سرشناسه : یوسفیان، حسن
Yusufiyan, Hasan
عنوان قراردادی : عقل و وحی . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور : Akal Dan Wahyu Tentang RasionalitasDalam Ilmu, Agama dan Filsafat/ Hasan Yusfian, Ahmad Husain Sharifi; penterjemah Ammar Fauzi Heryadi.
مشخصات نشر : Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.
مشخصات ظاهری : 291ص.؛ 5/14×5/21 س م.
فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/264/171. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 10.
شابک : 978-964-195-035-6
وضعیت فهرست نویسی : فیپا
یادداشت : اندوزیایی.
موضوع : عقل گرایی (اسلام)
موضوع : وحی -- اسلام
شناسه افزوده : شریفی، احمدحسین، 1349 -
شناسه افزوده : Sharifi,Ahmad Husain
شناسه افزوده : فوزی هریادی، عمار، مترجم
شناسه افزوده : Fauzi Heryadi, ,Ammar
رده بندی کنگره : BP229/2/ی 9ع 7049519 1393
رده بندی دیویی : 297/4812
شماره کتابشناسی ملی : 3649491
p:1
p:2
Akal Dan Wahyu Tentang Rasionalitas Dalam Ilmu, Agama dan Filsafat
penulis: Hasan Yusfian, Ahmad Husain Sharifi
penerjemah: Ammar Fauzi Heryadi
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN:
978-964-195-035-6
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
p:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s)Avenue, DanishAvenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
p:4
Pengantar IICT xiii
Pendahuluan 1
BABI Definisi Akal Dan Wahyu 9
Jalan Memperoleh Pengetahuan 10
Jalan Umum 11
Indra dan Eksperimen 11
Pemikiran dan Pembuktian 12
Teks (Naql) 13
Penyaksian Batin (Syuliuid Bathini) 13
Jalan Khusus 15
Huduri 16
Mustahil Keliru 16
Terma-terma Alternatif 17
Akal dan Agama 17
Kesalahpahaman Akibat Melawankan Akal
dengan Agama 17
Kendala Pendefinisian Agama 18
Agama dan Filsafat 19
IImu dan Agama 24
Akal dan Iman 24
Sekilas “Rasionalisme” 27
Makna Rasionalisme vis-a-vis Empirisme 28
Makna Rasionalisme vis-a-vis Fideisme dan
Literalisme 28
p:v
p:5
Akal dan Wahyu
BAB II Makna Akal dalam Skema Pro-Kontra 31
Akal, Sarana atau Sumber? 36
Sarana, Bukan Sumber Pengetahuan 36
Analisis 37
Akal di Kalangan Kaum Arif 38
Hati di atas Akal 40
Kelemahan Akal dalam Beberapa Bidang 43
Penyingkapan ‘Irfani: Nonakal atau Antiakal? 44
Pandangan Rumi 46
BAB III Rasionalisme Radikal Antiagama 51
Wahyu, Gagasan Mustahil 52
Cukup Akal! 55
Brahmana 55
Deisme 56
Zakaria Razi 58
Agama, Nihil Tolok Ukur Rasional 63
Evidensialisme 64
Abul Ala’ Ma‘arri 67
Respon Agamawan 72
Menakar Rasionalitas Agama 73
Berlindung di Balik Iman 74
Subordinasi Akal 76
Ketidakcukupan Akal Membimbing Manusia 77
BAB IV Rasionalisme Radikal dalam Sejarah Islam 81
Muktazilah 83
Anasir Utama Rasionalisme Muktazilah 84
Agama dan Ajaran Non-Islam 85
Kritik dan Analisis 87
Filsafat Yunani 91
Membela Kemurnian Ajaran Islam 92
p:vi
p:6
Daftar Isi
Muktazilah: Rasionalisme Radikal atau Moderat? 94
Faktor-Faktor Kemunduran Muktazilah 97
Kritik terhadap Sahabat 98
Ekstremisme dalam Merasionalisasi dan
Menakwil Teks 98
Akidah Lawan sebagai Selera Awam 99
Investigasi Akidah 100
Dampak Keruntuhan Muktazilah 100
Ibnu Thufail 101
Ibnu Rusyd 107
Tahafut Al-Tahafut 109
Fashl Al-Magal fi ma@ bain Al-Hikmah wa
Al-Syari‘ah min Al-Ittishal 110
Al-Kasyf ‘an Manahuj Al-Adillah 112
Averroisme Barat dan Dualisme Kebenaran 113
Kesimpulan 115
BAB V Literalisme Ahli Sunah 119
Ahli Hadis, Pelopor Literalisme 120
Mengecam Teologi 123
Kaum Hanbalis dan Kemandulan Akal 125
Ahmad bin Hanbal dan Sifat Khabariyah 126
Unsur Antiakal Hanbaliyah Makin Populer 128
Mazhab Zhahiriyah, Pewaris Ahli Hadis 129
Antirasionalisme, Dalih Menolak Qiyas 132
Kombinasi Literalisme-Rasionalisme 135
Ibnu Taimiyah dan Kebangkitan Kembali Literalisme
Radikal 137
Posisi Akal dalam Syariat 138
Ciri Khas Sifat Khabariyah versi Ibnu Taimiyah 140
Menolak Logika Aristotelian 144
Reaksi terhadap Pemikiran [bnu Taimiyah 146
p:vii
p:7
Akal dan Wahyu
Wahabisme, Wajah Baru Ahli Hadis 148
Literalisme Menuai Kritik 151
Makna Mengikuti Teks (Literal) 153
Ambiguitas, Jalan Keluar tanpa Jaminan 154
Ragam Kecenderungan Kaum Salaf 156
BAB VI Akal: Perspektif Akhbariyah 157
Latar Belakang Historis 158
Asal Usul Akhbariyah 168
Empirisme Barat 169
Sinis Menilai Ushiul Fikih 171
Taklid pada Ahli Sunah 174
Keliru Memahami Hadis Imam 176
Perbedaan Fundamental Akhbariyah dan Ushuliyah 180
Skala Pemikiran Akhbariyah 182
Nilai Validitas [Hukum] Akal 185
Argumentasi Tekstual 187
Beberapa Kritik 189
Argumentasi Rasional 192
Analisis dan Kritik 194
Kelompok Akhbari dan Masalah Pertentangan
Akal dan Teks 196
BAB VII Wahyu dan Penyaksian Sufistik 199
Hakikat tanpa Syariat 205
Khidhir dan Musa, Simbol Ahli Tarikat dan Syariat 211
Tasawuf dan Syariat Khusus 213
Tujuan, Pembenar Sarana 217
Antisyariat dalam Doktrin Malamatiyah 223
Mabuk (Sakr), Pelarian Bebas syariat 225
Analisis dan Kritik 227
Keseutuhan Hakikat dan Syariat 228
p:viii
p:8
Daftar Isi
Konsistensi Kludir pada Syariat 233
Koherensi Sarana dan Tujuan 235
Karamah dan Tolok Ukur Kebenaran 236
BAB VIII Akal: Perspektif Islam 239
Tinjauan Teks (Ayat dan Riwayat) 240
Perspektif Alquran 243
Mengajak Berpikir 243
Merumuskan Argumentasi Rasional 244
Mengacu Prinsip Kausalitas 245
Menjelaskan Filsafat Hukum 247
Kekeliruan Berpikir 247
Menuruti Prasangka dan Praduga 248
Taklid Buta 249
Ketergesaan 250
Hasrat dan Desakan Jiwa 250
Peran Wahyu 252
Menjelaskan Keterbatasan Akal 252
Mengarahkan pada Objek 253
Menunjukkan Rincian Jalan 254
Menunjukkan Kekeliruan Berpikir 255
Peran Akal 255
Akal sebagai Tolok Ukur 256
Mengafirmasi Kebenaran Agama 256
Membuktikan Prinsip-prinsip Keimanan 257
Melindungi Agama dari Penyimpangan 257
Akal sebagai Kunci 258
Akal sebagai Pelita 259
Baik-Buruk Rasional (Husn wa Qubh ‘Agli) 259
Kaidah Korelasi (Mulazamalt) 262
Daftar Pustaka 265
Indeks 297
Lampiran 301
p:ix
p:9
Gambar
p:10
Gambar
Institute for Islamic Culture and Thought (ICT) berdiri dan memulai
aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah paradigma pemikir-
an pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemikiran sarjana dunia Is-
lam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe, yakni tradisionalisme, mod-
ernisme, dan modernisme religius. Kaum tradisionalis, dalam interaksi
mereka dengan modernitas, menghadapi berbagai konsep dan teori
baru, menempatkan tradisi sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam
kondisi apa pun. Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi
modernitas secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran
dan reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kom-
patibel dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma
ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.
Sementara dari sisi lain, kaum modern berdiri pada posisi
diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga
dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemikiran
modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsip dan
mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsep-konsepnya.
Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam bentuk
kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan, paradigma modern-
isme, justru pada gilirannya, berujung pada negasi total terhadap
tradisi, dan sebaliknya menumbuhkan paradigma humanisme serta
mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh aspek masyarakat.
Di antara dua paradigma ini, modernisme religius, terutama
paradigma Pemikiran Pembaruan, tampil konsisten dalam menjunjung
tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang pergaulannya dengan konsep-
p:xiii
p:11
konsep modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi dan mereproduksi
pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep modernitas dengan
filter tradisi. Dalam mekanisme inilah, terma-terma seperti kebebasan,
kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan makna khasnya dibanding
dengan kebebasan, demokrasi, dan keadilan sosial sebagaimana yang
dipahami dalam paradigma modern.
Berbasis di atas, akal dan rasionalitas, paradigma pemikiran pembaruan
meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut pandangnya dalam upaya
mendefinisikan realitas, mencapai kebenaran, dan menjelaskan sistem nilai.
Atas dasar ini pula, tentu saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori
dan reproduksi pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya, ekonomi,
politik, dan sosial.
Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan lebih
dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan di tingkat internasional.
Tidak hanya menanggapi kritis sekularisme dan humanisme sebagai dua pan-
dangan dunia yang dominan di Barat, karya-karya ini, juga dengan kekuatan
kritis yang sebanding, menganalisis dan menyangkal paradigma kaum
tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran baru di atas jalur tradisi
dalam kerangka rasionalitas Islam dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.
Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad
DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE
AND THOUGHT (IICT)
p:xiv
p:12
Dengan Nama Yang Menerangi jiwa dengan agama
Yang kepada akal Memberi yakin ketuhanan.
Puji dan syukur kepada Tuhan yang telah mengistimewakan manusia
dari semua makhluk lain dan menetapkan pengenalan terhadap Diri-
Nya sebagai tujuan penciptaan. Mengingat sarana yang benar-benar
tepat diperlukan untuk mencapai tujuan ini, Dia lantas membekali
manusia sejenis “utusan” dalam dirinya yang disebut akal, sekaligus
melengkapinya dengan indra lahiriah dan batiniah yang berfungsi
sebagai juru bantu.
Modal keistimewaan yang melampaui semua makhluk lain
ini ditanamkan Tuhan dalam kemampuan manusia untuk meraih
pengetahuan dan pengenalan yang tidak mungkin diperoleh makhluk
lain. Itulah sebabnya, bila manusia tidak menggunakan sarana Ilahi
ini secara maksimal, niscaya dirinya akan sederajat dengan — bahkan
jauh lebih rendah lagi dari — binatang ternak sekalipun:
Dan sesungguhnya, Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam
kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi
tidak digunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(ayat-ayat Allah); dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
p:1
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A'raf [7]: 179).
Jelas, indra dan akal juga acapkali menemui jalan buntu
sehingga diakui memiliki kelemahan dan ketidakmampuan untuk
menghamparkan seluruh rincian jalan menuju kebahagiaan. Oleh
karena itu, mereka juga menaruh harapan pada sarana lain yang
representatif, yang mampu memetakan hubungan kehidupan di
alam ini dengan di alam lain, juga menunjukkan manusia bentangan
jalan ke puncak kesempurnaannya. Sungguh tepat saat pencipta
langit dan bumi ini menamakan dirinya “Sebaik-baik Pencipta”: Dia
telah menutupi semua kekurangan ini dengan fenomena wahyu. Para
utusan Tuhan, dengan bermodal bukti-bukti kuat yang mustahil
ditembus peluru keraguan, menyatakan diri sebagai penerima
pengetahuan wahyuni, untuk kemudian mengajak umat manusia
memosisikan wahyu (aq!) bersanding erat dengan akal.
Dengan demikian, “utusan-utusan” internal dan eksternal diri
manusia pada dasarnya saling menguatkan satu sama lain, dengan
catatan: pesan dan tuntunan mereka ini dicerna dengan benar (logis)
dan baik (metodis). Akal tak akan enggan menerima pengetahuan
wahyuni. Sebaliknya, wahyu pun tidak mungkin membuka diri
bilamana akal ditanggalkan, sebab keduanya merupakan bukti
Iahi.
Allah memiliki dua bukti atas manusia: bukti yang tampak dan
bukti yang batin. Bukti yang tampak adalah para rasul dan para
nabi, sedangkan bukti yang batin adalah akal.(1)
Kendati begitu, relasi di antara data-data yang diajukan kedua jenis
pengetahuan ini senantiasa menjadi pusat kegelisahan manusia; sejak
dahulu sampai sekarang. Tidaklah berlebihan jika sejarah pemikiran
p:2
manusia disebut juga sejarah gagasan seputar relasi pengetahuan
aklani dan pengetahuan wahyuni. Berbagai polemik yang tampak
dari produk-produk kedua sumber pengetahuan ini terus menjadi
fokus kaum agamawan dan para cendekiawan. Sebagian kelompok
berusaha menjatuhkan martabat akal dengan maksud melindungi
kehormatan wahyu. Sementara itu, sebagian lain begitu menjunjung
tinggi posisi dan superioritas akal dengan cara menjatuhkan wahyu.
Ada pula sekelompok yang mengerahkan segenap upaya untuk
mendamaikan kedua sumber pengetahuan tersebut.
Sepanjang sejarah, konflik antara akal dan wahyu memiliki
dimensi dan pola yang berbeda-beda, seirama formasi wacana
yang populer saat itu. Awalnya, polemik ini mengemuka dalam
formasi “filsafat versus agama”. Ajaran-ajaran filosofis—dalam
kapasitasnya sebagai data-data rasional yang disusun sistematis —
diyakini bertolak belakang dengan ajaran agama. Akibatnya, muncul
sekelompok agamawan yang berusaha mati-matian menjadikan
ruang lingkup agama steril dari “kuman-kuman” filsafat. Peluru-
peluru tudingan dogmatis (hitam-putih) yang mereka tembakkan
tak ayal menghambur ke mana-mana, hingga menyasar disiplin
Logika dan Teologi. Dalam rangka ini, tidak jarang dari mereka
menulis buku dan risalah secara khusus; mereka menjuluki ilmu
Logika sebagai “pengunyah sisa makanan orang kafir dan ateis
Yunani Kuno”. Mereka juga menyerang habis-habisan kaum teolog
yang bermaksud merasionalisasi agama dan keberagamaan.
Dalam bukunya, Tahfut Al-Falsafah, Ghazali terlihat jelas ingin
menunjukkan betapa kasar pergesekan yang terjadi antara konklusi
filosofis dengan ajaran wahyuni. Belum lagi Ibnu Taimiyah yang
secara khusus menulis Nasiihat Ahl Al-fmdn fi Al-Radd ‘ala Manthiq
Al-Ytinan untuk memperingatkan orang-orang Mukmin mengenai
bahaya logika Yunani. Sementara itu, muridnya, Ibnu Qayim, yang
ikut bergabung dengan kelompok penghujat Logika, menuturkan:
Logika Yunani sesungguh-sungguhnya
p:3
betapa banyak omong kosongnya.
Penoda pikiran jernih
penghalang berseminya fitralt.
Pembungkam hati dan lidah
pemilik fondasi yang sangat rapuh (1)
Perlu digarisbawahi, hujatan-hujatan ini pada dasarnya tidak
diarahkan pada akal perse; melainkan dapat dipandang sebagai
serangan terhadap ajaran-ajaran tertentu yang, oleh pendukungnya,
dianggap sebagai data-data rasional. Untuk lebih jelas lagi, para
kritikus itu mengatakan, “Apa yang kalian sebut ‘filsafat’ tidak lebih
dari hasil spekulasi, asumsi, dan pemitosan; bukan produk akal,
argumentasi, dan penelitian.” Maka dari itu, mereka mewanti-wanti
orang-orang yang berakal:
Jangan aduk filsafat dalam tutur kalimat
lalu kau sebut, “Inilah debat”.
Di jalan lumpur hanya ada sesat
wahai para tokoh! Jangan jejakkan kaki di lumpur.
Kendaraan agama kelahiran Arab
Jangan cetak tanda Yunani di pinggulnya.
Induk kunci mitos Aristoteles
Jangan pasang di pintu agama terbaik.
Lukisan usang Plato
Jangan pajang di altar tertinggi (agama) (2)
Dari sudut yang lain, kalangan sufi juga menghujat akal
dan argumentasi filosofis. Dalam pandangan mereka, semua itu
bertentangan dengan gairah percintaan yang merupakan inti dari
sensasi religius:
p:4
Gerbang wilayalt cinta terlampau tegak
menjulang tinggi di atas akal.
Orang bisa cium wilayah itu
kala nyawa di lengannya.(1)
Pada hemat mereka, argumentasi tidak ada gunanya. Akal dan
argumentasi ibarat tongkat di tangan tunanetra; niscaya kurang
berarti kalau saja tak dibantu juru yang melihat dan mengenal jalan:
Andai dengan tongkat tunanetra menatap jalan
itu hanya berkat makhluk penatap cemerlang.
Jika tak ada pemandang dan sang baginda
semua tunanetra niscaya meregang nyawa di dunia.
Sebaliknya, kalangan filsuf Muslim mengerahkan segenap
kekuatan untuk membuktikan keselarasan filsafat dengan agama.
Menurut mereka, memperkarakan Yunani sebagai asal-usul filsafat
guna dijadikan alasan untuk menentang filsafat merupakan bentuk
dari kedangkalan berpikir. Meski begitu, mereka juga mengakui
sejumlah kekeliruan tak disengaja yang terdapat dalam pengetahuan
manusia. Oleh karena itu, mereka berupaya meminimalisasi kekeliruan
para filsuf terdahulu dan semaksimal mungkin mengharmonikan
filsafat dengan ajaran Islam. Dalam filsafat Shadrian (Mulla Shadra),
usaha ini tampak mencapai puncaknya. Ia memproklamasikan
Hikmah Muta’aliyah sebagai ejawantah dari integralitas Alquran,
‘irfan (penyingkapan batin), dan burlin (demonstrasi). Filsuf besar
ini mengatakan:
Mustahil hukum-hukum agama Ilahi yang /iaq dan cemerlang
akan bertentangan dengan pengetahuan pasti (yaqini) dan jelas
p:5
(dharuri). Celakalah filsafat yang hukum-hukumnya tidak selaras
dengan Alquran dan Sunah!
Di Barat, nasib akal dan wahyu juga nyaris mirip dengan yang
dialami di dunia Islam. Bedanya, penolakan terhadap akal dan
ajakan kaum agamawan kepada iman minus akal (reasoning) telah
merepresentasi gereja sebagai institusi keagamaan yang antiakal.
Ini lantaran mata ajaran agama Kristen sudah berubah, dan sama
sekali tidak memiliki sangkut-paut genealogis dengan wahyu suci
Algquran. Karenanya, dapat dibedakan: mana ajaran-ajaran suci
samawi dan mana ajaran-ajaran manusiawi yang bersifat profan;
juga mana yang berlandas asas Tauhid dan mana yang berdasar
doktrin Trinitas. Atau, mana agama yang mengajarkan, “Siapa yang
lebih giat menggunakan akalnya, tentu lebih banyak ibadahnya,”(1)
dan mana agama yang meyakinkan, “Iman yakni tersalibnya akal.”(2)
Secara prinsip, Islam adalah agama kontemplasi dan pemikiran.
Polemik akal dan wahyu ini terus berlanjut di dunia kontemporer,
dan kali ini berlangsung antara sains versus agama. Sebagian
data yang disodorkan oleh sains dan ilmu-ilmu empiris dianggap
melawan pengetahuan wahyuni. Akibatnya, muncul perdebatan
sengit di kalangan agamawan, baik di Timur maupun di Barat.
Namun, yang paling bermasalah dengan oposisi biner sains-agama
ini justru kalangan agamawan di Barat. Sepanjang Abad Pertengahan,
pengetahuan nonwahyu sudah banyak dihasilkan. Namun,
menjamurnya pengetahuan nonwahyu ini kontan mengganggu
lingkungan gereja karena apa yang selama ini mereka anggap sebagai
bagian dari agama ternyata tidak relevan dengan data yang diajukan
sains modern. Pada masa berikutnya, yakni abad pasca-Renaisans,
Rasionalisme menggejala dan melawan gereja yang antiakal. Puncak
kebangkitan itu ditandai dengan kelahiran sejumlah isme, seperti
p:6
Evidensialisme. Mereka begitu jauh memuja akal, sampai-sampai
memosisikannya di tampuk ketuhanan:
Wahai alam! Wahai raja alam semesta! Dan engkau, wahai
Keutamaan dan Akal serta Hakikat sebagai tuhan termulia ...
jadilah tuhan kami selama-lamanya.(1)
Keberpihakan pada akal yang terlalu rigid dan berlebihan ini
bukan hanya mengusik tokoh-tokoh gereja, tetapi juga para pujangga
dan seniman Barat. Mereka menuntut jatah ruang untuk hati yang
diabaikan dan memandang akal sebagai tamu tak diundang; bahkan
mengecam akal yang disebut-sebut hanya punya keterampilan satu-
satunya, yakni mencoreng keindahan dan kebaikan:
Akal, tamu tak ditundang dan tak teratur kita ini
acapkali melihat keindahan, dia mencorengnya
Maksud hati menghias alis, malah membuatnya buta.(2)
Sekarang ini, kita dipusakai sejarah agung pemikiran manusia.
Dan, tak ada yang lebih mendesak kita selain berusaha sekuat
tenaga untuk terjun ke medan ini seraya mencari terang di sudut-
sudut pembahasan yang masih gelap. Sebelum segala sesuatunya,
kami memohon bantuan dari Pencipta akal dan wahyu. Dengan
mengakui segenap kelemahan dan kerendahan diri, kami menyeru-
Nya, “Anugerahilah kami kemudahan, tunjukkanlah kami jalan
dan keberhasilan. Hindarkan kami dari kesalahan yang tampak dan
tersembunyi agar terhindar dari sikap ‘berkurangan’ atau ‘berlebihan’
dalam mengenali posisi riil akal dan wahyu, serta meletakkannya
secara adil.”
Di sini, kami merasa wajib untuk menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas seluruh jerih payah para staf dosen fakultas
p:7
filsafat dan teologi di LKPI, dan secara khusus, pemikir yang sangat
berharga, Hujjatul Islam Fayyadhi, yang senantiasa memeriksa karya
tulis ini sejak awal hingga akhir, serta memberi kontribusi yang tak
ternilai kepada kami berupa serangkaian bimbingan. Semoga Allah
Swt selalu menganugerahkan kesuksesan kepada beliau pada hari ini;
lebih dari hari kemarin. Demi menuntaskan kesalahan-kesalahan
yang barangkali masih tersisa dalam buku ini, kami kembali mohon
bantuan Allah Swt. Kami juga menyambut hangat bimbingan dan
kritik membangun dari pembaca budiman.
Perlu diketahui, hampir seluruh bab dalam karya tulis ini disusun
secara bersama, kecuali Bas VI (tulisan eksklusif Bapak Sharifi) dan
Bas VII (tulisan eksklusif Bapak Yusufian), kendati tentunya dengan
beberapa input dari tim penyusun. Poin berikutnya, proposal awal
karya penelitian ini sebenarnya jauh lebih luas dari yang berhasil
kami susun pada kesempatan kali ini. Namun begitu, kami telah
merujuk dan mengutip sekitar lima ratusan buku rujukan berbahasa
Persia, Arab, dan Inggris. Kami benar-benar bersyukur kepada Allah
Swt karena kendati begitu banyak problema yang harus dihadapi,
kami akhirnya dapat mempersembahkan karya ini kepada para
cendekia yang religius.
Alhamduli-Allah alladzi hadana lihadza
wa ma kunna linahtadiya lawla an hadana-Allah
HASAN YUSUFIYAN AHMAD HUSAIN SHARIFI
p:8
p:9
Terminologi akal, baik dalam konteks filsafat maupun bidang ilmu
lain memiliki fungsi dan makna yang beragam. Paling populer
di antaranya adalah “kemampuan khas manusia dalam membedakan
baik dan buruk; mana jalan dan mana jurang”. Shadrul Muta’allihin
Syirazi (Mulla Shadra: 979-1050 H)(1) mengemukakan enam makna
akal yang, menurutnya, bersifat ekuivokal (isytirak lafdzi)(2)
Bila seluruh makna itu ditambahkan dengan makna yang
tercantum dalam kamus pemikiran Barat, jumlahnya tentu akan
berlipat ganda.(3) Sebagai contoh, di masa sekarang, khususnya
dalam bidang sosiologi, ada istilah populer “rasionalitas teknis”,
atau keharusan memilih sarana terbaik untuk meraih tujuan.(4)
Jelas, penggunaan istilah ini bernuansa pragmatis. Adapun dalam
pembahasan ini, persoalan akal dan wahyu lebih difokuskan pada
tingkat kemampuan dan kelemahan epistemologis akal dalam ranah
agama.
Baik akal maupun wahyu merupakan sumber pengetahuan.
Bedanya, akal bersifat umum, sementara wahyu bersifat khusus;
untuk kalangan tertentu. Oleh karena itu, sebelum melangkah lebih
jauh, kita akan menelaah sejumlah jalan memperoleh pengetahuan
dan mengklasifikasinya ke dalam dua kategori: umum dan khusus.
Baru setelah itu, makna akal dan wahyu akan dijelaskan secara
panjang lebar.
Terbentang sejumlah jalan yang dapat ditempuh manusia untuk
memperoleh pengetahuan: ada jalan yang umum untuk semua
dan sedikit-banyak bisa diakses oleh setiap orang; ada pula jalan
p:10
khusus yang hanya ditempuh sebagian orang, sementara sebagian
lain tidak dapat menempuhnya secara langsung. Dalam karya ini,
istilah akal yang dimaksud adalah keseluruhan pengetahuan yang
diperoleh via jalan umum’(1) sementara wahyu adalah pengetahuan
yang diperoleh via jalan khusus yang hanya ditempuh sekelompok
manusia tertentu.
Pengetahuan yang dihasilkan indra luar (eksoteris: lahiriah)
sangat beragam. Sebagiannya bersifat sangat sederhana dan diperoleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Umpama, “ makanan ini lezat”
atau “panorama alam ini menyenangkan”. Sedangkan sebagian lain
mesti diperoleh dengan penuh ketelitian dan kontemplasi. Bila kita
melakukan generalisasi (ta‘mim) terhadap beberapa pengetahuan
partikular dengan dukungan hukum rasional, seperti hukum
kausalitas, lalu kita membuat kesimpulan general (kulli) bahwa,
misalnya, setiap air pasti mendidih pada suhu seratus derajat celsius,
maka saat itulah kita telah berhasil menemukan satu hukum empirik.
Himpunan hukum empirik yang didominasi satu subjek dan satu
tujuan membentuk disiplin ilmu empiris yang, dalam sebuah istilah,
meliputi dua bagian ilmu, yaitu ilmu alam dan ilmu humaniora.
p:11
Dampak krusial dari rangkaian ilmu ini tidak diragukan lagi.
Namun, membatasi sarana pengetahuan hanya pada indra luar
dan pengalaman empirik, atau menyangkal seluruh proposisi yang
tak terverifikasi atau ditolak pengalaman empirik, merupakan
pengabaian terhadap dimensi-dimensi lain dari eksistensi manusia.
Jalan umum memperoleh pengetahuan berikutnya ialah pemikiran
dan pembuktian. Disiplin-disiplin ilmu, seperti Logika, Matematika,
dan Filsafat, menempuh jalan ini. Berdasarkan pola apriori dan pra-
empirik ini, kalangan matematikus tidak membutuhkan pengalaman
dan penggunaan indra luar untuk menetapkan hukum, “Jika kita
menambahkan kadar yang sama pada dua kuantitas yang sama,
niscaya hasil salah satunya sama dengan yang lain”. Di sini, mereka
membuat kesimpulan itu dengan cara membangun fondasi yang
terdiri dari data-data rasional yang bersifat nyata dan aksioma-
aksioma teoretis.
Metode rasional, dalam terminologi yang populer, hanya berlaku
pada bagian ini, namun dalam pembahasan buku ini—sebagaimana
telah disinggung—maknanya jauh lebih luas. Kendati dalam
beberapa kesempatan kita juga menggunakan istilah “akal” dalam
makna yang khusus dan sempit ini, namun dalam keseluruhan
pembahasan ini, makna “akal” yang dimaksud akan menjadi jelas
seiring dengan orientasi semantik dan konteksnya. Contohnya,
akal yang digugat kaum arif (sufi)—setidaknya dianggap mereka
demikian—bermakna pemikiran dan pembuktian rasional dalam
lingkup teologi dan segenap persoalan yang terkait dengannya; bukan
mutlak pengetahuan nonwahyu yang juga meliputi pengetahuan
yang dihasilkan melalui hati dan penyaksian batin.
p:12
Sejumlah pengetahuan diperoleh tidak melalui pemikiran,
pembuktian, pengindraan, atau pengalaman pribadi, melainkan
lewat jalur teks yang otentik dan metodik. Pengetahuan tentang
pelbagai kejadian di masa lalu, tokoh-tokoh masa silam, negeri-negeri
dan kota-kota yang sampai sekarang belum pernah kita kunjungi,
pada dasarnya dilandasi metode tekstual. Manakala teks diposisikan
secara diametris dengan akal, sebagaimana menjadi gejala umum
dalam tulisan-tulisan para pemikir agamis, maka yang dimaksud
dengan teks sebenarnya adalah tutur dan perilaku manusia-manusia
maksum sebagaimana diriwayatkan para penukil dan periwayat.
Selain indra luar (lahiriah), manusia juga memiliki indra dalam (batin)
yang membuatnya mampu mengetahui dan bersentuhan langsung
dengan realitas. Pengetahuan yang diperoleh lewat penyaksian batin
dan, dalam konteks filsafat, disebut ilmu huduri bercirikan ‘mustahil
keliru’. Contoh sederhananya, rasa lapar. Boleh jadi kenyataannya,
anggota-anggota tubuh seseorang tidak butuh makanan sehingga
keliru menganggap dirinya lapar; namun kenyataan bahwa dia
merasakan lapar dalam dirinya sendiri merupakan fakta yang sama
sekali tidak dapat diragukan.
Penyingkapan ruhani (kasyf) dan penyaksian batin (syuhud)
tingkat tinggi hanya mungkin diraih lewat latihan-latihan tertentu
dan dalam keadaan tertentu pula. Kalangan arif mengklaim, seluruh
yang diperoleh kaum filsuf dengan jerih payah, pemikiran serius
dan pembuktian rasional, justru direngkuh melalui penyaksian
batin:
p:13
Dia menambah banyak media falsafi
sederet bukti yang terbalik, lagi-lagi.
Jika asap bagi dia bukti api
biar tanpa asap, kami puas di dalam api.(1)
Dibandingkan dengan jalur indra dan akal, orang yang
menempuh jalur penyingkapan dan penyaksian ini jauh lebih sedikit
jumlahnya. Namun, bagaimanapun juga, ujung jalan ini berada di
hadapan setiap orang. Itulah sebabnya ia masih digolongkan sebagai
jalan umum untuk memperoleh pengetahuan. Siapa pun yang tekun
berlatih dan menempuh sair-suluk dengan segenap persyaratannya,
sedikit-banyak akan ‘mereguk’ hasil yang diharapkan.
Berbeda halnya dengan celah-celah menuju sumber istimewa
perolehan ilmu, yakni wahyu: mustahil terbuka kecuali dengan
kehendak khusus Ilahi. Sejauh manapun manusia_ menanjak
dan menapaki jenjang-jenjang kedekatan dengan Tuhannya,
serta menyandang kelayakan tertentu, tetap saja semua itu tidak
meniscayakan turunnya wahyu. Bagaimanapun kondisinya, prinsip
Keadilan menuntut orang-orang yang tidak memperoleh wahyu—
secara langsung—untuk tidak menutup kemungkinan turunnya
wahyu, atau tidak bersikeras menyangkalnya.
Perlu diketahui, apabila kita perluas makna indra pada faktor
pertama sehingga mencakup indra luar sekaligus indra dalam, maka
jalan keempat juga akan kembali pada jalan pertama; seperti juga
jalan teks dapat dikembalikan pada jalan indra. Sebab, pada akhirnya,
rangkaian penukil akan berujung pada sosok yang mengetahui
subjek yang diriwayatkan melalui indranya.
Bagaimanapun, terminologi akal dalam pembahasan buku ini
bermakna seluruh pengetahuan yang diperoleh melalui empat atau
dua jalan tersebut. Poin yang perlu ditambahkan di sini, adakalanya
akal didefinisikan sebagai daya yang darinya pengetahuan-
p:14
pengetahuan itu berasal, dan adakalanya—terutama dalam bahasa
Arab—dipandang dalam bentuk masdarya (asal kata), yakni kegiatan
berpikir dan menggunakan akal. Kata akal juga terkadang diartikan
dalam bentuk masdar akusatif (mafuli, objek), yakni pengetahuan-
pengetahuan yang diserap dan dipikirkan.(1) Dengan demikian,
hubungan antara akal dan wahyu ditafsirkan sebagai relasi antara
pengetahuan aklani dan pengetahuan wahyuni.
Jalan khusus memperoleh pengetahuan berbeda dengan empat jalan
sebelumnya; jalan ini melampaui (beyond) kehendak manusia dan
harus dibuka dari arah lain. Inilah jalan wahyu. Hanya para nabi
yang mengalaminya secara langsung, adapun selain mereka dapat
mengecap hidangan wahyu melalui mediasi mereka (para nabi).
Dalam pandangan kaum teolog, wahyu adalah “pengajaran ilmu
secara khusus dari Allah Swt kepada hamba-Nya yang terpilih yang
ditugasi untuk memberi petunjuk kepada umat manusia” (2)
Namun, hakikat wahyu itu sendiri sangat sulit—kalau bukan
malah mustahil—diketahui, kecuali oleh orang yang mencapai
kedudukan wahyu itu sendiri. Ini seperti pengetahuan seseorang
yang terlahir tunanetra tentang bunga-bunga dan segenap warna-
warni serta kenikmatan yang bisa diperoleh dari panoramanya. Jelas,
pengetahuannya itu akan sangat jauh dari kenyataan.
Kendati begitu, kita dapat mengenali beberapa ciri wahyu
melalui bukti-bukti rasional serta sejumlah kesaksian dari Alquran
dan Hadis. Berkat semua itu, selubung fenomena gaib dan metafisik
ini dapat tersibak sampai batas-batas tertentu, dan benak-benak kita
yang berdebu dapat mengenal secuil anugerah samawi ini.
p:15
Pengetahuan manusia diklasifikasikan dalam dua kategori umum:
husuli (representasional) dan huduri (presentasional). Pengetahuan
husuli memerlukan gambaran konseptual yang memediasi subjek
pengetahuan (mudrik) dan objeknya (mudrak). Umpama, buku di atas
meja yang dengan dirinya tidak eksis dalam benak subjek; yang eksis
dalam benak hanyalah representasi konseptual dari buku tersebut.
Akan halnya dalam konteks ilmu huduri, subjek pengetahuan
mengakses langsung objeknya; tanpa dimediasi konsep. Rasa sakit,
lapar dan, secara umum, keadaan-keadaan jiwa: semua ini tergolong
ilmu huduri. Pengetahuan wahyuni—minimal pada _ beberapa
tingkatnya, khususnya di awal kenabian atau pengutusan—juga
tergolong dalam ilmu huduri.(1) Ini sebagaimana jawaban Imam
Ja‘far Shadigq, saat ditanya tentang bagaimana para nabi menyadari
kenabiannya, “Tabir telah tersibak di hadapan mereka.”(2)
Ini adalah ciri khas kedua sebagai implikasi dari ciri khas pertama
wahyu. Kekeliruan terjadi jika ada medium yang memediasi objek
pengetahuan dan subjeknya, lantas ia (medium) tidak menyajikan
fakta [objek] sebagaimana adanya kepada subjek. Sementara dalam
ilmu huduri, di antara keduanya tidak ada medium apa pun.(3)
p:16
Setelah membatasi makna akal dan wahyu yang dimaksud dalam
buku ini, ada baiknya—kendati hanya sekilas—menengok terma-
terma alternatif yang erat kaitannya dengan terma pembahasan kali
ini; yang terkadang juga menjadi sinonimnya.
Akal dan Agama
Akal dan agama (reason and religion) menjadi terma yang dapat
mengakomodasi ulasan-ulasan seputar akal dan wahyu. Semua itu
terdapat dalam berbagai karya pemikir Timur maupun Barat, kendati
ada pula sekelompok pemikir yang berkeberatan menggunakan
terma ini karena beberapa alasan, di antaranya:
Di tengah masyarakat, makna agama sudah cukup jelas. Karena
itulah setiap usaha mendefinisikannya hanya dipandang sebagai
penjelasan yang menjenuhkan atas sesuatu yang sudah jelas. Meski
begitu, makna yang tampaknya gamblang ini ternyata cukup
menyulitkan para pemikir; bahkan memicu perdebatan, khususnya
bila berkenaan dengan definisi inklusif (ta‘rif jam’) yang meliputi
semua ragam agama: tauhid (monoteisme), nontauhid (politeisme),
dan ateisme. Seorang peneliti agama menulis:
Barangkali, tak ada kata selain ‘agama’ yang _ senantiasa
dipergunakan secara gamblang dan _ sederhana. Namun
kenyataannya, kata ini justru. merefleksikan pandangan-
pandangan yang, bukan saja berbeda-beda, bahkan terkadang
mustahil disatukan (mani‘ah al-jam'). (1)
Ragam perspektif terhadap agama sangat menentukan metode
penelitian seputar diskursus akal dan wahyu. Kami yakin, semua
pandangan yang berseberangan, atau bertentangan satu sama lain,
seputar agama tak mungkin dianggap sebagai hakikat agama itu
sendiri. Agama—terlepas dari perspektif para pengamat—memuat
perkara nyata dan hakikat permanen.
Puncak dari persilangan pendapat dua kubu tentang ajaran agama
adalah yang satu benar, yang lain keliru. Atau, boleh jadi kedua-
duanya keliru, maka ada perspektif lain yang benar. Berdasarkan
perspektif [terakhir] ini, agama tidak kompatibel dengan transformasi
ilmu pengetahuan manusia. Namun, kendati memiliki serangkaian
hukum tetap dan abadi, agama yang benar dan terpelihara utuh juga
menyediakan undang-undang temporer yang menjamin relevansinya
dengan tuntutan ruang-waktu. Karena itu, sekaitan dengan adanya
kesan awal (zhahir) kontradiksi antara agama dan sains, pertama-
p:18
tama yang harus dilakukan adalah memisahkan komentar dan
perilaku kalangan agamawan itu sendiri, baru kemudian melakukan
penelitian metodik dalam rangka merekonstruksi proposisi-proposisi
agama yang sesungguhnya.
Akan halnya jika seseorang menganggap agama itu identik
dengan pemahaman akan syariat, atau “agama adalah pemahaman
terhadap syariat”(1), maka orientasinya pasti berbeda total dengan
uraian dalam buku ini. Sebab, dari perspektif semacam ini, agama
dipandang bukan lagi sebagai perkara yang permanen dan
tak berubah, bahkan boleh jadi bertentangan dengan pelbagai
pengetahuan akal manusia, belum lagi data-data rasionalnya
senantiasa berubah. Dalam pandangannya, agama setiap orang
akan selaras dengan variasi praduga dan data rasionalnya sendiri.
Seandainya cara pandang ini diterima, niscaya kebanyakan masalah
akal dan wahyu dapat dikaji dengan metode yang berbeda. Hanya
penting dicatat, basis pemikiran ini tidak begitu kokoh dan rentan
kritik mematikan.
Yakni, memisahkan antara agama dan akal; mengandaikan bahwa
sejak awal, posisi keduanya saling bertentangan. Padahal, dalam
pemikiran Islam, akal punya nilai-bukti (hujjiyat) dan diangkat
sebagai nabi internal. Karena itu, tidak sebagaimana yang umum
dipahami sekaitan dengan terma ‘akal dan agama’, ‘rasional’ tidak
berarti sesuatu yang nonagama. Itulah sebabnya, yang dihadapkan
dengan akal semestinya teks (naql), bukan agama. Seorang cendekia
mengatakan:
Akal bukan lawan atau oposisi (qasi) agama sehingga orang
bisa mempertanyakan: apakah persoalan ini rasional atau agamis
(dini), rasional atau religius (syar’i). Oposisi akal adalah teks
(naql); keduanya merupakan sumber penyimpulan agama serta
syariat. Terbang ke atmosfir ijtihad hanya mungkin dengan dua
sayap; akal dan teks.(2)
p:17
Agama dan Filsafat
Sejak munculnya gagasan filosofis, hubungan akal dan wahyu
dibingkai dalam relasi filsafat dan agama. Banyak agamawan
menilai ajaran-ajaran filsafat bertentangan dengan ajaran para
nabi. Segala cara mereka kerahkan untuk mengecam kaum filsuf.
Contoh menonjol di dunia Islam adalah Abu Hamid Muhammad
Ghazali (450-505 H). Teolog beraliran Asy’ariyah ini menyulut
kembali perseteruan itu lewat karya tulisnya, Tahafut Al-Falasifah. Ini
membangkitkan kembali ruh perselisihan antara konklusi filosofis
versus ajaran agama.
Sebagian filsuf Muslim tidak tahan mendengar tuduhan itu.
Mereka segera menyodorkan pemecahan konflik yang bergulir. Ibnu
Rusyd (520-595 H), filsuf Muslim asal Andalusia, lalu menulis buku
p:19
Tahafut Al-Tahafut sebagai jawaban atas Ghazali. Dalam karya ini,
juga dalam Fashl Al-Maqal fi ma bain Al-Syart'ah wa Al-Hikmah min Al-
Ittishal, dia mendemonstrasikan pembelaannya terhadap pandangan-
pandangan filosofis dan menjelaskan keseutuhannya dengan ajaran
agama:
Kami, orang-orang Muslim, tahu pasti bahwa berpikir secara
burhani ‘logis’ tidak akan sampai menentang apa yang telah
disampaikan agama, karena kebenaran tidak akan menentang
kebenaran; justru ia menyepakati dan mendukungnya.(1)
Perseteruan di antara filsuf dan sekelompok teolog, fakih, dan
arif terus berlangsung, meski pasang-surut:
Bukan ilmu selain ilmu merindu
selain itu hanyalah tipu iblis celaka.
Bukan ilmu selain tafsir dan sabda
selain itu hanyalah tipu iblis tercela.
Berapa dan berapa dari filsafat Yunan
ketahuilah hikmah kaum Mukminin.
Tuan alam, diraja dunia, dan agama
sisa mukmin berkali kesembuhan, hai sang peduka.
Kapan nabi pernah bersabda
sisa-sisa Aristoteles dan Ibnu Sina itu panecia.
Bedahilah seratus kali dadamu
dari noda-noda itu bersihikan hatimu.(2)
Pertentangan atau keserasian antara filsafat Aristotelian dan
iman Kristen juga telah memicu perdebatan berkepanjangan di dunia
Barat. Sepanjang Abad Pertengahan, para pemikir seperti Thomas
p:20
Aquinas (1225-1274 M) berusaha mendamaikan agama dan filsafat.
Namun, ikhtiar ini divonis sekelompok agamawan sebagai bid’ah
dan sesat."(1)
Buku-buku Ibnu Rusyd yang telah ditranslasikan juga ikut
menyemarakkan perdebatan ini, hingga melahirkan sebuah
aliran filsafat bernama Rusydian. Anehnya, sebagian Rusydian
yang beragama Kristen mempercayai pertentangan itu; hal yang
justru sudah dinafikan Ibnu Rusyd sendiri dengan menegaskan
keharmonisan filsafat dan agama, “Berpikir secara burhdani ‘logis’
tidak akan sampai menentang apa yang disampaikan agama.” Untuk
mengatasinya, mereka menga-jukan gagasan dualisme hakikat,
“Mereka melantunkan senandung bahwa tidak ada hubungan apa
pun antara kebenaran menurut filsafat dan kebenaran menurut ilmu-
ilmu Ilahi. Untuk masing-masing objek kajian, terdapat kebenaran
yang berbeda-beda.”(2)
Seorang penulis Barat menuliskan:
Demi kepuasaan hati aparat berwenang dalam _ investigasi
pemikiran (inkuisisi), sebagian pendukung Ibnu Rusyd bertopang
pada gagasan dikotomi hakikat. Maksudnya, mungkin saja satu
proposisi dinilai benar menurut kriteria filosofis atau berdasarkan
relasi natural. Namun pada saat yang sama, proposisi itu keliru
menurut kitab suci dan agama Kristen. Mereka mengaku, ‘Dalam
keadaan apa pun, kami meyakini keberadaan sesuatu karena
hukum iman kami, dan kami meragukannya karena hukum
akal.’ Teori ini menolak prinsip yang disepakati kaum renaisans
beraliran sekolastik yang menyatakan bahwa harmoni akal dan
iman itu mungkin."(3)
p:21
Mengenai aliran Rusydian dan seberapa jauh para pengikutnya
loyal pada doktrin dan pandangan Ibnu Rusyd, kiranya perlu
dilakukan penelitian secara terpisah. Yang jelas, pandangan Ibnu
Rusyd seputar harmoni akal dan wahyu bertolak belakang dengan
yang diusung para pendukung Kristiannya.
Sejumlah agamawan Kristen lebih tegas menolak interpretasi Ibnu
Rusyd atas filsafat Aristoteles. Mereka menyikapi rasionalismenya
sebagai pembalasan dendam Islam terhadap Kristen. Dalam sebuah
analisis yang berat sebelah, mereka mengatakan:
Filsafat Aristoteles adalah cenderamata dari dunia Yunani
untuk dunia Kristen Latin; seibarat kuda kayu Troy (1) yang
menyembunyikan seribu unsur lawan di dalamnya. Benih-benih
Renaisans dan Abad Pencerahan (Enlightenment) ini bukan hanya
“balas dendam kesyirikan” terhadap agama Kristen, secara tidak
disadari juga merupakan keluhan agama Islam. Kaum Muslim
yang jadi korban serangan di Palestina dan kira-kira terusir
dari seluruh belahan bumi Spanyol, menyelundupkan ilmu dan
filsafatnya ke Eropa Barat. Dan sejarah menunjukkan betapa ilmu
ini telah menjadi kekuatan penghancur. Kenyataannya, selain
Aristoteles, Ibnu Sina dan Ibnu Rusydlah yang merusak Kristen
dengan menyuntikkan Rasionalisme ke tubuhnya.’(2)
Bagaimanapun, selama kecaman terhadap filsafat dialamatkan
kepada beberapa hukum dan rumusannya, itu tidak terlalu penting
untuk buku ini. Umpamanya, jika di satu sisi, terbukti bahwa
hukum populer filsafat “Keniscayaan korelatif (dharuroh bi al-
qiyas) objek pengetahuan dalam kaitannya dengan sebab memadai
p:22
(‘illah tammah)” itu akan menghasilkan konklusi ketakberawalan
(qidam) alam, sementara di sisi lain, sumber-sumber otentik Islam
menegaskan sebaliknya (liudtts: ke-baru-an), maka upaya untuk
mengatasi perten-tangan laliuriali ini sudah semestinya ditanggung
filsuf yang menga-kui hukum filsafat itu.
Adapun jika yang dimaksud filsafat itu mutlak pengetahuan
rasional (yakni, selain pengetahuan wahyuni), maka secara seksama
dapat disimpulkan bahwa hubungan agama dan filsafat bermakna
hubungan wahyu dan akal—sehingga menjadi terma lain yang
sinonim dengan terma buku ini.
Bahkan, sangat mungkin untuk dinyatakan bahwa filsafat yang
diperdebatkan kubu pendukung dan penentang mencakup makna
terakhir tadi. Sebab, filsafat dalam maknanya yang umum, meliputi
seluruh pengetahuan hakiki manusia.(1) Di samping itu, dari sebagian
bukti yang diajukan kelompok penentang filsafat, dapat disimpulkan
bahwa mereka meyakini wilayah pengetahuan wahyuni bukan saja
harus disucikan dari filsafat-filsafat yang ada itu, melainkan juga
dari segala bentuk pemikiran insani. Berikut alasan penentangan
sejumlah tokoh gereja terhadap filsafat:
Mereka percaya bahwa masalah penggunaan akal untuk
sementara waktu dapat memproduksi kekuasaan dan wibawa
untuk gereja. Namun setelah itu, barangkali masalah itu jadi liar
dan menyesatkan umat manusia dari jalan iman sehingga agama
Kristen menjadi lemah dan terlantar di tengah dunia yang penuh
kekafiran dan dosa.(2)
p:23
Hubungan ilmu dan agama, serta pembatasan wilayah masing-
masing, merupakan salah satu topik kunci dalam filsafat agama
dan teologi di era modern. Kini, kemajuan sains telah membuka
cakrawala baru dan menganugerahkan pengenalan baru terhadap
dunia sekitar yang adakalanya tampak tak lagi selaras dengan ajaran
agama. Diperlukan karya tulis tersendiri untuk mengulas contoh-
contoh yang dikesankan sebagai pertentangan antara data sains dan
ajaran agama, berikut pemecahan yang diajukan.
Hanya saja, ada satu hal yang ingin kami ingatkan di sini; jika
yang dimaksud ilmu dalam terma ini hanyalah sains, maka kajian
‘ilmu dan agama’ dapat digolongkan sebagai subjudul ‘akal dan
wahyu’. Karena, sebagaimana telah disinggung, yang dimaksud
“akal” dalam pembahasan ini adalah seluruh pengetahuan umum
manusia, termasuk pengetahuan empiris. Adapun bila yang dimaksud
“ilmu” —sebagaimana dioposisikan dengan agama—adalah segala
pengetahuan yang diperoleh via jalan-jalan umum,(1) maka terma ‘ilmu
dan agama’ menjadi padanan tepat untuk terma ‘akal dan wahyu’.
Jelasnya, kendati “ilmu” sering dipahami sebagai pengetahuan
yang diperoleh secara empiris dan eksperimental, sementara akal
biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang dihasilkan lewat
silogisme dan pembuktian demonstratif (burhdani), namun secara
umum, keduanya mencakup segala jenis pengetahuan manusia.
Kebanyakan pemikir Kristiani lebih memilih berbicara tentang ‘akal
dan iman/’ (faith and reason) ketimbang ‘akal dan wahyu’. Mayoritas
mereka menganggap daya jangkau akal masih lebih pendek dari
sekadar memahami muatan-muatan wahyu. Mereka_ bersandar
pada kategori iman dan menghitungnya sebagai satu-satunya pintu
masuk agama.
p:24
Dalam budaya pemikiran Islam, ilmu dan iman memiliki
relasi yang sangat mendalam. Satu kelompok karenanya bahkan
mengidentikkan keduanya: tman tak lain hanyalah tlmu. Sementara
kelompok lain, walaupun menolak identifikasi ini, menekankan
bahwa tanpa ilmu, iman yang sempurna mustahil tercapai.
Keterikatan hati sangat bergantung pada pengetahuan.(1) Dalam
hadis-hadis keislaman juga ditegaskan bahwa ilmu adalah mitra
iman (2); iman tanpa pikiran tidaklah mungkin.(3)
Di dunia Barat, perdebatan di kalangan pemikir dalam upaya
memaknai iman telah mengakibatkan ide-ide mereka sulit sekali
dicerna. Adakalanya istilah ‘iman’ dipergunakan dalam makna
yang sepadan dengan ‘agama’.(4) Dengan demikian, ungkapan
‘Iman masehi’ dan ‘iman islami’ bisa bermakna ‘agama Kristen’
dan ‘agama Islam’, seolah-olah menurut mereka, agama terbatas
hanya pada hlmpunan kepercayaan. Itulah sebabnya, istilah ‘iman’
yang bermakna ‘percaya’ dipergunakan secara metaforis sebagai
‘hlmpunan keyakinan dan kepercayaan’.(5)
Penggunaan istilah ‘iman’ yang lebih populer dan lebih sesuai
dengan makna konvensional sesungguhnya mencerminkan kondisi
internal kejiwaan seseorang. Kondisi internal ini, sebagaimana telah
disinggung, memiliki relasi tak terurai dengan ilmu atau pengetahuan.
Anehnya, tidak sedikit dari pemikir Kristiani menyangkal hubungan
ilmu dan iman secara total. Keputusan ini mereka ambil sebagai cara
menghindarkan diri dari penjelasan rasional terhadap kepercayaan-
kepercayaan agama.
p:25
Adalah mustahil satu hal yang ... bagi seseorang ..., selain
merupakan subjek ilmu, juga merupakan subjek iman. Kendati
begitu, mungkin saja ... satu hal yang, bagi seseorang merupakan
subjek pengetahuan, bagi orang lain justru modal iman, karena
kami berharap, semoga apa yang sekarang kami imani berkenaan
dengan Trinitas, suatu saat kami saksikan dengan mata kepala
sendiri.(1)
“Aku percaya karena tidak masuk akal” adalah kata-kata
termasyhur Tertullian (160-225 M) yang — menurut sebagian penulis,
tak ada statemen lebih kontradiktif darinya(2)—dirumuskan di atas
prinsip tersebut.
Banyak sekali pemikir Kristiani yang menjadikan prinsip ini
sebagai basis untuk menerima setiap ajaran antiakal. Karena itulah
mereka mengira telah terbebas dari pertentangan akal dan wahyu.
Martin Luther mengatakan:
Kepercayaan terhadap kemurahan dan kasih sayang Tuhan
yang hanya membahagiakan segelintir orang dan sisanya Dia
sengsarakan dengan kutukan abadi, merupakan pamuncak
keimanan kita ... sepertinya Dia menikmati siksaan orang-orang
keras kepala yang memang lebih layak dibenci ketimbang
disayangi! Seandainya lewat bantuan akal (logika) aku bisa
mengerti bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pemurah lagi
Maha Adil menjadi pemarah dan tidak adil, maka tidak diperlukan
lagi iman.(3)
Tentunya, tawaran definisi baru untuk iman dengan sendirinya
tidak masalah. Rumusan istilah baru merupakan gejala yang lumrah
dalam setiap disiplin ilmu. Namun, jika ini dilakukan untuk mengelak
p:26
dari bukti-bukti rasional yang diajukan, maka satu-satunya sebutan
yang layak diberikan adalah “menghapus duduk persoalan”. Seorang
peneliti agama Barat mengatakan:
Sekadar penggunaan kata “iman” dalam makna yang baru tidak
membuktikan bahwa iman itu jalan meraih hakikat. Pemaknaan
ini seperti halnya kata “menang” yang bukannya kita gunakan
dalam makna salah satu kemungkinan hasil permainan, tetapi
digunakan dalam makna yang sepadan dengan “permainan” itu
sendiri. Tindakan ini menarik, tapi sama sekali tidak terhitung
sebagai cara memuaskan untuk membuktikan pemenang. Kapan
saja, hanya dengan mengubah makna “menang” lalu kita jadi
pemenang, kemenangan menjadi perkara imajiner belaka.(1)
Pastinya, tidak ada pertentangan sama sekali antara memiliki
kepercayaan hati yang mendalam dan mengajukan bukti aklani.
Dengan kata lain, kendati jalan akal terpisah dari jalan hati, namun
kecenderungan pada apa yang didukung bukti rasional bukanlah
dasar pemikiran yang irasional. Perlu diketahui, sebagian pemikir
Kristiani justru mengakui peran ilmu dalam melahirkan iman. Mereka
menyebutkan tiga unsur utama pembentuk iman; pengetahuan,
kepuasan, dan kepercayaan.(2)
Sekilas “Rasionalisme”(3)
Rasionalisme merupakan istilah umum_ untuk seluruh sistem
pemikiran dan filsafat yang menekankan peran penting akal. Dalam
setiap bidang ilmu, istilah ini memiliki makna tersendiri. Umpama,
makna Rasionalisme vis-a-vis Intuitivisme; berbeda dengan makna
Rasionalisme vis-a-vis Empirisme. Karena itu, cara terbaik untuk
p:27
mengetahui ragam maknanya adalah dengan mengenali istil-
ahistilah oposisinya. Di akhir bab, kami akan mengemukakan
dua makna rasionalisme agar pembahasan selanjutnya menjadi
lebih jelas.
Tak jarang rasionalisme dimaknai sebagai aliran filsafat yang
meyakini prinsip-prinsip rasional dan aksioma-aksioma bawaan
(innate _ idea) sebagai sumber pengetahuan, bukan
pengalamanpengalaman indrawi. Descartes (1596-1650 M),
Leibnitz (1646-1716 M), dan Spinoza (1632-1677 M) termasuk tokoh
utama RasionalismeBarat. Dalam konteks ini, Rasionalisme
berhadapan dengan Empirisme yang meyakini sumber penge-
tahuan hanyalah indra dan pengalaman, seraya mengingkari
aksioma-aksioma bawaan prapengalaman (apriori). Locke (1632-1704
M), Berkeley (1685-1753 M), dan Hume (1711-1776 M) adalah filsuf
terkemuka Empirisme.
Dalam ranah Filsafat Agama dan Teologi, Rasionalisme merujuk
pada mazhab pemikiran yang menghargai peran akal dan sarana
biasa perolehan ilmu lainnya yang vis-a-vis pengetahuan wahyuni.
Penghargaan pada akal memiliki sejumlah tingkatan. Karena itu,
Rasionalisme dalam pengertian ini memiliki cakupan yang sangat
luas: mulai dari kaum rasionalis radikal dan antiagama, hingga kaum
rasionalis moderat dan proagama.
Rasionalisme dalam pengertian ini adakalanya berhadapan
dengan kaum literalis: yang membeku dalam teks agama serta
meyakini pemikiran manusia tak mampu merasionalisasi sekian
banyak ajaran agama.
Dalam kondisi tertentu, lini lain yang berkonfrontrasi dengan
Rasionalisme diisi oleh Fideisme, yaitu sebuah paham yang gigih
p:28
agamanya dengan akal, namun sebaliknya percaya bahwa agama
menuntut pasrah dan taklid buta; bukan menuntut pengakuan yang
rasional dan logis.
Maksud Rasionalisme di sepanjang buku ini merujuk pada
istilah kedua. Dengan demikian, istilah ini tidak beroposisi dengan
Empirisme— kalau bukan malah bergabung dengannya.
p:29
p:30
p:31
Barangkali tak seorang berakal pun akan benar-benar menyangkal
Bronce akal insani dengan wahyu Ilahi. Tidak juga sepenuhnya
diyakini kemustahilan manusia menjamah wahyu di level paling
rendah sekalipun— mulai dari tahap penerimaan, evaluasi, maupun
penyuntingan—tidak juga serta merta mengibaratkannya dengan
burung mistis Simurg yang membubung sangat tinggi, sehingga
mustahil dicapai kecuali dengan menanggalkan akal! Pada dasarnya,
agama-agama dialamatkan kepada manusia. Karenanya, bagaimana
mungkin mengharap mereka agar mendengar seruan wahyu dengan
mengabaikan akal sebagai kualitas manusia paling penting dan
menonjol.
Kecaman musuh bebuyutan Rasionalisme sekalipun, bila
direnungkan barang sejenak, pada dasarnya tidak mengandung
penolakan terhadap hubungan esensial akal dan wahyu. Semua
sikap menentang Rasionalisme terpusat pada penggunaan akal
secara berlebihan atau pada satu model penerapan akal dalam bidang
agama.(1) Contohnya, Paulus (w. 62/68 M) yang tergolong tokoh kaum
fideis Kristiani dan musuh keras Rasionalisme. Dia hanya menentang
satu jenis rasionalisme; menyerang akal yang profan dan ternoda
hawa nafsu. Target yang disasarnya adalah menjungkirbalikkan akal
sekaligus ajaran-ajarannya yang mengenyahkan kebenaran. Surat-
surat Paulus yang telah menjadi bagian integral dari kitab Perjanjian
Baru justru menunjukkan bagaimana dirinya, berkali-kali dan dalam
berbagai kesempatan, menggunakan argumentasi dan analisis dalam
mengajarkan tuntunan agamanya.(2)
Tokoh Fideisme Radikal di awal abad Masehi ialah Tertullian
(160-225 M). Sekilas, pemikir ini sama sekali tidak menghargai nalar
dan rasionalitas dalam ranah agama:
p:32
pa urusan Athena dengan Jerusalem?!(1) Memangnya, telah
terjalin kesepakatan seperti apa antara akademi dan gereja? Apa
hubungan orang-orang kafir dengan orang-orang Kristen? ... Usai
menimba dari Injil, apa lagi yang perlu kita cari? Selain keimanan
agama, kepercayaan apa lagi yang kita kehendaki?(2)
Namun begitu, Tertullian ternyata seorang filsuf. Dalam
sejumlah karya tulisnya, dia tak jarang berfilsafat ketika mengurai
ajaran agama.(3)
Demikian pula, sebagian penulis Kristen menilai Martin Luther
(1483-1546) yang menyerang Aristoteles dengan sebutan-sebutan
seperti: “penghancur ajaran suci”, “pencipta dongeng”, “filsuf
menjijikkan”, dan “penyembah buta berhala”:
Luther tidak menghujat akal; karena dia sendiri menggunakan
sepenuhnya. Poin’ gugatannya’ terhadap = akal_ adalah
penyalahgunaan akal yang berakibat hingga filsafat membuang
jauh hakikat iman masehi.(4)
Pascal (1623-1662) juga salah satu tokoh aliran Fideisme yang
meyakini hati memiliki logika tersendiri yang mustahil dicapai akal.(5)
Namun pada saat yang sama, tak diragukan lagi bahwa salah satu
kesibukan intelektual dan nalarnya adalah menemukan pembelaan
rasional terhadap ajaran Kristen. Statemen terkenalnya, “Hai kaum
filsuf! Ketimbang menumpuk bukti, lebih baik kalian jinakkan
nafsu.”(6) Darinya dapat dimaklumi, penentangannya itu terbatas
hanya pada akal yang ternodai birahi dan nafsu.
p:33
Permusuhan kaum literalis Muslim terhadap akal juga dapat
di-uraikan dalam bagan yang sama. Ahmad bin Hanbal adalah
figur murni aliran Literalisme. Sekilas, dia sama sekali tidak
menghargai akal dalam bidang agama. Pada hematnya, aktivitas
akal dalam masalah keagamaan itu bid’ah yang haram dan dosa
tak terampuni. Namun kenyataannya, dia juga menggunakan akal
untuk menjelaskan pandangan-pandangannya. Bahkan, kapan saja
merasa perlu, dia merujuk akal untuk menakwil serta menafsir
Alquran dan hadis.(1)
Tokoh lain adalah Ibnu Taimiyah. Penggemar kuat pemikiran
Ahmad bin Hanbal ini berpendapat, semakin menjauh dari akal,
semakin mendekat pada kebenaran. Masih menurutnya, kaum filsuf
dan rasionalis mustahil memetik buah pengetahuan dari pohon
agama. Menurut Arberry, ungkapan-ungkapan Ibnu Taimiyah
merupakan gaung pembuka kata-kata Tertullian.(2) Lagi-lagi
kenyataannya, berdasarkan kesaksian karya-karya tulisnya sendiri,
dia justru amat berpegang teguh pada bukti-bukti yang sama sekali
bukan dari Alquran dan Sunah dalam rangka menolak klaim-klaim
kaum filsuf dan teolog.(3)
Begitupula dengan kaum Akhbariyah yang kerap mati-matian
melontarkan kritik keras terhadap penggunaan akal dalam bidang
agama. Namun senyatanya, mereka sendiri menggunakan berbagai
bentuk pembuktian rasional untuk memback-up gagasannya. Betapa
banyak bukti epistemologis yang mereka ajukan untuk membongkar
kesalahan dan penipuan nalar (fallacy). Tidak cukup sampai di situ,
hadis-hadis mutawatir dari para manusia suci seputar nilai-bukti
akal bahkan mereka lapisi dengan takwil dan justifikasi secara
benar-benar rasional. Akal yang dimaksud ayat dan hadis, menurut
ungkapan mereka, adalah akal fitri. Mereka percaya, akal jenis itu
p:34
hanya dimiliki segelintir orang.(1)
Pelecehan terhadap akal juga populer di kalangan kaum arif dan
orang-orang yang telah mencapai kedudukan “penyaksian”. Sampai
sedemikian hingga perlawanan terhadap pembuktian logis menjadi
ciri mencolok dari paradigma ‘irfani. Mulla Rumi mengatakan dalam
larik-larik syairnya yang terkenal:
Kaki juru bukti terbuat dari kayu
betapa kaki kayu sungguh rapuh
Padahal, menggunakan nalar dan pemikiran merupakan raison
d’etre atau syarat untuk memasuki hlmpunan orang-orang berakal.
Malah pembicaraan seputar posisi akal, baik secara positif maupun
negatif, menjadi mustahil bila tanpa intervensi akal. Maulawi (Mulla
Rumi) sendiri, dalam syair yang gubahannya untuk menyepelekan
bukti akal, menggunakan silogisme logis. Ya, dia senyatanya
melawan bukti akal dengan kekuatan akal itu sendiri. Demikian
pola(2) silogisme yang diajukannya:
* Kaki juru bukti adalah kaki yang terbuat dari kayu.
* Kaki yang terbuat dari kayu adalah kaki yang sungguh
rapuh.
* Kaki juru bukti adalah kaki yang sungguh rapuh.
Ringkasnya, orang berakal sepatutnya tidak menutup mata ter-
hadap peran akal di ruang khusus wahyu atau mewajibkan agar akal
ditanggalkan demi agama. Setiap klaim yang sekilas dimaksudkan
untuk itu, bila diselidiki secara kritis, niscaya akan terbukti
inkonsistensinya. Karena itu, perlu direnungkan dan ditelaah lebih
p:35
jauh: akal mana yang dicela pihak-pihak yang anti akal? Mungkinkah
diajukan sebuah kriteria yang cermat untuk mengenal akal terpuji
dan akal tercela?
Satu ide pokok yang penting diperhatikan dalam pembahasan ini
adalah kategorisasi akal sebagai daya/sarana dan sebagai sumber.(1)
Adakalanya daya akal digunakan untuk memahami Alquran dan
Sunah, serta dianggap sebagai sarana mengenali ajaran-ajaran wahyu.
Namun, tak jarang daya akal itu didudukkan di bangku pengadilan
dan dipersepsi sebagai sumber khas untuk memproduksi hukum
syariat.’(2)
Yang umumnya dipandang sebelah mata, bahkan dilecehkan,
posisinya, adalah akal sebagai sumber; bukan sebagai sarana
pengetahuan. Karena, setidaknya di kalangan pemikir Islam, tak
seorang pun yang berbeda pendapat tentang urgensi akal dalam
memahami Alquran dan Sunah. Kendati menurut sebagian tokoh
Kristen, posisi semacam ini juga disangkal akal. Mereka yakin, demi
meraih iman, pemahaman dan pemikiran harus ditepikan.
Boleh jadi klaim bahwa akal itu sumber pengetahuan ditengarai
muncul dari pola pikir yang mentah dan dangkal. Karena, akal
merupakan satu-satunya sarana yang memasilitasi manusia hingga
bisa mengakses berbagai pengetahuan melalui penelitian terhadap
sumber-sumbernya (seperti alam dan syariat). Seorang penulis
kontemporer menulis:
p:36
Pada dasarnya, akal dan wahyu tidak selaras, juga tidak sejenis.
Yang satu sarana, yang lain sumber. Kita berputar-putar dan
mencari yang satu dengan saran yang satunya lagi. Dengan
catatan penting, akal itu satu-satunya yang berjenis sarana;
sedangkan wahyu bukan satu-satunya yang berjenis sumber;
melainkan hanya salah satu dari sekian sumber lain ... seperti:
alam, masyarakat, dan sejarah."(1)
Dari perspektif ini, upaya menilai akal sebagai satu dari
empat sumber deduksi hukum dan wacana seputar nilai-buktinya
hanyalah sia-sia belaka. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang
hanya berupa sarana mampu memproduksi pengetahuan tanpa
menggunakan sumber-sumbernya, yang karena itu lantas_ nilai-
buktinya dapat diandaikan ada? Ini sama dengan mengatakan
sumber makanan manusia terdiri dari daging, buah-buahan, dan
Organ pencernaan, lalu disimpulkan bahwa keberadaan organ
pencerna sudah memenuhi seluruh kebutuhan makanan manusia.
Asumsinya, masing-masing sumber itu otonom sehingga dengan
sendirinya menutupi seluruh kebutuhan makan manusia, padahal
organ pencerna hanyalah sarana, bukan sumber, makanan.
