perwakilan universitas internasional al Musthafa di indonesia
Sayyid Yahya Yatsrebi - سرشناسه: یثر بی ، سید یحیی ،- 1321
عنوان قراردادی : پژو هشی در نسبت دین و عرفان. اندونزیایی
Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud Dalam Ontologi Dan Antropo : عنوان و نام پدیدآور
penerjemah Muhammad Syamsul Arif logi, Serta Bahasa Agama/;
Sayyid Yahya Yatsribi.
Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, : مشخصات نشر
1393 = 2014.
21 س م. /5×14/ مشخصات ظاهری: 280 ص .؛ 5
13 93/ فروست اصلی : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم؛ 163 پ/ 25 6
فروست فرعی : نمایندگی المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم در اندونزی؛ 2
978-964-195-01 6- شابک : 5 وضعیت فهرست نویسی : فیپا
یادداشت : اندونزیایی.
موضوع : عرفان -- جنبه های مذهبی
شناسه افزوده : شمس عارف، محمد، مترجم
Muhammad Syamsul Arif,Muhammad : شناسه افزوده
شناسه افزوده : جامعةالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم العالمیة. مرکزبین المللی ترجمه و نشرالمصطفی صلی الله علیه و آله وسلم
Almustafa International University Almustafa International : شناسه افزوده
Translation and Publication center
رده بندی کنگره: BP 4049515 پ 2ی/ 286 1393
رده بندی دیویی: 297/83
شماره کتابشناسی ملی : 3649481
p:1
p:2
Sayyid Yahya Yatsribi
pusat penerbitan dan
penerjemahan internasional al Musthafa
penerjemah:
Muhammad Syamsul Arif
Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud
Dalam Ontologi Dan Antropologi, Serta Bahasa Agama
Agama Dan Irfan Wahdat Al Wujud Dalam Ontologi Dan Antropologi,
Serta Bahasa Agama
penulis: Sayyid Yahya Yatsribi
penerjemah: Muhammad Syamsul Arif
cetakan: pertama, 1393 sh / 2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-016-5
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
p:3
Stores:
IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
مؤلف: سید یحیی یثربی
مترجم: محمد شمس عارف
چاپ اول: 13 93 ش / 2014م
چاپخانه: نارنجستان
ناشر: مرکز بی نالمللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله وسلم
تیراژ: 300
قیمت: 130000 ریال
پژوهشی در نسبت دین و عرفان
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
p:4
Pangantar IICT
Bab 1: Pendahuluan 1
1. Definisi 1
1.1. Islam 1
1.2. Irfan Islami 5
a. Wahdat al-Wujûd 5
b. Gerak Turun-Naik Wujud 6
c. Suluk dan Mujahadah 6
d. Fana 7
e. Penyingkapan (Kasyf) dan Intuisi (Syuhûd) 7
f. Riyadhah 8
g. Cinta dan Kasih Sayang 8
h. Rahasia dan Simbol 9
2. Sejarah Kemunculan Tasawuf Islami 10
2.1. Periode Faktor Penyiap Lahan 11
2.2. Periode Tunas 15
2.3. Periode Perkembangan dan Penyebaran 15
2.4. Periode Sistematisasi dan Kesempurnaan 16
2.5. Periode Penjelasan dan Pengajaran 17
Bab 2: Antara Agama dan irfan 21
1. Para Penentang Irfan 21
2. Para Pembela Tasawuf 32
AGAMA dan IRFAN Wahdat Al Wujud dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama
p:vi
p:5
Bab 3: Sumber Makrifat 45
1. Sumber Makrifat Agama 45
2. Sumber Makrifat Irfan 47
3. Perbandingan dan Komparasi 49
3.1. Kesadaran Diri dan Penggapaian Makrifat 49
3.2. Pengajaran atau Pengalaman 51
3.3. Apakah Sumber Makrifat di Dalam atau Luar Diri
Manusia? 52
3.4. Bahasa Al-Qur’an, Bahasa Masyarakat Umum 55
3.5. Kerumitan dan Kemudahan Masalah 55
3.6. Keambiguan atau Kegamblangan 57
3.6.1. Agama 57
3.6.2. Irfan 59
Bab 4: Ontologi Agama dan Irfan 63
1. Ontologi Agama 63
2. Ontologi Irfan 64
3. Perbandingan dan Komparasi 66
3.1. Dzat dan Sifat Sumber Utama Alam Semesta 66
3.2. Realitas Alam Semesta 74
3.3. Motivasi Penciptaan 76
3.4. Kemunculan Alam Semesta 78
3.4.1. Penciptaan 78
3.4.2. Tajallî dan Manifestasi 80
3.5. Hari Akhir (Ma‘ad) 82
Bab 5: Antropologi Dalam Agama dan Irfan 85
1. Tujuan Penciptaan Manusia 85
2. Hakikat Manusia 89
3. Taklif Manusia 96
3.1. Tujuan Taklif dan Mengamalkan Taklif 96
3.2. Sumber Taklif 100
p:vii
p:6
Daftar Isi
3.3. Tolok Ukur Taklif 102
3.4. Penopang dan Penggerak Amal 104
3.5. Buah Melaksanakan Taklif 106
4. Akhir Kehidupan Manusia (Ma‘ad) 106
4.1. Perpindahan atau Kelahiran Dua Kali 106
4.2. Dunia dan Akhirat, atau Lahir dan Batin 109
Bab 6: Hidayah dan Hikmah Pengutusan Nabi 111
1. Keharusan Pengutusan Nabi 112
2. Substansi Kenabian 117
2.1. Substansi dan Kepribadian Nabi 117
2.2. Proses Penurunan Wahyu 123
3. Prinsip Khatamiyah dalam Pandangan Agama dan Irfan 130
3.1. Definisi Khatamiyah 130
3.2. Konsekuensi Logis Prinsip Khatamiyah 132
a. Penambahan Taklif 133
b. Keguguran Taklif 134
c. Perubahan Hukum 139
3.3. Dua Masalah Pemicu Pertikaian 142
a. Kenabian Ta‘rîf 142
b. Keunggulan Wilâyah atas Kenabian 144
Bab 7: Etika dan Amal dalam Irfan dan Agama 147
1. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia 147
a. Ketidakmampuan Manusia 149
b. Kebebasan dan Ikhtiar Manusia 149
c. Kemampuan Manusia 150
2. Tujuan Akhir Akhlak dan Amal 151
3. Sumber-Sumber Nilai Etis dan Praktis 152
4. Penggerak Akhlak Mulia dan Amal Salih 153
5. Amal Agamis dan Amal Irfani 154
AGAMA dan IRFAN Wahdat Al Wujud dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama
p:viii
p:7
5.1. Akhlak dan Amal Personal 154
5.2. Akhlak Familial 154
5.3. Akhlak dan Amal Sosial 155
1. Toleransi terhadap Agama dan Aliran-Aliran
yang Lain 161
2. Toleransi dengan Orang-Orang Berdosa 164
3. Kurang Mempedulikan Bahasa dan Penjelasan 164
Bab 8: Khilafah dan Wilayah dalam pandangan Agama dan Irfan 167
1. Kontinuitas Wilâyah setelah Kenabian Ditutup 172
2. Anugerah Makrifat Senantiasa Ada Selama Wali
Masih Ada 172
3. Keramat Para Wali, Kelanjutan Mukjizat Para Nabi 175
4. Tingkatan Para Ulama dan Wali 180
bab 9: Bahasa Agama dan Irfan 183
1. Peran Bahasa dalam Proses Transfer Makna 183
2. Bahasa Irfan 186
2.1. Hubungan Kata dan Makna dalam Makrifat Intuitif 190
a. Tingkatan-Tingkatan Wujud 1 90
b. Kesesuaian Pemahaman dan Tingkatan Wujud 1 91
c. Transfer Makna ke Kata 1 9 2
2.2. Konsekuensi dan Efek Seluruh Fondasi di Atas 194
a. Hubungan Makna, Kata, Hakikat, dan
Bahasa Isyarat 1 9 4
b. Kemunculan Ungkapan Bahasa Isyarat 197
c. Klasifikasi Isyarat 200
2.3. Dari Teks ke Makna, Takwil, dan “Isyarat Ungkapan” 206
a. Tingkatan dan Peringkat Wujud 207
b. Perbedaan Kondisi Batin (Hâl) 208
p:ix
p:8
c. Keberagaman Alasan (Munâsabah) dalam
Penggunaan Bahasa Isyarat 209
3. Bahasa Wahyu 212
Bab 10: Kesemipulan dan Apendiks 221
1. Irfan yang Mana; Agama yang Mana? 221
2. Irfan dan Agama, Sebuah Realita Lain 225
a. Wahdat al-wujûd 225
b. Prinsip Cinta Kasih 225
c. Fana 226
d. Intuisi dan Makrifat Intuitif 227
3. Irfan, Sebuah Aliran yang Terbuka 230
4. Tugas Masyarakat Agama Menghadapi Ajaran Irfan 235
4.1. Irfan Tidak Mengganggu Keberagamaan dan Proses Berpikir 235
4.2. Irfan Bukan Taklif Ilahi, tetapi Pilihan Manusia 237
4.3. Daya Tarik Irfan 238
4.4. Efek Positif Irfan 240
4.5. Irfan, Sebuah Kemungkinan yang Tidak Logis
Diabaikan 242
5. Persoalan Irfan di Masyarakat Kita 244
5.1. Penentangan Para Ulama dan Kaum Agamis 244
5.2. Mengagamakan Irfan 245
5.3. Teorisasi Irfan 247
5.4. Irfan dan Hermitage 249
5.5. Irfan, Bukan Milik Semua Orang 250
DAFTAR PUSTAKA 255
INDEKS 259
IKLAN BUKU 267
p:x
p:9
Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan
memulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah paradigma
pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemikiran
sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe, yakni
tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius. Kaum
tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas, menghadapi
berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi sebagai
prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.
Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas
secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan
reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang kompatibel
dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam paradigma
ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.
Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada posisi
diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian rupa hingga
dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas dan pemiki-ran
modern, mereka menempatkan modernitas sebagai nilai prinsipal
dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai dengan konsepkonsepnya.
Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul dalam
bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan, paradigma
modernisme justru pada gilirannya berujung pada negasi
total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan paradigma
humanisme serta mendukung dominasi sekularisme dalam seluruh
aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini, Modernisme
religius–dan terutama paradigma Pemikiran Pembaruan–tampil
konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi sebagai prinsip sepanjang
pergaulannya dengan konsep-konsep modernitas, sekaligus
berupaya mendekonstruksi dan mereproduksi pemikiran baru
p:xiii
p:10
dengan cara menyaring konsep-konsep modernitas dengan
filter tradisi. Dalam mekanisme inilah terma-terma seperti:
kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi agama menemukan
makna khasnya dibanding dengan kebebasan, demokrasi, dan
keadilan sosial se-bagaimana yang dipahami dalam paradigma
modern.
Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran
Pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut
pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai
kebenaran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini pula,
tentu saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan reproduksi
pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya,
ekonomi, politik, dan sosial.
Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendistribusikan
lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar penerbitan
di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis
sekularisme dan humanisme sebagai dua pandangan dunia
yang dominan di Barat, karya-karya ini juga dengan kekuatan
kritis yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma
kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran
baru di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam
dan basis-basis yang aksiomatis dan logis.
Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad
DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE
AND THOUGHT (IICT)
p:xiv
p:11
1. Defnisi
Dalam upaya komparasi agama antara “agama” dan “irfan”, fokus penelitian akan berkisar pada “agama Islam” dan “irfan Islami”. Melalui fokus ini pula dua terminologi ini akan dianalisis letak perbedaan masing-masing.
Islam adalah agama yang berlandaskan pada tiga asas fundamental:
o Tauhid.
o Kenabian.
o Hari Akhir.
Berdasarkan asas Tauhid, tidak ada pencipta, penguasa, dan layak
disembah kecuali Allah; lâ ilâha illa-Allâh.(1)1 Dalam seluruh ajaran Al-Qur’an, setiap keyakinan terhadap sekutu dan tuhan yang lain dianggap
sebagai kesalahan, penyelewengan, dan satu-satunya dosa yang tak
terampuni.(2)
p:1
Tuhan Yang Maha Esa adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui,
Mahakuasa, Mahahidup, Maha Berkehendak, Maha Mendengar, dan
Maha Melihat. Dia murni dari setiap sifat yang ada pada makhluk,
karena tidak ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya(1) dan tidak
satupun yang sebanding dengan-Nya.(2)
Dari asas Tauhid, para ulama menyimpulkan keesaan dan ketiadaan
sekutu bagi Tuhan dalam penciptaan, serta kelayakan-Nya disembah
dan ditaati.(3)
Sementara asas Kenabian berfungsi sebagai fasilitas petunjuk bagi
manusia, menyempurnakan daya pemahaman mereka, dan menjamin
segala bentuk kebahagiaan spiritual dan material mereka. Untuk itu,
Allah mengutus para nabi dari bangsa mereka sendiri. Tugas para nabi
adalah menyampaikan perintah dan larangan Ilahi, menyelamatkan
umat manusia dari kesesatan dan keterpurukan.(4)
Dalam menentukan siapakah yang harus diangkat menjadi
seorang nabi, mayoritas Muslimin tidak menentukan syarat-syarat
tertentu. Satu-satunya faktor penentu dalam hal ini adalah kehendak
dan pilihan Allah,(5) “Dia mengkhususkan karunia-Nya kepada siapa saja
yang Dia kehendaki.”(6)
Pada umumnya, wahyu turun dengan cara Jibril membacakan
ayat kepada Rasulullah Saw dengan menggunakan Bahasa Arab.
Setelah mendengarkan bacaan ayat, beliau menghafalnya lalu
menyampaikannya kepada masyarakat. Para penulis wahyu menulis
ayat tersebut tanpa mengubah sedikit pun.
Bahasa dan penjelasan Al-Qur’an sangat tegas dan jelas.(7) Muhkamat
p:2
dan mutsyabihat(1) adalah sebuah masalah yang tidak ada
hubungannya dengan bahasa Al-Quran.
Para nabi adalah pribadi-pribadi maksum, tidak pernah salah
dalam menyampaikan wahyuu tidak pernah mengurangi atau menambah
kandungannya.(2)
Agama Islam adalah agama sempurna, menjelaskan segenap
hukum yang diperlukan tentang hal ihwal yang halal dan haram.
Selama dunia masih ada, hukum-hukum itu tetap valid.
Pada mulanya, manusia diciptakan dari tanah dan tinggal di dalam
surga, kemudian sebagai khalifah Ilahi. Karena sebuah “pelanggaran”
yang dipicu tipu daya setan, ia turun dari kehidupan surgawi ke dalam kehidupan
duniawi. Berkat inayah Ilahi, manusia dapat merasakan kasih sayang
Allah di dunia. Allah mengutus para nabi guna membimbingnya. Dengan
mengikuti perintah Ilahi dan tidak menentangnya, ia akan kembali ke
surga dan dijanjikan kenikmatan abadi. Sebaliknya dengan membangkang
dan mengingkari ayat-ayat Ilahi, ia kekal dibakar dalam neraka.(3)
Hari Akhir atau Maoad bersifat jasmaniah. Dalilnya, kemampuan
Ilahi untuk mematikan dan menghidupkan.(4)
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami dan ia lupa kepada kejadiannya, ia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang
yang telah hancur luluh itu, ” Katakanlah, “Tulangbelulang
itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya
Al-Qur’an yang memberi penjelasan(QS. Al-Hijr [15]: 1), kitâbun mubîn; sebuah kitab
yang memberi penjelasan (QS. Saba’[34]: 3, Al-Ma’idah [5]: 15, dan Al-An‘am [6]:59),
albalâgh al-mubîn; penyampaian yang jelas (QS. Al-Ma’idah [5]:92, Al-Nahl [16]:103, dan
Al-Syu‘ara’ [2 6]: 1 95), al-kitâb al-mubîn; kitab yang memberi penjelasan (QS. Yusuf[12
]: 1, Al-Syu‘ara’ [2]6:2), ‘arabiyyun mubîn; bahasa Arab yang terang (QS. Al-Nahl [16]: 103
dan Al-Syu‘ara’ [26]: 195, âyâtun bayyinât; ayat-ayat yang jelas (QS. Al-Baqarah [2]: 99 dan Al
Imran [3]: 67. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan lain dengan kandungan yang sama.
p:3
kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala
makhluk.”( QS. Yasin [36]: 78-79).
Para teolog Islam meyakini bahwa ma‘ad yang sesuai dengan ajaran
Al-Qur’an hanyalah ma‘ad jasmaniah.(1)
Kenikmatan di surga dan siksa di neraka Jahanam dapat dipahami
dengan mudah melalui kandungan Al-Qur’an. Kenikmatan surgawi
berhubungan dengan makanan, pakaian, perhiasan, bidadari, istana,
dan para pelayan. Sedangkan, siksa dan seluruh jenis kesakitan
terjelma dalam beberapa bentuk, seperti terbakar dalam api, air panas
dan berbau busuk yang dituangkan ke dalam tenggorokan, tangan dan
kaki yang diikat dengan rantai, makan buah Zaqqûm, dan minuman
menjijikkan yang bercampur dengan air mendidih.(2)
Taat (kepada aturan Ilahi) pun adalah sebuah kewajiban yang harus
dilaksanakan sesuai dengan kemampuan setiap insan. Barangsiapa
tidak mampu melaksanakan tugas Ilahi, tugas ini gugur dari pundaknya.
Syariat Islam adalah sebuah syariat yang tidak sulit dan tidak pula
mempersulit.(3)
Selama seseorang belum mencapai usia baligh, ia tidak dibebani
kewajiban dan tugas apa pun. Setelah mencapai usia baligh, ia baru
dibebani kewajiban dan tugas yang harus dilaksanakan dalam sehari
semalam dan juga tahunan. Akan tetapi, kewajiban dan tugas tersebut
sangat terbatas. Sebagian kewajiban dan tugas hanya diwajibkan dalam
kondisi tertentu dan dengan syarat-syarat khusus, seperti zakat yang
hanya diwajibkan apabila penghasilan yang ia peroleh sudah mencapai
kadar tertentu (nishâb). Begitu pula ibadah haji yang diwajibkan
apabila ia mampu. Atau jihad yang diwajibkan dalam syarat dan situasi
tertentu.
p:4
Pada dasarnya, irfan memiliki dua sisi: satu sisi berada di balik konsepsi
(idrâk) lahiriah kita yang secara hakiki ada dan tidak berbilang (tunggal),
dan sisi yang lain berada dalam ruang lingkup konsepsi lahiriah kita
yang secara hakiki tidak ada; sisi ini hanyalah manifestasi berbilang
dan beraneka ragam dari hakikat yang tunggal. Persepsi ini terbentuk
dari:
Wahdat al-wujûd berarti maujud yang tunggal tersebut adalah realita
yang prinsipal (ashâlah). Ini berarti maujud-maujud yang lain hanyalah
manifestasi wahmî dari wujud yang tunggal itu.(1)
Fondasi ini yang dari sejak kemunculannya di kalangan sufi
dipaparkan dengan ungkapan beraneka ragam, terlalu rumit (sukar
dipahami) dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Mengenai kerumitannya, tidak dapat digambarkan dan dicerna
oleh akal. Sebab, pada dasarnya pengetahuan irfan bersifat eksklusif;
yakni pengetahuan intuitif penyaksian (syuhûdî), tidak dapat dicerna
oleh akal dan pikiran manusia. Untuk menggapainya diperlukan mata
batin. Mata batin tidak mungkin dapat diperoleh kecuali setelah kita
melintasi batas konsepsi lahiriah dan egoisme personal.
Adapun ketidaksesuaiannya dengan ajaran Islam, dalam ajaran
Islam, Allah dan makhluk adalah dua realitas yang terpisah; Yang
Pertama adalah pencipta yang kedua. Padahal, dalam ajaran irfan,
universum adalah manifestasi (zhuhûr) Dzat Yang Maha Haqq. Dengan
ungkapan lain, universum adalah Dzat Yang Maha Haqq itu sendiri
(‘ayn al-haqq).
p:5
Dalam persepsi para arif, hakikat wujud, berdasarkan konsep gerak
dan kecenderungan cinta, melewati aneka ragam tingkatan gerak menurun
(tanazzulât) sampai kepada manusia. Kemudian, dari manusia
dan dalam diri manusia, gerakan menaik dimulai dan hakikat wujud
melewati seluruh tingkatan di atas hingga sampai ke titik permulaan
yang asli. Gerak turun dan naik ini digambarkan dengan dua bentuk
busur yang saling berhadapan: busur gerak menurun (qaws nuzûlî)
dan gerak busur menaik (qaws shu‘ûdî).
Ketika ingin kembali ke titik permulaan, manusia harus mengarungi
perjalanan dari alam ketercerai-beraian dan keberbilangan (farq wa katsrah)
hingga ke alam kemanunggalan dan kesatuan (jam‘ wa tawhîd).
Jarak itu dinamakan tarîq (jalan), sedangkan adab dan tata krama (yang
harus dilakukan selama perjalanan) disebut tharîqah (tarekat). Manusia
adalah seorang salik (penempuh tarekat) dan tujuan akhirnya adalah
hakikat. Jika salik ingin menggapai hakikat dan fana dalam hakikat
tanpa inayah Ilahi, ia perlu bermujahadah dan melakukan riyadhah.
Manusia merupakan maujud yang secara potensial (bi al- quwwah)
adalah seluruh universum. Manusia punya potensi untuk berkembang
dari titik nol menjadi maujud yang tidak berbatas; dari sebuah benda
mati menjadi maujud Ilahi. Karena wujud manusia adalah kawn jâmi‘
(makhluk yang komprehensif), ia adalah manifestasi sebuah hakikat
di mana universum secara keseluruhan adalah manifestasinya.
Universum dengan keseluruhannya adalah satu orang manusia, dan
satu orang manusia adalah satu universum.
p:6
Tidak seorang pun dapat menempuh jalan menuju haribaan Ilahi,
selama ia belum menggapai tingkatan fana.
Meskipun menggapai cinta Ilahi adalah kekal nan abadi,
tetapi pada mulanya diselimuti oleh kefanaan dalam kefanaan.
Apakah mikraj malakut? Bukanlah ini,
para pecinta tidak mengenal agama manapun
Maulana Rumi
Manusia berada di alam ketercerai-beraiaan (farq). Dalam kondisi
seperti ini, sarana makrifat hanyalah indera dan akal. Indera dan akal
berhubungan dengan sisi lahiriah alam. Karena sisi lahiriah berbilang
dan tercerai-berai (mutakatstsir wa mutafarriq), akal dan indera
diformulasi sesuai dengan format keberbilangan (katsrah). Dalam
pandangan indera dan akal, seluruh maujud memiliki realita masingmasing
dan bersifat sebenarnya. Tetapi, ketika salik sampai kepada
kedudukan “kemanunggalan” (jam‘), baik melalui inayah Ilahi maupun
dengan cara mujahadah dan suluk, ia akan menggapai makrifat intuitif
dan berada dalam sisi lain alam ini yang tidak ada keberbilangan di
sana dan tidak akan ditemukan maujud-maujud yang berbilang dan
beraneka ragam. Wujud dan jati diri salik sendiri akan sirna dan
tirai keakuan akan lenyap. Hal ini adalah realita yang tidak dapat
digambarkan atau dicerna oleh akal dan pikiran kita.
Setelah menggapai fana dan melewati batas wujud (ta‘ayyun) yang
beraneka ragam, seorang arif berhasil menempuh jalan dari titik
benda mati hingga titik yang tidak terbatas. Setiap tahap dalam
perjalanan kesempurnaan di tingkatan wujud, ia akan memperoleh
keistimewaannya. Dalam perjalanan menaik (sayr shu‘ûdî), setelah
melewati alam ketercerai-beraian, ia akan berhadapan dengan makrifat
p:7
baru (dzât wa kaifiyyah), yang kualitasnya seperti fana itu sendiri tidak
dapat digambarkan oleh akal dan pikiran kita. Dalam makrifat intuitif,
tidak ada istilah keberbilangan; orang yang mengetahui dan objek
yang diketahui (‘âlim wa ma‘lûm) bukan dua realita berbeda. Makrifat
intuitif sama sekali berbeda dengan ilmu lahiriah. Ia bukan termasuk
kategori ilmu hushûlî dan bukan pula ilmu hudhûrî. Para arif menyebut
jenis ilmu semacam ini dengan nama “ilmu hakiki” dan jenis ilmu
yang lain dengan nama “ilmu nonhakiki”.
Para arif sepakat, seorang salik dapat menggapai kesempurnaan diri
yang hakiki dengan jalan riyadhah. Makrifat intuitif adalah hasil dari
amal. Ajaran irfan bukanlah teori, tetapi ajaran suluk dan usaha. Dengan
melaksanakan latihan yang melelahkan, ajaran ini dapat membawa
manusia dari tingkatan yang beraneka ragam dan menyampaikannya
kepada kedudukan fana, tauhid, penyingkapan (rahasia Ilahi), dan intuisi.
Ajaran irfan, dalam satu ungkapan singkat, adalah sebuah upaya
yang tidak kenal lelah untuk mati dengan pilihan sendiri, “membunuh
diri,” dan mengorbankan diri. Mati dengan pilihan sendiri yakni mati
dari dunia materi. Bunuh diri yakni memberangus seluruh pembatas
diri dan membebaskan wujud kita dari batasan-batasannya. Hasilnya
adalah kelahiran yang kedua di dunia lain dalam bentuk manusia lain
dan alam lain.
Ketahuilah, sangatlah mudah bila singa ingin porandakan barisan
hanya singa sejati adalah yang dapat menaklukkan diri.
Maulana Rumi
Cinta dan kasih sayang adalah salah satu unsur penting irfan Islami.
Faktor utama untuk tajallî dan busur gerak menurun, serta untuk fana
p:8
dan busur gerak menaik adalah cinta dan kasih sayang. “Manusia dan
malaikat adalah pembakti dalam universum cinta”.(1) Sedangkan seluruh
salik dan arif adalah pengikut sejati ajaran cinta.
Aku mengikuti agama cinta ke manapun karavannya pergi;
cinta adalah keimananku yang sejati.
Ibnu Arabi
Cinta dalam tajallî Dzat Yang Maha Haqq dan kemunculan manifestasi
penciptaan, penghambaan, proses kembali, dan dalam pandangan
para arif memiliki peran fundamental. Cinta adalah hakikat yang
tidak dapat digambarkan dan tidak pernah berakhir. Cinta adalah seni
bangsa manusia. Cinta adalah kekuatan. Para malaikat yang berada di
alam qudsi sekali pun tidak dapat memperagakan cinta.
Malaikat tak kenal rahasia cinta,
jangan kisahkan cinta kepadanya;
Ambillah sebuah piala dan air bunga,
siramkanlah di depan kaki manusia.
Hafizd
Irfan dengan seluruh aneka ragam bentuknya, di kalangan kaum dan
umat yang berbeda-beda, selalu membawa tema “rahasia dan simbol”.
Kerahasiaan ini timbul dari realitas bahwa makrifat irfani tidak
dapat diungkapkan. Simbol diperlukan karena para arif ingin menceritakan
makrifat, mereka harus menceritakannya dengan bahasa simbol
dan isyarat. Rahasia tidak dapat diceritakan karena dua alasan:
Pertama, dalam tarekat, rahasia tidak boleh diungkap, karena
dapat mengundang penentangan dan permusuhan masyarakat awam
dan kaum fanatik terhadap seorang arif, dalam kaidah tarekat juga
dinilai
p:9
sebagai sebuah kesalahan dan kekufuran yang dapat mengakibatkan
siksa dan teguran keras;
Kedua, hakikat intuitif dan makrifat irfani tidak dapat dipindahkan
atau dialihkan kepada orang lain. Substansi makrifat membuat dirinya
tidak dapat diceritakan. Setiap kali mereka berusaha menceritakannya,
mereka tetap tidak mampu membuka mulut.
Betatpun segenap usahaku jabarkan cinta;
ketika aku cecap cinta malulah aku darinya.
Hafizd
Perlu kami ingatkan, maksud dari irfan Islami adalah dalam
bentuknya yang sempurna dan final, bukan setiap penisbatan atau
sebagian darinya. Tidak berbeda pula, apabila kita ingin berbicara
tentang ilmu Fisika, kita harus mengambil bentuk yang sempurna dan
final, bukan sebagian penisbatan, sedikit pembahasan, atau masalah
tertentu dalam ilmu tersebut. Kami ingin memaparkan sejarah
kemunculan dan kesempurnaan irfan di dunia Islam pada pembahasan
berikut ini.
Bagaimana irfan Islam muncul dan berkembang menjadi sempurna,
kami akan membahasnya dalam lima periode:
a. Periode faktor penyiap lahan.
b. Periode tunas.
c. Periode perkembangan dan penyebaran.
d. Periode sistematisasi dan kesempurnaan.
e. Periode penjelasan dan pengajaran.
p:10
Apakah yang menjadi faktor munculnya tasawuf Islami? Apakah faktor
agama Islam, Kristen, ajaran India, peninggalan NeoPlatonisme, ajaran
para filosof Persia Kuno, ataukah faktor lain?
Setelah bertahun-tahun melakukan kajian dan penelitian, dapat
kami simpulkan sebagai berikut:
Pertama, dalam ajaran dan sumber utama agama Islam (Al-Qur’an
dan Sunah), tidak ada ajakan yang tegas dan bersifat langsung untuk
bertasawuf; kedua, tasawuf memiliki korelasi erat dengan kezuhudan.
Dapat diasumsikan, zuhud Islami adalah dasar ajaran tasawuf; ketiga,
tidak diragukan bahwa tasawuf Islami terpengaruh ajaran agama dan
aliran-aliran di sekitarnya; mulai dari agama Kristen, NeoPlatonisme,
agama Hindu, pemikiran bangsa Persia, hingga Yunani kuno.(1)
Dalam buku Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, Ibn Sina memaparkan
definisi abid, zahid, dan arif. Menurut Ibn Sina, seorang abid, di
samping mencari kebahagiaan ukhrawi, juga memanfaatkan kelezatan
duniawi dalam batas yang diperbolehkan dan halal. Zahid, karena
khawatir kehilangan akhirat, ia meninggalkan seluruh kelezatan
duniawi. Arif tidak menginginkan dunia dan tidak pula akhirat. Ia hanya
menginginkan Dzat Yang Maha Haqq dan cinta kepada keindahan Dzat
pemberi cawan kebahagiaan yang abadi itu.20
Meskipun Ibn Sina tidak memaparkan lebih luas, tetapi kita
dapat dapat memetik sebuah kesimpulan bahwa konsep ibadah,
zuhud, dan irfan berada dalam posisi berurutan, vertikal dan saling
p:11
menyempurnakan. Sangat lumrah apabila zuhud dalam proses
perjalanan menggapai kesempurnaan dapat melahirkan irfan.
Ada beberapa faktor yang layak diperhatikan sehubungan dengan
kemunculan dan kesempurnaan zuhud:
a. Ajaran Al-Qur’an.
b. Sunah Nabawi.
c. Sirah Rasulullah Saw dan sahabat serta keluarga beliau.
d. Kebencian Muslimin kepada praktik cinta dunia oleh dinasti Bani
Umaiyyah dan Abbasiyyah.
Hal utama dalam zuhud Islami adalah mementingkan akhirat atas
dunia dan sudah kita ketahui bersama betapa sulitnya mengelola kedua
hal ini. Banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan supaya akhirat lebih
diutamakan atas dunia, seperti ayat yang berbunyi: “Katakanlah bahwa
harta dunia sangatlah sedikit dan akhirat adalah lebih baik bagi orang
yang bertakwa” (QS. Al-Nisa’ [4] :77). Puluhan ayat Al-Qur’an yang lain
menekankan bahwa dunia dan akhirat tidak dapat digabungkan. Dua
ayat berikut ini membuktikan realita ini dengan sangat gamblang:
Barangsiapa menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bagian pun di akhirat (QS. Al-Syura [42]: 20).
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka
(seraya dikatakan kepada mereka). ‘Kamu telah menghabiskan
rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu
telah bersenang-senang dengannya.’” (QS. Al-Ahqaf [46]: 20).
Ayat terakhir ini sangat mempengaruhi para sahabat Rasulullah
Saw. Mereka berkumpul di rumah Utsman bin Mazh‘un dan kemudian
mengambil keputusan meninggalkan hiruk-pikuk dunia dan hanya
memberi perhatian kepada kehidupan akhirat.
p:12
Dalam Sunah Rasulullah Saw, kontradiksi antara dunia dan akhirat
seringkali ditekankan. Sebagai contoh, “Dunia adalah haram bagi ahli
akhirat dan akhirat adalah haram bagi ahli dunia.”(1)
Pada umumnya, dalam buku-buku hadis dibuka sebuah pasal
tersendiri yang memaparkan pembahasan tentang cela terhadap
dunia dan larangan untuk mencintainya. Hal ini menyebabkan
sebagian Mukminin dari awal masa Islam menjauhi dunia dan lebih
memilih hidup dalam kesulitan dan kefakiran. Dari kalangan mereka
muncullah beberapa kelompok yang dikenal dengan nama qurrâ’
(ahli Al-Qur’an), bakkâ’în (orang-orang yang senantiasa menangis
karena mengingat dosa), dan ‘ubbâd (para penyembah Allah). Tidak
diragukan lagi, kehidupan pribadi Rasulullah Saw, sebagian sahabat,
dan keluarga beliau, seperti Imam Ali as dan Sayidah Zahra as, adalah
kehidupan yang dipenuhi oleh ‘kesulitan’ dan kezuhudan. Sekelompok
sahabat dan tabiin menjadikan kehidupan pribadi mereka sebagai
model untuk kehidupan diri mereka. Mereka konsisten beribadah
meskipun dalam kondisi yang sangat miskin.
