سرشناسه : قدردان قراملکی، محمدحسن، 1344 -
Qadrdan Qaramaliki,Muhammad Hasan
عنوان قراردادی : قرآن و پلورالیزم . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور : Al-Qur’an Dan Pluralisme AgamaIslam, Satu Agama Diantara JalanYang Lurus Dan Toleransi Sosial/ Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki; penterjemah Abdurrahman Arfan.
مشخصات نشر : Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.
مشخصات ظاهری : 87ص.؛ 5/14×5/21 س م.
فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/260/167. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 6.
شابک : 978-964-195-032-5
وضعیت فهرست نویسی : فیپا
یادداشت : اندونزیایی.
موضوع : کثرت گرایی مذهبی -- اسلام
شناسه افزوده : عرفان، عبدالرحمان، مترجم
شناسه افزوده : Arfan, ,Abdurrahman
رده بندی کنگره : BP229/ق35ق4049519 1393
رده بندی دیویی : 297/48
شماره کتابشناسی ملی : 3649486
p:1
p:2
Al-Qur’an Dan Pluralisme Agama Islam, Satu Agama Diantara Jalan
Yang Lurus Dan Toleransi Sosial
penulis: Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki
penerjemah: Abdurrahman Arfan
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN:
978-964-195-032-5
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
p:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s)Avenue, DanishAvenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
قراملکی قدردان محمدحسن :مؤلف
عرفان عبدالرحمان :مترجم
م2014 / ش1393 :اول چاپ
نارنجستان :چاپخانه
المصطفی نشر و ترجمه المللی صلی الله علیه و آله وسلم
نبی مرکز :ناشر
300 :تیراژ
ریال 110000 :قیمت
پلورالیزم و قرآن
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
p:4
Pengantar IICT xili
Pengantar Penulis 1
Pendahuluan °
Agama dan Proses Kesempurnaan 8
Satunya Agama dan Banyaknya Syariat 10
BAB I Al-Qur’an dan Eksklusivisme Islam 13
Islam: Janji yang Diambil dari Para Nabi
dan Umat Terdahulu 15
Al-Qur’an, Kitab Nasikh dan Muhaymin 17
Pro-Kontra Naskh 20
Nabi Muhammad, Nabi Semesta 26
Al-Qur’an: Kitab Semesta 28
Islam dalam Taurat dan I[njil 30
Tuduhan terhadap Para Nabi 35
Ahli Kitab 35
Sejarah Nabi Muhammad Saw 37
Asas Mahdawiyah 39
Mendistorsi Dakwah Nabi 40
Islam, Syarat bagi Ahli Kitab 41
Selain Islam, Tertolak 42
Ahli Kitab dan Status Kafir 45
Larangan Pindah Agama (Murtad) 47
Larangan Mutlak Berbuat Murtad 48
Janji Azab bagi Ahli Kitab 32
p:xiii
p:5
Janji Kemenangan Mutlak Islam 53
Menepis Keraguan 57
Distorsi (Tahrifj Taurat dan Injil 63
Adakah Dalil Distorsi dari Al-Qur’an? 65
Isyarat 71
BAB II Al-Qur’an, Toleransi Agama dan Sosial 73
Tiada Paksaan Memeluk Islam 75
Dialog Logis antaragama 79
Menuju Titik Persamaan 81
Larangan Eksploitasi dan Menyembah Makhluk 82
Toleransi dan Berbuat Baik kepada Kafir 84
Sejarah Rasulullah Saw 87
Persamaan Sosial 87
Membela Kaum Minoritas 88
Mengganggu Kafir Dzimmi, Mengganggu Nabi 89
Menghormati Jenazah Yahudi 89
Piagam Pertama Kebebasan Berakidah 90
Sejarah Ali bin Abi Thalib 91
Santun dan Cinta Sesama 91
Menghormati Tradisi Minoritas 92
Peduli terhadap Minoritas 93
Memenuhi Hak Kaum Miskin Ahli Kitab 93
Mengantar Yahudi 94
Toleran pada Khawarij 94
Tidak Shalat di Gereja 95
Apakah Toleransi Islam itu Empati? 96
Kesaksian Pemikir Barat
97
p:xiv
p:6
BAB III Memahami Al-Qur’an: Kerancuan
atau Kegagalan? 101
Argumentasi I: Islam sebagai Kepasrahan Total 106
Tinjauan Kritis 109
Eksklusivisme dalam Perspektif Islam 109
Koherensi Islam-nya Umat Terdahulu
dengan Satu-nya Jalan yang Lurus 112
Definitifnya Bentuk Kata Islam 112
Ayat Sebelumnya 114
Ayat Berikutnya 115
Mendistorsi Pandangan Ahli Tafsir 117
Argumentasi II: Kehendak Tuhan 125
Tinjauan Kritis 128
Al-Maidah [5]:48 128
Adanya Tafsiran Beragam dan Kredibel 128
Kehendak Tuhan 128
Pluralitas Syariat dan Penghapusannya 130
Menafikan Pengutusan Nabi 131
Mengabaikan Ayat Sebelumnya 132
Hawa Nafsu, Faktor Perselisihan dalam Agama 134
Al-Syura [42]:8 138
Kehendak Kuasa Tuhan 138
Hari Kebangkitan 138
Hud [11]:118 140
Kehendak Kuasa Tuhan 140
Hari Kebangkitan 142
Al-Baqarah [2]:148 142
Syariat 144
p:xv
p:7
tujuan 140
Al-Baqarah [2]:148 147
Argumentasi III: Bentuk Nakirah pada Shirat
Mustaqim 150
Al-Zukhruf [43]:43 151
Yassin [36]:3-4 151
Al-Fath [48]:2 152
An-Nahl] [16]:21 152
Tinjauan Kritis 153
Makna Jalan yang Lurus 153
Tanggapan Otokritik 156
Antara Tankirdan Tanwin Tafkhim 157
Islam Sebelum dan Islam Era Nabi 158
Beberapa Indikasi 158
Argumentasi IV: Tauhid dan Amal Saleh 160
Tinjauan Kritis 164
Al-Baqarah [2]:62 164
Sebab-Turun Ayat dan Keimanan pra-Islam 164
Nilai Predikat 166
Makna Iman Kepada Allah 167
Makna Amal Saleh 168
Komparasi dengan Ayat Lain 169
Al-Bagqarah [2]:112 170
Nilai Predikat 171
Penafsiran Islam 171
Memperhatikan Ayat Sebelumnya 172
Ali Imran [3]:64 172
p:xvi
p:8
Menyerukan Kadar Minimal 173
sebelum dan Setelah Ayat 174
Pluralisme Agama ataukah Pluralisme Sosial? 174
Al-Hujurat [49]:13 175
Menjelaskan Satu Pesan Moral 176
Makna Takwa 177
Al-Baqarah [2]:77 177
Argumentasi V: Apresiasi dan Janji Baik Al-Qur’an
untuk Ahli Kitab 178
Tinjauan Kritis 181
Kaum Mukmin dari Ahli Kitab, Penyambut
Kedatangan Islam 182
Berita Umat Terdahulu 186
Ahli Kitab dan Muslimin 188
Ahli Kitab yang Saleh dan Bukan Penentang 188
Argumentasi VI:Banyaknya Saksi di Hari Kiamat 191
Tinjauan Kritis 193
Kesaksian atas Kebenaran Risalah Para Nabi 193
Pembatasan Frasa Setiap Umat 195
Argumentasi VII: Hukum Jizyah Ahli Kitab 199
Tinjauan Kritis 201
Deklarasi Perang Melawan Ahli Kitab 201
Menolak Keimanan Ahli Kitab 201
Keluar dari Agama yang Benar 202
Jizyah dan Menghentikan Perang 202
Makna Shaghirun 203
p:xvii
p:9
Argumentasi VIII: Halalnya Makanan Ahli
Kitab dan Nikah dengan Mereka 204
Tinjauan Kritis 205
Daftar Pustaka 209
INDEKS 217
IKLAN BUKU 225
p:xviii
p:10
p:11
p:12
Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan
memulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah par-
adigma pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemiki-
ran sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe,
yakni tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius.
Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas,
menghadapi berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi
sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.
Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas
secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan
reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang
kompatibel dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam
paradigma ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.
Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada
posisi diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian ru-
pa hingga dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas
dan pemikiran modern, mereka menempatkan modernitas se-
bagai nilai prinsipal dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai
dengan konsep-konsepnya.
Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul
dalam bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan,
paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung pada
negasi total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan
paradigma humanisme serta mendukung dominasi sekularisme
dalam seluruh aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini,
Modernisme religius-dan terutama paradigma Pemikiran
Pembaruan-tampil konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi
p:xix
p:13
sebagai prinsip sepanjang pergaulannya dengan konsep-konsep
modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi dan mereproduk-
si pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep
modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah ter-
ma-terma seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi aga-
ma menemukan makna khasnya dibanding dengan kebebasan,
demokrasi, dan keadilan sosial sebagaimana yang dipahami
dalam paradigma modern.
Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran
Pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut
pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai keben-
aran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini pula, tentu
Saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan reproduk-
si pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya, ekonomi,
politik, dan sosial.
Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendis-
tribusikan lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar pener-
bitan di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis
sekularisme dan humanisme sebagai dua pandangan dunia
yang dominan di Barat, karya-karya ini juga dengan kekuatan
kritis yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma
kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran baru
di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam dan
basis-basis yang aksiomatis dan logis.
Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad
DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE
AND THOUGHT (IICT)
p:xx
p:14
Pluralisme Agama atau doktrin yang mengakui kebenaran
Pere agama di era modern ini disebarluaskan kalangan
pemikir Kristen. Pada paruh terakhir abad ini, khususnya
beberapa tahun silam, sejumlah pemikir Islam juga terjebak dalam
arus paham ini dan turut terjun mengusung prinsip-prinsipnya.
Pluralisme Agama memiliki landasan dan _inter-
pretasi beranekaragam. Salah satu landasannya, menurut kaum
Pluralis,adalah agama itu sendiri. Maksudnya, kendati berbagai
agama mengajak manusia agar menganut dirinya, namun
masing-masing tidak saling menentang satu sama lain, karena
semua agama ibarat mata air yang bersumber dari samudera Ilahi
yang tak bertepi.
Legitimasi religius ini dapat dipandang sebagai bagian dari
modus operandi sosialisasi paham Pluralisme, karena dengan
begitu pemeluk agama dapat dengan mudah memahami
dan mencernanya. Kaum Pluralis Muslim, dalam rangka ini,
berusaha menunjukkan bahwa platform mereka sesungguhnya
berbasis pada Islam dan, untuk itu, mereka berusaha gigih
berapologia dan menakwil sejumlah ayat Al-Qur’an. Sengaja
atau tidak, mereka telah mengabaikan prinsip dan metode dasar
p:1
ilmu Tafsir dan Hermeneutika. Dengan mengambil satu ayat
tanpa memperhatikan ayat lain, sebelum ataupun sesudahnya,
mereka menafsirkan ayat agar sesuai size pemikiran mereka
sebelum lantas mendistribusikannya ke tengah publik, terutama
kawula muda yang memang haus pengetahuan.
Tak dapat dipungkiri, semua itu memberi pengaruh
sedemikian rupa terhadap kalangan audiensi yang tidak kritis,
atau yang tak punya waktu untuk menelaah dan mendalami
lebih jauh. Sementara itu, Al-Qur’an sendiri merupakan sebuah
kitab Ilahi yang multidimensi; ada ayat muhkam; ada ayat
mutasyabih; dan diturunkan bertahap selama 23 tahun, seperti
yang tampak pada proses pengharaman minuman keras yang
berlangsung empat tahap.' Dengan kata lain, untuk memahami
fokus dan maksud kitab Ilahi ini, dibutuhkan bukan sekadar
perenungan dan penalaran, tetapi juga metode, tehnik khusus,
ketelatenan tinggi dan, yang lebih penting lagi, ketelitian
analisis seputar relasi antar ayat sebelum memastikan sebuah
interpretasi untuk suatu ayat.
Namun faktanya sungguh jauh berbeda. Penulis secara
langsung justru menjumpai pengaruh itu manakala berhadapan
dengan sejumlah pakar dan peneliti—Anda dipersilahkan men-
cermati isi ringkasan ini. Di sisi lain, belum ada buku yang khusus
mengulas Pluralisme Agama secara kritis dan relatif lengkap
dari dalam perspektif agama (Al-Qur’an dan Hadis). Padahal
dengannya kita dapat memahami sikap dari dua sumber agama
ini secara terperinci, sehingga mampu menjawab berbagai ke-
rancuan, kekacauan, dan absurditas seputar tafsir ayat-ayat Al-
] Lebih lanjut, rujuk permulaan Bab III.
p:2
Qur'an yang menjadi landasan paham Pluralisme Agama. Kondisi
ini mendorong saya menyusun dan merevisi karyanya. Hasilnya
adalah buku yang kini berada di tangan Anda.
Perlu kiranya dicatat bahwa karya ini menganalisis sikap
Islam yang mengidentikkan Shirath mustaqim(jalan yang lurus)
hanya dengan Islam, dan kerancuan Pluralisme Agama dalam
pandangan Al-Qur'an dan Hadis —sebagai penjelas ayat—dari
tinjauan internal agama (dartindini). Sementara pembahasan
menyeluruh seputar Pluralisme dari berbagai tinjauan eksternal
agama (burtindini), semisal analisis kritis terhadap paradigma dan
basis pemikiran kaum Pluralis, semestinya dilaksanakan di lain
tempat.’
M.H. Qadrdan Qaramaliki
2 Rvyj. Qaramaliki: Kandukovi dar Saviyeho-ye Pluralizm; dan Hukumat-
e Dint az Manzdar-e Syahid Mutahhan, Bab 11.
p:3
p:4
Secara etimologis, pluralisme berasal dari pluralitas; artinya
See kemajemukan, dan keragaman. Kata ini kali
pertama digunakan untuk orang-orang yang memiliki beberapa
jabatan dan kedudukan di lingkungan gereja. Laotze menjadi
tokoh pertama yang menggunakan istilah Pluralisme dalam
karyanya, Metafisica, pada1841.(1) Namun demikian, dalam konteks
filsafat agama, istilah Pluralisme digunakan sebagai afirmasi atas
“kebenaran semua agama’.
Para penganut Pluralisme Agama (selanjutnya: PLURALISME)
mengajukan beragam interpretasi dan asumsi teoretis yang
berbeda-beda. Tentu saja perlu waktu khusus untuk menelaah
semua itu. Hanya kami akan menyinggung sepintas lalu sejumlah
interpretasi yang telah dirumuskan seputar paham ini:
i. Banyaknya agama: interpretasi ini hanya mengakui
keberadaan agama-agama yang beraneka ragam [di dunia].
Adapun perkara agama mana yang benar dan mana yang
tidak, bukanlah fokus mereka. Persoalan utama mereka
berkisar pada tema kerukunan hidup antar umat beragama
yang serba majemuk. Interpretasi ini, yang pada intinya tak
lain adalah toleransi, dapat diderivasi dari perlakuan Islam
terhadap Ahli Kitab.
p:5
ii. Banyaknya agama yang benar: interpretasi ini menegaskan
bahwa semua agama itu benar, sejajar, dan sama rata. Tak ada
agama yang lebih utama di atas agama lain.
iii. Banyaknya agama tak murni: interpretasi ini mengklaim
semua agama yang berbeda-beda itu mengandung sekeping
hakikat murni, namun tak satu pun yang benarsecara mutlak
dan sepenuh-penuhnya.
iv. Paling sempurnanya agama tertentu: interpretasi ini
mengakui setiap agama sebagai kebenaran, namun masih
mempercayai agama tertentu—khususnya, agama tradisional
mereka sendiri—sebagai yang paripurna dan punya sederet
keunggulan khas.
v. Banyak isme [yang benar]: ini model radikal dari sekian
interpretasi Pluralisme. Dalam klaimnya, bukan hanya semua
agama yang beraneka ragam itu berada di atas kebenaran,
malah semua paham ateistik dan materialistik seperti:
Komunisme, juga diklaim nilai kebenarannya.
vi. Inklusivisme: dalam interpretasi ini, kaum Pluralis menolak
apa pun bentuk hakikat [kebenaran] semua agama [selain
agamanya sendiri]. Kendati demikian, mereka percaya
bahwa semua umat beragama selain mereka, sepanjang
komit pada agamanya masing-masing, niscaya berada dalam
naungan rahmat, karunia, dan kasih sayang Tuhan. Mereka
merupakan penganut tulus penanti Tuhan dari agama-agama
lain yang, oleh Karl Rahner, disebut Anonymous Christians.(1)
p:6
Penjelasan lanjut seputar interpretasi ini dan sesuai tidaknya
dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadis, akan dikemukakan
pada bab terakhir. Namun, subjek yang menjadi fokus pembahasan
buku ini adalah definisi yang populer berkembang: bahwa agama-
agama yang benar menuntun manusia ke dalam kebenaran dan
jalan yang lurus, namun itu tidak terbatas hanya pada satu agama
misalnya: Kristen atau Islam, justru masing-masing agama yang
berbeda itu memiliki nilai yang sejajar dan, dengan sendirinya,
merupakan kebenaran dan jalan kebahagiaan. Semua penganut
setiap agama itu pada hakikatnya telah menjejakkan kaki di jalur
keselamatan dan shiraét mustaqim ‘jalan yang lurus.
Dalam buku ini, akan diperlihatkan bagaimana agama-
agama lain, dari sudut pandang Al-Qur’an dan Hadis, tidak
berkedudukan sama dengan Islam, selain pula tidak dapat diklaim
sama-sama benar. Memang, agama-agama itu, terutama Kristen
dan Yahudi, memiliki suatu hakikat kebenaran lantaran status
divinitasnya, namun setelah munculnya Islam, agama samawi
yang murni dan sempurna, shirdt mustaqim ‘jalan yang lurus’
hanya terrepresentasi dalam syariat Nabi Muhammad Saw.
Satu poin krusial kiranya perlu dikemukakan di sini:
partikularisme atau eksklusivisme Islam sebagai satu-satunya
Jalan yang lurus tidak berdampak ilegalitas ataupun kebinasaan
penganut agama-agama lain, seperti yang justru diklaim dan
dicemaskan kaum Pluralis melalui pola-pola manipulasi penalaran
(mughdlatah). Pada dasarnya, Islam juga meyakini inklusivisme,
tentu dengan sebuah model yang akan dikemukakan di bab
terakhir.
p:7
Agama adalah satu dari sekian kata yang, meski sejauh ini sudah
diupayakan pakar sejarah dan peneliti agama, masih belum
terdefinisikan secara komprehensif dan memadai. Kegagalan
ini disebabkan beragamnya aliran dan perspektif yang kerap saling
berhadapan secara diametris, sebelum masing-masing menyatakan
diri sebagai ‘agama’. Kendati definisi agama sebagai “perkara
suci’ cukup mewakili realitasnya, namun jangkauannya begitu
luas hingga mencakup paham Materialisme yang senyatanya di
luar kategori agama. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menolak
keniscayaan titik kesamaan antaragama.(1) Dalam teorinya, pemakaian kata agama pada berbagai realitas agama yang tidak
punya unsur kesamaan apa pun tak ubahnya dengan kata game
(permainan): sekadar family resemblance (kemiripan keluarga).
Dalam karya ini, yang dimaksud dengan agama adalah
agama-agama suci (sakral) dan samawi (Ilahi), yang [para
penganutnya] secara khusus dikenal dengan nama _ Ahli Kitab.
Penulis juga berusaha menjelaskan, apakah agama-agama
Ssamawi yang populer seperti: Yahudi, Kristen, dan Islam, dapat
dianggap sejajar nilai, benar dan sama-sama jalan yang lurus?
Atau dengan kemunculan Islam, masa berlaku dan kebenaran
agama sebelumnya menjadi habis sehingga para penganutnya
harus mengimani Islam dan hidup berdasarkan ajarannya?
Untuk menguraikan lebih jauh pandangan Islam, terlebih
dahulu akan didefinisikan apa itu ‘agama’ dan didedahkan proses
p:8
kesempurnaan atau keragamannya.
Sejarah menyaksikan kelahiran para nabi, berbagai agama,
dan syariat. Sumber dan akar keragaman ini harus dilacak dalam
konteks kapasitas, yaitu perbedaan potensi, kondisi lingkungan,
dan sosial manusia.
Gerak perjalanan manusia dalam menerima dan memikul
beban berat amanah Ilahi, atau kondisi syariat dan penerimaan
kitab suci merupakan gerak diagonal menanjak menuju
kesempurnaan. Artinya, berjalannya waktu, diutusnya para
nabi, serta perkembangan dan kematangan potensi manusia
ternyata turut memupuk kesempurnaan agama-agama, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebab, dalam ‘sekolah’
agama-agama, manusia ibarat siswa sekolah dasar yang harus
melangkah ke depan setapak demi setapak agar naik kelas yang
lebih tinggi. Atau, seumpama mata pelajaran kelas satu yang
menjadi pijakan dan pendahuluan untuk mata pelajaran kelas
yang lebih tinggi. Demikian pula berbagai ajaran dan syariat
agama menjadi pendahuluan dan penyempurna satu sama lain.
Pola komplementasi ini berlangsung sedemikian hingga, pada
zaman tertentu, tidak ada syariat (yakni, hukum-hukum praktis
dan normatif) dalam agama-agama Ilahi itu. Sampai Nabi Nuh
as, menurut pandangan umum ulama, selain menyampaikan
ajaran akidah, juga menjadi nabi pertama yang meletakkan
fondasi syariat:
Allah telah menetapkan sebuah ajaran kepada _ kalian
sebagaimana telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang
telah Kami wahyukan kepadamu (QS. Al-Syura [42]: 13).
p:9
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan adanya segi kesatuan
agama-agama samawi. Maksudnya, para nabi sama-sama
sepakat dalam asas misi menyeru umat kepada Allah dan ajaran-
ajaran kepercayaan seperti: tauhid dan maad, sebagai inti agama,
kendati tingkat keutamaan dan skala ajaran para nabi berbeda-
beda sesuai perbedaan audiensi mereka. Sebab, sumber agama
adalah Realitas Absolut Yang Satu dan Sempurna, sementara
asas kebutuhan manusia pada agama bersifat fitriah dan konstan.
Karena itulah penurunan agama dan ajaran yang berbeda-
beda, apalagi saling bertentangan, dengan sendirinya mustahil.
Berulang kali Al-Qur’an menekankan satunya ( oneness) agama:
Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah
Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).
Dan setelah Nuh dan Ibrahim, nab-nabi yang lain juga Kami
utus (QS. Al-Hadid [57]: 27).(1)
p:10
Itulah nuktah mengapa kata ‘agama’ selalu digunakan AI-
Qur’an dalam bentuk tunggal, bukan plural.
Perlu digarisbawahi, keniscayaan satunya (oneness) agama-
agama itu tidak memastikan keniscayaan satunya syariat, karena
syariat merupakan serangkaian hukum praktis serta aturan perilaku
yang mungkin berubah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif,
sesuai maslahat serta konteks ruang dan waktu. Karena itu, Al-
Qur'an mengatakan:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang (QS. Al-Maidah [5]: 48).
Tiap nabi dan wali, sebuah jalan
tapi satu kalimat dengan kebenaran.
Maulawi Rumi
Karena Tuhan tak terjangkau mata
wakil Al-Haqq itulah para nabi.
Sepuluh pelita jika muncul di tempat
meski masing-masing tak sama.
Cahaya tiap-tiap tak terbedakan
karena cahaya mana saja kau tatap
keraguan takkan merundungmu.
Jalan hanya satu, sejak Nabi Nuh sampai penghulu para Nabi. Dan
perbedaan dalam syariat dan aturan yang ada—yaitu perbedaan dalam
hlm furu’—tidak membuat jalan tersebut bercabang. Atsar adalah jamak
dari atsar yang berarti “jejak kaki”. Para nabi datang dan menjejakkan
kaki di tapak kaki nabi lainnya.”. M. Muthahhari: Osyno’i bo Qur’on, jld.
6, hlm. 129-130.
p:11
Sampai di sini, sejumlah landasan teoretis (definisi dan
proposisi) seputar subjek pembahasan telah dipaparkan cukup
jelas. Selanjutnya, akan dikupas kritis landasan dan argumentasi
dari Al-Qur’an dan Hadis, dalam Bab I, mengenai eksklusivisme’
Islam sebagai satu agama yang benar dan berakhirnya masa
validitas nilai kebenaran agama yang lain, tak terkecuali Yahudi
dan Kristen.2
7.Dalam diskursus Teologi Baru (New Theology), eksklusivisme ini, sejauh kaitannya
dengan topik Pluralisme Agama, juga diperkenalkan dengan istilah “partikularisme”
(peny).
p:12
p:13
p:14
Telah dikemukakan pengertian dari Pluralisme, yaitu doktrin
yang mengakui kesamaan nilai semua agama dengan
kebenaran Islam. Ini tidak selaras dengan Al-Qur’an sebagai salah
satu fondasi Islam. Penilaian awal ini tentu saja membutuhkan
telaah dan analisis terhadap berbagai dimensinya. Kendati
begitu, pada kesempatan ini akan diulas secara singkat sebagian
teks Al-Qur’an yang berhubungan dengannya.
Argumen pertamaAl-Qur’an yang menolak Pluralisme adalah Ali
Imran [3]: 81 82. Dua ayat ini menyatakan bahwa Allah telah
mengambil janji dari semua nabi dan umat-umat terdahulu: agar
mengikuti agama Nabi Muhammad Saw manakala ia muncul.
Dan (ingatlah) ketika mengambil janji teguh dari para nabi
(dan umatnya) bahwa kapan saja kitab dan pengetahuan
Kuberikan kepada kalian, kemudian datang seorang nabi
yang membenarkan apa-apa yang kalian bawa, kalian harus
beriman kepadanya dan menolongnya. Kemudian (Allah)
berkata kepada mereka, “Apakah kalian menerima hal ini? Dan
berjanji dengan teguh?” Mereka berkata, “Ya, kami berjanji.”
(Kepada mereka, Allah) berkata, “Maka saksikanlah bahwa
Aku juga salah satu saksi.” Maka siapa yang berpaling dari
Ajaran ini adalah orang yang fasik (Qs: Ali Imran :81-82)
Dalam ayat ini Allah menuntut para nabi agar beriman dan
membela nabi Muhammad SAW kapan saja ia muncul.
p:15
Maksud ayat ini sudah cukup jelas: jika kebenaran agama-agama
sebelumnya itu bernilai sama, pengambilan janji serta tuntutan
untuk beriman dan membela Nabi Saw tentu tak lagi berarti.
Selain itu, penggalan akhir ayat yang menyatakan oknum
pengingkar janji sebagai orang fasik merupakan argumen atas
kewajiban mentaati nabi yang akan datang itu.
Terdapat sejumlah riwayat yang mengokohkan keterangan
ayat di atas. Di antaranya, riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib:
Allah tidak mengutus Nabi Adam dan nabi-nabi setelahnya
kecuali setelah mengambil janji dari mereka perihal Nabi
Muhammad. Yaitu, manakala beliau diutus dan para nabi itu
masih hidup, mereka harus beriman kepadanya, menolong
dan menaatinya. Para nabi juga harus mengambil janji yang
sama dari umat mereka.(1)
Riwayat dari Imam Musa Kazhim juga menyatakan:
Allah tidak mengutus seorang nabi_ kecuali setelah
mengumumkan kenabian Muhammad Saw dan keimamahan
Ali [bin Abi Thalib].(2)
Demikian juga hadis dari Ibnu Abbas:
Kepada Nabi Isa as Allah Swt telah mewahyukan, “Berimanlah
pada Muhammad Saw dan perintahkan orang yang
menjumpainya agar beriman padanya!’"(3)
p:16
Jelas, keimanan para nabi dan umat terdahulu pada agama
Islam tidak mendukung paham Pluralisme. Di sisi lain, Allah
juga telah menjanjikan laknat, ketiadaan rahmat dan menetapkan
nasib buruk bagi siapa saja yang melanggar janji Ilahi tersebut.
Konsekuensi dari pengambilan janji beriman pada kenabian
Muhammad Saw dari para nabi dan umat terdahulu adalah
mengamalkannya. Karena itu, sesuai janji tadi, penganut agama
lain harus memeluk Islam setelah kemunculannya. Dengan
kata lain, porsi dan masa [berlakunya] kebenaran agama-agama
sebelumnya telah habis berkat kemunculan Islam. Sesuai maslahat
dan tuntutan yang dikehendakiNya, Allah lalu menetapkan dan
menyeru seluruh umat agar mengikuti agama baru. Dalam
Al-Qur'an, kebijakan Ilahi ini dikenal dengan istilah naskh
‘penghapusan, sebagaimana ini juga ditegaskan dalam riwayat.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diteliti terlebih dahulu
makna etimologis dan terminologis naskh ini. Kalangan pakar
bahasa mendefinisikannya sebagai pelenyapan dan pembatalan.
Raghib Isfahani menulis:
Naskh_ berarti melenyapkan sesuatu dengan hal lain
yang datang kemudian, seperti matahari melenyapkan
bayangan; bayangan melenyapkan [sinar] matahari; masa tua
melenyapkan masa muda.(1)
p:17
Dalam Lisan Al-Arab disebutkan:
Naskh berarti membatalkan sesuatu dan mengganti posisinya
dengan sesuatu yang lain.(1)
Makna etimologis naskh ini berbeda dengan makna
terminologisnya. Sebab, pelenyapan dan pembatalan segenap
hal yang telah ditetapkan Allah merupakan perkara mustahil.
Karena itu, di-naskh-nya syariat Nabi Musa as oleh syariat Nabi
Isa as bukan bermakna pembatalan dan ketidakbenaran syariat
Nabi Musa as, melainkan berakhirnya masa berlaku ajaran dan
kebenarannya. Allamah Thabathaba’i menuliskan:
Naskh adalah keterangan berakhirnya masa validitas hukum,
bukan bermakna pembatalannya.(2)
Jelas, naskh dalam makna ini adalah kebijakan yang mungkin
dilakukan Allah. Bukan hanya itu, selain memperhatikan
berbagai aspek seperti: perbedaan potensi dan kapasitas umat,
serta kondisi ruang dan waktu, kebijakan Allah itu merupakan
tindakan yang baik dan rahmat (luthf) bagi hamba-Nya. Itulah
sebabnya Al-Qur’an menekankan:
Setiap hukum yang Kami naskh atau yang Kami undur naskh-
nya akan kami ganti dengan yang lebih baik dari itu atau
sama seperti hukum itu. Apakah engkau tidak mengetahui
bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah
[2]: 106).
p:18
Mencermati hakikatnya, naskh hanya berlaku dalam wilayah
hukum, aturan praktis (fikih), dan syariat yang merupakan aspek
sekunder agama. Sementara makna pe-naskh-an agama-agama
oleh Islam tidak berhubungan dengan asas eksistensi (ashl)
dan inti agama Yahudi, Nasrani, tidak pula dengan pembatalan
syariatnya secara total, sebab syariat setiap agama valid dan harus
dijalankan sesuai kerangka ruang dan waktunya. Naskh agama-
agama bermakna deklarasi berakhirnya masa berlaku kebenaran
mereka setelah kemunculan Nabi Islam.
Jadi, memaknai naskh sebagai bentuk pembatalan,
penghapusan, atau menyalahkan sepenuhnya, menyangkal
segala kebenaran, dan mencerabut struktur syariat sebelumnya(1)
adalah keliru dan perlu ditinjau kembali. Agaknya kalangan
yang berpandangan demikian telah mencampuradukkan makna
etimologis dan terminologis istilah tersebut.
Selanjutnya, naskh atau penghapusan syariat sebelumnya
bukan berarti menegasi seluruh hukum praktis dan aturan
fikih sebelumnya, tetapi terjadinya perubahan kuantitas syariat
sesuai tuntutan zaman dan kondisi umat yang disampaikan
Allah melalui para nabi. Terdapat perbedaan signifikan dan
tipis antara agama suci Islam dan syariat-syariat lainnya. Yaitu,
Islam merupakan ajaran paripurna yang logis dan _benar;
sebagian elemen fundamentalnya telah dikemukakan Nabi
Islam dan para Imam, sementara sebagian lainnya diserahkan
kepada pakar agama yang bertugas menjelaskan sikap Islam
berkaitan dengan masalah-masalah kekinian lewat mekanisme
ijtihad. Karakteristik ini, selain merupakan keniscayaan syariat
p:19
pamungkas, mempersiapkan keabadian dan keagungan Islam
yang tidak akan membiarkan problematika kehidupan individual
maupun sosial berakhir di jalan buntu.
Berdasarkan semua itu, duduk persoalan naskh kiranya
menjadi jelas. Mengingkari kemungkinan terjadinya naskh,
lebih memilih agama non-Islam yang, selain tak punya potensi
keabadian, juga tidak memiliki kesanggupan untuk menjawab
berbagai problematika individual maupun sosial generasi
selanjutnya, boleh dibilang, absurd. Dengan berlalunya waktu,
akan tampak jelas kekurangan agama non-Islam tersebut. Faktor
ini pula yang memudarkan kecintaan manusia pada agama.
Di kalangan Ahli Kitab, kaum Yahudi menjadi salah satu pengingkar
naskh yang paling keras. Dalam argumentasi sebagian mereka,
naskh itu mustahil dilakukan Allah karena mustahil terjadinya
bada(1)= dan penyesalan dalam keputusan-Nya. Sementara
sebagian lain, kendati menerima kemungkinan terjadinya
naskh, mengajukan sejumlah teks yang mengindikasikan tidak
terjadinya naskh dalam syariat mereka.(2)
p:20
Bagaimanapun, realitas naskh dan eksklusivisme Islam se-
bagai “jalan yang lurus” merupakan aksioma yang tak terbantahkan
di kalangan ulama Islam. Sepanjang menempuh jalur induksi
Implikatif (terbatas: istigrd’ ndgish), penulis tidak menemukan
satu pihak pun yang menentangnya. Bahkan, menurut klaim
beberapa kalangan, para ulama mencapai konsensus mengenai
masalah ini(1) Di antara nama-nama besar dari ulama terdahulu
penganut naskh ialah Mahyuddin bin Arabi,"(2) Ibnu Naubakhti (3) Syaikh Al-Thusi(4) Syaikh Al-Thabarsi(5) Sayyid Murtadha(6)
Syaikh Shadugq(7) Allamah Hilli, Fadhil Miqdad(8) Ibnu Syahr-
Asyub(9) Hamsha Razi(10) Ibnu Maitsam Bahrani(11) Ibnu Dawud(12) dan Syaikh Hur Amili(13) Sementara dari kalangan ulama kon-
temporer, terdapat nama-nama besar seperti: Allamah Sya'rani(14) Muhammad Jawad
p:21
Balaghi,(1)» Muhammad Jawad Mughniyah,(2)” Rahmatullah Hindi (3)
Allamah Thabathaba’i(4) demikian juga Syaikh Muhammad
Abduh,(5) Syahid Muthahhari,(6) dan masih banyak lagi.(7)
Dengan mengangkat kembali tema keragaman dan
Pluralisme, sebagian kalangan kontemporer malah membalikkan
kepercayaan awal mereka sendiri: menentang naskh sebagai
aksioma pasti dan prinsip dasar dalam Islam. Mereka mengklaim
bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak mengemukakan dalil,
eksplisit maupun implisit, seputar naskh ‘penghapusan’ syariat
sebelumnya.(8) Padahal, sekian ayat dan riwayat secara benar-
p:22
benar eksplisit justru memastikan sebaliknya, sebagaimana akan
diuraikan secara khusus dalam bab ini.
Setelah menyinggung soal penurunan kitab-kitab suci,
Allah menyebut Al-Qur’an sebagai muhaymin yang mendominasi
kitab suci lainnya.
Dan kitab ini (Al-Qur‘an) telah Kami turunkan dengan
kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab sebelumnya,
penjaga dan pelindungnya. (QS. Al-Maidah [5]: 48).
Secara etimologis, muhaymin memiliki sejumlah arti
beragam seperti: penyaksi, penjaga, dan pengawas. la juga
berarti terpercaya, dominan, dan penguasa. Berdasarkan frasa
awal dan akhir ayat, maksud dari muhaymin di sini ialah:
sebagai kitab samawi terakhir yang membenarkan eksistensi
kitab suci sebelumnya dan mengandung prinsip dasar dan
ajaran benar kitab-kitab tersebut, Al-Qur'an memiliki kekhasan
berupa haimanah ‘dominasi dan pemerintahan atas kitab Ilahi
sebelumnya. Segi ini pula yang meneguhkannya sebagai risalah
pamungkas Allah, dasar argumentasi, dan kriteria kebenaran.
Jika makna selain di atas ini diatribusikan pada kata muhaymin
sehingga menghasilkan tafsiran lain, maka bukan hanya
memaksakan pemaknaan sebuah kata dengan selain makna
p:23
hakikinya, tetapi juga mengakibatkan pemborosan atribut,
karena sebelum kata muhaymin, ada kata ajektif mushdddiqan
‘pembenar’ yang mengungkapkan pembenaran dan afirmasi atas
agama-agama sebelumnya. Makna ini ditegaskan sejumlah hadis
dari Nabi Saw. Berikut hadis yang dengan gamblang menyebut
Al-Qur’an sebagai kitab penguasa dan ndsikh‘ penghapus’:
Allah Swt telah menjadikan kitabku menguasai kitab samawi
yang lain dan menjadikannya ndésikh ‘penghapus’ kitab-kitab
itu(1)
Dalam teks riwayat lain, kelebihan Nabi Saw di atas para
nabi lainnya terletak pada naskh ‘penghapusan’ syariat-syariat
sebelumnya oleh syariat yang dibawa beliau:
Salah satu ketinggian martabat beliau ialah bahwa Allah telah
me-naskh syariat-syariat sebelumnya dengan syariat beliau;
sementara syariat beliau tak dapat di-naskh(2)
Dalam riwayat lain, Allah menyeru kaum Yahudi:
Hai bangsa Yahudi, hai pengingkar Muhammad dan
penentang keras naskh syariat ....(3)
Dalam suratnya kepada penguasa Nasrani, Zaid bin Jahwar,
Nabi Saw dengan jelas menyatakan naskh dan temporalitas
kebenaran agama-agama non-lIslam. Beliau juga secara tegas
p:24
meminta seluruh penganut agama keluar dari agama sebelumnya
dan memeluk Islam:
Setiap umat yang memeluk suatu agama_harus
meninggalkannya, kecuali agama Islam. Wahai Zaid!
