perwakilan universitas internasional al Musthafa di indonesia
Mutahhari, Murtaza - .1358 - سرشناسه: مطهری ، مرتضی ، 1298
عنوان قراردادی : آشنایی با قرآن .اندونزیایی. برگزیده
Memahami Pelajaran Tematis Al-Quran: tafsir tematis tentang : عنوان و نام پدیدآور
pengetahuan, akidah, akhlak,dan kehidupan sehari-hari (Buku
Pertama) / Murtadha Muthahharipusat ; penerjemah Muhammad
Jawad Bafagih.
Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, : مشخصات نشر
1393 = 2014.
21 س م. /5×14/ مشخصات ظاهری: 243 ص .؛ 5
1393 / فروست اصلی : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم؛ 164 پ/ 25 7
فروست فرعی : نمایندگی المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم در اندونزی؛ 3
9 78-964-195 -026- شابک : 4 وضعیت فهرست نویسی : فیپا
یادداشت : اندونزیایی.
موضوع : قرآن-- تحقیق
موضوع : تفاسیر شیعه -- قرن 14
شناسه افزوده : بافقی، محمدجواد، مترجم
Bafaqih, Muhammad Jawad : شناسه افزوده
شناسه افزوده : جامعةا لمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم العالمیة. مرکزبین المللی ترجمه ونشرالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم
Almustafa International University Almustafa International : شناسه افزوده
Translation and Publication center
BP 5049519 آ 583 م/ 98 رده بندی کنگره: 1393
179/ رده بندی دیویی : 297
شماره کتابشناسی ملی : 3649482
p:1
p:2
Ayatullah Murtadha Muthahhari
pusat penerbitan dan
penerjemahan internasional al Musthafa
penerjemah:
Muhammad Jawad Bafagih
Memahami Pelajaran Tematis Al-Quran
tafsir tematis tentang pengetahuan, akidah, akhlak,
dan kehidupan sehari-hari (Buku Pertama(
memahami pelajaran tematis al-Quran tafsir tematis tentang pengetahuan,
akidah, akhlak, dan kehidupan sehari-hari (Buku Pertama)
penulis: Ayatullah Murtadha Muthahhari
penerjemah: Muhammad Jawad Bafagih
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-026-4
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
p:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
مؤلف: آیت الله مرتضی مطهری
مترجم: محمدجواد بافقی
چاپ اول: 1393ش / 2014 م
چاپخانه: نارنجستان
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم
تیراژ: 300
قیمت: 110000 ریال
آشنایی با قرآن
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
p:4
p:5
p:6
p:7
p:1
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
«سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِیهَا آیَاتٍ بَیِّنَاتٍ لَعَلَّکُمْ تَذَکَّرُونَ (1)»
(Ini adalah) satu surah yang kami turunkan dan kami wajibkan
(menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)-nya, dan
kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu
mengingatinya. (QS an-Nur: 1)
«الزَّانِیَةُ وَالزَّانِی فَاجْلِدُوا کُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْکُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِی دِینِ اللَّهِ إِنْ کُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْیَوْمِ الْآخِرِ وَلْیَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِینَ (2)»
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS an-Nur: 2)
«الزَّانِی لَا یَنْکِحُ إِلَّا زَانِیَةً أَوْ مُشْرِکَةً وَالزَّانِیَةُ لَا یَنْکِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِکٌ وَحُرِّمَ ذَلِکَ عَلَی الْمُؤْمِنِینَ (3)»
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik, dan demikian itu diharamkan atas orang-orang
mukmin. (QS an-Nur: 3)
p:2
Karena pada hari-hari ini adalah hari wafatnya as-Siddiqah
ath-Thahirah Fatimah as, yang merupakan “penghulu
para perempuan semesta alam” dan dalam dunia Islam ia
merupakan simbol dari “kesucian”, saya hendak menafsirkan surah
suci an-Nur. Saya memilih surah ini karena sebagian besar isi surah
ini berhubungan dengan ‘afaf (kesucian diri).
Al-Quran mengatakan, “Dalam surah ini Kami menurunkan
serangkaian ayat yang cukup jelas, agar ka lian menjadi ingat, sadar
dan mengetahui.” Pada awal surah ketika Al-Quran mengatakan,
“satu surah yang Kami turunkan” hanya surah ini yang diawali
dengan ungkapan tersebut. Kita memiliki berbagai surah da lam
Al-Quran, awal dari surah-surah tersebut senantiasa diawali dengan
“Kami menurunkan al-Kitab ini”, yakni mengisyaratkan pada
seluruh isi Al-Quran. Tetapi pada surah ini, hanya mengisyaratkan
pada surah ini saja. Jelas, ini merupakan suatu perhatian khusus
terhadap isi surah ini.
Tentunya Anda telah mengetahui arti dari “surah”; kumpulan
berbagai ayat yang dimulai dengan “bismillah “ kemudian sampai
akhir ayat, setelah itu terdapat “bismillah” yang lain, bagian
inilah yang disebut dengan surah. Al-Quran merupakan sebuah
kitab yang tidak memiliki bab dan jilid. Tetapi pembagiannya
dalam bentuk berbagai surah. Setiap surah diawali de ngan “bismillah”,
sedangkan “bismillah” untuk surah berikutnya merupakan
tanda bahwa surah sebelumnya telah berakhir. Disebutkan bahwa
kata “surah” berasal dari kata “sur”. Dalam bahasa Arab arti kata
tersebut ialah, pembatas yang dibuat pada sekeliling sebuah kota
sehingga kota tersebut berada di dalamnya. Se buah dinding yang
mengelilingi sebuah kota atau desa disebut ‘sur’. ‘Sur al-balad’ ialah
dinding yang tinggi yang dibangun pada sekeliling kota. Karena
setiap surah seakan berada dalam suatu batasan, maka di sebut
dengan “surah”. Nabi Saw yang memilah-milah Al-Quran menjadi
beberapa surah, dan bukannya kaum Muslimin. Sejak awal diturunkan,
Al-Quran telah berbentuk surah-surah.
Pada ayat pertama, terlebih dengan menggunakan ungkapan,
p:3
“satu surah yang Kami turunkan” kemudian dilanjutkan dengan
ungkapan, ‘’dan Kami wajibkan”, menunjukkan bahwa permasalahan
yang berhubungan dengan ‘afaf (kesucian diri) adalah suatu
masalah yang sangat serius. Persis kebalikan dari yang ada dalam
pola pikir masyarakat sekarang ini. Mereka menganggap ringan
dan remeh masalah hubungan seksual, lalu mereka membuat sebuah
istilah yang tidak benar yaitu mereka menyebut dengan “kebebasan”
yang pada akhirnya berjalan menuju pada “kebebasan
seksual”. Al-Quran memaparkan adanya perempuan-perempuan
yang senantiasa menjaga kesucian diri. Menjelaskan mengenai hukuman
bagi perempuan yang tidak menjaga kesucian dirinya, dan
hukuman bagi mereka yang mencemarkan nama seorang perempuan
yang senantiasa menjaga ke sucian dirinya (Afifah) dengan
cara melontarkan tuduhan bohong bahwa dia (perempuan itu)
tidak menjaga kesucian diri. Selain itu Al-Quran juga senantiasa
memberikan dorongan dalam pelaksanaan pernikahan. Alhasil,
Al-Quran mengungkapkan berbagai permasalahan yang berhubungan
dengan ‘afaf. Al-Quran hendak mengatakan bahwa masalah
itu adalah sebuah masalah yang sangat serius dan wajib, dan
tidak dapat dianggap remeh. Di antara musibah dan bencana yang
ada di dunia ini ialah: meremehkan dan menganggap kecil dasardasar
ketakwaan dan ‘afaf dalam hal hubungan seksual, yang mana
nanti hal itu akan saya paparkan.
“Satu surah yang Kami turunkan”, sebuah surah yang Kami
turunkan dan Kami wajibkan atas kalian untuk memperhatikan
dan menjaga ketentuan-ketentuan ini. Kami menganggap ini
adalah suatu hal yang sangat penting, dan Kami tidak menganggap
remeh. “dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas”,
dalam surah ini Kami mengeluarkan serangkaian ayat yang cukup
jelas, ayat yang agung dan jelas.
Kemungkinan maksud dari ayat-ayat tersebut ia lah seluruh
ayat yang terdapat dalam surah ini, sebagaimana yang dikatakan
oleh Allamah Thabathaba’i dalam bukunya, Tafsir al-Mizan:
“Maksud dari ayat-ayat adalah: ayat-ayat yang ada pada pertengahan
su rah, di mana ayat-ayat tersebut merupakan inti dari surah ini”.
p:4
Ayat-ayat dalam surah ini berhubungan dengan masalah etika
dan akhlak seksual, sedangkan ayat-ayat itu (pada pertengahan
surah) berhubungan dengan masalah dasar-dasar akidah, tentunya
saya akan menjelaskan hubungan kedua bentuk ayat-ayat tersebut.
Alhasil Al-Quran mengatakan, “Kami menurunkan ayat-ayat
ini, dan Kami mewajibkan isi dan undang-undang yang berhubungan
dengan etika seksual yang ada dalam surah ini.” Dalam surah
ini Kami menurunkan serangkaian ayat yang cukup jelas guna
membangunkan, menyadarkan manusia, “agar kamu selalu mengingatinya”,
agar kalian senantiasa ingat, mengeta hui, dan terlepas
dari kelalaian.
Kemungkinan Anda telah mengetahui perbedaan antara kata
‘tafakkur’ dan kata ‘tadzakkur’. Kata ‘tafak kur’ digunakan untuk
suatu masalah di mana seseorang benar-benar tidak mengetahui
masalah tersebut dan ia benar-benar buta akan masalah itu, lalu
Al-Quran menjelaskan masalah itu. Al-Quran acapkali berbicara
perihal ‘tafakkur’. Kata ‘tadzakkur’ digunakan untuk suatu hal
yang fitrah manusia secara sendirinya mampu mengetahui dengan
jelas kebenaran masalah itu, namun perlu diingatkan dan disadarkan.
Al-Quran, khususnya berkenaan dengan ayat-ayat ini menggunakan
kata ‘tadzakkur’, kemungkinan sebabnya ialah un tuk
menghormati manusia, yaitu dengan mengatakan, “Kami mengingatkan
kalian akan masalah-masalah ini, di mana jika kalian merenungkan
dengan diri sendiri pasti akan mengetahuinya, namun
Kami hanya ingin mengingatkan kalian”.
Ayat berikutnya berkaitan dengan masalah hukuman atas
fahsya’ yakni hukuman atas perbuatan zina (fahsya’ berarti berzina).
Al-Quran mengatakan:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. “ (QS an-Nur: 2)
p:5
Dalam ayat ini terdapat tiga penjelasan inti. Pertama, orang
yang berbuat zina baik laki-laki atau perempuan harus menerima
hukuman. Bentuk hukumannya telah ditentukan oleh Al-Quran;,
yakni seratus dera. Seratus dera bagi laki-laki yang berzina dan seratus
dera bagi perempuan yang berzina.
Kedua, menjelaskan kepada orang-orang mukmin bahwa
berkenaan dengan pelaksanaan hukuman ini janganlah dikuasai
oleh rasa iba. Jangan sekali-kali karena kalian merasa iba, lalu
mengatakan, “Sera tus kali dera sangat menyakitkan, kita kurangi
saja,” di sini bukan tempatnya rasa iba. Al-Quran mengatakan,
dalam hal ini jangan sekali-kali perasaanmu terguncang, sehingga
menyebabkan kalian menganggap remeh hukuman itu. Janganlah
kalian beranggapan bah wa pelaksanaan hukuman itu menurut istilah
sekarang ini “tidak manusiawi”. Tidak, itu “manusiawi”.
Ketiga, hukuman ini jangan dilaksanakan secara tersembunyi,
karena hukuman ini bertujuan memberi pelajaran bagi yang
lain. Pelaksanaan hukuman ini harus disaksikan dan dilihat oleh
sekumpulan orang-orang mukmin. Maksudnya ialah pada saat hukuman
ini dilaksanakan, masyarakat mesti mengetahui bahwa si
fulan yang berzina telah dijatuhi hukuman, dan bukannya dilaksanakan
secara tersembunyi. Harus dilak sanakan secara terangterangan.
Berkenaan dengan masalah pertama yaitu, bentuk hukuman
bagi pelaku zina, saya akan mememaparkan berberapa penjelasan.
Pertama, apakah falsafah dari hukuman zina itu? Jika anda membaca
berbagai buku yang membahas tentang masalah ini, maka
Anda akan menjumpai mereka berpendapat semacam ini: alasan
dari dijatuhkannya hukuman pada pelaku zina ada lah—menurut
istilah mereka—”kepemimpinan laki-laki”. Pada masa dahulu
ketika laki-laki berkuasa atas perempuan, dalam arti laki-laki
berkuasa penuh dan pemilik keluarga, seorang perempuan tidak
memiliki suatu hak apa pun, ia hanya merupakan “alat” yang ada
di tangan seorang laki-laki dan dipergunakan demi kepentingan
laki-laki. Seorang laki-laki beranggapan bahwa dirinya adalah pemilik
perempuan itu, ketika seorang perempuan berbuat zina—
p:6
menurut pandangan suami, perempuan adalah miliknya secara
mutlak —kemudian dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena
inilah pelaku zina dijatuhi hukuman.
Jelas menurut undang-undang Islam, pandangan semacam
itu sama sekali tidak berdasar. Dalam Islam hukuman atas pelaku
zina tidak dikhususkan pada perempuan saja. Laki-laki yang berzina
harus dijatuhi hukuman dan demikian pula terhadap perempuan
yang berzina. “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera”, Al-Quran menjelaskan bahwa laki-laki yang berzina dan
perempuan yang berzina keduanya harus dijatuhi hukum an. Jika
hukuman atas pelaku zina khusus untuk perempuan saja, maka tidak
ada batasan dan larangan bagi seorang laki-laki dalam berbuat
zina, dan hanya perempuan sajalah yang dilarang untuk berzina—
kemungkinan ketentuan semacam itu pernah berlaku di dunia ini,
yaitu hanya perempuan yang tidak dibenarkan untuk ber zina dan
tidak ada larangan terhadap laki-laki—jika ketentuannya adalah
semacam itu, maka bukan mustahil jika mereka berpendapat
bahwa hukuman terhadap pelaku zina ialah, “kepemimpinan lakilaki”.
Namun dalam Islam, laki-laki dan perempuan keduanya tidak
dibenarkan berzina. Maksudnya ialah seorang laki-laki hanya
dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya melalui jalan pernikahan,
dan pernikahan itu sendiri merupakan ungkapan setuju
atas berbagai perjanjian dan tanggung jawab yang ada. Seorang
perempuan juga hanya dapat menyalurkan kebutuhan biologisnya
melalui jalan pernikahan, yang berarti ia telah menyetujui berbagai
perjanjian dan tanggung jawab. Jika demikian, maka seorang
laki-laki yang tidak melangsungkan pernikahan tidak dibenarkan
untuk mengumbar ke butuhan biologisnya yang menurut istilah
sekarang ini “melampiaskan hawa nafsu”. Demikian pula halnya
dengan perempuan. Oleh karena itu, masalah pengharaman zina
tidak hanya khusus bagi perempuan saja, tetapi juga terhadap lakilaki.
Sekarang terdapat suatu permasalahan yang lain, yaitu kebiasaan
yang ada dalam masyarakat Eropa se karang ini, yaitu lakilaki
dan perempuan tidak dibenarkan untuk berzina jika mereka
p:7
berdua telah—menurut istilah Islam—muhshan atau muhshanah
(beristri atau bersuami). Yaitu jika seorang laki-laki yang
telah beristri dan seorang perempuan yang telah bersuami tidak
dibenar kan berzina, adapun bagi laki-laki yang tidak beristri dan
perempuan yang tidak bersuami keduanya tidak ada larangan berbuat
zina. Tentunya seorang perempuan yang tidak bersuami tidak
dibenarkan mengadakan hubungan seksual dengan laki-laki yang
beristri, dan laki-laki yang tidak beristri tidak dibenarkan mengadakan
hubungan de ngan perempuan yang bersuami. Sedangkan
laki-laki yang tidak beristri atau perempuan yang tidak bersuami
kedua nya memiliki kebebasan dalam mengadakan hubung an seksual.
Mengapa mereka berpendapat demikian?
Mereka menduga bahwa falsafah pengharaman zina atas laki-
laki yang beristri adalah karena dengan melakukan hubungan
tersebut, berarti ia (laki-laki) telah berkhianat terhadap istrinya
dan mengesampingkan haknya. Dan pengharaman zina atas
perempuan yang telah bersuami adalah karena perempuan telah
melenyapkan hak suaminya. Jika demikian, maka seorang laki-laki
yang tidak beristri tidak terikat suatu perjanjian dengan siapa pun,
demikian pula dengan seorang perempuan yang tidak bersuami,
ia tidak terikat perjanjian dengan laki-laki manapun, maka tidak
ada batasan bagi keduanya (dalam melakukan hubungan seksual).
Namun sesuai pandangan Islam, ada dua poin utama. Pertama,
bagi seorang laki-laki dan perempuan tidak di benarkan
memenuhi tuntutan biologisnya di luar pembentukan hubungan
keluarga (pernikahan), baik laki-laki itu beristri atau tidak, perempuan
itu bersuami atau tidak. Islam sangat menghargai hubungan
keluarga (pernikahan), sehingga di luar keluarga tidak dibenarkan
un tuk menyalurkan kebutuhan biologis, dan hanya dalam keluarga
saja dibenarkan untuk memenuhi kebutuh an biologis. Di luar
pernikahan seorang laki-laki maupun perempuan tidak dibenarkan
untuk saling berhubungan seksual. Kedua, tentang hukuman
yang diberikan oleh Islam terhadap laki-laki yang beristri dan
perempuan yang bersuami, juga di mana Islam menetapkan adanya
dua bentuk hukuman, maka hukuman tersebut menjadi se9
p:8
makin berat. Islam menentukan adanya sebuah hu kuman yang sifatnya
umum yaitu: seratus dera dan rajam (dilempari batu kerikil
sampai mati).
Salah satu faktor yang memperkuat sendi dan ikatan keluarga
ialah, berbagai ketentuan di atas. Yang menyebabkan guncangan
dan lemahnya sendi keluarga di Eropa ialah tatanan yang mereka
ciptakan. Masyarakat kita pun demikian, jika kita mengikuti
tatanan Barat tersebut, maka sendi keluarga kita akan terguncang.
Ketika masyarakat kita benar-benar mengamalkan peraturan Islam,
yakni laki-lakinya sebelum menikah tidak memiliki hubungan
dengan perempuan yang menurut istilah Barat “girl friend”,
dan si perempuan pun demikian pula, maka bagi seorang laki-laki
dan perempuan pernikahan merupakan suatu hal yang didamba
dan diidam-idamkan. Seorang laki-laki ketika berumur lima belas
tahun secara alamiah ia memerlukan pasangan, perempuan pun
demikian juga. Dan ini adalah hal yang wajar di mana seorang
laki-laki berharap dapat memiliki istri karena dengan melakukan
perni kahan maka ia akan terlepas dari berbagai keterikatan dan
larangan dalam berhubungan dengan perempuan, dan ia memiliki
kebebasan dalam berhubungan dengan perempuan, maka “malam
pertemuan kedua pengantin merupakan suatu malam yang penuh
dengan kebahagiaan” karena didasari atas unsur kejiwaan. Sosok
yang pertama kali memberikan kebaha giaan kepada laki-laki ini,
yakni membebaskan ia dari berbagai keterikatan dan batasan
menuju kebebasan adalah istrinya. Hal inilah yang menyebabkan
ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang
sama sekali belum pernah dikenalnya, di antara keduanya akan
terbentuk ikatan yang sangat kuat, dan tercipta suatu kondisi yang
luar biasa (saya tidak hendak mengatakan bahwa tanpa melihat
terlebih dahulu ada lah suatu tindakan yang benar). Tidak, Islam
mengizinkan bagi mereka yang akan menikah untuk saling melihat.
Namun sekiranya mereka tidak saling me lihat, ketika mereka
telah melangsungkan pernikahan, maka keduanya akan tetap saling
mengasihi sampai akhir hayat.
Adapun dalam aturan Barat, seorang laki-laki selama ia belum
beristri bebas untuk mengadakan hubungan seksual dan
p:9
seorang perempuan yang belum bersuami juga bebas untuk mengadakan
hubungan seksual. Hasil dari semua itu ialah, bagi lakilaki
pernikahan adalah merupakan suatu bentuk keterikatan dan
menurut perempuan pernikahan juga merupakan suatu ben tuk
dari keterikatan. Sebelum menikah mereka memiliki kebebasan,
bebas berhubungan dengan siapa pun, namun sekarang ketika
telah menikah menjadi terbatas pada seorang saja. Hal inilah yang
menyebabkan seorang laki-laki ketika hendak menikah ia mengatakan,
“Sekarang saya akan mempunyai seorang penjaga penjara
bagi diri saya.” Seorang perempuan pun demikian juga. Ia menganggap
suaminya adalah penjaga pen jara, yakni dari kebebasan
menuju keterbatasan.
Pernikahan menurut pandangan Barat ialah pembatasan kebebasan,
dari kebebasan menuju pada keter batasan. Sedangkan
pernikahan menurut pandangan Islam ialah dari keterbatasan
menuju pada kebebasan. Sebuah pernikahan yang dasar dan unsur
kejiwaannya “dari keterbatasan menuju kebebasan” sudah barang
tentu akan menjadi semakin kokoh, sedangkan yang dasarnya
“dari kebebasan menuju keterbatasan” maka pertama tidak kokoh,
yakni cepat terjadi perceraian dan kedua laki-laki yang menurut
istilah Barat “berpengalaman” terhadap berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus perempuan, begitu juga perempuan yang berpengalaman
terhadap berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus laki-laki,
apakah sekarang ini ia akan merasa cukup dengan seorang saja?
Dapatkah ia dibuat menjadi cu kup dengan seorang saja? Oleh
karena itu dalam Islam, sebab pengharaman zina bukan karena
melenyapkan hak seorang laki-laki atau hak seorang perempuan.
Dan jika karena sebab itu (saling melenyapkan hak), maka apakah
seorang laki-laki yang tidak menikah dan tidak terikat oleh suatu
perjanjian dengan perempuan mana pun, dan seorang perempuan
yang tidak menikah dan tidak memiliki ikatan perjanjian dengan
laki-laki mana pun keduanya bebas untuk melakukan hubungan
seksual? Tidak, seorang laki-laki yang seumur hidupnya tidak ingin
menikah, maka ia dalam keadaan terikat mutlak, dan seorang
perempuan yang sepanjang hudupnya tak ingin menikah ia juga
dalam keadaan terikat mutlak. Islam mengatakan, “Kalian harus
p:10
dalam kondisi sama sekali tidak melakukan hubungan seksual,
atau melakukan pernikahan dan menerima berbagai perjanjian
serta bertanggung jawab atas tugas-tugas yang muncul kare na
hubungan pernikahan tersebut.”
Hal inilah yang menyebabkan Islam secara tegas menyatakan
bahwa perbuatan zina memiliki hukuman yang berat. Dan zina,
yang hanya perbuatan zina saja, dan tidak melenyapkan hak
seorang suami atau hak seorang istri, maka hukumannya adalah
dera (cambuk). Terhadap seorang laki-laki yang beristri dan jelas
ia tidak berada dibawah tekanan nafsu seksualnya, dan seorang
perempuan yang bersuami dan ia juga tidak berada dibawah tekanan
nafsu seksualnya, lalu keduanya berzina hanya untuk mencaricari
kepuasan nafsu, maka Islam menentukan hukuman rajam
(dilempari batu kerikil sampai mati) bagi keduanya itu. Perhatikanlah,
betapa Islam sangat memperhatikan permasalahan ini!
Dunia Barat pada awal mulanya mengatakan, “Berzina bagi
seorang perempuan yang tidak bersuami, dan seorang laki-laki yang
tidak beristri bukan merupakan suatu tindak kejahatan.” Bertrand
Russell menambahkan, “Kecuali jika perbuatan itu mengakibatkan
cedera, sedangkan jika tidak mencederai maka tidak ada masalah.”
Lambat laun akhirnya Bertrand Russell secara terang-terangan
mengatakan, “Apa salahnya jika seorang perempuan yang bersuami
memiliki seorang teman, dan rasa cinta dan kasihnya berada di suatu
tempat, selain ia memiliki suami juga memiliki kekasih? Ia bercinta
dengan suaminya dan melahirkan anak di rumah suaminya juga,
namun terdapat sebuah perjanjian yaitu ketika ia (perempuan) bercinta
dengan kekasihnya ia mesti menggunakan alat kontrasepsi.
Apakah Russell sendiri percaya pada pernyataan itu? Tidak
satu pun dari orang-orang yang berakal yang percaya jika ada
seorang perempuan yang mencintai laki-laki lain, cintanya tercurah
kepada laki-laki lain, na mun ia tetap merupakan seorang
istri dari seorang laki-laki saja dan ia hanya terikat dengan sebuah
perjanjian yaitu “harus melahirkan anak dari suaminya saja”. Setiap
perempuan selalu menginginkan bayi yang dilahirkan, bayi yang
ada di hadapannya adalah hasil dari laki-laki yang dicintainya. Dan
p:11
bukan hasil dari laki-laki yang dibencinya. Kemudian apakah ada
jaminan jika ia tidak akan mengandung dari laki-laki yang ia cintai
(bukan suaminya)? Dan mungkinkah bayi yang dilahirkan itu
tidak dinisbatkan kepada suaminya?
Al-Quran memelihara sisi ini, dan mengatakan, “yang Kami
turunkan dan Kami wajibkan”, Kami telah mewajibkan semua itu,
dan itu merupakan suatu ketentuan yang tidak dapat diubah. Tuntutan
zaman tidak dapat mengubah ketentuan-ketentuan itu, dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dapat berubah. Semua itu merupakan
dasar dari kehidupan manusia dan tidak dapat diubah.
Kemudian Al-Quran mengatakan, “dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah", di sini juga menunjukkan penekanan kuat pada pelaksanaannya.
Di sini bukan tempatnya rasa iba dan maaf. Ketika telah terbukti maka kau tidak lagi berhak untuk memamafkan
Pada kalimat berikutnya, secara khusus memerintahkan agar
hukuman terhadap laki-laki atau perempuan yang berbuat zina
itu jangan kalian laksanakan di tempat yang tertutup dan jauh
dari pandangan masyarakat. Harus dilaksanakan di hadapan masyarakat,
dan berita pelaksanaan hukuman itu tersebar ke berbagai
penjuru, agar mereka semua mengetahui bahwa Islam sangat
sensitif pada masalah ‘afaf (kesucian diri). Dan juga dasar dari
pelaksanaan hukuman balasan itu adalah untuk membina serta
mendidik masyarakat. Meskipun seorang perempuan yang berbuat
zina itu telah dihukum mati namun jika hukuman mati itu
dilaksanakan dengan cara tersembunyi, maka itu tidak akan memberikan
pengaruh pada masyarakat. Pada masa awal Islam, ketika
hukuman semacam ini akan dilaksanakan—yang jelas hal itu pernah
terjadi, karena ketika hukuman ini dilaksanakan perbuatan
zina menjadi berkurang—mereka terlebih dahulu mengumumkan
waktu pelaksanaan hukuman tersebut kepada masya rakat.
Dalam hal ini tidak ada salahnya jika saya menukil sebuah
Hikmah (kata-kata mutiara), “Orang yang bodoh itu, ada kalanya
berlebih-lebihan adakalanya lalai”.(1) Masyarakat Eropa sebelum dua
p:12
atau tiga abad terakhir ini, di mana undang-undang yang berlaku
pada saat itu adalah undang-undang gereja, sangat berlebihan
dalam membatasi hubungan seksual, mereka juga mengeluarkan
berbagai sanggahan terhadap berbagai masalah yang berhubungan
dengan Islam. Dasar dari undang-undang gereja ialah hubungan
seksual sekalipun dengan istri yang sah, merupakan suatu tindakan
yang hina (tercela).
Menurut pandangan mereka seorang perempuan ada lah
merupakan satu wujud yang hina, dan mengadakan hubungan walaupun
dengan istri yang sah merupakan suatu perbuatan kotor.
Oleh karena itu, orang-orang yang mulia, suci, dan bersih, mereka
yang memiliki kelayakan untuk menduduki posisi tertinggi di bidang
keagamaan ialah mereka yang seumur hidupnya tidak pernah
menyentuh perempuan, dan tidak pernah berhubungan dekat
dengan perempuan. “Pope” adalah di antara orang yang terpilih—
sampai sekarang pun demikian adanya—sepanjang umurnya ia
dalam keadaan membujang dan nafas “bujangan” adalah suci. Mereka
mengatakan, “Orang-orang yang layak men duduki kedudukan
yang suci ini, ialah orang-orang yang seumur hidupnya tidak
pernah menyentuh perempuan.” Orang-orang semacam ini sangat
sedikit sekali. Mereka-mereka itulah yang kemudian menjadi pendeta
dan kardinal dan sebagian mencapai peringkat “pope”. Mereka
melanjutkan, “Namun sebagian besar dari masyarakat tidak
mampu membujang.
Dan jika kami memerintahkan kepada sebagian besar dari
masyarakat untuk hidup membujang, dan mereka malah berbuat
zina justru ini malah semakin buruk, dan mereka malah
akan sering melakukan hu bungan seksual.” Oleh karena itu, demi
“menghalangi terjadinya yang lebih buruk dari yang buruk” maka
mereka mengizinkan pernikahan.
Namun Islam kebalikannya, yaitu menganggap lajang dan
bujangan adalah sesuatu yang tercela, dan mengatakan, “Bumi
mengutuk para bujangan yang buang air seni di atasnya”,2 serta
menganggap suci pernikahan.
2 Ungkapan semacam ini dalam berbagai riwayat berkenaan de ngan ‘aghlaf yaitu orang
laki-laki yang tidak berkhitan. (Biharul Anwar vol:104 hal. 126)
p:13
«وَالَّذِینَ یَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ یَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِینَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِکَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4)»
Dan orang-arang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selamalamanya.
Dan mereka itulah orang-arang yang fasik. (QS an-Nur: 4)
Kata muhshanah’ atau muhshinah’ yang ada dalam Al-Quran
diartikan dalam dua bentuk. Terkadang muhshanah’ atau muhshinah’
berarti perempuan yang bersuami, yaitu yang berada
dalam ikatan pernikahan, dan terkadang kata ini diartikan dengan
perempuan yang menjaga kesucian dirinya (afifah) sekalipun
perempuan tersebut belum menikah. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah arti yang kedua. Orang-orang yang melepaskan (rama
berarti melepas anak panah) anak panah tuduhan, dan perempuan-
perempuan yang menjaga kesucian diri nya dijadikan sasarannya;
mereka menuduh perempuan-perempuan tersebut tidak
menjaga kesucian diri, dan me reka tidak dapat mendatangkan
empat orang saksi, maka mereka harus dikenakan hukuman. Yang
jelas Islam tidak menerima berbagai pernyataan yang tanpa bukti.
Namun ada sebagian pernyataan yang dapat diterima sekalipun itu
datangnya dari seorang saja dan bahkan dari seorang perempuan.
Seperti masalah yang berhubungan dengan keperempuanan, yang
dinyatakan oleh perempuan itu sendiri (saya sedang menstruasi).
Ketika seorang laki-laki hendak menceraikan istrinya, karena perceraian
tidak dibenarkan ketika istri dalam keadaan menstruasi,
maka ia akan menanyakan, “Kau dalam keadaan bersih atau menstruasi?”,
jika perempuan tadi menjawab, “Aku dalam keadaan bersih”,
ini telah cukup, dan jika ia menjawab, “Aku dalam keadaan
mestruasi”, pernyataannya ini juga dapat diterima. Di sini tidak
lagi dikatakan, “Berilah kesaksian dari dua orang saksi”, karena
pernyataan perempuan itu diakui kebenarannya. Sedangkan pada
sebagian yang lain harus ada dua orang saksi laki-laki, seperti pernyataan
yang berkaitan dengan harta.
p:14
Namun dalam masalah yang berhubungan dengan harga diri,
yang menyangkut masalah kehormatan, mencemari kesucian diri,
maka tidak cukup sekalipun dengan kesaksian dua orang yang adil
(yang tidak melakukan perbuatan dosa—pen.). Jika ada dua orang
saksi yang adil, di mana masyarakat melakukan salat berjamaah
di belakangnya, sekalipun masyarakat ber-taklid (mengikuti) kepadanya,
keduanya datang dan memberi kesaksian bahwa: “Kami
menyaksikan dengan dua mata kami sendiri perempuan fulan
telah berzina”, Islam menjawab, “Tidak cukup, kalian hanya dua
orang.” Jika sekiranya terdapat tiga orang saksi yang adil, Islam
tetap akan menjawab, “Tidak cukup.” Jika ada empat orang saksi
yang adil yang datang dan memberi ke saksian, maka saat itulah
Islam akan bersedia meneliti perempuan yang tertuduh itu, dan
mengetahui lebih lanjut bukti-bukti yang ada.
Mungkin Anda akan mengatakan, “Jika demikian hal itu sangat
jarang dapat ditemukan. Bagaimanakah cara mendapatkan
empat orang saksi yang adil sehingga kemudian memberikan kesaksian)
bahwa perempuan itu telah berbuat zina?”. Kita akan mengatakan,
“Apakah sehubungan dengan masalah zina Islam memerintahkan
mesti memata-matai, meneliti dan memeriksa?” Ketika
Islam mengatakan, “Empat orang saksi”, tujuannya adalah bukan
agar memata-matai dan meneliti, sehingga kemudian kalian mengatakan,
“Dengan persyaratan yang berat ini tidak mungkin dari
seratus ribu kejadian bisa didapatkan empat orang saksi yang
memberi kesaksian.” Pada dasarnya Islam hanya menginginkan
agar perbuatan zina hanya sedikit yang dapat dibuktikan. Jika tidak
ada orang yang datang dan memberi kesaksian, tak masalah.
Jika terjadi seribu kasus perbuatan zina, dan tetap tersembunyi,
menurut pandangan Islam hal itu jauh lebih ringan dibandingkan
dengan seorang perempuan yang 'afifah yang tidak melakukan
zina, kemudian dijadikan sasaran tuduhan yang keji. Dan hal itu
sangat diutamakan oleh Islam.
Islam tidak menginginkan terjadinya perbuatan zina. Dan di
saat Islam menginginkan agar perbuatan zina tidak dilakukan, bukan
lewat perantara para saksi dan hukuman, tetapi melalui jalur
yang lain. Jika masyarakat konsisten terhadap berbagai jalur pen
p:15
didikan individual dan undang-undang sosial Islam, perbuatan
zina tidak akan terjadi. Dan bukannya jika perbuatan zina telah
terjadi kemudian dijatuhi hukuman, dan melalui perantaraan
penjatuhan hukuman tersebut mencegah perbuatan zina. Benar,
Islam juga mengakui adanya pengaruh dari hukuman itu. Ketahuilah,
mereka-mereka yang tidak mengindahkan ajaran itu akan
mendapatkan hukuman berupa dera yang bisa jadi menyebabkan
kematiannya, atau dihukum dengan dilempari batu kerikil sampai
mati. Telah kita ketahui bahwa diperlukan empat orang saksi, dan
kesaksian dapat membahayakan saksi. Jika ada seseorang yang menyaksikan
seorang perempuan tengah berbuat zina, dan ditempat
itu tidak ada tiga orang lagi selain dia, yang dapat secara bersama sama
memberikan kesaksian, ia harus tutup mulut. Jika ada dua
orang menyaksikan perbuatan itu, mereka berdua pun harus tutup
mulut. Jika ada tiga orang yang menyaksikannya, mereka bertiga
juga harus tutup mulut. Ketika kami mengatakan “Mereka harus
tutup mulut”, bukan berarti ketika mereka datang memberi kesaksian
kemudian akan dijawab, “Kesaksian yang kalian berikan tidak
cukup, karena tidak mencukupi maka pulanglah kerumah kalian
masing-masing!”, Tidak, namun akan dijawab, “Kalian telah mengatakannya
tetapi tidak dapat mendatangkan saksi, jika demikian
kalian adalah qadzif (menuduh perempuan) dan setiap seorang dari
kalian mesti didera delapan puluh kali”. Inilah yang dikatakan oleh
Al-Quran, “Mereka yang menu duh perempuan yang 'afifah dan
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, sekalipun mereka
benar, namun disebabkan ucapannya itu mereka telah menuduh
perempuan tersebut, mereka harus didera delapan puluh kali”.
Tetapi apakah hanya hukuman jasmani saja? Tidak, bahkan
juga hukuman sosial. “dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya”, kesaksian mereka ditolak untuk selamanya.
Setelah itu, kesaksi an mereka dalam berbagai hal sama
sekali tidak dapat diterima. Mereka juga harus mendapatkan hukuman
sosial, yakni mereka sejak saat itu tidak lagi memiliki posisi
dalam masyarakat. Mengapa begitu? Karena seorang perempuan
p:16
yang 'afifah dituduh dengan tuduhan; berbuat zina, dan mereka
tidak dapat membuktikannya.
Hukuman ketiga: “Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”, mereka adalah orang-orang fasik. Di sini terdapat perbedaan
pendapat di antara para mufas, yaitu apakah kalimat “Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik”, merupakan satu hukuman
tersendiri dan bukan dari “dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya”, ataukah keduanya merupakan satu
hukuman? Sebagian berpendapat, keduanya adalah satu, yaitu
kalimat “Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”, merupakan
sebab bagi “Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya”, yakni dengan tuduhan itu mereka telah menjadi
fasik, dan ketika mereka telah fasik maka kesaksian mereka tidak
dapat diterima. Dan dalam segala hal yang persyaratannya adalah
harus adil (tidak melakukan perbuatan dosa), mereka tidak lagi
dapat diterima. Misalnya saja tidak sah mengucapkan kalimat perceraian
di hadapan mereka, tidak sah salat berjamaah di belakang
mereka, jika mereka adalah marja’ (mujtahid yani fatwa-fatwanya
diamalkan oleh masyarakat) maka tidak boleh lagi diikuti, karena
persyaratan dari semua itu adalah keadilan. Oleh karena itu keduanya
merupakan satu hukuman.
Tetapi sebagian yang lain berpendapat bahwa di sini ada dua
bentuk hukuman. Pertama, kesaksian mereka tidak dapat diterima.
Kedua, mereka adalah orang-orang yang fasik. Karena mereka
adalah orang-orang yang fasik maka mereka menanggung berbagai
dampak dari kefasikan itu, namun keduanya itu dapat dipisahkan.
Jika saksi yang tidak dapat membuktikan tuduhannya
ini telah bertaubat, maka kefasikannya telah lenyap, yakni kita
menganggapnya sebagai seorang yang adil, kita salat berjamaah di
belakangnya, dan jika ia seorang mujtahid dan secara keilmuan ia
sudah boleh diikuti, maka kita dapat mengikutinya, dan juga jika
ia adalah seorang mujtahid maka ia dapat menjadi seorang hakim
(karena hakim harus seorang yang adil), namun kesaksiannya tidak
lagi dapat diterima karena hukuman itu adalah satu hukuman
terpisah. Sampai di sini arti dari ayat berikutnya akan men jadi
jelas,
p:17
«إِلَّا الَّذِینَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِکَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِیمٌ (5)»
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan mem-
perbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nur: 5)
Kecuali mereka yang setelah itu bertaubat dan memperbaiki
(dirinya), maka Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Pada perkecualian “kecuali orang-orang yang bertaubat” terdapat
tiga kemungkinan.
Pertama, jika ada seorang yang setelah mengeluarkan tuduhan
dan tidak dapat membuktikannya (mendatangkan empat
orang saksi), lalu ia bertaubat maka kita katakan, “Karena ia telah
bertaubat maka ia tidak perlu didera. Ia dapat memberikan kesaksian
dan bukan fasik.” Namun tidak ada seorang pun yang berpendapat
semacam ini. Begitu seseorang telah menuduh seorang
perempuan dan tidak dapat membuktikannya maka ia harus didera.
Kedua, jika ia telah bertaubat, kesaksiannya tetap dapat diterima
dan ia tidak dianggap fasik. Yakni semua hukuman sosial yang
sebelumnya telah berlaku padanya, kini (sejak masa ia bertaubat)
semua itu tidak berlaku lagi, ia kembali memiliki harga diri.
Ketiga, bentuk hukuman yang kedua berlaku untuk selamanya,
yakni berbagai kesaksiannya sama sekali tidak dapat diterima.
Dan kalimat “kecuali orang-orang yang bertaubat,” merupakan
suatu pengecualian dari yang lain, yaitu pengembalian sebagian
harga misalnya saja, ia dapat menjadi imam salat, dibolehkan
mengikutinya (ber-taklid), dapat menjadi hakim, namun kesaksiannya
sama sekali tidak dapat diterima. Dan tampaknya kemungkinan
ketiga inilah yang benar; yakni, “kecuali orang-orang yang
bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya) ” merupakan
pengecualian dari “Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat berikutnya:
«وَالَّذِینَ یَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ یَکُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِینَ (6)»
p:18
“dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain di mereka sendiri,
maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang
benar.” (QS an-Nur: 6)
«وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَیْهِ إِنْ کَانَ مِنَ الْکَاذِبِینَ (7)»
dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atsnya, jika
dia termasuk orang-orang yang berdusta. (QS an-Nur: 7)
«وَیَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْکَاذِبِینَ (8)»
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat
kali atas nama Allah suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta. (QS an-Nur: 8)
«وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَیْهَا إِنْ کَانَ مِنَ الصَّادِقِینَ (9)»
dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS an-Nur: 9)
Di sini terdapat sebuah pertanyaan semacam ini, “Kalian
mengatakan bahwa jika ada seorang laki-laki yang menuduh
seorang perempuan maka ia harus mendatangkan empat orang
saksi, lalu jika ia tidak me miliki empat orang saksi lalu bagaimana?”
Perlu ia ketahui karena ia tidak memiliki saksi yang cukup,
jika ia ungkapkan kejadian itu (mengeluarkan tuduhan) maka ia
mesti didera. Oleh karena itu yang mesti ia lakukan adalah diam
dan tutup mulut. “Jika orang laki-laki yang menyaksikan perbuatan
zina perempuan itu adalah suami dari perempuan itu sendiri
apa yang mesti ia lakukan? Apakah ia juga mesti memiliki empat
orang saksi, sehingga kemudian ia datang menemui seorang hakim
dan mengatakan, ‘Istriku telah berbuat zina?’ Jika ia mesti
berusaha mencari empat orang saksi maka perbuatan zina tersebut
pasti sudah selesai.”
p:19
Sebelumnya juga telah disebutkan bahwa jika saksi itu adalah
bukan suami, maka akan dikatakan, “Karena kau tidak memiliki
cukup saksi maka lebih baik kau diam saja, tutuplah mulutmu, apa
hubungannya denganmu? Jika kau tetap mengatakannya maka
kau akan didera.”
Seorang suami ketika memberikan kesaksian di hadapan hakim,
ia harus bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali,
dan Allah sebagai saksi bahwa ucapannya itu adalah benar dan ia
tidak berbohong, yakni tidak cukup hanya bersumpah sekali saja.
Ia harus bersumpah sebanyak empat kali. Empat kali kesaksian
itu harus disertai dengan sumpah. Apakah hal ini telah cukup? Tidak,
masih belum cukup. Pada kali yang kelima ia harus melaknat
(mengutuk) dirinya sendiri dengan mengucapkan, “Semoga Allah
mengu tukku, jika aku berkata bohong.” Dengan demikian apakah
telah terbukti bahwa perempuan itu benar-benar berbuat zina? Tidak.
Mereka akan mengatakan kepada perempuan itu, “Suamimu
telah melakukan ‘li’an’, yakni bersumpah sebanyak empat kali, dan
satu kali mengu tuk dirinya sendiri jika ia berbohong, bagaimana
pendapatmu?” Jika perempuan tersebut mengakui perbuatannya
maka ia akan dijatuhi hukuman. Begitu juga jika ia diam saja,
dan tidak melakukan pembelaan terhadap dirinya sendiri maka
itu merupakan sebuah pengakuan. Tetapi mereka akan memberikan
satu jalan bagi perempuan tersebut yang mana mereka akan
mengatakan, “Kau juga bersumpahlah sebagaimana dia. Kau juga
bersumpah sebanyak empat kali bahwa suamimu berkata bohong.
Dan pada kali kelima katakanlah, “Se moga Allah mengutukku
jika suamiku berkata benar.” Jika perempuan itu tidak bersedia
melakukannya, maka mereka akan mengatakan, “Sekarang jelas
bahwa kau telah berbuat zina, dan mesti menerima hukuman.”
Namun jika perempuan tersebut bersedia untuk melakukannya
dan mengatakan, “Aku akan membela diriku,” tindakan
apa lagi yang mesti diambil? Laki-laki (suami) itu telah bersumpah
sebanyak empat kali dan pada kali kelima mengutuk dirinya
sendiri jika ia ber kata bohong, dan perempuan (istri) itu juga telah
ber sumpah sebanyak empat kali dan pada kali kelima ia mengatakan,
“Semoga Allah mengutukku jika suaminya berkata benar.”
p:20
Bagaimanakah Islam menentukan hukumannya? Apakah laki-laki
(suami) itu dihukumi sebagai seorang penuduh terhadap kesucian
perempuan (qadzif), dan ia dijatuhi hukuman dera? Tidak. Apa kah
perempuan itu (istri) dihukumi sebagai orang yang berdosa lalu ia
mesti dijatuhi hukuman, dan di sini hukumannya adalah dirajam,
dilempari batu sampai menemui ajal? Tidak. Lalu apa yang mesti
dilakukan? Islam mengatakan, “Karena masalahnya demikian,
maka kalian berdua harus berpisah untuk selamanya, dan tidak diperlukan
ucapan perceraian.” Tindakan tersebut (sumpah) adalah
sama dengan perceraian, ka lian satu sama lain telah berpisah, kau
di seberang sini dan dia di seberang sana, sejak saat ini kalian berdua
bukan lagi suami istri. Tindakan tersebut dalam Islam disebut
dengan “li’an”atau “mula’anah”.
Pada suatu hari di masa Rasulullah Saw peristiwa semacam
itu telah terjadi dan mereka mengatakan bahwa peristiwa tersebut
merupakan sebab dari turunnya ayat tersebut. Ada seorang lakilaki
yang bernama Hilal bin Umayah. Pada suatu hari ia datang
menemui Rasul Saw dengan tergesa-gesa dan berkata, “Wahai Rasulullah
aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa istriku
telah berbuat zina dengan si fulan.” Nabi Saw memalingkan wajahnya.
Untuk kedua kalinya, ketiga kalinya ia mengulangi ucapannya
itu dan mengatakan, “Allah sebagai saksi, bahwa aku berkata
benar dan tidak berkata bohong.” Kemudian ayat ter sebut turun.
Dan setelah itu, Rasulullah Saw menghadirkan Hilal bin Umayah
beserta istrinya. Istrinya adalah dari keturunan keluarga terhormat
di Madinah, dan dari salah satu kabilah yang besar. Untuk pertama
kalinya Rasulullah Saw melaksanakan acara “li’an”. Beliau berkata
kepada laki-laki itu, “Kemari dan bersumpahlah atas nama Allah,
bahwa kau berkata benar, dan pada kali kelima Allah mengutukmu
jika kau ber kata bohong.” Ia maju ke depan dan dengan penuh
percaya diri ia mengucapkan semua itu. Rasulullah juga berkata
kepada perempuan itu agar bersumpah bahwa suaminya berkata
bohong. Perempuan itu pada awalnya terdiam dan membisu. Ia
hampir saja mengakuinya. Kemudian ia melemparkan pandangan
ke arah sanak keluarganya, lalu berkata dengan dirinya sendiri,
“Tidak, aku tidak akan mencoreng muka mereka, dan tidak akan
p:21
mempermalukan mereka.” Ia (perempuan itu) berkata, “Aku bersedia
melakukannya.” Ketika Hilal bin Umayah telah bersumpah
sebanyak empat kali dan hendak mengutuk dirinya sendiri Rasulullah
Saw bersabda, “Ketahuilah azab akhirat sangat lebih berat
dari azab dunia, jangan sampai kau menuduh istrimu de ngan
tuduhan bohong, takutlah kepada Allah!” Ia menjawab, “Tidak, wahai
Rasulullah. Allah sendiri mengetahui bahwa aku tidak berkata
bohong.” Dan terhadap perempuan itu, juga ketika ia telah bersumpah
seba nyak empat kali dan hendak mengucapkan, “Semoga
Allah mengutukku ....,” Rasulullah bersabda, “Takudkah kau akan
siksaan Allah, yang ada di akhirat sangat lebih berat dari yang ada
di dunia, jangan sekali-kali jika ucapan suamimu adalah benar lalu
kau mendustakannya!” Hal inilah yang menyebabkan perempuan
tersebut terdiam sejenak, dan hampir saja mengakuinya, namun
akhirnya ia mengucapkan kalimat tersebut. Setelah itu Rasulullah
Saw bersabda, “Sejak saat ini kalian berdua bukan lagi suami istri.”
«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ حَکِیمٌ (10)»
10. Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata)
Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan) (QS. An-Nur: 10)
Jika bukan karena karunia Ilahi, jika bukan karena rahmat
Ilahi, dan sekiranya Allah swt bukan Maha Penerima Taubat dan
Mahabijaksana, maka kondisinya akan berbeda. Allah akan menurunkan
bagi ka lian siksaan yang sangat pedih. Mungkin Anda akan
berpikir bahwa hal-hal yang telah saya jelaskan berkenaan dengan
permasalahan ini adalah sanksi-sanksi yang sangat keras, namun
ketahuilah bahwa semua itu merupakan karunia dan rahmat Ilahi,
dan satu bentuk nyata bahwa Allah Maha Penerima Taubat. Yang
demikian itu adalah yang terbaik bagimu.
Setelah ini kita memiliki ayat yang lain yang disebut dengan
ayat ‘ifk’. ‘ifk’ artinya adalah sebuah tuduhan yang berhubungan
p:22
dengan sebuah peristiwa sejarah. Salah seorang dari istri Rasulullah
Saw pada suatu peristiwa, dijadikan sasaran tuduhan keji oleh orang-orang
munafik, menurut keyakinan Ahlusunah
perempuan tersebut adalah A’isyah, dan menurut keyakin an sebagian
dari Syiah’ adalah Maria Qibtiyah, sedangkan menurut
keyakinan sebagian yang lain adalah A’isyah. Kemungkinan anda
akan berpikir bahwa yang terjadi adalah harus sebaliknya; orangorang
Syiah mengatakan bahwa perempuan yang dijadikan sasaran
tu duhan itu adalah A’isyah dan Ahlusunah mengatakan bahwa
yang menjadi sasaran tuduhan itu adalah Maria Qibtiyah. Mengapa
orang-orang Ahlusunah bersikeras dalam menyatakan bahwa
perempuan yang dijadikan sa saran tuduhan keji itu adalah A’isyah,
dan orang-orang Syiah yang fanatik juga bersikeras bahwa yang
menjadi sasaran tuduhan keji tersebut adalah Maria Qibtiyah?
Karena tuduhan ini menjadi suatu hal yang lain—baik menurut
sudut pandang umumnya masyarakat maupun menurut sudut
pandang ayat-ayat Al-Quran berkenaan dengan perempuan yang
dituduh tersebut—di mana bagi perempuan tersebut tuduhan itu
merupakan suatu bentuk penghormatan bagi dirinya. Yakni tidak
diragukan lagi bahwa tuduhan terhadap perempuan itu adalah
suatu kebohongan semata, dan ia dibersihkan dari semua itu, dan
secara seratus persen diketahui bahwa kejadian itu adalah suatu
kebohongan belaka. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang
Ahlusunah bersikeras bahwa perempuan yang dijadikan sasaran
keji itu yang kemudian dibuktikan secara seratus persen bah wa
perempuan itu dalam keadaan suci dan bersih adalah A’isyah. Dan
sebagian orang-orang Syiah menginginkan penghormatan ini ditujukan
kepada Maria Qibtiyah. Lalu bagaimanakah kejadian yang
sebenarnya? Ayat-ayat Ifk beserta ceritanya secara mendetail insya
Allah akan saya paparkan pada pertemuan yang akan datang.
Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.
p:23
p:24
p:25
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«إِنَّ الَّذِینَ جَاءُوا بِالْإِفْکِ عُصْبَةٌ مِنْکُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَکُمْ بَلْ هُوَ خَیْرٌ لَکُمْ لِکُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اکْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِی تَوَلَّی کِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِیمٌ (11)»
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa
yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya
azab yang besar. (QS an-Nur: 11)
«لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَیْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْکٌ مُبِینٌ (12)»
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orangorang
mukmin dan mukminah tidak bersangka baik terhadap diri
mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: «Ini adalah suatu
berita bohong yang nyata.» (QS an-Nur: 12)
p:26
Ayat-ayat tersebut yang secara istilah disebut dengan “Ifk”.
Ifk ialah sebuah kebohongan besar (sebuah tuduhan)
yang dilontarkan untuk menjatuhkan kehormatan Rasulullah Saw,
yaitu sebagian orang-orang munafik menyebarkan berita bohong
berkenaan dengan salah seorang istri Nabi Saw. Sebelumnya saya
telah menukil cerita tersebut secara panjang lebar.(1) Sekarang mari
kita simak bersama ayat-ayat ini dan poin-poin penting yang ada
(masalah pendidikan, masalah kemasyarakatan merupakan suatu
hal yang sangat sensitif, yang mana pada masa kita ini, kita juga
akan menghadapi berbagai permasalahan itu) saya akan berusaha
untuk menjelaskannya.
Ayat mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga,” mereka yang
membuat dan menciptakan Ifk itu adalah sebuah kelompok yang
terdiri dari beberapa orang dari mereka sendiri. Dengan perantaraan
ini Al-Quran hendak menggugah kaum Muslimin dan menyadarkan
bahwa dalam tubuh mereka banyak orang-orang yang
berpura-pura memeluk Islam, sedangkan dalam batin mereka tersimpan
berbagai tujuan dan usaha jahat. Dalam hal ini Al-Quran
hendak mengatakan bah wa cerita buatan itu bukan dibuat oleh
orang-orang yang dalam keadaan lalai atau tidak sadar, tetapi atas
dasar tujuan tertentu. Tujuan utamanya ialah untuk menjatuhkan
kehormatan dan kedudukan Nabi Saw, namun mereka tidak
berhasil mencapai tujuan itu. Kemudian mengatakan, ini adalah
suatu keburukan yang hasilnya adalah kebaikan. Pada hakikatnya
ini bukan suatu keburukan. “Janganlah kamu kira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,” kalian
jangan mengira bahwa ini adalah suatu kejadian buruk dan
merupakan suatu kekalahan bagi kalian Muslimin. Tidak, cerita
p:27
ini—sekalipun sangat pahit—namun memberikan manfaat pada
masyarakat Islam. Lalu mengapa Al-Quran menganggap cerita itu
adalah kebaikan dan bukan keburukan, sedangkan pada kenyataannya
cerita tersebut sangat pahit? Cerita yang mereka buat itu
tujuannya adalah untuk mempermalukan dan melecehkan Rasulullah
Saw. Hari-hari setelahnya—kurang lebih setelah empat
puluh hari— akhirnya wahyu turun dan situasi dan kondisi yang
sebenarnya menjadi jelas. Allah telah mengetahui peristiwa yang
menimpa diri Nabi Saw dan sanak keluarganya pada hari-hari itu!
Peristiwa itu dinyatakan oleh Al-Quran sebagai “kebaikan” berdasarkan
pada dua argumen.
Pertama, dengan demikian maka kelompok orang-orang munafik itu dapat diketahui dengan jelas
dalam setiap masyarakat sesuatu yang paling berbahaya ialah ketika kelompok yang ada di
dalamnya tidak diketahui dengan jelas. orang-orang munafik dan
orang-orang mukmin bercampur-baur dalam satu barisan. Pada
saat kondisi tenang hal itu tidak membahayakan. Tetapi sewaktu
terjadi guncangan dalam masyarakat, maka masyarakat akan menerima
kerugian yang cukup besar akibat ulah dari orang-orang
munafik. oleh karena itu dengan perantara kejadian yang menimpa suatu masyarakat,
berbagai hal yang sebelumnya tersembunyi menjadi jelas, dan kejadian itu merupakan sebuah ujian.
Orang-orang mukmin berada dalam satu barisan tersendiri, danorang-orang munafik mulai tersingkap
tirai kemunafikannya dan mereka menempati barisan yang sesuai dengan diri mereka. Ini
merupakan suatu kebaikan yang cukup besar bagi sebuah masyarakat
Islam.
orang-orang munafik yang membuat cerita palsu itu mereka dicap oleh Al-Quran dengan itsm. Kata ‘istm’ berarti “dosa”. Sepanjang
hidupnya mereka tidak lagi memiliki arti.
Kedua, orang-orang munafik menbuat cerita itu secara sengaja dan sadar, namun kaum Muslimin secara tidak sadar menjadi
anggota dari kelompok ini. Sebagian besar Muslimin, walaupun
mereka adalah Muslim, beriman, dan ikhlas, serta tidak memiliki
tujuan dan penyakit tertentu, namun mereka secara tak sengaja
p:28
telah menjadi juru bicara dari kelompok itu. Semua itu mereka
lakukan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran, sebagaimana
yang telah dijelaskan secara sempurna oleh Al-Quran.
Ini merupakan sebuah bahaya besar bagi suatu masyarakat,
ketika para individunya dalam keadaan tidak sadar. Jika musuh
cerdik, maka mereka akan digunakan sebagai alat, guna menghancurkan
diri mereka sendiri. Dibuatnya sebuah cerita bohong, kemudian
cerita ini disampaikan kepada mereka (Muslimin), hingga
akhirnya mereka sibuk membicarakan cerita yang dibuat oleh musuh
itu, yang sebenarnya hal itu akan menghancurkan diri mereka
sendiri. Terjadinya semua itu adalah akibat dari ketidaksadaran.
Sebuah masyarakat hendaknya tidak menjadi semacam itu; sampai-
sampai kebohongan yang dibuat oleh mu suh diakui kebenarannya
dan disebarluaskan. Kebohongan yang dibuat oleh musuh
mesti kita kubur dalam-dalam. Tujuan musuh adalah agar berita
tersebut tersebar luas. Kalian harus menguburnya, dan jangan
kalian sampaikan walaupun kepada seorang saja. Karena dengan
perisai “diam” inilah kalian mampu untuk menggagalkan berbagai
usaha musuh.(1)
p:29
Keuntungan dari cerita bohong ini ialah, kesalahan yang dilakukan
oleh Muslimin (tampak jelas) yakni ucapan yang disampaikan
oleh ‘usbah (sekelompok, satu golongan yang saling terikat)
adalah berita bohong. Orang-orang awam dan tidak sadar begitu
mendengarkan ucapan orang-orang munafik, segera menyampaikan kepada yang lain, “Aku mendengar bahwa si fulan ....,” yang
lain pun mengatakan, “Saya mende ngar bahwa si fulan ....,” orang
ketiga pun mengatakan kepada yang lain, Wallahu A'lam Aku
mendengar bahwa si fulan ....,” hasilnya ialah Muslimin yang awam
dan tidak sadar secara tidak sengaja telah menjadi juru bicara dari
suatu kelompok yang hanya terdiri dari beberapa orang.
