengan kelahirannya (QS Al- Rûm:30), bersikap konsekuen terhadap ilham yang telah diperolehnya (QS Al-Syams:7-8) sehingga dirinya dapat terpelihara dari berbagai Kesaksian Al-Quran (3) 125

p: 125

Keindahan dan Keagungan Perempuan dosa berkat upayanya mengontrol seluruh sepak terjang dirinya (QS Al- Hasyr:18), maka manusia semacam itu akan dapat mencapai seluruh tingkatan al-Asmâ'. Jika tidak, maka mereka tak ubahnya seperti yang di- lukiskan dalam firman Allah Swt, "Kemudian, setelah itu hati kamu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (QS Al-Baqarah:74).

Inilah gambaran orang yang tidak dapat memanfaatkan sedikit pun potensi-potensi diri yang telah Allah tanamkan pada dirinya. Jika dia hanya hidup berdasarkan sisi kebinatangannya, maka dia hanya akan memperoleh manfaat yang bersifat kebinatangan pula. Dari sini, tingkat kesempurnaan manusia berbeda-beda, derajat mereka yang memiliki kesempurnaan utuh pun bertingkat-tingkat. Masing-masing mempelajari satu dari sekian banyak nama Allah yang agung (asmâ' al-husnâ). Ahlul Bait Nabi Saw adalah sosok manusia-manusia suci yang dapat menyerap seluruh Asmâ' Allah itu, sehingga mereka merupakan perwujudan sem- purna dari nama-nama Allah tersebut.

Allah Swt berfirman, "Hanya milik Allah asma' al-husnâ, maka bermohonlah kepada- Nya dengan menyebut asmâ' al-husnâ itu" (QS Al-A'râf:180).

Diriwayatkan bahwa ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ja'far al- Shadiq a.s berkata, “Demi Allah, kami adalah (perwujudan) nama-nama yang agung (asmâ'al-husnâ)."

Kebersatuan Antara 'Aqil dan Ma'qûl

Dalam buku-buku filsafat, dikemukakan tentang kebersatuan subjek pengetahuan ('âqil) dan objek pengetahuan (maʼqul). Pusat penyatuan tersebut tentunya berada pada ruh.

Contoh: Seseorang yang mengetahui hakikat sebuah entitas objektif, misalnya pohon, dan dia adalah seorang pakar di bidang tanam- tanaman, mengetahui bagaimana proses perkembangan pohon, di 126 Kesaksian Al-Quran (3)

p: 126

AYATULLAH JAWADI AMULT tanah pohon seperti apa selayaknya ditanam, hama apa saja yang biasa mengganggunya, bagaimana cara mengobatinya, bagaimana pohon itu berbuah, dan sebagainya. Orang semacam ini sangat berpotensi menjadi insinyur pertanian.

Dari contoh di atas, terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan masalah penyatuan antara subjek pengetahuan ('âqil) dengan objek pengetahuan (ma'qûl).

1. Quiditas (mâhiyyah) sang insinyur sebagai makhluk berakal.

2. Entitas sang insinyur dalam realitas objektif.

3. Quiditas (mâhiyyah) pohon sebagai genus vegetatif.

4. Entitas objektif pohon tersebut adalah yang ditanam di kebun.

5. Gambaran intelektual (atau biasa juga disebut ‘aql yakni konsep) pada benak sang insinyur, yang terpantul dari realitas objektif, berupa quiditas (mâhiyyah) pohon tersebut dan entitasnya yang bersifat aktual-murni (dan ia tentunya bersifat immaterial).

Dari lima hal tersebut, yang merupakan faktor kebersatuan (ittihad) subjek pengetahuan ('âqil) dan objek pengetahuan (maʼqul) adalah entitas manusia sebagai subjek pengetahuan (nomor 2) dan gambaran intelektual (tentang pohon) yang berada pada benak sang insinyur yang terpantul dari realitas objektif (nomor 5).

Oleh karena itu, pembahasan tentang kebersatuan 'aqil dan maʼqul berkaitan dengan menyatunya manusia dengan gambaran pengetahuan yang immateri tersebut, bukan menyatunya orang yang mengetahui dengan entitas objektif. Jadi, kematangan manusia berkaitan dengan pengetahuannya, bukan karena objek pengetahuan tersebut.

Ketika jiwa manusia (bukan raganya) terkait dengan pengetahuan (dan tentunya pengetahuan tersebut bersifat aktual-murni, bukan potensial), maka dia akan menjadi berilmu. Ikatan tersebut awal mulanya berupa keadaan, setelah itu menjadi tabiat dan akhirnyayang bersangkutan menjadi orang yang memiliki pikiran dan semangat. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang mengetahui dan pengetahuannya menyatu dengan jiwanya.

Kesaksian Al-Quran (3) 127

p: 127

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Derajat-derajat Manusia dalam Alquran

Kita membaca, dalam Alquran, bahwa manusia lebih tinggi dari kumpulan tatanan alam semesta, ia dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh langit, bumi, dan gunung. Namun, dalam ayat yang lain, kita membaca bahwa gunung lebih mulia dan lebih tinggi daripada manusia.

Begitu pula dengan langit dan bumi yang juga lebih utama daripadanya.

Hal itu karena manusia memahami betapa besar amanat yang dipikulnya sehingga ia memelihara amanat tersebut dan membawanya sampai ke tujuan yang Allah kehendaki. Dari sini, pantaslah jika dia dapat melampaui ke- hebatan alam semesta. Namun sebaliknya, apabila dia terbelenggu oleh sistem duniawi, maka tak mungkin dia memikul amanat Ilahi itu.

Telah kita baca pada surah Al-Ahzâb ayat 72 di atas bahwa Allah berbicara mengenai keengganan langit, bumi, dan gunung untuk menerima amanat Ilahi, tetapi manusia sanggup menerimanya.

“Sesungguhnya Kami telah memaparkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya” (QS Al- Ahzâb:72).

Namun, perlu diketahui bahwa penggalan akhir ayat ini berbunyi, “Dan dipikullah oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan amat bodoh." Artinya, manusia yang tidak memanfaatkan anugerah Ilahi yang terkandung dalam jiwanya dicap sebagai manusia zalim dan bodoh sehingga tak mungkin memelihara amanat dan titipan-Nya untuk dibawa ke tujuan yang dikehendaki-Nya.

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan (diamanati) Taurat (agar mereka mengamalkan tuntunannya) kemudian mereka tidak memikulnya (tidak melaksanakan amanat itu) adalah ibarat keledai yang mengangkut kitab-kitab (yang tebal tanpa mengerti kandungannya dan tanpa dapat memanfaatkannya bahkan hanya meletihkannya). Itulah seburuk-buruk perumpamaan (bagi) kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tidak memberi petunjuk (bagi) kaum yang zalim." (QS Al-Jumu'ah:5).

< 128 > Kesaksian Al-Quran (3)

p: 128

AYATULLAH JAWADI AMULT Allah Swt menyatakan bahwa manusia dapat lebih agung daripada alam semesta beserta segenap isinya jika dia mampu mengemban amanat Ilahi dan membawanya sampai ke tujuan. Akan tetapi jika tidak, dia akan menjadi makhluk tak berarti, dan bumi serta langit lebih mulia darinya.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar dari- pada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (QS Al-Mu'min:57).

“Karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung" (QS Al-Isra':37).

“Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang" (QS Al-Nâzi'ât:27-29).

Manusia berada dalam dua kemungkinan: hina atau mulia. Dia akan menjadi lebih hina daripada batu atau terbang jauh lebih tinggi dari segala lapisan langit.

Aktivitas Manusia dan Kaitannya dengan Raga

Perlu diketahui bahwa sekalipun ruh merupakan hakikat diri manusia, jasadnya selalu menyertainya dalam setiap perjalanan hidupnya, baik di alam dunia, barzakh maupun di Alam Akhirat. Meski demikian, jasad bukan merupakan hakikat manusia atau bagian dari hakikat tersebut.

Jasad hanyalah alat.

Di dunia, ketika kita memiliki jasad dan ruh, ruh kitalah yang mengendalikan seluruh sepak terjang kita. la yang merasakan berbagai macam perasaan: sakit, letih, nikmat, pedih dan perasaan lainnya.

Ketika tangan kita terpukul oleh sesuatu, maka yang merasakan adalah indra peraba kita, bukan anggota tangan kita. Kekuatan peraba Kesaksian Al-Quran (3) 129

p: 129

Keindahan dan Keagungan Perempuan tersebut merupakan bagian dari ruh. Jika tangan kita dipotong-potong, maka tangan kita tidak akan merasa kesakitan, namun ruhlah yang merasakannya. Ketika kita makan, sekali pun tulang rahang kita bergerak dan gigi kita mengunyah, tetapi yang merasakan lezatnya adalah ruh. Begitu pula ketika kita minum, sekalipun itu dilakukan oleh mulut kita, tetapi yang merasakan kenyang dan merasa puas adalah juga bagian dari ruh.

Demikian seterusnya.

Sekarang, ketika kita berada di dunia di mana kita memiliki jasad, maka seluruh perbuatan kita ditangani oleh ruh. Adapun jasad hanyalah alat, tidak lebih dari itu. Ia dipindahkan oleh ruh dari satu tempat ke tempat lain.

Hal serupa juga terjadi di Neraka Jahanam. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Nisâ' ayat 56, "Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab" (QS Al-Nisà':56).

Indra peraba umumnya berada pada seluruh anggota tubuh, khususnya kulit. Kulit mereka terus berganti agar mereka merasakan kesakitan yang lebih banyak lagi. Bukanlah kulit yang merasakan kesakitan, tetapi mereka merasakan sakit dengan kulit yang baru, supaya mereka merasakan azab.

Oleh karena itu, sebagaimana manusia di dunia memiliki jasad, begitu pula dalam perkembangan kehidupannya yang lain, dia juga memiliki jasad. Namun sebagaimana di dunia, dalam kehidupannya di Alam Akhirat, jasad juga merupakan alat, bukan hakikatnya.

(130 Kesaksian Al-Quran (3)

p: 130

Perempuan-perempuan Teladan dalam Alquran -1

Perhatian Alquran terhadap Perempuan

Sebagaimana diketahui, Alquran-yang merupakan pedoman hidup umat Islam – diturunkan untuk menjawab setiap tantangan zaman yang dihadapi umatnya. Salah satu misinya adalah meluruskan pemahaman- pemahaman salah yang dapat membahayakan akidah kaum Muslim di tengah-tengah budaya jahiliah yang saat itu mendominasi Jazirah Arab.

Misalnya, pada saat syirik dan penyembahan berhala merajalela, ayat- ayat Alquran turun dengan mengemukakan sekian banyak penegasan akan paham tauhid guna menghancurkan berbagai bentuk kepercayaan sesat masyarakat Arab ketika itu.

Begitu pula, ketika kehormatan perempuan sudah tidak lagi terjaga, maka banyak sekali ayat turun yang membicarakan kehormatan perempuan, bahkan melebihi batas yang diharapkan. Alquran menyebutkan bahwa perempuan memiliki andil dalam seluruh sendi kehidupan, Alquran menyerukan persamaan dan hal-hal lainnya.

Alquran menyebutkan beberapa kisah. Setelah menentukan tolok ukur nilai dalam berbagai hal, Alquran kemudian memperhatikan jenis masalah-masalah yang bernilai tersebut kemudian menyebutkannya dalam kandungan cerita-cerita tentang perempuan dan pria.

131

p: 131

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Tiga Kekuatan Jiwa

Alquran mengelompokkan kekuatan yang terdapat dalam diri manusia menjadi tiga jenis, yaitu daya tarik, daya tolak dan daya pikir.

Sementara perangkat akal dan kebodohan yang seluruhnya merupakan kekutan ruh-jumlah seluruhnya ada 150 perangkat (jumlah tersebut merupakan contoh dan penggambaran, bukan sebagai penentuan):

75 perangkat akal dan 75 perangkat kebodohan. Sebagian perangkat tersebut berkaitan dengan ilmu dan daya pikir. Sebagian lain berkaitan dengan daya tarik, atau yang biasa disebut kekuatan syahwat. Adapun sebagian lainnya berkaitan dengan daya tolak, yang dikenal dengan kekuatan amarah.

Apa yang kita rasakan dalam diri kita dan yang kita lihat pada orang lain adalah seluruh perbuatan manusia tersimpul dalam ketiga kekuatan tersebut. Buku-buku akhlak menegaskan ketiga kekuatan itu karena memang pada dasarnya, akhlak berfungsi sebagai pendidik dan penguat jiwa. Setiap aktivitas manusia yang lahir adalah manifestasi dari tiga kekuatan tersebut.

Manusia berdaya pikir; memiliki daya tarik untuk menarik serta memiliki penolak dan kekuatan untuk mengelak. Setiap perbuatan manusia berpangkal pada tiga kekuatan tersebut, dan merupakan sebuah kebijaksanaan bila manusia dapat mengendalikan tiga kekuatan tersebut dan memfungsikannya secara proporsional.

Setelah menyebutkan seluruh kemuliaan tersebut, Alquran membawakan contoh masing-masing dari daya pikir, daya syahwat dan dan daya amarah tadi.

Keteladanan Ilmiah

Sebagaimana dikemukakan di atas, pengajaran al-asma' oleh Allah Swt kepada Adam a.s secara langsung adalah simbol keunggulan kemanusiaan atas malaikat. Selanjutnya Allah Swt berfirman tentang Adam a.s, 132 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 132

AYATULLAH JAWADI AMULT “Fa talaqqâ Âdam min rabbihi kalimât." "Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya" (QS Al-Baqarah:37).

Diriwayatkan bahwa di antara makna kalimat pada ayat tersebut adalah cahaya Ahlul Bait suci a.s. Kalimât dimaksud pada ayat ini adalah 'beberapa maqam ilmu yang diperoleh Adam a.s, yang menjadi penyebab kesuksesannya'.

Sebagaimana Adam a.s adalah simbol manusia sempurna, demikian pula Imam Ali bin Abi Thalib a.s dan Fathimah al-Zahra a.s. Meski sosok manusia sempurna yang maksum cukup banyak-baik dari kalangan pria maupun perempuan, tetapi kedua pemuka Ahlul Bait tersebut merupakan simbol hamba-hamba suci pilihan Allah yang lebih dikenal di kalangan umat Islam.

Keteladanan Fathimah al-Zahra bukan saja karena seluruh sifat keperempuanan terangkum dalam dirinya, tetapi juga karena beliau memiliki kedudukan tinggi melebihi perempuan-perempuan mulia lainnya. Sementara para imam maksum lainnya, mereka tidak terkenal sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Biasanya ketika orang- orang ingin memberikan contoh keteladanan manusia sempurna, mereka memperkenalkan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Begitu pula dengan Fathimah al-Zahra a.s, beliau menjadi lebih dikenal daripada perempuan- perempuan suci lainnya, meski mereka cukup banyak.

Ringkasnya, maksud kalimat pada ayat tersebut adalah nama-nama Tuhan (al-asmâ' al-Ilâhiyyah.), dan perwujudan yang paling nyata dari nama Tuhan tersebut adalah Ahlul Bait Nabi Saw dan yang bersinar di antara mereka adalah Fathimah al-Zahra a.s.

Saat menerangkan ihwal daya tarik dan memperkenalkan sifat 'afâf (menjauhkan diri dari hal yang buruk), Alquran memberikan contoh kesucian pria dan perempuan.

Sekarang, marilah kita lihat apakah pria ataukah perempuan lebih banyak mengutarakan kata-kata yang mengandung 'iffah.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1) < 133

p: 133

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Yusuf a.s dan Maryam a.s, Simbol Kesucian

Alquran memperkenalkan sosok Yusuf a.s dan Maryam a.s sebagai simbol kesucian diri dari berbagai perbuatan hina. Berkenaan dengan Maryam a.s, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala perempuan di dunia (yang semasa dengan kamu)" (QS Ali `Imrân:42).

Keduanya telah mengalami ujian berat dan berhasil selamat berkat sifat 'afâf yang mereka miliki. Yang perlu kita ketahui di sini adalah bagaimana jalan kesuksesan yang dilalui kedua manusia suci tersebut, bagaimana mereka sangup menolak berbagai godaan di tengah bahaya yang sedang mengancamnya, dan bagaimaa sikap mereka.

Ketika Yusuf a.s diuji, Allah Swt berfirman, “Sungguh perempuan itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengannya (Yûsuf a.s) dan dia pun (Yûsuf a.s) telah bermaksud (melakukan pula) dengannya andaikata dia tidak melihat bukti (dari) Tuhannya.( QS Yûsuf :24).

Maksud ayat di atas adalah seandainya bukan karena keimanan Yusuf a.s kepada Allah Swt yang telah mendarah daging dalam dirinya, seandainya dia tidak melihat Allah Swt dan bukti-bukti yang bersumber dari-Nya, maka yang terjadi adalah keinginan dan kedekatan untuk melakukan kedurhakaan. Dia akan" berkeinginan" dan "bertekad", bahkan “hampir terjerumus" ke dalam maksiat, tetapi bukan keterjerumusan, apalagi melakukannya. Jika seperti ini, Burhân Tuhannya yang dilihat Yusuf a.s, maka jangankan keterjerumusan, “keinginan” dan “kedekatan" pun tidak terjadi.

Yusuf a.s bukan saja tidak melakukannya, tetapi dia juga tidak melakukan pendahuluan perbuatan tersebut. Bahkan Yusuf a.s tidak memiliki sedikit pun tujuan, keinginan apalagi berkhayal untuk melakukannya. Sebagai bukti atas kebenaran teori ini (berbeda dengan pendapat para pakar tafsir lainnya, peny.), ayat di atas mengaitkan “tekad dan keinginan Yusuf a.s untuk melakukan perbuatan keji" dengan sesuatu yang 134 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 134

AYATULLAH JAWADI AMULT tidak terjadi pada dirinya, yaitu 'dia tidak melihat bukti dari Tuhannya' – karena tentunya seorang manusia sempurna dan suci seperti Yusuf a.s tidak pernah sesaat pun melupakan Tuhannya, bahkan Tuhannya senantiasa hadir di dalam kalbunya untuk selamanya (peny.). Perhatikan firman Allah Swt berikut, “...Dan dia pun (Yusuf a.s) telah bermaksud (melakukan pula) dengannya" – lalu firman-Nya ini dikaitkan dengan frase berikutnya, "andaikata dia tiada melihat bukti (dari) Tuhannya".

Jika demikian, Yusuf a.s tidak berkehendak, apalagi terjerumus-untuk melakukannya, karena dia melihat bukti dari Tuhannya.

Bukti-bukti lain yang menguatkan hal ini sangat banyak, di antaranya, Allah menyebutkan bahwa Yusuf a.s adalah seorang hamba yang suci dan terjaga, seperti firman-Nya, "Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih" (QS Yûsuf:24).

Pada ayat lain, Allah berfirman menggambarkan ucapan iblis, “Iblis berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.''(QS Al-Hijr:39-40).

Oleh karena itu, setan mengakui bahwa Yusuf a.s tersucikan dari dosa-dosa tersebut. Hal ini juga sesuai dengan pengakuan terakhir perempuan perayu Yusuf a.s tersebut yang mengatakan, "Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku)" (QS Yûsuf:51).

Allah Swt juga menyaksikan kesucian Yusuf a.s. Pada akhir ayat 24 surah Yûsuf di atas, Allah Swt berfirman, "Demikianlah, agar Kami memalingkan dia dari kemungkaran dan kekejian" (QS Yûsuf:24).

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1) < 135

p: 135

Keindahan dan Keagungan Perempuan Adapun berkenaan dengan keteladanan Maryam a.s, Alquran mengemukakannya secara panjang lebar. Allah berfirman, setelah menceritakan kedatangan Jibril a.s ke hadapannya dalam bentuk manusia untuk membawa kabar dari Allah mengenai kelahiran putranya, Isa a.s, tanpa disentuh seorang pria pun, "Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Maka, ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari me- reka, lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, 'Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dari dirimu, jika engkau seorang bertakwa.' la (Jibril) berkata, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk menganugerahkan untukmu seorang anak laki-laki yang suci.! Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!' la (Jibril) berkata, ‘Demikianlah! Tuhanmu berfirman: 'Hal itu bagi-Ku mudah, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan rahmat dari Kami, dan hal itu adalah sesuatu yang sudah diputuskan."'" (QS Maryam:16-19).

Demikianlah gambaran kesucian Maryam a.s. Terbaca pada ayat ini bahwa Maryam a.s memohon perlindungan Allah sekaligus mem- peringatkan malaikat yang diduganya manusia itu. Ucapan beliau, jika engkau seorang yang bertakwa, merupakan peringatan yang dapat menggugah hati siapa saja yang memiliki – meski sedikit – kesadaran.

Pada ayat di atas, Allah Swt tidak mengatakan bahwa seandainya Maryam a.s tidak melihat tanda dari Tuhannya maka dia akan berbuat sesuatu. Tidak demikian adanya.

Frase jika kamu seorang yang bertakwa adalah salah satu prinsip amar makruf dan nahi mungkar. Artinya, bertakwalah! Jangan- lah kalian melakukan perbuatan ini, jika kamu benar-benar orang yang * 136 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 136

AYATULLAH JAWADI A MULT beriman (QS Âli `Imrân:175). Ungkapan seperti itu banyak sekali ditemukan dalam Alquran. Kesan serupa dapat kita pahami dari ayat-ayat lain, misalnya firman Allah, “Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)?" (QS Hûd:14), atau “Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)!" (QS Al-Ma'idah:91).

Ungkapan-ungkapan seperti itu merupakan ajakan serta tuntunan untuk beramal sesuai keimanan. Maryam mengutarakan ungkapan ini kepada malaikat yang menjelma menjadi manusia di hadapannya agar dia tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan keimanan jika memang orang (malaikat) itu benar-benar bertakwa. Bukankah ungkapan Maryam as ini lebih lembut daripada ucapan Yusuf a.s? Allah mengatakan tentang Yusuf a.s bahwa seandainya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya, maka dia akan bermaksud untuk melakukannya Namun dia tidak bermaksud , apalagi terjerumus, karena dia melihat tanda dari Tuhannya. Sementara Maryam bukan saja dia tidak bermaksud, tetapi dia juga mencegah malaikat yang menjelma agar tidak memiliki keinginan buruk tersebut.

Sekarang, kita akan melihat siapakah yang mendidik Maryam a.s.

Maryam a.s tidak pernah berada di bawah pendidikan ataupun penga- wasan ayahnya. Dia hanya dibesarkan (dididik) oleh ibunya. Banyak orang saleh, tetapi mereka tidak dapat menjadi ayah atau ibu bagi anak-anak perempuan mereka seperti Maryam a.s. Ada banyak syarat yang harus dicapai manusia agar dapat sampai ke tingkatan di mana dia bisa mengajak anaknya kepada ajaran Allah Swt.

Sementara itu, ibunda Maryam a.s (istri Imran) telah memohon perlindungan kepada Allah untuk putrinya (Maryam a.s), lalu Allah Swt menerima permohonan itu dan memberikan perlindungan-Nya.

Pengaruh Doa Ibu Maryam a.s

Perhatikan kisah ibu Maryam a.s (istri Imran) berikut ini, di mulai ketika mengandung sampai tiba kelahiran putrinya, Maryam a.s. Per- hatikan pula pengabulan Allah atas doa sang ibu dan dampak nyatanya berupa kesalehan Maryam a.s:

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1) < 137

p: 137

Keindahan dan Keagungan Perempuan “(Ingatlah), ketika istri `Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku ini menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) dariku ini. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Maka tatkala istri 'Imrân melahirkan anaknya, diapun berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya.

Zakaria berkata, “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab, “Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki- Nya tanpa hisab” (QS Âli `Imrân:35-37).

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi berkenaan dengan cerita di atas:

Pertama, tidak sedikit orang yang Allah kabulkan amal dan usahanya.

Namun, itu tidak berarti bahwa secara otomatis jiwa pelaku usaha tersebut juga diterima oleh Allah Swt karena pada umumnya, Allah hanya menerima amalnya. Oleh karena itu, Allah Swt tidak menyatakan bahwa Dia telah menerima dan melindungi mereka, tetapi Dia berfirman, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa" (QS Al-Ma'idah:27).

Namun, lain halnya dengan Maryam a.s. Allah Swt berfirman tentang Maryam a.s, “Maka Tuhannya menerimanya." Allah tidak mengatakan, "Maka Tuhannya menerima amalnya." 138 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 138

AYATULLAH JAWADI AMULT Demikianlah dampak dari doa permohonan perlindungan istri Imran kepada Allah Swt atas putrinya, Maryam a.s, dan Dia mengabul- kannya, yakni “memberinya" Maryam a.s. Permohonan perlin- dungan itu dilakukan di samping Mihrab, sebuah tempat yang dapat membuat doa seseorang dikabulkan oleh Allah Swt.

Oleh karena itu, tidaklah heran jika Maryam a.s juga memohon per- lindungan kepada Allah pada saat dirinya merasa terancam, "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dari dirimu, jika engkau seorang bertakwa” (QS Maryam:18).

Apabila kita membaca berbagai literatur keagamaan, akan kita temukan bahwa orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang Alquran menafsirkan pembicaraan ibunda Maryam a.s, sebagaimana apa yang telah dikatakannya. Namun, orang-orang yang belum sampai pada tingkatan pengetahuan yang tinggi, menafsirkan pembicaraan itu sesuai dengan budaya jahiliah.

Kedua, setelah kelahiran Maryam a.s, sang ibu berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan, dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan." Ucapannya, anak laki-laki tidak seperti anak perempuan, ditafsirkan oleh dua kelompok ulama yang menafsirkan ayat tersebut. Kelompok pertama mengatakan bahwa tasybîh dalam ayat di atas bersifat terbalik. Alasannya, pada kenyataannya, pria lebih utama daripada perempuan. Seandainya ada ungkapan yang mengatakan bahwa anak laki-laki tidak seperti anak perempuan, maka itu adalah metafora yang harus dipahami sebaliknya.

Kelompok lain berpendapat bahwa tasybîh tersebut adalah sesuai dengan makna hakikinya. Maksud ayat di atas adalah anak laki-laki tidak dapat menggantikan peran anak perempuan selama-lamanya- yakni tidak ada seorang pria pun yang dapat menjadi ayah Nabi Isa a.s, dan sebaliknya, tidak ada seorang pria pun yang dapat menjalankan tanggung jawab ibu seperti ibunda Maryam a.s.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1) < 139

p: 139

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Ibunda Musa a.s, Saudarinya dan Istri Fir'aun

Alquran menjelaskan bahwa ada tiga perempuan teladan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang telah menjaga Musa a.s dari pem- bunuhan dan mendidiknya hingga dewasa. Tanggung jawab pendidikan Musa a.s terletak di pundak mereka. Mereka adalah ibunda Musa a.s, saudara perempuan Musa a.s dan istri Fir'aun. Mereka bang- kit menghadapi kondisi politik saat itu hingga Musa as menjadi dewasa.

Allah Swt berfirman, “Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia dan apabila engkau khawatir terhadapnya, maka jatuhkanlah dia ke sungai.

Dan janganlah engkau khawatir dan jangan bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya dari para rasul.'" (QS Al-Qashash:7).

Ketika ibu Musa a.s memperoleh perintah dari Allah Swt untuk melempar Musa a.s ke sungai, dia berkata kepada saudara perempuan Musa a.s agar mengikuti keranjang tersebut, "Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan, 'Ikutilah dia. Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya" (QS Al-Qashash:11).

Di lain pihak, istri Fir'aun berkata, setelah menemukan Musa a.s terapung di sungai Nil, di dalam sebuah peti kecil, “Berkatalah istri Fir'aun (kepada suaminya), “(Anak ini adalah) penyejuk mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya.

Mudah-mudahan ia bermanfaat buat kita atau kita ambil ia menjadi anak,' sedang mereka tidak menyadarinya” (QS Al-Qashash:9).

Selain itu, ketiga perempuan tersebut telah menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk mematangkan dan mendidik Musa a.s sehingga selamat dari kezaliman Fir'aun.

Jelas sekali, kepergian kakak perempuan Musa a.s untuk mengikuti peti hingga sampai di istana Fir'aun bukan suatu pekerjaan yang 140 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 140

AYATULLAH JAWADI AMULI mudah. Begitu pula dengan seorang ibu yang telah memerintahkan anak perempuannya untuk mengikuti peti dan memperhatikannya hingga sampai ke akhir perjalanannya. Setelah perjalanan peti itu berakhir di istana Fir'aun, dia pergi dan menawarkan kepada mereka untuk menyusuinya. Dia berkata, “Maukah aku tunjukkan Ahlul Bait yang akan memelihara untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya" (QS Al-Qashash:12).

Ini juga bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Pada saat itu, pihak istana selalu memantau setiap perempuan yang menyusui untuk mengetahui apakah anak itu laki-laki atau perempuan. Perempuan yang melahirkan pasti dia yang akan menyusuinya. Usulan untuk mengenalkan perempuan yang dapat menyusui bukanlah hal yang biasa, apalagi dalam kondisi dia berada dalam kawasan berbahaya dan bisa mendapat hukuman mati sehingga dengannya, posisi ibu Musa a.s juga terahasiakan.

Sebagaimana diketahui, pada saat itu, mereka sedang menanyakan seluruh bayi yang lahir dan jenis kelaminnya. Jika didapati laki-laki, maka mereka segera membunuhnya. Hal tersebut sesuai dengan fiman Allah Swt, “Mereka menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka" (QS Al-Qashash:4).

Inilah tugas luar biasa yang telah ditangani oleh kakak perem- puan Musa a.s. Ini bukanlah hal yang kecil. Begitu pula dengan usul istri Fir'aun, juga bukan usulan yang mudah; dia hidup di hadapan orang yang paling kejam pada zaman itu. Dia berkata dengan lembutnya, “Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak." Usulan tersebut merupakan usulan berani dari seorang perempuan.

Kesimpulan Dengan keterangan tersebut, jelaslah bahwa perempuan telah mengurusi pekerjaan termulia demi menjaga agama Tuhan. Ini Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1) < 141

p: 141

Keindahan dan Keagungan Perempuan merupakan kekuatan kemarahan dan naluri ‘afâf. Begitu pula dalam hal ilmu, para perempuan sejajar dengan pria, yakni dia juga merupakan bagian dari kalimat-kalimat Allah Swt yang telah menyelamatkan Adam sebagaimana firman-Nya, “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya" (QS Al-Baqarah:37).

Kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada bagian pria lebih diutamakan, sedangkan perempuan tidak memiliki andil. Ini sepanjang, pertama, perempuan mengetahui posisinya; kedua, pria memberikan perlindungan terhadap posisi sakral tersebut; ketiga, mereka harus mempersiapkan sarana untuk maju, lalu membangun sehingga dalam menghadapi ujian kehidupan sedapat mungkin perempuan meraih sukses dan pria mencapai kemajuan.

142 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (1)

p: 142

Perempuan-Perempuan Teladan dalam Alquran -2

Para Nabi adalah Teladan bagi Seluruh Manusia

Masalah lain yang perlu diketengahkan di sini sebagai mukadimah berkaitan dengan keteladanan dua nabi agung adalah Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Muhammad Saw serta ajaran Nabi Muhammad Saw yang bersifat universal. Allah Swt berfirman, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS Al-Anbiyâ':107).

"Agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (QS Al-Furqân:1).

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian" (QS Al-Ahzâb:2).

Dua ayat pertama di atas menginformasikan secara jelas bahwa risalah Islam dibawa oleh Rasulullah Saw sebagai rahmat dan petunjuk bagi alam semesta beserta isinya. Sementara, pada ayat ketiga diterangkan bahwa Rasulullah merupakan suri teladan yang baik bagi kalian. Frase bagi kalian pada ayat ini adalah terjemahan dari lakum yang pada mulanya berarti 'bagi kalian-laki-laki'. Lakum adalah gabungan antara lâm (bagi) 143

p: 143

Keindahan dan Keagungan Perempuan dengan kum ('kalian-laki-laki') yang merupakan kata ganti orang kedua jamak maskulin.

Seperti telah kami jelaskan pada bab-bab terdahulu, meski mitra bicara di atas berbentuk maskulin, tetapi ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Demikianlah metode yang biasa digunakan Alquran, menunjuk mitra bicara maskulin dengan maksud menyertakan pula mitra bicara feminin, dan menggunakan kata rijal (kaum laki-laki), sedangkan yang dimaksud adalah kaum lelaki beserta kaum perempuan.

Hal serupa dapat kita baca pada ayat yang berbicara tentang keteladanan Nabi Ibrahim a.s. Allah Swt berfirman, “(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim" (QS Al-Hajj:78).

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia" (QS Al-Mumtahanah:4).

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu” (QS al-Mumtahanah:6).

Frase: orangtuamu pada ayat di atas adalah terjemahan dari kata abîkum yang berarti orang tua kalian laki-laki. Padahal, yang dimaksud adalah manusia secara keseluruhan.

Demikianlah keteladanan dua nabi agung tersebut untuk seluruh manusia, bukan untuk kaum pria saja.

Keteladanan dalam Alquran

Manusia saleh adalah teladan bagi seluruh manusia. Seorang pria teladan adalah contoh bagi seluruh manusia, bukan hanya untuk pria.

Begitu pula dengan perempuan teladan, dia adalah contoh yang harus diikuti seluruh manusia, bukan hanyak untuk perempuan. Alquran telah menjelaskan hal ini seterang-terangnya. Dalam surah Ah-Tahrîm ayat 10-12 dikemukakan empat perempuan sebagai pelajaran bagi umat manusia, dua perempuan sebagai teladan kebaikan dan dua lainnya 144 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 144

AYATULLAH JAWADI AMULI contoh dalam keburukan. Di sini, tidak ada pembicaraan tentang jenis kelamin pria atau perempuan karena masing-masing dapat mengambil pelajaran dari sejarah kemanusiaan yang dihidangkan Alquran.

Istri Nabi Luth a.s dan Istri Nabi Nuh a.s

Berkaitan dengan contoh keburukan, Alquran mengisahkan dua perempuan yang berperangai buruk, yaitu istri Nabi Luth a.s dan Nabi Nuh a.s. Allah Swt berfirman, "Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang- orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah, dan dikatakan kepada keduanya, “Masuklah kalian berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk neraka.'" (QS Al-Tahrîm:10).

Tentunya, dengan memaparkan kisah kedua perempuan durhaka di atas, Allah Swt tidak bermaksud menjadikannya pelajaran bagi orang- orang kafir perempuan. Maka jelaslah bahwa maksud bagi orang-orang kafir laki-laki, yang merupakan terjemahan dari lilladzîna kafarû, adalah seluruh manusia yang telah berbuat kefasikan dan kesalahan. Perempuan buruk merupakan contoh untuk seluruh manusia yang buruk, bukan untuk perempuan yang buruk saja.

Pengkhianatan yang dimaksud ayat di atas adalah pengkhianatan terhadap risalah dan akidah Islam. Oleh karena itu, dalam ayat lain Allah Swt berfirman, “Janganlah kamu mengkhianati Allah dan rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu” (QS Al-Anfâl:27).

Pengkhianatan artinya perbuatan mungkar terhadap agama.

Mengkhianati Allah Swt artinya seseorang berperilaku buruk terhadap keimanan, dan ini berarti pengkhianatan terhadap Allah sekaligus Nabi- Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) 145

p: 145

Keindahan dan Keagungan Perempuan Nya. Jika dikatakan bahwa istri Nabi Luth a.s dan Nabi Nuh a.s telah mengkhianati kedua Nabi, yang salah satu dari mereka adalah ulûl-'azmi dan yang lagi adalah pelanjut ajaran Nabi Ibrahim a.s, maka itu berarti kedua perempuan itu tidak mempercayai risalah kedua nabi tersebut.

Oleh karena itu, mereka menjadi perumpamaan bagi seluruh manusia kafir.

Istri Fir'aun, Teladan Kaum Mukmin

Alquran juga mengemukakan dua contoh perempuan baik sebagai teladan. Allah Swt berfirman, "Dan Allah menjadikan istri Fir'aun (sebagai) perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.'" (QS Al-Tahrîm:11).

Keteladanan istri Fir'aun yang dimuat dalam ayat ini dapat dicontoh oleh seluruh masyarakat Islam yang memiliki tingkat moralitas tinggi.

Istri Fir'aun hidup bersama suaminya, Fir'aun, yang mengaku dirinya sebagai tuhan yang paling tinggi (QS Al-Nâzi'ât:24). Dia mengatakan, "Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku" (QS Al-Qashash:38).

Padahal, hanya Allah yang pantas mengucapkan kalimat ini.

Allah Swt berfirman, “Sucikanlah nama Tuhanmu yang paling Tinggi” (QS Al-Aʻlâ:1). Kalimat “Yang Paling Tinggi" dalam ayat tersebut adalah ungkapan pengkhususan, artinya tidak mungkin ada dua hal sama-sama paling tinggi. Namun, Fir'aun mengaku bahwa hanya dirinyalah tuhan dan dia yang paling tinggi. Dalam kondisi seperti itulah, istri Fir'aun tumbuh, tetapi dia berhasil menjadi teladan bagi umat manusia yang beriman.

Alquran kemudian menyebutkan beberapa kelebihan istri Fir'aun. Sesuatu yang paling utama dari beberapa kelebihan yang dimilikinya adalah doa. Ada enam hal pokok yang terkandung dalam doa istri Fir'aun.

146 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 146

AYATULLAH JAWADI AMULT Pertama dan kedua, ucapannya, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga." Ketiga, ucapannya, “Selamatkanlah aku dari Fir'aun." Keempat, ucapannya, “Dan (selamatkanlah aku) dari perbuatan nya (Fir'aun)." Kelima, ucapannya, "Selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Keenam, permohonan perlindungan dari perbuatan kaum zalim yang tidak disebutkan dalam ayat itu.

Dua hal pertama yang dimohonkan istri Fir'aun kepada Allah Swt adalah pertemuan dengan Allah dan perolehan surga. Keduanya merupakan cerminan prinsip tawallî, yakni sikapnya dalam menjadikan Allah Swt sebagai satu-satunya Pelindung. Sementara empat permohonan lain yang dipanjatkannya berkaitan dengan sikap tabarrî, yakni berlepas diri dari musuh-musuh-Nya.

Pada dua hal pertama di atas, istri Fir'aun memohon surga yang berada di sisi-Nya, sementara kebanyakan orang hanya memohon surga (tanpa mengaitkannya dengan Allah Swt) sehingga mereka biasa memanjatkan doa-doa mereka, "... (yaitu) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya" (QS Al-Furqân:10).

Adapun istri Fir'aun, pertama, dia menginginkan Allah Swt, lalu meminta sebuah rumah di sisi-Nya. Dia tidak mengatakan, "Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di surga." Dia juga tidak mengatakan, "Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah dalam surga di sisi-Mu." Namun dia mengatakan, "Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di dalam surga." Dia menyebutkan "di sisi Allah" lebih dulu, lalu berbicara tentang surga.

Artinya, apabila hal ini kita kaitkan dengan salah satu etika agung Ahlul Bait suci a.s yang berbunyi, "(Dahulukanlah kepentingan) tetangga sebelum penghuni rumah (kita)", maka istri Fir'aun di sini berbicara tentang "tetangganya" terlebih dahulu, baru kemudian tentang "rumah" yang akan dihuninya di surga.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 147

p: 147

Keindahan dan Keagungan Perempuan Istri Fir'aun telah mempraktikkan etika di atas dalam hal maqam kemanusiaan sehingga dia mengharapkan kebersamaan dengan Allah Swt terlebih dahulu sebelum meminta surga-Nya. Dia meminta untuk bertemu dengan Allah dan kelezatan ruhani, kemudian kelezatan jasmani.

Terkadang ada yang mengatakan, "Wahai Tuhanku, bangun- kanlah untukku sebuah rumah di surga," kemudian dilanjutkan dengan mengatakan "di sisi-Mu," artinya dia mengatakan rumah terlebih dahulu baru "tetangga". Namun tidak demikian dengan istri Fir'aun. Dia mengatakan “tetangga" terlebih dahulu baru “rumah" atau Allah Swt terlebih dahulu kemudian surga, sebab itu dia berkata, "Wahai Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah di surga." Tentu ada perbedaan besar antara surga yang berada di sisi Allah dengan surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya.

Berkenaan dengan permohonannya yang ketiga dan keempat, ketika istri Fir'aun berkata, "Selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya," bukan berarti dia memohon agar dapat diselamatkan oleh Allah dari siksaan Fir'aun. Seseorang mungkin saja mengatakan, "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang zalim." Namun, ketika dia telah berada berkuasa, dia melakukan kezaliman. Sebaliknya, istri Fir'aun tidak meminta kepada Allah keselamatan dari Fir'aun saja, tetapi dia juga memohon keselamatan dari kebejatannya, yakni kesyirikan yang dilakukan Fir'aun. Dia juga tidak hanya meminta keselamatan dari kezalimannya, tetapi meminta agar diselamatkan dari kezaliman secara umum, agar tidak menzalimi, tidak pula dizalimi. Dia memohon kepada-Nya agar tidak terjatuh ke dalam kemusyrikan. Oleh karena itu, dia berkata, "Wahai Tuhanku, selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya." Selanjutnya dia berkata, "Dan Selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Bisa saja seseorang selamat dari Fir'aun, tetapi dia terperangkap oleh kezaliman keluarga Fir'aun atau orang-orang zalim secara umum.

Oleh karena itu, dia mengutarakan permohonannya yang kelima, yaitu “Selamatkanlah aku dari kaum yang zalim." Para pakar bahasa mengatakan bahwa secara implisit, mereka dapat menangkap suatu pesan pada akhir < 148 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 148

AYATULLAH JAWADI AMULT ayat di atas, berupa kalimat yang tidak disertakan bersamanya-yang tidak disebutkan oleh redaksi ayat tersebut, yang berbunyi “dan perbuatan mereka". Kalimat ini sengaja tidak dimunculkan karena telah ada indikasi yang menunjukkan hal itu, yaitu kalimat Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa istri Fir'aun telah mengetahui kedudukan yang demikian tinggi hingga dalam per- mohonannya terdapat sikap tawallî, yakni menjadikan Allah sebagai satu- satunya Pelindung, dan tabarrî terhadap musuh-musuh-Nya. Dia juga memohon penyelesaian terhadap beberapa problem individual dan sosial.

Lalu apakah perempuan tersebut adalah teladan bagi kaum perempuan saja, ataukah bagi masyarakat secara keseluruhan? Allah Swt berfirman, "Dan Allah membuat istri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman." Tidak dikatakan bahwa Allah membuat perumpamaan bagi perempuan saja, atau para perempuan yang beriman saja. Maka jelaslah bahwa dia bukan teladan untuk perempuan saja. Perempuan teladan adalah contoh untuk seluruh manusia.

Kedudukan Khusus Maryam a.s

Perempuan teladan lain yang disebutkan dalam Alquran surah Al- Tahrîm adalah Maryam a.s. Setelah dikemukakan dua contoh keburukan (ayat 10), yakni istri Nabi Nuh as dan Nabi Luth a.s, disusul dengan keteladanan istri Fir'aun (ayat 11), kini Allah berfirman mengisahkan keteladanan Maryam a.s, “Dan ingatlah Maryam putri 'Imrân yang memelihara ke- hormatannya, maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhan dan kitab- kitab-Nya. Dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat" (QS Al- Tahrîm:12).

Artinya, Allah Swt membuat Maryam a.s putri Imran sebagai teladan bagi kaum beriman. Maryam a.s telah memelihara kehormatannya, Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 149 >

p: 149

Keindahan dan Keagungan Perempuan ditiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan)-Nya karena dia telah membenarkan kalimat Tuhan dan kitab-kitab-Nya sehingga dia termasuk orang-orang yang taat.

Karena kedudukan Maryam a.s lebih tinggi daripada istri Fir'aun, maka Allah Swt tidak menyebutkannya dalam satu ayat secara langsung dan bersamaan dengan istri Fir'aun. Sementara ketika menyebutkan istri Nuh a.s dan Luth a.s, Allah menyebutkan kisah mereka berdua dalam satu ayat secara langsung.

Kiranya dapat dipahami bahwa empat kisah yang disebutkan dalam surah Al-Tahrîm di atas bukanlah merupakan pelajaran bagi kaum perempuan saja, tetapi sekaligus untuk kaum pria. Boleh jadi, ada petani teladan, tetapi dia teladan hanya untuk para petani. Begitu pula dengan penulis, ada penulis teladan, tetapi dia hanya sebagai teladan untuk para penulis saja. Adapun manusia teladan, dia adalah teladan untuk seluruh manusia, tidak dikhususkan pada pria atau perempuan saja.

Dalam memberi penilaian terhadap kedudukan Maryam a.s, kita tidak boleh melupakan peranan ibunda beliau, yakni istri Imran. Meski Maryam a.s telah tumbuh di bawah asuhan Nabi Zakaria a.s, tetapi hal itu berlangsung pada tahap akhir pendidikan Maryam a.s. Istri Imran sangat pantas melahirkan seorang putri yang kelak menjadi ibu seorang nabi.

Dia demikian patuh dan tunduk terhadap Allah Swt, hingga pada akhirnya dia dapat mengarahkan putrinya untuk senantiasa menghambakan diri hanya kepada Allah Swt. Pengabulan-Nya terhadap penghambaan Maryam a.s adalah karena Allah Maha Mengetahui bahwa jika Dia menganugerahinya kemuliaan, dia pasti dengan serta merta menjaga anugerah tersebut. Sekalipun Maryam a.s telah diterima oleh Tuhannya ketika masih berusia belia, sebagaimana firman-Nya, “Maka Tuhan Pemeliharanya menerimanya dengan penerimaan yang baik” (QS Ali 'Imrân:37), tetapi Allah Swt Maha Mengetahui bahwa apabila perempuan tersebut memperoleh kesempurnaan ruhani, niscaya dia akan benar- benar menjaga kesempurnaan tersebut.

* 150 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 150

AYATULLAH JAWADI AMULT Allah Swt telah memberikan keutamaan kepada beberapa laki-laki (sebagaimana diceritakan Alquran), tetapi Dia pun mengetahui bahwa mereka tidak pantas memperolehnya, karena pada akhirnya mereka akan menodainya. Pemberian tersebut masuk dalam kategori, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu” (QS Al-A'râf:164). Oleh karena itu, Allah memberi mereka keutamaan, tetapi tidak diberi-Nya kedudukan dan kekuasaan. Karena jika orang yang perilakunya buruk, lalu dia memperoleh kekuasaan dan kedudukan, dia akan menghancurkan pilar-pilar ajaran Islam.

Apa yang terjadi pada Balʻam bin Bâ'ûrâ adalah salah satu contohnya.

Allah Swt telah menganugerahinya keutamaan, tetapi tidak diberi-Nya kemuliaan. Allah Swt berfirman, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami anugerahkan kepadanya ayat-ayat Kami (mengilhaminya dan memudahkan baginya meraih pengetahuan tentang keesaan Allah dan tuntunan-tuntunan agama) kemudian dia menguliti diri darinya (melepaskan dirinya dari pesan ayat-ayat Allah Swt dan tidak mengamalkannya), maka dia diikuti oleh setan sehingga jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat" (QS Al-A'râf:175).

Hal serupa terjadi pada Sâmirî, yang diberi kelebihan oleh Allah sehingga dapat melihat "jejak Rasul", yakni jejak malaikat. Hal ini menunjukkan ketajaman penglihatan batinnya. Namun, dia tidak menjadikan kelebihannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Sebaliknya, dia malah menyesatkan Bani Israil dengan membuat patung anak lembu untuk mereka sembah. Padahal, sebagaimana dituturkannya, “Aku melihat sesuatu yang mereka tidak lihat, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku" (QS Thà Hà:96).

Demikianlah Alquran menjelaskan bahwa Allah Swt Maha Mengetahui kelayakan hamba-Nya untuk menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di sisi-Nya. Dia Maha Mengetahui bahwa ada Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 151 )

p: 151

Keindahan dan Keagungan Perempuan beberapa keutamaan yang dianugerahkan-Nya kepada beberapa hamba, tetapi mereka menjualnya dengan harga murah demi meraih kehinaan, meski ada juga hamba-hamba-Nya yang sepanjang hidup mereka senantiasa memelihara anugerah besar itu dengan segenap tekad dan kemauan mereka, sehingga mereka selalu berada di bawah perlindungan Allah Swt sejak kelahiran. Demikianlah, Allah Swt Maha Mengetahui segala sesuatu, baik lahir maupun batin. Allah Swt berfirman, "Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan" (QS Al-Anăm:124).

Oleh karena itu, sekalipun Maryam as pada awal kelahirannya belum melakukan sesuatu, tetapi telah diketahui oleh Allah Swt bahwa jika diberi kemuliaan, dia akan dapat senantiasa bertanggung jawab dan berketetapan hati untuk menjaganya. Adapun berkenaan dengan sang ibu, yakni istri Imran, setelah dia menunaikan nazarnya, dia menitipkan Maryam di suatu tempat peribadatan, dan menjadi pengasuh rumah ibadat tersebut- sesuai dengan harapan sang ibu – sejak saat itu sampai seterusnya. Allah Swt berfirman, "Wa kaffalahâ zakariyyâ." “Dan Allah menjadikan Zakaria sebagai pemeliharanya” (QS Ali 'Imrân:37).

Artinya, Allah Swt menjadikan Zakaria a.s sebagai pemelihara.

Kaffala yang berarti 'memelihara' memiliki dua objek. Objek pertama adalah Allah Swt sebagai Pemelihara utama, dan objek kedua adalah Zakaria as sebagai perpanjangan “tangan"-Nya, yang secara langsung mengasuh dan mendidik Maryam a.s. Zakaria a.s tidak mengasuh Maryam a.s kecuali berdasarkan wahyu dari Allah Swt. Tidak mungkin Zakaria a.s mengemban tugas pemeliharaan itu dengan sendirinya.

Oleh karena itu, ketika tampak sekian banyak keistimewaan yang merupakan anugerah Ilahi itu pada diri Maryam a.s, maka para pengasuh dan pemimpin rumah suci saat itu memperebutkannya, * 152 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 152

AYATULLAH JAWADI AMULI hingga terjadi pertengkaran, untuk dapat mengasuhnya. Namun, Allah Swt telah berencana sehingga untuk menentukan siapa yang mendapat kehormatan itu, para pengasuh dan pemimpin rumah suci bersepakat melakukan undian. Dengan undian, pemenang ditentukan, bukan dengan kepandaian atau kekuasaan. Kasus ini telah Allah rencanakan dan atur sedemikian rupa sehingga tugas pemeliharaan Maryam a.s jatuh ke tangan Nabi Zakaria a.s.

Hal ini disinggung oleh Allah (dalam ayat 44 surah Âli 'Imrân) melalui firman-Nya, “Dan engkau (hai Muhammad) tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bertengkar" (QS Ali 'Imran:44).

Allah Swt menegaskan bahwa Dialah yang mengatur rencana tersebut, dan Dialah yang memelihara Maryam a.s. Adapun Nabi Zakaria a.s, dia hanya memelihara Maryam a.s di bawah perlindungannya. Inilah tahap akhir dari pengasuhannya. Adapun ketika di dalam rahim ibunya dan pada saat kelahirannya di bumi ini, dia berada di bawah asuhan ibunya.

Maryam a.s dalam Pandangan Para Ahli Tafsir

Banyak sekali ayat Alquran yang mengisahkan Maryam a.s. Salah satunya adalah kisah tentang rahasia di balik ketinggian derajat Maryam a.s dan keterdidikannya dengan pendidikan Ilahi. Allah Swt berfirman, "Setiap Zakaria masuk untuk menemuinya (Maryam a.s) di mihrab ia mendapati rezeki di sisinya. Zakaria bertanya, “Hai Maryam dari mana engkau memperoleh (rezeki) ini?' Dia (Maryam a.s) menjawab, 'la dari sisi Allah, sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.'" (QS Ali Imrân:37).

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 153

p: 153

Keindahan dan Keagungan Perempuan Malaikat berbicara dengan Maryam a.s dan begitu pula sebaliknya, Maryam as berbicara dengannya, bahkan melihatnya. Jawaban Maryam a.s atas pertanyaan Nabi Zakaria a.s di atas menggambarkan pengalaman ruhani (syuhûdî) yang dialaminya.

Ketinggian derajat Maryam a.s ini juga diterangkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika malaikat (jibril) berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala perempuan di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.'" (QS Âli'Imrân:42-43).

Ketika Maryam as memperoleh kabar gembira akan kelahiran putranya Isa a.s, Allah Swt berfirman, “(Ingatlah) ketika malaikat berkata, “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya al-Masîh 'Îsâ putra Maryam.'" (QS Ali `Imrân:45).

Ketika menjelaskan tentang kehidupan Maryam a.s, beberapa ulama Mu'tazilah, seperti Zamakhsyarî dalam tafsirnya al-Kasysyâf, mengemukakan penjelasan yang kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa kelebihan Maryam a.s hingga dia dapat melihat dan mendengarkan pembicaraan para malaikat merupakan salah satu bentuk karâmah Zakaria a.s atau kejadian luar biasa yang menjadi pertanda kenabian Isa a.s (irhâsh). Mereka menyimpulkan bahwa Maryam a.s tidak dapat mencapai kedudukan tinggi tersebut, yakni untuk dapat memperoleh kemuliaan, mendengarkan pembicaraan para malaikat dan memperoleh kabar gembira bahwa dirinya akan menjadi ibu dari seorang nabi.

Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa segala keutamaan Maryam a.s merupakan berkat dari karâmah Zakaria a.s atau irhâsh Isa a.s.

154 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 154

AYATULLAH JAWADI AMULT Adapun mereka yang cenderung melebih-lebihkan, seperti al- Qurthubî, salah seorang ahli tafsir dari kalangan Ahlussunah yang terkenal mengatakan bahwa Maryam as memiliki maqâm nubuwwah (kenabian) sehingga karenanya banyak malaikat turun kepadanya, menyampaikan wahyu, mengabarkan tentang kesuciannya melalui ilham serta memberi kabar gembira bahwa dia akan menjadi ibu dari seorang nabi, dan lain-lain. Juga, masih menurut mereka, karena Maryam a.s telah memperoleh wahyu dari malaikat dan mereka turun kepadanya hingga dia dapat berbicara dan melihat mereka; dia adalah seorang nabi. Itu karena setiap orang yang didatangi malaikat, diberinya wahyu dan dapat melihat mereka, maka dia adalah nabi.

Sementara itu, mazhab Syi'ah Imamiyah berpendapat lebih objektif dengan mengatakan bahwa seluruh kedudukan dan kemuliaan Maryam a.s berkaitan dengan diri Maryam a.s. Artinya, hal itu merupakan predikat bagi subjek. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa itu merupakan kelebihan Zakaria a.s ataupun Isa a.s, atau Maryam a.s sampai ke maqam kenabian. Kedua penafsiran tersebut berdasarkan pemahaman lahir dari Alquran. Pendapat Mazhab Imamiyah mengenai hal ini, dapat kami terangkan sebagai berikut:

Pertama, seluruh karâmah yang disebutkan Alquran berkaitan dengan pribadi Maryam a.s. Hal ini dapat kita ketahui dari keterangan tekstual Alquran yang menyatakan bahwa para malaikat berbicara kepada Maryam a.s bukan saja berupa suara dan malaikat yang berwujud gaib, tetapi lebih dari itu, Maryam a.s menyaksikannya.

Seluruh pembicaraan dan seruan tersebut terkadang tampak dalam bentuk jelmaan. Hal ini dijelaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya sebagai manusia yang sempurna. Maryam berkata, "Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dari dirimu, jika engkau seorang yang bertakwa. Malaikat berkata, 'Sesungguhnya aku hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk menganugerahkan untukmu seorang anak laki-laki yang Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 155

p: 155

Keindahan dan Keagungan Perempuan suci.'" (QS Maryam:17-19).

Secara lahir, ayat tersebut menjelaskan bahwa Maryam a.s secara pribadi telah memperoleh kedudukan tinggi. Kedudukan Maryam a.s inilah yang menyebabkan Zakaria a.s memohon kepada Allah agar diberi keturunan. Allah Swt berfirman, "Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata, 'Tuhanku angerahilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.

Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.'" (QS Ali `Imrân:38).

Kedua, pesan malaikat kepada Maryam a.s untuk terus melakukan ibadah, tunduk, rukuk, dan sujud (seperti dapat kita baca pada surah Âli 'Imrân ayat 43) adalah sebuah bukti tingginya kedudukan Maryam a.s. Begitu pula dengan beberapa sifat yang telah Allah Swt nyatakan berkenaan dengannya. Itu juga merupakan bukti bahwa kepribadian Maryamlah yang membuatnya dapat melihat malaikat, berbicara dan mendengarkan pembicaraan mereka. Allah Swt berfirman, “Dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhan dan kitab-kitab-Nya.

Dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat" (QS Al-Tahrîm:12).

“Al-Masîh putra Maryam hanyalah seorang Rasul yang se- sungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang shiddiqah, kedua-duanya senantiasa memakan makanan.

Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka ayat- ayat kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan" (QS Al-Ma'idah:75).

Berkenaan dengan Maryam a.s, ayat di atas menyatakan bahwa Isa a.s memiliki seorang ibu yang mempercayai pembicaraan secara gaib. Bukan hanya membenarkan, tetapi dia juga tergolong orang-orang shiddiq, yakni sangat benar dalam niat, ucapan dan perilakunya, serta seorang yang sangat membenarkan serta mempercayai ayat-ayat Allah.

Status Maryam a.s sebagai seorang hamba yang shiddiqah menguatkan 156 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 156

AYATULLAH JAWADI AMULT kebenaran masalah ini dan membuktikan bahwa seluruh kelebihan tersebut adalah milik Maryam a.s secara pribadi.

Adapun pendapat Zamakhsyarî yang menyatakan bahwa hal itu merupakan buah dari kemuliaan Zakaria a.s atau sebagai irhâsh Isa a.s, bukan saja menunjukkan bahwa perempuan tidak mampu sampai ke tingkatan tersebut, tetapi juga menunjukkan bahwa landasan pemikiran mereka tidaklah benar.

Jika perempuan tidak dapat memperoleh kemuliaan, maka pria juga tidak akan dapat meraihnya. Jika mukjizat hanya dapat diraih oleh para nabi dan selain mereka tidak dapat memperoleh karâmah (kemuliaan), maka hal itu tidak benar karena karâmah berbeda dengan mukjizat, mukjizat khusus bagi para nabi dan karâmah untuk para kekasih Allah.

Dengan ini, jelaslah bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kebiasaan umumnya manusia, jika disertai dengan penga- kuan kenabian dan bercampur dengan berbagai tantangan pada yang bersangkutan, maka hal itu dinamakan mukjizat. Jika tidak ditemukan hal-hal tersebut, maka ia berarti karâmah.

Sementara, al-Qurthubî dalam tafsirnya mengatakan bahwa wahyu turun kepada Maryam a,s, malaikat datang dan berbicara dengannya, serta pembicaraan di antara mereka bukan saja sebatas lisan, tetapi juga telah sampai pada batas penyaksian ruhani (syuhûd).

al-Qurthubî menambahkan bahwa setiap orang yang diberi wahyu dan dapat mendengarkan pembicaraan malaikat secara lisan serta dapat melihat mereka adalah seorang nabi, sehingga Maryam a.s adalah nabi.

Premis minor dalam pernyataannya itu benar, yakni bahwa Maryam as tidak berbicara dengan malaikat secara lisan saja, namun dia juga melihatnya secara langsung bahkan malaikat menjelma di hadapannya.

Namun, pada premis mayor, al-Qurthubî menyatakan bahwa setiap orang yang telah melihat malaikat dan memperoleh wahyu adalah nabi.

Sementara, yang terakhir ini tidaklah bersifat universal karena sebenarnya tidak semua yang bertemu malaikat dan mendapatkan wahyu adalah nabi. Dari sini, dua premis di atas menghasilkan konklusi yang salah.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) 157

p: 157

Keindahan dan Keagungan Perempuan Sehubungan dengan permasalahan ini, perlu diketahui bahwa wahyu dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian: wahyu penyampaian berita secara umum (anbâ7) dan wahyu dalam konteks penurunan hukum syariat (tasyrîí).

Seorang nabi bukan saja dapat melihat para malaikat dalam hal pandangan dunia dan pengetahuan ketuhanan, mendengarkan pem- bicaran malaikat, dan sebagainya. Dia juga bahkan memperoleh wahyu dalam hal yang berkaitan dengan masalah syariat. Seorang nabi menerima syariat (Allah Swt) melalui perantara malaikat dan bertanggung jawab penuh dalam memimpin umat manusia, mempelajari ajaran Ilahi, dan bertugas menyampaikannya kepada seluruh manusia.

Akan tetapi, tak setiap orang yang memperoleh wahyu dapat secara otomatis menjadi nabi. Meski nabi adalah orang yang telah diberi wahyu oleh malaikat, tetapi tak berarti bahwa setiap orang yang telah diberi wahyu oleh malaikat adalah nabi. Itu karena wahyu kadang berupa wahyu anbârî (penyampaian berita) dan kadang juga berupa wahyu tasyrîrî (penurunan syariat Allah).

Berkaitan dengan kenabian yang bersifat tasyrî'i, Allah Swt telah menjelaskannya dalam Alquran, yaitu berupa risalah kenabian yang secara umum telah kita kenal. Jenis kenabian semacam ini merupakan perintah Ilahi yang harus dilaksanakan (seorang nabi), yang disertai dengan perintah mengajak umat manusia untuk mengimaninya, memimpin mereka berperang atau berdamai, mengurusi keuangan mereka, menyejahterakan mereka, dan sebagainya. Ini merupakan sebuah tugas manajerial (yang bersifat teknis di lapangan) yang hanya Allah Swt lim- pahkan kepada kaum pria. Allah Swt berfirman dalam surat Yûsuf dan Al-Nahl, “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang- orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka ber- tanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui" (QS Al-Nahl:43).

158 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 158

AYATULLAH JAWADI A MULT Oleh karena itu, risalah kenabian tasyrîtî dengan berbagai kon- sekuensinya, seperti memimpin masyarakat, menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan syariat Allah dan kenabian, dan men- jelaskan perkara halal-haram – merupakan kenabian dan risalah khusus yang menjadi tanggung jawab kaum pria karena hal itu merupakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan teknis.

Adapun kenabian yang bersifat anbâ'î , seperti seseorang yang melalui wahyu yang diterimanya dapat melihat situasi yang terjadi di dunia dan bagaimana dengan masa depan dunia, di samping dapat melihat masa depan dirinya dan masa depan orang lain, maka kenabian tersebut adalah kenabian yang bersifat wilayah dan tidak berkaitan dengan kenabian tasyrîtî dan pelaksanaan tugas-tugas teknis. Meski jenis kenabian anbû î ini termasuk yang melandasi seluruh risalah kenabian tasyrîmi, tetapi ia tetap tidak dikhususkan untuk kalangan pria. Para perempuan pun dapat sampai ke tingkatan tersebut.

Jika yang dimaksud al-Qurthubî di atas adalah mengukuhkan kenabian Maryam a.s sebagai jenis kenabian anbâî, tentu seluruh ahli 'irfân, orang bijak, dan pakar tafsir akan menerimanya. Namun, jika yang dimaksud adalah kenabian tasyrî‘î, maka Maryam a.s harus memiliki risalah, dan itu berarti Maryam telah memperoleh wahyu tasyrîfî. Dan ini jelas salah.

Maryam a.s Sang Shiddîqah

Alquran menggambarkan Maryam a.s dengan sifat shiddiqah.

Kata tersebut adalah bentuk hiperbola (mubalaghah) dari shâdiqah ('perempuan yang benar') yang berarti sangat benar dalam niat, ucapan dan perilakunya, dan seseorang yang sangat membenarkan serta mem- percayai ayat-ayat Allah. Oleh karena itu, kaum shiddîqîn adalah mereka yang menyertai para nabi, orang-orang saleh dan para syahid. Mereka bersama-sama dalam satu kafilah dan mereka adalah para pembesar kafilah yang berjalan di jalan Allah. Manusia-manusia biasa, pria ataupun perempuan, selalu memohon kepada Allah Swt - baik dalam salat Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 159

p: 159

Keindahan dan Keagungan Perempuan maupun doa yang mereka panjatkan, agar mereka ditunjuki ke jalan yang lurus, sebagaimana bunyi ayat 6-7 surah Al-Fâtihah, “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat" (QS Al-Fatihah:6-7).

Pada ayat lain, Allah Swt menjelaskan siapa mereka yang telah dianugerahi nikmat-Nya, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan rasul-(Nya), mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddîqîn, para syuhada' dan orang- orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS Al-Nisa':69).

Seorang Mukmin yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan bergabung bersama kafilah para nabi, para shiddiqîn, para syuhada' dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya; mereka teman-teman yang baik. Maka, "Carilah teman sebelum bepergian," begitu kata pepatah. Jika dia terjatuh, mereka akan menolongnya. Jika perjalanannya tampak berlebihan atau melampaui batas, mereka akan meluruskannya. Jika dia merasa lelah, mereka membantunya, dan jika merasa lemah, mereka pun memberinya kekuatan.

Hal ini tidak dikhususkan bagi kalangan perempuan, tetapi semua orang yang melakukan salat diperintahkan untuk memohon kepada Allah agar ditunjukkan jalan seperti jalan shiddîqîn, yakni mereka yang berkeyakinan teguh. Maryam a.s adalah salah seorang di antara mereka yang masuk ke dalam barisan shiddîqîn.

Kaum pria yang memohon kepada Allah dalam setiap salat mereka agar ditunjukkan oleh Allah jalan para nabi dan para shiddîqîn, maksud mereka bukanlah para shiddîqîn yang tidak termasuk di dalamnya Maryam a.s, tetapi beliau juga termasuk di antara mereka.

* 160 > Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 160

AYATULLAH JAWADI AMULT Rahasia di balik kedudukan Maryam as sebagai shiddîqah bukan karena dia mempercayai hal-hal yang biasa atau karena dia mempercayai setiap hal yang dipercayai orang lain. Lebih daripada itu, karena dia mempercayai sesuatu yang tidak dipercayai oleh orang lain, dan menguatkan kebenaran sesuatu yang mereka anggap sebagai sesuatu yang mustahil. Berdasarkan anggapan kemustahilan itulah mereka menuduhnya [berzina). Meski demikian, Maryam pada saat itu justru tidak meminta [dari Allah) suatu pertanda apa pun yang dapat menguatkan keyakinannya serta menunjukkan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak biasa, yang harus dia yakini.

Kedudukan Maryam a.s Menggungguli Zakaria a.s?

Alasan mereka yang berpandangan ekstrem dan menganggap bahwa Maryam as adalah seorang nabi adalah-menurut mereka – Zakaria a.s meminta kepada Allah agar dikaruniai keturunan (yakni anak laki-lak atau perempuan) yang saleh. Hal ini dijelaskan oleh beberapa ayat Alquran.

Allah Swt berfirman, "Wahai Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.

Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa" (QS Ali Imran:38).

"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku" (QS Maryam:4).

"Maka anugerahilah aku dari sisi Engaku seorang putra. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub dan jadikanlah dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai” (QS Maryam:6).

Lalu malaikat memanggilnya sebagaimana dalam firman-Nya, “Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya), “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 161 >

p: 161

Keindahan dan Keagungan Perempuan ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.'" (QS Ali `Imrân:39).

Ketika malaikat memberi kabar gembira kepada Zakaria a.s, yang saat itu sudah memasuki usia lanjut, Zakaria a,s bertanya kepada Allah Swt, “Zakaria berkata, "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.' Tuhan berfirman, 'Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap- cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.'" (QS Maryam:10).

Dia meminta kepada Allah Swt agar diberinya tanda sehingga dia dapat mengetahui bahwa kabar gembira tersebut adalah benar dan agar dia mengetahui kapan itu akan terwujud. Dalam hal ini, Zakaria a.s berbeda dengan Maryam a.s yang ketika mendapatkan kabar gembira dari malaikat, dia tetap tenang dan percaya karena dia memang perempuan shiddîqah. Maryam a.s tidak meminta kepada Allah satu tanda pun. Oleh karena itu, ada yang berkesimpulan bahwa kedudukan Maryam a.s lebih tinggi daripada Zakaria a.s.

Mengapa Zakaria a.s Meminta Tanda dari Allah?

Adalah salah mereka yang berpendapat bahwa Maryam a.s me- miliki kedudukan lebih tinggi daripada Nabi Zakaria a.s. Tidak dibenarkan seseorang menurunkan kedudukan seorang nabi yang agung demi memuliakan yang lain.

Alasan mengapa Nabi Zakaria a.s meminta tanda dari Allah Swt bukan karena dia ragu akan janji Allah Swt, tetapi dia melakukan sesuatu seperti apa yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. Allah Swt berfirman tentang Nabi Ibrahim a.s, “Dan (ingatlah) ketika Ibrâhîm berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.' Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?' İbrâhîm menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan 162 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 162

AYATULLAH JAWADI A MULT imanku).'" (QS Al-Baqarah:260).

Artinya, Nabi Ibrahim a.s sengaja memohon agar diperlihatkan proses penghidupan makhluk mati agar dia dapat sampai ke kedudukkan yang lebih tinggi, di mana kalbunya menjadi tempat tajallî Allah Swt, Dzat Yang Maha Menghidupkan. Itu karena sejak awal, Ibrahim a.s senantiasa mempercayai keniscayaan Hari Akhirat, dan mengetahui bahwa Allah dapat menghidupkan orang-orang yang mati. Jika Ibrahim a.s ingin mengetahui bagaimana Allah menghidupkan orang yang mati, maka hal itu bukanlah dengan cara memperlihatkan proses penghidupan makhluk mati.

Keinginan Ibrahim a.s adalah agar Allah Swt menjadikan jiwanya manifestasi sifat-Nya sebagai Dzat Yang Maha Menghidupkan sehingga dengan tangannya, dia dapat menghidupkan orang-orang mati. Maqâm inilah yang pada hakikatnya diminta oleh Ibrahim a.s. Dan inilah jalan Nabi Ibrahim a.s yang diajarkannya kepada anak dan keturunannya (termasuk Zakaria a.s), agar mereka juga meminta pertanda dari Allah sedikit demi sedikit, sehingga mereka dapat sampai ke tingkatan thuma'nînah (ke- tenangan) dan memiliki jiwa yang tenang.

Tingkatan Keyakinan

Jika sebuah masalah menjadi jelas bagi seseorang berdasarkan pemaparan bukti-bukti rasional (burhân), maka dia sampai ke tingkat ketenangan. Jika bukti-bukti rasional yang merupakan ilmu al-yaqin itu berubah menjadi ‘ain al-yaqin (hadir dan menyatu dengan jiwanya), maka dia akan sampai ke tingkat kedua, dia dapat melihat apa yang terjadi di dunia ini serta melihat bagimana Allah menghidupkan orang-orang yang mati.

Tingkat berikutnya yang lebih tinggi dari tingkat 'ain al-yaqîn adalah tahap haqq al-yaqin. Artinya, manusia sampai ke suatu tingkatan dia dapat menyaksikan (manifestasi) sifat “menghidupkan" dalam dirinya. Itu karena sifat menghidupkan adalah salah satu sifat perbuatan Allah Swt.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) < 163

p: 163

Keindahan dan Keagungan Perempuan Sifat-sifat perbuatan Allah Swt adalah di luar Dzat-Nya Yang Suci atau lawan dari sifat-sifat dzâtî Allah Swt.

Melalui dalil-dalil rasional, kadang manusia dapat memahami bahwa penghidupan makhluk mati adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Inilah yang disebut ilmu al-yaqin. Terkadang juga, dia dapat melihat peristiwa Nabi Isa a.s dan menyaksikan bagaimana ruh yang suci termanifestasi pada diri Isa a.s sehingga maqam-nya meningkat dari ilmu al-yaqin ke tahap 'ain al-yaqin. Terkadang pula, manusia, seperti Ahlul Bait a.s - dapat men- jadi manifestasi Dzat Yang Menghidupkan orang-orang mati seperti Isa a.s. Itulah tingkat haqq al-yaqîn.

Inilah jalan yang dilalui oleh Ibrahim a.s, dan yang dijelaskannya agar semua orang yang ingin menempuh jalan tersebut dapat menempuhnya.

Termasuk pula untuk para nabi, dan khususnya untuk keturunan Nabi Ibrahim a.s. Oleh karena itu, Zakaria a.s meminta tanda dari Allah Swt sehingga dia dapat sampai ke tingkatan ketenangan dan mengetahui bagaimana permohonannya tersebut menjadi kenyataan.

Allah Swt menyatakan kepada pasangan suami-istri bahwa mereka bukanlah gambaran tentang suatu proses penciptaan karena yang mereka lakukan sekadar “menumpahkan sperma". Allah Swt berfirman, “Maka terangkanlah kepadaku tentang nuthfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?" (QS Al- Waqi'ah:58-59).

Meskipun demikian, manusia berpotensi untuk dapat sampai ke suatu tingkat di mana ruhnya adalah manifestasi Sang Pencipta.

Oleh karena itu, ketika Zakaria a.s memiliki kedudukan yang demi- kian tinggi sehingga dapat mendidik seorang anak seperti putranya Yahya a.s, dan ketika Allah telah mempersiapkan Zakaria a.s dan istrinya untuk menangani pendidikan dan kelahiran Yahya a.s, maka kita tidak boleh mengatakan bahwa kedudukan Maryam a.s lebih tinggi daripada kedudukan Zakaria a.s hanya karena Zakaria a.s meminta tanda kepada Allah sementara Maryam a.s beriman tanpa meminta tanda kepada-Nya.

164 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2)

p: 164

AYATULLAH JAWADI AMULT Dengan demikian, pendapat al-Qurthubî ataupun Zamakhsyarî di atas adalah tidak benar. Pendapat yang moderat mengatakan bahwa Maryam a.s memang telah menempuh seluruh tingkatan kesempurnaan kemanusiaan, sebagaimana seluruh manusia-pria dan perempuan, dapat menempuhnya. Kenabian anbânî dapat terjadi juga pada selain nabi.

Sebaliknya, kenabian tasyrîrî hanya dapat terjadi pada kalangan pria karena hal itu menyangkut tugas-tugas teknis kaum laki-laki para kekasih Allah.

Tingkat ketenangan dan yakin adalah hasil dari proses penyucian jiwa yang dilakukan manusia. Itu adalah sebuah jalan yang terbuka untuk seluruh manusia baik pria maupun perempuan. Dengan menyucikan jiwa, manusia akan merasa akrab dan dekat dengan segala sesuatu yang metafisika sehingga dia masuk ke dalam golongan orang-orang yang berada pada tingkatan penyaksian batin (syuhûd). Dia dapat berbicara dengan para malaikat, memperoleh kabar gembira dari mereka, dan sebagainya.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (2) 165

p: 165

p: 166

Perempuan-Perempuan Teladan dalam Alquran -3

Kabar Gembira Malaikat kepada Ibrahim a.s dan Istrinya

Nabi Ibrahim a.s beserta istrinya juga telah berbicara dengan malaikat dan memperoleh kabar gembira dari mereka. Bukan tidak mungkin, perempuan dapat sampai ke tingkatan dia dapat berbicara dengan malaikat.