Analisis
Kritik di atas ini tidak dapat diterima, setidaknya dengan dua
alasan:
Pertama, pada dua dimensinya sekaligus, entah teoretis ataupun
praktis, akal secara inheren sudah mengetahui hal-hal badihi atau
aksioma yang bersifat apriori. Artinya, hal-hal itu sudah terinstalasi
dalam substansi manusia secara bawaan (fitriah) sebelum berinteraksi
dengan alam eksternal, Karena itu, dengan berlandas pada rangkaian
p:37
pengetahuan bawaannya, akal mampu memproduksi pengetahuan
baru dan, dengan demikian, akan tergolong sebagai “sumber”
independen dalam proses deduksi hukum keagamaan.
Kedua, sebagaimana diakui si penulis di akhir pernyataannya,
akal sebagai sumber dapat diartikan “hlmpunan pengetahuan
‘akal sarana’ dari sumber-sumber nonwahyu”. Dengan kata lain,
pikiran manusia adakalanya menjelajahi isi Alquran dan Sunah
hingga menemukan hukum Ilahi; adakalanya pula menelaah objek
pengetahuan lain, semisal alam, hingga memperoleh pengetahuan
baru. Pada kasus pertama, akal hanya berupa sarana. Sedangkan
pada kasus kedua, selain sarana, akal juga tergolong salah satu
sumber pengetahuan. Alasan ini kiranya relevan jika dikombinasikan
dengan makna umum akal yang telah kami sebutkan pada Bab 1 dan
mencakup seluruh pengetahuan nonwahyu.
Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk memperoleh pengetahuan—
di luar wahyu yang hanya terbuka untuk kalangan tertentu—
manusia memiliki alat indra, akal, dan intuisi sebagai sarana kasyf
‘penyingkapan hakikat’. Sepanjang sejarah, sangat banyak ilmuwan
yang mengakui sarana-sarana pengetahuan tersebut. Usaha mereka
untuk mengharmonikannya juga layak diacungi jempol. Ibnu Sina,
tokoh filsuf Peripatetis Islam, misalnya, cenderung mengandalkan
akal dan pembuktian logis. Namun pada saat yang sama, dia tidak
menyepelekan intuisi atau proses penyingkapan. Posisi dan kondisi
kaum arif diklasifikasikan secara sistematis dalam karya filosofisnya
yang mutakhir, Al-Isydrat wa Al-Tanbihat. Dengan maksud menggugat,
Fakhru Razi mengomentari buku itu. Di awal Bab Kesembilan, dia
membubuhkan catatan:(1)
p:38
Bab Kesembilan lebih penting dari semua bab lain dalam buku
ini. Karena pada bab ini, penulis telah melakukan klasifikasi
terhadap ilmu-ilmu sufi yang tak seorang pun sebelum dan
setelahnya mampu melakukannya.
Kendati begitu, sebagian kaum arif masih merasa kurang
puas terhadap ikhtiar Ibnu Sina itu. Pada hemat mereka, mustahil
seseorang menjejakkan kaki nalarnya di ranah khusus kerinduan.
Hati kamu yang mengaji ayat cinta dari buku akal
aku kuatir kau tak tahu yang sebenarnya.(1)
Syihabudin Suhrawardi juga menulis Hikmal: Al-Isyraq; sebuah
karya untuk memadukan filsafat dan ‘irfan; akal dan intuisi. Dalam
pengantar buku itu, filsuf ini menyatakan bahwa mula-mula,
kandungan bukunya diperoleh via intuisi dan kasyf, kemudian dia
merumuskan dalil aklani dan pembuktian demonstratif sebagai
pendukung.”(2)
Usaha terbesar mengharmonikan filsafat, ‘irfandan wahyu dilakukan
Shadrul Muta’allihin Syirazi dalam Al-Hikmah Al-Muta'aaliyah.
Dalam pengantar adikarya ini, filsuf kita mengutarakan tentang
pengetahuan yang dicecapnya via intuisi dan ilham:
Berkat jerih pembinaan diri yang berkepanjangan dan olah jiwa,
hatiku menjadi terang benderang, cahaya malakut memancar
dahsyat menerpanya... Karena itu,aku menemukan rahasia-rahasia
yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Berbagai rumusan
yang tidak begitu tampak dengan burhan kini tersibak jelas sekali
di hadapanku. Bahkan segala apa yang dulu kuketahui dengan
burhan sekarang telah kutatap dengan kesaksian yang nyata.”(3)
p:39
Syahid Muthahari punya ungkapan menawan tentangnya:
Filsafat Shadra ... ibarat titik yang mempertemukan empat
jalan; Filsafat Peripatetik Aristotelian dan Sinaian, Filsafat
Iluminasionis Sahruwardian, dan ‘Irfan Teoretis Muhyidinian,
serta konsep-konsep ilmu Kalam. Filsafat Shadra ibarat empat
sungai yang bertemu dan berubah menjadi segalur sungai besar
yang bergemuruh kencang.(1)
Meski demikian, dalam literatur ‘irfan, akal kerap diperlakukan
sebagai objek pelecehan. Kerasnya sebagian pernyataan para arif
mengesankan segala jenis pengetahuan akal, dalam bidang apa
pun, tidak berharga lagi, sama sekali. Namun, bila diperhatikan
lebih seksama, akan terlihat jelas maksud mereka yang sebenarnya;
menyubordinasi akal di bawah kerinduan (‘isyq)—yang_berarti
bukan menyepelekannya secara mutlak. Hafidz, pujangga besar,
mengatakan, “Gerbang ranah cinta/jauh lebih menjulang dari akal.”(2)
Seorang arif tidak mutlak mengingkari nilai demonstrasi logis
(burhan) dan pembuktian aklani, melainkan lebih mengunggulkan
hati ketimbang akal.
Jika kajian akal itu mutiara dan intan
maka yang lain kajian ruhanian.
Kajian ruh duduk posisi yang lain
anggur ruh adalah tonggak yang lain.(3)
p:40
Perbedaan pokok ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu hati dan
intuisi diilustrasikan dengan baik dalam kisah pertemuan Ibnu Sina
dan Abu Sa’id Abul Khair (357-440 H):
Suatu hari, Syeikh Abu Sa’id—semoga Allah menguduskan
ruhnya yang mulia—berceramah di majelis Nisyabur. Tuan
Abu Ali [bin] Sina lalu memasuki majelis Syeikh Abu Sa’id.
Sebelumnya, mereka berdua tidak pernah bertatap muka, walau
acap berkorespondensi satu sama lain. Saat Abu Ali Sina masuk,
Syeikh Abu Sa’id segera menoleh ke arahnya. “Seorang hakim
telah datang,” sambutnya. Abu Ali Sina lalu duduk. Syeikh Abu
Sa’id pun melanjutkan ceramahnya sampai akhir. Setelah itu dia
langsung pulang ke rumah. Abu Ali Sina juga ikut ke rumahnya.
Mereka menutup pintu rumah lalu berkhalwat selama tiga hari
tiga malam sambil berbincang-bincang. Tak seorang pun tahu
yang mereka bincangkan. Juga tak seorang pun memasuki tempat
mereka kecuali setelah diberi izin. Keduanya tidak pernah keluar
rumah kecuali untuk menunaikan salat berjamaah. Tiga hari
tiga malam berlalu. Akhirnya Abu Ali Sina keluar dari rumah
itu. Murid-muridnya bertanya, “ Bagaimana Syeikh Abu Sa’id itu
menurutmu?” “Dia menyaksikan semua yang kutahu,” jawabnya.
Sebaliknya, para pengikut Syeikh Abu Sa’id bertanya, “Bagaimana
Abu Ali Sina menurutmu?” “Dia tahu semua yang kusaksikan,”
jawabnya.(1)
Cerita ini memicu perdebatan di kalangan pakar. Beberapa dari
mereka menilai kejadian itu fiktif. Sementara sebagian lain membe-
narkannya dan mengungkapkan kecenderungan Ibnu Sina pada ‘irfan
p:41
di akhir hayatnya karena rangkaian pertemuan dan korespondensi
ini.(1) Kalaupun pertemuan itu tidak benar-benar terjadi, setidaknya
kata-kata pengakuan yang dinisbatkan kepada Ibnu Sina dan Abu
Sa’id merefleksikan perbedaan yang jelas antara pengetahuan
akal dan pengetahuan hati; yang pertama sejenis pembuktian, dan
yang belakangan sejenis iluminasi (efodliel) dan penemuan (yoftan).
Murtadha Mutahari mengatakan:
Pengetahuan argumentatif tidak melampaui _batas-batas
persepsi, konsep-konsep mental, dan kepuasan potensi nalar.
Tentunya semua ini sangat berharga. Akan halnya pengetahuan
iluminatif (ma’refat-e efodhi) yang ditempuh seorang arif semacam
pencapaian (residan) dan pencecapan (dzawq). Pengetahuan
argumentatif hanya memuaskan akal, sementara iluminasi
mencipta gelora, gejolak, dan gerak luar biasa dalam keseluruhan
eksistensi manusia.(2)
Dengan kata lain, tujuan hakiki seorang arif adalah gelora dan
kondisi (lial) spiritual. Di sini, akal tidak terlalu berguna.
Dia teman kami dengan tutur dan tindakan
karena kau sampai tingkat hal, jadi tiada.(3)
Karenanya, bukan hanya filsafat, ‘irfan pun bila berubah menjadi
disiplin ilmu sehingga alih-alih mencipta gelora dan kondisi (lial)
spiritual justru menjadi bahan perdebatan diskursif, juga tidak akan
memuaskan kalangan arif yang Ilahi. Ini sebagaimana dinyatakan
seorang arif, Imam Khomeini:
p:42
Hijau segar hanya di hari kita jadi arif di kedai minum
kala kita keluar dari aula akal dan menjadi gila.
Mari kita pecahkan cermin filsafat dan ‘irfan
asingkan diri dari rumah berhala kafilah ini.(1)
Menurut kaum arif, akal bukan saja berada di bawah hati, melainkan
secara mendasar sama sekali tidak valid dalam bidang-bidang
tertentu, seperti mengenal hakikat wujud (mahiyyalt) Tuhan. Output
kerja akal di ranah ini, menurut mereka, tidak lebih dari ragu dan
dugaan. Tegasnya, akal tidak pernah mencipta kemantapan jiwa
(ithlmi'nan) dan keyakinan hati. Nasihat penuh kasih Muhyiddin bin
Arabi (560-638 H) kepada Fakhru Razi (543-606 H) merepresentasi
pandangan ini:
Sebagian orang terpercaya yang juga dekat denganmu
memberitahuku bahwa pada suatu hari, mereka menemuimu
yang saat itu sedang menangis. Lalu mereka menanyakan
gerangan apa yang membuatmu menangis. Engkau pun
menjawab, “Tiga puluh tahun aku meyakini sesuatu. Ternyata
sekarang kebatilan sesuatu itu nyata di hadapanku. Aku
menangis karena bagaimana aku tahu bila kelak, kebatilan yang
sekarang ini nyata di hadapanku benar-benar tidak diketahui.”
Ya, begitulah: mustahil seseorang mencapai ketenteraman jiwa
melalui akal, khususnya dalam mengenal Allah Swt. Sebab,
mengenal hakikat wujud (mdlityyal) Dia mustahil dicapai lewat
pemikiran dan penelitian. Karena itu, wahai saudaraku, apa
yang akan engkau perbuat? Apakah engkau masih ingin tetap
menghuni kesulitan ini dan mengabaikan jalan pelatihan jiwa
serta berkhalwat sebagaimana diajarkan Rasulullah Saw?(2)
p:43
Mulla Shadra juga gigih membela derajat akal dan filsafat.
Tidak pernah sekalipun filsuf ini menyatakan akal sebagai sumber
pengetahuan yang memadai untuk mengetahui seluruh hakikat
alam. Sangat banyak hakikat ‘irfani yang, menurutnya, berada di luar
jangkauan akal dan harus digapai lewat penyingkapan dan penyaksian
hati (kasyf wa syuliuid). Dikatakan pula bahwa begitu banyak hakikat
wahyuni yang melampaui jangkauan akal. Dia percaya, satu-satunya
jalan ke arah itu adalah wahyu dan kenabian.(1)
Jangan tempuh jalan tauhid dengan akal
Jangan tusuk mata ruh dengan duri.(2)
Satu dari sekian poin yang disepakati dan termaktub dalam seluruh
teks ‘irfan di jagat raya ini adalah superioritas ‘irfan di atas akal.(3)
Apakah ini berarti bahwa penyingkapan ‘irfani berlangsung di luar
kerangka akal dan bertentangan dengan hukum-hukum swabukti
(badihi)? Sebagai contoh, satu hukum pasti akal menyatakan:
tidak mungkin dua proposisi kontradiktif akan sama-sama benar.
Lalu, apakah kalangan arif juga mempercayai hukum seperti ini?
Atau, apakah menurut mereka bangunan tinggi penyingkapan
dan penyaksian tidak dapat didasarkan pada _ prinsip-prinsip
rasional tersebut? Agaknya, ungkapan syathohiyyat dari sebagian
arif yang sekilas kontradiktif (paradoksikal) justru menguatkan
dugaan bila penyingkapan ‘irfani itu antiakal. Sekelompok pemikir
berpendapat:
p:44
Paradoksikalia yang sesungguhnya mustahil dijelaskan secara
rasional, dan kontradiksi-kontradiksi yang kita lihat di dalamnya,
dari sudut pandang logis, tak terpecahkan ... orang-orang yang
punya pengalaman mistis tertentu pasti merasakan sedalam-
dalamnya betapa pengalaman khas itu benar-benar khusus dan
secara total berbeda dengan semua indra dan pengetahuan biasa,
juga sama sekali tak dapat dibandingkan dengan pengalaman
indrawi dalam ruang dan waktu. Siapa saja yang mencapai
pengetahuan mistis berarti telah memasuki ranah istimewa yang
sama sekali di luar skala pengetahuan sehari-hari; lebih unggul
darinya dan tidak dapat diraih atau dinilai lewat kriterianya.
Sudah tentu, para mistikus merasakan itu. Maka, segala usaha
klarifi-kasi atas paradoksikalia mistis via perangkat logis atau
filologis sama dengan mendegradasi mistik sampai batas akal
awam dan publik, mengingkari karakter eksklusivitasnya, dan
menurunkannya sampai tingkat pengalaman sehari-hari kita.(1)
Berbeda dengan pandangan diatas, Ibnu Turkah dalam Tamiliid Al-
Qowa‘id — yang dijadikan mata kuliah wajib ‘Irfan di berbagai lembaga
pendidikan—menegaskan, penyingkapan ‘irfani yang melampaui
(beyond) akal bukan bermakna antiakal, tidak juga selalunya berarti
nonakal, tetapi akal dengan dirinya tidak sanggup mencapai level
itu. Ini hanya dapat dicapai akal berkat potensi lain. Maksudnya,
setelah manusia mencapai sekian pengetahuan via penyingkapan
dan ilham, akalnya juga akan mampu menjangkaunya.(2)
Mulla Shadra juga meyakini sebagian derajat dan kesempurnaan
‘irfani mustahil dicapai akal. Menurutnya, derajat-derajat itu sebegitu
agung, mulia, dan istimewa hingga akal tak sanggup menjangkaunya.
Namun, adanya pengetahuan yang melampaui akal tidak berarti
pengetahuan dan hakikat itu antiakal:
p:45
Terbuka kemungkinan adanya hal-hal tanpa akal di ranah wilayah
dan ‘irfan; yaitu hal-hal yang mustahil dicapai sarana akal.
Orang yang tidak membedakan yang antiakal dan yang nonakal
tidak layak diajak bicara; biarkan saja dirinya tenggelam dalam
kebodohannya.(1)
Dalam pandangan Maulawi (Mulla Rumi), terdapat berapa tingkatan
dan jenis akal; ada yang layak disanjung, ada pula yang pantas
dikecam.(2)Sebagaimana dalam pembahasan lainnya, Maulawi merasa
dirinya tidak perlu menyodorkan definisi yang inklusif sekaligus
eksklusif (jami’ wa mani’) bagi setiap jenis yang disebutkannya.(3)
Namun dari ciri-ciri yang dikemukakannya untuk masing-masing
akal, sampai batas-batas tertentu dapat diketahui: mana akal yang
tersanjung dan mana akal yang tercela dalam pandangannya.
Adakalanya Maulawi mengidentifikasi akal tersanjung dengan nama
akal imani:
Akal imani laksana pengawal yang adil
pelindung sekaligus penguasa kota hati.(4)
Akal dalam diri, penguasa iman
karena takut, nafsu jadi terbelenggu.(5)
Manakala kaum filsuf menyandarkan asumsi-asumsinya pada
akal, lalu dengannya menyangkal sebagian hakikat religius, maka
penalaran inilah yang digugat Maulawi:
p:46
Filsuf jadi ingkar setan yang gaib
saat itu jua dia jadi tertawaan setan.
Siapa saja punya ragu dan lika-liku di hati
di dunianya tersembunyi filsafat.
Kiblat arif, cahaya pertautan
kiblat akal filsuf, lenbah khayalan.(1)
Akal terpuji Maulawi tidak bertentangan dengan penyingkapan
dan penyaksian, bahkan bagian dari ilmu-ilmu ilumi-natif dan
karuniawi Ilahi yang tidak diperoleh lewat proses belajar.
Akal, ada dua: yang satu dicari
belajar bagai bocah di kelas.
Dari buku, guru, pikir, dan zikir
dari makna dan ilmu-ilmu baru lain.
Yang satu lagi, anugerah ilahi
sumbernya terletak di pusat nyawa.
Karena cairan ilmu mendidih di dada
maka tidak basi, kuno, atau menguning.(2)
Terminologi kunci Maulawi dalam membedakan akal terpuji
dari akal tercela adalah “akal universal” (‘aql kulli) dan “akal parsial”
(‘aql juz‘). Menurut sebagian ahli di bidang ini, yang dimaksud akal
parsial adalah akal kalkulus yang menyangkut urusan duniawi;
satu jenis akal yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi dan
sementara di atas yang permanen dan ukhrawi.(3) Sebagian ahli yang
lain lebih lanjut menerangkan:
Akal parsial adalah akal yang kekurangan dan mentah. Orang
kebanyakan lebih-kurang sama dalam hal ini. Akal pada level
p:47
ini kurang dan tak sanggup mengecap hakikat sesuatu karena
terancam wabah khayal dan prasangka. Wabah inilah yang
merembesi akal dan selanjutnya merapuhkan fondasi pembuktian
akal. Karena itu, seyogyanya akal parsial ditautkan dengan akal
universal yang hanya dimiliki orang-orang tertentu dan paling
dekat dengan Tuhan. Berkat pertautan itu, akal parsial dapat
berubah menjadi akal universal.(1)
Khayal dan prasangka wabah akal parsial
karena bersemayam dalam gelap.(2)
Akal parsial, jangan jadikan menteri
hati raja, jadikan akal universal menteri.(3)
Akal parsial dalam dirimu terpatri
akal universal di dunia, cobalah cari.(4)
Usahalah sampai tua jadi akal dan agama
karena dengan akal universal, batin pun tersingkap.(5)
Sebagai penutup bab, akan dikemukakan perdebatan puitis di
antara dua sosok, filsuf dan arif, seputar puisi terkenal kaki juru bukti
terbuat dari kayu/betapa kaki kayu sungguh rapuh. Mirdamad yakin,
Maulawi sama sekali tidak menghargai akal dan pembuktian logis.
Kepadanya dia berkata:
Hai kamu yang menyebut kaki kayu jadi bukti
jika tidak, Fakhru Razi tak tertandingi.(6)
Antara akal dan khayalan tak dibedakannya
Jangan menggugat bukti, hai salah pengerti
p:48
Kamu ingin jalan dengan kaki baja bukti
mintalah dari siratul mustakim kami
Kamu ingin kaki baja pembuktian
kami tetapkan dia di ufuk mubin
Di buku “dah qabas” antara pagi dan malam
ada sejagat cahaya akal, wassalam(1)
Muhammad Syirazi yang arif menilai gugatan Mirdamad di atas
tadi tidak proporsional. Berikut jawabannya atas gugatan itu:
Hai kamu yang menggugat Maulawi
hai kamu yang tak sanggup mengerti Matsnawi
Matsnawt samudera cahaya jiwa
puisinya penuh mutiara berharga
Kalau saja kamu mengerti Matsnawi
tak ‘kan buka mulut menggugatnya
Segala cacat pembuktian aklani
Maulawi menukilnya dalam Matsnawi
Tapi akal universal tidak ia maksudkan
karena dialah petunjuk di setiap jalan
Maksudnya hanyalah akal parsial falsafi
karena dia tak bercahaya di hadapan Yusuf
Akal parsial ibarat khayalan keruh
karena itu dia tercela di sisi auliya.(2)
p:49
p:50
p:51
Sepanjang sejarah, senantiasa ada pihak yang mengingkari wahyu
dan pesan samawi, serta menolak agama(1) dengan mengandalkan
akal dan konsep. Sebagian orang berpendapat, wahyu itu produk
imajinasi dan pikiran sekelompok oportunis yang mengaku
punya hubungan dengan alam gaib, juga berniat merusak tatanan
masyarakat, mencari popularitas, dan menetapkan kedudukan
sosialnya sendiri. Sebagian lain menyomot beberapa ajaran agama
yang mereka klaim anti akal sebagai amunisi untuk membunuh
wahyu Ilahi.
Kajian dan analisis kritis terhadap pendapat-pendapat di atas
mendominasi isi bab ini. Intisari yang mesti dibahas terlebih dulu
adalah tinjauan eksternal (burun dini) terhadap agama berikut ekses
dan dampaknya. Berkenaan dengan tinjauan ini, probabilitas dan
kebutuhan terhadap wahyu mesti ditelaah secara terpisah dari
proposisi-proposisi yang seolah-olah, atau memang senyatanya,
antiakal. Jika kedua poin (kemungkinan dan kebutuhan) itu terbukti
benar, maka kajian selanjutnya akan berkisar pada pencarian agama
yang benar—kendati boleh jadi salah satu tolok ukur memilih
agama yang benar adalah prinsip tidak satu pun ajaran agama itu
yang memusuhi akal. Sayangnya, sebagian peneliti agama justru
mengabaikan persoalan ini. Saat menemukan dalam agama yang
ditelitinya sejumlah ajaran yang seolah antiakal—itu pun lewat
proses induksi yang terbatas— mereka langsung memvonis semua
agama itu antiakal, dan manusia sama sekali tidak butuh pesan
samawi.
Kaum rasionalis radikal menolak kemungkinan manusia memiliki
sarana pengetahuan di luar kelaziman. Dalam klaim mereka, satu-
satunya sumber pengetahuan manusia hanyalah indra dan akal.
p:52
Jubah wahyu, menurut mereka, tidak cocok untuk size manusia.
Hanya ada satu cara untuk menerima langsung pesan samawi; yaitu
menanggalkan jubah kemanusiaan dan mengenakan jubah malaikat.
Para nabi selalu menghadapi pertanyaan sekaligus penolakan ini:
apakah Allah mengutus manusia sebagai rasul?!(1)Adakah kesesatan
yang lebih jauh dari keharusan mengikuti manusia seperti kita,(2)
lalu kita pasrahkan kendali akal kepada dia? Seandainya Tuhan
punya rencana khusus untuk memberi manusia petunjuk, sementara
akalnya tidak memadai untuk mencapai tujuan itu, sudah tentu Dia
akan mengutus malaikat.(3)
Slogan yang lazim mereka suarakan untuk merespon ajakan
para nabi adalah “kamu juga manusia biasa seperti kami”. Menurut
mereka, kesamaan ragawi merupakan bukti atas kesamaan ruhani
dan batin (ma‘nawi). Oleh karena itu, para nabi (yang dianggap sama
dengan mereka) mustahil dapat menjalin kontak dengan alam lain:
Mereka berpasangan dengan para nabi
mereka kira dirinya sama dengan para wali.
Berkata, kami manusia, mereka pun manusia
kami dan mereka kerabat seranjang dan semeja.(4)
Menyanggah ucapan mereka yang sebenarnya semata-mata
dipicu anggapan mustahil dan tidak didasari bukti rasional, para
utusan Ilahi menekankan dimensi kemanusiaan sekaligus keutamaan
dan karunia khusus mereka dari Tuhan:
p:53
Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, akan tetapi Allah
memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-
hamba-Nya (QS Ibrahlm [14]: 11).
Benar, kemanusiaan tidak bertentangan dengan penerimaan
wahyu. Sebaliknya, sosok nabi harus berasal dari jenis umatnya agar
dapat dijadikan teladan kemanusiaan. Kalau tidak mampu untuk itu—
setidaknya tidak sanggup menggambarkan secara sempurna apa dan
bagaimana wahyu — maka tidak sepantasnya seseorang menganggap
semua orang setara dengannya, termasuk memustahilkan pengeta-
huan apa pun di luar kelaziman. Sejenak mengamati perbedaan di
antara hal-hal yang tampaknya identik, sudah cukup untuk menyim-
pulkan bahwa menjadikan beberapa kesamaan sebagai argumentasi
untuk menolak kemungkinan terjadinya perbedaan tidaklah sesuai
dengan prinsip rasional.
Sama-sama lebah makan dari satu hidangan
tapi satu hasilkan sengat dan yang lain madu.
Sama-sama kijang minum dan makan rumput
tapi satu hasilkan kotoran dan yang lain misik murni.
Sama-sama bambu menyerap air muara
tapi satu hambar dan yang lain gula.
Lihatlah, ratusan ribu jumlah contoh yang sama
lihatlah bedanya serentang tujuh puluh tahun berlalu.(1)
Tentunya, ulasan di atas tidak sampai disalahpahami sebagai
keharusan untuk menjegal akal memasuki bidang wahyu. Atau
sebaliknya; kemungkinan mengetahui sesuatu di luar kelaziman
bermakna bahwa setiap orang boleh mengklaim dapat berhubungan
dengan alam gaib. Bukan seperti itu! Menurut akal, posisi wahyu
yang melampaui akal tidak serta merta memustahilkan seseorang
p:54
dapat menerima wahyu. Mengingat para pembawa pesan Ilahi telah
mengajukan berbagai bukti kuat, seperti mukjizat, maka tidak ada
pilihan lain bagi akal kecuali pasrah menerimanya. Dengan kata
lain, terhadap pengetahuan wahyuni, akal tidak punya celah sedikit
pun untuk meragukan, apalagi menyangkalnya—kendati posisinya
melampaui dayanya.
Ringkasnya, kesiapan menerima wahyu merupakan satu tingkat
kesempurnaan manusia. Di sini, ikhtiar seseorang tetap berperan
penting. Namun demikian, ihwal ini tetap harus dikategorikan seba-
gai, lagi-lagi, beyond atau melampaui daya ikhtiarnya (ghioir iktisabi).
Sebab, tak seorang pun yang meraih level ini lantaran hasil kerja dan
ikhtiarnya sendiri, justru merupakan karunia Ilahi yang diberikan
kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.(1) Selain-Nya, tiada yang
tahu siapa yang layak mencapai level itu.(2)
Menurut sebagian rasionalis radikal antiagama, kalaupun
pengetahuan wahyuni mungkin diperoleh, tetap saja sia-sia dan
tidak berarti apa-apa, karena dengan akal saja manusia sudah
bisa mencapai tujuan. Kekuatan penuntun ini niscaya menihilkan
kebutuhan pada penuntun lain. Paham ini didukung sejumlah
pemikir Timur maupun Barat dan, entah benar atau tidak, konon
juga diusung sebagian pemikir Islam. Berikut sekelumit ulasan dari
mereka sebagai representasi paham ini.
Pengusung ternama paham ketidakbutuhan terhadap wahyu
adalah sekelompok filsuf India, yang dalam literatur teologi
[Islam] disebut Brahmana. Pandangan mereka dibangun di atas
p:55
asumsi seputar muatan ajaran para nabi yang niscaya berkisar
hanya pada dua kemungkinan; selaras atau bertentangan dengan
hukum akal. Atas dasar kemungkinan pertama, yakni seruan para
nabi selaras dengan hukum akal, maka wahyu dengan sendirinya
tidak lagi dibutuhkan. Karena, lewat bantuan akal, manusia sudah
dapat memahami dan mengaplikasikan sendiri dalam kehidupan
hal-hal yang disampaikan para nabi dengan segala jerih payah
dan kesulitan yang dialaminya. Adapun jika bertentangan dengan
data-data rasional, seruan para nabi jelas mustahil dibenarkan dan
dipatuhi. Karena, tolok ukur kemanusiaan yang membedakannya
dari binatang adalah akal dan pemikirannya. Inilah alasan mengapa
mengabaikan karunia Ilahi berupa akal dan menerima ajaran antiakal
itu identik dengan menyempal dari spesis manusia dan terjun bebas
ke dunia binatang.
Disamping itu, bukankah secara fitriah, Tuhan mampu menuntun
akal manusia kepada realitas dan mengisi nalar dengan rangkaian
pengetahuan yang dibutuhkan? Bila nabi internal sudah ada, lantas
buat apa lagi nabi eksternal?!(1)
Istilah “deisme” muncul pertama kali pada abad XVI. Terminologi
ini merujuk sekelompok pemikir yang mengklaim wahyu dan ilham
supranatural sebagai sesat dan keliru.(2) Rata-rata mereka menentang
agama wahyuni (proplietic religion) seraya menyodorkan agama
natural (natural religion) sebagai produk tuntunan akal.
Kendati begitu, di kalangan deis terdapat pula sejumlah pemikir
yang bersikap moderat. Salah satunya, John Toland (1670-1722), tokoh
deis yang menulis Christianity Not Mysterious (1696). Karya tulis ini
p:56
dimaksudkan untuk membuktikan tak satu pun ajaran Kristen yang
bertentangan dengan akal atau di luar jangkauan nalar. Kalaupun
termaktub dalam Alkitab, itu tak lain dari produk pemutarbalikkan
para pendeta dan tipudaya orang-orang tak beragama.(1)
Berdasarkan itu, terminologi “deis” meliputi kalangan yang cukup
luas, termasuk kubu antiagama juga agamawan. Kedua kubu ini me-
miliki ciri yang sama: rasionalisme radikal yang berpihak ekstrim
kepada akal, sekalipun makna literal terminologi ini adalah kaum
yang percaya Tuhan yang mengingkari segala jenis pengetahuan
wahyu dan sangat memuja akal.(2)
Mazhab Deisme, menurut Samuel Clark (1675-1729), setidaknya
dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe:
i. Meyakini Tuhan sebagai wujud penguasa absolut dan pencipta
alam semesta. Mereka percaya Tuhan tidak “pensiun” dari kerja
mengurus alam. Dia juga menuntut manusia berperilaku etis
dan religius. Itulah alasan mengapa di alam lain, Dia mengganjar
pahala untuk orang baik dan menyiksa yang jahat. Kendati begitu,
kelompok pemikiran ini menyangkal semua agama wahyuni dan
merumuskan agama natural sebagai produk tuntutan akal. Clark
menyebut kelompok ini sebagai deis sejati.
ii. Sekaligus menolak wahyu, juga mengingkari keabadian ruh
manusia dan kehidupan setelah mati. Namun mereka percaya
kalau Tuhan punya kekuasaan mutlak dan pengetahuan absolut,
serta pengelola alam.
iii. Meyakini campur tangan Tuhan sang pencipta dalam proses
pengelolaan alam. Namun Tuhan telah menceraikan manusia
dan tidak lagi mempedulikan nasib kehidupannya.
iv. Kelompok terakhir terbilang paling ekstrim. Dalam pandangan
ini, kendati punya pengetahuan dan kuasa tak terbatas, Tuhan
tidak ambil bagian dalam pengelolaan alam. Jelasnya, setelah
p:57
menciptakan segala sesuatu, Dia membiarkannya begitu saja.
Terlepas dari lengkap-tidaknya klasifikasi tersebut, yang terang,
keempat tipe itu sama-sama menolak wahyu dan pengetahuan gaib
atau samawi.(1) Tentunya, klasifikasi Clark ini juga dapat dipersepsi
secara berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula.(2)
Signifikansi kenabian dan kebutuhan pada wahyu menjadi salah
satu topik yang paling sering diperdebatkan dalam sejarah teologi
Islam. Sebenarnya, nyaris tak ada pemikir Muslim yang menolak
prinsip kenabian dan wahyu. Namun begitu, paham ketakbutuhan
pada wahyu sempat disangkutpautkan kepada sejumlah pemikir
Muslim. Salah satunya, Muhammad bin Zakaria Razi (251-313 H).
Sejumlah penulis biografi dan orientalis memasukkan filsuf juga
dokter terkemuka asal Iran ini dalam daftar kaum rasionalis radikal
antiagama.
Razi, menurut mereka, memang percaya kepada Tuhan yang
Maha Esa, namun dia menolak mentah-mentah wahyu dan kenabian.(3)
Menurut laporan kalangan sejarawan, Razi berkeyakinan: pertama,
akal manusia mampu memilah mana yang benar dan bermanfaat
serta mana yang keliru dan merugikan. Eksistensi Tuhan dapat
dibuktikan akal. Dan kehidupan praktis manusia dapat dikonstruksi
secara ideal tanpa memerlukan bantuan nabi atau tuntunan risalah
samawi.
Kedua, setiap orang punya kemampuan memilah dan sensasi
rasional yang sebangun. Dari perspektif ini, tak seorang pun
mengungguli yang lain. Superioritas hanya mungkin lewat proses
belajar-mengajar. Karena itu, tidak diperlukan orang-orang khusus
p:58
yang konon menerima karunia istimewa sehingga dipercaya sebagai
sumber hidayah. Sebaliknya, setiap orang mampu merancang sendiri
kehidupan idealnya lewat bantuan dan tuntunan akal.
Kalaupun manusia tetap memerlukan agama, Razi mengklaim,
itu tak lain dari agama akal. Juga, seandainya wahyu dan nabi
merupakan bagian dari keimanan, maka adakah nabi yang lebih baik
dari akal, dan firman yang lebih menggerakkan ketimbang sabda
akal? Karena itu, jangan pernah mereduksi peran akal yang:
Manakala dia sendiri pemimpin, janganlah kita menawannya
... Manakala keimaman menjadi haknya, janganlah kita
membelenggu lehernya. Jangan ubah majikan menjadi budak
suruhan ... Seyogianya kita rujukkan semua urusan kepadanya.
Hendaknya kita jadikan dia tolok ukur dalam segala hal ...
Seharusnya kita senantiasa bersandar kepadanya.(1)
Penting dicatat, raibnya sejumlah karya yang dinisbatkan kepada
filsuf ini menyulitkan penilaian yang objektif terhadapnya. Salah
satu literatur kuno yang menggugat pandangan-pandangan Zakaria
Razi adalah A‘lam Al-Nubuwwal, karya Abu Hatim Razi (w. 322
H)—seorang pengikut Syiah Ismailiyah yang hidup satu kota dan
semasa dengan Zakaria Razi. Abu Hatim pernah menuangkan hasil
dialognya dengan seseorang yang disebutnya ateis. Berdasarkan
sejumlah bukti, yang dimaksud orang ateis itu tidak lain dari Zakaria
Razi. Ini yang juga ditegaskan Hamidudin Kirmani, salah satu tokoh
mazhab Isma-iliyah yang hidup satu abad setelah Zakaria Razi.(2)
Kutipan dari bab pertama buku itu, yang memuat gagasan
tentang tidak diperlukannya wahyu, adalah berikut:
Ateis; Mengapa Tuhan harus memilih sekelompok tertentu
di antara hamba-hamba-Nya untuk diutus sebagai nabi dan
p:59
dipertuankan di atas hamba-hamba yang lain? Tindakan ini
menambah daftar peperangan dan permusuhan di kalangan manusia
serta memicu kehancuran; mungkinkah tindakan ini selaras dengan
kebijaksanaan Tuhan?
Abu Hatim: Menurutmu, apa tuntutan kebijaksanaan Tuhan?
Ateis: Ketimbang mengutamakan sebagian orang dari yang lain,
agaknya lebih layak jika Tuhan mengaruniai pengetahuan secara
merata kepada seluruh manusia tentang untung-rugi segala sesuatu
yang terkait dengan dirinya.
Abu Hatim: Bukankah kamu percaya Tuhan itu Mahabijak lagi
Maha Pengasih? Bukankah kamu percaya kapasitas pengetahuan
semua orang diciptakan sama?
Ateis: Ya.
Abu Hatim: Kalau begitu, bagaimana membenarkan kenyataan
adanya imam dan makmum, guru dan murid? Contohnya, bukankah
kamu _ sendiri mengaku paling unggul dalam bidang_filsafat
ketimbang yang lain?
Ateis: Dari segi rasio dan semangat (hlmmah), semua orang setara.
Bedanya, saya mengerahkan semangat di jalur filsafat, sementara
mereka di jalur dunia.
Abu Hatim: Perbedaan kadar pengetahuan dan level pemikiran
tentunya tak dapat disangkal siapapun. Karena itu, memilih sebagian
orang menjadi nabi dan memberinya pengetahuan wahyuni yang
melampaui kesanggupan manusia biasa, jelas, sesuai dengan
kemahabijakan dan rahmat Tuhan.(1)
Abu Raihan Biruni juga ikut menggugat pemikiran Zakaria
Razi. Dalam pengantar tesisnya yang memuat daftar koleksi karya-
karya Razi, sembari menyoroti satu karyanya, Fi Al-Nubuwwiat, dia
menyinggung sikap antiagama Zakaria Razi—seraya menyatakan
kekecewaan jika dengan menulis buku itu, dia telah mengotori
bahasa dan pena dengan ‘sesuatu’ yang seyogianya dihindari orang
p:60
berakal.(1)
Biruni mengklasifikasikan buku Fi Al-Nubuwwat (tentang
kena-bian) dan buku Fi Hiyal Al-Mutanabbi‘in (Muslihat Para
Pengaku Kenabian) sebagai buku-buku_ kekafiran (kufriyydat).
Masih menurutnya, kedua buku itu dibubuhi judul lain oleh para
penggugatnya; Naqdh Al-Adyan (Membantah Agama) dan Makhériq
Al-Anbiya’ (Tipu Muslihat Para Nabi).(2) Alasan mereka, judul-judul
baru itu lebih mewakili kandungan kedua buku tersebut.
Nasir Khosru Qubadiyani (w. 481 H) yang juga penganut mazhab
Ismailiyah, turut menggugat pandangan Zakaria Razi dalam berbagai
bukunya. Dalam Jami’ Al-Hikmatain, misalnya, dia mengatakan:
Muhammad bin Zakaria Razi mengatakan dalam kitab Al-
‘Ilm Al-illahi bahwa jiwa-jiwa jahat yang sudah menjadi hantu
menampakkan diri di hadapan orang-orang tertentu, lalu
memerintahkan mereka, “Pergilah! Katakan pada khalayak
bahwa malaikat telah datang kepa-daku seraya mengatakan,
‘Tuhan mengutusmu sebagai nabi, dan aku malaikat itu."” Berkat
perintah jiwa yang telah jadi hantu itu, terjadilah perselisihan
di tengah khalayak yang menyebabkan banyak sekali di antara
mereka yang terbunuh. Kami telah menulis tanggapan terhadap
kata-kata orang bernafsu yang tak punya rasa takut ini dalam
buku Bustén Al-‘Uqul.(3)
Selain menolak kenabian, doktrin-doktrin seperti “reinkarnasi
arwah” (tanasukh), “kemusyrikan dan menyembah dua tuhan”, “di
alam lebih banyak buruk ketimbang baik”, dan “penolakan Hari
Kebangkitan” juga dituduhkan kepada Zakaria Razi.(4)
p:61
Di pihak yang berseberangan, terdapat beberapa pemikir yang
justru mengadvokasi Zakaria Razi. Mereka menyodorkan sejumlah
bukti untuk membersihkannya dari semua tuduhan itu. Menurut
Ibnu Abi Ushaibaah (600-668 H), sebagian buku yang konon ditulis
Razi senyatanya merupakan buku karangan musuh-musuhnya.
Semua itu dimaksudkan untuk merusak nama baik pemikir besar
ini (1)
Sejumlah pemikir kontemporer malah melangkah lebih jauh dan
menilai Zakaria Razi bermazhab Syiah.(2) Alasannya, pertama, sebagian
karya yang dinisbatkan pada Razi, seperti Atsér Al-Imdam Al-Fédhil
Al-Ma'shum,(3) mencerminkan keyakinannya pada keimamahan dan
ke-maksuman (imamah dan ismah) orang-orang tertentu. Selain itu,
dia juga menuliskan penolakannya terhadap Ahmad bin Kayyal,
pemikir abad III Hijriah yang punya kecenderungan Ismailiyah, lalu
mendiri-kan aliran Kayyaliyah.(4) Dalam buku itu, Razi menggugat
konsep imamah yang diusung I[smailiyah. Razi juga pernah menulis
buksu Ila Ali bin Syahid Al-Balkli fi Tatsbit Al-Ma‘ad.(5) Dalam karya
ini, terbukti bahwa dirinya—tidak sebagaimana yang dituduhkan—
mem-percayai Hari Kebangkitan.
Kedua, salah satu guru filsafat Zakaria Razi adalah Abu Zaid Balkhi
(w. 322 H)(6) yang bermazhab Syiah. Ini menjadi salah satu rujukan
yang menguatkan dugaan kesyiahan Razi.
Ketiga, pada pengantar dan penutup salah satu makalah (risalah)
Zakaria Razi yang dinukil Ibnu Thawus (w. 664 H) secara utuh dalam
Al-Amdan, tertera ungkapan yang lazimnya digunakan kalangan
p:62
penulis Syiah; yaitu shalawat kepada Rasulullah saw beserta keluarga
beliau.
Keempat, fakta bahwa semua penggugat gagasan religius Razi
bermazhab Ismailiyah, justru menyulut sikap skeptis terhadap
gugatan mereka yang sepihak itu. Mengapa dari seluruh teolog
sepanjang sejarah Islam, hanya orang-orang yang dikenal sebagai
“kaum ateis”(1) saja yang menyebut Razi kafir dan tidak beragama?(2)
Kaum rasionalis radikal berusaha mengenyahkan agama dengan
menyebut ajarannya sebagai antiakal (antirasio). Dalam klaim
mereka, rasionalisme berbeda dengan religiusisme. Orang cerdas
yang ber-pegang teguh pada pokok-pokok dan tolok ukur rasional
mustahil menoleh ke religius. Ongkos intelektual dari keberagamaan
dan kepercayaan pada wahyu adalah dikorbankannya akal dan
realitas.(3)' Tak ada keharusan untuk percaya pada wahyu. Lebih
dari itu, karakter agama yang antiakal meniscayakan kita untuk
menjauhi akal. Karenanya, mereka mengimbau orang yang berakal
untuk mengubah prasasti hidup mereka dari “iman, harapan dan
kerinduan” menjadi “akal, kerinduan dan kelezatan”.(4) Paradigma
berpikir semacam ini bisa dilihat salah satunya dalam Evidensialisme(5)
yang menjadi kriterium Abad Pencerahan (Enlightenment).
p:63
Para penulis sejarah pada umumnya mengklasifikasi sejarah Eropa
ke dalam beberapa periode seperti: masa kuno, abad pertengahan
(medieval), dan era modern. Sementara era modern sendiri diklasifikasi
dalam beberapa era: renaisans (kebangkitan kembali), reformasi, dan
pencerahan. Kendati periode-periode sejarah itu bersifat longgar,
namun pada umumnya, sejak abad XVIII, sejarah memasuki era
baru yang disebut Abad Pencerahan itu. Kekhasan diskursif pada
era ini adalah usaha membebaskan rasio dari belenggu tahayul
(khurafat). Dan menurut sejumlah pemikirnya, salah satu tahayul
paling berbahaya dan merintangi kemajuan umat manusia adalah
agama dan keberagamaan. Salah seorang tokohnya, Denis Diderot
(1713-1784), mengungkapkan pesan alam untuk manusia modern:
Hai budak tahayul! Jangan cari kebahagiaan di luar batas dunia ini.
Dirimu telah kutetapkan di sana. Beranilah dan bebaskan dirimu
dari tindasan agama; musuh bebuyutanku yang sama sekali tidak
mengenal hak-hakku. Hempaskan tuhan-tuhan yang merampas
kekuasaan-ku dan kembalilah pada hukum-hukumku ... serahkan
kembali dirimu kepada kemanusiaan dan kepadaku. Saat itu kau
akan temukan jalan hidupmu diguyur hujan bunga.(1)
Mayoritas pakar dan pemikir Abad Pencerahan memusuhi gereja
dan melawan manipulasi para pendeta; bukan terhadap agama dan
iman. Namun, generasi-generasi pemikir setelahnya tidak terlalu
mem-persoalkan perbedaan ini. Ujung-ujungnya mereka percaya,
melawan agama wahyuni merupakan tugas manusia rasional dan
tercerahkan.
Alhasil, ciri utama dan dasar pemikiran Abad Pencerahan
adalah Evidensialisme.(2) Maksudnya, manusia rasional tidak boleh
p:64
meyakini dan mengimani sesuatu tanpa saksi dan bukti memadai.
Motto gerakan wacana ini terwakili dalam diktum termasyhur W.
K. Clifford (1845-1879):
Sungguh keliru bila kapanpun, di manapun, dan siapapun,
mempercayai apa pun dengan bukti yang tidak memadai.(1)
Clifford dan kalangan pemikir yang sealiran dengannya menan
daskan bahwa rasionalitas setiap proposisi bergantung pada bukti
pendukung yang memadai. Entah secara implisit maupun eksplisit,
mereka menggugat ajaran agama. Kepercayaan religius, salah satunya,
kepada eksistensi Tuhan tidaklah rasional, karena tidak ada bukti
yang memuaskan akal. Konon, Bertrand Russell (1872-1970) pernah
ditanya, “Bila setelah mati Anda dipanggil ke hadapan Tuhan lalu
ditanya, ‘Mengapa tidak percaya pada eksistensi Tuhan dan nilai
wahyu, apa jawaban Anda?” Dengan tenang dia menjawab, “Saya
akan menjawab pertanyaan itu, ‘Oh Tuhan! Bukti-bukti tidak cukup,
bukti-bukti tidak cukup!’(2)
Clifford yang begitu gigih dan efektif membela Evidensialisme
antiagama mempublikasikan prinsip pemikirannya dalam makalah
yang bertajuk Ethics of Belief. Uraian dalam makalah ini dimulai dengan
cerita sederhana tentang sebuah kapal. Alkisah, kapal yang disiapkan
untuk mengarungi samudera ini ternyata sudah tua dan rapuh. Kondisi
kapal mengundang kecemasan si pemilik. Bayangan seperti: jangan-
jangan rangka kapal tidak mampu menahan gempuran ombak laut
sehingga mengakibatkan banyaknya korban jatuh, sangat mengganggu
benaknya. Secara moral dan rasional, dia berkewajiban memeriksa
kembali kapalnya atau, kalau perlu, memperbaiki kerusakan-keru-
sakannya. Namun biaya pemeriksaan dan perbaikan sangatlah ma-
hal. Akhirnya, dia berhasil meredam kecemasannya dan menghibur
diri dengan beranggapan bahwa selama ini, kapalnya
p:65
aman-aman Saja dan selalu selamat sampai tujuan. Toh Tuhan Yang
Maha Penyayang mustahil akan mengaramkan kapalnya, karena
akan membuat banyak keluarga harus berduka. Namun, tak lama
berselang, dia diberitahu bahwa kapalnya tenggelam di tengah laut.
Dengan ekspresi muka biasa saja, dia bergegas mendatangi kantor
asuransi. Setelah menerima biaya asuransi, dia kembali melanjutkan
hidupnya seperti biasa.(1)
Setelah menyampaikan cerita ini, Clifford menyatakan bahwa
sudah tentu kita semua, menurut akal sehat, akan menilai pemilik
kapal itu bertanggung jawab atas kematian penumpang kapal.
Benar, dia memang jujur meyakini keselamatan dan ketangguhan
kapalnya. Namun, semua itu sama sekali tidak dapat membantunya,
karena dirinya tidak berhak memiliki keyakinan seperti itu hanya
dengan dasar bukti-bukti tersebut. Artinya, intisari setiap keyakinan
bukanlah keyakinan itu sendiri, melainkan bagaimana keyakinan
itu diperoleh. Pemilik kapal itu memperoleh keyakinan ihwal
keselamatan dan ketangguhan kapal dengan cara menggugurkan
bukti-bukti sebaliknya, sekaligus meredam pelbagai keraguan yang
menyelimutinya. Semestinya bukti-bukti itu ditelaah secara cermat;
namun dia tidak melakukannya lantaran bertentangan dengan
keyakinannya. Kesim-pulannya, tolok ukur rasional tiada lain dari
adanya bukti-bukti yang memadai.
Selanjutnya, Clifford mengatakan, kalaupun kapal pesiar itu
berhasil selamat sampai tujuan, itu tidak sampai mengurangi
keteledoran pemiliknya dan kesalahan tindakannya, walau hanya
seujung jarum. Alasannya:
Persoalan benar-salah tergantung pada sumber keyakinan, bukan
pada apa yang diyakini; tergantung pada cara memperoleh
keyakinan, bukan pada jenis keyakinan itu sendiri.(2)
p:66
Di kalangan filsuf kontemporer, J. L. Mackie(1) dan Anthony
Flew(2) mendukung pandangan Clifford. Mereka menolak ajaran
agama dengan alasan: bukti untuk melegitimasinya tidaklah
memadai. Pada saat bersamaan, muncul gugatan seragam terhadap
pandangan mereka ini: bagaimana mereka sendiri ternyata berpaling
dari prinsip epistemologis itu hanya setelah menemukan beberapa
ajaran antiakal dalam sebuali agama—tanpa menyertakan bukti
yang mendukung generalisasi itu untuk semua agama, atau bahkan
untuk semua ajaran agama tertentu. Darinya, mereka berkesimpulan
bahwa semua agama itu nihil tolok ukur rasional. Tentunya
beberapa agamawan Kristen ikut berperan dalam menyiapkan latar
kemunculan pemikiran-pemikiran keliru. semacam ini—karena
pendirian keras mereka bahwa sebagian prinsip kepercayaan agama
hanya mungkin dicapai lewat iman dan menyepelekan peran akal
atau rasio.
Menariknya, di dunia Islam, terdapat pula sejumlah orang yang
mempercayai akal dan agama saling menentang. Alasannya, ajaran
agama berkarakter antiakal. Pandangan semacam ini, di antaranya,
dapat disimpulkan dari rangkaian statemen Abul Ala’ Ma‘arri.(3)
Abul Ala’ Ma‘arri (363-449 H) termasuk pemikir dan penyair ter-
kemuka Arab. Sejak kecil telah kehilangan penglihatannya. Namun
begitu, bakatnya yang luar biasa dan semangatnya yang menggebu
melambungkan dirinya ke posisi pakar dalam bidang budaya dan
sastra Arab. Warisan intelektualnya terbilang cukup banyak, dan
p:67
umumnya terdiri dari puisi dan prosa. Sepanjang hidup, dia lebih
banyak menghabiskan umurnya di tanah kelahirannya, Maerrah
Nukman, dan sekitar dua tahun (399-401 H) menetap di Baghdad.
Untuk lebih mengetahui riwayat hidup pemikir Arab ini, kami
akan mengutip kisah yang ditulis Nasir Khosru Qubadiani. Kisah
ini termaktub dalam buku petualangannya (safarnomeh) setelah
dirinya mengunjungi Maerrah pada Rajab 438 H:
Di kota itu, hidup seorang lelaki yang dijuluki Abul Ala’ Ma‘arri.
Walau buta, dialah pemimpin kota itu. Dia memiliki banyak
fasilitas, pelayan dan pekerja; seakan-akan seluruh penduduk
kota itu pelayannya. Namun di saat yang sama, dia memilih
hidup sangat sederhana (zuhud). Duduk di rumah dengan
dibalut kain wol, satu setengah kilo roti dengan bahan gandum
juw dibiarkannya dan sama sekali tidak disentuhnya. Saya
mendengar pintu rumahnya terbuka setiap waktu. Para wakil
dan pembantunya mengelola kota, hanya mereka merujuknya
dalam urusan-urusan besar. Dia tidak pernah enggan membagi
kenikmatannya dengan orang lain. Dia sendiri selalu berpuasa
sepanjang siang (sd‘im al-dahr) dan terjaga sepanjang malam
(qo'im al-layl). Dia tidak mau menyibukkan diri dengan dunia.
Dalam bidang puisi dan sastra, dia telah mencapai kedudukan
tinggi. Kalangan pembesar Syam, Maroko, dan Irak mengakui
pada masa itu tak ada dan belum pernah ada orang yang mampu
menandinginya. Dia menulis Al-Fushul wa Al-Ghayat yang sarat
ungkapan-ungkapan rahasia. Kiasan-kiasannya begitu fasih
dan menakjubkan sehingga acapkali orang lain tidak sanggup
mencernanya ... Bahkan sebagian orang sempat menuduhnya
menulis buku itu untuk menandingi Alquran. Lebih dari 200
orang senantiasa datang dari berbagai penjuru untuk menimba
ilmu sastra dan puisi darinya. Saya mendengar, jumlah puisinya
lebih dari seratus ribu bait ... Ketika saya datang ke sana, lelaki
p:68
tu masih hidup.(1)
Dalam beberapa hal, deskripsi Nasir Khosru ini tidak sesuai dengan
hasil riset kalangan pemikir kontemporer berdasarkan karyakary-
anya yang masih tersisa. Misalkan dalam sebagian puisinya, Abul
Ala’ menyinggung tiga penjara: buta, mendekam dalam rumah, dan
terjeratnya ruh dalam tubuh yang kotor.(2) Juga dalam sepucuk surat
yang dikirimkannya kepada warga sekota saat akan pulang ke sana.
Dia meminta mereka tidak menyambut kedatangannya serta mem-
biarkannya sendiri. Karena setelah sekian tahun merenung, dia lalu
berkesimpulan bahwa dirinya harus menyendiri dan menghabiskan
sisa umurnya dalam kesendirian.(3)
Kembali ke inti persoalan. Dalam sebuah puisi masyhurnya,
Abul Ala’ memvonis semua agama sesat dan agama hanif,(4) Yahudi,
Kristen, dan Majusi adalah penyebab kesesatan. Lalu dia berkata:
Dua penduduk bumi, satu berakal tak beragama
yang lain beragama tak berakal.(5)
Di tempat lain, dia menyerang doktrin Syiah seputar prinsip
Imamah:
Orang-orang berharap di antara balatentara yang padam, bangkit
se-orang imam yang berbicara lugas. Ini dugaan yang batil; kar-
ena tidak ada pemimpin selain akal.(6)
Orang-orang agama hanif tergelincir
orang-orang Kristen tak tertuntun. Or-
ang-orang Yahudi terombang-ambing
dan orang-orang Majusi tanpa jalan.
p:69
Di samping rangkaian puisi seperti itu, terdapat pula statemen
Abul Ala’ yang mengesankan sikap menghormati agama-agama
samawi dan keteguhannya menganut Islam. Umpama, pujiannya
terhadap Islam dan Pembawanya(1), sanjungan untuk Imam Ali bin
Abi Thalib dan putranya, Imam Husain(2), isyarat tentang penciptaan
lima cahaya suci sebelum langit dan bumi dicipta(3), shalawat kepada
Nabi Saw dan keluarga beliau(4), serta penghargaan terhadap para
nabi Ilahi(5).
Abul Ala’ juga acap mengungkapkan gagasan yang multitafsir.
Menurut kalangan komentator, Abul Ala’ sengaja mengaburkan
maksud gagasannya untuk menghindari serangan kaum
agamawan.
Bagaimanapun, menilai tokoh sejarah berdasarkan karyanya
yang masih tersisa merupakan pekerjaan yang cukup sulit. Kendati
begitu, dapat dipastikan bahwa Abul Ala’ Ma’arri percaya Tuhan
yang Maha Esa. Kehidupannya juga serbasederhana (zuliud) dan
cenderung tidak peduli pada ihwal duniawi. Sayang, kejeniusan dan
kekuatan nalarnya, yang berbaur dengan pelbagai kesulitan yang
dialami (seperti kebutaan), telah mengonstruksi dirinya sebagai
seorang skeptis. Akhirnya, dia pun menderita tekanan jiwa yang
cukup akut. Thaha Husain, penulis tunanetra terkenal asal Mesir
yang disertasi doktoralnya mengenai riwayat hidup Abul Ala’
Ma‘arri, menerangkan skeptisismenya terhadap Hari Kebangkitan:
Orang beriman yang percaya Hari Kebangkitan ... adalah berhati
tenang ..; adapun seorang skeptis tidak dapat percaya dan
mengimani itu ... nalarnya sesaat pun tidak pernah berhenti mencari
dan menggali ... seringkali ... mereka terombang-ambing di antara
p:70
pengakuan dan penolakan(1) ... orang seperti ini selalu mengalami
siksa yang berat dan gangguan jiwa ... satu-satunya hal yang
mempersulit penelitian Abul Ala’ dan membuatnya skeptis adalah
akal ... seandainya Abul Ala’ merendah dalam kehidupan rasional
dan filosofisnya, sebagaimana dalam kehidupan praktisnya, serta
meyakini batas daya jangkau nalarnya ... niscaya dia akan selamat
dari siksa dan derita ini.(2)
Persoalan utama Abul Ala’ terletak pada kecenderungan kuatnya
menakar semua ajaran agama secara rasional. Dia sama sekali enggan
mengakui adanya ajaran yang melampaui akal. Karena itu, ketika
tidak sanggup mencecap hikmah di balik sejumlah hukum fikih,
dia langsung menuding Islam mengandung kontradiksi (tanaqudh)
antara satu ajaran dengan ajarannya yang lain:
Ada pertentangan, apalah hak kita selain diam
dan berlindung pada Tuhan dari api jahanam.
Tangan didenda lima ratus miskal emas
gerangan apa dipotong karena seperempat miskal emas.(3)
Maksudnya, berdasarkan hukum Islam, khususnya dari
keterangan para imam Ahlul Bait, jika seseorang memotong tangan
orang lain [yang tak berdosa], sebagai gantinya, harus membayar
diyat lima ratus miskal emas. Di pihak lain, seseorang yang terbukti
mencuri barang — yang harganya tidak lebih dari seperempat miskal
emas—harus dipotong tangannya. Maka pertanyaan yang muncul:
p:71
sebenar-nya berapa harga tangan manusia: lima ratus ataukah
seperempat miskal emas?
Sudah tentu, ada beragam hikmah dalam rangkaian hukum fikih
yang belum terungkap. Di sini, penalaran yang adil menuntut sikap
pasrah di hadapan semua hal yang melampaui kemampuannya
seraya tidak pukul rata antara apa yang “nonakal” dengan yang
“antiakal”.
Sebagian ulama yang hidup semasa dengan Abul Ala’, memberi
tanggapan sembari mengutarakan hikmah rasional di balik hukum
itu. Sayid Murtadha (355-436 H), ulama besar Syiah, memberikan
tanggapannya secara puitis:
Kemuliaan amanat naikkan harga tangan
kala kehinaan khianat jatuhkan harganya.
Lihatlah hikmah Tuhan itu demikian.(1)
Benar, tangan yang dipotong akibat mencuri seperempat miskal
emas terlihat setara dengan tangan yang diyat-nya lima ratus miskal
emas. Namun nilai tangan yang dipotong sewenang-wenang jauh
lebih besar nilainya dari tangan yang ternoda dosa pencurian.
Kalangan agamawan tak tinggal diam. Berbagai sikap dan
tanggapan mereka nyatakan, khususnya terhadap pihak yang
begitu mengandalkan peran akal dalam kehidupan manusia; agama
divonis nihil tolok ukur rasional dan ajaran wahyu dicap antiakal.
Pada kesempatan ini, akan dikemukakan tiga tanggapan yang
dianggap paling penting. Tentu saja masing-masing merupakan
topik pembahasan tersendiri yang memerlukan kajian lebih jauh.
Namun mengingat keterbatasan ruang dan waktu, semua itu akan
dibahas secara ringkas.
p:72
Menanggapi gugatan kaum rasionalis antiagama, sejumlah pemikir
keagamaan cenderung berpendapat bahwa seluruh ajaran agama itu
masuk akal. Dengan kata lain, mereka menerima paradigma yang
diusung kaum rasionalis radikal, juga sama sekali tidak menyangkal
praduga mereka, melainkan meyakini seluruh ajaran agama dapat
melintasi jalur rasionalitas.
Menurut mereka, jalan terbaik untuk menghadapi kelompok
rasionalis radikal antiagama adalah berada dalam struktur
pemikirannya sendiri.(1) Dengan kata lain, kapanpun dan di manapun,
akal layak dijadikan satu-satunya tolok ukur untuk menerima
sesuatu, tanpa keharusan menarik diri dari kepercayaan agama.
John Locke, misal-nya, meyakini akal (rasio) sebagai satu-satunya
tolok ukur untuk menerima kepercayaan agama. Filsuf ini yakin,
jika ajaran Kristen dipahami dengan benar dan dibela selayaknya,
niscaya akan lulus dari tolok ukur akal dan berhasil melewati jalur
rasional. Menurutnya, disharmoni beberapa ajaran Kristen dengan
tolok ukur akal bukan lantaran ajaran Almasih itu antiakal, tetapi
karena kesalahpahaman terhadap sabda-sabdanya, atau karena
kekeliruan kalangan teolog dan agamawan dalam berapologi dan
menjustifikasi ajaran Kristen.(2)
Di kalangan pemikir Muslim, kaum Muktazilah masuk dalam
kategori ini. Namun, gagasan itu lebih tersebar luas di kalangan
agamawan Kristen. Cara pandang yang ekstrim terhadap peran
akal—sampai mengingkari persoalan parsial agama yang tidak
signifikan lantaran tidak mampu dicerna nalar— ini merupakan arus
balik dari kemunculan gerakan Fideisme yang sebelumnya juga telah
menge-luarkan sebagian prinsip agama dari ranah akal.
Perlu digarisbawahi, bila sedikit saja dimoderasi, perspektif
ekstrim ini kiranya dapat diterima. Caranya, setelah menguji secara
p:73
rasional [kebenaran] segenap prinsip agama, sudah cukup untuk
meyakini bahwa hukum-hukum lain dan parsial agama itu bukan
anti-akal. Karenanya, “keharusan dapat dicerna akal” tidak perlu
dijadikan tolok ukur dalam menerima ajaran agama.
Sejumlah agamawan, khususnya Kristen, menganggap agama tidak
dapat ditakar secara rasional. Akibatnya, demi membela agama,
mereka terpaksa meminta bantuan iman. Sadar atau tidak, kalangan
ini takluk manakala disodorkan serangkaian bukti [yang melawan
agama yang mereka pahami] oleh kaum rasionalis radikal antiagama.
Mereka benar-benar menemui jalan buntu. Namun, itu tidak berarti
mereka menanggalkan kepercayaan agamanya. Mereka mengklaim,
mengenal Tuhan dan kepercayaan agamis lainnya_ mustahil
ditempuh via akal. Dengan kata lain, semua itu hanya mungkin
ditempuh secara emosional, atau lewat jalur hati. Berdasarkan sudut
pandang ini, satu-satunya cara untuk mempercayai Tuhan dan ihwal
keagamaan adalah lewat bantuan iman.
Sebagaimana telah berulangkali dikemukakan, dalam agama
Kristen, iman memiliki makna yang khas, yaitu menerima sesuatu
yang tidak didukung demonstrasi rasional secara memadai, atau
malah ditentang rasio. Gerakan iman atau Fideisme ini percaya, satu-
satunya cara mengenal Tuhan hanyalah lewat penyaksian hati dan
keimanan; bukan pembuktian rasional dan demonstratif (burhdni).
Ranah akal terpisah dari ranah agama. Menjelajah ranah agama
dengan sarana akal, karenanya, mustahil.(1)
Beberapa fideis(2) membedakan antara “rasional” dan “bersandar
pada premis-premis rasional”. Keimanan pada Tuhan dan ajaran
religius lainnya jelas rasional, meski tidak bersandar pada premis
p:74
rasional,(1) karena rangkaian keimanan ini tergolong kepercayaan
dasar (basic beliefs) yang tidak dapat dilandasi bukti tertentu.
Penjelasannya, sesuatu yang menjadi premis dalam satu demonstrasi
rasional, pada fase sebelumnya, adalah hasil dari premis-premis lain.
Namun mata-rantai demonstrasi ini—dengan asumsi: hasil suatu
demonstrasi menjadi premis bagi demonstrasi berikutnya — mustahil
continuum ad infinitum (berlangsung tanpa akhir). Mata rantai sekian
premis itu mau tak mau akan berhenti pada kepercayaan dasar yang
tidak lagi dilandasi kepercayaan lain. Menurut sekelompok pengikut
Fideisme itu, keimanan-keimanan agama tergolong kepercayaan
dasar (basic beliefs) yang tidak bisa dibuktikan secara rasional. Setiap
orang yang menguji ajaran agama secara logis dan ilmiah senyatanya
telah menyembah logika dan sains, bukan Tuhan.(2)
Kajian kritis seputar pandangan Fideisme akan dibahas lebih
terperinci dalam bab berikutnya. Sebelumnya perlu dicatat, ketidak-
mungkinan memperoleh demonstrasi rasional tanpa kepercayaan
dasar (basic beliefs) memang benar adanya. Namun, perumusan
persoalan ini seyogianya bertolak dari logika aristotelian. Yaitu,
jika semua pengetahuan itu bersifat spekulatif (nazdari) yang
membutuhkan pembuktian dan demonstrasi, niscaya tidak akan
diperoleh pengetahuan apa pun. Karena itu, matarantai ini harus
berhenti di satu titik (stop place). Dengan kata lain, dari suatu
rangkaian pengetahuan, harus dicapai pengetahuan yang tidak lagi
membutuhkan demonstrasi. Inilah pengetahuan swabukti, yang
umum disebut aksioma (badihi).
Pengetahuan jenis ini cukup beragam dan secara rinci telah
dikemukakan dalam buku-buku logika. Dengan begitu, jika
ajaran agama termasuk aksioma, maka Fideisme di atas tadi dapat
dikategorikan sebagai paham rasional. Hanya saja, klaim kalangan
agamawan, bahwa ajaran dan proposisi wahyuni termasuk
kepercayaan dasar (basic beliefs), sama sekali tidak menyelesaikan
p:75
persoalan, tidak pula memberikan justifikasi masuk akal untuk
Fideisme. Karena, dengan perspektif ini, setiap orang bisa saja
mengklaim hlmpunan keimanannya (sekalipun rapuh dan _ tak
berdasar) sebagai kepercayaan dasar—yang dengannya dia lantas
merakit bangunan pemikiran (noetic structure) dan kepercayaan
dengan dasar yang rapuh itu.(1)
Upaya pintas membongkar kelemahan basis-basis rasionalisme
radikal, oleh sebagian pemikir, difokuskan pada akal atau rasio
itu sendiri, dan dikerahkan untuk membuktikan bahwa data yang
dihasilkannya tidaklah bernilai. Misalnya, meragukan kemampuan
akal dalam memberikan penilaian tanpa pre-judgement dan asumsi
apa pun. Para filsuf seperti: René Descartes (1596-1650), terkesan
melakukan usaha yang layak disanjung guna mensterilkan akal dari
pre-judgement dan asumsi. Namun, dewasa ini, banyak juga pemikir
yang mengklaim sterilisasi semacam itu mustahil. Wittgenstein
(1889-1951) dan Hans Georg Gadamer (1900-2002) termasuk filsuf
yang meragukan teori “rasio murni dari asumsi”. Menurut mereka,
netralitas akal hanya idealistis dan angan-angan yang mustahil
tercapai. Bagaimana pun, jika gagal mensterilisasi akal—dalam
memberikan penilaian—dari latar-latar sosial dan kultural, juga
gagal membuktikan netralitasnya, maka paradigma kaum rasionalis
tidaklah efesien, kalau bukan malah mustahil terwujud.(2)
Berdasarkan uraian di atas, penilaian dan hukum akal
senantiasa bergantung pada hipotesis, asumsi, latar kultural dan
sosial seseorang. Akal tidak mampu bebas dari kebergantungan
p:76
itu. Karenanya, pengetahuan manusia merupakan produk
dari komposisi aspek internal dan data eksternal. Ini berarti
pemahaman dan pengetahuan manusia ber-sifat relatif. Di sinilah
justru Skeptisisme bangkit, setidaknya demikian kritik awal dari
kalangan pemikir kontemporer:
Kendati orang-orang yang meyakini relativitas pemahaman
manusia mengelak dari tuduhan sebagai kaum_ skeptis, dan
menyebut panda-ngannya sebentuk realisme yang _ rumit;
akan tetapi kerumitan ini hanyalah cara mereka merahasiakan
Skeptisisme, padahal kerancuan Skeptisisme merupakan
kenyataan yang amat gamblang.(1)
Di awal bab, telah disinggung klaim sejumlah pihak tentang ketak-
butuhan pada wahyu dikarenakan keberadaan akal. Sekarang saatnya
membuktikan: apakah akal cukup untuk menjamin kebahagiaan
manusia yang hakiki. Sebenarnya, apa tujuan diutusnya para nabi?
Bukankah dengan bantuan akal pikirnya, manusia mampu memilih
jalan bahagia dan menghindari jurang nista? Tidakkah sarana penge-
tahuan (indra dan akal), sebagai karunia Tuhan untuk manusia,
sudah mencukupi kebutuhannya sehingga tidak lagi memerlukan
sumber lain bernama wahyu?