Cerita Ifk ini merupakan sebuah lonceng yang membangunkan
Muslimin. Mereka saling berpandangan, “Dari satu sisi kita
mengenal mereka dan dari sisi lain kita mengenal diri kita sendiri.
Mengapa kita melakukan satu kesalahan yang besar, mengapa kita
menjadi alat mereka?”
Saya punya seorang kawan lama, rumahnya ada di suatu daerah
yang sangat terpencil. Sampai-sampai saya tidak ingin menyebutkan
nama daerahnya. Dari dae rah terpencil yang ada di Teheran
itu ia datang kemari (Masjid al-Jawad). Seusai pelajaran tafsir,
dan saya hendak kembali ke rumah,. ia berkata, “Saya membawa
mobil yang sederhana, mari kita pulang bersama.” Di tengah perjalanan
ia mengatakan, “Apakah Anda mengetahui tujuan dari kedatangan
saya kemari? Mereka mengatakan bahwa di Masjid al-Jawad tidak dikumandangkan
“Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah” maka saya datang kemari untuk membuktikan apakah benar tidak
dikumandangkan.” Saya menjawab, “Semoga Allah mencurahkan
ampunan-Nya kepada orangtuamu, kau masih memiliki rasa ingin
tahu, sehingga kau datang kemari untuk membuktikan sendiri dikumandangkan
atau tidak dikumandangkan.” Seandainya saja ada
p:30
seorang yang mengatakan bahwa, “Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah-
tidak dikumandangkan di Masjid al-Jawad.” Kemudian yang
lain juga mengatakan hal yang sama. Maka kalian akan menyaksikan
seluruh masyarakat akan mengatakan, “Kami mendengar
bahwa di Masjid al-Jawad "Ashadu Anna 'Aliyyan Waliyullah" tidak
dikumandangkan!”
Apa yang dikatakan oleh Islam? Islam mengatakan, “Jika kau
mendengar kasus semacam ini, janganlah kau sebarluaskan. Jika
dalam dirimu terdapat rasa tanda tanya pergi dan telitilah! Kau tidak
memiliki semangat untuk meneliti, lalu mengapa kau berbicara
kesana ke mari? Kau tidak berhak untuk berbicara.”
(1)... setengahnya adalah orang-orang Yahudi dan setengahnya
adalah Muslimin. Jarak dari desa tersebut menuju “cetel”(2) kurang
lebih adalah dua farsakh (11 km). Orang-orang Yahudi mengatakan,
“Cetel adalah milik kami, kami yang membangunnya, pemakaman
ini milik kami.” Muslimin desa itu juga mengatakan, “Tidak, itu
milik kami.” Orang-orang Yahudi menga takan, “Itu adalah milik
kami karena di situ tidak terdapat menara.” Sedangkan Muslimin
mengatakan, “Itu adalah milik kami karena di situ terdapat menara.”
Satu sama lain saling berkelahi. Kaki dan tangan mereka
terluka, bahkan beberapa orang pun terbunuh. Argumen mereka
adalah “karena di situ tidak terdapat menara”, dan argumen
dari yang lainnya adalah “karena di situ terdapat menara.” Mereka
semua tidak memiliki kemauan untuk mengadakan perjalanan
sejauh dua farsakh saja yang kemudian dapat dibuktikan dengan
mata kepala sendiri apakah di situ terdapat menara atau tidak!
Keuntungan dari cerita ini (ifk) ialah memberikan pengetahuan
dan kesadaran pada Muslimin. Kisah semacam itu dicantumkan
dalam Al-Quran dengan tujuan agar senantiasa abadi, dan
senantiasa dapat dijadikan sebagai sebuah pelajaran, yaitu jangan
sampai Muslimin dengan tanpa disadari menjadi sebuah alat, dan
dengan tanpa disadari menjadi juru bicara musuh.
Allah Yang Mengetahui bahwa orang-orang Yahudi ini—pada
peringkat pertama—dan orang-orang Baha’i yang merupakan
p:31
kaki tangan orang-orang Yahudi, betapa banyak cerita bohong
sermacam ini yang telah mereka buat. Terkadang ada suatu kisah
yang dibuat oleh seorang Yahudi atau Nasrani yang tujuannya
adalah menghancurkan Muslimin itu sendiri. Begitu kuatnya isu
tersebut sehingga lambat-laun kisah buatan itu dicantumkan
dalam berbagai buku. Kemudian hal itu digambarkan begitu rupa
sehingga tampak sebagai suatu kejadian yang nyata, dan akhirnya
Muslimin mempercayainya. Sebagaimana kisah “Pembakaran buku
Iskandariyah”.
Setelah kedatangan Iskandar di bumi belahan timur, dan berhasil
menaklukkan Iran, India dan Mesir, di sana ia membangun
sebuah kota yang diberi nama Iskandariyah. Para cendekiawan
pada berdatangan ke kota itu, dan di sana mereka mendirikan sebuah
perpustakaan. Perpustakaan itu sebenarnya adalah sebuah
sekolah, di mana terdapat buku yang sangat banyak. Pada masa
kita sekarang ini, sejarah Muslim bahkan sejarah Masehi menjelaskan
kasus yang sebenarnya, yaitu sebelum Muslimin berhasil menduduki
Iskandari yah, telah dua atau tiga kali perpustakaan ini dirampok
dan dibakar. Ketika Emperium Romawi Timur condong
pada agama Masehi, karena ia menganggap ilmu filsafat bertentangan
dengan ajaran Masehi, maka ia menghancurkan sekolahan
Iskandariyah. Mungkin Anda pernah mendengar, mengenai tu-
juh orang ahli filsafat yang datang ke Iran (ke istana Anusyirwan)
guna meminta perlindungan. Pada saat itu di Iskandariyah sudah
tidak ada lagi perpustakaan. Pada masa sekarang ini ahli sejarah
Masehi seperti Will Durant dan yang lainnya membuktikan dengan
pasti bahwa sebelum Muslimin menaklukkan Iskandariyah,
Perpustakaan Iskandariyah telah beberapa kali mengalami kerusakan,
dan ketika Muslimin tiba disana sudah tidak lagi terdapat
perpustakaan.
Dari sisi lain rincian peristiwa penaklukkan yang dilakukan
oleh Muslimin, baik penaklukkan Mesir, Iran dan berbagai kawasan
lain, kesemuanya itu dicatat dan dibukukan para ahli sejarah
Muslim dan Masehi. Kemudian pada abad kedua dan ketiga,
berbagai buku sejarah yang agung seperti, Tarikh al-Ya’qubi, Tarikh
ath-Thabari, Futuh al-Buldan (Baladzuri)—yang kese muanya itu
p:32
memuat berbagai peristiwa yang terjadi pada masa abad pertama
Islam, dengan silsilah para perawinya yang tertib dan jelas—mencantumkan
pe ristiwa tersebut. Tidak ada seorang pun dari ahli sejarah
yang menulis bahwa sebelum itu di Iskandariyah terdapat sebuah
perpustakaan yang kemudian dibakar dan dimusnahkan oleh
Muslimin. Will Durant menyebutkan, “Pada masa itu, ada seorang
pendeta yang tinggal di Iskandariyah. Pendeta itu menulis berbagai
peristiwa yang terjadi pada penaklukkan Iskandariyah (saya memiliki
bukunya), dalam buku itu sama sekali tidak tercantum tentang
pembakaran buku.” Tiba-tiba pada akhir abad keenam Hijriah—
yakni setelah enam ratus tahun—dan pada abad ketujuh ada dua
orang yang bukan dari ahli sejarah dan keduanya adalah Nasrani,
dengan tanpa membawa satu bukti yang jelas, demi melenyapkan
tuduhan terhadap orang-orang Nasrani, mereka mengatakan, “Ketika
‘Amr ibnu ‘Ash tiba di Iskandariyah ia melihat adanya sebuah
perpus takaan yang cukup besar. Ia menulis surat kepada khalifah
yang isinya menanyakan apa tugas kami terhadap perpustakaan
ini? Khalifah menjawab, “Jika yang ada di dalam perpustakaan itu
sesuai dengan Al-Quran, maka cukuplah bagi kita Al-Quran dan
jika bertentangan dengan Al-Quran, semua itu tidak memberikan
manfaat pada kita. Keseluruhannya harus dibakar!” Lambat
laun Muslimin pun menukil cerita bohong ini dari buku tersebut
dengan tanpa sedikit berpikir bahwa jika sekiranya peristiwa itu
benar-benar terjadi mengapa para ahli sejarah pada abad pertama
sama sekali tidak menceritakan adanya peristiwa itu?
Ada beberapa bukti lainnya yang membuktikan kebohongan
cerita itu. Pada beberapa kesempatan saya telah berceramah
sebanyak tiga kali berkenaan de ngan “Pembakaran buku Iskandariyah”
dan kebohongan cerita ini telah saya buktikan.(1) Syibli
Nu’man juga menulis sebuah makalah berkenaan dengan cerita
bohong ini. Dan menurut pendapat berbagai pengkaji, cendekiawan,
ahli sejarah tidak diragukan lagi bahwa cerita itu adalah satu
kebohongan belaka. Musuh dan kaki tangannya dengan sengaja
p:33
menciptakan berita bohong itu, namun saudara-saudara kita secara
tak sengaja telah menukil cerita itu. Hingga akhirnya dalam
buku filsafat dan logika kelas enam sekolah dasar(1) ketika hendak
memberikan contoh untuk qadhiyah munfashalah (masalah yang
bertolak belakang)(2) mereka mengatakan, “Sebagaimana yang dikatakan
oleh khalifah Muslimin berkenaan dengan Perpustakaan
Iskandariyah. la mengatakan, “Jika sesuai de ngan Al-Quran, maka
cukuplah bagi kita Al-Quran. Dan jika bertentangan dengan Al-
Quran maka tidak bermanfaat bagi kita. Bakarlah semuanya!”
Dalam buku-buku sekolah dasar disebutkan bahwa umat Islam
kerjanya hanya membakar buku-buku.
Syibli Nu’man juga mengatakan, “Ketika Pasukan Inggris
menjajah India, dan kemudian mendirikan berbagai sekolah, dan
dikelola sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam berbagai buku
logika ketika hendak memberikan sebuah contoh berkenaan dengan
qadhiyah munfashalah haqiqiyah mereka memberikan contoh
semacam di atas tersebut. Dan tujuannya ialah untuk menanamkan
dalam benak pikiran anak-anak Islam dan Hindu, bahwa
mereka adalah sebuah bangsa yang sejak dahulu kala kerjanya
hanya membakar buku-buku. Syibli Nu’man mengatakan, “Ketika
saya meneliti buku-buku yang ada disekolah dasar kami, ternyata
di situ juga tertulis contoh se macam itu. Kemudian ketika saya
meneliti buku-buku yang ada di sekolah dasar Iran, ternyata contoh
yang digunakan adalah seperti itu juga. Dan kita dengan tanpa
meneliti kembali kebenarannya kita sebarkan dari lisan ke lisan.(3)
Sehingga ketika di suatu tempat kita mengatakan, “Itu adalah cerita
bohong,” maka sekelompok orang akan mengatakan, “Apa, kejadian
itu hanya sebuah kebohongan? Kami tidak mengira jika itu
adalah sebuah kebohongan.”
Tatkala Al-Quran mengatakan, “Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu,”
pada dasarnya hendak menga takan bahwa ini adalah sebuah pelajaran
bagi kalian. Wahai Muslimin! Bacalah Al-Quran kalian dan
p:34
tafsirilah dan ambillah pelajaran darinya. Kalian janganlah sekali
lagi menjadi alat musuh dan dijadikan sebagai juru bicara mereka
dan menyebarkan isu-isu yang me reka buat untuk menghancurkan
diri kalian. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu ada lah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik
bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari
dosa yang dikerjakannya.” Kemudian mengatakan, masing-masing
dari mereka yang membuat cerita bohong ini, akan mendapatkan
panasnya dosa sesuai dengan usahanya. Mereka akan menanggung
siksaanya. Al-Quran mengatakan, “Ada satu orang yang dalam hal
ini yang harus menanggung dosa yang sangat berat.” Maksudnya
ialah Abdullah bin Ubai bin Sallul. Al-Quran juga mengatakan,
“Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar,” orang
yang menanggung dosa yang paling berat, Allah telah menyiapkan
baginya siksaan yang sangat pedih. Belum lagi kehancuran nama
selama-lamanya, yaitu ia mendapatkan julukan “pemimpin orang-
orang munafik dan dialam sana nanti Allah juga akan menyik-
sanya dengan siksaan yang sangat berat.
“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orangorang
mukmin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri
mereka sendiri?” Al-Quran dapat berbicara dengan cara semacam
ini. “Wahai Muslimin! Mengapa ketika kalian mendengarnya, kalian
berprasangka bu ruk terhadap saudaramu, dan tidak berprasangka
ba ik?” Jika Al-Quran mengungkapkannya semacam itu
maka isi pembahasan akan tampak sederhana. Namun Al-Quran
menyampaikan isi pembahasan itu dengan gaya bahasa yang lain.
Tidak mengatakan, “Mengapa kalian berprasangka buruk terhadap
saudara mukmin dan mukminat kalian?” Namun mengatakan,
“Mengapa kalian berprasangka buruk terhadap diri sendiri?” Perhatikanlah,
kalian adalah satu tubuh, kalian—menurut ucapan Maulawi—
adalah “satu jiwa”; Orang-orang mukmin adalah satu jiwa.”
Semua mukmin dan mukminat harus memiliki perasaan
semacam ini, yaitu merasakan seakan satu tubuh. Jika ada tuduhan
yang ditujukan kepada seorang mukmin, maka itu sama dengan di
p:35
tujukan kepada dirinya sendiri. Ini merupakan poin pertama, yaitu
bukannya diungkapan dengan, “Mengapa kalian tidak berprasangka
baik terhadap saudara kalian sesama mukmin?,” tetapi diungkapkan
dengan, “Mengapa ka lian tidak berprasangka baik terhadap
diri sendiri?” Yakni seorang Muslim tidak dibenarkan untuk
memi liki perasaan “saya” dan “dia”. Setiap Muslim harus mengetahui
bahwa harga diri saudara sesama Muslim adalah harga dirinya,
dan kehormatan saudara sesama Muslim adalah kehormatannya.
Poin kedua, juga bukan mengatakan, “Mengapa [kalian] tidak
berprasangka baik terhadap diri sendiri?” Namun mengatakan,
“Mengapa [orang-orang mukmin dan mukminat] tidak berprasangka
baik terhadap diri sendiri?” Pertama, laki-laki dan perempuan
keduanya disebut, yaitu tidak ada bedanya antara laki-laki
dan perempuan. Kedua, kata “iman” masuk dalam ungkapan itu,
yaitu hendak mengatakan bahwa iman adalah asas dari kesatuan
dan persatuan. Mukminin dari sisi keimanan adalah merupakan
satu jiwa; yakni menjelaskan standar persatuan dan kesatuan. Pada
dasarnya hendak mengatakan, “Wahai laki-laki yang beriman wahai
perempuan yang beriman, jika ada tuduhan semacam itu terhadap
diri kalian, apakah kalian akan menyebarluaskan tuduhan
itu? Di mana kalian duduk kalian senantiasa akan mengatakan
bahwa mereka menuduhku demikian, mereka mengatakan aku
demikian? Pernahkah kalian menyebarkan tuduhan yang dilontarkan
kepada diri kalian ini? Ketika kalian menge tahui bahwa bila
ada tuduhan yang ditujukan pada diri kalian maka kalian mesti
berdiam diri, begitu juga cerita bohong yang dibuat oleh sekelompok
masyarakat yang berkenaan dengan diri kalian, maka kalian
enggan untuk menyebarkannya. Akan tetapi mengapa ketika kalian
mendengar berita buruk yang berkaitan dengan saudara dan
saudari mukmin, kalian tidak mengambil sikap sebagaimana sikap
yang kalian ambil untuk diri kalian sendiri?
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang
mukmin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri
mereka sendiri? “ dan mengapa tidak berkata Ini adalah suatu
berita bohong yang nyata”? Ketika kalian mendengar, mengapa
orang-orang mukmin tidak berbaik sangka terhadap diri mereka
p:36
sendiri? Mengapa di saat mendengarkan berita itu tidak segera
mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.” Nabi
Mulia Saw selama satu bulan atau lebih hanya berdiam diri. Muslimin
dalam keadaan lalai, semestinya pada hari-hari pertama mereka
mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata,” ini
adalah sebuah cerita dusta, namun mereka malah mengatakan,
“Kami men dengar ....,” Cerita dan kisah palsu itu dijadikan bahan
pembicaraan di setiap pertemuan mereka. Al-Quran mengatakan
bahwa sejak hari pertama kalian semesti nya mengatakan, “Ini
adalah suatu berita bohong yang nyata.” Setelah kejadian ini hendaklah
kalian menjadi sadar, sebenarnya banyak berita bohong
yang akan bermunculan di sekitar kalian. Dan saat itu kalian harus
segera mengatakan, “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
«لَوْلَا جَاءُوا عَلَیْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ یَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِکَ عِنْدَ اللَّهِ هُمُ الْکَاذِبُونَ (13)»
13. Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas
berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi
maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta (QS an-Nur: 13)
Berbagai tindakan kalian mesti ada aturan dan perhitungan.
Islam menentukan atas kalian berbagai tugas dan kewajiban. Secara
syariat tatkala kalian menghadapi suatu tuduhan yang masih belum
jelas bukti-buktinya maka harus segera mengatakan, “Itu adalah
kebohongan,” dan di sisi Allah pun itu adalah sebuah kebohongan.
Maksud dari “dan di sisi Allah itu adalah sebuah kebohongan” ialah
menurut undang-undang Ilahi itu adalah sebuah kebohongan.
Sebuah tugas dan kewajiban yang cukup jelas. Setelah ini
kita hendaknya menyadari tugas dan kewajib an yang mesti kita
lakukan di saat kita menghadapi seseorang yang membicarakan
keadaan seseorang atau sebuah organisasi. Apakah kita harus berdiam
diri? Apakah kita harus mengatakan, “Aku tidak tahu, Allah
Yang Maha Mengetahui, apa yang aku ketahui mungkin benar,
mungkin salah.” Apakah kita harus mengatakannya dalam setiap
pertemuan, “Mereka mengatakan demikian ...?” Apa tugas dan kewajiban
kita? Selama masih belum ada saksi-saksi yang ditentukan
p:37
oleh sya riat, berarti kita masih belum mengetahui permasalahan
itu secara jelas. Dan kita harus mengatakan, “Itu adalah bohong.”
Hanya dalam hal yang secara syariat telah jelas kebenarannya, dan
kita juga telah mendapatkan keyakinan yang kuat—misalnya saja
dalam masalah zina, yaitu adanya empat orang saksi yang adil, dan
pada masalah selain zina adanya dua saksi yang adil yang memberi
kesaksian, kami melihat dengan mata kepala kami sendiri, kami
mendengar dengan telinga kami sendiri (ini adalah kesaksian
yang syar’i)—maka dalam hal itu tugas kita berbeda. Selama masih
belum ada kesaksian yang syar’i kita tidak berhak untuk mengungkapkan,
tidak berhak untuk mengatakan “Tidak tahu,” tidak
berhak untuk mengatakan, “Mungkin ya, mungkin tidak.” Bahkan
kita tidak boleh hanya diam saja. Tetapi tugas dan kewajiban kita
ialah harus mengatakan, “Itu adalah bohong.” Dan ketika hal itu
secara syariat telah diketahui kepastiannya, maka kita mesti memeranginya.
Jelas dalam setiap kasus kita memiliki suatu tugas
tertentu. Dalam beberapa kasus tertentu kita sendiri yang harus
memeranginya. Dan dalam berbagai kasus lainnya yang harus bertindak
adalah seorang hakim syar’i sebagaimana dalam masalah
zina. Al-Quran mengatakan, “Wahai Muslimin, dari lisan ke lisan
dan dari mulut ke mulut yang telah kalian lakukan itu, maka sebenarnya
kalian telah melakukan suatu dosa yang sangat besar, namun
Allah masih sudi mengampuni dosa-dosa itu. Perhatikanlah
jangan sampai kalian mengulangi lagi.”
«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّکُمْ فِی مَا أَفَضْتُمْ فِیهِ عَذَابٌ عَظِیمٌ (14)»
Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia
dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan
kamu tentang berita bohong itu (QS an-Nur: 14)
«إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِکُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِکُمْ مَا لَیْسَ لَکُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَیِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِیمٌ (15)»
p:38
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut
dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga,
dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
Padahal dia pada sisi Allah adalah besar (QS an-Nur: 15)
Wahai Muslimin jika bukan karena rahmat Ilahi di dunia dan
di akhirat, kalian akan mendapatkan siksaan yang besar di dunia
dan di akhirat disebabkan tindakan kalian yang menukil berbagai
pembicaraan, dan ikut campur dalam urusan yang kalian tidak ketahui.
Hanya rahmat Allah yang mencegah siksaan yang ada di dunia
dan di akhirat. Perhatikanlah, jangan kalian melakukan hal itu lagi.
Dosa dan pembicaraan yang bagaimana? Kita berbicara tentang
apa, dan apa saja yang kita bicarakan? “Ingatlah ketika
kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut,” ketika kalian
membicarakannya dengan menggunakan lisan kalian; yakni
dibicaraan dari lisan ke lisan. “dan kamu katakan dengan mulutmu
apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga,” sesuatu yang tidak tidak
terlintas dalam hati kalian, karena kalian tidak mengetahui “dan
kamu menganggapnya suatu yang ringan saja,” kalian menduga
bahwa itu hanya sesuatu yang remeh. Namun “Padahal dia pada
sisi Allah adalah besar,” hal itu disisi Allah sangat besar, pembicaraan
tentang kehormatan Muslimin. Dan khususnya di sini menyangkut
kehormatan Nabi Saw.
«وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا یَکُونُ لَنَا أَنْ نَتَکَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَکَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِیمٌ (16)»
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita
bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan
Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu:
"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar". (QS an-Nur: 16)
Mengapa sewaktu kalian mendengarnya tidak langsung mengatakan,
“Kita tidak berhak untuk membicarakan hal ini, tidak berhak mengungkapkannya
(bahkan kita harus menafikannya) yaitu jika ada seseorang
yang mengatakan maka kita harus memberikan
jawaban negatif yaitu, “Itu bohong.” Bukan hanya kita
p:39
tidak diperbolehkan untuk memberikan jawaban positif dan menyebarkannya,
tetapi bahkan kita diharuskan untuk memberikan
jawaban negatif. Yakni dalam menjawab pembicaraan orang itu
kita mengatakan, “Itu bohong.” Hal ini disebutkan dalam kalimat
yang kedua.) Kalian harus mengatakan, “Sekali-kali tidaklah pantas
bagi kita memperkatakan ini,” kita tidak layak berbicara tentang
hal itu. Bahkan kita harus mengatakan, “Maha Suci Engkau (Ya
Tuhan kami ini adalah dusta yang besar”
«یَعِظُکُمُ اللَّهُ أَنْ تَعُودُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ کُنْتُمْ مُؤْمِنِینَ (17)»
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman
(QS an-Nur: 17)
«وَیُبَیِّنُ اللَّهُ لَکُمُ الْآیَاتِ وَاللَّهُ عَلِیمٌ حَکِیمٌ (18)»
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS an-Nur: 18)
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat
seperti itu selama-lamanya,” Allah memberi nasehat, wahai Muslimin
jangan sekali-kali kalian mengulangi kesalahan itu. Sampai
hari kiamat kalian mesti menyadari bahwa jangan sampai kalian
menjadi alat sebuah kelompok tertentu, dan menyebarkan berbagai
kebohongan musuh yang merugikan diri kalian sendiri. “dan
Allah menerngkan ayat-ayat-Nya kepada kamu dan Allah maha
Mengetahui lagi Mahabijaksana,” Allah menjelaskan ayat-ayat-
Nya adalah demi kebaikan kalian semua. Allah Mengetahui segala
sesuatu, Mengetahui yang tersembunyi, dan Mahabijaksana. Dan
berdasarkan pada kebijaksanaan-Nya lah ayat-ayat ini diturunkan
untuk kalian.
Ada sebuah hadis yang tercantum dalam sebuah buku hadis
yang isinya ialah, “Ketika kalian melihat orang-orang yang suka
membuat bid’ah (perangilah mereka). Bid’ah ialah: sesuatu yang
dimasukkan ke dalam agama, sedangkan sebenarnya itu adalah
bukan bagian dari agama. Itu adalah hasil buatan manusia dan bu
p:40
kan bagian dari agama.
Semua berkewajiban untuk memerangi berbagai bentuk
bid’ah; misalnya saja, senatiasa bersalawat adalah suatu hal
yang terpuji. Di mana saja kalian bersalawat berarti kalian telah
melakukan suatu perbuatan yang mustahab (sunah). Misalnya saja
ada seseorang yang tengah berceramah kemudian di tengah ceramahnya
demi untuk sedikit menghilangkan rasa letih lalu anda
mengatakan kepada para hadirin, “Bersalawatlah.” Ini adalah satu
hal yang baik. Namun jika kalian menyangka bahwa dalam Islam
terdapat sebuah ajaran, yaitu di tengah pembicaraan penceramah
kalian mesti mengucapkan salawat, dan juga kalian melakukan hal
itu karena beranggapan bahwa itu adalah salah satu ajaran Islam,
ketahuilah itu adalah “bid’ah”. Islam tidak mengajarkan agar pada
pertengahan ceramah seorang mes ti memerintahkan hadirin untuk
bersalawat.
Ada juga satu kebiasaan yang terdapat di kalangan kita orangorang
Iran. Jika kita mampu meninggalkannya itu sangat baik.
Bentuk kebiasaan itu ialah, saat lampu menyala mereka mengucapkan
salawat. Mungkin Anda akan mengatakan, “Senantiasa
bersalawat adalah baik.” Saya mengakui kebenaran itu, senantiasa
bersalawat adalah baik. Namun di Iran amalan semacam ini
memiliki latar belakang yang buruk. Pada masa lalu masyarakat
Iran dikenal dengan penyembah api. Pada masa itu masyarakat
menghormati api, jangan sampai ketika mereka bersalawat
saat melihat lampu yang tengah dinyalakan, adalah karena jiwa
penghormatan terhadap lampu dan pengagungan terhadap api.
Kalian mengetahui bahwa Islam memerintahkan seseorang
yang hendak melaksanakan salat, meskipun seorang yang salat
adalah tengah menghadap Allah, namun jika ada seorang di depan
kalian maka hukumnya makruh, karena hal itu berbau penyembahan
ter hadap manusia. Jika ada sebuah gambar di hadapanmu, itu
juga makruh, karena terkesan penyembahan terhadap benda. Juga
jika ada lampu di depanmu hukumnya adalah makruh, karena terkesan
penyembah an terhadap api. Kemudian ketika mereka menyalakan
lampu, kalian jangan bersalawat karena hal itu berbau
p:41
penyembahan terhadap api. Tujuan saya dari uraian di atas ialah
hal semacam itu disebut “bid’ah”.
Banyak sekali hal-hal yang bid’ah. Di kalangan perempuan
tampaknya banyak sekali terdapat bid’ah. Misalnya saja: Osh Abu
Darda’ (Bubur Abu Darda’), Osh Bibi Sesyambeh (Bubur Bibi Selasa),
Sufreh Abul Fadzl (Hidangan Abul Fadhl). Dalam Islam hal-hal
semacam itu tidak ada. Dalam Islam kita tidak memiliki suatu tradisi
yang disebut dengan “Hidangan Abul Fadhl”. Ada sebuah poin
penting yaitu: lakukanlah perbuatan baik, seperti memberi makan
fakir miskin hal itu mendatangkan pahala, kemudian pahalanya
kalian hadiahkan kepada Rasulullah Saw, kalian hadiahkan kepada
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, kalian hadiahkan kepada
Sayyidah Fatimah az-Zahra as, kalian hadiahkan kepada Imam
Hasan as, kalian hadiahkan kepada Imam Husain as, atau kalian
hadiahkan ke pada Abul Fadhl ‘Abbas. Dan juga tidak ada larangan
jika, kalian hadiahkan kepada salah seorang yang telah meninggal
dunia. Jika kalian mengadakan sebuah jamuan makan di rumah
kalian, maka kebiasaan dan tradisi para perempuan itu—saya tidak
tahu bagaimana adanya. Namun apa pun bentuknya, jika seseorang
meyakini itu adalah bagian dari tata cara Islam, maka itu
adalah bid’ah—harus kalian hapus. Jika memberi makan Muslimin
khususnya fakir miskin, lalu kemudian pahalanya dihadiahkan
kepada Abul Fadhl ‘Abbas hal itu tidak ada masalah. Namun
jika mengadakan se buah acara atau tradisi dan kemudian kita
menyakini bahwa itu adalah bagian dari ajaran Islam, itu adalah
bid’ah dan haram. Kita banyak menjumpai orang-orang yang suka
membuat bid’ah dalam agama. Ada seorang yang datang kemudian
mengatakan bahwa saya adalah wakil khusus Imam Zaman
(Mahdi) as. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ali Muhammad
Bab. Inilah yang disebut dengan ahlubid’ah (orang-orang yang
menciptakan bid’ah). Dalam hadis disebutkan jika kalian menjumpai
ahlubid’ah, maka kalian harus memeranginya, ulama harus
memeranginya, dan dilarang diam saja. Pada sebuah hadis bentuk
ungkapannya adalah demikian: “wa baahituuhum” (dan bungkam
mereka) lemahkan mereka, yakni berdiskusilah dengan mereka,
p:42
dan gugurkanlah argumen-argumen mereka. “lalu heran terdiam-
lah orang kafir itu .” (QS al-Baqarah: 258). Sebagaimana Ibra-
him as berhasil membungkam orang-orang kafir yang ada pada
masanya, kalian juga harus berhasil membungkamnya.
Sebagian manusia yang kurang berilmu, mereka mengartikan
bâhitûhum dengan, “lontarkanlah tuduhan dan buatlah kebohongan
atas mereka”. Kemudian mereka mengatakan, “Ahlul Bid'ah
adalah musuh Allah, saya akan membuat sebuah berita bohong
atas mereka.” Kemudian terhadap seorang yang ada permusuhan
secara pribadi dengan dirinya ia akan me ngatakan, “Dia terkutuk,
dia ahlubid’ah.” Pada awalnya menuduhkan kalimat-kalimat itu,
kemudian mulailah ia membuat berbagai berita bohong atas musuh
pribadinya itu. Perhatikanlah, jika sebuah masyarakat tertimpa
penyakit semacam ini, musuh pribadi dituduh sebagai ahlubid’ah
dan hadis bâhitûhum diartikan dengan “buatlah kebohongan atas
mereka” lalu bagaimanakah yang akan mereka lakukan terhadap
musuh-musuhnya? Saat itulah kita akan menyaksikan kebohongan
di atas kebohongan.
Pada suatu hari ada seorang ulama yang agung (seorang ulama
terkadang juga salah dalam bertindak) datang menemui saya
dan berkata, “Aku mendengar bahwa si fulan (seorang yang benarbenar
tercela)—saya tidak mampu untuk mengucapkannya dengan
lisan saya, namun ini adalah sebuah peringatan, supaya kalian
mengetahui bahwa betapa hinanya masyarakat kita ini, dan yang
jelas saya mendengar bahwa ulama itu adalah orang yang baik—
mengatakan, ‘Alangkah baiknya [al-iyyadzubillah] bahwa Muhsin,
anak dari Fatimah az-Zahra as keguguran, kalau seandainya ia
hidup maka akan membuat dua belas musibah bagi Islam.’” Saya
menjawab, “Mengapa kau juga mengungkapkan hal ini? Bukankah
dia (si fulan—pen.) adalah seorang Muslim, aku mengenalnya
dari dekat, ketika Ia mendengar berbagai keutamaan ahlulbait ia
meneteskan air mata.”
Lihatlah sampai sejauh mana mereka saling membuat berita
bohong. Sebuah masyarakat yang kerjanya hanya membuat berbagai
berita bohong, kerjanya hanya melontarkan berbagai tuduhan
p:43
palsu, Al-Quran berjanji akan memberikan siksaan. Ayat berikutnya
ialah:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang
amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab
yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui (QS an-Nur: 19)
Ayat di atas merupakan lanjutan dari pembahasan ini, dan
lebih menegaskan bahwa Muslimin jangan sam pai menjadi penyebar
isu-isu buruk dan jahat yang dibuat oleh musuh dan diarahkan
pada diri mereka sendiri.
p:44
p:45
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«إِنَّ الَّذِینَ یُحِبُّونَ أَنْ تَشِیعَ الْفَاحِشَةُ فِی الَّذِینَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِیمٌ فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ یَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (19)»
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan
yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,
bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah
Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS an-Nur: 19)
«وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللَّهَ رَءُوفٌ رَحِیمٌ (20)»
Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya
kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha
Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (QS an-Nur: 20)
«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّیْطَانِ وَمَنْ یَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّیْطَانِ فَإِنَّهُ یَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْکَرِ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَیْکُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَکَی مِنْکُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَکِنَّ اللَّهَ یُزَکِّی مَنْ یَشَاءُ وَاللَّهُ سَمِیعٌ عَلِیمٌ »
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan,
maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan
yang keji, dan yang munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia
Allah dan rahmatnya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang
pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar
itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahamendengar lagi Maha Mengetahui
(QS an-Nur: 21)
p:46
Pada pertemuan yang lalu telah katakan bahwa Al-Quran
yang mulia sangat mengharapkan agar suasana masyarakat
Islam bukan suatu suasana yang dipenuhi dengan tuduhan,
caci-maki, serta kebohongan. Masya rakat Islam tatkala mendengar
suatu berita yang menyangkut saudara dan saudari Muslim,
selama berita itu belum jelas kebenarannya—bukan cuma sekedar
dugaan dan kemungkinan—dan juga belum ada saksi-saksi
syar’i-nya, maka mereka mesti mengambil sebuah sikap—yang
menurut istilah sekarang ini—”masuk telinga kanan dan keluar
telinga kiri”. Dan dengan kata lain, di situ dia mendengar di situ
pula ia kuburkan. Bahkan tidak diperbolehkan untuk menyampaikan
berita itu sekalipun dalam bentuk, “saya dengar bah wa.....”
Bukan hanya tidak diperbolehkan untuk menyampaikannya
secara pasti, bahkan tidak diperbolehkan untuk menyampaikan
dalam bentuk, “saya dengar berita semacam ini...” Ketika seseorang
mengatakan, “Saya dengar..,” berarti ia “menyebarkan” dan
Islam tidak rela terhadap mereka yang menyebarkan berita-berita
keji, kotor dan hina ini. Khususnya pada bagian ayat yang mengatakan,
“Dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,”
Allah hendak mengatakan, kalian tidak mengetahui bahwa kejahatan
ini adalah sebuah kejahatan yang sangat besar. Islam menginginkan
agar suasana masyarakat Islam berasaskan pada rasa saling
percaya, saling berprasangka baik, berkata baik, dan bukannya
berdasarkan pada buruk sangka, tidak saling percaya, cacian dan
umpatan. Oleh karena itu, Islam beranggapan bahwa menggunjing
adalah satu dosa yang sangat keji. Al-Quran mengungkapkan
hal itu dengan, “Dan janganlah sebagian kamu meng gunjing sebagian
yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati?” (QS al-Hujurat: 12) Ringkasnya
ialah: orang yang menggunjing orang lain berarti ia tengah
memakan daging orang tersebut ketika orang itu telah mati.
Disebabkan adanya berbagai dampak negatif itulah maka Al-
Quran senantiasa mengulang dan menegaskan permasalahan ini
dengan menggunakan ber bagai bentuk penjelasan. Di antaranya
ialah ayat ini, “sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
p:47
beriman, bagi mereka azab yang pedih.” Saya akan terjemahkan ayat
itu, kemudian saya akan paparkan bahwa ayat itu dapat ditafsirkan
dalam dua bentuk penafsiran. Banyak yang telah menafsirkan ke
dalam dua bentuk itu, dan kedua bentuk penafsiran tersebut adalah
saling mendekati. Ayat yang mengatakan bahwa mereka yang menyukai
agar berita buruk itu tersebar di kalangan orang-orang
mukmin, maka telah disediakan baginya siksaan yang pedih. Ayat
ini adalah ayat yang memiliki dua arti dan keduanya adalah benar.
Salah satu dosa yang sangat besar yang mana Al-Quran
memberikan ancaman bagi para pelakunya dengan “siksaan yang
pedih” ialah seorang atau orang-orang yang senang menyebarkan
perbuatan keji di tengah-tengah masyarakat. Ada beberapa
orang yang kerjanya adalah menyebarkan perbuatan keji. Hal itu
dilakukan untuk mendapatkan uang atau untuk tujuan lainnya.
Yang mana umumnya pada masa kita ini tujuannya adalah untuk
melakukan penjajahan. Mereka menginginkan agar perbuatan
keji yang ada di sekitar masyarakat menjadi banyak. Mengapa?
Karena tidak ada yang lebih ampuh dalam melemahkan semangat
sebuah masyarakat melebihi penyebaran perbuatan keji. Jika
kalian menginginkan agar para pemuda suatu masyarakat tidak
memikirkan masalah-masalah yang serius, sehingga mereka tidak
hanya sibuk dengan kehidupan pribadinya saja, dan sama sekali
tidak ingat akan masalah-masalah itu—masalah-masalah yang
seriusilah masalah-masalah yang membahayakan kepentingan
para kolonialis—caranya ialah dengan memperbanyak sebanyak
mungkin kedai-kedai yang menjual minuman keras, menempatkan
perempuan-perempuan di berbagai tempat, memperbanyak
sarana yang dapat mempermudah hubungan antara pemuda dan
pemudi. Sebagaimana heroin dan ganja dapat merusak kekuatan
jiwa dan raga para pemuda, mencabut semangat sebuah masyarakat
dan membuatnya menjadi lemah, melenyapkan rasa kepahlawanan,
kemuliaan dan harga diri, semacam itu pulalah dampak
yang ditimbulkan oleh perbuatan keji.
Orang-orang Amerika memiliki suatu program umum untuk
merusak seluruh dunia. Dan program-program mereka ialah:
p:48
“Perbanyaklah sarana kemaksiatan, maka kau akan aman dari masyarakat.”
Disebutkan bahwa salah seorang ketua redaksi sebuah
majalah pada edisi pekan ini(1) mengatakan, “Saya akan melakukan
sebuah usaha agar sepuluh tahun mendatang di Teheran tidak ada
seorang “gadis” pun yang berumur sepuluh tahun ke atas.” Semua
itu mereka lakukan dengan program dan perhitungan. Untuk
apakah Islam senantiasa menekankan pentingnya ‘afaf. Dalam
suatu kesempatan selama satu malam saya berbicara tentang falsafah
‘afaf (menjaga kesucian diri). Salah satu falsafah ‘afaf ialah
menyimpan berbagai kekuatan yang manusiawi dalam berbagai
individu. Mungkin Anda tidak mempercayai hal ini, yaitu: semangat
kemanusian dapat keluar (lenyap) melalui saluran “bawah tubuh”.
Namun begitulah kenyataannya.
Islam bukan mendukung pelarangan hubungan seksual.
Membenarkan hubungan itu namun dalam batasan keluarga (pernikahan).
Islam bukan pendukung pendapat penganut Katolik dan
gereja. Namun Islam sama sekali tidak mengizinkan (hubungan
sek sual itu) dilakukan di luar pernikahan yang sah. Itu adalah sebuah
program dan rancangan yang dibuat oleh Islam dalam menjaga
kehormatan, keberanian, kemanusiaan, kemuliaan, pada diri
laki-laki dan perempuan. Dalam ayat-ayat berikutnya yang akan
membahas mengenai “menutup tubuh”, saya akan berbicara lebih
panjang lagi mengenai masalah ini. Al-Quran (berkenaan dengan
orang-orang) yang hendak membunuh jiwa melalui penyebaran
perbuatan keji mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang in-
ngin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan
orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih.” Mereka
yang senang dan suka memperbanyak kemaksiatan di sekitar
orang-orang yang beriman, Allah telah menyiapkan bagi mereka
siksaan yang pedih. Mengapa (siksaan yang pedih) dicantumkan
dalam ayat Al-Quran? Untuk memberi penjelasan bahwa masalah
ini adalah masalah yang sangat serius. Ini merupakan satu bentuk
penafsiran di mana Al-Quran menjelaskan kepekaannya terhadap
penyebaran perbuatan keji di sekitar orang-orang yang beriman.
p:49
Untuk menjelaskan arti kedua, saya akan memaparkan satu
poin penting dari sisi bahasa dan itu ada lah kata ‘fii’. Kata ‘fii’
dalam bahasa Persia berarti “dar” (di—pen). Kita mengatakan,
‘Darkhaneh’ (di rumah— pen) dan orang-orang Arab mengatakan,
fi ad-daari’ Kata ‘fi’ dalam bahasa Arab terkadang berarti ‘dar’
dan terkadang berarti ‘darboreyeh’ (berkenaan—pen). Di sini ayat
tersebut juga dapat diartikan seperti itu dan telah diartikan seperti
itu dan kedua arti tersebut adalah benar.(1) Kedua arti tersebut
sesuai dengan ayat-ayat ifk Arti kedua dari ayat itu ialah: “Mereka
yang menyukai tersebarnya perbuatan keji berkenaan de ngan
orang-orang yang beriman.” Ini bukan berarti perbuatan keji tersebar
di sekitar orang-orang yang beriman, tetapi tersebarnya tuduhan
bahwa orang-orang yang beriman berbuat keji. Yakni mereka
yang senang mencemari kesucian orang-orang yang beriman.
Ada sekelompok masyarakat yang menurut istilah psikologi
disebut “stres”, ketika mereka melihat seseorang yang memiliki
posisi atau kedudukan tertentu dalam masyarakat, karena mereka
merasa iri terhadap orang itu, dan mereka juga tidak memiliki
semangat dan potensi untuk maju, maka dengan segera mereka
membuat berbagai isu terhadap orang tadi. Mereka mengatakan,
“Kita tidak mampu untuk mencapainya, maka kita mesti menurunkan
dia” (bagaimanakah cara mereka menjalankan usahanya?)
Dengan suatu perbuatan yang sama sekali tidak jantan yaitu dengan
membuat sebuah isu dan terhadap orang tadi. Seberapa besar
dosa ini, Allah yang mengetahui.
Pada suatu hari ketika Rasul Saw tengah berada di tengahtengah
para sahabatnya, beliau bersabda: “Maukah kalian aku
tunjukkan siapa manusia yang paling buruk?” Mereka menjawab,
“Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda (saya tidak ingat kata-kata
aslinya): “Manusia yang paling buruk itu ialah manusia yang kebaikan
yang ia punyai tidak diberikan kepada orang lain, segala
yang dimiliki hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.”
Mereka yang ada di situ menduga bahwa tidak ada yang lebih
buruk dari itu. Kemudian beliau melanjutkan: “Maukah kalian
p:50
kuberitahu siapakah orang yang lebih buruk dari itu? Kemudian
beliau menyebutkan golongan yang lain (golongan kedua—pen).
Lalu para sahabat berkata, “Sebelumnya kami menduga bahwa
tidak mungkin ada manusia yang lebih buruk dari golongan pertama.”
Beliau kembali bertanya: “Maukah kalian kuberi-siapakah
orang yang lebih buruk dari itu?” Me menjawab, “Apakah ada yang
lebih buruk dari itu?” Kemudian beliau menyebutkan golongan
yang ketiga, “Orang-orang yang lebih buruk dari itu ialah orangorang
yang suka mengumpat, mencaci, menuduh dan menjatuhkan
kehormatan.” Beliau berhenti sampai di sini, yakni tidak ada
kelompok yang lebih buruk dari itu.
Jika demikian maka arti kedua dari ayat itu ialah mereka
yang menyukai tersebarnya tuduhan keji—tuduhan keji itu sendiri
adalah sebuah kekejian—berkenaan dengan orang-orang yang
beriman, ketahuilah Allah telah menyediakan bagi mereka siksaan
yang pedih.
Kemudian lanjutan dari ayat itu ialah, “di dunia dan di akhirat,”
di dunia dan akhirat mereka akan men dapatkan siksaan yang
pedih, yakni Allah bukan hanya menyiksa mereka di akhirat tetapi
mereka juga akan disiksa di dunia.
Masalah pembalasan amal adalah sebuah permasalahan
tersendiri. Kita tidak diberitahu bahwa setiap dosa pasti ada balasannya
di dunia ini. Tidak, banyak dari dosa-dosa yang tidak ada
balasannya di dunia ini, namun setiap dosa pasti mendapatkan
balasan di du nia sana. Di antara dosa yang langsung memberikan
dampak di dunia ini—Anda dapat mengujinya—ialah dosa dari
tuduhan keji, dan menjatuhkan kehormat an. Mereka yang melontarkan
tuduhan bohong, pada suatu hari ia pasti akan mendapatkan
balasannya. Kemungkinan orang lain akan menuduhnya dengan
tu duhan semacam itu, atau ia akan dipermalukan dengan cara
tertentu.
“Dan Allah Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” Allah
Mengetahui dan kalian tidak mengetahui. Masalah ini sangat
besar, Allah. Mengetahui betapa besar masalah ini, dan kalian tidak
mengetahuinya!
p:51
“Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua,
dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).”
Jika bukan karena kemurahan dan rahmat Ilahi, jika Allah tidak Pemurah dan
Penyantun, maka kalian akan mendapatkan siksaan yang pedih
disebabkan kelalaian kalian. Namun kemurahan Ilahi menghalanginya;
yakni, kelalaian yang ada pada diri kalian itu, yang mana
kalian telah menjadi juru bicara orang munafik, kalian layak
untuk mendapatkan siksaan yang berat di dunia yaitu masyarakat
kalian menjadi hancur berantakan, namun kemurahan dan rahmat
Ilahi menghalangi (terjadinya berbagai siksaan) itu.
Sekali lagi ditegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan. Barangsiapa yang
mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu
menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan yang munkar.” Wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian melangkahkan kaki
pada tempat yang dilalui setan; janganlah membuntuti setan. Jika
kemudian Anda mengatakan, “Kami tidak mengenal setan dan tidak
pula melihatnya, bagaimanakah kita mengetahui bahwa kita
mengikuti langkah-langkahnya?” Ini tidak perlu mesti melihat.
Ketahuilah setan itu dari berbagai arah bisikannya. Ketika
hati Anda mendengar adanya suatu bisikan yang mendorong Anda
untuk berbuat keji, munkar dan hina, ketahuilah bahwa itu adalah
langkah-langkah setan. Setan berada di depan Anda dan berkata,
“Kemarilah.” Bisikan “kemarilah” itu adalah setan. Kalian tidak perlu
melihat setan itu dengan mengunakan kedua mata, tetapi lihatlah
setan itu dengan menggunakan ‘mata hati’. “Barangsiapa yang
mengikuti langkah-langkah setan,” mereka yang mengikuti langkah-
langkah setan mesti mengetahui “maka sesungguhnya setan itu
menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang munkar,” setan
senantiasa mengajak pada per buatan yang buruk dan yang tercela.
“Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan Rahmat-
Nya kepada kamu sekalian,” sekali lagi dikatakan: “Wahai Muslimin,
di masa Nabi Saw kalian berada di tepi jurang, jika bukan
karena karunia dan kemurahan Allah—dan juga jika bukan
p:52
karena Nabi Saw—maka masyarakat kalian akan terjerumus
ke dalamnya, dan tidak mungkin dapat menyelamatkan diri.”
Semua itu agar kalian mengetahui bahwa pada masa-masa berikutnya
kejadian semacam itu akan terulang kembali. Masalah
melontarkan tuduhan bohong terhadap Mus limin akan menjadi
banyak. Ketahuilah kalian akan jatuh terjerumus dan akan
mengalami kesengsaraan (sebagaimana yang ada pada masa
kita ini). “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu).”
Jika bukan karena kemurahan Ilahi tidak ada se orang pun
dari kalian yang akan bersih. “teteapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki-Nya dan Allah
maha mendengar lagi maha Mengetahui.” Demikianlah, di mana jika Allah melihat ada seseorang
yang layak dan pantas untuk dibersihkan, maka Dia akan
membersihkannya dari dosa, Allah Mahamendengar dan Maha
mengetahui.
Ayat berikutnya berkenaan dengan masalah ini juga. Namun
kemudian terdapat suatu permasalahan yang lain.
«وَلَا یَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْکُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ یُؤْتُوا أُولِی الْقُرْبَی وَالْمَسَاکِینَ وَالْمُهَاجِرِینَ فِی سَبِیلِ اللَّهِ وَلْیَعْفُوا وَلْیَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ یَغْفِرَ اللَّهُ لَکُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِیمٌ (22)»
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nur: 22)
Ayat tersebut menerangkan suatu kejadian dan itu ialah: sebagian
Muslimin yang menurut bahasa Al-Quran mereka disebut
dengan ulul fadhl, yaitu memiliki kelebihan (tetapi enggan untuk
memberikan bantuan). Di sini maksud dari fadhl adalah kekayaan
dan harta, artinya adalah bahwa mereka adalah orang-orang yang
p:53
serba berkecukupan.
Pada masa sekarang ini kata fadhl hanya digunakan pada ilmu
saja. Pada masa sekarang ini jika kita mengatakan si fulan adalah
seorang yang fadhil, artinya adalah ia adalah seorang yang berilmu.
Ia termasuk fudhala’ artinya sama dengan “ulama” yaitu orang yang
memiliki ilmu dan fadhl Namun dalam Al-Quran kata fadhl hanya
ditujukan pada harta dan kekayaan yang didapatkan melalui jalan
yang halal.(1) Di antaranya terdapat dalam surah al-Jumu’ah. Allah berfirman
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung,” (QS Al-Jumu’ah:10). Pergilah kalian mencari kemurahan Allah, yakni berusahalah,
bekerjalah, berdaganglah, carilah uang dari jalan yang halal.
Al-Quran mengatakan bahwa orang-orang yang mendapatkan
harta dan kekayaan melalui jalan yang halal, memiliki kemampuan
dan serba berkecukupan, mereka jangan sekali-kali besumpah
untuk memutus bantuan yang mereka berikan.
Sebagian dari Muslimin yang mampu, dan kaya, mereka memberikan
bantuan kepada sebagian Mus limin lainnya, yaitu para
Muhajirin, fakir miskin atau sanak keluarganya sendiri, kemudian
setelah terjadinya suatu peristiwa—tampaknya itu adalah akibat
dari ifk mereka merasa kecewa dan mengatakan, “Kita memberikan
bantuan kepada mereka hanya mengharapkan kerelaan Allah
semata, namun mereka malah menyalahgunakan bantuan yang
kita berikan, malah berbuat dosa, kita memberi bantuan mereka
dan me reka malah menyebarkan berbagai isu dan tuduhan bohong
atas diri kita.” Mereka mengambil keputusan untuk memutus
bantuan kepada fakir miskin—yang ikut serta dalam membuat
berbagai isu dan tuduhan bohong itu—yang sebelumnya mereka
telah memberikannya secara rutin. Mereka bersumpah, “Kami tidak
akan memberikan bantuan pada mereka.”
Namun Al-Quran menganggap persatuan Mus limin jauh lebih
penting dari segalanya. Sekalipun di sini telah tersebar cerita
p:54
dan tuduhan bohong, dan Muslimin secara umum dalam keadaan
bersalah, Al-Quran dalam usaha memperbaiki kesalahan mereka
yang telah lalu itu menyatakan kepada Muslimin secara umum,
“Kalian telah melakukan sebuah kesalahan besar, kalian telah men-
jadi juru bicara sebuah kelompok (orang-orang munafik)." dan ke-
tika mereka hendak memutus bantuan yang biasa mereka berikan
kepada fakir miskin, karena pemutusan bantuan ini akan membuat
kelompok yang diputus itu terpisah untuk selama-lamanya,
Al-Quran mengatakan, “Hendaklah kalian memiliki sifat pemaaf,
maafkanlah kesalahan mereka". "Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu ....,” janganlah
orang-orang yang kaya dan mampu, bersumpah untuk memutuskan
bantuan—yang sampai saat ini biasa mereka berikan—
kepada Muhajirin, fakir miskin, dan sanak keluarganya, mereka
harus tetap memberikan bantuannya. “Dan hendaklah mereka me-
maafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu?” maafkanlah mereka, lupakanlah, ampunilah
mereka, apakah kalian tidak ingin Allah mengampuni kalian?
Begitu ayat ini turun mereka yang semula ingin memutus bantuannya
me ngatakan, “Kami tidak akan memutus bantuan kami.”
Di sini ada satu poin penting yang mesti saya paparkan:
orang-orang yang tidak mengenal logika Islam, dan tidak mengetahui
Islam dengan jelas, mereka lalai bahwa Islam sangat mengutamakan
logika kasih sayang. Orang-orang Nasrani mempropagandakan
bahwa agama Kristen adalah agama kasih sayang, agama
berlaku baik, agama pemaaf, mengapa? Karena al-Masih mengatakan,
“Jika ada seorang yang menampar pipi kananmu maka berikanlah
pipi kirimu.” Katakan kepadanya pukullah yang ini juga,
tetapi agama Islam adalah aga ma yang penuh kekerasan, agama
yang sulit, agama pedang, sebuah agama yang di dalamnya tidak
ada suatu pengampunan, tidak ada rasa kasih sayang. Orang-orang
Nasrani senantiasa menyebarkan ungkapan-ungkapan tersebut.
Itu merupakan suatu kesalahan yang besar. Islam adalah
agama pedang dan juga agama kasih sayang, agama yang keras dan
juga agama yang lembut. Kekerasan dibolehkan namun pada batasan-
batasannya, kelembutan ada pada tempatnya, dan keagun-
p:55
gan serta kebesaran Islam ialah disebabkan adanya hal itu. Jika Islam
tidak demikian—yakni tidak mengatakan, “Balaslah kekerasan
dengan kekerasan pula, jawablah logika dengan logika, dan dalam
masalah kasih sa yang kalian mesti memiliki rasa kasih sayang sekalipun
dalam kondisi yang buruk, kalian mesti memiliki rasa kasih
sayang,”—maka kita tidak akan menerimanya. Islam tidak pernah
mengatakan, “Jika ada seorang jahat yang menampar pipi kananmu
maka berikanlah pipi kirimu.” Namun mengatakan, “Oleh
sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS al-Baqarah: 194)
Jika kalian diserang maka balaslah serangan itu dengan serangan
yang sebanding. Jika Islam tidak berkata demikian, berarti
tidak sempurna. Agama Nasrani adalah sebuah agama yang ajarannya
sama sekali tidak diamalkan, yang mana para penganutnya
sangat haus darah melebihi seluruh penduduk dunia. Mereka yang
setiap harinya menyebarkan ajaran menentang Islam, dan senantiasa
membawa kitab Injil, yang menurutnya adalah kitab kasih
sayang, sekarang ini kita dapat menyaksikan mereka setiap harinya
menuangkan bertonton “kasih sayang” ke Vietnam.(1)
Inikah kasih sayang yang dikatakan oleh Injil kepada mereka?
Kasih sayang itu adalah berbentuk berbagai bom, bahkan ada yang
berbentuk bom “napalm”, yang mana begitu bom itu jatuh ke bumi
langsung membakar tubuh anak-anak, orangtua, dan perempuan.
Pertama-tama Islam akan menggunakan kasih sa yang, dan
jika kasih sayang itu tidak memberikan hasil, maka ia tidak akan
tinggal diam. Ada yang mengatakan,
“Karena kau tak menerima nasihat,
Maka kau harus diikat.”
Ali bin Abi Thalib as, sehubungan dengan pribadi Rasul Saw
mengatakan, “Nabi adalah ibarat seorang tabib yang berkelana,
yang dengan pengobatannya mempersiapkan obat-obatan dan
memanaskan peralatan wasm-nya. (besi yang digunakan untuk
p:56
mencap tubuh—pen).” (Nahjul Balaghah, khotbah: 107). Seorang
tabib yang senantiasa berkelana, seorang tabib yang pada tangan
kanannya adalah obat-obatan dan pada tangan kirinya alat-alat bedah.
Ketika penyakit yang ada dapat disembuhkan hanya dengan
obat, maka beliau akan meletakkannya pada penyakit itu. Dan jika
tidak dapat disembuhkan dengan obat, maka beliau akan menggunakan
pisau, belati, bahkan besi panas. Keduanya beliau pergunakan;
kelembutan dan kekerasan. Sa’di mengatakan:
“Keras dan lembut keduanya saling menyembuhkan,
Karena luka bekas bedah obatlah yang menyem buhkan.”
Dan itu seperti yang dikatakan oleh Imam Ali as, “...(1)
pembicaraan dan ajakan kepada Allah.” Kemudian beliau membaca ayat:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah
telah menjadi teman yang sangat setia”(QS Fushshilat: 34)
Ketahuilah bahwa kebaikan dan kejahatan itu beratnya tidak
sama, bahkan (berbagai kejahatan itu) beratnya tidak sama. Dan
berbagai kebaikan juga beratnya tidak sama. Balaslah berbagai kejahatan
itu dengan berbagai perbuatan yang paling baik. “Tolaklah
(kejahatan) dengan cara yang lebih baik .” Orang lain berbuat
jahat, kau mesti berbuat baik. Kemudian Al-Quran menyinggung
sisi kejiwaan, dengan mengatakan: jika musuh berbuat jahat,
dalam membalas kejahatan itu kau mesti berbuat baik, kau akan
melihat reaksi dari berbuat baik atas kejahatan—sebagaimana
reaksi yang terjadi pada suatu zat kimia—yakni merubah bentuk
hati. Suatu saat kau akan melihat bahwa musuhmu yang keras itu,
hatinya berubah dan men jadi teman yang sangat lembut.
Siapa yang mengatakan bahwa Islam tidak mengajarkan kasih
sayang? Siapa yang mengatakan bahwa Islam bukan agama kasih
sayang? Islam adalah sebuah agama kasih sayang. Namun pada
saat kasih sayang tidak memberikan pengaruh, tidak kemudian
hanya diam saja. Pada saat menggunakan kekerasan maka ped-
p:57
anglah yang akan dipergunakan. Dalam sejarah kehidupan Rasulullah
Saw, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, dan seluruh
imam suci lainnya, kalian akan mendapatkan berbagai kisah yang
berkenaan dengan: “tolaklah kejahatan itu dengan cara yang
lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”
Jika kalian membalas dengan kebaikan atas perbuatan jahat, maka
kalian akan melihat reaksinya. Reaksinya ialah merubah musuh
menjadi teman.