Allah Swt telah memberi kabar gembira kepada Nabi Ibrahim a.s semenjak masa mudanya hingga masa tuanya. Pada masa tuanya, Nabi Ibrahim a.s diberi kabar gembira oleh Allah dengan kelahiran putra laki- lakinya, Ishaq a.s. Kabar gembira tersebut juga disampaikan kepada istri Ibrahim a.s dengan perantara malaikat. Artinya, ayah Nabi Ishaq a.s telah memperoleh kabar gembira dari malaikat. Begitu pula dengan ibu Nabi Ishaq a.s, dia telah memperoleh kabar gembira yang sama dari malaikat. Allah Swt berfirman, “Dan kabarkan (kepada) mereka tentang tamu-tamu Ibrâhîm. Ketika mereka masuk ke tempatnya maka mereka mengucapkan, 'Salam.' Dia (Ibrahim) berkata, 'Sesungguhnya kami (aku bersama istriku) merasa takut kepada kamu.' Mereka berkata, “Janganlah engkau merasa takut, sesungguhnya kami (datang menyampaikan kabar gembirakepadamu dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim. Dia (Ibrahim a.s) berkata, “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku pada- hal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) apa (berita gembira) yang kamu gembirakan aku?' Mereka menjawab, 167

p: 167

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Kami menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa. Dia (Ibrahim a.s) berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang sesat.'" (QS Al-Hijr:51-56).

Ucapan Ibrahim a.s kepada malaikat (ayat 54) itu bukan karena beliau a.s tidak percaya, tetapi karena ketakjubannya. Selanjutnya, makna keputusasaan yang dapat mengantar kepada kekufuran adalah jika manusia berpikir bahwa dirinya telah sampai ke suatu tingkatan Allah Swt tidak dapat menyelesaikan masalahnya.

Siapa pun tidak boleh berputus asa karena Allah Swt telah menjanjikan bahwa Dia akan mengampuni segala dosa dan orang yang berdosa. Manusia juga sepatutnya tidak menjadi orang yang tertipu oleh dirinya. Dia harus selalu berada di antara rasa cemas dan berharap.

Demikianlah yang dapat dikemukakan di sini berkenaan dengan kabar gembira yang disampaikan kepada Ibrahim as dan istrinya. Ayat lain mengisahkan peristiwa ini dalam firman Allah Swt, “Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishầq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya'qub. Dia (istri Ibrahim a.s) berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku dalam keadaan tua pula? Sungguh ini benar-benar sangat aneh. Mereka berkata, “Apakah engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? (itu adalah) Rahmat Allah dan keberkatan-keberkatan- Nya, dicurahkan atas kamu, hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.'" (QS Hûd:71-73).

Keagungan Perempuan dalam Pandangan Wahyu

Terlihat dengan jelas bahwa keagungan perempuan ada dalam kamus wahyu sebelum diturunkannya Alquran. Itu tidak hanya dalam Alquran, tetapi juga ada dalam Injil, Taurat dan shuhuf Nabi Ibrahim a.s. Berbicara dengan para malaikat, memperoleh kabar gembira dari mereka, mendengarkan pembicaraan mereka dan lain-lain merupakan bukti * 168 Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (3)

p: 168

AYATULLAH JAWADI AMULT bahwa perempuan ikut berperan serta bersama pria dalam berbagai aktivitas kehidupan.

Jika ayah seorang nabi dapat berbicara dengan para malaikat, maka ibu nabi juga dapat berbicara dengan mereka. Oleh karena itu, kita melihat ketika Allah Swt menyebutkan perempuan dalam Alquran, seperti ibunda Maryam a.s (istri Imran) atau Maryam a.s, maka dia merupakan bagian dari keluarga Imran dan Allah mengelompokkan mereka ke dalam golongan orang-orang pilihan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nûh, keluarga Ibrâhîm dan keluarga ‘Imrân melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (Sebagai) satu keturunan yang sebahagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Ingatlah), ketika istri ‘Imrân berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang salih dan berkhidmat (di baitul Maqdis).'" (QS Ali `Imrân:33-35).

Yang dimaksud dengan Imran pada ayat di atas adalah Imran ayah Maryam a.s, bukan Imran ayah Musa a.s, karena Imran ayah Musa a.s tidak disebutkan dalam Alquran. Pada ayat di atas, Allah memperkenalkan Maryam as serta ibunya (istri Imran) sebagai manusia-manusia pilihan yang melebihi umat manusia lainnya. Dalam Nahj al-Balâghah, Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan kepada Nabi Saw tentang istrinya, Fathimah al- Zahra a.s, "Wahai Rasulullah, jarang sekali orang yang menjadi orang pilihanmu."22 Imam Ali bin Abi Thalib a.s menyebut Fathimah a.s sebagai manusia pilihan Allah Swt. Begitu pula dengan Maryam a.s dan ibunya. Ibunda Maryam as masuk ke dalam keluargalmran. Dengan kata lain, Imran yang merupakan ayah Maryam a.s adalah kepala keluarga, dan semua orang yang berada dalam naungan keluarga Imran, termasuk istri dan putrinya-dinamakan keluarga Imran. Kedua perempuan tersebut pun adalah makhluk pilihan Allah Swt.

22 Nahj al-Balâghah, Tahqiq Shubhî Shâlih, khutbah ke-202.

Perempuan-perempuan Teladan dalam Al-Quran (3) < 169

p: 169

p: 170

Perempuan dalam Irfân

Arti Khalifah Tuhan

Nabi Saw vang suci. Sebagaimana kedudukan tersebut tidak UIKIUSUskall Pembahasan yang lalu mengetengahkan pembahasan singkat tentang khalifah Tuhan. Dengan ulasan tersebut, kiranya menjadi jelas bahwa khilafah berkaitan dengan tingkat kemanusiaan dan tidak berkaitan dengan pribadi seseorang atau golongan tertentu. Artinya, Adam a.s menjadi khalifah Allah bukan karena faktor pribadinya, tetapi karena sisi kemanusiaannya. Oleh karena itu, yang memenuhi syarat untuk dapat menjadi khalifah Allah adalah para nabi, para kekasih Allah dan Ahlul Bait ana kedudukan tersebut tidak dikhususkan untuk seseorang, maka ia juga tidak terbatas untuk jenis tertentu karena kemanusiaan tidak berkaitan dengan masalah perempuan atau pria.

Pada pendahuluan pembahasan ini, perlu dijelaskan lebih detail tentang arti khalifah Tuhan.

Khalifah menurut bahasa adalah “seseorang yang tampil dari belakang (untuk mengisi kekosongan tempat orang yang berada di depan) dan disertai ketidakhadiran orang yang berada di depan (yang digantikannya)'. Artinya, seseorang yang menghilang dari suatu tempat atau masa tertentu digantikan oleh orang lain yang mengisi kekosongan tempat atau masa tersebut.

Orang yang menjadi pengisi kekosongan (tempat atau masa) orang lain itu menjalankan pekerjaan orang yang digantikannya dalam tempo waktu yang tidak lama. Hal ini merupakan sesuatu yang boleh terjadi 171

p: 171

Keindahan dan Keagungan Perempuan dalam konteks kehidupan makhluk-makhluk terbatas: dia ada di suatu tempat, tetapi tidak ada di tempat lain, atau ada pada zaman tertentu, tetapi tidak ada pada zaman yang lain, atau ada pada suatu tingkat tertentu, tetapi tidak ada pada tingkat-tingkat yang lain. Itu karena makhluk sifatnya seperti itu tidak akan terlepas dari dua alam: alam gaib dan alam nyata, kehadiran dan ketidakhadiran. Dalam kondisi inilah diperlukan adanya penggantian.

Adapun jika sesuatu yang wujud itu berada di setiap tempat dan hadir pada setiap zaman, dia akan bersama banyak orang dalam setiap tingkatan keberadaan dan seluruh keadaan. Allah Swt berfirman, "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada" (QS Al-Hadîd:4).

Wujud Allah tidak pernah mengalami ketidakhadiran. Oleh karena itu, Dia selalu ada kapan dan di mana saja. Dan, karena Dia selalu ada (yakni tidak pernah tidak hadir), maka Dia tidak membutuhkan adanya 'pengisi kekosongan' atau pengganti (khalifah). Oleh karena itu, perlu ada pengertian yang lebih tepat sehubungan dengan makna khalîfah bagi Dzat Yang Mahawujud tersebut.

Seseorang dapat saja menjadi khalifah-Nya, jika dia merupakan salah satu tanda kebesaran-Nya, karena Dia adalah Dzat Yang Mahawujud, terlepas dari sifat kehadiran dan ketidakhadiran atau ada dan tidak ada.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu (QS Al-Hajj:17).

Dengan kata lain, Dia tidak memiliki khalifah yang memiliki sifat kehadiran dan ketidakhadiran atau ada dan tidak ada. Dia wajib ada dalam seluruh keadaan dan bersama seluruh manusia, dan tidak ada yang dapat sampai ke kedudukan tersebut, kecuali manusia yang sempurna.

Tanda Kebesaran Allah

Manusia sempurna adalah tanda kebesaran Allah Swt. Dia adalah manifestasi dari sifat-Nya, Yang Zhâhir, pada sekian banyak fenomena alam di dunia ini serta manifestasi dari sifat-Nya Yang Bathin di alam ruh.

Keberadaannya hadir bersama ruh dan jasad.

< 172 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 172

AYATULLAH JAWADI AMULI Berkenaan dengan hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib a.s, dalam salah satu doanya, berkata, “Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan Engkaulah khalifah dalam keluarga. Tidak ada yang dapat mempersatukan keduanya selain Engkau karena yang menemani tidak akan dapat dijadikan khalifah, dan yang dijadikan khalifah tidak akan dapat menemani."(1)

Demikianlah, jika keberadaan seseorang sampai ke tingkatan kedekatan dengan Allah yang sempurna, maka dia akan menjadi tanda kebesaran-Nya. Sehubungan dengan hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah berkata, “Tidak ada tanda kebesaran Allah yang melebihi diriku."(2)

Selain itu, karena penciptaan Ahlul Bait suci Rasulullah Saw ber- sumber dari satu cahaya yang sama, ucapan mereka sama, “Tidak ada tanda kebesaran Allah yang melebihi kami,"; maka mereka adalah manusia-manusia suci yang memiliki kedekatan dengan Allah Swt melebihi makhluk-makhluk-Nya yang lain.

Karenanya, manifestasi sifat-sifat Tuhan dalam diri mereka lebih banyak daripada yang terdapat pada selain mereka, dan karenanya pula, mereka dapat menjadi khalifah-Nya di tempat dan masa ketidakhadiran kita, serta pada zaman kehadiran dan kemunculan kita. Ketika kita ada, mereka senantiasa hadir bersama kita dan menemani kita. Ketika kita tidak ada, mereka pulalah yang menjadi khalifah kita karena mereka adalah khalifah Allah, Dzat Yang Batin. Jika seseorang sampai ke tingkatan seperti ini, maka yang dia lakukan hanyalah hal-hal yang baik, penglihatannya serba meliputi dan usahanya tak terbatas. Maujud semacam inilah yang dapat menjadi khalifah Allah Swt.

Jika makna khalifah dimaksud sudah jelas, maka jelas pulalah bahwa gender tidaklah berperan dalam menjadikan seseorang sebagai khalifah Allah.

Sesuatu yang gaib, seraya menjaga kehadiran dan kegaibannya, yakni yang menjadi manifestasi kedua sifat Ilahi di atas, azh-Zhâhir dan al- Bâthin, adalah ruh manusia, bukan fisiknya. Keberadaan fisik di suatu tempat menunjukkan ketidakhadirannya di tempat lain. Begitu pula kebe- radaannya pada suatu zaman berarti ketiadaannya pada zaman yang lain.

p: 173


1- 23 Nahj al-Balaghah, Tahqiq Shubhî Shâlih, khutbah ke-86.
2- 24 Bihâr al-Anwâr, juz 36, hlm. 1.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Allah Swt menyatakan bahwa manusia adalah emanasi (limpahan wujud)-Nya, dan segala yang dilakukan tangan mereka pada hakikatnya dilakukan oleh Allah. Betapapun, mereka adalah khalifah Allah yang mengurusi risalah-Nya. Bedanya, Allah tidak terlihat, tetapi gambaran- gambaran-Nya dapat terlihat.

Orang Miskin, Utusan Allah

Diriwayatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah berkata, “Sesungguhnya orang miskin adalah utusan Allah."(1) Ungkapan tersebut diutarakan untuk menginformasikan kepada kita tentang sebuah prinsip umum bahwa apabila datang kepada kita seorang miskin papa yang tidak memiliki kecukupan secara materi, maka dia adalah utusan Allah kepada kita. Seorang manusia biasa yang tidak memiliki pandangan tauhid yang jelas dan lalai terhadap keharusan mengaktualisasi nilai-nilai tauhid dalam kehidupannya, orang ini akan menyangka bahwa pengemis datang meminta sesuatu untuk memenuhi kebutuhan materi nya. Dia tidak menyadari bahwa pengemis tersebut datang dari sebuah tempat yang sangat jauh, dan dia membawa risalah Allah. Dia Yang Maha Kuasa memerintahkannya untuk meminta sesuatu darinya karena dia tergolong orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memberi. Sang pengemis datang agar dia memberinya sedikit dari haknya.

“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian" (QS Al- Dzâriyât:19).

Orang miskin, baik yang meminta maupun yang tidak mau meminta, baginya ada bagian tertentu yang harus diserahkan kepadanya. Haknya ada di dalam harta orang-orang mampu. Jika mereka tidak memberikan hak tersebut kepadanya, berarti mereka hidup dengan status sebagai perampas hak orang lain, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah di atas.

p: 174


1- 25 Nahj al-Balâghah, hikmah 296.

AYATULLAH JAWADI AMULI Ayat-ayat yang berbicara tentang masalah ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, firman Allah Swt di atas dan kedua, firman-Nya, “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu" (QS Al-Ma'ārij:24).

Atas dasar itulah, Imam Ali bin Abi Thalib a.s menganggap seorang peminta sebagai utusan Allah. Seorang Mukmin harus memperlakukan para peminta berdasarkan pandangan tauhidnya sambil berusaha agar sesuatu yang diberikan kepada peminta adalah yang paling suci dari hartanya. Hendaknya pula, dia memberikan harta tersebut dengan ikhlas dan penuh kesopanan dan penghormatan, bukan dengan menyakiti yang diberi atau menyebut-nyebut pemberiannya. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik" (QS Al-Baqarah:267).

“Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS Al-Baqarah:264).

Hendaklah dia bersyukur kepada Allah karena dia dapat menunaikan hak Tuhan dan didatangi oleh utusan-Nya. Oleh karena itu, para imam Ahlul Bait suci diperintahkan untuk menolong fakir miskin dan mereka pun melakukannya. Sehingga diriwayatkan bahwa setiapkali mereka memberikan sesuatu kepada fakir miskin, mereka meletakkan tangan di atas kepala peminta, bahkan kadang mengusap mata dengan tangannya dan kadang juga menciumnya sambil berkata, “Sesungguhnya tangan mereka ini telah menempel dengan tangan Rasulullah Saw."(1)

Bukan saja para malaikat yang mengelola urusan Tuhan (ayat 5 surah Al-Nâzi'ât), tetapi manusia juga mengurusi khilafah Ilahi di setiap tempat. Manusia yang memiliki kesempurnaan maksimum akan memiliki kekhalifahan yang paling sempurna, dan yang kesempurnaannya hanya pada taraf menengah akan mendapatkan kekhalifahan yang menengah

p: 175


1- 26 Wasâ'il al-Syi'ah, juz 6. hlm. 303.

Keindahan dan Keagungan Perempuan juga. Demikian pula, manusia yang kesempurnaannya minim mendapat kekhalifahan yang rendah.

Oleh karena itu, selama manusia berjalan di atas rel kemuliaan dan kebenaran, dia akan menjadi khalifah Allah. Ketika dia berjalan di jalan kesesatan, maka dia akan berada di bawah kekuasaan setan. Allah Swt berfirman, "Yang telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barang siapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka" (QS Al-Hajj:4).

Setan yang telah dikuasai kesesatan adalah pemimpin orang-orang fasik. Allah Swt menyebut mereka dalam firman-Nya, "Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat perlindunganmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali" (QS Al-Hadîd:15).

“Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain Allah" (QS Al-A'râf:30).

Demikianlah, tampak jelas di hadapan kita sekarang bahwa tugas kekhalifahan yang memiliki tiga bagian: kekhilafahan tertinggi, menengah, dan rendah, tidak berkaitan dengan gender.

Dapatkah Perempuan Menjadi Khalifah Tuhan?

Pertanyaan lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah jika manusia menjadi khalifah Allah dan kemanusiaan terlepas dari masalah gender, mengapa yang sampai ke tingkatan tersebut kebanyakan adalah pria, sementara hanya empat orang perempuan saja yang dapat sampai ke tingkatan itu, yakni istri Fir'aun, Maryam a.s, istri Imran, dan istri Nabi Ibrahim a.s? Jawaban atas pertanyaan ini adalah sebagai berikut:

Pertama, banyak perempuan yang telah sampai ke tingkatan tersebut, tetapi prestasi mereka tidak direkam oleh sejarah.

Kedua, penyebutan empat perempuan di atas tidak menunjukkan adanya pembatasan bagi selain mereka.

176 Perempuan dalam 'Irfân

p: 176

AYATULLAH JAWADI AMULT Ketiga, jika sebuah masyarakat cukup memiliki kematangan, niscaya seluruh anggotanya dari kedua kelompok-pria dan perempuan, akan berupaya menciptakan sebab-sebab kemajuan dan kejayaan mereka.

Sebaliknya, jika masyarakat tersebut terbelakang, maka sudah selayaknya kita tidak menisbahkan kemunduran tersebut terhadap Islam. Itu karena Islam adalah pembuka jalan kemajuan bagi keduanya.

Kesempurnaan tidak hanya dapat diraih oleh pria. Kepriaan memang merupakan salah satu syarat bagi terselenggaranya tugas-tugas teknis keduniaan. Hal ini akan dijelaskan nanti ketika kita sampai pada pembahasan khusus tentang tinjauan fikih seputar tema ini. Namun, karena kita sedang membahas tinjauan ‘irfân, yang berkaitan erat dengan pandangan Alquran seputar perempuan, maka yang akan kita bahas sekarang adalah tentang kekhalifahan dan seluruh kesempurnaan kemanusiaan.

Pria dan Perempuan di Hari Kebangkitan

Perlu ditegaskan kembali di sini bahwa Alquran sama sekali tidak membedakan antara pria dan perempuan dalam segala hal, mulai dari proses penciptaan manusia, ketika kehidupannya di dunia, serta pada akhir keberadaan alam ini, yakni ketika memasuki alam Barzakh, hari Kebangkitan, berdiri di hadapan Pengadilan Tuhan, pada saat pemberian buku catatan amal, penimbangan amal perbuatan, penyeberangan al- Shirâth, dan lain-lain. Dalam seluruh hal tersebut, pria dan perempuan tidak dibedakan, mereka adalah sama.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa para penghuni surga berkata, "Wahai seluruh makhluk, palingkanlah pandangan kalian sehingga Fathimah binti Muhammad Saw dapat lewat (melintasi al- Shirâth)." Perintah kepada para penghuni surga agar seluruh makhluk memalingkan pandangan mereka bukan dalam konteks larangan melihat perempuan yang bukan muhrim, atau halal-haram dan boleh-tidaknya.

Namun, perintah tersebut adalah perintah yang bersifat takwîni- sesuatu yang bersifat natural dan determinan, yang juga disebut dengan Perempuan dalam 'Irfân< 177 >

p: 177

Keindahan dan Keagungan Perempuan sunnatullah, (peny.). Artinya, karena demikian agung dan mulianya perempuan suci itu, maka seluruh penghuni Padang Mahsyar tidak mampu melihatnya.

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa di kepala Fathimah a.s ada sebuah selendang yang dapat dijangkau oleh tangan seluruh pen- duduk padang mahsyar. Mereka dapat memperoleh manfaat dari jahitan selendang yang agung tersebut. Ini bukanlah berarti besarnya selendang tersebut yang ditenun dengan benang katun, kapas, atau benang lainnya yang dikenakan Fathimah al-Zahra a.s sehingga dapat meliputi seluruh penghuni alam mahsyar. Namun, yang dimaksud adalah cakupan rahmat Allah Swt yang luas dan kedudukan wilâyah yang tinggi. Inilah makna firman Allah Swt, “Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu" (QS Al-A'raf:156).

Oleh karena itu, banyak perempuan yang telah sampai ke tingkatan tersebut, bahkan ada yang menjadi teladan sangat menonjol.

Ikatan antara Jasad dan Ruh

Masalah lain yang perlu dikemukakan di sini adalah yang berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa ukuran atau berat otak perempuan lebih kecil dan lebih ringan daripada otak lelaki sehingga daya pikir pria lebih kuat daripada daya pikir perempuan. Karena otak adalah alat berpikir, maka kelemahan padanya dapat mengakibatkan kelemahan daya pikir.

Penjelasan tersebut, meski pada awalnya terlihat sempurna, tetapi setelah mengkajinya secara lebih teliti, ternyata sekalipun manusia memiliki jasad dan ruh, tetapi ruh tidak terikat dengan jasad. Jasadlah yang terikat dengan ruh dan ia tidak dapat membangun ruh. Sebaliknya, ruhlah yang membangun jasad. Jika ruh menjadi kuat, maka ia akan dapat membangun alat yang kuat pula. Sebaliknya, jika ruh tersebut lemah, maka ia tidak dapat membuat alat yang kuat. Masalah tersebut dapat kami jelaskan sebagai berikut:

178 Perempuan dalam 'Irfân

p: 178

AYATULLAH JAWADI A MULT Kita selaku manusia tidak memiliki anggota tubuh yang tetap, sekalipun itu berupa sel atau molekul. Meskipun masalah tersebut tidak dibahas dalam ilmu kedokteran dan ilmu alam atau ilmu-ilmu lainnya, tetapi masalah tersebut dibahas oleh ilmu-ilmu akal secara sempurna.

Dijelaskan di sana bahwa segala yang ada dan berupa materi pasti bergerak dan berubah. Setiap beberapa tahun, seluruh molekul yang ada dalam tubuh akan berubah. Ruh yang immateri akan tetap, sementara jasad selalu bergerak dan terus berubah serta menetap di bawah naungan sesuatu yang immateri dan tetap, yakni ruh.

Ketika manusia, misalnya, telah mencapai usia 80 tahun, maka seluruh sel yang ada dalam tubuhnya berubah paling sedikit delapan kali.

Perubahan molekul-molekul dan bagian-bagian tersebut adalah tanggung jawab ruh. Jika ruhnya kuat, maka ia akan dapat membangun bagian-bagian tubuh dengan kuat pula. Sebaliknya, jika ruh tersebut lemah, maka ia akan membangun bagian-bagian tersebut dengan lemah pula. Oleh karena itu, tolok ukurnya adalah bahwa jasad bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi dia akan selalu berubah.

Menurut para pakar sastra dan ‘irfân, jasad adalah ibarat sebuah bak yang berada di tengah sungai yang mengalir: apabila di hadapan rumah seseorang ada sebuah sungai yang mengalir, kemudian pemilik rumah itu membuat sebuah bak di tengah-tengah sungai tersebut, lalu dia mengalirkan air sungai itu melalui sebuah lubang pada bak itu dan mengeluarkanya lagi melalui lubang yang lain, maka kolam tersebut pasti akan selalu penuh dengan air. Namun, pemilik rumah yang berpikir sederhana akan menganggap bahwa sebagian air yang mengalir di sungai itu adalah air yang telah ada di dalam bak tersebut selama beberapa hari atau beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun yang lalu, dan dia ber- anggapan bahwa air yang ada di bak itu setiap saat akan selalu berubah.

Seseorang, apabila secara perlahan-lahan mengamati gambar atau bayangan bulan atau bintang di atas permukaan air, akan melihat sungai yang mengalir bagaikan cermin yang memantulkan bayangan yang statis. Dia akan berpikir bahwa bayangan dirinya atau bayangan Perempuan dalam 'Irfân< 179 >

p: 179

Keindahan dan Keagungan Perempuan bulan yang dilihatnya di air yang mengalir selama satu jam itu tetap, tidak berubah. Padahal, bayangan tersebut sebenarnya berubah setiap saat. Namun, karena proses perubahan itu bertahap dan sangat lembut, maka bayangan tersebut terlihat tetap. Begitu pula, anggota tubuh kita sebenarnya berubah setiap saat.

Ringkasnya, ruh membangun jasad. Seandainya ruh seperti ruh seorang manusia sempurna atau ruh Imam Mahdi a.s yang suci, maka ia dapat menjaga jasadnya sekalipun selama jutaan tahun. Oleh karena itu, pada dasarnya, tidak pantas dipertanyakan kepada orang-orang yang berakal, “Apakah mungkin manusia hidup selama jutaan tahun?" Hingga kini, usia Imam Mahdi a.s baru sekitar 1200 tahun. Kalaupun beliau akan berumur ribuan juta tahun lagi, maka hal itu tidak mustahil karena jasad dibangun oleh ruh yang immateri. Tidak ada satu pun molekul yang bersifat statis di dalam jasad.

Ruh Manusia dan Peristiwa Khaibar

Al-Shadûq dalam bukunya al-Amàlî, demikian pula Al-Thûsî serta para ulama hadis dan hikmah meriwayatkan bahwa setelah Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengangkat pintu benteng Khaibar dan melemparkannya hingga jauh, dia berkata, “Aku mencabut pintu Khaibar dan melemparkannya ke belakangku hingga sejauh empat puluh hasta bukan karena kekuatan fisik atau gerakan karena pengaruh makanan, tetapi karena diriku telah dikuatkan dengan kekuatan malakut dan kekuatan jiwa yang diterangi oleh cahaya Tuhan yang bersinar."(1)

Cara Memperoleh Kesempurnaan

Sesungguhnya seluruh kesempurnaan tidak harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir secara teoretis. Aktivitas manusia terbagi menjadi dua macam: aktivitas berat yang diperuntukkan bagi kaum pria dan aktivitas lembut untuk kaum perempuan. Demikian pula,

p: 180


1- 27 Bihậr al-Anwâr, juz 21, hlm. 26

AYATULLAH JAWADI AMULT nama-nama Tuhan terbagi menjadi dua: nama-nama-Nya yang agung dan nama-nama-Nya yang lembut.

Manusia memperoleh kesempurnaan melalui dua jalan, sebagiannya diperoleh dengan jalan berperang melawan kezaliman, dengan gambaran kekuatan dan keagungan Allah, dan sebagian lain diperoleh melalui jalan cinta, belas kasih, perasaan dan dengan keindahan dan sifat lembut Allah Swt.

Andaikan pria lebih kuat dalam daya pikir, nalar, dan ketangguhan fisik, bukan berarti ia juga unggul dari perempuan dalam hal cinta, kelembutan hati, ketulusan, kesucian dan kepekaan. Terkadang kekuatan cinta, kasih sayang, dan kelembutan hati lebih menunjukkan prestasinya ketimbang kekuatan fisik.

Allah Swt mengelola alam juga atas dasar cinta. Banyak ayat Alquran yang memberikan pelajaran tentang cinta. Sementara kekuatan cinta adalah potensi yang lebih banyak dimiliki kaum perempuan. Hadis dan puisi-puisi 'irfan lebih banyak menyentuh perempuan, sementara ayat- ayat Alquran atau puisi yang berbicara tentang kepahlawanan, lebih banyak mempengaruhi pria. Inilah salah satu jenis pembagian tugas.

Jika perempuan dapat mencapai kesempurnaan secara optimal, maka kesempurnaannya dalam hal kelembutan hati akan mampu mengimbangi ketangguhan fisik dan akal yang dimiliki pria, begitu pula sebaliknya. Adapun manusia yang hanya memiliki kesempurnaan tingkat menengah, mereka akan memanfaatkan berbagai kekuatan dari dua jenis kekuatan tersebut.

Kekuatan akal dan fisik belum tentu lebih kuat daripada kekuatan cinta dan kelembutan hati. Namun, tentunya kekuatan fisik dan akal harus dibimbing oleh kekuatan cinta. Jika hal ini berjalan, maka kekuatan fisik akan terasa berarti. Ketika Allah Swt menganggap Ibrahim a.s sebagai bapak kita semua, maka kita semua menyebutnya seorang kekasih. Allah Swt berfirman, "Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya" (QS Al- Nisa':25).

Perempuan dalam 'Irfân< 181

p: 181

Keindahan dan Keagungan Perempuan Artinya, Nabi Ibrahim a.s memberi pelajaran kasih sayang dan persaudaraan kepada anak keturunannya. Allah menggambarkan ucapan Ibrahim a.s dengan firman-Nya, "(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim" (QS Al-Hajj:78).

Artinya, bapak kalian adalah seorang kekasih Tuhan dan kalian adalah anak-anak kekasih Tuhan. Anak-anak kekasih Tuhan mempelajari cinta, kasih sayang dan persahabatan. Nabi Ibrahim a.s berkata, "Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku" (QS Ibrâhîm:36).

Artinya, Ibrahim a.s memberikan pelajaran tentang ketulusan, persaudaraan dan persahabatan, meskipun dia memerintahkan penghancuran berhala-berhala.

"Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong- potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain.

(QS Al-Anbiya':58).

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih unggul dalam hal kelembutan hati dan pelajaran kasih sayang daripada kaum pria. Mereka lebih dapat memahami “munajat para pencinta "yang diriwayatkan dari Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s karena ruh kasih sayang, belas kasih, dan cinta pada mereka lebih dominan daripada kaum pria. Artinya, seorang perempuan yang kualitas ruhaninya berada pada tingkat menengah dapat memahami munajat “kaum arif" dan "para pencinta” lebih baik daripada pria dengan kualitas ruhani yang sama.

Demikian pula, pria sangat mungkin memahami munajat-munajat lainnya, misalnya munajat permohonan berjihad, “Ya Allah, anugerahilah daku kedudukan (seperti yang telah dimiliki) para syahid.” Khusus dalam hal ini, pria lebih berpotensi daripada perempuan. Namun, ketika keduanya sampai pada kesempurnaan, mereka akan memiliki derajat yang sama.

< 182 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 182

AYATULLAH JAWADI AMULT Jika beberapa anggota tubuh dan sel-sel otak dalam bagian tertentu lemah, maka dia kuat dalam bagian-bagian lainnya. Artinya, boleh jadi potensi akal, juga potensi hati, dapat berbeda. Andaikan potensi hati lebih lemah daripada potensi akal, itu tidak berarti potensi hati kurang efektif dalam mendekatkan hamba kepada Allah Swt. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa kesuksesan perempuan dalam mengembangkan potensi hati lebih kecil daripada pria. Perempuan terkadang memperoleh kesuksesan lebih baik dan lebih banyak daripada pria.

Alhasil, sebagaimana potensi akal harus tetap terjaga sehingga tidak terbuang begitu saja akibat berbagai macam khayalan dan angan- angan, potensi hati juga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dan pada tempatnya sehingga tidak digunakan untuk hal-hal yang mubazir, misalnya mengumbar cinta semu dan palsu. Itu karena sebenarnya di saat seperti itu, cinta palsu dapat diarahkan sehingga berubah menjadi cinta yang tulus dan benar sesuai ridha Allah Swt. Demikianlah, hati dapat difungsikan secara efektif, asalkan manusia mampu terbebas dari luapan-luapan emosi yang tidak pada tempatnya.

Umat Sang Kekasih

Allah Swt menjadikan kita sebagai umat seorang “kekasih" karena Rasulullah Saw dikenal sebagai kekasih Allah Swt. Demikian pula, Rasulullah Saw adalah guru masyarakat manusia, “Dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah" (QS Al- Baqarah:29).

Allah Swt menganugerahi Rasulullah Saw kedudukan mulia sebagai guru, dan itu merupakan gelar beliau yang masih bersifat umum. Namun, status yang diberikan-Nya kepada beliau menentukan seperti apa metode pengajaran dan materi pelajaran yang diberikannya. Seorang pengajar materi olahraga adalah guru, demikian pula pengajar disiplin ilmu teknik, kedokteran, fikih, filsafat dan 'irfân, dikenal dengan sebutan guru. Gelar tersebut adalah gelar yang masih umum, belum disebutkan secara Perempuan dalam 'Irfân< 183

p: 183

Keindahan dan Keagungan Perempuan khusus materi pelajaran yang diajarkannya. Seluruh nabi memiliki gelar tersebut. Gelar khusus yang dimiliki oleh Rasulullah Saw adalah “kekasih Allah". Ketika dikatakan bahwa kekasih Allah mengajar, maka itu berarti dia memberikan pelajaran tentang cinta.

Cinta yang Hak dan Cinta yang Batil

Bacaan dibagi menjadi dua, yaitu bacaan yang benar dan yang sa- lah. Begitu pula dengan cinta, ada cinta yang hak dan cinta yang batil.

Ketika kekasih Allah mengajarkan al-Kitâb dan al-Hikmah, itu berarti dia akan memberikan pelajaran tentang cinta. Tugasnya adalah memisahkan antara cinta yang batil dengan cinta yang hak. Ketika itu pula, orang yang wadah kalbunya dapat menerima pelajaran cinta lebih banyak akan masuk ke dalam kelas khusus dan dapat mengamalkan pelajarannya lebih baik daripada yang lain. Cinta istri, anak dan harta akan dianggapnya sebagai sarana, bukan jalan menuju kesempurnaan. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman, “Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia, dan meninggalkan (kehidupan) akhirat" (QS Al- Qiyâmah:19-21).

"Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan" (QS Al-Fajr:20).

Allah Swt memerintahkan kepada kita bahwa kita tidak boleh memasukkan kecintaan pada hal-hal duniawi ke dalam hati kita karena itu semua hanya merupakan sarana untuk beramal. Manusia harus paham bahwa harta adalah sesuatu yang baik, tetapi bagi fisik. Jika ini semua diamalkan oleh manusia, maka dia akan menjadi pemilik hati yang sesungguhnya. Pada saat itu, dia akan berjalan menuju aneka macam cinta yang benar.

184 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 184

AYATULLAH JAWADI A MULT Jarang sekali kita melihat doa yang tidak mengandung di dalamnya pelajaran tentang cinta. Cinta sangatlah banyak rupanya. Ia elok, lembut dan halus sehingga kita tidak dapat mengungkapkannya di setiap tempat, apalagi membisikkannya ke telinga semua orang. Di samping itu, memilah antara cinta yang benar dengan cinta yang bohong adalah pekerjaan sulit yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berakal.

Dalam doa Kumâ'il, misalnya, setelah kita diarahkan untuk kembali membersihkan "kotoran-kotoran" masa lalu dan masa mendatang dengan mengungkapkan penyesalan mendalam serta tekad untuk senantiasa berada di jalan yang diridhai Allah, selain tekad membersihkan diri dengan memohon ampun atas segala dosa, barulah kita memohon kepada Allah dengan berkata, “Dan penuhi hatiku supaya selalu mencintai-Mu." Ini adalah ungkapan terindah dalam doa Kumâ'il. Dalam doa Abî Hamzah al-Tsumalî, kita juga menemukan ungkapan yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, penuhi hatiku dengan rasa cinta, takut dan rindu kepada- Mu." Demikian pula dalam “munajat para pencinta", Imam al-Sajjad a.s berkata, “Apakah orang yang telah mencicipi manisnya cinta-Mu akan menginginkan selain-Mu? Apakah orang yang telah bersanding di samping-Mu akan mencari penukar selain-Mu?" Inilah pelajaran cinta yang diajarkan kekasih kita, Rasulullah Saw.

Beliau adalah guru al-Kitâb dan al-Hikmah. Namun, kepada siapa beliau memberikan pelajaran cinta? Pelajaran cinta ini tak akan bermanfaat bagi orang-orang yang hatinya keras dan yang selalu menunjukkan sikap keras. Jika seseorang dapat menjadikan hatinya semakin lembut, maka pelajaran cinta akan lebih berpengaruh baginya sehingga tidak dapat dikatakan bahwa karena otak perempuan lebih kecil ukurannya, dia lebih terbelakang daripada pria dalam sair dan sulûk menuju Tuhan dan kesempurnaan manusiawi.

Potensi hati, kalaupun tidak lebih kuat dari potensi akal, setidaknya setingkat dalam hal mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Orang yang tidak mudah menangis, peluangnya sedikit dalam memperoleh pelajaran cinta. Sebaliknya, orang yang mudah menangis tentu Perempuan dalam 'Irfân< 185

p: 185

Keindahan dan Keagungan Perempuan hatinya lebih lembut. Jika dia dapat memisahkan antara emosi “hewani" dari cinta manusiawi, dan masuk ke dalam wilayah cinta, serta mampu mengusir kelemahan pada jiwanya dengan menjadikan kasih sayang sebagai ciri utamanya, maka pada saat itu terbuka kesempatan baginya untuk memasuki pelajaran tentang cinta. Ketika itu, yang bersangkutan akan menjadi manifestasi nama-nama Allah yang menjelma dalam kalbunya. Dia akan memiliki kalbu yang di dalamnya terkumpul manifestasi sifat-sifat Tuhan secara berimbang, bukan hanya sifat-sifat Kemahalembutan-Nya saja atau sifat Kemahaperkasaan-Nya saja yang dominan.

Keadilan Terendah, Menengah dan Tertinggi

Terdapat beberapa tingkat kesempurnaan ruhani yang dapat diperoleh seorang hamba Mukmin. Ilmu fikih mengetengahkan jenis kesempurnaan ruhani yang dikenal dengan istilah keadilan terendah (al- ‘adalah al-shughrâ). Ditinjau dari ilmu filsafat, terdapat keadilan menengah (al-'adâlah al-wusthâ), sementara keadilan tertinggi (al-'adâlah al-kubra) menjadi pokok bahasan ‘irfân.

Manusia yang telah sampai ke tingkat keadilan tertinggi akan dapat menjaga keseimbangan antara tiga kekuatan jiwanya, yaitu daya nalar (quwwah al-idrâk), daya tarik (quwwah al-jadzb) dan daya tolak (quwwah al-daf“). Setelah itu, dia akan sampai ke suatu kedudukan yang menjadi manifestasi (tajallſ) sempurna nama-nama Allah yang agung. Pada tingkatan inilah dia dianggap telah berada pada pusat inti keadilan.

Manusia yang telah sampai ke tingkat keadilan terendah adalah yang melakukan seluruh perintah wajib dan menjauhi larangan yang haram.

Dia telah dianggap sebagai orang "adil" sekalipun yang bersangkutan memiliki sifat penakut, tidak pemurah dan bukan pemberani. Artinya, menunaikan kewajiban dan menjauhi yang haram adalah tolok ukur “keadilan" seseorang. Namun, ditinjau dari keadilan menengah, dia tidak dianggap seorang yang “adil" karena dia tidak dapat menjaga keseimbangan antara beberapa kekuatan yang terdapat dalam jiwanya.

Jika dia dapat menjaga keseimbangan tersebut, dia akan menjadi orang < 186 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 186

AYATULLAH JAWADI AMULT yang “adil”, tetapi masih dalam tingkat keadilan menengah. Pada tingkat keadilan jenis ini, nama-nama Tuhan dalam dirinya tidak menjelma secara merata, sehingga dia belum dianggap "adil” ditinjau dari sisi ‘irfân, yakni tidak mencapai keadilan tertinggi. Itu karena menurut kacamata 'irfân, seorang yang “adil” adalah yang menjadi manifestasi seluruh nama-nama Allah Swt, yang masing-masing nama-Nya, secara tepat dan benar, mewujud di tempatnya. Manusia sempurna akan menjelma seperti Imam ali bin Abi Thalib a.s, dan pada perempuan akan menjelma seperti Fathimah al-Zahra a.s.

Dari sini, menjadi jelaslah makna “kekhalifahan" dan "keadilan" manusia-manusia suci itu sebagaimana jelas pula hakikat kasih sayang, rahmat dan cinta pada mereka. Pada akhirnya, setiap pria harus menyosialisasikan pelajaran cinta lebih banyak daripada pelajaran- pelajaran lainnya karena Allah berfirman, “Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencinti Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.'" (QS Âli 'Imrân:31).

Artinya, Nabi sang kekasih itu adalah sebuah mata rantai yang mengikat pencinta dengan yang dicinta. Jika kaum Mukmin benar-benar mengikuti Rasul Saw, kekasih Allah, dan memberi pelajaran tentang cinta, maka mereka akan berpindah dari maqam pencinta Allah ke maqam kekasih yang dicintai Allah.

Oleh karena itu, jika perempuan tidak memiliki peranan dalam tugas-tugas keduniaan yang bersifat praktis, paling tidak, dia dapat melakukan pekerjaan yang dapat mengimbangi pekerjaan pria dari sisi kualitas. Itu karena sebagaimana diketahui, di samping masyarakat membutuhkan kekuatan, mereka juga membutuhkan cinta. Masyarakat tidak akan maju dengan kekerasan dan kebengisan, tetapi ia akan maju dengan kelembutan dan cinta. Berkaitan dengan hal ini, Rasullulah Saw dikenal dengan sifat ini. Kesuksesan beliau juga terwujud berkat sifat tersebut. Allah Swt berfirman, Perempuan dalam 'Irfân< 187

p: 187

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya bersikap keras lagi kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu" (QS Ali `Imrân:159).

Jika dalam pelajaran cinta para perempuan tidak lebih baik daripada pria, tidak berarti perempuan memiliki potensi yang lebih sedikit daripada pria. Jika perempuan tidak lebih baik daripada pria dalam memahami doa-doa yang berisi cinta yang hakiki, pemahaman perempuan belum tentu di bawah pemahaman pria. Apabila kecintaan perempuan terhadap Allah dan makhluk-Nya tidak lebih baik daripada pria, hal itu tidak menunjukkan bahwa perempuan berada di bawah pria.

Selanjutnya, apabila kita membahas kesempurnaan nama Tuhan yang agung, maka kita akan melihat bahwa nama-nama tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu pada keperkasaan dan keagungan-Nya serta keindahan dan Kemahalembutan-Nya, atau daya tarik dan daya tolak-Nya, atau cinta dan keperkasaan-Nya, kesenangan dan kebencian-Nya serta cinta dan permusuhan-Nya. Masing-masing asma-Nya itu menwujud di alam ini. Mereka yang sampai ke tujuan akan menjadi manifestasi nama-Nya yang teragung

Ilmu adalah Alat

Ilmu secara substansial bukanlah tujuan. Kita tidak memiliki ilmu apa pun sebagai tujuan yang sempurna secara substansi, baik ilmu praktis maupun ilmu teoretis. Pada hakikatnya, ilmu adalah sarana untuk beramal, sedang amal berkaitan dengan hati — tidak dengan akal. Ber- kenaan dengan hal ini, jika pria lebih berilmu, tidak berarti perempuan sedikit ilmunya.

Para ulama membagi ilmu menjadi dua bagian: ilmu alat dan ilmu hakikat. Ilmu alat adalah ilmu yang berfungsi sebagai kaidah serta tolok ukur benar-salahnya sesuatu. Ia tidak lebih sebagai alat semata. Karena fungsinya sebagai alat untuk mengajar dan menulis saja, pada hakikatnya, ia tidak diperlukan. Misalnya, ilmu logika yang dipelajari agar manusia dapat 188 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 188

AYATULLAH JAWADI AMULT berpikir secara benar. Berpikir dengan berlandaskan logika tidak berbeda dengan berbicara berdasarkan kaidah ilmu bahasa. Pembicara atau penulis ha- rus memperhatikan pena dan lisannya, sementara pemikir harus mem- perhatikan sanubarinya. Ilmu jenis ini tak lebih dari sebuah alat.

Jika Anda mengetahui ilmu fikih, hukum, akhlak dan politik sebagai ilmu yang dibutuhkan oleh manusia, semua itu merupakan sarana untuk beramal. Ilmu fikih, pada dasarnya, tidak dicari karena substansinya. Ia adalah ilmu untuk mengetahui perkara-perkara halal dan haram. Namun ilmu tersebut dicari untuk menghindari hal-hal yang haram, menunaikan kewajiban, dan lain-lain. Manusia akan menjadi pakar ilmu fikih jika dia mengamalkan hukum-hukum Allah. Ilmu akhlak secara substansial juga bukan ilmu yang harus dicari. Manusia dapat menjadi orang yang memiliki pengetahuan tentang akhlak sampai dia dapat berakhlak berdasarkan ilmu akhlak.

Ilmu, Perantara untuk Beramal

Ilmu semacam ini, yang merupakan bagian dari cabang-cabang ilmu yang menjadikan manusia sebagai objek kajian, dan merupakan bagian dari ilmu praktis, adalah pengantar untuk beramal. Adapun ilmu teori, misalnya ilmu ketuhanan dan ilmu filsafat, yang dianggap sebagai ilmu yang dicari secara mandiri dan subtansial, bukan berarti ilmu tersebut tidak digunakan sebagai perantara untuk beramal dan bukan pula menempatkan pemahaman tentang ketuhanan sebagai satu-satunya jalan yang dicari dan dituju karena esensi ilmu tersebut. Jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu hakiki dan logika adalah ilmu alat, itu artinya filsafat bukanlah ilmu yang dipelajari untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya, tetapi ia dicari karena hakikat ilmu tersebut agar manusia dapat mengetahui bahwa dunia ada awal dan akhirnya. Ilmu ini dipelajari bukan karena ilmu yang lain, artinya ilmu ini bukanlah sebagai sarana bagi hal- hal lain dalam beramal. Intinya, aktivitas terbagi menjadi dua: aktivitas jasmani (al-'amal al-jârihah) dan aktivitas ruhani (al-'amal al-jânihah).

Perempuan dalam 'Irfân< 189

p: 189

Keindahan dan Keagungan Perempuan Aktivitas ruhani diungkapkan oleh para ahli dalam berbagai tema fikih, akhlak, dan lain-lain. Adapun aktivitas ruhani atau amal kalbu, atau akidah, amal tersebut dibahas dalam kajian-kajian teologi. Jika seseorang telah memiliki pandangan dunia tauhid, maka dia percaya bahwa di belakang alam ini ada Tuhan, ada Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan. Ilmu teori, meskipun menjamin kesempurnaan akal teoretis, tetapi kesempurnaan manusia tidak cukup dengan kesempurnaan akal teoretisnya. Ilmu bukanlah alat untuk memperoleh kesempurnaan yang bersifat teori. Namun, ilmu hakikilah yang dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesempurnaan kemanusiaan manusia. (1)

Perihal Kemanusiaan

Kemanusiaan memiliki dua sisi yang berbeda. Jika manusia ingin mencapai tingkat kesempurnaan, maka dia harus menjadi orang yang sempurna dalam sisi teori dan praktiknya. Aktivitas kalbu adalah sebuah tujuan dan aktivitas nalar adalah alat. Dengan kata lain, karena ruh merupakan sesuatu yang bersifat nonmateri, maka hal-hal yang berkaitan dengannya juga bersifat nonmateri. Boleh jadi, ada tabir (hijâb) berupa cahaya ruhani yang menutupi ruh dan menghalanginya dalam menuju kesempurnaannya, meski ada pula hijab selainnya. Tabir-tabir tersebut demikian lembut dan halus hingga ke tingkat di mana setiap orang menemukan banyak kesulitan dalam memahami hakikatnya.

Untuk menjelaskan hal tersebut, di sini akan dikemukakan ilustrasi tentang peranan akal dalam menjelaskan ayat-ayat Alquran sehingga jelaslah tabir-tabir lembut dan halus yang ada dalam jiwa.

Pada suatu ketika, seorang pria datang ke hadapan Imam Ja'far al- Shadiq a.s dan berkata, “Wahai Ja'far bin Muhammad, tolong tunjukkan kepadaku tentang Tuhanku yang layak disembah." Imam pun berkata kepadanya, “Duduklah!" Kemudian tiba-tiba terlihat seorang anak yang sedang memegang sebutir telur di tangannya. Lalu, Imam a.s berkata kepada anak itu, “Berikanlah telur itu

p: 190


1- 28 Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 79.

AYATULLAH JAWADI AMULT kepadaku." Maka segera anak itu menyerahkannya. Lalu Imam Ja'far al- Shadiq a.s berkata kepada pria di hadapannya, “Wahai orang yang sedang bimbang, (telur) ini ibarat sebuah benteng yang kokoh tetapi tersembunyi.

la memiliki sebuah kulit tebal dan di bawahnya masih ada kulit yang tipis.

Di bawahnya ada kuning dan putih telur yang cair. Keduanya sama-sama benda cair tapi tak bercampur. Mereka tetap dalam posisinya. Bagian luarnya tidak mungkin dapat mengubah bagian lainnya, begitu pula se- baliknya. Tidak dapat diketahui apakah telur ini mengandung bibit ayam betina atau jantan. Jika ia terbelah, maka ia menetaskan ayam dengan aneka ragam warna, seperti warna burung merak. Tidakkah ini semua menunjukkan keberadaan Sang Pencipta?" Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya seraya berkata, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw adalah hamba dan utusan-Nya, dan engkau adalah seorang imam dari Allah untuk hamba-Nya. Saya bertobat atas segala yang telah saya lakukan."

Akal Teoretis dan Akal Praktis

Manusia memiliki akal teoretis dan akal praktis. Akal teoretis merupakan alat berpikir, sementara akal praktis adalah semacam kete- rampilan yang diperoleh dari hasil penalaran akal teoretis. Teks keagamaan, yakni Alquran dan hadis, juga terbagi menjadi dua bagian karena Alquran dan hadis adalah pedoman hidup yang mengantarkan manusia untuk dapat sampai ke tujuannya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa teks keagamaan memenuhi dua kebutuhan manusia tersebut. Teks keagamaan yang bersifat teori, menangani konsep, pandangan serta visi manusia, sementara sisi praktisnya berfungsi mendorong manusia merealisasikan konsep yang dicetuskan oleh teks-teks teoretis.

Jelaslah bahwa akal praktis menangani segala sesuatu yang bersifat praktis dan akal teoretis menangani konsep. Di antara kedua hal tersebut, ada sebuah tabir (hijab) yang sangat lembut, sehingga menyebabkan akal teoretis tidak dapat direalisasikan oleh akal praktis secara langsung.

Perempuan dalam 'Irfân< 191

p: 191

Keindahan dan Keagungan Perempuan Mereka yang telah menembus seluruh tabir, akan dapat menyingkap tabir-tabir material maupun ruhani. Dalam Munâjât Sya'bâniyyah yaitu sebuah doa permohonan taufik kepada Allah Swt, disebutkan, “Ilahi, anugerahi daku agar dapat benar-benar inqithâ' (me- mutuskan segala sesuatu selain) kepada-Mu, terangi pandangan hati kami dengan pancaran cahaya (inqithâ' itu) sehingga pandangan kalbu ini dapat menembus hijâb-hijab cahaya dan sampai ke Sumber Keagungan kemudian ruh kami bergantungan pada Kemuliaan-Mu yang kudus ..." Ketika tabir cahaya telah tersingkap, maka pada saat itu akal teoretis dan praktis akan menyatu. Pada saat itu pula manusia memperoleh maqam tinggi di sisi Allah Swt, ilmu yang dimilikinya menjadi inti kekuatan jiwanya dan kekuatannya merupakan hakikat ilmunya. Keduanya adalah dua hal yang berbeda, tetapi memiliki hakikat yang satu. Jika seseorang telah sampai ke maqam ini – baik perempuan seperti Fathimah al-Zahra a.s maupun pria seperti Imam Ali bin Abi Thalib a.s-maka tidak akan ada dinding yang membatasi antara ilmuu' dan “amal"-nya. Namun, jika dia belum sampai ke maqam tinggi itu, maka hijab akan menghalangi an- tara keduanya. Kadar kerendahan maqam manusia berpengaruh dalam membuat hijâb-penghalang menyatunya akal teoretis dan akal praktis pada dirinya, semakin tebal. Sebaliknya, setiap kali maqam spiritualnya naik ke tingkat yang lebih tinggi, maka hijab tersebut menjadi lebih tipis hingga akhirnya menyatu.

Terkadang manusia dianggap berilmu, tetapi dia tidak mampu merealisasikannya dalam amal perbuatan. Terkadang, dia banyak beramal, tetapi tidak disertai pengetahuan yang benar. Mereka, baik dari kalangan pria maupun perempuan, memahami berbagai hal, tetapi tidak mengamalkannya. Di lain pihak, ada pula di antara mereka yang menetapkan beberapa konsep, norma, tradisi, tata cara, dan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai akal. Tarik-menarik semacam ini selalu ada di tengah kehidupan manusia.

192 Perempuan dalam 'Irfân

p: 192

AYATULLAH JAWADI AMULT

Ketidaksesuaian Hati dan Akal

Alquran menyebutkan adanya jarak dan hijab antara aktivitas hati dan akal. Beberapa contoh yang dikemukakan antara lain sebagai berikut:

Contoh pertama:

“Dan mereka mengingkari karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya" (QS Al-Naml:14).

Ayat ini turun dalam konteks menerangkan kisah Fir'aun dan para pengikutnya yang mengingkari kenabian Musa a.s, yakni setelah mereka menyaksikan kehebatan mukjizat Musa a.s, ketika kebenaran men- jadi sangat jelas di mata mereka. Mereka tidak lagi mengalami kesulitan dalam mencerna ajaran Musa a.s. Meski demikian, hati mereka belum juga dapat sepenuhnya tunduk dan menerima kebenaran tersebut. Mereka tidak dapat mewujudkan ajaran Musa a.s dalam bentuk amal. Mereka yakin bahwa kebenaran bersama Musa a.s, tetapi hati mereka belum dapat pasrah dan jiwa mereka belum tersinari oleh cahaya Tuhan Yang Mahasuci. Ilmu ada, tetapi perbuatan belum terwujud. Artinya kecenderungan dan gerak hati belum ada pada mereka. Itulah sebabnya Fir'aun berkata kepada Musa a.s, "Sesungguhnya aku sangka kamu hai Musa seorang yang kena sihir” (QS Al-Isrà':101).

Lalu Musa a.s menjawab, "Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun seorang yang akan binasa" (QS Al- Isrà':102).

Artinya, Musa a.s berkata kepada Fir'aun bahwa dia (Fir'aun) sudah memiliki ilmuu sehingga dia tidak memiliki kendala ilmiah apa pun.

Fir'aun telah mengetahui bahwa apa yang diperlihatkan Musa a.s adalah mukjizat, bukan sihir, dia mengetahui bahwa sihir jelas berbeda dengan Perempuan dalam 'Irfân< 193

p: 193

Keindahan dan Keagungan Perempuan mukjizat. Meski demikian, dia tetap enggan menerima kebenaran dan bersikeras, hingga pada akhirnya dia binasa.

Contoh kedua:

Ketika Nabi Ibrahim a.s menghancurkan berhala, Allah Swt berfirman, “Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong- potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain" (QS Al-Anbiya':58).

Ibrahim a.s berusaha menjelaskan alasan penghancuran berhala tersebut. Maka datanglah para penyembah berhala.

"Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan ini terhadap tuhan- tuhan kita sesungguhnya dia termasuk orang-orang zalim.' Mereka (sebagian anggota masyarakat lainnya) berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang menyebut-nyebut (mencela dan menghina) mereka (berhala-berhala) yang bernama Ibrahim.' Mereka berkata, “Bawalah dia di hadapan mata manusia, agar mereka menyaksikan.' Mereka berkata, 'Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?' Dia menjawab, 'Sebenarnya yang telah melakukannya adalah yang besar dari mereka (sambil menunjuk kepada patung yang tidak dihancurkannya) maka tanyakanlah kepada mereka (tuhan-tuhan kamu yang lain), jika mereka dapat berbicara.

Lalu mereka kembali (menengok) ke diri mereka sendiri (berpikir) lalu (sebagian) mereka berkata, 'Sesungguhnya (bukan Ibrahim a.s yang zalim, tetapi) kamu sekalian adalah orang-orang yang zalim." Kemudian, mereka tertunduk atas kepala mereka (lalu berkata), 194 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 194

AYATULLAH JAWADI AMULT 'Sesungguhnya engkau wahai Ibrahim telah mengetahui bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara.'" (QS Al-Anbiya':59-65).

Mereka akhirnya menundukkan kepala tapi bukan karena malu, tetapi sedang menyanggah. Mereka telah berbuat zalim terhadap prinsip.

“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (QS Luqmân:13). Mereka telah menganiaya kemanusiaan, ajaran dan risalah yang hak, serta terhadap wahyu Allah Swt. Mereka telah mengetahui bahwa kebenaran bersama Ibrahim a.s, tetapi mereka tidak menerimanya.

Meski manusia telah mengetahui, terkadang dia terkungkung dalam akidah yang sesat dan enggan menerima akidah yang benar.

Sesungguhnya amal perbuatan manusia tidak selalu mengikuti teori dan pengetahuannya. Jika tidak demikian, maka tentu Fir'aun akan menerima akidah Musa a.s, dan kaum Ibrahim pasti menolak kemusyrikan yang selama bertahun-tahun mereka anut, mereka pasti menerima ajaran tauhid yang dibawa oleh Ibrahim a.s.

Demikianlah, perbuatan menarik dan menolak, meyakini dan mengingkari, adalah salah satu bentuk aktivitas kalbu. Ia berkaitan dengan jiwa, bukan dengan akal. Karenanya, pada contoh pertama di atas, dari sisi pengetahuan, Fir'aun telah memperoleh kejelasan akan ajaran Musa a.s, sehingga konsekuensinya dia harus menerima dan mengamalkan apa yang telah diketahuinya. Akan tetapi, hati Fir'aun menolak itu semua, sehingga lidahnya mengingkarinya. Oleh karena itu, ketika Allah hendak menenggelamkannya, Fir'aun kemudian berkata bahwa dia beriman kepada Tuhan Musa a.s. Namun Allah Swt berfirman, "Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS Yûnus:91).

Ini berarti, klaim keimanan yang diucapkan Fir'aun pada saat itu tidaklah berdasar. Dia baru mau beriman pada saat menjelang kematiannya saja.

Perempuan dalam 'Irfân< 195

p: 195

Keindahan dan Keagungan Perempuan Pada contoh kedua, Ibrahim a.s seakan-akan mengatakan kepada masyarakat penyembah berhala di sekitarnya, "Putuskanlah segala bentuk keterikatan hati kalian dengan berhala-berhala tersebut." Namun, umatnya enggan melakukannya.

Terkadang, pemutusan keterikatan hati dengan kebatilan sulit dilakukan, meski kebenaran telah tampak demikian jelas bagi yang bersangkutan. Rahasianya adalah adanya penghalang antara akal yang me- rupakan pusat inti nalar dan pengetahuan manusia, dengan hati yang merupakan pusat terwujudnya tekad dan kehendak berbuat. Dengan demikian, belum tentu manusia dapat mempercayai segala yang telah diketahuinya, sebagaimana tidak setiap orang yang beriman akan menjadi orang yang berilmu.

Keserasian antara Akal dan Hati

Hal lain yang perlu diterangkan di sini adalah bahwa kesem- purnaan manusia terletak pada kemampuannya merealisasikan apa yang dipahaminya dalam bentuk aktivitas nyata sehingga dia dapat terbang dengan sayap hati dan akal. Selamanya, dia tidak dapat terbang dengan sayap akal saja.

Artinya, akal adalah satu sayap sehingga dia juga tidak mungkin terbang dengan sayap hati saja karena amal perbuatan adalah sayap yang lain.

Orang yang termasuk para penempuh sair dan sulûk juga ter- golong ahli pikir dan zikir. Orang yang beriman berdasarkan taklid buta semata yang berdiri di atas kebodohan tidak sampai ke tujuan, meski dalam beberapa hal, dia tergolong orang-orang yang berilmu. Demikian pula orang yang menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu, yang untuknya dia berkelana, akan sampai ke “negeri-negeri dekat" saja, dan tidak mungkin sampai ke “negeri-negeri jauh". Yang dapat sampai ke tujuan adalah mereka yang telah menggunakan ilmu dan amalnya secara berbarengan.

Jelaslah bahwa ilmu ketuhanan dan filsafat bukanlah tujuan, tetapi keduanya adalah sarana yang dapat membuat manusia memiliki pandangan dunia tauhid secara benar.

< 196 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 196

AYATULLAH JAWADI AMULT

Iman, Pengikat Akal dan Hati

Setelah jelas bahwa manusia memiliki dua jenis akal, yaitu akal teoretis dan praktis, dan bahwa ayat-ayat Alquran menguatkan kebenaran pembagian tersebut, maka harus dilihat apakah perempuan dan pria sama dalam hal ini? Kiranya, telah jelas bahwa yang sangat berperan adalah hati. Artinya, setiap ilmu adalah lahan agar hati menjadi mau menerima kebenaran.

Dalam pembahasan filsafat dijelaskan bahwa manusia memiliki dua ikatan, yaitu antara dirinya selaku subjek dan sifat-sifat yang disandangnya sebagai predikat. Keterikatan tersebut dibahas oleh akal teoretis yang mengafirmasi adanya hubungan antara subjek dan predikat yang disandangnya. Jika predikat tidak memiliki hubungan dengan subjek, maka ketika itu proposisi menjadi negatif, yakni tidak ada ikatan.

Jika subjek merupakan esensi dan kelaziman bagi predikat, maka itulah bangunan ikatan antara subjek dan predikat.

Kerja akal teoretis adalah mengikat antara dua hal tersebut, yaitu antara subjek dan predikat. Jika kita menganut paham kebenaran kesatuan subjek pengetahuan dan objek pengetahuan (ittihâd al-'âqil wa al-ma'qûl), maka berarti nalar menyatu dengan ilmu. Jika demikian, maka pada saat itu, manusia dianggap telah menempuh setengah perjalanannya, dan dia harus menciptakan ikatan berikutnya, yakni antara jiwa dan konklusi premis, yakni kebenaran pengetahuannya, bukan antara elemen subjek dan pre- dikat. Ikatan antara subjek dan predikat dinamakan tahqiq (verifikasi), sementara ikatan antara kebenaran (konklusi premis) dan jiwa disebut al-tahqiq wa al-i'tiqâd. Inilah yang dinamakan iman.

Iman bukanlah akal teoretis, tetapi akal praktis. Akal praktis mengikat erat jiwa dengan konklusi premis dari akal teoretis. Manusia yang memiliki ikatan semacam ini akan mengatakan, “Saya mempercayai masalah yang cukup dalam ini." Inilah ikhtisar ilmu, dan itulah cahaya yang melekat pada jiwa. Jika seseorang telah memasuki tingkat tahqîq, tetapi dia belum sampai ke tahap mutahaqqiq (perwujudan praktis dari pengeta- huan), sebenarnya dia hidup hanya dengan melakukan pembuktian Perempuan dalam 'Irfân 197

p: 197

Keindahan dan Keagungan Perempuan kebenaran ikatan subjek dan predikat. Dia tidak akan patuh pada akal praktis yang seharusnya dipatuhi. Dia juga akan selalu berusaha melepas keterikatan antara jiwa dan keniscayaan pengetahuannya secara terus- menerus. Atas dasar itu, akal praktis akan menempuh perjalanannya, demikian pula akal teoretis.

Oleh karena itu, ketika seorang pesuluk mendengar ayat, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (QS al-Fajr: 27-28), dia akan bingung dan berkata, "Aku sudah mengatakan kepada jiwaku, “Kemarilah!' namun jiwa ini tidak juga mau datang, lalu aku keluhkan hal ini." Artinya, dia mengeluh akan usaha dan akal praktisnya yang tak mau patuh karena tidak menyambut panggilan “Kemarilah!" dan dia terus bergantungan pada alam materi.

Allah melukiskan keadaan orang yang demikian dengan firman-Nya, “Kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu” (QS Al-Taubah:38).

Dalam ayat yang lain disebutkan, “Tapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah" (QS Al-A'râf:176).

Manusia yang tak mematuhi panggilan hati, yakni akal praktisnya, mendengarkan panggilan tersebut, tetapi tak mau mengikuti. Akal teoretis mengetahui, tetapi yang mengikuti ajakan untuk pergi dan kembali kepada Tuhan adalah hati, yakni akal praktisnya. Jika hati cenderung pada dunia, maka dia akan terus berkubang di situ. Akal mendengar panggilan untuk kembali kepada Tuhan, tetapi hati tidak mau pulang. Oleh karena itu, yang selalu terjadi adalah tarik-menarik antara akal dan hati, antara zikir dan pikir. Pesuluk paripurna adalah mereka yang mempunyai kekuatan secara seimbang antara pikir dan zikir, tahqiq dan tahaqquq, 'adl dan ‘azm. Apabila mereka mampu menyelaraskan keduanya dalam arena Jihad Akbar (jihad memerangi hawa nafsu sendiri), maka mereka seperti yang disebutkan dalam firman Allah Swt, “Bagi mereka, kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (QS Al-Ra'd:29).

Perempuan dan pria yang struktur fisik dan daya pikirnya berbeda, juga memiliki perbedaan dalam hal ketertarikan, kecenderungan, dan perasaannya. Boleh jadi pula, dalam hal ini, kalangan pria mengungguli kalangan < 198 Perempuan dalam 'Irfân

p: 198

AYATULLAH JAWADI AMULT perempuan. Namun, kita tidak dapat memastikan bahwa kaum pria benar-benar melebihi kaum perempuan dalam hal kepatuhan terhadap akal praktis, nasihat, dan usaha mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Hati Menurut Alquran dan Hadis

Alquran bukan saja kitab suci yang berisi ilmu, tetapi ia juga berisi cahaya dan petunjuk. Allah Swt berfirman, "Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya yang telah kami turunkan" (QS Al-Taghâbun:8).

"Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS Al-Baqarah:2).

Jelaslah bahwa Alquran tidak hanya mengarahkan nalar semata, tetapi dia juga berbicara dengan hati, secara langsung ataupun tidak.

Sebagai contoh, jika seseorang ingin memberikan sebuah pelajaran kepada orang lain, baik secara langsung, yakni berbicara di hadapannya, maupum tidak langsung, yaitu melalui tulisan, maka yang menerima pelajaran sebenarnya adalah sisi nalar orang tersebut.

Guru yang berbicara atau penulis yang membuahkan karyanya dalam sebuah karya tulis berinteraksi dengan daya nalar pendengar atau pembaca. Setelah itu, sang murid akan membuat keputusan berdasarkan pemahamannya terhadap pelajaran yang diterimanya dan melakukan aktivitas sesuai dengan apa yang diterimanya. Karenanya, terkadang kita temukan sebuah karya tulis yang hanya berdampak bagi pembacanya secara ilmiah saja, atau pembicaraan yang memiliki pengaruh dari sisi nalar dan pemikiran saja. Lain halnya dengan Alquran.

Hampir dalam setiap ayatnya, Alquran menyentuh hati dan berkomunikasi dengannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Apabila Anda perhatikan, misalnya, seseorang yang menulis sebuah tema menarik dengan kualitas tinta yang baik, maka tentu karya tulisannya akan dengan cepat menyentuh pembaca. Atau jika salah seorang hamba Perempuan dalam 'Irfân< 199

p: 199

Keindahan dan Keagungan Perempuan saleh dan bertakwa memberikan nasihat, maka pengaruhnya akan jauh lebih terasa dalam karena dia berkomunikasi secara langsung dengan nalar dan hati pendengar.

Contoh lainnya, apabila sebuah puisi indah dibacakan oleh seseorang dengan suaranya yang merdu, dan dia benar-benar menjiwai kandungan puisi tersebut, maka tentu siapa pun yang mendengarnya akan tersentuh oleh puisi tersebut. Ketika isi, ucapan, dan pengucapannya seluruhnya bagus, maka akal dan hati pendengar akan menerimanya. Atau jika terdapat sebuah papan berwarna indah, tertulis di atasnya sebuah puisi yang indah, maka orang yang melihatnya akan cepat terpengaruh karena papannya bagus di samping isinya juga bernilai tinggi dan memuaskan akal. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman kepada Musa a.s dan Harun a.s, "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut" (QS Thâ Hâ:44).

Artinya berbicaralah dengan perkataan yang baik dan lembut, tetapi bukan berarti lemah atau berisikan angan-angan. Berbicaralah dengan singkat, padat, teliti, sempurna, serta indah. Oleh karena itu, Musa mengemukakan argumentasi yang cukup kuat dan berbicara dengan penjelasan yang indah. Dia juga menjelaskan, “Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thả Hâ:50).

Ucapan Musa a.s yang digambarkan ayat ini mencakup tiga aspek, yaitu isi, bahasa, dan pengucapnya. Itulah yang dimaksud dengan perkataan yang tepat, teliti dan sempurna. Dia juga berbicara dengan Fir'aun dalam bentuk nasihat.

Atas dasar inilah, hendaknya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan pemikiran atau pendapat, jangan dilihat dari aspek 200 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 200

AYATULLAH JAWADI AMULI pembicaranya. “Lihatlah apa yang dikatakan, dan janganlah melihat siapa yang mengatakan(1)

Adapun berkenaan dengan hati dan masalah pendidikan, kita diperintahkan untuk melihat siapa pembicaranya, dan tidak boleh mendengar pembicaraan dari sembarang orang. Allah Swt berfirman, “Maka hendaknya manusia itu memperhatikan makanannya" (QS 'Abasa:24). Kaitannya dengan ayat tersebut, Imam Ja'far al-Shadiq a.s berkata, “Begitu pula dengan ilmunya, hendaknya dia memperhatikan dari siapa memperolehnya."(2)

Permasalahan ini juga sesuai dengan yang dikemukakan al-Kulainî, bahwa suatu ketika Imam Ja'far al-Shadiq a.s ditanya tentang dengan siapa seharusnya kita bergaul dan dengan orang alim yang bagaimana? Dia tidak menjawabnya dengan berkata, “Lihatlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan." Akan tetapi, dia berkata, “Bergaullah kamu dengan orang yang dengan sekadar melihatnya, dapat mengingatkan kalian kepada Allah, pembicaraannya dapat menambah ilmu kalian dan perbuatannya membuat kalian menyukai akhirat. "(3)

Indahnya Kecenderungan Hati Perempuan

Alquran berusaha berbicara kepada manusia dengan jalan nasihat (mawʻizhah), yang berarti memiliki ikatan secara langsung dengan hati, serta dengan metode hikmah yang memiliki ikatan secara tidak langsung dengan hati. Jika nalar dan daya pikir tidak dapat tersambung dengan hati dan zikir, maka tidak ada manfaatnya. Berkenaan dengan kecenderungan hati, perempuan jauh mengungguli pria. Oleh karena itu, doa dan munajat lebih banyak berpengaruh pada perempuan daripada pria. Paling tidak, pengaruh tersebut sama antara perempuan dengan pria. Begitu pula dalam hal nasihat, ia lebih banyak berpengaruh pada perempuan daripada pria, atau setidaknya, sama dengan pria.

p: 201


1- 29 Kanz al-Ummal, hadis 42218, Mizan al-Hikmah, juz 6, hlm. 485.
2- 30 Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 50.
3- 31 Ibid., juz 1, hlm. 39.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Pembahasan di sini bukan saja tentang bentuk otak pria, tetapi juga tentang keindahan hati perempuan. Perempuan lebih mudah menangis karena sarana untuk menerimanya lebih tersedia. Itu adalah jalan yang terpenting, yaitu jalan zikir.

Dalam Alquran ada beberapa ayat yang membicarakan permasalahan ini. Sebagiannya berkaitan dengan akal teoretis, seperti firman Allah Swt, “Apakah kamu tidak berpikir?" (QS Ali `Imrân:65) “Maka apakah kamu tidak memikirkannya?" (QS Al-An'âm:50).

Dan sebagian ayat lainnya berkaitan dengan akal praktis. Allah Swt berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan dari (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidaklah kamu berpikir?" (QS Al- Baqarah:44).

Terkadang, Alquran menggabungkan akal teoretis dan akal praktis secara bersamaan, yaitu menggabungkan antara tafakkur dan taʼaqqul.

Dalam Alquran, kita tidak menemukan satu surah pun yang mengulang- ulang perintah melakukan aktivitas“ pikir". Sebaliknya, perintah melakukan “zikir" yakni mengambil pelajaran diulang-ulang pada beberapa surah, dapat kita temukan dalam surah al-Qamar. Allah Swt berfirman, "Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?" (QS Al-Qamar:17).

Pemberi peringatan pada ayat ini, yakni Allah Swt, mencari orang yang mau mengambil pelajaran. Alquran adalah kitab suci untuk kita jadikan bahan pelajaran sebagai bekal kehidupan kita. Ayat tersebut tidak mengatakan, “Apakah ada orang yang akan menjadi orang berilmu?" Namun dinyatakannya, “Apakah ada orang yang berzikir (mengambil pelajaran)?" Tidak dikatakan, “Apakah ada orang yang berpikir?" karena berpikir hanyalah mukadimah untuk berzikir.

< 202 Perempuan dalam 'Irfân

p: 202

AYATULLAH JAWADI AMULT Oleh karena itu, tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa perempuan lebih rendah daripada pria dalam hal penerimaan pelajaran Ilahi. Jika kita termasuk orang-orang yang berilmu, lalu kita berkesimpulan salah, bahwa apa yang telah kita pelajari di lembaga-lembaga pendidikan telah cukup, maka hal ini pada akhirnya akan menjerumuskan kita ke dalam sebuah jebakan setan sehingga kita selalu berpikir bagaimana dapat menjadi seorang yang berpengetahuan tinggi melebihi yang lain.

Kita harus sadari bahwa lembaga pendidikan hanyalah sarana yang dapat mengantar kita dari tahap penyerapan ilmu pengetahuan ke tahap yang lebih tinggi, yaitu mewujudkan pengetahuan tersebut dalam bentuk amal saleh.

Ketika Allah berfirman bahwa kitab-Nya adalah kitab yang berisi pelajaran (zikir), yakni diturunkan agar manusia mengambil pelajaran dan sebagai peringatan, hal itu berarti bahwa Allah Swt meminta agar ada orang yang mau mengingat dan mengambil pelajaran. Jika demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa perihal pengambilan pelajaran tidak hanya dapat dilakukan oleh kaum pria. Di samping itu, jika perempuan bukan manusia pertama yang menjawab seruan Allah di atas, maka paling tidak, keduanya menjawab dalam waktu yang sama.

Kita dapat membaca contoh tentang keluarga Imran yang dikisahkan oleh Alquran. Keluarga ini melahirkan dua orang perempuan suci dan berkedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Allah Swt menganugerahi Maryam a.s putri Imran seorang putra, yakni Isa a.s, tidak di lembaga pendidikan, tetapi ketika beliau a.s berada di dalam Mihrab. Para malaikat tidak berbicara dengan Maryam a.s di lembaga pendidikan, tetapi berbicara dengannya di dalam Mihrâb. Para malaikat berbicara dengan Zakaria a.s bukan di universitas, tetapi di dalam Mihrab.

Allah Swt berfirman, “Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang dia tengah berdiri melakukan salat di Mihrab" (QS Ali Imrân:39).

Perempuan dalam 'Irfân< 203

p: 203

Keindahan dan Keagungan Perempuan Mihrâb adalah 'sebuah kamar atau tempat khusus dan tinggi yang digunakan sebagai tempat memerangi hawa nafsu dan setan'. Hal ini dipahami demikian karena akar kata Mihrab adalah harb yakni 'perang'.

Demikian pula, salat adalah medan untuk memerangi kebodohan serta melepaskan diri dari sisi buruk ilmu dan pemahaman karena pengetahuan juga dapat menjadi penyebab lahirnya kejahatan sehingga manusia mengklaim dirinya lebih baik dan lebih berilmu daripada yang lain.

Jika zikir dapat mengendalikan pikiran, maka itulah yang dinamakan ilmu. Rasulullah Saw bersabda, “(ilmu adalah) cahaya yang dicampakkan oleh Allah ke dalam hati seseorang sesuai yang dikehendaki-Nya." Jika tidak demikian, maka akan lahir sifat angkuh dan sombong, sehingga akan ada orang yang merasa lebih tahu dan lebih utama dari yang lain, ada yang bangga dengan banyaknya karya tulis yang telah dibuatnya, bangga dengan banyaknya murid yang berkerumun di sekelilingnya, serta bangga dengan banyaknya peminat pelajaran yang disampaikannya, dan seterusnya. Semua itu sebenarnya merupakan racun yang dapat membius jiwa.

