Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud Dalam Ontologi Dan Antropo

BOOK ID

perwakilan universitas internasional al Musthafa di indonesia

Sayyid Yahya Yatsrebi - سرشناسه: یثر بی ، سید یحیی ،- 1321

عنوان قراردادی : پژو هشی در نسبت دین و عرفان. اندونزیایی

Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud Dalam Ontologi Dan Antropo : عنوان و نام پدیدآور

penerjemah Muhammad Syamsul Arif logi, Serta Bahasa Agama/;

Sayyid Yahya Yatsribi.

Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, : مشخصات نشر

1393 = 2014.

21 س م. /5×14/ مشخصات ظاهری: 280 ص .؛ 5

13 93/ فروست اصلی : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم؛ 163 پ/ 25 6

فروست فرعی : نمایندگی المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم در اندونزی؛ 2

978-964-195-01 6- شابک : 5 وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

موضوع : عرفان -- جنبه های مذهبی

شناسه افزوده : شمس عارف، محمد، مترجم

Muhammad Syamsul Arif,Muhammad : شناسه افزوده

شناسه افزوده : جامعةالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم العالمیة. مرکزبین المللی ترجمه و نشرالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

Almustafa International University Almustafa International : شناسه افزوده

Translation and Publication center

رده بندی کنگره: BP 4049515 پ 2ی/ 286 1393

رده بندی دیویی: 297/83

شماره کتابشناسی ملی : 3649481

p:1

Point

p:2

Sayyid Yahya Yatsribi

pusat penerbitan dan

penerjemahan internasional al Musthafa

penerjemah:

Muhammad Syamsul Arif

Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud

Dalam Ontologi Dan Antropologi, Serta Bahasa Agama

Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud Dalam Ontologi Dan Antropologi,

Serta Bahasa Agama

penulis: Sayyid Yahya Yatsribi

penerjemah: Muhammad Syamsul Arif

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-016-5

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

p:3

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

مؤلف: سید یحیی یثربی

مترجم: محمد شمس عارف

چاپ اول: 13 93 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

ناشر: مرکز بی نالمللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم

تیراژ: 300

قیمت: 130000 ریال

پژوهشی در نسبت دین و عرفان

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

p:4

Daftar Isi

Pangantar IICT

Bab 1: Pendahuluan 1

1. Definisi 1

1.1. Islam 1

1.2. Irfan Islami 5

a. Wahdat al-Wujûd 5

b. Gerak Turun-Naik Wujud 6

c. Suluk dan Mujahadah 6

d. Fana 7

e. Penyingkapan (Kasyf) dan Intuisi (Syuhûd) 7

f. Riyadhah 8

g. Cinta dan Kasih Sayang 8

h. Rahasia dan Simbol 9

2. Sejarah Kemunculan Tasawuf Islami 10

2.1. Periode Faktor Penyiap Lahan 11

2.2. Periode Tunas 15

2.3. Periode Perkembangan dan Penyebaran 15

2.4. Periode Sistematisasi dan Kesempurnaan 16

2.5. Periode Penjelasan dan Pengajaran 17

Bab 2: Antara Agama dan irfan 21

1. Para Penentang Irfan 21

2. Para Pembela Tasawuf 32

AGAMA dan IRFAN Wahdat Al Wujud dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama

p:vi

p:5

Bab 3: Sumber Makrifat 45

1. Sumber Makrifat Agama 45

2. Sumber Makrifat Irfan 47

3. Perbandingan dan Komparasi 49

3.1. Kesadaran Diri dan Penggapaian Makrifat 49

3.2. Pengajaran atau Pengalaman 51

3.3. Apakah Sumber Makrifat di Dalam atau Luar Diri

Manusia? 52

3.4. Bahasa Al-Qur’an, Bahasa Masyarakat Umum 55

3.5. Kerumitan dan Kemudahan Masalah 55

3.6. Keambiguan atau Kegamblangan 57

3.6.1. Agama 57

3.6.2. Irfan 59

Bab 4: Ontologi Agama dan Irfan 63

1. Ontologi Agama 63

2. Ontologi Irfan 64

3. Perbandingan dan Komparasi 66

3.1. Dzat dan Sifat Sumber Utama Alam Semesta 66

3.2. Realitas Alam Semesta 74

3.3. Motivasi Penciptaan 76

3.4. Kemunculan Alam Semesta 78

3.4.1. Penciptaan 78

3.4.2. Tajallî dan Manifestasi 80

3.5. Hari Akhir (Ma‘ad) 82

Bab 5: Antropologi Dalam Agama dan Irfan 85

1. Tujuan Penciptaan Manusia 85

2. Hakikat Manusia 89

3. Taklif Manusia 96

3.1. Tujuan Taklif dan Mengamalkan Taklif 96

3.2. Sumber Taklif 100

p:vii

p:6

Daftar Isi

3.3. Tolok Ukur Taklif 102

3.4. Penopang dan Penggerak Amal 104

3.5. Buah Melaksanakan Taklif 106

4. Akhir Kehidupan Manusia (Ma‘ad) 106

4.1. Perpindahan atau Kelahiran Dua Kali 106

4.2. Dunia dan Akhirat, atau Lahir dan Batin 109

Bab 6: Hidayah dan Hikmah Pengutusan Nabi 111

1. Keharusan Pengutusan Nabi 112

2. Substansi Kenabian 117

2.1. Substansi dan Kepribadian Nabi 117

2.2. Proses Penurunan Wahyu 123

3. Prinsip Khatamiyah dalam Pandangan Agama dan Irfan 130

3.1. Definisi Khatamiyah 130

3.2. Konsekuensi Logis Prinsip Khatamiyah 132

a. Penambahan Taklif 133

b. Keguguran Taklif 134

c. Perubahan Hukum 139

3.3. Dua Masalah Pemicu Pertikaian 142

a. Kenabian Ta‘rîf 142

b. Keunggulan Wilâyah atas Kenabian 144

Bab 7: Etika dan Amal dalam Irfan dan Agama 147

1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia 147

a. Ketidakmampuan Manusia 149

b. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia 149

c. Kemampuan Manusia 150

2. Tujuan Akhir Akhlak dan Amal 151

3. Sumber-Sumber Nilai Etis dan Praktis 152

4. Penggerak Akhlak Mulia dan Amal Salih 153

5. Amal Agamis dan Amal Irfani 154

AGAMA dan IRFAN Wahdat Al Wujud dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama

p:viii

p:7

5.1. Akhlak dan Amal Personal 154

5.2. Akhlak Familial 154

5.3. Akhlak dan Amal Sosial 155

1. Toleransi terhadap Agama dan Aliran-Aliran

yang Lain 161

2. Toleransi dengan Orang-Orang Berdosa 164

3. Kurang Mempedulikan Bahasa dan Penjelasan 164

Bab 8: Khilafah dan Wilayah dalam pandangan Agama dan Irfan 167

1. Kontinuitas Wilâyah setelah Kenabian Ditutup 172

2. Anugerah Makrifat Senantiasa Ada Selama Wali

Masih Ada 172

3. Keramat Para Wali, Kelanjutan Mukjizat Para Nabi 175

4. Tingkatan Para Ulama dan Wali 180

bab 9: Bahasa Agama dan Irfan 183

1. Peran Bahasa dalam Proses Transfer Makna 183

2. Bahasa Irfan 186

2.1. Hubungan Kata dan Makna dalam Makrifat Intuitif 190

a. Tingkatan-Tingkatan Wujud 1 90

b. Kesesuaian Pemahaman dan Tingkatan Wujud 1 91

c. Transfer Makna ke Kata 1 9 2

2.2. Konsekuensi dan Efek Seluruh Fondasi di Atas 194

a. Hubungan Makna, Kata, Hakikat, dan

Bahasa Isyarat 1 9 4

b. Kemunculan Ungkapan Bahasa Isyarat 197

c. Klasifikasi Isyarat 200

2.3. Dari Teks ke Makna, Takwil, dan “Isyarat Ungkapan” 206

a. Tingkatan dan Peringkat Wujud 207

b. Perbedaan Kondisi Batin (Hâl) 208

p:ix

p:8

c. Keberagaman Alasan (Munâsabah) dalam

Penggunaan Bahasa Isyarat 209

3. Bahasa Wahyu 212

Bab 10: Kesemipulan dan Apendiks 221

1. Irfan yang Mana; Agama yang Mana? 221

2. Irfan dan Agama, Sebuah Realita Lain 225

a. Wahdat al-wujûd 225

b. Prinsip Cinta Kasih 225

c. Fana 226

d. Intuisi dan Makrifat Intuitif 227

3. Irfan, Sebuah Aliran yang Terbuka 230

4. Tugas Masyarakat Agama Menghadapi Ajaran Irfan 235

4.1. Irfan Tidak Mengganggu Keberagamaan dan Proses Berpikir 235

4.2. Irfan Bukan Taklif Ilahi, tetapi Pilihan Manusia 237

4.3. Daya Tarik Irfan 238

4.4. Efek Positif Irfan 240

4.5. Irfan, Sebuah Kemungkinan yang Tidak Logis

Diabaikan 242

5. Persoalan Irfan di Masyarakat Kita 244

5.1. Penentangan Para Ulama dan Kaum Agamis 244

5.2. Mengagamakan Irfan 245

5.3. Teorisasi Irfan 247

5.4. Irfan dan Hermitage 249

5.5. Irfan, Bukan Milik Semua Orang 250

DAFTAR PUSTAKA 255

INDEKS 259

IKLAN BUKU 267

p:x

p:9

Pengantar IICT

Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan

memulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah paradigma

pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemikiran

sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe, yakni

tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius. Kaum

tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas, menghadapi

berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi sebagai

prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.

Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas

secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan

reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kompatibel

dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma

ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.

Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada posisi

diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga

dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemiki-ran

modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsipal

dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsepkonsepnya.

Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam

bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan, paradigma

modernisme justru pada gilirannya berujung pada negasi

total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan paradigma

humanisme serta mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh

aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini, Modernisme

religius–dan terutama paradigma Pemikiran Pembaruan–tampil

konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang

pergaulannya dengan konsep-konsep modernitas, sekaligus

berupaya mendekonstruksi dan mereproduksi pemikiran baru

p:xiii

p:10

dengan cara menyaring konsep-konsep modernitas dengan

filter tradisi. Dalam mekanisme inilah terma-terma seperti:

kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan

makna khasnya dibanding dengan kebebasan, demokrasi, dan

keadilan sosial se-bagaimana yang dipahami dalam paradigma

modern.

Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran

Pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut

pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai

kebenaran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini pula,

tentu saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan reproduksi

pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya,

ekonomi, politik, dan sosial.

Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan

lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan

di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis

sekularisme dan humanisme sebagai dua pandangan dunia

yang dominan di Barat, karya-karya ini juga dengan kekuatan

kritis yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma

kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran

baru di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam

dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.

Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad

DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE

AND THOUGHT (IICT)

p:xiv

p:11

Bab 1 Pendahuluan

1. Defnisi

Point

1. Defnisi

Dalam upaya komparasi agama antara “agama” dan “irfan”, fokus penelitian akan berkisar pada “agama Islam” dan “irfan Islami”. Melalui fokus ini pula dua terminologi ini akan dianalisis letak perbedaan masing-masing.

1.1. Islam

Islam adalah agama yang berlandaskan pada tiga asas fundamental:

o Tauhid.

o Kenabian.

o Hari Akhir.

Berdasarkan asas Tauhid, tidak ada pencipta, penguasa, dan layak

disembah kecuali Allah; lâ ilâha illa-Allâh.(1)1 Dalam seluruh ajaran Al-Qur’an, setiap keyakinan terhadap sekutu dan tuhan yang lain dianggap

sebagai kesalahan, penyelewengan, dan satu-satunya dosa yang tak

terampuni.(2)

p:1


1- 1 QS. Al-Shafaat [37]: 35; QS. Muhammad [47]: 19. Kandungan ini diulang-tekankan dalam seluruh Al-Qur’an dengan ungkapan lâ ilâha illâ huwa (tiada tuhan selain Dia) dan ungkapanugkapan yang lain.
2- 2 QS. Al-Nisa’ [4]: 48 116. Begitu juga ayat-ayat lain yang berkaitan dengan syirik dan musyrikin.

Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui,

Mahakuasa, Mahahidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, dan

Maha Melihat. Dia murni dari setiap sifat yang ada pada makhluk,

karena tidak ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya(1) dan tidak

satupun yang sebanding dengan-Nya.(2)

Dari asas Tauhid, para ulama menyimpulkan keesaan dan ketiadaan

sekutu bagi Tuhan dalam penciptaan, serta kelayakan-Nya disembah

dan ditaati.(3)

Sementara asas Kenabian berfungsi sebagai fasilitas petunjuk bagi

manusia, menyempurnakan daya pemahaman mereka, dan menjamin

segala bentuk kebahagiaan spiritual dan material mereka. Untuk itu,

Allah mengutus para nabi dari bangsa mereka sendiri. Tugas para nabi

adalah menyampaikan perintah dan larangan Ilahi, menyelamatkan

umat manusia dari kesesatan dan keterpurukan.(4)

Dalam menentukan siapakah yang harus diangkat menjadi

seorang nabi, mayoritas Muslimin tidak menentukan syarat-syarat

tertentu. Satu-satunya faktor penentu dalam hal ini adalah kehendak

dan pilihan Allah,(5) “Dia mengkhususkan karunia-Nya kepada siapa saja

yang Dia kehendaki.”(6)

Pada umumnya, wahyu turun dengan cara Jibril membacakan

ayat kepada Rasulullah Saw dengan menggunakan Bahasa Arab.

Setelah mendengarkan bacaan ayat, beliau menghafalnya lalu

menyampaikannya kepada masyarakat. Para penulis wahyu menulis

ayat tersebut tanpa mengubah sedikit pun.

Bahasa dan penjelasan Al-Qur’an sangat tegas dan jelas.(7) Muhkamat

p:2


1- 3 QS. Al-Syura [42]: 11.
2- 4 QS. Al-Ikhlash [112]: 4.
3- 5 Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku referensi tafsir Syiah dan Ahli Sunah yang terkenal seperti: Majma‘ Al-Bayân, Tafsir Al-Tabarî, serta dalam buku-buku referensi Teologi mereka seperti: Al-Tawhîd Syaikh Shadûq, Al-Mawâqif fil ‘Ilm Al-Kalâm Qadhi ‘Adhud Ijî, hlm. 333-334, Al- Inshâf, Al-Bâqilânî, Kairo, hlm. 18, 23, dan 33, dan Syarh Nasafiyyah, At-Tatâzânî, hlm. 29.
4- 6 QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2.
5- 7 Syarh Al-Mawâqif, Al-Jurjani, jld. 8, hlm. 218.
6- 8 QS. Al-Baqarah [2]: 105; Al Imran [3]: 74.
7- 9 Tentang hal ini, Al-Qur’an menggunakan ungkapan-ungkapan seperti qur’ânun mubîn;

dan mutsyabihat(1) adalah sebuah masalah yang tidak ada

hubungannya dengan bahasa Al-Quran.

Para nabi adalah pribadi-pribadi maksum, tidak pernah salah

dalam menyampaikan wahyuu tidak pernah mengurangi atau menambah

kandungannya.(2)

Agama Islam adalah agama sempurna, menjelaskan segenap

hukum yang diperlukan tentang hal ihwal yang halal dan haram.

Selama dunia masih ada, hukum-hukum itu tetap valid.

Pada mulanya, manusia diciptakan dari tanah dan tinggal di dalam

surga, kemudian sebagai khalifah Ilahi. Karena sebuah “pelanggaran”

yang dipicu tipu daya setan, ia turun dari kehidupan surgawi ke dalam kehidupan

duniawi. Berkat inayah Ilahi, manusia dapat merasakan kasih sayang

Allah di dunia. Allah mengutus para nabi guna membimbingnya. Dengan

mengikuti perintah Ilahi dan tidak menentangnya, ia akan kembali ke

surga dan dijanjikan kenikmatan abadi. Sebaliknya dengan membangkang

dan mengingkari ayat-ayat Ilahi, ia kekal dibakar dalam neraka.(3)

Hari Akhir atau Maoad bersifat jasmaniah. Dalilnya, kemampuan

Ilahi untuk mematikan dan menghidupkan.(4)

Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami dan ia lupa kepada kejadiannya, ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang

yang telah hancur luluh itu, ” Katakanlah, “Tulangbelulang

itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya

Al-Qur’an yang memberi penjelasan(QS. Al-Hijr [15]: 1), kitâbun mubîn; sebuah kitab

yang memberi penjelasan (QS. Saba’[34]: 3, Al-Ma’idah [5]: 15, dan Al-An‘am [6]:59),

albalâgh al-mubîn; penyampaian yang jelas (QS. Al-Ma’idah [5]:92, Al-Nahl [16]:103, dan

Al-Syu‘ara’ [2 6]: 1 95), al-kitâb al-mubîn; kitab yang memberi penjelasan (QS. Yusuf[12

]: 1, Al-Syu‘ara’ [2]6:2), ‘arabiyyun mubîn; bahasa Arab yang terang (QS. Al-Nahl [16]: 103

dan Al-Syu‘ara’ [26]: 195, âyâtun bayyinât; ayat-ayat yang jelas (QS. Al-Baqarah [2]: 99 dan Al

Imran [3]: 67. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lain dengan kandungan yang sama.

p:3


1- 10 QS. Al Imran [7]: 3.
2- 11 QS. Al-Najm [53]: 3-4 dan Al-Haqqah [69]: 49.
3- 12 QS. Al-Baqarah [2]: 30-39. Silakan juga merujuk kajian tentang Hari Akhir dalam buku-buku teologi dari kalangan Syiah dan Ahli Sunah, seperti buku Al-Mawâqif dan Al-Bâb Al-Hâdî ‘Asyar.
4- 13 QS. Al-Baqarah [2]: 28.

kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala

makhluk.”( QS. Yasin [36]: 78-79).

Para teolog Islam meyakini bahwa ma‘ad yang sesuai dengan ajaran

Al-Qur’an hanyalah ma‘ad jasmaniah.(1)

Kenikmatan di surga dan siksa di neraka Jahanam dapat dipahami

dengan mudah melalui kandungan Al-Qur’an. Kenikmatan surgawi

berhubungan dengan makanan, pakaian, perhiasan, bidadari, istana,

dan para pelayan. Sedangkan, siksa dan seluruh jenis kesakitan

terjelma dalam beberapa bentuk, seperti terbakar dalam api, air panas

dan berbau busuk yang dituangkan ke dalam tenggorokan, tangan dan

kaki yang diikat dengan rantai, makan buah Zaqqûm, dan minuman

menjijikkan yang bercampur dengan air mendidih.(2)

Taat (kepada aturan Ilahi) pun adalah sebuah kewajiban yang harus

dilaksanakan sesuai dengan kemampuan setiap insan. Barangsiapa

tidak mampu melaksanakan tugas Ilahi, tugas ini gugur dari pundaknya.

Syariat Islam adalah sebuah syariat yang tidak sulit dan tidak pula

mempersulit.(3)

Selama seseorang belum mencapai usia baligh, ia tidak dibebani

kewajiban dan tugas apa pun. Setelah mencapai usia baligh, ia baru

dibebani kewajiban dan tugas yang harus dilaksanakan dalam sehari

semalam dan juga tahunan. Akan tetapi, kewajiban dan tugas tersebut

sangat terbatas. Sebagian kewajiban dan tugas hanya diwajibkan dalam

kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat khusus, seperti zakat yang

hanya diwajibkan apabila penghasilan yang ia peroleh sudah mencapai

kadar tertentu (nishâb). Begitu pula ibadah haji yang diwajibkan

apabila ia mampu. Atau jihad yang diwajibkan dalam syarat dan situasi

tertentu.

p:4


1- 14 Lahiji, Fayyadh, Govhar-e Murod, hlm. 621; Thusi, Nashiruddin, Resoleh-e ‘Aqo’ed-e Ja‘fariyeh, masalah no. 47.
2- 15 QS. Al-Shafaat [37]: 62-67.
3- 16 QS. Al-Hajj [22]: 78.

1.2. Irfan Islami

Point

Pada dasarnya, irfan memiliki dua sisi: satu sisi berada di balik konsepsi

(idrâk) lahiriah kita yang secara hakiki ada dan tidak berbilang (tunggal),

dan sisi yang lain berada dalam ruang lingkup konsepsi lahiriah kita

yang secara hakiki tidak ada; sisi ini hanyalah manifestasi berbilang

dan beraneka ragam dari hakikat yang tunggal. Persepsi ini terbentuk

dari:

a. Wahdat al-Wujûd

Wahdat al-wujûd berarti maujud yang tunggal tersebut adalah realita

yang prinsipal (ashâlah). Ini berarti maujud-maujud yang lain hanyalah

manifestasi wahmî dari wujud yang tunggal itu.(1)

Fondasi ini yang dari sejak kemunculannya di kalangan sufi

dipaparkan dengan ungkapan beraneka ragam, terlalu rumit (sukar

dipahami) dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Mengenai kerumitannya, tidak dapat digambarkan dan dicerna

oleh akal. Sebab, pada dasarnya pengetahuan irfan bersifat eksklusif;

yakni pengetahuan intuitif penyaksian (syuhûdî), tidak dapat dicerna

oleh akal dan pikiran manusia. Untuk menggapainya diperlukan mata

batin. Mata batin tidak mungkin dapat diperoleh kecuali setelah kita

melintasi batas konsepsi lahiriah dan egoisme personal.

Adapun ketidaksesuaiannya dengan ajaran Islam, dalam ajaran

Islam, Allah dan makhluk adalah dua realitas yang terpisah; Yang

Pertama adalah pencipta yang kedua. Padahal, dalam ajaran irfan,

universum adalah manifestasi (zhuhûr) Dzat Yang Maha Haqq. Dengan

ungkapan lain, universum adalah Dzat Yang Maha Haqq itu sendiri

(‘ayn al-haqq).

p:5


1- 17 Dalam pembahasan fondasi utama ajaran irfan, kami tidak menyebutkan buku-buku rujukan karena dua alasan: a. Fondasi dan ajaran para arif Muslim dalam masalah ini tidak dapat diragukan lagi. Oleh karena itu, tidak perlu kami menyebutkan aneka buku referensi. b. Buku-buku referensi dan rujukan dalam kajian komparatif antara persepsi irfan dan agama berkenaan dengan aneka ragam masalah akan disebutkan dalam pembahasan mendatang.
b. Gerak Turun-Naik Wujud

Dalam persepsi para arif, hakikat wujud, berdasarkan konsep gerak

dan kecenderungan cinta, melewati aneka ragam tingkatan gerak menurun

(tanazzulât) sampai kepada manusia. Kemudian, dari manusia

dan dalam diri manusia, gerakan menaik dimulai dan hakikat wujud

melewati seluruh tingkatan di atas hingga sampai ke titik permulaan

yang asli. Gerak turun dan naik ini digambarkan dengan dua bentuk

busur yang saling berhadapan: busur gerak menurun (qaws nuzûlî)

dan gerak busur menaik (qaws shu‘ûdî).

c. Suluk dan Mujahadah

Ketika ingin kembali ke titik permulaan, manusia harus mengarungi

perjalanan dari alam ketercerai-beraian dan keberbilangan (farq wa katsrah)

hingga ke alam kemanunggalan dan kesatuan (jam‘ wa tawhîd).

Jarak itu dinamakan tarîq (jalan), sedangkan adab dan tata krama (yang

harus dilakukan selama perjalanan) disebut tharîqah (tarekat). Manusia

adalah seorang salik (penempuh tarekat) dan tujuan akhirnya adalah

hakikat. Jika salik ingin menggapai hakikat dan fana dalam hakikat

tanpa inayah Ilahi, ia perlu bermujahadah dan melakukan riyadhah.

Manusia merupakan maujud yang secara potensial (bi al- quwwah)

adalah seluruh universum. Manusia punya potensi untuk berkembang

dari titik nol menjadi maujud yang tidak berbatas; dari sebuah benda

mati menjadi maujud Ilahi. Karena wujud manusia adalah kawn jâmi‘

(makhluk yang komprehensif), ia adalah manifestasi sebuah hakikat

di mana universum secara keseluruhan adalah manifestasinya.

Universum dengan keseluruhannya adalah satu orang manusia, dan

satu orang manusia adalah satu universum.

p:6

d. Fana

Tidak seorang pun dapat menempuh jalan menuju haribaan Ilahi,

selama ia belum menggapai tingkatan fana.

Meskipun menggapai cinta Ilahi adalah kekal nan abadi,

tetapi pada mulanya diselimuti oleh kefanaan dalam kefanaan.

Apakah mikraj malakut? Bukanlah ini,

para pecinta tidak mengenal agama manapun

Maulana Rumi

Manusia berada di alam ketercerai-beraiaan (farq). Dalam kondisi

seperti ini, sarana makrifat hanyalah indera dan akal. Indera dan akal

berhubungan dengan sisi lahiriah alam. Karena sisi lahiriah berbilang

dan tercerai-berai (mutakatstsir wa mutafarriq), akal dan indera

diformulasi sesuai dengan format keberbilangan (katsrah). Dalam

pandangan indera dan akal, seluruh maujud memiliki realita masingmasing

dan bersifat sebenarnya. Tetapi, ketika salik sampai kepada

kedudukan “kemanunggalan” (jam‘), baik melalui inayah Ilahi maupun

dengan cara mujahadah dan suluk, ia akan menggapai makrifat intuitif

dan berada dalam sisi lain alam ini yang tidak ada keberbilangan di

sana dan tidak akan ditemukan maujud-maujud yang berbilang dan

beraneka ragam. Wujud dan jati diri salik sendiri akan sirna dan

tirai keakuan akan lenyap. Hal ini adalah realita yang tidak dapat

digambarkan atau dicerna oleh akal dan pikiran kita.

e. Penyingkapan (Kasyf) dan Intuisi (Syuhûd)

Setelah menggapai fana dan melewati batas wujud (ta‘ayyun) yang

beraneka ragam, seorang arif berhasil menempuh jalan dari titik

benda mati hingga titik yang tidak terbatas. Setiap tahap dalam

perjalanan kesempurnaan di tingkatan wujud, ia akan memperoleh

keistimewaannya. Dalam perjalanan menaik (sayr shu‘ûdî), setelah

melewati alam ketercerai-beraian, ia akan berhadapan dengan makrifat

p:7

baru (dzât wa kaifiyyah), yang kualitasnya seperti fana itu sendiri tidak

dapat digambarkan oleh akal dan pikiran kita. Dalam makrifat intuitif,

tidak ada istilah keberbilangan; orang yang mengetahui dan objek

yang diketahui (‘âlim wa ma‘lûm) bukan dua realita berbeda. Makrifat

intuitif sama sekali berbeda dengan ilmu lahiriah. Ia bukan termasuk

kategori ilmu hushûlî dan bukan pula ilmu hudhûrî. Para arif menyebut

jenis ilmu semacam ini dengan nama “ilmu hakiki” dan jenis ilmu

yang lain dengan nama “ilmu nonhakiki”.

f. Riyadhah

Para arif sepakat, seorang salik dapat menggapai kesempurnaan diri

yang hakiki dengan jalan riyadhah. Makrifat intuitif adalah hasil dari

amal. Ajaran irfan bukanlah teori, tetapi ajaran suluk dan usaha. Dengan

melaksanakan latihan yang melelahkan, ajaran ini dapat membawa

manusia dari tingkatan yang beraneka ragam dan menyampaikannya

kepada kedudukan fana, tauhid, penyingkapan (rahasia Ilahi), dan intuisi.

Ajaran irfan, dalam satu ungkapan singkat, adalah sebuah upaya

yang tidak kenal lelah untuk mati dengan pilihan sendiri, “membunuh

diri,” dan mengorbankan diri. Mati dengan pilihan sendiri yakni mati

dari dunia materi. Bunuh diri yakni memberangus seluruh pembatas

diri dan membebaskan wujud kita dari batasan-batasannya. Hasilnya

adalah kelahiran yang kedua di dunia lain dalam bentuk manusia lain

dan alam lain.

Ketahuilah, sangatlah mudah bila singa ingin porandakan barisan

hanya singa sejati adalah yang dapat menaklukkan diri.

Maulana Rumi

g. Cinta dan Kasih Sayang

Cinta dan kasih sayang adalah salah satu unsur penting irfan Islami.

Faktor utama untuk tajallî dan busur gerak menurun, serta untuk fana

p:8

dan busur gerak menaik adalah cinta dan kasih sayang. “Manusia dan

malaikat adalah pembakti dalam universum cinta”.(1) Sedangkan seluruh

salik dan arif adalah pengikut sejati ajaran cinta.

Aku mengikuti agama cinta ke manapun karavannya pergi;

cinta adalah keimananku yang sejati.

Ibnu Arabi

Cinta dalam tajallî Dzat Yang Maha Haqq dan kemunculan manifestasi

penciptaan, penghambaan, proses kembali, dan dalam pandangan

para arif memiliki peran fundamental. Cinta adalah hakikat yang

tidak dapat digambarkan dan tidak pernah berakhir. Cinta adalah seni

bangsa manusia. Cinta adalah kekuatan. Para malaikat yang berada di

alam qudsi sekali pun tidak dapat memperagakan cinta.

Malaikat tak kenal rahasia cinta,

jangan kisahkan cinta kepadanya;

Ambillah sebuah piala dan air bunga,

siramkanlah di depan kaki manusia.

Hafizd

h. Rahasia dan Simbol

Irfan dengan seluruh aneka ragam bentuknya, di kalangan kaum dan

umat yang berbeda-beda, selalu membawa tema “rahasia dan simbol”.

Kerahasiaan ini timbul dari realitas bahwa makrifat irfani tidak

dapat diungkapkan. Simbol diperlukan karena para arif ingin menceritakan

makrifat, mereka harus menceritakannya dengan bahasa simbol

dan isyarat. Rahasia tidak dapat diceritakan karena dua alasan:

Pertama, dalam tarekat, rahasia tidak boleh diungkap, karena

dapat mengundang penentangan dan permusuhan masyarakat awam

dan kaum fanatik terhadap seorang arif, dalam kaidah tarekat juga

dinilai

p:9


1- 18 Divon-e Hofezd.

sebagai sebuah kesalahan dan kekufuran yang dapat mengakibatkan

siksa dan teguran keras;

Kedua, hakikat intuitif dan makrifat irfani tidak dapat dipindahkan

atau dialihkan kepada orang lain. Substansi makrifat membuat dirinya

tidak dapat diceritakan. Setiap kali mereka berusaha menceritakannya,

mereka tetap tidak mampu membuka mulut.

Betatpun segenap usahaku jabarkan cinta;

ketika aku cecap cinta malulah aku darinya.

Hafizd

Perlu kami ingatkan, maksud dari irfan Islami adalah dalam

bentuknya yang sempurna dan final, bukan setiap penisbatan atau

sebagian darinya. Tidak berbeda pula, apabila kita ingin berbicara

tentang ilmu Fisika, kita harus mengambil bentuk yang sempurna dan

final, bukan sebagian penisbatan, sedikit pembahasan, atau masalah

tertentu dalam ilmu tersebut. Kami ingin memaparkan sejarah

kemunculan dan kesempurnaan irfan di dunia Islam pada pembahasan

berikut ini.

2. Sejarah Kemunculan Tasawuf Islami

Point

Bagaimana irfan Islam muncul dan berkembang menjadi sempurna,

kami akan membahasnya dalam lima periode:

a. Periode faktor penyiap lahan.

b. Periode tunas.

c. Periode perkembangan dan penyebaran.

d. Periode sistematisasi dan kesempurnaan.

e. Periode penjelasan dan pengajaran.

p:10

2.1. Periode Faktor Penyiap Lahan

Apakah yang menjadi faktor munculnya tasawuf Islami? Apakah faktor

agama Islam, Kristen, ajaran India, peninggalan NeoPlatonisme, ajaran

para filosof Persia Kuno, ataukah faktor lain?

Setelah bertahun-tahun melakukan kajian dan penelitian, dapat

kami simpulkan sebagai berikut:

Pertama, dalam ajaran dan sumber utama agama Islam (Al-Qur’an

dan Sunah), tidak ada ajakan yang tegas dan bersifat langsung untuk

bertasawuf; kedua, tasawuf memiliki korelasi erat dengan kezuhudan.

Dapat diasumsikan, zuhud Islami adalah dasar ajaran tasawuf; ketiga,

tidak diragukan bahwa tasawuf Islami terpengaruh ajaran agama dan

aliran-aliran di sekitarnya; mulai dari agama Kristen, NeoPlatonisme,

agama Hindu, pemikiran bangsa Persia, hingga Yunani kuno.(1)

Dalam buku Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, Ibn Sina memaparkan

definisi abid, zahid, dan arif. Menurut Ibn Sina, seorang abid, di

samping mencari kebahagiaan ukhrawi, juga memanfaatkan kelezatan

duniawi dalam batas yang diperbolehkan dan halal. Zahid, karena

khawatir kehilangan akhirat, ia meninggalkan seluruh kelezatan

duniawi. Arif tidak menginginkan dunia dan tidak pula akhirat. Ia hanya

menginginkan Dzat Yang Maha Haqq dan cinta kepada keindahan Dzat

pemberi cawan kebahagiaan yang abadi itu.20

Meskipun Ibn Sina tidak memaparkan lebih luas, tetapi kita

dapat dapat memetik sebuah kesimpulan bahwa konsep ibadah,

zuhud, dan irfan berada dalam posisi berurutan, vertikal dan saling

p:11


1- 19 Sehubungan dengan faktor-faktor dan buku-buku referensi tasawuf Islami, silakan merujuk beberapa buku berikut ini: a. Zuhd va Tasavvuf dar Eslom, Goldziher, terj. Muhammad Ali Khalili. b. Torikh-e Falsafeh dar Jahon-e Eslom, Hana Al-Fakhuri dan Khalil Al-Jarr, terjemahan Ayat, jld., pembahasan irfan dan tasawuf. c. Torikh-e Tasavvuf, Dr. Qasim Ghani. d. Al-Falsafah Al-Shûfiyyah fi Al-Islâm, Dr. Abdul Qadir Mahmud, cet. Kairo. e. Tasavvuf-e Eslomi, Niccolson, terjemahan Syafi’i Kadkani, cet. Tehran. f. Josteju dar Tasavvuf-e Iron, Abdul Husain Zarrinkub. 20 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, manhaj ke-9.

menyempurnakan. Sangat lumrah apabila zuhud dalam proses

perjalanan menggapai kesempurnaan dapat melahirkan irfan.

Ada beberapa faktor yang layak diperhatikan sehubungan dengan

kemunculan dan kesempurnaan zuhud:

a. Ajaran Al-Qur’an.

b. Sunah Nabawi.

c. Sirah Rasulullah Saw dan sahabat serta keluarga beliau.

d. Kebencian Muslimin kepada praktik cinta dunia oleh dinasti Bani

Umaiyyah dan Abbasiyyah.

Hal utama dalam zuhud Islami adalah mementingkan akhirat atas

dunia dan sudah kita ketahui bersama betapa sulitnya mengelola kedua

hal ini. Banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan supaya akhirat lebih

diutamakan atas dunia, seperti ayat yang berbunyi: “Katakanlah bahwa

harta dunia sangatlah sedikit dan akhirat adalah lebih baik bagi orang

yang bertakwa” (QS. Al-Nisa’ [4] :77). Puluhan ayat Al-Qur’an yang lain

menekankan bahwa dunia dan akhirat tidak dapat digabungkan. Dua

ayat berikut ini membuktikan realita ini dengan sangat gamblang:

Barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan

kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya

suatu bagian pun di akhirat (QS. Al-Syura [42]: 20).

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka

(seraya dikatakan kepada mereka). ‘Kamu telah menghabiskan

rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu

telah bersenang-senang dengannya.’” (QS. Al-Ahqaf [46]: 20).

Ayat terakhir ini sangat mempengaruhi para sahabat Rasulullah

Saw. Mereka berkumpul di rumah Utsman bin Mazh‘un dan kemudian

mengambil keputusan meninggalkan hiruk-pikuk dunia dan hanya

memberi perhatian kepada kehidupan akhirat.

p:12

Dalam Sunah Rasulullah Saw, kontradiksi antara dunia dan akhirat

seringkali ditekankan. Sebagai contoh, “Dunia adalah haram bagi ahli

akhirat dan akhirat adalah haram bagi ahli dunia.”(1)

Pada umumnya, dalam buku-buku hadis dibuka sebuah pasal

tersendiri yang memaparkan pembahasan tentang cela terhadap

dunia dan larangan untuk mencintainya. Hal ini menyebabkan

sebagian Mukminin dari awal masa Islam menjauhi dunia dan lebih

memilih hidup dalam kesulitan dan kefakiran. Dari kalangan mereka

muncullah beberapa kelompok yang dikenal dengan nama qurrâ’

(ahli Al-Qur’an), bakkâ’în (orang-orang yang senantiasa menangis

karena mengingat dosa), dan ‘ubbâd (para penyembah Allah). Tidak

diragukan lagi, kehidupan pribadi Rasulullah Saw, sebagian sahabat,

dan keluarga beliau, seperti Imam Ali as dan Sayidah Zahra as, adalah

kehidupan yang dipenuhi oleh ‘kesulitan’ dan kezuhudan. Sekelompok

sahabat dan tabiin menjadikan kehidupan pribadi mereka sebagai

model untuk kehidupan diri mereka. Mereka konsisten beribadah

meskipun dalam kondisi yang sangat miskin.

Pengaruh konsep zuhud terhadap kemunculan irfan tidak hanya

dimiliki oleh Muslimin. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, fokus kepada

irfan kurang lebih juga terjadi karena perhatian terhadap konsep

zuhud dan ketakwaan.(2)

Almarhum Homai berkeyakinan, faktor kemunculan tasawuf

adalah konsep zuhud dan nilai ketakwaan.23(3)hi dunia, zuhud, dan

takwa adalah faktor kemunculan tasawuf pada abad kedua.(4) Paduan

konsep zuhud Islami dengan konsep-konsep yang lain, seperti ikhlas,

ridha, tawakal, dan lain-lain, begitu pula meneladani para maksum

as. adalah sumber utama kemunculan konsep tasawuf. Pandangan ini

tidak bertentangan dengan keyakinan akidah, tradisi para pengikut

p:13


1- 21 Al-Jâmi‘ Al-Shaghîr, jld. 2, hlm. 16.
2- 22 Arzesy-e Miros-e Shufiyyeh, Zarrinkub, hlm. 51-52.
3- 23. Tasavvuf dar Eslom, Jalaluddin Homai, hlm. 60-61
4- 24. Muqaddimah Ibn Khaldûn, hlm. 467.

agama, dan aliran-aliran pemikiran lain berpengaruh terhadap bentuk,

metode tasawuf, dan perkembangan konsep zuhud Islami menjadi

konsep tasawuf. Begitu pula, sebagian larangan yang ditunjukkan oleh

para imam maksum. berkenaan dengan praktik zuhud yang melampaui

batas bertujuan supaya Muslimin tidak meniru sunah dan tradisi kaum

nonMuslim.

Ketahuilah, kita harus memilah dan memisahkan masalah seperti

ketidakberartian dunia dibandingkan akhirat, ajakan untuk ikhlas dan

tawakal, anjuran memerangi hawa nafsu, dan lain-lain; beberapa faktor

pemicu kemunculan tasawuf dan irfan Islami, dari masalah-masalah lain

yang dengan usaha menakwilkan Al-Qur’an dan Sunah diaplikasikan

terhadap Islam. Hal ini karena kaum sufi dan arif pada periode berikutnya

berusaha mengaplikasikan ajaran dan keyakinan mereka terhadap Islam

dengan cara menakwilkan dan menafsirkan ratusan ayat dan hadis.

Walau bagaimanapun, konsep zuhud Islami berperan sebatas

faktor penyiap lahan bagi kemunculan konsep irfan Islami. Jika kita

merujuk kepada lahiriah ajaran agama Islam, tidak akan ditemukan

fondasi ajaran-ajaran irfan. Kita harus memisahkan penakwilan yang

telah dilakukan pada periode-periode berikutnya itu dari indikasi tegas

dan lahiriah Al-Qur’an dan Sunah.

Pada kesempatan ini, kami ingin menjelaskan lebih lanjut:

Pertama, Ibnu Arabi dalam Fushûsh Al-Hikam memisahkan aliranaliran

irfan yang berlandaskan suluk dan riyadhah dari ruang lingkup

agama-agama samawi. Ia menamakan aliran-aliran irfan dengan nama

“agama insani” dan agama-agama samawi dengan nama “agama Ilahi”.

Meski termasuk salah seorang tokoh irfan Islami, Ibnu Arabi mengakui

bahwa agama terpisah dari irfan; kedua, Ibnu Arabi berkeyakinan

bahwa irfan dibuat oleh tangan manusia, akan tetapi ia menganjurkan

kita untuk mengikutinya, dan meyakini bahwa menjaga kaidah dan

garis-garis besar ajarannya dapat mengundang keridhaan Allah.

Sebagaimana Ibnu Arabi, kami pun dengan tegas meyakini bahwa

p:14

irfan adalah ajaran yang terpisah dari agama, tetapi kami tidak pernah

bermaksud menafikan dan melarang irfan. Bahkan, kami berkeyakinan

bahwa irfan bermanfaat bagi kesempurnaan dan pendidikan manusia.

2.2. Periode Tunas

Periode di mana sebagian ajaran tasawuf dikemukakan oleh tokoh yang

berbeda-beda. Tasawuf dan irfan Islam, baik dalam jajaran teori maupun

praktis, belum terwujud secara teratur dan sempurna. Tetapi, konsep

tasawuf sendiri telah ada, dan pada periode berikutnya berkembang

menjadi sempurna.

Salah seorang tokoh masyhur Rabi‘ah Adawiyyah (w. 135 H). Ia telah

menggantikan konsep ikhlas dengan konsep cinta dan mencuatkan

konsep penyembahan terhadap Allah tanpa ingin meraih surga atau

karena takut terhadap neraka.(1)

Tokoh yang lain adalah Syaqiq Balkhi (w. 194 H). Ia mengutarakan

konsep ilmu ahwâl di daerah Khurasan.

Tokoh-tokoh yang lain adalah Ma‘ruf Karkhi (w. 200 H), Abu

Sulaiman Darani (w. 215 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan

Dzunnûn Al-Mishrî (w. 245 H). Setiap tokoh mengisyaratkan sebagian

ajaran-ajaran tasawuf seperti konsep cinta, riyadhah, makrifat, rahasia,

dan tauhid.(2)

Dengan kemunculan tunas-tunas tersebut, metode irfan memiliki

nilai lebih dari konsep zuhud murni. Akibatnya, serangan-serangan

para fuqaha dan ulama terhadap para tokoh yang memilih jalan irfan

semakin keras.

2.3. Periode Perkembangan dan Penyebaran

Pada periode ini, hari demi hari, ajaran para arif semakin sempurna

dan ‘kaya’ sehingga para pengikut irfan bertambah banyak. Periode

ini bukanlah periode sistematisasi ajaran tasawuf. Periode ini

p:15


1- 25 Al-Yawâqît wa Al-Jawâhir, Sya‘rânî, jld. 1, hlm. 72; Tadzkirat Al-Awliyâ’, Aththar, jld. 1, hlm. 73.
2- 26 ‘Erfon-e Nazdari, Yahya Yatsribi, hlm. 123.

hanyalah periode perkembangan tasawuf. Pada periode ini, keinginan,

kerinduan, keimanan, dan resistensi para pengikut aliran tasawuf

sangat menakjubkan. Meskipun demikian, tasawuf masih bersifat ambigu

dan sangat sulit dicerna. Seakan-akan ajaran ini belum dikenal secara

detail oleh para pengikut setia dan pendahulunya.

Abu Yazid Basthami (w. 261 H) dengan ajaran-ajarannya yang sulit

dicerna, Sahal Tustari (w. 283 H), Junaid (w. 297 H), dan yang lebih

masyhur lagi, Husain bin Manshur Hallaj (w. 309 H), serta Syibli (w.

334 H), dan tokoh-tokoh yang lain adalah para figur arif dan masyhur.

Pada periode ini, ajaran-ajaran irfan semakin mengkristal

seperti fana, rahasia, makrifat intuitif, dan cinta termasuk

ajaran-ajaran asli para sufi.(1)

2.4. Periode Sistematisasi dan Kesempurnaan

Ajaran tasawuf berkembang cukup pesat dan para pengikutnya kian

bertambah. Oleh karenanya, para tokoh tasawuf harus memenuhi dua

kebutuhan utama; dari satu sisi mereka harus memenuhi kebutuhan

para pengikut mereka dan dari sisi lain harus menjawab segala kritikan

yang ditujukan oleh para penentang tasawuf. Mereka mengambil

keputusan mensistematisasikan ajaran utama tasawuf, termasuk pembentuk

sistem teoritis dan praktisnya serta menjelaskan dan menata

ajaran tasawuf dengan rapi. Untuk menggapai tujuan ini, mereka

menulis buku dan risalah.

Sangat sulit menentukan buku yang ditulis pertama kali dalam

dunia tasawuf. Akan tetapi, menurut pandangan Harits Al-Muhasibi

adalah tokoh pertama yang menulis sebuah buku dengan judul Al-Ri‘âyah

li Huqûqillâh.(2) Biar bagaimanapun, buku-buku pertama tasawuf yang

masyhur adalah Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf

p:16


1- 27 Karena memperhatikan kapasitas buku ini, pembahasan parsial masalah ini dan buku-buku referensi yang beraneka ragam tidak dipaparkan secara detail. Anda bisa merujuk buku ‘Erfon-e Nazdari, bagian 1, bab 3.
2- 28 Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf, Kulabadi, hlm. 1 7; Tarikh-e Tashavvuf, Qasim Ghani, hlm. 531.

karya Al- Kulabadi (w. 380 H), Qût Al-Qulûb karya Abu Thalib Makki

(w. 386 H., dan Al-Luma‘ karya Saraj Thusi (w. 378 H.). Proyek ini

diteruskan oleh Sullami (w. 412 H), Hafizd Abu Nu‘aim (w. 430 H),

Qusyairi, dan Hujwairî pada abad V. Akhirnya mencapai puncak

kegemilangannya dengan karya-karya yang ditulis Abdullah Anshari

dalam tahap panduan praktis, Ghazali bersaudara dan ‘Ain Al-Qudhât

pada abad VI, kemudian dengan karya-karya Ibnu Arabi dan Maulawi

pada abad VII dalam tahap panduan teoritis dan praktis.(1)

2.5. Periode Penjelasan dan Pengajaran

Pada periode ini, dengan mensyarahi dan menafsirkan karya-karya

tulis para tokoh terdahulu serta menulis buku-buku baru, para tokoh

tasawuf ingin membidik dua tujuan: Pertama, berusaha lebih keras

mengutarakan fondasi, ajaran, dan tujuan-tujuan tasawuf dengan lebih

jelas; kedua, mewujudkan sistematika dalam ajaran teoritis dan praktis

tasawuf.

Kita dapat menemukan nama-nama tokoh seperti: Shadruddin

Qunawi (w. 676 H), Iraqi (w. 688 H.), AfifuddinTilimsani (w. 690 H.),

Jandi (w. 700 H), Farghani (w. 700 H), Mahmud Syabestari (w. 720 H),

Abdurrazzaq Kasyani (w. 736 H), Dawud Qaishari (w. 751 H.), Sayyid

Haidar Amuli (w. 877 H), Syah Ni‘matullah Wali (w. 834 H), Ibnu

Turkah Ishfahani (w. 835 H), Abdurrahman Jami (w. 898 H.), Lahiji,

Ibnu Hamzah Fanari, dan puluhan syaikh arif yang lain.

Irfan dan tasawuf Islami yang kita temukan pada masa ini adalah

hasil pengalaman dan ajaran para tokoh besar tersebut.

Ketahuilah, perjalanan kesempurnaan tasawuf dari satu segi,

berhubungan dengan sisi historis, dan dari segi lain, tidak terikat oleh

masa dan sejarah. Tidak berbeda dengan ilmu Matematika. Ilmu ini

telah sampai pada tahap “paripurna” setelah melalui periode-periode

“primitifnya”. Tetapi, tidak berarti semua manusia pada masa kini

mengenal matematika dalam batas yang tinggi dan ideal. Mereka,

p:17


1- 29 Ibid.

sekalipun anggota sebuah keluarga, memiliki tahap pengetahuan

matematika yang berbeda-beda. Begitu pula dengan irfan. Ilmu ini

telah mencapai kesempurnaan setelah rentang waktu beberapa abad.

Ini tidak berarti semua orang dapat mengaku sebagai arif yang memiliki

derajat irfan.

Kita harus melihat derajat irfan yang dimiliki para arif. Sangat

mungkin seseorang telah sampai pada tahap kesempurnaan tasawuf,

dan orang yang lain masih berada pada periode persiapan lahan atau

tunas tasawuf.

Dengan memperhatikan hal yang sangat sensitif ini, kita dapat

mencegah kekeliruan yang sering dilakukan oleh para peneliti berikut

ini:

a. Memisahkan para arif yang beraliran konsep wahdat al-wujûd

dari para arif yang beraliran konsep wahdat al-syuhûd (kesatuan

intuisi).(1)

b. Memisahkan irfan Ibnu Arabi dari irfan Maulawî.

c. Klasifikasi irfan kepada irfan yang mengandalkan ibadah dan irfan

yang mengandalkan cinta.

Padahal, wahdat al-wujûd dan wahdat al-syuhûd hanyalah dua

tingkatan tauhid, bukan dua pandangan yang saling bertentangan. Ibnu

Arabidan Maulawî saling berbeda hanya dalam silsilah dan hermitage,

bukan dalam prinsip dan makrifat irfani. Selanjutnya, ibadah dan zuhud

termasuk lahan-lahan penyiap kemunculan tasawuf, bukan bagian

tasawuf. Begitu pula, kritik seorang arif besar Syiah yang bernama

Sayyid Haidar Amuli terhadap Ibnu Arabi muncul dari perbedaan yang

ada antara mazhab Syiah dan Ahli Sunah, bukan dari perbedaan dalam

prinsip utama tasawuf.(2)

Salah satu tindakan yang paling menarik, tetapi tidak beralasan

adalah membenturkan irfan dengan tasawuf. Padahal, dalam seluruh

p:18


1- 30 Tashavvuf-e Eslomi, Niccolson, hlm. 57.
2- 31 Maktab-e Hofezd, Dr. Manuchehr Mortazavi.

teks dan karya tulis para tokoh besar irfan, arif, sufi, irfan, dan tasawuf

digunakan dalam satu arti. Dua titel ini digunakan secara bersamaan

untuk kelompok dan aliran tersebut sejak abad II H.(1) Faktor yang

mendorong sebagian orang memisahkan irfan dari tasawuf adalah

karena mereka melihat para tokoh yang mereka kagumi menerima

irfan. Tetapi, dari sisi lain, mereka juga melihat para ulama tidak

memiliki pandangan yang baik tentang tasawuf. Akhirnya, dengan

usaha pemisahan yang tidak beralasan ini, mereka ingin membebaskan

para tokoh yang mereka kagumi dari problematika yang dimiliki oleh

tasawuf.

Di penutup pembahasan ini, kami ingin menekankan, irfan dan

dan tasawuf Islami hasil dari periode kesempurnaan, sistematisasi

penjelasan dan pengajaran. Kami tidak memerlukan periode dan acuan

irfan yang tidak sempurna.

Kami juga perlu mengingatkan beberapa poin berikut ini:

o Dalam membahas keyakinan dan ajaran para arif, seperti wahdat alwujûd,

fana, kenabian, wilâyah, dan ajaran-ajaran yang lain, kami

menghindari pengulangan penukilan pernyataan guna mencegah

ketebalan halaman buku yang tidak berarti. Sebagai contoh, jika

kami telah menukil pernyataan Qaishari tentang masalah wahdat

al-wujûd, kami cukupkan dengan menukil pernyataan itu saja, dan

tidak menyebutkan pendapat para pensyarah dan arif yang lain.

Hal ini semestinya sangat mudah dilakukan. Tetapi, halaman buku

ini akan bertambah tebal dan tidak akan berguna.

o Dalam menukil pandangan agama, kami menghindari penukilan

pernyataan para ulama yang sama dan berulang-ulang, sekalipun

berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah. Meskipun

kami dapat menjadikan beberapa ayat dan hadis sebagai dalil

untuk sebuah masalah, kami cukup menukil satu atau dua ayat,

dan menghindari penukilan ayat dan hadis-hadis yang memiliki

kandungan yang sama.

p:19


1- 32 Jâmi‘ Al-Asrâr wa Manba‘ Al-Anwâr, hlm. 419-432 dan 443-447.

o Kami berharap para pembaca yang budiman menelaah pernyataanpernyataan

penulis sebagai sebuah pandangan dengan teliti dan

penuh kesabaran. Sebelum usai menelaah buku ini, janganlah Anda

mengeluarkan vonis terlebih dahulu. Kami senantiasa menerima

setiap kritik dengan lapang dada. Buku ini adalah penelitian, bukan

propaganda atau penggembosan pandangan-padangan lain.

p:20

Bab 2

Point

Antara Agama dan Irfan

Alangkah gamblangnya hubungan antara kebaikan dan takwa;

Sungguh berbeda antara tarian Va’z dan kidungan Rubab!

Hafizd

Dalam Menolah atau menerima irfan, umumnya para ulama tidak

memisahkan pokok bahasan irfan sehingga menerima sebagian atau

menolak sebagian yang lain. Mereka biasanya menerima atau menolak

irfan secara keseluruhan.(1)

Sebelum kita membahas dan melakukan komparasi antara ajaranajaran

agama dan irfan, selayaknya kita menelaah secara utuh realita

penerimaan dan penolakan irfan.

1. Para Penentang Irfan

Sebagaimana telah disinggung sebelum ini, tasawuf muncul pada

pertengahan abad II H dan menjadi sebuah aliran pada pertengahan

abad IV H. Meski demikian, tasawuf sudah terkristalisasi pada abad VI

p:21


1- 33 Memang terkadang mereka memisahkan sebagian tatacara dan masalah cabang atau sebagian pemahaman yang salah dari irfan. Yang akan kami bahas adalah masalah-masalah utama irfan yang telah disepakati, bukan masalah tambahan dan sebagian pemahaman-pemahaman salah yang ditolak oleh para arif sendiri.

dan VII. H belum tercerna secara baik saat itu. Dari abad II hingga VI

H, para pengikut dan pendukung aliran tasawuf berkembang dengan

sangat pesat. Tetapi, para ulama, fuqaha, ahli hadis, dan mufasir secara

umum tidak merestui aliran tersebut. Sejak awal, mereka menganggap

tasawuf tidak berbeda dengan monasticisme (ruhbâniyyah) Kristen

yang dikecam oleh agama Islam. Mereka menolak tasawuf dengan

alasan bid’ah dan bertentangan dengan Sunah. Meskipun demikian,

irfan tetap tersebar secara luas karena beberapa faktor antara lain:

a. Klaim-klaim tasawuf sesuai dengan kebutuhan spiritual masyarakat

luas.

b. Ajaran-ajaran para arif sangat sederhana dan menyentuh perasaan,

serta memperhatikan sisi-sisi emosional dan insani masyarakat.

c. Ajaran tasawuf sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah, di samping

perhatian para arif terhadap zuhud positif sebagai satu satu ikatan

nilai yang dimiliki oleh agama dan irfan.

d. Keambiguan klaim-klaim tasawuf pada abad-abad pertama yang

dengan mudah dapat dikonfirmasikan dengan ajaran syariat.

e. Kejujuran dan ketegaran para mubaligh dan pendukung aliran

tasawuf. Mereka dengan penuh keberanian tetap tegar memegang

prinsip ajaran mereka sekalipun di tiang gantungan.

f. Sikap para ulama yang terlalu ekstrim.

Biar bagaimanapun, para ulama tidak pernah mundur dalam

menentang aliran yang baru muncul ini. Tidak hanya para ulama

mazhab Ahli Sunah, para Imam dan ulama Syiah pun menentang

dengan keras. Meskipun sebagian penulis dan peneliti ingin

menunjukkan bahwa tasawuf adalah salah satu ajaran dan keyakinan

yang bersumber dari Syiah, akan tetapi pada realitanya, para imam

maksum mazhab Syiah Imamiyah menentang dan melarang para

pengikut mereka untuk mengikuti aliran-aliran itu,(1) termasuk Imam

Shâdiq as. memproklamasikan penentangan dirinya.

p:22


1- 34 Safinah Bihâr Al-Anwâr, Syaikh Abbâs Al-Qamî, jld. 2, hlm. 56-64.

Akan tetapi, pengikut aliran Syiah Isma‘iliyyah (Batiniah) muncul

bersamaan dengan kemunculan tasawuf dalam satu masa. Sulit

mengklaim bahwa ajaran-ajaran aliran Batiniah adalah pemberi ilham

para kaum sufi. Menurut hemat kami, kedua aliran (irfan dan Batiniah)

muncul karena satu faktor yang melahirkan keduanya.

Sekelompok peneliti dari negara-negara Arab mengikuti jejak para

Orientalis Barat berusaha menemukan asal-usul tasawuf dari mazhab

Syiah. Mereka berupaya menyesuaikan ajaran tasawuf dengan akidah

Syiah. Tidak dipungkiri terdapat kesamaan tasawuf dengan sebagian

ajaran Syiah. Tetapi, kesamaan-kesamaan seperti ini, tidak dapat

menjadi alasan bahwa Syiah adalah sumber utama ajaran tasawuf.

Sedangkan, korelasi antara ajaran tasawuf dan ajaran Syiah sebenarnya

sudah ada sejak dahulu. Ibn Khaldûn, misalnya, mengklaim konsep

quthub dan silsilah para wali dalam irfan adalah konsep yang disadur

dari mazhab Syiah.(1)

Kamil Musthafa Syaibi, salah seorang peneliti berkebangsaan Arab,

meyakini hal tersebut dalam dua bukunya yang masing-masing

berjudul Al-Shilah bain Al-Tashawwuf wa Al-Tasyayyu‘ dan Al-Naza‘ât

Al-Shûfiyyah fî Al-Fikr Al-Syî‘î. Padahal, dari sejak dahulu kala, para

ulama Syiah secara umum dan para imam maksum Syiah as. menolak

konsep tasawuf.

Pada kesempatan ini, sehubungan dengan korelasi antara

tasawuf dan Syiah, kami harus memaparkan beberapa hal berikut:

Pertama, meski ada kesamaan, ada banyak perbedaan fundamental

antara Syiah dan tasawuf. Sayangnya, kapasitas buku ini tidak

mengizinkan seluruh perbedaan itu dipaparkan, sekalipun secara

ringkas. Mazhab Syiah dalam bahasa para arif tidak lain adalah upaya

mengungkapkan pengalaman-pengalaman irfani; kedua, tasawuf

secara universal tidak pernah berhubungan dengan mazhab atau agama

tertentu, apalagi dengan mazhab Syiah. Dalam ruang lingkup agama

Islam, konsep tasawuf dan irfan pada dasarnya tersebar luas melalui

p:23


1- 35 Muqaddimah Ibn Khaldûn, jld. 2, hlm. 983.

tangan para ulama dan zahid mazhab Ahli Sunah dan muncul

ditengah-tengah masyarakat Sunni. Mayoritas pembesar dan quthb

aliran irfan bermazhab Ahli Sunah. Dengan demikian, bagaimana

mungkin kita dapat mengorelasikan tasawuf dengan ajaran Syiah?;

ketiga, ajaran-ajaran Syiah terbentur dengan ajaran Ahli Sunah

fanatik yang terpengaruh oleh politik dinasti Bani Umaiyyah yang anti

Syiah, dinasti yang selalu mendistorsi hadis dan sejarah Islam demi

kepentingan mereka. Kemudian terbentur dengan aliran Ghulat dan

Batiniah yang juga sering mendistorsi sumber-sumber agama demi

kepentingan sendiri. Sekarang, orientasi yang terpengaruh politik dinasti

Bani Umaiyyah tidak membahayakan ajaran Syiah, karena perbedaan

antara ajaran Syiah dan politik Bani Umaiyyah sangat gamblang bagi

para ahli riset. Tetapi, kita sulit membebaskan ajaran Syiah dari

pengaruh kuat Batiniah dan Ghulat, khususnya kondisi yang muncul

pasca kekuasaan dinasti Shafawiyyah.

Biar bagaimanapun, sebagian ajaran Ghulat dan Batiniah sejalan

dengan ajaran tasawuf. Meski demikian, sebaiknya kita tempatkan

Ghulat pada posisi Syiah dan mencari akar Ghulat, Batiniah, dan

konsep tasawuf, karena ketiganya terpengaruh oleh sumber tersebut.

Seluruh ulama Syiah terdahulu menentang tasawuf. Tidak berbeda

dengan Al-Qur’an dan Sunah, mereka juga tidak pernah mengajarkan

soal wahdat al-wujûd, fana, dan ajaran-ajaran yang lain.

Seperti telah kami singgung sebelum ini, seluruh imam maksum

as. menentang aliran tasawuf dan membimbing para pengikut mereka

supaya menolak aliran itu.(1)

Para ulama besar Syiah seperti Syaikh Shadûq, Syaikh Mufid,

Sayyid Murtadha, Syaikh Thusi, Syaikh Thabarsi, Syahid Awwal, dan

ulama-ulama yang lain menolak aliran tasawuf dan irfan. Pada masa

kegemilangan dinasti Shafawiyyah sekalipun, para ulama Syiahberdiri

p:24


1- 36 Safinah Bihâr Al-Anwâr, Syaikh Abbâs Al-Qamî, cet. Sanggi, Tehran, jld. 2, hlm. 56-64 dan 296. Syaikh Al-Hurr Al-‘Âmilî menulis sebuah buku dengan judul Itsnâ ‘Asyariyyah. Buku ini memuat dua belas bab dan setiap bab memuat dua belas pasal yang berisi sekitar seribu hadis yang menolak aliran tasawuf.

tegar menentang aliran tasawuf yang merupakan sandaran utama

dinasti Shafawiyyah kala itu. Para pembesar Syiah seperti Muqaddas

Ardabili (w. 993 H), Mirza Husain Nuri, Allamah Muhammad Baqir

Majlisi (w. 1110 H), Mulla Thahir Qummi (w. 1098 H), dan puluhan

ulama yang lain memerangi aliran tasawuf.

Sebagai contoh, kami akan menukil pernyataan mereka secara

ringkas berikut ini:

Muqaddas Ardabilî Ahmad bin Muhammad adalah seorang teolog

dan faqih besar Syiah pada abad X H. Ia sangat dicintai oleh masyarakat

dan dikenal dengan kesalihan di zamannya.(1) Dalam buku Hadîqat

Al-Syiah, ia mencela dan mengafirkan aliran tasawuf. Dalam sebuah

frasenya, ia menulis:

Perlu kita ketahui bersama, para pembesar salaf aliran tasawuf

seperti Abu Yazid Basthami dan Husain bin Manshur Hallaj

yang sangat tenar itu mengikuti salah satu dari dua aliran

pemikiran hulûl (menjelmanya Allah pada diri hamba) dan ittihâd

(menyatunya Allah dengan hamba). Karena keyakinan batil

yang dimiliki oleh kelompok ini, para ulama Syiah seperti Syaikh

Mufîd, Ibnu Qaulawaeh, dan Ibnu Babuwaeh memasukkan kedua

kelompok itu, baik aliran Hululiyyah maupun aliran Ittihadiyyah,

ke dalam kelompok Ghulat. Kedua aliran ini termasuk kelompok

Ghulat, salah satu kelompok Nawashib. Sebagian dari tokoh-tokoh

mutaakhkhir aliran Ittihâdiyyah, seperti Muhyiddin Ibnu Arabi,

Syaikh Aziz Nasafî, dan Abdurrazzâq Kasyi, telah melampaui batas

kufur dan zindiq, dan meyakini konsep wahdat al-wujûd. Mereka

mengklaim bahwa setiap maujud adalah Allah. Mahatinggi Allah

dari apa yang dikatakan oleh kaum atheis itu setinggi-tingginya.

Ketahuilah, faktor yang menyebabkan mereka kufur karena

mereka menyibukkan diri menelaah buku-buku para filosof. Setelah

p:25


1- 37 Rawdhât Al-Jannât, jld. 2, hlm. 79-85.

mempelajari ucapan Plato dan para pengikutnya, sehingga mereka

karena sebuah kesesatan memilih pandangan-pandangan yang

berbau kesesatan. Supaya tidak seorang pun memahami bahwa

mereka hanyalah pencuri pandangan dan keyakinan-keyakinan

buruk para filosof, mereka memakaikan pakaian lain kepadanya dan

memberinya nama wahdat al-wujûd. Ketika masyarakat menanyakan

arti dan maksudnya, mereka menjawab bahwa arti wahdat

alwujûd tidak dapat dipaparkan dengan penjelasan, dan tidak

dapat dipahami tanpa latihan riyadhah yang berkepanjangan dan

pengabdian kepada guru tarekat. Mereka telah berhasil membuat

bingung orang-orang awam. Sekelompok orang-orang dungu

telah meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk memikirkan arti

ungkapan itu dan menakwilkan kekufuran yang besar tersebut.”(1)

Allamah Muhammad Baqir Majlisi adalah seorang muhadis, faqih

tersohor, dan mubaligh mazhab Syiah. Beliau hidup pada abad XI

dan XII H di Iran, dan telah menulis ensiklopedia hadis terkenal yang

berjudul Bihâr Al-Anwâr. Tanpa kenal lelah, beliau memiliki sikap

yang tidak kenal damai dengan aliran tasawuf. Dalam salah satu frase

pernyataannya, Majlisi menulis berikut ini:

Kelompok lain dari aliran tasawuf Ahli Sunah yang telah melampaui

konsep hulul dengan meyakini konsep yang lebih buruk dan lebih

keji; yakni ijtihâd. Mereka menyatakan bahwa Allah menyatu

dengan segala sesuatu. Bahkan, segala sesuatu adalah Dia dan

selain Dia tidak memiliki wujud. Dia-lah yang menjelma dalam

bentuk yang beraneka ragam; kadang dalam bentuk Zaid dan

kadang pula dalam bentuk ‘Amr; terkadang dalam bentuk anjing

dan kucing, dan kadang pula dalam bentuk kotoran. Hal ini tidak

berbeda dengan laut yang sedang berombak dan muncul dalam

bentuk-bentuk yang beraneka ragam. Tidak ada sesuatu yang lain

selain laut itu sendiri.

p:26


1- 38 Hadîqah Asy-Syiah, Ahmad bin Muhammad Al-Ardabilî, hlm. 566.

Alam semesta adalah bak ombak laut;

ombak dan laut adalah satu, dan selainnya ada di mana?

Esensi-esensi (mâhiyyah) yang bersifat mungkin adalah halhal

yang bersifat konvensif (i‘tibârî) dan menempati (‘aradha) dzat

wâjibul wujud. Dalam seluruh buku dan syair, mereka memaparkan

contoh-contoh yang berbau kufur. Sekelompok orang kafir dan

atheis India memiliki keyakinan yang persis seperti keyakinan di

atas. Buku Jook yang ditulis oleh kaum Brahmana mereka juga

memuat keyakinan-keyakinan sesat itu.”

Dalam pernyataan yang lain, Majlisi juga menulis:

Sekelompok pengikut Syiah yang tidak berpendirian berkeyakinan

bahwa kaum sufi berada di jalan yang benar. Menurut keyakinan

kelompok ini, setiap sufi memiliki mazhab yang benar dan setiap

ucapannya berasal dari Allah. Mereka tidak tahu perkara yang

sebenarnya. Karena pada waktu itu kekufuran dan kebatilan

mendominasi seluruh alam, para pengikut kebenaran senantiasa

terkalahkan dan tersingkirkan, dan mayoritas aliran (yang

berkembang di tengah-tengah masyarakat) mengikuti jalan

kebatilan dan berasal dari mazhab Ahli Sunah, sekelompok mereka

mengenakan pakaian tasawuf dan sekelompok yang lain memakai

pakaian ulama. Begitu pula halnya dengan tasawuf. Mayoritas para

pengikut aliran ini bermazhab Ahli Sunah dan Asy‘ariyyah. Mereka

memiliki keyakinan-keyakinan batil seperti jabr, hulûl, tajassum,

dan keyakinan-keyakinan lain yang diungkap dalam buku dan

syair-syair mereka. Syaikh Al-Kulainî dengan sanad yang mu‘tabar

(sahih) meriwayatkan bahwa Imam Baqir as. pernah memberi gelar

penyamun agama kepada Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri.

Muhyiddin, salah seorang pembesar kaum sufi, berkata

dalam Fushûsh Al-Hikam, ‘Kita tidak pernah menyifati Dzat

p:27

Yang Mahabenar, kecuali kita adalah bentuk sempurna (‘ain)

sifat itu sendiri, dan Allah Swt telah menyifati diri-Nya untuk

kita. Oleh karena itu, ketika kamu menyaksikan-Nya, berarti

kamu telah menyaksikan dirimu, dan ketika Dia meyaksikan

kita, ini berarti Dia telah menyaksikan diri-Nya.’