Dalam do’a Makarimul Akhlaq terdapat berbagai ungkapan
yang sangat menakjubkan: “Ya Allah berilah aku petunjuk agar aku
dapat berkata baik pada orang yang berkata keji padaku, menjalin
hubungan dengan orang yang memutus hubungan denganku, terhadap
orang yang menggunjingku aku berkata baik tentang dirinya.”
Dan masih terdapat lagi ungkapan yang cukup banyak.
Khajah Abdullah Anshari juga memiliki ungkapan yang
sangat indah. Ia mengatakan:
“Kejahatan dibalas kejahatan adalah anjing yang menggigit.”
Perbuatan anjing memang demikian. Seekor an jing jika digigit
oleh anjing lain maka ia akan segera menggigitnya. Jika seseorang
yang berbuat jahat kepada orang lain, kemudian orang itu
membalas dengan kejahatan pula, maka perbuatannya itu tidak
ubahnya seperti perbuatan seekor anjing. Jika seseorang memukul
seekor anjing maka segera anjing itu akan meng gigit kaki orang
yang memukulnya itu.
“Kebaikan dibalas kebaikan adalah keledai menggaruk.”
Jika seseorang yang berbuat baik pada orang lain, kemudian
orang itu membalasnya dengan kebaikan pula, maka ia tidak
melakukan sesuatu yang luar biasa. Jika ada seekor keledai yang
datang menghampiri dan menggaruk punggung keledai yang lain
p:58
dengan giginya, maka keledai itu pun akan menggaruk punggung
keledai tadi dengan giginya pula. Bahwa kebaikan mesti dibalas
dengan kebaikan, keledai pun mengetahui hal itu. Namun perbuatan
jahat yang dibalas de ngan perbuatan baik, adalah sikap Khajah
Abdullah Anshari.
Al-Quran mengatakan, “Dan janganlah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah
bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabatnya, orang-orang miskin
dan orng-orang yang berhijrah di jalan Allah”
Orang-orang yang mampu janganlah bersumpah, janganlah
merasa gusar terhadap orang yang melanggar agama, mereka berbuat
jahat kalian harus membalasnya dengan kebaikan, janganlah
mereka bersumpah untuk tidak memberikan bantuan kepada
sanak keluarga, fakir dan miskin, orang-orang yang berhijrah di
jalan Allah, disebabkan mereka telah berbuat jahat, dan ikut serta
dalam membuat tuduhan itu: “dan hendaklah mereka memaafkan
dan berlapang dada,” maafkanlah mereka, janganlah diambil hati
“Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” Sebuah
ungkapan yang sangat menakjubkan!
wahai manusia maafkanlah kesalahan orang lain karena
kalian sendiri adalah orang yang berdosa, dan berharap agar Allah
mengampuni dosa-dosa kalian itu. Jika kalian berharap Allah
bersikap baik kepada kalian, bersikaplah baiklah kepada hamba hamba-
Nya. Jangan bersikap keras, sedapat mungkin perbaikilah
orang-orang yang berdosa itu melalui jalan yang baik. Dan sekiranya
tidak bisa, maka pergunakanlah jalur kekerasan dan hukuman.
Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pemurah, dan kalian
juga harus menjadi pemurah dan pemaaf.
Di antara kebaikan yang dimiliki oleh para imam suci as
ialah, mereka banyak membeli budak dan untuk beberapa waktu
budak tersebut tinggal serumah bersama mereka. Karena falsafah
perbudakan dalam Islam adalah bahwa para budak mesti melewati
suatu masa tertentu (dari kekufuran menuju kebebasan) dan
juga mesti melintasi suatu lorong yang mana semua itu di bawah
p:59
bimbingan Muslimin. Dan dari sisi ini Islam memperoleh berbagai
keuntungan manusiawi. Itu adalah di antara kebiasaan para imam
suci as—kerena salah satu di antara penggunaan zakat ialah untuk
membebaskan budak—namun bukan berarti hanya membeli
budak yang tidak mendapat pendidikan Islam, kemudian menjualnya
lagi. Bahkan alangkah baiknya jika budak yang dibeli itu
sebelumnya telah mendapatkan pendidikan Islam, namun jika belum
mendapatkan pendidikan Islam maka untuk be berapa waktu
budak tersebut mereka tempatkan da lam keluarga yang konsisten
terhadap ajaran Islam, agar dapat mengenal dan mengamalkan
moral dan tata cara Islam, kemudian setelah itu mereka bebaskan.
Para imam suci as banyak sekali melakukan hal itu, budak-budak
mereka tempatkan di rumah mereka sendiri, sehingga kemudian
budak-budak itu me ngenal Islam dengan baik dan menjadi Muslim
yang hakiki.
Di rumah Imam Ali Zainal Abidin as terdapat budak yang cukup
banyak. Setelah satu tahun, ketika budak-budak itu berbuat
suatu kesalahan dan kejahatan, beliau mencatatnya dalam sebuah
buku. Kemudian pada hari terakhir atau pada malam terakhir di
bulan Ramadhan, beliau mengumpulkan semua budak itu, dan beliau
berdiri di tengah-tengah mereka. Beliau mengeluarkan buku
catatan itu, menghadap mereka dan berkata, “Wahai fulan ingatkah
kau pada waktu kau melakukan suatu kesalahan demikian?”
kemudian budak itu menjawab, “Ya.” Beliau mengingatkan satu
persatu kesalahan yang pernah mereka perbuat. Kemudian beliau
berdo’a, “Wahai Tuhan kami, mereka yang berada di bawah kekuasaanku
ini telah berbuat jahat kepadaku, dan aku adalah hamba-Mu
maka aku maafkan semua itu, wahai Tuhan kami, diri kami
penuh dengan kesalahan, maka ampunilah kesalahan hamba-Mu
ini.” Kemudian semua hamba sahaya itu beliau bebaskan di jalan
Allah.
dasar utama dalam Islam adalah memaafkan. Benar Islam tidak memaafkan
hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat
Karena pemaafan itu tidak lagi berhubungan dengan pribadi, individu,
dan personal, tetapi berhubungan langsung dengan ma
p:60
syarakat. Misalnya saja ada seseorang yang mencuri. Hukuman
dari pencurian itu adalah potong tangan. Pemilik harta tidak dapat
mengatakan, "aku memaafkan dia". kau memaafkan namun masyarakat tidak memaafkan.
ini bukan hakmu tapi hak masyarakat.
Dalam sebuah hadis, sewaktu Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as—sebagaimana kebiasaan beliau ketika menjadi khalifah,
beliau senantiasa berjalan seorang diri, sekalipun ke tempat-tempat
yang sunyi untuk melakukan pemeriksaan situasi dan kondisi
yang ada dalam masyarakat—melintasi sebuah kebun yang ada di
Kufah, tiba-tiba terdengar jeritan, “Tolong! Tolong!, Tolonglah aku!
Tolonglah aku!” Jelas terjadi perkelahian. Dengan bergegas beliau
berlari menuju arah suara itu. Ada dua orang yang saling berbaku
hantam. Saling berpukul-pukulan. Ketika Imam Ali as datang,
perkelahian mereka pun usai (mungkin Imam mendamaikan mereka
berdua). Sebenarnya mereka berdua adalah berteman. Ketika
Imam Ali as. hendak menarik dan membawa orang yang memukul
itu, orang dipukul mengatakan, "aku memaafkannya". Imam Ali as berkata,
"Baiklah engkau memaafkannya tapi ada juga hak
pemimpin yakni hak yang dimiliki oleh pemerintahan, yaitu hak
menjatuhkan hukuman. Dan pemerintah mesti menjatuhi dia
dengan sebuah hu kuman. Di sini kau tidak lagi berhak untuk me-
maafkan karena tidak lagi ada hubungannya dengan dirimu.
Tujuan saya dengan mengungkapkan kisah itu ialah untuk
menunjukkan bahwasannya hak umum tidak dapat dimaafkan.
dan Islam juga tidak memaafkan berbagai hal yang berhubungan
dengan hak umum. Namun berkenaan dengan hak pribadi maka
boleh dimaafkan. seseorang yang sebelumnya telah memberikan
bantuan kepada seorang yang berbuat jahat dan berbuat dosa,
kemudian ia hendak memutus bantuan itu, ini merupakan satu
masalah yang sifatnya pribadi. maafkanlah semua itu dan jangan
kau ambil berat. Berkenaan dengan semua itu, Al-Quran mengeluarkan
perintah agar memberi maaf, dan sedapat mungkin agar
berusaha memberikan balasan dengan perbuatan baik dan kasih
sayang. Marilah kita lanjutkan pembahasan ayat berikutnya.
p:61
Saya tidak melihat satu masalah yang sangat ditekankan oleh
Al-Quran melebihi masalah tuduhan keji terhadap perempuan.
«إِنَّ الَّذِینَ یَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِیمٌ (23)»
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah
lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat,
dan bagi mereka azab yang besar (QS an-Nur: 23)
«یَوْمَ تَشْهَدُ عَلَیْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَیْدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا کَانُوا یَعْمَلُونَ (24)»
pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi
atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan (QS an-Nur: 24)
Mereka yang melontarkan tuduhan kepada perempuan suci
yang dalam keadaan lalai, (perempuan yang lalai ialah perempuan
yang tidak mengetahui keadaan luar, dan dia hanya tinggal
di rumah saja) akan mendapatkan kutukan Allah di dunia dan
di akhirat, dan bagi mereka siksa yang besar. Pada hari di mana
tangan-tangan dan kaki-kaki mereka memberikan kesaksian terhadap
berbagai kejahatan yang pernah mereka lakukan.
Ini adalah sebuah logika Al-Quran yang mana di sini bukan
tempatnya saya membahas secara rinci masalah tersebut. Al-
Quran secara jelas mengatakan bahwa, alam akhirat, adalah sebuah
kehidupan. Semua yang ada di alam akhirat adalah hidup.
Dalam ‘dunia’ itu segala sesuatu, dan setiap anggota tubuh bersaksi
terhadap perbuatan yang pernah dikerjakan. Tangan memberi
kesaksian atas apa yang telah dikerjakan. Kaki memberi kesaksian
atas apa yang telah dikerja kan. Mata dan telinga masing-masing
memberikan ke saksian atas apa yang telah dikerjakannya. Kulit
tu buh—merupakan kata kiasan atas aurat (kemaluan)—memberikan
kesaksiannya pula terhadap apa yang telah dikerjakan. Mereka
menyumbat mulut seraya berkata, “Hai lidah kau diam saja,
p:62
biarkanlah anggota tubuh yang lain memberikan kesaksiannya.”
Lidah juga hanya memberi kesaksian pada dosa yang pernah ia
kerjakan. Al-Quran mengatakan, “Pada hari di mana lidah-lidah
orang-orang ini (karena dosa orang ini adalah dosa lidah) maka
tangan dan kaki orang itu memberikan kesaksian terhadap dosa
yang pernah ia kerjakan.”
«یَوْمَئِذٍ یُوَفِّیهِمُ اللَّهُ دِینَهُمُ الْحَقَّ وَیَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِینُ (25)»
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya,
dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan
(segala sesutatu menurut hakikat yang sebenarnya) (QS an-Nur: 25)
Jika seorang perempuan—al-iyyadzubillah—rusak dan tercemar,
maka akan mencemari kehormatan laki-laki; namun
kalian mengetahui bahwa jika laki-laki yang tercemar, tidak
banyak memberikan pengaruh pada kehormatan perempuan,
bahkan—sama sekali—tidak mempengaruhi kehormatan perempuan.
Hal ini merupakan suatu rahasia khusus yang berkenaan
dengan kejiwaan. Pada berbagai tulisan saya pada beberapa tahun
yang lalu, yang dimuat di sebuah majalah perempuan berkenaan
dengan masalah hak-hak perempuan—bertentangan dengan
berbagai isi pembahasan yang ada dalam majalah itu
sendiri—saya menjelaskan rahasia pembahasan ini. Dan banyak
dari aturan-aturan Islam yang berasaskan pada hal ini pula. Jika
seorang perempuan tercemar, se orang laki-laki tidak lagi dapat
menyatakan dirinya memiliki kehormatan. Namun betapa banyak
perempuan-perempuan yang suci, bersih sementara suami
mereka adalah orang-orang yang kotor, tercemar. Masyarakat tidak
menganggap perempuan-perempuan itu juga demikian kotor.
Mereka akan mengatakan, “Suaminya orang yang ko tor lalu
apa urusannya dengan dia? Suaminya orang yang tercemar lalu
apa urusannya dengan dia?” Ini adalah satu bentuk pembahasan.
Pembahasan kedua ialah, perempuan dalam rangka menjaga
kesucian dirinya, berhubungan langsung dengan kehormatan
laki-laki. Sedangkan dalam urusan pribadi dan individunya tidak
p:63
berhubungan dengan laki-laki. Yakni jika seorang perempuan—
al-iyyadzubillah—tercemari dalam masalah yang berhubungan
dengan kesucian diri, maka laki-laki pun ikut tercemar. Namun
jika dalam diri seorang perempuan terdapat berbagai kekurangan,
hal itu bukan merupakan kekurangan laki-laki. Misalnya saja jika
ada seorang perempuan yang tidak beriman, jiwanya adalah kafir atau munafik
hal itu tidak ada hubungannya dengan laki-laki.
Oleh karena itu Al-Quran menyebutkan tentang istri Nuh as dan
istri Luth as. Mereka berdua adalah Nabi, namun istri mereka bukan
mukminat, dan dari sisi pemikiran serta akidah istri mereka
berdua itu memiliki ikatan dengan para musuh. Di sini Al-Quran
mengatakan,
«الْخَبِیثَاتُ لِلْخَبِیثِینَ وَالْخَبِیثُونَ لِلْخَبِیثَاتِ وَالطَّیِّبَاتُ لِلطَّیِّبِینَ وَالطَّیِّبُونَ لِلطَّیِّبَاتِ أُولَئِکَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا یَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ کَرِیمٌ (26)»
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan
rezeki yang mulia (surga) (QS an-Nur: 26)
Perempuan-perempuan yang tidak bersih adalah milik laki-laki
yang tidak bersih dan perempuan-perempuan yang bersih
adalah milik laki-laki yang bersih. Hal itu dikatakan berdasarkan
pada sisi kehormatan. Laki-laki yang tidak bersih, ia tidak lagi memiliki
rasa cemburu, dan ia menerima perempuan yang tidak bersih
itu, dan tidak merasa sedih walaupun istrinya adalah seorang
perempuan yang tidak bersih. Namun laki-laki yang bersih tidak
mungkin akan menerima perempuan yang tidak bersih. Hal inilah
yang akhirnya menyebabkan terjadinya pemilihan. Mereka yang
bersih memilih yang bersih, dan mereka yang tidak bersih memilih
yang tidak bersih.
Kalian dapat menyaksikan bahwa pemuda yang baik, maka
dia akan memilih pemudi yang baik dan pemudi yang baik itu pun
sangat menyukai suami yang baik. Namun seorang pemuda yang
p:64
kotor, dan busuk tidak akan menghiraukan sekalipun menikah
dengan seorang perempuan—yang menurut istilah mereka—memiliki
“pengalaman” dengan berpuluh-puluh laki-laki. Jiwa kotor
seorang laki-laki yang kotor itu, menyukai perempuan yang kotor,
namun jiwa bersih seorang laki-laki yang bersih, ia akan memilih
untuk dirinya seorang perempuan yang bersih. Jiwa bersih
dari seorang perempuan yang bersih akan memilih laki-laki yang
bersih.
Apa yang tengah kalian bicarakan berkenaan dengan Nabi
Saw dan kehormatan Nabi Saw? Mustahil dan tidak mungkin keti-
dak sucian itu terdapat pada keluarga seorang nabi. kufur (kekafi-
ran) mungkin saja terjadi pada keluarga seorang nabi, atau anak
seorang nabi, namun fisk (cabul, zina) mustahil terjadi.
Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.
p:65
p:66
p:67
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُیُوتًا غَیْرَ بُیُوتِکُمْ حَتَّی تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَی أَهْلِهَا ذَلِکُمْ خَیْرٌ لَکُمْ لَعَلَّکُمْ تَذَکَّرُونَ (27)»
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar
kamu (selalu) ingat. (QS an-Nur: 27)
«فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فِیهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّی یُؤْذَنَ لَکُمْ وَإِنْ قِیلَ لَکُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ أَزْکَی لَکُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِیمٌ (28)»
Jika kamu tidak menemui searang pun di dalamnya, maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan
kepadamu: «Kembali (saja)lah,» maka hendaklah kamu kembali.
Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS an-Nur: 28)
«لَیْسَ عَلَیْکُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَدْخُلُوا بُیُوتًا غَیْرَ مَسْکُونَةٍ فِیهَا مَتَاعٌ لَکُمْ وَاللَّهُ یَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَکْتُمُونَ (29)»
Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan
untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah
mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.
(QS an-Nur: 29)
p:68
Pada salah satu pertemuan kita yang lalu, telah saya paparkan
bahwa Al-Quran sangat memperhatikan masalah
‘afaf, kesucian dan kebersihan setiap individu dari melakukan
berbagai hubungan seksual yang tidak syar’i. Hal itu berdasarkan
pada serangkaian falsafah dan kebijakan yang mana semua itu
telah saya kemukakan.
Dalam mencapai tujuan kesucian diri, Islam mengajukan dua
hal: pertama, menyusun berbagai cara dan usaha dalam meredam
gejolak hawa nafsu. Kedua, menyusun berbagai cara dan usaha
lainnya dalam bentuk hukuman dam sanksi. Ayat pertama yang
telah saya ungkapkan bentuk penafsiranya adalah menjelaskan
hukuman terhadap perbuatan zina, “Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera.” Namun sebagaimana yang kita ketahui,
untuk melenyapkan satu ben tuk dosa tidak cukup hanya dengan
hukuman saja. Betapa pun beratnya hukuman, namun masih belum
mampu untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak
kejahatan. Kejahatan itu baik berupa tidak menjaga kesucian diri,
pencurian, pembunuhan, atau ka rena tidak berhati-hati, seperti
tidak berhati-hati dalam mengemudi.
Adalah suatu pendapat yang salah, jika kita mengira bahwa
untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan adalah dengan memperberat
hukuman. Mesti dilihat apa penyebab terjadinya tindak
kejahatan itu? Penyebab itulah yang harus disingkirkan. Barulah
kemudian mereka yang tidak normal—secara normal sudah tidak
ada lagi dorongan, alasan untuk melakukan tindak ke jahatan,
dan kejahatan itu dilakukan karena suatu bentuk kesengajaan dan
penentangan—dapat dijatuhi hukuman.
Saya akan memberikan sebuah contoh berkenaan dengan
masalah itu. Di antara undang-undang yang memang diperlukan,
ialah yang menyangkut dengan masalah kecepatan dalam
mengemudikan kendaraan. Sudah senantiasa diperingatkan bahwa
para pengemudi saat mengemudikan kendaraannya di dalam
kota hendaklah tidak melebihi kecepatan tertentu, misalnya saja
40 km per jam. Jika seseorang ada yang melanggarnya, kami akan
p:69
menjatuhinya dengan denda yang sangat berat. Meskipun dijatuhi
denda yang sangat berat, namun jika alasan dan sebab dari
pelanggaran tersebut tidak dikaji dan diselidiki, maka denda dan
hukuman itu masih belum mencukupi untuk meredam pelanggaran.
Khususnya berkenaan dengan mengemudikan kendaraan, di
mana mengemudi itu sendiri adalah merupakan satu bentuk dari
hukuman, yakni, “majazatuha ma’aha” “hukumannya dengannya”.
Karena seseorang yang melarikan mobilnya dengan kecepatan
tinggi, dan melaju secara gila-gilaan di da lam dan di luar kota, pertama-
tama dirinya sendirilah yang berada diambang bahaya, baik
mobil maupun jiwanya. Sekalipun demikian, bahaya dan kerugian
jiwa serta harta tidak mampu mencegahnya dan juga hukuman
(denda) juga tidak mampu mencegahnya. Mengapa? Karena ada
serangkaian sebab lainnya yang mendorong dia untuk melakukan
semua itu. Hukuman adalah semacam seorang polisi yang menghalanginya,
sementara itu ia berada di bawah tekanan berbagai
se bab yang lain. Misalnya saja Anda memberi peringatan kepada
seorang pengemudi taksi atau pengemudi kendaraan sewaan lainnya,
agar tidak melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi atau
Anda memberikan bermacam-macam sanksi atas pelanggaran itu.
Namun jika ia dalam suatu kondisi di mana mobil yang dikemudikan
itu adalah sebuah mobil sewaan, dan sejak pagi buta ia telah
bekerja, apabila ia tidak dapat menghasilkan 120 ribu per hari,
maka ia dan keluarganya tidak dapat makan—misalnya saja 60
ribu mesti diberikan kepada pemilik mobil, jika tidak maka besok
dia tidak akan diserahi mobil itu lagi, dan 30 ribu un tuk pembelian
bensin dan lain sebagainya, dan sisanya yaitu 30 ribu untuk
keperluan hidupnya—sekalipun Anda memberi beribu-ribu peringatan
kepada penge mudi tersebut dengan mengatakan, “Jiwamu
dalam bahaya, kau akan didenda sebesar sekian (misalnya), maka
kau akan dipenjara,” namun jika ia masih berada dalam tekanan
yaitu ia mesti membawa pulang 30 ribu, jika tidak maka ia tak akan
sanggup melihat wajah anak dan istrinya, apa yang dapat ia lakukan?
Sejak pagi buta ia telah menginjakkan kakinya pada gas, dan
dengan laju ia melarikan mobilnya di jalan raya. Alhasil ia mesti
menghasilkan 120 ribu. Ada sebuah paksaan terhadap dirinya. Hal
p:70
itulah yang menyebabkan hukuman dan peringatan tidak berpengaruh
pada dirinya.
Oleh karena itu jika kita ingin mencegahnya, tidak bisa dengan
cara memperberat bentuk hukuman atau denda, tetapi mesti
dengan jalan menyelidiki sebab-sebabnya. Ketika kita telah mengetahui
sebab-sebabnya, misalnya saja kita mampu membuat dia
hanya bekerja tujuh jam perhari saja, dan ia mampu mendapatkan
biaya hidup untuk anak dan istrinya, sehingga ia tidak menjadi
stres, dengan melakukan tindakan yang membahayakan jiwa dan
modal utamanya, atau bahkan ia akan mendekam dalam penjara.
Masalah semacam ini juga terdapat dalam kasus pencurian, pembunuhan,
minum minuman keras, berzina, dan dalam berbagai
dosa dan tindak kejahatan.
Jika demikian, maka berbagai penyebab itu mesti disingkirkan.
Dari satu sisi kita mengatakan, “Dilarang minum minuman
keras,” dan dalam lembar peristiwa dan kejadian yang ada di berbagai
surat kabar selalu ditulis berbagai dampak negatif dari minum
minuman keras—mereka mengadakan sensus dan hasilnya
ialah lima puluh persen dari sebab terjadinya tindak kejahat an,
pembunuhan, pelanggaran seksual, kecelakaan, adalah akibat dari
minuman keras—dan dari sisi lain tersedianya berbagai sarana
yang mendorong kepada perbuatan minum minuman keras. Pada
setiap lagu, syair, senantiasa berisi ajakan pada meja minum minuman
keras. Dan di setiap acara hal itu merupakan suatu keharusan,
dan setiap orang senantiasa didorong untuk minum minuman
keras. Kedai penjual minum an keras jauh lebih banyak dari
kedai-kedai yang lain.(1) Kemana saja para pemuda melangkahkan
kakinya yang ditemui adalah papan yang bertuliskan ajakan, “Yang
itu .... dan lain-lainnya tersedia di sini. Silahkan masuk”, dan mereka
pun mendatanginya.
Masalah ‘afaf (menjaga kesucian diri) dan zina adalah
semacam itu juga. Islam menentukan hukuman yang berat bagi
p:71
para pelaku zina, namun Anda dapat melihat bahwa Islam tidak
sepenuhnya bersandar pada hukuman. Oleh karena itu, cara pembuktian
perbuatan zina sangat dipersulit. Islam juga tidak menghendaki
agar setiap orang pergi menyelidiki dan memata-matai
siapakah yang bezina dan siapakah yang tidak berzina? Islam
menganggap tindakan semacam itu (memata-matai) adalah suatu
tindakan yang tercela. Jelas jika perbuatan zina telah terbukti,
maka akan dijatuhi hukuman yang berat. Akan tetapi tidak ingin
mencegah terjadinya perbuatan zina itu melalui hu kuman dan tidak
ingin mendorong masyarakat untuk melakukan penyelidikan
dan tindakan mata-mata. Pada dasarnya Islam sangat menentang
tindakan memata-matai dan menyelidiki suatu dosa. Islam menentang
tindakan memata-matai terhadap dosa-dosa yang dikerjakan
oleh masyarakat: “dan janganlah kamu mencari-cari.” (QS
al-Hujurat:12)
Jika demikian jalur apakah yang digunakan Islam dalam rangka
memerangi dosa? Bermacam-macam jalur. Nasehat, amar makruf
nahi munkar, serta me lalui jalur pendidikan, di mana masyarakat
diharuskan untuk dididik secara demikian (di sana terdapat
berbagai jalur yang tepat). Satu lagi adalah, dasar-dasar kehidupan
diatur sedemikian rupa sehingga berbagai faktor penyebab kesesatan
dan dosa dapat ditiadakan. Masalah ‘afaf merupakan salah satu
di antara bentuk aturan tersebut, yang mana pada pertemuan kita
yang lalu saya mengatakan bahwa dari satu sisi Islam hendak memenuhi
berbagai tuntutan hawa nafsu melalui jalur pernikahan
yang sah, dan sangat tidak setuju terhadap hidup membujang dengan
alasan apa pun.(1)
p:72
Pada beberapa ayat berikutnya kita akan temui ayat: “Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-
orang yang layak kawin dari hamba-hamba sahayamu laki-
laki dan hamba sahayamu yang perempuan.” Sangat memberikan
dorongan ter hadap pernikahan; putra dan putri harus dan mesti
melaksanakan pernikahan (masalah “harus” ini akan saya paparkan
pada pembahasan ayat tersebut). Oleh karena itu, dari satu
sisi demi melenyapkan berbagai faktor penyebab penyimpangan
seksual, kalian didorong untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan
dari sisi lain apakah cukup hanya dengan pernikahan? Ketika
seorang laki-laki memiliki istri dan seorang perempuan memiliki
suami apakah kecenderungannya kepada orang lain dapat hilang,
sebagaimana yang ada pada sebagian binatang? Yaitu hanya menaruh
perhatian pada pasangannya saja?
Binatang melakukan aktivitasnya berdasarkan pada naluri,
dan tidak diciptakan memiliki kebebasan. Burung merpati dan beberapa
jenis binatang lainnya kesemuanya berpasang-pasangan,
sedangkan binatang lainnya seperti kambing, kuda, kijang, tidaklah
demikian. Tidak ada istilah pasangan dalam kehidupannya,
tetapi baik jenis jantan maupun jenis betina, khususnya binatang
buas, hanya menjalin hubungan ketika hendak membentuk keturunan
saja. Binatang yang hidup berpasangan seperti merpati,
yang mana dua merpati si jantan dan si betina adalah merupakan
satu pasangan. Kecenderungan seksualnya hanya terbatas pada
satu sama lain saja, si jantan tidak tertarik dengan betina yang lain
dan si betina pun tidak tertarik de ngan jenis jantan lainnya.
Sedangkan seorang manusia, dengan nafsunya, yang berdasarkan
pada kebebasan yang dimilikinya, semua aktivitasnya mesti
dijalankan berdasarkan tugas dan kewajiban dan bukannya berdasarkan
pada naluri atau paksaan alam. Dengan demikian, maka
seorang yang telah menikah sudah memiliki suatu penghambat,
namun penghambat itu masih belum mencukupi; yakni seorang
laki-laki yang telah menikah itu ketika memandang perempuan
lain maka kecenderungannya akan bangkit, khususnya jika perem
p:73
puan tersebut dalam keadaan yang merangsang. Begitu juga dengan
perempuan terhadap laki-laki lain. Di karenakan hal itulah,
maka Islam membuat sebuah batasan dalam hubungan laki-laki
dan perempuan, dan batasan itu tidak lain adalah untuk menjaga
agar hubungan perempuan dengan laki-laki tidak menggetarkan
hati, dan tidak saling membangkitkan nafsu birahi. Dengan membaca
ayat-ayat berikutnya maka pembahasan akan menjadi jelas.
Ayat-ayat yang telah dibacakan pada awal pembahasan adalah
berhubungan dengan “izin”. Berhubungan dengan seseorang tidak
dibenarkan memasuki ru mah orang lain dengan tanpa izin
dan pemberitahuan sebelumnya. Tiga ayat ini tidak khusus untuk
perempuan, namun sebagian besar berhubungan dengan perempuan.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi
salam kepada penghuninya.”
Wahai orang-orang yang beriman, jangan sekali-kali kalian
memasuki rumah yang selain rumah kalian sendiri, sekalipun
rumah ayah, ibu dan saudara-saudara kalian, jangan masuk secara
mendadak. Akan tetapi sebelumnya kalian telah istinas (asal
kata dari tasta’nisu—pen.) dan memberi salam kepada para penghuninya.
Istinas adalah mengharapkan kesenangan, kerelaan, dan
ketenangan pemilik rumah.
Ini merupakan satu poin yang cukup jelas. Kehidupan dalam
rumah dan keluarga adalah khusus untuk berbagai individu itu
sendiri dan orang lain yang hendak memasuki kehidupan itu mesti
berdiri di depan pintu. Oleh karena itu, jika seseorang secara mendadak
masuk ke dalam rumah seseorang, maka penghuni rumah
tersebut akan merasa terkejut dan gugup. Al-Quran mengatakan,
janganlah kau lakukan hal itu, usahakanlah agar mereka tidak terkejut,
yakni terlebih dahulu berilah kabar dan pemberitahuan.
Pada masa dahulu menutup pintu bukanlah suatu kebiasaan—
dan sekarang ini di sebagian daerah demikian pula. Dan
di kota-kota hal itu adalah sebuah kebiasaan, pintu rumah dikunci
dari dalam dan sese orang tidak akan dapat memasuki rumah itu
secara mendadak, namun terlebih dahulu ia mesti menekan bel
p:74
atau mengetuk pintu. Orang-orang Arab jahiliyah sama sekali tidak
terbiasa dengan meminta izin atau memberitahu saat akan
memasuki rumah orang lain. Mereka beranggapan bahwa meminta
izin tersebut adalah merendahkan dan menghinakan dirinya.
Islam mengeluarkan peraturan ini, yaitu janganlah sekali-kali
kalian memasuki rumah orang lain (sekarang kita tidak mungkin
dapat memasuki, karena pintu senantiasa terkunci, sekalipun pintu
dalam keadaan terbuka ja nganlah kalian memasukinya) “dan
memberi salam kepada penghuninya,” ucapkanlah salam, jangan
kalian memasuki rumah dengan tanpa memberi salam terlebih
dahulu. Tugas orang yang akan masuk adalah memberi salam kepada
mereka yang di dalam rumah. Orang yang akan masuk yang
wajib mengucapkan sa lam kepada penghuni rumah. Nabi yang
mulia Saw menetapkan sunah ini, yaitu beliau mengatakan bahwa
dalam kondisi apa pun setiap kalian hendak mema suki rumah,
hendaklah kalian meminta izin terlebih dahulu agar mereka bersiap
sedia. Dan sekiranya me reka tidak memberi izin dan tidak
mengatakan, “Silakan masuk,” maka janganlah kalian masuk!
Hendaknya kalian melakukan suatu tindakan yang dapat
didengar dan dilihat oleh penghuni rumah. Mungkin saja ketika
Anda akan memasuki suatu rumah, terlebih dahulu Anda memberitahu
dengan cara berdehem dan kemudian berkata saya hendak
masuk ke dalam rumah. Namun mengapa Anda melakukan
semacam itu? Sebaiknya sebutlah nama Allah, misalnya saja sebutlah,
“Ya Allah” atau, “Subhanallah”. Hal itu sudah merupakan
satu kebiasaan dalam kehidupan kita yaitu mengucapkan “Ya Allah
“ dan itu merupakan suatu kebiasaan yang terpuji. Meskipun
sedikit demi sedikit mereka yang ke barat-baratan tidak lagi mengucapkannya,
tetapi hendaklah kalian ketahui bahwa kebiasaan
itu adalah Islami. Mereka menghapus salam dan menghapus “Ya
Allah “. Satu hal yang sangat mengherankan!
Telah menjadi kebiasaan Nabi mulia Saw, beliau tidak masuk
ke suatu rumah kecuali terlebih dahulu meminta izin, dan istinas,
yaitu dengan mengucapkan salam. Bahkan saat beliau mendatangi
rumah putrinya, Fatimah az-Zahra as, beliau tidak akan masuk
kecuali dengan meminta izin terlebih dahulu, beliau akan berdiri
p:75
di depan pintu dan dengan suara lantang be liau mengucapkan,
“Assalamu ‘alaikum ya ahlalbait,” jika mereka menjawabnya dan
mengatakan, “Silakan,” maka beliau akan masuk. Dan jika mereka
tidak memberi jawaban, untuk kedua kalinya beliau akan mengucapkan
lagi, yang mungkin mereka tidak mendengarnya, “Assalamu
‘alaikum ya ahlalbait,” jika mereka tidak pula memberi jawaban—
ihtiyat-nya (hati-hati-nya—pen.) mungkin mereka tidak
mendengarnya— untuk ketiga kalinya beliau akan mengucapkan
salam lagi. Dan jika tetap tidak mendapatkan jawaban maka beliau
akan kembali, dan berucap, “Mungkin mereka tak ada di rumah,
atau mungkin mereka dalam suatu kondisi yang tidak dapat menerima
seseorang, dan jangan sampai mereka merasa tak senang.”
“yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu ingat"
hal itu lebih baik bagi dirimu, itu adalah demi kebaikanmu,
sesungguhnya kalian akan merasakan faedahnya. Laksanakanlah
dan pasti kalian akan mengetahui manfaatnya.
Sehubungan dengan masalah itu, ada sebuah kisah yang
mungkin kalian pernah mendengarnya. Kisah Samurrah bin Jundub”—
ia adalah seorang yang busuk, dan pada masa Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib as dan masa Muawiyah berkuasa ia tetap
merupakan seorang yang busuk—yang merupakan sebuah kisah
yang cukup terkenal. Di masa Rasulullah Saw, Samurrah memiliki
sebatang pohon kurma yang terletak di se buah kebun milik salah
seorang sahabat Rasul Saw. Karena pohonnya terletak di tanah itu,
maka dia merasa berhak untuk melintas dan masuk guna melihat
keadaan pohonnya tersebut. Namun karena pohon itu terletak
di pekarangan rumah orang lain, sesuai dengan aturan, maka setiap
ia hendak memasuki ke rumah itu mesti terlebih dahulu istinas,
meminta izin, atau mengucapkan, “Ya Allah.” Akan tetapi ia
seorang yang keras kepala dan busuk. ia enggan untuk melakukan
semua itu. Dan secara mendadak ia masuk ke dalam rumah itu
(setiap orang yang berada di dalam rumahnya sendiri, ada kalanya
dalam kondisi yang tak ingin dilihat oleh orang lain) sehingga menyebabkan
penghuninya merasa tak senang. Pemilik kebun telah
berkali-kali memberi peringatan, tetapi dia tetap tak mau peduli.
Akhirnya pemilik kebun datang menemui Rasulullah Saw untuk
p:76
melaporkan kejadian itu, “Wahai rasulullah nasihatilah si fulan, Ia
telah sering-kali masuk kerumahku secara mendadak.” Rasulullah
pun memanggil Samurrah bin Jundub, dan masalah tersebut beliau
utarakan. Ia menjawab, “Tidak, pohonku ada di situ dan aku
berhak untuk masuk.” Rasul Saw memahami bahwa orang itu tidak
waras, beliau bersabda, “Jika demikian lakukanlah satu pekerjaan
lagi, juallah pohonmu itu kepadaku dan aku akan memberimu sebuah
pohon yang lebih baik dari itu di tempat lain.” Ia menjawab,
“Tidak, aku hanya ingin pohonku sendiri.” Beliau bersada, “Aku
akan mem berimu dua pohon.” Ia tetap tidak menerima. Tiga pohon,
empat pohon sampai sepuluh pohon telah Nabi Saw tawarkan
kepadanya, namun ia tetap tidak mau. Kemudian beliau bersabda,
“aku menjamin bahwa kau akan mendapatkan pohon kurma di surga .” Ia
menjawab, “Aku tidak menginginkan pohon di surga, aku hanya
ingin pohon itu saja dan aku tidak akan meminta izin.”
Sikap semacam ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang
yang sangat jelek perangainya—sebagaimana yang telah saya
jelaskan bahwa Islam pada awal mula akan menggunakan caracara
yang lembut, namun jika tidak memperoleh hasil maka akan
menggunakan cara kasar. Rasul Saw segera memerintahkan pemilik
kebun, “Pergilah ke kebunmu sekarang juga, cabutlah pohon
kurma itu dari akar-akarnya dan lemparkanlah ke hadapannya
(Samurrah bin Jundub) “innahu rajulun mudhar” sesungguhnya ia
adalah seorang yang mengganggu, “la dhirara wa laa dhiraara fii al-Islam
Islam”(1) dalam agama Islam tidak merugikan
dan tidak dirugikan.(2)
Kemudian Al-Quran mengatakan, “Jika kamu tidak menemui
seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum
kamu mendapat izin,” kemudian jika ka lian pergi ke rumah seseorang
kemudian tidak ada seorang pun apa yang mesti dikerjakan?
Apakah kalian akan mengatakan, “Karena sekarang tidak
ada seorang pun yang dapat kita mintai izin, maka pasti di dalamnya
juga tidak ada seorang perempuan pun, sehingga jika kita
tetap masuk kita tidak akan dikatakan masuk rumah orang secara
p:77
mendadak.” Apakah karena tidak ada orang yang bukan muhrim
lalu kita boleh masuk? Tidak, tidak diperbolehkannya seorang
masuk ke rumah orang lain bukan karena di dalamnya ada orang
yang bukan muhrimnya. Seseorang sama sekali tidak diperbolehkan
untuk masuk dalam kehidupan khusus orang lain. Karena
dalam kehidupan khusus itu, kemungkinan saja seseorang memiliki
beberapa hal yang tidak ingin dilihat orang lain. Al-Quran
mengatakan, jika tidak ada seorang pun kalian jangan masuk,
kecuali jika mereka telah memberi izin kepada kalian. Misalnya
saja pemilik rumah memberikan kepada Anda kuci rumah tersebut
atau mengatakan kepada kalian, “Masuklah ke rumah ini.”
Kemudian jika kita datang ke suatu rumah dan meminta izin,
dan di dalam rumah itu juga terdapat penghuninya, namun bukannya
mereka mengatakan: “Silahkan,” tapi mereka menjawab,
“Tolong Anda pulang saja, saya tidak ada waktu untuk menerima
Anda,” dalam situasi semacam ini apa yang harus kita lakukan? Al-
Quran dengan jelas menerangkan bahwa jika pe milik rumah tidak
menerima kalian dan mengatakan, “Saya tidak dapat menerima
Anda,” maka kalian mesti kembali dan jangan merasa sakit hati.
Kita tidak pernah memperhatikan perintah ini, sekalipun kita
telah berada dalam kehidupan yang sangat maju.
Di sini Al-Quran mengatakan pada kita “Janganlah kalian
masuk,” “Tunggulah di depan pintu sebentar”, atau “kalian jangan
menyesal”, “jangan sakit hati.” Jika Anda hendak masuk ke rumah
seseorang jika sebelumnya Anda telah meminta waktu darinya,
maka masuklah! Dan jika tanpa pemberitahuan sebelumnya lalu
Anda mengetuk pintu rumahnya artinya ialah, “aku hendak masuk
ke dalam rumahmu” dan jika pemilik rumah dalam suatu kondisi
yang tidak mungkin dapat mene rima kedatangan Anda, maka ia
tidak harus mengatakan, “Tunggulah di depan pintu sebentar” ia
harus langsung mengatakan, “Saya ada dirumah—bukannya tidak
ada—namun karena saya ada kerjaan tertentu, maka dengan
menyesal sekali saya tidak dapat menerima kedatangan Anda.”
Seringkali terjadi seseorang harus mengerjakan suatu tugas penting,
sedangkan orang yang datang tidak memiliki keperluan yang
berarti. “Anda tidak begitu terikat dengan waktu, datanglah ke
p:78
mari di lain waktu,” jawaban ini harus diucapkan secara terangterangan.
Jika pemilik rumah memberikan jawaban secara terangterangan,
maka orang yang bertamu pun harus memiliki kesiapan
mental, keberanian, kekuatan untuk tidak merasa sakit hati.
Namun, pada masa sekarang ini kalian akan menyaksikan
bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Pemi lik rumah tidak memiliki
keberanian, kejujuran untuk mengatakan, “Saya ada pekerjaan
dan tidak dapat menerima Anda,” dan orang yang bertamu pun
tidak me miliki rasa kemanusiaan, sehingga ketika pemilik rumah
memberikan jawaban, “Saya tidak dapat menerima kedatanganmu,”
ia merasa sakit hati. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat
kita terbentuk tiga kebiasaan semacam ini.
Kebiasaan pertama, pemilik rumah berbohong kepada
anaknya dengan mengatakan, “Katakanlah bah wa saya tidak ada
di rumah.” Bohong adalah suatu dosa besar. Lalu di antara mereka
ada yang hendak melakukan tauriyyah (yang dimaksud oleh pembicara
berbeda dengan yang dipahami pendengar—pen.), sedangkan
tauriyyah hanya boleh dilakukan pada suatu kondisi di mana
dituntut untuk tidak berkata jujur, dan jika secara jujur dikatakan
maka akan berakibat buruk. Seperti jika ada seseorang yang
datang sambil membawa sebilah belati dan hendak membunuh
seseorang—secara tidak syar’i—lalu ia bertanya, “Si fulan ada di
sini atau tidak?,” harus dijawab, “Tidak ada.” Dalam hal ini mereka
berpendapat demi tidak mewujudkan kebiasaan berbohong maka
dalam hatimu mesti terlintas kata-kata yang lain, ketika kau mengatakan,
“Tidak ada,” maka dalam hati mu terlintas kata, “di sini”
(maksudnya ialah “ia tidak ada di sini”, namun ia ada di ruangan
lain, di kamar mandi, di dapur, dsb—pen.). Akan tetapi, bukan
berbagai kebohongan yang ia inginkan lalu ia menggunakan tauriyyah.
Mereka mengatakan kepada anak-anaknya, “Katakanlah saya
tidak ada,” dan ketika anak-anak mengatakan”Tidak ada”, maksud
mereka ialah “tidak ada di ruang ini”. Di sini Anda dapat berkata
jujur mengapa Anda melakukan tauriyyah? Katakan saja dengan
tegas, “Saya ada di rumah, namun tidak dapat menerima kedatangan
Anda.”
p:79
Pada suatu hari Mulla Nasyruddin membawa seorang tamu
ke rumahnya. Setibanya di rumah, ia langsung masuk ke dalam. Di
dalam Ia bertengkar dengan istrinya. Istrinya mengatakan, “Mengapa
kau bawa dia kemari kita tidak memiliki apa-apa untuk menjamunya,
kau telah bertindak salah.” (sebagian besar perempuan
adalah semacam ini, dalam hal menerima tamu ia me miliki peran
penentu). Mulla pun menjawab, “Apa yang mesti aku lakukan?”
Istrinya berkata, “Aku tidak akan menyediakan jamuan untuknya.”
Mulla terdiam dan bingung. Lalu ia berkata kepada anaknya,
“Katakan kepada tamu itu, bahwa aku tidak ada di rumah.” Anak
itu pun mengatakannya kepada tamu itu. Tamu itu menjawab,
“Saya datang kemari bersama dia?” Akhirnya Mulla sendiri yang
berbicara sambil berteriak, “Mungkin di rumah ini ada dua pintu,
dan dia keluar dari pintu yang lain!”
Biasanya ketika seseorang mengalami hal-hal semacam itu,
maka akan menggunakan taktik Mulla Nasyruddin; yakni ketika
ada tamu yang datang akan memperoleh jawaban, “Dia sedang tidak
ada di rumah,” dan tamu itu sendiri mengetahui bahwa jawaban
itu adalah sebuah kebohongan. Karena orang yang datang
menemui tamu di depan pintu, lalu dia mengatakan, “Sebentar
saya lihat terlebih dahulu ia ada di rumah atau tidak,” artinya ialah,
“Dia akan mengatakan “Ada” atau “Tidak ada.”
Sungguh sangat jelas, kau yang datang dari dalam rumah tentunya
telah mengetahui dengan pasti bah wa dia itu ada di rumah
atau tidak. Dan tidak perlu melihat kembali. Kalimat “Sebentar
saya lihat terlebih dahulu dia ada di rumah atau tidak” ini artinya
ialah “Sebentar saya akan menanyakan kepada dia, saya harus berbicara
jujur atau berbohong.” Demikianlah adanya. Dan yang lebih
mengherankan lagi ialah semua mengetahui hal itu, tamu mengetahui,
pemilik rumah mengetahui, namun kebohongan ini senantiasa
mereka lakukan. Dengan demikian satu bentuk kebiasaan
adalah dengan berkata bohong.
Kebiasaan kedua ialah, pemilik rumah mengata kan, “Silahkan
masuk", namun dengan memaksakan diri untuk berbuat munafik
“Selamat datang, Anda membawa kebahagiaan bagi kami,” namun
p:80
dalam hatinya senantiasa mengumpat dan mencaci, “Musibah apa
yang telah menimpaku, saat-saat seperti ini ia datang ke rumahku.
Aku punya beribu-ribu pekerjaan. Tak berpendidikan! Tak tahu
aturan! Tak sadar jika kedatangannya adalah mengganggu orang
lain!” Kemudian setelah orang itu pergi, di depan anak dan istennya
ia akan melampiaskan umpatan dan cacian tersebut dengan
lisannya. Apa nanti jadinya anak-anak itu. Anak yang melihat
ayahnya tidak memiliki keberanian untuk mengatakan kepada tamunya,
“Maaf saya tidak dapat menerima Anda.” Di depan tamu
ia sangat merendah, mengucapkan selamat datang, namun di belakangnya
ia mengumpat dan mencaci maki.
Kebiasaan ketiga ialah, pemilik rumah dan penerima tamu
keduanya bersikap baik. Pemilik rumah menemui tamu tersebut
di depan pintu dan berkata, “Saya sangat menyesal sekali tidak
dapat menerima kedatangan Anda, karena saya sekarang ini
memiliki banyak tugas dan pekerjaan.” Atau jika tidak demikian
maka ia akan memerintah seseorang untuk menemui tamu itu dan
mengatakan, “Ia ada pekerjaan dan tidak dapat menemui Anda.”
Pemilik rumah telah melakukan sikap yang bagus, namun ia akan
menghadapi berbagai tuduhan dari tamu itu misalnya saja: tak
berakhlaq, materialis dan sebagainya. Kemana saja ia (tamu itu)
pergi, ia akan menceritakan peristiwa itu, “Saya pergi ke rumah
si fulan dan dia tidak menerima kedatangan saya.” Semestinya ia
(orang yang bertamu itu) menceritakan, “Saya datang tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu,” mestinya ia juga menceritakan, “Ia
tidak menerima kedatangan saya karena ada halangan.” Anda harus
merasa senang karena penerima ta mu adalah seorang yang terbuka
dan berani. Ia tidak membohongi Anda, namun mengatakan
apa yang sebenarnya. Ini adalah bentuk yang ketiga.
Pada masa-masa sekarang ini, kebiasaan yang sering dilakukan
adalah kebiasaan bentuk yang pertama dan kedua, yaitu yang
berhubungan dengan penerima tamu; atau bentuk yang ketiga,
yaitu yang berhubun gan dengan tamu.
Namun kebiasaan keempat, yang Islam sangat memuji hal itu,
tidak terdapat dalam kehidupan masyarakat kita. Dan itu adalah,
p:81
ketika penerima tamu atau pemilik rumah tidak memiliki waktu
untuk menerima tamunya, dan secara terus terang ia mengatakan,
"Maafkanlah saya, saya tidak dapat menerima kedatangan anda"
Dan Tamu pun dengan penuh kebesaran hati ia akan kembali pulang
tanpa merasa sakit hati. Al-Quran memerintahkan kita untuk
melaksanakan bentuk yang keempat ini, dengan mengatakan,
“Dan jika dikatakan kepadamu:"kembali (saja)lah, maka hendak
lah kamu kembali,” jika mereka mengatakan kepada kalian, “Kami
tidak dapat menerima kedatangan kalian,” kembalilah “Itu lebih
bersih bagimu,” hal itu lebih bersih bagi kalian—bentuk keempat
ini lebih baik bagi kalian dari ketiga bentuk yang lain "Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” Allah Mengetahui
berbagai pekerjaan kalian.
Al-Quran mengatakan bahwa jika kalian pergi ke suatu rumah
yang bukan rumah kalian sendiri, janganlah kalian masuk dengan
tanpa izin. Lalu apakah setiap tempat tinggal dan tempat di mana
banyak orang yang tinggal di situ juga hukum ini berlaku? Jika
saya akan masuk sebuah toko, apakah saya juga mesti menunggu
di depan pintu dan meminta izin terlebih dahulu baru kemudian
masuk? Untuk masuk ke se buah hotel atau tempat penggilingan
gandum apakah juga mesti meminta izin terlebih dahulu? Ataukah
hukum itu dikhususkan hanya untuk rumah-rumah tempat
tinggal yakni tempat kehidupan pribadi? Al-Quran mengatakan
bahwa hukum itu berlaku hanya pada kehidupan khusus atau
pribadi, bahkan juga tempat kerja khusus. Namun tempat-tempat
umum tidak terikat dengan hukum itu. Di tempat-tempat umum
yang pintunya senantiasa terbuka untuk umum, tidak perlu meminta
izin terlebih dahulu.
Ada seorang laki-laki awam, dan ia adalah seorang yang bertakwa.
Ia pernah mendengar bahwa tidak dibenarkan masuk ke
sebuah rumah dengan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Saya
mendengar pada suatu hari ketika ia berada di kota Masyhad dan
hendak masuk ke suatu tempat penginapan yang cukup besar untuk
mencari sahabatnya, ia pun berdiri di depan pintu gerbang
penginapan tersebut, dan mengutus seseorang untuk menanyakan
apakah ia diizinkan untuk masuk atau tidak? Pintu tempat pengi
p:82
napan begitu besar, dan banyak orang dan kendaraan yang keluar
masuk, maka tidak lagi diperlukan izin. Itu ada lah tempat umum.
Tempat itulah yang dikatakan oleh Al-Quran, “Ti dak ada dosa
atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami,”
kalian tidak berdosa sekalipun de ngan tanpa meminta izin terlebih
dahulu memasuki tempat-tempat yang di dalamnya banyak
terdapat manusia, dan di sana mereka melakukan jual beli, serta
bertempat tinggal namun bukan tempat tinggal pribadi (khusus).
“Yang di dalamnya ada keperluanmu,” Di sana dapat mendatangkan
keuntungan bagi kalian, yakni ketika kalian ada urusan. Namun
jika tidak ada urusan, janganlah kalian membuat repot. Kemudian,
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu nayatakan dan apa
yang kamu sembunyikan,” Allah Mengetahui segala sesuatu yang
kalian nyatakan maupun yang kalian sem bunyikan.
Dan sekarang kita memasuki ayat-ayat yang berkenaan dengan
pandangan dan pakaian.(1)
«قُلْ لِلْمُؤْمِنِینَ یَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَیَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِکَ أَزْکَی لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِیرٌ بِمَا یَصْنَعُونَ (30)»
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka seseungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS an-Nur: 30)
Katakanlah kepada orang-orang mukmin agar me reka
menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, yang
demikian itu adalah lebih bersih, dan lebih suci bagi mereka. Yakni
perintah ‘afaf ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan kebersihan
jiwa dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
p:83
Dalam ayat ini banyak hal yang mesti dibahas. Para mufasir
sehubungan dengan kalimat, “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka,” banyak sekali melakukan pembahasan.
Sebagian keyakinan mereka adalah, dua kalimat tersebut
berhubungan dengan menutup aurat (kemaluan), karena di antara
kewajiban dalam Islam adalah baik laki-laki maupun perempuan
keduanya diwajibkan untuk menutupi auratnya kecuali terhadap
pasangannya (istri atau suami).
Menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib,
kecuali antara suami dan istri, aurat satu sama lain adalah
muhrim. Selain itu seseorang sama sekali tidak muhrim dengan
aurat orang-orang yang lain. Antara ayah, ibu terhadap putra dan
putrinya, saudara laki-laki terhadap saudara laki-lakinya, saudara
perempuan terhadap saudara perempuannya, kesemuanya bukanlah
muhrim (tidak dibolehkan saling melihat aurat atau kemaluan—
pen.). Mereka wajib untuk menutupi auratnya dan diharamkan
melihat aurat lainnya. Ini adalah di antara ketentuan agama
Islam yang suci.
Di sini Al-Quran menjelaskan mengenai “yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka,” peraturan itu dibuat demi kesucian
jiwa kalian, bagaimanakah? Bahwa falsafah dari ketentuan itu
ialah Islam tidak menginginkan tersedianya suatu sarana yang menyebabkan
masyarakat melampiaskan nafsunya melebihi tuntutan
alamiahnya, sehingga menyibukkan pikiran mereka. Dan juga Islam
tidak menginginkan terbentuknya sebuah sarana yang dapat
membangkitkan nafsu syahwat mereka.
Segala yang tidak dilihat oleh manusia maka ia tidak akan
memikirkannya. Karena masyarakat senantiasa menutup auratnya—
jelas ini menurut kebiasaan Islam dan bukan kebiasaan
Barat—tidak ada seorang pun yang terlintas dalam pikirannya
untuk memikirkan aurat orang lain. Itu merupakan satu hal yang
maghfulun ‘anhu yaitu “sama sekali tidak pernah terpikirkan”. Pikiran
manusia, otak manusia, hati manusia, menjadi suci dan bersih
jika tidak memikirkan hal-hal semacam itu, dan tentunya tidak
p:84
ada keharusan untuk memikirkannya. Agar jiwa, hati, pikiran,
dan otak ka lian menjadi bersih dan suci, dan kalian jangan memikirkan
aurat si fulan adalah demikian, sedangkan aurat si fulan
adalah demikian, dan hal semacam ini tidak akan pernah terjadi,
karena Islam memberikan perintah menutup aurat, dan dari sisi
itu betapa besar hasil yang telah didapatkan. Hasilnya ialah, otak
dan pemikiran para penganutnya senantiasa bersih dan cemerlang,
dan lebih dari itu tidak pernah terlintas dalam benak mereka untuk
memikirkan hal-hal semacam itu.
Di antara kebiasaan yang benar-benar tercela yang sedang
ramai dikerjakan di dunia Eropa, yang sangat marak khususnya
di Eropa Utara, juga di tempat-tempat lain yang telah terbiasa,
yang orang-orang semacam Russell sangat mendukungnya ialah
“memamerkan aurat dan memerangi penutupan aurat”. Russell
pada salah satu bukunya yang berkenaan dengan pendidikan,
dan judul bukunya juga “dalam pendidikan” ia bersikeras untuk
melenyapkan masalah menutup aurat. Dan Al-Quran bersikeras
agar masalah menutup aurat senantiasa terjaga, khususnya pada
kalimat berikutnya, “yang demikian itu adalah lebih suci bagi mer-
eka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka per-
buat.” Kami lebih Mengetahui tentang hal yang Kami jelaskan ini.
Jika demikian, maka sebagian meyakini bahwa: “yahfadhuna
furujahum” yaitu “memelihara kemaluannya” adalah, hendaklah
mereka menjaga auratnya dari pandangan orang lain, menutupinya.
Dan “yaghudh-dhuna min absharihim” yaitu “Hendaklah
mereka menahan pandangannya”, hendaklah mereka menundukkan
pandangan, menutup mata, dari melihat apa? Al-Quran menjawab,
“Dari melihat berbagai aurat.” Namun saya berkeyakinan
bahwa ayat ini memiliki arti yang lebih umum dari itu, baik “yahfadhuna
furujahum” maupun “yaghudhdhuna min absharihim”.
Pada berbagai riwayat disebutkan, “Setiap ungkapan “men jaga
kemaluan” adalah berarti “menjaga dari perbuatan zina”, kecuali
di sini berhubungan dengan masalah pandangan. Tidak jauh dari
kemungkinan jika yang dimaksud oleh ayat ini mencakup keduanya.
Dan saya memiliki dugaan kuat bahwa “yaghudhdhuna min absharihim”
tidak hanya khusus menundukkan pandang an dari meBAGIAN
p:85
lihat aurat saja, bahkan kemungkinan besar lebih ditujukan dari
melihat yang bukan aurat. Kata “ghadhdha” berarti “mengurangi”
dan “ghadhdha bashara” berarti “mengurangi pandangan” atau ‘tidak
tertegun’.(1)
Pada ayat berikutnya Al-Quran mengatakan, “Katakanlah
kepada perempuan yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya,” Terhadap perempuan
Muslimah juga dikatakan hal yang sama, yaitu mereka juga
diwajibkan untuk memperhatikan dan menjaga hal itu. Jika yang
dimaksud ada lah aurat, maka mereka tidak diperbolehkan saling
melihat aurat, dan mereka harus saling menjaga ke maluan dari
perbuatan zina. Apa yang terdapat dalam ayat sebelumnya mengenai
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan, di sini juga
demikian adanya.
Berkaitan dengan perempuan, ada berbagai perintah lain
yang berhubungan dengan pakaian. Al-Quran mengatakan, “Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (bi-
biasa nampak darinya. dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka…” Pada pertemuan yang akan
datang saya akan membahas masalah ini secara rinci.
Salam dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.
p:86
p:87
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ یَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَیَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْیَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَی جُیُوبِهِنَّ وَلَا یُبْدِینَ زِینَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِی إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِی أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَکَتْ أَیْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِینَ غَیْرِ أُولِی الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِینَ لَمْ یَظْهَرُوا عَلَی عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا یَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِیُعْلَمَ مَا یُخْفِینَ مِنْ زِینَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَی اللَّهِ جَمِیعًا أَیُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّکُمْ تُفْلِحُونَ (31)»
Katakanlah kepada perempuan yang beriman, “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
mereka manampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orangorang
yang beriman supaya kamu beruntung.