Pengaruh konsep zuhud terhadap kemunculan irfan tidak hanya
dimiliki oleh Muslimin. Dalam agama Yahudi dan Nasrani, fokus kepada
irfan kurang lebih juga terjadi karena perhatian terhadap konsep
zuhud dan ketakwaan.(2)
Almarhum Homai berkeyakinan, faktor kemunculan tasawuf
adalah konsep zuhud dan nilai ketakwaan.23(3)hi dunia, zuhud, dan
takwa adalah faktor kemunculan tasawuf pada abad kedua.(4) Paduan
konsep zuhud Islami dengan konsep-konsep yang lain, seperti ikhlas,
ridha, tawakal, dan lain-lain, begitu pula meneladani para maksum
as. adalah sumber utama kemunculan konsep tasawuf. Pandangan ini
tidak bertentangan dengan keyakinan akidah, tradisi para pengikut
p:13
agama, dan aliran-aliran pemikiran lain berpengaruh terhadap bentuk,
metode tasawuf, dan perkembangan konsep zuhud Islami menjadi
konsep tasawuf. Begitu pula, sebagian larangan yang ditunjukkan oleh
para imam maksum. berkenaan dengan praktik zuhud yang melampaui
batas bertujuan supaya Muslimin tidak meniru sunah dan tradisi kaum
nonMuslim.
Ketahuilah, kita harus memilah dan memisahkan masalah seperti
ketidakberartian dunia dibandingkan akhirat, ajakan untuk ikhlas dan
tawakal, anjuran memerangi hawa nafsu, dan lain-lain; beberapa faktor
pemicu kemunculan tasawuf dan irfan Islami, dari masalah-masalah lain
yang dengan usaha menakwilkan Al-Qur’an dan Sunah diaplikasikan
terhadap Islam. Hal ini karena kaum sufi dan arif pada periode berikutnya
berusaha mengaplikasikan ajaran dan keyakinan mereka terhadap Islam
dengan cara menakwilkan dan menafsirkan ratusan ayat dan hadis.
Walau bagaimanapun, konsep zuhud Islami berperan sebatas
faktor penyiap lahan bagi kemunculan konsep irfan Islami. Jika kita
merujuk kepada lahiriah ajaran agama Islam, tidak akan ditemukan
fondasi ajaran-ajaran irfan. Kita harus memisahkan penakwilan yang
telah dilakukan pada periode-periode berikutnya itu dari indikasi tegas
dan lahiriah Al-Qur’an dan Sunah.
Pada kesempatan ini, kami ingin menjelaskan lebih lanjut:
Pertama, Ibnu Arabi dalam Fushûsh Al-Hikam memisahkan aliranaliran
irfan yang berlandaskan suluk dan riyadhah dari ruang lingkup
agama-agama samawi. Ia menamakan aliran-aliran irfan dengan nama
“agama insani” dan agama-agama samawi dengan nama “agama Ilahi”.
Meski termasuk salah seorang tokoh irfan Islami, Ibnu Arabi mengakui
bahwa agama terpisah dari irfan; kedua, Ibnu Arabi berkeyakinan
bahwa irfan dibuat oleh tangan manusia, akan tetapi ia menganjurkan
kita untuk mengikutinya, dan meyakini bahwa menjaga kaidah dan
garis-garis besar ajarannya dapat mengundang keridhaan Allah.
Sebagaimana Ibnu Arabi, kami pun dengan tegas meyakini bahwa
p:14
irfan adalah ajaran yang terpisah dari agama, tetapi kami tidak pernah
bermaksud menafikan dan melarang irfan. Bahkan, kami berkeyakinan
bahwa irfan bermanfaat bagi kesempurnaan dan pendidikan manusia.
Periode di mana sebagian ajaran tasawuf dikemukakan oleh tokoh yang
berbeda-beda. Tasawuf dan irfan Islam, baik dalam jajaran teori maupun
praktis, belum terwujud secara teratur dan sempurna. Tetapi, konsep
tasawuf sendiri telah ada, dan pada periode berikutnya berkembang
menjadi sempurna.
Salah seorang tokoh masyhur Rabi‘ah Adawiyyah (w. 135 H). Ia telah
menggantikan konsep ikhlas dengan konsep cinta dan mencuatkan
konsep penyembahan terhadap Allah tanpa ingin meraih surga atau
karena takut terhadap neraka.(1)
Tokoh yang lain adalah Syaqiq Balkhi (w. 194 H). Ia mengutarakan
konsep ilmu ahwâl di daerah Khurasan.
Tokoh-tokoh yang lain adalah Ma‘ruf Karkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Darani (w. 215 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan
Dzunnûn Al-Mishrî (w. 245 H). Setiap tokoh mengisyaratkan sebagian
ajaran-ajaran tasawuf seperti konsep cinta, riyadhah, makrifat, rahasia,
dan tauhid.(2)
Dengan kemunculan tunas-tunas tersebut, metode irfan memiliki
nilai lebih dari konsep zuhud murni. Akibatnya, serangan-serangan
para fuqaha dan ulama terhadap para tokoh yang memilih jalan irfan
semakin keras.
Pada periode ini, hari demi hari, ajaran para arif semakin sempurna
dan ‘kaya’ sehingga para pengikut irfan bertambah banyak. Periode
ini bukanlah periode sistematisasi ajaran tasawuf. Periode ini
p:15
hanyalah periode perkembangan tasawuf. Pada periode ini, keinginan,
kerinduan, keimanan, dan resistensi para pengikut aliran tasawuf
sangat menakjubkan. Meskipun demikian, tasawuf masih bersifat ambigu
dan sangat sulit dicerna. Seakan-akan ajaran ini belum dikenal secara
detail oleh para pengikut setia dan pendahulunya.
Abu Yazid Basthami (w. 261 H) dengan ajaran-ajarannya yang sulit
dicerna, Sahal Tustari (w. 283 H), Junaid (w. 297 H), dan yang lebih
masyhur lagi, Husain bin Manshur Hallaj (w. 309 H), serta Syibli (w.
334 H), dan tokoh-tokoh yang lain adalah para figur arif dan masyhur.
Pada periode ini, ajaran-ajaran irfan semakin mengkristal
seperti fana, rahasia, makrifat intuitif, dan cinta termasuk
ajaran-ajaran asli para sufi.(1)
Ajaran tasawuf berkembang cukup pesat dan para pengikutnya kian
bertambah. Oleh karenanya, para tokoh tasawuf harus memenuhi dua
kebutuhan utama; dari satu sisi mereka harus memenuhi kebutuhan
para pengikut mereka dan dari sisi lain harus menjawab segala kritikan
yang ditujukan oleh para penentang tasawuf. Mereka mengambil
keputusan mensistematisasikan ajaran utama tasawuf, termasuk pembentuk
sistem teoritis dan praktisnya serta menjelaskan dan menata
ajaran tasawuf dengan rapi. Untuk menggapai tujuan ini, mereka
menulis buku dan risalah.
Sangat sulit menentukan buku yang ditulis pertama kali dalam
dunia tasawuf. Akan tetapi, menurut pandangan Harits Al-Muhasibi
adalah tokoh pertama yang menulis sebuah buku dengan judul Al-Ri‘âyah
li Huqûqillâh.(2) Biar bagaimanapun, buku-buku pertama tasawuf yang
masyhur adalah Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf
p:16
karya Al- Kulabadi (w. 380 H), Qût Al-Qulûb karya Abu Thalib Makki
(w. 386 H., dan Al-Luma‘ karya Saraj Thusi (w. 378 H.). Proyek ini
diteruskan oleh Sullami (w. 412 H), Hafizd Abu Nu‘aim (w. 430 H),
Qusyairi, dan Hujwairî pada abad V. Akhirnya mencapai puncak
kegemilangannya dengan karya-karya yang ditulis Abdullah Anshari
dalam tahap panduan praktis, Ghazali bersaudara dan ‘Ain Al-Qudhât
pada abad VI, kemudian dengan karya-karya Ibnu Arabi dan Maulawi
pada abad VII dalam tahap panduan teoritis dan praktis.(1)
Pada periode ini, dengan mensyarahi dan menafsirkan karya-karya
tulis para tokoh terdahulu serta menulis buku-buku baru, para tokoh
tasawuf ingin membidik dua tujuan: Pertama, berusaha lebih keras
mengutarakan fondasi, ajaran, dan tujuan-tujuan tasawuf dengan lebih
jelas; kedua, mewujudkan sistematika dalam ajaran teoritis dan praktis
tasawuf.
Kita dapat menemukan nama-nama tokoh seperti: Shadruddin
Qunawi (w. 676 H), Iraqi (w. 688 H.), AfifuddinTilimsani (w. 690 H.),
Jandi (w. 700 H), Farghani (w. 700 H), Mahmud Syabestari (w. 720 H),
Abdurrazzaq Kasyani (w. 736 H), Dawud Qaishari (w. 751 H.), Sayyid
Haidar Amuli (w. 877 H), Syah Ni‘matullah Wali (w. 834 H), Ibnu
Turkah Ishfahani (w. 835 H), Abdurrahman Jami (w. 898 H.), Lahiji,
Ibnu Hamzah Fanari, dan puluhan syaikh arif yang lain.
Irfan dan tasawuf Islami yang kita temukan pada masa ini adalah
hasil pengalaman dan ajaran para tokoh besar tersebut.
Ketahuilah, perjalanan kesempurnaan tasawuf dari satu segi,
berhubungan dengan sisi historis, dan dari segi lain, tidak terikat oleh
masa dan sejarah. Tidak berbeda dengan ilmu Matematika. Ilmu ini
telah sampai pada tahap “paripurna” setelah melalui periode-periode
“primitifnya”. Tetapi, tidak berarti semua manusia pada masa kini
mengenal matematika dalam batas yang tinggi dan ideal. Mereka,
p:17
sekalipun anggota sebuah keluarga, memiliki tahap pengetahuan
matematika yang berbeda-beda. Begitu pula dengan irfan. Ilmu ini
telah mencapai kesempurnaan setelah rentang waktu beberapa abad.
Ini tidak berarti semua orang dapat mengaku sebagai arif yang memiliki
derajat irfan.
Kita harus melihat derajat irfan yang dimiliki para arif. Sangat
mungkin seseorang telah sampai pada tahap kesempurnaan tasawuf,
dan orang yang lain masih berada pada periode persiapan lahan atau
tunas tasawuf.
Dengan memperhatikan hal yang sangat sensitif ini, kita dapat
mencegah kekeliruan yang sering dilakukan oleh para peneliti berikut
ini:
a. Memisahkan para arif yang beraliran konsep wahdat al-wujûd
dari para arif yang beraliran konsep wahdat al-syuhûd (kesatuan
intuisi).(1)
b. Memisahkan irfan Ibnu Arabi dari irfan Maulawî.
c. Klasifikasi irfan kepada irfan yang mengandalkan ibadah dan irfan
yang mengandalkan cinta.
Padahal, wahdat al-wujûd dan wahdat al-syuhûd hanyalah dua
tingkatan tauhid, bukan dua pandangan yang saling bertentangan. Ibnu
Arabidan Maulawî saling berbeda hanya dalam silsilah dan hermitage,
bukan dalam prinsip dan makrifat irfani. Selanjutnya, ibadah dan zuhud
termasuk lahan-lahan penyiap kemunculan tasawuf, bukan bagian
tasawuf. Begitu pula, kritik seorang arif besar Syiah yang bernama
Sayyid Haidar Amuli terhadap Ibnu Arabi muncul dari perbedaan yang
ada antara mazhab Syiah dan Ahli Sunah, bukan dari perbedaan dalam
prinsip utama tasawuf.(2)
Salah satu tindakan yang paling menarik, tetapi tidak beralasan
adalah membenturkan irfan dengan tasawuf. Padahal, dalam seluruh
p:18
teks dan karya tulis para tokoh besar irfan, arif, sufi, irfan, dan tasawuf
digunakan dalam satu arti. Dua titel ini digunakan secara bersamaan
untuk kelompok dan aliran tersebut sejak abad II H.(1) Faktor yang
mendorong sebagian orang memisahkan irfan dari tasawuf adalah
karena mereka melihat para tokoh yang mereka kagumi menerima
irfan. Tetapi, dari sisi lain, mereka juga melihat para ulama tidak
memiliki pandangan yang baik tentang tasawuf. Akhirnya, dengan
usaha pemisahan yang tidak beralasan ini, mereka ingin membebaskan
para tokoh yang mereka kagumi dari problematika yang dimiliki oleh
tasawuf.
Di penutup pembahasan ini, kami ingin menekankan, irfan dan
dan tasawuf Islami hasil dari periode kesempurnaan, sistematisasi
penjelasan dan pengajaran. Kami tidak memerlukan periode dan acuan
irfan yang tidak sempurna.
Kami juga perlu mengingatkan beberapa poin berikut ini:
o Dalam membahas keyakinan dan ajaran para arif, seperti wahdat alwujûd,
fana, kenabian, wilâyah, dan ajaran-ajaran yang lain, kami
menghindari pengulangan penukilan pernyataan guna mencegah
ketebalan halaman buku yang tidak berarti. Sebagai contoh, jika
kami telah menukil pernyataan Qaishari tentang masalah wahdat
al-wujûd, kami cukupkan dengan menukil pernyataan itu saja, dan
tidak menyebutkan pendapat para pensyarah dan arif yang lain.
Hal ini semestinya sangat mudah dilakukan. Tetapi, halaman buku
ini akan bertambah tebal dan tidak akan berguna.
o Dalam menukil pandangan agama, kami menghindari penukilan
pernyataan para ulama yang sama dan berulang-ulang, sekalipun
berkenaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunah. Meskipun
kami dapat menjadikan beberapa ayat dan hadis sebagai dalil
untuk sebuah masalah, kami cukup menukil satu atau dua ayat,
dan menghindari penukilan ayat dan hadis-hadis yang memiliki
kandungan yang sama.
p:19
o Kami berharap para pembaca yang budiman menelaah pernyataanpernyataan
penulis sebagai sebuah pandangan dengan teliti dan
penuh kesabaran. Sebelum usai menelaah buku ini, janganlah Anda
mengeluarkan vonis terlebih dahulu. Kami senantiasa menerima
setiap kritik dengan lapang dada. Buku ini adalah penelitian, bukan
propaganda atau penggembosan pandangan-padangan lain.
p:20
Antara Agama dan Irfan
Alangkah gamblangnya hubungan antara kebaikan dan takwa;
Sungguh berbeda antara tarian Va’z dan kidungan Rubab!
Hafizd
Dalam Menolah atau menerima irfan, umumnya para ulama tidak
memisahkan pokok bahasan irfan sehingga menerima sebagian atau
menolak sebagian yang lain. Mereka biasanya menerima atau menolak
irfan secara keseluruhan.(1)
Sebelum kita membahas dan melakukan komparasi antara ajaranajaran
agama dan irfan, selayaknya kita menelaah secara utuh realita
penerimaan dan penolakan irfan.
Sebagaimana telah disinggung sebelum ini, tasawuf muncul pada
pertengahan abad II H dan menjadi sebuah aliran pada pertengahan
abad IV H. Meski demikian, tasawuf sudah terkristalisasi pada abad VI
p:21
dan VII. H belum tercerna secara baik saat itu. Dari abad II hingga VI
H, para pengikut dan pendukung aliran tasawuf berkembang dengan
sangat pesat. Tetapi, para ulama, fuqaha, ahli hadis, dan mufasir secara
umum tidak merestui aliran tersebut. Sejak awal, mereka menganggap
tasawuf tidak berbeda dengan monasticisme (ruhbâniyyah) Kristen
yang dikecam oleh agama Islam. Mereka menolak tasawuf dengan
alasan bid’ah dan bertentangan dengan Sunah. Meskipun demikian,
irfan tetap tersebar secara luas karena beberapa faktor antara lain:
a. Klaim-klaim tasawuf sesuai dengan kebutuhan spiritual masyarakat
luas.
b. Ajaran-ajaran para arif sangat sederhana dan menyentuh perasaan,
serta memperhatikan sisi-sisi emosional dan insani masyarakat.
c. Ajaran tasawuf sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah, di samping
perhatian para arif terhadap zuhud positif sebagai satu satu ikatan
nilai yang dimiliki oleh agama dan irfan.
d. Keambiguan klaim-klaim tasawuf pada abad-abad pertama yang
dengan mudah dapat dikonfirmasikan dengan ajaran syariat.
e. Kejujuran dan ketegaran para mubaligh dan pendukung aliran
tasawuf. Mereka dengan penuh keberanian tetap tegar memegang
prinsip ajaran mereka sekalipun di tiang gantungan.
f. Sikap para ulama yang terlalu ekstrim.
Biar bagaimanapun, para ulama tidak pernah mundur dalam
menentang aliran yang baru muncul ini. Tidak hanya para ulama
mazhab Ahli Sunah, para Imam dan ulama Syiah pun menentang
dengan keras. Meskipun sebagian penulis dan peneliti ingin
menunjukkan bahwa tasawuf adalah salah satu ajaran dan keyakinan
yang bersumber dari Syiah, akan tetapi pada realitanya, para imam
maksum mazhab Syiah Imamiyah menentang dan melarang para
pengikut mereka untuk mengikuti aliran-aliran itu,(1) termasuk Imam
Shâdiq as. memproklamasikan penentangan dirinya.
p:22
Akan tetapi, pengikut aliran Syiah Isma‘iliyyah (Batiniah) muncul
bersamaan dengan kemunculan tasawuf dalam satu masa. Sulit
mengklaim bahwa ajaran-ajaran aliran Batiniah adalah pemberi ilham
para kaum sufi. Menurut hemat kami, kedua aliran (irfan dan Batiniah)
muncul karena satu faktor yang melahirkan keduanya.
Sekelompok peneliti dari negara-negara Arab mengikuti jejak para
Orientalis Barat berusaha menemukan asal-usul tasawuf dari mazhab
Syiah. Mereka berupaya menyesuaikan ajaran tasawuf dengan akidah
Syiah. Tidak dipungkiri terdapat kesamaan tasawuf dengan sebagian
ajaran Syiah. Tetapi, kesamaan-kesamaan seperti ini, tidak dapat
menjadi alasan bahwa Syiah adalah sumber utama ajaran tasawuf.
Sedangkan, korelasi antara ajaran tasawuf dan ajaran Syiah sebenarnya
sudah ada sejak dahulu. Ibn Khaldûn, misalnya, mengklaim konsep
quthub dan silsilah para wali dalam irfan adalah konsep yang disadur
dari mazhab Syiah.(1)
Kamil Musthafa Syaibi, salah seorang peneliti berkebangsaan Arab,
meyakini hal tersebut dalam dua bukunya yang masing-masing
berjudul Al-Shilah bain Al-Tashawwuf wa Al-Tasyayyu‘ dan Al-Naza‘ât
Al-Shûfiyyah fî Al-Fikr Al-Syî‘î. Padahal, dari sejak dahulu kala, para
ulama Syiah secara umum dan para imam maksum Syiah as. menolak
konsep tasawuf.
Pada kesempatan ini, sehubungan dengan korelasi antara
tasawuf dan Syiah, kami harus memaparkan beberapa hal berikut:
Pertama, meski ada kesamaan, ada banyak perbedaan fundamental
antara Syiah dan tasawuf. Sayangnya, kapasitas buku ini tidak
mengizinkan seluruh perbedaan itu dipaparkan, sekalipun secara
ringkas. Mazhab Syiah dalam bahasa para arif tidak lain adalah upaya
mengungkapkan pengalaman-pengalaman irfani; kedua, tasawuf
secara universal tidak pernah berhubungan dengan mazhab atau agama
tertentu, apalagi dengan mazhab Syiah. Dalam ruang lingkup agama
Islam, konsep tasawuf dan irfan pada dasarnya tersebar luas melalui
p:23
tangan para ulama dan zahid mazhab Ahli Sunah dan muncul
ditengah-tengah masyarakat Sunni. Mayoritas pembesar dan quthb
aliran irfan bermazhab Ahli Sunah. Dengan demikian, bagaimana
mungkin kita dapat mengorelasikan tasawuf dengan ajaran Syiah?;
ketiga, ajaran-ajaran Syiah terbentur dengan ajaran Ahli Sunah
fanatik yang terpengaruh oleh politik dinasti Bani Umaiyyah yang anti
Syiah, dinasti yang selalu mendistorsi hadis dan sejarah Islam demi
kepentingan mereka. Kemudian terbentur dengan aliran Ghulat dan
Batiniah yang juga sering mendistorsi sumber-sumber agama demi
kepentingan sendiri. Sekarang, orientasi yang terpengaruh politik dinasti
Bani Umaiyyah tidak membahayakan ajaran Syiah, karena perbedaan
antara ajaran Syiah dan politik Bani Umaiyyah sangat gamblang bagi
para ahli riset. Tetapi, kita sulit membebaskan ajaran Syiah dari
pengaruh kuat Batiniah dan Ghulat, khususnya kondisi yang muncul
pasca kekuasaan dinasti Shafawiyyah.
Biar bagaimanapun, sebagian ajaran Ghulat dan Batiniah sejalan
dengan ajaran tasawuf. Meski demikian, sebaiknya kita tempatkan
Ghulat pada posisi Syiah dan mencari akar Ghulat, Batiniah, dan
konsep tasawuf, karena ketiganya terpengaruh oleh sumber tersebut.
Seluruh ulama Syiah terdahulu menentang tasawuf. Tidak berbeda
dengan Al-Qur’an dan Sunah, mereka juga tidak pernah mengajarkan
soal wahdat al-wujûd, fana, dan ajaran-ajaran yang lain.
Seperti telah kami singgung sebelum ini, seluruh imam maksum
as. menentang aliran tasawuf dan membimbing para pengikut mereka
supaya menolak aliran itu.(1)
Para ulama besar Syiah seperti Syaikh Shadûq, Syaikh Mufid,
Sayyid Murtadha, Syaikh Thusi, Syaikh Thabarsi, Syahid Awwal, dan
ulama-ulama yang lain menolak aliran tasawuf dan irfan. Pada masa
kegemilangan dinasti Shafawiyyah sekalipun, para ulama Syiahberdiri
p:24
tegar menentang aliran tasawuf yang merupakan sandaran utama
dinasti Shafawiyyah kala itu. Para pembesar Syiah seperti Muqaddas
Ardabili (w. 993 H), Mirza Husain Nuri, Allamah Muhammad Baqir
Majlisi (w. 1110 H), Mulla Thahir Qummi (w. 1098 H), dan puluhan
ulama yang lain memerangi aliran tasawuf.
Sebagai contoh, kami akan menukil pernyataan mereka secara
ringkas berikut ini:
Muqaddas Ardabilî Ahmad bin Muhammad adalah seorang teolog
dan faqih besar Syiah pada abad X H. Ia sangat dicintai oleh masyarakat
dan dikenal dengan kesalihan di zamannya.(1) Dalam buku Hadîqat
Al-Syiah, ia mencela dan mengafirkan aliran tasawuf. Dalam sebuah
frasenya, ia menulis:
Perlu kita ketahui bersama, para pembesar salaf aliran tasawuf
seperti Abu Yazid Basthami dan Husain bin Manshur Hallaj
yang sangat tenar itu mengikuti salah satu dari dua aliran
pemikiran hulûl (menjelmanya Allah pada diri hamba) dan ittihâd
(menyatunya Allah dengan hamba). Karena keyakinan batil
yang dimiliki oleh kelompok ini, para ulama Syiah seperti Syaikh
Mufîd, Ibnu Qaulawaeh, dan Ibnu Babuwaeh memasukkan kedua
kelompok itu, baik aliran Hululiyyah maupun aliran Ittihadiyyah,
ke dalam kelompok Ghulat. Kedua aliran ini termasuk kelompok
Ghulat, salah satu kelompok Nawashib. Sebagian dari tokoh-tokoh
mutaakhkhir aliran Ittihâdiyyah, seperti Muhyiddin Ibnu Arabi,
Syaikh Aziz Nasafî, dan Abdurrazzâq Kasyi, telah melampaui batas
kufur dan zindiq, dan meyakini konsep wahdat al-wujûd. Mereka
mengklaim bahwa setiap maujud adalah Allah. Mahatinggi Allah
dari apa yang dikatakan oleh kaum atheis itu setinggi-tingginya.
Ketahuilah, faktor yang menyebabkan mereka kufur karena
mereka menyibukkan diri menelaah buku-buku para filosof. Setelah
p:25
mempelajari ucapan Plato dan para pengikutnya, sehingga mereka
karena sebuah kesesatan memilih pandangan-pandangan yang
berbau kesesatan. Supaya tidak seorang pun memahami bahwa
mereka hanyalah pencuri pandangan dan keyakinan-keyakinan
buruk para filosof, mereka memakaikan pakaian lain kepadanya dan
memberinya nama wahdat al-wujûd. Ketika masyarakat menanyakan
arti dan maksudnya, mereka menjawab bahwa arti wahdat
alwujûd tidak dapat dipaparkan dengan penjelasan, dan tidak
dapat dipahami tanpa latihan riyadhah yang berkepanjangan dan
pengabdian kepada guru tarekat. Mereka telah berhasil membuat
bingung orang-orang awam. Sekelompok orang-orang dungu
telah meluangkan waktu yang tidak sedikit untuk memikirkan arti
ungkapan itu dan menakwilkan kekufuran yang besar tersebut.”(1)
Allamah Muhammad Baqir Majlisi adalah seorang muhadis, faqih
tersohor, dan mubaligh mazhab Syiah. Beliau hidup pada abad XI
dan XII H di Iran, dan telah menulis ensiklopedia hadis terkenal yang
berjudul Bihâr Al-Anwâr. Tanpa kenal lelah, beliau memiliki sikap
yang tidak kenal damai dengan aliran tasawuf. Dalam salah satu frase
pernyataannya, Majlisi menulis berikut ini:
Kelompok lain dari aliran tasawuf Ahli Sunah yang telah melampaui
konsep hulul dengan meyakini konsep yang lebih buruk dan lebih
keji; yakni ijtihâd. Mereka menyatakan bahwa Allah menyatu
dengan segala sesuatu. Bahkan, segala sesuatu adalah Dia dan
selain Dia tidak memiliki wujud. Dia-lah yang menjelma dalam
bentuk yang beraneka ragam; kadang dalam bentuk Zaid dan
kadang pula dalam bentuk ‘Amr; terkadang dalam bentuk anjing
dan kucing, dan kadang pula dalam bentuk kotoran. Hal ini tidak
berbeda dengan laut yang sedang berombak dan muncul dalam
bentuk-bentuk yang beraneka ragam. Tidak ada sesuatu yang lain
selain laut itu sendiri.
p:26
Alam semesta adalah bak ombak laut;
ombak dan laut adalah satu, dan selainnya ada di mana?
Esensi-esensi (mâhiyyah) yang bersifat mungkin adalah halhal
yang bersifat konvensif (i‘tibârî) dan menempati (‘aradha) dzat
wâjibul wujud. Dalam seluruh buku dan syair, mereka memaparkan
contoh-contoh yang berbau kufur. Sekelompok orang kafir dan
atheis India memiliki keyakinan yang persis seperti keyakinan di
atas. Buku Jook yang ditulis oleh kaum Brahmana mereka juga
memuat keyakinan-keyakinan sesat itu.”
Dalam pernyataan yang lain, Majlisi juga menulis:
Sekelompok pengikut Syiah yang tidak berpendirian berkeyakinan
bahwa kaum sufi berada di jalan yang benar. Menurut keyakinan
kelompok ini, setiap sufi memiliki mazhab yang benar dan setiap
ucapannya berasal dari Allah. Mereka tidak tahu perkara yang
sebenarnya. Karena pada waktu itu kekufuran dan kebatilan
mendominasi seluruh alam, para pengikut kebenaran senantiasa
terkalahkan dan tersingkirkan, dan mayoritas aliran (yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat) mengikuti jalan
kebatilan dan berasal dari mazhab Ahli Sunah, sekelompok mereka
mengenakan pakaian tasawuf dan sekelompok yang lain memakai
pakaian ulama. Begitu pula halnya dengan tasawuf. Mayoritas para
pengikut aliran ini bermazhab Ahli Sunah dan Asy‘ariyyah. Mereka
memiliki keyakinan-keyakinan batil seperti jabr, hulûl, tajassum,
dan keyakinan-keyakinan lain yang diungkap dalam buku dan
syair-syair mereka. Syaikh Al-Kulainî dengan sanad yang mu‘tabar
(sahih) meriwayatkan bahwa Imam Baqir as. pernah memberi gelar
penyamun agama kepada Abu Hanifah dan Sufyan Tsauri.
Muhyiddin, salah seorang pembesar kaum sufi, berkata
dalam Fushûsh Al-Hikam, ‘Kita tidak pernah menyifati Dzat
p:27
Yang Mahabenar, kecuali kita adalah bentuk sempurna (‘ain)
sifat itu sendiri, dan Allah Swt telah menyifati diri-Nya untuk
kita. Oleh karena itu, ketika kamu menyaksikan-Nya, berarti
kamu telah menyaksikan dirimu, dan ketika Dia meyaksikan
kita, ini berarti Dia telah menyaksikan diri-Nya.’
Di bagian lain bukunya itu, Muhyiddîn lebih mengungkapkan
posisi wilâyah daripada posisi kenabian. Ia memberi julukan
‘pamungkas rantai’ wilâyah (khâtim al-wilâyah) kepada
dirinya. Dengan demikian, ia mengklaim dirinya lebih unggul
dari para nabi. Dalam buku Al-Futûhât ia berkata, ‘Mahasuci
Allah yang telah menampakkan segala sesuatu, sedangkan Dia
adalah sesuatu itu sendiri.’ Di bagian lain buku Fushûsh Al-
Hikam, ia menisbatkan kesalahan kepada Nabi Nuh. Menurut
keyakinannya, Nabi Nuh salah dalam menyampaikan risalah
dan kaumnya telah bertindak benar. Mereka telah tenggelam ke
dalam lautan makrifat.”(1)
Seluruh penolakan terhadap aliran tasawuf memiliki kandungan
yang serupa. Poin penting dalam pernyataan Muqaddas Ardabilî
adalah penisbatan tasawuf kepada aliran Ghulat. Dalam pernyataan
Al-Majlisi, aliran tasawuf dinisbatkan kepada ajaran India. Pernyataan
ini memang layak direnungkan kembali.
Adapun para ulama Ahli Sunah, sejak awal menentang aliran
tasawuf. Telah banyak buku yang memuat fatwa kekafiran aliran tasawuf
dan para syaikh mereka. Salah satu contohnya adalah buku Mashra‘ Al-
Tashawwuf karya Allamah Burhanuddin Al-Biqa‘i (w. 885 H), seorang
muhadis, mufasir, dan sejarawan bermazhab Syafi‘i.
Dari sejak periode awal tasawuf, sebuah pemikiran berbahaya
muncul, dan berdasarkan pemikiran ini, masyarakat Muslim terbagi
menjadi dua strata: masyarakat awam dan masyarakat khusus. Syariat
dianggap sebagai ajaran untuk masyarakat awam, dan hakikat sebagai
p:28
ajaran untuk strata masyarakat khusus. Dengan demikian, syariat berseberangan
dengan hakikat; jalan para fuqaha terpisah dari jalan para
arif dan jalan agama berpisah dari jalan irfan.
Korban masyhur kisah pertikaian ini adalah Hallaj. Di tahun
309 H, pada masa kekuasaan Muqtadir Al-Abbâsî, Hallaj dibunuh
di tiang gantungan berdasarkan ijma para ulama Baghdad.(1) Penentangan
terhadap aliran tasawuf terus berlanjut disertai dengan
perlawanan dan fatwa kafir yang dilontarkan oleh para ulama. Sebagai
contoh, kami akan membawakan beberapa fatwa ulama besar
Ahli Sunah berikut ini:
Ibnu Jauzi, Abul Faraj Abdurrahman (w. 597 H.), dalam sebuah
buku masyhurnya yang berjudul Talbîs Iblîs atau Naqd Al-‘Ulamâ’,
memaparkan sebuah pembahasan yang panjang lebar. Ia meyakini
secara universal bahwa tindakan dan akidah tasawuf tertolak,
serta tergolong bid’ah dan perbuatan setan. Argumentasi Ibn
Jauzî adalah jika aturan dan sunah-sunah tasawuf itu memiliki
hubungan dengan agama, maka seluruh Muslimin memiliki posisi
yang sama dalam hal ini, dan lebih dari mereka, para fuqaha
Islam tentu mengetahui semua itu. Tidak alasan bahwa aturan
dan sunah-sunah hanya dimiliki oleh kaum sufi. Jika aturan
dan sunah-sunah hanya hasil buah pikiran dan pandangan
kaum sufi belaka, maka semua tidak ada hubungannya dengan
agama, tetapi rekayasa dan bid’ah kaum sufi.(2)
Tokoh lain yang secara gencar dan keras menentang tasawuf
adalah Ibnu Taimiyyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim (w. 728
H). Ia adalah seorang faqih dan teolog tersohor bermazhab Hanbaliah.
Ia menghabiskan seluruh usianya dalam perjuangan agama
dan politik.
p:29
Kira-kira satu abad setelah masa Ibn Jauzi, Ibnu Taimiyyah
melancarkan serangan yang tidak kenal ampun terhadap aliran
tasawuf. Setelah menelaah seluruh pernyataan para arif, dimulai dari
Hallaj hingga Ibn Faridh dan Ibnu Arabi, dengan disertai analisis
terhadap seluruh pernyataan itu, ia mengafirkan dan mencemooh
mereka. Umumnya, ia menyandarkan pandangannya kepada akidah
masyarakat umum Muslim dan mendapatkan keyakinan para arif
(‘urafâ’—selanjutnya akan dibakukan menjadi urafa) kontradiktif
dengan akidah tersebut. Kadang-kadang ia juga menyalahkan aliran
tasawuf dengan dalil dan argumentasi rasional. Sebagai contoh,
Ibn Taimiyyah menukil sebuah kisah. Dalam kisah ini disebutkan
seorang syaikh berpesan kepada muridnya, “Kesaksian yang hak dan
hakiki adalah hendaklah kamu meyakini bahwa tiada maujud selain
Allah. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, ia telah berbohong.”