Atas dasar ini, kita tidak dapat mengatakan bahwa karena ukuran otak perempuan lebih kecil dari pria, maka pria lebih berpeluang memperoleh kebahagiaan akhirat daripada perempuan. Se- baliknya, yang merasakan rintihan lebih banyak itulah yang lebih berpeluang sampai ke tujuan abadinya lebih cepat.

Dari sini, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa manusia terbagi menjadi dua kelompok, kelompok yang kadar pengetahuannya lebih kuat dan kelompok yang kadar amal perbuatannya lebih kuat.

Selanjutnya, yang perlu digarisbawahi di sini adalah karena jalan yang dapat mengantarkan seorang hamba Mukmin kepada pengetahuan Tuhan bermacam-macam, manusia mempunyai banyak pilihan untuk menempuh jalan mana yang dia suka karena “segala sesuatu akan dimudahkan sesuai dengan apa yang diciptakan untuknya."(1)

p: 204


1- 32 Safinah al-Bihar, hlm. 732.

AYATULLAH JAWADI AMULI Allah Swt akan memudahkan jalan bagi orang yang sedang menempuhnya, “Kemudian Dia memudahkan jalan-Nya” (QS ‘Abasa:20).

Artinya, Allah Swt akan memudahkan jalan agar dapat ditempuh, ettapi tidak berarti bahwa seluruh jalan yang dilalui adalah mudah.

Namun setiap jalan yang sedang ditempuh akan menjadi mudah karena segala sesuatu akan dimudahkan sesuai dengan apa yang diciptakan untuknya. Sebagaimana kaum pria akan memilih jalan tersendiri, begitu pula dengan perempuan. Setiap perempuan akan memilih jalannya sehingga sangat mungkin jalan yang dipilih oleh seorang perempuan akan sulit untuk perempuan yang lain, atau jalan yang ditempuh perempuan sulit untuk ditempuh pria. Atau sebaliknya, jalan yang ditempuh pria justru sulit bagi perempuan.

Kalaupun bentuk dan ukuran otak pria lebih besar daripada bentuk dan ukuran otak perempuan, dan kita mengandaikan bahwa pria lebih kuat daripada perempuan dalam hal pemikiran, tetapi kita tidak dapat memastikan bahwa pria lebih kuat daripada perempuan dalam dalam hal-hal lain selain pemikiran. Itu karena jalan pemikiran bukanlah satu-satunya jalan.

Ada jalan yang lain, yaitu jalan zikir, cinta, dan nasihat. Jika dalam hal ini perempuan tidak lebih kuat daripada jalan pikiran dan berpikirnya, maka dia tidak lebih lemah daripada pria.

Alquran telah menyerasikan kedua jalan tersebut sehingga bila seseorang ingin kuat dalam hal pemikiran dan dapat memutuskan sesuatu secara tepat dan benar, maka terlebih dahulu dia harus memiliki dasar pengetahuan yang cukup.

Alquran selalu menyelaraskan antara ilmu dan amal. Orang yang berilmu saja tidak dianggap oleh Allah sebagai orang yang hidup. Orang yang hanya beramal dan tidak melandasi amalnya dengan pengetahuan, tidak dianggap oleh Alquran sebagai orang yang menikmati kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik berada di bawah naungan ilmu dan amal saleh.

Keselarasan antara dua sisi tersebut terlihat ketika Alquran memaparkan masalah-masalah keilmuan. Jika sebagian pesuluk lebih Perempuan dalam 'Irfân < 205

p: 205

Keindahan dan Keagungan Perempuan kuat dalam sisi pengetahuan, dan sebagian lainnya lebih kuat dalam sisi pengamalan, maka hasilnya adalah mereka semua dapat sampai ke tujuan yang sama.

Hati dan Akal menurut Pandangan Alquran

Untuk mengikat akal dan hati secara bersamaan, Alquran menganggap ilmu sebagai jembatan untuk beramal. Di sana dipaparkan perjalanan ilmiah para nabi dan kisah orang-orang yang bijak dan saleh. Di samping mereka belajar, mereka juga memiliki ilmu yang diiringi dengan perbuatan. Contohnya, sebelum Nabi Ibrahim a.s mengumandangkan seruan tauhid, Alquran menceritakan, “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, 'Inilah Tuhanku.' Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata, 'Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang- orang yang sesat.' Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, 'Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar,' maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.'" (QS Al-An'âm:76-79).

Para teosof, teolog dan pakar tafsir memahami kisah Nabi Ibrahim a.s di atas dari sudut pandang masing-masing. Sebagian mereka mengatakan bahwa apa yang dikemukakan Ibrahim a.s pada ayat di atas adalah dalam konteks pemaparan bukti ketidakpastian (burhan al-imkân), artinya karena bulan dan matahari adalah benda-benda yang tidak pasti keberadaannya, yakni netral antara ada dan tiada (mumkin al-wujûd), maka benda-benda tersebut membutuhkan Dzat yang entitasnya ada secara pasti dan dengan < 206 > Perempuan dalam 'Irfân

p: 206

AYATULLAH JAWADI AMULT sendirinya (wajib al-wujûd). Sebagian lain mengatakan bahwa ayat-ayat di atas menerangkan argumen gerak (burhân al-harakah) yang dicetuskan oleh Ibrahim a.s, yakni karena bintang adalah benda yang bergerak dan sesuatu yang bergerak membutuhkan penggerak, dan jika demikian tidak mungkin sesuatu yang bergerak adalah tuhan pencipta alam, maka penggeraknya pastilah Tuhan. Sementara, kelompok ketiga menyatakan bahwa ayat di atas berbicara dalam konteks pemaparan argumen kebermulaan (burhân al-hudûts), yakni benda-benda langit tersebut merupakan sesuatu yang bermula dari ketiadaan (hâdits), sehingga ia memerlukan sesuatu atau dzat yang tak bermula (azali).

Ketiga argumentasi di atas, burhan al-harakah, burhan al-hu- dûts dan burhan al-imkân seluruhnya merupakan kumpulan teori akal.

Namun, penafsiran mereka itu tidak selaras dengan konteks ayat di atas.

Dengan sangat jelas kita dapat melihat bahwa Ibrahim a.s pada ayat di atas menggunakan pendekatan indrawi dan kalbu sebagai ganti dari pemaparan bukti-bukti rasional.

Maksud perkataan Ibrahim a.s, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam" (QS Al-An'âm:76) adalah bahwa Allah adalah Dzat yang dicintai. Sesuatu yang tenggelam (sirna) tidak dicintai, dan sesuatu yang dihukumi tenggelam bukanlah Tuhan. Matahari dan bulan bukanlah Tuhan, karena keduanya tidak dapat dicintai, bukan karena keberadaannya tidak pasti ataupun netral antara ada dan tiada.

Di sini, cinta dijadikan batas tengah bagi bukti nalar. Cinta bukan aktivitas akal, tetapi aktivitas hati. Ibrahim a.s menjadi kekasih Allah karena dia mengenal Allah dengan jalan cinta, bukan dengan jalan berpikir.

Kita tidak akan menemukan pendekatan yang dilakukan Ibrahim a.s di atas dalam buku-buku filsafat dan logika. Alquran sebagai kitab petunjuk dan cahaya mengikat antara hati dan akal serta menjaga agar keduanya dapat berjalan secara serasi. Pengetahuan tentang Allah Swt, yang merupakan pengetahuan agama paling pokok, dipaparkan oleh Alquran dengan memfungsikan keduanya secara bersamaan.

Perempuan dalam 'Irfân< 207

p: 207

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Hikmah Luqmân al-Hakîm

Allah Swt berfirman tentang Luqmân al-Hakim, “Dan sesungguhnya telah kami berikan hikmah kepada Luqmân" (QS Luqmân:12).

"Allah menganugerahkan al-hikmah kepada yang Dia kehendaki.

Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar dianugerahi karunia yang banyak" (QS Al-Baqarah:269).

Dari kedua ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Luqmân al- Hakîm telah memperoleh kebajikan yang banyak dari Allah Swt. Di satu sisi, Allah Swt menganggap seluruh kenikmatan dunia adalah hanya sementara. Allah Swt berfirman, “Katakanlah kesenangan di dunia hanya sebentar” (QS Al-Nisa':77).

Namun, hikmah yang diberikan kepada Luqmân al-Hakîm dianggap oleh Allah sebagai kebajikan yang banyak, bukan kenikmatan yang banyak. Ketika Allah Swt berbicara tentang ucapan-ucapan Luqmân al- Hakim, Alquran menyatakan, "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Se- sungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqmân:13).

Sementara, ketika menafikan kemusyrikan, Allah berfirman, "Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa" (QS Al-Anbiyâ':22).

Ucapan Luqmân al-Hakîm pada surah Luqmân ayat 13 di atas adalah salah satu metode pendekatan kalbu dan akal praktis, sedangkan ayat 22 surah Al-Anbiyâ' adalah pendekatan rasional sekaligus akal teoretis.

Luqmân al-Hakîm mengatakan bahwa syirik adalah sesuatu yang buruk karena ia merupakan sebuah kezaliman dan bertentangan dengan hati dan akal praktis. la tercela bukan karena bertentangan dengan akal teoretis saja. Alquran menyebut syirik dan menyifatinya sebagai sesuatu < 208 Perempuan dalam 'Irfân

p: 208

AYATULLAH JAWADI AMULT yang tak beralasan. Artinya, syirik selamanya tidak dapat ditegaskan kebenarannya, dan selamanya tidak akan ditemukan bukti atas paham sesat tersebut.

Allah Swt berfirman, “Dan barang siapa menyembah Tuhan yang lain selain Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya" (QS Al-Mu'minûn:117).

Artinya, syirik adalah hal yang batil dan tak berdalil. Penilaian hati dan akal praktis tentang buruknya kezaliman dan baiknya keadilan akan tampak lebih jelas daripada penilaian akal teoretis. Itu karena, boleh jadi, akal teoretis mengetahuinya, tetapi itu belum cukup jika tidak disertai dengan sikap praktis, yaitu dengan cara menghindari kezaliman dan menerapkan keadilan.

Demikianlah, Alquran mengikat akal dan hati secara bersamaan sehingga setiap Mukmin dapat memperbaiki kelemahan sisi akal dengan menguatkan sisi hati. Sebaliknya, jika seseorang telah memiliki kekuatan dalam sisi akalnya, maka dia dapat memperbaiki kelemahan hatinya dengan bantuan kekuatan sisi akalnya. Setiap orang dapat berjalan sesuai dengan metode yang telah dipilihnya. Dari sini, tidak dapat dikatakan bahwa sebagian jenis manusia lebih utama daripada jenis yang lain.

Kesimpulan

Pertama, jika benar bahwa pria dapat memiliki pemahaman lebih baik daripada perempuan, maka perempuan tentu tidak akan lebih mudah menerima nasihat daripada pria hingga dapat sampai pada pengetahuan tentang Tuhan. Justru, yang terjadi adalah sebaliknya.

Kedua, ada dua metode, yaitu berpikir dan berzikir; berpikir dengan perantaraan akal dan berzikir dengan hati. Jika kecenderungan perempuan terhadap nasihat tidak lebih baik daripada pria, maka itu tidak berarti akal perempuan lebih lemah daripada akal pria. Terkadang, manusia memiliki Perempuan dalam 'Irfân < 209

p: 209

Keindahan dan Keagungan Perempuan kekuatan nalar sehingga hatinya bergerak berdasarkan petunjuk nalarnya, dan terkadang hatinya bergerak dengan sendirinya. Alquran telah menunjukkan kepada kita dua jalan tersebut. Kesimpulannya, Alquran adalah sebuah kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia, baik pria maupun perempuan, untuk seluruh generasi, seluruh zaman, tempat, dan keadaan. Oleh karena itu, pendekatan secara fitrah dan kalbu lebih banyak kita temukan daripada pendekatan nalar.

Ketiga, banyak orang yang tidak mengenyam pendidikan, tetapi mereka memiliki kesucian hati dan sanubari. Mereka juga dapat menerima nasihat dan dapat beramal saleh. Untuk melakukan aktivitas belajar, misalnya dengan sekolah atau membaca buku, diperlukan usia tertentu. Ketika usia semakin tua, manusia tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk belajar, bahkan apabila usianya telah semakin lanjut, dia tak akan lagi mampu mengingat masalah-masalah sederhana sekalipun. Di usia tuanya, manusia tak lagi mampu membaca satu halaman pun dari, misalnya, sebuah karya sastra atau kaidah bahasa. Padahal, boleh jadi, sebelumnya dia telah mem- pelajari ilmu tersebut selama bertahun-tahun, bahkan hingga dia dapat mengarang buku. Bersekolah adalah sebuah metode untuk menuntut ilmu dan belajar yang dapat ditempuh oleh setiap orang mulai usia dini sampai usia pertengahan. Namun setelah memasuki usia senja, metode ini tidak lagi dapat berfungsi dengan baik. Adapun belajar dengan menggunakan metode pendekatan hati dapat diterapkan sejak manusia lahir hingga masuk ke liang lahat. Oleh karena itu, bagian yang terpenting adalah hati, bukan akal. Ketika bayi lahir dan dikumandangkan azan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, maka itu merupakan salah satu bentuk pendekatan hati, bukan akal. Begitu pula anjuran untuk memperbanyak membaca zikir secara rutin.

Keempat, manusia dapat memahami segala sesuatu secara lebih baik dengan cara mempraktikkannya. Dalam hal ini, jika perempuan tidak lebih baik daripada pria, belum tentu kemampuan perempuan di bawah pria. Kita melihat bahwa dalam masalah mengazani bayi yang baru lahir, misalnya, tidak ada perbedaan antara bayi laki-laki dengan < 210 Perempuan dalam 'Irfân

p: 210

AYATULLAH JAWADI AMULI bayi perempuan, demikian pula dalam masalah munajat dan nasihat.

Puasa tiga hari dalam setiap bulan juga tidak disebutkan untuk pria saja.

Jalan yang terpenting adalah masing-masing beramal dan beribadah secara bersama-sama. Manusia belajar bukan untuk menjadi orang yang berilmu, tetapi agar dia dapat menjadi orang yang beramal. Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku" (QS Al-Dzâriyyât:56).

Ayat tersebut menjadi dasar bahwa ibadah diperuntukkan bagi setiap manusia, setiap usia, keadaan, dan jenis kelamin tanpa membedakan antara pria dan perempuan.

Kelembutan atau Kekuatan

Hal lain yang perlu dijelaskan berkaitan dengan masalah ini adalah kekuatan dan kelemahan jasad perempuan dan pria. Jasad adalah kendaraan, sedangkan ruh adalah yang menungganginya. Jika kendaraan- nya lebih kuat, tentu penunggangnnya akan menempuh jalan lebih cepat dan lebih baik.

Untuk membahas masalah ini, kita harus mengetahui bahwa maksud kekuatan di sini bukanlah kekuatan seperti yang dibayangkan sebagian orang. Kita banyak menemukan orang yang kuat secara fisik tapi gagal menyelesaikan persoalan pelik dalam masyarakat. Memang, itu bukan keahlian mereka. Mengapa demikian? Karena mereka adalah orang-orang yang lemah dari sisi akal. Oleh karena itu, tidak setiap orang yang memiliki tubuh kuat dapat berpikir lebih baik. Masalahnya adalah kelembutan, bukan kekuatan sehingga jika tubuh perempuan dan pria sehat, maka keduanya dapat memahami berbagai masalah dengan baik.

Adapun masalah kekuatan adalah masalah lain.

Tolok ukur untuk sampai pada kesempurnaan adalah kelembutan, bukan kekuatan fisik. Beberapa pekerjaan yang berat lebih banyak diserahkan kepada orang-orang yang memiliki kualifikasi menyelesaikan Perempuan dalam 'Irfân < 211.

p: 211

Keindahan dan Keagungan Perempuan pekerjaan tersebut ketimbang mereka yang memiliki fisik yang kuat.

Adapun pekerjaan lembut dalam masyarakat diserahkan kepada orang- orang yang memiliki bagian kelembutan fisik yang lebih baik.

Jalan Terbaik bagi Kemajuan Manusia

Telah dipaparkan pada penjelasan terdahulu bahwa manusia dapat mencapai kemajuan dengan berbagai cara. Di antaranya adalah jalan pikir dan zikir. Jika perempuan tidak lebih baik daripada pria dalam hal zikir dan munajat, yang merupakan potensi khas perempuan melalui hati, perasaan, keinginan dan cinta, maka pasti perempuan akan sama dengan pria. Jalan tersebut adalah jalan utama. Adapun jalan pikir adalah jalan sekunder karena sebagaimana telah diketahui, jalan pikir bukanlah jalan yang umum. Ada banyak orang yang tidak memperoleh kesempatan belajar. Adapun jalan nasihat, hati, dan munajat terbuka untuk seluruh manusia. Belajar di sekolah tidak dapat dilakukan oleh setiap orang dan ilmu pelajaran yang diterima di sekolah belum tentu cocok untuk seluruh kalangan. Namun pengetahuan yang dapat diterima oleh hati dan yang menuntut adanya praktik, dapat dilakukan oleh seluruh manusia.

Manusia menimba ilmu pelajaran melalui berbagai lembaga pendidikan. Dia bisa terus belajar hingga menjadi orang yang mulia dan berilmu. Manusia mempelajari berbagai ilmu, dan setelah beberapa tahun kemudian, sampailah di usia tua. Kemudian, sedikit demi sedikit, dia mulai lupa dan tak mampu mengingat pelajaran yang pernah dipelajarinya.

Pada masa muda, dia mempelajarinya sedikit demi sedikit, dia menghafal berbagai pengetahuan hanya dalam beberapa hari, tetapi setelah masuk masa tua, seluruhnya secara bertahap terlupakan. Ketiga tahapan tersebut dilukiskan oleh firman Allah Swt, "Allah, Dia-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, ke- mudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban" (QS Al-Rûm:54).

212 Perempuan dalam 'Irfân

p: 212

AYATULLAH JAWADI AMULT Manusia terkadang berada di bawah gunung, tetapi terkadang sampai ke puncak gunung. Terkadang, dia kembali dari puncak gunung ke tempat lain di bawahnya. Inilah tiga tahapan manusia, baik untuk pria maupun perempuan, pertama adalah lemah, kemudian menjadi kuat, setelah itu menjadi lemah kembali. Yang pertama adalah tahapan belajar, kedua tahapan menghafal dan yang ketiga adalah tahap hilangnya seluruh pengetahuan. Lalu, apakah pengetahuan firasat hati juga dapat hilang sejalan dengan bertambah lanjutnya usia? Hadis mengatakan, “Hati-hatilah kalian terhadap firasat orang Mukmin karena dia melihat dengan cahaya Allah(1)" Ataukah justru pada masa tua, hatinya semakin bercahaya sehingga pengetahuan kalbunya semakin mantap dan kuat? Jika dikatakan, “Para ulama adalah pewaris para nabi (2)," berarti pengetahuan ulama adalah warisan para nabi dalam ilmu pelajaran yang mereka miliki lalu terlupakan pada masa tua. Apakah demikian maknanya? Ataukah mereka mewarisi sesuatu yang justru pada masa tua semakin mantap? Apakah pengetahuan jenis ini menyangkut tubuh yang kuat atau hati yang sehat? Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman, “(Yaitu) di hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS Al-Syu'arâ:88-89).

Allah Swt tidak mengatakan, dengan jasad yang sehat, atau tubuh yang kuat.

Para pekerja kasar - yang pekerjaannya memotong rumput dan mengangkat batu atau dalam pekerjaan lain yang serupa-mam- pu menyelesaikan berbagai pekerjaan berat secara fisik, tetapi mereka tidak mampu memahami masalah-masalah yang sederhana dengan cara berpikir.

p: 213


1- Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 218.
2- Ibid.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Jika demikian, kekuatan tubuh tidak berpengaruh dalam meng- antarkan manusia pada kesempurnaan ruh. Namun, perkataan yang benar-lah yang berperan.

Allah Swt berfirman, “Dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah akan mem- perbaiki bagimu amal-amalmu" (QS Al-Ahzâb:70-71).

Jelaslah, kita tidak dapat mengatakan bahwa pikiran menjadi kuat karena didasari oleh tubuh yang kuat, tetapi tubuh yang sehatlah yang dapat membuahkan pikiran. Selain itu, bukan pikiran saja yang dapat menyelesaikan masalah, hati juga dapat menyelesaikan masalah.

Kesehatan hati itu penting. Allah Swt menggambarkan keadaan beberapa pria dengan ungkapan bahwa hati mereka sakit. Dalam pembahasan yang telah lewat dijelaskan bahwa Allah berbicara kepada para istri Nabi Saw, "Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkatan yang baik” (QS Al-Ahzâb:32).

Allah Swt memerintahkan kepada para perempuan agar berbicara dengan gaya bahasa dan perkataan yang baik, agar kaum lelaki yang memiliki “hati yang sakit" tidak berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang buruk terhadap mereka. Penyakit tersebut ada dalam hati pria karena ketika mendengar suara pria, perempuan tidak berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang buruk. Perempuan memiliki hati yang baik, kecuali jika dalam hati mereka terdapat penyakit suka berhias untuk menarik perhatian lelaki.

Perempuan memiliki hati yang baik. Orang-orang yang hatinya sehat adalah orang-orang yang selamat di akhirat nanti sebagaimana firman Allah di atas, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa perempuan lebih berpotensi selamat di akhirat nanti.

Allah Swt mengatakan bahwa Alquran adalah “penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada" (QS Yûnus:57) karena < 214 > Perempuan dalam Irfân

p: 214

AYATULLAH JAWADI AMULT kecenderungan terhadap yang bukan muhrim adalah penyakit. Penyakit tersebut terdapat pada pria, dan dalam konteks ayat di atas, tidak ada pada hati perempuan sehingga jelaslah bahwa hati para perempuan bersih dari kotoran penyakit yang khusus menjangkiti kaum pria tersebut.

Jika kita mengetahui realitas kehidupan kita yang sebenarnya dalam batas tertentu, maka kita tidak akan mempertanyakan segala sesuatu yang tak perlu dipertanyakan dengan diri kita, misalnya kesetaraan gender yang sedang kita bahas ini, karena pokok seluruh permasalahannya adalah bahwa sesuatu yang sangat mendasar hilang dari perhatian kita.

Kita tidak mengetahui mengapa kita diciptakan, dan apa tolok ukur nilai bagi kita. Kita juga tidak menyadari bahwa kunci kesuksesan di akhirat bukan terletak pada ketangguhan fisik.

Para Malaikat Pembawa Rahmat dan Murka

Allah Swt memperkenalkan diri-Nya dengan sifat-sifat kekuatan, kelembutan, belas kasih dan rahmat. Begitu pula dengan para malaikat yang diciptakan, mereka terbagi menjadi dua golongan. Pertama, satu golongan sebagai gambaran dari sifat keperkasaan Allah Swt sesuai firman-Nya, "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.

Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta" (QS Al-Hâqqah:30-32).

"Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan yang keras" (QS Al- Tahrîm:6).

Kelompok malaikat tersebut adalah gambaran kemurkaan Allah Swt.

Kedua, para malaikat yang merupakan gambaran rahmat Allah Swt.

Mereka sangat ramah, penuh kasih sayang, dan rendah hati. Mereka bukan saja sebagai contoh tertinggi dari rahmat Allah Swt, tetapi mereka juga membentangkan sayapnya ke bumi untuk diduduki oleh para Perempuan dalam 'Irfân < 215

p: 215

Keindahan dan Keagungan Perempuan penuntut ilmu. Dalam hal itu, tidak ada pembahasan tentang pria atupun perempuan. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap mereka kepada penuntut ilmu."(1)

Para malaikat memiliki sayap yang berbeda-beda, hal itu sesuai dengan firman Allah, “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat" (QS Fâthir:1).

Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah memuji sayap malaikat dan berkata, “Sebaik-baiknya sayap malaikat adalah yang bertasbih terhadap keagungan dan kemuliaan Allah."(2)

Tentunya tasbih tersebut bukan tasbih dalam pengertian umum, tetapi tasbih yang dituturkan oleh sayap setiap burung, bahkan burung yang haram dimakan, sayapnya juga membaca tasbih kepada Allah.

“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya" (QS Al-Isra':44).

Lebih dari itu, binatang yang najis pun bertasbih kepada Allah Swt.

Allah Swt berfirman, “Masing-masing telah mengetahui (cara) berdoa dan tasbihnya" (QS Al-Nûr:41).

Namun, tasbih sayap-sayap para malaikat berbeda dengan tasbih binatang, ia merupakan tasbih khusus sehingga dikatakan bahwa sayap yang paling bagus adalah yang bertasbih terhadap keagungan dan kemuliaan Allah Swt. Karena malaikat merupakan contoh rahmat Allah, maka manusia juga terbagi menjadi dua: sebagian mereka menjadi gambaran kekuatan-Nya dan sebagian yang lain sebagai gambaran rahmat dan belas kasih-Nya. Lalu, apakah para malaikat yang menjadi gambaran

p: 216


1- Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 34.
2- Nahj al-Balâghah, khutbah 90.

AYATULLAH JAWADI AMULI kekuatan Allah lebih baik daripada para malaikat yang menjadi gambaran belas kasih dan rahmat-Nya? Jelas, para malaikat memiliki beberapa tingkatan karena Allah Swt berfirman, “Mereka para penjaga neraka." Artinya, mereka yang bertanggung jawab terhadap neraka. Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman, “Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat" (QS Al-Muddatstsir:31).

Pada saat yang sama, di samping para malaikat yang memegang tanggung jawab neraka dan penghuninya, ada juga para malaikat yang menjaga surga. Mereka berada di sebuah taman surga. Kelompok malaikat tersebut merupakan gambaran rahmat dan belas kasih Allah Swt, dan mereka berada di surga.

Perempuan adalah Gambaran Belas Kasih Allah

Sebagian manusia menjadi gambaran kekuatan Allah, mereka sibuk dengan berperang melawan musuh-musuh Allah di medan perang.

Sebagian lain menjadi gambaran rahmat dan kasih sayang Allah Swt, mereka bekerja di belakang front. Artinya, setiap kelompok melakukan tugasnya masing-masing karena orang yang mengasah pedang juga memiliki tugas, begitu pula orang yang mengobati korban luka dalam peperangan memiliki tanggung jawab tersendiri.

Kelak di hari kiamat, ada sekelompok orang yang hadir di Padang Mahsyar dengan berkendaraan, di antara mereka adalah Fathimah al- Zahra a.s. Tidak seluruh manusia berkendaraan. Lalu, apa kendaran mereka? Apa keistimewaan orang yang datang ke Padang Mahsyar dengan berkendaraan? Apakah kendaraan mereka adalah keledai atau burâq yang pernah dinaiki Nabi Saw pada saat mikraj, yang dikatakan bahwa langkahnya sejauh pandangan mata?(1)

Betapapun, banyak masalah yang berkaitan dengan mikraj dan hari Kiamat, yang harus diakui bahwa dia tidak mengetahuinya. Hal tersebut

p: 217


1- Bihâr al-Anwâr, juz 18, hlm. 233.

Keindahan dan Keagungan Perempuan tidak serupa dengan masalah-masalah keduniaan, ada banyak hal yang dapat dipahami dan diketahui, sekalipun ada juga hal-hal yang tidak jelas.

Oleh karena itu, untuk mengetahui hakikat-hakikat tersebut tidak dapat dipertanyakan, misalnya, mengapa tugas si A tidak diberikan kepada perempuan saja, sementara tugas si B diserahkan kepada pria? Ukuran keutamaan bukan pada tugas yang harus diemban. Adakah kedudukan dunia yang lebih tinggi daripada kekhalifahan lahiriah?

Macam-Macam Kekhalifahan

Kekhalifahan ada dua macam. Pertama, kekhalifahan hakiki, seperti telah dijelaskan dalam pembahasan yang telah lewat. Manusia tidak dapat menyerahkan kedudukan tersebut kepada siapa pun, juga tidak dapat direbut secara paksa dengan menggunakan kekuatan.

Adapun kekhalifahan yang diadukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s dalam khutbah syiqsyiqiyyah adalah sebuah kedudukan tugas, tanggung jawab dan kekhalifahan duniawi secara lahir. Itu bukan kekhalifahan yang dimaksud dalam firman Allah Swt, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi" (QS Al-Baqarah:30). Yang terakhir ini, pada dasarnya tidak dapat direbut dan diberikan kepada orang lain, tetapi semata-mata pemberian Allah Swt.

Kedua, kekhalifahan secara lahir, artinya pemerintahan atau aktivitas di lapangan yang berkaitan dengan tugas. Kekhalifahan jenis ini merupakan tugas utama agar seseorang dapat menjadi khalifah kaum Muslim karena tidak ada tugas keduniaan yang lebih tinggi melebihi tugas kekhalifahan. Imam Ali bin Abi Thalib a.s pernah menjelaskan posisi dan nilai kedudukan tersebut. Sang imam a.s berkata, “Hakikat kedudukan tersebut terpisah dari masalah membenarkan yang benar dan mem- batilkan yang batil, karena hal itu dianggap sebagai duniawi dan duniawi hanya bagaikan tulang babi yang berada di tangan penderita penyakit kusta(1)", "Atau seperti kotoran kambing.(2)

p: 218


1- Nahj al-Balaghah, faidh al-Islâm, khutbah 228.
2- Ibid., khutbah ke-3.

Dari sini, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa tugas pelaksanaan di lapangan yang bersifat teknis ini tidak sepenuhnya menyebabkan pelakunya masuk surga sehingga kita tidak perlu bertanya mengapa perempuan tidak memiliki andil dalam hal ini, atau mengapa pria dalam hal kekhalifahan memiliki bagian yang lebih banyak daripada perempuan.

Maksud fâris pada hadis yang berbunyi, “Seandainya ilmu tergantung di bintang tsurayyâ, niscaya akan digapai oleh orang-orang dari fâris(1)." adalah ilmu firasat, yakni keimanan seperti ini akan digapai oleh kaum Mukmin yang merupakan para ahli firasat, bukan berarti negeri Persia.

Artinya, bukan orang-orang yang tinggal di bagian selatan negara Iran.

Para ahli firasat adalah orang-orang yang dapat menggapai keimanan, meski ia berada di angkasa. Berkenaan dengan firasat ini, sebuah hadis Nabi Saw menyatakan, “Berhati-hatilah kalian terhadap firasat seorang Mukmin, karena dia melihat dengan cahaya Allah“.(2) Dalam hal firasat, tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain.

Terdapat beberapa hal yang di situ terlihat perempuan lebih baik daripada pria, bahkan dia dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada pria.

Namun dalam beberapa pekerjaan lain, terlihat pria lebih baik daripada perempuan dan dia dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada perempuan. Perbedaan tersebut adalah demi terwujudnya sistem kehidupan duniawi yang lebih baik.

Peranan Doa dalam Menggapai Kesempurnaan

Kesempurnaan kemanusiaan dapat diperoleh melalui ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Ketaatan dan ibadah dapat dilakukan oleh pria ataupun perempuan. Begitu pula dalam menempuh jalan kesempurnaan, doa dan munajat adalah jalan yang terbaik untuk menuju kesempurnaan manusia karena kesempurnaan manusia dapat dicapai dengan mendekatkan diri kepada Allah. Etika pendekatan diri terhadap Tuhan di

p: 219


1- Bihar al-Anwâr, juz 1, hlm. 195.
2- Al-Kahfi, juz 1, bab 28.

Keindahan dan Keagungan Perempuan dalam mencapai kesempurnaan ini adalah manifestasi dari ibadah dan doa yang dipanjatkan setiap hamba Mukmin.

Dalam doa-doa, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Telah kita ketahui bahwa seluruh doa dan munajat yang ada tidak dikhususkan untuk pria ataupun perempuan. Sehingga tidak dikatakan, “Kaum pria, boleh membaca doa Kumâ'il dan munajat al-Sya'bâniyyah, sementara perempuan tidak berhak membacanya." Jika perempuan lebih baik daripada pria dalam membaca doa munajat al-Sya'bâniyyah atau doa al-Jawsyan al-Kabîr, misalnya, maka ia akan lebih menyempurna. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelum ini, bahwa perempuan lebih berpotensi dalam hal munajat dan nasehat karena perasaan dan hati perempuan lebih lembut daripada pria. Kelembutan hati dan perasaan memiliki peranan yang berpengaruh dalam pendekatan diri kepada Allah Swt. Oleh karena itu, melalui jalan ini, perempuan dapat lebih berhasil daripada pria.

Takwa adalah Tolok Ukur Kesempurnaan

Dalam Alquran disebutkan bahwa takwa adalah tolok ukur kesempurnaan. Seluruh kesempurnaan diukur dengan landasan tersebut.

Takwa akan membuat manusia melihat segala sesuatu dengan penglihatan 'irfân, sehingga dia tidak akan melakukan perbuatan dosa. Takwa bagi seorang hamba Mukmin ibarat sebuah perisai. “Perisai" tersebut secara sempurna ditempatkan di tempat yang cocok dan dalam wadah yang khusus. Jika manusia yang bertakwa itu melihat kebaikan, maka secara otomatis “perisai" tersebut menutupi dirinya agar dia tidak menyandarkan kebaikan tersebut kepada dirinya, tetapi langsung menisbahkannya kepada Allah Swt sehingga jelas bahwa perbuatan tersebut adalah dari sisi Allah Swt. Jika yang terlihat olehnya di dunia ini adalah hal-hal buruk, misalnya malapetaka dan bahaya, maka perisai tersebut digunakan agar dia tidak menyandarkan semua itu kepada Allah. Berkenaan dengan orang-orang yang bertakwa, Allah Swt berfirman, 220 Perempuan dalam ʻIrfân

p: 220

AYATULLAH JAWADI AMULT “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, Ini adalah dari sisi Allah.' Dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan. “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).' Katakanlah, 'Semuanya (datang) dari sisi Allah.' Maka mengapa orang-orang itu (kaum munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun)? “Kebaikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, maka itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada seluruh manusia.

Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi" (QS Al-Nisâ : 78-79).

Artinya, meskipun segala kebaikan dan keburukan seluruhnya dari sisi Allah, tetapi akar dan penyebabnya bukan dari Allah. Yang baik berasal dari sisi Allah dan dari Allah. Adapun hal yang buruk, ia dari sisi Allah namun bukan dari Allah.

Orang bertakwa yang memiliki perlindungan berupa perisai takwa dan pandangan dunia tauhid adalah seperti seorang tukang kebun yang pandai dan rajin yang tengah merawat taman bunga. Dia memiliki alat penahan kotoran yang terbuat dari besi. Setiap kali dia memperoleh air yang segar dan memadai, dia akan mencegah berbagai kotoran yang masuk ke ladangnya dengan alat tersebut. Dia hanya menyiraminya dengan air yang segar dan baik. Setiap kali dia melihat air yang keruh dan berlumpur, dia meletakkan alat penahan tersebut dari bunga itu. Dia tidak membiarkan air yang keruh dan berlumpur mengalir ke ladangnya sehingga mengenai bunga itu.

Orang-orang yang bertakwa dapat menjaga ladang mereka seperti apa yang telah dilakukan oleh tukang kebun yang pandai itu. Artinya, tukang kebun yang bertakwa memiliki sebuah kunci air. Jika ada air halal yang mengalir padanya dan itu merupakan bagiannya, maka dia akan menjaganya dari kotoran dan kekeruhan. Dia juga tidak mau Perempuan dalam 'Irfân 221

p: 221

Keindahan dan Keagungan Perempuan menggunakan air yang halal tersebut dalam hal-hal yang tak bermanfaat sehingga dia meletakkan sebuah penahan agar air tidak mengalir ke tempat yang lain. Dia hanya menyiramkannya ke ladangnya sendiri. Jika dia memperoleh air tetapi itu bagian orang lain, maka dia meletakkan penghalang tersebut agar air itu tidak mengalir ke ladangnya. Lalu dia berusaha untuk mengalirkan air tersebut ke ladang pemiliknya yang sah.

Manusia, baik dalam menyirami bunga atau dalam memberi pupuk pada tanamannya-yakni berkaitan dengan perkara halal dan haram - di tangannya ada sebuah kunci air, kunci tersebut merupakan pelindung, di mana itu juga ibarat "perisai" baginya. Manusia yang berbekal pandangan dunia tauhid memiliki “perisai" tersebut. Ketika dia melihat sebuah amal kebaikan, kemuliaan, berkah, rahmat, nikmat dan kesuksesan, maka dia secara langsung menjadikan "perisai' tersebut sebagai penghalang agar dia tidak menganggap bahwa seluruh kebajikan dan berkah tersebut berasal dari dirinya, agar dia tidak terperdaya dan mengatakan bahwa dialah sumber adanya seluruh kebajikan dan berkah tersebut.

Atau dia mengatakan, “Saya telah berpuasa selama bulan Ramadhan dan beribadah di siang hari serta berdoa di malam hari", dan lain sebagainya.

Allah Swt mengatakan, “Kebaikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah." Begitu pula bagi manusia yang ditimpa bahaya, mala- petaka, maksiat, kegagalan, bernasib buruk atau hal-hal yang lain, "perisai" tersebut mengarah langsung kepada Allah tanpa menisbahkan musibah dan malapetaka tersebut kepada-Nya. Dia menyandarkannya kepada dirinya seraya berkata, “Aku bukan orang yang pantas memperoleh keberhasilan." Inilah yang dinamakan takwa. Takwa bukan hanya membuat orang tidak berbuat dosa dan tidak berbohong. Hal-hal seperti itu merupakan langkah-langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang Muslim, kemudian pada tahapan berikutnya, dia tidak boleh melihat kepada orang yang bukan muhrimnya, tidak berbohong, tidak mengumpat, dan lain-lain.

Tidak berbohong dan tidak menggunjing merupakan hal mendasar dan utama dalam agama. Kita tidak lagi harus mempelajari hal-hal < 222 Perempuan dalam 'Irfân

p: 222

AYATULLAH JAWADI AMULT semacam itu selama beberapa tahun di bangku sekolah atau mengajarkan dan mengenalkannya kepada orang yang telah berusia lanjut. Ini semua merupakan aktivitas hati dan akal praktis yang tidak akan pernah luntur sejalan dengan bertambahnya usia. Yang diperlukan dalam hal ini adalah karya nyata dalam mewujudkan amal-amal saleh. Ini semua adalah hal- hal kecil bagi para pesuluk.

Setiap Mukmin harus sampai ke sebuah maqam yang dapat menjadikannya masuk ke dalam kategori manusia bertakwa. Artinya, dia harus memiliki sebuah “perisai" dan pandangan dunia tauhid yang mantap. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa pun, perempuan atau pria.

Dengan demikian, munajat, air mata, dan rintihan yang merupakan modal utama dan senjata setiap Mukmin lebih berpotensi pada kalangan perempuan daripada pria.

Senjata Orang Mukmin dalam Jihad Akbar

Jika seseorang hendak berperang melawan musuh, maka dia harus berbekal senjata yang sebanding dengan kekuatan musuh, misalnya tank dan pesawat. Namun, jika yang dihadapi adalah musuh internal, yakni jiwa kita, maka kita harus bersenjatakan "rintihan", bukan senjata-senjata yang terbuat dari besi atau baja. Dalam menghadapi musuh berupa hawa nafsu, manusia harus bersenjatakan tangisan dan rintihan, karena di sini, senjata yang terbuat dari besi tidak dapat berfungsi. Oleh karena itu, orang yang mengendarai tank atau pesawat belum tentu dapat memerangi hawa nafsunya. Yang dapat memerangi hawa nafsunya hanyalah orang yang jiwanya senantiasa hidup bersama doa dan munajat. Dialah sebenarnya orang yang bersenjatakan tangisan sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ali a.s dalam doa Kumâ’il, “Dan senjatanya adalah tangisan." Artinya, senjata ampuh dalam memerangi hawa nafsu-yang merupakan jihad akbar dan peperangan paling berat yang dihadapi manusia, adalah dengan tangisan, bukan besi ataupun pedang. Senjata tajam terpenting yang dapat digunakan dalam jihad akbar ini adalah dengan mendidik jiwa dan Perempuan dalam 'Irfân 223

p: 223

Keindahan dan Keagungan Perempuan membersihkan hati. Senjata tersebut lebih banyak dimiliki kaum perempuan daripada pria.

Perempuan diberi Allah potensi lebih besar daripada pria. Tangisan adalah salah satu bekal utama dalam upaya pendidikan jiwa, bahkan boleh jadi, potensi ini tidak ditemukan pada mayoritas kaum pria. Tidak sedikit orang menghadiri majlis belasungkawa mengenang wafat penghulu para syuhada, Imam Husain bin Ali a.s, tetapi hati mereka tidak tersentuh, mereka tidak dapat menangis. Mengapa demikian? Karena mereka tidak memiliki kelembutan hati, dan kelembutan hati ini tidak dimiliki setiap orang.

Oleh karena itu, modal utama dalam jihad akbar ini adalah tangisan.

Tangisan adalah senjata ampuh yang sangat bermanfaat yang telah Allah anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya. Potensi ini diberikan Allah pada semua makhluk-Nya, tetapi lebih kuat pada diri kaum perempuan daripada pria. Sudah seharusnya seseorang yang hatinya cepat merasa iba, terharu dan menangis, untuk menggunakan potensinya ini dalam upaya mendidik jiwa.

Dalam doa Abû Hamzah al-Tsimâlî - yaitu doa yang diajarkan oleh Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s kepada sahabatnya, Abû Hamzah al- Tsimâlî, yang sangat dianjurkan untuk dibaca pada malam-malam bulan suci Ramadhan, terdapat sebuah ungkapan yang berbunyi, “Ya Allah, anugerahi aku agar dapat menangisi diriku." Artinya tolonglah aku agar dapat memahami yang terbaik dan merintih dengan rintihan yang terbaik.

Jika air mataku telah habis, maka tolonglah aku agar dapat mengeluarkan kembali air mataku karena rintihan adalah satu-satunya senjata yang dapat digunakan dalam jihad akbar. Kemampuan merintih tersebut pada perempuan ditemukan lebih banyak dibanding pada pria.

Alquran dan hadis menyebutkan bahwa salah satu amal perbuatan yang dapat menyebabkan pelakunya memperoleh ganjaran surga adalah berjuang di jalan Allah, antara lain, dengan menyusun sebuah kekuatan bersenjata guna memerangi musuh-musuh Allah. Hal semacam ini adalah salah satu bentuk kewajiban sekaligus amanat yang Allah tugaskan kepada kita, bukan merupakan sebuah keistimewaan. Jika perempuan < 224 Perempuan dalam 'Irfân

p: 224

AYATULLAH JAWADI A MULT tidak memiliki keahlian dalam hal tersebut, maka tidaklah berarti bahwa kemampuannya dalam mendekatkan diri kepada Allah lebih sedikit dari- pada pria.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum perempuan memahami kenyataan ini. Allah telah menganugerahinya kemampuan lebih besar untuk mendekatkan diri kepada-Nya daripada pria. Apa yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka harus digunakan sebagaimana mestinya.

Menangis pada Tempatnya

Terkadang orang memiliki sebuah pedang tajam, tetapi tidak dia gunakan untuk berperang melawan musuh, melainkan untuk memukul batu. Hal serupa terjadi pada orang yang menangis, terkadang dia menangis tetapi tangisannya hanya untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Hatinya lembut dan mudah tersentuh, dan dia termasuk orang yang memiliki kemampuan merintih dan menangis, tetapi dia merintih bukan pada tempatnya. Islam menganjurkan agar manusia menggunakan potensi tersebut pada tempatnya.

Perbedaan potensi yang dimiliki kaum pria dan perempuan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah dapat diilustrasikan sebagai berikut: sebuah negara yang belum memiliki persenjataan cukup dalam menghadapi sebuah peperangan, tentunya terlebih dahulu, para pemimpin negeri tersebut harus melengkapi kekuatan mereka dengan berbagai jenis senjata yang memadai dan kemudian mereka harus menggunakannya pada tempatnya, sedangkan negara lain yang telah mapan dalam hal persenjataan, tugas mereka adalah bagaimana memanfaatkan persenjataan mereka pada tempatnya. Demikian pula dengan kaum perempuan yang telah memiliki potensi yang cukup- dalam hal ini adalah kemampuan menangis dan merintih- untuk menghadapi jihad akbar, mereka harus pandai memanfaatkan potensi ini secara baik dan benar. Sementara kaum pria, boleh jadi potensi ini mereka miliki , tetapi tidak begitu besar sehingga mereka harus berupaya memaksimalkan potensi ini terlebih Perempuan dalam 'Irfân 225

p: 225

Keindahan dan Keagungan Perempuan dahulu, kemudian berusaha mengoptimalkan fungsinya sebagai senjata dalam memerangi hawa nafsu.

Oleh karena itu, dalam doa Abû Hamzah al-Tsimâlî, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s antara lain, berkata, “Mengapa aku tidak dapat menangis? Aku menangis karena (suatu saat) jiwaku terlepas dari ragaku, aku menangis karena gelapnya kuburan dan sempitnya liang lahat yang kutempati." Jelas bahwa manusia yang tidak dapat menangis tidak akan dapat selamat. Tangisan adalah senjata yang dimiliki setiap orang dan Allah menganugerahkannya kepada seluruh hamba-Nya. Namun, perempuan diberi-Nya lebih kuat daripada pria sehingga mereka diharapkan dapat menggunakan "senjata" tersebut pada tempatnya.

Ketika kita melihat Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s me- minta kepada Allah Swt agar diberi keberhasilan dalam menangis dan memohon kepada-Nya agar dia dibantu untuk menangisi dirinya, maka rahasia di balik itu adalah kita sedang menghadapi musuh yang sangat kuat.

Musuh itu berada di dalam wilayah diri kita sendiri, yaitu hawa nafsu.

Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah dalam peperangan tersebut kita akan menang atau kalah, setiap perkataan yang kita ucapkan harus merupakan tolok ukur bagi kualitas diri kita. Mulut yang berbicara harus mewakili kita. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya, atau mengatakan apa saja sesukanya, tentu hal ini menunjukkan kegagalannya dalam mengalahkan hawa nafsu karena seseorang yang berpredikat sebagai hamba Allah tidak dibenarkan mengatakan, “Aku dapat melakukan ini dan mengucapkan itu sesukaku dan kapan pun aku mau." Yang mengucapkan perkataan tersebut hanyalah setan.

Namun, jika manusia sampai ke suatu tingkatan meyakini bahwa segala sesuatu yang akan dikerjakan atau diucapkannya harus sesuai dengan kehendak Allah, maka dia harus bersyukur kepada Allah karena dia dapat mengendalikan sikap dan ucapannya. Menangis dalam hal ini sangat diperlukan agar yang bersangkutan dapat menang dalam < 226 Perempuan dalam 'Irfân

p: 226

AYATULLAH JAWADI AMULT jihad akbar melawan hawa nafsunya. Satu-satunya senjata ampuh yang dapat memenangkan peperangan melawan hawa nafsu di dalam diri adalah meremukkan hati ke hadirat Allah Swt. Kaum perempuan dapat melakukannya secara lebih efektif daripada kaum pria. Kaum perempuan harus mencobanya dengan berlatih selama beberapa waktu sampai mereka dapat melihat sendiri bahwa mereka mampu menjadi teladan bagi masyarakat.

Dalam pembahasan terdahulu telah diketahui bahwa menurut Alquran, perempuan yang baik merupakan contoh bagi manusia baik secara umum, bukan hanya untuk kalangan kaum perempuan.

Mendekatkan Diri kepada Allah Merupakan Kunci Meraih Kesempurnaan

Setiap bentuk kesempurnaan yang disebutkan oleh Allah dalam Alquran adalah sarana yang dapat mendekatkan setiap hamba kepada Allah Swt. Ilmu fikih, tafsir, filsafat, dan ‘irfân yang merupakan ilmu-ilmu Islam yang paling utama, adalah bagian dari wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Apakah ilmu itu sendiri merupakan sebuah kesempurnaan? Apakah Alquran menganggap bahwa orang yang berilmu lebih utama daripada orang yang bodoh? Allah Swt berfirman, "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS Al-Zumar:9).

Apakah di sini Allah Swt menjelaskan salah satu pokok ajaran agama, atau ilmu yang dimaksud-Nya di sini merupakan sebuah pelengkap terhadap pokok yang lain? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus katakan bahwa ilmu di sini bukan sebuah pokok ajaran Islam, tetapi itu merupakan sebuah pelengkap. Perbedaan antara pokok dan pelengkap adalah bahwa sesuatu yang pokok bersifat sempurna, sedangkan pelengkap adalah sesuatu yang lahir sebagai sebuah konsekuensi.

Perempuan dalam 'Irfân< 227

p: 227

Keindahan dan Keagungan Perempuan Salah satu ayat pada surah Al-Zumar memuat sebuah perma- salahan pokok ajaran Islam, lalu setelahnya disebutkan sesuatu yang bersifat pelengkap. Hal-hal yang bersifat pokok adalah rintihan, teriakan, ketakwaan, tangisan serta beribadah kepada Allah. Adapun pelengkapnya adalah ilmu. Firman-Nya, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang-orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" (QS Al- Zumar:9).

Pertama-tama, Alquran menyebutkan hal-hal yang bersifat pokok, dengan mengatakan bahwa apakah orang-orang yang menyembah Allah di waktu malam sama dengan yang lain? Apakah orang-orang yang senantiasa rukuk, qunut, khusyuk, tawadhu dan bersikap tunduk di hadapan Allah Swt sama dengan yang lain? Setelah itu, barulah ditambahkan sebuah pelengkap, “Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Jelas bahwa ilmu pada ayat di atas adalah pelengkap dari hal-hal yang bersifat pokok. Artinya pertama-tama, Allah Swt menyebutkan sikap tunduk, merendah diri di hadapan-Nya sambil menyembah-Nya, menangis di waktu malam, mengharapkan rahmat-Nya serta takut akan siksa-Nya.

Kemudian Allah Swt menyebut tentang ilmu. Kalau tidak karena hal-hal yang pokok tersebut, maka ilmu lebih banyak menjadi bencana. Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengatakan, “Banyak sekali orang berilmu yang telah dibinasakan oleh kebodohannya, sementara ilmu yang dimilikinya tidak berguna baginya."(1)

Imam Ali a.s menjelaskan bahwa banyak sekali orang yang berilmu, tetapi justru diperdaya oleh kebodohannya. Mereka berilmu, tetapi tidak berakal. Karena tidak berakal, maka dia bodoh. Artinya, bodoh yang merupakan lawan dari berakal, bukan lawan dari berpengetahuan.

p: 228


1- Nahj al-Balâghah, al-Faidh, hikmah 104.

AYATULLAH JAWADI AMULT Meskipun seseorang berilmu, boleh jadi, kalah dalam jihad memerangi nafsu, bahkan dia dapat binasa karena banyak sekali orang yang berilmu telah terperdaya oleh kebodohannya, sementara ilmu yang dimilikinya tidak berguna baginya. Ilmu bukan dengan kemampuan, tetapi dengan akal, dan akal muncul sebagai hasil dari rintihan dan tangisan.

Boleh jadi, di bidang ilmu pengetahuan, pria mengungguli perempuan. Namun dalam hal rintihan atau tangisan, jika perempuan tidak lebih berhasil daripada pria, bukan berarti ia kurang berpeluang daripada pria. Allah Swt berfirman, “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah) orang-orang yang beribadah di waktu- waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut akan azab akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya." Selanjutnya Dia menegaskan, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebagaimana disebutkan pada ayat pertama, Allah Swt menggambarkan hakikat takwa, kemudian ditegaskan-Nya pada penggalan kedua bahwa orang yang berilmu memiliki semacam perisai.

Allah tidak mengatakan bahwa yang beribadah di waktu malam adalah orang yang takut kepada-Nya, tetapi Dia menisbahkan harapan setiap hamba kepada-Nya (yarjû rahmata rabbih) dan rasa takut kepada amal perbuatannya sendiri (yahdzaru al-akhirah). Allah Swt juga tidak menga- takan bahwa sang hamba berhati-hati kepada-Nya dan mengharapkan rahmat-Nya, karena Allah adalah Dzat yang Mahasempurna secara murni. Kesempurnaan yang murni, tidak menjadi sumber rasa takut.

Disebutkan dalam sebuah doa sahur, "Ya Allah, ya Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dari keindahan-Mu yang paling indah." Semua doa tersebut indah, sedangkan Allah Swt seluruhnya indah. Oleh karena itu, tidak mungkin penyebab rasa takut bersumber dari Allah. Jadi, ayat tersebut memberikan semacam perisai kepada manusia dan berkata, “Jika kamu melihat keindahan, maka arahkanlah perisai (pengetahuan) kepadamu sehingga kamu tidak menyandarkan keindahan tersebut kepada dirimu." Dia harus secara langsung menisbahkan keindahan itu Perempuan dalam 'Irfân 229

p: 229

Keindahan dan Keagungan Perempuan semata-mata kepada Allah. Jika kamu melihat sesuatu yang menakutkan atau kamu mendengar cerita tentang neraka, maka gunakanlah perisaimu dengan mengarahkannya kepada Allah Swt, agar kamu tidak menyandarkan rasa takut tersebut kepada Allah. Manusia hanya boleh takut kepada akibat perbuatannya, bukan takut kepada Allah Swt karena Allah adalah keindahanmu, “Segala keindahan-Mu adalah indah."

Rasa Takut Akal dan Rasa Takut Jiwa

Allah Swt berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)” (QS Al- Nâzi'ât:40-41).

Yang dimaksud dengan takut dalam ayat tersebut adalah rasa takut yang lahir dari pengetahuan seseorang tentang kebesaran Allah Swt, bukan rasa takut yang lahir tanpa sebab. Ketika manusia memasuki tempat yang besar, di sana dia akan merasa takut dan hina lagi kecil tak berarti. Atau ketika berada di tengah padang pasir seorang diri, dia merasa takut akan gangguan pencuri, penyamun, atau binatang buas. Ini merupakan suatu bentuk ketakutan yang bersumber dari mental. Contoh takut yang lahir dari pengetahuan adalah yang tadi kita baca dalam doa sahur, “Ya Allah, ya Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau penuhi hatiku dengan cinta dan rasa takut kepada-Mu." Sebagaimana sifat-sifat Allah merupakan hakikat dari sebagian sifat yang lain dan juga merupakan hakikat Dzat-Nya, maka demikian pula sifat-sifat hamba-Nya yang sempurna, ia merupakan gambaran-Nya, ia juga merupakan hakikat dari sebagian sifat-Nya yang lain dan merupakan hakikat Dzat-Nya. Namun, perbedaannya adalah bahwa sifat-sifat hamba yang sempurna adalah sesuatu yang mungkin sehingga hakikatnya juga merupakan sesuatu yang mungkin. Adapun Dzat-Nya yang suci adalah sesuatu yang wajib sehingga sifat-sifat-Nya juga wajib, begitu pula dengan hakikat-Nya juga wajib. Oleh karena itu, dikatakan, “Ya Allah, ya Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau penuhi hatiku dengan 230 Perempuan dalam 'Irfân

p: 230

AYATULLAH JAWADI AMULT rasa cinta dan takut kepada-Mu.” Jelaslah bahwa takut tersebut adalah takut yang disebabkan oleh cinta, bukan takut karena musuh. Terkadang manusia takut kepada musuh, dan terkadang dia juga takut kepada teman.

Namun di sini, cinta adalah hakikat dari rasa takut, dan takut merupakan hakikat cinta.

Ilmu yang Bermanfaat

Ilmu adalah sebuah keutamaan, tetapi ia cabang, sedangkan takwa yang merupakan pokoknya. Oleh karena itu, ilmu yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya Saw untuk dicari adalah ilmu yang bermanfaat.

Ilmu baru bermanfaat jika disertai ketakwaan, "Dan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”” (QS Thả Hâ:114).

Sebagian ilmu tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi ia bertambah dan berkembang sampai di alam barzakh dan hari kiamat. Ada sebagian ilmu yang hanya dapat berguna di dunia. Jika manusia dapat memanfaatkan ilmunya tersebut di dunia secara baik dan benar, maka ilmu tersebut akan bermanfaat, dan jika tidak, maka setelah meninggal, ilmu tersebut akan hilang, misalnya ilmu pertanian, kedokteran dan arsitek. Di surga, tentu tidak dibutuhkan pertanian karena setiap pohon dapat tumbuh sesuai kehendak para penghuninya yang Mukmin. Di setiap tempat mana pun mereka mau, air dapat memancar. Allah Swt berfirman, “(Yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya" (QS Al-Insân:6).

Pengetahuan tentang Allah, nama-nama-Nya yang agung dan pengetahuan tentang akhirat akan menambah cahaya bagi pemiliknya di hari Kiamat nanti. Ilmu yang dapat memberi manfaat bagi seluruh masyarakat, ada yang pencariannya dihukumi fardhu 'ain atau fardhu kifầyah.

Namun, yang terpenting dari semua itu adalah pengetahuan ketuhanan. Hal tersebut seperti yang difirmankan oleh Allah Swt kepada Rasulullah Saw, dan

p: 231

Keindahan dan Keagungan Perempuan katakanlah, "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” Salah satu contoh pengetahuan ketuhanan adalah firman-Nya, “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggal (kamu)" (QS Muhammad:19).

Tidak ada ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu tauhid. Tauhid dapat mengantar orang yang mengetahuinya menuju surga.(1)

Pengetahuan ketuhanan selalu berdampingan dengan doa-doa permohonan ampun kepada Allah Swt. Ilmu bukanlah tujuan yang utama, tetapi keyakinan tauhidlah yang menjadi tujuan. Tetapi hakikatnya merupakan suatu langkah menuju permohonan ampun kepada Allah.

Oleh karena itu, salah sebuah riwayat dari Ahlul Bait a.s menyatakan bahwa sebaik-baik ilmu adalah ilmu tauhid, dan sebaik-baik ibadah adalah istighfar.(2)

Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, tetapi dalam masalah doa, perempuan lebih banyak berhasil daripada pria.

Kedudukan Ibu dalam Alquran

Ketika berbicara tentang penghormatan terhadap kedua orang tua, Alquran menyebutkan nama ibu secara terpisah dan berdiri sendiri, sebagai bentuk penghormatan terhadap kedudukan perempuan. Meski demikian, tinggi penghormatan kepada kedua orangtua, Alquran hanya menyebutkan kepayahan yang dialami ibu. Allah Swt berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

p: 232


1- Bihar al-Anwâr, juz 3, hlm. 3.
2- Ushûl al-Kâfi, juz 2, hlm. 517, bab 36.

AYATULLAH JAWADI AMULT keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" (QS Al- Isrål:23).

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ke dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).

Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Eng- kau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.'" (QS Al-Ahqåf:15).

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) ke- pada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu" (QS Luqmân:14).

Dalam ayat di atas, Allah Swt berbicara tentang kepayahan ibu selama tiga puluh bulan, sejak dia mengandung, melahirkan hingga menyusui, seluruhnya merupakan kepayahan ibu. Semua itu disebutkan sebagai penjelasan mengenai sekian banyak pengorbanan serta pelayanan sang ibu. Alquran tidak mengatakan, “Sesungguhnya bapak telah menanggung kepayahan." Atas dasar ini, ayat-ayat yang berbicara tentang masalah hak kedua orang tua terbagi menjadi dua bagian, satu bagian menjelaskan hak kedua orangtua, dan bagian kedua adalah ayat-ayat yang secara khusus menerangkan hak ibu. Ayat Alquran yang menjelaskan tentang bapak Perempuan dalam 'Irfân < 233

p: 233

Keindahan dan Keagungan Perempuan secara khusus berkaitan dengan masalah kewajiban bapak. Allah Swt berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf" (QS Al-Baqarah:233).

Tugas-Tugas Perempuan dalam Mengasuh Anak

Ada beberapa tugas pendidikan yang menjadi tanggung jawab ibu dan yang tidak dapat dilakukan oleh bapak, paling tidak selama tiga puluh bulan. Hal ini ditegaskan secara khusus oleh Allah Swt (sebagaimana terbaca dalam surah al-Ahqaf ayat 15 di atas), dan ditujukan kepada kalangan perempuan, bukan kepada pria. Batas minimal perempuan mengandung adalah enam bulan dan paling lama sembilan bulan, sedang sisanya dua tahun untuk menyusui sehingga seluruhnya genap menjadi tiga puluh bulan. Allah Swt berfirman, "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan" (QS Al-Baqarah:233).

Selama tiga puluh bulan, seorang bayi secara langsung memperoleh makanan dari ibu. Sang ibulah yang bertanggung jawab dalam menjaga anak, khususnya dalam hal keterhindaran dari makanan-makanan haram.

Dia memiliki dua tanggung jawab: dirinya sendiri dan anaknya. Sementara < 234 Perempuan dalam 'Irfân

p: 234

AYATULLAH JAWADI AMULT tugas sang ayah adalah dalam menjaga makanan yang dikonsumsinya, dan makanan tersebut baru berpengaruh ketika akan menjadi bahan sperma. Namun, jika anaknya telah lahir lalu sang ayah memakan yang haram, maka itu tidak akan berpengaruh langsung kepada anaknya, karena makanan haram yang dikonsumsi ayah hanya dicerna oleh ayah semata.

Adapun makanan yang dikonsumsi ibu di dalam pencernaannya akan berubah menjadi air susu, yang kemudian dimakan oleh anaknya. Oleh karena itu, ibu bertanggung jawab penuh dalam memberi makan anaknya dengan makanan yang halal. Ini berkenaan dengan makanan fisik.

Adapun kaitannya dengan makanan ruh, jika misalnya terlintas dalam benak sang ayah hal-hal yang buruk, atau dia memikirkan sebuah angan- angan dan keinginan yang buruk, maka hal itu hanya akan berpengaruh pada dirinya. Angan-angan untuk melakukan dosa dan keinginan untuk melakukan hal-hal yang buruk yang dilakukan oleh pria adalah musuh bagi dirinya sendiri. Namun, angan-angan terhadap kebatilan dan hal- hal haram lainnya, seperti keinginan untuk melakukan dosa, yang terlintas dalam pikiran perempuan, akan berpengaruh bagi dirinya dan anaknya.

Pertanyaannya adalah bukankah itu semua merupakan pertanda ke- agungan perempuan? Bukankah itu merupakan sebuah tanggung jawab yang telah diberikan oleh Allah kepada perempuan? Jika demikian, tanggung jawab perempuan dalam mengendalikan berbagai keinginan, pikiran, dan keyakinan negatif ke arah yang baru, lebih besar daripada tanggung jawab pria. Pria bertanggung jawab terhadap satu orang saja, sementara perempuan bertanggung jawab terhadap dua orang. Oleh karena itu, perempuan harus mampu mengendalikan seluruh pikirannya karena tidak sedikit pembawaan dan kecenderungan yang melekat pada anak diakibatkan oleh pikiran-pikaran ibu yang sampai pada anak melalui pikiran.

Mengapa kedudukan guru lebih tinggi daripada kedudukan murid? Karena guru memiliki dua tugas: pertama, memperbaiki diri sen- Perempuan dalam 'Irfân< 235

p: 235

Keindahan dan Keagungan Perempuan diri, kedua, memperbaiki orang lain. Sementara murid hanya memiliki satu tugas, yaitu memperbaiki dirinya saja.

Jika seorang ibu mengetahui bahwa pikirannya akan dapat ber- pengaruh pada anaknya, maka dia akan berkeinginan untuk hidup dengan kesadaran 'irfânî dan pandangan dunia tauhid. Tugas ibu bukan saja menyusui anak dalam keadaan suci (berwudhu), lalu membaca basmalah pada setiap kali dia hendak meletakkan payudaranya ke mulut anaknya.

Ini hanyalah amal-amal lahiriah serta ibadah-ibadah lahiriah. Agama bah- kan memerintahkan kepada perempuan agar dia selalu mengendalikan pikirannya, sebagaimana berpesan kepada pria agar tidak memikirkan perempuan lain-yang dilihatnya di jalan - pada saat dia berhubungan dengan istrinya karena sungguh Allah Swt melihat kita. Terkadang manusia berkeinginan untuk tidak melakukan perbuatan yang buruk.

Ini adalah jenis upaya mengontrol diri yang sudah dikenali. Namun, ada jenis pengontrolan diri yang lebih tinggi, yaitu mengontrol diri agar selalu sadar bahwa diri kita dikontrol atau diawasi oleh Sang Mahakuasa. Allah Swt berfirman, “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" (QS Al-Alaq:14).

Dalam sebuah hadis dikatakan, "Wahai para hamba Allah, koreksilah diri kalian sebelum kalian dikoreksi oleh Allah. Dan buatlah perhitungan terhadap diri kalian sebelum kalian diperhitungkan oleh Allah Swt(1)."

Alquran juga menegaskan hendaknya manusia selalu waspada karena ada yang mengawasi, “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" Oleh karena itu, tanggung jawab perempuan selama tiga puluh bulan, lebih banyak daripada pria. Setiap orang yang memiliki tanggung jawab lebih banyak, tentu dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut dia akan menghadap kepada Allah lebih banyak juga. Setiap orang yang menghadap kepada Allah lebih banyak, maka dia akan lebih selamat dan

p: 236


1- Nahj al-Balâghah, al-Faidh, khutbah 89.

AYATULLAH JAWADI AMULT berhasil. Dari sini, ketika Alquran memberi pesan kepada manusia untuk menghormati kedua orangtuanya, dia menyebutkan nama ibu secara berulang-ulang. Itu karena ibulah yang mengawasi anaknya selama tiga puluh bulan. Jika seorang ibu tidak melakukan perbuatan dosa selama tiga puluh bulan dan tidak bermaksiat, maka anak-anaknya juga tidak akan menjadi anak yang durhaka kepada Allah.

Inilah beberapa perintah yang telah Allah Swt informasikan kepada para perempuan melalui wahyu yang sampai kepada Rasulullah Saw. Perintah tersebut merupakan sebuah program khusus agar para perempuan menjadi pengawas terhadap pikiran-pikiran mereka. Tidak setiap orang memiliki tanggung jawab seperti itu. Para pemimpin memiliki tanggung jawab sangat besar. Begitu pula dengan para imam, mereka juga memiliki tanggung jawab yang lebih besar lagi. Jika tanggung jawab tersebut diterima kaum perempuan dengan penuh penghormatan, maka yang bersangkutan akan menjadi hamba yang paling dekat kepada Allah. Apalagi jika masa tanggung jawab tersebut mereka lalui selama tiga puluh bulan dan secara berulang-ulang. Lalu, apakah mungkin dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan di surga lebih rendah daripada kedudukan pria? Kedudukan - setinggi apa pun yang diperoleh melalui sebuah pemberitahuan dan yang dapat hilang hanya karena sebuah ancaman- yang biasa kita saksikan dalam kehidupan dunia sehari-hari — bukanlah merupakan kedudukan yang hakiki. Ia tidak pernah tetap berada dalam satu keadaan saja.

Walaupun permasalahan yang sedang kita bahas menyangkut akti- vitas-aktivitas yang ada kaitannya dengan tugas-tugas keduniaan, tetapi selayaknya manusia tidak melihat hal ini berdasarkan kacamata masya- rakat Barat, sementara dia sendiri hidup dalam lingkungan Islam. Kita harus mencermati permasalahan ini secara realistis dan objektif sambil mempertimbangkan masa lalu yang jauh dan masa depan yang tak terbatas untuk melihat apakah perempuan lebih banyak berhasil daripada pria dalam perjalanannya yang tidak terbatas ini? Jika perempuan tidak Perempuan dalam 'Irfân< 237

p: 237

Keindahan dan Keagungan Perempuan lebih berhasil, maka dalam hal ini, perempuan setidaknya setara dengan pria.

Inilah beberapa hal yang menunjukkan bahwa perempuan lebih ba- nyak berada di bawah pengawasan Allah daripada pria.

Antara Haml dan Himl

Perempuan tidak dapat mengangkat beban lebih berat dari beban yang mesti ditanggung oleh pria. Namun mengandung seorang anak bukanlah suatu pekerjaan yang mudah pula. Sebagian orang (pria) kuat menahan beban di pundaknya, sedang sebagian yang lain (perempuan) kuat dalam mengandung seorang anak dalam perutnya. Himl adalah beban berat yang berada di atas bahu, sedangkan haml adalah beban yang ada di dalam tubuh manusia. Perempuan kuat dalam mengandung seorang anak dan pria juga kuat dalam memikul beban yang berat di pundaknya. Alquran telah menjelaskan kedua hal tersebut.

"(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua perempuan yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dangugurlahkandungan segalaperempuanyanghamil" (QSAl-Hajj:2).

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosa itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya” (QS Al- Fâthir:18) Beban berat yang berada di atas bahu atau punggung dinamakan himl, dan beban yang berada di dalam diri manusia dinamakan haml.

Jika perempuan tidak dapat menahan beban berat seperti yang dilakukan pria, maka begitu pula dengan pria, dia juga tidak dapat menahan beban seperti yang dikandung oleh perempuan. Pria tidak dapat, bahkan tidak mungkin mampu melakukannya. Ketika memberikan beberapa tugas pada pria, Alquran hanya memberi beban tugas yang harus dilaksanakan.

< 238 Perempuan dalam ‘Irfân

p: 238

AYATULLAH JAWADI AMULT Modal utama yang dimiliki perempuan adalah potensi keterta- rikannya kepada Dzat Yang Maha Indah dan kemampuan bermunajat kepada-Nya, melebihi kaum pria. Dan apabila pengetahuan ini benar- benar disadari oleh kaum perempuan, lalu mereka mau beramal dengannya, maka mereka akan mengetahui di mana semestinya mereka menggunakan potensi tangisan yang merupakan anugerah Tuhan itu. Benar bahwa kecantikan adalah modal bagi perempuan, tetapi ia harus digunakan pada tempatnya. Kita semua tahu bahwa perempuan diwajibkan menge- nakan hijab, dan zakat kecantikan adalah sifat iffah ('menjaga kesucian diri dengan menjauhkan diri dari berbagai hal yang tidak baik'). Namun, kecantikan perempuan yang hakiki adalah ketertarikannya terhadap Ke- indahan Murni yaitu Allah Swt.

Lalu adakah zakat tangisan, rintihan, dan kelembutan hati? Di mana potensi ini harus digunakan? Perlu diketahui bahwa tangisan yang diperintahkan adalah tangisan ketika memanjatkan doa dan munajat kepada Allah, bukan menangis terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat.

Potensi ini tidak Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya untuk mereka gunakan bukan pada tempatnya sehingga mereka menangisi dunia dan perhiasannya. Jika ia tidak digunakan pada tempatnya, maka ini meru- pakan suatu kezaliman. Selain itu, tidak ada satu pun doa yang disyaratkan hanya dibaca oleh pria dan tidak boleh bagi perempuan ataupun keba- likannya.

Dari sini, dapat kami simpulkan bahwa Allah Swt menjadikan tolok ukur yang sama terhadap perempuan dan pria. Jika dalam jutaan manusia, baik di kalangan terpelajar maupun bukan, tidak ditemukan aktivitas yang bersifat karya nyata, maka itu tidak berarti bahwa mereka tidak akan mencapai tujuan mereka.

Mengingat sudah begitu banyak orang yang terjun dalam melaksanakan tugas-tugas praktis menyangkut persoalan dunia, banyak orang yang bertanya- tanya, “Mengapa kita juga harus menerima tugas-tugas itu? Bukankah mereka yang tampil sudah cukup mewakili kita? Jika mereka tidak lebih berhasil dalam berbagai ilmu pengetahuan agama dan pengorbanannya Perempuan dalam 'Irfân< 239

p: 239

Keindahan dan Keagungan Perempuan terhadap agama Islam dan kaum Muslim, maka apa yang mereka lakukan sudah cukup." Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kita ketahui bahwa kesempurnaan sebenarnya terletak pada hal lain. Akan kita bahas nanti masalah perbedaan antara pria dan perempuan ini secara lebih rinci dan ini merupakan konsekuensi logis yang harus ditekankan berkali-kali, yaitu bahwa sesuatu yang menjadi ukuran kesempurnaan tidak ada kaitannya dengan perbedaan antara pria dan perempuan, dan demikian pula perbedaan antara pria dan perempuan bukanlah sesuatu yang menjadi ukuran kesempurnaan.

diya Na

Perlindungan Allah yang khusus untuk Para Perempuan

Masalah lain yang harus diperhatikan adalah bahwa agama memiliki perhatian khusus terhadap perempuan. Dalam kitab Man Lân Yahdhurohu al-Faqih, misalnya, Ibnu Bâbawaih al-Qummî, pada bab salat, menjelaskan etika perempuan dalam melakukan salat. Bagaimana dia berdiri, rukuk, bertasyahud, bangun dari tasyahhud sehingga dapat serasi dengan sifat kesuciannya ('afâf). Pada penghujung pembahasan tersebut, beliau mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja'far al-Shadiq. Dia berkata, “Jika perempuan hendak bertasbih, maka hendaklah dia bertasbih arinya karena kelak pada hari Kiamat ia akan dimintai kesaksiannya oleh Allah(1)."

Dalam hadis tersebut, yang diperintahkan agar bertasbih dengan jari-jemarinya adalah perempuan, bukan pria. Tentunya, bertasbih yang paling utama, baik bagi pria maupun perempuan, adalah dengan alat ber- tasbih yang terbuat dari turbah al-Husainiyyah (tanah Karbala). Namun, itu tidak berarti jika pria bertasbih dengan ujung jari-jemarinya tidak akan diterima karena tidak ada perintah dalam hadis di atas. Adapun kaitannya dengan perempuan, di samping dia diperintahkan untuk bertasbih dengan turbah al-Husainiyyah, dia juga diperintahkan untuk bertasbih dengan menggunakan ujung jari-jemarinya karena ujung jari jemari tersebut kelak di hari kiamat akan ditanya. Itulah salah satu bentuk perlindungan Allah

p: 240


1- Man Lâ Yahdhurohu al-Faqih, juz 1, hlm. 374, riwayat 1089.

Swt kepada perempuan sehingga jari-jemarinya turut juga melakukan ibadah kepada Allah Swt. Kelak pada hari Kiamat, Allah akan mengum- pulkan seluruh jasad dengan seluruh keistimewaan tersebut. Allah Swt berfirman, “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya secara sempurna" (QS Al-Qiyamah:4).

Melalui hadis di atas, tampak dengan jelas perlindungan Allah terhadap perempuan yang dapat membuat mereka selalu ingat kepada-Nya sehingga mereka diharapkan dapat terhindar dari perbuatan maksiat, paling tidak, dengan tangan tersebut. Hadis di atas sekaligus menunjukkan bahwa seluruh anggota tubuh perempuan tunduk terhadap aturan Allah Swt. Memang perempuan yang berzikir kepada Allah dengan menggunakan tasbih akan memperoleh pahala, tetapi itu tidak berarti pahala tersebut diperoleh karena peranan setiap jemarinya.

Namun jika ujung jemari tersebut digunakan untuk bertasbih, berarti setiap jari dan ujungnya telah melakukan ibadah.

Tentu hadis di atas bukan merupakan pengkhususan atau ke- tentuan yang hanya berlaku bagi perempuan. Kaum pria pun akan mendapatkan pahala serupa jika hal ini mereka kerjakan. Akan tetapi, Allah Swt menjadikan perempuan pada hadis di atas sebagai contoh.