(QS an-Nur: 31)
p:88
Ayat ini dan ayat sebelumnya, keduanya menjelaskan tugas
dan kewajiban setiap perempuan dan laki-laki ketika
keduanya saling bertemu, dan di samping itu juga menjelaskan
masalah menutup aurat. Pada ayat pertama yang mana berhubungan
dengan laki-laki, dan telah dibacakan pada pertemuan yang
lalu, berisikan dua perintah bagi setiap laki-laki; pelarangan untuk
melepas pandangan, dan perintah yang lainnya adalah menutup
aurat, atau sesuai dengan ungkapan yang lebih tinggi dari
itu menahan diri dari berbuat zina. Menjaga kemaluan; menjaganya
dari pandangan yang berarti menutupi aurat dan di samping
itu juga berarti menjaga diri dari perbuatan zina. Jika demikian,
maka laki-laki harus menahan matanya dari melepas pandangan,
dan juga harus menjaga kemaluannya dari perbuatan zina. Ayat
yang berkenaan dengan laki-laki lebih pendek daripada ayat yang
berkenaan dengan perempuan, namun terdapat sedikit perbedaan
pada akhir ayat itu, yaitu terdapat sebuah pesan, “Ketika Kami
mengatakan bahwa kalian harus menahan mata dari berbagai pandangan,
dan menjaga kemaluan dari perbuatan zina, janganlah kalian
menduga bahwa Kami menginginkan suatu yang buruk bagi
diri kalian. Tidak, Kami hanya menginginkan agar kalian menjadi
bersih. Tuhanmu lebih Mengetahui apa yang kalian perbuat.”
Pada ayat kedua, yang khusus berhubungan de ngan perempuan,
juga terdapat perintah semacam itu, serta ungkapan yang
sama. Namun bedanya hanyalah dengan menggunakan dhamir
muannats yaitu ‘kata ganti untuk perempuan’. Al-Quran mengatakan,
“Beritahukanlah kepada perempuan-perempuan itu bahwa
mereka harus menahan pandangannya dari berbagai hal yang
tak pantas dilihat. Dan menjaga kemaluan mereka, dan tidak memandang
kemaluan orang lain, serta menjaganya dari perbuatan
zina.” Berbagai kalimat yang ada pada ayat ini sama persis dengan
kalimat perintah yang terdapat pada ayat sebelumnya, yang mana
ayat itu ditujukan untuk laki-laki.
Di sini ada dua bentuk pembahasan yang mesti saya kemukakan.
Dua permasalahan ini berhubungan de ngan para perempuan,
meskipun sebenarnya dalam hal ini tidak terdapat perbedaan antara
perempuan dan laki-laki. Dan hal ini tampaknya dianggap remeh.
p:89
Pertama, sebagian perempuan kemungkinan memiliki
dugaan bahwa hanya laki-laki saja yang tidak dibolehkan untuk
memandang perempuan—tidak dibolehkannya itu secara mutlak
atau kecuali jika tanpa syahwat, hal itu nanti akan kami paparkan.
Mereka menyangka bahwa larangan itu khusus ditujukan untuk
laki-laki saja, yakni laki-laki tidak dibolehkan memandang perempuan
dengan syahwat, sedangkan perempuan tidak ada larangan
semacam itu dalam memandang laki-laki, namun sebenarnya tidak
demikian. Tidak ada suatu perbedaan atas keduanya dalam
hal memandang. Jika tidak di bolehkan maka keduanya juga tidak
dibolehkan, dan jika dibolehkan maka keduanya juga dibolehkan.
Yak ni pada batasan di mana laki-laki tidak dibolehkan untuk
memandangnya, perempuan pun juga terikat de ngan batasan
semacam itu pula—sebagaimana laki-laki tidak diperbolehkan memandang
tubuh perempuan yang bukan muhrimnya kecuali muka
dan dua telapak tangannya, perempuan juga tidak diperbolehkan
untuk memandang tubuh laki-laki kecuali muka dan kedua telapak
tangannya. Namun umumnya perempuan menyangka bahwa
hanya laki-laki sajalah yang tidak boleh meman dang perempuan,
atau tidak boleh memandang dengan diiringi syahwat, sedangkan
perempuan jika memandang laki-laki, atau melempar pandangannya
ke sana dan ke sini maka tidak ada masalah, karena ia adalah
seorang perempuan dan yang dilihat adalah laki-laki. Tidak! Tidak
demikian. Al-Quran dalam masalah memandang atau melihat,
tidak melihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Alhasil sebagian perempuan mengetahui masalah ini, namun sebagian
besar dari mereka tidak mengetahuinya.
Kedua—yang pasti mereka telah banyak mengeta huinya dan
kemungkinan sedikit sekali yang tidak mengetahuinya—ialah:
mereka menduga bahwa perempuan dengan sesama perempuan
adalah muhrim, yakni ti dak ada larangan dalam memandang sekalipun
yang dipandang adalah aurat perempuan lain. Hanya lakilaki
sajalah yang dilarang untuk melihat aurat laki-laki lain, namun
perempuan tidak ada larangan untuk melihat seluruh tubuh
perempuan lain, bahkan hingga auratnya. Yang jelas, sebagaimana
yang telah saya katakan, sebagian besar dari perempuan telah men
p:90
getahui hukum-hukum ini, namun sebagian kecil saja dari mereka
yang memiliki dugaan bahwa perempuan adalah muhrim dengan
perempuan lain. Tidak demikian, dalam masalah memandang
aurat sesama perempuan, maka antara perempuan tidak menjadi
muhrim. Bahkan seorang ibu pun tidak dibenarkan untuk melihat
aurat anak perempuannya; dalam masalah memandang aurat,
seorang anak perempuan juga bukan muhrim dengan ibunya, dan
sesama saudari juga bu kan muhrim.
Berkenaan dengan kedua permasalahan itu Al-Quran mengeluarkan
perintah yang sama; perintah yang diberikan kepada lakilaki
juga diberikan kepada perempuan, dan begitu juga perintah
yang diberikan ke pada perempuan juga diberikan kepada laki-laki.
Namun terhadap perempuan diberikan berbagai perintah lainnya
yang mana itu adalah merupakan kewajiban dan tugas khusus
bagi setiap perempuan dan bukan laki-laki. Hal ini berarti bahwa
perempuan harus menutupi seluruh tubuhnya (kecuali muka dan
kedua telapak tangan—pen.) dan hal itu tidak diwajibkan atas laki-
laki; yakni tugas dan kewajiban itu hanya untuk perempuan saja
dan bukan untuk laki-laki.
Al-Quran mengatakan, “Dan janganlah mereka (perempuan-
perempuan menampakkan perhiasannya,” maksud dari perintah
ini bukan terhadap perhiasan yang tidak dikenakan di tubuh—
misalnya saja gelang—tetapi per hiasan yang menempel di tubuh
perempuan itu, karena dengan melihat memandang perhiasan
itu sama dengan memandang perempuan itu sendiri. Perempuan
tidak dibenarkan untuk menampakkan perhiasannya, baik
perhiasan tersebut dapat dilepas dari tubuh seperti, gelang, atau
cincin, ataupun perhiasan yang menempel di tubuh seperti sesuatu
yang dioleskan di tubuh seperti “daun pacar”. Perempuan tidak
boleh menampak kan perhiasannya, kecuali dalam dua hal. Di
sini ada dua pengecualian.
Pertama, pengecualian tentang perhiasan itu sendiri, yaitu
dikecualikan sebagian perhiasan yang menurut Al-Quran disebut
dengan perhiasan yang tampak.(1)
p:91
Kedua, pengecualian berkenaan dengan orang-orang yang
dibolehkan untuk memandangnya; yakni kelompok orang-orang
yang selain suaminya—terhadap suaminya tentu jelas bahwa
seorang perempuan dibe narkan untuk memamerkan perhiasan
yang tidak tam pak—yang mereka itu adalah ayah, anak laki-laki,
anak laki-laki dari saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara
perempuan, anak laki-laki dari suami atau anak tiri, dan beberapa
kelompok lainnya yang pengecualiannya itu nanti akan saya paparkan.
Sebelum saya menafsirkan ayat ini, saya akan menjelaskan
dua bentuk permasalahan, sehingga hal itu dapat menjadi jelas.
Masalah pertama ialah, mengapa perempuan diwajibkan untuk
menutupi tubuhnya ketika berhadapan dengan seseorang yang
bukan muhrimnya, sedangkan laki-laki tidak diwajibkan demikian?
Mengapa jilbab disebut sebagai suatu kewajiban terhadap
perempuan dan bukan terhadap laki-laki?
Akar permasalahan ini sudah tampak jelas. Perempuan bukan
laki-laki, dan masing-masing memiliki perasaan yang berbeda
dan dari sisi penciptaan serta dari sisi yang lain tidak terdapat kesamaan;
yakni, perempuanlah yang dijadikan sasaran oleh laki-laki,
baik mata, tangan dan seluruh tubuhnya; dan bukannya laki-laki
yang menjadi sasaran bagi perempuan. Pada umumnya, di dalam
dunia ini sikap jenis jantan dan betina adalah semacam itu, dan
tidak hanya terbatas pada laki-laki dan perempuan dari golongan
manusia saja. Sesuai hukum penciptaan, jenis jantan adalah “penyerang”
dan jenis betina ada lah jenis yang dijadikan sasaran jenis
jantan.
Ketika Anda menyaksikan berbagai jenis binatang, maka jenis
jantanlah yang akan menghampiri jenis betina; merpati, ayam,
kuda, keledai, burung, harimau, kambing dan lain sebagainya,
semuanya sama. Pada setiap jenis binatang yang tugasnya adalah
menyerang dan diberikan naluri untuk menyerang adalah jenis
jantan. Jenis betina, sekalipun ia menginginkan jenis jantan, namun
ia tidak akan datang mengham piri jenis jantan. Oleh karena
itu dalam kehidupan manusia, laki-lakilah yang harus datang me
p:92
minang dan meminta perempuan. Seorang laki-laki meminang
seorang perempuan adalah suatu hal yang biasa dan merupakan
fitrah manusia. Akhir-akhir ini mereka-mereka yang tidak mengetahui,
atau kita katakan, “orang-orang yang dungu,” menyerukan
keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan—sungguh
mereka keliru, menganggap keseimbangan adalah persamaan.
Mereka mengira bahwa sisi perbedaan antara laki-laki dan perempuan
adalah hanya pada alat kelaminnya, dan tidak ada perbedaan
lainnya—dengan menulis, “Ini benar-benar suatu kebiasaan
yang buruk! Mengapa laki-laki saja yang harus datang meminang
perempuan? Tidak, sejak saat ini kebiasaan ini mesti perempuan
saja yang datang untuk meminang laki-laki!”
Pertama, hal itu sama dengan menentang hukum penciptaan.
Jika kalian mampu merubah hukum-hukum penciptaan—yang
ada pada dua jenis kelamin—yang terdapat pada berbagai makhluk
hidup, maka kalian dapat merubah kebiasaan itu.
Kedua, hal itu merupakan suatu faktor penyebab guna meninggikan
derajat jenis perempuan; yaitu jenis laki-laki diciptakan
sebagai peminta, dan mengharap kerelaan perempuan, dan oleh
sebab itulah maka jenis jantan senantiasa melayani jenis betina.
Sebagian besar binatang—dan juga manusia—kebutuhan hidup
si betina ada dalam tanggung jawab si jantan (pada binatang sedikitnya
ketika pada masa si betina melahirkan, atau pada masa si
betina mengerami telurnya). Perasaan dan sifat-sifat jenis jantan
diciptakan sedemikian rupa sehingga ketika jenis betina bersedia
menjadi pasangannya, maka secara langsung ia akan melayani
keperluan jenis betina itu. Dan hal itu dapat terjadi berkat adanya
suatu kebijakan yang sangat agung di dalam semesta alam ini.
Berkenaan dengan “mahar” juga semacam itu. Ketika seorang
laki-laki memberikan sesuatu kepada perempuan sebagai shadaq
atau “mahar”, ialah berdasarkan pada hukum dan ketentuan
itu; yakni perempuan berada dalam satu posisi di mana ia akan
mengatakan, “Kamu (laki-laki)lah yang menginginkan diriku,
dan bukannya aku.” Dan jenis laki-laki mesti menampakkan rasa
keinginannya itu dengan memberikan sesuatu, agar perempuan
p:93
memberikan jawaban, “Ya”. Seorang laki-laki mesti memberikan
hadiah kepadanya. Al-Quran menyebut shadaq dengan nihlah,
yaitu sebuah pemberian sebagai perkenalan. Salah jika ada yang
beranggapan bahwa “mahar” adalah tsaman atau “harga”, yaitu
uang yang digunakan untuk membeli. Tidak! Al-Quran mengatakan
bahwa itu adalah nihlah “hadiah”. Sebagaimana halnya
jika Anda hendak meminta kerelaan seseorang agar memenuhi
keperluan Anda, maka Anda akan memberikan hadiah kepadanya
dan bukan dia yang memberikan hadiah untuk Anda. Al-Quran
juga mengungkapkan ‘hadiah’ itu dengan shadaq.
Shadaq adalah sebagai pertanda cinta yang benar-benar murni,
jujur, dan bukan bohong, bukan hanya untuk melampiaskan
nafsu, namun sebagai pasangan hidup, bukan penipuan, dan juga
berdasarkan pada hakikat.
Pada dasarnya, sisi penciptaan antara laki-laki dan perempuan
adalah memang berbeda, dan disebabkan perbedaan itulah
maka perempuan yang berhias demi menarik laki-laki. Laki-laki
sama sekali tidak dapat menarik perhatian perempuan melalui
cara merias diri. Perempuan dan perhiasan, perempuan dan riasan,
adalah dua wujud yang kembar dan identik. Perempuan adalah
sebuah sosok yang lemah lembut. Pada setiap jenis—sekalipun
selain manusia—jenis betina senantiasa lebih lemah lembut, dan
merupakan lambang dari keindahan, kecantikan, dan perhiasan.
Jika tidak ingin terjadi kekacauan maka harus dikatakan kepada
lambang kecantikan itu, “Kau jangan menampakkan dirimu,” bukan
harus bersikap kasar dan keras, dan tidak menarik sama sekali,
namun terhadap berbagai hal yang menarik pandangan mesti dikatakan,
“Janganlah kau memberikan sarana bagi perbuatan dosa
dan maksiat.”
Pada masa sekarang ini, mereka menciptakan suatu kebiasaan
yang lain, yang jelas saya meyakini bahwa hal itu tidak akan bertahan
lama, dan pada akhirnya akan menghadapi berbagai benturan,
serta akan kembali pada hukum-hukum penciptaan. Perempuan
senantiasa berusaha untuk menarik perhatian laki-laki, dan juga
sebaliknya laki-laki senantiasa berusaha untuk menarik perhatian
p:94
perempuan, semua itu mereka lakukan berdasarkan pada nafsu
kekanak-kanakannya, dan tentunya tidak akan bertahan lama, serta
hal itu justru lebih banyak kita jumpai pada diri para laki-laki.
Ini bukan suatu kejadian yang ada khusus pada zaman
kita saja, dan saya yakin hal itu cepat berlalu. Laki-laki merasa
senang dan bangga jika mengenakan pakaian mirip perempuan,
meniru gaya perempuan, berias semacam perempuan, sehingga
jika seorang melihatnya tidak akan segera dapat mengetahui
ia itu laki-laki atau perempuan. Dan menurut ungkapan sebagian
orang, “Seseorang mesti mengadakan kajian yang cukup
dalam untuk mengetahui apakah ia seorang laki-laki ataukah
seorang perempuan.” Semua itu adalah sebuah kebiasaan yang
menyalahi hukum-hukum penciptaan dan dasar-dasar fitrah.
Manusia memiliki berbagai macam sifat dungu dan kekanak-kanakan
yang kesemuanya itu tidak akan bertahan lama.
Jika demikian masalah yang lain ialah jika aturan tersebut,
yakni laki-laki dan perempuan satu sama lain tidak lagi mengadakan
hubungan yang disebut dengan “kebebasan mutlak”, yakni
mereka tidak mengadakan hubungan sama sekali, lalu kemudian
mengapa perempuan masih diwajibkan untuk menutupi tubuhnya,
sedangkan laki-laki tidak diwajibkan? Rahasianya ialah sebagaimana
yang telah saya paparkan.
Masalah yang lain ialah, apakah asas dari semua permasalahan
itu? Apakah ada suatu tuntutan dan keharusan? Mengapa
mesti ada permasalahan muhrim dan bukan muhrim? Mengapa
perempuan harus menutupi tubuhnya ketika berhadapan dengan
orang yang bukan muhrimnya? Apa rahasia dari semua ini dan apa
manfaatnya?
Manfaat utamanya adalah pada sisi kejiwaan, yakni memberikan
ketenangan jiwa. Pada setiap masyarakat yang hubungan
antara perempuan dan laki-laki berdasarkan pada ‘afaf (menjaga
kesucian diri)—’afaf menurut batasan Islam sebagaimana yang
telah saya paparkan; yakni perempuan di luar garis pernikahan tidak
merias dan memamerkan dirinya, serta tidak menyediakan sarana
bagi bangkitnya nafsu birahi laki-laki, dan laki-laki pun tidak
p:95
dibenarkan di luar garis pernikahan memuaskan nafsu birahinya
dengan perantaraan mata, tangan, baik dengan atau tanpa sentuhan—
maka hati dan jiwa masyarakat itu akan menjadi tenang dan
sehat. Namun jika sebaliknya maka dampak negatif yang pertama
kali akan muncul dalam tubuh masyarakat adalah kegoncangan
jiwa.
Sebagian orang-orang Barat mengatakan, “Tidak, jika perempuan
dan laki-laki saling berjauhan akan menimbulkan goncangan
dan tekanan jiwa.” Namun dari riset yang dilakukan pada satu abad
yang lalu atau kurang dari satu abad, membuktikan bahwa kenyataannya
adalah kebalikan dari yang orang-orang Barat katakan.
Semakin besar kebebasan dalam hal seksual, semakin besar pula
kecenderungan seksual yang ada pada setiap individu. Karena kecenderungan
seksual yang ada pada manusia—adalah sama persis
seperti kecende rungan lainnya yang terdapat pada diri manusia
se perti: cenderung pada kedudukan, cenderung pada ilmu pengetahuan,
cenderung pada peribadatan—bukan hanya memiliki
kapasitas jasmani saja, namun juga memiliki kapasitas rohani.
Kecenderungan yang sifatnya hanya jasmani saja adalah seperti:
makan; makan memiliki batasan tertentu. Seorang hanya
mampu memakan makanan dalam jumlah yang terbatas dan tidak
akan mampu melebihi kapasitas yang ada, dan jika ditanyakan
kepadanya,”Apakah kau mau lagi?” baginya hal itu akan berupa
semacam hukuman. Bagaimanakah dengan kepemilikan? Apakah
kepemilikan juga seperti makan? Apakah kapasitas kepemilikan
yang ada pada seseorang seperti kapasitas makan, yakni terbatas?
Jika sese orang memiliki uang sebanyak seratus ribu kemudian jiwanya
merasa puas dari kepemilikan itu? Tidak, ketika seseorang
memiliki seratus ribu rupiah maka ia akan menginginkan dua ratus
ribu rupiah. Ketika ia memiliki dua ratus ribu rupiah maka jiwanya
akan semakin haus dan menginginkan lima ratus ribu rupiah. Ketika
ia telah menjadi milyuner jiwanya ingin menjadi milyarder. Dan
ketika ia telah menjadi orang yang terkaya di dunia, ia akan menjadi
lebih haus terhadap harta melebihi orang-orang yang ada dunia.
p:96
p:97
p:98
Bagaimanakah dengan kecenderungan terhadap kedudukan?
Itu juga semacam ini. Seorang manusia ketika ia tidak memiliki
sesuatu kedudukan pun, maka dalam hatinya akan terlintas ingin
menjadi pemimpin sebuah departemen. Lalu apakah ketika ia
telah menjadi pemimpin sebuah departemen kapasitasnya telah
terpenuhi, dan kemudian ia mengatakan, “Ini sudah cukup?” Tidak,
ia menginginkan yang lebih tinggi lagi, ia menginginkan untuk
menjadi seorang Bupati sebuah daerah yang kecil. Setelah itu
dapat diraihnya, ia akan menginginkan yang lebih tinggi dari itu.
Jika seluruh isi dunia ini diberikan pada satu orang, dan dikatakan
kepadanya, “Sekarang kau adalah pemimpin seluruh yang ada
di muka bumi ini,” pasti akan muncul keinginan dalam jiwanya,
“Dapatkah saya menggabungkan planet-planet yang lain, sehingga
saya jugalah yang akan menjadi penguasa planet-planet itu?” Kecenderungan
seksual manusia pun semacam itu juga.(1)
p:99
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ کَمِشْکَاةٍ فِیهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِی زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ کَأَنَّهَا کَوْکَبٌ دُرِّیٌّ یُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَکَةٍ زَیْتُونَةٍ لَا شَرْقِیَّةٍ وَلَا غَرْبِیَّةٍ یَکَادُ زَیْتُهَا یُضِیءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَی نُورٍ یَهْدِی اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِکُلِّ شَیْءٍ عَلِیمٌ (35)»
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak
tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam
kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah
timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya
(saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing
kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS an-Nur: 35)
p:100
Disebabkan ayat inilah maka surah yang penuh berkah ini
diberi nama ‘surah an-Nur’. Karena dalam surah ini terdapat
ayat Nur maka surah ini dinamakan surah an-Nur. Ayat yang
mulia ini dari sisi penafsirannya, merupakan salah satu ayat Al-
Quran yang sulit bentuk penafsirannya. Selain itu, Al-Quran pada
akhir ayat ini menyebutkan sebuah kalimat yang menunjukkan
bahwa ayat ini adalah sangat perlu direnungkan dan diperhatikan.
Setiap orang dapat memahami isi kandungan dari ayat ini sesuai
dengan kemampuan berpikirnya.
Karena pada akhir ayat setelah menyebutkan perumpamaan
lalu Allah berfirman "dan Allah membuat perumpamaan pe-
rumpamaan bagi manusia”, dan Allah membuat berbagai misal
dan perumpamaan bagi umat manusia. Sedangkan dalam ayat
yang lain Allah berfirman "Dan perumpamaan-perumpamaan ini
Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali
orang-orang yang berilmu.”(QS al-Ankabut:43). Hal itu menunjukkan
bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-
Quran memiliki arti yang cukup dalam, dan tidak ada seorang pun
yang dapat menyatakan, “Aku telah sampai pada akhir kedalaman
itu.” Sekarang ini dengan menggunakan bantuan penafsiran para
ulama yang agung dan berbagai penafsiran yang ada dalam hadis,
saya akan memaparkan serangkaian pembahasan berkenaan dengan
ayat ini. Bentuk ayatnya adalah, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”
Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi.
Kata langit dan bumi yang tercantum dalam ayat ini tidak berarti
hanya sebagian dari ciptaan atau makhluk yang ada di alam
ini, akan tetapi maksudnya ialah seluruh bentuk ciptaan yang ada
di alam ini; seluruh makhluk yang di atas, di bawah, yang tampak
dan tersembunyi. Arti dari ayat ini ialah, Allah adalah cahaya bagi
semesta alam. Jika demikian maka pada awal ayat ini Allah swt
disebut dengan “cahaya”.
Yang pertama kali dipahami oleh manusia tentang “cahaya”
ialah cahaya yang dapat dilihat dengan indera, yang mana sampai
sekarang ini para ahli fisika masih belum dapat menyingkap hakikat-
cahaya tersebut secara seratus persen. Dapat diketahui bahwa
p:101
dalam dunia ini terdapat satu unsur yang disebut dengan “cahaya”,
sekalipun dari sisi ilmiah hal itu sulit untuk diketahui dengan jelas.
Ada sebagian benda yang bercahaya, mengeluarkan cahaya
seperti matahari, bintang-bintang, lampu dan pelita yang kita
miliki. Di mana jika semua itu tidak ada, maka dunia ini menjadi
gelap gulita sehingga menurut istilah “mata sendiri tak dapat
melihat mata”, namun keberadaan cahaya ini membuat angkasa
menjadi terang. Cahaya itu dinamakan cahaya materi dan dapat
diketahui dengan perantaraan indera.
Jelas maksud dari “Allah adalah cahaya bagi langit dan bumi”
bukan berarti cahaya itu ‘mated ‘. Cahaya itu sendiri merupakan
salah satu dari makhluk atau ciptaan Allah. Pada awal surah al-
An’am kita membaca, “segala puji bagi Allah yang telah mencip-
takan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun
orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan
mereka.” (QS al-An’am:!) “Segala puji bagi Tuhan Yang menciptakan
langit dan bumi dan menjadikan cahaya dan kegelapan ...”
Allah-lah yang men ciptakan cahaya itu, Dia bukanlah cahaya itu.
Itu merupakan satu hal yang tidak dibahas lagi oleh Al-Quran.
Karena bukan saja cahaya itu adalah makhluk Allah, tetapi bahkan
Al-Quran senantiasa mengadakan pembahasan mengenai sumber
dari cahaya itu sendiri, yaitu matahari dan bintang-bintang, serta
menyatakan bahwa semua itu adalah makhluk dan ciptaan Tuhan
Yang Maha Suci. Jika ada seseorang yang beranggapan bahwa Allah
adalah demikian (berbentuk cahaya), maka anggapan semacam
itu menurut istilah disebut “pikiran perempuan tua” (pikiran
perempuan pikun) dan—mereka mengira bahwa Allah adalah
sekumpulan cahaya yang ada di atas Arsy, dan cahaya itu sendiri
adalah sema cam cahaya petir, matahari dan sebagainya—jika dia
benar-benar memiliki keyakinan semacam itu, berarti ada kerusakan
dalam keyakinan dan keimanannya. Cahaya itu adalah cahaya
yang dapat dilihat oleh mata, sedangkan Al-Quran berkenaan
dengan Allah mengatakan, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan
mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah
Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’am:103)
Allah tidak dapat dilihat oleh mata. Jika ada seseorang yang—al
p:102
’iyyadzubillah—menganggap bahwa Dzat Allah adalah cahaya itu,
jelas terdapat kerusakan pada keyakinannya terhadap tauhid (ke-
Esaan Allah), karena ia termasuk golongan mujassim, yaitu menganggap
Allah ber-jisim (materi) dan dapat dipandang serta dilihat.(1)
Kata “nur” maksudnya tidak terbatas hanya pada cahaya
materi saja. Kata “nur” diletakkan untuk sesuatu yang terang
dan menerangi, yakni ‘wujud’ (ada) dan ‘mewujudkan’ (mengadakan).
Kita menyebut cahaya yang materi dengan nur karena
menurut pandangan mata kita, ia ‘wujud’ dan ‘mewujudkan’. Segala
se suatu yang wujud dan dapat mewujudkan maka dapat kita
katakan—dan kita telah mengatakannya—itu adalah nur, sekalipun
itu bukan berbentuk materi. Misalnya saja kita mengatakan
bahwa “ilmu adalah nur” dan itu tercantum dalam sebuah hadis
Rasul Saw, “Ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah pada
hati siapa yang Dia inginkan.”(2) Sungguh itu adalah ucapan yang
benar, sesungguhnya ilmu adalah cahaya, karena ilmu itu terang
dan menerangi. Ilmu itu sendiri terang dan menerangkan pada
manusia mengenai wujud semesta alam ini. Namun jelas “ilmu”
bukan tergolong cahaya semacam cahaya petir, matahari, bintang
dan sebagainya. “Ilmu” adalah sesuatu yang non meteri, dan kita
menyebutnya dengan nur.
Akal pun kita sebut dengan nur. Akal itu sendiri merupakan
sebuah cahaya. Al-Quran yang mulia me nyebut “iman” dengan
“nur”. “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang
dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat
ma nusia, serupa dengan orang-orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya.”
(QS al-An’am:122). Cahaya itu adalah cahaya keimanan dan
terangnya hati. Tetapi iman bukan semacam cahaya lilin, lampu
listrik, matahari, dan yang semacam itu. Iman merupakan suatu
p:103
hakikat yang non materi, yang ciri-ciri khususnya adalah menerangi.
Karena memberikan suatu pengetahuan pada batin manusia.
Karena memberi tujuan hidup pada manusia, dan manusia itu
ditarik ke arah tujuan yang menyebabkan kebahagiaan. Kita menyebut
“iman” dengan “nur”.
Para irfan (‘urafa’) menyebut ‘isyq (cinta) dengan nur. Maulawi
mengatakan:
“Cinta adalah berkuasa dan aku dikuasai cinta
Bak bulan aku menjadi terang berkat cahaya cinta”
Ketika kita telah mengartikan cahaya dengan arti semacam
itu, yaitu sesuatu yang wujud dan mewujudkan, sesuatu yang terang
dan menerangi, kita tidak perlu lagi membahas lebih dalam mengenai
wujud menurut mata atau wujud menurut hati, akal, jiwa.
Kita tidak ada urusan dari sisi itu, yakni dari sisi bagaimanakah
semua itu wujud dan mewujudkan. Kita telah mengartikan dengan
benar bahwasanya Allah adalah juga “Nur”. “Allah adalah Cahaya”
yakni suatu wujud yang pada Dzat-Nya terang dan menerangi.
Dengan demikian tidak ada sesuatu cahaya pun yang ada
selain cahaya Allah; yakni selain cahaya Allah semuanya adalah
kegelapan, karena sesuatu yang dalam dzatnya terang dan menerangi,
hanyalah Allah. Segala sesuatu yang lain, sekalipun ‘wujud’
dan ‘mewu judkan’, ‘terang’ dan ‘menerangi’, pada hakikatnya
semua itu adalah gelap, karena hanya Allah-lah yang ‘wujud’ dan
‘mewujudkan’, ‘terang’ dan ‘menerangi’ semua itu. Pada salah satu
ayat Al-Quran kita membaca, Dialah yang Awal dan Akhir,
Yang Dzahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (QS al-Hadid:3)
Allah adalah dzahir, yakni wujud (ada). Allah adalah pencipta
segala sesuatu yakni mewujudkan dan menciptakan segala sesuatu.
Oleh karena itu kita melihat bahwa kata “nur” yang tercantum
dalam berbagai doa, merupakan salah satu nama dari namanama
Allah. Cahaya adalah salah satu dari nama Allah. Pada awal
p:104
doa Kumail terdapat dua kalimat yang memperkuat pembahasan
ini. Diungkapkan pada Allah Yang Maha Tinggi, “ya nuru ya quddusu”,
“wahai Cahaya yang benar-benar suci dan bersih dan jauh dari
berbagai ketidaksempurnaan”. Mungkin sebab dari dicantumkannya
kata “ya quddusu” setelah kata “ya nuru” adalah agar seseorang
tidak memiliki prasangka bahwa Allah adalah cahaya sebagaimana
yang dibayangkan oleh orang-orang pengikut aliran Manuwiyah,
di mana mereka menyakini bahwa Allah adalah cahaya yang materi.
Allah suci, bersih dan jauh dari berbagai penisbatan itu. Allah
adalah cahaya namun bukan seperti cahaya yang ada ini. Dan
kalimat sebelum itu merupakan satu kalimat yang sangat luar biasa:
“Wa binuri wajhikal ladzi adhoa lahu kullu syai’” (Dan dengan
cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu) aku bersumpah
atas nama-Mu dengan cahaya wajah-Mu lah segala sesuatu menjadi
terang, berkat sinar wajah-Mulah segalanya menjadi terang.
Sebegitu indah, tinggi, ungkapan itu sehingga saya tidak
dapat menemukan tandingannya. Sebuah ung kapan yang sangat
luar biasa: “Wa binuri wajhikal ladzi adhoa lahu kullu syai’” (Dan
dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu).
Para irfan dan para penyair mereka menyebut “mahbub”
(kekasih) dengan “syahid” (yang menyaksikan) dan ini bukan hanya
terbatas pada bahasa Persia saja, tetapi bahkan bahasa Arab pun
juga demikian). Syahid ialah yang menyaksikan dan hadir pada
acara ritual. Mereka mengungkapkan demikian, “Wahai kekasih
ketika Kau datang cahaya wajah-Mu menerangi acara kami, jika
bukan karena wajah-Mu maka acara kami menjadi gelap gulita.”
Hafiz berkata:
“Berbagai perbedaan yang ada pada gambar dan wajah
Adalah jelmaan wajah Penuang yang terbayang di gelas”
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as juga ber kata, “Dan
dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu. Aku
bersumpah demi cahaya wajah-Mu yang menerangi segala sesuatu.
Jika bukan karena ca haya wajah-Mu dan cahaya dzat-Mu
p:105
maka semuanya akan menjadi gelap (yakni segala sesuatu menjadi
terang karena-Mu).” Semuanya menjadi gelap, maksudnya ialah
tidak akan ada sesuatu, atau segala sesuatu tidak akan terwujud.
Dan bukan berarti semacam benda yang ada dalam kegelapan, sebagaimana
kita berada dalam kegelapan malam. Jika dzat-Mu tidak
ada, maka segala sesuatu berada dalam kegelapan “ketiadaan”.
Semua yang di alam karena cahaya-Mu menjadi ada
Adakah di alam ini yang bukan karena-Mu menjadi ada
Terdapat sebuah kisah dalam buku Tauhid ash-Shaduq. Pada
suatu malam, seorang non Muslim datang menemui Amirul
Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan mengatakan, “Wahai Ali di
manakah Tuhan?” Ali as menjawab, “Ambillah kayu bakar!” ia pun
datang de ngan membawa kayu bakar tersebut. Beliau berkata,
“Nyalakanlah!” Ketika telah dinyalakan, maka segalanya menjadi
terang. Kemudian beliau berkata, “Di manakah cahaya ini?” Ia
menjawab, “Di semua tempat.” Beliau berkata, “Ini (cahaya) adalah
salah satu dari berbagai ciptaan Tuhan, dan kau tidak dapat mengatakan
di mana letaknya, kau mengatakan bahwa sampai sejauh
mana ia menerangi ia ada di situ. Tuhan juga ada di mana-mana.
Di mana saja yang Ia terangi, Dia ada di situ, segalanya menjadi
ada karena Dia yang meneranginya. Dan suatu tempat menjadi ada
adalah karena Dia yang menerangi tempat itu, dan tanpa itu tidak
ada sesuatu apa pun.” “Dan dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi
segala sesuatu.”
Jika demikian di antara pembahasan ini, yang dapat kita ambil
ialah, bolehkah kita menyebut Allah dengan Nur? Ya, kita dapat
menyebut-Nya demikian. Dengan berdasarkan pada penisbatan
yang telah diberikan oleh para pemuka agama, dan arti lahiriah
Al-Quran pun semacam itu pula. Berdasarkan sudut pandang logika
(mantiq) tidak ada halangan atas penisbatan itu. Namun yang
mesti kita perhatikan ialah jika kita mengatakan bahwa Allah itu
adalah cahaya, bukan berarti bahwa—al-’iyyadzubillah—dari jenis
cahaya yang dapat dijangkau oleh indera, karena itu (cahaya yang
p:106
dapat dijangkau oleh indera) adalah salah satu ciptaan Allah. Namun
cahaya di situ adalah berarti Dzat Ilahi adalah yang wujud
dan mewujudkan. Wujud yang paling wujud, terang yang paling
terang. Segala sesuatu yang wujud adalah karena wujud-Nya. Yang
dimaksud Allah itu cahaya, adalah dengan arti yang demikian itu.
Keberadaan Allah adalah kerena dzat-Nya sendiri, dan tidak ada
sesuatu pun yang mengadakan-Nya. Sesuatu itulah yang menjadi
ada disebabkan cahaya-Nya, disebabkan keberadaan-Nya dan terwujud
dari cahaya-Nya. Dengan demikian Allah adalah cahaya,
dan kita boleh menyebut Allah dengan “Nur”.
Selain itu ada pula ciri-ciri khusus lainnya yang berkenaan
dengan cahaya. Dan itu adalah hidayah, petunjuk yang mana itu
merupakan hasil dari cahaya. Ada suatu masalah yang lain yang
nantinya akan saya paparkan.
Di sini ada satu poin yang perlu saya kemukakan, yaitu kita
mengatakan bahwa Allah itu adalah cahaya namun sama sekali
kita tidak menyebut-Nya dengan “cahaya yang teragung” sehingga
kemudian berarti kita memiliki dua jenis cahaya; cahaya yang
terkecil dan cahaya yang terbesar, dan pada akhirnya kita meyakini
bahwa Allah adalah cahaya yang terbesar. Tidak, ketika kita
mengatakan bahwa Allah adalah cahaya, maksudnya ialah segala
sesuatu (selain Dia) adalah kegelapan. Benar, kita dapat untuk
membanding-bandingkan segala sesuatu selain Allah, misalnya
saja: ini adalah cahaya dan ini bukan cahaya. Atau bisa saja kita
mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, iman adalah cahaya,
kekuatan pandangan mata adalah cahaya, kemampuan berpikir
adalah cahaya. Allah adalah “Nurun nur” (Cahayanya cahaya).(1) Allah
bukanlah “cahaya yang teragung” (cahaya terbesar) tetapi Cahaya
dari seluruh cahaya yang ada; yakni segala cahaya jika dibandingkan
dengan Allah adalah merupakan kegelapan, dan Allah-lah
yang memberikan cahaya pada cahaya-cahaya yang ada itu. Jika
kita telusuri maka setiap wujud pasti memiliki cahaya sesuai dengan
kapasitasnya masing-masing, iman adalah cahaya, ilmu adalah
caha ya, dan seterusnya.
p:107
Telah saya kemukakan bahwa Al-Quran sendiri menisbatkan
kata “cahaya” pada berbagai hal, di antaranya Al-Quran adalah cahaya
Allah; yakni satu cahaya dari ciptaan Allah. “Dengan kitab itu-
lah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengelu-
arkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.” (QS al-Maidah:16) Al-Quran adalah cahaya, dan menunjukkan
mereka ke arah cahaya yang merupakan petunjuk Ilahi. Jika
demikian ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah cahaya.
Jika mereka-mereka yang kemampuan berpikirnya sedikit
rendah menanyakan; Apakah arti dari “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi?”
Mereka mengira cahaya itu adalah cahaya
yang dapat dideteksi dengan indera. Namun kepada mereka yang
memiliki daya berpikir yang tinggi, maka kami akan mengatakan
kepadanya bahwa Allah bukan semata pemberi cahaya, namun bahkan
diri-Nya sendiri adalah meru pakan cahaya, dan Cahaya (nur)
merupakan satu di antara nama-nama Allah. Dan yang dimaksud
dengan cahaya itu ialah bukan cahaya yang dapat dideteksi dengan
indera. Ini adalah pembahasan kalimat pertama dari ayat itu.
Kalimat kedua, merupakan sebuah perumpamaan atas cahaya
Allah. Pertama-tama Al-Quran mengatakan, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”
Allah itu sendiri adalah cahaya bagi berbagai langit dan bumi, namun Allah juga menurunkan
suatu cahaya untuk membimbing berbagai makhluk-Nya.
Di sini disebutkan satu perumpamaan mengenai cahaya Allah,
yang mana cahaya itu merupakan sebuah perantara dalam
memberi petunjuk kepada manusia. Tentunya banyak sekali pembahasan
berkenaan dengan perumpamaan ini. Kemudian terdapat
sebuah perumpamaan dengan menyebutkan salah satu alat penerangan
kuno. Allah membuat perumpamaan dengan rumah atau
rumah-rumah yang tinggi dan besar atau tempat-tempat ibadah
yang pada dindingnya terdapat lubang-lubang, yang di dalamnya
terdapat pelita (misykat). “Misykat” artinya ialah lubang tempat
meletakkan pelita. Maksud dari tempat pelita itu ialah sebuah
p:108
tempat yang ada di dinding, yang kegunaannya adalah untuk meletakkan
pelita. Al-Quran membuat sebuah perumpamaan bahwa
pelita itu berada dalam suatu benda yang bening dan jernih. Pelita
itu berada dalam sebuah tabung dari kaca. Kita mengetahui ketika
sebuah pelita ada dalam sebuah tabung kaca, disebabkan pantulan
sinarnya atau karena pembakarannya menjadi sempurna—apapun
sebabnya—akan mengeluarkan cahaya yang lebih terang.
Pelita ini ada di dalam kaca dan diletakkan pada sebuah lubang
yang ada di dinding sebuah ruangan, dan bahan bakar pelita
ini adalah minyak yang paling bagus, yaitu minyak zaitun. Dan
juga minyak itu terbuat dari jenis zaitun yang terbaik, yang minyaknya
saja seakan-akan dapat mengeluarkan sinar dan cahaya,
sekalipun belum tersentuh api.
Pada masa dahulu alat penerangan yang paling baik dalam
mengeluarkan sinar dan cahaya adalah alat penerangan tersebut.
Allah membuat perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan perumpamaan
sebuah pelita yang ada pada tempat semacam itu, dan
dengan menggunakan minyak, serta berada di sebuah rumah seperti
itu. Kemudian Al-Quran mengatakan bahwa, “Kami membuat
berbagai perumpamaan dan manusialah yang mesti memikirkan
dan merenungkan semua itu.” Berulang kali saya katakan bahwa
suatu kebiasaan Al-Quran adalah mengajak manusia untuk berpikir.
Akan tetapi tidak hanya mengatakan, “pikirkanlah!” Al-
Quran terkadang mengatakan, “pikirkanlah,” dan terkadang suatu
permasalahan itu diolah sedemikian rupa sehingga membangkitkan
daya pikir seseorang sehingga kemudian orang itu akan
memikirkan permasalahan tersebut dan pada akhirnya ia dapat
memahami permasalahan itu dengan cukup dalam—bukannya ingin
menyamakan—sebagaimana halnya jika Anda menginginkan
agar otak anak-anak Anda menjadi cerdas, maka Anda akan membuat
berbagai permasalahan dalam bentuk teka-teki, sehingga
kemudian otak mereka akan bekerja keras untuk menemukan
jawabannya, dan akan semakin banyak berfikir dan merenung
Dengan perumpamaan itu, sebagaimana yang diinginkan
oleh Al-Quran, sebenarnya sudah mencapai tujuan. Yakni bukan
p:109
saja memaksa para mufasir untuk mengadakan berbagai kajian
atas perumpamaan-perumpamaan itu, mereka yang bukan mufasir
pun juga turut tenggelam dalam memikirkan mengenai apa
yang dimaksud oleh Al-Quran dengan pelita, kaca, tempat pelita,
minyak yang penuh berkah itu, dan minyak yang akan menyala
dengan sendirinya serta mengeluarkan cahaya, sekalipun belum
disentuh api? Misalnya saja Ibnu Sina, dia bukan seorang mufasir,
dan tidak membidangi penafsiran. Ia memikirkan ayat itu,
lalu terlintas dalam benaknya suatu pemahaman yang kemudian
pemahaman tersebut ia ungkapkan. Baik al-Ghazali maupun Ibnu
Sina keduanya meyakini bahwa perumpamaan itu adalah untuk
mengumpamakan seorang manusia. Berkenaan dengan cahaya
itu, Al-Quran mengatakan bahwa cahaya Allah adalah semacam
lubang tempat pelita yang di dalamnya terdapat sebuah pelita dan
pelita itu adalah di dalam kaca, ... dan seterusnya, itu merupakan
sebuah perumpamaan seorang manusia. Jelas terdapat beberapa
perbedaan antara penjelasan Ibnu Sina dan al-Ghazali.
diantara lingkup pembahasan ilmu filsafat adalah mengenal manusia
dan mengenal jiwa manusia. dan para filosof dalam
berbagai permasalahan yang berhubungan dengan faktor kejiwaan
lebih banyak bersandar pada kekuatan akal dan daya pikir,
dan mereka berkeyakinan bahwa esensi manusia adalah kekuatan
akalnya itu sendiri, serta kesempurnaan manusia adalah kesempurnaan
kekuatan akal itu juga, dan kebahagiaan manusia adalah
terletak pada kesempurnaan kekuatan akalnya itu dan semua itu
kembali kepada esensi manusia, yaitu kekuatan akal manusia. Baik
itu berupa akal konseptual (al-aqlu an-nadhan) atau berupa akal
praktikal (al-aqlu al-’amali).
Kemudian mereka menerapkan berbagai perumpamaan yang
ada itu dengan berbagai istilah yang me reka miliki, sehubungan
dengan berbagai peringkat kekuatan akal. Misalnya saja kata misykat
(lubang tempat meletakkan pelita) menurut pendapat mereka
adalah al-’aql al-hayulani artinya ialah, akal masih dalam kondisi
potensi saja (memiliki potensi untuk menjadi berakal). Dan
maksud dari az-zujajah (kaca) dan ber bagai hal yang menambah
kuatnya cahaya adalah al-‘aqlu bil malakah (memiliki akal) dan
p:110
maksud al-misbah (pelita) adalah al-Aqlu bilfi'il (telah memiliki
akal yang dapat berfungsi) dan maksud dari pohon syajarah adalah
pohon pemikiran, ... dan seterusnya.
Dalam hal ini saya tidak ada urusan berkenaan sampai sejauh
mana kebenaran pendapat mereka. Pendapat itu benar atau
salah, kurang begitu mengena. Abu Ali Sina (Ibnu Sina) tidak
mengatakan bahwa saya menafsirkannya demikian, namun pada
pendapatnya mengenai berbagai peringkat akal ia menerapkan
ungkapan Al-Quran pada pendapatnya itu dan tidak mengatakan
bahwa saya hendak menafsirkan Al-Quran semacam ini. Namun
al-Ghazali, ia memberikan penjelasan yang sebegitu rupa, dia hendak
menafsirkan ayat Al-Quran itu.
Sebagian lainnya mengatakan bahwa ketika Allah membuat
perumpamaan dengan misykat (tempat meletakkan pelita), almisbah
(pelita), az-zujajah (kaca) kesemuanya tidak memiliki arti
yang lain kecuali “sebuah cahaya yang sangat terang”. Jika pada
malam hari di ruangan masjid kita ini, terdapat sebuah pelita
yang paling terang,(1) maka bagaimanakah keadaannya? Tentu tidak
ada keraguan, tidak samar-samar, serta tidak ada kebingungan
(semuanya menjadi jelas dan terang—pen.). Ada yang mengatakan
bahwa maksud dari ayat tersebut ialah cahaya Ilahi, petunjuk Ilahi,
se begitu jelas dan terangnya cahaya itu, laksana sebuah pelita di
kegelapan malam dan terletak di sebuah ru angan yang tertutup.
Pada berbagai riwayat kita, ayat ini ditafsirkan dalam dua
bentuk. Hal itu menunjukkan bahwa ayat ini dapat diterapkan
ke dalam berbagai sisi penafsiran. Pada sebagian riwayat perumpamaan
itu adalah se buah perumpamaan terhadap diri manusia,
namun bukan terhadap akalnya, akan tetapi pada keimanannya.
Tempat meletakkan pelita misykat, kaca az-zujajah, dan pelita almishbah
adalah perumpamaan bagi tubuh nianusia, dada manusia,
hati manusia dan cahaya keimanan manusia. Bagaimanakah
letak cahaya keimanan dalam hati manusia? Bagaimanakah letak
jiwa kemanusian dalam hati manusia? Perumpamaan itu disebutkan
untuk manusia, namun dari sisi keimanan.
p:111
Pada sebagian riwayat yang lain, perumpamaan itu ditujukan
untuk manusia, namun bukan khusus untuk setiap orang yang
beriman, tetapi merupakan sumber petunjuk bagi seluruh manusia;
yakni sebuah kenabian, dan itu pun kenabian yang terakhir.
Hal itu berdasarkan pada bukti yang ada pada akhir ayat, “Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”
Jelas pembicaraan adalah berkenaan dengan sebuah cahaya,
yang dengan cahaya itu Allah memberi petunjuk kepada manusia.
Dalam riwayat dijelaskan semacam ini: tempat meletakkan pelita
adalah dada dan hati Rasul yang suci Muhammad Saw, dan pelita
itu adalah cahaya iman dan cahaya wahyu yang ada dalam hati suci
Rasul mulia Saw, kemudian “Pelita itu di dalam kaca,” karena pelita
ada di dalam kaca maka kaca itu menjadi terang dan memantulkan
cahaya. Dan semua itu adalah berkat sinar yang dipancarkan oleh
pelita. Maksudnya ialah, cahaya iman dan wilayah yang ada pada diri
Rasulullah Saw memantul kepada diri Ali bin Abi Thalib as. Maksud
dari kaca “az-zujajah” adalah Ali bin Abi Thalib as, dan pohon yang
penuh berkah yang dari minyaknya dapat memberikan sinar yang
terang benderang adalah Nabi Ibrahim as. Karena di sini terdapat
keterangan bahwa pohon tersebut bukan ke Timur dan bukan ke
Barat maksudnya ialah bahwa “Ibrahim bukan seorang Yahudi dan
bukan pula seorang Nasrani”. Ibrahim tidak condong ke kanan dan
tidak condong ke kiri, tidak menyimpang sebagaimana Yahudi dan
tidak menyimpang sebagaimana Nasrani, tetapi ia berada dalam
kebenaran dan jalan yang benar, “akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah din (kepada Allah).” (QS Ali Imran: 67)
Jika demikian ini adalah bentuk lain dari penafsiran ayat
yang mulia ini. Sebagaimana yang telah saya kemukakan, bahwa
saya tidak dapat memiliki anggapan telah mengetahui secara seratus
persen mengenai apa-apa yang dimaksud oleh ayat ini. Allah
membuat berbagai perumpamaan agar kita memikirkan, merenungkan
dan memperhatikan. Perumpamaan ini, adalah sebuah
perumpamaan yang sifatnya universal, yang dapat juga diartikan
dengan petunjuk Ilahi untuk semesta alam; yakni semesta alam ini
diumpamakan dengan sebuah rumah yang besar dan rumah itu
p:112
tidak gelap gulita, tetapi dalam rumah itu ada pelita yang terang
benderang dan itu adalah cahaya Allah. Dan ini adalah pembahasan
yang—juga disebutkan oleh Al-Quran pada ayat-ayat yang
lain—merupakan sebuah poin yang sangat penting dan disebabkan
itulah (cahaya Allah) maka seluruh benda yang ada di alam ini
bertasbih kepada-Nya. Yakni seluruh yang ada di alam ini mengetahui
wujud Penciptanya.(1)
p:113
p:114
p:115
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ کَمِشْکَاةٍ فِیهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِی زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ کَأَنَّهَا کَوْکَبٌ دُرِّیٌّ یُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَکَةٍ زَیْتُونَةٍ لَا شَرْقِیَّةٍ وَلَا غَرْبِیَّةٍ یَکَادُ زَیْتُهَا یُضِیءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَی نُورٍ یَهْدِی اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِکُلِّ شَیْءٍ عَلِیمٌ (35)»
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS an-Nur: 35)
p:116
Ayat yang mulia ini terdiri dari dua pembahasan; pembahasan
pertama, penisbatan cahaya terhadap Zat Ilahi
Yang Maha Suci, yang Al-Quran katakan, “Allah adalah (pemberi) cchaya langit dan bumi.”
Dan pada pembahasan kedua, tentang perumpamaan yang disebutkan oleh Al-Quran, yang pada
dasarnya membuat perumpamaan rumah-rumah yang di dalamnya
ada sebuah pelita—sesuai dengan urutan pembahasan yang
saya paparkan pada pertemuan sebelumnya—yang sangat terang,
dan perumpamaan ini bukan untuk Zat Ilahi, akan tetapi cahaya
Ilahi untuk berbagai makhluk-Nya. Berkenaan dengan perumpamaan
ini saya telah paparkan berbagai pembahasan, dan saat itu
saya berjanji bahwa hasil dari semua pembahasan akan saya ungkapkan
pada pertemuan kali ini.
Sebagaimana yang telah saya utarakan bahwa ayat yang mulia
ini adalah satu di antara ayat-ayat yang sangat banyak menarik
perhatian para mufasir dan selainnya. Di samping itu, kurang lebih
saya juga telah menjelaskan mengenai isi kandungan dari ayat ini.
Dan dalam riwayat kita terdapat sebuah pembahasan berkenaan
dengan ma’rifatullah (mengenai Allah), yakni dalam bab mengenai
Allah terdapat sebuah pem bahasan yang pada pertama kali
tampaknya sulit dan berat untuk dipahami dan itu adalah, “segala
sesuatu dapat diketahui karena Allah, dan Allah dapat diketahui
karena zat-Nya sendiri”. Bahkan dalam riwayat kita terdapat sebuah
ungkapan yang sangat menakjubkan, tampaknya ungkapan
itu ialah, kullu ma'rufin bi ghairihi mashnu'un (segala sesuatu yang
dapat diketahui karena adanya sesuatu yang lain, maka itu adalah
makhluk atau ciptaan) dan Allah tidak demikian.
Ini merupakan sebuah ungkapan yang menakjubkan, “Allah
dapat diketahui karena zat-Nya sendiri, dan selain Allah (dapat
diketahui) karena Allah”, sedangkan kita memiliki bentuk pemikiran
semacam ini—dan kita menyangka bahwa ini adalah jalan
satu-satunya—yaitu kita mengatakan bahwa kita mengenai alam
ini karena keberadaan alam ini sendiri; yakni kita mengenal makhluk
karena makhluk, dan kita mengenal Allah karena keberadaan
makhluk. Bahkan sebagian (penulis Muslim—yang pada awal mulanya
dipelopori oleh orang-orang Mesir, kemudian merambat ke
p:117
pada yang lainnya—mereka mengatakan, “Cara mengenal Allah
adalah terbatas pada pengenalan terhadap makhluk-Nya dan Allah
itu dapat dikenal setelah terlebih dahulu mengenal makhluk”, bahkan
mereka menyandarkan adanya pembatasan ini pada Al-Quran.
Masalah ‘mengenal Allah’ yang berbentuk “hanya dan terbatas”
jelas merupakan pandangan yang salah. Namun bagi para pemula
mereka menyangka bahwa pendapat semacam itulah yang benar.
Untuk mengingatkan para pemula pada keberadaan Allah, jalan
pertama adalah semacam itu, sebagaimana yang juga diungkapkan
oleh Al-Quran; “Dan berbagai ciptaan, merupakan tanda-tanda ke-
besaran Allah". Namun dengan menggunakan cara ini seseorang
hanya mendapatkan pengenalan terhadap Allah secara global
dan samar-samar, dan belum dapat mengenal Allah secara benar.
Permasalahan lainnya adalah dalam Al-Quran kita menjumpai
sebuah dasar utama—sebagaimana yang telah saya jelaskan
pada pertemuan yang lalu—dasar itu adalah “petunjuk”. Al-Quran
tidak memandang semua ciptaan adalah buta dan sesat, namun
semuanya dapat melihat dan menemukan jalannya masing-masing.
Manusia sebagai mukallaf, dia sendirilah yang mesti memilih
jalan dan terkadang mengalami kesesatan atau kekeliruan pada
taklif (tugas dan kewajiban) yang sifatnya adalah relatif, yang saya
paparkan adalah pada sistem penciptaan.(1)
Pada ayat-ayat Al-Quran dijelaskan berbagai pe tunjuk bagi
berbagai makhluk. Menukil ucapan Nabi Musa as pada saat Fir’aun
menanyakan, “Siapakah Tuhanmu, kenalkanlah kepada kami Tuhanmu
itu.” Musa as menjawab: “Tuhan kami adalah Tuhan yang
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk.” (QS Thaha: 50). Dalam kalimat ini terdapat
dua bentuk argumen. Pertama, argumen sistem keteraturan
alam, yaitu Allah memberi setiap makhluk apa-apa yang diperlukan
sesuai dengan kebutuhannya, yakni ada sistem keter aturan.
“kemudian memberinya petunjuk” pembahasan yang lain yaitu
seluruh makhluk yang ada diberi pe tunjuk tentang masa depan,
tujuan, dan jalan menuju kesempurnaannya.
p:118
Kita membaca dalam surah al-A’la: “Yang menciptakan, dan
Yanang menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk.” (QS al-A’la: 2-3). Dan
di antara para mufasir saya melihat hanya Fakhrur Razi saja yang
memperhatikan poin ini—dan tampaknya ungkapan ini adalah
pendapatnya—yang mana untuk pertama kalinya Al-Quran
menjelaskan dasar ini kepada manusia. Dasar keteraturan merupakan
sebuah masalah, sebuah bukti atas keberadaan Allah, dan
dasar petunjuk adalah buk ti yang lain tentang keberadaan Allah.
Alam dunia ini yang merupakan sebuah mesin yang bergerak pasti
memiliki perhitungan; dengan kata lain, sistem dalam penciptaan
adalah merupakan satu dasar dan dengan adanya tenaga yang tak
tampak “semacam naluri” yang memberikan suatu dorongan pada
setiap makhluk merupakan suatu dasar yang lain. Jika demikian
bagaimanakah bentuk petunjuk pada berbagai makhluk, yang
mana Allah menunjukkan kepada setiap makh luk tujuannya? Hal
ini sama persis dengan masalah ma’rifatullah (mengenal Allah).
Pada awal mula setiap makhluk mendapatkan petunjuk menuju
Allah, kemudian ke tujuan yang lain; yakni Allah adalah “tu juannya
tujuan” dan setiap suatu tujuan, tujuannya itu adalah berasal dari
Allah.
Yang dimaksud bahwa Allah itu adalah cahaya langit dan
bumi, adalah cahaya yang ada pada segala sesuatu berasal dari
Allah. Hal itu sama dengan ungkapan yang menyatakan, “Segala
sesuatu dapat diketahui karena keberadaan Allah, dan Allah dapat
diketahui karena zat-Nya sendiri.” Segala sesuatu disebabkan keberadaan
Allah menjadi tampak, dan segala sesuatu disebabkan
Allah menjadi “panutan”; yakni berjalan menuju ke arahnya dan
menjadi tujuan. Kecuali Allah, yang disebabkan zat-Nya sendiri
menjadi tujuan, dan panutan dari segala macam ciptaan dan segala
macam makhluk. Disebabkan hal inilah maka Al-Quran menyatakan
bahwa seluruh ciptaan dan semua benda memiliki suatu
jenis kehidupan dan perasaan tertentu.
Pada ayat berikutnya akan dibuktikan hal itu: “Tidakkah kamu
tahu bahwasannya Allah: kepadaNya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga)
burung dengan mengembangkan sayapnya.
p:119
masing-masing telag mengetahui (cara) salat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan .” (QS an-Nur: 41)
Ini merupakan hasil yang sangat rasional dari masalah itu.