Dalam menjawab sang syaikh ini, murid berkata, “Jika tidak ada
maujud selain Allah, siapakah yang lantas berbohong?”
Dalam sebuah fatwa menanggapi aliran tasawuf, Ibn Taimiyyah
menulis berikut ini:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Seluruh pernyataan yang terdapat dalam buku Fushûsh Al-
Hikam dan buku-buku serupa yang lain, lahir dan batinnya
adalah kekufuran. Sisi batinnya lebih buruk daripada sisi
lahirnya. Ini adalah keyakinan orang-orang yang meyakini
konsep wahdat al-wujûd, hulûl, dan ittihâd, sedangkan mereka
menamakan diri mereka sebagai kaum peneliti handal.”(1)
Salah seorang ulama tenar lain yang melakukan serangan terhadap
aliran tasawuf adalah Ibn Khaldun (w. 808 H). Ia menegaskan:
p:30
Jalan dan metode kaum sufi ada dua macam, pertama, jalan dan
metode para ulama terdahulu yang terbentuk berdasarkan Al-
Qur’an dan Sunah, dan mengikuti jejak para salaf salih dari
kalangan sahabat dan tabiin. Kedua, jalan dan metode yang telah
tercampur dengan bid’ah. Ini adalah jalan kaum sufi muta’akhirin.
Dari kalangan kelompok kedua, kita dapat menyebutkan nama Ibnu
Arabidan Ibn Sab‘în. Seluruh karya tulis kedua orang ini dan para
pengikut mereka berisi kekafiran dan bid’ah yang tidak terpuji.
Pujian terhadap salah seorang dari mereka tidak memiliki
nilai yang berharga, sekalipun pemujinya adalah seorang ulama
tenar yang memiliki keutamaan. Sebab, kesaksian Al-Qur’an dan
Sunah lebih bernilai daripada kesaksian siapa pun. Buku-buku
Ibnu Arabi, Ibn Faridh, Ibnu Sab‘in, Tilimsani, Farghani, dan
selain mereka harus diberangus di mana pun ditemukan, baik
dengan cara dibakar maupun dengan cara seluruh tulisannya
dicuci bersih. Kemaslahatan umum Muslimin terjamin dengan
cara ini. Oleh karena itu, pemimpin masyarakat Muslim adalah
orang yang bertanggung jawab untuk membakar buku-buku
tersebut supaya kerusakan dapat disingkirkan dari kehidupan
masyarakat umum. Barangsiapa menemukan buku-buku itu,
ia harus menyerahkannya untuk dibakar.”(1)
Sehubungan dengan kritik dan tuduhan kafir terhadap mereka,
ada beberapa hal yang layak kita renungkan:
Pertama, jika para ahli dan ulama seperti Ibn Khaldûn menerima
kaum sufi yang hidup di awal kemunculan tasawuf, penerimaan ini
karena kaum sufi saat itu dipandang sebagai orang zuhud, bukan arif.
Dan berdasarkan periode-periode perkembangan tasawuf yang telah
kami jelaskan di atas, mereka berada pada periode penyiap lahan
kemunculan aliran tasawuf.
p:31
Kedua, para arif umumnya menganggap para penentang mereka
telah salah paham; mereka tidak membedakan antara arti hulul dan
fana, atau tidak dapat mencerna konsep wahdat al-wujûd dengan benar.
Akan tetapi, kali ini pendapat para penentang mereka yang benar.
Alasannya, pernyataan-pernyataan para arif pada periode tunas sangat
ambigu dan pada periode sistematisasi dan kesempurnaan sangat
rumit sehingga tidak dapat dipahami (dengan mudah). Para arif tidak
berhak menuntut para penentang itu untuk memahami pernyataan
dan ajaran mereka, karena klaim-klaim para arif tidak dapat digapai
kecuali lewat pengalaman pribadi. Pengetahuan para arif tidak dapat
dipindahkan, dialihkan, dan tidak pula dapat diajarkan. Atas dasar ini,
jika para arif masih menaruh harap dari para penentangnya, mereka
hanya menoleransi bukan menyepakati.
Ketiga, pembela dan penentang tasawuf sepakat bahwa keyakinan,
amalan, dan aturan tasawuf, secara sempurna tidak sejalan dengan
ajaran lahiriah Al-Qur’an dan Sunah. Dengan demikian, kita harus
mempertemukan kedua ajaran ini dengan cara menakwil Al-Qur’an
dan Sunah, atau mencetuskan sebuah konsep baru seperti konsep lahir
dan batin atau konsep syariat, tarekat, dan hakikat.
Meskipun terdapat perlawanan dari para ulama dan Muslimin terhadap
tasawuf, banyak pula ulama dan Muslimin yang mengikuti ajaran ini
sejak awal. Mereka meyakini bahwa tasawuf adalah batin, hakikat,
otak, dan makna agama. Mereka terdiri dari para ulama besar seperti
Abu Thalib Makki, Kulabadi, dan Sarraj pada abad IV H, serta Syaikhul
Islam Khâjah Abdullah Ansharidan Imam Muhammad Ghazali pada
abad V H.
Dukungan Imam Ghazali kepada tasawuf berbeda dengan
dukungan para tokoh yang lain. Imam Ghazali mengaku dirinya
sebagai seorang peneliti yang kritis. Ia meragukan segala sesuatu, lalu
p:32
meneliti seluruh aliran dan sekte pemikiran tanpa terkontaminasi
oleh fanatisme dan taklid buta, serta mengkritisi pemikiran dan
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masanya.(1) Jika pada
suatu kesempatan ia menyerang para pengikut aliran Batiniah dan
mengkritik ilmu filsafat secara pedas, pada saat yang sama ia juga
mengkritik ilmu teologi dan bahkan ilmu logika. Adalah hal yang
penting ketika Imam Ghazali ternyata mendukung tasawuf. Ia
menegaskan:
Secara yakin aku tahu bahwa dalam meniti jalan kebenaran,
suluk dan keunggulan hanya dimiliki oleh kelompok sufi. Sirah
mereka adalah sirah terbaik, jalan mereka adalah jalan yang
benar, dan akhlak mereka adalah akhlak suci. Seandainya otak
seluruh pemikir, hikmah orang-orang bijak, ilmu semua orang
yang mengetahui rahasia-rahasia syariat dikumpulkan di satu
tempat untuk mengubah satu sirah dan akhlak kaum sufi, serta
menempatkan sesuatu yang lebih baik sebagai ganti dari sirah dan
akhlak itu, niscaya mereka tidak akan dapat melakukannya. Hal ini
karena seluruh gerak, diam, lahir, dan batin kaum sufi terpancar
dari pancaran cahaya-cahaya kenabian. Dan tidak ada cahaya yang
lebih utama dan lebih tinggi daripada cahaya kenabian.(2)
Kita perhatikan bersama, klaim Imam Ghazali yang membenarkan
tasawuf sebagai pancaran cahaya kenabian. Tidak syak lagi, pernyataan
itu menyiratkan adanya kesimpulan pribadi Imam Ghazali. Meski
hanya sebatas isyarat belaka, namun secara praktis, ia menyetarakan
tasawuf sama dengan agama Islam.
Sekitar satu abad sebelum masa Imam Ghazali, Sarraj Thusi (wafat
tahun 378 H.) terkait pandangan-pandangan kontradiktif, pujian di
satu sisi dan celaan di sisi lain, serta sikap ekstrim para pembela dan
p:33
penentang tasawuf, membuat satu tolok ukur untuk menentukan mana
yang benar dan mana yang salah dengan pernyataan berikut ini:
Menurut pendapatku dan Allah lebih mengetahui. Orang-orang
alim penegak keadilan, pewaris para nabi yang seluruh landasan
tindakan mereka adalah Kitab Allah, dan Sunah Rasulullah, dan
mengikuti jejak para sahabat, tabiin, para wali Allah yang bertakwa,
dan hamba-hamba yang salih. Mereka terbagi dalam tiga kelompok:
ahli hadis, fuqaha, dan kaum sufi. Begitu pula dengan ragam ilmu.
Salah satu ilmu pengetahuan itu adalah ilmu agama. Ilmu agama
terbagi dalam kelompok: ilmu Al-Qur’an, ilmu sunah-sunah dan
penjelasan (al-sunan wa al-bayân), dan ilmu hakikat keimanan.
Ketiga jenis ilmu ini dimiliki oleh ketiga golongan tadi. Seluruh
ilmu agama berasal dari tiga sumber: ayat-ayat Kitab Allah, Sunah
Rasulullah Saw, dan hikmah yang terlintas dalam kalbu seorang
wali Allah.
Dalam hadis ini, Jibril menanyakan tiga hal kepada
Rasulullah: Islam, iman, dan ihsan; lahir, batin, dan hakikat.
Islam berhubungan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah. Iman
memiliki sisi lahir dan juga sisi batin. Ihsan adalah hakikat untuk
lahir dan batin tersebut. Semua ini adalah kandungan sabda
Rasulullah Saw yang menegaskan, ‘Ihsan adalah hendaknya
kamu menyembah Allah sedemikian rupa seakan-akan kamu
melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya, Dia
pasti melihatmu.’ Ketiga kelompok ulama itu berbeda dari
sisi ilmu dan amal. Dari sisi derajat dan keutamaan, sebagian
dari mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding
sebagian yang lain. Allah Swt berfirman, ‘... dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.’ (QS. Al-
Mujadalah [58]:11). Rasulullah Saw bersabda, ‘Umat manusia
adalah sama bak gigi-gigi sisir. Tidak seorang pun lebih tinggi
daripada orang lain, kecuali dengan ilmu dan ketakwaan.’
p:34
Oleh karena itu, barang siapa mendapat kesulitan sehubungan
dengan ushul dan furu’ agama, hakikat dan hukum, baik yang
berkaitan dengan lahir maupun batin, tidak ada jalan lain
baginya kecuali merujuk kepada ahli hadis, para fuqaha, dan
kaum sufi. Setiap satu dari ketiga kelompok ini memiliki ilmu,
amal, hakikat, dan hal (kondisi batin spiritual setiap orang
berbeda—peny.). Setiap golongan pada posisi mereka memiliki
ilmu, amal, kedudukan, ucapan, kepahaman, tempat, fiqih, dan
penjelasan yang khusus. Barangsiapa mengetahuinya, ia telah
mengetahuinya, dan barangsiapa tidak mengetahuinya, niscaya
ia tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun dapat memiliki
kesempurnaan yang menggabungkan seluruh jenis ilmu, amal,
dan spiritual. Kedudukan setiap orang hanya sampai pada suatu
batas yang dikehendaki oleh Allah.(1)
Setelah itu, Sarraj memaparkan ilmu dan amalan-amalan yang
berhubungan dengan golongan ahli hadis dan fuqaha. Ia meyakini
dalam bidang keyakinan, kaum sufi sejalan dengan ahli hadis dan
fuqaha. Ilmu, makna, dan aturan yang ada di kalangan sufi juga sesuai
dengan ilmu, makna, dan aturan mereka. Sarraj juga menekankan,
jika kaum sufi tidak mengetahui suatu masalah yang berhubungan
dengan ahli hadis dan fuqaha, maka harus merujuk kepada mereka.
Apabila terjadi perbedaan pendapat, mereka harus beramal sesuai
konsep ihtiyâth (kehati-hatian) dan mengambil pendapat yang terbaik,
terutama, dan tersempurna.
Akan tetapi, Sarraj juga menambahkan, kaum sufi telah berhasil
melewati tingkatan ahli hadis dan fuqaha, dan sampai kepada derajatderajat
yang lebih tinggi. Dalam ketaatan dan akhlak mulia, kaum sufi
telah sampai kepada kedudukan yang tidak pernah diperoleh ahli hadis
dan para fuqaha.
p:35
Lalu, sebagai contoh, Sarraj memaparkan sejumlah keistimewaan
yang dimiliki oleh kaum sufi, di antaranya:
Menghilangkan segala ketergantungan yang dapat menghalangi
mereka untuk sampai kepada yang hakiki; yakni Allah.
Qana’ah dalam pakaian, makanan, tempat kediaman, dan lain
sebagainya.
Rendah hati, tabah, tulus, ikhlas, dan rela berkorban.
Selalu mengfokuskan diri kepada Allah.
Sabar, istiqamah, dan menentang hawa nafsu.
Menjaga rahasia, murâqabah, dan berkesinambungan dalam
menafikan segala bentuk keinginan.
Ibadah dengan hati yang khusyuk.
Berupaya mengikuti jejak para wali dan orang-orang suci dengan
cara rela menyerahkan jiwa raga dan lebih mementingkan mati
daripada hidup, kehinaan daripada kemuliaan, dan ketersiksaan
daripada kenyamanan.
Mengenal hawa nafsu dan seluruh tipu dayanya.
Senantiasa merasa memerlukan (inayah Ilahi), pasrah diri, dan
membebaskan diri dari setiap daya dan kekuatan.
Semua keistimewaan tersebut termaktub dan tersusun dalam
Kitab Allah dan Sunah Rasulullah, dipahami oleh orang-orang yang
memiliki kelayakan untuk memahaminya, dan tidak dapat dipungkiri
oleh orang-orang alim yang selalu mencari kebenaran. Tidak ada yang
mengingkari semua itu kecuali orang-orang yang hanya berpegang
teguh kepada ajaran lahir dan para pencari kedudukan yang hanya
mengetahui makna lahiriah Al-Qur’an dan Sunah.
Setelah itu, Sarraj menegaskan, meniti jalan ini sangat sulit dan
tidak semua orang dapat menjalaninya. Oleh karena itu, para ulama
hanya memikirkan ketenteraman, lalu meninggalkan jalan ini dan
memilih jalan yang lain. Kemudian, Sarraj memaparkan beberapa dalil
penguat dari Kitab Allah dan Sunah Rasulullah Saw. Dalil ini sering
p:36
disebutkan dalam buku-buku irfan.(1)
Setiap peneliti sadar sangat jelas klasifikasi di atas tidak sesuai
dengan lahiriah Al-Qur’an dan Sunah yang diterima oleh mayoritas
masyarakat Muslim. Semua bersumber dari satu faktor sebagaimana
telah disebutkan Sarraj, mereka meyakini ajaran para syaikh tasawuf
yang hanya berbau perasaan personal (istihsân) itu sebagai bagian dari
ajaran Islam yang sejajar dengan Kitab dan Sunah dengan menyebutnya
sebagai “hikmah yang terlintas dalam kalbu seorang wali Allah”.
Buku ini tidak bermaksud mengkritisi, tetapi melakukan
komparasi antara pandangan-pandangan yang ada dan menjelaskan
hubungan antara agama dan irfan. Oleh karena itu, kami menghindari
menyebutkan seluruh kritik dalam masalah ini. Kami hanya ingin
menukil sebuah analisis seorang arif masyhur bermazhab Syiah yang
meyakini bahwa tasawuf adalah jati diri Islam dan Syiah itu sendiri.
Syaikh Sayyid Haidar Amuli adalah salah seorang pensyarah dan
syaikh besar irfan Islami. Sehubungan dengan kesatuan syariat dan
tasawuf, ia menukil sebuah hadis Rasulullah. Rasulullah Saw bersabda,
“Syariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah
halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta
adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah
sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman
seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qana’ah adalah harta
simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah
tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua
itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.”
Setelah menyebutkan hadis ini, Sayyid Haidar menambahkan:
Barangsiapa ingin menjadi pengikut nabi, ia harus memiliki
seluruh atau sebagian karakter di atas dan jangan menolak atau
mengingkarinya. Hal ini karena seluruh karakter itu, dengan
p:37
perbedaan situasi yang ada, kembali kepada hakikat; yakni
syariat nabawi dan ketentuan Ilahi, seperti telah dipaparkan
pada pembahasan sebelumnya. Sebenarnya, ketiga tingkatan
(martabah) tersebut adalah tingkatan lain yang merupakan
asal-muasalnya. Penjelasannya, syariat pada hakikatnya adalah
tuntutan risalah, tarekat adalah tuntutan kenabian, dan
hakikat adalah tuntutan wilâyah; karena definisi risalah adalah
menyampaikan segala sesuatu yang diperoleh oleh seseorang
melalui jalan kenabian, baik berupa hukum, politik, pendidikan
etika, maupun pengajaran hikmah. Dan ini adalah syariat itu
sendiri. Definisi kenabian adalah menampakkan seluruh hakikat
yang dihasilkan melalui jalan wilâyah kepada seluruh hamba,
seperti makrifat terhadap dzat, nama, sifat, tindakan, dan hukumhukum
Allah Yang Mahabenar, supaya mereka mengejawantahkan
sifat-sifat Allah dalam diri mereka dan beretika dengan etika-
Nya. Ini adalah tarekat itu sendiri. Wilâyah adalah menyaksikan
dzat, sifat, dan tindakan-tindakan Allah Yang Mahabenar dalam
manifestasi seluruh kesempurnaan untuk selama-lamanya. Ini
adalah hakikat itu sendiri. Semua ini kembali kepada satu hakikat;
yakni hakikat manusia yang memiliki seluruh sifat tersebut atau
kembali kepada person tertentu seperti para nabi Ulu Al-‘Azm,
karena mereka memiliki sifat-sifat itu. Maksudnya, syariat Ilahi
dan penentuan nabawi adalah satu hakikat yang memuat seluruh
tingkatan tersebut; yakni syariat, tarekat, dan hakikat. Nama-nama
ini termanifestasi atas hakikat sebagai nama-nama yang sinonim,
tetapi dengan sudut pandang yang berbeda-beda.”(1)
Kemudian, Sayyid Haidar Amuli melanjutkan:
Setelah pembahasan ini terbuktikan, ketahuilah bahwa seluruh
strata masyarakat, baik mereka yang berasal dari kalangan khawas,
p:38
awam, maupun khawashsh al-khawashsh, tidak keluar dari tiga
kondisi: tahap permulaan, tahap pertengahan, dan tahap akhir.
Alasannya, meskipun tingkatan-tingkatan tersebut tidak terbatas dari
sisi manifestasi dan person, akan tetapi dari sisi genus dan spicies
terbatas dalam tiga tingkatan. Dengan kata lain, meskipun dari
sisi parsial dan penjabaran, tingkatan-tingkatan itu tidak terbatas
dalam angka tertentu, akan tetapi dari sisi universalitas terbatas
dalam tiga tingkatan. Dengan demikian, syariat adalah nama
untuk ketentuan Ilahi dan syariat nabawi ditinjau dari tahap permulaan,
tarekat adalah namanya ditinjau dari tahap pertengahan,
dan hakikat adalah namanya dilihat dari tahap akhir.
Meskipun tingkatan yang ada sangat banyak, pada dasarnya
tidak keluar dari tiga tingkatan. Nama yang mewakili semua itu
adalah syariat dan tingkatan yang telah disebutkan adalah hasil
dan kelazimannya. Karena, tingkatan pertama adalah tingkatan
masyarakat awam, tingkatan kedua adalah tingkatan masyarakat
khawas, dan tingkatan ketiga adalah tingkatan khawashsh
alkhawashsh. Orang-orang mukalaf dan berakal secara
keseluruhan tidak keluar dari tingkatan syariat, tarekat, dan
hakikat, karena lapisan masyarakat mencakup mereka semua.
Setiap posisi dan kedudukan masing-masing adalah benar. Ayat
Al-Qur’an mulia menegaskan, ‘Untuk tiap-tiap umat di antara
kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya
Allah menghendaki,niscaya Dia menjadikan kalian satu umat (saja).
Tetapi Allah hendak menguji kalian terhadap pemberian-Nya kepada
kalian. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya
kepada Allah-lah kembali kalian semua, lalu Dia beritahukan kepada
kalian apa yang telah kalian perselisihkan,’ (QS. Al-Ma’idah
5:48). mengisyaratkan masalah ini. Demi Allah! Seandainya tidak
ada ayat lain, niscaya dengan sendirinya sudah cukup sebagai bukti
atas keberadaan tingkatan-tingkatan itu dan hukum-hukumnya.
Allah menegaskan,
p:39
‘Dan setiap umat memiliki kiblat (tersendiri) yang ditentukan oleh
Allah.’ (QS. Al-Baqarah [2]: 148). Dan ayat lain menegaskan, ‘Mereka
senantiasa berbeda dan berselisih.’ (QS. Hud [11]: 118). Begitu juga
ayat-ayat yang lain. Dengan demikian, terdapat tiga tingkatan:
Islam, iman, dan yakin; wahyu, ilham, dan penyingkapan (kasyf);
kenabian, risalah, dan wilâyah; ucapan, perilaku, dan hal. Orangorang
yang memiliki tingkatan-tingkatan itu berada dalam posisi
yang sama. Dengan demikian, jika mengingkari ucapan para
nabi dan orang-orang yang meyakininya adalah suatu perbuatan
yang tidak layak. Artinya, apabila mengingkari syariat para nabi,
mengingkari tarekat juga tidak diperbolehkan. Begitu pula
mengingkari hakikat, juga tidak diperbolehkan.(1)
Ini adalah sedikit contoh penjelasan para arif Islam tentang
irfan, mereka berupaya membuktikan kesatuan antara agama dan
irfan. Pernyataan para arif juga tidak berbeda dengan pernyataan di
atas. Perbedaannya hanya terletak pada jumlah ayat dan hadis yang
ditafsirkan sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf. Setelah masa berlalu,
jumlah ayat dan hadis ini semakin banyak. Nicolson menyatakan,
ayatayat yang telah digunakan oleh para arif untuk hal ini berjumlah
407 ayat.(2)
Adapun berkenaan dengan hadis qudsi dan riwayat-riwayat yang
sahih dan dha’if, jumlahnya sungguh luar biasa. Kaum sufi tidak
mengenal batas dalam menakwilkan hadis-hadis. Menurut Allamah
Thabathabai, kaum sufi adalah ‘ladang subur’ takwil dan ‘penyiap
lahan’ untuk menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak mengenal
batas.(3)
Dengan memperhatikan seluruh analisis yang diberikan oleh urafa,
kita senantiasa berhadapan bahwa ajaran tasawuf bukanlah indikasi
Al-Qur’an yang gamblang dan bersifat lahiriah. Sekalipun demikian,
p:40
mereka kadang menyatakan bahwa menentang mereka adalah
bersebrangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dan menafsirkan ayat-ayat
Ilahi tidak sesuai dengan ajaran tasawuf. Padahal, indikasi lahiriah
ayat-ayat Al-Qur’an tidak sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf.(1)
Sebagai penutup, kami perlu memaparkan dua poin berikut ini:
Pertama, Ibnu Arabi, dengan seluruh pembelaanya terhadap aliran
irfan serta takwil dan tafsir terbuka bebas yang sering dilakukannya,
tidak meyakini kesamaan irfan dengan agama-agama samawi. Ia
berkeyakinan, agama dan irfan adalah dua ajaran yang terpisah. Lebih
mengherankan lagi, menurutnya, irfan bersifat insani, sementara
agama samawi bersifat Ilahi. Sehubungan dengan hal ini, Ibnu
Arabi menegaskan:
Agama ada dua macam: agama Ilahi dan agama insani. Agama
Ilahi adalah agama yang diserukan oleh Allah, para nabi, dan para
pengganti mereka. Agama insani adalah agama yang dicetuskan
oleh manusia dan dikukuhkan oleh Allah. Agama Ilahi dipilih
oleh Allah sendiri dan dinyatakan sebagai agama yang lebih tinggi
daripada agama makhluk. Konsep monastisisme dan riyadhah
yang diciptakan oleh manusia itu meliputi sekumpulan kaidah
yang berdasarkan sebuah hikmah. Akan tetapi, tidak pernah
disampaikan oleh para nabi serta tidak pula melalui agama atau
metode pengutusan nabi yang sudah dikenal umat manusia.
Karena, kaidah monastisisme dan riyadhah sejalan dengan agama
dan hukum Ilahi, Allah mengukuhkannya sebagaimana agama
Ilahi yang sah. Dengan mengikuti ajaran riyadhah, masyarakat
akan bahagia, dan menentangnya dapat mendatangkan kemurkaan
Allah.”(2)
p:41
Ibnu Arabi mengafirmasikan pandangannya dengan surah Al-
Hadid ayat 28. Dalam memahami ayat ini, ia telah menelusuri sebuah
jalan yang pernah ditelusuri oleh Ibnu Mujahid dan Junaid. Dengan
berlandaskan ayat ini, mereka menyimpulkan riyadhah adalah sebuah
perbuatan yang boleh. Padahal, mayoritas ahli tafsir menyimpulkan
keharaman konsep riyadhah dan monastisisme dari ayat tersebut.(1)
Kedua, urafa Muslim tidak mensyaratkan keimanan dalam
beberapa tingkatan suluk. Artinya, salik tanpa memiliki keyakinan
dan iman yang benar dapat menempuh tingkatan-tingkatan suluk dan
dapat menggapai buah suluk sampai pada batas kasyf mitsâlî.(2)
Dalam pandangan urafa Muslim, syair dan suluk irfani dapat
ditempuh tanpa keyakinan terhadap agama paling tidak sampai pada
satu tingkatan suluk tertentu. Orang-orang yang telah melakukan syair
dan suluk dapat memetik hasilnya meskipun mereka bukan Muslim
atau bahkan tidak mengenal Allah sekalipun.
Imam Ghazali seorang hujjatul Islam, menganggap berpegang teguh
dan fanatik terhadap mazhab tertentu di permulaan perjalanan suluk
adalah tindakan yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan.
Sehubungan dengan hal ini, ia menulis:
Guna menyingkap tirai taklid, ia harus menyingkirkan fanatisme
mazhab dan mengimani makna tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah sepenuhnya sehingga ia dapat
merasakan hakikat masalah dalam hal keyakinan. Tetapi,
semua itu harus dihasilkan melalui jalan riyadhah, bukan
perdebatan.”(3)
p:42
Pandangan Imam Ghazali bertentangan dengan para ulama dari
berbagai mazhab. Mereka meyakini mazhabnya adalah mazhab yang
benar dan hanya satu-satunya jalan menuju keselamatan. Faidh Kâsyânî
yang meski memiliki orientasi irfan tidak dapat menahan diri melihat
pandangan Imam Ghazali itu yang ia nilai sebagai pandangan batil. Ia
menulis:
Mengikuti jejak Ahlul Bait as. sebagai penunjuk jalan dapat
mengantarkan kita menemukan hukum-hukum agama. Sikap
fanatik terhadap mereka dapat menambah keyakinan kepada
keyakinan para salik.(1)
p:43
P:44
Sumber Makrifat
Dalam kepercayaan Islam diyakini bahwa sumber makrifat hanyalah
wahyu Ilahi. Wahyu dalam terminologi agama adalah proses transmisi
(perpindahan atau penyaluran—peny.) kehendak dan instruksi Ilahi
kepada orang tertentu.
Sumber makrifat dalam irfan adalah pengalaman yang diperoleh
setelah ia sampai kepada hakikat, melalui jalan fana dari dirinya sendiri
dan menyatu dengan hakikat wujud. Fana dan menyatu dapat terwujud
dalam bentuk penyingkapan (mukâsyafah) dan intuisi (musyâhadah).
Syarat menggapai makrifat dalam agama dan irfan tidaklah sama. Untuk
memahami perbedaannya, kita dapat memperhatikan penjelasan
yang diberikan oleh kedua belah pihak.
Meskipun para nabi kadang-kadang menerima wahyu Ilahi dalam
kondisi tidur,(1) akan tetapi umumnya penerimaan wahyu terjadi dalam
kondisi terjaga. Seluruh ayat Al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah
Saw dalam kondisi terjaga. Penerimaan wahyu dalam kondisi terjaga
p:45
ada kalanya terjadi dengan cara mendengar sebuah suara dan ada
kalanya juga dengan perantara buku yang tertulis. Lembaran-lembaran
(alwâh) kitab Taurat diterima oleh Nabi Musa as. dalam bentuk tertulis.
Al-Qur’an dibacakan oleh Jibril kepada Rasulullah Saw ayat per ayat,
dan beliau menghafalnya. Lalu, beliau mendiktekan ayat-ayat itu
kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menulis ayat per ayat
itu sedangkan para penghafal Al-Qur’an menghafalkannya.
Ketika menjelaskan macam-macam cara penerimaan wahyu oleh
para nabi dan hubungan mereka dengan Allah, Al-Qur’an berfirman,
“Dan tidak layak Allah berbicara dengan seorang manusia pun kecuali
dengan perantaraan wahyu, di belakang tabir, atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu utusan itu mewahyukan kepadanya
dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia
Mahatinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Syura [42]: 51).
Dalam ayat ini, terdapat tiga macam cara penerimaan dan
diturunkannya wahyu:
a. Hubungan dan penerimaan wahyu secara langsung. Wahyu ini
diturunkan kepada hati seorang nabi atau melalui mimpi.
b. Hubungan dan penerimaan wahyu melalui pendengaran dari balik
hijab dan tirai. Nabi hanya mendengar suara dan tidak melihat
siapa pun. Sebagai contoh, Nabi Musa as di lembah Aiman atau
bukit Tursina mendengar sebuah suara yang memberikan perintah
atau petunjuk kepadanya.
c. Hubungan dan penerimaan wahyu melalui perantara malaikat.
Malaikat membacakan wahyu kepada nabi dan nabi menyampaikan
wahyu tersebut kepada umat manusia.
Seperti telah kami jelaskan, hubungan Rasulullah Saw dengan
Allah dan penerimaan wahyu oleh beliau terjadi dengan cara terakhir.
Malaikat Jibril menerima seluruh Al-Qur’an dari Lawh Mahfûzh lalu
membacakannya kepada Rasulullah Saw. Beliau lalu membacakan
wahyu kepada umat dan para penulis wahyu menulis teks dan susunan
p:46
wahyu tersebut seperti yang disampaikan oleh beliau. Terdapat juga
riwayat yang menyatakan bahwa malaikat Jibril pernah muncul kepada
Rasulullah Saw dalam bentuk Dihyah Kalbi.
Inilah sekilas pandangan Islam dan Al-Qur’an sehubungan dengan
cara hubungan Rasulullah Saw dengan Allah dan penerimaan wahyu
oleh beliau.
Sumber makrifat dalam irfan adalah fana. Selama seseorang belum fana
dari dirinya, ia tidak akan pernah dapat menggapai makrifat intuitif.
Fana memiliki derajat tertentu yang dapat terwujud secara berkesinambungan
berdasarkan perjalanan salik menuju kesempurnaan.
Fana dalam irfan Islami memiliki perbedaan fundamental dengan
fana dalam ajaran Hindu. Fana dalam ajaran Hindu memiliki sisi negatif;
yakni kebinasaan dan ketiadaan. Sedangkan fana dalam irfan Islami
memiliki kandungan yang positif. Yakni, setiap fana menghasilkan
eksistensi yang lebih sempurna. Dengan kata lain, fana dalam irfan
Islami tidak bermakna kebinasaan seorang salik. Fana berarti ia telah
berhasil melewati sebuah batas esensi diri (huwiyyah wa ta‘ayyun) dan
sampai kepada esensi yang lebih sempurna. Dari sini, Maulawî pernah
berkata, “Tidak perlu ditakutkan, karena dengan kematian, kita tidak
akan pernah berkurang.”(1) Fana bukan kematian, tetapi kelahiran baru.
Kematian dan kelahiran, dari titik nol hingga titik tidak terbatas, dari
manusia yang bersifat benda mati menjadi manusia yang berkarakter
Ilahi. Dalam proses transformasi (tahawwul) yang tidak kenal batas
ini, esensi akan terkorbankan untuk menjadi esensi yang lain. Dalam
proses perjalanan menuju kesempurnaan, setiap batas dan esensi memiliki
efek-efeknya yang khusus; di antaranya adalah derajat makrifat.
p:47
Ketika seseorang dalam proses gerak menaik (syair shu‘ûdî)
telah berhasil melewati alam materi, setingkat itu juga ia berhasil
menggapai makrifat yang lebih tinggi; sebuah makrifat yang tidak
dapat diperoleh melalui kekuatan materi; yakni indera dan akal.
Menurut Syaikh Isyrâq, menggapai hikmah sebelum ada kemampuan
memisahkan tubuh (dari ruh) adalah sesuatu yang tidak mungkin.(1)
Seluruh arif mendidik manusia untuk menyeberangi maqam dan
persinggahan-persinggahan (maqam wa manzil). Setiap maqam dan
persinggahan tidak ubahnya seperti wujud baru. Karena wujud
manusia adalah kawn jâmi‘, (alam yang sempurna) seluruh maqam
dan persinggahan secara potensial ada dalam wujudnya.
Kamu satu, kamu tiada, wahai sobat baikku;
kamu selalu berganti dengan sebuah laut yang dalam. (2)
Dalam proses menuju kesempurnaan, manusia melalui lapisanlapisan
wujud dirinya dan berjalan dalam dirinya; dari dirinya ia menuju
kepada dirinya sendiri.(3) Ketika menyeberangi lapisan wujud, pada setiap
tingkatan ia berhadapan dengan sebuah makrifat baru yang tidak
pernah ada pada tingkatan sebelumnya.
Atas dasar ini, menurut pandangan urafa, berbeda dengan
pandangan para filosof, ilmu bukan kesempurnaan yang hinggap dan
mengambil tempat (‘âridh) dalam diri manusia. Kesempurnaan wujud
serta tingkatan jawhar dan dzat manusia adalah sumber ilmu dan
seni. Dengan demikian, makrifat intuitif muncul dari tingkatan wujud
seorang arif dan berbeda-beda dari sisi kekuatan dan kelemahannya
tergantung kepada maqam dan persinggahan irfani.