Rangkaian pertanyaan itu sudah dijawab secara terperinci dalam
pelbagai sumber teologi dan filsafat. Nyaris setiap teolog dan filsuf
religius memberi keterangan yang berbeda seputar keniscayaan
wahyu dan rahasia kebutuhan pada bimbingan utusan Ilahi.(2) Pada
p:77
prinsipnya, pembuktian seputar kebutuhan terhadap wahyu bertolak
dari kenyataan bahwa sarana-sarana lazim untuk memperoleh
pengetahuan tidaklah memadai dalam mengantarkan manusia
ke puncak kesempurnaan. Berikut, akan dikemukakan salah satu
pembuktian(1) dengan menyertakan sejumlah premis:(2)
1. Mengingat Tuhan bijaksana, niscaya Mahasuci Dia dari perbuatan
sia-sia dan tiada guna. Karena itu, penciptaan manusia sama
sekali bukan tindakan sia-sia, melainkan demi menggapai
puncak kesempurnaan dan kebahagiaan abadi.
2. Kehidupan dunia sebagai pengantar kehidupan akhirat. Terdapat
relasi kausal, atau bahkan identik (‘ainiyat), antara perbuatan di
dunia dan efeknya di akhirat.(3) Kebahagiaan atau nasib celaka
yang abadi di akhirat bergantung pada kehidupan di dunia.
3. Pilihan jalan hidup amat bergantung, secara lebih awal dan lebih
banyak, pada pengetahuan ketimbang kehendak bebas. Karena,
daya pilih dan kehendak bebas hanya akan bermakna bila
didahului pengetahuan tentang mana jalan dan mana jurang.
Seraya menyadari di dunia ini terdapat dua ajakan: ajakan setan
kepada sikap antiagama dan penyangkalan akhirat vis-a-vis
ajakan nabi yang menyejuk hati dan membina jiwa:
Dari dunia, menggema dua dakwah silang
dakwah mana yang kau jelang.
Satunya dakwah kebangkitan kaum bertakwa
lainnya dakwah muslihat kaum celaka.(4)
p:78
4. Sarana umum untuk memperoleh pengetahuan (indra dan akal)
tidak mampu mengenali jalan hidup yang benar. Kelemahan dan
impotensi indra dan akal dapat dipahami jelas setelah meneliti
ciri-ciri kedua jenis sarana pengetahuan ini:
a. Pengetahuan Indrawi
Ranah pengetahuan indrawi sebagai hasil kontak langsung dengan
alam_ eksternal sangatlah terbatas, karena hanya berhubungan
langsung dengan subjek pengindra. Rangkaian pengetahuan
ini memang sangat berguna, namun dengan sendirinya tidak
memadai untuk menentukan jalan hidup yang benar menuju
kebahagiaan abadi.
b. Pengetaliuan Rasional
Berdasarkan kesepakatan para filsuf, akal hanya mampu
mengetahui rangkaian konsep-konsep universal dan relasire-
lasinya. Pengetahuan ini juga dengan sendirinya tidak cukup
memberikan gambaran terperinci seputar jalan hidup yang benar
dan hubungan dunia-akhirat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa_ pengetahuan
empiris tidak memiliki kemampuan untuk itu, karena pengetahuan
jenis ini merupakan produk kerjasama indra dan akal. Di sini,
pengetahuan seputar hubungan perbuatan manusia di dunia dengan
efeknya di akhirat, serta pengaruh perbuatan atas kebahagiaan atau
kesialan abadi ibarat burung Simurg (‘arqo’). Semua itu mustahil
ditangkap indra dan akal maupun pengalaman empiris.
Di sisi lain, selama tidak mengetahui betul proses aksi-reaksi ini,
seseorang tak akan mampu menyusun rancangan hidupnya yang
benar dan utuh. Konsekuensinya, kebijaksanaan Tuhan menuntut
diri-Nya untuk menunjukkan manusia jalan lain agar memperoleh
pengetahuan yang dibutuhkan. Dan itu tak lain dari wahyu.
p:79
Berdasarkan pembuktian ini, petunjuk dan tuntunan agama yang
ditransmisikan para utusan Ilahi adalah keniscayaan. Dengan kata
lain, manusia selalu butuh utusan Ilahi. Adalah omong kosong bila
ada yang beranggapan bahwa tujuan diciptakannya jalinan antara
nabi dan umat adalah meniadakan jalinan itu sendiri,(1) lalu suatu
hari, kelak akan lahir seseorang yang tak butuh arahan para nabi dan
utusan Ilahi; alias dengan sendirinya dia mampu menemukan jalan
hidup yang benar dan menggapai kebahagiaan abadi!(2)
p:80
p:81
kaum rasionalis radikal religius—sebagaimana rasionalis
Ketel antiagama di pasal sebelum ini—mengklaim syarat
menerima agama ialah ke-rasional-an ajaran dan proposisi. Bedanya,
alih-alih mengingkari agama, mereka mendekonstruksinya dan
menempatkan rasionalitas sebagai satu-satunya kriteria dan tolok
ukur mempercayai setiap proposisi.
Uraiannya, saat dikomparasikan dengan akal dan pengetahuan,
posisi setiap ajaran wahyuni akan berada dalam tiga kemungkinan:
sesuai, atau melampaui, atau bertentangan dengan akal. Dalam istilah
lain, rasional, suprarasional, dan irasional. Kaum rasionalis radikal
religius mengklaim, tak satu pun proposisi irasional akan dijumpai
dalam ajaran agama, bahkan keberadaan proposisi suprarasional
pun sekadar asumsi yang tak dapat diterima.
Siapapun yang meneliti agama secara apriori dan meninjaunya
dari luar, lantas berpandangan semacam ini; maka tatkala menelitinya
secara aposteriori dan meninjaunya dari dalam, dia akan menghadapi
ajaran agama yang terkesan irasional atau suprarasional. Ketika
itulah hanya ada dua metode yang bisa dia tempuh:
Pada langkah pertama, berupaya mati-matian menjustifikasi dan
menakwilnya sebagai cara membela diri (apologetisme), bahkan bila
perlu, melakukan takwil yang janggal dan tidak masuk akal; yang
dianggap kaum agamis sejenis kekafiran, ketakberagamaan, dan
semodel pengultusan akal.
Akan halnya jika melihat pintu takwil sudah tertutup rapat di
hadapannya, tidak juga mendapatkan jalan untuk mengharmonisasi
akal dengan ajaran-ajaran agama itu, dia akan membuang ajaran-
ajaran tersebut lantas mengingkari sifat keagamaannya. Ini
sebagaimana pernah dilakukan kaum pemikir Barat (Kristiani).
John Locke, misalnya, menolak beberapa butir ajaran agama yang
dianutnya, seperti Trinitas, dosa warisan, dan sebagainya, serta
menganggapnya bukan berasal dari agama. Padahal seluruh
ajaran itu, bagi umumnya umat Kristen, merupakan bagian dari
p:82
artikel keimanan dan doktrin keagamaan mereka yang tidak boleh
diingkari.
Dalam bab ini, akan dikemukakan beberapa mazhab pemikiran
dan tokoh-tokoh intelektual yang mengusung pola pikir atau
menerapkan metode semacam itu. Namun, mengingat terlalu
banyaknya mazhab dan tokoh pemikir yang mengkaji topik ini, serta
agar lebih terfokus dan selaras dengan tujuan pembahasan, maka
uraian kali ini akan lebih dikonsentrasikan pada mazhab dan tokoh
pemikir Muslim; tanpa bersinggungan dengan para pendukungnya
dari kalangan non-Muslim.
Menyoroti fenomena_ Rasionalisme dalam Islam, kalangan se-
jarawan Muslim dan pakar Timur Tengah non-Muslim acapkali
menyebut Muktazilah sebagai representasi kaum rasionalis radikal.(1)
Bahkan mazhab teologi ini dijadikan model konkret kaum rasional-
is radikal religius yang ingin memperluas otoritas akal sebagai ben-
teng wahyu dan keimanan.(2)
Pola pemikiran Muktazilah bisa dikatakan sulit dianalisis dan
diidentifikasi lantaran sudah lama punah, selain pula nyaris seluruh
peninggalan dan karya tulis para pemikirnya lenyap. Banyak
misteri yang menyelubungi kelompok ini. Meski begitu, ada sekian
isu menyangkut Muktazilah yang patut diacu sebagai fokus, seperti
bagaimana proses kelahirannya, faktor kemunduran dan ke-
punahannya, pandangan tokoh-tokohnya terhadap posisi akal, dan
seterusnya. Tak diragukan lagi, Muktazilah merupakan salah satu
mazhab teologi yang paling monumental dalam sejarah Islam, dan
yang pernah mengalami masa kejayaan serta menguasai wacana
p:83
dan budaya di dunia Islam.
Memang, kaum rasionalis Muslim ini telah lama hilang dari
peredaran (inilah salah satu faktor mengapa kalangan Ahli Sunah
harus menanggung beban kerugian yang tidak dapat ditanggung).(1)
Namun, banyak peninggalannya yang dapat dimanfaatkan. Karena-
nya, banyak dari kalangan pemikir kontemporer Asy’ariyah memuji
Muktazilah,(2) dan secara praktis banyak mengadopsi metodenya
dalam banyak prinsip teologi Islam (kalam)(3) Harus diakui, jasa kaum
Muktazilah dalam merasionalkan masyarakat Muslim terbilang
cukup besar. Dengan bertumpu pada ajaran agung Islam sekaligus
akal pemikiran karuniawi Ilahi, pada satu babak sejarah Islam yang
sangat menentukan, mereka bekerja proaktif dalam memperkokoh
wacana Islam dan membela ajarannya.
Memang, sejumlah penulis Muktazilah memosisikan empat khalifah
sebagai generasi awal Muktazilah, sementara Imam Hasan dan Imam
Husain sebagai generasi kedua.(4) Namun umumnya, Washil bin
‘Atha (80-131 H) diakui sebagai pendiri mazhab ini. Dia adalah eks
murid Hasan Bashri (21-110 H). Sejak mencuat kasus: apakah pelaku
maksiat (dosa) besar itu kafir atau sama sekali tidak berpengaruh
pada keimanan, Washil berseberangan dengan sang guru dan opini
publik masa itu. Lalu ia mengemukakan doktrin “satu di antara dua
posisi” (manzilah bain al-manzilatain). Dalam terang pendapat ini,
setiap Muslim yang berbuat dosa besar tidak tergolong mukmin,
juga tidak kafir, melainkan menduduki posisi di antara keduanya.(5)
Kendati tesis ini akhirnya dijadikan salah satu dari lima prinsip
Muktazilah, namun awal kekhasan mazhab ini adalah imannya yang
p:84
kuat pada kedudukan tinggi akal dan keterlibatannya dalam syariat
agama, hingga kalangan yang kontra menudingnya sebagai pengikut
syariat akal.
Cukup banyak pendapat yang muncul sekaitan dengan asal-usul
rasionalisme Muktazilah. Berikut ini sejumlah faktor-faktor yang
terkait.
Pemikiran Muktazilah dianggap sebagai ajaran sinkretik yang telah
terkontaminasi agama dan ajaran non-Islam. Konon, berbarengan
dengan kelahiran Muktazilah, terdapat sejumlah agama dan sekte di
kawasan Suriah dan Mesir, seperti Nasrani dan Yahudi. Sementara
di Irak dan Persia, terdapat aliran Majusi.
Sudah lumrah manakala koeksistensi Muslim dan non-Muslim
membuka forum-forum debat dan dialog keimanan. Ini mustahil
dielakkan. Darinya, ditinjau secara teologis dan_rasionalitas,
Muktazilah menjadi mazhab terdepan dalam berdebat dan menjawab
problem yang dilontarkan musuh. Tentunya wajar, dalam eksperimen
ini, alih-alih mempengaruhi, adakalanya mereka juga dipengaruhi
lawan debatnya, sehingga punya kecenderungan ke arah sebagian
keyakinan non-Islam.(1)
Contoh, perihal gagasan bahwa Alquran hanyalah makhluk, dan
secara umum Kalam Ilalu. Ini tergolong kasus paling menghebohkan
yang memisahkan kaum Muktazilah dan Ahli Hadis—yang
dianggap endapan dari pemikiran Yahudi.(2) Begitu juga dalam soal
menerima prinsip kebebasan dan pilihan mutlak (free will) manusia
dalam setiap tindakannya; penafian Qadlia dan Qadar Tuhan yang
dianggap barang warisan Muktazilah dari Ma’bad Juhani (w. 80 H):
yang berawal mula dari pemikiran Nasrani,(3) persisnya dari Abu
p:85
Yunus Aswari Nasrani.(1)
Menurut keyakinan sebagian pengamat sejarah pemikiran
Timur Tengah, bukan hanya menyangkut beberapa persoalan khusus
(seperti: keyakinan tentang Qadar), fondasi rasionalisme Muktazilah
dibangun di atas teologi Nasrani.
Kaum Muktazilah mengadopsi prinsip keutamaan akal manusia
dari Tsabit bin Qurah. Mereka percaya, Tuhan dapat dikenal
via akal. Inilah salah satu alasan Dia mencipta manusia sebagai
makhluk berakal. Akal manusia juga mampu membedakan
baik dan buruk. Begitu pula dalam memastikan kebenaran
Islam, mereka menerapkan metodologi Tsabit (menggunakan
argumentasi akal, sebagai ganti argumentasi tekstual, untuk
menentukan kebenaran ajaran Nasrani). Darinya, muncul kaidah
mereka yang sangat popular, ‘berfikir sebelum teks’. Dengan
begitu, kaum Muktazilah berkembang di bawah pengaruh
ajaran Nasrani. Mereka mempersenjatai diri dengan argumentasi
rasional.(2)
Sebagian penulis bahkan menilai lebih dari itu. Kelompok ini
disebut ‘Muktazilah’, kata mereka, karena kemiripannya dengan
salah satu sekte agama Yahudi, Farushlm (Farisi), yang artinya sama
dengan Muktazilah: (3)mengasingkan diri”.(4)
p:86
Pertama, tak diragukan lagi, kaum Muktazilah memiliki hubungan
dengan para pengikut agama dan sekte non-Islam, juga punya
penguasaan yang memadai terhadap kandungan kitab suci kaum
Yahudi dan Nasrani. Nazdam Muktazili (w. 231 H), misalnya,
termasuk penghafal Alquran, Taurat, Injil, dan Zabur, sekaligus
memahami tafsir-tafsirnya.(1)
Risalah karya Jahizd (w. 255 H) seputar ‘Kritik Nasrani’’(2) juga
membuktikan dirinya sangat menguasai Kitab Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru. Namun, kecenderungan kaum Muktazilah merujuk
kitab-kitab non-Muslim tidak berarti semua itu diadopsi sebagai
sumber penafsiran ajarannya, tetapi justru untuk menjawab berbagai
problematik keimanan yang dilontarkan [kalangan non-Muslim].
Kedua, kemiripan dua kelompok dalam hal pemikiran tidak serta
merta mengindikasikan terjadinya proses adopsi. Sejarah pengetahuan
telah membuktikan banyaknya koherensi dan persesuaian di antara
berbagai mazhab pemikiran tanpa saling pengaruh satu sama lain.
Ketiga, dalam sejarah pemikiran teologi (kalam), menuduh
pihak lain mengadopsi gagasan agama dan mazhab lain telah
menjadi sebuah metode yang efektif untuk menjatuhkan pihak
lawan. Itu dilakukan dengan menyebut-sebut sejumlah sosok yang
dituduh menjadi perantara adopsi pengetahuan nonislami, padahal
keberadaan mereka secara historis diragukan.
Sayang, sebagian penulis sejarah teologi masih menggunakan
metode ini, yang tergolong rapuh dan ad hominem, untuk usaha
mereka melacak akar semua pengetahuan keislaman di dalam ajaran
Yahudi dan Nasrani, baik dari segi mistis (tasawwuf), dasar-dasar
agama (usuhuluddin), hingga cabangnya (furu’uddin). Tentu saja,
itu bukan justifikasi yang proporsional, objektif, dan ilmiah. Kaum
Muktazilah, misalnya, memandang bahwa Alquran itu makhluk,
p:87
lantas muncul tudingan bahwa mereka [kaum Muktazilah] telah
mengadopsi ajaran Yahudi. Padahal mereka sendiri menyatakan,
rumusan ini dimaksudkan sebagai antisipasi terhadap upaya kaum
Nasrani yang menyalahgunakan konsep ketakberawalan Tuhan.
Argumentasinya, Alquran menegaskan bahwa_ Isa Al-Masih as
adalah Kalimat Allah (kalam Allah), sedangkan dalam anggapan
mereka (kaum Nasrani), mempercayai kalam Allah sebagai qadiim
(tak-berawal) sama saja, secara tak disadari, dengan membenarkan
klaim kaum Nasrani bahwa Isa Al-Masih as itu qadim.(1)
Keempat, prinsip Qadha'-Qadar Tuhan yang berkaitan dengan
kehendak bebas manusia memiliki riwayat panjang dalam sejarah
pemikiran. Begitupula dengan Alquran yang sangat menekankan
pentingnya masalah ini. Namun, selama itu pula, kalangan pemikir
melontarkan pelbagai pertanyaan tentangnya yang mendesak
kalangan ulama memberikan jawaban, sekalipun dalam ungkapan
yang beragam. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib pernah mengkritik
keyakinan Qadha-Qadar yang bercorak deterministik (jabriy):
Kalau benar demikian, niscaya pahala dan azab tak lagi berarti.(2)
Yang mengherankan, persoalan (kontradiksi Qadha’-Qadar yang
deterministik dengan pahala/azab Tuhan) yang diungkap Imam Ali,
jauh sebelum kemunculan Muktazilah, diyakini sebagian penulis
sejarah pemikiran Islam sebagai kepingan dari ajaran kaum Nasrani
yang mempengaruhi kaum Muktazilah:
Padahal Ahli Sunah ... telah meyakini maksud Qadar versi Alqur-
an adalah Qadha-Qadar yang telah ditentukan Tuhan sejak
awal. Sebagian teolog (mutakallim) generasi awal secara tak
langsung terpengaruh alam pikir teologi Nasrani di Timur, lalu
secara bertahap, mereka mulai meneliti dan merenungkannya,
p:88
hingga berusaha menafsirkannya sedemikian rupa agar selaras
dengan kebebasan dan kehendak manusia dalam semua
tindakannya. Semua ini mereka lakukan agar masalah pahala
dan azab di akhirat dapat dijustifikasi secara utuh.(1)
Sebagian pemikir melontarkan argumentasi yang berbeda dengan
sebelumnya. Mayoritas Muslimin di awal fajar Islam memahami
Qadha’-Qadar versi Alquran tidak selaras dengan determinisme
(jabr). Mereka membela prinsip kebebasan dan kehendak manusia.
Di masa khalifah kedua (Umar bin Khatab), seorang pencuri yang
tertangkap basah membela diri dengan mengklaim_ tindakan
mencurinya berdasarkan ketentuan Qadha’ Ilahi. Khalifah lalu
memerintahkan agar si pencuri, tidak hanya dipotong tangannya,
juga dicambuk lantaran telah berdusta atas nama Tuhan.(2)
Kelima, sejumlah teks ayat dan riwayat menekankan pentingnya
menalar dan menggunakan akal. Karenanya, klaim bahwa “doktrin
Muktazilah yang mengunggulkan akal berasal dari Stabit bin Qurah”
semata-mata tuduhan tak berdasar. Tsabit lahir pada 221 H. Lantas,
bagaimana mungkin rasionalisme Muktazilah dipengaruhi individu
yang baru lahir lebih dari satu abad setelahnya?(3) Sebagian pihak
beranggapan, sejak awal, rasionalisme memang telah menjadi basis
pemikiran kaum Muktazilah.
Pendiri mazhab Muktazilah, Washil bin Atha’ (80-131 H), sering
terlibat diskusi dengan para pengikut sekte Hindu seputar tema-
tema epistemologis. Washil mengkritik aliran empiris Sumainah dan
menekankan bahwa sebagian pengetahuan, seperti pengetahuan
tentang Tuhan, dapat diperoleh via akal.(4)
p:89
Berbeda dengan anggapan kalangan pakar sejarah bahwa akidah
Muktazilah semirip pemikiran sekte Farushim,(1) hasil penelitian
mendalam justru menunjukkan pemikiran Muktazilah lebih dekat
dengan sekte Shadugqi; lawan sekte Farushlm. Bila salah satu mazhab
Islam ini disebut Muktazilah lantaran mengandungi pemikiran
Yahudi, tentunya para penentang Muktazilah lebih laik menyandang
nama [Farushim] itu.
Upaya Muktazilah mengharmonikan agama dan filsafat adalah
karakter menonjol mazhab ini sebagai satu dari banyak bukti yang
menguatkan [kedekatannya dengan sekte Shaduqi]. Dari sekian
banyak sekte Yahudi, hanya satu yang punya kemiripan dengan
Muktazilah, yakni sekte Shaduqi. Sementara sekte Farushlm sangat
literalis, terlampau setia pada Taurat, serta menjauhi upaya menafsir
atau menakwilnya.
Sekte Shaduqi memiliki dasar-dasar pemikiran logis dan bijak
para tokoh dan pendahulunya yang termaktub dalam kitab
suci. Dasar-dasar itu mereka hubungbaurkan dengan ajaran
dan pemikiran bangsa Yunani. Namun ... sekte Farushim ...
menyatakan, ‘Sebelum dunia berakhir ... tanggung jawab dan
tugas semua makhluk adalah loyalitas dan ketulusan pada Taurat,
yakni agama Musa, dan menjaga utuh bentuk dan makna teks
agama tanpa tafsir dan takwil apa pun.(2)
Lain dari itu, sekte Farushlm menghabiskan hidupnya dengan
mendiskusikan perkara-perkara seperti: baik-tidaknya memakan
telur yang ditelurkan ayam pada hari Sabtu.(3) Akan halnya sekte
Shaduqi cenderung mengkaji tema-tema agama secara rasional dan,
seperti juga Muktazilah, menyoroti tema kebebasan dan kehendak
manusia secara khusus.(4)
p:90
Tak diragukan lagi, kaum Muktazilah yang getol menyuarakan
kebebasan berpikir dan rasionalisme bukan hanya menyambut
hangat kedatangan filsafat Yunani ke alam pemikiran Islam, tetapi
bahkan menerimanya. Mereka menganggap, untuk mendebat dan
mengalahkan para penentangnya, tak ada jalan selain menggunakan
senjata milik lawan.
Pada prinsipnya, adakah mazhab pemikiran yang mampu
mencapai kematangannya dan, sedikit banyaknya, sanggup
mendorong gerbong pemikiran manusia tanpa sama sekali peduli
terhadap segala produk pencapaian kultur sebelumnya? Apa pun
itu, desakan untuk melakukan kontak budaya di antara aliran-
aliran pemikiran adalah keniscayaan yang tak terelakkan lagi, yaitu
terpengaruhinya Muktazilah oleh budaya Yunani. Namun, motif
yang membuat Muktazilah cenderung berfilsafat adalah rasionalisme
mereka sendiri, bukan sebaliknya: bahwa rasionalisme mereka
adalah produk dari minat mereka pada filsafat Yunani.
Ulasan ini tidak dimaksudkan untuk mengurai_infiltrasi
filsafat Yunani ke dalam pemikiran Muktazilah (yang menuntut
analisis terperinci seputar tema-tema pengaruhnya). Namun, perlu
ditekankan bahwa penilaian objektif tidak akan tercapai jika menuduh
Muktazilah telah taklid buta pada filsafat Yunani, atau mempercayai
mereka telah memposisikan filosof dan nabi secara sejajar.(1)
Berbagai bukti sejarah mengungkapkan, berdasarkan paradigma
rasionalistiknya sendiri, Muktazilah adakalanya malah mengedepan-
kan sastra Arab Jahiliyah ketimbang Aristoteles.(2) Mereka juga
terkadang menelaah karya-karya filosof Yunani hanya untuk
mengritiknya. Ja’far Barmaki, misalnya, sewaktu menghadiri suatu
pertemuan yang juga diikuti Nazdam Muktazili, berbicara tentang
Aristoletes. Segera Nazdam mengatakan, “Aku telah menulis risalah
p:91
untuk mengkritik pemikirannya.” Lalu Ja’far bertanya, “ Bagaimana
mungkin, sementara engkau tak punya kemampuan untuk membaca
karya-karyanya?” Nazdam bermaksud membuktikan dirinya sangat
menguasai karya-karya Aristoteles dengan menjawab, “Bagaimana
kalau kubacakan semuanya kepadamu, dari awal sampai akhir, atau
dari akhir ke awal?” Setelah itu, dia mulai menguraikan butir-butir
gagasan Aristoteles, satu demi satu, seraya mengkritiknya.(1)
Faktor paling utama yang memicu kemunculan dan mekarnya
rasionalisme Muktazilah adalah ajaran murni Islam. Alquran
al-Karim dan Sunah Nabi Saw tentu memberi kontribusi besar
dalam menumbuhkan pemikiran rasional. Adapun fondasi utama
pemikiran Muktazilah adalah pidato-pidato Imam Ali bin Abi
Thalib, khususnya yang berkaitan dengan Keadilan Ilahi (theodicy)
dan Tauhid. Penafsiran yang begitu cermat mengenai Tauhid—
sebegitu rupa hingga menafikan sifat yang berbeda [dengan dzat]
dari diri (dzat) Tuhan; penerimaan konsep substansialitas kebaikan
dan keburukan perbuatan; pembelaan terhadap kebebasan dan daya
pilih (ikitiyar) manusia dalam setiap tindakannya; dan puluhan
butir pemikiran lain yang berasal dari kata-kata Imam Ali telah
menjadikan Muktazilah lebih maju dan istimewa ketimbang kaum
literalis dan tekstualis. Pemimpin Muktazilah, Washil bin Atha’,
sendiri merupakan murid dari murid Imam Ali. Kalangan pemuka
Muktazilah bahkan mengklaim bahwa Washil telah mengecap
Sajian pemikiran dari pemilik mata air segar ilmu Ilahi yang begitu
melimpah ruah. Ibnu Abil Hadid mengatakan:
Muktazilah penganut prinsip Tauhid, prinsip Keadilan Ilahi
dan ahli pikir, termasuk khalayak yang telah banyak menimba
ilmu dari mereka sekaitan dengan ilmu ketuhanan, tergolong
p:92
murid dan pendukung Ali. Karena pemuka mereka, Washil bin
Atha’, telah menimba ilmu dari Abu Hasyim, putra Muhammad
bin Hanafiyah. Sedangkan Abu Hasyim telah menimba ilmu dari
ayahnya. Dan ayahnya dididik Ali.(1)
Konon, dikarenakan telah menjauh dari sumber hikmah
Ilahi dan tidak diterangi cahaya kepemimpinan Ahlul Bait, besar
kemungkinan kaum Muktazilah tidak mereguk sumber ilmu Ali
secara total. Sebagai contoh, kegagalan mereka dalam mengatasi
dilema ‘determinisme’ (jabr) versus ‘kebebasan berkehendak’. Dalam
dilema ini, mereka sama sekali tidak mampu merumuskan ‘jalan
tengah’ (al-amr bain al-amrain: satu di antara dua keadaan). Untuk
mengelak dari determinisme, mereka malah terperosok ke jurang
‘delegasi kebebasan mutlak’ (tafwidh).
Kaum Muktazilah menolak determinisme perbuatan manusia
agar sesuai dengan prinsip Keadilan Ilahi. Hanya saja, penolakan itu
dilandasi pemahaman ‘delegasi kebebasan mutlak’. Akibatnya, cam-
purtangan Ilahi terhadap perbuatan makhluk-Nya menjadi terbatas,
dan ini meniscayakan keterbatasan otoritas dan kekuasaan Tuhan.(2)
Kerancuan semacam ini tentu saja tidak serta merta meremehkan
nilai kontribusi mazhab Muktazilah terhadap peradaban Islam. Mazhab
ini muncul manakala masyarakat Muslim masih berusia muda dan
ajaran-ajaran Islam amat memerlukan pembelaan rasional. Terdapat
sejumlah faktor krusial yang menjadikan mazhab teologi Islam ini
menduduki posisi penting. Di antaranya, proses translasi karya-
karya para filosof Yunani, India, dan Iran (Persia) ke dalam bahasa
Arab (yang menjadi alat komunikasi sehari-hari umat Islam); hilir
mudik orang-orang non-Muslim di istana para khalifah Muslimin;
kekebasan kaum Yahudi, Nasrani, dan Majusi dalam upaya infiltrasi
p:93
pemikiran mereka yang jelas-jelas menyimpang; belum lagi perluasan wilayah (fath) lslam dan peluang masyarakat Muslim melakukan kontak dengan budaya yang beragam; dan yang lebih penting dari semua itu, hilangnya akses masyarakat Muslim mengenyam ilmu-ilmu Ahlul Bait, dan siasat para penguasa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang gencar menghambat penyebaran ajaran mumi Islam yang diusung para imam dan pewaris sejati Nabi; semua ini merupakan faktor-faktor yang menguatkan kebutuhan mendesak masyarakat Islam akan kehadiran kelompok seperti Muktazilah. Patut diakui, betapa dominasi pemikiran Muktazilah tegak kokoh dan tampil gemilang, kendati lantas meredup begitu cepat.
Dalam menjelaskan kekhasan mazhab Muktazilah, kalangan peneliti dan sejarawan yang datang setelah mereka, senantiasa dan dengan antusias, menukil ungkapan masyhur ini:
Acapkali pengetahuan bisa dicerna akal, maka ia mesti (wfijib) secara rasional, sedangkan berterima kasih pada pemberi nikmat merupakan sebentuk kemestian [rasional] sebelum keterangan dari wahyu (sum’). Karena itu, kebaikan dan keburukan merupakan dua kualitas substansial dari apa yang baik dan apa yang buruk.(1)
Adapun penjelasan objektif seputar pandangan Muktazilah terhadap keberadaan akal dan perannya dalam konteks pengetahuan Islam, dapat disimak di bawah ini.
Pertama: cenderung menekankan peran akal dalam ihwal yang berkaitan dengan keyakinan (’aqi‘dah). Kendati begitu, dalam konteks hukum dan cabang agama (Furu'uddin), mazhab ini juga memosisikan akal sebagai salah satu sumber penggalian dasar hukum (istinbath).
p:94
Hanya saja, itu tidak lantas mendorong mazhab ini menolak ihwal suprarasional dan melampaui (beyond) daya nalar sebagai sumber penggalian dasar hukum (Kitab, Sunah, dan Ijma'). Misalnya, tatacara wudu, mandi, jumlah rakaat shalat, waktu—waktu ibadah, dan pelbagai masalah lain di bidang hukum, bersifat suprarasional.(1) Namun, tidak diragukan lagi, semua itu diterima dan dipraktikkan kaum Muktazilah dalam kesehariannya—sebagaimana Muslim lain.
Suatu hari, tokoh Muktazilah terkemuka, Abu Hasyim Juba’i (277-321 H), berdialog panjang lebar dengan Abul Hasan Karkhi. Tema dialog berkisar pada ”shalat di tempat yang tanpa izin pemiliknya (ghashb)” serta relevansinya dengan peran akal dalam proses penggalian dasar hukum fikih. Juba’i mengatakan:
[Karena dalam hal ini kita tak punya argumen yang bersumber dari Alquran dan Sunah], jika Anda mengklaim konsensus ulama itu ada, aku akan diam, [tak akan melontarkan apa dan mengapa]. Namun jika tidak, analisis rasional akan mampu menjelaskan hukum persoalan.(2)
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penilaian sang filosof, Iqbal Lahore, berikut ini tampak tidak akurat, ”Kecenderungan pandangan kaum Muktazilah terhadap agama bagaikan sekumpulan keyakinan mereka menganggap agama tidak lebih dari serangkaian konsep-konsep [mental] yang logis' (3)
Dalam masalah keyakinan (akidah), sebagaimana Muslimin lainnya, kaum Muktazilah dalam banyak hal merumuskan pemikirannya dari teks yang sahih. Mereka beranggapan, ketidakmampuan akal dalam memahaminya tidak meniscayakan
p:95
penyangkalan. Ini tercermin, salah satunya, dalam ungkapan Qadhi Abdul Jabbar Muktazili (w. 415 H) berkenaan dengan seluk beluk pertanyaan dan azab kubur:
Itu bagian dari perkara yang tidak ditempuh lewat jalur akal, tetapi jalan mencapainya hanyalah teks (wahyu).(1)
Kedua: klaim Muktazilah bahwa akal adalah kaidah dasar bukan berarti sumber-sumber keagamaan lainnya tidak dapat dijadikan dasar dan alat argumentasi. Menurut mereka, konstruksi agama bertumpu pada empat tonggak utama: Kitab (Alquran), Sunah, konsensus (ijma’), dan akal. Akal bukan hanya urgen sebagai salah satu sumber agama, melainkan juga untuk memahami sumber- sumber yang lain. Dengan kata lain, memahami pelbagai pengetahuan agama (baik yang bersumber dari ayat maupun riwayat) hanya mungkin lewat kekuatan akal. Atas dasar itu, menurut Muktazilah, secara fungsional —bukan secara struktural - posisi akal mendahului teks. Lebih tegasnya, akal diperlukan untuk memahami Alquran dan Sunah itu sendiri. Namun, ini tidak berarti akal lebih superior ketimbang Alquran dan Sunah.
Ketiga: dalam banyak hal, rasionalisme Muktazilah cenderung moderat. Gejala ini dapat disaksikan, salah satunya, dalam kasus riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat [mata kepala] di akhirat kelak. Kaum Muktazilah mengklaim teks itu sebagai referensi tak berdasar.” Penolakan ini tentu saja menyulut reaksi negatif kalangan literalis dan Ahli Hadis. Akibatnya, kaum Muktazilah dituduh sebagai kelompok yang lebih mengutamakan akal di atas teks. Padahal fakta objektifnya, selain masuk akal, pandangan kaum Muktazilah ini memiliki justifikasinya dalam Alquran:
p:96
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedangkan Dia dapat melihat segala yang terlihat (QS Al-An’am: 103).
Contoh lain, menurut kaum Muktazilah, manusia tidak dapat melihat sosok jin.(1)‘ Bila diteliti lebih jauh, doktrin ini (terlepas dari nilai benar atau salahnya) berasal dari tafsir mereka terhadap Al- A'raf [7]: 27.
Lebih dari itu, kaum Muktazilah mengusung prinsip baik—buruk rasional dan substansial (al-llusn wa al-qubh al-’aqI1“al-dzfitz). Prinsip inilah yang dijadikan alasan utama oleh lawan-lawannya untuk menuding kaum Muktazilah sebagai rasionalis radikal. Padahal pada saat yang sama, mereka (lawan-lawan kaum Muktazilah) justru terjerumus ke dalam oposisi yang juga radikal (tafr1‘!h), sebab mengingkari prinsip itu sama saja dengan mendelegitimasi aka] sekaligus wahyu (s_1/ar’).
Di samping itu, nyaris semua penilaian terhadap kaum Muktazilah tidak objektif, kalau bukan malah hanya sekadar hasutan belaka. Umpama, penilaian sebagian peneliti sejarah pemikiran Islam bahwa kaum Muktazilah menganggap agama hanya cocok untuk masyarakat kebanyakan; sedangkan kaum intelektual tidak memerlukannya.(2) Anggapan-anggapan miring semacam ini membuktikan betapa kaum Muktazilah selama ini jadi korban dari pembunuhan karakter tanpa ampun.
Terdapat banyak faktor yang memicu kemunduran dan keruntuhan mazhab Muktazilah yang pernah mencapai kejayaan dan menguasai wacana keislaman di masanya. Semua itu lebih berkaitan, pada dasarnya, dengan semangat rasionalisme yang mereka bangkitkan.
p:97
Rasionalisme Muktazilah berdampak, salah satunya, pada penolakan riwayat-riwayat yang sama sekali tidak dapat dipahami secara rasional. Umpama, hadis-hadis yang menyebutkan fisikalitas Tuhan (Antropo-morfisme). Rangkaian hadis ini disampaikan banyak perawi dari kalangan sahabat dan tabi’in. Akibatnya, mereka tak luput dari kritik tajam kaum Muktazilah. Dalam konteks ini, kaum Muktazilah membongkar kontradiksi yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan kontradiktif khalifah pertama.(1)
Jelas, kritik apa pun yang difokuskan ke arah para sahabat Nabi mustahil diterima kalangan Ahli Sunah, karena salah satu tonggak mazhab Ahli Sunah berkisar pada keyakinan akan keadilan (’udul, kesalehan) para sahabat. Karenanya, bagaimana mungkin penganut keyakinan ini sudi melegitimasi sebuah mazhab yang berpotensi
menghancurkan tonggaknya?(2)
Kalangan penentang terus gencar menuding—sekalipun tanpa bukti dan alasan yang kuat-Muktazilah sebagai kelompok pengikut syariat akal.(3) Akibat terus menerus digempur tudingan semacam itu, secara bertahap, sebagian pengikut mazhab ini mulai bersikap ekstrem dan menyempal dari rasionalisme arus utama. Semenjak itu, mereka tidak hanya menolak ihwal irasional, melainkan juga mengingkari sekian banyak proposisi suprarasional.(4) Mereka berusaha menakwil suatu persoalan, bahkan dengan Cara membabi buta agar tampak relevan dengan akal.
p:98
Berbagai gejala ekstremisme internal ini pacla gilirannya menjadi bumerang paling mematikan. Semua itu membuka celah lebar bagi lawan-lawannya untuk mengekspos habis-habisan kaum Muktazilah yang rasional sebagai pembenci Alquran dan Sunah kee tengah masyarakat. Gayung pun bersambut; betapa masyarakat pada umumnya memiliki spirit untuk menjaga agama dan keimanan religiusnya. Karena itu, berangsur-angsur mereka mulai rnengambil jarak dari kaum Muktazilah. Dan akhirnya, mereka pun membenci pemikiran rasional itu sendiri.
Pada hakikatnya, Muktazilah merupakan sebuah gerakan intelektual yang hanya terkait dan menyasar kelompok tertentu dalam mazhab Ahli Sunah. Karenanya, mazhab ini tidak rnemiliki pengaruh yang signifikan di tengah khalayak luas. Masyarakat religius yang belum matang secara intelektual tentu lebih mudah mencerna slogan ”apa pun yang dilakukan Khoshru (figur publik—penj.) selalu indah" ke- timbang konsep rumit ”indah, buruk, manis, dan pahitnya sesuatu bersifat substansial, sementara Tuhan 'harus' berbuat baik”.(1) Bersamaan dengan itu, sebagian besar dari pandangan kaum Ahli Hadis lebih relevan dengan tingkat emosi dan kecenderungan masyarakat awam. Misalnya, kaum Muktazilah memandang syafa'at hanya khusus bagi orang saleh dan berfungsi meninggikan kedudukan spiritualnya. Adapun kalangan Ahli Hadis menganggap syafa’at bisa diperoleh semua Muslim pelaku dosa. Ini sebagaimana mereka meyakini kekekalan azab di neraka hanya khusus bagi kaum kafir. Sementara kaum Muktazilah meyakini setiap Muslim yang berbuat dosa besar serta tidak bertaubat hingga ajal menjemput bakal kekal di neraka. Secara komparatif, harus diakui bahwa pandangan
p:99
kaum Ahli Hadis lebih memenuhi selera awam.(1)
Faktor lain yang terlibat dakam meruntuhkan mazhab Muktazilah yaitu keticlakpedulian terhadap basis rasionalismenya sendiri. Fokus yang berlebihan pada prinsip kehendak dan kebebasan manusia, serta terlalu bersemangat membela kebebasan berpikir— yang sebenamya dimaksudkan untuk mendapat simpati para penguasa Abbasiyah— menjadikan kaum Muktazilah tidak lagi memperdulikan ajarana- jaran dasarnya. Lewat paksaan dan intimidasi, mereka menyerang setiap ide yang dianggap sebagai rival.(2) Fenomena ini jelas terlihat dalam kasus doktrin ”Alquran sebagai makhluk”. Ujung-ujungnya, semua itu malah menjadi bumerang bagi mereka sendiri.
Dari pihak lain, perlawanan Ahmad bin Hanbal terhadap intimidasi kaum Muktazilah membuat dirinya populer sebagai pejuang gigih agama dan keyakinan. lni sekaligus menjadi katalisator penyebaran ajaran dan pemikirannya di tengah masyarakat luas.
Demikianlah perjalanan Muktazilah: bagaimana mazhab ini membangun sebuah tatanan pemikiran selama lebih dari satu abad, namun ironisnya hancur di tangan kaumnya sendiri hanya dalam beberapa tahun. Memang setelah itu, sesekali muncul sejumlah tokoh yang berupaya mati-matian membangkitkan kembali mazhab ini. Salah satu—nya adalah Qadhi Abdul Jabbar (w. 415 H). Namun, kendati segenap keseriusan dan kegigihan mereka, Muktazilah tidak pernah sanggup mengulang kejayaan kurun awalnya.
Menyusul ambruknya mazhab Muktazilah, kejumudan berpikir dan kecenderungan literalistik di kalangan Ahli Sunah pun semakin
p:100
menjadi-jadi. Selain Ahli Haclis dan kaum Hanbali, muncul pula sejumlah kelompok lain seperti: Karramiyah (pengikut Muhammad bin Karam Sejistani [w. 256 H]) dan Zhahiriyah (pengikut Dawud bin Ali lsfahani [w. 270 H]). Mereka mendeklarasikan diri sebagai penentang mazhab rasionalis Muktazilah dan, sebaliknya, justru berusaha menyebarluaskan Literalisme (Zahiriyyah).(1)
Memang, dengan munculnya sosok Asy’ari (w. 330 H), jalan tengah untuk mendamaikan kontroversi ini mulai terbuka. Dampak- nya, pemikiran rasional yang sempat redup pasca kejayaannya mulai kembali menggeliat. Namun demikian, banyak dari kalangan intelektual kontemporer terus menanti-nanti reinkarnasi pemikiran Muktazilah yang sekalipun, dalam pandangan mereka, sudah tidak lagi memiliki celah untuk hidup dan mekar di tubuh Ahli Sunah, justru tumbuh berkembang di dunia Syiah. Mereka sangat menyayangkan kepunahan mazhab pemikiran ini. (2) Ahmad Amin, peneliti dan penulis terkemuka asal Mesir, meratapi keruntuhan mazhab Muktazilah demikian:
Kematian Muktazilah sungguh menjadi musibah terbesar yang diderita Muslimin. [Akibat ketidakpedulian terhadap mazhab ini, Muslimin] telah menganiaya diri sendiri.(3)
Ibnu Thufail (w. 581 H) termasuk filosof terkemuka Andalusia. Dia seorang pujangga Muslim yang sangat concern pada masalah akal dan wahyu. Satu-satunya karya filsafatnya yang termasyhur
p:101
dan masih tersisa memuat narasi tentang sosok Hay bin Yaqzdan.(1) Narasi filosofis ini menyuguhkan sejumlah konklusi dan tafsir keberagamaan yang, adakalanya, sarat kontradiksi.
Cerita itu tentu saja fiktif. Tokohnya bernama Hay bin Yaqzdan. Alkisah, dia melewati fase awal kehjdupannya di sebuah pulau terpencil. Dengan bantuan seekor induk kijang yang kehilangan anaknya, dia pun tumbuh dewasa. Di sanalah Hay mengenyam pendidikan dan mencapai kematangan berpikir. Mula-mula, kehidupan dan pengetahuanya banyak diperoleh dengan metode empiris. Lalu, pada tahap berikutnya, dia mulai mengandalkan daya nalar dan argumentasi. Karenanya, dia dapat mencecap ihwal supranatural dan filosofis, termasuk tentang eksistensi Tuhan, berikut keindahan dan keagungan-Nya, juga keniscayaan hari Kebangkitan dan akhirat.
Kemudian, melalui kontemplasi dan evaluasi ’diri', juga pelatihan dan penyucian jiwa, Hay akhirnya dianugerahi penyaksian batin (syuhud) dan penyingkapan ruhani (kasyf). Darinya, dia memahami, ”Adanya sesuatu yang tak dapat dicerap mata, didengar telinga, terlintas dalam benak manusia(2)
Sewaktu Hay menginjak usia 50 tahun, takdir menentukan dirinya berjumpa seorang sufi dari pulau sekitar. Namanya Absal. Sufi ini bermaksud mencari tempat sunyi, memenuhi panggilan hati untuk menyendiri (’uzIah). Setelah perjumpaan itu, keduanya lantas intens bertemu. Absal mengajarinya bahasa manusia hingga memahami kondisinya. Kepadanya, Hay bercerita tentang proses pertumbuhan dan perkerkembangan jasmaninya, termasuk pengalaman spiritual, hakikat batin, dan supranatural. Absal, yang terdidik dalam lingkungan para nabi, menilai tak ada pertentangan antara hakikat yang tersingkap pada diri Hay dengan ilmu wahyuni. Berkat itu, keyakinannya pada ilmu wahyuni malah semakin menguat. lnti
p:102
sejumlah doktrin keagamaan yang sampai saat itu belum dipahaminya secara sahih, sekarang menjadi begitu gamblang:
Bagi Absal, jelas sudah persoalan Allah Swt, malaikat, kitab-kitab suci, para nabi, Hari Kiamat, surga, dan neraka, sebagaimana diajarkan syariat dan agama. Apa yang ’disaksikan’ Hay bin Yaqzdan menjadi contoh dan bukti kebenarannya. Alhasil, mata hatinya terbuka, bara di benaknya pun menyala-nyala, juga terjalin keselarasan objek akal dan objek teks [wahyuni]... Tak satu pun persoalan [yang sulit] dalam hal syariat melainkan telah dimudahkan baginya.(1)
Sementara itu, Hay juga menyadari bahwa syariat dan eksistensi para nabi Allah serta berbagai ajaran wahyuni yang disampaikan Absal, benar—benar selaras dengan realitas hakikat yang disaksikannya. Karenanya, dia lantas bersaksi atas risalah Nabi:
Dia tahu bahwa orang yang telah menerangkan dan membawa semua ajaran ini, clitemukan dalam dirinya, kata-katanya jujur dan dia [nabi] menerima risalah dari Tuhan. Lalu dia mengimani, membenarkan, dan memberi kesaksian atas risalahnya.”
Hanya saja, tatkala risalah nabi (agama) melegalisasi upaya menghlmpun kekayaan dan hak sekelompok orang dari kepemilikan harta Hay sendiri, ini menjadi persoalan absurd baginya. Akibatnya, hukum-hukum khumus, zakat, sebagian undang-undang pidana (hudud), dan sanksi (diyah), menurutnya, tidak punya nilai apa-apa. Dalam pandangannya:
Kalau saja masyarakat memahami hakikat agama, mereka akan berpaling dari perkara-perkara batil yang tidak berdasar ini untuk
p:103
menghadap gerbang Kebenaran. Mereka tidak memerlukan hukum dan undang-undang semacam itu. Kalau itu sampai terjadi, niscaya tidak seorang pun memiliki harta, sehingga tak ada alasan memungut zakat darinya. Atau lantaran mencuri harta itu, tangan-tangan akan dipotong. Atau disebabkan aksi perampokan dan penyelidikan terhadapnya, banyak jiwa yang harus menjadi korban(1)
Namun realitasnya, terdapat banyak isyarat simbolik dan rahasia metaforis dalam agama yang tidak dipahami Hay. Inilah yang dinilainya sebagai sebab ketersesatan dan keterjerumusan rata—rata pengikut agama ke dalam Antropomorfisme (Tasybih). Hanya saja, setelah dari dekat melihat situasi dan kondisi manusia yang temyata beragam, khususnya dari segi intelektualitas, dia mulai menyadari:
Mayoritas manusia ibarat unta. Dia sadar bahwa hikmah, petunjuk (hidayah), dan karunia (taufiq) berada di jalan yang dibukakan para nabi dan dijelaskan dalam syariat.55
Begitulah ringkasan kisah Hay bin Yaqzdan. Ada banyak aspek dan dimensi di dalamnya yang ditelisik oleh setiap pakar bidang. Tampak sekali narasi ini disuguhkan untuk beberapa tujuan. Di an-taranya, menunjukkan metode pembelajaran yang tepat bagi pertumbuhan jasmani maupun ruhani,“ afirmasi atas keabadian jiwa insani (Nafs naatiqah), penjelasan seputar asal-usul penciptaan manusia, sampai tentang keterasingan (alienasi) dan kesendirian.
Kendati demikian, persepsi mengenai narasi ini cukup beragam. Sebagian menganggap perjumpaan Hay dan Absal bukan antara filosof-rasionalis dan agamawan-buta-filsafat, melainkan perjumpaan dua arif: yang satu mencapai strata kesempurnaan tanpa tuntutan
p:104
guru spiritual (mursyid); sementara yang lain merengkuhnya via arahan guru spiritual. Pasalnya, Hay telah melewati fase rasional dan filosofis sebelum berjumpa Absal, sedangkan maksud Absal berkunjung ke pulau itu tak lain untuk menyendiri (khalwat).(1) Karenanya, dalam narasi ini, Ibnu Thufail tidak memaparkan relasi akal dan wahyu (teks); tetapi justru melarang studi rasional tentang hal-ihwal supranatural.
Pada hemat Ibnu Thufail, agama hamf dan syariat Muhammad [Saw] telah melarang studi tentang supranatural dengan metode kaum rasionalis.(2)
Sekilas saja, narasi Hay bin Yaqzdan sudah jelas menunjukkan kekeliruan pandangan ini. Memang, lbnu Thufail menegaskan bahwa visi mistis bukanlah perkara konseptual dan jauh lebih unggul di atas visi akal. Namun, dia pun tidak percaya bila, secara mutlak, argumentasi rasional itu tidak bemilai apa-apa. Bahkan dapat dikatakan, visi hati dan penyingkapan ruhani (kasyaf) merupakan "hasil cahaya akal".(3) Kesimpulannya, ”Pandangan ini menentang metode sufisme yang menganggap akal sama sekali tak berarti, dan pelatihan riyadhah hanya satu-satunya peluang mencapai Al-Haq.(4)
Kelompok lain menilai pandangan Ibnu Thufail sama dengan pendapat Zakariya Razi.(5) Bedanya, keberadaan akal. menurut Razi, tidak lagi menyisakan tempat bagi agama dan ajaran-ajaran wahyu, sementara Ibnu Thufail, sekalipun mengklaim akal sudah cukup dijadikan medium menjangkau hakikat, tidak saja menjunjung martabat agama, tetapi juga menyakini keharmonisan yang seutuhnya antara konklusi akal dan ajaran agama.
p:105
Dengan jujur setulus-tulusnya, filosof Andalusia ini mengakui
hukum syariat, perintah llahi, dan menghormatinya. Dia yakin,
akal murni dan cemerlang pada akhirnya akan mencapai titik kesimpulan yang bisa diraih melalui syariat dan ajaran agama.
Berbagai peribadahan dan ritual keagamaan juga berlandas pada
nuktah dan rahasia-rahasia batin yang diafirmasi akal.(1)
Dengan kata lain, kaum intelektual yang punya semangat dan etos hidup yang tinggi seperti Hay bin Yaqzdan, tak lagi memerlukan wahyu. Hanya berbekal akal, dia sudah mampu mereguk kebahagiaan sejati. Namun lantaran tidak semua orang berada pada level intelektualitas yang setaraf, maka tak ada alternatif lain selain pengutusan para nabi dan penurunan wahyu.
Berbeda dengan Razi, Ibnu Thufail mengakui adanya perbedaan daya intelektual di antara individu, dan karena itulah dia juga mengakui kemestian diutusnya para nabi; termasuk kemestian adanya guru-murid maupun imam-umat di tengah komunitas manusia.(2)
Berdasarkan semua itu, Ibnu Thufail dapat dikategorikan sebagai rasionalis radikal, namun menyejajarkan pandangannya dengan pendapat Zakariya Razi jelas tidaklah tepat. Menurut Ibnu Thufail, bukan hanya masyarakat kebanyakan, para intelektual yang punya batin bersih dan fitrah suci juga memerlukan tuntunan dan ajaran nabi. Hay bin Yaqzdan tak pernah memperlakukan proposisi suprarasional agama sebagai faktor keberatannya, kalau bukan malah menerimanya secara penuh.
Kemudian Absal ditanya tentang berbagai kewajiban agama dan tata-Cara ibadah yang diajarkan dan ditetapkan nabi. Absal lalu menjabarkan kepadanya tatacara shalat, zakat, puasa, haji, dan
p:106
ibadah lahiriah lainnya. Setelah itu, Hay bin Yaqzdan mengemban semua kewajiban itu sepenuh hati. Karena juru penyampai ajaran itu diyakininya sebagai manusia jujur, maka dia menetapkan dirinya komit [melaksanakan] tugas-tugas agamanya.(1)
Maksud utama Ibnu Thufail menukil kisah ini agaknya untuk menjelaskan keselarasan akal dan wahyu. Sebagaimana filosof Muslim lainnya, dia—se|ain sangat menjunjung tinggi segala jenis sumber pengetahuan-memiliki kecenderungan yang kuat pada penyaksian batin (Syuhud) dan penyingkapan ruhani (kasyf). Di samping itu, dia tidak menemukan adanya kontradiksi antara disiplin ilmu nonwahyu dengan ajaran-ajaran Langit. Hanya boleh jacli ‘mi dipresentasikan Ibnu Thufail dengan gaya eksesif dan terkesan berlebihan: nyaris mustahil menemukan manusia secerdas Hay bin Yaqzdan yang selalu ’hidup dalam sadar’ (zendeh-e bidari), sosok yang mampu mencecap secara rasional seluruh pengetahuan, selain segelintir hukum fikih, di ranah agama. Padahal, selain tak punya kemampuan untuk menyingkap realitas seutuhnya, akal juga tak luput dari kemungkinan Ialai atau khilaf. Inilah bukti paling fundamental bahwa manusia tetap memerlukan tuntunan nabi.
[Para nabi diutus] untuk menggali janji fitrah-Nya, mengingatkan mereka perihal seluruh nikmat-Nya dan membongkar hazanah-hazanah terpendam akal untuk mereka.(2)
Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Andalusi (520-595 H) merupakan filosof Muslim garda depan. Selain menguasai filsafat, dia juga seorang pakar di bidang fikih dan kedokteran. Cukup banyak mahakarya yang telah dihasilkannya. Namun, gagasan dan
p:107
pandangannya, yang umumnya berupa komentar dan tafsir atas filsafat Aristoteles, kurang mendapat tempat di kalangan filosof Muslim, sebaliknya di dataran Eropa justru mendapat sambutan yang luar biasa.(1) Apresiasi bangsa Eropa sedemikian rupa, sampai— sampai filosof Muslim ini dinobatkan sebagai salah satu founding fathers peradaban Barat modern. Tak dapat dipungkiri bila sejumlah filosof Barat, baik langsung maupun tidak, terpengaruhi pandangan- pandangannya.
Mekarnya mazhab pemikiran Ibnu Rusyd (Averroisme) di Eropa sepanjang Abad Pertengahan, yang terus berlanjut sampai sekarang, membuktikan besarnya pengaruh filosof ini terhadap para pemikir Barat.(2) Oleh mereka, Ibnu Rusyd dinyatakan seorang rasionalis yang meyakini filsafat berada unggul di atas agama. Dia percaya, ”Realitas absolut tidak dapat ditemukan dalam wahyu mana pun, melainkan hanya dapat dijumpai dalam karya-karya Aristoteles.”"“ Dari pemeriksaan terhadap statemen Ibnu Rusyd, sebagian mereka menyimpulkan pandangannya bahwa kaum filosof tidak perlu nabi.(3)
Di samping itu, kekhasan lain mazhab Averroisme adalah keya- kinannya terhadap asas DUALISME KEBENARAN. Maksudnya, ”Tidak ada hubungan apa pun antara kebenaran menurut filsafat dan kebenaran menurut ilmu-ilmu Ilahi. Untuk masing-masing objek kajian, terdapat kebenaran yang berbeda-beda(4)
Pandangan Ibnu Rusyd yang berkenaan dengan relasi akal dan wahyu dapat dijumpai dalam karyanya, seperti Tahafut at Tahaafut, Fashl Al Maqaail Fi Ma Bayna Hikmah wa Al-Syariah min At-Ittishal, Al-Kasaf ’min Manahij Al-Adillah. Untuk mengenal dan menimbang
p:108
benar-salahnya, berikut akan diulas secara sepintas isi ketiga karya itu.
Abu Hamid Ghazali (450-550 H) dalam Tahafut Al-Falaasifah, mengkitisi 20 butir kontradiksi kaum filosof. Ujung-ujungnya, dia memvonis mereka kafir karena meyakini ketakberawalan (qadim) alam, ketaktahuan Tuhan terhadap hal-ihwal partikular, dan menafikan kebangkitan jasmani (Ma'ad Jasmani').
lbnu Rusyd lalu menulis Tahafut Al-Tahafut sebagai jawaban atas Ghazali. Kesimpulannya, selain tidak menunaikan hak agama dan syariat sebagaimana mestinya, Ghazali juga tidak memperlakukan para filosof dan filsafat secara proporsional.(1) Bahkan dia mengklaim, Ghazali menulis karyanya itu bukan dalam rangka mencari kebenaran, tetapi lebih disebabkan situasi—kondisi yang berkembang dan demi mencari popularitas semata.(2) Memang, dia menerima sebagian kritik yang dilancarkan Ghazali. Akan tetapi, dalam catatannya, rangkaian kritik itu seyogianya diarahkan kepada Ibnu Sina dan Farabi yang menurutnya telah menyimpang dari mazhab Aristotelian.(3)
Menurut Ibnu Rusyd, pengetahuan yang diperoleh via wahyu merupakan penyempurna ilmu-ilmu rasional. Semua hal yang tidak dapat diperoleh akal dengan sendirinya dapat diraih lewat agama (wahyu).(4) Atas dasar itu, tugas filsafat adalah menganalisis secara rasional seluruh aturan agama. Bila tidak mampu menjangkaunya, akal akan langsung mengakui kelemahannya sendiri.(5)
Untuk memasuki ranah pengetahuan rasional dan filsafat, pada hematnya, diperlukan kualitas subjektif yang meliputi kesabaran,
p:109
ketegaran, dan objektifitas. Dia mengharamkan upaya mengekspos pengetahuan rasional dan filsafat ke tengah masyarakat(1) Sebagaimana sejumlah fuqaha menggunakan metode tekstual dan cenderung tidak mempraktikkan qiyas dalam bidang hukum praktis, Ibnu Rusyd yakin bahwa metode tekstual ini juga sangat bermanfaat untuk mendekatkan masyarakat umum pada kebahagiaan sejati.(2) Itulah alasan mengapa para pemikir terdahulu mengupas masalah ini dengan menggunakan bahasa isyarat (simbolik), khususnya agar kalangan ahli hikmah (filosof) yang berilmu kokoh (َAl-Rasikhin fi Al-Ilm) saja yang dapat menyingkap maknanya (takwil).
Menurut Ibnu Rusyd, setiap nabi pasti filosof, namun tidak semua filosof itu nabi. Tentunya, setiap agama wahyuni niscaya rasional. Akan halnya jika keberadaan sebuah agama yang semata- mata rasional bisa diterima, maka dapat dipastikan bahwa agama semacam ini lebih rendah nilainya ketimbang agama yang berbasis pada akal dan wahyu.
Tidak sekadar mengkaji hikmah (filsafat), dalam karya ini Ibnu Rusyd juga menyinggung koherensinya dan syariat (agama). Topik utama kitab ini berkaitan dengan takwil. Dalam pandangannya, kaum filosof yang berbekal argumentasi akal merupakan sosok yang punya keluasan wawasan dan kedalaman ilmu. Alquran menyebutnya sebagai otoritas penakwil ayat-ayat yang tak-jelas (Mutasyabih). Adapun masyarakat awam hanya diwajibkan mengamalkan dirnensi harfiah-nya semata.
Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd berposisi sebagai pakar fikih (Faqih) yang sedang menghadapi fukaha yang tidak menyukai, bahkan mengharamkan, belajar-mengajar filsafat. Dalam bab pembukaan
p:110
karyanya, dia menjelaskan relasi hukum fikih dengan proses belajar filsafat. Dengannya, filsafat hanya diorientasikan untuk mencapai realitas seluruh eksistensi di jagat raya menuju Sang Penciptanya. Atas dasar itulah dia lantas mewajibkan kajian rasional dan filsafat.(1)
Salah satu kunci dari seluruh persoalan dalam pemikiran Ibnu Rusyd ditekankan secara sempurna dalam karya ini, yaitu klasifikasi individu-individu masyarakat—secara epistemologis menurut kecenderungan fitrah dan nalurinya—ke dalam tiga kategori pengguna: demonstrasi (burhan), dialektika (Jadal), dan retorika (khitabah). Menurutnya, masing-masing kategori di atas relevan dengan kewajiban yang diajarkan Islam sebagai agama yang benar, dan tugas dakwahnya diselaraskan dengan kekhasan dan kemampuannya.(2)Semua itu harus sesuai dengan panggilan fitrahnya agar tidak terjadi kontradiksi. Dengan begitu:
Berpikir secara burhani 'logis’ tidak akan sampai menentang apa yang telah disampaikan agama, karena kebenaran tidak akan menentang kebenaran; justru ia sepakat dan memastikannya.(3)
Beberapa pihak mengkritisi paradigma Ibnu Rusyd tadi dengan menunjukkan sejumlah demonstrasi dan argumentasi akal yang berpotensi menentang agama. Mengantisipasi kemungkinan ini, Ibnu Rusyd lalu menyarankan agar menakwil ungkapan harfiah ini dengan tetap menjaga kaidah bahasa, yakni dengan memaknainya secara metaforis (nmjfizx) hingga relevan dengan konklusi demonstrasi logis. Klaim besar Ibnu Rusyd menyatakan, "Jika tak ada jalan lagi dalam segala kasus, untuk mengharmonikan akal dan wahyu, kecuali melalui penakwilan, maka bukti-bukti atas makna [hasil] penakwilan
tersebut bisa ditemukan dari dalam agama itu sendiri.(4)
p:111
Dengan begitu, Ibnu Rusyd mulai memasuki bidang luas takwil berikut syarat-syaratnya. Di antaranya, tidak semua teks agama dapat/boleh ditakwil, karena memaksakan takwil terhadap sebagian teks agama akan mengakibatkan kekafiran dan kemurtadan. Contohnya, ancaman siksa neraka dan kabar gembira berupa nikmat surga semata-mata dimaksudkan hanya untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman di dunia ini, tetapi kenyataannya tidak ada kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi. Jelas, orang yang beranggapan semacam ini bermain di wilayah kekafiran.
Ada pula sebagian perkara agama yang harus ditakwil filosof (ahl al-burhan), sementara kalangan lain hanya boleh merujuk makna harfiahnya semata.(1) Pada saat yang sama, kalangan filosof wajib mengungkapkan seluruh hasil takwilnya hanya dalam karya yang bersifat demonstratif (burhan), seraya dijauhkan dari jangkauan publik. Ini lantaran pembeberan hasil takwil kepada pihak yang inkompeten sama saja dengan merenggut makna harfiah dari pemahamannya, selain juga tidak menyodorkan makna alternatif. Akibatnya, dia kehilangan kedua-duanya (makna harfiah maupun batiniah/ takwil). Tindakan ini bahkan menjadi kekafiran bila saja menyangkut prinsip agama.(2)
Karya ini merupakan rangkaian dari Fashl Al-Maqal fi ma baina Al-hikmah wa Al-Syari'ah min Al-Ittishal. Dalam buku ini, Ibnu Rusyd terlebih dahulu menerangkan kewajiban kalangan awam agar komit pada makna harfiah dan tidak melakukan takwil, lalu berusaha memeriksa unit-unit akidah yang harus diterima awam tanpa proses takwil. Sebagai contoh, jawaban atas pertanyaan awam seputar fisikalitas (jism) Tuhan adalah ”tiada sesuatu yang menyamai-Nya” (Laisa Kamistlihi Syai'). jawaban ini diajukan agar tidak mengafirmasi
p:112
fisikalitas Tuhan, tidak pula menegaskan nonfisikalitas-Nya.(1) Di antara argumentasi yang dia kemukakan, kalangan awam senantiasa menilai sesuatu itu eksis jika bisa dijangkau indra dan imajinasi (khayal). Karenanya, jika fisikalitas Tuhan itu langsung ditolak, maka Tuhan akan didefinisikan sebagai eksistensi yang melampaui indra dan imajinasi, hingga akibatnya, kalangan awam niscaya akan mengingkari eksistensi-Nya demikian.(2)
Dalam pandangan lbnu Rusyd, para teolog (Mutakallim) yang menakwil ayat seperti ’Tuhan bersemayam di singgasana’ dan mengeksposnya ke kalangan awam adalah pihak yang dikecam Alquran sebagai pengikut ayat-ayat Mutasyabihat.“(3) Takwil semacam ini tidak didasari argumentasi logis (burhani) yang kuat sehingga tak akan pernah memuaskan para filosof, kaum arif, tidak juga bermanfaat bagi khalayak luas yang hanya diwajibkan mengikuti makna harfiahnya. Dalam hal ini, mengikuti makna harfiah teks suci dan menjauh dari takwil akan lebih membantu kaum awam mencapai tujuan utama keberagamaannya, yakni terbangunnya semangat beramal.(4)
Pada Abad Pertengahan, khususnya abad XIII, terjadi gesekan pemikiran di benua Eropa antara kaum rasionalis Rusydian (Averrois) dengan kalangan fideis Kristen. Kalangan Rusydian mengusung doktrin ’dualisme kebenaran’. Sejurnlah pemikir yang meneliti gagasan filosof Muslim ini menganggap doktrin ini tidak berasal dari Ibnu Rusyd; tetapi dari para pengikutnya di dataran Eropa
p:113
(Latin).(1) Dalam adi-karyanya, The History of Civiliza tion, Will Durant menuliskan:
Demi memuaskan hati kalangan petinggi gereja inkuisisi, sebagian pendukung gagasan Ibnu Rusyd (Averroisme) terpaksa mengusung doktrin dualisme kebenaran. Dalam arti, boleh jacli sebuah proposisi valid berdasarkan kaidah-kaidah filsafat dan proses nalar alamiah, namun invalid menurut kitab suci dan ajaran Almasih. Dalam kondisi ini, mereka mengklaim bahwa, berdasarkan hukum iman, mereka meyakini keberadaan sesuatu yang, berdasarkan hukum akal, sekaligus mereka meragukan.(2)
Walaupun, paling tidak, sebagian dari pandangan yang dinisbatkan kepada kaum Averrois adalah dampak kesalahpahaman kalangan kritikus, namun itu saja sudah membentuk rasionalisme radikal dan absolut hingga mengakibatkan cukup banyak ajaran agama yang diingkari. Pihak hierarki gereja lalu mengeluarkan beragam keputusan yang berisi daftar sejumlah keyakinan yang diklaim sudah menyimpang. Karenanya, mengimani semua itu dianggap kekafiran. Pada 1269 dan 1277, uskup agung Paris mengumumkan daftar keyakinan itu demikian:
Tak pemah ada eksistensi sebagai manusia pertama; Ruh akan rusak dengan rusaknya badan; Tuhan tidak mengetahui berbagai peristiwa, satu demi satu; Kehendak Tuhan tidak berkuasa atas perbuatan manusia; Penciptaan itu tidak mungkin, karena sekali mati, benda langsung hancur dan tak mampu lagi bangkit dari bumi sediakala; Filosof tidak boleh meyakini hari Kebangkitan, karena akal tidak mengakui kebenarannya;
p:114
Kebahagiaan dapat diperoleh di dunia ini, bukan di akhirat; Orang-orang berakal di dunia ini hanyalah kaum filosof saja.(1)
Dari pemeriksaan terhadap karya—karya Ibnu Rusyd, dapat disimpulkan bahwa pandangan otentik filosof Muslim ini jauh berbeda dengan yang dinisbatkan oleh sebagian pihak. Akibatnya, ia diperlakukan secara tidak adil, sampai-sampai dituding sebagai penulis karya ”Tiga Sosok Culas” yang, di dalamnya, tiga nabi besar (Musa as, Isa as, dan Muhammad Saw) diklaim sebagai para penipu.(2)
Berkenaan dengan pandangannya seputar ’relasi akal dan wahyu’, Ibnu Rusyd mengklasifikasi individu dalam dua kategori; filosof (pengguna argumentasi akal) dan awam (pengguna dialektika dan retorika). Adapun metodologi yang dianjurkan agar digunakan khalayak luas adalah literalisme ekstrim. Menurut Ibnu Rusyd, jika kaum awam dibiarkan dengan kondisi normalnya, niscaya dalam banyak hal mereka ridak akan memahami pertentangan akal dan wahyu sehingga tidak disibukkan mencari solusinya. Lain halnya jika menyadari pertentangan lahiriah itu, maka gelinjang hasrat kritis mereka harus diredam. Caranya, mereka diberi pemahaman bahwa dengan dalil apa pun, persoalan ini hanya menghasilkan ambiguitas dan paradoksi (tasyribuh); sementara hanya Tuhan yang tahu takwilnya. Adapun tugas filosof adalah mengatasi paradoksi itu dengan cara menakwil proposisi agama sedemikian rupa agar relevan dengan argumen rasional.