Di bagian lain bukunya itu, Muhyiddîn lebih mengungkapkan

posisi wilâyah daripada posisi kenabian. Ia memberi julukan

‘pamungkas rantai’ wilâyah (khâtim al-wilâyah) kepada

dirinya. Dengan demikian, ia mengklaim dirinya lebih unggul

dari para nabi. Dalam buku Al-Futûhât ia berkata, ‘Mahasuci

Allah yang telah menampakkan segala sesuatu, sedangkan Dia

adalah sesuatu itu sendiri.’ Di bagian lain buku Fushûsh Al-

Hikam, ia menisbatkan kesalahan kepada Nabi Nuh. Menurut

keyakinannya, Nabi Nuh salah dalam menyampaikan risalah

dan kaumnya telah bertindak benar. Mereka telah tenggelam ke

dalam lautan makrifat.”(1)

Seluruh penolakan terhadap aliran tasawuf memiliki kandungan

yang serupa. Poin penting dalam pernyataan Muqaddas Ardabilî

adalah penisbatan tasawuf kepada aliran Ghulat. Dalam pernyataan

Al-Majlisi, aliran tasawuf dinisbatkan kepada ajaran India. Pernyataan

ini memang layak direnungkan kembali.

Adapun para ulama Ahli Sunah, sejak awal menentang aliran

tasawuf. Telah banyak buku yang memuat fatwa kekafiran aliran tasawuf

dan para syaikh mereka. Salah satu contohnya adalah buku Mashra‘ Al-

Tashawwuf karya Allamah Burhanuddin Al-Biqa‘i (w. 885 H), seorang

muhadis, mufasir, dan sejarawan bermazhab Syafi‘i.

Dari sejak periode awal tasawuf, sebuah pemikiran berbahaya

muncul, dan berdasarkan pemikiran ini, masyarakat Muslim terbagi

menjadi dua strata: masyarakat awam dan masyarakat khusus. Syariat

dianggap sebagai ajaran untuk masyarakat awam, dan hakikat sebagai

p:28


1- 39 ‘Ain Al-Hayâh, Muhammad Baqir Majlisi, hlm. 50-52.

ajaran untuk strata masyarakat khusus. Dengan demikian, syariat berseberangan

dengan hakikat; jalan para fuqaha terpisah dari jalan para

arif dan jalan agama berpisah dari jalan irfan.

Korban masyhur kisah pertikaian ini adalah Hallaj. Di tahun

309 H, pada masa kekuasaan Muqtadir Al-Abbâsî, Hallaj dibunuh

di tiang gantungan berdasarkan ijma para ulama Baghdad.(1) Penentangan

terhadap aliran tasawuf terus berlanjut disertai dengan

perlawanan dan fatwa kafir yang dilontarkan oleh para ulama. Sebagai

contoh, kami akan membawakan beberapa fatwa ulama besar

Ahli Sunah berikut ini:

Ibnu Jauzi, Abul Faraj Abdurrahman (w. 597 H.), dalam sebuah

buku masyhurnya yang berjudul Talbîs Iblîs atau Naqd Al-‘Ulamâ’,

memaparkan sebuah pembahasan yang panjang lebar. Ia meyakini

secara universal bahwa tindakan dan akidah tasawuf tertolak,

serta tergolong bid’ah dan perbuatan setan. Argumentasi Ibn

Jauzî adalah jika aturan dan sunah-sunah tasawuf itu memiliki

hubungan dengan agama, maka seluruh Muslimin memiliki posisi

yang sama dalam hal ini, dan lebih dari mereka, para fuqaha

Islam tentu mengetahui semua itu. Tidak alasan bahwa aturan

dan sunah-sunah hanya dimiliki oleh kaum sufi. Jika aturan

dan sunah-sunah hanya hasil buah pikiran dan pandangan

kaum sufi belaka, maka semua tidak ada hubungannya dengan

agama, tetapi rekayasa dan bid’ah kaum sufi.(2)

Tokoh lain yang secara gencar dan keras menentang tasawuf

adalah Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim (w. 728

H). Ia adalah seorang faqih dan teolog tersohor bermazhab Hanbaliah.

Ia menghabiskan seluruh usianya dalam perjuangan agama

dan politik.

p:29


1- 40 Al-Syifâ’, Qâdhî ‘Iyâdh, jld. 2, hlm. 272.
2- 41 Talbîs Iblis, Ibn Jauzî Abdurrahman, bab 10.

Kira-kira satu abad setelah masa Ibn Jauzi, Ibnu Taimiyyah

melancarkan serangan yang tidak kenal ampun terhadap aliran

tasawuf. Setelah menelaah seluruh pernyataan para arif, dimulai dari

Hallaj hingga Ibn Faridh dan Ibnu Arabi, dengan disertai analisis

terhadap seluruh pernyataan itu, ia mengafirkan dan mencemooh

mereka. Umumnya, ia menyandarkan pandangannya kepada akidah

masyarakat umum Muslim dan mendapatkan keyakinan para arif

(‘urafâ’—selanjutnya akan dibakukan menjadi urafa) kontradiktif

dengan akidah tersebut. Kadang-kadang ia juga menyalahkan aliran

tasawuf dengan dalil dan argumentasi rasional. Sebagai contoh,

Ibn Taimiyyah menukil sebuah kisah. Dalam kisah ini disebutkan

seorang syaikh berpesan kepada muridnya, “Kesaksian yang hak dan

hakiki adalah hendaklah kamu meyakini bahwa tiada maujud selain

Allah. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, ia telah berbohong.”

Dalam menjawab sang syaikh ini, murid berkata, “Jika tidak ada

maujud selain Allah, siapakah yang lantas berbohong?”

Dalam sebuah fatwa menanggapi aliran tasawuf, Ibn Taimiyyah

menulis berikut ini:

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Seluruh pernyataan yang terdapat dalam buku Fushûsh Al-

Hikam dan buku-buku serupa yang lain, lahir dan batinnya

adalah kekufuran. Sisi batinnya lebih buruk daripada sisi

lahirnya. Ini adalah keyakinan orang-orang yang meyakini

konsep wahdat al-wujûd, hulûl, dan ittihâd, sedangkan mereka

menamakan diri mereka sebagai kaum peneliti handal.”(1)

Salah seorang ulama tenar lain yang melakukan serangan terhadap

aliran tasawuf adalah Ibn Khaldun (w. 808 H). Ia menegaskan:

p:30


1- 42 Majmû‘ah Al-Rasâ’il wa Al-Masâ’il, Ibn Taimiyyah, jld. 2, hlm. 4; Al-Furqân bain Awliyâ’ Al-Rahmân wa Awliyâ’ Al-Syaythân; Bughyat Al-Murtâd.

Jalan dan metode kaum sufi ada dua macam, pertama, jalan dan

metode para ulama terdahulu yang terbentuk berdasarkan Al-

Qur’an dan Sunah, dan mengikuti jejak para salaf salih dari

kalangan sahabat dan tabiin. Kedua, jalan dan metode yang telah

tercampur dengan bid’ah. Ini adalah jalan kaum sufi muta’akhirin.

Dari kalangan kelompok kedua, kita dapat menyebutkan nama Ibnu

Arabidan Ibn Sab‘în. Seluruh karya tulis kedua orang ini dan para

pengikut mereka berisi kekafiran dan bid’ah yang tidak terpuji.

Pujian terhadap salah seorang dari mereka tidak memiliki

nilai yang berharga, sekalipun pemujinya adalah seorang ulama

tenar yang memiliki keutamaan. Sebab, kesaksian Al-Qur’an dan

Sunah lebih bernilai daripada kesaksian siapa pun. Buku-buku

Ibnu Arabi, Ibn Faridh, Ibnu Sab‘in, Tilimsani, Farghani, dan

selain mereka harus diberangus di mana pun ditemukan, baik

dengan cara dibakar maupun dengan cara seluruh tulisannya

dicuci bersih. Kemaslahatan umum Muslimin terjamin dengan

cara ini. Oleh karena itu, pemimpin masyarakat Muslim adalah

orang yang bertanggung jawab untuk membakar buku-buku

tersebut supaya kerusakan dapat disingkirkan dari kehidupan

masyarakat umum. Barangsiapa menemukan buku-buku itu,

ia harus menyerahkannya untuk dibakar.”(1)

Sehubungan dengan kritik dan tuduhan kafir terhadap mereka,

ada beberapa hal yang layak kita renungkan:

Pertama, jika para ahli dan ulama seperti Ibn Khaldûn menerima

kaum sufi yang hidup di awal kemunculan tasawuf, penerimaan ini

karena kaum sufi saat itu dipandang sebagai orang zuhud, bukan arif.

Dan berdasarkan periode-periode perkembangan tasawuf yang telah

kami jelaskan di atas, mereka berada pada periode penyiap lahan

kemunculan aliran tasawuf.

p:31


1- 43 Al-‘Ilm Al-Syâmikh, Al-Muqbili, hlm. 500; Mashra‘ Al-Tashawwuf, Burhanuddîn Al-Biqa‘i, hlm.165-168.

Kedua, para arif umumnya menganggap para penentang mereka

telah salah paham; mereka tidak membedakan antara arti hulul dan

fana, atau tidak dapat mencerna konsep wahdat al-wujûd dengan benar.

Akan tetapi, kali ini pendapat para penentang mereka yang benar.

Alasannya, pernyataan-pernyataan para arif pada periode tunas sangat

ambigu dan pada periode sistematisasi dan kesempurnaan sangat

rumit sehingga tidak dapat dipahami (dengan mudah). Para arif tidak

berhak menuntut para penentang itu untuk memahami pernyataan

dan ajaran mereka, karena klaim-klaim para arif tidak dapat digapai

kecuali lewat pengalaman pribadi. Pengetahuan para arif tidak dapat

dipindahkan, dialihkan, dan tidak pula dapat diajarkan. Atas dasar ini,

jika para arif masih menaruh harap dari para penentangnya, mereka

hanya menoleransi bukan menyepakati.

Ketiga, pembela dan penentang tasawuf sepakat bahwa keyakinan,

amalan, dan aturan tasawuf, secara sempurna tidak sejalan dengan

ajaran lahiriah Al-Qur’an dan Sunah. Dengan demikian, kita harus

mempertemukan kedua ajaran ini dengan cara menakwil Al-Qur’an

dan Sunah, atau mencetuskan sebuah konsep baru seperti konsep lahir

dan batin atau konsep syariat, tarekat, dan hakikat.

2. Para Pembela Tasawuf

Meskipun terdapat perlawanan dari para ulama dan Muslimin terhadap

tasawuf, banyak pula ulama dan Muslimin yang mengikuti ajaran ini

sejak awal. Mereka meyakini bahwa tasawuf adalah batin, hakikat,

otak, dan makna agama. Mereka terdiri dari para ulama besar seperti

Abu Thalib Makki, Kulabadi, dan Sarraj pada abad IV H, serta Syaikhul

Islam Khâjah Abdullah Ansharidan Imam Muhammad Ghazali pada

abad V H.

Dukungan Imam Ghazali kepada tasawuf berbeda dengan

dukungan para tokoh yang lain. Imam Ghazali mengaku dirinya

sebagai seorang peneliti yang kritis. Ia meragukan segala sesuatu, lalu

p:32

meneliti seluruh aliran dan sekte pemikiran tanpa terkontaminasi

oleh fanatisme dan taklid buta, serta mengkritisi pemikiran dan

ilmu pengetahuan yang berkembang pada masanya.(1) Jika pada

suatu kesempatan ia menyerang para pengikut aliran Batiniah dan

mengkritik ilmu filsafat secara pedas, pada saat yang sama ia juga

mengkritik ilmu teologi dan bahkan ilmu logika. Adalah hal yang

penting ketika Imam Ghazali ternyata mendukung tasawuf. Ia

menegaskan:

Secara yakin aku tahu bahwa dalam meniti jalan kebenaran,

suluk dan keunggulan hanya dimiliki oleh kelompok sufi. Sirah

mereka adalah sirah terbaik, jalan mereka adalah jalan yang

benar, dan akhlak mereka adalah akhlak suci. Seandainya otak

seluruh pemikir, hikmah orang-orang bijak, ilmu semua orang

yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan di satu

tempat untuk mengubah satu sirah dan akhlak kaum sufi, serta

menempatkan sesuatu yang lebih baik sebagai ganti dari sirah dan

akhlak itu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya. Hal ini

karena seluruh gerak, diam, lahir, dan batin kaum sufi terpancar

dari pancaran cahaya-cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya yang

lebih utama dan lebih tinggi daripada cahaya kenabian.(2)

Kita perhatikan bersama, klaim Imam Ghazali yang membenarkan

tasawuf sebagai pancaran cahaya kenabian. Tidak syak lagi, pernyataan

itu menyiratkan adanya kesimpulan pribadi Imam Ghazali. Meski

hanya sebatas isyarat belaka, namun secara praktis, ia menyetarakan

tasawuf sama dengan agama Islam.

Sekitar satu abad sebelum masa Imam Ghazali, Sarraj Thusi (wafat

tahun 378 H.) terkait pandangan-pandangan kontradiktif, pujian di

satu sisi dan celaan di sisi lain, serta sikap ekstrim para pembela dan

p:33


1- 44 Al-Munqidz min Adh-Dhalâl, Imam Muhammad Al-Ghazâlî, cet, Beirut.
2- 45 Ibid., hlm. 75.

penentang tasawuf, membuat satu tolok ukur untuk menentukan mana

yang benar dan mana yang salah dengan pernyataan berikut ini:

Menurut pendapatku dan Allah lebih mengetahui. Orang-orang

alim penegak keadilan, pewaris para nabi yang seluruh landasan

tindakan mereka adalah Kitab Allah, dan Sunah Rasulullah, dan

mengikuti jejak para sahabat, tabiin, para wali Allah yang bertakwa,

dan hamba-hamba yang salih. Mereka terbagi dalam tiga kelompok:

ahli hadis, fuqaha, dan kaum sufi. Begitu pula dengan ragam ilmu.

Salah satu ilmu pengetahuan itu adalah ilmu agama. Ilmu agama

terbagi dalam kelompok: ilmu Al-Qur’an, ilmu sunah-sunah dan

penjelasan (al-sunan wa al-bayân), dan ilmu hakikat keimanan.

Ketiga jenis ilmu ini dimiliki oleh ketiga golongan tadi. Seluruh

ilmu agama berasal dari tiga sumber: ayat-ayat Kitab Allah, Sunah

Rasulullah Saw, dan hikmah yang terlintas dalam kalbu seorang

wali Allah.

Dalam hadis ini, Jibril menanyakan tiga hal kepada

Rasulullah: Islam, iman, dan ihsan; lahir, batin, dan hakikat.

Islam berhubungan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah. Iman

memiliki sisi lahir dan juga sisi batin. Ihsan adalah hakikat untuk

lahir dan batin tersebut. Semua ini adalah kandungan sabda

Rasulullah Saw yang menegaskan, ‘Ihsan adalah hendaknya

kamu menyembah Allah sedemikian rupa seakan-akan kamu

melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, Dia

pasti melihatmu.’ Ketiga kelompok ulama itu berbeda dari

sisi ilmu dan amal. Dari sisi derajat dan keutamaan, sebagian

dari mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding

sebagian yang lain. Allah Swt berfirman, ‘... dan orang-orang

yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.’ (QS. Al-

Mujadalah [58]:11). Rasulullah Saw bersabda, ‘Umat manusia

adalah sama bak gigi-gigi sisir. Tidak seorang pun lebih tinggi

daripada orang lain, kecuali dengan ilmu dan ketakwaan.’

p:34

Oleh karena itu, barang siapa mendapat kesulitan sehubungan

dengan ushul dan furu’ agama, hakikat dan hukum, baik yang

berkaitan dengan lahir maupun batin, tidak ada jalan lain

baginya kecuali merujuk kepada ahli hadis, para fuqaha, dan

kaum sufi. Setiap satu dari ketiga kelompok ini memiliki ilmu,

amal, hakikat, dan hal (kondisi batin spiritual setiap orang

berbeda—peny.). Setiap golongan pada posisi mereka memiliki

ilmu, amal, kedudukan, ucapan, kepahaman, tempat, fiqih, dan

penjelasan yang khusus. Barangsiapa mengetahuinya, ia telah

mengetahuinya, dan barangsiapa tidak mengetahuinya, niscaya

ia tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun dapat memiliki

kesempurnaan yang menggabungkan seluruh jenis ilmu, amal,

dan spiritual. Kedudukan setiap orang hanya sampai pada suatu

batas yang dikehendaki oleh Allah.(1)

Setelah itu, Sarraj memaparkan ilmu dan amalan-amalan yang

berhubungan dengan golongan ahli hadis dan fuqaha. Ia meyakini

dalam bidang keyakinan, kaum sufi sejalan dengan ahli hadis dan

fuqaha. Ilmu, makna, dan aturan yang ada di kalangan sufi juga sesuai

dengan ilmu, makna, dan aturan mereka. Sarraj juga menekankan,

jika kaum sufi tidak mengetahui suatu masalah yang berhubungan

dengan ahli hadis dan fuqaha, maka harus merujuk kepada mereka.

Apabila terjadi perbedaan pendapat, mereka harus beramal sesuai

konsep ihtiyâth (kehati-hatian) dan mengambil pendapat yang terbaik,

terutama, dan tersempurna.

Akan tetapi, Sarraj juga menambahkan, kaum sufi telah berhasil

melewati tingkatan ahli hadis dan fuqaha, dan sampai kepada derajatderajat

yang lebih tinggi. Dalam ketaatan dan akhlak mulia, kaum sufi

telah sampai kepada kedudukan yang tidak pernah diperoleh ahli hadis

dan para fuqaha.

p:35


1- 46 Al-Luma‘, Sarraj Thusi, hlm. 20.

Lalu, sebagai contoh, Sarraj memaparkan sejumlah keistimewaan

yang dimiliki oleh kaum sufi, di antaranya:

Menghilangkan segala ketergantungan yang dapat menghalangi

mereka untuk sampai kepada yang hakiki; yakni Allah.

Qana’ah dalam pakaian, makanan, tempat kediaman, dan lain

sebagainya.

Rendah hati, tabah, tulus, ikhlas, dan rela berkorban.

Selalu mengfokuskan diri kepada Allah.

Sabar, istiqamah, dan menentang hawa nafsu.

Menjaga rahasia, murâqabah, dan berkesinambungan dalam

menafikan segala bentuk keinginan.

Ibadah dengan hati yang khusyuk.

Berupaya mengikuti jejak para wali dan orang-orang suci dengan

cara rela menyerahkan jiwa raga dan lebih mementingkan mati

daripada hidup, kehinaan daripada kemuliaan, dan ketersiksaan

daripada kenyamanan.

Mengenal hawa nafsu dan seluruh tipu dayanya.

Senantiasa merasa memerlukan (inayah Ilahi), pasrah diri, dan

membebaskan diri dari setiap daya dan kekuatan.

Semua keistimewaan tersebut termaktub dan tersusun dalam

Kitab Allah dan Sunah Rasulullah, dipahami oleh orang-orang yang

memiliki kelayakan untuk memahaminya, dan tidak dapat dipungkiri

oleh orang-orang alim yang selalu mencari kebenaran. Tidak ada yang

mengingkari semua itu kecuali orang-orang yang hanya berpegang

teguh kepada ajaran lahir dan para pencari kedudukan yang hanya

mengetahui makna lahiriah Al-Qur’an dan Sunah.

Setelah itu, Sarraj menegaskan, meniti jalan ini sangat sulit dan

tidak semua orang dapat menjalaninya. Oleh karena itu, para ulama

hanya memikirkan ketenteraman, lalu meninggalkan jalan ini dan

memilih jalan yang lain. Kemudian, Sarraj memaparkan beberapa dalil

penguat dari Kitab Allah dan Sunah Rasulullah Saw. Dalil ini sering

p:36

disebutkan dalam buku-buku irfan.(1)

Setiap peneliti sadar sangat jelas klasifikasi di atas tidak sesuai

dengan lahiriah Al-Qur’an dan Sunah yang diterima oleh mayoritas

masyarakat Muslim. Semua bersumber dari satu faktor sebagaimana

telah disebutkan Sarraj, mereka meyakini ajaran para syaikh tasawuf

yang hanya berbau perasaan personal (istihsân) itu sebagai bagian dari

ajaran Islam yang sejajar dengan Kitab dan Sunah dengan menyebutnya

sebagai “hikmah yang terlintas dalam kalbu seorang wali Allah”.

Buku ini tidak bermaksud mengkritisi, tetapi melakukan

komparasi antara pandangan-pandangan yang ada dan menjelaskan

hubungan antara agama dan irfan. Oleh karena itu, kami menghindari

menyebutkan seluruh kritik dalam masalah ini. Kami hanya ingin

menukil sebuah analisis seorang arif masyhur bermazhab Syiah yang

meyakini bahwa tasawuf adalah jati diri Islam dan Syiah itu sendiri.

Syaikh Sayyid Haidar Amuli adalah salah seorang pensyarah dan

syaikh besar irfan Islami. Sehubungan dengan kesatuan syariat dan

tasawuf, ia menukil sebuah hadis Rasulullah. Rasulullah Saw bersabda,

“Syariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah

halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta

adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah

sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman

seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qana’ah adalah harta

simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah

tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua

itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.”

Setelah menyebutkan hadis ini, Sayyid Haidar menambahkan:

Barangsiapa ingin menjadi pengikut nabi, ia harus memiliki

seluruh atau sebagian karakter di atas dan jangan menolak atau

mengingkarinya. Hal ini karena seluruh karakter itu, dengan

p:37


1- 47 Ibid.

perbedaan situasi yang ada, kembali kepada hakikat; yakni

syariat nabawi dan ketentuan Ilahi, seperti telah dipaparkan

pada pembahasan sebelumnya. Sebenarnya, ketiga tingkatan

(martabah) tersebut adalah tingkatan lain yang merupakan

asal-muasalnya. Penjelasannya, syariat pada hakikatnya adalah

tuntutan risalah, tarekat adalah tuntutan kenabian, dan

hakikat adalah tuntutan wilâyah; karena definisi risalah adalah

menyampaikan segala sesuatu yang diperoleh oleh seseorang

melalui jalan kenabian, baik berupa hukum, politik, pendidikan

etika, maupun pengajaran hikmah. Dan ini adalah syariat itu

sendiri. Definisi kenabian adalah menampakkan seluruh hakikat

yang dihasilkan melalui jalan wilâyah kepada seluruh hamba,

seperti makrifat terhadap dzat, nama, sifat, tindakan, dan hukumhukum

Allah Yang Mahabenar, supaya mereka mengejawantahkan

sifat-sifat Allah dalam diri mereka dan beretika dengan etika-

Nya. Ini adalah tarekat itu sendiri. Wilâyah adalah menyaksikan

dzat, sifat, dan tindakan-tindakan Allah Yang Mahabenar dalam

manifestasi seluruh kesempurnaan untuk selama-lamanya. Ini

adalah hakikat itu sendiri. Semua ini kembali kepada satu hakikat;

yakni hakikat manusia yang memiliki seluruh sifat tersebut atau

kembali kepada person tertentu seperti para nabi Ulu Al-‘Azm,

karena mereka memiliki sifat-sifat itu. Maksudnya, syariat Ilahi

dan penentuan nabawi adalah satu hakikat yang memuat seluruh

tingkatan tersebut; yakni syariat, tarekat, dan hakikat. Nama-nama

ini termanifestasi atas hakikat sebagai nama-nama yang sinonim,

tetapi dengan sudut pandang yang berbeda-beda.”(1)

Kemudian, Sayyid Haidar Amuli melanjutkan:

Setelah pembahasan ini terbuktikan, ketahuilah bahwa seluruh

strata masyarakat, baik mereka yang berasal dari kalangan khawas,

p:38


1- 48 Jâmi‘ Al-Asrâr wa Manba‘ Al-Anwâr, hlm. 345-347.

awam, maupun khawashsh al-khawashsh, tidak keluar dari tiga

kondisi: tahap permulaan, tahap pertengahan, dan tahap akhir.

Alasannya, meskipun tingkatan-tingkatan tersebut tidak terbatas dari

sisi manifestasi dan person, akan tetapi dari sisi genus dan spicies

terbatas dalam tiga tingkatan. Dengan kata lain, meskipun dari

sisi parsial dan penjabaran, tingkatan-tingkatan itu tidak terbatas

dalam angka tertentu, akan tetapi dari sisi universalitas terbatas

dalam tiga tingkatan. Dengan demikian, syariat adalah nama

untuk ketentuan Ilahi dan syariat nabawi ditinjau dari tahap permulaan,

tarekat adalah namanya ditinjau dari tahap pertengahan,

dan hakikat adalah namanya dilihat dari tahap akhir.

Meskipun tingkatan yang ada sangat banyak, pada dasarnya

tidak keluar dari tiga tingkatan. Nama yang mewakili semua itu

adalah syariat dan tingkatan yang telah disebutkan adalah hasil

dan kelazimannya. Karena, tingkatan pertama adalah tingkatan

masyarakat awam, tingkatan kedua adalah tingkatan masyarakat

khawas, dan tingkatan ketiga adalah tingkatan khawashsh

alkhawashsh. Orang-orang mukalaf dan berakal secara

keseluruhan tidak keluar dari tingkatan syariat, tarekat, dan

hakikat, karena lapisan masyarakat mencakup mereka semua.

Setiap posisi dan kedudukan masing-masing adalah benar. Ayat

Al-Qur’an mulia menegaskan, ‘Untuk tiap-tiap umat di antara

kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya

Allah menghendaki,niscaya Dia menjadikan kalian satu umat (saja).

Tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada

kalian. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya

kepada Allah-lah kembali kalian semua, lalu Dia beritahukan kepada

kalian apa yang telah kalian perselisihkan,’ (QS. Al-Ma’idah

5:48). mengisyaratkan masalah ini. Demi Allah! Seandainya tidak

ada ayat lain, niscaya dengan sendirinya sudah cukup sebagai bukti

atas keberadaan tingkatan-tingkatan itu dan hukum-hukumnya.

Allah menegaskan,

p:39

‘Dan setiap umat memiliki kiblat (tersendiri) yang ditentukan oleh

Allah.’ (QS. Al-Baqarah [2]: 148). Dan ayat lain menegaskan, ‘Mereka

senantiasa berbeda dan berselisih.’ (QS. Hud [11]: 118). Begitu juga

ayat-ayat yang lain. Dengan demikian, terdapat tiga tingkatan:

Islam, iman, dan yakin; wahyu, ilham, dan penyingkapan (kasyf);

kenabian, risalah, dan wilâyah; ucapan, perilaku, dan hal. Orangorang

yang memiliki tingkatan-tingkatan itu berada dalam posisi

yang sama. Dengan demikian, jika mengingkari ucapan para

nabi dan orang-orang yang meyakininya adalah suatu perbuatan

yang tidak layak. Artinya, apabila mengingkari syariat para nabi,

mengingkari tarekat juga tidak diperbolehkan. Begitu pula

mengingkari hakikat, juga tidak diperbolehkan.(1)

Ini adalah sedikit contoh penjelasan para arif Islam tentang

irfan, mereka berupaya membuktikan kesatuan antara agama dan

irfan. Pernyataan para arif juga tidak berbeda dengan pernyataan di

atas. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah ayat dan hadis yang

ditafsirkan sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf. Setelah masa berlalu,

jumlah ayat dan hadis ini semakin banyak. Nicolson menyatakan,

ayatayat yang telah digunakan oleh para arif untuk hal ini berjumlah

407 ayat.(2)

Adapun berkenaan dengan hadis qudsi dan riwayat-riwayat yang

sahih dan dha’if, jumlahnya sungguh luar biasa. Kaum sufi tidak

mengenal batas dalam menakwilkan hadis-hadis. Menurut Allamah

Thabathabai, kaum sufi adalah ‘ladang subur’ takwil dan ‘penyiap

lahan’ untuk menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak mengenal

batas.(3)

Dengan memperhatikan seluruh analisis yang diberikan oleh urafa,

kita senantiasa berhadapan bahwa ajaran tasawuf bukanlah indikasi

Al-Qur’an yang gamblang dan bersifat lahiriah. Sekalipun demikian,

p:40


1- 49 Jâmi‘ Al-Asrâr wa Manba‘ An-Anwâr, hlm. 350-352.
2- 50 Mulla Sadra, Henry Corbin, hlm. 260.
3- 51 Tafsir Al-Mîzân, Pengantar.

mereka kadang menyatakan bahwa menentang mereka adalah

bersebrangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dan menafsirkan ayat-ayat

Ilahi tidak sesuai dengan ajaran tasawuf. Padahal, indikasi lahiriah

ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf.(1)

Sebagai penutup, kami perlu memaparkan dua poin berikut ini:

Pertama, Ibnu Arabi, dengan seluruh pembelaanya terhadap aliran

irfan serta takwil dan tafsir terbuka bebas yang sering dilakukannya,

tidak meyakini kesamaan irfan dengan agama-agama samawi. Ia

berkeyakinan, agama dan irfan adalah dua ajaran yang terpisah. Lebih

mengherankan lagi, menurutnya, irfan bersifat insani, sementara

agama samawi bersifat Ilahi. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu

Arabi menegaskan:

Agama ada dua macam: agama Ilahi dan agama insani. Agama

Ilahi adalah agama yang diserukan oleh Allah, para nabi, dan para

pengganti mereka. Agama insani adalah agama yang dicetuskan

oleh manusia dan dikukuhkan oleh Allah. Agama Ilahi dipilih

oleh Allah sendiri dan dinyatakan sebagai agama yang lebih tinggi

daripada agama makhluk. Konsep monastisisme dan riyadhah

yang diciptakan oleh manusia itu meliputi sekumpulan kaidah

yang berdasarkan sebuah hikmah. Akan tetapi, tidak pernah

disampaikan oleh para nabi serta tidak pula melalui agama atau

metode pengutusan nabi yang sudah dikenal umat manusia.

Karena, kaidah monastisisme dan riyadhah sejalan dengan agama

dan hukum Ilahi, Allah mengukuhkannya sebagaimana agama

Ilahi yang sah. Dengan mengikuti ajaran riyadhah, masyarakat

akan bahagia, dan menentangnya dapat mendatangkan kemurkaan

Allah.”(2)

p:41


1- 52 Moqaddameh-ye Moqaddameh bar Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud aishari; ‘Erfon-e Nazdari, hlm.233.
2- 53 Fushûsh Al-Hikam, Ibnu Arabi, pokok ke-8 Al-Ya‘qûbî.

Ibnu Arabi mengafirmasikan pandangannya dengan surah Al-

Hadid ayat 28. Dalam memahami ayat ini, ia telah menelusuri sebuah

jalan yang pernah ditelusuri oleh Ibnu Mujahid dan Junaid. Dengan

berlandaskan ayat ini, mereka menyimpulkan riyadhah adalah sebuah

perbuatan yang boleh. Padahal, mayoritas ahli tafsir menyimpulkan

keharaman konsep riyadhah dan monastisisme dari ayat tersebut.(1)

Kedua, urafa Muslim tidak mensyaratkan keimanan dalam

beberapa tingkatan suluk. Artinya, salik tanpa memiliki keyakinan

dan iman yang benar dapat menempuh tingkatan-tingkatan suluk dan

dapat menggapai buah suluk sampai pada batas kasyf mitsâlî.(2)

Dalam pandangan urafa Muslim, syair dan suluk irfani dapat

ditempuh tanpa keyakinan terhadap agama paling tidak sampai pada

satu tingkatan suluk tertentu. Orang-orang yang telah melakukan syair

dan suluk dapat memetik hasilnya meskipun mereka bukan Muslim

atau bahkan tidak mengenal Allah sekalipun.

Imam Ghazali seorang hujjatul Islam, menganggap berpegang teguh

dan fanatik terhadap mazhab tertentu di permulaan perjalanan suluk

adalah tindakan yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan.

Sehubungan dengan hal ini, ia menulis:

Guna menyingkap tirai taklid, ia harus menyingkirkan fanatisme

mazhab dan mengimani makna tiada tuhan selain Allah dan

Muhammad adalah utusan Allah sepenuhnya sehingga ia dapat

merasakan hakikat masalah dalam hal keyakinan. Tetapi,

semua itu harus dihasilkan melalui jalan riyadhah, bukan

perdebatan.”(3)

p:42


1- 54 Ta‘lîqât Fash Al-Ya‘qûbî, Abul ‘Alâ’ Al-‘Afifi.
2- 55 Moqaddameh bar Syarh-e Tä’iyyeh-ye Ibn Färez, bagian 2, bab 3.
3- 56 Ihyâ’ ‘Ulûm Al-Dîn, jld. 3, hlm. 75.

Pandangan Imam Ghazali bertentangan dengan para ulama dari

berbagai mazhab. Mereka meyakini mazhabnya adalah mazhab yang

benar dan hanya satu-satunya jalan menuju keselamatan. Faidh Kâsyânî

yang meski memiliki orientasi irfan tidak dapat menahan diri melihat

pandangan Imam Ghazali itu yang ia nilai sebagai pandangan batil. Ia

menulis:

Mengikuti jejak Ahlul Bait as. sebagai penunjuk jalan dapat

mengantarkan kita menemukan hukum-hukum agama. Sikap

fanatik terhadap mereka dapat menambah keyakinan kepada

keyakinan para salik.(1)

p:43


1- 57 Al-Mahajjah Al-Baydhâ’, Muhsin Faidh Kâsyânî, Daftar-e Entesharat-e Eslami Qom, jld. 5, hlm.129.

P:44

Bab 3

Point

Sumber Makrifat

1. Sumber Makrifat Agama

Dalam kepercayaan Islam diyakini bahwa sumber makrifat hanyalah

wahyu Ilahi. Wahyu dalam terminologi agama adalah proses transmisi

(perpindahan atau penyaluran—peny.) kehendak dan instruksi Ilahi

kepada orang tertentu.

Sumber makrifat dalam irfan adalah pengalaman yang diperoleh

setelah ia sampai kepada hakikat, melalui jalan fana dari dirinya sendiri

dan menyatu dengan hakikat wujud. Fana dan menyatu dapat terwujud

dalam bentuk penyingkapan (mukâsyafah) dan intuisi (musyâhadah).

Syarat menggapai makrifat dalam agama dan irfan tidaklah sama. Untuk

memahami perbedaannya, kita dapat memperhatikan penjelasan

yang diberikan oleh kedua belah pihak.

Meskipun para nabi kadang-kadang menerima wahyu Ilahi dalam

kondisi tidur,(1) akan tetapi umumnya penerimaan wahyu terjadi dalam

kondisi terjaga. Seluruh ayat Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah

Saw dalam kondisi terjaga. Penerimaan wahyu dalam kondisi terjaga

p:45


1- 58 Silakan menelaah kisah perintah kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih putranya dalam QS. Al-Shaffaat [37]: 102-105.

ada kalanya terjadi dengan cara mendengar sebuah suara dan ada

kalanya juga dengan perantara buku yang tertulis. Lembaran-lembaran

(alwâh) kitab Taurat diterima oleh Nabi Musa as. dalam bentuk tertulis.

Al-Qur’an dibacakan oleh Jibril kepada Rasulullah Saw ayat per ayat,

dan beliau menghafalnya. Lalu, beliau mendiktekan ayat-ayat itu

kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menulis ayat per ayat

itu sedangkan para penghafal Al-Qur’an menghafalkannya.

Ketika menjelaskan macam-macam cara penerimaan wahyu oleh

para nabi dan hubungan mereka dengan Allah, Al-Qur’an berfirman,

“Dan tidak layak Allah berbicara dengan seorang manusia pun kecuali

dengan perantaraan wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus

seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu mewahyukan kepadanya

dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia

Mahatinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Syura [42]: 51).

Dalam ayat ini, terdapat tiga macam cara penerimaan dan

diturunkannya wahyu:

a. Hubungan dan penerimaan wahyu secara langsung. Wahyu ini

diturunkan kepada hati seorang nabi atau melalui mimpi.

b. Hubungan dan penerimaan wahyu melalui pendengaran dari balik

hijab dan tirai. Nabi hanya mendengar suara dan tidak melihat

siapa pun. Sebagai contoh, Nabi Musa as di lembah Aiman atau

bukit Tursina mendengar sebuah suara yang memberikan perintah

atau petunjuk kepadanya.

c. Hubungan dan penerimaan wahyu melalui perantara malaikat.

Malaikat membacakan wahyu kepada nabi dan nabi menyampaikan

wahyu tersebut kepada umat manusia.

Seperti telah kami jelaskan, hubungan Rasulullah Saw dengan

Allah dan penerimaan wahyu oleh beliau terjadi dengan cara terakhir.

Malaikat Jibril menerima seluruh Al-Qur’an dari Lawh Mahfûzh lalu

membacakannya kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu membacakan

wahyu kepada umat dan para penulis wahyu menulis teks dan susunan

p:46

wahyu tersebut seperti yang disampaikan oleh beliau. Terdapat juga

riwayat yang menyatakan bahwa malaikat Jibril pernah muncul kepada

Rasulullah Saw dalam bentuk Dihyah Kalbi.

Inilah sekilas pandangan Islam dan Al-Qur’an sehubungan dengan

cara hubungan Rasulullah Saw dengan Allah dan penerimaan wahyu

oleh beliau.

2. Sumber Makrifat Irfan

Sumber makrifat dalam irfan adalah fana. Selama seseorang belum fana

dari dirinya, ia tidak akan pernah dapat menggapai makrifat intuitif.

Fana memiliki derajat tertentu yang dapat terwujud secara berkesinambungan

berdasarkan perjalanan salik menuju kesempurnaan.

Fana dalam irfan Islami memiliki perbedaan fundamental dengan

fana dalam ajaran Hindu. Fana dalam ajaran Hindu memiliki sisi negatif;

yakni kebinasaan dan ketiadaan. Sedangkan fana dalam irfan Islami

memiliki kandungan yang positif. Yakni, setiap fana menghasilkan

eksistensi yang lebih sempurna. Dengan kata lain, fana dalam irfan

Islami tidak bermakna kebinasaan seorang salik. Fana berarti ia telah

berhasil melewati sebuah batas esensi diri (huwiyyah wa ta‘ayyun) dan

sampai kepada esensi yang lebih sempurna. Dari sini, Maulawî pernah

berkata, “Tidak perlu ditakutkan, karena dengan kematian, kita tidak

akan pernah berkurang.”(1) Fana bukan kematian, tetapi kelahiran baru.

Kematian dan kelahiran, dari titik nol hingga titik tidak terbatas, dari

manusia yang bersifat benda mati menjadi manusia yang berkarakter

Ilahi. Dalam proses transformasi (tahawwul) yang tidak kenal batas

ini, esensi akan terkorbankan untuk menjadi esensi yang lain. Dalam

proses perjalanan menuju kesempurnaan, setiap batas dan esensi memiliki

efek-efeknya yang khusus; di antaranya adalah derajat makrifat.

p:47


1- 59 Masnavi-ye Maulavi: Aku mati dari benda mati dan menjadi benda yang berkembang; aku mati dari benda berkem-bang dan menjadi binatang. Lalu, aku mati dari binatang dan menjadi manusia; apa yang kutakuti, dengan mati aku tak ‘kan berkurang.

Ketika seseorang dalam proses gerak menaik (syair shu‘ûdî)

telah berhasil melewati alam materi, setingkat itu juga ia berhasil

menggapai makrifat yang lebih tinggi; sebuah makrifat yang tidak

dapat diperoleh melalui kekuatan materi; yakni indera dan akal.

Menurut Syaikh Isyrâq, menggapai hikmah sebelum ada kemampuan

memisahkan tubuh (dari ruh) adalah sesuatu yang tidak mungkin.(1)

Seluruh arif mendidik manusia untuk menyeberangi maqam dan

persinggahan-persinggahan (maqam wa manzil). Setiap maqam dan

persinggahan tidak ubahnya seperti wujud baru. Karena wujud

manusia adalah kawn jâmi‘, (alam yang sempurna) seluruh maqam

dan persinggahan secara potensial ada dalam wujudnya.

Kamu satu, kamu tiada, wahai sobat baikku;

kamu selalu berganti dengan sebuah laut yang dalam. (2)

Dalam proses menuju kesempurnaan, manusia melalui lapisanlapisan

wujud dirinya dan berjalan dalam dirinya; dari dirinya ia menuju

kepada dirinya sendiri.(3) Ketika menyeberangi lapisan wujud, pada setiap

tingkatan ia berhadapan dengan sebuah makrifat baru yang tidak

pernah ada pada tingkatan sebelumnya.

Atas dasar ini, menurut pandangan urafa, berbeda dengan

pandangan para filosof, ilmu bukan kesempurnaan yang hinggap dan

mengambil tempat (‘âridh) dalam diri manusia. Kesempurnaan wujud

serta tingkatan jawhar dan dzat manusia adalah sumber ilmu dan

seni. Dengan demikian, makrifat intuitif muncul dari tingkatan wujud

seorang arif dan berbeda-beda dari sisi kekuatan dan kelemahannya

tergantung kepada maqam dan persinggahan irfani.

Ringkas kata, makrifat intuitif adalah hasil fana seorang arif

dari dirinya dan keabadiannya dengan Dzat Yang Maha Haqq.

p:48


1- 60 Al-Talwîhât, dalam Majmu‘eh-e Mushannafot, jld. 1, hlm. 113.
2- 61 Masnavi-ye Maulavi.
3- 62 Ibid.

Seorang arif dapat memanfaatkan makrifat ini ketika ia sudah fana

dan terbebaskan dari dirinya. Apabila wujud seorang arif masih ada,

hakikat masih tersembunyi darinya. Ketika wujud telah fana, hakikat

akan muncul. Dalam pandangan urafa, diri seseorang adalah tirai yang

menghalanginya dari hakikat.

Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri,

hai Hafez bangunlah!

3. Perbandingan dan Komparasi

Point

Dalam melakukan komparasi antara kedua sumber makrifat, kita dapat

memaparkan perbedaan-perbedaan berikut ini:

3.1. Kesadaran Diri dan Penggapaian Makrifat

Realita yang dapat kita pahami dari proses penerimaan wahyu adalah

ketika seorang nabi sedang menerima wahyu dari malaikat Jibril, ia

sadar dan tidak kehilangan kesadaran, meskipun beberapa efek dan

tanda wahyu terlihat padanya, seperti menggigil atau berkeringat.(1)

Dalam kondisi ini, ia masih tetap sadar diri. Berbeda dengan irfan.

Ketika seorang arif telah sampai kepada maqam jam‘ dan tauhid; yakni

maqam fana, ia kehilangan kendali diri. Pada saat fana, bukan hanya

arif itu sendiri, segala sesuatu yang tercipta dari ketiadaan sebelum itu

akan ikut fana dalam Dzat Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, hal

ini tidak berarti seluruh maujud menjadi binasa dan tidak ada bekas

makhluk pun yang tersisa.

Ketiadaan mutlak ini hanyalah prasangka orang-orang yang

masih terselimuti hijab dan tirai. Mereka mengatakan, sebagaimana

permulaan alam, di akhir usia alam ini pun, Allah akan ada tanpa

makhluk. Allah tetap ada meski tidak satu pun makhluk yang ada. Urafa

tidak mengklaim demikian. Maksud mereka adalah ketika seorang

arif telah sampai kepada maqam jam‘, ia akan memahami dengan

p:49


1- 63 Sîrah Ibn Hisyâm, jld. 1, hlm. 205.

perantara makrifat intuitif bahwa selain Allah Yang Maha Haqq tiada

maujud lain di alam ini. Seluruh maujud alam selain Dzat Yang Maha

Haqq, seluruhnya adalah esensi (huwiyyah) Dzat Yang Maha Haqq itu

sendiri.(1)

Kesimpulannya, makrifat intuitif di luar kesadaran seorang salik.

Sedangkan, makrifat yang berasal dari wahyu berpindah kepada nabi

dalam kondisi ia sadar. Seorang arif dapat menggapai makrifat intuitif

pada saat ia tidak sadarkan diri. Ketika ia kembali ke alam sadar, ia

tidak lagi berada di alam intuisi. Sesuatu yang tersisa dalam ruang akal

hanyalah refleksi dari pengalaman irfani, dan itu pun terwujud melalui

efek-efeknya, atau gambaran-gambaran (suram) yang dibentuk oleh

akalnya. Hasil penyingkapan dan intuisi tidak akan memasuki akal secara

langsung. Padahal, nabi menerima wahyu dengan perantara akal. Al-

Qur’an yang mulia sebagai firman Allah disampaikan kepada Rasulullah

Saw dalam rentang waktu 23 tahun, dengan teks dan susunan yang ada

sekarang ini, melalui perantara Jibril atau secara langsung dan tanpa

perantara. Beliau pun memperoleh perintah untuk menyampaikannya

kepada umat manusia tanpa perubahan sedikit pun.(2)

Pada saat menerima wahyu, Rasulullah Saw mengalami sebuah

kondisi dan keadaan yang sangat khusus, seperti tubuh bergetar atau

berkeringat.(3) Akan tetapi, kondisi dan keadaan ini tetap disertai

dengan kesadaran dan perasaan rendah diri kehambaan di depan

Allah yang telah memerintahkan beliau untuk menyampaikan pesanpesan-

Nya. Pada awalnya, beliau khawatir tidak mampu menghafal

ayat-ayat wahyu. Oleh karena itu, beliau berusaha sekuat tenaga untuk

menghafalnya.(4) Allah Yang Maha Pengasih mempermudah tugas itu

kepada beliau dan membimbing beliau supaya tidak tergesa-gesa dan

mengikuti proses pembacaan wahyu setapak demi setapak, karena Dia

telah menjamin keabsahan dan keselamatan teks wahyu itu.

p:50


1- 64 ‘Erfon-e Nazdari, bagian, bab, pasal 1.
2- 65 Al-Tamhîd, jld. 1, hlm. 26; Qor’on dar Eslom, hlm. 90 dan 107.
3- 66 Sîrah Ibn Hisyâm, jld. 1, hlm. 205.
4- 67 Shahîh Al-Bukhârî, jld. 6, hlm. 163 dan jld. 5, hlm. 153.

Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa

ingin (membaca) Al-Qur’an. Karena mengumpulkan dan

membacanya adalah tanggungan Kami. Apabila Kami telah

selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,

penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami” (QS. Al-Qiyamah

[75]: 16-19).(1)

3.2. Pengajaran atau Pengalaman

Makrifat yang berasal dari wahyu adalah sebuah makrifat yang bersifat

instruksional (ta‘lîmî); yakni dapat dipindahkan dan diajarkan kepada

orang lain. Malaikat Jibril menerima wahyu dari Lauh Mahfûzh dan

menyampaikannya kepada Rasulullah Saw. Beliau lantas menyampaikan

wahyu kepada umat tanpa perubahan sedikit pun. Atas dasar ini, dari

sisi pemahaman dan penerimaan wahyu, seluruh Mukminin dan

bahkan selain Mukminin memiliki posisi yang sama dengan beliau.

Satu-satunya perbedaan yang ada adalah beliau menjadi perantara

mereka dalam menerima wahyu itu. Seluruh ayat Al-Qur’an juga

demikian. Orang-orang yang objektif dan tidak membangkang pasti

menerima masalah ini. Tugas Rasulullah Saw hanyalah Al-Qur’an dan

hikmah. Sebelum wahyu turun, beliau juga tidak mengetahui sedikit

pun tentang itu. Setelah memaparkan macam-macam cara penerimaan

wahyu, Al-Qur’an berfirman kepada beliau:

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu seorang ruh dengan

perintah Kami (sebagaimana Kami juga telah mengutus seorang

ruh kepada para nabi sebelummu). Sebelumnya kamu tidaklah

mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui

apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya,

yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di

antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar

memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2).

p:51


1- 68 Penekanan ini juga terdapat dalam QS. Yunus 10:15-16 dan Thaha 20:114.

Makrifat intuitif tidak bersifat instruksional. Makrifat ini hanyalah

pengalaman pribadi, dan tidak seorang pun dapat memindahkan atau

mengalihkan pengalaman pribadinya kepada orang lain.

‘Ainul Qudhât membagi pengetahuan manusia dalam dua

klasifikasi: (1) ilmu; yakni seluruh pengetahuan yang dapat dipahami

melalui perantara akal, dan (2) makrifat; yakni hakikat-hakikat yang

hanya dapat digapai dengan jalan pengalaman pribadi.

Menurut ‘Ainul Qudhat, bisa atau tidak bisa ditransfer adalah

tolok ukur perbedaan antara ilmu dan makrifat. Artinya, kita dapat

mendefinisikan masalah ilmu dengan menggunakan ungkapan yang

sesuai dengannya dan mentransfernya kepada orang lain. Tetapi,

makrifat intuitif hanyalah pengalaman dan tidak dapat diungkapkan

dengan jelas. Sebagai perumpamaan, seseorang tidak dapat mentransfer

pengalamannya tentang aneka warna kepada seseorang yang buta.(1)

Atas dasar ini, dapat atau tidak dapat ditransfer adalah tolok ukur

penting perbedaan antara wahyu dan pengalaman-pengalaman urafa.

3.3. Apakah Sumber Makrifat di Dalam atau Luar Diri

Manusia?

Jawaban pertanyaan ini adalah tolok ukur lain perbedaan agama dan

irfan pada sisi sumber makrifat.

Seperti telah dijelaskan, dalam agama Islam, seluruh ajaran Ilahi

diterima oleh Rasulullah Saw dari luar; dari Lawh Mahfûzh dan melalui

perantara malaikat Jibril. Sebelum menerima wahyu, Rasulullah Saw

tidak mengetahui apa pun tentang hal itu. Artinya, hakikat wahyu,

meskipun dalam bentuk potensi (bi al-quwwah), tidak ada dalam

diri beliau. Wahyu turun kepada beliau berasal dari luar diri beliau.(2)

Padahal, dalam pandangan urafa, setiap makrifat yang digapai oleh

seorang arif berasal dari dalam dirinya.

p:52


1- 69 Zubdat Al-Haqâ’iq, hlm. 67-68.
2- 70 Al-Tamhîd, jld. 1, hlm. 26.

Urafa sehubungan dengan masalah ini menjelaskan:

Sumber makrifat adalah wilâyah. Wilâyah khusus tidak akan

pernah dapat diperoleh kecuali dengan fana. Fana adalah

kedekatan seorang salik kepada hakikat dan ketiadaannya dalam

hakikat. Kedekatan dan ketiadaan inilah yang menjadi faktor ia

memperoleh makrifat-makrifat intuitif.”

Qaishari (w. 751 H), pensyarah tersohor aliran irfan Ibnu Arabi,

menjelaskan sehubungan dengan masalah ini:

Kenabian adalah sebuah anugerah Ilahi, dan usaha seseorang tidak

memiliki peran dalam masalah ini. Nabi adalah utusan Allah yang

diutus untuk memberikan petunjuk dan hidayah kepada umat

manusia ... Ia memiliki kenabian batiniah; yakni wilâyah. Dengan

demikian, melalui perantara wilâyah-nya, ia menerima hakikat

dan makna-makna dari Allah atau para malaikat. Dan melalui

perantara kenabiannya, ia menyampaikan semua itu kepada umat

manusia.”(1)

Dengan demikian, urafa berkeyakinan bahwa nabi menerima

makrifat-makrifat melalui perantara batinnya. Yakni, melalui perantara

wilâyah yang dimiliki, ia menerima seluruh jenis makrifat dan melalui

perantara kenabian, ia menyampaikannya kepada umat manusia. Inilah

pandangan urafa tentang makrifat-makrifat intuitif. Mereka meyakini

bahwa kenabian juga termasuk dalam kategori makrifat.

Dalam irfan, barangsiapa berhasil sampai kepada sebuah makrifat,

sebenarnya ia sampai dalam dirinya dan dari dirinya. Ibnu Arabi sendiri

menyatakan, setiap pemilik penyingkapan (kasyf) yang dapat melihat

sebuah gambaran, dan gambaran itu memberikan makrifat-makrifat

kepadanya, gambaran ini adalah gambaran dia sendiri, bukan selain

p:53


1- 71 Moqaddameh bar Syarh-e Ta’iyyeh-ye Ibn Faridh, bagian 2, bab 1. Silakan merujuk ‘Erfän-e Nazdari, hlm. 366 dan setelahnya.

dia. Pada hakikatnya, ia memetik buah makrifat dari pohon wujudnya

sendiri.(1) Setiap makrifat akan sampai kepada seseorang dari dirinya

sendiri. Rasulullah Saw menjelaskan, makrifat kepada Allah adalah

makrifat kepada diri sendiri. Beliau bersabda, “Barang-siapa mengenal

dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”

Ibnu Arabi meyakini bahwa seluruh anugerah adalah penjelmaan

(tajallî) Ilahi, dan penjelmaan berarti seorang arif melihat dirinya

dalam cermin Ilahi.

Hai hati, pilihlah fana sebagai ikatan dirimu; duduklah

merenung ingin saksikan Dzat Yang Haq.

(Setelah tirai gaib tersingkap dari hadapanmu;

engkau lihat dirimu dalam cermin Yang Haqq.

Ibnu Arabi melanjutkan:

Sekalipun salik melihat dirinya dalam cermin Dzat Yang Maha

Haqq, akan tetapi ia tidak melihat Dzat Yang Maha Haqq. Tidak

ubahnya seperti cermin. Seseorang melihat dirinya dalam cermin,

tetapi ia tidak melihat cermin itu sendiri.”(2)

Ringkas kata, dalam ajaran agama, nabi menerima wahyu dari

luar dirinya. Tetapi, dalam ajaran urafa, makrifat intuitif muncul dari

dalam diri seorang arif. Seperti telah kita saksikan bersama, urafa

menginterpretasikan konsep kenabian berdasarkan prinsip pandangan

mereka sendiri. Sehubungan dengan masalah ini, kita masih akan

mendiskusikannya pada pembahasan yang akan datang.

Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan selalu

merasakan ada jarak pemisah antara sumber asli wahyu (Allah) dan

penerima wahyu (nabi). Penerima wahyu adalah seorang manusia

p:54


1- 72 Fushûsh Al-Hikam, Ibnu Arabi, pasal 2.
2- 73 Ibid. Bait-bait syair itu dinukil dari syarah Al-Kharazmi.

dengan puncak penghambaan disertai dengan penyerahan diri dan

kerendahan hati yang total. Ia adalah seorang manusia seperti manusiamanusia

lain yang tidak pernah mengklaim dirinya sebagai malaikat,

tidak mengetahui rahasia alam gaib, dan tidak pula menguasai hartaharta

di bumi dan langit. Keuntungan dan kerugian dirinya juga tidak

berada di tangannya. Segala yang ia miliki dan setiap ucapan yang

ia ucapkan adalah anugerah dan inayah Allah yang memiliki segala

sesuatu dan pemilik segala sesuatu; penciptaan dan kerajaan alam ini

berada di tangan-Nya.

3.4. Bahasa Al-Qur’an, Bahasa Masyarakat Umum

Bahasa Al-Qur’an adalah sebuah bahasa umum yang lazim digunakan

oleh masyarakat umum. Sebab, seperti telah kami jelaskan sebelum ini,

hakikat wahyu bisa ditransfer dan bisa diajarkan. Berbeda dengan bahasa

urafa. Bahasa mereka adalah bahasa sandi dan simbol. Sebab, seperti

yang juga telah kami utarakan sebelum ini, pengalaman-pengalaman

irfani dan makrifat-makrifat intuitif tidak dapat ditransfer dan tidak

dapat diajarkan. Sehubungan dengan masalah ini, pada pembahasan

mendatang akan dikupas dengan lebih terperinci.

Cukup kami isyaratkan, urafa dari awal telah mengetahui

hal ini dengan baik. Junaid berkata, “Ucapan kami adalah simbol

dan isyarat.” Bahasa isyarat dan simbol adalah titik temu antara

menyembunyikan dan mengungkapkan. Artinya, mengucapkan

dalam kondisi tidak mengucapkan dan tidak mengucapkan dalam

kondisi mengucapkan.(1)

3.5. Kerumitan dan Kemudahan Masalah

Sesuai dengan penjelasan pada pembahasan-pembahasan sebelum ini,

seluruh ajaran agama dapat dicerna secara konseptual dan argumentatif

p:55


1- 74 I‘jâz Al-Bayân fi Ta’wîl Umm Al-Qur’an, hlm. 6.

(tashawwur wa tashdîq). Berdasarkan hal ini, Al-Qur’an menekankan

supaya kita berpikir dan merenung. Bahasa Al-Qur’an adalah sebuah

bahasa yang jelas dan fasih, berbeda dengan irfan. Makrifat-makrifat

intuitif tidak dapat dipaparkan dengan gamblang dan tidak pula bisa

ditransfer. Sekalipun dijelaskan dengan menggunakan bahasa simbol

dan isyarat, pada akhirnya tidak bisa dicerna dan dibenarkan oleh akal

dan pikiran kita; yakni sangat rumit. Sebagai contoh, ucapan seorang

arif yang menegaskan ‘Akulah Dzat Yang Maha Haqq’, atau konsep

wahdat al-wujûd, dan begitu pula masalah fana dan keabadian. Semua

masalah ini tidak bisa dicerna dan dibenarkan oleh akal dan pikiran

kita. Meskipun urafa memaparkan semua konsep itu hanya untuk

melawan tuduhan para teolog dan filosof, akan tetapi mereka sendiri

menekankan bahwa konsep-konsep itu tidak dapat digapai melalui

perantara diskusi dan akal.(1)

Akal dan logika memang menghukumi, apabila seseorang

diperintah untuk menunjukkan jalan hidayah kepada masyarakat,

ucapannya harus dapat dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ibn Sina dalam pembahasan kenabian buku Al-Syifâ dan Al-Najâh

menegaskan bahwa ajaran dan bahasa pengajaran seorang nabi harus

dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehubungan dengan

masalah ini, ia menulis:

Nabi tidak boleh memikulkan sebuah makrifat di pundak masyarakat

yang melebihi makrifat terhadap keesaan dan ketunggalan Allah.

Jika tidak demikian, mereka akan merasa keberatan dan mengalami

kekacau-balauan. Ia tidak boleh melakukan tindakan yang dapat

menyembunyikan hakikat dari masyarakat. Nabi tidak boleh

menggunakan bahasa simbol dan isyarat. Ia tidak menjelaskan

ajaran-ajarannya dengan menggunakan bahasa isyarat dan simbol.

Dengan bantuan alegori dan figurasi (tasybîh wa tamtsîl), ia harus

menyadarkan masyarakat akan keagungan alam materi ini. Dan

p:56


1- 75 Moqaddameh bar Syarh-e Ta’iyyeh-e Ibn Faridh, ‘Erfon-e Nazdari, hlm. 233.

melalui jalan ini, ia dapat menunjukkan keagungan Ilahi kepada

mereka. Dalam ajaran-ajarannya, ia harus mencukupkan diri dengan

penegasan bahwa Allah tidak diserupai, tidak bersekutu, dan tidak

tertandingi. Sehubungan dengan asas Hari Akhir, nabi harus

memaparkannya sedemikian rupa sehingga masyarakat memahami

bagaimana hal itu akan terjadi dan mereka merasa menyenanginya.

Berkenaan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi, ia juga

harus memaparkannya dengan ungkapan yang dapat mereka cerna

melalui jalan alegori dan figurasi.”(1)

3.6. Keambiguan atau Kegamblangan

Point

Bukan hanya bahasanya yang jelas dan ajarannya yang dapat dipahami

dengan mudah, agama dari banyak sisi juga tidak membenturkan kita

dengan keambiguan. Berbeda dengan irfan. Tidak hanya bahasanya

yang simbolik. Ajarannya rumit dan tidak dapat dicerna dengan

mudah, irfan bahkan menghadapkan manusia kepada kebingungan

dan keambiguan. Mari kita menelaah agama dan irfan dari sudut

pandang berikut ini:

3.6.1. Agama

Fondasi-fondasi agama tidak ambigu. Rasulullah Saw mengajak

kita kepada tauhid, kenabian, dan Hari Akhir. Seluruh konsep ini

dipaparkan sedemikian rupa sehingga seluruh lapisan masyarakat

dapat memahami dan mencernanya. Seorang penganut agama dapat

meyakini bahwa ada Allah Yang Mahaesa nan Maha Perkasa. Guna

menunjukkan jalan hidayah kepada umat manusia demi menggapai

kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, Dia mengutus para nabi supaya

menjelaskan pengetahuan dan aturan-aturan untuk mereka. Ini adalah

pilar utama agama.

p:57


1- 76 Al-Najâh, Al-Ilâhiyyât, Ibn Sina, makalah 2, pasal 39; Al-Syifâ’, akhir pembahasan Al-Ilâhiyyât, pembahasan kenabian.

Dalam kebutuhan praktis sehari-hari, agama juga tidak

menghadapkan kita kepada keambiguan dan kebingungan. Setiap

orang yang telah mencapai usia taklif, seluruh perintah dan larangan

telah dijelaskan secara gamblang kepadanya. Hal-hal yang wajib, sunah,

mubah, makruh, dan haram telah diketahui dengan jelas. Semua telah

dijelaskan secara detail, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Apakah salat itu? Apakah puasa itu? Siapakah yang harus melaksanakan

ibadah haji? Apakah zakat itu? Apakah yang dimaksud dengan amar

makruf dan nahi mungkar? Setiap Muslim pasti mengetahui jawaban

untuk semua pertanyaan ini. Jika ia tidak mengetahui, ia dapat merujuk

kepada buku-buku referensi bersangkutan untuk mengetahuinya.

Hasil final dalam agama juga sudah diketahui dan tidak ambigu.

Barang-siapa mengikuti seluruh ajaran agama, ia pasti beruntung

dan barangsiapa menentangnya, ia pasti celaka. Al-Qur’an berfirman,

“Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya, dan sungguh

merugilah orang yang telah mengotorinya” (QS. Al-Syams [91]: 8-9).

Program hidup manusia adalah program yang telah dijelaskan dari

sejak ia turun ke dunia ini, dan hasilnya adalah hasil yang juga telah

dipaparkan.

Kami berfirman, ‘Turunlah kalian semua dari surga itu! Kemudian

jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang

mengikuti petunjuk-Ku, niscaya mereka tidak akan merasa takut

dan tidak (pula) bersedih hati.’ Dan orang-orang yang kafir dan

mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka;

mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 38-39).

Atas dasar ini, agama berdiri kokoh di atas tonggak pengetahuan

dan hujah yang jelas (bashîrah).

Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang

mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujah yang

p:58

nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang

musyrik.” (QS. Yusuf [12]: 108).

Oleh karena itu, agama tidak memerlukan pemaksaan. Al-

Qur’an berfirman, “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam).

Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat”

(QS. Al-Baqarah [2]: 256).

Banyak orang mengklaim bahwa agama adalah keraguan dan

kebingungan itu sendiri. Para pemeluk agama disebut telah terjerumus

ke jurang kebingungan. Anggapan tersebut tidak dapat disalahkan

begitu saja. Sebab, klaim seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran yang

ada di Dunia Barat, dunia yang masyarakatnya hanya mengenal

model agama semacam itu. Yakni, agama Kristen yang tidak memiliki

landasan logika, syariat yang jelas, dan tidak pula tujuan yang dapat

dipahami.(1)

3.6.2. Irfan

Seperti telah dipaparkan, ajaran irfan tidak dapat dicerna oleh akal

dan pikiran. Pengalaman irfani tidak dapat disampaikan kepada orang

lain. Dalam irfan, ketika seseorang telah sampai kepada maqam

kedekatan (wushûl) dan fana, dirinya akan sirna.

Apa yang dapat kukatakan sebuah sarafu tak sadar;

karena menyifati Dzat Penolong Tanpa-penolong.

Barangsiapa melihat taman bunga yang tersembunyi;

gairah cintamu akan pupus sirna dari dirimu.

Maulana Rumi

Kaidah dalam ajaran irfan adalah “berita yang seharusnya tiba

tidak akan pernah tiba”. Pendengar juga tidak akan mampu

mencerna pernyataanpernyataan seorang arif, karena ia tidak pernah

memiliki pengalaman

p:59


1- 77 Lebih lanjut, rujuk “Mudoro bedone Syakk, dalam Ketab-e Naqd, Vol. 4.

seperti pengalaman sang arif. Jika pendengar mengaku memahami,

pengakuan ini hanyalah hasil dari serentetan gambaran-gambaran

yang batil.(1) Bahasa dan ungkapan seperti telah kami singgung di atas

sangat tidak jelas.

Seorang arif hanyalah mendorong orang lain supaya melangkahkan

kaki di jalan yang tidak pernah ia kenali. Dengan demikian, irfan dimulai

dengan taklid murni. Ini semua ditinjau dari sisi irfan. Dari sisi makna,

permasalahannya juga tidak lebih baik dari itu. Tarekat didominasi

oleh kegelapan dan keambiguan. Proses suluk tidak dapat disesuaikan

dengan kaidah tertentu. Batin tidak dapat dibatasi dengan aturan

tertentu. Setiap orang memiliki tujuan dan dalam jiwanya memiliki

situasi dan kondisi tersendiri. Atas dasar ini, kondisi (ahwâl) batin

tidak dapat dibebani taklif serta tidak dapat diperintah dan dilarang.

Dari sisi batin, seseorang dalam setiap saat mengalami ribuan maqam

dan hâl yang beraneka ragam. Berbeda dengan sisi lahiriah manusia. Di

mana seluruh manusia dapat dibebani hukum syariat yang sama.(2)

Oleh karena itu, dalam suluk, setiap orang harus senantiasa berada

dalam bimbingan dan pengawasan seorang guru.

Tanpa tuntunan seorang syaikh yang handal;

engkau berangkat kala tidak memiliki hati yang melihat.

Aduhai burung yang tidak bersayap kuat

terbang tinggi di angkasa dan akan tersungkur dalam bahaya.

Di dunia yang penuh jebakan ini, berhati-hatilah terhadap nafsu;

dan terhadap luka-luka yang sewarna dengan obat.

Sebuah racun mematikan yang berbentuk madu dan susu;

janganlah engkau pergi tanpa musyawarah syaikh yang tahu.

Tangga-tangga langit akan menjadi tua bangka;

milik siapakah anak panah yang melesat itu?

Maulana Rumi

p:60


1- 78 Zubdat Al-Haqâ’iq, hlm. 88-89.
2- 79 Al-Tamhîdât, hlm. 250-252.

Seorang salik senantiasa bergantung kepada orang lain. Meskipun

urafa selalu menegaskan perantara antara Allah dan makhluk harus

dihapuskan, ternyata kita lihat sendiri mereka masih membutuhkan

wali pembimbing dan pemberi petunjuk.

Suatu pengalaman yang terjadi dalam tarekat, pada umumnya,

tidak dapat diketahui oleh salik sendiri secara pasti. Bashîrah (batin)

dapat dihinggapi kotoran dan kesalahan melebihi indera dan akal.(1)

Seluruh makrifat yang masuk ke dalam batin seorang arif dapat berasal

dari Allah dan dapat juga berasal dari setan. Memilah dan memilih

kedua jenis makrifat, umumnya berada di luar kekuasaan salik. Oleh

karena itu, ia memerlukan sebuah tolok ukur dan perantara. Qaishari

dalam prolog buku Syarh Fushûsh Al-Hikam menulis, “Perbedaan

antara makrifat Ilahi dan setani bergantung kepada tolok ukur yang

dimiliki oleh salik yang sedang berusaha menyingkap rahasia.”

Ketika mengomentari pernyataan ini, Asytiyani menulis, “Setiap

ilmu pengetahuan memiliki tolok ukur khusus. Dengan tolok ukur

ini, keabsahan dan kebatilan ilmu dapat diketahui. Kebutuhan ilmu

(tasawuf) sebagai sebuah ilmu yang paling mulia di antara sekian ilmu

yang ada.”(2)

Tolok ukur paling mendasar bagi seorang salik adalah syaikh dan

mursyidnya. Ibn Turkah menulis:

Yang harus terpenuhi bagi salik yang tidak memiliki seorang

syaikh dan tidak mengikuti seorang pembimbing, seorang

syaikh dan pembimbing yang seluruh kondisi dan problematika

salik ada di tangannya. Akan tetapi, apabila ia memiliki seorang

syaikh dan mursyid, dalam setiap maqam dan tingkatan serta

sesuai dengan kemampuannya menggapai makrifat tingkatan

tersebut ia akan dibimbing oleh sang mursyid.”(3)

p:61


1- 80 Zubdat Al-Haqâ’iq, hlm. 29.
2- 81 Syarh-e Moqaddameh-ye Qaishari, hlm. 383-384.
3- 82 Tamhîd Al-Qawâ‘id, pembahasan terakhir.