Di samping itu, Allah hendak menegaskan bahwa perempuan dengan seluruh anggota tubuhnya dapat melakukan ibadah kepada-Nya. Hal ini sekaligus isyarat dari-Nya bahwa perempuan memperoleh perlindungan- Nya enam tahun lebih dahulu sebelum pria, yakni berdasarkan usia balig yang dimasukinya bersamaan dengan kali pertama dia haid, pada usia sembilan tahun. Seperti kita ketahui dalam ilmu fikih, Allah Swt telah mewajibkan perempuan melaksanakan kewajiban salat, puasa dan haji, enam tahun lebih awal daripada pria. Sementara bagi pria, hal itu baru diwajibkan setelah dia memasuki usia balignya, yakni pada usia lima belas tahun, enam tahun kemudian. Bukankah hal tersebut merupakan kemuliaan bagi perempuan? Perempuan dalam 'Irfân< 241

p: 241

Keindahan dan Keagungan Perempuan Jika kita tidak dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal tersebut, bukti keagungan perempuan dan kemuliaannya dibanding pria, maka jelaslah bahwa agama telah memberikan perhatian khusus kepada perempuan sehingga jumlah hari-hari yang perempuan diharamkan untuk melaksanakan salat, yakni ketika haid, jika dia telah melaksanakannya sejak dini, akan seimbang dengan jumlah salat yang ditinggalkannya. Oleh karena itu, hal ini bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan.

Namun, patut diketahui bahwa di samping itu, perempuan selayaknya tidak berpikir untuk bersolek, berpakaian atau makan yang berlebihan. Dia juga sepatutnya tidak memikirkan hal-hal yang dikenakan orang lain lalu membandingkannya dengan apa yang dipakainya. Hal ini merupakan kehinaan bagi perempuan. Jika dia terdidik dengan pendidikan agama, maka dia akan memahami bahwa dirinya tidak lebih mulia dan tidak lebih rendah daripada pria. Dia seharusnya melihat kecantikan dan sifat iffah- nya, dengan kacamata Ilahi, bagaimana Allah telah memberinya sebuah kehormatan sekaligus kepercayaan sebagai seorang mukallaf yang melaksanakan segala titah-Nya, dan menyambutnya enam tahun lebih dahulu daripada pria yang saat itu masih sibuk bermain. Tentu, hal ini bukan pertanda bahwa perempuan memiliki akal yang tidak sempurna.

Sebaliknya, karena perempuan adalah makhluk-Nya yang lembut dan sesuatu yang lembut harus diperhatikan.

Dalam pembahasan yang telah lewat, pernah dijelaskan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, "Perempuan adalah tanaman yang berbau harum." Dia adalah bunga yang tidak boleh ditinggalkan. Bunga tersebut harus selalu berada di bawah pengawasan tukang kebun, yang dalam hal ini adalah Allah Swt. Sebagai “tukang kebun setiap manusia", Allah Swt berfirman, “Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya" (QS Nûh:17).

Tentu, Allah Maha Mengetahui “bunga" mana yang lebih baik dan lebih memerlukan perhatian-Nya melebihi dan sebelum “bunga" lain.

< 242 Perempuan dalam 'Irfân

p: 242

AYATULLAH JAWADI AMULT Inilah “stek" pria dan perempuan yang diciptakan oleh Allah. Dia Maha Mengetahui bahwa sebagian "stek" harus dilindungi sebelum yang lainnya. “Stek" tersebut yang mesti diletakkan di bawah perlindungan agama secara cepat. Demikian pula, perempuan sejak usia dininya harus menjadi perhatian utama Allah agar tidak terkontaminasi. Inilah salah satu bukti keagungan perempuan.

Penutup

Dasar 'irfân, yaitu penyaksian terhadap realitas wujud dan pe- nyingkapan hakikat Ilahi, bersumber dari sair dan sulûk dalam hierarki wujud dan bersumber dari pemantauan pesuluk yang meniti jalan wishâl, dan dari penyaksian perjalanan spiritualnya.

Hasil 'irfân banyak didukung oleh bukti-bukti rasional. Konklusi- konklusinya dibenarkan Alquran dan dianggap layak apabila sesuai dengan argumen yang kuat dan 'irfân yang benar. Seorang arif melihat bahwa segala sesuatu senantiasa mengalami pembaruan, dan dalam hal ini, tidak berbeda antara sesuatu yang bersifat statis (tsâbit) dan yang dinamis (sayyâl), antara yang abstrak dan yang konkret.

Tujuan para pesuluk, seluruhnya, adalah perjumpaan dengan Allah. Masing-masing mereka memiliki bentuk tajallî tersendiri sesuai dengan pilihan mereka. Perbedaan para pesuluk dalam memilih tajallî nama-nama Allah pada diri mereka ini membuat nama-nama-Nya mewujud secara khas dalam diri mereka. Sebagian mereka menjadi manifestasi Kemahalembutan-Nya, dan sebagian lain menggambarkan Kemahaperkasaan-Nya. Mereka yang menjadi manifestasi keindahan Allah akan dikumpulkan di surga, sementara yang menyandang Kemahaperkasaan-Nya dikumpulkan di neraka. Pada akhirnya, masing- masing merupakan gambaran nama-nama Tuhan dan mereka akan menetap di bawah wilâyah nama tersebut. Allah Swt berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya" Perempuan dalam 'Irfân 243

p: 243

Keindahan dan Keagungan Perempuan (QS Al-Insyiqâq:6).

Ayat tersebut merupakan tolok ukur dalam penentuan buku amal para penempuh jalan Allah yang pada akhirnya orang-orang yang berbahagia akan menerima buku catatan amal melalui tangan kanan dan akan dipertemukan dengan teman dan keluarga mereka, di samping memuat pula laporan tentang perbuatan orang-orang fasik dalam bentuk penerimaan buku catatan amal dari belakang mereka yang disertai dengan penyesalan mereka yang dalam.

Setiap penempuh jalan akan mendapat konsekuensinya masing- masing. Tak ada perbedaan antara seorang Muslim dan kafir dalam hal keletihan yang akan mereka alami sebagai konsekuensi dari kesungguhan mereka beraktivitas. Namun, aktivitas orang kafir hanya bergerak di sekitar dirinya saja, dari materi, menuju materi, dan demi memperoleh tujuan-tujuan yang bersifat materi pula. Dalam perjalanannya, orang kafir tidak pernah melihat tujuan-tujuan hakiki. Akhirnya, manusia kafir adalah gambaran kesesatan. Dia akan masuk ke neraka seperti setan yang menyesatkan.

Dalam perjalanan ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Itu karena tauhid dan kekufuran adalah sifat yang melekat pada ruh, dan ruh tidak berjenis kelamin pria ataupun perempuan.

Seorang Mukmin yang meyakini ke-esa-an Allah akan menempuh perjalanannya menuju ke hadirat-Nya dengan bertemankan kebenaran.

Dia melintasi seluruh tahapan perjalanannya, dan sedikit pun tak pernah melihat kemajemukan (al-katsrah) tanpa disertai kesaksiannya atas Dzat Yang Mahatunggal. Makhluk yang dilihatnya tidak membuatnya terhalangi untuk melihat Sang Khalik, tetapi justru makhluk tersebut dijadikannya sebagai tanda Kemahabenaran-Nya sekaligus cermin yang dengannya dia dapat melihat keindahan Sang Khalik.

Pada akhirnya, sang hamba Mukmin tersebut menjadi mani- festasi petunjuk Ilahi. Dia akan tinggal di surga seperti malaikat pemberi petunjuk. Di sini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

<244 Perempuan dalam 'Irfân

p: 244

AYATULLAH JAWADI AMULI Para penempuh jalan menuju Allah, dan para penyaksi alam gaib dan alam nyata, terbagi menjadi empat bagian. Dalam seluruh tahapan tersebut, Dzat Yang Maha-haqq selalu hadir:

Pertama, perjalanan dari makhluk menuju Dzat Yang Maha-haqq dan dari kemajemukan (al-katsrah) menuju ketunggalan (al-wahdah).

Kedua, perjalanan dari Dzat Yang Maha-haqq menuju Dzat Yang Maha- haqq serta perjalanan dalam lautan keesaan dan penyaksian nama- nama dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Esa dan Mahatunggal. Ketiga, perjalanan dari Dzat Yang Maha-haqq menuju makhluk, dan dari ketunggalan menuju aneka perbuatan dan dampak yang bersifat majemuk. Keempat, perjalanan dari makhluk menuju makhluk bersama Dzat Yang Maha- haqq dan perjalanan dari kemajemukan menuju kemajemukan bersama ketunggalan-Nya.

Keempat, perjalanan tersebut telah dikemukakan penjelasannya beserta hasil dari setiap tahapannya dan kesimpulan terakhir dari keempat tahapan secara proporsional. Namun, perlu dikemukakan di sini bahwa tahapan-tahapan tersebut hanya merupakan gambaran umum tentang wilâyah dan dampak-dampaknya. Orang-orang yang menempuh perjalanan tersebut meliputi pria dan perempuan dan bersama Dzat Yang Maha-haqq, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Adapun perjalanan ketiga dan keempat menjelaskan tentang berbagai tingkatan wilâyah. Dalam hal itu, selamanya tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dan tidak terikat dengan masalah kenabian dan risalah. Artinya perjalanan ketiga dan keempat menjamin para penempuhnya sampai kepada Allah Swt tanpa yang bersangkutan harus mencapai maqam kenabian dan kerasulan. Itu karena kembali dari Dzat Yang Maha-haqq menuju makhluk, dan dari keesaan (al-wahdah) menuju kemajemukan, meski tidak disertai kenabian anbâ“ ataupun taʻrífi, tetapi tidak menuntut pula adanya nubuwwah dan risalah tasyrîfî.

Oleh karena itu, walaupun kenabian tasyrîrî tidak bisa didapatkan oleh perempuan, tetapi bukan sebuah keharusan bagi perempuan untuk kembali menempuh perjalanan dari Dzat Yang Maha-haqq menuju Perempuan dalam 'Irfân < 245

p: 245

Keindahan dan Keagungan Perempuan makhluk. Di sini pun tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Tidak pula diharamkan bagi perempuan untuk menempuh perjalanan ketiga dan keempat di atas.

Tujuan kenabian dan risalah adalah wilâyah. Dalam hal wilâyah, tidak ada perbedaan antara perempuan dan pria, meski dalam konsekuensi pelaksanaannya terdapat perbedaan, yaitu kenabian dan kerasulan tasyrîrî. Selain itu, meski terdapat perbedaan antara perempuan dengan pria dalam hal kenabian tasyrîrî, yakni perempuan tidak dapat menjadi nabi dan pembawa syariat, sementara pria dapat mengemban tugas tersebut, tetapi setelah penutup kenabian tasyrîrî, kenabian tasyrîtî telah tertutup untuk seluruh manusia, pria ataupun perempuan. Oleh karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Kenabian telah berakhir dengan kematianmu yang sebelumnya ia tidak berakhir dengan meninggalnya seseorang." Atas dasar ini, keutamaan pria dalam hal kenabian tasyrîdî pada akhirnya tidak menjadikannya lebih unggul daripada perempuan. Karena itu, mereka yang berkeinginan mengeluarkan perempuan dari gelanggang politik, sosial, budaya, dan ekonomi tidak memiliki dalil apa pun. Jika keterhalangan dalam memperoleh maqam kerasulan tasyrîrî merupakan sebuah kekurangan, maka pria sama dengan perempuan karena pria juga tidak dapat memperoleh maqam tersebut setelah kenabian berakhir.

Sementara wilayah dapat dicapai oleh siapa pun, pria dan juga perempuan.

Perempuan, sebagaimana pria, memiliki kehormatan ini. Bila yang dimaksud adalah pembagian tugas atau jabatan-jabatan eksekutif, dengan tetap menjaga jarak antara pria dan perempuan, maka perempuan juga berhak untuk itu. Apabila yang menjadi tema pembahasan kita adalah pergaulan yang tidak dibenarkan, maka pria, sebagaimana perempuan, juga dilarang. Namun, jika yang dimaksud adalah jabatan-jabatan eksekutif dengan mempertimbangkan potensi dan kriteria pada pria dan perempuan, maka keduanya berpeluang mengemban tugas yang sepadan.

Tentu, tugas-tugas eksekutif untuk pria lebih banyak.

246 Perempuan dalam 'Irfân

p: 246

AYATULLAH JAWADI AMULT Al-Qaishari, dalam syarah al-Fashsh al-Muhammadî yang mengutip pembicaraan Muhyiddîn Ibnu Arabî dalam kitab Fushûsh-nya, menga- takan, “Ketahuilah bahwa pada hakikatnya perempuan adalah zat pria.

Adapun dalam pembentukannya, yang satu terbedakan dari yang lain(1)." Artinya, karena asal keduanya adalah satu, maka tidak ada perbedaan antara keduanya. Dari sisi hakikat, seluruh kedudukan yang tergambar bagi pria dapat dicapai oleh perempuan juga. Sebagaimana dikemukakan, “Sesungguhnya kedudukan-kedudukan ini tidaklah dikhususkan untuk pria saja, karnanya perempuan juga dapat meraihnya. Tetapi karena kemenangan ada di pihak pria, maka perempuan disebut dengan nama pria(2)"

Namun, apakah kemenangan tersebut berkaitan dengan esensi pria yang dapat menerima, sedangkan perempuan tidak? Atau apakah itu merupakan pengaruh pendidikan lingkungan, keluarga, tradisi dan lainnya yang perlu dibahas secara terpisah? Sebagian pria tidak saja berkecenderungan lebih rendah daripada pria yang lain, bahkan mereka lebih rendah daripada sebagian perempuan juga.

Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabî berpendapat bahwa rahasia dicintainya perempuan adalah karena Allah tidak mungkin disaksikan tanpa adanya manifestasi (tajallſ) nama-nama dan sifat-sifat Tuhan pada kalbu sang Mukmin, yang menggambarkan Allah dalam gam- baran yang termulia. Perempuan lebih sempurna daripada pria dalam tajallî ini. Itu karena pria hanya merupakan manifestasi dari dua sifat llahi, yakni sifat “menerima" dan "bereaksi", sementara perempuan, di samping manifestasi dari kedua sifat tersebut, juga merupakan gambaran “aksi" dan sifat “pemberi pengaruh"-Nya. Oleh karena itu, perempuan "beraksi" dengan mempengaruhi dan memikat pria sehingga lahirlah “reaksi” pria, yakni mencintainya. Inilah salah satu contoh manifestasi sifat Allah pada hamba- Nya.

Ditinjau dari sisi ini, perempuan lebih sempurna daripada pria. Jika pria ingin “melihat" Allah melalui gambaran dirinya, maka penyaksiannya

p: 247


1- Syarh al-Qaishari, hlm. 473-478.
2- Al-Fashsh al-Mûsâwî, hlm. 452.

tidak akan sempurna. Sebaliknya, jika dia ingin “melihat”-Nya melalui gambaran perempuan, maka dia akan melihat-Nya dengan sempurna.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw mencintai perempuan sebagaimana diungkapkan oleh beliau dalam sebuah hadis yang masyhur bahwa ada tiga hal dari dunia yang dicintai oleh Rasulullah Saw, yaitu perempuan, minyak wangi, dan salat.(1)

Di sini, akan kami kemukakan beberapa hal yang perlu diketahui sebagai penjelasan terhadap ungkapan Syaikh Muhyiddîn Ibnu Arabî di atas.

Pertama, yang dimaksud dengan cinta dalam pembahasan ini adalah cinta Ilahi, bukan cinta hewani. Sehubungan dengan ini, Ibnu Arabî berkata, “Barang siapa mencintai perempuan dengan nafsu birahi, maka nafsu tersebut akan menguasainya sehingga ia menjadi sebuah bentuk tanpa ruh."(2)

Kedua, maksud dari sifat "beraksi" dan "bereaksi" di atas adalah bahwa perempuan bereaksi bersama pria, yakni “reaksi"-nya bukan disebabkan oleh aksi sang pria, bukan pula bahwa perempuan adalah pelaku “aksi" utama dalam pembuahan janin di dalam rahim. Meski masalah ini sangat penting, tetapi itu di luar tema utama pembahasan kita saat ini, yaitu alasan Nabi mencintai perempuan.

Ketiga, penjelasan al-Qaishari mengenai masalah ini sangatlah jelas dan mencakup seluruh masalah yang ada dalam buku-buku syarah yang lain, misalnya tulisan Mua' yyiddîn al-Jundî dan Mullâ Abd al-Razzaq al-Kâsyânî.

Penjelasan lain yang diungkapkan oleh Syaikh Muhyiddîn Ibnu Arabî dalam bukunya al-Futûhât adalah sebagai berikut:

Pertama, kemunculan perempuan dianggap berasal dari pria. Oleh karena itu, selamanya perempuan tidak akan dapat sampai ke tingkatan pria. Dan firman Allah Swt, “Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (QS Al-Baqarah:228) dianggapnya

p: 248


1- 49 Al-Fashsh al-Muhammadi, hlm. 477-478, Syarh al-Qaishari.
2- 50 lbid., 480.

AYATULLAH JAWADI AMULI sebagai penguat terhadap pendapatnya ini.51 Namun, masalah itu masih perlu diteliti dan ditinjau kembali.

Kedua, orang-orang yang dapat sampai kepada Allah adalah kaum pria dan perempuan, bukan hanya kaum pria(1).

Ketiga, perempuan yang mengalami haid al-syaithânî yang buruk, wajib mandi karenanya. Seluruh ahli tharîqah dan riyâdhah sepakat bahwa berbohong adalah haidnya jiwa. Artinya, orang yang berbohong berarti juga orang yang mengalami haid, dan karenanya kejujuran adalah mandi dari haid jiwa tersebut(2).

Keempat, ketika mayat perempuan dan pria hendak disalati secara bersama-sama, apakah mayat perempuan dapat diletakkan di dekat kib- lat dan lebih dikedepankan? Atau sebaliknya, mayat pria yang harus dekat dengan kiblat dan lebih dikedepankan? Dalam hal ini, Ibnu Arabî berpendapat bahwa perempuan adalah sebuah "wadah" terbentuknya janin, maka dia lebih dekat kepada Sang Pencipta yang hakiki, yakni Allah, daripada pria. Oleh karena itu, sepatutnya perempuan dikedepankan daripada pria sehingga perempuan lebih dekat dengan kiblat; sehingga jika perempuan tersebut melahirkan anak, maka bayinya diharapkan dapat tumbuh dewasa dengan membawa fitrah tauhid(3).

Kelima, ketika menafsirkan firman Allah Swt, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah..." (QS al-Nûr:37), Ibnu Arabî menegaskan bahwa peluang untuk memperoleh maqam kesempurnaan yang disebutkan oleh ayat tersebut juga terbuka bagi para perempuan, meski yang menjadi subjek pada ayat di atas adalah rijal, yakni laki-laki(4).

Keenam, Ibnu Arabî mengatakan bahwa perbedaan yang banyak antara pria dan perempuan adalah dalam masalah yang berkaitan dengan hukum haji. Itu karena, meski keduanya berkumpul secara fisik, sebenarnya mereka berbeda karena pengaruh gender. Artinya kema- 51 Al-Futûhât, bab 7, juz 2, hlm. 287, 248, Tahqiq Usman Yahya.

p: 249


1- 52 Ibid., bab 44, juz 4, hlm. 106, 248.
2- 53 Ibid., bab 6, juz 5, hlm. 391.
3- 54 Ibid., bab 69, juz 8, hlm. 89.
4- 55 lbid.

Keindahan dan Keagungan Perempuan nusiaan adalah substansi keduanya, sedangkan gender adalah sesuatu yang aksidental(1)

Ketujuh, pada bab yang sama Ibnu Arabî mengatakan bahwa terkadang perempuan dapat sampai ke maqam kesempurnaan se- bagaimana yang dicapai oleh pria, dan terkadang pria dapat jatuh sampai ke suatu tingkatan yang lebih rendah daripada perempuan(2).

Kedelapan, Ibnu Arabî mengatakan bahwa pria dan perempuan dapat sampai ke maqam-maqam yang tinggi. Ketika membahas tentang para pria dan perempuan yang menjaga hukum-hukum Allah, beliau mengatakan bahwa tidak ada satu sifat yang dimiliki oleh pria kecuali juga dimiliki oleh perempuan, dan dalam sifat tersebut ada sebuah ke- cenderungan hati yang Allah telah jadikan untuk mereka(3).

Demikianlah pendapat-pendapat Ibnu Arabî seputar permasalahan perempuan dan pria. Masih banyak lagi pendapat beliau seputar masalah ini, yang dapat kita temukan dalam tulisan-tulisannya yang lain. Antara lain berkenaan dengan contoh-contoh yang dikemukakannya seputar tema ini, misalnya apa yang beliau kisahkan tentang para perempuan terkenal yang beliau temui langsung.

p: 250


1- 56 Ibid., juz 78.
2- 57 Ibid., juz 8, hlm. 142-143.
3- 58 Ibid., juz 73.

Figur-Figur P erempuan yang Memiliki Maqâm Irfânî

Point

Sejarah mencatat bahwa ada beberapa perempuan Muslim yang memiliki maqam 'irfân yang sangat tinggi, yang di antaranya pernah menggubah beberapa bait puisi 'irfân yang amat dalam maknanya. Di sini, akan kami sebutkan beberapa orang di antara mereka sebagai contoh.

Râbi'ah al-Syâmiyyah

Dia adalah istri Ahmad ibn Abî al-Hawârî. Keutamaan dan karamah- nya diakui banyak orang. Suaminya pernah berkata, “Pernah suatu ketika, dia menyiapkan hidangan makan seraya berkata kepadaku, ‘Makanlah, sesungguhnya makanan itu menjadi matang berkat tasbih'(1)"

Apa gerangan maksud ungkapan tersebut? Apakah itu berarti dia terus bertasbih pada saat memasak? Sebagaimana hal serupa juga pernah terjadi pada sebagian marja' taqlîd (orang yang dijadikan sumber rujukan hukum dalam ber-taqlîd) di mana diceritakan bahwa ibunya berkata, "Aku tidak menyusuinya kecuali dengan menyebut nama Allah." Jika demikian, apakah artinya dia terus mengucapkan kalimat subhânallâh pada saat memasak? Ataukah makanan itu menjadi matang karena tasbih? Mungkinkah memasak makanan dengan tasbih, artinya jika seseorang mengucapkan subhanallah, maka makanan tersebut menjadi matang?

p: 251


1- 59 Al-Durr al-Mantsûr, hlm. 201.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Dalam surah Yûnus, diceritakan bagaimana para penghuni surga menikmati makanan. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan. Doa mereka di dalamnya ialah, 'Subhânakallâhumma, dan salam penghormatan mereka ialah ‘Salâm.' Dan penutup doa mereka ialah 'Alhamdulillâhi Rabb al- 'alâmîn.'" (QS Yûnus:9-10).

Apakah maksud doa penghuni surga adalah tasbih? Kalimat tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, mereka berdoa dan meminta sesuatu. Kedua, mereka bertasbih, doa mereka di dalamnya ialah subhânakallâhumm, maka kata tasbih sudah jelas. Namun apa maksud doa dan hamdalah? Dan apa keserasian antara doa, tasbih dan hamdalah? Sesuatu yang patut diakui bahwa mereka adalah makhluk yang mumkin al-wujûd dan membutuhkan sesuatu. Oleh karena itu, di surga kelak mereka pasti menginginkan makanan. Namun, ketika para penghuni surga menginginkan makanan dan buah, mereka tidak menga- takan, “Sediakan untukku buah-buahan," atau mereka pergi ke kebun, lalu memetik buah-buahan. Namun, sebagaimana bunyi ayat di atas, doa mereka di dalamnya ialah subhânakallâhumma, artinya segala sesuatu yang diinginkan oleh mereka tersedia dengan tasbih. Jika mereka menginginkan air telaga kautsar atau buah-buahan, maka mereka mengatakan, subhânakallâhumma. Dengan demikian, doa permohonan mereka terhadap sesuatu apa pun di surga kelak, mereka awali dengan mengucapkan kalimat tasbih, yakni subhânakallâhumma.

Keserasian antara penguatan doa tersebut dengan tasbih adalah bahwa ketika mereka melihat diri mereka membutuhkan sebuah nikmat surga, maka mereka mendapatkan bahwa Allah Swt tersucikan dari sifat butuh tersebut, sehingga mereka tidak mengatakan, “Beri kami buah- buahan atau air", tetapi pertama-tama, mereka mengatakan, “Mahasuci Allah dari sifat butuh." Artinya, merekalah yang membutuhkan dan < 252 Figur-figur Perempuan yang Memiliki Maqâm Irfânî

p: 252

AYATULLAH JAWADI AMULT Allah jauh dari sifat butuh terhadap buah-buahan selamanya. Etika keseharian kita di dunia pun menuntut agar kita senantiasa berperilaku demikian terhadap orang-orang mulia. Apalagi dengan perilaku kita terhadap Allah sebagai Pencipta orang-orang mulia? Para penghuni surga, bila membutuhkan sesuatu tidak mengatakan, “Aku butuh ini" atau "Berikan itu padaku." Namun, mereka mengatakan, “Maha Suci Engkau dari sifat butuh, subhânakallâhumma, berilah kami ini dan itu." Adapun kaitan antara doa dan kalimat hamdalah, yakni dan penutup doa mereka ialah Alhamdulillâhi Rabb al-'alâmîn adalah bahwa setelah tasbih, ketika mereka memperoleh beberapa nikmat dari Allah, mereka menunjukkannya dalam bentuk syukur melalui perkataan mereka, Alham- dulillâhi Rabb al-'alâmîn. Hamdalah mereka ucapkan setelah tasbih, dan tasbih di sini adalah isyarat permintaan mereka. Ketika permintaan tersebut dikabulkan dan segala yang diinginkan terwujud, maka tibalah peranan syukur dan pujian sehingga mereka mengatakan, Alhamdulillâhi Rabb al-'alâmîn.

Rabi'ah al-Syâmiyyah berkata kepada suaminya, "Makanlah makanan ini, sesungguhnya makanan itu tidak menjadi matang kecuali dengan tasbih." Belum tentu maksud ungkapan tersebut adalah bahwa pada saat dia memasak makanan itu, lisannya terus bertasbih kepada Allah Swt. Boleh jadi, maksudnya adalah bahwa makanan tersebut dimasak dengan tasbih.

Râbi'ah al-Syâmiyyah juga dikenal memiliki puisi-puisi indah yang selalu dilantunkannya. Suaminya berkata, “Istriku memiliki kondisi hati yang bermacam-macam." Memang itulah hati, memiliki kondisi yang bermacam-macam sehingga banyak hal tampak pada hati. Terkadang ada cinta, rasa takut atau harapan sehingga pemilik hati yang dalam hal ini adalah Rabi'ah al- Syâmiyyah dapat menuturkan segala sesuatu berdasarkan apa yang dia rasakan hadir dalam dirinya. Jika yang dirasakan Rabi'ah adalah cinta kepada Allah, maka dia berkata, Kekasihku, Yang tak memiliki kekasih Figur-figur Perempuan yang Memiliki Maqâm Irfânî < 253

p: 253

Keindahan dan Keagungan Perempuan selain-Nya tiada tempat dalam hatiku Kekasihku, Yang hilang dari pandangan dan ragaku namun Dia tiada hilang dari hatiku.

Apa yang disebut-sebut sebagai kekasihnya di sini adalah “Dia Yang tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata" (QS Al-An'âm:103). Dia tertutup dari pandangan mata karena Dia tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi Dia memiliki tempat di dalam hati. Inilah yang digambarkan oleh salah satu kalimat yang terdapat dalam doa Kumâ'il, penuhi hatiku supaya mencintai-Mu.

Terkadang ketika Râbi'ah mengalami suatu kondisi kemesraan dengan Allah, dia berkata, Kujadikan Engkau teman berbincang kalbu biar tubuhku berbincang dengan-Mu Dengan-Mu tubuhku merasa dekat dalam kalbu terpancang selalu, oh kasihku, cintaku Bekalku sedikit, aku tak tahu dapatkah ia mengantarkanku, jauhnya perjalananku membuatku menangis Hendakkah Kau membakarku? Apakah api neraka-Mu untukku? Wahai Puncak Segala Harapan, pengharapan dan rasa takutku hanyalah pada-Mu.

Hal ini senada dengan ucapan Imam Ali as yang menyatakan:

“Duhai, alangkah sedikitnya bekal, panjangnya perjalanan dan jauhnya bepergian."

Râbi'ah al-Bashariyyah al-“Adawiyyah

Terdapat beberapa pesan pendidikan yang dituturkan oleh Råbi'ah al-'Adawiyyah.

Diriwayatkan bahwa dia banyak menangis, ketakutan hingga jatuh pingsan manakala dia mendengar cerita tentang neraka, lalu dia berkata, "Permohonan ampun kita membutuhkan permohonan ampun." Inilah 254 > Figur-figur Perempuan yang Memiliki Maqam Irfânî

p: 254

AYATULLAH JAWADI AMULT tingkat makrifat yang tinggi. Hal serupa dikatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad a.s ketika berkata, "Wahai Tuhanku, jika hamba yang seluruh kebaikannya me- rupakan kejelekan, maka apakah seluruh kejelekannya bukan merupakan kejelekan?(1)"

Orang yang terperdaya oleh dirinya akan merasakan bahwa dirinya telah banyak berbuat baik. Orang itu, dengan khayalan yang dibuatnya, merasa telah sampai ke maqam spiritual yang tinggi. Ada orang yang sedang melaksanakan salat, lalu dia membayangkan bahwa dirinya sedang melakukan suatu ibadah yang berarti. Dia tidak menyadari bahwa seluruh taufik yang diperolehnya bersumber dari kemurahan Allah Swt. Inilah amal perbuatan orang-orang yang tertipu oleh diri mereka dan ini pulalah yang ditegaskan oleh Imam al-Sajjad a.s dalam munajatnya di atas: apabila seluruh kebaikan manusia merupakan kejelekan dalam pandangan Allah, tentu lebih-lebih lagi dengan keburukannya.

Dengan nada yang sama, Ràbi'ah al-“Adawiyyah mengatakan bahwa permohonan ampun kita membutuhkan permohonan ampun. Itu karena keinginan untuk memohon ampun tersebut tidak dilakukan secara tulus.

Dia tidak menerima pemberian apa pun yang diberikan oleh orang, sehingga dia berkata, “Aku tidak membutuhkan dunia." Riwayat lain menyatakan bahwa ketika Râbi'ah mendengar bahwa Sufyan al-Tsaurî mengatakan, “Aduh, alangkah sedihnya hatiku. Hingga kapan kita harus menjadi orang-orang yang sedih?" Râbi'ah menjawab, “Alangkah sedikitnya rasa sedihku, aku merasa sakit, tetapi mengapa hanya demikian?" Orang lain mengatakan, “Mengapa aku sedih?" Semen- tara dia mengatakan, “Mengapa rasa sedihku hanya sedikit?" Dalam kesempatan lain, Rabi'ah al-“Adawiyyah juga mengatakan, "Sembunyikanlah seluruh kebaikan kalian sebagaimana kalian menyembunyikan keburukan kalian, karena menampakkan kebaikan merupakan sebuah kekurangan manusia."

p: 255


1- 60 Doa Hari Arafah, bagian terakhir.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Salah seorang ahli makrifat mengatakan bahwa munculnya para kekasih Allah dengan lebih memilih tampil sebagai hamba Allah sejati yang menunjukkan kehambaan ('ubûdiyyah) murni di hadapan-Nya, daripada tampil sebagai sosok manifestasi Kebesaran-Nya (rubûbiyyah).

Artinya, jika tidak karena darurat, maka para kekasih Allah tidak mungkin menampakkan suatu hal luar biasa yang tak mungkin dilakukan oleh lazimnya makhluk, yang merupakan Kebesaran Allah Swt, karena itu adalah manifestasi rubûbiyyah-Nya yang tampak pada diri mereka. Orang- orang yang telah sampai ke tujuan mereka mengatakan bahwa kemun- culan para kekasih Allah dalam ‘ubûdiyyah lebih mereka sukai daripada kemunculan mereka dalam rubûbiyyah. Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah” (QS Al-Ra'd:38).

Kalau tidak ada izin dari Allah, tidak ada seorang rasul pun yang dapat mendatangkan mukjizat. Jika tidak, maka seluruh makhluk, baik malaikat maupun manusia, tidak akan dapat melakukan sesuatu sesuka mereka.

Segala yang ada di alam ini berjalan atas kehendak Allah Swt. Ketika suatu keajaiban muncul, maka itu berarti ketuhanan Allah hadir melalui perantaraan manusia sempurna.

Syihabuddin al-Suhrawardi dalam buku 'Awârif al-Ma'arif mengutip bait-bait puisi yang dinisbahkan kepada Rabi'ah al-Syâmiyyah dan Râbi'ah al-'Adawiyyah yang, antara lain, Kujadikan Engkau teman berbincang kalbu biar tubuhku berbincang dengan-Mu Dengan-Mu tubuhku merasa dekat dalam kalbu terpancang selalu, oh kasihku, cintaku.

Tidak sedikit perempuan yang selalu terjaga sepanjang malam. Sebagian mereka mengatakan, “Aku telah menyaksikan jejak kebajikanku melalui mimpi, dan ia telah mengantarkanku ke beberapa tingkatan cahaya." Dalam suatu kesempatan, Rabi'ah berkata, < 256 > Figur-figur Perempuan yang Memiliki Maqâm Irfânî

p: 256

AYATULLAH JAWADI AMULI Duhai jiwa, berapa lama kau tertidur? Sampai kapan kau tertidur? Hampir saja kau tertidur dan tidak bangun kalau bukan karena sangkakala Hari Kebangkitan mengoyakmu Wahai Tuhanku, pengabdianku kepada-Mu Bukan karena panasnya neraka, bukan karena nikmatnya surga, namun karena besarnya cintaku pada-Mu Rindu bertemu dengan-Mu itulah yang mendorongku.

Ungkapan para kekasih Allah semacam itu cukup mempengaruhi murid-murid mereka. Dalam kesempatan lain, Râbi'ah berkata, Daku mencintai-Mu dengan dua cinta, satu karena hasrat dan satu karena Kaulah yang paling layak Hasrat-hasrat adalah karena kesibukanku mengingat-Mu daripada selain-Mu Kelayakan-Mu adalah karena Engkau telah bukakan tabir hingga daku dapat melihat-Mu Maka tak ada puji untuk ini dan itu, segala puji hanya untuk-Mu selalu.

Râbi'ah Binti Ismâſîl

Berkenaan dengan riwayat hidup perempuan agung ini, diriwayat- kan bahwa suatu ketika Râbi'ah Binti Isma'îl mengatakan bahwa dia melihat para penghuni surga berlalu-lalang. Mereka datang dan pergi.

“Dan barangkali, aku telah melihat bidadari bersembunyi dariku di balik lengan baju mereka," tuturnya.(1)

Memang, banyak kaum lelaki yang telah mencapai maqam spi- ritual tinggi, menyembunyikan diri mereka dari pandangan para imam suci, sebagaimana para malaikat pun terkadang menyembunyikan diri di hadapan kaum lelaki kekasih Allah. Demikian pula dengan para perempuan yang telah sampai ke suatu maqam tertentu, para bidadari bersembunyi dari mereka. Namun, apakah bidadari itu bersembunyi

p: 257


1- 61 Al-Durr al-Mantsûr, hlm. 203.

Keindahan dan Keagungan Perempuan ataukah mereka dikalahkan oleh pancaran cahaya para perempuan agung itu? Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa tetesan air wudhu seseorang akan menjadi malaikat. Artinya, malaikat tercipta dengan amal saleh manusia. Hal ini sama dengan sungai madu surga yang juga diciptakan dari amal saleh. Allah Swt berfirman, “Dan sungai-sungai dari madu yang disaring" (QS Muhammad:15).

Madu surga tidak terbuat dari lebah, tetapi diciptakan oleh puasa dan salat. Demikian pula bidadari, tidak seperti manusia yang asal-usul penciptaannya disebutkan oleh Allah dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Ia juga tidak seperti jin yang diciptakan dari api yang sangat panas" (QS Al-Hijr:27).

Bidadari diciptakan oleh amal ibadah, seperti halnya salat dan ketaatan. Oleh karena itu, jika malaikat diciptakan dengan salat, tentunya orang yang melakukan salat lebih tinggi dari aktivitas salat. Itu karena orang yang melakukan suatu kebajikan lebih baik daripada kebajikan itu sendiri62 Jadi, para perempuan penghuni surga kedudukannya lebih tinggi daripada bidadari. Demikianlah kedudukan tinggi perempuan. Jika ada orang yang menganggap bahwa ada beberapa tugas keduniaan yang tidak boleh ditangani oleh perempuan sehingga mereka tidak dapat mencapai kesempurnaan spiritual, sebagaimana pria, maka itu adalah prasangka batil yang tidak dapat diterima.

Dari sini, dapat disimpulkan bahwa peluang terbuka selebar- lebarnya bagi semua pihak, baik pria maupun perempuan, untuk dapat mencapai maqam kesempurnaan spiritual.

p: 258

Siapakah para Abdâl dan Awtâd?

Abdâl adalah 'orang-orang yang sedang menapaki jalan spiritual menuju Allah Swt dan mereka tidak berada di bawah bimbingan siapa pun'. Salah satu sifat mereka adalah mufrid atau mufrad, artinya mereka menempuh jalan tersebut seorang diri. Meskipun jalan tersebut sulit, mereka dapat melaluinya, dan meski kebanyakan manusia memerlukan bimbingan seorang pembimbing, dia mampu menempuh jalan tersebut sendirian.

Ketika salah seorang arif ditanya, “Berapa jumlah abdál?" Dia menjawab, “Empat puluh jiwa." Dia ditanya lagi, “Mengapa Anda tidak menjawab empat puluh pria?" Dia pun menjawab, “Jika empat puluh jiwa, maka tentunya seluruhnya bukan pria, dan di antara mereka pasti ada perempuan. Selain itu, orang yang telah sampai ke tingkat abdâl adalah seorang manusia, dan kemanusiaan tidak dapat disifati sebagai pria ataupun perempuan(1).".

Terdapat banyak kelompok kekasih Allah, dan masing-masing memiliki nama dan istilah. Namun, ketika pertanyaan tersebut khusus berkaitan dengan masalah abdâl, maka orang arif di atas menjawab, “Empat puluh jiwa." Artinya yang dapat sampai ke tingkatan tersebut bukan saja pria, tetapi manusia, yakni pria dan perempuan. Kemanusiaan tidaklah dapat disifati sebagai pria ataupun perempuan.

Betapapun, banyak sekali contoh yang jika disebutkan akan menjadi jelas betapa banyaknya peranan perempuan pada masa permulaan Islam.

Insya Allah, hal ini akan lebih kami perjelas lagi pada pembahasan- pembahasan mendatang. Di samping itu, banyak sekali perempuan yang dapat dianggap setingkat dengan pria, misalnya Uwais al-Qarnî, tetapi karena mereka tidak banyak dipaparkan dalam sejarah, maka sedikit orang yang mengetahuinya. Seperti peristiwa Fudhail Ibn 'lyâdh yang sangat populer dalam sejarah dan banyak dikutip oleh para arif. Cerita tersebut disinggung oleh penggalan akhir firman Allah Swt yang berbunyi,

p: 259


1- 63 Tafsir Rûh al-Bayân, surah Âli 'Imrân, juz 2, hlm. 34.

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah" (QS Al-Hadîd:16).

Kasus Fudhail Ibn 'lyàdh ini merupakan salah satu peristiwa yang menunjukkan tingkat ‘irfân yang sangat tinggi. Peristiwa serupa pernah terjadi pada perempuan yang memiliki tingkat 'irfân yang sama.

Sebuah riwayat mengatakan bahwa suatu ketika, seorang majikan panik melihat kondisi aneh yang di alami budak perempuannya. Sang majikan kemudian membawanya ke rumah sakit karena perempuan tersebut mengungkapkan sebuah puisi yang bermakna tinggi tentang kekasih sehingga membuat bingung para cendekiawan sekalipun. Karena ketidaktahuan dan prasangka buruknya, sang majikan bertanya- tanya siapa gerangan kekasih perempuan ini yang selalu disebut-sebut dalam puisinya, dan yang membuatnya selalu menangis dan berteriak.

Sore harinya, beberapa orang arif menemui perempuan itu, dan mereka segera mengetahui bahwa perempuan tersebut telah sampai ke suatu tingkatan tidak melihat sesuatu, kecuali Allah. Lalu dia menyusun sebuah puisi yang tinggi. Akhirnya mereka mengeluarkan perempuan tersebut dari rumah sakit dan mereka tahu bahwa kejernihan hati dan tingginya kualitas ruhani tidak hanya dapat dimiliki kaum pria. Dalam menempuh perjalanan menuju Allah Swt, perempuan, kalaupun tak dapat menyamai pria, mereka memiliki potensi yang sama dengan pria.

p: 260

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

Point

Dalam bab-bab sebelumnya telah dikemukakan bahwa sistematika pembahasan dalam buku ini terbagi menjadi tiga pasal, yakni pembahasan perempuan berdasarkan pandangan Alquran, ‘irfân, dan perspektif Burhân. Meski Burhân dan ‘irfan sama-sama bersandar pada Alquran, di sini kita dapat mengambil manfaat dari sudut pandang semuanya.

Pria dan Perempuan tidak Berbeda dalam Perspektif Burhân

Berdasarkan argumen rasional, kesempurnaan pria dan perempuan tidak berbeda. Namun tentunya, perempuan tidak akan dapat sampai ke maqam spiritual seperti yang telah diraih oleh pria seperti Rasulullah Saw.

Kaum pria pun banyak yang tidak dapat mencapai kedudukan tersebut, baik para nabi, rasul, wali, maupun para washî.

Jelas, penyebab ketidakmampuan perempuan di sini bukan karena faktor keperempuanannya, tetapi karena maqam tersebut hanya dapat dicapai oleh manusia-manusia khusus pemilik kesempurnaan. Oleh karena itu, banyak juga dari kaum pria yang tak dapat sampai ke maqam tersebut. Dari sini, terlepas dari pengecualian kesempurnaan kepribadian Rasulullah Saw, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam hal kesempurnaan.

261

p: 261

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Gender bukan Differentia Fundamental

Dalam buku-buku filsafat, kita temukan bahwa para filsuf, misalnya Ibnu Sînâ dalam al-Syifa'-nya dan muridnya, Bahnamiyâr, dalam al- Tahshîl-nya menganggap bahwa keberakalan (rasional) manusia adalah sebuah differentia, yakni pembeda yang membedakan manusia dengan selainnya. Itu karena keberakalan pada manusia mengungkap esensi dan atribut manusia dari sisi hadd dan rasm-nya serta sisi substansial dan aksidentalnya. Tentunya, differentia di sini bukanlah differentia yang kita kenal dalam ilmu logika, tetapi ini setidaknya adalah konsekuensi dari adanya differentia. Demikian pula, maksud "keberakalan" manusia, bukan berarti keberakalannya dalam makna lahiriah dan tidak pula dalam makna batin, tetapi ia mengandung arti keberakalan jiwa (rasionalitas jiwa), dan keberakalan itu sendiri bersumber dari jiwa.

Para filsuf mengategorikan "keberakalan" sebagai differentia manusia sedang gender (kelaki-lakian dan keperempuanan) hanyalah penyifatan yang dilekatkan pada manusia atau sebagai pelengkap semata.

Oleh karena itu, ketika mereka membagi differentia menjadi differentia dekat dan differentia jauh, mereka tidak memasukkan gender dalam pembahasan tersebut. Itu karena yang menjadi tema utama dalam bab itu adalah keberakalan manusia, ringkikan kuda, dan sebagainya yang menjadi differentia pada spesies hewan.

Ketika substansi menjadi sempurna, artinya kemanusiaan manusia telah sampai ke tingkat kesempurnaannya, barulah masalah gender dapat dibahas karena untuk mengidentifikasi sesuatu secara substansial dan aksidental, baru bisa dilakukan pada tahapan tersebut. Untuk mengetahui masalah ini, lebih jelasnya, dapat kita temukan dalam buku-buku filsafat.

Gender tidak Berpengaruh dalam Aktualitas Manusia

Pembahasan lain yang dapat dikemukakan di sini adalah masalah perbedaan antara genus dan materi. Dikatakan bahwa gender bersumber dari materi, bukan dari forma, karena forma segala sesuatu adalah pembentuk hakikat kesesuatuannya sehingga gender tidak menjadi bagian dalam 262 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 262

AYATULLAH JAWADI AMULT aktualitas dan kesesuatuan. Dengan kata lain, bila kita hendak mengetahui wujud aktual sesuatu, maka formanya mengungkapkan aktualitas dan hakikatnya. Namun, karena materinya beragam dan berpeluang untuk menjadi aktual dalam forma lain pula, ia bukanlah pertanda hakikatnya.

Tanah, misalnya, adalah materi bagi beragam forma: ia dapat saja muncul dalam forma pohon, forma tambang, forma aneka buah-buahan, biji-bijian, bebatuan, atau forma manusia atau hewan, yang apabila belum muncul dalam sebuah forma tertentu, ia akan mendapatkan aktualitasnya secara spesifik.

Perlu juga diketahui bahwa yang dimaksud dengan forma bukanlah rangka (organ), karena ia bersifat aksidental, tetapi aktualitas substansial yang dimaksud adalah yang berfungsi untuk merealisasikan sesuatu, yang disebabkan oleh kualitas keberadaannya dari sisi lain.

Ahli teosofi mengatakan bahwa gender adalah hal-hal yang berkaitan dengan materi, bukan berkaitan dengan forma. Artinya, ia tidak memiliki peranan di dalam forma dan aktualitas. Peranannya terdapat dalam materi semata. Ketika mereka menyebutkan perbedaan antara genus dan materi, mereka mengatakan bahwa materi memiliki beberapa bagian:

sebagiannya mencakup pria dan perempuan. Gender kembali pada materi, bukan pada forma. Oleh karena itu, kedua genus tersebut tidak hanya dikhususkan untuk manusia, tetapi juga ditemukan pada binatang dan tumbuhan.

Alam dan segala isinya mempunyai kedudukan yang lebih ren- dah daripada manusia, maka alam bukanlah forma insani. Alam sama dengan manusia. Sebelum tingkatan manusia, ada tingkatan binatang dan tumbuhan yang masing-masing memiliki gender. Seandainya gender adalah forma insani, maka pasti, binatang dan tumbuh-tumbuhan, takkan bergender. Jadi, jelas bahwa gender berkaitan dengan materi, bukan dengan forma.

Jika binatang ingin memiliki kesempurnaan, maka kesempur- naan binatang bukan pada gendernya, tetapi kembali kepada jiwa dan kesempurnaan yang berkaitan dengannya. Masalah gender binatang Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 263

p: 263

Keindahan dan Keagungan Perempuan dapat memiliki pengaruh pada kekuatan tubuh, tetapi kekuatan tubuh tersebut bukan merupakan kesempurnaan binatang. Kesempurnaan binatang terletak pada beberapa sifat dan ciptaan yang khusus. Gender ada pada alam lebih rendah daripada binatang karena ia kembali pada materi, sama dengan tingkatan tumbuh-tumbuhan juga. Allah Swt berfirman, "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah" (QS Al-Dzariyyât:49)" Dua hal tersebut merupakan objek kajian filsafat. Namun, karena Alquran adalah akar dari pengetahuan tersebut, tentunya ia akan mengokohkannya. Ketika memuji ruh dan memperkenalkannya, Alquran menyatakan bahwa ruh termasuk ketetapan Allah. Dengan kata lain, ruh dinisbahkan kepada-Nya. Sesuatu yang disandarkan kepada Allah merupakan ilmu yang benar (haqq) dan terpisah dari pengetahuan makhluk. Dia berada dalam fase yang lain, serta terlepas dari masalah gender.

Penciptaan Ruh sebelum Penciptaan Jasad

Pada pembahasan yang lalu dijelaskan bahwa gender bersumber dari materi bukan forma, dan gender adalah pelengkap bukan komponen inti. Alquran membuktikan bahwa ruh bukan pria ataupun perempuan.

Terdapat banyak ayat Alquran yang berbicara tentang ruh manusia sebagiannya menjelaskan bahwa sebelumnya ruh itu ada dan kemudian bersemayam di dalam jasad, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang peristiwa penciptaan Adam a.s. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya" (QS Shâd:71-72).

Ayat ini adalah dalil bahwa ruh telah ada sebelumnya sebagai bukti bahwa ruh terlebih dahulu ada. Setelah raga mencapai kapasitas tertentu, maka ruh pun bersemayam di dalamnya, dan ia bergantung padanya.

Memang pembicaraan seputar hubungan antara wujud abstrak dan material, < 264 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 264

AYATULLAH JAWADI AMULT serta terbentuknya sebuah spesies sejati – seperti dikemukakan Mullâ Shadrâ, termasuk pembahasan filsafat yang paling rumit.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Allah Swt telah menciptakan ruh selama beribu-ribu tahun sebelum diciptakannya jasad(1)."

Kebermulaan Ruh Bersifat Jasmani

Terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan bahwa ruh itu tampak dan bangkit dari proses alam, artinya maujud material yang setelah melewati beberapa tahap dan babak, mencapai ruh. Ayat berikut ini mengokohkan bahwa ke-menjadi-an ruh bersifat ragawi dan kelestariannya bersifat ruhani. Allah Swt berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu, kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang ber- bentuk lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al-Mu'minûn:12-14).

Allah telah mengubah wujud eksistensi manusia itu menjadi sesuatu yang lain. Adapun maksud firman-Nya, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain, artinya bukan dari asal yang telah ada dan bukan sebagai hasil perkembangan materi. Jika tidak demikian, artinya, apabila eksistensi manusia adalah sesuatu yang bersifat material, Allah tidak akan berfirman, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain, yakni mewujudkan sesuatu yang lain, maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik

p: 265


1- 64 Bihar al-Anwâr, juz 61, hlm. 132.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Dalam metode tartîbî dijelaskan bahwa ada di antara ayat-ayat Alquran yang sarat dengan makna karena manusia adalah "sebaik-baik makhluk," sedangkan Allah adalah Pencipta Yang Paling Baik. Setelah Allah menciptakan hal yang bermacam-macam tersebut, Dia berfirman, sesungguhnya Dia Pencipta Yang Paling Baik. Kita tahu bahwa manusia memiliki jasad yang perkembangannya sama seperti yang dialami juga oleh binatang. Artinya jika ayat tersebut hanya menunjuk kepada asal- usul penciptaan manusia yang bermula dari sperma, gumpalan darah, segumpal daging, tulang belulang yang dibungkus dengan daging hingga menjadi janin, maka proses tersebut juga terjadi pada penciptaan binatang Ketika Allah Swt telah menciptakan binatang, Dia tidak mengatakan, Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Jadi, firman-Nya itu secara khusus mengisyaratkan kepada ruh manusia. Malaikat juga memiliki ruh yang kesempurnaannya sangat terjaga dan suci. Namun, Allah tidak menjelaskan penciptaan malaikat dengan penegasan, Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Oleh karena itu, Allah mengukuhkan diri- Nya sebagai Pencipta Yang Paling Baik adalah ketika Dia menciptakan sebaik-baik makhluk, dan itu tidak berkaitan dengan jasad ataupun ruh.

Perkembangan-perkembangan fisik pada manusia juga dialami oleh binatang, dan ruh manusia yang murni juga dimiliki oleh malaikat. Tetapi yang ditekankan di sini adalah bahwa sesuatu yang nonmateri tersebut turun dan hadir di dunia menyatu dengan sesuatu yang bermateri sehingga keduanya dibentuk menjadi suatu makhluk yang diberi nama manusia.

Dengan berbekal akal dan ilmunya, manusia dihadapkan pada berbagai rintangan dan hambatan. Sejak dari awal penciptaannya yang berasal dari tanah, lumpur, dan tanah liat, manusia telah mengalami beberapa proses yang cukup berat sehingga pada akhirnya dapat menjadi guru bagi para malaikat. Inilah manusia sebagai sebaik-baik makhluk.

Dia melakukan suatu perbuatan yang tak dapat dilakukan oleh makhluk < 266 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 266

AYATULLAH JAWADI AMULT lain. Oleh karena itu, Allah Swt berfirman setelah menciptakan makhluk tersebut, maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik.

Manusia yang memiliki kecenderungan untuk hidup kekal di bumi dan mencintai kekayaan duniawi yang berharga, Allah mengibaratkan mereka itu "seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (QS Al-Afrâf:179). Allah Swt tidak memuji diri-Nya dengan sifat Pencipta Yang Paling Baik karenamenciptakan mereka, sebagaimanaorang-orang yang memiliki hati yang “keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (QS Al-Baqarah:74).

Allah tidak berfirman setelah penciptaan mereka dengan, “maka Mahasuci Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Namun, mereka yang digambarkan oleh firman-Nya, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya" (QS Qaf:37), merekalah orang-orang yang memperoleh berbagai keistimewaan tersebut.

Ayat yang kami sebutkan tadi menjelaskan bahwa ruh bangkit dan berkembang dari perkembangan alam karena Allah Swt berfirman bahwa diri-Nya telah menciptakan manusia yang tadinya berupa janin, hingga diciptakan menjadi makhluk yang lain dan dengan gambaran yang lain pula. Tentunya setiap perkembangan membutuhkan penggerak. Setiap gerakan memiliki penggerak. Mustahil sesuatu yang kurang dapat menyempurna secara kebetulan. Gerakan tersebut adalah kesempurnaan yang pertama, dan tujuan kesempurnaan adalah kesempurnaan kedua.

Seandainya keberadaan yang kurang itu menghendaki untuk bergerak, maka dia membutuhkan penggerak. Jika dia ingin sampai ke sebuah tujuan, maka dia membutuhkan gerakan khusus yang dapat memberinya kesempurnaan itu.

Ke-menjadi-an Ruh Setelah Penciptaan Jasad

Dalam surah Âli 'Imrân, terdapat penjelasan serupa bahwa penjelasan yang ada dalam surah Al-Mu'minûn ayat 12-14 di atas secara lahir berkaitan dengan anak cucu keturunan Adam a.s. Sementara, dalam surah Âli ‘lmrân terdapat penjelasan serupa, tetapi berkaitan dengan masalah Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 267

p: 267

Keindahan dan Keagungan Perempuan penciptaan Adam a.s sendiri. Artinya, Adam a.s dan anak cucunya sama dalam proses penciptaannya, yakni permulaannya diawali dengan penyempurnaan tahapan-tahapan ciptaan jasad mereka, baru kemudian diubah dari tahapan tersebut ke tahapan ruh. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah' (seorang manusia) maka jadilah dia" (QS Ali `Imrân:59).

Orang-orang yang melebih-lebihkan (ifrâthiyyûn) dan mengurang- ngurangkan (tafrîthiyyûn) mengemukakan dua pendapat tentang Isa al- Masih a.s secara berlawanan. Ayat ini dapat dijadikan bantahan terhadap anggapan-anggapan salah tersebut. Itu karena penyebab turunnya ayat itu memang untuk membantah orang-orang yang melampaui batas tersebut yang mengatakan bahwa Isa a.s adalah Tuhan, trinitas atau sebagai anak tuhan. Allah menjawab mereka dengan bantahan yang terbaik: Allah menyebutkan bahwa yang dilakukan-Nya kepada Adam a.s tidak sama dengan yang dilakukan-Nya kepada Isa a.s, karena Isa a.s memiliki ibu dan Adam a.s tidak memiliki ayah dan ibu. Lalu, mengapa mereka tidak mempermasalahkan peristiwa penciptaan Adam a.s? Atau mengatakan bahwa dia dianggap anak tuhan? Jika demikian, mengapa mereka hanya membicarakan tentang Isa a.s? Artinya, penciptaan Adam a.s melewati dua tahapan. Tahap pertama berupa proses penciptaannya yang berasal dari tanah dan tahap kedua berupa ketetapan Allah, jadilah, maka jadilah dia. Tahap pertama menuntut adanya waktu, yakni boleh jadi proses penciptaan tersebut dalam waktu yang lama atau waktu yang sing- kat. Adapun setelah berubah dan berkembang ke tingkatan ruh yang merupakan tahap kedua, hal itu tidak lagi berkaitan dengan waktu, sebuah tahapan yang merupakan perwujudan ketetapan Allah Swt, jadilah, maka jadilah dia.

< 268 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 268

AYATULLAH JAWADI AMULT Allah Swt mengatakan bahwa diri-Nya telah menciptakan Adam a.s dari tanah, artinya struktur fisiknya dari tanah. Kemudian Dia berkata kepada Adam a.s, jadilah (seorang manusia) maka jadilah dia. Artinya, bahwa ungkapan, jadilah (seorang manusia) maka jadilah dia adalah pada saat memberikan ruh. Firman Allah tersebut bukan merupakan kumpulan kata-kata yang terdiri dari sekian banyak huruf, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s yang berkata, “Dia berfirman pada orang yang dikehendaki keberadaannya, jadilah, maka jadilah dia. Firman tersebut bukanlah sebuah suara yang berbunyi atau sebuah seruan yang dapat didengar. Ia merupakan per- buatan-Nya yang diciptakan dan dilakukan(1)." Firman Allah adalah perbuatan sehingga seluruh alam adalah perbuatan Allah, dan itu adalah “kalimat Tuhan". Ketika Allah berkehendak agar awan menurunkan hujan, maka Dia tidak berkata, “Turunkan hujan", tetapi Dia berkata, jadilah, maka jadilah dia. Ungkapan tersebut hanyalah merupakan gambaran penciptaan dan keberadaan sesuatu.

Atas dasar itu, ruh, meskipun dilihat dari lahir ayat di atas termasuk tahap kedua, yang sebelumnya didahului dengan materi (penciptaan jasad), tetapi lorong perpindahan dari perkembangan materi ke sesuatu yang nonmateri adalah di luar materi. Ketika ruh tidak memiliki tanda- tanda materi, maka tidak pada tempatnya membicarakan tentang pria dan perempuan. Jasad dapat menjadi pria atau perempuan agar sampai pada pokok dan asalnya. Ketika dia sampai pada gerakan inti, sampai masuk pada tingkatan keberadaan yang tinggi, dengan tajallî, maka pada saat itu, tidak ada pembicaraan tentang pria dan perempuan. Namun untuk mengetahui turunnya ruh pada alam dunia dan keserasiannya dengan keberadaan alam, serta perkembangannya sampai pada tingkatan jiwa, bukanlah hal yang mudah.

p: 269


1- 65 Nahj al-Balâghah, khutbah 186.

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Gerakan Substansial, Ikatan Ruh dengan Jasad

Masalah wujud (eksistensi), hierarki wujud dan hubungannya dengan gerakan substansial, yakni bahwa esensi substansial bergerak melalui hirarki wujud, setidaknya dapat menjelaskan riwayat-riwayat yang menyatakan tentang kebermulaan (hudûts) ruh dan bahwa sejak tercipta, ruh akan menjadi kekal. Misalnya, riwayat yang menyatakan bahwa sejalan dengan proses penurunan hujan, jasad menyatu dengan ruh sehingga dari sini, sebagian ahli hikmah memiliki kaidah khusus dalam memaparkan masalah kebangkitan jasmani dengan menyandarkannya kepada hadis tersebut.

Bagaimanapun, wujud memiliki hierarki atau tingkatan. Tingkatan- tingkatan tersebut bukan secara kebetulan. Sebagian tingkatan tersebut berupa alam materi, sebagian lagi adalah alam barzakh, dan sebagian lainnya merupakan alam nonmateri, dan di situlah gerakan substansial berada. Oleh karena itu, untuk sampai dari tahapan materi ke tahapan ruh yang nonmateri, terlebih dahulu harus melalui proses perjalanan wujud secara cermat sehingga dari situ kita dapat memahami ayat yang berbunyi, “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain." Dalam ayat tersebut, Allah tidak mengatakan bahwa Dia telah menganugerahkan sesuatu yang lain, tetapi Dia berfirman bahwa “Dia mengubahnya menjadi makhluk yang lain." Ungkapan tersebut berkaitan dengan Adam as dan anak cucunya. Dalam bentuk ciptaan yang baru itu, tidak terdapat pembicaraan tentang pria ataupun perempuan. Jika perubahan bentuk itu serupa dengan perubahan-perubahan material, maka kita dapat mengatakan bahwa karena jasad telah tercipta seperti ini (dari proses material) sehingga menjadi sesuatu yang nonmateri, maka ruh perempuan tentunya tidak sama dengan ruh pria.

Namun, kenyataannya tidak demikian karena pembahasannya bukan pada masalah gerakan wujud material yang berkenaan dengan waktu, bukan pula gerakan yang ada kaitannya dengan kualitas dan kuantitas.

Tidak juga dapat dikatakan bahwa jasad perempuan bergerak sampai ke tingkatan ruh dan jasad pria juga demikian. Namun, sesungguhnya esensi 270 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 270

AYATULLAH JAWADI AMULT wujudnyalah yang bergerak. Sedang esensi wujud manusia bukanlah pria atau perempuan, ia bukanlah materi, forma atau sifatnya. substansi sesuatu bukanlah pria dan bukan pula perempuan. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam tahapan, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk lain...

Ruh adalah Seluruh Hakikat Manusia

Jika buku-buku filsafat memasukkan masalah pria dan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan yang pembahasannya berkaitan dengan materi, bukan forma, maka dapat ditemukan pula ayat-ayat Alquran yang mengisyaratkan hal itu. Menurut Alquran, ruh adalah sesuatu yang nonmateri. Allah Swt menggenggam ruh ketika manusia meninggal. Allah Swt berfirman, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati diwaktu tidurnya" (QS Al-Zumar:42).

Jika manusia telah kehilangan jasad, maka seluruh hakikat ruhnya tetap terjaga. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa jasad bukan hakikat dari substansi manusia, bukan bagian dari substansi tersebut, dan bukan pula sesuatu yang merupakan konsekuensi dari substansi manusia. Jasad hanya merupakan sebuah sarana bagi substansi manusia. Meski manusia memiliki jasad, baik di dunia, alam barzakh, maupun di akhirat, tetapi jasad dalam ketiga tahapan tersebut merupakan sarana aktivitas ruh.

Bukti akan hal ini adalah firman Allah yang berkaitan dengan orang yang mati syahid. Allah Swt berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki” (QS Âli'Imrân:169).

Orang yang gugur di medan perang untuk membela agama Allah adalah hidup. Dia hidup tanpa jasad dan jasad tidak lebih dari sebuah alat untuk beraktivitas. Jika dia sudah tidak bermanfaat, maka dia Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 271

p: 271

Keindahan dan Keagungan Perempuan mencari jasad lain, dan bagaimanapun ruh manusia tetap hidup. Dalam ayat yang lain, Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka hidup" (QS al-Baqarah: 154) Ayat-ayat yang membicarakan tentang orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah bukti bahwa ruh manusia membentuk semua hakikatnya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa orang yang mati syahid adalah hidup. Atau berdasarkan ayat lain, yaitu firman Allah yang berbunyi, dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (QS al-Mu'minûn: 100). Di sana, manusia hidup, tetapi dia telah kehilangan jasad duniawinya.

Pria dan Perempuan Menurut Faktor Internal dan Eksternal

Dalil nalar menyatakan bahwa jika ada perbedaan antara dua hal yang berlawanan, maka harus dilihat apakah perbedaan itu disebabkan oleh faktor eksternal atau internal. Jika tidak ditemukan perbedaan yang bersifat substansial, maka keduanya berjenis sama, atau kedua- nya merupakan dua personal yang berasal dari jenis yang sama.

Dalam hal kewajiban dan larangan, misalnya, pria dan perempuan menerima ketetapan yang sama. Pria dan perempuan tidak dibedakan dalam hal status mereka sebagai mukallaf yang harus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Begitu pula dengan tujuan penciptaan dan kehidupan mereka di dunia, serta ganjaran atas seluruh amal perbuatan yang mereka lakukan. Sebuah hadis berbunyi, “Tuhannya satu, ayahnya juga satu, begitu pula dengan agamanya juga satu." Artinya ras bukanlah faktor pembeda. Kebangsaan, zaman, dan bahasa juga tak dapat dijadikan penyebab keunggulan sebagian masyarakat atau individu atas masyarakat atau individu lain. Hadis di atas men- jelaskan kesetaraan manusia meski memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda, < 272 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 272

AYATULLAH JAWADI AMULT Tuhan mereka satu, tempat kembali juga satu, dan begitu pula dengan ganjaran dan sanksi yang akan diterimanya.

Adapun berkenaan dengan sisi internal manusia, boleh jadi, ada sedikit perbedaan antara struktur organ tubuh pria dan perempuan, tetapi pada akhirnya, perbedaan tersebut hilang. Jika ada perbedaan dalam hal sarana berpikir (otak), maka perbedaan tersebut bukanlah sebuah bukti bahwa keduanya berbeda dalam keutamaan yang secara potensial dapat diperolehnya. Untuk mencapai kesempurnaan, terdapat media yang dibutuhkan otak pria. Begitu pula untuk memperoleh beberapa kesempurnaan kemanusiaan, juga telah tersedia media pada otak perempuan.

Jika seseorang mengkaji keluhuran jiwa dan mengaitkannya dengan komponen-komponen fisiknya, lalu ia dapat membuktikan bahwa kesem- purnaan itu haruslah mencakup fungsi otaknya, maka pada saat itulah dia boleh mengklaim bahwa dilihat dari adanya perbedaan dalam alat berpikir dan sarana perolehan kesempurnaan antara pria dan perempuan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas otak perempuan lebih rendah daripada otak pria. Namun untuk memberikan dalil tentang hal itu, sangatlah sulit, padahal tanpa ada dalil, pernyataan tersebut tidak dapat diterima.

Tentu, ada perbedaan dalam struktur otak perempuan, tetapi apakah seluruh kemuliaan jiwa dan kesempurnaan ruh tolok ukurnya adalah otak? Ini perlu diteliti secara khusus. Sebagaimana dijelaskan pada pembahasan yang telah lewat bahwa persentase peneri- maan nasihat bagi perempuan lebih tinggi daripada pria, begitu pula dalam pemanfaatan potensi hati guna mendekatkan diri kepada Allah.

Sulit ditemukan adanya perbedaan antara keduanya sehingga tidak dapat dikatakan bahwa pria lebih unggul daripada perempuan.

Selain itu, telah dijelaskan pada pembahasan lalu bahwa maksud pria di sini adalah sebagai lawan jenis perempuan, bukan dalam kapasitasnya sebagai suami. Oleh karena itu, terdapat beberapa ayat yang menunjukkan sisi keunggulan pria atas perempuan, tetapi dalam konteks hubungan suami istri. Misalnya firman Allah Swt, Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 273

p: 273

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan" (QS Al-Nisa':34).

"Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya" (QS Al-Baqarah:228).

Telah kami terangkan pula sebelum ini bahwa terkadang, perempuan lebih memiliki keutamaan dibanding pria, misalnya kedudukan seorang ibu yang harus dipatuhi oleh setiap anak lelakinya, durhaka terhadapnya berarti maksiat kepada Allah. Contoh seperti ini tidak termasuk ke dalam permasalahan kesetaraan gender yang sedang kita bahas karena ber- sifat relatif sehingga dapat melahirkan ketetapan-ketetapan hukum relatif pula. Dalam sebuah keluarga, misalnya, kedudukan pria menggungguli perempuan, dan terkadang, kedudukan mereka sama, seperti kedudukan dua orang kakak-beradik, yang satu laki-laki dan yang lainnya perempuan.

Oleh karena itu, pembahasan kita di sini terfokus pada perempuan sebagai lawan pria.

Jika masalah gender ini tidak melahirkan perbedaan secara eksternal, maka kita tidak dapat membedakan antara kedua jenis tersebut. Ada beberapa bukti, salah satunya perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s yang menyatakan bahwa keturunan Nabi Ishaq a.s dan Nabi Ismail a.s adalah sama, tidak ada perbedaan antara keduanya. Suatu saat, salah seorang dari mereka datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib a.s dan berkata, "Berikan kepadaku suatu pemberian yang banyak!" Lalu Imam Ali as mengambil segenggam tanah dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya seluruh manusia berasal dari tanah, dan pada unsur tanah tidak ada keunggulan salah satu unsur atas yang lainnya." Dalam kesempatan lain, Imam Ali bin Abi Thalib a.s juga berkata, “Alquran tidak membedakan antara keturunan Nabi Ishaq a.s dan keturunan Nabi Ismail a.s. Ia juga tidak membedakan antara keturunan Nabi Ishaq a.s yang lahir dari seorang ibu merdeka dengan keturunan Nabi Ismail a.s yang dilahirkan dari ibu yang berstatus budak.” <274 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 274

AYATULLAH JAWADI A MULT Jelaslah bahwa penyebab dan faktor-faktor eksternal tidak berperan sama sekali di sini. Tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, yang ada adalah perbedaan secara internal. Namun, hal itu pun sulit dibuktikan Betapapun, pembahasan kita di sini berkaitan dengan ruh, bu- kan dengan jasad dan atau faktor eksternal, sehingga jelas kesalahan orang-orang yang menyatakan adanya kesetaraan atau perbedaan antara pria dan perempuan secara fisik. Mereka mengemukakan bukti-bukti material, padahal pembahasannya bukan pada materi atau jasad, tetapi pada ruh yang tidak berhubungan sedikit pun dengan masalah gender.

Oleh karena itu, baik berdasarkan teori Plato atau Aristoteles maupun berdasarkan teori filsafat transendental (al-hikmah al-muta'âliyyah), ruh pria dan perempuan tidak berbeda dari sisi ini.

Memang terdapat pria seperti sosok Rasulullah Saw yang ke- dudukannya tidak dapat dicapai oleh perempuan. Para nabi dan rasul, bahkan Ahlul Bait sekalipun, di mana mereka (Ahlul Bait) merupakan satu cahaya, juga tidak dapat mencapai kedudukan yang dimiliki Rasulullah Saw. Hal ini tidak menunjukkan bahwa kedudukan pria lebih tinggi daripada kedudukan perempuan. Siapa pun tidak dapat sampai ke kedudukan Rasulullah Saw.

Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak dapat dikatakan bahwa perempuan tidak dapat memiliki kedudukan yang dapat dicapai oleh pria.

Pernyataan semacam itu selamanya tidak dapat diterima.

Perbedaan Akal Pria dan Perempuan

Telah menjadi asumsi umum bahwa kualitas akal pria lebih tinggi daripada akal perempuan; pengalaman umat manusia dari dahulu hingga kini membuktikan hal itu. 'Allâmah Thabâthabâ'î dalam tafsirnya al- Mîzân, juga mengemukakan teori ini. Namun, beliau menekankan bahwa kelebihan tersebut bukan ukuran bagi kemuliaan seseorang.

Yang mendasari lahirnya pendapat ini adalah bahwa "akal" adalah tolok ukur kesempurnaan manusia. Setiap manusia yang lebih "berakal" Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 275

p: 275

Keindahan dan Keagungan Perempuan adalah lebih dekat kepada kesempurnaan, bahkan lebih dekat kepada Allah Swt.

Jika demikian, konklusinyaadalah setiaporangyang akalnya tidak sempurna memiliki sedikit kesempatan untuk dapat mencapai kesempurnaan kemanusiaan sehingga dalam upaya mencapai maqam kedekatan dengan Tuhan, dia akan lebih banyak memperoleh hambatan.

Namun, konklusi tersebut tidak benar. Melihat bahwa kata "akal" memiliki banyak makna, maka harus jelas “akal" mana yang menjadi tolok ukur kesempurnaan manusia dan sarana pendekatan kepada Tuhan.

Selain itu, di bagian manakah terdapat perbedaan antara perempuan dan pria.

Meluruskan Sebuah Kekeliruan

Sumber kekeliruan pada konklusi di atas adalah bahwa terma medium tidak terulang dalam struktur silogisme tersebut. Bila ia tidak terulang, maka pengambilan kesimpulan tidak dapat membuahkan sebuah konklusi yang sempurna. Artinya, meski terdapat pengulangan kata ‘akal pada proposisi mayor dan minor, namun makna 'akal' dalam kedua premis tersebut berbeda. Dengan kata lain, sekalipun pada proposisi minor dikatakan bahwa "pria dan perempuan berbeda 'akal'- nya", dan proposisi mayor menyatakan bahwa "akal (adalah) tolok ukur kedekatan hamba kepada Allah", sehingga konklusinya adalah “siapa yang'akal’-nya lebih banyak, lebih dekat kepada Allah", tetapi "akal" yang disebut dalam premis mayor tidak bermakna sama dengan yang tertera pada premis minor. Atau dengan kata lain, "akal” yang menyebabkan lahirnya perbedaan antara pria dan perempuan bukanlah “akal" yang menyebabkan seorang hamba dekat kepada Tuhannya.

Kita harus membedakan arti kedua jenis "akal" di atas sehingga dapat menjadi jelas bahwa tidak ada terma medium pada proposisi minor dan mayor. Pada akhirnya, kita dapat pastikan bahwa konklusi dari pernyataan di atas tidak sempurna, bahwa pria lebih mulia daripada perempuan karena "akal" yang membedakan antara perempuan dan pria adalah “akal" sosial, yaitu 276 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 276

AYATULLAH JAWADI AMULI soal bagaimana dia mengelola permasalahan ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, dan sebagainya.

Seandainya benar bahwa “akal" pria lebih baik daripada akal perempuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan tugas itu, sementara untuk menemukan benang merah dalam permasalahan ini bukanlah hal yang mudah, lalu apakah “akal" yang dapat membuat seseorang dekat kepada Allah Swt adalah “akal" yang membedakan antara pria dan perempuan dalam hal tugas-tugas keduniaan? Apakah setiap orang yang lebih baik dalam memahami masalah-masalah fisika, kedokteran, olah raga dan lain-lainnya lebih dekat kepada Allah? Apakah "akal" tersebut merupakan penyebab dekatnya seseorang kepada Allah atau akal yang dapat mengantarkan seseorang menyembah Tuhan dan meraih surga-Nya? Akal yang menyebabkan seseorang dekat kepada Allah, dan setiap manusia dapat memanfaatkannya secara maksimal agar dia lebih dekat kepada Allah, dan berkat akal tersebut pada hari Kiamat nanti dia akan memperoleh kedudukan tinggi di sisi Allah, adalah akal yang disebutkan dalam sebuah hadis populer, yaitu sebagai "sesuatu yang dengannya Tuhan Yang Maha Pengasih disembah dan diperoleh surga" ('ubida bihi al-rahmân wa uktusiba bihi al-jinân).

Itulah akal yang sesuai dengan sabda Rasulullah Saw di atas, di mana dijelaskan bahwa orang yang “berakal" adalah yang dengan kekuatannya dapat mengikat (ya‘qilu) tabiat dan nafsu. Kata akal berasal dari ‘aqala yang artinya 'mengikat'. 'lqâl (i'qilha wa tawakkal) adalah 'tali yang diikatkan pada lutut keledai liar agar dia tidak dapat menyepak dan kabur dari kandangnya'. Rasulullah Saw pernah berkata kepada salah seorang sahabatnya yang masuk masjid tanpa mengikat untanya, “Ikatlah unta itu, baru tawakallah kepada Allah (i'qilha wa tawakkal)(1)."

Makna hadis di atas bukan berarti tahanlah, tetapi ikatlah, kemudian tawakal, yakni lakukan sesuatu yang seharusnya, kemudian bertawakallah kepada Allah di luar sesuatu yang menjadi kemampuanmu. Dalam riwayat lain,

p: 277


1- 66 Nahj al-Fashậhah, hadis 389.

Keindahan dan Keagungan Perempuan dijelaskan bahwa sebab penamaan akal adalah karena akal manusia dapat menahan berbagai macam tabiat dan kecenderungan serta dapat mengikat (ya qilu) kebodohan dan nafsu yang haram. Bila manusia dapat mengikat tabiat-tabiat tersebut dengan "kalnya "secara baik, yakni menciptakan keseim- bangan antara tabiat-tabiatnya, maka dia akan menjadi manusia mulia.