Barangkali klasifikasi inilah yang memicu kemunculan ’dualisme kebenaran’. Kaum Averrois Barat menganggap filosof Andalusia ini menyatakan bahwa hikmah (filsafat) dan agama memiliki domain yang berbeda, dan hakikat kebenaran versi masing-masing punya
p:115
tolok ukur yang juga beda. Dalam domain agama, metode yang digunakan adalah metode literal yang berlandaskan ayat dan riwayat. Ini dianggap proporsional, tanpa perlu dipersoalkan apa dan bagaimananya secara rasional. Sementara dalam domain hikmah, akal menjadi tulang punggung. Ketidaksesuaiannya dengan ajaran agama tidak lantas merusak sedikit pun hakikat kebenarannya. Persepsi tentang pandangan Ibnu Rusyd ini jelas tidak berdasar. Bila agama dan hikmah memiliki domain yang berbeda, juga tak punya objek dan kebenaran yang identik untuk dibicarakan, lantas mengapa Ibnu Rusyd sendiri begitu sibuk memperlihatkan keselarasan keduanya? Motivasinya kepada masyarakat umum untuk menggunakan metode literal bukan dalam rangka supaya makna harfiah itu—sekalipun bertentangan dengan argumentasi akal- senantiasa selaras dengan hakikat kebenaran, tetapi hanya karena sesuai dengan kepentingan masyarakat awam, yaitu membangkitkan semangat beramal; bukan memuaskan dahaga intelektual mereka.(1) Sebagaimana telah disinggung, inilah klasifikasi yang menyebabkan munculnya doktrin ’dualisme kebenaran’ yang diklaim sumbernya dari karya-karya Ibnu Rusyd. Terdapat kemungkinan lain yang layak dikemukakan. Ibnu Rusyd dididik dalam lingkungan Islam serta cukup intensif mengakses ayat dan hadis sahih Nabi. Maka dari itu, dia tidak menemukan konflik serius antara akal dan ajaran agama. Namun, tatkala pemikiran ini dipelajari para pemikir Nasrani — sementara persepsi mereka tentang agama sebatas Kristen, belum lagi mereka menjumpai sekian ajaran prinsipalnya yang antiakal—hanya akan tersedia dua opsi bagi mereka: mengingkari agama, atau memisahkan domain agama dari filsafat. Umumnya mereka memilih opsi kedua yang, karenanya, melahirkan dokrtin ’dualisme kebenaran’.
p:116
Di atas semua itu, faktor penyebab kaum agamawan menolak pandangan Ibnu Rusyd ialah sikapnya memprioritaskan argumentasi akal di atas dalil syariat (agama). Ibnu Rusyd menyerukan agar menakwil dalil syariat seputar masalah-masalah kontradiktif sampai sebangun dengan argumentasi filsafat. Adalah penilaian sepihak jika seruan ini dianggap mendorong munculnya anggapan bahwa akal dan filsafat lebih superior di atas wahyu dan agama. Memang, dalam konteks definisi, filsafat merupakan ilmu yang dalil—dalilnya berbasis di atas demonstrasi (burhan) akal, sehingga tak diragukan lagi kredibilitas [hukum-hukumnya]. Namun, semata-mata asumsi bila apa saja yang telah dilakukan dan terjadi di alam luar ini dianggap tak pemah sedikit pun melanggar definisi tersebut.
p:117
p:118
p:119
Akal dan Wahyu
Literalisme merupakan mazhab pemikiran yang memposisikan teks dan makna harfiah Alquran dan Sunah sebagai satu satunya rujukan serta sumber pengetahuan agama. Perspektif keberagamaan ini meliputi berbagai pihak (individu dan kelompok) yang semuanya punya kekhasan yang sama, yaitu mengabaikan argumentasi akal.
Menurut kaum literalis, rasionalisme hanya berguna bila pandangannya selaras atau relevan dengan pandangan kalangan pemimpin agama. Saat itulah akal harus menjadi pelayan syariat serta mencarikan bukti harfiah ayat dan riwayat. Walaupun penolakan terhadap posisi akal tak seradikal itu, namun sebagian dari mereka tetap berasumsi bahwa asas-asas keagamaan tidak bertumpu pada rasionalisme. Alhasil, kendati demikian, banyak kaum literal berusaha membela ajaran agamanya lewat argumentasi akal. Namun, mereka yakin akal atau rasio yang dimanfaatkan untuk memahami dimensi permukaan teks suci (ayat dan riwayat) dengan cara lebih mendalam dan luas, serta menguak relasi—relasi harfiah seraya menggali intisari agama yang terpendam, tidak menghasilkan selain dugaan semata.
Semenjak fajar Islam, sudah muncul sejumlah figur dan kelompok religius yang sangat kaku memperlakukan teks Alquran dan hadis Rasul Saw serta berusaha menanggalkan argumentasi akal. Lambat laun fenomena ini menjadi zeitgeist (semangat zaman) yang memunculkan sejumlah mazhab yang antirasionalisme seperti: Khawarij, Agnostisisme (mu'aththiilah), Antropomorfisme (musyabbihah), Hanbalisme, dan Zhahiriyah. Dalam bab ini, akan diulas sejumlah mazhab dalam tubuh Ahli Sunah yang memiliki kecenderungan literalistik.
Pasca wafat Rasulullah Saw, kalangan Ahli Sunah menyaksikan kemunculan sejumlah pemikir yang jadi rujukan masyarakat dalam
p:120
Literalisme Ahli Sunah
masalah pengetahuan Alquran dan Sunah. Kala itu, mereka menyediakan berbagai keperluan masyarakat sekaitan dengan agama yang rata-rata berkisar pada hukum fikih. Dari segi metodologi penyimpulan hukum dari sumber agama, mereka terbagi ke dalam dua kelompok besar.
Kelompok pertama terdiri dari tokoh-tokoh Ahli Sunah yang membatasi metodologinya tidak melampaui teks riwayat. Di antara mereka, Malik bin Anas (93-179 H), Muhammad bin Idris Syafi’i (150-204 H), Sufyan Tsauri (w. 161 H), Ahmad bin Hanbal (161-241 H), dan Dawud bin Ali Isfahani (200-270 H). Mereka menolak keras segala usaha mengakomodasi setiap hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman manusia ke dalam agama, apa pun itu namanya. Umpamanya, menolak segala jenis Qiyas (1) yang dianggap sebagai bentuk intervensi akal yang tidak proporsional dalam wilayah agama Tuhan(2) Mereka inilah yang lalu menyebut dirinya sebagai Ahli Hadis (ashhrib al—hadis) dengan warga Hijaz sebagai mayoritas pengusungnya. (3)
Adapun kelompok kedua, selain Alquran dan Sunah, juga berpegang pada qiyas, bahkan mereka lebih memprioritaskannya ketimbang hadis lemah (dho’if). Figur terkemuka kelompok ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) yang sangat aktif berkiprah di wilayah Irak. Kelompok ini umum dikenal sebagai As-Sahb Ar-Ra'y (4)
p:121
Sebagian Ahli Hadis menganggap perhatian khusus terhadap hadis sama artinya dengan mengabaikan akal. Akibatnya, mereka pun terjerumus dalam Literalisme Radikal. Saat mendengar kata "hadis”, mereka segera mengamini, tanpa merasa perlu memperhatikan validitas sanadnya. Kalangan yang menerima hadis-hadis tanpa dasar ini biasa disebut hasywiyyah. Dengan menganclalkan metode literal di ranah keyakinan agama dan sifat-sifat llahi, mereka pun akhirnya menyimpang jauh. Tanpa tedeng aling-aling, mereka menetapkan fisikalitas Tuhan: bahwa berkat keikhlasan melalui penghambaan kepada Allah Swt, seorang Muslim dapat meraih kedudukan tinggi di sisi Allah serta berjumpa dan berkesempatan mencium tangan-Nya.(1)
Kebanyakan Ahli Hadis kuatir terjerumus gejala antropomorfistik: Tasybih ’penyerupaan' [Tuhan dan sifat-sifatnya dengan makhluk], dan tajsum ’penjasadan' [Tuhan sebagaimana tubuh fisikal makhluk]. Namun, mereka tidak menemukan altematif selain menyerahkan sepenuhnya pemaknaan sifat (Tuhan) kepada Tuhan itu sendiri. Sebagai contoh, Malik bin Anas pernah ditanya tentang Bersenmyamnya Allah di ’arasy. Setelah sejenak tertunduk, dengan wajah berkeringat dia lantas menjawab:
Makna ’bersemayam’ itu jelas, hanya bentuknya tidak diketahui,
namun mengimaninya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.(2)
Manakala diajukan ayat-ayat seperti: Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, di satu sisi, kalangan ini menghadapi dilema antara memaknai ’tangan' secara harfiah atau memahaminya sebagai ’kekuasaan'. Cara terakhir ini jelas tidak lazim dilakukan. Namun di sisi lain, mereka juga sangat melarang menyamakan Tuhan dengan
p:122
apa pun. Sampai-sampai beberapa di antara mereka, demi mengelak dari ’penyerupaan’ (tasybih) Tuhan, tidak memperkenankan kata yad (tangan) diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Bahkan mereka yakin, bila seseorang membaca ayat ini sambil menggoyang—goyang tangannya, maka tangan itu harus dipotong.(1)
Satu bentuk penentangan Ahli Hadis yang menyasar kajian-kajian akal dalam konteks pengajaran agama adalah mengecam teologi (ilmu kalam). Syafi'i, misalnya, menganggap dialog teologis lebih buruk dari semua dosa selain syirik. Adapun jenis hukuman yang layak bagi kaum teolog, menurutnya:
Mereka harus dicambuk dan diarak ke hadapan semua warga dan kabilah seraya diserukan, 'lnilah balasan bagi orang yang telah melalaikan Alquran dan Sunah dan mementingkan teologi.(2)
Vonis ini berlaku sepanjang sejarah. Sejumlah kitab dan karya tulis ringkas disusun untuk mendeskripsikan penentangan tersebut. Bahkan lmam Haramain Juwaini (419—478 H), pakar teologi mazhab Asy’ariyah, konon di akhir hayatnya "bertobat” dan kembali pada hadis Nabi seraya menunjukkan penyesalannya mempelajari teologi. Demikian ia menuturkan:
Dalam menuntut realitas dan lari dari taklid, aku mencarinya di samudera pengetahuan Islam yang luas dan dalam. Aku telah menyelami banyak daerah terlarang. Namun sekarang aku telah meninggalkan semua itu. Sekarang aku menghadapkan wajahku pada seruan kebenaran 'berpeganglah pada agama kaum perempuan tua!’, yang dengannya Allah merahmatiku. Aku akan
p:123
mati dengan memeluk agama kaum wanita tua itu.(1)
Seperti tokoh-tokoh Ahli Hadis lain, Ahmad bin Hanbal juga mengecam teologi. Para pengikutnya dilarang duduk bersama kaum teolog. Dia menganggap kaum teolog tidak mampu mengecap apa dan bagaimana kebahagiaan ukhrawi. Sikapnya yang ekstrim sampai-sampai membuatnya memandang sahabat lamanya, Haris Muhasibi yang tekun menggeluti kajian rasional dan teologi, sebagai musuh.(2)
Kendati demikian, dalam kesehariannya, adakalanya Ahmad bin Hanbal terpaksa menggunakan argumentasi rasional demi membendung arus serangan penentangnya.(3) Contoh konkret dari gejala ini dapat ditemukan dalam karyanya, AL-Radd Ala Al-Jahmiyah wa Al-Zanaadiqah (Kritik atas Jahmiyah dan Zindiq).(4)
Untuk lebih jelas lagi, ada baiknya menyimak perdebatan Ahmad bin Hanbal (ABH) dengan lbnu Abi Dawud (IAD) sekaitan dengan isu ’Alquran sebagai makhluk’.
IAD: Apakah Allah juga mampu berbicara kepada Nabi Muhammad Saw, sebagaimana Dia berbicara kepada Musa as?
ABH: Ya!
IAD: Kalau begitu, bukankah ini meniscayakan kalam Tuhan pemah tidak ada kemudian jadi ada?
ABH: Aku ini Ahli Hadis; bukan Ahli Kalam (teolog yang menggunakan argumentasi akal)!
IAD: Kamu ini sedang berdiskusi dan berdebat, tetapi ketika tidak bisa menjawab, kamu lantas mengatakan, ”Aku bukan Ahli Kalam"!(5)
p:124
Alhasil, barangkali inilah salah satu penyebab munculnya kelahiran istilah (As-Shahb Al-Hadist, serta penisbatan mazhab fikih dan akidah ini pada sosok Ahmad bin Hanbal. Namun, sebagian pengikutnya hanya mengikutinya di bidang kajian fikih. juga sejak itulah, dalam banyak hal, Hanbalisme disejajarkan dengan Ahli Hadis.
Dalam tubuh Ahli Sunah, pengikut Ahmad bin Hanbal menjadi kelompok yang paling ekstrim dalam mengusung metode Ahli Hadis. Sejarah mencatat bahwa kaum Hanbalis tergolong sangat tidak toleran. Cukup dengan sedikit alasan saja, itu pun dibuat buat, mereka mudah memvonis rival-rivalnya sebagai ashab al—bid’ah (pengikut bid’ah) dan sesat. Bahkan mereka tidak sudi bertenggang rasa dengan sosok Abul Hasan Asy’ari (260-324 H) yang juga mengaku sebagai penyebar ajaran Ahmad bin Hanbal. Akibatnya, kedua kelompok ini pun saling bersitegang sepanjang sejarah.
Sebagian besar pengikut Asy’ariyah, juga sebagian kecil Hanbalis(1) yang termasuk mazhab Ahli Sunah, menganggap metode literal dan antirasional radikal kaum Hanbalis main stream yang sangat bertolak
belakang dengan fitrah kemanusiaan dan esensi keislaman. Ibnu Khaldun (732-808 H) (2)menuliskan:
Pengikut (muqallid) Ahmad bin Hanbal itu sedikit
p:125
Ahmad bin Hanbal dan Sifat Khabariya (1)
Ahmad bin Hanbal merupakan tokoh pendiri salah satu dari empat mazhab fikih arus utama Ahli Sunah. Namun, menurut sejumlah dokumen, dalam hal ini, dia hanya menukil hadis. Karenanya Thabari (224-310 H), misalnya, tidak menempatkannya dalam jajaran pakar fikih (fuqaha’). Ini sempat menyulut reaksi sangat keras kalangan Hanbalis di masa Thabari. Saat Thabari wafat, para pengikutnya kuatir kalau-kalau para Hanbalis akan memperlakukan jenazahnya secara tak terhormat. Akhirnya dia dikebumikan malam hari di dalam rumahnya sendiri.(2)
Alhasil, pada kenyataannya, jika tidak dalam keadaan terpaksa, para tokoh Hanbalis tidak akan merilis fatwa apa pun. Kalaupun benar-benar terpaksa, mereka akan membuat fatwa dengan tetap berusaha untuk tidak keluar dari redaksi teks (riwayat).
Sejarah membuktikan bahwa dalam kesehariannya, Ahmad bin Hanbal sangat ketat melaksanakan sunah Nabi. Misalnya, Nabi memberi satu dinar kepada orang yang membekam (pengobatan hijfinzah) beliau; Ahmad bin Hanbal juga melakukan hal serupa, tidak lebih tidak kurang. Dia juga mulai menukil hadis dan berfatwa pada usia 40 tahun—sebagai bukti dirinya mengikuti Rasulullah Saw.(3)
Ahmad bin Hanbal menyusun sebuah risalah singkat seputar akidah resmi Ahli Sunah yang, jika diingkari, akan dicap bid’ah.(4) Salah satu kutipan yang ada di dalamnya adalah persoalan yang berhubungan dengan sifat Allah Swt:
Setiap malam—sebagaimana dikehendaki—Nya serta adanya
ayat ”tiada yang menyerupai-Nya dan Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat"—Allah Swt turun ke langit dunia, sampai jarak
p:126
antara-Nya dengan semua hati hamba-Nya hanya dua jari dari jari-jari Tuhan... Allah Swt telah menciptakan Adam as dengan kedua tangan-Nya. Langit dan bumi di Hari Kiamat akan berada dalam genggaman—Nya. Dengan tangan—Nya, sekelompok orang dikeluarkan dari neraka, sedangkan para penghuni surga akan menghadapkan wajah untuk menatap wajah-Nya. Setelah itu mereka dimuliakan dengan manifestasi-Nya, sehingga anugerah yang mereka peroleh kian sempurna.(1)
Baris-baris kalimat di atas murni saduran dari teks ayat Alquran dan hadis, yang diklaim Ahli Hadis sebagai legal. Sikap Ahmad bin Hanbal yang begitu memaksakan makna tekstual sifat- sifat Allah Swt itu menunjukkan penentangannya terhadap para rivalnya yang menggunakan metode takwil sehingga makna yang dipahami melampaui makna tekstualnya. Pada saat yang sama, demi menghindar dari antropomorfisme sekaitan dengan makna ayat ”Tiada yang menyerupai—Nya” dan ungkapan "Apa pun yang dikehenndaki—Nya”, dia menyatakan bahwa hakikat sifat-sifat tersebut tidak dapat dipahami.
Seorang penulis kontemporer yang bermaksud menutupi kelemahan dan kekeliruan metode fikih dan akidah Ahmad bin Hanbal, mengatakan:
Dia sangat berpegang teguh pada riwayat sehingga tidak berani melampauinya; entah dengan menakwil ataupun menafsirkan- nya selain dengan makna tekstual. Jika untuk memahami hadis diperlukan sesuatu yang lain, dia tidak akan hanya menjadikan akal sebagai sarana, melainkan hadis itu sendiri akan dia jadikan sarananya. Dengan sarana itu pula dia selalu menafsirkan Alquran.(2)
p:127
Kendati Ahmad bin Hanbal berupaya dengan berbagai cara agar literalismenya tidak sampai menjebak dirinya dalam Antropomorfisme, namun secara praktis, para pengikutnya justru melakukan Tasybih 'penyerupaan' dan mengangkat tajsim ’penjasadan' Tuhan.(1) Inilah satu dari sekian faktor yang memicu pertikaian mereka dengan mazhab Syafi’iyah33 dan Asy’ariyah. Tambahan lagi, dalam pelaksanaan amar makruf nahi munkar (salah satu tema yang, di dalamnya, akal diakomodasi semitra dengan keberagamaan), tanpa kearifan yang memadai, mereka mengesankan diri sebagai kaum religius yang kasar dan arogan. Dengan mengandalkan sejumlah riwayat dhaif dan tidak utuh, mereka melarang orang-orang menziarahi kubur para pemimpin agama dan menyebutnya sebagai Bid'ah.
Ibnu Atsir menuturkan fenomena yang marak pada 323 H. Saat itu, kaum Hanbalis biasanya akan mencegat perempuan dan lelaki yang berjalan bersama di jalan raya atau gang-gang kota Baghdad seraya menanyakan hubungan keduanya. Bila jawabannya dianggap tidak sesuai, mereka akan langsung memukuli dan memakinya. Setelah itu, keduanya akan digelandang ke pengadilan untuk dijatuhi hukuman (hudud) Tuhan. Tindakan ini mendorong khalifah saat itu, Radhi Billah, mengeluarkan statemen penentangan terhadap mereka:
Kalian selalu mengatakan paras kalian yang buruk itu paras Tuhan sendiri! Sebagaimana kalian mengatakan bahwa Dia punya telapak tangan, jari jemari, dua kaki, alas kaki emas, rambut keriting, naik ke langit, dan turun ke bumi! Terkadang kalian juga mencela para pemimpin dan pemuka agama, sebagaimana kalian menengarai para pengikut keluarga Muhammad Saw
p:128
sebagai kafir! Begitu juga Kalian mengingkari ziarah kubur para pemimpin, dan kalian vonis pelakunya ahli bid’ah. Padahal kalian sendiri telah mendatangi kuburan manusia awam yang tidak punya keutamaan bahkan hubungan keturunan (Nasab) atau kerabat dengan Nabi! Laknat Allah tertuju pada setan yang telah menghiasi perbuatan buruk kalian sehingga tampak elok di mata kalian.(1)
Contoh lain adalah surat yang dilayangkan sekelompok pemuka Asy'ariyah untuk mendukung Abu Nashr Qusyairi (w. 514 H). Di dalamnya dijelaskan penyimpangan akidah kaum Hanbalis:
Sekelompok Hasywiyah yang mengatasnamakan Hanbalis. mereka meyakini Allah memiliki kaki, gigi, jari jemari, menunggang keledai, memiliki wajah bercahaya dan terlihat muda, berambut keriting, punya mahkota berkilau, beralas kaki emas, dan mondar-mandir (naik-turun). Mereka menyebarluaskan riwayat-riwayat semacam itu di kalangan awam, seraya menghindari penakwilan dan pemaknaan yang melampaui makna tekstual.(2)
Salah satu pengusung metode literal (dengan kekhasannya) dalam bidang fikih dan cabang-cabang agama (furu'uddin), yang juga lantas diterapkan di ranah akidah dan prinsip-prinsip agama (ushuluddin), adalah mazhab Zhahiriyah yang didirikan Dawud bin Ali Isfahani (200-270 H). Pada masa sebelumnya, dia pengikut mazhab Syafi’iyah,(3) bahkan menulis dua buku seputar keutamaan Imam Syafi’i. Namun,
p:129
karena metodenya berbeda dengan yang diusung mazhab lain dalam tubuh Ahli Sunah, dia lantas menolak segala jenis qiyas dan ijtihad. Dengan dalih menjaga agama dari infiltrasi pemikiran manusia, dia bersikeras pada makna tekstual Kitab dan Sunah. Akibatnya, dia diidentifikasi sebagai pendiri mazhab fikih tersendiri.
Dalam sejarah, keseluruhan empat mazhab fikih yang sekarang ini terdapat dalam tubuh Ahli Sunah mengalami pasang surut— sebagiannya kalah pamor dari mazhab Zhahiriyah. Seorang geolog dan penulis sejarah terkemuka abad IV I-Iijriah, Muqaddasi, sampai- sampai tidak mencantumkan Hanbaliyah dalam deretan mazhab arus utama di zamannya.(1) Dia hanya menyebutkan nama empat mazhab, yakni Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Zhahiriyah.
Beberapa sejarawan menilai Dawud Zhahiri sebagai sosok yang tidak menguasai Teologi (ilmu Kalam)(2) Di saat bersamaan, kepercayaannya bahwa 'Alquran itu makhluk’ telah membuat Ahmad bin Hanbal putus asa hingga tak lagi menyambut kehadirannya walau segala usaha telah ditempuhnya. Alhasil, kepercayaan Dawud tadi merupakan indikasi dirinya telah menarik jarak dari haluan fikihnya, clan menempatkan dirinya berada di sebuah lembah yang tidak ada sangkut pautnya dengan Alquran dan Sunah.
Sepeninggal pendirinya, mazhab yang didirikan Dawud ini di-lanjutkan putra-putra dan murid-muridnya. Hanya resistensi dan penyebarluasan mazhab ini sangat berhutang budi pada upaya gigih Ibnu Hazm Andalusi (384-456 H).
Selain pakar dalam bidang fikih dan ushul fikih, Ibnu Hazm yang punya banyak gagasan dan karya tulis, juga punya wawasan yang cukup luas dalam Logika dan Filsafat Yunani. Menurutnya, ilmu- ilmu semacam itu sangat bermanfaat untuk memahami alam semesta dan mengetahui asal-usul terciptanya semua makhluk.(3) Pakar fikih
p:130
Literalisme Ahli Sunah
beraliran Zhahiriyah ini juga cukup menguasai argumen-argurnen teologis. Namun menurutnya, berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar agama (seperti Tauhid dan Kenabian), tidak digunakannya argumen rasional dan hanya mengikuti apa yang telah diajarkan Nabi juga dapat dibenarkan.(1) Atas dasar ini, bila dengan mendengar ucapan orang yang mengaku nabi, seseorang menemukan ketenangan dan dengan hati lapang mendengarkan semuanya, maka ia telah melangkah di jalan petunjuk, dan tidak lagi perlu menempuh liku- liku jalan rumit argu-mentasi. Akan halnya bila terus berada dalam kebimbangan, dirinya harus segera memperoleh kepastian dengan argumen rasional.(2)
Konon, selain itu, kaum Zhahiriyah juga meyakini bahwa teks- teks syariat terbebas dari makna batin dan simbolisme-dimensi yang hanya dapat dipahami orang-orang tertentu saja. Beberapa kalangan, terutama pengikut tasawuf, Syiah lsmailiyah, dan Syiah Imamiyah tidak menyetujui pandangan ini. Mereka menyodorkan bukti riwayat yang rnenyebutkan adanya kandungan batin Alquran. (3)Mereka lebih menekankan adanya makna batin bagi Alquran. Namun, kalangan sufi dan Ismailiyah acapkali keliru dalam menentukan subjek yang mengetahui makna batin tersebut. Akibatnya, banyak pengikut dua aliran ini yang menipu satu kelompok sekaligus dikecam kelompok lain. Berdasarkan data dari berbagai hadis, keluarga Nabi merupakan subjek dan pemilik ilmu- ilmu khusus. Karena itu, dapat dipastikan merekalah figur-figur yang mengetahui makna batin tersebut.(4)
p:131
Alhasil, mengenai metodologi literalnya, Ibnu Hazm juga sangat menekankan ketiadaan makna batin dan simbolisme:
Ketahuilah, agama Allah itu jelas (zhahir), tak ada yang tersembunyi (bathin) di dalamnya; ia tampak (jahr) hingga tak ada rahasia (sirr) di baliknya Sungguh Rasulullah tak pernah menyembunyikan syariat ini walaupun hanya satu kata. Beliau juga tidak pernah memberitahukan sesuatu [yang berasal] dari syariat kepada orang—orang khusus, seperti istri—istri, anak perempuan, paman, sepupu, maupun sahabatnya, yang menyebabkannya tidak diketahui orang berkulit merah, hitam, ataupun penggembala kambing.(1)
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, faktor yang membe- dakan fikih mazhab Zhahiriyah dengan mazhab fikih lainnya adalah penolakannya terhadap qiyas.(2)
Dalam konteks penggunaan qiyas dan ijtihad dari 'pendapat pribadi' (bi al-ro'y), kalau saja mazhab-mazhab fikih Ahli Sunah itu dikomparasikan, niscaya mazhab Hanafiyah lebih unggul. Peringkat setelahnya, dapat dirunut sebagai berikut: Syafi’iyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Zahiriyah.(3) Zhahiriyah menjadi mazhab yang paling keras menolak qiyas. Menurut sebagian pengamat, pada praktiknya mazhab ini juga terpaksa mengamalkan qiyas, kendati dengan sebutan lain, yakni dalil.(4) Namun, dengan mencermati tujuh
p:132
kategori dalil yang dikemukakan Ibnu Hazm, jelas sudah bahwa tak satu pun dari-nya yang tergolong qiyas dalam bidang fikih.(1) Menurut Ibnu Hazm, konsistensi pada makna literal Alquran dan Sunah bukan hanya dalam bidang fikih semata, melainkan juga dalam masalah-masalah keyakinan (akidah). Hanya dalam satu kondisi makna literal itu bisa/boleh diabaikan, yaitu manakala ayat atau riwayat lain, dan konsensus kaum Muslimin ataupun keswanyataan indrawi (darurah Hissiyah) menggugurkan konsistensi tersebut.(2) Yang dimaksud Ibnu Hazm dengan keswanyataan indrawi, sejauh ungkapannya,(3) mencakup hal-hal yang sudah jelas dengan sendirinya (badihi): yang sebegitu gamblang dan tak teragukan lagi dalam memastikan bahwa makna harfiah dari sebuah teks bukanlah maksud si penutur. Contohnya, ”Kini, kota berada di tangan penguasa". Statemen ini tetap relevan bahkan dengan asumsi putusnya tangan si penguasa sebelum itu. Oleh karenanya, makna literal dan harfiah kata-kata dalam statemen itu dapat diabaikan dengan mudah, seraya memaknainya secara metaforis (majazi). Bahkan boleh jadi, dalam kondisi semacam ini, tidak terjadi pertentangan apa pun dengan makna literal, karena sejak awal, teks sudah tampil jelas (zhahir) dengan makna metaforisnya.(4)Alhasil, sebagaimana akan diuraikan kemudian, berkenaan dengan keyakinan (akidah), Ibnu Hazm cenderung menggabungkan metoda literalisme dan rasionalisme. Namun, dalam bidang fikih dan upaya merumuskan fatwa, adakalanya dia mengedepankan literalisme. Inilah salah satu alasan yang mendorong sejumlah pemikir menentangnya. Senyatanya, seraya mengatasnamakan penolakan terhadap qiyas dalam persoalan-persoalan semacam itu, Ibnu Hazm tidak lagi menghiraukan kaidah konvensional bahasa. Untuk lebih
p:133
jelas lagi, berikut akan dilakukan analisis terhadap fatwa fikihnya. Namun sebelum itu, pisau analisis akan lebih dulu membedah dalil hadis yang dijadikan sebagai sandaran.
Janganlah di antara kalian membuang air kecil di air menggenang dan menggunakan air itu untuk mandi ataupun berwudu.(1)
Teks ini adalah sabda Nabi Saw yang dinukil oleh kalangan pakar hadis Ahli Sunah, lalu diuraikan Ibnu Hazm untuk menghasilkan beberapa poin berikut:
a. Jika sifat-sifat air itu tidak berubah, dibolehkan meminumnya (karena fokus teks hadis tersebut hanya larangan mandi dan wudu, bukan boleh-tidaknya meminum).
b. Hukum ini tidak berlaku untuk benda-benda najis selain air kecil, seperti air besar (kotoran), juga demikian jika buang air kecil di tempat lain, lalu air itu berpindah ke genangan air tadi.
c. Orang lain dibolehkan mandi dan wudu di genangan air itu.(2)
Berkenaan dengan pengkhususan larangan bagi orang yang buang air kecil saja, Ibnu Hazm berdalil bahwa jika hukum itu meliputi orang lain, tentu Nabi tidak akan tinggal diam [dan pasti menjelaskannya secara terperinci], karena beliau mustahil tidak mampu menjelaskannya secara detail, atau lupa memberitahu, atau menyerahkan tanggung jawab ’pengambilan hukum’ (istinbath) Ilahi dari alam gaib kepada selain beliau.(3)
Literalisme semacam ini mirip dengan jawaban seorang budak pada tuannya yang bertanya, ”Mengapa kamu tidak membukakan pintu untuk tamu yang ingin masuk?" Lalu budak itu menjawab, "Karena Tuan hanya mengatakan, 'Lihat siapa yang ada di balik pintu!' dan tidak menyuruhku membukakannya.”
p:134
entu saja, Nabi mustahil alpa atau tak mampu menjelaskan hukum secara terperinci. Namun, bertolak dari semua itu, dapat dipahami bahwa pandangan di atas itu sangat bertentangan dengan AKAL SEHAT (’uqala'i). Manusia berakal mempercayakan sekian banyak maksud- maksud eksplisitnya kepada pemahaman audien. Karenanya, dia tidak perlu memberikan penjelasan panjang lebar serbarinci yang umumnya akan menjemukan orang. Nabi adalah sayyidul 'uqola'i’ ’pemimpin kaum berakal’ dan lazim menggunakan akal sehat. Atas dasar ini, mayoritas pakar fikih, baik dari Syiah maupun Ahli Sunah, memosisikan akal sehat dan ’urf sebagai kriteria perumusan fatwa, sehingga mereka bukan penerjemah literal teks hadis.
Dalam menjelaskan sifat khabariyah Tuhan, Ibnu Hazm cenderung menggunakan metode yang lebih moderat. Dia menganggap metode yang umum disebut kaum rasionalis sebagai ’takwil’ tetap berorientasi literal. Karena itulah ada kemiripan antara output literalismenya dengan konsekuensi-konsekuensi rasionalisme.(1)
Metode literal Ibnu Hazm menggiringnya pada keyakinan bahwa Allah memiliki satu tangan, dua tangan, dan banyak tangan. Ini lantaran ketiga ungkapan itu maktub secara literal dalam teks Alquran.(2) Namun berkenaan dengan mata [Tuhan], dia hanya meyakini dua kemungkinan; satu atau banyak mata.(3) Adapun kemungkinan ketiga, yakni dua mata [bagi Tuhan], tidak dijumpai
p:135
dalam teks Alquran maupun sunah Nabi. (1)
Sebaliknya, tatkala sifat-sifat Tuhan dikaji secara semantik, Ibnu Hazm secara tegas mengelak memaknainya secara jasmaniah (fisikal). Sampai—sampai dia menuduhkan tajsfm ’penjasadan Tuhan’ kepada Asy’ari yang memaknai ’tangan-tangan’ itu sebagai ’dua tangan’.(2)
Masih ada pandangan lain Ibnu Hazm yang juga ambigu. Di antaranya, maksud dari ’tangan Tuhan’, ’kedua tangan Tuhan’, dan seterusnya, adalah tak lain dari dzat Tuhan itu sendiri. Juga masih menurutnya, yang dimaksud Alquran dalam teksnya, "Kemanapun engkau berpaling maka di sana terdapat wajah Allah," adalah kehadiran dzat Allah beserta ilmu-Nya.(3)
Terdapat satu hadis masyhur yang berhubungan dengan masalah sifat khabariyah. [Nabi bersabda], ”Allah menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya." Secara umum, kaum Ahli Sunah memahami hadis ini sebagai berikut, ”Allah mencipta Adam dengan bentuk Diri- Nya." Saat itu, seluruh mazhab (sesuai pendapat masing-masing) akan menakwil dan menafsir, atau menyerahkan makna sebenarnya kepada Tuhan. Sebagian orang menganggap, berbentuknya [eksistensi] Allah diakibatkan pemahaman mereka terhadap hadis tersebut. Akan halnya Ibnu Hazm memahami hadis itu sebagai berikut: maksud kata ’bentuk-Nya’ (Shuratihi) adalah bentuk atau forma khusus yang, atas dasar itu, Allah menciptakan Adam. Adapun penisbatan bentuk itu kepada Allah semata-mata karena keagungan bentuk yang dimaksud. lni sebagaimana semua rumah merupakan rumah Allah, namun hanya Ka'bah saja yang disebut baitullah (rumah Allah) karena aspek kemuliaannya.(4)
p:136
Di awal abad Vll Hijriah, pemikiran Ahli Hadis mengalami masa surut. Lalu Ibnu Taimiyah Harrani (661-728 H) berusaha menghidupkan kembali akidah dan pemikiran mazhab ini, khususnya versi Ahmad bin Hanbal. Dengan slogan memikat ”Kembali ke Ajaran Salaf”, dia tak segan—segan mencap para penentangnya sebagai AGEN BID’AH. Selain itu, alih-alih menyerang secara terang-terangan pemikiran rasional serta menyebarluaskan sikap kelompoknya yang antirasional, dia malah berusaha melucuti senjata kaum rasionalis. Misalnya, aksioma yang mengatakan ”teks yang sahih mustahil akan bertentangan dengan akal”(1) justru dijadikan alat untuk mengagresi kaum rasionalis religius. Dia merangkai prosa puitik untuk menyindir orang-orang yang berpikiran tidak sepertinya, demikian:
Yusafsithuna fi al-aqliyyat, wa yuqormithuna fi al-sam'iyyat (2)
Mereka tampil sofis dalam segala hal yang berkaitan dengan akal, dan menjadi orang Qaramitah dalam perkara apa saja yang berurusan dengan nash dan teks agama: percaya bahwa makna literal ayat dan riwayat menyimpan makna batin.
Menurut keyakinannya, kaum Salaf bukan hanya superior di wilayah teks, tetapi juga nyaris sempurna dalam memahami hadis dan riwayat. Tidak cuma itu, kaum ini juga begitu unggul dalam urusan rasionalisasi dan memiliki pemahaman yang jauh lebih
p:137
mendekati kebenaran. Karena itu, jalan keselamatan dapat ditempuh dan diraih melalui mereka.(1)
Di satu sisi, dengan berbekal perintah ayat-ayat alquran untuk merenung dan berpikir Ibnu Taimiyah melegitimasi argumentasi akal. Dalam konteks ini, dia mendeklarasikan bahwa ajaran Ahli Sunah dan Ahli Hadis steril dari sikap antiakal serta menjauhi taklid buta terhadap kaum Salaf.(2) Namun, di sisi lain, dia menolak mentah- mentah pemikiran dan argumentasi rasional. Sampai-sampai secara praktis, tak tersisa secuil pun celah untuk berargumentasi secara rasional, kalau bukan justru sekadar slogan saja. Dalam beberapa kesempatan, dia mengemukakan sejumlah perdebatan di kalangan rasionalis. Tujuannya tak lain untuk menggugat kebenaran pemikiran rasional:
Oh, andai kutahu, akal mana yang dapat dijadikan tolok ukur (kebenaran) Kitab dan Sunah! (3)
Faktor lain yang menjadikan Ibnu Taimiyah menekankan hal itu adalah kenyataan Alquran dan Sunah sebagai sumber yang kaya pengetahuan aklani; fakta yang juga ditegaskan oleh filosof dan teolog, bahkan sekian banyak argumen rasional mereka diperoleh dari sumber wahyuni ini. Akan tetapi, sejumlah komentar dibuat Ibnu Taimiyah sedemikian rupa sehingga perumusan argumen akal yang disinggung Alquran dan Sunah—apalagi yang tidak pemah disinggung di dalamnya—seolah-olah bagian dari fase awal menuju kesesatan.(4)
p:138
Atas dasar ini, sesuai dengan pendahulunya, seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah bahkan menganggap bid’ah segala penggunaan kata-kata yang tak termaktub dalam Alquran dan Sunah. Semisal, istilah ’jabr’ (keterpaksaan)—dalam konteks yang dipahami kaum teolog— tidak pernah digunakan dalam Alquran maupun Sunah. Karenanya, tidak boleh menyatakan entah keterpaksaan manusia maupun ketakterpaksaannya. Yang benar adalah, ”Sesungguhnya Allah memberi Petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki- Nya."(1)
Ulasan seputar ada-tidaknya konflik antara akal dan teks agama sangat mendominasi karya-karya Ibnu Taimiyah. Inilah kekhasannya. Bahkan dia menulis karya khusus sekaitan dengannya, yaitu Dar’ Ta’arudh Al-’Aql wa Al-Naql-(2) (Menolak Pertentangan Akal dan Teks). Sekilas dari judul dan kandungan bukunya, terkesan bahwa Ibnu Taimiyah merupakan figur rasionalis. Namun, jika dicermati lebih jauh, kesan semacam itu menyesatkan. Dalam karyanya itu, dia bukan dalam rangka mengharmonikan akal dan teks agama, tetapi malah menyapu bersih segala jenis gagasan rasional yang tidak selaras dengan makna literal yang awal kali mengemuka dari teks. Dia juga tak menyinggung sedikit pun pertentangan akal dan teks agama yang, boleh jadi, berrnula dari pemalsuan hadis ataupun kesalahan perawi.(3) Sebaliknya, siapapun yang meriwayatkan hadis perihal keutamaan akal justru divonisnya sebagai pemalsu hadis.(4) Seluruh hadis Nabi Saw yang mengindikasikan keutamaan akal akan langsung dinilai tidak sahih:
p:139
Hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi berkaitan dengan akal tidaklah otentik, dan para perawinya bukan orang jujur dan [tidak] dapat dipercaya.(1)
Barangkali dapat dikatakan bahwa salah satu prinsip rasionalisme ialah menerima substansialitas rasional baik-buruk (al-husn wa al-qubh al-dzati) setiap perbuatan manusia. Pandangan lbnu Taimiyah tentang prinsip ini, pada batas tertentu, mirip dengan pemikiran Muktazilah dan Syiah Imamiyah. Dia menerima sebagian ide substansialitas baik-buruk perbuatan.(2) Akan tetapi secara praktis, prinsip teoretis itu ibarat fondasi yang terkubur begitu saja sehingga tidak berpengaruh pada struktur pemikiran mazhabnya. Karena, salah satu tujuan utama kaum teolog melontarkan prinsip ini adalah efisiensinya dalam menjelaskan sifat-sifat Allah Swt. Akan halnya lbnu Taimiyah justru mendisfungsi prinsip tersebut: yaitu ketika dia menegaskan bahwa Al-Khaliq tidak bisa dibandingkan dengan makhluk, dan baik-buruknya tindakan Tuhan tidak bisa disimpulkan dari baik-buruknya sebagian perkara manusia.(3)
lbnu Taimiyah termasuk sosok yang meyakini makna literal sifat- sifat khabariyah, dan bersikukuh dengannya. Dengannya, dia tidak segan-segan menyatakan bahwa Tuhan ’berjasad’ (Jismani). Meski begitu, Allah tidak boleh disamakan dengan seluruh ciptaan-Nya. Dalam hal ini, menyamakan ’fisikalitas’ (Tajsim) dan 'penyerupaan' (tasybih) Tuhan merupakan kesalahan fatal yang pemah dilakukan kaum teolog.(4)
p:140
Menurut keyakinan yang diusung Ibnu Taimiyah dan mazhabnya, Tuhan memiliki tangan, kaki, dan mata. Juga tempat tinggal dan bersemayam di langit.(1) Dia turun ke langit dunia setiap waktu menjelang subuh. Dia akan berjalan di Hari Kiamat dengan diiringi pasukan malaikat.(2) Orang-orang mukmin pada hari itulah dapat melihat keagungan Tuhan dengan mata kepala. Kendati demikian, ”Tiada sesuatu apa pun seperti-Nya”.(3)
Ibnu Taimiyah menisbatkan keyakinan semacam ini kepada kaum Salaf. Namun, dia menegaskan bahwa pandangan kaum Salaf—yang meyakini seluruh makna dari sifat-sifat itu telah diserahkan kepada Allah Swt, dan celah untuk memahaminya sama sekali telah tertutup bagi manusia-tak lebih dari omong kosong dan klaim belaka. Mengikuti pandangan Malik bin Anas, dia menandaskan bahwa seluruh makna sifat ini dapat dicerap dan dicapai, namun bentuknya tidak bisa diketahui. Sebagai contoh, makna dan ‘bentuk’ turunnya Tuhan ke langit dunia:
Makna turun sudah diketahui, namun kaifiyyah ’bentuk’nya tidak diketahui. Mengimaninya merupakan keharusan. Bertanya tentang-nya adalah bid'ah.(4)
Padahal, pada saat yang sama, dia mengutip Ahmad bin Hanbal yang saat ditanya tentangnya, menjawab:
Kita mengimani dan membenarkannya [hadis-hadis itu], meski tak ada bentuk ataupun makna?(5)
Di sini, Ibnu Taimiyah bermaksud mencari pembenaran atas pernyataan Ahmad bin Hanbal, dan ungkapan ’tak ada makna’ (La
p:141
ma'na) ditafsirkan sebagai berikut; dengan takwil, kita tidak tidak mencipta makna sifat itu, tetapi kita biarkan saja makna literalnya tampak sebagaimana adanya.
Perlu dijelaskan lebih jauh bahwa untuk mengelak dari Antropomorfisme (tasybih), sebagian tokoh Ahli Hadis klasik melarang menggerakkan tangan sewaktu membaca ayat yang menyebutkan ’tangan Tuhan’. Namun Ibnu Tairniyah tidak berpikir ke arah itu. Sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah (w. 779 H) dalam buku catatan perjalanannya yang termasyhur, Ibnu Taimiyah mendeskripsikan turunnya Allah dari langit sebagaimana dirinya turun dari mimbar:
Di hari Jumat, sewaktu Ibnu Taimiyah berada di mimbar masjid Jami’ (Damaskus) dan sedang berkhotbah, aku memasuki masjid. Salah satu fokusnya berkisar tentang ‘Allah turun ke langit dunia sebagaimana aku turun’, sembari turun dari satu anak tangga mimbar. Sewaktu menyaksikan perilaku Ibnu Taimiyah itu, seorang ahli fikih mazhab Maliki, Ibnu Zahra, kontan protes terhadap perilakunya, dan menyatakan keliru analoginya. Namun, tiba-tiba saja seluruh hadirin berdiri dan menyerang ahli fikih itu dengan menghujaninya pukulan dan lemparan sandal.(1)
Menurut Ibnu Taimiyah, seluruh ajaran tauhid, nama-nama, dan sifat-sifat Allah yang maktub dalam kitab Taurat di masanya sesuai mutlak dengan ajaran Alquran.(2) lni dikuatkan juga oleh sebuah hadis dari Sahih Al-Bukhari‘ dan Sahih Muslim(3)
p:142
Seorang cendekiawan Yahudi mendatangi Nabi Saw dan mengatakan, ”... Di Hari Kiamat, Allah akan meletakkan segenap langit di satu jari-Nya, semua lapisan bumi di jari lainnya, gunung—gunung beserta pepohonan di jari ketiga, air dan tanah di jari keempat, sementara hasil ciptaan lain diletakkan di jari kelima. Lantas Dia menjepit semuanya seraya berfirman, ’Aku adalah Tuhan, Aku adalah Tuhan."’ Dengan perasaan takjub(1) seraya membenarkan uraian orang Yahudi itu, Nabi tersenyum lantas membaca ayat, ”Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya pndahal bumi selurulmya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan Kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Mha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan" (QS Al-Zumar [39]: 67).
lnilah deskripsi tentang ”sosok” Tuhan yang dikemukakan dalam sejumlah riwayat. Seperti umumnya kalangan ulama Ahli Sunah, Ibnu Taimiyah juga mengakui hadis-hadis semacam ini mu’tabar ’otentik’ dan tidak dapat disangkal kesahihannya. Berikutnya, dia berusaha keras mengadvokasi makna literal dari hadis-hadis tersebut. Seraya itu, dia menentang dan menolak setiap argumentasi yang dianggap menentang makna literalnya. Kendati begitu, adakalanya dia menggunakan penalaran rasional dalam menimbang sejumlah riwayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah Swt. Hanya penalaran rasional ini lantas dioperasikan untuk memahami bahwa ukuran singgasana (’Arsy) Allah tidak mungkin lebih besar dari Diri-Nya. Karena itu, riwayat yang menyatakan bahwa Allah Swt meliput seluruh singgasana (’Arsy), lebih diutamakan ketimbang riwayat yang mengatakan:
p:143
Setelah Allah bersemayam di ’Arsy, tempat yang tersisa hanya sejarak empat jari tangan. Sejarak itu pula Tuhan unggul.(1)
Ibnu Taimiyah menolak mentah-mentah logika aristotelian. Untuk itu, dia menulis karya khusus, Nashihah Ahl Al-Iman fi Al-Radd 'ala Manthiq Al-Yunan (2) (Nasihat Kritis Orang Beriman perihal Logika Yunani). Penolakannya ini merupakan pengejawantahan dari ide bahwa seluruh ihwal rasional yang tidak direstui Alquran dan Sunah adalah ilegal. Logikanya begini: bila segenap sahabat dianggap kelompok yang paling tahu, sementara generasi setelahnya dipandang lebih dekat dengan masa Nabi dan secara ilmu, amal, akal, serta keimanan jauh lebih baik dari generasi setelahnya(3) maka bagaimana mungkin logika Yunani yang diimpor ke dunia Islam beberapa abad setelah kemunculan Islam dapat diterima, dan mempelajarinya sebagai kewajiban agama (Taklif Syar'i?)(4) Berkenaan dengan logika dan filsafat Yunani, Ibnu Qayyim —juru bicara mazhab gurunya, Ibnu Taimiyah —mengklaimnya sebagai bencana besar bagi dunia Islam(5)
Syariat berasal dari Allah dan berakhir kepada-Nya. Di dalamnya tidak ada kata-kata bingung para pendukung logika yang, sebenarnya, berasal dari keterangan seorang musyrik clan penyembah berhala Yunani. Bagaimana mungkin akal orang musyrik dijadikan tolok ukur kebenaran Wahyu Ilahi? Apa
p:144
hubungan filsafat dan agarna? Apa hubungan firman Tuhan alam semesta dengan pemikiran bangsa Yunani sang penyembah api(1)
Konon, dalam upaya menetapkan ilegalitas logika aristotelian, Ibnu Taimiyah mengemukakan beberapa konsepnya seraya kemudian mengritiknya. Usaha ini tergolong bagus dan layak diapresiasi, karena aturan berpikir semacam itu sebenarnya telah eksis dan inheren dalam fitrah manusia, kendati Aristoteles yang merumuskannya. Tentu dalam hal ini, kekeliruan mungkin saja terjadi. Namun, jika sejak awal diklaim bahwa setiap produk rasional yang tidak dilegitimasi Alquran dan Sunah hanyalah kekufuran dan zindiq (menentang kebenaran agama) dan apa saja yang berlabel ’Yunani’ adalah cela yang tak terampuni, niscaya sikap objektif dalam menilai sesuatu tak akan pernah terwujud, dan fanatisme serta kejumudan juga akan kian pekat mengental.
Sebenamya, terdapat banyak kerancuan dalam kritik-kritik Ibnu Taimiyah terhadap logika Aristetolian. Namun agar tidak sampai melenceng jauh dari alur pembahasan, dalam kesempatan kali ini, hanya salah satu di antaranya yang dapat dikemukakan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, selain pendukung logika Aristotelian, tidak ada satupun orang berakal akan merumuskan argurnentasi rasionalnya hanya dari dua premis (major dan minor). Padahal, jumlah premis setiap argumentasi bisa berubah sesuai kebutuhan. Misalnya, setiap kali dijumpai ayat atau hadis yang menyatakan, Minuman memabukan itu haram, maka ini sudah bisa dijadikan satu- satunya premis untuk langsung disimpulkan haramnya minuman keras; tanpa lagi perlu premis lain.(2)
Sebagai tanggapan atas pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa penarikan kesimpulan ini telah didahului premis lain yang sudah
p:145
diterima [kendati tidak diungkapkan secara eksplisit]. Senyatanya, premis lain ini berfungsi sebagai major argumentasi tadi, yaitu statemen Setiap yang bersumber dan’ Alquran dan Sunah Nabi adalah hukum Allah. Jelas sekali, setiap Muslim niscaya menerima premis Dan ia akan menarik kesimpulan hukum haram itu setelah mengkombinasikan premis ini dengan premis tersebut di atas. Karena itu, tidak menyebutkan suatu premis dalam rumusan argumentasi bukan berarti premis tersebut tidak diperlukan.
Literalitasme radikal dan marginalisasi peran akal dalam menelaah kandungan riwayat menyebabkan Ibnu Taimiyah, walau dengan slogannya ’Kembali ke Salaf', harus berhadapan dengan segenap kaum Salaf. Pada hematnya, apa saja yang saat itu diajarkan sebagai tauhid mumi dan yang sesungguhnya, justru dianggap syirik dan sesat hanya bersandar pada beberapa riwayat yang tak berdasar atau bisa dimaknai secara rasional.
Sejak dulu, upaya menjalin hubungan yang lebih erat dengan para pembawa pesan tauhid mengharuskan kaum Muslimin menempuh berbagai kesulitan. Dengan berkumpul di tempat turunnya wahyu, serta berziarah ke makam para kekasih Allah, mereka bermaksud ’meneguhkan sumpah setia’ (tajdid al-bai’ah). Tindakan ini, selain selaras dengan akal dan fitrah, juga dikonfirmasi sejumlah hadis dan sirah ’amaliyyah ’pola kehidupan’ Nabi Saw. Namun, tiba-tiba, Ibnu Taimiyah menyerang tradisi ini yang sebenamya sudah umum dipraktikkan kaum Muslimin. Dengan mengandalkan beberapa hadis, seperti, ”]anganlah kalian bepergian kecuali menuju tiga masjid; Al-Haram, Al-Aqsa, dan masjidku ini(1) dia menghukumi
p:146
sesat praktik menziarahi makam Nabi Saw(1) ataupun makam Nabi Ibrahlm as.(2) Sewaktu mengunjungi masjid Aqsa dan usai berceramah seputar topik itu di hadapan khalayak, Ibnu Qayim Jauzi (murid setia Ibnu Taimiyah) mengumumkan, ”Atas dasar itu, aku akan pulang dari sini tanpa menziarahi makam Ibrahlm Al-Khalil.(3)
Selain itu, Ibnu Taimiyah juga menyasar sejumlah masalah,(4) seperti ’bermediasi’ (tawassul) dengan para kekasih Allah ataupun mencari berkah (tabarruk) pada situs-situs peninggalan mereka— yang semua itu telah jadi kebiasaan umum Muslimin sejak dulu dan memiliki dasar Alquran, Sunah, dan pola hidup Muslimin di masa awal Islam. Sekalipun demikian, Ibnu Taimiyah mengklaimnya sebagai syirik dan penyekutuan Allah.(5)
Sikap antirasional Ibnu Taimiyah yang tercermin dalam pandangan dan inovasinya itu ternyata tidak dianggap hal menarik oleh kalangan intelektual Muslim; kalau bukan malah menjadi target kecaman keras kalangan pemuka mazhab-mazhab Ahli Sunah. Tak ayal, Ibnu Taimiyah harus berkali-kali merasakan hidup dalam penjara, dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam salah satu penjara.(6)
Syamsuddin Muhammad Dzahabi (w. 748 H), sejarahwan yang hidup sezaman dengan Ibnu Taimiyah menilai kecaman dan penistaan yang dialami Ibnu Taimiyah tidak sepadan dengan posisi
p:147
keilmuannya. Dalam karyanya yang berjudul ’Tadzkirat Al-Huffadz’,(1) Dzahabi memuji Ibnu Taimiyah. Dan dalam salah satu surat bernada teguran, dia memperingatkannya:
Sampai kapan engkau akan terus melihat duri di mata saudaramu, sementara engkau melupakan ranting pohon di pelupuk matamu? Betapa engkau selalu memuji diri dan semua ucapan kosongmu, sementara para ulama kau kecam dan kau remehkan! Engkau senantiasa mencari—cari kesalahan banyak orang Apakah belum tiba waktunya kau bertaubat dari perbuatanmu ini? Bukankah usiamu sekarang menjelang akhir tujuh puluhan dan ajal sudah di ambang pintu? Namun aku tidak yakin engkau akan menerima ucapanku dan mendengar nasihatku, melainkan akan berusaha keras menjawab suratku ini dengan [menulis] berjilid-jilid buku... jika posisimu di sisiku seperti ini, padahal aku termasuk orang yang mencintaimu dan selalu menyayangimu, bagaimana dengan musuh-musuhmu yang memandangmu? Walhasil, jika dalam kesendirian (diam-diam) engkau mereguk manfaat dari semua ucapanku ini, walaupun mencemoohku secara terbuka, maka aku telah mencapai tujuan dari menulis surat ini.(2)
Setelah Ibnu Taimiyah meninggal dunia, beberapa muridnya seperti Ibnu Katsir Dimasyqi (701-774 H) dan Ibnu Qayyim Jauzi (691-751 H) berusaha menyebarluaskan ajarannya. Namun usaha mereka tidak menuai hasil maksimal. Dalam beberapa masa, mazhab pemikiran ini terkucil dan tidak populer. Sampai akhirnya, pada abad XII H, Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1207 H) mengibarkan panji Salafisme. Dia memberi nuansa baru bagi pemikiran Ibnu Taimiyah. Bahkan, dibanding pendahulunya, pemikirannya jauh lebih kaku
p:148
(jumud), khususnya yang berkaitan dengan orientasi pada makna literal teks serta pengkafiran dan Vonis-sesat terhadap lawan- lawannya.(1)' Pandangan-pandangan ekstrimnya yang jauh dari logika dan cenderung irasional membuatnya terasing dari ajaran lslam itu sendiri. Ini memicu reaksi dari seluruh kalangan Muslimin. Vonis hukuman mati bahkan pemah dijatuhkan kepadanya, hanya dia lolos dari ancaman maut itu berkat bantuan Muhammad bin Saud (kakek moyang klan Saudi). lni sekaligus menjadi momentum penyebarluasan ajaran-nya di jazirah Hijaz.(2)
Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian dikenal dengan sebutan Wahhabisme ini, lantas menjadi mazhab resmi di Kerajaan Arab Saudi. Dengan mengerahkan seluruh sarana politik, ekonomi, dan budayanya, kerajaan ini berusaha mengeluarkan para pengikut mazhab ini dari isolasi dalam dunia Islam yang selama ini mereka alami. Bersikap ngotot antirasional dan menutup mata dari tuntutan zaman telah menampilkan Islam mereka dalam wajah yang sangat kasar. Literalisme gaya Wahhabi sedemikian rupa sampai-sampai sebagian pengikumya menolak memanfaatkan hasil teknologi, seperti mobil dan telepon, karena masuk dalam kategori bid'ah. Sejak itu, mereka menyulut dimensi berbagai problem yang merepotkan elite penguasa kerajaan Arab Saudi sendiri. Akhirnya, pada 1349 H, mereka pun melakukan sejumlah pemberontakan.(3)
Kelompok ini mengklaim dirinya pengikut Sunah Nabi. Seraya itu, mereka menganggap ajaran kelompok Muslim lain yang berbeda dengan kelompoknya—baik Ahli Sunah maupun Syiah—masih tergolusi ajaran syirik (menyekutukan Tuhan). Lantaran
p:149
terus berusaha menghubung-hubungkan masa awal Islam dengan Literalisme, akhlmya mereka mengklaim dirinya sebagai juru-hidup ajaran para pendahulu (Salaf). Mereka mengusung slogan yang berhasil menarik perhatian sebagian orang:
Setiap kebaikan berkat ikut Salaf
setiap keburukan akibat bid’ah para Khalaf(1)
Mereka mengimbau semua Muslim untuk mengikuti Salaf. Lebih dari itu, mereka menganggap adanya konsensus (ijma') di kalangan sahabat dan tabi’in untuk meninggalkan pemikiran rasional serta menjauhi penakwilan teks.(2) Atas dasar inilah mereka lantas menuduh setiap kelompok yang, walau tak seberapa, mencurahkan perhatian pada posisi dan fungsi akal serta melibatkan akal dalam proses memahami ajaran wahyu sebagai pengikuti syariat akal. Seorang penulis kontemporer berpaham Wahhabi, misalnya, menyatakan bahwa terkait dengan penggunaan akal dalam berargumentasi, kaum Asy’ariyah berada di posisi tengah; antara Ahli Hadis dan Muktazilah
Tatkala Asy’ariyah mengaku sebagai Ahli Sunah, maka itu klaim sangat besar yang tidak akan mampu dibuktikannya Kendati mereka, secara minimal, juga merujuk Sunah Nabi, namun hal semacam ini bukan karena kesadaran harus mengikuti Sunah, tetapi lebih dikarenakan akal telah memberi kesaksian alas kandungan Sunah tersebut Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, ”Meski mampu mengakses Sunah yang sesungguhnya, kaum teolog (mutakallim, dan kaum rasionalis) tak akan menjadi Ahli Sunah."(3)
p:150
Mengikuti para pendahulunya, kaum Wahhabi masa kini sangat menekankan sifat-sifat jasmaniah Tuhan. Mereka terang-terangan mengatakan, ”Sesungguhnya akal tidak berhak terlibat dalam kajian seputar nama-nama (asma') dan sifat—sifat [Tuhan](1)
Lantaran meminggirkan peran akal, mereka terlihat tenang- tenang saja menghadapi pelbagai kritik dan analisis rasional. Mereka bahkan tidak melihat kendala apa pun yang mengganggu pemahamannya yang ambigu. Penjelmaan ajaran Wahhabi ini juga dapat disaksikan dalam klaim yang terus menerus disuarakan seputar ”kembali kepada metode Salaf Saleh".
Dalam masalah sifat-sifat llahi, penakwilan tidak dibenarkan. Namun sifat-sifat tersebut harus ditetapkan apa adanya secara literal dan selayak posisi Tuhan, tanpa mengakibatkan distorsi maupun Agnostisisme (ta’thil),(2) atau bagaimana cara memahami sifat-sifat tersebut, atau menganggapnya sebagaimana sifat-sifat makhluk Uraian kami ini berlaku pada semua sifat seperti: mata, telinga, tangan, dan kaki.(3)
Patut direnungkan, bagaimana mungkin di ranah budaya Islam yang sarat konsep rasional, dapat muncul pandangan-pandangan lemah dan tak berdasar semacam itu — yang bahkan sebagian orang tertipu olehnya. Lantas, bagaimana nasib Alquran yang dalam berbagai ayatnya sangat menekankan kemestian berpikir dan merenung demi memperluas wawasan tauhid, kenabian, dan Hari Akhir (eskatologi)? Mengapa mereka mengabaikan riwayat-riwayat yang menyebutkan urgensi berpikir? Bila metode Salaf Saleh saja layak dijadikan tolok
p:151
ukur kebenaran suatu perbuatan, lantas bagaimana dengan sosok yang ditempatkan sebagai gerbang ilmu Nabi; figur yang lewat Nahj Al-Balaghoh-nya mampu memuaskan dahaga para pemikir? Apakah kata-kata Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anas yang lahir puluhan tahun setelah wafatnya Rasul Saw jauh lebih berharga dan lebih layak diutamakan ketimbang kata-kata figur agung, Muslim pertama, sahabat Nabi paling tahu, serta paling dekat kedudukannya di sisi Rasul, yakni Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib?!
Sikap pilih kasih kaum literalis terhadap sahabat Nabi dan pembelaannya pada ungkapan-ungkapan yang, secara harfiah, antirasio menunjukkan bahwa mereka menerima agama berdasarkan postulat-postulat absurd yang muncul dari pola pikir yang kaku dan dangkal. Disadari ataupun tidak, akibat membatasi wawasan Islam pada level permukaan dan kulit luar yang kering seraya bersikap antirasional, mereka telah mereduksi kandungan ajaran agama. Darinya, dapat dipahami, manakah ajaran yang benar dan mampu membimbing umat manusia, dan manakah ajaran yang keliru serta berpotensi mendangkalkan pikiran manusia.
Tak diragukan lagi, kemunculan dan penyebaran mazhab ini di tengah budaya dan pemikiran Islam merupakan akibat dari penyelewengan ajaran-ajaran kitab Ilahi dan sunah Nabi. Faktor- faktor utama yang mendorong semua itu adalah penolakan terhadap ajaran Ahlul Bait Nabi (yang senantiasa dikatakan Rasul sebagai 'pendamping Alquran’), fabrikasi hadis-hadis palsu yang lantas disusupkan ke dalam ajaran Islam, serta tipudaya kaum elite (penguasa) yang menggiring dinamika pemikiran masyarakat kepada kepentingan mereka.
Alhasil, dari seluruh uraian di atas, terdapat sejumlah poin yang penting dicatat:
p:152
Tak diragukan lagi, konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menerima ”kalam Ilahi” tanpa syarat. Dalam hal ini, tidak diperkenankan menakwil teks Alquran dan Sunah secara sewenang-wenang tanpa pertimbangan aklani, agar terhindar dari kecenderungan menafsir sesuka hati. Jika tidak, ajaran Ilahi niscaya akan mengalami degradasi dari nilai keilahiannya dan menjelma sebagai budak nafsu intelektualitas manusia.(1) Inilah jenis PENAFSIRAN PRIBADI (tafsfr bi al-ra’y) yang sangat dikecam keras kalangan pemimpin agama yang mulia.
Atas dasar itu, ketundukan pada teks secara literal merupakan sebuah kemestian. Sayang, tesis ini kerap disalahgunakan dan dipelintir sedemikian rupa, sebagaimana tercermin pada literalisme radikal. Para penganutnya memelintir slogan ’Mengikuti Teks Literal Alquran dan Sunah’ demi mengafirmasi antropomorfisme sifat-sifat Tuhan, serta menjadikannya standar hakiki keimanan. Padahal, banyak sekali ayat maupun hadis yang mereka jadikan sandaran justru mengandungi ‘makna konvensional’ yang gamblang dan mudah dipaharni; makna yang jelas-jelas menentang apa yang mereka maksudkan. Sebagai contoh, kata .'Yad 'tangan’; bila diungkapkan secara mandiri tanpa didampingi kata lain, umumnya pikiran akan merujuk pada salah satu anggota tubuh manusia. Namun, bila disandingkan dengan kata lain, maka adakalanya makna yang dikandung kata ini akan berbeda hingga tak lagi identik dengan anggota tubuh manusia. Perhatikan bebarapa bait syair Sa'di di bawah ini:
Kini nikmatmu ada di tanganmu, sadarilah
kekuasaan pun beralih dari tangan ke tangam, ketahuilah.
Satu syarat kelangsungan kekuasaan, penuhilah
jangan pernah angkat tangan kuat di atas yang lemah.(2)
p:153
Tak diragukan lagi, 'tangan’ yang dimaksud bukanlah makna literalnya, akan tetapi makna metaforis (Majaz). Demikian pula, saat Alquran menggunakan kata ’tangan terbuka’ untuk Allah dalam firman—Nya, ”... akan tetapi kedua tangan-Nya terbuka” (al—Maidah [S]: 64). Darinya, siapakah orang berakal dan beritikad baik yang tidak memaknainya sebagai ’kemurahan Ilahi’? Akankah dia malah mengafirmasi dogma bahwa "Tuhan merniliki tangan secara fisik"? Di sinilah kejanggalan lbnu Taimiyah(1) dan para pengikutnya:(2) mereka masih saja memahami kata tersebut secara naif sebagai "tangan” dalam pengertian fisik, seraya mengajukan ungkapan ”Fulan telah membuka tangannya” sebagai pembuktiannya bahwa selain bermakna kemurahan, kata ’tangan' di dalamnya juga bisa dipahami sebagai satu bagian dari anggota tubuh!(3)
Berkaitan dengan sifat-sifat Khabariyah, sekelompok terjerumus dalam jurang Agnostisisme (Ta'thil): menganggap rasio manusia mustahil mernahami sifat-sifat tersebut pada level apa pun. Sekelompok lain justru terperosok ke lembah antropomorfisme (tasybih) yang meniscayakan 'fisikalitas’ (jism) Tuhan.
Kelompok ketiga yang juga berperan dalam membentuk mayoritas Ahli Sunah adalah kelompok yang acap melontarkan ungkapan-ungkapan kabur dan ambigu. Sebagai contoh, sekali waktu mereka mengartikan istilah 'tangan’ dan ’kaki' Tuhan berdasarkan makna literalnya. Lalu, mereka membantah ucapannya sendiri dengan mengatakan bahwa itu bukan seperti tangan dan kaki manusia. Begitu juga dalam kasus turunnya Allah dari singgasana (’Arsy) yang diklaim sebagaimana manusia turun dari tempat tinggi ke tempat lebih rendah. Namun, mereka lekas merevisinya dengan
p:154
Literalisme Ahli Sunah
mengatakan bahwa proses turunnya Tuhan dari singgasana tidak mengakibatkan ’arsy kosong dari eksistensi-Nya.(1) Adakalanya istilah ’tanpa bentuk' (bi la kaif) dijadikan bahkan sebagai tameng untuk melindungi diri dari tudingan tasybih ’menyerupakan Tuhan dengan makhluk’.
Mereka serupakan Dia dengan makhluk.
Namun ketakutan atas kecaman makhluk, membuat mereka bersembunyi
di balik slogan ’tanpa bentuk' (bi la kayf).(2)
Sebenamya ini merupakan contradictio in terminis (terminologi yang unsur-unsur pembentuknya bersifat kontradiktif) lantaran ’frase awal’ dan ’frase akhirnya’ saling meniadakan. Namun, jika itu tetap dipertahankan, maka konsekuensinya akan menjadikan ajaran murni Islam, setidaknya, bersifat ambigu dan bernuansa antropomorfistik (tasybih). Barangkali, faktor dominan yang membuat Ahli Hadis berpendirian demikian ialah adanya riwayat—riwayat yang secara eksplisit menyebutkan ’fisikalitas' (jism) Tuhan. Bisa dibayangkan, misalnya, manakala hadis-hadis yang menyebutkan ‘Tuhan dapat dilihat' di Hari Kiamat dianggap tak terganggu gugat lagi, suka atau tidak ayat yang paling gamblang maknanya sekalipun akan dipelintir. Seperti ayat "Dia tidak dapat dijtmgknu penglihatan mata, sedangkan Din dapat menjangkau segala yang terlihat" (QS AI-An’am [6]: 103), diperlakukan untuk menguatkan maksud tadi, padahal ayat ini secara tegas menolak apa pun kemungkinan ’mengindra [wujud] Tuhan’.
p:155
Dalam membela keyakinan-keyakinannya, pengikut Ahli Hadis begitu teguh berpegang pada kalimat ”para pendahulu (Salaf)”. Dengan cara ini, mereka meyakinkan kita seolah-olah seluruh sahabat dan tabi’in punya pandangan yang identik dengan Wahabisme. Berikut kritik atas pandangan ini:
Pertama, pandangan dan perilaku pribadi para pendahulu (Salaf) secara an sich tidak punya nilai, apalagi untuk dijadikan dasar hukum. Hanya ada satu jalan paling absah untuk memahami ajaran- ajaran Islam, yaitu menggali Al-Qur’an dan Sunah dalam terang akal seutuh-nya.
Kedua, ada Cara pandang yang berbeda di kalangan Salaf sendiri berkenaan dengan fungsi akal dalam proses memahami ajaran-ajaran langit, khususnya sifat-sifat Ilahi.(1) Sebagian mereka meremehkan peran akal sehingga terjerumus dalam Antropomorfisme (tasybih)(2) dan 'pendelegasian absolut’ (tafwidh). Namun, Ahlul Bait Nabi Saw yang dijauhkan dari ekstrimisme—baik kanan (ifrath) maupun kiri (tafrith)—menunjukkan posisi sejati akal dan wahyu. Rumusan ini merupakan warisan intelektual yang sangat berharga.