Karena salik senantiasa berhadapan dengan lautan kebingungan

serta tidak mengenal jalan dan tata krama setiap persinggahan,

keberhasilannya tanpa syaikh dan pembimbing sangatlah minim.

Janganlah mencoba melewati tingkatan ini tanpa pembimbing;

semua gelap dan takutlah terhadap kesesatan.

Hafizd

Kemungkinan salah, keambiguan, dan kebingungan ini

menuntut supaya salik tidak menunjukkan eksistensi dirinya

di hadapan syaikh dan harus pasrah penuh kepadanya, seperti

kepasrahan jenazah di hadapan orang yang memandikannya.(1)

Kami tidak mengingkari padangan urafa, ada beberapa orang yang

telah berhasil menggapai makrifat-makrifat yang tidak dapat diragukan

lagi. Makrifat ini malah lebih meyakinkan daripada keyakinan

argumentatif (burhânî). Akan tetapi, pertama, orang-orang semacam

ini sangat sedikit; kedua, keyakinan semacam ini hanya berhubungan

dengan pemiliknya dan tidak dapat dipindahkan, disalurkan atau

dialihkan kepada orang lain.

Tidak ada korelasi yang teratur antara amal dan hasil. Orang

salih dan orang bejat menawarkan barang dagangan mereka masingmasing.

Akan tetapi, barang dagangan manakah yang diterima? Hal

ini tidak dapat diketahui secara pasti. Keambiguan dalam penentuan

nasib termasuk salah satu masalah yang disepakati oleh kaum sufi

dan dikenal dengan nama sirr al-qadar (rahasia takdir). Keambiguan

ini adalah faktor terbesar kebingungan dan kekhawatiran para salik,

karena kemampuan setiap orang adalah faktor penentu dari keberhasilannya.

Kemampuan tersebut bukan hal yang perlu diketahui

oleh semua orang.(2)

p:62


1- 83 Mishbâh Al-Hidâyah, ‘Izzuddîn Mahmûd Al-Kâsyânî, tatakrama seorang salik di hadapan syaikh; ‘Erfon-e Nazdari, hlm. 450; Falsafeh-e ‘Erfon, hlm. 403.
2- 84 Al-Maktûbât, hlm. 249; Naqd Al-Nushûsh, hlm. 116; Al-Nafahât, hlm. 225.

Bab 4

Point

Ontologi Agama dan Irfan

1. Ontologi Agama

Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, alam memiliki realita dan

eksistensi, seluruh esensi di alam ini nyata. Ditinjau dari segi nilai

dan keagungannya, alam diklasifikasikan atas dua hal: alam atas dan

alam bawah, alam inderawi dan alam noninderawi, dunia dan akhirat.

Seluruh klasifikasi alam bersifat riil dan nyata. Artinya, meskipun

alam malaikat atau kehidupan ukhrawi lebih tinggi dan lebih bernilai

dibandingkan dengan alam tanah dan kehidupan duniawi, tidak

berarti alam tanah dan kehidupan duniawi tidak riil dan hanya

khayalan belaka. Kehidupan duniawi tidak abadi dan selalu diwarnai

kesusahan dan derita. Apabila tidak ditempatkan di atas jalan yang

menuju akhirat, kehidupan ini tidak lebih dari kehidupan hewani dan

hanya permainan belaka.(1)

Pada mulanya, alam secara keseluruhan tidak ada. Dengan

kehendak-Nya, Allah lantas menciptakannya. Tata cara penciptaan

alam berikut perinciannya sedikit banyak telah dipaparkan dalam Al-

Qur’an seperti asal kehidupan, penciptaan langit dan bumi, manusia,

p:63


1- 85 QS. Al-An‘am [6]: 32.

air, angin, hujan, awan, siang dan malam, gunung, laut, binatang,

serangga, kematian, kehidupan, dsb..

Penciptaan alam adalah kehendak dan kekuasaan Allah. Tidak ada

faktor lain yang memainkan peran dalam masalah ini. “Sesungguhnya

perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata

kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82). Allah

menciptakan alam supaya manusia dan jin menghamba kepada-Nya,(1)

sebagaimana bangsa malaikat tidak pernah lengah untuk menghamba

kepada-Nya.(2) Alam tidak bersifat kekal abadi. Seluruh binatang yang

bernyawa, manusia, dan suku bangsa hanya hidup sampai batas waktu

tertentu. Singkat kata, “semua yang ada di bumi akan binasa, dan hanya

Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”

(QS. Al-Rahman [55]: 26-27).

Setelah mengalami kematian, manusia akan hidup kembali dengan

kekuasaan Allah. Berdasarkan amal perbuatannya di dunia, ia akan

menempati surga atau neraka. Ia akan memulai sebuah kehidupan yang

kekal abadi, entah dalam kebahagiaan atau dalam kesengsaraan.(3)

2. Ontologi Irfan

Secara dzâtî (substansial), wujud ini adalah sesuatu yang wajib dan

tunggal. Artinya, di alam ini, tidak ada wujud kecuali wujud hakikat

yang wajib. Hakikat tunggal yang merupakan kesempurnaan dan

keindahan mutlak menuntut supaya terjelma (zhuhûr). Sebab, setiap

keindahan pasti (dharûrî) harus terjelma.

Manusia berparas cantik tak ‘kan pernah tersembunyi

sekalipun di bawah tembok ‘kan muncul dari celahnya.(4)

p:64


1- 86 QS. Al-Dzariyat [51]: 56.
2- 87 QS. Al-A‘raf [7]: 206.
3- 88 QS. Hud [11]: 105-108.
4- 89 Yûsuf va Zulaikho, pengantar.

Untuk penjelmaan diri (zhuhûr) itu, diperlukan sebuah manifestasi

komprehensif yang mewakili seluruh nama dan sifat-sifat Dzat Yang

Maha Haqq. Oleh karena itu, Dia menciptakan alam semesta. Sebelum

ini, alam semesta laksana tubuh yang tidak bernyawa. Kemudian,

menciptakan manusia sebagai kawn jâmi’, Dia telah menganugerahkan

jiwa dan keindahan kepada alam semesta.(1) Alam semesta secara

keseluruhan adalah manifestasi sempurna Yang Maha Haqq sebagai

“insan besar”, dan manusia secara sendiri adalah manifestasi Dzat Yang

Maha Haqq sebagai “alam kecil”.(2)

Keinginan untuk menjelma dan menjelmakan (zhuhûr wa izhhâr)

bersifat abadi dan terus-menerus. Oleh karena itu, tajallî Dzat Yang

Maha Haqq juga bersifat abadi dan terus-menerus. Atas dasar ini, alam

semesta dalam bentuk “penciptaan menerus” (khalq-e mudom) selalu

dalam kondisi peniadaan dan pewujudan (i‘dâm wa îjâd).(3) Artinya,

alam semesta, sebagai manifestasi Dzat Yang Maha Haqq dalam busur

gerak menurun dan busur gerak menaik, senantiasa dalam kondisi

datang dan pergi karena pengaruh tajallî-Nya.

Seluruh semesta tidak lain hanyalah menifestai keterjelmaan

Dzat Yang Maha Haqq. Makhluk muncul karena Dia menjelma pada

diri mereka. Seandainya Dia tidak menjelma, mereka tidak akan

pernah ada.(4) Jika kita membandingkan Dzat Yang Maha Haqq dengan

makhluk ditinjau dari sisi wujud, hanya Dialah yang maujud secara

hakiki dan wujudnya bersifat prinsipal. Selain Dia, apa pun juga,

hanyalah “khayal”. Dengan demikian, seluruh alam semesta hanyalah

wujud khayal belaka.(5) Ibnu Arabi menulis:

Alam semesta tersembunyi sehingga tak pernah tampak, dan

Dzat Yang Maha Haqq sungguh tampak sedemikian rupa

p:65


1- 90 Fushûsh Al-Hikam, Ibnu Arabi, pokok ke-1.
2- 91 Ibid.
3- 92 Ibid., pokok ke-12.
4- 93 Ibid., pokok ke-1.
5- 94 Ibid., pokok ke-9. Silakan merujuk juga kepada buku Naqd Al-Nuqûd, bagian ke-14, 41, 47, 48, dan 200.

sehingga tak pernah tersembunyi. Tetapi, manusia keliru dan

malah meyakini sebaliknya. Mereka meyakini bahwa alam

semesta tampak dan Dzat Yang Maha Haqq tersembunyi. Dari

sinilah mereka terjangkit penyakit syirik, hanya melihat halhal

yang dapat diindera, dan menyembah sesembahan yang

berbentuk. Allah hanya menyelamatkan sebagian hamba-Nya

dari serangan penyakit ini.”(1)

Dalam proses kembalinya seluruh maujud, hanya manusia yang

memiliki perjalanan tanpa batas, sebuah perjalanan yang dapat

menyambungkan garis pamungkas dengan garis permulaan.

3. Perbandingan dan Komparasi

Point

Ontologi agama Islam memiliki perbedaan dengan ontologi urafa

Muslim. Berikut ini kami akan memaparkan sebagian perbedaannya:

3.1. Dzat dan Sifat Sumber Utama Alam Semesta

Agama Islam menyatakan bahwa Allah adalah sumber utama (mabda’)

alam semesta. Allah adalah sebuah hakikat yang nyata (ainî) dan

terwujud secara utuh (mutasyakhkhish). Hal ini membedakan Dia

dari para makhluk. Dia esa dan tunggal. Artinya, tiada maujud lain

yang memiliki keadaan seperti Dia, sehingga layak menyamai-Nya

dalam wujud. Hubungan-Nya dengan alam semesta adalah hubungan

Pencipta dengan makhluk-Nya dan hubungan Tuhan dengan hamba-

Nya. Ini adalah pandangan agama.

Dalam persepsi urafa Muslim, Dzat Yang Maha Haqq tidak lain

adalah dzat yang menjelma pada alam semesta. Dia adalah segalanya,

wujud dan hakikat segala sesuatu. Wujud-Nya berjalan dan mengalir

dalam substansi seluruh alam semesta. Pada dasarnya, selain Dia tidak

ada yang memiliki wujud hakiki. Dia tidak terpisah dari makhluk dan

p:66


1- 95 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 1, hlm. 103.

makhluk juga tidak terpisah dari-Nya.(1)

Tauhid dalam irfan bukanlah berarti keesaan dalam arti ketuhanan

dan dzat yang layak disembah. Tauhid irfani berarti bahwa di alam

semesta ini, tiada suatu selain Dia. Arti ungkapan lâ ilâha illallâh

dalam persepsi agama adalah “tiada dzat yang layak disembah dan yang

berpengaruh di alam semesta ini kecuali Allah”. Akan tetapi, arti irfani

ungkapan tersebut adalah “tiada maujud selain Allah”.

Qaishari berkata, “Maksud tauhid dalam dzat adalah seluruh

dzat yang ada ini sirna dan fana dalam Dzat-Nya.”(2)

Perbedaan antara tauhid dalam persepsi agama dan tauhid dalam

pandangan irfan sebagaimana pernyataan Izzuddin Mahmud Kasyani

yang cukup gamblang, sederhana, dan detail berikut ini:

Tauhid memiliki tingkatan-tingkatan: tauhid imani, tauhid ilmi,

tauhid hali, dan tauhid Ilahi. Tauhid imani adalah seorang hamba

membenarkan dengan hati dan mengakui dengan lisan sifat

keesaan dan ketunggalan Allah, baik dalam ketuhanan maupun

dalam keberhakan untuk disembah, berlandaskan penegasan ayat

Al-Qur’an dan hadis. Jenis tauhid ini adalah hasil pembenaran

terhadap seorang pemberi berita dan kebenaran sebuah berita,

serta digapai dari lahiriah sebuah ilmu. Berpegang teguh kepada

tauhid ini dapat menyelamatkan kita dari syirik yang nyata dan

memasukkan kita ke ruang lingkup agama Islam. Kaum sufi,

berdasarkan tuntutan iman, memiliki posisi yang sama dengan

Mukminin yang lain dalam tauhid ini. Tetapi, mereka berbeda dan

memiliki kedudukan khusus dalam tingkatan-tingkatan tauhid

yang lain.

Tauhid ilmi dapat diperoleh melalui batiniah ilmu. Para ulama

menyebut jenis ilmu ini dengan nama ‘ilmu yakin’. Penjelasannya,

pada permulaan jalan meniti tasawuf, seseorang harus mengetahui

p:67


1- 96 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-7.
2- 97 Moqaddameh bar Syarh-e Ta’iyyeh, bagian 3, bab 2.

secara yakin bahwa tiada maujud hakiki dan pemilik pengaruh

yang mutlak kecuali Tuhan alam semesta. Ia harus meyakini

bahwa seluruh esensi, sifat, dan tindakan sirna dan tidak berarti

di hadapan dzat, sifat, dan tindakan Allah. Ia hanya memahami

bahwa setiap esensi hanyalah sebuah cercahan dari cahaya Dzat

Allah Yang Maha Mutlak dan setiap sifat hanyalah serpihan dari

cahaya sifat Dzat Yang Maha Mutlak. Di mana pun ia menemukan

ilmu, kekuatan, kehendak, pendengaran, dan penglihatan, ia

meyakini bahwa semua itu hanyalah tilas ilmu, kekuatan, kehendak,

pendengaran, dan penglihatan Ilahi. Begitu pula tentang sifat dan

tindakan-tindakan yang lain. Ini adalah tingkatan pertama tauhid

kaum khawas dan kaum sufi. Prolog tauhid ini berhubungan erat

dengan ranting tauhid umum.

Serupa dengan tingkatan tauhid, sebuah tingkatan yang juga

disebut oleh orang-orang yang berpikiran dangkal dengan nama

tauhid ilmi. Sebenarnya, tauhid ini bukan tauhid ilmi, tetapi

tauhid gambaran (rasmî). Yang jelas, tauhid rasmî tidak memiliki

nilai. Penjelasan tauhid bayangan ini adalah seseorang karena

kecerdasannya bisa menggambarkan sebuah makna tauhid melalui

jalan telaah atau pendengaran. Lalu, sebuah bayangan tauhid

tergambar dalam kalbunya. Dalam diskusi dan perdebatan, ia

kadang-kadang melontarkan ucapan-ucapan yang tidak berdasar,

seakan-akan tidak sedikit pun tilas tauhid terpatri dalam dirinya.

Meskipun posisi tauhid ilmi lebih rendah dari posisi tauhid

hali, akan tetapi ia masih memiliki campuran semerbak mewangi

tauhid hali. “Dan campuran khamar murni itu berasal dari Tasnîm;

(yaitu) mata air yang darinya orang-orang yang didekatkan kepada

Allah minum.” (QS. Al-Muthafifîn [83]: 27-28). Ayat ini menyifati

minuman tauhid tersebut. Dengan demikian, penyandang

tauhid ini pada umumnya berada dalam kondisi dzauq dan selalu

berbahagia. Karena pengaruh campuran tauhid hali itu, sebagian

kegelapan yang menghantuinya tersingkirkan. Dalam sebagian

p:68

kondisi, ia bertindak sesuai dengan tuntutan ilmunya, tetapi tidak

menyaksikan adanya sebab-sebab yang merupakan perantara

Ilahi. Meskipun demikian, dalam setiap keadaan, karena sisasisa

kegelapan wujudnya masih ada, ia terhalangi dari tuntutan

ilmunya. Dengan perantara tauhid, sebagian orang terselamatkan

dari syirik yang tersembunyi.

Tauhid hali adalah kondisi tauhid menjadi sifat yang tidak

terpisah (lâzim) bagi esensi seorang muwahid. Karena dominasi

pancaran cahaya tauhid, seluruh kegelapan yang menghantui

wujudnya, kecuali sedikit kegelapan yang tersisa, akan sirna dan

lenyap. Lalu, cahaya ilmu tauhid mendominasi seluruh cahaya

jiwanya, tidak ubahnya seperti cahaya matahari yang melahap

cahaya bintang-gumintang ketika pagi hari tiba.

Pada maqam ini, wujud muwahhid ketika menyaksikan

keindahan Dzat Yang Mahaesa lenyap dalam Dzat-Nya sedemikian

rupa sehingga ia tidak dapat menyaksikan kecuali Dzat dan sifatsifat-

Nya. Pada keadaan ini, ia melihat tauhid sebagai sifat Dzat

Yang Mahaesa, bukan karakter dirinya, dan ia juga memandang

tindak melihat sebagai sifat-Nya. Dengan jalan ini, wujud muwahhid

laksana setetes air dalam renggutan gelombang laut tauhid dan

tenggelam dalam alam jam‘. Inilah arti pernyataan Junaid semoga

Allah menyucikan arwahnya yang menegaskan, ‘Tauhid adalah

sebuah makna yang di dalamnya seluruh gambaran (rusûm) sirna

dan seluruh ilmu melebur bersama-Nya, dan Allah tetap berada

dalam posisi-Nya, selamanya demikian; (yakni esa dan tunggal).’

Begitu juga pernyataan Ibn ‘Athâ’ semoga Allah merahmatinya

yang menjelaskan, ‘Tauhid adalah kamu melupakan tauhid karena

kamu menyaksikan keagungan Dzat Yang Mahaesa sedemikian

rupa sehingga kamu bersama Dzat Yang Mahaesa, bukan dengan

tauhid.’

Sumber tauhid ini adalah cahaya musyâhadah (penyaksian dan

intuisi), sedangkan sumber tauhid ilmi adalah cahaya murâqabah

p:69

(pengawasan diri). Dengan perantara tauhid hâli, mayoritas

gambaran-gambaran dalam benak manusia lenyap laksana

cahaya matahari yang melenyapkan mayoritas kegelapan dari

atas bumi karena dominasi cahayanya. Dengan perantara tauhid

ilmi,sebagian gambaran benak manusia sirna laksana cahaya

rembulan yang hanya dapat melenyapkan sebagian kegelapan,

sementara mayoritas kegelapan masih tersisa. Alasan mengapa

sebagian gambaran gelap masih tersisa dalam tauhid hâli adalah

untuk memungkinkan muwahhid beramal dan berucap dengan

baik. Itulah yang pernah digambarkan oleh Ustadz Abu Ali Ad-

Daqqâq semoga Allah merahmatinya dalam sebuah pernyataan,

‘Tauhid adalah laksana seorang pemilik utang yang utangnya tidak

terbayar atau orang asing yang haknya tidak dipenuhi.’ Dengan

perantara tauhid hâli, mayoritas syirik yang tersembunyi sirna.

Pada saat masih hidup, para muwahhid dari kalangan khawashsh

kadang-kadang memperoleh kilatan hakikat tauhid murni yang

mengkilat laksana petir dan lenyap seketika. Ia lalu melanjutkan

amalannya sehingga sehingga seluruh syirik yang masih tersisa akan

sirna. Di balik tingkatan tauhid ini, manusia mustahil menggapai

tingkatan tauhid yang lebih tinggi lagi.

Tauhid Ilahi adalah Dzat Yang Maha Haqq Swt sejak azal senantiasa

disifati dengan sifat keesaan dan ketunggalan. Hanya saja,

penyifatan ini harus dengan perantara Dia sendiri, bukan melalui

perantara yang lain. ‘Allah sudah ada, sedangkan tidak ada sesuatu

apa pun bersama-Nya’. Sekarang, Dia juga senantiasa secara azal

tetap sebagai Dzat Yang Mahaesa nan Mahatunggal hingga akhir

masa dan untuk selamanya. ‘Setiap sesuatu pasti binasa (hâlik-un)

kecuali wajah-Nya.’ (QS. Al-Qashash [28]: 88). Dia tidak mengatakan

yahliku supaya diketahui bahwa wujud segala sesuatu telah sirna

dalam wujud-Nya. Penundaan penyaksian kondisi ini hanya layak

dimiliki oleh orang-orang yang terselubungi tirai. Para pemilik

bashîrah dan intuisi yang telah terbebaskan dari ikatan

p:70

ruang dan waktu melihat janji ayat tersebut sebagai sebuah realita

yang telah terjadi sekarang juga. ‘Mereka memandangnya jauh,

sedangkan Kami memandangnya dekat.’ (QS. Al-Ma‘ârij [70]: 6-

7). Kemuliaan sifat Mahatunggal dan keperkasaan sifat Mahaesa

yang Dia miliki tidak memberikan kesempatan kepada selain-

Nya untuk eksis di alam wujud. Inilah hak sebuah tauhid. Inilah

sebuah tauhid yang terbebaskan dari segala bentuk kekurangan.

Tauhid para malaikat dan manusia tidak sempurna karena faktor

kekurangan wujud.”(1)

Ringkas kata, tauhid dalam agama berdiri tegak di atas keyakinan

seseorang. Dalam tauhid, Anda harus menerima bahwa Tuhan adalah

esa dan tiada tuhan selain Dia. Anda dapat meyakini ushulnya. Tetapi,

tauhid dalam irfan memerlukan sebuah perombakan total pada diri

manusia; memerlukan sebuah kelahiran baru dan melintasi dunia

yang terbatas oleh ruang dan waktu. Kita dapat meyakini tauhid dalam

agama dengan akal dan pikiran; tanpa perlu pekerjaan lain. Akan tetapi,

tauhid irfani hanya dapat digapai dengan perjuangan dan suluk. Dalam

agama, kita hanya mewujudkan sebuah keyakinan. Sementara dalam

irfan, kita harus memanifestasikan tauhid dalam diri; bukan hanya

dalam bentuk manifestasi rasional dalam benak, tetapi dalam bentuk

manifestasi riil di alam nyata.

Dalam buku Tafsir Al-Mîzân, Allamah M.H. Thabathabai membagi

tauhid dalam agama berdasarkan pemahaman para pemeluk agama. Ia

menulis,

Karena kedekatan dan kebiasaan manusia dengan kesatuan

bilangan, ia bersandarkan kepada kesatuan ini dalam mengesakan

Dzat Yang Mahawajib. Seluruh filosof dari periode kuno hingga

abad ke-10 membuktikan keesaan Dzat Yang Mahawajib dalam

bentuk kesatuan bilangan. Ibn Sina sendiri dalam karya-karya

p:71


1- 98 Mishbâh Al-Hidâyah wa Miftâh Al-Kifâyah, hlm. 19-22.

tulisnya seperti Al-Syifâ’ meyakini keesaan Dzat Yang Mahawajib

dalam bentuk kesatuan bilangan. Pandangan para teolog adalah

juga keesaan dalam bentuk kesatuan bilangan. Setelah seribu

tahun dari periode Hijrah berlalu, para filosof Islam berhasil

menyingkap kesatuan mutlak (wahdah ithlâqiyyah) dan murni

untuk Dzat Yang Mahawajib.”(1)

Sehubungan dengan pandangan guru kami ini, kami ingin

menjelaskan beberapa poin berikut ini:

a. Kita terima bahwa para filosof dan teolog memaparkan keesaan

Dzat Yang Mahaniscaya dalam bentuk kesatuan bilangan. Tetapi,

kita tidak menerima apabila dalam filsafat dan teologi; yakni

dalam ruang lingkup ilmu hushûlî, terdapat bentuk kesatuan lain

selain kesatuan bilangan yang dapat dipaparkan dan dicerna secara

benar, kecuali kita hanya menengok sisi taklid dalam masalah ini

dan menganggap tingkatan ini sebagai prolog untuk tingkatantingkatan

berikutnya. Seperti pernah ditekankan oleh ‘Izzuddin

Mahmud Kasyani, bisa jadi seseorang keliru dalam menilai dirinya

sendiri dan meyakini taklidnya sebagai sebuah realita yang benar.

Artinya, ia meyakini makrifat-makrifat yang ia miliki dalam ruang

lingkup ilmu hushûlî sebagai makrifat-makrifat intuitif.

Bukan hanya para filosof dan teolog hingga periode seribu

tahun pasca Hijrah yang memahami keesaan Dzat Yang Mahawajib

dalam bentuk kesatuan bilangan. Lebih dari itu, pada dasarnya,

akal dan pikiran manusia saat itu tidak dapat mencerna arti

kesatuan mutlak nan murni wujud. Dasar pemikiran kita terbentuk

berdasarkan keberbilangan (katsrah). Sehubungan dengan ruang

lingkup pemikiran manusia, Ibn Sina berargumentasi, kesatuan

segala sesuatu tidak dapat diterima dan dicerna.(2) Jika akal dan

pikiran kita dapat memahami sebuah bentuk arti kesatuan,

p:72


1- 99 Tafsir Al-Mîzân, jld. 6, hlm. 104.
2- 100 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-7, pasal 11; Al-Najâh, hlm. 506.

umum, dan mencakup, arti kesatuan dan umum termasuk dalam

kategori arti kesatuan atau umum mafhûmî dan mâhuwî, atau

termasuk dalam kategori kesatuan genus dan material (jinsî wa

mâddî). Dalam irfan teoritis yang merupakan wadah pembahasan

hakikat-hakikat irfani, wujud mutlak diungkapkan secara figuratif

dengan ungkapan-ungkapan seperti thabî‘ah (alam natural), kullî

(universal), hayûlâ, dan jawhar.

b. Terminologi “kesatuan mutlak” (wahdah ithlâqiyyah) bukanlah

hasil rekayasa dan penemuan baru para filosof yang hidup pada

periode pasca abad X H. Tidak diragukan lagi, maksud Allamah

Thabathabai dari para filosof yang hidup pada periode seribu

tahun setelah Hijrah adalah Shadrul Muta’allihin dan para

pengikutnya. Artinya, hingga periode Shadrul Muta’allihin,

keesaan Dzat Yang Mahawajib dipaparkan dalam bentuk kesatuan

bilangan. Setelah itu, Shadrul Muta’allihin dan para pengikutnya

berhasil menyingkap kesatuan mutlak bagi Dzat Yang Maha Haqq,

sebuah bentuk kesatuan yang berlandaskan konsep wahdat alwujûd.

Akan tetapi, pandangan ini tidak benar. Kesatuan mutlak Dzat

Yang Maha Haqq telah dipaparkan secara jelas oleh urafa Islam

minimal lima abad sebelum periode Mulla Shadra seperti pernyataan

‘Ainul Qudhat dan Ahmad Ghazali. Jika bukan demikian, ada

sejumlah ungkapan yang secara luas menyebutkan masalah ini

kurang lebih tujuh abad sebelum periode Mulla Shadra Hujwairî.

Dalam buku Kasyf Al-Mahjûb (Thuhuri, hlm. 356) tertera,

“Keesaan Allah tidaklah dalam bentuk kesatuan bilangan.” Sejak

permulaan abad VII, pembahasan paling asli tasawuf adalah jenis

tauhid ini.

Sangat gamblang sekali, tauhid semacam ini bukan hanya

tidak sejalan dengan ajaran agama Islam tetapi, juga berseberangan

dengan ajaran dan pemahaman para pengikut seluruh agama

tauhid. Salah satu ajaran yang pasti dalam agama Islam, Kristen,

dan Yahudi adalah Allah bukanlah alam semesta. Dia adalah

p:73

penciptanya. Seluruh Mukminin berhadapan dengan Tuhan

yang sudah jelas. Mereka bermunajat dengan-Nya dan memohon

seluruh hajat kepada-Nya.

3.2. Realitas Alam Semesta

Seperti telah dipaparkan sebelum ini, dalam ontologi agama, seluruh

makhluk tidak kekal di dunia. Mereka akan kekal di langit dan alam

akhirat. Dua hal ini memiliki eksistensi yang hakiki. Setiap maujud

hanyalah bentuk maujud itu sendiri, bukan yang lain. Bumi adalah

bumi, rembulan adalah rembulan, dan manusia adalah manusia.

Seluruh makhluk memperoleh eksistensi mereka dari Sumber Utama

penciptaan. Dengan kehendak-Nya, mereka akan tetap ada atau musnah.

Adapun dalam ontologi irfani, segala sesuatu selain Dzat Yang

Maha Haqq tidak memiliki wujud hakiki. Seluruh alam semesta

khayalan dan fatamorgana belaka. Ibnu Arabi dan para pengikutnya

menganggap hubungan alam semesta dengan Dzat Yang Maha Haqq

tidak ubahnya bagai hubungan ombak dan laut atau hubungan sebuah

cermin dan orang yang sedang bercermin. Mereka tidak memberikan

sedikit pun wujud prinsipal kepada alam semesta. Akal dan indera kita

yang serba kuranglah yang menganggap bahwa semua itu ada.(1)

Dawud Qaishari menulis:

Segala sesuatu yang selain Dzat Yang Maha Haqq (mâ siwâ)

pada hakikatnya seperti ombak di sebuah laut yang sedang

bergelombang. Tidak diragukan lagi, meskipun ombak itu ditinjau

dari satu sisi, ia adalah sebuah aksiden (‘aradhî) terbentuk dari

air dan bukan air. Tetapi, ditinjau dari sisi wujud dan hakikatnya,

ombak tersebut hanyalah air. Begitu pula, hubungan uap, salju,

dan es dengan air. Memandang ombak tidak lain adalah peristiwa

melupakan laut berombak. Setiap gerakannya menggulirkan

p:74


1- 101 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 1, hlm. 119-120 dan 263.

ombak peristiwa dari alam batin dan gaib menuju ke ‘pantai’ alam

materi, dan membuat orang meyakini ombak terpisah dari laut.

Bayangan seperti itu akan menghasilkan anggapan bahwa mâ siwâ

memang benar ada. Tetapi, orang yang hanya memandang laut

dan mengetahui hakikat hubungan antara ombak dan laut, ia akan

meyakini bahwa seluruh mâ siwâ adalah ketiadaan, dan menjadi

ada karena wujud. Atas dasar ini, dalam pandangannya, yang ada

hanyalah Dzat Yang Maha Haqq. Mâ siwâ hanyalah ketiadaanketiadaan

yang memiliki wujud khayali. Oleh karena itu, selain

Dzat Yang Maha Haqq hanyalah khayalan belaka. Yang maujud

secara hakiki hanyalah Dzat Yang Maha Haqq, tidak lebih. Ketika

ia semoga rahmat Allah tercurahkan kepadanya mendengar hadis

Rasulullah Saw yang berbunyi, ‘Allah sudah ada sejak tidak ada

sesuatu apa pun yang bersama-Nya,’ ia berkomentar, ‘sekarang pun

juga masih demikian.’”(1)

Urafa yang meyakini konsep wahdat al-wujûd irfani, pada

hakikatnya, menafikan kesejatian (ashâlah) esensi-esensi riil yang

dapat diindera dan tidak dapat diindera. Mereka meyakini maujud

merupakan hakikat wujud yang sejati. Karena keyakinan ini, mereka

terpaksa mengatakan bahwa tauhid semacam itu tidak dapat dipahami

oleh kekuatan indera biasa kita. Untuk memahami tauhid, diperlukan

sebuah makrifat intuitif.(2)

Karenanya, agama tidak dapat memaparkan makrifat semacam

ini kepada masyarakat sebagai sebuah kewajiban atau taklif. Mereka

secara fitrah hanya menerima bahwa alam semesta memiliki eksistensi

yang riil dan seluruh makhluk memiliki wujud yang hakiki. Alam

semesta dan seluruh isinya memang benar-benar ada. Tetapi, dalam

p:75


1- 102 Moqaddameh-ye Syarh-e To’iyyeh, tujuan ke-1, pasal 1; ‘Erfon-e Nazdari, hlm. 296 dan selanjutnya.
2- 103 Naqd Al-Nuqûd, prinsip pertama; Nihâyah Al-Hikmah, tingkat 1 11, pasal 110; Fushûsh Al-Hikam, pasal. Ibnu Arabi berkata, “Barangsiapa hendak memahami hakikat-hakikat ini dengan akal dan pikirannya, ia tidak ubahnya seperti orang yang mengira bagian tubuh yang bengkak adalah gemuk dan meniup tumpukan jerami yang tidak berapi.”

keberadaannya, ia masih memerlukan dan merupakan makhluk Dzat

Yang Maha Haqq.

Dengan ungkapan lain, agama berdiri kokoh di atas landasan

akal. Oleh karena itu, seluruh hukumnya harus dijabarkan sedemikian

rupa sehingga akal dan pikiran manusia dapat mengenali dan

membenarkannya. Berbeda dengan irfan. Pandangan urafa tentang

alam semesta dan tolok ukur untuk memahami semua itu hanya dapat

diterima oleh orang-orang yang memiliki pengalaman pribadi tentang

makrifat intuitif.

Lebih dari itu, seluruh ajaran agama bisa diajarkan. Sedangkan,

makrifat intuitif tidak demikian. Membebankan sebuah taklif ke atas

pundak manusia sesuai dengan tuntutan makrifat-makrifat tersebut

adalah sebuah taklif yang sangat berat dan mewajibkan sebuah

kewajiban yang tidak bisa dipikul. Agama hanya membebankan taklif

yang sesuai dengan kemampuan manusia.

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan

kemampuannya (QS. Al-Baqarah [2]: 286).

3.3. Motivasi Penciptaan

Dalam Al-Qur’an, filsafat penciptaan manusia berkisar seputar manusia.

Bumi dan langit adalah rumahnya. Bintang adalah perhiasannnya.

Rembulan dan matahari adalah lentera yang menerangi siang

dan malamnya. Angin, air, tanah, api, binatang, tetumbuhan, dan

pepohonan diciptakan untuk mengabdi kepadanya.(1)

Di bumi, hanya ada dua makhluk yang layak menerima taklif;

perintah dan larangan: bangsa jin dan manusia. Jin adalah makhluk yang

tidak dapat diindera. Bangsa ini berbeda dengan manusia. Makhluk

yang dapat diindera di dunia dan berhak menerima taklif hanyalah

bangsa manusia. Allah menciptakan segala sesuatu untuk mengabdi

p:76


1- 104 Seluruh kandungan di atas termaktub dalam Al-Qur’an. Supaya pembahasan kita tidak terlalu panjang, dalam kesempatan ini, kami tidak menyebutkan sumber-sumber rujukannya.

kepada manusia. Lalu, untuk apakah Dia menciptakan manusia? Kita

dapat menemukan jawaban pertanyaan ini dalam sebuah ayat Al-Qur’an

dengan penegasan yang sangat gamblang. Allah berfirman, “Aku tidak

menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba kepada-Ku

(liya‘budûni)” (QS. Al-Dzariyat [51]: 56).

Adapun dalam pandangan irfan Islami, manusia dan alam semesta

diciptakan karena Wujud Yang Mahatunggal berkehendak supaya

keduanya ber-tajallî dan memanifestasi (zhuhûr). Kandungan semacam

ini tidak pernah ada dalam Al-Qur’an. Meskipun ada riwayat dari Ibnu

Abbas yang menegaskan, “Liya‘budûni berarti liya‘rifûni (supaya mereka

mengenal-Ku).”(1)

Artinya, Allah menciptakan jin dan manusia supaya mereka mengenal-

Nya. Pengenalan adalah sebuah prolog penyembahan. Sebagian besar

ahli teologi dan ulama meyakini bahwa kewajiban pertama yang harus

dimiliki oleh seorang yang akil baligh adalah mengenal Allah.(2)

Pengenalan ini berbeda dengan pengenalan yang dicari-cari oleh

kaum sufi dan arif. Meskipun demikian, penafsiran ayat tersebut sejalan

dengan hadis qudsi masyhur yang selalu diungkap oleh kaum sufi.

Dalam hadis qudsi ini, Allah Swt berfirman, “Aku adalah khazanah yang

tersembunyi, dan Aku ingin dikenal. Lalu, Aku menciptakan makhluk

supaya Aku dikenal.” Meskipun hadis qudsi ini selalu disebutkan dalam

buku-buku referensi irfan,(3) akan tetapi Ibn Taimiyyah dan Suyuthi

tidak menganggapnya sebagai hadis. Hal ini karena mereka tidak pernah

menemukan jalur sanad untuknya, baik sanad yang sahih maupun

sanad yang lemah.(4) Ali Qari menganggap hadis tersebut sebagai hadis

palsu.(5) Meskipun demikian, hadis ini sesuai dengan tafsir Ibnu Abbas,

Ali Qari dan Suyuthi menganggap maknanya benar.(6)

p:77


1- 105 Penafsiran Ibnu Abbas ini disebutkan dalam mayoritas buku-buku tafsir, seperti Majma‘ Al-Bayân dan Tafsir Al-Mîzân.
2- 106 Irsyâd Ath-Thâlibîn, hlm. 113; Asy-Syâmil fi Ushûliddîn, hlm. 15.
3- 107 Di antaranya, Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld., hlm. dan Ahädis-e Masnavi, hlm. 29.
4- 108 Al-La’âlî Al-Mashû‘ah fi Al-Ahâdîts Al-Mawdhû‘ah, hlm. 61.
5- 109 Al-Maudhû‘ât, hlm. 62.
6- 110 Ibid.

Biar bagaimanapun, makrifat yang dikemukan dalam ajaran agama

adalah sebuah makrifat yang bersandarkan kepada akal dan pikiran.

Tentunya, sebatas kemampuan yang kita miliki. Sedangkan, urafa ingin

menggapai wishâl (kedekatan kepada Dzat Yang Maha Haqq) dan

makrifat intuitif.

Dengan kata lain, dalam pandangan agama, makhluk diciptakan

supaya mereka mengenal Allah dan lantas kemudian menyembah-Nya.

Tetapi, dalam pandangan irfan, tujuan penciptaan supaya Allah bertajallî

dan dikenal. Hal ini karena alam semesta dalam keberadaannya

bergantung kepada aliran wujud Allah kepadanya. Dari satu sisi, jika

seluruh alam semesta tidak ada, tidak satu pun dari nama dan sifat

Allah yang termanifestasi.(1)

Sangat gamblang sekali, terdapat perbedaan pandangan menyembah

dan mengenal Allah, perbandingannya sebesar jarak antara bumi dan langit.

3.4. Kemunculan Alam Semesta

Point

Sehubungan dengan tatacara penciptaan, terdapat perbedaan

pandangan antara agama dan irfan. Dalam pandangan agama, Allah

adalah pencipta alam semesta. Tetapi, dalam pandangan irfan, Allah

ber-tajallî di alam semesta melalui perantaranya, Dia menampakkan

diri (zhuhûr). Supaya tema ini dapat terlukiskan lebih jelas, kami akan

menjelaskan dua sudut pandang ini meskipun secara ringkas.

3.4.1. Penciptaan

Kita dapat mengambil kesimpulan dari teks-teks agama bahwa Allah

telah ada kala itu, sementara alam semesta belum ada. “Allah telah

ada sedangkan kala itu tidak ada sesuatu apa pun bersama-Nya.”(2)

Al-Qur’an memperkenalkan Allah sebagai pencipta langit, bumi,

dan segala sesuatu.113 (3) Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam

p:78


1- 111 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-1; Syarh Fushûsh Al-Hikam, jld. 1, hlm. 98.
2- 112 Shahîh Al-Bukhârî, bab Tauhid, hlm. 22; Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 2, hlm. 431; Khatm Al-Auliyâ’, hlm. 174.
3- 113 QS. Al-An‘am [6]: 101.

hari. Begitu pula malam, siang, rembulan, matahari, dan bintanggumintang.

Hak penciptaan dan perintah hanya berada di tangan-Nya.(1)

Begitu juga penciptaan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,

dan lain sebagainya. Al-Qur’an memaparkan kisah penciptaan manusia

dengan detail dan terperinci.(2) Dalam proses penciptaan, hubungan

antara Sang Pencipta dan makhluk adalah sebuah hubungan yang

dapat digambarkan; satu pihak adalah Sang Pencipta yang memiliki

pengetahuan dan kemampuan untuk menciptakan, dan pihak lain

adalah makhluk yang Dia ciptakan berlandaskan pengetahuan dan

kehendak. Hubungan antara Sang Pencipta dan makhluk lebih sederhana

dibandingkan dengan hukum kausalitas dalam filsafat Islam

Peripatetik. Dalam teori pemikiran filsafat, Allah berada dalam ruang

lingkup kaidah-kaidah yang berlaku. Sebagai contoh, sebab dan akibat

harus sehakikat (sinkhiyyah). Oleh karena itu, dari satu sebab, tidak

mungkin keluar kecuali satu akibat.(3) Hasilnya, proses penciptaan terlaksana

melalui tingkatan-tingkatan yang saling bergantung. Tetapi,

dalam proses penciptaan menurut persepsi agama, tidak ada kaidah

dan aturan yang berperan kecuali ilmu dan kehendak Ilahi.

Tidak ada tingkatan dan perantara dalam penciptaan seluruh

makhluk. Allah secara langsung mengawasi seluruh jagad semesta di

bawah kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada satu maujud pun

yang menjadi perantara penciptaan maujud yang lain. Berbeda dengan

konsep filsafat. Menurut ajaran filsafat, akal pertama harus keluar terlebih

dahulu, lalu akal-akal yang lain, dan lantas alam materi.(4)

Al-Qur’an tidak pernah memaparkan tingkatan wujud dan bahwa

sebagian maujud adalah perantara maujud yang lain. Sebagian ayat

menyebutkan penciptaan sebagian makhluk secara berurutan; Allah

p:79


1- 114 QS. Al-A‘raf [7]: 54.
2- 115 QS. Al-Mu’minun [23]: 12-14.
3- 116 Kaidah ini dikenal dengan kaidah al-wâhid lâ yashduru ‘anhu illâ al-wâhid. Silakan merujuk Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-5, Al-Najâh, bagian Al-Ilâhiyyât, makalah 2, pasal 32, Al-Asfâr, jld. 2, hlm. 204-212 dan jld. 7, hlm. 192-244, dan Al-Qabasât, hlm. 351 dan seterusnya.
4- 117 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-6 dan 7; Al-Najâh, bagian Al-Ilâhiyyât, makalah 2; Al-Syifâ’, bagian Al-Ilâhiyyât; makalah 2; Hikmah Al-Isyrâq, bagian 2, makalah 2.

menciptakan langit lalu bumi. Tidak berarti maujud pertama menjadi

perantara terciptanya maujud berikutnya.

3.4.2 Tajallî dan Manifestasi

Teori penciptaan dan hukum kausalitas ala filsafat keduanya ditolak oleh

Irfan Islami. Menurut persepsi urafa Muslim, penciptaan alam semesta

adalah tuntutan kaidah yang menyatakan, “Keindahan menuntut untuk

termanifestasi.” Jika konsep kausalitas meletakkan Allah dalam ruang

lingkup kaidahnya, kaidah irfani itu juga demikian. Keindahan Allah

yang azali tergerak dengan keinginannya untuk termanifestasi. Ia keluar

dari haribaan qudsi dan memanifestasi di alam langit dan manusia.

Ibnu Arabiberkata, “Allah Swt berkehendak melihat nama-nama

baik-Nya yang tidak terhitung dalam sebuah kawn jâmi‘. Allah Swt

berkehendak melihat seluruh nama atau dzat-Nya terjelma dalam

sebuah maujud yang dapat mencakup seluruh hakikat alam semesta.

Dia menciptakan alam semesta ibarat tubuh tanpa ruh. Allah ciptakan

manusia dengan tujuan supaya ia menjadi ruh alam semesta dan cermin

mengkilat untuk seluruh penciptaan.”

Qaishari adalah salah seorang pensyarah irfan Islami yang handal.

Ia berusaha menginterpretasikan tajallî irfani dengan kisah penciptaan

dalam persepsi filsafat. Menurut Qaishari , tajallî Ilahi yang pertama

adalah “akal universal” yang dikenal dengan nama “nafas Rahmani”.

“Akal universal” ini memainkan peran “akal pertama” dalam filsafat.

“Nafas Rahmani” dan “akal universal” adalah “ruh Muhammadi”. Dari

tajallî ini, muncullah alam-alam lain sebagai berikut:

1. Alam jabarût: alam seluruh akal, ruh universal, dan metafisik.

2. Alam malakût: alam mitsâl yang terletak antara alam metafisik dan

alam materi. Di alam ini, seluruh maujud memiliki mitsâl mereka

masing-masing. Mitsâl adalah sesuatu yang memiliki bentuk dan

ukuran, tetapi bukan materi.

3. Alam mulk: alam materi.

4. Insan kamil: ia sendiri merupakan alam semesta.

p:80

Seluruh alam tersebut adalah manifestasi hakikat-hakikat yang

muncul di alam ilmu Ilahi karena nama dan sifat Allah menjelma.

Dalam busur gerak menurun, wujud bergerak menurun dari

Sumber Utama Wujud dan sampai ke dunia materi. Lalu, dalam busur

gerak menaik, gerakan wujud dimulai dari manusia dan terus berlanjut

dalam manusia sendiri. Akhirnya, gerakan itu kembali kepada Allah

Yang Maha Haqq.(1)

Yang paling prinsip dalam penciptaan adalah keunggulan Sang

Pencipta atas para makhluk. Kelebihan ini juga sangat penting dalam

hukum kausalitas. Hal ini karena hukum kausalitas dalam filsafat Peripatetik

adalah pilar utama bagi kemunculan dan sistem alam semesta.

Seperti telah kita ketahui bersama, aliran filsafat ini dalam konsep

epistimologi berdiri tegak di atas rasio dan pikiran. Aktifitas rasio dan

pikiran selalu berjalan berdasarkan tolok ukur kelebihan satu esensi

terhadap esensi yang lain dan berjalan di atas kaidah bahwa setiap

sesuatu adalah sesuatu itu sendiri, dan bukan yang lain. Oleh karena

itu, dalam persepsi seorang filosof, A senantiasa adalah A, bukan B.

Jika A berubah menjadi B, maka A itu bukanlah A. Dengan demikian,

A adalah A dan B adalah B. Tidak ada satu maujud pun yang menjadi

instanta untuk dua jawhar sekaligus.(2) Oleh karena itu, sebab adalah

sebab dan akibat adalah akibat. Wajib Al-Wujûd adalah hakikat, dan

akal pertama adalah hakikat lain. Begitu pula, akal pertama adalah sesuatu

dan akal kedua adalah sesuatu yang lain. Adapun dalam konsep

tajallî, sesuatu jelmaan (zhâhir) dan yang menjelma (mazhhar) tidak

terpisah satu dari yang lain. Sesuatu yang menjelma adalah yang menjadi

jelmaan itu sendiri.(3)

Shadrul Muta’allihin membedakan antara konsep tajallî dan

hukum kausalitas. Ia berkata, “Segala sesuatu yang memiliki nama

p:81


1- 118 Muqaddameh-e Ta’iyyeh-e Ibn Faridh, tujuan ke-1, pasal 2; prolog Syarh Fushûsh Al-Hikam, pembahasan Tanazzulât.
2- 119 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-7, pasal 11; Asy-Syifâ’, bagian At-Thabî‘iyyât, seni ke-6, makalah ke-5, pasal 6.
3- 120 Fushûsh Al-Hikam, Ibnu Arabi, pokok ke-7.

wujud tidak lain hanyalah sebuah sisi dan manifestasi (sya’n) bagi

Hakikat Yang Mahaesa. Selama ini, kami sering memaparkan bahwa di

alam semesta terdapat sebab dan akibat. Tetapi sekarang, berlandaskan

pandangan urafa kita harus menyatakan bahwa sebab adalah realita

yang hakiki, dan akibat hanyalah manifestasi dan sisi dari sisi-sisi

sebab tersebut. Atas dasar ini, inti hukum kausalitas adalah hakikat

sebab yang memiliki sisi-sisi beraneka ragam (dan pada setiap saat

bisa menjadi sebuah bentuk), bukan berarti ada sesuatu yang terwujud

secara terpisah darinya. Dengan kata lain, kausalitas dalam irfan berarti

satu sisi jelmaan dari sebab menjelma (tasya’u’un), bukan terwujudnya

sebuah akibat baru.”(1)

3.5 Hari Akhir (Ma‘ad)

Sehubungan dengan masalah Hari Kiamat dan akhir alam semesta,

pandangan agama dan irfan sangat jauh berbeda. Menurut ajaran

agama, manusia pada akhirnya akan meninggal dunia. Hasil seluruh

amal dan tindakan manusia akan tampak sejak detik-detik pertama

perpindahannya dari kehidupan duniawi ke kehidupan ukhrawi.

Kematian orang-orang salih dan suci sangat berbeda dengan kematian

orang-orang durhaka dan keji. Detik-detik kematian bagi orang-orang

salih adalah detik-detik perkenalan dengan anugerah dan inayah Ilahi,

kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebaliknya, detik-detik kematian bagi

orang-orang durhaka adalah saat-saat dimulainya kemurkaan dan siksa

ukhrawi.(2)

Perbedaan ini juga terlihat di alam Barzakh hingga Hari Kiamat

tiba. Pada saat itu, aturan dan sistem bumi dan langit hancur. Matahari

menjadi gelap-gulita, gunung-gunung luluh lantak, dan langit

berantakan. Hari Kiamat tiba dan seluruh umat manusia berkumpul di

padang Mahsyar. Seluruh manusia akan dimintai pertanggungjawaban.

Setiap orang akan menerima pahala atau siksa sesuai dengan amal baik

atau buruk yang pernah ia lakukan.

p:82


1- 121 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Shadrul Muta’llihîn, jld. 2, hlm. 300 dan seterusnya.
2- 122 QS. Al-Waqi‘ah [56]: 83-87 dan Al-Qiyamah [75]: 26-30.

Kelezatan dan kesengsaraan di alam akhirat tidak berbeda dengan

kelezatan dan kesengsaraan di alam dunia. Ada taman, air, istana,

bidadari, para pembantu, makanan, pakaian, ular, kalajengking, api,

dan lain sebagainya.(1)

Semua ini adalah ajaran yang telah diterima oleh seluruh orang

yang beragama. Seorang Muslim harus mengatur program hidupnya

melalui semua jenjang perjalanan substansi kepribadian, kemanusiaan,

dan pengetahuan setiap orang. Tetapi, dalam irfan, proses itu sangat

berbeda. Seluruh maujud datang dan pergi dalam perjalanan gerak

menurun dan gerak menaik. Tidak ada satu program kehidupan pun

yang diatur berdasarkan substansi, kehidupan, dan pengetahuan

seseorang.

Dalam pandangan urafa, “keberadaan diri” adalah sebuah kesalahan

dan kejahatan. Lebih buruk dari “keberadaan diri” adalah menyibukkan

diri dengan kelezatan-kelezatan materi dan kehidupan hewani.

Dari awal sejak tasawuf masih berupa tunas sampai berkembang

dan menyebar, urafa sudah melontarkan konsep ibadah karena

dorongan cinta sejati. Mereka mencerca setiap bentuk ibadah yang

didasari oleh ketamakan terhadap surga dan rasa takut kepada neraka.

Seorang arif menganggap keinginan untuk meraih bidadari dan

istana-istana surgawi sebagai akibat dari keinginan yang rendah dan

kekeliruan pemahaman. Ia hanya berusaha sekuat tenaga memfanakan

diri dan menjumpai Sang Pujaan, tidak lebih. Dalam pandangan seorang

arif, surga hakiki tidak lain adalah fana dari kemanusiaan, keterbebasan

dari ikatan-ikatan jiwa, dan sampai ke haribaan Sang Pujaan.

Tidak hanya manusia, bahkan seluruh alam semesta, layaknya

seorang manusia, pasti menempuh perjalanan gerak menurun dan

gerak menaik wujud. Alam semesta muncul dari sebuah titik permulaan

dalam sebuah busur gerak menurun dan, pada akhirnya, akan fana di

titik permulaan yang sama dalam sebuah busur gerak menaik.

p:83


1- 123 QS. Al-Rahman [55]: 37-76 dan Al-Waqi‘ah [56]: 1-56.

Seperti telah kami jelaskan di atas, apabila kita mengesampingkan

aneka ragam masalah yang berbeda sehubungan dengan tema ini,

terdapat sebuah perbedaan yang sangat fundamental antara dua

pandangan ini. Hari Akhir dalam persepsi agama terlaksana dalam

kekekalan pribadi dan substansi manusia, dan bahkan dengan bentuk

dan tata caranya yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, mereka

menegaskan ma‘ad jasmaniah, berbeda dengan irfan. Dalam persepsi

irfan, Hari Akhir terjadi berlandaskan konsep kefanaan esensi dan

substansi seluruh maujud, termasuk manusia. Konsep ma‘ad ruhaniah

para filosof masih lebih mirip dengan ma‘ad jasmaniah dibandingkan

dengan konsep fana, tauhid, dan Hari Akhir versi kaum sufi.(1)

Perbedaan lain konsep ma‘ad yang diyakini oleh agama dan para

filosof dengan ma‘ad urafa adalah konsep ma‘ad pertama dapat dipahami,

sekalipun pembuktiannya memerlukan argumentasi. Tetapi, ma‘ad

versi urafa termasuk masalah pelik sehingga akal, bukan hanya tidak

dapat membenarkan, bahkan juga tidak dapat menggambarkannya.

Menurut Ibnu Arabi, alam semesta sebagai jelmaan Dzat Yang Maha

Azali nan Abadi adalah makhluk yang tidak berawal dan juga tidak

berakhir.(2) Berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh agama,

alam semesta tidak akan pernah berakhir. Hubungan antara dunia dan

akhirat berlangsung laksana hubungan lahir dan batin. Ma‘ad bersifat

kontinyu dan untuk selamanya. Di dunia selalu ada makhluk dan di

saat yang sama di akhirat juga ada makhluk. Perpindahan ini selalu

terjadi.(3)

Ma‘ad semacam ini tidak dapat dibayangkan oleh seorang pemeluk

agama. Sesuatu yang tidak dapat dibayangkan pasti tidak dapat

dipahami dan juga tidak dapat dibenarkan.☐

P:84


1- 124 Lihat Silakan merujuk prolog Qaishari dalam Syarh Fushûsh Al-Hikam, pembahasan Al-Jam‘wa Al-Tauhid; ‘Erfon-e Nazdari, tujuan 3.
2- 125 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 1, hlm. 338.
3- 126 Ibid.

Bab 5

Point

Antropologi dalam Agama dan Irfan

Agama dan Irfan menaruh perhatian besar terhadap manusia.

Sekalipun persepsi dua ajaran ini dari sisi penghormatan terhadap

manusia sama, tetapi masalah yang dimiliki oleh keduanya sangat

berbeda. Kami akan membahas sebagian perbedaan tersebut:

1. Tujuan Penciptaan Manusia

Dalam pandangan Al-Qur’an, Allah menciptakan manusia supaya

menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Dia berfirman, “Dan (ingatlah)

ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku

ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata,

‘Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan

membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal

kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’

Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian

ketahui’” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).

Jelas sekali Allah ingin menegaskan bahwa Dia lebih tahu, dan

malaikat tidak perlu meragukan keputusan-Nya. Para ulama Islam dan

p:85

urafa sama-sama mengakui misi khilafah manusia. Tetapi, berbeda

pendapat sehubungan dengan hakikat dan makna khilafah.

Para ulama menafsirkan khilafah sebagai khilafah tata tinta

(tasyrî‘î). Artinya, manusia adalah wakil dan pengganti Allah dalam

menunjukkan jalan petunjuk kepada sesama manusia, berikut dalam

mengatur kehidupan dunia dan akhirat mereka. Dalam Al-Qur’an,

Allah pernah berfirman kepada Nabi Dawud as:

Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah

(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di

antara manusia dengan kebenaran” (QS. Shad [38]: 26).

Berdasarkan ayat ini, Nabi Dawud as adalah khalifah Allah di muka

bumi dengan mengemban tugas supaya ia memberikan keputusan di

tengah-tengah masyarakat dengan kebenaran.

Penafsiran umum yang tidak terpengaruh oleh ajaran dan konsep

irfan juga menafsirkan khilafah dengan arti di atas. Seperti buku tafsir

Majma‘ Al-Bayân. Buku ini menyebutkan, tujuan khilafah adalah

memberi keputusan di tengah masyarakat dengan kebenaran. Ketika

menjelaskan kata khilâfah, penulis berkata:

Khilâfah berarti kepemimpinan (imâmah). Perbedaannya,

kata khilâfah mengindikasikan bahwa seseorang juga menjadi

wakil orang lain. Imam adalah pemimpin dan pengatur urusan

masyarakat dan rakyat. Khalifah juga memiliki arti demikian.

Ia melaksanakan tugas sebagai wakil Allah atau wakil seorang

pemimpin yang lain.(1)

Dalam pandangan urafa, khilafah tidak terbatas hanya pada khilafah

sederhana dan umum yang dapat dipahami dari arti konvensional kata

tersebut. Khilafah tatatinta hanyalah manifestasi dari khilafah tatacipta

p:86


1- 127 Majma‘ Al-Bayân, tafsir surah Al-Baqarah, ayat 30 di atas.

(khilâfah takwîniyyah) yang dimiliki oleh manusia. Manusia di sini

bukan sembarang manusia biasa yang menjadi instanta kata insân.

Tetapi, yang dimaksud adalah insan kamil. Insan kamil dalam ajaran

urafa adalah khalifah tatacipta Allah. Tugasnya tidak terbatas hanya

memberikan perintah atau larangan, dan mengatur kehidupan dunia

dan akhirat masyarakat.

Insan kamil adalah wakil sifat ketuhanan Allah. Ia memiliki

seluruh sifat Ilahi, kecuali sifat wajib dzâtî. Meskipun khalifah hanyalah

seorang hamba Allah, tetapi ia adalah “tuhan” seluruh alam semesta.

Ia adalah manifestasi sempurna Allah, nama, dan seluruh sifat-Nya;

manifestasi nama yang mencakup seluruh nama dan sifat; yakni Allah.

Allah memiliki dan meliputi seluruh nama dan sifat. Insan kamil juga

memiliki dan meliputi seluruh kesempurnaan wujud serta manifestasi

seluruh nama dan sifat Dzat Yang Maha Haqq, kecuali sifat wajib dzâtî.

Insan adalah ruh alam semesta dan pemelihara khazanah alam

semesta. Eksistensi dan kontinuitas perjalanan alam semesta terletak

di tangannya. Jika ia tidak ada meski untuk sesaat, alam semesta pun

tidak akan ada, dan kehidupan akan berpindah ke alam akhirat.

Seseorang yang telah menjadi khalifah Allah berarti ia menjadi

“tuhan” untuk alam semesta, ibarat cabang dan sebatang pohon dengan

buah.

Ibnu Arabi berkata, “Jika Allah tidak menjelma pada seseorang

yang telah Dia angkat sebagai khalifah-Nya, dan apabila khalifah

ini tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan alam semesta

yang berada di bawah wilâyah-nya, khilafahnya tidak berarti sama

sekali.”(1) Qaishari, pensyarah dan mufasir irfan Islami yang handal,

memiliki sebuah pernyataan tentang khalifah. Ia menulis:

Khalifah harus memiliki seluruh sifat Ilahi, kecuali sifat wajib dzâtî,

dan meliputi seluruh asmâ’-Nya sehingga ia, melalui perantara

seluruh jelmaan asmâ’ Ilahi, dapat memberikan seluruh apa yang

p:87


1- 128 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-1; Naqsy Al-Fushûsh, pokok ke-1.

masyarakat minta dan menyampaikan setiap asmâ’ itu kepada

kesempurnaannya. Jika tidak demikian, ia tidak akan mampu

melaksanakan tugas khilafah itu.

Mengapa sifat wajib dzâtî dikecualikan? Karena sifat ini adalah

titik pembeda antara Dzat Wajibul Wujud dan khalifah. Khalifah

juga berbeda dari-Nya dengan sifat mungkinnya.

Khalifah meliputi seluruh hakikat Ilahi dan menjadi manifestasi

sebuah nama yang komprehensif; yakni Allah. Oleh karena itu,

substansi dan hakikatnya meliputi seluruh hakikat alam semesta

sehingga terdapat kesamaan dan keserupaan antara sesuatu yang

menjelma (zhâhir) dan yang menjadi terjelma (mazhhar). Dengan

demikian, hakikat khalifah adalah hakikat seluruh alam semesta.

Ia adalah pendidik dan pengatur seluruh maujud alam semesta

yang akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan yang

layak bagi diri mereka.

Atas dasar ini, khalifah adalah hamba Allah. Meskipun

demikian, ia juga adalah pengatur alam semesta dan seluruh isinya.

Dengan demikian, apabila seluruh hakikat alam semesta, baik yang

berasal dari alam jabarût, malakût, maupun mulk, menggapai

sebuah anugerah, mereka menerima anugerah dari khalifah.

Apabila mereka dapat meraih kesempurnaan, mereka meraihnya

melalui perantara khalifah. Di samping itu, kekhalifahannya

berhubungan dengan alam semesta. Apabila alam semesta tidak

ada, khilafah tidak akan berfungsi.”(1)

Jelas, lahiriah Al-Qur’an dan Sunah tidak mendukung posisi tata

cipta (takwîniyyah) semacam ini bagi manusia.

Dalam pandangan urafa, insan kamil adalah perantara anugerah

(faydh) Allah untuk seluruh alam semesta, baik dalam busur gerak

menurun maupun dalam busur gerak menaik yang sedang mereka

p:88


1- 129 Muqaddameh-e Ta’iyyeh-e Ibn Faridh, tujuan ke-3, pasal 3; ‘Erfon-e Nazdari, hlm. 531 dan seterusnya.

jalani. Urafa menempatkan hakikat Muhammadi sebagai pengganti

akal pertama yang diyakini oleh para filosof. Hakikat Muhammadi

mereka yakini sebagai makhluk pertama yang keluar dan diciptakan

di alam semesta. Di samping itu, hakikat Muhammadi adalah

sumber utama seluruh penghuni alam semesta. Kalau kita merujuk

kepada Al-Qur’an, kitab suci ini tidak pernah menyinggung masalah

tersebut sedikit pun. Jika kita merujuk kepada Sunah, kesahihan

jalur sanad hadis-hadis yang menjelaskan penciptaan makhluk

pertama dalam arti sebagai perantara anugerah Ilahi tidak dapat

dipertanggung jawabkan. Sebagian ulama malah menisbahkan

hadis-hadis tersebut kepada kaum Ghulat.(1)

Sangat disayangkan, para ulama hadis kita tidak memberikan

perhatian serius kepada hadis-hadis yang digunakan oleh urafa untuk

melahirkan dan memperkuat aliran tasawuf. Para ulama hadis tidak

pernah menelaah jalur-jalur sanad hadis tersebut secara detail dan

sempurna, padahal sebagian besar mereka menolak irfan.

2. Hakikat Manusia

Apakah susunan utama makhluk yang satu ini? Apakah substansi

manusia dan kemanusiaan?

Jawaban agama untuk pertanyaan ini sangat jelas. Allah

menciptakan manusia dari tanah dan lantas meniupkan ruh-Nya ke

dalam dirinya. Al-Qur’an sering kali memaparkan masalah ini. Dalam

sebuah ayat, Allah berfirman,

Dialah yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian

Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalam

(tubuh)nya (QS. Al-Sajdah [32]: 7-8).

p:89


1- 130 Al-Falsafah Al-Shûfiyyah fi Al-Islâm, hlm. 578.

Biar bagaimanapun, baik yang diciptakan dari segumpal tanah

maupun dari setetes air mani, setelah tubuh manusia terbentuk

dan terhiasi, ruh Ilahi ditiupkan ke dalamnya. Kemudian, manusia

memperoleh kelebihan atas makhluk-makhluk yang lain karena ia

memiliki pemahaman dan sarana-sarana mak-rifat. Manusia adalah

makhluk yang sadar terhadap dirinya dan mengetahui seluk-beluk

alam semesta, keburukan, dan keindahan kehidupan. Ia adalah

makhluk merdeka yang boleh menentukan pilihan berlandaskan

pengetahuannya. Berlandaskan pilihan yang benar (iman), ia melakukan

amal salih dan mencari ilmu untuk memperoleh keutamaan serta

menambah kemuliaan dirinya.

Manusia memiliki dua jenis kemuliaan: kemuliaan esensial (dzâtî)

dan kemuliaan akuisitif (iktisâbî). Kemuliaan esensial adalah Allah

memberi manusia keistimewaan sehingga dibanding makhluk yang lain,

ia memiliki kelebihan. Struktur yang manusia miliki terwujud dalam

bentuk sempurna. Kemuliaan semacam ini menunjukkan inayah khusus

Allah kepada manusia. Seluruh manusia memiliki semua anugerah

tersebut. Tidak seorang pun berhak membanggakan diri kepada orang

lain. Sebab, kemuliaan tidak diperoleh melalui ikhtiarnya. Setiap insan

pasti memiliki semua inayah, baik ia menghendaki maupun tidak.

Kemuliaan adalah derma Allah. Dalam Al-Qur’n, Dia menisbahkan

anugerah itu kepada diri-Nya.

Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka

Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (QS. Al-Mu’minun

[23]: 14).

Dalam sebuah ayat yang lain, Allah berfirman,

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami

angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki

dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan

p:90

yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan

(QS. Al-Isra’ [17]: 70).

Maksud kemuliaan akuisitif adalah kesempurnaan yang berhasil

diperoleh oleh manusia berdasarkan keimanan dan amal salih yang

ia kerjakan dengan ikhtiarnya sendiri. Hal ini didapat melalui upaya

keras, semangat, jujur, berani dan rela berkorban untuk kepentingan

orang lain, terlibat dalam panggilan-panggilan kebaikan, semua yang

ia lakukan mendekatkannya kepada Allah. Dengan kemuliaan ini, kita

dapat menyatakan bahwa seseorang lebih utama dibanding orang lain

secara nyata. Seluruh manusia, memiliki kemampuan untuk menggapai

kemuliaan. Tetapi, hanya sebagian yang berhasil sedangkan sebagian

yang lain tidak. Inilah maksud Al-Qur’an ketika berbicara tentang

manusia.

Dalam dunia irfan Islami, sehubungan dengan sisi normal dan

kondisi lahiriah manusia, seluruh urafa menerima semua permasalahan

di atas. Tetapi, menurut mereka, manusia juga memiliki sisi yang lain.

Sebagai manifestasi nama “Allah” yang komprehensif, ia adalah sebuah

kawn jâmi‘ dari alam yang kecil.

Oleh karena itu, manusia dapat menelusuri busur gerak menaik

yang harus dijalani oleh wujud. Dalam perjalanan kembali, seluruh

alam semesta karena tuntutan perjalanan cinta (sayr hubbi) menempuh

jarak dari titik nol hingga tidak terbatas. Peristiwa ini terjadi dalam

lingkup wujud manusia. Hal itu karena kemampuan seluruh makhluk

terbatas dengan batasan-batasan yang timbul dari tajallî sebuah nama

atau sifat khusus. Tetapi, karena wujud manusia meliputi segala sesuatu

dan bersifat komprehensif, ia tidak terkurung oleh batasan.

Perlu kita renungkan, ajaran dan isyarat irfani sangat agung.

Substansi seluruh hakikat adalah kelembutan anugerah Rabbani.

Dari satu sisi, seluruh esensi dan substansi maujud adalah cermin

manifestasi Allah, dan dari sisi lain, tirai wajah-Nya.

p:91

Hakikat manusia bukanlah jasmani dan susunan tubuh

materinya, sebagaimana diyakini oleh kaum materialis, serta bukan

juga ruh dan sisi rasionalnya (nâthiqah), seperti diyakini oleh para

penganut filsafat Peripatetik. Hakikat manusia adalah kelembutan

anugerah Ilahi. Sisi jasmani dan ruhani, seluruhnya hanya manifestasi

hakikat tersebut. Realita ini tidak dapat dicerna oleh ilmu hushûlî

yang hanya berlandaskan pada prinsip esensi. Untuk memahaminya,

diperlukan transendensi dan kesempurnaan wujud.

Wujud manusia sebagai alam yang kecil meliputi seluruh peringkat

wujud alam semesta. Ia dapat diangkat sebagai jembatan perjalanan

untuk meniti busur gerak menaik dalam perjalanan wujud; sebuah

perjalanan yang dapat mengantarkan tingkatan potensi (bi al-quwwah)

yang tidak terbatas kepada tingkatan tertinggi wujud, yakni aktualisasi

(bi al-fi‘l) yang juga tidak terbatas.

Guna lebih memperjelas hendaknya kita perhatikan keterangan

berikut:

1. Perjalanan menaik adalah ruang lingkup wujud manusia sebagai

kawn jâmi‘ dan alam semesta yang kecil. Seluruh maujud di dunia

materi berada dalam perjalanan menuju manusia. Berdasarkan

gerak cinta, benda padat bergerak menuju ke alam tumbuhtumbuhan,

tetumbuhan menuju ke alam hewani, dan hewan

menuju ke alam manusia. Dalam arti ini, alam materi berada

di bawah penguasaan manusia. Manusia boleh memanfaatkan

segala sesuatu yang ada di alam, namun juga ditekankan supaya

memeliharanya.