Ketahuilah itu!(1)
Implikasi dari pengingkaran naskh adalah afirmasi terhadap
kebenaran abadi agama-agama, keharusan melaksanakan
kewajiban setiap agama, dan ketidakharusan mengikuti agama
lain. Namun, Nabi Islam Saw telah menggugurkan asumsi ini.
Tatkala menjumpai seorang sahabat sedang menggenggam
selembar Taurat (dalam riwayat lain, sahabat itu memuji isi
Taurat), beliau langsung gusar dan bersabda:
Sesungguhnya aku telah membawakan kepada _ kalian
sebuah kitab putih (bercahaya) dan suci. Demi Allah! Jika
kini Musa masih hidup, niscaya dia tak punya pilihan selain
mengikutiku.(2)
Dalam komentarnya atas hadis ini, Murtadha Muthahhari
membubuhkan catatan:
Melalui hadis Umar bin Khaththab ini, dengan jelas Rasulullah
mendeklarasikan bahwa dengan turunnya Al-Qur’an dan
syariat penutup, Taurat dan Injil telah di-naskh(3)
p:25
Ali bin Abi Thalib juga berulang kali berbicara tentang
eksklusivitas agama hag hanya pada Islam dan habisnya masa
berlaku kebenaran agama-agama lain. Sejauh ketegasannya,
Islam merupakan agama pilihan Tuhan. Berkat kemunculan dan
keunggulannya, agama-agama lain menjadi lemah dan mengalami
degradasi (habisnya masa kebenaran dan validitas). Ini sebenarnya
ungkapan lain dari istilah naskh itu.
Allah telah merendahkan agama-agama lain lewat kemuliaan
Islam; dengan meninggikan kedudukan Islam, Dia telah
mengecilkan agama-agama yang lain dengan menjulangkan
kehormatan Islam, Dia telah menghinakan musuh-
musuhnya; berkat pertolongan-Nya, Dia telah merendahkan
para musuhnya.*(1)
Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang menyeru masyarakat sedunia
agar memeluk Islam. Rangkaian ayat itu mendeskripsikan Islam
sebagai agama penuntun hidup dan mengenalkan nabinya
sebagai utusan untuk seluruh umat. Berikut sejumlah ayat yang
berkenaan dengannya:
Kami telah mengutusmu sebagai rasul untuk umat manusia
dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS. Al-Nisa’ [4]: 79).
Katakanlah, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku bagi kalian
hanyalah pembawa peringatan dan penjelasan.” (QS. Al-Hajj [22]: 49).
p:26
Memperhatikan artikel alif-lam (al) pada kata nas (al-naas:
manusia), kedua ayat ini menegaskan bahwa Nabi Islam diutus
untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk satu bangsa atau
komunitas tertentu.
Katakanlah, “Wahai manusia! Aku adalah utusan Allah
untuk kalian semua” (QS. Al-A’raf [7]: 158).
Dan Kami tidak mengutusmu melainkan untuk segenap
umat manusia agar engkau memberi kabar gembira dan
ancaman kepada mereka, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (QS. Saba’ [34]: 28).
Pada kedua ayat ini, selain kata al-nds yang dibubuhi artikel
alif-lam (al), juga dicantumkan kata umum lainnya seperti:
jami‘an (semua) dan kdffah (segenap) untuk memberikan
penekanan lebih kuat lagi. Karenanya, jelas sudah, makna kata
al-nds dalam ayat-ayat itu adalah seluruh manusia.
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (AI-
Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pem-
peringatan kepada seluruh alam (QS. Al-Furqan [25]: 1).
Dan Kami tidak mengutusmu melainkan sebagai rahmat
bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107).
Ayat pertama di atas menjelaskan tujuan diturunkannya Al-
Qur’an kepada Nabi Islam sebagai peringatan bagi seluruh umat
manusia (seluruh alam). Ayat kedua juga mengangkat Nabi Islam
sebagai sumber rahmat bagi semesta alam.
p:27
Beberapa ayat ini dengan sangat jelas meneguhkan Nabi
Islam sebagai nabi seluruh umat manusia. Sedemikian rupa,
sehingga tidak ada eksepsi individu, ras, bangsa, dan atau ajaran
tertentu. Tentu saja, seruan ini juga meliputi Ahli Kitab. Kalau
tidak, substansi dakwah dan posisi Nabi sebagai pembawa kabar
gembira serta pemberi peringatan secara mutlak dan general
akan rusak dan gugur. Inilah maksud dari kesemestaan dan
keuniversalan kenabian Nabi Islam. Keuniversalan dakwah
beliau bagi semua manusia cukup jelas dan, karenanya, tidak
selaras dengan paham Pluralisme.
Selain mengenalkan Nabi Islam sebagai nabi seluruh manusia,
Al-Qur’an juga menggambarkan dirinya sebagai kitab seluruh
manusia. Predikat yang disandangnya juga berbeda-beda seperti:
penuntun, penjelas, penyampai, pemberi peringatan, pemberi
nasihat, zikir, cahaya, burhdn (bukti jelas), dan hujjah Tuhan.
Inilah_ kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kau
mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya sesuai
dengan izin Tuhan mereka (QS. Ibrahim [14]: 1).
Inilah penjelas bagi seluruh umat manusia, petunjuk dan
nasihat bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran [3]:138).
Dan inilah Al-Qur‘an yang telah diwahyukan kepadaku agar
aku memberi peringatakan kepada kalian dengannya dan
kepada orang-orang yang Al-Qur‘an sampai kepadanya (QS.Al-An’am [6]: 19).
p:28
Inilah (Al-Qur‘an) pesan bagi seluruh manusia (QS.Ibrahim[14]: 52).
Wahai manusia! Telah datang bukti yang jelas dari Tuhanmu
dan telah Kami turunkan kepada kalian cahaya yang jelas (QS. Al-Nisa’ [4]: 174).
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furgan (AI-Qur'an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (QS. Al-Furgan [25]: 1).
Ia (Quran) tak lain adalah peringatan bagi seluruh alam (QS. Al-
Takwir [81]: 27; Yusuf [12]: 104; Shad [38]: 38; Al-An’am [6]: go).
Rangkaian ayat di atas merupakan dalil bagi kebenaran
klaim naskh ‘penghapusan’ ajaran-ajaran sebelumnya serta
seruan menerima Islam dan Al-Qurvan. Sebab, jika sekelompok
manusia dikecualikan dari generalisasi dan kemutlakan ini,
atau dibebaskan entah menerima atau menolak Al-Qur’an
seraya tetap berpedoman pada kitab suci agamanya, maka
sifat kesempurnaan Al-Qur’an seperti: penuntun umum dan
bukti mutlak, akan menjadi absurd. Predikat furgan (pemisah
kebenaran dari kebatilan) baginya akan berlaku khusus pada
kondisi tertentu. Sementara, pengkhususan dan pembatasan
ayat-ayat di atas tak hanya bertentangan dengan makna lahiriah
ayat, bahkan bertolak belakang dengan teksnya (nash). Dengan
kata lain, ketegasan teks ayat-ayat itu menolak pengkhususan,
pembatasan dan pengecualian.
Berkenaan dengan keuniversalan Al-Quran dan agama Nabi
Islam Saw, ada banyak riwayat yang akan dikemukakan dalam
pembahasan selanjutnya.
p:29
Kemunculan Islam dan nama mulia Muhammad Saw telah di-
janjikan dalam Taurat dan Injil. Al-Qur’an menjelaskan bahwa
Ahli Kitab sangat mengetahuinya dan mengenal Nabi Saw,
layaknya mengenal anak-anak mereka sendiri, namun mereka
merahasiakan dan menutup-nutupi kenyataan ini.
Dan (ingatlah) ketika Isa bin Maryam berkata, “Wahai Bani
Israil! Aku utusan Allah untuk kalian dan aku membenarkan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumku (Taurat). Dan
aku memberi kabar gembira tentang seorang rasul yang akan
datang setelahku dan namanya Ahmad. Ketika dia (Ahmad)
datang kepada mereka dengan mukjizat dan bukti-bukti
yang jelas, mereka akan berkata, ‘Ini sihir yang nyata.” (QS.
Al-Shaff [61]: 6).
Mereka yang mengikuti utusan (Allah), Nabi ummi yang ciri-
cirinya maktub dalam kitab Taurat dan Injil mereka (QS. Al-
A’raf [7]: 157).
Mereka yang telah Kami anugerahkan kitab suci kepadanya
mengetahuinya (nabi) dengan baik sebagaimana mereka
mengenal anak-anak sendiri. Mereka yang tidak beriman
telah mengalami kerugian (QS. Al-Anam [6]: 20).
Ihwal pengenalan Ahli Kitab seputar kebenaran Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya,
disebutkan secara persis dalam serangkaian ayat lainnya. Dalam
ayat-ayat tersebut diingatkan bahwa sebagian mereka malah
merahasiakan dan menutup-nutupi kenyataan tersebut.
p:30
Mereka yang telah Kami anugerahkan kitab suci kepada
mereka, mengetahuinya (Nabi) dengan baik sebagaimana
mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun sebagian
mereka menutup-nutupi kebenaran dengan sengaja (QS. Al-
Baqarah [2]: 146).
Kendati Taurat dan Injil telah mengalami banyak distorsi,
yang menarik justru sebagian ayatnya yang menyebut ihwal
kemunculan Nabi Islam di Mekah tetap ada. Di bawah ini
sejumlah ayat dari dua kitab suci itu yang mengisyaratkan hal
ini(1)
Pertama:
Apa yang kalian lakukan di hari raya tertentu dan di hari raya
ketuhanan lainnya? Sebab, saat mereka melangkah menuju
kehancuran, Mesir telah menghimpun mereka, dan mereka
akan dikuburkan oleh Shauf(2) dan Muhammad-lah untuk
perak mereka.(3)
Di berbagai tempat dalam Injil Yohanes, tertera kabar
kemunculan Paraqlitha atau Paracletos.
p:31
Kedua:
Tetapi aku berkata benar dan berguna kepada kalian bahwa
jika aku belum pergi, Paraqlitha tidak akan datang; namun
jika aku pergi, aku akan mengutusnya pada kalian.(1)
Ketiga:
Aku telah mengatakan ini pada kalian bahwa aku bersama
kalian, tetapi Paraqlitha adalah ruh kebenaran pemberi
nasihat dan dia akan menyeru kalian pada kebenaran yang
akan diutus Bapa seperti nama-ku.(2)
Keempat:
Aku meminta Bapa agar mengutus Paraqlitha kepada kalian
agar dia selalu bersama kalian.(3)
p:32
Sebagian umat Kristen meyakini Paraqlitha sebagai nabi
yang dijanjikan Injil, akan tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai subjek yang dimaksud; apakah itu Nabi Islam atau
bukan. Paraqlitha berasal bahasa Suryani (Syriac), sementara
dalam bahasa Yunani, Paraklastos, yang artinya “sangat terpuji
dan terpandang’(1)
Kelima:
Dalam kitab Idris, selain nama Nabi Muhammad, juga
maktub nama-nama Ahlul Bait ‘keluarga-nya. Nabi Adam
menyaksikan lima ruh bercahaya, lalu Allah mengenalkan
mereka seraya berfirman, “Mereka adalah Paraglitha
(Muhammad), Iliya (Ali), Thabathah (Fathimah), Syeppar
(Hasan), dan Syuppar (Husain).(2)
Terdapat pula sejumlah kabar gembira perihal Nabi Islam
p:33
dalam kitab suci yang akhirnya memicu perdebatan yang berlarut-
larut dan menegangkan. Sebagian pembesar Yahudi dan Nasrani
menanggapi kabar ini secara adil serta menerima syariat Nabi
Islam sepenuh-penuhnya. Bahkan mereka menulis buku yang
membuktikan kenabian Nabi Islam dan naskh ‘penghapusan’
kitab suci sebelumnya. Anis Al-A‘ladm karya Muhammad Shadiq
Fakhrul Islam dan Al-Din wa Al-Dawlah karya Ali bin Rabban
Thabari adalah dua buku terkenal di antaranya.(1)
Terdapat pula sejumlah cendekiawan Barat kontemporer
yang memeluk Islam. Di antara mereka adalah Hamid Algar dan
Roger Garaudy, cendekiawan eks-Marxis asal Perancis.
Jelas, kabar gembira seputar kemunculan Nabi Islam dalam
kitab-kitab suci sebelumnya bukan hanya dimaksudkan sebagai
perbaikan, melainkan afirmasi atas ajaran dan syariat Islam. Ini
sebagaimana sejumlah teks ayat Al-Qur’'an yang mengecam Ahli
Kitab yang enggan mengimani Islam. Selain itu, dalam berbagai
argumentasinya terhadap Ahli Kitab, Nabi Islam menegaskan
bahwa bukti keharusan mereka beriman pada Islam adalah janji
baik Taurat tentang kemunculan dirinya. Kepada kaum Yahudi,
beliau mengatakan:
Bukankah dalam kitab kalian, kalian telah menemukan
[pernyataan] bahwa aku adalah rasul dan utusan Tuhan untuk
kalian dan seluruh manusia. Jika demikian, takutlah kepada
Allah dan masuklah ke dalam Islam.
p:34
Dalam riwayat di atas, Nabi Saw tidak merelakan mereka
tetap memeluk agama sebelumnya. Dengan kata lain, beliau
tidak membolehkan mereka hanya penganut ketuhanan yang
semata-mata umum. Beliau lalu menyeru agar mereka memeluk
Islam.
Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa pada dasarnya,
para utusan Allah mengetahui prinsip naskh dan kemunculan
nabi setelahnya. Demi membimbing umatnya, mereka juga
niscaya menyebutkan nama dan ciri-ciri nabi yang akan datang.
Rangkaian ayat dan bukti yang berasal dari Taurat, Injil, dan Al-
Qur’an mengenai hal itu telah disebutkan sebelumnya. Jadi,
klaim bahwa para nabi menjauhkan umat dari agama-agama
lain, termasuk juga agama-agama samawi setelahnya, dan hanya
menyeru umat pada agama yang dibawanya saja,(1) tak lebih dari
tuduhan belaka.
Sebelum ini telah dicatat bahwa Nabi Islam adalah nabi sedunia; Al-
Qur'an juga kitab langit yang berbicara kepada seluruh umat
manusia. Jadi, kitab suci ini tentu juga berlaku atas Ahli Kitab,
seperti berlakunya hukum umum atas subjek-subjek khususnya.
p:35
Namun demikian, cukup banyak ayat Al-Qur’an yang secara
khusus mengarah ke Ahli Kitab. Ada juga sejumlah ayat yang
menunjukkan bahwa pengutusan Nabi Islam dan penurunan
Al-Qur’an juga untuk mereka hingga diperintahkan juga agar
mengimani ajaran suci ini.
Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul
Kami; menjelaskan kepadamu banyak dari isi Kitab yang
kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,
dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah
menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya
yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjukkan
mereka ke jalan yang lurus (QS. Al-Maidah [5]: 15-16).
Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul
Kami, menjelaskan (syariat kami) kepadamu ketika terputus
(pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan,
“Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita
gembira maupun seorang pemberi peringatan’ Sesungguhnya
telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Maidah [5]: 19).
Selain menyinggung kemunculan Islam pasca masa transisi
pengutusan (fatrah), ayat terakhir mengingatkan Ahli Kitab
agar tidak mengingkari Islam. Setelah mengabarkan kelahiran
Islam, ayat pertama juga mengingatkan Ahli Kitab bahwa
p:36
jalan keselamatan dan melepaskan diri dari kegelapan ke ufuk
cahaya hanya mungkin terbuka di bawah naungan Al-Qur’an. Di
dalamnya, jalan yang lurus juga akan terbentang.
Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan
(Al-Qur‘an) yang membenarkan apa yang ada padamu
(Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama
kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-
ayatku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah
kamu harus bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 41).
Ayat ini menyeru Ahli Kitab agar menerima Islam dan
menghukumi pengingkarnya sebagai orang kafir.
Hai Ahli Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,
padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai Ahli Kitab!
Mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan
yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu
mengetahuinya (QS. Ali Imran [3]: 70-71).
Argumentasi dua ayat ini cukup jelas: mengecam dan
menyalahkan Ahli Kitab lantaran menutupi dan menyangkal
kebenaran Islam.
Didukung ilham Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw menyeru
Ahli Kitab agar menerima Islam dan meninggalkan agama
sebelumnya. Manakala pohon Islam yang baru tumbuh itu
p:37
membutuhkan proteksi ekstra dan jauh dari konflik dengan
kekuatan-kekuatan eksternal, beliau memulai dakwahnya secara
tertulis dan formal [dengan menyurati] sejumlah pimpinan
imperium masa itu seperti: kaisar Iran, Romawi, Habasyah, serta
beberapa pemimpin kabilah Yahudi dan Nasrani.
Bukti terjadinya naskh dari dakwah ini kiranya cukup jelas.
Tentunya sangat absurd jika ajaran Nasrani dan Yahudi tidak
di-naskh, yakni masih berlaku kebenarannya sehingga sama
nilainya dengan Islam. Surat bernuansa dakwah yang ditulis
Nabi Saw dan dilayangkan kepada mereka agar meninggalkan
agama sebelumnya, menjadi tak berarti apa-apa. Selain itu,
dalam rangkaian surat untuk para pembesar Yahudi dan Nasrani,
beliau menyebutkan bahwa syarat hidayah dan meniti jalan yang
lurus adalah memeluk Islam. Ini dengan sendirinya merupakan
peristiwa naskh Islam terhadap semua agama mereka.
Nabi Saw meminta Najasyi, penguasa Nasrani Habasyah,
untuk bertauhid dan mengimani beliau berikut agamanya.
Sesungguhnya aku mengajak kalian mengimani dan menaati
Allah Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Aku meminta
kalian mengikutiku dan mengimani ajaranku, karena aku
adalah utusan Allah.(1)
Dalam suratnya kepada Maqumes, pembesar Nasrani Qebt
di Mesir, dan Heraclius, kaisar Romawi, Nabi Saw bersabda:
Aku mengajakmu kepada Islam. Jika tidak menerima, engkau
akan bertanggung jawab atas dosa seluruh penduduk Mesir
p:38
dan Romawi.(1)
Dalam surat lain, selain menyebutkan ihwal naskh Islam
terhadap agama-agama sebelumnya, Nabi juga menyinggung
serangkaian kabar gembira mengenai kedatangan beliau dalam
agama-agama sebelumnya serta kemenangan dan keunggulan
akhir Islam.
Persoalan keharusan Ahli Kitab dan agama-agama lain
memeluk Islam kian jelas dan tegas dalam riwayat-riwayat
perihal Mahdawiyah (kemunculan Imam Mahdi). Karena,
dalam himpunan riwayat ini, pernyataan yang tertera bukan
hanya menyinggung kemuliaan Islam, tetapi siapa pun yang
mengingkari dan menentang keharusan ini juga diancam mati.
Serukanlah Islam kepada mereka! Perintahkanlah siapa saja
yang memeluk Islam secara sukarela agar menunaikan shalat,
zakat, dan segenap apa yang diperintahkan dan diwajibkan
bagi Muslim. Siapa saja tidak beriman, penggallah lehernya
hingga tak satu pun manusia di Barat dan Timur yang hidup
kecuali seorang muwahhid (bertauhid).
Kalau memang agama-agama lain itu benar dan tidak
manasakh (tidak dihapus), tidakkah seruan dan dakwah ini akan
sia-sia? Apakah tidak lebih baik Nabi Saw yang telah membawa
agama baru dan mendirikan pemerintahan baru ini menerangkan
p:39
saja kebenaran dan jalan yang lurus, ketimbang berdakwah dan
berperang?
Sebagian Pluralis menyadari bila argumentasi kuat dan tak
terbantahkan atas validitas dakwah Islam kepada Ahli Kitab dan
kaum lainnya itu mematahkan paham mereka. Karena itu, mereka
lantas menafsirkan dakwah tersebut sebagai bentuk penawaran
dan pengenalan Islam. Ini mereka lakukan manakala dipahami
adanya disharmoni antara dakwah Islam dengan prinsip-prinsip
Pluralisme(1)
Namun rapuhnya argumentasi mereka sudah amat jelas.
Dakwah dan seruan Islam bukan sekadar masalah pemaparan dan
pengenalan agama baru, sebab penolak dakwah ini juga disebut
sebagai kafir, tak berhidayah, lawan kebenaran, dan terancam
azab Ilahi. Dakwah Nabi Saw ihwal Islam ibarat menuntun orang
buta ke arah dan jalan yang benar; bukan seperti pelukis yang
cuma memajang lukisannya di lokasi pameran.
Sebagian Pluralis lain menyangkal asas keharusan memilih
Islam dan mengikuti dakwahnya(2) Sekilas saja merujuk uraian
sebelumnya, kelemahan argumentasi ini juga tampak jelas.
p:40
Sebelumnya telah diuraikan sejumlah ayat yang menyampaikan
berita gembira tentang Nabi Saw dan kecaman terhadap sikap
[ingkar] Ahli Kitab. Sekarang, akan diulas ayat-ayat Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa hidayah atau petunjuk hakiki dan
paripurna bagi Ahli Kitab bergantung pada keimanan mereka
pada Islam; sebaliknya, mengingkari Islam akan berdampak
kekafiran dan murka Tuhan.
Dan jika Ahli Kitab beriman dan bertakwa, Kami akan
mengampuni dosa-dosa mereka dan Kami akan masukkan
mereka ke dalam surga yang penuh dengan nikmat (QS. Al-Maidah [5]: 65).
Wahai manusia! Berimanlah kepada Allah dan utusan-Nya,
nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-
kalimat-Nya. Ikutilah ia supaya kalian mendapat hidayah (QS. Al-A’raf [7]: 158).
Bagaimana Allah akan menghidayahi (memberi petunjuk)
suatu kaum yang malah menjadi kafir setelah mengimani
dan menyaksikan kebenaran rasul dan tanda-tanda yang
jelas bagi mereka? Allah tidak akan menghidayahi kaum yang
zalim. (QS. Ali Imran [3]: 86).
Dan jika Ahli Kitab mengimani (petunjuk Islam yang jelas)
maka sesungguhnya mereka telah mendapat hidayah, dan jika
mereka menentang sesungguhnya mereka telah terpisah dari
kebenaran. Dan Allah akan menolak rencana jahat mereka
kepadamu dan Allah Mahadengar lagi Mahatahu (QS. Ali
Imran [3]: 110).
p:41
Dan katakanlah kepada Ahli Kitab dan orang-orang jahil
(musyrikin), “Apakah kalian juga telah menyerah? Jika
mereka menyerah maka mereka akan mendapatkan hidayah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 147).
Rangkaian ayat terakhir, khususnya yang mengajukan
syarat bahwa hidayah dan pengampunan dosa bergantung pada
keimanan seseorang pada Islam, jelas-jelas membenarkan klaim
sebelumnya. Sebab, jika agama-agama lain masih berlaku dan
benar, semua ketegasan makna dan kandungan redaksi ayat yang
berbentuk klausa kondisional ini tentu tidak lagi berarti
apaapa. Mencermati keimanan pada Islam sebagai syarat hi-
dayah, makna dan pemahaman Islam yang dikandung ayat-ayat
di atas menjadi jelas.
Hakikat Islam adalah ketundukan total pada Tuhan. Namun,
ketundukan ini akan terwujud di setiap zaman dalam format
ajaran tertentu. Misalnya, ketundukan dan Islam di masa
Nabi Musa as adalah menerima ajaran beliau, sementara di
masa Nabi Isa Al-Masih as adalah juga memeluk ajaran beliau.
Adapun ketundukan di masa Islam ialah menerima ajaran Nabi
Muhamamd Saw.
Dengan kata lain, Islam hakiki adalah keimanan seorang
hamba pada seluruh ajaran samawi dan keinginan Allah. Jika
tidak, keimanan ini akan berujung pada kekafiran dan neraka.
Pada hemat Al-Qur’an, mengimani sebagian ajaran saja identik
dengan kekafiran.
p:42
Mereka yang mengingkari Allah dan para nabi serta ingin
membedakan antara Allah dan para nabi-Nya seraya berkata,
“Kami mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang
lain, dan ingin memilih jalan lain di antara keduanya,” maka
mereka adalah kafir yang sebenarnya. Dan Kami telah
menyediakan azab yang hina bagi orang-orang kafir (QS. Al-
Nisa’ [4]: 150-151).
Berdasarkan ayat ini, iman yang diterima di sisi Allah adalah
iman seutuhnya, yaitu. meyakini kebenaran agama-agama
samawi, termasuk mengimani Islam sebagai agama penutup dan
juru naskh ‘penghapus’ agama-agama lain.
Ayat di atas menyebutkan keimanan Ahli Kitab sebagai
Ayat di atas menyebutkan keimanan Ahli Kitab sebagai
“mengimani sebagian’ dan memposisikannya sejajar dengan
kekafiran yang sebenarnya. Darinya jelas, istilah ‘Islam’ yang
digunakan dalam rangkaian ayat tersebut untuk menafsirkan
agama bukanlah makna leksikalnya, tetapi “ketundukan mutlak
kepada Allah”. Namun ketundukan mutlak pada Allah hanya akan
terwujud dengan mengimani Islam (agama penutup dan juru
naskh agama lain) dan menerima kenabian Muhammad Saw.
Ayat-ayat di bawah ini menegaskan pemahaman ayat di
atas; tak satu pun agama lain yang diterima di sisi Allah kecuali
Islam, dan para penganut agama lain akan merugi di Hari Kiamat
kelak.
Dan barangsiapa memilih agama lain selain Islam tidak
akan diterima dan di hari akhirat dia adalah orang yang
merugi.(QS. Ali Imran [3]: 85).
p:43
Dalam ayat ini, mempercayai Islam sebagai ketundukan
mutlak pada Allah, tanpa dibarengi keniscayaan memeluk
agama tertentu (umpama, Islam), tidaklah sejalan dengan
maksud yang dikandung rangkaian ayat sebelumnya. Padahal,
dalam memahami sebuah ayat, rangkaian ayat lainnya harus
pula dipertimbangkan.
Lagipula, pemahaman pertama terhadap istilah ‘Islam’
yang terbersit awal kali di benak adalah agama Islam, bukan
ketundukan mutlak. Pada ayat di bawah ini juga diperlihatkan
jalan yang lurus didefinisikan hanya dengan Islam sebagaimana
ayat-ayat sebelumnya.
Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam
(QS. Ali Imran [3]: 19).
Allah akan menghidayahi siapa saja yang diinginkan-Nya
dengan membuka hatinya untuk (menerima) Islam. (QS. Al-
An’am [6]: 125).
Ayat terakhir menegaskan bahwa jalan utama memperoleh
hidayah adalah memeluk Islam. (Uraian lebih lanjut tentang
ayat dan pendapat sebagian ahli tafsir mengenai argumen-
argumen Pluralisme terhadap ayat ini akan dikemukakan dalam
pembahasan selanjutnya)
p:44
Pada rangkaian ayat sebelumnya, diketahui bahwa Al-Qur’an
mengajak para penentang, khususnya Ahli Kitab, untuk memeluk
Islam. Di samping itu, ia juga menegaskan bahwa syarat bagi
mereka memperoleh hidayah adalah beriman pada Islam.
Rangkaian ayat terakhir juga mengingatkan bahwa agama yang
diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Jika tidak menerimanya,
Islam hakiki tidak akan pernah terwujud.
Pada ayat di bawah ini, mula-mula Al-Qur’an
menyempurnakan bukti terhadap Ahli Kitab dan penentangan
mereka, lalu menetapkan hukum kekafiran hakiki bagi mereka.
Rangkaian ayat ini, sebagaimana ayat sebelumnya, juga
menekankan hal yang sama. Yakni, jika mereka tidak mengimani
Rasulullah Saw dan membeda-bedakan para utusan Allah, maka
landasan iman mereka pada Allah dan Hari Kiamat—dua prinsip
yang sebelumnya mereka yakini—akan diragukan, kalau bukan
malah tertolak.
Dan berimanlah pada apa yang telah Kami turunkan (Al-
Qur'an) yang tanda-tandanya ada dalam kitab-kitab kalian
dan janganlah menjadi orang pertama yang mengingkarinya
dan janganlah menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang
sedikit dan takutlah hanya kepada-Ku. (QS. Al-Baqarah [2]: 41).
Ayat suci di atas jelas-jelas berbicara langsung kepada kaum
Yahudi dan menyeru mereka agar Al-Qur’an yang, juga menjadi
pembenar Injil, mengingatkan agar jangan sampai terperosok ke
p:45
jurang kekafiran lantaran sikap penentangan dan bujukan hawa
nafsu.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) kepada Han Kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan
agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk (QS. Al-Taubah (9]:29).
Ayat ini menghukum Ahli Kitab tidak beriman kepada
Allah dan Hari Kiamat (1) tidak pula tidak komit pada agama
haq. Karena itulah Al-Quran membolehkan kaum Muslimin
memerangi mereka, kecuali jika mereka meminta gencatan
senjata dan menyerahkan jizyah.
Argumen kedua ayat di atas seputar mansukh ‘dihapusnya’
agama Nabi Isa as dan Nabi Musa as kiranya sangat jelas. Yakni,
bila ajaran kedua nabi yang mulia ini memang jalan yang lurus
p:46
dan tidak di-naskh Islam, niscaya Al-Qur’an tak akan meminta
para penganutnya memeluk Islam; apalagi mengkafirkan dan
memerangi mereka.
Dalam AI-Nisa’ [4]: 150 di atas, mengimani sebagian nabi
dan menolak sebagian lainnya diidentikkan dengan kekafiran.
Terdapat pula serangkaian ayat lain yang menyebut Ahli Kitab
sebagai kafir. Sebagian ayat ini telah dibahas sebelumnya,
sementara sebagian lainnya akan diulas kemudian.
Bertolak dari memukul rata kebenaran pada seluruh agama, kaum
Pluralis memparalelkan ajaran Yahudi dan Nasrani dengan Islam,
dan mengklaim ketiganya sebagai jalan yang lurus. Dampaknya,
setiap orang bebas memilih mana saja di antara agama tersebut
guna memperoleh hidayah dan keselamatan. Atau, sesuai
pilihannya sendiri, dia bebas meninggalkan satu agama, misalnya
Islam, untuk memeluk agama lain. Argumentasinya, dalam hal
ini, setiap agama ini tidak punya kelebihan dan keutamaan satu
di atas yang lain. Al-Qur’an, dalam berbagai ayatnya, menolak
pandangan ini. Dan melalui tema kemurtadan, ia menyanggah
argumen kaum Pluralis secara total.
Kata irtidad (kemurtadan) merupakan derivasi dari kata radd,
“rujuk dan kembali’(1) Dalam perspektif Al-Qur’an, kemurtadan
terjadi bila seorang Muslim menanggalkan ajarannya dan
menjadi Ahli Kitab (menganut agama Yahudi atau Nasrani). Saat
itu dia dihukum sebagai murtad.
p:47
Sedikitnya, terdapat sepuluh ayat yang mengemukakan
masalah kemurtadan.
Secara kategoris, ayat-ayat kemurtadan dapat dipilah dalam dua
jenis. Ayat jenis pertama secara mutlak dan tanpa syarat melarang
serta mengecam berbuat kemurtadan dari Islam. Di dalamnya,
kemurtadan dinyatakan sebagai kekafiran dan disetarakan dengan
“kesesatan’, “pupusnya amal-amal sebelumnya’, “perbuatan setan’,
dan “dibenci dan tak disukai Allah”.
Siapa yang menerima kekafiran dan menolak keimanan,
maka ia telah tersesat dari jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah
[2]: 108).
Dan barangsiapa yang berpaling dari agamanya dan mati
dalam keadaan kafir, maka seluruh amal bajiknya (yang
telah lalu) akan hilang begitu saja di dunia dan di akhirat
dan mereka adalah ahli neraka dan akan kekal selamanya di
sana (QS. Al-Baqarah [2]: 217).
Wahai orang-orang yang beriman! Siapa saja di antara kamu
yang berpaling dari agamanya (tidak akan merugikan Allah)
dan Allah akan memunculkan satu kaum yang dicintai-Nya
dan mereka (juga) mencintai Allah (QS. Al-Maidah [5]: 54).
Argumen yang terkandung dalam ayat-ayat di atas jelas
mendukung anggapan sebelumnya, sebab ayat-ayat ini
mendeskripsikan bahwa murtad dari Islam dan memeluk ajaran
p:48
lain identik dengan kekafiran, kesesatan, dan pupusnya amal
baik. Hukum ayat ini mutlak sehingga juga berlaku pada agama
apapun, termasuk agama Yahudi dan Kristen. Ayat terakhir secara
khusus mengingatkan kaum Muslim bahwa Islam adalah agama
yang diridhai Allah. Bila Muslimin menyimpang dan berbuat
murtad, pasti Allah akan menghadirkan suatu kelompok yang
taat pada Islam, agama yang diridhai Allah. Mereka disebut Allah
sebagai manusia yang dicintai dan mencintai Allah. Maksudnya,
Allah tidak menyukai kemurtadan dan keluar dari Islam dalam
segala bentuknya.
Adapun ayat jenis kedua berbicara tentang kejahatan,
rongrongan, dan konspirasi sebagian Ahli Kitab; bagaimana
mereka berupaya memurtadkan dan menggiring Muslimin
sampai bergabung dalam golongan mereka.
Dari semua rangkaian ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa
di masa fajar Islam, Ahli Kitab berusaha keras mengkafirkan
Muslimin. Untuk itu, mereka melancarkan berbagai intrik jahat,
yang bersifat fisik maupun psikis. Misalnya, melakukan perang
urat syaraf agar Muslimin mengimani Islam secara instan untuk
kemudian kembali kafir dalam tempo singkat demi tujuan
liciknya. Dua ayat berikut membuktikan hal ini:
Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian mengikuti
sekelompok Ahli Kitab maka kalian akan dikembalikan pada
kekafiran setelah kalian beriman (QS. Ali Imran [3]: 100).
Dan sekelompok dari Ahli Kitab berkata, “(Pergilah dan)
berimanlah pada apa yang telah turun kepada Muslimin di
pagi hari dan kafirlah kembali di sore hari (dan kembalilah)
p:49
mungkin mereka juga akan berpaling (dari ajarannya)” (QS.
Ali Imran [3]: 73).
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keluar dari Islam
identik dengan lenyapnya amal bajik serta keabadian berada di
dalam neraka. Tentu saja, ini berposisi diametris dengan klaim
pluralitas jalan yang lurus.
Sementara ayat berikut dengan jelas menunjukkan dua hal
yang dimaksud sebelumnya: pertama, usaha kaum Yahudi dan
Nasrani memaksa Muslimin bergabung dalam kelompoknya;
kedua, pembatasan jalan yang lurus secara eksklusif hanya pada
Islam.
Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai engkau
mengikuti ajaran mereka. Katakanlah, “Hidayah Allah adalah
satu-satunya hidayah dan jika kau mengikuti hawa nafsu
mereka setelah kau mendapat pengetahuan, maka tidak akan
ada satu pun pelindung dan penolong untukmu dari sisi Allah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 120).
Paruh pertama teks ayat ini menegaskan ketidaksukaan
kaum Yahudi dan Nasrani pada Rasulullah Saw, kecuali jika
beliau, wal ‘itya(1)naudzubillah, memilih murtad dan mengikuti ajaran
mereka.
Bagian teks ayat ini, menurut klaim kaum Pluralis, berbicara
tentang banyaknya jalan yang lurus, serta kesamaan dan paralelisme
antara Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun, paruh kedua teks
p:50
ayat yang sama justru berlawanan dengan klaim mereka.
Karena bukan hanya menyalahkan ajaran Yahudi dan Nasrani,
penggalan teks itu malah membatasi jalan hidayah hanya pada
Al-Qur’an(1) Selanjutnya, ayat tersebut mengingatkan Rasulullah
Saw dan Muslimin agar tidak mengikuti ajaran mereka, seraya
menyebut upaya kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pengikut
hawa nafsu. Kalau saja Rasulullah Saw dan Muslimin mengikuti
mereka hingga tidak membatasi kebenaran hanya pada Islam,
maka Allah akan memutus hubungan (wilayah dan pertolongan)
antara diri-Nya dan Rasul-Nya.
Saking jelasnya argumen rangkaian ayat atas kekeliruan
Pluralisme, kiranya tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan.
Kalaupun masih diperlukan bukti yang lain, tersedia cukup banyak
riwayat Nabi Saw dan para Imam mengenai vonis hukuman mati
bagi orang murtad. Rangkaian riwayat ini menjelaskan kewajiban
membunuh orang yang mutad dari Islam lalu memeluk agama
Yahudi atau Nasrani. Rasulullah Saw bersabda, “Bunuhlah siapa
yang mengubah agamanya’..
Dalam berbagai kesempatan, misalnya dalam peristiwa
fath ‘penaklukan’ MekahRasulullah Saw memerintahkan agar
dibunuh sejumlah orang murtad. Begitu pula Imam Ali yang,
dalam sejumlah kesempatan, memerintahkan agar dibunuh
orang Muslim yang memeluk agama Nasrani(2) Jelas sudah,
p:51
hukum ini berbenturan keras dengan paham kaum Pluralis.
Sebagaimana telah dikemukakan, sejumlah ayat menyebutkan
bahwa agama Islam merupakan syarat mendapat hidayah dan
berada di atas jalan yang lurus. Ayat-ayat itu juga mengecam dan
mengutuk Ahli Kitab yang menolak Islam. Sementara itu, dalam
sejumlah ayat lain, Allah Swt mengungkapkan azab dan murka-
Nya terhadap penentang Islam dan menyebut mereka sebagai
kafir, terkutuk, jauh dari rahmat Allah, zalim, dan fasik.
Wahai kaum yang telah diturunkan kitab (Allah) kepadanya!