Ringkas kata, makrifat intuitif adalah hasil fana seorang arif
dari dirinya dan keabadiannya dengan Dzat Yang Maha Haqq.
p:48
Seorang arif dapat memanfaatkan makrifat ini ketika ia sudah fana
dan terbebaskan dari dirinya. Apabila wujud seorang arif masih ada,
hakikat masih tersembunyi darinya. Ketika wujud telah fana, hakikat
akan muncul. Dalam pandangan urafa, diri seseorang adalah tirai yang
menghalanginya dari hakikat.
Engkau adalah hijab bagi dirimu sendiri,
hai Hafez bangunlah!
Dalam melakukan komparasi antara kedua sumber makrifat, kita dapat
memaparkan perbedaan-perbedaan berikut ini:
Realita yang dapat kita pahami dari proses penerimaan wahyu adalah
ketika seorang nabi sedang menerima wahyu dari malaikat Jibril, ia
sadar dan tidak kehilangan kesadaran, meskipun beberapa efek dan
tanda wahyu terlihat padanya, seperti menggigil atau berkeringat.(1)
Dalam kondisi ini, ia masih tetap sadar diri. Berbeda dengan irfan.
Ketika seorang arif telah sampai kepada maqam jam‘ dan tauhid; yakni
maqam fana, ia kehilangan kendali diri. Pada saat fana, bukan hanya
arif itu sendiri, segala sesuatu yang tercipta dari ketiadaan sebelum itu
akan ikut fana dalam Dzat Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, hal
ini tidak berarti seluruh maujud menjadi binasa dan tidak ada bekas
makhluk pun yang tersisa.
Ketiadaan mutlak ini hanyalah prasangka orang-orang yang
masih terselimuti hijab dan tirai. Mereka mengatakan, sebagaimana
permulaan alam, di akhir usia alam ini pun, Allah akan ada tanpa
makhluk. Allah tetap ada meski tidak satu pun makhluk yang ada. Urafa
tidak mengklaim demikian. Maksud mereka adalah ketika seorang
arif telah sampai kepada maqam jam‘, ia akan memahami dengan
p:49
perantara makrifat intuitif bahwa selain Allah Yang Maha Haqq tiada
maujud lain di alam ini. Seluruh maujud alam selain Dzat Yang Maha
Haqq, seluruhnya adalah esensi (huwiyyah) Dzat Yang Maha Haqq itu
sendiri.(1)
Kesimpulannya, makrifat intuitif di luar kesadaran seorang salik.
Sedangkan, makrifat yang berasal dari wahyu berpindah kepada nabi
dalam kondisi ia sadar. Seorang arif dapat menggapai makrifat intuitif
pada saat ia tidak sadarkan diri. Ketika ia kembali ke alam sadar, ia
tidak lagi berada di alam intuisi. Sesuatu yang tersisa dalam ruang akal
hanyalah refleksi dari pengalaman irfani, dan itu pun terwujud melalui
efek-efeknya, atau gambaran-gambaran (suram) yang dibentuk oleh
akalnya. Hasil penyingkapan dan intuisi tidak akan memasuki akal secara
langsung. Padahal, nabi menerima wahyu dengan perantara akal. Al-
Qur’an yang mulia sebagai firman Allah disampaikan kepada Rasulullah
Saw dalam rentang waktu 23 tahun, dengan teks dan susunan yang ada
sekarang ini, melalui perantara Jibril atau secara langsung dan tanpa
perantara. Beliau pun memperoleh perintah untuk menyampaikannya
kepada umat manusia tanpa perubahan sedikit pun.(2)
Pada saat menerima wahyu, Rasulullah Saw mengalami sebuah
kondisi dan keadaan yang sangat khusus, seperti tubuh bergetar atau
berkeringat.(3) Akan tetapi, kondisi dan keadaan ini tetap disertai
dengan kesadaran dan perasaan rendah diri kehambaan di depan
Allah yang telah memerintahkan beliau untuk menyampaikan pesanpesan-
Nya. Pada awalnya, beliau khawatir tidak mampu menghafal
ayat-ayat wahyu. Oleh karena itu, beliau berusaha sekuat tenaga untuk
menghafalnya.(4) Allah Yang Maha Pengasih mempermudah tugas itu
kepada beliau dan membimbing beliau supaya tidak tergesa-gesa dan
mengikuti proses pembacaan wahyu setapak demi setapak, karena Dia
telah menjamin keabsahan dan keselamatan teks wahyu itu.
p:50
Janganlah kamu gerakkan lidahmu karena tergesa-gesa
ingin (membaca) Al-Qur’an. Karena mengumpulkan dan
membacanya adalah tanggungan Kami. Apabila Kami telah
selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian,
penjelasannya adalah (juga) tanggungan Kami” (QS. Al-Qiyamah
[75]: 16-19).(1)
Makrifat yang berasal dari wahyu adalah sebuah makrifat yang bersifat
instruksional (ta‘lîmî); yakni dapat dipindahkan dan diajarkan kepada
orang lain. Malaikat Jibril menerima wahyu dari Lauh Mahfûzh dan
menyampaikannya kepada Rasulullah Saw. Beliau lantas menyampaikan
wahyu kepada umat tanpa perubahan sedikit pun. Atas dasar ini, dari
sisi pemahaman dan penerimaan wahyu, seluruh Mukminin dan
bahkan selain Mukminin memiliki posisi yang sama dengan beliau.
Satu-satunya perbedaan yang ada adalah beliau menjadi perantara
mereka dalam menerima wahyu itu. Seluruh ayat Al-Qur’an juga
demikian. Orang-orang yang objektif dan tidak membangkang pasti
menerima masalah ini. Tugas Rasulullah Saw hanyalah Al-Qur’an dan
hikmah. Sebelum wahyu turun, beliau juga tidak mengetahui sedikit
pun tentang itu. Setelah memaparkan macam-macam cara penerimaan
wahyu, Al-Qur’an berfirman kepada beliau:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu seorang ruh dengan
perintah Kami (sebagaimana Kami juga telah mengutus seorang
ruh kepada para nabi sebelummu). Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui
apakah iman itu. Tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya,
yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 2).
p:51
Makrifat intuitif tidak bersifat instruksional. Makrifat ini hanyalah
pengalaman pribadi, dan tidak seorang pun dapat memindahkan atau
mengalihkan pengalaman pribadinya kepada orang lain.
‘Ainul Qudhât membagi pengetahuan manusia dalam dua
klasifikasi: (1) ilmu; yakni seluruh pengetahuan yang dapat dipahami
melalui perantara akal, dan (2) makrifat; yakni hakikat-hakikat yang
hanya dapat digapai dengan jalan pengalaman pribadi.
Menurut ‘Ainul Qudhat, bisa atau tidak bisa ditransfer adalah
tolok ukur perbedaan antara ilmu dan makrifat. Artinya, kita dapat
mendefinisikan masalah ilmu dengan menggunakan ungkapan yang
sesuai dengannya dan mentransfernya kepada orang lain. Tetapi,
makrifat intuitif hanyalah pengalaman dan tidak dapat diungkapkan
dengan jelas. Sebagai perumpamaan, seseorang tidak dapat mentransfer
pengalamannya tentang aneka warna kepada seseorang yang buta.(1)
Atas dasar ini, dapat atau tidak dapat ditransfer adalah tolok ukur
penting perbedaan antara wahyu dan pengalaman-pengalaman urafa.
Manusia?
Jawaban pertanyaan ini adalah tolok ukur lain perbedaan agama dan
irfan pada sisi sumber makrifat.
Seperti telah dijelaskan, dalam agama Islam, seluruh ajaran Ilahi
diterima oleh Rasulullah Saw dari luar; dari Lawh Mahfûzh dan melalui
perantara malaikat Jibril. Sebelum menerima wahyu, Rasulullah Saw
tidak mengetahui apa pun tentang hal itu. Artinya, hakikat wahyu,
meskipun dalam bentuk potensi (bi al-quwwah), tidak ada dalam
diri beliau. Wahyu turun kepada beliau berasal dari luar diri beliau.(2)
Padahal, dalam pandangan urafa, setiap makrifat yang digapai oleh
seorang arif berasal dari dalam dirinya.
p:52
Urafa sehubungan dengan masalah ini menjelaskan:
Sumber makrifat adalah wilâyah. Wilâyah khusus tidak akan
pernah dapat diperoleh kecuali dengan fana. Fana adalah
kedekatan seorang salik kepada hakikat dan ketiadaannya dalam
hakikat. Kedekatan dan ketiadaan inilah yang menjadi faktor ia
memperoleh makrifat-makrifat intuitif.”
Qaishari (w. 751 H), pensyarah tersohor aliran irfan Ibnu Arabi,
menjelaskan sehubungan dengan masalah ini:
Kenabian adalah sebuah anugerah Ilahi, dan usaha seseorang tidak
memiliki peran dalam masalah ini. Nabi adalah utusan Allah yang
diutus untuk memberikan petunjuk dan hidayah kepada umat
manusia ... Ia memiliki kenabian batiniah; yakni wilâyah. Dengan
demikian, melalui perantara wilâyah-nya, ia menerima hakikat
dan makna-makna dari Allah atau para malaikat. Dan melalui
perantara kenabiannya, ia menyampaikan semua itu kepada umat
manusia.”(1)
Dengan demikian, urafa berkeyakinan bahwa nabi menerima
makrifat-makrifat melalui perantara batinnya. Yakni, melalui perantara
wilâyah yang dimiliki, ia menerima seluruh jenis makrifat dan melalui
perantara kenabian, ia menyampaikannya kepada umat manusia. Inilah
pandangan urafa tentang makrifat-makrifat intuitif. Mereka meyakini
bahwa kenabian juga termasuk dalam kategori makrifat.
Dalam irfan, barangsiapa berhasil sampai kepada sebuah makrifat,
sebenarnya ia sampai dalam dirinya dan dari dirinya. Ibnu Arabi sendiri
menyatakan, setiap pemilik penyingkapan (kasyf) yang dapat melihat
sebuah gambaran, dan gambaran itu memberikan makrifat-makrifat
kepadanya, gambaran ini adalah gambaran dia sendiri, bukan selain
p:53
dia. Pada hakikatnya, ia memetik buah makrifat dari pohon wujudnya
sendiri.(1) Setiap makrifat akan sampai kepada seseorang dari dirinya
sendiri. Rasulullah Saw menjelaskan, makrifat kepada Allah adalah
makrifat kepada diri sendiri. Beliau bersabda, “Barang-siapa mengenal
dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”
Ibnu Arabi meyakini bahwa seluruh anugerah adalah penjelmaan
(tajallî) Ilahi, dan penjelmaan berarti seorang arif melihat dirinya
dalam cermin Ilahi.
Hai hati, pilihlah fana sebagai ikatan dirimu; duduklah
merenung ingin saksikan Dzat Yang Haq.
(Setelah tirai gaib tersingkap dari hadapanmu;
engkau lihat dirimu dalam cermin Yang Haqq.
Ibnu Arabi melanjutkan:
Sekalipun salik melihat dirinya dalam cermin Dzat Yang Maha
Haqq, akan tetapi ia tidak melihat Dzat Yang Maha Haqq. Tidak
ubahnya seperti cermin. Seseorang melihat dirinya dalam cermin,
tetapi ia tidak melihat cermin itu sendiri.”(2)
Ringkas kata, dalam ajaran agama, nabi menerima wahyu dari
luar dirinya. Tetapi, dalam ajaran urafa, makrifat intuitif muncul dari
dalam diri seorang arif. Seperti telah kita saksikan bersama, urafa
menginterpretasikan konsep kenabian berdasarkan prinsip pandangan
mereka sendiri. Sehubungan dengan masalah ini, kita masih akan
mendiskusikannya pada pembahasan yang akan datang.
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, kita akan selalu
merasakan ada jarak pemisah antara sumber asli wahyu (Allah) dan
penerima wahyu (nabi). Penerima wahyu adalah seorang manusia
p:54
dengan puncak penghambaan disertai dengan penyerahan diri dan
kerendahan hati yang total. Ia adalah seorang manusia seperti manusiamanusia
lain yang tidak pernah mengklaim dirinya sebagai malaikat,
tidak mengetahui rahasia alam gaib, dan tidak pula menguasai hartaharta
di bumi dan langit. Keuntungan dan kerugian dirinya juga tidak
berada di tangannya. Segala yang ia miliki dan setiap ucapan yang
ia ucapkan adalah anugerah dan inayah Allah yang memiliki segala
sesuatu dan pemilik segala sesuatu; penciptaan dan kerajaan alam ini
berada di tangan-Nya.
Bahasa Al-Qur’an adalah sebuah bahasa umum yang lazim digunakan
oleh masyarakat umum. Sebab, seperti telah kami jelaskan sebelum ini,
hakikat wahyu bisa ditransfer dan bisa diajarkan. Berbeda dengan bahasa
urafa. Bahasa mereka adalah bahasa sandi dan simbol. Sebab, seperti
yang juga telah kami utarakan sebelum ini, pengalaman-pengalaman
irfani dan makrifat-makrifat intuitif tidak dapat ditransfer dan tidak
dapat diajarkan. Sehubungan dengan masalah ini, pada pembahasan
mendatang akan dikupas dengan lebih terperinci.
Cukup kami isyaratkan, urafa dari awal telah mengetahui
hal ini dengan baik. Junaid berkata, “Ucapan kami adalah simbol
dan isyarat.” Bahasa isyarat dan simbol adalah titik temu antara
menyembunyikan dan mengungkapkan. Artinya, mengucapkan
dalam kondisi tidak mengucapkan dan tidak mengucapkan dalam
kondisi mengucapkan.(1)
Sesuai dengan penjelasan pada pembahasan-pembahasan sebelum ini,
seluruh ajaran agama dapat dicerna secara konseptual dan argumentatif
p:55
(tashawwur wa tashdîq). Berdasarkan hal ini, Al-Qur’an menekankan
supaya kita berpikir dan merenung. Bahasa Al-Qur’an adalah sebuah
bahasa yang jelas dan fasih, berbeda dengan irfan. Makrifat-makrifat
intuitif tidak dapat dipaparkan dengan gamblang dan tidak pula bisa
ditransfer. Sekalipun dijelaskan dengan menggunakan bahasa simbol
dan isyarat, pada akhirnya tidak bisa dicerna dan dibenarkan oleh akal
dan pikiran kita; yakni sangat rumit. Sebagai contoh, ucapan seorang
arif yang menegaskan ‘Akulah Dzat Yang Maha Haqq’, atau konsep
wahdat al-wujûd, dan begitu pula masalah fana dan keabadian. Semua
masalah ini tidak bisa dicerna dan dibenarkan oleh akal dan pikiran
kita. Meskipun urafa memaparkan semua konsep itu hanya untuk
melawan tuduhan para teolog dan filosof, akan tetapi mereka sendiri
menekankan bahwa konsep-konsep itu tidak dapat digapai melalui
perantara diskusi dan akal.(1)
Akal dan logika memang menghukumi, apabila seseorang
diperintah untuk menunjukkan jalan hidayah kepada masyarakat,
ucapannya harus dapat dicerna oleh seluruh lapisan masyarakat.
Ibn Sina dalam pembahasan kenabian buku Al-Syifâ dan Al-Najâh
menegaskan bahwa ajaran dan bahasa pengajaran seorang nabi harus
dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Sehubungan dengan
masalah ini, ia menulis:
Nabi tidak boleh memikulkan sebuah makrifat di pundak masyarakat
yang melebihi makrifat terhadap keesaan dan ketunggalan Allah.
Jika tidak demikian, mereka akan merasa keberatan dan mengalami
kekacau-balauan. Ia tidak boleh melakukan tindakan yang dapat
menyembunyikan hakikat dari masyarakat. Nabi tidak boleh
menggunakan bahasa simbol dan isyarat. Ia tidak menjelaskan
ajaran-ajarannya dengan menggunakan bahasa isyarat dan simbol.
Dengan bantuan alegori dan figurasi (tasybîh wa tamtsîl), ia harus
menyadarkan masyarakat akan keagungan alam materi ini. Dan
p:56
melalui jalan ini, ia dapat menunjukkan keagungan Ilahi kepada
mereka. Dalam ajaran-ajarannya, ia harus mencukupkan diri dengan
penegasan bahwa Allah tidak diserupai, tidak bersekutu, dan tidak
tertandingi. Sehubungan dengan asas Hari Akhir, nabi harus
memaparkannya sedemikian rupa sehingga masyarakat memahami
bagaimana hal itu akan terjadi dan mereka merasa menyenanginya.
Berkenaan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan ukhrawi, ia juga
harus memaparkannya dengan ungkapan yang dapat mereka cerna
melalui jalan alegori dan figurasi.”(1)
Bukan hanya bahasanya yang jelas dan ajarannya yang dapat dipahami
dengan mudah, agama dari banyak sisi juga tidak membenturkan kita
dengan keambiguan. Berbeda dengan irfan. Tidak hanya bahasanya
yang simbolik. Ajarannya rumit dan tidak dapat dicerna dengan
mudah, irfan bahkan menghadapkan manusia kepada kebingungan
dan keambiguan. Mari kita menelaah agama dan irfan dari sudut
pandang berikut ini:
Fondasi-fondasi agama tidak ambigu. Rasulullah Saw mengajak
kita kepada tauhid, kenabian, dan Hari Akhir. Seluruh konsep ini
dipaparkan sedemikian rupa sehingga seluruh lapisan masyarakat
dapat memahami dan mencernanya. Seorang penganut agama dapat
meyakini bahwa ada Allah Yang Mahaesa nan Maha Perkasa. Guna
menunjukkan jalan hidayah kepada umat manusia demi menggapai
kebahagiaan duniawi dan ukhrawi, Dia mengutus para nabi supaya
menjelaskan pengetahuan dan aturan-aturan untuk mereka. Ini adalah
pilar utama agama.
p:57
Dalam kebutuhan praktis sehari-hari, agama juga tidak
menghadapkan kita kepada keambiguan dan kebingungan. Setiap
orang yang telah mencapai usia taklif, seluruh perintah dan larangan
telah dijelaskan secara gamblang kepadanya. Hal-hal yang wajib, sunah,
mubah, makruh, dan haram telah diketahui dengan jelas. Semua telah
dijelaskan secara detail, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Apakah salat itu? Apakah puasa itu? Siapakah yang harus melaksanakan
ibadah haji? Apakah zakat itu? Apakah yang dimaksud dengan amar
makruf dan nahi mungkar? Setiap Muslim pasti mengetahui jawaban
untuk semua pertanyaan ini. Jika ia tidak mengetahui, ia dapat merujuk
kepada buku-buku referensi bersangkutan untuk mengetahuinya.
Hasil final dalam agama juga sudah diketahui dan tidak ambigu.
Barang-siapa mengikuti seluruh ajaran agama, ia pasti beruntung
dan barangsiapa menentangnya, ia pasti celaka. Al-Qur’an berfirman,
“Sungguh beruntunglah orang yang telah menyucikannya, dan sungguh
merugilah orang yang telah mengotorinya” (QS. Al-Syams [91]: 8-9).
Program hidup manusia adalah program yang telah dijelaskan dari
sejak ia turun ke dunia ini, dan hasilnya adalah hasil yang juga telah
dipaparkan.
Kami berfirman, ‘Turunlah kalian semua dari surga itu! Kemudian
jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya mereka tidak akan merasa takut
dan tidak (pula) bersedih hati.’ Dan orang-orang yang kafir dan
mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah [2]: 38-39).
Atas dasar ini, agama berdiri kokoh di atas tonggak pengetahuan
dan hujah yang jelas (bashîrah).
Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujah yang
p:58
nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik.” (QS. Yusuf [12]: 108).
Oleh karena itu, agama tidak memerlukan pemaksaan. Al-
Qur’an berfirman, “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat”
(QS. Al-Baqarah [2]: 256).
Banyak orang mengklaim bahwa agama adalah keraguan dan
kebingungan itu sendiri. Para pemeluk agama disebut telah terjerumus
ke jurang kebingungan. Anggapan tersebut tidak dapat disalahkan
begitu saja. Sebab, klaim seperti ini dipengaruhi oleh pemikiran yang
ada di Dunia Barat, dunia yang masyarakatnya hanya mengenal
model agama semacam itu. Yakni, agama Kristen yang tidak memiliki
landasan logika, syariat yang jelas, dan tidak pula tujuan yang dapat
dipahami.(1)
Seperti telah dipaparkan, ajaran irfan tidak dapat dicerna oleh akal
dan pikiran. Pengalaman irfani tidak dapat disampaikan kepada orang
lain. Dalam irfan, ketika seseorang telah sampai kepada maqam
kedekatan (wushûl) dan fana, dirinya akan sirna.
Apa yang dapat kukatakan sebuah sarafu tak sadar;
karena menyifati Dzat Penolong Tanpa-penolong.
Barangsiapa melihat taman bunga yang tersembunyi;
gairah cintamu akan pupus sirna dari dirimu.
Maulana Rumi
Kaidah dalam ajaran irfan adalah “berita yang seharusnya tiba
tidak akan pernah tiba”. Pendengar juga tidak akan mampu
mencerna pernyataanpernyataan seorang arif, karena ia tidak pernah
memiliki pengalaman
p:59
seperti pengalaman sang arif. Jika pendengar mengaku memahami,
pengakuan ini hanyalah hasil dari serentetan gambaran-gambaran
yang batil.(1) Bahasa dan ungkapan seperti telah kami singgung di atas
sangat tidak jelas.
Seorang arif hanyalah mendorong orang lain supaya melangkahkan
kaki di jalan yang tidak pernah ia kenali. Dengan demikian, irfan dimulai
dengan taklid murni. Ini semua ditinjau dari sisi irfan. Dari sisi makna,
permasalahannya juga tidak lebih baik dari itu. Tarekat didominasi
oleh kegelapan dan keambiguan. Proses suluk tidak dapat disesuaikan
dengan kaidah tertentu. Batin tidak dapat dibatasi dengan aturan
tertentu. Setiap orang memiliki tujuan dan dalam jiwanya memiliki
situasi dan kondisi tersendiri. Atas dasar ini, kondisi (ahwâl) batin
tidak dapat dibebani taklif serta tidak dapat diperintah dan dilarang.
Dari sisi batin, seseorang dalam setiap saat mengalami ribuan maqam
dan hâl yang beraneka ragam. Berbeda dengan sisi lahiriah manusia. Di
mana seluruh manusia dapat dibebani hukum syariat yang sama.(2)
Oleh karena itu, dalam suluk, setiap orang harus senantiasa berada
dalam bimbingan dan pengawasan seorang guru.
Tanpa tuntunan seorang syaikh yang handal;
engkau berangkat kala tidak memiliki hati yang melihat.
Aduhai burung yang tidak bersayap kuat
terbang tinggi di angkasa dan akan tersungkur dalam bahaya.
Di dunia yang penuh jebakan ini, berhati-hatilah terhadap nafsu;
dan terhadap luka-luka yang sewarna dengan obat.
Sebuah racun mematikan yang berbentuk madu dan susu;
janganlah engkau pergi tanpa musyawarah syaikh yang tahu.
Tangga-tangga langit akan menjadi tua bangka;
milik siapakah anak panah yang melesat itu?
Maulana Rumi
p:60
Seorang salik senantiasa bergantung kepada orang lain. Meskipun
urafa selalu menegaskan perantara antara Allah dan makhluk harus
dihapuskan, ternyata kita lihat sendiri mereka masih membutuhkan
wali pembimbing dan pemberi petunjuk.
Suatu pengalaman yang terjadi dalam tarekat, pada umumnya,
tidak dapat diketahui oleh salik sendiri secara pasti. Bashîrah (batin)
dapat dihinggapi kotoran dan kesalahan melebihi indera dan akal.(1)
Seluruh makrifat yang masuk ke dalam batin seorang arif dapat berasal
dari Allah dan dapat juga berasal dari setan. Memilah dan memilih
kedua jenis makrifat, umumnya berada di luar kekuasaan salik. Oleh
karena itu, ia memerlukan sebuah tolok ukur dan perantara. Qaishari
dalam prolog buku Syarh Fushûsh Al-Hikam menulis, “Perbedaan
antara makrifat Ilahi dan setani bergantung kepada tolok ukur yang
dimiliki oleh salik yang sedang berusaha menyingkap rahasia.”
Ketika mengomentari pernyataan ini, Asytiyani menulis, “Setiap
ilmu pengetahuan memiliki tolok ukur khusus. Dengan tolok ukur
ini, keabsahan dan kebatilan ilmu dapat diketahui. Kebutuhan ilmu
(tasawuf) sebagai sebuah ilmu yang paling mulia di antara sekian ilmu
yang ada.”(2)
Tolok ukur paling mendasar bagi seorang salik adalah syaikh dan
mursyidnya. Ibn Turkah menulis:
Yang harus terpenuhi bagi salik yang tidak memiliki seorang
syaikh dan tidak mengikuti seorang pembimbing, seorang
syaikh dan pembimbing yang seluruh kondisi dan problematika
salik ada di tangannya. Akan tetapi, apabila ia memiliki seorang
syaikh dan mursyid, dalam setiap maqam dan tingkatan serta
sesuai dengan kemampuannya menggapai makrifat tingkatan
tersebut ia akan dibimbing oleh sang mursyid.”(3)
p:61
Karena salik senantiasa berhadapan dengan lautan kebingungan
serta tidak mengenal jalan dan tata krama setiap persinggahan,
keberhasilannya tanpa syaikh dan pembimbing sangatlah minim.
Janganlah mencoba melewati tingkatan ini tanpa pembimbing;
semua gelap dan takutlah terhadap kesesatan.
Hafizd
Kemungkinan salah, keambiguan, dan kebingungan ini
menuntut supaya salik tidak menunjukkan eksistensi dirinya
di hadapan syaikh dan harus pasrah penuh kepadanya, seperti
kepasrahan jenazah di hadapan orang yang memandikannya.(1)
Kami tidak mengingkari padangan urafa, ada beberapa orang yang
telah berhasil menggapai makrifat-makrifat yang tidak dapat diragukan
lagi. Makrifat ini malah lebih meyakinkan daripada keyakinan
argumentatif (burhânî). Akan tetapi, pertama, orang-orang semacam
ini sangat sedikit; kedua, keyakinan semacam ini hanya berhubungan
dengan pemiliknya dan tidak dapat dipindahkan, disalurkan atau
dialihkan kepada orang lain.
Tidak ada korelasi yang teratur antara amal dan hasil. Orang
salih dan orang bejat menawarkan barang dagangan mereka masingmasing.
Akan tetapi, barang dagangan manakah yang diterima? Hal
ini tidak dapat diketahui secara pasti. Keambiguan dalam penentuan
nasib termasuk salah satu masalah yang disepakati oleh kaum sufi
dan dikenal dengan nama sirr al-qadar (rahasia takdir). Keambiguan
ini adalah faktor terbesar kebingungan dan kekhawatiran para salik,
karena kemampuan setiap orang adalah faktor penentu dari keberhasilannya.
Kemampuan tersebut bukan hal yang perlu diketahui
oleh semua orang.(2)
p:62
Ontologi Agama dan Irfan
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, alam memiliki realita dan
eksistensi, seluruh esensi di alam ini nyata. Ditinjau dari segi nilai
dan keagungannya, alam diklasifikasikan atas dua hal: alam atas dan
alam bawah, alam inderawi dan alam noninderawi, dunia dan akhirat.
Seluruh klasifikasi alam bersifat riil dan nyata. Artinya, meskipun
alam malaikat atau kehidupan ukhrawi lebih tinggi dan lebih bernilai
dibandingkan dengan alam tanah dan kehidupan duniawi, tidak
berarti alam tanah dan kehidupan duniawi tidak riil dan hanya
khayalan belaka. Kehidupan duniawi tidak abadi dan selalu diwarnai
kesusahan dan derita. Apabila tidak ditempatkan di atas jalan yang
menuju akhirat, kehidupan ini tidak lebih dari kehidupan hewani dan
hanya permainan belaka.(1)
Pada mulanya, alam secara keseluruhan tidak ada. Dengan
kehendak-Nya, Allah lantas menciptakannya. Tata cara penciptaan
alam berikut perinciannya sedikit banyak telah dipaparkan dalam Al-
Qur’an seperti asal kehidupan, penciptaan langit dan bumi, manusia,
p:63
air, angin, hujan, awan, siang dan malam, gunung, laut, binatang,
serangga, kematian, kehidupan, dsb..
Penciptaan alam adalah kehendak dan kekuasaan Allah. Tidak ada
faktor lain yang memainkan peran dalam masalah ini. “Sesungguhnya
perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka terjadilah ia” (QS. Yasin [36]: 82). Allah
menciptakan alam supaya manusia dan jin menghamba kepada-Nya,(1)
sebagaimana bangsa malaikat tidak pernah lengah untuk menghamba
kepada-Nya.(2) Alam tidak bersifat kekal abadi. Seluruh binatang yang
bernyawa, manusia, dan suku bangsa hanya hidup sampai batas waktu
tertentu. Singkat kata, “semua yang ada di bumi akan binasa, dan hanya
Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”
(QS. Al-Rahman [55]: 26-27).
Setelah mengalami kematian, manusia akan hidup kembali dengan
kekuasaan Allah. Berdasarkan amal perbuatannya di dunia, ia akan
menempati surga atau neraka. Ia akan memulai sebuah kehidupan yang
kekal abadi, entah dalam kebahagiaan atau dalam kesengsaraan.(3)
Secara dzâtî (substansial), wujud ini adalah sesuatu yang wajib dan
tunggal. Artinya, di alam ini, tidak ada wujud kecuali wujud hakikat
yang wajib. Hakikat tunggal yang merupakan kesempurnaan dan
keindahan mutlak menuntut supaya terjelma (zhuhûr). Sebab, setiap
keindahan pasti (dharûrî) harus terjelma.
Manusia berparas cantik tak ‘kan pernah tersembunyi
sekalipun di bawah tembok ‘kan muncul dari celahnya.(4)
p:64
Untuk penjelmaan diri (zhuhûr) itu, diperlukan sebuah manifestasi
komprehensif yang mewakili seluruh nama dan sifat-sifat Dzat Yang
Maha Haqq. Oleh karena itu, Dia menciptakan alam semesta. Sebelum
ini, alam semesta laksana tubuh yang tidak bernyawa. Kemudian,
menciptakan manusia sebagai kawn jâmi’, Dia telah menganugerahkan
jiwa dan keindahan kepada alam semesta.(1) Alam semesta secara
keseluruhan adalah manifestasi sempurna Yang Maha Haqq sebagai
“insan besar”, dan manusia secara sendiri adalah manifestasi Dzat Yang
Maha Haqq sebagai “alam kecil”.(2)
Keinginan untuk menjelma dan menjelmakan (zhuhûr wa izhhâr)
bersifat abadi dan terus-menerus. Oleh karena itu, tajallî Dzat Yang
Maha Haqq juga bersifat abadi dan terus-menerus. Atas dasar ini, alam
semesta dalam bentuk “penciptaan menerus” (khalq-e mudom) selalu
dalam kondisi peniadaan dan pewujudan (i‘dâm wa îjâd).(3) Artinya,
alam semesta, sebagai manifestasi Dzat Yang Maha Haqq dalam busur
gerak menurun dan busur gerak menaik, senantiasa dalam kondisi
datang dan pergi karena pengaruh tajallî-Nya.
Seluruh semesta tidak lain hanyalah menifestai keterjelmaan
Dzat Yang Maha Haqq. Makhluk muncul karena Dia menjelma pada
diri mereka. Seandainya Dia tidak menjelma, mereka tidak akan
pernah ada.(4) Jika kita membandingkan Dzat Yang Maha Haqq dengan
makhluk ditinjau dari sisi wujud, hanya Dialah yang maujud secara
hakiki dan wujudnya bersifat prinsipal. Selain Dia, apa pun juga,
hanyalah “khayal”. Dengan demikian, seluruh alam semesta hanyalah
wujud khayal belaka.(5) Ibnu Arabi menulis:
Alam semesta tersembunyi sehingga tak pernah tampak, dan
Dzat Yang Maha Haqq sungguh tampak sedemikian rupa
p:65
sehingga tak pernah tersembunyi. Tetapi, manusia keliru dan
malah meyakini sebaliknya. Mereka meyakini bahwa alam
semesta tampak dan Dzat Yang Maha Haqq tersembunyi. Dari
sinilah mereka terjangkit penyakit syirik, hanya melihat halhal
yang dapat diindera, dan menyembah sesembahan yang
berbentuk. Allah hanya menyelamatkan sebagian hamba-Nya
dari serangan penyakit ini.”(1)
Dalam proses kembalinya seluruh maujud, hanya manusia yang
memiliki perjalanan tanpa batas, sebuah perjalanan yang dapat
menyambungkan garis pamungkas dengan garis permulaan.
Ontologi agama Islam memiliki perbedaan dengan ontologi urafa
Muslim. Berikut ini kami akan memaparkan sebagian perbedaannya:
Agama Islam menyatakan bahwa Allah adalah sumber utama (mabda’)
alam semesta. Allah adalah sebuah hakikat yang nyata (ainî) dan
terwujud secara utuh (mutasyakhkhish). Hal ini membedakan Dia
dari para makhluk. Dia esa dan tunggal. Artinya, tiada maujud lain
yang memiliki keadaan seperti Dia, sehingga layak menyamai-Nya
dalam wujud. Hubungan-Nya dengan alam semesta adalah hubungan
Pencipta dengan makhluk-Nya dan hubungan Tuhan dengan hamba-
Nya. Ini adalah pandangan agama.
Dalam persepsi urafa Muslim, Dzat Yang Maha Haqq tidak lain
adalah dzat yang menjelma pada alam semesta. Dia adalah segalanya,
wujud dan hakikat segala sesuatu. Wujud-Nya berjalan dan mengalir
dalam substansi seluruh alam semesta. Pada dasarnya, selain Dia tidak
ada yang memiliki wujud hakiki. Dia tidak terpisah dari makhluk dan
p:66
makhluk juga tidak terpisah dari-Nya.(1)
Tauhid dalam irfan bukanlah berarti keesaan dalam arti ketuhanan
dan dzat yang layak disembah. Tauhid irfani berarti bahwa di alam
semesta ini, tiada suatu selain Dia. Arti ungkapan lâ ilâha illallâh
dalam persepsi agama adalah “tiada dzat yang layak disembah dan yang
berpengaruh di alam semesta ini kecuali Allah”. Akan tetapi, arti irfani
ungkapan tersebut adalah “tiada maujud selain Allah”.