Wujud manusia, seperti pernah dinukil oleh Syaikh Isyrâq

dari para filosof India, adalah satu-satunya sumber kemunculan

seluruh jiwa dan ruh. Artinya, untuk pertama kali, seluruh

jiwa muncul dalam diri manusia, dan kemudian berpindah

kepada makhluk-makhluk yang lain melalui jalan reinkarnasi.(1)

Berlandaskan pandangan Mulla Shadra, perpindahan dari

p:92


1- 131 Hikmah Al-Isyrâq, dalam Majmû‘ah Mushannafât Syaikh Al-Isyrâq, jld. 2, hlm. 217.

materi kepada metafisik hanya mungkin terjadi dalam wujud

manusia. Maujud lain selain manusia, melalui perantara kawn

wa fasâd (generasi dan korupsi), hanya terjebak dalam gerak

berputar dan putaran material yang dialami oleh unsur. Guna

menyelamatkan diri dari putaran ini, mereka harus sampai

kepada manusia. Dengan demikian, hanya dalam wujud

manusialah jasmani akan berubah menjadi ruhani.

Manusia adalah tujuan seluruh gerakan maujud yang

lain itu. Sedangkan tujuan gerakan cinta manusia adalah

kemetafisikan yang sempurna, universalitas, kemutlakan yang

murni, dan bersifat seperti Allah.(1)

Dalam proses perubahan ini, sebuah batasan esensi akan

menjadi korban untuk esensi yang lain. Fana senantiasa

menjadi pelicin jalan bagi kekekalan. Fana dalam dunia irfan,

berbeda arti dari lahiriahnya dan tidak negatif. Sebaliknya,

fana memiliki arti positif. Fana berarti keteruraian sebuah

batasan dan keterbebasan dari sebuah esensi. Fana adalah

hakikat elastis (sayyâl) yang riil dan nyata; sebuah hakikat yang

dapat merealisasikan perjalanan kesempurnaan wujud dari

tingkatannya yang paling rendah hingga tingkatannya paling

tinggi. Tidak ubahnya seperti gerak Tawassuthiyyah apabila

dibandingkan dengan gerak Qath‘iyyah. Keteruraian sebuah

batasan dan keterbebasan dari sebuah esensi dan ikatan berarti

menggapai sebuah batasan yang lebih tinggi dan sampai kepada

kemutlakan dan universalitas yang relatif. Hal ini dikarenakan

perjalanan gerak menaik yang berlandaskan cinta bukanlah

gerak horizontal, bukan sebuah kawn dan fasâd, dan bukan

pula perubahan sebuah aksiden (‘aradh). Perjalanan ini adalah

sebuah perubahan yang terjadi dalam jawhar dan bersifat

vertikal; sebuah mikraj dan gerak kesempurnaan. Seperti

pernah diungkapkan oleh Maulawi:

p:93


1- 132 Al-Asfâr Ar-Arba‘ah, jld. 9, hlm. 194-197.

Meskipun menggapai cinta Ilahi adalah kekal nan abadi,

tetapi mulanya diselimuti oleh kefanaan dan kefanaan.

Maulana Rumi

Fana adalah kembali kepada jati diri yang asli, tempat tinggal

yang abadi, taman surgawi yang rindang, hakikat, dan kepada

wujud. Fana adalah memisahkan diri dari segala sesuatu yang

bersifat asing, keterasingan, khayalan, dan simbol diri. Guna

menggapai maqam fana, tidak ada jalan lain kecuali jalan tersebut

di atas, dan sesuatu yang lain pun tidak diperlukan. Syabestarî

mengungkapkan jalan tersebut dalam bait syair berikut ini:

Pisahkanlah wujud sejati dari simbol khayalan;

kenalkanlah dirimu kepada wujud asing.(1)

2. Keteruraian batasan dan ikatan berlangsung secara kontinyu dalam

busur gerak menaik terjadi melalui dua cara:

a. Anugerah yang muncul dari kecintaan.

b. Usaha yang timbul dari suluk.

Tidak diragukan lagi, bagian terbesar gerak menuju

kesempurnaan tidak bersumber pada kehendak dan pilihan kita.

Gerakan seluruh unsur, pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, dan

perkembangbiakan binatang, semua ini terjadi berdasarkan sebuah

sistem alam semesta yang dikenal dengan nama “hidayah tatacipta”

(hidâyah takwîniyyah). Seluruh makhluk muncul dan berkembang

berdasarkan sistem dan hidayah tersebut di luar kehendak dan

campur tangan mereka. Manusia juga seperti mereka terlahirkan

dan berkembang berdasarkan sistem yang sama. Tetapi, hanya

sebagian kesempurnaan manusia terlaksana berdasarkan usaha

dan di bawah prinsip “hidayah tata tinta” (hidâyah tasy-rî‘iyyah).

p:94


1- 133 Gulsyan-e Roz, Shabestari.

Dengan kata lain, hanya manusialah yang dapat memperoleh

sebagian kesempurnaan berdasarkan pengetahuan, pilihan,

kehendak, dan upayanya sendiri. Manusia adalah satu-satunya

maujud yang memikul beban pengetahuan, kehendak, dan taklif.

Oleh karena itu, di antara sekian makhluk yang ada di alam semesta,

manusia adalah makhluk yang mengetahui, memiliki taklif, dan

tanggung jawab. Ia harus menentukan, memilih, dan berusaha.

Inilah amanat yang telah dibebankan ke atas pundaknya.

Sebagian orang memperoleh tingkatan kesempurnaan karena

anugerah dan inayah khusus. Dalam terminologi irfan, mereka

dikenal dengan nama mahbûb dan majdzûb. Mereka meniti seluruh

tingkatan kesempurnaan tanpa ada unsur kehendak dan usaha

mereka. Dalam rangka perjalanan menaik, pengetahuan, pilihan,

dan usaha mereka tidak penting. Akan tetapi, tidak semua orang

demikian. Sebagian orang hanya berhasil meniti tangga-tangga

kesempurnaan dengan bantuan inayah dan anugerah sampai

pada sebuah tingkatan tertentu. Untuk menggapai tingkatan

kesempurnaan berikutnya yang lebih tinggi lagi, mereka harus

berusaha sendiri sekuat tenaga. Dalam terminologi irfan, golongan

ini dikenal dengan nama muhib dan salik.

Karena keluasan wujudnya, manusia unggul atas seluruh alam

semesta, bahkan di atas para malaikat. Hanya manusia yang dapat

memikul dan meng-gelorakan cinta, para malaikat tidak bisa

melalukankannya karena tidak memiliki rasa.

Malaikat tidak mengenal rahasia cinta,

jangan kisahkan kepadanya;

ambillah sebuah piala dan air bunga,

siramkanlah di depan kaki manusia.

Hafizd

p:95

3. Taklif Manusia

Point

Apakah hal-hal yang harus dikerjakan oleh manusia? Dan apakah

hal-hal yang tidak boleh ia lakukan? Untuk apakah semua itu?

Dalam dunia materi yang dapat kita raba, manusia adalah satusatunya

makhluk yang dapat diperintah dan dilarang. Ia dapat

menjadikan nilai-nilai nonmateri sebagai tolok ukur amalnya. Dalam

pandangan agama, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat

menjadi orang yang taat atau bermaksiat.

Dalam pandangan agama dan irfan, manusia harus memiliki syariat

praktis yang dilengkapi dengan aturan-aturan. Tidak seorang arif pun

memperbolehkan seseorang menentang ajaran agama. Sebaliknya,

urafa malah menekankan supaya syariat agama diperhatikan secara

penuh. Qaishari menulis:

Para pencari jalan kebenaran dalam urusan ibadah, mereka

harus mengikuti para ulama dan menerima ilmu-ilmu lahiriah

syariat. Hal ini karena ilmu-ilmu lahiriah syariat tidak lain

adalah gambar lahiriah hakikat.(1)

3.1. Tujuan Taklif dan Mengamalkan Taklif

Menurut agama Islam, tujuan taklif sebagai penjamin kebahagiaan

seluruh umat manusia. Para nabi diutus untuk memberi kabar

gembira dan peringatan (bisyarah wa indzar). Setiap manusia berada

dalam kerugian dan kebinasaan, kecuali ia dapat menyelamatkan

dirinya sendiri dengan perantara iman dan amal salih.(2)

Sehubungan dengan falsafah pengutusan nabi, Al-Qur’an

berfirman,

p:96


1- 134 Muqaddameh-e Ta’iyyeh-e Ibn Faridh, tujuan ke-3, pasal 1.
2- 135 QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3.

Dan tidaklah Kami mengutus para rasul melainkan untuk memberi

kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa beriman dan

mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap

mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang

yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa

disebabkan mereka selalu berbuat fasik (QS. Al-An‘am [6]: 48-49).

Taklif adalah sebuah ujian bagi para hamba sehingga orangorang

yang taat terpisahkan dari orang-orang yang membangkang.

Barangsiapa mengamalkan taklifnya, ia telah taat dan dekat kepada

Allah. Terminologi dekat kepada Allah (taqarrub) berarti memperoleh

keridhaan dan inayah-Nya. Seorang Muslim melaksanakan seluruh

taklifnya guna memperoleh taqarrub. Hasil taqarrub adalah keridhaan

Ilahi dan kenikmatan surga.

Dalam kamus irfan Islami, tujuan taklif dan syariat adalah mendidik

jawhar manusia dengan cara mewujudkan perubahan substansinya.

Dengan perubahan ini, ia dapat berubah dari jenis binatang menjadi

manusia, dari manusia menjadi malaikat, dan dari malaikat berpindah

kepada tingkatan yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ia memperoleh

maqam fana, jam‘, dan tauhid, serta menggapai makrifat hakikat.

Ungkapan liya‘budûni dalam surah Al-Dzariyat (ayat 56)

menurut pandangan urafa lebih sesuai dengan arti liya‘rifûn (supaya

mengenal-Ku) berdasarkan interpretasi Ibnu Abbas. Tujuan para abid

dan zahid adalah menggapai kenikmatan surgawi dan menghindari

siksa api neraka melalui perantara taqarrub kepada Allah yang

merupakan hasil ibadah dan zuhud mereka. Sedangkan, seorang arif

hanya mengharapkan perjumpaan dengan Sang Kekasih. Tidak mungkin

terjadi perjumpaan tanpa kedekatan dan ketaatan kepada Allah Swt

Dengan kata lain, dalam pandangan agama, setiap orang, baik Hasan

maupun Fathimah, setelah mencapai usia taklif, baik ia beramal salih

maupun menjadi pendosa. Ia akan menerima pahala di surga dan

p:97

menikmati kehidupan yang penuh kebahagiaan. Ia memiliki posisi

dekat kepada Allah dan memperoleh inayah dari-Nya.

Tetapi, dalam pandangan irfan, apabila Hasan dan Fathimah

tersebut memperoleh taufik dan beramal, maka suluk dan usaha keras

(mujâhadah) ini menyebabkan ia terlahir untuk yang kedua kali dan

memasuki tingkatan baru yang memiliki nilai hakikat sejati. Ia telah

terbebaskan dari alam keberbilangan dan ketercerai-beraian, serta

berhasil memasuki alam jam‘ dan tauhid. Ia telah berhasil melewati

seluruh jenis ilmu yang hanya bersifat gambar, penuh kekurangan,

dan berbaur khayalan, serta menggapai makrifat hakiki dan hakikat

wujud.

Taklif dalam pandangan agama bertujuan memberikan

perlindungan kepada manusia supaya ia bahagia ukhrawi dan

memperoleh surga yang abadi. Sedangkan, amal dan usaha keras dalam

pandangan irfan bertujuan supaya seorang arif menyeberangi batas

esensi manusiawi, menyatu dan fana dalam substansi Ilahi.

Dengan kata lain, seluruh taklif dan program agama dicanangkan

untuk menggapai serentetan tujuan, meskipun esensi pribadi

seseorang tidak mengalami perubahan. Agama bahkan menekankan

soal keberlanjutan kriteria kehidupan materi dan duniawi ini. Sikap

para agamawan yang meyakini ma‘ad jasmaniah (kebangkitan

jasmani); dalam arti manusia dengan kriteria duniawinya akan hadir

di alam akhirat. Tetapi, seluruh usaha urafa terkuras guna menggapai

perubahan kepribadian duniawi manusia, yang pada akhirnya,

mengakibatkan fana dan kesirnaannya.

Orang yang berjalan di atas jalan irfan telah menginjakkan kaki

di atas jalan fana sejak awal. Pada permulaan syair dan suluk, ia sudah

harus menyerahkan seluruh keinginan kepada terpaan kefanaan. Urafa

berkata, “Memiliki sebuah tujuan selain Allah adalah syirik. Seorang

arif tidak akan menurunkan Allah kepada tingkatan perantara.”(1) Jika

ia menjadikan keridhaan dan taqarrub kepada Allah sebagai perantara

p:98


1- 136 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-9.

untuk menggapai kenikmatan surgawi dan membebaskan diri dari

siksa api neraka, seperti halnya kaum abid dan zahid, ia tidak hanya

terjerembab ke dalam jurang syirik bahkan telah menurunkan martabat

keagungan Allah. Hal ini karena Allah telah dijadikan sebagai

perantara untuk menggapai tujuan-tujuan pribadi. Mulla Husain Al-

Kasyifi (w. 910 H) berkata:

Pada hakikatnya, ikhlas mengamalkan sebuah amalan yang tidak

tercampuri tujuan duniawi maupun ukhrawi. Dan riya’ adalah

amal Anda bergantung kepada sebuah tujuan, baik tujuan duniawi

maupun ukhrawi. Ini adalah sebuah syirik yang tersembunyi.

(1)

Menurut keyakinan Shadrul Muta’allihin, seorang filosof kenamaan

(w. 1050 H), menjadikan kelezatan ukhrawi sebagai sebuah tujuan

adalah perbuatan tercela. Berikut pernyataannya:

Tidak sedikit orang berilmu yang melupakan kondisi jiwa, tingkatan,

dan maqam-maqamnya pada Hari Kiamat. Walaupun mereka

mengikrarkan dan mengimani ma‘ad dengan lisan, mereka tidak

mengetahui konsep ma‘ad sebagaimana mestinya. Mereka hanya

mengejar kenikmatan jasmani dan dorongan syahwat. Mereka

meniti jalan yang menghantarkan kepada hawa nafsu dan panjang

angan-angan. Mereka menghabiskan usia sampai tua hanya

untuk mengejar impian hawa nafsu (ammârah). Dengan bahasa

hal, mereka berkata kepada diri mereka sendiri:

Hatiku menginginkan kebebasan di dua dunia;

aku menjadi tua dalam menghamba kepada nafsu.

Begitu pula, sebagian besar orang alim yang tidak berilmu dan

abid yang tidak bermakna menggambarkan akhirat persis seperti

p:99


1- 137 Lobb-e Lobäb-e Masnavi, Husain Al-Kâsyifi, hlm. 338.

dunia. Karena keinginan untuk menggapai ‘di dalam surga itu terdapat

segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata,’ (QS.

Al-Zukhruf [43]: 71). mereka melaksanakan amalan badaniah dan

ibadah yang tidak bermakna. Pada hakikatnya, karena lalai terhadap

Allah, mereka sedang menyembah hawa nafsu, mengabaikan makrifat

tentang sumber alam semesta dan ma‘ad. Sebagai gantinya, mereka

mengejar hal-hal yang bersifat materi, baik di dunia maupun di akhirat

kelak.(1)

Sungguh bertentangan dengan tarekat

apabila para wali mengharap dari Allah selain Allah.

Jika engkau hanya melihat kebaikan sang Kekasih,

engkau masih menyembah dirimu, bukan Kekasihmu.

Sa’di

Meskipun masalah ini sangat banyak, kami cukupkan pembahasan

ini hingga di sini.

3.2. Sumber Taklif

Dalam pandangan agama dan irfan, sumber taklif dalam syariat adalah

wahyu samawi. Kedua ajaran ini menerima bahwa manusia dengan akal

dan pikirannya tidak dapat menentukan aturan-aturan secara rinci dan

tidak pula dapat memahami nilai taklif.

Sementara dalam pandangan urafa, ada satu hal lain yang dapat

menjadi sumber hukum dan nilai selain wahyu samawi. Sumber ini

adalah batin para syaikh dan insan-insan kamil. Menurut urafa, ajaran

mustahsanât (yang dianggap baik oleh para syaikh juga termasuk taklif

dan harus dilaksanakan. Sementara, dalam pandangan para ulama

agama, penentuan dan pelaksanaan hukum yang tidak termaktub

dalam syariat Islam dan Sunah Rasulullah Saw adalah bid’ah (yang

harus dihindari).

p:100


1- 138 Resoleh-e Seh Ashl, hlm. 48.

Sejak awal kemunculan tasawuf, para syaikh sufi telah meletakkan

setiap kesimpulan (istinbâth) dan ajaran mereka sebagai taklif yang

harus dilaksanakan oleh para pengikut tasawuf. Mengenakan pakaian

lusuh, tempat ibadah khusus, melakukan tarian sufi, berkhalwat, zikir

dalam jumlah tertentu, dan puluhan aturan serta amalan lain yang tidak

pernah termaktub dalam Sunah Nabawi dilaksanakan secara serius dan

dalam batas seperti hukum-hukum syariat yang wajib dilakukan.

Para fuqaha dan ulama sering melontarkan kritikan kepada para

pengikut ajaran tasawuf karena tindakan mereka yang berbau “bid’ah”.

Demi membela diri dan menjawab setiap kritikan yang masuk, kaum

sufi berusaha mencari sumber lain untuk hukum dan taklif yang mereka

cetuskan. Mereka menyebut sumber ini dengan nama “ilmu Ilahi dan

ladunni” atau “ilmu isyarat”. Sehubungan dengan masalah ini, Sarraj

Thusi, salah seorang pencetus ide pembukuan ajaran dan makrifat

tasawuf pada abad IV H, berkata:

Mustanbathât adalah hasil kesimpulan seorang syaikh dari lahiriah

dan batiniah Al-Qur’an, serta dari ucapan dan perilaku Rasulullah

Saw, berikut pengamalan mereka terhadap semua itu, baik lahir

maupun batin. Mereka mengamalkan setiap ilmu yang telah mereka

pelajari, niscaya Tuhan semesta alam akan menganugerahkan

kepada mereka ilmu terhadap sesuatu yang belum pernah mereka

pelajari. Ilmu ini dikenal dengan nama ‘ilmu isyarat’. Ilmu isyarat

dapat tercapai ketika Allah menyingkap tirai dari kalbu seorang

hamba pilihan-Nya. Dengan perantara ilmu isyarat ini, mereka

dapat mengetahui makna tersembunyi, rahasia tersimpan, dan

hikmah-hikmah menakjubkan yang terdapat dalam makna-makna

Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw.(1)

‘Izzuddin Mahmud Kasyani (w. 735 H) hidup sekitar tiga setengah

abad setelah Sarraj. Ia mengakui ajaran-ajaran tersebut di atas adalah

p:101


1- 139 Al-Luma‘, hlm. 147.

hasil ittihâd kaum sufi. Ia berkata, “Kaum sufi demi kemaslahatan para

pengikut ajaran tasawuf mencetuskan semua amalan berdasarkan

ijtihad mereka sendiri, tanpa ada dalil yang jelas dan argumentasi yang

gamblang dari Sunah sebagai bukti.”(1) Karena tidak terdapat dalam

Sunah, amalan itu harus terhitung sebagai bid’ah. Kasyani mengakui

bahwa amalan itu adalah bid’ah, tetapi bid’ah yang terpuji, bukan

bid’ah yang tercela. Ia berkata, “Bid’ah yang tercela adalah bid’ah

yang mengganggu Sunah. Bid’ah yang tidak mengganggu Sunah dan

mengandung maslahat, bid’ah ini bukan hanya tidak tercela, bahkan

terpuji.”(2)

Kaum sufi menunjukkan bukti-bukti dari Sunah Nabawi untuk

amalan-amalan yang dikhususkan untuk diri mereka. Anda dapat

merujuknya dalam buku-buku referensi tasawuf.(3)

3.3. Tolok Ukur Taklif

Dalam pandangan agama Islam, taklif memiliki tolok ukur kemampuan

alamiah manusia; sebuah kemampuan yang tidak mendatangkan

kesulitan (masyaqqah). Al-Qur’an menegaskan:

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kemampuannya (QS. Al-Baqarah [2]: 286).

Sebuah taklif tidak boleh terlalu berat sehingga sulit dilaksanakan.

Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya menjelaskan tata cara wudhu dan

hukum mandi wajib, lalu menambahkan bahwa apabila air tidak ada,

maka yang harus dilakukan adalah tayamum. Pada kelanjutan ayat

tersebut, Allah berfirman:

Allah tidak hendak membuat sebuah kesulitan sedikit pun bagi

kalian (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

p:102


1- 140 Mishbâh Al-Hidâyah wa Mifâh Al-Kifâyah, bab 5, pasal 1.
2- 141 Ibid.
3- 142 Manâqib Al-Shûfiyyah; ‘Awârif Al-Ma‘ârif, bab 25 tentang tarian sufu (simâ‘).

Menurut persepsi para ulama agama Islam, setiap bentuk

penyulitan terhadap diri sendiri adalah bid’ah. Setiap Muslim hanya

berkewajiban mengerjakan 17 rakaat salat dalam sehari semalam. Jika

berwudhu dapat mendatangkan bahaya baginya, ia harus bertayamum.

Jika ia tidak sanggup mengerjakan salat dalam kondisi berdiri, ia

boleh mengerjakannya dalam posisi duduk. Dalam setahun, puasa

hanya diwajibkan selama satu bulan, dan itu pun bukan untuk orang

sakit, orangtua, dan para musafir. Zakat hanya diwajibkan bagi orang

yang memiliki modal berukuran satu nishab. Dalam seumur hidup,

haji hanya diwajibkan sekali bagi yang mampu dari sisi harta dan

fisik. Islam memperbolehkan siapa saja menggunakan hartanya yang

halal untuk memakan makanan yang enak, membangun rumah, dan

menikmatinya. Syariat yang serba mudah dan taklif yang sangat terbatas

ini tidak akan mendatangkan kesulitan bagi manusia. Seperti telah kita

ketahui bersama, agama Islam tidak ingin menyulitkan manusia. Jika

seorang hamba telah menunjukkan ketaatannya dan berada di atas

jalan taqarrub, sekadar ini sudah cukup.

Berbeda dengan urafa. Mereka melandasi seluruh perilaku dengan

mujahadah dan riyadhah. Mereka tidak memiliki jalan lain kecuali

harus mempersulit diri dengan dua jalan:

Pertama, melakukan pekerjaan dan amalan sunah. Sebagaimana

telah kami paparkan di atas, pekerjaan-pekerjaan wajib sangat terbatas.

Sementara, amalan sunah tidak ada batasnya. Kita boleh mengerjakan

ratusan rakaat salat sunah dalam sehari semalam. Dalam setahun, kita

boleh berpuasa sunah selama berbulan-bulan. Kita boleh berzikir dan

membaca Al-Qur’an selama berjam-jam. Kita tidak boleh menumpuk

harta benda dan hanya mencukupkan diri dengan sandang dan pangan

dalam batas minimal. Kita boleh melaksanakan ibadah haji sunah,

bersedekah, menyembelih binatang kurban, mengabdi kepada sesama,

dan ribuan kegiatan lain yang bermanfaat;

Kedua, melakukan ijtihad, adab, dan amalan-amalan khusus

para pengikut ajaran sufi, seperti membaca zikir dan wirid khusus,

p:103

mengerjakan puasa dan salat sunah khusus untuk mengikuti ajaran

tasawuf, mengenakan pakaian lusuh berdasarkan instruksi seorang

syaikh, berkhalwat dan membujang, melakukan pepergian tanpa bekal,

dan mengurangi makan dan minum.

Kaum sufi menetapkan disiplin yang sangat berat untuk para

pengikut ajaran tasawuf. Kadang-kadang karena berat tidak semua

orang dapat menjalankannya. Sebagai contoh, Syibli pernah meletakkan

tujuh man(1) garam di matanya supaya tidak tidur selama periode

mujahadahnya. Atau Abu Sa‘id Abul Khair pernah menggantung diri di

sebuah tiang pohon dengan posisi kepala di bawah dan mengkhatamkan

Al-Qur’an sebanyak delapan puluh kali.(2)

Kita perhatikan bersama, tolok ukur taklif dalam pandangan agama

dan irfan sangat jauh berbeda. Menurut agama, melaksanakan taklif

yang terbatas tersebut sudah cukup mengantarkan manusia kepada

kebahagiaan ukhrawi. Tetapi, dalam dunia irfan, untuk membunuh

hawa nafsu, menyeberangi batas insaniah, dan sampai ke maqam fana,

diperlukan latihan berat yang menguras tenaga.

3.4. Penopang dan Penggerak Amal

Dalam agama Islam, tenaga utama penggerak sebuah amal seorang

Muslim adalah iman. Iman mendorongnya melakukan taklif, karena

manusia makhluk yang berpengetahuan dan memiliki ikhtiar. Iman

dan pengetahuan memiliki peran fundamental dalam seluruh aktifitas

manusia.

Tetapi, dalam persepsi urafa, ada faktor lain yang sangat berperan

seperti inayah Ilahi dan rahasia takdir. Di samping mengakui nilai

tarekat, mereka juga meyakini inayah khusus Ilahi adalah sesuatu

yang sangat wajib. Di alam azali, keberhasilan seorang salik sudah

ditentukan. Syabestarî sehubungan dengan masalah ini berkata,

p:104


1- 143 Man adalah satuan timbangan kuno di Iran. 1 man adalah sama dengan ± 3 kg—penerj.
2- 144 Tadzkirah Al-Awliyâ’, jld. 2, hlm. 164 329.

Kamu tidak ada ketika mereka menciptakan pekerjaanmu,

mereka telah memilihmu untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

Sebelum jiwa dan tubuh diciptakan,

setiap pekerjaan tertentu telah ditentukan untuk setiap orang.

Maulawi memaparkan sebuah kisah tentang seorang budak yang

sedang mengerjakan salat di dalam masjid dan membiarkan tuannya

menunggu di luar masjid. Dalam kisah ini, Maulawi ingin menyampaikan

sebuah pelajaran. Semua itu terjadi karena takdir yang azali. Ketika

sang tuan bertanya kepada sang budak dengan kasar: “Siapakah yang

telah menyibukkanmu dan tidak mengizinkanmu keluar?” Budak

menjawab:

Dzat yang telah mengikat kakimu di luar itu

juga telah mengikat kakiku di dalam.

Dzat yang tidak mengizinkamu masuk ke dalam itu

juga tidak mengizinkanku keluar.

Dzat yang tidak mengizinkanmu melangkah di sini

juga telah menutup jalan ke arah sini.

Laut tidak mengizinkan ikan keluar,

juga tidak mengizinkan manusia masuk ke dalam.

Ikan memang harus berada di air dan hewan di tanah,

di sini usaha dan tipu daya tidak berguna.

Maulawi Rumi

Berkenaan dengan pembahasan tentang kebebasan dan ikhtiar

seseorang yang sudah mukallaf, kami akan memaparkannya lebih

rinci pada pembahasan akhlak dan tindakan manusia.

p:105

3.5 Buah Melaksanakan Taklif

Menurut persepsi agama, buah melaksanakan taklif adalah pahala

ukhrawi dan kebahagiaan abadi di surga. Masalah ini sudah diketahui

oleh semua orang secara gamblang. Melaksanakan kewajiban agama

menempatkan seorang manusia ke dalam barisan para hamba yang

taat dan tidak memiliki kekhawatiran atau rasa takut pada Hari Kiamat

kelak. Bagaimanapun, ia tetap seorang manusia yang mukallaf dan

hamba Allah. Jika ia bermaksiat dan melakukan pembangkangan

terhadap Allah, ia akan disiksa dalam neraka.

Dengan kata lain, menurut ajaran agama, buah dari amal akan

dilihat oleh manusia yang mukallaf itu sendiri. Artinya, apabila

ia mencapai kenikmatan surgawi atau merasakan siksa neraka, ia

sendirilah yang merasakan nikmat atau sakit. Identitas manusia tidak

akan berubah dan lestari.

Tetapi, menurut ajaran irfan, apabila manusia melaksanakan taklif,

jati dirinya mengalami perubahan. Dengan ungkapan lain, buah amal

dalam perubahan jati diri manusia tampak dalam kondisi batiniahnya.

4. Akhir Kehidupan Manusia (Ma‘ad)

Point

Seperti telah kami paparkan dalam pembahasan ontologi,145

pandangan agama dan irfan tentang ma‘ad sangat berbeda. Kami

akan menelaahnya dalam dua pembahasan berikut ini:

4.1 Perpindahan atau Kelahiran Dua Kali

Seperti telah kita ketahui bersama, menurut persepsi agama, ujung

kehidupan manusia di dunia adalah kematian. Kematian sebuah realita

yang riil dan serius. Kematian berarti kehilangan kehidupan. Kematian

adalah akhir kehidupan duniawi. Setelah itu, dengan kekuasaan Ilahi,

ia akan hidup kembali. Setelah melalui beberapa tahapan di alam kubur

dan barzakh, ia akan hidup untuk selamanya di Hari Kiamat. Setelah

145 Pasal ketiga buku ini.

p:106

melalui sebuah perhitungan yang ketat, ia akan memulai sebuah

kehidupan yang selalu diiringi oleh kebahagiaan atau kesengsaraan.

Kehidupan ini tidak akan pernah berakhir. Masalah ini termasuk salah

satu konsep ajaran agama yang bersifat aksioma. Kami tidak akan

memaparkannya lebih detail dan terperinci lagi.

Dalam persepsi irfan, manusia senantiasa berada dalam proses

perubahan, berpindah dari satu dunia ke dunia lain. Meskipun agama

memandang kematian sebagai akhir sebuah kehidupan. Tetapi, dalam

pandangan irfan, kematian bukanlah akhir perjalanan dan perubahan

manusia.

Syaikh Waliyullah Dihlawi berkata, “Fana akan digapai oleh

manusia setelah lima ratus tahun berlalu dari kematiannya.”146 Syaikh

Mahmud Syabestari berkata:

Karena kesementaraan di dunia berlalu,

di akhirat semua kekekalan bertemu.

Kekekalan adalah akibat logis sebuah fana, kefanaan seluruh

makhluk terdapat di alam akhirat. Lâhîjî berkata, “Ketahuilah,

apabila tajallî dan manifestasi wajah Dzat Yang Mahakekal terwujud

dalam penjelmaan yang nonestatik (ghayr mutawâqifah), fana yang

merupakan sifat esensial sebuah penjelmaan akan menjelma. Jika

tajallî terwujud dalam penjelmaan yang estatik, kekekalan sebagai sifat

wujud akan muncul dalam penjelmaan tersebut.”147 Dalam prolog buku

Syarh Naqsy Al-Fushûsh, Jami berkata:

Dalam kondisi masih hidup, hak tauhid tidak dapat dipenuhi

sebagaimana semestinya. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Ustadz

Abu Ali Daqqâq ra.‘Tauhid ibarat pemilik utang yang utangnya

belum dibayar dan orang asing yang haknya tidak

146 Hama‘ât, dinukil oleh M.H. Husaini Tehrani dalam Mehr-e Tobon, hlm. 122.

147 Mafâtih Al-A‘jâz fi Syarh Golshan-e Roz, hlm. 514.

p:107

dipenuhi.’148 Sebenarnya, kita memiliki dua jenis fana: pertama,

fana sebelum kematian. Fana ini adalah fana kesirnaan, seperti

cahaya bintang-gumintang sirna ditelan matahari. Dalam fana ini,

jati diri masih ada, meskipun hukumnya tercabut. Realita juga disebut

dengan nama ‘kekekalan setelah kefanaan’ dan ‘keterceraiberaian

setelah kebersatuan’; Kedua, fana setelah kematian. Fana ini laksana

kefanaan ombak dalam lautan. Dalam fana ini, jati diri

akan sirna dan bekasnya pun ikut tercabut, tanpa ada lagi

kisah ‘kekekalan setelah kefanaan’ dan ‘ketercerai-beraian setelah

kebersatuan’.”149

Biar bagaimanapun, fana ini bersifat permanen dan menjadi

penentu arah, karena semua yang permanen bersifat azali, abadi,

dan tidak terciptakan, maka seluruh penjelmaan yang berada dalam

perjalanan mereka akan memperoleh kekekalan. Mungkin inilah rumah

terakhir bagi perjalanan makhluk. Syaikh Asytiyani dalam prolog buku

Naqd An-Nushûsh berkata:

Menurut persepsi para filosof pengikut Filsafat Illuminatif (isyrâq),

robb al-naw‘ yang dimiliki oleh setiap makhluk materi yang ada

di dunia lahiriah, alam materi, dan benda ini adalah asal-usul,

pendidik, dan panutan seluruh makhluk materi. Menurut keyakinan

mereka, setelah makhluk berada materi berhasil menggapai

kesempurnaan, mereka akan bergabung kembali dengan asal-usul

mereka; yakni rabb an-nau‘. Sangat besar kemungkinan orangorang

yang sempurna dari kalangan para wali Allah akan melintasi

maqam akal-akal aksiden (‘aradhiyyah) setelah berhasil bergabung

dengan rabb an-nau‘, dan menempati posisi akal pertama. Begitu

pula, menurut keyakinan sebagian filosof pengikut aliran filsafat

Peripatetik Islam, Rasulullah Saw dan sebagian ‘Itrah beliau bahkan

berhasil menggapai tahapan-tahapan yang ada antara Dzat Yang

148 Naqd An-Nushûsh fi Syarh Naqsy Al-Fushûsh, hlm. 79.

149 Ibid., hlm. 53.

p:108

Maha Haqq dan akal kesepuluh; sehingga mereka berada sejajar

dengan akal pertama dan menyambung dengan Dzat Yang Maha

Haqq. Sangat besar kemungkinan, sebagian jiwa dalam persepsi

irfan bersifat permanen dan terjelma dalam maqam keesaan.

Setelah itu, jati diri mereka ditarik untuk kembali kepada asalmula

mereka; yakni nama Allah yang memiliki dzat pengatur

seluruh wujud. Pada akhirnya, sesuai kaidah yang menyatakan

bahwa titik penghujung akan kembali kepada titik permulaan,

mereka akan menyambung kembali dengan asal-usul mereka dan

pengatur seluruh jati diri.150

Dengan demikian, pandangan agama dan irfan tentang akhir

manusia memiliki perbedaan fundamental. Apakah kematian adalah

akhir kehidupan manusia atau bukan? Apakah kematian hanyalah

sebuah perpindahan? Apakah kematian adalah perubahan yang

membuahkan kesempurnaan dan kelahiran yang kedua kali?

4.2. Dunia dan Akhirat, atau Lahir dan Batin

Perbedaan fundamental lain tentang akhir kehidupan manusia di

dunia ini berhubungan dengan masalah dunia dan akhirat atau lahir

dan batin.

Menurut persepsi agama, kematian hanyalah perpindahan dari

dunia ini ke dunia sana; dari dunia fana yang dipenuhi oleh kelelahan

dan kesengsaraan menuju alam abadi yang dipenuhi oleh ketenangan

dan kebahagiaan. Tetapi yang jelas, hal ini untuk mereka yang berbuat

baik.

Dalam proses perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, jati diri

setiap orang masih terjaga. Tubuh dan sifat karakteristik jasmaniahnya

pun tidak mengalami perubahan. Jenis kenikmatan dan kesengsaraan

adalah jenis kenikmatan dan kesengsaraan duniawi yang sudah pernah

ia rasakan sebelumnya.

150 Moqaddameh-ye Naqd Al-Nushûsh, hlm. 43.

p:109

Tetapi, dalam irfan, kematian adalah perubahan dan kesempurnaan.

Kematian dapat menyiapkan lahan perpindahan dari lahir ke batin

dan dari alam khayal ke alam nyata. Tidak hanya sifat manusia dan

dunia yang berubah; manusia duniawi akan berubah menjadi manusia

ukhrawi dan alam dunia berubah menjadi alam akhirat, tetapi esensi

dan substansi manusia dan alam semesta juga akan berubah. Manusia

akan menjadi sesuatu yang lain di sebuah alam yang lain. Sebuah

perjalanan dari alam mulk ke alam malakût, dari dunia fisik ke alam

metafisik, dari lingkup indrawi ke ruang lingkup intuitif. Ringkasnya,

perpindahan dari lahir ke batin, dari alam materi ke alam gaib, dari

makhluk ke Dzat Yang Maha Haqq, dan dari khayal ke hakikat.

Perlu kami tekankan lagi, meskipun perpindahan ini dapat

dilakukan di dunia dengan cara mewujudkan kematian melalui ikhtiar,

akan tetapi, dengan berakhirnya usia manusia dan setelah melalui

materi dan inderawi, ia akan menemukan ufuk dan lubuk baru. Meski

demikian, urafa menyatakan, perjalanan ini tidak memiliki titik akhir

dan tidak akan berakhir sekalipun dengan tolok ukur usia ukhrawi,

apalagi hanya dengan tolok ukur usia duniawi.

Akhir perjumpaan dengan Dzat Yang Maha Haqq tidak akan

pernah dapat digapai dengan menggunakan usia akhirat, apalagi

hanya dengan usia duniawi.151

151 Mishbâh Al-Hidâyah wa Misbâh Al-Kifâyah, ‘Izzuddîn Mahmûd Al-Kâsyânî, cet. Tehran, hlm.

430.

p:110

Bab 6

Point

Hidayah dan Hikmah Pengutusan Nabi

Sebagaimana telah dipaparkan, agama dan irfan menekankan

kewajiban pengutusan nabi sebagai penunjuk jalan hidayah. Menurut

keyakinan urafa Muslim, mengikuti syariat adalah sebuah tindakan

yang tidak dapat diremehkan, meski sebagian besar tarekat ‘anti’ syariat.

Mereka juga berusaha menyesuaikan ajaran syariat supaya memilih

ajaran tasawuf dan tidak hanya berpegang kepada sunah-sunah yang

dhaif dan tidak berisi.(1)

Urafa Muslim tidak hanya mengerjakan yang wajib dan haram

belaka. Mereka juga memperhatikan yang sunah dan makruh. Bahkan,

kadang mereka sangat hati-hati, padahal para ulama agama tidak pernah

bertindak seperti itu. Sehubungan hal ini, Sarraj Thusi berkata:

Ketika kaum sufi menghadapi persoalan ihwal hukum syariat

dan sunah-sunah agama, mereka merujuk kepada para ulama

agama. Jika mereka memperoleh jawaban para ulama yang bersifat

aklamasi dan disepakati, mereka akan mengamalkannya. Jika para

p:111


1- 152 Mishbâh Al-Hidâyah wa Miftâh Al-Kifâyah, ‘Izzuddîn Mahmûd Al-Kâsyânî, bab 5, pasal 1.

ulama berbeda pendapat, mereka pasti mengambil pendapat yang

lebih baik dan lebih utama. Mereka pasti memilih pendapat yang

lebih dekat kepada kehati-hatian dalam agama, pengagungan

perintah Ilahi, dan penghindaran terhadap larangan syariat.

Mereka tidak akan pernah berpikir meninggalkan ajaran syariat,

takwil, kesenangan diri, dan mengerjakan hal-hal yang belum

jelas. Menurut hemat mereka, semua ini berarti ketidakpedulian

terhadap agama dan bertentangan dengan tindak kehati-hatian.(1)

Kita ambil Bayazid sebagai contoh. Di sepanjang hidupnya, ia

tidak pernah makan melon. Karena ia tidak tahu apakah Rasulullah

Saw pernah makan melon atau belum?

Dengan demikian, masalah ajaran tasawuf tersusun rapi, fondasi

pemikiran urafa menjadi lebih jelas. Secara praktis, beberapa masalah

muncul ke permukaan. Sehubungan dengan masalah kenabian dan

syariat, pandangan agama dan irfan sangat berbeda. Pada kesempatan

ini, kami akan memaparkan perbedaannya.

1. Keharusan Pengutusan Nabi

Menurut pandangan agama, pengutusan nabi sangat penting karena

kemampuan pemahaman manusia sangat lemah dan didominasi hawa

nafsu mementingkan diri sendiri. Manusia tidak mampu memilah antara

kemaslahatan duniawi atau ukhrawinya. Dalam ranah pengelolaan

hubungan sosial, ia juga menghadapi banyak problematika. Atas

dasar ini, Allah membantunya melalui jalan pengutusan para nabi dan

mengarahkannya kepada jalan kebahagiaan.

Oleh karena itu, barangsiapa ingkar kepada tagut dan beriman

kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada

buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha

p:112


1- 153 Al-Luma‘, hlm. 10.

Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah pelindung

orangorang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan

(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,

pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan

mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka

itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. Al-

Baqarah [2]: 256-257).

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang

beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul

dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka

ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan

kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum

(kedatangan utusan) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan

yang nyata (QS. Al Imran [3]: 164).

Menurut persepsi agama, jika manusia tidak memperoleh hidayah

dari Allah, mereka akan terbiasa dengan kehidupan hewani dan

tercampakkan dari makrifat dan nilai-nilai insani yang sangat tinggi.

Mereka akan dihadapkan dengan problematika, pertikaian, persaingan,

mereka juga akan lupa terhadap kebahagiaan ukhrawi. Salah satu

tugas para nabi adalah mencegah umat manusia dari perhatian yang

berlebihan terhadap kehidupan duniawi, serta memahamkan kepada

mereka bahwa kehidupan ukhrawi adalah lebih baik dan lebih kekal.

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan

main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang

sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (QS. Al-

‘Ankabut [29]: 64).

Dari kalangan teolog Islam, aliran Asy‘ariyyah berkeyakinan,

pengutusan nabi wajib terlaksana karena akal dan pikiran manusia

p:113

tidak mampu memahami konsep nilai. Tetapi, menurut persepsi

mazhab Syiah dan Mu‘tazilah, urgensi pengutusan nabi bermuara

dari konsep anugerah (luthf) yang “wajib” atas Allah. Penjelasannya,

Allah wajib menurunkan luthf: tindakan yang dapat menjauhkan

hamba dari dosa dan mendekatkannya kepada ibadah. Tetapi, hal

ini tidak sampai pada batas determinisme. Pengutusan nabi adalah

salah satu bentuk luthf Ilahi. Dia wajib mengutus para nabi guna

memberikan hidayah kepada umat manusia.(1)

Menurut para filosof Muslim, pengutusan nabi terlaksana

berdasarkan kehidupan sosial umat manusia. Kehidupan sosial

memerlukan aturan dan keadilan. Atas dasar ini, harus ada seorang

pembuat hukum dan penebar keadilan yang diutus dari sisi Allah

guna menciptakan keteraturan dan menegakkan keadilan dalam

kehidupan masyarakat.(2)

Tetapi, menurut persepsi urafa, kenabian merupakan kebutuhan

umat manusia kepada makrifat yang lebih tinggi daripada makrifatmakrifat

inderawi dan rasional; yakni makrifat intuitif. Sehubungan

konsep kenabian, urgensi, dan keharusan pengutusan nabi ini,

Qaishari berkata:

Ketahuilah, sampai kepada Dzat Yang Maha Haqq tidak mungkin

terwujud kecuali dengan mengikuti jejak para nabi dan wali. Hal

ini karena akal tidak mampu menunjukkan sebuah hidayah yang

dapat meyakinkan dan terhindar dari segala bentuk keraguan.

Pada dasarnya, dalam upaya mengenal Allah Swt, akal memiliki

satu jalan yakni dengan menelaah dan merenungkan. Melalui jalan

mengenal makhluk, ia dapat sampai kepada wujud Sang Pencipta,

dan lantas kepada sifat-sifat-Nya, seperti keesaan, kewajiban, ilmu,

dan kekuasaan. Dari sifat-sifat jamâliyyah (tasybîhiyyah), hanya

sekadar inilah yang dapat diketahui. Dalam ruang lingkup sifat-sifat

p:114


1- 154 Silakan merujuk buku-buku teologi, seperti Al-Mawâqif, dan Al-Tajrîd.
2- 155 Silakan merujuk buku Al-Syifâ’ dan Al-Najâh, Al-Isyârât wa At-Tanbîhât, metode ke-9, dan Syarh Al-Maqâshid, jld. 2, hlm. 173.

jalâliyyah (tanzîhiyyah), kita hanya dapat memahami bahwa Dia

tidak berjisim, bukanlah sebuah maujud yang diliputi oleh masa

dan bertempat, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya, ini adalah

sebuah argumentasi dari balik tirai. Barangsiapa mengandalkan

argumentasi semacam ini, ia tidak ubahnya seperti seseorang yang

duduk di dalam sebuah rumah dan melihat bayangan seseorang

yang berdiri melawan matahari melalui sebuah jendela kecil.

Melalui penglihatannya ini, ia yakin bahwa di tempat itu ada

seseorang yang sedang berdiri. Tetapi, karena tidak melihat sosok

tersebut, ia tidak tahu siapakah orang itu? Seperti apakah bentuk

dan postur tubuhnya? Sifat dan karakteristik apakah yang ia miliki?

Pada hakikatnya, ia tidak ubahnya seperti orang buta yang hanya

dapat meraba segala sesuatu. Melalui indera perabanya, ia dapat

memahami sebagian sifat-sifat benda yang sedang ia raba. Tetapi,

karena tidak melihatnya, ia tidak mengetahui hakikat dan seluruh

sifatnya.

Mereka yang hanya mengandalkan kekuatan argumentasi

tidak ubahnya seperti orang-orang yang pernah difirmankan oleh

Allah, ‘Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari

tempat yang jauh.’” (QS. Fushshilat [41]: 44).

Hal itu karena mereka menganggap bahwa Dzat Yang Maha

Haqq jauh dari diri mereka dan berada di luar jangkauan alam

mungkin. Dalam hemat mereka, Dia adalah sebuah dzat tunggal

dan terpisah dari seluruh maujud selain diri-Nya. Dia adalah

faktor penciptaan seluruh penghuni alam. Padahal, Allah Swt

pernah menegaskan kedekatan diri-Nya dalam sebuah firman,

‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,

maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.’ (QS. Al-Baqarah

[2]: 186); ‘Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.’ (QS.

Qaf [50]: 16); ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian,

tetapi kalian tidak melihat.’ (QS. Al-Waqi‘ah [56]: 85); dan ‘Dia-lah

Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Mahazahir dan Mahabatin; dan

p:115

Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. Al-Hadid [57]: 3).

Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Allah Swt menganggap diri-

Nya sebagai substansi (‘ain) seluruh hakikat, baik yang tampak

maupun yang tersembunyi. Kedudukan diri-Nya terhadap para

makhluk selain-Nya, Dia lebih mengetahui-Nya, dan kita wajib

mengimaninya. Kedekatan Allah, bukan kedekatan antara dua

benda materi. Tetapi, jenis kedekatan yang terdapat di alam hakikat

dan pribadi-pribadi yang terdapat di hakikat tersebut. Realita akan

terbuka gamblang bagi setiap orang yang berhasil menyingkap

rahasia firman Allah yang berbunyi, ‘Dan Dia bersama kalian di

mana saja kalian berada.’ (QS. Al-Waqi‘ah [57]: 4), dan ‘Maka ke

arah mana pun kalian menghadap, di situlah terdapat wajah Allah.’

(QS. Al-Baqarah [2]: 115).(1)

Atas dasar ini, manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali harus

memohon pertolongan kepada orang-orang yang sempurna yang

telah sampai kepada makrifat intuitif, serta mengikuti jejak langkah

para nabi dan wali. Dalam persepsi urafa, pengutusan nabi karena

diperlukan sebuah makrifat yang lebih tinggi dan mereka diarahkan

kepada makrifat tersebut melalui jalan pengutusan para nabi.

Perbedaan kedua pandangan ini dalam persepsi agama bersifat

wajar dan rasional. Tetapi, dalam persepsi irfan masalah lahir dan

batin manusia senantiasa menjadi prinsip yang sangat fundamental.

Sebab, menurut urafa, pengutusan nabi tidak hanya untuk mengelola

kehidupan duniawi dan demi menggapai pahala ukhrawi. Pengutusan

nabi bertujuan supaya umat manusia memperoleh makrifat yang lebih

tinggi daripada makrifat yang biasanya.

Qaishari menekankan masalah ini secara gamblang. Ia

memposisikan tauhid bilangan hasil pemikiran para filosof dan teolog

sebagai hasil argumentasi rasional berhadapan dengan tauhid wujudi

urafa yang merupakan hasil makrifat intuitif.

p:116


1- 156 Moqaddameh-ye Syarh-e Ta’iyyeh, tujuan ke-2, pasal 1.

2. Substansi Kenabian

Point

Untuk tujuan apa para nabi diutus? Kami telah memaparkan kajian

ini. Agama dan irfan sama-sama menekankan urgensi dan keharusan

pengutusan nabi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah substansi

kenabian tersebut? Bagaimanakah proses pengutusan terjadi dan

melalui proses apa saja?

Sehubungan dengan substansi kenabian, ada dua prinsip

fundamental yang dapat kita bahas bersama: pertama, substansi dan

kepribadian nabi sebagai penerima wahyu; kedua, proses penurunan

wahyu dan tata cara hubungan seorang nabi dengan sumber wahyu.

2.1. Substansi dan Kepribadian Nabi

Agama Islam menganggap nabi sebagai manusia biasa sebagaimana

orang lain. Satu-satunya perbedaan yang ia miliki, Allah memilihnya

di antara sekian manusia yang ada guna menyampaikan wahyu-Nya.

Allah berfirman:

Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti

kalian, yang diwahyukan kepadaku (QS. Al-Kahf [18]: 110).

Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa

perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku

mengetahui yang gaib, serta tidak (pula) aku mengatakan kepada

kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali

apa yang diwahyukan kepadaku (QS. Al-An‘am [6]: 50).

Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku

dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki

Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku berbuat

kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa

keburukan (dan kemudaratan) (QS. Al-A‘raf [7]: 188).

p:117

Nabi sampai kepada kedudukan tersebut karena pilihan dan

kemauan Allah. Dengan dukungan-Nya, ia memperoleh amanat untuk

menyampaikan agama. Para pengikut agama Kristen kala itu meyakini

Nabi Isa as. memiliki kedudukan supra manusia. Islam menyalahkan

keyakinan ini dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Al-Qur’an

sangat sering memaparkan masalah ini. Di antaranya:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata,

“Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam’, padahal Al-

Masih (sendiri) berkata, ‘Hai Bani Isra’il, sembahlah Allah Tuhanku

dan Tuhan kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan

(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga

baginya, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orangorang

zalim itu seorang penolong pun.’ Sesung-guhnya telah

kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Allah adalah salah satu

dari tiga tuhan’, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan

Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari ucapan mereka itu, pasti

orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan

yang pedih. Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang rasul yang

sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan

ibunya adalah seorang wanita yang sangat jujur, keduanya biasa

memakan makanan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 72, 73, dan 75).

Karena masalah ini, Al-Qur’an menekankan keinsanan seorang

nabi dan menafikan setiap kekuatan dan makrifat yang tidak lumrah

darinya. Rasulullah Saw senantiasa menghindarkan setiap keyakinan

yang berlebihan tentang diri beliau.

Tetapi, manusia biasa bisa saja menggapai kedudukan kenabian

dan risalah melalui perantara pilihan Allah. Seperti telah dipaparkan

pada pasal pertama buku ini, di luar ajaran Ilahi melalui jalan wahyu,

Rasulullah Saw tidak memiliki apa-apa dalam diri beliau dan juga

p:118

tidak mengetahui apakah kitab dan iman itu? Para nabi yang lain juga

menegaskan hal yang sama. Al-Qur’an berfirman,

Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak lain

hanyalah manusia seperti kalian, tetapi Allah memberi karunia

kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”

(QS. Ibrahim [14]:11 dan Al-Syura [42]: 52).

Tetapi, dalam persepsi urafa, nabi memiliki sebuah substansi dan

kepribadian lebih tinggi yang memiliki perbedaan fundamental dengan

manusia yang lain. Qaishari pernah memaparkan urgensi dan keharusan

pengutusan nabi, keharusan mengikuti para nabi, dan lantas

menjelaskan arti kosa kata kenabian serta klasifikasinya. Selanjutnya,

ia memaparkan peran kepribadian seorang nabi berikut ini:

Kenabian adalah sebuah anugerah Ilahi. Usaha dan jerih payah

manusia tidak memiliki peran dalam masalah ini. Dengan

demikian, nabi adalah orang yang diutus Allah Swt guna

memberikan hidayah kepada umat manusia. Di samping itu, nabi

juga bertugas mengajarkan tentang dzat, sifat, dan perilaku Allah,

serta hukum-hukum yang berlaku di alam akhirat, seperti padang

Mahsyar, kebangkitan kembali, pahala, dan siksa.

Kenabian memiliki sebuah batin. Batin ini adalah wilâyah.

Melalui perantara wilâyah, seorang nabi menerima serangkaian

makna dari Allah Swt atau salah seorang malaikat. Hal inilah

yang menyebabkan kesempurnaan kedudukan nabi. Melalui

perantara kenabian, ia menyampaikan segala pesan yang telah

ia terima dari Allah, baik dengan maupun tanpa perantara,

kepada para hamba Allah. Dengan cara ini, ia menyempurnakan

mereka.(1)

p:119


1- 157 Moqaddameh-ye Syarh-e Ta’iyyeh, tujuan ke-2, pasal 1

Menurut pandangan urafa, dalam diri seorang nabi, terdapat dua

unsur yang menjadi mata air kecermelangan: kecintaan (mahbûbiyyah)

dan wilâyah. Qaishari memaparkan secara gamblang dalam pernyataan

yang telah kami nukil di atas. Kami juga tidak memiliki jalan lain kecuali

harus menjelaskan kedua unsur ini secara lebih terperinci.

Unsur pertama adalah kecintaan. Dalam proses perjalanan busur

gerak menaik, seluruh alam semesta kembali kepada Sumber Pertama

(Mabda’). Proses ini berlangsung sempurna. Manusia berada di antara

kumpulan tersebut. Sebagai kawn jâmi‘, ia juga berada dalam perjalanan

gerak wujud dan berfungsi sebagai lahannya. Sebagaimana telah kami

paparkan, di alam materi seluruh maujud berkibat kepada manusia.

Manusia juga berada dalam proses gerak kesempurnaan dan

senantiasa mengalami perubahan. Akan tetapi, seperti kita ketahui

bersama, seluruh perubahan umumnya tidak tergantung kepada

kemauan dan kehendak kita. Manusia juga seperti maujud-maujud

yang lain lahir dan berkembang berdasarkan sebuah hidayah tatacipta

(hidâyah takwîniyyah). Akan tetapi, sebagian perkembangan dan

kesempurnaan manusia memerlukan hidayah tatatinta (hidâyah

tasyrî‘iyyah). Ia harus memperoleh sebagian kesempurnaan melalui

jerih payah dan ikhtiar. Meskipun sebagian orang ada yang memperoleh

kesempurnaan berdasarkan pemberian Ilahi. Mereka melalui

seluruh tingkatan kesempurnaan tanpa campur tangan kehendak

sendiri. Dalam terminologi urafa, dikenal dengan sebutan mahbûb

dan majdzûb. Atas dasar ini, kelayakan seseorang untuk mengemban

tugas kenabian adalah hasil anugerah Ilahi, dan ini adalah kecintaan

(mahbûbiyyah). Sang nabi tidak memiliki peran dalam mewujudkan

kelayakan itu. Barangsiapa berhasil memperoleh posisi kenabian,

kesempurnaannya lebih tinggi dibandingkan orang lain, dan wujudnya

tidak berada dalam satu tingkat dengan wujud orang lain. Kami akan

menjelaskannya secara ringkas:

Pertama, teori ini berlandaskan ashâlat al-wujûd (wujud sebagai

sesuatu yang prinsipal) dan kerendahan atau ketinggian tingkatan

p:120

tingkatan wujud. Seluruh sifat berasal dari wujud. Setiap tingkatan sifat

seperti hidup, ilmu, kehendak, kekuatan, dan tindakan bergantung

kepada wujud. Apabila tingkatan wujud menjadi tinggi atau rendah,

sifat juga menjadi tinggi atau rendah. Sifat pada benda padat adalah

lemah, pada manusia adalah kuat, dan pada tingkatan-tingkatan yang

lebih tinggi daripada manusia adalah lebih kuat dibandingkan dengan

sifat-sifat manusia biasa.

Setiap maujud sesuai tingkatan wujudnya memiliki kesempurnaan.

Manusia berdasarkan konsep kawn jâmi‘ adalah sebuah alam semesta

yang hadir dengan sendirinya, dan alam semesta secara keseluruhan

adalah seorang manusia. Karena seluruh tingkatan wujud termanifestasi

dalam alam semesta, secara potensial terealisasi juga dalam diri

manusia. Oleh karena itu, ilmu, pengetahuan, kehendak, kekuatan,

dan kreatifitas dapat terlaksana dalam diri manusia dari titik nol

hingga tidak terhingga. Manusia bisa seperti itu karena kecintaan dan

inayah Ilahi. Terkadang kecintaan dan inayah tersebut sampai suatu

batas tertentu. Pada tahap selanjutnya, hal itu memerlukan usaha dan

mujahadah manusia. Dengan demikian, ilmu, kehendak, dan kreatifitas

pada kondisi ini adalah hasil kesempurnaan wujud manusia. Oleh

karena itu, urafa menegaskan para nabi menerima wahyu dari ranah

batin diri mereka; sebuah ranah yang merupakan sisi kesempurnaan,

wilâyah, dan kedekatan mereka.

Ketahuilah, pandangan irfan sehubungan dengan kepribadian

nabi sangat berbeda dengan pandangan agama. Di samping perbedaan

ini, masih ada perbedaan-perbedaan lain, seperti para nabi adalah

perantara anugerah (faydh) Ilahi dan hakikat Nabi Muhammad

Saw adalah makhluk pertama yang tercipta. Urafa pada umumnya

menganggap hakikat Nabi Muhammad adalah manifestasi pertama

Dzat Yang Maha Haqq sebagai ganti akal pertama yang diyakini oleh

para filosof. Tingkatan-tingkatan alam semesta selanjutnya bercabang

dari Hakikat Muhammadi ini satu demi satu. Hakikat Muhammadi

adalah penjelmaan (tanazzul) pertama Allah dalam bentuk sesuatu

p:121

yang bersifat mungkin dan wujud sebuah makhluk. Ia menjadi

perantara anugerah (faydh) Ilahi bagi maujud-maujud yang lain.

Hakikat Muhammad memiliki seluruh kesempurnaan yang dimiliki

oleh seluruh tingkatan setelah dirinya. Tidak satu maujud pun yang

berada di luar dominasi hakikat ini.(1)

Hakikat Muhammad ditinjau dari sisi universalitas dan

ketidakterikatannya pada suatu maujud memiliki peran perantara

antara Allah dan alam semesta. Tetapi, ditinjau dari sisi keterikatannya

pada sebuah bentuk nâsûtî manusia, hakikat itu adalah nabi pamungkas

yang telah muncul pada masa tertentu. Hakikat Muhammad meliputi

dua sisi sebuah lingkaran. Dalam satu busur, ia turun dari titik

ketunggalan (ahadiyyah) karena harus menjelma dan menjadi sebuah

makhluk. Dan dalam busur yang lain, setelah muncul, ia akan sampai

kepada titik ketunggalan.

Dalam busur gerak menurun dan menaik, ketika hakikat

Muhammad lebih dekat kepada sebuah bentuk makhluk, ia akan lebih

jauh dari hakikat ketunggalan.

Dalam perjalanan menurun, setiap tingkatan adalah forma (shûrah)

untuk tingkatan sebelumnya dan makna untuk tingkatan setelahnya.

Setiap tingkatan sebelumnya adalah sisi batiniah untuk tingkatan

setelahnya, dan setiap tingkatan setelahnya adalah sisi lahiriah untuk

tingkatan sebelumnya.(2)

Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw bukanlah seorang manusia

biasa. Beliau adalah sebuah maujud yang memiliki sisi Ilahi. Al-Qur’an

tidak pernah menyinggung masalah ini. Berdasarkan ajaran lahiriah

Al-Qur’an dan Sunah, hubungan Rasulullah Saw dengan masyarakat

adalah sebuah hubungan tatatinta. Tetapi, menurut pandangan urafa,

hubungan ini adalah sebuah hubungan tatacipta. Dan itu pun untuk

seluruh alam semesta, bukan hanya untuk umat manusia.

p:122


1- 158 Muqaddimah Fushûsh Al-Hikam, syarah Asytiyani, hlm. 431; ‘Erfon-e Nazdari, bagian ke-2, tujuan ke-1, pasal 2. Selanjutnya rujuk Naqd Al-Nuqûd, fondasi ke-3, tujuan ke-2 dan 3.
2- 159 Silakan merujuk pasal 10 dari buku ini.

2.2 Proses Penurunan Wahyu

Seperti telah kami paparkan, proses penurunan wahyu dalam

pandangan agama berlangsung sebagaimana berikut ini:

Nabi memperoleh wahyu dalam sebuah proses dialog. Kemudian,

ia menyampaikan kepada masyarakat teks asli wahyu yang telah ia terima

dari Allah, baik secara langsung maupun melalui perantara malaikat.

Setelah proses penyampaian ini, para penghafal menghafalkan wahyu

dan para penulis menuliskannya.

Proses penurunan wahyu dalam pandangan agama adalah wahyu

berada di Lawh Mahfûzh. Lantas, malaikat Jibril menyampaikannya

kepada nabi. Lalu, nabi menyampaikannya kepada masyarakat luas.

Pemilihan seseorang yang tidak pernah belajar di sebuah lingkungan

jahiliah Arab untuk menyampaikan wahyu adalah sebuah bukti bahwa

ia hanya memiliki peran sebagai perantara. Kosa-kata, arti, dan

susunan ayat telah ditentukan oleh Allah.

Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab

supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-Zukhruf [43]: 3).

Nabi menerima wahyu dalam kondisi sadar. Tetapi, dalam

pandangan urafa sehubungan dengan masalah ini sangat berbeda.

Meskipun kemunculan dan perkembangan irfan teoritis terjadi pasca

keterkucilan ajaran filsafat. Tetapi, ajaran irfan masih dipengaruhi

oleh filsafat. Mengapa tasawuf memiliki satu warna dengan filsafat?

Alasannya adalah mungkin urafa ingin memasuki medan dialog

dan diskusi dengan menggunakan bahasa para filosof.(1)

Biar bagaimanapun, dalam pembahasan kenabian, urafa

terpengaruh ajaran filsafat, tetapi dasar utama pemikiran mereka

berbeda dengan ajaran para filosof. Kami akan memaparkan pandangan

para filosof sehubungan dengan masalah ini, dan kemudian

menjelaskan pandangan urafa.

p:123


1- 160 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud Qaishari.

Menurut para filosof, proses penurunan wahyu sebagaimana

ditegaskan Al-Qur’an dan Sunah tidak dapat dianalisis secara

rasional. Atau paling tidak, dasar-dasar pemikiran filosofis mereka

untuk sementara ini tidak mampu melakukannya seperti berkenaan

dengan masalah ma‘ad, mereka terpaksa melukiskan konsep

kenabian sedemikian rupa sehingga dapat diterima akal secara

rasional. Kami perlu mengingatkan, kontradiksi yang muncul karena

percekcokan antara kaum agamawan dan golongan penebar kritik,

seperti Ahmad bin Ishaq Rawandi (w. 248 H) dan Muhammad

bin Zakaria Razi (w. 313 H), bukanlah satu-satunya faktor yang

mendorong kaum agamawan memaparkan segala masalah

berdasarkan pamaparan rasional. Sebagian orang meyakini bahwa

kontradiksi itu menjadi faktor utama dalam masalah ini.(1) Jika

golongan penebar kritik tidak pernah ada sekalipun, metode filosofis

yang telah mereka pegang memaksa mereka untuk melakukan

rasionalisasi.

Analisis rasional yang diutarakan Abu Nashr Farabi (wafat

tahun 339 H). Ia membenarkan, kenabian tergapai karena kekuatan

khayali (quwwah muta-khayyilah) seseorang bersambung dengan

akal aktif (‘aql fa‘âl). Dalam pandangan Farabi, jika para filosof dapat

bersambung dengan akal aktif melalui perantara akal teoritis (‘aql

nazharî), para nabi juga dapat berhubungan dengan akal melalui

kekuatan khayali mereka.(2)

Mengapa kekuatan khayali diperuntukkan kepada para nabi,

sedangkan kekuatan akal (quwwah ‘âqilah) kepada para filosof?

Mungkin alasannya, segala sesuatu yang diperoleh oleh para filosof

adalah kaidah rasional yang bersifat universal. Sedangkan ajaran

para nabi adalah hukum dan masalah-masalah yang dapat diindera

dan bersifat parsial.

p:124


1- 161 Dar Boreh-ye Falsafeh-e Eslomi, Ravesy va Tatbîq-e on, hlm. 64 dan selanjutnya.
2- 162 Ârâ’ Ahl Al-Madînah Al-Fâdhilah, hlm. 67.

Ibn Sina (w. 428 H) hidup sekitar satu abad setelah Farabi. Ia

memiliki sebuah analisis yang sudah sangat maju. Ia berkata:

Gerak kekuatan akal manusia dalam rangka menyingkap sesuatu yang

tidak diketahui (majhûl) berlangsung dengan dua cara: pertama,

berlangsung melalui proses pemikiran (fikr). Dalam cara ini, ia

dapat menyingkap majhul melalui perantara hadd wasath (terma

tengah). Ia memperolehnya dari ilmu pengetahuan yang pernah

dimiliki; kedua, berlangsung melalui proses sangkaan (hads). Terma

tengah dalam proses ini muncul di otak dengan cepat tanpa harus

ada ilmu pengetahuan sebelumnya, dan juga dapat mengantarkannya

kepada majhul yang sedang dicarinya.

Dalam manusia, kekuatan berpikir dan menyangka sangat

berbeda-beda. Dari sisi pemikiran, ada orang-orang yang sangat

bodoh, dan ada juga yang cerdas dan jenius. Dari sisi sangkaan

juga demikian. Ada orang-orang yang tidak memiliki kekuatan

menyangka sama sekali. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang

memiliki kekuatan menyangka yang paling tinggi sehingga mereka

tidak perlu belajar dan berpikir. Mereka dapat memahami segala

sesuatu dengan perantara kekuatan menyangka ini ….

Indera komunal (hiss musytarik) mungkin mengambil formaforma

(shûrah) tertentu dari kekuatan khayal. Artinya, apabila

indera komunal dapat mengambil forma-forma dari indera-indera

lahiriah, ia juga mungkin menerima forma-forma dari indera

batiniah dan kekuatan khayal. Jika seluruh persyaratan tersedia

secara memadai, indera komunal akan menyimpan forma-forma

dari kekuatan khayal. Sebagai contoh, dalam kondisi tidur,

beberapa forma khayali muncul pada indera komunal dan kita

melihatnya. Atau orang-orang sakit melihat forma-forma tertentu

pada saat mereka sedang terjaga.

Sesuai kemampuannya, jiwa dapat menyingkirkan segala

bentuk penghalang, lalu memfokuskan pada aktifitas yang sesuai

p:125

dengan kebutuhannya. Ini adalah proses memahami hakikat yang

bersifat universal.

Kemudian, Ibn Sina memaparkan sebuah prolog lain sebagai

berikut ini:

Jika penghalang dan penyibuk bertambah sedikit, jiwa

menemukan sebuah kesempatan untuk dengan cepat

melakukan sebuah hubungan dengan alam kudus. Dengan

perantara hubungan ini, sebuah hakikat universal akan terpatri

dalam jiwa. Lalu, efek hakikat universal akan sampai kepada

kekuatan khayal. Kemudian, kekuatan khayal memindahkan

semua hakikat kepada indera komunal dalam bentuk yang

sangat parsial. Proses ini memiliki manifestasi beraneka ragam.

Kadang ia muncul dalam bentuk efek di otak, dan kadang juga

sampai kepada kekuatan khayal. Ia akan menjelma di hadapan

mata atau terdengar di telinga.(1)

Analisis Ibn Sina yang lebih terperinci tentang proses penurunan

wahyu adalah sebagai berikut:

Hubungan jiwa yang kuat dengan alam atas dalam kondisi terjaga

(akal aktif).

Menerima hakikat-hakikat yang bersifat universal.

Perpindahan seluruh hakikat tersebut kepada kekuatan khayali.

Perpindahan seluruh hakikat tersebut kepada indera komunal.

Pada tahap ini, nabi menerima hakikat dalam bentuk parsial,

menggunakan bahasa yang resmi digunakan kala itu. Lalu, ia

menginformasikannya kepada masyarakat luas.

Seperti telah kami singgung, urafa juga memiliki sebuah teori

tentang proses penurunan wahyu. Dari satu segi, teori ini hampir sama

p:126


1- 163 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-3, pasal 11-12 dan metode ke-10, pasal 13-23.

dengan teori yang diyakini oleh para filosof. Menurut hemat urafa, alam

semesta adalah manifestasi tiga tingkatan alam universal:

Alam jabarût: alam ruh yang universal dan metafisik (seluruh akal

dan jiwa).

Alam malakût: alam mitsâl. Di alam ini, terdapat contoh untuk

seluruh hakikat yang ada di atas dan di bawah. Bentuk yang ada di

alam malakût memiliki bentuk dan ukuran, tetapi bukan materi.