Sebagai penutup bab ini, patut direnungkan mutiara hikmah yang disampaikan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib seputar batasan akal manusia dalam memahami sifat Ilahi:
Allah tidak menjadikan akal hingga mengenal hakikat sifat- Nya, kendati Dia tidak menahannya dari kewajiban mengenal- Nya.(3)
:156
p:157
Akhbariyah adalah sekelompok lain dari ulama yang antirasional
dan ahli fikih yang literalis. Mereka lahir dari dalam pemikiran Syiah, dan tumbuh secara aktif dalam rangka menyerang pola pikir rasionalis kaum Ushuli dan kalangan teolog. Mereka bahkan sangat keterlaluan dalam mengecam akal serta menyalahkan ulama-ulama rasionalis.
Dalam bab ini, akan diuraikan lebih jauh sejarah kaum Akhbariyah, plus pemikiran dan faktor penyebab kemunculannya, berikut sejumlah masalah yang terkait dengan posisi dan peran akal. Selain itu, akan dikemukakan pula nilai argumentasi mereka dalam mengingkari validitas hukumnya sebagai salah satu sumber pengetahuan agama.
Sejak kapan kelompok Akhbari lahir di kalangan fuqaha Syiah? Apakah di masa para imam maksum? Apakah paham semacam ini sudah eksis, setidaknya, di masa awal pasca Kegaiban [Imam Mahdi]? Atau seperti keyakinan sebagian kalangan(1), yakni sejak diprakarasai Muhammad Amin Astar Abadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya menengok dan mengamati sejarah fikih Syiah dan ragam wacana serta pelbagai alirannya, berikut proses pembentukannya. Darinya dapat ditemukan kejelasan yang memadai secara argumentatif seputar kemunculan literalisme radikal di tengah kalangan fuqaha dan tokoh Syiah, termasuk vase-vase sejarahnya.
Adakalanya dinyatakan bahwa kajian argumentatif dan rasional seputar ajaran agama dan masalah-masalah ilmu Ushul Fikih mulai mengemuka pasca kegaiban [Imam Mahdi]—selain diakibatkan se-jumlah faktor penyebab serta tujuan-tujuan internal maupun eksternal mazhab yang berbeda. Adapun pada masa sebelumnya,
semua itu tidak memerlukan ijtihad dan perangkat disiplin teologi
p:158
(kalam) lantaran keberadaan imam maksum. Saat itu, pengetahuan dan hukum agama diperoleh kaum Syiah dengan cara yang sangat gampang dan lewat kanal yang paling terjamin, yaitu bertanya langsung kepada sosok imam.
Dengan demikian, wawasan teologi dan fikih Syiah hingga periode akhir kehadiran imam maksum, kira-kira di penghujung abad 3 H, lebih berkisar pada penukilan hadis atau riwayat, sementara teologi maupun fikih argumentatif dan rasional tidak memiliki posisi yang berarti di umat Syiah(1) Padahal, kalau saja melengok kembali riwayat-riwayat dari para imam maksum, atau yang maktub dalam kitab-kitab ilmu Rijal, dan Sejarah, jelas terbukti metode rasional dan fikih ijtihad sudah berkembang semasa hidup mereka. Para imam itu bahkan, dengan pelbagai cara, acap memotivasi murid-muridnya untuk mengkaji teologi. Beberapa di antara teolog seperti: Hisyam bin Hakam, Mukmin Taq (Muhammad bin Nukman), dan Hisyam bin Salim, diproyeksikan untuk membidangi secara spesial tema- tema besar teologi dan ushuluddin.
Begitu pula dalam masalah-masalah fikih; para imam senantiasa berusaha keras mengembangkan daya kreatifitas argumentasi dan ijtihad murid-muridnya.
Merujuknya kalangan Syiah kepada ahli hukum seperti Yunus bin Abdurahman, Zurarah bin A’yan(2), dan Muhammad bin Muslim merupakan sekelumit bukti perhatian para imam dalam masalah ini.(3) Seorang murid Imam Shadiq yang terluka dan dibebat pembalut menanyakan hukum dan cara berwudu. Lalu Imam menjawab:
Engkau akan mengetahui jelas masalah ini dan semisalnya dari Alquran. Allah Swt berfirman, "Dalam agama, Allah tidak menetapkan bagi kamu pekerjaaan yang berat dan menyulitkan". Karenanya, usap-lah di atas pembalut itu.(4)
p:159
Terdapat sebuah hadis termasyhur (1)Tugas kami adalah menyampaikan ushul (kaidah pokok), dan tugas kalian adalah manyampaikan tafri ‘(penguraian)"; hadis yang disampaikan dengan beragam redaksi sebagai satu dari sekian argumentasi kuat atas klaim di atas. Dalam hadis ini, para imam menyatakan tegas tugasnya sejauh menjelaskan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah umum hukum [praktis] serta keyakinan [teoretis]. Sementara pemahaman partikular dan penerapan hukum umum itu secara proporsional diserahkan pada murid-muridnya.
Lebih dari sekadar di atas, ada sejumlah riwayat dan dokumen sejarah yang tak dapat dipungkiri bahwa di masa para imam, sudah muncul kecenderungan yang beragam dan berbeda-beda di kalangan Syiah sekaitan dengan masalah keyakinan dan fikih.(2) Umpama, beberapa pengikut Ahlul Bait mengadukan keberatannya terhadap pola pikir dan pandangan Hisyam bin Hakam kepada Imam Shadiq dan Imam Kazhim, dan dapat diamati bagaimana kedua imam ini, seraya memaparkan situasi forum dan kondisi audiens yang dihadami Hisyam, memberikan jawaban kepada mereka(3) Beberapa yang lain juga mengadukan kepada para imam soal pandangan serba kontradiktif sebagian pengikut Ahlul Bait berkaitan dengan masalah tauhid dan sifat-sifat Allah Swt.(4) Dalam satu surat yang ditujukan kepada Imam Muhammad Jawad, Ali bin Mehziyar bertanya tentang keabsahan shalat di belakang para pengikut Yunus bin Abdurahman(5)
Berkenaan dengan masalah ketuhanan, Imam Ali Ridha pemah bertanya kegada Bazanti perihal perdebatannya dengan Hisyam bin
p:160
Hakam; dan secara implisit, Imam terlihat mendukung Hisyam.(1) Namun, Abdurahman bin Hajjaj, murid Imam Shadiq, menganggap Hisyam sebagai kafir. Menariknya lagi, Hisyam bin Hakam menulis buku yang isinya menolak pandangan Mukmin Taq.” Sementara, pada saat yang sama, Hisyam dan Mukmin sama-sama didukung Imam Shadiq.
Alhasil, pemikiran yang mengacu pada hadis dengan cara menukilnya secara literal seraya mengelak dari proses penalaran dan ijtihad memang relatif digandrungi banyak pihak. Namun demikian, hadis-hadis dan dokumen-dokumen sejarah—sebagaimana telah disebutkan di atas tadi—membuktikan bahwa secara faktual, di kalangan murid para imam, telah muncul kecenderungan ijtihad dan rasionalisme. Bahkan para imam sendiri berusaha memotivasi murid- muridnya untuk itu agar terhindar dari sikap tidak proporsional, dan agar tetap mengusung paradigma jalan tengah. Hanya saja, pasca-Kegaiban Besar [Imam Mahdi], berangsur-angsur kaum Akhbari menenggelamkan kelompok yang memfungsikan akal dan mengusung metode ijtihad.
Berdasarkan catatan sejarah dan buku-buku Rijal, kaum Akhbari disebut-sebut mulai muncul di kalangan fuqaha dan ulama Syiah pada akhir abad 3 H. Pada kurun itu pula bahkan sejumlah daerah seperti: Qom (Iran) yang warganya bermazhab Syiah, jatuh di bawah pengaruh pemikiran kaum Akhbari. Implikasinya, kalangan Ahli Hadis dan kaum literalis di daerah itu menentang dan menyerang dengan sengit keluarga Naubakh yang merepresentasi pakar teologi rasionalis.
Pemikiran kaum Akhbari berkembang dan dominan selama satu abad, yakni hingga akhir abad IV H. Alhasil, dapat dikatakan bahwa mayoritas mutlak ulama Syiah sepanjang abad tersebut merupakan penganut Akhbariyah.
p:161
Kalangan Akhbari (meliputi kaum fuqaha dan para pakar hadis) terdiri dari dua kelompok: radikal dan moderat. Beberapa nama besar yang mencuat dari kelompok radikal diantaranya Abul Hasan Nasyi(1) (w. 366 H). Dia menolak apa pun penilaian dan pemeriksaan terhadap kualitas sanad hadis, seraya menegaskan semua hadis sebagai kebenaran yang wajib diikuti.(2) Berbeda dengan Kualini yang tampak moderat. Kendatipun menempatkan hadis sebagai poros, dia tetap memberi peluang pemeriksaan sanad, bahkan dia punya kriteria khas dalam menilai mana hadis muwatstsaq dan mana yang bukan.
Sampai tiba masa Syeikh Mufid (338-413 H), lalu Sayid Murtadha (355-436 H) dan Syeikh Thusi (w. 460 H). Mereka menulis pelbagai karya tulis dan risalah seputar Teologi dan Ushul Fikih. Karya- karya itu membantah pandangan-pandangan literalistik pakar hadis yang kemudian mengristal sebagai gerakan rasionalisme dalam sistem keyakinan dan fikih, atau lebih tepatnya, menghidupkan kembali rasionalisme sekelompok toelog dan fuqaha semasa hidup para imam maksum. Gejala ini pada gilirannya menjadi pertanda awal kemerosotan dan kepunahan berangsur paham Akhbariyah. Terhitung mulai abad V H dan seterusnya, sekte ini nyaris lenyap dari kancah pemikiran ketuhanan dan fikih [Syiah]. Kondisi Akhbariyah ini terus berlangsung sekian abad tanpa pernah bisa kembali eksis sebagai aliran yang utuh.
Dalam sejumlah karya tulisnya, Syeikh Mufid begitu keras dan ekstensif mengecam kaum Iiteralis, musuh aka] dan ijtihad itu.(3) Dalam buku Al-Masfi’il Al-Sarawiyyah, khususnya saat menjawab pertanyaan tentang nilai pendapat mereka (kaum Akhbari), ia mengatakan:
p:162
Ahli hadis hanya sekadar menukil hadis pendek-panjang, tanpa pemah puas dengan hanya sekadar menukil hadis-hadis yang sahih. Mereka bukanlah peneliti dan pemikir riwayat. Hadis-hadis mereka campuran hadis sahih dan hadis rusak; yang identifikasinya dapat dilakukan hanya melalui pemikiran terhadap prinsip-prinsip (ushul) dan bertolak dari pemahaman yang benar.(1)
Tidak cukup sampai di situ, penolakan terhadap sekte ini dituangkan Syeikh Mufid secara khusus dalam buku yang bertajuk Maqayis Al-Anwar fi Al-Rodd 'ala Ahl Al-Akhbar.(2)
Pada masa itu, istilah ”Akhbari” belum umum disandang kelompok ini. Dalam Awa'il Al-Maqalat, Syeikh Mufid menyebut kelompok tersebut dengan pelbagai nama yang bermiripan: Ahl An-Naql(3)‘,Al-Muta'aliqin bi zhahir al-riwayah(4), Ashab al-naql(5), ashab al-atsar(6), hamalat al-atsar (7), hasywiyyah (8), naqalah al-atsar(9), ashhab hadis (10), hamalat al-akhbar (11), ruwwat al-hadis wa al-atsar (12), naqalat al-akhbar(13). Sementara nama-nama untuk lawan mereka adalah ulama al-syiah (14), fuqaha al-syiah (15), nuqqad al-atsar(16), mutakallimi al-Syiah (17), fuqaha
p:163
al-Imamiyah(1), muhaqqiqu al-nadzar min al-Imamiyah (2), ahl al-Fiqh wa al-i'tibar(3)
Sepertinya, istilah "Akhbari” sebagai lawan dari ”Ushuli" dan ”Kalami” pertama kali digunakan Syahristani dalam bukunya, Al-Milal wa An-Nihall yang terbit pada awal abad VI Hijriah.(4) Berikutnya, Abdul Ialil Qazwaini menggunakan kedua istilah itu secara berdarnpingan dalam bukunya, Al-Naqdz.
Alhasil, setelah Syeikh Mufid dan Sayyid Murtadha menabuh genderang penentangan dan melontarkan sejumlah kritik tajam, sekte Akhbari perlahan-lahan tenggelam sampai lenyap. Memang, masih tersisa sejumlah figur yang mengusung pemikiran sekte ini,(5) namun kontras dengan masa-masa sebelumnya, mereka tidak lagi memberi pengaruh signifikan bagi perkembangan ilmu Ushul Fikih dan Teologi Syiah. Hingga awal abad XI H, barulah Mulla Muhammad Amin Astarabadi (w. 1033/ 1036 H) merevivalisasi pemikiran Akhbariyah dengan model dan pola baru. Syarat-syarat revivalisasi ini sebenarnya sudah tersedia sejak awal abad X 1-1 lewat sejumlah ahli fikih seperti: Ibn Abi Jumhur Ahsaie dan Mirza Muhammad Astarabadi. Jadi, Mulla Muhammad Amin Astarabadi sendiri, sebenamya, sanggup membangkitkan kembali Akhbariyah dengan memanfaatkan karya-karya pendahulu, khususnya arahan- arahan sang guru, yakni Mirza Muhammad Astarabadi.
Berdasarkan riwayat hidupnya, Mulla Astarabadi semula merupakan seorang mujtahid dan termasuk kalangan Ushuli. Dia bahkan berhasil menerima ijazah ’sertifikat’ ijtihad dari penulis Al-Madarik dan pengarang Al-Ma'alim; dua di antara jajaran tokoh besar
p:164
Ushuli masa itu.(1) Mereka memujinya lantaran kualitas moral dan intelektualnya. Namun karena satu dan lain hal, berangsur-angsur dia malah menentang kaum Ushuli dan para mujtahid, menghujat akal dan rasionalisme, hingga merevivalisasi secara lebih transparan, bahkan lebih radikal, paham literalis sebagian ahli fikih dekade awal pasca Kegaiban Besar [Imam Mahdi].
lhwal faktor yang mendorongnya menentang Ushuliyah, Mulla Astarabadi menuturkan, ”Di waktu sahar, malam Jumat, di Makkah Mukarramah, seusai menunaikan shalat malam, aku tertidur dan di alam mimpi berjumpa dengan seseorang yang membacakan ayat Alquran, Barang siapa diberi hikmah, maka telah diberi kebaikan yang banyak. Menjelang subuh, aku terbangun dan membuka-buka kitab Al-Kahfi. Di situ, aku menjumpai sebuah hadis dari Imam Shadiq. Dalam menafsirkan ayat tersebut, beliau berkata, 'Maksud hikmah adalah hadis-hadis Ahlul Bait.'(2)
Sejak itu, dia bertekad untuk merevivalisasi alur pemikiran para pendahulu. Dalam rangka ini, dia menyatakan menentangannya terhadap akal dan rasionalisme Ushuliyah, dan tak segan-segan menyerang keras tokoh-tokohnya.
Sejauh ini, aliran motivasi dan arus kontribusi sang guru(3) Mirza Muhammad Astarabadi, dalam hal ini menjadi pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan sikap Mulla Astarabadi itu. Dalam risalah berbahasa Persia, Danesnameh Shahi, sang murid menuliskan:
Setelah mengajarkan seluruh hadis kepadaku, beliau (Mirza Astarabadi) menyerukan, ”Hidupkanlah paham kaum Akhbari
p:165
dan tuntaskan segenap kritik yang menentang mereka, karena paham itu telah ada sejak dulu. Akan tetapi Tuhan telah menakdirkan paham ini mengalir dari tintamu. Setelah itu aku....” Beberapa tahun di Madinah, aku hanyut dalam pikiran, merendah di hadapan Allah Swt, bertawasul kepada arwah suci Ahlul Bait. Lagi-lagi aku dengan penuh seksama dan kontemplatif mengamati rangkaian hadis dan buku-buku Ahli Sunah ('Ammah) dan Syiah (Khashshah), sehingga berkat anugerah Allah Swt, berkah penghulu para nabi dan para imam maksum—salam Allah atas mereka!—aku patuhi isyarat yang wajib ditaati dan aku berhasil menulis Al-Fawa’id Al-Madi‘nah. Mereka membaca karya ini, kemudian memujinya dan menyampaikan sanjungan kepada penulisnya.(1)
Astarabadi melancarkan penolakan kerasnya terhadap ijtihad dan penalaran dengan nada lantang, galak bahkan gegabah. Dalam tempo singkat, dia sudah berhasil mempengaruhi banyak ulama, yang lantas menyebar cepat ke pelbagai kota di Irak.(2) Pada tahap berikutnya, pemikirannya lambat laun mendominasi seluruh pusat keilmuan Syiah di Iran dan lrak. Semua itu mengakibatkan pemikiran Ushuliyah mengalami kemunduran dan kemerosotan krusial secara bertahap.(3)
Terdapat sejumlah nama besar di kalangan ahli hukum yang, sedikit banyak, punya kecenderungan pada pemikiran Akhbariyah.(4) Di antaranya, Muhammad Taqi Majlisi (w. 1070 H), Mulla Muhsin Faidh Kasyani (w. 1091 H)(5), Syeikh Hurr Amili (w. 1104 H)(6),
p:166
Muhammad Bagir Majlisi (w. 1110 H), Sayyid Nikmatullah Jazairi (w. 1112 H), dan Syeikh Yusuf Bahrani (w. 1186 H).
Sekte Akhbariyah sendiri memang sejak awal dan di masa Mulla Astarabadi telah menghadapi penentangan dari sejumlah ulama, pemikir dan filosof. Salah satu figur paling menonjol yang berposisi vis-ti-vis adalah Mulla Shadra (979-1050 H). Tampaknya, teosof ini menjadi tokoh pertama yang mengibarkan bendera penentangan terhadap pemikiran jumud ini. Dalam sejumlah karyanya, dia berulang kali memperingatkan bahaya Akhbariyah dan literalisme. Salah satunya diungkapkan dalam prolog adikaryanya, Al-Hikmah Al-Muta'aliyyah. Dalam prolog bukunya yang lain, Mafatih Al-Ghayb(1) dan Syarh Ushul Al-Kafi(2), dia menunjukkan kedangkalan pemikiran dan pandangan sekte ini seraya mengidentikkannya dengan Hanbaliyah dan Ahli Hadisnya Ahli Sunah. Dalam parodinya, dia menyebut mereka sejenis kelalawar yang menutup mata dari menatap cahaya, rahasia hikmah dan makrifat, sehingga menghukumi bid’ah dan sesat upaya mendalami ayat—ayat Alquran dan hadis-hadis Ahlul Bait:
Mungkinkah orang taklid buta pada riwayat, merasa puas dengan teks hadis, dan menolak pola-pola logis dan rasional, akan mampu mencapaihakikat?Tidakkah dia memahami bahwa satu-satunya rujukan syariat adalah sabda Nabi Islam, sedangkan upaya membuktikan kebenaran sabda beliau tidaklah mungkin kecuali dengan argumentasi rasional?(3)
Namun demikian, arus pemikiran Akhbariyah terus menyebar luas dan, dalam rentang dua abad, sayangnya mempengaruhi segenap dinamika pemikiran mazhab Syiah. Sampai muncullah beberapa sosok ulama-pejuang besar. Dua di antara yang paling terkemuka
p:167
adalah Wahid Behbahani dan Syeikh Murtadha Anshari. Di tangan mereka, basis pemikiran Akhbariyah digoncang, kerapuhannya kerap dibongkar jelas, sebelum terhimpun sebagai anasir keruntuhan sekte ini.
Tak diragukan lagi, pertumbuhan dan perkembangan arus antirasional Akhbariyah di dalam khazanah rasionalisme Syiah, merupakan satu dari sekian fenomena misterius transformasi intelektualitas dan kultur. Ahlul Bait Nabi aktif sebagai agen utama penyeru rasionalisme dan penghidup ayat-ayat tauhid Alquran. Lebih dari itu, para imam memberi penghargaan yang begitu tinggi kepada akal dengan aksentuasi yang kuat dan indah, seperti yang khususnya tertuang dalam pidato-pidato ketuhanan Ali bin Abi Thalib. Sebegitu kuat ajaran dan tuntunan mereka hingga mazhab sebesar Muktazilah, yang disepakati sebagai rasionalis Islam, menyadari dirinya telah berhutang budi kepada mereka.(1)
Persoalan yang mengemuka, bagaimana menganalisis sekelompok dari pengikut Ahlul Bait yang, dalam upaya menghidupkan tradisi dan budaya mereka, justru menolak rasionalitas, bahkan tidak menyisakan harkat sedikitpun untuk akal dalam menggali kandungan agama?
Inkonsistensi Akhbariyah dengan garis intelektual dan kultural Ahlul Bait sanggup menggugah sebagian pemikir dan peneliti aktif membuat pelbagai teori dan hipotesis seputar sumber dan akar anti-rasionalitas sekte ini. Masing-masing mengoleksi aneka faktor penafsir kelahiran serta pertumbuhannya di dalam lingkup mazhab Ahlul Bait. Kebanyakan mereka berusaha menelusuri begitu rupa untuk menemukan satu serat faktor yang melampaui mazhab induk atau agamanya.
p:168
Dalam bagian ini‘, akan dikemukakan yang terpenting dari teori- teori itu, dan diperiksa tingkat akurasinya masing-masing, dengan mengacu pada sumber-sumber sejarah, rangkaian statemen dan karya-karya tulis kaum Akhbari.
Ayatullah Borujerdi,(1) Syahid Baqir Shadr,(2)dan, sedikit banyak, Syahid Muthahari(3) meyakini bahwa kemunculan pemikiran Akhbari dipengaruhi oleh kebangkitan Eksperimentalisme dan Empirisme Barat. Asumsi ini didukung fakta bahwa sang revivalis Akhbariyah, Mulla Muhammad Astarabadi (w. 1624/1627 M), hidup sezaman dengan Francis Bacon (1561-1626 M). Sebagaimana diketahui, Francis Bacon merupakan salah seorang filosof Barat yang mengawali penggagasan Empirisme(4) yang lantas dilanjutkan dan dikembangkan sebagai sebuah aliran filsafat oleh John Locke (1632- 1704 M) dan David Hume (1711-1776 M).
Syahid Muthahari bahkan mengungkapkan kemungkinan Astarabadi mengenal pemikiran Bacon dan sealirannya. Menurutnya, selama beberapa waktu, Astarabadi pernah tinggal di Mekah dan Madinah, dan di sanalah dia menekuni pemikirannya. Sementara pada saat yang sama, cukup banyak orang yang mengunjungi kedua Kota sakral dan historis itu dari daratan Eropa. Boleh jadi, lewat merekalah Mulla Astarabadi melakukan kontak intelektual dengan gagasan Empirisme versi Francis Bacon. Kalaupun diandaikan bahwa dia sudah membangun pemikirannya semasih tinggal di Iran dan sebelum bertolak ke Mekah, maka kemungkinannya melakukan
p:169
kontak itu tetap kuat, yakni melalui para pengunjung dari Eropa. Ini mengingat pada masa itu, para pemimpin Eropa memiliki hubungan yang baik dengan dinasti Safavid yang berkuasa di Iran.(1)
Betapapun itu, Mulla Astarabadi seperti halnya kaum Empirisis: sama sekali tidak memberi tempat untuk akal dalam proses pengetahuan—bahkan menolak mutlak validitas pemahaman aklani.
Penjelasannya, Mulla Astarabadi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam dua jenis.(2) Pertama, pengetahuan yang bersumber dari cerapan indra dan eksperimen. Kedua, pengetahuan yang tak terjangkau indra, yang berkaitan dengan subjek-subjek metafisis seperti: teologi (Hikmah Ilahiyyah), ushul fikih, fikih teoretis, dan sebagian kaidah logika. Dia lalu menegaskan bahwa jenis pengetahuan pertama saja yang bemilai. Dia sekaligus mengakui nilai ilmu matematika lantaran berbasis, ujung-ujungnya, pada pengetahuan indrawi. Adapun jenis pengetahuan kedua, yang berbasis pada akal dan berkaitan dengan ihwal di luar indra dan pengalaman, bukan sekadar tidak menghasilkan apa pun kebenaran yang pasti, tetapi bahkan sama sekali tak bemilai. Oleh karena itu, dia menentang keras filsafat, teologi dan ushul fikih.
Sekalipun posisi epistemologis postulat-postulat Empirisme di Eropa dan Akhbariyah dalam tubuh Islam paralel satu sama lain, namun di antara keduanya juga terdapat sejumlah perbedaan krusial dan menonjol. Di antaranya, pengabaian terhadap akal dan pengandaian indra serta eksperimen sebagai basis di benua Eropa berdampak pada ateisme dan ingkar agama. Sementara hal yang sama di dunia Islam diupayakan kaum Akhbari justru dalam rangka mengamalkan agama dan mengembangkan muatan intelektualnya.(3) Kaum empirisis bangkit sebagai gerakan perlawanan terhadap
p:170
agama, adapun kaum Akhbari clalam Islam menampilkan diri sebagai representasi tunggal gerakan religius yang terbentuk dari anasir ajaran yang sesungguhnya. Kalangan empirisis meyakini kerancuan teks—teks agama dan inkompetensinya, sementara kaum Akhbari menganggap teks-teks agama sudah memadai sehingga tidak lagi perlu argumentasi dan penalaran aklani.
Atas dasar ini, klaim yang membuka kemungkinan asal-usul kelahiran pemikiran Akhbariyah dari kebangkitan Empirisme di Barat, tak bergeser dari posisinya sebagai hipotesis semata; tidak ada evidensi apalagi bukti yang patut dipertimbangkan untuk membuktikannya. Meski begitu, juga tidak ada satu bukti yang menafikannya.
Hanya perlu dicatat, paralelisme struktur dan basis pemikiran serta kesamaan masa penggagasannya dari dua tokoh pemikir yang berbeda tidak serta merta menjadi bukti adanya saling pengaruh di antara keduanya. Pada prinsipnya, kemiripan epistemologis dan temporal seperti di atas, sejauh menyangkut persoalan rasional dan epistemologis, tidak dapat dijadikan sebagai kriterium berlangsungnya akses intelektual satu dari yang lain. Kemiripan ini semakin tidak berarti lagi tatkala Akhbariyah sudah berkembang luas sejak awal kurun dunia Islam, kurang-lebih tujuh abad sebelum Bacon lahir. Sedangkan Mulla Astarabadi akan lebih tepat dipandang sebagai pembaharu, bukan pencetus sekte.
Faktor lain yang, masih menurut mereka, melatarbelakangi kemunculan Akhbariyah adalah persepsi buruk terhadap ilmu ushul fikih dan kecurigaan terhadap kalangan ulamanya.(1) Dalam analisis mereka, ilmu Ushul Fikih secara historis muncul pertama kali di kalangan Ahli Sunah. Agar tak tertinggal dari prakarsa ini, dan demi
p:171
menghindari kecaman kaum Ahli Sunah, maka ulama-ulama Syiah lantas berusaha memenuhi kekurangan ini: menulis dan merumuskan ushul fikih serta menyebarluaskannya di kalangan fuqaha mazhab, kendati para imam melarangnya.(1)
Mulla Astarabadi menuturkan, ”Ibnu Junaid (w. 381 H) dan Ibnu Abi Aqil (wafat pada abad IV H) termasuk orang pertama di awal Kegaiban Besar [Imam Mahdi] yang mempelajari buku-buku teologi dan ushul Muktazilah, dan karenanya, dalam banyak hal terpengaruh oleh pemikirannya. Contohnya, Ibnu Junaid seperti juga kaum rasionalis Ahli Sunah: menggunakan qiyas dalam menangani persoalan fikih.(2) Setelahnya, Syeikh Mufid mengapresiasi mereka dan metode rasionalnya dalam kuliah-kuliahnya dan di hadapan murid-muridnya seperti: Sayyid Murtadha. Dengan demikian, lewat Syeikh Mufid, Sayyid Murtadha dan tokoh-tokoh lainnya dirumuskanlah kaidah-kaidah teologi dan fondasi ilmu ushul dalam paradigma rasionalistik. Inilah yang kemudian berkembang umum di tengah generasi setelah-nya. Hingga tibalah masa Allamah Hilli yang menyempumakan proses ini. Dia sama sekali tidak pernah selangkah pun surut dari upaya merasionalisasi teologi dan fikih Syiah. Hanya dia lengah: sekalipun upaya kaum Ahli Sunah dalam merasionalisasi butir-butir keyakinan dan ushul fikih dapat dibenarkan, itu bukanlah sebuah keniscayaan atau alasan yang cukup bagi kaum Syiah, lantaran pengikut mazhab Ahlul Bait sepenuhnya bergantung pada kepemimpinan para imam sehingga tidak membutuhkan kaidah dan istilah semacam itu.(3)
p:172
Masalah lain yang melapisi analisis mereka ialah penggagasan ilmu ushul fikih yang dilakukan pasca kegaiban [Imam Mahdi], yakni tidak ada yang namanya ilmu Ushul Fikih terdisiplinkan secara sistematis di masa hidup para imam. Dengan bersandar pada asumsi ini, di masa awal kegaiban tersebut, kaum Akhbari mengklaim para sahabat imam yang setia serta kalangan fuqaha seperti: Syeikh Shaduq dan ayahnya, serta Kulaini dan Ali bin Ibrahlm(1) menyimpulkan hukum-hukum keagamaan tanpa menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fikih seraya mendistribusikannya kepada masyarakat. Mereka menyatakan, siapapun dapat memahami hukum agama dan mengamalkannya hanya dengan merujuk makna literal dari riwayat Ahlul Bait tanpa perlu lagi kepada ilmu itu.
Cara pandang sinis terhadap ilmu ushul fikih serta kesalahpahaman seputar sejarah kemunculannya menjadi salah satu faktor pemicu kaum Akhbari generasi akhir bersikap vis—(}—vis akal dan kaum rasionalis. Kesimpulan ini benar. Hanya penting dicatat, pertama, kaum Akhbari bukan sekadar menolak peran akal dalam bidang ushul fikih, melainkan juga, setidaknya sebagian di antaranya termasuk Astarabadi, secara total menolak akal sebagai sumber pengetahuan. Itulah sebab-nya mereka mengingkari status apa saja bagi akal dalam urusan agama, entah itu fikih, teologi, maupun keyakinan.
Kendati bukan penyebab utama, namun setidaknya asumsi di atas dapat dipahami sebagai alasan kaum Akhbari kontemporer menentang aktivitas aklani dalam Ushul Fikih. Adapun akar penentangan mereka terhadap penggunaan akal dalam masalah- masalah keyakinan dan teologis harus ditelusuri dalam konteks yang lain.
Kedua, sama sekali keliru bila Akhbariyah dan sekelompok Iain dari pemikir dangkal itu mengklaim bahwa ilmu ushul fikih berasal
p:173
dari ulama Ahli Sunah.(1) lni sepenuhnya bertolak belakang dengan fakta konkret yang tercatat dalam buku sejarah dan riwayat. Kalangan Ahli Sunah bukanlah yang pertama kali memprakarsai dan menyusun ilmu ushul fikih, bukan pula yang paling dahulu menulis di bidang itu. Justru, dasar-dasar ilmu ini pertama kali dikemukakan, dengan mengacu kepada ayat-ayat Alquran, oleh Imam Muhammad Baqir dan Imam Shadiq sebelum diajarkan kepada murid-muridnya. Berkat motivasi dan arahan para imam itulah mereka berhasil, untuk pertama kalinya, menyusun pelbagai buku ushul fikih. Di antaranya, Al-Alfazd wa Mabahitsuha(2) karya Hisyam bin Hakam yang secara khusus mengupas satu tema utama ushul fikih, atau Ikhtilaf Al-Hadis wa masailuh(3) karya Yunus bin Abdurahman seputar tema Ta'arudh ’pertentangan’ antarriwayat, dan tema Al-Ta'adul wa al-tarojuh 'perbandingan dan prioritas’.
Selain itu, terdapat pula sejumlah buku kumpulan riwayat Ahlul Bait yang berkenaan dengan ilmu ushul fikih.(4) Di antaranya, Ushul Al-Rosul, yang berdasarkan pengakuan pengarangnya, mengulas sekitar 4000 hadis yang terkait dengan ushul fikih,“ atau Al-ushul Al-Asliyyah wa Al-Qowa'id Al-Mustanbatah min Al-Ayat wa Al-Akhbar Al-Marwiyyah(5) yang mempelajaari 134 ayat dan 1903 hadis sekaitan dengan tema-tema penting ilmu tersebut.(6)
Kalau analisis sebelumnya menganggap permusuhan Akhbariyah terhadap rasionalisme kaum Ushuli sebagai akibat dari
p:174
penentangannya terhadap kaum Ahli Sunah, akan halnya sebagian pakar justru yakin sebaliknya: paham Akhbariyah itu berakar pada pemikiran dan keyakinan Ahli Sunah.(1) Ini persis halnya dengan Zhahiriyah dan Hanbaliyah: memerangi pemikiran anti tradisi Muktazilah dan kalangan ahli fikih seperti: Abu Hanifah, dengan itikad menjaga kehormatan Sunah Nabi. Seperti itulah logika Akhbariyah: beranggapan bahwa metoda para mujtahid dan tokoh Ushuli—dalam menghargai akal sebagai basis validitas pemahaman— bertentangan clengan teks-teks agama dan melucuti nilai sakralitas dari hadis-hadis Ahlul Bait. Dengan pola inilah mereka menjejaki tapak kaum Ahli Hadis dan Zhahiriyah.
Tak diragukan lagi, sikap vis-a-vis terhadap kalangan mujtahid rasionalis dan hasrat menghidupkan hadis-hadis para imam merupakan salah satu alasan kuat Akhbariyah. Semua itu dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan mereka. lni seperti yang diungkapkan Mulla Astarabadi dalam risalahnya, sekian lama di kota suci Mekah dan Madinah berpikir dan merenung, lalu memutuskan Akhbariyah sebagai alirannya setelah merendahkan diri di hadapan Allah Swt dan bertawasul kepada arwah suci Ahlul Bait. Dalam penuturannya, ” demi menghidupkan hadis-hadis para imam."
Adapun kategorisasi taklid kepada Ahli Hadis dan kaum Zhahiriyah sebagai faktor pembentuk antirasionalitas Akhbariyah, selain tidak ada bukti satu pun yang menegaskan unsur taklid tersebut, analisis ini kekosongan evidensi dan argumentasi yang memadai. Yang sejauh ini tampak jelas, tak satu pun dari kalangan Akhbari pemah mengindikasikan taklid yang dimaksud.
Perlu diketahui pula, demi menentang kalangan mujtahid rasionalis, Akhbariyah menutup diri dari pengetahuan dan informasi yang berasal dari luar mazhab induk dan agamanya (Syiah dan Islam). Karena, kendati ada banyak riwayat dari para imam suci yang menjelaskan agungnya kedudukan akal keutamaan aktivitas
p:175
aklani, namun tidak sedikit juga hadis-hadis yang mengecam akal dan aktivitas aklani. Akibatnya, sedikit saja teledor terhadap ruh yang mendominasi pemikiran dan keyakinan Syiah sudah cukup untuk memprioritaskan kelompok hadis [pengecam akaI].
Sebagaimana berikut, akan diulas betapa kesalahpahaman Akhbariyah terhadap hadis-hadis yang mengecam keterlibatan pendapat pribadi (ro’y) dan qiyas dalam menyimpulkan hukum syariat menjadi faktor paling krusial untuk pandangan antirasionalitas mereka.
Dalam pelbagai hadis dan riwayat, para imam Ahlul Bait melarang murid-muridnya melakukan qiyas di ranah agama dan menerbitkan fatwa atas dasar pendapat subjektif. Para imam juga menyebutkan hukuman bagi siapa saja yang melanggar atau mengabaikan pesan ini. Serangkaian hadis ini, sekalipun sudah begitu gamblang maksudnya, justru diperlakukan Akhbariyah untuk menjustifikasi kecenderungan antirasionalistik mereka.
Dari segenap faktor yang dianalisis sebagai penyebab munculnya kecenderungan kaum Akhbari di atas, perhatian dan fokus besar mereka untuk bersandar pada hadis-hadis semacam itu tampak lebih dominan(1) Dalam kesempatan ini, akan dikemukakan sebagian hadis dimaksud, dan berlanjut dengan menelaah cara kaum Akhbari menarik kesimpulan.
Sebagian riwayat melarang keras penggunaan qiyas; metoda yang akan berakibat pada kehancuran agama:
Jika Sunah diqiyas, agama akan hancur.(2)
p:176
Barangsiapa melakukan qiyas, pasti akan binasa.(1)
Barangsiapa meletakkan agamanya di atas qiyas, maka akan terus tenggelam [dalam Kesesatan].(2)
Sejumlah hadis lainnya juga menegaskan larangan keras bersandar pada pendapat subjektif dan berfatwa atas dasar penalaran dan aktivitas aklani:
Berhati-hatilah terhadap dua perkara yang bakal membinasakan; berfatwa kepada orang dengan pendapat sendiri dan mengikuti sesuatu yang tak kalian ketahui.(3)
Barangsiapa berfatwa dengan pandangannya sendiri, sesungguhnya dia telah mengikuti sesutu yang tidak diketahuinya.(4)
Dalam hadis-hadis lain disebutkan bahwa agama Allah dan Alquran termasuk ihwal yang melampaui akal manusia:
Tidak ada sesuatu yang lebih jauh dari jaungkauan akal manusia kecuali Alquran.(5)
Sesungguhnya agama Allah tidak dapat dicapai tepat dengan akal-akal yang kurang, pendapat-pendapat yang batil, dan ukuran-ukuran yang rusak. Ia juga tak dapat dicapai tepat kecuali dengan penyerahan diri. Maka, barangsiapa menyerahkan dirinya kepada kami, akan selamat, barangsiapa menginginkan hidayah kami, akan mencapai tujuannya, dan barangsiapa mengikuti qiyas dan pendapat subjektif akan hancur.(6)
p:177
Kaum Akhbari mengira, fokus hadis-hadis sejenis di atas ialah kecaman terhadap akal dan argumentasi rasional,(1) termasuk demonstrasi (burhan) dan silogisme (qiyas mantiqi). Jelas, menelaah hadis-hadis tersebut satu derni satu seraya menjelaskan pengertiannya, membutuhkan waktu yang sangat lama. Karena itu, kesempatan ini hanya akan digunakan untuk menjelaskan beberapa hal:
Pertanm, harus dicamkan, ucapan para imam seputar akal bukan hanya terbatas pada hadis-hadis yang telah disebutkan, melainkan juga dalam hadis-hadis lain, dengan jumlah yang jauh lebih banyak, bahkan memuji akal dan penalaran sebegitu rupa hingga tak dapat dibandingkan sama sekali dengan fakultas kognitif lainnya. Sesuai relevansi masalah, beberapa di antara hadis-hadis ini akan diketengahkan pada tempatnya.
Kedua, merujuk prinsip yang berlaku dalam budaya Ahlul Bait, seraya mengamati konteks terbitnya hadis-hadis yang telah disebutkan, dapat dengan jelas dipahami bahwa hadis-hadis itu berkaitan dengan larangan berpegang teguh pada qiyas Fikih(2) dalam menyimpulkan hukum. Sebagian besar hadis itu justru terbit dalam rangka menolak metodologi ijtihad sekelompok orang seperti: Abu Hanifah, yang rnenganggap qiyas sebagai sumber utama penyimpulan hukum.(3)
Ketiga, memang tidak sedikit hadis yang mencela keterlibatan pendapat subjektif dalam perkara agama sekaligus mendesak orang agar sepenuhnya taat pada pemimpin-pemimpin agama. Hanya saja, hadis-hadis ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan
p:178
nilai aktivitas aklani dan hasil-hasilnya.
Pada hakikatnya, fokus hadis-hadis ini adalah larangan menempatkan dugaan pribadi sebagai akal dan sarana penggalian hukum agama. Dengan kata Iain, kalau saja penafsiran dan penalaran aklani dilakukan sesuai dengan kriteria-kriteria komunikasi umumnya bangsa Arab (mufohemeh-e ’Arab), prinsip dan postulat rasional serta garis-garis besar Alquran dan Sunah, tentu tidak akan dikecam, kalau bukan malah disanjung sebagai nilai keutamaan.(1) Berkenaan dengan hadis-hadis itu, Allamah Thabathabai mengatakan:
Yang benar, maksud riwayat-riwayat semacam ini adalah larangan mengikuti data-data rasional bagi seorang peneliti yang tidak mampu mengidentifikasi premis mana yang benar dan mana yang tidak.(2)
Keempat, kendati ada kandungan sejumlah hadis yang mengindikasikan bahwa Alquran tak terjangkau akal, namun ini tidak berarti sebagai larangan menafsir secara intelektual serta menafikan validitas makna literal Alquran.(3) Sebaliknya, semua itu dimaksudkan sebagai peringatan untuk tidak menafsir Alquran secara pribadi subjektif, serta tidak mengklaim sudah mampu mengungkap seluruh rahasianya. Para imam mengajarkan bahwa salah satu tolok ukur identifikasi mana hadis yang benar dan mana yang buatan adalah menimbang dan mengevaluasinya dengan Alquran:
Campakkan ke tembok hadis yang bertentangan dengan Alquran.
p:179
Peringatan ini bukan semata-mata bukti atas validitas makna literal Alquran dan pengakuan terhadap potensi seseorang memahami kandungannya, tetapi juga sebagai indikasi bahwa sebelum mengevaluasi hadis, seyogianya kandungan Alquran dipahami dengan baik sebagai kriteria kebenaran dan kesalahan, kemudian hadis diajukan untuk ditimbang. Jadi, kalau kriteria kandungan Alquran ini juga bergantung pada hadis (sebagaimana asumsi kaum Akhbari), maka yang terjadi adalah siklus yang jelas-jelas absurd.(1)
Sebagaimana telah dikemukakan, terdapat sejumlah perbedaan pemikiran antara kaum Ushuli dan Akhbari. Sejumlah pakar menghitung sampai kira-kira 86 poin.(2)Adapun perbedaan mendasar keduanya terletak pada cara pandang mereka terhadap status akal dalam agama. Kaum Ushuli memahami akal sebagai bagian dari agama. Mereka yakin, jika dalam beberapa kondisi tertentu, hukum suatu masalah tidak dijumpai dalam Alquran, Sunah, maupun dukungan konsensus pasti dari para fukaha, maka hukum akal harus ditempuh. Argumentasinya, sebagaimana Alquran, Sunah, dan konsensus ulama, akal merupakan bagian dari sumber agama yang juga mengindikasikan Kehendak Tinta (iradah Tasyri'iyyah) Allah Swt.
Dalam perspektif kaum Ushuli, penandingan akal dengan agama hanyalah ungkapan kurang cermat yang bisa dimaklum. Kalaupun penandingan itu ada, maka antara akal dan teks (naql), atau akal dan wahyu. Sebagai pasangan teks agama, akal pun memiliki
p:180
status fungsional yang setaraf, yakni sama-sama menjadi sumber penyimpulan hukum agama.“ Tentu saja, akal dengan kriteria ini memiliki sejumlah syarat yang, pada pembahasan berikut, akan dijelaskan lebih jauh.
Akan halnya bagi kaum Akhbari, bukan hanya akal, ijma’ (konsensus) juga tidak dianggap sebagai sumber keagamaan. Mereka yakin, konsensus hanyalah alat yang diciptakan Ahli Sunah untuk mengisi kekosongan intelektual dan hukum dalam agama. lni, masih menurut mereka, berbeda dengan kalangan pengikut Ahlul Bait yang tidak membutuhkan bid’ah semacam itu.
Tidak hanya sampai di situ, kaum Akhbari bahkan menganggap teks [ayat-ayat] Alquran tidak memiliki nilai-bukti (hujjiyyah: validitas). Dalam pandangan mereka, pemahaman atas ayat Alquran dan hadis Nabi praktis menjadi mustahil tanpa merujuk riwayat-riwayat Ahlul Bait. Jalan memperoleh pengetahuan agama, baik yang bersifat keyakinan teoretis maupun fikih praktis, hanyalah riwayat-riwayat Ahlul Bait. Sementara kandungan hakiki ayat dan hadis tidak akan mampu dicerap siapapun kecuali via penafsiran dan keterangan para Imam.(1) Mulla Astarabadi mengatakan:
Untuk memahami hukum-hukum teoretis agama, baik yang pokok maupun bukan, kita tak punya cara lain kecuali mendengar dari Imam Muhammad Bagir dan Imam Shadiq. Menyimpulkan hukum teoretis via Alquran atau Sunah Nabi tidak diperkenankan selama imam-imam Ahlul Bait tidak menyinggung hal itu.(2)
Jika tidak ditemukan riwayat dari para imam berkenaan dengan suatu masalah, maka siapapun harus bungkam dan tidak berfatwa. Atau, jika tidak didapati satu hadis pun dari para imam
p:181
yang berkenaan dengan suatu ayat Alquran, maka penafsiran ayat semestinya dihindari. Argumentasinya, Ahlul Bait merupakan sosok-sosok yang sesungguhnya audiensi (mukhfitab) Alquran. Dari sini jelas, segala bentuk tafsir yang tidak didukung riwayat— riwayat imam akan dinyatakan sebagai penafsiran pribadi (tafsfr bi Ro'y), pendapat tak berdasar dan dikecam para kekasih Allah Swt. Dengan kata lain, kaum Akhbari berkeyakinan, tugas manusia adalah mengamalkan hukum-hukum yang sudah jelas (qath'i), dan tak ada jalan menuju hukum tersebut kecuali lewat riwayat Ahlul Bait. Samahichi menggubah beberapa bait syair:
Wahai pengikutt ijtihad! Berpalinglah
dari jalan salah, drm teguhlah pada riwayat
Dari Ahlul Bait dan perawi-perawi terpercaya
karena nilai prasangka tak sebanding hukum Yakin.(1)
Pada prinsipnya, Akhbariyah adalah sebuah aliran pemikiran dalam bidang fikih dan hukum parsial agama. Ia amat langka dikenal sebagai mazhab teologi dan epistemologi. Namun, dari pemyataan dan pandangan banyak pengikutnya, tercium kesan generalisasi hingga bersinggungan dengan berbagai bidang. Sayyid Murtadha, misalnya, menulis tentang kaum Akhbari dan Ahli Hadis semasanya:
Apakah Anda tidak melihat mereka (pengikut Akhbariyah) berdalih dalam masalah ushuluddin (pokok—pokok agama), entah itu ketuhanan, keadilan, kenabian, dan imamah, dengan bersandar pada hadis Wahid; padahal bagi setiap orang berakal sudah jelas itu tidak valid.(2)
p:182
Dari ungkapan ini, dapat dipahami bahwa pandangan kaum Akhbari tidak terbatas pada persoalan cabang keagamaan dan fikih, melainkan juga melebar ke mana-mana. Mereka menganggap, cara memahami dan menyimpulkan segala jenis pengetahuan agama, baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu’uddin, hanya lewat riwayat-riwayat Ahlul Bait.
Generalisasi ini juga dipegang pengikut setia pemikiran Mulla Astarabadi dan kaum Akhbari beberapa abad terakhir ini. Mereka beranggapan, satu-satunya jalan selamat untuk memahami keyakinan agama hanyalah dengan mengamalkan hadis-hadis para imam. Pada saat yang sama, mereka justru mengabaikan akal dan demonstrasi filsafat dalam membuktikan keyakinan agama.
Selain pandangan Mulla Astarabadi tentang pengamalan riwayat dalam ushuluddin dan furu’uddin, ada baiknya pula diketengahkan pendapat tokoh Akhbari Iain. Allamah Majlisi, cendekiawan Akhbari yang tergolong moderat, dalam risalahnya, Dar Boreh-e Hukamo va Ushuliyyin va Shufiyeh, menuliskan:
Harus dicamkan, kalau saja akal manusia independen, sudah tentu Allah Swt tidak akan mengutus para nabi dan rasul ke tengah mereka seraya menyerahkan semua kepada akal mereka. Padahal tidaklah seperti itu. Kita diperintahkan Allah untuk menaati para nabi dengan firman-Nya, ”Apa yang dibawa Rasul kepada kalian ambillah, dan apa yang dilarangnya jauhilah." Di masa Rasul, semua masalah dirujuk kepada beliau, sampai menjelang wafat, beliau bersabda, "Aku tinggalkan dua pusaka besar: Alquran dan Ahlul Bait." [Karenanya] beliau merujukkan kita kepada Alquran dan Ahlul Bait.
Dengan begitu, berkenaan dengan seluruh persoalan agama, baik yang berhubungan dengan ushuluddin dan furu’udin, kita harus merujuk mereka. Dan menjelang kegaibannya (dari tengah umat), imam berkata, ’Kalian merujuk riwayat kami dan para
p:183
perawi hadis kami dalam persoalan-persoalan yang tidak jelas bagi kalian.' Dengan demikian, semata-mata kesalahan bila dalam perkara-perkara itu bertindak independen hanya dengan akal, menakwil [ayat] Alquran dan hadis mutawatir dengan isu— isu lemah para filosof, dan berpaling dari Alquran dan Sunah(1)
Segera usai mengomentari sebuah riwayat dalam Bihar Al-Anwar, Majlisi menambahkan:
Jelas bagi kalian bahwa mereka (kaum Akhbari) telah menutup pintu akal setelah mengenal Imam, memerintahkan orang agar merujukkan segala perkara kepada mereka, dan melarang bersandar dalam setiap masalah kepada akal yang serba kurang (naqis).(2)
Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa dalam persepsi Allamah Majlisi, fungsi dan cakupan akal sekaitan dengan masalah-masalah keagamaan hanya sebatas pengenalan terhadap imam. Selain itu, akal tak lagi bernilai. Padahal, menurut Allamah Thabathabai, bila setelah mengenal imam peran akal dianggap gugur, maka akan gugur pula seluruh prinsip ketuhanan, kenabian, dan imamah, karena akal merupakan fondasi semua itu. Bagaimana mungkin menarik sebuah konklusi dari akal lantas, dengan meletakkannya sebagai basis, menyatakan gugur hukum-hukum akal yang lain?!(3)
Mulla Muhsin Faidh Kasyani adalah ulama besar Iain yang, menurut pengakuannya sendiri(4), tergolong Akhbari moderat. Ia mengulas masalah akidah dalam prolog bukunya, Ilm Al Yaqin fi Ushul Al-Din. Ia mengkritik penjelasan seputar masalah ushuluddin
p:184
dan wacana keagamaan mengikuti metode yang digunakan kalangan filosof dan teolog. la juga meyakini bahwa pelibatan riwayat dan hadis para imam menjamin keutuhan dan kemantapan dalam menjelaskan keyakinan agama.(1) Di sepanjang bukunya, ia berusaha menjelaskan pelbagai masalah keyakinan berdasarkan metode ini. Kesimpulannya, ruang lingkup dan skala pemikiran Akhbariyah, entah modelnya yang klasik maupun kontemporer, tidak hanya berkisar pada masalah fikih, tetapi juga berurusan dengan masalah- masalah keyakinan dan etika. Ini artinya bertolak belakang dengan generalisasi yang diupayakan pengikut Akhbari sendiri.
Tidak semua kaum Akhbari punya pandangan sama terhadap akal, berikut potensinya menyingkap realitas dan fungsinya memediasi hukum syariat. Sebagian mereka menyatakan bahwa dalam semua bidang, akal sama sekali tidak dapat dikategorikan sebagai sumber pengetahuan. Sebab, produk akal dan argumentasi rasional tak lain hanyalah imajiner dan hipotetis.
Akan halnya mayoritas Akhbariyah menerima fungsi akal yang mampu menyingkap realitas dalam berbagai persoalan sejauh tidak berhubungan dengan agama. Pembatasan ini menegaskan pendirian mereka, dengan pelbagai alasan, untuk tetap memandang akal dan data-datanya tidak valid dalam lingkup ajaran agama, "Martabat agama terlampau tinggi di atas akal.” Juga telah dikemukakan, bagaimana pola Allammah Majlisi, antara lain, membatasi fungsi akal hanya dalam rangka mengenal imam maksum. Selain itu, ia (akal) tidak mampu menjangkau ambang ilmu-ilmu Ilahi.
Dengan kata lain, pandangan kaum Akhbari seputar akal dapat ditelaah dari dua sisi; epistemologis dan ushul fikih. Yang pertama berurusan dengan potensi akal menyingkap realitas, dan
p:185
yang belakangan terkait dengan fungsi akal memfasilitasi metode pembuktian hukum syariat.
Dalam kerangka ini, Mulla Astarabadi, misalnya, tidak mengategorikan akal sebagai bagian dari sumber pengetahuan; baik dalam lingkup keagamaan maupun non-agama. Karena pada dasamya, dia mengklasifikasi pengetahuan dalam dua jenis: pertama, pengetahuan yang berbasis pada indra dan pengalaman empiris; dan kedua, pengetahuan yang berhubungan dengan masalah—masalah metafisis dan non-indrawi. Jenis kedua inilah yang dianggapnya tidak memiliki kesimpulan yang pasti dan meyakinkan.
Wajar bila dengan paradigma epistemologis seperti ini, Mulla Astarabadi tidak menyisakan sedikitpun posisi dan peluang akal untuk aktif di ranah agama. Adapun bagi rata-rata pengikutnya, nilai validitas akal dan produk-produknya diakui secara epistemologis, kendati dari sudut pandang ushul fikih diklaim invalid.
Apa pun keragaman itu, seluruh pengikut Akhbariyah sepakat dengan asumsi bahwa akal tidak valid di ranah agama, selain tak dapat diangkat sebagai sumber [pengetahuan] agama yang sejajar di sisi Alquran dan Sunah. Tanpa kehilangan poin utama tadi, berikut ini sejumlah dalih yang mereka kemukakan sebelum mengkritisi argumentasi rasional dan tekstual mereka.
Setelah mengutip beberapa riwayat yang rnengistimewakan akal, Syeikh Hurr Amili (w. 1104 H) menulis seputar invaliditas akal:
Tak satu pun riwayat mengenai akal yang menjelaskan validitas akal semata dalam konteks hukum keagamaan. Maksudnya, akal tidak valid dalam hal yang wajib, sunah, haram, boleh (mubah), dan sejenisnya.(1)
Pada kesempatan lain, dalam Bihar Al-Anwar, Allamah Majlisi juga menyebut soal tidak validnya akal:
p:186
Wahai saudara seiman! Janganlah kalian berbicara atas dasar akal kalian, terutama dalam [menjelaskan] maksud agama dan Tuhan; karena betapa hukum swabukti (badihi) akal kerap rancu dengan dugaan—dugaan yang nyata(1)
Dalam hal ini, Sayyid Nikmatullah Jazairi (w. 1112 H) membubuhkan catatan:
Semua yang diperoleh akal hanyalah dugaan, imajiner dan, paling maksimalnya, dugaan dan spekulasi semata.(2)
lni juga tampak dalam kesimpulan Syeikh Yusuf Bahrani (w. 1186 H), tepatnya setelah menjelaskan beberapa riwayat yang mengecam pendapat subjektif dan kepercayaan pada akal. Ia menuliskan:
Masih banyak riwayat mutawatir, dari segi makna, yang membuktikan bahwa syariat bersifat Tauqifiyah (ketentuan Tuhan), hingga akal sama sekali tidak berperan dalam proses penyimpulan hukum.”
Guna menguatkan klaim, kaum Akhbari bersandar pada jurnlah besar riwayat dari para imam(3)yang mengandung penentangan terhadap intervensi akal, pendapat subjektif, dan qiyas di ranah agama. Orang-orang yang memeluk agama berdasarkan akal diramalkan hidupnya bakal berakhir buruk. Seperti sebelumnya, telah dijelaskan sejumlah riwayat yang berkenaan dengannya. Hanya pada kesempatan ini,
akan dikemukakan sebagian lain yang dijadikan rujukan kaum Akhbari.
p:187
Dari Abu ]a’far (Imam Muhammad Bagir); beliau berkata, "Sesungguhnya Allah tidak melimpahkan perkara dan penciptaan- Nya kepada para malaikat muqarrob, tidak juga kepada para nabi yang diutus. Akan tetapi, Dia mengutus sekelompok malaikat seraya berfirman, ’Katakanlah demikian-demikian.’ Demikianlah Dia memerintahkan yang wajib dan melarang yang dilarang kepada hamba-hamba.(1)
Abu Bashir meriwayatkan dari Abu ]a’far (Imam Muhammad Baqir); dia berkata, "Kami mendapatkan masalah-masalah yang tidak kami temukan jawabannya dalam Alquran dan Sunah. Bolehkah kami menanganinya dengan akal?” Imam menjawab, ”Tidak boleh! Jika [dengan itu] mendapatkan jawaban yang benar, kalian tidak mendapat pahala, dan jika keliru, kalian berarti telah berdusta kepada Allah.(2)
Abul Hasan berkata, "Barangsiapa mengamalkan sesuai pendapat pribadinya akan binasa; barangsiapa meninggalkan Ahlul Bait Nabi-Nya pasti sesat; dan barangsiapa meninggalkan Kitab Allah dan sabda Nabi-Nya niscaya kufur.(3)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, ”Seorang mukmin tidak meraih agama dari pendapat pribadinya, tetapi agama datang dari Tuhannya lalu dia meraihnya.(4)
Tampak sekali bagaimana para imam mewanti-wanti para pengikutnya untuk tidak menggunakan pendapat subjektif serta bergantung pada akal terbatas (naqis) dan kerancuannya. Darinya dapat dipahami bahwa sekalipun benar, pandangan seseorang tetap tak bemilai. Para malaikat muqarrab dan para nabi utusan Allah saja tidak punya posisi apa-apa, terlebih posisi manusia biasa dengan akalnya yang dangkal dan rancu. Itulah posisi yang dijelaskan
p:188
Tuhan saat berbicara tentang rasul-Nya yang teragung dan termulia, ”Seandainya dia (Muhammad) mengatakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya" (Q5 Al- Haqqah
[69]: 44-46). Sebagai hamba yang bodoh dan lemah, mana mungkin manusia menyandarkan dirinya pada akal, termasuk menjadikannya
salah satu sumber penyimpulan hukum dan jalan menempuh agama Allah.
Sebelumnya telah dikemukakan sejumlah kritik terhadap pemaknaan hadis-hadis yang dirujuk kaum Akhbari untuk menjustifikasi invaliditas akal. Berikut sejumlah tambahan mengenainya.
Pertama, kandungan hadis-hadis itu, paling-paling, menyinggung invaliditas akal dalam segala masalah sejauh kaitannya dengan agama. Jadi, bukan secara mutlak dan dalam masalah apa pun, produk akal hanyalah berupa asumsi dan spekulasi belaka. Karena itu, kalaupun hadis-hadis itu bisa digunakan untuk mendukung pendapat sekelompok Akhbariyah Moderat, tetap saja tidak dapat membuktikan kebenaran tesis Astarabadi dan semisalnya, karena skala klaim-klaim mereka ini lebih luas dari sekadar kandungan hadis-hadis tersebut.
Kedua, sebagaimana telah dikemukakan, selain hadis-hadis tersebut, terdapat pula sejumlah riwayat lain yang justru mengagungkan akal. Riwayat-riwayat itu berisi anjuran untuk mengandalkan akal dan daya intelektual secara proporsional seraya menyebutnya sebagai BUKTI (hujjah) Allah bagi hamba-hambaNya.
Imam Musa Kazhim berkata7'Hai Hisyam! Sesungguhnya Allah telah mengutus dua bukti (hujjah) kepada manusia; yang lahir (zhahirah) dan batin (batiniah). Adapun bukti lahir adalah para
p:189
Akal dan Wahyu
nabi, rasul, dan imam. Sedangkan bukti batin adalah akal.(1) Imam Shadiq berkata, ”bukti Allah atas hamba-hamba-Nya adalah nabi dan bukti antara hamba dan Allah adalah akal.(2) Ketika ditanya, ”Saat ini, apa bukti atas manusia?", Abul Hasan menjawab, ”Akal. Dengannya diketahui pejujur tulus pada Allah hingga mempercayai-Nya, dan orang pendusta terhadap Allah hingga mengingkari-Nya."(3) Lain dari itu, cukup banyak ayat Alquran yang menaruh perhatian khusus pada akal dan seruan untuk memfungsikannya.
Allamah Thabathabai mengatakan,(4) "Lebih dari tiga ratus ayat dalam Alquran mengungkapkan keagungan dan signifikansi akal serta mengingatkan manusia agar berpikir dan menggunakan akal serta metode produktif dan selamat ini.”
Perlu dicatat, sejumlah Akhbari juga menyadari sekian banyaknya ayat dan riwayat yang memuliakan akal, bahkan jelas-jelas menegaskan nilai validitasnya. Karena itulah mereka berusaha
dengan cara tertentu menafsirkannya demikian:
Tak diragukan lagi, akal fitri yang lurus merupakan salah satu bukti Allah Swt; pelita penerang yang berasal dari-Nya. Akal demikian bukan hanya koheren dengan syariat, bahkan termasuk syariat internal, sementara Alquran dan Sunah merupakan syariat eksternal. Akal fitri ini sampai kapan pun tak akan pernah berubah [dan resisten] terhadap kekeliruan, fanatisme, nafsu kedudukan, dan lainnya, serta dari seluruh penyebab lain... setinggi-tinggi maksud dari dalil-dalil itu ialah sanjungan untuk akal fitri yang lurus dan mumi dari segala kekeliruan pikiran dan kotoran jiwa. Akal dalam pengertian inilah yang disebut dengan
p:190
Hujjah ’bukti’ Allah. Karena, dengan cahaya suci dan fitrah dasar (Fitrah Awaliyyah), akal itu memahami sebagian kewajiban, juga siap untuk menerima kewajiban lain dari syariat.(1)
Sebelum itu, kalangan pemikir dan mujtahid klasik sebenamya tidak mendudukkan secara baik maksud mereka dari dalil akal dan nilai-buktinya (al-dalil al-’aqli wa al-hujjiyyah).(2) Hingga paruh kedua abad VI, tak satu pun fuqaha besar secara resmi menyebutkan akal sebagai sumber mandiri, sejajar dengan Alquran dan Sunah, bagi proses penyimpulan hukum syariat. Ibnu Idris (w. 598 H) barangkali menjadi ahli fikih pertama yang terang-terangan menyebutkan akal sebagai salah satu sumber penyimpulan hukum, bersama Alquran dan Sunah.(3) Kendati dalam hal ini, ia pun tidak menjelaskan maksudnya dari ‘dalil akal’ secara memadai. Setelahnya, Muhaqqiq Awwal (w. 676 H) menjelaskan sedikit banyak pengertian dari terma tadi dalam prolog bukunya, Al-Mu’tabar.(4) Lagi-lagi, ia juga mencampur aduk pembahasannya dengan sejumlah masalah lain, terutama yang terkait dengan tema al-zuhur al-lafzdi seperti: lahn al khitab,(5) fahwa al-khitab‘(6) dan dalil al-khitab“(7)
Kesimpulannya, sekalipun dalil akal dan nilai-buktinya (al-dalil al-’aqli wa al-hujjiyyah) sudah disepakati kalangan Ushuli, namun tak satu pun dari mereka yang menjelaskannya secara menyeluruh,
p:191
berikut batasan-batasannya. Barangkali boleh dibilang, bagi kaum Ushuli sendiri, cakupan persoalan tentangnya masih belum terlalu jelas.(1) Selain menjadi faktor penyalahgunaan dan serangan gencar kaum Akhbari terhadap kelompok Ushuli, masalah ini pada gilirannya membuat mereka malah kalut kebingungan.
Berkenaan dengannya, ungkapan Syeikh Yusuf Bahrani dalam Al-hadaiq Al-Nadhirah, memberi kesaksian tentang adanya kesalahpahaman dan kerancuan mereka.
Tentang dalil akal. Satu kelompok memahaminya sebagai asas bebas (ashl al-bara'ah) dan asas kelanjutan (istishhab). Kelompok kedua hanya memahaminya sebagai asas kelanjutan. Kelompok ketiga memahaminya sebagai lahn al-khitab, fahw al-khitab dan dalil al-khitab dan dalil al-khitfib. Dan kelompok keempat memahami dalil akal sebagai asas bebas, asas kelanjutan, dan talazzum ’korelasi' dua hukum seperti: pendahuluan wajib (muqaddimah al—wajib), masalah pertentangan (dhidd), dan signifikasi konotatif (daladah iltizamiyah).(2)
Untuk membuktikan klaimnya dan menerangkan kekeliruan melibatkan akal di bidang ushuluddin dan furu’uddin, Akhbari menghlmpun banyak argumentasi rasional (?!). Kekuatan aklani ini lebih mereka pusatkan untuk menghantam pemikiran kaum Ushuli. Hanya saja, semua argumentasi yang mereka andalkan itu masih bersifat umum yang, kalaupun valid dan kokoh, justru tidak sekadar menggugurkan fungsi akal sebagai medium (thariqiyyah) hukum syariat, melainkan juga menafikan potensinya sebagai penyingkap realitas (kasyifiyyah).
p:192
Berkenaan dengannya, Sayyid Nikmatulah Jazairi (w. 1112) mengatakan, "Apa maksudnya mengatakan dalil akal sebagai salah satu sumber agama yang terkandung dalam ushuluddin, ushul fikih, juga furu’ddin? Kalau maksudnya adalah dalil yang dapat diterima akal dan setiap orang berakal, itu tak ada wujudnya di alam nyata. Perselisihan akal setiap orang dalam menyingkap realitas; penyempurnaan produk-produk akal generasi terdahulu berkat upaya generasi berikut; perumusan argumen baru untuk mempertahankan klaim-klaim lama; adalah rangkaian fakta yang menguatkan tidak adanya hukum akal yang diterima semua kalangan. Bila dalil akal itu dimaksudkan sebagai sesuatu yang diterima si pemilik dalil, ini akan menurunkan sekian absurditas yang tidak dapat djpertahankan. Sebab, masing-masing kalangan mengklaim punya dalil akal untuk tiap-tiap pemikirannya. Entah filosof, sufi, sampai kaum Mu‘tazilah dan Asy’ariyah, akan mengklaim diri punya cukup dalil akal yang kokoh demi membela mazhabnya. Karena itu, dalil akal tidak dapat dikategorikan sebagai sumber pengetahuan agama yang valid, karena senjata penumbuk dan penebas justru berada di tangan lawan.‘(1)
Sebagian Akhbari, dalam menjustifikasi asumsinya seputar dalil akal, merujuk isu-isu dan kritik-kritik yang dilontarkan Fakhru Razi. Di antaranya:
Perkara-perkara yang disebut burhan (demonstrasi logis) ini, kalau memang itu benar-benar burhan, setiap orang yang mendengar dan memahaminya pasti menerima dan tidak menolaknya. Namun kita saksikan, apa yang diklaim satu pihak sebagai burhan ternyata tidak menghasilkan sekalipun dugaan [apalagi keyakinan] untuk pihak lain. Ini bukti bahwa perkara-perkara itu pada dasarnya bukanlah burhan, melainkan serangkaian premis rapuh yang dilengkapi dengan fanatisme dan hawa nafsu, lantas dianggap sebagian orang sebagai burhan Gejala ini membuktikan
p:193
bahwa adakalanya perkara yang tidak akurat dan keliru justru dianggap akal sebagai kebenaran. Kesimpulannya, pandangan akal, sekalipun dalam aksiomatika, tidak dapat diterima. Karena itu, semua dalil akal tidak benar.“(1)
Dari statamen ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada yang namanya akal sebagaj penyingkap realitas dan penghasil konklusi yang meyakinkan. Kalau memang itu ada, pasti diterima oleh orang-orang berakal sejagad dari agama dan aliran apa pun. Tambahan lagi, bila suatu konklusi muncul dari premis swabukti (aksiomatis) dan benar-benar aklani, maka nilai kebenarannya akan kokoh langgeng sehingga tidak menyisakan kemungkinan perubahan pandangan orang yang menyakininya. Nyatanya, banyak ditemukan pemikir dan filosof yang meninggalkan pandangan lamanya setelah menemukan data-data baru, lalu merumuskan pandangan barunya. Semua ini merupakan bukti bahwa dalil akal tidak valid dan tak mampu menyingkap realitas.
Sanggahan paling minimal yang mungkin diajukan adalah inkonsistensi dan swakontradiksi seluruh argumentasi. Dengan menggunakan dalil akal, kaum Akhbari praktis telah bermaksud menetapkan kekeliruan dalil akal. Sadar atau tidak, mereka ibarat duduk di sebuah batang pohon sambil memotong pangkalnya. Menerima argumentasi rasional mereka dan konsisten pada implikasi-implikasinya akan menurunkan konsekuensi yang tak terelakkan, yaitu mengakui validitas akal dan potensinya sebagai penyingkap (kasyifiyyah) realitas.
Mengenai fakta terjadinya kekeliruan dalam pengetahuan aklani, ini tidak layak diacu sebagai alasan untuk mengesampingkan akal. Bukankah kekeliruan juga terjadi dalam pengetahuan indrawi?
p:194
Bagaimana mungkin kaum Akhbari mengakui indra sebagai instrumen menyingkap realitas,(1) sementara pada saat yang sama, juga menolak akal sebagai wahana untuk itu hanya lantaran adanya kesalahan di beberapa kasus?!