Qaishari berkata, “Maksud tauhid dalam dzat adalah seluruh
dzat yang ada ini sirna dan fana dalam Dzat-Nya.”(2)
Perbedaan antara tauhid dalam persepsi agama dan tauhid dalam
pandangan irfan sebagaimana pernyataan Izzuddin Mahmud Kasyani
yang cukup gamblang, sederhana, dan detail berikut ini:
Tauhid memiliki tingkatan-tingkatan: tauhid imani, tauhid ilmi,
tauhid hali, dan tauhid Ilahi. Tauhid imani adalah seorang hamba
membenarkan dengan hati dan mengakui dengan lisan sifat
keesaan dan ketunggalan Allah, baik dalam ketuhanan maupun
dalam keberhakan untuk disembah, berlandaskan penegasan ayat
Al-Qur’an dan hadis. Jenis tauhid ini adalah hasil pembenaran
terhadap seorang pemberi berita dan kebenaran sebuah berita,
serta digapai dari lahiriah sebuah ilmu. Berpegang teguh kepada
tauhid ini dapat menyelamatkan kita dari syirik yang nyata dan
memasukkan kita ke ruang lingkup agama Islam. Kaum sufi,
berdasarkan tuntutan iman, memiliki posisi yang sama dengan
Mukminin yang lain dalam tauhid ini. Tetapi, mereka berbeda dan
memiliki kedudukan khusus dalam tingkatan-tingkatan tauhid
yang lain.
Tauhid ilmi dapat diperoleh melalui batiniah ilmu. Para ulama
menyebut jenis ilmu ini dengan nama ‘ilmu yakin’. Penjelasannya,
pada permulaan jalan meniti tasawuf, seseorang harus mengetahui
p:67
secara yakin bahwa tiada maujud hakiki dan pemilik pengaruh
yang mutlak kecuali Tuhan alam semesta. Ia harus meyakini
bahwa seluruh esensi, sifat, dan tindakan sirna dan tidak berarti
di hadapan dzat, sifat, dan tindakan Allah. Ia hanya memahami
bahwa setiap esensi hanyalah sebuah cercahan dari cahaya Dzat
Allah Yang Maha Mutlak dan setiap sifat hanyalah serpihan dari
cahaya sifat Dzat Yang Maha Mutlak. Di mana pun ia menemukan
ilmu, kekuatan, kehendak, pendengaran, dan penglihatan, ia
meyakini bahwa semua itu hanyalah tilas ilmu, kekuatan, kehendak,
pendengaran, dan penglihatan Ilahi. Begitu pula tentang sifat dan
tindakan-tindakan yang lain. Ini adalah tingkatan pertama tauhid
kaum khawas dan kaum sufi. Prolog tauhid ini berhubungan erat
dengan ranting tauhid umum.
Serupa dengan tingkatan tauhid, sebuah tingkatan yang juga
disebut oleh orang-orang yang berpikiran dangkal dengan nama
tauhid ilmi. Sebenarnya, tauhid ini bukan tauhid ilmi, tetapi
tauhid gambaran (rasmî). Yang jelas, tauhid rasmî tidak memiliki
nilai. Penjelasan tauhid bayangan ini adalah seseorang karena
kecerdasannya bisa menggambarkan sebuah makna tauhid melalui
jalan telaah atau pendengaran. Lalu, sebuah bayangan tauhid
tergambar dalam kalbunya. Dalam diskusi dan perdebatan, ia
kadang-kadang melontarkan ucapan-ucapan yang tidak berdasar,
seakan-akan tidak sedikit pun tilas tauhid terpatri dalam dirinya.
Meskipun posisi tauhid ilmi lebih rendah dari posisi tauhid
hali, akan tetapi ia masih memiliki campuran semerbak mewangi
tauhid hali. “Dan campuran khamar murni itu berasal dari Tasnîm;
(yaitu) mata air yang darinya orang-orang yang didekatkan kepada
Allah minum.” (QS. Al-Muthafifîn [83]: 27-28). Ayat ini menyifati
minuman tauhid tersebut. Dengan demikian, penyandang
tauhid ini pada umumnya berada dalam kondisi dzauq dan selalu
berbahagia. Karena pengaruh campuran tauhid hali itu, sebagian
kegelapan yang menghantuinya tersingkirkan. Dalam sebagian
p:68
kondisi, ia bertindak sesuai dengan tuntutan ilmunya, tetapi tidak
menyaksikan adanya sebab-sebab yang merupakan perantara
Ilahi. Meskipun demikian, dalam setiap keadaan, karena sisasisa
kegelapan wujudnya masih ada, ia terhalangi dari tuntutan
ilmunya. Dengan perantara tauhid, sebagian orang terselamatkan
dari syirik yang tersembunyi.
Tauhid hali adalah kondisi tauhid menjadi sifat yang tidak
terpisah (lâzim) bagi esensi seorang muwahid. Karena dominasi
pancaran cahaya tauhid, seluruh kegelapan yang menghantui
wujudnya, kecuali sedikit kegelapan yang tersisa, akan sirna dan
lenyap. Lalu, cahaya ilmu tauhid mendominasi seluruh cahaya
jiwanya, tidak ubahnya seperti cahaya matahari yang melahap
cahaya bintang-gumintang ketika pagi hari tiba.
Pada maqam ini, wujud muwahhid ketika menyaksikan
keindahan Dzat Yang Mahaesa lenyap dalam Dzat-Nya sedemikian
rupa sehingga ia tidak dapat menyaksikan kecuali Dzat dan sifatsifat-
Nya. Pada keadaan ini, ia melihat tauhid sebagai sifat Dzat
Yang Mahaesa, bukan karakter dirinya, dan ia juga memandang
tindak melihat sebagai sifat-Nya. Dengan jalan ini, wujud muwahhid
laksana setetes air dalam renggutan gelombang laut tauhid dan
tenggelam dalam alam jam‘. Inilah arti pernyataan Junaid semoga
Allah menyucikan arwahnya yang menegaskan, ‘Tauhid adalah
sebuah makna yang di dalamnya seluruh gambaran (rusûm) sirna
dan seluruh ilmu melebur bersama-Nya, dan Allah tetap berada
dalam posisi-Nya, selamanya demikian; (yakni esa dan tunggal).’
Begitu juga pernyataan Ibn ‘Athâ’ semoga Allah merahmatinya
yang menjelaskan, ‘Tauhid adalah kamu melupakan tauhid karena
kamu menyaksikan keagungan Dzat Yang Mahaesa sedemikian
rupa sehingga kamu bersama Dzat Yang Mahaesa, bukan dengan
tauhid.’
Sumber tauhid ini adalah cahaya musyâhadah (penyaksian dan
intuisi), sedangkan sumber tauhid ilmi adalah cahaya murâqabah
p:69
(pengawasan diri). Dengan perantara tauhid hâli, mayoritas
gambaran-gambaran dalam benak manusia lenyap laksana
cahaya matahari yang melenyapkan mayoritas kegelapan dari
atas bumi karena dominasi cahayanya. Dengan perantara tauhid
ilmi,sebagian gambaran benak manusia sirna laksana cahaya
rembulan yang hanya dapat melenyapkan sebagian kegelapan,
sementara mayoritas kegelapan masih tersisa. Alasan mengapa
sebagian gambaran gelap masih tersisa dalam tauhid hâli adalah
untuk memungkinkan muwahhid beramal dan berucap dengan
baik. Itulah yang pernah digambarkan oleh Ustadz Abu Ali Ad-
Daqqâq semoga Allah merahmatinya dalam sebuah pernyataan,
‘Tauhid adalah laksana seorang pemilik utang yang utangnya tidak
terbayar atau orang asing yang haknya tidak dipenuhi.’ Dengan
perantara tauhid hâli, mayoritas syirik yang tersembunyi sirna.
Pada saat masih hidup, para muwahhid dari kalangan khawashsh
kadang-kadang memperoleh kilatan hakikat tauhid murni yang
mengkilat laksana petir dan lenyap seketika. Ia lalu melanjutkan
amalannya sehingga sehingga seluruh syirik yang masih tersisa akan
sirna. Di balik tingkatan tauhid ini, manusia mustahil menggapai
tingkatan tauhid yang lebih tinggi lagi.
Tauhid Ilahi adalah Dzat Yang Maha Haqq Swt sejak azal senantiasa
disifati dengan sifat keesaan dan ketunggalan. Hanya saja,
penyifatan ini harus dengan perantara Dia sendiri, bukan melalui
perantara yang lain. ‘Allah sudah ada, sedangkan tidak ada sesuatu
apa pun bersama-Nya’. Sekarang, Dia juga senantiasa secara azal
tetap sebagai Dzat Yang Mahaesa nan Mahatunggal hingga akhir
masa dan untuk selamanya. ‘Setiap sesuatu pasti binasa (hâlik-un)
kecuali wajah-Nya.’ (QS. Al-Qashash [28]: 88). Dia tidak mengatakan
yahliku supaya diketahui bahwa wujud segala sesuatu telah sirna
dalam wujud-Nya. Penundaan penyaksian kondisi ini hanya layak
dimiliki oleh orang-orang yang terselubungi tirai. Para pemilik
bashîrah dan intuisi yang telah terbebaskan dari ikatan
p:70
ruang dan waktu melihat janji ayat tersebut sebagai sebuah realita
yang telah terjadi sekarang juga. ‘Mereka memandangnya jauh,
sedangkan Kami memandangnya dekat.’ (QS. Al-Ma‘ârij [70]: 6-
7). Kemuliaan sifat Mahatunggal dan keperkasaan sifat Mahaesa
yang Dia miliki tidak memberikan kesempatan kepada selain-
Nya untuk eksis di alam wujud. Inilah hak sebuah tauhid. Inilah
sebuah tauhid yang terbebaskan dari segala bentuk kekurangan.
Tauhid para malaikat dan manusia tidak sempurna karena faktor
kekurangan wujud.”(1)
Ringkas kata, tauhid dalam agama berdiri tegak di atas keyakinan
seseorang. Dalam tauhid, Anda harus menerima bahwa Tuhan adalah
esa dan tiada tuhan selain Dia. Anda dapat meyakini ushulnya. Tetapi,
tauhid dalam irfan memerlukan sebuah perombakan total pada diri
manusia; memerlukan sebuah kelahiran baru dan melintasi dunia
yang terbatas oleh ruang dan waktu. Kita dapat meyakini tauhid dalam
agama dengan akal dan pikiran; tanpa perlu pekerjaan lain. Akan tetapi,
tauhid irfani hanya dapat digapai dengan perjuangan dan suluk. Dalam
agama, kita hanya mewujudkan sebuah keyakinan. Sementara dalam
irfan, kita harus memanifestasikan tauhid dalam diri; bukan hanya
dalam bentuk manifestasi rasional dalam benak, tetapi dalam bentuk
manifestasi riil di alam nyata.
Dalam buku Tafsir Al-Mîzân, Allamah M.H. Thabathabai membagi
tauhid dalam agama berdasarkan pemahaman para pemeluk agama. Ia
menulis,
Karena kedekatan dan kebiasaan manusia dengan kesatuan
bilangan, ia bersandarkan kepada kesatuan ini dalam mengesakan
Dzat Yang Mahawajib. Seluruh filosof dari periode kuno hingga
abad ke-10 membuktikan keesaan Dzat Yang Mahawajib dalam
bentuk kesatuan bilangan. Ibn Sina sendiri dalam karya-karya
p:71
tulisnya seperti Al-Syifâ’ meyakini keesaan Dzat Yang Mahawajib
dalam bentuk kesatuan bilangan. Pandangan para teolog adalah
juga keesaan dalam bentuk kesatuan bilangan. Setelah seribu
tahun dari periode Hijrah berlalu, para filosof Islam berhasil
menyingkap kesatuan mutlak (wahdah ithlâqiyyah) dan murni
untuk Dzat Yang Mahawajib.”(1)
Sehubungan dengan pandangan guru kami ini, kami ingin
menjelaskan beberapa poin berikut ini:
a. Kita terima bahwa para filosof dan teolog memaparkan keesaan
Dzat Yang Mahaniscaya dalam bentuk kesatuan bilangan. Tetapi,
kita tidak menerima apabila dalam filsafat dan teologi; yakni
dalam ruang lingkup ilmu hushûlî, terdapat bentuk kesatuan lain
selain kesatuan bilangan yang dapat dipaparkan dan dicerna secara
benar, kecuali kita hanya menengok sisi taklid dalam masalah ini
dan menganggap tingkatan ini sebagai prolog untuk tingkatantingkatan
berikutnya. Seperti pernah ditekankan oleh ‘Izzuddin
Mahmud Kasyani, bisa jadi seseorang keliru dalam menilai dirinya
sendiri dan meyakini taklidnya sebagai sebuah realita yang benar.
Artinya, ia meyakini makrifat-makrifat yang ia miliki dalam ruang
lingkup ilmu hushûlî sebagai makrifat-makrifat intuitif.
Bukan hanya para filosof dan teolog hingga periode seribu
tahun pasca Hijrah yang memahami keesaan Dzat Yang Mahawajib
dalam bentuk kesatuan bilangan. Lebih dari itu, pada dasarnya,
akal dan pikiran manusia saat itu tidak dapat mencerna arti
kesatuan mutlak nan murni wujud. Dasar pemikiran kita terbentuk
berdasarkan keberbilangan (katsrah). Sehubungan dengan ruang
lingkup pemikiran manusia, Ibn Sina berargumentasi, kesatuan
segala sesuatu tidak dapat diterima dan dicerna.(2) Jika akal dan
pikiran kita dapat memahami sebuah bentuk arti kesatuan,
p:72
umum, dan mencakup, arti kesatuan dan umum termasuk dalam
kategori arti kesatuan atau umum mafhûmî dan mâhuwî, atau
termasuk dalam kategori kesatuan genus dan material (jinsî wa
mâddî). Dalam irfan teoritis yang merupakan wadah pembahasan
hakikat-hakikat irfani, wujud mutlak diungkapkan secara figuratif
dengan ungkapan-ungkapan seperti thabî‘ah (alam natural), kullî
(universal), hayûlâ, dan jawhar.
b. Terminologi “kesatuan mutlak” (wahdah ithlâqiyyah) bukanlah
hasil rekayasa dan penemuan baru para filosof yang hidup pada
periode pasca abad X H. Tidak diragukan lagi, maksud Allamah
Thabathabai dari para filosof yang hidup pada periode seribu
tahun setelah Hijrah adalah Shadrul Muta’allihin dan para
pengikutnya. Artinya, hingga periode Shadrul Muta’allihin,
keesaan Dzat Yang Mahawajib dipaparkan dalam bentuk kesatuan
bilangan. Setelah itu, Shadrul Muta’allihin dan para pengikutnya
berhasil menyingkap kesatuan mutlak bagi Dzat Yang Maha Haqq,
sebuah bentuk kesatuan yang berlandaskan konsep wahdat alwujûd.
Akan tetapi, pandangan ini tidak benar. Kesatuan mutlak Dzat
Yang Maha Haqq telah dipaparkan secara jelas oleh urafa Islam
minimal lima abad sebelum periode Mulla Shadra seperti pernyataan
‘Ainul Qudhat dan Ahmad Ghazali. Jika bukan demikian, ada
sejumlah ungkapan yang secara luas menyebutkan masalah ini
kurang lebih tujuh abad sebelum periode Mulla Shadra Hujwairî.
Dalam buku Kasyf Al-Mahjûb (Thuhuri, hlm. 356) tertera,
“Keesaan Allah tidaklah dalam bentuk kesatuan bilangan.” Sejak
permulaan abad VII, pembahasan paling asli tasawuf adalah jenis
tauhid ini.
Sangat gamblang sekali, tauhid semacam ini bukan hanya
tidak sejalan dengan ajaran agama Islam tetapi, juga berseberangan
dengan ajaran dan pemahaman para pengikut seluruh agama
tauhid. Salah satu ajaran yang pasti dalam agama Islam, Kristen,
dan Yahudi adalah Allah bukanlah alam semesta. Dia adalah
p:73
penciptanya. Seluruh Mukminin berhadapan dengan Tuhan
yang sudah jelas. Mereka bermunajat dengan-Nya dan memohon
seluruh hajat kepada-Nya.
Seperti telah dipaparkan sebelum ini, dalam ontologi agama, seluruh
makhluk tidak kekal di dunia. Mereka akan kekal di langit dan alam
akhirat. Dua hal ini memiliki eksistensi yang hakiki. Setiap maujud
hanyalah bentuk maujud itu sendiri, bukan yang lain. Bumi adalah
bumi, rembulan adalah rembulan, dan manusia adalah manusia.
Seluruh makhluk memperoleh eksistensi mereka dari Sumber Utama
penciptaan. Dengan kehendak-Nya, mereka akan tetap ada atau musnah.
Adapun dalam ontologi irfani, segala sesuatu selain Dzat Yang
Maha Haqq tidak memiliki wujud hakiki. Seluruh alam semesta
khayalan dan fatamorgana belaka. Ibnu Arabi dan para pengikutnya
menganggap hubungan alam semesta dengan Dzat Yang Maha Haqq
tidak ubahnya bagai hubungan ombak dan laut atau hubungan sebuah
cermin dan orang yang sedang bercermin. Mereka tidak memberikan
sedikit pun wujud prinsipal kepada alam semesta. Akal dan indera kita
yang serba kuranglah yang menganggap bahwa semua itu ada.(1)
Dawud Qaishari menulis:
Segala sesuatu yang selain Dzat Yang Maha Haqq (mâ siwâ)
pada hakikatnya seperti ombak di sebuah laut yang sedang
bergelombang. Tidak diragukan lagi, meskipun ombak itu ditinjau
dari satu sisi, ia adalah sebuah aksiden (‘aradhî) terbentuk dari
air dan bukan air. Tetapi, ditinjau dari sisi wujud dan hakikatnya,
ombak tersebut hanyalah air. Begitu pula, hubungan uap, salju,
dan es dengan air. Memandang ombak tidak lain adalah peristiwa
melupakan laut berombak. Setiap gerakannya menggulirkan
p:74
ombak peristiwa dari alam batin dan gaib menuju ke ‘pantai’ alam
materi, dan membuat orang meyakini ombak terpisah dari laut.
Bayangan seperti itu akan menghasilkan anggapan bahwa mâ siwâ
memang benar ada. Tetapi, orang yang hanya memandang laut
dan mengetahui hakikat hubungan antara ombak dan laut, ia akan
meyakini bahwa seluruh mâ siwâ adalah ketiadaan, dan menjadi
ada karena wujud. Atas dasar ini, dalam pandangannya, yang ada
hanyalah Dzat Yang Maha Haqq. Mâ siwâ hanyalah ketiadaanketiadaan
yang memiliki wujud khayali. Oleh karena itu, selain
Dzat Yang Maha Haqq hanyalah khayalan belaka. Yang maujud
secara hakiki hanyalah Dzat Yang Maha Haqq, tidak lebih. Ketika
ia semoga rahmat Allah tercurahkan kepadanya mendengar hadis
Rasulullah Saw yang berbunyi, ‘Allah sudah ada sejak tidak ada
sesuatu apa pun yang bersama-Nya,’ ia berkomentar, ‘sekarang pun
juga masih demikian.’”(1)
Urafa yang meyakini konsep wahdat al-wujûd irfani, pada
hakikatnya, menafikan kesejatian (ashâlah) esensi-esensi riil yang
dapat diindera dan tidak dapat diindera. Mereka meyakini maujud
merupakan hakikat wujud yang sejati. Karena keyakinan ini, mereka
terpaksa mengatakan bahwa tauhid semacam itu tidak dapat dipahami
oleh kekuatan indera biasa kita. Untuk memahami tauhid, diperlukan
sebuah makrifat intuitif.(2)
Karenanya, agama tidak dapat memaparkan makrifat semacam
ini kepada masyarakat sebagai sebuah kewajiban atau taklif. Mereka
secara fitrah hanya menerima bahwa alam semesta memiliki eksistensi
yang riil dan seluruh makhluk memiliki wujud yang hakiki. Alam
semesta dan seluruh isinya memang benar-benar ada. Tetapi, dalam
p:75
keberadaannya, ia masih memerlukan dan merupakan makhluk Dzat
Yang Maha Haqq.
Dengan ungkapan lain, agama berdiri kokoh di atas landasan
akal. Oleh karena itu, seluruh hukumnya harus dijabarkan sedemikian
rupa sehingga akal dan pikiran manusia dapat mengenali dan
membenarkannya. Berbeda dengan irfan. Pandangan urafa tentang
alam semesta dan tolok ukur untuk memahami semua itu hanya dapat
diterima oleh orang-orang yang memiliki pengalaman pribadi tentang
makrifat intuitif.
Lebih dari itu, seluruh ajaran agama bisa diajarkan. Sedangkan,
makrifat intuitif tidak demikian. Membebankan sebuah taklif ke atas
pundak manusia sesuai dengan tuntutan makrifat-makrifat tersebut
adalah sebuah taklif yang sangat berat dan mewajibkan sebuah
kewajiban yang tidak bisa dipikul. Agama hanya membebankan taklif
yang sesuai dengan kemampuan manusia.
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kemampuannya (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Dalam Al-Qur’an, filsafat penciptaan manusia berkisar seputar manusia.
Bumi dan langit adalah rumahnya. Bintang adalah perhiasannnya.
Rembulan dan matahari adalah lentera yang menerangi siang
dan malamnya. Angin, air, tanah, api, binatang, tetumbuhan, dan
pepohonan diciptakan untuk mengabdi kepadanya.(1)
Di bumi, hanya ada dua makhluk yang layak menerima taklif;
perintah dan larangan: bangsa jin dan manusia. Jin adalah makhluk yang
tidak dapat diindera. Bangsa ini berbeda dengan manusia. Makhluk
yang dapat diindera di dunia dan berhak menerima taklif hanyalah
bangsa manusia. Allah menciptakan segala sesuatu untuk mengabdi
p:76
kepada manusia. Lalu, untuk apakah Dia menciptakan manusia? Kita
dapat menemukan jawaban pertanyaan ini dalam sebuah ayat Al-Qur’an
dengan penegasan yang sangat gamblang. Allah berfirman, “Aku tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghamba kepada-Ku
(liya‘budûni)” (QS. Al-Dzariyat [51]: 56).
Adapun dalam pandangan irfan Islami, manusia dan alam semesta
diciptakan karena Wujud Yang Mahatunggal berkehendak supaya
keduanya ber-tajallî dan memanifestasi (zhuhûr). Kandungan semacam
ini tidak pernah ada dalam Al-Qur’an. Meskipun ada riwayat dari Ibnu
Abbas yang menegaskan, “Liya‘budûni berarti liya‘rifûni (supaya mereka
mengenal-Ku).”(1)
Artinya, Allah menciptakan jin dan manusia supaya mereka mengenal-
Nya. Pengenalan adalah sebuah prolog penyembahan. Sebagian besar
ahli teologi dan ulama meyakini bahwa kewajiban pertama yang harus
dimiliki oleh seorang yang akil baligh adalah mengenal Allah.(2)
Pengenalan ini berbeda dengan pengenalan yang dicari-cari oleh
kaum sufi dan arif. Meskipun demikian, penafsiran ayat tersebut sejalan
dengan hadis qudsi masyhur yang selalu diungkap oleh kaum sufi.
Dalam hadis qudsi ini, Allah Swt berfirman, “Aku adalah khazanah yang
tersembunyi, dan Aku ingin dikenal. Lalu, Aku menciptakan makhluk
supaya Aku dikenal.” Meskipun hadis qudsi ini selalu disebutkan dalam
buku-buku referensi irfan,(3) akan tetapi Ibn Taimiyyah dan Suyuthi
tidak menganggapnya sebagai hadis. Hal ini karena mereka tidak pernah
menemukan jalur sanad untuknya, baik sanad yang sahih maupun
sanad yang lemah.(4) Ali Qari menganggap hadis tersebut sebagai hadis
palsu.(5) Meskipun demikian, hadis ini sesuai dengan tafsir Ibnu Abbas,
Ali Qari dan Suyuthi menganggap maknanya benar.(6)
p:77
Biar bagaimanapun, makrifat yang dikemukan dalam ajaran agama
adalah sebuah makrifat yang bersandarkan kepada akal dan pikiran.
Tentunya, sebatas kemampuan yang kita miliki. Sedangkan, urafa ingin
menggapai wishâl (kedekatan kepada Dzat Yang Maha Haqq) dan
makrifat intuitif.
Dengan kata lain, dalam pandangan agama, makhluk diciptakan
supaya mereka mengenal Allah dan lantas kemudian menyembah-Nya.
Tetapi, dalam pandangan irfan, tujuan penciptaan supaya Allah bertajallî
dan dikenal. Hal ini karena alam semesta dalam keberadaannya
bergantung kepada aliran wujud Allah kepadanya. Dari satu sisi, jika
seluruh alam semesta tidak ada, tidak satu pun dari nama dan sifat
Allah yang termanifestasi.(1)
Sangat gamblang sekali, terdapat perbedaan pandangan menyembah
dan mengenal Allah, perbandingannya sebesar jarak antara bumi dan langit.
Sehubungan dengan tatacara penciptaan, terdapat perbedaan
pandangan antara agama dan irfan. Dalam pandangan agama, Allah
adalah pencipta alam semesta. Tetapi, dalam pandangan irfan, Allah
ber-tajallî di alam semesta melalui perantaranya, Dia menampakkan
diri (zhuhûr). Supaya tema ini dapat terlukiskan lebih jelas, kami akan
menjelaskan dua sudut pandang ini meskipun secara ringkas.
Kita dapat mengambil kesimpulan dari teks-teks agama bahwa Allah
telah ada kala itu, sementara alam semesta belum ada. “Allah telah
ada sedangkan kala itu tidak ada sesuatu apa pun bersama-Nya.”(2)
Al-Qur’an memperkenalkan Allah sebagai pencipta langit, bumi,
dan segala sesuatu.113 (3) Dia menciptakan langit dan bumi dalam enam
p:78
hari. Begitu pula malam, siang, rembulan, matahari, dan bintanggumintang.
Hak penciptaan dan perintah hanya berada di tangan-Nya.(1)
Begitu juga penciptaan manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,
dan lain sebagainya. Al-Qur’an memaparkan kisah penciptaan manusia
dengan detail dan terperinci.(2) Dalam proses penciptaan, hubungan
antara Sang Pencipta dan makhluk adalah sebuah hubungan yang
dapat digambarkan; satu pihak adalah Sang Pencipta yang memiliki
pengetahuan dan kemampuan untuk menciptakan, dan pihak lain
adalah makhluk yang Dia ciptakan berlandaskan pengetahuan dan
kehendak. Hubungan antara Sang Pencipta dan makhluk lebih sederhana
dibandingkan dengan hukum kausalitas dalam filsafat Islam
Peripatetik. Dalam teori pemikiran filsafat, Allah berada dalam ruang
lingkup kaidah-kaidah yang berlaku. Sebagai contoh, sebab dan akibat
harus sehakikat (sinkhiyyah). Oleh karena itu, dari satu sebab, tidak
mungkin keluar kecuali satu akibat.(3) Hasilnya, proses penciptaan terlaksana
melalui tingkatan-tingkatan yang saling bergantung. Tetapi,
dalam proses penciptaan menurut persepsi agama, tidak ada kaidah
dan aturan yang berperan kecuali ilmu dan kehendak Ilahi.
Tidak ada tingkatan dan perantara dalam penciptaan seluruh
makhluk. Allah secara langsung mengawasi seluruh jagad semesta di
bawah kehendak dan kekuasaan-Nya. Tidak ada satu maujud pun
yang menjadi perantara penciptaan maujud yang lain. Berbeda dengan
konsep filsafat. Menurut ajaran filsafat, akal pertama harus keluar terlebih
dahulu, lalu akal-akal yang lain, dan lantas alam materi.(4)
Al-Qur’an tidak pernah memaparkan tingkatan wujud dan bahwa
sebagian maujud adalah perantara maujud yang lain. Sebagian ayat
menyebutkan penciptaan sebagian makhluk secara berurutan; Allah
p:79
menciptakan langit lalu bumi. Tidak berarti maujud pertama menjadi
perantara terciptanya maujud berikutnya.
Teori penciptaan dan hukum kausalitas ala filsafat keduanya ditolak oleh
Irfan Islami. Menurut persepsi urafa Muslim, penciptaan alam semesta
adalah tuntutan kaidah yang menyatakan, “Keindahan menuntut untuk
termanifestasi.” Jika konsep kausalitas meletakkan Allah dalam ruang
lingkup kaidahnya, kaidah irfani itu juga demikian. Keindahan Allah
yang azali tergerak dengan keinginannya untuk termanifestasi. Ia keluar
dari haribaan qudsi dan memanifestasi di alam langit dan manusia.
Ibnu Arabiberkata, “Allah Swt berkehendak melihat nama-nama
baik-Nya yang tidak terhitung dalam sebuah kawn jâmi‘. Allah Swt
berkehendak melihat seluruh nama atau dzat-Nya terjelma dalam
sebuah maujud yang dapat mencakup seluruh hakikat alam semesta.
Dia menciptakan alam semesta ibarat tubuh tanpa ruh. Allah ciptakan
manusia dengan tujuan supaya ia menjadi ruh alam semesta dan cermin
mengkilat untuk seluruh penciptaan.”
Qaishari adalah salah seorang pensyarah irfan Islami yang handal.
Ia berusaha menginterpretasikan tajallî irfani dengan kisah penciptaan
dalam persepsi filsafat. Menurut Qaishari , tajallî Ilahi yang pertama
adalah “akal universal” yang dikenal dengan nama “nafas Rahmani”.
“Akal universal” ini memainkan peran “akal pertama” dalam filsafat.
“Nafas Rahmani” dan “akal universal” adalah “ruh Muhammadi”. Dari
tajallî ini, muncullah alam-alam lain sebagai berikut:
1. Alam jabarût: alam seluruh akal, ruh universal, dan metafisik.
2. Alam malakût: alam mitsâl yang terletak antara alam metafisik dan
alam materi. Di alam ini, seluruh maujud memiliki mitsâl mereka
masing-masing. Mitsâl adalah sesuatu yang memiliki bentuk dan
ukuran, tetapi bukan materi.
3. Alam mulk: alam materi.
4. Insan kamil: ia sendiri merupakan alam semesta.
p:80
Seluruh alam tersebut adalah manifestasi hakikat-hakikat yang
muncul di alam ilmu Ilahi karena nama dan sifat Allah menjelma.
Dalam busur gerak menurun, wujud bergerak menurun dari
Sumber Utama Wujud dan sampai ke dunia materi. Lalu, dalam busur
gerak menaik, gerakan wujud dimulai dari manusia dan terus berlanjut
dalam manusia sendiri. Akhirnya, gerakan itu kembali kepada Allah
Yang Maha Haqq.(1)
Yang paling prinsip dalam penciptaan adalah keunggulan Sang
Pencipta atas para makhluk. Kelebihan ini juga sangat penting dalam
hukum kausalitas. Hal ini karena hukum kausalitas dalam filsafat Peripatetik
adalah pilar utama bagi kemunculan dan sistem alam semesta.
Seperti telah kita ketahui bersama, aliran filsafat ini dalam konsep
epistimologi berdiri tegak di atas rasio dan pikiran. Aktifitas rasio dan
pikiran selalu berjalan berdasarkan tolok ukur kelebihan satu esensi
terhadap esensi yang lain dan berjalan di atas kaidah bahwa setiap
sesuatu adalah sesuatu itu sendiri, dan bukan yang lain. Oleh karena
itu, dalam persepsi seorang filosof, A senantiasa adalah A, bukan B.
Jika A berubah menjadi B, maka A itu bukanlah A. Dengan demikian,
A adalah A dan B adalah B. Tidak ada satu maujud pun yang menjadi
instanta untuk dua jawhar sekaligus.(2) Oleh karena itu, sebab adalah
sebab dan akibat adalah akibat. Wajib Al-Wujûd adalah hakikat, dan
akal pertama adalah hakikat lain. Begitu pula, akal pertama adalah sesuatu
dan akal kedua adalah sesuatu yang lain. Adapun dalam konsep
tajallî, sesuatu jelmaan (zhâhir) dan yang menjelma (mazhhar) tidak
terpisah satu dari yang lain. Sesuatu yang menjelma adalah yang menjadi
jelmaan itu sendiri.(3)
Shadrul Muta’allihin membedakan antara konsep tajallî dan
hukum kausalitas. Ia berkata, “Segala sesuatu yang memiliki nama
p:81
wujud tidak lain hanyalah sebuah sisi dan manifestasi (sya’n) bagi
Hakikat Yang Mahaesa. Selama ini, kami sering memaparkan bahwa di
alam semesta terdapat sebab dan akibat. Tetapi sekarang, berlandaskan
pandangan urafa kita harus menyatakan bahwa sebab adalah realita
yang hakiki, dan akibat hanyalah manifestasi dan sisi dari sisi-sisi
sebab tersebut. Atas dasar ini, inti hukum kausalitas adalah hakikat
sebab yang memiliki sisi-sisi beraneka ragam (dan pada setiap saat
bisa menjadi sebuah bentuk), bukan berarti ada sesuatu yang terwujud
secara terpisah darinya. Dengan kata lain, kausalitas dalam irfan berarti
satu sisi jelmaan dari sebab menjelma (tasya’u’un), bukan terwujudnya
sebuah akibat baru.”(1)
Sehubungan dengan masalah Hari Kiamat dan akhir alam semesta,
pandangan agama dan irfan sangat jauh berbeda. Menurut ajaran
agama, manusia pada akhirnya akan meninggal dunia. Hasil seluruh
amal dan tindakan manusia akan tampak sejak detik-detik pertama
perpindahannya dari kehidupan duniawi ke kehidupan ukhrawi.