Sebuah hasil yang rasional, “Allah adalah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi",
ini adalah merupakan “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS al-Isra’: 44)
Sebagaimana setiap ciptaan memiliki peringkat dan derajat,
begitu juga dengan petunjuk diberikan sesuai dengan peringkat
dan derajatnya. Benda-benda mati sesuai dengan peringkatnya, binatang
sesuai dengan peringkatnya, dan manusia secara individu
dan sosial, mendapatkan petunjuk sesuai dengan peringkat dan
kondisinya masing-masing.(1)
Pada pertemuan yang lalu telah saya paparkan, baik dari riwayat
maupun selain riwayat, yakni pendapat para mufasir dan
ulama berkenaan dengan perumpamaan itu—tentang apa maksud
perumpamaan itu—dan saya telah memberikan penjelasan yang
bermacam-macam. Sebagian melihat bahwa perumpama an itu
adalah ditujukan untuk semesta alam, yaitu sekumpulan kata
kiasan itu menunjukkan bahwa alam wujud ini, alam nyata ini,
merupakan sebuah rumah yang tidak gelap. Sebuah rumah yang
di dalamnya terdapat berbagai pelita yang paling terang—perumpamaan
pelita itu maksudnya adalah pelita yang paling terang
pada setiap masa. Jika demikian, alam nyata ini tidak buta dan tidak
gelap. Dan sebagian lainnya mengartikan perumpamaan ini
adalah manusia. Berkenaan dengan manusia saya juga telah memaparkannya
pada pertemuan yang lalu. Namun sekarang, saya
akan menjelaskannya secara singkat dan ringkas.
p:120
Mereka berpendapat bahwa hidayah atau “petunjuk” itu ada
beberapa macam: “petunjuk alamiah”, hal ini ada, sekalipun pada
benda yang tak bernyawa. “Pe tunjuk indera”, yaitu panca indera
kita. Semuanya itu merupakan pelita petunjuk yang ada dalam binatang
dan diri manusia. “Petunjuk naluri” di mana pada bi natang
terdapat berbagai kecenderungan yang membimbing binatang itu
dalam mencapai tujuan. “Petun juk akal”, kekuatan akal itu sendiri
merupakan cahaya yang diberikan kepada manusia sehingga den-
ngan cahaya itu sendiri ia dapat berfikir dan menimbang-nimbang. Agama
itu sendiri merupakan satu bentuk petunjuk yang lain, yang disebut
dengan “petunjuk wahyu”.
Perumpamaan itu sebagian mengartikan dengan petunjuk
bagi seluruh ciptaan, dan sebagian yang lain mengartikan dengan
petunjuk bagi manusia, yang jelas sebagian mengatakan bahwa
maksud dari seluruh pe tunjuk yang ada pada diri manusia ialah
indera, akal, naluri, dan bahkan petunjuk wahyu. Sedangkan sebagian
yang lain berpendapat bahwa itu hanya khusus pada “petunjuk
akal” saja. Sebagaimana yang telah saya utarakan berkenaan
dengan pendapat Ibnu Sina. Se bagian mengartikan perumpamaan
itu dengan “pe tunjuk wahyu” dan dalam riwayat ada bentuk pengartian
semacam itu, yang mana misykat (lubang di dinding tempat
meletakkan pelita) adalah hati Rasul yang mulia Saw, dan
mishbah (pelita) adalah cahaya wahyu yang turun kepada beliau,
dan seterusnya sebagaimana yang sebelumnya telah saya jelaskan.
Tidak ada masalah jika berbagai perumpamaan yang ada
pada ayat itu hendak menjelaskan cahaya “petunjuk Ilahi” yang
alam dipenuhi olehnya, dan meliputi seluruh yang ada di alam.
Khususnya sebagaimana yang telah saya paparkan, yang terdapat
pada dua riwayat, yang kedua riwayat tersebut menghubungkan
arti perumpamaan itu dengan manusia. Pertama, adalah dari sisi
individu yaitu seorang mukmin, dan yang lainnya adalah sebuah
masyarakat yang manusiawi yang berlandaskan pada “petunjuk
wahyu”. Kedua penjelasan tersebut merupakan penjelasan yang
sangat dalam, khususnya dengan memperhatikan pada ayat yang
menyatakan, “Di rumah-rumah yang telah diizinkan Allah un-
tuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya.”
p:121
Pada pertemuan yang lalu saya telah mengungkapkan sebuah
riwayat yang berhubungan dengan perumpamaan yang ada dalam
ayat itu. Isi ayat itu adalah demikian: “Cahaya Ilahi, petunjuk Ilahi
laksana sebuah misykat yang di situ diletakkan pelita, dan pelita
itu ada dalam sebuah kaca.” Kemudian terlintas sebuah pertanyaan
semacam ini, mengapa Al-Quran membuat perumpamaan
semacam itu? Tidakkah Al-Quran dapat mengatakan, “Laksana
tempat pelita yang di dalamnya terdapat kaca, dan di dalam kaca
terdapat pelita.” Namun mengatakan, “Laksana tempat pelita yang
di da lamnya terdapat pelita dan pelita itu ada di dalam kaca.”
Dalam riwayat kita, ayat tersebut ditafsirkan sema cam ini:
maksud dari pelita berada di tempat pelita misykat, kemudian pelita
dipindahkan ke sebuah kaca, rahasia dari ayat ini adalah disebutkan
demikian: maksud dari misykat ialah tempat nubuwah (kenabian),
dan maksud dari kaca ialah imamah (kepemimpinan) dan
maksud dari pohon yang penuh berkah yang menyebabkan terwujudnya
misykat, kaca dan pelita adalah adalah pohon Ibrahim. Dan
itu merupakan hasil dari doa Ibrahim as. Berbagai penjelasan ini
yang berkenaan dengan ayat tersebut pada dasarnya merupakan
satu catatan pinggir bagi pembahasan yang telah saya paparkan
pada pertemuan yang lalu. Ayat berikutnya adalah:
«فِی بُیُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَیُذْکَرَ فِیهَا اسْمُهُ یُسَبِّحُ لَهُ فِیهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ (36)»-
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk
dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS an-Nur: 36)
«رِجَالٌ لَا تُلْهِیهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَیْعٌ عَنْ ذِکْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِیتَاءِ الزَّکَاةِ یَخَافُونَ یَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِیهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ (37)»
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah,
dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS an-Nur: 37)
p:122
Di rumah-rumah yang telah diizinkan oleh Allah untuk diagungkan
dan dimuliakan, dan di dalamnya disebut nama-Nya, di
dalam rumah-rumah itu pada waktu pagi dan malam ada orangorang
yang senantiasa bertasbih kepada Allah, meskipun mereka
mesti melakukan kesibukan duniawi, namun mereka walau sedetik
pun tidak melupakan Tuhannya. Apakah maksud dari fibuyutin (di
rumah-rumah) itu? Kemungkinan seluruh mufasir berpendapat
bahwa pelita yang kita jadikan sebagai perumpamaan, ada dalam
rumah-rumah ini. Jelas muncul suatu pertanyaan semacam ini,
yaitu jika pelita itu disebutkan ada di dalam rumah-rumah itu sudah
cukup, lalu mengapa mesti ditambah dengan berbagai perumpamaan
lainnya, di mana pe lita itu ada di dalam rumah dan rumah
itu demikian?
Hal itu merupakan penegasan terhadap perumpa maan tersebut
yang merupakan perumpamaan terha dap manusia. Pada sebuah
riwayat yang dinukil dalam tafsir Ash-Shafi disebutkan:
“Rumah-rumah itu adalah rumah-rumah para nabi, rasul, orangorang
bijak, para imam yang membawa petunjuk.”(1) Itu adalah
rumah-rumah para tokoh maknawiah. Lalu apa bedanya antara
rumah milik seorang wali Allah, dan rumah milik orang lain?
Bahkan dari sisi bahan bangunannya batu bata, semen, pasir dan
sebagainya; rumah-rumah mereka (selain wali Allah) jauh lebih
baik daripada rumah para wali Allah. Ayat Al-Quran itu sendiri
menjelaskan dan berbagai riwayat juga menyebutkan bahwa
maksud dari rumah-rumah itu bukanlah rumah yang terbuat dari
tanah liat dan materi. Maksud dari semua itu adalah manusia dan
tubuh-tubuhnya, yakni mereka adalah manusia yang tubuh mereka
adalah masjid dan tempat peribadatan bagi jiwanya. Dalam riwayat
juga disebutkan bahwa maksud dari rumah-rumah itu adalah
mereka (manusia-manusia mulia—pen.).
Qutadah, salah seorang mufasir dan ahli fiqh Ahlu sunah
pada zamannya, dan bertempat tinggal di Kufah. Dalam perjalanannya
menuju Madinah, ia bertemu dengan Imam Muhammad
al-Baqir as, ia pun mengajukan berbagai pertanyaan kepada Imam
p:123
al-Baqir as dan ia juga mendengarkan berbagai jawaban yang beliau
berikan, dan ia terdiam tak dapat memberikan jawaban atas
berbagai pertanyaan yang diajukan oleh Imam al-Baqir as, dan ia
merasa dirinya sangat rendah. Kemudian ia mengatakan, “Saya
telah bertemu dengan berbagai ulama, namun saya tidak mera sa
gugup dan bingung seperti ketika saya menghadapi Anda.” Imam
al-Baqir berkata, “Tahukah kau dengan siapa kau berhadapan? Berhadapan
dengan rumah-rumah yang diizinkan oleh Allah untuk
diagungkan dan di dalamnya disebut nama-Nya.” Kau tengah berhadapan
dengan mereka yang oleh Allah disebut dengan “buyut”
(rumah-rumah), yakni yang tengah kau hadapi adalah seorang dari
rumah-rumah itu. Kemudian ia dengan tulus hati mengakui, “Wahai
putra Rasulullah, aku mengakui kebenaran itu bahwa mak sud
dari buyut yang ada di dalam Al-Quran bukan rumah-rumah yang
terbuat dari batu atau tanah Hat, tetapi itu adalah “rumah-rumah
yang insani”.
Di sini ada sebuah poin penting dalam masalah tauhid, dan itu
adalah baik rumah-rumah ini kita artikan dengan rumah-rumah
yang terbuat dari batu bata atau tanah Hat, atau rumah-rumah
yang insani—jelas maksud sebenarnya adalah rumah-rumah yang
insani— Al-Quran menegaskan bahwa itu adalah rumah-rumah
yang diizinkan oleh Allah agar rumah-rumah itu memiliki posisi
yang tinggi, diagungkan, dan selalu dihormati. Dan sekiranya
maksud dari rumah-rumah itu adalah rumah-rumah yang terbuat
dari batu bata atau tanah Hat, kita mengetahui bahwa secara keseluruhan
dalam agama Islam diwajibkan bagi semua orang untuk
menghormati masjid dan haram hukumnya meremehkan atau
melecehkan masjid. Menajiskan masjid adalah haram, jika masjid
terkena najis maka fardhu kifayah untuk membersihkannya, wajib
bagi semuanya untuk segera membersihkan najis itu. Jika ada yang
mengatakan pada kita, “Itu bertentangan dengan dasar tauhid,
masjid adalah batu, pasir, dan tanah Hat. Ka’bah juga demikian,
adalah beberapa batu yang disusun dan tak lebih dari itu.
Apakah batu juga memiliki suatu kemuliaan, sehingga manusia
diharuskan untuk menghormatinya? Kita akan katakan,
p:124
“Tidak!” Batu sama sekali tidak harus dihormati. Allah dan peribadatan
Allah yang mesti dihormati. Tempat ibadah, disebabkan itu
ada lah tempat ibadah sehingga harus dihormati. Yang kita sembah
mengizinkan kita untuk menghormati tempat ibadah. Penghormatan
terhadap tempat ibadah dengan seizin dari yang kita
sembah. Hal itu bukannya syirik tetapi bahkan merupakan inti
dari tauhid. Kemudian apakah hanya khusus pada tempat ibadah
saja? Tidak! Jika yang kita sembah mengizinkan kepada kita untuk
menghormati, mengagungkan, dan memuliakan seorang hamba
disebabkan ia adalah seorang hamba, lalu kita menghormati, mengagungkan,
dan memuliakan hamba itu, lalu apakah ini adalah syirik?
Tidak, itu juga merupakan inti dari tauhid. Oleh karena itu,
apakah penghormatan dan penggagungan terhadap Nabi Yang
Mulia Saw beserta para imam suci atau bahkan terhadap yang di
bawah mereka itu me rupakan suatu perbuatan syirik? Tidak, mereka
adalah, “rumah-rumah yang telah diizinkan oleh Allah untuk diagungkan
dan disebut nama-Nya di dalamnya.”
Sebagaimana Allah telah mengijinkan kita untuk menghormati
dan memuliakan rumah-rumah yang terbuat dari tanah
Hat—yaitu tempat ibadah—maka rumah yang insani ini, yang
merupakan tempat ibadah bagi jiwanya, derajatnya jauh lebih
tinggi dari rumah yang terbuat dari tanah liat tersebut. Bahkan rumah-
rumah ibadah yang terbuat dari tanah liat itu menjadi mulia
karena keberadaan para ahli ibadah itu. Ka’bah menjadi mulia untuk
pertama kali karena keberadaan Nabi Ibrahim as dan Ismail as,
kemudian para nabi yang lain dan orang-orang yang mulia lainnya.
Selain itu kemuliannya juga disebabkan, “rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadah) manusia” (QS Ali Imran: 96)
Tempat peribadatan pertama di dunia. Karena merupakan tempat
peribadatan yang pertama dan titik pertama yang di situ dibangun
dan didirikan tempat peribadatan Allah, dan kemuliaannya adalah
disebabkan peribadatan itu. Jika demikian, kemuliaan Ka’bah itu
berasal dari orang-orang yang beribadah dan tempat peribadatan.
Dalam berbagai riwayat baik dari Syiah maupun Ahlusunah
kita dapat menjumpai bahwa maksud dari rumah-rumah itu
p:125
adalah manusia-manusia yang seluruh hidupnya adalah ibadah,
yang mana mereka adalah benar-benar masjid.
Ketika pandangan seseorang semata-mata hanya untuk Allah,
pendengaran, pembicaraan, pikiran, langkah, makan, minum,
tidur semuanya hanya semata-mata untuk Allah, tubuh ini tidak
memiliki nama lain kecuali “tempat ibadah”. Perhatikanlah Ali
bin Abi Thalib as dalam doa Kumail bagaimanakah ia bermunajat:
“Wahai Tuhan, wahai Yang memelihara, wahai Yang memiliki,
kuatkan anggota tubuhku demi berbakti kepada-Mu, kuatkan
kecenderunganku dalam menjalankan niat yang mulia, karuniakan
kepadaku kesungguhan dalam merasa takut kepada-Mu, dan
senantiasa berbakti kepada-Mu.”
Oh Tuhan! Oh Tuhan! Oh Tuhan! Berilah kekuatan pada anggota
tubuhku, agar aku dapat semakin meningkatkan ketaatanku,
kuatkanlah niat Ali agar selalu berbakti kepada-Mu, karuniakanlah
kepadaku perasaan benar-benar takut kepada-Mu, karuniakan
kepadaku agar senantiasa berkhidmat kepada-Mu dan janganlah
Engkau biarkan walau sedetik pun aku ber khidmat kepada selain-
Mu. Inilah yang beliau miliki dan Allah juga telah memberikan
kepadanya semua itu. Pribadi semacam ini seluruh anggota tubuhnya
adalah tempat ibadah, dan itu adalah tempat ibadah yang
paling agung. Ka’bah tidak dapat mengaku bahwa aku juga tempat
ibadah semacam itu.
Oleh karena itu, “ayat perumpamaan itu” baik para mufasir
maupun riwayat mengartikannya dengan manusia. Mereka
berkeyakinan bahwa Misykat, mishbah, dan zujajah adalah
berhubungan dengan “petunjuk insani”, ada yang mengatakan
berhubungan dengan “petunjuk akal”, ada yang mengatakan
berhubungan dengan “petunjuk wahyu”, bahkan ada juga yang
mengatakan semua itu berhubungan dengan “petun juk indera”.
Pelita petunjuk itu terletak di rumah manakah? Di rumah
diri seorang manusia. Khususnya “petunjuk wahyu” terletak
pada wali-wali Allah: “rumah-rumah yang diizinkan oleh Allah untuk diagungkan
dan disebut nama-Nya di dalamnya"
p:126
Pada suatu hari ada seseorang yang mendengar sebuah
penjelasan dari almarhum Sayid Mahdi Qawwam, beliau adalah
seorang yang sangat bertakwa—semoga Allah senantiasa merahmatinya
dan saya sangat kagum atas pembahasan itu. Orang tersebut
mengatakan, “Pada sebuah majelis yang diadakan guna membahas
masalah “tabanri” (berlepas diri dari musuh-musuh Allah)
almarhum Sayid Mahdi Qawwam naik ke atas mimbar, kemudian
mengutip ayat ini, dan betapa indahnya beliau dalam mengupas
ayat ini, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang
lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-
Nya.” (QS al-Baqarah: 114). Siapakah orang yang lebih lalim dari
orang yang melarang nama Allah disebut di mas jid-masjid-Nya?
kemudian beliau menjelaskan, sese orang yang tubuh dan anggota
tubuhnya adalah masjid bagi jiwanya, lalu ada orang yang berusaha
menghalangi agar tubuh orang itu tidak dijadikan sebagai sebuah
tempat untuk menyebut nama Allah, menghalangi dalam bentuk
apa pun, itu adalah kelaliman dan perbuatan aniaya. Di antaranya
ialah “membunuh seorang mukmin sama dengan menghancurkan
sebuah masjid”. Dan jika yang dibunuh adalah para wali Allah,
maka ia telah merobohkan dan menghancurkan masjid-masjid
yang paling agung.
Di rumah ini pada pagi dan petang selalu bertasbih kepada
Allah. Para mufasir mengatakan bahwa maksud dari senantiasa
bertasbih dan mensucikan Allah, bukan hanya pagi dan petang
saja melainkan juga selain waktu itu dalam keadaan lalai. Siapakah
orang-orang yang bertasbih itu? Perhatikanlah ungkapan Al-
Quran, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
pula oleh jual beli dari mengingati Allah.” Maksud dari kata rijal
(secara bahasa artinya adalah orang-orang laki-laki—pen.) sebagaimana
yang diungkapkan oleh para mufasir adalah tidak berarti
“bukan para perempuan” dan bahkan menurut istilah “penghapusan
jenis”, namun arti yang diinginkan adalah “semangat”.
Terkadang ketika kita hendak mengatakan seorang itu penuh semangat
maka kita akan mengunakan kata rajul. Di sini tidak lagi
dibedakan baik dari jenis laki-laki maupun dari jenis perempuan.
p:127
Orang-orang yang memiliki semangat tinggi tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan jual beli dari mengingati Allah. Jelas perniagaan
dan jual beli merupakan sebuah perumpamaan, yakni bekerja,
mengajar, berceramah, berpidato, membangun rumah, merancang
bangunan, mengobati pasien, semuanya sama dengan perniagaan.
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh berbagai pekerjaannya
dari mengingat Allah.
Mungkin Anda akan mengatakan, “Mungkinkah seseorang
dalam satu waktu sibuk dengan suatu pekerjaan tertentu dan tidak
melalaikan sesuatu yang lain?” Ya! Khususnya jika seseorang telah
sempurna, masih belum sempurna pun ada yang dapat melakukan
semacam itu. Saya umpamakan, saat seseorang kehilangan suatu
kebahagian yang luar biasa, maka walau sedetik pun ia tak akan
dapat untuk melupakannya. Ambillah contoh seorang pemuda
yang jatuh cinta dengan seorang pemudi, dan senantiasa berusaha
untuk meminangnya. Kemudian ia mendapatkan jawaban yang
positif. Segala pekerjaan yang ia lakukan, ia tidak akan melupakan
satu hal itu, kebahagiaan, rasa senang, senantiasa ada dalam hatinya.
Bahkan dalam tidurnya selalu terbayang dalam benaknya,
kekasihnya itu merupakan satu kebahagian yang dihadiahkan kepadanya.
Sebaliknya—semoga Allah tidak menghendaki—jika seseorang
ditimpa suatu musibah yang sangat berat, misalnya saja,
ayah atau ibu yang sangat ia sayangi meninggal dunia. Segala pekerjaan
yang ia lakukan, sambil ia melakukan pekerjaan itu ia pun
tetap mengalami rasa duka yang mendalam. Hatinya tidak dapat
melupakan kesedihan tersebut.
Mukmin yang sebenarnya dalam mengingat Allah adalah
semacam itu. Sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia lupakan ialah:
mengingat Allah dan zikrullah. Bahkan segala pekerjaan yang ia
lakukan semuanya ia lakukan demi Allah dan karena perintah Allah.
Dan “mengingat Allah” itulah yang memaksa ia untuk me lakukan
berbagai pekerjaan itu. “Transaksi jual beli” jika dilakukan secara
terus menerus disebut “perniagaan” sebagaimana mereka yang pekerjaannya
adalah berniaga dan berdagang. Namun jika seseorang
terkadang melakukan sebuah transaksi jual beli dan tidak terus
menerus, misalnya saja ia hendak menjual rumahnya kepada Anda,
p:128
maka itu tidak disebut berniaga namun disebut “berjualan” (bai).
Al-Quran acapkali membuat perumpamaan de ngan harta
dunia. Disebabkan itu adalah sebab utama yang menyebabkan
kelalaian manusia. Perniagaan dengan berbagai macam transaksi,
berjualan (ba’i) dengan satu transaksi jual beli, semua itu sama
sekali tidak membuat lalai mereka dari mengingat Allah, melaksanakan
salat, mengeluarkan zakat dan mereka senantiasa merasa
takut kepada Allah serta kepada hari di mana semua jantung
berdebar-debar, dan berbagai pandangan kebingungan, semuanya
dicekam oleh rasa takut.
semoga Allah senantiasa memberikan taufik serta hidayahNya
kepada kita semua.
p:129
p:130
p:131
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«لِیَجْزِیَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَیَزِیدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ یَرْزُقُ مَنْ یَشَاءُ بِغَیْرِ حِسَابٍ (38)»
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi
balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah
karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada
siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS an-Nur: 38)
p:132
Dari ayat-ayat yang lalu, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan
bahwa Allah Yang Maha Tinggi adalah sumber
berbagai petunjuk dan berkenaan dengan cahaya petunjuk-Nya. Ia
membuat sebuah perumpamaan dalam firman-Nya, Allah mem
bimbing kepada cahaya-siapa yang Dia kehendaki,” Allah akan
membimbing siapa saja yang Ia kehendaki menuju pada cahaya-
Nya. Salah satu hasil yang diraih oleh seseorang dari petunjuk
Ilahi, ialah perbuatan orang tersebut menjadi memiliki nilai. Apa
maksudnya?
Setiap orang dalam dunia ini pasti memiliki berbagai pekerjaan
dan aktivitas tersendiri, bahkan seluruh kehidupan manusia
itu sendiri adalah aktivitas dan usaha. Sewaktu Anda bangun pagi,
baik ketika memandang diri Anda sendiri atau orang lain, maka
Anda akan menyaksikan seluruh kehidupan ada lah aktivitas dan
usaha, berjalan, berlari dan bekerja. Jika Anda bertanya, “Untuk
apa?” Jelas masing-masing memiliki tujuan yang berbeda, namun
pada dasarnya mereka menginginkan kebahagiaan bagi diri mereka
sendiri.
secara fitrah manusia senantiasa menginginkan kebahagiaan
bagi dirinya sendiri, dan bukannya meng inginkan kesengsaraan.
Jika seandainya ada seseorang yang berjalan pada satu jalan yang
akhirnya menyebabkan kesengsaraan dirinya, tidak mungkin itu
ia kerjakan dengan tujuan agar ia menjadi sengsara. Namun pada
awal mulanya ia mengira bahwa jalan itu akan memberikan kebahagiaan
bagi dirinya. Jika demikian seseorang secara pasti dan jelas
aktivitas dan usaha yang ia lakukan adalah untuk meraih kebahagiaan
dirinya, dan tidak ada seorang pun yang melakukan usaha
serta kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh kesengsaraan.
Jelas ada beberapa orang dalam dunia ini yang melakukan berbagai
usaha sementara ia mengira akan memperoleh kebahagiaan,
namun setelah beberapa waktu ia mengetahui bahwa seluruh usahanya
itu tidak memiliki arti, atau ia melihat bahwa usahanya itu
memperoleh hasil yang bertolak belakang dengan yang ia harapkan,
dan jika sekiranya ia tidak melakukannya, justru itu lebih baik
bagi kebahagiaan dirinya.
p:133
Di antara hasil dari keimanan kepada Allah dan mendapatkan
penerangan cahaya Allah ialah perbuatan seseorang memiliki nilai
yang hakiki; yakni ia berada dalam satu kondisi di mana amalan
dan usaha seseorang benar-benar menyebabkan kebahagiaannya
dan itu pun kebahagiaan yang abadi. Dalam hal ini terdapat sebuah
pembahasan yang nantinya akan lebih dijelaskan pada ayat berikutnya.
Pembahasan itu ialah, apakah amalan baik dan buruk seseorang
tergantung pada keimanannya atau tidak? Apakah amalan
yang baik adalah baik dan akan menyebabkan kebahagiaan, sekalipun
seseorang tidak diterangi oleh cahaya Ilahi, dan amalan yang
buruk adalah buruk sekalipun ia adalah orang yang beriman dan
mendapatkan cahaya Ilahi? Ini adalah sebuah permasalahan yang
sering dipaparkan, khususnya para pemuda pada masa sekarang ini.
Bentuk pertanyaan mereka adalah sebagai berikut, “Apakah
merupakan suatu keharusan agar amalan se seorang itu dapat
diterima di sisi Allah ia mesti memi liki keyakinan terhadap Allah,
Muslim, dan mukmin?—atau menurut ungkapan ayat-ayat itu
“mendapatkan cahaya Ilahi”—Alhasil amalan baik adalah baik, dan
Allah adalah Maha Kaya. Jika demikian apakah bedanya menurut
pandangan Allah mengenai perbuatan baik atau perbuatan buruk
yang dilakukan oleh sese orang yang mengenal-Nya dengan seseorang
yang ti dak mengenal-Nya? Allah adalah Zat Yang Maha
Besar, Maha Agung dan Maha Kaya dan tidak butuh pada suatu apa
pun, maka Ia boleh membuat perbedaan di antara hamba-hamba-
Nya—seorang hamba yang me ngenal-Nya dan tunduk dihadapan-
Nya, mengagungkan-Nya, melakukan salat, menjalankan puasa,
dengan seorang hamba yang tidak mengenal-Nya bahkan ia mengadakan
penentangan kepada-Nya dan keduanya itu melakukan
amalan baik.
Jika demikian pada hari kiamat masalah iman tidak harus dijadikan
sebagai tolok ukur perhitungan amal. Yang mesti dijadikan
perhitungan adalah hanya amal perbuatan. Oleh karena itu, jika
seorang manusia yang memiliki keyakinan materialis dan mengingkari
keberadaan Allah, mengingkari keberadaan para nabi, lalu
melakukan suatu amal kebajikan, misalnya saja berbuat baik kepada
sesama manusia, maka Allah mes ti memasukkannya ke dalam
p:134
surga. Demikian pula jika ada seorang hamba yang mengenal-Nya,
mengakui keberadaan-Nya kemudian melakukan suatu kebajikan,
Allah juga mesti memasukkan hamba tersebut ke dalam surga
dan Dia tidak memiliki pilihan yang lain. Jika tidak demikian maka
kita harus mengatakan—al-’iyyadzubillah—Allah seperti para pemimpin
yang membeda-bedakan antara mereka yang datang menemuinya
dan mengagungkannya dengan mereka yang tidak datang
menemuinya dan mengagungkannya. Sedangkan kita mengatakan
bahwa pemimpin yang baik ialah pemimpin yang tidak membedabedakan
berbagai individu berdasarkan pada sikap tersebut. Ia
mesti hanya memperhatikan pada amal kebajikan setiap individu;
jika ia melihat ada orang yang berbuat kebajikan maka ia mesti
memberikan imbalan baik pula.
Berkenaan dengan masalah itu, banyak orang yang menanyakannya,
serta melontarkan berbagai sanggahan dan kritikan.
Dan berkaitan dengan masalah itu saya telah memaparkannya
dalam bab terakhir dari buku al-adlul ilahi (telah terbit edisi Bahasa
Indonesianya berjudul: Keadilan Ilahi—pen.) secara rinci dan
detail. Dan sekarang ini berkenaan dengan tiga ayat ini, saya akan
memaparkan sebagian dari permasalahan tersebut.
Kita melihat bahwa Al-Quran tidak hanya bersandar pada
amal semata, tetapi bersandar pada iman dan amal. Kalian dapat
membuktikan bahwa Al-Quran senantiasa menyatakan, “orangorang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh,” mereka yang
memiliki keimanan dan beramal baik. Al-Quran dalam rangka
memberikan kebahagian kepada umat manusia tidak hanya bersandar
keimanan saja, sehingga kemudian menyatakan, “Jika kalian
beriman maka kalian akan memperoleh kebahagiaan, apa pun
bentuk amal perbuatanmu tidak jadi masalah, dan juga tidak hanya
bersandar pada amal perbuatan saja yang kemudian menyatakan,
“Orang-orang yang mengerjakan amal saleh baik dia beriman atau
tidak beriman.” Akan te tapi Al-Quran menyatakan iman dan amal
saleh: keduanya yang dijadikan perhitungan.
Alhasil ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa amal
perbuatan tidak memiliki nilai sama sekali dan yang memiliki
nilai hanyalah keimanan. Di antara kita sendiri pun ada orang
p:135
orang yang meremehkan amal perbuatan dan mereka mengatakan
bahwa amal perbuatan tidak memberikan pengaruh pada kebahagiaan
seseorang, dan hanya keimanan saja yang dapat memberikan
pengaruh. Sedangkan sebagian yang lain menyatakan bahwa amal
perbuatan saja yang mem berikan pengaruh, bukannya keimanan.
Yang lebih mengherankan adalah mereka mengatakan bahwa
Al-Quran juga mendukung pendapat semacam itu. Me reka mengatakan,
“Bukankah Al-Quran sendiri me nyatakan bahwa, “Ses-
sungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik.” (QS at-Taubah: 120). Allah tidak melalaikan pahala
bagi orang-orang yang berbuat baik. Di sini tidak disebutkan yang
berbaut baik itu mukmin atau kafir dan pada ayat lain dise-
butkan, “tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-
orang yang mengerjakan amalan-nya dengan baik (al-kahfi:
30). “Setiap orang yang melakukan suatu amal kebajikan, Kami tidak
akan melalaikan pahalanya.”
Sanggahan tersebut sebagian besar bersumber dari kenyataan
yang mereka saksikan, yang kemudian mereka mengatakan, “Kita
banyak menjumpai orang-orang yang memiliki jasa yang cukup
banyak terhadap umat manusia, dan mereka bukan Muslim. Mereka-
mereka itu tidak hanya non-Muslim dan tidak beriman kepada
para nabi, tetapi bahkan tidak mengenal Tuhan (atheis); misalnya
saja orang yang menemukan “penicillin” betapa besar jasa yang ia
berikan kepada umat manusia, betapa banyak penyakit yang sebelum
itu tidak dapat disembuhkan, betapa banyak anak-anak
yang tertimpa penyakit disentri yang tak sempat terobati dan akhirnya
meninggal dunia, namun setelah ditemukannya penicillin
semua itu dapat disem buhkan. Demikian pula orang yang berhasil
menemu kan vaksin anti tetanus, dan lain-lainnya. Apakah dapat
dikatakan bahwa Allah tidak menghiraukan amal baik mereka itu
disebabkan mereka tidak beriman?
Sekarang marilah kita teliti bagaimanakah duduk persoalannya.
Dalam Al-Quran Allah menentukan sebuah tolok ukur,
yang dengan itu kita dapat mengetahui dengan jelas duduk per-
soalan yang sebenarnya. dalam surah bani israil Allah berfirman
p:136
"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi)
maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki
bagi orang-orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya
neraka Jahanam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela
dan terusir. (QS al-Isra’: 18)
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan
berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya
dibalasi dengan baik. (QS al-Isra’: 19)
Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun
golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu.
Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (QS al-Isra’: 20)
Ringkasan isi ayat ini ialah setiap orang yang ber usaha untuk
mencapai suatu tujuan, maka Allah tidak akan melalaikan pahala
usahanya itu. Allah menciptakan alam semesta ini laksana lahan
untuk bercocok tanam dan menuai hasil. Apakah yang kalian nantikan
dari sebuah ladang? Kalian akan menantikan dari apa yang
kalian tanam dan akan memperoleh hasil. Merupakan suatu penantian
yang salah jika seseorang berharap dari sebuah ladang—
sekalipun kondisi ladang tersebut sangat bagus—akan menghasilkan
sesuatu yang lain dari yang ia tanam, ini benar-benar tidak
mungkin. Jika kalian taburkan benih gandum di tanah yang telah
diolah dengan bagus, maka kalian juga akan menuai gandum; jika
kalian menanam padi maka ka lian akan menuai padi; jika kalian
menanam buah pir maka kalian akan memetik buah pir; jika kalian
mena nam handhal (sejenis buah yang pahit dan beracun— pen.)
maka kalian akan memetik handhal; jika kalian menanam duri
maka kalian akan memetik duri pula; dan jika kalian menanam
bunga maka kalian akan me metik bunga. Lahan yang bagus bukan
berarti: saya akan meme tik bunga sekalipun yang saya tanam
adalah duri atau selainnya. Ataupun menghasilkan beras dan gandum
dari jenis yang berkualitas tinggi, sekalipun yang saya tanam
benih beras dan gandum yang berkualitas rendah, semua itu tidak
benar.
Seluruh manusia dalam melakukan aktivitas pasti memiliki
suatu tujuan tertentu. Benar semuanya menginginkan kebaha
p:137
giaan, namun dengan cara yang bagaimana mereka mencari kebahagiaan
itu? Ada orang yang hidup di dunia ini yang senantiasa
melaku kan kerja keras, usaha, guna mendapatkan suatu hasil
yang dapat ia nikmati di dunia ini pula, dan ia sama sekali tidak
ada urusan dengan Allah dan hari akhirat nanti; yakni benih yang
mereka tanam adalah benih duniawi. Mereka melakukan berbagai
amal dan usaha demi mendapatkan hasil di dunia ini. Namun ada
juga seorang manusia melakukan sebuah pekerjaan bukan untuk
mendapatkan hasil di dunia ini yang sifatnya hanya materi, tetapi
demi mendekatkan diri kepada Yang Hak, kepada Allah Swt, dan
ia akan memetik hasilnya di dunia yang lain.
Kaidahnya ialah, jika seseorang menanam benih untuk dunia
itu (akhirat) maka ia akan diberi hasilnya di dunia itu pula dan jika
seseorang menanam benih untuk dunia ini maka ia akan diberi
hasilnya di dunia ini. Al-Quran mengatakan, “Kullan numiddu”
(Kepada masing-masing Kami berikan pertolongan). Kami memberikan
pertolongan Kami kepada mereka yang menginginkan Allah
dan akhirat sehingga Kami akan mengantar mereka agar dapat
mencapai tujuan yang jauh lebih tinggi dari materi itu. Dan juga
Kami akan mengantar mereka yang berkeinginan untuk menikmati
hasil usahanya itu di dunia ini, agar sampai pada tujuan yang
mereka harapkan. Akan tetapi karena dalam dunia ini berlaku
hukum sebab-akibat dan juga saling berebut kepentingan, maka
Allah tidak memberikan jaminan bahwa setiap yang berusaha
keras dalam urusan dunia ia akan memperoleh hasil secara seratus
persen. Karena mungkin saja mereka akan menghadapi berbagai
rintangan: ia menyebarkan benih di dunia ini demi untuk meraih
hasilnya di dunia ini pula, namun di sini pula benih-benih itu rusak
dan busuk terkena hama. Kami tidak memberikan jaminan kepada
mereka sehingga ke mudian Kami mesti memberikan bantuan
secara seratus persen kepada mereka dan juga Kami tidak memberikan
jaminan pada seluruh amal perbuatan mereka, sehingga
kemudian Kami mesti memberikan hasilnya secara seratus persen.
Benih yang ditanam untuk kepentingan duniawi sering kali menghadapi
berbagai bencana, sedangkan benih yang ditebarkan demi
Allah, demi mendekatkan kepada Yang Hak, demi akhirat, (hasil139
p:138
nya) tidak mungkin gagal. Benih tersebut berjalan sesuai dengan
hukum alam dan tidak mungkin menyimpang, bahkan seseorang
akan memperoleh hasil jauh lebih banyak dari jumlah benih yang
ia tanam.
Saya hendak bertanya kepada Anda, “Apa tolok ukur yang
universal itu? Apakah tolok ukur yang universal itu sebuah tolok
ukur yang rasional atau tidak rasional?” Dalam ayat yang lain permasalahan
ini diungkapkan dalam bentuk yang berbeda. Dalam
surat As-Syura' Allah berfirman "Barangsiapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya
dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, Kami
berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu kebahagian pun di akhirat". (QS asy-Syura: 20). Ini
adalah bentuk cocok tanam yang diungkapkan oleh Al-Quran, di
mana setiap orang yang menebarkan benih dengan tujuan akhirat—
benih dengan tujuan akhirat bukan berarti seseorang memiliki
dua jenis benih: benih dunia dan benih akhirat. Benih itu dapat
menjadi berbeda disebabkan niat seseorang itu sendiri: ia menanamnya
untuk akhirat atau untuk dunia—maka Kami akan memberikan
hasilnya yang lebih banyak. Dan jika seseorang menanamnya
demi dunia (Al-Quran tidak mengatakan: “Kami akan
memberikan hasilnya lebih banyak dari itu”) maka Kami tidak
akan mengabaikannya, “nu’thihi minha” (Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia).(1)
Menurut pandapat Anda, apakah tolok ukur dan ketentuan
ini merupakan satu pendapat yang rasional atau tidak rasional?
Tampaknya tidak ada sedikit pun sanggahan atas ketentuan itu,
dan sekiranya tidak demikian justru itu yang tidak rasional.
Berdasarkan pada pendapat Al-Quran, amalan siapakah yang
diterima dan amalan siapakah yang tidak diterima? Jika seseorang
berusaha demi dunia maka pasti ia memiliki tujuan tertentu, demi
kemasyhuran, ketenaran, kemajuan negara, kebangkitan bangsa
p:139
dan tanah air, ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi jika ia
melakukan berbagai usaha hanya demi meraih semua itu, maka
ia tidak boleh berharap akan dapat meraih tujuan yang lain; yakni
ia melakukan usaha bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah,
tetapi untuk mendekatkan diri kepada masyarakat, maka tidak
dapat dikatakan bahwa ia juga mendekatkan diri kepada Allah.
Mungkinkah seseorang yang mengadakan perjalanan ke suatu tujuan,
misalnya saja ia bertujuan pergi menuju kota Qum, namun ia
berjalan ke arah Utara Teheran (Qum terletak di Selatan Teheran—
pen.) kemudian ia mengatakan, “Saya akan pergi ke utara namun
pada akhirnya saya akan tiba di Qum.” Ini mustahil. Jika seseorang
berjalan ke arah utara, maka ia akan sampai di utara. Dan jika ia
berjalan ke arah selatan, maka ia akan sampai di selatan. Setiap
jalan yang dilalui oleh seseorang ia pasti akan sampai pada akhir
jalan itu.
Dalam hal ini keimanan merupakan syarat bagi diterimanya
amal perbuatan seseorang, dan bukannya—al-iyyadzubillah—Al-
Allah berfirman "Aku hanya menerima amalan mereka yang me-
nyanjung-Ku), sedangkan yang lain (yang tidak menyanjung-Ku)
sekalipun amalan mereka sama, Aku tidak akan menerimanya.”
Tidak, mereka yang tidak beriman dan tidak menginginkan Allah,
maka Allah juga bukan miliknya. Mereka yang tidak meyakini
akhirat, dan tidak meng inginkan akhirat, ketika ia tidak menginginkan
akhirat maka tidak mungkin akan diberikan kepadanya.
Dalam akhirat akan diberikan apa-apa yang pernah diinginkan
oleh manusia sewaktu ia berada di dunia. Sama sekali tidak benar
jika ada seseorang yang tidak menginginkan sesuatu, dan tidak
ada tujuan untuk meraihnya lalu kemudian ia diberi sesuatu itu.
Benar, agar amal perbuatan seseorang dapat diterima syaratnya
ialah bukan berarti ia mesti seorang Muslim dan Syiah. Jika seseorang
beriman kepada Allah dan mengenal Allah serta beriman
kepada akhirat, kemudian melakukan amal perbuatan demi Allah
dan akhirat, amal perbuatan itu pada dasarnya diterima oleh Allah
Swt, kecuali jika terdapat faktor perusak yang akan melenyapkan
amal perbuatan itu, di mana faktor perusak itu ialah “penentangan”
dan “kekufuran” yang hal itu nanti akan saya jelaskan. Orang
p:140
yang menemukan penicillin itu, ia telah berjasa kepada masyarakat
dunia, namun apakah tujuan dari itu? Apa pun bentuk tujuannya
maka Allah juga akan mengantarkan ia agar dapat mencapai tujuannya
itu, dan tentunya usaha tersebut bukan kemudian tanpa
tujuan. Mustahil seseorang dapat mencapai sesuatu yang tidak
dituju dan tidak diharapkan, yakni tidak melintasi sebuah jalan
tertentu namun akhirnya ia sampai pada tujuan yang ada di jalan
tersebut. Jika demikian, sebagaimana yang telah saya ungkapkan
bahwa seseorang yang diterangi oleh cahaya Ilahi—atau beriman
kepada Allah Swt—memberikan nilai pada amal perbuatannya.
Berdasarkan pada standar itulah maka ada amalan manusia di dunia
ini yang menjadi hancur berantakan. Dua orang yang melakukan
perbuatan yang sama, yang satu memperoleh cahaya Ilahi dan
yang lain tanpa memperoleh cahaya Ilahi, secara lahiriah tampaknya
amalan keduanya itu adalah sama, namun dari sisi batinnya
perbedaan antara kedua amalan itu bagaikan langit dan bumi.
“…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya….” (QS Fathir: 10). Ayat ini dapat
ditafsirkan dalam dua bentuk dan kedua bentuk penafsiran itu
adalah benar. Sebagaimana yang sebelumnya telah saya ingatkan,
kita tidak harus mengartikan ayat Al-Quran itu dengan satu arti
saja. Pada ayat tertentu kita akan menjumpai bahwa ayat tersebut
memiliki dua arti, dan keduanya itu adalah yang dimaksudkan
oleh ayat tersebut. Terkadang ada seorang penyair yang membuat
sebuah syair dan syair tersebut dapat memiliki bermacammacam
arti, bahkan sekiranya Anda menanyakan kepada penyair
itu mengenai bentuk yang sebenarnya dari syairnya, maka ia akan
menjawab: “Bacalah menurut selera Anda, dan semuanya benar.”
Sebuah syair milik Sa’di yang cukup terkenal, syair tersebut dapat
dibaca dalam bentuk yang bermacam-macam.
Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba
Unggas di udara disediakan dan ikan di lautan
Artinya: Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih kepada
p:141
hamba-Nya, menyediakan unggas yang ada di udara untuk manusia
dan juga ikan yang ada di laut an.
Namun syair ini dapat dibaca menjadi beberapa macam lagi.
Di antaranya:
Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba
Unggas, di udara disediakan, dan ikan di lautan
Yakni, udara disediakan untuk unggas, dan lautan disediakan
untuk ikan.
Dari pintu Pemurah dan Pengasih kepada hamba
Unggas di udara, disediakan ikan di lautan
Yakni, ikan yang ada di lautan disediakan untuk unggas yang
ada di udara.
Jika itu kalian gabung-gabungkan maka kalian akan
mendapatkan arti yang lain. Alhasil dalam hal ini kita membacanya
dengan membuat berbagai perubahan susunannya, namun
pada ayat-ayat Al-Quran kita tidak perlu mengubah-ubah cara
membacanya. Sekalipun kita baca dalam satu bentuk saja, maka
kita akan memperoleh bermacam-macam makna.
“…Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan
amal yang saleh dinaikkan-Nya….” Keadilan ialah terciptanya
hubungan baik dalam bidang sosial, dan kezaliman ialah lenyapnya
hubungan baik dalam bidang sosial. Jika ada sekelompok masyarakat
Muslim, beriman, mengenal Allah, mereka merasa sebagai
umat Al-Quran, mereka meneriakkan “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ,” dan
juga “Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah” serta mengungkapkan
“Aku bersaksi bahwa Ali adalah pemimpin Allah”, namun mereka tidak mengamalkan
p:142
dasar Al-Quran yang menyebutkan, “supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan.” (QS al-Hadid: 25). Ketika sebuah masyarakat
isinya adalah caci-maki, tuduh-menuduh, kebohongan, dan kezaliman;
dalam hal ini Al-Quran bukannya menyatakan bahwa masyarakat
semacam itu dapat bertahan lama, namun menyatakan
bahwa masyarakat semacam itu mustahil akan mampu bertahan.
Munculnya berbagai tindakan tercela ini adalah akibat dari
tidak ditegakkannya keadilan. Setiap individu atau masyarakat jika
berjalan pada suatu jalan, maka ia akan sampai pada tujuan yang
ada di ujung jalan itu. Namun jika ia tidak berjalan pada suatu jalan
yang ia harapkan ujungnya, maka ia tidak boleh berangan-angan
akan sampai pada tujuan yang ada di jalan tersebut. Seorang atau
sekelompok masyarakat meterialis jika mereka melintasi jalan duniawinya
secara benar, Al-Quran mengatakan bahwa mereka itu
akan mencapai tujuan duniawinya. Namun sebuah masyarakat
yang mengenal Tuhan, jika mereka melintasi jalan duniawi itu dengan
cara tidak benar maka mustahil mereka akan mencapai tujuan.
Berdasarkan hal inilah, maka ketika mereka, orang-orang
materialis, tidak berjalan di jalan menuju Allah, di jalan yang
mendekatkan diri kepada Al-Hak, di jalan menuju surga, di jalan
yang akan menghasilkan kebahagiaan di dunia sana, adakah
sesuatu yang me reka nantikan? Sebagaimana kehidupan di dunia
ini, jika kita tidak melintasi jalan yang semestinya kita tidak boleh
menantikan kebahagiaan duniawi, begitu juga dengan kehidupan
akhirat kita tidak boleh berangan-angan akan mendapatkan
kebahagiaan di sana. Hal itulah yang menyebabkan setelah ayat
Nur, ayat-ayat berikutnya banyak terfokus—sesuai dengan riwayat
dan yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut—pada
masalah "petunjuk ilahi" dan selain Allah berfirman "Allah mem-
bimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,” Allah juga
berfirman, (mereka melakukan yang demikian itu) supaya Allah memberi
balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan
dan supaya Allah menambah karurunia-Nya kepada mereka.”
Ungkapan-ungkapan Al-Quran sangat
menakjubkan! Tidak ada bedanya kalimat “supaya Allah memberi
balasan kepada mereka,” kembali pada “Allah membimbing” atau
p:143
kembali pada “Di rumah-rumah yang telah diizinkan Allah
untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, bertasbih
kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.”
Kita dapat mengatakan bahwa Allah membimbing mereka
dengan tujuan itu, ataupun kita mengatakan bahwa orang-orang
yang mendapat petunjuk melakukan amal perbuatan dengan
benar dan mereka tidak melupakan Allah dengan tujuan “supaya
Allah memberi balasan kepada mereka,” cahaya Allah ini adalah
supaya Allah dapat membalas amal perbuatan mereka dengan
sebaik-baik balasan. Ini adalah sebagaimana yang sebelumnya
telah saya jelaskan; yaitu iman memberikan suatu nilai terhadap
perbuatan seseorang, ia layak untuk mendapatkan balasan yang
semestinya ia terima. Bagaimanakah cara menerimanya? Dari sisi
akhirat tentunya sudah jelas, yaitu dekat dengan Allah, kehidupan
yang kekal dan abadi, kenikmatan surga, ampunan atas dosa-dosa.
Bagaimanakah dari sisi dunia? Al-Quran tidak beranggapan adanya
kontradiksi antara dunia dan akhirat. Apakah antara dunia dan
akhi rat terdapat pertentangan dan kontradiksi?
Saya akan membuat sebuah perumpamaan bagi kalian, kemudian
kalian sendirilah yang menyimpulkan apakah ada kontradiksi
atau tidak. Kita memiliki sebuah perumpamaan “karena telah sampai
seratus maka sembilan puluh adalah milik kita”. Maulawi menyebutkan
suatu perumpamaan yang lain, ia membuat perumpamaan
dengan bulu dan kotoran unta. Ia menyebutkan bahwa, terkadang
Anda memerlukan dan hendak membeli unta dan terkadang Anda
memer lukan dan hendak membeli bulu dan kotoran unta. Jika
Anda menginginkan bulu dan kotoran unta saja, maka Anda akan
mendapatkannya namun Anda tidak akan mendapatkan untanya.
Namun jika seseorang berangkat dan membeli unta maka ia juga
akan memperoleh bulu dan kotorannya. Ia mengatakan: “Akhirat
ibarat serombongan unta, dunia ibarat bulu dan kotorannya.”
Hendaklah kalian menginginkan akhirat—meng inginkan
akhirat bukan berarti agar kalian tidak memperoleh dunia—
dan juga dunia. Namun jika kalian mengejar dunia semata,
maka kalian tidak akan men dapatkan akhirat. Jika ka
p:144
lian menginginkan serom bongan unta maka kalian akan
memperoleh bulu dan kotorannya dalam jumlah yang cukup
banyak. Sebaliknya jika kalian hanya menginginkan bulu dan
kotorannya saja, maka kalian tidak akan mendapatkan rombongan
unta itu. Rombongan unta itu menjadi milik orang lain.
Kapan seseorang akan memperoleh hasil yang cukup banyak
dari amal perbuatannya, mendapatkan kebahagiaan yang abadi,
dekat dengan zat Al-Hak, dijauhkan dari siksaan Ilahi, serta meraih
kebahagiaan dunia? Ketika mereka disinari oleh cahaya Ilahi dan
melakukan berbagai amal perbuatan semata-mata untuk Allah, sehingga
kemudian “Supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan)
yang lebih baik dari apa yang telah mereka ker-
jakan”, yakni mereka akan mendapatkan balasan (pahala) dengan
balasan yang berlipat ganda. Mereka akan diberi pahala sehingga
lebih-lebih, di dunia dan juga di akhirat.
"Dan supaya Allah menambah ka-
runia-Nya kepada mereka”, karena kemurahan-Nyalah, maka Dia
menambah berbagai karunia-Nya; yaitu selain diberi tambahan
pahala, juga diberi tambahan dari karunia-Nya. Merupakan suatu
yang rasional di mana dalam Al-Quran terdapat banyak ungkapan
semacam itu, yaitu jika seseorang berada di jalan Allah, maka ia
akan memperoleh balasan yang lebih banyak, akan mendapatkan
apa yang ia inginkan, “Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang
ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang
usahanya dibalasi dengan baik.” (QS al-Isra’: 19). Selain itu, “dan
pada sisi Kami ada tambahannya.” (QS- Qaf: 35). Di sini karena
mereka berada di jalan yang suci dan manusiawi, maka mereka
akan diberi berbagai kenikmatan yang sebelumnya tidak mereka
minta dan itu adalah sebagai tambahan. Ayat yang lain menyebutkan:
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat
akan Kami tambah keuntungan itu baginya.” (QS asy-Syura: 20)
Ada beberapa bentuk ungkapan lain di dalam Al-Quran
yang sangat menakjubkan. Pada sebagian ayat disebutkan,
jika seseorang berbuat jahat maka ia tidak diberi bala
p:145
san melainkan sebanding dengan perbuatan jahat itu dan
jika ia berbuat baik maka ia akan diberi balasan yang berlipat
ganda, “Barangsiapa membawa amal yang baik maka bag-
inya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS al-An’am: 160).
Ada sebuah logika lain yang terdapat dalam Al-Quran dan itu
ialah “Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan
baginya kebaikan pada kebaikannya itu.” (QS asy-Syura: 23). Ini
sangat menakjubkan! Jika seseorang melakukan perbuatan yang
baik dan bagus, maka Kami akan membuat lebih baik dan lebih
bagus amal perbuatannya itu. Ketika suatu perbuatan berada di
jalan yang diridhai Ilahi maka begitulah adanya. Lakukanlah pekerjaan
di jalan yang diridhai Allah, sekalipun pekerjaan kalian itu
terdapat berbagai kekurangan, namun Allah dengan kemurahan-
Nya akan menghilangkan segala kekurangan, serta melenyapkan
berbagai keburukan amal perbuatan kalian itu, dan menggantinya
dengan keindahan. Allah sangat menyukai perbuatan baik, menutupi
berbagai perbuatan jahat dan kemudian menggantinya dengan
berbagai kebaikan.
Jika demikian ada dua bentuk pembahasan. Pertama, perbuatan
baik yang dikerjakan oleh seseorang, Allah menghitungnya
dengan sepuluh perbuatan baik. Itu dari sisi kuantitas suatu amal
perbuatan, yakni kemurahan Allah menambah kuantitas amal perbuatan
itu. Kedua, dari sisi kualitas amal perbuatan, ialah tatkala
seseorang melakukan suatu amal perbuat an yang kurang begitu
sempurna, maka Allah akan merubah amal perbuatan tersebut nenjadi
bagus dan indah. Semuanya itu merupakan suatu cara agar
manusia menjadi cerah disebabkan cahaya petunjuk Ilahi yang
meliputi semesta alam, juga agar manusia tidak menjadi gelap,
buta dan tersesat. Seluruh kebaikan itu bersumber dari cahaya
iman dan kesadaran akan tujuan utama dari penciptaan, “supaya
Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih
baik dari apa yang mereka kerjakan.”
Allah akan memberi balasan kepada mereka jauh lebih baik
dari yang mereka kerjakan. Maksudnya ialah amal perbuatan yang
mereka kerjakan yang semestinya dapat dikerjakan dengan lebih
p:146
baik, maka dengan cara yang lebih baik itulah mereka akan menerima
balasannya. Semua itu merupakan hasil dari amalan yang
mereka kerjakan dan yang mereka inginkan “dan pada sisi Kami
ada tambahannya,” berkat kemurahan-Nya maka diberi tambahan.
"Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-
Nya tanpa batas,” Allah memberi rezeki kepada mereka yang Dia
kehendaki dengan tanpa perhitungan dan tanpa batasan. Rezeki
bukan berarti berupa roti dan air saja; kasih sayang, rahmat dan
karunia Ilahi adalah juga merupa kan rezeki. Allah memberikan
rezeki yang tanpa batas kepada yang Dia kehendaki. Jelas, kehendak
Ilahi bukan berdasarkan pada undian dan asal-asalan saja. Siapa
saja yang dikehendaki oleh Allah? Dia sendiri telah menjelaskan
mengenai bagaimanakah kehendak-Nya itu dapat terwujud.
Saya akan menyinggung sedikit tentang dua ayat berikutnya,
dan penjabarannya akan saya sampaikan pada pertemuan berikutnya.
Ayat-ayat itu berkenaan dengan amal perbuatan orang-orang
yang beriman. Adapun berkenaan de ngan amal perbuatan orang-
orang-orang kafir, mereka yang tidak beriman, dan bukan saja tidak
beriman tetapi bahkan mereka menunjukkan sikap pertentangan.
Al-Quran mengumpamakan mereka itu dengan tiga bentuk
perumpamaan. Dua perumpamaan itu disebutkan di surah ini.
Dan setiap perumpamaan menjelaskan suatu pembahasan yang
sangat mendasar. Terkadang Al-Quran mengatakan bahwa amal
perbuatan mereka itu laksana butiran-butiran debu yang ditiup
oleh angin yang sangat kencang—pada hari di mana angin bertiup
sangat kencang—setiap satu dari butiran-butiran itu diterbangkan
ke suatu tempat tertentu. Ada pula ayat-ayat yang lain yang isinya
semacam itu, namun bukan berbentuk perumpamaan. “Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lain Kami jadikan amal
perbuatan itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS al-Furqan: 23).
Jika demikian, terkadang Al-Quran menyatakan bahwa ama-
lan orang kafir adalah sebagai sesuatu yang ada bentuknya
dan bukannya tidak berbentuk, namun begitu angin datang maka
diterbang kan dan disebarkannya dan setiap butir berada di sua tu
tempat tertentu.
p:147
perumpamaan lainnya atas amal perbuatan orang kafir
ialah sebagaimana fatamorgana. Ketika sebuah padang pasir berada
di bawah terik matahari, maka seseorang yang memandangnya
dari kejauhan akan menyaksikan padang pasir tersebut bagaikan
lautan dengan ombak yang airnya bergerak-gerak. Sese orang
yang kehausan akan pergi menuju air tersebut, namun ketika telah
dekat ternyata air itu semakin menjauh darinya sampai akhirnya ia
menyadari bahwa semua itu hanya bayangan belaka; yang ada di
hadapannya adalah hanya pantulan sinar matahari dan sama sekali
tidak terdapat air. Seakan-akan tampaknya terdapat air, namun
hakikatnya sama sekali tidak ter dapat air.
Al-Quran juga mengumpamakan amal perbuatan orang-
orang kafir dengan kegelapan yang dihadapi oleh seseorang pada
malam buta dan berada di tengah lautan yang berombak besar,
ombak datang silih berganti dan langit diselimuti awan gelap, serta
tidak ada secercah cahaya pun, demikian gelapnya sehingga ia tidak
dapat melihat tangannya sendiri, sekalipun tangannya itu di
dekatkan pada kedua matanya. Ia tetap tidak dapat melihat tangannya
sendiri.
Tiga perumpamaan ini masing-masing menyinggung satu
poin khusus. Pertama perumpamaan amal perbuatan orang-orang
kafir itu seperti, "gelap gulita yang tindih bertindih” (QS an-Nur:
40). Sebuah per umpamaan berkenaan dengan amal perbuatan
baik yang mereka kerjakan, di mana mereka mengira bahwa itu
adalah perbuatan baik, namun kemudian mereka menyaksikan
bahwa semua itu hanyalah fatamorgana belaka dan bukannya air.
Dan perumpamaan yang lain ialah, pertama memang sebuah amal
perbuatan yang baik namun akhirnya ia melakukan suatu amal
per buatan yang menyebabkan lenyap dan musnahnya seluruh
amal perbuatan baik yang telah ia kerjakan itu.