Berimanlah pada apa yang telah Kami turunkan (kepada
Rasul Kami)—yang sesuai dengan bukti-bukti yang ada di sisi
kalian—sebelum Kami menghapus wajah-wajah kemudian,
atau Kami jauhkan mereka dari rahmat Kami. Sebagaimana
kaum Sabat [sekelompok Bani Israil yang tersesat] Kami
jauhkan dari rahmat Kami, dan perintah Allah pasti akan
terlaksana (QS. Al-Nisa’ [4]: 47).
Dalam ayat ini, Allah Swt menentukan batas waktu untuk
Ahli Kitab dan menuntut mereka mengimani Islam sebelum
wajah-wajah mereka terhapus dan menjadi binasa atau
mengutuk mereka atau menurunkan azab seperti yang dialami
kaum Sabat.
p:52
Di sini, kita tidak akan masuk konteks penafsiran ayat
ataupun menganalisis maksud dari “menghapus wajah-wajah’”
dan seperti apakah azab kaum Sabat itu. Kendati demikian,
ultimatum dan ancaman azab bagi Ahli Kitab menjadi bukti
yang jelas dan memadai atas keharusan memeluk Islam serta
habis masa berlakunya kebenaran Taurat dan injil.
Dan ketika datang sebuah kitab dari Allah kepada mereka
yang sesuai dengan tanda-tanda yang mereka _ miliki,
dan sebelumnya mereka memberi berita gembira tentang
kemenangan atas orang-orang kafir, tapi ketika (kitab dan
Nabi) yang (sebelumnya) telah mereka kenal datang pada
mereka, mereka malah mengkafirinya, maka laknat Allah bagi
orang-orang kafir (QS. Al-Baqarah [2]: 89).
Ayat ini mengingatkan bahwa Ahli Kitab di jazirah Arab
sudah cukup lama menanti kedatangan Nabi Islam. Bahkan
dalam sekian argumennya terhadap orang-orang kafir dan
musyrik Mekah dan Madinah, mereka selalu menyuarakan kabar
tentang ketangguhan pihaknya berkat kemunculan Islam dan
terpuruknya kaum kafir. Namun lantaran menolak Islam, Allah
pun membenci, mengutuk, dan menghukumi mereka sebagai
kafir.
Dari ayat-ayat berikut, Al-Qur'an mengabarkan kekalahan pihak
lain dan kemenangan Islam atas semua agama lain di masa
mendatang. Seraya pula menegaskan agama suci Islam sebagai haq.
p:53
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan
ajaran haq agar Dia memenangkannya atas semua qjaran,
meskipun kaum musyrik membencinya (QS. Al-Taubah [9]: 33).
Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk
dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua
agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS. Al-Fath [48]: 28).
Adapun ayat lainnya sama persis dengan redaksi Al-Shaff
[61]: 9.
Poin penting lainnya, Al-Qur’an bukan hanya memastikan
kemenangan Islam atas para raja dan kaisar yang zalim, melainkan
juga kemenangan Islam kelak atas seluruh pemikiran dan agama
lain, kendati kaum musyrik dan kafir tidak menginginkannya.
Bukti ini cukup jelas. Bila kebenaran agama-agama lain
Sama-sama abadi dengan Islam, niscaya satu sama lain tak akan
mampu saling mengalahkan dengan pertolongan Allah.
Kemenangan Islam atas seluruh agama dapat ditegaskan dari
artikel alif-lam (al-) pada kata al-din (agama) yang berarti seluruh
agama. Selain itu, penegasan agama dengan kata kullih (semua)
merupakan bukti lain atas maksud umum (seluruh) dari kata al-
din yang mematahkan segala ambiguitas dan kemungkinan lain.
Bukti ketiga berupa ungkapan para penjelas hakiki kalam
Ilahi, yaitu para Imam Ahlul Bait seputar kemenangan Islam
atas agama-agama lain. Salah satunya, pernyataan Imam seputar
makna ayat yang disebut berikutnya:
p:54
Supaya Allah memenangkan Islam atas seluruh agama di
masa kebangkitan Al-Qaim (1)
Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan
beramal saleh di antara kalian bahwa mereka akan menjadi
penguasa di muka bumi sebagaimana Allah telah memberi
kekuasaan (khilafah) pada orang-orang sebelumnya, dan
Allah akan mengokohkan agama dan ajaran yang mereka
ridhai dan akan mengganti ketakutan mereka dengan
keamanan dan ketenangan (QS. Al-Nur [24]: 55).
Dengan redaksi yang jelas, ayat suci ini mendeklarasikan
kemenangan Islam, seraya mengingatkan bahwa pihak pemenang
itu adalah umat Islam.
Sekaitan dengan penjelasan ayat di atas, terdapat sejumlah
riwayat yang membenarkan kemenangan dan keunggulan Islam
atas agama-agama lain; beberapa di antaranya akan dikemukakan
berikut ini.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt mewajibkan diri-Nya
memenangkan Islam atas agama-agama lain, sampai akhirnya
para penganut agama lain memeluk Islam atau, setidaknya,
membayar jizyah pada kaum Muslimin.
Pantas dan berhak jika Aku memenangkan agamamu atas
seluruh agama, agar tidak ada agama lain di Barat dan Timur
selain agamamu atau penganut agama lain memberi jizyah
kepadamu(2)
p:55
Nabi Islam, dalam suratnya kepada penguasa Nasrani
Yamamah, memberitahukan ihwal kemenangan agamanya di
seluruh muka bumi:
Ketahuilah! Agamaku akan menang hingga akhir jejak kaki
unta dan kuda (analogi bagi kemenangan mutlak)(1)
Dalam menafsirkan ayat pertama, Allamah Thabathaba’i
menulis:
Ayat ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di tengah
manusia merupakan kehendak (iradah) Allah, dan umat
Islam harus berusaha keras di jalan ini.(2)
Ali bin Abi Thalib menerangkan ‘kemenangan’ dalam tafsir
li yuzdhirahu (untuk memenangkannya) sebagai sejarah Islam
yang akan berkuasa di seluruh muka bumi. Dalam menjawab
konsultasi Umar sekaitan perang melawan kekaisaran Persia,
dengan merujuk ayat di atas, beliau berkata:
Kemenangan atau kekalahan dalam perang ini tidak
bergantung pada banyak atau sedikitnya tentara, tetapi Allah
yang akan memenangkan agama-Nya, menguatkan tentara-
Nya, dan menolong agama-Nya hingga mencapai posisi yang
seharusnya dan terbit di tempat semestinya. Dengan ayat itu
Allah telah menjanjikannya kepada kita.
p:56
Dalam Nahj Al-Baldghah, Ali bin Abi Thalib mengabarkan
kemuliaan dan kemenangan Islam atas agama-agama lain serta
kerendahan agama-agama lainnya plus kekalahan musuh—
sebagaimana telah dikemukakan dalam argumen tentang naskh
pada pembahasan sebelumnya.
Sebagian kalangan berusaha mengajukan hipotesis lemah yang
hanya memiliki kemungkinan belaka. Dengannya, mereka
bersikap skeptis terhadap argumentasi yang didukung ayat-ayat
di atas. Untuk memperkuat hipotesis, mereka memanfaatkan
perbedaan pendapat sebagian ahli tafsir dalam masalah
kembalinya kata ganti hu (-nya) dalam frasa liyuzdhirahu (untuk
memenangkannya): ke “agama” ataukah ke “Rasul-Nya’.
Lebih lanjut, mereka juga memanfaatkan perbedaan dan
keragaman makna ayat itu sendiri. Yakni, jika kata ganti itu
kembali kepada “Rasul-Nya’, maka liyuzdhirahu akan bermakna
pengetahuan, bukan kemenangan. Konklusinya, teks ayat
itu bukanlah “kemenangan Islam atas seluruh agama lain’,
sebagaimana tesis kemuliaan atau kemenangan Islam atas
agama-agama di jazirah Arab.
Tentunya, maksud ayat tidak demikian. Makna tersebut
di awal tentu saja sebuah pemahaman yang paling awal
muncul di benak seluruh ahli tafsir, sementara makna terakhir
(pengetahuan) bukanlah kesepakatan para mufassir. Dari Ibnu
Abbas, Syaikh Thusi menukil bahwa kata ganti hu (-nya) dalam
frasa liyuzdhirahu kembali kepada Rasulullah Saw. Maksudnya,
Allah akan mengajarkan ilmu perihal semua agama kepada
p:57
Rasulullah Saw hingga tak satu pun yang luput dari beliau.
Memang, makna demikian ini, untuk kata kerja izdhér atau
zuhur yang disertai idiom ‘ald, pernah muncul dalam Al-Qur’an.
Namun di kebanyakan tempat, kata ini bermakna kemenangan;
kendati di tempat lain, bermakna pengetahuan. Ini sebagaimana
firman Allah Swt:
Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita
(QS. Al-Nur [24]: 31).(1)
Setelah mengkritik argumentasi dari ayat tersebut seputar
kemenangan dan berdirinya pemerintahan tunggal Islam atas
agama yang lain, kritikus itu lalu menafsirkan dan menjelaskan
maksud ayat tersebut:
Tafsir logis lainnya juga dapat diperoleh, bahwa mungkin saja
yang dimaksud ayat ini adalah kemenangan akhir tauhid atas
kesyirikan(2)
Dalam menyimpulkan berbagai kemungkinan dan tafsiran
atas ayat tersebut, kritikus tadi menambahkan:
Dengan memperhatikan semua makna yang berbeda dan
sah-sah saja untuk ayat ini, dapat disimpulkan bahwa kita
tidak dapat begitu saja menyatakan bahwa dalam ayat ini
dikabarkan kemenangan Islam atas semua agama.(3)
p:58
Untuk menjawabnya, perlu. kiranya dipertimbangkan
beberapa hal:
Pertama: irelevansi kritik dengan makna tekstual (zhdéhir) ayat.
Uniknya, kritikus sendiri mencatat dalam kritiknya bahwa
kemenangan adalah makna paling jelas yang lebih dulu muncul
dalam pemahaman, dimana asas rasional manusia_berakal
sehat (dqil) dalam menafsirkan suatu teks ialah makna lahiriah
(zhahir) teks itu, kecuali jika ada indikasi yang mengarahkan
pemahaman kepada selain makna lahiriahnya. Berdasarkan
penegasan kritikus, kemenangan adalah makna lahiriah ayat dan
sudah dapat dijadikan argumen, kecuali jika seseorang tidak lagi
menerima nilai-bukti (hujjiyyah) dari makna lahiriah ayat-ayat
Al-Qur’an. Namun, demikianlah uniknya: bagaimana penggagas
kritik sendiri dalam gugatannya mengakui nilai-bukti makna
lahiriah ayat!(1)
Jadi, hanya karena adanya kemungkinan lain, penentangan
terhadap makna lahiriah ayat tidak bisa dipertanggungjawabkan
oleh siapa saja yang mengakui premis minor (kemenangan
sebagai makna lahiriah ayat) dan premis mayor (makna lahiriah
sebagai nilai-bukti), sebab berbagai kemungkinan itu tidak
sampai mampu merusak dan melemahkan kekokohan makna
lahiriah ayat itu.
p:59
Kedua: irelevansi dengan teks ayat selanjutnya.
Jika kita memaknai frasa liyuzdhirahu dalam konteks pengetahuan
(bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan agama haq dan
menjadikan beliau berpengetahuan dan menguasai informasi
tentang agama-agama lain, kendati kaum musyrik tidak
menyukainya), maka teks awal dalam ayat itu tidak selaras
dengan teks selanjutnya.
Lagi pula, pengetahuan Rasul ihwal agama-agama dan
pemikiran lain tidak membuat kaum musyrik membenci atau
tidak menyukainya. Justru yang membuat mereka terusik
gusar (dalam ayat digunakan kata “benci”) adalah kemajuan,
keunggulan, kemenangan, dan superioritas Islam atas selainnya.
Sementara dalam kedua ayat di atas, Allah menegaskan
keinginan-Nya_ liyuzdhirahu (untuk memenangkan agama
Islam) suatu hari akan terlaksana, kendati kaum musyrik tidak
menyukai dan merisaukannya. Struktur kalimat ini cukup jelas
untuk menafsirkan frasa ini (liyuzdhirahu).
Ketiga: riwayat mutawatir.
Terdapat sejumlah riwayat mutawatir yang menafsirkan ayat suci
tersebut sesuai makna lahiriah dari teksnya, sebagaimana telah
dibawakan sebelum ini.
Keempat: ketidaktentuan makna pengetahuan.
Kalaupun benar kata ganti hu dalam frasa_ liyuzdhirahu
kembali kepada “Rasul-Nya’, bukan kepada “agama’, tetap
tak dapat dipastikan bahwa makna frasa ini secara definitif
p:60
adalah ‘pengetahuan. Bahkan, dalam kondisi ini, kemungkinan
makna ‘kemenangan’ tetap saja terbuka lebar, yakni “Allah akan
memenangkan Rasul-Nya atas para penganut agama lain.” Ini
yang juga dikemukakan Zamakhsyari dalam tafsirnya.(1)
Kelima: pemakaian kata izhar [yang darinya kata kerja li-
yuzdhirahu diderivasi] dalam makna pengetahuan.
Ini menjadi bagian dari penafsiran kritikus. Hanya ada poin
berikut yang patut digarisbawahi:
i. Dalam Al-Nur [24]: 31 tentang hak anak-anak, pemaknaan
kata kerja ini di sana sebagai ‘pengertian/pengetahuan’
bukan hanya tidak disepakati seluruh ahli tafsir, justru
menjadi perselisihan kalangan pakar bahasa dan sastra. Se-
bagaimana ahli tafsir seperti: Fakhru Razi,(2) Thabarsi,(3) dan
Allamah Thabathaba’i(4) serta kalangan sastrawan seperti:
Farra’ dan Zajjaj (5) telah memaknai kata kerja dalam ayat
itu dengan ‘kemenangan’.
ii. Katakan saja, kata kerja ini di sejumlah tempat dipakai dalam
makna pengetahuan, namun sejauh tidak merusak dan
melemahkan makna lahiriah ‘kemenangan’ dalam teks ayat,
argumen ini tak tergugatkan.
p:61
Keenam: kemenangan khusus agama Islam.
Terhadap tafsiran yang diajukan kritikus, yakni kemenangan
agama-agama tauhid atas syirik, perlu dicatat bahwa tafsiran
ini bukan hanya bertentangan dengan makna lahiriah ayat,
melainkan dengan ketegasan teks ayat itu sendiri. Sebab, dalam
ayat ini, Allah telah menubuwatkan kemenangan akhir agama
yang dibawa Nabi utusan-Nya. Bahkan Allah berulang kali
menekankannya dalam sejumlah ayat. Umpamanya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa
Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-
orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya
untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentosa (QS. Al-Nur [24]: 55).
Dalam ayat ini, Allah Swt berjanji dan memberi kabar
gembira perihal posisi superior kaum beriman di tengah kaum
Muslimin. Begitu pula kabar tentang tercapainya kemenangan
agama Muslimin dan _ berakhirnya masa-masa mencekam
dan ketakutan. Dalam ayat ini pula, alih-alih kemenangan
diungkapkan dengan frasa liyuzdhirahu yang, bagi sejumlah
kalangan, boleh jadi terkesan ambigu, makna ini diungkapkan
dengan frasa liyumakkinanna lahum dinahum (sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama). Ini tentu saja tak lagi tersisa
p:62
ambiguitas bagi siapa pun jika saja mau mencermati makna kata
“meneguhkan’, juga paruh awal, lanjutan, bahkan ruh ayat itu
sendiri.
Bagaimana jika landasan-landasan Al-Qur’an dan Hadis sebelum
ini tidak diterima? Dan bagaimana jika sekian argumentasi
seputar pembuktian prinsip naskh dan habisnya masa validitas
kebenaran agama-agamasebelumnya ditolak? Lantas, bagaimana
pula jika kontinuitas kebenaran dan keberlakuan agama Nasrani
dan Yahudi diakui sebagai nilai kebenaran? Jelas, asumsi-asumsi
ini menurunkan konsekuensi absurd. Yaitu, Allah menghendaki
agar kaum Yahudidan Nasrani juga kaum Muslimin mengamalkan
serangkaian aturan berupa kewajiban syariat dan hukum praktis
yang dibutuhkan untuk mencapai kedudukan spiritual dan
terwujudnya prinsip ibadah. Karenanya, menolak rangkaian
aturan ini akan berarti sebagai dosa dan penentangan.
Terdapat poin penting dan subtil dalam konteks ini. Bila
sebuah agama samawi (lIlahi), bahkan kitab suci, terbukti
mengalami distorsi, apa yang mesti dilakukan para pencari
dan pecinta kebenaran? Apakah setelah ajaran dan jalan Ilahi
yang murni muncul, seorang masih layak memeluk agamanya
yang sudah terdistorsi (kehalalannya berubah jadi keharaman,
vice versa)? Tidakkah ini berarti mengabaikan kehendak dan
keinginan I[lahi? Bukankah akal sehat menyuruh seseorang
memeluk agama yang murni agar mematuhi perintah Sang Tuan
dan menjauhi larangan-Nya?
p:63
Tentu, tidak akan ada seorang pun akan sangsi terhadap
kenyataan, duduk persoalan, dan perujukan kepada syariat
murni. Hanya persoalan utama di sini terkait pada tataran
argumentasi, identifikasi, dan penentuan mana yang murni,
mana yang tak-murni. Dan ternyata, cukup banyak argumen
dan faktor yang membuktikan ajaran Nasrani dan Yahudi telah
mengalami distorsi. Agar pembahasan tidak sampai melebar
ke mana-mana, berikut akan dikemukakan beberapa ayat yang
dijadikan rujukan mayoritas ahli tafsir:
Sebagian kaum Yahudi mendengarkan ucapanmu dengan
baik untuk memperoleh senjata mendustakanmu, terdapat
mata-mata kelompok lain yan tidak mendekatimu, tetapi
mereka menyelewengkan maksud sebenarnya ucapanmu
(QS. Al-Maidah [5]: 41).
Sebagian kaum Yahudi, menyelewengkan ucapan dari
tempat yang sesungguhnya. Mereka berkata, “Kami telah
mendengarnya dan menentangnya.” Dan (mereka juga
berkata), “Dengarlah tapi kau tidak akan bisa mendengar!”
(QS. Al-Nisa’ [4]: 46).
Karena melanggar janji, telah Kami jauhkan mereka dari
Rahmat Kami dan Kami keraskan hati mereka. Mereka
telah menyelewengkan firman (Allah) dari maksudnya dan
mereka melupakan sebagian ucapan yang sudah dikatakan
pada mereka... dan Kami (juga) telah mengambil janji dari
mereka yang mengaku sebagai kaum Nasrani, tetapi mereka
melupakan bagian penting dari apa yang sudah diingatkan
kepada mereka (QS. Al-Maidah [5]: 13-14).
p:64
Apakah kau menunggu mereka beriman (kepada agamamu)
padahal sebagian mereka telah mendengar ucapan Allah dan
setelah memahaminya mereka malah menyelewengkannya
padahal mereka mengetahuinya? (QS. Al-Baqarah [2]: 75).
Celakalah mereka yang menulis dengan tangannya sendiri lalu
berkata, “Ini berasal dari sisi Allah agar mereka menjualnya
dengan harga yang hanya sedikit.” (QS. Al-Baqarah [2]: 79).
Pada ayat di atas, Allah dengan jelas mengungkapkan bahwa
kitab suci Yahudi dan Nasrani telah didistorsi oleh kalangan
tokohnya sendiri. Dalam hal ini, demi kepentingan pribadinya,
mereka mengklaim komentar dan tulisannya sendiri sebagai
[bagian dari] kitab suci.
Berkenaan dengan penyebabturunnyaayat terakhir, mufassir
besar, Thabarsi, menukil dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkaitan
dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang telah mendistorsi Taurat
dan Injil, sementara ada sebagian tokoh mereka yang menambah
atau mengurangi isi kedua kitab suci itu.(1)
Sebagian kalangan mendebat argumen dan bukti-bukti atas
distorsi Taurat dan Injil. Tidak hanya itu, mereka juga mengklaim
distorsi itu tidak dapat disimpulkan dari Al-Qur’an:
Menurut kami, tak ada materi dalam Al-Qur’an yang
menunjukkan terjadinya distorsi dalam arti terminologis
p:65
terhadap Taurat dan Injil; yaitu perubahan teks kitab suci,
entah berupa pengurangan maupun penambahan. Namun
Al-Qur’an berkata, “Dua kitab suci itu telah diselewengkan
maknanya, ditafsirkan tidak sesuai makna aslinya.’ Dalam
riwayat-riwayat Islam dan ucapan para tokoh Islam, juga
tidak ada ungkapan terjadinya distorsi dalam teks-teks dua
kitab suci itu. Dan kami juga tidak punya argumen sekaitan
dengan hal ini.(1)
Untuk menimbang kekuatan pendapat ini, ada beberapa
poin berikut yang patut dicermati lebih lanjut:
Pertama:
Sebagian ayat menunjukkan penyelewengan redaksi dan konten
(makna). Karenanya, penilain kaum Muslimin di awal Islam
seperti: Ibnu Abbas (kesaksiannya telah disebutkan di atas) dan
mayoritas ahli tafsir, tentang terjadinya distorsi adalah distorsi
secara mutlak (sebagiannya akan disebutkan di sini). Dalam
menafsirkan ayat “Mereka mengubah perkataan dari tempat-
tempatnya’,(2) Thabarsi menuliskan:
Mereka telah menukar kalimat dan hukum Allah dari tempat
asalnya.(3)
p:66
Dalam tafsirnya, Fakhru Razi membubuhkan:
Ayat ini merupakan bukti bahwa Ahli Kitab telah melakukan
dua penyelewengan (takwil dan penghapusan). Mereka
melakukan takwil yang keliru pada sebagian ayat dan
menghapus sebagian ayat dari kitab suci.(1)
Fakhru Razi juga mengisyaratkan kemungkinan besar
terjadinya distorsi dalam bentuk penghapusan redaksi kitab suci
dengan adanya opini populer seputar kemungkinan kesepakatan
di antara para pembesar Yahudi.(2)
Dalam karya tafsirnya, Zamakhsyari juga mengemukakan
distorsi wahyu dan penghapusan Taurat:
Ayat “Mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya”
menjelaskan betapa keras hati mereka, sebab tak ada
kekerasan hati yang lebih parah dari berdusta kepada Allah
dan mengotak-atik wahyu. “Dan melupakan bagian” yakni
mereka mengabaikan bagian yang banyak dan memadai dari
Taurat.(3)
Muhammad Rasyid Ridha juga menafsirkan distorsi tersebut
dengan penambahan dan pengurangan.(4) Yang mutakhir, mufassir
kontemporer yang menyusun kitab tafsir berharga Al-Mizan,
p:67
Allamah Thabathabaii, juga mengemukakan distorsi Injil dan
Taurat dalam bentuk penghapusan dan penambahan, sekaligus
memaparkan dalil Al-Qur’an yang jelas berkaitan dengannya di
sejumlah tempat:
Di dalam Taurat sekarang, terdapat sebagian isi Taurat yang
asli yang diturunkan kepada Nabi Musa. Namun terdapat pula
distorsi dan perubahan, baik penambahan atau pengurangan
atau perubahan teks atau tempat teks dan faktor-faktor
lainnya. Inilah pandangan yang dikemukakan Al-Qur'an
tentang kondisi Taurat(1)
Sebagian pemikir kontemporer juga berpendapat sama
sekaitan dengan terjadinya distorsi kitab suci ini.(2)
Kedua:
Sebagian riwayat juga membuktikan terjadinya distorsi pada
kitab suci sekaligus menguatkan ayat di atas. Misalnya, hadis dari
Imam Shadigq, “Mayoritas Yahudi telah meninggalkan syariatnya
dan mayoritas lainnya malah menyelewengkannya’.(3)
p:68
Ketiga:
Katakanlah, sekian ayat dan riwayat yang menyinggung distorsi
Taurat dan Injil dapat digugat, namun bukti konkret atas
terjadinya distorsi (tahrif) terletak pada kritik historis, otentisitas
sanad, dan kandungan kitab suci itu sendiri. Sebagian peneliti
dan pakar sejarah meragukan kedua kitab suci itu berasal dari
Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Mereka membuktikan bahwa
kebanyakan isi kedua kitab itu hasil tulisan orang. Juga [dari segi
kandungan], ada berbagai kontradiksi dan predikat tak layak bagi
para utusan Allah: adu gulat Nabi Yaqub lawan Tuhan, meminum
arak, dan perbuatan amoral lainnya, dengan sendirinya menepis
kontroversi soal kenyataan distorsi dalam kedua kitab suci itu.
Keempat:
Sejumlah pihak mengakui bahwa kendati Al-Qur’an tidak dapat
membuktikan adanya distorsi pada kitab suci itu, namun mereka
menganggap Taurat dan Injil sekarang ini bukan wahyu Ilahi dan
kitab Langit, melainkan hanya buku sejarah yang menjelaskan
kondisi para nabi dan pengikut mereka (hawariyyun). Jadi, karena
mengandaikan ketiadaan Taurat dan Injil yang otentik, Al-Qur'an
pun tidak membuktikan adanya distorsi pada kedua kitab suci
itu. Sementara ayat-ayat tentang distorsi hanya menunjukkan
distorsi ajaran dan pemahaman keliru para senior Ahli Kitab.
Atau, sebagaimana diistilahkan pakar logika, “Kebenaran
proposisi negatif terletak pada ketiadaan subjek.” Maksudnya, tak
adanya teks Al-Qur’an seputar distorsi bukan karena otentisitas
Taurat dan Injil, tetapi justru karena tidak adanya subjek, yakni
p:69
dua kitab itu sendiri. Ini sebagaimana dikatakan ayat suci:
Katakanlah, “Jika kalian berkata benar, bawalah Taurat dan
bacalah.” (QS. Ali Imran [3]: 93; Al-Shaffat [37]: 157).
Fakhru Razi menisbatkan pendapat ini kepada mutakallimin
(teolog Muslim).
Sepertinya, kedua pendapat ini dapat dipadukan sedemikian
rupa. Pendapat pertama mengklaim adanya argumen Al-Quran
atas distorsi teks kitab suci (pengurangan, penambahan, dan
pengubahan redaksi). Kitab suci yang dimaksud adalah kitab
suci di masa diutusnya Nabi Muhammad Saw dan puluhan
tahun sebelumnya (berupa translasi dan tulisan tangan palsu dan
cacat). Adapun pendapat kedua mengklaim tidak adanya dalil
Al-Qur'an atas distorsi; bahkan sebagian teks suci menunjukkan
tidak adanya distorsi. Kitab suci yang dimaksud di sini ialah
wujud Taurat dan Injil yang lembaran-lembaran otentiknya telah
hilang di awal kemunculan ajaran Nasrani.
Kesimpulannya, kedua pendapat ini sama-sama
mengandaikan kedua kitab suci itu sekarang sudah tidak lagi
otentik dan sudah terdistorsi.
Berdasarkan kekurangan atau terjadinya distorsi pada Taurat
dan Injil otentik, akal niscaya memutuskan untuk mengikuti
ajaran murni dan jalan Islam, seraya pula menuntut penganut
agama lain untuk tunduk pada kitab suci yang otentik (Al-Qur'an).
p:70
Di akhir bab, akan dikemukakan satu poin subtil dan
signifikan, bahwa implikasi dari di-naskh-nya agama-
agama lain dan kewajiban memeluk Islam sebagai jalan
yang lurus dan agama pe-naskh adalah menyimpangnya
penganut agama lain dari jalan yang lurus. Namun,
jika sinar matahari Islam tidak menerangi kalbu
sehingga tidak mengenali kebenaran Islam—bukan
menentangnya—maka orang semacam ini akan
dikategorikan sebagai pihak yang diampuni dan tidak
dikenai azab, tentunya selama dia tetap mempraktikkan
ajaran nabi internal, yaitu akal dan fitrah sucinya. Lebih
dari itu, dia bahkan dapat mereguk nikmat Allah yang
mahaluas, hanya penjelasan tentangnya memerlukan
ruang tersendiri.(1)
p:71
p:72
p:73
p:74
Dalam Bab sebelumnya, telah diuraikan secara panjang lebar
De eksklusivisme Shirdt Mustagim ‘jalan yang lurus’
dan kebenaran agama hanya pada Islam. Sebagian Pluralis seperti:
John Hick, berpandangan bahwa konsekuensi dari eksklusivisme
agama adalah lenyapnya sikap toleran dan hilangnya kerukunan
hidup antar umat beragama.(1) Dalam Mohammad and Fanaticism,
Voltaire (1694-1778), filosof besar Barat, mengatakan bahwa
Islam itu agama fanatisme.(2) Sejumlah cendekiawan Muslim
juga melontarkan polemik seputar irelevansi(3) asas toleransi
atau pembatasannya(4) dengan eksklusivisme Islam sebagai satu-
satunya jalan yang lurus.
Namun, absurditas klaim di atas menjadi jelas bila sekilas
saja merujuk Al-Qur'an dan riwayat. Dalam hal itu, akan
diuraikan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tersebut. Ini
dimaksudkan untuk membuktikan adanya toleransi, koeksistensi
atau, lebih tepatnya, kerukunan antar penganut agama.
Salah satu benih konflik yang mengancam kehidupan beragama
dalam sebuah masyarakat adalah doktrin yang mengharuskan
dan memaksa individu untuk memilih agama tertentu. Suatu
masyarakat boleh jadi berkoeksistensi damai seraya menjaga
p:75
kemurnian ajaran agamanya dari pengaruh pengikut agama dan
golongan lain, yang benar ataupun yang sesat.
Adanya doktrin yang mengharuskan seseorang menganut
agama tertentu, dalam sistem ajaran sebuah agama, bisa jadi
mengancam toleransi dan kerukunan tiap-tiap penganut
kepercayaan dalam sebuah masyarakat. Karena, manakalaagama
yang menganut doktrin semacam ini dominan dan berkuasa, ia
akan mendesak keras pengikut agama lain agar menanggalkan
kepercayaannya. Jika desakan ini tidak dipenuhi, maka
bukan hanya merusak kerukunan sosial antar penganut dan
menimbulkan krisis yang sangat serius, tetapi juga mengancam
nyawa dan harta individu. Sejarah juga mencatat beragam
perlakuan diskriminatif dan derita kaum minoritas demikian
ini.(1)
Islam memang menyeru seluruh umat manusia untuk
memeluknya, sekaligus mengancam akan mengazab siapapun
yang menolak seruan ini dengan motif kebencian dan keras
kepala. Namun, Islam membedakan siksa di dunia dan akhirat.
Maksudnya, pada tahap awal, Al-Qur’an menyeru seluruh
umat manusia untuk masuk Islam. Dalam konteks ini, Nabi
Saw bahkan sampai berusaha keras dengan mempertaruhkan
nyawanya. Meski begitu, Islam tidak pernah memaksa orang
p:76
memeluk Islam. Yang perlu ditambahkan, kendati sikap menolak
Islam tidak berdampak hukuman di dunia, namun di akhirat
kelak, pelakunya akan dimintai tanggung jawab atas segenap
pendiriannya. Al-Qur’an mengatakan:
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan
ke neraka, (dikatakan kepada mereka), “Bukankah (azab)
ini benar?” Mereka menjawab, “Ya benar, demi Tuhan kami.”
Allah berfirman, “Maka rasakanlah azab ini disebabkan
kamu_selalu ingkar.” Maka bersabarlah kamu seperti
orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul- rasul
telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan
( azab) bagi mereka (QS. Al-Ahqaf [46]: 34-35).
Berikut sejumlah ayat yang menafikan pemaksaan dalam
memeluk Islam:
Tidak ada paksaan dalam (menerima) agama (Islam) (QS.
Al-Baqarah [2]: 256).
Berkenaan dengan penyebab turunnya ayat ini, kalangan ahli
tafsir mengatakan bahwa beberapa keturunan Nasrani enggan
memeluk Islam. Orang tua mereka yang baru memeluk Islam
sudah berputus asa untuk mengislamkan anak-anaknya lewat
cara damai. Mereka lalu mengeluhkan persoalan ini kepada
Nabi Saw, dengan harapan kiranya beliau akan mengerahkan
kekuatannya (pemerintahan Islam) untuk memaksa mereka
memeluk Islam. Lalu ayat di atas diwahyukan kepada Rasulullah
p:77
Saw untuk menafikan pemaksaan keyakinan.
Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu.
Maka barangsiapa ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa ingin ( kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]:29).
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;
ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS. Al-Insan[76]: 3).
Dalam dua ayat ini, Allah Swt menjelaskan tujuan
penciptaan seraya memberi menunjukkan jalan yang lurus
kepada manusia. Kemudian Dia mengingatkan bahwa dalam
konteks ini, tidak ada unsur pemaksaan. Sebab, beragama adalah
pilihan dan kebebasan individual: setiap orang bebas memi-
lih untuk beriman atau menjadi kafir. Al-Qur’an berulang
kali mengemukakan hal ini dengan beragam aksentuasi:
Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan (ayat-ayat Allah) (QS. Ali Imran [3]: 20).
Dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap
mereka (QS. Qaf [50]: 45).
Maka _ berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah
orang yang berkuasa atas mereka (QS. Al-Ghasyiyah [88]:
21-22).
p:78
Ayat-ayat ini mendeskripsikan tugas seorang rasul hanyalah
menyampaikan risalah Ilahi kepada umat manusia, juga
menekankan keimanan individu agar dilandasi kebebasan,
kesadaran, dan argumentasi, bukan lewat kekuatan dan
kekerasaan.
Doktrin di atas ini bukan khas Islam, melainkan juga diajarkan
agama-agama sebelumnya. Umpama, Nabi Nuh as mengatakan
kepada kaumnya, “Bagaimana mungkin aku memaksakan agama
pada kalian, sementara hati kalian membencinya.”
Apakah akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal
kamu tiada menyukainya? (QS. Hud [11]: 28).
Murtadha Muthahhari mengatakan:
Kita memiliki sejumlah ayat yang menjelaskan bahwa agama
harus disampaikan dengan cara benar, bukan lewat pemaksaan.
Ini membuktikan betapa agama Islam tidak menggunakan
kekerasan terhadap seseorang dengan mengatakan, ‘Islam
atau mati. Di sisi lain, ayat ini juga menjelaskan kemestian
jihad.(1)
Salah satu asas kesepahaman dan toleransi antar umat beragama
dalam sebuah masyarakat adalah tradisi dialog yang produktif
dan kondusif. Islam juga memperhatikan hal ini sejak memulai
dakwahnya. Islam menginginkan nabinya menyampaikan dan
p:79
menyuarakan agama lewat mekanisme dialog dan logika. Dialog
menempati posisi yang sangat signifikan dalam Al-Qur’an.
Bahkan istilah ‘dialog’ berikut padanannya menduduki posisi
utama di bawah kata ‘Allah. (1)
Al-Qur’an menghendaki Nabi Saw menyampaikan dan
menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan
debat dengan cara sebaik-baiknya, entah kepada Muslimin
sendiri maupun kepada kaum kafir. Ini sebagaimana firman-
Nya:
Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik (QS. Al-Nahl [16]: 125).
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik (QS. Al-Ankabut [29]: 46).
Kedua ayat ini mengungkapkan strategi dakwah Islam
yang dilandasi argumentasi, dalil, dan debat terbaik; sekaligus
juga peringatan kepada Rasulullah Saw agar tidak melampaui
batas-batas etika debat dengan Ahli Kitab. Kalangan ahli tafsir
menjelaskan bahwa debat terbaik (jidal ahsan) merupakan
dialog atau debat dalam semangat persaudaraan, kebijakan,
kelembutan, jauh dari kata-kata kasar dan keji.(2) Seperti yang
ditegaskan Muthahhari, ayat di atas merupakan salah satu dalil
kebebasan memilih agama dalam Islam.(3)
p:80
Pada dasarnya, tujuan utama Islam membuka ruang dialog
antar agama adalah untuk memperlihatkan dan membuktikan
kebenaran Islam itu sendiri, sehingga pengikut agama lain, sesuai
intuisi dan pemahaman, dapat melangkah ke jalan yang lurus.
Namun, selain tidak mendukung pandangan awam “Semuanya
atau tidak sama sekali’, Al-Qur’an tetap percaya bahwa ruang
dialog itu terbuka sekalipun tidak meninggalkan hasil yang
diinginkan.
Dialog antar agama bisa terus berlanjut dalam rangka
mencapai hasil-hasil berikut. Ini sebagaimana ayat di atas
menginginkan Rasulullah Saw agar, dalam dialognya dengan Ahli
Kitab, menjelaskan hubungan ketuhanan antara Muslim dan
Ahli Kitab dalam konsep tauhid dan keimanan pada kitab-kitab
samawi. Darinya diharapkan lahir embrio kesalingpahaman dan
toleransi antar penganut agama samawi.
Dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada
(kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang dit-
urunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al-Ankabut [29]: 46).
Dalam ayat lain, selain mengajak Ahli Kitab pada konsep
ketuhanan yang sama, Allah Swt juga mengingatkan mereka
agar tidak menodai esensi ajaran samawi (tauhid) dengan
kesyirikan:
p:81
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun.” (QS. Ali Imran [3]: 64).
Ayat di atas menuntut Ahli Kitab berada di bawah satu
naungan ajaran langit, yakni konsep tauhid, dan memelihara
koeksistensinya dengan kaum Muslim.
Salah satu elemen masyarakat ideal (madinah fadhilah) atau, istilah
dewasa ini, masyarakat madani adalah persamaan hak individu
dan tidak adanya kaum lemah yang mengabdi (menyembah)
segelintir orang kuat dan kaya. Dengan kata lain, eksploitasi
terhadap individu atau rezim tertentu harus dihapuskan dari
tatanan sosial, untuk kemudian digantikan dengan kebebasan
dan kesamaan hak seluruh individu manusia.
Al-Qur’an juga tidak mengabaikan asas ini. Karena itu, Tuhan
memperingatkan seorang nabi yang, dengan kekuatan, menyeru
umat kepada ketaatan dan penghambaan padaNya. Dalam ayat
lain juga disebutkan tujuan para nabi untuk membebaskan
umat manusia dari belenggu perbudakan anti-tuhan (thaghut),
seperti:
Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata
p:82
kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 79).