Oleh karena itu, sesuatu yang dapat membuat seseorang dekat kepada Allah adalah “akal" yang dapat mengantarkan seseorang menyembah Tuhan dan memperoleh surga-Nya. Akal yang dapat dimiliki pria lebih banyak daripada perempuan adalah “akal” ilmu pengetahuan, politik, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tugas praktis yang bersifat keduniaan. Jika seseorang "lebih berakal" dalam masalah politik atau dalam tugas praktis kesehariannya, maka itu bukanlah bukti bahwa dia lebih dekat kepada Allah Swt. Boleh jadi kecerdasan politik dan keilmuan dapat membawa pemiliknya ke dalam neraka. Terkadang pria lebih tahu dari perempuan dalam ilmu pengetahuan, tetapi dia tidak memiliki ke- mampuan untuk mengendalikan tabiat-tabiatnya.

Oleh karena itu, jika seseorang dapat “berakal" lebih baik di bidang keilmuan atau politik dan tugas, maka hal itu bukanlah bukti kedekatan- nya kepada Allah Swt. Sebaliknya, orang yang dapat mengendalikan nafsu dan tabiatnya, lebih mulia dari yang lainnya. Orang yang dapat mengendalikan kecenderungan tersebut dan orang yang dapat mencapai surga, dialah yang "paling berakal".

Dengan demikian, jelas bahwa akal memiliki pengertian yang ber- macam-macam sehingga untuk mendapatkan konklusi yang sempurna dan benar, diperlukan adanya terma medium, yakni kata terulang dengan makna dan pengertian yang sama.

Jika pada premis minor kita katakan bahwa "akal" ruhani si A lebih sempurna daripada yang lain (yakni akal yang dengannya Tuhan Yang Maha Pengasih disembah, dan karenanya surga diperoleh) dan pada premis minor dinyatakan bahwa “setiap orang yang paling sempurna 'akal' ruhaninya (adalah) orang yang paling dekat kepada Allah", maka konklusinya dapat dibenarkan, yakni si A paling dekat kepada Allah.

p: 278

AYATULLAH JAWADI AMULT Namun, jika dikatakan bahwa “si A paling 'berakal di bidang olah raga, filsafat atau fisika", kemudian kita katakan bahwa “setiap orang yang paling 'berakal' (adalah) yang paling dekat kepada Allah", maka di sini tidak ada terma medium, “berakal" pada premis minor berbeda dengan berakal pada premis mayor. Orang “berakal" pada premis mayor artinya orang yang memiliki pancaran cahaya Ilahi, yang digunakannya untuk menyembah Tuhan dan yang dengannya dapat memperoleh surga-Nya.

Ini berbeda dengan premis minor, yang menggunakan kata “berakal" dalam arti kemahiran di bidang pengetahuan umum.

Jika ada yang mengklaim bahwa akal pria dalam hal penyembahan kepada Allah dan perolehan surga-Nya lebih kuat daripada perempuan, maka hal itu sama sekali tidak dapat dibuktikan. Karena tidak ada bukti ataupun pengalaman yang menunjukkan kebenarannya, maka tidak ada bukti yang menguatkannya. Dalam pembahasan-pembahasan yang telah lewat, dijelaskan bahwa jika di bidang pemikiran perempuan tidak sepadan dengan pria, maka dalam hal potensi hati, dia dapat setara dengan pria atau bahkan melebihinya. Artinya, nasihat lebih berpengaruh pada perempuan daripada terhadap pria. Seandainya ada beberapa perempuan dan pria sama-sama mendengarkan nasihat seorang nabi, maka nasihat tersebut akan lebih berpengaruh pada perempuan daripada pria. Itu karena jalan hati, ketertarikan, kecenderungan, penerimaan terhadap nasihat lebih kuat pada perempuan daripada pria. Penyebabnya adalah jalan ke surga bukan melalui kemampuan “berakal" dan bernalar saja, tetapi juga potensi hati justru lebih berpeluang mengantarkan hamba ke sisi Allah Swt.

Ketika mengemukakan teori keunggulan akal pria atas perempuan, 'Allầmah Thabâthabâ'î dalam tafsirnya al-Mizan mengatakan bahwa hal tersebut terjadi berdasarkan hukum mayoritas dan tidak mutlak sehingga di bidang keilmuan, jika kualitas akal pria lebih baik, maka itu merupakan keutamaan tambahan, bukan berarti sebuah kelebihan atau pertanda kesempurnaan. Hal ini tidak berbeda dengan pernyataan sebuah hadis, Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 279

p: 279

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Ilmu ada tiga, yaitu ayat muhkam, kewajiban yang adil dan sunah yang ditegakkan. Selain dari ketiga itu adalah tambahan(1)."

Artinya, orang yang menguasai selain ketiga jenis ilmu yang disebutkan hadis di atas, tak lebih dari sekadar memiliki keutamaan tambahan semata. Tidak memilikinya pun tak masalah dan tak merugikannya. Oleh karena itu, hadis lain mengatakan, “Itulah ilmu yang tidak merugikan orang yang tidak mengetahuinya."(2)

Jika memang terdapat keunggulan salah satu dari pria dan perempuan karena dia memiliki kelebihan berbagai pengetahuan yang tidak masuk ke dalam ketiga jenis ilmu di atas, maka hal itu tergolong ke dalam masalah- masalah yang tidak akan berpengaruh negatif karena manusia memiliki tugas yang lebih utama, yaitu membekali diri dengan ketiga jenis ilmu tersebut demi memasuki kehidupan abadi di akhirat nanti. Ketika dia memasuki kehidupan akhirat, maka ilmu-ilmu “tambahan" semacam itu sudah tak bernilai lagi sama sekali. Manusia mengambil manfaat dari sarana berpikirnya tersebut selama di dunia dan ketika dia masuk ke alam , ilmu-ilmu "tambahan" tersebut hilang. Saat itu, ilmu-ilmu hushûlî akan berubah menjadi ilmu syuhûdî (penyaksian).

Ber-taqlîd kepada yang Meninggal

Bolehkah seseorang ber-taqlîd kepada orang yang sudah meninggal? Hal yang masih membingungkan dalam masalah ini adalah ketika seorang fakih atau marja' meninggal, apakah seluruh ijtihad dan pikirannya juga turut mati? Kematiannya tidak berarti kebinasaan ruh. Mati adalah terpisahnya ruh dari jasad. Jasadlah yang mati karena ia kehilangan pemiliknya, bukan ruhnya. Segala ide dan pikiran berkaitan dengan ruh sehingga pemilik ide tidak mati. Siapa yang meninggal, maka kepemilikan ide dan pe- mikiran tersebut tidak turut meninggal. Oleh karena itu, tidak ada yang menentang kemungkinan bolehnya ber- taqlîd terhadap seorang marja' yang telah meninggal yang telah di- taqlîdi semenjak masa hidupnya.

p: 280


1- 67 Ushûl al-Kafi, juz 1, bab 2.
2- 68 Ushûl al-Kafi, juz 1, bab 2.

AYATULLAH JAWADI AMULT

Perubahan Ilmu Hushûlî ke Ilmu Hudhûrî

Hal lain yang perlu diketengahkan di sini adalah jika fatwa dan pendapat seorang marja' taqlid berubah, maka fatwa pertama tidak boleh diikuti. Yang harus diikuti adalah fatwa yang baru. Seorang marja' taqlid mungkin saja memiliki beberapa pendapat semasa hidupnya di dunia, tetapi setelah meninggal, kita tidak mengetahui apakah pendapatnya yang pertama itu masih tetap diyakininya benar atau berubah setelah meninggalnya. Itu karena, boleh jadi, setelah dia meninggalkan dunia ini hakikat kebenaran menjadi tersingkap baginya dan menjadi jelas apakah fatwa-fatwanya itu benar atau salah.

Sebelum meninggal, dia mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihad dan kesimpulannya yang dia peroleh dari pengetahuannya. Setelah meninggal, realitas segala sesuatu telah tampak secara jelas baginya.

Lalu apakah fatwa dan pendapat sang marja' taqlîd itu setelah meninggal masih tetap berlaku dan dapat diikuti? Ataukah ada hal-hal lain yang baru diketahuinya di sana? Inilah pertanyaan besar yang memerlukan jawaban, meski sebagian ulama mengatakan bahwa kita menghukuminya berdasarkan istishhấb (mengikuti fatwa dan pendapat yang lalu) karena kita tidak mengetahui apakah fatwanya berubah atau tidak.

Pertanyaan lain, apakah pengetahuan seorang marja' taqlîd – yang disambut dengan taklid para muqallid -yang diperolehnya dari suatu proses istinbâth (penggalian) hukum dari sumber-sumber utamanya, yakni Alquran dan hadis, ijmâ’, merupakan ilmu hushûlî? Ketika meninggal, sang marja' tidak lagi bersandar pada kaidah-kaidah fikih ataupun merujuk Alquran, sunah atau ijmâ'. Seluruh ilmu hushû lî yang dimilikinya berubah menjadi ilmu syuhûdî dan hudhûrî. Ilmu yang diperoleh melalui sekolah hilang dan berganti dengan ilmu ruhani.

Masalahnya sekarang, jika seorang fakih menyelesaikan masalah berdasarkan penyaksian kalbunya, apakah dapat dijadikan hujah? Ada yang mengatakan bahwa fatwa seorang fakih yang dapat dipegang adalah hanya yang diambil dari sumber-sumber hukumnyayang pasti, dan jika terdapat Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 281

p: 281

Keindahan dan Keagungan Perempuan hukum-hukum yang diperoleh melalui pengalaman spiritual yang bersangkutan, tanpa melalui proses belajar, maka pendapatnya tersebut tidak boleh diikuti.

Sang marja' yang mengetahui hukum-hukum Allah hanya ber- dasarkan pengalaman spiritualnya saja, dia saja yang boleh mengamalkannya karena dia saja yang melihat segala sesuatu dengan sangat jelas dan nyata berdasarkan hakikat yang sebenarnya. Namun muqallid tetap hanya boleh merujuk kepada pengetahuannya yang dia peroleh dari proses belajar. Ada perbedaan antara ilmu yang tumbuh melalui penyaksian kalbu (syuhûd) dengan ilmu yang diperoleh dari hasil sebuah proses belajar-mengajar. Setelah mujtahid atau marja' meninggal, berubahlah ilmu hushûlî yang dimilikinya menjadi ilmu hudhûrî, kasyf dan syuhûd. Apakah fatwanya juga masih dapat diikuti? Apakah dalam keadaan seperti itu dapat dilakukan istishhâb? Jika pembahasan menunjukkan tetap untuk ber-taqlîd kepada yang telah meninggal dan lain-lain, maka itu bukan karena jasad memiliki peranan, tetapi ruhlah yang berperan. Setelah meninggal, ilmu hushûlî berubah menjadi ilmu hudhûrî dan ilmu hudhûrî terikat dengan kasyf, syuhûd dan pembinaan ruh.

Jika bukan karena jiwa yang bersih, tentulah kebenaran tidak akan dengan mudah terlihat jelas setelah meninggal. Sebagian orang ada yang menyadari bahwa mereka telah mati. Mereka hanya melihat bahwa keadaan serba berubah, tetapi mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Sesungguhnya talqîn terhadap mayat dalam kubur, dan perkataan kepada mayat, “Ketahuilah bahwa kematian adalah haqq," agar mayat menyadari bahwa dia sudah menjadi mayat, tentu orang- orang khusus saja yang dapat langsung memahami bahwa mereka telah mati.

Namun, kebanyakan orang menengah ke bawah - dalam hal prestasi spiritual di sisi Allah, hanya dapat merasakan bahwa kehidupannya telah berubah. Mereka melihat kedatangan beberapa orang dan berkumpul bersama mereka, tetapi apa yang mereka pahami, di mana mereka sekarang, apa yang telah terjadi, mereka tidak mengetahui semua itu.

< 282 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 282

AYATULLAH JAWADI AMULT Setelah itu, sedikit demi sedikit, mereka baru akan menyadari bahwa mereka telah mati. Masalah kematian memang termasuk masalah- masalah yang rumit. Manusia yang masuk dalam fase ini seperti bayi yang baru dilahirkan: pada mulanya, dia tidak mengetahui bahwa dia telah berpindah dari rahim ibu ke dunia, lalu setelah sekian lama, dia baru sadar bahwa dia telah dilahirkan dan telah memperoleh kehidupan yang baru.

Tolok Ukur Kemuliaan

Ringkasnya, jika terdapat perbedaan antara pria dan perempuan dalam sisi akal, maka itu ditinjau dari statusnya sebagai sarana untuk melakukan aktivitas-aktivitas duniawi. Allah telah mendorong hamba- hamba-Nya agar menuntut ilmu supaya roda kehidupan dunia dapat berputar. Oleh karena itu, tidak benar ungkapan yang menyatakan bahwa yang paling dekat kepada Allah adalah yang paling berpengetahuan Justru, yang paling bertakwa adalah yang paling dekat kepada Allah, itulah kenyataan yang sebenarnya.

Jika ada dua orang marja', salah satunya lebih pandai atau lebih fakih, maka disiplin ilmu yang dia kuasai tidak membuatnya lebih mulia atau lebih dekat kepada Allah. Keunggulan dalam fikih dan ushul fikih, filsafat dan 'irfan, serta keunggulan dalam hal kemampuan melaksanakan pelaksanaan tugas duniawi, bukanlah bukti kedekatan seorang hamba kepada Allah. Orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling dekat kepada Allah. Ttakwa ini pun kembali kepada akal praktis.

Dari pembahasan di atas, jelas bahwa ada dua hal mendasar dalam sosok manusia, yaitu pengetahuan (akal teoretis) dan perwujudan pengetahuannya dalam bentuk aktivitas nyata (akal praktis). Keyakinan, tekad, dugaan, khayalan dan hal-hal lain serupa adalah cabang dari akal teoretis. Adapun niat, ketetapan hati, ketulusan, kehendak, cinta, tawallî, tabarrí, takwa, keadilan dan hal-hal lain, itulah yang merupakan ukuran kemuliaan.

Orang yang paling pandai belum tentu paling mulia di sisi Allah, tetapi yang paling bertakwa sudah pasti paling mulia di sisi-Nya.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 283

p: 283

Keindahan dan Keagungan Perempuan Jika seseorang lebih “berakal” dalam hal keilmuan dan aktivitas serta tugas keseharian, maka keputusan-keputusannya harus kita patuhi agar aktivitas kehidupan dunia dapat berjalan secara baik. Namun, itu tidak berarti orang tersebut menjadi orang yang paling dekat di sisi Allah Swt.

Kelemahan Akal Menurut Alquran

Alquran menamai mereka yang unggul di bidang pengetahuan, tetapi lemah dalam hal ibadah kepada Allah Swt, sebagai orang-orang yang tidak sempurna akal (sufahâ'). Misalnya, seseorang yang ahli di bidang fisika atau pakar di bidang teknologi, tetapi di sisi lain, ia bergelimangan dosa dan maksiat karena melanggar perintah-perintah Allah Swt, maka orang semacam ini tetap dikatakan sebagai orang yang tidak sempurna akalnya (safih). Riwayat-riwayat berkenaan dengan hal ini cukup banyak, khususnya dalam konteks penjelasan firman Allah Swt, "Dan janganlah kamu serahkan harta bendamu kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya" (QS Al-Nisa':5).

Mereka dianggap sebagai orang-orang bodoh yang tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa jika seseorang pria hendak menikahi seorang perempuan, maka lihatlah saudaranya, jangan sampai ada yang safih, yakni tidak sempurna akalnya. Jika seseorang atau ipar seseorang telah berbuat dosa, berarti dia adalah safih. Oleh karena itu, Islam menganjurkan agar tidak menikahinya.

Orang yang menyandang sifat safih, menurut Alquran, bukan berarti memiliki kelemahan akal dalam dalam hal-hal biasa. Seseorang yang ahli dalam sebuah disiplin ilmu, fisika misalnya, tetapi praktis tangannya gemetar karena gugup pada saat menghadapi ujian, maka dia adalah orangyang bodoh, meskipun dia ahli dalam disiplin ilmu tersebut. Banyak sekali ilmuwan di negara-negara non-Muslim yang telah berhasil meluncurkan berbagai macam pesawat luar angkasa dan membuat masyarakat dunia kagum melihatnya. Namun, ketika mereka bergelimang dosa dan tidak 284 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 284

AYATULLAH JAWADI A MULT memiliki kemampuan untuk mengontrol diri mereka secara baik, atau karena mereka tidak mempercayai prinsip-prinsip ajaran Allah Swt, maka menurut Alquran, mereka dianggap adalah kaum sufahâ'.

Allah Swt berfirman, “Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahîm, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri" (QS Al-Baqarah:130).

Orang yang berpaling dari agama Nabi Ibrahim a.s adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri meskipun dia seorang ilmuwan. Kata safih di sini adalah lawan dari 'âqil, yakni keberakalan yang membuat sang hamba menyembah Tuhan-Nya dan dengannya memperoleh surga- Nya. Seseorang yang pandai, tetapi kepandaiannya tidak membuatnya menyembah Allah dan memperoleh surga-Nya, maka dia tetap tidak dapat dikatakan sebagai orang yang 'aqil. Artinya, dia seorang safih.

Oleh karena itu, jika seseorang akan melakukan penilaian terhadap pria atau perempuan, maka dia harus melihat manakah di antara keduanya yang lebih dekat kepada Allah Swt? Akal yang bermakna kemampuan intelektual di sini tidak dapat dijadikan tolok ukur. Ia hanya merupakan kemuliaan tambahan yang sengaja dianugerahkan Allah kepada manusia agar roda kehidupan dunia terlaksana dengan baik. Seluruh ilmu- yang diperoleh dari hasil proses belajar-mengajar — akan hilang dengan meninggalnya pemilik ilmu tersebut. Karena manusia akan kekal selama- lamanya setelah mati, maka dia harus membawa sesuatu yang dapat kekal juga untuk selama-lamanya. Keahlian seorang orator atau penulis akan sirna seluruhnya dengan kematian pemilik profesi tersebut. Tidak ada lagi lahan ilmu hushûlî di alam akhirat kelak.

Hakikat segala sesuatu yang ada akan menjadi jelas dan tampak sesuai dengan kenyataan sebenarnya bagi semua orang. Di sana tidak ada tuntutan belajar karena setiap orang melihat dengan jelas segala yang ada. Sesuatu yang bermanfaat di sana adalah yang memiliki dimensi kekekalan dan abadi yaitu yang tulus serta ikhlas, segala yang dia lakukan hanya untuk Allah semata.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 285

p: 285

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Keindahan Manusia dengan Akal

Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa “akal" perempuan terletak pada kecantikannya dan ketampanan pria terletak pada "akal-nya(1).

Penyebutan kata "akal” dalam hadis ini maksudnya adalah akal teoretis, bukan akal praktis yang dapat mengantarkan seseorang menyembah Tuhan dan memperoleh surga-Nya. Jika dikatakan bahwa "akal" perempuan terletak pada kecantikannya dan ketampanan pria terletak pada “akal"-nya, tidak berarti pula bahwa akal perempuan harus berada dalam kecantikannya sementara ketampanan pria harus berada dalam akalnya. Namun demikian, keindahan setiap orang pasti berada dalam akalnya.

Kita juga dapat melihat apa yang biasa kita baca dalam doa al-Sahr yang diajarkan untuk memohon kepada Allah guna meraih anugerah keindahan akal. Di antaranya ,doa tersebut berbunyi, "Ya Allah, ya Tuhanku, aku mohon pada-Mu dengan keindahan-Mu yang paling indah, dan seluruh keindahan-Mu adalah indah. Ya Allah, ya Tuhanku, aku mohon pada-Mu dengan seluruh keindahan-Mu."(2)

Dengan demikian, jelas bahwa hakikat keindahan pria dan perempuan terletak pada “akal"-nya yang dapat membuat mereka me- nyembah Allah dan memperoleh surga-Nya, yakni lawan dari safih, sementara "akal yang disebutkan hadis di atas berkaitan dengan akal teoretis.

Akal Menurut Alquran

Sebagaimana telah disebutkan di atas, Alquran dan riwayat- riwayat Ahlul Bait mendefinisikan akal sebagai suatu sarana yang dengannya manusia dapat mengetahui atau memahami kebenaran dan mengamalkannya. Sekumpulan pengetahuan dan perwujudannya dalam bentuk amal perbuatan tersebut menurut agama dinamakan “akal".

Orang yang tidak dapat mengetahui dan memahami sesuatu dengan

p: 286


1- 69 Bihar al-Anwâr, juz 103, hlm. 224.
2- 70 Mafâtih al-Jinân, doa a-Sahr.

AYATULLAH JAWADI AMULT benar, berarti dia tidak berakal. Begitu pula orang yang berpengetahuan, tetapi tidak mengamalkan pengetahuannya, maka dia juga bukan orang yang berakal. Gabungan dari kedua hal tersebut – ilmu dan amal — Alquran menyebutnya akal.

Dalam hadis juga disebutkan bahwa akal adalah sesuatu yang ‘dengannya Tuhan Yang Maha Pengasih disembah, dan karenanya surga diperoleh' (al-aql mâ 'ubida bihi al-rahmân wa uktusiba bihi al-jinân)?(1)".

Orang yang tidak mengetahui tidak akan memperoleh surga. Orang yang mengetahui, tetapi tidak mengamalkan ilmunya, dia juga tidak akan memperoleh surga. Hakikat dari akal yang dapat membuat seorang hamba menyembah Allah Swt dan memperoleh surga-Nya adalah gambaran tentang sebuah pengetahuan dan hasil kesimpulan pasti – yang telah dicapai sang hamba-berdasarkan bukti-bukti teoretis yang dimilikinya, yang disertai dengan tekad bulat untuk merealisasikan pengetahuannya itu.

Demikianlah, akal mendorong hamba untuk menyembah Allah Swt dan memperoleh surga-Nya. Allah Swt berfirman, “Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, se- dang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS Al- Baqarah:44).

Firman Allah Swt di atas menjelaskan tentang sikap para pemuka Ahlulkitab yang memberi nasihat, tetapi mereka tidak mengamalkan na- sihat tersebut, berarti mereka tidak berakal meskipun mereka pandai. Orang- orang yang mengajak manusia pada kebaikan, memberi petunjuk dan nasihat adalah orang yang berilmu, tetapi bukan berarti bahwa mereka orang berakal.

Oleh karena itu, Allah Swt mengatakan bahwa orang yang berpikir untuk memperbaiki orang lain, sedangkan ia lalai akan dirinya, berarti dia tidak termasuk orang yang berakal. Dia tidak akan menjadi manusia saleh

p: 287


1- 71 Ushûl al-Kafi, juz 1.

Keindahan dan Keagungan Perempuan hanya dengan sekadar memperbaiki orang lain. Dalam memperbaiki orang lain, bukan hanya memerintahkan kebajikan secara lafal saja, tetapi juga seperti yang diuraikan dalam sebuah hadis, “Jadilah kalian juru dakwah pada diri kalian tanpa lidah kalian."(1)

Artinya ketika kalian hidup dalam sebuah masyarakat, jadilah teladan dengan sifat dan kepribadian kalian sebagai orang-orang yang berilmu dan saleh. Dengan perilaku kalian, ajaklah semua orang untuk mencontoh kalian, tetapi bukan demi memperoleh simpati mereka sehingga mereka mencintai kalian, tetapi kalian dituntut agar mengajak manusia ke jalan Allah Swt. Orang yang hatinya tidak berdenyut untuk mencintai manusia, maka selamanya dia tidak akan sukses untuk menjadi teladan bagi orang lain.

Alquran tidak menganggap orang yang menasihati dan yang tidak mengamalkan nasihatnya sebagai orang yang berakal. Menurut Alquran, akal adalah kesatuan antara ilmu dan amal, itulah keimanan yang sempurna. Jika seseorang tidak memiliki keduanya atau salah satu dari keduanya, maka dia bukanlah orang yang berakal, bahkan dia dianggap sebagai safih. Tolok ukur keberakalan seseorang adalah keterhindarannya dari berbagai perilaku negatif seperti waham dan angan-angan, khayalan, hal-hal yang syubhat, dan nafsu syahwat.

Keistimewaan Kisah-kisah dalam Alquran

Jelas sudah makna akal bagi kita. Sekarang timbul sebuah per- tanyaan, siapakah yang lebih berakal, pria atau perempuan?

Apakah keduanya sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus menguraikan permasalahan ini berdasarkan pandangan Alquran.

Sebelum mengkaji kisah-kisah Alquran, harus diperhatikan bahwa terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara kisah-kisah Alquran dengan kisah sejarah manusia pada umumnya. Sejarah biasa belum tentu bersanad qath“î ('pasti') karena ia merupakan sekumpulan peristiwa yang masih bersifat parsial, kasus per kasus, yang darinya dapat ditarik kaidah

p: 288


1- 72 Ushûl al-Kafi, juz 2, hlm. 77.

AYATULLAH JAWADI AMULI umum. Terkadang kaidah tersebut bersifat qath î dan terkadang bersifat zhannî ('perkiraan'). Dalam Alquran, ada yang dikenal dengan “filsafat cerita", yakni suatu kesimpulan atau pelajaran yang dapat ditarik dari sebuah kisah. Misalnya, ketika Alquran mengisahkan para nabi dan umat terdahulu, Allah Swt mengakhirinya dengan berfirman, "Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik" (QS Al-An'âm:84).

Di tempat lain, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah Swt tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik” (QS Yûsuf:90).

Meskipun kisah Nabi Yusuf a.s merupakan kisah pribadi, tetapi masalah pribadi yang dijelaskan oleh wahyu berbeda dengan se- jarah yang bersifat umum. Ketika buku sejarah memaparkan beberapa peristiwa sejarah, para sejarawan berbicara berdasarkan sesuatu yang bersifat zhannî. Namun, ketika wahyu memaparkan sebuah sejarah, dia memaparkan kaidah umum sebagai penjelasan yang hakiki dengan menyebutkan sebagian contoh.

Kisah Yusuf a.s masuk dalam kategori tersebut. Ketika Yusuf a.s sampai pada tujuannya dan melihat saudaranya berada di sampingnya, di situ dijelaskan bahwa keberhasilan tidak dikhususkan untuknya saja.

Allah Swt tidak mengkhususkan pertolongan tersebut untuk Yusuf a.s, tetapi untuk seluruh orang bertakwa karena itu merupakan kaidah umum.

Allah Swt berfirman, "Mereka berkata, “Apakahengkau benar-benar Yûsuf?' Diamenjawab, “Akulah Yûsuf, dan ini saudara (kandung)-ku (Benyamin). Sungguh Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami, Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.'" (QS Yûsuf:90).

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) < 289

p: 289

Keindahan dan Keagungan Perempuan Kesimpulan yang diambil dari Alquran, jika bukti-buktinya terlihat dengan sempurna, maka dianggap telah melalui tahap dugaan dan sampai ke tahap kepastian. Syaratnya adalah orang yang mengambil kesimpulan memperhatikan seluruh permasalahan yang ada.

Adapun berita-berita yang dibawa oleh para pembawa berita terkadang disertai dengan prasangka yang berada di luar wilayah penelitian. Jika ternyata berita yang diperoleh dibuktikan oleh sebuah penelitian, maka jarang sekali hal tersebut ditentukan. Namun, karena kisah-kisah Alquran dipaparkan bersamaan dengan kaidah umum yang menyertainya, jelaslah bahwa meskipun hanya terdapat sebuah contoh, tetapi ia adalah suatu kaidah umum, bukan hal yang bersifat kebetulan.

Alquran memaparkan kisah-kisah para nabi dan berbagai kondisi yang mereka alami ketika berhadapan dengan para penyembah berhala.

Banyak nabi yang datang dan memberi peringatan kepada mereka, namun mereka mengabaikan peringatan tersebut. Di lain pihak, para pengikut setia Musa a.s saat itu ditakut-takuti dengan berbagai ancaman, tetapi pendirian mereka tetap teguh dan tidak terpengaruh. Allah berfirman menggambarkan keadaan mereka, “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa, 'Berangkatlah kamu dengan hamba-hamba-Ku pada malam hari.

Lalu buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut. kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak juga takut (akan tenggelam).' Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutupi oleh laut yang menenggelamkan mereka. Dan Fir'aun telah menyesatkan kaumnya lagi tidak memberi petunjuk” (QS Thâ Hâ:77-79).

Akan tetapi, ketika sebuah surat dilayangkan oleh Nabi Sulaiman a.s kepada seorang perempuan (Ratu Balqis), ajakan Nabi dapat berpengaruh. Apakah karena perempuan tersebut merasa takut atau karena dia lebih berakal daripada pria? Lalu mengapa seluruh penjelasan yang disampaikan oleh Musa a.s dan Harun a.s kepada para pejabat negara keluarga Fir'aun tidak dapat berpengaruh sedikit pun? Setiap yang bersifat kasat indra IK14 kizal 290 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 290

AYATULLAH JAWADI AMULT dan yang jumlahnya sangat banyak telah diperlihatkan kepada mereka, tetapi tetap saja tidak berpengaruh sehingga mereka menawan dan membunuh banyak orang Bani Israil. Kebanggaan mereka adalah ketika mereka dapat menyembelih anak-anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Allah Swt berfirman, “Mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiar- kan hidup anak-anakmu yang perempuan” (QS Al-Baqarah:49).

Ratu Saba' (Balqis) dalam Alquran

Berkenaan dengan kisah Ratu Saba', Alquran mengisahkan bahwa Nabi Sulaiman a.s telah mengirim sepucuk surat kepadanya yang berisikan janji dan ancaman. Dengan segera, sang ratu menerima kebenaran tersebut, padahal kekuatannya tidak lebih sedikit dan lemah dibandingkan penguasa-penguasa lain. Namun demikian, dia lebih berakal daripada pria- pria yang lain. Pada bab-bab terdahulu telah dijelaskan bahwa dari sisi kemampuan intelektual, perempuan lebih lemah daripada pria. Artinya pola pikir dalam mengemukakan teori ataupun argumen, pria terbukti lebih unggul daripada perempuan. Namun, tidak benar jika pria lebih kuat daripada perempuan dalam hal kualitas jiwa dan hatinya, bahkan tampak dalam hal ini, perempuan lebih kuat daripada pria. Ini lebih banyak kita temukan pada perempuan daripada pria.

Dalam Alquran, kisah Ratu Saba' dimulai dengan hadirnya burung hudhud ke hadapan Sulaiman as, menceritakan kekuasaan sang ratu di negeri Yaman. Allah Swt melukiskan ucapan hudhud, “Sesungguhnya Aku menjumpai seorang perempuan yang me- merintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah" (QS Al-Naml:23-24).

Sampailah surat yang dilayangkan Nabi Sulaiman a.s kepada perempuan tersebut yang saat itu sedang berkuasa di wilayah Yaman.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 291

p: 291

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Dia berkata, “Hai para pemuka, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi)nya dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri. Dia berkata, “Hai para pemuka, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu menyaksikan. Mereka menjawab, Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga pemilik ketangkasan yang sangat (dalam peperangan) dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan. Dia berkata, “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka akan membinasakannya, dan menjadikan yang mulia dari penduduknya hina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh para utusan itu. Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, dia berkata, 'Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang dianugerahkan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang dianugerahkan-Nya kepada kamu, tetapi kamu telah merasa bangga dengan hadiah kamu.'" (QS Al-Naml:29-36).

Berita tentang keberadaan seorang ratu Yaman penyembah matahari itu sampai kepada Sulaiman a.s melalui burung hudhud.

Sulaiman a.s pun menulis sebuah surat untuk mengajaknya agar tidak berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan memeluk agama Allah Swt.

Surat Sulaiman a.s dibawa oleh burung hudhud dan sampai di istana Balqis. Balqis menyebut surat tersebut sebagai surat yang mulia, bukan karena cap kerajaan Sulaiman saja, tetapi juga karena isi dan kandungannya. Itulah sebabnya, surat itu sangat berharga dan mulia.

Setelah membaca surat itu, sang ratu bermusyawarah dengan seluruh menteri. Mereka mengatakan kepada Balqis bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan pasukan yang cukup tangguh dan < 292 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 292

AYATULLAH JAWADI AMULT tidak memiliki sedikit kekurangan pun. Meski demikian, mereka tetap menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada sang ratu. “Dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan," kata mereka.

Sekarang, kita harus melihat apa makna kecerobohan dan ke- beranian? Apa definisi dari rasa takut dan waspada? Apa yang dimaksud dengan kebodohan dan kepandaian? Tidak mau tunduk di hadapan kebenaran adalah perbuatan ceroboh dan bukan suatu keberanian.

Tidak mau tunduk ke hadirat Allah Swt adalah perbuatan angkuh, bukan kekuatan. Oleh karena itu, Ratu Saba' mengatakan bahwa dia akan mempertimbangkan ajakan Nabi Sulaiman a.s ini agar ia tahu apakah tujuannya adalah untuk kekuasaan duniawi atau untuk menempuh jalan para nabi. Balqis mempertimbangkan yang pertama dengan masalah- masalah duniawi sehingga dia menguji Sulaiman a.s dengan mengirim beberapa hadiah, tetapi Sulaiman a.s menolaknya. Sulaiman a.s memberikan sebuah jawaban yang dapat dipahami oleh Balqis bahwa kekuasan Sulaiman a.s bukan sistem pemerintahan yang berdiri di atas nilai-nilai material yang dapat membuatnya rakus terhadap dunia.

Sistem kerajaan Sulaiman juga sedemikian kokohnya sehingga tak dapat tergoyahkan oleh penganugerahan kekuasaan dari negeri lain.

Harta dan gemerlap dunia tidak membuatnya berpaling dari ajakan Islam.

Balqis berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka akan membinasakannya, dan menjadikan yang mulia dari penduduknya hina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat" (QS Al-Naml:34).

Apakah penggalan akhir ayat di atas (dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat) merupakan perkataan Balqis atau firman Tuhan? Ini memerlukan pembahasan tersendiri yang bukan di sini tempatnya.

Namun yang jelas, sebelum Balqis memperoleh kemuliaan untuk Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 293

p: 293

Keindahan dan Keagungan Perempuan berkunjung ke istana Sulaiman a.s, Sulaiman as mempunyai gagasan untuk mendatangkan singgasananya terlebih dahulu. Allah Swt berfirman, “Dia berkata, “Hai para pemuka, siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?' Berkata 'Ifrît dari golongan jin, Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi terpercaya.' Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.' Maka tatkala dia melihatnya terletak di hadapannya, diapun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau kufur. Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang kufur, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.' Dia berkata, “Ubahlah untuknya singgasananya, maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenal-(nya).' Dan ketika ia datang, ditanyakanlah kepadanya, 'Serupa inikah singgasanamu?' Dia menjawab, 'Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, dan kami telah diberi ilmu sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.' Dan apa yang dia sembah selama ini selain Allah, telah mencegahnya (untuk berserah diri) karena sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir. (QS Al-Naml:38-43).

Setelah sang ratu datang, Sulaiman a.s memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengubah sedikit singgasana Ratu Saba' tersebut guna menguji kecerdasan dan perhatiannya. Melihatnya demikian, Balqis berkata, “Seakan-akan ia adalah singgasanaku. Dia tidak mengatakan bahwa, itu adalah singgasanaku.” Akhirnya, setelah bertemu dan terjadi diskusi, dialog, musyawarah serta tanya jawab, Balqis menyesali perbuatan dosaya terhadap diri sendiri, lalu mengumumkan keislamannya.

< 294 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 294

AYATULLAH JAWADI AMULI Pada ayat 43 di atas, dijelaskan bahwa apa yang disembah Balqis selama ini, selain Allah, telah mencegahnya untuk melahirkan keislamannya. Dulu, dia termasuk orang-orang kafir. Orang yang mencegah diri dari bepergian bersama orang lain ke jalan kebenaran adalah orang yang mencegah diri dari jalan menuju Allah. Orang yang mencegah diri dari jalan Allah berarti ia menolak dan berpaling. Biasanya, keberpalingan muncul setelah terlebih dahulu muncul darinya penolakan atau pengingkaran. Bukan tidak mungkin seseorang yang berjalan di jalan kebenaran dapat membawa orang lain ke sana. Demikian pula manusia yang sesat, dia akan mengajak orang lain ke dalam kesesatan.

Dari sini, kesesatan selalu hadir terlebih dahulu, pada diri seseorang, sebelum yang bersangkutan dapat menyesatkan orang lain, sebagaimana seseorang baru dapat memberi petunjuk apabila terlebih dahulu petunjuk telah mendarah daging dalam jiwanya.

Tabiat penyembahan berhala adalah faktor penghalang yang mencegah pemilik tabiat tersebut dari kebenaran. Pemujaan berhala adalah bentuk keberpalingan dari kebenaran. Namun pada saat yang sama, petunjuk fitrah dan kesuciannya serta kesempatan untuk menetapkan sebuah keputusan dapat menjadi pilihan sang ratu. Ketika mengumumkan keislamannya, Balqis tidak mengatakan, “Aku berserah diri kepada Sulaiman." Namun dia berkata, aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam. Di sinilah letak keagungan Balqis. Oleh karena itulah, Allah Swt menempatkan kisah ini sebagai sebuah nasihat dan pelajaran bagi setiap hamba-Nya yang mau mengambil pelajaran.

Dari penuturan kisah di atas, kembali kita bertanya, siapakah yang lebih berakal, Balqis ataukah keluarga Fir'aun, sang ratu itu ataukah keluarga Namrud, atau para penguasa yang dihadapi oleh Nabi Isa a.s? Setelah jelas makna akal menurut Alquran, jelas pula bahwa perempuan yang berkuasa di negeri Yaman itu jauh lebih “berakal" daripada para penguasa pria. Dia tahu bahwa keberanian hakiki adalah menerima kebenaran. “Keberanian" dapat dia bedakan dengan "sikap ceroboh". Dia tidak mengatakan bahwa dia belum siap untuk menerima Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) < 295

p: 295

Keindahan dan Keagungan Perempuan nabi dari luar kaumnya karena kebiasaan semacam ini adalah hal yang dibenci. Sang ratu menerima kebenaran bukan karena tidak ada sesuatu yang asing, sebab Sulaiman a.s adalah seorang yang amat terkenal dan dia adalah seorang nabi yang datang dengan sebuah risalah yang dicintai dan dikagumi banyak orang, di samping perkataannya yang selalu benar.

Oleh karena itu, Alquran memaparkan kisah ini sebagai contoh dan pelajaran. Jika ada beberapa manusia saleh, maka ada juga kaum lelaki yang melakukan kerusakan dan merusak keturunan manusia. Mereka banyak membunuh orang-orang yang tak berdosa. Namun Balqis justru lebih memilih mencegah terjadinya pertumpahan darah. Oleh karena itu, Alquran menyebutkan keagungannya.

Selain yang dipaparkan di atas, banyak juga perempuan pada masa permulaan Islam yang mengatakan, “Aku berserah diri bersama Rasulullah kepada Allah, Tuhan semesta alam."

Kecemerlangan Pikiran dan Politik Perempuan

Di antara contoh kecerdasan yang berpotensi menonjol pada kalangan perempuan adalah kesetaraannya dengan pria dalam beberapa keutamaan yang dianugerahkan Allah pada manusia. Di antaranya adalah dua buah contoh berikut ini:

1. Kecerdasan intelektual 2. Kecerdasan politik Kecerdasan intelektual tidak dapat dilihat dari cepatnya seseorang dalam menguasai sesuatu. Misalnya, apabila seseorang memahami kandungan sebuah buku lebih cepat daripada orang lain, itu tidak berarti dia lebih baik daripadanya karena boleh jadi dia telah menelaah terlebih dahulu isi buku tersebut. Keterdahuluan secara waktu tidak dapat dijadikan bukti akan keunggulan intelektualnya. Oleh karena itu, keunggulan dalam hal ini tidak dapat dijadikan bukti sebuah keistimewaan seseorang.

Namun, jika kepada seseorang dipaparkan sebuah masalah ke- ilmuan yang mendalam dan rumit yang sebagian pendengar merasa kesulitan dalam mencernanya, sedangkan baginya mudah, bahkan dia < 296 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 296

AYATULLAH JAWADI AMULT dapat menjelaskannya kepada orang lain, maka ia bukan saja lebih dahulu dalam hal waktu yang kebanggaannya, tetapi itu merupakan sebuah bukti bahwa ia lebih unggul dalam hal daya pikir dan kemampuan intelek- tualnya dibanding orang lain.

Seseorang yang dapat memahami sebuah permasalahan rumit lebih cepat daripada yang lain, boleh jadi, itu karena dia mengetahui dasar- dasar dan prinsip-prinsip pengambilan kesimpulan terhadap masalah tersebut, atau karena dia sebelumnya telah menempuh jalan tersebut, atau dia telah menempuh jalan tersebut dengan begitu cepat.

Betapapun, yang jelas orang ini memahaminya lebih cepat daripada yang lain, dan keterdahuluannya di sini adalah bukti keunggulannya.

Sebagaimana jika ada dua orang yang melakukan suatu kebajikan dalam waktu yang berbeda, maka keterdahuluan atau keterbelakangan secara waktu bukanlah bukti sebuah keunggulan atau kelemahan. Namun, suatu aktivitas yang menuntut sebuah ketulusan dan pengorbanan dalam pelaksanaannya, hal ini tidak mudah dilakukan semua orang. Jika seseorang melakukan perbuatan dengan pengorbanan dan kemudian sukses, maka itu bukan hanya karena kelebihannya secara waktu, tetapi juga karena dia melakukannya dengan penuh ketulusan dan berkat keunggulan intelektualitasnya. Inilah kaidah umum yang dapat dijadikan tolok ukur keistimewaan seseorang.

Keistimewaan Orang-orang Terdahulu dalam Memeluk Islam

Atas dasar kaidah umum di atas, Alquran memberikan peng- hormatan secara khusus terhadap mereka yang telah masuk Islam lebih cepat daripada yang lain dan segera mempercayai risalah Nabi Saw. Demikian pula dengan mereka yang telah mengorbankan harta dan nyawa mereka demi Islam mendahului orang lain, serta mereka yang pergi ke medan perang untuk membela kebenaran sebelum orang-orang lain. Mereka semua telah memperoleh penghormatan khusus dan kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 297

p: 297

Keindahan dan Keagungan Perempuan Kemuliaan tersebut diperoleh bukan hanya disebabkan keterdahu- luan mereka secara waktu, tetapi juga karena kecerdasan intelektual mereka di atas rata-rata yang disertai dengan keistimewaan mereka dalam hal perjuangan dan pengorbanannya bersama Rasulullah Saw.

Jelaslah, mengapa ketika Alquran menyebut orang-orang Muhajirin dan Anshar sebagai orang-orang yang terdahulu masuk Islam, menam- bahkan dengan ungkapan penghormatan. Allah Swt berfirman, “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar" (QS Al- Taubah:100).

Orang-orang yang memeluk Islam sebelum orang lain dan membelanya, dan mereka yang berhijrah sebelum orang lain serta mereka yang menolong orang-orang Muhajirin sebelum orang lain, berarti telah terlebih dahulu berkorban dan mengutamakan mereka. Mereka lebih utama, bukan karena mereka lebih dahulu secara waktu, melainkan karena mereka juga memiliki kemuliaan yang khusus, yakni karena mereka lebih memahami Islam daripada orang lain.

Pada masa itu, budaya jahiliah, penyembahan berhala, dan cinta harta telah merajalela. Jika ada seseorang yang dapat terbebas dari ke- gelapan jahiliah ini dan kemudian mengenal kesucian Islam yang tidak terkotori oleh syirik, mempercayai segala kebenarannya, dan menggilas seluruh tradisi jahiliah dan masuk ke dalam Islam dengan penuh keberanian serta kecerdasan yang sempurna, kemudian membela Islam baik dengan mengorbankan segala yang dimilikinya, berupa tenaga dan pikirannya, bukankah hal ini merupakan sebuah keistimewaan khusus? Oleh karena itu, Allah Swt menyebutkan kelompok tersebut dengan sebuah penghormatan yang khusus. Dalam ayat lain, disebutkan pula oleh Allah Swt penghormatan yang khusus itu. Allah Swt berfirman, “Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan kota (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan * 298 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 298

AYATULLAH JAWADI AMULT berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik” (QS Al-Hadîd:10).

Artinya, seluruhnya akan mendapatkan pahala, tetapi pahala mereka yang menolong Rasulullah Saw pada saat-saat lemahnya Islam, baik mereka membelanya dengan mengorbankan harta maupun nyawa, akan memperoleh penghormatan yang khusus, sedangkan orang-orang yang beriman dan menolong Islam setelah tersebarnya Alquran dan Islam, tidak memiliki bagian dari kemuliaan tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada perjuangan di sebuah negara Islam, misalnya, mereka yang bergabung sebelum kemenangan tidak sama dengan mereka yang menjadi penyokong setelah kemenangan.

Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan keagungan para sahabat pelopor yang terdahulu masuk Islam membuktikan cukup ber- alasannya pujian kepada Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Dijelaskan di sana bahwa salah satu keistimewaan yang menonjol pada diri beliau a.s dan yang sering dijadikan hujah baik bagi Imam Ali a.s maupun bagi seluruh Ahlul Bait adalah bahwa beliau a.s merupakan salah seorang yang pertama kali masuk Islam(1)

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw pernah berkata kepadanya, “Wahai Ali, engkau adalah orang Mukmin yang paling dahulu beriman, dan engkau orang Muslim yang paling dahulu masuk Islam?(2)." Hal tersebut bukan karena Imam Ali bin Abi Thalib a.s lebih dahulu daripada yang lain dari sisi waktu, artinya dia telah masuk Islam sebelum orang-orang lain masuk Islam karena keterdahuluan dalam hal waktu bukan dalil akan keunggulan, juga merupakan satu-satunya alasan kelayakan beliau sebagai khalifah setelah Rasulullah Saw.

Sesungguhnya, keterdahuluan Imam a.s di sini menyangkut kualitas keimanan beliau. Imam a.s telah beriman pada saat Alquran diperkenalkan di tengah masyarakat Arab dan mereka tidak dapat menjangkau hakikatnya

p: 299


1- 73 Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 454.
2- 74 Al-Ghadîr, juz 3, hlm. 228.

Keindahan dan Keagungan Perempuan secara mendasar. Kemampuan mereka sangat lemah atau mereka tidak dapat membela Islam atau tidak memiliki keberanian untuk berkorban dan berjuang. Mereka tidak memiliki kesabaran untuk menahan berbagai penderitaan dan kesulitan. Namun Imam Ali a.s dapat memahami ha- kikatnya dengan cepat dan beriman serta membelanya. Inilah kecerdasan intelektual Imam yang disambut dengan keberanian beliau dalam mewujudkan kecerdasannya itu dalam tindakan dan perbuatan.

Dengan pendahuluan yang singkat ini, menjadi jelas mengapa orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam memperoleh kehormatan yang khusus.

Perempuan-perempuan yang Terdahulu Masuk Islam

Apabila kita menghitung kembali jumlah orang yang terdahulu masuk Islam, kita melihat banyak dari mereka yang berada dalam barisan terdepan seperti Imam Ali a.s, di samping pribadi-pribadi lain, seperti Khadijah a.s, dan Sumayyah datang memeluk Islam setelah para pelopor pertama. Meski demikian, Khadijah a.s tetap dikatakan sebagai seorang Mukmin yang terdahulu memeluk Islam dalam hal kualitas keimanan dan pengorbanannya, bukan dalam hal waktu. Saat itu, banyak kaum pria yang masih bimbang untuk memastikan kebenaran Islam, tetapi Khadijah a.s dapat segera memastikan kebenarannya. Tentunya banyak orang yang telah mengetahui bahwa kebenaran ada pada Rasulullah Saw, tetapi mereka tidak memiliki keberanian. Sementara Khadijah a.s memiliki kebe- ranian tersebut. Jika seseorang hendak menginjak tradisi yang batil untuk menerima yang hak, maka hal itu menuntut kecerdasan intelektual dan keberanian berbuat. Dalam keadaan banyak dari kaum pria yang tidak memiliki dua keutamaan ini, Khadijah a.s justru memilikinya sehingga beliau tidak segan-segan berjuang membela Islam dengan mengorbankan hartanya.

Perempuan lain yang terlebih dahulu dalam memeluk Islam adalah Sumayyah. Dia telah mengetahui hakikat agama berkat kematangan berpikirnya sehingga dia masuk Islam dan mampu menahan berbagai < 300 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 300

AYATULLAH JAWADI AMULI bentuk siksaan yang keji dengan penuh kesabaran. Ketika Rasulullah Saw menyaksikan dia sedang disiksa, beliau bersabda, “Wahai keluarga Yasir, bersabarlah. Sesungguhnya tempat kalian adalah surga." Mereka beriman kepada sesuatu yang gaib hingga mati syahid dan perempuan itu berada di barisan pertama orang yang mati syahid dalam Islam. Jelaslah sekali lagi, masalahnya tidak terletak pada keterdahuluan dalam sisi waktu saja, tetapi keterdahuluan secara kualitas yang menuntut jenis kecerdasan intelektual yang disertai keberanian berkorban. Inilah contoh keutamaan perempuan dalam ketulusan iman dan pengorbanannya.

Berkaitan dengan kecerdasan perempuan yang kedua, kaitannya dengan masalah ini adalah keterlibatan perempuan di gelanggang politik dan sosial. Tentunya, agar pembahasan ini menjadi lebih jelas, kami harus mengetengahkan terlebih dahulu pandahuluannya.

Perlunya Peranan Perempuan dalam Masyarakat

Agama memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki identitas sosial, baik komunitas masyarakatnya itu bereksistensi atau tidak. Ada sekian banyak tanggung jawab dan tugas sosial di pundak setiap individu masyarakat. Orang yang hanya memikirkan dirinya tak akan mengenal tugas-tugas sosial tersebut. Kalaupun mereka mengetahuinya, mereka tak akan mau berkorban apalagi mengutamakan kepentingan bersama. Oleh karena itu, mereka tidak mau terjun dalam gelanggang sosial.

Mereka yang selalu berperan aktif di tengah masyarakat dan sering mencetuskan ide-ide membangun tentu mengetahui benar bahwa manusia, di samping sebagai individu- memiliki identitas sebagai sebuah masyarakat yang utuh di mana setiap individu perlu aktif membangun komunitasnya dan mereka dituntut untuk berkorban demi mengangkat identitasnya yang bersifat kolektif itu. Alquran memuji kaum Mukmin yang memiliki sifat seperti demikian dengan firman-Nya, "Sesungguhnya orang orang Mukmin adalah orang-orang yang Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 301

p: 301

Keindahan dan Keagungan Perempuan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka bersama beliau dalam sesuatu urusan yang memerlukan kebersamaan mereka tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya." Artinya, kaum Mukmin sejati adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memiliki kecerdasan sosial dan menyadari bahwa mereka memiliki eksistensi sebagai sebuah masyarakat. Mereka saling berinteraksi satu sama lain: dan apabila mereka bersama beliau dalam sesuatu urusan yang memerlukan kebersamaan mereka tidak meninggalkan (Rasul) sebelum meminta izin kepadanya. Maksud dari sesuatu urusan yang memerlukan kebersamaan pada ayat di atas adalah masalah kolektif setiap masyarakat. Sebagai contoh, pelaksanaan salat Jumat, mengadakan demonstrasi mengutuk penguasa zalim, berperan serta menyukseskan pemilu, mendukung kepemimpinan Islam, bersama-sama mendukung pegawai yang jujur merealisasikan bersama prinsip amar makruf nahi munkar, dan ratusan contoh lainnya yang berkaitan dengan problem sosial.

Oleh karena itu, Allah Swt menyatakan dalam Kitab-Nya bahwa mereka yang benar-benar Mukmin adalah mereka yang tidak meninggalkan pemim- pin mereka seorang diri dalam berbagai hal yang dituntut adanya ke- bersamaan. Mereka juga tidak boleh meninggalkan gelanggang tanpa memperoleh izin dari sang pemimpin.

Kecerdasan sosial merupakan sesuatu yang sangat mulia sehingga Alquran menganggapnya sebagai salah satu keistimewaan kaum Mukmin.

Alquran mengatakan bahwa kaum Mukmin sejati adalah mereka yang senantiasa berperan proaktif dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi oleh komunitasnya dan tidak meninggalkan pemimpin mereka seorang diri serta tidak meninggalkan medan perang tanpa alasan yang dapat diterima. Jika mereka berhalangan sehingga tidak dapat pergi ke medan perang, maka mereka wajib melaporkan ketidakhadiran mereka sehingga tidak membuat semua orang dengan mudah beralasan untuk melakukan hal yang sama. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu mereka 302 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 302

AYATULLAH JAWADI AMULT itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan mereka, maka izinkanlah siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Al-Nûr :62).

Selanjutnya, apabila seseorang berhalangan untuk ikut serta ter- jun ke medan perang setelah memperoleh izin dari pemimpinnya, maka secara otomatis yang bersangkutan telah kehilangan pahala dan keutamaan jihad. Oleh karena itu, Allah Swt memerintahkan Rasul- Nya untuk memohonkan ampun kepada Allah bagi mereka yang meninggalkan medan perang karena uzur tertentu. Mereka harus dibantu dengan permohonan ampun Rasulullah Saw untuk mereka. Ini tidak jauh berbeda dengan anjuran bagi perempuan yang sedang mengalami menstruasi – yang tidak diperbolehkan melakukan salat wajib selama beberapa hari dalam setiap bulan, agar berwudhu dan duduk di tempat salatnya dengan menghadap kiblat sambil berzikir setiap kali tiba waktu salat wajib. Perbuatan tersebut diharapkan dapat mengganti pahala salat. Demikian pula orang yang sedang melakukan sebuah perjalanan jauh yang mewajibkannya meng-qashar salatnya, jika dia membaca subhânallâh wal-hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar sebanyak tiga puluh atau empat puluh kali selepas salat wajib, maka pahalanya juga diharapkan dapat mengganti rakaat yang di-qashar tersebut.

Demikian pula jika seseorang berhalangan untuk ikut serta ke medan perang karena uzur tertentu, maka pemimpinnya diperintahkan agar memintakan ampun kepada Allah untuk mereka karena permohonan ampun tersebut merupakan penyebab ketenangan dan ketentraman hati mereka. Permohonan ampun ini sangat berpengaruh bagi mereka dan dapat menenteramkan mereka. Inilah gambaran tugas sosial yang wajib dilakukan oleh setiap individu yang digambarkan oleh Alquran. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 303

p: 303

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Keikutsertaan Perempuan di Gelanggang Politik

Kisah Saudah binti Ammar bin al-Ask al-Hamdani merupakan salah satu kisah terkenal dalam sejarah. Dia memiliki kecerdasan sosial.

Dia juga menganggap bahwa keikutsertaannya di gelanggang politik merupakan tugasnya. Dia tidak pernah berpikir untuk berlepas tangan dari tugas yang, pada umumnya, dikerjakan oleh kaum pria ini. Dia tidak pernah sedikit pun merasa takut kepada penguasa Bani Umayyah dan dia merasa berkewajiban untuk ikut memecahkan problem masyarakatnya.

Dia berkata, “Selama aku dapat mencapai tujuan, aku tidak berurusan dengan mereka yang berada di jalan sesat." Kisah Saudah ini disebutkan secara terperinci dalam buku-buku se- jarah, tetapi di sini akan kami jelaskan secara umum saja sehingga jelas bahwa pemikiran politik dan keikutsertaan di bidang kemasyarakatan juga dapat dilakukan oleh kaum perempuan sebagaimana dilakukan oleh pria.

Kabar tentang kehebatan beberapa tokoh Islam dapat sangat berpengaruh pada diri kita. Rahasia bahwa Abu Dzar menjadi terkenal dalam hal perjuangannya membela Islam adalah karena apa yang telah dilakukannya, baik berupa ucapan-ucapannya yang mengobarkan semangat maupun sikap-sikapnya yang patriotis, semuanya diabadikan dalam buku-buku sejarah dan dikemukakan hampir di setiap forum- forum kajian Islam, bahkan hal itu pernah disajikan beberapa kali dalam bentuk film dan lain-lain. Pada zaman dahulu, perempuan yang memiliki semangat sekelas Abu Dzar juga tidak sedikit. Mereka banyak turut serta di medan perang dengan mengumandangkan ayat-ayat Alquran dan hadis- hadis Rasulullah Saw sebagai penyemangat bagi pasukan yang siap berperang.

Mereka juga memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang Alquran sehingga mampu membacakannya pada saat-saat yang sesuai dengan suasana ayat-ayat Alquran tersebut. Penguasaan mereka terhadap Alquran demikian matang sehingga mereka dapat mengemukakan ayat-ayatnya, bukan hanya yang bersuasanakan masa-masa kejayaan Islam, tetapi juga masa- < 304 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 304

AYATULLAH JAWADI AMULT masa kelemahannya. Mereka dapat melancarkan protes dan kritik pedas seperti Abu Dzar serta melakukan pembelaan segigih Malik al-Asytar.

Itu semua telah dilakukan oleh kaum perempuan pada zaman dahulu dalam sekian banyak peperangan dan kancah politik Islam. Seluruhnya telah diabadikan dalam buku-buku sejarah. Demikianlah, apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa perempuan dapat ikut serta berjuang di medan perang, seperti halnya Abu Dzar dan Malik al-Asytar.

Aktivitas yang dapat dilakukan perempuan pada masa permulaan Islam banyak sekali, baik pada masa-masa kelemahan maupun kejayaannya. Di sini, akan kami kemukakan beberapa contoh yang berkaitan dengan permasalahan ini sehingga akan jelas bagi kita keunggulan daya pikir perempuan dan potensi mereka serta keikut- sertaan di tengah masyarakatnya.

Kedatangan Saudah ke Istana Muawiyah

Suatu ketika Saudah binti Ammar mohon izin kepada Muawiyah bin Abu Sufyan untuk dapat memasuki istananya dan menemuinya.

Muawiyah pun segera memberi izin kepadanya. Setelah dia masuk dan bertemu, terjadilah tanya jawab antara Muawiyah dan Saudah.

Muawiyah berkata, "Wahai putri al-Ask, engkaukah yang pada perang Shiffin mengatakan, 'Wahai putra Ammarah, bersiap siagalah seperti yang dilakukan oleh ayahmu pada hari pertumpahan darah dan bertemunya pedang dan anak panah! Tolonglah Ali, Al-Husain dan kelompoknya. Pergi dan hadapilah Hindun serta putranya yang hina.

Sang Imam (Ali) adalah saudara Muhammad (Saw), simbol petunjuk dan menara keimanan. Pimpinlah balatentara dan berjalanlah di depan benderanya dengan langkah yang berani seraya membawa pedang dan tombak yang mengkilat.'?" "Demi Allah, bukanlah sepertiku orang yang membenci kebenaran dan beralasan kebohongan," jawab Saudah.

“Lalu apakah gerangan yang membuatmu menjadi seperti itu?" tanya Muawiyah lebih lanjut.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 305

p: 305

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Kecintaan kepada Ali dan mengikuti kebenaran." "Demi Allah, aku tidak melihat pada dirimu pengaruh dan jejak Ali a.s," tukas Muawiyah dengan nada kasar.

Saudah berkata, "Wahai Amirul Mukminin, aku bersumpah demi Allah, engkau telah membuatku mengenang kembali peristiwa yang telah lalu, dan mengingatkan kepadaku apa yang telah kulupakan." "Oh, tidak mungkin kedudukan saudaramu akan terlupakan, dan aku tidak merasakan sesuatu ketika bertemu dengan seseorang seperti pertemuanku dengan kaum dan saudaramu," kata Muawiyah.

“Ucapanmu benar. Kedudukan saudaraku tidak buruk, dan tem- patnya juga telah nyata. Demi Allah, dia seperti apa yang dikatakan oleh Khansa, “Sesungguhnya Shakhar (saudara seayah Khansa) sangat terkenal dan jelas karena dia panutan bagi para juru petunjuk, dia bagai gunung yang di atasnya ada api,"' tegas Saudah.

"Benar! Dia seperti itu," ucapnya singkat.

“Kepalanya telah mati dan 'ekor’-nya telah terputus. Demi Allah, aku minta kepada imam untuk melindungi aku dari apa yang aku minta maaf darinya," tukas Saudah.

"Telah kulakukan! Lalu apa keperluanmu?" tanyanya lagi penasaran.

“Engkau adalah pemimpin kami dan perintahmu diikuti mereka.

Demi Allah, aku minta agar hendaknya engkau tunaikan urusan kami yang telah Allah wajibkan kepadamu. Banyak orang-orangmu yang datang kepada kami menindas dan berlaku sewenang-wenang terhadap kami. Mereka mengetam kami seperti mengetam gandum, menginjak-injak kehormatan kami seperti sapi, merendahkan kami dan merampas kemuliaan kami. Bisr bin Artha'ah, misalnya, datang kepada kami atas perintahmu lalu membunuh pria-pria dari kalangan kami dan merampas harta kami. Jika kamu memecatnya dan menjauhkan dia dari kami, maka kami akan berterimakasih kepadamu. Jika tidak, maka kami berarti telah mengenal sifatmu," tutur Saudah.

“Apakah engkau sedang mengancamku dengan kaummu? Aku hendak mengantarmu ke mulut singa yang buas, aku akan mengem- < 306 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 306

AYATULLAH JAWADI AMULI balikanmu kepadanya," tantang Muawiyah dengan nada meng- ancam.

"Allah berselawat pada tubuh yang telah berkalang tanah dan telah membawa serta keadilan ke sana. Dia selalu berada bersama kebenaran dan tidak pernah menyimpang darinya, bersamanya kebenaran dan ke- imanan," kata Saudah sambil menundukkan kepalanya dan menangis.

“Siapakah dia?" tanya Muawiyah geram.

"Dia adalah Ali bin Abi Thalib," ujar Saudah.

“Memangnya apa yang telah diperbuatnya untukmu?" Muawiyah bertanya lagi.

"Suatu ketika di masa pemerintahannya, aku merasa diperlakukan tidak adil oleh salah seorang petugas yang dia angkat untuk mengurusi bagian kami, dia mengambil untuk dirinya jumlah lebih banyak dari- pada bagian kami. Lalu aku datang kepada Imam Ali a.s, mengadukan hal itu kepadanya. Aku sampai kepadanya ketika dia sedang melaksanakan salat. Setelah melihatku, dia berkata kepadaku dengan lembut dan ramah, Apakah keperluanmu?' Lalu aku mengutarakan maksud kedatanganku.

Mendengar ceritaku, dia langsung menangis dan berkata, “Ya Allah, ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau menjadi saksi bagiku dan bagi mereka. Aku tidak menyuruh mereka untuk berbuat zalim atas mahkluk-Mu dan juga tidak meninggalkan hak-Mu.' Lalu Imam Ali mengeluarkan dari sakunya sepotong kulit dan menulisnya, 'Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan tim- bangannya(1), dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan, 'Baqiyyat' dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman.

Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kamu(2).

Jika kamu membaca tulisanku ini, maka peliharalah segala yang ada padamu yaitu perbuatan dan usaha kita, sampai tiba saat

p: 307


1- 75 QS al-A'raf: 85.
2- 76 QS Hud: 85-86.

Keindahan dan Keagungan Perempuan kematian datang menghampirimu. Wassalam.' Lalu aku, wahai Amirul Mukminin, mengambil surat itu.'" "Sungguh telah menurun kepadamu keberanian putra Abu Thalib terhadap penguasa. Tuliskan untuknya agar mengembalikan hartanya secara adil," jawab Muawiyah datar.

"Hanya untukku, atau juga kaumku?" tanya Saudah penasaran Muawiyah bertanya, “Apa urusanmu dengan kaummu?" Saudah menjawab, “Demi Allah, jika demikian, itu adalah keburukan. Karena engkau hendak berlaku adil, maka seharusnya bersifat merata. Kalau tidak, maka aku akan tetap seperti yang lain dari kaumku." “Tulislah untuknya dan kaumnya," tukas Muawiyah.

Kesimpulan

Dari contoh tersebut, dapat kita tarik beberapa kesimpulan.

Pertama, kehadiran perempuan di sisi Rasulullah Saw telah membuahkan hasil yang cukup positif dan banyak. Demikian pula dengan hasil yang diperoleh dari kehadirannya di sisi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Kedua, tidak ada perbedaan antara keikutsertaan perempuan dalam aktivitas sosial maupun politik. Ketiga, perempuan mampu meluruskan kebijakan penguasa zalim untuk mengembalikan haknya yang hilang. Dia juga dapat menjadi pembela hak-hak orang lain, bahkan dia dapat mengembalikannya bila hak-hak tersebut sudah jelas, serta membela hak-hak orang yang dikuasai oleh masyarakat secara zalim.

Jika keikutsertaan seluruh pria Mukmin di bidang sosial dianggap sebagai keharusan, seperti dijelaskan dalam ayat, “Sesungguhnya yang benar-benar orang Mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan Rasulullah sebelum minta izin kepadanya” (QS Al-Nûr:62).

p: 308

AYATULLAH JAWADI AMULT Konteks ayat tersebut mencakup semua kalangan, baik perempuan maupun pria secara kolektif. Sejarah pun membuktikan bahwa pada masa permulaan Islam, bukan saja kaum pria yang mempelopori aktivitas- aktivitas sosial tersebut.

Sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Revolusi Islam Iran, kami teringat akan ucapan-ucapan Imam Khomeinî dan para pimpinan Revolusi lainnya, yang seringkali menekankan permasalahan ini, yaitu bahwa Islam menuntut ke- ikutsertaan pria dan perempuan di kancah sosial dan politik. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa seorang perempuan saja, seorang diri dan tanpa ditemani saudaranya yang pria, tidak boleh mendatangi lembaga instansi pemerintah, apalagi tampil aktif di tengah masyarakat karena kelemahan keimanan dan akalnya.

Udal T11CITIUUAL yang Saligal dan kelikd

Peran Bibi Rasulullah Saw

Putri Abdul Muththalib bin Hasyim (Shafiyyah) selalu mem- berikan motivasi kepada putranya untuk memperjuangkan agama Allah. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah beriman sebagaimana saudaranya Hamzah. Dia memiliki kemampuan tinggi di bidang sastra Arab, sel t membuat gat indah ketika meratapi ayahnya. Dia hidup dengan penuh kemuliaan, dan wafat pada masa Khalifah Umar(1).

Gambaran umum kehidupan perempuan ini menunjukkan bahwa dia merasa memiliki tanggung jawab terhadap diri dan masyarakatnya, seperti saudaranya Hamzah. Jika Hamzah telah gugur dan menjadi penghulu para syuhada, maka perempuan tersebut adalah motivator bagi putranya untuk selalu terjun ke medan perang demi membela agama Allah.

Seorang ibu biasanya menganjurkan anaknya agar tidak pergi ke medan perang untuk bertempur karena perasaan dan rasa kasihannya terhadap sang anak. Namun, seorang ibu yang beriman justru memberikan dorongan

p: 309


1- 77 Al-Durr al-Mantsûr fi Thabaqât Rabbât al-Khudhûr, hlm. 25.

Keindahan dan Keagungan Perempuan kepada anaknya untuk pergi ke medan perang. Inilah bukti keikutsertaan perempuan di gelanggang politik.

Sebagaimana dijelaskan di atas, perjuangan membela Islam pada masa awal kemunculannya memang bukanlah hal yang mudah. Dalam kondisi saat itu, di mana jumlah musuh cukup banyak sedangkan kaum Muslim sangat sedikit, seperti digambarkan oleh firman-Nya, “Kamu takut orang-orang (Makkah) akan menculik kamu" (QS Al Anfâl:26) – membela agama dengan menggunakan lisan tidak kalah besar risikonya dengan pergi ke medan perang.

Kemenangan peperangan secara lisan tak kalah hebat dengan kemenangannya di medan tempur. Keduanya memiliki peran yang amat penting bagi kekuatan Islam di mata musuh. Putri Abdul Muththalib yang juga merupakan sastrawati ini terus memotivasi putranya- dengan ucapan-ucapannya yang mengobarkan semangat – agar selalu mempertahankan agama Allah Swt.

Putri al-Harts bin Abdul Muththalib

Putri al-Harts bin Abd al-Muththalib bin Hasyim adalah sosok pejuang Muslimah lainnya. Dia hidup sampai masa pemerintahan Muawiyah. Pembelaannya terhadap Imam Ali bin Abi Thalib a.s sama dengan apa yang telah dilakukan para sahabat Imam Ali bin Abi Thalib a.s lainnya.

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Muawiyah bin Abu Sufyan sedang duduk bersama Amru bin Ash dan Marwan bin al- Hakam, lalu Putri al-Harts yang pada saat itu telah berusia lanjut masuk dan berdiri di hadapan mereka.

Dengan spontan Muawiyah berkata kepadanya, “Bagaimana kabarmu?" Dia menjawab, "Kami hidup dalam masa pemerintahan yang kufur nikmat dan telah berbuat buruk kepada kami. Namun, sungguh kalimat kami itulah yang tinggi dan Nabi kami Saw dialah yang dimenangkan Allah Swt. Kemudian, kalian telah menguasai kami setelah kepergian beliau dengan alasan kekerabatan kalian kepada 310 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 310

AYATULLAH JAWADI A MULT Rasulullah Saw. Padahal, kamilah yang lebih dekat kekerabatannya dengan beliau daripada kalian. Kedudukan kami di sisi kalian seperti kedudukan Bani Israil di sisi keluarga Fir'aun. Kedudukan Ali bin Abi Thalib a.s di sisi Rasulullah seperti kedudukan Harun a.s di sisi Musa a.s. Tujuan kami adalah surga dan tujuan kalian adalah neraka." Perempuan itu mengatakan kalimat tersebut di dalam istana Muawiyah dengan lantang, fasih serta indah. Diriwayatkan bahwa perempuan agung ini apabila berpidato, dia berkata dengan gaya bahasa yang amat indah, dan ketika berbicara, kata-katanya ringkas dan padat(1).

Pada awal pembicaraannya di atas, perempuan itu mengatakan, “Kalimat kami, itulah kalimat yang tinggi" kalimat itu diucapkannya karena Allah Swt berfirman, “Dan kalimat Allah itulah yang tinggi (QS al-Taubah:40). Artinya perkataan kami adalah perkataan Allah Swt, yaitu selalu tinggi dan selalu memperoleh kemenangan.

Adapun yang dimaksudnya dengan, “Dan Nabi kami Saw dialah yang dimenangkan Allah Swt", karena Allah telah menjanjikan keme- nangan kepada Rasulullah Saw. Hal tersebut sesuai dengan firman-Nya, "Allah telah menetapkan, 'Aku dan rasul-rasul-Ku' Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa” (QS Al-Mujadalah:21).

Selanjutnya, Putri al-Harts bin Abdul Muththalib berkata, “Kedu- dukan Ali bin Abi Thalib a.s di sisi Rasulullah seperti kedudukan Harun a.s di sisi Musa a.s." Ucapannya ini senada dengan sabda Nabi Muhammad Saw, “Wahai Ali, tidakkah kamu rela dengan kedudukan- mu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja, tiada nabi selepasku." Terbaca di atas bahwa dalam ucapan-ucapannya, perempuan agung itu terinspirasi oleh beberapa ayat Alquran dan hadis Rasulullah Saw. Hal tersebut memperlihatkan kecerdasan akal dan kematangan pemahamannya terhadap Alquran dan hadis Rasul Saw serta bukti akan tingginya nilai sastra pada ucapan-ucapannya.

p: 311


1- 78 Al-Durr al-Mantsûr, hlm. 25.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Pada akhir pembicaraannya, Putri al-Harts bin Abdul Muththalib berkata, “Tujuan kami adalah surga dan tujuan kalian adalah neraka." Mendengar hal itu, Amru bin Ash bangun dari tempat duduknya dan berusaha untuk menghinanya. Namun, perempuan itu menjawabnya dengan jawaban yang pedas pula, “Dan kamu, wahai anak perempuan zalim, ibumu adalah perempuan durhaka yang paling terkenal di Makkah, lima orang Quraisy seluruhnya mengaku bahwa engkau adalah anak mereka..." Lalu Marwan membantahnya dan berusaha membantu Amr bin Ash.

Perempuan itu kemudian menoleh kepada Muawiyah dan berkata, "Demi Allah, engkaulah yang membuat mereka lancang kepadaku." Lalu Muawiyah berkata kepadanya, “Silakan, apa kebutuhanmu? Sampaikan keinginanmu padaku!" “Aku tidak memiliki hajat apa pun terhadapmu," tegasnya sambil melangkahkan kakinya keluar.

Setelah perempuan itu keluar, Muawiyah menoleh kepada orang-orang yang berada di sekitarnya dan berkata, “Seandainya setiap orang yang ada di tempat ini berbicara, maka perempuan itu akan menjawabnya dengan jawaban yang berbeda-beda dan tanpa berhenti." Karena ketika perempuan Bani Hasyim berbicara, perkataan mereka lebih tajam daripada pria selain mereka.

Perempuan yang berusia lanjut itu masuk ke dalam istana Bani Umayyah, lalu mengecam mereka dan berbicara dengan kalimat-kalimat tajamnya. Hal itu menunjukkan keikutsertaannya di gelanggang politik Islam. Susunan puisi dan prosa tidak dapat dijadikan bukti partisipasinya dalam politik sebelum kejelasan kandungannya menunjukkan hal itu. Jika isi puisi tersebut lembut dan berupa ratapan, maka itu bukan sebuah bukti.

Namun, jika isi dan kandungan puisi tersebut diambil dari beberapa ayat Alquran dan hadis rasul yang berkaitan dengan persoalan politik, dan di- sertai kecaman terhadap penguasa zalim, maka itu merupakan sebuah bukti partisipasi pembuat puisi atau prosa tersebut di kancah politik.

< 312 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 312

AYATULLAH JAWADI AMULT Masalah penting lain yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa perjuangan Abu Dzar tak kalah hebatnya. Namun, per- juangannya, demikian pula perjuangan para pria agung lainnya, telah diabadikan secara lebih gencar oleh buku-buku sejarah, dan menjadi materi diskusi ilmiah di hampir setiap forum seminar yang pernah diadakan. Seandainya hal yang sama diterapkan demi meng- abadikan perjuangan para perempuan agung dan partisipasi mereka di dunia politik, niscaya setelah itu tak ada lagi orang yang mengatakan bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk ikut serta di dunia politik atau menganggap perempuan tidak memiliki kemampuan untuk turut serta berpolitik, atau orang beranggapan bahwa jika perempuan sudah tua, kematangannya dalam dunia politik akan hilang. Itu karena kehebatan Abu Dzar terletak pada ucapan-ucapannya yang tajam dan sikap politiknya yang tegas, padahal kaum perempuan juga telah melakukan hal yang sama dengan yang telah dilakukan Abu Dzar.

Partisipasi perempuan dalam gelanggang politik dapat dilihat dari peristiwa yang terjadi pada putri Abdul Muththalib dan putri al-Harts bin Abdul Muththalib. Di sisi ini, tidak ada perbedaan antara para perempuan- perempuan tersebut diatas dengan Abu Dzar. Namun, berkaitan dengan ketokohan Abu Dzar, buku-buku sejarah mensosialisasikannya secara intensif sehingga banyak dari kaum pria yang mencontoh metode perjuangannya dalam gelanggang politik. Seandainya peristiwa kedua perempuan tersebut di atas juga disosialisasikan dengan cara yang sama, maka tentu akan banyak kaum perempuan yang mencontoh keikutsertaan mereka di gelanggang politik.