Perlu dicatat, pertama: maksud validnya hukum akal sejauh relevan dengan hukum-hukum rasional yang meyakinkan (qat'i) dan pasti kebenaranya,(2) bukan yang bersifat hipotetis (zhanni). Dengan hukum-hukum pastinya dan bebas dari sangka, duga dan qiyas, akal merupakan bagian dari sumber agama dan alat penyimpulan hukum syariat._
Kedua, kapan saja, di mana saja, dan dengan Cara apa saja suatu keyakinan (qath'i) diperoleh seseorang, nilai-bukti dan validitasnya adalah substansial (dzati) atau, paling tidak, konsekuensi dasar dari substansi keyakinan. Karena pada prinsipnya, hal-hal substansial dan konsekuensi-konsekuensinya bukanlah objek penetapan dan konvensi, atau dalam istilah kaum Ushuli, ”tak tersentuh tangan penetap; entah secara negatif atau positif".(3)
Dengan kata lain, sebuah nilai—bukti atau validitas bukanlah komponen tambahan yang lalu dicari dan dikomposisikan dengan keyakinan (qat'i), karena akan terjadi absurditas tahsil haasil (mengupayakan yang sudah ada). Demikian halnya, nilai-bukti itu juga tidak bisa dilepas dari keyakinan, karena akan terjadi absurditas lain, yaitu salb al-syay an nafsihi (negasi terhadap diri sendiri). Darinya dapat dipahami istilah kaum Ushuli di atas, bahwa tidak mungkin menetapkan sekaligus menafikan validitas keyakinan.
Dalam keterangan salah satu tokoh Ushuliyah, status keyakinan ini didekatkan lewat analogi sinar matahari yang memperlihatkan apa saja yang dapat diindra. Umpama, seseorang kehilangan kuda hitam miliknya di tengah gelap malam. Dia baru berhasil melihat
p:195
kudanya setelah matahari terbit. Lalu, apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia mengejar kudanya, mengikatnya dan membawanya pulang? Ataukah membiarkannya begitu saja: diam sambil duduk, tunduk merenung serta menganalisis nilai—bukti dan validitas penglihatannya itu? Tidakkah Cara seperti ini layak dijadikan tertawaan setiap orang?
Intinya, validitas adalah konsekuensi dasar dari substansi keyakinan; sebagaimana genap bagi subtansi empat. Tentu saja, konsekuensi dasar apa pun sama hukumnya dengan substansinya, yakni niscaya secara apriori.
Dengan poin di atas, lalu bagaimana membuktikan validitas dalil akal? Hanya ada dua jalan; rasional dan tekstual. Implikasi jalan pertama adalah absurditas taqaddum al-syay' 'ala nafsihi (sesuatu mendahului dirinya sendiri). Sementara implikasi jalan kedua juga absurditas daur (siklus), karena validitas dalil tekstual sebenarnya juga bersandar pada akal. Konklusinya, validitas dalil akal tidak bisa dibuktikan, tidak juga bisa digugurkan. Dengan predikat seperti ini, masalah validitas dalil akal hanya dapat didudukkan di depan dua kemungkinan; jelas secara substansial (ma'lum bi al-dzat) atau tidak jelas secara substansial (majhul bi al—dzat). Karena itu, masalah ini tidak bisa diusahakan pembuktiannya. Yang hanya bisa dilakukan adalah mengikis keraguan yang muncul dan menggugah kesadaran (tanbih) terhadap validitas dalil akal(1)
Berdasarkan seluruh ulasan di atas, tampak bagaimana cara kaum Akhbari mengklaim akal dan data-data aklani sama sekali tak bernilai. Oleh karena itu, tema yang mereka sebut dengan ”akal versus teks” sebenarnya tak pernah mengemuka sebagai duduk
p:196
persoalan, apalagi berusaha mencari jalan penyelesaiannya, karena tema pertentangan itu turunan dari asumsi validitas akal dan teks secara sekaligus. Jadi, suatu pertentangan mungkin terjadi bila kedua-duanya diakui sebagai hujah ’bukti’. Akan halnya bagi orang yang menolak akal demikian adanya, dan hanya mengakui validitas teks, pertentangan itu tentu saja tidak akan terjadi, sama sekali.
Perlu juga untuk disinggung, sebagian tokoh Akhbariyah mengakui validitas akal fitri, dan tentunya mereka juga merancang jalan keluar bagi kemungkinan terjadinya pertentangan antara akal dan teks. Namun demikian, mereka selalu mengedepankan teks dalam semua hipotesis yang memberi kemungkinan pertentangannya dengan akal. Pendirian ini akan tetap mereka pertahankan, sekalipun argumentasi akal terkait dengan akal fitri yang sudah mereka akui sebagai hujjah Allah sekaligus nabi internal. Dalam keadaan apa pun, mereka tidak sudi mendahulukan akal di atas teks."(1)
p:197
p:198
p:199
selain menempatkan akal di kursi yang selayaknya, khazanah Islam juga melegitimasi ilham dan penyaksian batin. Alquran menekankan pencarian agama dan Tuhan sebagai perkara fitri.' Seimbang dengan desakannya untuk berpikir dan tadabbur, ia bahkan menyatakan keheranannya terhadap gejala keraguan, misalnya, seputar wujud Tuhan: ”Apakah ada keraguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?! (1)
Pelbagai mutiara hikmah dari para manusia suci juga aktif menekankan nilai pengetahuan hati (ma’rifah qalbiyyah). Dengan tegas mereka menyatakan bahwa mereka tidak menyembah tuhan yang tak terlihat mata hati.(2) Dalam sebuah penggalan dari munajatnya di Arafah, Imam Husain berbicara kepada Tuhannya:
Apakah selain-Mu memiliki penampakan yang tidak Engkau miliki hingga itu menjadi penampak bagi Diri-Mu? Kapankah Engkau pemah tersembunyi sehingga Engkau perlu bukti yang menjelaskan Diri-Mu? Kapankah Engkau pemah jauh hingga Engkau perlu tanda-tanda yang dapat menuntun ke arah-Mu? Butalah mata yang tak melihat-Mu(3)
Dalam Islam, ’irfan yang hakiki juga bersumber dari mata air bening semacam ini. Di satu pihak, kendati memosisikan akal lebih rendah dari hati, namun irfan tidak serta merta menganggapnya sama sekali tak berarti. Di lain pihak, 'irfan juga tidak menempatkan penyingkapan ruhani dan penyaksian batin (kasyf wa syuhud) manusia lebih tinggi dari wahyu Ilahi, kalau bukan malah senantiasa menimbang hakikat batin ruhani dengan neraca akal dan wahyu.
Selain para maksum, banyak arif Muslim yang menempuh perjalanan ruhani (sair-suluk) di atas jalan Alquran dan Sunah. Mereka hidup serba zuhud dan melakukan pelatihan spiritual
p:200
(riyadhah) tanpa terlalu peduli dengan khirqoh 'jubah sufi’ dan khonqoh ’sanggar sufi’.(1)
Rata-rata arif adalah ahli fikih yang komit pada hukum syariat. Secara cermat mereka sanggup mengorganisasi akal, penyingkapan ruhani dan penyaksian batin seirama dengan syariat dan wahyu. Mereka tidak akan melakukan suatu perbuatan tanpa memiliki dasar syariat yang jelas. Kini, dunia melihat representasi dari model 'irfan itu—yakni selaras dengan Alquran dan akal, tidak toleran terhadap sedikit pun penyimpangan syariat—pada sosok pendiri Republik Islam, Imam Khomaini. Mereka mengenalnya sebagai mujtahid fiqh- minded sekaligus pesalik rasionalis.
Berbeda dengan umumnya penghuni ’sanggar sufi’, arif besar ini meyakini tingkatan hakikat tidak mungkin dapat dicapai selain melalui ibadah dan pengamalan hukum syariat. Ia menekankan bahwa hanya lewat jalur syariat, tarikat dan hakikat dapat ditempuh. Keliru bila dianggap itu bisa dicapai tanpa pengamalan hukum syariat.(2)
Meski begitu, yang justru paling populer dan menarik opini dari sekian kecenderungan ’irfan dalam agama Islam adalah kelompok yang, karena satu dan lain hal, lantas menamakan diri sebagai sufi. Dalam banyak diskursus, dua nama ini (arif dan sufi) juga sering diartikan identik.(3)
p:201
Yang disayangkan, aliran sufi atau tasawuf itu sejak awal sudah dirancukan oleh sikap miring dan doktrin negatif. Yang terutama di antaranya adalah ketidakpedulian mereka terhadap ajaran wahyu dan syariat.(1) Oleh para tokoh besar yang mengidentikkan tasawuf dengan ’irfan, aliran tasawuf demikian ini disebut sebagai pseudo-tasawuf.
Tingkat keseriusan penyimpangan itu tidak sama di tengah kaum sufi di setiap kurun, sehingga banyak di antara mereka sendiri yang kritis meninjau ulang dari dalam dan melakukan gugatan serius terhadap sesamanya. Hilangnya komitmen terhadap syariat di kalangan kaum sufi itu dapat dijumpai dalam berbagai pola. Dalam bab ini, sebagian pola itu akan dianalisis secara khusus. Untuk itu, perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan dua poin pengantar berikut ini:
Pertama, analisis ini tidak dalam rangka mengukur sejauh mana komitmen dan konsistensi praktis kaum sufi terhadap hukum syariat, juga tidak untuk membuka pengadilan terhadap perselisihan mereka dengan kalangan fukaha seputar beberapa kasus hukum syariat. Akan tetapi, sejauh relevansinya dengan maksud buku ini, analisis akan difokuskan pada aliran yang memilih penyingkapan ruhani (kasyaf) dan penyaksian batin (syuhud) daripada sekian sumber pengetahuan; aliran yang praktis memosisikan sumber ini lebih tinggi di atas akal dan wahyu.
Bagi mereka, seperti diungkapkan Nicolson (1868-1945 M), kalam maktub Tuhan tak ubahnya dengan ayat mansukh ‘yang tak lagi
p:202
berarti apa-apa’ di hadapan penyingkapan ruhani clan penyaksian batini(1) Sebagai contoh, ada yang melakukan tarian dan permainan kaki, sekalipun menganggapnya haram. Atau, ada juga yang secara teoretis menghalalkan tarian dan merumuskan argumentasi untuk membuktikan hukum halalnya. Pendirian semacam ini adalah kasus-kasus yang tidak akan dianalisis dalam tulisan ini. Fokus di sini ialah sejajaran tokoh yang, selain mengakui haramnya tarian, tetap berusaha mencari peluang untuk menghalalkannya. Di balik pembuatan istilah-istilah seperti: tarikat dan hakikat, mereka berharap dapat menemukan jalan bebas dari hukum-hukum syariat. Dalam pandangan mereka, seolah-oleh nilai penyingkapan dan ilham syeikh tarikat lebih tinggi dari wahyu yang turun kepada para pembawa syariat (nabi).
Yang justru menakjubkan, ada sebagian kalangan terkemuka —di samping kapasitas mereka sebagai pakar dalam studi—studi filosofis sekaligus pesalik terpandang yang komit pada perjalanan ruhani (sair-suluk) syar’i —masih juga terjebak perangkap seperti itu. Entah sengaja atau tidak, mereka mengeluarkan pemyataan yang berbau kurang ramah terhadap syariat.
Dalam mengulas cinta semu (’isyq majazi), Mulla Shadra (w. 1050 H) berusaha menyimpulkan bahwa memandang paras yang indah dan mencintainya, sejauh tidak disertai motif dan nafsu binatang, bukan semata-mata perbuatan terpuji, tetapi itu bahkan patut diamalkan dalam menempuh tahap awal dari perjalanan ruhani.(2)
Kesimpulan ini, pada hemat Mulla Hadi Sabzawari, tidak menyisakan selain kontradiksi yang sangat jelas antara hukum tarikat tersebut dengan hukum syariat yang telah mengharamkan perbuatan itu. Karenanya, dia lantas mencarikan pembenaran. Menurut Mulla Sabzawari, penyelesaian kontradiksi dua hukum syariat [halal dan haram] ini adalah sebagaimana interpretasi kaum Ushuli seputar
p:203
pertemuan perintah dan larangan pada satu objek hukum (Ijtima Al-Amr wa An-Nahiy).(1) Artinya, walaupun perbuatan itu dinyatakan terlarang dalam syariat yang telah dibawa Nabi, namun kaum arif dengan penyingkapan ruhani (kasyf) dan penyaksian batin (syuhud) telah menemukan unsur maslahat dan perintah [atau restu] syariat di dalamnya. Dan sebagaimana pendapat sebagian fukaha, suatu perbuatan bisa menjadi nilai baik dan objek perintah, sekalipun dari sisi lain, juga menjadi objek larangan dan nilai buruk.(2)
Patut digarisbawahi, kekeliruan justifikasi di atas tidak bisa ditimpakan pada pendapat umum Mulla Sabzawari. Mulla Shadra sendiri tidak menolelir pemisahan antara hukum syariat dan tarikat. Ia justru menderita kekecewaan begitu besar akibat perilaku kaum sufi yang anti atau bebas-syariat. Dalam karyanya, Kasr Aslam AI-Jahiliyyahh, ia mengeluhkan mereka sambil mengecam pendapat sebagian sufi di zamannya:
Karena punya kepercayaan yang dangkal dan serba awam orang-orang ini terlantar jauh dari ilmu hakiki dan pengetahuan rabbani. Di antara kepercayaan mereka, "Karena Tuhan tidak perlu ibadah kita, untuk apa melakukan ibadah?” atau, ”Syariat hanya untuk orang yang tertutupi hijab saja, bukan untuk orang yang telah mencapai Tuhan”, atau, ”Syariat hanyalah sebagai kulit luar. Sebelum membuang kulit, kamu tidak bisa mencapai
p:204
isi rahasia yang tersimpan di dalamnya.” Masih banyak lagi omong kosong selain ini.(1)
Kedua, nama siapapun tokoh yang disinggung tidak lain dari semata-mata untuk menganalisis pandangan yang dinisbatkan kepadanya. Jadi, tidak ada maksud di sini untuk mengkritisi ad hominem pribadi tokoh. Bab ini diupayakan sebatas menukil statemen dan mendiskripsikan sikap para SYEIKH sufi, yaitu dengan merujuk karya-karya yang dianggap standar oleh mereka sendiri, tanpa melibatkan karya-karya penentang mereka. Dengan cara ini, kemungkinan keliru dalam penisbatan tadi dapat diminimalisasi.
Alhasil, banyak kisah sejenis dalam karya-karya yang ditulis di sepanjang abad yang berbeda-beda. Menukil dan mengeksposnya adalah bukti bahwa banyak kaum sufi, ternyata, mempunyai kepercayaan istimewa pada syeikh mereka, belum lagi proses perjalanan ruhani (sair-suluk) mereka jalani di atas keteladanan figur tersebut.
Tidak sedikit tokoh tasawuf yang membedakan tiga istilah ini: SYARIAT, TARIKAT dan HAKIKAT. Masing-masing bahkan menafsirkannya secara beragam. Sebagian dari mereka beranggapan, tiga istilah tadi sebenamya satu, sehingga perbedaan yang ada terletak hanya pacla aspek konvensi (i’tibari).(2)
Kelompok sufi lainnya, dengan dukungan jumlah besar pengikut, beranggapan bahwa syariat dan tarikat tidak lebih dari sekadar tangga: manakala telah mencapai atap ’hakikat’, tangga ‘syariat’ dan ’tarikat' tak lagi berarti:
p:205
Karena ’telah sampai di atap langit
Tak lagi gairah mencari tangga!(1)
Dalam prolog bagian (dnftar) kelima dari Matsnawi Ma’navi, Jalaluddin Rumi (604-672 H) mendekatkan letak perbedaan trilogi terma tadi melalui pelbagai analogi. Salah satunya, syariat ibarat menelaah ilmu kimia; sedangkan tarikat, praktikum dari teori kimia; adapun hakikat, titik keberhasilan kimia dalam membuat emas:
Para pakar kimia bangga dengan ilmu yang dikuasai. Mereka mengatakan, ”Kami telah menguasai ilmu tersebut." Praktisi kimia pun bangga dengan apa yang telah mereka kerjakan. Mereka mengatakan, ”Kami telah berhasil menuntaskan pekerjaan itu." Peraih hakikat juga merasa bangga dan bertutur, "Kami telah bebas dari belenggu ilmu dan praktik kimia. Kamilah kaum bebas."(2)
Dalam analogi lain, syariat dimisalkan sebagai ilmu kedokteran; sedang tarikat, pemakaian obat sesuai dosis; adapun hakikat, pasien yang telah sembuh dari penyakit hingga tidak perlu lagi ilmu kedokteran dan pemakaian obat. Penggunaan berbagai bentuk analogi oleh Maulawi ini pun telah dikuatkan dengan ungkapan yang terkenal:
Bila telah nampak semua hakikat
’kan terabaikan segala syariat.(3)
Tak seberapa lama sebelum Rumi terlahir ke dunia, analogi senada juga dilontarkan Syeikh Aziz Nasafi (w. 616 H). Dia menukil sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi Saw, "Syariat adalah ucapanku;
p:206
tarikat adalah perilakuku; dan hakikat adalah keadaanku.” Ini lantas menjadi inspirasinya untuk menyusun kalimat:
Hai darwish (sufi)! Siapa saja yang menerima apa yang disabdakan Nabi tergolong ahli syariat; siapa saja yang menerima apa yang dilakukan beliau tergolong ahli tarikat; dan siapa saja yang melihat apa yang beliau lihat tergolong ahli hakikat.(1)
Kulit kacang temyata sempat juga menjadi materi analogi sebagian ahli tasawuf untuk trilogi istilah yang dimaksud. Keberadaan kulit untuk biji kacang adalah keniscayaan. Namun ketika biji kacang telah mencapai titik akhir dari perkembangannya, kulit itu tidak lagi diperlukan, kalau bukan malah harus dipecah untuk mendapatkan biji kacang. Dalam koleksium puitik Manzdumeh-e Gulsyan-e Roz- yang berkategori salah satu adikarya sastra ’irfan—Syeikh Mahmud Syabestari (687-720 H) merangkai puisi:
Biji kacang mana pasti rusak
semasih mentah km kupas kulit.
Kala mamng, in elok tanpa kulit
jikn biji kau inginkam, pecahkan kulit.
Syariat bagai kulit, kala biji andai hakikat
antara ini dan itu letak tarikat.
Sesampai arif pada hakikat
biji tlah matang, pecahlah kulit.’(2)
Sufi abad IX H, Syeikh Muhammad Lahiji, membubuhkan syarah atas bait-bait di atas dengan panjang lebar. Dia menafsirkan:
p:207
Karena tiba di lembah hakikat, pesalik washil (peraih hakikat)
mereguk air keindahan Dzat Pemilik-Keagungan dari cawan
penyaksian (musyahadah) hingga jatuh mabuk tak sadarkan diri.
Sesuai konsensus semua golongan, tinta tanggung jawab (taklff)
syariat tak berlaku lagi pada diri yang dalam kondisi tak-saclar
Karena itu, pengingkaran terhadap tinta syariat menjadi tidak
mungkin.(1)
Entah kenapa, penyarah ternama ini seakan telah membuat dilema untuk dirinya sendiri: apakah mungkin sufi itu telah mencapai derajat makrifat sebegitu tinggi, melebihi derajat para nabi hingga dia tidak perlu lagi mengamalkan ibadah?! Adakah yang meragukan tanggung jawab (taklif) seorang nabi itu jauh lebih berat di atas tanggung jawab umatnya, dan komitmennya pada syariat jauh lebih kuat dari semua orang?! Lantas, bagaimana mungkin sufi itu mencapai jenjang hakikat sehingga tidak perlu lagi syariat?!
Persoalan dilematis ini sebenamya disadari Syeikh Lahiji. Dengan tangkas dia mengurainya dengan cara: membagi tingkatan para sufi pesalik yang mencapai derajat hakikat menjadi tiga kelompok:
Pertama, sufi yang secara penuh telah tersungkur mabuk dan tak sadar diri. Sedemikian hanyut hingga dia tidak mungkin lagi terdampar di pantai kesadaran. Dia telah kehilangan akal. Maka, tanggung jawab syariat dan ibadah pun tidak lagi berlaku pada dirinya.
Kedua, sufi yang ibn al-waqt: terkadang sadar, kadang juga tidak. Dalam keadaan sadar, dia harus tetap menjaga batas-batas syariat dari dua sisi; (a) dia harus berada stabil dalam samudera kesatuan (wah-dah) agar dapat lepas dari ambiguitas dua kondisi tadi; dan (b) agar ia dapat menjadi syeikh ’pembimbing’ untuk orang lain.
Ketiga, sufi peraih hakikat yang, setelah terombang-ambing dalam samudera kesatuan, diperintah untuk meraih tangan-tangan yang masih tertinggal. Dari segi ini, dia tetap memikul beban
p:208
taklif dan ibadah. Dengan segenap pencapaian kesempumaan, kedekatan dan keyakinan penuh, dia diperintahkan langsung (min ’ind) oleh Allah untuk melaksanakan ibadah lahiriah dan batiniah, sebagaimana ”Wahai Ali! Jika Allah menghendaki seseorang mendapat petunjuk melalui dirimu, itu akan lebih baik bagimu dari segala apa yang terjangkau sinar mata-hari.(1) Titah ini dimaksudkan untuk menyempurnakan orang yang kurang dan memberi petunjuk kepada yang lain. Dengan meraih cinta llahi dan menyingkap (hakikat) mutlak, dia tidak mungkin menyimpang dari jalan syariat dan tarikat sehelai rambut pun. Dan atas dasar hukum ”Tidakkah aku layak menjadi hamba yang banyak bersyukur?”(2) dia senantiasa dalam posisi patuh dan taat.(3)
Tidak kurang menarik, justru banyak tokoh tasawuf mereaksi klaim ”Karena hakikat telah tersingkap, syariat tidak lagi berarti". Bukan hanya membantah keras, mereka bahkan memvonis kafir dan ateis penganutnya.(4) Namun secara praktis, kondisi mabuk yang berasal dari doktrin tasawuf, dalam banyak kasus, dijadikan dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab syariat. Setidaknya begitulah yang tampak dari justifikasi beberapa tokohnya. Dalam pembelaannya atas khirqoh ‘jubah koyak', Hujwairi (w. pasca 465 H) menuliskan:
Mengenakan jubah koyak (khirqoh) bukanlah ajaran murni tarikat. Demikian pula, sima’ dalam kondisi sadar pun tidak diperkenankan, karena itu tidak lain dari israf. Tetapi, jika pelaku sima‘ telah lalai hingga tak sadar saat dipanggil namanya, maka
p:209
dalam kondisi itu mereka dimaklumi (uzur).(1)
Hal senada juga dinukil Aththar Naisyaburi (w. 618 1-1) dari Abu Yazid Bastami, (w. 261 H), ”]ika melangkah di atas jalan tarikat, hendaknya dia tidak melanggar syariat”.(2) Namun demikian, Aththar membuat apologia atas statemen seorang syeikh Sufi. Dalam rangka menyembuhkan kondisi buruk muridnya, syeikh itu menyuruh murid agar meninggalkan shalat. Demikian pembelaan Aththar:
Jika orang mengatakan, ”Apakah dibenarkan syeikh itu memerintahkan muridnya untuk meninggalkan shalat dan beristirahat?!", kami menjawab, ”la adalah tabib. Seorang tabib adakalanya mengobati dengan racun. Karena tahu kesembuhan murid dengan cara itu, maka ia menganjurkan demikian, kendati ia juga tahu keadaannya terjamin dan tidak bisa tidak harus melakukan shalat. Memang ada hal-hal dalam tarikat yang tidak sejalan dengan hukum lahiriah syariat Dan siapapun yang belum mencapai maqam ini dan baru melangkahkan kaki adalah zindiq dan antisyariat, kecuali ia berperilaku sesuai perintah syariat.(3)
Demikian juga Abdurrahman Jami (817-898 H). Dari satu pihak, dia bersikap keras terhadap kaum bebas-syariat yang menyatakan diri sebagai sufi, dan menyebut mereka dengan ungkapan seperti: "yang linglung di padang tandus liberalisme-syariat (Ibahah)(4)," "yang mengaku paling suci”, dan "yang berlebihan unjuk kefasikan dan kebejatan".(5) Namun dari lain pihak, dalam mengurai biografi Ma’syuq Thusi, dengan terang-terangan Jami menuliskan bahwa tokoh ini melakukan shalat. Lalu dia menambahkan:
p:210
Wahyu dan Penyaksian Sufistik Pada Hari Kiamat, kaum slriddfqfn membayangkan, ”Andai saja kami ini tanah, sehingga pada hari itu, sang kekasih Muhammad menginjakkan kakinya di atas tanah ini!"(1)
Para sufi aktif mencari pembenaran atas perilaku syeikh mereka yang bertentangan dengan syariat. Mereka adakalanya berdalih dengan ayat-ayat Alquran. Misalnya, ”Dan sembahlah Tulmnmu sampai datang kepadamu keyakinan". (QS AI-Hijr [15]: 99). Yakni, tujuan akhir penyembahan adalah mencapai yakin. Nah, lantaran tokoh-tokoh besar tarikat itu dipercayai sebagai representasi pencapaian yakin, mereka tidak lagi perlu amal ibadah.(2)
Sesampai arif pada hakikat
biji telah matang, pecahlah kulit.(3)
Kisah pertemuan dua nabi: Khidhir dengan Musa, kerap diandalkan sebagai argumen kuat untuk memisahkan syariat dari tarikat. Cuplikan kisah ini telah dinukil Alquran.(4) Sebagai nabi agung, Musa diperintahkan Allah untuk menemui salah seorang hamba- Nya, dan belajar ilmu-ilmu khusus kepadanya.
Dalam riwayat, hamba Allah itu dikenal dengan nama Khidhir. Sejak awal, ia telah mengingatkan Musa tak akan sanggup menyertainya, karena ia (Musa) tidak tahu dimensi batin dari tindakannya. Namun Musa bersikeras menyertainya sambil berusaha meyakinkan Khidhir untuk tidak menyatakan protes atau reaksi apa pun.
p:211
Perjalanan mereka dimulai dari naik sebuah kapal. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba Khidhir melobangi kapal. Musa langsung berteriak seraya menegurnya. Namun setelah Khidhir mengingatkan janjinya untuk tidak memprotes, Musa pun diam dan meminta maaf.
Tindakan lain Khidhir adalah membunuh anak remaja yang, secara lahiriah, tak berdosa. Ini membuat Musa lupa akan janjinya hingga, lagi-lagi, bereaksi keras. Tatkala Khidhir membalas dengan mengingatkan janji itu, Musa meminta diberi kesempatan sekali lagi; jika kembali lupa janji dan menyatakan protes, itu akan menjadi awal perpisahan mereka.
Tidak lama kemudian, dua kekasih Allah ini mengalami rasa letih dan lapar. Setibanya di sebuah kampung, mereka memohon makanan kepada warga. Namun, tak satu potong roti pun yang mereka dapatkan. Maka, mereka bergerak hendak meninggalkan kampung. Dalam keadaan itulah mereka menjumpai sebuah dinding yang nyaris roboh.
Khidhir bergegas menghampiri dinding dan mengembalikannya berdiri sediakala. Melihat kejadian itu, Musa terheran—heran dan bertanya, "Paling tidak, engkau bisa mengambil dari mereka upah pekerjaanmu ini [sehingga rasa lapar dapat teratasi]". Protes inilah yang lalu menjadi momentum perpisahan dua nabi Allah. Sebelum berpisah, Khidhir as menerangkan kepada Musa as alasan dan rahasia di balik semua tindakannya.(1)
Alhasil, sebagian ahli tasawuf menekankan bahwa Khidhir bukanlah seorang nabi, dan karena itulah ia tidak mempertahankan tindakannya dengan dasar wahyu. Meski demikian, sikapnya yang bebas-syariat itu justru dilegitimasi Alquran. Dengan argumentasi ini, manakala perilaku ahli tarikat terlihat bertentangan dengan syariat, tidak selayaknya langsung dihujat dan diserang pelbagai tuduhan yang tak patut mereka terima.(2) Aththar Naisyaburi pernah menyampaikan:
p:212
Ada hal-hal dalam tarikat yang tidak sesuai dengan hukum zahir syariat, sebagaimana perintah-Nya kepada Khalil [Ibrahim], namun ia tidak mau melakukannya. Atau juga pembunuhan seorang remaja oleh Khidhir: Dia menghendaki agar melakukan itu, sekalipun bukan perintah.(1)
Dikotomi antara substansi agama dan hukum halal—haram syariat telah menjadi faktor penyebab munculnya pelbagai kelompok antisyariat; sebuah karakateristik yang kemudian mendapat reaksi keras dari kalangan sufi garis moderat. Sebagian mereka mengajarkan doktrin-doktrin seperti: membaca doa Nadi Ali, duduk melingkar di tepi hidangan mahabbah, dan meniup seruling sebagai alternatif pengamalan ibadah. Mereka tegas menyatakan, ”Karena kenal diri, darah ayah menjadi halal; karena tak kenal diri, air susu ibu menjadi haram".(2)
Namun, kebanyakan kelompok tasawuf tidak sepakat dengan radikalisme semacam itu. Mereka tidak percaya bila syariat bisa diabaikan secara total. Pada saat yang sama, kadangkala ucapan dan tindakan mereka mendahulukan sebagian ajaran tasawuf di atas ibadah syariat, sampai-sampai mengikuti syeikh tarikat diyakini lebih utama daripada komitmen pada hukum syariat,
Salah satu referensi tertua tasawuf adalah Manaqib Al-’Arifin; karya Syamsuddin Aflaki yang memfokuskan hampir separuh bagian—nya pada riwayat hidup Jalaluddin Rumi. Di dalamnya, dia menerangkan perihal orang yang secara teratur menegur Rumi agar sejenak berhenti mendengarkan irama musik gitar kecil dan mengingatkan waktu shalat (Ashar) kepadanya. Aflaki demikian mengungkap reaksi Rumi:
p:213
Tidak, tidak itu shalat, ini juga shalat lain; sama-sama menyeru Al-Haq (Tuhan). Yang satu menyeru yang lahir; yang lain menyeru yang batin demi cinta dan makrifat Al-Haq.(1)
Abu Said Abul Khair (375-440 H) juga punya pengalaman yang sama. Dia tidak menghentikan sima’ sufistiknya untuk menunaikan shalat. Sambil menari, dia berkata, ”Kita sedang shalat.”(2)
Jika perjalanan ruhani (sair—suluk) ’irfani dipahami demikian, maka untuk mencapai tujuan sejati—yaitu kedekatan (qurb) dengan Allah dan sampai (wishal) pada-Nya—dapat diperoleh melalui sarana, selain ibadah, yang lebih mantap dan memberi ketenangan. Hal itu terungkap dalam tanggapan Abu Yazid terhadap Dzul Nun Mishri (w. 245 H). Yang belakangan berpesan agar dia menghindari tidur dan istirahat, serta mengingatkan sebegitu cepat laju kafilah umur melintas. Namun Abu Yazid membalas:
Lelaki adalah manusia yang tidur sepanjang malam, namun
sampai Tujuan sebelum yang lain.(3)
Aththar juga punya catatan khusus tentang kehidupan Abu Yazid. Dia menuliskan:
Kata mereka, ”Engkau perintahkan kami untuk zuhud dan ibadah, sementara engkau sendiri tidak menambah zuhud dan ibadah!" Syeikh menyergah sebelum membalas, "Zuhud dan ibadah telah bebas dariku!" Salah seorang berkata, "Kenapa engkau tidak melakukan Shalat Malam?" Dia menjawab, ”Aku tak punya waktu. Aku selalu mengitari alam malakut. Di manapun ada yang terjatuh, kuraih tangannya", yaitu aku melakukan pekerjaan dari dalam diriku.(4)
p:214
Sebaliknya, salah satu kekhasan 'irfan sejati dalam Islam adalah penekanannya yang kuat atas makna dan hakikat yang terdapat dalam lapisan batin ibadah lahiriah. Lapisan ini ditampilkan begitu mencolok. Di dalamnya, syariat tak terkorbankan dengan alasan: demi meraih hakikat, tidak pula terdesak untuk menciptakan sistem baru selain syariat wahyuni.
Selama dalam kerangka ini bergerak, aliran tasawuf justru telah memberi konstribusi yang patut dibanggakan. Ini yang dialami Junaid Baghdadi (w. 297 H) saat menjumpai seorang Muslim yang berniat meninggalkan rumah untuk menunaikan ibadah haji. Kepadanya dia mengatakan, ”Seharusnya engkau juga meninggalkan maksiat. Tatkala menanggalkan baju harian untuk mengenakan pakaian ihram, seharusnya engkau juga menanggalkan keterikatan duniawi. Sesampaimu di Mina, kurbankanlah kehendak nafsumu.”“
Jelas, pola implementasi ’irfan tadi akan menciptakan relasi begitu erat antara amal lahiriah dengan makna batiniah. justru penyimpangan akan bermunculan ketika hakikat irfan hendak dituntut di luar jalur syariat wahyuni. Berikutnya, akan terbentuk syariat lain yang menggeser posisi agama Ilahi. Wajar bila akhirnya mereka mempercayai berkunjung kepada syeikh tarikat sama dengan ziarah ke Ka’bah, atau bergerak di seputar kuburan tokoh tasawuf sudah mencukupi tawaf di baitullah Ka'bah.“ Kepercayaan seperti ini dilapisi dengan sekian kisah terkait, seperti kisah pertemuan dan dialog Abu Said Abul Khair dengan Syeikh Abul Hasan Kharqani (w. 425 H):
Syeikh Abul Hasan mengatakan, "Wahai Syeikh [Abu Said]! Kulihat setiap malam Ka’bah mengelilingimu. Jadi, engkau tidak perlu lagi pergi ke Ka'bah. Kembalilah, karena mereka akan
42 Hujwairi: Kasyf A-Mahjub, hlm. 425.
43 Setiap ada murid (pemula tasawuf) yang hendak melakukan haji. seorang syeikh akan menyuruhnya pergi ke makam Syeikh Abul Fadhl seraya mengatakan. ‘Kamu harus berziarah dan berputar (thawaf) di kuburan ini sebanyak tujuh kali, barulah (terkabul tujuanmu (Muhammad bin Munawar: Asrar Al-Tawhid fi‘ Maqémat Al-Syeikh Abu‘ Sa‘id. hlm. 61. Juga ruj.. Abdur—rahman Jami: Nafahat Al-Uns. hlm. 284).
p:215
membawamu untuk hal itu, sehingga engkau telah menemui kami. Sekarang engkau telah menunaikan haji. Engkau telah menjejakkan kaki di lembah duka Abul Hasan. Engkau telah mendengar dan memenuhi labbaik panggilannya. Engkau telah berada di biara Arafahnya. Engkau telah menyaksikan lemparan nafas-nafasnya. Engkau telah mengorbankan Abul Hasan atas keindahan dirimu. Engkau telah melaksanakan shalat atas Yusuf- nya. Dan engkau telah mendengar teriakan sedih yang menyayat hati(1) Kembalilah! Jika tidak, engkau tidak akan menjadi seperti Abul Hasan. Engkau adalah pribadi kekasih alam semesta." Syeikh berkata: ”Kami bergerak menuju Bastam. Di sana kami berziarah lalu kembali.” Abul Hasan menyambut, ”Engkau telah menunaikan haji. Engkau akan menjalankan umrah.”(2)
Doktrin lain yang ditanamkan dalam syariat baru ini ialah asumsi "bid'ah para wali menduduki posisi sunah para nabi mulia”.(3) Atas dasar ini, ibadah puasa pun tidak terjaga dari tangan jahil manusia. Meski tahu Nabi Saw telah melarang puasa wishal,(4) mereka berusaha menjelaskan bahwa para syeikh menjalankan puasa itu karena mereka memiliki hukum-hukum khusus, bahkan memandangnya sebagai bagian dari karamah mereka.(5)
Begitu juga, dengan menukil aneka jenis hikayat, mereka berusaha menjelaskan bahwa pelaksanaan puasa yang sesungguhnya diridhai Allah adalah yang sesuai dengan perintah syeikh. Dia akan menghentikan puasa wishal seorang murid (sufi pemula) dengan memberi janji pahala sebulan atau setahun kepadanya. Jika ditanya kenapa, dia tegas membalas, ”Puasa tidak dapat diselesaikan", lantas
p:216
mengabarkan berita buruk tentang nasib akhirnya dan statusnya sebagai orang terusir dari sisi Tuhan. Untuk lebih meyakinkan, sang syeikh menambahkan, ”]adi, setelah beberapa saat tidak kembali muncul, ia pun diculik mereka sehingga kedua tangannya harus rela dipotong".(1)
Dari sekian doktrin tasawuf, akan kita temukan beberapa perkara yang, secara zahir bukan saja tidak sesuai praktik sair-suluk 'irfani, malah akan menambah jarak antara manusia dengan Tuhannya kian besar. Seperti menderap kaki, menyanyi, berkumpul dengan perempuan asing (bukan-muhrim), serta bermesraan dengan anak remaja berparas tampan, adalah perkara-perkara yang hukum haramnya — setidaknya pada batas tertentu — telah menjadi konsensus segenap kaum Muslimin. Dalam analisis optimistik mengenai asal muasal munculnya perkara tersebut dalam doktrin tarikat kaum sufi, akan dapat disimpulkan bahwa mereka telah memperlakukan tujuan sebagai alat pembenaran terhadap Cara. Seorang peneliti mengatakan:
Jangan disangka para sufi mengalami jadzbah ’hanyut-terpikat' tidak hanya dengan cara konvensi mereka seperti meditasi, zikir, dan cara-cara konvensional lain dalam rangka penguasaan jiwa, tetapi juga mereka menciptakan kondisi itu melalui musik, tarian dan nyanyian. Sedangkan istilah sima’ [yang arti leksikalnya tak lebih dari sekadar mendengar] sebuah paket yang mencakup cara-cara ini.(2)
p:217
Tarian dan sima’ sufistik merupakan model konkret yang memperkuat adanya kecenderungan bebas-syariat dalam aliran tasawuf. Selalunya perkara ini menjadi aksis diskursus dan materi perbincangan yang sangat produktif menghasilkan perbedaan antar pemikir. Bertolak dari ayat-ayat Alquran(1) yang memuat pelbagai bentuk derivatif kata sam’, sebagian pemikir mencela kalangan yang ’tak peka’ mendengar kalimat Al-Haq, sembari mengupayakan argumentasi syariat untuk memproses kehalalan sima’ sufistik.(2) Upaya itu terus dikembangkan sampai-sampai mereka gegabah membuat hadis yang menerangkan tarian dan sima' Nabi Saw!(3)
Namun, banyak juga dari jajaran tokoh aliran ini yang menolak ajaran di atas. Dengan tegas mereka tidak sekadar memberikan klarifikasi bahwa doktrin sima’ tidak pemah ada dalam syariat Nabi, bahkan menghukuminya sebagai perbuatan tercela dan cara haram. Uniknya, mereka mengibaratkan doktrin itu dengan daging bangkai yang hanya boleh dikonsumsi dalam kondisi terpaksa:
Dalam syariat, ada satu persoalan rutin, dan Anda pemah menyimaknya, bahwa dalam kondisi terpaksa dan terdesak maut, seseorang dibolehkan memakan bangkai dan hal-hal haram lainnya Kini, para kekasih Allah mengalami kondisi dan keterpaksaan demikian, ibarat di ambang jurang maut. Penanganannya hanya dengan melakukan sima’, tarian, ekstasi, dan suara nyanyian. Jika itu tidak dilakukan, wujud suci para kekasih Allah akan terbakar dan menjadi sia-sia saking agungnya kewibawaan manifestasi dan cahaya kebesaran Al-Haq.(4)
p:218
Selain pada fenomena sima', pola eksploitasi terhadap masalah fikih ini juga dikembangkan dalam menangani perbuatan haram yang lain. Abdullah Yafi’i (696-768 H), misalnya, pemah membenarkan praktik mencuri yang dilakukan Ibrahim Khawash hanya lantaran motifnya ingin membunuh hasrat popularitas dalam jiwanya. Dalam catatannya, hal itu diperbolehkan dalam kondisi terpaksa (dharurah), seperti halnya hukum bolehnya memakan benda najis untuk pengobatan sejumlah penyakit. Ia mengatakan, ”Dengan perbuatan haram itu, Ibrahim Khawash telah mengobati penyakit hatinya.(1)
Ada juga sebagian tokoh yang menerima ajaran, "Ketika berada di antara syariat dan tarikat, tidak ada prinsip apa pun selain menari."(2) Selanjutnya, mereka berusaha mengategorikan tarian sufi sebagai basis pesta derap—kaki yang benar-benar sakral. Dengan cara inilah kiranya mereka menemukan peluang hukum halal menjadi label ajaran, "Kapankah kondisi terpaksa itu akan datang? Tak ada tarian; tak ada main kaki; juga tak ada pembinaan watak. Lalu, kapankah jiwa akan luluh?"(3)
Perlu diketahui, tidak sedikit pemuka besar tasawuf menetapkan syarat tertentu untuk menyelenggarakan ritual tarian. Di antaranya, tidak diperkenankan usia remaja terlibat di dalamnya. Namun begitu, sebagian dari mereka percaya bahwa setiap anggota tubuh remaja masih dipenuhi hawa nafsu, dan tumpukan hawa nafsu itu harus berkurang. Ini menjadi dasar mereka untuk menetapkan bahwa keterlibatan kaum remaja dalam dosa ini (sima’) akan memalingkan mereka dari dosa yang lebih besar:
Jika mereka bertepuk tangan, nafsu tangannya akan hilang. Jika
mereka mengangkat kaki, nafsu kakinya akan kurang. Dengan
cara ini, hawa nafsu akan menyusut dari anggota tubuh mereka,
p:219
dan akan mencegah mereka dari melakukan dosa yang lebih besar.(1)
Bergaul dengan kelompok usia remaja yang berparas indah dan bermesraan dengan mereka merupakan contoh lain dari perbuatan yang dianggap penting oleh para sufi. Dalam konteks ini, mereka percaya bahwa tujuan suci dan kudus itu adalah alasan yang cukup untuk menggunakan Cara dan sarana sekalipun tercela.
Tatapam suci tak terhadang tirai mimpi
mana tempat sujud Tuhan; mana rumah berhala.(2)
Gejala sufistik ini tidak luput dari pelbagai reaksi. Sebagian tokoh besar tasawuf menyikapinya dengan penuh hati-hati, bahkan terkadang menganggapnya sebagai bencana yang menimpa warga tasawuf(3) Namun ada juga yang berapoligia keras, paras indah adalah tempat penampakan keindahan Tuhan. Selanjutnya, usaha mereka dikerahkan bagaimana dapat memberikan kesan baik pada perbuatan yang diharamkan syariat ini.
Padamu kami lihat dengan pandangan murni
kami lihat bukan karena syahwat dan nafsu.
Paras indahmu cermin kelembutan Ilahi
kami lihat kelembutan Tuhan pada dirimu.(4)
Dalam literatur sejarah, Awhaduddin Kirmani dikenal sebagai lelaki pemain bukti yang bersih."(5) Dalam pengakuannya, dia pemah
melihat rembulan dalam bejana air.(6)Di antara pengalamannya,
p:220
dia merobek pakaian beberapa anak remaja serta merekatkan dada mereka intim dengan dadanya. Ini berlangsung tepatnya ketika dia terbuai pesta sima’.
Tentang riwayat hidup Awhaduddin Kirmani, Jami
menerangkan:
Prasangka baik bahkan percaya baik pada sekelompok tokoh besar yaitu keyakinan bahwa mereka menyaksikan langsung keindahan absolut Tuhan Al-Haq pada wajah-wajah mereka (kaum remaja).(1)
Cara pandang semacam ini terhadap agama tak pelak mencoreng buruk wajah syariat para utusan Allah. Dan kalaupun tidak ada jalan selain berdamai dengan syariat ini, perdamaian itu tidak akan bertahan di atas pijakan yang kokoh, karena pembenaran semacam itu bisa dipakai untuk perbuatan haram apa saja, atau direkayasa untuk mengemas realitas buruknya tampak indah memikat.
Tentu saja, sufi-sufi itu meyakini dirinya sebagai pengikut Islam. Mereka tidak percaya bila dampak doktrin dan ajaran mereka sampai menafikan syariat. Barangkali alasannya, mayoritas masyarakat tidak punya pilihan selain berada di tingkatan syariat, karena mereka tidak bisa mencapai rangkaian tingkatan yang dimaksud. Namun, bagi pribadi yang telah menempuh sair-suluk, telah membersihkan jiwanya dari hawa nafsu, perbuatan apa pun bisa dilakukannya untuk mencapai tujuan suci, sekalipun haram secara zahir. Karena itu, boleh jadi suatu perbuatan dapat mengakibatkan orang lain terjerumus hawa nafsu, namun bagi pengikut tarikat itu, justru bisa mendekatkannya dengan Tuhan.
p:221
Ketika Ahmad (Hadrawiyah Balkhi) bermaksud berkunjung ke Abu Yazid, istrinya yang bernama Fathimah pergi bersamanya. Sesarnpainya di hadapan Abu Yazid, Fathlmah membuka cadamya dan berbincang—bincang hangat dan sangat akrab dengannya. Melihat pemandangan itu, Ahmad terheran-heran. Rasa cemburu pun segera menguasai jiwanya. Dia menegur, ”Hai Fathlmah! Kurang ajar apa kamu berbicara begitu dengan Abu Yazid?" Fathlmah menjawab, "Ketahuilah, engkau adalah muhrimku dalam fisik, tapi Abu Yazid muhrimku dalam tarikat. Denganmu kucapai birahi; dengan Abu Yazid kucapai Tuhan." Begitulah Abu Yazid selalu bergaul akrab dengan Fathlmah. Sampai suatu hari, Abu Yazid melihat tangan Fathlmah memakai pacar. ”Wahai Fathlmah! Untuk apa engkau memakai pacar?” tanya-nya. Fathlmah menjawab, ”Wahai Abu Yazid, baru sekarang ini engkau melihat tangan dan pacarku. Selama ini aku senang denganmu. Tapi sekarang matamu menatap hal-hal ini, maka perbincanganku denganmu haram sudah.”(1)
Lain dari semua di atas, kadangkala kaum pemula (murfd) yang masih belum matang termotivasi untuk sama-sama melakukan dosa yang umum "menjadi buah bibir perempuan dan laki-laki". Dengan demikian, mereka dapat melindungi bersih zuhud kesufiannya dan terbebas dari kepuasan pada diri sendiri (’ujb).(2)
Manfaat lain dari maksiat, menurut mereka, ialah manusia dapat mengenali hijab-hijab gelap (zhulmaniyah). Oleh karenanya, jika pelaku maksiat telah bertaubat, bukan hanya tidak kehilangan sesuatu, bahkan berkat pengenalan tadi dia bisa naik tinggi selangkah, karena ”Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tak berdosa"(3)
p:222
Banyak sufi yang mempraktikkan doktrin ini dalam kehidupan dan pergaulan umum. Dengannya, mereka melakukan berbagai tindakan yang mengusik pandangan buruk bahkan celaan orang sekitar. Mereka ingin menampilkan wajah jelek dan kesan buruk di hadapan masyarakat luas. Tujuan intinya adalah menghancurkan keinginan nafsu dan membunuh hasrat popularitas. Tujuan inilah yang melapisi tindakan itu dengan nilai sakral yang khas. Najmuddin Razi (570-654 H) menganggap bahwa praktik Malamatiyah merupakan syarat umum bagi setiap murid tasawuf.
[murid] harus hidup dengan pola malamatiyah dan model seorang darwish. Ini bukan artinya dia bebas-syariat lantas merasa telah berpola malamatiyah. Sama sekali bukan begitu! Itu adalah jalan dan petunjuk setan. Dengan jalan inilah penganut bebas-syariat (ahl Ibahah) akan digiring ke neraka. Malamatiyah berarti menganggap nama, status, pujian, celaan, tolakan dan sambutan makhluk sama saja bagi dirinya.(1)
Selain Najmuddin Razi, masih banyak tokoh tasawuf lain yang menilai Malamatiyah sebagai praktik tercela jika berkonotasi anti- syariat.(2)Di samping juga banyak sekali statemen para syeikh sufi yang mengecam doktrin ini, walaupun masih saja terlihat sanjungan di sana-sini terhadap pola hidup malamatiyah sebagian syeikh, misalnya, dengan menuturkan aneka cerita.
Tentu saja, banyak kisah semacam yang masih tersisa. Untuk tidak merusak kehormatan karya ini, kiranya tidak perlu dinukil lebih dari itu.(3) Akan tetapi untuk menjelaskan tujuan yang dimaksud, berikut
ini beberapa cerita yang muatan negatifnya relatif ringan.
p:223
Mengenai pribadi Mirah Naisyaburi, Abdurrahman Jami mengidentifikasi tokoh ini sebagai penganut doktrin Malamatiyah. Dia melaporkan salah satu dari cara yang digunakan Mirah untuk menyiasati masyarakat agar tidak selalu mendatanginya:
Dia bertanya kepada pembantunya ”Mereka ini siapa?" ”Mereka clatang untuk menemuimu" jawabnya. Ia diam. Tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutnya. Akhimya, ia mengangkat kepala ke langit sementara angin bertiup kencang. Lantas ia melorotkan celananya lalu buang air kecil di tempat hingga mengotori pakaiannya sendiri dan orang lain di sekitar. Masyarakat kagum, ”Bagus! Betapa baik syeikh dan perlakuannya!" Kemudian mereka kembali ke tempat masing- masing dengan rasa kesal.(1)
Siasat semacam ini banyak dipakai para penganut Malamatiyah, bahkan ada yang sampai sering tampil telanjang bugil di tengah khalayak. Ini terjadi pada saat Syekh Isyraq Syihabuddin Suhrawardi (w. 587 H)(2) bertanya kepada warga Damaskus tentang keadaan Syeikh Ali Kurdi. Mereka memperingatkan Syeikh Isyraq agar tidak menjumpainya. Alasan mereka, "Orang itu tidak melakukan shalat dan sering berjalan dalam keadaan bugil." Namun banyak juga perawi sufi yang menukil kisah ini dengan menebar berbagai pujian untuk Syeikh Ali Kurdi, bahkan mengatogerikarmya sebagai pemuka tarikat dan jenius yang pura-pura gila.(3)
Alhasil, banyak dari kaum sufi yang menghalalkan berbagai cara seperti: tindakan mencuri yang telah dikemukakan sebelum ini, dalam rangka mengobati penyakit hati dan menggagalkan hasrat
nafsu amarah mereka. Lebih dari itu, mereka menggunakan berbagai
p:224
pola hidup yang bisa memancing kecaman masyarakat umum. Yakni, jika kemudian secara kebetulan ada kesempatan dicemooh masyarakat, mereka tidak akan membalas dan mempertahankan diri, kalau bukan justru menerima dengan sepenuh jiwa dan hati. Ini sebagaimana diungkapkan Ibrahlm Adham:
Suatu saat, aku duduk di sebuah kapal. Tak ada seorang pun yang mengenalku di tempat itu. Ketika itu, aku mengenakan baju lusuh; rambutku panjang lagi kumal. Semua penumpang saat itu mencemooh dan menghinaku, perahu pun seolah turut mencibirku. Kukatakan bahwa sampai kapanpun kalian menjumpaiku, menyambak dan melepas rambutku, menatap wajahku dengan gaya menghina, aku tetap akan menggapai tujuanku, serta dengan kehinaan jiwaku aku merasa bahagia. Sampai suatu saat nanti, kebahagianku itu akan menembus puncaknya di kala masih dicemooh dan dikencingi.(1)
Tidak diragukan lagi, akal merupakan salah satu syarat mengemban tanggung jawab syariat (taklff). Tanggung jawab ini tidak akan dibebankan pada orang yang mabuk dan tidak sadar. Poin ini justru menguntungkan kaum sufi; bukan hanya dapat membebaskan diri dari tanggung jawab syariat, tetapi juga menjadi basis perlindungan yang sangat strategis.
Dalam anggapan Syeikh Muhammad Lahiji, para pencapai hakikat adalah manusia yang hilang akalnya (Maslub Al-Aql). Lalu ia menarik sebuah kesimpulan, ”Sesuai konsensus para wali dan ulama, segala jenis tanggung jawab syariat dan kewajiban ibadah telah gugur dari manusia semacam itu"(2)
p:225
Mengenai nama dan sifat Allah, Syeikh Mahmud Syustari mendistingsi dua keadaan: mabuk dan sadar. Setelah menjelaskan bahwa Allah bisa disebut dengan nama dan sifat apa saja, dia menuturkan:
Namun, waspadalah pada dirimu
teguhlah pnda kata kalimat syariat!(1)
Hafizd Abu Nuaim Isfahani (w. 430 H) dalam catatarmya tentang riwayat hidup Syibli (w. 334 H) menukil sebuah kisah terkait. Pada suatu hari, Syibli berkunjung ke rumah Junaid. Istrinya yang kala itu tidak berkerudung meminta waktu untuk menutup bagian kepalanya. Namun, Junaid rnelarangnya, karena dia melihat Syibli masih dalam keadaan tak-sadar.(2) Keadaan Syibli itu sampai kadangkala menyebabkan dirinya melupakan shalat. Dalam syairnya, dia menuturkan:
Karena cinta, hari ini kulupa shalatku
bahkan entah siang atau malam ’ku tak tahu.
Zikirku pada-Mu Tuanku makam dan minumku.
kala kulihat, Wajah-Mu pengobat sakitku"(3)
Syibli hanyalah satu dari sekian sufi yang lebih dikuasai mabuk (sakr). Oleh karenanya, jika dia membuang harta sebanyak empat ribu dinar begitu saja ke sungai(4)atau menanggalkan pakaian mewah serba mahal lalu membakamya,(5) dia tidak layak dikritisi apalagi dicemooh dengan tolok ukur syariat, yaitu telah bertindak israf.
p:226
Perlu juga dicatat, para ahli tasawuf di sini pun—seperti halnya di tempat lain—tidak merefleksikan sikap yang tegas. Berkali-kali mereka memperalat kondisi ’tak-sadar’ dan ’bersatu-lebur' (fana’) sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban syariat. Bahkan, adakalanya mereka menekankan bahwa keadaan tak-sadar para pelaku tarikat justru menjadi kendala untuk komitmen pada hukum syariat. Mereka baru sadar ketika tiba waktu ibadah.
Pada suatu saat, sekelompok orang datang menemui Junaid seraya mengatakan, "Beberapa hari, sepanjang siang dan malam, Nuri mengelilingi sebongkah tanah liat seraya terucap, ‘Allah! Allah! Ia tidak makan, tidak rninum dan tidak pula tidur, namun dia tidak mati. Shalat ia lakukan pada waktunya. Tata cara shalat pun dilaksanakan-nya.” Para sahabat Junaid mengatakan, ”Dia sadar; dan tidak sedang fana'." Junaid menyela, ”Tidaklah seperti yang kalian katakan. Mereka yang sedang tak sadar dan tergila cinta akan tetap terjaga. Maka, Allah akan menjaga mereka dari kehilangan waktu berkhidmat saat harus berkhidmat(1)
Di sepanjang deskripsi paham tasawuf, sesekali dikemukakan celah dan cacat aliran ini, sekaligus sikap kontradiktif sejumlah pengaku-ngaku sufi. Sejarah analisis kritis terhadap tasawuf sendiri sebenarnya sudah cukup lama, tidak jarang malah keterlaluan sebegitu ekstrim, entah diremeh-remehkan (tafrith) atau malah dibesar-besarkan (Ifrath). Sebagian orang terus berusaha sekuat tenaga mengesankan positif dan menyucikan kaum sufi dari apa saja yang dinisbahkan kepada mereka. Bagi mereka, cerita-cerita sejenis yang dinukil di sini tidak ada artinya.
p:227
Dalam konteks ini pula sebagian ulama Syiah menggunakan bukti-bukti pendukung yang lemah. Dalam konklusi mereka, dari sekian kelompok tasawuf, tidak ada seorang sufi pun yang berasal dari mazhab Ahli Sunah kecuali kelompok Naqsyabandiyah.(1)Padahal, Khajeh Abdullah Anshari pernah menyatakan, dari dua ribu syeikh tawasuf, hanya dua orang yang bermazhab Syiah.(2)
Alhasil, segala usaha menetapkan kesyiahan kaum sufi yang anti-syariat ibarat ongkos mahal untuk barang remeh. Sebab, sekadar memasang label Syiah pada mereka tidak memecahkan persoalan apa pun, kalau bukan malah memperkeruh.
Di pihak yang berseberangan, sebagian orang justru berlebihan dalam membesar-besarkan skandal aliran tasawuf. Mereka berusaha keras mempertajam daya kritik terhadap paham kaum sufi hingga mempertanyakan nilai apa pun praktik sair-suluk. Sebagai gantinya, di hadapan halayak mereka menampilkan wajah agama dan syariat ini begitu kering dan redup.
Sekarang, dengan menilik dari semua poin tersebut, serta dengan melihat apa yang telah disinggung dalam permulaan pasal ini, maka kita akan memperhatikan beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai kritisi anti syariat para kaum sufi:
Telah disinggung di awal bab, ada trilogi istilah krusial dalam tasawuf dan ’irfan, yakni syariat, tarikat dan hakikat, yang ditafsirkan secara plural. Kebanyakan tafsir kerap diaksensi nada sinis terhadap syariat, bahkan cenderung antisyariat.
Sebagian dari mereka mengartikan hakikat sebagai derajat minus tarikat, sementara keduanya (hakikat dan tarikat) derajat minus syariat. Padahal, para arif sejati tidak pernah melepas komitmen kepada segala hukum dan amalan lahiriah syariat. Mereka percaya,
p:228
keadaan ruhani dan karakter kuat batin tidak akan tercapai kecuali dengan tetap konsisten pada hukum, ibadah lahiriah, dan pelatihan spiritual (riyadhah) secara benar-benar legal dalam agama (syar'i).
Di sini, tentu kita tidak perlu menganalisis gugus sejarah kemunculan trilogi istilah di atas. Karena itu, kita pun tidak terdesak untuk membela tiga level itu, ataupun menggabungkan salah satunya ke yang lain hingga menyederhanakannya dalam dua derajat saja.
Yang jelas, melakukan gerakan-gerakan lahiriah—tanpa pembinaan dimensi batin yang menambah kedekatan Ilahi—bukanlah falsafah dan tujuan hakiki dari [penurunan] syariat itu sendiri. Pada titik ini, tidak ada perbedaan pendapat antara kalangan fuqaha dengan kaum arif, walaupun sebagian menyebut tiga level tadi sebagai syariat, sebagian lain membedakannya menjadi dua atau tiga level, serta meletakkan istilah khusus pada masing-masing.
Pertanyaan yang mengemuka di sini: jika kondisi batin meng- ungguli hukum dan ibadah lahiriah, kenapa lantas dalam sumber- sumber agama ada penekanan begitu kuat terhadap nilai penting hukum dan ibadah tersebut? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri sepanjang ungkapan Mulla Shadra:
Karakter jiwa (Malakat Nafsainiyah) dan keadaan hati (batin) merupakan realitas alamiah dan teremanasi dari Sumber Tertinggi (Tuhan). Dalam konteks ini, daya pilih hamba tidak terlibat secara langsung. Atas dasar ini, untuk memperolehnya atau menafikan lawannya, motivasi dan persuasi dari pihak lain tidak diperlukan. Perilaku baiklah yang aktif sebagai sebab pencapaian karakter (Khulq) yang baik; juga perilaku buruklah yang akan membentuk karakter tercela. Demikianlah berlangsung, entah ada motifasi atau kendala dari luar atau tidak.
Masalah dapat didekatkan dengan fungsi seorang dokter. Alasannya membicarakan ciri-ciri khasiat obat atau menerangkan manfaat kesehatan dan kebugaran (kepada pasien), ialah karena
p:229
konsumsi obat itu sendiri membawa kesembuhan Amal ibadah dan segala perintah syariat adalah penyembuh segala penyakit hati Kelompok itu telah terkecoh oleh maksud ini sehingga terjebak dalam garis bebas—syariat.‘(1)
Alhasil, ada orang-orang menilai kaum pesalik pencapai hakikat tak perlu lagi amal ibadah. Lewat analogi keliru, mereka menyamakan perjalanan ruhani (sair-suluk) dengan perjalanan fisikal. Kesimpulannya, pencapaian tujuan hakikat dapat terlaksana sekalipun tanpa melintas di jalur syariat dan tarikat. Mereka lengah bila dalam perjalanan ruhani, seorang pesalik hanya bisa menjejakkan kaki di level hakikat selama tidak meninggalkan level syariat:(2)
Setiap langkah yang sesuai dengan hukum syariat Ilahi, dan sekecil apa pun debu yang kita bersihkan dari cermin hati, sekadar itu pula akan berpengaruh dalam meraih Hakikat Mutlak Menyamakan akhir perjalanan ruhani dengan akhir pergerakan di alam materi adalah bukti ketidaktahuan sama sekali. Sebab, pengandaian akhir, awal dan tengah pada realitas mutlak yang tak terbatas sedemikian tak berdasar hingga jatuh dalam kontradiksi. Oleh karena itu, klaim Jalaluddin, ”Andai saja hakikat itu tampak, syariat pasti gugur(3) lebih merupakan asumsi dan permainan mental saja ketimbang pencapaian realitas kita.(4)
Sekalipun mampu memecahkan persoalan rasional, pemakaian analogi-analogi empirik justru kontraproduktif sehingga menjadi kendala pemikiran. Manakala akal dan teks [Wahyu] menekankan
p:230
kebutuhan permanen manusia terhadap ibadah, maka syariat semestinya dipandang layaknya kulit yang tidak boleh tidak dalam menjaga isi agar tetap utuh. Dengan memecah kulit, bukan hanya kulit yang dirusak, tetapi juga isi.
Demikian pula, mengingat adanya perbedaan antara perjalanan ruhani dengan perjalanan fisikal, alih-alih mengacu analogi atap dan tangga, akan tepat kiranya mendekatkan pesalik dengan ”orang yang naik dari titian tangga sebuah dinding gedung, sehingga jika anak tangga paling bawah dihancurkan, bagian atas dinding gedung justru akan jatuh hancur secara lebih mengerikan(1)
Sementara itu, klasifikasi tiga kelompok kaum sufi dalam Shar-he Gulsyan-e Roz, diajukan Syeikh Muhammad Lahiji untuk, dari satu sisi, memfasilitasi pembenaran terhadap sikap antisyariat para syeikh tasawuf, dan di sisi lain, menangani ketidaksesuaiannya dengan komitmen pola hidup para nabi pada syariat. Klasifikasi ini dirumuskan secara tak berdasar, kalau bukan justru semata- mata imajinasi liar. Bukankah para nabi telah bersusah payah melakukan ibadah hingga lebih layak mendapat derajat tinggi di sisi Allah? Bukankah "Kami belum menyembahMu selayaknya Engkau disembah" adalah syiar hidup mereka?(2) Lalu, apakah ibadah mereka itu bisa dianggap sebagai ”tujuan semu (bi al-’aradh), yakni dalam rangka mengarahkan dan menyempurnakan orang lain"(3) Apakah benar tangisan, rintihan dan munajat di tengah malam itu berlangsung dengan motif pengajaran kepada orang lain? Nabi Saw sebegitu melakukan shalat hingga kaki beliau bengkak, muka beliau pun memucat, tangisan beliau tercurah hingga seringkali jatuh pingsan. Manakala ditanya tentang alasan semua itu, beliau menerangkan, ”Tidakkah aku layak menjadi hamba yang banyak bersyukur?'(4)
p:231
Uniknya, penyarah Golshan-e Raz itu juga menggunakan hadis Nabi ini justru untuk menguatkan klaim dan klasifikasinya!
Ayat "Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang kepadamu yakin" (QS Al-Hijr [I5]: 99) juga bukan hanya tidak relevan dengan perilaku sufi antisyariat, melainkan juga bukti bahwa ibadah harus tetap dilakukan sampai ajal menjelang. Kebanyakan mufasir, entah dari Ahli Sunah atau Syiah, sepakat mengartikan kata ’yakin’ di akhir ayat sebagai ’kematian’.(1)Yakni, dengan datangnya kematian, akan tersingkap tabir ketidaktahuan, dan semua individu akan mendapat keyakinan sempuma.
Selain dikuatkan oleh riwayat, tafsiran ini dipertegas oleh sekian banyak ayat di lain tempat.(2) Misalnya, ayat dalam surah Al-Muddatsir begitu dekat dengan makna ayat di atas hingga memberi hanya tafsiran itu, yakni ’datangnya kematian’, karena konteks ayat ini berkisar tentang penghuni neraka:
Mereka menjawab, ”Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalatt, dan kami tidak memberi makan orang—orang miskin dan kami mendustakan Hari Pembalasan hingga datang kepada kami kematian” (QS Al-Muddatstsir [74]: 43-47).
Karena itu, pertama, 'datangnya keyakinan' adalah kiasan dari ’kematian'. Pemahaman ini tidak menyimpang dari bahasa Alquran. Kedua, audiensi utama seruan (mukhatab) dari ayat ini ialah pribadi suci Nabi sendiri. Bahwa beliau telah meraih keyakinan dan tak sedikit pun melalaikan ibadah adalah dua fakta yang tak terbantahkan.
Perlu digaris bawahi bahwa kalaupun kata ’yakin' dalam ayat ini diartikan dengan makna literalnya, tetap saja klaim jajaran sufi itu tidak terdukung. Sebab, sejauh kesaksian para pakar sastra
p:232
Arab, ketika kata hatta (hingga) digunakan serelasi dengan kata kerja mudhari” (dalam ayat: ya’ti, yaitu datang), maka salah satu artinya adalah menerangkan sebab pekerjaan, bukan waktu akhir kejadiannya. Sebagai contoh, manakala dikatakan, Atqin amalak Hatta Tasythair (laksanakan pekerjaanmu dengan sempurna hingga kamu terkenal), kalimat ini tidak berarti bahwa setelah terkenal, subjek lalu tidak punya hubungan lagi dengan kesempurnaan kerja, tetapi ia sekadar menerangkan relasi kausalitas di antara kesempurnaan kerja dan keterkenalan pekerja.(1)
Demikianlah ayat di atas juga bisa dijadikan sebagai bukti bahwa keyakinan—sebagai salah satu tingkatan tertinggi dari kesempurnaan manusia —hanya dapat diraih dengan ibadah, bukan setelah mendapat keyakinan lantas ibadah tidak diperlukan lagi.
Para sufi sering menyebut nama Khidhir. Mereka mengangkat kedudukan sebagian syeikh sebegitu tinggi hingga terkadang Khidhir sendiri meminta agar bisa bersanding di sisi mereka, namun permintaannya ditolak. Dalam perspektif mereka, Khidhir adalah pribadi yang telah melampaui tahap syariat dan masuk tahap tarikat. Karena itu, segala perilakunya tidak dimengerti seorang nabi yang masih sibuk dalam tahap syariat, sehingga wajar bila ia direaksi kritik dan protesnya. (2) Dalam konteks ini, kisah Khidhir dan Musa as telah memberikan pelajaran akan larangan berprasangka buruk terhadap para syeikh sufi, serta tidak diperkenankan memperlakukan syariat sebagai tolok ukur benar-salahnya perilaku mereka. Karena, sekalipun bukan rasul, Khidhir diperkenankan melakukan perbuatan yang secara lahiriah bertentangan dengan syariat. Layaknya Khidhir, para sufi ahli tarikat juga telah mengakses langsung sumber ilmu hakiki yang, ternyata,
p:233
hasil-hasilnya kadang bertentangan dengan syariat masyarakat umum.(1)
Berikut ini sejumlah kritik yang dapat dijadikan perbandingan:
Pertama, kendati Alquran tidak secara tegas menyatakan kenabian Khidhir, akan tetapi banyak riwayat telah menerangkan kenabian dan risalah yang diembannya. Makna zahir ayat pun lebih relevan dengan keterangan tersebut.(2) Jelas sekali, semua perilaku nabi tidak bertumpu kecuali hanya pada wahyu, dan tidak boleh keluar dari batas syariat, sekalipun dalam pelaksanaan hukum-hukum khusus.
Kedua, kalaupun dapat dipastikan Khidhir bukanlah seorang nabi, ini tidak cukup diacu untuk menyediakan pelayanan apologia kepada kaum sufi sepanjang perilaku bebas-syariat mereka.” Sebab, hubungan dengan alam gaib bukanlah peristiwa biasa, dan ini dapat diakui valid hanya dengan argumentasi yang pasti dan meyakinkan. Lalu, jika tindakan Khidhir itu tidak direstui Alquran, kita pun sebagaimana Musa as akan melancarkan protes terhadapnya, ”Sungguh engkau telah melakuktm perbuatrm munkar" (QS Al-Kahfi [18]: 74).
Lebih dari itu, yang membuat prasangka orang berlipat buruk terhadap kaum sufi adalah bahwa tindakan Khidhir tidak sesuai dengan kecenderungan jiwa dan naluri manusia hingga tidak menyisakan selain beban berat dan kesan pahit. Melobangi kapal milik orang lain, membunuh remaja yang, secara zahir, tak berdosa, serta menegakkan dinding yang nyaris ambruk; bukanlah tindakan yang menentramkan jiwa, kalau tidak malah berresiko besar. Namun, ini tidak sama dengan perilaku kaum sufi; pelecehan syariat berlangsung saat mereka memandangi wajah-wajah tampan dengan harapan melihat Keindahan llahi, dan menempuh perjalanan ruhani dalam pesta tari, simfi’, dendang musik dan lagu!
p:234
Untuk memikul beban meraih kedekatan ilahi, diperlukan jalan khusus; tidak semua sarana mampu mengantarkan seseorang sampai Tujuan. Sepanjang sejarah, tidak jarang dijumpai pribadi yang mengabaikan ajaran agama dan etika, dan menggunakan pelbagai alat dan sarana untuk meraih tujuan kotornya.