Dengan menyebut nama-Mu yang agung, yang Maha Agung,
yang Maha Tinggi, yang Maha Mulia.
p:148
p:149
150
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«وَالَّذِینَ کَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ کَسَرَابٍ بِقِیعَةٍ یَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّی إِذَا جَاءَهُ لَمْ یَجِدْهُ شَیْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِیعُ الْحِسَابِ (39)»
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana
di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang
yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya
sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya,
lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan
cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS an-
Nur: 39)
«أَوْ کَظُلُمَاتٍ فِی بَحْرٍ لُجِّیٍّ یَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ یَدَهُ لَمْ یَکَدْ یَرَاهَا وَمَنْ لَمْ یَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40)»
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh
ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan;
gelap gulita yang tindih bertindih, apabila dia mengeluarkan
tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang
tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai
cahaya sedikit pun. (QS an-Nur: 40)
p:150
Ayat-ayat ini membahas mengenai nasib amal perbuatan
orang-orang kafir jika mereka melakukan amal kebai-
kan menurut keyakinan mereka ataupun mereka melakukan perbuatan
jahat, bagaimanakah nasib mereka. Saya akan memaparkan
satu atau dua pembahasan sebagai mukadimah. Pertama, ketika
Al-Qur'an menyebutkan kata "kafir" apa yang dimaksud dengan kafir itu?
apakah yang dimaksud kafir itu setiap orang yang bu-
kan mukmin, setiap yang bukan Muslim dapat kita sebut dengan
"kafir"? dan yang disebut "kafir" oleh Al-Qur'an disini mencakup seluruh
yang non Muslim ataukah kafir dalam arti khusus yakni
yang mencakup non-Muslim yang secara sengaja dan tidak mencakup
non-Muslim yang tidak dengan sengaja?
Para ulama memiliki suatu istilah, yang istilah tersebut bersumber
dari Al-Quran. Orang yang bodoh (jahil) itu ada dua macam
qashir dan muqashshir. Jelas setiap terjadinya suatu pelanggaran
selalu didasari terhadap salah satu dari keduanya itu. Seseorang
yang melakukan suatu pelanggaran bisa jadi ia adalah qash atau
muqashshir. Qashir ialah seorang yang tidak menyadari akan kebodohannya
dan muqashshir ialah seorang yang menyadari akan
kebodohannya, namun sengaja tidak berusaha menghilangkan kebodohannya
itu.
Jika ada seseorang yang tidak mengetahui tentang suatu masalah
atau ia telah melakukan suatu tindak kejahatan, terkadang
itu disebabkan oleh keterbatasan atau ketidaktahuan, yakni karena
keterbatasan sarana, semua itu bukan berdasarkan kesengajaan,
ia tidak memiliki cara lain selain cara itu.(1) Dan terkadang ia
p:151
memang sengaja melakukan perbuatan itu; yakni seseorang memahami
dan mengetahui dengan jelas bahwa itu adalah sebuah
tindak kejahatan, namun disebabkan dorongan hawa nafsunya
maka ia melakukan perbuatan itu, yang hal itu bertentangan dengan
yang ia ketahui dan pahami.
Dalam hal ini Al-Quran juga memiliki istilah semacam itu
tetapi bukan dengan sebutan qashir atau muqashshir. Ungkapan
Al-Quran lain dari yang lain, yaitu dengan mengunakan ungkapan
“Al-Musthad'afin” maksudnya ialah orang-orang yang lemah dan
tidak mampu. Sedangan pada ayat-ayat yang lain disebut dengan
“murjauna li amrillah” yaitu “orang-orang yang ditangguhkan sampai
ada keputusan Allah” (QS at-Taubah: 106). Berkenaan dengan
sekelompok masyarakat, kalian jangan menghukumi mereka dengan:
bagaimanakah nasib mereka? Serahkanlah urusan itu kepada
Allah, Allah mengetahui apa yang mesti Dia lakukan terhadap
orang-orang tersebut. Tampaknya ini adalah sebuah kabar gembira
atas adanya rahmat Ilahi.
Mereka itu bisa jadi adalah bukan orang-orang Mus lim. Sekarang
ini di berbagai penjuru dunia—di Afrika, Amerika, Eropa,
dunia bagian timur dan belahan dunia lainnya—terdapat banyak
orang yang sama sekali tidak mendengar nama Islam, dan betapa
banyak wilayah yang dikuasai oleh sistem politik pemerintahan
yang tidak memberi kesempatan masyarakatnya untuk mendengar
nama agama dan nama Tuhan. Mereka itu dari satu sisi dapat
dikatakan sebagai orang kafir, yaitu mereka bukan orang-orang
Muslim. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyebut mereka
sebagai kafir yang menentang atau kafir yang membangkang.
Kafir yang menentang adalah kafir yang telah dijelanskan kepadanya
tentang Islam, kemudian ia mengetahui dan memahami, namun
disebabkan bertolak belakang dengan kepentingan, cinta kedudukan,
atau kefanatikan yang ada pada dirinya, tatkala ia menyadari
bahwa langkah-langkah yang sedang ia kerjakan itu bertentangan
p:152
dengan kebenaran, maka ia melawan dan menentang hakikat dan
kebenaran itu. itulah arti kekafiran yang sebenarnya. setiap orang
yang bukan Muslim, sekalipun ia belum mendapatkan penjelasan
tentang Islam—sehingga dengan itu ia menunjukkan sikap
penentangannya terhadap Islam—dari satu arti dapat disebut se-
bagai orang kafir. sedangkan dari arti yang lain kita tidak dapat
mengatakan bahwa pada saat Al-Quran mengatakan “orang-orang
yang kafir”, yang dituju bukanlah kelompok itu (kelompok yang
belum mendapatkan penjelasan tentang Islam—pen.) tetapi yang
dituju hanyalah kelompok yang telah men dapatkan penjelasan
mengenai hakikat dan kebenaran, tetapi mereka bahkan melawan
dan menentangnya. Kata “kufr” artinya ialah “menutupi”. Mereka
berkeinginan untuk menutupi kebenaran, mereka adalah muqashshir,
mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan itu. Berkenaan dengan mereka itulah Al-Quran mengatakan,
“Dan mereka mengingkari karena kezaliman dan kesom-
bongan mereka padahal hati mereka meyakini kebenarannya.”
(QS an-Naml: 14). Hal ini berarti di dalam jiwa mereka terdapat
keyakinan, namun mereka mengadakan penentangan.
Islam adalah penyerahan dan bukannya mengetahui atau tidak
mengetahui. Mengetahui, dan berhasil menyingkap sebuah
kebenaran masih belum mencukupi bagi seseorang untuk dapat
dikatakan se bagai seorang Muslim. Ketika seseorang berhasil menyingkap
sebuah kebenaran, maka dalam menghadapi kebenaran
itu ia mesti bersikap “kami beriman, kami menyerahkan diri, kami
membenarkan”; yang demikian itu adalah Islam. Dan sekiranya tidak
demikian maka saya akan bertanya kepada Anda apakah setan
itu kafir atau bukan? tidak diragukan lagi setan adalah kafir. Al-
Quran juga menyatakan, “..dan adalah dia termasuk orang-orang
yang kafir.” (QS Shaad: 74). Akan tetapi saya akan bertanya kepada
Anda apakah setan itu—yang oleh Al-Quran disebut sebagai
kafir, mengenal Allah atau tidak mengenal Allah? mengetahui
keberadaan Allah atau tidak mengetahui? Ia lebih mengetahui
dari yang lain. Ia begitu mengenal Allah sampai-sampai ia mengatakan,
“Demi kekuasaan Engkau.” (QS Shaad: 82). Apakah setan
itu mengenal para nabi dan hamba-hamba Allah yang disucikan
p:153
atau tidak mengenal? Setan sangat mengenal mereka dengan baik
karena ia sendiri mengatakan, “kecuali hamba-hamba Allah yang
dibersihkan.” (Qs As-shaffaat:74)
Ada sekelompok hamba Allah yang mereka itu disebut dengan
“hamba-hamba yang disucikan” dan terhadap kelompok itu
setan mengatakan, “Aku tidak dapat mencapai mereka.” Sebegitu
ia mengenal ham ba-hamba Allah yang suci sampai akhirnya ia
menga takan: “Aku tidak dapat mencapai mereka, aku tidak menemukan
titik kelemahan sehingga aku mampu mempengaruhi
mereka.” Bagaimana pula dengan para imam? Ia mengenal para
imam sebagaimana mengenal para nabi. Apakah ia meyakini hari
kebangkitan (ma’ad)? Apakah ia memiliki pengetahuan bahwa
hari kiamat itu ada atau tidak ada? Terhadap semua itu ia memiliki
ilmu dan keyakinan dan mengatakan “beri tangguhlah aku sampai
hari mereka dibangkitkan.” (QS Shaad: 79). Wahai Tuhanku berilah
aku kesempatan sampai hari kiamat.
Meskipun mengenal Allah, para nabi dan juga setan yakin
akan adanya hari kebangkitan—tiga sendi itu merupakan syarat
utama dalam keIslaman—namun Al-Quran tetap mengatakan
bahwa setan adalah kafir. karena tolok uku kekufuran adalah bu-
kan dengan mengetahui atau tidak mengetahui dan tolok ukur
keIslaman juga bukannya seseorang mengetahui atau tidak mengetahui.
Tolok ukur keIslaman ialah seseorang mengetahui dan ia
tunduk serta menyerah pada kebenaran itu. dan tolok ukur kekafi
ran ialah seseorang yang telah dijelaskan kepadanya tentang kebenaran,
namun ia tetap mengadakan perlawanan dan penentangan
terhadap kebenaran itu.
Jika demikian, tatkala Al-Quran mengatakan bahwa amal
perbuatan orang kafir laksana sekumpulan debu yang ter
tiup angin yang kencang dan di tempat lain disebutkan bagaikan
fatamorgana, yang oleh orang-orang kehausan disangka air, dan di
tempat lain diumpamakan dengan kegelapan yang ada di lautan;
kesemuanya itu berkenaan dengan orang-orang yang telah dijelaskan
kepadanya kebenaran, lalu mereka menentang dan melawan
kebenaran itu. Al-Quran mengabadikan sikap mereka itu dalam
p:154
sebuah ayat: “(dan ingatlah) ketika mereka orang-orang musyrik berkata
Ya Allah, jika betul ini adalah kebenaran dari sisi Engkau,
maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah
kepada kami azab yang pedih.” (QS al-Anfal: 32). Al-Quran menyatakan
dan ingatlah tatkala kalian mengangkat tangan ke langit
dan seraya mengatakan, “Wahai Tuhan kami, jika ucapan Muhammad
yang mengaku sebagai nabi ini adalah kebenaran dan ia
benar-benar seorang nabi dan yang ia ucapkan adalah kebenaran
yang datangnya dari Engkau,(1) maka hujanilah kami dengan batu kerikil. Binasakanlah kami, sehingga kami tidak menyaksikannya.”
Inilah arti kekufuran. Dengan mengatakan, “Jika ini adalah sebuah
kebenaran maka binasakanlah kami sehingga kami tidak menyaksikannya.”
Inilah arti kekufuran. Dengan mengatakan "jika ini adalah sebuah kebenaran
maka binasakanlah kami sehingga kami tidak menyaksikannya".
orang non- Muslim yang mana mereka adalah qhashir, dan menurut
istilah Al-Quran disebut dengan al-Musthad'afin yaitu: orang-orang
yang lemah, “mur-jauna li amrillaah” (orang-orang yang
ditangguhkan sampai ada keputusan Allah)—yang mungkin seba-
gian besar orang-orang kafir dan non Muslim adalah karena hal
itu, Allah yang lebih Mengetahui—tidak ada pembahasan terhadap
diri mereka itu. Seorang perempuan, anak-anak, dan seorang
laki-laki desa yang buta huruf serta bertempat tinggal di suatu
daerah terpencil, yang kebenaran sama sekali masih belum sampai
kepadanya, dan bahkan terkadang para cendekiawan pun mereka
mengalami hal semacam itu.
Dalam buku Al-adlul Ilahi saya menukil sebuah cerita yang
mereka tulis berkenaan dengan “Descartes”. Descartes adalah
seorang filosof terkenal, yang filsafatnya adalah dimulai dari "keragu-
raguan" yakni jalur filsafat yang ia tempuh, lama kelamaan ia
merasakan bahwa dirinya tengah menemui jalan buntu. Kemudian
ia mengesampingkan semua jalur yang telah ia tempuh dan
mengatakan, “Aku akan mengulangi lagi dari awal.” Kemudian
mulailah ia ragu-ragu dan mengata kan, “Aku akan ragukan segala
p:155
sesuatu, sehingga aku mengetahui dari manakah datangnya keyakinan
itu.” Ia tidak hanya meragukan hal-hal yang agamis, bahkan
ia meragukan berbagai hal lainnya. Ia mengatakan, “Kemungkinan
Tuhan tidak ada, nabi tidak ada, bahkan kemungkinan dunia tidak
ada, warna, berat, panas juga tidak ada, kemungkinan kesemuanya
itu hanyalah khayalan belaka. Mengapa tidak?? Karena seseorang
ketika di alam mimpi melihat sebuah dunia yang sangat besar dan
luas, dan dalam mimpi itu ia benar-benar yakin bahwa yang dilihatnya
itu adalah sesuatu yang nyata, namun tatkala ia terbangun
ternyata semua itu hanyalah khayalan belaka.” Kemudian ia mengatakan,
“Namun sekalipun aku meragukan segala hal, tetapi aku
tetap tidak dapat meragukan satu hal yaitu terhadap bahwa ‘aku
merasa ragu’. Aku tidak dapat me ragukan bahwa ‘aku tengah merasa
ragu’. Jika demikian maka ada suatu keraguan dan orang yang
merasa ragu itu pun ada, yaitu aku sendiri. Jika demikian maka
seandainya di dunia ini tidak terdapat sesuatu apa pun, maka aku
dan keraguanku adalah ada.”
Kemudian ia melanjutkan, “Aku telah menemukan sebuah titik
terang. Sekarang aku akan meletakkan kakiku di titik ini, yang
akan aku jadikan sebagai awal anak tangga untuk kemudian selangkah
demi selangkah aku akan maju ke depan.” Kemudian ia
mu lai meneliti dirinya sendiri dan berkata, “Aku ada, keraguanku
juga ada. Apakah jika tidak ada sesuatupun yang ada, aku dan
keraguanku dapat terwujud, ataukah mesti ada sesuatu yang lain
sehingga aku dan keraguanku itu menjadi ada?” Ya, mesti ada
sesuatu yang lain. Sedikit demi sedikit ia mulai melangkah ke depan—
kisahnya cukup panjang—dan ia melihat bah wa keberadaan
Tuhan tidak mungkin dapat diingkari, Tuhan adalah ada, roh
adalah ada, tubuh dan mated juga ada, kemudian sedikit demi
sedikit ia mulai membenarkan berbagai hal yang sebelumnya telah
ia yakini, dan banyak pula hal yang tidak ia yakini. Kemudian ia
mulai mengadakan kajian terhadap agama.
Di sini orang akan menyaksikan bahwa ia adalah seorang
yang bijaksana, yakni setiap orang akan benar-benar merasakan
bahwa ia adalah seorang yang bijak sana. Ia mulai mengadakan
kajian terhadap agama yang ada di sekitarnya dan kemudian ia
p:156
meyakini bahwa agama Nasrani adalah agama yang terbaik dari
berbagai agama lainnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku mengatakan
bahwa agama Nasrani adalah satu-satunya agama yang
terbaik yang ada dimuka bumi ini, karena aku masih belum mengetahui
agama apa saja yang ada di muka bumi ini—telah saya
paparkan bahwa tiga ratus lima puluh tahun yang lalu tidak seperti
masa-masa sekarang ini. Dan pada masa sekarang pun masih
banyak kebenaran yang belum terungkap dengan jelas di seluruh
penjuru dunia, apalagi pada masa itu—kemungkinan di dunia ini
ada agama-agama selain agama Nasrani yang agama-agama itu
lebih baik dari agama Nasrani. “Sekarang aku mengatakan bahwa
agama Nasrani adalah agama terbaik di antara berbagai agama
yang aku ketahui.” Dan yang sangat menakjubkan ialah ketika ia
hendak menyebutkan suatu perumpamaan atas suatu daerah yang
terpencil, yang ia tidak mengetahui apa agama yang ada di daerah
tersebut, ia mengatakan, “Kemungkinan di Iran ada sebuah agama
yang jauh lebih baik dari agama Nasrani.”
Pribadi semacam itu, yang tidak ada rasa kefanatikan dan
hatinya senantiasa terbuka bagi kebenaran, sekalipun ia tidak
menemukan kebenaran, ia termasuk kelompok qashiir dan al-
musthad'afin, dan ia tidak dapat digolongkan kedalam orang kafir
yang dengan artian ia telah mendapatkan kebenaran, kemudian
ia mengadakan penentangan, perlawanan dan penolakan terhadap
kebenaran itu.
Setelah kita mengetahui pembahasan ini, saya akan memaparkan
suatu pembahasan berkenaan dengan diterimanya amal-amal
perbuatan seseorang di sisi Allah, yang menurut istilah Al-Quran
naiknya amalan manusia. Sebenarnya yang dimaksud dengan
diterimanya amal adalah naiknya amal perbuatan itu. Penerimaan
Allah tidak sama dengan penerimaan kita yang merupakan
persetujuan atas sebuah transaksi. Wujud dan bentuk nyata dari
amalan-amalan seseorang itu berhubungan erat dengan keikhlasan,
niat, dan kebersihan jiwanya. Pada suatu saat ada amalan yang
naik ke sisi Allah, “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang
baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS Faathir: 10). Pada
suatu saat ada pula amalan seseorang yang tidak naik namun bah
p:157
kan menurun. “…karena sesungguhnya kitab orang yang durhaka
tersimpan dalam sijjin.” (Qs Al-Muthaffifiin:7)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa salat yang kita kerjakan—
kita tidak mengetahui alam gaib, na mun alam gaib itu jauh
lebih luas, lebih teratur dan perhitungannya lebih rinci dari alam
nyata ini—dapat berbentuk sekumpulan cahaya yang naik ke atas
menembus dan merobek tujuh tirai atau tujuh penghalang. Terkadang
ada juga salat kita yang ketika para malaikat yang bertugas
membawa naik salat tersebut, ketika mereka menyerahkan salat
itu kepada yang ada di posisi yang tinggi maka yang ada di posisi
yang tinggi itu akan mengatakan, “Bungkuslah dengan kain”, lipatlah
dengan kain dan lemparkanlah ke kepala orang yang mengerjakannya.
Banyak sekali salat yang semestinya naik tetapi malah turun.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seseorang terkadang
melakukan suatu perbuatan dengan niat qurbatan ilallah (untuk
mendekatkan diri kepada Allah), yaitu dengan memberikan bantuan
kepada seseorang yang memerlukan. Amal perbuatannya itu
adalah sebuah amal yang penuh dengan cahaya dan berada di posisi
yang tinggi, namun kemudian setan menghembuskan bisikannya,
amal perbuatan yang semula tanpa didasari dengan niatnya,
amal perbuatan itu dikerjakan dengan tulus hati, tetapi setelah itu
ia melakukan riya. Ketika duduk dalam sebuah majelis, ia ingin
sekali mengungkapkannya, seperti kucing yang terkurung dan
berusaha untuk melepaskan diri, kemudian, “Ya, saya mengetahui
hal itu, si fulan sangat memerlukan bantuan dan saya telah
membantunya!” Ketika demikian maka akan muncul perintah
untuk menurunkan amal perbuatan ke derajat yang lebih rendah.
Perintah ini dapat terjadi berulangkali. Dan pada kali ketiga maka
akan muncul perintah untuk menjatuhkan amal perbuatan itu
dan mencampakkannya ke sijjin dan jahannam. Amal baik tersebut
sekarang berada sejajar dengan perbuatan minum-minuman
keras. Amal perbuatan yang semula naik, kemudian diperintahkan
untuk diturunkan.
Jika demikian, maka amal perbuatan seseorang memiliki
sebuah sistem yang benar-benar nyata. Agar amal perbuatan seseorang
dapat naik maka ia mesti memiliki tujuan untuk menai
p:158
kkannya, yaitu dengan mengucapkan, “Demi mendekatkan diri
kepada Allah.” Agar amal perbuatan seseorang dapat naik, maka ia
harus memiliki niat yang tulus dan ikhlas dan juga disertai dengan
niat untuk menaikkan amal perbuatan itu. Jika tidak demikian,
maka mustahil amal perbuatan seseorang itu dapat naik, sedangkan
dia tidak ada niat untuk menaikkannya. Inilah yang saya
katakan bahwa seseorang minimal mesti memiliki keimanan kepada
Allah dan akhirat—yang merupakan syarat dari niat mendekatkan
diri—dan jika seseorang sama sekali tidak beriman kepada Allah
dan akhirat, ia tidak boleh berharap amal perbuatannya akan
dapat naik. Ketika ia sendiri tidak menaikkan amal perbuatannya
itu bagaimana mungkin perbuatan itu dapat naik ke atas? Hal ini
persis seperti seseorang yang melemparkan sebuah batu ke bawah,
lalu ia mengatakan, “Mengapa batu itu tidak naik ke atas?” Ia tidak
melempar batu itu ke atas bagaimana mungkin batu itu dapat ke
atas. Sebatas ini, keimanan kepada Allah dan akhirat merupakan
syarat utama diterima dan naiknya amal perbuatan, namun ada
beberapa hal yang merupakan perusak, yakni amal perbuatan yang
baik itu dirusak dan dimusnahkan.
Di antara faktor perusak itu adalah penentangan dan kekufuran
sebagaimana yang telah saya paparkan. Jika seseorang mengadakan
perlawanan dan penen tangan terhadap kebenaran, reaksi
dari penentangan itu ialah menghapus amal perbuatan yang pernah
ia kerjakan. Seorang Nasrani yang konsisten terhadap ajaran
agamanya mungkin saja ia melakukan suatu amal perbuatan dengan
niat mendekatkan diri kepa da Allah dan jelas amal pebuatannya
itu akan senantiasa ada di sisi Allah, namun jika orang tersebut
pada kesempatan lain ia mengadakan penentangan dan perlawanan,
yakni tatkala ia mendengar sabda Rasulullah Saw lalu seketika
itu pula ia mengeluarkan reaksi penentangan, kekufuran, maka
sikap semacam itu akan merusak dan memusnahkan semua amal
perbuatannya. Demikian pula seorang Ahlusunah bisa jadi ia telah
melakukan suatu amal perbuatan dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah dan amal perbuatannya itu bersih dan suci serta naik
ke atas; namun jika masalah kepemimpinan Amirul Mukminin as
dipaparkan kepadanya dan ia tidak menerimanya, atau bahkan ia
p:159
mengadakan penentangan serta perlawanan, maka pasti seluruh
amal perbuatannya akan hilang dan musnah.
Bukan hanya penentangan dan perlawanan saja yang dapat
memusnahkan amal perbuatan, namun banyak hal yang lain yang
dapat merusak dan memusnahkan amal perbuatan. Kita tidak
boleh mengira bahwa musnahnya amal perbuatan itu hanya berhubungan
dengan orang-orang yang menentang kebenaran saja.
Penentangan itu tidak harus pada nubûrwah, imamah ataupun
tauhid, namun ada juga hal yang lain. Bisa saja seseorang melakukan
penentangan dalam bentuk yang lain.
Misalnya saja ada seseorang yang menanyakan kepada saya
suatu persoalan, kemudian saya memberikan jawabannya. Kemudian
orang tersebut menanyakan permasalahan itu kepada orang
lain, kemudian orang itu memberikan jawaban yang berbeda. Lalu
ia mengatakan kepada saya bahwa orang itu memberikan ja waban
demikian. Sekalipun saya mengetahui dengan jelas bahwa jawaban
orang itu adalah yang benar, na mun bukannya saya merendahkan
diri dan mengatakan, “Maaf saya keliru dalam memberikan jawaban,
jawaban dialah yang benar”, tetapi malah saya berusaha untuk
mencari-cari alasan dalam usaha membenarkan jawaban yang saya
berikan, dan berusaha dengan berbagai cara untuk merusak dan
meruntuhkan jawaban orang itu. Ini adalah di antara bentuk dari
penen tangan dan perlawanan itu. Dengan demikian maka salat
saya bukannya salat yang benar, disebabkan saya sangat egois dan
mengadakan penentangan, dan tidak bersedia untuk mengakui
jawaban orang lain yang benar-benar lebih sempurna dari jawaban
yang saya berikan, serta mengakui kesalahan yang telah saya
lakukan.
Iri hati dan dengki juga demikian. Nabi mulia Saw bersabda,
“Dengki itu memakan amal kebajikan sebagaimana api memakan
kayu bakar.”(1)
Dengki itu memakan berbagai amal kebajikan sese orang sebagaimana
api memakan kayu, yakni seseorang telah melakukan
berbagai kebajikan dan dalam catatan amalnya tercantum berbagai
p:160
kebajikan, kemudian ia dengki pada sesuatu maka seluruh amal
kebajikannya itu akan terhapus. Dalam sebuah hadis Rasulullah
Saw menjelaskan mengenai beberapa amalan dan zikir, beliau bersabda,
“Siapa saja yang menjalankan amalan dan mengucapkan
zikir, maka Allah akan menanamkan baginya pepohonan di surga.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah jika demikian
maka kita akan banyak memiliki pepohonan di dalam surga.” Rasulullah
Saw menjawab, “Ya, asalkan kalian tidak melemparkan api
dari sini, sehingga membakar semuanya.”
dengan demikian maka jika orang kafir(1) tidak beriman kepada
Allah, tidak beriman pada hari kiamat, ia melakukan amal perbuatan
bukan untuk alam yang di atas, maka amal perbuatannya
tidak akan naik ke atas. Dan demikian juga jika seseorang melakukan
berbagai amal kebajikan, kemudian ia melakukan kekufuran
dan penentangan, maka amal perbuatan yang semula mendapatkan
pahala, akan menjadi musnah dan lenyap sebagaimana
amal kebajikan kita yang lenyap disebabkan dengki. Amal kebajikan
yang kalian kerjakan yang tanpa didasari demi Allah, demi
mendekatkan diri, maka semua itu kosong, sia-sia dan hanya fatamorgana
belaka. Kalian mengira telah melakukan amal kebajikan,
tetapi ketika kalian membuka mata di alam sana, kalian akan
menyaksikan bahwa amal ke bajikan yang telah kalian lakukan itu
sama sekali tidak memiliki arti dan mati. Semua amal kebajikan
itu hanya berupa fatamorgana yang ia sangka air.
celakalah mereka yang kafir, yang kekafirannya adalah kafir yang menentang
dan kafir yang melawan, lalu kemudian melakukan perbuatan dosa.
orang kafir yang melakukan perbuatan dosa disaat kekafirannya itu adalah
"Gelap gulita yang tindih bertindih.”
Bagi kelompok ini Al-Quran membuat satu perumpamaan yang
sangat menakjubkan tentang keadaan mereka, bahwa mereka itu
kegelapan di dalam kegelapan, dan mengatakan: “atau seperti gelap
gulita di lautan yang dalam.” Al-Quran membuat perumpamaan
dengan lautan dan lautan itu adalah lautan lujji (yang dalam), yakni
sebagian dari lautan itu atau seluruhnya adalah cukup dalam.
p:161
Mengapa Al-Quran membuat perumpa maan dengan lautan dan
menyebutkan dengan kege lapan yang ada di lautan yang dalam,
yakni di kedalaman lautan itu? Supaya jika kita menginginkan untuk
membuat sebuah perumpamaan bagi suatu tempat yang sama
sekali tidak terdapat cahaya dan seseorang berada pada tempat
yang seperti itu, maka ibarat seorang yang ditenggelamkan sampai
ke dasar lautan yang sangat dalam.
Pada masa sekarang ini telah dibuktikan dengan lebih sempurna
bahwa cahaya dapat menembus ke kedalaman air. Sebagaimana
cahaya dapat menerangi udara, ia juga dapat menerangi
air. Jika Anda menyaksikan dasar kolam yang berisi air yang jernih,
karena cahaya menembus air maka ia menerangi dasar kolam itu.
Namun di lautan yang sangat dalam yang kedalamannya lebih dari
beberapa ribu meter, di sana sama sekali tidak dapat ditembus oleh
cahaya, yang ada hanyalah kegelapan total.
Pada masa lalu mereka mengira bahwa di dasar samudra Pa-
sifik tidak terdapat kehidupan- karena cahaya tidak dapat menem-
bus sampai ke sana, selain itu tekanan air juga sangat kuat, namun
pada masa sekarang ini berhasil diketahui bahwa sekalipun cahaya
matahari tidak mampu menembus sampai ke dasar samudra itu,
tetapi di sana ada kehidupan. Allah menciptakan berbagai binatang
yang ada di dasar samudra itu dengan cara binatang itu sendirilah
yang menghasilkan cahaya dari tubuhnya, dan ia memanfaatkan
cahaya yang dihasilkan dari dalam tubuhnya itu.
Oleh karena itu, untuk suatu tempat yang di sana sama sekali
tidak terdapat cahaya, dapat dibuat sebuah perumpamaan, ibarat
seseorang dibawa ke kedalaman bahrun lujjiyun (lautan yang
sangat dalam). Al-Quran tidak hanya mengatakan “bahrun” (lautan)—
yang mencakup seluruh lautan sehingga kemudian ada yang
mengatakan bahwa ada juga dasar lautan yang mendapatkan cahaya—
namun mengatakan, “Bahrun lujji yun”, atau “lautan yang
sangat dalam”, menunjukkan adanya lautan yang kedalamannya
tidak dapat ditembus oleh cahaya.
Namun Al-Quran hendak mengatakan bahwa faktor-faktor
penyebab kegelapan telah menguasai seluruh diri orang-orang
p:162
kafir, yang masing-masing menenggelamkan mereka ke dalam
kegelapan. Bukan hanya mereka tenggelam dalam satu kegelapan,
na mun mereka berada dalam berbagai kegelapan. Banyak faktor
penyebab kegelapan yang saling tindih menindih, yang masingmasing
menghalangi sampai nya cahaya ke kedalaman itu. Di dasar
laut yang sangat dalam, yang di sana tidak terdapat cahaya, selain
bagian atas laut senantiasa dipenuhi oleh berbagai gelombang
yang tinggi sampai setinggi gunung—yang ini juga merupakan
satu penghalang bagi cahaya. Lebih dari itu, angkasa juga dipenuhi
dengan awan, yang awan itu juga menghalangi sampainya cahaya
dari matahari, bulan, bintang dan lain sebagainya. Betapa kegelapan
di bawah kegelapan, “gelap gulita yang tindih bertindih.” Sebuah
perumpamaan yang mereka itu ditutupi oleh berbagai kegelapan,
seakan-akan seperti seorang yang berada di dasar laut yang
sangat dalam itu yang terdapat berbagai faktor yang menghalangi
sampainya cahaya ke dasar laut tersebut. Persis kebalikan dari perumpamaan
yang kita baca ayat an-Nur, yang telah saya sebutkan
bahwa perumpamaan itu dapat disimpulkan ke berbagai bentuk
dan di antaranya, sebagaimana yang terdapat dalam riwayat,
adalah merupakan sebuah perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman.
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS an-Nur: 35)
Di sana dibuat sebuah perumpamaan berkenaan dengan
manusia yang berada di sebuah cahaya yang di atasnya terdapat
cahaya. cahaya fitrah mereka, cahaya kenabian, cahaya diatas
cahaya. Ada juga orang yang lain yang berada dalam kegelapan
dan diatasnya ada kegelapan. cahaya fitrahnya telah padam, ini
p:163
merupakan suatu bentuk kegelapan. Kemudian ditambah dengan
kegelapan penentangan dan penolakan. Dan kegelapan yang lain
adalah kegelapan yang muncul dari perbuatan dosa dan maksiat
yang berulang-ulang kali, yang semacam ombak dan juga berbagai
kesombongan yang ada pada jiwa seseorang “yang diliputi
oleh ombak, yang diatasnya ombak (pula) ” juga merupakan suatu
kegelapan. Karena setiap kegelapan merupakan lawan dari setiap
cahaya; cahaya kenabian, cahaya imamah, cahaya wahyu. Ketika tidak
terdapat cahaya wahyu, maka di situ akan terdapat kegelapan.
Cahaya amal yang saleh (sebagaimana yang pernah saya paparkan
“dan amal yang saleh dinaikkan-Nya,” pengaruh dari amal saleh ialah
menerangi hati seseorang). Ketika seseorang tidak melakukan
amal saleh, lawannya adalah kegelapan. Pada saat satu kelompok
yang diliputi oleh cahaya yang di atasnya ada cahaya, dan kelompok
yang lain diliputi oleh kegelapan yang di atasnya ada kegelapan.
Jika demikan maka dua perumpamaan yang disebutkan oleh
Al-Quran ialah pertama, perumpamaan amal perbuatan orang
kafir laksana fatamorgana. yang dimaksud di sini adalah amal
perbuatan baik yang senantiasa mereka nanti-nantikan (balasannya—
pen.). Kasihan! Dugaan kalian salah, yaitu ketika kalian tidak
memiliki keimanan kepada Allah secara benar, ketika kalian
tidak mendapatkan cahaya Ilahi maka amal perbuatan kalian tidak
akan berupa air yang akan menghilangkan rasa haus kalian.
Perumpamaan yang kedua ialah sebuah perumpamaan atas dosadosa
yang telah mereka kerjakan. Berkenaan dengan mengapa
Al-Quran menyebutkan dua bentuk perumpamaan, para mufasir
memberikan berbagai pendapat dan sebagian besar pendapat mereka
adalah—dan ini adalah yang terbaik—mereka mengatakan
bahwa perumpamaan pertama adalah untuk perbuatan baik mereka
dan perumpamaan kedua adalah untuk perbuatan buruk mereka
yaitu kegelapan di dalam kegelapan.
Telah saya jelaskan bahwa di dalam Al-Quran ada sebuah pe-
rumpamaan yang lain bagi amal perbuatan orang kafir Al-
Quran mengumpamakan amal perbuatan mereka itu dengan se
p:164
kumpulan debu yang ditiup angin yang kencang kemudian hilang
beterbangan. Pada pertemuan yang lalu telah saya singgung bahwa
perumpamaan ini berhubungan dengan per buatan baik yang telah
mereka kerjakan dengan niat untuk mendekatkan diri, dan mereka
benar-benar telah mengerjakannya namun kemudian disebabkan
penentangan, kekufuran dan berbagai hal lainnya, maka semua
itu menyebabkan lenyapnya amal per buatan mereka. Alhasil Al-
Quran memiliki sebuah ketentuan, baik bagi orang-orang Muslim
maupun orang-orang kafir yaitu, "Dan Kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu
yang berterbangan.” (QS al-Furqan: 23). Al-Quran menyatakan
bahwa betapa banyak kumpulan amal kebajikan yang kalian miliki
namun kemudian Kami datang dan menyebarkan semua itu
bagaikan debu.
Jelas Allah sama sekali tidak akan melenyapkan perbuatan
baik yang senantiasa diiringi dengan per buatan baik; yakni sistem
penciptaan-Nya ialah ketika mereka melakukan perbuatan dosa,
maka pengaruh dari dosa itulah yang akan melenyapkan dan memusnahkan
seluruh amal kebajikan yang telah mereka kerjakan.
Ini adalah tiga bentuk perumpamaan yang disebutkan oleh Al-
Quran berkenaan dengan amal perbuatan orang-orang kafir seb-
agaimana yang telah saya jelaskan, bahwa maksud dari orang-orang
kafir adalah bukan setiap orang yang non-muslim, tapi mereka yang
yang menentang, melawan, menolak dan memerangi kebenaran.
Ayat berikutnya juga menjelaskan mengenai adanya cahaya
yang merupakan kebalikan dari dua ayat yang sebelumnya, yang
menjelaskan mengenai ketiadaan cahaya, ketiadaan cahaya wahyu,
ketiadaan cahaya fitrah, yang disebut dengan kegelapan. Namun
semua itu bukan hanya berhubungan dengan manusia, atau bahkan
berhubungan dengan manusia yang menentang kebenaran,
akan tetapi berhubungan dengan seluruh benda yang ada di alam
ini yang keseluruhan itu menjadi terang karena cahaya Allah. Setiap
benda yang ada di alam ini mengenai dan memuji Tuhannya.
Dan untuk pertama kalinya Al-Quran menyebutkan, bahwa jika
kalian memiliki hati dan pendengaran yang peka, kalian akan me
p:165
nyaksikan bahwa seluruh benda yang ada di alam ini mengenai,
menyebut dan memuji Allah. Insya Allah penafsirannya akan saya
jelaskan pada pertemuan yang akan datang.
Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.
p:166
p:167
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُسَبِّحُ لَهُ مَنْ فِی السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالطَّیْرُ صَافَّاتٍ کُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِیحَهُ وَاللَّهُ عَلِیمٌ بِمَا یَفْعَلُونَ (41)»
Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah: kepadanya-Nya bertasbih
apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan
mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara)
salat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan. (QS an-Nur: 41)
p:168
Ayat ini berbicara kepada Rasul yang mulia Saw. Allah
berfirman, "Tidaklah kau lihat-yakni engkau melihat
dan menyaksikannya—segala yang ada di langit dan yang ada di
bumi, dan juga unggas yang tengah mengepak-ngepakkan sayapnya,
semuanya itu adalah merupakan tasbih terhadap Ilahi Yang
Maha Suci. “Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan,”
masing-masing mengetahui cara melaksanakan salat dan bertasbih,
dan Allah juga mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Ayat-ayat yang telah saya tafsirkan pada beberapa pertemuan
kita ini, sejak ayat pertama dari surah an-Nur sampai pada
ayat yang sekarang tengah kita baca ini, kita menyaksikan bahwa
keseluruhannya berkenaan dengan cahaya dan kegelapan. Jelas
maksud dari kegelapan adalah tidak memanfaatkan cahaya yang
ada dan hanya berkenaan dengan manusia, yang mana Allah telah
mengutus salah satu cahaya-Nya dan manusia berkewajiban untuk
menerangi dirinya de ngan cahaya itu—namun mereka tidak
menggunakannya. Dari situlah menculnya kegelapan, yakni manusia
berkewajiban untuk menggunakan cahaya wahyu dan kena-
bian, dengan bantuan cahaya fitrahnya, dan ketika manusia tidak
menggunakan cahaya itu, maka ia akan berada dalam kegelapan.
Cahaya Allah meliputi semesta alam, “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”,
seluruh alam menjadi terang disebabkan
cahaya Allah dan seluruh alam mengetahui keberadaan Allah,
karena dalam suasana yang terang benderang dan bukan
dalam kegelapan dapat diketahui Pencipta dan Pemeliharanya.
Dalam ayat ini disebutkan sebuah pembahasan yang pembahasan
itu banyak disebutkan pada berbagai ayat yang ada dalam
Al-Quran, dalam bentuk ungkapan yang bi¥ADi antara masalah
yang dititikberatkan oleh Al-Quran adalah masalah tasbih dan
pujian berbagai makhluk kepada Allah. Al-Quran, di sebagian
ayatnya menjelaskan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini
senantiasa bertasbih dan memuji nama Allah; yakni menurut
logika Al-Quran. Besi dan kayu bertasbih kepada Allah. Berbagai
ciptaan yang ada di langit juga bertasbih ke pada Allah. Setiap
p:169
molekul dari molekul-molekul air, setiap atom dan setiap ciptaan
yang lebih kecil dari atom senantiasa bertasbih kepada Allah.
Sekarang kita mesti membuktikan apakah Al-Quran mengatakan
semacam itu atau tidak? Kita akan baca terlebih dahulu
ayat-ayat itu; kemudian bagaimanakah manusia berdasarkan pada
akal dan pemahamannya mampu untuk mendekatkan diri dengan
logika Al-Quran? Dengan demikian kita memiliki dua bentuk
pembahasan. Pertama, apakah Al-Quran menjelaskan permasalahan
ini atau tidak? Kedua, manusia dengan berbagai usaha yang
telah mereka lakukan, sejauh manakah kedekatan mereka pada
hakikat?
Al-Quran menjelaskan permasalahan ini dalam berbagai
ayatnya, dengan bentuk yang berbeda-beda. Saya akan paparkan
sebagian dari ayat-ayat itu yang saya ingat. Pertama, dalam surah
Bani Israil—kemungkinan ini merupakan ayat yang paling jelas
dan paling terang dalam memberikan penjelasan. Ayat itu ialah,
“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih me reka.” (QS al-Isra’:
44). Tidak ada suatu pun “in min syaz’in” sama dengan “ma min
syai’in” melainkan ber tasbih kepada Allah, tasbih yang diiringi
dengan pujian, namun kalian tidak mengetahui tasbih mereka.
Kalian jangan mengatakan, “Saya telah meletakkan telinga kita
pada kayu dan pohon ini, namun saya tidak mendengar suara tasbihnya.”
Demikian juga dengan tasbihnya anggota tubuh. Menurut
pendapat Al-Quran setiap sel dari berbagai sel kulit, daging dan
tulang dan setiap rambut dari seluruh rambut yang ada pada seluruh
tubuh saya ini, senantiasa bertasbih kepada Allah, namun
saya tidak mendengar semua itu. Al-Quran mengatakan bahwa
kalian tidak akan dapat mendengarnya, bahkan dengan menggunakan
ungkapan “kalian tidak dapat memahaminya”. Al-Quran bukan
mengatakan, “kalian tidak mendengar” namun mengatakan,
“kamu sekalian tidak mengerti” tentu terdapat perbedaan antara
dua kalimat ini. Jika “kalian tidak dapat mendengar” maka kemungkinan
kita dapat memahami bahwa tasbih itu ada, sedangkan
kita tidak dapat mendengarnya. Sebagaimana halnya kita sekarang
ini mengetahui bahwa di udara ini ter dapat berbagai gelombang
p:170
radio yang dipancarkan dari berbagai stasiun pemancar yang ada
di seluruh penjuru dunia, namun kita tidak dapat mendengar nya.
Namun Al-Quran mengatakan, “Kalian tidak dapat memahami hal
itu”, bukan saja kalian tidak dapat mendengarnya, tetapi kalian tidak
dapat me mahaminya, pemahaman kalian sekarang ini sangat
dangkal.
Sebelum kita mengadakan pembahasan pada ayat-ayat yang
lain, saya akan menjelaskan mengenai per bedaan antara kata “tasbih”
(bertasbih) dan “tahmid” (memuji). Al-Quran mengatakan,
“melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,” karena tasbih dan tahmid
merupakan pekerjaan kita sehari-hari, maka minimal kita
mesti mengetahui bacaan yang biasa kita baca dalam salat yaitu:
“Subhana rabbi al-ala wa bi hamdihi”, yang arti ringkasnya adalah
sebagai berikut: “Aku bertasbih kepada Tuhanku Yang Maha
Agung dan aku memuji-Nya”, atau kita mengucapkan: “Subhana
rabbi al-’adhimi wa bi hamdihi”, yakni: “Aku bertasbih kepada Tuhanku
Yang Maha Tinggi dan aku memuji-Nya.” Apakah arti dari
“aku bertasbih kepadanya”? Apakah arti dari “aku memuji-Nya”?
Pujian kepada Allah itu terdiri dari dua macam. Pertama,
tasbih dan yang lainnya adalah tahmid. Tasbih ialah mensucikan;
yakni zat Allah suci dari berbagai hal yang tidak layak bagi-Nya,
menganggap-Nya lebih tinggi dan lebih mulia dari berbagai hal
yang ada pada makhluk-Nya, suci dari segala bentuk kekurangan,
ketidaksempurnaan dan kelemahan. Pada dasarnya arti dari kata
subhana ialah saya bertasbih dan menyucikan-Nya dari dapat dilihat
oleh mata, dapat disentuh dengan tangan, dari menganggapnya
bermateri, sehingga kemudian saya mengatakan bahwa ia berada
dalam tempat tertentu, dari menganggap-Nya memerlukan
pada sesuatu seperti misalnya: perlu pada ibadah saya.
Tidak! Aku mensucikan dan membersihkan Dia dari memerlukan
dan membutuhkan; dari menyifati Dia dengan zalim dan
lalim, dari menyifati Dia dengan memiliki sekutu; dari mengakui
bahwa Dia tersusun dari beberapa bagian, dan Dia memerlukan
pada tiap-tiap bagian itu; dari mempertanyakan tentang Dia; dari
apa Dia diciptakan dan dari mana Dia datang. Jika demikian maka
p:171
tasbih artinya ialah Allah Maha Suci dari segala sesuatu yang aku
ketahui dan Allah jauh lebih tinggi dan lebih utama dari semua
itu. Dengan kata subhana semua kekurangan itu saya nafikan
zat-Nya.
Pujian kepada Allah adalah sama dengan kesaksian atas ke-
Esaan Allah yang merupakan kumpulan dari penafian dan peneta-
pan. Ketika kita mengucapkan, Tidak ada Tuhan selain Allah,” kita
menafikan penyembahan selain Dia, dan menetapkan keberadaan Zat-Nya
pujian kepada Ilahi juga senantiasa penafian dan penetapan. penafianNya adalah, Maha Suci
dari...sedangkan Tahmid adalah menyifati Allah dengan
sifat yang tetap (yang ada pada zat-Nya).
Aku memuji-Nya, segala kenikmatan datangnya hanya dari sisi-
Nya, semua kesempurnaan dari-Nya dan akan kembali kepada-
Nya, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, “Dan Allah Maha Men-
getahui segala sesuatu,” (QS an-Nur: 35). Dia Mahakuasa atas segala
sesuatu “dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS al-Mulk:l).
“Dia Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan
keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang
Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan,” (QS al-Hasyr:23).
Semua itu adalah berbagai sifat tsubutiah yakni “te tap” atau
“yang mesti ada pada zat-Nya”. Jika demikian maka ketika kita
mengucapkan kalimat, “Subhana rabbi al-’adhimi wa bi hamdihi,”
atau mengucapkan kalimat “Subhana rabbi al-‘ala wa bi hamdihi,”
kita bayangkan semua kekurangan dan ketidaksempurnaan yang
ada di dunia ini, kemudian kita ucapkan bahwa Tuhanku suci dan
bersih dari semua itu. Kemudian kita bayang kan berbagai kesempurnaan
lalu kita katakan, “Tuhan ku memiliki berbagai sifat itu.”
Dalam salat ketika kita membaca surah al-Ikhlash, “Katakanlah,
Dia-lah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergan-
tung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan,
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Dalam surah itu terdapat sifat tsubutiah dan juga sifat salbiah atau
“yang mesti tidak ada pada zat-Nya”. Kemudian kita mengucapkan,
“Kadzalika Allahu Rabbi”, demikianlah Tuhanku.
p:172
Dia memiliki berbagai sifat yang sempurna itu dan saya
memuji-Nya dengan berbagai sifat itu. Tidak ada kekurangan pada
zat-Nya, memiliki anak atau anak dari sesuatu, memiliki sekutu,
semua itu tidak ada pada zat-Nya, “Kadzalika Allahu Rabbi" demikianlah
Tuhanku. Al-Quran mengatakan bahwa tasbih dan tahmid
yang sesuai dengan perasaan dan rasa kemanusiaan ini, kalian
mesti mempelajarinya dari para nabi kemudian kumandangkanlah
tasbih dan tahmid itu berdasarkan atas kehendak diri kalian
sendiri, maka seluruh ciptaan yang ada di alam ini akan bersamasama
bertasbih dan memuji Tuhan-Nya. Ini adalah satu di antara
ayat Al-Quran yang menjelaskan mengenai tasbih dan tahmid berbagai
makhluk.
Demikian juga kita memiliki lima ayat dalam Al-Quran, bahkan
dengan surah al-A’la, kita memiliki enam surah yang diawali
dengan tasbih dan semua itu disebut dengan musabbahat. Surah
al-Hadid diawali demikian, “Sabbaha Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi”, (Semua yang berada di langit dan yang di bumi bertasbih
kepada Allah).
Surah al-Hasyr dan surah ash-Shaf keduanya di awali semacam
ini, “sabbaha Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi”, di sini kata
“ma” diulang lagi. Pengulangan tersebut memiliki arti yang sama,
yaitu segala yang ada di langit dan segala yang—bukan hanya—di
bumi senantiasa bertasbih kepada Allah.
Surah al-Jumu’ah dan surah at-Taghabun diawali demikian
“Yusabbihu Lillahi Maa Fis Samawati wa ma fil Ardhi” (Senantiasa
bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi). “Sabbihisma” (Sucikanlah nama Tuhanmu) dalam surah al-
A’la juga merupakan sebuah perintah untuk bertasbih.
Pada lima surah tersebut, Fi'il (kata kerja—pen.) “tasbih” di
tiga surah berbentuk Fi'il madhi, yakni “kata kerja bentuk lampau”;
dan pada dua surah lainnya berbentuk fi'il Mudhari' yakni
“kata kerja yang memiliki arti sedang atau akan dikerjakan” namun
menggunakan kata “wa”, yakni “apa yang” ada di langit dan
di bumi bertasbih kepada Allah. Al-Quran juga mengatakan bahwa
seluruh ciptaan Allah bersujud kepada-Nya, itu adalah sujud
p:173
dalam arti yang sebenarnya, yang mana sujud kalian merupakan
suatu bentuk dari berbagai bentuk sujud itu. Ketika kita bersujud,
hal ini menunjukkan kerendahan dan ketundukkan kita. Al-
Quran mengatakan bahwa seluruh ciptaan bersujud kepada Allah,
matahari, bulan, bintang, semuanya bersujud kepada Allah,
namun jelas bahwa maksud dari bersujud itu bukan berarti kemudian
matahari juga memiliki dahi dan kemudian dahinya itu
diletakkan di atas tanah. Tidak! Yang demikian itu adalah bentuk
sujud kalian, yang merupakan pernyataan puncak kerendahan dan
ketundukan,(1) sehingga dengan itu jiwa kalian juga akan merasa
rendah dan tunduk. Jika demikian maka dalam Al-Quran terdapat
berbagai ayat yang menggunakan kata sabbaha atau yusabbihu.
Pada ayat-ayat yang lain kita dapat temukan bahwa ayat-ayat
itu menjelaskan permasalahan yang ada ini dalam bentuk yang
berbeda. Misalnya saja menjelaskan bahwa benda-benda mati,
tumbuh-tumbuhan atau binatang bertasbih dan memuji Allah
bersama-sama de ngan mereka yang memiliki peringkat maknawiah
yang tinggi. Dalam surah Shaad, berkenaan dengan Nabi Daud
as, Al-Quran mengatakan, “dan ingatlah hamba Kami Daud yang
mempunyai kekuatan; sesungguhnya ia sangat taat (kepada Tu-
han.” (QS Shaad: 17). Ingatlah hamba Kami Daud yang sangat perkasa
itu, dia sangat patuh kepada Allah, yakni ia memutus ketergantungan
terhadap selain Allah dan hanya bergantung ke pada Allah.(2)
Kemudian Al-Quran mengatakan, “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi
dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah
.” (QS Shaad: 18-19). Gunung-gunung telah di tundukkan agar
di waktu petang dan pagi bersama-sama Daud bertasbih kepada
p:174
Tuhannya. Gunung-gunung, unggas, satu suara satu irama dengan
Daud dalam bertasbih kepada Allah. Ini adalah di antara ayat yang
memiliki isi semacam itu (bertasbihnya seluruh isi alam). Di antara
ayat-ayat yang semacam itu ialah ayat (dalam surah an-Nur
ini) yang mana ada juga dalam Al-Quran ayat-ayat yang semacam
itu. Di sini yang diajak bicara oleh Al-Quran adalah pribadi Rasul
yang mulia Saw, dengan menga takan, “Tidakkah kamu tahu
bahwasannya Allah; kepadaNya bertasbih apa yang di langit dan di
bumi”, Tidakkah kau melihat?(1) Kalimat “segala yang ada di bumi”
bukan berarti khusus orang-orang mukmin saja. Wahai Nabi,
apakah kau tidak melihat adanya tasbih dari berbagai burung saat
mereka terbang secara beriring-iringan di udara? Lebih dari itu Al-
Quran mengatakan, “masing-masing telah mengetahui (cara) salat
dan tasbihnya”. Masing-masing dari semua itu—gunung-gunung,
pohon-pohon, burung-burung, manusia, dan seluruh ciptaan yang
ada di alam ini yang bertasbih—mengetahui cara bertasbihnya,
semuanya mengetahui cara salatnya. Yang sangat menakjubkan
ialah masalah tasbih diungkapkan dengan kata “salat”. Kita telah
mengetahui bahwa di satu ayat diungkapkan dengan kata “tasbih”
dan “tahmid” dan dalam ayat lain diungkapkan dengan menggunakan
kata “sujud”, sedangkan dalam ayat ini de ngan menggunakan
kata “salat”. Sebagian para mufasir berpendapat bahwa maksud
dari “salat” itu adalah doa yang juga merupakan salat, karena isi
dari salat adalah doa. Al-Quran sendiri mengungkapkan de ngan
menggunakan kata “salat” mereka memiliki cara salat tersendiri,
dan mereka mengetahui cara salat masing-masing, dan Tuhan
mereka Mengetahui apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu
dalam Al-Quran banyak terdapat ayat-ayat yang semacam ini, dan
kita tidak boleh kemudian langsung mengatakan, “Dapatkah kita
mengetahui arti yang sebenarnya dari ayat-ayat itu?”, “Dapatkah
kita mengetahui maksud dari bertasbih itu?” Tidak! Al-Quran
mengungkapkan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini ber-
p:175
tasbih kepada Allah, dan memuji-Nya. Dan kepada kita Al-Quran
mengatakan, wahai manusia kalian tidak mengetahui tetapi yang
demikian itu ada, “tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”
Alhasil, Ketika Allah menjelaskan adanya kejadian ini, Dia
tidak bermaksud membuat semacam teka-teki yang mana tidak
akan ada satupun dari manusia yang dapat menjawab dan mengetahuinya.
Namun tujuan Al-Quran ialah agar kita semakin kuat
dalam berusaha mencapai hakikat ini, dan akhirnya kita mampu
menyingkap hakikat tersebut sesuai dengan kemampuan kita.
Sebelumnya telah saya katakan bahwa kita memilki dua bentuk
pembahasan, dan pada pembahasan yang kedua ini marilah
kita melihat bagaimanakah usaha manusia setelah mendapatkan
bimbingan Al-Quran ini. Bagaimanakah mereka melintasi jalan
ini, dan bagaimanakah mereka menafsirkan ayat-ayat ini? Sekumpulan
ayat yang ada dalam Al-Quran ini ditafsirkan dalam
dua bentuk penafsiran. Dan kedua bentuk penafsiran itu dapat
kita sebut dengan penafsiran secara filosofis dan irfani (tasawuf).
sebagian dari ayat-ayat itu ditafsirkan secara filosofis yang mana
mereka mengatakan bahwa maksud dari Al-Quran tatkala mengatakan
bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah dan memuji-
Nya, adalah tasbih secara “penciptaan” dan “bahasa keadaan”.
Kita memiliki lisanul hal “bahasa keadaan” dan lisanul qal “bahasa
ucapan”. “Bahasa keadaan” ialah seseorang dengan menunjukkan
sikap tertentu ia dapat mengungkapkan isi hatinya, sekalipun
mulutnya tertutup rapat namun keadaannya itulah yang tengah
berbicara dengan orang lain. Misalnya saja ketika Anda berdua sedang
asyik mengobrol di tepi jalan raya, tiba-tiba datang seseorang
yang berpakaian lusuh menghampiri Anda kemudian orang itu
mengangkat tangannya, sikap dan keadaan itu me nunjukkan atau
mengatakan: “Saya memerlukan bantuan, maka bantulah saya!”
Dari sisi itulah maka disebut dengan “bahasa keadaan”. Tetapi terkadang
ada seseorang yang datang dan mengatakan dengan lisannya,
“Bantulah saya!” Ini disebut dengan “bahasa ucapan”. Oleh
karena itu seringkali keadaan luar seseorang menjelaskan keadaan
jiwanya, sebagaimana yang ada dalam pepatah, “rona wajah mengungkap
rahasia jiwa”. Bagaimanakah cara mengungkapnya? Tan
p:176
pa berbicara, tetapi dengan memberikan tanda. Manusia seringkali
berbicara tanpa menggunakan lisan. Kemungkinan orang-orang
yang saling bertemu akan lebih banyak berbicara dengan tanpa
lisan melebihi pembicaraannya yang dengan menggunakan lisan;
dan de ngan bahasa tanpa lisan itu, mereka saling mengenalkan
diri mereka masing-masing.
Dalam sebuah buku saya yang berjudul Mas’alah al-Hijab,
di situ saya menulis bahwa sebagian dari jenis dan mode pakaian
memiliki lisan. Seseorang yang ketika berjalan ia menghentakkan
kakinya, membesarkan suaranya, pada dasarnya ialah ia hendak
berbicara pada orang lain, “Menjauhlah dariku, takutlah padaku!”
Demikian pula dengan seorang perempuan ada dua bentuk dalam
berpakaian. Ada seorang perempuan yang mengenakan pakaian
tertentu, dan ketika ia berjalan di jalan raya dengan keadaannya itu
seolah berseru dan mengatakan, “Aku adalah seorang perempuan
yang menjaga kesucian diri, jangan ada yang mengganggu diriku!”
Bentuk pakaiannya itulah yang mengatakan bahwa ‘aku adalah
demikian’. Dan tentu saja orang-orang yang kerjanya memburu
perempuan, ketika mereka mengetahui perempuan yang berpakaian
demikian, mereka tidak akan mengejarnya.(1) Dan terkadang
malah sebaliknya—sebagaimana ada orang yang memakai pakaian
dengan tujuan agar mengatakan “Takutlah kepadaku, menyingkirlah”,—
ada juga perempuan yang memakai jenis pakaian tertentu
sehingga pakaian itu mengatakan, “Kemarilah, kejarlah aku!” la tidak
mengatakan de ngan lisannya tetapi bentuk pakaiannya itulah
yang mengajak mereka dan mengatakan, “Ikutlah denganku, aku
adalah demikian ....” Inilah yang disebut de ngan “bahasa keadaan”.
Kita telah keluar jauh dari pembahasan.
p:177
Alhasil sebagian mengatakan, bahwa ketika Al-Quran mengatakan
bahwa segala sesuatu itu bertasbih kepada Allah dan
memuji-Nya, maksudnya ialah dengan “bahasa keadaan”, karena
semua itu adalah ciptaan Allah. Dan ciri-ciri khusus dari makhluq
“ciptaan” ialah memiliki sisi kekurangan dan juga memiliki sisi
kesem purnaan. Sisi kekurangan adalah berasal dari penciptaan,
sedangkan sisi kesempurnaan adalah berasal dari Sang Pencipta.
Kekurangan apa pun yang ada pada dirinya adalah akibat dari dirinya
sendiri, dan apa pun bentuk kesempurnaan yang ia miliki
adalah berasal dari Penciptanya. Ketahuilah bahwa berbagai kesempurnaan
yang ada di alam ini berasal dari-Nya. Jika demikian,
semua itu bertasbih kepada Pencip tanya dan memuji-Nya dengan
menggunakan bahasa keadaan. Dengan bahasa tanpa lisan
semuanya menga takan, “Maha Suci Engkau yang telah menciptakanku.”
Tasbih mereka adalah dengan menyatakan, “Jika Engkau
melihat dalam diriku terdapat kekurangan, maka sesungguhnya
kekurangan itu merupakan bagian dari diriku, dan Engkau Maha
Suci dari semua itu.”
Tidak diragukan lagi bahwa setiap ciptaan senantiasa bertasbih
dan memuji Penciptanya dengan menggunakan bahasa keadaan.