Dendam Ummu Hakim Pada Bisr bin Artha'ah

Ummu Hakim adalah contoh perempuan agung lainnya yang patut disebut di sini. Setelah peristiwa Tahkîm pada peperangan Jamal, Muawiyah mengutus Dhahhak Bin Qais dan Bisr bin Artha'ah untuk melakukan pembantaian massal terhadap seluruh pengikut Imam Ali Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 313

p: 313

Keindahan dan Keagungan Perempuan a.s yang ada di Yaman. Mereka pun segera pergi untuk melaksanakan perintah tersebut.

Ketika mereka masuk ke sebuah rumah salah seorang pengikut Imam Ali bin Abi Thalib a.s dan tidak mendapatkan orang yang mereka cari, dengan kejamnya mereka menghabisi nyawa dua anak- nya yang masih kecil di hadapan ibunya. Namun para perempuan- perempuan ketika menyaksikan peristiwa itu, mereka tidak menyerah, dan juga mereka tidak mengatakan, “Jangan membunuh anak-anak kami, kami akan berkorban untuk penguasa Bani Umayyah" atau mereka mengatakan “Jangan membunuh anak-anak kami, kami tidak lagi akan mengikuti dan berwilayah kepada Ahlul Bait.” Mereka hanya diam sambil menahan segala derita pedih yang menimpa mereka. Itu merupakan sebuah bukti bahwa perempuan mampu berbuat seperti yang dilakukan pria untuk memperoleh kesyahidan. Dalam hal seperti itu, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Rasanya sulit sekali dibayangkan, seorang ibu menahan beban menghadapi peristiwa yang menyakitkan seperti itu. Setelah sekian lama perempuan itu merasakan derita pedih yang menimpa dirinya, dia menggubah sebuah puisi ratapan yang amat indah, di dalamnya ia mengungkapkan kesyahidan kedua putranya. Dia bacakan puisi tersebut kepada seluruh perempuan yang ditemuinya. Ternyata puisi tersebut dapat berpengaruh terhadap jiwa salah seorang pria dari kalangan pengikut Imam Ali a.s sehingga membuatnya berkeputusan untuk menuntut balas kepada Bisr bin Artha'ah atas kematian kedua putra Ummu Hakim.

Dia berusaha dengan berbagai cara agar dapat mendekat kepada Bisr bin Artha'ah hingga akhirnya dia dapat menjadi orang kepercayaannya.

Setelah dia begitu dekat dengan Bisr bin Artha'ah, dia membunuhnya sebagai balasan atas perbuatannya terhadap kedua anak perempuan itu.

Ummu al-Khair, Sang Orator pada Perang Shiffîn

Figur perempuan lainnya adalah putri Huraisy Bin Suraqah yang memiliki panggilan Ummu al-Khair. Dia adalah salah seorang perempuan 314 Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 314

AYATULLAH JAWADI AMULT yang terkenal pada masa permulaan Islam. Kemampuannya dalam berorasi dikenal banyak orang. Dia berasal dari kota Kufah dan kemudian berpindah ke kota Madinah.

Muawiyah mengirim surat kepada gubernurnya di Kufah untuk memanggil Ummu Khair dan memberinya pengawalan yang selayaknya.

Dalam surat itu, Muawiyah menulis, “Aku akan membalas Ummu Khair dengan ganjaran yang setimpal atas apa yang selama ini dia katakan kepadamu, kalau yang dikatakannya itu kepadamu baik maka aku balas dengan dengan kebaikan, dan kalau itu buruk maka akan kubalasnya dengan keburukan pula." Setelah surat itu dibacanya, dia mendatangi Ummu Khair dan membacakannya kepadanya. Ummu Khair kemudian berkata, “Isi surat itu tidak akan menggoyahkan ketaatanku kepada Allah, aku pun tidak akan memungkiri apa yang telah kuucapkan. Aku juga ingin bertemu dengan Amirul Mukminin untuk menyelesaikan beberapa masalah yang selama ini meresahkan hatiku." Setelah mereka pergi dan sampai di istana Muawiyah, maka terjadilah dialog yang cukup panjang antara Muawiyah dan Ummu Khair.

Muawiyah berkata, "Apa yang telah engkau katakan pada hari terbu- nuhnya ‘Ammar Bin Yâsir (dalam perang Shiffîn)?".

“Demi Allah, aku belum pernah menceritakannya kepada siapa pun atau berusaha mengubahnya. Itu adalah ungkapan yang telah dikeluarkan oleh lidahku secara spontan. Jika kamu menginginkan agar aku mengatakan sesuatu selain itu, maka aku akan mengatakannya," jawab Ummu Khair.

“Aku tidak menghendakinya," sambil menoleh kepada para sahabatnya lalu berkata, “Apakah ada di antara kalian yang masih mengingat perkataan Ummu Khair pada saat peperangan Shiffîn?" "Ya, wahai Amirul Mukminin, aku masih mengingatnya," sahut salah seorang sahabatnya.

"Silakan, ungkapkan!" pinta Muawiyah.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) < 315

p: 315

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Baik, wahai Amirul Mukminin. Ketika itu aku melihatnya mengenakan kain lembut berujung tebal. Dia menaiki seekor unta yang berwarna abu-abu sambil memegang sebuah cemeti. Bagai seekor binatang jantan yang sedang meraung dia berkata, 'Hai manusia, ber- takwalah kepada Tuhanmu, sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat)(1)

Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian kebenaran, petunjuk dan cahaya. Dia tidak meninggalkan kalian dalam kebutaan dan kegelapan. Hendak ke manakah kalian? Apakah kalian ingin lari dari Ali a.s? Atau apakah kalian akan lari dari peperangan? Ataukah apakah kalian benci kepada Islam dan ingin keluar dari kebenaran? Bukankah Allah Swt telah ber- firman, “Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu(2)."

Lalu dia mengangkat kepalanya ke langit, “Ya Allah ya Tuhanku, kesabaran telah habis, keyakinan telah melemah dan ketakutan telah me- nyebar. Wahai Tuhanku, di tangan-Mu-lah hati menjadi luluh. Ya Allah, ya Tuhanku, satukanlah kalimat berdasarkan takwa, luluhkan hati dengan petunjuk dan kembalikanlah kebenaran kepada ahlinya.

Wahai hamba-hamba Allah, mari kita bergabung dengan imam yang adil, wahyu yang sempurna, dan yang mencintai kebenaran. Sesungguhnya ini adalah kebencian, kedengkian, dan dendam orang-orang jahiliah atas kematian sanak keluarga mereka pada peperangan Badar dan Uhud, yang dilakukan oleh Muawiyah ketika dia lalai, untuk melampiaskan luapan kemarahan Bani Abd Syams." “Kemudian dia berkata, 'maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu. Karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti(3).!

Wahai kaum Anshar dan Muhajirin, bersabarlah. Perangilah mereka dengan hujah Tuhan kalian dan keteguhan agama kalian. Kalian telah

p: 316


1- 79 QS. al-Hajj:1.
2- 80 QS. Muhammad:31.
3- 81 QS al-Taubah: 12.

AYATULLAH JAWADI A MULT berjumpa dengan penduduk kota Syam, di mana mereka tak ubahnya seperti keledai liar yang lari terkejut oleh kedatangan singa. Mereka telah menjual akhirat demi memperoleh dunia, membeli kesesatan dengan petunjuk dan penglihatan dengan kebutaan. Hanya sedikit dari mereka yang menyesali perbuatannya, tetapi itu pun tak lagi berguna bagi mereka. Demi Allah, barang siapa menyimpang dari kebenaran, berarti dia berada dalam kesesatan, dan barang siapa tidak tinggal di surga, berarti dia tinggal di neraka." "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya keindahan dunia ada masa akhirnya, maka tolaklah ia. Akhirat adalah kehidupan yang kekal, karenanya, raihlah ia. Wahai sekalian manusia, seandainya kalau bukan karena kekhawatiran akan munculnya orang-orang zalim dan se- makin menguatnya pengaruh setan, karena keadilan tidak ditegakkan, dan hak-hak tidak ditunaikan, niscaya kami lebih memilih kematian daripada kehidupan dunia. Wahai hamba-hamba Allah, apa yang telah kalian perlakukan kepada putra paman Rasulullah Saw, suami putrinya, bapak dari anak-anaknya, yang dijadikannya sebagai pintu ilmu kaum Muslim? Sungguh, yang membencinya hanyalah orang-orang munafik.

Dia adalah penghancur berhala-berhala yang ditakuti oleh orang-orang kafir. Dialah satu-satunya pengikut rasul yang melaksanakan salat pada saat orang-orang masih dalam keadaan musyrik dan ragu akan kebenaran sang rasul. Dia tampil dalam berbagai peperangan, berduel dalam peperangan Badar, menghabisi musuh pada peperangan Uhud, dan Allah ber- samanya ketika ia membunuh musuh-musuh-Nya dalam peperangan Khaibar. Dialah yang memecah barisan orang-orang kafir dalam perang Hawâzin. Aku telah bersungguh-sungguh dalam ucapanku ini dan aku hanyalah menyampaikan nasihat. Wassalam," jawab Ummu Khair.

"Wahai Ummu Khair, Demi Allah engkau hendak membunuhku dengan perkataanmu itu. Sungguh aku telah merasa iba kalau mem- bunuhmu karena hal itu," tukas Muawiyah.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) < 317

p: 317

Keindahan dan Keagungan Perempuan "Wahai putra Hindun, Demi Allah tidak ada orang yang berbuat buruk kepadaku, kecuali Allah akan menyengsarakannya," sahut Ummu Khair.

“Lalu bagaimana pendapatmu mengenai Usman bin Affan dan Zubair bin Awwam?" tanya Muawiyah.

Maka Ummu Khair mengutarakannya secara terperinci, "Wahai Muawiyah, orang-orang Quraisy mengatakan bahwa engkau adalah salah seorang di antara mereka yang paling bersabar dan bermurah hati. Atas nama Allah, aku minta kepadamu agar engkau tidak menjatuhkan sanksi atas apa yang telah aku ucapkan." Demikianlah dialog yang berlangsung antara Muawiyah dengan Ummu al-Khair binti Huraisyin bin Suraqah. Tujuan dikemukakannya pe- ristiwa ini secara terperinci adalah karena alasan berikut:

Pertama, perempuan agung ini turut berperan serta dalam aktivitas kemiliteran dan menganggap orasi sebagai salah satu media informasi yang cukup penting.

Kedua, ucapan-ucapannya bersumber dari ayat Alquran, hadis Nabi Muhammad Saw dan perkataan Ahlul Bait a.s.

Ketiga, dia siap untuk mati syahid demi pemimpin dan imamnya.

Keempat, seruan-seruannya bernafaskan petunjuk akal dan wahyu Allah, bukan emosi dan nurani keperempuanan.

Kelima, ucapan-ucapannya dapat mengobarkan semangat para pejuang. Padahal pada saat itu Imam Ali a.s, salah seorang yang disepakati keterpeliharaannya dari dosa, berada bersamanya sehingga pada saat peperangan itu siapa pun tidak berhak untuk berbicara tanpa seizin Imam. Dari sini, kepada mereka yang menganggap bahwa orasi tidak sama dengan berperang, kami bertanya kepada mereka, bukankah ada yang dikenal dengan istilah pembagian tugas, sehingga tidak seluruh pejuang berada di front terdepan, bahkan ada di antara mereka yang tidak bersenjata? Bukankah mesti ada orang-orang yang bertugas menangani urusan penerangan, menyiapkan perlengkapan logistik, dan sebagian lainnya lagi memindahkan senjata dan merawat para korban? < 318 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 318

AYATULLAH JAWADI AMULI Jika kita membahas masalah ini, jelaslah bahwa Alquran dan Ahlul Bait telah sukses dalam mendidik para pria seperti Abu Dzar sebagaimana berhasil pula mendidik kaum perempuan sehingga mereka berani mengungkapkan kebenaran dan berperang melawan musuh. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa pria lebih mulia daripada perempuan, maka itu tidak dapat dibenarkan. Meski tidak ada perempuan yang dapat mencapai tingkat kenabian tasyrîrî, maka itu bukan berarti kedudukan perempuan lebih rendah daripada pria, karena pembahasan di sini bukan mempersoalkan maqam kenabian yang itu pun tidak dapat dicapai oleh seluruh kaum pria, apalagi setelah kenabian ditutup dengan hadirnya Rasulullah, Muhammad Saw. Atas dasar inilah, tidak ada manfaat bagi kaum pria untuk membanggakannya, atau perempuan merasa rendah karenanya. Yang patut diakui di sini adalah bahwa peluang untuk mencapai kesempurnaan kemanusiaan bagi kaum pria ataupun perempuan terbuka selebar-lebarnya. Banyak tugas yang dapat dilakukan bersama, meski perlu diingat bahwa terdapat beberapa tugas khusus yang hanya dapat dikerjakan oleh masing-masing berdasarkan karakter dan tabiat yang dimilikinya.

Ummu Khalid, Sang Perempuan Perawi Hadis

Figur Perempuan cemerlang lainnya pada masa permulaan Islam adalah Ummu Khalid putri Khalid bin Sa'id. Dia banyak meriwayatkan hadis Rasulullah Saw.(1)

Tugasnya bukan hanyamenyiapkan perlengkapan logistik dalam peperangan, sebagai perawat atau pembantu yang merupakan pekerjaan ringan. Namun lebih dari itu, dia juga perawi hadis, sebuah pekerjaan yang tidak biasa dilakukan oleh perempuan biasa. Dia telah mendengarkan banyak hadis dari Rasulullah Saw seperti sahabat-sahabat lain, dan meriwayatkannya kepada orang lain. Di antaranya, dia meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw berkali-kali memohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur. Sisi pentingnya hadis yang diriwayatkan

p: 319


1- 82 Al-Durr al-Mantsûr, hlm. 67.

Keindahan dan Keagungan Perempuan oleh Ummu Khalid ini adalah penegasannya bahwa permohonan perlin- dungan dari siksa kubur adalah sunah Rasulullah Saw.

Putri Qais bin Abu al-Shalt al-Ghifari

Dia adalah salah seorang pakar hadis perempuan yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw(1).

Beberapa tabi'in telah menjadi muridnya dan meriwayatkan hadis darinya. Dia dikenal sebagai sosok perempuan yang memiliki rasa solidaritas tinggi terhadap para pejuang di medan perang. Dia selalu turut serta dalam berbagai peperangan.

Perannya yang cukup penting adalah mengobati korban luka-luka dan menguburkan para syahid. Lebih dari itu, dia juga merupakan seorang pakar hadis Rasulullah Saw.

Keutamaan-keutamaan seperti inilah yang dapat menjadi kebanggaan para sahabat. Jika bukan itu, lalu apa lagi yang dapat mereka banggakan? Itu karena, pada zaman para sahabat Nabi Saw belum dikenal budaya menulis sehingga yang dapat mereka lakukan adalah meriwayatkan beberapa hadis atau bahkan sebuah hadis saja.

Karenanya sedikit sekali dari mereka yang dapat mengumpulkan hadis Rasulullah Saw dalam jumlah banyak.

Dapat kita baca, misalnya, dalam buku-buku referensi rijâl al- hadîts, seperti Usud al-Ghàbah dan al-Ishâbah yang memuat biografi para perawi hadis, yang berjumlah sekitar 12.000 sahabat, dan disertai dengan keterangan masa pertemuan dan kebersamaan mereka dengan Rasul Saw-bahwa terkadang kita temukan beberapa sahabat yang bertemu dengan Rasulullah Saw hanya sekali, di samping ada pula yang meriwayatkan hanya sebuah hadis Rasulullah Saw. Mereka bangga dapat bertemu dan bersahabat dengan Rasulullah Saw. Namun, mereka tidak dapat dibandingkan dengan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat disejajarkan dengan kedudukan beliau dalam hal kedekatannya kepada Rasulullah Saw.

p: 320


1- 83 Ibid., hlm. 68.

AYATULLAH JAWADI AMULI Oleh karena itu, jika kita membahas tingkatan para sahabat Nabi Saw dari kalangan pria, maka kita akan temukan beberapa sahabat dari kalangan perempuan yang sangat mulia dan memiliki kesem- purnaan spiritual serta nilai-nilai kemanusiaan tinggi. Tentulah tidak dibenarkan bila menjadikan Imam Ali bin Abi Thalib a.s (sebagai seorang pria) sebagai tolok ukur kesempurnaan pria melebihi perempuan.

Namun, jika yang dijadikan tolok ukur adalah para sahabat seperti Salman al-Farisi atau Abu Dzar, maka dapat kita temukan banyak sahabat Rasulullah Saw dari kalangan perempuan yang setingkat dengan mereka.

Perbedaannya hanya satu, yaitu bahwa Rasulullah Saw mewajibkan para pria untuk berjihad, yang bagi para perempuan hukumnya sunah saja.

Karena keberadaan perempuan di medan perang bukan suatu keharusan, maka para perempuan ada yang datang dengan kemauannya sendiri dan minta untuk pergi bersama mereka ke medan perang.

Di samping mengurusi korban luka-luka, tugas perempuan dalam peperangan adalah menguburkan para syahid dan turut serta mengobarkan semangat para pejuang, baik melalui pidato atau puisi. Puisi pada saat itu sangat berpengaruh pada jiwa masyarakat Arab, sebagaimana terkadang pada masa kini kita juga masih dapat melihat pengaruh serupa yang ditimbulkannya sehingga sekadar membacakannya saja dapat berarti mengemukakan sebuah argumentasi rasional. Terkadang sebuah hujah yang dikemukakan seorang orator menimbulkan dampak serupa bagi para pen- dengarnya dengan puisi yang dibacakan oleh seorang penyair di hadapan mereka.

Diriwayatkan bahwa beberapa orang perempuan dari Bani Ghifar datang menemui Rasulullah Saw, dan putri Qais bin Abu al-Shalt adalah juru bicara mereka. Dia menghadap Rasulullah Saw seraya berkata, "Kami ingin ikut bersamamu ke medan perang untuk mengobati orang-orang yang terluka dan membantu kaum Muslim semampu kami." Rasulullah Saw mengizinkan mereka, dan mereka pun turut serta dalam peperangan Khaibar. Putri Qais al-Ghifari adalah pemimpin mereka. Diriwayatkan bahwa perempuan agung ini membimbing dan Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) < 321

p: 321

Keindahan dan Keagungan Perempuan mengarahkan rekan-rekannya untuk mengurusi berbagai hal hingga peperangan selesai dan kaum Muslim meraih kemenangan.

Ummu Kultsum

Figur Perempuan cemerlang lainnya pada masa permulaan Islam adalah Ummu Kultsûm binti 'Uqbah bin Abi al-Mu'ith. Para sejarawan menyebutkan bahwa Ummu Kultsum adalah salah seorang perempuan yang memeluk Islam pada periode Makkah, kemudian berhijrah ke Madinah pada tahun ketujuh kenabian, dan membaiat Rasulullah Saw di sana. Dia adalah perempuan pertama yang berhijrah ke Madinah yang dilakukannya dengan berjalan kaki. Suaminya adalah Zaid bin Haritsah yang mati syahid dalam perang Mu'tah.

Dalam perjalanan hijrahnya, tiba-tiba datang beberapa orang kafir untuk memulangkannya kembali ke Makkah, sehingga turun ayat, “Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir" (QS Al-Mumtahanah:10).

Ini dilarang, walaupun yang memulangkannya itu adalah suami atau kerabat mereka, karena seperti ditegaskan oleh lanjutan ayat tersebut, “Mereka tiada halal bagi orang-orang itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka" (QS Al-Mumtahanah:10).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa sifat-sifat yang berkaitan erat dengan ruh manusia, seperti keimanan, ketakwaan, perolehan petunjuk-adalah sama, baik pada kalangan pria maupun perempuan. Islam telah menyampaikan dakwahnya kepada kedua pihak berdasarkan petunjuk akal dan hati nurani mereka. Jika kita melihat bahwa para perempuan teladan itu tidak memiliki reputasi dan popularitas seperti para teladan dari kalangan pria, hal itu disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang sosok para perempuan agung itu. Padahal, contoh- contoh yang disebutkan di atas sudah dapat menunjukkan bahwa para perempuan yang menyerupai Abu Dzar tidaklah sedikit jumlahnya.

322 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 322

AYATULLAH JAWADI AMULT Begitu pula mereka yang aktif berjuang pada masa kekuasaan Bani Umayyah, perang Shiffin, perang Jamal, atau peristiwa-peristiwa penting lainnya, demi membela kepemimpinan Imam Ali bin Abi Thalib a.s dan menentang kezaliman Bani Umayyah, baik yang datang sendiri ke istana Bani Umayyah maupun yang mengecam perbuatan mereka melalui puisi atau pidato. Jumlah mereka juga sangat banyak.

Khansa' Sastrawan Pendidik Para Syuhada

Adapun dalam bidang sastra, meski kaum pria telah mencapai prestasi yang cukup tinggi – sehingga puisi-puisi mereka dikenal dengan al-Mu'allaqât al-Sabʻ (tujuh puisi yang digantungkan di dinding Ka'bah), dan mereka membacakan puisi tersebut di pasar 'Ukâzh, serta mampu meraih kesuksesan dalam lomba puisi internasional di sana, tetapi kita juga dapat menemukan para perempuan yang melantunkan puisi tinggi dan melombakannya di sana. Itulah sekelumit gambaran mereka pada masa jahiliah.

Setelah Islam lahir di Jazirah Arab, banyak sastrawan yang memeluk Islam, baik dari kalangan pria maupun perempuan. Mereka terlatih untuk menggubah puisi-puisi bernuansakan Islam sebagai ganti dari puisi-puisi yang bernafaskan budaya jahiliah. Perempuan jahiliah yang biasa melantunkan puisi untuk meratapi anggota keluarganya yang telah mati, setelah memeluk Islam, mengirim anak-anak mereka ke medan perang, dan memberi mereka semangat dengan membacakan ayat- ayat Alquran.

Khansâ' adalah salah satu contoh di antara mereka. Dia adalah seorang perempuan penyair Arab, cucu dari Umru' al-Qais, penyair Arab terkenal di masa jahiliah. Dia dikenal dengan puisinya yang meratapi kedua saudaranya, Muawiyah dan Shakhr, yang terbunuh pada sebuah peperangan. Ketika Shakhr terbunuh, Khansã' lebih merasa terpukul lagi karena menurutnya, Shakhr berhati lembut dan lebih sayang terhadapnya.

Shakhr-lah yang membantu meringankan beban kehidupan Khansã'.

Puisi ratapan Khansà' atas kematian kedua saudaranya merupa puisi CIUMai Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 323

p: 323

Keindahan dan Keagungan Perempuan terbaik di antara puisi-puisi yang dilantunkan oleh kaum perempuan saat itu.

Para penyair Arab terkenal dari kalangan pria seperti Jarir, Basysyar, al-Nabighah al-Dzibyani, al-Mubarrad, al-Ashma'i dan Hasan bin Tsabit memberikan kesaksian yang sama bahwa Khansâ adalah seorang penyair hebat yang dapat mengungguli para sastrawan pria.

Khanså' memeluk Islam pada saat kebanyakan pria dan perempuan belum meyakini kebenaran ajaran Rasulullah Saw. Dia menerima Islam berkat kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Diriwayatkan bah- wa ketika Khanså mendatangi Rasulullah Saw untuk menyatakan keislamannya, Rasulullah Saw memintanya untuk melantunkan sebuah puisi, dan dia pun segera melantunkannya sehingga membuat beliau kagum mendengarnya.

Di lingkungan masyarakat Islam saat itu, Khansà' dikenal dengan andilnya yang cukup besar dalam mendidik anak-anaknya, dengan memotivasi dan mempersiapkan mental mereka, dan mengirim mereka ke medan perang.

Berikut ini bunyi salah satu nasihat yang pernah disampaikannya kepada para pemuda yang hendak pergi ke medan perang, dalam sebuah peperangan yang terjadi sepeninggal Rasulullah Saw, "Wahai anak-anakku, kalian telah memeluk Islam dan berhijrah bersama Rasul dengan penuh kepatuhan dan sesuai dengan pilihan kalian sendiri. Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, kalian adalah anak-anak dari seorang pria dan seorang perempuan. Aku tidak menghina leluhur kalian dan tidak pula merusak nasab kalian. Ketahuilah bahwa tempat tinggal di akhirat adalah lebih baik dari dunia yang fana ini.

Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung' QS Âli 'Imrân:200)." Meski ada sebuah riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir a.s yang menjelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah kesabaran * 324 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 324

dan keterikatan dengan imam(1), tetapi maksud penyebutan ayat di atas oleh Khansà' di sini adalah agar anak-anaknya selalu bersabar dalam menghadapi berbagai macam peristiwa, baik peperangan maupun yang lainnya, di samping mereka juga harus memiliki ikatan dengan pemimpin mereka.

Wasiat lain yang disampaikan oleh Khanså' kepada anak-anaknya adalah, “Jika kalian melihat peperangan telah menyingkapkan betisnya', dan api melumat dahan-dahannya, maka pergilah kalian ke pusat apinya dan tahanlah rasa panasnya yang menyengat." Suatu saat, Khansa berpesan kepada anak-anaknya dengan menggambarkan melalui gaya bahasanya yang sangat indah- kesyahidan sebagai suatu perdagangan yang menguntungkan. Dia berkata, "Jika kalian melihat pasar kesyahidan sudah mulai ramai, dan medan perang mulai memanas, maka gunakanlah kesempatan itu sebaik-baiknya.

Tetaplah berada di dalamnya dan jangan beranjak keluar meninggalkannya sampai kalian mendapatkan keuntungan berupa syahadah." Keesokan harinya, mereka segera pergi ke medan perang dan maju satu per satu sambil mengingat-ingat pesan ibu mereka hingga mereka semua terbunuh dan mati syahid. Ketika perempuan itu mendengar berita bahwa keempat anaknya gugur dan mati syahid, dia berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan terbunuhnya mereka. Aku berharap kepada Tuhanku agar kelak aku dikumpulkan bersama mereka dalam tempat yang penuh rahmat." Demikianlah salah satu sisi kehidupan Khansa', seorang penyair yang sempat membuat Rasulullah Saw kagum mendengar gubahan-gu- bahan puisinya. Dia dapat memberi motivasi kepada putra-putra Islam yang hendak pergi ke medan perang, dengan seruan-seruannya yang bernafaskan Alquran dan dikemas begitu indah.

Mengapa banyak orang mengatakan bahwa perempuan adalah penakut? Dan benarkah pernyataan itu? Jika banyak orang seperti Abu Dzar yang seringkali disebutkan keberaniannya, maka perlu diketahui

p: 325


1- 84 Tafsir al-Mizân, juz 4, hlm. 133.

Keindahan dan Keagungan Perempuan pula bahwa ada juga perempuan-perempuan yang seandainya informasi mengenai kepahlawanan mereka disosialisasikan secara baik, maka semua orang akan tahu bahwa perempuan bukanlah sosok yang lemah dan penakut.

Kesimpulan (1)

Apabila kita kaji kembali sejarah Islam, baik di bidang politik, pertahanan negara, "irfân, dan ilmu hadis, maka kita akan melihat banyak perempuan teladan yang memiliki andil besar dalam perjuangan dan dakwah Islam. Di atas telah diketengahkan beberapa di antaranya.

Mereka berperan aktif di bidang sosial, politik, militer dan kesusastraan.

Meski demikian, masih banyak lagi buku-buku sejarah yang memuat keteladanan mereka yang tidak dapat kami sebutkan seluruhnya di sini.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kisah Ratu Saba' (Balqis) yang diabadikan oleh Alquran. Allah Swt melukiskan perkataan Ratu Saba' dengan firman-Nya:

"Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam" (QS Al-Naml:44).

Kisahnya ini disebutkan oleh Alquran dengan penuh penghormatan. Alquran kemudian memperkenalkan sosok perempuan agung ini sebagai perempuan yang berakal. Seseorang tidak dikatakan cerdas dan berakal apabila ia angkuh dan tak mau menerima kebenaran.

Kecerdasan yang sebenarnya adalah ketika yang bersangkutan tunduk patuh kepada Allah Swt. Alquran menganggap Ratu Saba' sebagai perempuan cerdas dan berakal, padahal dia memiliki kekuasaan yang cukup besar. Allah Swt berfirman, “Dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar" (QS Al-Naml:23).

Seorang ratu yang memiliki kekuatan seperti digambarkan ayat di atas, tetapi bersedia tunduk dan berserah diri kepada Allah, adalah bukti bahwa dia adalah manusia berakal. Mereka yang menganggap sikap ceroboh 326 > Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional)

p: 326

AYATULLAH JAWADI A MULT sebagai tanda keberanian adalah orang-orang yang kehilangan arah sehingga tidak dapat membedakan antara jalan yang lurus dan kesesatan.

Kesimpulan (2)

Berdasarkan beberapa argumentasi yang telah kami kemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada kaitan antara gender dengan kesempurnaan ruhaniah. Seandainya ada orang yang mengatakan bahwa perempuan tidak dapat mencapai kedudukan seperti Rasulullah, maka kita dapat menjawab bahwa para nabi sekalipun tidak dapat mencapai tingkat yang telah dicapai oleh Nabi agung tersebut. Jika demikian, maka lebih-lebih lagi kaum pria selain para nabi, mereka tidak dapat setingkat dengan kedudukan Rasulullah. Jadi, apakah yang dapat dibanggakan dari kaum pria? Boleh jadi, ada orang yang memiliki kedekatan kepada Nabi Muhammad Saw dari sisi perjalanan spiritualnya menuju kesempurnaan, tetapi itu bukan suatu kebanggaan. Justru kebanggaannya adalah ketika dia merendah dan merasa hina di hadapan Allah.

Ketika kita membahas persoalan hak-hak perempuan, integritas, dan kesetaraannya dengan pria dalam hal etika, pendidikan, dan lain-lain, tujuannya adalah agar pemahaman kita seputar permasalahan ini lebih dewasa dan matang. Jika pria memiliki usaha, perempuan juga dapat berusaha dan berjihad. Perempuan dapat mencapai kedudukan apa pun yang dapat dicapai oleh pria biasa. Allah Swt berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh- sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.

(QS Al-Insyiqàq:6).

Ayat ini secara jelas menyeru manusia dari sisi kemanusiaannya. Ini sama sekali tidak berkaitan dengan gender. Yang terpenting adalah bahwa pada akhirnya manusia dapat bertemu dengan Allah, baik bertemu dengan keindahan-Nya atau keagungan-Nya. Tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam menempuh jalan tersebut.

Perempuan dalam Perspektif Burhân (Argumen Rasional) 327

p: 327

p: 328

Menjawab B eberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

Mukadimah

Telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa Islam menetapkan tidak hanya pria yang dapat meraih berbagai kesempurnaan spiritual.

Jalan kesempurnaan terbuka bagi pria dan perempuan. Setiap manu- sia dapat menempuh jalannya sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Kalaupun ada perbedaan, itu berkaitan dengan tugas-tugas teknis yang disesuaikan dengan struktur fisik masing-masing dari pria dan perempuan.

Tolok ukur kemuliaan tidak dibedakan antara pria dan perempuan. Perbedaan keduanya bukanlah sesuatu yang bersifat immaterial. Masalah tersebut dapat dijelaskan secara logis berikut ini:

faktor-faktor kesempurnaan bagi pria dan perempuan adalah sama, dan sesuatu yang melahirkan adanya perbedaan antara keduanya tidak memiliki peranan sedikit pun dalam mengantarkan kepada kesempurnaan. Jika keberhasilan salah satu pihak (pria atau perempuan) lebih rendah dari yang lainnya dalam perolehan kesempurnaan, maka hal itu diakibatkan oleh kesalahan usaha yang bersangkutan, bukan karena Islam tidak memberinya peluang untuk menjadi manusia sempurna.

329

p: 329

Keindahan dan Keagungan Perempuan Tentu berbeda antara ungkapan agama tidak memberinya peluang meraih kesempurnaan dengan manusia menempuh jalan yang salah karena ulahnya sendiri.

Dalam hal pencapaian kesempurnaan spiritual, tidak ada per- bedaan antara pria dan perempuan. Adapun perbedaan yang tampak dalam kehidupan masyarakat, misalnya berupa rendahnya prestasi spiritual kaum perempuan dibanding kaum pria, maka sebabnya adalah ulah kaum perempuan. Jika perempuan tidak berminat meningkatkan kualitas spiritualnya, itu karena ia sendiri yang tidak mau menempuh jalan tersebut, padahal itu senantiasa terbuka di hadapannya setiap saat.

Demikian pula dengan pria, jika dia tidak mengasah jiwanya, maka bukan berarti jalan kesempurnaan tertutup baginya.

Kematian Alami dan Kematian Irâdî

Untuk memperjelas pembahasan ini, perlu diketahui bahwa manusia memiliki kehidupan dan kematian yang alami. Dalam kehidupan dan kematian alami ini, manusia tak berbeda dengan binatang dan tumbuh- tumbuhan.

Manusia bergerak, berkhayal, berangan-angan, makan, tumbuh, dan berkembang. Sebagian aktivitas tersebut dilakukan oleh manusia dan tumbuh-tumbuhan, dan sebagian lainnya dilakukan oleh manusia dan binatang. Apabila aktivitas-aktivitas ini hilang dan mereka tidak dapat melakukannya lagi, maka itu disebut dengan kematian alami. Jika ia masih melekat pada mereka sehingga mereka dapat melakukannya, maka itulah yang disebut kehidupan alami. Ini adalah suatu jenis kesempurnaan yang bersifat alami atau hewani, bukan pertanda kesempurnaan spiritual yang hakiki.

Akan tetapi, lebih dari itu, manusia memiliki bentuk kematian dan kehidupan lain yang sepenuhnya bergantung pada pilihannya, baik ataupun buruk. Manusia dapat mematikan atau menghidupkan dirinya berdasarkan baik-buruknya pilihan yang ditentukan bagi dirinya sendiri. Orang yang mematikan dirinya karena kesalahannya dalam menentukan pilihan < 330 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 330

AYATULLAH JAWADI AMULT disebut oleh Alquran sebagai orang kafir. Kaum kafir adalah mereka yang telah kehilangan kehidupan hakikinya, yakni kehidupan spiritual, karena buruknya pilihan mereka, atau karena mereka tidak bersungguh-sungguh mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan yang bersifat maknawi itu. Boleh jadi, juga orang-orang kafir ini menolaknya, atau karena ketidaksiapan mereka untuk dapat mencapainya, atau karena kesesatan pemikiran mereka. Orang-orang murtad yang keluar dari agama Islam adalah di antara mereka yang “mematikan" dirinya karena kesalahan dalam menentukan pilihan".

Manusia juga dapat menentukan pilihannya secara tepat se- hingga dia mati dalam keadaan baik, dan “mematikan" jiwanya sebe- lum kematian alami datang menghampirinya. Orang yang mengatakan bahwa kemanusiaannya telah mati dan dia memasuki alam malakut, berarti “kematian" tersebut ditentukan oleh ketepatannya dalam “menentukan pilihan". Jenis "kematian" semacam ini dipilihnya dengan cara mematikan berbagai tabiat negatif pada dirinya seperti sifat egoisme, sombong dan berangan-angan tinggi. Jika manusia berhasil menghancurkan sifat-sifat buruk ini dan menyelamatkan dirinya dari cengkeraman nafsu kebinatangan, maka kematian tabiat-tabiat buruk ini adalah sebuah “kematian" yang baik bagi jiwanya. Kematian semacam ini dinamakan kematian irâdî (berdasarkan pilihan dan kehendaknya'). Jika demikian, dalam hal ini manusia dapat dikatakan setingkat dengan malaikat.

Masalah ini dijelaskan dalam beberapa buku fikih, seperti al- Jawâhir. Sayyid Muhammad Kâzhim dalam bukunya al-Urwah, ketika menjelaskan keutamaan puasa, mengatakan bahwa salah satu keutaman puasa adalah membuat manusia dapat menyerupai malaikat.

Keserasian antara Redaksi Hadis dengan Pemahaman Pendengar

Dalam memberikan penjelasan terhadap beberapa permasalahan keagamaan, para imam a.s seringkali menggunakan beberapa metode pendekatan guna memahamkan kita. Terkadang mereka mengatakan Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 331

p: 331

Keindahan dan Keagungan Perempuan bahwa tujuan kita berpuasa adalah agar kita turut merasakan bagaimana pedihnya rasa lapar yang dialami orang-orang miskin. Penjelasan ini dikemukakan untuk memahamkan kaum Mukmin yang masih memiliki tingkat spiritualitas rendah. Mengapa kita tidak mengetahui penderitaan orang-orang miskin sehingga kita harus mengingatnya dalam bulan Ramadhan saja? Kepada mereka yang memiliki tingkat spiritualitas sedikit lebih tinggi dari kelompok pertama, para imam menyatakan bahwa hikmah berpuasa Ramadhan adalah agar kita dapat mengingat rasa lapar dan dahaga di hari Kiamat kelak. Lalu mengapa selama satu tahun kita lalai terhadap hari Akhirat sehingga ketika kita harus mengkhususkan satu bulan penuh untuk mengingat kengerian hari Kiamat? Tetapi kepada kalangan hamba-hamba pilihan Allah, puasa diperkenalkan agar mereka dapat sampai ke tingkatan malakut. Artinya, berpuasa bukan untuk mengingat derita yang dirasakan oleh fakir miskin atau untuk mengingat rasa lapar dan dahaga hari kiamat, tetapi untuk membuktikan bahwa kedudukan manusia lebih mulia dari sekadar menghabiskan waktunya hanya untuk makan dan minum. Terlalu hina baginya kalau tujuan kehidupannya ini adalah demi "makanan" semata-mata.

Maksud makanan di sini adalah gambaran seluruh tindakan kebinatangan secara umum, bukan makan yang merupakan lawan dari minum. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.

(QS Al-Nisa':29).

Makna ayat di atas tidak terbatas pada memakan makanan yang bersifat materi, tetapi ia adalah kiasan tentang tindakan manusia secara umum. Seseorang yang merampas sebuah benda milik orang lain atau merampas haknya, dapat dikatakan bahwa dia telah memakan harta < 332 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 332

AYATULLAH JAWADI AMULT orang lain. Makan di sini bermakna aktivitas material, alami, dan bersifat hewani.

Jika tujuan pelaksanaan puasa adalah agar yang berpuasa men- jadi seperti malaikat, maka ini berarti puasa baru dikatakan sem- purna jika disertai penghindaran diri dari aneka aktivitas kebinatangan secara umum, bukan hanya tidak makan dan minum. Oleh karena itu, perbuatan berdusta dapat membatalkan puasa. Perlu juga dicatat bahwa berdusta di sini bukan saja kepada Allah dan Nabi-Nya – karena jenis dusta tersebut secara fikih dapat membatalkan puasa, tetapi ia juga mencakup dusta dalam pengertian kita sehari-hari, di mana jika seseorang berbohong, maka menurut fikih, puasanya masih dianggap sah.

Karena orang yang berpuasa, dan masih berdusta kepada se- samanya, bukan kepada Allah dan Rasul-Nya, tersebut belum sampai pada tingkatan malakut, maka puasanya memiliki cacat, meski secara fikih masih dapat dikatakan bahwa dia berpuasa. Seseorang yang mengumpat, dia juga tidak dikatakan berpuasa.

Aktivitas puasa yang kita lakukan, dengan tidak makan, minum dan diharapkan darinya kita dapat mencapai derajat seperti malaikat, mengandung arti bahwa kita harus meninggalkan seluruh tindakan hewani secara mutlak sehingga kita dapat seperti malaikat. Sebagaimana daun pohon sutera jika diolah di pabrik sutera akan menjadi kain sutera berkualitas tinggi, maka manusia yang tanah merupakan asal-usul ciptaannya pun berpotensi untuk dapat mencapai tingkatan malakut.

Oleh karena itu, kelompok hamba Allah ketiga adalah mereka yang bertindak sesuai dengan pilihan terbaik mereka. Mereka mematikan tabiat-tabiat negatif yang bersemayam dalam jiwa mereka dengan cara menyucikan diri dari berbagai aktivitas alami dan hewani. Sebaliknya, terkadang manusia mati karena mereka sendiri memilihnya dengan cara yang salah. Alquran menyatakan bahwa orang-orang kafir adalah orang- orang yang mati. Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, "Manusia adalah mayat yang hidup (1)."

p: 333


1- 85 Nahj al-Balâghah, al-Kalimât al-Qishâr, Shubhî al-Shâlih.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Kedua jalan tersebut terbuka bagi seluruh manusia, baik pria maupun perempuan. Setiap orang yang memilih jalan terbaik dan menempuhnya dengan cepat, maka dia akan lebih berhasil. Pada pembahasan yang telah lalu dijelaskan bahwa perempuan lemah dalam masalah-masalah teori dan pemikiran, tetapi ia memiliki potensi lebih dalam menerima nasihat- nasihat yang menyentuh hati.

Dalam hal doa dan munajat, perempuan juga lebih banyak tersentuh daripada pria ketika memanjatkannya. Demikian pula ia akan lebih dapat terketuk hatinya oleh bacaan ayat-ayat suci Alquran karena Allah Swt menggambarkan Kitab-Nya sebagai “pengajaran dan obat bagi sesuatu yang terdapat dalam dada". Allah Swt berfirman, “Hai seluruh manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu pengajaran dari Tuhan kamu dan obat bagi sesuatu yang terdapat dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang Mukmin" (QS Yûnus:57).

Benarkah Perempuan Lemah Imannya?

Tak jarang orang mempersoalkan masalah keterhalangan kaum perempuan dari beberapa keistimewaan menyangkut urusan agama karena mereka tidak dapat melakukan beberapa kewajiban agama selama beberapa hari dalam setiap tahunnya. Hal ini dianggap sebagai salah satu faktor kekurangan pada perempuan, sebagaimana dikuatkan pula oleh beberapa riwayat.

Dalam Nahj al-Balâghah, Imam Ali bin Abi Thalib a.s menuturkan keburukan dan kekurangan perempuan. Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, "Wahai segenap manusia, sesungguhnya kaum perempuan memiliki keimanan, bagian, dan akal yang kurang. Adapun alasan keku- rangan imannya karena mereka terhalang untuk melakukan salat dan puasa pada hari-hari haid mereka. Sedang kekurangan pada bagiannya, karena bagian waris mereka setengah dari bagian perolehan pria. Dan alasan kurangnya akal mereka, karena persaksian dua perempuan < 334 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 334

AYATULLAH JAWADI AMULI sama dengan persaksian seorang pria." Ungkapan tersebut juga disampaikan oleh Rasulullah Saw(1).

Untuk menjelaskan permasalahan tersebut, sebelumnya harus kita bahas terlebih dahulu sebuah mukadimah yang mengulas tentang tujuan dari pujian dan celaan yang biasa kita temukan dalam beberapa ayat Alquran.

Celaan dan Pujian

Terkadang seseorang memperoleh pujian dan celaan karena se- buah peristiwa yang menimpanya. Kondisi dan penyebab ter- jadinya peristiwa tersebut, misalnya, tempat dan waktu terjadinya, juga memperoleh celaan dan pujian. Hal itu biasanya terjadi karena adanya beberapa peristiwa penting. Maksud celaan dan pujian dalam peristiwa tersebut bukan karena tabiat hal itu dapat menerima celaan dan pujian.

Namun, itu karena ada faktor tertentu yang menyebabkan munculnya pujian dan celaan. Terkadang, pujian terhadap suatu kabilah didasarkan pada adanya beberapa orang saleh yang terlahir darinya. Namun tidak lama kemudian, keadaan dapat berubah ketika muncul dari kabilah tersebut orang-orang lain yang tercela.

Di Iran, misalnya, dahulu ada beberapa kota yang seringkali menjadi bahan cemoohan orang. Namun, berkat ajaran Ahlul Bait a.s- ketika pola pikir salah tersebut mulai hilang sedikit demi sedikit, kota-kota tersebut menjadi kota teladan yang cukup menonjol di negara itu sehingga muncullah dari wilayah tersebut beberapa orang yang istimewa, baik dari sisi etika maupun keilmuan. Celaan tersebut tidak selamanya melekat pada kota-kota itu. Buktinya, kesan negatif tersebut menjadi sirna sejalan dengan perubahan pemikiran dan akidah.

Demikian pula dengan celaan yang dituturkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s dalam Nahj al-Balaghah tentang perempuan. Tampaknya, sebagian celaan tersebut kembali kepada peristiwa perang Jamal. Ini serupa dengan celaan terhadap kota Kufah dan Bashrah, padahal kota

p: 335


1- 86 Bihậr al-Anwâr, juz 103, hlm. 259.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Bashrah melahirkan banyak ulama dan para pejuang Islam. Bahkan tidak sedikit orang-orang Kufah menuntut balas atas terbunuhnya Imam Al- Husain a.s. Kota Kufah sekarang telah menjadi tempat untuk salat dan menanti kedatangan sang imam. Di sana juga dapat ditemukan masjid yang di dalamnya terdapat beberapa makam orang-orang saleh dan para shiddiqîn. Maka, kita tidak dapat mengatakan bahwa Bashrah dan Kufah selama-lamanya merupakan dua kota yang buruk karena kedua kota tersebut pada zaman dahulu pernah menjadi bahan celaan dan kecaman para imam karena pernah menjadi tempat kaum munafik dan para pengkhianat yang menjadi penyebab terbunuhnya Al-Husain a.s.

Demikianlah, peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada saat tertentu akan memunculkan pujian atau celaan. Namun dengan berlalunya waktu, celaan dan pujian itu dapat hilang.

Pandangan Wahyu

Penekanan Alquran terhadap para istri Nabi Saw adalah sebuah bukti bahwa wahyu memandang jauh ke depan melebihi peristiwa sejarah.

Alquran mengatakan kepada para istri Nabi Saw dengan sungguh- sungguh, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah ka- mu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu. (QS Al-Ahzâb:33).

Ini merupakan bukti bahwa Allah Swt Maha Mengetahui peristiwa- peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. Allah Swt adalah Dzat yang mengetahui hal-hal gaib dan nyata serta mengetahui segala yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan firman-Nya di atas, Allah Swt memperingatkan adanya akibat buruk dari pelanggaran terhadap ketetapan-Nya di atas, yakni keluar rumah yang bukan pada tempatnya.

Rasulullah wafat dan tahun demi tahun berlalu kemudian terjadilah peperangan Jamal. Mereka memerangi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Hal ini menimbulkan lahirnya sekian banyak ungkapan celaan maupun pujian 336 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 336

AYATULLAH JAWADI AMULT terhadap tempat maupun orang-orang tertentu yang terlibat dalam peristiwa itu. Ada yang memperoleh pujian karena telah berbuat sesuatu yang pantas dan terpuji dalam peristiwa tersebut, sebaliknya ada pula yang mendapat celaan karena telah bertindak buruk. Celaan dan pujian terhadap sesuatu bukanlah merupakan gambaran tentang hakikat sesuatu tersebut. Bash- rah yang tadinya sasaran celaan banyak orang, misalnya, ternyata telah melahirkan manusia-manusia saleh-pria dan perempuan. Demikian pula Kufah, yang akan menjadi pusat keberkahan pada saat kemunculan Imam Al-Mahdi a.s nanti.

Apabila setelah peristiwa perang Jamal ada perempuan yang men- dapat cela, maka hal itu disebabkan oleh sikap perempuan tersebut yang melawan Imam Ali bin Abi Thalib a.s, sebagaimana banyak pula kaum pria berada pada barisan para penentang terhadap Imam Ali bin Abi Thalib a.s saat itu. Jika ada celaan terhadap mereka yang menjadi penggerak dalam peperangan tersebut, maka hal itu merupakan sesuatu yang wajar, karena mereka menentang kekuasaan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Oleh karena itu, celaan dan pujian tidak dapat dinilai sebagai esensi sesuatu yang bersifat permanen, tetapi kita harus melihatnya sebagai sebuah dampak dari suatu aktivitas yang hanya berpengaruh pada waktu tertentu.

Perang Jamal dan Celaan

Riwayat yang disebutkan dalam Nahj al-Balaghah tentang celaan terhadap perempuan bukan merupakan permasalahan hakiki. Pokok masalah tersebut adalah bahwa Aisyah telah melakukan serangan. Ahlussunah berpendapat bahwa Aisyah terlibat dalam peperangan Jamal, tetapi kemudian menyesalinya dan meninggal dalam keadaan telah bertobat. Ada juga yang berpendapat bahwa Aisyah wafat dan belum sempat bertobat. Namun, seluruhnya sepakat bahwa Aisyahlah penggerak utama terjadinya peperangan tersebut. Ibn Abî al-Hadîd – seorang ulama Ahlusunah-menyatakan bahwa dalam peristiwa itu Aisyah telah melakukan kesalahan namun dia telah menyesali perbuatan- nya dan meninggal dalam keadaan bertobat.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 337

p: 337

Keindahan dan Keagungan Perempuan Betapapun, yang jelas Aisyah telah mengendarai unta dan menggerakkan Thalhah dan Zubair untuk turut serta mendukung peperangan tersebut sehingga menumpahkan banyak darah. Imam Ali bin Abi Thalib a.s kemudian menulis sebuah surat kepada Muawiyah di Syam yang dimuat dalam Nahj al-Balâghah dan akan dipaparkan di sini untuk memperjelas masalah yang berkaitan dengan perang Jamal. Dalam khutbahnya yang mencela penduduk kota Bashrah, setelah perang Jamal, Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Kalian telah menjadi bala tentara perempuan dan pengikut binatangé(1)."

Kemudian beliau a.s mengatakan bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang tidak mereka pelajari sebelumnya. Dalam khutbah ke-14, beliau juga mencela kelompok para penentangnya ini dan juga kota Bashrah.

Maksud perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s bahwa mereka adalah pengikut binatang yaitu mereka adalah para pengikut unta. Celaan menjadi pengikut unta bukanlah berarti unta adalah sesuatu yang buruk, tetapi karena penunggangnya telah melakukan perbuatan yang buruk dalam peristiwa tersebut.

Rasulullah Saw telah menaiki unta ketika beliau hijrah ke Madinah.

Begitu Rasulullah Saw masuk kota Madinah, beliau berkata, “Biarkan dia, karena ia telah diperintah (oleh Allah Swt, di mana ia harus berhenti)(2).."

Setiap orang mengusulkan kepada Rasulullah Saw agar beliau singgah di rumahnya, tetapi Rasulullah Saw mengatakan biarkan unta ini berjalan sendiri karena dia telah memperoleh perintah Tuhan. Beliau akan singgah di tempat di mana unta itu berhenti. Ternyata unta tersebut berhenti di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari, salah seorang penduduk Madinah yang paling miskin.

Dari peristiwa hijrah Rasulullah Saw di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, unta telah membawa Rasulullah Saw dan beliau mengatakan, “Biarkan dia berjalan sendiri" dan beliau turun di tempat di mana unta tersebut berhenti dan menderum. Kedua, ternyata unta

p: 338


1- 87 Nahj al-Balaghah, khutbah 13-14.
2- 88 Bihar al-Anwâr, juz 19, hlm. 108.

AYATULLAH JAWADI AMULT tersebut berhenti dan menderum di depan rumah salah seorang penduduk Madinah yang paling miskin.

Berjalan di belakang unta atau menaikinya atau melakukan sesuatu berdasarkan gerakan unta bukanlah perbuatan yang tercela. Seandainya Imam Ali bin Abi Thalib a.s menaiki seekor unta atau kuda atau baghal ('keledai') kemudian di belakangnya ada beberapa orang yang mengikuti jejaknya, lalu apakah dapat dikatakan bahwa para pengikut unta tersebut tidak baik atau bahwa pengikut kuda dan baghal tersebut tercela?

Harta Bukanlah Tanda Kesempurnaan

Persoalan lain yang dikemukakan Imam Ali bin Abi Thalib a.s dalam Nahju al-Balâghah adalah berkenaan dengan masalah kekurangan perempuan dalam hal keimanan, bagian warisan dan akal(1).

Alasan yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s bahwa sedikitnya bagian perempuan adalah karena Alquran telah menjadikan bagian waris pria dua kali lipat dari bagian perempuan. Perempuan yang memperoleh harta lebih sedikit bukan tidak mulia ataupun tidak terhormat. Tadi, kita baca bahwa dalam peristiwa hijrah Rasulullah ke Madinah, unta beliau justru berhenti dan menderum di depan rumah salah seorang penduduk Madinah yang paling miskin. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak memiliki harta bukanlah sesuatu kekurangan dan bukan pula sebagai kesempurnaan.

Dalam salah satu khutbah Imam Ali bin Abi Thalib a.s dalam Nahj al-Balâghah, disebutkan bahwa yang menjadi alasan kepemilikan harta bukan sebuah kesempurnaan karena kebanyakan nabi tidak memiliki kekayaan harta duniawi. Dari sini, lahir dua kemungkinan kesimpulan yang dapat kita tarik: kita katakan bahwa kepemilikan dunia bukan sebuah kesempurnaan, atau kemungkinan lainnya, Allah tidak memberikan kesempurnaan tersebut kepada para nabi (na'ûdzu billâh, karena dengan kesimpulan terakhir ini kita telah berburuk sangka kepada Allah Swt).

p: 339


1- 89 Nahj al-Balaghah khutbah ke-80.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Imam Ali bin Abi Thalib a.s juga menyebutkan kisah-kisah Musa a.s, Isa a.s, Daud a.s dan Rasulullah Saw, serta keadaan mereka yang sangat sederhana. Dengan keterangan tersebut, jelaslah bahwa kesempurnaan bukan terletak pada melimpahnya harta.

Perolehan Harta

Di samping ada perbedaan dalam penerimaan bagian waris, dalam beberapa hal, perempuan dan pria memperoleh bagian yang sama, seperti misalnya ayah dan ibu si mayat (yang tentu terdiri dari pria dan perempuan) memperoleh bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan.

Dalam kondisi tertentu, saudara laki-laki dan saudara perempuan juga bisa mendapatkan bagian warisan yang sama. Jika demikian, maka pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengenai sedikitnya bagian waris perempuan tersebut bukan karena perempuan tidak memiliki kematangan berpikir.

Bagian waris yang sedikit itu karena mereka dapat memperoleh harta melalui mahar, dan seluruh nafkah perempuan berada dalam tang- gung jawab pria yang merupakan suaminya. Jika perolehan harta pada perempuan tidak lebih daripada pria, tidaklah berarti perempuan lebih sedikit memperoleh harta daripada pria.

Seluruh kebutuhan perempuan berupa pakaian, perhiasan, kosmetik, dan lain-lain merupakan tanggung jawab suaminya. Artinya keuntungan (segala usaha pria atau suami) kembali kepada perempuan, sedangkan pencarian nafkah adalah tanggung jawab pria. Adapun maksud perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s agar kita tidak berada di bawah pimpinan seorang perempuan, bukan karena perempuan itu miskin, tetapi karena agama telah melimpahkan pelaksanaan tugas-tugas teknis berkenaan dengan penghidupan ke tangan pria. Seakan-akan Imam mengatakan bahwa perempuan bertugas mengambil manfaat dari jerih payah pria.

Dengan pernyataan tersebut, sebenarnya Imam ingin menunjukkan bahwa seandainya kepemimpinan berada di tangan seorang perempuan, < 340 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 340

AYATULLAH JAWADI AMULT maka pastilah Allah Swt akan menyamakan bagian perolehan warisan antara pria dan perempuan.

Dari masalah ini, dapat ditarik dua kesimpulan penting yang masing-masing terpisah satu dengan lainnya secara sempurna, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib a.s tidak mengatakan bahwa perempuan tidak bernilai karena bagian warisannya sedikit. Namun, beliau bermaksud menyatakan bahwa agama telah memberi kepada perempuan harta, tetapi melalui jerih payah pria. Ini diberikan kepadanya dalam bentuk mahar dan nafkah dan tidak diberikan kepadanya secara langsung sehingga perempuan tidak turut mengurusi pendapatan, penghasilan, pembelanjaan, dan kesulitan perolehan karena itu semua kembali kepada masalah-masalah pelaksanaan tugas yang secara teknis dilakukan pria, tidak kembali kepada masalah-masalah spritual, jalan hati, penerimaan nasihat dan lain-lain yang merupakan sisi keistimewaan kaum perempuan.

Kesalahan Berpikir Seorang Mu'tazilah

Sehubungan dengan pernyataan Imam Ali a.s tentang perempuan yang mengatakan, "Wahai segenap manusia, sesungguhnya kaum perempuan memiliki keimanan, bagian, dan akal yang kurang." Ibn Abî al-Hadîd yang beraliran Mu'tazilah menyimpulkan dengan menggunakan pola pikir Mu'tazilahnya, bahwa keimanan tidak cukup hanya dengan keyakinan. Ia juga harus disertai dengan amal perbuatan.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa jika seseorang telah meyakini kebenaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi dia tidak beramal, maka dia tidak dapat dikatakan sebagai seorang Mukmin. Karena-menurut Ibn Abî al-Hadîd – Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengatakan bahwa perempuan tercegah dari keimanan yang sempurna karena ketercegahannya untuk melaksanakan salat dan puasa selama beberapa hari pada masa haid. Ini menunjukkan pula bahwa amal perbuatan adalah salah satu unsur utama keimanan seseorang.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 341

p: 341

Keindahan dan Keagungan Perempuan Apa yang disimpulkan Ibn Abî al-Hadîd dari perkataan Imam Ali di atas, sebenarnya bertentangan dengan pemikiran Mu'tazilah. Ibn Abi al- Hadid rupanya tidak menyadari hal ini. Kaum Mu'tazilah mengatakan bahwa jika seseorang tidak beramal, maka dia bukan orang Mukmin.

Sementara Imam Ali bin Abi Thalib a.s di atas mengatakan bahwa kaum perempuan tetap dikatakan sebagai Mukmin, meski selama beberapa hari mereka tidak beramal dan karenanya keimanan mereka sedikit, tetapi itu pun masih dapat diperkuat dan ditambal dengan amal-amal lainnya seperti telah disebutkan pada bab-bab terdahulu.

Persaksian Perempuan

Alasan yang dikemukakan Imam Ali bin Abi Thalib a.s ber- kaitan dengan kurangnya akal perempuan adalah karena kesaksian dua orang perempuan sama dengan seorang pria. Allah Swt berfirman, “Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai" (QS Al-Baqarah:282).

Namun, perlu diingat bahwa itu tidak kembali kepada masalah lemahnya akal karena Alquran setelah itu menyatakan, “Supaya jika seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya” (QS Al-Baqarah:282).

Tuntutan dua orang perempuan yang hadir dalam peristiwa tersebut sebagai saksi adalah karena ingatan mereka boleh jadi kurang, bukan karena kelemahan pada akalnya. Kesibukan perempuan mengurusi masalah-masalah rumahtangga, mendidik anak, dan berbagai macam masalah lainnya sangat mungkin membuat mereka lalai terhadap berbagai peristiwa yang dilihatnya.

Oleh karena itu, Islam mewajibkan perlunya menghadirkan dua orang perempuan sebagai saksi dalam peristiwa tersebut sehingga satu 342 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 342

AYATULLAH JAWADI AMULT sama lain dapat saling mengingatkan, bahkan dalam beberapa hal, kesaksian perempuan dapat didengar dan dapat diterima sepenuhnya.

Setelah kita kaji bersama hal-hal di atas, jelas bahwa ketiga hal yang disebutkan Imam Ali bin Abi Thalib di atas bukan merupakan tanda kekurangan bagi perempuan.

Celaan Mencintai Perempuan dan Dunia

Diriwayatkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as pernah mengatakan, “Perempuan bagaikan kalajengking, manis dalam sengatannya(1)." Maksud ungkapan tersebut bukan untuk mencela perempuan, tetapi untuk memberi peringatan kepada pria agar tidak terperdaya oleh perempuan. Hal yang sama juga diungkapkan berkenaan dengan dunia.

Dalam sebuah surat yang ditulis oleh Imam Ali bin Abi Thalib a.s kepada Salman al-Farisi, beliau mengatakan, “Dunia ini bagaikan ular, racunnya lembut lagi mematikan(2)."

Maksud ungkapan di atas bukan untuk menyatakan bahwa perempuan adalah kalajengking, tetapi untuk memperingatkan kepada pria agar dia tidak menjatuhkan dirinya ke neraka lantaran melihat perempuan yang bukan muhrimnya. Itu karena melihat perempuan yang bukan muhrim memang manis rasanya, tetapi hakikat dosa tersebut seperti kalajengking Mengapa berjabatan tangan dengan perempuan yang bukan muhrim merupakan sebuah maksiat? Karena racunnya lembut dan mematikan. Itu bukan celaan terhadap perempuan, tetapi merupakan celaan bagi orang yang melihat perempuan yang bukan muhrim. Celaan terhadap dunia juga bukan sebuah dalil mengenai ketercelaan dunia. Namun hal itu merupakan celaan terhadap cinta dan keterpesonaan akan dunia. Jika tidak demikian, maka Imam Ali a.s akan mengatakan bahwa dunia adalah tempat yang baik.

p: 343


1- 90 Nahj al-Balaghah, Tahqiq: Shubhî al-Shâlih, al-Kalimât al-Qishâr 61.
2- 91 Ibid., risalah 68.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Seluruh nabi, kekasih Allah, orang-orang bijak, orang-orang arif, orang-orang saleh dan para shiddîqîn serta para syuhada telah mencapai kesempurnaan kemanusiaan mreka di dunia ini. Seandainya mereka tidak dilahirkan di dunia, tentulah mereka adalah tanah, atau berupa sperma yang terkubur bersama ayah mereka. Mereka dilahirkan di dunia, mereka datang ke “pasar" dunia, berdagang dan memperoleh keuntungan dunia.

Dunia telah menjadi tempat perdagangan para kekasih Allah. Seseorang yang terperdaya oleh keindahan dunia tak ubahnya seperti anak kecil yang menyentuh punggung ular yang begitu lembut. Kelembutan tersebut adalah racun. Namun, jika seseorang telah mengetahui dunia, dia tidak mungkin mau menjual dirinya untuk sesuatu yang membahayakannya itu.

Jika disebutkan bahwa perempuan adalah kalajengking, itu artinya, tabiat jasmaniah adalah kalajengking. Manusia tidak mungkin mau menjual dirinya kepada kalajengking.

Pujian terhadap Dunia dan Harta yang Baik

Dalam Nahj al-Balaghah dikisahkan bahwa suatu saat Imam Ali bin Abi Thalib a.s sibuk berbicara dengan sekelompok orang. Tiba-tiba ada seorang perempuan asing lewat. Lalu beberapa orang dari mereka menoleh dan berusaha untuk melihat perempuan itu. Melihat apa yang dilakukan mereka, Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengatakan bahwa jika mereka melihat seorang perempuan, maka janganlah mereka terperdaya olehnya dan jangan pula mereka membakar diri mereka dengan api.

Ditegaskannya pula bahwa Allah Swt telah memberikan kepada mereka cara yang halal dan mereka tidak akan membutuhkan sesuatu melebihi jumlah yang telah Allah tentukan, dan sesuatu yang mereka butuhkan pasti Allah Swt penuhi. Segala sesuatu yang tidak Allah berikan kepada mereka berarti hal itu bukanlah sesuatu yang mereka butuhkan.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s tidak mencela perempuan, tidak pula mencerca dunia. Apakah udara dan air merupakan sesuatu yang buruk, padahal itu adalah bagian dari dunia? Apakah Anda pernah melihat <344 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 344

AYATULLAH JAWADI AMULT sebuah tempat yang lebih baik daripada dunia? Rasulullah Saw bersabda, "Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang yang saleh(1)."

Betapa banyak harta halal yang berada di tangan orang-orang saleh dan kita dapat memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna, seperti berjuang di jalan Allah. Allah Swt berfirman, "Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.'" (QS Al-Taubah:35).

Cercaan tersebut berkaitan dengan perbuatan manusia agar dia tidak menyandarkannya pada hal tersebut. Ungkapan seperti itu juga dikatakan pada perempuan sehingga perempuan bukan kalajengking, tetapi cinta kepada perempuanlah yang diibaratkan dengan kalajengking.

Begitu pula dengan dunia, ia bukan ular, tetapi cinta kepada dunialah yang diibaratkan seperti ular.

Jika perempuan jatuh ke dalam perangkap pria, maka cinta sang pria akan menjadi kalajengking, dan dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Karena ketertarikan lebih banyak pada perempuan, maka Imam Ali bin Abi Thalib a.s memberi penekanan khusus kepada perempuan.

Jika masalah-masalah tersebut telah jelas, maka jelas pula bahwa perempuan tidak dapat dicela karena keperempuanannya. Masalah cer- caan Imam Ali bin Abi Thalib a.s kepada Aisyah setelah perang Jamal memiliki maksud tersendiri, sebagaimana celaan terhadap kota Bashrah dalam perang Jamal.

Dengan demikian, perlu dibedakan dua pembahasan yang ber- lainan ini, yaitu masalah celaan terhadap kecintaan pada perempuan, dengan kekhususan masing-masing dari pria dan perempuan selaku hamba-hamba Allah, dan bahwa masing-masing jenis dapat menempuh

p: 345


1- 92 Jâmi' al-Saâdât, juz 2, hlm. 38.

Keindahan dan Keagungan Perempuan jalan sesuai dengan potensi khusus yang dimilikinya. Hal tersebut telah dijelaskan dalam pembahasan tentang 'irfân yang dikuatkan oleh ayat- ayat Alquran.

Meskipun Alquran dan sekian banyak riwayat menekankan adanya sistem penciptaan dan hukum kausalitas, tetapi jalan 'irfân adalah jalan tersendiri yang bersifat khusus. Artinya Allah Swt telah menyiapkan dua jalan dalam menjalin hubungan dengan manusia. Setiap orang dapat sampai kepada Allah Swt melalui dua jalan tersebut. Pertama, melalui sistem sebab dan akibat, yaitu jalan hikmah, dan kedua, jalan makrifat dan hati. Allah Swt lebih dekat kepada manusia daripada selainnya. Dia lebih dekat kepadanya dari setiap sebab dan setiap akibat. Jika jalan hati tidak sangat dekat dengan perempuan, maka paling tidak, jalan hati ini pula berada dalam batasan jalan yang dapat ditempuh pria.

Jawaban Lain terhadap Asumsi Kurangnya Iman Perempuan

Untuk menjawab anggapan bahwa perempuan berbeda dengan pria, yang berdalil dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib a.s dan hadis Rasulullah Saw dengan alasan bahwa perempuan tercegah untuk melakukan salat dan puasa selama beberapa hari pada masa haid, masalah ini perlu diperjelas lagi secara mendasar hingga dapat ditarik kesimpulan.

Untuk lebih jelas, kami akan kemukakan sebuah mukadimah singkat sebagai berikut:

Pertama, seluruh perintah agama merupakan sandaran kuat dan petunjuk penting bagi penempuh jalan menuju Allah Swt. Bagi orang yang tidak menempuh jalan atau berada di luar jalan itu atau mereka tidak dapat melalui jalan itu, agama tidak dapat memberikan tuntunan kepada mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang siap menempuhnya dan mampu berada di jalan lurus, agama telah menyiapkan konsep dan peraturan yang jelas.

Kedua, setiap orang yang memiliki kesiapan untuk menempuh jalan tersebut secara lebih dekat, cepat dan baik, maka ketetapan-ketetapan agama akan menjadi lebih tepat, bahkan lebih banyak untuknya.

346 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 346

AYATULLAH JAWADI AMULT

Beban Khusus Para Kekasih Allah

Contoh dalam permasalahan ini adalah bahwa para nabi memiliki beberapa beban yang tidak diwajibkan kepada selain mereka. Hal itu seperti beban-beban khusus yang dimiliki Rasulullah Saw dalam ibadah, contohnya salat malam, selain beliau tidak dapat memperoleh anugerah semacam itu. Meski salat malam boleh dilakukan semua orang demi memperoleh keutamaan, tetapi kewajiban untuk melakukannya hanya berlaku bagi Rasulullah Saw. Di samping perintah untuk melakukan salat lima waktu, ada juga perintah untuk melakukan salat malam. Allah Swt berfirman, “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula) salat Subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)" (QS Al-Isrầ':78).

Ayat di atas menjelaskan salat lima waktu yaitu Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Ini adalah kewajiban umum bagi setiap Muslim, tidak khusus bagi Rasulullah Saw. Kelanjutan ayat di atas berbunyi, “Dan pada sebagian malam bertahajudlah dengannya sebagai tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji” (QS Al-Isra':79).

Artinya perintah tersebut khusus dan tambahan untuk kamu saja.

Salat lima waktu merupakan sebuah kewajiban yang bersifat umum, sedangkan salat malam adalah sebuah kewajiban yang bersifat khusus. Kita tidak dapat mengatakan bahwa salat malam adalah sunah bagi Rasulullah Saw karena itu merupakan ibadah tambahan. Namun, kata nâfilah adalah sifat dari sesuatu (yang disifati) yang tidak disebutkan, yaitu kata farîdhah (kewajiban). Ayat di atas sebenarnya berusaha menegaskan, “Dan pada sebagian malam bertahajudlah dengannya sebagai kewajiban' tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji." Kata nafilah dalam ayat diatas maksudnya adalah 'tambahan atau kewajiban khusus'. Seperti yang terdapat pada kisah Ya'qub a.s yang diungkapkan Alquran yang menyatakan bahwa Ibrahim a.s meminta kepada Allah Swt agar dianugerahi keturunan, maka Dia Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 347

p: 347

Keindahan dan Keagungan Perempuan menganugerahinya, bukan hanya keturunan tetapi juga cucu. Cucu di sini adalah anugerah tambahan dari sisi-Nya. Allah Swt berfirman, “Dan Kami telah memberikan kepadanya (lbrâhîm) Ishầq dan Ya'qûb, sebagai suatu nâfilah (anugerah tambahan dari Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang saleh" (QS Al-Anbiyâ':72).

Kata nâfilatan dalam ayat tersebut, ditinjau dari kesusastraan, adalah kata sifat untuk ‘hibbatun' pada kata wahaba. Maksudnya, Allah telah mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim a.s dengan menganugerahinya bukan hanya anak (Yaitu Nabi Ishâq a.s), tetapi juga cucu (Nabi Ya'qûb a.s).

Salat malam Allah wajibkan kepada Nabi Muhammad Saw karena beliau lebih siap daripada yang lain untuk menerima beban. Setiap jiwa yang memiliki kesiapan lebih besar, maka dia juga akan menerima berbagai beban dan perintah lebih banyak lagi.

Kelebihdahuluan Perempuan Dalam Kewajiban Syariat

Berdasarkan mukadimah yang telah lewat, dapat dikatakan bahwa keberhasilan perempuan lebih banyak daripada pria. Dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa perempuan setidaknya sama dengan pria. Jika tidak, secara lahir harus dinyatakan bahwa perempuan lebih tinggi atau bahkan lebih sempurna daripada pria karena Allah Swt telah menyambut perempuan (menunaikan kewajiban syariat) sekitar enam tahun lebih awal sebelum pria menjadi dewasa. Allah Swt telah mewajibkan kepada perempuan salat yang merupakan tiang agama, mewajibkan puasa yang merupakan perisai agama dan ibadah haji yang (bila ia melaksanakannya) berarti telah menjadi tamu Allah. Semuanya itu merupakan dalil bahwa perempuan lebih pantas memperoleh keutamaan daripada pria.

Seandainya logika ini dapat dibenarkan dan dilaksanakan dengan benar, maka akan jelas pula kesimpulannya, yaitu perempuan lebih tinggi kedudukannya daripada pria, atau setidaknya perempuan setara dengan pria. Meskipun perempuan terhalang untuk melaksanakan beberapa kewajiban ibadah selama beberapa hari pada <348 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 348

AYATULLAH JAWADI A MULT saat dia berhalangan, tetapi terdapat solusi dan penyelesaiannya, artinya seluruh beban yang ditarik dari perempuan ketika dia berhalangan dapat tergantikan. Puasa yang ditinggalkanya dapat diganti dengan puasa pada hari yang lainnya (qadhâ'). Meskipun salat tidak dapat di-qadha (bagi perempuan haid), tetapi hal itu juga dapat diganti dengan yang lain, sebagaimana diriwayatkan bahwa jika seorang perempuan ber- wudhu, lalu duduk menghadap kiblat di tempat salatnya, sambil berzikir sesuai dengan waktu pelaksanaan salat, maka dia akan memperoleh pahala seperti melakukan salat.

Hal serupa juga berlaku bagi siapa saja - pria ataupun perempuan, yang meng-qashar salatnya pada saat dia sedang bepergian, jika dia menginginkan pahala salat dua rakaat yang hilang, maka hen- daknya setelah selesai salat tersebut dia membaca subhânallâh wal-hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar sebanyak tiga puluh atau empat puluh kali. Yang penting di sini adalah ketika pria genap berusia lima belas tahun dan menginjak usia enam belas tahun, dia baru memperoleh kewajiban untuk melakukan perintah Tuhan, sementara sebelumnya tidak diwajibkan.

Usia Balig Kemuliaan dari Tuhan

Usia balig adalah sebuah kemuliaan. Para pesuluk biasa menga- takan, “Kami telah memperoleh kemuliaan," bukan mengatakan, “Kami telah diberi beban," karena tidak ada perintah Allah yang merupakan beban.

Pada hakikatnya, ia adalah kemuliaan. Oleh karena itu, kita dapat membaca dalam munajat al-Dzâkirîn, Imam al-Sajjad a.s berkata, “Wahai Dzat yang mengingat-Nya merupakan kemuliaan." Seandainya seseorang dapat sampai ke tingkatan zikir kepada Allah Swt sehingga Dia menjadi pengingatnya, maka ia telah memperoleh kemuliaan. Berdasarkan hal itu, usia balig merupakan sebuah kemuliaan.

Perempuan telah sampai pada kemuliaan tersebut enam tahun lebih awal daripada pria. Jika perintah tersebut dilaksanakan dengan benar, maka perempuan telah menempuh bagian yang lebih banyak dari kemuliaan Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 349

p: 349

Keindahan dan Keagungan Perempuan tersebut sebelum pria memasukinya. Oleh karena itu, terhalangnya perempuan untuk melakukan salat selama beberapa waktu pada saat dia berhalangan dapat diganti, bahkan lebih dari itu, perempuan telah memperoleh berbagai keistimewaan enam tahun sebelum pria.

Pada usia tua, tidak ada lagi perbedaan antara pria dan perempuan, karena perempuan ketika memasuki usia lima puluh tahun dia tidak lagi mengalami menstruasi sehingga dia tidak lagi terhalang untuk melakukan hal-hal tersebut. Adapun ketika dia berusia 10 hingga 50 tahun, kita melihat hal-hal berikut ini:

Pertama, terhalangnya perempuan untuk melakukan kewajiban salat dan puasa selama beberapa hari dalam setiap bulan selama empat puluh tahun, tidak mencakup seluruh perempuan, tetapi hanya sebagian besar saja. Kedua, para perempuan yang sedang hamil juga tidak terhalang untuk melakukan salat dan puasa. Ketiga, waktu enam tahun, di mana perempuan sudah sampai pada kematangan usianya, dapat mengganti seluruh kekurangan yang ditinggalkan.

Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa perempuan imannya kurang, itu ketika dia tidak dapat mengganti kekurangan ibadah yang ditinggalkannya. Namun, ketika dia telah menggantinya, maka imannya tidak lagi kurang, tetapi justru akan menjadi banyak. Apalagi jika dia menggunakan waktu selama enam tahun untuk beribadah, tentu imannya akan bertambah banyak dan tidak mungkin berkurang.

Perempuan adalah Puspa Sari

Imam Ali bin Abi Thalib a.s mengatakan, "Perempuan adalah ta- naman yang berbau harum, dan dia bukan sebuah pagar isi rumah(1)."