Akan hanya keridhaan Allah sebagai tujuan, tentu tidak mungkin diraih melalui perbuatan haram. Sekecil apa pun perhatian pada selain Mahbub Hakiki, dan peduli terhadap kesenangan halal, oleh auliya Allah dikategorikan sebagai kendala perjalanan ruhani menuju kesempurnaan. ’Dosa' ini harus ditebus dengan tobat dan istighfar yang banyak. Apalagi dosa produk hawa nafsu dan syahwat atau perbuatan tercela lain; tidak akan menambah selain terhempas jauh dari Tuhan.
Sekelompok orang yang tertipu dunia senang melihat paras indah dan mengklaim ”Kami sedang menatap Keindahan Tuhan dalam manifestasi ini.” Klaim itu semata-mata kebohongan dan kesalahan mutlak. Kalau benar melihat yang halal akan menghasilkan kedunguan jiwa dan pelanggaran terhadap tugas-tugas Cinta Ilahi, lihatlah virus apa yang muncul akibat penglihatan yang haram! Kesalahan kelompok ini lantaran mereka telah membiarkan jiwanya melihat demikian dengan gejolak syahwat. Mereka menduga itu pengaruh dari hasrat kerinduan, bukan syahwat. Sungguh dugaan yang salah Masalahnya tidak lebih dari karena syahwat itu mengalir lembut dalam jiwa; mereka tidak menjumpai Hakikat-Nya di balik kelembutannya.(1)
Selain sarana-sarana yang sama sekali tidak patut sebagai tujuan suci, ada sebagian Sarana yang hanya benar digunakan jika dituntut
p:235
kondisi lingkungan dan motif masyarakat, agar nantinya tidak menjadi senjata makan tuan dan menghambat perjalanan Tujuan Hakiki. Dari sini, syair-syair cinta yang mengungkapkan getirnya perpisahan dan nikmatnya perjumpaan, dalam situasi tertentu, bukan malah menyembuhkan penyakit hati, tetapi justru membuatnya jadi parah. Ini dideskripsikan Mulla Shadra berkaitan dengan para pengaku sufi di zamannya:
Dari majelis—majelis kelompok tadi dinukil untaian syair yang membayangkan keindahan para kekasih tercinta, pencuri hati, nikmatnya perjumpaan dan pedihnya perpisahan. Padahal, mayoritas hadirin majelis hanyalah orang-orang lemah dari kaum awam, pemilik hati yang penuh nafsu, jiwa-jiwa yang cenderung hedonis, dan silau dengan kecantikan rupa. Karena itulah melantunkan syair dengan irama tertentu hanya akan membangkitkan syahwat terpendam dan memperparah penyakit akut yang telah mengakar kuat di dalam batin mereka.(1)
Karamah(2) dan Tolok Ukur Kebenaran
Kekuatan hebat ruh manusia sanggup menciptakan efek yang sangat menakjubkan dan mendesak orang terpukau karenanya. ltu tepatnya di saat ruh telah terlepas dari kekangan badan materil. Kekuatan semacam ini tidak terbatas hanya melalui praktik ibadah dan pengamalan syariat, namun bisa diperoleh dari keberhasilan menekan hasrat hewani, atau dari hubungan dengan kekuatan misterius setan.(3)
p:236
Oleh karena itu, Alquran menjelaskan pengaruh riil sihir dalam memisahkan antara suami-istri,(1) walaupun ajaran agama melarang keras mempelajari dan mempraktikkannya dalam kondisi normal.(2)Dengan motif apa pun, usaha memerangi keinginan nafsu akan menghasilkan kekuatan ruh yang dahsyat. Namun, hasil akhirat hanya akan diperoleh dengan komitmen kepada syariat.
Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa menghendaki keuntungan di dunin akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat (QS Al-Syura [42]: 20).
Para sufi memiliki koleksi karamah yang dinisbatkan kepada syeikh mereka dengan jumlah yang tak terbatas. Mungkin juga sebagiannya hasil rekayasa dan produk pembuat dongeng. Namun, toh ’akan cerita panjang itu sia-sia’, jadi tidak semua lantas dianggap omong kosong.
Patut diakui bahwa karamah menjadi salah satu daya tarik utama bagi banyak pihak terhadap tasawuf. Kekuatan luar biasa (khariqah li Al-Adah) sebagian kaum sufi kerap dijadikan bukti kebenaran aliran dan doktrin mereka. (3) Hanya telah dikemukakan sebelumnya, banyak ayat dan riwayat yang menilai pembuktian ini keliru.
Untungnya, penilaian ini juga dinyatakan tegas oleh para tokoh besar tasawuf. Darinya, sekian banyak hikayat karamah dan pola hidup bebas-syariat telah memperlihatkan pertemuan yang kasar bergesekan. Misalnya, Jami menukil sikap Syihabuddin Umar Suhrawardi memvonis para sufi bebas-syariat yang memiliki
p:237
karamah sebagai manusia kafir dan zindiq.(1) Hal serupa juga dinukil Qusyairi (376465 H) dari Abu Yazid:
Jika engkau bertemu dengan orang yang memiliki karamah hingga dapat terbang ke angkasa, hendaknya engkau tidak tergila-gila kepadanya, dan perhatikanlah hidupnya dalam menjaga perintah dan larangan Allah serta komitmennya kepada hukum syariat.(2)
p:238
p:239
Sumber-sumber primer keislaman, terlepas dari segala bentuk Seksesi (ifrath) dan defisiensi (tafrith), memosisikan akal dan wahyu secara adil dan proposional. Di satu sisi, Alquran dan Sunah sangat mengapresiasi akal hingga menyebutnya sebagai hujjah dan nabi Tuhan. Di sisi lain, adanya sejumlah fakta penyimpangan pemikiran mengindikasikan ketidaksempurnaan instrumen pemahaman ini.
Kalangan pemikir Muslim, terutama pengikut Ahlul Bait, juga menekankan kompatibilitas akal dan wahyu. Ini tampak menonjol dari kepercayaan mereka pada prinsip baik-buruk rasional (husn wa qubh 'aqli) dan prinsip konsekuensi antara hukum akal dan hukum syariat (al-mulazamah bayn al-hukm al-'aqli wa al-hukm al-syar'i). Dengannya mereka menampilkan karakter rasionalistik peradaban otentik Islam.
Paradigma di atas inilah yang mungkin disebut sebagai rasionalisme moderat. Di dalamnya, penghargaan terhadap aka] tidak semestinya berdampak pada degradasi martabat agama. Atau sebaliknya, dalam rangka melindungi sakralitas agama, nilai dan kredibilitas akal dianggap tak berarti apa-apa. Aka] dan wahyu merupakan Hujjah Allah Swt. Itulah sebabnya antara ajaran ”nabi internal" (akal) dengan ajaran ”nabi eksternal"; bukan sekadar tidak ada pertentangan, melainkan keduanya saling berpadu utuh dan bekerjasama kompak. Atau dalam ungkapan indah Ibnu Rusyd:
Kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran, melainkan bersepakat dan saling memberi kesaksian atas kebenaran masing-masing.(1)
Selain mengimbau manusia untuk berpikir dan merenung, Alquran juga mencemooh dan mengecam orang—orang yang mengabaikan karunia Allah ini. Ia mencap orang yang tidak mengoperasikan
p:240
rasionya sebagai makhuk terhina. Di dalamnya, bertaklid buta kepada para terdahulu juga sangat dikecam.
Rangkaian ungkapan begitu bijak yang maktub dalam Alquran merupakan sumber pelajaran yang kaya manfaat. Kitab suci ini mengarahkan manusia yang semata-mata beribadah dan meyakini agama begitu saja dengan menyuguhkan serangkaian argumentasi rasional. Alquran juga mengimbau manusia untuk mempraktikkan metode ini dalam berinteraksi. Akhirnya, dosa utama yang menjerumuskan manusia ke neraka adalah keengganan mengikuti tuntunan akal. Alquran menerangkan penyebab penghuni neraka menyesal:
Dan mereka berkata, "Kalau kiranya kami mendengarkan dan menggunakan akal kami, tidaklah kami akan menjadi penghumi api yang menyala" (QS Al-Mulk [67]: 10).
Ahlul Bait Nabi juga memberi apresiasi yang sangat tinggi terhadap akal; seolah-olah mengungguli segenap sanjungan para pengagum akal. Hisyam bin Hakam meriwayatkan dari Imam Kazhim yang menjelaskan secara khusus perihal kecemerlangan akal. Selain menyebutkan sejumlah kekhasan akal dan orang berakal, Imam Kazhlm berkata:
Allah menganugerahi manusia dua bukti (Hujjah): eksternal dan serta internal. Bukti ekstemal adalah para nabi dan imam, sedangkan bukti internal, akal manusia(1)
Berkata akulah akal, utusan Dzul Jalal
Akulah bukti Allah, utuh dari segala sesat(2)
p:241
Berikut ini sekelumit tentang esensi dan kedudukan istimewa
akal dalam perspektif riwayat, yang sekiranya sangat bermanfaat
untuk di-renungkan lebih jauh.
Pilar penyangga bangunan agama adalah akal. Hanya dengan sarana ini manusia dapat mengenal Allah. Dari segenap orang yang menuntut perjumpaan dengan Allah, orang yang memanfaatkan akal lebih dekat dengan-Nya.(1)
Berkat akal, manusia hidup kokoh; dan tanpanya, agama tak tercapai dengan benar.(2)
Mengikuti tuntunan akal adalah jalan keberuntungan, dan melanggar-nya adalah sebab penyesalan(3)
Derajat penghuni surga akan ditimbang dengan neraca akal; semakin menggunakan akalnya, semakin dekat di sisi Allah.(4)
Tidur orang berakal lebih baik dari tidur orang yang kurang [memanfaatkan] akalnya; dan makannya membuahkan kedekatan dan keutamaan diri lebih daripada buka buasa mereka.(5)
Lenyapnya akal ibarat terpisahnya ruh dari tubuh manusia, padahal tak ada tubuh tanpa ruh(6)
Akal adalah rasul dan nabi Allah.(7)
Tiada kemiskinan yang melebihi lenyapnya akal.(8)
Keyakinan agama dan rasa malu tak akan terpisah dari berfikir.(9)
Akal adalah teman rahasia manusia yang terus bersemayam di dada-nya; sementara kebodohan musuh abadi.(10)
p:242
Sebagai risalah terakhir nabi eksternal, Alquran bukan saja tidak menentang risalah internal (akal), melainkan justru mendukungnya dalam berbagai bentuk. Berikut akan diketengahkan sejumlah contoh seputar harmoni dan kompatibilitas akal-wahyu.(1)
Seruan Alquran untuk berpikir diungkapkan dalam bentuk yang bervariasi seperti: memandang secara seksama (nazdar), berfikir (tafakkur), merenungkan (tadabbur), mengambil pelajaran (i’tibar), menyadari (tadzakkur), clan mendalami pemahaman (tafaqquh). Variasi ini semakin mengukuhkan bahwa menolak akal sama dengan menentang logika Alquran.
Searah dengan itu, ayat—ayat tata-tinta (kalam/ tasryri'i) dan tata— cipta (alam/takwini) merupakan bukti-bukti atas eksistensi Tuhan dan, dalam pelbagai kondisi, menjadi karunia besar bagi orang berakal dan pemikir. Tidak berlebihan bila kita berharap, dengan merujuk sebagian di antaranya, mata hati menjadi lebih terang dan bersinar:
Mengapa mereka tiada memperhatikan unta, bagaimana diciptakan Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).
(lnilah) kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh keberkahan supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-omng berakal dapat mengerti (QS Shad [38]: 28).
Sesunggulmya tentang kejadian langit dan bumi dan pertengahan malam dan siang, terdapat keterangan bagi orang-orang yang mengerti. Orang-orang yang mengingat Allah ketika berdiri dan duduk, ketika
p:243
berbaring dan mereka memikirkan tentang kejadian langit dan bumi mengatakan, tidaklah Engkau menjadikan ini dengan sia—sia, Maha suci Engkau, jagalah kami dari siksa api neraka (QS Al Imran [3]: 190-191).
Dan sesungguhnya tentang kehidupan binatang ternak itu menjadi pelajaran bagi kamu. Kami beri minum dengan apa yang ada dari dalam perutnya; di antara kotoran dan darah terdapat susu yang bersih mudah untuk ditelan oleh orang-orang yang meminum (QS Al-Nahl [16]: 66).
Dan sesungguhnya Kami jadikan isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak memahamkan dengan hatinya, mempunyai mata tetapi tidak melihat dengan mata-nya dan mempunyai telinga tetapi tidak mendengar dengan telinganya. Orang- orang itu seperti binatang ternak bahkan lebih sesat, itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A‘raf [7]: 179).
Alquran mempercayakan upaya mencapai argumentasi rasional tidak hanya kepada para audiensinya. Di sejumlah tempat, khususnya yang berkenaan dengan tema-tema ketuhanan, kenabian, dan Hari Pembalasan, Alquran menyuguhkan pembuktian rasional. Tentang tauhid, misalnya, Allah berfirman (1)
Dan kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, Sudah tentu keduanya akan hancur binasa (QS Al-Anbiya’ [21]: 22).
Alquran juga menantang para penentangnya agar berargumentasi secara rasional:
p:244
Dan merekn mengatakan, ”Tidak akan masuk ke dalam surga selain orang-orang Yahudi dan Nasrani." ltu hanya angan-angan kosong belaka. Katakanlah, ”Kemukakanlah buktimu, jika kamu memang benar’ (QS Al-Baqarah [2]: 111).
Sangat disayangkan, kalangan pemikir konservatif kerap menajamkan perbedaan antara logika Alquran dan logika Yunani; dan memperkenalkan argumentasi rasional versi Alquran sui generis, sangat istimewa dan benar-benar berbeda. Sikap ini lebih dipicu oleh kekuatiran mereka akan status terhormat Alquran dan kedudukannya yang, dengan pola-pola argumentasi rasional, akan terdegradasi hingga sebatas pengetahuan lazim manusia.
Kalangan ini yakin bahwa argumentasi Alquran, dalam berbagai aspeknya, sangat berbeda dengan logika Yunani. Umpama, logika Yunani terdiri dari dua premis, minor dan mayor, sementara Alquran hanya dengan satu premis sudah menghasilkan konklusi.(1)
Entah mengapa, seakan mereka lengah akan satu hal; bahwa akal merupakan karunia Tuhan yang diakses baik Muslim maupun non-Muslim secara adil dan sama-rata. Hal lainnya, argumentasi rasional versi Alquran senyatanya diajukan kepada manusia sesuai dengan substansi akal lazimnya. Namun, perumusan argumentasi rasional yang diprakarsai bangsa Yunani bukanlah alasan kita hingga harus mencari basis acuan selain akal lazim manusia untuk argumentasi rasional versi Alquran, lalu dengan cara ini kita berusaha memosisikan aktifitas aklani sebagai titah agama yang harus dipatuhi.
Prinsip kausalitas merupakan basis pemikiran rasional. Tanpa mengakuinya, seseorang mustahil membangun argumentasi rasional.
p:245
Alquran senantiasa menghormati prinsip ini. Lebih dari sekadar menerima positif sebab-sebab yang lazim kita kenal, Alquran menegaskan peran sebab-sebab metafisis seperti: malaikat dan setan, juga menerangkan Iingkup dan jangkauan prinsip tersebut.
Dalam perspektif Alquran, terdapat relasi yang niscaya antara perbuatan buruk dengan kerusakan yang terjadi di dataran dan lautan:
Telnh tmnpak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuattm manusia (QS Al-Rum [30]: 41).
Sebaliknya, keimanan dan ketakwaan menyebabkan pintu keberkahan di langit terbuka bagi umat manusia:
Dan semdainya pemiuduk negeri itu berimrm dan menjaga dirinya dari kejalmtrm rziscaya Kami akan bukaktm kepadn mereka keberkahan dari lzmgit dan bumi (QS Al-A'raf [7]: 96).
Lebih dari itu adalah motivasi Alquran kepada kaum Muslimin untuk merenungkan dan mengambil pelajaran dari pelbagai peristiwa yang pernah dialami umat terdahulu. Dan ini jelas, termasuk satu dari sekian bentuk berlakunya prinsip kausalitas dalam Alquran. Karena, kalau apa yang terjadi itu hanya sebuah kebetulan, maka rangkaian peristiwa di masa lalu niscaya tidak mengandungi hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik.
Berkenaan dengannya, ada beberapa sekte Islam yang, dalam rangka mengutuhkan Tauhid dalam tindakan Tuhan (tawhid Af'ali),(1) menolak prinsip kausalitas. Pandangan ini bahkan, menurut mereka, dikuatkan Alquran. Namun, dengan merenungkan ayatnya, kelemahan pemikiran semacam ini sangat jelas terlihat. Dari ayatnya pula orang yang berakal akan menyadari bahwa kapasitas makhluk
p:246
Sebagai sebab berada dalam rangkaian kausalitas yang dipuncaki Allah. Jadi, prinsip ini sama sekali tidak bertentangan dengan Tauhid tersebut.(1)
Falsafah di balik sekian banyaknya hukum (fikih) bukan rahasia lagi bagi manusia. Kendati cukup banyak juga aturan fikih yang seolah—olah melampaui jangkauan pemahaman aklani, namun metode Alquran yang berkaitan dengan hukum Allah menunjukkan justru semua itu dapat dijangkau akal manusia. Alquran sendiri mengemukakan sejumlah falsafah sebagian hukum sebagai metodenya mengajak manusia memikirkannya. Ini tampak, misalnya, dalam hukum qisas yang menjadi landasan kehidupan sosial.(2) Atau, tentang falsafah shalat, Alquran mengungkapkan:
Dan dirikanlah shalat; sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan munkar (QS Al-Ankabut [29]: 45).
Akibat premis yang keliru, atau kurang cermat memilih materi yang meyakinkan untuk perumusan argumentasi, seseorang akan mengalami kekeliruan berpikir dan menarik suatu kesimpulan yang juga keliru. Lantaran sangat menaruh perhatian dan mendukung pemikiran aklani, Alquran senantiasa mewanti-wanti agar tidak sampai keliru membangun argumentasi rasional. Berikut adalah sejumlah faktor penyebab kekeliruan berpikir yang dikemukakan Alquran.
p:247
Menuruti Prasangka dan Praduga(1)
Memperoleh keyakinan dalam seluruh persoalan hidup tak jarang terasa begitu sukar, kalau bukan mustahil. Karena itu, manusia pada umumnya, untuk tetap bisa bertahan hidupnya, melandaskan kesehariannya hanya di atas prasangka dan praduga. Watak ini akan menjadi salah satu penyebab kekeliruan berpikir tatkala merembas hingga ke dataran pemikiran rasional dan ilmiah, Akibatnya, alih-alih mengikuti keyakinan, justru hanya puas dengan praduga dan prasangka. Apalagi bila itu berkenaan dengan masalah-masalah fundamental yang sangat krusial, seperti kepercayaan agama; niscaya akan berakibat fatal!
Alquran sangat keras menentang kebiasaan umum itu serta memperingatkan orang untuk tidak begitu saja mengikuti prasangka dan praduga.(2) Ini sebagaimana teguran Alquran kepada kaum musyrik yang mendasarkan pandangannya pada anggapan yang bukan-bukan; bahwa berbuat syirik dan politeisme merupakan
keinginan dan kehendak Allah. Alquran mengatakan:
Katakan, ”Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada Kami ?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta (QS Al-An‘am: 148).
Dalam perspektif Alquran, semua tindakan dan kepercayaan harus dilandasi dengan pengetahuan dan keimanan.Jika tidak mampu memperoleh pengetahuan, seseorang harus mengikuti orang yang layak menjadi pemimpin yang laik sehingga dapat memegang tali keimanan. Dengan begitu, dia terhindar dari pengaruh buruk praduga dan, pada gilirannya, mengaktfikan perangkat pengetahuannya
p:248
dengan baik.”
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesunggulmya pendengaran, pengelihatan, dan hati semua ada pertanggung-jawabannya (QS Al-Isra‘[17]: 36).
Salah satu faktor penghalang berpikir benar adalah menyerahkan kecakapan berpikir kepada orang Iain atau mempercayai begitu saja—tanpa disertai penalaran-anggapan-anggapan umum dan sosial.
Dengan praduga, taklid dan bukti mereka tegak semua itu nyatanya bulu dan sayap mereka.(1)
Alquran mengecam tindakan orang-orang yang mengikuti begitu saja [kepercayaan] nenek moyangnya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang diturunkan Allah", mereka menjawab, "Tidak! Kami hanya menurut apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami biarpun bapak-bapak mereka sedikit pun tidak mengerti dan tidak pula menuruti pemimpin yang benar" (QS Al-Baqarah [2]: 170).
Karena tidak mengaktifkan akal, mereka tidak memperoleh hidayah dan jalan yang benar: apakah kalian ingin meniru tindakan orang-orang yang tidak berakal?
Taklid bukan hanya bermakna ikut secara buta para pendahulu, melainkan juga segala bentuk ikut-ikutan yang tak berdasar. Misalnya, bertaklid kepada tokoh masyarakat yang populer. Islam percaya,
p:249
setiap individu punya tanggung jawab dan kepribadian yang mandiri. Karena itu, bertaklid kepada tokoh masyarakat dapat dikategorikan sebagai faktor pemicu kesesatan:
Wahai Tuhan kami! Kami telah mematuhi pemimpin-pemimpin kami
dam orang-orang beserta kami tetapi mereka menyesatkan kami dari jalan [yang benar] (QS Al-Ahzab [33]: 67).
Taklid pada mereka aku binasa atas
taklid ini laknat-seribu laknat.(1)
Adakalanya manusia terburu-buru dalam mengambil keputusan dan kesimpulan rasional. Umpamanya, informasi yang tersedia sekaitan dengan suatu persoalan masih sangat minim, lantas begitu saja dia langsung menarik kesimpulan. Dalam kondisi itu, dia merasa seakan telah menguasai segenap aspek persoalan. Jelas, memberi penilaian atau menarik kesimpulan secara terburu-buru merupakan salah satu penyebab kekeliruan berpikir.
Menurut Alquran, modal pengetahuan yang dimiliki manusia sangatlah minim dan terbatas, dan karena itulah tidak memadai untuk menarik kesimpulan:
Dan kalian tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS Al-Isra‘ [17]: 85).
Tujuan membangun argumentasi rasional adalah mencapai realitas. Namun, tentu hal itu hanya mungkin dilakukan bilamana cerrnin akal tidak dihinggapi hawa nafsu.
p:250
Hakikat bagai sebuah rumah yang terias
Hawa nafsu ibarat debu beterbangan
Tidakkah kau lihat setiap tempat bertabur debu
kau pasti tak ’kan melihat setajam apapun matamu (1)
Cinta, benci, dan fanatisme berpotensi besar menjadi kendala proses berpikir dan aktivitas aklani.
Kala tercapai Tujuan, seni tak lagi tampak seribu hijab terurai dari hati menatap-Nya.
Sungguh memikat ucapan Imam Ali bin Abi Thalib:
Betapa banyak akal tersungkur di bawah kilatan pedang tamak(2)
Jika kau ingin mata, akal dan pendengaran bersih
kelupaslah serat—serat tamakmu
Siapapun gagap karena tamak
kapan mata dan hati ’kan bersinar dengan tamak.(3)
Sebaliknya, Islam mengenalkan takwa sebagai penyebab mekamya pemikiran dan kecerdasan, sekaligus wahana untuk memahami mana perbuatan terpuji, mana yang bukan:
jika kalian bertakwa kepada Allah, maka Dia akan memberikan kepada kalian furqan (kemampuan memilah baik dan buruk) (QS Al- Anfal [8]: 29).
p:251
Akal dan Wahyu Ketakwaan kepada Allah menyelamatkan seseorang dari tirani nafsu dan memupus debu yang melekat di benak manusia. Di samping perangkap pemikiran yang lain, Alquran juga menyinggung keterpurukan pikiran dikarenakan mengikuti hawa nafsu. Demikian ia mengecam kaum penyembah berhala:
Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka dan apa yang diinginkan Hawa nafsu (QS Al-Najm [53]: 23).
Kalangan rasionalis radikal meyakini bahwa keberadaan akal tak lagi menyisakan pada manusia kebutuhan apa pun kepada wahyu. Anggapan semacam ini jelas tidak berdasar dan sangat primitif. Telah dicatat cukup tebal, betapa mentah dan dangkal kalau saja dipercayai pemetaan jalan kebahagiaan itu bisa hanya dengan akal; tanpa merujuk ajaran para nabi. Sepanjang sejarah, orang-orang yang telah sekian lama merenungkan sangkan paran dirinya dan keberadaan alam semesta, nyatanya tak mampu memahami apapun selain merujuk ke wahyu Ilahi. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan sejumlah peran dan kontribusi agama terhadap akal sebagai berikut.
Satu dari peran terpenting agama atau wahyu adalah menjelaskan kekurangan dan keterbatasan akal. Agama meliputi seluruh dimensi dan potensi berpikir manusia. Karenanya, agama juga kerap mengingatkan soal keterbatasan akal agar manusia tidak sampai gegabah clan menerawangi ranah yang pada hakikatnya mustahil dijamah akal. Para kekasih Allah, misalnya, melarang manusia berpikir tentang Dzat Allah yang, dalam ilustrasi mereka, bagai samudera dalam yang tak terselami. Sebagai gantinya, mereka
p:252
mengimbau manusia untuk menjajagi permukaan dan merenungkan ciptaan-Nya.(1)
Tentang Rahasia Al-Haq dan Hakikat-Nya dalam wujud
Manakah yang lebih jauh dari paham dan saksi.(2)
Sekadar punya karunia ’akal’ untuk menghimpun pemikiran yang berguna dan produktif tidaklah memadai. Betapa banyak aktivis akal yang menyalahgunakannya alih-alih meniti jenjang lintas malaikat, malah terhempas lebih hina di bawah binatang.
Salah satu bentuk kontribusi wahyu untuk akal ialah memfasilitasi akal dengan materi dan objek aktivitas aklani yang terarah dan bermanfaat. Para nabi datang guna menghidupkan dan memberdayakan akal manusia.(3)
[Para nabi diutus] untuk menggali janji fitrah-Nya, mengingatkan mereka perihal seluruh nikmat-Nya dan membongkar hazanah-hazanah terpendam akal untuk mereka.
Kalau saja tak ada gugus pergerakan dan risalah para nabi, niscaya sistem-sistem filsafat insani sekalipun tak akan mampu mengatasi persoalan hidup dan nasib umat manusia.
Akal tak lain dari sekedar akal penalar
hanyalah penadah disiplin ilmu dan pengemis.(4)
Akal ini bisa diajarkan dan dipahamkan
namun dialah yang justru diajari pemilik wahyu.
p:253
Dengan mengemukakan tema-tema seperti eksistensi Allah, tauhid, kenabian, keabadian ruh, ikhtiar, dan lainnya, agama wahyuni mengarahkan pikiran manusia. Darinya dapat dipahami bila salah memilih agama atau terjadi tahrif dan penyimpangan di dalamnya, maka korban pertama yang jatuh karenanya adalah akal manusia. Contoh, kalau saja seorang pendeta Nasrani tidak meyakini doktrin trinitas, reinkarnasi, atau lainnya, sebagai ajaran wahyu, dia tidak akan tahan—dalam upaya rnenuntaskan solusi sekian doktrin itu- menanggung beban penderitaan intelektual dua ribu tahunan, tidak pula akan siap barang sesaat menghabiskan umumya untuk itu.(1)
Akal meyakinkan manusia sebuah nuktah, bahwa penciptaan dan keberadaannya tidak sia-sia; dia didatangkan ke dunia dalam rangka menempuh jenjang kesempumaan mutlak dan meraih keselamatan abadi. Akal juga mampu memahamkan bahwa untuk tujuan itu, manusia harus mengerjakan apa pun yang diridhai Tuhan dan menghindari yang dibenci-Nya. Namun, akal akan berhenti lemah sampai batas menyingkap rincian dan seluk-beluk parsial jalan keselamatan itu; batas yang tak sanggup dilampauinya. I-Ianya dengan arahan wahyu, manusia bisa mengetahui rincian seluk beluk perjalanannya dan Cara menempuhnya. Tanpa petunjuk wahyu, akal bukan lagi mitra manusia yang sepatutnya menerangkan aneka hubungan tutur dan perilakunya di dunia ini dengan pengaruh dan dampaknya di akhirat sana.
Kalau saja orang usil tahu keutamaaannya
entah kapan Tuhan ‘kan utus sekian rasul.
Akal hadapkan pemiliknya pada tabib
tanpa tabib, akalnya racun ketimbang obat.(2)
p:254
Kontribusi berharga lain dari wahyu untuk akal ialah menunjukkan kekeliruan berpikir, seperti halnya telah diulas sebelum ini.
Yang patut dicatat, kategorisasi peran dan konstribusi agama di atas tidak berarti bahwa agama memaksakan satu pola berpikir ke atas penganutnya, sehingga dengan demikian, ia berusaha memperlakukan aktivitas aklani dalam kerangka penghambaan dan bagian dari produk sistem hukumnya yang wajib ditaati (ta’abbudi). jika asumsi ini dipertahankan, bukan hanya kehilangan substansinya, ’berpikir' dan aktivitas aklani apa pun tidak lebih dari sekadar nama saja.
Pada dasarnya, di balik kategorisasi itu, agama hendak memberikan fasilitas pengarahan dan bimbingan kepada akal, dan menyingkap realitas yang terselubung di hadapan mata akal.
Tak diragukan lagi, akal merupakan pelita pemahaman dan penyimpulan. Tanpa bantuan cahayanya, memahami Alquran dan Sunah menjadi sukar, kalau bukan malah mustahil.
Penjelasannya, baik kalangan rasionalis maupun para penentangnya, sama-sama mengafirmasi status akal sebagai PELITA. Hanya saja, kaum rasionalis radikal kerap menekankan akal sebagai 'tolok UKUR. Radikalisme mereka tampak kuat dalam memutuskan segenap proposisi agama, bahkan hukum-hukum praktis syariat, agar diverifikasi dengan akal. Lebih dari itu, mereka keberatan menerima ada hukum ajaran agama yang nonrasional, apalagi yang antirasional.
Berbeda sebagai oposisi, kelompok lain malah terlalu berlebihan mengangkat status akal sebagai KUNCI, sampai-sampai mengilustrasikannya seolah membukakan pintu rumah syariat di hadapan umat agama, lalu ia sendiri layaknya reptil di sebuah gudang
p:255
harta: enggan mengiringi mereka masuk. Sebagian mendekatkan status akal itu melalui sosok penguasa yang mendudukkan nabi di singgasananya, lalu dia sencliri memilih singkir dari lingkaran kekuasaannya(1)
Berdasarkan penafsiran terhadap tiga terma di atas, dengan jelas akal bisa diidentifikasi sebagai ‘tolok ukur’ verifikasi sebagian pengetahuan agama; sebagai ’Kunci’ pembuka sebagian lainnya; dan pada saat yang sama sebagai ’cahaya’ dan instrumen pengetahuan dalam semua keadaan, bahkan adakalanya aktif sebagai sumber pengetahuan.(2)
Sebagai tolok ukur, akal berfungsi mengidentifikasi mana yang benar dan mana yang keliru. Akal bahkan menjadi satu-satunya tolok ukur penilaian bagi sebagian proposisi agama. Pada status ini, proposisi rasional sajalah yang dapat diakui valid, adapun proposisi nonrasional, apalagi antirasional, tidak punya nilai validitas apa- apa.
Tentu saja, sejauh pengakuan itu sendiri, akal berstatus demikian hanya dalam proposisi tertentu, dan ia akan menampakkan aktivitasnya dalam agenda—agenda berikut:
Salah satu tugas akal adalah membuktikan kebenaran agama berikut prinsip-prinsipnya. Akal mengakui keniscayaan diutusnya para nabi oleh Tuhan, dan mampu membedakan mana nabi yang sebenarnya dan mana nabi palsu. Jadi, pembuktian keniscayaan, kebenaran dan kesucian agama merupakan tugas dan agenda akal. Dalam skala ini, agama sama sekali tidak bisa dan tidak akan bertentangan dengan
p:256
akal, karena prinsip menerima agama berada di bawah supremasi hukum dasar akal, Itulah sebabnya agama tidak bisa menentang akal sebagai basis kebergantungannya.
Agenda ini juga bagian dari tanggung jawab akal. Kalangan pemikir agama yang tercerahkan menolak sikap taklid dalam membangun ’pilar-pilar' keimanan, dan mengimbau semua pihak untuk memikirkannya secara rasional. Mengajarkan keimanan yang tak terdukung aktivitas aklani, atau enggan membangun argumentasi rasional seputar prinsip-prinsip agama, adalah gejala yang tak bisa ditolerir akal insani.
Dengan demikian, dalam prinsip-prinsip keimanan, agama tidak akan bertentangan dengan akal. Berdasarkan alasan ini pula tema-tema keimanan seperti: trinitas, reinkamasi, dan wafatnya Isa Al-Masih sebagai bentuk penebusan dosa, menjadi rangkaian distorsi produk manusia yang melapisi agama Isa Al-Masih yang mulia. Sementara sebagai rencana Tuhan, agama langit benar-benar bebas dari ajaran-ajaran antirasional.
Melindungi Agama dari Penyimpangan(1)
Setiap agama langit pada awalnya suci dan mumi. Namun, dalam proses sejarahnya, ia sangat mungkin mengalami penyimpangan dan penyalahgunaan akibat ulah manusia. Di sinilah status akal tempak begitu jelas sebagai kriteria yang memisahkan wahyu Allah Swt dari produk tahrif dan penyimpangan manusia. Sebagai contoh, sejauh pengakuan kawan dan lawan, agama Islam terjaga dari intervensi tahrif; lebih utuh dari agama yang lain, kendati sejak awal sudah terancam pemalsuan riwayat.
Menilik metode penulisan riwayat di kalangan Ahli Sunah,
p:257
fakta semacam ini akan terlihat secara gamblang. Dalam Shahih Al-Bukhari, misalnya, terdapat sekitar 2700 hadis yang bukan ulangan dari 600.000 riwayat yang berhasil dikoleksi Bukhari. Begitu juga dengan Ahmad bin Hanbal dalam Musnnad—nya; mencatat sekitar 30 ribu hadis pilihan yang diklaim sahih dari kira-kira 750 ribu hadis yang berhasil dikupulkannya.(1)
Meski demikian, Islam menyiapkan alat-alat yang efektif untuk mengikis noda penyimpangan. Dalam rangka ini pula para pemimpin agama menjelaskan metode dan mekanisme dalam upaya memisahkan mana riwayat yang dapat dipercaya dan mana yang tidak, di antaranya: menimbang riwayat dengan Alquran dan hadis mutawatir dan pasti sahih.
Sudah barang tentu dalam konteks ini, peran akal sangatlah signifikan. Dalam bidang ushuluddin dan prinsip-prinsip keimanan, akal tampil sebagai penguasa medan. Ia tidak toleran terhadap reaksi nonrasionalistik, apalagi antirasionalistik. Begitu juga dalam lingkup furu’uddin, kendati kebanyakan hukum fikih di dalamnya berada di luar jangkauan akal, namun ia menolak hukum apa pun yang sifatnya antirasional.
Akal merupakan kunci dalam memahami proposisi agama, terutama dalam lingkup hukum fikih dan syariat yang bersifat partikular. Artinya, akal hanya dapat menuntun manusia sampai ke gerbang syariat, namun tidak mampu dengan sendirinya memanfaatkan hazanah di dalam (syariat) tersebut. Contohnya, hikmah jumlah rakaat atau waktu-waktu khusus ibadah menjadi tema-tema yang tak mampu dicerna akal lazimnya manusia. Hanya satu hal yang mampu dipastikan akal dalam konteks ini, bahwa hukum semacam itu tidak bertentangan dengan prinsip rasional.
p:258
Dengan kata lain, akal tidak mengategorikan hukum syariat sebagai perkara antirasional, meskipun ia tidak sanggup membuktikannya sebagai perkara yang rasional. Sebab, sitir Mulla Rumi, ”akal bukanlah jalan menempuh arah itu(1)Namun begitu, setelah dibuktikan prinsip-prinsip agama secara rasional, maka menerima hukum yang nonrasional (bukan rasional juga bukan antirasional) adalah senilai dengan rasional itu sendiri, sehingga penyimpangan apa pun terhadap hukum syariat adalah tindakan irasional.
Alat memperoleh pengetahuan hanyalah akal (dalam pengertian yang luas: termasuk indrawi dan eksperimen). Tanpa menggunakan akal, siapapun tidak akan memahami hukum-hukum fisika dan syariat. Karena itu, sekalipun ada kalangan yang memperhitungkan akal sebagai sumber pengetahuan agama, mereka ini juga menyadari sepenuhnya bahwa akal merupakan syarat mutlak dalam upaya menyerap hikmah dan ajaran dari Alquran dan Sunah.
Status akal ini selanjutnya menjadi acuan perbedaan krusial di antara mazhab besar Islam. Misalnya Syi’ah, terutama penganut sistem hukum Ahlul Bait, mempercayai akal sebagai satu dari empat sumber penyimpulan hukum, dan nilai-buktinya (Hujjiyat) sejajar di samping mereka (Alquran, Sunah dan Ijma’). Atas dasar ini, akal aktif bekerja sama dengan sumber lain agama secara komplementer. la fakultas yang sesungguhnya kognitif dan sebuah fasilitas Iain untuk menemukan hukum syariat.
Prinsip ini telah menjadi satu dari sekian indikasi yang jelas terhadap besamya fokus dan motivasi para pemikir Muslim dalam
p:259
menggunakan akal dalam domain pengetahuan agama. Kaidah ini pula yang, sejak awal, berperan sebagai faktor pembelahan kaum teolog Muslim: mereka menjadi dua kubu yang saling bertolak belakang.
Kubu pertama(1) berpandangan bahwa terlepas dari perintah dan larangan syariat, akal dengan sendiri mampu menilai baik dan buruknya sebagian perbuatan. Mereka menyatakan bahwa setiap perbuatan, pada substansinya, memiliki kualitas tertentu yang menampilkan nilai baik atau buruknya. Perbuatan baik itu menjadi baik bukan karena diperintahkan Allah, tetapi memang pada substansinya dan dengan sendirinya ia adalah baik, dan karena itulah Allah memerintahkan agar ditunaikan:
Sesungguhnyn Allah memerintahkan keadilan dan kebajikan dan melarang perbuatan keji dan mungkar (QS Al-Nahl [16]: 90).(2)
Demikian juga perbuatan buruk itu adalah buruk dengan sendirinya, dan karena itu pula Allah melarangnya; bukan perintah Allah yang menyebabkan perbuatan itu jadi buruk.
Kubu kedua,(3) sekaligus menolak pandangan kubu pertama, menegaskan bahwa hanya perintah dan larangan Allah (divine common) yang membuat nilai suatu perbuatan menjadi baik atau buruk. Perbuatan apa saja yang diperintahkan Allah pasti bemilai baik, dan yang dilarang-Nya bemilai buruk. Sebagai contoh, jika Allah memerintahkan hamba-Nya berbohong, maka perbuatan itu
bernilai baik. Atau, Allah melarang berkata jujur, maka itu menjadi buruk.
p:260
Maksud utama kaum teolog mengetengahkan persoalan ini adalah mengenali ciri tindakan Allah Swt. Representasi kubu pertama yang dikenal sebagai kaum Adliyah (penganut Keadilan llahi) adalah Muktazilah dan Syiah. Berdasarkan prinsip kebaikan dan keburukan substansial (dzati), mereka memandang tindakan Allah suci dari kejelekan dan keburukan. Ini tidak lantas membatasi kekuasaan Allah. Namun, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya, tak ada perbuatan yang melampaui atau berada di luar kekuasaan Diri-Nya. Karena Maha-bijak, Allah tidak akan melakukan tindakan buruk.
Dengan meletakkan kaidah baik-buruk rasional/substansial sebagai premis, mereka memandang duduk persoalan keadilan Tuhan tampak jelas. Karena kezaliman itu buruk, dan Allah Dzat yang Maha Bijaksana tidak akan melakukan keburukan, maka Dia tidak akan melakukan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Adapun kubu kedua, lantaran menolak prinsip baik-buruk substansial perbuatan, memandang Allah bebas melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya. Namun demikian, mereka tidak dapat menolak prinsip Keadilan Ilahi secara total dengan alasan membela kesucian-Nya dari tindakan zalim. Itulah sebabnya mereka terpaksa menempuh penafsiran lain seputar Keadilan Ilahi. Hasilnya, apa saja yang Allah lakukan pasti adil. Ini dimaksudkan untuk menjaga kemutlakan kuasa Tuhan, sekalipun harus dengan mengabaikan kebijaksanaan-Nya:
Cukuplah seni seorang pelukis
kala sanggup menjelekkan dan mengindahkan.(1)
Di antara kelompok yang dengan gencar meyakinkan pandangan ini adalah kaum Asy’ariyah. Mereka percaya bahwa manusia tidak dapat memproyeksikan konsep keadilan kepada Allah serta
p:261
menuntut komitmen-Nya [untuk hanya berbuat hingga sesuai konsep tersebut]. Bukankah seluruh alam berikut isinya ini milik mutlak Allah? Karena itu, lanjut mereka, apa pun yang berlaku di alam cipta ini berlangsung sesuai kehendak-Nya. Tak seorang pun yang berhak menilai adil tidaknya tindakan Allah.
Bakarlah rumahmu kapan kau suka
Hak siapa berkata, ”ltu tak boleh".(1)
Alhasil, kaum Adliyah menerapkan prinsip baik-buruk rasional ini dalam konteks teologi untuk menemukan solusi. Sekian persoalan seperti: keharusan mengenal Tuhan, tanggung jawab (takliff) manusia terhadap Tuhan, pengutusan nabi, keadilan Tuhan, dan sejenisnya hanya mungkin dibuktikan dan dibela kebenarannya secara logis dengan mengandaikan prinsip baik-buruk rasional.(2)
Dewasa ini, prinsip ini memiliki bahkan posisi yang istimewa dalam filsafat etika; sampai-sampai resistensi nilai-nilai moral dan akhlak hanya mungkin dipertahankan dengan mengandaikan prinsip baik-buruk substansial.(3) Radius pengaruh prinsip ini terus menebar sampai ke bidang ushul fikih, yang salah satu dampak intelektualnya tampak dalam masalah hubungan korelatif antara hukum akal dan syariat,
lni merupakan salah satu kaidah penting bagi Syiah dan Mu‘tazilah, (4) bahkan pada kurun terakhir menjadi fokus khusus kalangan pemikir. Berdasarkan kaidah ini, setiap hukum yang diterbitkan syariat, niscaya juga dihukumi akal, vice versa.
Kullama hama bihi al-aql hakama bihi al-syar wa kullama hakama bihi al-syar hakama bihi al-aql.
p:262
Kaidah ini adalah satu dari sejumlah konsekuensi logis prinsip baik-buruk substansial. Bahkan menurut satu postulat, terdapat identisitas di antara keduanya. Postulat itu menyatakan bahwa nilai baik sebuah perbuatan didefinisikan sebagai kelayakannya diapresiasi di dunia dan diganjar pahala di akhirat. Jika ini benar, maka adanya hubungan korelatif antara hukum akal dan hukum syariat secara otomatis terbuktikan.(1) Yakni, setelah membuktikan prinsip baik—buruk substansial, telaah terhadap kaidah ini menjadi tak lagi berarti.(2) Karena, maksud dari baiknya keadilan ialah kelayakan para pelaku keadilan untuk menerima pahala Allah, sedangkan kaidah korelasi itu, pada intinya, tidak lain dari maksud tersebut.
Dengan kata lain, manakala akal seseorang telah memahami kebaikan substansial suatu perbuatan, maka pemahaman/hukum akal ini dengan sendirinya adalah hukum syariat, dan dia tidak butuh lagi pada hukum dan hakim lain. Oleh karena itu, berkenaan dengan proposisi ’segala yang dihukumi akal juga dihukumi syariat’, Syeikh Anshari mengemukakan tiga kemungkinan. Salah satunya, akal adalah pembawa pesan syariat, dan produk hukumnya merupakan hukum syariat. Sebegitu kokoh hubungan ini sehingga agen hukum dan produk hukum dalam konteks ini sebenarnya hanya ada satu; bukan setelah hukum aklani diterbitkan, akal masih perlu pada agen hukum lain (misalnya, Tuhan) untuk menetapkan hukum syariat yang sesuai dengan hukum aklani tersebut.
Telah banyak cara ditempuh untuk membuktikan validitas kaidah ini.(3)Salah satunya, kaum Adliyah memandang bahwa pada dasarnya, seluruh hukum syariat mengandungi maslahat dan mafsadat yang riil (Waqi'i). jika Allah memerintahkan atau melarang suatu perbuatan, itu karena ada maslahat atau mafsadat riil yang
p:263
terkandung di dalamnya. Atas dasar ini, jika seseorang dengan metode rasional telah menemukan maslahat riil pada sesuatu, berarti dia juga telah menemukan sebuah kriteria hukum syariat; dia pun bisa menisbatkan hukum rasional kepada syariat, kendati hal itu tidak dijumpai dalam teks ayat maupun riwayat.(1) Dengan demikian, dapat dirumuskan, ”Segala yang dihukumi syariat niscaya dihukumi akal."
Kebalikan dari uraian di atas juga demikian benar: dalam kasus apa saja agama menetapkan suatu hukum, dapat dipastikan adanya maslahat atau mafsadat riil yang melandasi penetapan hukum tersebut, sekalipun akal tidak mampu mengidentifikasi realitas (maslahat atau mafsadat) itu. Begitulah inti dari penggalan lain kaidah, ”Segala yang dihukumi akal juga dihukumi syariat."
p:264
Literatur Persia
Abdul Salam, Abu Ahmad Muhammad: ”Tafakkur ’Elmi dar Miyoneh- e Lohfit va Nosfit”, dalam majalah Kn}/lion Fnrlmnggi, terj. Mur- tadha As’adi, tahun 5, no. 9, Odzar 1369 HS.
Abu Ruh Luthfullah bin Abi Sa'id bin Abi Sa'd: flolat vn Sokhmzon—e Abu Sa’id Abu! Khoir, revisi Muhammad ridha Syafi’i Kudkani, Tehran, Oghoh, cet. 2, 1367 HS.
Ahmadi, Muhammad Amin: ”Dar Iusteju-ye Risheho" dalam jurnal Naqd va Nazdnr, tahun 2, vol. 2, Musim Semi, 1375 HS.
Aflaki, Syamsuddin:Mm1fiqib AI-‘A rifin, diteliti Hasan Yazichi, Tehran, Dunia Kitab, cet. 2, 1362 HS.
Amid Zanjani, Abbas Ali: Pazhulzesyi dar Pedoyesy um Tal_mvvuIot-e Tasavvufvn ‘Erfon, Tehran, Amir Kabir, 1366 HS.
Amin, Ahmad: Pisygomon-c Mosnlmon-e Tnjnddudgnro’i dar ’Ashr-e jndid, terj, I-Iasan Yusufi Eshkevari, Tehran, Syerkat-e Entisyorot-e Ilmi va Farhanggi, 1376 HS.
”’Aql Va Val_1y az Didgoh-e Masihiyat-e Ortodoks: dar Guftegu bo Metalinus” dalam jumal Nnqd ma Nnzdnr, tahun 1, vol. 2, Musim Semi 1374 HS.
Aqili, Ali Ridha: "Manzilat va Korburd-e ’Aql dar Chor Tafsir-e Sadeh Akhir", dalam jurnal Pazlmhesyho-ye Qur'oni, no. 7 8, Musim Gugur dan Dingin, 1375 HS.
Arberry, ].A.: ’Aql vn Val_1y nz Nnzdnr-e Mu tnfnkkeron-e Eslomi, terj. I-Iasan Iawadi, Tehran, Amir Kabir, cet. 2, 1372 HS.
p:265
Akal dan Wahyu
Ardabili, Ilahiz S}/url_1-e Gulsynn-e Roz, Tehran, Markaz-e Nasyr-e Donesygohi, 1376 HS.
Attar Naisyaburi, Fariduddin Muhammad: Tadzkirot Al-Awliyzi’, Tehran, Zuvvor, cet. 5, 1366 HS.
j : Mtmtiq AI-Io}/r, revisi Shadiq Gauharin, Tehran, Syerkat-e Entesyorot-e Elmi va Farhanggi, cet. 10, 1373 HS.
Awani, Ghulam Ridha: ”Aql va Vahy dar Eslom va Masil_1iyat” dalam Majmu’elz Maqolot-e Dovvomin Simposium-e Eslom vn Masiflig/nt- e Ortodoks, Tehran, Markaz-e Mutole’ot va Tahqiqot-e Farhangi bainal Melali, 1374 HS.
Awe, Albert: Sag/r-e Falsafeli dar Urupo, terj. Ali Ashghar Halabi, Tehran, Zuvvor, cet. 2, 1368 HS.
Ayer, Alfred J, Zaban: flaqiqnt vn Mrmteq, terj. Manuchehr Buzurgh- mehr, Entesyorot—e Donesygoh-e Amir Kabir, 1974 M.
Badawi, Abdurrahman: Torikl1—e Andisyeho-ye Kalomi dar Eslom, terj. Husain Shabiri, Masyhad, Bunyod-e Pazhuhesyho-ye Eslorni Oston-e Qods-e Radhavi, 1373 HS.
Balkhi, Jalaluddin Muhammad (Rumi): Masmwi-e Ma’mwi, Tehran, Negoh va ’Elm, cet. 5, 1373 HS.
Barbour, Ian: Elm va Din, terj. Bahauddin Khuramshahi, Tehran, Markaz-e Nasyr-e Donehgohi, 1362 HS.
Birinjkar, Ridha: ”Mohiyyat ’Aql va Ta'arudh ’Aql va Val_1y" dalam Nuqd va Nazdar, tahun 1, vol. 3 8: 4, Musim Panas dan Gugur 1373 HS.
Biruni, Abu Raihan Muhammad bin Ahmad: Fehris!—e Ketobho-ye Rozi va Nomho-ye Ketobho-ye Biruni, terj. dan komentar Mahdi Muhaqqiq, Entisyorot-e Donesygoh-e Tehran, cet. 2, 1371 HS.
Brown, Collin: Fnlsafeh va Imon-e Masil_u', Totehwus Mikailiyan, Tehran, Syerkat-e Entesyorot llmi wa Farhanggi, 1375 HS.
Buzurgmer, Manuchehr: Fnlnsefeh-e Tajrubi—e Engleston, jil. 1 Locke- Barkeley, Tehran, Anjuman Falsafeh Iran, 1356 HS.
p:266
Daftar Pustaka
Cassirer, Ernst, Fnlsnfeh-e Raunsynngari, ten‘. Yadullah Muqin, Tehran, Entesyorot Nilufar, 1370 HS.
Copleston, Frederick: TorikI1—c Fulsafeh, jld. 6, terj. Ismail Sa'adat Manuchehr Buzurgmehr, Tehran, Syerkat—e Entesyorot Ilmi wa Farhanggi wa Surush, 1373 HS.
Z : Torikh-e Fnlsnfeh, jld.7, terj. Doryush Asyuri, Tehran, Syerkat-e Entesyorot Ilmi wa Farhanggi wa Surush, 1367 HS.
j 2 Torikh—e Falsafeh, jld. 8, terj. Bahauddin Khuramsyahi, Tehran, Syerkat-e Entesyorot Ilmi va Farhanggi va Surush, cet. 2, 1376 HS.
Z : Fuilnsufon-e Englisiz Az Hobbes to Hume, terj. Amir Jalaluddin A’lam, Tehran, Surush, 1362 HS.
Corbin, Henry: Torikh-e Falsafeh-e Eslomi: az Oghoz to Dnrgudzasyt-e Ibn Rusyd, terj Asadullah Mubasysyri, Tehran, Amir Kabir, cet. 3, 1361 HS.
Cotsler, Arthur: Klzobgnrdho, ten‘. Manuchehr Ruhani, Tehran, Syerkat- e Sahomi Ketob-hoye Jibi, cet. 2, 1361 HS.
Cupet, Dann: Darya-ye Imon, terj. Hasan Kamsyad, Tehran, Tarh Nou, 1373 HS.
Da’ie Shirazi, Syah Mahmud: Nasayirn Gulsytm, dengan prakarsa Parwiz Abbasi Dakani, Tehan, Ilhom, 1377 HS.
Damadi, Sayid Muhammad: Abu Sa’id-Nomeh, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran, cet. 2, 1374 HS.
Darraz, Muhammad Abdullahz Madklzali bar Kovesh dar Torikh-e Din, ten’. Sayid Muhammad Baqir I-Iujjat, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, Tehran, 1376 HS.
Dasyti, Muhammad: Falsnfeh-e Ejtehod vn Tnqlid, Qom, Muassasah Amirul Mukminin, 1374 HS.
Dawanj, Ali: Wnhid Behbahoni, Tehran, Amir Kabir, cet. 2, 1362 HS.
”Defo—e Aqloni nz Din" dalam jumal Naqd va Nazdar, tahun 1, no. 2, Musim Semi, 1374 HS.
p:267
Akal dan Wahyu
Dekhuda, Ali Akbar: Loglmtnomeh, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh-e Tehran, 1372 HS.
Dinpezhuhi (Kumpulan Makalah), terj. Bahauddin Khurramshahi, Tehran, Pazhuhesygoh—e ’Ulum—e Ensoni va Mutole’ot—e Farhangi, 1373 HS.
Durant, Will: Toriklz-e Tamnddun, jld. 4, terj. Abul Qasim, Tehran, Entesyorot va Amuzesy-e Enqelob-e Eslomi, cet. 3, 1371 HS. Z : Toriklz-e Tamaddun, jld. 6, terj. Faridun Badreie dkk., Tehran, Entesyorot va Amuzesy-e Enqelob-e Eslomi, cet. 3, 1371 HS. j : Torikh—e Falsnfeh, terj. Abbas Zaryab Khuie, Tehran, Syerkat-e
Entesyorot-e ’Elmj va Farhangi, cet. 11, 1374 HS.
__ : Ledzdzat-e Falsnfclz, terj. Abbas Zaryab Khuie, Tehran, Syerkat-e Entesyorot-e Elmi va Farhangi, cet. 11, 1372 HS.
Fadhil, Muhammad Taqi: ”Mafhum ’Aql Dini" dalam jumal Naqd wa Nuzdar, tahun 1, no. 3 4, Musim Panas dan Gugur 1374 HS. Fadhil, Mahmud: Mu’tnziIah, Tehran, Markaz Nasyr Donesygohi, 1362
HS.
Fakhruddin Razi, Muhammad: Barohin dar Elm-e I(aIom, Tehran, Entesyorot Donesygoh Tehran, 1341 HS.
Fakhri, Majid: Sayr-e Falsafelr dar Ialzon-e Eslom, editor Nasrullah Purjawadi, Tehran, Markaz-e Nasyr-e Donesygohi, 1372 HS. Fana’i Esykavari, Muhammad: Mn1?Jrefats_1/enosi-e Dim’, Donesy Islami wa Donesygoh Islami, Qom, Muassasah-e Omuzesyi va
Pazhuhesyi—e Emom Khomeini, 1377 HS.
j : Ma’refatsyenosi—e Dim’, Tehran, Barg, 1374 HS.
Faqihi, Ali Asghar: Walthobiyon, Tehran, Kitobfurusyi Shabo, 1352 HS.
Farasatkhoh, Maqsud: Din va ]onn"eh, Tehran, Syerkat-e Sahorni Ente- syor, 1377 HS.
Farmantle, Anne: ’Ashr-e Imon, terj. Ahmad Karimi, Tehran, Amir Kabir, 1345 HS.
Farrukh, Umar: Aqo}/ed-e Fnlsafi-e Abul Ala, terj. Husain Khdyujam, Tehran, Syerkat-e Sahomi Kitobho-ye Jibi, 1348 HS.
p:268
Daftar Pustaka
Feiblman, Jamaes Kern: Osyno,i bo Falsnfeh-e Glmrb, terj. Muhammad Baqo’i, Tehran, flekmat, 1375 HS.
Foulquie, Paul: Falsafelz-e Umumi yo Mn Balzldn AI—Iob1lEeIz, terj. Yahya Mahdawi, Tehran, Entesyorot Donesygoh Tehran, cet. 4, 1370 HS.
Furuzanfar, Badiuzaman: S_1/ar[1_-e ll/Intsnavi Syarif, Tehran, Zuwar, cet. 5, 1371 HS.
Furughi, Muhammad Ali: Sag/r—e fleknmt dar Urupo, Tehran, Zuvvar, cet. 2, 1367.
Gilson, Etienne: ’AqI va Valzy dar Qurfin-e Vusto, Shahram Pajuki, Tehran, Muassaseh-e Mutole’ot va Tahqiqat-e Farhangi, 1371 HS.
Golpaigani, Ali Rabbani: Firaq va Madzohib-e Kalomi, Qom, Markaz-e ]ahoni—e ’Ulum-e Eslomi, 1377 HS.
Gulsyani, Mahdi: Fizikdonon-e Gharbi vn Mas'nleh—e Khudobownri, Tehran, Konun-e Andisyeh—e Javon, 1377 HS.
Hadawi Tehrani, Mahdi: Binesy va Ravesy—e Ejtehod dar Mnktab—e Syeikh Anshori, Qom, Kongreh-e Iahoni-e Buzurgdosyt-e Divistu-min Solgard-e Milod—e Syeikh A’zdam Anshori, 1373 HS.
_ : Mabodi-e Kalomi-e Ejtehod dnr Bardosyt az Qur'on, Mua-sseseh-e Farhanggi Khonehkherad, 1377 HS.
I-Iafez Shirazi, Muhammad: Divon—e Ash’or, dengan kontribusi Muha- mmad Qazwini dan Qasim Ghani, Tehran, Zuvvar, cet. 2, 1374 HS.
Hairi Yazdi, Mahdi: Kowesyho-ye ‘Aql-e Nnzdari, Tehran, Syerkat-e Sahomi Entesyorot, cet. 2, 1360 HS.
Hamadani, Ainul Qudhat: Lavoyeh, Tehran, Ketobfurusyi Manuchehri, cet. 2.
Hamilton, Malcolm: ]omi’eI1s_1/enosi-e Din, terj. Muhsin Tsulatsi, Teh- ran, Tibyan, 1377 HS.
Hana Fakhuri Khalil Iarr: Torikh-e Falsafah dar Inhon-e Eslomi, terj. Abdul Muahmmad Oyati, Tehran, Syerkat-e Entesyrort-e 'Ilmi
p:269
Akal dan Wahyu
wa Farhanggi, cet. 4, 1373 HS.
Hasan-Zadeh Amuli, Hasan: Mumidd AI—Himmn dar S_1/arl_1 Fushfish AI- flikam, Tehran, Wizarat-e Farhang va Ersyad-e Islarni, 1378 HS.
j : Qur'on va Erfon va Burhon az-ham ]udo'i Nndorrmd, Moassaseh-e Moto1e’ot va Tahqiqot—e Farhangi, 1370 HS.
Hasani Razi, Sayid Murtadha Da’i: Tabshirot Al-'Awfim ft“ Ma’nfnl1 Maqélfit Al-Anrim, revisi Abbas Iqbal, Tehran, Cet. Majelis [Par- lemen R11], 1313 HS.
Hick, John: Fnlsafeh-e Din, terj. Bahram Rad, Tehran, Entesyorot-e bainal Melali Al-Huda, 1372 HS.
Hidayat, Ridha Qalikhan: Riyfidh AI-’/lrzfin, Tehran, Entesyrort Ke- tobfurusyi Mahmudi.
Hikmat, Nashrullah: Ta'ammuli dar Fnlsafeh-e Toriklz-e ’Aql, Tehran, lntisharat-e llham, 1376 HS.
Hakimi, Muhammad Ridha: Maktab—e Taflcik, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, 1375 HS.
Hujwairi, Ali bin Utsman: KasyfAl-Mnfljfib, Tehran, Amir Kabir, 1336 HS.
Humaie, Jalaluddinz Maulavinomeh, Tehran, Nasyr Humo, cet. 7, 1369 HS.
Hume, Robert A.: Adyon-e Zendeh-e Inhon, terj. Abdurrahman Gavahi, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, 1369 HS.
Husain-Zadeh, Muhammad: ”Ma'refat-e Dim"’ dalam jumal Mn’refi1t, tahun 5, no. 3.
j : Falsafelz-e Din, Qom, Daftar Tabligot Islami, 1376 HS.
Husain, Thaha: Goff vn Shenud-e Fnlsafi dar Zendone Abullzlnla Mnmarri, terj. Husain Khadyujam, Tehran, Zuvvar, 1344 HS.
Husaini, Husain: "Din dar Bastar Didgoho” dalam jumal Ma'refat, tahun 5, no. 4, Musim Semi 1376 HS.
Jaspers, Carl: Budlm, terj. Asadullah Mubasyiri, Nasyr Qatreh, 1364 HS.
j : Kzmt, terj. Mir Abdul Husain Naqib-Iadeh, perpustakaan Tha-
p:270
Daftar Pustaka
huri, 1372 HS.
Iaspers, John: Falsafeh-e Din, terj. Penerbit, Qom, Markaz Mutoleat va
Tahqiqot Daftar Tablighot Islami. Ibnu Turkah, Shainuddin Ali: Syarh-e Gulsyan-e Roz, revisi Kazdim
Dezfuliyan, Tehran, Nasyr Afarinesy, 1375 HS.
Ibnu Thufail: Zendeh-ye Bidor, terj. -Bgadiuzaman Furuzanfar, Tehran, Bungah ]am’e wa Nasyr Kitab, cet. 4, 1360 HS.
Ibnu Muhammad, Munawar: AsrérAI-Tnwl1fdfiMuq6mfit Al-Syaikh Abt‘ Satflfd, Tehran, Amir Kabir, 1332 HS.
Ibrahlmi Dinani, Gholam Husain: Mojaro-E/e Fekr-e Falsafi dar Iahon-e Eslom, Tehran, Tarh Nou, 1376 HS.
Ilrni Ardabili, Ali: Farlmng Falsafeh vn A’lom-e Vobasteh, Masyhad, Entesyorot Imomat, 1360 HS.
Iqbal Lahori, Muhammad: Elzyo-e Fekr-e Dini dar Eslom, Ahmad Aram, Tehran, Kanun Nasyr Pazhuhesyho-ye Eslomi.
Izzati, Abul Fadhl: Robiteh-e-Din va Fnlsafeh, Donesygoh Azarobode gon, 2535 HS.
]a’fariyan, Rasul: Din va 51:1/osnt dar Duvrelz-e Slmfavi, Qom, Ansari-yan, 1370 HS.
:_ : Murji’ah: Toriklz va Andisyeh, Qom, Khurram, 1371 HS.
]a'fari, Muhammad Taqi: Tarjmneh vn Tafsir—e Nahj AI-Balfighoh, jld. 6, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, cet. 5, 1372 HS.
j : Tarjumeh va Tafsir Nahj AI-Balfighoh, jld. 7, Tehran, Daftar-e Nasyr-e Farhang-e Islami, cet. 6, 1368 HS.
__ 2 Tnrjumeh va Tafsir Nalxj Al—BnItighoh, jld. 22, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, cet. 6, 1371 HS.
_ : Tn’ubbud va Tn’aqquI dar Feqh-e Eslomi, Qom, Kongreh-e Jahani Bozorgdosht—e Devistomin Salga.rd—e Syeikh A’zam Ansha-ri, 1373 HS.
: Tafiir va Naqd va Tnhlil-e Matsnavi-e Ialoluddin Mulmmnmd
Maulavi, Tehran, Entesyorot-e Islami.
p:271
Akal dan Wahyu
_ : Tnkopu-ye Andisyeho, Tehran, Daftar-e Nashr-e Farhang-e Islami, 1373 HS.
j : ’Aql va ’AqiI va Mn’qul, Tehran, Nehzat-e Zanan-e Mosalman, 1359 HS.
j : Falsafelz-e Din, pengantar Muhammad Ridha Asadi, Tehran, Pajuheshgah-e Farhang va Andisheh-ye Islami, 1375 HS.
Jannati, Muhammad Ibrahlm: Mrmobi’e Ejtehod dar Didgoh-e Madz0-I1eb- e Eslomi, Tehran, Kayhan, 1370 HS.
Jawadi Amuli, Abdullah: Tabyin-e Barohin-e Esbot-e Klmdo, Qom, Isra’, cet. 2, 1375 HS.
_ : Tal_zrfr Tamhid AI-Qowid, Tehran, lnstisyorot Al-Zahra’, 1372 HS.
j: Tasnim: Tnféir-e Qur'0n-e Karim, Qom, Isra’, 1378 HS.
j : Synri’nt dar O_l/ineh—e Mt1’refat, Tehran, Raja', 1372 HS.
M : S_1/enokhtsyenosi dar Qur'on, Markaz-e Modiriyat-e Houzeh Ilmiyah, Qom, 1370 HS.
_ 2 Falsnfelz—e I_-IuqL?q—e Busyar, Qom, Isra’, 1375 HS.
Kasyani, Izzuddin Mahmud: Mishbtil_1 Al-Hidfiyah wa Mifltih AI-Kifriyah, revisi jalauddin Humaie, Tehran, Humo, cet. 4, 1377 HS.
Kadiwar, Muhsin: Dafmr-e 'AqI, Tehran, Ittiloat, 1377 HS.
Keikhosru Isfandyar bin Adzarkeywan: Dnbiston-e Madzoheb, Tehran, Kitabkhoneh Thohuri, 1362 HS.
Kierkigaard, Séren: Tars va Lrzrz, terj. Abdul Karim Rasyidiyan, Tehran, Nasyr Ney, 1378 HS.
Kirrnansyahi, Ogho Muhammad Ali: Klmirotiyyah, Qom, Anshoriyan, 1412 HQ.
Kiyaie-Nejad, Zanuddin: Sayr-e Erfon dar Eslom, Tehran, e Isyroqi, 1366 HS.
Khaqani Shervani, Afdhaluddin: Divan-e Khoqoni, Tehran, Amir Kabir, 1336 HS.
”Khudo va Elm dar Guftegu bo Jean Geatton" dalam jumal Knylmn Fnrlumgi, tahun 11, no. 5, Murdod 1373 HS.
p:272
Daftar Pustaka
Khunsari, Iamaluddin Muhammad: Syarl_1 Glmmr va Dumr, Tehran, Entesyorot-e Donesygoh—e Tehran, cet. 4, 1373 HS.
Khuramshahi, Bahauddin: flofezdnomeh, Tehran, Entesyorot Elmi va Farhangi, cet. 6, 1373 HS.
Khurasani, Syarafuddin: ”Ibn Hazm” dalam Daimtul Ma’orif Buzurg- e Eslomi, Kazdim Musawi Bujnurdi, Tehran, Markaz Dairoh AI- Ma'arif Buzurg Islami, jld. 3, 1369 HS.
Lagenhausen, Muhammad: AqIgaro’i-e lndid dnr Urupo (diktat), Qom, Perpustakaan Muassasah Imam Khomeini, diktat no. 755.
Lahiji, Muhammad: Mafritz71AI-I’jfizfi S}/arl_1 Gulsyrm-e Roz, Entesyo-rot Kitobfurusyi Mahmudi.
Lahiji, Abdul Razzaq: Sarmoych-e Imon, Entesyorot Al-Zahra', cet. 2, 1364 HS.
La'la Bedakhsyi, L.ael Beik: Tsamarét Al-Quds min Syajrzrét AI-Uns, Entesyorot Pazwuhesygoh Ulum Insani, 1376 HS.
Madadpur, Muhammad: Tnjaddud va Dinzudo'i dar Farlmng va Hu-nar- e Mumzwwirul Fikr: ”Az Oghoz Peydoie to Poyon 'Ashr Qojor", Tehran, Entesyorot Solikon, 1372 HS.
j : flekmahe Dim" va Yunonzadegi dar Olam-e Eslomi, Tehran, Markaz Mutoleat Syarqi wa Farhang wa Hunar, 1375 HS.
Mahmud 'Aqqad, Abbas: Tnfakkur nz Didgoh-e Eslom, terj. Muha-mmad Ridha Athaie, Masyhad, Oston Quds Radhawi, 1371 HS.
Malakian, Mustafa: Syarl_1 va Barresi-e Nazdnriyeh-e Qabdh va Bus;-e Te'orik-e S}/ari'at (diktat), Qom, Perpustakaan Muassasah Imam Khomeini, diktat no. 973.