Dalam ayat di bawah ini, Allah Swt menjelaskan tugas
Rasulullah Saw sebagai pembebas umat manusia dari belenggu
penjajahan kaum elite:
Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-
belenggu yang ada pada mereka (QS. Al-Araf [7]: 157).
Dalam ayat lain, Allah Swt juga memperingatkan Ahli
Kitab mengenai arogansi, sikap rasis dan eksploitasi masyarakat.
Ini agar semua itu tidak sampai menodai kerukunan antar umat
beragama.
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! ... tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS.Ali Imran [3]: 64).
Ali bin Abi Thalib juga menjelaskan tujuan diutusnya nabi,
yakni membebaskan umat manusia dari eksploitasi individu dan
penyembahan makhluk, seraya menuntun pada penyembahan
Zat Pencipta Hakiki:
Allah telah mengutus Muhammad untuk membebaskan
hamba-Nya dari penyembahan’= makhluk _ kepada
[penyembahan] Sang Pencipta(1)
p:83
Boleh jadi, dari penjelasan ayat-ayat sebelumnya, disimpulkan
bahwa Islam hanya toleran pada sesama pengikut agama langit
seperti: Yahudi dan Nasrani. Adapun terhadap orang _ kafir,
ateis, dan politeis, toleransi itu tidak berlaku. Bahkan Al-Qur’an
selalu memerangi mereka. Namun, ini semata-mata anggapan
keliru tentang bagaimana menyikapi orang kafir. Perlu kiranya
direnungkan kembali ayat-ayat yang dimaksud.
Rangkaian ayat jihad memberi solusi bahwa jihad melawan
orang kafir akan dilancarkan bila mereka memang memerangi
Islam dan Muslimin. Seandainya orang kafir itu puas dengan
kekafiran dan kemusyikan mereka, tidak mengganggu dan
memusuhi Islam, Al-Qur’an tidak hanya melarang memerangi
mereka, bahkan memerintahkan Nabi Saw berdamai dengan
mereka.
Dan jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah
padanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar lagi Mahatahu. (QS. Al-Anfal [8]: 61).
Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi
kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka
Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan
membunuh) mereka (QS. Al-Nisa’ [4]: 90).
Demikian halnya dengan orang munafik. Dalam sebuah ayat,
setelah teks perintah memerangi orang-orang munafik dalam
sebuah peperangan, Allah Swt juga menyuruh Muslimin agar
p:84
berdamai dengan mereka (orang-orang munafik). Khususnya
bila antara mereka dan Muslimin terdapat ikatan perjanjian,
atau mereka sudah bosan dengan peperangan dan cenderung
berdamai.
Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di
mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil
seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan
(pula) menjadi penolong, kecuali orang-orang yang meminta
perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan
kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang
datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan
untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya (QS. AI-Nisa’ [4]: 90).
Selain menyerukan agar hidup damai berdampingan, Al-Qur'an
juga mengajak kaum Muslim berbuat baik dan berlaku
adil terhadap hak-hak orang kafir.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena
agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).
Dalam ayat ini, Allah Swt tidak mengatakan hanya akidah
orang kafir sebagai alasan utama untuk memerangi
mereka,
p:85
melainkan serangan, gangguan, dan kejahatan mereka terhadap
Muslimin. Karena itu, imbauan berbuat baik itu berlaku selama
mereka tidak memusuhi dan memerangi Islam.
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS.
Al-Arraf [7]: 199).
Ayat ini termasuk salah satu prinsip dasar etika dan toleransi.
Di dalamnya, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad
Saw agar memaafkan (berlaku arif terhadap) orang yang tidak
mengimaninya, dan yang kadangkala mengganggu beliau secara
fisik maupun psikis.
Di sini, barangkali muncul pertanyaan; apakah ayat di atas
dan sikap pemaaf Nabi Saw ini hanya berlaku di saat beliau tak
punya kekuatan? Pengampunan beliau dalam peristiwa fath
‘penaklukkan’ Mekah kepada seluruh orang kafir dan musyrik'(1)
yang selalu mengganggu, menyiksa, mengasingkan, bahkan
menerornya, menjadi bukti konkret atas rapuhnya asumsi
tersebut.
p:86
Dalam ayat lain, Al-Qur’an melarang Muslim dari mengecam
dan memaki orang kafir berikut sesembahannya. Ini agar orang-
orang kafir tidak sampai menistakan kesucian Islam berikut
simbol-simbolnya.
Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. Al-An‘am
[6]: 108).
Demikianlah. Uraian seputar sejumlah ayat Al-Qur’an
telah membuktikan doktrinnya menanamkan toleransi dan
kerukunan hidup beragama. Selanjutnya, akan dibahas pola
hidup (sunnah) Nabi Saw dan Imam Ali bin Abi Thalib sekaitan
dengan topik ini, mengingat urgensi peran mereka dan wujud
“Al-Qur'an yang hidup’ itu sendiri.
Sesuai ayat-ayat Al-Qur‘an, Rasulullah Saw berperilaku baik
dan penuh kasih sayang terhadap orang-orang kafir. Beliau
menganggap seluruh manusia sebagai anak cucu Adam as; semua
Sama-sama berasal dari tanah. Merenungkan asal-usul manusia
bukan hanya berujung pada kesimpulan adanya persamaan
setiap orang, tetapi bahkan tersingkapnya substansi hubungan
kekeluargaan antar manusia dalam konteks penciptaan yang
berawal dari Sang Pencipta. Inilah ladang persemaian kasih
p:87
sayang dan tumbuhnya kecintaan antar sesama yang, tentu saja,
lebih luhur dari sikap toleran dan kerukunan hidup beragama.
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwa Tuhan kalian
adalah satu dan ayah-ayah kalian juga satu, kalian semua
berasal dari Adam dan Adam dari tanah.(1)
Beliau juga menegaskan bahwa kriteria kemuliaan dan
penghormatan Allah Swt [kepada manusia] adalah nilai
kemanusiaan itu sendiri, jiwa sosial serta berbakti pada sesama.
Seluruh manusia itu keluarga Allah, dan Allah paling
mencintai mereka yang paling banyak memberi manfaat
kepada yang lain.(2)
Seluruh manusia adalah makhluk dan keluarga Allah Swt.
Karenanya, tidak ada perbedaan dan keistimewaan yang satu di
atas yang lain. Hanya yang paling dicintai-Nya adalah orang yang
paling baik dan berguna bagi yang lain.
Rasulullah Saw berulang kali menasihati kaum Muslim untuk
berlaku arif dan adil terhadap non-Muslim. Beliau berkata:
Barangsiapa berlaku zalim kepada mu’‘Ghid (Ahli Kitab yang
terikat perjanjian dengan Islam), maka di Hari Kiamat kelak,
aku akan jadi pelindungnya (Ahli Kitab) dan musuh bagi
p:88
Muslim yang zalim. (1)
Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa mengganggu kafir dzimmi, aku akan menjadi
musuhnya; dan siapa saja yang menjadikan aku musuhnya, di
Hari Kiamat kelak aku akan memusuhinya.(2)
Melalui hadis ini, Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa
gangguan apa saja yang diderita Ahli Kitab, oleh siapa pun itu
dilakukan, sama saja dengan menyulut permusuhan dengan
beliau. Lalu, di Hari Kiamat, beliau akan membela pihak yang
dizalimi, sekalipun itu orang Yahudi.
Suatu hari, Rasulullah Saw duduk bersama sekumpulan sahabat.
Tiba-tiba beliau berdiri saat melihat jenazah seorang Yahudi
diusung ke pemakaman. Para sahabat berkata, “Bukankah itu
jenazah Yahudi?” Beliau menjawab, “Kapan saja kalian melihat
jenazah, berdirilah untuk menghormatinya’.(3)
p:89
Satu lagi yang jadi kebanggaan Islam adalah penandatangan
perjanjian damai dengan pihak-pihak penentang. Semasa
memerintah, Rasulullah Saw _ berhasil membuat sejumlah
perjanjian damai dengan musuh-musuhnya. Semua_ itu
menjadikan pemerintahan Islam, selain mendapat pajak khusus
dari Ahli Kitab, wajib menjamin hak-hak mereka, baik di
bidang politik, sosial, budaya, keamanan, maupun kebebasan
berakidah. Perjanjian yang pertama kali diteken beliau adalah
perjanjian damai dengan Yahudi Madinah. Pada hemat Houston,
perjanjian ini pada dasarnya merupakan piagam pertama tentang
kebebasan berakidah dalam sejarah umat manusia.(1) Butir-butir
perjanjian itu malah dinilai jauh melampui zamannya. Berikut
akan dikemukakan teks asli perjanjian Rasulullah Saw dengan
umat Nasrani Najran:
Muhammad utusan Tuhan wajib menjaga dan melindungi
nyawa, harta, tanah, akidah, dan tempat ibadah mereka
(Nasrani) dari segala bentuk ancaman. Aman dari gangguan
dan pelecahan serta tanah-tanah mereka tidak akan pernah
dijajah. Selama penduduk Najran setia dengan isi perjanjian,
tak akan ada kekuatan yang menyerang mereka.(2)
p:90
Sejarah dan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib sarat dengan
seluk beluk pengalamannya dalam menghadapi berbagai musuh
dan pihak penentang, baik sebelum maupun saat memegang
kendali pemerintahan. Pola kehidupan ini kaya akan prinsip
pengambilan sikap terhadap lawan pemikiran.
Prinsip paling utama beliau ialah menjaga prioritas yang-
terpenting (ahamm) dari yang-penting (muhimm), entah
sesuai atau tidak dengan kepentingan pribadi, seperti sikapnya
menanggalkan jubah kekhalifahan demi menjaga tunas Islam
yang masih berusia dini. Lebih dari itu, ia lebih mengedepankan
kerjasama dengan para khalifah. Padahal, karena beroposisi
politis dan berkeyakinan sebagai orang yang paling berhak
atas kekhalifahan, sebagian kalangan mengharapkannya agar
memisahkan diri saja dan membangun kekuatan sendiri.
Sejarah cemerlang Imam Ali kerap menjadi cermin bagi
minoritas yang duduk di pucuk pemerintahan Islam dan
adakalanya menganggap diri mereka paling berhak: cermin
yang merefleksikan semangat kerja sama dan dukungannya bagi
pemerintahan masa itu.
Sejarah banyak mencatat hal-ihwal kemurahan hati dan
toleransi Imam Ali terhadap lawan-lawan dan Ahli Kitab. Agar
tidak melebar ke mana-mana, topik ini hanya akan diulas secara
umum, sebagaimana sebelumnya.
Dalam suratnya kepada Malik Asytar, Imam Ali mengimbau
agar selalu menjaga hak-hak setiap orang, berlaku adil, dan
p:91
menunjukkan kecintaan serta kesantunan pada seluruh lapisan
masyarakat, baik Muslim maupun kafir. Berikut petikannya:
Jadikanlah hati Anda penuh kasih, cinta, dan ramah pada
rakyat; janganlah Anda seperti binatang buas yang siap
menerkam mereka, karena mereka itu salah satu dari dua
golongan: saudara Anda dalam agama atau sejenis Anda
dalam ciptaan.(1)
Menghormati hukum dan tradisi agama lain merupakan salah
satu etika dasar Islam. Umpamanya, Islam melarang perkawinan
dengan muhrim sendiri. Namun, tak seorang Muslim pun yang,
atas dasar hukum Islam, berhak menistakan agama lain, misalnya
Zarathustra, yang membolehkan perkawinan semacam ini.
Penghormatan atas hukum agama lain sedemikian terang dalam
kehidupan para Imam Maksum, bahkan mereka menganggap
orang yang tidak menghormati agama lain sebagai bukan dari
golongannya. Salah satu fakta mengenai penghormatan atas
tradisi agama lain adalah ucapan Imam Ali berikut:
Andai saja aku duduk sebagai hakim, aku akan menghukum
para pengikut Taurat berdasarkan Taurat, para pengikut Injil
berdasarkan Injil, dan para pengikut Zabur berdasarkan
Zabur, serta pengikut Al-Qur’an berdasarkan Al-Qur’an. (2)
p:92
Kota Anban kala itu berada di bawah kendali pemerintahan
Imam Ali. Warganya terdiri dari umat Islam dan bangsa Yahudi.
Pasukan Muawiyah pernah menyerang, menjarah barang-barang
berharga, dan merenggut kehormatan seorang perempuan
Yahudi di situ. Imam Ali prihatin mendengar kabar kekejaman
itu seraya mengatakan:
Apabila seorang Muslim mati karena mendengar berita
diculiknya seorang perempuan Yahudi di bawah pemerintahan
Islam, bagiku sungguh pantas mendapatkan pujian, kemulian,
dan balasan (di sisi Allah), daripada mendapat hujatan.(1)
Diriwayatkan, Imam Ali berjumpa seorang lelaki tua, lalu ia
bertanya kepada para sahabatnya tentang kondisi orang tua itu.
“Orang Nasrani, jawab para sahabat. Dengan gusar, Imam Ali
berkata tegas:
Bukankah kalian di masa muda pernah memanfaatkan dia
(seperti yang lainnya juga berbakti pada pemerintahan ini),
sampai berusia tua dan tak punya lagi kekuatan?! Pantaskah
kalian mencampakkannya begitu saja?!
p:93
Kemudian ia memerintahkan para sahabatnya agar
membayar hak-haknya dari baitul mal ‘kas negara.(1)
Suatu hari, Imam Ali berjalan bersama seorang Yahudi menuju
Kufah. Saat akan tiba di Kufah, Yahudi itu menempuh jalan lain,
namun beliau tetap menyertainya. Yahudi itu bertanya pada Imam,
“Bukankah tujuan Anda adalah Kufah?” “Ya, benar” jawab Imam.
Kembali Yahudi itu bertanya, “Lantas mengapa Anda mengikuti
saya?” Imam Ali berkata, “Anda adalah teman seperjalanan saya,
dan saya bermaksud mengantar Anda beberapa langkah.”
Kelompok Khawarij berasal dari pasukan Imam Ali dalam perang
Shiffin, namun mereka membelot dari pasukan pasca peristiwa
Tahkim. Lalu mereka mendirikan sebuah perkampungan di suatu
tempat (Nahrawan). Mereka tak hanya mengkafirkan Imam Ali
lantaran mau menerima prosesi Tahkim, bahkan melancarkan
berbagai serangan propaganda terhadapnya. Umpama, terang-
terangan menentangnya dengan cara datang ke masjid namun
tidak shalat di belakangnya. Seolah belum puas memperlakukan
Imam Ali, mereka acap melontarkan tuduhan keras, slogan keji,
dan marah-marah di tengah shalat.(2)
p:94
Sebaliknya, Imam Ali memilih damai dan bersikap toleran
terhadap mereka. Alih-alih membalas mereka dengan kekerasan,
ia malah menghimbau para sahabatnya untuk menahan diri.
Tidak hanya itu, Imam Ali malah menshalati jenazah orang-
orang Khawarij yang terbunuh. Beliau juga mengizinkan mereka
hadir di masjid untuk berpropaganda terhadap pribadinya serta
membayarkan hak-hak sosial mereka dari kas negara. Imam Ali
menekankan, selama mereka tidak menyerang secara fisik dan
memerangi pemerintahan Islam, ia konsisten untuk bersikap
damai dan toleran terhadap mereka.
Kami tidak melarang kalian beribadah pada Allah di rumah-
rumah-Nya. Kami tidak akan melarang kalian, selama tangan
kalian (tidak mengangkat pedang) ke arah kami. Sungguh
kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian sendiri
yang memulai.(1)
Berdasarkan riwayat hidupnya, para Imam dan sebagian khalifah
amat memperhatikan dan menjaga prinsip damai dan toleransi
sesama. Risdlat Al-Huqtiq ‘koleksium pesan-pesan hak dan
p:95
kewajiban’ cucunda Nabi, Imam Ali Zainal Abidin, serta debat
dan dialog para Imam dengan para penentangnya merupakan
bukti konkret atas prinsip ini.
Dalam buku-buku sejarah, diriwayatkan bahwa suatu hari,
salah seorang khalifah hadir di gereja yang sedang dihadiri para
pengikutnya. Saat tiba waktu shalat, khalifah meminta izin
untuk shalat di luar gereja. Khalifah itu berkata, “Aku khawatir,
setelah shalat dalam gereja, kaum Muslim akan merebut gereja
ini, merubahnya jadi masjid dengan alasan ingin memperoleh
berkah.(1)
Sebagian filosof-agama Barat seperti: John Hick(2) dan para
pengikutnya,(3) menganggap toleransi tidak dapat dikompromikan
dengan Eksklusivisme agama atau, maksimalnya, toleransi tak
lebih dari sandiwara, kepura-puraan, dan ungkapan empati
belaka.(4) Sementara kalangan yang bersikap bijak menerima
konsep toleransi dalam Islam dengan catatan “sampai batas-
batas tertentu’.(5)
Komentar-komentar pesimistis yang jauh dari kenyataan
ini agaknya tidak perlu ditanggapi, namun kiranya perlu
dikemukakan sejumlah pertanyaan kepada mereka. Apakah
seruan Al-Qur’an untuk berbajik pada orang-orang kafir dan Ahli
Kitab sekadar sandiwara belaka?
p:96
Pembelaan Rasulullah Saw atas hak-hak minoritas di
Hari Kiamat dan penghormatannya terhadap jenazah seorang
Yahudi: apakah semua ini bermotif kepentingan pribadi?
Apakah amanat Imam Ali kepada Malik Asytar untuk berbelas
kasih, membagi cinta, dan santun kepada rakyat (Muslim atau
kafir) hanya kepura-puraan?
Apakah ekspresi keprihatinan dan kesedihan terhadap
derita perempuan Yahudi semata-mata hanyalah pembelaan
diri seorang penguasa? Lalu, bagaimana menjelaskan perlakuan
Imam Ali melayani, mengantar, dan melepas teman perjalanannya
yang berlainan agama?
Pada akhirnya, apakah asas-asas politik dan pemerintahan
sekuler (duniawi) juga tidak menuntut ditumpasnya benih-benih
pemberontakan Khawarij, melarang segenap aktivitas
mereka, dan mencabut hak-haknya atas baitul mal?
Masih banyak rangkaian pertanyaan lain yang akan
memperlemah anggapan di atas. Kalau saja Al-Qur’an, hadis
Nabi Saw, dan riwayat para Imam dikaji sedemikian rupa,
reaksi pesimistis dan skeptisisme seputar konsep toleransi dalam
Islam itu akan segera reda dan tertangani dengan baik.
Berikut sejumlah kesaksian dan testimoni kalangan pemikir
Barat berkaitan dengan topik di atas. Will Durant menulis:
Selama kurun lima abad (sejak abad VII sampai abad XII M),
Islam menjadi pionir dalam hal kekuatan, ketertiban, ekspansi
kekuasaan, etika, estetika, strata sosial, norma kemanusiaan,
p:97
toleransi agama, sastra, kedokteran, dan filsafat.(1)
Dalam kesempatan lain, dia membubuhkan:
Kendati Muhammad [Saw] menyalahkan pengikut agama
Nasrani, ia tetap optimis terhadap mereka dengan membuka
hubungan diplomatik dengan mereka. Bahkan setelah
berperang melawan para pengikut agama Yahudi, ia konsisten
dalam bersikap toleran.(2)
Gustav Le Bon (1841-1931), sejarawan terkemuka, mencatat:
Kekuatan senjata tidak akan menciptakan kemajuan bagi Al-Qur'an.
Lantaran kulturnya, maka di manapun menaklukkan suatu
wilayah, bangsa Arab akan membiarkan rakyat
setempat dengan agamanya, sampai kaum Nasrani sendiri
meninggalkan agama mereka dan berbondong-bondong
masuk Islam. Mereka lebih memilih bahasa Arab ketimbang
bahasa ibu sendiri. Ini karena mereka menyaksikan keadilan
orang-orang yang menaklukkan kotanya, sementara para
penguasa sebelumnya bertindak tiran dan otoriter.(3)
Robertson, dalam bukunya, Biography of Charlequin, berkata:
Hanya orang-orang Muslim yang punya keyakinan begitu
kuat pada agamanya. Mereka juga punya jiwa toleran dan
damai dengan agama-agama lain.(4)
p:98
Dalam bukunya, History of the Crusades, Michel Michaud
juga berkeyakinan:
Ketika Muslimin (di masa Khalifah Kedua) menaklukkan
Jerusalem, tak satu pun orang Nasrani yang teraniaya.
Sebaliknya, manakala orang-orang Nasrani kembali
merebut kota ini, dengan kejam mereka membunuhi semua
orang Muslim. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi
saat datang ke kota ini; mereka membakar hidup-hidup
seluruh penduduknya ... Aku bersumpah, kerukunan dan
saling menghormati antar agama merupakan lambang
perikemanusiaan dan kasih sayang. Kaum Kristiani harus
belajar dari Muslimin.(1)
Dalam karyanya, Islam: Impressions and Studies, Henri
de Castries, penulis asal Perancis, mengatakan bahwa generasi
Yahudi itu terpelihara sesungguhnya berkat belas kasih
pemerintahan Islam.
Jika keturunan Yahudi di dunia ini sampai sekarang masih
eksis, itu semata-mata berkat pengaruh kuat pemerintahan
Islam. Pada Abad Pertengahan, pemerintahan Islam
menyelamatkan mereka dari kaum Nasrani yang haus darah
... Sementara itu, kalau saja orang-orang Nasrani masih punya
kekuatan dan menguasai dunia ini, niscaya tak akan ada lagi
keturunan Yahudi yang tersisa di muka bumi ini. (2)
p:99
Demikian Adam Metz, penulis ternama Barat, dalam
Civilization in the Fourth Century of the Hegira, mengatakan:
Seluruh gereja dan biara di masa pemerintahan Islam
aktif seolah-olah tinggal di luar wilayah kedaulatan Islam,
sepertinya mereka bagian dari negeri lain. Keadaan ini dengan
sendiri menciptakan suasana toleransi, sementara Eropa di
Abad Pertengahan belum mengenal itu.(1)
Sebenarnya masih banyak lagi kesaksian semacam
ini. Namun kiranya cukup sampai di sini, dan para
pembaca bisa langsung menyimak kembali buku-buku
sejarah yang mengulas persoalan ini.
p:100
p:101
p:102
Pada bab pertama telah dikemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an
mematahkan doktrin Pluralisme. Semangat objektifitas,
netralitas, dan upaya merenungkan sekilas saja isi rangkaian
ayat yang dikutip akan menghasilkan kesimpulan: tak ada
Pluralisme dalam Islam. Namun demikian, dalam Al-Qur’an,
terdapat pula sejumlah ayat yang menyiratkan banyaknya
syariat agama, pembenaran atas keimanan Ahli Kitab, dan
mengangkat mereka orang-orang saleh yang dijanjikan
pahala dan keselamatan dari azab atau hukuman.
Kaum Pluralis, sengaja atau tidak, menggunakan ayat-ayat
(yang menjelaskan kekeliruan Pluralisme) ini justru untuk
melegitimasi pandangan dan klaimnya. Hanya mereka melakukan
kekeliruan sangat besar; yakni tidak menempuh metode tafsir
Al-Qur’an yang semestinya. Berikut sejumlah perkara yang men-
jadi kasus kekeliruan dimaksud:(1)
i. Kandungan dan sebab turunnya ayat. Dalam rangka me-
nafsirkan, kaum Pluralis mengisolasi sebuah ayat, itu pun
secara tekstual, tanpa memperhatikan ayat sebelum
maupun sesudahnya.
ii. Keseluruhan isi Al-Quran. Al-Qur'an merupakan kitab suci
yang diwahyukan Allah Swt secara berangsur-angsur selama
23 tahun, secara sistematis (berdasarkan komposisi ayatay-
atnya),(2) dan utuh (tidak ada inkonsistensi). (3) Dengan
p:103
demikian, sebuah ayat harus ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan isi Al-Qur’an (yang lebih dari 6000 ayat), dengan
segenap relasi yang menyertainya, baik dari segi kekhasan,
kemutlakan, mugayyad, nésikh mansukh-nya, dan lain-lain.
Karena itu, kekaburan dan ketidakjelasan makna suatu ayat
akan teratasi secara kontekstual dengan merujuk ayat-ayat
lain. Artinya, pertama-tama Al-Quran harus ditafsirkan juga
dengan Al-Quran, karena “Al-Qur’an saling menafsirkan satu
ayat dengan lainnya.’
Misalnya Al-Qur’an, pada awalnya, tidak lantas
mengharamkan minuman keras, tetapi malah mengatakan
kalau minuman keras mendatangkan rezeki yang baik.(1)
Lalu pada tahap kedua, Al-Qur’'an mengemukakan bahwa
dosa [minun-minuman keras] lebih besar dari manfaatnya.(2)
Kemudian, pada tahap ketiga, ia mengharamkan minuman
keras [bila diminum] dalam keadaan shalat. Setelah melewati
ketiga tahap ini, Allah Swt memberlakukan hukum mutlak;
bahwa minuman keras itu haram.(3)
p:104
iii. Juru tafsir yang sesungguhnya. Ini prinsip ketiga: jika
ketidakjelasan makna sebuah ayat tidak dapat ditangani
lewat penafsiran, maka pada tahap kedua, seseorang harus
merujuk pada juru tafsir yang hakiki, yakni hadis Rasul
Saw dan riwayat para imam suci, karena dalam Al-Qur’an
memang ada serangkaian ayat mutasydabih (tidak jelas),
makna batin bahkan lapisan yang berlipat-lipat.(1) Al-Qur’an
menganjurkan untuk menggali kejelasan makna, inti, dan
realitas batin dirinya lewat para Imam:
Tak ada yang menyentuhnya (maknanya) kecuali orang-
orang yang disucikan. (QS. Al-Waqi‘ah [56]: 79).
Sebagaimana telah dijelaskan, kaum Pluralis berusaha,
dengan mengangkut pendapat mereka ke dalam agama,
membangun argumentasi dan bukti apa saja yang berasal dari
Al-Qur’an. Langkah awal yang mereka tempuh adalah merujuk
sejumlah ayat. Namun, agaknya telaah mereka terhadap esensi
agama dan teks suci dilaksanakan dengan mengabaikan kaidah,
p:105
tujuan, dan metode tafsir. Untuk itu, pembahasan kali ini akan
diorientasikan untuk menganalisis argumentasi mereka.
Pokok pemikiran Pluralisme bertolak dari hakikat agama dan
inti Islam yang diinginkan Tuhan, yaitu keadilan dan, utamanya,
kepasrahan, dan penyerahan diri serta pemujaan terhadap Dzat
yang Mahabenar. Namun, sekarang, semua itu telah menjelma
dalam institusi agama tertentu seperti: Yahudi, Nasrani, dan
Islam, tanpa mempengaruhi hakikat dan inti tersebut.
Penganut Pluralisme meyakini bahwa, dalam pandangan
Al-Qur’an, Islam bermakna umum, yakni kepasrahan total dan
penyerahan diri sepenuhnya pada Tuhan. Ini mencakup seluruh
agama, khususnya agama-agama samawi. Konsekuensinya,
keislaman tidak terbatas pada umat dan agama Islam, tetapi
juga berlaku pada seluruh pengikut agama lain. Mereka berdalil
dengan ayat di bawah ini, manakala Nabi Ibrahim as memohon
kepada Allah Swt agar umat dan keturunannya dianugerahi Islam
yang hakiki:
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua muslimain (orang
yang tunduk patuh) kepada Engkau dan (jadikanlah) di
antara anak cucu kami umat muslimah (yang tunduk patuh)
kepada Engkau. (QS. Al-Baqarah [2]: 128).
p:106
Nabi Musa as juga menyebut umatnya sebagai Muslim:
Berkata Musa, “Hai kaumku, jika kamu beriman
kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja,
jika kamu benar-benar muslimin (orang yang berserah
din)” (QS. Yunus [10]: 28).
Sekaitan dengan dua ayat di atas, Bazargan menulis:
Al-Qur’an berbeda dengan kita yang membatasi Islam dan
keislaman hanya pada kita sendiri. Bukankah para nabi
berulang kali menyebut umat mereka sebagai Muslim? Jadi,
bagaimana mungkin di sisi Tuhan hanya Islam yang diklaim
sebagai agama keselamatan akhir zaman?, sementara seluruh
nabi dan kitab mereka mengagungkan serta menekankan hal
itu?(1)
Kata Islam juga dipergunakan Al-Qur’an dengan aksentu-
asi yang khas, seperti dalam surah Ali Imran:
Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran [3]: 85).
Hanya ayat terakhir ini tampak sekali tidak mendukung klaim
kaum Pluralis. Namun, beberapa dari mereka menjusfikasinya
p:107
dengan menambah dalil lain dari Al-Qur’an. Seraya itu, mereka
menyodorkan interpretasi yang mendukung pandangannya dan
menafsirkan Islam sebagai penyerahan diri sepenuhnya (dalam
terminologi mereka, Eslom-e Voge‘i: Islam Otentik). Soroush
menyatakan:
Kalau merujuk tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathabai,
Anda akan menjumpai bahwa Allamah memaknai Islam
persis dengan makna Eslom-e Voge'i yang telah kami singgung.
Allamah juga mengatakan bahwa maksudnya adalah hakikat
penyerahan diri total kepada Allah.(1)
Kemudian, untuk memperkuat penafsirannya, Soroush
mengemukakan riwayat dari Imam Ali, “Islam itu penyerahan
diri’.(2) Entah benar atau tidak pendapat itu berasal dari Allamah
Thabathabaii akan dijelaskan pada bab berikutnya.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).
Sejumlah pihak memaknai Islam sesuai ayat di atas ini,
sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, yakni “penyerahan diri
sepenuhnya’. Dari ayat ini juga mereka berusaha menjustifikasi
kebenaran agama lain. Khuramshahi mengatakan bahwa Islam
merupakan penyerahan diri sepenuhnya (taslim mutldq) seraya
mengemukakan penafsiran sejumlah ahli tafsir:
p:108
Sebagian dari ahli tafsir seperti: Syaikh Thusi, Zamakhsyari,
Thabarsi (dalam Jawami’ Al-Jami’), Baydhawi, juga sejumlah
mufassir kontemporer seperti: Jamaluddin Qasimi dan Jawad
Mugniyah, mengatakan bahwa makna Islam dalam ayat ini
bukanlah agama Muhammadi, tetapi Islam Ibrahimi, yakni
ketauhidan dan penyerahan diri kepada Allah Swt.(1)
Berikut beberapa poin penting untuk menganalisis argumentasi
pertama Pluralisme.
Tak diragukan lagi, islam secara etimologis bermakna penyerahan
diri (taslim) dan ketundukan (khudi‘), namun yang lebih penting
dari itu ialah juga mencermati konteks penggunaan kata tersebut
dalam Al-Qur’an. Merujuk himpunan ayat yang memuat ‘islam’
dan derivasinya,(2) makna kata ini hanya memiliki tiga alternatif:
a. Ketundukan dalam Tata Cipta
Makna Islam yang pertama kali digunakan Alquran
adalah penyerahan diri (taslim) dalam arti ketundukan dan
keterpengaruhan determinan makhluk di bawah kekuatan
p:109
tindakan Tuhan, seperti ayat di bawah ini:
Kepada-Nyalah aslama (menyerahkan diri) segala apa yang
di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa,
dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan (QS. Ali
Imran [3]: 83).
b. Penyerahan Diri pada Allah
Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang mengungkapkan “islam”
dengan makna “penyerahan dan kepasrahan diri kepada
Allah Swt”. “Islam” yang dikemukakan para nabi sebelum
Nabi Muhammad Saw juga bermakna demikian itu.
c. Agama Islam
Sejumlah ayat menegaskan bahwa kata “islam” bukan
bermakna seluruh agama langit dan apapun penyerahan diri
pada Allah Swt, melainkan syariat khusus yang dibawa
dan disampaikan Nabi Muhammad Saw.
Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai
Islam itu sebagai agama ( din) bagimu (QS. Al-Maidah [5]: 3).
Ayat ini diwahyukan di Gadir Khum dalam konteks
mengenalkan washi dan pemimpin pasca Nabi Saw. Selain itu,
ayat ini juga menyebut Islam sebagai agama Muhammad Saw.
p:110
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Kitab
dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau)
masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya
mereka telah mendapat petunjuk (QS. Ali Imran [3]: 20).
Kepada kaum Yahudi, Nasrani (yang diklaim kaum Pluralis
sebagai pengikut Islam hakiki) dan musyrik, ayat ini menyerukan,
“Masuklah kalian pada agama Islam, agar pintu-pintu petunjuk
terbuka bagi kalian.” Selain itu, kata islam yang termaktub
dalam ayat ini bukan sekedar bermakna penyerahan diri pada
Allah Swt—karena mereka dan kaum Pluralis juga mengklaim
dirinya telah menyerahkan diri kepada Tuhan—tetapi bermakna
penerimaan dan keimanan kepada agama Islam. Dalam pada
itu, juga ada puluhan ayat lain yang mencantumkan kata “islam”
dalam makna syariat Islam.
Banyak dan beragamnya makna “islam” dalam Al-Quran
memicu kesimpulan bahwa kata ini, sesuai kaidah bahasa dan
tafsir, terlampau jauh untuk dimaknai sebagai Eksklusivisme,
selain pula tidak semata-mata menafsirkannya sebagai
penyerahan diri secara total dan hanya agama tertentu, tetapi
upaya menafsirkan atau memaknainya harus benar-benar cermat,
seraya memperhatikan ayat sebelum dan sesudahnya, juga bukti-
bukti yang ada. Sayangnya, kaidah-kaidah itu acapkali dipandang
sebelah mata oleh kaum Pluralis yang ternyata eksklusif dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an dan hanya puas dengan sepenggal
atau satu ayat saja. Mereka juga hanya bersandar pada makna
harfiah, tanpa memperhatikan konteks dan relasinya dengan
ayat yang lain.
p:111
Al-Qur’an berulang kali menyebut umat para nabi sebelum
agama Islam dengan istilah ‘Muslim’ atau ‘Muslimin. Tentunya
ini berdasarkan kebenaran otentik agama-agama terdahulu yang
disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing. Maksudnya,
substansi agama adalah penyerahan dan kepasrahan diri kepada
Allah Swt, dan ini ada di kalbu umat-umat terdahulu dengan
mengimani para nabi di masanya. Jadi, agama-agama itu,
menurut pandangan ini, adalah realitas yang satu.(1)
Karena itu, dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an menyebut
umat terdahulu sebagai ‘Muslim. Namun, poin terpenting di
sini, resistensi dan kontinuitas kebenaran agama-agama mereka
akan teguh berkat kedatangan agama Islam. Poin inilah yang tak
tersentuh Bazargan dalam ayat-ayat yang dijadikan acuannya.
Selain itu, terdapat sejumlah ayat lain (pada bab sebelumnya)
yang justru menegaskan sebaliknya. Adapun ihwal penghormatan
dan peneguhan Al-Quran terhadap kebenaran Ahli Kitab dengan
datangnya agama Islam, akan dibahas secara terinci pada uraian
berikutnya.
Alih-alih sebagai bukti pembenaran atas Pluralisme, ayat terakhir
dalam argumentasi Pluralisme di atas, yakni “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah islam” (QS. Ali Imran [3]: 19),
merupakan bukti konkret atas kekeliruan Pluralisme-nya
p:112
Abdul Karim Soroush. Karena, secara harfiah, kata islam dalam
ayat ini berbentuk definitif yang diimbuhi artikel definitif alif-
lam marrifah (al-: al-islam). Artikel ini mendefinisikan kata islam
(al-islaam) dalam ayat sebagai Islam dalam makna tertentu, yakni
agama Islam. Dengan kata lain, makna yang justru tampak dari
kata al-islam dalam ayat itu bukanlah sekadar penyerahan dan
kepasrahan diri total, tetapi identik dengan agama dan syariat
khas Nabi Muhammad Saw, karena konteks (siyaq) ayat itu
menerangkan hashr (pembatasan makna: hanya pada agama
Islam).(1)
Seperti juga dalam argumentasi Soroush, bentuk nakirah
(bentuk indefinitif: tanpa artikel al-) pada frasa shirdt mustaqim
‘suatu jalan yang lurus’ diacu langsung sebagai premis dasar
untuk menarik konklusi “banyaknya jalan kebenaran’. Namun,
Ali Imran [3]: 19 di atas menegaskan bahwa pengimbuhan artikel
al- pada kata al-islam bermakna identifikasi, definisi, penentuan,
dan menunjukkan ajaran tertentu. Hanya dia, entah sadar atau
tidak, sama sekali tidak memperhatikan fungsi alif-lam (al-)
ini dalam ayat tersebut. Sedangkan, tatkala shiradt mustaqim
dalam sejumlah ayat disebutkan tanpa alif-lam (al-), segera dia
menangkapnya untuk mengisi inti argumentasinya atas klaim
Pluralisme!
p:113
Kesimpulan yang sama akan diperoleh kalau saja ayat sebelumnya
juga dipertimbangkan. Jelasnya, ayat-sebelum itu mempertegas
pembatasan (hashr) makna islam dalam Ali Imran [3]: 85 hanya
pada agama Nabi Muhammad Saw.
Dalam ayat-ayat sebelum Ali Imran [3]: 85, Allah Swt
menjelaskan ihwal pengambilan sumpah [setia] dari umat
terdahulu untuk mengikuti para nabi, termasuk Nabi Muhammad
Saw, juga mengecam Ahli Kitab lantaran menyangkal kenabian
beliau hingga dihukum sebagai golongan fasik.(1) Demikian pula
ayat-ayat lanjutannya, berdasarkan asas kesatuan, kohesi, dan
koherensi, mendefinisikan kata al-Islam sebagai agama Nabi
Muhammad Saw, karena jika kata ini dimaknai secara umum,
p:114
abstrak, dan indefinitif hingga mencakup agama-agama lain,
maka akan berkontradiksi dengan ayat-ayat sebelumnya.