Maksudnya, perempuan adalah tanaman yang berbau harum dan harus memperoleh pendidikan dan diberi beban sebelum pria. Jika tidak, maka ia akan sia-sia. Hal serupa dikuatkan oleh riwayat dari Imam Ja'far al-Shadiq a.s, di mana beliau berkata, “Barang siapa memiliki seorang

p: 350


1- 93 Nahj al-Balâghah, risalah 31.

AYATULLAH JAWADI AMULI

perempuan, muliakanlah ia, karena perempuan adalah mainan. Barang siapa yang memilikinya, hendaknya dia tidak menyia-nyiakannya(1)."

Maksud perkataan al-Shadiq di atas bukanlah berarti perempuan adalah alat untuk bermain, tetapi perempuan bagai tanaman yang harum, dan jangan menyia-nyiakannya dengan tidak memberinya beban. Islam telah memerintahkan para orangtua-mencakup juga guru- guru di sekolah, untuk lebih banyak memperhatikan anak-anak perem- puan mereka daripada anak lelaki. Jika beban terhadap perempuan telah dimulai, enam tahun sebelum pria dan ditetapkan padanya amar makruf nahi mungkar, maka tanggung jawab para orangtua akan lebih besar terhadap anak-anak perempuan daripada anak lelaki.

Oleh karena itu, jelas bahwa perempuan bukanlah sebuah mainan, tetapi dia adalah tanaman wangi yang harus dididik secara lebih baik dan lebih cepat. Karenanya, perempuan memperoleh kesiapan untuk dapat melakukan salat dan munajat lebih cepat daripada pria. Jika unsur emosi dan perasaan terkadang lebih banyak ditemukan pada perempuan, maka beban-beban tersebut menjadi seimbang dengan potensi yang dimilikinya, agar perempuan tidak melewati waktu dengan sia-sia.

Alasan Keterbebasan Perempuan dalam Beberapa Kewajiban Syariat

Berkenaan dengan perintah yang Allah mewajibkan kepada hamba- hamba-Nya, apabila perempuan dapat setingkat dengan pria dalam me- laksanakan perintah-Nya, berarti perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan pria. Namun dalam hal-hal yang sulit dilakukan, hanya pria yang mendapat beban dari Allah Swt, sementara perempuan tidak diwajibkan karena dia adalah raihậnah, yakni bunga yang harum.

Itu pun masih dalam wilayah perintah-perintah yang bersifat keringanan (rukhshah), bukan kewajiban (‘azîmah). Terdapat perbedaan antara rukhshah dan ‘azîmah. ‘Azimah adalah “larangan untuk melakukan sesuatu karena ada perintah agar tiada seorang pun yang melakukannya'.

p: 351


1- 94 Bihar al-Anwâr, juz 103, hlm. 224.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Contohnya (dalam mazhab Ahlul Bait a.s) adalah seorang musafir yang diwajibkan agar tidak berpuasa dan tidak melakukan salat (yang berjumlah empat rakaat) secara sempurna, tetapi ia harus meng-qashar-nya.

Inilah yang dinamakan 'azîmah, artinya 'wajib untuk dipatuhi'.

Adapun rukhsah adalah meninggalkan salah satu kewajiban Allah', tetapi hal tersebut bukan hal yang diharamkan. Contohnya salat Jumat yang tidak diwajibkan bagi perempuan, artinya tidak wajib bagi perempuan untuk datang, tetapi bukan berarti kedatangan dan salat Jumat yang dilakukannya tidak akan diterima atau tidak memiliki keutamaan.

Terkadang dikatakan bahwa perempuan telah terhalang untuk mela- kukan beberapa kewajiban yang memiliki keistimewaan dalam agama, seperti ikut melaksanakan salat Jumat, salat berjamaah dan mengantarkan jenazah. Hal ini dinyatakan pula dalam sebuah hadis Rasulullah Saw, "Wahai Ali, tiada kewajiban bagi perempuan untuk melakukan salat Jumat, salat berjamaah, mengumandangkan azan dan iqamah(1)."

Untuk menjelaskan masalah ini, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa terhalangnya perempuan untuk melakukan hal-hal tersebut adalah dalam batasan perintah-perintah Allah yang bersifat rukhshah, bukan ‘azîmah.

Artinya, tercegahnya perempuan dalam hal-hal tersebut bukan karena dia tidak berhak untuk mengikuti salat Jumat dan berjamaah. Dalam hukum salat Jumat dijelaskan bahwa pelaksanaan salat Jumat wajib dilakukan para mukallaf ketika jarak antara satu masjid dengan masjid lainnya sejauh dua farsakh (kurang lebih 16 kilometer). Dalam jarak yang kurang dari dua farsakh, tidak boleh ada dua pelaksanaan salat Jumat. Dengan kata lain, jarak antara dua tempat pelaksanaan salat Jumat tidak boleh kurang dari dua farsakh.

Mengingat ketentuan salat Jumat seperti itu, maka sulit sekali bagi perempuan untuk melakukannya. Oleh karena itu, kewajiban tersebut terangkat dari perempuan. Artinya, perempuan tidak harus menempuh jalan yang jauh itu. Itu tidak berarti perempuan tidak berhak untuk turut

p: 352


1- 95 Bihar al-Anwâr, juz 81, bab 35, hlm. 115.

AYATULLAH JAWADI AMULT melakukan salat Jumat, atau jika perempuan mampu menahan kelelahan tersebut dengan turut hadir melakukan salat Jumat, tidak berarti salatnya tidak diterima, atau dia tidak cukup dengan salat Zuhur, atau dia tidak dapat memperoleh keutamaan salat Jumat.

Demikian pula dengan salat berjamaah. Salat berjamaah penting dilakukan sehingga pada masa permulaan Islam, di antara upaya-upaya Rasulullah Saw untuk mencegah masuknya kaum munafik ke dalam barisan kaum Muslim saat itu adalah dengan menjatuhkan sanksi kepada mereka yang tidak ikut serta melaksanakan salat berjamaah. Begitu pula dengan mereka yang mampu salat berjamaah, tetapi tidak menganggapnya sebagai kemuliaan sehingga mereka tidak turut melakukannya, maka Rasulullah Saw menyuruh untuk merubuhkan rumahnya. Dalam sebuah riwayat dari Imam Ja'far al-Shadiq a.s diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw mengharuskan bagi orang yang tinggal di sebelah masjid untuk selalu melaksanakan salat berjamaah, kemudian beliau Saw berkata, “Sungguh aku akan memerintahkan muazin untuk mengumandangkan azan, dan menyuruh salah seorang dari Ahlul Baitku untuk membakar rumah mereka dengan kayu karena mereka tidak menghadiri salat (berjamaah)(1)."

Ancaman Rasul Saw di atas adalah untuk mencegah masuknya pengaruh kaum munafik ke dalam barisan kaum Muslim. Atas dasar itu, turut serta melaksanakan salat berjamaah dengan Rasulullah Saw merupakan keharusan. Seorang pun tidak diperkenankan untuk meninggalkannya tanpa alasan. Namun, hal itu bukan keharusan kaum perempuan karena hal itu sulit bagi mereka, bukan berarti perempuan tidak mampu melakukan beban tersebut, bukan pula jika dia tidak ikut melakukan salat berjamaah lalu salatnya tidak diterima, atau salatnya tidak sah, atau juga tidak ada keutamaan dalam melakukannya dan lain-lain. Sekali lagi, masalah yang disebutkan di atas berkaitan dengan rukhshah, bukan 'azîmah.

p: 353


1- 96 Wasâ'il al-Syi'ah, juz 5, hlm. 276, bab 2.

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Benarkah Perempuan tidak Setia?

Diriwayatkan bahwa Imam Ja'far al-Shadiq a.s pernah mengatakan bahwa terdapat lima hal yang mustahil dapat bertemu dengan lima hal lainnya. Salah satunya adalah “kesetiaan dengan perempuan(1)".

Riwayat ini merupakan pendidikan yang bersifat umum. Hal serupa diriwayatkan dari al-Shadiq a.s, ketika beliau menyebut siksa yang akan Allah timpakan kepada enam kelompok manusia karena enam macam perbuatan. Salah satu dari enam hal itu adalah para fuqaha yang memiliki dengan sifat hasad(2)

Kandungan riwayat ini menunjukkan bahwa setiap manusia akan diuji berdasarkan bidang yang ditekuninya. Itu bukan berarti fikih adalah jelek atau seorang fakih memiliki sifat hasad, tetapi dia harus waspada agar tidak melaksanakan hal berbahaya tersebut karena keutamaan- keutamaan yang berkaitan dengan ilmu fikih dan fakih tidak dapat diingkari. Dikatakan bahwa para fuqaha adalah pengemban amanat para rasul(3).

Seorang fakih diperingatkan agar tidak terjatuh ke dalam sifat iri hati dan dosa yang ditimbulkannya.

Oleh karena itu, kedua riwayat tersebut bukanlah menunjukkan kekurangan pada fikih atau fakih. Begitu pula dengan riwayat di atas yang seakan mengurangi nilai seorang perempuan.

Telaah Terhadap Riwayat yang Mencela Perempuan

Banyak riwayat yang bersifat pujian atau celaan yang hanya tepat dan berlaku pada situasi dan kondisi tertentu. Sebagai contoh, buah tertentu memiliki khasiat. Apakah khasiat buah tersebut dapat dirasakan oleh semua orang? Ataukah hanya dapat dirasakan oleh penduduk wilayah tersebut? Tentu Anda tahu bahwa buah-buahan yang tumbuh di sebuah daerah ditumbuhkan oleh Allah Swt untuk memenuhi kebutuhan penduduk daerah tersebut, bukan untuk memenuhi kebutuhan orang- orang yang tinggal di luar daerah. Begitu pula dengan ungkapan, per-

p: 354


1- 97 Al-Khishâl, al-Shadûq, hadis 5.
2- 98 Ibid., hadis 14.
3- 99 Ushûl al-Kafi, juz 1, hlm. 46.

AYATULLAH JAWADI AMULT umpamaan, pepatah, pujian, dan celaan yang berlaku di sebuah wilayah, tidak boleh kita pukul rata sehingga dapat diberlakukan di mana saja.

Jika suatu golongan tertentu dipuji atau dicela dalam sebuah kondisi khusus, maka kita tidak harus menghukuminya sebagai hal umum yang berlaku di setiap tempat. Betapapun, peluang senantiasa terbuka bagi siapa saja yang ingin memperoleh kesempurnaan.

Nasihat Ibnu Arabî kepada al-Râzî

Ketika Imam al-Râzî mengajar, dia memperbarui pendapatnya seraya menangis. Melihat dia menangis, murid-muridnya bertanya, “Mengapa guru menangis?" Dia menjawab, “Ya, karena aku memiliki sebuah masalah yang telah kupikirkan selama tiga puluh tahun. Aku menetapkan sebuah keputusan, tetapi sekarang aku sadar bahwa kebenaran bukan bersamaku. Aku sungguh telah melakukan kesalahan selama tiga puluh tahun." Ibnu Arabî dalam sebuah suratnya yang ditujukan kepada al-Râzî mengatakan, “Pertama yang harus engkau pelajari adalah ilmu, selama tiga puluh tahun sehingga kamu tidak menangis. Tiga puluh tahun kemudian, barangkali engkau menangisi akidah yang engkau anut selama ini. Tempuhlah jalan yang di situ engkau tidak temukan kesalahanmu, kecuali sedikit. Kedua, engkau harus berjalan di belakang suatu ilmu yang tidak akan meninggalkanmu dan engkau pun tidak akan meninggalkannya.

Engkau adalah makhluk abadi. Maka, persiapkanlah ilmu yang setelah engkau mati pun akan tetap ada pembelinya."

Ilmu Alat dan Ilmu Hakikat

Apabila seorang hamba Mukmin mempelajari pandangan dunia tauhid, nama-nama-Nya yang agung, sifat-sifat Kemahaagungan dan Kemahaindahan-Nya, mempelajari keadaan Hari Akhirat, di surga dan di neraka, dan sebagainya, kemudian mempelajari pula persoalan wahyu, risalah kenabian dan imamah, maka setelah ia meninggalkan alam dunia Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 355

p: 355

Keindahan dan Keagungan Perempuan ini, apa yang telah dipelajarinya itu di akhirat sana akan menjadi segar, matang dan hakikatnya dapat dia lihat secara jelas.

Ini berbeda dengan orang yang memiliki pengetahuan duniawi, seperti bagaimana cara membuat jalan, membangun masjid atau sekolah, serta bagaimana dia bisa menjadi insinyur, menjadi dokter dan lain-lain, maka pengetahuannya dalam hal-hal tersebut akan sirna bersama dengan kematiannya. Di sana tidak ada lagi pembicaraan tentang segala persoalan yang bersifat material.

Meski demikian, pengetahuan jenis kedua ini wajib diketahui setiap hamba karena hal itu dapat memenuhi berbagai kebutuhan duniawinya.

Apabila pengetahuan yang diperolehnyaitu dia manfaatkan untuk melayani Islam, maka pelayanan yang dilakukannya akan berubah menjadi amal saleh, di mana hasilnya dapat dibawanya sampai akhirat sehingga kekal selama-lamanya. Sekadar pengetahuan tersebut saja, bukan hasil yang diperoleh dari pengetahuan itu, maka ia akan sirna karena tidak termasuk jenis pengetahuan yang abadi sampai akhirat.

Semua yang disebutkan di atas berkaitan dengan aktivitas manusia di dunia. Setelah berada di alam akhirat, manusia tidak lagi dituntut untuk mempelajari ‘irfân, filsafat, fikih, ushul fikih atau membuat karya- karya keislaman. Mengarang, menyusun buku, mengajar dan menulis adalah aktivitas yang sepenuhnya mengandalkan perlengkapan- perlengkapan materi dan berakhir dengan datangnya kematian sehingga jika seseorang memiliki sebuah ilmu yang menyertainya hingga masa tuanya, maka seluruh masalah yang berkaitan dengan ilmu tersebut di masa tua akan terhapus dari otaknya sedikit demi sedikit, dan dia tidak dapat lagi menggunakannya. Seorang sastrawan handal, di masa tuanya, tak akan lagi mampu membaca karya-karya sastra meski satu baris pun.

Ilmu-ilmu tersebut akan hilang ketika maut menjemputnya. Itulah yang dinamakan dengan ilmu alat.

Orang yang mengamalkan pengetahuan ketuhanan, hakikat pengetahuan tersebut akan semakin tersingkap secara jelas satu per satu setelah kematiannya. Pengetahuan mengenai syafaat, al-shirâth dan telaga 356 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 356

AYATULLAH JAWADI AMULT kautsar, misalnya, ketika seseorang bertanya-tanya apakah ia merupakan air yang juga dapat menghilangkan rasa lapar, ataukah jika air itu diminum seteguk saja, rasa haus tidak akan dirasakannya selama-lamanya? Jenis air apakah itu, yang di samping dapat melepas dahaga, juga dapat mengenyangkan, bahkan menyebarkan keharuman? Pertanyaan seputar berbagai persoalan menyangkut keadaan di akhirat seperti di atas akan ditemukan jawabannya setelah kematian manusia.

Namun orang yang tidak pernah berusaha memahaminya ketika di dunia, maka di akhirat nanti sulit baginya untuk dapat memahami persoalan-persoalan tadi.

Boleh jadi, seseorang mempelajari hal-hal di atas dengan susah payah. Namun, di akhirat tidak demikian. Dia akan mempelajarinya dengan mudah, hakikat syafaat, shirâth, kautsar, surga dan neraka akan dipahaminya dalam waktu yang sangkat singkat. Di sana, manusia tidak mempelajarinya secara cuma-cuma. Dia tidak mempelajarinya dengan pendengaran, tetapi dengan hati. Oleh karena itu, orang yang hatinya belum bersih dan masih penuh dengan debu dan kotoran, hatinya tidak dapat melihat Jika manusia tak dapat melihat karena matanya kotor atau ter- kena duri, maka tentu orang itu harus pergi ke dokter, atau jika perlu, melakukan operasi mata agar kotoran dan duri yang ada di dalam matanya dapat dikeluarkan. Setelah itu, barulah dia dapat melihat kembali karena jika tidak demikian, dia tidak dapat melihat. Hal serupa berlaku pada hati manusia. Allah Swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka perbuat itu menutup hati mereka" (QS Al-Muthaffifîn:14).

Itulah dosa, dan itulah kotoran yang ada dalam hati. Manusia tidak melihat nabi dan telaga kautsar dengan mata lahirnya, tetapi dengan mata hatinya. Jika hati belum dibersihkan dari berbagai kotoran dan debu, maka cermin hati tidak akan dapat memantulkan hakikat rahasia- rahasia ukhrawi. Hati yang demikian memerlukan "operasi'. Jika tidak, Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 357

p: 357

Keindahan dan Keagungan Perempuan dia tidak akan dapat melihat telaga Kautsar. Namun hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Apakah seorang manusia biasa dapat melihat keindahan cahaya Imam Ali bin Abi Thalib a.s? Dan apakah seseorang dapat melihat penghulu para syuhada, Al-Husain, dengan mudah? Dari sini dapat disimpulkan bahwa di akhirat kelak, manusia dapat melihat semua yang disebutkan di atas, tetapi harus dengan "operasi” terlebih dahulu. Jika kotoran yang ada pada hati seseorang belum dibersihkan, dan mata hatinya belum dioperasi, maka dia tidak akan dapat melihat rahasia akhirat. Orang yang dibawa ke “ruang operasi” tidak dapat memperoleh “Jamuan Ilahi". Tekanan-tekanan kepedihan yang diakibatkan oleh “operasi' terhadapnya akan mulai dia rasakan semenjak dia memasuki alam kubur.

Dalam Nahj al-Balaghah disebutkan bahwa ketika manusia meninggal, dia dibawa ke "ruang operasi" (dikuburkan), dan dalam waktu yang sangat singkat, jasadnya berubah menjadi bangkai. Oleh karena itu, seluruh sanak kerabatnya mengatakan, “Cepat, kuburkan dia sebelum menjadi bangkai!" Imam Ali bin Abi Thalib a.s melukiskan keadaan ini dengan berkata, “Dia berubah menjadi bangkai di hadapan keluarganya, lalu mereka menyerahkan (kesudahan nasib)-nya kepada (baik buruk) amal perbuatannya(1)."

Sebuah riwayat menyatakan bahwa hukum mempercepat proses pemakaman mayat adalah sunah. Mayat harus segera dikuburkan. Ini berkaitan dengan jasad. Namun, bagaimana dengan ruhnya? Ke mana ia dibawa? Imam Ali bin Abi Thalib a.s menjawab, “Mereka menyerahkan (kesudahan nasib)-nya kepada (baik buruk) amal perbuatannya." Sekali lagi, kami tegaskan bahwa ilmu hushûlî akan segera hilang pada saat pemiliknya meninggal dunia. Sementara, tidak mudah seseorang dapat memperoleh ilmu syuhûdî. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kesempurnaan spiritual perempuan tidak akan melebihi pria, hanya karena pria lebih kuat dalam menguasai ilmu-ilmu keduniaan,

p: 358


1- 100 Nahj al-Balâghah, khutbah 108.

AYATULLAH JAWADI A MULT seperti fisika dan matematika. Di akhirat nanti, jika perempuan lebih bersih ruhaninya, maka dia akan sampai ke "tujuan abadinya" lebih cepat daripada pria.

Pria dan Perempuan dalam Sistem Alam

Alquran menyatakan bahwa Allah Swt mengelola sistem penciptaan.

Seandainya anggota masyarakat manusia ini seluruhnya pria, maka ketetapan tersebut pasti hanya akan menghasilkan ketiadaan, karena jika seluruh manusia ini pria, maka tidak akan ada manusia. Jika tidak ada perempuan, pria tidak akan dapat dengan sendirinya menjadi penyebab lahirnya keturunan. Oleh karena itu, demi terwujudnya sebuah masyarakat, dibutuhkan pria dan perempuan. Di satu sisi, keduanya merupakan fondasi utama sistem penciptaan. Di sisi lain, jika pria menjadi perempuan atau perempuan menjadi pria, maka pertanyaannya, mengapa harus ada perbedaan? Alquran menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt adalah Dzat yang tak pernah menzalimi seorang pun dalam seluruh perbuatan-Nya, “Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun" (QS Al-Kahfi:49), “Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menzalimi hamba-hamba-Nya" (QS Fushshilat:46).

Pertama-tama, Allah Swt adalah Zat yang selalu menegakkan keadilan.

Kedua, karena Dia adalah Maha Penegak keadilan, maka Dia memerin- tahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dan menegakkan keadilan.

Ketiga, Dia memberi petunjuk kepada hamba-hamba-Nya mengenai tolok ukur keadilan. Ketiga masalah di atas dijabarkan oleh Alquran secara jelas. Allah Swt berfirman, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga (menyatakan yang demikian itu)" (QS Ali Imrân:18).

Perintah Allah kepada manusia untuk berlaku adil ditegaskan dalam firman-Nya, “Katakanlah, “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan' (QS Al-A'râf:29). Sementara itu, tolok ukur keadilan dijelaskan oleh Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 359

p: 359

Keindahan dan Keagungan Perempuan Allah Swt melalui firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan" (QS Al-Hadîd:25).

Ketiga hal tersebut telah dijelaskan oleh Alquran sehingga terjadi keserasian antara bukti-bukti rasional dan bukti-bukti tekstual bahwa tidak ada kezaliman dalam sistem penciptaan realitas. Oleh karena itu, tidak dibenarkan bila ada yang mengatakan bahwa dirinya telah dizalimi.

Demikian pula dengan perempuan, dia tidak boleh mengatakan bahwa dirinya dizalimi oleh sistem kehidupan yang telah Allah Swt buat ini. Pria juga tidak dapat menganggap bahwa sistem penciptaan-Nya menguntungkan dia ataupun membuatnya lebih mulia.

Rahasia Perbedaan Pria dan Perempuan

Pandangan Alquran terhadap perbedaan penciptaan pada alam semesta ini adalah sebagai berikut:

Pertama, demi menjalankan tugas kehidupan sebaik mungkin.

Kedua, selama kerja sama yang saling menguntungkan dan ke- serasian antar makhluk belum dapat terwujud, maka sistem kehidupan ini tidak akan dapat dijalankan sebaik mungkin. Allah Swt berfirman, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (QS Al-Zukhruf:32).

Sesungguhnya, perbedaan dalam hal kedudukan, kesenangan, kecenderungan dan ketertarikan, bukanlah tolok ukur kemuliaan.

Semuanya merupakan alat untuk beramal agar kerja sama antara makhluk satu dengan lainnya dapat terwujud. Oleh karena itu, firman Allah Swt < 360 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 360

AYATULLAH JAWADI AMULI di atas berbunyi agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Begitu pula dengan kuatnya potensi diri pada salah satu dari pria dan perempuan, bukanlah tolok ukur kemuliaan. Potensi bukanlah pertanda kemuliaan dan kedekatan seseorang kepada Allah, kecuali jika dia dapat memfungsikannya secara lebih efektif dan dia beramal dengan penuh ketulusan secara maksimal. Ketika itu, barulah dia digolongkan sebagai orang yang memiliki ketakwaan tinggi. Tentu, dia akan menjadi lebih dekat dengan Dzat Yang Maha Sempurna karenanya. Namun, jika dia tidak dapat mengambil manfaat dari potensi tersebut dan tidak dapat mendekatkan diri kepada-Nya, maka potensinya itu akan menjadi bencana baginya. Seluruh potensi yang Allah Swt anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya, meski secara lahir tampak sebagai sebuah keutamaan, bukanlah pertanda kedekatan seseorang kepada Allah Swt.

Satu-satunya bukti kedekatan seseorang kepada-Nya adalah takwa dan keikhlasan yang menghiasi dirinya.

Adanya perbedaan-perbedaan tersebut dimaksudkan agar antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dapat saling memanfaatkan.

Tidak dibenarkan seseorang memanfaatkan orang lain sementara dirinya tidak mau menjadi sumber manfaat bagi mereka. Tidak boleh seseorang memanfaatkan yang lain secara sepihak karena Allah Swt menghendaki agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.

Artinya agar terjadi aktivitas yang saling menguntungkan sehingga tatanan kehidupan ini dapat berjalan dengan lebih baik. Jika tidak, maka akan timbul suatu kondisi saling melecehkan dan saling mengambil keuntungan antar pribadi. Hal ini dilarang, bahkan diharamkan oleh Alquran yang menyebutnya sebagai salah satu bentuk kezaliman.

Oleh karena itu, sistem penciptaan menuntut adanya perbedaan potensi yang saling melengkapi dan harus diterima oleh masing-masing pihak dengan lapang dada. Adanya timbal-balik antara pihak pria dan perempuan bukanlah pertanda keutaman, tetapi tolok ukur keutaman terdapat dalam hal lain, yaitu kedekatan kepada Allah.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 361

p: 361

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Kepemimpinan Pria bagi Perempuan

Berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas teknis keseharian, pria memang memiliki banyak keistimewaan. Namun, dalam hal potensi kesempurnaan kemanusiaan dan kedekatan kepada Allah, pria dan perempuan sama. Ketika perempuan ditempatkan sebagai lawan dari pria atau sebaliknya, maka sama sekali pria bukanlah pemimpin bagi perempuan, sebab perempuan tidak berada di bawahnya, tetapi setara.

“Adapun makna kepemimpinan lelaki pada firman Allah Swt yang berbunyi, para lelaki adalah pemimpin bagi para perempuan, (QS Al-Nisa':34) adalah dalam konteks hubungan suami-istri. Dalam statusnya sebagai suami, pria memimpin perempuan. Oleh karena itu, kepemimpinan bukanlah bukti kesempurnaan dan kedekatan seorang hamba kepada Allah. Hal serupa berlaku di lingkungan perusahaan, perkantoran, dan instansi-instansi lain. Di sana, ada yang menjabat sebagai pimpinan atau direktur. Namun, jabatan tersebut bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, tetapi tugas yang harus dilaksanakan.

Seorang direktur atau pimpinan belum tentu dekat dengan Allah Swt, sebab jabatannya itu hanya berbentuk tanggung jawab pelaksanaan semata.

Boleh jadi, seorang karyawan biasa yang bekerja dengan penuh ikhlas, di akhirat kelak akan memperoleh kemuliaan dan kedekatan dengan Allah melebihi pimpinannya ketika di dunia. Oleh karena itu, kepemimpinan yang disebutkan oleh ayat 34 surah al-Nisa' di atas, khusus berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas keduniaan.

"Para lelaki adalah pemimpin bagi para perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka" (QS Al-Nisa':34).

Pria dapat menangani berbagai macam persoalan duniawi, misalnya masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, keuangan, serta yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah tangga secara baik. Pria bertanggung jawab menafkahi keluarga, dan persoalan rumah tangga < 362 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 362

AYATULLAH JAWADI AMULT seluruhnya ada di tangan pria. Namun, adanya tanggung jawab tersebut belum menunjukkan kemuliaannya di sisi Allah. Dia hanya melaksanakan tugas yang Allah wajibkan kepadanya. Kepemimpinannya dalam rumah tangga adalah konsekuensi dari tugas tersebut. Alquran tidak pernah memerintahkan perempuan untuk selalu berada di bawah perintah pria, tetapi ia menyatakan bahwa pria bertanggung jawab atas kehidupan istri dan rumah tangganya.

Dengan demikian, jelaslah makna firman Allah Swt pada surah al-Nisa' di atas. Di tempat lain Allah Swt berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah. (QS al-Nisa': 135) Pria adalah bapak rumah tangga yang harus bertanggung jawab penuh terhadap keluarganya. Di dalam rumah tangga yang dibinanya, suami tidak boleh melakukan suatu aktivitas yang dapat mengganggu istrinya.

Sebaiknya, dia selalu makan di rumahnya dan pergi keluar rumah hanya untuk bekerja dan menyelesaikan tugas-tugasnya. Rumah adalah tempat suami beristirahat dan melepas kelelahannya. Allah Swt berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya" (QS Al-Rûm:21).

Kepemimpinan pria atas perempuan di dalam kehidupan rumah tangga bukan berarti bahwa perempuan adalah tawanan pria dan suami boleh bertindak sewenang-wenang sehingga kapan pun dia dapat keluar dan masuk rumah sesukanya. Tidak berarti bahwa dia dapat memerintah istri sesukanya, lalu sang istri harus mematuhi segala perintahnya.

Kepemimpinan suami terhadap istrinya juga terbatas pada rumah tangganya saja sehingga apabila dia berada di tempat kerjanya, dia tidak lagi menjadi pemimpin, misalnya bagi perempuan lain yang bukan istrinya.

Selain menyebutkan hak dan kewajiban kedua pihak dan me- merintahkan istri agar menghormati kepemimpinan suaminya, di Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi ersi 363

p: 363

Keindahan dan Keagungan Perempuan samping memberikan kuasa penuh kepadanya dalam urusan rumah tangga- di saat yang sama, Islam juga memerintahkan kepada pria untuk selalu menjaga dengan baik amanat dan tanggung jawab besar ini.

Jika kondisi setiap rumah tangga dalam sebuah masyarakat seperti demikian, maka pondasi masyarakat saat itu akan menjadi semakin kokoh, perceraian dan keretakan rumah tangga akan dengan mudah dihindari, sehingga anak-anak yang terlahir dari lingkungan seperti itu dapat dipastikan kesalehannya.

Masing-masing status yang dimiliki oleh keduanya bukanlah tolok ukur kemuliaan atau kehinaan. Oleh karena itu, tidak ditemukan satu pun ayat Alquran - yang berbicara tentang surga, yang menyebutkan kedudukan pria di surga lebih tinggi daripada perempuan. Tinggi rendahnya derajat seseorang di sana ditentukan oleh kualitas ilmu dan amal salehnya ketika di dunia.

Apa yang telah dikemukakan di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:

Pertama, maksud firman Allah, kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, adalah dalam konteks hubungan suami-istri, kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami.

Kedua, kepemimpinan rumah tangga adalah tugas yang Allah bebankan kepada pria, dan ia bukan tolok ukur kemuliaan.

Namun demikian, terkadang dalam beberapa kondisi, perempuan dituntut untuk berperan menjadi pemimpin terhadap pria. Ini berkaitan dengan statusnya sebagai ibu bagi anak-anak lelakinya. Tentu anak yang tidak mematuhi perintah kedua orangtuanya dianggap sebagai anak durhaka. Jika seorang ibu mencegah anaknya untuk melakukan suatu perbuatan maka si anak wajib mematuhi perintahnya. Dia tidak boleh beralasan sibuk, atau tidak ada waktu, atau karena telah menjadi insinyur atau dokter. Dalam hal ini, perempuan memimpin pria. Anak harus patuh kepada ibunya meski dia sudah menjadi ulama mujtahid.

Demikianlah, terdapat sekumpulan hak dan kewajiban pada masing- masing dari istri, suami, dan anak.

364 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 364

AYATULLAH JAWADI AMULT

Pandangan Islam dan Paham Materialisme

Orang yang menganggap bahwa tolok ukur kemuliaan berkisar pada masalah harta, jabatan dan kedudukan, perlu mempertimbangkan kembali landasan pemikiran seperti ini. Cara pandang yang menempatkan materi sebagai tolok ukur dapat melahirkan kesimpulan bahwa orang yang memiliki jabatan dan kedudukan tinggi serta harta yang melimpah adalah orang yang paling mulia.

Islam tidak memberikan penilaian demikian terhadap kenikmatan duniawi di atas. Islam menganggap bahwa keagungan manusia terletak pada ruhnya, dan sesuatu yang tidak termasuk bagian dari ruh adalah sekadar alat dan sarana pembantu pelaksanaan tugas-tugas keduniaan semata. Keistimewaan material yang dimiliki seseorang bukanlah faktor kesempurnaan jiwa dan spiritualnya, tetapi keistimewaan ruh-lah yang menjadi penentu tingginya kualitas kemanusiaan seseorang. Itulah gizi ruh yang dibentuk oleh pengetahuan, ilmu, etika dan sifat-sifat mulia diri seseorang. Di situ, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Perempuan dan Hak Bermasyarakat menurut Alquran

Sehubungan dengan hak-hak perempuan di dalam Islam, Allah Swt antara lain berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai (harta atau diri) perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena kamu hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.

Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (patut, bersikap dan berucap yang baik dan wajar kepadanya). Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah), karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya (pada apa yang tidak kamu sukai itu atau pada diri pasanganmu itu sifat-sifat lain yang merupakan) kebaikan yang banyak” (QS Al-Nisâ':19).

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 365

p: 365

Keindahan dan Keagungan Perempuan Hak-hak perempuan di dalam Islam sebagian berhubungan dengan hukum waris, nikah, poligami, mas kawin, dan lain-lain. Masalah tersebut telah diterangkan oleh para ulama tafsir secara terperinci, antara lain, oleh 'Allâmah Thabấthabâ'î dalam tafsir al-Mîzân-nya.

Berkenaan dengan topik pembahasan kita kali ini, sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas, maka yang patut kita garis bawahi di sini adalah perintah Allah kepada kita semua agar memperlakukan perempuan selayaknya, Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Memperlakukan perempuan dengan cara yang baik atau patut adalah tidak hanya dalam masalah-masalah keluarga, tidak seperti yang digambarkan oleh sikap fanatisme jahiliah yang menolak perempuan bekerja ataupun terjun beraktivitas di tengah masyarakat.

Ayat di atas kemudian menekankan bahwa Alquran mengatakan, “Jika kamu tidak menyukai mereka," yakni jika kalian tidak senang kalau para perempuan memiliki kedudukan seperti kalian karena mereka dapat terjun beraktivitas di tengah masyarakat, baik di medan perang, menekuni bidang kedokteran dan pendidikan, maka terimalah hal itu karena boleh jadi, ada hikmah dan kebaikan yang banyak yang tidak kalian ketahui di balik itu semua.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang telah Allah tegaskan berkenaan dengan kewajiban berperang di jalan-Nya. Allah Swt berfirman, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu" (QS Al-Baqarah:216).

Penjelasan ayat ini tampak serupa dengan penjelasan yang berkaitan dengan keturutsertaan perempuan di tengah masyarakat, Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Patut di sini berarti diakui secara resmi.

Sesuatu yang diakui oleh akal dan Tuhan secara resmi adalah sesuatu yang patut. Sebaliknya, sesuatu yang tidak diakui oleh akal dan Tuhan secara resmi adalah perkara yang mungkar.

366 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 366

AYATULLAH JAWADI AMULI Alquran mengatakan bahwa keikutsertaan perempuan dan pe- kerjaannya diakui oleh akal dan syariat secara resmi. Artinya, dia diakui secara resmi oleh wahyu dan akal. Syariat tidak menyingkirkan perempuan dan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk.

Tentu, kepemimpinan pria dalam rumah tangga adalah masalah lain. Ini tidak dapat diterapkan ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas. Tidak boleh dikatakan bahwa cabang ilmu tertentu hanya dapat diserahkan kepada pria, dan perempuan tidak pantas menekuninya. Atau bahwa perempuan tidak mampu memperdalam ilmu-ilmu kemanusiaan, penelitian dan lain-lain.

Allah Swt kemudian berfirman, bila kamu tidak menyukai mereka.

Artinya, jika kalian tidak senang apabila perempuan dapat turut serta dalam kehidupan bermasyarakat dengan cara yang benar dan baik, maka ketahuilah bahwa ketidaksukaan kalian itu tidak benar, Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Firman-Nya, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak, memberikan sebuah pesan implisit tentang adanya sesuatu yang mengandung kebaikan yang sangat banyak, yang lebih penting daripada jihad, sebab jihad dan pertahanan sifatnya sementara, sementara keturutsertaan perempuan di tengah masyarakat adalah bersifat langgeng dan selamanya. Selain itu, kehidupan sosial perempuan juga dapat memberi dampak positif yang sangat besar terhadap kelangsungan aktivitas jihad dan pertahanan.

Perasaan Perempuan dalam Masyarakat Barat dan Islam

Dalam Islam, tidak boleh ada pengkhususan tugas-tugas prak- tis bagi kalangan tertentu. Memang terdapat beberapa tugas yang telah ditentukan untuk kaum pria, misalnya tugas memimpin masyarakat, jabatan di pengadilan dan kemiliteran, karena kelembutan perasaan yang berlebihan dan kesucian perempuan, tidak dapat mengoptimalkan aktivitas mereka di bidang-bidang tersebut.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 367

p: 367

Keindahan dan Keagungan Perempuan Namun sayangnya, banyak pria yang mengalami kesulitan ketika memegang jabatan-jabatan tersebut karena mereka tidak memperlakukan perempuan secara baik dalam kehidupan masyarakat. Mereka tidak memanfaatkan perasaan dan kelembutan hati para perempuan. Mereka justru memberikan kebebasan pada mereka sehingga para perempuan itu lebih dominan mengumbar“ naluri hewani" mereka, dan mengabaikan hati nurani mereka. Padahal, Islam telah memberi perempuan kebebasan dan mengarahkan masyarakat agar selalu menjadikan hati nurani dan kelembutan perasaan mereka sebagai fondasi utama mereka, agar setiap individu dapat membangun masyarakat yang berperasaan dan menyuburkan kasih sayang pada setiap anggota masyarakatnya.

Namun, apa yang kita saksikan dan rasakan adalah akibat dari ketiadaan kasih sayang di tengah masyarakat sehingga ratusan nyawa orang tak berdosa dapat direnggut dengan sangat mudah. Berbagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan setiap saat kita saksikan di tengah masyarakat yang mengaku sebagai para pendukung “kebebasan perempuan". Mereka memperlakukan perempuan layaknya sebuah “barang' yang dapat mereka manfaatkan sesuka mereka". Artinya, masyarakat berusaha membuat perempuan lebih dikuasai oleh naluri dan nafsu hewani mereka, bahwa mereka tidak memanfaatkan potensi perempuan berupa seni, kemuliaan, belas kasih, kelembutan dan keindahan yang telah Allah tanamkan pada diri mereka. Mereka berusaha menguasai naluri perempuan, sementara ruh dan fitrah kesucian perempuan tidak dimanfaatkan sedikit pun oleh masyarakat yang materialis itu. Oleh karena itu, dunia modern telah memperkenalkan perempuan sebagai penyebab timbulnya berbagai macam perilaku amoral di tengah masyarakat. Sebaliknya, Islam menerjunkan perempuan di tengah masyarakat sambil berusaha memberi porsi lebih besar pada potensi belas kasih, perasaan, dan kelembutan mereka agar dapat memajukan masyarakatnya.

> Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 368

AYATULLAH JAWADI AMULI Riwayat yang mengatakan bahwa perempuan adalah “kala- jengking(1)" telah terbukti dengan lahirnya fenomena kebejatan moral yang menimpa dunia Barat. Adapun riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib kepada putranya, “Bahwa perempuan adalah sebuah tanaman yang ber- bau harum, bukan pagar isi ruma(2)", adalah manifestasi kemuliaan sosok perempuan yang dapat memajukan masyarakat Islam.

Oleh karena itu, kekerasaan dalam peperangan sesama kaum non- Muslim tidak ditemukan dalam peperangan Islam. Di dalam Islam, tidak ada kekejaman seperti yang dilakukan oleh orang-orang non-Muslim.

Meskipun Islam telah memerintahkan kaum perempuan untuk menggunakan hijab, tetapi perasaan, belas kasih, dan kelembutan perempuan tetap berperan sebagai faktor penggerak utama pendidikan masyarakat. Islam menampilkan perempuan di tengah masyarakat dengan berbekal hijab dan kemuliaan agar dia dapat menjadi seorang guru kasih sayang, kelembutan, kejernihan dan kesetiaan.

Dunia modern telah merampas hijab dari perempuan, mereka di- perlakukan sebagai sebuah sarana pemuas nafsu syahwat. Ketika itulah perempuan bukan lagi seorang guru kasih sayang. Perintahnya adalah nafsu, bukan kasih sayang. Oleh karena itu, dapat dilihat di dunia Barat bahwa perasaan kasih sayang sangat sedikit pengaruhnya sehingga yang muncul adalah kekerasan. Masyarakat dan negara-negara lemah tidak berhak untuk hidup. Negara yang paling maju tidak menjamin kesejahteraan atau bahkan keamanan negara-negara yang berada di sekitarnya. Rahasia di balik itu semua adalah bahwa perempuan mereka kurang atau tidak berperasaan dan berbelas kasih. Syahwat hanya akan membawa kepada kebutaan dan ketulian.

Sungguh, perempuan yang berhijab akan memerintah dengan belas kasih dan perasaan. Dia akan menjaga bangunan masyarakat agar tersusun rapi, dan mengubahnya menjadi sebuah “istana megah”.

Bangunan sebuah istana yang megah tidak mungkin hanya mengandalkan besi dan batu yang keras, tetapi juga harus menggunakan bahan-bahan lunak sebagai perekat sehingga menyatu antara batu-batu keras dengan

p: 369


1- Nahj al-Balaghah, Faidh al-Islam, al-Kalimat al-Qishâr, 58.
2- Nahj al-Balâghah, risalah 31.

Keindahan dan Keagungan Perempuan besi yang kuat. Perempuan adalah gambaran dari perasaan dan belas kasih. Jika perasaan tersebut ditiadakan dari “bangunan" masyarakat, maka seakan-akan unsur pelembut dari dinding-dindingnya telah terkorek. Akibatnya, istana megah tersebut akan runtuh.

Oleh karena itu, meski Islam membolehkan perempuan terjun ke tengah masyarakat, tetapi melengkapinya dengan hijab sebagai pe- lindung naluri. Artinya, perempuan datang untuk memberikan pelajaran tentang belas kasih, perasaan dan kesucian, bukan pelajaran tentang nafsu syahwat. Apa yang terlihat sekarang berupa upaya dunia Barat yang telah mengumbar nafsu dan syahwat, karena mereka ingin mencabut “bahan lunak" dan "unsur perekat" yang lembut itu dari tempatnya yang layak sehingga dapat melemahkan bangunan masyarakat manusia yang kokoh dan tersusun rapi.

Islam senantiasa berupaya agar bangunan masyarakat tetap ko- koh melalui upayanya memelihara hijab dan kasih sayang sebagai bahan perekat bangunan tersebut.

Perempuan dalam Budaya Barat

Rahasia rendahnya budaya dunia Barat adalah pengetahuan mereka tentang manusia sama dengan pandangan mereka tentang alam semesta. Dengan kata lain, pengertian manusia menurut mereka adalah cabang dari pandangan dunia mereka. Mereka melihat dunia dengan kacamata fisik. Mereka tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang metafisika. Oleh karena itu, mereka menganggap manusia terbatas dalam batasan fisik. Mereka mengetahui jasad saja, dan bukan manusia.

Pandangan dunia mereka bercirikan sebuah keyakinan salah, yang digambarkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya, “Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.'" (QS Al-Jatsiyah:24).

370 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 370

AYATULLAH JAWADI AMULT Mereka berpendapat bahwa fisik manusia merupakan hakikat kemanusiaannya. Karena itu, mereka melihat bahwa jasad manusia terdiri dari dua bentuk: pria dan perempuan. Mereka menyangka bahwa perempuan dan pria berbeda, sebagaimana fisiknya juga berbeda.

Orang yang pengetahuannya tentang manusia didasari oleh pandangan dunia yang bersifat materi, sama sekali tidak akan dapat “berjalan" vertikal. Dia tidak akan dapat meyakini adanya awal dan akhir perjalanan kehidupan manusia. Dia selalu "berjalan" horizontal, sebagaimana pengetahuannya tentang bintang, laut, tumbuh- tumbuhan, binatang, tanah, tambang dan aneka benda materi lain- nya.

Begitu pula pengetahuannya tentang manusia, dia tidak meng- anggap manusia memiliki kedudukan yang lebih baik daripada benda- benda alam semesta lainnya.

Manusia materialis tidak meyakini masalah-masalah seperti malaikat dan wahyu. Dia tidak mengetahui bahwa perempuan, misalnya, dapat berbicara dengan malaikat dan mendengar perkataan mereka serta memperoleh kabar gembira dari mereka. Dia tidak mengetahui bahwa malaikat berbicara dengan seorang perempuan suci bukan karena keanggotaannya dalam keluarga terhormat saja, tetapi karena perempuan itu sendiri adalah sumber kemuliaan. Malaikat berkata kepada ibunda Ishaq a.s, "Para malaikat berkata, “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai Ahlul Bait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.'" (QS Hûd:73).

Dari sini, jelaslah bahwa pandangan kaum materialis terhadap manusia sama dengan pandangan mereka tentang tumbuh-tumbuhan.

Pengetahuan dangkal mereka tergambar dalam sekian banyak pertanyaan yang mereka kemukakan, seperti mengapa diyat perempuan dan pria berbeda? Mengapa bagian warisan perempuan dalam beberapa Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 371

p: 371

Keindahan dan Keagungan Perempuan kondisi lebih sedikit daripada bagian pria? Dan pertanyaan- pertanyaan lainnya.

Meskipun pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak berdasar sejalan dengan semakin terungkapnya hakikat tolok ukur nilai yang dapat pembaca temukan ketika membaca buku ini, tetapi insya, Allah kami tetap akan menjawabnya dalam pembahasan mendatang.

Kesimpulan

Mereka yang melancarkan berbagai kritikan terhadap Islam didasari oleh kedangkalan pengetahuan mereka terhadap kaidah-kaidah dasar Islam, sedangkan seorang manusia Mukmin akan melihat alam ini dengan kacamata Tuhan. Dia akan menganggap keutamaan, kekurangan dan keburukan sebagai sesuatu yang relatif. Jika dia melihat keburukan di dunia ini, maka dia tidak akan menisbahkannya kepada Allah Swt karena dia percaya bahwa kebermulaan alam adalah murni kebaikan. Dia menyaksikan sistem alam dengan yang terbaik.

Jika sang Mukmin tersebut menyaksikan adanya keunggulan atau keutamaan manusia atas manusia lainnya, maka dia melihat hal itu sewajarnya, dengan tetap meyakini bahwa tidak ada keistimewaan antara pria dengan perempuan.

Ucapan-ucapan Imam Ali a.s yang berbunyi, “Perempuan adalah bunga yang berbau harum, bukan pagar isi rumah", "Perempuan kalian bagaikan sebuah mainan, barang siapa memilikinya, jangan menyia- nyiakannya" dipahami oleh hamba Mukmin secara positif. Ucapan beliau yang pertama menunjukkan larangan bagi orang “asing" untuk “menyentuh bunga mawar" tersebut agar tidak layu. Sementara pernyataan beliau bahwa perempuan adalah mainan yang tidak boleh disia-siakan dipahami sebagai sebuah gambaran pentingnya sosok perempuan di tengah masyarakat. Mainan artinya 'bunga yang berbau harum. Artinya, "air mawar" dan "bau harum" yang ada di dalamnya tidak boleh disia-siakan.

Kehidupan tidaklah seluruhnya keras sehingga selamanya diperlukan kekerasan, tetapi juga membutuhkan kelembutan.

< 372 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 372

AYATULLAH JAWADI AMULT Apakah mawar atau besi yang lebih mulia? Mawar memiliki keutamaan, begitu pula dengan besi, ia juga memiliki banyak keutamaan.

Besi menangani pekerjaan-pekerjaan keras sementara mawar menangani pekerjaan-pekerjaan lembut dan indah. Ada tempat yang hanya layak untuk besi, begitu pula ada tempat yang hanya disediakan bagi mawar.

Jika pandangan Islam dan Alquran tentang perempuan telah jelas, maka seluruh pertanyaan dan hal-hal yang masih disangsikan akan hilang.

Tolok ukur kesempurnaan tidak dapat disamakan dengan keten- tuan tugas-tugas teknis keduniaan. Boleh jadi, seseorang tidak memiliki jabatan dan tugas di tengah masyarakatnya, tetapi dia termasuk kelompok hamba-hamba terdekat Allah, yaitu orang-orang yang memiiliki kedudukan penting tidak akan sampai pada maqam kedekatan seperti yang dimilikinya. Sementara, mereka yang tidak mengetahui prinsip Islam menempatkan jabatan dan tugas keduniaan sebagai hal penting. Mereka mempertanyakan alasan tidak diperbolehkannya perempuan menempati kedudukan ini dan itu.

Mengapa Perempuan Tidak Dapat Memegang Banyak Jabatan Keduniaan?

Jawaban Pertama

Berkenaan dengan jawaban pertama atas pertanyaan ini, perlu kami kemukakan dua permasalahan pokok berikut ini:

Pertama, pada prinsipnya, Islam membolehkan perempuan terjun mengemban tugas-tugas kemasyarakatan, misalnya marja' taqlîd perempuan untuk kaum perempuan dan kepemimpinan perempuan untuk kaum perempuan. Perempuan bukan saja boleh melakukan tugas- tugas yang menyangkut komunitas perempuan, tetapi sangat diperlukan.

Pria tidak boleh turut serta dalam pelaksanaan tugas tersebut, kecuali jika dalam keadaan darurat.

Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas keduniaan bukanlah sebuah kedudukan. Jika itu merupakan kedudukan, tetapi Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 373

p: 373

Keindahan dan Keagungan Perempuan sebuah kesempurnaan, maka mengapa hal itu dijauhi oleh para ulama besar.

Pembaca yang mengenal sejarah kehidupan para ulama pasti mengetahui bahwa banyak para fuqaha yang menerima tugas sebagai marja' taqlîd dengan berat hati. Siang malam dengan penuh kesungguhan mereka mencurahkan segenap tenaga mereka untuk mempelajari fikih dan meraih maqam mujtahid, tetapi pada saat yang sama, mereka berjuang agar tidak menjadi marja'. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan dan jabatan adalah dua hal yang berbeda. Jika seseorang menjadi marja', maka dia harus dibantu dan didukung sambil meminta pertolongan dari Allah Swt agar dia dapat menjalankan tugas tersebut dengan baik. Namun hal itu bukanlah faktor kemuliaan seseorang. Oleh karena itu, para ulama ‘irfân harus melewati dua jenis jihad, yaitu jihad demi meraih maqam ijtihad dan kefakihan serta jihad agar tidak menjadi marja'.

Seandainya tugas semacam itu hukumnya wajib atau sunah ta'abbudî, maka tentu manusia harus berusaha memperolehnya dan para ulama besar, seperti Syaikh al-Anshårî tentu telah berusaha untuk sampai pada maqam tersebut. Sementara telah kita lihat bahwa mereka berusaha agar tidak menjadi sebagai marja'. Rahasianya, hal tersebut hanyalah tugas, bukan kedudukan.

Tentu ijtihad, kefakihan, pewarisan ilmu para nabi, pemahaman Alquran dan Sunah adalah sebuah kedudukan mulia. Berusaha menjauh dan lari dari harta dan bergerak menuju kefakihan merupakan dua jenis perbuatan yang berbeda, yang pertama adalah bentuk tabarrî dan yang kedua tawallī. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kefakihan dan maqam marja' taqlîd adalah di antara tugas-tugas yang wajib diemban oleh para ulama, demi menjaga kelestarian sistem marja'iyyah serta hauzah. Semoga Allah mendukung mereka. Namun, hal itu bukanlah sebuah faktor kemuliaan sehingga, misalnya, seorang marja' memperoleh sepuluh derajat di surga, dan fakih yang tidak menjadi marja' hanya memperoleh delapan kedudukan. Tentu, orang yang lebih tahu, derajatnya lebih tinggi. Orang yang 374 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 374

AYATULLAH JAWADI AMULT telah menjadi lebih dekat dengan Allah, lebih fakih dan lebih bertakwa, kedudukannya lebih tinggi.

Surga yang telah Allah Swt persiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh bertingkat-tingkat. Jumlahnya sebanyak ayat-ayat Alquran. Artinya apabila surga dari tingkatan yang terendah hingga tingkatannya yang tertinggi, kita gambarkan dalam bentuk sebuah buku, maka ia adalah Alquran. Ketika Alquran digambarkan dalam bentuk yang lebih besar dari sistem alam semesta, maka ia adalah surga. Tingkatan-tingkatan surga yang rendah adalah seperti dikatakan oleh Alquran, “Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya" (QS Al-Baqarah:25).

Tingkatan surga menengah adalah sebagaimana dijelaskan oleh Alquran, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman- taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi dan di sisi Tuhan Yang Berkuasa" (QS Al-Qamar:54-55).

Dalam ayat lain, diterangkan arti tingkatan-tingkatan surga.

Allah Swt berfirman, "Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS Al-Fajr:29-30).

Dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki pemahaman dan pengamalan Alquran lebih baik dan banyak memiliki bagian sesuai dengan tingkat pemahamannya, akidah dan keimanannya. Oleh karena itu, disebutkan pula bahwa tingkatan surga ada dua: lahir dan batin, sesuai dengan jumlah ayat Alquran.

Tingkatan surga tidak diberikan berdasarkan banyaknya tugas keduniaan yang dikerjakan setiap hamba. Karenanya, tidak dapat disimpulkan bahwa bagian perempuan di surga sedikit. Perolehan surga di akhirat nanti ditentukan oleh keyakinan hamba dan nilai-nilai Ilahi yang diserapnya. Maka orang yang lebih berpengetahuan akan memiliki kemuliaan yang lebih besar dan kedudukan yang lebih tinggi di sana.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 375

p: 375

Keindahan dan Keagungan Perempuan Siapa yang lebih fakih atau lebih bertakwa, dia akan memiliki kemuliaan seperti itu juga.

Jawaban Kedua

Kita dapat mengemukakan jawaban lain sehubungan dengan permasalahan di atas, mengingat bahwa jawaban pertama tidak dapat diterima oleh seluruh kalangan. Jawaban kedua ini sebagai berikut:

Pertama, tidak sedikit tugas-tugas keduniaan yang dapat dilakukan oleh perempuan. Adapun kaitannya dengan jabatan pemerintahan, itu adalah hal lain. Apabila terdapat tugas-tugas keduniaan yang khusus berlaku di kalangan perempuan saja, maka jabatan imam atau pemimpin dan marja' taqlid, sekalipun bukan saja tidak terlarang, tetapi lebih baik dari kalangan perempuan itu sendiri yang menjabat tugas-tugas tersebut.

Sebagaimana jika perempuan telah sampai pada derajat fakih, statusnya tersebut membuka peluang baginya untuk terlibat secara langsung dalam menjabat tugas-tugas yang bersifat konsultasi hukum Islam, baik melalui keanggotaannya di Dewan Pemeliharaan Undang- Undang maupun di Majelis Permusyawaratan.

Sangat mungkin seorang perempuan sampai ke tingkatan seperti pengarang buku al-Jawahir dan Syaikh al- Anshârî. Namun sekali lagi, perempuan tidak dapat menjadi seorang marja' taqlîd, meski boleh jadi, murid-muridnya telah menjadi marja' taqlîd. Ini adalah bukti bahwa perempuan tidak memiliki kekurangan.

Hal lain yang perlu dikemukakan sehubungan dengan jawaban kedua ini adalah kita harus katakan kepada mereka yang mempercayai ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib a.s bahwa beliau menganggap jabatan- jabatan keduniaan sebagai tugas semata. Beliau menyebutkan bahwa jabatan tersebut merupakan amanat yang ada di tangan kita. Orang yang diserahi amanat tidak menjadi pemilik sesuatu yang diamanatkan itu.

Perbedaan antara maqam dan jabatan adalah bahwa maqam-maqam spiritual adalah milik manusia dan hasil prestasinya, sedangkan jabatan 376 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 376

AYATULLAH JAWADI AMULT adalah amanat yang dipercayakan kepadanya. Amanat bukan sesuatu yang dapat dibanggakan, tetapi miliknyalah yang dapat dibanggakan.

Kita dapat mengilustrasikan permasalahan ini sebagai berikut: sebuah permadani yang dititipkan kepada seseorang adalah amanat untuknya, dan dia bertugas menjaganya dan tidak berhak untuk menggunakannya.

Jika permadani tersebut bernilai, maka nilai itu adalah milik pemilik permadani, bukan milik orang yang diamanati. Namun, terkadang orang yang diamanati permadani itu diizinkan untuk menggunakannya.

Ilustrasi di atas adalah berkenaan dengan hal-hal lahir. Adapun masalah-masalah spiritual yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, itu berhubungan dengan manusia. Artinya, maqam-maqam spiritual adalah sesuatu yang menghiasi jiwa manusia sekaligus miliknya. Namun, jabatan keduniaan adalah tugas dan amanat, bukan faktor kemuliaan.

Oleh karena itu, Imam Ali bin Abi Thalib a.s menulis sebuah surat kepada salah seorang pegawainya yang isinya berbunyi, “Sesungguhnya jabatan yang engkau pegang sekarang adalah amanat di tanganmu, dan ia bukan sesuatu yang patut dibanggakan." Jelaslah secara sempurna bahwa jabatan dan tugas keduniaan adalah amanat Ilahi. Jabatan marja' taqlîd adalah amanat, dan kefakihan adalah milik dan prestasi yang bersangkutan. Jabatan menteri adalah amanat dan ketakwaan adalah milik. Dalam setiap hal yang berkaitan dengan jiwa dan kesempurnaannya, pria dan perempuan sama.

Seandainya terdapat beberapa perguruan tinggi yang khusus bagi perempuan, yang paling tepat untuk mengurusi tanggung jawab pelaksanaannya adalah perempuan juga, kecuali jika perempuan tidak memiliki kelayakan atau kemampuan untuk menanganinya. Artinya, harus ada perempuan-perempuan yang mengurusi tugas-tugas akademis bagi sebuah perguruan tinggi perempuan agar orang yang bukan muhrim tidak mengurusi hal-hal tersebut. Keterlibatan perempuan dalam jabatan-jabatan ini tidak berkaitan dengan tugas kepemimpinan Islam secara menyeluruh. Waliyyul Amri tentu harus pria karena pemerintahan adalah penyempurnaan imâmah. Seorang wali faqih adalah Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi ersi 377

p: 377

Keindahan dan Keagungan Perempuan orang yang, antara lain, menetapkan kebijakan berperang atau damai, bertemu dengan seluruh lapisan masyarakat, di samping memiliki tugas fisik yang berat yang membutuhkan upaya lebih banyak. Salah satu hal yang dibutuhkan dalam memegang jabatan ini adalah kejantanan.

Oleh karena itu, ada tugas-tugas tertentu yang khusus boleh dilakukan perempuan saja yang pria tidak berhak untuk turut campur karena di situ dituntut adanya kelembutan perasaan, misalnya.

Boleh jadi ada yang mengatakan bahwa seorang wali faqih atau pemimpin umat Islam, meskipun pria, pada akhirnya harus bersinggungan dengan komunitas perempuan karena dia adalah pemimpin umat Islam.

Jawaban terhadap masalah tersebut sangat jelas. Jika pria menjadi pemimpin umat Islam, maka dia memiliki ikatan dengan berbagai kalangan masyarakat. Perempuan boleh saja berinteraksi dengan pemimpin umat Islam atau hakim atau panglima perang pria. Interaksinya ini bukan merupakan (hal yang layak menjadi) pekerjaan hariannya. Namun, apabila perempuan memegang sebuah jabatan penting di pemerintahan, maka pekerjaan hariannya adalah berurusan dengan ratusan pria, dia menerima keluhan, mengadakan pertemuan dan lain-lain. Tentu, hal ini akan terasa lebih mudah jika pria yang menanganinya. Lain halnya jika perempuan yang terjun memegang jabatan dan tugas berat tersebut.

Oleh karena itu, perlu ada pembagian tugas.

Perbedaan Antara Pria dan Perempuan dalam Masalah Tugas

Boleh jadi, timbul pertanyaan, jika dalam masalah kesempurnaan tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan mengapa kita melihat dalam beberapa masalah fikih disyaratkan beberapa hal, antara lain, berkaitan dengan jenis kelamin pria sehingga seorang marja' taqlîd harus seorang pria? Lalu mengapa perempuan tidak dapat mendapat tugas penting tersebut? Jawaban terhadap masalah ini adalah bahwa kesempuranaan manusia sumbernya adalah kesempurnan jiwa. Manusia juga memiliki hubungan kedekatan dengan Allah, dan kesempurnaan ibadahnya sangat 378 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 378

AYATULLAH JAWADI AMULT menentukan kualitas kedekatannya dengan-Nya. Selain itu, pengetahuan tentang sains adalah kunci bagi sejauh mana hubungan manusia dengan alam semesta ini. Manusia juga memiliki ikatan dengan masyarakat, dan itu ditentukan oleh kecerdasan sosialnya.

Dalam kesempurnaan-kesempurnaan tersebut, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Setiap orang bertugas membuat dirinya mulia sehingga menjadi terdidik dan rendah hati. Dia berkewajiban melakukan pembersihan jiwa sehingga dapat bebas dari sifat sombong, iri, dengki, dan akhirnya, menjadi orang yang bermental kuat, lapang dada dan lain- lain.

Manusia bertugas menguatkan hubungan ibadahnya dengan Allah Swt. Meski ibadah salat merupakan persembahan setiap orang yang bertakwa, tetapi puasa, jihad, dan zakat juga merupakan persembahan setiap orang yang bertakwa. Dalam hal ibadah, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Kemuliaan ikatan antara hamba dan Sang Pencipta tidak berbeda antara pria dan perempuan. Namun, berkenaan dengan hubungan antar sesama individu dan masyarakat, pria memiliki ikatan dengan sesama pria dan perempuan memiliki ikatan sesama perempuan.

Di sini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Masing-masing dari interaksi sosial sesama hamba dan interaksi khusus dengan Allah Swt memiliki bentuk dan tatacara tersendiri.

Marja' adalah jabatan fakih yang dipegangnya ketika di dunia. Jabatan ini didasari oleh kefakihan dan maqam ijtihadnya. Dalam kefakihan dan ijtihad, gender tidak menjadi syarat. Begitu pula berkenaan dengan ‘keadilan' seorang fakih. Boleh jadi, seorang perempuan fakih dan ‘adil' dapat berhasil meluluskan murid-muridnya yang akan menjadi calon marja' taqlîd. Akan tetapi, perempuan sekelas guru para marja' sekalipun, tidak dapat memegang jabatan marja'.

Tidak jelas apakah perempuan boleh menjadi marja' taqlîd bagi kaum perempuan, sebagaimana dia dapat mengimami salat berjamaah bersama sesama perempuan. Yang ditekankan hanyalah keterhalangan perempuan untuk memegang tugas-tugas keseharian yang melibatkan Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 379

p: 379

Keindahan dan Keagungan Perempuan kehadiran orang yang bukan muhrim bersamanya. Jika tidak karena itu, maka perempuan dapat menulis setingkat dengan pengarang kitab al- Jawahir.

Perempuan dan Pengadilan

Masalah peradilan sama dengan maqam ijtihad. Peradilan me- nuntut adanya penjatuhan sanksi hukum sebagaimana firman Allah Swt, "Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya" (QS Al-Ma'idah:38) atau firman-Nya, “Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera" (QS Al-Nûr:2).

Oleh karena itu, dikatakan bahwa perempuan dapat menjadi fakih dan mencetak para hakim pemutus perkara, atau qâdhî. Namun, perempuan tidak dapat mengurusi bidang peradilan karena hal itu merupakan tugas teknis. Perempuan dapat melakukan istinbath hukum dari seluruh per- masalahan hukum Islam, bahkan melahirkan kader yang akan menjadi calon hakim. Perempuan dapat menjadi seperti pengarang kitab Al-Jawâhir dalam kualitas ijtihadnya dan melahirkan marja' taqlîd atau hakim. Dia dapat mengajar seluruh mahasiswa di fakultas hukum, tetapi dia tidak dapat menjadi marja' taqlîd ataupun hakim.

Penyelesaian terhadap Masalah yang Meragukan

Pertanyaannya sekarang, apakah mengajar kaum pria adalah tugas teknis? Jika perempuan tidak dapat menjadi seperti pria, mengapa dia dapat mencetak seorang hakim, mujtahid atau marja' taqlîd? Selanjutnya pengajaran yang dilakukan perempuan bisa berarti wajib atau tidak, wajib karena untuk menegaskan kewajiban mengajar fikih bagi perempuan adalah hal yang sulit, dan tidak wajib karena, antara lain, pria yang mendengar suara perempuan adalah makruh. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat sampai kepada kesempurnaan manusianya melalui mengajar karena terhalang oleh kekurangan dan kelemahan.

Jawaban atas masalah ini sebagai berikut:

< 380 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 380

AYATULLAH JAWADI A MULT Pertama, aktivitas mengajar bukanlah tugas teknis keseharian, karena mengajar tidak harus berhubungan dengan berbagai kalangan.

Tidak ada sesuatu yang membahayakan perempuan dalam aktivitas keilmuan tersebut.

Kedua, jika perempuan dapat sampai ke maqam fakih dan terbukti ada beberapa masalah yang hanya dia saja yang menguasainya dan pria tidak tahu, maka mengajar adalah tugas yang merupakan wajib 'ain baginya.

Jika terdapat pria dan perempuan yang memiliki pengetahuan yang sama dalam beberapa masalah fikih, maka mengajar hukumnya wajib kifâyah. Untuk membuktikan kewajiban perempuan mengajar orang- orang bodoh, bukanlah hal yang sulit, tetapi pengajaran tersebut memiliki beberapa bentuk dan metode, antara lain, dengan menulis, pengajaran melalui kaset atau terkadang mengajar secara langsung, baik dengan atau tanpa tabir.

Jika seorang perempuan telah sampai ke maqam keilmuan di mana dia dapat mengajar di perguruan tinggi dan pusat-pusat ilmu pengetahuan, dan dia tergolong ke dalam kelompok perempuan-perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung, maka tentu hukum mengenakan hijab baginya tidak terlalu ketat, dengan catatan dia “Tidak bermaksud untuk menampakkan perhiasan mereka" (QS Al-Nûr:60). Apalagi dengan suara. Suara perempuan, di satu sisi, bukanlah aurat dan suara hukumnya tidak seperti muka, meski hijab adalah lebih baik bagi para perempuan tua itu.

Jika perempuan belum sampai pada batasan perempuan tua yang telah terhenti dari haid dan mengandung, maka pengajarannya bisa merupakan wajib 'ain atau wajib kifâyah. Jika mendengar suara perempuan adalah makruh bagi pria, tetapi kemakruhan tersebut sangatlah jauh, kecuali dengan dalil khusus karena hukum-hukum tersebut tidak serasi antara sebagiannya dengan sebagian yang lain. Misalnya, ketika dikatakan bahwa menutupi kadar tertentu muka dan tangan bukanlah hal yang wajib bagi perempuan. Namun masalahnya, dapatkah itu terlihat oleh pria? Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 381

p: 381

Keindahan dan Keagungan Perempuan Oleh karena itu, hukum dalam permasalahan ini terpisah. Jika benar bahwa mendengar suara perempuan itu makruh, maka setidaknya kemakruhan tersebut dalam bentuk suatu amal yang pahalanya “paling sedikit".

Atas dasar ini, ada orang yang "menanggung" kemakruhan tersebut dan mengajar demi memperoleh ridha Allah, baik melalui buku maupun kaset, dan jika tidak memungkinkan, bisa di balik hijab atau dengan cara tatap muka. Itu semua tidak makruh. Kalaupun makruh, maka makruh itu seperti hukum makruh dalam hal ibadah.

Kita ambil contoh khutbah Fathimah al-Zahra a.s yang berkaitan dengan masalah pengajaran. Bukan merupakan kewajiban bagi Fathimah al-Zahra a.s untuk menyampaikan khutbah tauhid yang terperinci guna mengembalikan tanah Fadak dan kekhalifahan suaminya. Orang yang menghafal khutbah itu sangat sedikit. Di antara para perawi yang hafal khutbah tersebut adalah putrinya, Zainab a.s. Perempuan kecil itu menghapal sekaligus memahami khutbah tersebut lalu meriwayatkannya.

Lalu apa perlunya membacakan khutbah tauhid yang bermakna tinggi itu di hadapan banyak orang? Hal itu dilakukannya dalam rangka mengajar, mendidik, terjun ke tengah masyarakat dan melakukan debat politik guna mengembalikan tanah Fadak dan kekhilafahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s.

Perbandingan Khotbah Imam Ali a.s dan Khotbah Fathimah al-Zahra a.s

Ahlul Bait Rasulullah Saw yang suci tidak terpisah dari Alquran dalam tahapan segala keilmuan. Mereka adalah Alquran yang dapat berbicara, artinya tidak ada satu masalah pun dalam Alquran kecuali mereka mengetahuinya. Mereka juga memiliki seluruh kesempurnaan. Jika tidak demikian, maka itu dapat mengakibatkan lahirnya teori keterpisahan antara Ahlul Bait dan Alquran. Oleh karena itu, setiap gambaran yang terdapat dalam Alquran juga ada dalam Ahlul Bait suci. Ayat-ayat Alquran tidak seluruhnya berada dalam satu tingkatan. Meskipun seluruh surah < 382 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 382

AYATULLAH JAWADI AMULT merupakan mukjizat, tetapi kemukjizatan Alquran juga memiliki beberapa tahapan. Contohnya, mikraj Rasulullah Saw adalah sebuah mukjizat.

Namun, mikraj beliau memiliki beberapa tingkatan. Dalam beberapa tingkatan, para malaikat, khususnya Jibril, menemani Nabi Saw dan tingkatan-tingkatan lainnya. Ketika Rasulullah Saw sampai pada “lautan cahaya", para malaikat “bernaung di tepian", sementara Rasululah Saw melintasi “lautan cahaya" tersebut. Allah Swt berfirman, “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)" (QS Al-Najm:8-9).

Seluruh isi Alquran adalah mukjizat sebagaimana mikraj Rasulullah Saw. Namun, surah al-Lahab, tabbat yadâ abî lahabin wa tabb (binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa...'), tentu kandungan dan kualitas kefasihannya tidak seperti kandungan surah al-Ikhlâsh, qul huwallâhu ahad (kata- kanlah, “Dia-lah Allah Maha Esa...?). Demikian pula, banyak sekali ayat Alquran yang tidak dapat mengungguli kandungan serta makna firman Allah Swt dalam surah Ali `Imrân ayat 18, "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu).

Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS Âli `Imrân:18).

Oleh karena itu, hadis dari Rasulullah Saw dan Ahlul Bait a.s me- nekankan perlunya kita membaca surah al-Ikhlâsh dan ayat 18 surah Âli 'Imrân di atas setiap selesai melaksanakan salat.

Meskipun ayat-ayat Alquran merupakan mukjizat, semuanya tidak setingkat, begitu pula Nahj al-Balâghah. Karenanya ada yang mengatakan bahwa ucapan Imam Ali bin Abi Thalib a.s dalam Nahj al-Balâghah memiliki kandungan makna yang sangat dalam serta kualitas kefasihan tingkat Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 383

p: 383

Keindahan dan Keagungan Perempuan tinggi, mengungguli keindahan bahasa seluruh makhluk, dan tentunya di bawah keindahan firman Tuhan.

Khutbah-khutbah dan ucapan-ucapan singkat Imam Ali a.s, juga memiliki kualitas kefasihan yang beragam. Selain itu, kita juga melihat bahwa terdapat khutbah Imam yang isinya telah dikemukakan sebelumnya oleh Fathimah al-Zahra a.s.

Ketika Imam Ali bin Abi Thalib a.s menyiapkan bala tentaranya untuk menyerang musuh yang kedua kalinya, dalam peperangan Shiffin, beliau menyampaikan sebuah khutbah yang sangat indah dan sarat dengan makna-makna tauhid yang cukup dalam. Namun, kualitas makna dan kefasihan khutbah tersebut pun memiliki tingkat beragam.

Dari sini, seandainya kita mempelajari khutbah Fathimah al-Zahra a.s, kita akan melihat bahwa ungkapan yang tinggi tersebut juga ada dalam khutbah Imam Ali a.s. Fathimah al-Zahra a.s menyampaikan khutbah itu sekitar tiga puluh tahun sebelum Imam Ali a.s menyampaikan khutbahnya.

Imam menyampaikan khotbah tersebut pada peperangan Shiffin dan Nahrawân, tepatnya pada masa-masa terakhir pemerintahannya.

Demikian, jelaslah bahwa seandainya tidak ada Imam Ali bin Abi Thalib a.s, maka tiada suami dan pendamping yang se-kufu' (sebanding) dengan Fathimah al-Zahra a.s. 103

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertama, karena Fathimah al-Zahra a.s adalah sosok manusia maksum (terpelihara dari dosa) dan, kedua, kemaksum bersifat mutlak-baik kemaksuman nabi atau selain nabi — maka seluruh ucapan, sikap dan perilakunya dalam Islam merupakan sunah, dan sunah adalah hujah. Maka seluruh ucapan dan perilaku Fathimah al-Zahra as juga merupakan hujah.

Dalam kehujahan sunah ini, tidak ada perbedaan antara Fathimah al-Zahra a.s, Imam Ali bin Abi Thalib a.s, Imam Al-Hasan a.s, Imam Al- Husain a.s serta para imam maksum lainnya. Jika ucapan Imam Ali a.s

p: 384

AYATULLAH JAWADI AMULT dan para imam setelahnya merupakan hujah karena kemaksuman me- reka, maka kemaksuman dan kehujahan tersebut juga ada pada Fathimah al-Zahra a.s. Sunah dengan pengertiannya yang luas ini adalah salah satu sumber fikih Islam. Jika demikian, maka Fathimah al-Zahra a.s adalah salah satu sumber fikih Islam.

Oleh karena itu, sekali lagi kami tegaskan bahwa tampilnya perempuan di tengah masyarakat, dengan memperdengarkan suaranya yang oleh sebagian ulama dianggap makruh, maka setidaknya kemakruhan di sini dalam konteks “perolehan pahala paling rendah". Di samping itu, jika apa yang diperdengarkan oleh perempuan adalah materi-materi keislaman, dengan kata lain berstatus sebagai guru yang dikenal dengan ketulusan dan kesucian dirinya, maka para murid pun akan menghadiri pelajarannya dengan ketulusan yang sama. Suasana yang menyelimuti "guru" dan “para murid" saat itu dapat dipastikan kesucian dan “kemaksuman"-nya.

Perempuan dan Jihad

Perempuan, pada hakikatnya, dapat berperan penting dalam masalah jihad. Karena jihad bukan berarti semua orang harus berada di front terdepan dan memegang senjata. Penyusunan strategi perang, mengobati korban luka dan pengelolaan urusan logistik misalnya, adalah di antara tugas-tugas penting yang dapat melangsungkan aktivitas jihad ini. Jika demikian, tidak semua orang yang terjun di dalam peperangan mengangkat senjata.

Kita sering mendengar orang mengatakan bahwa berkenaan dengan tugas-tugas kemiliteran yang berat dan sulit, perempuan tidak boleh terlibat di dalamnya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak dapat memperoleh pahala jihad, atau agar perempuan tidak turut mempertahankan negara dari ancaman musuh.

Salah satu bentuk pertahanan negara adalah dengan meng- adakan latihan berperang. Tentu dalam latihan ini, para perempuan diharuskan terpisah dari kaum pria. Pria dan perempuan dapat sama- sama turut serta terjun dalam sebuah peperangan melawan musuh Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 385

p: 385

Keindahan dan Keagungan Perempuan dengan tetap menjaga kesatuan barisan dan harus berada di bawah komando seorang pemimpin. Perempuan dapat berjihad, baik di barisan depan maupun belakang. Dia memiliki kesiapan yang sama dengan pria dalam memikul amanat Ilahi ini, meski karenanya harus menanggung berbagai macam bencana dan kesulitan.

Pendapat yang mengatakan bahwa jihad bukan merupakan tugas perempuan, sebenarnya khusus menunjuk pada jihad ibtidâ .