Kematian orang-orang salih dan suci sangat berbeda dengan kematian
orang-orang durhaka dan keji. Detik-detik kematian bagi orang-orang
salih adalah detik-detik perkenalan dengan anugerah dan inayah Ilahi,
kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebaliknya, detik-detik kematian bagi
orang-orang durhaka adalah saat-saat dimulainya kemurkaan dan siksa
ukhrawi.(2)
Perbedaan ini juga terlihat di alam Barzakh hingga Hari Kiamat
tiba. Pada saat itu, aturan dan sistem bumi dan langit hancur. Matahari
menjadi gelap-gulita, gunung-gunung luluh lantak, dan langit
berantakan. Hari Kiamat tiba dan seluruh umat manusia berkumpul di
padang Mahsyar. Seluruh manusia akan dimintai pertanggungjawaban.
Setiap orang akan menerima pahala atau siksa sesuai dengan amal baik
atau buruk yang pernah ia lakukan.
p:82
Kelezatan dan kesengsaraan di alam akhirat tidak berbeda dengan
kelezatan dan kesengsaraan di alam dunia. Ada taman, air, istana,
bidadari, para pembantu, makanan, pakaian, ular, kalajengking, api,
dan lain sebagainya.(1)
Semua ini adalah ajaran yang telah diterima oleh seluruh orang
yang beragama. Seorang Muslim harus mengatur program hidupnya
melalui semua jenjang perjalanan substansi kepribadian, kemanusiaan,
dan pengetahuan setiap orang. Tetapi, dalam irfan, proses itu sangat
berbeda. Seluruh maujud datang dan pergi dalam perjalanan gerak
menurun dan gerak menaik. Tidak ada satu program kehidupan pun
yang diatur berdasarkan substansi, kehidupan, dan pengetahuan
seseorang.
Dalam pandangan urafa, “keberadaan diri” adalah sebuah kesalahan
dan kejahatan. Lebih buruk dari “keberadaan diri” adalah menyibukkan
diri dengan kelezatan-kelezatan materi dan kehidupan hewani.
Dari awal sejak tasawuf masih berupa tunas sampai berkembang
dan menyebar, urafa sudah melontarkan konsep ibadah karena
dorongan cinta sejati. Mereka mencerca setiap bentuk ibadah yang
didasari oleh ketamakan terhadap surga dan rasa takut kepada neraka.
Seorang arif menganggap keinginan untuk meraih bidadari dan
istana-istana surgawi sebagai akibat dari keinginan yang rendah dan
kekeliruan pemahaman. Ia hanya berusaha sekuat tenaga memfanakan
diri dan menjumpai Sang Pujaan, tidak lebih. Dalam pandangan seorang
arif, surga hakiki tidak lain adalah fana dari kemanusiaan, keterbebasan
dari ikatan-ikatan jiwa, dan sampai ke haribaan Sang Pujaan.
Tidak hanya manusia, bahkan seluruh alam semesta, layaknya
seorang manusia, pasti menempuh perjalanan gerak menurun dan
gerak menaik wujud. Alam semesta muncul dari sebuah titik permulaan
dalam sebuah busur gerak menurun dan, pada akhirnya, akan fana di
titik permulaan yang sama dalam sebuah busur gerak menaik.
p:83
Seperti telah kami jelaskan di atas, apabila kita mengesampingkan
aneka ragam masalah yang berbeda sehubungan dengan tema ini,
terdapat sebuah perbedaan yang sangat fundamental antara dua
pandangan ini. Hari Akhir dalam persepsi agama terlaksana dalam
kekekalan pribadi dan substansi manusia, dan bahkan dengan bentuk
dan tata caranya yang bersifat duniawi. Oleh karena itu, mereka
menegaskan ma‘ad jasmaniah, berbeda dengan irfan. Dalam persepsi
irfan, Hari Akhir terjadi berlandaskan konsep kefanaan esensi dan
substansi seluruh maujud, termasuk manusia. Konsep ma‘ad ruhaniah
para filosof masih lebih mirip dengan ma‘ad jasmaniah dibandingkan
dengan konsep fana, tauhid, dan Hari Akhir versi kaum sufi.(1)
Perbedaan lain konsep ma‘ad yang diyakini oleh agama dan para
filosof dengan ma‘ad urafa adalah konsep ma‘ad pertama dapat dipahami,
sekalipun pembuktiannya memerlukan argumentasi. Tetapi, ma‘ad
versi urafa termasuk masalah pelik sehingga akal, bukan hanya tidak
dapat membenarkan, bahkan juga tidak dapat menggambarkannya.
Menurut Ibnu Arabi, alam semesta sebagai jelmaan Dzat Yang Maha
Azali nan Abadi adalah makhluk yang tidak berawal dan juga tidak
berakhir.(2) Berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh agama,
alam semesta tidak akan pernah berakhir. Hubungan antara dunia dan
akhirat berlangsung laksana hubungan lahir dan batin. Ma‘ad bersifat
kontinyu dan untuk selamanya. Di dunia selalu ada makhluk dan di
saat yang sama di akhirat juga ada makhluk. Perpindahan ini selalu
terjadi.(3)
Ma‘ad semacam ini tidak dapat dibayangkan oleh seorang pemeluk
agama. Sesuatu yang tidak dapat dibayangkan pasti tidak dapat
dipahami dan juga tidak dapat dibenarkan.☐
P:84
Antropologi dalam Agama dan Irfan
Agama dan Irfan menaruh perhatian besar terhadap manusia.
Sekalipun persepsi dua ajaran ini dari sisi penghormatan terhadap
manusia sama, tetapi masalah yang dimiliki oleh keduanya sangat
berbeda. Kami akan membahas sebagian perbedaan tersebut:
Dalam pandangan Al-Qur’an, Allah menciptakan manusia supaya
menjadi khalifah-Nya di muka bumi. Dia berfirman, “Dan (ingatlah)
ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku
ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata,
‘Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’
Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian
ketahui’” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Jelas sekali Allah ingin menegaskan bahwa Dia lebih tahu, dan
malaikat tidak perlu meragukan keputusan-Nya. Para ulama Islam dan
p:85
urafa sama-sama mengakui misi khilafah manusia. Tetapi, berbeda
pendapat sehubungan dengan hakikat dan makna khilafah.
Para ulama menafsirkan khilafah sebagai khilafah tata tinta
(tasyrî‘î). Artinya, manusia adalah wakil dan pengganti Allah dalam
menunjukkan jalan petunjuk kepada sesama manusia, berikut dalam
mengatur kehidupan dunia dan akhirat mereka. Dalam Al-Qur’an,
Allah pernah berfirman kepada Nabi Dawud as:
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah
(penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan kebenaran” (QS. Shad [38]: 26).
Berdasarkan ayat ini, Nabi Dawud as adalah khalifah Allah di muka
bumi dengan mengemban tugas supaya ia memberikan keputusan di
tengah-tengah masyarakat dengan kebenaran.
Penafsiran umum yang tidak terpengaruh oleh ajaran dan konsep
irfan juga menafsirkan khilafah dengan arti di atas. Seperti buku tafsir
Majma‘ Al-Bayân. Buku ini menyebutkan, tujuan khilafah adalah
memberi keputusan di tengah masyarakat dengan kebenaran. Ketika
menjelaskan kata khilâfah, penulis berkata:
Khilâfah berarti kepemimpinan (imâmah). Perbedaannya,
kata khilâfah mengindikasikan bahwa seseorang juga menjadi
wakil orang lain. Imam adalah pemimpin dan pengatur urusan
masyarakat dan rakyat. Khalifah juga memiliki arti demikian.
Ia melaksanakan tugas sebagai wakil Allah atau wakil seorang
pemimpin yang lain.(1)
Dalam pandangan urafa, khilafah tidak terbatas hanya pada khilafah
sederhana dan umum yang dapat dipahami dari arti konvensional kata
tersebut. Khilafah tatatinta hanyalah manifestasi dari khilafah tatacipta
p:86
(khilâfah takwîniyyah) yang dimiliki oleh manusia. Manusia di sini
bukan sembarang manusia biasa yang menjadi instanta kata insân.
Tetapi, yang dimaksud adalah insan kamil. Insan kamil dalam ajaran
urafa adalah khalifah tatacipta Allah. Tugasnya tidak terbatas hanya
memberikan perintah atau larangan, dan mengatur kehidupan dunia
dan akhirat masyarakat.
Insan kamil adalah wakil sifat ketuhanan Allah. Ia memiliki
seluruh sifat Ilahi, kecuali sifat wajib dzâtî. Meskipun khalifah hanyalah
seorang hamba Allah, tetapi ia adalah “tuhan” seluruh alam semesta.
Ia adalah manifestasi sempurna Allah, nama, dan seluruh sifat-Nya;
manifestasi nama yang mencakup seluruh nama dan sifat; yakni Allah.
Allah memiliki dan meliputi seluruh nama dan sifat. Insan kamil juga
memiliki dan meliputi seluruh kesempurnaan wujud serta manifestasi
seluruh nama dan sifat Dzat Yang Maha Haqq, kecuali sifat wajib dzâtî.
Insan adalah ruh alam semesta dan pemelihara khazanah alam
semesta. Eksistensi dan kontinuitas perjalanan alam semesta terletak
di tangannya. Jika ia tidak ada meski untuk sesaat, alam semesta pun
tidak akan ada, dan kehidupan akan berpindah ke alam akhirat.
Seseorang yang telah menjadi khalifah Allah berarti ia menjadi
“tuhan” untuk alam semesta, ibarat cabang dan sebatang pohon dengan
buah.
Ibnu Arabi berkata, “Jika Allah tidak menjelma pada seseorang
yang telah Dia angkat sebagai khalifah-Nya, dan apabila khalifah
ini tidak mampu memenuhi seluruh kebutuhan alam semesta
yang berada di bawah wilâyah-nya, khilafahnya tidak berarti sama
sekali.”(1) Qaishari, pensyarah dan mufasir irfan Islami yang handal,
memiliki sebuah pernyataan tentang khalifah. Ia menulis:
Khalifah harus memiliki seluruh sifat Ilahi, kecuali sifat wajib dzâtî,
dan meliputi seluruh asmâ’-Nya sehingga ia, melalui perantara
seluruh jelmaan asmâ’ Ilahi, dapat memberikan seluruh apa yang
p:87
masyarakat minta dan menyampaikan setiap asmâ’ itu kepada
kesempurnaannya. Jika tidak demikian, ia tidak akan mampu
melaksanakan tugas khilafah itu.
Mengapa sifat wajib dzâtî dikecualikan? Karena sifat ini adalah
titik pembeda antara Dzat Wajibul Wujud dan khalifah. Khalifah
juga berbeda dari-Nya dengan sifat mungkinnya.
Khalifah meliputi seluruh hakikat Ilahi dan menjadi manifestasi
sebuah nama yang komprehensif; yakni Allah. Oleh karena itu,
substansi dan hakikatnya meliputi seluruh hakikat alam semesta
sehingga terdapat kesamaan dan keserupaan antara sesuatu yang
menjelma (zhâhir) dan yang menjadi terjelma (mazhhar). Dengan
demikian, hakikat khalifah adalah hakikat seluruh alam semesta.
Ia adalah pendidik dan pengatur seluruh maujud alam semesta
yang akan mengantarkan mereka kepada kesempurnaan yang
layak bagi diri mereka.
Atas dasar ini, khalifah adalah hamba Allah. Meskipun
demikian, ia juga adalah pengatur alam semesta dan seluruh isinya.
Dengan demikian, apabila seluruh hakikat alam semesta, baik yang
berasal dari alam jabarût, malakût, maupun mulk, menggapai
sebuah anugerah, mereka menerima anugerah dari khalifah.
Apabila mereka dapat meraih kesempurnaan, mereka meraihnya
melalui perantara khalifah. Di samping itu, kekhalifahannya
berhubungan dengan alam semesta. Apabila alam semesta tidak
ada, khilafah tidak akan berfungsi.”(1)
Jelas, lahiriah Al-Qur’an dan Sunah tidak mendukung posisi tata
cipta (takwîniyyah) semacam ini bagi manusia.
Dalam pandangan urafa, insan kamil adalah perantara anugerah
(faydh) Allah untuk seluruh alam semesta, baik dalam busur gerak
menurun maupun dalam busur gerak menaik yang sedang mereka
p:88
jalani. Urafa menempatkan hakikat Muhammadi sebagai pengganti
akal pertama yang diyakini oleh para filosof. Hakikat Muhammadi
mereka yakini sebagai makhluk pertama yang keluar dan diciptakan
di alam semesta. Di samping itu, hakikat Muhammadi adalah
sumber utama seluruh penghuni alam semesta. Kalau kita merujuk
kepada Al-Qur’an, kitab suci ini tidak pernah menyinggung masalah
tersebut sedikit pun. Jika kita merujuk kepada Sunah, kesahihan
jalur sanad hadis-hadis yang menjelaskan penciptaan makhluk
pertama dalam arti sebagai perantara anugerah Ilahi tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Sebagian ulama malah menisbahkan
hadis-hadis tersebut kepada kaum Ghulat.(1)
Sangat disayangkan, para ulama hadis kita tidak memberikan
perhatian serius kepada hadis-hadis yang digunakan oleh urafa untuk
melahirkan dan memperkuat aliran tasawuf. Para ulama hadis tidak
pernah menelaah jalur-jalur sanad hadis tersebut secara detail dan
sempurna, padahal sebagian besar mereka menolak irfan.
Apakah susunan utama makhluk yang satu ini? Apakah substansi
manusia dan kemanusiaan?
Jawaban agama untuk pertanyaan ini sangat jelas. Allah
menciptakan manusia dari tanah dan lantas meniupkan ruh-Nya ke
dalam dirinya. Al-Qur’an sering kali memaparkan masalah ini. Dalam
sebuah ayat, Allah berfirman,
Dialah yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian
Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ruh-Nya ke dalam
(tubuh)nya (QS. Al-Sajdah [32]: 7-8).
p:89
Biar bagaimanapun, baik yang diciptakan dari segumpal tanah
maupun dari setetes air mani, setelah tubuh manusia terbentuk
dan terhiasi, ruh Ilahi ditiupkan ke dalamnya. Kemudian, manusia
memperoleh kelebihan atas makhluk-makhluk yang lain karena ia
memiliki pemahaman dan sarana-sarana mak-rifat. Manusia adalah
makhluk yang sadar terhadap dirinya dan mengetahui seluk-beluk
alam semesta, keburukan, dan keindahan kehidupan. Ia adalah
makhluk merdeka yang boleh menentukan pilihan berlandaskan
pengetahuannya. Berlandaskan pilihan yang benar (iman), ia melakukan
amal salih dan mencari ilmu untuk memperoleh keutamaan serta
menambah kemuliaan dirinya.
Manusia memiliki dua jenis kemuliaan: kemuliaan esensial (dzâtî)
dan kemuliaan akuisitif (iktisâbî). Kemuliaan esensial adalah Allah
memberi manusia keistimewaan sehingga dibanding makhluk yang lain,
ia memiliki kelebihan. Struktur yang manusia miliki terwujud dalam
bentuk sempurna. Kemuliaan semacam ini menunjukkan inayah khusus
Allah kepada manusia. Seluruh manusia memiliki semua anugerah
tersebut. Tidak seorang pun berhak membanggakan diri kepada orang
lain. Sebab, kemuliaan tidak diperoleh melalui ikhtiarnya. Setiap insan
pasti memiliki semua inayah, baik ia menghendaki maupun tidak.
Kemuliaan adalah derma Allah. Dalam Al-Qur’n, Dia menisbahkan
anugerah itu kepada diri-Nya.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Mahasuci-lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik (QS. Al-Mu’minun
[23]: 14).
Dalam sebuah ayat yang lain, Allah berfirman,
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik, dan Kami utamakan mereka dengan kelebihan
p:90
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan
(QS. Al-Isra’ [17]: 70).
Maksud kemuliaan akuisitif adalah kesempurnaan yang berhasil
diperoleh oleh manusia berdasarkan keimanan dan amal salih yang
ia kerjakan dengan ikhtiarnya sendiri. Hal ini didapat melalui upaya
keras, semangat, jujur, berani dan rela berkorban untuk kepentingan
orang lain, terlibat dalam panggilan-panggilan kebaikan, semua yang
ia lakukan mendekatkannya kepada Allah. Dengan kemuliaan ini, kita
dapat menyatakan bahwa seseorang lebih utama dibanding orang lain
secara nyata. Seluruh manusia, memiliki kemampuan untuk menggapai
kemuliaan. Tetapi, hanya sebagian yang berhasil sedangkan sebagian
yang lain tidak. Inilah maksud Al-Qur’an ketika berbicara tentang
manusia.
Dalam dunia irfan Islami, sehubungan dengan sisi normal dan
kondisi lahiriah manusia, seluruh urafa menerima semua permasalahan
di atas. Tetapi, menurut mereka, manusia juga memiliki sisi yang lain.
Sebagai manifestasi nama “Allah” yang komprehensif, ia adalah sebuah
kawn jâmi‘ dari alam yang kecil.
Oleh karena itu, manusia dapat menelusuri busur gerak menaik
yang harus dijalani oleh wujud. Dalam perjalanan kembali, seluruh
alam semesta karena tuntutan perjalanan cinta (sayr hubbi) menempuh
jarak dari titik nol hingga tidak terbatas. Peristiwa ini terjadi dalam
lingkup wujud manusia. Hal itu karena kemampuan seluruh makhluk
terbatas dengan batasan-batasan yang timbul dari tajallî sebuah nama
atau sifat khusus. Tetapi, karena wujud manusia meliputi segala sesuatu
dan bersifat komprehensif, ia tidak terkurung oleh batasan.
Perlu kita renungkan, ajaran dan isyarat irfani sangat agung.
Substansi seluruh hakikat adalah kelembutan anugerah Rabbani.
Dari satu sisi, seluruh esensi dan substansi maujud adalah cermin
manifestasi Allah, dan dari sisi lain, tirai wajah-Nya.
p:91
Hakikat manusia bukanlah jasmani dan susunan tubuh
materinya, sebagaimana diyakini oleh kaum materialis, serta bukan
juga ruh dan sisi rasionalnya (nâthiqah), seperti diyakini oleh para
penganut filsafat Peripatetik. Hakikat manusia adalah kelembutan
anugerah Ilahi. Sisi jasmani dan ruhani, seluruhnya hanya manifestasi
hakikat tersebut. Realita ini tidak dapat dicerna oleh ilmu hushûlî
yang hanya berlandaskan pada prinsip esensi. Untuk memahaminya,
diperlukan transendensi dan kesempurnaan wujud.
Wujud manusia sebagai alam yang kecil meliputi seluruh peringkat
wujud alam semesta. Ia dapat diangkat sebagai jembatan perjalanan
untuk meniti busur gerak menaik dalam perjalanan wujud; sebuah
perjalanan yang dapat mengantarkan tingkatan potensi (bi al-quwwah)
yang tidak terbatas kepada tingkatan tertinggi wujud, yakni aktualisasi
(bi al-fi‘l) yang juga tidak terbatas.
Guna lebih memperjelas hendaknya kita perhatikan keterangan
berikut:
1. Perjalanan menaik adalah ruang lingkup wujud manusia sebagai
kawn jâmi‘ dan alam semesta yang kecil. Seluruh maujud di dunia
materi berada dalam perjalanan menuju manusia. Berdasarkan
gerak cinta, benda padat bergerak menuju ke alam tumbuhtumbuhan,
tetumbuhan menuju ke alam hewani, dan hewan
menuju ke alam manusia. Dalam arti ini, alam materi berada
di bawah penguasaan manusia. Manusia boleh memanfaatkan
segala sesuatu yang ada di alam, namun juga ditekankan supaya
memeliharanya.
Wujud manusia, seperti pernah dinukil oleh Syaikh Isyrâq
dari para filosof India, adalah satu-satunya sumber kemunculan
seluruh jiwa dan ruh. Artinya, untuk pertama kali, seluruh
jiwa muncul dalam diri manusia, dan kemudian berpindah
kepada makhluk-makhluk yang lain melalui jalan reinkarnasi.(1)
Berlandaskan pandangan Mulla Shadra, perpindahan dari
p:92
materi kepada metafisik hanya mungkin terjadi dalam wujud
manusia. Maujud lain selain manusia, melalui perantara kawn
wa fasâd (generasi dan korupsi), hanya terjebak dalam gerak
berputar dan putaran material yang dialami oleh unsur. Guna
menyelamatkan diri dari putaran ini, mereka harus sampai
kepada manusia. Dengan demikian, hanya dalam wujud
manusialah jasmani akan berubah menjadi ruhani.
Manusia adalah tujuan seluruh gerakan maujud yang
lain itu. Sedangkan tujuan gerakan cinta manusia adalah
kemetafisikan yang sempurna, universalitas, kemutlakan yang
murni, dan bersifat seperti Allah.(1)
Dalam proses perubahan ini, sebuah batasan esensi akan
menjadi korban untuk esensi yang lain. Fana senantiasa
menjadi pelicin jalan bagi kekekalan. Fana dalam dunia irfan,
berbeda arti dari lahiriahnya dan tidak negatif. Sebaliknya,
fana memiliki arti positif. Fana berarti keteruraian sebuah
batasan dan keterbebasan dari sebuah esensi. Fana adalah
hakikat elastis (sayyâl) yang riil dan nyata; sebuah hakikat yang
dapat merealisasikan perjalanan kesempurnaan wujud dari
tingkatannya yang paling rendah hingga tingkatannya paling
tinggi. Tidak ubahnya seperti gerak Tawassuthiyyah apabila
dibandingkan dengan gerak Qath‘iyyah. Keteruraian sebuah
batasan dan keterbebasan dari sebuah esensi dan ikatan berarti
menggapai sebuah batasan yang lebih tinggi dan sampai kepada
kemutlakan dan universalitas yang relatif. Hal ini dikarenakan
perjalanan gerak menaik yang berlandaskan cinta bukanlah
gerak horizontal, bukan sebuah kawn dan fasâd, dan bukan
pula perubahan sebuah aksiden (‘aradh). Perjalanan ini adalah
sebuah perubahan yang terjadi dalam jawhar dan bersifat
vertikal; sebuah mikraj dan gerak kesempurnaan. Seperti
pernah diungkapkan oleh Maulawi:
p:93
Meskipun menggapai cinta Ilahi adalah kekal nan abadi,
tetapi mulanya diselimuti oleh kefanaan dan kefanaan.
Maulana Rumi
Fana adalah kembali kepada jati diri yang asli, tempat tinggal
yang abadi, taman surgawi yang rindang, hakikat, dan kepada
wujud. Fana adalah memisahkan diri dari segala sesuatu yang
bersifat asing, keterasingan, khayalan, dan simbol diri. Guna
menggapai maqam fana, tidak ada jalan lain kecuali jalan tersebut
di atas, dan sesuatu yang lain pun tidak diperlukan. Syabestarî
mengungkapkan jalan tersebut dalam bait syair berikut ini:
Pisahkanlah wujud sejati dari simbol khayalan;
kenalkanlah dirimu kepada wujud asing.(1)
2. Keteruraian batasan dan ikatan berlangsung secara kontinyu dalam
busur gerak menaik terjadi melalui dua cara:
a. Anugerah yang muncul dari kecintaan.
b. Usaha yang timbul dari suluk.
Tidak diragukan lagi, bagian terbesar gerak menuju
kesempurnaan tidak bersumber pada kehendak dan pilihan kita.
Gerakan seluruh unsur, pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, dan
perkembangbiakan binatang, semua ini terjadi berdasarkan sebuah
sistem alam semesta yang dikenal dengan nama “hidayah tatacipta”
(hidâyah takwîniyyah). Seluruh makhluk muncul dan berkembang
berdasarkan sistem dan hidayah tersebut di luar kehendak dan
campur tangan mereka. Manusia juga seperti mereka terlahirkan
dan berkembang berdasarkan sistem yang sama. Tetapi, hanya
sebagian kesempurnaan manusia terlaksana berdasarkan usaha
dan di bawah prinsip “hidayah tata tinta” (hidâyah tasy-rî‘iyyah).
p:94
Dengan kata lain, hanya manusialah yang dapat memperoleh
sebagian kesempurnaan berdasarkan pengetahuan, pilihan,
kehendak, dan upayanya sendiri. Manusia adalah satu-satunya
maujud yang memikul beban pengetahuan, kehendak, dan taklif.
Oleh karena itu, di antara sekian makhluk yang ada di alam semesta,
manusia adalah makhluk yang mengetahui, memiliki taklif, dan
tanggung jawab. Ia harus menentukan, memilih, dan berusaha.
Inilah amanat yang telah dibebankan ke atas pundaknya.
Sebagian orang memperoleh tingkatan kesempurnaan karena
anugerah dan inayah khusus. Dalam terminologi irfan, mereka
dikenal dengan nama mahbûb dan majdzûb. Mereka meniti seluruh
tingkatan kesempurnaan tanpa ada unsur kehendak dan usaha
mereka. Dalam rangka perjalanan menaik, pengetahuan, pilihan,
dan usaha mereka tidak penting. Akan tetapi, tidak semua orang
demikian. Sebagian orang hanya berhasil meniti tangga-tangga
kesempurnaan dengan bantuan inayah dan anugerah sampai
pada sebuah tingkatan tertentu. Untuk menggapai tingkatan
kesempurnaan berikutnya yang lebih tinggi lagi, mereka harus
berusaha sendiri sekuat tenaga. Dalam terminologi irfan, golongan
ini dikenal dengan nama muhib dan salik.
Karena keluasan wujudnya, manusia unggul atas seluruh alam
semesta, bahkan di atas para malaikat. Hanya manusia yang dapat
memikul dan meng-gelorakan cinta, para malaikat tidak bisa
melalukankannya karena tidak memiliki rasa.
Malaikat tidak mengenal rahasia cinta,
jangan kisahkan kepadanya;
ambillah sebuah piala dan air bunga,
siramkanlah di depan kaki manusia.
Hafizd
p:95
Apakah hal-hal yang harus dikerjakan oleh manusia? Dan apakah
hal-hal yang tidak boleh ia lakukan? Untuk apakah semua itu?
Dalam dunia materi yang dapat kita raba, manusia adalah satusatunya
makhluk yang dapat diperintah dan dilarang. Ia dapat
menjadikan nilai-nilai nonmateri sebagai tolok ukur amalnya. Dalam
pandangan agama, manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat
menjadi orang yang taat atau bermaksiat.
Dalam pandangan agama dan irfan, manusia harus memiliki syariat
praktis yang dilengkapi dengan aturan-aturan. Tidak seorang arif pun
memperbolehkan seseorang menentang ajaran agama. Sebaliknya,
urafa malah menekankan supaya syariat agama diperhatikan secara
penuh. Qaishari menulis:
Para pencari jalan kebenaran dalam urusan ibadah, mereka
harus mengikuti para ulama dan menerima ilmu-ilmu lahiriah
syariat. Hal ini karena ilmu-ilmu lahiriah syariat tidak lain
adalah gambar lahiriah hakikat.(1)
Menurut agama Islam, tujuan taklif sebagai penjamin kebahagiaan
seluruh umat manusia. Para nabi diutus untuk memberi kabar
gembira dan peringatan (bisyarah wa indzar). Setiap manusia berada
dalam kerugian dan kebinasaan, kecuali ia dapat menyelamatkan
dirinya sendiri dengan perantara iman dan amal salih.(2)
Sehubungan dengan falsafah pengutusan nabi, Al-Qur’an
berfirman,
p:96
Dan tidaklah Kami mengutus para rasul melainkan untuk memberi
kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa beriman dan
mengadakan perbaikan, maka tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa
disebabkan mereka selalu berbuat fasik (QS. Al-An‘am [6]: 48-49).
Taklif adalah sebuah ujian bagi para hamba sehingga orangorang
yang taat terpisahkan dari orang-orang yang membangkang.
Barangsiapa mengamalkan taklifnya, ia telah taat dan dekat kepada
Allah. Terminologi dekat kepada Allah (taqarrub) berarti memperoleh
keridhaan dan inayah-Nya. Seorang Muslim melaksanakan seluruh
taklifnya guna memperoleh taqarrub. Hasil taqarrub adalah keridhaan
Ilahi dan kenikmatan surga.
Dalam kamus irfan Islami, tujuan taklif dan syariat adalah mendidik
jawhar manusia dengan cara mewujudkan perubahan substansinya.
Dengan perubahan ini, ia dapat berubah dari jenis binatang menjadi
manusia, dari manusia menjadi malaikat, dan dari malaikat berpindah
kepada tingkatan yang lebih tinggi. Pada akhirnya, ia memperoleh
maqam fana, jam‘, dan tauhid, serta menggapai makrifat hakikat.
Ungkapan liya‘budûni dalam surah Al-Dzariyat (ayat 56)
menurut pandangan urafa lebih sesuai dengan arti liya‘rifûn (supaya
mengenal-Ku) berdasarkan interpretasi Ibnu Abbas. Tujuan para abid
dan zahid adalah menggapai kenikmatan surgawi dan menghindari
siksa api neraka melalui perantara taqarrub kepada Allah yang
merupakan hasil ibadah dan zuhud mereka. Sedangkan, seorang arif
hanya mengharapkan perjumpaan dengan Sang Kekasih. Tidak mungkin
terjadi perjumpaan tanpa kedekatan dan ketaatan kepada Allah Swt
Dengan kata lain, dalam pandangan agama, setiap orang, baik Hasan
maupun Fathimah, setelah mencapai usia taklif, baik ia beramal salih
maupun menjadi pendosa. Ia akan menerima pahala di surga dan
p:97
menikmati kehidupan yang penuh kebahagiaan. Ia memiliki posisi
dekat kepada Allah dan memperoleh inayah dari-Nya.
Tetapi, dalam pandangan irfan, apabila Hasan dan Fathimah
tersebut memperoleh taufik dan beramal, maka suluk dan usaha keras
(mujâhadah) ini menyebabkan ia terlahir untuk yang kedua kali dan
memasuki tingkatan baru yang memiliki nilai hakikat sejati. Ia telah
terbebaskan dari alam keberbilangan dan ketercerai-beraian, serta
berhasil memasuki alam jam‘ dan tauhid. Ia telah berhasil melewati
seluruh jenis ilmu yang hanya bersifat gambar, penuh kekurangan,
dan berbaur khayalan, serta menggapai makrifat hakiki dan hakikat
wujud.
Taklif dalam pandangan agama bertujuan memberikan
perlindungan kepada manusia supaya ia bahagia ukhrawi dan
memperoleh surga yang abadi. Sedangkan, amal dan usaha keras dalam
pandangan irfan bertujuan supaya seorang arif menyeberangi batas
esensi manusiawi, menyatu dan fana dalam substansi Ilahi.
Dengan kata lain, seluruh taklif dan program agama dicanangkan
untuk menggapai serentetan tujuan, meskipun esensi pribadi
seseorang tidak mengalami perubahan. Agama bahkan menekankan
soal keberlanjutan kriteria kehidupan materi dan duniawi ini. Sikap
para agamawan yang meyakini ma‘ad jasmaniah (kebangkitan
jasmani); dalam arti manusia dengan kriteria duniawinya akan hadir
di alam akhirat. Tetapi, seluruh usaha urafa terkuras guna menggapai
perubahan kepribadian duniawi manusia, yang pada akhirnya,
mengakibatkan fana dan kesirnaannya.
Orang yang berjalan di atas jalan irfan telah menginjakkan kaki
di atas jalan fana sejak awal. Pada permulaan syair dan suluk, ia sudah
harus menyerahkan seluruh keinginan kepada terpaan kefanaan. Urafa
berkata, “Memiliki sebuah tujuan selain Allah adalah syirik. Seorang
arif tidak akan menurunkan Allah kepada tingkatan perantara.”(1) Jika
ia menjadikan keridhaan dan taqarrub kepada Allah sebagai perantara
p:98
untuk menggapai kenikmatan surgawi dan membebaskan diri dari
siksa api neraka, seperti halnya kaum abid dan zahid, ia tidak hanya
terjerembab ke dalam jurang syirik bahkan telah menurunkan martabat
keagungan Allah. Hal ini karena Allah telah dijadikan sebagai
perantara untuk menggapai tujuan-tujuan pribadi. Mulla Husain Al-
Kasyifi (w. 910 H) berkata:
Pada hakikatnya, ikhlas mengamalkan sebuah amalan yang tidak
tercampuri tujuan duniawi maupun ukhrawi. Dan riya’ adalah
amal Anda bergantung kepada sebuah tujuan, baik tujuan duniawi
maupun ukhrawi. Ini adalah sebuah syirik yang tersembunyi.
Menurut keyakinan Shadrul Muta’allihin, seorang filosof kenamaan
(w. 1050 H), menjadikan kelezatan ukhrawi sebagai sebuah tujuan
adalah perbuatan tercela. Berikut pernyataannya:
Tidak sedikit orang berilmu yang melupakan kondisi jiwa, tingkatan,
dan maqam-maqamnya pada Hari Kiamat. Walaupun mereka
mengikrarkan dan mengimani ma‘ad dengan lisan, mereka tidak
mengetahui konsep ma‘ad sebagaimana mestinya. Mereka hanya
mengejar kenikmatan jasmani dan dorongan syahwat. Mereka
meniti jalan yang menghantarkan kepada hawa nafsu dan panjang
angan-angan. Mereka menghabiskan usia sampai tua hanya
untuk mengejar impian hawa nafsu (ammârah). Dengan bahasa
hal, mereka berkata kepada diri mereka sendiri:
Hatiku menginginkan kebebasan di dua dunia;
aku menjadi tua dalam menghamba kepada nafsu.