Dengan cara mencomot sepenggal ayat, membuang unsur-unsur
lain di dalamnya, dan mengabaikan ayat berikutnya,(1) kaum
Pluralis pada dasarnya telah mendistorsi kalam Ilahi, karena
ayat sesudahnya mengecam Ahli Kitab, juga mengingatkan ihwal
pengingkaran mereka terhadap Islam atas dasar kezaliman,
kedengkian, dan setelah datangnya pengetahuan (kepada
mereka). Itulah sebabnya Al-Qur’an menganggap mereka telah
menolak ayat-ayat Tuhan dan pantas diganjar balasan dari-Nya.
Selain itu, ia menandaskan bahwa satu-satunya jalan petunjuk
mereka hanyalah dengan menerima agama Islam.
Dengan kata lain, kendati permulaan ayat dengan sendirinya
dapat bersifat mutlak dan mengungkapkan makna umum
Islam, namun kandungan ayat-ayat sesudahnya—khususnya
p:115
pengulangan kata islam dalam aksentuasi: Jika mereka masuk
islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk—
merupakan penafsir dan pembatas makna di permulaan ayat
itu. Kandungan ayat-ayat ini juga menjelaskan poin penting
bahwa agama itu penyerahan diri secara total yang, di setiap
masa, muncul dalam manifestasi tertentu. Umpama, di masa
Nabi Muhammad Saw, manifestasinya adalah keimanan dan
penyerahan diri total kepada agama beliau.
Adapun mengenai riwayat Imam Ali bin Abi Thalib yang
dirujuk Soroush untuk menafsirkan Islam sebagai penyerahan
diri, perlu ditegaskan bahwa dalam riwayat itu, Imam Ali hendak
menjelaskan hakikat Islam yang meliputi substansi berbagai
agama, yaitu penyerahan diri secara murni (taslim mahdh) kepada
Allah Swt. Konsekuensi penyerahan ini adalah iman kepada para
utusan Tuhan di setiap zaman. Atau, dengan riwayat itu, Imam
Ali dalam rangka menjelaskan agama Islam melalui konsekuensi
itu. Artinya, agama Islam mengharuskan ketundukan manusia
dan penyerahan diri secara penuh pada Sang Pencipta.
Adapun, apakah dalam riwayat ini, Imam Ali hendak
menggeneralisasi Islam ke agama apapun sehingga dianggap
sama sejajar kebenaran semuanya dengan Islam: ini jelas-
jelas bertentangan dengan teks riwayat. Sementara berbagai
bukti dan indikasi lain menetapkan bahwa dalam pandangan
Imam Ali, agama Islam itu sempurna dan nasikh (penghapus
agama sebelumnya). Ini, sebagaimana sejumlah riwayat yang
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, menjelaskan bahwa
Islam itu agama pilihan Tuhan, dan agama-agama lain inferior
di hadapan Islam. Semua riwayat itu tentu saja tidak lagi
p:116
menguntungkan interpretasi versi kaum Pluralis.(1) Lain halnya
jika, wa al-‘tyadz bi-Allah, pandangan Imam Ali mengalami
evolusi dan dinamika, hingga berimplikasi layaknya karakter
pengetahuan manusia: yakni tidak maksum dan bisa salah!(2)
Dalam rangka menambah kekuatan klaimnya, menampilkan
pahamnya dalam busana agama, dan merujukkannya ke ayat-ayat
Al-Qur’an, kaum Pluralis tak segan-segan mendistorsi pandangan
para mufassir besar. Mereka merasa puas hanya dengan mengutip
penggalan-penggalan dari keterangan ahli tafsir seputar makna
Islam sebagai penyerahan diri secara total, dan mengesankan
bahwa para ahli tafsir sendiri mengakui kebenaran agama-agama
yang lain.
Kaum Pluralis agaknya, sengaja atau lalai, tidak memahami
maksud dari penafsiran kalangan ahli tafsir. Yakni, dalam definisi
agama telah diterangkan bahwa substansi agama hanyalah satu,
yaitu penyerahan diri serta ketundukan di hadapan Tuhan.
Sebenarnya, dengan definisi ini, kalangan ahli tafsir ingin
mengingatkan bahwa substansi agama Islam adalah penyerahan
p:117
diri (taslim) yang sebelumnya juga sudah terkandung dalam
agama-agama samawi. Namun, segera setelah mengemukakan
definisi ini, mereka menyatakan bahwa sikap menyerahkan diri
kepada Tuhan memiliki bentuk tertentu di setiap masa.
Hakikat penyerahan diri di masa Nabi Saw adalah memeluk
agama yang dibawanya. Dalam hal ini, hakikat Islam tidak akan
terwujud pada diri siapa pun yang mengingkari beliau. Karena
itu, para ahli tafsir menilai Ahli Kitab sebagai kafir dan pantas
diazab Tuhan.
Berikut adalah ucapan sejumlah ahli tafsir untuk membuk-
tikan kekeliruan klaim dan kesalahpahaman kaum Pluralis.
1. Syaikh Thusi (w. 460 H)
Seperti ahli tafsir yang lain, Syaikh Thusi meyakini bahwa
hakikat dan substansi agama Tuhan itu satu; yakni penyerahan
diri secara total. Ia juga menyebutkan Islam hakiki sebagai
penyerahan diri secara mutlak (taslim mahdh) kepada Allah
Swt. Namun ia segera mengingatkan, tercapainya hakikat
Islam di masa Rasulullah Saw amat bergantung pada iman
kepada beliau. Dengan kata lain, perwujudan Islam Ibrahimi
ialah melalui Islam Muhammadi.
Islam berarti kepasrahan jiwa di hadapan setiap apa yang
dibawa Nabi Saw.(1)
Juga dalam menafsirkan ayat-ayat setelahnya, Syaikh Thusi
menekankan bahwa Ahli Kitab hanya akan mendapat petunjuk
p:118
dengan memeluk Islam Muhammadi,(1) dan siapa saja yang
tidak melakukan demikian dihukumi sebagai kafir.(2)
2. Zamakhsyari (w. 144 M)
Dengan menimbang ayat sebelumnya, Zamakhsyari me-
nafsirkan makna Islam pada ayat di atas sebagai keadilan
dan tauhid.(3) la merujuk ayat itu seraya mengkritik doktrin
Asy’ariyah yang meyakini determinisme, kemungkinan Tuhan
dapat diindera mata kepala, dan mengingkari prinsip ke-
adilan Tuhan. Kemudian, atas dasar ini pula Zamakhsyari
mengkritik islamnya Ahli Kitab lantaran telah menyembah
tiga atau dua tuhan.
Setelah mengurai ayat tersebut, juga ayat-ayat lainnya,
Zamakhsyari yakin bahwa Ahli Kitab terasing dari hidayah
dan Islam hakiki. Lalu ia menegaskan bahwa motif penolakan
mereka terhadap Islam Muhammadi adalah ambisi
kekuasaan, padahal mereka sendiri mengakui, kebenaran
agama Islam tak diragukan lagi.(4)
3. Syaikh Thabarsi (w. 548 H)
Dalam karya tafsirnya, Majma‘ Al-Baydn, sebagaimana
Syaikh Thusi, Thabarsi mengatakan bahwa konsekuensi
Islam hakiki adalah mengikrarkan iman kepada Islam
p:119
Muhammadi.(1)
Sebaliknya, ia memandang kafir siapa pun yang mengingkarinya.(2)
Begitu pula dalam karya tafsirnya yang lain, Jawdmi‘ Al-
Jami’, yang dengan logis, sebagaimana Zamakhsyari, Thabarsi
memandang kafir Ahli Kitab lantaran mengingkari kenabian
Muhammad Saw. Dan berkenaan dengan Ali Imran [3]: 20,
ia menjelaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan
sebuah prinsip yang harus diimani oleh seluruh manusia.(3)
4. Baydawi (w. 791 H)
Setelah memaknai Islam sebagai penyerahan diri, Baydhawi
dengan tegas mengatakan bahwa tak ada agama yang
diridhai Tuhan kecuali Islam dalam pengertian: tauhid
dan berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad Saw. la
kembali menyatakan penegasan ini dalam menafsirkan Al-
Baqarah [2]: 41, “... dan berimanlah kamu dengan apa yang
telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa
yang ada padamu (Taurat)’? Seraya menukil sebuah hadis,
Baydawi juga memastikan ihwal tidak adanya kontradiksi
antara mengikuti agama Nabi Musa as dan mengikuti agama
Nabi Muhammad Saw. Karena, kabar kemunculan Islam
dan keharusan mengikutinya merupakan bagian dari ajaran
Nabi Musa as.(4) Dengan demikian, rangkaian ayat yang
menunjukkan universalitas atau keutamaan agama Nabi
Musa as atas seluruh umat hanya berlaku sebatas masanya,
p:120
seperti ayat “Sesungguhnya Aku telah mengutamakan kalian
di atas alam semesta”.(1)
5. Muhammad Jamaluddin Qasimi (w. 1332 H)
Merujuk Ali Imran [3]: 19, Qasimi menyebut Islam sebagai
agama tauhid, namun bukan tauhid secara mutlak (tauhid
apapun) sehingga mencakup agama-agama lain, melainkan
tauhid yang khusus pada ketundukan dan ikrar terhadap
syariat Muhammad Saw.(2)
Demikian pula dengan ayat lain: Qasimi menegaskan
ihwal janji kemunculan Islam dalam agama-agama terdahulu
dan kemestian Ahli Kitab memeluk Islam agar cahaya hidayah
terus membimbing mereka.
6. Muhammad Jawad Mughniyah (w. 1979 H)
Sebagaimana ahli tafsir lain, Muhammad Jawad Mughniyah
memaknai Islam sebagai penyerahan diri secara total.
Dengan demikian, semua umat sebelum Nabi Saw tergolong
sebagai penganut Islam hakiki. Hanya ia menegaskan bahwa
hakikat Islam Ibrahimi hanya terealisasi dengan memeluk
Islam Muhammadi. Adapun mengenai ayat “Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan
petunjuk”, Mughniyah mengatakan bahwa selain agama
p:121
Islam adalah kekafiran dan kesesatan.(1)
7. Allamah Thabathaba’i (w. 1981 M)
Telah dikemukakan bagaimana Soroush dan tokoh
Pluralis lainnya(2) berusaha, selain memaknai Islam sebagai
penyerahan diri secara total, juga menyatakan bahwa peng-
anut agama yang lain juga berserah diri, mencapai sub-
stansi agama dan, pada gilirannya, melangkah di jalan yang
lurus. Untuk melegitimasi pemaknaan dan interpretasinya
ini, mereka lantas mengemukakan definisi Islam menurut
Allamah Thabathaba’i.
Namun, sekilas saja menelaah tafsir Al-Mizdn dan karya-
karyanya yang lain, kekeliruan penisbatan interpretasi
tersebut kepada Allamah Thabathaba’i akan nampak
jelas. Makna Islam dalam ayat “Sesungguhnya agama yang
(diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam’, yakni penyerahan diri
total, merupakan substansi seluruh agama Ilahi. Namun,
ia membubuhkan catatan tentang konsekuensinya: bahwa
hakikat penyerahan diri ini mungkin diwujudkan hanya
dengan beriman kepada Islam Muhammadi. Dengan
demikian, generalisasi Islam menjadi penyerahan diri
secara total tidaklah mencakup Ahli Kitab, karena setelah
mengetahui kenabian Nabi Muhammad Saw, mereka malah
menentang dan tenggelam dalam kekafiran.(3)
p:122
Allamah Thabathaba’i juga menyatakan bahwa ayat di atas
dan setelahnya bukan hanya tidak menjustifikasi keislaman
Ahli Kitab, tetapi justru. mengancam mereka dengan
hukuman di akhirat.(1)
Di akhir penafsirannya, ia menolak tafsiran keliru dari
ayat itu dan mengingatkan bahwa menafsirkan sepenggal
dari ayat sebagai dalil kebebasan berkeyakinan atau beragama
serta membiarkan individu begitu saja merupakan sebuah
kekeliruan, sebab ayat itu pada dasarnya tidak dalam rangka
menjelaskan demikian.(2)
Banyak bukti lain juga dapat ditemukan dalam beberapa
halaman sebelum dan sesudahnya. Namun, agar tidak
Sampai melebar ke mana-mana, kiranya tinjauan kritis
terhadap argumentasi pertama kaum Pluralis ini mesti
dicukupkan sampai di sini. Sebagai pamungkas, ada baiknya
dikemukakan dialog antara Allamah Thabathaba’i atas
Henry Corbin. Di dalamnya, filosof Perancis ini mengajukan,
“Semua agama itu benar dan menuntut hakikat yang hidup.
p:123
Semua agama itu sama dalam hal membuktikan keberadaan
hakikat yang hidup ini.” Namun, Allamah Thabathaba’i
menjawab:
Islam sangat toleran terhadap orang-orang yang tidak
mendapat keterangan tentang keyakinan yang benar dan
ajaran agama; atau pernah memperoleh penjelasan namun
tidak mengerti. Islam memperkenalkan mereka sebagai
mustadh‘afin. Ketegasan apa pun yang diberlakukan Islam
ialah terhadap orang-orang yang menolak Islam setelah
datangnya kebenaran dan keterangan ajaran agama.(1)
Dengan kata lain, kalangan ahli tafsir berpedoman pada asas
naskh dalam Islam; bahwa menerima Islam berarti menafikan
berlakunya kebenaran agama-agama sebelumnya.
Kesimpulannya, tampak bagaimana cara kaum Pluralis
mendistorsi panjelasan ahli tafsir dengan mencomot definisi
Islam sebagai penyerahan diri dalam bentuk apa pun seraya
mengabaikan maksud inti mereka (ahli tafsir) dari definisi
tersebut. Ini jelas-jelas bertentangan dengan metodologi dan
semangat ilmiah, khususnya berkenaan dengan subjek Al-Qur'an
dan tafsirnya. Bila tidak menemukan catatan ulama yang dapat
legitimasi klaim-klaim Pluralisme, mengapa seorang teoretisi
terdesak untuk mendistorsi, [mereduksi dan memanipulasi]
pandangan mereka?
p:124
Kaum Pluralis menisbatkan banyaknya agama dan beragamnya
jalan (shirath) kebenaran kepada kehendak Tuhan. Maksudnya,
keragaman watak manusia serta perbedaan ruang dan waktu me-
niscayakan berbedanya cara masing-masing menjalin hubungan
dengan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan mengutus para nabi
dan agama-agama yang berbeda kepada umat manusia.
Pertama kali yang menyemai benih Pluralisme di muka
bumi adalah Tuhan sendiri: dengan mengutus para nabi. Se-
tiap nabi diutus untuk umat tertentu demi menyampaikan
ayat-ayat Tuhan dengan logika dan bahasa mereka sendiri.
Demikianlah benih Pluralisme itu tumbuh berkembang.(1)
Adapun ayat-ayat yang diupayakan untuk melegitimasi
justifikasi ini:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah [5]: 48).
Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan
mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-
orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (QS. Al-
Syura [42]: 8).
p:125
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisth
pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (QS.
Hud [11]: 118-119).
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]: 148).
Seorang peneliti menulis:
Sepertinya paham Pluralisme lebih mendalam dari yang
mereka utarakan: bahwa setiap umat memiliki jalan dan cara
tertentu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan setiap
orang harus berlomba-lomba dalam kebaikan di jalannya
masing-masing sebagaimana diperintahkan Tuhan.(1)
Kemudian, bertolak dari Al-Baqarah [2]: 148 dan Al-Maidah
[5]: 48, dia mengatakan:
Fakta ini menunjukkan bahwa banyaknya nabi merupakan
kehendak Tuhan, karena “Manusia adalah umat yang satu’,
namun kondisi dunia menuntut terjadinya_pluralitas.(2)
Pluralitas yang sekarang kita hadapi pada _ hakikatnya
merupakan jalan yang bermacam-macam, sebagaimana
diisyaratkan dalam ayat “Dan kalau Allah menghendaki
niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja’ Artinya,
kalian sekarang bukan umat yang satu dan memiliki simbol
p:126
yang beragam, namun “Berlomba-lombalah dalam kebajikan’,
karena jalan-jalan ini datang dari Tuhan, selamanya sempurna,
dan menjadikan pengikutnya mencapai kedudukan paling
tinggi yang, dalam istilah kaum sufi (urafa), dikenal dengan
fana’fi-Allah wa baqa’ bi-Allah.
Sementara itu, Khuramsyahi dengan nada kritik mengatakan:
Tuhan itu Pencipta manusia yang memiliki fitrah, insting, dan
kehidupan sosial. Dia Tahu bahwa selain sebagai makhluk
sosial, manusia juga cenderung bercerai-berai dan berpecah-
belah. Karena itu, diwahyukan, “Jika Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat; mereka itu beroleh ampunan
dan pahala yang besar” (QS. Hud [11]: 18). Artinya, kalau saja
Allah menginginkan, niscaya mereka dijadikan satu umat.
Namun, bagaimanapun, mereka lebih cenderung berselisih.
Dalam mengungkap aspek besar psikologis manusia, Allah
Swt berfirman, “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Al-Rum [30]:
32).(1)
p:127
Kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat sebelum dan sesudahnya
menjadi awal kesalahpahaman Pluralisme. Pada kesempatan ini,
semua itu akan dikupas satu demi satu secara terperinci.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya,
lalu. diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.
Kalangan ulama dan ahli tafsir sepanjang empat belas abad telah
menyuguhkan berbagai penafsiran dan cara baca yang beragam,
namun sepakat dalam sudut pandang: bahwa ayat ini tidak
mengakui kebenaran agama lain. Berikut penjelasannya.
Ayat ini menyatakan bahwa jika memang menghendaki
(menjadikan manusia sebagai satu umat), Allah Mahakuasa
untuk memaksa seluruh manusia mengimani agama yang haq
dengan kekuatan absolut-Nya. Namun, kehendak Tuhan tidak
bermakna demikian, yakni pemaksaan keimanan. Sebaliknya,
Tuhan berkehendak memberi manusia kebebasan memilih
p:128
agama yang benar agar, dengan pilihannya, mencapai derajat
kehambaan dan ganjaran Tuhan. Namun pemberian kebebasan
ini tidak berarti afirmasi terhadap kebenaran agama lain. Ini juga
terkandung dalam ayat lain seperti:
Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan
di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia
menghendaki, tentulah Dia memandu kamu semua (ke jalan
yang benar) (QS. Al-Nahl [16]: 9).
Dan jikalau Allah menghendaki, tentu Dia akan menunjuki
manusia seluruhnya (ke jalan yang lurus) (QS. Al-Ra‘d [13]: 31).
Dan jikalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan
petunjuk kepada tiap-tiap jiwa (QS. Al-Sajdah [32]: 13).
Dari uraian di atas, jelas bahwa hidayah merupakan tujuan
utama Allah Swt. Namun, dengan kekuasaan-Nya, Dia tidak ingin
memaksa manusia mencapai tujuan itu, akan tetapi kehendak-
Nya bergantung pada ikhtiar manusia dalam meraih petunjuk.
Sementara, di sisi lain, Dia menjanjikan hukuman bagi siapapun
yang bermaksiat.
Seperti dalam argumentasi pluralistik, ayat ini bermakna
bahwa Allah Swt menghendaki dan Mahakuasa menjadikan
manusia sebagai umat yang satu (yakni, dalam satu agama yang
benar) namun tidak melakukannya, maka jelas Pluralisme dalam
agama merupakan kehendak Tuhan. Sebagai kritik terhadapnya
perlu ditegaskan bahwa klausa “Jikalau Allah menghendaki”
dalam ayat ini identik dengan klausa yang sama dalam tiga ayat di
atas tadi: bermakna takwini ‘penciptaan’ dan ijbdri ‘'determinatif’,
p:129
bukan tasyri? ‘penetapan hukum’ Yakni, Allah tidak menyeret
paksa manusia ke satu agama yang benar. Adapun, manakah
yang benar di antara agama-agama yang ada, ayat ini bukan
dalam konteks ini, tetapi harus diklarifikasi dalam ayat yang
lain. Inilah tafsiran yang setepatnya dinisbatkan Syaikh Thabarsi
kepada Qatadah dan Hasan.(1)
Ibnu Abbas, ahli tafsir abad pertama Islam, memberi penafsiran
lain. Dalam pandangannya, maksud ayat ini ialah kalau memang
Allah menginginkan, pasti Dia menghimpun umat manusia
dalam poros satu agama yang benar di bawah naungan para
utusan Allah, dan menjadikan agama serta syariat, sejak Nabi
Adam hingga penutup para nabi, tidak lebih dari satu dan tidak
akan mengalami pergantian ataupun naskh ‘penghapusan.
Namun, Allah tidak melakukan itu, bahkan Dia menurunkan
banyak agama dan syariat sebelumnya, melakukan nasakh
terhadapnya hingga semuanya dinegasi dengan turunnya agama
Nabi Muhammad Saw.(2)
Allamah Thabathaba’i mendukung penafsiran Ibnu Abbas
ini dengan penjelasan lebih tajam. Menurutnya, maksud
dari “umat yang satu” (ummat-an wéhidah) dalam ayat di atas
adalah kesatuan kapasitas dan keseragaman fasilitas manusia
dalam menerima syariat [agama]. Dengan kata lain, Al-Qur’an
mengatakan bahwa jika memang Tuhan menghendaki, pasti Dia
mampu mencipta dengan kapasitas dan fasilitas manusia secara
p:130
satu dan seragam. Jadinya, sejak awal diciptakan hingga akhir
hayatnya, manusia hanya punya potensi menerima satu syariat
[agama] sehingga, dengan begitu, tak akan muncul wacana
Pluralisme dan evolusi syariat.
Namun kenyataannya tidak seperti itu. Tuhan bahkan
memfasilitasi manusia agar dapat mencapai kesempurnaan. Ini
tidak dapat terwujud hanya dengan perbedaan letak geografis,
bahasa, dan warna kulit semata. Jalan dan rahasia perbedaan itu
selaras dengan kondisi zaman dan aktualitas potensi manusia
dalam menerima syariat paripurna sehingga dengannya, manusia
dapat melewati ujian-ujian Tuhan.(1)
Dengan demikian, bagi Allamah Thabathaba’i, ayat
ini menjelaskan penyebab serta misteri perbedaan dan
kemajemukan syariat sebelumnya. Dengan ungkapan lain, ayat
tersebut, juga ayat-ayat lain yang senada, memberitahukan ihwal
adanya pluralisme syariat [pra-Nabi Saw] seraya menjelaskan
perbedaannya. Namun, dari teks ayat-ayat itu, tidak dapat
disimpulkan validitas dan kebenaran syariat terdahulu itu di
masa kini.
Penafsiran ketiga mengatakan bahwa jika Tuhan menghendaki
manusia menjadi umat yang satu, niscaya tidak akan terjadi
pengutusan seorang nabi pun dariNya sehingga manusia, di
bawah kendali akalnya, mencapai kesempurnaan dan kesatuan
umat. Namun, faktanya, Allah memberi manusia hidayah lebih
banyak lagi dengan mengutus para nabi. Hanya dengan mengikuti
p:131
mereka, manusia dapat mendekatkan diri kepada-Nya, kendati
mungkin saja berakibat pada penyimpangan sebagian umat dan
berakhir pada perselisihan di antara mereka.
Pendekatan seputar penafsiran di atas mengindikasikan
tak satu pun ahli tafsir sepanjang 14 abad mendukung paham
Pluralisme, kendati boleh jadi ayat tersebut ditafsirkan sebagai
ayat Pluralisme berdasarkan perspektif tertentu yang dinisbatkan
kepada karya-karya tafsir klasik maupun kontemporer seperti:
tafsir Ibnu Abbas, Syaikh Thabarsi, dan Allamah Thabathabai.
Namun, semua penisbatan itu tidak lebih dari sekadar
kemungkinan dan hipotesis semata. Sepanjang penafsiran baru
ini masih belum menyanggah berbagai tafsiran dan landasan
Qur'ani yang menegaskan eksklusivisme, ayat ini tidak dapat
diklaim sebagai ayat Pluralisme. Dengan ungkapan lain, semua
tafsiran dan pemahaman yang diajukan untuk memaknai ayat
itu menjadi kontradiktif, dan untuk menemukan pendirian Al-
Qur'an, seseorang mesti mempertimbangkan dan merujuk ayatayat
lain.
Dalam pembahasan berikutnya, akan dibuktikan: tak
satu pun ayat Al-Qur’an yang membenarkan klaim Pluralisme,
termasuk Ali Imran [3]: 85 ini.
Dalam pendahuluan bab, telah dicatat bahwa argumentasi
Pluralisme hanya berupa penggalan-penggalan ayat, tanpa
memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudah, bahkan
adakalanya mereka mengabaikan ayat yang sedang diacu.
Namun, sekadar merujuk rangkaian ayat sebelumnya, tampak
p:132
betapa rapuhnya argumentasi tersebut.
Sebelum ayat ini, Allah Swt menghibur Rasul-Nya yang
bersedih karena kalangan Ahli Kitab menolak beriman:
Hari Rasul, hendaknya janganlah kamu disedihkan oleh
orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya,
yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut
mereka, “Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum
beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi (QS.Al-Maidah [5]: 41).
Sementara, dalam ayat [yang sedang dibahas] ini, Allah
meneguhkan Al-Qur’an sebagai penjaga ( muhaymin) dan
penguasa kitab-kitab sebelumnya:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur‘an dengan
membawa kebenaran, sedangkan kitab ini membenarkan dan
menjaga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya (QS.Al-Maidah [5]: 48).
Sebagaimana dikemukakan kalangan ahli tafsir dan pakar
bahasa, muhaymin berarti “yang menguasai, mendominasi, dan
mengawasi . Dengan demikian, Al-Qur’an merupakan pengawas
dan penguasa Taurat dan Injil. Allamah Thabathaba’i menjelaskan
bahwa wujud pengawasan Al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci
adalah dengan menjaga prinsip-prinsip yang permanen dan
substansial, seraya mengubah dan menghapus unit-unit ajaran
yang bersifat partikular [dari kitab-kitab suci itu].(1)
p:133
Poin penting lain yang perlu diperhatikan, atribut
muhaymin dilekatkan beriringan dengan atribut mushaddigan
(membenarkan). Ini dalam rangka membantah anggapan bahwa
Al-Qur’an melegitimasi penuh ketidakberubahan kitab-kitab
sebelumnya. Jika tidak, kaum Pluralis akan menjadikannya bukti
kebenaran atas klaimnya.
Justru, Ali Imran [3]: 85 ini (“Jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”) secara cermat
menyoroti poin ini. Yakni, jika memang Allah menghendaki,
tentu Dia tidak tak akan menghapus agama sebelumnya.
Akan tetapi, segala sesuatu, termasuk penghapusan (naskh),
dan penentuan kitab suci mana yang berpredikat muhaymin,
sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan.
Sebagian Pluralis berusaha keras membuktikan faktor karakter
dan bawaan sebagai sumber perbedaan manusia dalam memilih
atau menolak agama tertentu. Misalnya, penolakan Ahli Kitab
terhadap Islam bersumber dari keterikatan emosional dengan
bangsa, agama, dan nabi mereka. Demikian pula dengan kalangan
lain. Maka itu, untuk setiap kaum, Allah Swt mengutus seorang
nabi dan agama yang khas. Mereka mengatakan:
Fakta sejarah membuktikan bahwa manusia secara fitriah
cenderung berpecah-belah. Tuhan mengetahui bahwa setiap
nabi yang diutus membacakan wahyu Ilahi kepada kaumnya
dan mereka (sebagian atau semuanya) beriman kepadanya.
Darinya, terjalin hubungan keimanan secara emosional di
antara mereka. Jika dua-tiga generasi berikutnya akrab dengan
p:134
iman dan agamanya, kemudian datang seorang utusan baru
yang menyuruh meninggalkan agama mereka dan memeluk
agama baru yang dibawanya, tentu ini tidak mudah bagi
mereka. Demikian pula dengan kaum Yahudi yang tidak siap
menerima ajakan kaum Nasrani, juga kaum Nasrani tidak
dapat menerima seruan Islam. Akibatnya, terjadilah sekian
peperangan antara ketiga agama tauhid ini.(1)
Kemudian mereka mengemukakan ayat di bawah ini
untuk melegitimasi persepsinya:
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat (QS. Hud [11]: 18).
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada
pada golongan mereka (QS. Rum [30]: 32).
Sebagai kritik atas pandangan ini, perlu diperhatikan poin
berikut: agama dan syariat Ilahi merupakan perkara fitriah(2)
serta selaras dengan kebutuhan dan karakter dasar manusia.
Bila agama Tuhan disampaikan seutuhnya kepada manusia, dan
fitrahnya tidak dikotori keingingan hina dan dosa, mustahil
manusia akan menolak agama yang benar.
p:135
Kesimpulannya, substansi agama (penyerahan diri kepada
Allah) akan terwujud dengan menerima dan mentaati perintah
Tuhan yang disampaikan para utusan-Nya. Jika kaum Yahudi
menolak pesan suci Nabi Isaas yang tak lain dari pesan suci Tuhan
dan fitrah, maka pada hakikatnya, substansi agama (penyerahan
diri) mereka perlu dipertanyakan kembali. Tentunya, tidak dapat
diklaim bahwa mereka itu tetap berada dalam fitrahnya, bahkan
mereka cenderung fanatik buta dan tidak mengerti sehingga
menjauhkan diri dari kebenaran.
Demikian pula dengan pengingkaran kaum Yahudi dan
Nasrani terhadap Islam; bukan lantaran didorong fitrah
perpecahan atau keterikatan emosional iman mereka, melainkan
lebih dipicu kedengkian, arogansi, dan kezaliman. Akibatnya,
mereka menentang dan memusuhi kebenaran agama Islam,
padahal bukti tentangnya sedemikian gamblang. Al-Qur’an
mengungkap kenyataan ini:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab
kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka (QS. Ali Imran [3]: 19).
Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan,
dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,
untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab
itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka
Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-
p:136
keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri
(QS. Al-Baqarah [2]: 213).
Masih banyak lagi ayat yang isinya mengimbau manusia
untuk bersatu dan melarang mereka berpecah-belah dalam soal
agama dan memilih jalan-jalan yang tidak lurus.(1)
Dalam karya tafsirnya, Allamah Thabathaba’i: membedakan
antara perselisihan manusia dalam masalah dunia dan masalah
agama. Pada hematnya, sumber perselisihan umat manusia
dalam masalah agama tak lain dari arogansi dan kedengkian.(2)
Tentu saja, tidaklah sama perhitungan orang yang buta dan
tidak tahu kebenaran agama Islam dengan perhitungan orang
yang mengerti dan mengetahuinya. Yang pertama disebut Al-
Qur'an sebagai mustadh ‘af ‘yang lemah’ dan membutuhkan
rahmat Tuhan. Yang sangat mengherankan, mereka justru
berdalih dengan ayat Al-Rum [30]: 32, karena ayat ini dan ayat
sebelumnya jelas-jelas melarang perpecahan dalam masalah
agama, dan memandangnya sebagai salah satu karakter kaum
musyrik.
Dan janganlah kamu’ termasuk orang-orang yang
menyekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka (QS. Al-Rum [30]: 31-32).
Ayat ini tidak menegasikan’ keterikatan emosional
sebuah golongan dengan apa yang dimilikinya, tidak juga
p:137
melegitimasinya, akan tetapi manakala bertentangan dengan
fitrah dan agama yang lurus, keterikatan itu dinilai sebagai salah
satu sifat kaum musyrik dan penghuni neraka.
Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan
mereka satu umat (saja), tetapi dia memasukkan orang-orang
yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-
orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindung
pun dan tidak pula seorang penolong.
Ada sekian banyak penafsiran mengenai ayat ini. Hanya
dalam semua ini, tidak ada isyarat baru yang mengarah
Pluralisme. Berikut sejumlah penafsiran dimaksud.
Keterangannya persis sama dengan ayat sebelumnya sehingga
tidak perlu diulas lebih jauh. Juba’i(1)
dan Zamakhsyari,(2) juga
ahli tafsir lainnya, memiliki pendapat yang sama.
Sebagian dari ahli tafsir meyakini bahwa ayat-ayat sebelum dan
lanjutan menjelaskan ayat ini sama sekali tidak menyinggung
ihwal persatuan dan perpecahan agama di kehidupan dunia. la
justru menjelaskan kondisi umat manusia di Hari Kiamat. Yakni,
p:138
bila memang Tuhan menghendaki, Dia akan memasukkan
manusia seluruhnya ke dalam surga atau neraka, sehingga
terbentuklah umat yang satu, karena Dialah Pemilik Mutlak
seluruh umat manusia. Ayat sebelumnya mengharuskan Nabi Saw
agar memperingatkan umat manusia ihwal Hari Kiamat berikut
kondisinya saat itu: mereka terbelah dalam dua golongan:
... serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul
(Hari Kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan
masuk surga, dan segolongan masuk jahanam. Dan kalau
Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu
umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang
dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang
yang zalim, tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun
dan tidak pula seorang penolong (QS. Al-Syura [42]: 7-8).
Jelas, ayat ini membicarakan topik Hari Kiamat dan
pembagian umat manusia ke dalam dua golongan; penghuni
surga dan penghuni neraka. Lanjutan ayat mengungkapkan
pencapaian rahmat Ilahi itu terjadi dalam kehendak Tuhan,
sedangkan orang-orang zalim dan para pengingkar agama
yang benar tidak memiliki seorang pelindung pun. Ini menjadi
bukti lain atas fokus ayat seputar Hari Kiamat.
Dengan berpedoman pada metode penafsiran Al-Qur’an
denganAl-Qur’an), Allamah Thabathaba’i mendukung tafsiran
di atas seraya menolak yang pertama (tafsiran Pluralisme).(1)
Sebagian ahli tafsir juga mengemukakan dukungan ini.(2)
p:139
Adapun tentang bagaimana kaum Pluralis memutarbalikan
ayat tersebut untuk menyokong doktrin Pluralisme, ini masih
belum jelas apa alasan mereka. Kalaupun tafsiran mereka
diakui sebagai hipotesis, ini niscaya akan berbenturan dengan
rangkaian tinjauan kritis sebelum ini.
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat.
Ada dua jenis tafsiran paling populer terhadap maksud ayat
tersebut.
Dengan menimbang ayat-ayat sebelumnya,(1) ayat ini
mengungkapkan jelas soal perselisihan manusia dalam
agama. Umpamanya, dalam ayat sebelumnya, Allah Swt
menghibur Nabi Saw dari pengingkaran orang-orang musyrik
terhadap Islam. Poin ini juga mengingatkan serangkaian
p:140
kejadian di masa fajar Islam; seperti sikap orang tua mereka
dan umat terdahulu yang menolak agama yang benar. Poin
penting di sini bukanlah pembelaan terhadap manusia dalam
perselisihan agama, tetapi janji azab sepenuhnya untuk
mereka di Hari Kiamat.
Guna lebih menghibur Nabi-Nya, Allah Swt
menyinggung pemberian kitab suci kepada Nabi Musa as
seraya mengungkapkan perselisihan umatnya seputar
kitab tersebut, kemudian pada ayat terakhir, kembali
mengingatkan kesempatan orang-orang kafir di dunia.
Jadi, rangkaian ayat sebelumnya menjelaskan soal
perselisihan umat manusia dalam agama Tuhan seraya
mengklasifikasi mereka dalam dua kubu; tauhid dan
ateis. Kemudian, dalam ayat ini (Hud [11]: 118), Allah
Swt menyinggung kekuasaan mutlak-Nya: jika memang
menghendaki, Dia akan menghimpun umat manusia
di bawah satu naungan agama yang benar. Namun
begitu, Dia membebaskan manusia memilih jalannya
sendiri-sendiri, dan akan memperoleh akibat dari setiap
pilihannya diakhirat kelak, karena kehendak Tuhan tidak
memaksa manusia memilih agama tertentu. Akibatnya,
manusia pun menganut agama yang berbeda.
Jadi, ayat ini sesungguhnya berbicara tentang
kenyataan pluralitas dan banyaknya agama. Namun,
tentang kebenaran agama yang banyak dan berbeda-
beda itu, ayat ini tidak menyinggungnya. Sepertinya,
kaum Pluralis di sini mencampur aduk signifikasi
(dalélah) ayat antara tentang banyaknya agama dan
p:141
tentang kebenaran agama-agama. Jelas, ayat-ayat [yang
telah disebutkan] sebelum ini serta rangkaian ayat
lainnya menggugurkan pemahaman kacau mereka.
Mayoritas mufassir seperti: Qatadah,(1) Thabarsi,(2)
Thusi,(3) dan Allamah Thabathaba’i(4) menegaskan penjelasan
tadi terhadap ayat di atas.
Beberapa ahli tafsir seperti: Abu Muslim, menganggap ayat ini
berhubungan dengan Hari Kebangkitan. Namun, penafsiran
pertama tempak lebih akurat, tentunya dengan merujuk bukti-
bukti dari rangkaian ayat sebelumnya.
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam
membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, Allah
akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat).
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Terdapat beberapa pandangan seputar ayat ini. Berikut ini
akan dikemukakan sejumlah tafsiran populer dan global.
p:142
Kiblat
Menurut tafsiran populer, maksud dari wijhah dalam ayat ini
ialah kiblat sebagai arah shalat dan ibadah. Yakni, setiap umat
agama menyembah ke arah dan tempat tertentu. Umpamanya,
orang Yahudi menghadap ke arah Baitul Maqdis (Jerusalem),
orang Nasrani menghadap ke arah Mashriq (Nashiriah, tanah
kelahiran Isa Al-Masih as), dan orang Islam menghadap ke arah
Ka’bah.
Argumentasi tafsiran ini mengacu ayat sebelum dan sesudah
ayat di atas.(1) Kedua-duanya terfokus pada masalah kiblat dan
perubahannya dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Selain itu, sejauh
kesaksian pakar bahasa Arab seperti: Farra,(2) Raghib,(3) dan nama-
nama besar lainnya, wijhah diderivasi dari kata wajh atau jihah
yang artinya: maksud dan tujuan, bukan jalan dan metoda. Jadi,
tafsiran wijhah dengan kiblat sudah akurat secara etimologis.