Alam mulk: alam yang dapat diraba dan bersifat material.

Atas dasar ini, anugerah (faidh) wujud dan makrifat, serta hakikat

dan makna dalam busur gerak menurun dan menaik pasti melewati

seluruh tahap tingkatan tersebut. Sebagaimana tajallî wujud bergerak

dari alam jabarût ke alam malakût dan lantas dari alam malakût ke

alam mulk, makna-makna juga pasti melewati seluruh tahapan ini.

Coba kita perhatikan bersama pernyataan Qaishari :

Ketahuilah, di antara alam jisim dan alam ruh yang bersifat metafisik

terdapat sebuah alam lain yang diberi nama Barzakh. Alam ini

pernah ditegaskan oleh ayat yang menyatakan, ‘Dia membiarkan

dua lautan (manis dan asin, serta panas dan dingin) mengalir yang

keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang

tidak dapat dilampaui oleh masing-masing (sehingga kedua jenis

air itu tidak bercampur).’ (QS. Al-Rahman [55]: 19-20). Artinya, di

antara dua laut itu; yakni alam ruh dan alam jisim, terdapat sebuah

barzakh (penghalang); yakni alam mitsâl, sehingga kedua alam itu

tidak saling bertemu. Barzakh ini harus memiliki keistimewaan

yang dimiliki oleh kedua alam tersebut. Oleh karena itu, dari sisi

bahwa alam Barzakh tidak bersifat material, alam ini serupa dengan

alam ruh, dan dari sisi bahwa alam ini memiliki forma, bentuk,

dan ukuran, serupa dengan alam jisim. Ketika makna turun dari

haribaan Ilahi, pertama kali ia akan menerima forma jasmani dan

inderawi di alam mitsâl seperti forma khayali kita. Setelah itu,

p:127

ia turun ke alam mulk. Atas dasar ini, urafa juga menyebut alam

mitsâl dengan nama ‘khayal yang terpisah’ (khayâl munfashil).

Sebagian besar intuisi yang dialami oleh urafa dengan

hal-hal yang gaib berhubungan dengan alam mitsâl. Di alam

inilah seluruh perilaku dan amal manusia, yang baik maupun

yang buruk menjadi bentuk dan jasad yang sesuai dengan

keadaan masing-masing. Setiap manusia memiliki andil

dari alam itu, andil ini adalah kekuatan khayalnya. Dengan

perantara kekuatan khayal, ia dapat melihat alam mimpi. Urafa

menyebut kekuatan khayal dengan nama ‘khayal yang terikat’

(khayâl muqayyad). Hubungan khayal terikat dengan khayal

mutlak seperti hubungan rumah dengan bagian luar rumah. Di

luar alam jisim, jendela alam gaib pertama yang terbuka bagi

manusia adalah jendela alam mitsâl.

Peristiwa Mikraj Rasulullah Saw, perjumpaan beliau

dengan pada nabi, dan menyaksikan surga dan neraka, semua

ini dapat dijelaskan dan interpretasikan berdasarkan konsep

alam mitsâl.

Seluruh jenis intuisi lain yang berhubungan dengan lima

indera hati terjadi di alam ini.”(1)

Kesimpulannya, makna akan berubah menjadi forma inderawi

di alam mitsâl. Penyaksian inderawi Rasulullah Saw, seperti melihat

malaikat Jibril dan mendengarkan suara, berhubungan dengan alam

ini. Tetapi, karena semua terjadi dalam diri Rasulullah Saw sebagai

sebuah kawn jâmi‘, mari kita renungkan lebih lanjut pernyataan yang

berhubungan dengan masalah ini:

Kenabian memiliki sebuah sisi batin; yakni wilâyah. Rasulullah

Saw menerima seluruh makrifat dari Allah, baik langsung maupun

melalui perantara. Melalui jalan kenabian, beliau menyampaikan

p:128


1- 164 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, tujuan ke-1, pasal 3.

semua makrifat kepada umat manusia guna menyempurnakan

mereka. Misi ini tidak mungkin terwujud kecuali melalui syariat.

Syariat ini adalah seluruh ajaran yang telah dibawa oleh beliau

dalam Al-Qur’an dan Sunah.(1)

Menurut keyakinan urafa, sebagaimana para filosof, proses

penurunan wahyu terjadi dalam diri nabi. Sementara menurut para

filosof, nabi adalah seseorang yang dapat melakukan hubungan dengan

akal aktif dan memahami hakikat universal karena ia memiliki kekuatan

menyangka yang sangat tinggi. Lalu, ia memindahkan seluruh hakikat

kepada kekuatan khayal, dan lantas memindahkannya dari kekuatan

khayal kepada indera komunal. Kemudian, ia mengubahnya dalam

bentuk masalah yang bersifat parsial dan dapat diindera.

Menurut keyakinan urafa, nabi telah berhasil sampai kepada

maqam wilâyah khusus karena ia dicintai oleh Allah (mahbûbiyyah)

dan dapat memahami hakikat-hakikat tertentu. Ia mengubah hakikat

menjadi forma inderawi di alam mitsâl-nya yang terikat. Lalu, ia

menyampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk yang dapat

didengar atau disaksikan.

Atas dasar ini, keyakinan urafa dan filosof tentang proses penurunan

wahyu berbeda dengan ajaran lahiriah Al-Qur’an dan Sunah, serta

pemahaman lumrah kaum beragama. Oleh karena itu, pandangan irfan

dan agama tentang kepribadian nabi dan proses penurunan wahyu juga

memiliki perbedaan fundamental.

Pandangan para filosof juga memiliki perbedaan dengan pandangan

urafa, karena tidak berhubungan dengan tema pembahasan kita, kami

tidak memaparkannya.

p:129


1- 165 Ibid., tujuan ke-2, pasal 1.

3. Prinsip Khatamiyah dalam pandangan Agama dan Irfan

Point

3. Prinsip Khatamiyah dalam Pandangan Agama

dan Irfan

Keyakinan Rasulullah Saw sebagai nabi terakhir adalah ajaran Islam

yang sangat gamblang. Tidak seorang Muslim pun meragukannya.

Guna menelaah pandangan agama dan irfan tentang masalah ini, kami

akan memaparkan sebagai berikut:

3.1. Definisi Khatamiyah

Dalam pandangan agama, prinsip kenabian terakhir (khâtamiah)

berarti Rasulullah Saw adalah nabi terakhir, dan setelah beliau,

tidak ada seorang nabi lain yang akan diutus guna menghapus atau

menyampaikan agama Islam.

Muhammad sekali-kali bukanlah ayah dari seorang laki-laki di

antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi

(QS. Al-Ahzab [33]: 40).

Prinsip khatamiyah memiliki dua pilar utama: pertama,

menyampaikan segala sesuatu yang memang harus disampaikan

dari sisi Allah; dan kedua, mendewasakan manusia sehingga dapat

memelihara seluruh khazanah ajaran samawi.

Ini adalah pemahaman umum kaum beragama dan para ulama

tentang prinsip khatamiyah.

Adapun dalam pandangan urafa, di samping menerima arti

tersebut, dalam pandangan mereka, nabi terakhir memiliki kelebihan

universalitas (afdhaliyyah wa jâmi‘iyyah). Pamungkas para nabi adalah

seorang figur yang sempurna dibandingkan orang lain, dan lebih

mendahului para nabi yang lain dalam proses busur gerak menurun

dan menaik. Qaishari berkata:

p:130

Kenabian tidak ubahnya seperti lingkaran yang dipenuhi

titiktitik beraneka ragam sedemikian rupa sehingga setiap

titik berada di pusat sebuah lingkaran yang lain. Nabi

pamungkas tidak ubahnya seperti lingkaran yang besar dan

meliputi itu. Para nabi yang lain tidak ubahnya seperti titiktitik

yang berada di dalam ruang lingkaran tersebut. Muhammad

Saw telah menjadi nabi, sedangkan Adam masih berada di

antara air dan tanah.(1)

Atas dasar ini, gelar pamungkas nabi tidak akan memiliki sisi

historikal. Artinya, nabi pamungkas mungkin saja muncul di

permulaan atau pertengahan sejarah kehidupan manusia dan

pengutusan para nabi. Akhirnya, setelah nabi pamungkas mungkin saja

ada nabi lain yang akan muncul. Tetapi, nabi ini jelas memiliki kesempurnaan

lebih rendah dibandingkan dengan nabi pamungkas. Sebagai

perbandingan, dalam irfan Islami, kita bisa saja menganggap Imam Ali

as, Ibnu Arabi, atau figur lain sebagai wali pamungkas. Hal ini tidak

berarti, kita tidak akan memiliki wali lain setelah mereka. Meskipun

demikian, tidak akan ada seorang wali lain yang dapat menandingi

mereka dalam kesempurnaan dan tingkatan wujud.

Perlu kami ingatkan, urafa Muslim umumnya menganggap arti

kenabian terakhir adalah keberakhiran pengutusan nabi, dan mereka

tidak meyakini akan ada nabi lain yang akan muncul. Berbeda dengan

arti pamungkas para wali. Setelah wali pamungkas, masih akan ada

para wali Ilahi lain yang akan muncul di dunia. Dapat dipahami, dalam

keyakinan urafa, konsep kenabian terakhir berarti tingkatan tertinggi

kenabian dan tiada tingkatan lain yang lebih tinggi dari tingkatan

tersebut. Keunggulan ini terealisasi dalam syariat lahiriah dan

duniawiah, serta juga dalam wilâyah dan taqarrub batiniah, maknawiah,

dan ukhrawiah.

p:131


1- 166 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, tujuan ke-2, pasal 1.

3.2. Konsekuensi Logis Prinsip Khatamiyah

Point

Berdasarkan prinsip khatamiyah, kita akan berhadapan dengan

beberapa pertanyaan logis (lawâzim). Salah satunya, agama adalah

sekumpulan ajaran yang memuat akidah dan hukum. Atas dasar akidah

dan hukum, kebahagiaan duniawi diatur berdasarkan kesempurnaan

dan kebahagiaan ukhrawi. Sekarang, selama dunia masih ada, apakah

kita tidak memerlukan lagi sebuah makrifat dan hukum baru?

Pertanyaan fundamental dalam prinsip khatamiyah. Kita harus

menelaah sisi akidah dan hukum agama secara terpisah. Sehubungan

dengan akidah dan makrifat, ajaran agama dapat dipahami sebagai

akidah permanen untuk selamanya.

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam

(QS. Al Imran [3]: 19).

Keyakinan terhadap Sumber Penciptaan (Mabda’), hubungan

antara Allah dan hamba, mengenal diri, prinsip-prinsip etika, prinsipprinsip

keadilan sosial, serta prinsip-prinsip kehalalan dan keharaman

senantiasa dialami oleh umat manusia hingga akhir masa.(1)

Atas dasar semua itu, apakah landasan kita untuk menyatakan

bahwa prinsip-prinsip ontologi, akidah, etika, sosial, dan nilai-nilai

umat manusia senantiasa permanen?

Dalam masalah ini, agama berlandaskan aturan dan sunah alam

semesta.(2) Ini dari satu sisi, dan dari sisi lain, pada kepermanenan

berdasarkan tolok ukur pemahaman dan penilaian manusia. Sebagai

contoh, di dunia, setiap akibat pasti selalu memerlukan sebab, dan

umat manusia senantiasa memahami dan menerima kaidah ini. Tetapi,

dari sekian prinsip yang ada, urafa menerima prinsip pertama dan

kedua hanya berdasarkan lahiriah. Artinya, alam semesta memiliki

sisi lahiriah yang bersifat figuratif dan tidak asli. Di samping itu, alam

p:132


1- 167 Khotamiyyat, pertemuan ke-3.
2- 168 QS. Fathir [35]: 43.

semesta juga memiliki sisi batiniah yang merupakan wujud hakiki dan

asli.(1)

Aturan-aturan yang ada di alam semesta dan kemampuan akal

hanya berlaku di dunia ketercerai-beraian dan keberbilangan (farq wa

katsrah) yang merupakan sisi lahiriah alam semesta. Tetapi, sisi batiniah

alam semesta dan makrifat intuitif memiliki perhitungan lain.

Atas dasar ini, makrifat agama yang berhubungan dengan manusia

secara umum adalah pemahaman lazim yang biasa diperoleh melalui

akal dan pikiran. Adapun sisi batiniah alam semesta dan makrifat

batiniah, sangat berbeda. Sisi makrifat batiniah memiliki tingkatan;

pemahaman setiap orang bergantung kepada tingkatan wujud yang ia

miliki. Tema ini akan kami paparkan lebih terperinci pada pembahasan

mendatang.

Sehubungan dengan masalah syariat dan hukum-hukumnya, kita

dapat menelaah tiga poin berikut ini:

􀂃 Penambahan hukum dan aturan-aturan taklif.

􀂃 Keguguran taklif.

􀂃 Perubahan taklif.

Mari kita telaah masing-masing poin di atas secara terpisah.

a. Penambahan Taklif

Para ulama agama tidak memperbolehkan setiap bentuk penambahan

taklif dalam agama. Mereka mengharamkan tindakan ini dengan

alasan bid’ah karena mengerjakan sesuatu yang di luar koridor

agama.(2) Muslimin berkeyakinan, agama Islam adalah sebuah agama

sempurna.(3) Kehalalan agama senantiasa halal, keharamannya juga

akan selalu haram. Agama yang sudah disempurnakan dan selalu

mampu menjawab seluruh kebutuhan umat manusia. Islam hadir

untuk memberikan hidayah dan kebahagiaan yang abadi.

p:133


1- 169 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, jld. 2, hlm. 292-299; Fushûsh Al-Hikam, pasal 8-10; Syarh Al-Fushûsh; prolog, pembahasan wujud; Syarh-e Ta’iyyeh, topik wujud.
2- 170 Talbîs Iblis, bab 10.
3- 171 QS. Al-Ma’idah [5]: 3.

Dalam pandangan urafa, hukum dan aturan-aturan agama hanya

digunakan untuk mengatur urusan lahiriah dan duniawi. Untuk

kesempurnaan wujudnya, mereka mengharuskan sebuah pendidikan

dan suluk tertentu dengan cara riyadhah dan mujahadah. Latihan

riyadhah dan mujahadah memerlukan penambahan taklif di samping

taklif harian. Penambahan dapat dilakukan dengan mengerjakan

hal-hal yang sunah, seperti membaca kalam Ilahi, mengerjakan salat

sunah, atau melakukan puasa sunah. Akan tetapi, kaum sufi biasanya

juga melakukan latihan lain seperti mengurangi makan dan tidur,

mengenakan pakaian yang kasar, tidak berbicara, melakukan ‘uzlah,

bepergian, dan lain sebagainya. Seperti telah dipaparkan, mereka

menambahkan latihan tersebut kepada taklif para salik atas nama

hukum-hukum hasil kesimpulan para syaikh (istihsân wa istinbâth) dan

bid’ah yang tidak bertentangan dengan Sunah serta tidak tercela.(1)

Dari sisi lain, urafa meyakini, hukum-hukum ruhaniah berbedabeda

berdasarkan pribadi masing-masing. Berbeda dengan hukum

syariat, kita tidak dapat mengeluarkan satu hukum yang sama untuk

seluruh manusia dan semua usia.(2)

Para salik harus senantiasa menerima hukum dan latihan

amaliah khusus untuk dirinya kepada syaikh mereka, dan lantas

mengamalkannya.

Jelas, campur tangan berkenaan dengan taklif semacam ini tidak

dapat diterima oleh para ulama, sekalipun dengan cara mengharuskan

hal-hal yang bersifat sunah dan menyusun serentetan wirid dan zikir

khusus.

b. Keguguran Taklif

Ajaran agama Islam tidak mengisyaratkan keguguran sebuah taklif

dalam periode kehidupan seorang yang baligh, kecuali apabila mukallaf

kehilangan syarat-syarat taklif. Sebagai contoh, ia dengan alasan apa

p:134


1- 172 Mishbâh Al-Hidâyah wa Miftâh Al-Kifâyah, bab 5, pasal 1.
2- 173 Al-Tamhîdât, hlm. 350-352.

pun kehilangan kesadaran dan ikhtiarnya. Hanya dalam kondisi ini;

yaitu syarat-syarat taklif tidak terpenuhi, menurut para fuqaha Islam,

taklif gugur dari pundak seseorang, baik untuk sementara maupun

selamanya. Apabila syarat taklif terpenuhi, tidak seorang pun berhak

meninggalkan yang wajib dan melakukan hal yang haram. Malah

dalam beberapa kondisi, apabila seseorang tidak melakukan taklif

untuk sementara waktu, setelah kemampuannya kembali ia harus

menggantinya. Seperti apabila ia harus membatalkan puasa lantara

sakit atau uzur yang lain.

Dalam pandangan urafa, hukum syariat hanya berlaku hingga

suatu periode. Yakni, “selama bingkai dan insaniah manusia masih

ada. Hukum taklif hanya ditujukan kepada bingkai tersebut. Tetapi,

jika seseorang berhasil menguraikan, mencampakkan insaniahnya,

dan terbebaskan dari dirinya, seluruh taklif akan terangkat dan hukum

yang berlaku untuk kalbu akan mendominasi. Kufur dan iman berlaku

untuk bingkai. Apabila ‘pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi

yang lain’ (QS. Ibrahim [14]: 43). tersingkap bagi seseorang, taklif akan

terangkat darinya; ‘tanah yang sudah rusak tidak perlu dipajak’. Kondisi

batin ini tidak layak memperoleh taklif; perintah maupun larangan.”(1)

Ketika mensyarahi syair Syaikh Mahmud Syabestari, Lahiji

berkata:

Menurut urafa, tujuan syariat serta amal ibadah lahiriah dan

batiniah adalah taqarrub kepada Dzat Yang Maha Haqq. Setelah

para salik jalan Allah sampai kepada puncak kesempurnaan firman

Ilahi yang menegaskan, ‘Jika Aku mencintai seorang hamba, Aku

akan menjadi telinga, penglihatan, kaki, tangan, dan lisannya,’

serta sampai kepada maqam cinta. Setelah sampai kepada kedua

maqam ini, mereka terbagi ke dalam dua golongan:

p:135


1- 174 Al-Tamhîdât, hlm. 350-351.

Golongan pertama: cahaya tajallî Ilahi menutupi cahaya akal.

Mereka tenggelam ke dalam samudera ketunggalan dan menjadi

sirna. Kondisi akal mereka untuk selamanya, tidak kembali lagi

dari ‘kemabukan’ ke ‘pantai’ kesadaran. Akal mereka telah dicabut,

para ulama dan wali sepakat bahwa taklif syariat dan ibadah gugur

dari pundak mereka, karena seluruh taklif hanya dibebankan

atas akal. Golongan ini dikenal dengan nama ‘gila (wâlih) di jalan

tarekat’.

Golongan kedua: setelah tenggelam ke dalam samudera

ketunggalan, sirna dari diri mereka, dan kekal karena kekekalan

Dzat Yang Maha Haqq, mereka dikembalikan lagi dan sadar

setelah sirna (al-shahw ba‘d al-mahw) dan ketercerai-beraian setelah

kemanunggalan (al-farq ba‘da al-jam‘). Tujuan pengembalian demi

membimbing seluruh makhluk. Permulaan seluruh taklif syariat,

baik yang wajib maupun yang sunah, di akhir langkah pun mereka

juga masih memiliki kewajiban tersebut. Mereka tidak pernah

mengabaikan seluruh syariat dan ibadah sedetik pun. Golongan

kedua ini juga terbagi dalam dua kelompok:

Kelompok pertama: setelah kembali ke dunia keterceraiberaian

dan keberbilangan (al-farq wa al-katsrah), mereka tertutup

dari dunia ketunggalan dan kemanunggalan karena efek-efek dunia

keberbilangan telah mendominasi diri mereka. Dalam kondisi

seperti ini, supaya kondisi dunia ketunggalan dan kemanunggalan

tetap terjaga, mereka harus melaksanakan seluruh perantara yang

dapat menyambungkan mereka dengan dunia tersebut, seperti

ibadah dan zikir. Keharusan ini berguna karena dua hal: pertama,

supaya mereka keluar dari kondisi ketertutupan; dan kedua,

guna memberikan petunjuk kepada orang-orang yang meminta

petunjuk.

Kelompok kedua: setelah sampai ke maqam tauhid dan tingkat

kemanunggalan dan kemutlakan, mereka kembali kepada maqam

jam‘ al-jam‘ dan kekekalan setelah kefanaan guna menyempurnakan

p:136

orang-orang yang tidak sempurna. Karena kesempurnaan mereka

telah sampai ke puncak paling tinggi, sisi keberbilangan mereka

tidak menjadi tirai bagi dunia ketunggalan. Tetapi, malah

sebaliknya. Kelompok ini memiliki tugas menyempurnakan orangorang

yang tidak sempurna, karena kelompok ditugaskan supaya

menjaga seluruh perintah dan larangan syariat.(1)

Selanjutnya, Lahiji menambahkan:

Jika seorang arif termasuk golongan orang-orang sempurna

yang telah disebutkan pada bagian ketiga, ia masih memperoleh

perintah untuk melaksanakan seluruh hukum syariat; perintah dan

larangan tidak gugur dari mereka, karena ia bertugas membimbing

orang lain. Meskipun demikian, karena ia telah sampai ke puncak

kesempurnaan, ia sudah diwajibkan memelihara perantara guna

menyempurnakan dirinya.”

Dalam prolog, jld. 5 Masnawi, Maulawi membubuhkan:

Syariat tidak ubahnya seperti belajar ilmu medis. Tarekat adalah

seperti menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh ilmu medis,

mengkonsumsi obat, memperoleh hakikat kesehatan abadi, dan

membebaskan diri dari keduanya. Setelah seseorang meninggal

dunia, syariat dan tarekat terputus darinya. Yang akan tersisa

adalah hakikat.

Ketika melakukan komparasi antara pernyataan para ulama dan

urafa, Lahiji menulis, “Golongan urafa yang tidak kembali ke maqam

kesadaran dari ketenggelaman dan kemabukan, akal mereka telah

dicabut. Sebagian ulama sepakat bahwa taklif syariat dan seluruh

ibadah lahiriah gugur dari mereka. Mereka adalah bak makhluk

Dzat Maha Haqq yang tidak lagi dikenai kewajiban membayar pajak.

p:137


1- 175 Mafâtih Al-A‘jâz fi Syarh Golsyan-e Roz, hlm. 299-304.

Golongan ini tidak dapat diikuti dan juga tidak dapat ditolak. Adapun

urafa yang kembali ke pantai kesadaran dari lautan kemabukan dan

kesirnaan, seluruh taklif syariat dan ibadah tidak gugur dari pundak

mereka. Hasilnya, pernyataan para ulama dan urafa keduanya adalah

benar.”(1)

Sebenarnya tidak ada perbedaan antara pandangan fuqaha dan

urafa. Keguguran taklif senantiasa disandarkan kepada ketiadaan

syarat-syarat taklif, seperti kefanaan diri arif, kesirnaan, dan kehilangan

akal dan pikirannya.

Hal ini adalah sebuah masalah yang sangat gamblang, rasional, dan

mudah dipahami. Ketika membenarkan keguguran taklif, Ibn Sina juga

melontarkan tolok ukur tersebut. Ia berkata, “Bagaimana mungkin arif

tersebut dibebani taklif, sedangkan taklif hanya diperuntukkan kepada

orang yang memahaminya?”(2)

Dari penjelasan di atas dan pernyataan para urafa yang lain dapat

disimpulkan mereka meyakini keguguran taklif dengan tiga alasan:

Ketidak-sadaran diri seorang arif dalam sebagian kondisi.

Hukum-hukum syariat berhubungan dengan bingkai insaniah

manusia. Jika seseorang berhasil melangkah lebih tinggi dari

bingkai tersebut, maka taklif akan gugur dari pundaknya. Hal ini

dinyatakan oleh ‘Ainul Qudhat.

Mengamalkan syariat adalah sebuah perantara untuk memperoleh

kesempurnaan. Setelah tujuan berhasil digapai, perantara itu

tidak akan bernilai lagi. Alasan ini dapat dipahami dari pernyataan

Maulawî.

Di antara ketiga alasan ini, hanya alasan pertama yang dapat

diakurkan dengan prinsip ilmu fiqih. Alasan kedua dan ketiga tidak

sejalan dengan prinsip-prinsip fiqih tersebut.

p:138


1- 176 Syarh-e Gosyan-e Roz, hlm. 303.
2- 177 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-9; Moqaddameh-ye Syarh-e Ta’iyyeh, Dawud Qaishari, tujuan ke-2, pasal 1.
c. Perubahan Hukum

Menurut pandangan Dawud Qaishari, kandungan sebuah intuisi

(kasyf) dapat bertentangan dengan kesepakatan para ulama agama. Ia

berkata,

Apabila kesepakatan para ulama lahiriah bertentangan dengan intuisi

yang benar dan sesuai dengan intuisi Nabawi, kesepakatan ini

tidak menjadi hujah bagi para urafa pemilik intuisi tersebut.

Penentangan para urafa pemilik intuisi terhadap kesepakatan

para ulama lahiriah tidak lantas mengundang cercaan dan juga

tidak menyebabkan hal itu keluar dari garis syariat, karena

para urafa ini mengambil hukum mereka dari batin Rasulullah

Saw dan Ahlul Bait beliau.”(1)

Atas dasar ini, para urafa Muslim memperbolehkan untuk mengubah

hukum Islam dalam kondisi-kondisi tertentu sesuai pemahaman

mereka. Pada hakikatnya, mereka sedikit banyak meyakini relatifitas

hukum. Maulawî memaparkan relatifitas ini dalam kisah Musa dan

Syabân. Disebutkan, salah seorang nabi Ulul Azmi berjumpa dengan

seorang penggembala. Sang nabi meminta supaya penggembala itu

mengikuti agamanya. Tetapi, penggembala tersinggung mendengar

ucapan nabi tersebut dan lantas mengarahkan pandangannya kepada

gunung dan padang sahara. Allah menegur Nabi Musa as. dan membenarkan

tindakan sang penggembala. Maulawî memaparkan firman

Allah itu dalam bait-bait syair berikut ini:

Kami telah tentukan sirah bagi tiap orang;

kami telah berikan istilah bagi tiap orang.

Menurut dia baik dan menurutmu buruk;

menurut dia baik dan menurutmu ditolak.

Kami bebas dari semua kesucian dan kekotoran;

dari semua tindakan dan perbuatan.

p:139


1- 178 Moqaddameh-ye Syarh-e Ta’iyyeh, tujuan ke-2, pasal 1.

Pujilah bangsa India dengan istilah India;

pujilah bangsa Sindi dengan istilah Sindi. (1)

Relativitas ini menegaskan bahwa syarat utama untuk seluruh

peristiwa dan kejadian adalah sisi batin manusia, bukan sisi lahirnya.

Dalam pandangan para ulama agama, segala bentuk perubahan hukum

syariat tidak diperbolehkan. Perubahan hanya dibolehkan dalam

kondisi tertentu yang pemilik syariatnya sendiri mengizinkan hukumhukum

sekunder menduduki hukum-hukum primer. Dalam keadaan

ini pun, pada hakikatnya hukum yang berlaku memang demikian,

bukan berubah.

Meski bagaimanapun, berdasarkan prinsip para urafa Islam,

karena kenabian Rasulullah Saw memiliki ruang lingkup yang terluas

dan intuisi beliau adalah intuisi yang paling sempurna dibandingkan

dengan intuisi-intuisi yang lain, tidak ada sebuah intuisi lain pun yang

dapat dibayangkan berada di luar ruang lingkup intuisi beliau itu.

Penentangan intuisi terhadap syariat sering dilontarkan Ibnu

Arabidalam beberapa kesempatan(2) dan mendapat kritik yang serius.

Penentangan ini dapat dijelaskan dalam tiga gambaran:

Pertama, asal intuisi tidak salah dan juga tidak bertentangan

dengan syariat. Tetapi, pandangan seorang salik bertentangan dengan

syariat. Ibnu Arabi dalam buku Asrâr Al-Kholwah mengisyaratkan hal

ini; kedua, seperti telah kami paparkan, syariat memiliki sisi batin yang

beraneka ragam. Dengan cara perjalanan dalam tingkatan-tingkatan

wujud, manusia mengenal sisi-sisi tersebut. Dalam setiap tingkatan, ia

berhasil menyingkap sejumlah rahasia. Mungkin saja hukum-hukum

yang berlandaskan pada rahasia-rahasia khusus untuk satu tingkatan

secara lahiriah bertentangan dengan hukum-hukum yang khusus

dimiliki oleh tingkatan-tingkatan yang lain. Padahal, hukum ini tidak

sedang saling berseberangan, tetapi berada pada jalur vertikal antara

yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, hukum yang disimpulkan

p:140


1- 179 Masnavi-ye Molavi, buku ke-2.
2- 180 Risâlah Asrâr Al-Khalwah, Ibnu Arabi.

Nabi Khidir as bertentangan secara lahiriah dengan hukum yang

diyakini oleh Nabi Musa as. Padahal hakikatnya setiap hukum adalah

sahih dan benar pada kedudukannya masing-masing.(1)

Khidir memotong leher anak laki-laki itu;

masyarakat awam tidak memahami rahasianya.

Orang yang menerima wahyu dan firman dari Allah;

segala tindakannya adalah kebenaran.

Benar juga bila pemberi jiwa mengambil jiwa;

ia adalah khalifah, tangannya adalah tangan Allah.

Jika Khidir membocorkan bahtera di lautan;

terdapat seratus kebenaran dalam pembocoran ini.

Akal Musa dengan seluruh nur dan seni itu tertutupi;

janganlah terbang bila kamu tidak bersayap. (2)

Ketiga, ini adalah yang paling menarik. Para urafa dan wali sedikit

banyak memiliki posisi kenabian. Meskipun kenabian membawa yang

syariat baru (nubuwwah at-tasyrî‘) telah ditutup. Tetapi, kenabian yang

bertugas menyampaikan syariat (nubuwwah al-ta‘rîf) sebagai hasil

sebuah wilâyah akan tetap berlanjut. Para wali dari umat Muhammad

Saw dapat juga memperoleh hukum-hukum syariat. Meskipun mereka

tidak berkewajiban menampakkan seluruh hukum tersebut kepada

masyarakat. Tetapi, mereka mengamalkannya. Jika hukum-hukum

ini bertentangan dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para

mujtahid agama, hal ini disebabkan mujtahid keliru dalam ijtihad

mereka. Seperti ditegaskan Ibnu Arabi, kekeliruannya bisa jadi karena

sebuah hadis yang diyakini sahih oleh para ulama. Tetapi, sebenarnya

tidak sahih. Mungkin juga disebabkan oleh hadis yang dibuang karena

jalur sanadnya memuat para perawi yang lemah. Tetapi, realitanya

hadis tersebut adalah sahih. Para wali menerima hadis tersebut dari

ruh Nabi Muhammad Saw secara langsung, sebagaimana para sahabat

p:141


1- 181 QS. Al-Kahf [18]: 60-82.
2- 182 Masnavi-ye Molavi, buku ke-1.

mendengarnya secara langsung dari lisan suci beliau. Oleh karenanya,

mungkin salah satu penyebab pertentangan antara intuisi dan syariat

adalah masalah ini.(1)

Para wali meyakini ilmu intuitif mereka lebih unggul dibandingkan

ilmu para fuqaha dan muhadis. Sebagaimana diungkapkan Bayazid,

para wali menerima ilmu dari Allah Yang Mahahidup, sedangkan para

ulama dan muhadis menerima ilmu dari orang-orang yang sudah

meninggal dunia.(2)

Selain perubahan hukum, toleransi dalam agama, hukum, dan

amalan keseharian juga dikemukakan tetapi akan dibahas pada

kesempatan mendatang.

3.3 Dua Masalah Pemicu Pertikaian

Point

Dalam perdebatan yang berlangsung antara para ulama dan urafa

Muslim, senantiasa terdapat dua masalah tentang kenabian yang

menebar pertikaian: pertama, kenabian ta‘rîf belum ditutup; kedua,

wilâyah adalah lebih utama daripada kenabian.

Kami akan menjelaskan kedua masalah tersebut secara singkat:

a. Kenabian Ta‘rîf

Berdasarkan prinsip ini, pertama, karena keunggulan tingkatan wujud

yang dimiliki, manusia memiliki sebuah keluasan, kemutlakan, dan

universalitas wujud yang khusus. Dengan kriteria-kriteria wujud ini,

ia menguasai seluruh alam semesta; menjadi hamba Allah dan juga

menjadi tuhan alam semesta; kedua, manusia dari sisi universalitas

dan dominasi wujud (wilâyah), berada pada maqam Allah dan serupa

dengan-Nya. Oleh karena itu, seluruh sifat dan kriterianya berada pada

kedudukan yang lebih unggul dibandingkan dengan manusia biasa,

serta serupa dan dekat kepada sifat-sifat Allah. Konse`kuensinya, ia

memiliki sebuah makrifat yang lebih utama; yakni wahyu dan ilham.

p:142


1- 183 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, bab 14, 31, 158, dan 159.
2- 184 Ibid., jld. 1, hlm. 31.

Dalam pandangan para urafa, kenabian tidak lain, seseorang yang

memiliki wilâyah dan kedekatan wujud kepada-Nya. Wilâyah adalah

universalitas wujudnya. Wilâyah sumber seluruh sifat dan efek yang

ia miliki. Di antara sifat dan efek-efek itu adalah ilmu dan tentang

alam gaib, kita menyebutnya wahyu. Dengan demikian, wilâyah—

sebagaimana telah kami paparkan adalah sumber kenabian. Jika

kenabian berbarengan dengan misi tabligh, hal ini disebut risalah.

Wilâyah meliputi kenabian dan kenabian meliputi risalah dan syariat.

Di antara ketiga wilâyah, kenabian, dan risalah, risalah adalah

sifat lahiriah dan duniawiah yang dimiliki oleh seorang utusan; yakni

peran perantara antara Allah dan makhluk dalam menentukan syariat.

Oleh karena itu, risalah termasuk dalam kategori kondisi (hâl), bukan

maqam.

Dengan alasan ini, risalah dan syariat dapat ditutup. Tetapi,

wilâyah kenabian tidak pernah ditutup dan senantiasa berlanjut. Para

wali menerima serentetan hakikat dan makrifat yang pada hakikatnya

adalah sejenis kenabian. Ibnu ‘Arabi menyebut makrifat ini dengan nama

“kenabian tahqîq” dan “kenabian umum”. Tetapi, hakikat dan

makrifat bersifat personal dan para wali dapat mengungkapkannya.

Hanya saja, mereka tidak memperoleh tugas untuk menyampaikannya

dan menentukan sebuah syariat dengan berlandaskan kepadanya. Sebaliknya,

mereka malah memperoleh perintah supaya tidak menyampaikannya

dan menentukan syariat dengan bersandarkan kepadanya.(1)

Jelas, tradisi dan pemahaman kaum agamis dan para ulama tidak

dapat menoleransi pandangan semacam itu. Pada akhirnya, satu prinsip

yang dapat kita terima hanyalah adanya pemberi berita gembira yang

secara umum berkembang di kalangan Mukminin. Keyakinan bahwa

setiap masa harus ada seorang quthb yang memiliki kuasa perantara dalam

makrifat jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunah.

p:143


1- 185 Ibid., jld. 1, bab 14, hlm. 50, jld. 2, bab 158, hlm. 256, dan bab 159, hlm. 258; Fushûsh Al-Hikam, pasal 1 dan 2; Syarh Qaishari, pembahasan kenabian; Jâmi‘ Al-Asrâr, hlm. 100.
b. Keunggulan Wilâyah atas Kenabian

Keunggulan wilâyah atas kenabian adalah salah satu masalah masyhur

dalam dunia irfan Islami. Ibnu Arabi dan para pensyarah meyakini hal

ini. Mengapa demikian? Kenabian adalah manifestasi dan kulit luar

wilâyah. Sesuatu yang menjadi faktor dan sebab kesempurnaan pada

hakikatnya adalah wilâyah. Tetapi, berdasarkan pandangan ini, ada dua

masalah yang muncul:

Pertama, pemahaman ulama dan kaum agamis tentang masalah

wilâyah. Mereka memahami, para wali dan syaikh irfan haruslah lebih

unggul dari sisi maqam dan tingkatan kesempurnaan dibandingkan

dengan para nabi; kedua, ajaran-ajaran pertama Islam (Al-Qur’an dan

Sunah) tidak pernah menyinggung masalah ini.

Para urafa menyelesaikannya dengan pembenaran sebagai berikut:

Keunggulan wilâyah atas kenabian tidak berarti bahwa para wali,

syaikh, dan qutb memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan

kedudukan para nabi. Kedudukan wilâyah para nabi memiliki

keunggulan atas kenabian dan risalah mereka. Alasannya, wilâyah

adalah sebuah maqam Ilahi yang menyebabkan mereka fana dalam

Dzat Yang Maha Haqq dan mengantarkan mereka kepada puncak

kesempurnaan. Dengan demikian, mereka dapat menggapai hakikat

gaib yang intuitif. Kenabian adalah sisi kemalaikatan mereka. Pada

maqam ini, mereka dapat berhubungan dengan para malaikat dan

menerima wahyu. Risalah adalah maqam insaniah dan kemakhlukan

para nabi. Pada maqam ini, mereka memiliki kedudukan yang sejajar

dengan manusia dan menyampaikan seluruh makrifat kepadanya.

Kesimpulannya, kedudukan wilâyah seorang nabi lebih tinggi

dibandingkan kedudukan kenabian dan risalahnya, bukan kedudukan

wilâyah seseorang yang bukan nabi dan rasul yang lebih tinggi. Para

wali irfan tidak mengklaim bahwa mereka tidak membutuhkan

kenabian.(1)

p:144


1- 186 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 2, hlm. 256-258; At-Tarâjim; Naqd Al-Nushûsh, hlm. 213.

Apabila Al-Qur’an dan Sunah tidak pernah menyinggung masalah

ini. Malah kita tidak pernah memiliki satu pun hadis palsu berkenaan

dengan masalah tersebut.

p:145

p:146

Bab 7

Point

Etika dan Amal dalam Agama dan Irfan

Kita Menyepakati Bahwa irfan dan agama memiliki prinsip yang

selaras dengan akhlak dan amal. Guna menelaah korelasi tersebut

dalam hubungannya dengan nilai-nilai universal dalam Islam, dapat

kita bagi dalam dua hal:

Kebebasan dan ikhtiar manusia.

Tujuan akhir akhlak dan amal.

Selanjutnya, kita harus mengkomparasikan pandangan agama dan

irfan berkenaan dengan akhlak amal personal, akhlak amal familial,

dan akhlak amal sosial. Hanya terlebih dahulu kami akan memaparkan

tentang kebebasan dan ikhtiar manusia dan tujuan akhir akhlak dan

amal manusia.

1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia

Point

Dalam tradisi agama, manusia adalah makhluk mukallaf yang memiliki

ikhtiar. Sementara dalam pandangan aliran Asy‘ariyyah, manusia

p:147

sekalipun atas nama kasb (usaha) harus bertanggung jawab atas seluruh

amal dan perbuatannya.

Ia mendapatkan pahala (dari kebaikan) yang telah diusahakannya

dan memperoleh siksa (dari kejahatan) yang telah dikerjakannya.

(QS. Al-Baqarah [2]: 285).

Dalam irfan Islami pun, selama manusia berada di alam keterceraiberaian

dan belum sampai ke alam kemanunggalan dan fana, ia adalah

mukallaf dan harus bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Guna

memperjelas masalah ini, patut kita camkan bersama bahwa manusia

dalam irfan Islami memiliki tiga wajah dan posisi yang berbeda dan

saling kontradiktif sebagai berikut:

Tidak memiliki ikhtiar lahiriah dan batiniah.

Bebas, berikhtiar, dan berperan dalam menentukan nasib.

Berpengaruh di alam semesta dan seluruh sistemnya.

Dalil perbedaan pandangan irfan dan tasawuf Islami memiliki

wajah beraneka ragam berdasarkan keadaan dan tingkatan wujud yang

ia miliki. Bukan hanya satu pribadi berbeda dengan satu pribadi yang

lain. Satu person itu sendiri dalam setiap hari, setiap jam, dan bahkan

setiap saat berbeda dengan dirinya pada hari, jam, dan saat yang lain.

Setiap hari adalah hari yang baru. Manusia kadang-kadang sangat hina

dan lemah sehingga ia bersedia menyembah patung kayu dan batu

hasil pahatannya sendiri. Kadang-kadang ia sangat agung dan maha

kuat sehingga ia mengumandangkan seruan “ana Al-Haqq” (akulah

Dzat Yang Maha Haqq) dan mengaku sebagai tuhan alam semesta.(1)

Dan kadang pula ia menganggap dirinya tidak memiliki ikhtiar, bahkan

ia meyakini bahwa dirinya tidak memiliki eksistensi. Sekarang kami

akan menjelaskan masing-masing wajah yang berbeda tersebut secara

ringkas.

p:148


1- 187 Naqsy Al-Fushûsh, pokok ke-1.

Etika dan Amal dalam Agama dan Irfan

a. Ketidakmampuan Manusia

Pertama, seluruh sifat bersumber dari maujud. Dalam konsep wahdat

al-wujûd yang diyakini oleh para urafa, tidak ada satu pun maujud

yang memiliki eksistensi kecuali Dzat Yang Maha Haqq. Kita tidak

berhak membicarakan eksistensi manusia, apalagi kemampuan

dan ikhtiarnya. Seluruh efek bersumber dari Sumber Yang Tunggal.

Sementara penisbahan efek tersebut kepada orang lain hanya bersifat

figuratif dan muncul dari khayalan dan ketidakmampuan akal kita,

atau karena sebagian kemaslahatan;

Kedua,(1) keluasan wujud manusia sebagai kawn jâmi‘ menuntut

ia menjadi manusia yang agung atau adakalanya menjadi manusia

hina. Kehinaannya bisa sampai pada suatu batas tertentu sehingga ia

berani menyembah batu dan kayu. Meskipun demikian, keagungannya

juga bisa sampai pada tertentu sehingga ia bisa menjadi tuhan untuk

seluruh semesta alam.

Ketiga, berlandaskan konsep “rahasia takdir”, seluruh manusia

memiliki sifat, kondisi, dan kemampuan yang telah ditentukan

sebelumnya dan tidak mungkin diubah kembali. Alam semesta adalah

sebuah releksi dari maujud (a‘yân) yang permanen dan hakikat-hakikat

ilmiah. Seluruh maujud dan hakikat adalah akibat logis (lawâzim) dari

sifat yang permanen dan tidak akan pernah berubah. Atas dasar ini,

seluruh alam semesta memiliki sistem yang tidak akan pernah berubah.

Manusia juga tidak terkecualikan dari prinsip ini.(2)

b. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia

Pertama, setiap arif sebelum sampai kepada maqam fana, sebagaimana

layaknya orang lain, berada dalam maqam ketercerai-beraian. Pada

kondisi ini ia pun sangat bergantung kepada akal dan panca inderanya.

Ia melihat keberbilangan. Ia memiliki jati diri. Ia adalah seseorang yang

p:149


1- 188 Ibid.
2- 189 Naqd An-Nushûsh fi Syarh Naqsy Al-Fushûsh, hlm. 116; An-Nafahât, hlm. 225-226.

mukallaf dan memiliki tanggung jawab; ia harus melakukan mujahadah

dan berjerih payah supaya dapat menemukan sebuah ‘harta karun.’;

Kedua, konsep manifestasi menuntut supaya setiap maujud menjadi

manifestasi asmâ’ dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Haqq. Tentunya,

sesuai dengan kapasitas yang ia miliki. Karena manusia adalah kawn

jâmi‘, setiap tingkatan kesempurnaan dapat menjadi manifestasi asmâ’

dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Haqq. Tentunya, kemampuan, ilmu,

dan ikhtiar adalah salah satu dari semua asmâ’ dan sifat itu.(1);

Ketiga, konsekuensi logis dari kesempurnaan wujud pada

tingkatan kekekalan setelah kefanaan dan ketercerai-beraian setelah

kemanunggalan adalah memperhatikan adab dan tatakrama. Tuntutan

konsep wahdat al-wujûd dan tauhid irfani seharusnya menisbahkan

seluruh peristiwa alam semesta, baik yang bersifat baik maupun buruk,

kepada Dzat Yang Maha Haqq. Meskipun demikian, dalam rangka

memperhatikan adab dan tatakrama, seorang arif yang sempurna

menjadikan dirinya sebagai perisai untuk Allah sehingga setiap jenis

kekurangan dan cela tertuju kepadanya, dan Dzat Yang Maha Haqq

tetap tersucikan dari setiap jenis aib dan cela.(2)

Hai Hafez meskipun dosa bukan berada di tangan kita,

tetapi jagalah adab dan katakan dosaku.

Hafizd

c. Kemampuan Manusia

Pada dua tingkatan dan maqam, seorang arif melontarkan ucapan yang

bukan menunjukkan rintihan ikhtiarnya, tetapi merupakan bukti atas

jeritan kemampuannya:

Pertama, pada maqam kemanunggalan dan kefanaan. Ia

menisbahkan seluruh asmâ’ dan sifat Ilahi kepada dirinya. Ia

hlm. 167.

p:150


1- 190 Fushûsh Al-Hikam, Ibnu Arabi, pokok ke-10.
2- 191 Ibid.; Naqd An-Nushûsh fi Syarh Naqsy Al-Fushûsh, hlm. 192; Syarh Fushûsh Al-Hikam,

mengumandangkan seruan “Anâ Al-Haqq” dan meyakini dirinya

sebagai sumber utama seluruh peristiwa di alam semesta.(1);

Kedua, dalam kelapangan jiwa (basth), seorang arif menyaksikan

tanda-tanda inayah dan tajallî Sang Kekasih, dan ia merasakan

kemabukan cinta. Klaim semacam ini banyak ditemukan dalam syairsyair

cinta (basthiyyah wa syathhiyyah) para urafa Muslim. Khususnya

dalam syair-syair hasil karya Maulawî.(2)

Tidak satu pun fondasi di atas yang sesuai dengan pandangan

ulama dan pemahaman tradisional kaum agamis, kecuali fondasi

pertama, poin kedua. Berlandaskan hal tersebut, para urafa menetapkan

beberapa masalah dalam ruang lingkup akhlak dan amal yang tidak

dapat diterima oleh para ulama, dan tentunya juga tidak bisa dijangkau

oleh pemahaman masyarakat umum. Keguguran taklif dari pundak

para urafa yang sudah menggapai kesempurnaan dan telah sampai

kepada Dzat Yang Maha Haqq adalah salah satu masalah tersebut.

2. Tujuan Akhir Akhlak dan Amal

Kita sudah membahas masalah ini. Tetapi, masalah etika perlu

diutarakan lebih rinci.

Dalam pandangan agama, tujuan akhir akhlak dan amal untuk

mencapai keridhaan, dan mendekatkan diri ke keharibaan-Nya.

Akhlak buruk dan amal yang tidak terpuji dapat mengundang murka

Allah dan menjauhkannya dari inayah dan rahmat-Nya.

Akhlak terpuji sangat ditekankan oleh Islam. Rasulullah Saw

diutus untuk menyempurnakan keutamaan akhlak. Beliau bersabda,

“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Hanya dengan perantara akhlak mulia dan amal salih, kita dapat

menunaikan hak iman, terhindar dari kecelakaan dan kerugian serta

berhasil melaksanakan ujian Ilahi. Tetapi, menurut pandangan irfan,

p:151


1- 192 Moqaddameh-ye Syarh-e Ta’iyyeh, tujuan ke-3, pasal 1.
2- 193 Kolliyät-e Divän-e Shams, Maulawî.

tujuan semua itu supaya kita sampai kepada maqam kesempurnaan

wujud dan makrifat, yang akhirnya kita fana dalam Dzat Yang Maha

Haqq. Dalam pandangan para urafa, akhlak mulia dan amal salih

hanyalah suatu perantara untuk mendidik manusia supaya ia menjadi

manusia berkarakteristik Ilahi. Dengan kata lain, tujuan akhlak

dan amal dalam pandangan agama adalah memperbaiki hubungan

antara hamba dan Allah sehingga ia memperoleh keridhaan Ilahi.

Sedangkan, dalam pandangan irfan, semua itu bertujuan supaya ia

dapat meneruskan perjalanan dalam menempuh kesempurnaan

wujudnya. Tujuan agama adalah mengatur kehidupan dan menjamin

kebahagiaan manusia di kehidupan duniawi dan ukhrawi melalui jalan

menaati perintah dan menjauhi larangan Ilahi. Sedangkan, tujuan irfan

adalah suluk dan kesempurnaan manusia pada sisi-sisi batiniah serta

perubahan wujudnya secara total.

3. Sumber-Sumber Nilai Etis dan Praktis

Dalam pandangan tradisi agama, pada tingkat pertama, nilai-nilai etis

dan praktis bersumber dari ajaran agama dan perintah Ilahi. Pada

tingkat berikutnya, nilai tersebut bermuara dari diagnosa fitrah manusia

atau yang lebih dikenal dengan nama “nurani etis” (vejdon-e akhlaqi).

Setiap manusia mampu mendiagnosa prinsip nilai dan anti nilai.

Allah berfirman, “Lalu Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan)

kefasikan dan ketakwaannya.”(1)

Tetapi, dalam pandangan irfan, nilai etis dan praktis tidak bermuara

dari ajaran agama dan nurani etis. Masih banyak sumber lain,

di antaranya:

Dominasi cinta dan kehendak kolektif seluruh alam semesta untuk

kembali kepada asal-muasal mereka.

Rahasia takdir.

Konsep wahdat al-wujûd.

p:152


1- 194 QS. Al-Syams [91] :8.

Prinsipalitas (ashâlah) sisi batiniah.

Seluruh instruksi para syaikh secara umum dan ajaran-ajaran

mursyid setiap salik secara khusus.

4. Penggerak Akhlak Mulia dan Amal Salih

Dalam pandangan agama, faktor yang mendorong manusia melakukan

amal salih dan berakhlak mulia adalah sebagai berikut:

Keimanan kepada Allah dan Hari Pembalasan.

Pendidikan yang benar.

Lingkungan yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai keutamaan.

Naluri etis manusia.

Tindak berhati-hati dan konsep kemaslahatan yang tersimpan

dalam akal manusia.

Para urafa Muslim, menambahkan faktor lain yang dapat

mendorong manusia berakhlak mulia dan beramal salih:

Riyadhah yang tidak bertujuan untuk memerangi hawa nafsu,

tetapi membunuh hawa nafsu.

Dominasi cinta dan kehendak kolektif seluruh alam semesta untuk

kembali kepada asal-muasal mereka.

Rahasia takdir dan kemampuan yang bersifat azali.

Faktor kesempitan dan kelapangan jiwa (qabdh wa basth).

Prinsip wahdat al-wujûd.

Konsep prinsipalitas batin dan kekhayalan sisi lahiriah.

Instruksi syaikh dan mursyid.

Supaya buku ini tidak terlalu tebal, kami sengaja tidak menjelaskan

seluruhnya sekalipun secara ringkas. Sebab, sedikit banyak kita sudah

mengetahui maksud tersebut.

p:153

5. Amal Agamis dan Amal Irfani

Point

5. Amal Agamis dan Amal Irfani

Kami akan menelaah secara ringkas apa yang dimaksud dengan akhlak

personal, familial, dan sosial.

5.1. Akhlak dan Amal Personal

Masalah akhlak dan amal salih bagi setiap orang dalam pandangan

agama sudah sangat gamblang. Keharusan berbuat baik dan menjauhkan

diri dari perbuatan buruk disepakati juga oleh agama dan irfan. Nilainilai

keutamaan kebaikan dapat kita urai menjadi: takwa, adil, berani,

rendah hati, jujur, ikhlas, cinta, sabar, dermawan, dan rela berkorban.

Sebaliknya, dusta, iri hati, pengecut, kikir, mendambakan keburukan

orang lain, mencuri, menipu, sombong, bejat, kezaliman, dan ingin

dipuji orang adalah perilaku-perilaku yang buruk dan tercela.

Keutamaan atau keburukan masing-masing karakter di atas sejalan

dengan ajaran irfan dan agama. Tetapi, ada satu hal yang menurut ajaran

irfan tergolong sikap terpuji, tetapi agama tidak membenarkannya.

Sebagai contoh, tindakan mempersulit diri. Berdasarkan prinsip

riyadhah, perbuatan mempersulit diri sendiri adalah tindakan terpuji.

Agama tidak menerima hal ini, karena sama dengan ajaran monasticisme

dan bid’ah. Begitu pula, melakukan tarian sufi, menempuh jalan hidup

yang mengundang cercaan orang lain, usaha agar tidak dikenal orang,

atau hidup dengan nama yang buruk.

5.2. Akhlak Familial

Dalam bidang ini, agama dan irfan memiliki kesepakatan dalam

banyak masalah. Meskipun demikian, dalam beberapa kondisi, irfan

menganjurkan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran

agama, seperti membujang dan tidak membentuk sebuah kehidupan

berumah tangga.

p:154

5.3. Akhlak dan Amal Sosial

Point

Berkenaan dengan akhlak dan amal dalam bidang sosial terdapat

beberapa anjuran irfani yang bertentangan dengan aturan agama.

Sebagai contoh, toleransi terhadap para pemeluk agama dan mazhabmazhab

lain atau kompromi terhadap orang-orang yang berbuat dosa.

Kami akan mengutarakan akhlak perilaku para urafa, sembari

menjelaskan sebagian dari pemikiran mereka. Setelah mempelajari

buku-buku hasil karya para urafa dan banyak bergaul dengan para

syaikh tasawuf, Ibn Sina dapat menyusun ajaran para urafa secara

rinci dan teliti. Ia juga menerangkan ajaran-ajaran tersebut. Sebagai

bukti atas keberhasilan Ibn Sina ini, karya tulisnya tidak memperoleh

penentangan dan kritikan dari para urafa yang hidup pada abad-abad

setelah itu. Oleh karena itu, kami akan menukil pernyataannya:

a. Seorang arif memiliki wajah ceria, menyenangkan, dan senantiasa

tersenyum. Karena kerendahan hati, ia mengagungkan sesuatu

yang kecil seakan-akan sesuatu itu agung, dan memperlakukan

orang-orang yang tidak dikenal seakan-akan ia sedang bergaul

dengan orang-orang yang masyhur. Bagaimana mungkin ia tidak

berwajah ceria, sedangkan ia telah jatuh cinta kepada Dzat Yang

Maha Haqq, serta juga cinta kepada segala sesuatu dan ia melihat

Dzat Yang Maha Haqq pada segala sesuatu itu? Bagaimana mungkin

ia tidak memandang seluruh manusia itu sama, sedangkan ia

mendapatkan seluruh manusia itu sama? Hanya mereka yang

sibuk dengan kebatilanlah yang layak dikasihani.

b. Seorang arif memiliki beberapa kondisi yang menyebabkan ia tidak

mampu menahan segala sesuatu, sekalipun suara yang sangat pelan,

apalagi penghambat dan penghalang-penghalang yang lain. Hal

ini terjadi ketika batinnya telah terbang menuju Dzat Yang Maha

Haqq. Akan tetapi, sebuah tirai batin menutup jalannya. Keadaan

ini terjadi sebelum ia sampai kepada Allah, tetapi setelah sampai

kepada-Nya. Terkadang ia tenggelam dalam Dzat Yang Maha Haqq

dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. Dan terkadang ia

p:155

dapat menggapai kedua sisi: Allah dan makhluk, karena ia memiliki

kekuatan sehingga masing-masing tidak menjadi penghalang

baginya. Begitu pula saat ia kembali dari haribaan Dzat Yang Maha

Haqq dan mengenakan pakaian kemuliaan. Pada kondisi ini, ia

mampu memikul segala sesuatu, karena ia adalah makhluk Allah

yang paling bahagia karena keelokan dirinya.

c. Seorang arif tidak pernah mengintai dan memata-matai orang lain.

Ketika melihat kemungkaran, ia tidak melakukan sebuah tindakan

yang didorong oleh amarah. Sebaliknya, ia akan menghadapinya

dengan penuh iba dan rasa kasihan, karena ia mengetahui rahasia

takdir. Ketika ia melakukan amar makruf, ia melakukannya

dengan penuh toleransi, bukan dengan tindakan keras dan penuh

penghinaan. Jika ia melihat sebuah makruf yang sangat agung, ia

merasa “iri” terhadap orang yang telah melakukannya.

d. Seorang arif adalah pemberani. Mengapa tidak? Ia tidak takut

terhadap kematian. Ia dermawan dan terbuka tangan. Mengapa

tidak? Ia tidak pernah menambatkan hati kepada kebatilan. Ia

adalah pemaaf. Mengapa tidak? Jiwanya sangat agung sehingga

ia tidak akan terpengaruh oleh keburukan yang dilakukan oleh

orang dan lantas membuatnya bertindak tidak senonoh. Ia akan

membuang seluruh bentuk permusuhan dan kesumat. Mengapa

tidak? Kalbunya selalu diisi oleh keberadaan Dzat Yang Maha Haqq.

e. Ditinjau dari sisi usaha dan keinginan, para urafa memiliki tingkatan

jiwa berbeda-beda. Perbedaan ini timbul dari motivasi ‘ibrah yang

mereka miliki. Bisa jadi kehidupan yang sulit dan mudah adalah

sama bagi seorang sufi atau bahkan lebih sulit dari kelihatannya.

Kebahagiaan dan kesengsaraan sama baginya, tetapi ia lebih

memilih kesengsaraan. Hal ini terjadi ketika ia memandang bahwa

kebahagiaan berkonsekuensi menghinakan seluruh makhluk

selain Allah. Bisa jadi seorang sufi memilih untuk merias diri dan

berbau semerbak mewangi, memilih sesuatu yang terbaik, dan

menjauhi segala sesuatu yang kurang dan tidak berharga. Hal ini

p:156

terjadi ketika ia memperhatikan sisi lahiriah. Oleh karena itu, pada

setiap sesuatu, ia mencari sesuatu yang terbaik. Hal ini karena ia

menemukan inayah Ilahi yang terbanyak dalam sesuatu itu dan

memandangnya lebih serupa dan lebih dekat kepada Sang Kekasih.

Perbedaan ini kadang terjadi pada para urafa yang berbeda-beda,

dan kadang-kadang juga ditinjau dari masa dan kondisi berbedabeda

yang dimiliki oleh satu orang arif.”(1)

Unsur-unsur terpenting dalam irfan sebagai berikut:

a. Kecintaan kepada Dzat Yang Maha Haqq dan seluruh manifestasi-

Nya. Kecintaan ini adalah sumber universalitas kecintaan kepada

segala sesuatu. Alasannya, kedengkian dan prasangka buruk

timbul dari segala jenis kontradiksi, perpecahan, dan pandangan

yang dangkal. Stice berkata, “Dalam jati diri irfani terpendam

unsur kecintaan yang sangat dalam. Kecintaan ini adalah motivasi

tertinggi untuk mengerjakan amal-amal yang baik.”(2)

b. Keceriaan dan kebahagiaan yang sempurna dipenuhi oleh Dzat

Yang Maha Haqq. Unsur ini menjadi sumber kemuliaan jiwa, rasa

toleransi, pengusiran seluruh kesumat, dan karakteristik insani

yang tinggi. Alasannya, sumber utama kedengkian mengharapkan

keburukan bagi orang lain, dan kesumat adalah perasaan lemah,

kekurangan, dan merasa membutuhkan.

c. Pengetahuan terhadap rahasia takdir yakni tidak menghina orang

lain, khususnya orang-orang yang berdosa, tidak mengintai dan

memata-matai mereka, mengharapkan kebaikan, belas kasih, dan

memaafan segala kesalahan mereka.

Jangan engkau memandang aku yang mabuk dengan penuh hina;

tidak ada satu pun maksiat dan zuhud tanpa kehendak-Nya.

Hafizd

p:157


1- 195 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-9. Bandingkan dengan buku Mishbâh Al-Hidâyah, Izzuddîn Al-Kâsyânî, hlm. 340-341.
2- 196 Erfän va Falsafeh, Stice, terjemahan Bahâ’uddîn Khorramshahi, cet. 1, hlm. 355.

Hal ini karena sikap memandang orang lain buruk dan tidak

lagi memperhatikan situasi dan kondisi. Begitu pula, ia tidak

memperhatikan faktor dan masa lalu yang mempengaruhi seluruh

perilaku dan amalnya.

d. Tidak takut terhadap kematian. Sebaliknya, rindu kepadanya.

Unsur ini menjadi sumber utama keberanian. Alasannya, seluruh

rasa takut berakhir kepada ketakutan terhadap kematian.

e. Menjauhi cinta terhadap dunia. Hasil unsur ini adalah

kedermawanan, kejujuran, dan kebebasan. Alasannya, sumber

utama kekikiran dan ketamakan merupakan kehinaan.

Ketergantungan kepada materi adalah ketergantungan kalbu

kepada dunia. “Kecintaan kepada dunia adalah kepala seluruh

kesalahan.”

f. Menguasai seluruh keinginan dan naluri. Tidak diragukan lagi, salah

satu ajaran utama irfan adalah riyadhah dan menundukkan hawa

nafsu dan keinginan. Unsur ini dalam diri manusia sangat dominan.

Jika setiap perilaku buruk bertentangan dengan kebenaran,

hakikat, kesucian, dan keadilan dilakukan secara sengaja, tindakan

ini pastilah bersumber dari hawa nafsu. Barangsiapa berhasil

menundukkan hawa nafsunya, ia akan teramankan dari niat-niat

jahat dan perilaku-perilaku buruk.

g. Wahdat al-wujûd. Hasil prinsip ini adalah kesatuan maujud

secara fundamental. Di antaranya, kesatuan hakiki seluruh jiwa

manusia. Secara alamiah, pemikiran semacam ini adalah kecintaan

yang dalam dan tidak teruraikan di antara umat manusia. Stice

berkata:

Teori irfani ajaran akhlak yang berlandaskan pemisahan jiwa

secara parsial membuat manusia menyembah dirinya sendiri.

Hal ini menjadi sumber seluruh peperangan, ketamakan,

pertikaian, kedengkian, kezaliman, kerusakan cara berpikir,

serta muara seluruh petaka keburukan dan ketidak-adilan.

p:158

Seperti juga yang dikatakan Thomas Hobbes, korelasi nurani

bersifat natural karena kesadaran irfani setara dengan

perasaan mencintai. Dalam korelasi ini seorang arif tidak lagi

melihat perbedaan antara ‘aku’ dan ‘kamu’ atau antara ‘kamu’

dan ‘dia’; ia melihat seluruh makhluk dalam jiwa yang bersifat

universal sebagai sesuatu yang satu. Berdasarkan teori ini,

kasih sayang adalah satu-satunya akar dari ajaran akhlak.

Setelah itu, Stice menukil perkataan Arthur Schopenhauer.

Meskipun Schopenhauer bukanlah seorang arif dan bukan juga

figur keutamaan akhlak. Tetapi pemikirannya dipengaruhi ajaran

irfan Barat dan Timur. Ia dapat menjelaskan substansi metafisik

teori ini dengan sangat baik. Schopenhauer berkata:

Barangsiapa berhasil melalui batas-batas parsial dan mengenal

hakikat universal di antara sekian banyak hakikat parsial, ia

pasti memahami perbedaan antara orang yang menyebabkan

penderitaan dan orang yang memikul penderitaan hanya bersifat

lahiriah dan tidak memiliki hubungan dengan alam realita

(nafs al-amr). Penyebab penderitaan dan pemikul penderitaan

adalah satu. Jika tirai tersingkap dari mereka dan mereka

dapat melihat dengan satu kaca-mata, niscaya penyebab penderitaan

dapat melihat dengan jelas bahwa ia berada dalam

wujud orang-orang yang sedang mengalami penderitaan itu.

(1)

Dalam irfan Islami berkenaan dengan masalah ini seperti yang

tertuang dalam pernyataan “Bani Adam adalah laksana anggota

tubuh manusia, dalam penciptaan mereka berasal dari satu mutiara”

dan sangat lumrah “apabila satu anggota tubuh merasakan

sakit pada suatu hari, anggota-anggota tubuh yang lain

p:159


1- 197 Ibid., hlm. 337-338.

tidak akan merasa tenang”, hal ini dalam keseharian banyak kita

jumpai.

Arif adalah seseorang yang dapat meniadakan seluruh faktor

lahiriah perbedaan dan pertikaian tersebut. Ia sanggup menemukan

cahaya rahasia-Nya. Dalam jalan ini, ia harus mencintai seluruh

jenis makhluk dan memahami penderitaan mereka secara

mendalam. Syaikh Abul Hasan Al-Kharqânî (wafat tahun 426 H.)

berkata:

Apabila jari salah seorang penduduk Turkistan hingga Syam

terkena duri, maka penderitaan itu adalah milikku. Begitu

pula, apabila kaki salah seorang penduduk Turki hingga Syam

terbentur batu, maka penderitaannya adalah milikku. Jika

sebuah hati tertimpa sebuah kesedihan, maka kesedihan itu

adalah milikku.”

Syaikh Abul Hasan melanjutkan:

Allah Swt manganugerahkan daya berpikir kepadaku.

Karena daya berpikir ini, aku mengenal keesaan-Nya

hingga aku sampai pada suatu tingkatan di mana pikiranku

menjadi sebuah hikmah, jalan yang benar, dan kasih sayang

kepada seluruh makhluk. Aku tidak menemukan orang yang

lebih memiliki kasih sayang kepada para makhluk daripada

diriku sendiri. Seandainya kematianku menggantian

kematian mereka. Seandainya hisab amal seluruh makhluk

ditimpakan ke pundakku sehingga mereka tidak perlu lagi

dihisab pada Hari Kiamat. Oh, seandainya siksa seluruh

makhluk ditimpakan kapadaku sehingga mereka tidak

pernah melihat siksa dalam neraka.(1)

p:160


1- 198 Tadzkirah Al-Awliyâ’, jld. 2, hlm. 215-217.

h. Alam batin adalah prinsipal dan alam lahir hanyalah sebuah khayal.

Konsekuensi prinsip ini adalah kelapangan pandangan berkenaan

alam lahir dan seluruh bentuk manifestasi. Dalam pandangan

para urafa, alam semesta memiliki dua sisi: pada satu sisi, terdapat

hakikat yang didominasi oleh ketunggalan, kemutlakan, dan

bersifat akromatik (tidak berwarna). Sisi ini adalah abadi, prinsipal,

dan riil. Pada sisi yang lain, terjelma manifestasi-manifestasi

hakikat tersebut. Sisi ini berbilang, bersifat khayali, konvensif,

tidak kekal, figuratif, dan nonprinsipal. Sisi ini diciptakan oleh

pemahaman kita yang kurang dan keberbilangan yang kita miliki.

Jangan sampai kita lupakan. Sisi prinsipal alam semesta

hanya dapat dipahami melalui pengalaman intuitif. Sedangkan,

sisi nonprinsipal dan khayali berhubungan dengan akal dan

panca indera, serta menjadi sumber interpretasi, pengetahuan,

dan makrifat sehari-hari.(1)

Prinsip ini memiliki konsekuensi logis, di antaranya:

1. Toleransi terhadap Agama dan Aliran-Aliran yang Lain

Berdasarkan konsep prinsipalitas alam batin dan konvensifitas

(i‘tibâr) alam lahir, perbedaan agama yang ada tidak begitu penting,

karena seluruh perbedaan hanya berhubungan dengan alam lahir

dan interpretasi. Tujuan seluruh makhluk hanyalah satu. Abu Sa‘id

Abul Khair menyatakan: “Sebanyak jumlah makhluk semesta alam

terdapat jalan menuju kepada Dzat Yang Maha Haqq.”(2)

Atas dasar ini, jalan untuk sampai kepada Allah Swt tidak pernah

tertutup bagi siapa pun. Para pengikut agama yang membatasi jalan

menuju kepada Allah hanya mungkin dicapai melalui agama mereka

sangatlah keliru besar.

p:161


1- 199 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-9, 10, dan 15; Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 1, hlm. 263.
2- 200 Asrâr Al-Tauhîd, hlm. 320.

Ibnu Arabi menyatakan:

Setiap hamba memiliki keyakinan khusus tentang Tuhan yang

telah menciptakan dirinya. Ia menemukan-Nya seukuran luas

perasaan dan pandangan yang terdapat dalam dirinya. Atas dasar

ini, keyakinan tentang para tuhan, sebagaimana keberadaan

para tuhan itu sendiri, sangat berbeda dan beraneka ragam.

Tetapi, seluruh keyakinan tersebut hanyalah forma-forma

untuk sebuah keyakinan kepada Allah.”(1)

Setelah itu, ia melantunkan syair berikut ini:

Seluruh makhluk mencetuskan banyak keyakinan tentang

Allah, dan aku meyakini seluruh keyakinan itu.(2)

Adakah pernyataan yang lebih indah daripada pernyataan di atas?