Itu sebuah pendapat yang benar. Berbagai ciptaan bertasbih
dan memuji Tuhannya dengan menggunakan bahasa penciptaan.
Hasil dari setiap pujian adalah kembali pada yang memuji itu
sendiri. Kumpulan syair-syair Sa’di juga memuji Sa’di itu sendiri,
yakni dengan bahasa keadaan mengatakan, “Betapa hebatnya kau
yang telah menciptakan syair-syair semacam ini, jika ada kekurangan
hal itu disebabkan keterbatasan kata-kata, dan tidak mungkin
dapat lebih sempurna dari ini.” Namun apakah ketika Al-Quran
mengatakan, “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan
memuji-Nya”, juga dengan tujuan semacam itu?
Penafsiran kedua—yang saya sebut dengan penafsiran irfani
(tasawuf)—pendapat Anda benar bahwa seluruh ciptaan bertasbih
kepada Tuhan dan memuji-Nya dengan menggunakan bahasa
keadaan, namun Al-Quran mengungkapkan yang lebih tinggi dari
itu. Karena sambungan ayat itu menyebutkan, “tetapi kamu seka
p:178
lian tidak mengerti tasbih mereka”,(1) namun kalian tidak dapat memahami
tasbihnya. Tasbih dengan meng gunakan bahasa keadaan
semua orang mengetahui-nya. Selain Al-Quran mengatakan, “Dan
tak ada suatu pun melainkan ....”, yakni seluruh benda dan bukan
hanya terbatas pada yang berakal atau yang memiliki perasaan.
Namun dhamir (kata ganti) yang ada pada ayat tersebut seakanakan
mengambarkan bahwa se luruh yang ada dalam alam ini berakal
dan memiliki perasaan. Karena ayat itu menyebutkan, “tetapi
kamu sekalian tidak mengetahui tasbih mereka.” Kata ganti hum
(mereka laki-laki) dalam bahasa Arab adalah sebuah kata ganti
yang digunakan untuk mereka yang berakal dan bukan untuk
binatang dan benda-benda mati. Al-Quran, sekalipun berbicara
mengenai benda-benda namun menggunakan kata ganti hum,
dengan demikian maka Al-Quran menganggap semua benda-benda
itu memiliki perasaan. Pada ayat yang tengah kita baca ini ada
kata “burung”, seandainya tidak terdapat kata “burung” maka kita
akan mengatakan bahwa ketika Al-Quran mengatakan, “Mereka
yang ada di langit dan di bumi”, maksud dari mereka yang ada di
langit adalah para malaikat, dan maksud dari mereka yang ada di
bumi adalah manusia, dan maksud dari manusia itu adalah orangorang
yang beriman. Dan berkenaan dengan ayat “Masing-masing
telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya”, mereka semua telah
mengetahui bagaimanakah cara salat dan tasbihnya, maka dalam
hal ini kita akan mengatakan: “Hal itu tidak ada masalah, para
malaikat dan manusia menge tahui cara salat dan bertasbihnya.”
Tetapi Al-Quran mengatakan, “... dan burung,” burung juga turut
dimasukkan. Jelas burung tidak memiliki perasaan seperti manusia
ataupun malaikat, jika demikian maka cukup jelas bahwa di
dunia burung, terdapat suatu dunia yang luar biasa yang kita tidak
mengetahui dan mengenalnya.
Saya telah katakan bahwa panafsiran pertama, ialah penafsir-
an secara filosofis. Abu Nasr Al-Farabi adalah seorang ahli filsafat
terkemuka di dunia Islam. Dia memiliki sebuah ungkapan—tampaknya
dalam buku Fushush—yang sangat indah. Dia menjelaskan
masalah ini, yang sebagian besar dijelaskan dengan “bahasa
p:179
keadaan” ia mengatakan, “Langit salat dengan perputarannya,
bumi salat dengan guncangannya, dan hujan salat dengan curahan
airnya.” Karena hakikat dan roh salat itu tidak lain adalah penyerahan,
kepatuhan, ketaatan, pada perintah Yang Maha Benar
de ngan penuh keikhlasan. Ia mengatakan bahwa ketika langit
berputar, bumi berguncang, hujan mencurahkan air, kesemuanya
itu adalah mematuhi perintah Sang Pencipta, cara salat mereka
adalah semacam itu.
Namun Maulawi menafsirkan ayat tersebut secara irfani, dan
tidak mengatakan semacam itu. Ia mengata kan, “Manusia-manusia
biasa tidak mengetahui tasbih dan pujian berbagai makhluk.
Seluruh ciptaan yang ada di dunia ini benar-benar mengetahui dan
mengenal Tuhannya, serta bertasbih dan memuji-Nya.” Hal itu ia
katakan berulang kali dan di berbagai syair-syairnya. Ada juga diantara
syairnya yang cukup terkenal yang dinukil oleh Syaikh ‘Abbas
al-Qummi dalam buku doa Mafatih al-Jinan yang menyebutkan:
Berbagai benda tersebar di alam ini
Yang dikatakan padamu siang dan malam
Kami Mahamendengar, Mahamelihat dan sadar
Kami takkan berbicara dengan kalian yang bukan muhrim
Karena kalian tenggelam dalam kebendaan
Kapan kalian akan menjadi muhrim dengan roh Ilahiah
Di tempat lain ia memiliki beberapa syair yang sangat indah
yang sayangnya saya tidak menghafalnya. Antara lain ia mengatakan
bahwa Allah adalah tempat untuk memohon berbagai
keperluan semua ciptaan. Demikian juga tanah, angin, udara, laut,
padang pasir memohon semua keperluannya dari Ilahi:
Bahkan ikan-ikan yang diterpa ombak
Burung-burung yang ada pada ketinggian
p:180
Ringkasnya ia mengatakan bahwa segala yang ada di alam
ini tidak lain adalah seperti itu. Lain jika ada yang berpendapat
bahwa suara tasbih berbagai ciptaan yang ada di alam ini benarbenar
ada, apakah yang mereka maksudkan? Apakah yang mereka
maksud adalah bahwa sekarang ini di udara terdapat berbagai
suara—sebagaimana adanya gelombang radio—tetapi kita tidak
dapat mendengarnya? Tidak! Maksud mereka adalah setiap ciptaan
yang ada di alam ini memiliki dua wajah dan dua sisi. Satu
sisi menghadap ke alam ini, di mana sisi itu adalah mati, sedangkan
satu sisi lainnya menghadap ke alam lain. Memiliki satu wajah
maknawi, yang mana sisi dan wajah itu adalah hidup dan memiliki
perasaan. Mereka menga takan, misalnya saja Anda melihat sepotong
kayu, Anda tidak dapat mengetahui seluruh hakikat dari kayu
itu. Ilmu pengetahuan manusia yang paling dalam telah mampu
mengetahui bahwa atom adalah unsur utama dari berbagai benda
dan itu merupakan “bentuk materi”. Dan pada setiap ciptaan selain
memiliki bentuk"fisika" juga memiliki bentuk "metafisika", yang berada
diluar jangkauan indera manusia dan ilmu fisika. seorang
manusia mesti memiliki kepekaan hati, mengerti makrifat, sehingga
ia mampu untuk menge tahui satu sisi yang lain dari berbagai
ciptaan, serta dapat melihat bagaimanakah berbagai ciptaan
itu mengenal, mengetahui yang kemudian semuanya itu bertasbih
dan menyuarakan puji-pujian. Nabi Daud as, di mana gunung dan
burung-burung bersama-samanya bertasbih dan mengalunkan
pujian, bukan berarti ketika kita berada di sisi Nabi Daud as, lalu
kita akan dapat mendengarkan suara tasbih dan pujian makhluk-makhluk
tersebut, banyak juga orang yang ada di samping Nabi
Daud as, namun mereka tidak dapat mendengar suara itu. Nabi
Daud as memiliki pendengaran yang lain. Ia memiliki kemampuan
untuk mendengar suara batin dari berbagai ciptaan. Jika telinga
batin kita terbuka, maka kita juga akan dapat mendengarnya. Kalian
jangan mengira bahwa hal ini adalah suatu yang sangat tinggi
dan hanya dapat dicapai oleh para nabi saja. Tidak, selain para nabi
pun mampu mencapainya.
p:181
Tentunya kalian pernah mendengar mengenai batu kerikil
yang bertasbih di telapak tangan Nabi mulia Saw. Dan sekarang ini
demi membuktikan hal itu, saya akan memberikan sebuah contoh
dari seseorang yang dapat saya dan kalian percayai dan yakini.
Almarhum Syaikh ‘Abbas al-Qummi ra, beliau ada lah seorang
yang sangat bertakwa.(1) Kisah ini beliau utarakan di Qum dan
dari atas mimbar. Dan saya mendapatkan kisah itu dari dua orang
marja’ taklid (istilah di kalangan Syiah, bagi ulama besar yang dijadikan
rujukan dalam bidang hukum-hukum Islam—peny.) yang
sekarang masih hidup, di mana pada waktu itu mereka berdua
mendengarkan secara langsung di bawah mimbar. Di antara kedua
pribadi itu adalah Ayatullah Gulbaighani, beliau menceritakan
bahwa sewaktu dia ada di bawah mimbar tersebut, Syaikh ‘Abbas
al-Qummi mengatakan, “Sewaktu saya masih muda di mana kondisi
saya saat itu cukup baik—namun sekarang saya tidak demikian—
saya pergi berziarah ke makam Wadi Salam, tiba-tiba ketika
saya telah mendekati Wadi Salam, saya mendengar sebuah pekikan
suara dari kejauhan. Suara itu seperti suara unta yang tengah
dicap dengan besi panas, dan unta itu mengeluarkan suara yang
keras. Sewaktu saya perhatikan sekitar saya, sama sekali tidak saya
temukan adanya unta, namun suara aneh itu terasa semakin dekat.
Pada saat itu Wadi Salam dalam keadaan sepi. Kemudian saya melihat
bahwa di tengah Wadi Salam itu ada beberapa orang yang
sedang berjalan, saya berpikir mungkin mereka itulah yang tengah
mencap tubuh unta dengan besi panas. Kemudian saya ber jalan
perlahan-lahan menghampiri orang-orang itu. Ya, suara itu munculnya
dari situ, akan tetapi ketika saya telah sampai di sana, saya
p:182
tidak melihat adanya unta, akan tetapi mereka membawa jenazah
yang akan mereka kuburkan dan suara itu munculnya dari je nazah
tersebut. Saya mendengar suara itu dengan begitu kuat, sementara
mereka sama sekali tidak mendengarnya. Dari kejauhan saya dapat
mendengar suara itu, dan saya mengira itu adalah suara unta yang
te ngah mereka cap dengan besi panas.” Jika demikian jangan kalian
mengira bahwa semua mampu mendengar setiap suara yang
ada di alam ini. Suara itu, adalah suara yang lain, dan telinga itu
ada lah telinga yang lain.
Syaikh Majlisi (pertama)—ayah dari almarhum Syaikh Majlisi
yang terkenal, penulis buku Bihaarul Anwar adalah seorang
yang sangat mulia dan memiliki ketakwaan yang luar biasa. Beliau
adalah murid dari Syaikh Baha’i. Beliau menceritakan bahwa
enam bulan sebelum wafatnya Syaikh Baha’i, beliau datang menemui
Syaikh Baha’i, kemudian berangkat bersama-sama untuk
berziarah ke pemakaman Takhte Fulad—makam Baba Ruknuddin
juga ada di sana—di Isfahan. Tatkala berada di pemakaman itu,
tiba-tiba beliau menoleh ke arah saya dan mengatakan, “Tidakkah
kau mendengar sesuatu?” Saya menjawab, “Tidak!” Setelah
itu Syaikh Baha’i hanya diam dan membisu, kemudian kembali
ke rumah. Sejak saat itu saya melihat kondisinya sangat berubah,
Syaikh Baha’i lebih banyak menyibukkan diri dengan ibadah dan
bertaubat, yang jelas kondisinya tidak seperti sebelum itu. Sebagai
salah seorang dari murid-muridnya, saya menduga bahwa perubahan
ini adalah disebabkan oleh kejadian itu. Syaikh Majlisi (pertama)
mengatakan bahwa beliau adalah murid yang selalu ingin
tahu. Beliau ingin sekali bertanya kepada Syaikh Baha’i apa penyebab
perubahan ini? Beliau pun pergi menemui Syaikh Baha’i dan
menanyakan hal itu. kemudian Syaikh Baha’i menjawab: “Ketika
saya melintasi pemakaman itu, saya mendengar sebuah suara dari
pemakaman itu: “Wahai Syaikh pikirkanlah nasib dirimu, kematianmu
telah dekat, mengapa kau tidak memperhatikan dirimu
sendiri?” Enam bulan setelah itu Syaikh Baha’i meninggal dunia.
Perhatikanlah, mereka bersama-sama, namun yang satu
mendengar suara itu dan yang lain tidak mendengarnya.
p:183
Alam ini sangat dalam, rumit dan rinci. Ketika Al-Quran
mengatakan bahwa seluruh ciptaan yang ada di alam ini bertasbih,
kemudian ada yang mengatakan, “Aku telah menempelkan telingaku
tetapi aku tidak mendengarnya? Mengapa di laboratorium di
saat mereka melakukan berbagai uji coba mereka tetap tidak dapat
mendengar suara itu?” Ucapan itu munculnya adalah dari kebodohan.
Dan kebenaran (hakikat) adalah sesuatu yang lain.
Rasul mulia Saw bersabda, bahwa saat pertama beliau Saw
menerima wahyu di gua Hira, Jibril turun dan membacakan ayat-ayat
pertama dari surah al-’Alaq: 'Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.
yang mengajar (manusia) dengan perataraan kalam. Dia mengajar-
kan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS al-’Alaq: 1-5)
Rasul mulia Saw merasakan bahwa seluruh yang ada di alam
ini berguncang. Beliau berjalan pulang ke rumah. Beliau bersabda,
“Ketika saya berjalan, saya mendengar seluruh benda yang ada
mengucapkan salam dan menyapaku.”
Itu adalah arti yang sebenarnya dari, “Allah pemberi cahaya langit dan bumi.”
Adakah suatu tempat yang tidak terdapat
cahaya Allah? Mungkinkan sesuatu yang mendapatkan cahaya Allah
itu, lalu tidak mengetahui, tidak memiliki perasaan? Jelas setiap
ciptaan memiliki perasaan, pengetahuan sebatas keberadaannya.
Oleh karena itu, ketika kita mengatakan bahwa benda-benda
padat itu tidak memiliki kehidupan, itu adalah benar. Kita tidak
hendak mengatakan bahwa benda-benda padat itu memiliki suatu
kehidupan, sebagaimana kehidupan tumbuh-tumbuhan. Tidak,
tumbuh-tumbuhan memiliki suatu bentuk kehidupan, binatang
memiliki bentuk kehidupan yang lebih tinggi, dan manusia memiliki
bentuk kehidupan yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Dan
dari sisi ini benda-benda padat tidak memiliki kehidupan, namun
dari sisi yang lain benda-benda padat memiliki suatu ben tuk kehidupan,
pengetahuan, pemahaman, dan ini merupakan sebuah
kenyataan yang diajarkan oleh Al-Quran kepada kita. “Tidakkah
kamu tahu bahwasannya Allah; kepadaNya bertasbih apa yang ada
p:184
di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya.
Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya,
dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan(QS an-Nur: 41)
Telah saya katakan bahwa berkenaan dengan kata “alam tara”
sebagian berpendapat bahwa maksudnya ialah “alam ta’lam” (tidakkah
kamu tahu)? yang maksud mereka adalah tasbih dengan
menggunakan “bahasa keadaan”. Akan tetapi almarhum Faidh
dalam buku tafsirnya Ash-Shafi menukil dari seorang yang agung,
bahwa di sini yang diajak berbicara adalah Nabi Saw. Al-Quran
berkata kepada Nabi Saw. “Tidakkah kau menyaksikan?” Yakni kau
telah menyaksikan semua itu.
“Tidakkah kamu melihat bahwa Allah; kepada-Nya bertasbih
apa yang ada di langit dan di bumi.” Bukankah kau telah melihat
semua bertasbih kepada Allah, apa-apa yang ada di langit dan apaapa
yang ada di bumi. Karena di sini apa-apa disebut dengan kata
“man” (bukan “maa”—pen.) maka mereka mengatakan bah wa ayat
ini tidak bersifat umum, namun khusus para malaikat yang ada di
langit dan manusia yang ada di muka bumi. Namun sebagian yang
lain mengatakan, “Tidak, kata “man” yang ada di sini tidak ada
bedanya dengan kata “maa” karena hendak menisbatkan sebuah
Fi'il (pekerjaan) pada mereka, yang pekerjaan itu merupakan suatu
pekerjaan khusus mereka yang berakal.” Ketika menggunakan kata
“man” bukan berarti kemudian hendak mengatakan bahwa mereka
yang bertasbih kepada Allah adalah manusia atau malaikat.
Namun karena pekerjaan mereka itu menyerupai pekerjaan manusia,
maka mereka disebut sebagai “pribadi” dan bukan sebagai
“benda”. Tidakkah kau menyaksikan bertasbih kepada Allah pribadi-
pribadi yang ada di langit dan pribadi-pribadi yang ada di bu mi,
dan juga burung-burung yang tengah beriringan?
“Masing-masing telah mengetahui (cara) salat dan tasbihnya.”
Kalimat ini juga ditafsirkan dalam dua bentuk penafsiran. Sebagian
mengatakan bahwa Allah mengetahui cara salat semua ciptaan ini.
Namun pendapat yang terbaik ialah—yang juga berhubungan dengan
ayat sesudahnya, karena pembahasan itu dijelaskan pada ayat
p:185
yang sesudahnya—masing-masing menge tahui bagaimana cara
bertasbih dan melakukan salat. “Masing-masing telah mengetahui
(cara) salat dan tasbihnya dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Mereka mengetahui pekerjaan masing-masing, dan Allah Yang Maha Tinggi
mengetahui semua pekerjaan mereka.
Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci.
p:186
p:187
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«وَلِلَّهِ مُلْکُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَی اللَّهِ الْمَصِیرُ (42)»
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada
Allah-lah kembali (semua makhluk). (QS an-Nur: 42)
«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُزْجِی سَحَابًا ثُمَّ یُؤَلِّفُ بَیْنَهُ ثُمَّ یَجْعَلُهُ رُکَامًا فَتَرَی الْوَدْقَ یَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَیُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِیهَا مِنْ بَرَدٍ فَیُصِیبُ بِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ یَشَاءُ یَکَادُ سَنَا بَرْقِهِ یَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ (43)»
Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian
mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya. Kemudian menjadikannya
bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari
celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran)
es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti)
gunung-gunung. Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada
siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa
yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir
menghilangkan penglihatan.
(QS an-Nur: 43)
p:188
Dua ayat yang saya baca ini; ayat pertama adalah sebuah
ayat yang pendek dan terdiri dari dua bagian, yang mana
kedua bagian dari ayat ini merupakan penyempurnaan ayat-ayat
yang telah ditafsirkan pada pertemuan yang lalu. Bagian pertama
dari ayat itu menyebutkan, “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi,” kekuatan dan kepemimpinan yang ada di seluruh
langit dan di bumi ini adalah berasal dari-Nya. Semuanya berada
dalam genggaman, kekuasaan dan perintah-Nya. Tidak ada suatu
ciptaan pun yang dapat lepas dari pengaruh dan perintah-Nya. Bagian
kedua menyebutkan, “dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)".
Kata “mashir” adalah berasal dari kata “shairurah” yang
artinya ialah perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain,
dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Sebagaimana ketika kita
mengatakan bahwa dari sperma berubah menjadi segumpal darah,
dan dari segumpal darah berubah menjadi segumpal daging,
kemudian segumpal daging berubah menjadi tulang yang kemudian
menjadi seorang bayi, menjadi anak-anak dan menjadi orang
dewasa. Alam kita ini adalah alam “perubahan”—dalam arti sebagaimana
yang saya paparkan—alam adalah shairurah. Jika kita
ambil contoh sepotong kayu, kayu ini pada awalnya adalah bukan
kayu yang ada sekarang ini, akan tetapi sesuatu yang lain yang
berubah menjadi “kayu” dan kayu ini tidak akan berupa kayu untuk
selama-lamanya namun akan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Ada sebuah pertanyaan dan itu adalah, “Akhir dari perubahan
ini; tanah menjadi manusia, manusia men jadi tanah, air, tanah
dan udara menjadi tumbuhan, tumbuhan menjadi binatang,
binatang menjadi manu sia, apa akhir dari perubahan ini? Apakah
perubahan-perubahan ini tanpa tujuan? Sesuatu menjadi sesuatu
yang lain, dan sesuatu yang lain itu menjadi sesuatu yang lain lagi,
dan seterusnya.... ? Atau tidak demikian. Apakah akhir dari semua
perubahan adalah menuju Allah, dan roh, serta Ma’ad (hari kebangkitan)
adalah semacam itu? Kalimat “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada
Allah-lah kembali (semua makhluk)” Pada dasarnya ayat ini mengatakan, “Segala sesuatu
berasal dari Allah, dan kembali kepada Allah,” artinya sama dengan
arti ayat yang mana Al-Quran memerintahkan seseorang yang
p:189
mendengar adanya suatu musibah agar mengucapkan, “Inna lillahi
wa inna ilaihi raji’un”, (Sesungguhnya kita datangnya dari Allah,
dan kepada-Nya lah kita akan kembali) (QS al-Baqarah:156).
Dengan perbedaan bahwa pada ayat ini kita membacanya dengan
“inna” (sesungguhnya kita) secara lahiriah ayat ini dikhususkan untuk
manusia, sedangkan pada ayat itu tidak ada sedikit pun isyarat
untuk itu. Ayat tersebut mengatakan, “Se gala sesuatu datangnya
dari-Nya dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya.
Di antara doa yang dibaca antara takbir iftitahiah—yakni
enam takbir mustahab yang dilakukan sebelum takbiratul ihram—
mustahab untuk membaca doa ini.
“Di sini saya hadir, dan kebaikan adalah yang ada di kedua
tangan-Mu, dan keburukan bukan dari-Mu; dan orang yang
mendapat petunjuk ialah orang yang Engkau beri petunjuk, aku
adalah hamba-Mu dan anak dari kedua hamba-Mu, merasa hina di
antara kedua tangan-Mu, dari-Mu, dan bagimu-Mu, dan milik-Mu,
dan kepada-Mu. Tauhid adalah dari-Mu (segala sesuatu datangnya
dari-Mu), dan bagimu-Mu, dan milik-Mu, dan menuju kepada-Mu.”
Dalam surah an-Nur ini, terdapat dua kata tersebut yaitu laka
(milik-Mu) dan ilaika (kepada-Mu). “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan
kepada Allah-lah kembali (semua mahluk).” Tampaknya ayat ini
merupakan sebab dari ayat yang sebelumnya
yang mengatakan bahwa, “segala sesuatu itu bertasbih
kepada Allah dan mengenal serta memuji Penciptanya”, sebabnya
ialah karena segala sesuatu itu milik-Nya dan akan kembali kepada-
Nya, dan disebabkan inilah maka seluruh wujudnya adalah
tasbih, gerakan dan langkahnya adalah tasbih. Berkenaan dengan
hal ini Maulawi memiliki sebuah syair yang sangat indah. Ia mengatakan:
Tiap-tiap bagian menuju pada asalnya
Burung kenari bersuka ria di atas bunga
Sibghatallah nama untuk warna yang indah
p:190
Laknatullah bau dari warna yang kotor
Yang datangnya dari laut akan kembali ke laut(1)
Dari mana dia datang ke situ dia kembali(2)
Dari puncak gunung mengalir air yang deras
Dari dalam diri kita mengalir jiwa cinta
“Dan kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi,” semua
dari-Nya “dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk” dan
menuju kepada-Nya. Berdasarkan ayat itu, dari-Nya dan kepada-
Nya.
Meskipun ayat berikutnya berbicara berkenaan dengan turunnya
hujan, terjadinya awan, curah hujan dan butiran-butiran
es serta ciri-ciri khusus semua itu, yang ayat ini juga—kemungkinan
insya Allah saya dapat menjelaskannya pada pertemuan yang
akan datang—merupakan di antara mukjizat Al-Quran. Namun
sekarang ini saya tidak akan membahas ayat itu. Pada pertemuan
yang akan datang insya Allah akan saya paparkan permasalahan
itu. Pembahasan kita se karang ini adalah pembahasan bertasbihnya
berbagai ciptaan, dan pembahasan kembalinya segala sesuatu
kepada Sang Pencipta. Pada malam-malam ini, adalah malammalam
bulan Ramadhan yang penuh berkah, saya akan uraikan
kepada kalian sebuah pembahasan. Agama memiliki sebuah ajaran
yang ajaran itu tidak dapat diciptakan melainkan oleh agama,
yakni akal, ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia tidak dapat
menciptakan ajaran itu. Jika ajaran itu hanya sebatas akal, ilmu
pengetahuan dan pemikiran manusia, maka urusan itu akan diserahkan
kepada akal dan ilmu pe ngetahuan manusia dan tidak lagi
ada pengutusan para nabi. Islam sangat menghargai akal manusia,
sangat menghargai pemikiran manusia, sangat menghargai ilmu
pengetahuan, kajian, ujicoba dan penelitian ber bagai ciptaan yang
ada di alam, yang menurut istilah Al-Quran berjalan dan memperhatikan
apa-apa yang ada di berbagai ufuk dan di dalam diri
p:191
sendiri. Namun, bukan berarti ketika akal, pemikiran, argumen,
eksperimen, ilmu pengetahuan, semakin maju dan berkembang
lalu mampu untuk mengeluarkan berbagai ajaran sebagaimana
yang dikeluarkan oleh agama. Hanya agama yang mampu menciptakan
ajaran itu. Sebatas yang kalian miliki dari ilmu pengetahuan,
akal, semua itu hanya “meng-iya-kan” berbagai hakikat yang telah
dijelaskan oleh agama. Menurut pendapat William James, “Semua
itu setelah ada bimbingan dari agama”; yakni setelah agama mengungkapkan
berbagai ha kikat itu, kemudian untuk kedua kalinya
ilmu penge tahuan mengadakan penelitian tentang masalah yang
telah dijelaskan dan ditegaskan oleh agama itu, demi mendapatkan
keyakinan.
Satu di antara ajaran itu ialah masalah ini—menurut istilah
sekarang—merubah pandangan kita terhadap dunia, yakni pandangan
kita terhadap dunia menjadi berubah. Dunia yang kita lihat
dan kita rasakan dengan indera dan akal kita adalah sebuah
dunia dalam bentuk tersendiri, dan dunia yang ditunjukkan oleh
sinar wahyu kepada kita adalah dunia ini juga, akan tetapi secara
lebih rinci. Wahyu mengatakan ke pada kita, “Dan tak ada suatu
pun melainkan bertasbih dengan memujinya-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka” (QS al-Isra’: 44). Seluruh
wujud yang ada di alam ini, ‘lisan’ mereka senantiasa mengucapkan
tasbih kepada Allah, namun kalian tidak mengetahuinya.
Demikian pula tentang diri manusia itu sendiri, dan ini jauh lebih
penting. Kita mengetahui tentang mata kita, kita mengetahui
tentang telinga kita, kita mengetahui tentang indera peraba, kita
mengetahui tentang penciuman, kita mengetahui tentang indera
perasa, kita mengetahui tentang akal dan pemikiran, namun selain
itu kita mengetahui sesuatu yang lain yang ada dalam tubuh kita.
Para nabi datang dan me ngatakan—sesuai dengan sebuah ungkapan
yang terkenal—”Wahai manusia! Dari keberadaanmu yang
nyata ini beberapa dari itu masih tersembunyi.”
Demi mendekatkan pada permasalahan ini saya akan kemukakan
sebuah perumpamaan yang sederhana, dan sebuah pembahasan
ilmiah. Saya masih ingat ketika saya masih kecil, para orang
tua umumnya ketika melihat seorang anak yang nakal, maka mer
p:192
eka akan mengatakan demikian, “Kau lihat anak kecil ini? Dua kali
dari yang kau lihat ini, ada di dalam tanah.” Yakni kau jangan menganggap
bahwa dia sekecil ini, dia beberapa kali lebih besar dari
ini. Kau melihat tubuh anak ini? Dua kali dari ukuran tubuhnya
itu ada di dalam tanah. Ini adalah sebuah perumpamaan dari masyarakat
awam.
Ilmu pengetahuan pada masa sekarang ini juga telah berhasil
menyingkap hakikat jiwa manusia. Pada masa yang lalu sebagian
besar(1) mereka memiliki
dugaan bahwa tubuh saya ialah tubuh
yang saya lihat ini, dan jiwa saya ialah yang ada di dalam batin saya.
Saya mengetahui batin dan hati saya. Ini adalah tubuh saya dan ini
adalah jiwa saya; jika saya tidak mengetahui sesuatu yang lain, saya
mengetahui tubuh dan jiwa saya. Namun para ahli ilmu jiwa pada
masa sekarang ini, para pisikiater, berhasil membuktikan bahwa
jiwa manusia itu yang dapat diketahui oleh manusia adalah hanya
sebagian kecilnya saja, dan sebagian besarnya tidak dapat diketahui.
Mereka membuat sebuah per umpamaan demikian, “Jika
Anda melemparkan semangka atau sepotong es ke dalam kolam,
kemudian perhatikanlah berapa banyak bagian dari semangka dan
potongan es ini yang berada di luar air, dan berapa banyak yang
ada di dalam air. Ketika Anda perhatikan, pasti Anda akan melihat
bahwasanya hanya sebagian kecil dari semangka dan potongan
es itu berada di luar air, sementara sisanya berada di dalam air.”
Mereka mengatakan bahwa jiwa manusia adalah semacam itu; sebagian
kecil dari jiwa manusia diketahui oleh manusia itu sendiri,
sementara itu sebagian besar dari jiwa manusia itu masih tersembunyi.
Setiap orang pasti memiliki sebuah alam batin yang di sana
tersembunyi hakikat pribadinya. Dan dunia itu disebut dengan dunia
perasaan batin. Dan terkadang dunia yang tersembunyi sekalipun
dari manusia itu sendiri, di alam mimpi atau nyata, maka pada
saat emosi atau marah akan muncul keluar.
Maulawi sungguh luar biasa. Ia memberikan jawaban yang
sangat menakjubkan berkenaan dengan masalah kejiwaan. Sekalipun
para ahli jiwa di abad dua puluh ini berhasil menyingkap
p:193
permasalahan itu, namun pribadi yang ‘arif ini dan banyak juga
dari para ahli irfan yang lain memberikan pandangan semacam
itu. Maulawi mengatakan, “Wahai manusia jangan kau mengira
bahwa kau telah mampu mengetahui dengan benar apa-apa yang
ada dalam jiwamu.
Saat kau mandi di sungai
Tubuhmu tertusuk duri di dalam air
Meski duri tersembunyi di dalam air
Tusukannya pertanda bagimu ia ada
Ia mengatakan bahwa bukankah pernah terjadi di saat Anda
melepas baju, kemudian menyelam ke da lam sungai untuk mandi,
airnya mengalir, tatkala Anda melihatnya Anda menyaksikan bahwa
air itu sangat jernih dan bersih, serta tidak ada sesuatu apa pun.
Namun ketika Anda memasukkan kepala ke dalam air itu, sampai
ke dasar sungai, tiba-tiba anda merasakan ada sebuah benda tajam
yang mengenai kepala Anda. Jelas di situ terdapat duri. Duri itu
ada di dalam air, dan Anda tidak mengetahuinya. Saat Anda masuk
ke dalam air dan duri itu menusuk tubuh, maka saat itu Anda
sadar. Anda tetap tidak dapat melihat duri itu, namun karena duri
itu telah membuat Anda kesakitan, maka Anda menyadari akan
keberadaaanya. Kemudian ia mengatakan:
Duri-duri dari berbagai perasaan dan bisikan
Dari beribu-ribu orang dan bukan dari seorang saja46
Ia mengatakan, “Wahai manusia, terkadang kau mengira
bahwa kau adalah sosok yang sangat suci dan bersih serta tidak
memiliki kekurangan. Namun jika kau perhatikan terkadang ada
sebuah duri (duri-duri jiwa yang ada dalam dirimu) yang munculnya
dari berbagai keinginan, bisikan-bisikan, ketahuilah bahwa
dalam dirimu terdapat berbagai hal yang tidak kamu ketahui.”
46 Matsanawi, buku pertama.
p:194
Ia menyebutkan sebuah perumpamaan yang lain, yaitu manusia
diumpamakan dengan sebuah kolam yang di dasar kolam
itu penuh dengan kotoran—ko toran binatang dan lain sebagainya—
yang terkumpul, namun semua itu tenggelam dan berada di
dasarnya. Di pagi buta ketika seseorang mendekati kolam itu, ia
melihat air yang ada cukup bersih dan jernih laksana air mata. Seseorang
tidak akan menduga bahwa di dasar kolam itu ada sesuatu
yang lain. Namun, ketika setelah dua atau tiga jam dari terbitnya
matahari, sinar matahari memancar ke atas air tersebut, panas
mata hari membuat yang ringan menjadi berat dan yang berat
menjadi ringan, tiba-tiba akan terlihat berbagai kotoran bermunculan
dari dasar kolam itu, tiba-tiba tampak jelas bahwasanya dari
dasar kolam itu ada ko toran yang naik ke permukaan air; sepotong
kotoran binatang. Seseorang tidak akan percaya jika di dasar kolam
yang airnya bersih dan jernih, akan terdapat kotoran semacam itu.
Ia mengatakan, “Wahai manusia terkadang saat kau memperhatikan
jiwamu—dalam suatu kondisi tertentu—lalu kau mengucapkan,
“Alhamdulillah, saat aku perhatikan diriku, aku tidak melihat
adanya akhlak yang tercela.” Ketahuilah kau salah menduga! Tunggulah
sampai matahari memancarkan sinarnya, tunggulah sampai
ada sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan hatimu, saat itu
ujilah dirimu, kemudian saksikanlah betapa banyak sesuatu yang
bermunculan dari dasar jiwamu yang berupa ucapan, perbuatan,
umpatan, cacian, makian, gunjingan, dan dalam bentuk-bentuk
yang lain.”
Tujuan saya dari semua ini ialah, menurut pendapat ilmu
pengetahuan masa kini bahwa jiwa manusia, hanya sebagian kecilnya
saja yang berhasil diketahui, sedangkan sebagian besar tidak
diketahui sekalipun oleh pribadi manusia itu sendiri. Kita membaca
dalam surah Thaha, “maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia
dan yang lebih tersembunyi.” (QS Thaha: 7). Allah mengetahui
rahasia, dan yang lebih tersembunyi dari rahasia. Ada seseorang
yang bertanya kepada Imam Ali bin Abi Thalib as, apakah yang
dimaksud dengan ‘lebih tersembunyi dari rahasia’? Apakah ‘ada
sesuatu yang lebih tersembunyi dari rahasia’? Imam as menjawab,
“Ya, yang lebih tersembunyi dari rahasia itu adalah, ada sesuatu
p:195
dalam jiwamu dan kau tidak mengetahuinya. Rahasia ialah sesuatu
yang kau ketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Dan
yang lebih tersembunyi dari rahasia ialah kau tidak mengetahui
namun ada dalam dirimu.”
Dalam doa Kumail, terdapat sebuah ungkapan yang menjelaskan
masalah ini. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as mengeluh
kepada Tuhannya bahwa dalam dirinya terdapat berbagai perbuatan
tercela, dan para malaikat-Nya yang senantiasa mengawasinya
mengetahui semua itu namun:
“Dan Engkau sendiri pengawal di belakang mereka, menyaksikan
apa yang tersembunyi pada mereka; ada berbagai sesuatu
dalam diri saya ini yang tidak” diketahui oleh para malaikat, hanya
Engkau yang mengetahuinya. Sungguh luar biasa bahwa dalam
diri saya terdapat berbagai sesuatu yang malaikat tidak mampu
untuk mengetahuinya, tetapi hanya Engkau yang mampu untuk
mengetahuinya.”
Perumpamaan awam dan juga pendapat para cendikiawan
masa sekarang ini keduanya membuktikan, bahwa jiwa manusia
hanya sebagian kecil tampak jelas, sedangkan sebagian besar tak
terlihat dan tersembunyi. Semua itu saya paparkan dengan tujuan
untuk menyatakan bahwa bukan hanya jiwa manusia yang tersembunyi,
namun dunia ini juga tersembunyi. Kita hanya menyaksikan
sebagian kecil dari alam ini, sedangkan sebagian besarnya seperti
bagian buah semangka yang ada di dalam air, itu adalah batin dari
alam ini, itu adalah jiwa dari alam ini, dan kita tidak mengetahuinya.
Diri kita sendiri pun demikian pula. Selain mata yang ada di
kepala ini, kita memiliki mata yang lain, selain telinga ini kita memiliki
telinga yang lain, selain perasa ini kita memiliki perasa yang
lain, selain peraba ini kita memiliki peraba yang lain, selain penciuman
ini kita memiliki penciuman yang lain, selain semua itu
kita memiliki suatu kekuatan yang lain. Telah saya katakan bahwa
seorang yang bersih, suci dan bertakwa, mampu mendengar berbagai
suara yang ada di dunia ini yang kita tidak mampu untuk
mendengarnya. Hal itu menunjukkan adanya indera yang lain.
p:196
Ilmu pengetahuan sekarang ini menduga adanya berbagai
indera yang lain, bahkan binatang mampu merasakan adanya sesuatu
yang tidak dapat dirasakan oleh manusia. Ada sebuah hadis
dari Rasul mulia Saw, beliau mengatakan: “Sebelum saya diutus
menjadi nabi, ketika saya menggembala kambing, terkadang saya
menyaksikan kambing-kambing itu mengangguk-angguk, namun
saya tidak merasakan adanya sesuatu. Dan setelah saya diutus
menjadi Rasul, saya menanyakan hal itu dan saya mendapatkan
jawaban bahwa binatang-binatang itu mampu mendengar sesuatu
yang tidak dapat didengar oleh manusia.”
Untuk apakah ibadah itu? Agar diri kita menjadi terang,
yakni indera yang namanya terserah kalian beri nama apa; indera
keenam, kesepuluh, keseratus. Agar kita mengetahui batin
dari alam ini, mengenal jiwa alam ini, kita menemukan hati dan
jiwa kita sendiri untuk kemudian mampu mengenal jiwa alam ini.
Fakhrur Razi memiliki sebuah syair yang cukup indah, ia mengatakan:
Aku khawatir meninggalkan alam, tak melihat jiwa(1)
Aku keluar dari alam, tak melihat alam
Di alam jiwa aku pergi dari alam badan(2)
Di alam badan tak melihat alam jiwa
Ia mengatakan bahwa ketika ia masih ada di sini, sementara
ia masih belum mengenal alam jiwa, setelah itu maka tidak ada
manfaatnya lagi. Dan ketika ia mati maka ia dalam keadaan buta.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Quran, “Dan barangsiapa
yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih
tersesat dari jalan yang benar.” (QS al-Isra’: 72).
Seseorang yang di alam dunia ini buta, maka di akhirat ia buta dan
lebih tersesat. Apakah maksud dari “buta” ini? Apakah maksudnya
seseorang yang di dunia ini tidak memiliki biji mata? Hal itu bukan
merupakan kesalahan bagi seseorang. Betapa banyak orang-orang
p:197
yang saleh yang tidak memiliki biji mata. Almarhum Sayid Ahmad
Kabala’i seorang yang sangat agung, senantiasa mengadakan surat
menyurat dengan se orang cendekiawan yang sangat agung, yaitu
almarhum Syaikh Muhammad Husain Isfahani, di mana beliau
adalah guru dari Allamah Thabathaba’i (sallamahullah ‘alaiti).
Diceritakan bahwa Sayid Ahmad Karbala’i pada surat terakhirnya
menulis, “Aku berharap mataku yang lain ini juga menjadi buta
agar tidak ada lagi yang aku lihat kecuali Dia.” Buta yang semacam
ini ‘lebih melihat’ dari mereka yang melihat.
Abu Bashir—seorang sahabat dari Imam Muham mad al-Baqir
as dan Imam Ja’far ash-Shadiq as—adalah seorang yang buta.(1)
Pada suatu hari Imam al-Baqir as duduk-duduk dengan para sahabatnya
di Masjid Madinah. Imam al-Baqir as membuktikan kebenaran
ayat itu, yang mungkin kalian akan merasa heran, namun
kalian tidak perlu merasa heran karena hal itu dimiliki oleh para
pengikut beliau. Imam al-Baqir as berkata kepada para sahabatnya
yang ada di situ, “Sekarang saya dalam posisi duduk ini tidak akan
menampakkan diri, jika ada orang yang datang tanyakanlah padanya
tentang keberadaanku dan lihatlah jawaban mereka.” Kemudian
ada serombongan orang yang datang, lalu salah seorang sahabat
Imam al-Baqir as bertanya kepada mereka, “Kalian mengetahui
di manakah Abu Ja’far (nama panggilan Imam Baqir as—pen.)?”
Me reka menjawab, “Kami tidak tahu” (padahal Imam al-Baqir as
duduk di hadapan mereka, namun mereka tidak melihatnya). Abu
Bashir seorang yang buta itu datang memasuki masjid. Imam al-
Baqir as memberi isyarat agar menanyakan kepadanya. Sahabat
tersebut bertanya: “Wahai Abu Bashir apakah kau mengetahui di
manakah Abu Ja’far?” Ia menjawab, “Lalu siapakah matahari yang
terang yang duduk di sini ini?”
Kedudukan seseorang tersebut, menunjukkan bah wa dalam
diri seseorang terdapat indera yang jika itu dipelihara maka ia akan
dapat melihat berbagai benda yang tidak dapat dilihat oleh biji
p:198
mata. Jika pada masa lalu masyarakat merasa heran terhadap ucapan
ini, dan mengatakan bahwa kita tidak memiliki indera lebih
dari lima, namun sekarang telah berhasil dibuktikan bahwa dalam
diri manusia terdapat indera yang lain, minimal ada potensi untuk
memilki indera itu.
Jika demikian, maka ayat Al-Quran yang menyebutkan, “Dan
barang siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat nanti ia akan lebih buta
dan tersesat dari jalan yang benar” apa
yang hendak dikatakan? Siapa saja yang buta di dunia ini maka di
‘dunia itu’ ia akan lebih buta. Al-Quran bukan hendak mengatakan
bahwa jika seseorang matanya buta maka demikian jadinya.
Ibnu Ummi Maktum salah seorang sahabat Nabi Saw adalah
seorang yang buta. Kisah yang berkenaan dengan surah “Abasa”,
sebagian mengatakan bahwa itu berhubungan dengan pribadi Rasul
Saw, sebagian mengatakan bahwa itu berhubungan dengan Usman.
Sebagian mengatakan bahwa tatkala Rasul Saw tengah sibuk
memberi petunjuk kepada seseorang, lalu beliau melakukan hal
itu (bermuka masam—pen.). Yakni ketika Ibnu Ummi Maktum
masuk, beliau tidak memberikan penghormatan yang semestinya,
disebabkan beliau sedang sibuk memberi petunjuk orang lain. Sebagian
yang lain mengatakan, “Tidak, yang dimaksud oleh ayat itu
adalah Usman, ia bersikap angkuh.” Alhasil ayat Al-Quran telah
turun, “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang
seorang buta kepadanya.” Orang itu (Rasul Saw atau orang lain)
mukanya cemberut dan masam, serta berpaling ketika ada se orang
buta yang datang. Mengapa? Buta lahiriah bukanlah sebuah dosa.
Jika demikian maka Al-Quran bukannya hendak mengatakan
bahwa setiap orang yang matanya buta di dunia ini, maka di dunia
itu matanya akan lebih buta. Dia hendak mengatakan, “Wahai
Muslimin! Kalian bukan hanya memiliki mata yang ada di kepala
ini, berusahalah agar mata hatimu senantiasa terbuka.”
Dalam ayat yang lain Al-Quran mengatakan, “Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan
yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124). Seseorang yang melupak
p:199
an Kami, sese orang yang melupakan Tuhan—yang merupakan
cahaya bagi langit dan bumi—seseorang yang hatinya tidak disinari
dengan cahaya itu, dan rumah hatinya dalam keadaan gelap,
akibat dari semua itu ialah ia akan merasakan berbagai tekanan
di dunia ini. Meskipun ia mempunyai kedudukan dan harta duniawi,
ia tetap merasa tertekan. Dan di akhirat nanti ia akan Kami
bangkitkan dalam keadaan buta, dan di akhirat ia akan memprotes
Kami dengan mengatakan, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya
adalah seorang yang melihat?” (QS Thaha: 125). ‘Wahai Tuhanku
sewaktu aku di dunia aku dapat melihat, mengapa Eng kau masukkan
aku ke sini dalam keadaan buta?’ Tahukah kalian apa jawaban
yang diberikan kepadanya? Akan dijawab bahwa penglihatan
di dunia tidak dapat digunakan di sini. Di sini diperlukan sebuah
penglihatan yang lain, yang mesti kau dapatkan di dunia. “Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat kami, maka kamu melupakannya, dan begitu pula pada hari ini kamu
pun dilupakan.” (QS Thaha: 126). Kau tidak berhasil mendapatkan
penglihatan di dunia, yang dengan itu kau dapat menyaksikan tanda-
tanda kebesaran-Ku. Saat itu tanda-tanda kebesaranku ada di
depan matamu, dan kau tidak melihatnya, saat itu kau buta, jelas
dengan demikian maka di sini kau menjadi buta. Seseorang yang
di dunia memiliki pen glihatan batin, maka di sini ia akan memiliki
penglihat an. Penglihatan lahiriah bukan merupakan ukuran.
Pada sebuah ayat di surah al-Hadid(1) dijelaskan suasana
hari kiamat, “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan
perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah
kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu”,
orang-orang munafik, laki-laki dan perempuan munafik pada hari
kiamat ketika melihat orang-orang yang beriman datang dengan
membawa pelita, sedangkan mereka dalam kegelapan dan tidak
membawa pelita. Orang-orang yang berwajah gelap ini berkata
kepada orang-orang yang beriman, “Tengoklah kami, agar kami
p:200
mendapatkan cahayamu.” Mereka menjawab, “Sayang sekali cahaya
ini tidak dapat digunakan oleh orang lain.” Dikatakan (ke-
pada mereka “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri
cahaya untukmu”, cahaya ini mesti kalian dapatkan di dunia, pelita
ini mesti kau dapatkan dari sana. “Lain diadakan diantara mereka
dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat
dan di sebelah luarnya dari sisi itu ada siksa.” (QS al-Hadid: 13).
Mungkin saja pada hari kiamat nanti ada dua orang yang berjalan
bersama-sama, yang satu melihat alam itu sangat terang benderang,
sedangkan yang satunya melihat seluruh alam itu gelap gulita;
karena pelita itu adalah pelita batin seseorang yang batinnya
diterangi dengan cahaya pelita itu, diterangi dengan cahaya langit
dan bumi, diterangi dengan cahaya Allah; baginya segala sesuatu
adalah terang benderang. Sedangkan seseorang yang pelita batinnya
dalam keadaan padam dan gelap, ia melihat segala sesuatu
gelap gulita. Ia akan memohon kepada ini dan itu, “Wahai kawan
pinjamilah aku ca hayamu”, dan akan dijawab, “Maaf, ini tidak
dapat dipinjam-pinjamkan.”
Malam malam “ihya” (berjaga) semakin dekat. Betapa ungkapan
yang sangat indah yang disabdakan oleh Nabi Saw berkenaan
dengan bulan suci Ramadhan; sangat menakjubkan; beliau
bersabda, “Kalian diundang sebagai tamu Allah.”(1) Pada bulan ini
kalian diundang oleh Allah sebagai tamu-Nya. Pada bulan ini Allah
se bagai penerima tamu, dan kalian sebagai tamu. Oleh karena
itu sadarlah bahwa pintu-pintu rahmat Ilahi di bulan ini terbuka
lebar! Tentunya kalian mengetahui hubungan antara penerima
tamu dan tamu, penerima tamulah yang melayani, dan memuliakan
tamunya. Setiap orang ketika kedatangan seorang tamu
yang dermawan—karena orang itu sebagai tamu—maka ia pasti
akan memuliakan tamu itu. Hendaklah kalian berusaha, minimal
kalian dapat tergolong sebagai ta mu yang hadir dalam hidangan
penerima tamu ini. Puncak maknawi bulan Ramadhan adalah
pada Lailatul Qadar ketika sudah dekat. Selama dua puluh hari ini
tentunya kita telah melaksanakan berbagai persiapan, sehingga
pada malam-malam Lailatul Qa dar—malam sembilan belas, dua
p:201
puluh satu, dua puluh tiga—kita tergolong sebagai tamu yang kemudian
dapat hadir pada jamuan penerima tamu ini. Puasa yang
kita kerjakan, yang menurut gambaran kita adalah mengekang
nafsu amarah, memerangi alam mated , mengunggulkan maknawi
ke atas materi, memperbanyak zikir, memperbanyak doa, memperbanyak
membaca Al-Quran, semuanya itu merupakan persiapan
agar dalam malam-malam ihya ini kita dapat menjadi sebagai
seorang tamu yang hadir di jamuan rahmat Sang Pencipta. Kita
bertaubat, kembali, memohon ampun, memohon rahmat dari Tuhan
Yang Maha Tinggi, memohon kebahagiaan bagi kita semua,
bagi saudara-saudara kita yang mukmin, bagi masyarakat Islam,
dan memohon perbaikan jiwa kita. Ibadah adalah semata-mata untuk
memberikan kecerahan. Kita beribadah adalah sebagai suatu
perantara, yang dengan ibadah itu kita dapat mengingat Allah dan
melupakan yang selain-Nya, dapat keluar dari berbagai kegelapan,
kekotoran, sehingga hati kita menjadi terang benderang karena
cahaya Ilahi.
p:202
p:203
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ یُزْجِی سَحَابًا ثُمَّ یُؤَلِّفُ بَیْنَهُ ثُمَّ یَجْعَلُهُ رُکَامًا فَتَرَی الْوَدْقَ یَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَیُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِیهَا مِنْ بَرَدٍ فَیُصِیبُ بِهِ مَنْ یَشَاءُ وَیَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ یَشَاءُ یَکَادُ سَنَا بَرْقِهِ یَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ (43)»
Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian
mengumpulkan awan, kemudian mengumpulkan antara (bagianbagian)
nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga)
menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-
gumpalan awan seperti) gunung-gunung maka di timpakan-
Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilau kilat
awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (QS an-Nur:43)
«یُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّیْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِی ذَلِکَ لَعِبْرَةً لِأُولِی الْأَبْصَارِ (44)»
Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang yang
mempunyai penglihatan. (QS an-Nur: 44)
p:204
Ayat-ayat ini merupakan lanjutan ayat dari surah an-Nur
yang mulia. Semua ayat ini memiliki satu tujuan, dan
tujuan itu ialah semua ciptaan yang ada di alam ini berada dalam
sebuah cahaya, terang, disebabkan cahaya Allah dan pengaturan
yang bijaksana. Pada sebuah ayat yang saya telah menafsirkannya
pada dua pertemuan yang lalu, dijelaskan mengenai berbagai hal
yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat oleh pandangan lahiriah,
di mana itu adalah bertasbihnya berbagai benda (ciptaan).
Namun dalam ayat ini dan ayat berikutnya akan dijelaskan dua kejadian
yang ada di alam ini—khususnya pada akhir ayat-ayat ini
terdapat ungkapan-ungkapan berkenaan dengan masalah itu—
yang mana dengan menggunakan pengli hatan yang jujur dan pandangan
penuh teladan—pandangan yang memberikan pengaruh
dan mempengaruhi—kita memandang dan menyaksikan semua
itu. Dua kejadian itu salah satunya berhubungan dengan masalah
angin, awan, hujan, butiran-butiran es, yang menurut istilah para
cendekiawan dahulu disebut dengan “benda-benda angkasa”. Dan
satu yang lain berhubungan dengan penciptaan berbagai binatang,
ilmu kehidupan binatang, alhasil Al-Quran hendak mengungkapkan
berbagai tujuannya. Tujuan Al-Quran dalam menjelaskan
semua ini sangat berbeda dengan tujuan para ahli ilmu bendabenda
angkasa dan para ahli ilmu biologi. Tujuan Al-Quran dalam
menjelaskan semua ini adalah hendak menunjukkan kepada manusia
berbagai jalan yang menuju tauhid, pengenalan Tuhan dan
maknawi.
Sekarang saya akan menjelaskan secara ringkas ayat pertama
yang telah saya sebutkan bahwa ayat itu berkenaan dengan “benda-
benda angkasa”. Ada kejadian berantai yang itu sangat penting,
bukannya hanya terjadi di bumi dan di langit dalam artian hanya
sebatas bulan, matahari, bintang-bintang, namun yang terjadi di
angkasa yang mengelilingi bumi ini, pada lapisan udara yang mengelilingi
bumi ini yang mereka menyebutnya dengan “benda-benda
angkasa”. Terbentuknya awan di angkasa, tiupan angin, curahan
hujan, turunnya salju, jatuhnya butiran-butiran es, bertiupnya
angin topan, dan berbagai perubahan yang terkadang dari suatu
kenikmatan menjadi sebuah bencana. Alhasil semua itu merupak
p:205
an sebuah mata rantai dari ber bagai hal yang berhubungan erat
dengan kehidupan berbagai makhluk hidup, di antaranya adalah
manusia. Apakah jika bukan karena angin—udara sangat tenang
seperti air kolam yang seratus persen tenang, dan sama sekali tidak
ada guncangan—akan ada sebuah kehidupan di seluruh penjuru
dunia ini bahkan di kawasan tropis? Sangat jelas, jika tidak ada
hujan maka tidak akan ada tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia.
Saya pribadi belum pernah menghitungnya, namun menurut
mereka yang telah menghitung bahwa dalam Al-Quran ada seratus
lima ayat yang membahas tentang angin, hujan, awan, butiran-
butiran es dan hal-hal semacam ini. Ilmu kita yang berkenaan
dengan “ben da-benda angkasa” adalah seperti ilmu-ilmu yang lain
yang sedikit demi sedikit mengalami perkembangan dan kemajuan,
khususnya setelah ditemukannya alat-alat yang modern, di
mana pada masa lalu alat-alat itu belum ada. Dengan demikian
para cendekiawan sangat mudah sekali dalam mengenali berbagai
kejadian yang ada di angkasa. Misalnya saja, para cendekiawan
yang hidup seribu tahun yang lalu untuk mengetahui awan secara
jelas merupakan suatu hal yang sangat sulit, dan terkadang saat
mereka melihat ada awan yang lebih rendah dari gunung, maka
mereka cepat-cepat naik ke puncak gunung tersebut—suatu perjalanan
yang sangat menyulitkan—untuk kemudian menyaksikan
dari dekat bentuk nyata awan itu. Ibnu Sina mengatakan, “Berkalikali
saya berada di suatu tempat yang mana awan ada di bawah
tempat yang saya pijak.” Berkenaan dengan dari apakah terbentuknya
awan itu, Ibnu Sina dalam salah satu tulisannya menyebutkan,
“Pada salah satu perjalanan yang pernah saya lakukan, bagi
saya masalah itu menjadi jelas bahwa awan itu terkadang terbentuk
dari udara itu sendiri—karena pada masa lalu mereka berkeyakinan
bahwa awan hanya terbentuk dari uap air—dan keyakinan
saya sekarang ialah terkadang udara itu sendiri berubah menjadi
awan dan bukannya mesti dari uap air.” Dan pada masa sekarang
ini telah diketahui dengan pasti bahwa awan adalah udara yang dipenuhi
oleh uap air. Sekarang ketika telah ditemukan alat-alat itu,
mereka mengadakan penelitian dengan menggunakan pesawat
p:206
jet yang terbang tinggi di atas awan. Pesawat jet yang biasa saja,
yang biasa kita gunakan untuk mengadakan perjalanan, mampu
terbang tinggi di atas awan, sehingga ketika seseorang melihat ke
bawah ia akan mengira bahwa bumi dipenuhi dengan salju. Juga
de ngan ditemukannya peralatan radio dan komunikasi, dihasilkan
berbagai penemuan terbaru berkenaan de ngan masalah awan, angin
dan hujan.
Al-Quran mengungkapkan berbagai hal yang berhubungan
dengan angin, awan, hujan dan lain sebagainya—dan dengan melihat
hasil penemuan terbaru, sangatlah menakjubkan—sekalipun
Al-Quran itu sendiri, sebagaimana yang telah saya utarakan,
memiliki tujuan tersendiri. Al-Quran senantiasa menunjukkan
adanya tauhid pada setiap ciptaan-Nya, dan hendak membuat
anak tangga yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan,
menciptakan suatu hubungan antara manusia dan Tuhannya.
Semua itu merupakan tujuan Al-Quran. Namun berbagai ungkapan
Al-Quran yang berhubungan dengan masalah ini sangat mencengangkan
mereka yang mengadakan kajian, serta penelitian ilmiah
khususnya pada masa modern ini dan bahkan semakin hari
semakin bermunculan hal-hal yang mengagumkan. Berkenaan
dengan pembahasan ini saya sarankan bagi para laki-laki,(1) khususnya
para mahasiswa untuk membaca buku yang telah diterbitkan
pada beberapa tahun yang lalu dengan judulAngin dan hujan dalam Al-Quran
pada buku itu terdapat kajian yang cukup rinci
dan dalam. Buku tersebut terdiri dari dua bab. Dalam bab pertama
dibahas mengenai gerakan angin, terjadinya awan, curah hujan,
jatuhnya butiran-butiran es, dan hal-hal semacam ini, berdasarkan
pada hasil riset ilmiah yang dilakukan pada akhir-akhir ini.
Dan pada bab kedua disebutkan satu persatu ayat Al-Quran yang
berhubungan de ngan pembahasan tersebut, dan ketika seseorang
membacanya ia benar-benar akan merasa heran dan kagum, yang
menurut ungkapan buku itu, “Seseorang akan merasakan bahwa
ungkapan-ungkapan itu benar-benar berasal dari suatu sumber
yang lain yang bukan saja seorang nabi—apalagi sebagai seorang
manusia—tidak akan mampu mengetahui hal itu, bahkan seluruh
p:207
manusia sejak dahulu sampai pertengahan abad ini tidak mengetahui
permasalahan tersebut.” Alhasil ungkapan Al-Quran merupakan
satu ungkapan khusus. Kita memiliki dua ayat dalam Al-
Quran yang serupa dengan terdapat sedikit perbedaan. Pertama,
adalah ayat 43 dari surah an-Nur, yang menyebutkan, “Tidakkah kamu melihat
bahwa Allah mengarak awan, kemudian
mengumpulkan awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)
nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahny.” Kedua adalah ayat yang
terdapat pada surah ar-Rum ayat 48 yang berbunyi, “Allah dialah yang mengirim angin,
lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal lalu kamu melihat hujan keluar
dari celah-celahnya.”