Syaikh Thabarsi menisbatkan tafsiran ini kepada mayoritas
mufassir, sementara Fakhru Razi menilainya sebagai pendapat
para mufassir selain Hasan. Di antara generasi mufassir
terdahulu ialah Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, lalu generasi
p:143
setelahnya seperti: Thabarsi,(1) Thusi,(2) Baydhawi,(3) Maraghi,(4)
Zamakhsyari,(5) Alusi.(6) Termasuk di antara mereka sejumlah
mufassir kontemporer seperti: Allamah Thabathaba’i.(7) Mereka
semua mengemukakan pendapat itu di akhir ayat ini.
Para mufassir juga meneliti identitas mudhdf ilaih untuk
kata kull (semua) dan nomina yang direpresentasi oleh kata
ganti huwa (dia). Sebegitu teknisnya hingga tidak lagi relevan,
kiranya, untuk dibubuhkan di sini.(8)
Alhasil, ayat ini tidak bisa dijadikan landasan paham
kaum Pluralis, karena secara prinsipal memang ia tidak dalam
rangka menghimpun fokusnya pada isu perbedaan agama.
Sebagian kecil mufassir memahami maksud dari wijhah sebagai
syariat. Artinya, dalam ayat ini, Allah Swt berbicara tentang
perbedaan syariat. Hasan adalah salah seorang mufassir klasik
yang populer dengan tafsiran ini. Namun, dia menekankan bahwa
maksud dari perbedaan dan keragaman dalam syariat adalah
syariat secara terminologis, bukan apa yang identik dengan
p:144
agama. Dengan kata lain, hakikat agama hanya satu, tidak lebih.
Namun, format dan kerangkanya adalah syariat yang berbeda-
beda dan cenderung berkembang sepanjang perubahan kondisi
dan bangsa. Karena itu, penghapusan (naskh) syariat sebelumnya
merupakan asas yang benar dan masuk akal.(1)
Sebagian mufassir seperti: Faydh Kasyani,(2) mengemukakan
tafsiran ini di samping tafsiran sebelumnya. Hanya saja, para
penganut tafsiran ini berselisih pendapat tentang nomina dari
kata ganti huwa (dia). Sebagian mengidentifikasinya pada
kata kull (semua). Atau jelasnya, semua kaum memiliki syariat
dan jalan yang tengah ditempuhnya. Atas dasar ini, sekalipun
menunjukkan keberagaman agama, akan tetapi ayat ini tidak
membuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, ayat ini dalam
rangka memberikan informasi tentang keadaan masyarakat dan
umat: masing-masing memilih jalan untuk dirinya.
Sebagian lain beranggapan nomina dari kata ganti huwa
adalah Allah Swt. Artinya, setiap kaum memiliki jalan yang
diserukan Allah agar mereka bergerak menempuhnya. Pada
asumsi ini, terbetik sebuah pertanyaan: apakah maksud dari
wijhah berarti jalan apa pun (mutlak), entah benar maupun
salah, ataukah syariat dan ajaran yang benar?
p:145
Penisbatan petunjuk ke arah yang salah kepada Allah Swt
adalah irelevan dengan identitas kaum beriman, sekalipun mereka
itu Pluralis. Postulat bahwa Allah Swt menyeru masyarakat untuk me-
nempuh syariat yang benar merupakan sebuah prinsip yang diakui
Al-Qur’an dengan mengetengahkan syariat dan umat-umat ter-
dahulu sebagai fakta konkret. Adapun klaim bahwa prinsip
ini juga menguatkan kebenaran agama-agama yang lain, khususnya
Ahli Kitab, dan klaim menjadi seorang Masehi atau Yahudi
itu dianjurkan Tuhan, patut digarisbawahi bahwa klaim-klaim
seperti ini, pertama, derivasi dari penafsiran makna wijhah
sebagai syariat, namun jelas, ini bertentangan dengan makna
aslinya; dan dari status gramatikal Allah sebagai nomina dari
kata ganti huwa, sementara ini pun masih menyisakan polemik
serius. Kedua, tafsiran ini sendiri bertentangan dengan ayat-ayat
lain. Ayatsebelumnya'® bahkan, selain menegaskan kesesatan dan
kecelakaan Ahli Kitab, juga membongkar sikap mereka me-
nolak Islam lantaran mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, tidak
ada peluang lagi untuk menafsirkan ayat ini secara pluralistik.
Tafsiran ketiga merupakan tafsiran irfani yang sangat teliti dan
senyatanya sesuai dengan makna etimologis wijhah. Uraiannya,
maksud dari wijhah adalah arah dan tujuan. Sementara, ayat ini
menerangkan bahwa semua kaum dan manusia memiliki jalan
196 Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman
kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan
kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah [2]:137).
p:146
dan tujuan kesempurnaan dalam kehidupan dunia sesuai dengan
potensi dan kapasitas masing-masing. Tuhan mengarahkan
mereka kepada tujuan itu (dengan asumsi ‘Allah’ sebagai nomina
dari kata ganti huwa ‘dia’); atau kaum dan manusia sendiri
mengarah kepada tujuan itu (dengan asumsi kull ‘semua’ sebagai
nomina dari kata ganti huwa ‘dia’).
Ibnu Arabi pernah mengetengahkan tafsiran seperti ini.(1)
Detailnya akan diuraikan pada kesempatan lain.
Kesimpulannya, penafsiran kaum Pluralis terhadap ayat ini
hanya demi keuntungan mereka; sebuah rekayasa interpretasi
yang irelevan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. “Penakwilan”
makna ayat dengan interpretasi tersebut berpijak pada
pengabaian terhadap tiga tafsiran rasional dan populer di atas,
meski kemudian berkembang menjadi berbagai pandangan. Jika
interpretasi mereka lantas diterima sebagai hipotesis, absurditas
itu akan terus membayangi kaum Pluralis.
Ini penggalan selanjutnya dari ayat sebelumnya. Kaum Pluralis
mengajukannya sebagai bagian dari koleksi landasan teoretis
bagi kepentingan paham mereka. Menurut mereka, [penggalan]
ayat ini mengajak segenap manusia untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan dan menunaikan kebajikan untuk meraih kedekatan
diri pada Tuhan. Ajakan dan perlombaan ini akan dimengerti
dan berarti manakala semua manusia punya kondisi dan pelu-
ang yang sama dalam berkompetisi. Ketika itulah shirdath
mustaqim ‘jalan yang lurus’ dan keyakinan terhadap kebenaran
agama mereka akan menjadi kenyataan.
Dalam kompetisi pun, supaya berlangsung adil, semua
harus dalam kondisi yang sama. Tak ubahnya dengan
lomba lari: semua peserta harus berdiri di atas garis yang
sama; tidak boleh seorang pun lebih maju atau mundur
barang setapak. Oleh karena itu, ayat “Berlomba-lomba
dalam kebaikan’” dapat dipahami bahwa setiap agama Ilahi
merupakan jalan mencapai Tuhan.(1)
Di tempat lain, penulis ini mengklaim bahwa kebaikan
itu disebutkan sebagai sebuah syarat berlomba, dan ini ada
dalam segenap agama samawi seperti: Islam dan Yahudi.(2)
148
Jawaban atas interpretasi ini cukup jelas sekadar merujuk
uraian yang telah dikemukakan. Memang, Allah Swt telah
mengajak segenap manusia dunia; entah Ahli Kitab atau
selain mereka, agar memeluk Islam Nabi Muhammad Saw.
Ada puluhan bahkan ratusan ayat yang menegaskan ajakan
ini. Ajakan ini pula yang, pada hakikatnya, merupakan garis
start kompetisi. Dengan kata lain, syarat menjadi peserta
kompetisi adalah mencatatkan nama dalam daftar syariat
Islam. Tentunya, siapa saja yang namanya tidak tercatat dalam
daftar itu, sama sekali tidak masuk sebagai peserta kompetisi
sehingga tidak ada gunanya lagi menjelaskan syarat-syarat
yang adil atau tidak. Al-Qur’an menyebut orang-orang yang
tidak masuk dalam perlombaan ini, termasuk di antaranya
Ahli Kitab, sebagai orang kafir, fasik, arogan, dan penghuni
azab. Dengan demikian, kitab suci ini sejak awal menjelaskan
status mereka ‘sudah tertolak.
Dengan kata lain, ajakan ‘berlomba-lomba mengarah
ke peserta yang terlibat masuk dalam kompetisi, yaitu kaum
Muslimin. Ini yang justru didukung semua mufassir. Kalau
saja ajakan berlomba kebaikan itu bersifat umum hingga
mencakup Ahli Kitab, ini artinya setiap kaum punya jalan dan
syariat tersendiri, dan Tuhan menginginkan para mengikut
berbagai syariat agar mereka—kalaulah tidak tunduk pada
syariat sempurna dan terakhir Tuhan—seminimal apapun
komit pada jalan kebaikan dan kebajikan. Dalam rangka
ini, misalnya, Dia mengajak Ahli Kitab untuk komitmen
pada prinsip yang sama dalam agama-agama Ibrahimi, yaitu
Tauhid.(1) Allah senantiasa menyeru mereka kepada Islam
p:149
Nabi Muhammad Saw. Jika mereka tidak menerimanya,
Dia mendesak agar mereka, setidaknya, komit pada prinsip
Tauhid. Komitmen ini pada akhirnya akan berdampak pada
sikap menerima agama Nabi Saw.
Penjelasan ayat ini akan diuraikan dalam pembahasan
selanjutnya. Hanya yang patut disimpulkan di sini ialah
pertama, ajakan dalam ayat ini hanya berlaku khusus bagi kaum
Muslimin. Kedua, kalaupun dimaknai secara umum dan luas,
ayat ini semata-mata mengajak segenap manusia untuk berbuat
kebaikan, dan karena itulah di dalamnya tidak ada pesan apapun
yang mendukung kebenaran berbagai syariat.
Dalam kepercayaan kaum Pluralis, Al-Qur’'an mengungkapkan
shiréth mustaqim ‘jalan yang lurus’ dalam bentuk mutlak (umum)
dan nakirah (keadaan ‘suatu, indefinitif, abstrak, tak tertentu).(1)
Yakni, penggunaannya dalam bentuk nakirah menunjukkan
p:150
bahwa setiap nabi memiliki satu jalan yang lurus untuk dirinya
dan para pengikutnya sendiri. Dan dengan banyaknya nabi,
atau setidaknya para nabi yang memiliki syariat, terdapat bukan
lagi sekadar satu jalan yang lurus, tetapi jalan-jalan yang lurus.
Berikut ini sebagian ayat yang diklaim kaum Pluralis sebagai
referensi kepercayaan mereka ini:
Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.
Kaum Pluralis beranggapan bahwa ayat ini menerangkan Nabi
Islam Saw hanya bergerak di atas satu kerangka dan jalan yang
lurus. Dari ayat ini pula akan jelas bahwa kita tidak sedang
menjumpai satu jalan yang lurus tertentu dan sudah dikenal
seperti: agama Islam, tetapi di hadapan kita ada jalan-jalan yang
lurus dan benar. Argumentasi mereka, frasa shirath mustaqim
dirangkai dalam bentuk mutlak (apa pun) dan nakirah
(indefinitif: suatu); tanpa diawali artikel alif-lam (al) ma‘rifah dan
‘ahdiyyah sehingga frasa itu menjadi al-Shirath al-mustaqim dan
bermakna ‘jalan lurus yang khas, tertentu, dan sudah dikenal’,
yaitu syariat Nabi Muhammad Saw.
Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul; (yang
berada) di atas jalan yang lurus.
p:151
Serta Dia menyempurnakan nikmat-Nya atasmu_ dan
menuntunmu kepada jalan yang lurus.
Tidak berbeda dengan ayat sebelumnya, pesan dua ayat di atas
ini juga ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Demikian pula
poin argumentasi pluralistiknya diulang secara persis di sini.
Dan Dia (Allah) telah memberikan hidayah kepadanya di
atas jalan yang lurus.
Ayat ini berkaitan dengan Nabi Ibrahim as. Dengannya Allah
menyatakan bahwa Dia telah membimbing sang nabi di atas
jalan yang lurus.
Berbekal dengan ayat-ayat di atas tadi, Soroush lantas menu-
liskan:
Poin ini harus diterima dengan sepenuh jiwa, dan cara
pandang harus diubah: alih-alih melihat dunia sebagai
satu garis lurus dan ratusan garis yang melenceng dan
patah, justru semua itu harus dilihat sebagai kumpulan
dari garis-garis lurus yang akan menemukan irisan,
pararelisme, kesesuaian; bahkan hakikat telah melebur
dalam hakikat. Dan, bukankah maksud ini juga terungkap
dalam ajakan Al-Quran agar para nabi berada di atas jalan
yang lurus dalam artian: berada di atas satu dari jalan-jalan
yang benar, bukan sekadar satu jalan yang lurus(1)
p:152
Ini merupakan salah satu argumentasi lemah kaum Pluralis. Di
sini akan dikemukakan sebagian kecil dari aspek kelemahannya.
Persoalan mendasar interpretasi di atas adalah ketidakpedulian
terhadap makna Shirath mustaqim ‘jalan yang lurus’ dalam
perspektif Al-Quran. Menilik global beberapa penggunaan
frasa ini di sepanjang Al-Qur’an (sekitar 32 kali), tampak jelas
bahwa makna shiraéth mustaqim adalah substansi agama, yakni
kepasrahan diri di hadapan perintah Tuhan. Ini sebagaimana
sejumlah ayat telah mendeskripsikan pengenalan_ Ilahi
yang disertai penyembahan dan ibadah kepada Allah sebagai
Shirath mustagqim ‘jalan yang lurus.
Hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus
(QS. Yasin [36]: 62).
Dan sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu,
karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS. Ali-Imran [3]: 51).
Karena itu, dalam sebagian ayat Al-Qurn, kata shirath
‘jalan’ juga dinisbatkan kepada Allah Swt:
Jalan Allah yang kepunyaanNya segala apa yang ada dilangit
dan apa yang ada di bumi (QS. Al-Syura’ [42]: 53).
p:153
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum aku
tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka
dari jalan yang lurus (QS. Al-A‘raf [7]: 53).
Di sebagian ayat lainnya, jalan yang lurus digunakan dalam
makna hidayah sebagai lawan dari kesesatan.
Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), nis-
caya disesatkanNya, dan barangsiapa yang dikehendaki Al-
lah (untuk diberiNya petunjuk) niscaya Dia menjadikannya
berada di atas jalan yang lurus (QS. Al-An‘am [6]: 39).
Oleh karena itu, hakikat shiraath adalah penghambaan
kepada Allah dan komitmen pada agama samawi. Shirath
mustaqim ‘jalan yang lurus’ laksana cahaya; di dalamnya
manusia akan mencapai kedekatan diri pada Tuhan. Mengingat
hakikat cahaya hanyalah satu, shirét mustaqim juga hakikat
yang satu. Sebagaimana cahaya, di dalamnya tentu ada
kualitas kuat dan lemah. Hanya saja shirdt mustaqim Tuhan
sejak era pertama nabi berproses dan menyempurna dengan
perkembangan jaman, kesiapan para nabi serta umat mereka.
Unitas hakikat shiradt mustaqim ini dipahami dari
penggunaan frasa ini tidak dalam bentuk plural. Ini berbeda
dengan kata syari at, minhdj dan sabil yang justru digunakan
dalam bentuk plural. Akan tetapi, makna ambiguitas
(gradualitas: kebertingkatan) kesempurnaan shirat-shirat
terkandung dalam penggunaannya pada kebanyakan kondisi
p:154
dalam bentuk nakirah. Yakni, sekalipun hakikat shirat itu
satu, namun Shirath mustaqim yang diserukan Nabi Adam as
atau dituntun ke arahnya bukanlah Shirath mustaqim yang
diperkenalkan Nabi Muhammad Saw dan teguh di atasnya.
Pada intinya, semua Shirath ‘jalan’ itu tidak berposisi dia-
metris, tetapi serantai dalam garis vertikal.(1)
Ulasan-ulasan di atas menjelaskan bahwa Shirath mustaqim
‘jalan yang lurus’ tak ubahnya hakikat Islam: menampilkan
manifestasi khas pada setiap masa. Misalnya, kaum Yahudi ber-
gerak di atas jalan yang lurus sampai masa kemunculan Nabi
Isa as. Selanjutnya, kelangsungan lurusnya jalan mereka ber-
gantung pada penyerahan diri kepada syariat beliau. Jika tidak
menerima syariat ini, kaum Yahudi_ bukan saja kehilangan
jalan yang lurus, akan tetapi juga melangkah ke arah kekafiran,
karena Nabi Isa mengajak kaum Yahudi kepada jalan yang
lurus dan memperlihatkan hakikatnya sebagai prinsip Tauhid
dan ibadah pada Allah Swt.
Sesungguhnya Allah Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu
sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus. Maka tatkala Isa
mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia,
“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-
sahabat_ setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong
agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah
bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah
diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang
p:155
telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena
itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang
menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran [3]:
51-53).
Ayat ini juga menampilkan beberapa poin fundamental dan
krusial tentang hakikat Islam dan Shirath mustaqim ‘jalan yang
lurus’. Ayat ini tidak menerangkan hakikat jalan yang lurus se-
bagai semata-mata Tauhid, akan tetapi juga menyebutkan
pilarnya yang kedua, yaitu ibadah dan mengikuti Tuhan. Ini
seperti pengalaman kaum Yahudi: lantaran tidak beriman pada
Nabi Isa as, mereka kehilangan pilar kedua ini. Ayat ini mem-
perkenalkan mereka telah keluar_dari ruas shirdt mustaqim
‘jalan yang lurus’ dan menjadi kafir. Bagian kedua ayat ini
mengingatkan bahwa hakikat Islam dan menjadi Muslim ialah
mengimani kitab samawi dan mengikuti nabi masa sekarang.
Poin lainnya, definisi tersebut untuk jalan yang lurus tidak
khusus berlaku hanya pada masa Nabi Isa as. dan kaum Yahudi,
tetapi juga tetap valid dengan kemunculan Nabi Muhammad Saw.
Siapapun yang berpaling dari agama beliau, pada prinsipnya telah
keluar dari shirdt mustaqim ‘jalan yang lurus’ dan menjadi kafir.
Telah banyak ayat dikemukakan yang menunjukkan kekafiran
Ahli Kitab.
Tinjauan kritis kedua: katakan saja benar bahwa penggunaan frasa
shiréth mustaqim dalam bentuk nakirah (indefinitif) itu sudah
memadai sebagai argumen atas keragaman dan pluralitas
p:156
jalan. Maka dalam asumsi ini, penggunaannya dengan imbuhan
artikel definitif alif-lam (al) li al-ta‘rif aw li al-‘ahd justru
secara pasti menunjukkan satu dan tunggalnya jalan.
Tunjukilah kami al-shirat al-mustaqim ‘jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS. Al-Fatihah [1]: 6-7).
Dalam ayat ini, selain disebutkan dalam bentuk marifah
(definitif), frasa Shirath mustaqim juga dipersempit maknanya
oleh dua catatan (gayd) yang, menurut sejumlah riwayat, yaitu
kaum Yahudi dan kaum Nasrani, namun dengan tegas Al-Qur'an
menyatakan mereka itu telah keluar dari “jalan yang lurus”.
Poin berikutnya, ada ayat-ayat lain sebelum ini yang bisa
menafsirkan Shirath mustaqim. Di antaranya, sebagaimana telah
dijelaskan, kata al-islam dalam ayat “Sesungguhnya agama di sisi
Allah adalah Islam” disebutkan dalam bentuk definitif (ma‘rifah),
yakni dengan imbuhan alif-lam (al) sebagai artikel definitif.
Satu poin lain yang sangat teliti dan bernilai sastra tinggi
ialah tanwin yang ada pada akhir kata shirét (jalan) bukanlah
tanwin tankir (yaitu harakat tanwin yang mengandung makna
indefinitif), dan karenanya tidak bisa dipahami ihwal keragaman
jalan. Justru tanwin itu adalah tanwin tafkhim seperti: tanwin
shiraét dalam ayat:
p:157
Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus (QS. Hud [11]: 56).
Penggunaan kata Shirath dengan bentuk nakirah dalam
ayat ini tidak bermakna keragaman shiréth (jalan), tidak pula
berarti keberadaan Allah di atas satu dari jalan-jalan yang lurus.
Tanwin tafkhim itu digunakan dalam rangka mengungkapkan
keagungan nilai sebuah makna yang dikandung kata itu.(1)
Uraian sebelumnya juga menerangkan kerapuhan kaum Pluralis
berteguh pada ayat-ayat yang menjadi referensi paham mereka.
Lagi pula, penggunaan frasa Shirath mustaqim dengan bentuk
nakirah dalam perkataan para nabi terdahulu merupakan subjek
lain di luar fokus pembahasan. Subjek di sini sebenarnya tidak
berkaitan dengan keragaman dan pluralitas jalan pada masa pra-
Islam, tetapi berhubungan dengan masa Islam dan setelahnya.
Poin penting lainnya, maksud dari ayat yang menyatakan Nabi
Muhammad Saw berada di atas jalan yang lurus—kendati
kata ini disebutkan dalam bentuk nakirah—adalah ajaran
suci Islam. Argumentasinya, selain ayat-ayat yang lain, adalah
ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ketiga dari surah Yasin. (2)
p:158
Dalam ayat sebelumnya, pertama-tama, Allah bersumpah
dengan nama Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an adalah kitab Nabi
Muhammad Saw; kitab suci yang mengajak manusia, entah
Ahli Kitab atau selain mereka, kepada agama Islam. la juga
terang-terangan menyatakan kekafiran Ahli Kitab, belum
lagi mensifati status dirinya sebagai kitab muhaymin (yang
dominan dan berkuasa).Sementara dalam ayat setelahnya, Al-Qur'an
mengecam oknum pengingkar Islam dan menjanjikan
azab bagi mereka, karena mereka mengingkari kebenaran
agama Islam, sekalipun tahu demikian.
Di samping itu, sebagai pengemban amanah syariat
dan penempuh shirath mustagqim ‘jalan yang lurus, Nabi Saw
telah menerangkan dalam berbagai hadis jalan yang lurus
secara definitif, spesifik, dan eksklusif. Kiranya contoh
hadis di bawah ini dapat mencukupi pembahasan.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi Saw membuat
garis lurus seraya bersabda, “Inilah jalan hidayah.’ Setelah
itu, beliau membuat satu garis di sebelah kanan dan satu
garis di sebelah kiri seraya bersabda, “Inilah jalan-jalan yang
bengkok. Setan mengawalnya dan menyerukannya.” Lalu
beliau membacakan ayat ini?(1)
p:159
Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia (QS. Al-An‘am [6]: 153).
Setelah menyimak sebelum dan sesudah ayat Yasin itu,
berikut penafsiran langsung Nabi Saw terhadap jalan yang lurus,
maka sekadar berbentuk nakirah itu tidaklah cukup dijadikan
alasan untuk menafsirkan Shirath mustaqim sebagai jalan-
jalan yang lurus.
Di antara landasan Quranik kaum Pluralis, kemutlakan ayat-
ayat yang di dalamnya menjelaskan bahwa kriteria hidayah dan
keselamatan hanya sebatas tiga prinsip umum: iman pada Allah,
Hari Akhir, dan amal saleh.(1) Syarat lain seperti: komitmen pada
agama tertentu semisal Islam, sama sekali tidak dianggap. Jelas,
kalau memang syarat lain ini dianggap sebagai nilai, pasti dan
harus disinggung dalam ayat-ayat itu. Kalau tidak, ini artinya
pembodohan yang tidak mungkin dilakukan Allah Sang Pencipta
Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Jadi, para pengikut agama yang berbeda-beda itu termasuk
orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keselamatan selama
memegang tiga prinsip tadi. Berikut ini beberapa beberapa
referensi Al-Qur'an yang dilibatkan untuk menguatkan tafsiran
pluralistik ini:
p:160
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di
antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari
Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 62).
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan
diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya
pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 2).
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! Marilah (berpegang) pada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami
dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak
kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan
selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran [3]: 64).
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
taqwa di antara kamu (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-
p:161
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa
(QS. Al-Baqarah [2]: 177).
Ayat-ayat ini menjadi fokus khusus Bahauddin Khuramsyahi.
Dalam salah satu karyanya, dia menilai Ali Imran [3]: 64 berkaitan
dengan Teologi Universal (Elohiyyot-e Jahoni), sebelum akhirnya
dirumuskan dalam bentuk deklarasi dan satu pasal:
Ruh dan substansi agama serta iman dapat diringkas dalam
satu kata.(1)
Meski begitu, dalam makalahnya, dia mengakui naskh
‘pengapusan ajaran terdahulu’ sebagai prinsip Islam yang mutlak
benar. Secara singkat, dia menjelaskan tujuan ayat demikian:
Dakwah kepada ajaran yang paling minimal (hadd-e aqalli)
merupakan pandangan Islam dan kaum Muslimin dahulu
dan sekarang.(2)
Pada saat yang sama, Khuramsyahi dalam kesempatan
lain menyatakan penolakannya terhadap prinsip naskh. Untuk
p:162
itu, dia menafsirkan ayat tersebut sebagai seruan kepada kadar
maksimal (hadd-e aktsari), yakni keselamatan dalam setiap
agama. Ini dikukuhkan dalam tulisannya mengenai uraian ayat
di atas dan Al-Hujurat [49]: 12.
Allah tidak mengakui kepercayaan pada agama tertentu
atau mazhab tertentu sebagai kriteria kedekatan diri
dengan-Nya. Tetapi kepada segenap kaum dan ras
manusia, Dia menyatakan bahwa kriteria keselamatan dan
dan kedekatan diri dengan-Nya adalah amal saleh, yakni
ketakwaan. Di sini harus ditegaskan bahwa Allah mengakui
Tauhid dan keimanan, namun ini tidak disinggung.(1)
Berikutnya, Khuramsyahi berkesimpulan dari dua ayat di
atas dan beberapa ayat lain demikian:
Ada konklusi dari pertambahan kandungan Ali Imran [3]:64,
Al-Hujurat [49]: 12, dan beberapa ayat lain yang berkaitan
dengan berbagai etnis Ahli Kitab. Yaitu, kalau memang
kita mencari hukum Al-Qur’an tentang Teologi Universal
(Elohiyyot-e Jahoni) dan dapat diterima seluruh orang-orang
beriman, kita akan sampai keimanan (tauhid) dan amal
saleh.
Melalui premis oposisif dapat ditanyakan: apakah orang
yang tulus, penganut Tauhid, dan pengamal saleh
sepanjang umurnya, entah agama apa yang dianutnya,
tidak akan selamat(2)
p:163
Mahmud Bina juga meyakini agama-agama yang beragam
punya kesamaan dalam tiga prinsip, yaitu Tauhid, Kenabian,
dan Hari Akhir. Dengan cara ini dia menyatakan Pluralisme.
Adapun pembuktian klaimnya bersandar pada ayat-ayat
yang di dalamnya terdapat sanjungan untuk Ahli Kitab.(1)
Selengkapnya akan dibahas di akhir argumentasi berikut.
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (di
antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari
Akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, tidak
pula mereka bersedih hati.
Ayat ini dapat dianalisis sepanjang beberapa poin berikut yang
menerangkan kerapuhan klaim dan argumentasi kaum Pluralis.
Telah diingatkan bahwa untuk memahami maksud sebuah
teks (perkataan), perlu kiranya mencermati masa, audiensi,
dan motif pembicara. Sayangnya, kaum Pluralis menafsirkan
ayat ini tanpa memperhatikan sekian variabel ini. Yang mereka
pedulikan sekedar terjemahan harfah ayat, itu pun secara benar-
benar kurang dan sporadis.
p:164
Makna dan maksud utama ayat di atas dapat digali dengan
mencermati sebab turunnya (sabab al-nuzil). Diriwayatkan
bahwa dulunya, Salman Farisi beragama Zoroaster, lalu
bersama anak seorang hakim memeluk agama Nasrani di
tangan seorang pendeta. Kepada Salman, pendeta menjelaskan
sifat dan keutamaan Nabi Muhammad Saw yang akan muncul.
Mendengar kemunculan beliau di Mekkah—sebagai salah satu
ciri khas nabi yang dijanjikan, ia hendak menyelidiki hingga
pergi ke kota itu. Seketika menjumpai kenyataan apa yang
telah dijelaskan pendeta, Salman memutuskan masuk Islam.
Salman bertanya kepada Nabi Saw tentang keadaan pendeta
yang telah meninggal. Sebagian sahabat beliau mengatakan
bahwa dia kafir. Lalu turunlah ayat di atas.(1)
Dengan demikian, ayat ini menjelaskan keimanan Ahli
Kitab yang, sebelum kemunculan Islam, telah mengimani tiga
prinsip lalu meninggal dunia. Jadi, tidak ada kaitan ayat ini
dengan kebenaran agama-agama yang lain. Sebagian mufassir
seperti: Alusi(2) dan Sayyid Qutub,(3) menafsirkan ayat dengan
interpretasi ini, sementara Fakhru Razi menisbatkannya
kepada Ibnu abbas.(4)
p:165
Ayat ini dapat dipahami sebagai upaya meluruskan kesalahpahaman
bahwa kriteria hidayah dan masuk surga cukup dengan modal
nama ‘Yahudi, ‘Kristen’ dan nama lain dari agama Allah. Ini
yang justru dialami kaum Yahudi dan Nasrani sendiri. Ayat ini
hendak menerangkan bahwa kriteria hidayah dan kedekatan diri
pada Allah adalah tiga prinsip tersebut tadi. Adapun bagaimana,
dalam agama apa, dan pada syariat yang mana tiga prinsip itu
terwujud, ayat ini tidak membicarakannya.
Dengan kata lain, ayat ini turun dalam rangka menjelaskan
tiga prinsip umum kedekatan diri dengan Tuhan dan
keselamatan. Sedangkan apa saja ciri khas dan konsekuensi
keimanan pada Allah Swt dan amal saleh: apakah keimanan ini
akan berdampak kepercayaan pada semua para nabi, termasuk
pada Nabi Muhammad Saw atau tidak?, ayat tidak menjelaskan
rincian poin-poinnya, tetapi dilimpahkan ke ayat yang lain.
Allamah Thabathaba'i termasuk mufassir yang mendukung
tafsiran ini. Untuk menguatkan klaimnya—yaitu maksud dari
orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Sabiin di permulaan
ayat bukan sekedar nama-nama ini—ia membubuhkan catatan
bahwa klausa “man dmana bi-Allah’” (siapa saja yang benar-benar
beriman kepada Allah) mengandung sebuah kata ganti ketiga
hum (min-hum: di antara mereka) yang mahdzif (dibuang), dan
sebenarnya kembali pada unsur “alladzina” (orang-orang yang)
yang berada di awal ayat, sehingga tampak jelas perbedaan dua
macam dari orang-orang yang beriman.(1)
p:166
Sebagian percaya bahwa kriteria hidayah dan keselamatan adalah
tiga prinsip itu; salah satunya, iman kepada Allah. Kalau saja Ahli
Kitab yang beriman kepada Allah, pasti tergolong sebagai orang-
orang yang selamat. Hanya saja, inti persoalan di sini terletak
pada pewujudan iman hakiki mereka kepada Allah. Sebab,
iman hakiki ialah penyerahan diri di bawah perintah Allah dan
kitab suci-Nya. Mengingat Taurat dan Injil telah memberitakan
kemunculan Nabi Muhammad Saw dan memerintahkan para
pengikutnya (Yahudi dan Nasrani) agar mengikuti ajaran beliau,
mereka akan menjadi Ahli Kitab yang sesungguhnya beriman
selama mengikuti perintah dua kitab suci itu. Kalau tidak,
mereka tidak bisa mengklaim diri teguh sebagai kaum beriman
kepada Allah namun, pada saat yang sama, tidak mengikuti
perintah-Nya.
Sekian banyak ayat merupakan argumen yang menafikan
iman hakiki Ahli Kitab, kalau bukan malah mengkafirkan
mereka. Contoh, bagian akhir dari ayat ini menghukumi kafir
orang-orang yang mengimani sebagian nabi namun mengingkari
sebagian nabi yang lain seperti: Nabi Muhammad Saw. Tidak
sampai di situ, ayat juga memberitakan azab yang pedih telah
dipersiapkan untuk orang-orang seperti itu:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-
rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan,
“Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap
sebagian (yang lain)’, serta bermaksud mengambil jalan
p:167
(tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Mereka
itulah orang-orang kafir yang sesungguhnya, dan Kami telah
menyiapkan untuk orang-orang kafir azab yang pedih (QS.
Al-Nisa’ [4]: 150-151).(1)
Atas dasar tafsiran ini, iman kepada Allah memiliki makna
umum yang mencakup iman kepada para nabi, termasuk Nabi
Muhammad Saw. Tafsiran ini juga diterima mayoritas mufassir
seperti: Zamakhsyari,(2) Maraghi (3), Syaukani. (4)
Menurut sebagian pakar, kriteria ketiga keselamatan adalah amal
saleh. Tidak sebagaimana pemahaman umum, amal saleh di sini
memiliki makna keagamaan yang khas. Yakni, faktor penyebab
kesuksesan dan keselamatan manusia adalah perbuatan baik
yang diridhai Allah.
Atas dasar ini, selain beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
para pengikut berbagai agama juga harus beramal saleh. Hanya
saja, Al-Qur'an memaknai amal saleh sebagai perbuatan yang
sesuai dengan tolok ukur agama dan nabi yang ada pada masanya.
Sebab dalam beberapa kesempatan, Al-Qur’an mengidentifikasi
Ahli Kitab sebagai kaum_ kafir dan mengandaikan perbuatan
mereka tak ubahnya fatamorgana,(5) kegelapan di kedalaman
p:168
samudera,(1) dan segumpalan debu di depan badai.(2) Karena
itu, tidak bisa diklaim bahwa perbuatan mereka itu baik lantas
masuk dalam kategori penapak jalan yang lurus.
Dalam rangka mendukung klaimnya, sebagian pakar
menambahkan bukti,(3) yaitu tidak adanya pengulangan kata
penghubung waw (dan) sebelum “man dmana’ (siapa saja yang
benar-benar beriman). Darinya mereka lalu menyimpulkan
bahwa kriteria kebahagiaan terletak pada prinsip umum: iman
kepada Allah, Hari Akhir, dan amal saleh, tanpa lagi menganggap
penting agama dan ajaran apa yang dianut. Namun, setiap
prinsip ini seperti: amal saleh, akan terwujud dengan format
khasnya pada setiap masa. Pada masa Nabi Isa as, amal saleh
direpresentasi dengan mengikutinya, dan pada masa Islam,
dengan mengikuti Nabi Muhammad Saw. Sudah tentu, Ahli
Kitab yang enggan menerima Islam sebenarnya telah merusak
prinsip ketiga; mereka tidak tergolong “orang yang beramal
saleh’, apalagi untuk dinyatakan kebenaran agama mereka.
Sekian tafsiran dan poin di atas sudah cukup menjelaskan
maksud ayat ini. Hanya saja, sebuah pola penafsiran yang sangat
penting dan fundamental tak lagi menyisakan keraguan, yaitu
penafsiran ayat melalui ayat lain.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang mengkategorikan
Ahli Kitab sebagai kafir. Lantaran tidak menerima Islam,
p:169
mereka menjadi sasaran ancaman azab akhirat. Al-Qur’an
menegaskan bahwa dengan menerima Islam, mereka berada
di jalan hidayah. Begitu juga beberapa ayat sebelum Al-Maidah
[5]: 68 mengenalkan Al-Qur’an sebagai muhaymin (dominan
dan berkuasa),(1) dan memeriksa penolakan Ahli Kitab terhadap
Islam hanya karena mengikuti hawa nafsu.(2) Masih menurut
ayat-ayat itu, syarat masuk surga dan pengampunan dosa mereka
adalah iman kepada Islam.(3)
Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas, ayat di atas sudah di-naskh
oleh ayat “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, tidak
akan diterima amal perbuatan darinya” (QS. Ali Imran [3]: 85).
Di sini, kemungkinan besar maksud dari naskh ayat bukanlah
naskh terminologis yang umum berlaku di kalangan mufassir,
melainkan sebentuk penafsiran dan dominasi ayat terakhir
atas ayat di atas dan ayat-ayat lainnya.
Tentu saja, semua tafsiran yang kredibel dan sesuai makna jelas
teks ayat ini tidak lagi menyisihkan peluang memperlakukan ayat
di atas sebagai argumen atas Pluralisme. Apakah untuk membela
paham ini, semua tafsiran itu harus dibuang, sekalipun harus
berdampak inkonsistensi ayat di atas dengan ayat-ayat yang lain?!
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan
diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya
pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
p:170
Ulasan sebelum ini telah memadai untuk menerangkan
kelemahan argumentasi kaum Pluralis di balik ayat ini. Berikut
ini beberapa aspeknya akan diuraikan secara singkat.
Dalam ayat sebelumnya(1) diungkapkan bahwa pengikut Yahudi
dan Nasrani mengklaim diri mereka akan masuk surga dengan
dalil: sekadar adanya status keyahudian dan kenasranian. Dalam
menyanggah klaim dan dalil itu, ayat ini menyebutkan klausa “wa
huwa muhsin” (sedang ia berbuat kebajikan) sebagai syarat dan
kriteria umum untuk memperoleh pahala dari Allah Swt, yaitu
Islam hakiki dan amal saleh. Seperti dalam ayat sebelumnya,
Allamah Thabathabai juga memiliki penafsiran demikian.(2)
Ayat ini menyebutkan penyerahan diri pada Allah Swt,
“Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah”, sebagai
kriteria keselamatan. Di beberapa halaman sebelumnya telah
jelas bahwa pada setiap masa dan jaman, penyerahan diri dan
Islam hakiki memiliki manifestasi dan wujud tertentu. Pada
masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, manifestasi dan wujud
Islam hakiki itu adalah ketaatan dan penyerahan diri kepada
agama dan syariat suci beliau, yakni Islam.
p:171
Dalam ayat-ayat sebelumnya telah ditegaskan bahwa Ahli Kitab
adalah kafir.(1) Jikalah beriman, mereka akan memperoleh pahala
Allah Swt (QS. Al-Baqarah [2]: 103-105).(2) Ayat setelahnya juga
menjelaskan bahwa mereka dikecam lantaran menyembunyikan
dan mengingkari agama Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 120).(3)
Ini belum lagi sekian puluh bahkan ratusan ayat lain yang
memberikan sebaik-baiknya penjelasan terhadap ayat ini.
Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah
kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-
orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Dalam analisis ayat ini, ada beberapa poin yang perlu dikemukakan.
p:172
Ada berbagai argumen dan indikasi bahwa ayat ini mengajak
Ahli Kitab kepada prinsip yang sama, yaitu tauhid. Salah satu
argumen itu terdapat dalam prosedur penurunannya.
Berkenaan dengan sebab-turunnya ayat ini, telah dinukil
bahwa pengikut Nasrani Najran pada masa Nabi Saw menolak
agama Islam dengan membawakan berbagai macam alasan.
Bahkan mereka berdebat dengan beliau dalam masalah
Islam dan masalah lain seperti: pribadi Nabi Isa Al-Masih as.
Perbuatan mereka ini tidak menghasilkan selain keras kepala
dan penentangan mereka.
Sebelum ayat ini, Allah Swt telah mengajak kaum Nasrani
untuk melakukan mubdéhalah (saling meminta azab Allah bagi
pihak penentang kebenaran). Pertama-tama, mereka menerima
ajakan ber-mubdhalah. Namun, setelah menyaksikan bukti-
bukti atas kebenaran Islam dan indikasi kekalahan mereka
dalam mubdhalah, mereka menarik diri dan, pada akhirnya,
siap membayar jizyah serta menerima kedaulatan pemerintahan
Islam atas nasib hidup mereka.
Tepat setelah peristiwa itu, yakni keengganan kaum Nasrani
dari ber-mubéhalahdan mengantikannyadengan jizyah, turunlah
ayat ini: “Hai Ahli Kitab! Kalian telah menolak kebenaran yang
murni dan mutlak, yaitu tauhid dan kenabian Muhammad Saw.
Setidaknya, peganglah kuat prinsip pertama, yaitu tauhid, dan
janganlah menyelewengkan agama kalian!”
Kandungan ayat ini mengenai tauhid sebagai seruan minimal
sudah sangat transparan dan tak terbantahkan. Justru inilah yang
juga diakui kaum Pluralis. Sebagian mereka menulis:
p:173
Dalam pandangan Islam dan Muslimin, yang dulu maupun
yang sekarang, ayat ini semacam seruan kepada kadar
minimal (hadd-e aqalli).(1)
Ada ayat-ayat lain dari Al-Qur’an yang juga menegaskan
penafsiran di atas. Di sini, hanya akan disinggung ayat-ayat
sebelum dan sesudah ayat ini. Dengannya dapat memperjelas
bahwa dalam penafsiran ayat, harus memperhatikan ayat
sebelum dan setelahnya.
Sebelum ayat ini, Allah Swt melalui Nabi Isa as mengecam (2)
kaum Yahudi karena enggan menerima agama yang _ benar.
Sementara dalam ayat setelahnya, Allah Swt mengecam seraya
menjanjikan azab yang pedih kepada Ahli Kitab yang hidup di
masa fajar Islam, karena mereka telah mengingkari Islam dengan
penuh kesadaran akan kebenaran Islam, menyembunyikan
kebenaran, dan memutarbalikkan fakta. (3)
Jelas, kalau saja agama Ahli Kitab itu diteguhkan kebenarannya
secara penuh hingga sederajat dengan nilai kebenaran Islam,
tentu ayat-ayat di atas akan kehilangan artinya, sama sekali.
Memang, ayat ini salah satu ayat yang panjang dan sangatlah
penting: mengajak kaum Muslimin untuk berdialog dan
mencapai kesepahaman dengan Ahli Kitab. Seperti juga ayat-
p:174
ayat lain, ayat ini mengajak kaum Muslimin untuk berbuat
baik(1) kepada mereka sejauh tidak bermaksud melakukan
makar dan perang terhadap kedaulatan Islam. Pada titik inilah
ayat mengandung pesan Pluralisme Sosial atau toleransi.
Kendati demikian, ada sekelompok orang mengklaim bahwa
selain saling memahami dan hidup damai yang dibangun di atas
kesamaan prinsip tauhid, karakter agama, dan ketuhanan, ayat
ini juga menunjukkan adanya kebenaran agama-agama lain
yang sejajar sama dengan Islam: yakni Pluralisme Agama. Maka
harus ditekankan, bukan sekadar tidak ada indikasi ke arah
model Pluralisme ini, tetapi ayat ini juga—dengan mengacu
sebab-turunnya dan ayat-ayat sebelum serta sesudahnya—
justru menunjukkan sebaliknya. Yakni jalan yang lurus adalah
eksklusivisme Islam. Jadi, tampak jelas sekali kerancuan dan
kekacauan kaum Pluralis dalam mengidentifikasi dan memilah-
milah: mana Pluralisme Agama dan mana Pluralisme Sosial yang
sejatinya disimpulkan dari ayat.
Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Maha Mengenal.
p:175
Pada dasarnya, uraian sebelum ini menerangkan bukan hanya
segi-segi kelemahan interpretasi kaum Pluralis, tetapi juga
menafikan hubungan logis interpretasi itu sendiri dengan
penggalan ayat “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah adalah orang yang paling bertakwa di antara
kamu”. Ada dua argumen atas penafian ini:
Ayat ini mengungkapkan sebuah pesan moral dan kemanusiaan
kepada Muslimin. Sebagaimana tentang sebab-turunnya ayat
ini telah dicapat kesepakatan bahwa di era awal Islam, sebagian
Muslimin berbangga diri dengan berbagai alasan seperti: warna
kulit, kekayaan, kemerdekaan versus perbudakan. Nabi Saw
memerintahkan Muslimin agar membuang karakter buruk
seperti ini. Dan, ayat ini turun dalam rangka menegaskan pesan
tersebut. Jadi, jelas sekali bila ayat ini sama sekali tidak punya
hubungan dengan masalah agama-agama, apalagi menegaskan
kebenaran semua agama.
Adapun seruan dalam ayat itu diungkapkan dalam bentuk
umum (“Wahai manusia!”), karena memang sifat keumuman
pesan di atas, yaitu kesamarataan segenap manusia dari sisi
penciptaan dan larangan berbangga diri. Di samping itu,
koherensi seruan “Wahai manusia!” dengan frasa setelahnya,
yakni “dari laki-laki dan perempuan’, tampak jelas sekali.
p:176
Ayat menyebutkan standar kemuliaan adalah takwa yang
derajatnya lebih tinggi dari Islam dan iman. Telah dikatakan
bahwa hakikat Islam dan iman adalah penyerahan diri kepada
Allah Swt, termasuk juga kepada utusan-Nya yang terakhir.
Takwa dan orang bertakwa jauh lebih tinggi derajatnya dari dua
kategori ini. Al-Quran sendiri di awal Al-Baqarah menyebutkan
bahwa salah satu sifat orang-orang bertakwa adalah iman kepada
Nabi Muhammad Saw dan Al-Qur’an.
Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu (QS. Al-Baqarah [2]: 4).
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, dan
Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.
Ayat ini tidak memadai untuk diajukan sebagai argumentasi
pendukung Pluralisme, karena fokus ayat ini adalah perbedaan
Ahli Kitab dengan Muslimin mengenai kiblat-nya Muslimin.
Ahli Kitab meragukan dan mengkritik ibadah Muslimin yang
menghadap kiblat pertama, yaitu Baitul Maqdis. Menanggapi
sikap mereka itu, ayat ini diturunkan dan menerangkan:
Pertama, kiblat itu penting sebagai simbol; bukan elemen
dari hakikat ibadah dan kebaikan.
p:177
Kedua, iman kepada semua para nabi (dari Nabi Adam as
sampai Nabi Muhammad Saw) sebagai kriteria kebaikan yang
senyatanya tidak dijumpai pada Ahli Kitab. Jadi, ayat ini jelas di
luar konteks wacana Pluralisme Agama.
Referensi lain kaum Pluralis dari Al-Qur’an ialah ayat-ayat yang
secara lahiriah menyanjung Ahli Kitab, dan terkadang mensifati
mereka sebagai mukmin sejati, ahli ibadah, ahli surga, dan jauh
dari azab Allah.
Menurut ayat-ayat yang telah lalu, tauhid dan amal_ saleh
merupakan kriteria hidayah. Mengingat Ahli Kitab memiliki dua
kriteria ini, mereka juga secara tak langsung termasuk sebagai
pemilik hidayah. Dalam beberapa ayat, hal ini juga dijelaskan
secara tegas. Namun, ada ayat-ayat lain yang menerangkan secara
khusus Ahli Kitab sebagai kaum beriman, penghuni surga, dan
selamat dari neraka. Dari totalitas ayat-ayat ini, dapat dipahami
bahwa agama mereka juga merupakan agama yang benar. Kalau
tidak demikian, maka semua predikat itu tidak ada artinya bagi
mereka. Berikut ini beberapa ayat itu:
Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada
golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat
Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang
mereka juga bersujud (beribadah). Mereka beriman kepada
Allah dan Hari Penghabisan, mereka menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada
p:178
(mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-
orang yang saleh (QS. Ali Imran [3]: 113-114).
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman
kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu
dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah
hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah
dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya
(QS. Ali Imran [3]: 199).
Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum)
Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka
dari Tuhan-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari
atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan
yang pertengahan (QS. Al-Maidah [5]: 66).
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannyaterhadaporang-orang yang beriman ialahorang-
orang Yahudidanorang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu
dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang
yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya
kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena
di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-
pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka
tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan
apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat
mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran
(Al-Qur‘an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka
sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman,
maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi
p:179
(atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad Saw).
Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada
kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin
agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-
orang yang saleh?” (QS. Al-Maidah [5]: 82-84).
Seraya merujuk dua ayat pertama, Bahauddin Khuramsyahi
menulis:
Al-Qur’an mengakui sah dua agama ini, yang berada di atas
prinsip tauhid, Ilahi, dan Ibrahimi, dengan bentuk dan
kerangka suci pertama (dasar) mereka.(1)
Dia juga, dengan menyinggung dua ayat terakhir di atas (Al-
Maidah [5]: 62 82-83) menyatakan:
Jika, menurut Al-Qur’an, agama Nasrani telah dihapus dan
dinafikan, padahal lembaran keberadaanya sudah tampak
dalam cahaya, lantas apakah mungkin ayat-ayat seperti ini
ada dalam Al-Qur'an? ... Coba perhatikan, sesuai keterangan
Al-Qur’an, bahwa ada kelompok yang selamat di antara para
bapa rahib dan pendeta.(2)
Al-Qur'an dengan jelas menyebutkan mereka sebagai ummah
mugqtashidah ‘golongan pertengahan’ dan ummah qd’imah
‘golongan yang lurus.(3)
p:180
Bina Mahmud juga bersandar pada ayat terakhir (Al-Maidah
[5]: 82-83) dan mengatakan:
Tatkala Al-Qur’an turun kepada Baginda Nabi Saw, sejumlah
pendeta masa itu mencucurkan air mata saat Al-Qur'an
dibacakan, lalu mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami sebagai penyaksi!” Maka Allah berfirman,
“Kami akan memberikan pahala kebaikan kalian ini. Ini
artinya mereka diterima oleh Allah Swt, dan di dalamnya
tidak disinggung ihwal menjadi Muslim. Ini adalah sebuah
keteladanan bagi kita: dalam cara bersikap dengan agama-
agama dalam Al-Qur'an. Jika seorang Muslim juga membaca
Bahahut Ghita dan, pada saat itu, berkata, “Tuhanku! Ini
juga berasal dari-Mu. Maka, jadikanlah kami bersama
para penyaksi’, maka tidak ada keharusan baginya untuk
membuang Islamnya.(1)
Ayat-ayat di atas tadi termasuk referensi yang sangat lemah
dari kaum Pluralis. Yang paling prinsipal adalah ketakpedulian
mereka terhadap kandungan ayat-ayat itu, begitu juga terhadap
ayat sebelum dan sesudahnya. Beberapa poin dan tafsiran para
mufassir berikut ini kiranya dapat memberikan lebih banyak lagi
kejelasan segi kelemahan mereka:
p:181
Berdasarkan sekian banyak ayat Al-Qur’an, Taurat, dan Injil, Ahli
Kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani) telah diberi berita tentang
kedatangan Nabi Muhammad Saw. Mereka juga mengetahui
dengan baik ciri-ciri umum beliau. Dengan kemunculan Nabi
Saw di Mekkah, Ahli Kitab dan, khususnya, para pemuka mereka
telah mengetahui secara sempurna tanda-tanda dan kriter-
iakriteria agamanya tentang kemunculan nabi yang dijanjikan,
dan ternyata itu sesuai dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam
bahasa Al-Qur’an, mereka mengenal kenabian Nabi Islam Saw
seperti mengenal anak-anak mereka sendiri.
Meski demikian, mayoritas Ahli Kitab khususnya Yahudi
bersepakat, alih-alih beriman dan percaya pada Islam, mereka
memilih untuk menentang bahkan memerangi Islam. Atas
dasar ini, ada banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan status mereka:
“Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik, “Kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang zalim, dan “Kebanyakan dari
mereka adalah orang-orang kafir’ Namun, di antara mereka, ada
juga manusia-manusia yang bernaluri bersih: mengimani agama
Nabi Muhammad Saw manakala mendengar ayat Al-Qur’an,
menyaksikan mukjizat Islam dan kesesuaian tanda-tanda seorang
nabi yang dijanjikan dengan sosok Nabi Saw. Mereka ini termasuk
sebagai kaum mukmin dan manusia-manusia tulus, sedemikian
rupa hingga menjadi ahli ibadah malam dan pencapai derajat
tinggi spiritualitas. Riwayat-riwayat juga menguatkan keadaan
mereka ini.(1)
p:182
Kesimpulan ini sepenuhnya diafirmasi peristiwa turunnya
beberapa ayat yang dibawakan oleh para mufassir generasi
pertama seperti: Ibnu Abbas.(1)
Mengenai turunnya ayat-ayat itu, para ahli tafsir memiliki
pandangan yang sama, bahwa ayat-ayat itu turun berkaitan
dengan masuk Islamnya sebagian Ahli Kitab seperti: Abdullah
bin Salam, atau Najjasi penguasa negeri Habasyah dan para
utusannya. Kendati para pemeluk Islam ini dituduh kafir dan
bejat oleh kalangan pendeta senior, Al-Qur’an tetap mengakui
keimanan mereka, menjanjikan mereka surga dan pahala, serta
menyebut mereka sebagai ummah mugtashidah, ummah qa@imah,
dan orang-orang beriman di antara Ahli Kitab.
Boleh jadi masih ada kemungkinan isyarat yang mengarah
Pluralisme. Akan tetapi, selain sebab penurunannya, ayat-ayat
itu sendiri, ayat sebelum dan setelahnya juga membuktikan
kebenaran kesimpulandiatas, sebagaimana yang akan disinggung
berikut ini.
Dalam ayat pertama (Ali Imran [3]: 113-115), ada dua ayat
sebelumnya yang mengangkat Islam sebagai sebaik-baiknya
agama dan umat, juga menegaskan bahwa jika Ahli Kitab
beriman, itu akan sangat baik bagi mereka sendiri, hanya saja
orang yang beriman dari mereka itu sangatlah sedikit. Al-Qur'an
demikian mengungkapkan, “Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia ... Sekiranya Ahli Kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka.”
p:183
Ayat kedua (Ali Imran [3]: 199) menjelaskan bahwa orang-
orang beriman dari Ahli Kitab, selain mengimani Allah Swt, juga
mengimani kitab suci kaum Muslimin, yakni Al-Qur’an, “Dan
apa yang telah diturunkan kepada kalian.”
Ayat ketiga (Al-Maidah [5]: 66) yang di dalamnya,
kata sambung law (sekiranya) dan dua kata kerja lampau
(aqga@mu dan la-akalu) digunakan, juga menerangkan
peristiwa masa lalu. Yakni, jika mereka melakukan
demikian, pasti terjadi demikian. Dan makakala itu
juga berlaku pada masa Islam, harus dikatakan bahwa
menjalankan Taurat dan Injil yaitu menjaga prinsip-
prinsip dan melaksanakan hukum serta ajaran yang
sempurna dan tak terhapus (ghair manstkh), bukan
mengamalkan sebagian dan meninggalkan yang lain.
Mengingat kemunculan Islam dan pengambilan janji
setia dari para nabi serta kitab-kitab samawi terdahulu
itu, menurut Al-Qur’an, adalah bagian dari rukun serta
prinsip penting syariat sebelumnya, maka menjalankan
Taurat dan injil dengan mengabaikan Al-Qur’an bukan
saja tidak mengamalkan dua kitab suci ini, tetapi justru
merusak kedua-duanya, sekaligus.(1)
Di samping itu, ayat sebelumnya menyatakan turunnya
Al-Qur'an sebagai dampak dari kezaliman dan kekufuran kaum
Yahudi, juga menegaskan bahwa pengampunan dosa Ahli Kitab
dan masuknya mereka ke surga hanya terjadi dengan beriman kepada Islam.
p:184
Jika saja Ahli Kitab beriman dan bertakwa, maka Kami akan
menghapuskan_ kesalahan-kesalahan mereka dan Kami
akan masukkan mereka ke dalam surga yang penuh dengan
nikmat.
Adapun tentang ayat keempat (Al-Maidah [5]: 82-83),
kaum Pluralis sengaja teledor: tidak mengamati ayat sebelum
dan setelahnya, padahal di dalamnya banyak argumentasi atas
kesimpulan kami, yaitu:
Pertama, dalam kapasitas maknanya yang _jelas-tegas,
ayat ini dalam rangka menilai tingkat permusuhan Yahudi dan
Nasrani terhadap Islam. Permulaan ayat, yang ternyata diabaikan
begitu saja oleh kaum Pluralis, menyebut kaum Yahudi dan
musyrikin sebagai musuh yang paling keras terhadap Muslimin,
kemudian mensifati kaum Nasrani sebagai orang-orang yang
dekat kecintaan mereka pada Muslimin. Jadi, ayat ini hendak
mengidentifikasi faktor perbedaan kaum Yahudi dan kaum
Nasrani: yang pertama didominasi karakter arogansi; yang kedua
didominasi karakter kerendahan diri para pendetanya. Karena
itu, pada masa awal Islam, sambutan kaum Nasrani lebih hangat
ketimbang reaksi kaum Yahudi dan Musyrikin.(1)
Kedua, ayat sesudahnya mula-mula mensifati para pendeta
Nasrani dengan kerendahan hati dan tidak menyombongkan
diri, lalu mengangkat sifat-sifat ini sebagai kondisi konstruktif
untuk menerima Islam:
p:185
Ketika para pendeta mendengar Al-Qur’an yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw—lantaran kecocokan tan-
da-tanda nabi yang dijanjikan dengan pribadi Nabi Muhammad
Saw, “Tentang apa yang mereka ketahui dari kebenaran’—
mereka mencucurkan air mata saking senang dan bahagianya
menemukan kebenaran yang berabad-abad mereka nantikan.
Ayat ini mengingatkan bahwa mereka itu tidak menutup-nutupi
barang berharga yang hilang, bahkan mereka segara
mengatakan, “Kami beriman kepada Muhammad Saw, “Mereka
berkata, ‘Wahai Tuhan kami, kami beriman’”’; mereka memohon
Allah Swt agar mencatat nama mereka dalam daftar orang-orang
yang memberikan saksi, “Maka catatlah kami menjadi orang-
orang yang memberikan saksi”’. Ayat ini benar-benar eksplisit
dan gamblang. Tidak cukup sebatas ungkapan tadi, para pendeta
itu berkata dengan keheranan, “Kenapa kita tidak beriman pada
Allah dan kebenaran yang datang kepada kami?!”
Kemudian, Allah Swt mengokohkan keimanan mereka dan
menggolongkan orang kafir dan orang-orang yang mengingkari
Islam sebagai penghuni neraka. Uraian detailnya mengenai ayat-
ayat serta kandungannya seputar eksklusivisme Islam sebagai
jalan yang lurus juga ketiadaan makna pluralistik di dalamnya
akan dijelaskan di lembaran mendatang.
Telah dikatakan bahwa minoritas Ahli Kitab tergolong kaum
mukmin sejati yang, sepanjang sejarah Yahudi atau Nasrani,
dapat menjaga keimanan serta berdiri teguh di atas agama
mereka. Dalam mensifati minoritas ini yang hidup sebelum
Islam datang lalu meninggal dunia, keimanan mereka tidak
diragukan lagi. Begitu juga mereka yang beriman kepada Islam
setelah menyaksikan kebenarannya.
Namun, ada satu persoalan yang mengemuka tentang
keimanan minoritas Ahli Kitab yang, sebelum kemunculan Islam,
hidup sebagai mukmin sejati dalam akidah dan perbuatan, akan
tetapi lantaran tidak sampainya ajaran Islam kepada mereka,
atau tidak mengenal kebenaran tersebut karena berbagai faktor,
sehingga mereka ini tetap dalam agama semula dan tidak
memeluk Islam, tanpa mengambil sikap arogan dan menentang.
p:188
Tampaknya, ayat-ayat Al-Quran menerima keimanan mereka ini,
dan mengkategorikan mereka sebagai orang-orang saleh yang
akan mendapatkan balasan Tuhan di akhirat kelak.
Dalam sebagian riwayat juga disebutkan adanya pribadi-
pribadi dari Ahli Kitab yang bukan termasuk golongan
penentang pada masa awal Islam.(1) Dan sepertinya mereka
akan terus eksis sepanjang kurun. Penjelasan argumen atas
pandangan ini, yakni adanya orang-orang Ahli Kitab yang
beriman murni dan beramal saleh, telah diuraikan pada bab
sebelumnya.
Hanya di sini terdapat sebuah poin, bahwa penyempurnaan
bukti dan penjelasan ajaran belum sepenuhnya memadai;
mereka tidak melihat cahaya Islam sehingga memperoleh
siraman sinarnya. Karena itu, mereka tidak termasuk sebagai
kafir. Bahkan sesuai agamanya, mereka adalah orang-orang saleh
dan beriman. Jadi, maksimal predikat yang bisa diterapkan pada
mereka adalah mustadh‘afin ‘kelompok lemah’ dan murjaun li
amri-Allah(2) ‘kelompok yang menanti keputusan Allah.
Mengenai keberadaaan pribadi-pribadi mukmin di antara
Ahli Kitab, Muthahhari menuliskan:
p:189
Kalau saja Anda perhatikan agama Nasrani telah mengalami
distorsi dan amati di pelosok dan perkotaan; apakah setiap
pendeta yang Anda temukan di sana adalah orang korup dan
busuk? Demi Tuhan! Di antara jumlah ratusan mereka itu, ada
tujuh puluh atau delapan puluhan orang yang, dengan sebuah
semangat iman, takwa dan ketulusan hati, dan atas nama
Al-Masih dan Maryam, menebarkan nilai-nilai kejujuran,
ketakwaan dan kesucian di tengah masyarakat. Mereka tidak
melakukan kesalahan sengaja. Mereka itu akan masuk surga.
Demikian juga pendeta mereka.(1)
Dalam Keadilan Ilahi(2) setelah membahas detail topik
keimanan dan kekufuran, Muthahhari menjelaskan bahwa
Muslimin dan Ahli Kitab—dalam menyandang iman, mencapai
kedekatan diri pada Allah, ketulusan niat dan kelayakan
mendapatkan pahala dan surga—berada pada posisi yang
sama.(3)
Poin menarik dan penting yang justru diabaikan kaum
Pluralis ialah perbedaan antara keimanan tulus pribadi seorang
Ahli Kitab dan kebenaran agama mereka. Berkali-kali telah
digaris bawahi, sekarang ini, jalan yang lurus dan agama yang
benar hanyalah agama Islam. Namun, dari klaim ini tidak dapat
disimpulkan bahwa selain mereka seperti: Ahli Kitab, sudah
tidak punya lagi keimanan dan keyakinan. Malah prinsip nasakh
p:190
membuktikan bahwa agama terdahulu telah dihapus, dan para
pengikutnya harus beriman pada Islam. Akan tetapi, dalam
kondisi mereka tidak tahu karena keterbatasan potensi dan
kapasitas, bukan karena keteledoran, perbuatan saleh mereka
tidak hilang sia-sia, kalau bukan justru diganjar pahala Allah
Swt.
Tampaknya, kegelisahan dan kegagalan mendudukkan dua
persoalan itu secara kategoris (keimanan subjektif seorang Ahli
Kitab dan kebenaran objektif agama mereka) jadi salah satu
alasan utama kecenderungan ke arah Pluralisme dan penafsiran
ayat-ayat yang disangkatpautkan dengan paham ini, padahal
pemilahan tegas dua duduk persoalan itu dapat memecahkan
polemik.(1)
Penafsiran ketiga yang dinukil Fakhru Razi(2) menerangkan
bahwa maksud dari Ahli Kitab bukan hanya pengikut Nabi
Musa as dan Nabi Isa as, tetapi lebih umum dari itu: mencakup
juga Muslimin. Ayat hendak menjelaskan bahwa Ahli Kitab
(Muslimin dan kaum lainnya) tidak satu dan tidak sama dalam
menempuh jalan hidayah. Justru sebagian mereka menempuh
tingkatan tinggi hidayah seperti Muslimin. Hanya kiranya
ruang buku ini tidak memadai untuk mengulas penafsiran
ini.
Telah dikemukakan bahwa penafsiran kedua menyatakan adanya
orang-orang beriman dari kalangan Ahli Kitab. Akan tetapi, ini
juga bukanlah bukti bagi klaim Pluralis. Justru penafsiran ini
p:186
menekankan bahwa pasca-Nabi Musa as dan Nabi Isa as, mayoritas
Ahli Kitab mengalami tahrif dan penyimpangan dalam prinsip
agama seperti: keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Mereka
mengatakan bahwa Uzair dan Nabi Isa as. adalah anak Tuhan.
Juga dalam perbuatan serta ketakwaan, mereka menyimpang
dari jalan lurus, kalau bukan malah memilih jalan kefasikan,
kecuali sebagian kecil dari mereka yang, dalam perkara agama,
tidak ditimpa tahrif serta konsisten berbuat kebaikan. Karena
itu, Al-Qur'an menyebut kebanyakan Ahli Kitab sebagai kafir ,
fasik, dan zalim. Sementara mengenai orang-orang beriman,
kitab suci ini menyinggung mereka dengan ungkapan minhum
‘di antara mereka atau qalil ‘sedikit’
Ada sejumlah riwayat yang juga menguatkan hal ini. Imam
Ali bin Abi Thalib dengan bersandar pada ayat, “Di antara
mereka terdapat umat pertengahan’, mengatakan bahwa
Ahli Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua
golongan; hanya ada satu golongan kelompok yang selamat
sebagai umat pertengahan.(1)
Tsauri termasuk mufassir klasik yang juga menafsirkan
orang-orang beriman Ahli Kitab sebagai kaum mukmin sejati
Nabi Musa as dan Nabi Isa as di timur dan di barat.(2)
Atas dasar penafsiran ini, ayat-ayat di atas itu menyoroti
keimanan dan kekafiran Ahli Kitab dalam sejarah lampau
agama mereka. Adapun mengenai keimanan dan kekafiran saat
kedatangan Islam, ayat-ayat yang lain atau ayat-ayat berikutnya
akan menjadi rujukan penafsiran.
p:187
Referensi lain kaum Pluralis dari Al-Quran ialah ayat-ayat yang
menjelaskan banyaknya saksi dan beragamnya bukti dari setiap
umat pada Hari Kiamat. Adanya saksi dalam kapasitas manusia-
manusia sempurna dan mulia dari setiap umat merupakan
argumen atas kebenaran jalan masing-masing umat. Beberapa
ayat yang menguatkan hal ini adalah di bawah ini:
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila
Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai
saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) (QS. Al-Nisa’ [4]: 41).
p:191
Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-
tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia (QS. Al-Nahl [16]: 89).
Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-
tiap umat dipanggil kepada kitabnya. Pada hari itu kamu diberi
balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Jatsiyah [45]: 28).
(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat
dengan pemimpinnya (QS. Al Isra’ [17]: 71).
Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan
cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan
perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan
saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil,
sedang mereka tidak dirugikan (QS. Al-Zumar [39]: 69).
Ayat pertama dan kedua menunjukkan adanya saksi dari
setiap umat. Sementara ayat ketiga dan keempat berbicara juga
adanya kitab dan imam di antara umat. Sedangkan ayat terakhir
ini menekankan banyaknya saksi di Hari Kiamat dan perhitungan
yang adil. Kandungan ayat-ayat ini lantas dirumuskan seorang
penulis untuk kepentingan Pluralisme demikian:
Afirmasi implisit atas agama-agama lain dan pengakuan atas
paham Pluralisme dapat ditarik dari poin berikut ini: dalam
Al-Quran, banyak diungkapkan bahwa pada Hari Kiamat,
dari setiap umat terdapat saksi, yaitu para nabi dan imam
p:192
mereka, hadir di padang Mahsyar. Maka Nabi Muhammad
adalah juga saksi umat Islam ... Dari ayat-ayat seperti ini
dapat disimpulkan bahwa keimanan dan kekufuran memiliki
banyak agama, dan semua agama tidak berubah menjadi satu
agama yang universal (Islam).(1)
Terdapat dua catatan yang perlu dikemukakan untuk mengkritik
referensi di atas.
Dalam penafsiran ayat-ayat di atas, layak kiranya mencermati
dua poin: pertama, apakah objek dan motif kesaksian? Kedua,
kenapa Allah menghadirkan sebagian orang sebagai saksi di Hari
Kiamat?
Jawaban atas pertanyaan ini memiliki peran penting
dalam penafsiran ayat. Dengan merujuk ayat lain juga riwayat,
akan tampak jelas bahwa Allah menanyakan kepada para nabi
tentang eksekusi risalah Ilahi secara baik: apakah mereka telah
menyampaikan pesan-pesan Langit kepada masyarakat; dan
apakah mereka telah mencurahkan segenap upaya di jalan ini?
Setelah jelas jawaban positif para nabi, giliran berikutnya
adalah masyarakat, khususnya orang-orang kafir dan para
pendosa. Mereka ini juga akan menghadapi tuntutan Allah:
kenapa kalian tetap tidak beriman padahal telah datang para
nabi dengan menyampaikan pesan Ilahi? Pertanggungjawaban
p:193
atas dua kelompok ini (para nabi dan masyarakat) disinggung
ayat di bawah ini:
Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang
telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya
Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami) (QS. Al-A‘raf [7]: 6).
Dalam sebuah riwayat, Imam Ali bin Abi Thalib juga
menyinggung pertanggungjawaban atas para nabi itu.(1)
Di sini, boleh jadi masih ada kemungkinan berbagai alasan
yang diajukan orang-orang kafir untuk membela diri. Dalam
rangka menggugurkan alasan-alasan mereka, Allah menyiapkan
malaikat, agama, Al-Quran, masa, tempat, dan segenap anggota
tubuh manusia sebagai saksi. Jadi, di Hari Kiamat kelak, manusia
tidak sendirian, tetapi bersama satu atau bahkan banyak saksi:
Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang
malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi (QS. Qaf [50]: 21).
Latar belakang adanya saksi di Hari Kiamat ialah agar
seseorang tidak bisa lagi berdalih untuk pengingkaran dan
keteledoran dirinya, dan mengakui telah disampaikannya pesan
Allah Swt. Satu kelompok dari saksi-saksi itu adalah para nabi,
Manusia-manusia sempurna dan orang-orang saleh. Kesaksian
mereka atas risalah Ilahi yang telah disampaikan dan kondisi
bebas memilih kekafiran atau keimanan) merupakan bukti
p:194
afirmatif atas azab yang berhak diterima orang kafir.(1)
Oleh karena itu, sekalipun telah menteorisasi banyak saksi
dari setiap umat, kaum Pluralis toh masih saja mengabaikan
objek dari kesaksian itu. Mereka tidak cukup tanggap terhadap
poin: kesaksian para saksi itu, dari satu sisi, menunjukkan
kebenaran risalah para nabi dan, dari sisi lain, kesalahan sengaja
dan penentangan orang-orang kafirterhadap Allah dan para nabi-
Nya. Makna kesaksian itu ialah afirmasi atas kebenaran sebuah
umat yang, kepada mereka, para duta-duta Allah itu datang,
dan sebagian dari mereka—sekalipun berjumlah kecil—adalah
orang-orang yang taat mutlak dan sempurna hingga mencapai
kedudukan yang tinggi.
Jadi, masalahnya di sini yaitu afirmasi dan penegasan
terhadap kebenaran sebuah umat yang taat pada nabi di masanya
dan saksi-bukti bagi diri mereka. Pada masa-masa sebelum
kedatangan Islam, hal ini akan mengejawantah dengan ketaatan
pada nabi di masanya dan tentunya, setelah munculnya Islam,
dengan ketaatan pada Nabi Muhammad Saw.
Para mufassir klasik dan kontemporer sepakat menafsirkan
“setiap umat” [dalam ayat itu] dengan umat-umat pemilik
ajaran wahyu dan agama langit.(2) Yakni, dalam ayat-ayat di
p:195
atas, Allah Swt memberitakan pengajuan juru saksi dari umat-
umat yang, kepada mereka, para nabi dan agama diturunkan:
ada sebagian yang beriman pada kebenaran; ada sebagian
lain yang berpaling darinya. Namun, dengan kemunculan
Islam, apakah lantas agama sebelumnya menjadi terhapus
(manstkh) ataukah tidak, ayat-ayat ini tidak dalam rangka
menjelaskan masalah ini. Sebab, ayat-ayat ini hanya dalam
konteks mengecam orang-orang kafir dan menerangkan
sekian keadaan Hari Kiamat; satu di antaranya pertanyaan
terhadap para nabi, umat, dan pengajuan juru saksi.
Boleh jadi di sini muncul tanggapan kritis: jika maksud
dari umat itu adalah umat-umat sebelum Islam, maka ayat ini
mengabarkan keadaan umat-umat itu. Namun, ayat dalam
konteks ini bermakna mutlak dan menegaskan kebenaran semua
umat sebelum Islam; entah ada nabi Allah di tengah mereka
ataukah tidak. Dengan demikian, yakni kemungkinan adanya
suatu umat pra-Islam yang benar dan tak ada seorang nabi di
dalamnya, maka kemungkinan ini mutlak; bisa juga berlaku
pada masa Islam dan masa-masa berikutnya.
Dalam menjawab tanggapan ini perlu dicatat bahwa
berdasarkan sekian banyak ayat, Allah Swt mengutus seorang
nabi kepada semua umat terdahulu. Tidak ditemukan suatu umat
kecuali mereka memperoleh ajaran Allah Swt yang disampaikan
melalui seorang nabi atau penggantinya. Fakta ini dinyatakan
tegas dalam beberapa ayat berikut ini:
p:196
Dan tiap-tiap umat mempunyai rasul (QS. Yunus [10]: 47).
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap
umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (semata)” (QS.Al-Nahl [16]: 36).
Dan tidak ada suatu ummatpun melainkan telah ada padanya
seorang pemberi peringatan (QS. Fathir [35]: 24).
Ayat-ayat ini bisa merupakan argumentasi dan penguat
penafsiran para ahli tafsir terhadap makna mutlak dari frasa ayat
“setiap umat’. Karena, berdasarkan ketegasan ayat-ayat inilah
semua umat memiliki nabi, sehingga jelas bahwa kita tidak akan
menjumpai suatu umat tanpa seorang nabi di tengah mereka.
Dengan demikian, sudah barang tentu syaéhid “juru saksi” akan
terpilih di antara pengikut setia nabi setiap umat.
Poin lainnya, terlepas dari semua argumen dan indikasi yang
telah diajukan di atas tadi, maksimal yang dapat disimpulkan
dari ayat-ayat itu ialah bahwa di antara segenap umat, baik umat
yang memiliki nabi ataupun tidak, terdapat orang-orang saleh
dan bersih yang mengikuti nabi eksternal(1) atau—manakala
tidak dapat mengakses atau tidak mengenalnya—mengikuti nabi
internal (akal dan fitrah). Tentunya, mereka ini layak diantarkan
ke surga dan dijauhkan dari siksa neraka. Mereka inilah juru
saksi dan bukti Tuhan atas manusia lain yang menyimpang dari
jalan para nabi atau jalur akal dan fitrah.
p:197
Oleh karena itu, ayat ini menguatkan kepatuhan masyarakat
pada para nabi Allah atau pada hukum akal dan fitrahnya:
kepatuhan yang sanggup mendatangkan nikmat Allah serta
menjauhkan diri dari siksa. Adapun terasingnya sebagian
dari ajaran yang diturunkan Allah dalam bentuk syariat, itu
tidak berpengaruh negatif terhadap jalan orang-orang tidak
memperoleh ajaran tersebut. Dan memang, ayat-ayat itu sendiri
tidak dalam konteks menjelaskan hal ini yang justru bisa
diperoleh kejelasannya dari ayat-ayat lain secara memadai.
Kekacauan penalaran di atas itu, yakni menjadikan
keselamatan sebagian orang dan kelayakannya mendapatkan
pahala sebagai premis untuk menyimpulkan banyaknya jalan
yang lurus, tak ubahnya dengan kekacauan intelektual sebagian
penentang Pluralisme: mereka malah berusaha menjadikan
perbuatan buruk dan maksiat para pengikut (oknum) agama
yang lain sebagai premis untuk membuktikan ketidakbenaran
agama mereka (1)
Sebagai contoh, dalam membuktikan
ketidakbenaran agama Yahudi dan Nasrani, sekelompok anti-
Pluralisme ini berpegang pada ayat-ayat seperti: “Kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang fasik” atau “... orang-orang
kafir’ Pada saat yang sama, mereka lengah bahwa, pertama:
dalam ayat-ayat ini, disebutkan “kebanyakan dari mereka’,
bukan “mereka semua’. Dan kedua: kalaupun di dalamnya
disebutkan “mereka semua’, tetap saja itu belum memadai
untuk menempatkan kefasikan dan kekufuran pengikut
sebuah agama sebagai premis pembuktian atas kekufuran dan
kefasikan agamanya sendiri.
p:198
Di akhir pembahasan ini, patut dibubuhkan satu sisi
kerapuhan lain dalam argumentasi via tiga ayat terakhir itu:
Ayat keempat (Al-Isra’ [17]: 71) hanya menjelaskan ihwal
dibangkitkanya umat bersama para pemimpin (imam)
mereka. Kata imam ini digunakan dalam Al-Quran pada
sosok-sosok pemimpin yang haq maupun yang batil.(1)
Maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu (QS.Al-Taubah [9]: 12).