Adapun jika perempuan telah menjadi seorang pemimpin sebuah batalyon dalam peperangan untuk mempertahankan negara dari serangan musuh, maka hal itu tidak hanya boleh, tetapi terkadang juga merupakan kewajiban. Itu karena mempertahankan negara tidak dikhususkan untuk pria saja, tetapi juga untuk perempuan. Dalam mempertahankan negara, perempuan dapat seperti pria yakni turut serta dalam seluruh medan perang atau bukan di medan perang.

Oleh karena itu, perempuan wajib turut serta mempelajari aktivitas kemiliteran sehingga dia dapat selalu siap siaga kapan pun kondisi menuntutnya terlibat dalam negara memintanya.

Perempuan dan Hijrah

Hijrah yang merupakan beban berat dalam perjuangan adalah suatu kewajiban bagi kaum pria dan perempuan. Hijrah selalu disebut berbarengan dengan jihad. Pada masa permulaan, Islam banyak orang berhijrah dari kalangan pria maupun perempuan. Hingga saat ini, hijrah tetap merupakan kewajiban mereka.

Dalam peristiwa hijrah ke Ethiopia dan Madinah, kaum perempuan dan pria turut serta di dalamnya secara bersamaan. Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan yang beriman yang berhijrah datang kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal 386 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 386

AYATULLAH JAWADI AMULI bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka" (QS Al-Mumtahanah:10).

Inilah hijrah yang mencakup pria dan perempuan. Karenanya, tidak semua pekerjaan mudah dikhususkan untuk perempuan dan tidak seluruh pekerjaan sulit hanya boleh dilakukan pria. Terkadang, mereka sejajar dan diperlakukan sama ketika agama menuntut keterlibatan dua kelompok ini dalam beberapa pekerjaan berat, seperti hijrah dan mempertahankan negara. Itu karena tugas dan perintah Allah Swt yang dibebankan kepada manusia disambut dan dilaksanakan oleh jiwa atau ruh manusia.

Maka dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Penentuan dalam Pelaksanaan Tugas dan Ibadah

Hal lain yang masih menjadi tanda-tanya besar dalam pikiran kebanyakan orang adalah bahwa pembagian tugas-tugas keduniaan dapat mencegah perempuan dari memperoleh berbagai maqam mulia.

Pandangan salah ini lahir dari ketidaktahuan akan konsep kemuliaan dalam Islam. Kemuliaan di dalam Islam berbeda dengan yang selama ini dipahami salah oleh berbagai kalangan.

Di dalam Islam terdapat konsep yang biasa kita kenal dengan istilah ta'abbud, yakni sikap kepatuhan murni terhadap seluruh ketentuan Tuhan. Inilah yang dapat membuat kita dekat kepada Allah Swt. Kita wajib beribadah kepada Allah, dan setiap orang yang lebih banyak ibadahnya, maka dia adalah orang yang paling dekat dengan-Nya. Namun ibadah dalam hal apa? Apakah kita beribadah sesuai dengan pemahaman pribadi kita tentang makna ibadah itu sendiri atau kita melakukannya sesuai dengan makna ibadah yang telah ditetapkan Allah? Jika seseorang ingin memperoleh kesempurnaan dan kemuliaan, tolok ukur kesempurnaan dan kemuliaan tersebut harus dibenarkan oleh wahyu Ilahi. Sementara wahyu Ilahi telah membagi-bagi tugas yang layak bagi setiap hamba. Karena itu, perempuan tidak dapat menyimpulkan keterhalangannya dari beberapa tugas yang dilakukan pria sebagai Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 387

p: 387

Keindahan dan Keagungan Perempuan pertanda hilangnya jalan menuju kemuliaan. Itu karena, bagi setiap tugas yang dibebankan Allah kepada hamba-hamba-Nya, pria dan perempuan, ada pahala yang senantiasa menanti mereka sesuai dengan kadar ketulusan mereka.

Oleh karena itu, jika perempuan tercegah dari melakukan salat berdasarkan hadis, "Tinggalkanlah salat pada hari-hari haidmu," maka ia dapat memperoleh pahala salat tersebut dengan cara berwudhu dan duduk menghadap kiblat di tempat salatnya dan berzikir sesuai dengan lamanya pelaksanaan salat yang biasa dia kerjakan. Jalan terbuka bagi setiap hamba, pria dan perempuan. Jika tidak ada orang yang datang untuk berjihad, maka kewajiban itu tetap berada di atas pundaknya.

Seandainya perintah tersebut merupakan sesuatu yang memberatkan hamba, tentu agama tidak akan memerintahkannya.

Ada beberapa perintah Allah Swt yang sewaktu-waktu dapat diganti dengan perintah-Nya yang lain, untuk memudahkan hamba-hamba-Nya.

Misalnya, perintah meng-qashar salat, yakni salat-salat yang tadinya berjumlah empat rakaat diubah menjadi dua rakaat, khusus bagi orang yang sedang dalam perjalanan. Untuk mengganti hilangnya pahala dua rakaat yang berkurang, mereka dianjurkan agar membaca tasbih sebanyak tiga puluh atau empat puluh kali setelah salat. Inilah cara untuk memperbaikinya.

Demikian pula berkenaan dengan tugas-tugas yang dibebankan kepada kaum perempuan. Tidak boleh dikatakan bahwa ini adalah sesuatu yang memberatkan. Jika wudhu merupakan sesuatu yang memberatkan atau sulit, maka wudhu dapat diganti dengan tayamum. Namun, wudhu yang dilakukan hamba tidak dapat menghilangkan hadats, tetapi bertujuan sebagai pendidikan bagi manusia.

Pertanyaan Seorang Perempuan kepada Nabi Muhammad

Diriwayatkan dari al-Baihaqi dalam kitab al-Durr al-Mantsûr bahwa suatu ketika, Nabi Muhammad Saw sedang duduk bersama para sahabatnya. Tiba-tiba Asma' binti Yazîd al-Anshariyyah datang dan < 388 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 388

AYATULLAH JAWADI AMULT berkata, “Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya aku adalah seorang wakil dari kaum perempuan yang datang kepadamu. Ketahuilah, bahwa diriku adalah tebusan untukmu. Tidak ada perempuan yang tinggal di belahan timur atau di belahan barat yang mendengar perkataanku ini, kecuali dia pasti sependapat denganku. Sesungguhnya, Allah telah mengutusmu dengan kebenaran kepada kaum pria dan perempuan, dan kami pun beriman kepadamu dan kepada Tuhan yang mengutusmu. Namun, kami kaum perempuan dibatasi dan diperlakukan secara paksa. Kami adalah landasan rumah kalian (kaum lelaki), tempat untuk pemuas syahwat kalian dan yang mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, wahai kaum pria, telah diutamakan daripada kami dengan salat Jumat, salat berjamaah, mengunjungi orang sakit, mengantarkan jenazah, melakukan beberapa kali haji, dan sesuatu yang lebih utama dari itu adalah jihad di jalan Allah. Jika salah seorang pria dari kalian keluar untuk melakukan haji, umrah atau berjihad, maka kamilah yang menjaga harta kalian, kami yang memintal baju kalian dan kami yang menyimpan harta kalian. Wahai Rasulullah, maka dengan apa kami dapat memperoleh pahala seperti kalian?" Mendengar perkataan perempuan itu, Nabi Muhammad Saw me- noleh kepada para sahabat seraya berkata, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan seorang perempuan tentang masalah agamanya yang lebih baik daripada pertanyaan perempuan ini?" Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka perempuan ini telah memperoleh petunjuk hingga sampai seperti itu." Rasulullah Saw kemudian berkata kepada perempuan tersebut, "Wahai perempuan, kembali dan beritahu seluruh perempuan yang berada di belakangmu bahwa memperlakukan suami dengan baik, meminta ridanya, dan menuruti segala apa yang diiyakannya adalah sama dengan pahala itu semua." Lalu perempuan itu pun keluar sambil mengucapkan kalimat tahfil dan takbîr karena merasa puas dan senang atas jawaban Rasulullah Saw tersebut.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 389

p: 389

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Mimpi Sayyidah Aminah Ibunda Nabi Saw

Diriwayatkan bahwa ketika Aminah, ibunda Rasulullah Saw, dalam keadaan sakit, ia memandangi putranya, Muhammad Saw, seraya berkata, “Jika mimpi yang kulihat itu benar, maka engkau akan diutus untuk seluruh manusia." Beliau kemudian melantunkan sebuah puisi pendek berikut ini kepada putranya:

Engkau diutus untuk segenap manusia, penjelas yang halal dan yang haram Engkau diutus dengan tauhid dan Islam, agama kakekmu Ibrahim yang berbakti.

Segera setelah melantunkan puisi singkat yang dibuat ketika dalam keadaan sakit, Aminah meninggal dunia.

Aminah a.s dapat mendidik putranya, Rasulullah Saw. Meskipun Aminah a.s hidup dalam lingkungan jahiliah, tetapi dia mengikuti ajaran Nabi Ibrahim a.s. Setiap perempuan dapat mencontoh apa yang dilaku- kan oleh Aminah, ibu Rasulullah Saw. Perempuan seperti beliau dapat melahirkan kader hingga menjadi marja', ahli tafsir, orang bijak, arif, dan ahli fikih. Perempuan mampu mendidik seorang pejuang, dan pada akhirnya dia mampu melahirkan pemimpin kaum Muslim.

Hendaknya, seseorang tidak membayangkan bahwa perempuan telah tercegah dari memperoleh keutamaan hanya karena tidak dapat turut serta dalam peperangan. Perempuan dapat memperoleh kemuliaan tersebut melalui perlakuan baiknya terhadap suami, mengelola urusan rumah tangga dengan baik, dengan selalu merasa cukup dengan yang telah ada dan dimilikinya, dengan cara mendidik anak-anak dengan penuh lemah lembut dan menjaga kesucian jiwa dan penampilan lahiriahnya di depan anak-anak, dan sebagainya.

Ada ratusan tugas rumah tangga yang harus dikerjakan perempuan yang dapat menjadi ganti atas ketidakterlibatannya dalam beberapa tugas kaum pria di luar rumah sehingga dengan tugas-tugas rumah tangga tersebut dia akan memperoleh keutamaan yang setara dengan apa yang diperoleh kaum pria.

< 390 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 390

AYATULLAH JAWADI AMULT Hal-hal lain yang seringkali dipertanyakan oleh mereka yang kurang memperhatikan tolok ukur nilai dalam Alquran dan yang lahir akibat masih mengakarnya budaya jahiliah dan Barat dalam benak mereka, adalah masalah perbedaan diyat waris antara pria dan perempuan, dan lain-lain.

Diyat dan Tolok Ukur Nilai Manusia

Apa yang dikemukakan di sini sebagai tolok ukur penilaian adalah apakah perempuan dapat berbicara dengan malaikat dan mendengar seruan Allah? Kaitannya dengan masalah diyat, mengapa diyat (uang darah yang dibayarkan kepada ahli waris korban yang terbunuh) perempuan lebih sedikit daripada diyat pria? Untuk menjawabnya, kita perlu balik bertanya, apakah tolok ukur kemanusiaan adalah nilai jasadnya sehingga karenanya, terdapat keistimewaan pada orang-orang tertentu dalam hal diyat? Apakah perlu menjadikan diyat sebagai tolok ukur penilaian kita terhadap manusia dalam kacamata Islam sehingga kita membahas perbedaan antara diyat pria dan diyat perempuan? Ataukah kita harus mengetahui nilai manusia yang sebenarnya, misalnya mengaitkannya dengan keistimewaan manusia yang dapat berjumpa dengan malaikat, menerima wahyu dan lain-lain? Lalu apakah perempuan memiliki bagian? Masalah diyat adalah murni permasalahan ekonomi, tidak dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai manusia. Dalam fikih, bahkan dijelaskan bahwa anjing juga terkena diyat asalkan bukan anjing gila.

Begitu pula dengan jasad manusia, dia juga terkena diyat. Diyat adalah 'sejenis perhitungan fikih yang tidak memiliki ikatan dengan kaidah-kaidah agama'. Dalam masalah diyat antara pribadi-pribadi Muslim penting dengan pribadi yang paling sederhana sama sehingga diyat seorang marja' taqlîd, seorang pakar, ilmuwan, dan seorang kuli, seluruhnya sama dalam Islam dan bukan merupakan faktor penentu, ia tak lebih dari sekadar sarana semata. Tolok ukur nilai yang sebenarnya adalah yang dijelaskan oleh Alquran, yaitu firman-Nya, Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 391

p: 391

Keindahan dan Keagungan Perempuan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu" (QS Al- Hujurât:13).

Dari masalah tersebut, dapat ditarik kesimpulan berikut:

Pertama, jasad tidak lebih sebagai sebuah alat. Oleh karena itu, diyat jasad sama, baik marja' taqlîd, ahli fikih, dokter, insinyur, ilmuwan maupun kuli.

Kedua, nilai berkaitan dengan ruh manusia, dan ruh manusia tidak dapat lenyap atau terbunuh secara hakiki sehingga harus membayar diyat untuknya.

Namun yang dirugikan adalah jasad sebagai materi. Oleh karena itu, perempuan dan pria dalam hal potensi menerima wahyu sama, yakni satu tingkatan. Dan meskipun wahyu tasyrîtî hanya diturunkan kepada pria karena pria dituntut untuk terjun secara praktis mengemban tugas kepemim- pinan masyarakat, namun wahyu takwînî, ta'yîdî dan lain-lain yang tidak disertai dengan pelaksanaan tugas itu dapat diperoleh kaum perempuan, sehing- ga dapat disimpulkan bahwa mereka setingkat dengan pria.

Ketiga, jika ada protes atau kritikan dari orang Nasrani yang menyerang Islam, jelaslah bahwa yang menyerang bukanlah Nasrani yang tulus dan benar karena dalam ajaran Nasrani juga tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Jika yang mengkritik adalah orang Yahudi, maka jelas pula bahwa yang mengkritik bukan Yahudi asli karena menurut kitab suci mereka, perempuan memiliki kedudukan mulia, yang dapat menjadi setingkat dengan ibu Nabi Ishaq a.s dan dapat berbicara dengan malaikat secara langsung.

Seandainya masalah-masalah tersebut disimpulkan secara benar dari Alquran, maka akan jelas secara sempurna bahwa keagungan, kemuliaan, dan nilai manusia yang hakiki berkaitan dengan ruhnya, dia dapat bertemu dengan malaikat, berbicara dengannya dan menerima panggilan Allah. Ruh manusia dapat memperoleh kabar gembira dari malaikat, dan dalam menerima kabar gembira tersebut, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Dengan demikian, tidak akan ada kritik ataupun cacat dan kekurangan pada persoalan tugas-tugas teknis.

392 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 392

AYATULLAH JAWADI AMULT

Rahasia Perbedaan antara Diyat Pria dan Perempuan dalam Islam

Meskipun pembahasan tentang diyat dan masalah-masalah fikih yang lainnya membutuhkan pembahasan tersendiri, namun di sini akan kami paparkan pembahasan singkat dan global tentang masalah ini.

Dalam Alquran ada beberapa penilaian yang bersifat fisik, sebagaimana semakin besar dan kuat fisik Anda, maka semakin besar pula tanggung jawab Anda secara ekonomi. Masalah diyat telah diatur oleh agama sedemikian rapi, sebagaimana masalah waris. Adapun penilaian yang bersifat pendidikan, karena contoh dari hal-hal tersebut tidak berkaitan dengan jasad, maka pria dan perempuan sama-sama menjadi objek pembicaraan Alquran.

Alquran mengajak bicara pria dan perempuan secara bersama-sama tentang masalah kemuliaan ruh dan etika serta bagaimana menghindari sifat dan perilaku buruk. Alquran juga mengajak berbicara pria dan perempuan secara bersama-sama untuk mengikuti sistem pemerintahan dan bagian-bagian lain yang berkaitan dengan masalah pemerintahan.

Allah Swt berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (QS Al-Ahzâb:36).

Begitu pula dalam masalah akhlak, Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan- perempuan yang lain, (karena) boleh jadi perempuan-perempuan (yang diperolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok- olok)" (QS Al-Hujurât:11).

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 393

p: 393

Keindahan dan Keagungan Perempuan Karena kebajikan bukan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, maka ia berkaitan dengan ruh dan ruh tidak terlihat sehingga boleh jadi, orang yang diolok-olok lebih mulia daripada orang yang mengolok- olok. Oleh karena itu, tidak ada pria yang berhak memperolok- olok sesamanya, begitu pula dengan perempuan, tidak berhak untuk mengolok-olok sesamanya. Karena itu, Allah Swt berfirman, "(Karena) boleh jadi perempuan-perempuan (yang diperolok- olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok)” (QS Al- Hujurât:11).

Dijelaskan dalam sebuah riwayat bahwa terdapat beberapa hal yang tertutup oleh hal-hal lain, di antaranya adalah malam Lailatul Qadr yang tersembunyi di antara sekian malam. Para kekasih Allah juga tersembunyi di antara orang-orang biasa. Terkadang, ternyata orang yang diolok-olok adalah salah seorang kekasih Allah.

Memandang rendah orang lain dapat terjadi dalam empat hal.

Pertama, seorang pria menghina sesama pria. Kedua, seorang pria menghina perempuan. Ketiga, seorang perempuan menghina perempuan lain. Keempat, seorang perempuan menghina pria. Keempat hal tersebut merupakan suatu keniscayaan. Namun, Alquran menjelaskan dua keadaan secara jelas serta berdasarkan kaidah umum, yaitu bahwa terkadang seseorang yang dihina justru lebih mulia daripada yang menghina.

Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam masalah akhlak. Adapun berkenaan dengan masalah diyat karena bahwa hal tersebut tidak berkaitan dengan kemuliaan, tetapi berkaitan dengan sisi jasad, maka apabila dalam masalah-masalah ekonomi, fisik seseorang lebih kuat, maka diyat-nya pun lebih banyak.

Selain itu, karena pria memiliki penghasilan yang lebih banyak daripada perempuan, maka diyat mereka juga lebih banyak. Ini tidak berarti bahwa pria lebih berharga daripada perempuan dalam Islam. Namun, hal itu diukur secara fisik terhadap kedua jenis tersebut.

<394 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 394

AYATULLAH JAWADI AMULT Sesungguhnya, dasar diyat tidak berkaitan dengan penilaian yang bersifat ruhani. Karenanya, ia tidak dapat dijadikan ukuran kekurangan atau kelebihan perempuan dan pria. Sebagaimana telah kami sebutkan tadi, diyat seorang marja' taqlîd atau dokter sama dengan diyat seorang kuli. Perlu diketahui pula bahwa ilmu pengetahuan, penemuan dan kedokteran serta hal-hal lainnya tidak memiliki sedikit pun nilai dalam Islam.

Oleh karena itu, diyat bukanlah tolok ukur tinggi rendahnya derajat manusia. Kalaupun ada kritikan dalam hal diyat ini, maka itu dilatarbelakangi oleh anggapan kebanyakan orang yang berpola pikir materialis bahwa manusia setingkat dengan tumbuh-tumbuhan.

Mengenai apakah manusia dapat mencapai tingkata dia dapat berbicara dengan malaikat, hal ini tidak mereka pahami. Jika hal ini kembali dikemukakan di depan mereka, niscaya mereka kembali bertanya- tanya pada diri mereka, apakah ada suatu pengetahuan yang bersifat metafisika? Apakah di alam semesta ini ada makhluk yang bernama malaikat? Apakah kita dapat hidup selama-lamanya? Dan apakah kita dapat sampai ke suatu tingkatan di mana kita dapat bertemu dengan malaikat dan mengucapkan salam kepada mereka? Demikianlah persoalan dan pertanyaan-pertanyaan besar yang seringkali muncul di benak manusia materialis.

Namun, karena hakikat-hakikat seperti itu tidak berarti bagi mereka, dan tidak mereka pahami baik yang di timur dan juga yang di barat, karena itu, mereka membatasi penilaian mereka khusus di seputar diyat dan warisan saja.

Warisan Perempuan dan Pria dalam Islam

Sebagian orang bertanya-tanya mengapa bagian warisan perempuan lebih sedikit daripada pria? Jawabannya adalah bahwa hal ini disebabkan dua hal berkut:

Pertama, dalam banyak hal, perempuan memperoleh bagian waris yang sama dengan pria, seperti kedua orangtua mayat (bapak dan ibu) Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 395

p: 395

Keindahan dan Keagungan Perempuan keduanya memperoleh seperenam. Begitu pula dengan saudara ibu, baik laki-laki maupun perempuan, mereka juga sama-sama memperoleh bagian yang sama. Memang, ada perbedaan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam beberapa keadaan. Namun, pria tidak selalu memperoleh bagian waris yang lebih banyak.

Kedua, terdapat beberapa sebab yang dapat berdampak bagi munculnya perbedaan dalam menerima bagian waris. Misalnya, jika mayat memiliki seorang anak laki-laki dan anak perempuan, maka menurut logika kita, yang patut diserahi tanggung jawab mengurusi keluarga sepeninggal mayat adalah anak laki-laki. Dia harus mengurusi keluarga, dan memberi nafkah kepada mereka. Segala sesuatu yang berkenaan dengan urusan rumah tangga menjadi tanggung jawabnya, bahkan ketika dia hendak menikah, dia harus membayar mahar dan setelah itu dia juga harus memberi nafkah kepada istrinya. Sementara anak perempuan, perannya memilih suami, menerima darinya mahar dan nafkah.

Oleh karena itu, apabila kita cermati dengan baik, maka kita akan tahu bahwa penghidupan adalah tugas pria, sementara perempuan hanya bertugas sebagai pengambil manfaat dari hasil jerih payah pria, baik berupa mahar maupun nafkah. Alquran menggambarkan perempuan sebagai berikut, “Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran" (QS Al-Zukhruf:18).

Pentingnya Mencari Ilmu

Pertanyaan lain adalah jika tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan dalam masalah keilmuan dan kesempurnaan ilmu, maka mengapa seorang istri yang hendak belajar harus minta izin terlebih dahulu kepada suami sehingga jika suami tidak mengizinkannya, maka haram bagi istri untuk menuntut ilmu? <396 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 396

AYATULLAH JAWADI AMULT Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah menuntut ilmu terbagi menjadi dua. Pertama, menuntut ilmu yang bersifat wajib 'ain. Dalam mempelajari ilmu-ilmu tersebut, suami tidak berhak untuk melarang.

Kedua, menuntut ilmu yang hukumnya wajib kifầyah. Jika tidak ada orang lain yang bergegas mempelajari ilmu jenis kedua ini sampai pada batasan tertentu, maka hukumnya akan berubah menjadi wajib ‘ain. Dalam hal ini, suami juga tidak berhak melarangnya, bahkan dalam keadaan suami berhak untuk melarangnya, perempuan dapat memberi syarat dan berkata kepadanya bahwa saya akan melaksanakan pekerjaan rumah tangga, tetapi saya minta sejumlah waktu untuk belajar.

Hal itu seperti yang terjadi dalam peristiwa akad nikah Zainab a.s dengan suaminya.

Seandainya masalah tersebut disampaikan kepada masyarakat secara baik dan tingkat kesadaran serta intelektualitas manusia semakin matang, maka perempuan tidak mungkin dianggap sebagai barang dagangan.

Pemikiran Jahiliah dan Budaya Kaum Muslim

'Allamah Thabàthaba'î dalam tafsir al-Mizân-nya mengatakan bahwa pemikiran jahiliah masih mengendap dalam benak masyarakat hingga sekarang. Mereka berbicara tentang Islam, tetapi dengan pola pikir jahiliah.

Apa yang terjadi di tengah masyarakat kita dewasa ini, jika seorang pria tercemari oleh perbuatan keji, maka keluarganya tidak merasa tercela. Namun, jika yang tercemari itu adalah perempuan, maka anggota keluarganya akan merasa tercela bahkan terkadang sampai membunuhnya. Bukankah ini merupakan salah satu bentuk pemikiran jahiliah? Kita harus selalu merasa tercela manakala anggota keluarga kita, pria maupun perempuan, melakukan suatu kekejian yang tidak diridai Allah Swt. Kekecewaan kita terhadap mereka harus seimbang.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s berkata, “Orang yang bodoh tidak terlihat kecuali dia kekurangan atau melampaui batas(1)."

p: 397


1- 104 Nahj al-Balaghah, al-Kalimat al-Qishâr, 67.

Keindahan dan Keagungan Perempuan Hilangnya rasa cemburu terjadi karena pengaruh budaya Barat yang rendah sedangkan membeda-bedakan orang yang menjadi objek rasa cemburu adalah pengaruh budaya jahiliah. Islam menghendaki adanya keseimbangan antara kedua hal yang berada di titik ekstrim itu.

Sayang sekali, kita berbicara tentang Islam, tetapi pola pikir kita jahiliah. Kita harus membuang pemikiran jahiliah dan mengenakan pola pikir Islami secara murni. Kita mengadopsi sifat tidak cemburu terhadap pria dari budaya Barat sementara kecemburuan kita kepada perempuan merupakan budaya jahiliah. Kita gabungkan kedua hal tersebut dan kita nisbahkan kepada Islam. Kemudian kita membayangkan bahwa Islam membedakan antara pria dan perempuan. Apa yang dikemukakan Imam Ali a.s menyatakan, “Dia mengenakan pakaian Islam seperti mengenakan pakaian baju dari kulit binatang secara terbalik(1)." Rahasianya adalah bahwa dalam banyak keadaan, kita meng- ambil beberapa masalah dari Barat dan sebagian yang lain dari sisa-sisa budaya jahiliah lalu kita mengatakan bahwa itu adalah pendapat Islam.

Maka ketika kita kembali kepada Alquran, kita melihat bahwa Allah Swt berfirman, “Pezina laki-laki yang pezina perempuan, maka deralah tiap- tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah" (QS Al-Nûr:2).

Berkaitan dengan masalah pencurian Allah Swt juga berfirman, “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah" (QS Al-Maidah:38).

Terkadang pencuri perempuan memperoleh ampunan, sementara pencuri pria tidak. Namun, dalam masalah kesucian diri atau 'iffah, justru yang terjadi sebaliknya, yakni perbuatan keji yang dilakukan pria dapat dimaafkan, sementara perbuatan serupa jika dilakukan perempuan, tidak dapat dimaafkan. Pembedaan tersebut merupakan sisa pemikiran jahiliah dan warisan budaya asing yang hina dan rendah yang membentuk

p: 398


1- 105 Nahj al-Balaghah, khutbah 108.

AYATULLAH JAWADI AMULI persepsi seolah-olah itu semua adalah pendapat Islam. Padahal, jika seseorang memiliki pengetahuan Islam, tetapi disertai pandangan dan keyakinan salah tersebut, maka akan tampak bahwa Islam membedakan antara pria dan perempuan.

Kemuliaan perempuan harus dilihat dari sisi kualitas pengetahuan manusia, bukan pada masalah waris ataupun diyat karena diyat juga berlaku pada anjing. Inilah bentuk ganti rugi berupa nilai harta atau uang yang ditetapkan Islam berkaitan dengan jasad dan tidak ada kaitannya dengan nilai.

Tolok ukur keagungan yang diterapkan Islam pada perempuan serupa dengan tolok ukur keagungan yang diterapkan untuk manusia secara umum. Oleh karena itu, jika seseorang hendak mempelajari ke- agungan perempuan, maka dia harus mengkaji dan merenungkan makna ayat pada surah Hûd yang mengisahkan pembicaraan malaikat secara langsung dengan perempuan (istri Ibrahim as) dan memberitahukan bahwa kedatangannya adalah untuk memberinya kabar tentang kelahiran seorang nabi.

Kemandirian Ekonomi Pria dan Perempuan

Berkaitan dengan masalah ekonomi, Alquran telah menyatakan bahwa pria dan perempuan sama-sama memiliki kemandirian. Alquran mengatakan, “(Karena) bagi orang laki-laki ada bagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan" (QS Al-Nisa':32).

Alquran tidak mengatakan bahwa setiap orang memperoleh bagian dari apa yang dia usahakan. Bisa saja hal ini dijelaskan sekaligus dalam satu redaksi, tetapi Alquran mengemukakannya dengan dua redaksi.

Hal itu bertujuan agar kita memahami betapa agungnya kedudukan perempuan dan kita harus membuang jauh-jauh seluruh pemikiran jahiliah yang masih mengendap di benak kita, sambil meyakinkan diri kita Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 399

p: 399

Keindahan dan Keagungan Perempuan bahwa keyakinan-keyakinan seperti itu bukan merupakan pendapat Islam.

Pengetahuan kebanyakan manusia terhadap masalah semacam ini adalah seperti padangan dunia mereka yang bersifat horizontal (duniawi), yakni sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar hakikat manusia sebelum dia diciptakan, sekarang, setelah dia berwujud, dan bagaimana kondisi (fisik)-nya di masa mendatang?.

Adapun pertanyaan tentang di mana dan kapan manusia memulai kehidupan ini, apa tujuannya dan membawa misi apa serta bagaimana akhir perjalanan hidupnya, yakni pandangan dunia yang bersifat vertikal – hal ini tidak pernah dikemukakan oleh Barat pada masa sekarang, demikian pula oleh masyarakat jahiliah di masa lalu.

Meng-qadhâ Salat Mayat

Boleh jadi ada orang bertanya-tanya, mengapa tidak ada per- bedaan antara pria dan perempuan dalam hal pengetahuan, kesempur- naan, pahala dan balasan. Lalu mengapa jika seorang pria meninggal dan memiliki tanggungan salat dan puasa, yang diwajibkan meng-qadhâ salat dan puasanya adalah anak laki-lakinya yang paling besar? Namun, jika yang meninggal itu perempuan, maka yang berkewajibkan untuk meng-qadhâ salat dan puasanya tidak mesti anak laki-lakinya yang terbesar? Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa di alam barzakh, manusia menunggu amal kebajikan dari keluarganya. Apa yang telah dilakukan manusia ketika di dunia akan didapatinya hadir di sana, baik berupa amal baik maupun amal buruk. Begitu pula dengan hadiah doa, istighfar, dan amal kebajikan lainnya yang dilakukan oleh seseorang untuk mayat di alam barzakh dan yang pahalanya akan sampai kepadanya. Banyak riwayat yang menjelaskan tentang hal ini bahwa orang-orang yang sudah meninggal menanti amal kebajikan orang-orang yang hidup untuknya.

Diriwayatkan bahwa sebagian orang yang meninggal berada di bawah tekanan dan kesulitan, tetapi kemudian mereka merasakan < 400 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 400

AYATULLAH JAWADI AMULT keleluasaan. Lalu mengapa orang ini berubah menjadi lapang padahal sebelumnya dia berada dalam kesusahan, maka jawaban- nya adalah karena anak, kerabat atau teman-temannya telah berperan sebagai wakilnya di dunia untuk melakukan amal kebajikan dan mereka menghadiahkan pahala amal tersebut kepadanya.

Menghadiahkan amal baik ini dimulai dari malam pertama sete- lah mayat dimakamkan. Antara ruh yang satu dengan lainnya saling terikat. Demikianlah, Allah Swt menerima amal-amal seperti itu, dan disampaikan-Nya kepada orang yang telah meninggal sebagai hadiah dari orang-orang yang ditinggalkan.

Ada bermacam-macam niat orang yang beramal untuk mayat.

Ada yang beramal dengan membayangkan dirinya, pelaku amal ter- sebut, sebagai wakil atau pengganti si mayat. Ada yang beramal sambil mengatasnamakan amalnya itu sebagai amal si mayat. Ada juga yang beramal kebajikan tanpa disertai dengan dua niat tadi, tetapi menghadiahkannya sambil berkata, “Ya Allah, ya Tuhanku, terimalah amalku ini, setelah Engkau terima, jadikanlah pahala amal tersebut untuk ruh si fulan." Berkenaan dengan hadiah dan bolehnya pewakilan amal orang yang telah meninggal dunia, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Pada bab-bab terdahulu dijelaskan bahwa terkadang ketika membahas perempuan, kita melihatnya dalam kapasitasnya sebagai lawan dari pria, dan terkadang dalam statusnya sebagai istri bagi suami. Adanya perbedaan-perbedaan antara perempuan sebagai lawan pria dan lawan dari suami ditinjau dari perbedaan tugas-tugas teknis. Namun, pembahasan yang sangat mendasar adalah perempuan sebagai lawan dari pria, bukan lawan dari suami.

Kaitannya dengan masalah ini, manusia yang telah meninggal menanti bantuan dan hadiah dari keluarganya. Jika keluarganya yang hidup melakukan amal kebajikan, baik sebagai wakil mayat atau dengan cara menghadiahkan pahalanya kepada si mayat, maka pasti pahala tersebut akan sampai kepadanya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 401

p: 401

Keindahan dan Keagungan Perempuan perempuan. Adapun khusus berkenaan dengan meng-qadhâ salat kedua orangtua, mengapa yang berkewajiban untuk meng-qadhâ salat dan puasa bapak adalah anak laki-lakinya yang terbesar, sementara yang berkewajiban untuk meng-qadhâ puasa dan salat ibu bukan kewajibannya, untuk menjawabnya sebaiknya kita perhatikan hal-hal berikut:

Pertama, masalah ini diperselisihkan oleh para ulama fikih. Meski mayoritas pemuka ulama fikih mengatakan bahwa yang berkewajiban untuk meng-qadhâ salat dan puasa ibu bukan anak laki-laki terbesar, namun banyak pula pakar fikih lain yang memfatwakan tidak adanya perbedaan antara ayah dan ibu. Fatwa tersebut dikemukakan oleh para fuqaha terdahulu dan kontemporer, seperti fatwa pengarang kitab al- 'Urwah yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ayah dan ibu. Begitu pula pengarang kitab al-Wasîlah, dia memberikan fatwa yang sama.

Kedua, jika seorang ayah meninggal dan dia tidak memiliki anak laki-laki, yakni seluruh anaknya perempuan atau dia tidak memiliki anak sama sekali, maka di sini tidak ada perbedaan dalam hal meng-qadhâ salat ayah dan ibu karena dia tidak memiliki anak laki-laki, meski yang berkewajiban untuk meng-qadhâ salat tersebut adalah anak laki-laki.

Adapun rahasia mengapa meng-qadhâ salat ayah merupakan kewajiban anak laki-laki, sementara untuk meng-qadhâ salat ibu bukan kewajiban anak laki-laki, karena ketika ibu masih berstatus gadis, Allah Swt tidak mewajibkan padanya untuk meng-qadhâ salat dan puasa ayah ibunnya, sebagai taklif tambahan. Maka setelah menjadi seorang ibu, tidak ada kewajiban bagi anak laki-laki untuk meng-qadhâ salat ibu. Kaidah fikih mengatakan, “Barang siapa ingin memperoleh keuntungan, dia harus bersungguh-sungguh.” Hal itu diberikan kepada perempuan dengan tujuan meringankan dan memperoleh kelegaan.

Ketiga, jika seorang ayah meninggal dan dia memiliki beberapa orang anak, maka yang berkewajiban untuk meng-qadhâ salat dan puasanya adalah anak laki-lakinya yang terbesar saja. Anak-anak yang lain, laki- laki ataupun perempuan, sama-sama tidak berkewajiban meng-qadhâ- 402 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 402

AYATULLAH JAWADI AMULT nya. Hal itu boleh jadi karena ada kecenderungan ayah berusaha untuk memberikan balasan kepada anak laki-lakinya. Oleh karena itu, ada bagian warisan yang dikhususkan untuk anak sulung laki-lakinya. Dikatakan bahwa tasbih, sajadah, pedang, dan kendaraan, khusus diberikan kepadanya sebagai pemberian khusus dari ayah. Sebagian ulama fikih, bahkan mengatakan bahwa tasbih, sajadah, senjata, dan barang-barang khusus lain milik sang ayah secara otomatis dan khusus menjadi milik anak sulung lelakinya. Dengan adanya warisan khusus tersebut, dia pula yang berkewajiban untuk meng-qadhâ salat dan puasa ayahnya. Artinya, sebagaimana dalam masalah keuangan dan kepemimpinan rumah tangga, dia bertanggung jawab sebagai pengganti ayahnya, maka ada beberapa beban pula yang menjadi tanggung jawab anaknya yang paling besar, di antaranya puasa dan salat yang ditinggalkan oleh ayahnya pada masa hidupnya.

Kesimpulan

Permasalahan mendasar di sini adalah dalam mewakilkan atau menghadiahkan pahala kepada mayat tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Begitu pula dalam masalah fikih, fatwa penulis kitab Al- 'Urwah dan penulis kitab Al-Wasîlah menyatakan tidak adanya perbedaan antara ayah dan ibu. Jika pendapat sebagian marja' besar mengatakannya khusus untuk ayah, berarti beberapa beban ibu bukan merupakan kewajiban bagi anak-laki-laki. Namun, kemungkinan pendapat yang paling tepat adalah pendapat penulis kitab Al-'Urwah dan pengarang kitab Al-Wasîlah.

Riwayat tentang Meng-qadhâ Salat Mayat

Marilah kita membaca beberapa riwayat yang dimuat oleh pengarang kitab Al-Wasâ'il, supaya jelas bahwa tidak ada per- bedaan antara pria dan perempuan, begitu pula antara ayah dan ibu dalam masalah-masalah fikih.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 403

p: 403

Keindahan dan Keagungan Perempuan Dalam kitab al-Wasa'il, bab 12 tentang meng-qadhâ salat, yakni pada bab sunah melakukan salat, puasa, haji, dan seluruh ibadah untuk mayat serta kewajiban wali untuk meng-qadhâ salat mayat yang ditinggalkan karena halangan.

Riwayat Pertama

Imam Ja'far al-Shadiq a.s berkata, “Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah seorang pria dari kalian untuk berbakti kepada kedua orangtua, baik mereka masih hidup maupun sudah meninggal, yaitu dengan melakukan salat, sedekah, haji serta berpuasa untuk keduanya.

Segala yang dia lakukan dipersembahkan untuk keduanya dan dia juga memperoleh pahala terhadap apa yang dia lakukan. Allah Swt juga akan menambahkan untuknya kebajikan yang banyak karena kebaktian dan silaturahminya." Fikih harus menentukan ibadah-ibadah apa yang dapat diwakilkan dan yang tidak dapat diwakilkan semasa hidup kedua orangtua kita. Itu karena tidak mewakilkan salat dan puasa wajib semasa mereka hidup tidak diperbolehkan oleh agama. Namun, lain halnya dengan ibadah haji, orang tua boleh mewakilkan ibadah ini kepada anaknya.

Riwayat Kedua

Imam Ja'far al-Shadiq a.s ditanya, “Apakah seseorang dapat melakukan salat atas nama mayat?" Imam Ja'far al-Shadiq a.s menjawab, "Ya, dan jika si mayat dalam keadaan kesempitan, maka amal tersebut akan melapangkannya. Lalu amal itu datang kepadanya dan berkata, 'Salat fulan saudaramu itu sungguh telah melapangkan kesempitanmu.'"

Riwayat Ketiga

Ketika orang-orang bertanya kepada Imam Ja'far al-Shadiq a.s tentang seorang pria yang meninggal dunia, tetapi dia masih memiliki tanggungan salat dan puasa, Imam Ja'far al-Shadiq a.s berkata, 404 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 404

AYATULLAH JAWADI AMULT "Orang yang berhak untuk meng-qadhâ-nya adalah orang yang paling berhak atasnya", yakni anak-anaknya atau anak laki-lakinya yang sulung.

Dunia adalah Alam yang Menyesakkan

Para penghuni dunia senantiasa hidup dalam kesempitan. Arti- nya alam materi tidak cocok bagi ruh manusia. Alam dunia adalah alam yang sempit. Alam dunia adalah alam yang menyesakkan manusia dan keterikatan dengannya mengundang berbagai macam kesulitan dan kepayahan. Oleh karena itu, Allah berfirman, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit" (QS Thâ Hâ:124).

Kesempitan hidup bukan hanya dialami di alam barzakh, tetapi juga di dunia. Orang-orang yang memiliki berbagai kemampuan secara materi, tetapi tidak memiliki keberagamaan sedikit pun, sungguh mereka benar-benar berada dalam azab Tuhan. Mereka senantiasa menderita siksa- Nya hanya karena mencari sesuatu yang semu dan menjaga yang telah diperolehnya. Mereka berusaha menjaga harta yang telah diperolehnya dan mengejar apa yang belum diperolehnya. Mereka selalu dalam kepayahan dan tidak memiliki ketenangan sehingga tidur pun harus dibantu dengan menggunakan obat. Mereka tertimpa penyakit yang tak terobati.

Di dunia, mereka hidup dalam keadaan yang menyesakkan jiwa mereka. Di alam kubur pun demikian, mereka senantiasa merasakan tekanan-tekanan yang menyesakkannya. Apalagi di neraka, mereka juga dalam kesempitan sehingga dikatakan kepada mereka agar mereka terbakar di tempat yang sempit itu. Allah Swt berfirman, “Dan apabila mereka dilemparkan ketempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan" (QS Al-Furqân:13).

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 405

p: 405

Keindahan dan Keagungan Perempuan

Alam Penghuni Surga

Penghuni dunia merasakan kesempitan dalam tiga tingkatan. Di dunia mereka terikat, di alam barzakh mereka sempit dan di neraka tempat mereka juga sempit.

Adapun penghuni surga, manusia berada dalam kelapangan pada tiga tingkatan. Mereka yang hidup dengan, “Ya Tuhanku, lapang- kanlah untukku dadaku” (QS Thâ Hà:25), maka di dunia mereka akan hidup dalam keadaan yang sepenuhnya nyaman dan menyenangkan.

Kuburan juga memberi mereka kenyamanan. Itu karena bagi hamba Mukmin, kuburan adalah “Salah satu taman surga yang sementara(1)".

Diriwayatkan bahwa rumah seorang penghuni surga demikian luasnya sehingga seandainya seluruh penghuni dunia ingin bertamu kepadanya, maka rumahnya itu cukup untuk menampung mereka.

Alquran mengatakan, “Surga yang luasnya seluas langit dan bumi” (QS Âli `Imrân:133).

Ayat di atas tidak mengatakan bahwa luasnya surga adalah sebesar alam semesta ini. Namun yang ditegaskannya adalah bahwa luasnya sebuah rumah seorang penghuni surga sebesar alam semesta ini.

Oleh karena itu, orang Mukmin merasakan kelapangan dan kenyamanan pada ketiga tempat tersebut. Sementara orang kafir yang berpaling dari Asma' Allah hidup pada ketiga alam itu dalam kesempitan. Adapun orang Mukmin yang melakukan maksiat, maka ketika di alam barzakh, ia berada dalam kesempitan dan tekanan, tetapi jika keluarganya yang saleh memikirkannya lalu menghadiahkan kepadanya amal-amal saleh, berarti mereka melakukan sesuatu yang dapat membuatnya merasa lapang dan nyaman. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Menyatukan Beberapa Riwayat yang Berbeda

Ketiga riwayat di atas adalah sandaran hukum bagi sunahnya mewakilkan dan menghadiahkan pahala amal kebajikan kepada

p: 406


1- 106 Bihậr al-Anwâr, juz 6, hlm. 205.

AYATULLAH JAWADI AMULT mayat. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Meskipun riwayat-riwayat yang membahas masalah tersebut terbagi menjadi dua bagian, yakni sebagian riwayat menggunakan kata mayyit dan sebagian yang lain menggunakan kata rajul ('seorang pria'), dalam bahasa Arab biasa disebutkan dalam konteks memberikan contoh suatu kasus, bukan merupakan kekhususan bagi lelaki saja.

Demikian pula berkenaan dengan amal-amal ibadah yang hukumnya sunah, tidak ada perbedaan antara pria, perempuan, ayah dan ibu. Seluruh keluarga dapat meng-qadhâ salat dan puasa kedua orang tua mereka, baik dengan jalan mewakilkan maupun menghadiahkan pahalanya kepada mayat.

Adapun berkaitan dengan hukum meng-qadhâ salat dan puasa wajib orangtua – kebanyakan ulama fikih berpendapat bahwa hukum meng- qadhâ salat dan puasa wajib bagi anak laki-laki sulung adalah wajib, dan meng-qadhâ salat dan puasa wajib ibu tidak wajib baginya, riwayat- riwayat yang membicarakan masalah ini ada dua kelompok. Kelompok pertama, riwayat yang menunjuk mayat dengan menggunakan kata rajul, dan kelompok kedua, riwayat yang menunjuk mayat dengan kata mayyit.

Abdullah bin Sinan meriwayatkan bahwa Imam Ja'far al-Shadiq a.s berkata, “Salat yang telah tiba waktunya sebelum mayyit meninggal, maka orang yang paling berhak dengannya harus meng-qadhâ-kan salat tersebut untuknya." Hadis ini menegaskan bahwa yang wajib meng- qadhâ salat tersebut adalah orang yang paling berhak atasnya, yaitu anak sulung laki-lakinya.

Tidak ada kontradiksi antara hadis di atas dengan riwayat-riwa- yat lain. Namun, sebagian ulama fikih mengatakan bahwa karena ketika menunjuk “ayah yang telah meninggal dunia", beberapa riwayat tersebut ada yang menggunakan kata rajul dan riwayat-riwayat lainnya menggunakan kata mayyit, maka kata rajul bersifat khusus dan kata mayyit bersifat umum. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kata mayyit yang masih umum dibatasi dengan kata rajul yang lebih khusus. Oleh karena itu, yang wajib Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 407

p: 407

Keindahan dan Keagungan Perempuan di-qadha-kan adalah khusus salat dan puasa wajib mayat pria, bukan mayat perempuan.

Namun, pengambilan dalil tersebut kurang sempurna karena terdapat juga ungkapan lain, yaitu makna kata rajul tidak harus berarti pria. Kata rajul seringkali disebutkan dalam bentuk contoh pelaku hukum saja, bukan pengkhususan bagi pria. Misalnya, riwayat yang menyebutkan "seorang pria ragu akan jumlah rakaat salatnya" tidak berarti bahwa jika yang ragu dalam jumlah rakaat salat tersebut adalah perempuan maka hukumnya menjadi lain. Itu karena, pada hakikatnya, riwayat tersebut menjelaskan hukum “ragu" dalam jumlah rakaat salat, bukan “orang" yang ragu.

Keberatan Ilmiah atau Standar Fatwa

Tidak semua ulama fikih menerima pendapat ini, antara lain, dipegang penulis kitab al-Mustamsik. Meski penulis al-Mustamsik tampak tidak siap untuk memfatwakan bahwa meng-qadhâ puasa seorang ibu juga wajib bagi putra sulungnya, tetapi penulis al--Urwah menyetujui jika yang wajib di-qadha ini adalah salat sang ibu juga.

Memang, seorang fakih perlu meneliti kembali hasil fatwanya.

Sebagaimana telah kami sebutkan di atas, riwayat-riwayat seputar masalah ini terbagi menjadi dua, sebagian menggunakan kata mayyit dan sebagian lain menggunakan kata rajul untuk menunjuk siapa yang wajib di-qadha-kan salatnya. Berkenaan dengan masalah siapa yang wajib meng-qadhâ salat orang tuanya, sebagian riwayat menyebut langsung “putra sulungnya" dan sebagian riwayat lagi hanya mengisyaratkan hal ini dengan menyatakan “orang yang paling utama", yakni paling banyak menerima bagian warisnya.

Menurut hemat penulis, yang benar adalah pendapat penulis Al- 'Urwah dan penulis Al-Wasîlah, sementara ulama lain melihat bahwa qadha salat dan puasa ibu tidak wajib di-qadha oleh putra sulungnya.

408 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 408

AYATULLAH JAWADI A MULT Bagaimanapun, terdapat banyak perbedaan antara sesama ahli fikih yang mana tidak mungkin perbedaan ini dikategorikan sebagai pendapat yang mewakili Islam.

Nasab Keturunan Rasulullah Saw

Jika dikatakan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, serta tidak ada perbedaan antara ayah dan ibu, mengapa dalam masalah penyandaran nasab kepada Rasulullah Saw berbeda? Jika hanya pihak ibu yang berasal dari keturunan Rasulullah Saw, maka anak-anaknya tidak dianggap sebagai sayyid (anak cucu keturunan Rasulullah Saw).

Mereka menisbahkan nasab mereka kepada Rasulullah Saw melalui jalur ibu, tetapi menurut fikih, mereka tidak berhak mendapatkan khumus.

Mengapa demikian? Padahal para Imam yang suci menisbahkan nasab mereka kepada Rasulullah Saw melalui Fathimah al-Zahra a.s? Bukankah itu sebuah bukti adanya perbedaan antara pria dan perempuan? Jawabannya adalah dalam masalah tersebut, tidak ada keistimewaan antara pria dan perempuan. Jika pihak ayah saja yang sayyid, maka seluruh anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, juga sayyid.

Mereka berhak memperoleh khumus, dan haram memperoleh zakat, kecuali zakat dari sesama sayyid. Namun, jika yang berdarah Rasul adalah pihak ibu, maka semua anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan, tidak dapat menyandang gelar sayyid. Mereka tidak boleh memperoleh khumus tetapi boleh menerima zakat. Itu semua menurut hukum fikih semata, khusus untuk masalah zakat dan khumus.

Namun terdapat fatwa lain, misalnya fatwa Almarhum Sayyid al- Murtadhâ yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki nasab kepada Bani Hasyim dari jalur ibu dapat memperoleh khumus. Pendapat ini memang tidak populer di kalangan mazhab Imamiyyah.

Meski demikian, dalam banyak masalah fikih, pria dan perempuan tidak dibedakan dan masalah sayyid atau bukan sayyid tidak menjadi materi kebanyakan pembahasan fikih. Dalam masalah muhrim, misalnya, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, baik bagi sayyid yang Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 409

p: 409

Keindahan dan Keagungan Perempuan melalui jalur ibu maupun dari pihak ayah. Jika mereka memiliki ikatan nasab melalui jalur ibu dengan para nabi atau para imam suci atau lainnya, maka masalah tersebut berkaitan erat dengan masalah muhrim. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Begitu pula dalam masalah warisan, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Artinya, tidak berarti seseorang tidak memperoleh waris karena dia adalah dari seorang perempuan, begitu pula dalam masalah wasiat dan wakaf. Artinya, jika seseorang mewakafkan harta dan berkata, “Aku mewakafkan harta ini kepada si A yang memiliki hubungan nasab dengan Nabi Saw", maka harta tersebut diberikan kepada seluruh keturunan Rasulullah, baik pria maupun perempuan.

Oleh karena itu, dalam seluruh masalah fikih, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan. Dalam masalah khumus dan zakat, memang perempuan dan pria dibedakan, tetapi itu disebabkan oleh populernya (syuhrah) pendapat para ulama fikih seputar masalah ini (yakni bukan berdasarkan ketentuan hukum yang pasti dan bersumber dari Nabi Saw dan para imam maksum, tidak pula didasari ijma' atau sumber-sumber hukum Islam lainnya, peny.).

Penyebab di balik syuhrah-nya fatwa ulama seputar perbedaan di atas adalah sebuah riwayat berderajat mursal yang menyatakan bahwa seorang sayyid dari jalur ibu dapat memperoleh zakat, tetapi dia tidak memperoleh khumus. Riwayat ini kemudian didukung oleh dalil Alquran yang berbunyi, "Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka..." (QS Al-Ahzâb:5). Memang, meskipun ayat di atas tidak dapat dijadikan dalil, riwayat mursal tersebut masih dapat dijadikan hujah dan pijakan dalam mengeluarkan fatwa.

Mengapa para imam suci dapat memperoleh khumus padahal mereka menisbahkan nasabnya kepada Rasulullah Saw melalui jalur Fathimah al-Zahra a.s? Bukankah itu bertentangan dengan pernyataan di atas? Jawabannya adalah nasab para imam suci juga dapat dinisbahkan kepada Bani Hasyim melalui jalur ayah, yakni Imam Ali bin Abi Thlib a.s.

410 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 410

AYATULLAH JAWADI AMULT Betapapun, keutamaan seseorang bukan karena manusia dapat memperoleh harta tertentu dan tidak dapat memperoleh manfaat dari harta yang lain. Ini hanya merupakan pembahasan khusus hukum fikih seputar masalah khumus dan zakat, yang bertujuan mengatur dan melestarikan nasab. Kalau tidak, maka tak ada perbedaan dalam masalah- masalah lain.

Sayyid al-Murtadhâ berkata, "Sesungguhnya putra keturunan anak perempuan adalah anak manusia yang hakiki juga, dan Islam telah menyingkirkan pemikiran-pemikiran jahiliah yang mengatakan bahwa kaum perempuan putus keturunannya. Jangan kalian katakan, “Keturunan kami adalah keturunan anak laki-laki kami, sedangkan keturunan anak perempuan kami adalah keturunan lelaki asing.' Peribahasa ini batil karena keturunan tidak berbeda dari jalur anak laki-laki ataupun anak perempuan.

Kalau terdapat pengecualian dalam sebagian masalah hukum fikih, itu adalah kaidah umum dan sedikit dari yang umum tidak terkhususkan.

Di samping itu, banyak pula masalah-masalah yang bersifat mutlak yang tidak dapat dikhususkan. Hal-hal yang tidak menerima pengkhususan status hukumnya tetap umum."

Doa Minta Anak Laki-laki

Masalah lain yang dapat membuat orang bertanya-tanya adalah jika tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, mengapa para imam a.s menganjurkan untuk membaca doa agar dikaruniai anak laki- laki? Bukankah itu merupakan bukti keutamaan anak laki-laki atas anak perempuan? Jawaban terhadap masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam sejarah kehidupan para imam suci dijelaskan bahwa ketika mereka dikaruniai seorang anak, mereka tidak pernah meminta kepada Allah agar mereka dikaruniai anak laki-laki atau perempuan, bahkan selalu rela dengan ketentuan Allah.

Kedua, pertanyaan-pertanyaan seputar siapakah yang lebih mulia, perempuan atau pria, anak laki-laki atau anak perempuan, manakah Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi < 411

p: 411

Keindahan dan Keagungan Perempuan yang lebih bermanfaat bagi ayah, anak laki-laki atau perempuan, tidak ada kaitannya dengan masalah kesempurnaan manusia. Itu karena masalah kesempurnaan manusia dan kemampuan laki-laki dalam menghidupi keluarga adalah dua persoalan yang berbeda.

Memang, jika seorang ayah ingin memperoleh manfaat, maka dia akan memperoleh lebih banyak manfaat dari anak laki-laki. Anak laki- laki dapat menyelesaikan berbagai masalah orang tuanya ketika mereka memasuki usia tua. Ini tidak berarti anak laki-laki lebih utama daripada anak perempuan di sisi Allah, atau anak laki-laki lebih utama daripada anak perempuan dalam hal kemampuan intelektual. Namun, memang, kebanyakan anak laki-lakilah yang dapat membantu orang tua lebih banyak daripada anak perempuan. Selain kemampuan menghidupi keluarga yang merupakan kelebihan anak laki-laki ini, tidak ada sesuatu yang membuat anak laki-laki lebih unggul atas anak perempuan, ataupun sebaliknya, kecuali berdasarkan kualitas ketakwaan masing-masing. Kita harus waspada agar di antara dua masalah ini tidak dicampuradukkan.

Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu" (QS Al-Hujurât:13).

Dalam surah yang lain, Allah Swt berfirman, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS Al-Nahl:97) Ketiga, rahasia mengapa para imam a.s meminta agar dikaruniai anak laki-laki adalah karena mereka ingin agar ada imam penerus setelahnya.

Artinya, substansi kepemimpinan adalah wilâyah. Masalah ini telah kami ketengahkan pada bab terdahulu. Di sana kami katakan bahwa substansi kepemimpinan adalah wilâyah dan maqam-maqam spiritual. Substansi kenabian, risalah, dan kepemimpinan adalah wilâyah, sedangkan dalam wilâyah tidak ada perbedaan antara pria atau perempuan dalam hal potensi pencapaian maqam-maqam tersebut. Manusia, pria ataupun perempuan, sama-sama berpotensi untuk menjadi walî Allah.

412 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 412

AYATULLAH JAWADI AMULT Oleh karena itu, jika para imam minta kepada Allah agar dianugerahi anak laki-laki, tujuannya adalah agar ada orang yang menduduki tempat mereka dan mengurusi kepemimpinan masyarakat setelah mereka.

Kepemimpinan adalah hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas keduniaan dan itu khusus untuk pria.

Dalam pembahasan yang telah lewat, telah kami jelaskan bahwa pelaksanaan tugas terbagi menjadi beberapa bagian, sebagian merupakan tanggung jawab perempuan dan sebagian lain merupakan tanggung jawab pria. Tugas-tugas keduniaan yang lebih banyak membutuhkan kekuatan fisik merupakan tanggung jawab pria. Perempuan sama sekali tidak dapat menerima pekerjaan yang berada di luar kemampuannya.

Jika perempuan diberi tugas lain yang sesuai dengan kesiapan fisiknya, maka dia akan mendapat ganjaran atas apa yang dilakukannya, jika dia menerimanya dengan ikhlas. Sekali lagi, dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Banyak tugas keduniaan yang dapat dilakukan oleh perempuan, dan pria tidak boleh turut serta di dalamnya. Demikian pula kaitannya dengan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris, jika dalam bidang itu perempuan terpisah dari pria, maka perempuan dapat menangani sendiri hal ini.

Apakah Boleh Mendengar dan Memperdengarkan Suara Perempuan?

Pertanyaan tersebut telah dikemukakan secara garis besar dalam pembahasan yang telah lewat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus memperhatikan dua hal:

Pertama, bolehkah seseorang mendengarkan suara perempuan? Kedua, bolehkah seorang perempuan memperdengarkan suaranya kepada orang lain (pria)? Mengenai persoalan tersebut, ada pembahasan tersendiri mengenai hukum mendengar dan memperdengarkan suara perempuan. Ada Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 413

p: 413

Keindahan dan Keagungan Perempuan beberapa kondisi yang perlu diketahui secara pasti ketentuan hukumnya sehubungan dengan masalah ini:

Pertama, jika seorang pria mendengarkan suara perempuan dengan tujuan merasakan kenikmatan, maka dia telah berbuat maksiat. Akan tetapi, jika perempuan yang berbicara itu tidak memiliki tujuan apa- apa selain berbicara, maka dia sendiri tidak terkena dosa. Orang yang mendengar suaranya dengan tujuan maksiat itulah yang terkena dosa.

Kecuali jika perempuan yang berbicara tersebut tahu bahwa pria yang mendengar suaranya itu bertujuan untuk merasakan kenikmatan, maka dia dianggap telah bekerja sama dalam melakukan dosa.

Kedua, perempuan yang berbicara dengan tujuan agar suaranya dapat membangkitkan gairah seks lawan jenis yang mendengarnya, ia terkena dosa dan perbuatan ini haram. Pria yang mendengarkan suara tersebut dengan tujuan yang sama, sama-sama telah berdosa.

Ketiga, perempuan yang berbicara tanpa bertujuan untuk mem- bangkitkan syahwat pria, kemudian pria mendengarkannya secara biasa dan tidak bertujuan untuk menikmati, maka mendengar dan mem- perdengarkannya dihukumi boleh.

Alasan para ulama yang memfatwakan haramnya mendengar suara perempuan adalah firman Allah Swt, "Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya" (QS Al-Ahzâb:32).

Namun, tidaklah tepat berdalil dengan ayat ini untuk membuktikan keharaman mendengar suara perempuan. Itu karena konteks ayat tersebut berbicara kepada para istri Nabi Muhammad Saw. Ayat ini secara lengkap berbunyi, "Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya” (QS Al-Ahzâb:32).

414 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 414

AYATULLAH JAWADI AMULT Jelas bahwa hukum tersebut adalah khusus untuk para istri Nabi Saw. Barangkali masih dibenarkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat di atas, di samping untuk para istri Nabi Saw, juga berlaku bagi seluruh perempuan.

Namun, yang lebih menguatkan kesalahan pendapat mereka yang mengharamkan mendengar suara perempuan secara mutlak adalah firman Allah Swt yang berbunyi, “Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya. Yaitu firman-Nya yang berbunyi, Dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS Al-Ahzâb:32).

Artinya, para perempuan hendaklah berbicara dengan baik, dan hendaklah mereka memperhatikan kandungan ucapan mereka agar tidak membangkitkan syahwat para lelaki yang mendengarnya sehingga membuat mereka berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang keji.

Tidak diragukan lagi bahwa perempuan yang memperdengarkan suaranya, jika bertujuan untuk memancing gairah lawan jenisnya, maka hukumnya haram. Namun, masalah ini di luar pembahasan kita karena pembahasan kita adalah tentang bagaimana perempuan dapat mengajar, menyampaikan nasihat serta melakukan aktivitas-aktivitas lain yang menuntutnya “bersuara".

Perempuan boleh dan dapat mengajar disiplin ilmu ekonomi atau hukum sehingga para siswanya dapat menjadi hakim. Meski dia tidak dapat menjadi hakim atau marja' taqlîd, tetapi perempuan dapat melahirkan murid-murid yang dapat menjadi qâdhî atau marja' taqlîd.

Ringkasnya, perempuan yang memperdengarkan suaranya jika tidak ber- tujuan untuk membangkitkan syahwat pendengarnya, maka itu bo- leh, begitu pula dengan pria yang mendengarnya.

Pendapat al-Syahîd al-Awwal

Sebagian ulama fikih, seperti al-Syahid al-Awwal, mempunyai komentar dalam persoalan ini sebagaimana tercantum dalam kitabnya al-Lum'ah al-Dimasyqiyyah, pada bab al-Nikâh. Dia berkata, “Seorang Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 415

p: 415

Keindahan dan Keagungan Perempuan perempuan diharamkan melihat seorang lelaki asing atau mendengar suaranya, kecuali dalam keadaan darurat seperti dalam urusan muſâmalat atau urusan pengobatan." Sebagian ulama fikih kita menduga bahwa telah terjadi kesalahan dalam penulisan kitab al-Lum'ah itu karena sangat disangsikan seorang al-Syahîd al-Awwal mengemukakan fatwanya seperti itu.

Hijab adalah Hak Tuhan

Ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa hijab adalah belenggu bagi perempuan yang sengaja diciptakan lingkungan keluarga dan keterikatannya dengan pihak suami. Oleh karena itu, hijab disebut sebagai pertanda kelemahan dan keterbatasan perempuan.

Hijab dalam pandangan Alquran adalah ia tidak hanya berkaitan dengan diri perempuan secara khusus, tidak pula berkaitan dengan pria saja. Hijab perempuan bukanlah hak keluarga, tetapi hak Tuhan.

Oleh karena itu, kita melihat di dunia Barat dan negara-negara lain yang didominasi aturan Barat, jika perempuan yang telah berkeluarga berbuat serong, tetapi suaminya rela, maka undang-undang mereka tidak mempermasalahkannya. Islam tidak demikian. Kehormatan perempuan tidak khusus untuk dirinya, suami, saudara, anak-anak dan keluarganya.

Meski mereka semua rela dan menyetujuinya, ettapi Alquran tetap tidak rela karena kehormatan perempuan adalah hak Allah. Allah Swt telah menciptakan perempuan dengan dibekali perasaan agar dapat menjadi seorang guru yang lembut yang mengajarkan cinta dan kasih sayang.

Jika masyarakat meninggalkan pelajaran cinta dan kasih sayang dan lebih mementingkan nafsu dan syahwat, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut akan hancur seperti yang telah menimpa masyarakat Barat dewasa ini. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengatakan bahwa dia setuju jika perempuan tidak menggunakan hijab.

Demikianlah, Alquran memandang bahwa perlindungan ter- hadap perempuan adalah hak Allah Swt. Seluruh anggota keluarga dan 416 Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 416

AYATULLAH JAWADI AMULT masyarakat, khusunya perempuan, adalah para pengemban amanat Ilahi. Alquran menganggap perempuan sebagai penjaga amanat- Nya. Artinya kedudukan, kehormatan, dan kemuliaan tersebut merupakan hak Allah yang telah diberikan Allah kepada perempuan.

Masyarakat yang menjadikan Alquran sebagai pemutus perkara di tengah-tengah mereka adalah masyarakat yang “berperasaan". Itu karena setengah dari masyarakat tersebut dididik oleh guru-guru cinta dan kasih sayang. Para ibulah yang mengajari belas kasih dan kelembutan, mau tidak mau, baik kita sadari maupun tidak. Belas kasih dan kelembutan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan berbagai macam problem masyarakat

Filsafat Hijab dalam Alquran

Apa yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa tidak ada sedikit pun perbedaan antara pria dan perempuan dalam mencapai kesempurnaan, tetapi itu harus selalu sesuai dengan konsep Alquran.

Artinya, Alquran telah menyatukan antara kesempurnaan, hijab, pikiran dan harga diri. Pemerintahan Islam juga menjadikan “Alquran dan Hijab" sebagai simbolnya. Artinya, keagungan perempuan adalah dalam "dia tidak melihat pria, dan pria pun tidak melihatnya".

Ketika berbicara tentang hijab, Alquran mengatakan bahwa hijab adalah salah satu bentuk penghormatan dan kemuliaan bagi perempuan agar dia tidak dilihat oleh pria yang bukan muhrimnya dengan pandangan yang disertai nafsu hewani. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa melihat perempuan non-Muslim tanpa tujuan negatif, hukumnya boleh. Alasannya, perempuan non-Muslim tidak menerima penghormatan dan kemuliaan tersebut.

Jika seseorang tidak dapat mengetahui sistem nilai dengan benar, maka boleh jadi dia akan menganggap bahwa hijab adalah sebuah belenggu. Namun, Alquran menyebutkan bahwa hijab merupakan sebuah keharusan. Allah Swt berfirman, “Dan janganlah mereka menampakkan Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi << 417

p: 417

Keindahan dan Keagungan Perempuan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya" (QS Al-Nûr:31).

Alquran menjelaskan hikmah di balik pentingnya mengenakan hijab sebagai berikut, "Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu" (QS Al-Ahzâb:59).

Kesimpulan

Perempuan dan pria pada dasarnya sama ditinjau dari tolok ukur nilai-nilai Ilahi. Terdapat beberapa keistimewaan yang dimiliki pria, yaitu berkenaan dengan tugas-tugas keduniaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa tanggung jawabnya pasti lebih banyak. Jika dia tidak melaksanakan tugas-tugas tersebut, maka dosanya akan lebih banyak. Oleh karena itu, kita mengambil kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, tuduhan yang ditujukan kepada Islam, di mana mereka mengatakan bahwa Islam telah merampas sebagian hak masyarakat, adalah tidak benar.

Kedua, anggapan bahwa perempuan adalah gambaran kelemahan dan kehinaan adalah akibat dari fanatisme dan tradisi jahiliah yang telah membudaya di tengah masyarakat Islam sejak dulu harus kita lenyapkan.

Ketiga, kita harus membuang jauh-jauh asumsi yang menya- takan bahwa perempuan tidak diperkenankan memanfaatkan fasilitas pendidikan, seperti menuntut ilmu, agar perempuan mampu mempelajari berbagai ilmu pengetahuan seperti pria dan dapat sama-sama melayani masyarakat.

Keempat, firman Allah Swt, “Dan bergaullah dengan mereka secara patut" tidak hanya khusus untuk masalah-masalah dalam rumah tangga, tetapi berlaku juga dalam setiap aktivitas kemasyarakatan.

Kelima, perempuan sebagai lawan dari pria berbeda dengan perempuan sebagai lawan dari suami. Artinya, perempuan dalam statusnya sebagai istri memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap suaminya.

< 418 > Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi

p: 418

AYATULLAH JAWADI A MULT Demikian pula perempuan sebagai lawan pria, dia juga mempunyai tugas dan tanggung jawab di mata masyarakatnya. Dalam urusan keluarga terkadang perempuan menjadi pemimpin bagi pria sehingga pria harus patuh terhadapnya. Karenanya, seorang anak harus patuh kepada ibunya.

Catatan

Meskipun masih terdapat hal-hal lain yang menjadi bahan pertanyaan banyak orang, tetapi dengan memperhatikan kaidah-kaidah umum yang telah disebutkan dalam buku ini, serta dengan mengetahui garis-garis besar sistem nilai dalam Islam serta penjelasan tentang makna kebahagiaan dan kesengsaraan, maka buku ini, penulis anggap telah dapat memberikan jawaban yang cukup jelas.

Menjawab Beberapa Masalah dan Riwayat Kontroversi 419

p: 419

p: 420

Indeks

A

Abdullah bin Sinan 407

Abî Hamzah al-Tsumalî 185

Ahlul Bait 3, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 52, 53, 54, 126, 133, 141, 147, 164.

168, 171, 173, 175, 232, 275, 286, 299, 314, 318,319, 335, 352, 371, 382, 383

Ali bin Abi Thalib as 3, 15, 16, 19, 24, 35, 38, 74, 76, 105, 122, 133, 169, 173, 174, 175, 180, 192, 216, 218, 228, 242, 246, 269, 274, 299, 308, 310, 311, 314, 320, 321, 323, 333, 334, 335, 336, 337, 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 350, 358, 376, 377, 382, 383, 384, 397

Ali bin Musa al-Ridha as 24

Ali Zainal Abidin as 4, 23, 66

al-Lahab 383

‘Allâmah Thabâthabâ'î 275, 279, 366, 397

Aminah 390 Aristoteles 275

Asma' al-Husna 5

B

Bahnamiyâr 262

Baihaqi 388

Balqis 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296, 326

Barzakh 177

Bihâr al-Anwâr 24, 67, 122, 173, 180, 217, 219, 232, 265, 335, 338, 351, 352, 406

Bintu al-Walid bin al-Mughirah 20

Fathimah al-Zahra as 24, 34, 38, 133, 169, 178, 187, 192, 217, 382, 384, 385, 409, 410

burâq 217

burhân 52, 53, 163, 206, 2007

C

cahaya 13, 101, 133, 173, 180, 190, 192, 193, 197, 199, 204, 207, 213, 219, 231, 256, 258, 275, 279, 316, 358, 383

celaan 18, 335, 336, 337, 343, 345, 354, 355

cendekiawan 53, 260

cinta 15, 21, 29, 30, 35, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 205, 207, 212, 230, 231, 248, 253, 257, 283, 298, 343, 345, 416, 417

D

dalil qath'î 29 dalil zhannî 29

dha'îf 29

differentia 262

diskriminatif 19,38

Durr al-Mantsûr 251, 257, 309, 311, 319, 388

dzâtiyyah 3

E

ekonomi 15, 21, 246, 277, 362, 391, 393, 394, 399, 415

eksternal 38, 48, 272, 274, 275

entitas 11, 126, 127

p: 421

F

feminin 33, 57, 67, 73, 76, 81, 101, 144

fi'liyyah 3

Fir'aun 140, 141, 146, 147, 148, 149, 150, 176, 193, 195, 200, 290, 295, 311

fitrah tauhid 118, 119, 249

fuâd 65

Fudhail Ibn 'Iyâdh 259, 260

G

gender 33, 65, 66, 73, 75, 86, 89, 111, 173, 176, 215, 249, 250, 262, 263, 264, 274, 275, 327, 379

Gender 63, 83, 91, 262, 263, 264

gerakan substansial 270

godaan setan 124

Guru pertama 48

H

Harun as 200, 290, 311

Hasan as 16, 384

Hawa as 27, 28, 29, 35, 105, 111, 112, 113, 114

Hijab perempuan 416

Hijaz 20

Hijrah 386 hudhûrî 47, 64, 281, 282

I

'irfan 3, 48, 52, 53, 84, 85, 159, 177, 179, 181, 183, 186, 187, 220, 227, 243, 251, 260, 261, 283, 326, 346, 356, 374

Isa as 105, 136, 139, 154, 155, 156, 157, 164, 203, 268, 295, 340

Ishaq as 17, 167, 274, 371, 392

i'tibârî 15

luzûm haqqî 36

luzûm hukmî 36

Ibnu Arabî 247, 248, 249, 250, 355

Ibnu Sînâ 262

Ibrahim as 17, 143, 144, 146, 162, 163, 164, 167, 168, 176, 181, 182, 194, 195, 196, 206, 207, 285, 347, 348, 390, 399

Ikrimah bin Abu Jahal 20

ilmu 'aqlî 47,49

ilmu hissî 46, 47, 48, 50

ilmu syuhûdî 47, 49, 280, 281, 358

Imam Mahdi as 180

J

Ja'far al-Shadiq as 35, 79, 126, 190, 191, 201, 350, 353, 354, 404, 407

jamâl nafsî 14

jamâl nisbî 14

Jasad 99, 129, 178, 211, 264, 267, 269, 270, 271

Jawâdî Âmulî 2, 39

Jawahir 331, 376, 380

Jawsyan al-Kabîr 220

K

Khadijah as 300

Khaibar 180, 317, 321

khalifah Allah 102, 103, 105, 109, 110, 111, 171, 173, 174, 176

Khansa 323

khiyâr 36, 37

khumus 409, 410, 411

kontradiksi 62, 407

Kufah 315, 335, 336, 337

L

Lathîfah al-Ilâhiyyah 65

Lum'ah al-Dimasyqiyyah 415

Luqmân al-Hakîm 208 Luth as 145, 146, 149, 150

M

mahar 29, 340, 341, 396

p: 422

M

Mahmûd al-Lathîfî 2

Malik bin Anas 20

Manifestasi 3,4

Magâm 163, 251

marja' taqlid 251, 281, 373, 374, 376, 377, 378, 379, 380, 391, 392, 395, 415

mawjûd imkânî 4

Muhammad al-Baqir as 35, 324

Muhammad bin Ali al-Jawad as 24

Muhammad bin Bâbawaih al-Qummî 27

Mullâ Shadrâ 265

Musa as 120, 140, 141, 169, 193, 195, 200, 290, 311, 340

Muwaththa' 20

S

Sarah as 17

Sayyid al-Murtadhâ 409, 411

Shafwan bin Umayyah 20

shiddîqîn 159, 160, 336, 344

shirâth al-mustaqîm 73

Sufyan al-Tsaurî 255

Syahîd al-Awwal 415, 416

Syaikh al-Anshârî 374

syuhûdî 47, 49, 50, 71, 116, 118, 154, 280, 281, 358

N

nâfilah 347, 348

Nuh as 145, 146, 149, 150

T

taabbudî 29, 53, 374

Tabarrî 94

tafsir maudhû î 41, 42

tafsir tartîbî 41, 42

tajallî 4, 163, 186, 243, 247, 269

takwînî 15,392

Tawallî 94

Turki 78

O

obyektif 126, 127, 155, 237

P

Padang Mahsyar 217

penyaksian kalbu 49, 52, 116, 282

penyucian maknawi 8

Persia viii, 78, 219

proposisi 61, 62, 65, 197, 276

U

'ubûdiyyah 256

ulûl-'azmi 103, 146

Ummu Kultsum 322

Universitas al-Zahra 1, 2

Uwais al-Qarnî 259

Q

qâdhî 380, 415

Qaishari 247, 248

qisâs 5, 6, 7

Qum 1,39

Qurthubî 155, 157, 159, 165

V

vertikal 371,400

W

Wahyu 168,336

Waliyyul Amri 377

wilayah Islam

R

Râbi'ah al-'Adawiyyah 254, 255, 256

Râbi'ah al-Syâmiyyah 251, 253, 256

Râbiʻah Binti Ismâ il 257

revolusi Islam 75 Risalah al-Huqûq 23

rubûbiyyah 256

p: 423

wujud 21, 30, 101, 172, 174, 243, 263, 264, 265, 270, 271

Wujud 66, 172

Yahya as 164

Yaman 291, 292, 295, 314

Ya'qub as 12

Yasir 301

Yusuf as 12, 74, 134, 135, 137, 289

Z

Zainab as 382, 397

Zakaria as 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 161, 162, 163, 164, 203

Zamakhsyarî 154, 157, 165

Zarârah bin A'yan 27

zauj 33, 51, 101, 102

p: 424

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109