__ : Kalom-e Indid: Ertebot—e Din vn Akhloq (diktat), Qom, Per- pustakaan Muassasah Imam Khomeini, diktat no. 801.
__ : Kalom-e ladidr Imon va Talflaqqul (diktat), Qom, Perpustakaan Muassasah Imam Khomeini, diktat no. 806.
j : Maso'el Jadid Kalomi: Elm vn Din (diktat), Qom, Muassasah Imam Shodiq, tahun 1373-1374, Perpustakaan Muassasah Imam Khomeini, diktat no. 1348.
p:273
Akal dan Wahyu
Mardiha, Sayid Murtadha: ”Tsabot-e Falsafeh dar Gudzar—e Andisyeh" dalam jumal Kayhon Farlmnggi, tahun 5, no. 3, Khurdod 1367 HS.
Z : Yeki bar Sar Syokh va Bun Miburid dalam jurnal Knyhon Far- lmnggi, tahun 6, no. 11, Bahman 1368 HS.
Miller, Danler ].: Mohiynt va Mn’muriynt Keliso, Thotehwus Mikai-liyon, Syuro Kelisa Injil Iran.
Mirdamad, Muhammad Baqir: Divon-e As}/Eior, Isfahan, Matba’ah Sa’adat, 1239 HS.
Master, Hawks: Qamus-e Ketob-e Muqaddns, Tehran, Entesyorot Asa- thir, 1377 HS.
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Aklzloq dar Qur’on, Qom, Muassa- sah Imam Khomeini, 1376 HS.
Z : lslom, Siyosat va flukfimat, Tehran, Sozmon Tablighot Islami, 1377 HS.
_ : Rohmmzosyenosi, Tehran, Amir Kabir, 1375 HS.
_ : Mn’orefe Qur’on, jld. 1-3: ”Khudo Syenosi, Kaihon Syenosi, Inson Syenosi", Qom, Dar Roh Haq.
j : Ma'oref—e Qur'on, jld. 4-5: "Roh va Rohnamosyenosyi", Qom, Muassasah Imam Khomeini, 1376 HS.
Mudarresi Thabathabai, Husain: Muqaddimeh-i bar Fiqh-e Syiah, Kulliyyat wa Kitab-Syenosyi, terj. Muhammad Ashif Fikrat, Masyhad, Buniyod Pazwuhesy-hoye Islami, 1368 HS.
Muhaqqiq, Mahdi: Failastif-e Rey: Muhammad bin Zaknrin Rozi, Tehran, Nasyr Ney, cet. 3, 1368 HS.
Mujtahid Syabasytari, Muhammad: ”Din va ’Aql, dalam jumal Knyhon Farlmnggi, tahun 6, no. 5, Murdod 1368 HS.
Muhyiddin, Abdul Razzaq: S_1/nkhshi_1/at Adnbi Say]/id Murtadlm, terj. Jawad Muhadditsi, Tehran, Amir Kabir, 1372 HS.
Muqaddasi, Muhammad bin Ahmad: AI_1smz AI-Taqris1‘nzfiMa’r1fat AI- Aqélim, terj. Ali Naqi Munzawi, Tehran, Syerkat-e Muallifon wa Mutarjimon Iron, 1361 HS.
Musawi Khomeini [Imam], Ruhullah: Odob-e Nmnoz, Tehran, Mua-
p:274
Daftar Pustaka
ssasah tanzdim wa Nasyr Otsor Imam Khomeini, cet. 3, 1372 HS.
Z: Divan-e Emom Khomeini, Tehran, Muassasah Tanzdim wa Nasyr Otsor Imam Khomeini, cet. 8, 1376 HS.
Z 2 Syarl_z-e fladits lzmud AI-’AqI um AI-[ah], Tehran, Muassasah Tanzdim wa Nasyr Otsor Imam Khomeini, 1377 HS.
Mushallaie, Mirza Ali Akbar Mudarrisi, Sayid Jawadz Naqdi bnr Matsnavi, Qom, Anshoriyon, 1375 HS.
Muthahari, Murtadha: Os_1/no'i bo Qur’on, Tehran, Shadra, cet. 4, 1368 HS.
Z : Eslom va Muqtadlm_1/0t—e Znmon, Tehran, Shadra, cet. 10, 1374 HS.
: Enson Komil, Tehran, Shadra, cet. 6, 1371 HS.
: Bist Guftor, Qom, Entesyorot Islami, cet. 5, 1359 HS.
: Ta’Iim va Tnrbiya! dur Eslom, Tehran, Shadra, cet. 16, 1368 HS.
: Takomul-e Ejtimo'i-e Enson, Tehran, Shadra, cet. 5, 1368 HS.
: Klmtm-e Nubuwwat, Tehran, Shadra, cet. 5, 1369 HS.
: Klmdamot-e MutaqobeI—e Eslom vn I ran, Tehran, cet. 14, 1366 HS.
: Dal: Guftor, Tehran, Shadra, cet. 6, 1369 HS.
: Sayri dar Sirelz-e Nnbnvi, Tehran, Shadra, cet. 10, 1371 HS.
: Sayri dar Nnhj AI-Balfigholt, Tehran, Shadra, cet. 6, 1368 HS.
: ‘Ad!-e Ilohi, Tehran, Shadra.
Z : Majmu'el1 Otsor, jld. 14 ”Khadamote Mutaqobel-e Eslom va Iron”, Tehran Qom, Shadra, 1375 HS.
Z: MaqoIot—e Falsafi, Tehran, Hikmat, 1366 HS.
Z : Muqaddimeh-i bar Inhonbini-e Eslomi, Qom, Shadra.
Naas, John B: Torikh-e Iomi’ Adyon, terj. Ali Ashghar Hikmat, Tehran, Syerkat-e Entesyorot Ilmi wa farhanggi, cet. 9, 1377 HS.
Nah] AI-Balrighoh, terj. Sayid ]a’far Syahidi, Tehran, Entesyorot wa Omuzesy Inqilob Islamj, cet. 4, 1372 HS.
Nasafi, Syeikh Uzair: Maqslmd Aqsho, dalam kitab As}/i"nIz AI-Lrmm’rit, Tehran, Ganjineh.
Nashri, Abdullah: Khudo va Enson dar FaIsafeh—e Iaspers, Tehran, En-
p:275
Akal dan Wahyu
tesyorot Odzarakhsy, 1375 HS.
Natsharama, Raam: ”Falsafeh-e Din: Haqoiq va Ibhomho” dalam Knyhon Farlumggi, terj. Bizan Bahadurwan, tahun 11, no. 4, 1373 HS.
Nicolson, R.A.: Erfim vn Orifon Musalmon, terj. Asadullah Ozod, Masyhad, Donesygoh Firdausi, 1371 HS.
Pascal, Blaise: Andisyelzo va Risolat, terj. Ridha Masyayikhi.
Paul, Tillich: Pu_1/a’i—ye Imon, terj. Husain Nuruzi, Tehran, Hikmat, 1375 HS.
Peterson, Michael dkk.: ’AqI wa E’teqod-e Dini, terj. Ahmad Niraqi dan Ibrahlm Sultani, Tehran, Tarh Nou, 1376 HS.
Plantinga, Alvin: ”Oyo E’teqod be Khudo Voqe’an Poyeh Ast?” dalam Knlmn-e I-‘alsafi, terj. Ibrahlm Sultani dan Ahmad Niraqi, Tehran, Shirot, 1374, HS.
j : Falsafeh-e Din: Khudo, Ekhtiyor va Slmrr, Muhammad Sa'idi Mehr, Qom, Moassase-ye Farhangi-ye Taha, 1376 HS.
Plank, Max: Elm Be Koja Mirnzvnd?, terj. Ahmad Aram, Tehran, Syerkat- e Sahami-ye Entesyorot.
Popper, R. Karl: Hads-ha va Ibtal—Im, Ahmad Aram, Tehran, Shirkat-e Sahami-ye Entesyorot, cet. 2, 1368 HS.
Pozwuki, Shahram: ”M0qaddemeh-i dar Bab-e Elahiyyat" dalam Kalam-e jndid dar Guznr-e Andisheh-ho, Tehran, Moassase-ye Farhangi-ye Danesh va Andisheh-ye Moaser, 1375 HS.
Qanbari, Akbar: "Bastar Torikhi Difae az Din” dalam jumal Nnqd wu Nazdar, tahun 1, no. 2, Musim Semi 1374.
Qubadiyani, Nasir Khosru: ]fimi' AI-fliknmtain, Tehran, Kitabfurusyi Thohuri, cet. 2, 1363 HS.
j : Safnmomeh, prakarsa Nadir Wazinpur, Tehran, Syerkat-e Sahomi Kitob-hoye Jibi, cet. 6, 1366 HS.
Rahlmpour Azghadi, Hassan: 'Aqloi_1/yat: Bahts dar Maboni-e [ome- ‘ehs_1/enosi—e Trwse'el1, Tehran, Moassase Farhangi Danesh va Andishe-ye Moaser, 1378 HS.
Rahlmi-Nejad, Morteza: flekmat-e Sl1i’i, Tehran, Moassase-ye Far-
p:276
Daftar Pustaka
hangi-ye Danesh va Andishe-ye Moaser, 1376 HS.
Randal, Hermann: Sayr-e Takomul-e ’AqI—e Nuvin, terj. Abul Qasim Payandeh, Tehran, Syerkat-e Entesyorot-e Elmi Va Farhangi, cet. 2, 1376 HS.
Razi, Mahdi: ”E’tebar-e Kherad va Nesbat-e on ba Din” dalam jumal Naqd va Nazdar, tahun 1, no. 3 4, Musim Panas dan Gugur 1374 HS.
Razi, Najm: Mirshéd AI—'Ib:id, Tehran, Syerkat-e Entesyorot-e Elmi va Farhangi, cet. 5, 1373 HS.
Sinaie Ghaznawi: fladfqoh AI-flaqfqoh, revisi Mudarris Radhawi, Tehran, Sepehr.
Shaigan, Daryush, Henry Corbin: Ofoq-e Tnfnkkur—e Mn’nnvi dnr EsIom—e I ram’, terj. Baqir Parham, Tehran, Nashr-e Agah, 1371 HS.
Shabestari, Mahmud: Gulsyan-e Roz, Tehran, Perpustakaan Tahuri, 1361 HS.
Shadrul Mutaalihin Syirazi, Muhammad: ’Erfon vn ’Orcjfnnmoyon (Kasr AI-Aslmfim AI—]ril1iIi_1/*1/ulz), terj. Muhsin Bidorfar, Tehran, Entesyorot Al-Zahra', cet. 3, 1371 HS.
Shafaie, Ahmad: His}/om bin AI-flakam, Tehran, Entesyorot Donesy- goh Tehran, 1342 HS.
Shariati, Ali: Mnjmu’eh-e Otsor, jld. 5 ”Mo va Iqbal”, Tehran, Entesya- rat-e Elham, cet. 5, 1373 HS.
Sharif, Miyan Muhammad: Torikli-e Fnlsafeh dnr Eslom, jld. 1 «Sr 2, Nasrullah Purjavadi, Tehran, Markaz-e Nashr-e Donesygohi, 1362 1365 HS.
Sorush, Abdul Karim: flekma! va Ma’isyat, jil. 2, Tehran, Shirot, 1376 HS.
__ : Donesy va Arzesh, Yaran, cet. 8, 1361 HS.
j: Dnrsho'i dar Falsafeh-e Elm-e Ejtcmoiél, Tehran, Nasyr Ney, cet. 3, 1379 HS.
j : Elm va Din (diktat), Qom, Perpustakaan Moassaseh Imam Khomeini, diktat no. 695.
p:277
Akal dan Wahyu
_ : Farbehtnr nz Ideolozhi, Tehran, Sirat, 1373 HS.
_ 2 Qabdh va Bus;-e Teorik—e Syari'at, Tehran, Sirat, 1370 HS.
Z : Mudoro va Mudiriy_1/at, Tehran, Sirat, 1376 HS.
Subhani,Ja’far: flusn va Qubl_1 ’AqIi, disaduroleh Ali Rabbanicolpaigani, Tehran, Moassase-ye Motalaat va Tahqiqat-e Farhangi, 1368 HS.
Subhani, Muhammad Taqi: ”Aqlgaro'i va Nashgardi dar Kalom-e Eslomi" dalam jurnal Naqd vn Nazdar, tahun 1, no. 3 4, Musim Panas dan Gugur 1374 HS.
Z : "Furugh-e Din dar Feraq-e ’Aql” dalam jumal Naqd va Nazar, tahun 2, no. 2, Musim Semi 1375 HS.
Syarifi, Ahmad Hussein Yusofian: Pnzhuhesyi dar Esmnt—e Mullen- mon, Qom dan Tehran, Pajuheshgah-e Farhang va Andishe-ye Islami, 1377 HS.
Syeikh Bahaie, Muhammad: Divan-e Komel-e Syeiklz Bal1o'i, intro-duksi Said Nafisi, Tehran, Entesyorot Gulsyoie, cet 3, 1368 HS.
Syeikh Bahaie, Muhammad: KuIIi_1/.1/ot—e Asy’or-e Farsi vn Musy va Gurbeh, Tehran, Entesyorot Kitobfurusyi Mahmudi, 1336 HS. Syirazi, Muhammad Maksum: Ior6’iq AI—flnq6’iq, revisi Muhammad
]a’far Mahjub, Tehran, Entesyorot Kitabfurusyi Sinaie.
Syusytari, Qadhi Nurullah: Mnjfilis AI-Mu'mim‘n, Tehran, toko buku Islamiyyah, 1375 HS.
Tehrani, Agha-Bozorg: Ejtehod va Madzoheb-e Eslomi, Terj. Mahmud Iftikhar-Zadeh, Qom, Sazman-e Nashr-e Hurr.
Tehrani, Jawad: ’Oref va Slmfi Cheh Migu}/m1d?, Tehran, Bunyod-e Be'tsat, cet. 8, 1369 HS.
Thabathabai, Muhammad Husain: Uslml-e Falsafeh vn Raves}/-e Re’oIism, momentar Murtadha Mutahari, Tehran, Shadra.
Thawil, Taufiq: Din va Falsafeh, terj. Muhammad Ali Khalili, Tehran, Syerkat-e Iqbal, 1328 HS.
Tyson, Henry: Eloltiy}/ot—e Masil_u', Thotehwus Mikailiyon, Entesyorot-e Hayat.
Urujniya, Parwoneh: ”Buktosyiyeh", dalam Donesynomeh-e ]aI1on—e
p:278
Daftar Pustaka
Eslom, editor Ghulam Ali Haddad Adil, abjad B, jld. 3,Tehran, Buniyod Dairotul Ma’arif Islami, 1376 HS.
Vemeaux, Roger Wahl, Jean: Padidorsyenosi va Fnlsufel1o—ye Hast Bfidan, terj. Yahya Mahdawi, Tehran, Entesyorot Khorazmi, 1373 HS.
William: Jean Paul: Ionzfelisyenosi-e Adi/on, terj. Abdurrahman Gavahi, Tehran, Tibyon, 1377 HS.
Williams, Bernard: ”Aq1garo’i", dalam jurnal Naqd wn Nnzdar, terj. Muhammad Taqi Subhani, tahun 1, no. 2, Musim Semi 1374 HS.
Yusufi Esykevari, Hasan: Katsmtgaro'i dnr Nazdar va Vahdatgaro'i dar ’Amal, dalam jurnal Kiyon, no. 39, Odzar Dey 1376 HS.
Zaryab Khuie, Abbas: ”Ibn Taimiyah, dalam Dn’z'rntul Ma’nnf—e Bu- zurg-e Eslomi, Kazdim Musawi Bujnurdi, Tehran, Markaz Dairah Al-Ma'arif Buzurg Islami, jld. 3, 1369 HS.
Zarinkub, Abdul Husein: Dar Qnlamru-e Vejdon, Tehran, Entesyorot-e Elmi, 1369 HS.
_: Dzmboleh-e Iusteju dar Taslmvvuf—e Iron, Entesyorot-e Amir Kabir, cet. 3, 1369 HS.
Literatur Arab
Alquran Al-Karim
Abdurahman bin Hasan: Qurmt ’U_1/fm AI-Muwnl;Iy'dfn: Syarh Al- Tnwl_1fd karya Muhammad bin Abdul Wahhab, Cairo, Dar Al- Shohabah li Al-Turots, cet. 2, 1412 HQ.
'Abud bin Ali bin Dar’e: Zdrilzirah AI-Glmluwfi AI-Dfn, Riyadh, Dar Al- Shumaiyie, 1419 HQ.
Abu Zuhrah, Muhammad: lbn I;Inzm, flag/tituliu wa ’Asl1ruIm—/Alrri'uhu wn Fiqlmlm, Cairo, Dar Al-Fikr Al-’Arobi.
j : Ibn flanbal, Hnyritulm wa ’Ashrulm-Arfi'uhu um Fiqhulm, Cairo, Dar A1-Fikr Al-’Arobi.
_: Térfkh AI—Madzfihib AI-Islzimiyyah, Cairo, Dar Al-Fikr Al-’Arobi.
Abu Zaid, Nashr I-Iarnid: Isykziliyyrit Al—Qir6’nI1 wa Aliyyfit Al-Ta’wx‘l,
p:279
Akal dan Wahyu
Beirut, A]-Markaz A]-Tsaqofi Al-’Arobi, cet. 4, 1996.
_ : AI—IttijfiI1 AI—’AqI1‘_fi Al—Tafs1‘r, Beirut, Al-Markaz Al-Tsaqafi Al- ’Arabi, cet. 4, 1996.
j : Falsafnh AI-Ta'wfI: Dirrisah Ta’w1‘I Alqurrm 'inda Muh_t/;idd1'n bin ’Ambt‘, Al-Markaz Al-tsaqofi Al-’Arobi, cet. 4, 1996.
j : Mafluim AI-Nashsh: Dirfisah f1‘ ‘UIz?m Alquran, Beirut, Al- Markaz Al-Tsaqofi Al-’Arobi, cet. 4, 1996.
Ahmad Amin: Dlml_ui AI-Isltim, Beirut, Dar Al-Kitab Al-’Arobi.
j : AI-Tnktimulfi AI-Islém, Beirut, Dar Al-Ma'rifah.
j 2 Fajr AI-Islfim, Beirut, Dar AI-Kitab Al-’Arobi.
_ : Zhuhr AI-Islfim, Beirut, Dar Al-Kitab Al-’Arobi, cet. 5.
Alam, Yusuf Hamid: AI-Maqrishid AI-’/imnmh Ii AI-S_1/ar1"at AI-Ism- miyyah, Cairo, Dar A1-Hadits.
Alayili, Abdullah: AI-Ma'tzrr1‘ Dztilikn AI-Majhtil; Beirut, Dar AI-Iadid, cet. 3, 1995 M.
Albani, Muhammad Nasiruddin: AI—’Aqfdat AI-Tohmviyynh, Beirut, Al- Maktab Al-Islami, cet. 2, 1414 HQ.
Allamah Hilli: I
_ : Mamihij AI—Ynqfn ff Usluil AI-Din, revisi Muhammad Ridha Anshari, 1374 HS.
Alusi, Mahmud: Rt2l1AI-Mzftim‘, Tehran, Entesyorot Jahon.
Amin, Muhsin: A’;/fin AI-S_i/1“’ali, Beirut, Dar Al-Ta'aruf li Al-Matbu'at.
Amini, Abdul Husein: AI-Glmdfr, Tehran, Dar Al-Kutub Al-Islami- yyah, cet. 2, 1366 HS.
Amuli, I-Iaidar bin Ali: Ifimflfl Al-Asrfir wn Mnnbmfl AI-Anwfir, Tehran, Syerkat-e Entesyorot Ilrni wa Farhanggi, cet. 2, 1368 HS.
Anshari, Murtadha: Far6'id AI-Usluil, Qom, Matbu'at Dini, cet. 2, 1370 HS.
Arawi, Abdullah: Mnflzfinx Al—’AqI, Beirut, Al-Markaz Al-Tsaqofi Al- ’Arobi, 1996 M.
Ardabili, Muhammad bin Ali: Ifimi’ AI-Ruwfit, Syerkat-e Chop Negin,
p:280
Daftar Pustaka
1334 HS.
Armawi, Sirajuddin: Al-TuI_1slu‘I min Al-MnI_zslu?I, revisi Abdul Hamid Ali Abu Zanaid, Beirut, Muassasah Al-Risalah, 1408 HS.
Ashifi, Muhammad Mahdi: AI-Dali! wa AI-flujjah: fl Dirfisnt AI-Syeikh AI-Anshfiri, Qom, Al-Mu’tamar Al-’Alami bi Munasabah Al- Dzikro Al-Miawiyyah Al-Tsaniyah li Milad Al-Syeikh, 1373 HQ.
Asy'ari, Abul Hasan: ’Maq:ilrit AI-Isltirriig/_1/in wn Ikhtilrif Al-Muslmllfn, Dar Al-Nasyr, cet. 3, 1400 HQ.
Bahiy, Muhammad: Al-Fikr AI-Islrimf Al-Hadis wa Shilatuhu bi AI- Istifimir AI-Glmrbi, Cairo, Dar Al-Fikr, cet. 7, 1991 M.
Bahrani, Yusuf bin Ahmad: AI-_Iindfi’iq AI-Nndhlmh, Najaf, Dar Al- Kutub Al-Islamiyyah, 1376 HQ.
Z : AI-Durar Al-Najafiyynh, Qom, Muassasah Al Al-Bait li Ihya Al- Turots.
Baghdadi, Abdul Qahir: AI—Farq bain AI-Firaq, Beirut, Dar Al-Mur- tadho, cet. 3, 1993 M.
Baligh, Abdul Halim: Adnb Al—Mu'tnziIali ila Niluiyat AI—Qnrn AI—R6bi’ AI-Hzjrz‘, Cairo, Dar Nahdhoh Misr, cet. 3.
Baqillani, Qodhi Abu Bakar: AI-Inslniffi mfi Yajib I ’tiqridulm am hi Yajfiz AI-]al1I bihi, revisi Muhammad Zahid Kautsari, Cairo, Maktabah Khoniji, cet. 3, 1413 HQ.
Bayadhi Hanafi, Ahmad: Is}/tirfit AI-Marrim min ’Ib¢irrit AI-Imtim, revisi Yusuf Abdul Razzaq, Cairo, Syirkah Maktabah wa Matba’ah Al- Babi Al-Halabi wa Auladuhu, 1368 HQ.
Bukhari, Muhammad bin Ismail: Slml_u7_1 AI-Bukhriri, Beirut, Dar Al- Qolam, 1407 HQ.
Dzahabi, Syarnsuddin Muhammad: Tudzkirot Al-flufltizd, Dar Ihya’ Al- Turots Al-'Arobi.
j 2 Siynr A'lrim Al-Nubalri’, Beirut, Muassasah Al-Risalah, cet. 10, 1414 HQ.
j : Miztin AI-I’tidtiI, Dar AL-Fikr Al-'Arobi.
Fakhri, Ali bin Muhammad: Tnlkhisli Al-Bnyfin fi Dzikr Firm] A11! A1-
p:281
Akal dan Wahyu
hmin, Dar AI-I-Iikmah, 1415 HQ.
Fakhri, Majid, Ibn Rusyd: Fnilnszif Qurtlmbah, Bairut, Dar Al-Masyriq, cet. 3, 1992 M.
Fakhruddin Razi: Al-Tnfsfr AI-Knbfr, Beirut, Dar Al-Kutub Al—’Ilmi- yyah, 1411 HQ.
j : AI-Mal_zslniI ft‘ ’IIm Usluil AI-Fiqh, revisi Thaha Jabir, Beirut, Muassasah Al-Risalah, cet. 2, 1412 HQ.
Fakultas Kalam, Majma’ A1-Buhuts Al-Islamiyyah: Syarlg AI- MusI1taIal_uit AI-Falsafiyyah, Mayhad, Ostoneh Al-Radhawiyyah AI-Muqoddasah, 1414 HQ.
Faydh Kasyani, Muhsin: Al-I;Inqq AI-Mubfn fl Tal_1q1‘q Kmfiyynt AI- Tnfnqqulz ff AI-Din, Sozmon Chop Donesygoh, 1349 HS, dicetak dengan kitab Al-Ushfil Al-Ashliyyah.
j : AI—Mnl_mjjah AI-Bm'dh6' fi Tnlldzfb AI-”_1\1/('7', Qom, Daftar Entesyorot Islami, cet. 2.
_: 'IIm AI-Ynqfn ft“ Uslu?I Al-Din, Qom, Bidar, 1358 HS.
Gardiae, Luis G. Kanawati: Fnlsnfat AI—Fikr AI-Dim’ bain AI—IsItim wn AI-Masi71i_1/_i/uh, terj. Shubhi Shaleh Farid Jabar, Bairut, Dar Al- ’Ilm Ii Al-Malayin, cet. 2, 1983 M.
Ghamidi, Ahmad bin Athiyah: AI-Brzylmqt‘ wa Mrmqzfulm min AI- Ilrilriyyfit, Bahrain, Makrabah Ibn Taimiyyah, cet. 4, 1413 HQ. Gharawi, Muhammad Abdul I-Iasan: Mnsluidir Al-Istinbfig baina AI- Uslzfiliyyfn wa AI-Aklzbfiriyyfn, Qom, Maktab Al-l’lam Al-Islami,
1413 HQ.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad: Iljfim AI-’Awfim ‘an ’Ilm AI-Kalrim, Damascus-Beirut, Dar Al—I-Iikmah, 1417 HQ.
j : Al-IqtisI1fidfiAI—I’h'qfid, Beirut, Maktabah A1-Hilal, 1993 M.
Hakimi, Muhammad Ridha, Muhammad : Ali Hakimi: AI-flu}/tilt, Tehran, Daftar—e Nashr-e Farhang-e Islami, cet. 5, 1367 HS.
Haluw, Abduh: AI-Wrififi Tfirfkh Al—FaIsafat AI—’Ambiyynh, Beirut, Dar Al-Fikr Al—Lubnani, 1995 M.
I-Iasan, Abbas: Al-Nzzl_1w AI-Wfifi, Tehran, Nasir Khosru.
p:282
Daftar Pustaka
I-Iimayah, Muhammad Ali: Ibn flnzm wn Manlmjulm di Dirtisat AI- Adyrin, Cairo, Dar Al-Ma'arif, 1983 M.
Hamdi Zaqroq, Mahmud: Al-flnqfqat AI—D1‘niyyaI1 wn AI—flaq1‘qalz AI- Falsafiyynlz laduy Ibn Rusyd, Cairo, 1993 M.
Z : "Mafhfim Al-Tanwir fi Fikr Ibn Rusyd", dalam Ibn Rusyd wa AI-Tanwfr, Murad Wahbah Muna Abu Sanah, Mesir, Dar Al- Tsaqofah Al—]adidah, 1997 M.
Hanafi, Hasan: Qadltfiyri Mu’fisln'ral1 ff Al-Fikr AI-Gharbi AI—Mu'r?sI1ir, Cairo, Dar AI-Fikr Al-’Arobi, cet. 1978 M.
_ 2 Min AI-'Aqz‘dal1 ilri AI-Tsaurah, Beirut, Dar Al-Tanwir wa Al- Markaz Al-Tsaqofi, 1988 M.
Hanafi, Abdul Mun‘im: AI—Mu ‘jam AI-Falsafi, Beirut, Dar Ibn Zaidun, 1992 M.
Hanafi, Ali bin Abu 'lzz: S_1/arI_1 AI-flaI_mzvi_1/_1/ah f1‘ AI-’Aqfd11t AI- Salafiyynlz, revisi Abdurahman Umairah, Riyadh, Maktabah Al- Ma'arif, cet. 2, 1407 HQ.
Hurr Amili, Muhammad bin Hasan: AI-Fawri’id AI-Tfisiyyah, Qom, Al- Matba'ah Al-Ilmiyyah, 1403 HQ.
_ : Wasé’iI AI-Syi'nI1, Beirut, Dar Al-Ihya' Al-Turots Al-’Arobi,
Ibnu Abi Ushaibaah: [ZlU_1/tin AI-Anbfi' fi 'I7mbnqfit AI-Athibbfi’, Beirut, Dar Al-Fikr, 1377 HQ.
Ibnu Abil Hadid: Syarh Nnl1jAl-Baltiglztzh, Qom, Mansyuroh Maktabah Ayatullah Al-Uzdma Al-Mar'asyi Al-Najafi, 1404 HQ.
Ibnu Idris Hilli, Muhammad: AI~Snrfi'ir, Qom, Al-Nasyr A1-Islami, cet. 2, 1410 HQ.
Ibnu Atsir]azari:Al-Kfi11iilfiAI- Ttirfkh, Beirut, Dar Al-Fikr, 1398 HQ.
Ibnu Turkah, Shainuddin Ali: Tmnlzid Al-Qow(i’id, Tehran, Anjuman Islami I-Iikmat wa Falsafeh Iran, cet. 2, 1360 HS.
Ibnu Jauzi, Abdurrahman: Talbfs Iblfs, Beirut, Dar Kutub A1-’Ilmiyah.
Ibnu Murtadha, Ahmad bin Yahya: Tobnqcit AI-Mu’tazilnl1, Beirut, Dar Al-Muntazdar, cet. 2, 1409 HQ.
p:283
Akal dan Wahyu
Ibnu Taimiyah, Ahmad: Dar’ TaEJfirudI1 AI-Aql wa AI-Nnql, revisi Mu- hammad Rasyad Salim, Al-Riyadh, Dar Al-Kunuz A1-Adabiyah.
Q 2 MnjmLi’al1 AI-Frzhiwri, revisi ’Amir Al-Iazzar 8: Anwar Al-Baz, Al-Riyadh, Dar Al-Wafa’, 1418 HQ.
_: Bughyal1AI-Murttid, revisi Musa Sulaiman, Maktabah Al-’Ulum wa Al-Hikam, cet. 3, 1415 HQ.
__ : Synrfl AI-'Aqidat AI-Islifaliriniyyalz, Riyadh, Maktabah Al-Rusyd, 1415 HQ.
lbnu Hajar ’Asqalani: Tnhdzib AI-Talzdzib, Beirut, Dar Shodir.
Ibnu Hazm Andalusi: AI-Fadhl fi A!-Milal wa AI-Ahwri’ wn Al—NiI_mI, Beirut, Dar Shodir.
j : AI-Mulmllé bi Al-Atsrir, revisi Abdul Ghaffar Sulaiman A1- Baghdadi, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1408 HQ.
j :Rosfi’iI Ibn Hnzm Al-Andalusi, revisi Ihsan Abbas, Beirut, Al- Mua'ssasah Al-”Arobiyyah li Al-Dirosat wa Al-Nasyr, 1987 HQ.
Ibnu Hanbal, Ahmad: Dri'irot AI-Ma’rinfAI-Islzimiyynlz, Dar Al-Fikr.
j : AI-’Aqfdnh, revisi Abdul Aziz Izzuddin, Damaskus, Dar Qutai- bah, 1408 HQ.
Ibnu Khuzaimah, Muhammad bin Ishaq:Al-TauhfdwaItsbtitSl1MitAI- Robb ’Azza wa Ialln, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1412 HQ.
Ibnu Khaldun, Abdurrahman: Trirfkh Ibn Klialdtin, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1412 HQ.
j : Muqaddimat Ibn Kholdiin, Beirut, Dar Ihya’ Al-Turots Al-’Arobi, 1408 HQ.
Ibnu Khalkan, Ahmad: Wufayrit Al-A’yrin, revisi Ihsan Abbas, Qom, Mansyurot AI-Syarif Al-Rodhi, cet. 2, 1364 HS.
Ibnu Rusyd, Muhammad: Fnshl AI-Maqfil ji rm? Brain Al-S_1/arz"'aI1 ma AI—fiikmali min AI-Ittishril, (dicetak dengan kitab Al-Kasyf ‘an Manahij A1-Adillah fi ’Aqa’id Al-Millah), Beirut, Maktabah Al- Qurbiyyah, 1987 M.
Ibnu Sina, Husain bin Abdillahz Al-Isytirtit wa AI-Tanbihfit, comentar
p:284
Daftar Pustaka
Nashirucldin Thusi, Beirut, Muassasah Al-Nu’man, cet. 2, 1413 HQ.
j : A]-Rosa’il, Qom, Bidor.
Ibnu Arabi, Muhyiddin: Kitfib Al-Mu‘rifah, revisi Said Abdul Fatih, Paris Beirut, Dar Al-Mutanabbi, 1993 M.
Ibnu Asakir: Tab}/$11 Kidzb Al-Muftrm‘, Beirut, Dar Al-Jil, 1416 HQ.
Ibnu Jauzi, Qayim: MiflfiI_z Dfir AI—Sa’fidalz, Cairo, Dar Al-Hadits, 1414 HQ.
j : Mukhtaslmr AI-Shawz?’iq AI-Mursalah ‘alt? AI-]aInm'y_1/ah wt: Al- Mu’atI1tI1iIalz, revisi Sayid Ibrahlm, Cairo, Dar Al-Hadits, 1412 HQ.
Ibnu Katsir Al-Damsyiqi: AI-Bidfiyah wn Al-Nilrtiynlt, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats Al-’Arobi.
Ibnu Maimun, Musa: Dalrilat AI-Hr3’ir1‘n, revisi Husain Anay, Ankara, Maktabah Al-Tsaqofah A1-Diniyyah.
Ibrahlm Hasan, Hasan: Tarikh Al—Islam, cet. 7, 1964 M.
Ishbahani, Hafizd Abu Nuaim: Hilyat AI-Awliyfi’, Beirut, Dar Al-Kitab Al-’Arobi, cat. 5, 1407 HQ.
Jaidi, Umar: AI—Tasyrt" AI-Islfimt‘: Uslnilulzu wa Maqfislziduhu, Al-Dar Al- Baidho’, Mansyurot ’Ukazd, 1408 HQ,
Jami, Muhammad Aman: AI—Slnffit Al—IIzilziyyal1fiAI-Kittib wa Al—Szmm1t AI-Nnbawi_1/_1/ah, Beirut, Dar Al-Taqwa.
Jauzu, Muhammad Ali: Mnflnim AI-’AqI wa AI-Qalbfi Alqurtm wt: Al- Smmah, Beirut, Dar A1-Qolam li A1-Malayin, 1980 M.
Kadzimi Khurasani, Muhammad Ali: I-'nwzi'id Al-Usluilr min Ifridtit AI- Nfi’1‘nf, komentar Agha Dhiyauddin Iraki, Qom, Muassasah Al- Nasyr Al-Islami, 1406 HQ.
Kalantari, Abu] Qasim: Mnt_hfirih Al-Anzdfir: Tuqr1‘rAI-Syaikh Al-Anshfirf, Qom, Muassasah Al Al-Bait, 1404 HQ.
Karam, Yusuf: Tfirfklz Al-Falsafnt Al-Urfibiyynlz fi‘ AI-Aslzr AI-Wasfj, Beirut, Dar Al-Qolam, 1979 HQ.
p:285
Akal dan Wahyu
Khalili, ]a’far: Mnusz?’at AI-’Atal7fit Al-Muqaddusalz, Beirut, Muassa-sah Al-A’lami li Al-Matbu’at, cet. 2, 1407 HQ.
Khasyt, Muhammad Utsman: Falsafnlz Al—Dfnfi Dhow Ta’wz‘l ]adz‘dl1‘Al- Naqdiy}/nl1AI-Kantiy_I/ah, Cairo, Dar Ghuraib.
Khatib Baghdadi, Ahmad bin Ali: Tfirikh Bnghdzid, Mesir, Matba’ah A1- Sa’adah, 1349 HQ.
Khurasani, Muhammad Kadzim: S_1/arl_1 Fzmi’id AI—LIsh1il, Qom, Bashirati.
Kualini, Muhammad bin Ya’qub: AI-Krifi, Tehran, Dar Al-Kutub Al- Islamiyyah.
Ma'arri, Abul Ala’: Rosfi’iI Abf AI-‘Ala’ AI-Ma'arri, Beirut, ’Alam Al- Kutub, cet. 3, 1404 HQ.
j : Siq! AI-Zand, dikomentari oleh Ahmad Syamsuddin, Beirut, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, 1410 HQ.
_ : Luzzim mri Izi Ynlznm, komentar Nadim Adiy, Damaskus, Dar Tolas, cet. 2, 1988 M.
Madani, Shaleh: IbnAl-Thufail:Qodl16yti wa Mawziqifi Baghdad, Dar Al- Rosyid, 1980 M.
Maghribi, Ali Abdul Faffah: Dirasat ’AqIi_1/yah wa Rfilziyyalz Al-Falsafat AI-Ishlmiyynlz, Cairo, Maktabah Wahbah, 1415 HQ.
Mahmud, Abdul Halim: Falsafah Ibn AI-Tlzufail wa Riszilatuhu flat/y bin Ynqzdtin, Beirut, AI-Syirkah Al-’Alamiyyah li AI-Kitab, 1987 M.
Mahmud, Abdul Karim: AI-lslfim wa AI-’Aql, Cairo, Dar Al-Ma'arif, cet. 3.
Mahmud Khudhairi, Zainab: Atsar Ibn Rusyd _fi Fnlsafzt AI-’Uslu?r AI- Wusgé, Beirut, Dar AI-tanwir, cet. 2, 1985 M.
Majlisi, Muhammad Baqir: Bil_ztir AI-Anwfir, Beirut, Dar lhya' Al-Turots Al-’Arobi, cet. 2, 1403 HQ.
Mas’ud, Michael: LIdabri’AI-Fnltisifah, Beirut, Dar A1-’Ilm li Al-Malayin, 1993 M.
MausLi'at AI-Fiqh AI-Islrimi (Mnusfl ’al1 Iamzil Abd AI-Nzishir AI-Fiql1i_1/_1/nlz),
p:286
Daftar Pustaka
Cairo, Al-Majlis Al-A’la li Al-Syu’un Al-Islamiyyah, 1410 HQ. Maus12’at AI—I
Irfan, 1959 M.
Mudzaffar, Muhammad Ridha: Usluil AI-Fiqh, Nastr Donesy Islami,
1405 HQ.
Mughniyah, Muhammad Jawad: ’Aqli_1/_1/(it Isltimiyyalr, Beirut, Muassasah ’Izzuddin, 1414 HQ.
j : Madzrihib wn Mushthalahfit Falsafiyyali, Beirut, Dar AI-Ta’aruf li Al-Matbu’at.
Muhammad Ismail, Fathlmah Ismail: Alqu mn wa Al-Nazdnr AI-’AqIi”, Virginia-USA, Al-Ma’had Al-'Alami li Al-Fikr Al-Islarni, 1993 M.
Muhammad Ba-Abdullah, Muhammad Bakarim: WasatI1iyynl1AhI Al- Summlz baina AI-Fimq, Riyadh, Dar AI-Royah, 1415 HQ.
Muhaqqiq Hilli, ]a’far: Al-Mu’trzbnr ff Synrh AI—Mukhtnslmr, Qom, Muassasah Sayyid Al-Syuhada’, 1364 HS.
Muhaqqiq Karaki: jtimi’ AI-Maqtishid, Qom, Muassasah Al AI-Bait, 1408.
Muhasibi, I-Iarits bin Asad: AI-'AqI wa Mafluim Alquran, revisi Husain Qutali, Beirut, Dar Al-Kindi, cet. 3, 1402 HQ.
M1/jam Al-Lziluit AI-Kittibi, Antonius Najib, editor terjemah, Beirut, Dar Al-Masyriq, cet. 3, 1991 HQ.
Musawi Ishfahani, Sayid Muhammad Baqir: Hidti}/at AI—LIsIuiI, Qom, Al-Matba’ah Al-’IImiyyah, 1384 HQ.
Musawi Khumaini, Ruhullah [Imam]: Tn'Iiqtit ’nIfi SynrI_1 Fusluish AI- fliknm um Mishbtih AI-Uns, Qom.
Musawi Khunsari, Muhammad Baqir: Rowdhfit AI-Immfit, Qom, Ismailiyyon, 1390 HQ.
Musawi Tabrizi, Sayid Nikmatullah: AI-AnwtirAI-Nufinriniy}/nli, Tabriz, Al-Haj Hadi Bai Hasyim.
Mushommfit Al-S}/niklr AI-Mufid, Qom, Al-Mu'tamar Al-'Alami li
p:287
Akal dan Wahyu
Alfiyah Al-Syaikh Al-Mufid, 1413 HQ.
Muslim bin Hajjaj: SImfii7_1 Muslim, Beirut, Muassasah ’Izzuddin, 1407 HQ.
Mustafa Ibrahlm, Ibrahlm: Mnflmm AI-'AqI fi Al—Fikr Al-Fnlsafi, Beirut, Dar Al-Nahdhoh Al-’Arobiyyah, 1993 M.
Mustafawi, Muhammad Kadzim: AI-Qowfi’id: Mi ’ah Qfi’idal1 Fiqlii-_i/_1/nli, Qom, Muassasah Al-nasyr Al-Islami, 1412 HQ.
Mu’tiq, ’Awwad bin Abdullah: AI—Mu’tnziIah wa Ushfilulmm AI- Klmmsah wa MtmqifAhl AI-Smmalz minlui, Riyadh, Maktabah Al- Rusyd, cet. 3, 1417 HQ.
Nadim, Muhammad bin Ishaq: AI-I-"ihrist, Tehran, Chopkhoneh Ma- ravi.
Najasyi, Ahmad bin Ali: Al-Rijril, Nasyr Kitob.
Najafi, Muhammad Hasan: lawfilzir AI-Kulfim, Beirut, Dar Ihya' AL- Turots Al-'Arobi, cet. 7.
Nikmah, Abdullah: Falfisifnt AI-S3/f‘nh, Qom, Dar Al-Kitab Al-Islami.
Qadhi Abdul Jabbar Muktazili: Synrh AI—Uslu?I Al—KhomsnI1, Cairo, Maktabah Wahbah, cet. 2, 1418 HQ.
Qomair, Yuhanna: Fnlfisifaml-‘A mb:AI-Glmzalz‘, Beirut, Dar Al-Masyriq, cet. 2, 1986 M.
Qaru, Nadim: Al-flaqq wn AI-Imfin fi‘ '11»: Knlfim Ibn Tainvziyynli, Damaskus, AL-Hikmah, 1415 HQ.
Qushairi, Dawud bin Mahmud: Mafla’ Klmslnislz AI-Knlim fl Ma’rim‘ FusIu?sl1AI-Hikmn, Mansyurot Anwar Al-Huda, 1414 HQ.
Qusyairi, Abdul Karim bin Hawazin: AI-RisfilntAI—Qusyairiyyal1, Beirut, Dar Al-Kitab A1-’Arobi.
Rafiei, Mustafa: Tririkh Al-Tnsyn", Beirut, Al—Syirkah Al-'Alarniyyah Ii Al-Kitab, 1993 M.
Ramadhan Buthi, Muhammad Saed: AI-Din wn AI-Falsafalz, Damas- kus, Maktabah Al-Farabi, cet. 2, 1414 HQ.
Rasyid Ridha, Muhammad: Tnfsfr AI-Mnmir, Mesir, Dar AL-Manar, cet. 2, 1367 HQ.
p:288
Daftar Pustaka
Razi, Abu Hatim: A'lfim Al-Nubuwwah, Tehran, Anjuman Falsafeh Iron, 1397 HS.
Razi, Muhammad bin Zakaria: Rosr3’il Falsafiyyah, revisi P. Crouse, Tehran, Al—Maktabah Al-Murtadhawiyyah.
Rihlat Ibn Bagfigah, Matba’ah Mustofa Muhammad, 1357 HQ.
Ros:f’iI Ikhwfin Al-Shaft? wa Khillfin AI-Waffi', revisi Arif Tamir, Beirut- Paris, Mansyurot Uwaidat, 1415 HQ.
Rosfi’iI AI—]zi[y'zd, revisi dan komentar Abdul Salam Muhammad Harun, Beirut, Dar Al-Jalil, 1411 HQ.
Sabzawari, Mulla Hadi: S3/arl_1 AI-Manzdtimalz.
Samarqandi, Muhammad bin Ahmad: Mfzfin Al-Ushzil, revisi Abdul Malik Abdurahman Saedi, Matba’ah A1-Khulud, 1407 HQ.
Sarraj Thusi, lbnu Nashr: Al-Lzmm’ ff AI—Tasl1owwuf, revisi Nicolson, Tehran, Entesyorot Jahan.
Shadr, Sayid Hasan: Tn'sfs AI-S_1/f’ah Ii ’Ulz?m AI—IsIr3m, Syirkah Al-Nasyr wa Al-Thoba’ah Al-’Iroqiyyah, 1370 HQ.
Shadr, Muhammad Baqir: Al-Majmfi ‘ah AI-Krimilah Ii Mz/nllnffit AI- Szzyyid Mulmmad Bziqir Al—Slmdr, jld. 3 "Durus fi 'llm A1-Ushul”, Beirut, Dar Al-Ta’aruf li Al-Matbu’at.
Shaeb, Adib: AI-Muqaddimah ff Falsafal‘ AI-Din, Beirut, Dar Al-Nahar, cet. 2, 1995 M.
Shafadi, Shalahuddin: Nukat Al-I_~Iimyrin fl Nukat Al~’Imyzin, Qom, Mansyurot Al-Syarif Al-Radhi, 1372 HS.
Shaliba, Jamil: AI-Mu’jam AI-Falsafi, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Lubnani, 1982 M.
Sili, Abdul Aziz: AI-’Aqz‘dn! AI-Salafiyyalz bnin Ibn flanbnl zvn Al-Imfim Ibn Taimiyg/ah, Cairo, Dar Al-Manar, 1413 HQ.
Subhani, ]a‘far: AI-llrilzig/fit, Qom, Al-Markaz Al-’Alami li Al-dirosat Al-Islamiyyah, Beirut, cet. 3, 1412 HQ.
_: BuI_u?tsfi Al-Milal wa AI—NiI_mI, Qom, Lajnah Idaroh Al-Hauzah Al-’llmiyyah, cet. 2, 1410 HQ.
Subki, Abdul Wahhab bin Ali: Tobaqfit AI-S_1/tifi’i}/_i/at AI-Kubrfi, Cairo,
p:289
Akal dan Wahyu
Dar Ihya’ A1-Kutub Al-’Arobiyyah.
Sudibyo, lman: ”Fahm Al-Din", dalam Ibn Rusyd wa AI—Trmwir, Murad Wahbah Muna Abu Sanah, Mesir, Dar Al-Tsaqofah A1-Jadidah, 1997 M.
Suhrawardi, Abdul Qohir bin Abdullah: ’Awtiri:fAI-Mn’ririf, Beirut, Dar Al-Kitab Al-’Arobi, cet. 2, 1403 HQ.
Suhrawardi, Syihabuddin Yahya: Majmfi’aI1 Mushrmnafiit S3/aikh Isyrtiq (AI-Talzwlgrit AI-LauI_1iyyah wa AI-’Arsyi}/yali), revisi Henry Corbin, Tehran, Anjuman Falsafeh Iron, 1395 HQ.
Sulaimani, Fahad bin Nashir: Mnjmz?’ Fatrizvé wa Rnsri’iI Mulmmmad bin Shrilih AI-’Utsainmin, Riyadh, Dar Al-Tsuroyya, 1416 HQ.
Suyuri Hilli, Miqdad bin Abdullah: Irsyzid Al-Talibfn ilti Nahj AI- Mustarsyidfn, revisi Sayyid Mahdi Rajaie, Qom, Maktabah Ayatullah Uzdma Mar’asyi Najafi, 1405 HQ.
Suyuthi, Ialaluddinz AI—Wnsri’iI ilti Mn'rifnI1 Al-Awci’iI, revisi Ibrahlm Adawi Ali Muhammad Umar, Cairo, Maktabah Khanji.
Syathibi, Abu lshaq: AI-Muwcifaqzit fi Usluil AI-Al_1kzim, Dar lhya’ Al- Kutub Al-’Arobiyyah.
Syahristani, Muhammad bin Abdul Karim: AI-Milal wa AI-Nilyzl, Qom, Mansyurot Al-Syarif Al-Rodhi, cet. 3, 1367 HS.
Z 2 Niluiyalz AI—/lqdrim fi '11»: AI-Kalrim, revisi Alfred Gume, Cairo, Maktabah Al-Mutanabbi.
Syahid Tsani, Zainuddin: flaqri'iq AI-lmrin, dicetak dengan "Risalah Al-Iqtishéd wa Al-'Adalah”, revisi Mahdi Rajaie, Qom, Maktabah Ayatullah Uzdma Mar’asyi Najafi, 1409 HQ.
Sya’rani, Abdul Wahhab: Al-Thnbnqfit AI-S_1/rifliyynlz AI-Kubrri, Mesir, Matba'ah Abdul Hamid.
Syamsuddin, Abdul Amir: AI-Fikr AI-Tarbuwz‘ ’indu Ibn AI-Thufail, Beirut, Dar Iqro, cet. 2, 1406 HQ.
Syeikh Shaduq: AI-Tnwl_n‘d, Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1415
HQ.
p:290
Daftar Pustaka
Syeikh Thusi, Muhammad bin Hasan: Iklztiyfir Mn’rifat AI-Rijfil, (Rijal AL-Kasyi), revisi Hasan Mustafawi, Masyhad Donesykadeh Ilahiyyat wa Ma'orif lslami, 1348 HS.
j : AI-Tibyfin, Dar Al—Andalus.
j : AI-Glznibalr, Qom, Muassasah Al-Ma'arif A1-Islamiyyah, 1411 HQ.
Z : AI-Fihrist, Qom. Mansyurot A1-Syarif Al-Rodhi.
Syirazi, Qutbudin: Syarlg flikmah AI-Is}/rfiq, Qom, Bidar.
Syirazi, Muhammad Shadrul Mutaalihin: Knsr AI-Ashmim AI-lrilul Iiy_1/ah, revisi Muhammad Taqi Donesy-Pezveh, tehran, Matba'ah ]ami'ah Tehran 1340 HS.
_Z_ : Tafsfr AI-Qur’r?n AI-Karim, Qom, Bidar, cet. 2, 1366 HS.
j : AI-flikmat Al-Muta'fili_1/ah fi AI-Asfir Al-'AqIi_1/_1/at AI-Arbn'aI1, Beirut, Dar Ihya' Al-Turots Al-’Arobi, 1410 HQ.
M : AI-Ros(3’iI (Risfiluh Snrayrin AI-Wujfid), Qom, Maktabah Al- Mushtafawi.
Z : Syarfi Usl1L?lAI-Kfifi, Tehran, Muassasah Mutoleat wa Tahqiqot Farhanggi, 1367 HS.
j 2 Maffih7_z AI-Glmyb, revisi Muhammad Khajawi, Tehran, Muassasah Mutoleat wa Tahqiqot Farhanggi, 1363 HS.
Taftazani, Saeduddin: Synrl_z AI-‘Aqr?’id AI-Nasafiyyah, revisi Ahmad Hijazi Al-Saqo, Cairo, Maktabah Al-Kulliyyat Al-Azhariyyah, 1408 HQ.
Taghlabi Andalusi, Sho’id bin Ahmad: Tltabaqrit AI—Umrmz, Najaf, Mansyurot Al-Maktabah Al-I-Iaidariyyah, 1387 HQ.
Tauhidi, Abu I-Iayyan: AI-AI-Imtfi’ wn AI-Mu’fim1snl1, Mansyurot Al- Syarif Al-Rodhi.
Tehrani, Agha Buzurg, AI-Dzari”al1 {In Tasluinff AI-Syz"nh, Najaf, Maktabah Shohib Al-Dzari'ah Al-’Ammah, 1392 HQ.
Thabarsi, Fadhl bin Hasan: Majmn’ AI-Bayrin, Tehran, Nasir Khosru.
Thabathabai, Muhammad I-Iusain: AI-Mfzfin fl Tnfsfr Alqurrm, Qom, Intosyorot ]ami’ah Mudarrisin.
p:291
Akal dan Wahyu
Tustari, Qadhi Sayid Nuruddin: Ihqriq AI-_H_nqq wa Izhfiq Al-Bzigil, comentar Syihabuddin Najafi Mar’asyi, Tehran, Matba ‘ah Al- Islamiyyah.
Utsaimain, Muhammad bin Shaleh: SyarI_1 Lum’nh AI-I'tiq6d Ii Ibn Qudzinmh, Dar Ibn Huzaimah, 1417 HQ.
Zamakhsyari, Mahmud bin Umar: Al-Kasysyfif, Beirut, Dar AL-Kitab AL’Arobi, cet. 3, 1407 HQ.
Zemarli, Fawwaf Ahmad: Ushfil Al-Sunnah Ii Al_1mad ibn flanbal, Beirut, Dar Al-Kitab Al-'Arobi, 1415 HQ, dicetak dalam buku ’Aqo'id Aimmah Al-Salaf.
__ : ’Aqri'id A’imnmh AI-Snlnf, Beirut, Dar Al-Kitab Al-'Arobi, 1415 HQ.
Zuhdi Jarullah: AI-Mu’taziInl1, Beirut, Muassasah AL-'Arobiyyah li Al- Dirosat wa Al-Nasyr, cet. 6, 1410 HQ.
Zulma, Mustafa Ibrahlm: Falsafat AI-Tnsyri’, Baghdad, Dar Al-Risalah, 1979 M.
Yafi’ie, Abdullah bin As’ad: Rawdh Al—Royrih1‘n fi‘ flikfiyrit AI-Shalihin, Damaskus, Dar Al-Basya'ir, 1416 HQ.
Literatur Latin
Alston, William: ”Is Religious Belief RastionaI?", in Ann Loades 8 Loyal D. Rue, eds., Contemporary Classics in Philosophy of Religion, Illinios, Open Court, 1991, pp. 139-156.
Amir Moezzi, Mohammad Ali: The Divine Guide in Early Shi’ism, trans. From French by David Streight, Albany, State University of New York Press, 1994.
Aquinas, Thomas: "Reason and Revelation", in William L, Rowe William]. Waimwright, Philosophy of Religion, Florida, HB], 1989.
Amaldez, Koger: "Ibn Hanz”, in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, P.C., 1993, V.6.
Bambrough, Renford: ”Reason and Faith", in Mircea Eliade, ed., The
p:292
Daftar Pustaka
Encyclopedia of Religion, Cambridge, Cambridge University Press, 1992.
Berman, Harold: ”Law and Religion in the West", in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, P.C., 1993, V.8.
Butterfeld, Herbert: ”Christianity in History", in Philip P. Weiner, ed., Dictionary of the History of Ideas, New York, Scribeners, 1973, V.1.
Carus, Paul: ”Science a Religious Revelation”, in Richard Hughest Seager, ed., The Dawn of Religious Pluralism, Illinois, Open Court, 1993.
Chadwick, W. Owen: ”Religion and Science in the Nineteenth Century", in Philip P. Weiner, ed., Dictionary of the History of Ideas, New York, Scribeners, 1973, VA.
Clark, Kelly james: Return to Reason, Grand Rapids, Eerdmans, 1990.
Clifford, W. K.: "The Ethics of Belief", in William L. Rowe William J. Waimwright, Philosophy of Religion, Florida, HB], 1989.
Dwen, H. P.: ”Theism", in Paul Edward, ed., The Encyclopedia of Philosophy, New York, Macmillan Publishing, Co., 1972, V. 8. Ebbesen, Sten: ”Averroism”, in Edward Craig, ed., Routledge Ency-
clopedia of Philosophy, London New York, Routledge, 1998, V. 1.
Godbey, John: "Sozzini, Fausto Pavolo", in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, Macmillan, PC. 1993, V. 13.
I-lick, John: Philosophy of Religion, Englewood Cliffs, NJ, Prentice-Hall, 1990.
Hoodbhooy, Pervez: ”Science”, in John L. Esposito, ed., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Oxford New York, Oxford University Press, 1995, V. 5.
Hudson, W. Donald: ”Ibn Tufoyl, Abu Bakr Muhammad”, in Edward Craig, ed., Routledge Encyclopedia of Philosophy, London New York, Routledge, 1998, VA.
I. Kocklmans, Iosepsz ”Reflections on the Interaction Between Science and Religion”, in Fredrick Ferre Others, eds., The Challenge of Religion, New York, The Seabury Press, 1982.
p:293
Akal dan Wahyu
Konyndyk, Kenneth: "Faith and Evidentialism”, in Robert Audi William Wainwrigth, eds., Rationality, Religious Beliefi and Moral Commitment, New York, Cornell University Press, 1986.
Kung, Hans: Great Christian Thinkers, New York, Continuum P., 1995.
L. Golding, Joshua: "On the Rationality of Being Religious”, in Elizabeth S. Radcliffe Carol J. White, eds., Faith in Theory and Practice, Illinois, Open Court, 1993.
L. Schmitz, Kenneth: ”Philosophy of Religion and Redefinition of Philosophy", in Fredrick Ferre Others, eds., The Challenge of
Religion, New York, The Seabury Press, 1982. Lauer, Quentin: Hegel '5 Concept of God, New York, State University of
New York Press, 1982.
Leaman, Oliver: "Averroism, Tewish", in Edward Craig, ed., Routledge Encyclopedia of Philosophy, London 8: New York, Routledge, 1998, V.1.
Levy, Leonard: ”Blasphemy, Judeo — Christian Concept”, in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, Macmillan, P.C. 1993, V.5.
M. Parsons, Keith: God and the Burden of Proof, New York, Prome-theus Books, 1989.
MacDonald, Scott: ”Natural Theology", in Edward Craig, ed., Rout- ledge Encyclopedia of Philosophy, London New York, Routledge, 1998, V.6.
MacGregor, Geddes: Dictionary of Religion and Philosophy, New York, Paragon House, 1989.
Mackie, John: The Miracle of Theism, New York, Oxford University Press, 1982.
Malcolm, Norman: "The Groundlessness of Belief”, in Stuart Brown, ed., Reason and Religion, London, Cornell University Press, 1977.
Marshall, John: ”Socinianism”, in Edward Craig, ed., Routledge Ency clopedia of Philosophy, London New York, Routledge, 1998, V.8.
p:294
Daftar Pustaka
Murata, Sachiko: The Tao of Islam, Albany, State University of New York Press, 1992.
0'1-lear, Anthony: Experience, Explanation and Faith, London, Routledge Kegan Paul, 1984.
Peterson, Michael, et al.: Reason and Religious Belief, New York, Oxford University Press, 1991.
Pine, Martin: ”Double Truth”, in Philip P. Weiner, ed., Dictionary of the History of Ideas, New York, Scribeners, 1973, V.2.
Plantinga, Alvin: ”Reason and Belief in God", in Alvin Plantinga 8: Nicholas Wolterstorff, eds., Faith and Rationality, Notredame, University of Notredame Press, 1983.
__ : "Religious Belief without Evidence”, in Louis Pojman, ed., Philosophy Religion, California, Wadsworth, P.C., 1987.
Pojman, Louis: "Can Religious Belief be Rational?", in Louis Pojman, ed., Philosophy of Religion, California, Wadsworth, P.C., 1987. Quinton, Anthony: ”Knowledge and Belief", in Paul Edward, ed., The Encyclopedia of Philosophy, New York, Cacmillan Publishing, Co.,
1972, V.4.
Ravindra, Ravi: ”Galileo Galilei", in Mircea Eliade, ed., The Encyclo- pedia of Religion, New York, Macmillan, P.C. 1993, V.5.
___: ”Phisics and Religion”, in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, Macmillan, P.C. 1993, V. 11.
Robinson, Richard: ” Religion and Reason", in Critiques of God.
Rippin, Andrew: Muslims, London 8: New York, Routledge, 1995.
Robinson, Richard: ”Religion and Reason”, in Peter Angeles, ed., Philosophy, London, New York, Routledge, 1998, V.2.
Scriven, Michael: "The Presumption of Atheism", in Louis Pojman, ed., Philosophy of Religion, California, Wadsworth, P.C., 1987. Smith, John E.: "Philosophy and Religion”, in Mircea Eliade, ed., The
Encyclopedia of Religion, New York, Macmillan, P.C. 1993, V. 11.
Smith, Ionathan Z., ed.: The HarpesCollins Dictionary of Religion, New
York, HarperCollins Publishers, 1995.
p:295
Akal dan Wahyu
Sullivan, Roger: Immanuel Kant Moral Theory, U.S.A., Cambridge University Press, 1989.
Swinburne, Richard: Faith and Reason, New York, Oxford University Press, 1985.
Z : Revelation from Metaphor to Analogy, New York, Oxford University Press, 1992.
Trigg, Roger: ” Reason and Faith”, in Martin Warner, ed., Religious and Philosophy, Cambridge, Cambridge University Press, 1992.
Woltersorff, Nicholas: ‘'15 Reason Enough?", in R. Douglas Geivett Brendan Sweetman, eds., Contemporary Perspective oh Religious Epistemology, New York, Oxford University Press, 1992. Wood, Allen W.: ”The Enlightenment”, in Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion, New York, Macmillan, P.C. 1993, V.5. j : ”Kant’s Deism", in Philip Rossi Michea Wreen, eds., Kant's Philosophy of Religion Reconsidered, U.S.A., Indiana University Press, 1991.
_ 2 Revelation.
Wiebe, Donald: Beyond Legitimation, New York, ST. Martin's Press, 1994.
p:296
A
Abdul Jalil Qazwaini 164
Abdurahman bin I-Iajjaj 161
Abu Ali Sina 41
Abu Hamid Muhammad Ghazali 19
Abu I-Ianifah 121, 175, 178
Abu I-Iasyim ]uba’i 95
Abul Ala’ Ma‘arri 67, 70,
Abul Hasan Karkhi 95
Abul Hasan Nasyi 162
Abu Nashr Qusyairi 129
Abu Sa’id Abul Khair 41
Abu Yazid Bastami 210
Ad hominem 87, 205
Agnostisisme 120, 151, 154
Ah] al-fiqh wa al-i‘tibér 164
Ah] al-naql 163
Ahlul Bait 71, 93, 94, 131, 152, 160, 165, 166, 167, 168, 172, 173, 174, 175, 176, 178, 181, 182, 183, 188, 240, 241
Ahmad bin Hanbal 34, 100, 121, 124, 125, 126, 127, 128, 130, 137, 139, 141, 150, 152, 258
Akhbariyah 34, 158, 161, 162, 164, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 173, 174, 175, 176, 180, 182, 185, 186, 189, 197
Al-Aqsa 146
Al-I-Iaram 146
Al-muta’aliqin bi zdéhir al- riwéyah 163
Al-Naqdh 164
Al-zhuhfir al-lafzdi 191
Ali bin Ibrahlm 173
Ali bin Mehziyar 160
Allamah Hilli 25, 172, 280
Allamah Thabathabai 179, 184, 190
Antropomorfisme 104, 120, 128, 142, 156
Arberty 34,
Aristoteles 4, 20, 22, 33, 91, 92, 108, 145
Ash-héb al-atsar 163
Ashhéb al-naql 163
p:297
Akal dan Wahyu
Ashhéb hadis 163
Asy’ari 101, 121, 125, 136, 281
Aththar Naisyaburi 210, 212, 213, 227, 233
Awhaduddin Kirmani 220, 221
Ayatullah Borujerdi 169
B
Bazanti 160
Berkeley 28
Bertrand Russell 65
Bid'ah 21, 34, 122, 125, 126, 129, 139, 141, 149, 150, 167, 181,
216
D
Damaskus 142, 224, 284, 286, 288, 292
Danesnameh Shahi 165 David Hume 169 Dawud bin Ali Isfahani 101, 121, 129 Demonstratif 24, 39, 74, 112, 24, 39, 74, 112 Denis Diderot 64 Descartes 28 Diskursif 42, 64 Doktrin Malamatiyah 223 Dzul Nun Mishri 214
E Ekstemal 2, 37, 52, 56, 77, 79,
158, 190, 240, 241, 243 Ekstrim 57, 73, 115, 124, 125, 227 Empiris Sumainah 89 Eskatologi 151 Evidensialisme 7
F
Fakhru Razi 38, 43, 48, 193, 232 Farushlm 86, 90
Fideisme 28, 32, 33
Francis Bacon 169
Fuqaha' al-lmémiyyah 163 Fuqahé’ al-Syi’ah 163
H
I-Iadis muwatstsaq 162 Hamalat al-akhbér 163 Hamalat al-atsar 163 Hanbalisme 120, 125
Hans Georg Gadamer 76 Haris Muhasibi 124 Hasywiyyah 122, 163
Hay bin Yaqzdan 102, 103, 104,
105, 106, 107 Hikmah Muta’aliyah 5 Hisyam bin Hakam 159, 160, 161, 174, 241
I-Iisyam bin Salim 159 Hujjatul Islam Fayyadhi 8
I
’Irfan 5, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 46, 200, 201, 202, 207, 215, 228
Ibn Abi Jumhur Ahsaie 164
Ibn al-waqt 208
Ibnu Atsir 126, 128, 283
Ibnu l-lazm Andalusi 130, 284
Ibnu Idris 191, 283
Ibnu Katsir Dimasyqi 148
Ibnu Qayim Jauzi 4, 147
Ibnu Rusyd 19, 20, 21, 22, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 240, 284
Ibnu Taimiyah 3, 34, 122, 131, 132, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 154, 256, 284
Ibnu Thufail 11, 101, 102, 105, 106, 107, 271
Ibnu Zahra 142
Ibrahlm Al Khalil 147
Imam ]a‘far Shadiq 16
Imam Kazhlm 160, 241
Imam Muhammad Jawad 160
Imam Musa Kazhlm 189
Imam Shadiq 159, 160, 161, 165, 174, 181, 190
Iqbal Lahore 95
Isa Al-Masih 88, 257
I
]a’far Barmaki 91
Iohn Locke 82, 169 Iustifikasi 34, 76, 87, 204, 209 Juwaini 123
Kaum pesalik 230 Khabariyah 126, 140 Khawarij 120 Khirqoh 201, 209 Kriterium 63, 171
L
Leibnitz 28
Literalisme 28, 34, 101, 119, 120, 122, 134, 135, 137, 149, 150, 151
Literalisme 115, 133, 153, 158, 167
Literalisme Radikal 122, 137
M
Ma’syuq Thusi 210
Majelis Nisyabur 41
Malik bin Anas 121, 122, 141, 152
Martin Luther 26, 33 metodo-
logis 2
Mirah Naisyaburi 224
Mirza Muhammad Astarabadi 164, 165
Muhammad Amin Astarabadi 164
Muhammad Bagir Majlisi 167
Muhammad bin Abdul Wahhab 143, 148, 149, 279
Muhammad bin Idris Syafi'i 121
p:298
Akal dan Wahyu
Muhammad bin Karam Sejistani 101
Muhammad bin Muslim 159 Muhammad bin Saud 149 Muhammad Syirazi 49 Muhammad Taqi Majlisi 166 Muhaqqiq Awwal 191 Muhaqqiqfi al-nazdar min al- lmamiy-yah 164
Muhsin Faidh Kasyani 166, 184 Mukmin Taq 159, 161 Muqarrob 188
Mutakallimi al-Syi’-ah 163
N
Nadi’A1iy 213
Najmuddin Razi 223
Naqalat al-akhbar 163 Naubakh 161
Nazdam Muktazili 87, 91 Nuqqad al-atsar 163
P
Paradigma 63, 240, 301 Paradigma 35, 73, 76, 91, 111,
161, 172, 186 Pasca-Renaisans 6 Plato 4 Prasasti 63
Q
Qadhi Abdul Jabbar Muktazili 96, 288
Qiyas 121, 132, 178 Qusyairi 129, 205, 214, 217, 220, 227, 238, 288
R
Radhi Billah 128 Rasional- isme 6, 22, 27, 28, 29, 32, 81, 83, 84, 94, 98, 132, 135 Reformasi 64 Ruwwét al-hadis wa al-atsar
163
S
Sayid Murtadha 162, 270, 274
Sayyid Nikmatullah Jazairi 167, 187
Shadrian 5
Shadrul Muta’allihin Syirazi 10, 39
Shaduqi 90
Simurg 32
Skeptis 63, 70, 71, 77 Speku- latif 75
Spinoza 28
Sufyan Tsauri 121
Swakon tradiksi 194 Syahid Baqir Shadr 169 Syahid Muthahari 40, 169
Syahristani 25, 84, 94, 98, 121, 123, 164, 290
Syamsuddin Aflaki 201, 213, 214, 216, 218, 220, 222
Syamsuddin Muhammad Dzahabi 147
Syeikh Abu Sa’id 41
Syeikh Anshari 263
Syeikh Hurr Amili 166, 186
Syeikh Lahiji 208
Syeikh Mufid 162, 163, 164, 172
Syeikh Muhammad Lahiji 207, 225, 231
Syeikh Thusi 159, 160, 161, 162, 172, 232, 291
Syeikh Yusuf Bahrani 167, 187, 192
Syekh Isyraq Syihabuddin Suhrawardi 224
Syi'ah 259
Syihabudin Suhrawardi 39
T
Tafri‘ 160 Taqaddum al-syay‘ ’alé nafsihi
196 Tertullian 26, 32, 33, 34 Thabari 126 Thaha Husain 67, 70, 71 Thomas Aquinas 20
Trinitas 6, 26, 82 Tsabit bin Qurah 86 Tunanetra 5, 15
U
’Ulamé' al-Syi’ah 163 Ushul Fikih 158, 162, 164, 171, 173, 204
V
Vice versa 262
W
Wahid Behbahani 168 Washil bin ’Atha 84 Wishél 214, 216 Wittgenstein 76
Y Yunus bin Abdurahman 159, 160, 174 Z
Zakariya Razi 105, 106 Zhahiriyah 101, 120, 129, 130, 131, 132, 175
Zindiq 124
Zindiq 145, 210, 238
Zurarah bin A’yan 159
p:299
p:300
p:301