Ayat ketiga (Al-Jatsiyah [45]: 28), seperti juga ayat Al-Isra’
tadi, hanya menunjukkan seruan agar seluruh umat melihat
kitabnya masing-masing. Dengan memperhatikan beberapa
indikasi, termasuk frasa ayat “kamu diberi balasan’, maksud dari
kitab itu adalah buku hisab dan catatan amal.(2)
Demikian pula ayat kelima(Al-Zumar([39]:69) memaksudkan
kitab yang tersebut di dalamnya sebagai buku hisab dan catatan
amal(3) apalagi di dalamnya juga tidak dinyatakan secara eksplisit
bahwa setiap umat memiliki kitab tersendiri.
Dalam melegitimasi kebenaran Yahudi dan Kristen, sebagian
Pluralis bersandar pada hukum Islam yang menerima jizyah dari
mereka dan sikapnya yang tidak mengharuskan pengikut dua
p:199
agama itu untuk memeluk Islam. Sejauh klaim kaum Pluralis,
Al-Quran membiarkan Ahli Kitab hidup bebas dan berhak
memilih satu di antara dua perkara: perang melawan Muslimin
atau membayar jizyah dan tidak masuk Islam. Dari sini lantas
oleh mereka disimpulkan kebenaran agama Ahli Kitab.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-
Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. Al-Taubah [9]:29).
Dalam memaknai ayat ini agar sesuai paham Pluralisme,
sebagian pendukungnya menulis:
Argumen lain bahwa Al-Quran mengakui sahnya [agama]
Ahli Kitab adalah fakta dari sejarah dan Al-Quran itu sendiri:
memperkenankan mereka untuk tetap menganut agamanya
sendiri dengan membayar jizyah.(1)
Bagi sebagian Pluralis, fasilitas keamanan, jaminan sosial dan
ekonomi para pengikut Ahli Kitab yang diberikan pemerintahan
Islam adalah bukti pengakuan atas kebenaran mereka.(2)
p:200
Perlu juga dibubuhkan, sebagian kritikus dan penentang
Islam sekaliber Ibnu Rawandi(1) cenderung menafsirkan hukum
jizyah sebagai argumen atas kekafiran Ahli Kitab, dan karena
inilah dia mengkritik Al-Quran. Uniknya, prinsip ini pula yang
kini ditafsirkan sebaliknya oleh sekelompok penganut Islam,
yakni sebagai argumen atas kebenaran Ahli Kitab.
Berpegang pada ayat ini sebagai argumen atas paham Pluralisme
adalah akibat dari fokus yang minim bahkan terhadap makna
lahiriah ayat. Sebab, ayat ini sendiri menerangkan naskh
‘penghapusan’ agama-agama sebelum Islam. Berikut ini beberapa
poin terkait.
Mula-mula, ayat ini memerintahkan jihad dan perang melawan
Ahli Kitab. Tentunya, kalau memang agama Yahudi atau Kristen
sederajat dengan Islam sebagai agama yang juga benar dan tak
dihapus, maka tidak ada alasan dan motif lagi yang tersisa untuk
memerintahkan perang melawan mereka.
Ayat ini mengkategorikan Ahli Kitab sebagai manusia yang
tidak beriman pada Allah, Hari Kebangkitan, dan agama. Dalam
upaya menjelaskan hal ini, para ahli tafsir menegaskan bahwa
ayat ini, pada dasarnya, memang mengingkari keimanan mereka
p:201
kepada Allah dan Hari Kebangkitan.(1) Sebagian mufassir seperti:
Allamah Thabathaba’i,(2)
menambahkan bahwa Ahli Kitab tidak
memiliki keimanan yang sempurna sekaitan dengan agama dan
kitab otentik mereka, karena keimanan mereka tidak berdampak
keimanan pada nabi yang dijanjikan, yaitu Nabi Muahmmad Saw.
Karenanya, keimanan mereka pada Allah dan Hari Kebangkitan,
pada hakikatnya, kurang dan tidak diterima Allah.
Berdasarkan dua tafsiran ini, Ahli Kitab secara prinsipal
tidak memiliki keimanan, atau tidak memiliki keimanan
sempurna yang diterima Allah. Dengan demikian, mereka tidak
bisa disejajarkan sama-sama benar dengan Islam dan Muslimin.
Ayat ini juga menilai Ahli Kitab telah keluar dari poros agama
yang benar. Para ahli Tafsir sepakat menafsirkan agama yang
benar ini yaitu Islam. Kondisi ini, yakni ketidakpercayaan mereka
pada agama yang benar, merupakan salah satu alasan deklarasi
perang terhadap Ahli Kitab.
Setelah memerintahkan berperang dan mensifati Ahli Kitab
sebagai kafir yang keluar dari agama yang benar, ayat ini
menjelaskan tujuan dan batasan yang tegas: jika Ahli Kitab
menerima aturan pemerintahan Islam, tidak ada lagi keharusan
berperang, dan Muslimin akan menghentikan perlawanan jihad.
p:202
Atas dasar itu, aturan membayar jizyah bagi Ahli Kitab tidak
berarti pengakuan atas kebenaran agama mereka, tetapi tujuannya
adalah menghentikan perang agar mereka mendapatkan peluang
untuk memikirkan tanda-tanda nabi yang telah dijanjikan(1)
dan, atas dasar argumentasi, beriman pada Islam. Oleh karena
itu, toleransi dengan Ahli Kitab dan aturan jizyah bagi mereka
tidak bermakna dukungan atas kebenaran agama mereka; hal
yang justru diklaim eksesif oleh kaum Pluralis.
Dengan kata lain, ayat ini berbicara tentang toleransi dan
Pluralisme Sosial, bukan Pluralisme Agama. Buktinya, mereka
juga disinggung ayat dalam statusnya sebagai Ahli Kitab. Karena,
dengan segenap bentuk penyimpangan dan penentangan
terhadap agamanya sendiri, mereka tetap dipandang sebagai
Ahli Kitab dan memiliki persamaan dengan Muslimin dalam
sejumlah ajaran. Ini sebagaimana dalam Ali Imran [3]: 64, Ahli
Kitab diseru agar berpegang pada titik kesamaan, yaitu prinsip
tauhid.
Apa pun perbedaannya, kedua penafsiran ini sama-sama menolak
bila nilai kebenaran Islam disamakan dengan agama lain.
Belum lagi makna teks ayat ini dan kata shaghirun menguatkan
penolakan tersebut.
Kesimpulannya, selain tidak mendukung Pluralisme,
ayat ini justru menegaskan Eksklusivisme.
Referensi lain kaum Pluralis ialah ayat yang di dalamnya
diterangkan kehalalan makanan Ahli Kitab, termasuk hukum
bolehnya menikah dengan mereka.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab
sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina
dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa
yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi (QS. Al-Maidah [s]: 5).
p:204
Pendekatan pluralistiknya, hukum halal mengkonsumsi
makanan Ahli Kitab dan bolehnya mengawini mereka, tanpa harus
meninggalkan agama mereka sendiri, merupakan alasan untuk
mendukung kebenaran agama mereka. Kalau ini bukan alasan,
pasti Al-Qur’an sudah memperlakukan Ahli Kitab layaknya
kaum musyrikin: tidak membolehkan mengkonsumsi makanan
mereka dan menjalin hubungan pernikahan dengan mereka.
Argumentasi lain bahwa Al-Qur’an mengakui sahnya [ajaran]
Ahli Kitab ... secara jelas memperbolehkan hubungan dengan
Ahli Kitab, mulai dari pernikahan sampai makan bersama
dan memakan makanan mereka.(1)
Sebagian mereka juga mencatat:
Adakalanya, dengan memaksakan kehendak pribadi, seba-
gian mereka berusaha memberikan penafsiran tersendiri.
Tatkala dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa seorang Muslim
dapat menikah dengan [perempuan] Ahli Kitab, ini artinya
perempuan itu bisa tetap bertahan dalam agamanya, dan
seorang Muslim bisa menikah dengannya.(2)
Merujuk tinjauan kritis sebelumnya, kerapuhan argumentasi ini
sudah jelas, dan di sini akan ditinjau kembali meski hanya secara
global.
p:205
Barangkali menjadi sangat aneh: bagaimana kaum
Pluralis mengabaikan sekian banyak ayat yang menyerukan
Islam kepada Ahli Kitab dan mengkafirkan mereka. Untuk
mendukung klaimnya, mereka malah merujuk ayat-ayat yang
tidak ada sangkut pautnya dengan konteks dan duduk persoalan
Pluralisme.
Ayat ini juga ayat sebelum dan sesudahnya adalah dalam
rangka menjelaskan kehalalan atau keharaman berbagai
macam makanan bagi kaum Muslimin. Namun, pada saat
turunnya ayat ini, Ahli Kitab hidup sebagai minoritas di tengah
Muslimin, dan mau tidak mau berlangsung interaksi sosial dan
ekonomi di antara mereka. Jelas, Muslimin akan menghadapi
kesulitan kalau saja interaksi dengan Ahli Kitab dan makanan
mereka diharamkan. Karena itu, sebagai kemurahan dan
rahmat untuk Muslimin, Al-Quran menghalalkan makanan
Ahli Kitab dan pernikahan (lelaki Muslim, bukan perempuan
Muslimah) dengan mereka, itu pun secara berjangka dalam
batas waktu tertentu. Adapun benarkah hal ini juga merupakan
argumen atas kebenaran agama Ahli Kitab, tidak ada isyarat
sedikit pun mengenainya dari ayat ini.(1)
p:206
Lebih dari itu, “Dan barangsiapa yang kafir setelah beriman”
adalah lanjutan ayat yang memperingatkan Muslimin bahwa
hukum itu bukan sekedar hukum sosial dalam konteks toleransi
dan tenggang rasa. Jika dengan menikahi Ahli Kitab, keimanan
Muslim menjadi rusak dan menumbuhkan kecenderungan ke
agama Ahli Kitab, maka seluruh amal sebelumnya akan lenyap,
sia-sia, dan kelak di Hari Kiamat termasuk golongan yang
merugi. Jelas, kecenderungan kepada Ahli Kitab dianggap sama
dengan kekafiran dan kerugian di Hari Kiamat. Tentu saja, ini
sama sekali tidak relevan dengan paham Pluralisme. Ayat ini
justru aktif sebagai satu elemen dari gugusan argumen yang
memastikan berakhirnya validitas Taurat dan Injil.2
p:207
p:208
Ahmadi Miyanaji, Ahmad: Makatib Al-Rasal.
Alusi, Sayyid Mahmud: Rah Al-Ma‘ani, Dar Ihya Al-Turats Al-
‘Arabi, Beirut, 1405 H.
Amili, Syaikh Hurr: Al-Fushal Al-Muhimmah, Matbaah Al-
Haidariyah, Najaf, 1378 H.
Amili, Syaikh Hurr: Wasd'il Al-Syi‘ah, edisi 20 jilid, Ihya’ Al-
Turats Al-Arabi, Beirut, 1391 HQ.
Arusi Huwaizi, Ibn Jumah, Tafsir Nur Al-Tsaqalain, Percetakan
Ismailian (5 jilid) Qom.
Azari Qomi, Ahmad: Syarhi bar Vashiyatnomeh-e Emom
Khomaini.
Bahrani, Ibn Maitsam: Qawd‘id Al-Mardm, Maktabah Ayatullah
Al-Najafi Al-Mar’asyi, Qom.
Bahrani, Syaikh Yusuf: Al-Hadd’ig Al-Nadhirah, Dar Al-Adhwa,
Beirut 1405 HQ.
Baidhawi, Abu Sa'id Abdullah: Tafsir Al-Baydhdéwi, Dar Al-
Kutub Al-IImiyah, Beirut, 1408 H.
Balaghi, Muhammad Jawad: Al-Huda ild Din Al-Mustafa,
Mansyurat Al-Maktabah Al-Haidariyah, Najaf 1358 H.
Bayyinat (jurnal ilmiah) no. 16 17.
p:209
Bawazar, Marsal, Eslom va Huqtgq-e Tabi i-e Enson, terj. Muhsin
Mua-yyidi, Daftar Nasr Farhang Islami, Tehran 1358 HS.
Bazargan, Mahdi: Din va Tamaddun, Bi'tsat, Tehran, 1350, HS.
: Din va Davlat, Bi'tsat, Tehran, 1350, HS.
: Quron va Masihiyon, Syirkat Sahami, Tehran 1376 HS.
Bazargani, Abdul Ala: Ozodi dar Quron.
Bina, Sayid Muhammad Tagi: “Guftemon-e Plurolizm-e Dini’,
Harian Hamsyahri, no. 2114.
Din va Cesymandozho-ye Nu, ter}. Ghulam Husein Tavakuli,
Markaz Intisyarat Tablighat Islami, Qom.
Durant, Will: Torikh-e Tamaddun, terj. tim, Syerkat-e Sahomi,
cet. 2, jld. 4, Tehran, 1368 HS.
Faidh Kasyani, Mulla Muhsin: Tafsir Al-Shdfi, edisi 2 jilid,
Islamiyah, Tehran, 1393 H.
: Al-Waft fi Syarh Ushal Al-Kafi Kitabkhoneh-e Amirul
Mukminin, Isfahan.
Fakhrul Islam, Muhammad Shadiq: Anis Al-A‘lam, Kitabfurusyi-
e Murthadawi, Tehran 1351 H.
Ghazali, Muhammad: Al-Mustashfa min Al-Ushil, Dar Al-
Shadir, Beirut.
: Faishal Al-Tafrigah bayn Al-Islam wa Al-Zandaqah,
diteliti Na’sani, Mesir, 1325 HQ.
Hadidi, Jawad: Eslom az Nazdar-e Walter, Donesygoh-e
Masyhad, 1343 HS.
Hakim Haidaji: Ta'ligah ‘Ala Syarh Al-Manzdiamah, Entesyorot-e
Ilmi, 1363 HS.
p:210
Hick, John: Falsafeh-e Din, ter}. Behram Rad, Intisyarat Bainal
Milali Al-Huda, Tehran, 1372 HS.
Hindi, Rahmatullah: Izhdr Al-Haqq, Al-Mathba’ah Al-‘IImiyyah,
1350 HQ.
Ibnu Arabi, Muhyiddin: Al-Futihdt Al-Makkiyyah, cet. 4 jilid,
Dar Al-Shodir, Beirut.
: Tafsir Al-Qur an Al-Karim, Bidar, Qom.
Ibnu Atsir: Al-Kamil fi Al-Tarikh, Dar Al-Shodir, Beirut 1358 H.
Ibnu Daud: Seh Urjuzeh, Entesyorot-e Vezorat-e Ersyad, Tehran.
Ibnu Hazm: Al-Fashl bain Al-Ahwa' wa Al-Nihal wa Al-Milal, Dar
Al-Marifah, Beirut 1390 H.
Ibnu Katsir: Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Dar Al-Makrifat, Beirut
1396 H.
Ibnu Mandzur: Lisdn Al-Arab, Adab Al-Hawzah, Qom, 1405
HQ.
Legenhausen, Muhammad: “Pluralism’, dalam majalah Ma'refat,
vol. 22.
Ibnu Naubakht: Al-Yaqit fi ‘Ilm Al-Kaldm, diteliti Ali Akbar
Dhiyaie, Kitabkhoneh-e Ayatollah Mar’asyi, Qom, 1413 H.
[bnu Syahr Asyub: Mandgib Ali Abi Talib, Al-Maktabah Al-
Haidariyah, Najaf, 1376 HQ.
Ishfahani, Raghib: Mujam Mufradat Alfadz Al-Qur4n, Daftar-e
Nasyr-e Ketob, 1404 H.
Lahiji, Abdul Razzaq, Sarmoyeh-e Imon.
Le Bon, Gustav: Tamaddun-e Eslom va Arob, terj. Sayyid Hasyim
Husaini, Islami, Tehran.
p:211
Ja fari, Tagi: Tarjumeh va Syarh-e Nahj Al-Baldghah, Farhangg-e
Islami, jld. 2, Tehran, 1357 HS.
Jalaluddin Balkhi (Maulawi): Matsnavi-e Ma‘navi.
Jauhari, Ismail bin Hammad: Al-Shihah Taj Al-Lughah, darul
ilmi lil malayiin, Beirut 1404 H.
Jawadi Amuli, Abdullah: Syari‘at dar Oyineh-e Ma’‘refat,
Farhangg-e Raja.
Khuramsyahi, Bahauddin: Quronpezhuhi, Marekaz Nasyr
Farhanggie Masyriq, Tehran, 1372 HS.
Kiyon (jurnal ilmiah), no. 27, 28, 37.
Ketob-e Nagqd (jurnal ilmiah), no 4.
Kulaini, Ya'qub: Ushidl Al-Kafi, Daftar-e Nasyr-e Farhang-e Ahl-e
Bait, terj. dan komentar Sayyid Hasyim Easuli Mahallati,
Tehran.
Muhagiq Thusi: Naqd Al-Muhashshal, Donesygoh-e Tehran,
1352 HS.
Majlisi, Muhammad Tagi: Bihar Al-Anwér, Muassasah Al-Wafa’,
edisi 10 jilid, Beirut, 1409 H.
Mir at Al-‘Uqal, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Tehran,
1370 HS.
Mahmud, Bina: Mingguan Haft Aseman, no. 1 2
Makarim Syirazi, Nasir: Tafsir-e Nemtneh, Dar Al-Kutub Al-
Islamiyyah, Tehran.
Makrifat, Muhammad Hadi: Jomi‘eh-e Madani, Entesyorot-e
Farhanggi Al-Tamhid, Qom, 1378 HS.
Mashuniat-e Quran az Tahrif.
p:212
Mircea Eliade: Dinpezhuhi, terj. Bahauddin Khuramsyahi,
Pezhuhezgoh-e ‘Ulim-e Ensoni wa Mutole‘ot-e Farhanggi,
Tehran, 1375, HS.
Miqdad, Fadhil: Irsyad Al-Thélibin, Kitabkhoneh Ayatollah
Najafi, Qom.
Al-Lawdmi' Al-Ilahiyyah, Nasyr Syafaq, Tabriz 1396 H.
Misbah Yazdi, Muhammad Tagqi: Rahnamosyenosi, Markaz
Hawzah IImiyah, Qom.
Mughniyah, Muhammad Jawad: Al-Tafsir Al-Kdsyif, Dar Al-I|m,
Beirut, 1967 M.
Israiliyyat Al-Qur an, Dar Al-Jawad, Beirut, 1400 H.
Muhammadi Reisyahri, Muhammad: Miz4én Al-Hikmah, Daftar
Al-['lam al-Islami, Qom, 1404 HQ.
Muhaqgig Thusi: Sarh Al-Isydrdat wa Al-Tanbihat, Perpustakaan
Aya-tullah Najafi Mar'asyi, Qom, 1403 H.
Mulla Sadra: Al-Hikmat Al-Muta 4liyyah, Kitabfurusyi
Mustafawi, Qom.
Tafsir Al-Qur dn Al-Karim, diteliti Muhammad
Khajawi, Bidar, Qom.
Maraghi, Ahmad Mustafa: Tafsir Al-Maraghi, Mustafa Al-Bab
Al-Majlisi, Mesir, 1373 H.
Mutahhari, Murtadha, Eslom va Muqtazdayot-e Zamon,
Entesyorot-e Sadra, Tehran.
Osyno’i bo Quron, Intisyarat Sadra, Tehran.
Adl-e Ilohi, Al-Nasyr Al-Islami, Qom.
Ketob-e Jihod, Entesyorot-e Islami, Qom, 1361 HS.
p:213
Nomebh-e Farhang, no. 24, 1375 HS.
Naqd va Nadzar (Jurnal IImiah).
Majmi‘eh-e Otsor, Entesyorot-e Shadra, Tehran.
Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan: Jahannam Cero?,
Markaz-e Entesyorot-e Daftar-e Tablighot-e Eslomi, Qom.
Kandkovi dar Saviyyeho-ye Plurolizm, Andisyeh-e
Jawan, Tehran.
Quraisyi, Sayyid Ali Akbar: Qdmis Al-Qur dn, Dar Al-Kitab Al-
Islamiyah, Tehran.
Qasimi, Muhammad Jamaluddin: Tafsir Al-Qdsimi, jld. 4, Dar
Ihya Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1376 H.
Rasyid Ridha, Muhammad: Tafsir Al-Man4r, Dar Al-Marrifah,
Beirut.
Razi, Fakhruddin: Al-Tafsir Al-Kabir, Dar Al-Kutub Al-I|miyah,
Tehran.
Razi, Hamsi: Al-Mungizd min Al-Tagqlid, Markaz Nasr Islami,
Qom 1412 H.
Sabzawari, Haj Mulla Hadi: Syarh Al-Manzdimah, Musthafawi,
cet. batu, Qom.
Sayyid Murtadha: Syarh Jumal Al-‘Ilm wa Al-‘Amal.
Sayyid Qutub: Fi Zilal Al-Qur4n, Dar Ihya Al-Turats Al-‘Arabi,
Beirut, 1319 H.
Shadigi, Muhammad: Bisyorat-e Ahdain, Dar Al-Kutub Al-
Islamiyah, Tehran, 1362 HS.
Shafar, Hasan: Candgonegi va Ozodi dar Eslom, terj. Hamid
Ridha Azir, Baqi.
p:214
Smith, Houston: Eslom az Nazdargoh-e Donesymandon-e
Gharb, terj. Ali Agar Hikmat.
Soroush, Abdulkarim: Shirotho-ye Mustagim, Farhanggi-e
Shirot, The-ran, 1377 HS.
Farbehtar az Ideolozhi, Intisyarat Farhanggi Sirath, cet.
3, Tehran, 1375 HS.
Subhani, Jafar: Al-imdn wa Al-Kuft fi Al-Kitab wa Al-Sunnah,
Muassasah Imam AlI-Shadiq, Qom 1416 H.
Maboni-e Hukiimat-e Eslomi, Intisyarat Tauhid, Qom.
Al-Im4én wa Al-Kufr, Muassasah Imam Al-Shadiq, Qom
1416 HQ.
Ma‘ani Al-Nubuwwah fi Al-Qur an Al-Karim.
Syahid Tsani: Haqd’ig Al-Iman, Qom, 1409 H.Q.
Sya’rani, Abul Hasan: Saodat-e Basyar, Perpustakaan Shadugq,
Tehran 1363 HS.
Syaikh Mufid: Al-Irsydd, terjemah dan komentar Sayyid Hasyim
Rasul Mahallati, Intisarat IImiyah Islamiyah, Syiraz.
Syaikh Shaduq: Al-I'tigadat, dicetak dalam buku Awa il Al-
Magdlat karya Syaikh Mufid.
Syaikh Thabarsi: Majma‘ Al-Baydn, Al-Maktabah Al-‘IImiyah Al-
Islamiyah, Tehran.
Jawami‘ Al-Jam‘*,, diteliti dan diintroduksi Dr. Gurji,
Markaz Hawzah IImiyah, Qom.
Syaikh Thusi: Tafsir Al-Tibyan, Al-IImiyah, Najaf, 1376 H.
Syaikh Thusi: Al-Igtishdad fi md Yata‘allag bi Al-I'tiqad, Dar Al-
Adhwa’, Beirut.
p:215
Syaukani: Fath Al-Qadir, Mustafa Al-Bab Al-Halabi, Mesir, 1349
H.
Taftazani, Sa'duddin: Syarh Al-Magqéshid, Al-Syarif Al-Radhi,
Qom, 1371 HS.
Tehrani, Sayid Hasyim Husaini: Ta‘ligah ‘ala Tajrid Al-I'tiqad,
cet. Tabriz.
Thabari, Abu Ja’far: Tarikh Al-Tabari, Mu’assasah Al-A'lami li
Al-Mat-bu‘at, Beirut.
Thabathaba’i, Sayyid Muhammad Husain: Al-Mizdn fi Tafsir Al-
Quran, Islami, Qom.
Zduhitr Syi‘eh, Entesyorot-e Syariat, Tehran.
Thaligani, Sayid Mahmud: Partu-i az Quron, Syerkat-e Sahomi,
jld. 1, cet. 3, Tehran.
Zamakhsyari, Syeikh Mahmud bin Umar: Al-Kasysyéf, Dar Al-
Kitab Al-Maghrib, Beirut.
Zubaidi, Muhammad Murtadha: Taj Al-Arts, Dar Al-Fikr,
Beirut, 1414 H.
p:216
A Al-Qur’an 13, 73, 101
Al-Thabarsi 21
Abdul Karim Soroush 113 Al-Thusi,Syaikh 21
Abdullah bin Salam 183 Ali bin Abi Thalib 16, 26, 56, 57,
Abu Muslim 142 83, 87, 91, 116, 187, 194
Adam Metz 100 Ali bin Rabban Thabari 34
Agama 1,2, 3,5,8,10,12,47, —— Ajusi,al- 144, 165, 203, 209
73, 79, 110, 134, 174,178, — amal saleh 160, 163, 166, 168,
202, 175, 175, 203, 206 169, 171, 178
ahamm 9] asas 10, 19, 39, 40, 59, 75, 79,
Ahli Kitab 5, 8, 20, 22, 23, 28, 82.97, 114, 124, 145 As-
30, 34, 35, 36, 37, 39,40, asas Mahdawiyah 39
41,42, 43, 45, 46,47, 49, acpi 19
52, 53, 67, 69, 80, 81,82, —ateis 84. 141
83, 88, 89, 90, 91, 93,96, — azab 40, 43, 52, 53, 71, 77, 103,
103, 112, 114, 115, 118, 141, 149, 159, 167, 168,
119, 120, 121, 122, 123, 170, 173, 174, 178, 195
133, 134, 144, 146, 149,
156, 159, 161, 163, 164, B
165, 167, 168, 169, 170, Bahahut Ghita 181
172, 173, 174, 177, 178, Baidhawi 120, 144, 209
179, 182, 183, 184, 185, Bazargan,Mahdi 23, 210
186, 187, 188, 189, 190, Biography of Charlequin 98
191, 199, 200, 201, 202, burhan 28
203, 204, 205, 206, 207
akidah 9, 85, 90, 188 C
Al-Islam 32, 33, 210 Civilization in the Fourth Cen-
Al-Mizan 18, 22, 46, 51, 56, 61, turyof the Hegira 100
67, 68, 80, 108, 112, 115,
122, 123, 131, 135, 137, D
139, 142, 144, 155, 158,
166, 169, 171, 183, 184, dakwah 28, 38, 39, 40, 80, 162
185, 187, 189, 195,199, dalalah 141
202, 204, 206, 216
p:217
finitif 60, 113, 150, 157, 159 Hamsha Razi 21
klarasi 19, 162, 201, 202 haq 26, 37, 46, 53, 54, 60, 128,199
alog 23, 79, 80, 81, 96, 123 Dia- Hasan 33, 130, 143, 144, 145, 214,
2 Logis 79 215
n 54,110 hashr 113, 114
storsi (Tahrif) 63 Henri de Castries 99
ktrin 1, 15, 75, 76, 79, 103, 119, Henry Corbin 124
140 Hilli, Allamah 21
minasi 23,170 History of the Crusades 99
immi 89 hujjah 28
hujjah batinah 197
Hukum Praktis 218
s-Marxis 34 hukum praktis 9, 11, 19, 63
sistensi (ashl) 19 Syaikh Hur Amili 21
sploitasi 82, 83
npati 96 I
Ibnu Abbas 16, 57, 65, 66, 130,
dhil Migdad 20, 21 132,
khru Razi 61, 66, 67, 70, 143, 143, 170, 183
145, 159, 165, 187, 188,201, TbnuArabi 21, 147, 211
03 Ibnu Dawud 21 |
ara’ 61, 143 Ibnu Maitsam Bahrani 21
tydh Kasyani 16, 145 Ibnu Mas’ud 159
safat 5, 98 Ibnu Naubakhti 21
Ibnu Rawandi 20, 201
Ibnu Syahr-Asyub 21
Ibrahimi 109, 118, 121, 149, 180
idir Khum 110 ijbari 129
istav Le Bon 76, 98 lliya (Ali) 33
imam 199
Imam Mahdi 39
ibasyah 38, 183 Imam Shadiq 68, 182
timanah 23 iman 43, 45, 46, 51, 116, 118, 119,
amid Algar 34 135, 136, 160, 162, 166, 167,
168, 169, 170, 177, 178, 190
Injil 25, 30, 31, 33, 34, 35, 45, 53,
63, 65, 66, 68, 69, 70, 92,
133, 143, 167, 179, 182, 184,
p:218
207 113, 115, 116, 117, 119,
Injil Yohanes 31 124, 125, 128, 129, 131,
Inklusivisme 6 133, 134, 136, 137, 141,
inklus-ivisme 7 142, 146, 148, 150, 159,
irtidad (kemurtadan) 47 165, 169, 173, 174, 175,
176, 179, 180, 183, 186,
J 188, 190, 191, 195, 196,
Jalan yang Lurus 112, 153 08 06 201, 203, 204,
Jamaluddin Qasim 109 wee
Jawad Mughniyah 22 kebenaran abadi 25
jidal ahsan 80 Kegagalan 8, 101, 191 .
Jizyah 199, 202 kepasrahan 106, 110, 112, 113,
John Hick 6, 8, 75, 96 118, 153
Juba’i 138 kerancuan 2, 3, 101, 175
Khawarl 94, 95, 97
K Khuramsahi, Bahauddin 33, 162,
180, 212, 213
kaffah 27 Koherensi 112
kafir 37, 40, 41, 43, 45, 47, 48, koherensi 114, 176
49, 52, 53, 54, 77, 78, 80, Komunisme 6
84, 85, 86, 87, 89, 92, 95, konsep 75, 81, 82, 96, 97
96, 97, 115, 118, 119,120, Kritis 109, 128, 153, 164, 181,
140, 141, 149, 156, 165, 193, 201, 205
167, 168, 169, 172, 182, kull 144, 145, 147
183, 186, 187, 189, 191,
193, 194, 195, 196, 198, L
199, 202, 204, 207
Karl Rahner 6 Laotze 5
Keadilan 190 Legenhaussen 34
keadilan 98, 106, 119, 192 logis 19, 58, 79, 120, 176
kebebasan 22, 78, 79, 80, 82,90, Af 18
123, 128, 129 M
kebenaran 1, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 15,
16, 17, 19, 22, 23, 24, 25, ‘Muslim’ 112
26, 29, 30, 31, 32, 37, 40, *‘Mushimin’ 112
41, 43, 47, 51, 53, 54, 63, ma‘ad |0
71, 75, 81, 95, 108, 112, ma 'rifah 113, 157, 211, 214
Mahasin Al-Ta’wil 121
p:219
Mahdawiyah 39 N
Mahmud Bina 23, 40, 126, 148,
164 Nabi 7, 9, 11, 15, 16, 18, 19, 24,
makhluk 83, 88, 109, 127 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
Malik Asytar 91, 97 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,
Maqumes 38 40, 41, 42, 46, 51, 53, 56,
Maraghi,Al- 144, 168, 204, 213 62, 68, 69, 70, 76, 77, 79,
Materialisme 8 80, 84, 86, 87, 89, 96, 97,
Mesir 31, 38, 210, 213, 216 99, 106, 107, 110, 113,
Metafisica 5 114, 116, 118, 120, 121,
minhaj 154 122, 130, 131, 136, 139,
minoritas 76, 89, 91, 92, 93, 97, 140, 141, 149, 150, 151,
188, 206 152, 155, 156, 158, 159,
mubdhalah 173 160, 165, 166, 167, 168,
Muhammad Abduh 22 169, 171, 173, 174, 176,
Muhammadi 109, 113, 118, 119, 177, 178, 181, 182, 186,
120, 121, 122, 213 187, 188, 193, 195, 202
Muhammad Jawad Balaghi 21 nabi eksternal 197
Muhammad Jawad Mughniyah nabi internal 71, 197
22 nafy 22
Muhammad Shadigq Fakhrul Islam Najjasi 183
34 nakirah 113, 150, 151, 155, 156,
Muhaymin 17 7 158, 160
muhaymin 23, 24, 133, 134,159, Nasikh 17
170 nasikh 22, 24, 104, 116
muhimm 9] naskh 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,
Mujahid 143 24, 25, 26, 29, 34, 35, 38,
mugayyad 104 39, 43, 47, 57, 63, 71, 124,
murtad 47, 48, 49, 50, 51 130, 134, 145, 162, 170,
Murtadha, Sayyid 21, 214 19, 201
Murtadha Muthahhari 25, 79 negasi 22
Musa Kazhim, Imam 16 netralitas 103
Muthahhari, Syahid 22 New Theology 12
muwahhid 39 O
objektifitas 103
oneness 10, 11
Otokritik 156
p:220
P 157, 158
spembenar’ 24 politeis 84
‘penetapan hukum’ 130 Q
‘penghapus’ 22, 24, 43 _—
paradigma 3 Qasim1,Muhammad Jamaluddin
pararelisme 152 121, 214
partikularisme 7, 12 Qatadah 130, 142, 143
Pemikiran 220 Qebt 38
pemikiran 2,3, 54, 60,91, 106 Qutub, Sayyid 165, 214
pengenalan Ilahi 153 R
penyembahan 83, 153
Perancis 34, 99, 124 Raghib Isfahani 17
Perang 201, 202 Rahmatullah Hindi 22
perang 49, 56, 86, 94, 175, 200, realitas 8, 10, 20, 105, 112
201, 202, 203 Realitas Absolut 10
persamaan 81, 82, 87, 203 risalah 23, 79, 193, 194, 195
Piagam 90 Robertson 98
plural 11, 154 Roger Garaudy 34
Pluralis 1, 3, 6, 7, 40, 47, 50,52, Romawi 38, 39
75, 103, 105, 107, 111,
115, 117, 118, 122, 123, S
124, 125, 134, 140, 141, opi
144, 146, 147, 148, 150, she ‘4 195, 197
IST, 153, 198, 100, 108, gaksi_ 15, 26, 54, 114, 156, 179,
171, 173, 175, 176, 178,
186, 191, 192, 193, 194,
181, 185, 186, 190, 191, 195. 196. 197
200. 203. 2 mene
ee salleh $5, 62, 103, 160, 161, 163,
Pluralisme 1, 2, 3,5, 6, 12, 15, 164, 166, 168, 169, 171,
, 178, 179, 180, 188, 189,
17, 22, 28, 40, 44, 51, 103, 191. 194. 197
106, 109, 112, 113, 124, Salman Farisi I 65
125, 126, 128, 129, 131, n ,
samawi 7, 8, 10, 23, 24, 35, 42,
132, 138, 139, 140, 164,
43, 63, 81, 106, 118, 148,
170, 174, 175, 177, 178,
154, 156, 184
183, 191, 192, 198, 200, Seiarah 9.37. 76.87.91
201, 203, 204, 206, 207 en oe 39 og.
luralitas 5, 50, 126, 130, 141 Semesta 26, 27, 28
P 0 eee Shaduq, Syaikh 21, 215
p:221
Shirat Mustaqim 150 92, 120, 133, 140, 143,
siyaq 113 167, 179, 182, 184, 207
sosial 9, 20, 73, 76, 82, 87, 88, Teologi Baru 12
90, 95, 97, 127, 174, 175, Teologi Universal 162, 163
200, 203 , 206, 207 Teori 117, 221, 226
sufi 127 Thabathaba’i, Allamah 18, 22,
Suryani (Syriac) 33 46, 56, 61, 68, 108, 122,
Sya’rani, Allamah 21 123, 124, 130, 131, 132,
syahid 197 133, 137, 139, 142, 144,
syariat 7,9, 10, 11, 18, 19, 20, 166, 171, 202
22, 24, 25, 34, 40, 63, 64, Thabathah (Fathimah) 33
65, 103, 110, 111, 113, Thusi,Syaikh 57, 118, 119, 215
121, 130, 131, 135, 144, titik 8, 81, 175, 203
145, 146, 149, 150, 151, Titik Persamaan 81
155, 159, 166, 171, 184, Toleransi 1, 73, 84, 96
198, 216 toleransi 5, 75, 76, 79, 81, 84, 86,
Syaukani 168, 216 87,91, 95, 96, 97, 98, 100,
Syeppar (Hasan) 33 175, 203, 207
Syuppar (Husain) 33 Tuduhan 35
tuduhan 35, 94
T tunduk 46, 70, 106, 149, 200
Thabarsi 109, 120 U
taghyir 117
Tahkim 94 ummah muqtashidah 180, 183
tahrif 69, 187 ummah qa'imah 180, 183
takwini 129 ummat-an wahidah 130
Tanwin Tafkhim 157
Tanwin Tankir 157 urafa’ \27
taslim 108, 109, 116, 118 V
taslim mahdh 116, 118
taslim mutlag 108 Voltaire (1694-1778) 75
fasyri'i 130
tatavvur 117 WwW
rune eo en Re 156, 160, ithah 143, 144, 145, 146, 147
Taurat 25, 30, 31, 34, 35, 37, 53, oe purant 7 dwie 8
63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, Benner Os
p:222
Y
Yahudi 7, 8, 12, 19, 20, 24, 34,
38, 45, 47, 49, 50, 51, 63,
64, 65, 67, 68, 76, 84, 89,
90, 93, 94, 97, 98, 99, 106,
111, 123, 133, 135, 136,
143, 146, 148, 155, 156,
157, 161, 164, 165, 166,
167, 171, 174, 179, 182,
184, 185, 188, 189, 198,
199, 201, 206
Z
Zaid bin Jahwar 24
Zamakhsyari 61, 67, 119, 120,
138, 144, 168, 184, 216
Zoroaster 165
p:223