Begitu pula, sebagian besar orang alim yang tidak berilmu dan
abid yang tidak bermakna menggambarkan akhirat persis seperti
p:99
dunia. Karena keinginan untuk menggapai ‘di dalam surga itu terdapat
segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata,’ (QS.
Al-Zukhruf [43]: 71). mereka melaksanakan amalan badaniah dan
ibadah yang tidak bermakna. Pada hakikatnya, karena lalai terhadap
Allah, mereka sedang menyembah hawa nafsu, mengabaikan makrifat
tentang sumber alam semesta dan ma‘ad. Sebagai gantinya, mereka
mengejar hal-hal yang bersifat materi, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.(1)
Sungguh bertentangan dengan tarekat
apabila para wali mengharap dari Allah selain Allah.
Jika engkau hanya melihat kebaikan sang Kekasih,
engkau masih menyembah dirimu, bukan Kekasihmu.
Sa’di
Meskipun masalah ini sangat banyak, kami cukupkan pembahasan
ini hingga di sini.
Dalam pandangan agama dan irfan, sumber taklif dalam syariat adalah
wahyu samawi. Kedua ajaran ini menerima bahwa manusia dengan akal
dan pikirannya tidak dapat menentukan aturan-aturan secara rinci dan
tidak pula dapat memahami nilai taklif.
Sementara dalam pandangan urafa, ada satu hal lain yang dapat
menjadi sumber hukum dan nilai selain wahyu samawi. Sumber ini
adalah batin para syaikh dan insan-insan kamil. Menurut urafa, ajaran
mustahsanât (yang dianggap baik oleh para syaikh juga termasuk taklif
dan harus dilaksanakan. Sementara, dalam pandangan para ulama
agama, penentuan dan pelaksanaan hukum yang tidak termaktub
dalam syariat Islam dan Sunah Rasulullah Saw adalah bid’ah (yang
harus dihindari).
p:100
Sejak awal kemunculan tasawuf, para syaikh sufi telah meletakkan
setiap kesimpulan (istinbâth) dan ajaran mereka sebagai taklif yang
harus dilaksanakan oleh para pengikut tasawuf. Mengenakan pakaian
lusuh, tempat ibadah khusus, melakukan tarian sufi, berkhalwat, zikir
dalam jumlah tertentu, dan puluhan aturan serta amalan lain yang tidak
pernah termaktub dalam Sunah Nabawi dilaksanakan secara serius dan
dalam batas seperti hukum-hukum syariat yang wajib dilakukan.
Para fuqaha dan ulama sering melontarkan kritikan kepada para
pengikut ajaran tasawuf karena tindakan mereka yang berbau “bid’ah”.
Demi membela diri dan menjawab setiap kritikan yang masuk, kaum
sufi berusaha mencari sumber lain untuk hukum dan taklif yang mereka
cetuskan. Mereka menyebut sumber ini dengan nama “ilmu Ilahi dan
ladunni” atau “ilmu isyarat”. Sehubungan dengan masalah ini, Sarraj
Thusi, salah seorang pencetus ide pembukuan ajaran dan makrifat
tasawuf pada abad IV H, berkata:
Mustanbathât adalah hasil kesimpulan seorang syaikh dari lahiriah
dan batiniah Al-Qur’an, serta dari ucapan dan perilaku Rasulullah
Saw, berikut pengamalan mereka terhadap semua itu, baik lahir
maupun batin. Mereka mengamalkan setiap ilmu yang telah mereka
pelajari, niscaya Tuhan semesta alam akan menganugerahkan
kepada mereka ilmu terhadap sesuatu yang belum pernah mereka
pelajari. Ilmu ini dikenal dengan nama ‘ilmu isyarat’. Ilmu isyarat
dapat tercapai ketika Allah menyingkap tirai dari kalbu seorang
hamba pilihan-Nya. Dengan perantara ilmu isyarat ini, mereka
dapat mengetahui makna tersembunyi, rahasia tersimpan, dan
hikmah-hikmah menakjubkan yang terdapat dalam makna-makna
Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah Saw.(1)
‘Izzuddin Mahmud Kasyani (w. 735 H) hidup sekitar tiga setengah
abad setelah Sarraj. Ia mengakui ajaran-ajaran tersebut di atas adalah
p:101
hasil ittihâd kaum sufi. Ia berkata, “Kaum sufi demi kemaslahatan para
pengikut ajaran tasawuf mencetuskan semua amalan berdasarkan
ijtihad mereka sendiri, tanpa ada dalil yang jelas dan argumentasi yang
gamblang dari Sunah sebagai bukti.”(1) Karena tidak terdapat dalam
Sunah, amalan itu harus terhitung sebagai bid’ah. Kasyani mengakui
bahwa amalan itu adalah bid’ah, tetapi bid’ah yang terpuji, bukan
bid’ah yang tercela. Ia berkata, “Bid’ah yang tercela adalah bid’ah
yang mengganggu Sunah. Bid’ah yang tidak mengganggu Sunah dan
mengandung maslahat, bid’ah ini bukan hanya tidak tercela, bahkan
terpuji.”(2)
Kaum sufi menunjukkan bukti-bukti dari Sunah Nabawi untuk
amalan-amalan yang dikhususkan untuk diri mereka. Anda dapat
merujuknya dalam buku-buku referensi tasawuf.(3)
Dalam pandangan agama Islam, taklif memiliki tolok ukur kemampuan
alamiah manusia; sebuah kemampuan yang tidak mendatangkan
kesulitan (masyaqqah). Al-Qur’an menegaskan:
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kemampuannya (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Sebuah taklif tidak boleh terlalu berat sehingga sulit dilaksanakan.
Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya menjelaskan tata cara wudhu dan
hukum mandi wajib, lalu menambahkan bahwa apabila air tidak ada,
maka yang harus dilakukan adalah tayamum. Pada kelanjutan ayat
tersebut, Allah berfirman:
Allah tidak hendak membuat sebuah kesulitan sedikit pun bagi
kalian (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).
p:102
Menurut persepsi para ulama agama Islam, setiap bentuk
penyulitan terhadap diri sendiri adalah bid’ah. Setiap Muslim hanya
berkewajiban mengerjakan 17 rakaat salat dalam sehari semalam. Jika
berwudhu dapat mendatangkan bahaya baginya, ia harus bertayamum.
Jika ia tidak sanggup mengerjakan salat dalam kondisi berdiri, ia
boleh mengerjakannya dalam posisi duduk. Dalam setahun, puasa
hanya diwajibkan selama satu bulan, dan itu pun bukan untuk orang
sakit, orangtua, dan para musafir. Zakat hanya diwajibkan bagi orang
yang memiliki modal berukuran satu nishab. Dalam seumur hidup,
haji hanya diwajibkan sekali bagi yang mampu dari sisi harta dan
fisik. Islam memperbolehkan siapa saja menggunakan hartanya yang
halal untuk memakan makanan yang enak, membangun rumah, dan
menikmatinya. Syariat yang serba mudah dan taklif yang sangat terbatas
ini tidak akan mendatangkan kesulitan bagi manusia. Seperti telah kita
ketahui bersama, agama Islam tidak ingin menyulitkan manusia. Jika
seorang hamba telah menunjukkan ketaatannya dan berada di atas
jalan taqarrub, sekadar ini sudah cukup.
Berbeda dengan urafa. Mereka melandasi seluruh perilaku dengan
mujahadah dan riyadhah. Mereka tidak memiliki jalan lain kecuali
harus mempersulit diri dengan dua jalan:
Pertama, melakukan pekerjaan dan amalan sunah. Sebagaimana
telah kami paparkan di atas, pekerjaan-pekerjaan wajib sangat terbatas.
Sementara, amalan sunah tidak ada batasnya. Kita boleh mengerjakan
ratusan rakaat salat sunah dalam sehari semalam. Dalam setahun, kita
boleh berpuasa sunah selama berbulan-bulan. Kita boleh berzikir dan
membaca Al-Qur’an selama berjam-jam. Kita tidak boleh menumpuk
harta benda dan hanya mencukupkan diri dengan sandang dan pangan
dalam batas minimal. Kita boleh melaksanakan ibadah haji sunah,
bersedekah, menyembelih binatang kurban, mengabdi kepada sesama,
dan ribuan kegiatan lain yang bermanfaat;
Kedua, melakukan ijtihad, adab, dan amalan-amalan khusus
para pengikut ajaran sufi, seperti membaca zikir dan wirid khusus,
p:103
mengerjakan puasa dan salat sunah khusus untuk mengikuti ajaran
tasawuf, mengenakan pakaian lusuh berdasarkan instruksi seorang
syaikh, berkhalwat dan membujang, melakukan pepergian tanpa bekal,
dan mengurangi makan dan minum.
Kaum sufi menetapkan disiplin yang sangat berat untuk para
pengikut ajaran tasawuf. Kadang-kadang karena berat tidak semua
orang dapat menjalankannya. Sebagai contoh, Syibli pernah meletakkan
tujuh man(1) garam di matanya supaya tidak tidur selama periode
mujahadahnya. Atau Abu Sa‘id Abul Khair pernah menggantung diri di
sebuah tiang pohon dengan posisi kepala di bawah dan mengkhatamkan
Al-Qur’an sebanyak delapan puluh kali.(2)
Kita perhatikan bersama, tolok ukur taklif dalam pandangan agama
dan irfan sangat jauh berbeda. Menurut agama, melaksanakan taklif
yang terbatas tersebut sudah cukup mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan ukhrawi. Tetapi, dalam dunia irfan, untuk membunuh
hawa nafsu, menyeberangi batas insaniah, dan sampai ke maqam fana,
diperlukan latihan berat yang menguras tenaga.
Dalam agama Islam, tenaga utama penggerak sebuah amal seorang
Muslim adalah iman. Iman mendorongnya melakukan taklif, karena
manusia makhluk yang berpengetahuan dan memiliki ikhtiar. Iman
dan pengetahuan memiliki peran fundamental dalam seluruh aktifitas
manusia.
Tetapi, dalam persepsi urafa, ada faktor lain yang sangat berperan
seperti inayah Ilahi dan rahasia takdir. Di samping mengakui nilai
tarekat, mereka juga meyakini inayah khusus Ilahi adalah sesuatu
yang sangat wajib. Di alam azali, keberhasilan seorang salik sudah
ditentukan. Syabestarî sehubungan dengan masalah ini berkata,
p:104
Kamu tidak ada ketika mereka menciptakan pekerjaanmu,
mereka telah memilihmu untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Sebelum jiwa dan tubuh diciptakan,
setiap pekerjaan tertentu telah ditentukan untuk setiap orang.
Maulawi memaparkan sebuah kisah tentang seorang budak yang
sedang mengerjakan salat di dalam masjid dan membiarkan tuannya
menunggu di luar masjid. Dalam kisah ini, Maulawi ingin menyampaikan
sebuah pelajaran. Semua itu terjadi karena takdir yang azali. Ketika
sang tuan bertanya kepada sang budak dengan kasar: “Siapakah yang
telah menyibukkanmu dan tidak mengizinkanmu keluar?” Budak
menjawab:
Dzat yang telah mengikat kakimu di luar itu
juga telah mengikat kakiku di dalam.
Dzat yang tidak mengizinkamu masuk ke dalam itu
juga tidak mengizinkanku keluar.
Dzat yang tidak mengizinkanmu melangkah di sini
juga telah menutup jalan ke arah sini.
Laut tidak mengizinkan ikan keluar,
juga tidak mengizinkan manusia masuk ke dalam.
Ikan memang harus berada di air dan hewan di tanah,
di sini usaha dan tipu daya tidak berguna.
Maulawi Rumi
Berkenaan dengan pembahasan tentang kebebasan dan ikhtiar
seseorang yang sudah mukallaf, kami akan memaparkannya lebih
rinci pada pembahasan akhlak dan tindakan manusia.
p:105
Menurut persepsi agama, buah melaksanakan taklif adalah pahala
ukhrawi dan kebahagiaan abadi di surga. Masalah ini sudah diketahui
oleh semua orang secara gamblang. Melaksanakan kewajiban agama
menempatkan seorang manusia ke dalam barisan para hamba yang
taat dan tidak memiliki kekhawatiran atau rasa takut pada Hari Kiamat
kelak. Bagaimanapun, ia tetap seorang manusia yang mukallaf dan
hamba Allah. Jika ia bermaksiat dan melakukan pembangkangan
terhadap Allah, ia akan disiksa dalam neraka.
Dengan kata lain, menurut ajaran agama, buah dari amal akan
dilihat oleh manusia yang mukallaf itu sendiri. Artinya, apabila
ia mencapai kenikmatan surgawi atau merasakan siksa neraka, ia
sendirilah yang merasakan nikmat atau sakit. Identitas manusia tidak
akan berubah dan lestari.
Tetapi, menurut ajaran irfan, apabila manusia melaksanakan taklif,
jati dirinya mengalami perubahan. Dengan ungkapan lain, buah amal
dalam perubahan jati diri manusia tampak dalam kondisi batiniahnya.
Seperti telah kami paparkan dalam pembahasan ontologi,145
pandangan agama dan irfan tentang ma‘ad sangat berbeda. Kami
akan menelaahnya dalam dua pembahasan berikut ini:
Seperti telah kita ketahui bersama, menurut persepsi agama, ujung
kehidupan manusia di dunia adalah kematian. Kematian sebuah realita
yang riil dan serius. Kematian berarti kehilangan kehidupan. Kematian
adalah akhir kehidupan duniawi. Setelah itu, dengan kekuasaan Ilahi,
ia akan hidup kembali. Setelah melalui beberapa tahapan di alam kubur
dan barzakh, ia akan hidup untuk selamanya di Hari Kiamat. Setelah
145 Pasal ketiga buku ini.
p:106
melalui sebuah perhitungan yang ketat, ia akan memulai sebuah
kehidupan yang selalu diiringi oleh kebahagiaan atau kesengsaraan.
Kehidupan ini tidak akan pernah berakhir. Masalah ini termasuk salah
satu konsep ajaran agama yang bersifat aksioma. Kami tidak akan
memaparkannya lebih detail dan terperinci lagi.
Dalam persepsi irfan, manusia senantiasa berada dalam proses
perubahan, berpindah dari satu dunia ke dunia lain. Meskipun agama
memandang kematian sebagai akhir sebuah kehidupan. Tetapi, dalam
pandangan irfan, kematian bukanlah akhir perjalanan dan perubahan
manusia.
Syaikh Waliyullah Dihlawi berkata, “Fana akan digapai oleh
manusia setelah lima ratus tahun berlalu dari kematiannya.”146 Syaikh
Mahmud Syabestari berkata:
Karena kesementaraan di dunia berlalu,
di akhirat semua kekekalan bertemu.
Kekekalan adalah akibat logis sebuah fana, kefanaan seluruh
makhluk terdapat di alam akhirat. Lâhîjî berkata, “Ketahuilah,
apabila tajallî dan manifestasi wajah Dzat Yang Mahakekal terwujud
dalam penjelmaan yang nonestatik (ghayr mutawâqifah), fana yang
merupakan sifat esensial sebuah penjelmaan akan menjelma. Jika
tajallî terwujud dalam penjelmaan yang estatik, kekekalan sebagai sifat
wujud akan muncul dalam penjelmaan tersebut.”147 Dalam prolog buku
Syarh Naqsy Al-Fushûsh, Jami berkata:
Dalam kondisi masih hidup, hak tauhid tidak dapat dipenuhi
sebagaimana semestinya. Inilah yang pernah dinyatakan oleh Ustadz
Abu Ali Daqqâq ra.‘Tauhid ibarat pemilik utang yang utangnya
belum dibayar dan orang asing yang haknya tidak
146 Hama‘ât, dinukil oleh M.H. Husaini Tehrani dalam Mehr-e Tobon, hlm. 122.
147 Mafâtih Al-A‘jâz fi Syarh Golshan-e Roz, hlm. 514.
p:107
dipenuhi.’148 Sebenarnya, kita memiliki dua jenis fana: pertama,
fana sebelum kematian. Fana ini adalah fana kesirnaan, seperti
cahaya bintang-gumintang sirna ditelan matahari. Dalam fana ini,
jati diri masih ada, meskipun hukumnya tercabut. Realita juga disebut
dengan nama ‘kekekalan setelah kefanaan’ dan ‘keterceraiberaian
setelah kebersatuan’; Kedua, fana setelah kematian. Fana ini laksana
kefanaan ombak dalam lautan. Dalam fana ini, jati diri
akan sirna dan bekasnya pun ikut tercabut, tanpa ada lagi
kisah ‘kekekalan setelah kefanaan’ dan ‘ketercerai-beraian setelah
kebersatuan’.”149
Biar bagaimanapun, fana ini bersifat permanen dan menjadi
penentu arah, karena semua yang permanen bersifat azali, abadi,
dan tidak terciptakan, maka seluruh penjelmaan yang berada dalam
perjalanan mereka akan memperoleh kekekalan. Mungkin inilah rumah
terakhir bagi perjalanan makhluk. Syaikh Asytiyani dalam prolog buku
Naqd An-Nushûsh berkata:
Menurut persepsi para filosof pengikut Filsafat Illuminatif (isyrâq),
robb al-naw‘ yang dimiliki oleh setiap makhluk materi yang ada
di dunia lahiriah, alam materi, dan benda ini adalah asal-usul,
pendidik, dan panutan seluruh makhluk materi. Menurut keyakinan
mereka, setelah makhluk berada materi berhasil menggapai
kesempurnaan, mereka akan bergabung kembali dengan asal-usul
mereka; yakni rabb an-nau‘. Sangat besar kemungkinan orangorang
yang sempurna dari kalangan para wali Allah akan melintasi
maqam akal-akal aksiden (‘aradhiyyah) setelah berhasil bergabung
dengan rabb an-nau‘, dan menempati posisi akal pertama. Begitu
pula, menurut keyakinan sebagian filosof pengikut aliran filsafat
Peripatetik Islam, Rasulullah Saw dan sebagian ‘Itrah beliau bahkan
berhasil menggapai tahapan-tahapan yang ada antara Dzat Yang
148 Naqd An-Nushûsh fi Syarh Naqsy Al-Fushûsh, hlm. 79.
149 Ibid., hlm. 53.
p:108
Maha Haqq dan akal kesepuluh; sehingga mereka berada sejajar
dengan akal pertama dan menyambung dengan Dzat Yang Maha
Haqq. Sangat besar kemungkinan, sebagian jiwa dalam persepsi
irfan bersifat permanen dan terjelma dalam maqam keesaan.
Setelah itu, jati diri mereka ditarik untuk kembali kepada asalmula
mereka; yakni nama Allah yang memiliki dzat pengatur
seluruh wujud. Pada akhirnya, sesuai kaidah yang menyatakan
bahwa titik penghujung akan kembali kepada titik permulaan,
mereka akan menyambung kembali dengan asal-usul mereka dan
pengatur seluruh jati diri.150
Dengan demikian, pandangan agama dan irfan tentang akhir
manusia memiliki perbedaan fundamental. Apakah kematian adalah
akhir kehidupan manusia atau bukan? Apakah kematian hanyalah
sebuah perpindahan? Apakah kematian adalah perubahan yang
membuahkan kesempurnaan dan kelahiran yang kedua kali?
Perbedaan fundamental lain tentang akhir kehidupan manusia di
dunia ini berhubungan dengan masalah dunia dan akhirat atau lahir
dan batin.
Menurut persepsi agama, kematian hanyalah perpindahan dari
dunia ini ke dunia sana; dari dunia fana yang dipenuhi oleh kelelahan
dan kesengsaraan menuju alam abadi yang dipenuhi oleh ketenangan
dan kebahagiaan. Tetapi yang jelas, hal ini untuk mereka yang berbuat
baik.
Dalam proses perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, jati diri
setiap orang masih terjaga. Tubuh dan sifat karakteristik jasmaniahnya
pun tidak mengalami perubahan. Jenis kenikmatan dan kesengsaraan
adalah jenis kenikmatan dan kesengsaraan duniawi yang sudah pernah
ia rasakan sebelumnya.
150 Moqaddameh-ye Naqd Al-Nushûsh, hlm. 43.
p:109
Tetapi, dalam irfan, kematian adalah perubahan dan kesempurnaan.
Kematian dapat menyiapkan lahan perpindahan dari lahir ke batin
dan dari alam khayal ke alam nyata. Tidak hanya sifat manusia dan
dunia yang berubah; manusia duniawi akan berubah menjadi manusia
ukhrawi dan alam dunia berubah menjadi alam akhirat, tetapi esensi
dan substansi manusia dan alam semesta juga akan berubah. Manusia
akan menjadi sesuatu yang lain di sebuah alam yang lain. Sebuah
perjalanan dari alam mulk ke alam malakût, dari dunia fisik ke alam
metafisik, dari lingkup indrawi ke ruang lingkup intuitif. Ringkasnya,
perpindahan dari lahir ke batin, dari alam materi ke alam gaib, dari
makhluk ke Dzat Yang Maha Haqq, dan dari khayal ke hakikat.
Perlu kami tekankan lagi, meskipun perpindahan ini dapat
dilakukan di dunia dengan cara mewujudkan kematian melalui ikhtiar,
akan tetapi, dengan berakhirnya usia manusia dan setelah melalui
materi dan inderawi, ia akan menemukan ufuk dan lubuk baru. Meski
demikian, urafa menyatakan, perjalanan ini tidak memiliki titik akhir
dan tidak akan berakhir sekalipun dengan tolok ukur usia ukhrawi,
apalagi hanya dengan tolok ukur usia duniawi.
Akhir perjumpaan dengan Dzat Yang Maha Haqq tidak akan
pernah dapat digapai dengan menggunakan usia akhirat, apalagi
hanya dengan usia duniawi.151
151 Mishbâh Al-Hidâyah wa Misbâh Al-Kifâyah, ‘Izzuddîn Mahmûd Al-Kâsyânî, cet. Tehran, hlm.
430.
p:110
Hidayah dan Hikmah Pengutusan Nabi
Sebagaimana telah dipaparkan, agama dan irfan menekankan
kewajiban pengutusan nabi sebagai penunjuk jalan hidayah. Menurut
keyakinan urafa Muslim, mengikuti syariat adalah sebuah tindakan
yang tidak dapat diremehkan, meski sebagian besar tarekat ‘anti’ syariat.
Mereka juga berusaha menyesuaikan ajaran syariat supaya memilih
ajaran tasawuf dan tidak hanya berpegang kepada sunah-sunah yang
dhaif dan tidak berisi.(1)
Urafa Muslim tidak hanya mengerjakan yang wajib dan haram
belaka. Mereka juga memperhatikan yang sunah dan makruh. Bahkan,
kadang mereka sangat hati-hati, padahal para ulama agama tidak pernah
bertindak seperti itu. Sehubungan hal ini, Sarraj Thusi berkata:
Ketika kaum sufi menghadapi persoalan ihwal hukum syariat
dan sunah-sunah agama, mereka merujuk kepada para ulama
agama. Jika mereka memperoleh jawaban para ulama yang bersifat
aklamasi dan disepakati, mereka akan mengamalkannya. Jika para
p:111
ulama berbeda pendapat, mereka pasti mengambil pendapat yang
lebih baik dan lebih utama. Mereka pasti memilih pendapat yang
lebih dekat kepada kehati-hatian dalam agama, pengagungan
perintah Ilahi, dan penghindaran terhadap larangan syariat.
Mereka tidak akan pernah berpikir meninggalkan ajaran syariat,
takwil, kesenangan diri, dan mengerjakan hal-hal yang belum
jelas. Menurut hemat mereka, semua ini berarti ketidakpedulian
terhadap agama dan bertentangan dengan tindak kehati-hatian.(1)
Kita ambil Bayazid sebagai contoh. Di sepanjang hidupnya, ia
tidak pernah makan melon. Karena ia tidak tahu apakah Rasulullah
Saw pernah makan melon atau belum?
Dengan demikian, masalah ajaran tasawuf tersusun rapi, fondasi
pemikiran urafa menjadi lebih jelas. Secara praktis, beberapa masalah
muncul ke permukaan. Sehubungan dengan masalah kenabian dan
syariat, pandangan agama dan irfan sangat berbeda. Pada kesempatan
ini, kami akan memaparkan perbedaannya.
Menurut pandangan agama, pengutusan nabi sangat penting karena
kemampuan pemahaman manusia sangat lemah dan didominasi hawa
nafsu mementingkan diri sendiri. Manusia tidak mampu memilah antara
kemaslahatan duniawi atau ukhrawinya. Dalam ranah pengelolaan
hubungan sosial, ia juga menghadapi banyak problematika. Atas
dasar ini, Allah membantunya melalui jalan pengutusan para nabi dan
mengarahkannya kepada jalan kebahagiaan.
Oleh karena itu, barangsiapa ingkar kepada tagut dan beriman
kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha
p:112
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah pelindung
orangorang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan
mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka
itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. Al-
Baqarah [2]: 256-257).
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan utusan) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata (QS. Al Imran [3]: 164).
Menurut persepsi agama, jika manusia tidak memperoleh hidayah
dari Allah, mereka akan terbiasa dengan kehidupan hewani dan
tercampakkan dari makrifat dan nilai-nilai insani yang sangat tinggi.
Mereka akan dihadapkan dengan problematika, pertikaian, persaingan,
mereka juga akan lupa terhadap kebahagiaan ukhrawi. Salah satu
tugas para nabi adalah mencegah umat manusia dari perhatian yang
berlebihan terhadap kehidupan duniawi, serta memahamkan kepada
mereka bahwa kehidupan ukhrawi adalah lebih baik dan lebih kekal.
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (QS. Al-
‘Ankabut [29]: 64).
Dari kalangan teolog Islam, aliran Asy‘ariyyah berkeyakinan,
pengutusan nabi wajib terlaksana karena akal dan pikiran manusia
p:113
tidak mampu memahami konsep nilai. Tetapi, menurut persepsi
mazhab Syiah dan Mu‘tazilah, urgensi pengutusan nabi bermuara
dari konsep anugerah (luthf) yang “wajib” atas Allah. Penjelasannya,
Allah wajib menurunkan luthf: tindakan yang dapat menjauhkan
hamba dari dosa dan mendekatkannya kepada ibadah. Tetapi, hal
ini tidak sampai pada batas determinisme. Pengutusan nabi adalah
salah satu bentuk luthf Ilahi. Dia wajib mengutus para nabi guna
memberikan hidayah kepada umat manusia.(1)
Menurut para filosof Muslim, pengutusan nabi terlaksana
berdasarkan kehidupan sosial umat manusia. Kehidupan sosial
memerlukan aturan dan keadilan. Atas dasar ini, harus ada seorang
pembuat hukum dan penebar keadilan yang diutus dari sisi Allah
guna menciptakan keteraturan dan menegakkan keadilan dalam
kehidupan masyarakat.(2)
Tetapi, menurut persepsi urafa, kenabian merupakan kebutuhan
umat manusia kepada makrifat yang lebih tinggi daripada makrifatmakrifat
inderawi dan rasional; yakni makrifat intuitif. Sehubungan
konsep kenabian, urgensi, dan keharusan pengutusan nabi ini,
Qaishari berkata:
Ketahuilah, sampai kepada Dzat Yang Maha Haqq tidak mungkin
terwujud kecuali dengan mengikuti jejak para nabi dan wali. Hal
ini karena akal tidak mampu menunjukkan sebuah hidayah yang
dapat meyakinkan dan terhindar dari segala bentuk keraguan.
Pada dasarnya, dalam upaya mengenal Allah Swt, akal memiliki
satu jalan yakni dengan menelaah dan merenungkan. Melalui jalan
mengenal makhluk, ia dapat sampai kepada wujud Sang Pencipta,
dan lantas kepada sifat-sifat-Nya, seperti keesaan, kewajiban, ilmu,
dan kekuasaan. Dari sifat-sifat jamâliyyah (tasybîhiyyah), hanya
sekadar inilah yang dapat diketahui. Dalam ruang lingkup sifat-sifat
p:114
jalâliyyah (tanzîhiyyah), kita hanya dapat memahami bahwa Dia
tidak berjisim, bukanlah sebuah maujud yang diliputi oleh masa
dan bertempat, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya, ini adalah
sebuah argumentasi dari balik tirai. Barangsiapa mengandalkan
argumentasi semacam ini, ia tidak ubahnya seperti seseorang yang
duduk di dalam sebuah rumah dan melihat bayangan seseorang
yang berdiri melawan matahari melalui sebuah jendela kecil.
Melalui penglihatannya ini, ia yakin bahwa di tempat itu ada
seseorang yang sedang berdiri. Tetapi, karena tidak melihat sosok
tersebut, ia tidak tahu siapakah orang itu? Seperti apakah bentuk
dan postur tubuhnya? Sifat dan karakteristik apakah yang ia miliki?
Pada hakikatnya, ia tidak ubahnya seperti orang buta yang hanya
dapat meraba segala sesuatu. Melalui indera perabanya, ia dapat
memahami sebagian sifat-sifat benda yang sedang ia raba. Tetapi,
karena tidak melihatnya, ia tidak mengetahui hakikat dan seluruh
sifatnya.
Mereka yang hanya mengandalkan kekuatan argumentasi
tidak ubahnya seperti orang-orang yang pernah difirmankan oleh
Allah, ‘Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari
tempat yang jauh.’” (QS. Fushshilat [41]: 44).
Hal itu karena mereka menganggap bahwa Dzat Yang Maha
Haqq jauh dari diri mereka dan berada di luar jangkauan alam
mungkin. Dalam hemat mereka, Dia adalah sebuah dzat tunggal
dan terpisah dari seluruh maujud selain diri-Nya. Dia adalah
faktor penciptaan seluruh penghuni alam. Padahal, Allah Swt
pernah menegaskan kedekatan diri-Nya dalam sebuah firman,
‘Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat.’ (QS. Al-Baqarah
[2]: 186); ‘Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.’ (QS.
Qaf [50]: 16); ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian,
tetapi kalian tidak melihat.’ (QS. Al-Waqi‘ah [56]: 85); dan ‘Dia-lah
Yang Mahaawal dan Mahaakhir, Mahazahir dan Mahabatin; dan
p:115
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.’ (QS. Al-Hadid [57]: 3).
Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Allah Swt menganggap diri-
Nya sebagai substansi (‘ain) seluruh hakikat, baik yang tampak
maupun yang tersembunyi. Kedudukan diri-Nya terhadap para
makhluk selain-Nya, Dia lebih mengetahui-Nya, dan kita wajib
mengimaninya. Kedekatan Allah, bukan kedekatan antara dua
benda materi. Tetapi, jenis kedekatan yang terdapat di alam hakikat
dan pribadi-pribadi yang terdapat di hakikat tersebut. Realita akan
terbuka gamblang bagi setiap orang yang berhasil menyingkap
rahasia firman Allah yang berbunyi, ‘Dan Dia bersama kalian di
mana saja kalian berada.’ (QS. Al-Waqi‘ah [57]: 4), dan ‘Maka ke
arah mana pun kalian menghadap, di situlah terdapat wajah Allah.’
(QS. Al-Baqarah [2]: 115).(1)
Atas dasar ini, manusia tidak memiliki pilihan lain kecuali harus
memohon pertolongan kepada orang-orang yang sempurna yang
telah sampai kepada makrifat intuitif, serta mengikuti jejak langkah
para nabi dan wali. Dalam persepsi urafa, pengutusan nabi karena
diperlukan sebuah makrifat yang lebih tinggi dan mereka diarahkan
kepada makrifat tersebut melalui jalan pengutusan para nabi.
Perbedaan kedua pandangan ini dalam persepsi agama bersifat
wajar dan rasional. Tetapi, dalam persepsi irfan masalah lahir dan
batin manusia senantiasa menjadi prinsip yang sangat fundamental.
Sebab, menurut urafa, pengutusan nabi tidak hanya untuk mengelola
kehidupan duniawi dan demi menggapai pahala ukhrawi. Pengutusan
nabi bertujuan supaya umat manusia memperoleh makrifat yang lebih
tinggi daripada makrifat yang biasanya.
Qaishari menekankan masalah ini secara gamblang. Ia
memposisikan tauhid bilangan hasil pemikiran para filosof dan teolog
sebagai hasil argumentasi rasional berhadapan dengan tauhid wujudi
urafa yang merupakan hasil makrifat intuitif.
p:116
Untuk tujuan apa para nabi diutus? Kami telah memaparkan kajian
ini. Agama dan irfan sama-sama menekankan urgensi dan keharusan
pengutusan nabi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah substansi
kenabian tersebut? Bagaimanakah proses pengutusan terjadi dan
melalui proses apa saja?
Sehubungan dengan substansi kenabian, ada dua prinsip
fundamental yang dapat kita bahas bersama: pertama, substansi dan
kepribadian nabi sebagai penerima wahyu; kedua, proses penurunan
wahyu dan tata cara hubungan seorang nabi dengan sumber wahyu.
Agama Islam menganggap nabi sebagai manusia biasa sebagaimana
orang lain. Satu-satunya perbedaan yang ia miliki, Allah memilihnya
di antara sekian manusia yang ada guna menyampaikan wahyu-Nya.
Allah berfirman:
Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti
kalian, yang diwahyukan kepadaku (QS. Al-Kahf [18]: 110).
Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa
perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang gaib, serta tidak (pula) aku mengatakan kepada
kalian bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku (QS. Al-An‘am [6]: 50).
Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku
dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku berbuat
kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa
keburukan (dan kemudaratan) (QS. Al-A‘raf [7]: 188).
p:117
Nabi sampai kepada kedudukan tersebut karena pilihan dan
kemauan Allah. Dengan dukungan-Nya, ia memperoleh amanat untuk
menyampaikan agama. Para pengikut agama Kristen kala itu meyakini
Nabi Isa as. memiliki kedudukan supra manusia. Islam menyalahkan
keyakinan ini dan menganggapnya sebagai penyimpangan. Al-Qur’an
sangat sering memaparkan masalah ini. Di antaranya:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata,
“Sesungguhnya Allah adalah Al-Masih putra Maryam’, padahal Al-
Masih (sendiri) berkata, ‘Hai Bani Isra’il, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhan kalian. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga
baginya, dan tempatnya adalah neraka, tidaklah ada bagi orangorang
zalim itu seorang penolong pun.’ Sesung-guhnya telah
kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Allah adalah salah satu
dari tiga tuhan’, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain Tuhan
Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari ucapan mereka itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan
yang pedih. Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang rasul yang
sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan
ibunya adalah seorang wanita yang sangat jujur, keduanya biasa
memakan makanan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 72, 73, dan 75).