Ayat surah ar-Rum mengatakan, Allah Yang Maha Benar yang
mengirim berbagai angin. Pertama, salah satu poin penting yang
mereka sebutkan ialah, dalam hal tertentu Al-Quran menggunakan
kata rih’ (‘angin’ dalam bentuk tunggal), dan dalam hal yang lain
meng gunakan kata riyah (‘angin’ dalam bentuk jamak). Menurut
hasil kajian yang telah mereka lakukan ketika kata angin ini berbentuk
tunggal rih maka angin itu mengakibatkan kerusakan, kebinasaan,
dan azab sebagaimana ayat ini, “ketika Kami kirimkan
kepada me reka berbagai angin yang membinasakan” (QS adz-Dzariyat:
41). Dan ketika Al-Quran hendak menjelaskan bahwa angin
yang datang adalah merupakan rahmat, maka menggunakan kata
angin yang berbentuk jamak riyah. Dan ilmu pengetahuan sekarang
ini membuktikan bahwa angin yang menyebabkan turunnya
hujan bukan dari satu arah saja, namun dari berbagai arah yang
seakan-akan angin-angin itu saling menyerah-terimakan, dan
hanya dalam bentuk yang demikian itulah yang akan menyebabkan
turunnya hujan. Dan yang lebih mengherankan lagi ialah poin
penting ini yang merupakan kesimpulan dari apa yang tercantum
dalam Al-Quran juga tercantum dalam sebuah hadis Nabi Saw yang
berbentuk doa, “Ya, Allah jadikanlah (angin itu) bagi kami sebagai
riyah dan jangan Engkau jadikan bagi kami sebagai rih.(1) Yakni
p:208
angin itu bertiup dalam bentuk yang semacam itu—dari berbagai
arah—karena bentuk semacam itulah yang mendatangkan rahmat.
Bahkan ada yang menanyakan kepada para imam as: “Apakah
bedanya antara rih dan riyah?” Mereka memberikan jawaban yang
sama, mereka mengatakan, “Ketika angin itu satu arah saja, maka
itu adalah azab, dan ketika datangnya angin itu dari berbagai arah
itu adalah rahmat.” Dalam hadis yang lain dari Amirul Mukminin
Ali bin Abi Thalib as mengumpamakan angin dengan sebuah burung
yang memiliki satu kepala dan berbagai-sayap. Para ilmuan
barat juga menggunakan perumpamaan semacam ini. Kurang lebih
Imam Ali as hanya berumur lima puluh tahun, namun beliau
berhasil memastikan bahwa gerakan angin adalah sebagai berikut:
“Jika seseorang memperhatikan berbagai tempat dan posisi gerakan
angin itu, maka ia akan menduga bahwa ada seekor burung
raksasa yang tengah berada di atas dunia.”
Di sini karena Al-Quran hendak menjelaskan tentang angin
yang merupakan rahmat, maka terdapat kata riyah. Telah saya
katakan bahwa jika seseorang ingin mengetahui masalah ini secara
lebih dalam maka hendaklah ia membaca buku Angin dan Hujan dalam Al-Quran
terutama mereka yang sedikit banyak telah mengetahui
tentang masalah yang berkaitan dengan angin dan hujan
akan lebih banyak mengambil manfaat dari buku itu.
“Fa tutsiru sahaban” (lalu angin itu menggerakkan awan) kata
“tutsiru” berasal dari kata “tsawara”(tsara-yutsiru-itsarah) Kata itu asal katanya
adalah dari “revolusi”. Orang-orang arab menyebut revolusi
dengan “tsaurah” dan menyebut sapi jantan dengan “tsaur”, karena
sapi jantan itu digunakan untuk membolak-balikkan tanah, yakni
membajak tanah karena itulah kemudian mere ka menyebutnya
tsaur. Dengan demikian maka itsarah (tsara-yutsiru-itsarah) bukan
berarti “menyebarkan” yang terkadang ada juga yang mengartikan
semacam itu. Jika hanya “menyebarkan” tidak akan digunakan
kata “itsarah”. Kata itsarah memiliki arti menyebarkan dan
membolak-balikkan. Dan memang saat pembentukan awan dan
angin di angkasa terjadi sebuah revolusi dan gerakan kuat yang
benar-benar tsaurah dan itsarah, bukan hanya gerakan biasa.
p:209
“Dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dike-
hendaki-Nya”, pada awal mulanya awan ini dibentangkan, sesuai
dengan kebijakan dan kehendak-Nya. Akan tetapi awan yang terbentang
itu tidak dapat menurunkan hujan, kecuali jika setelah,
“dan menjadikannya bergumpal-gumpal”, yang kemudian pada
proses berikutnya saling bertindih. Semua ini menunjukkan bahwa
ketika hujan akan turun mesti melewati suatu sistem yang ada
di udara; mesti ada angin ada ini dan ada itu. Pada berbagai ayat
Al-Quran seringkali kita jumpai kalimat tashrifur riyah (memutar
angin). Ini adalah sebuah bukti yang lain terhadap mukjizat
Al-Quran. Manusia pada umumnya menduga bahwa pergerakan
angin adalah lurus, yakni berjalan di atas permukaan bumi secara
lurus. Namun sekarang ini telah berhasil diketahui bahwa pergerakan
angin adalah selalu berputar dan melingkar. Jelas, sebab terjadinya
semua itu adalah karena adanya perbedaan suhu udara;
udara panas adalah ringan, dan udara dingin ada lah berat, serta
berkaitan dengan sinar matahari dan sebab-sebab lain yang—mereka
mengatakan—dari luar angkasa. Alhasil gerakan angin adalah
gerakan memutar dan melingkar.
Kemudian ayat itu melanjutkan, “lain kamu lihat hujan keluar
dan celah-celahnya”, kau melihat tetes-tetes hujan dari celah-celah
awan itu. Semua ini terdapat dalam surah ar-Rum.
Dalam surah an-Nur terdapat ungkapan semacam itu pula,
tetapi terdapat sedikit perbedaan. Dalam ayat ini tidak disebut
kata angin-angin riyah namun hanya disebutkan, “Tidakkah
kamu melihat bahwa Allah mengarak awan,” tidakkah kau melihat
bahwa Allah secara perlahan-lahan menggiring awan itu? Sedangkan
di sana disebutkan, “Dia mengirim angin-angin untuk
mengiring awan itu,” dan di sini disebutkan, “Allah menggiring
awan-awan itu.” Semua itu mengisyaratkan pada satu poin penting,
dan itu adalah bahwa kalian mesti mengetahui apa-apa yang
oleh Al-Quran dinisbatkan kepada Allah bukan berarti menafikan
berbagai sebab dan perantara, tetapi artinya ialah, seluruh sebab
dan perantara berjalan atas kehendak-Nya. Jika di suatu tempat
dikatakan bahwa Dia mengirimkan angin, dan angin itulah yang
menggiring awan, dan di tempat lain mengatakan bahwa Allah-lah
p:210
yang meng giring awan itu, keduanya ini tidak saling bertentangan.
Ketika dikatakan bahwa angin yang menggiring, maka Allah juga
menggiring, karena angin itu tidak lain hanyalah sebuah sebab dan
perantara yang diciptakan oleh Allah Swt. “Kemudian mengumpul-
kan antara (bagian-bagian)-nya.” Kalian mengetahui bahwa penulis
buku itu terkadang disebut dengan “muallif” dan terkadang
disebut dengan “mushannif”. Sebagian penulis buku adalah muallif,
yakni berbagai pembahasan yang terpisah-pisah dan bercerai
berai dikumpulkan menjadi satu, kemudian disesuaikan dan dirapikan
susunannya; kerjanya hanya mengumpulkan. Akan tetapi
mushannif adalah seorang penulis yang semua atau sebagian isi
buku itu adalah hasil buah pikirannya. Sebuah kisah yang cukup
terkenal, di mana salah seorang dari murid almarhum Syaikh Muhammad
Baqir al-Majlisi bergurau dengan beliau. Kisahnya adalah
demikian: Pada pertemuan yang dihadiri oleh almarhum Majlisi,
pembicaraan berkenaan dengan Allamah Hilli yang mana memiliki
karya tulis yang jumlahnya banyak sekali dan buku-buku
itu sebagian hasil dari ta’lif (pengumpulan) dan hasil dari tashnif
(buah pemikiran). Dalam bab fiqih, bermacam-macam jenis
buku fiqih; fiqih ringkas, fiqih secara mendetail, dan fiqih yang berisi
berisi berbagai perbedaan pendapat di an tara ulama Syiah dalam
buku Mukhtalaf dan fiqih yang berisi perbedaan pendapat antara
Syiah dan Ahlusunah dalam buku Tazdkirah—logika, ilmu kalam
(teologi), dan di berbagai bidang lainnya, yang benar-benar sangat
menakjubkan. Dikatakan bahwa pada saat itu Allamah Majlisi
berkata kepada murid-muridnya, “Buku-buku yang saya tulis tidak
kalah banyaknya dengan tulisan Allamah Hilli.” Seorang murid
bergurau dengan beliau dan mengatakan, “Namun bedanya yang
beliau tulis adalah tashnif, sedangkan yang Anda tulis adalah ta’lif.
Jika demikian maka ta’lif adalah berbagai maklumat yang
sudah ada itu dikumpulkan pada suatu tempat, untuk kemudian
bagian-bagian itu disusun dan disatukan.
Pada ayat ini terdapat masalah ta’lif yakni Allah dengan perantaraan
angin itu mengumpulkan berbagai awan yang terpisahpisah
dan berserakan di angkasa—sebagaimana seorang mu’allif
yang mengumpul kan berbagai maklumat pada sebuah buku—di
p:211
sini juga membuat sekumpulan awan! Pada ayat itu, “dan menjadikannya
bergumpal-gumpal,” yakni awan itu ditekan dan pada
ayat di surah an-Nur, “kemudian menjadikannya bertindih-tindih.”
Peringkat rukam (bertindih-tindih) adalah peringkat yang paling
tinggi; bukan saja awan yang terbentang dan menyerupai kapas itu
dikumpulkan dan ditekan, namun bahkan awan-awan itu menjadi
bertindih-tindih; awan yang satu berada di atas awan yang lain, di
sini lebih menjelaskan proses penekanan awan itu. “Maka kelihatanlah
olehmu hujan keluar dari celah-celahnya”, hasil yang disebutkan
pada ayat itu pada ayat ini juga disebutkan: tetes-tetes hujan
keluar dari celah-celah awan itu.
Pada ayat dari surah an-Nur ini disebutkan sebuah kejadian
yang mana bagi para cendekiawan masa lalu merupakan suatu hal
yang sifatnya hanya ta’abbudi (menyakini bahwa itu adalah benar,
karena datangnya dari Allah, sekalipun tidak mengetahui sebab-sebabnya—
pen.) kejadian itu ialah, “Dan Allah (juga) menurunkan
butiran-butiran es dari langit” Masalah ini telah berulangkali
saya paparkan yaitu kata sama’ artinya tidak sama dengan “os-emon”
(langit dalam Bahasa Persia—pen.). Ada yang mengatakan
bahwa sama ‘ ada lah os-e-mon dan ‘ardh serta ghabra adalah “zamin”
(bumi dalam Bahasa Persia—pen.), tetapi tidak demikian.
Kata “os-e-mon” adalah sebuah kata dari bahasa Persia yang tersusun
dari dua buah kata: “os” dan “mon” (huruf “e” adalah harakat
tambahan—pen.). Kata “os” berarti ‘batu gilingan’ yang berputar.
Maka “as” adalah batu gilingan yang berputar, dan jika batu gilingan
itu dijalankan dengan tangan, maka disebut “dast-e-os” (dast
berarti ‘tangan’ dalam Bahasa Persia—pen.). Dan jika dijalankan
dengan air maka disebut “os-e-obi” maksudnya adalah “os-e-obi”
(ob berarti ‘air’ dalam Ba hasa Persia—pen.). Alhasil “os” adalah
nama bagi sebuah batu yang berputar. Kata “os-e-mon” berarti
sesuatu yang seperti(1) batu gilingan yang berputar. Jika demikian
maka “os-e-mon” dalam Bahasa Persia berarti angkasa yang berputar
seperti batu gilingan. Namun sama’ (langit dalam Bahasa
Arab—pen.) bukan berarti “seperti batu gilingan yang berputar”.
Kata sama’ ber arti “yang berada di atas”, dan kata itu berasal dari
p:212
kata swratt yang berarti “tinggi”. Segala yang ada di atas kita
disebut dengan sama’. Matahari juga disebut sama’ bintangjuga
disebut sama’ awan juga disebut sama dan bahkan terkadang Al-
Quran menyebut hujan de ngan sama’ “Niscaya Dia mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat.” (QS Nuh: 11). Karena datangnya
dari atas maka disebut dengan sama’ Hal-hal yang gaib, kerajaan
langit dan metafisika oleh Al-Quran disebut dengan sama’
disebabkan memiliki kedudukan yang paling tinggi, “Dan Dialah
yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya.” (QS al-An’am:
18). Yang menguasai kita berada di atas maknawi kita; Al-Quran
dalam hal itu juga menyebut dengan sama’. Jika demikian maka
jangan sampai salah. Al-Quran yang pada berbagai kejadian—di
antaranya adalah kejadian yang ada di sini—mengatakan bahwa
Kami menurunkan hujan melalui awan, sedangkan di sini kata
sama’ adalah awan itu sendiri, dan awan adalah sama’. “Dan Allah Juga
menurunkan butiran-butiran es dari langit,” diturunkan
dari atas; kata “yunazzilu” berarti diturunkan secara sedikit
demi sedikit. Terdapat perbedaan antara “inzal” dan “tanzil”. Inzal
adalah menu runkan sesuatu secara sekaligus sebagaimana, “Ses-
ungguhnya kami menurunkannya Al-Quran di Malam kemu-
liaan.” (QS al-Qadr: 1). Di sini dijelaskan mengenai diturunkannya
Al-Quran secara sekaligus. Kata tanzil berarti diturunkan secara
sedikit demi sedikit. Jelas, karena hujan dan butiran-butiran es itu
turun secara sedikit demi sedikit, maka digunakan kata yunazzilu.
“Dan Allah (juga) menurunkan dari langit”, diturunkan dari atas
secara sedikit demi sedikit. “Dari gunung-gunung, yang dari butiran-
butiran es”, apakah gunung-gunung es, butiran-butiran es itu?
Akhir-akhir ini para ilmuwan menyingkap rahasia ini yang mana
pada bagian atas angkasa yang terkadang di sana terdapat awanawan
yang bergumpal-gumpal, pada bagian atas itu udara sangat
dingin, dan di sana benar-benar ada gunung-gunung yang terbentuk
dari es. Ungkapan Al-Quran ini benar-benar sebuah mukjizat.
Siapakah yang mengetahui bahwa di atas angkasa ada semacam
itu? “Dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit
yaitu dari gumpalan-gumpalan awan seperti gunung-gunung”,
maksudnya adalah diturunkannya bu tiran-butiran es. Kemungki
p:213
nan kalimat “(butiran-butiran) es”, kembali berhubungan dengan
kata “menurunkan” yang kemudian berarti; Kami menurunkan butiran-
butiran es yang ada di sana, yang berbentuk gunung-gunung.
“maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-
Nya”, butiran-butiran es itu dikirimkan kepada siapa saja yang
Dia kehendaki, dan dipalingkan dari siapa saja yang Dia kehendaki.
Yakni jangan kau mengira bahwa pekerjaan Allah itu seperti
pekerjaan manusia; seperti ketika ia melepaskan anak panah dari
busurnya, maka ia tidak lagi dapat menguasai dan mengendalikan
anak panah itu. Peker jaan Allah sama sekali tidak akan lepas dan
keluar dari kehendak dan kekuasaan-Nya. Kemudian disinggung
mengenai petir dan guntur, “Kilauan kilat awan itu hampir-hampir
menghilangkan penglihatan,” hampir saja kilauan petir itu menyambar
dan merenggut berbagai mata. Ini adalah ayat yang agung.
Dalam ayat ini Al-Quran mengungkapkan beberapa kalimat
yang secara seratus persen sesuai dengan kenyataan yang ada
pada benda-benda angkasa. Setelah seribu dan sekian tahun ilmu
pengetahuan manusia harus mencapainya dan Dia (Allah) tetap
melanjutkan tujuan-Nya. Semua itu adalah tanda-tanda kebesaran
Ilahi; Allah Yang Maha Mengetahui terhadap berbagai sistem
ini yang berdasarkan pada sebuah ketentuan; mesti ada matahari,
matahari memancarkan sinarnya, di mana dia bersinar di situ akan
terdapat panas. Panas memperbanyak volume udara, udara panas
naik ke atas dan udara dingin tetap berada di bawah, udara panas
turun ke arah udara dingin, dan dari bawah udara dingin menyusup
ke celah-celah udara panas, lalu terbentuklah angin. Bumi
dan matahari diletakkan dalam posisi tertentu, sehingga terjadilah
siang dan malam, dan kemudian Allah berfirman, "Allah memper-
gantikan malam dan siang.” Gerakan siang dan malam itu sendiri
terjadinya adalah disebabkan pancaran sinar mata hari yang menyinari
daerah tertentu, yang mana Dia telah menetapkan bahwa
mesti berubah-ubah dan hal itu merupakan salah satu faktor bagi
terwujudnya “benda-benda angkasa” ini. Alhasil semua sistem ini
adalah sebuah sistem yang Dia ciptakan berdasarkan pada kehendak-
Nya secara penuh. Dan jika tidak ka rena kebijakan dan kehen
p:214
dak llahi, maka dalam alam tidak akan ada kejadian semacam ini.
Al-Quran mengatakan, “Allah mempergantikan malam
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran
yang besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” Kata
“taqlib” memiliki arti “membolak-balik”. Qalb (kalbu atau arti sebenarnya
adalah ‘jantung’—peny.) juga berasal dari kata itu. Menurut
istilah para ahli ilmu sharaf (tata Bahasa Arab—pen.), ketika
sebuah huruf yang ada pada sebuah kata berubah-ubah posisinya,
mereka menyebutkan bahwa di sini terjadi qalb. Mengapa jantung
Manusia disebut qalb? Karena senantiasa dalam keadaan berubahubah,
yakni bergerak dan berdenyut. Khususnya jiwa manusia
disebut dengan qalb, karena setiap saat senantiasa berada dalam
sebuah angan-angan dan pemikiran; terkadang menghadap ke
sana dan terkadang menghadap ke sini. Nabi mulia Saw memberikan
sebuah perumpamaan yang sangat menakjubkan berkenaan
dengan qalb. Beliau bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan qalb
ini bagaikan bulu unggas yang ada di padang pasir yang dibolak balikkan
oleh angin, bagian luar menjadi bagian dalam.” Perumpamaan
jantung manusia itu seperti sehelai bulu unggas yang ada
di padang pasir, dan bulu tersebut tergantung pada sebuah pohon.
Jika Anda melihat sehelai bulu yang ada di padang pasir dan bulu
itu tergantung pada sebuah pohon, Anda tidak akan melihat bulu
itu berhenti bergerak walau hanya sedetik pun, selalu bergerak ke
sana dan ke sini. Manusia juga demikian, selalu disibukkan berbagai
pikiran, khayalan dan pandangan. Terkadang memikirkan
suatu permasalahan ini, terkadang memikirkan permasalahan itu;
terkadang dari sisi ini terkadang dari sisi itu, terkadang cinta terkadang
benci, terkadang sedih terkadang gembira. Arti dari qalb
sebagaimana yang telah saya utarakan adalah “membolak-balik”.
“Allah mempergantikan malam dan siang”, Allah membolak-balikkan
malam dan siang; malam dibawa dan siang didatangkan, siang
dibawa dan ma lam didatangkan. Jelas membawa malam dan siang
adalah dengan pergerakan bumi pada garis orbitnya. Selain bumi
melintasi sebuah garis orbit, yaitu selama tiga ratus enam puluh
lima hari mengelilingi matahari, bumi sendiri berputar pada titik
sumbunya sendiri. Bumi itu ibarat buah apel yang dilempar oleh
p:215
seseorang ke udara, namun saat dilempar, apel itu juga dalam keadaan
berputar. Disebabkan bumi berputar pada titik sumbunya,
maka terjadilah siang dan ma lam. Sebagaimana yang telah saya
utarakan bahwa para ilmuwan berkeyakinan adanya pergantian
antara siang dan malam ini merupakan salah satu faktor bagi terwujudnya
berbagai “benda angkasa” ini. Karena hal itu mewujudkan
perbedaan tekanan udara dan tentunya menyebabkan munculnya
gerakan angin, yang angin itu sendiri merupakan sebab bagi
terwujudnya ber bagai kejadian yang lain. Tampaknya rahasia dari
mengapa Al-Quran setelah menjelaskan peristiwa terjadinya awan
dan turunnya hujan kemudian menjelaskan hal ini (perubahan
siang dan malam), adalah karena perputaran bumi itu memberikan
pengaruh bagi ter wujudnya “berbagai benda angkasa” tersebut.
“Allah mempergantikan malam dan siang” Allah membolakbalikkan
malam dan siang. “Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat pelajaran yang besar”, dalam kejadi an ini terdapat sebuah
pelajaran bagi mereka yang memiliki penglihatan, mereka yang
memiliki penglihatan yang tajam. Kata ‘ibrah (pelajaran) berasal
dari kata ‘ubur (melintasi). Pandangan ada dua macam. Ada sebagian
pandangan yang tidak lebih dari pandangan mata saja. Pandangan
binatang adalah demikian. Seekor binatang atau seorang
manusia yang sejajar dengan binatang, hanya melihat dan menyaksikan
berbagai peristiwa. Mereka menyaksikan kejadian itu,
namun mereka tidak memikirkan apa yang ada di balik semua ini.
Saya akan memberikan sebuah perumpamaan yang sederhana,
sebuah kejadian yang dapat dialami oleh semua orang: masalah
ekonomi. Harga barang-barang menjadi mahal, kemudian menjadi
murah, atau murah kemudian menjadi mahal. Suatu barang
dapat menjadi murah dan dapat menjadi ma hal. Terkadang secara
tiba-tiba Anda melihat sebuah jenis barang, harganya melambung
tinggi sementara sebaliknya jenis barang yang lain harganya jatuh
dan tidak laku dijual. Jika hanya sebatas ini saja semua orang mengetahuinya.
Namun seorang yang ahli di bidang perdagangan akan
mengetahui dengan pasti sebab naik dan turunnya harga barang
tersebut. Dengan tegas ia dapat menyatakan mengapa harga barang
itu naik. Ia bagaikan seorang guru yang sanggup mem berikan
p:216
penjelasan selama satu jam berkenaan dengan sebab naik dan turunnya
harga barang-barang itu. Jika demikian, maka ada orang
yang hanya memperhatikan naik dan turunnya harga barang, dan
ada juga orang yang memperhatikan ‘sebab-sebab’ dari naik dan turunnya
harga barang-barang itu. Orang semacam itu disebut arif,
namun orang yang satunya tidak disebut arif. Demikian pula dengan
berbagai kejadian yang lain seperti suatu kejadian yang menimpa
sebuah masyarakat. Terkadang kita merasakan bahwa para
pemuda kita tidak semangat dalam menjalankan ajaran agama atau
semangat dalam menjalankan ajaran agama.
Orang yang tidak bijaksana hanya akan mengatakan, “Wah!
Para pemuda tidak semangat lagi...” Ia hanya bersedih. Sedangkan
yang lain mengatakan, “Tidak, pada waktu itu para pemuda
sangat bersemangat...” dan ia juga hanya merasa gembira. Namun
orang yang bijaksana akan menelusuri secara mendalam sebab-sebab
mengapa mereka tidak bersemangat? Ia hendak mengungkap
sebab-sebabnya. Mengapa mereka bersemangat? Ia juga hendak
mencari sebab-sebabnya. Hanya mereka yang memperhatikan dengan
seksama sebab-sebab suatu kejadian yang akan memperoleh
manfaat dan memiliki kekuatan dalam menghadapi kejadian itu.
Kaum fulan mengalami kekalahan dalam sebuah peperangan, dan
kaum fulan meraih kemenangan. Jika seseorang hanya mengatakan
bahwa ini kalah dan itu menang, ia tidak akan mendapatkan pelajaran
dari kejadian ini. Namun jika sebab-sebab kekalahan kaum ini
dan kemenangan kaum itu ia kaji dan pelajari, bisa jadi ia akan memiliki
kekuatan dalam menghadapi berbagai peristiwa, yakni kekalahan
itu dapat berubah menjadi sebuah kemenangan, merubah
kekalahan itu menjadi sebuah kemenangan. Ini adalah perumpamaan
yang sederhana yang terdapat dalam masyarakat.
Al-Quran menginginkan agar kita benar-benar memperhatikan
berbagai peristiwa alam dan berusaha untuk menyingkap berbagai
sebab, rahasia dan manfaat dari peristiwa itu. Al-Quran tidak
menginginkan kita hanya mengatakan: “Alhamdulillah, tahun ini
hujan turun dengan lebat, tetapi pada tahun lalu hujan tidak turun.
Tahun ini salju turun demikian ..., terdapat awan, hujan turun, ada
butiran-butiran es.” Al-Quran menginginkan agar kita mengambil
p:217
pelajaran dari berbagai peristiwa itu, yakni kita mengetahui rahasia
dari berbagai kejadian itu, yang mana rahasia yang paling rahasia
ada di tangan Allah. Dan pada akhirnya kita menyadari bahwa seluruh
alam ini bersandar pada satu kekuatan dan satu kehendak.
Dia adalah rahasianya rahasia, yakni setiap tabir yang kita
singkap maka di sana kita akan menyaksikan sesuatu dan ketika
kita menyingkap yang lain di balik itu pun ada sesuatu yang lain.
Namun Al-Quran mengatakan bahwa kalian jangan berhenti sampai
di situ saja, teruslah berjalan ke depan sampai kau menyaksikan
sebuah kekuatan, sebuah kehendak, sebuah ilmu dan sebuah
kebijaksanaan yang menjalankan seluruh alam ini, “Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar bagi orang-orang
yang memiliki penglihatan.”
p:218
p:219
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang
terkutuk.
«وَاللَّهُ خَلَقَ کُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ فَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی بَطْنِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی رِجْلَیْنِ وَمِنْهُمْ مَنْ یَمْشِی عَلَی أَرْبَعٍ یَخْلُقُ اللَّهُ مَا یَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَی کُلِّ شَیْءٍ قَدِیرٌ (45)»
Dan Allah Telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka
sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan
sebagian berjalan dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain)
berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-
Nya, sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
(QS an-Nur: 45)
«لَقَدْ أَنْزَلْنَا آیَاتٍ مُبَیِّنَاتٍ وَاللَّهُ یَهْدِی مَنْ یَشَاءُ إِلَی صِرَاطٍ مُسْتَقِیمٍ (46)»
Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan.
Dan Allah memimpin siapa yang dikehendaki-Nya kepada
jalan yang lurus. (QS an-Nur: 46)
p:220
Pada dua ayat yang telah dibacakan dan ditafsirkan pada
pertemuan yang lalu berisi berbagai pembahasan yang
berkenaan dengan “benda-benda angkasa” dan tujuan dari semua
itu—sebagaimana yang telah saya paparkan—adalah menunjukkan
jalan menuju tauhid dan makrifatullah (mengenal Allah).
Pada ayat ini dijelaskan sebuah pembahasan yang berhubungan
de ngan penciptaan binatang, yang menurut istilah sekarang ini
berhubungan dengan biologi. Dan di sini tujuannya bukan hanya
membahas masalah biologi, akan tetapi tujuan utama Al-Quran
dalam memaparkan pembahasan ini adalah untuk mengenalkan
Allah kepada berbagai makhluk. Al-Quran menyebut se mua itu
sebagai tanda-tanda Ilahi, sebagai tanda kebesaran, kekuasaan
dan kebijaksanaan Ilahi. Oleh karena itu pada dua ayat ini, kata
pertama yang terdengar di telinga manusia adalah kata “Allah”. Di
ayat itu disebutkan, “tidaklah kamu melihat bahwa Allah menga-
rak awan, kemudian mengumpulkan awan, kemudian menjadikannya
bertindih-tindih,” dan pada ayat lain disebutkan, “Dan Allah
menciptapakan semua jenis hewan dari air,” pem bahasan apa saja
yang terdapat pada ayat ini?
Pada ayat ini selain terdapat tujuan yang utama, yaitu penjelasan
bahwa Pencipta adalah Allah Swt, juga disebutkan dua bentuk
pembahasan yang lain. Pertama, asas kehidupan semua jenis hewan
adalah air. Kedua, dijelaskan mengenai macam-macam jenis
bina tang yang dilihat dari sudut pandang tertentu. Dari cara berjalan,
sebagian melata dan sebagian berjalan dengan menggunakan
kaki; yang berjalan dengan menggunakan kaki, sebagian berjalan
dengan menggunakan dua kaki dan sebagian dengan empat kaki,
semua itu tercipta sesuai dengan kehendak Ilahi. Bagian pertama
dari ayat itu menyebutkan, “Dan Allah telah menciptakan semua
jenis hewan dari air,” setiap binatang Kami ciptakan dari air. Dan
dalam ayat yang lain masalah ini dijelaskan secara lebih umum,
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” (QS al-Anbiya’:
30). Setiap makhluk hidup Kami ciptakan dari air. Di sini pembahasan
berkisar masalah air yang merupakan inti dari kehidupan,
yang mana pada saat ini telah diyakini dengan pasti bahwa anggota
tubuh setiap makhluk hidup, manusia misalnya, berbagai anggota
p:221
tubuhnya seperti: daging, kulit, urat, tulang, beberapa persen dari
semua itu adalah air dan selebihnya adalah dari unsur-unsur lain.
Saya tidak mengetahui hal itu secara jelas (menurut pendapat ilmiah),
akan tetapi adalah seorang dokter yang ahli, ia pernah menasehati
saya untuk banyak minum air, seraya membacakan ayat
ini, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup,” kemudian
ia berkata, “Setiap orang delapan puluh persen dari tubuhnya
adalah air.” Jadi jika seseorang berat badannya adalah 50 kilogram,
maka yang 40 kilogram adalah air sementara 10 kilo gram
sisanya adalah unsur-unsur lain. Setiap sel yang kita katakan terdiri
dari tiga bagian: butiran sel, kulit sel dan cairan protoplasma
yang merupakan bagian inti dari sel, sebagian besar adalah terdiri
dari air. Dengan demikian maka tubuh hewan tersusun dari air. Di
sini Al-Quran menyebut kata dabbah (hewan). Jelas dabbah tidak
mencakup seluruh jenis makhluk hidup, akan tetapi asal-usul berbagai
makhluk hidup lainnya adalah juga air, contohnya: sperma.
Begitu juga makhluk hidup lainnya yang berkembang biak melalui
telur, bagian utama dan terbanyak dari telur itu adalah air.
Dengan demikian maka asal kehidupan yang ada di muka bumi
ini—yang para cendikiawan senantiasa mencari dan meneliti, namun
sampai saat ini mereka belum memiliki sebuah jawaban yang
pasti, mereka hanya berputar-putar pada berbagai perumpamaan
dan dugaan—adalah air, dan bukan dari benda yang kering. Disebabkan
inilah maka air merupakan sebuah lambang kehidupan.
Dalam Al-Quran pada ayat yang lain, disebutkan bahwa kata ma
(air) merupakan sebuah lambang dan julukan bagi kehidupan,
meskipun itu adalah kehidupan maknawi (metafisika). misalnya
saja sebuah ayat yang ada di akhir surah al-Mulk yang menyebutkan,
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu
menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang
mengalir bagimu,” katakanlah, jika air yang kalian pergunakan itu
tiba-tiba menjadi kering, jika berbagai mata air dan sumur menjadi
kering, kekuatan manakah selain kekuatan Allah yang mampu
untuk mendatangkan air yang menyegarkan. Bentuk lahiriah dari
ayat ini cukup jelas, namun menurut penasiran para imam yang
suci as, mereka menjelasakan bahwa air ini adalah suatu kehidu
p:222
pan maknawi, yakni katakanlah: “Jika imam, jika hujah Allah tidak
ada di antara kalian, siapakah yang mampu untuk mendatangkan
air yang jernih semacam itu?” Dengan demikian kita menyaksikan
sendiri bahwa ‘imam as’ yang merupakan sumber ke hidupan
maknawi, diumpamakan dengan air. Alhasil, air adalah lambang
dan rahasia kehidupan. Kemudian apa hubungan antara air dan
kehidupan menurut sudut pandang biologi? Sebuah pembahasan
yang me reka telah sebutkan di bidang biologi, dan mereka lebih
mendalami masalah itu lebih dari saya serta me reka juga akan
menjelaskan berbagai pandangan yang ada berkenaan hubungan
air dengan kehidupan. Akan tetapi jelasnya ialah, di antara berbagai
ciptaan yang ada di alam ini tidak satu pun dari ciptaan dan
benda yang ada ini, memiliki hubungan yang erat sebagaimana
hubungan air dan kehidupan.
Kemudian setelah Al-Quran mengatakan, “Dan Allah telah
menciptakan semua jenis hewan dari air,” lalu mengatakan, “maka
sebagian dari hewan itu ada yang berjalan diatas perutnya dan se-
bagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian lainnya berja-
lan dengan empat kaki,” binatang-binatang tersebut berbeda-beda,
seba gian berjalan dengan perutnya, seperti ular dan berbagai jenis
cacing, sebagian berjalan dengan dua kaki, seperti manusia dan
berbagai jenis unggas, dan seba gian berjalan dengan empat kaki.
Di sini, karena manusia dan ‘bukan manusia’ disebutkan secara
sejajar, di mana seluruh ciptaan itu terbuat dari air, dan untuk
pertama kalinya menyebutkan jenis yang melata, kemudian jenis
yang berjalan de ngan dua kaki dan berikutnya yang berjalan dengan
empat kaki, dan pada jenis yang berjalan dengan dua kaki pada
peringkat pertama adalah jenis manusia. Sebagian bersikeras hendak
mengartikan ayat ini sebagai pendukung atas asas “pergantian
jenis” (transformisme), lalu mereka menulis berbagai pembahasan
di buku-buku dan majalah-majalah berkenaan dengan pandangannya
itu. Munculnya pendapat semacam itu (transformisme) sudah
sangat lama, kurang lebih dua ribu tahun yang lalu, namun hal itu
dijadikan pem bahasan ilmiah tidak lebih dari dua abad yang lalu.
Dalam bidang ilmu biologi, muncul sebuah pendapat yang disebut
dengan “jenis berantai” atau “pergantian jenis”; yakni sekarang ini
p:223
kita memiliki berbagai jenis binatang, manusia itu sendiri merupakan
satu jenis tersendiri, jenis kuda, jenis keledai, jenis sapi, jenis
unta, serta kita juga memiliki berbagai jenis unggas, berbagai
jenis ikan, berbagai jenis binatang buas, lalu apa asal keturunan
dari semua ini? Apakah asal keturunannya juga berbeda-beda?
apakah harimau juga berasal dari harimau? Sapi juga berasal dari
sapi? benarkah manusia berasal dari manusia? Dan apakah asal
keturunan yang paling awal itu tidak ada hubungan dengan berbagai
jenis makhluk hidup yang lain? Atau tidak demikian, yakni
semua jenis makhluk hidup ini—dengan berbagai perbedaaan
yang ada—adalah satu rumpun dan satu keluarga besar? Manusia,
kuda, unta, sapi, monyet, unggas, ikan, ular, serangga, yang semua
itu terdiri dari bermacam-macam jenis namun asalnya adalah
satu. Lalu apa asal semua jenis itu, dan bagaimanakah bentuknya?
Alhasil ada berbagai dugaan berkenaan dengan masalah ini. Ada
sekelompok orang yang memiliki keinginan untuk memaksakan
pandangan Al-Quran pada hasil ilmiah dan tidak ilmiah mereka.
Mereka mengatakan, “Ayat ini adalah hendak mengungkapkan
pembahasan itu. Ketika Al-Quran mengatakan bahwa semua
makhluk hidup itu berasal dari satu air, maksudnya ialah, makhluk
yang paling awal itu terdiri dari satu sel. Misalnya saja jenis manusia.
Maka jenis manusia, pada awal mulanya adalah manusia air.
Dengan demikian maka asal usul berbagai binatang adalah dari binatang
satu sel, dan asal usul manusia adalah dari manusia air yang
pada awal mula nya tercipta dari air. Namun semua makhluk itu
sedikit demi sedikit menuju pada kesempurnaan, sehingga kemudian
berubah menjadi berjalan dan melata, kemudian Al-Quran
menyebutkan jenis-jenis yang lain: “Allah menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya,” Allah menciptakan apa-apa yang la kehendaki.”
Secara jujur saja, dalam ayat ini tidak menunjukkan—atau
minimal kita mesti mengatakan bahwa tidak ada suatu kejelasan—
tentang adanya pembahasan semacam itu. Dari ayat ini kita
tidak dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa ayat ini merupakan
penegasan tentang adanya pergantian berbagai jenis atau
jenis berantai. Namun dalam ayat ini ada pembahasan semacam
p:224
itu. Kita jangan sampai tertimpa kesalahan yang telah menimpa
orang-orang yang bodoh dan dungu yang pada dasarnya mereka
itu tidak mengenal keberadaan Tuhan. Lalu kita ikut-ikutan mengatakan,
“Karena suatu jenis itu munculnya dari jenis yang lain,
maka hal itu merupakan satu argumen bahwa semua itu terjadi
dengan tanpa campur tangan Sang Pencipta. Namun jenis yang
satulah yang mewujudkan jenis yang lainnya.” Jika demikian
maka kita tidak dapat mengatakan bahwa Tuhanlah yang pertama
mencipta kan seekor harimau, kita juga tidak dapat mengatakan
bahwa Tuhanlah yang pertama menciptakan seekor kuda, kita
juga tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan lah yang pertama kali
menciptakan seekor itik yang pertama, ... karena semua itu tidak
memiliki asal keturunan yang paling awal (telur dari ayam, ayam
dari telur—pen.). Dengan demikian kita juga tidak memi liki suatu
argumen untuk mengatakan bahwa Tuhan lah yang menciptakan
semua itu. Betapa sebuah pemikiran yang awam!
Pertama, seandainya saja semua ini kembali pada asal usul
yang satu, dan itu adalah binatang sel satu, maka dengan demikian
binatang yang pertama ada di atas bumi ini adalah binatang
sel satu, lalu sel satu itu sendiri berasal dari mana? Sampai saat
ini ilmu pengetahuan masih belum dapat membuktikan—bahkan
mereka memberikan jawaban yang bertentangan dengan itu—
bahwa seekor binatang sekalipun seekor binatang sel satu dapat
terwujud dengan sendirinya, yakni tanpa berasal dari sesuatu
yang hidup. Sedangkan Darwin sendiri mengeluarkan pendapat
semacam ini, yaitu ia meyakini bahwa asal usul binatang-binatang
itu ada tujuh, dan ketujuhnya adalah hasil ciptaan Ilahi. Darwin
adalah seorang yang mengenal Tuhan, seorang Nasrani yang memiliki
keyakinan yang kuat. Ketika mendekati ajalnya ia meletakkan
kitab Injil di dadanya dan di peluknya erat-erat. Darwin sendiri
tidak seperti Darwinisme, di mana mereka itu orang-orang yang
tak berilmu dan hanya setelah membaca beberapa teori kesempurnaan
Darwin, lalu seketika itu pula mereka merasa asing terhadap
Allah, hari kiamat, dan terhadap segala hal.
p:225
Kedua, apakah Allah yang menciptakan kita dan merupakan
asal-usul keberadaan kita, adalah juga se orang manusia? Dan
apakah manusia diciptakan oleh Allah secara langsung sekaligus?
Hal itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan ini; yang jelas
kita adalah ciptaan Allah. Ketika Al-Quran mengatakan bahwa
Allah-lah yang telah menciptakan kalian, Al-Quran menjelaskan,
“Perhatikanlah! Kalian dulunya adalah sperma yang ada dalam rahim,
kemudian Allah menjadikan sperma itu menjadi segumpal
darah, dan segumpal darah itu diubah menjadi segumpal daging,
kemudian segumpal daging itu diubah menjadi tulang, dan tulang
itu dibungkus dengan daging, ...” Penciptaan secara berkala
di dalam rahim ibu ini yang kemudian akhirnya keluar berupa bayi
kemudian tumbuh dewasa, menunjukkan bahwa kita ini tengah
di ciptakan. Bahkan menurut ungkapan para ‘urafa’ (ahli irfan atau
ahli tasawuf) alam ini senantiasa dalam keadaan menciptakan.
Jika sekiranya Allah menciptakan alam ini secara sekaligus kemudian
Dia tinggalkan begitu saja, maka semuanya akan musnah,
tidak akan muncul sesuatu yang baru, dan tidak akan ada suatu
perubahan apa pun. Akan tetapi karena alam ini se nantiasa berputar
dan bergerak dan seluruh isi alam ini—yang jauhari (essensial)
dan ‘aradhi (aksidental)—senantiasa musnah dan muncul
kembali, semua itu menunjukkan bahwa alam ini senantiasa
dalam keadaan menciptakan. Menurut sudut pandang penciptaan
Allah dan menurut sudut pandang tauhid, tidak ada perbedaan
antara jika berbagai jenis itu tercipta secara langsung ataupun tercipta
melalui perantaraan sesuatu yang lain. “Jika demikian maka
teori Darwin sedikitnya adalah sesuai dengan tauhid di mana
pendapat selain Darwin adalah tidak sesuai dengan tau hid.” Ya,
akan tetapi masalahnya ialah ada sebagian yang berpendapat—
yang Darwin sendiri tidak berpendapat semacam ini—bahwa
dengan ditemukannya serangkaian hukum alam yang berkenaan
dengan kesempurnaan makhluk hidup, hukum alam tersebut
mampu menyediakan sarana bagi kesempurnaan makhluk hidup,
serta mewujudkan sistem yang ada di alam ini. Dengan demikian
maka tidak lagi diperlukan sumber dari 'yang gaib' (metafisika)
Bagaimanakah itu? Mereka juga meyakini adanya suatu asas, seb
p:226
agaimana asas yang disebutkan oleh Darwin, namun de ngan ciriciri
yang berbeda, yaitu: asas “kecenderungan pada kekekalan diri”.
Dalam setiap binatang terdapat rasa semacam itu. Setiap binatang
disebabkan memiliki kecenderungan pada kekekalan diri, ia akan
berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya dan berkelahi
dengan binatang yang lain. Kemudian mun cul asas yang baru yaitu
“perebutan kekekalan”. Dalam perebutan kekekalan ini yang kuat
akan lebih layak untuk hidup kekal dan yang lemah akan lenyap
dan binasa. Kemudian dari sinilah menculnya asas “kekekalan
yang lebih layak” atau asas “pemilihan yang lebih layak”. Asas yang
lain adalah asas “pengaruh alam sekitar”. Lingkungan memberikan
pengaruh pada binatang. Sedangkan asas yang lain adalah “asas
genetika” apa-apa yang dimiliki oleh jenis tertentu yang kemudian
dimiliki oleh keturunan berikutnya secara warisan. Namun sebagian
asas-asas ini akhirnya tidak berlaku. Akan tetapi yang sebagaimana
telah ditetapkan oleh para ulama yang illahi, ialah jika
seandainya semua yang kalian ungkapkan itu—asas “perebutan
kekekalan”, asas “pemilihan yang lebih layak”, asas “ge netika”, dan
asas “pengaruh alam sekitar”—adalah benar, apakah semua itu cukup
untuk mewujudkan sel satu menjadi seorang manusia, yang
tubuhnya berisi berbagai sistem yang teratur, sekalipun itu setelah
berjuta-juta tahun? Darwin sendiri tatkala menyakini adanya
asas “penyesuaian dengan alam sekitar” yang kemudian dia mengatakan,
“Setiap wujud ketika berada dalam lingkungan tertentu
maka ia akan menyesuaikan dengan alam sekitar itu,” asas tersebut
ia ung kapkan sedemikian rupa sehingga mereka menyanggahnya.
Mereka berkata, “Penjelasanmu tentang asas ‘penyesuaian dengan
alam sekitar' itu persis seperti asas 'metafisika'. Dan itulah yang
benar, karena masalah ini membuktikan dengan pasti bahwa setiap
wujud yang ada dalam sebuah lingkungan, sekalipun tanpa
dikehendaki dan disadari, maka suatu kekuatan yang ada di dalam
tubuh itu akan menyesuaikan berbagai anggota badan dengan lingkungan
dan alam sekitarnya yang baru. Dan ini merupakan suatu
rahasia dari penciptaan; yakni suatu rahasia yang menunjukkan
adanya petunjuk Illahi dalam diri setiap makhluk hidup dan itu
adalah, “cahaya langit dan bumi,” yang selalu ada pada setiap tem
p:227
pat. Setiap makhluk dalam kondisi apa pun akan ditunjukkan pada
jalan menuju kebaikan dan kesempurnaan dirinya dengan tanpa
ia ketahui dan pahami. Sekarang ini, saat kita duduk di sini, jantung
kita bekerja menurut ketentuan tertentu, darah kita memiliki
jumlah tertentu, sel-sel darah putih kita memiliki jumlah tertentu,
sel-sel darah merah kita memiliki jumlah tertentu. Jika tempat kita
berubah, misalnya saja kita dibawa ke udara yang sangat tinggi
sehingga tekanan udara menjadi ringan, maka kebutuhan tubuh
juga akan mengalami perubahan—jika kita tidak segera dikeluarkan
dari lingkungan itu agar tidak ada kesempatan bagi kekuatan
yang tersembunyi itu untuk membuat perubahan, namun bahkan
kita secara perlahan-lahan dibawa ke lingkungan yang baru itu—
maka secara perlahan-lahan pula sistem tubuh ini kita ini akan
membuat perubahan dan menyesuaikan dengan lingkungan yang
ada. Misalnya saja sel darah putih yang ada dalam tubuh kita jumlahnya
cukup banyak, dan di sana (di lingkungan baru itu) tidak
diperlukan darah putih sebanyak itu, maka sistem tu buh kita akan
dengan sendirinya mengurangi sebagian darah putih itu. Atau sebaliknya
jika tubuh memerlukan darah putih lebih banyak, maka
sistem tubuh kita segera bekerja untuk memenuhi kekurangan itu,
sehingga kita tidak harus memerintah tubuh kita terlebih dahulu
seraya mengatakan, “Saya akan pindah lingkungan.” Misalnya saja
ada seseorang yang meng alami kecelakaan, patah kaki, tertusuk
pisau, kemudian tubuhnya banyak mengeluarkan darah—tubuh
memerlukan jumlah darah tertentu—ketika tubuh me miliki darah
yang cukup, maka sistem tubuh akan tenang dan santai, namun
begitu darah banyak mengalir dari tubuh, maka sistem tubuh
akan melakukan kerja keras untuk membuat darah. Namun darah
tidak dapat terwujud jika tidak ada bahan-bahan tertentu. Dan
pertama-tama yang diperlukan dalam pembuatan da rah adalah
air. Kalian melihat bahwa seorang yang terluka, yang darah banyak
keluar dari tubuhnya, ma ka ia akan merasa sangat kehausan. Tubuh
memerlukan darah, dan syarat utama dalam pembuatan darah
ada lah air. Rasa haus itu menyebabkan ia segera ingin minum
air, dan tubuh segera bekerja membuat darah. Hal ini tidak lagi
dapat diterapkan dengan berbagai asas ilmiah tuli dan bisu yang
p:228
dicetuskan oleh Darwin. Dan masih banyak lagi hal-hal semacam
ini. Saya sendiri pada beberapa tahun yang telah menulis sebuah
artikel yang berjudul Tauhid wa Takâmul (Tauhid dan Kesempurnaan)
yang dicetak di Maktab Tasyayyu’, di sana permasalahan ini
saya buktikan bahwa Darwinisme itu benar ataupun tidak benar,
hal itu tidak merugikan masalah tauhid, bahkan lebih mendukung
masalah tauhid; yakni lebih menegaskan bahwa di dalam tubuh
binatang terdapat suatu kekuatan yang membimbing dan mengarahkan
pada jalan kebaikan hidup.
Lalu pelajaran apakah yang mesti kita ambil dari ayat-ayat
itu? Apakah hanya biologi; yakni semua bina tang diciptakan dari
air? Benar, itu adalah sebuah ilmu pengetahuan, sebuah pemikiran
yang benar, di mana Allah menciptakan berbagai binatang
itu dari air sekalipun jenis binatang itu ada bermacam-macam.
Ataukah kita mesti mengambil pelajaran sebagaimana yang dikatakan
oleh Darwin ‘jenis berantai’ atau ‘bukan jenis berantai’?
Alhasil di alam ini terdapat berbagai jenis binatang yang manusia
kesulitan untuk meneliti jenis-jenis binatang tersebut. Yakni
jika kita hanya ingin meneliti jenis binatang saja, kita harus belajar
selama bertahun-tahun, dan kemungkinan akhirnya kita
tetap tidak akan dapat mengenalnya. Apalagi seorang yang hanya
berkecimpung di dunia binatang padang pasir, maka ia tidak akan
mengetahui kehidupan bina tang yang ada di lautan. Jika demikian
kemana Al-Quran memfokuskan pandangannya? Al-Quran memfokuskan
pandangannya pada kata “Allah”. Al-Quran senantiasa
mengarahkan kita pada poin ini, yaitu bagaimanakah cahaya itu
memberi petunjuk pada berbagai peristiwa penciptaan alam ini.
Bagaimanakah berbagai gerakan dan aktivitas berbagai ciptaan
ini tidak berada dalam kegelapan dan kebutaan. Cahaya Illahi ada
di dalam semua ciptaan yang ada di alam ini. Semuanya menunjukkan
pada adanya kehendak Illahi, takdir Illahi, kebijaksanaan
Illahi. Oleh karena itu, setelah Al-Quran menyebutkan binatang
yang melata dan berjalan (dengan dua dan empat kaki), dan demi
mengingatkan bahwa semua itu Kami sebutkan guna sebagai
contoh, namun tidak terbatas pada itu saja, maka Al-Quran mengatakan,
“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,”
p:229
kekuasaan Allah tidak terbatas. Kekuasaan Illahi tidak dapat diukur
dan dibatasi. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ia mampu
menciptakan apa-apa yang la kehendaki. Allah adalah Mahakuasa,
Maha Mengetahui, Mahabijaksana, Maha Berkehendak. Arti dari
Allah berkuasa atas segala sesuatu dan mampu menciptakan apaapa
yang Ia kehendaki bukan berarti Ia melakukan suatu pekerjaan
secara sia-sia dan tanpa perhitungan, tanpa tujuan yang jelas
dan tidak bijaksana. Karena Dia memiliki kehendak mutlak dan
kekuasaan yang tidak terbatas. Jika demikian mungkinkah Dia
menciptakan sesuatu dengan tanpa tujuan yang pasti? Tidak, pekerjaan-
Nya berdasarkan suatu kebijaksanaan, akan tetapi kehendak-
Nya tidak terbatas, dan kekuasaan-Nya juga tidak terbatas.
Sejak awal surah an-Nur sampai di sini, kurang lebih merupakan
satu judul pembahasan, yaitu sebuah pembahasan berkenaan
dengan tauhid. Al-Quran hendak menunjukkan bahwa, “Allah
lah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” Tampaknya
ini adalah akhir dari pembahasan dan kita akan memasuki jenis
pembahasan yang lain—alhasil pembahasan yang sebelumnya
masih ada kaitannya dengan pembahasan ini, namun pembahasan
ini dapat dianggap sebagai pembahasan terpisah—yang mana Al-
Quran mengatakan:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang
menjelaskan. Dan Allah meimpin siapa saja yang dikehendakiNya
Nya kepada jalan yang lurus.” (QS an-Nur: 46)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang
menjelaskan.” Para mufasir mengatakan bahwa isi pem bahasan
yang ada pada ayat-ayat surah an-Nur itu ada lah menuju ke arah
ini, yaitu pada dasarnya pada akhir pembahasan ini Allah hendak
mengingatkan bahwa sekali lagi kalian akan Kami ajak untuk
memperhatikan apa-apa yang telah Kami katakan, “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan,” Kami menurunkan
ayat-ayat yang menerangi. Pekerjaan Al-Quran adalah
menerangi dan memberi petunjuk. “Dan Allah memimpin siapa
saja yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus,” Siapa saja
yang dikehendaki oleh Allah akan dibimbing ke arah jalan yang
p:230
lurus dan benar. Disebabkan inilah ayat-ayat yang mene rangi itu.
Apa yang hendak diterangi? Jalan itu! Manusia adalah makhluk
yang berjalan, yakni makhluk yang
senantiasa mengadakan perjalanan. Makhluk yang berjalan
pada suatu jalan dan mesti sampai pada suatu tujuan. Ayat-ayat ini
diturunkan fungsinya adalah untuk menerangi jalan yang dilalui
manusia. Al-Quran juga mengatakan, “Allah memberi petunjuk
siapa yang dikehendaki-Nya,” yakni pemberian petunjuk kepada
seseorang tidak lepas dari kehendak Allah, namun kita juga jangan
sampai salah ketika Allah mengatakan bahwa Dia akan menunjukkan
jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki-Nya, apakah
kemudian Allah melakukan hal itu dengan asal-asalan saja?
Bagaimanakah bentuk kehendak-Nya? Apakah Allah mengundi
orang-orang itu seraya mengatakan, “Saya akan lihat siapakah yang
akan keluar dalam undian ini untuk kemudian Aku beri petunjuk?”
Tidak, di tempat lain Dia telah menjelaskan bahwa kehendak-
Nya memiliki aturan tertentu. Siapa-siapa yang layak untuk
mendapatkan petunjuk maka Allah memberinya petunjuk, dan
siapa-siapa yang tidak layak untuk diberi petunjuk. Permasalahan
tersebut telah dijelaskan dengan cukup jelas pada berbagai ayat
yang lain. Ada sebuah ayat yang terdapat di surah al-Baqarah yang
berisi ungkapan yang begitu indah dalam menyifati Al-Quran,
"Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah
dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya
petunjuk,” dengan perantaraan Al-Quran ini banyak yang disesatkan
oleh Allah dan dengan per antaraan Al-Quran ini pula banyak
yang diberi petun juk. Bagaimanakah? Al-Quran adalah pemberi
petun juk, bukan menyesatkan? Al-Quran menjawab, “Dan tidak
ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang Fasik,” Allah
tidak akan menyesatkan dengan parantaraan Al-Quran ini kecuali
mereka yang fasik, yakni mereka yang fitrah sucinya dan sarana
untuk menerima kebenaran telah rusak, maka mereka akan dibelokkan
dan disimpangkan. Al-Quran adalah tali Allah, seutas
tali yang diturunkan kepada manusia untuk mengeluarkannya
dari kegelapan sumur materi. Siapakah yang mesti berpegangan
erat pada tali itu? Manusia. Dan mereka yang enggan berpegangan
p:231
pada tali ini adalah salah mereka sendiri. “Dengan perumpamaan itu banyak orang
yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang
yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah
kecuali orang-orang yang fasik.” (QS al-Baqarah: 26). Dalam Al-Quran
banyak terdapat ayat yang memiliki isi kandungan semacam ini dan diulang-ulang di berbagai tempat.
Petunjuk Illahi dan penyesatan Illahi memiliki sebuah sistem dan
penyesatan Illahi adalah salah satu bentuk hukuman. Ringkasan
dari pembahasan ini ialah: cahaya Illahi menerangi rumah itu dengan
sangat terang, dengan membuat sebuah perumpamaan seperti
sebuah lampu yang menerangi sebuah rumah. Cahaya Allah menerangi
dunia dengan sangat terang. Semua itu adalah pembahasan
yang benar. Jika kita mengatakan bahwa perumpamaan itu adalah
sebuah perumpamaan bagi seorang manusia, atau akal manusia—
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Sina—itu adalah juga
benar. Namun jelas, yang paling benar ada lah perumpamaan itu
merupakan perumpamaan bagi keimanan—dan hal itu bukan berarti
karena penafsiran semacam itu adalah berasal dari riwayat
yang kemudian tidak dapat dibanding-bandingkan, apalagi kemudian
seseorang membandingkan penafsiran menurut riwayat
itu dengan pandangan Ibnu Sina—kare na ayat tersebut ada kesesuaian
dengan ayat berikutnya. Ayat berikutnya berisi perum-
pamaan berkenaan dengan orang-orang kafir (hati orang kafir)
yang berada dalam kegelapan. Dalam ayat yang lalu disebutkan
perumpamaan bagi orang mukmin, perumpamaan bagi hati orang
mukmin, yakni hati orang mukmin adalah terang seperti sebuah
rumah yang memiliki pelita bersinar terang, sebaliknya hati orang
kafir adalah gelap. Dan jika itu merupakan perumpamaan bagi se-
buah masyarakat, pelita itu adalah pelita yang menerangi masyarakat,
yakni cahaya itu adalah cahaya suci Nabi yang terakhir, salawat
dan salam atasnya dan atas keluarganya. Tentunya kita dapat menyaksikan
sendiri bahwa perumpamaan itu adalah sebuah perumpamaan
yang sempurna dan universal. Tampaknya ayat ini masih
ada lanjutannya yang insya Allah penafsirannya akan saya paparkan
pada pertemuan yang akan datang.(1) Salawat dan salam atas
p:232
Muhammad dan keluarganya yang suci.
Dengan menyebut nama-Mu Yang Maha Agung dan Yang
Paling Agung, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Tinggi, Yang Maha
Mulia, ya Allah...
“Wahai Tuhanku, terangilah hati kami dengan cahaya yang
Engkau firmankan dalam Al-Quran bagi mereka yang beriman
sucikanlah niat-niat kami, jauhkanlah kami dari berbagai kegelapan,
curahkanlah rahmat-Mu kepada para pendahulu kami.”
p:233
p:234
MURTADHA MUTHAHHARI
A
afaf 3, 4, 12, 49, 69, 71, 72, 83,
95
ahlubid’ah 42, 43
arif 194, 217
aurat 62, 83, 84, 85, 86, 88, 89,
90, 91
B
buyut 123, 124
F
Fiqih 83, 123, 211
H
handhal 137
hijab 83
I
ifk, 22, 23, 27, 30, 31, 50, 54
inzal 213
irfan 104, 105, 194, 226
K
kufr 153
M
mantiq 106
mishbah 111, 121, 126
misykat 108, 110, 111, 121, 122
INDEKS
muallif 211
mufasir 84, 110, 117, 119, 120,
123, 126, 127, 164, 175, 230
Mukhtalaf 211
mushannif 211
N
nihlah 94
Q
qash 151
Qashir 151
S
shadaq 93, 94
T
ta’lif 211
tanzil 213
tauriyyah 79
Tazdkirah 211
tsaman 94
U
ulul fadhl 53
Y
yunazzilu 213
Z
zujajah 110, 111, 112, 126
p:235