Pernyataan yang dapat menghentikan pertikaian di antara kaum dan

umat yang berbeda, dan menghembuskan ketenangan, keyakinan,

toleransi, dan rasa memaa􀆨an dalam jiwa mereka? Jika seseorang

mengatakan “Khodä”, orang kedua mengatakan “Tari”, orang ketiga

menyebut “Tanakri”, orang keempat mengatakan “Allah”, orang kelima

mengatakan “God”, dan orang keenam mengatakan “Dive”, maka hal

ini tidak masalah. Kita hanya harus mementingkan makna. Dengan

ini, kita memahami bahwa seluruh makhluk meyakini satu Sumber

Keberadaan Yang Mahaagung. Perbedaannya, setiap orang mengenal

dan meyakini tuhannya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ia

miliki. Bait-bait berikut ini adalah syair makruf Ibnu Arabi:

Kalbuku bisa menerima setiap keyakinan,

menjadi tempat gembala kijang dan tempat peribadatan para

rahib.

p:162


1- 201 Fushûsh Al-Hikam, hlm. 93.
2- 202 Tarjumân Al-Asywâq, hlm. 194.

Menjadi rumah patung-patung dan Ka‘bah jamaah haji,

menjadi lembaran Taurat dan mushaf Al-Qur’an.

Aku mengikuti agama cinta ke manapun rombongannya

berlalu,

cinta adalah agamaku, simbol dan isyarat adalah imanku.(1)

Maulawî pernah berpesan kepada anaknya yang bernama Bahâ’

Walad:

Meskipun jalan beraneka ragam, tetapi tujuan adalah satu.

Tidakkah kamu perhatikan bahwa jalan menuju Ka‘bah sangat

banyak. Sebagian orang menuju Ka‘bah melalui jalan laut dan

sebagian yang lain melalui jalur darat. Jika kamu melihat jalanjalan

itu, maka terlihat perbedaan yang sangat gamblang. Akan

tetapi, jika kamu melihat tujuan akhir, seluruhnya adalah satu

dan tunggal. Ketika mereka telah tiba di Ka‘bah, baru diketahui

bahwa seluruh pertikaian yang telah terjadi di pertengahan itu

memiliki satu tujuan.(2)

Sikap toleransi muncul dari prinsipalitas alam batin, bukan alam

lahir. Para urafa memandang sisi batin, bukan sisi lahir. Dengan

demikian, yang penting adalah mereka menyembah Dzat Yang Maha

Haqq. Tata cara penyembahan tidaklah penting. Sangat jelas, konsep ini

tidak sejalan dengan pandangan agama yang hanya mengakui agama

Islam sebagai agama yang benar, dan juga tidak sesuai dengan konsep

pluralisme Barat yang berdiri di atas prinsip nonabsolutisme, politik,

dan lain sebagainya. Supaya kapasitas buku ini tidak bertambah tebal,

kami tidak akan memasuki pembahasan ini.

p:163


1- 203 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-24; Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 3, hlm. 21.
2- 204 Fîhi Mâ Fîhi, Maulawî, hlm. 47.
2. Toleransi dengan Orang-Orang Berdosa

Para urafa hanya mencari sisi batin. Dosa dan keburukan hanya sebutan

yang berhubungan dengan sisi lahir manusia. Sangat lumrah apabila

mereka tidak memandang orang-orang yang berdosa dengan mata

penghinaan.

Para urafa meyakini sisi batin manusia sebagai sesuatu yang

prinsip dan tidak begitu memperhatikan sisi lahirnya. Secara lahiriah

mereka juga menunjukkan, ada orang yang dianggap bercitra buruk,

tetapi sebenarnya tokoh besar nan agung. Sebagai contoh, Syaikh

Ahmad Jâm. Kadang mereka berlebihan dalam mengambil sikap tidak

memperhatikan hal-hal yang bersifat lahir dan malah memburukkan

nama mereka sendiri.

3. Kurang Mempedulikan Bahasa dan Penjelasan

Maulawî pernah berkata,

Semua di alam batin tidak pernah memiliki nama. Akan tetapi,

karena makna mengalir dari alam batin melalui jalur bahasa,

terbentuklah ungkapan. Di alam bahasa, ia memiliki nama kufur

dan iman, baik dan buruk.”(1)

Kosa kata dan ungkapan berhubungan dengan alam lahir, sedangkan

makna bertalian dengan alam batin. Para urafa tidak memperhatikan

perbedaan ungkapan. Maulawî mencontohkan dengan empat orang

yang sama-sama meminta anggur. Mereka mengungkapkan keinginan

dengan bahasa masing-masing. Karena perbedaan bahasa yang mereka

miliki, akhirnya mereka bertengkar sengit.

Sangat jelas, tidak satu pun toleransi irfan sejalan dengan ajaran

agama. Di penghujung pembahasan ini, alangkah baiknya kita

renungkan pernyataan Ibn Jauzî, salah seorang ulama makruf Islam,

yang mengkritik irfan. Ia menganggap, beberapa prinsip tasawuf

p:164


1- 205 Ibid., hlm. 98.

menjadi faktor penyelewengan akhlak dan dekadensi moral. Keenam

prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

Para urafa menyerahkan seluruh perilaku kepada takdir Ilahi yang

bersifat azali. Kesengsaraan dan kebahagiaan manusia tidak dapat

diubah. Jika demikian, apakah hasil usaha dan upaya manusia

untuk berzuhud dan bertakwa?

Allah tidak memerlukan amal-amal kita. Ketaatan dan dosa tidak

memiliki peran di haribaan-Nya. Jika demikian, untuk apakah

seluruh jerih payah yang kita lakukan di dunia ini?

Rahmat Allah sangat luas dan tidak bertepi. Rahmat ini juga

meliputi orang-orang yang berdosa. Lalu, mengapa kita harus

membatasi diri?

Sekelompok urafa melakukan latihan riyadhah yang sangat berat

guna membersihkan batin. Memperoleh kesucian batin adalah

pekerjaan sulit. Mereka mengambil kesimpulan bahwa usaha di

jalan yang tidak membuahkan hasil adalah pekerjaan yang tidak

berarti. Mereka berpaling dan menuruti ajakan hawa nafsu.

Sekelompok urafa berhasil mencapai keramat, maqam, dan

anugerah khusus karena riyadhah yang dilakukan secara

berkesinambungan. Mereka menyangka telah sampai kepada

tujuan akhir dan tidak perlu lagi kepada amal dan aturan-aturan

syariat. Mereka juga meyakini dengan penuh kesombongan bahwa

diri mereka lebih tinggi dari ketaatan dan dosa.

Sekelompok yang lain setelah melakukan riyadhah dalam beberapa

masa menyangka bahwa diri mereka telah sampai kepada maqam

hakikat dan alam batin. Oleh karena itu, sudah tidak perlu lagi

kepada perintah dan larangan syariat. Seluruh perintah dan

larangan hanya pantas untuk masyarakat awam. Sedangkan

mereka bukan termasuk dalam golongan masyarakat awam. Pada

akhirnya, mereka tidak masuk dalam ruang lingkup taklif.(1)

p:165


1- 206 Talbîs Iblis, bab ke-10.

p:166

Bab 8

Point

Khilafah Wilayah Dalam Pandangan Agama dan Irfan

Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan-pembahasan

sebelumnya, peran Rasulullah Saw adalah menyelamatkan umat

manusia dari kebodohan dan kesesatan, dan menuntun mereka menuju

agama yang benar. Beliau tidak pernah mengklaim sebagai orang yang

melebihi batas. Satu-satunya klaim beliau adalah beliau hanyalah

seorang manusia seperti layaknya orang lain. Perbedaan beliau dengan

mereka adalah Allah telah memilih beliau untuk menyampaikan agama

dan mengumumkan perintah dan larangan Ilahi.

Secara praktis, berbeda dengan para penguasa kala itu,

Rasulullah Saw tidak pernah ingin berkuasa atas umat manusia. Al-

Qur’an menegaskan, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya

kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah

orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah [88]:21-22). Tugas

beliau hanyalah memberikan nasihat dan mengingatkan hakikat yang

sebenarnya. Beliau tidak pernah bertujuan menguasai masyarakat dan

memanfaatkan mereka demi kepentingan-kepentingan hawa nafsu.

Rasulullah Saw datang untuk:

p:167

Menguraikan dan melepaskan tali tawanan dari leher mereka,

menyuruh mengerjakan yang makruf dan melarang yang mungkar,

menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan yang buruk.

(QS. Al-A‘raf [7]: 157).

Dan beliau datang supaya tidak seorang pun menjadi tawanan

orang yang lain dan tidak seorang pun menaati selain perintah

Allah. “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” (QS. Yusuf [12]: 67).

Dalam masyarakat agama, Rasulullah Saw adalah seorang hamba

Allah yang senantiasa menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya,

tidak ubahnya seperti anggota masyarakat yang lain. Beliau senantiasa

mengkhawatirkan tugas yang ada di pundak beliau dan melaksanakan

taklif sebelum orang lain, dan bahkan melebihi mereka.

Satu-satunya tujuan yang penting bagi Rasulullah Saw sebagai

seorang pemimpin masyarakat agama adalah memelihara situasi

spiritual agamis mereka dan menempatkan mereka di atas jalan

taqarrub kepada Allah.

Dalam catatan sejarah kehidupan nabi Islam Saw, tidak pernah

disaksikan terdapat sebuah keberlimpahan harta dan kedudukan. Perut

yang paling lapar adalah perut beliau. Beliau duduk dan tidur di atas

tikar. Ketika duduk, beliau tidak pernah bersandar. Beliau mengambil

roti dengan tangan beliau sendiri dan tidak pernah duduk di pinggir

hidangan makanan karena beliau tidak ingin hidup bermewahmewah.

Beliau tidak pernah mengendarai keledai yang berpelana.

Beliau mengenakan pakaian yang kasar. Beliau sayang terhadap semua

orang dan menempatkan mereka di depan. Jika seseorang berdiri guna

membukakan tempat bagi beliau, maka beliau marah.

Figur semacam ini tidak boleh ditempati oleh orang-orang yang

tidak memiliki karakteristik seperti nabi. Kaum Muslimin kala itu

berbeda pendapat, tetapi mereka sepakat bahwa masyarakat Islam

harus memiliki seorang pemimpin. Mereka juga setuju berkenaan

dengan dua masalah fundamental:

p:168

Pertama, definisi imam. Imam adalah seseorang yang berhak

memimpin masyarakat, baik di bidang agama maupun dunia, setelah

Rasulullah Saw meninggal dunia.(1);

Kedua, keharusan penentuan seorang imam sepeninggal Rasulullah

Saw Seluruh aliran dan mazhab Islam serta seluruh ulama dan ahli

teologi, kecuali beberapa orang yang berasal dari sekte Khawarij dan

Asham dari aliran Mu‘tazilah, mengakui keharusan penentuan seorang

imam. Perbedaan yang ada adalah:

Mu‘tazilah dan Syiah meyakini bahwa keharusan ini bersifat

rasional.

Ahli Sunah meyakini bahwa keharusan ini hanya bersifat tekstual.

Sebagian aliran menyandarkan keharusan ini kepada akal dan teks

syariat.(2)

Pada kesempatan kali ini, yang penting bagi kita, wilâyah seorang

imam atau khalifah menurut indikasi lahiriah Al-Qur’an dan Sunah

serta pemahaman dan tradisi kaum agamis hanya bersifat wilâyah

tata tinta (tasyrî‘iyyah). Wilâyah ini hanya bertujuan mengatur segala

urusan yang berhubungan dengan agama dan dunia masyarakat.

Imam, sebagaimana layaknya manusia lain dan Rasulullah Saw

sendiri, hanyalah seorang hamba dari sekian hamba-hamba Allah,

sekalipun ia adalah maksum menurut pandangan sebagian mazhab.

Kemaksuman Rasulullah adalah hasil inayah, penjagaan Ilahi, dan

ketakwaan yang beliau miliki. Ini adalah pandangan agama. Tetapi,

dalam pandangan para urafa, kedudukan seorang imam atau khalifah

sangat berbeda. Dalam persepsi mereka, ia adalah khalifah tatacipta

Dzat Yang Maha Haqq. Wilâyah-nya adalah juga sebuah wilâyah tata

cipta.

p:169


1- 207 Al-Bâb Al-Hâdî ‘Asyar, pasal ke-6, berikut dua buku syarahnya: An-Nâ􀄮‘ Yaum Al-Hasyr, dan Miftâh Al-Bâb, Al-Ta‘rîfât.
2- 208 Ibid.; Qawâ‘id Al-‘Aqâ’id; Tajrîd Al-I‘tiqâd, tujuan ke-5; Kasyf Al-Murâd; Syarh Al-Mawâqif, Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa An-Nihal, jld. 3, hlm.3.

Khalifah dan wali memiliki kesempurnaan wujud berikut efekefeknya

yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk yang lain.

Ia juga memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Dzat Yang Maha

Haqq daripada orang lain.(1)

Dasar keyakinan ini menurut keyakinan para urafa, segala sesuatu

selain Dzat Yang Maha Haqq (mâ siwâ) tidak memiliki wujud secara

hakiki. Segala sesuatu selain-Nya hanyalah manifestasi Dzat Yang

Maha Haqq dalam bentuk yang beraneka ragam.

Mâ siwâ yang hanya merupakan manifestasi Dzat Yang Maha

Haqq memiliki peringkat dan tingkatan berbeda-beda. Peringkat

dan tingkatan ini pada posisi anugerah Dzat Yang Maha Haqq

turun membentuk busur gerak menurun (qaus nuzûlî), dan pada

posisi seluruh cabang kembali kepada asal-muasalnya membentuk

busur gerak menaik (qaus shu‘ûdî).(2) Lingkaran kedua busur secara

keseluruhan tidak lain hanyalah manifestasi Dzat Yang Maha Haqq.

Dalam manifestasi ini, wali dan khalifah berada di puncak piramida

wujud. Kemudian dari titik ini, anugerah Ilahi tersebar meluas hingga

dasar piramida. Pada saat kembali, seluruh gerak akan berakhir di titik

yang sama.(3)

Seperti telah dijelaskan, khalifah adalah tuhan untuk seluruh alam

semesta dan memiliki seluruh sifat Ilahi kecuali sifat wajib dzâtî.(4)

Hal ini karena ia adalah manifestasi yang komprehensif untuk nama

“Allah”. Sebelum ia memiliki seluruh asmâ’ dan sifat Allah, ia tidak

dapat mengatur seluruh alam semesta.

Atas dasar ini, hakikat insan kamil yang tersusun dan terbentuk

dalam diri khalifah Ilahi memiliki dua sisi: pertama, manifestasi

tertinggi Dzat Yang Maha Haqq dan hamba-Nya, dan kedua, seluruh

alam semesta adalah hasil anugerah (faidh) dan manifestasinya, karena

p:170


1- 209 Syarh Fushûsh Al-Hikam, pembahasan kekhalifahan; Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, pembahasan kekhalifahan; Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-1; Naqsy Al-Fushûsh, pokok ke-1.
2- 210 Silakan merujuk buku ‘Erfon-e Nazdari, hlm. 333 dan 421 seterusnya.
3- 211 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, tujuan ke-1, pasal ke-1.
4- 212 Silakan merujuk catatan kaki no. 6 pada pasal ini.

itu ia disebut tuhan seluruh alam semesta.

Pengaturan seorang khalifah terhadap alam semesta bukan hanya

pengaturan tata tinta yang sekedar mengatur urusan dunia dan agama

umat manusia. Ia mengatur seluruh maujud alam semesta berdasarkan

inayah, kehendak Ilahi, dan kelayakan seluruh maujud.

Dalam pandangan para urafa, hak mengatur yang dimiliki oleh

seorang khalifah adalah manifestasi hak mengatur yang dimiliki oleh

Dzat Yang Maha Haqq. Dari sisi substansi, hak itu tidak berbeda dengan

hak-Nya. Para urafa Muslim membagi sejarah ke dalam dua periode:

pertama, periode kemunculan kenabian karena tuntutan asmâ’ lahiriah

Allah; dan kedua, periode kemunculan wilâyah. Qaishari berkata:

Wilâyah yang mutlak dan terikat menuntut supaya termanifestasi,

dan para nabi bukanlah manifestasi wilâyah. Karena tuntutan

asmâ’ lahiriah Allah, mereka adalah manifestasi kenabian. Oleh

karena itu, pada akhirnya, umat Nabi Muhammad Saw mewarisi

wilâyah seluruh nabi terdahulu. Artinya, wilâyah para nabi

terdahulu setelah kenabian ditutup termanifestasi dalam umat

Nabi Muhammad Saw.(1)

Atas dasar ini, setelah kenabian ditutup, periode manifestasi

wilâyah tiba. Sebagaimana Rasulullah Saw adalah pamungkas para

nabi, wilâyah beliau akan termanifestasi dalam diri wali pamungkas.

Wilâyah para nabi yang lain juga termanifestasi dalam diri para wali

yang lain.(2)

Konsep wilâyah yang diyakini oleh para urafa memiliki beberapa

prinsip fundamental. Kami akan memaparkannya secara ringkas.

p:171


1- 213 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh dan Moqaddameh-ye Syarh-e Fosoos, Qaishari, pembahasan kepamungkasan konsep kekhalifahan.
2- 214 Ibid.; Asrâr Asy-Syarî‘ah, Sayyid Haidar Al-Âmulî, hlm. 95-103.

1. Kontinuitas Wilâyah setelah Kenabian Ditutup

Menurut keyakinan para urafa, seorang insan kamil sebagai kawn jâmi‘

dan manifestasi nama Allah harus selalu ada dan menempati puncak

piramida wujud dan seluruh alam semesta. Insan kamil pada periode

kenabian adalah nabi yang hidup pada masanya. Dengan perantara

wilâyah yang dimiliki, nabi menjadi perantara anugerah Ilahi dan

memiliki peran tatacipta. Melalui perantara kenabiannya, ia menjadi

media perantara penyampaian syariat dan memiliki peran tatatinta.

Setelah agama disempurnakan dan syariat disam-paikan secara utuh,

kenabian tidak perlu diperbaharui dan diulangi. Oleh karena itu,

misi risalah dan kenabian ditutup dan berakhir. Tetapi, wilâyah harus

berlanjut secara berkesinambungan. Hal ini karena mungkin umat

manusia tidak memerlukan lagi sebuah syariat baru. Tetapi, alam

semesta tidak pernah tidak memerlukan sebuah perantara anugerah

Ilahi. Selama alam semesta masih ada, wilâyah juga akan tetap ada. Alam

semesta tetap ada selama seorang wali masih ada di alam semesta.(1)

2. Anugerah Makrifat Senantiasa Ada Selama Wali

Masih Ada

Menurut keyakinan para urafa, syariat telah ditutup dan setelah agama

Islam, tidak akan ada lagi sebuah syariat baru. Wilâyah akan senantiasa

ada dan konsekuensi logis dari sebuah wujud yang lebih tinggi adalah

menggapai sebuah makrifat yang lebih tinggi. Para wali yang hidup pada

masa mereka akan mencapai makrifat yang baru. Maulawi berkata:

Misi kenabian ditutup dengan kenabian Rasulullah Saw

Meskipun misi kenabian telah ditutup, tetapi bagaimana dengan

ketuhanan? Ketuhanan masih tetap berlanjut dan figur-figur

yang memiliki sifat-sifat Ilahi masih tetap ada. Inayah Allah

p:172


1- 215 Fushûsh Al-Hikam, pokok ke-2; Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh dan Moqaddameh-ye Syarh-e Fosoos, Qaishari, pembahasan wilâyah.

yang tidak berujung kadang-kadang muncul melalui perantara

para rasul, dan kadang-kadang dianugerahkan kepada seorang

hamba tanpa perantara.(1)

Syams Tabrîzî pernah memaparkan masalah ini dengan menarik. Ia

mengkritik para ulama dan syaikh yang tenggelam dalam pembahasan

ilmu dan seni. Ia berkata:

Sampai kapankah kalian menunggangi pelana tanpa kuda dan

menderap kuda di arena perlombaan para jawara seperti ini?

Sampai kapankan kalian berdiri tegak dengan perantara tongkat

orang lain? Pernyataan-pernyataan yang kalian ungkapkan itu,

baik berupa hadis, tafsir, hikmah, dan lain sebagainya, adalah

pernyataan masyarakat untuk suatu masa di mana setiap orang

dari mereka memiliki kedudukan yang agung pada masanya dan

mengungkapkan makna-makna. Jawara masa kini adalah kalian

semua. Manakah rahasia dan pernyataan-pernyataan yang kalian

miliki sendiri?

Sebagian dari mereka adalah penulis wahyu dan sebagian

yang lain wadah wahyu. Sekarang, kamu harus berusaha supaya

kamu memiliki kedua posisi itu: wadah dan penulis wahyu.”(2)

Para urafa dari sejak permulaan sudah memperhatikan masalah

ini. Bayazid (w. 261 H) berkata:

Kalian menimba ilmu pengetahuan dari orang-orang mati.

Sedangkan kami menimba ilmu pengetahuan dari Dzat Yang

Maha Haqq. Dia senantiasa hidup dan tidak akan pernah

mati.(3)

p:173


1- 216 Fîhi Mâ Fîhi, Maulawî.
2- 217 Manâqib Al-‘Ârifin, Aflâkî, revisi ulang oleh Tahsîn Yâzîjî, jld. 4, hlm. 52.
3- 218 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibnu Arabi, cet. Dâr Shâdir Beirut, jld. 1, hlm. 31.

Para nabi dan wali dalam masalah ini memiliki posisi yang sama.

Mereka telah sampai kepada maqam fana dan kemanunggalan. Lalu,

mereka kembali kepada maqam kekekalan setelah kefanaan, keterceraiberaian

setelah kemanunggalan, dan kesadaran setelah kesirnaan.

Dalam maqam ini, mereka memperoleh tugas untuk memberikan

hidayah dan bimbingan kepada umat manusia.(1) Ibnu Arabi berkata:

Ketahuilah bahwa kenabian dan wilâyah memiliki kesamaan

dalam tiga hal: (a) Makrifat ladunni dan ilmu pengetahuan tanpa

pengajaran orang lain; (b) Melakukan tindakan-tindakan luar

biasa yang tidak bisa dilakukan orang lain; dan (c) Menyaksikan

hakikat mitsâlî secara inderawi. Tetapi, keduanya berbeda dari sisi

khithâb (jenis ucapan). Khithâb yang disampaikan kepada seorang

nabi tidak pernah disampaikan kepada seorang wali.(2)

Pada kesempatan lain, Ibnu Arabi juga pernah berkata:

Para nabi dan wali memiliki kesamaan dalam tiga hal: (a)

Wahyu Ilahi; (b) Mukjizat; dan (c) Kenabian. Tetapi, substansi

kenabian yang dimiliki oleh para nabi berbeda dengan kenabian

yang dimiliki oleh para wali. Para wali menerima wahyu melalui

perantara hakikat para nabi. Setiap wali menerima wahyu melalui

perantara ruh seorang nabi yang merupakan sumber ilhamnya.

Nabi Muhammad Saw adalah pamungkas para nabi. Oleh karena

itu, seluruh nabi dan wali menyerap inayah dari batiniah beliau.

Wahyu para nabi memiliki konsekuensi pencetusan sebuah syariat.

Tetapi, wahyu para wali berfungsi menyempurnakan diri mereka

dan diri orang lain berdasarkan ajaran syariat seorang nabi.”(3)

p:174


1- 219 Risâlah Mawâqi‘ An-Nujûm, Ibnu Arabi, hlm. 25.
2- 220 Risâlah Al-Anwâr, Ibnu Arabi, hlm. 4.
3- 221 Ibid., hlm. 24; Silakan bandingkan dengan buku Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jld. 2, hlm. 4 dan jld. 3, hlm. 18, 67, dan 316.

Ia juga menegaskan:

Setiap wali Allah menerima segala sesuatu dari Allah melalui

perantara ruh seorang nabi yang dalam syariatnya dan dari

maqamnya sampai kepada wali itu secara intuitif. Sebagian wali

memahami hal ini dan sebagian yang lain tidak memahaminya.

Sebagian ada yang berpendapat, Allah telah mengatakan kepadaku.

Padahal, pemberi ilham kepada mereka tidak lain adalah nabi

mereka, (bukan Allah secara langsung).

Para wali umat Nabi Muhammad Saw merupakan pewaris

wilâyah juga menerima anugerah Ilahi (faidh) mereka melalui

perantara cahaya Nabi Muhammad Saw, karena beliau memiliki

seluruh tingkatan wujud yang dimiliki oleh para nabi terdahulu.

Sebagai contoh, pewaris wilâyah Nabi Musa as. tidak menerima

anugerah Ilahi dari cahaya Nabi Musa. Tetapi, ia menerimanya dari

cahaya Nabi Muhammad Saw. Hubungan pewaris Nabi Musa tidak

berbeda dengan hubungan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad

Saw. Seluruh nabi berada dalam lingkaran wujud Nabi Muhammad

dan menerima anugerah Ilahi melalui perantara beliau.(1)

3. Keramat Para Wali, Kelanjutan Mukjizat Para Nabi

Menurut pandangan agama, para nabi senantiasa disertai oleh mukjizat,

seperti api berubah menjadi taman bunga untuk Nabi Ibrahim, orangorang

sakit disembuhkan dan orang-orang yang telah meninggal dunia

dihidupkan kembali oleh Nabi Isa, tongkat dan sinar putih tangan

Nabi Musa, serta Al-Qur’an, mikraj, dan pembelahan bulan oleh Nabi

Muhammad Saw Tetapi, apakah tindakan semacam itu dapat dilakukan oleh

Mukminin, orang-orang yang salih, dan para ulama? Jawaban para

p:175


1- 222 Ibid., hlm. 26.

ulama, semua itu tergantung kehendak Ilahi. Jika Allah menghendaki

supaya sebuah tindakan terlaksana di luar kebiasaan yang berlaku,

tindakan itu pasti terlaksana. Tetapi, dalam tradisi agama, mukjizat

senantiasa disertai oleh tanda-tanda kenabian seorang nabi. Para ulama

menyebut tindakan-tindakan tidak lumrah yang dilakukan oleh para

wali dan orang-orang salih dengan nama keramat atau karomah.

Para urafa meyakini para wali dapat melakukan tindakan-tindakan

tidak lumrah. Tradisi irfan dan tasawuf Islami dari sejak permulaan

senantiasa setuju dengan pandangan semacam ini. Dari sejak periode

tunas tasawuf, kita telah mendengar banyak keramat yang pernah

dilakukan oleh para wali, dimulai dari Ibn Ad-ham hingga para syaikh

masa kini.

Pandangan para urafa dan agama sehubungan dengan masalah

ini banyak memiliki perbedaan. Kami hanya ingin memaparkan dua

perbedaan saja. Pertama, menurut kacamata agama, meskipun para

ulama agama tidak menafikan bahwa tindakan-tindakan yang tidak

lumrah ini dapat dilakukan oleh Mukminin dan orang-orang salih.

Tetapi, tidak seorang Mukmin pun mengaku memiliki kemampuan

untuk itu. Hal itu pun tidak penting bagi mereka. Karena para ulama

dan orang-orang salih tidak pernah mengaku diri mereka lebih

unggul dibandingkan dengan orang lain, sehingga mereka tidak perlu

membuktikan keunggulan ini melalui keramat (karomah) apabila ada

seseorang yang mengingkarinya.

Berbeda dengan para syaikh tasawuf. Mereka mengajak

masyarakat kepada makrifat batiniah dan intuitif. Pada hakikatnya,

mereka mengaku diri mereka unggul pada sisi makrifat batiniah. Guna

membuktikannya, mereka mengambil dan menunjukkan tindakantindakan

yang tidak lumrah.

Pada hakikatnya, tugas para wali irfan dan syaikh tasawuf,

sebagaimana tugas para nabi mengajak orang lain kepada hal-hal gaib.

Masyarakat pun berhak meragukan kebenaran ajakan para nabi. Hal

ini karena mereka melihat para nabi tidak berbeda dengan diri mereka;

p:176

yakni manusia biasa seperti mereka. Oleh karena itu, para nabi dengan

bantuan mukjizat ingin menunjukkan kepada mereka, meskipun

mereka secara lahiriah tidak berbeda dengan manusia yang lain, tetapi

mereka didukung oleh kekuatan gaib. Mukjizat adalah tanda dukungan

ini.(1)

Para syaikh irfan juga memberitahukan berita dari alam lain

kepada masyarakat, sebuah alam yang dapat dimasuki oleh setiap

orang melalui jalan kematian yang ia pilih sendiri. Tetapi, mereka tidak

menunjukkan, dan bahkan tidak memperlihatkan alam ini kepada

masyarakat, karena “kebun permai” yang telah mereka lihat tidak dapat

dipindahkan atau dialihkan kepada orang lain. Untuk itu, menghadapi

keraguan yang dimiliki oleh masyarakat, tindakan tidak lumrah dan

keramat dapat menyelesaikan masalah ini. Tetapi, para ulama agama,

Mukminin, dan orang-orang salih tidak mengajak masyarakat kecuali

kepada ajaran yang telah dibawa oleh para nabi. Ajakan para nabi telah

disertai oleh mukjizat mereka masing-masing dan tidak perlu setiap

ulama dan orang Mukmin memiliki mukjizat khusus;

Kedua, menurut ajaran agama, mukjizat adalah sebuah fenomena

yang terlaksana karena kekuatan dan kekuasaan Allah. Artinya, tongkat

Nabi Musa as. diubah menjadi ular naga oleh Allah dan orang-orang

sakit pada masa Nabi Isa as. disembuhkan oleh Allah. Padahal, menurut

persepsi para urafa, sumber keramat dan tindakan yang tidak lumrah

adalah kemampuan wali itu sendiri. Artinya, ia telah berhasil sampai

kepada sebuah maqam tertentu. Ketika ia berhasil sampai kepada

makrifat yang lebih tinggi, ia pun memiliki kekuatan yang besar.

Landasan para urafa dalam masalah ini adalah dalam busur gerak

wujud menaik, ketika manusia berhasil menggapai tingkatan yang

lebih tinggi, ia pun memiliki sifat dan tindakan-tindakan yang lebih

tinggi pula. Dengan kata lain, dalam busur gerak wujud menaik, ketika

manusia berhasil menggapai sebuah tingkatan wujud, ia memiliki

keistimewaan yang ada pada tingkatan itu. Sifat-sifat bendawi (jamâdî)

p:177


1- 223 Tabyin-e Falsafe-ye Robeteh-ye Vahy va Eojäz, dalam Institut Seni, Tabriz, edisi no. 138-139.

berbeda dengan sifat-sifat hewani, dan sifat-sifat hewani berbeda

dengan sifat-sifat insani. Ketika manusia dalam perjalan suluk berhasil

menggapai tingkatan kesempurnaan wujud yang lebih tinggi, ia pun

memiliki sifat-sifat yang lebih tinggi pula. Salah satu sifat itu adalah

kemampuan melakukan sebuah pekerjaan yang tidak dapat dilakukan

oleh orang lain. Sepertinya, semakin kita menjauh dari periode-periode

permulaan perkembangan tasawuf, kita mendapatkan para pengikut

ajaran irfan semakin lebih memperhatikan keramat.(1)

Ada baiknya kita membaca keramat pertama kaum sufi. Berikut ini

contohnya:

Pada suatu hari, Ibrahim bin Ad-ham duduk di pinggiran sungai

Dajlah sembari menjahit pakaian luarnya yang telah sobek. Jarumnya

jatuh ke dalam sungai. Seseorang bertanya kepadanya: “Jarummu telah

jatuh ke dalam sungai. Apa yang hendak kamu lakukan?” Ibrahim

menunjuk ke arah sungai seraya berkata, “Kembalikanlah jarumku.”

Tiba-tiba seribu ekor ikan muncul dari dalam sungai. Setiap ekor

menggigit sebuah jarum yang terbuat dari emas. Ibrahim berkata,

“Aku hanya menginginkan jarumku.” Seekor ikan yang tampak kurus

menggigit jarum Ibrahim seraya berkata, “Sesuatu paling tidak berharga

yang dapat kutemukan di daerah Balkh adalah jarum ini. Selain itu,

kamu tidak mengetahuinya.”(2)

Persepsi para urafa tentang mukjizat dan keramat juga memiliki

perbedaan dengan para ulama. Penjelasannya sebagai berikut:

Para ulama mengharuskan mukjizat guna membuktikan kebenaran

klaim kenabian untuk umat manusia. Artinya, melalui perantara

mukjizat, kebenaran klaim kenabian seorang nabi dapat dibuktikan.

Masalah ini diterima oleh seluruh ahli teologi dan ulama agama. Dan

bahkan oleh para filosof Muslim seperti Ibn Sina (wafat tahun 428 H.)

dan Shadrul Muta’llihîn (wafat tahun 1050 H.).

p:178


1- 224 Tärikh-e Tasavvof, Dr. Qâsim Ghanî, hlm. 260.
2- 225 Tadzkirah Al-Auliyâ’, Farîduddîn Al-‘Aththâr, jld. 1, hlm. 105.

Tetapi, menurut persepsi para urafa, keramat adalah sebuah tanda

kemajuan dan perkembangan spiritual seorang salik, bukan sebuah alat

untuk membuktikan kebenaran klaim seorang salik untuk selain salik.

Menurut para urafa, keramat adalah sebuah imbalan yang

bersifat duniawi bagi para salik. Tetapi, kadang sebuah keramat

menyebabkan keterjatuhan seorang salik. Jika seorang salik berhasil

mencapai maqam kesempurnaan, ia akan mendapatkan empat

keramat. Keempat keramat ini adalah tanda keberhasilannya dalam

meraih maqam tawakal seperti melangkahi bumi dalam sekejap

(thayy al-ardh), berjalan di atas air, berjalan di udara, dan memenuhi

kebutuhan makanan dari alam semesta. Keramat adalah pahala untuk

seorang salik karena ia berhasil berjalan secara berlawanan dengan

kebiasaan kehidupan sehari-hari. Karena ia hidup berlawanan dengan

kebiasaan kehidupan sehari-hari, Allah memberikan sebuah pahala

kepadanya; yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang

tidak lumrah. Keunggulan dalam bidang akhlak memiliki konsekuensi

keunggulan pada sisi kemampuan. Dengan demikian, mukjizat bertujuan

supaya umat manusia membenarkan klaim seorang nabi. Sedangkan,

keramat bertujuan supaya seorang salik merasa percaya diri terhadap

dirinya dan transendensi suluknya, serta tidak takut terhadap naik

turun perjalanan yang sedang ia lalui, dan ia tetap melangkah menuju

ke depan dengan langkah yang pasti.

Dengan demikian, tujuan mukjizat memiliki perbedaan

fundamental dengan tujuan keramat.(1)

Di antara para ulama agama, tidak seorang pun, kecuali Imam

Fakhrurrâzî (wafat tahun 606 H.), berpendapat bahwa mukjizat

bertujuan supaya nabi merasa percaya terhadap dirinya sendiri.(2)

p:179


1- 226 Risâlah Mawâqi‘ An-Nujûm, hlm. 114-116; Risâlah Al-Anwâr, hlm. 14 dan 28.
2- 227 Al-Tafsir Al-Kabîr, pembahasan surah Al-Baqarah[2 ]: 285. Menurut pandangan Imam Fakhrurrâzî, tujuan mukjizat adalah tanda kebenaran klaim seorang nabi untuk seluruh umat manusia, tanda bahwa ucapan nabi berasal dari Allah, dan tanda untuk malaikat penyampai wahyu bahwa wahyu itu berasal dari Allah.

4. Tingkatan Para Ulama dan Wali

Para urafa membagi ulama menjadi dua golongan utama:

Ulama yang menguasai ilmu-ilmu lahiriah dan resmi.

Ulama yang memiliki ilmu-ilmu hakiki dan batiniah.(1)

Kami akan memaparkan pembahasan lebih terperinci pada

pembahasan yang mengupas bahasa agama dan irfan.

Berkenaan dengan tingkatan-tingkatan para wali, seorang insan

kamil berada di puncak piramida alam semesta. Ia dikenal dengan nama

quthb. Di bawah posisi quthb, terdapat dua orang wazir; satu orang wazir

bertindak sebagai imam sebelah kanan dan satu wazir yang lain sebagai

imam sebelah kiri untuk quthb itu. Imam sebelah kanan mengurusi dan

mempergunakan alam metafisik dan gaib, sedangkan imam sebelah

kiri mempergunakan alam materi dan inderawi. Di bawah dua orang

imam terdapat maqam untuk empat orang. Kemudian, maqam untuk

tujuh orang yang bertindak sebagai para pemimpin tujuh iklim alam

semesta. Lalu, di bawah mereka, terdapat para wali yang berjumlah

sepuluh orang. Kemudian, berturut-turut dua belas orang, dua puluh

orang, empat puluh orang, dan tiga ratus enam puluh orang. Jumlah

mereka selalu permanen. Jika salah seorang dari mereka yang telah

menempati tingkatan lebih tinggi meninggal dunia, maka seorang wali

yang memiliki tingkatan lebih rendah darinya memperoleh kenaikan

tingkatan dan menempati posisinya.

Mata rantai tingkatan dan peringkat juga disebutkan dalam bukubuku

referensi irfan dan tasawuf, tetapi dengan sedikit perbedaan.(2)

Wilâyah ini ditetapkan untuk seluruh syaikh dan para pengganti

mereka berdasarkan maqam yang mereka miliki. Agama tidak pernah

mengutarakan penggambaran semacam ini.(3)

p:180


1- 228 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Qaishari, tujuan ke-2, pasal ke-1.
2- 229 Ibid., pasal ke-2; Ensän-e Kämel, Nasai, hlm. 317-319; Mafâtih Al-A‘jâz, Lahiji, hlm. 282; Anzesh-e Miräs-e Soofiyyeh, Abdul Husain Zarrinkub, cet. ke-1, hlm. 112-113; Jâmi‘ Al-Asrâr wa Manba‘ Al-Anwâr, pokok ke-1 kaidah ke-4 dan pokok ke-3 kaidah ke-2.
3- 230 Dhuhâ Al-Islam, Dr. Ahmad Amîn, cet. Kairo, jld. 3, hlm. 245.

Ahmad Amin, bersandarkan teori Ibn Khaldun,(1)menekankan

konsep Mahdawiyyah yang diyakini Syiah tidak berbeda dengan konsep

quthbiyyah yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Pada akhirnya, Ibnu

Arabi juga menghubungkan konsep quthbiyyah dan wilâyah dengan

konsep Mahdawiyyah.(2)

Tetapi, seorang peneliti yang sadar akan memahami dengan mudah.

Rasulullah Saw tidak pernah menempelkan titel ketuhanan kepada

diri beliau dan tidak pula kepada para pengikut beliau.(3) Di samping

itu, dalam ungkapan para imam maksum as., tidak pernah ditemukan

sebuah pernyataan yang sejalan dengan konsep mata rantai wilâyah

yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Imam Ali as. dan putranya yang

bernama Imam Hasan as. tidak pernah menyinggung peran tatacipta

mereka dan para gubernur yang telah mereka tunjuk.

Pemahaman umum para ulama dan teolog Syiah yang terhindarkan

dari pengaruh ajaran tasawuf tidak pernah menyatakan bahwa imam yang

hidup di setiap masa adalah tuhan dan pengatur seluruh alam semesta.

Jika mereka menukil pernyataan yang memuat kandungan seperti

“seandainya bukan karena Anda, niscaya Aku tidak akan menciptakan

alam semesta” untuk para imam maksum as., pengertian ini berbeda

dengan konsep wilâyah tata cipta yang diyakini oleh kaum sufi.

Sebagian orang seperti kaum orientalis dan para peneliti Arab

menyebarkan sebuah pidato yang sangat lemah dan palsu, seperti

pidato Al-Bayân untuk Imam Ali as., dan menjadikannya sebagai

sandaran utama mereka. Jelas, tindakan ini dilakukan karena sebuah

kebodohan atau permusuhan mereka terhadap mazhab Syiah. Kita

dapat menemukan beberapa frase pernyataan Hallaj. Tetapi, kita tidak

akan dapat menemukan satu kalimat pun darinya dalam buku Nahj

Al-Balâghah.(4) Sayyid Radhî (wafat tahun 406 H.) pun tidak pernah

menyinggung pidato ini sekalipun satu kata.☐

p:181


1- 231 Muqaddimah Ibn Khaldûn, cet. Kairo, hlm. 331-333.
2- 232 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibnu Arabi, jld. 3, hlm. 364-367.
3- 233 Al-Falsafah Ah-Shûfiyyah fi Al-Islam, hlm. 581.
4- 234 Ibid.

p:182

Bab 9

Point

Bab 9 Bahasa Agama dan Irfan

Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahasa

agama dan irfan memiliki perbedaan yang fundamental. Bahasa Al-

Qur’an adalah sebuah bahasa yang lazim dipakai oleh masyarakat

umum, tegas, dan jelas. Sedangkan bahasa irfan adalah sebuah bahasa

yang tidak lumrah dipakai masyarakat umum, bahasa isyarat, dan tidak

tegas.

Perbedaan ini diterima secara aklamasi oleh kedua kelompok.

Kaum agamis dan para ulama agama mengakui bahwa bahasa Al-Qur’an

adalah bahasa Arab yang tegas dan jelas. Para urafa juga mengakui

bahwa bahasa irfan adalah bahasa isyarat, bukan bahasa yang tegas dan

jelas. Kami ingin menganalisis landasan perbedaan keduanya. Pertama,

kami akan mengutarakan peran bahasa secara universal. Kemudian,

menelaah bahasa agama dan irfan ditinjau dari sisi tatacara dan proses

transfer makna.

1. Peran Bahasa dalam Proses Transfer Makna

Seluruh bahasa yang digunakan oleh masyarakat dunia sebagai

alat komunikasi merupakan penemuan baru untuk menjembatani

p:183

kebutuhan yang mereka hadapi sehari-hari. Bahasa digunakan dalam

proses memahamkan, saling memahami, dan transmisi (pengiriman—

peny.) makna kepada orang lain berdasarkan kemampuan mereka

dalam mengolah dan mengatur suara.

Kita tidak perlu mengupas dan membahas proses kemunculan

bahasa. Yang penting, bahasa sudah ada memenuhi kebutuhan yang

kita miliki. Proses transfer makna melalui perantara bahasa terjadi

dengan cara berikut ini:

Dalam kehidupan sehari-hari umat manusia berhadapan dengan

segala macam benda. Mereka kemudian membedakan dan memisahkan

satu benda dari yang lainnya dan memberikan nama khusus kepada

masing-masing benda. Satu benda diberi nama air, benda kedua diberi

nama tanah, benda ketiga diberi nama dingin, dan benda keempat

diberi nama panas. Setelah nama-nama masing-masing benda dikenal

oleh masyarakat umum, seseorang menyebutkan suatu nama dan ingin

memahamkan makna nama tersebut kepada orang lain.

Atas dasar ini, fungsi bahasa tergantung kepada pemikiran.

Berbicara memiliki hubungan erat dengan berpikir. Jika para ulama logika

menjadikan nâthiq (rasional/berbicara) sebagai diferential (fashl) Untuk

manusia, hal ini sangat menarik karena dua alasan: pertama, berbicara

dan berbahasa adalah salah satu kriteria khusus manusia; dan kedua,

berbicara menunjukkan bahwa ia berpikir. Artinya, manusia adalah

hewan yang berbicara (hayawân nâthiq), pada hakikatnya kita sedang

menekankan, manusia adalah hewan yang berpikir sekaligus dapat

berbicara.

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki gambaran fenomena

eksternal atau perasaan internal dalam ruang lingkup pemikirannya.

Lalu, ia mengungkapkan dengan menggunakan sebuah kosakata khusus

seperti air, roti, lapar, takut, pepergian, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, bahasa setiap kaum dan bangsa memiliki dua

keistimewaan: pertama, pada umumnya, bahasa pasti memiliki kosakata

untuk segala sesuatu yang mereka perlukan, bayangkan, dan temukan

p:184

dalam kehidupan sehari-hari; kedua, tidak ada satu kosakata pun yang

tidak memiliki instanta dan arti dalam ruang lingkup kemampuan

pemahaman mereka.

Hubungan pemikiran dan bahasa sangat dekat sekali sehingga

masing-masing saling mempengaruhi. Jika ada sebuah kata yang tidak

memiliki arti, maka kata itu tidak memiliki nilai linguistik. Secara

terminologis, kata itu termasuk dalam keranjang muhmalât (kata-kata

yang ditinggalkan). Muhmal adalah lawan kata musta‘mal (kata yang

dipakai). Musta‘mal adalah sebuah kata yang mengindikasikan sebuah

arti untuk sesuatu yang riil atau khayali. Tetapi, muhmal hanyalah

sebuah kata yang tidak memiliki indikasi dan fungsi.

Apabila kita menemukan sebuah kata, kita pasti mencari arti dan

maknanya, sehingga kata tersebut tidak muhmal dan menjadi sebuah

kata yang musta‘mal. Menurut para ahli logika kuno, pertanyaan pertama

yang layak dilontarkan adalah pertanyaan dengan menggunakan

“apa”. Tetapi, “apa” yang hanya memuat penjelasan arti secara bahasa

(mâ syârihah), bukan “apa” yang menjelaskan substansi sesuatu (mâ

haqîqiyyah). Jika kita mendengar kata Istanbul dan tidak mengetahui

artinya, maka kita harus bertanya. Dalam pertanyaan ini, kita pasti

bertanya dengan menggunakan ungkapan: “Apakah Istanbul itu?”

Kadang-kadang juga terdapat suatu arti dan instanta yang tidak

memiliki kata. Dalam kondisi ini, arti ini tidak termasuk dalam kategori

bahasa. Kita tidak bisa berbicara berkenaan dengan arti tersebut. Jika

arti itu mau dimasukkan dalam proses bahasa, kita harus menemukan

sebuah kata untuknya. Dalam kondisi ini, kata yang telah disepakati

untuk mengungkapkan arti itu pada hakikatnya telah diletakkan dan

ditentukan (wadh‘) untuk arti tersebut. Sebagai contoh, ketika para

ahli bahasa Arab ingin menulis sebuah tatabahasa untuk bahasa Arab,

mereka menentukan beberapa kata untuk mengungkapkan sederetan

arti gramatikal, seperti fi‘l, ism, harf, fâ‘il, maf‘ûl, mudhâf, mudhâf ilaih,

dan lain sebagainya. Begitu pula halnya dalam ilmu fisika, kimia, dan

medis.

p:185

Dalam ruang lingkup yang sebenarnya, fungsi bahasa untuk

kehidupan masyarakat sehari-hari. Tetapi, setelah umat manusia

mengalami kemajuan dan tema-tema baru terungkap, mereka

menentukan kata-kata tertentu untuk arti dan tema-tema baru.

Hubungan bahasa dan pemikiran adalah hubungan yang tidak

terpisahkan. Pemikiran menciptakan bahasa dan memanfaatkanya

sebagai sebuah alat bantu. Jika pemikiran tidak ada, bahasa pun tidak

akan ada. Begitu pula yang terdapat dalam pembahasan bahasa agama

dan bahasa irfan.

2. Bahasa Irfan

Point

Supaya kami dapat membandingkan dan menjelaskan dengan baik,

pertama kali kami akan menjelaskan proses kata dan arti yang sangat

rumit dalam ajaran irfan. Setelah itu, kami akan memaparkan fungsi

kata dalam teks-teks agama.

Ahmad Ghazali (w. 520 H.) berkata, “Ungkapan hadis ini

mengisyaratkan beberapa arti berbeda-beda. Dengan demikian,

kandungan hadis ini bersifat nakirah (tidak pasti). Tetapi, kandungan

nakirah ini hanya diperuntukkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dari

hadis ini, dapat disimpulkan dua fondasi: pertama, isyarat ungkapan;

dan kedua, ungkapan isyarat.”(1)

Seperti telah kami jelaskan sebelum ini, para syaikh tasawuf dari

sejak permulaan kemunculan ajaran ini sudah menekankan bahwa

bahasa mereka bukanlah bahasa biasa. Bahasa mereka adalah sebuah

bahasa isyarat. Sekarang, kita akan membahas hubungan bahasa dan

makna dalam pandangan irfan.

Apakah maksud makrifat irfani menggunakan bahasa yang tidak

lazim? Mengapa bahasa dalam ilmu irfan berbeda dengan bahasa

dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain? Guna menemukan

jawabannya, perlu kita renungkan beberapa hal berikut:

p:186


1- 235 Al-Sawânih, Ahmad Ghazali, cet. Bonyäd-e Farhang-e Iran, tahun 1359 H.S., hlm.

Tolok ukur utama penggunaan bahasa oleh umat manusia adalah

pemikiran. Jika kita tidak memiliki ide dan pemikiran, niscaya kita

tidak pernah memiliki bahasa. Bahasa mengandung sebuah makna

dan makna tersimpan dalam pemikiran. Pemikiran kitalah yang

memperluas ruang lingkup bahasa. Ibaratnya, batas dunia adalah batas

bahasa. Dengan cara menemukan makna dan instanta baru, pemikiran

dapat memperbanyak kosa kata baru. Marilah kita telaah bersama

bagaimana hubungan antara bahasa dan pengalaman irfani?

Tidak diragukan lagi, pengalaman irfani memiliki perbedaan

fundamental dengan perilaku keseharian dan masalah-masalah yang

ada dalam disiplin ilmu pengetahuan. Pengalaman irfani terwujud

dalam sebuah ranah yang terletak di balik ranah akal dan pemikiran

kita yang lazim, yakni ranah pengalaman irfani dan ranah akal dan

pikiran, yang sangat berbeda total. Alasannya, masalah dan kebutuhan

keseharian dan ilmu pengetahuan adalah personalisasi (ta‘ayyun)

dan keistimewaan diri kita sendiri yang bersifat lahiriah. Landasan

pemahaman dan penggambaran (idrâk wa tashawwur) dalam bidang

ilmu hushûlî tidak lain adalah diri kita, pengetahuan kita, perbedaan,

keberbilangan, esensi, dan kemustahilan dua hal yang kontradiktif

dapat terkumpul atau bisa terangkat. Sedangkan, landasan pengetahuan

intuitif dan pengaman irfani adalah penghapusan personalisasi,

melintas dari tirai batasan, ikatan, dan keberbilangan, membebaskan

diri dari ikatan masa dan ruangan, dan sampai kepada maqam fana,

kesirnaan, universalitas, dan kemutlakan.

Kita dapat memetik sebuah kesimpulan. Bahasa yang terwujud

karena kebutuhan-kebutuhan akal dan pikiran pasti memiliki

kemampuan untuk mentransmisikan (mengirimkan—peny.)

makna-makna yang tersimpan dalam ranah ini. Tetapi, bahasa tidak

akan mampu menjelaskan dan menginterpretasikan pengalamanpengalaman

irfani.

p:187

Bagaimanapun aku jelaskan tentang cinta;

aku merasa malu ketika aku meraih cinta.

Meskipun bahasa adalah penjelas segalanya;

tetapi cinta tanpa bahasa lebih cerah.

Berkenaan dengan fungsi bahasa, terdapat empat unsur yang

memainkan peran utama: pembicara, pendengar, makna, dan kata.

Dalam usaha mengungkapkan pengalaman irfani, seperti akan

kami jelaskan pada pembahasan mendatang, keempat unsur itu

menghadapi masalah dan kesulitan.(1) Atas dasar ini, seluruh hakikat

irfani tidak dapat dijelaskan secara tegas dan langsung. Dengan kata

lain, tidak mungkin dapat diungkapkan apalagi diutarakan. Hal ini

disepakati juga oleh para urafa di dunia Timur maupun dunia Barat.(2)

Menurut keyakinan ‘Ainul Qudhât, ketidakmungkinan diungkapkan

dan dipindahkan ini adalah dasar perbedaan makrifat irfani dengan

ilmu-ilmu pengetahuan yang resmi. Ia berkata,

Segala sesuatu yang maknanya dapat dijelaskan dengan

ungkapan yang sesuai dengan kandungannya disebut ilmu,

seperti ilmu sastra, matematika, ilmu alam, teologi, dan filsafat.

Dengan cara menjelaskan masalah-masalah yang ada dalam

ilmu pengetahuan, setiap guru yang alim menyatukan otak para

murid dengan otaknya sendiri. Sedangkan, tindakan semacam

ini tidak mungkin dilakukan dalam ranah makrifat irfani.”(3)

Aththar pernah menukil pernyataan Syibli (w. 334 H.) yang

menegaskan: “Ungkapan adalah bahasa ilmu pengetahuan, sedangkan

isyarat adalah bahasa makrifat.”(4)

Dari seluruh penjelasan di atas, fungsi bahasa dalam bidang ilmu

irfan sangat berbeda dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain.

p:188


1- 236 Falsafeh-e Erfon, hlm. 512-518.
2- 237 Erfän va Falsafeh, hlm. 290.
3- 238 Zubdat Al-Haqâ’iq, hlm. 67-68.
4- 239 Tadzkirah Al-Auliyâ’, hlm. 632.

Marilah kita telaah bersama dari manakah perbedaan ini bermuara?

Menurut hemat kami, faktor perbedaan antara kedua bidang ilmu

yang berkenaan dengan fungsi bahasa adalah perbedaan substansial.

Dasar utama ilmu dan pengetahuan adalah dasar yang lazim nan

lumrah. Bahasa juga muncul dari alam pikiran kita yang lumrah.

Dengan demikian, hubungan ilmu dan pengetahuan dengan bahasa

seperti hubungan lazim kehidupan kita sehari-hari dengan bahasa.

Perbedaannya, masalah dan makna baru yang muncul dalam bidang

ilmu pengetahuan memerlukan kosakata dan frase-frase yang juga

baru. Kemudian apabila kita ingin menyelesaikan masalah dengan cara

mencetuskan dan menentukan sebuah kata baru (wadh‘).

Dengan kata lain, dalam bidang ilmu dan pengetahuan, persoalan

utama kita hanyalah ketiadaan kosakata, dan persoalan ini dapat

diatasi dengan cara mencetuskan dan menentukan kosakata baru

untuk makna-makna yang baru. Tetapi, dalam bidang makrifat dan

pengalaman-pengalaman irfani, persoalan utama kita, di samping

problem ketiadaan kosakata, adalah mewujudkan sebuah hubungan

antara kata dan makna. Pengalaman irfani bukanlah jenis masalah

yang kita hadapi sehari-hari. Pada dasarnya, akal dan pikiran kita

tidak mampu memahaminya. Padahal, bahasa hanya dapat menerima

instruksi dari ranah akal dan pikiran.

Melihat realita ini, apa yang harus kita lakukan? Apakah masih ada

jalan untuk mengungkapkan hakikat-hakikat irfani tersebut?

Secara praktis, para wali dan urafa sebenarnya sudah berbicara

dengan masyarakat umum. Mereka telah turun ke maqam pengungkapan

makna. Dengan demikian, hakikat irfani dapat diungkapkan dan

diutarakan. Sebagian pemikir berusaha menempatkan bahasa agama

dalam satu tingkat dengan bahasa irfan. Mereka ingin menarik beberapa

kesimpulan. Menurut hemat kami, prolog yang mereka susun berikut

kesimpulan yang ingin mereka tarik tidaklah benar. Marilah kita telaah

terlebih dahulu cara pengungkapan hubungan kata dan makna dalam

bidang makrifat irfani.

p:189

2.1. Hubungan Kata dan Makna dalam Makrifat Intuitif

a. Tingkatan-Tingkatan Wujud

1. Dalam pandangan para filosof dan urafa Muslim, universum

memiliki tingkatan beraneka ragam dan berbeda. Tingkatan ini

dimulai dari tingkatan wujud yang paling sempurna; yakni Dzat

Wajib Al-Wujûd dan sumber seluruh wujud, dan diakhir dengan

hayûlâ Alam materi yang merupakan batas ketiadaan; dimulai

dari tingkatan wujud yang aktual (fi‘liyyah) secara sempurna dan

tidak terbatas hingga tingkatan wujud yang paling lemah, yakni

mâddah al-mawâdd (materi untuk segala materi) yang merupakan

potensial (bi al-quwwah) secara tidak terbatas. Proses ini

dinamakan busur gerak wujud menurun. Setelah itu, perjalanan

kesempurnaan wujud dimulai lagi dari maqam potensial yang tidak

terbatas; yakni mâddah al-mawâdd, hingga sampai ke tingkatan

wujud dan aktualitas yang paling tinggi. Proses ini disebut busur

gerak wujud menaik.(1)

Para filosof mengklasifikasikan tingkatan wujud dalam busur

gerak menurun dan menaik ke dalam beberapa alam: alam akal,

alam jiwa, dan alam materi.

Para urafa dan filosof pengikut aliran filsafat Illuminatif

menambahkan satu alam lagi kepada tiga alam di atas. Mereka

menamakan alam dengan nama alam mitsâl atau alam malakût.

Alam malakût adalah penengah dan barzakh antara alam metafisik

dan alam materi.(2)

2. Filsafat Shadrul Muta’allihîn berdiri di atas tiga fondasi fundamental:

prinsipalitas wujud,(3) wahdat al-wujûd,(4) dan gradasi dalam

p:190


1- 240 Asy-Syifâ’, Ibn Sina, makalah ke-10 Al-Ilâhiyyât; Al-Isyârât wa At-Tanbîhât, pokok ke-7, pasal ke-1; Naqd Al-Nuqûd, Sayyid Haidar Al-Âmulî, prinsip ke-3, bagian ke-2 dan 3.
2- 241 Hikmah Al-Isyrâq, Sahruwardî, hlm. 137-148 dan 229-234; Syarh Fushûsh Al-Hikam, Qaishari, pasal ke-6.
3- 242 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Mulla Shadrâ, jld. 1, hlm. 38-67; Syarh-e Manzoomeh-ye Hekmat, Mulla Hadi Sabzawarî, hlm. 10-15; Nihâyah Al-Hikmah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, peringkat ke-1, pasal ke-2.
4- 243 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Mulla Shadrâ, jld. 1, hlm. 71; Syarh-e Manzoomeh-ye Hekmat, Mulla Hadi

hakikat wujud. (1) Ketiga dasar ini telah berhasil dibuktikan melalui

argumentasi dan juga dengan perantara intuitif. Berdasarkan

ketiga fondasi ini, seluruh universum, dimulai dari Sumber Utama

alam semesta (wujud aktual yang tidak terbatas) hingga mâddah

al-mawâdd alam materi yang merupakan wujud potensial yang

juga tidak terbatas, adalah seperti sebuah mata rantai yang saling

berkesinam-bungan sehingga tidak satu pun tingkatan wujud

terpisah dari tingkatan yang lain.

3. Berdasarkan konsep prinsipalitas wujud, sumber seluruh efek,

keistimewaan, dan sifat-sifat esensial (lawâzim) maujud

yang tidak terpisah adalah wujud itu sendiri.(2) Karena wujud

memiliki peringkat dan tingkatan berbeda dan beraneka ragam,

maka efek, keistimewaan, dan sifat esensial juga berbeda-beda

dan beraneka ragam seperti hidup, ilmu dan pemahaman,

kehendak, kemampuan, dan mempengaruhi, bersumber dari

wujud dan tidak dapat dipisahkan, karena selain wujud tidak

ada realita lain yang dapat digambarkan. Kemudian berdasarkan

perbedaan tingkatan wujud, seluruh efek juga berbeda dilihat

dari sisi kekuatan dan kelemahan, serta dari sisi kekurangan

dan kesempurnaan.

b. Kesesuaian Pemahaman dan Tingkatan Wujud

Kemunculan seluruh hakikat dan makna pada setiap alam adalah

sesuai tingkatan kesempurnaan alam tersebut. Sebagai contoh, hakikat

gaib yang dapat dipahami di alam metafisika tidak dapat dipahami

dan juga tidak akan muncul di alam materi. Memahami hakikat yang

tinggi mengharuskan tingkatan wujud yang lebih tinggi pula. Pemilik

Sabzawarî, hlm. 22-2 7; Nihâyah Al-Hikmah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, peringkat

ke-1, pasal ke-3.

p:191


1- 2 44 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Mulla Shadrâ, jld. 1 , hlm. 36 dan 42 7-446; Syarh-e Manzoomeh-ye Hekmat, Mulla Hadi Sabzawarî, hlm. 43-44; Nihâyah Al-Hikmah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, peringkat ke-1, pasal ke-3.
2- 245 Nihâyah Al-Hikmah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, peringkat ke-1, pasal ke-3.

tingkatan yang tinggi adalah para nabi dan wali Ilahi, serta sedikit

banyak para ulama, sastrawan, dan seniman.

Tidak diragukan lagi, apabila ilham dan wahyu tidak dapat dimiliki

oleh setiap orang, dan menuntut tempat yang layak dan pantas bagi

dirinya, maka ilmu, irfan, seni, dan sastra juga tidak dapat dimiliki atau

dipelajari oleh setiap orang.

Dengan demikian, para wali, urafa, ulama, penyair, sastrawan, dan

seniman masing-masing memiliki tingkatan dan kesempurnaan wujud

yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi mereka. Wahyu, makrifat,

ilmu, seni, dan sastra adalah hasil kesempurnaan wujud ini. Persoalan

yang mereka hadapi dalam mengungkapkan hakikat; di antaranya

memanfaatkan bahasa.

c. Transfer Makna ke Kata

Penting sekali untuk diketahui, bagaimana cara pengiriman kandungan

makna tinggi yang muncul dari kesempurnaan wujud kepada alam

materi yang lazim kita alami sehari-hari.

Menurut pandangan para filosof Muslim, hal ini dapat digambarkan

berdasarkan ketunggalan jiwa insani dan perbedaan

tingkatan kekuatan pemahaman yang dimiliki, seperti indera,

khayal, apprehensi (wahm), dan akal.(1) Dalam pandangan mereka,

penghubung seluruh tingkatan wujud dalam proses transfer makna

adalah jiwa insani.

Caranya, hakikat yang telah diterima oleh tingkatan tertinggi

kekuatan pemahaman jiwa rasional (nâthiqah); yakni tingkatan

akal mustafâd dan kekuatan qudsi yang memiliki kemampuan

menyangka (quwwah qudsiyyah hadsiyyah), dalam perjalanan

tingkatan kekuatan pemahaman manusia, turun ke maqam khayal

dan indera komunal. Pada saat itu, hakikat dapat disampaikan

p:192


1- 246 Asy-Syifâ’, Ibn Sina, pembahasan jiwa; Al-Najâh, Ibn Sina, pembahasan jiwa; Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Mulla Shadrâ, jld. 8, hlm. 155-220. Jld. 8, hlm. 221 dan jld. 9, hlm. 56 berkenaan dengan kekuatan-kekuatan jiwa dan bahwa jiwa adalah sumber seluruh kekuatan lahiriah, batiniah, material, dan metafisika.

kepada para pendengar dengan menggunakan perantara kata-kata

yang lazim dan lumrah digunakan.(1)

Tetapi, para urafa menyuguhkan solusi fundamental dengan jalan

menyodorkan beberapa konsep:

Manusia sebagai kawn jâmi‘.

Manusia adalah manifestasi nama Allah yang komprehensif.

Insan kamil secara independen adalah sebuah universum yang

meliputi seluruh alam yang lain.

Meskipun manusia dari satu sisi adalah bagian parsial dari seluruh

universum. Tetapi, dari sisi yang lain, ia dengan kesendiriannya adalah

seluruh alam semesta. Seluruh tingkatan dan peringkat alam semesta

berada dalam ranah wujudnya. Keluasan dan komprehensifitas

wujudnya terbentang dari wujud aktual yang tidak terbatas (fi‘liyyah lâ

mutanâhiyah) hingga wujud potensial yang juga tidak terbatas (quwwah

lâ mutanâhiyah).

Dalam wujud manusia, tidak hanya tersimpan kemampuan

memahami alam universal yang terdapat di alam semesta tetapi,

wujud manusia dengan kesendiriannya meliputi seluruh alam

tersebut. Manusia adalah sebuah landasan kokoh untuk busur gerak

wujud dan anugerah Ilahi, baik dari sisi menaik maupun menurun,

dan jembatan penghubung kesatuan seluruh alam yang ada di

universum. Seluruh makna dan hakikat hanya dapat turun dalam

ranah wujudnya. Di alam semesta, materi dan makna hanya dapat

bertemu dalam wujud manusia. Inilah rahasia mengapa para nabi

dan wali yang bertugas memberikan hidayah kepada umat manusia

dipilih dari kalangan mereka sendiri. Seandainya malaikat dibebani

tugas ini, ia pertama kali harus menjadi manusia sehingga hubungan

itu dapat terlaksana. Allah menegaskan, “Dan kalau Kami jadikan

rasul (dari) kalangan malaikat, tentulah Kami jadikan ia berupa

p:193


1- 247 Fushûsh Al-Hikam, Abu Nashr Al-Fârâbî, cet. Al-Ma‘ârif, Baghdad, pasal ke-56; Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Mulla Shadrâ, jld. 7, hlm. 22-30; Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, pokok ke-10.

seorang laki-laki.”(1)

Dalam pandangan para filosof maupun urafa, seluruh alam dan

aneka tingkatan wujud dapat terhubungkan dalam wujud manusia.

Oleh karena itu, transfer hakikat, makna, dan makrifat juga dapat

terlaksana melalui perantara manusia.

2.2. Konsekuensi dan Efek Seluruh Fondasi di Atas

Point

Berdasarkan seluruh fondasi di atas, kita dapat memetik kesimpulan

hubungan kata dan makna dalam ranah irfan. Kami akan menganalisis

perpindahan makna ke kata dari satu sisi dan juga perpindahan kata

ke makna dari sisi yang lain. Atas dasar ini, fungsi bahasa dalam ranah

ilmu irfan sangat pelik dan rumit sekali dalam dua segi: pertama,

menemukan dan menentukan kata untuk makna-makna irfani—

membahasakan makrifat-makrifat irfani; dan kedua, perpindahan

pemahaman pendengar dari kata kepada makna tersebut; yakni proses

memahami bahasa para urafa.

a. Hubungan Makna, Kata, Hakikat, dan Bahasa Isyarat

Kharazmi berkomentar tentang ayah Maulawî seraya berkata,

“Jika ia memulai sebuah ucapan dan tidak turun dari maqam

tersebut sebanyak tiga atau empat tingkatan, tidak seorang pun

dapat memahami ucapan-ucapannya.”(2)

Seperti telah dipaparkan, proses penurunan hakikat kepada bahasa

isyarat berlangsung dalam batin para nabi dan wali Ilahi. Mereka

memiliki kesempurnaan wujud yang dapat menurunkan ilham dan

makrifat intuitif. Dalam proses ini terjadi:

Pertama, hakikat-hakikat irfani turun dari ranah intuisi dan

menemukan jalannya sampai kepada ranah ilmu hushûlî yang

merupakan pusat kendali bahasa. Menurut para urafa, hal ini terjadi

karena sebuah kaidah yang menyatakan: “Bumi pasti menerima tetesan

p:194


1- 248 QS. Al-An‘am [6]: 9.
2- 249 Jawâhir Al-Asrâr, Husain Khârazmî, cet. Masy‘al, Isfahan, jld. 1, hlm. 121.

dari gelas orang-orang dermawan.” Menurut Ibnu Arabi, landasan

filosofis tema ini adalah sebagai berikut:

Dari sisi aksi dan fungsi, akal memiliki keterbatasan dan tidak

dapat memahami seluruh hakikat yang ada di alam intuisi. Tetapi,

dari sisi penerimaan dan reaksi, akal tidak terbatas. Bahkan, akal

juga dapat menerima pengaruh dan efek dari hakikat-hakikat

intuitif.(1)

Pada kesempatan yang lain, Ibnu Arabiberkata, “Akal (ranah ilmu

hushûlî), sebagaimana dapat memanfaatkan pikiran (argumentasi),

juga dapat memanfaatkan hati (intuisi).”(2)

Plotinus berkata, “Kita tidak memiliki kemampuan dan tidak

pula kesempatan sehingga kita dapat mengucapkan satu kata

berkenaan dengan makrifat irfani. Tetapi, setelah berlalu, makrifat

dapat dibahas dan dapat pula diargu-mentasikan.”(3)

Maksud ungkapan “setelah berlalu” adalah perpindahan seorang

arif dari pengalaman irfani dan alam intuisi ke dunia kesadaran diri

yang dimiliki oleh masyarakat biasa.

Setelah kembali ke alam ketercerai-beraian dan keberbilangan,

jika ia membawa serta sekuntum “bunga mawar,” ini berarti ia telah

siap membagi-bagikannya kepada orang lain;

Kedua, dalam ranah ilmu hushûlî, seseorang dapat memahami

penjelasan ini dengan mudah. Mengungkapkan hakikat irfani tidak

dapat dilakukan secara langsung, karena hanyalah sebuah re􀆪eksi

dari pengalaman irfani yang dapat memasuki ranah ilmu hushûlî.

Pengalaman itu sendiri tidak dapat termuat dalam ranah ungkapan.

Menurut Sanâ’î, kita tidak memiliki ucapan untuk mengungkapkan

makna dan dalam ucapan kita juga tidak terdapat makna.

Pengalaman inderawi kita peroleh dan kita miliki sejak

permulaan dan telah terkotori oleh berbagai faktor dan aneka kategori

p:195


1- 250 Al-Futûhât Al-Makkiyyah, Ibnu Arabi, cet. Beirut, jld. 2, hlm. 114; Majmu‘eh-ye Roaso’el-e Ibnu Arabi, kitab Al-Masâ’il, jld. 2, hlm. 2.
2- 251 Ibid., jld. 1, hlm. 289; Tamhîd Al-Qawâ‘id, Ibn Turkah, cet. Anjoman-e Falsafeh, hlm. 248.
3- 252 Erfän va Falsafeh, Stice, hlm. 310.

(maqûlah) yang ada dalam otak kita dan berbagai pengetahuan yang

ada dalam ranah ilmu hushûlî kita. Jika mencegah kontaminasi ini,

sebagaimana juga purifikasi pengalaman pada periode berikutnya

dari seluruh kategori dan pengetahuan yang mendominasi otak

dan ranah pengetahuan kita, bukanlah sebuah tindakan yang tidak

mungkin dilakukan, pencegahan ini tentunya sangatlah sulit sekali

dilakukan.(1)

Dalam usaha mengungkapkan pengalaman yang terpengaruhi

oleh berbagai pengetahuan yang ada dalam otak kita, akal dan pikiran

menemukan sebuah jarak yang sangat jauh dari hakikat dan substansi

pengalaman irfani itu sendiri. Jarak ini tidak berbeda dengan jarak yang

merentang antara dunia metafisika dan dunia materi.

Dengan ungkapan lain, hakikat dan makna irfani dalam proses

penurunan ini telah keluar dari posisinya dan memperoleh forma dan

manifestasi yang baru. Dengan demikian, otak kita akan memiliki

sebuah produk baru yang merupakan refleksi dari sebuah dunia dalam.

Tentunya, produk baru ini juga telah terkotori oleh berbagai refleksi

yang dihasilkan dari faktor-faktor dunia luar;

Ketiga, untuk mengungkapkan makna baru diperlukan

sebuah kata. Para urafa pada kesempatan ini, tidak berbeda

dengan para ulama yang lain, menggunakan bahasa yang lazim

digunakan oleh masyarakat umum. Mereka menggunakan katakata

yang sering digunakan masyarakat dengan menggunakan

gaya isti‘ârah (metafora) atau kinâyah (kiasan). Jelas, apabila

seorang arif menguasai bahasa dan terminologi ilmiah, hal ini

dapat membantunya menggunakan kosakata yang sesuai dan

mencetuskan sebuah terminologi baru. Para urafa yang menguasai

ilmu filsafat dengan baik telah memaparkan pembahasan irfan

teoritis dengan keluasan dan sistematika yang baik pula.(2) Syams

Tabrîzî pernah membandingkan kelemahan dirinya dengan Syaikh

p:196


1- 253 Falsafeh va Erfän, Yahya Yatsribî, cet. ke-4, hlm. 222-228; Erfän va Falsafeh, Stice, hlm. 22.
2- 254 ‘Erfon-e Nazdari, Yahya Yatsribî, prolog untuk bagian ke-2.

Irâqî. Ia berkata, “Ia (Syaikh Irâqî) karena menguasai terminologi

ilmiah dapat menyingkap sebagian rahasia yang tersembunyi dan

mengungkapkannya dengan sebuah ungkapan yang sangat jitu.

Akan tetapi, aku tidak demikian.”(1)

Penjelasan hakikat irfani yang tidak dapat dijelaskan itu, dari satu

sisi, mudah diterangkan dan dijabarkan oleh para sufi seperti Abu

Sa‘id Abul Khair, Al-‘Aththâr, Maulawî, dan Hafez. Dari sisi lain, dapat

dijelaskan oleh pengetahuan, khususnya filsafat Islam, yang pernah

dimiliki oleh para urafa seperti Qaishari, Qunawi, Sayyid Haidar

Amuli, dan Shadrul Muta’llihin Syirazi.

b. Kemunculan Ungkapan Bahasa Isyarat

Junaid pernah berkata, “Bahasa kami adalah isyarat.” Para urafa

memaparkan proses rumit yang ada dalam hubungan antara kata

dan makna dengan nama “isyarat”, sebagai ganti dari “ungkapan”.

Dengan demikian, bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan

makrifat dan hakikat irfani adalah bahasa “isyarat”. Bahasa “isyarat”

dan “simbol” adalah sebuah bahasa yang mencakup penyembunyian

(katm) dan pemaparan (ifsyâ’). Artinya, mengucapkan dalam

kondisi tidak mengucapkan dan tidak mengucapkan dalam kondisi

mengucapkan.(2)

Pembentukan bahasa isyarat muncul dari keempat unsur

perpindahan makna. Keempat unsur tersebut adalah pembicara,

pendengar, makna, dan kata. Problematika yang ada dalam empat

unsur ini menjadi faktor utama mengapa bahasa para nabi dan wali

harus disampaikan dalam bentuk bahasa isyarat. Penjelasan keempat

unsur tersebut sebagai berikut:

p:197


1- 255 Jawâhir Al-Asrâr, Husain Khârazmî, jld. 1, hlm. 131.
2- 256 I‘jâz Al-Bayân fi Ta’wîl Umm Al-Qur’an, Shadruddîn Al-Qûnawî, cet. Haidar Abad, hlm. 6.

1. Pembicara; pada maqam intuisi, seorang arif telah melangkahi

dunia materi dan melampaui ranah ruang dan waktu. Ia telah

melintasi satu dunia dan sampai ke dunia lain. Ia telah kehilangan

kesadaran diri yang lumrah dimiliki di dunia ini dan begitu pula

tatanan berpikir sehari-hari. Jelas, orang semacam ini telah

kehilangan fungsi seorang manusia normal ketika menyampaikan

sebuah informasi dan pengetahuan.

Apa yang dapat kukatakan sebuah sarafku tidak sadarkan;

karena menyifati Dzat Penolong yang Dia tidak memiliki

penolong.

Barangsiapa melihat taman bunga yang tersembunyi;

gairah cintamu akan pupus sirna dari dirimu.

Maulana Rumi

2. Pendengar; hubungan kata dan makna dalam penjelasan irfani

tidak hanya menghadapi persoalan dari sisi pembicara. Tetapi,

juga dari sisi pendengar. “Mendengar” tidak berbeda dengan

“mengucapkan” juga memiliki banyak persoalan. Hal ini diakui

oleh para urafa di dunia Timur dan Barat. Stice menyebut

pandangan para urafa Barat dengan nama “kebutaan spiritual”

dan “kebutaan kalbu”.(1) Mengapa persoalan ini ada?

Sebuah pernyataan masyhur menegaskan bahwa barangsiapa

yang kehilangan sebuah indera, ia kehilangan sebuah ilmu. Kita

tidak mungkin dapat memahami sebuah hakikat yang untuk

memahaminya dibutuhkan sebuah indera khusus, padahal

kita tidak memiliki indera tersebut. Para urafa Timur dan Barat

menjelaskan realita ini dengan memaparkan sebuah perumpamaan

bahwa orang-orang buta tidak akan dapat memahami warna. ‘Ainul

Qudhat berkata, “Sekalipun orang buta menegaskan keyakinannya

yang mantap terhadap hakikat sebuah warna, penegasan ini hanya

p:198


1- 257 Erfän va Falsafeh, Sufice, hlm. 310.

bermuara dari gambaran-gambarannya yang batil.”(1)

3. Makna; makna dalam makrifat Ilahi memiliki peran terbanyak

dalam masalah mengapa makrifat irfani tidak dapat dijelaskan

dan hubungan antara kata dan makna memiliki persoalan?

Keistimewaan makna adalah sebagai berikut:

Dalam ranah hakikat dan makrifat intuitif, tidak ditemukan

distingsi (tamâyuz) dan keberbilangan. Konsekuensi adalah

juga tidak ada arti yang dapat ditemukan. Menurut penegasan

Stice, dalam ketunggalan yang sama sekali nondistingtif, Anda

tidak akan dapat menemukan sebuah arti pun untuk suatu apa

pun. Hal ini karena tidak terdapat bagian dan sisi-sisi yang

dapat membentuk sebuah bentuk. Arti dapat terwujud ketika

terdapat keberbilangan atau paling tidak perbedaan antara

dua sesuatu. Dalam batin keberbilangan, bagian dan sisi-sisi

yang serupa dapat terwujud dalam satu golongan, dan berbeda

dengan golongan-golongan yang lain. Pada saat itulah, kita

akan memiliki sekumpulan arti dan sebagai konsekuensinya,

kita juga akan memiliki kata.(2)

Atas dasar ini, makna intuitif adalah makna yang nondistingtif.

Makna tidak dapat digambarkan dan tidak pula dapat dipahami.

Pada dasarnya, hakikat intuitif tidak sejalan dengan akal

yang berdiri di atas dasar distingsi, keberbilangan, dan esensi

(huwiyyah). Kata-kata muncul karena sederetan arti yang telah

terbentuk dalam benak. Kata-kata tidak pernah berfungsi dalam

ranah hakikat irfani.

Persoalan ini sangat fundamental. Tetapi, ada juga persoalan

lain yang tidak berhubungan dengan pembahasan kita kali ini. Di

antaranya adalah sebagai berikut:

Pelarangan menyebarkan rahasia. “Menyebarkan rahasia

ketuhanan adalah sebuah kekufuran.”

p:199


1- 258 Zubdat Al-Haqâ’iq, hlm. 88-89.
2- 259 Erfän va Falsafeh, Stice, hlm. 310.

Penderitaan dan siksaan yang dialami oleh para urafa karena

menyebarkan rahasia.(1)

Usaha untuk menyembunyikan keadaan jiwa dan maqam yang

telah diperoleh, serta menutupi hakikat dari orang-orang yang

bukan ahlinya. Dalam sebuah pernyataan irfani ditegaskan,

“Janganlah kalian beritahukan rahasia-rahasia cinta kepada

orang yang hanya pandai mengaku-ngaku.”

4. Kata; Ibn Khaldûn berkata, “Kata-kata tidak dapat memaparkan

kehendak para sufi sehubungan dengan seluruh maksud tersebut

di atas. Hal ini karena seluruh kata diletakkan untuk makna yang

bersifat konvensional (umum), dan mayoritas makna ini berasal

dari makna yang bersifat inderawi.”(2)

Hal Ini telah kami jelaskan secara detail pada pembahasan yang

lalu.

Dengan demikian, bahasa para nabi, sastrawan, dan seniman

adalah bahasa isyarat. Menurut penegasan Ahmad Ghazali, “ungkapan

isyarat”.

c. Klasifikasi Isyarat

Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan poin yang lain sebagai

berikut:

Setelah makna turun ke dunia ilmu hushûlî, otak, dan ranah

pengetahuan, bagaimanakah bentuk hubungan makna tersebut dengan

kata dan ungkapan yang akan kita pilih?

Hubungan itu bukanlah sebuah hubungan yang bersifat

hakiki. Sekalipun, menurut keyakinan Syaikh Mahmud Syabestari,

penggunaan kata dalam makna irfani bersifat hakiki dan dalam

kehidupan sehari-hari bersifat figuratif (majâzî).(3)

p:200


1- 260 Falsafeh va Erfon, Yahya Yatsribî, hlm. 500.
2- 261 Al-Muqaddimah, Ibn Khaldun, jld. 2, hlm. 990.
3- 262 Golshan-e Roz.

Pandangan Syaikh Mahmûd dapat dibenarkan berdasarkan

pandangan NeoPlatonisme. Untuk sementara ini, kita kesampingkan

terlebih dahulu pandangan ini. Pandangan yang kami terima adalah

penggunaan kata untuk makna-makna yang umum digunakan dalam

kehidupan sehari-hari bersifat hakiki dan untuk makna-makna irfani

bersifat figuratif. Tetapi, dalam penggunaan figuratif, kita juga harus

memperhatikan poin berikut:

1. Ungkapan seperti wahdat al-wujûd, kegaiban esensi, ketunggalan,

keesaan, lima figur mulia (al-hadharât al-khamsah),

keberbilangan, kemanunggalan, cinta, jadzbab (mabuk dalam

cinta kepada Allah), intuisi, dan fana memiliki penggunaan yang

permanen di kalangan para urafa. Sekalipun demikian, seluruh

ungkapan ini sebagaimana akan kami jelaskan sangatlah rumit

dipahami oleh masyarakat awam dan bersifat ambigu. Artinya,

hubungan kata dan ungkapan-ungkapan tersebut dengan makna

dan hakikatnya terjadi berlandaskan proses penurunan (kualitas)

dari sisi makna dan penggunaan figuratif dari sisi kata. Meskipun

demikian, hubungan itu adalah sebuah hubungan yang permanen.

“Kegaiban esensi”, “keesaan”, atau ungkapan-ungkapan yang lain

senantiasa menghikayatkan sejumlah hakikat tertentu, meskipun

hakikat dan makna tersebut tidak dapat dipahami oleh akal dan

pikiran yang lazim. Dengan kata lain, tidak dapat dipahami oleh

ilmu hushûlî . Sekalipun demikian, penggunaan bahasa dan isyarat

untuk mengungkapkan seluruh hakikat masih memiliki sebuah

permanensi.

Landasan permanensi adalah ungkapan dan kata-kata yang

langsung dan tanpa perantara dengan cara mentransmisikan arti

yang lazim digunakan, bukan melalui cara metafora (istî‘ârah),

kiasan (kinâyah), dan lain sebagainya. Dalam metode penggunaan

kiasan dan metafora, makna asli sebuah kata merupakan makna

lazim dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari tidak boleh

diabaikan. Dengan kata lain, tidak terjadi transmisi (pengalihan

p:201

—peny.) makna. Makna tersebut hanya digunakan sebagai cermin,

perantara, dan jembatan untuk mengungkapkan sebuah

arti irfani.

2. Banyak sekali ungkapan irfani sebagaimana telah kami jelaskan—

yang menggunakan metode metafora dan kiasan. Dalam metode

ini, tolok ukur pemahaman sebuah tema adalah makna dan arti

lazim sebuah kalimat dan kata yang digunakan sebagai cermin

dan jembatan untuk mengungkapkan makna irfani. Kami akan

menjelaskan tema ini secara ringkas:

Metafora; seperti telah kami paparkan di atas, dalam penggunaan

metafora, kita menggunakan sebuah kata dalam sebuah makna figuratif

(tidak hakiki) berdasarkan sebuah unsur penyerupaan (tasybîh).

Syarat yang diperlukan, kata yang kita gunakan adalah kata yang

dijadikan tolok ukur penyerupaan (musyabbah bih) dan maksud yang

kita inginkan adalah makna yang diserupakan (musyabbah). Tetapi,

musyabbah tidak boleh disebutkan dan juga lahiriah ungkapan tidak

boleh mengindikasikannya. Harus ada sebuah analogi (qarînah) yang

membuktikan bahwa kita menginginkan selain arti lahiriah ungkapan

tersebut. Penggunaan semacam ini banyak ditemukan di tengahtengah

masyarakat, seperti “mutiara terjatuh dari atas bunga Nargis

dan mengalirkan air kepada bunga yang kering kerontang”. Dalam

ungkapan-ungkapan irfani kita juga dapat menemukan ungkapanungkapan

metaforik semacam ini.

Kiasan; dalam metode kiasan, sebuah kata masih digunakan dalam

artinya yang asli. Tetapi, pembicara menginginkan salah satu arti logis

(lâzim) di balik arti asli tersebut. Dalam metode kiasan, tidak boleh

melupakan arti asli sebuah kata, berbeda dengan metode metafora

dan figuratif. Kata tersebut masih digunakan dalam artinya yang asli.

Tetapi, maksud asli pembicara bukanlah arti asli tersebut, tetapi salah

satu arti logis di balik arti asli itu.

Di kalangan masyarakat, sering kita dengar pernyataan bahwa

tangan Imam Ali as. selalu terjulur dan pintu rumahnya selalu terbuka

p:202

untuk mem-bantu masyarakat. Dalam irfan ungkapan-ungkapan

seperti darwisy, mabuk, orang yang selalu berlalu-lalang di tempat

bermabuk-mabukan, dan gila. Jelas, maksud ungkapan semacam ini

hanyalah arti logis kata-kata tersebut.

Figurasi tersusun; penggunaan sekelompok kata dan ungkapan

dalam ketentuan penggunaan yang serupa dengan ketentuan aslinya.

Penggunaan semacam ini dikenal juga dengan nama “alegori (tamtsîl)

dengan cara metafora”. Jika ungkapan-ungkapan itu sangat masyhur

digunakan oleh masyarakat, ungkapan itu dinamakan “perumpamaan”

(matsal).

Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kita sering mendengar

ungkapan bahwa anak seekor serigala akhirnya akan menjadi serigala

juga, meskipun ia tumbuh besar bersama manusia. Para urafa juga

menggunakan metode ini dalam menjelaskan hakikat dan maknamakna

gaib.

“Ungkapan orang lain” dapat digunakan sebagai bidang untuk

mengungkapkan “rahasia para pemikat cinta”; semua ini berdasarkan

metode ini dan terdapat juga dalam buku Masnavi-ye Mavlavi,

Manthiq Al-Thayr karya ‘Aththar, dan buku-buku yang lain. Di permulaan

buku Masnavi kita dapat membaca syair berikut:

Dengarkanlah seruling yang sedang berkisah,

ia mengadukan perpisahan yang harus dialami.

Begitu pula puluhan kisah nyata dan khayal yang dimanfaatkan

sebagai sebuah alegori. Pada dasarnya, ghazal-ghazal irfani berdiri tegak

di atas alegori ini. Dalam ghazal irfani, seorang arif mengungkapkan

semerbak dan bara cinta dalam bentuk cinta figuratif dan yang lazim

dialami oleh masyarakat. Sekalipun demikian, ia juga mengungkapkan

cinta yang sejati. Oleh karena itu, ungkapan irfani memiliki nilai setara

dengan tema-tema biasa. Alasannya, meskipun maksudnya adalah

cinta yang sejati, tetapi ia mengungkapkan hal itu di sela-sela cinta

figuratif.

p:203

Para urafa sering memanfaatkan bait-bait syair secara irfani,

sedangkan para penyair syair-syair tersebut pada umumnya tidak

mengenal masalah irfani. Sebagai contoh, syair khamar Abu Nawas (w.

199 H.) dan syair Shahib bin ‘Ibad (w. 385 H.). Dua bait syair berikut

ini sangat masyhur sering dikidungkan oleh Ibnu Arabidan para urafa

yang lain:

Gelas itu mencair dan khamar pun turut mencair,

keduanya berbentuk serupa dan sulit ditandai.

Seakan-akan terdapat khamar tanpa cawan,

dan seakan-akan juga terdapat cawan tanpa khamar.

Ibnu Faridh (w. 632 H.) sangat terpengaruh oleh syair-syair

Syarif Radhi (w. 406 H.), penulis buku Nahj Al-Balâghah.(1) Salah

seorang penyair pernah melantunkan bait syair berikut di hadapan

Syaikh Abu Sa‘id Abul Khair (w. 440 H.):

Aku akan bersembunyi di balik syair ghazalku,

sehingga aku kecupkan ciuman di bibirmu sembari kau baca

alasannya.

Syaikh Abul Khair bertanya kepadanya: “Siapakah penyair yang

telah melantunkan syair ini?” Penyair itu menjawab: “‘Imârah Al-

Marwazî.” Mendengar jawaban itu, Syaikh Abul Khair menziarahi

kuburan ‘Imârah bersama sekelompok kaum sufi.(2) Almarhum Rahi

memiliki sebuah syair yang menegaskan berikut ini:

Aku mengetahui bara cinta-Mu dengan perantara cermin, Engkau

lebih cinta berjumpa denganku daripada diriku sendiri.

p:204


1- 263 Asy-Syarîf Ar-Radhî, Dr. Mahfûzh, hlm. 118.
2- 264 Asrâr Al-Tawhîd, hlm. 280.

Menurut hemat kami, syair ini adalah syair terlugas yang

menggambarkan ajaran irfan. Berdasarkan prinsip ini, dasar utama

penciptaan adalah kecintaan Dzat Yang Maha segalanya terhadap

keindahan diri-Nya dan cinta kepada-Nya adalah cinta yang paling asli

dan hakiki terhadap Kekasih yang hakiki tersebut. Kecintaan menjadi

faktor mengapa ia menciptakan sebuah manifestasi dan cermin untuk

diri-Nya. Padahal, bisa jadi Almarhum Rahi hanya menghendaki

sisi lahiriah syair yang telah dilantunkan itu dan sama sekali tidak

memperhatikan sisi kiasan di atas.

Di penutup bagian pembahasan, perlu kami ingatkan kembali

bahwa bahasa metafora, alegori, dan kiasan yang digunakan untuk

mengungkapkan makrifat irfani tidak pernah dapat mengungkapkan

seluruh makrifat dan pengalaman tersebut. Bahasa ini bukan hanya

tidak dapat mendekatkan akal kita kepada seluruh hakikat irfani,

tetapi bahkan malah dapat menjauhkannya. Di kalangan ulama sudah

masyhur, apabila metode penyerupaan dan alegori dari satu sisi dapat

mendekatkan kita kepada hakikat, metode ini dari beberapa sisi malah

dapat menjauhkan kita. Oleh karena itu, sekalipun para urafa telah

berusaha menerangkan makrifat-makrifat irfani. Akhirnya, malah

mengakui kelemahan diri mereka dan menyatakan bahwa seluruh

makrifat irfani berada di luar ranah ungkapan manusia. Maulawî pernah

menggambarkan hubungan antara Dzat Yang Maha Haqq dan makhluk.

Setelah menggunakan beberapa jenis penyerupaan dan ungkapan yang

sangat lembut nan jeli, akhirnya ia juga mengakui kelemahan dirinya.

Engkau bak jiwa dan kami bak tangan dan kaki,

gerak-gerik tangan terjadi karena jiwa.

Engkau bak akal dan kami bak penjelasan ini,

lidah ini bisa menjelaskan karena akal.

gkau bak kebahagiaan dan kami bak tertawa,

karena kebahagiaan kami menjadi jaya.

Setiap gerakan kami menjadi saksi

p:205

atas Dzat Yang Mahaagung nan Abadi.

Gerakan batu penggiling gandum di penggilingan,

bak saksi atas keberadaan air mengalir.

Hai Dzat di luar bayangan dan ungkapanku,

buyarlah seluruh pembedaan dan penyerupaanku.

Maulana Rumi

2.3. Dari Teks ke Makna, Takwil, dan “Isyarat Ungkapan”

Point

2.3. Dari Teks ke Makna, Takwil, dan “Isyarat Ungkapan”

Pada kesempatan ini, kita akan menelaah proses perpindahan dari kata

ke makna dan hakikat yang dilakukan oleh para urafa. Proses penurunan

(tanazzul wa tanzîl) menarik makna ke dalam ranah kata. Tetapi, kita

akan menggiring kata ke ruang lingkup makna melalui takwil. Artinya,

kita akan memahami makna melalui jalan kata. Berbeda dengan

proses penurunan (tanzîl), takwil adalah sebuah proses gerak menaik.

Perbedaannya, tanzîl adalah proses gerak menurun sebuah makna dari

haribaan Dzat Yang Maha Haqq kepada makhluk. Sedangkan, takwil

adalah gerak menaik manusia dari ranah makhluk ke haribaan Dzat

Yang Maha Haqq, dari sisi lahiriah ke sisi batiniah. Landasan utama

gerak menaik adalah sisi kawn jâmi‘ yang dimiliki oleh manusia. Ketika

mendengarkan makrifat irfani melalui kata-kata yang lazim digunakan

sehari-hari, seseorang dapat memahami makna-makna yang berbedabeda

sesuai dengan transendensi dan universalitas wujud yang ia miliki.

Makna ini berada dalam posisi vertikal antara satu makna dengan

makna lain. Memahami makna dan hakikat tergantung kepada derajat

wujud yang dimiliki oleh seseorang, memahami ungkapan dan isyaratisyarat

yang mengungkapkan makna-makna tersebut juga bergantung

kepada tingkatan wujud yang ia miliki. Secara global, kerumitan dan

kesulitan memahami bahasa para urafa disebabkan oleh beberapa

faktor di bawah ini:

p:206

a. Tingkatan dan Peringkat Wujud

Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelum ini,

berdasarkan teori prinsipalitas wujud dan gradasi hakikat wujud,

apabila tingkatan dan peringkat wujud berbeda, efek-efeknya juga akan

berbeda pula. Hasilnya, proses memahami yang merupakan salah satu

efek wujud akan berbeda dalam tingkatan dan peringkat wujud yang

berbeda-beda.

Dengan ungkapan lain, proses penurunan makna dan hakikat juga

terjadi berdasarkan proses penurunan wujud. Proses memahami hakikat

yang berhubungan dengan setiap tingkatan dan peringkat wujud hanya

mungkin terealisasi ketika peringkat dan tingkatan kesempurnaan

wujud tersebut terealisasi. Hasilnya, proses memahami hakikat akan

berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan peringkat kesempurnaan

wujud dalam proses busur gerak menaik. Seperti pernah ditegaskan

oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadis, Al-Qur’an memiliki tujuh

atau tujuh puluh batin. Menurut sebuah hadis yang lain, Al-Qur’an

memiliki empat tingkatan makna: lahir, batin, hadd, dan mathla‘.(1)

Lahiriah Al-Qur’an adalah makna dan arti yang ditangkap oleh

otak kita ketika kita mendengar Al-Qur’an untuk pertama kali. Batin

Al-Qur’an adalah arti logis (lâzim) untuk makna lahir. Makna hadd

adalah makna dan hakikat yang dapat dipahami oleh akal dan pikiran

kita setelah sampai kepada puncak kesempurnaannya. Mathla‘ adalah

hakikat rahasia Ilahi dan isyarat Rabbaniah yang hanya dapat digapai

melalui jalan intuisi. Dengan demikian, lahiriah Al-Qur’an adalah milik

masyarakat awam. Batin Al-Qur’an adalah milik masyarakat khawas.

Hadd Al-Qur’an hanya dimiliki oleh orang-orang yang paling utama

dari kalangan masyarakat khawas. Sedangkan, mathla‘ Al-Qur’an

hanya dimiliki oleh para wali Ilahi secara khusus. Makrifat-makrifat

irfani tidak ubah-nya seperti Al-Qur’an dan hadis qudsi juga memiliki

peringkat dan tingkatan-tingkatan tersebut.(2)

p:207


1- 265 Kedua hadis tersebut di atas dapat Anda lihat dalam buku Ahädis-e Masnavi, hlm. 83 dan Ta‘ilqät bar Naqd Fushûsh Al-Hikam, hlm. 340.
2- 266 Muqaddimah Fushûsh Al-Hikam, Dawud Qaishari, pembahasan kenabian.

Pengetahuan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam dari

Al-Qur’an dan makrifat irfani sangatlah terbatas dan sedikit sekali.

Guna memahami tingkatan makna dan hakikat yang berbeda-beda,

diperlukan kesempurnaan wujud dan syair menaik yang sesuai

dengan masing-masing tingkatan. Berdasarkan pandangan ini,

seluruh ayat Al-Qur’an, hadis, atau pernyataan-pernyataan para wali

sangatlah sulit dan rumit untuk dapat dipahami dan senantiasa akan

berada dalam kondisi ini. Alasannya, setelah kita sampai kepada satu

tingkatan wujud dan sebuah pengetahuan, masih ada peringkat dan

tingkatan-tingkatan lebih tinggi yang kita belum sampai kepadanya.

Setiap pribadi hanya dapat berhubungan dengan makna yang sesuai

dengan tingkatan wujud dirinya. Jika tidak demikian, yang ia miliki

hanyalah khayalan hakikat dan makna. Menurut pernyataan Maulawî,

Al-Qur’an tidak memerlukan takwil. Kitalah yang harus menakwilkan

diri kita sendiri.

b. Perbedaan Kondisi Batin (Hâl)

Makrifat-makrifat irfani dapat terpengaruh oleh kondisi batin dari

dua sisi: kondisi batin pembicara dan kondisi batin pendengar.

Seorang arif dalam maqam tawakal mengucapkan sebuah ucapan dan

dalam maqam ridha mengucapkan sebuah ucapan yang lain. Ia karena

tuntutan perasaan takut (khawf) mengucapkan sebuah ucapan dan karena

tuntutan harapan (raajâ’) akan mengucapkan sebuah ucapan yang lain.

Dengan demikian, kondisi batin seorang pembicara sangat memiliki

peran dalam menjelaskan sebuah makrifat. Dari sisi yang lain, kondisi

batin dan maqam pendengar memaksa para nabi dan wali supaya

menurunkan kualitas ucapan mereka sesuai dengan kadar akal dan

pikiran lawan bicara mereka. Rasulullah Saw pernah bersabda:

Kami para nabi diperintahkan supaya berbicara dengan

masyarakat sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka.(1)

p:208


1- 267 Safinah Bihâr Al-Anwâr, Syaikh Abbâs Al-Qomi, jld. 2, hlm. 214.

Supaya terjadi interaksi dan proses saling memahami, para nabi

as. diperintahkan supaya berbicara dengan bahasa kaum mereka.

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa

kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang

kepada mereka (QS. Ibrahim [14]: 4.).

Bahasa dan penjelasan wahyu sangat terpengaruh oleh kadar pemahaman

dan konsentrasi lawan bicara. Begitu pula berkenaan dengan

seluruh penjelasan dan ucapan para nabi dan wali.

c. Keberagaman Alasan (Munâsabah) dalam Penggunaan Bahasa Isyarat

Guna mengungkapkan hakikat, para urafa menggunakan metode

metafora, kiasan, dan alegori. Fondasi utama metode penggunaan ungkapan

ini adalah alasan penggunaan (munâsabah), dan alasanalasan

ini tidak bersifat sistematik. Konsekuensinya, penggunaan yang digunakan

untuk menjelaskan hakikat; yakni alasan-alasan penggunaan

yang dapat menghubungkan kata dengan makna dan perumpamaan

dengan hakikat, tidak dapat diklasifikasikan.

Jangan sampai Anda salah paham. Maksud kami bukanlah kesulitan

mengklasifikasikan alasan-alasan penggunaan itu sendiri, karena para

ahli sastra Bahasa Arab telah mengklasifikannya dengan baik. Sebagai

contoh, alasan keserupaan, alasan juz’iyyah dan kulliyyah, alasan

sebab dan akibat, dan bahkan alasan kontradiksi. Maksud kami ada

lah kesulitan menentukan alasan penggunaan yang diinginkan oleh

pembicara ketika ia menggunakan sebuah kata, metafora, dan perumpamaan

tertentu. Berkenaan dengan realita alam mimpi, Qaishari

berkata:

p:209

Kesaksian-kesaksian manusia dalam khayal yang terikat (alam

mimpi) sangat jarang yang tidak memerlukan sebuah ta’bir; semua

kesaksian itu memerlukan ta’bir. Hal ini karena setiap makna

tidak akan muncul dalam setiap bentuk. Tetapi, antara makna

dan bentuk-bentuk khusus yang menjadi bidang kemunculannya

terdapat kesesuaian dan alasan (munâsabah). Dengan demikian,

orang yang telah bermimpi harus memahami makna-makna yang

muncul melalui jalan bentuk-bentuk tersebut dengan bantuan

ahli ta’bir yang lain.268

Di samping problem di atas; yakni problem menentukan alasan

penggunaan, Ibnu Sina menambahkan satu problem yang lain. Dalam

problem ini, perpindahan kekuatan khayal tidak permanen dan juga

tidak berakhir. Menurut hemat Ibn Sina, ditinjau dari sisi kekuatan

dan kelemahannya, efek-efek spiritual yang menghinggapi jiwa, baik

dalam kondisi tidur maupun terjaga, memiliki tingkatan dan peringkat

yang berbeda-beda. Pada kesempatan ini, ia hanya menyebutkan tiga

tingkatan:

1. Tingkatan lemah; dalam tingkatan ini, tidak satu pun efek tersisa.

Oleh karena itu, jiwa tidak mungkin dapat menemukannya kembali.

2. Tingkatan menengah; khayal berpindah dari jiwa, dan ada

kemungkinan akan kembali lagi kepadanya.

3. Tingkatan kuat; ketika menerima efek tersebut, jiwa telah permanen

dan sangat kokoh. Jiwa selalu memperhatikan dan menjaganya,

serta tidak mengizinkannya hilang nan lenyap.

Tiga tingkatan ini tidak hanya dikhususkan untuk efek-efek tersebut.

Tetapi, semua tingkatan dapat memperoleh tempat untuk setiap

kenangan akal. Sebagian efek tercipta sedemikian rupa sehingga akal

kita tidak dapat berpindah darinya. Sebagian yang lain terjadi

268 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud Qaishari, tujuan ke-1, pasal ke-3.

p:210

sedemikian rupa sehingga akal kita berpindah darinya dan dapat

melupakannya. Sebagian ketiga tercipta sedemikian rupa sehingga akal

dapat pulang kembali kepadanya dengan sebuah analisis, dan kadangkadang

kepulangan ini pun tidak mungkin terjadi sekalipun dengan

analisis apa pun.

Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan:

Jika makrifat-makrifat gaib yang terlukis dalam kekuatan

khayal, baik dalam kondisi tidur maupun kondisi terjaga, tetap

terpelihara seperti apa adanya sedia kala, seluruh makrifat

tersebut dinamakan wahyu atau ilham yang tidak memerlukan

ta’bir dan takwil. Tetapi, jika hakikat dan makna-maknanya

musnah, yang tersisa hanyalah efek dan tanda-tandanya saja,

maka makrifat-makrifat tersebut memerlukan takwil dan

ta’bir. Takwil dan ta’bir ini akan berbeda-beda sesuai dengan

kemampuan setiap orang, waktu, dan tradisi. Perpindahan

ini sama sekali tidak dapat diatur dan tidak pula dapat

diklasifikasikan. Dan seluruh hakikat masih tetap berada dalam

“kabut” keambiguan.”269

Dalam seluruh ungkapan semacam ini, pembicara berada dalam

dunianya sendiri dan pendengar juga berada dalam dunianya sendiri.

Akibatnya, tidak ada kalkulasi dan perhitungan yang detail untuk itu.

Di penutup pembahasan, perlu kami ingatkan satu poin. Para urafa

tidak pernah mengingkari indikasi jelas dan tegas Al-Qur’an untuk

makna-makna lahiriahnya. Tetapi, menurut mereka, maksud wahyu

tidak hanya terbatas pada makna-makna lahiriah. Bahasa wahyu adalah

sebuah bahasa isyarat dan simbol yang memiliki indikasi-indikasi

berlapis-lapis.

269 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-10, pasal ke-21-22.

p:211

3. Bahasa Wahyu

Dengan beberapa alasan dan bukti, bahasa wahyu tidak sesuai dengan

bahasa para urafa:

a. Wahyu sendiri tidak memaparkan bahasa dirinya dalam proses

penurunan (tanzîl) dan takwil seperti dipaparkan oleh para

urafa.Al-Qur’an senantiasa menekankan bahwa bahasanya adalah

bahasa yang mudah dipahami. Para nabi pun berbicara dengan

menggunakan bahasa kaum mereka supaya seluruh ajaran mereka

dapat dipahami dengan baik.

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan

bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan

terang kepada mereka (QS. Ibrahim [14]: 4).

Karena alasan ini, banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan

bahwa bahasa Al-Qur’an adalah Bahasa Arab yang jelas. Di antara

ayat-ayat itu adalah sebagai berikut ini:

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan

berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (QS. Yusuf [12]: 2).

Allamah Thabathabai berkenaan dengan masalah ini menulis:

Al-Qur’an mulia yang juga termasuk dalam klasifikasi ucapan,

tidak ubahnya seperti ucapan masyarakat umum, menyingkap

makna yang ia inginkan. Indikasi Al-Qur’an tidak pernah

samar. Dalil eksternal juga tidak ada yang dapat membuktikan

bahwa maksud Al-Qur’an adalah selain arti literal yang dapat

dipahami dari Bahasa Arabnya itu. Mengapa indikasi Al-Qur’an

tidak pernah samar? Alasannya, jika seseorang mengenal

Bahasa Arab, ia akan dapat memahami makna ayat-ayat Al

p:212

Bahasa Agama dan Irfan

Qur’an secara jelas, sebagaimana ia juga dapat memahami arti

ungkapan-ungkapan Bahasa Arab yang lain.(1)

b. Tidak seorang pun dari Muslimin yang pernah hidup pada masa

permulaan Islam menghadapi persoalan dalam memahami

ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam beberapa kesempatan, mereka

memanfaatkan ayat-ayat tersebut dan menjadikannya sebagai

sandaran. Para mufasirin yang hidup pada masa itu hanyalah

menjelaskan sebagai makna kata yang terdapat dalam suatu ayat

dan menerangkan sebab turun suatu ayat. Pada masa khilafah

para khalifah yang merupakan masa penyalinan naskah Al-Qur’an

dalam jumlah yang banyak dan mengirimkannya ke berbagai

penjuru negara Islam, mereka menganggap bahwa teks Al-Qur’an

sudah cukup untuk memahami maksud wahyu dan tidak perlu

disertai dengan penafsiran dan penjelasan.

c. Agama Islam adalah sebuah agama rasional yang menyandarkan

seluruh ajarannya kepada akal. Umat manusia diwajibkan supaya

menerima kandungan dan ajaran agama dengan jalan memahami

dan melalui jalan akal. Konsep ini terus berlanjut hingga

sampai-sampai mukjizat hanya digunakan sebagai sarana untuk

membuktikan kebenaran klaim kenabian. Kandungan dakwah

Islam hanya harus diterima melalui jalan akal. Para ulama Islam

pun menekankan bahwa beragama tanpa argumentasi adalah

sebuah tindakan yang tidak benar dan tidak diterima.(2)

Al-Qur’an yang mulia senantiasa mengecam taklid buta dan

mengajak umat manusia supaya melakukan pertimbangan dan

lalu menentukan pilihan. Karena masalah sangat gamblang dan

supaya pembahasan kita tidak terlalu bertele-tele, kami tidak

akan menyebutkan bukti-bukti untuk itu pada kesempatan ini.

Rasionalitas adalah salah satu kebanggaan agama Islam. Oleh

p:213


1- 270 Qor’än dar Esläm, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, cet. ke-6, penerbit Jâmi‘ah Mudarrisîn Qom, hlm. 24.
2- 271 Al-Fashl, Ibn Hazm, cet. Beirut, jld. 2, hlm. 327.

karena itu, bahasa wahyu harus disusun dan dibentuk sedemikian

rupa sehingga bisa dipahami dan direnungkan oleh seluruh

umat manusia dan di seluruh masa. Karena alasan ini, Ibn Sina

menekankan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah sebuah bahasa yang

jelas dan tegas.(1)

d. Al-Qur’an mulia menjadikan seluruh umat manusia, sekalipun

orang-orang yang kafir dan musyrik, sebagai lawan bicara dan

mengajukan argumentasi untuk seluruh mereka. Al-Qur’an

meminta supaya mereka mere-nungkan dan memikirkan ayatayatnya.

Sampai-sampai kitab ini meminta dari mereka supaya

membuat sebuah kitab lain seperti Al-Qur’an apabila mereka

mampu. Seluruh bukti ini menunjukkan bahasa Al-Qur’an adalah

sebuah bahasa biasa dan bisa dipahami oleh seluruh lapisan

masyarakat. Jika tidak demikian, mengajak umat manusia untuk

merenungkannya dan menjadikan mereka sebagai lawan bicara

adalah sebuah tindakan yang tidak logis. Tidak ada dalil dan bukti

yang dapat membuktikan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah sebuah

bahasa yang luar biasa. Pada penutup pembahasan ini, kami akan

menjelaskan dua poin yang mungkin dapat menimbulkan kritik

sehubungan dengan bahasa Al-Qur’an: pertama, masalah takwil;

dan kedua, keberadaan ayat-ayat mutasyâbih.

Berenaan dengan ayat-ayat mutasyâbih, sepertinya tidak satu

ayat khusus pun dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh

seluruh Muslimin. Menurut keyakinan sebagian ahli tafsir, ayat-ayat

mutasyâbih hanya terjelma dalam huruf-huruf muqaththa‘ah yang

terdapat pada permulaan sebagian surah Al-Qur’an. Tetapi, Allamah

Thabathabai menganggap, pendapat ini tidak benar,(2) dan menurut hemat kami, pendapat ini juga tidak benar. Dengan demikian, ayat-ayat

mutasyâbih juga harus memiliki makna dan takwil. Hanya saja, ayat-

p:214


1- 272 Asy-Syifâ’ dan Al-Najâh, Ibn Sina, pembahasan Al-Ilâhiyyât.
2- 273 Qor’än dar Esläm, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, cet. ke-6, penerbit Jâmi‘ah Mudarrisîn Qom, hlm. 35.

ayat ini dapat dipahami dengan merujukkannya kepada ayat-ayat yang

lain. Artinya, ayat-ayat ini dapat dijelaskan melalui perantara wahyu

dan ilmu Ilahi. Kita dapat memahami ayat-ayat mutasyâbih dengan

cara merujukkannya kepada ayat-ayat yang jelas dan tegas (muhkam).

Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa kita tidak pernah

memiliki satu ayat pun yang maksud sejatinya tidak dapat dipahami.

Ayat-ayat Al-Qur’an ada kalanya dapat dipahami tanpa melalui

perantara apa pun, seperti ayat-ayat muhkam, dan ada kalanya dapat

dipahami dengan melalui sebuah perantara ayat yang lain, seperti ayatayat

mutasyâbih. Sehubungan dengan huruf-huruf muqaththa‘ah yang

terdapat di permulaan sebagian surah Al-Qur’an, huruf-huruf ini tidak

memiliki indikasi literal. Karena itu, seluruh huruf tidak termasuk

dalam klasifikasi ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih.(1)

Dengan semua penjelasan ini, dari kata mutasyâih dalam Al-Qur’an,

konsep tanzîl dan takwil irfani tidak dapat disimpulkan. Sehubungan

dengan takwil, Allamah Thabathabai menulis sebagai berikut:

Kita memiliki sepuluh pendapat tentang arti takwil. Tetapi, hanya

terdapat dua pendapat yang lebih masyhur dibandingkan dengan

pendapat-pendapat yang lain:

(a) Pendapat para ulama terdahulu. Menurut keyakinan mereka,

takwil adalah sinonim dengan tafsir (arti sebuah ucapan).

Berdasarkan pendapat ini, seluruh ayat Al-Qur’an pasti

memiliki takwil. Tetapi, karena penegasan ayat yang berbunyi,

‘Dan tidak seorang pun mengetahui takwilnya kecuali Allah,’

tidak seorang pun mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbih

secara khusus kecuali Allah. Sekelompok ulama terdahulu

berkeyakinan bahwa ayat-ayat mutasyâbih Al-Qur’an adalah

huruf-huruf muqaththa‘ah yang terdapat di permulaan

sebagian surah Al-Qur’an. Alasannya, dalam Al-Qur’an yang

mulia, tidak ada satu pun ayat yang artinya tidak dapat dipahami

p:215


1- 274 Ibid., hlm. 37.

oleh seluruh masyarakat kecuali huruf-huruf muqaththa‘ah

tersebut. Tetapi, kami telah menjelaskan kebatilan pendapat

ini pada pasal-pasal terdahulu.

Biar bagaimanapun, menilik beberapa alasan: pertama,

Al-Qur’an menyatakan bahwa selain Allah tidak mengetahui

takwil sebagian ayat Al-Qur’an; kedua, tidak ada satu ayat Al-

Qur’an pun yang takwilnya tidak dapat dipahami oleh seluruh

masyarakat; ketiga, huruf-huruf muqaththa‘ah yang terdapat di

permulaan sebagian surah tidak dapat dianggap sebagai ayatayat

mutasyâbih, pendapat tersebut adalah sebuah pendapat

yang batil di kalangan ulama masa kini dan telah diabaikan.

(b) Pendapat para ulama masa kini. Menurut pendapat mereka,

takwil adalah sebuah arti di balik arti lahiriah yang diinginkan

dari sebuah ucapan. Berdasarkan pendapat ini, seluruh ayat Al-

Qur’an tidak memiliki takwil dan hanya ayat-ayat mutasyâbih

yang memiliki takwil (sebuah arti di balik arti lahiriah). Tidak

seorang pun mengetahui takwil ini. Sebagai contoh, ayat-ayat

yang menggambarkan anggota tubuh, datang, duduk, rela,

marah, sedih, dan bentuk-bentuk materi yang lain bagi Allah

Swt Begitu pula ayat-ayat yang menisbahkan maksiat kepada

para malaikat dan nabi yang maksum. Pendapat secara praktis

sudah sedemikian mendominasi sehingga untuk sementara

ini takwil; yakni arti yang bertentangan dengan arti lahiriah,

menjadi sebuah hakikat kedua bagi sebuah kata. Penakwilan

ayat-ayat Al-Qur’an dalam pertikaian-pertikaian teologis

dengan cara mengartikannya berbeda dengan arti lahiriah

karena sebuah dalil, atas nama takwil, menjadi sebuah metode

yang sangat dominan. Padahal, metode ini masih belum bersih

dari kontradiksi.(1)

p:216


1- 275 Ibid., hlm. 40-41.

Menurut hemat kami, pendapat ini juga tidak benar. Alasannya

adalah beberapa hal berikut ini:

Pertama, dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara

tegas menyatakan bahwa takwil tidak hanya dikhususkan untuk ayatayat

mutasyâbih.(1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang lain juga memiliki takwil;

kedua, takwil dengan arti yang telah disebutkan oleh para ulama masa

kini; yakni arti yang bertentangan dengan arti lahiriah ayat, tidak sesuai

dengan rasionalitas dakwah Islam dan kefasihan (balâghah) Al-Qur’an;

ketiga, menilik penggunaan kosakata takwil yang beraneka ragam dalam

Al-Qur’an, kata ini lebih banyak berarti instanta, motivasi, dan hasil,

bukan arti yang bertentangan dengan arti lahiriah ayat. Sebagaimana

kosakata mutasyâbih, kosakata ini digunakan dalam Al-Qur’an dalam

arti yang bermacam-macam.

Takwil untuk setiap ayat mutasyâbih harus disesuaikan

dengan kandungan ayat itu sendiri. Berikut ini beberapa arti untuk

mutasyâbih:

a) Mutasyâbih berarti serupa dan pengulangan, seperti ayat-ayat yang

disebutkan secara berulang-ulang, ritme-ritme akhir setiap ayat,

kandungan-kandungan Al-Qur’an, atau kandungan dan ajaran

Al-Qur’an yang disebutkan secara berulang-ulang. Semua ini

disebutkan dalam buku-buku yang pernah ditulis oleh para ulama

terdahulu. Menurut hemat kami, maksud ayat-ayat mutasyâbih

adalah ajaran dan kandungan-kandungan yang secara lahiriah

hampir serupa dan disebutkan secara berulang-ulang tersebut.

Motivasi dan hasil pengulangan itu hanya diketahui oleh Allah,

meskipun Anda tidak mengetahuinya. Arti takwil adalah motivasi

dan hasil, bukan sebuah makna dan arti.

b) Maksud ayat mutasyâbih adalah ayat yang instanta riilnya

di alam nyata tidak diketahui, dan maksud takwil adalah

mengetahui semua instanta itu. Hal ini telah disinggung dalam

surah Yunus, ayat 39. Kadang-kadang maksud dari mutasyâbih

p:217


1- 276 QS. Yunus [10]: 39; Al-A‘raf [7]: 53.

adalah rahasia seluruh perumpamaan dan kisah yang disebutkan

dalam Al-Qur’an tidak diketahui, seperti perumpamaan dengan

seekor lalat. Orang-orang kafir sering mempertanyakan apakah

maksud Allah dari perum-pamaan semacam itu?(1)

Sangat menarik sekali, dalam ayat yang memuat nyamuk

sebagai perumpamaan dan dalam ayat yang memuat ayat-ayat

muhkam dan mutasyâbih ditekankan bahwa kita harus menerima

ayat-ayat mutasyâbih(2) ini juga berasal dari Allah? Apakah maksud

penegasan “berasal dari Allah” ini?

Penegasan “berasal dari Allah” ini adalah sebuah jawaban bagi

usaha penyesatan dan pembakaran fitnah yang sering dilakukan

oleh para penentang Islam dan kaum munafikin. Mereka berusaha

menghina ayat-ayat Ilahi dengan berbagai macam alasan, seperti

ayatayat itu terkesan disebutkan secara berulang-ulang atau tidak

penting. Dengan jalan ini, mereka berusaha menyesatkan masyarakat.

Ketahuilah, jika bahasa Al-Qur’an ditelaah tanpa ada unsur

fanatisme dan penghukuman sebelumnya, dapat dipahami bahwa

bahasa itu tidak sejalan dengan takwil-takwil yang diyakini oleh kaum

sufi. Jika kita mau bersikap objektif, kaum sufi dalam masalah takwil

telah bertindak terlalu berlebihan. Allamah Thabathabai menulis:

Sekelompok lain para filosof yang kaum sufi juga termasuk dalam

kelompok ini meninggalkan tanzîl; yakni lahiriah Al-Qur’an, dan

hanya memperhatikan takwil. Faktor yang mendorong mereka

bertindak demikian adalah mereka senantiasa menyibukkan

diri dengan perenungan dan perjalanan dalam sisi batin alam

penciptaan, hanya memperhatikan ayat-ayat anfusî, dan tidak

memperhatikan alam lahir dan ayat-ayat âfâqî. Tindakan ini

mendorong masyarakat luas untuk berani menakwilkan ayat-

p:218


1- 277 QS. Al-Baqarah [2]: 26.
2- 278 QS. Al Imran [3]: 7.

ayat Al-Qur’an. Mereka tidak mengenal batas untuk itu. Setiap

orang mengutara-kan apa yang diinginkan oleh hatinya. Mereka

menyusun syair-syair yang hanya memiliki realita di dunia khayal

dan mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan bersandarkan

kepadanya. Ringkas kata, mereka menjadikan segala sesuatu

sebagai dalil untuk membuktikan setiap sesuatu.

Sangat jelas sekali, Al-Qur’an tidak turun hanya dengan tujuan

untuk memberikan hidayah kepada kaum sufi pengkhayal.”(1)

p:219


1- 279 Tafsir Al-Mîzân, jld., pendahuluan.

p:220

Bab 10

Point

Bab 10

Kesimpulan dan Apendixs

Kita telah menuntaskan pembahasan tentang korelasi antara

agama dan irfan dengan cara mengomparasikannya. Kami juga ingin

memaparkan kesimpulan dan pembahasan tambahan. Dari satu sisi,

hal ini adalah kesimpulan yang telah lalu, dan dari sisi lain merupakan

pembahasan baru yang belum diterangkan sebelumnya.

1. Irfan yang Mana; Agama yang Mana?

Kita memiliki lebih dari seribu definisi tentang irfan.(1) Sebagian

definisi itu diutarakan berlandaskan pada perilaku dan akhlak kaum

sufi. Abu Sa‘id Abul Khair berkata,

Tasawuf adalah Anda meletakkan seluruh angan-angan yang ada

di kepala Anda, memberikan seluruh apa yang ada di tangan Anda,

dan tidak berkeluh-kesah atas musibah yang sedang menimpa

Anda.”(2)

p:221


1- 280 ‘Awârif Al-Ma‘ârif, akhir bab ke-5.
2- 281 Asrâr At-Tauhîd, hlm. 297.

Ibnu Atha’ berkata, “Permulaan tasawuf adalah makrifat dan

penghujungnya adalah tauhid.”(1) Sebagian definisi tasawuf berdasarkan,

syair, dan suluk. Abu Muhammad Ruwaim berkata:

Tauhid hakiki (merupakan tujuan tasawuf) adalah Anda harus fana

dalam menghamba kepada-Nya. Anda harus fana dalam kesetiaan

kepada-Nya dari pengkhianatan diri Anda, sehingga Anda

menjadi fana secara total.(2)

Kelompok ketiga dalam definisi irfan disesuaikan dengan kondisi

lawan bicara atau kondisi arif sendiri. Sebagai contoh, apabila lawan bicara

seseorang yang mencintai kedudukan, syaikh akan menegaskan bahwa

tasawuf adalah meninggalkan keinginan pangkat dan kedudukan.

Apabila seorang arif sudah sampai ke maqam tawakal, ia akan menegaskan

bahwa tasawuf adalah tawakal dalam setiap urusan.

Ibn Sina adalah seorang filosof dan ahli logika. Meskipun demikian,

ia memaparkan definisi irfan dengan berlandaskan pada sekumpulan

amal, akhlak, perilaku, tujuan, dan hasil ajaran irfan. Ia berkata,

Irfan dimulai dengan memisahkan diri dari seluruh jenis kesibukan

duniawi, dilanjutkan dengan menolak dan mengusir seluruh jenis

mâ siwâ, dan berujung kepada menyucikan diri dari diri sendiri,

mengorbankan dan memfanakan diri sendiri, dan menggapai

maqam jam‘ yang merupakan maqam kepemilikan seluruh sifat

Dzat Yang Maha Haqq, demi sebuah Dzat yang senantiasa disertai

oleh kebenaran kehendak. Ketika itu, dengan cara berakhlak

dengan akhlak Rubûbiyyah, menggapai hakikat yang tunggal, dan

lantas wuqûf (berhenti di suatu titik), irfan akan sampai kepada

tingkat kesempurnaan.”(3)

p:222


1- 282 Tadzkirah Al-Auliyâ’, jld. 2, hlm. 73.
2- 283 Ibid., hlm. 66.
3- 284 Al-Isyârât wa Al-Tanbîh ât, metode ke-9.

Kesimpulan dan Apendiks

Pada abad VI H, perdebatan teologis dari satu sisi, dan diskusidiskusi

irfani yang kemudian dikenal dengan terminologi “irfan

teoritis” dan sebagai ganti dari aliran filsafat memperoleh penentangan

yang sangat keras dari sisi yang lain menjadi semakin meluas. Dari

semenjak abad ini, bermunculan beberapa definisi irfan yang seutuhnya

terpengaruh oleh pemikiran filsafat dan teologi. Sebagai contoh, definisi

yang pernah diajukan oleh Qaishari berikut ini:

Irfan adalah pengetahuan tentang Dzat Yang Maha Haqq Swt dari

sisi asmâ’, sifat-sifat, dan seluruh manifestasi-Nya, pengetahuan

tentang Sumber Utama alam semesta, ma‘ad, hakikat-hakikat

alam semesta, dan bagaimana seluruh hakikat kembali kepada

satu hakikat; yakni dzat tunggal yang dimiliki oleh Allah Swt,

dan pengetahuan tentang jalan suluk dan mujahadah guna

membebaskan jiwa kita dari ketercekikan dan keterjeratan dalam

lubang keterbatasan, lantas bergabung dengan Sumber Keberadaan

diri kita dan memiliki sifat kemutlakan dan universalitas.”(1)

Definisi ini berusaha menempatkan irfan pada tolok ukur ilmu

irfan; yakni substansi Dzat Yang Maha Haqq. Kami telah memaparkan

definisi irfan berdasarkan metode, tujuan, dan hasil yang diharapkan

dari ilmu ini. Irfan adalah sebuah aliran yang dapat mengantarkan

manusia kepada makrifat yang lebih tinggi dari makrifat biasa (yang

dimiliki oleh sebagian besar manusia), disertai dengan usaha untuk

melintasi bagian luar alam semesta yang berbilang dan nonprinsipal

ini menuju bagian dalam alam semesta yang tunggal dan prinsipal.

Dalam perjalanannya, irfan telah melalui beberapa periode dimulai

dari pertengahan abad ke-2 Hijriah hingga abad ke-7 Hijriah. Akhirnya,

setelah seluruh fondasi dan ajarannya telah menjadi kesepakatan kaum

arif terbentuk, irfan muncul sebagai sebuah ajaran di dunia Islam. Dalam

buku ini, kami telah memaparkan seluruh ajaran tersebut sembari

p:223


1- 285 Moqaddameh-ye Syarh Fushûsh Al-Hikam dan Tä’iyyeh, Qaishari.

membandingkannya dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama

Islam. Dalam memaparkan persamaan dan perbedaan-perbedaan yang

ada, kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan diri dari

sikap fanatisme.

Kami juga berusaha menerangkan pemahaman agama, dan

menjadikan kaum agamis, Al-Qur’an, dan Sunah sebagai tolokukurnya.

Apabila kami memasuki pandangan yang dimiliki oleh sekte

dan mazhab-mazhab Islam yang lain, kami tidak mungkin melakukan

sebuah penilaian. Sebagai contoh, jika yang dibahas ihwal pandangan

aliran Batiniah atau kaum sufi, permasalahannya akan berbeda.

Jika ada yang bertanya, mengapa tidak memasukkan pandangan

kaum sufi ke dalam ajaran agama? Sedangkan secara praktis, kami telah

mendukung pandangan kelompok yang menentang aliran tasawuf?

Apakah ini tidak berarti membela salah satu pihak yang sedang

bertikai? Jawabannya, kami mengabaikan pandangan yang setuju

atau menentang aliran tasawuf. Tetapi, apabila dalam penelitian kami

sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa sebagai contoh Islam tidak

pernah mengajarkan konsep wahdat al-wujûd, kami secara praktis pasti

akan mendukung pandangan yang menentang aliran tasawuf. Perlu

diingat, dukungan ini bukanlah maksud dan tujuan asli kami, tetapi

hanya sebagai kesimpulan yang berhasil kami teliti.

Sedapat mungkin, kami meninjau tradisi pemahaman yang pernah

muncul di permulaan Islam sebagai sebuah indikasi lahiriah Al-Qur’an

dan Sunah. Kami tidak pernah mempedulikan orientasi, kesimpulan,

dan interpretasi-interpretasi yang pernah muncul pada abad-abad

setelah itu.

Akhirnya, jenis korelasi apakah yang terdapat antara agama dan

irfan? Sekali lagi ini adalah kesimpulan, sambil menilik pembahasan

yang telah lalu.

p:224

2. Irfan dan Agama, Sebuah Realita Lain

Point

Jelas sekali, irfan memiliki sederet ajaran yang tidak pernah dilontarkan

oleh agama Islam dan agama ini juga tidak pernah mengajak umat

manusia untuk meyakininya. Di masa permulaan Islam, tidak seorang

sahabat pun menyinggung masalah tersebut. Sebagian ajaran itu malah

tidak pernah dikenal oleh para ulama dan kaum agamis sendiri yang

selalu menunjukkan pembelaan terhadap aliran irfan dan tasawuf.

Sebagai contoh, kami sebutkan tiga nama tokoh irfan dan tasawuf

yang masing-masing pernah hidup di paruh kedua abad V H.

Mereka adalah Ali bin Utsman Al-Hujwairi, Khajah Abdullah Anshari,

dan Muhammad Ghazali.(1) Kami juga akan menelaah apakah

mereka pernah memaparkan prinsip dasar tasawuf berikut ini atau

tidak?

a. Wahdat al-wujûd

Menurut konsep wahdat al-wujûd, alam semesta hanya memiliki satu

hakikat tidak lebih. Selain Hakikat Yang Tunggal, segala sesuatu yang

dianggap ada oleh mereka yang terhijabi adalah khayalan belaka. Inilah

hakikat tauhid yang diyakini oleh para urafa.

Sehubungan dengan konsep ini, Imam Ghazali tidak pernah mengutarakan

tentang tauhid seutuhnya yang bersifat teologis.(2) Hujwairi

pernah menyinggung perbedaan antara tauhid para urafa dan tauhid

dalam keyakinan agama. Tetapi, hal ini masih ambigu.(3)

b. Prinsip Cinta Kasih

Cinta kasih adalah salah satu prinsip dasar aliran tasawuf pada

periode sistematisasi dan kesempurnaan irfan. Prinsip ini tidak pernah

disinggung dalam buku Kasyf Al-Mahjûb. Bukan hanya kita tidak

p:225


1- 286 Kasyf Al-Mahjûb,; Majmu‘eh-e Raso’el-e Khâjah Abdullah Al-Anshârî; Kimiyä-ye Sa‘ädat
2- 287 Kimiyä-ye Sa‘ädat, jld. 1, hlm. 123.
3- 288 Kasyf Al-Mahjûb, hlm. 357 dan 367.

akan pernah menemukan sebuah pasal dengan judul tersebut,

konsekuensi logis dan masalah-masalah yang ada dalam prinsip ini juga

tidak pernah dipaparkan di sela-sela pasal-pasal yang lain.

Imam Ghazali dalam rukun ke-4 buku Kimiyo-e Sa‘odat

mengkhususkan pasal ke-9 dengan pembahasan cinta kasih. Tetapi,

pembahasan yang ia utarakan lebih memiliki corak rasional daripada

irfan. Buku-buku hasil karya tulis Ahmad Ghazali, ‘Ainul Qudhat,

‘Aththar, dan Maulawi banyak memaparkan masalah cinta. Sedangkan

Imam Ghazali tidak pernah memaparkan pembahasan cinta seperti

mereka.

Imam Ghazali tidak meyakini prinsip cinta sebagai realita

substansial yang mendominasi seluruh alam semesta. Analisis yang

pernah ia lontarkan adalah diri, mencintai diri sendiri, atau paling

tidak pengetahuan yang kita miliki. Padahal, prinsip cinta dalam

bukubuku karya tulis para urafa setelah itu adalah sebuah kedudukan

yang lebih tinggi daripada semua itu.

Mengapa Hujwairi tidak pernah memaparkan masalah cinta? Dan

mengapa Imam Ghazali hanya menerangkan cinta secara sederhana

dan dangkal? Mungkin alasannya: Pertama, mungkin pengungkapan

dan pengalaman yang mereka miliki hanya terbatas pada batasan itu;

Kedua, para penentang aliran tasawuf tidak setuju dengan kosa-kata

cinta berkenaan dengan hubungan antara manusia dan Allah. Oleh

karena itu, di permulaan pembahasaan, Imam Ghazali membenarkan

keabsahan penggunaan kosa kata cinta.(1)

c. Fana

Dalam ajaran tasawuf, fana adalah tujuan akhir syair dan suluk. Di

samping itu, fana termasuk salah satu dasar ajaran tasawuf dan irfan.

Al-Hujwairî membuka sebuah pasal khusus tentang pembahasan fana

dan keabadian. Ia tidak menerima bahwa fana berarti kefanaan sebuah

p:226


1- 289 Justifikasi-justifikasi semacam ini masih terus berlanjut pada masa-masa setelah itu. Silakan merujuk buku ‘Abhar Al-‘Âsyiqîn, Roozbahän Baqli.

substansi. Menurut pandangannya, fana yang benar adalah kefanaan

sifat-sifat.(1)

Dalam buku Kimiyo-e Sa‘odat, Imam Ghazali tidak pernah

membuka sebuah pasal dengan judul fana. Pada rukun ke-4, ia

membahas kematian sesuai pembahasan biasa yang lumrah dibahas

dalam ajaran agama, dan tidak memiliki hubungan dengan konsep

fana dalam ajaran tasawuf sama sekali.

d. Intuisi dan Makrifat Intuitif

Salah satu tujuan ajaran irfan adalah mencapai makrifat yang lebih

tinggi dibandingkan dengan makrifat biasa. Hujwairi membuka

sebuah pasal yang terperinci tentang pembahasan “makrifat”. Tetapi,

dalam pasal ini tidak terdapat pembahasan makrifat intuitif. Ia lebih

banyak menitik-beratkan pembahasan teologis dengan faktor dan sebab

sebuah makrifat.(2) Imam Ghazali tidak menyinggung masalah ini

dalam buku Kimiyo-e Sa‘odat. Ia memaparkan pembahasan makrifat

tentang Dzat Yang Maha Haqq dalam prolog dan macam-macam ilmu

pengetahuan dalam rukun ke-1 secara sangat sederhana.

Khajah Abdullah Anshari dalam beberapa risalah yang pernah ia

tulis memaparkan jenis khusus makrifat. Tetapi, pembahasannya

tidak sistematis dan kurang mendalam. Semua membuktikan bahwa

masalah tersebut tidak dikupas dalam teks keislaman. Jika tidak, niscaya

kaum agamis yang hidup di abad-abad permulaan masa Islam

pasti mengetahuinya. Terdapat korelasi antara ajaran urafa dengan

NeoPlatonisme, agama kuno di India, ajaran para filosof Yunani kuno,

Persia kuno, dan para urafa Kristen. Realita ini tidak diragukan lagi

oleh seorang peneliti yang objektif. Kami tidak akan memaparkannya.

Anda dapat merujuk kepada buku-buku yang pernah ditulis oleh para

peneliti.(3)

p:227


1- 290 Kasyf Al-Mahjûb, hlm. 315.
2- 291 Ibid., hlm. 341.
3- 292 ‘Erfon-e Nazdari, bagian ke-1, pasal ke-2; Tärikh-e Tasavvof,.

Perlu kami ingatkan dua hal penting berikut ini: Pertama, tasawuf

tidak boleh dianggap sebagai bagian dari ajaran mazhab Syiah; kedua,

dalam rangka membela aliran tasawuf dan membandingkannya dengan

ajaran Islam, kita tidak boleh terperangkap ke jurang kerancuan

signifikasi (dalâlah) dan tindak penyesuaian kandungan (tathbîq).

Tasawuf tidak boleh dianggap sebagai bagian dari ajaran mazhab

Syiah. Ini adalah sebuah realita yang didukung oleh setiap peneliti yang

berpikiran objektif. Alasannya:

a. Kemunculan, perkembangan, dan proses kesempurnaan ajaran

irfan dan tasawuf terjadi dalam lingkungan mazhab Ahli Sunah.

Para syaikh, pendiri, dan penyebar aliran ini, dimulai dari Junaid,

Bayazid, Syibli, dan Hallaj hingga Qusyairi, Kalabadi, Sarraj, Imam

Ghazali, Ibnu Arabi, Maulawi, dan tokoh-tokoh yang lain, seluruh

mereka menganut mazhab Ahli Sunah.

b. Jika salah satu konsep tasawuf; yakni konsep quthb, serupa dengan

konsep imâmah dalam ajaran Syiah sebagaimana diklaim oleh

Ahmad Amîn dan Ibn Khaldun, maka puluhan masalah tasawuf

yang lain tidak memiliki keserupaan sama sekali dengan ajaran

mazhab Syiah. Sebagai contoh, wahdat al-wujûd, fana, wilâyah dan

kenabian, kepamungkasan khilafah, riyadhah, cinta, rahasia, dan

ajaran-ajaran yang lain.

c. Ajaran-ajaran tasawuf dalam konsep quthb, pengajaran, ajaran

lahiriah, batiniah, dan lain sebagainya lebih banyak serupa dengan

aliran Syiah Batiniah dan mazhab Syiah Isma’iliyyah, bukan mazhab

Syiah Itsna ‘Asyariyyah. Secara kebetulan, kemunculan aliran

batiniah dalam mazhab Syiah berbarengan dengan kemunculan

aliran tasawuf dalam mazhab Ahli Sunah.

Kedua fenomena ini muncul pada abad ke-2 Hijriah. Atas

dasar ini, sebagai ganti dari klaim yang menyatakan bahwa aliran

batiniah Syiah berasal dari aliran tasawuf atau aliran tasawuf

berasal dari aliran batiniah Syiah, sebaiknya kita menemukan

sebuah sumber yang menyebabkan kemunculan kedua fenomena

p:228

itu. Dapat dipastikan, terdapat faktor dan peristiwa-peristiwa yang

terjadi kala itu. Faktor dan peristiwa itu muncul sebagai aliran

batiniah dalam mazhab Syiah dan sebagai aliran tasawuf dalam

mazhab Ahli Sunah. Kita harus meneliti apakah faktor itu dan

apakah peristiwa tersebut?

Kita tidak boleh rancu signifikasi (dalâlah) dan tindak penyesuaian

kandungan (tathbîq). Dua masalah ini sangat berbeda. Indikasi

teks-teks keislaman (Al-Qur’an dan Sunah) terhadap suatu masalah

berbeda dengan tindak penyesuaian suatu masalah dengan teks-teks

tersebut. Para urafa telah berusaha menyesuaikan kandungan ratusan

ayat dan hadis dengan ajaran-ajaran mereka. Pada hakikatnya, tindakan

ini hanyalah sebuah upaya penyesuaian kandungan teks terhadap

sebuah ajaran, bukan indikasi teks terhadap ajaran tersebut. Ayat dan

hadis-hadis tersebut tidak pernah mengindikasikan ajaran yang ingin

diterapkan oleh para urafa. Masalah ini tidak ubahnya seperti tindakan

aliran Komunisme yang berusaha menghapuskan hak milik pribadi.

Setelah aliran ini muncul, sebagian Muslimin yang memiliki kecondongan

terhadap aliran tersebut berusaha menyesuaikan kandungan sebagian

teks agama, seperti ayat yang menegaskan, “Hanya bagi-Nya-lah kerajaan

seluruh langit dan bumi,” dan ayat-ayat yang lain, dengan konsep

Komunisme itu. Mereka selalu mengatakan bahwa Islam tidak pernah

mengakui keberadaan hak milik pribadi. Seluruh hak milik hanya

dimiliki oleh Allah.

Ini adalah sebuah usaha penyesuaian kandungan teks, bukan

indikasi teks. Jika aliran Komunisme tidak pernah muncul ke permukaan

dunia dan sebagian Muslimin tidak memiliki kecondongan

kepadanya, niscaya mereka tidak pernah menyimpulkan keyakinan

Komunisme tentang hak milik dari ayat tersebut. Tasawuf dan irfan

juga demikian. Jika ajaran tasawuf tentang konsep wahdat al-wujûd

dan fana tidak ada, niscaya tidak seorang pun dapat memahami

kedua konsep itu. Mari kita simak ayat yang menegaskan, “Dia-lah

p:229

yang awal, yang akhir, yang lahir, dan yang batin,” dan ayat lain yang

menyatakan: “Seluruh manusia yang ada di atas bumi ini pasti fana.”

Begitu pula tentang takwil dan tindak-tindak penyesuaian yang lain.

3. Irfan, Sebuah Aliran yang Terbuka

Semenjak dahulu kala, umat manusia memahami bahwa alam semesta

memiliki dua sisi. Pertama, sisi luar merupakan sisi keberbilangan, tidak

hakiki, tidak permanen nan abadi, dan penuh tipuan; Kedua, sisi dalam

adalah sisi ketunggalan, prinsipalitas, permanen, dan hakiki. Dalam

pandangan aliran-aliran pemikiran yang dipengaruhi oleh Pythagoras,

alam semesta yang tampak adalah alam yang bohong, penipu, dan

sebuah ufuk yang kelam. Di alam ini, cercahan cahaya Ilahi terpecahbelah.

(1)

Negeri India terlebih dahulu mengenal corak pemikiran semacam

ini, atau paling tidak termasuk salah satu negeri yang memiliki

corak pemikiran tersebut secara tertulis dari peradaban kuno. Dalam

ajaran Upanishad, alam semesta yang berubah-ubah beserta seluruh

fenomenanya adalah “Maya”. “Maya” berarti alam khayal. Hakikat alam

semesta yang gaib adalah “Brahman”. Segala sesuatu selain “Brahman”

hanyalah fatamorgana dan khayalan belaka.(2)

Konsep tersebut terdapat juga dalam aliran pemikiran

NeoPlatonisme. Di dunia Islam, konsep pemikiran ini muncul dalam

bentuk aliran tasawuf dan irfan. Mereka meyakini bahwa tasawuf dan

irfan adalah agama Islam itu sendiri. Seluruh dasar dan ajarannya

termaktub dan tersusun dalam Al-Qur’an dan Sunah, pandangan ini

sungguh keliru. Irfan bukan tidak memiliki korelasi dengan agama Islam,

bahkan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama Yahudi

dan Kristen. Orientasi semacam ini memiliki masa lalu historikal dan

tersebar luas secara goegrafis melebihi dan melampaui agama- agama

yang secara resmi tersebar di dunia.

p:230


1- 293 Tärikh-e Falsafeh-e Gharb, Bertrand Russel, jld. 1, pasal ke-3.
2- 294 Adyän va Maktabhä-ye Falsafa-ye Hend, Däriyoos Äshoori, pasal ke-17.

Setelah pembahasan panjang tentang korelasi antara irfan dan

agama, Stice meyakini, irfan adalah sebuah ajaran yang terpisah dari

agama. Menurut keyakinannya, bahasa setiap agama adalah bahasa

yang mengungkapkan pengalaman-pengalaman irfani yang dimiliki

oleh para urafa yang menganut suatu agama. Ia menulis:

Biasanya, dalam setiap kebudayaan, setiap arif akan mengungkapkan

seluruh pengalaman dirinya sesuai dengan agama yang

tumbuh berkembang dalam pangkuannya.

Stice melanjutkan:

Sebagai ganti dari pertanyaan yang mempertanyakan, ‘Apakah

irfan secara substansial bersifat agamis?’ Kita dapat membalik

pertanyaan, ‘Apakah seluruh agama secara substansial bersifat

irfani?’ Hal ini karena sumber dan tolok ukur seluruh agama

adalah pengalaman illuminasi (isyrâq). Tetapi, seperti ditegaskan

oleh Prof. E. A. Burtt, irfan merupakan bagian terpenting agamaagama

di India hanyalah sepotong urat yang sangat tipis dalam

ajaran agama Kristen dan Islam.”

Dalam kelanjutan pembahasan tentang korelasi antara irfan

dan agama Kristen, berikut irfan dan agama-agama yang lain, Stice

berkesimpulan:

Kesimpulan umum korelasi antara irfan dari satu sisi dan

seluruh agama yang resmi (Kristen, Budha, dan agama-agama

yang lain) dari sisi lain adalah irfan terpisah dari seluruh agama.

Artinya, tanpa keberadaan agama sekalipun, irfan masih bisa

eksis.”(1)

p:231


1- 295 Erfän va Falsafeh, Stice, terjemahan Khorramshähi, hlm. 355-357.

Mereka yang ahli dalam bidang pandangan dunia dan ontologi

biasanya diklasifikasikan ke dalam empat golongan: teolog, filosof,

filosof Illuminatif (isyrâqîyyûn), dan urafa.

Dalam klasifikasi ini, perbedaan antara teolog dan filosof,

berikut antara kedua golongan ini dengan para filosof aliran filsafat

Illuminatif dan urafa sangat jelas. Para teolog terikat dengan agama.

Para filosof mengandalkan cara berpikir rasional dan bebas dari setiap

keterikatan guna mencapai sebuah tujuan dan premis khusus. Para

filosof Illuminatif dan urafa bersandarkan pada riyadhah dan suluk

guna mencapai makrifat intuitif. Lalu, apakah perbedaan kedua

golongan tersebut? Hal ini masih menjadi perdebatan. Sebagian tokoh

membedakan para filosof Illuminatif dari golongan urafa karena para

filosof Illuminatif berpegang kepada akal dan intuisi.(1) Tetapi, menurut

keyakinan sebagian tokoh seperti Mir Sayyid Syarif Jurjânî, para filosof

Illuminatif tidak terikat dengan agama khusus, sedangkan para urafa

terikat dengan agama tertentu.(2)

Menurut hemat kami, filsafat Illuminatif dan irfan adalah satu.

Kedua ajaran ini tidak mengharuskan keterikatan dengan agama

tertentu. Filsafat Illuminatif, sebagaimana telah dilontarkan oleh

Syaikh Isyrâq, adalah sebuah ajaran hasil gabungan antara aliran

filsafat Peripatetik dan sebagian penemuan teori filosofis yang sudah

tercampuri oleh ajaran-ajaran para filosof Yunani, Persia kuno, dan

NeoPlatonisme. Tasawuf Islami juga terpengaruh oleh seluruh ajaran

ini. Atas dasar ini, jika kita membuang ajaran filsafat Peripatetik dari

filsafat Illuminatif, maka ajaran filsafat Illuminatif tidak memiliki

perbe-daan dengan ajaran tasawuf. Tetapi, perlu kita ingat ajaran

tasawuf pada periode Syaikh Isyrâq belum memiliki keteraturan dan

sistimatika yang sempurna.

Syaikh Isyrâq menamakan tasawuf dan irfan dengan nama “filsafat”.

Dengan tindakan ini, ia telah memproklamirkan independensi irfan

p:232


1- 296 Syarh-e Manzoomeh, Mulla Hadi Sabzawârî, bagian filsafat, cet. Sanggi Tehran, catatan kaki hlm. 73.
2- 297 Syarh-e Matäle‘, cet. Sanggi, catatan kaki hlm. 4.

dan tasawuf dari agama. Dengan merujukkan tasawuf dan irfan kepada

beberapa sumber yang berasal dari Yunani dan Persia kuno, sebagai

ganti dari Al-Qur’an dan Sunah, pemisahan irfan (filsafat Illuminatif)

dari ruang lingkup agama telah semakin sempurna.(1)

Tindakan Suhrawardî dari satu sisi adalah reaksi terhadap kondisi

yang dominan pada masa ia hidup. Saat itu terjadi pemberangusan aliran

filsafat dan para filosof karena konflik serius politik khilafah Baghdad.

Hal ini telah berhasil menyiapkan lahan demi perkembangan teologi

dan irfan. Sebagai akibat natural dari fenomena tersebut, seluruh ajaran

dan kebutuhan filosofis manusia secara umum berpindah kepada ranah

diskusi teologis dan irfani. Syaikh Isyrâq adalah manifestasi nyata dan

perwakilan sebuah semangat zaman yang berusaha menggabungkan

antara filsafat dan irfan, atau usaha memfalsafahkan irfan sebagai

sebuah aliran filsafat khusus.

Perlu diingat, para urafa Persia, berbeda dengan para urafa Arab,

secara sengaja atau tidak sengaja, telah banyak membantu proses

pemisahan irfan dari agama dan pengurangan aroma keagamaan

dalam ajaran-ajarannya. Ibnu Arabi yang selalu dijunjung oleh para

urafa sebagai seorang arif yang menduduki puncak piramida irfan

Islami tidak pernah melupakan Al-Qur’an dan Sunah sekejap mata

pun dalam buku-buku yang pernah ia tulis. Ia selalu menyebutkan

ayat dan hadis dalam lembaran-lembaran karya tulisnya. Ia ingin

menyampaikan kepada masyarakat umum bahwa irfan adalah sebuah

ajaran yang tumbuh besar dalam pangkuan agama.

Sebagian urafa menganggap bahwa tindakan Ibnu Arabi adalah

sebuah tipu daya. Dengan cara itu, ia berusaha supaya terjauhkan dari

cercaan dan protes para ulama agama. Salah satu contoh tipu dayanya

yang lain adalah ia menamakan setiap pasal buku Fushûsh Al-Hikam

dengan nama salah satu dari nabi-nabi Allah.(2)

p:233


1- 298 Hikmah Al-Isyrâq, Yahya bin Habsy Sahruwardî, prolog.
2- 299 Al-Falsafah Ash-Shûfiyyah fi Al-Islam, hlm. 497.

Menurut hemat kami, tindakan Ibnu Arabi bukanlah sebuah

tipu daya, tetapi sebuah warna dan metode. Aliran tasawuf para urafa

seperti Ibnu Arabimemiliki warna agama. Mereka berusaha untuk

melontarkan ajaran irfan dalam bingkai ajaran-ajaran agama.

Tetapi, urafa Persia, memandang tasawuf sebagai sebuah ajaran

tasawuf murni, bukan dalam bentuk ajaran agama Islam. Pemisahan

ini memiliki bentuk dan manifestasi yang beraneka ragam. Dimulai

dari adab dan amalan khusus para urafa (khalwat, suluk, zikir, dan

melakukan tarian tasawuf atau yang lebih dikenal dengan tarian

berputar—peny.), cara berpakaian dan tempat berkumpul (pakaian

lusuh dan pusat pertapaan), hingga orang-orang yang dijadikan

rujukan (syaikh dan mursyid). Karena pemisahan tersebut, para ulama

agama menganggap seluruh tindakan tersebut sebagai bid‘ah dan

bertentangan dengan ajaran agama.

Salah satu contoh bid‘ah paling halus adalah mengganti zikir lâ ilâha

illallâh atau zikir-zikir lain dengan bentuk puisi-puisi dua bait.(1) Para

ulama pernah mengadukan Syiakh Abu Sa‘id ke istana Ghaznaviyân.

Mereka mengatakan, Syaikh Abu Sa‘id dalam sebuah pertemuan tidak

pernah membaca tafsir Al-Qur’an dan tidak pula hadis Rasulullah Saw

Ia hanya membaca bait-bait puisi.(2)

Contoh yang lain, Ibnu Arabi dalam sebuah proses eksplorasi

spiritual (mukâsyafah) menerima dan meriwayatkan buku Fushûsh Al-

Hikam dari Rasulullah Saw.(3) Berbeda dengan Maulawî. Ia selalu memulai

makrifat irfaninya dengan kisah seruling bambu. Di permulaan puisipuisinya

ia selalu memulai dengan ungkapan, “Dengarkanlah suara

merdu seruling bambu ketika ia sedang berhikayat.” Ia tidak pernah

memulai keenam buku Masnavi-nya dengan nama Allah dan salawat

serta salam untuk Rasulullah Saw. Jelas, tindakan ini bertentangan

dengan tradisi para ulama agama yang sudah hebat, mungkin untuk

pertama dan terakhir kali dalam sejarah Islam.

p:234


1- 300 Asrâr At-Tauhîd, Muhammad bin Munawwar, revisi oleh Dr. Syafi‘î Kadkani, penerbit Agah.
2- 301 Ibid., hlm. 69.
3- 302 Fushûsh Al-Hikam, prolog penulis.

Yang lebih menarik lagi, para urafa Muslim tidak mengharuskan

keimanan dan keyakinan yang benar hingga beberapa tingkatan syair

dan suluk.

4. Tugas Masyarakat Agama Menghadapi Ajaran Irfan

Point

Menilik pembahasan dan kesimpulan bahwa irfan adalah sebuah ajaran

yang terpisah dan sama sekali berbeda dari agama, kita menghadapi

sebuah pertanyaan penting. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana

masyarakat agama menghadapi ajaran irfan?

Apabila kita meyakini irfan adalah agama itu sendiri, kita memiliki

kewajiban untuk menyebarkannya. Tetapi, jika kita meyakini irfan

adalah sebuah ajaran yang terpisah dari agama dan bersifat terbuka dan

independen, apakah tugas kita sekarang?

Menurut hemat kami, penjelasannya sebagai berikut:

Kami meyakini, irfan adalah sebuah ajaran yang terpisah dari

agama. Meskipun demikian, kami tidak menentang upaya untuk

menyebarkan dan mendukung ajaran irfan. Bahkan, kami juga secara

serius mendukung setiap usaha penyebaran ajaran ini, dan kami malah

menganjurkan supaya para pemeluk agama dan masyarakat agamis

menyebarkan dan mendukung ajaran irfan.

Mengapa kami bersikap demikian? Argumentasi dan dalilnya

sebagai berikut:

4.1 Irfan Tidak Mengganggu Keberagamaan dan Proses Berpikir

Irfan adalah sebuah ajaran yang berada pada garis vertikal dengan

agama dan begitu pula dengan filsafat. Artinya, irfan tidak pernah

berusaha menafikan agama atau filsafat. Menurut ajaran irfan,

manusia dapat menggapai kesempurnaan dan makrifat melalui

jalan agama dan filsafat, ia juga dapat mencapai kesempurnaan

p:235

makrifat yang lebih tinggi melalui perantara irfan. Para urafa Muslim

menerima ranah kekuasaan syariat untuk masyarakat umum seperti

yang telah digariskan oleh agama Islam. Para urafa menegaskan,

selama manusia sadar, ia wajib mengikuti ketentuan syariat.

Mengapa demikian? Karena para urafa tidak pernah menganggap

syariat terpisah dari hakikat. Hubungan antara syariat dan hakikat

seperti hubungan antara forma dan makna atau antara lahir dan

batin.(1)

Seperti telah kami paparkan pada pembahasan yang lalu, jika

para urafa melontarkan kritik pedas kepada para zahid dan ulama

agama, kritik ini lantaran para urafa menginginkan para zahid dan

ulama tidak hanya membatasi agama dalam ruang lingkup lahiriah

seperti yang mereka pahami sendiri. Para urafa masih menerima

fungsi rasio dan akal dalam area filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan

resmi yang lain. Jika para urafa juga melontarkan kritik tajam kepada

para filosof dan ulama, kritik ini dilontarkan supaya para filosof tidak

membanggakan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dan juga tidak

menolak bahwa manusia masih dapat menemukan hakikat dan

pengetahuan yang lain.

Hujwairi, salah seorang penulis ajaran tasawuf terdahulu,

pernah menulis masalah ini, “Jika golongan (urafa) ingin meremehkan

orang yang bersama mereka, mereka menyebut orang itu

sebagai ‘ilmuwan’. Cercaan ini bukan karena untuk mendapatkan

ilmu, tetapi guna meninggalkan hubungan belaka.”(2)

Kita tidak peduli dengan seluruh jenis penyelewengan yang

pernah terjadi dalam ajaran irfan. Yang pasti, irfan dan tasawuf tidak

menentang agama dan tidak pula menolak rasio. Ajaran ini malah

mengakui bahwa manusia mampu mencapai derajat kesempurnaan

dan makrifat dalam bentuk yang lain.

Tidak selayaknya pula memandang pengakuan tersebut sebagai

sebuah kemungkinan belaka. Jika memang benar, kita yang tidak

p:236


1- 303 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud Qaishari, tujuan ke-2, pasal ke-1.
2- 304 Kasyf Al-Mahjûb, Ali bin Utsman Al-Hujwairî, hlm. 498.

mempedulikannya akan menderita kerugian besar. Seandainya pun

klaim itu salah, kita telah melakukan tugas yang memang diharuskan

oleh tindak hati-hati dan usaha memandang ke masa depan, dan kita

tidak layak memperoleh celaan.

4.2. Irfan Bukan Taklif Ilahi, tetapi Pilihan Manusia

Selalu merasa kurang dengan apa yang kita miliki adalah realitas hidup

sehari-hari. Jika Adam dan Hawa tenggelam dalam kenikmatan surga

dan tidak memakan buah terlarang, niscaya manusia tidak turun ke

muka bumi dan kita tidak perlu lagi bersusah-payah untuk bekerja dan

mengayunkan cangkul.(1)

Kita harus menanggung segala jenis susah-payah di dunia sebagai

balasan atas sikap lalai. Sekarang pun belum terlambat. Kita dapat

kembali ke tempat semula. Kita bisa menempati surga Ilahi dengan

menikmati seluruh kenikmatan-Nya yang tiada bertepi, tetapi kali ini

karena pahala atas ketaatan yang telah kita lakukan. Meskipun seluruh

kesempatan masih tersedia, ada sebagian orang yang masih lalai.

Sekalipun mereka tahu kebahagiaan ukhrawi lebih besar, mereka tetap

tidak mau tunduk.

Kita masih memiliki kesempatan untuk mencari dan menemukan

sebentuk hakikat yang lebih tinggi. Tetapi, ini bukanlah sebuah taklif.

Taklif kita adalah batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.

Hasil taklif adalah juga surga yang penuh kenikmatan. Tetapi, jika

seseorang menginginkan lebih dari itu, kenapa tidak? Mengapa ia tidak

menggunakan kesempatannya?

Seperti telah disinggung, itu bukanlah taklif. Agama Allah tidak

memerintahkan kita untuk melakukan semua itu. Tetapi, jika kita

menghendaki dan siap menanggung akibatnya, hal ini jelas sama

sekali bukan persoalan. Jika seseorang yakin bahwa naungan pohon

Thuba—pinggiran teduh telaga Kautsar, bidadari surga, istana megah,

p:237


1- 305 QS. Al-Baqarah [2]: 35-39.

dan minuman surgawi, semua adalah sesuatu yang baik, tetapi ia juga

meyakini bahwa sahabat yang setia adalah lebih baik dari segalanya,

tentunya ia tidak melakukan sebuah keburukan. Mengapa ia harus

dicerca dan jalannya ditutup?

4.3. Daya Tarik Irfan

Menurut keyakinan para urafa, seluruh alam semesta, berlandaskan

pada proses gerak menurun dan menaik, pastilah mencari akar asalusul

diri mereka, baik secara sadar maupun tidak sadar. Irfan mengajak

seluruh alam semesta untuk kembali kepada-Nya.

Di sepanjang sejarah, aliran irfan disukai oleh masyarakat melebihi

setiap aliran dan mazhab. Api kalbu manusia selalu menyala untuk

mencapai Allah Swt sumber dari segala hakikat, serta fana di dalam-

Nya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memadamkan dan

meredam api cinta umat manusia untuk sampai kepada-Nya. Semerbak

wewangi ajaran irfan tercium oleh setiap umat dan kaum di segala

zaman, bahkan di tengah-tengah para penghuni padang sahara yang

serba terkucilkan dari setiap informasi dan berita.

Karena daya tarik inilah, di dunia Islam, dengan seluruh jenis

penenta-ngan, pengejaran, dan penganiayaan yang telah dilakukan,

api irfani bukannya malah padam, bahkan menyala lebih benderang

hari demi hari. Seandainya pun api ajaran ini telah padam di seluruh

penjuru alam semesta, api tersebut tidak boleh padam di negeri Persia,

negeri yang dikenal dengan negeri Ahuramuzda dan dipenuhi oleh

cinta dan pencerahan batin.

Ketahuilah, bangsa Persia memiliki hubungan samawi dengan

ajaran irfan. Hubungan ini terwujudkan dalam sebuah ayat Al-

Qur’an. Karena anugerah Ilahi, kami memperhatikan masalah dan

menyebutkannya untuk pertama kali di prolog buku Ob-e Tarabnok,

sebuah buku yang telah kami tulis guna mengklasifikasikan diwan syair

Hafizd secara tematis. Penjelasannya adalah berikut ini:

p:238

Berdasarkan penegasan Al-Qur’an yang menyatakan, “Hai

orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari

agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah

mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,”(1) bangsa Persia

memiliki hubungan yang erat dengan ajaran cinta dan irfan. Dalam ayat

ini, Allah mengancam Muslimin yang hidup di masa permulaan Islam;

apabila mereka tidak setia terhadap Islam, Allah akan membimbing

kaum lain sebagai ganti dari mereka kepada agama itu. Allah mencintai

kaum tersebut dan mereka juga mencintai-Nya.

Dari satu sisi, ayat ini menjadi landasan para urafa Muslim untuk

membuktikan keabsahan ajaran cinta dan irfan. Ayat ini menjadi

sumber ilham bagi mereka. Dari sisi lain, para sahabat pernah

bertanya kepada Rasulullah Saw tentang instanta ayat tersebut. Beliau

menepukkan tangan ke pundak Salman Farisi seraya bersabda, “Orang

ini dan kaumnya.” Yakni bangsa Persia.(2)

Berdasarkan hubungan yang penuh berkah ini, bangsa Persia masa

kini, sebagaimana Maulawi dan Hafizd masa kemarin, bukan hanya

jangan menentang ajaran irfan, bahkan mereka harus menjadi corong

utama ajaran cinta dan irfan tersebut. Mungkin karena berkat hubungan

ini, corak irfan Islami-Irani mengungguli seluruh bentuk dan corak irfan

yang ada di seantero jagad raya, bak keunggulan sinar matahari atas

bintang-gumintang. Ajaran-ajaran yang pernah dilontarkan oleh para

urafa Muslim, seperti konsep lahir dan batin, fana, intuisi, manifestasi,

cinta, keterpisahan, keberpaduan, dan lain sebagainya, tidak pernah

kita temukan terbahas secara sistematis dan teratur dalam aliran-aliran

irfan yang lain.

Tidak diragukan lagi, Maulawî kita pada masa kini termasuk salah

satu figur sejarah umat manusia yang paling pelik. Sastra dan teksteks

irfani kita juga tidak memiliki tandingan di seluruh dunia. Dari

Masnavi, buku demi buku, pasal demi pasal, kisah demi kisah, dan

p:239


1- 306 QS. Al-Ma’idah [5]: 54
2- 307 Silakan merujuk buku-buku referensi tafsir pada penafsiran ayat tersebut, seperti Majma‘ Al-Bayân dan Al-Mîzân.

baris demi barisnya meluapkan makrifat yang tidak terhingga. Akal dan

logika serta perasaan dan pengalaman tidak pernah mengizinkan kita

asing dari bangunan cinta yang kokoh dan tidak bertawaf di sekeliling

Ka‘bah kalbu.

4.4. Efek Positif Irfan

Stice berkata:

Kami selalu menekankan, jika pengalaman irfani hanya dianggap

sebagai sebuah pengalaman rasional sekalipun, ajaran ini masih

sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Maksud kami

bukan hanya berhubungan dengan masa lalu. Hal ini juga untuk

dunia di masa mendatang. Jika irfan diperlakukan sebagaimana

mereka memperlakukan ajaran-ajaran yang berbau khurafat dan

aliran ini dilemahkan atau diberanguskan seandainya tidakan

semacam ini mungkin dilakukan, niscaya tindakan itu adalah

sebuah pengkhiatan besar dan musibah yang menyakitkan atas

umat manusia. Sangat besar kemungkinannya, insan kamil atau

manusia super di masa mendatang adalah seorang arif.”(1)

Irfan secara keseluruhan dan para urafa Muslim, sebelum aliran

aliran irfan yang lain dan lebih baik dibandingkan seluruh aliran

tersebut, dapat memiliki peran dalam pendidikan dan transendensi

umat manusia. Irfan adalah sebuah ajaran yang mengajarkan

keimanan, keikhlasan, cinta, semangat lebih memen-tingkan orang

lain, keberanian, keridhaan, kedermawanan, tatakrama, rendah

hati, kesalihan, kebebasan, ketulusan hati, kasih sayang, mencari

hakikat, memperhatikan keindahan, tidak peduli terhadap harta dan

kedudukan, dan membebaskan diri dari jeratan diri dan hawa nafsu

kepada para pengikutnya.

Dalam pangkuan irfanlah seluruh kesombongan, kenikmatan,

hijab, dan penjaga pintu lenyap. Para pembesar ajaran irfan tidak

p:240


1- 308 Erfän va Falsafeh, Stice, terjemahan Khorramshähi, penerbit Soroosh, hlm. 211-212.

melihat di alam semesta ini dan begitu pula dalam diri manusia

kecuali kebaikan dan keindahan. Mereka memandang orangorang

yang suka bermabuk-mabukan di tempat berjudi seperti

memandang orang-orang ahli masjid, dan senantiasa mengharapkan

kesempurnaan mereka. Kaum sufi pernah bertanya kepada seorang

syaikh: “Apakah para hamba Allah yang sejati harus berada dalam

masjid?” Ia menjawab: “Para hamba Allah yang sejati juga bisa

berada dalam tempat perjudian.”(1)

Para urafa yang telah terdidik dengan suluk irfani mencintai

seluruh tipe manusia. Mereka tidak pernah memata-matai orang lain.

Mereka tidak pernah memandang orang dengan kaca mata penghinaan.

Mereka memaafkan dan menutupi seluruh kesalahan orang lain.

Bukan hanya dunia, mereka juga tidak pernah mengharapkan apa

pun dari alam akhirat. Dengan kalbu halus yang terpenuhi oleh “jiwa

malaikat”, mereka menanggung seluruh cercaan dan penghinaan dunia

ini. Mereka selalu setia dan memenuhi janji. Mereka dicerca dan ridha

karena dalam tarekat mereka ditegaskan, “Orang yang sakit hati adalah

kafir.”

Karena hembusan angin sepoi, mereka dapat pingsan dan tidak

sadarkan diri. Mereka dapat memahami bahasa bunga teratai dan nasrin.

Mereka dapat mamaknai tangisan awan dan senyuman bunga. Mereka

mengambil energi dari kicauan burung Bulbul, kidungan seruling,

dan makna-makna yang indah. Tetapi, mereka tidak seperti binatangbinatang

lain yang hanya dapat menikmati hidangan berwarna-warni

dan suapan-suapan yang manis.

Karena kelapangan wujud yang dimiliki, seorang arif menyatu

dengan seluruh alam semesta dan manusia. Abul Hasan Al-Kharqânî

(wafat tahun 426 H.) pernah berkata:

Apabila jari salah seorang penduduk Turkistan hingga Syam

terkena duri, penderitaan itu adalah milikku. Begitu pula, apabila

p:241


1- 309 Asrâr Al-Tauhîd, Muhammad bin Munawwar, hlm. 95.

kaki salah seorang penduduk Turkia hingga Syam terbentur batu,

maka penderitaannya adalah milikku. Jika sebuah hati tertimpa

sebuah kesedihan, kesedihan itu adalah milikku. Aku malah

pernah mengatakan, seandainya aku mati sebagai dari mereka

sehingga mereka tidak pernah melihat kematian. Oh, seandainya

hisab amal seluruh makhluk ditimpakan ke pundakku sehingga

mereka tidak perlu lagi dihisab pada Hari Kiamat. Oh, seandainya

siksa seluruh makhluk ditimpakan kapadaku sehingga mereka

tidak pernah melihat siksa dalam api neraka.”(1)

Irfan mengajak seluruh umat manusia supaya naik melakukan

mikraj ruhani; mikraj dari alam materi ke alam nonmateri, dari alam

fisik ke alam metafisik, dari alam jisim ke alam jiwa, dari makhluk ke

Dzat Yang Maha Haqq, dan dari titik nol ke titik yang tidak terbatas.

Inilah jalan irfan, jalan semua irfan di seluruh penjuru alam semesta.

Tetapi, dalam irfan Islami, tarekat sipritual dihiasi oleh syariat

rasul pamungkas. Irfan Islami memiliki kesucian yang tidak dapat

dibandingkan dengan ajaran-ajaran irfan yang lain.

Walau bagaimanapun, menurut hemat kami, irfan adalah sebuah

usaha agung manusia yang memiliki manfaat besar, tidak ubahnya

seperti filsafat, teologi, fisika, medis, astronomi, dan cabang-cabang

ilmu pengetahuan yang lain. Meskipun seluruh ilmu pengetahuan

tersebut tidak termasuk salah satu taklif asli agama, tetapi kita

tidak boleh menghalangi manusia untuk memanfaatkan seluruh

kemampuannya karena agama dan atas nama agama. Kita tidak boleh

menghalangi mereka dari seluruh manfaat dan kesempurnaan yang

dapat digapai oleh usaha-usaha semacam itu.

4.5. Irfan, Sebuah Kemungkinan yang Tidak Logis Diabaikan

Jika kita tidak dapat memuaskan diri dengan kehidupan hewani. Kita

juga tidak dapat menemukan rahasia alam semesta yang penuh dengan

p:242


1- 310 Tadzkirah Al-Auliyâ’, Farîduddîn Al-‘Aththâr, jld. 2, hlm. 215-217.

simbol dan teka-teki tanpa ketenangan jiwa. Jika kita tidak bisa puas

dengan seluruh penemuan akal guna menjawab seluruh pertanyaan

yang kita hadapi, sudah pasti kita menghadapi dua jalan: pertama,

kita tersungkur ke jurang keputus-asaan. Konsekuensinya, kita harus

menempuh sisa umur dengan tenang, tetapi dibarengi dengan rasa

keputus-asaan. Dengan alasan ini, seluruh aktifitas akan berhenti;

Kedua, mencari jalan dan usulan yang lain. Selama seseorang masih

mencari jalan dan bergerak, ia pasti tidak akan pernah memenjarakan

diri dalam jeruji keputus-asaan.

Irfan adalah jalan kedua bagi mereka yang sudah atau sedang

menghadapi dua jalan.

Kita asumsikan, dua orang melakukan seluruh bentuk usaha dan

tindakan guna membebaskan diri dari kesusahan atau ingin meraih

keuntungan. Tetapi, akhirnya usaha mereka tidak membuahkan hasil.

Mereka lelah dan sedih, padahal sudah sekian tahun dari umur mereka

telah digunakan untuk itu dan tidak membuahkan hasil. Mereka duduk

berpangku tangan di sebuah pojokan ruangan.

Beberapa orang alim dan berpengalaman datang menghampiri

kedua orang itu guna menunjukkan sebuah jalan. Mereka menganjurkan

kedua orang tersebut untuk menempuh jalan yang menjanjikan

keberhasilan. Jalan ini bukanlah sebuah jalan yang sederhana, tetapi

sebuah jalan yang dipenuhi oleh kesulitan dan kesengsaraan.

Hanya satu orang dari kedua orang itu yang membulatkan tekad

menempuh jalan irfan. Orang kedua sembari menunjukkan keputusasaan

tetap berada di tempat semula dan tidak melakukan gerakan apa

pun dengan alasan dari mana aku tahu bahwa dengan menempuh jalan

tersebut aku akan berhasil.

Sikap dan tindakan manakah yang lebih logis dan lebih benar?

Tidak diragukan lagi, tindakan dan sikap yang terus memacu semangat

dan tidak berpangku tangan muncul dari sebuah sikap rasional dan

berani. Alasannya, ia tetap mempedulikan sebuah kemungkinan dan

usulan baru. Sekarang, jika ia berhasil mencapai kesuksesan, tentu ia

p:243

menjadi orang yang berhasil, dan orang kedua itu gagal. Seandainya

usaha itu tidak membuahkan hasil apa pun, ia ditinjau dari sisi hasil

tidak berbeda dengan orang kedua yang tidak melakukan usaha apa

pun. Tetapi, ditinjau dari sisi rasio dan logika, orang pertama masih

lebih mulia dibandingkan orang kedua. Alasannya, orang pertama

telah berusaha dan tidak mencapai keberhasilan. Sementara itu, orang

kedua tidak melakukan usaha apa pun. Orang pertama menginginkan

dan tidak mencapai keinginannya. Tetapi, orang kedua tidak pernah

menginginkan sama sekali.

5. Persoalan Irfan di Masyarakat Kita

Point

Irfan, syair, dan suluk menghadapi banyak persoalan di tengah

masyarakat kita. Persoalan terpenting yang dihadapi ajaran irfan di

tengah-tengah masyarakat kita adalah sebagai berikut:

5.1. Penentangan Para Ulama dan Kaum Agamis

Irfan adalah hasil sebuah kebutuhan dan rasa ingin selalu memiliki

lebih banyak yang dimiliki oleh manusia. Selama manusia masih ada,

usaha untuk menembus sisi batin alam semesta akan selalu ada. Atas

dasar ini, para peneliti ahli berusaha menghubungkan irfan yang ada

di sebuah negeri dengan irfan yang ada negeri lain atau irfan yang

dimiliki oleh suatu kaum dengan irfan yang dimiliki oleh kaum yang

lain. Tetapi, usaha ini adalah benar apabila ditinjau dari satu sisi, pada

akhirnya irfan yang ada di sebuah daerah adalah hasil kreasi manusia

yang berdomisili di daerah tersebut. Tidak ubahnya seperti masalahmasalah

kehidupan yang lain dan seperti ilmu filsafat, mate-matika,

dan lain sebagainya.

Irfani Persia adalah hasil kreasi manusia yang hidup di negeri

Persia. Irfan Islami juga berhubungan dengan pemeluk agama Islam.

Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya secara

praktis, ajaran irfan terpisah dari agama. Ketika ajaran ini muncul

p:244

di dunia Islam dan negeri Persia, ajaran irfan menuai protes dan

penentangan yang serius dari para ulama agama dan kaum agamis.

Dari sejak permulaan kemunculannya, para ulama agama

menganggap irfan sebagai sebuah bid‘ah, eklektisisme, dan sebuah

fenomena yang muncul di luar ruang lingkup ajaran-ajaran agama.

Mereka menganggap diri mereka berkewajiban menghukum para tokoh

serta pengikut ajaran irfan. Penentangan para ulama agama terhadap

ajaran irfan tidak dapat diragukan lagi oleh siapa pun. Kami tidak akan

menyebutkan contoh dan bukti untuk itu pada kesempatan ini.

5.2. Mengagamakan Irfan

Semenjak permulaan kemunculan tasawuf, para pengikut ajaran

irfan masih memiliki keimanan yang kuat terhadap agama dan selalu

berusaha mengagamakan irfan. Ini adalah sebuah fenomena lumrah.

Alasannya:

Pertama, mereka yang mengikuti ajaran irfan memeluk agama

Islam. Setiap Muslim, semampu mungkin, tidak mau melakukan

sebuah tindakan atau meyakini sebuah keyakinan yang bertentangan

dengan agama Islam. Tindak mengagamakan irfan bukanlah sebuah

usaha ‘teror’ terhadap agama dan bukan pula sebuah tindakan taqiyah

guna menghadapi kaum agamis. Tindak mengagamakan irfan adalah

sebuah tindakan yang natural. Melihat realita ini, mereka meyakini

bahwa irfan dengan warna agama adalah sebuah tipu daya belaka(1)

sedang berjalan di atas jalan yang keliru; Kedua, para urafa yang

memeluk sebuah agama akan mengungkapkan seluruh pengalaman

irfani mereka dengan menggunakan bahasa agama. Irfan di dunia

Islam memiliki warna agama Islam dan secara perlahan-lahan menjadi

sebuah fenomena yang agamis. Hal ini menyebabkan sebagian sufi

seperti Imam Ghazali meyakini bahwa irfan adalah agama Islam itu

sendiri, atau Maulawî dan para urafa yang lain berkeyakinan bahwa

irfan adalah otak dan inti agama.

p:245


1- 311 Al-Falsafah Ash-Shûfiyyah fi Al-Islam, hlm. 497.

Proses pengagamaan irfan sangat berguna ditinjau dari sisi sebuah

solusi untuk menghadapi penentangan para ulama dan kaum agamis,

sekalipun dalam kadar yang relatif. Meskipun demikian, proses ini

adalah sebuah problem yang sangat besar bagi ajaran irfan. Alasannya,

seperti telah dibahas sebelumnya muatan irfan terdapat dalam agama.

Proses pengagamaan irfan dan membatasinya dalam bingkai

ajaranajaran agama, umumnya menyebab-kan tujuan dan programprogram

irfan terbengkalai dan terlupakan.

Sebagai contoh, kita lihat Syaikh Abdul Qâdir Jaelani (Jîlânî atau

Jîlî—wafat tahun 561 H.). Tokoh ini adalah pendiri tarekat Al-Qâdiriyyah

yang memiliki pengikut di negara India, Pakistan, Indonesia,

dan mayoritas negeri Islam. Tetapi, buku-buku karya tulisnya tidak

menyinggung ajaran-ajaran serius, program, dan tujuantujuan yang

dimiliki oleh kaum sufi. Ia hanya mengisyaratkan masalah kekekalan,

cinta, ‘uzlah, dan lain sebagainya secara ringkas. Di antara buku-buku

Syaikh Abdul Qadir adalah Al-Fath Al-Rabbânî wa Al-Faydh Al-Rahmânî,

Al-Fuyûdhât Al-Robbâniyyah, Futûh Al-Ghayb, dan bukubuku

yang lain.(1)

Pada masa-masa dahulu dan sekarang, kita menganggap beberapa

orang sebagai arif. Tetapi, hakikatnya hanyalah seorang zahid dan tidak

memiliki hubungan dengan irfan. Di negara-negara Arab,

sampai-sampai di tempat-tempat yang beraktifitas atas nama irfan,

seperti pusat pertapaan Syâdziliyyah di Damaskus dan mayoritas negara

serta kota-kota yang lain, pada hari ini tidak terdengar lagi ajaran,

program, dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh para urafa.

Tarian sufi mereka hanya memiliki aroma kezuhudan. Mereka

masih tetap berdiri sambil berbaris, memegang tangan masing-masing

peserta, dan menggerak-gerakkan tubuh mereka. Tetapi, bukan lagi

sebuah tarian sufi. Semua itu tidak lain hanyalah sebuah perkumpulan

zuhud, doa, istighfar, dan tobat. Hal ini tidak ubahnya seperti

gerakangerakan kolektif dalam acara pukul dada yang dilakukan

p:246


1- 312 Raihânah Al-Adab, Mudarris, jld. 3, hlm. 494.

oleh para pengikut Syiah dalam acara-acara duka. Meskipun ada barisan

dengan irama khusus, memukul dada dan menggerak-gerakkan

kaki ke arah depan dan belakang, tetapi semua itu hanyalah sebuah

acara duka, tidak lebih.

Dari satu sisi, Syaikh Abbas Qommi pernah mengadu. Tasawuf

memiliki dua sisi: zuhud dan makrifat. Para ulama agama setuju

dengan sisi zuhud irfan, bukan sisi makrifatnya. Tetapi, karena

sepakat dengan sisi zuhud tasawuf, kadang-kadang dengan keliru

dinyatakan sebagai ajaran tasawuf dan irfan secara total.(1)

Pada umumnya, para ulama keliru menilai zuhud dan tasawuf.

Kekeliruan ini menyebabkan sebagian orang menyangka bahwa

irfan memiliki dua macam: penghambaan murni dan cinta murni.(2)

Padahal, mereka lalai bahwa sisi penghambaan murni tidak memiliki

hubungan dengan irfan sama sekali.

Ringkas kata, jika tasawuf, seperti halnya filsafat, dimanfaatkan

untuk berkhidmat kepada agama, ajaran ini tidak akan berhasil

menjalankan tujuan aslinya. Bukan berarti yang satu memiliki

kekurangan dan yang lain memiliki kelebihan. Tetapi, karena tuntutan

substansi keduanya ditinjau dari sisi fondasi, program, dan tujuan.

5.3. Teorisasi Irfan

Setelah filsafat terkucilkan karena serangan Ghazali yang sangat

berpengaruh, dari abad VI H, pintu arena ajaran-ajaran nonfilosofis,

termasuk di dalamnya teologi dan tasawuf, terbuka lebar. Banyak

sekali tenaga dan kemampuan yang semestinya dimanfaatkan untuk

pembahasan filosofis digunakan untuk mengembangkan ajaran

teologis dan irfani. Akhirnya, tersusunlah sebuah ajaran irfani yang

terkontaminasi ajaran filsafat dan teologi. Para urafa pun, dengan

niat mengikuti jejak para nabi, mengambil sebuah keputusan untuk

berbicara dengan menggunakan bahasa kaum mereka. Perbedannya,

p:247


1- 313 Safinah Al-Bihâr, Syaikh Abbas Al-Qomi, cet. Sanggi, jld. 2, hlm. 63.
2- 314 Maktab-e Häfez, Dr. Mortazavi.

bahasa para nabi adalah bahasa masyarakat. Tetapi, kaum yang

menjadi lawan bicara para syaikh irfan kala itu adalah para filosof dan

ahli teologi. Bahasa ajaran irfan adalah bahasa ulama dan masyarakat

khawas. Qaishari , salah seorang pensyarah tasawuf yang masyhur,

pernah menjelaskan tujuannya mengapa ia memaparkan pembahasanpembahasan

irfani.

Irfan adalah sebuah ajaran yang berlandaskan intuisi dan

dzauq (perasaan spiritual). Hanya manusia pilihan yang layak

menerima makrifat intuitif. Meskipun demikian, melihat

penentangan para ulama yang hanya mendalami ilmu lahiriah;

karena mereka menyangka tasawuf tidak memiliki landasan

kuat dan tidak membuahkan hasil. Ajaran tasawuf hanyalah

sekumpulan khayalan syair dan mimpi indah orang-orang yang

tidak memiliki argumentasi dan makrifat-makrifat intuitif,

mereka tidak dapat dipercaya. Melihat penentangan ini, kami

memaparkan dan membahas tasawuf dengan menggunakan

metode dan dasar pembahasan yang mereka yakini. Paling

tidak, kami telah berbicara dengan menggunakan bahasa dan

logika mereka.(1)

Usaha teorisasi irfan yang kemudian lebih dikenal dengan

terminologi “irfan teoritis” ini adalah salah satu persoalan yang

mencegah perkembangan tasawuf. Kerugian yang ditimbulkan lebih

banyak daripada keuntungan yang diharapkan. Alasannya, ajaran irfan

hanya berlandaskan pada syair dan suluk, kondisi, dan maqam batiniah.

Alasan yang lain seperti telah kami paparkan, pengalaman-pengalaman

irfani tidak dapat diajarkan dan dialihkan atau dipindahkan kepada

orang lain. Oleh karena itu, teorisasi irfan tidak pernah dan tidak akan

pernah membuahkan hasil kecuali hanya sekedar kesibukan bohong

bagi para pencarinya. “Bahasa cinta tidak akan pernah tertorehkan di

atas secarik kertas”.

p:248


1- 315 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud Qaishari, prolog, pasal ke-1.

Dari sisi yang lain, sebagian orang keliru memahami. Mereka

menyangka bahwa barangsiapa menguasai pembahasan teoritis itu dan

berhasil menggapai posisi sebagai guru, ia telah sampai kepada maqam

tertentu dalam dunia irfan. Padahal, mereka tidak memiliki apa-apa

selain hanya sekedar menukil pendapat orang lain. Mereka tidak

memiliki peran selain menyesatkan orang lain. Hal ini karena mereka

telah duduk di atas tempat duduk orang-orang sem-purna, padahal

mereka sendiri tidak memiliki kesempurnaan. Mereka adalah para

nabi palsu, dan bahkan para “penyihir” yang memiliki profesi menipu

masyarakat.

Fenomena teorisasi tasawuf dimulai oleh para urafa. Syaikh Isyrâq

tidak begitu berhasil dalam usaha teorisasi ini, padahal ia sendiri

bermaksud membangun sebuah aliran filsafat Illuminatif dan berusaha

keras untuk mengombinasi filsafat dan irfan. Dalam pada itu, peran

Mulla Shadra (wafat tahun 1050 H.) dalam usaha memfilosofikan

irfan tidak tertandingi. Di antara sekian ajaran irfan yang sangat

fundamental, ia meletakkan konsep wahdat al-wujûd dan prinsipalitas

wujud sebagai dasar utama aliran Filsafat Transendentalnya (Al-Hikmah

Al-Muta‘âliyyah). Ia menekankan bahwa intuisi dan argumentasi harus

dimanfaatkan secara seimbang dan seirama.(1) Sampai sejauh mana ia

berhasil dalam usaha ini dan apakah hasil usahanya dalam arena irfan

dan filsafat? Ini adalah sebuah pembahasan yang dengan bantuan Allah

akan kami paparkan pada kesempatan yang lain.

5.4. Irfan dan Hermitage

Sejak para urafa memiliki pusat-pusat kegiatan khusus yang bernama

“hermitage” dalam banyak kota, dan pusat-pusat kegiatan ini

memperoleh tanggapan masyarakat umum, baik dari sisi spiritual

maupun material, ketua dan mursyid pusat-pusat kegiatan ini terbanjiri

banyak harta kekayaan yang melimpah-ruah. Hermitage adalah sebuah

tempat yang menjanjikan kedudukan dan harta. Di samping itu semua,

p:249


1- 316 Al-Asfâr Al-Arba‘ah, Shadrul Muta’llihîn Muhammad bin Ibrahim Asy-Syîrâzî, prolog.

mereka juga memiliki kesucian dan kehormatan batiniah yang tidak

dimiliki oleh para raja.

Meskipun keagungan dan kesemarakan hermitage-hermitage itu

membantu penyebarluasan ajaran tasawuf, tetapi hal itu juga menjadi

perantara kerusakan ajaran ini. Harta kekayaan dan kedudukan sering

kali menipu para syaikh sufi. Mereka menjadikan kedudukan sebagai

harta warisan dan menyerahkannya kepada anak keturunan mereka.

Tidak semua syaikh sufi melakukan hal ini, dan salah seorang dari

mereke adalah Maulawi. Meskipun ia memiliki seorang putra alim

dan menjadi pusat perhatian yang bernama Bahâ’ Walad, ia malah

mengangkat Hisâmuddîn Chalabî sebagai khalifah.

Biar bagaimanapun, setelah para pewaris tidak memiliki kelayakan

menduduki posisi mursyid tasawuf, hermitage mengalami kevakuman

makrifat dan batiniah, dan hanya dihiasi oleh ritual-ritual lahiriah

belaka. Akhirnya, kehor-matan dan kesemarakan hermitage semakin

berkurang, sampai-sampai pergi ke hermitage dianggap sebagai

tindakan yang anti nilai.

Para pengklaim irfan yang menduduki posisi seperti itu adalah

orang yang telah menciptakan cela kehormatan irfan. Barangsiapa

yang memasuki pusat-pusat kegiatan tasawuf tersebut, ia tidak akan

menemukan kecuali hanya tatakrama yang harus dilakukan pada saat

masuk dan keluar dari hermitage, menjilat atasan, mencium tangan,

dan ritual-ritual lahiriah belaka. Peristiwa ini lebih banyak disebabkan

oleh fenomena pewarisan posisi seorang mursyid.

5.5. Irfan, Bukan Milik Semua Orang

‘Ainul Qudhat pernah berkata:

Berapa ribu jenazah dibawa ke kuburan. Tetapi, tidak seorang pun

dari mereka yang telah sampai ke maqam ‘keraguan’. Berapa ribu

orang telah sampai ke maqam ‘keraguan’. Tetapi, tidak seorang

pun dari mereka yang sampai ke maqam ‘permohonan’. Berapa

ribu orang telah sampai ke maqam ‘permohonan’. Tetapi, tidak

seorang pun dari mereka yang berjalan di atas ‘jalan yang benar’.

Berapa ribu orang yang menjalani ‘jalan yang benar’. Tetapi, tidak

seorang pun dari mereka yang diganggu oleh rasa jemu, lalu tekad

dan semangatnya tidak kendor. Berapa ribu orang yang telah

menempuh seluruh jalan. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka

memiliki kelayakan untuk “bersimpuh di haribaan Ilahi”. Semua

itu kami paparkan supaya Anda tidak menyangka bahwa jalan

irfan adalah sebuah jalan yang mudah.(1)

Jalan irfan memiliki dua kesulitan: pertama, keimanan kepada

kebenaran jalan irfan; dan kedua, persoalan yang harus dihadapi pada

saat melaksanakan riyadhah dan suluk.

Persoalan muncul dari realita bahwa pengalaman irfani tanpa

prolog suluk tidak akan pernah dapat digapai. Mengajak orang lain

menempuh jalan irfan tidak ubahnya seperti mengajaknya kepada halhal

yang gaib. Mengajak kepada hal-hal gaib yang pernah dilakukan

oleh para nabi pun tidak mudah diterima oleh masyarakat umum.

Meskipun demikian, irfan memiliki sebuah perbedaan dengan ajakan

kepada hal-hal gaib yang ada dalam agama itu. Perbedaan itu adalah

pengalaman irfani masih dapat diulangi oleh orang lain. Tetapi,

di permulaan langkah, tanpa mengandalkan pengalaman terlebih

dahulu, kita harus memasuki medan ini dengan sebuah keimanan dan

kepercayaan penuh.

Agama dapat menggunakan dua cara untuk mewujudkan keimanan

dalam diri seseorang: pertama, seluruh ajarannya yang rasional; dan

kedua, mukjizat. Tetapi, untuk mengajak kepada ajaran irfan, mukjizat

tidak dapat menjamin dan rasionalitas juga tidak memiliki tempat,

karena seluruh dasar ajaran irfan berhubungan dengan makrifat intuitif

dan tidak rasional. Kita harus memulai langkah irfani dengan taklid

p:250


1- 317 Nämeh-ha-ye ‘Ainul Qudhât, revisi oleh ‘Afif ‘Usyairân, surat no. 72.

atau dengan ungkapan lain keimanan yang didasari oleh taklid. Taklid

memiliki dasar dan akar yang rasional, di antaranya:

Pertama, memberikan perhatian kepada sebuah kemungkinan

adalah sebuah tindakan yang diterima oleh akal yang sehat; Kedua,

orang-orang yang berakal dapat mempercayai pengalaman-pengalaman

orang lain. Syaikh Syihabuddin Suhrawardi berkata:

Bagaimana mungkin observasi intuitif para nabi dan filosof kita

anggap tidak bernilai, sedangkan kita mempercayai observasi satu

dua orang sehubungan dengan masalah-masalah inderawi, seperti

astronomi?(1)

Atas dasar ini, sangatlah rasional apabila kita mulai melangkah

sehingga kita sampai ke sebuah tingkatan dan merasakan sebuah

pengalaman irfani. Untuk mencobanya meski hanya sekali pun,

tidaklah jauh dari logika.

Kita hendaknya memulai langkah kita dengan dasar taklid

tersebut. Apalagi, sekarang adalah masa eksperimen. Mengapa kita

harus melupakan pengalaman dan eksperimen irfani ini?

Sehubungan dengan persoalan suluk. Suluk adalah sebuah

perjalanan di sebuah jalur yang tidak dikenal, penuh dengan jalan

terjal, dan tidak berakhir. Barangsiapa meletakkan kaki di atas jalan

ini, ia pasti menghadapi bahaya. Seluruh jenis kesulitan dan kesukaran

adalah suatu hal yang lumrah. Pada dasarnya, jalan ini adalah jalan

kesulitan dan kesukaran. Dari sejak permulaan, kita sudah harus

mengurangi tidur dan makan, serta tidak mempedulikan kesehatan

dan keselamatan diri kita.

Apakah yang mendorong seseorang rela meletakkan dirinya dalam

seluruh kesukaran ini? Ada beberapa faktor di antaranya:

Dominasi cinta dan daya tarik Ilahi di seluruh alam semesta dan

umat manusia secara umum terjerat oleh ikatan cinta dan daya

tarik irfan.

p:251


1- 318 Hikmah Al-Isyrâq, Yahya bin Habsy Sharuwardî, cet. Anjoman-e Falsafeh, hlm. 156.

Iman dan kehendak salik yang sangat kuat.

Inayah dan taufik Dzat Yang Maha Haqq.

Para pengajak kepada ajaran tasawuf dan para urafa yang sadar

diri.

Karena memperhatikan kapasitas buku ini, kami tidak akan

memaparkan lebih detail lagi. Penutup pasal ini adalah sebuah doa dari

Maulawî yang isinya sebagai berikut:

Ya Tuhanku, anugerah ini tak layak untuk usaha kami

balasan terbaik adalah anugerah-Mu yang tersembunyi.

Gapailah tangan kami dan belilah diri kami,

singkapkanlah seluruh tirai dan janganlah Kau cabik-cabik tirai

kami.

Belilah diri kami dari jeratan nafsu yang buruk ini

belatinya telah sampai menembus tulang-belulang kami.

Kami yang tidak berdaya terjerat oleh rantai yang kokoh

tidak seorang pun dapat menguraikannya selain Engkau, hai Raja

Nasib.

Kami berpaling dari diri kami menuju kepada-Mu

karena Engkau lebih dekat kepada diri kami daripada kami

sendiri).

Dengan kedekatan itu kami sangat jauh dari haribaan-Mu

dalam kegulitaan ini kirimkanlah kepada kami secercah cahaya.

Maulana Rumi

Sebagai pamungkas terbaik buku ini, kami haturkan sebuah doa

melalui lisan Al-Qur’an:

Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hambahamba-

Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya

Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-

Ma’idah [5]: 118).

p:252

p:253

p:254

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Ibn Jauzî: Talbîs Iblis.

A􀆪âkî: Manâqib Al-‘Ârif în, , revisi ulang oleh Tahsîn Yâzîjî,

Al-‘Afîfî, Abul ‘Alâ’: Ta‘lîqât Fash Al-Ya‘qûbî

Al-Âmulî, Sayyid Haidar: Asrâr Asy-Syarî‘ah,

Al-Ardabilî, Ahmad bin Muhammad: Hadîqah Asy-Syiah.

Al-‘Aththâr, Farîduddîn: Tadzkirah Al-Auliyâ’, jld. 2.

Al-Biqa‘i, Burhanuddîn: Mashra‘ Al-Tashawwuf.

Al-Fakhuri, Hana dan Khalil Al-Jarr: Torikh-e Falsafeh dar Jahon-e Eslom,

terjemahan Ayati.

Al-Ghazâlî, Imam Muhammad: Al-Munqidz min Adh-Dhalâl, cet. Beirut.

Aththar: Tadzkirat Al-Awliyâ’.

Al-Kâsyifî, Husain: Lobb-e Lobäb-e Masnavi.

Al-Kâsyânî, ‘Izzuddîn Mahmûd: Mishbâh Al-Hidâyah wa Miftâh Al-

Kifâyah, cet. Tehran Ghani.

Al-Muqbili: Al-‘Ilm Al-Syâmikh.

Al-Qomî,s Syaikh, Abbâs: Saf înah Bihâr Al-Anwâr, cet. Sanggi, Tehran,

jld. 2.

Al-Qûnawî, Shadruddîn: I‘jâz Al-Bayân f î Ta’wîl Umm Al-Qur’an, cet.

Haidar Abad.

Al-Qomi, Syaikh Abbâs: Saf înah Bihâr Al-Anwâr, jld. 2.

Al-Qomi, Syaikh Abbas: Saf înah Al-Bihâr, cet. Sanggi, jld. 2.

Ali bin Utsman Al-Hujwairî: Kasyf Al-Mahjûb.

Amîn, Ahmad: Dhuhâ Al-Islam, cet. Kairo.

Arabi, Ibnu: Fushûsh Al-Hikam.

p:255

Arabi, Ibnu: Risâlah Asrâr Al-Khalwah.

Arab, Ibnu i: Al-Futûhât Al-Makkiyyah, cet. Dâr Shâdir Beirut

Arabi, Ibnu: Risâlah Mawâqi‘ An-Nujûm,

Arabi, Ibnu: Risâlah Al-Anwâr

Arabi, Ibnu: Al-Futûhât Al-Makkiyyah, cet. Beirut, jld. 2

Äshoori, Däriyoos: Adyän va Maktabhä-ye Falsafi-ye Hend.

Ghazali, Ahmad: Al-Sawânih, cet. Bonyäd-e Farhang-e Iran.

Ghanî, Qâsim: Tärikh-e Tasavvof.

Goldziher: Zuhd va Tasavvuf dar Eslom, terj. Muhammad Ali Khalili.

Hazm, Ibn: Al-Fashl, cet. Beirut, jld. 2.

Homai,Jalaluddin: Tasavvuf dar Eslom.

Kâsyânî, Muhsin Faidh: Al-Mahajjah Al-Baydhâ’.

Khârazmî, Husain: Jawâhir Al-Asrâr, cet. Masy‘al, Isfahan, jld. 1.

Khaldun, Ibn: Al-Muqaddimah, jld. 2.

Khârazmî, Husain: Jawâhir Al-Asrâr, jld. 1.

Khaldun, Ibn: Al-Muqaddimah,, jld. 2.

Kulabadi: Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashowwuf .

Lahiji, Fayyadh: Govhar-e Murod.

Lahiji: Mafâtîh Al-A‘jâz .

Mahmud,Abdul Qadir: Al-Falsafah Al-Shûfiyyah f î Al-Islâm cet. Kairo.

Mahfûzh: Asy-Syarîf Ar-Radhî.

Majlisi, Muhammad Baqir: ‘Ain Al-Hayâh.

Maulawî: Kolliyät-e Divän-e Shams.

Maulawî: Fîhi Mâ Fîhi.

Mortazavi, Manuchehr: Maktab-e Hofezd.

Muta’llihîn, Shadrul: Al-Asfâr Al-Arba‘ah.

Muhammad bin Munawwar: Asrâr At-Tauhîd, revisi oleh Dr. Syafî‘î

Kadkani, penerbit Agah.

Muhammad, Shadrul Muta’llihîn bin Ibrahim Asy-Syîrâzî: Al-Asfâr Al-

Arba‘ah.

Nämeh-ha-ye: ‘Ainul Qudhât, revisi oleh ‘Afîf ‘Usairân.

Nasafi: Ensän-e Kämel.

p:256

Niccolson: Tasavvuf-e Eslomi, terj. Syafi’i Kadkani, cet. Tehran.

Qaishari: Moqaddameh-ye Syarh-e Fosoos.

Qaishari: Syarh Fushûsh Al-Hikam.

Russel, Bertrand: Tärikh-e Falsafeh-e Gharb, jld. 1.

Sya‘rânî: Al-Yawâqît wa Al-Jawâhir.

Sina, Ibn: Al-Najâh, Al-Ilâhiyyât.

Shabestari: Gulsyan-e Roz.

Stice: Erfän va Falsafeh, terj. Bahâ’uddîn Khorramshahi.

Sabzawarî, Mulla Hadi: Syarh-e Manzoomeh-ye Hekmat.

Sahruwardî Hikmah: Al-Isyrâq.

Shadrâ, Mulla: Al-Asfâr Al-Arba‘ah.

Sina, Ibn: Asy-Syifâ’ dan Al-Najâh.

Stice: Erfän va Falsafeh, terj. Khorramshähi, penerbit Soroosh.

Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain: Nihâyah Al-Hikmah.

Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain: Qor’än dar Esläm, cet. ke-6,

penerbit Jâmi‘ah

Mudarrisîn Qom.

Turkah, Ibn: Tamhîd Al-Qawâ‘id, cet. Anjoman-e Falsafeh Taimiyyah,

Ibn: Majmû‘ah Al-Rasâ’il wa Al-Masâ’il, Thusi, Sarraj: Al-

Luma‘.

Yahya bin Habsy Sharuwardî: Hikmah Al-Isyrâq, cet. Anjoman-e Fal

safeh.

Yatsribî, Yahya: Falsafeh va Erfän, cet. ke-4.

Yatsribî, Yahya: ‘Erfon-e Nazdari.

Zarrinkub,Abdul Husain: Josteju dar Tasavvuf-e Iron.

Zarrinkub: Arzesy-e Miros-e Shufiyyeh.

Zarrinkub, Abdul Husain: Anzesh-e Miräs-e Soofiyyeh, cet. ke-1.

p:257

p:258

A

‘Ain 28, 116

‘Ainul Qudhat 52, 73, 138, 198,

226, 250

‘Ainul Qudhât 52, 188, 251, 258

‘âlim wa ma‘lûm 8

‘Amr 26

‘Aql fa‘âl 124

‘Aql nazharî 124

‘Aradha 27

‘Ayn al-haqq 5

Abdullah Anshari 17, 225, 227

Abdurrahman Jami 17

Abdurrazzaq Kasyani 17

Abdurrazzâq Kasyi 25

Abid 11, 97, 99

Abu Hanifah 27

Abul Faraj Abdurrahman 29

Abu Muhammad Ruwaim 222

Abu Sa‘id Abul Khair 104, 161, 197,

204, 221

Abu Thalib Makki 17, 32, 17, 32

Abu Yazid Basthami 16, 25, 16, 25

Adab 6, 103, 150, 234

Afdhaliyyah wa jâmi‘iyyah 130

AfifuddinTilimsani 17

Ahadiyyah 122

Ahli Al-Qur’an 13

Ahli hadis 22, 34, 35

Ahli Sunah 2, 3, 18, 22, 24, 26, 27,

28, 29, 169, 228, 229

Ahwâl 15, 60

Ain Al-Qudhât 17

Ainî 66

Akal aktif 124, 126, 129

Akal teoritis 124

Akal universal 80

Akhlak 33, 35, 105, 147, 151, 152, 154,

155, 158, 159, 165, 179, 221,

222

Al-Futûhât 28, 66, 74, 77, 84, 142,

144, 161, 163, 173, 174, 181, 195,

258

Al-hadharât al-khamsah 201

Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah 249

Al-Kulabadi 261

Al-Luma‘ 17, 35, 101, 112, 259

Al-Majlisi 28

Al-Najâh 56, 57, 72, 79, 114, 192,

214, 259

Al-Naza‘ât Al-Shûfiyyah fî Al-Fikr

Al-Syî‘î 23

Al-Ri‘âyah li Huqûqillâh 16

Al-Syifâ 29, 56, 57, 72, 79, 114

Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl

Al-Tashawwuf 16

Alam Barzakh 82, 127

Alam jabarût 88, 127, 88, 127

Alam malakût 110, 127, 190

INDEKS

P:259

Alam materi 48, 56, 75, 79, 80, 92,

108, 110, 120, 180, 190, 191,

192, 242

Alam mitsâl 80, 127, 128, 129, 190

Alam mulk 110, 127, 128

Alam qudsi 9

Alegori 56, 57, 203, 205, 209

Ali Qari 77

Aliran Asy‘ariyyah 113, 147

Aliran Ittihadiyyah 25

Allamah Burhanuddin Al-Biqo‘i

28

Allamah Muhammad Baqir Majlisi

25, 26

Allamah Thabathabai 40, 73, 212,

214, 215, 218, 40, 73, 212, 214,

215, 218

Alwâh 46

Amal personal 147

Amal sosial 147

Analisis rasional

Argumentatif 55, 62, 55, 62

Arif 5, 6, 7, 8, 9, 11, 14, 15, 16,

17,

18, 19, 21, 22, 23, 29, 30, 31,

32, 37, 40, 48, 49, 50, 52, 54,

56, 59, 60, 61, 77, 83, 96, 97,

98, 137, 138, 149, 150, 151, 155,

156, 157, 159, 195, 196, 198,

203, 208, 222, 223, 231, 233,

240, 241, 246

Aroma kezuhudan 246

Arthur Schopenhauer 159

Asas Hari Akhir 57

Asas Kenabian 2

Asas Tauhid 1, 2

Ashâlah 5, 75, 153, 5, 75,

153

Ashâlat al-wujûd 120

Asy‘ariyyah 27, 113, 147

B

Bahasa Irfan 186

Bahasa Wahyu 212

Bakkâ’în 13

Balâghah 217

Baligh 4, 77, 134

Bi al- quwwah 6

Bid’ah 22, 29, 31, 100, 101, 102,

103, 133, 134, 154

Busur gerak menurun 6, 8, 65, 81,

83, 88, 122, 127, 130, 170, 190

C

Cinta 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16,

18,

37, 83, 91, 92, 93, 94, 95, 135,

151, 152, 153, 154, 155, 158, 163,

188, 200, 201, 203, 204, 205,

225, 226, 228, 238, 239, 240,

246, 247, 248, 252

D

Dalâlah 228, 229

Dzât wa kaifiyyah 8

Dzat Yang Maha Haqq 5, 9, 11, 48,

50, 54, 56, 65, 66, 70, 73, 74,

75, 76, 78, 87, 108, 109, 110,

114, 115, 121, 135, 136, 144, 148,

149, 150, 151, 152, 155, 156,

157, 161, 163, 169, 170, 171, 173,

205, 206, 222, 223, 227, 242,

253

E

Egoisme personal 5

Eksklusif 5

P:260

F

Fana 6, 7, 8, 16, 19, 24, 32, 45, 47,

48, 49, 53, 54, 56, 59, 67, 83,

84, 93, 94, 97, 98, 104, 107,

108, 109, 144, 148, 149, 152,

174, 187, 201, 222, 226, 227,

228, 229, 230, 238, 239

Farq 6, 7, 133, 136

Farq wa katsrah 6, 133

Flosof Illuminatif 232

Flosof Persia Kuno 11

Filsafat Shadrul Muta’allihîn 190

Fondasi 5, 14, 17, 57, 112, 122,

151, 186, 190, 191, 194,

209, 223, 247

Fushûsh Al-Hikam 14, 27, 28, 30,

41, 54, 61, 65, 67, 75, 78, 81,

84, 87, 122, 133, 143, 150, 161,

162, 163, 170, 172, 190, 193,

207, 223, 233, 234, 257, 259

G

Gerak busur menaik 6

Gerak turun 6

Gradasi 190, 207

H

Hadîqat Al-Syiah 25

hakikat 5, 6, 9, 10, 28, 29, 32, 34,

35, 37, 38, 39, 40, 42, 45, 49,

52, 55, 56, 64, 66, 70, 73, 75,

80, 81, 82, 86, 88, 89, 91, 92,

93, 94, 96, 97, 98, 110, 115,

116, 121, 53, 122, 126, 127, 129,

137, 143, 144, 149, 158, 159,

161, 165, 167, 170, 174, 188,

189, 191, 192, 193, 194, 195,

196, 197, 198, 199, 200, 201,

203, 205, 206, 207, 208, 209,

211, 216, 222, 223, 225, 236,

237, 238, 240

hakikat wujud 6, 45, 75, 98, 191,

207

Hâl 208

Halal 3, 11, 103, 133

Hal ihwal 3

Haram 3, 13, 58, 111, 133, 135

Hari Akhir 3, 57, 82, 84

Harits Al-Muhasibi 15, 16, 15, 16

Hayawân nâthiq 184

Hidâyah takwîniyyah 94, 120

Hujwairî 17, 73, 226, 236, 257

Hukum-hukum 3, 38, 43, 101,

119, 134, 140, 141

Hulûl 25, 27, 30

Husain bin Manshur Hallaj 16, 25,

16, 25

I

Ibn Faridh 30, 31, 53, 56, 81, 88,

96, 30, 31, 53, 56, 81, 88, 96

Ibn Jauzî 29, 164, 257

Ibn Khaldun 13, 30, 181, 200, 228,

13, 30, 181, 200, 228

Ibn Sab‘în 31

Ibn Sina 11, 56, 57, 71, 72, 125, 126,

138, 155, 178, 190, 192, 210,

211, 214, 222

Ibnu Arabi 9, 14, 17, 18, 25, 30, 31,

41, 42, 53, 54, 65, 74, 75, 81,

87, 131, 140, 141, 143, 150, 162,

173, 174, 181, 195, 228, 234,

84, 14, 17, 18, 25, 30, 31, 41,

42, 53, 54, 65, 74, 75, 81, 84,

87, 131, 140, 141, 143, 150, 162,

173, 174, 181, 195, 228, 234