Karena masalah ini, Al-Qur’an menekankan keinsanan seorang
nabi dan menafikan setiap kekuatan dan makrifat yang tidak lumrah
darinya. Rasulullah Saw senantiasa menghindarkan setiap keyakinan
yang berlebihan tentang diri beliau.
Tetapi, manusia biasa bisa saja menggapai kedudukan kenabian
dan risalah melalui perantara pilihan Allah. Seperti telah dipaparkan
pada pasal pertama buku ini, di luar ajaran Ilahi melalui jalan wahyu,
Rasulullah Saw tidak memiliki apa-apa dalam diri beliau dan juga
p:118
tidak mengetahui apakah kitab dan iman itu? Para nabi yang lain juga
menegaskan hal yang sama. Al-Qur’an berfirman,
Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak lain
hanyalah manusia seperti kalian, tetapi Allah memberi karunia
kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”
(QS. Ibrahim [14]:11 dan Al-Syura [42]: 52).
Tetapi, dalam persepsi urafa, nabi memiliki sebuah substansi dan
kepribadian lebih tinggi yang memiliki perbedaan fundamental dengan
manusia yang lain. Qaishari pernah memaparkan urgensi dan keharusan
pengutusan nabi, keharusan mengikuti para nabi, dan lantas
menjelaskan arti kosa kata kenabian serta klasifikasinya. Selanjutnya,
ia memaparkan peran kepribadian seorang nabi berikut ini:
Kenabian adalah sebuah anugerah Ilahi. Usaha dan jerih payah
manusia tidak memiliki peran dalam masalah ini. Dengan
demikian, nabi adalah orang yang diutus Allah Swt guna
memberikan hidayah kepada umat manusia. Di samping itu, nabi
juga bertugas mengajarkan tentang dzat, sifat, dan perilaku Allah,
serta hukum-hukum yang berlaku di alam akhirat, seperti padang
Mahsyar, kebangkitan kembali, pahala, dan siksa.
Kenabian memiliki sebuah batin. Batin ini adalah wilâyah.
Melalui perantara wilâyah, seorang nabi menerima serangkaian
makna dari Allah Swt atau salah seorang malaikat. Hal inilah
yang menyebabkan kesempurnaan kedudukan nabi. Melalui
perantara kenabian, ia menyampaikan segala pesan yang telah
ia terima dari Allah, baik dengan maupun tanpa perantara,
kepada para hamba Allah. Dengan cara ini, ia menyempurnakan
mereka.(1)
p:119
Menurut pandangan urafa, dalam diri seorang nabi, terdapat dua
unsur yang menjadi mata air kecermelangan: kecintaan (mahbûbiyyah)
dan wilâyah. Qaishari memaparkan secara gamblang dalam pernyataan
yang telah kami nukil di atas. Kami juga tidak memiliki jalan lain kecuali
harus menjelaskan kedua unsur ini secara lebih terperinci.
Unsur pertama adalah kecintaan. Dalam proses perjalanan busur
gerak menaik, seluruh alam semesta kembali kepada Sumber Pertama
(Mabda’). Proses ini berlangsung sempurna. Manusia berada di antara
kumpulan tersebut. Sebagai kawn jâmi‘, ia juga berada dalam perjalanan
gerak wujud dan berfungsi sebagai lahannya. Sebagaimana telah kami
paparkan, di alam materi seluruh maujud berkibat kepada manusia.
Manusia juga berada dalam proses gerak kesempurnaan dan
senantiasa mengalami perubahan. Akan tetapi, seperti kita ketahui
bersama, seluruh perubahan umumnya tidak tergantung kepada
kemauan dan kehendak kita. Manusia juga seperti maujud-maujud
yang lain lahir dan berkembang berdasarkan sebuah hidayah tatacipta
(hidâyah takwîniyyah). Akan tetapi, sebagian perkembangan dan
kesempurnaan manusia memerlukan hidayah tatatinta (hidâyah
tasyrî‘iyyah). Ia harus memperoleh sebagian kesempurnaan melalui
jerih payah dan ikhtiar. Meskipun sebagian orang ada yang memperoleh
kesempurnaan berdasarkan pemberian Ilahi. Mereka melalui
seluruh tingkatan kesempurnaan tanpa campur tangan kehendak
sendiri. Dalam terminologi urafa, dikenal dengan sebutan mahbûb
dan majdzûb. Atas dasar ini, kelayakan seseorang untuk mengemban
tugas kenabian adalah hasil anugerah Ilahi, dan ini adalah kecintaan
(mahbûbiyyah). Sang nabi tidak memiliki peran dalam mewujudkan
kelayakan itu. Barangsiapa berhasil memperoleh posisi kenabian,
kesempurnaannya lebih tinggi dibandingkan orang lain, dan wujudnya
tidak berada dalam satu tingkat dengan wujud orang lain. Kami akan
menjelaskannya secara ringkas:
Pertama, teori ini berlandaskan ashâlat al-wujûd (wujud sebagai
sesuatu yang prinsipal) dan kerendahan atau ketinggian tingkatan
p:120
tingkatan wujud. Seluruh sifat berasal dari wujud. Setiap tingkatan sifat
seperti hidup, ilmu, kehendak, kekuatan, dan tindakan bergantung
kepada wujud. Apabila tingkatan wujud menjadi tinggi atau rendah,
sifat juga menjadi tinggi atau rendah. Sifat pada benda padat adalah
lemah, pada manusia adalah kuat, dan pada tingkatan-tingkatan yang
lebih tinggi daripada manusia adalah lebih kuat dibandingkan dengan
sifat-sifat manusia biasa.
Setiap maujud sesuai tingkatan wujudnya memiliki kesempurnaan.
Manusia berdasarkan konsep kawn jâmi‘ adalah sebuah alam semesta
yang hadir dengan sendirinya, dan alam semesta secara keseluruhan
adalah seorang manusia. Karena seluruh tingkatan wujud termanifestasi
dalam alam semesta, secara potensial terealisasi juga dalam diri
manusia. Oleh karena itu, ilmu, pengetahuan, kehendak, kekuatan,
dan kreatifitas dapat terlaksana dalam diri manusia dari titik nol
hingga tidak terhingga. Manusia bisa seperti itu karena kecintaan dan
inayah Ilahi. Terkadang kecintaan dan inayah tersebut sampai suatu
batas tertentu. Pada tahap selanjutnya, hal itu memerlukan usaha dan
mujahadah manusia. Dengan demikian, ilmu, kehendak, dan kreatifitas
pada kondisi ini adalah hasil kesempurnaan wujud manusia. Oleh
karena itu, urafa menegaskan para nabi menerima wahyu dari ranah
batin diri mereka; sebuah ranah yang merupakan sisi kesempurnaan,
wilâyah, dan kedekatan mereka.
Ketahuilah, pandangan irfan sehubungan dengan kepribadian
nabi sangat berbeda dengan pandangan agama. Di samping perbedaan
ini, masih ada perbedaan-perbedaan lain, seperti para nabi adalah
perantara anugerah (faydh) Ilahi dan hakikat Nabi Muhammad
Saw adalah makhluk pertama yang tercipta. Urafa pada umumnya
menganggap hakikat Nabi Muhammad adalah manifestasi pertama
Dzat Yang Maha Haqq sebagai ganti akal pertama yang diyakini oleh
para filosof. Tingkatan-tingkatan alam semesta selanjutnya bercabang
dari Hakikat Muhammadi ini satu demi satu. Hakikat Muhammadi
adalah penjelmaan (tanazzul) pertama Allah dalam bentuk sesuatu
p:121
yang bersifat mungkin dan wujud sebuah makhluk. Ia menjadi
perantara anugerah (faydh) Ilahi bagi maujud-maujud yang lain.
Hakikat Muhammad memiliki seluruh kesempurnaan yang dimiliki
oleh seluruh tingkatan setelah dirinya. Tidak satu maujud pun yang
berada di luar dominasi hakikat ini.(1)
Hakikat Muhammad ditinjau dari sisi universalitas dan
ketidakterikatannya pada suatu maujud memiliki peran perantara
antara Allah dan alam semesta. Tetapi, ditinjau dari sisi keterikatannya
pada sebuah bentuk nâsûtî manusia, hakikat itu adalah nabi pamungkas
yang telah muncul pada masa tertentu. Hakikat Muhammad meliputi
dua sisi sebuah lingkaran. Dalam satu busur, ia turun dari titik
ketunggalan (ahadiyyah) karena harus menjelma dan menjadi sebuah
makhluk. Dan dalam busur yang lain, setelah muncul, ia akan sampai
kepada titik ketunggalan.
Dalam busur gerak menurun dan menaik, ketika hakikat
Muhammad lebih dekat kepada sebuah bentuk makhluk, ia akan lebih
jauh dari hakikat ketunggalan.
Dalam perjalanan menurun, setiap tingkatan adalah forma (shûrah)
untuk tingkatan sebelumnya dan makna untuk tingkatan setelahnya.
Setiap tingkatan sebelumnya adalah sisi batiniah untuk tingkatan
setelahnya, dan setiap tingkatan setelahnya adalah sisi lahiriah untuk
tingkatan sebelumnya.(2)
Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw bukanlah seorang manusia
biasa. Beliau adalah sebuah maujud yang memiliki sisi Ilahi. Al-Qur’an
tidak pernah menyinggung masalah ini. Berdasarkan ajaran lahiriah
Al-Qur’an dan Sunah, hubungan Rasulullah Saw dengan masyarakat
adalah sebuah hubungan tatatinta. Tetapi, menurut pandangan urafa,
hubungan ini adalah sebuah hubungan tatacipta. Dan itu pun untuk
seluruh alam semesta, bukan hanya untuk umat manusia.
p:122
Seperti telah kami paparkan, proses penurunan wahyu dalam
pandangan agama berlangsung sebagaimana berikut ini:
Nabi memperoleh wahyu dalam sebuah proses dialog. Kemudian,
ia menyampaikan kepada masyarakat teks asli wahyu yang telah ia terima
dari Allah, baik secara langsung maupun melalui perantara malaikat.
Setelah proses penyampaian ini, para penghafal menghafalkan wahyu
dan para penulis menuliskannya.
Proses penurunan wahyu dalam pandangan agama adalah wahyu
berada di Lawh Mahfûzh. Lantas, malaikat Jibril menyampaikannya
kepada nabi. Lalu, nabi menyampaikannya kepada masyarakat luas.
Pemilihan seseorang yang tidak pernah belajar di sebuah lingkungan
jahiliah Arab untuk menyampaikan wahyu adalah sebuah bukti bahwa
ia hanya memiliki peran sebagai perantara. Kosa-kata, arti, dan
susunan ayat telah ditentukan oleh Allah.
Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab
supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-Zukhruf [43]: 3).
Nabi menerima wahyu dalam kondisi sadar. Tetapi, dalam
pandangan urafa sehubungan dengan masalah ini sangat berbeda.
Meskipun kemunculan dan perkembangan irfan teoritis terjadi pasca
keterkucilan ajaran filsafat. Tetapi, ajaran irfan masih dipengaruhi
oleh filsafat. Mengapa tasawuf memiliki satu warna dengan filsafat?
Alasannya adalah mungkin urafa ingin memasuki medan dialog
dan diskusi dengan menggunakan bahasa para filosof.(1)
Biar bagaimanapun, dalam pembahasan kenabian, urafa
terpengaruh ajaran filsafat, tetapi dasar utama pemikiran mereka
berbeda dengan ajaran para filosof. Kami akan memaparkan pandangan
para filosof sehubungan dengan masalah ini, dan kemudian
menjelaskan pandangan urafa.
p:123
Menurut para filosof, proses penurunan wahyu sebagaimana
ditegaskan Al-Qur’an dan Sunah tidak dapat dianalisis secara
rasional. Atau paling tidak, dasar-dasar pemikiran filosofis mereka
untuk sementara ini tidak mampu melakukannya seperti berkenaan
dengan masalah ma‘ad, mereka terpaksa melukiskan konsep
kenabian sedemikian rupa sehingga dapat diterima akal secara
rasional. Kami perlu mengingatkan, kontradiksi yang muncul karena
percekcokan antara kaum agamawan dan golongan penebar kritik,
seperti Ahmad bin Ishaq Rawandi (w. 248 H) dan Muhammad
bin Zakaria Razi (w. 313 H), bukanlah satu-satunya faktor yang
mendorong kaum agamawan memaparkan segala masalah
berdasarkan pamaparan rasional. Sebagian orang meyakini bahwa
kontradiksi itu menjadi faktor utama dalam masalah ini.(1) Jika
golongan penebar kritik tidak pernah ada sekalipun, metode filosofis
yang telah mereka pegang memaksa mereka untuk melakukan
rasionalisasi.
Analisis rasional yang diutarakan Abu Nashr Farabi (wafat
tahun 339 H). Ia membenarkan, kenabian tergapai karena kekuatan
khayali (quwwah muta-khayyilah) seseorang bersambung dengan
akal aktif (‘aql fa‘âl). Dalam pandangan Farabi, jika para filosof dapat
bersambung dengan akal aktif melalui perantara akal teoritis (‘aql
nazharî), para nabi juga dapat berhubungan dengan akal melalui
kekuatan khayali mereka.(2)
Mengapa kekuatan khayali diperuntukkan kepada para nabi,
sedangkan kekuatan akal (quwwah ‘âqilah) kepada para filosof?
Mungkin alasannya, segala sesuatu yang diperoleh oleh para filosof
adalah kaidah rasional yang bersifat universal. Sedangkan ajaran
para nabi adalah hukum dan masalah-masalah yang dapat diindera
dan bersifat parsial.
p:124
Ibn Sina (w. 428 H) hidup sekitar satu abad setelah Farabi. Ia
memiliki sebuah analisis yang sudah sangat maju. Ia berkata:
Gerak kekuatan akal manusia dalam rangka menyingkap sesuatu yang
tidak diketahui (majhûl) berlangsung dengan dua cara: pertama,
berlangsung melalui proses pemikiran (fikr). Dalam cara ini, ia
dapat menyingkap majhul melalui perantara hadd wasath (terma
tengah). Ia memperolehnya dari ilmu pengetahuan yang pernah
dimiliki; kedua, berlangsung melalui proses sangkaan (hads). Terma
tengah dalam proses ini muncul di otak dengan cepat tanpa harus
ada ilmu pengetahuan sebelumnya, dan juga dapat mengantarkannya
kepada majhul yang sedang dicarinya.
Dalam manusia, kekuatan berpikir dan menyangka sangat
berbeda-beda. Dari sisi pemikiran, ada orang-orang yang sangat
bodoh, dan ada juga yang cerdas dan jenius. Dari sisi sangkaan
juga demikian. Ada orang-orang yang tidak memiliki kekuatan
menyangka sama sekali. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang
memiliki kekuatan menyangka yang paling tinggi sehingga mereka
tidak perlu belajar dan berpikir. Mereka dapat memahami segala
sesuatu dengan perantara kekuatan menyangka ini ….
Indera komunal (hiss musytarik) mungkin mengambil formaforma
(shûrah) tertentu dari kekuatan khayal. Artinya, apabila
indera komunal dapat mengambil forma-forma dari indera-indera
lahiriah, ia juga mungkin menerima forma-forma dari indera
batiniah dan kekuatan khayal. Jika seluruh persyaratan tersedia
secara memadai, indera komunal akan menyimpan forma-forma
dari kekuatan khayal. Sebagai contoh, dalam kondisi tidur,
beberapa forma khayali muncul pada indera komunal dan kita
melihatnya. Atau orang-orang sakit melihat forma-forma tertentu
pada saat mereka sedang terjaga.
Sesuai kemampuannya, jiwa dapat menyingkirkan segala
bentuk penghalang, lalu memfokuskan pada aktifitas yang sesuai
p:125
dengan kebutuhannya. Ini adalah proses memahami hakikat yang
bersifat universal.
Kemudian, Ibn Sina memaparkan sebuah prolog lain sebagai
berikut ini:
Jika penghalang dan penyibuk bertambah sedikit, jiwa
menemukan sebuah kesempatan untuk dengan cepat
melakukan sebuah hubungan dengan alam kudus. Dengan
perantara hubungan ini, sebuah hakikat universal akan terpatri
dalam jiwa. Lalu, efek hakikat universal akan sampai kepada
kekuatan khayal. Kemudian, kekuatan khayal memindahkan
semua hakikat kepada indera komunal dalam bentuk yang
sangat parsial. Proses ini memiliki manifestasi beraneka ragam.
Kadang ia muncul dalam bentuk efek di otak, dan kadang juga
sampai kepada kekuatan khayal. Ia akan menjelma di hadapan
mata atau terdengar di telinga.(1)
Analisis Ibn Sina yang lebih terperinci tentang proses penurunan
wahyu adalah sebagai berikut:
Hubungan jiwa yang kuat dengan alam atas dalam kondisi terjaga
(akal aktif).
Menerima hakikat-hakikat yang bersifat universal.
Perpindahan seluruh hakikat tersebut kepada kekuatan khayali.
Perpindahan seluruh hakikat tersebut kepada indera komunal.
Pada tahap ini, nabi menerima hakikat dalam bentuk parsial,
menggunakan bahasa yang resmi digunakan kala itu. Lalu, ia
menginformasikannya kepada masyarakat luas.
Seperti telah kami singgung, urafa juga memiliki sebuah teori
tentang proses penurunan wahyu. Dari satu segi, teori ini hampir sama
p:126
dengan teori yang diyakini oleh para filosof. Menurut hemat urafa, alam
semesta adalah manifestasi tiga tingkatan alam universal:
Alam jabarût: alam ruh yang universal dan metafisik (seluruh akal
dan jiwa).
Alam malakût: alam mitsâl. Di alam ini, terdapat contoh untuk
seluruh hakikat yang ada di atas dan di bawah. Bentuk yang ada di
alam malakût memiliki bentuk dan ukuran, tetapi bukan materi.
Alam mulk: alam yang dapat diraba dan bersifat material.
Atas dasar ini, anugerah (faidh) wujud dan makrifat, serta hakikat
dan makna dalam busur gerak menurun dan menaik pasti melewati
seluruh tahap tingkatan tersebut. Sebagaimana tajallî wujud bergerak
dari alam jabarût ke alam malakût dan lantas dari alam malakût ke
alam mulk, makna-makna juga pasti melewati seluruh tahapan ini.
Coba kita perhatikan bersama pernyataan Qaishari :
Ketahuilah, di antara alam jisim dan alam ruh yang bersifat metafisik
terdapat sebuah alam lain yang diberi nama Barzakh. Alam ini
pernah ditegaskan oleh ayat yang menyatakan, ‘Dia membiarkan
dua lautan (manis dan asin, serta panas dan dingin) mengalir yang
keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang
tidak dapat dilampaui oleh masing-masing (sehingga kedua jenis
air itu tidak bercampur).’ (QS. Al-Rahman [55]: 19-20). Artinya, di
antara dua laut itu; yakni alam ruh dan alam jisim, terdapat sebuah
barzakh (penghalang); yakni alam mitsâl, sehingga kedua alam itu
tidak saling bertemu. Barzakh ini harus memiliki keistimewaan
yang dimiliki oleh kedua alam tersebut. Oleh karena itu, dari sisi
bahwa alam Barzakh tidak bersifat material, alam ini serupa dengan
alam ruh, dan dari sisi bahwa alam ini memiliki forma, bentuk,
dan ukuran, serupa dengan alam jisim. Ketika makna turun dari
haribaan Ilahi, pertama kali ia akan menerima forma jasmani dan
inderawi di alam mitsâl seperti forma khayali kita. Setelah itu,
p:127
ia turun ke alam mulk. Atas dasar ini, urafa juga menyebut alam
mitsâl dengan nama ‘khayal yang terpisah’ (khayâl munfashil).
Sebagian besar intuisi yang dialami oleh urafa dengan
hal-hal yang gaib berhubungan dengan alam mitsâl. Di alam
inilah seluruh perilaku dan amal manusia, yang baik maupun
yang buruk menjadi bentuk dan jasad yang sesuai dengan
keadaan masing-masing. Setiap manusia memiliki andil
dari alam itu, andil ini adalah kekuatan khayalnya. Dengan
perantara kekuatan khayal, ia dapat melihat alam mimpi. Urafa
menyebut kekuatan khayal dengan nama ‘khayal yang terikat’
(khayâl muqayyad). Hubungan khayal terikat dengan khayal
mutlak seperti hubungan rumah dengan bagian luar rumah. Di
luar alam jisim, jendela alam gaib pertama yang terbuka bagi
manusia adalah jendela alam mitsâl.
Peristiwa Mikraj Rasulullah Saw, perjumpaan beliau
dengan pada nabi, dan menyaksikan surga dan neraka, semua
ini dapat dijelaskan dan interpretasikan berdasarkan konsep
alam mitsâl.
Seluruh jenis intuisi lain yang berhubungan dengan lima
indera hati terjadi di alam ini.”(1)
Kesimpulannya, makna akan berubah menjadi forma inderawi
di alam mitsâl. Penyaksian inderawi Rasulullah Saw, seperti melihat
malaikat Jibril dan mendengarkan suara, berhubungan dengan alam
ini. Tetapi, karena semua terjadi dalam diri Rasulullah Saw sebagai
sebuah kawn jâmi‘, mari kita renungkan lebih lanjut pernyataan yang
berhubungan dengan masalah ini:
Kenabian memiliki sebuah sisi batin; yakni wilâyah. Rasulullah
Saw menerima seluruh makrifat dari Allah, baik langsung maupun
melalui perantara. Melalui jalan kenabian, beliau menyampaikan
p:128
semua makrifat kepada umat manusia guna menyempurnakan
mereka. Misi ini tidak mungkin terwujud kecuali melalui syariat.
Syariat ini adalah seluruh ajaran yang telah dibawa oleh beliau
dalam Al-Qur’an dan Sunah.(1)
Menurut keyakinan urafa, sebagaimana para filosof, proses
penurunan wahyu terjadi dalam diri nabi. Sementara menurut para
filosof, nabi adalah seseorang yang dapat melakukan hubungan dengan
akal aktif dan memahami hakikat universal karena ia memiliki kekuatan
menyangka yang sangat tinggi. Lalu, ia memindahkan seluruh hakikat
kepada kekuatan khayal, dan lantas memindahkannya dari kekuatan
khayal kepada indera komunal. Kemudian, ia mengubahnya dalam
bentuk masalah yang bersifat parsial dan dapat diindera.
Menurut keyakinan urafa, nabi telah berhasil sampai kepada
maqam wilâyah khusus karena ia dicintai oleh Allah (mahbûbiyyah)
dan dapat memahami hakikat-hakikat tertentu. Ia mengubah hakikat
menjadi forma inderawi di alam mitsâl-nya yang terikat. Lalu, ia
menyampaikan kepada masyarakat luas dalam bentuk yang dapat
didengar atau disaksikan.
Atas dasar ini, keyakinan urafa dan filosof tentang proses penurunan
wahyu berbeda dengan ajaran lahiriah Al-Qur’an dan Sunah, serta
pemahaman lumrah kaum beragama. Oleh karena itu, pandangan irfan
dan agama tentang kepribadian nabi dan proses penurunan wahyu juga
memiliki perbedaan fundamental.
Pandangan para filosof juga memiliki perbedaan dengan pandangan
urafa, karena tidak berhubungan dengan tema pembahasan kita, kami
tidak memaparkannya.
p:129
3. Prinsip Khatamiyah dalam Pandangan Agama
dan Irfan
Keyakinan Rasulullah Saw sebagai nabi terakhir adalah ajaran Islam
yang sangat gamblang. Tidak seorang Muslim pun meragukannya.
Guna menelaah pandangan agama dan irfan tentang masalah ini, kami
akan memaparkan sebagai berikut:
Dalam pandangan agama, prinsip kenabian terakhir (khâtamiah)
berarti Rasulullah Saw adalah nabi terakhir, dan setelah beliau,
tidak ada seorang nabi lain yang akan diutus guna menghapus atau
menyampaikan agama Islam.
Muhammad sekali-kali bukanlah ayah dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi
(QS. Al-Ahzab [33]: 40).
Prinsip khatamiyah memiliki dua pilar utama: pertama,
menyampaikan segala sesuatu yang memang harus disampaikan
dari sisi Allah; dan kedua, mendewasakan manusia sehingga dapat
memelihara seluruh khazanah ajaran samawi.
Ini adalah pemahaman umum kaum beragama dan para ulama
tentang prinsip khatamiyah.
Adapun dalam pandangan urafa, di samping menerima arti
tersebut, dalam pandangan mereka, nabi terakhir memiliki kelebihan
universalitas (afdhaliyyah wa jâmi‘iyyah). Pamungkas para nabi adalah
seorang figur yang sempurna dibandingkan orang lain, dan lebih
mendahului para nabi yang lain dalam proses busur gerak menurun
dan menaik. Qaishari berkata:
p:130
Kenabian tidak ubahnya seperti lingkaran yang dipenuhi
titiktitik beraneka ragam sedemikian rupa sehingga setiap
titik berada di pusat sebuah lingkaran yang lain. Nabi
pamungkas tidak ubahnya seperti lingkaran yang besar dan
meliputi itu. Para nabi yang lain tidak ubahnya seperti titiktitik
yang berada di dalam ruang lingkaran tersebut. Muhammad
Saw telah menjadi nabi, sedangkan Adam masih berada di
antara air dan tanah.(1)
Atas dasar ini, gelar pamungkas nabi tidak akan memiliki sisi
historikal. Artinya, nabi pamungkas mungkin saja muncul di
permulaan atau pertengahan sejarah kehidupan manusia dan
pengutusan para nabi. Akhirnya, setelah nabi pamungkas mungkin saja
ada nabi lain yang akan muncul. Tetapi, nabi ini jelas memiliki kesempurnaan
lebih rendah dibandingkan dengan nabi pamungkas. Sebagai
perbandingan, dalam irfan Islami, kita bisa saja menganggap Imam Ali
as, Ibnu Arabi, atau figur lain sebagai wali pamungkas. Hal ini tidak
berarti, kita tidak akan memiliki wali lain setelah mereka. Meskipun
demikian, tidak akan ada seorang wali lain yang dapat menandingi
mereka dalam kesempurnaan dan tingkatan wujud.
Perlu kami ingatkan, urafa Muslim umumnya menganggap arti
kenabian terakhir adalah keberakhiran pengutusan nabi, dan mereka
tidak meyakini akan ada nabi lain yang akan muncul. Berbeda dengan
arti pamungkas para wali. Setelah wali pamungkas, masih akan ada
para wali Ilahi lain yang akan muncul di dunia. Dapat dipahami, dalam
keyakinan urafa, konsep kenabian terakhir berarti tingkatan tertinggi
kenabian dan tiada tingkatan lain yang lebih tinggi dari tingkatan
tersebut. Keunggulan ini terealisasi dalam syariat lahiriah dan
duniawiah, serta juga dalam wilâyah dan taqarrub batiniah, maknawiah,
dan ukhrawiah.
p:131
Berdasarkan prinsip khatamiyah, kita akan berhadapan dengan
beberapa pertanyaan logis (lawâzim). Salah satunya, agama adalah
sekumpulan ajaran yang memuat akidah dan hukum. Atas dasar akidah
dan hukum, kebahagiaan duniawi diatur berdasarkan kesempurnaan
dan kebahagiaan ukhrawi. Sekarang, selama dunia masih ada, apakah
kita tidak memerlukan lagi sebuah makrifat dan hukum baru?
Pertanyaan fundamental dalam prinsip khatamiyah. Kita harus
menelaah sisi akidah dan hukum agama secara terpisah. Sehubungan
dengan akidah dan makrifat, ajaran agama dapat dipahami sebagai
akidah permanen untuk selamanya.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam
(QS. Al Imran [3]: 19).
Keyakinan terhadap Sumber Penciptaan (Mabda’), hubungan
antara Allah dan hamba, mengenal diri, prinsip-prinsip etika, prinsipprinsip
keadilan sosial, serta prinsip-prinsip kehalalan dan keharaman
senantiasa dialami oleh umat manusia hingga akhir masa.(1)
Atas dasar semua itu, apakah landasan kita untuk menyatakan
bahwa prinsip-prinsip ontologi, akidah, etika, sosial, dan nilai-nilai
umat manusia senantiasa permanen?
Dalam masalah ini, agama berlandaskan aturan dan sunah alam
semesta.(2) Ini dari satu sisi, dan dari sisi lain, pada kepermanenan
berdasarkan tolok ukur pemahaman dan penilaian manusia. Sebagai
contoh, di dunia, setiap akibat pasti selalu memerlukan sebab, dan
umat manusia senantiasa memahami dan menerima kaidah ini. Tetapi,
dari sekian prinsip yang ada, urafa menerima prinsip pertama dan
kedua hanya berdasarkan lahiriah. Artinya, alam semesta memiliki
sisi lahiriah yang bersifat figuratif dan tidak asli. Di samping itu, alam
p:132
semesta juga memiliki sisi batiniah yang merupakan wujud hakiki dan
asli.(1)
Aturan-aturan yang ada di alam semesta dan kemampuan akal
hanya berlaku di dunia ketercerai-beraian dan keberbilangan (farq wa
katsrah) yang merupakan sisi lahiriah alam semesta. Tetapi, sisi batiniah
alam semesta dan makrifat intuitif memiliki perhitungan lain.
Atas dasar ini, makrifat agama yang berhubungan dengan manusia
secara umum adalah pemahaman lazim yang biasa diperoleh melalui
akal dan pikiran. Adapun sisi batiniah alam semesta dan makrifat
batiniah, sangat berbeda. Sisi makrifat batiniah memiliki tingkatan;
pemahaman setiap orang bergantung kepada tingkatan wujud yang ia
miliki. Tema ini akan kami paparkan lebih terperinci pada pembahasan
mendatang.
Sehubungan dengan masalah syariat dan hukum-hukumnya, kita
dapat menelaah tiga poin berikut ini:
Penambahan hukum dan aturan-aturan taklif.
Keguguran taklif.
Perubahan taklif.
Mari kita telaah masing-masing poin di atas secara terpisah.
Para ulama agama tidak memperbolehkan setiap bentuk penambahan
taklif dalam agama. Mereka mengharamkan tindakan ini dengan
alasan bid’ah karena mengerjakan sesuatu yang di luar koridor
agama.(2) Muslimin berkeyakinan, agama Islam adalah sebuah agama
sempurna.(3) Kehalalan agama senantiasa halal, keharamannya juga
akan selalu haram. Agama yang sudah disempurnakan dan selalu
mampu menjawab seluruh kebutuhan umat manusia. Islam hadir
untuk memberikan hidayah dan kebahagiaan yang abadi.
p:133
Dalam pandangan urafa, hukum dan aturan-aturan agama hanya
digunakan untuk mengatur urusan lahiriah dan duniawi. Untuk
kesempurnaan wujudnya, mereka mengharuskan sebuah pendidikan
dan suluk tertentu dengan cara riyadhah dan mujahadah. Latihan
riyadhah dan mujahadah memerlukan penambahan taklif di samping
taklif harian. Penambahan dapat dilakukan dengan mengerjakan
hal-hal yang sunah, seperti membaca kalam Ilahi, mengerjakan salat
sunah, atau melakukan puasa sunah. Akan tetapi, kaum sufi biasanya
juga melakukan latihan lain seperti mengurangi makan dan tidur,
mengenakan pakaian yang kasar, tidak berbicara, melakukan ‘uzlah,
bepergian, dan lain sebagainya. Seperti telah dipaparkan, mereka
menambahkan latihan tersebut kepada taklif para salik atas nama
hukum-hukum hasil kesimpulan para syaikh (istihsân wa istinbâth) dan
bid’ah yang tidak bertentangan dengan Sunah serta tidak tercela.(1)
Dari sisi lain, urafa meyakini, hukum-hukum ruhaniah berbedabeda
berdasarkan pribadi masing-masing. Berbeda dengan hukum
syariat, kita tidak dapat mengeluarkan satu hukum yang sama untuk
seluruh manusia dan semua usia.(2)
Para salik harus senantiasa menerima hukum dan latihan
amaliah khusus untuk dirinya kepada syaikh mereka, dan lantas
mengamalkannya.
Jelas, campur tangan berkenaan dengan taklif semacam ini tidak
dapat diterima oleh para ulama, sekalipun dengan cara mengharuskan
hal-hal yang bersifat sunah dan menyusun serentetan wirid dan zikir
khusus.
Ajaran agama Islam tidak mengisyaratkan keguguran sebuah taklif
dalam periode kehidupan seorang yang baligh, kecuali apabila mukallaf
kehilangan syarat-syarat taklif. Sebagai contoh, ia dengan alasan apa
p:134
pun kehilangan kesadaran dan ikhtiarnya. Hanya dalam kondisi ini;
yaitu syarat-syarat taklif tidak terpenuhi, menurut para fuqaha Islam,
taklif gugur dari pundak seseorang, baik untuk sementara maupun
selamanya. Apabila syarat taklif terpenuhi, tidak seorang pun berhak
meninggalkan yang wajib dan melakukan hal yang haram. Malah
dalam beberapa kondisi, apabila seseorang tidak melakukan taklif
untuk sementara waktu, setelah kemampuannya kembali ia harus
menggantinya. Seperti apabila ia harus membatalkan puasa lantara
sakit atau uzur yang lain.
Dalam pandangan urafa, hukum syariat hanya berlaku hingga
suatu periode. Yakni, “selama bingkai dan insaniah manusia masih
ada. Hukum taklif hanya ditujukan kepada bingkai tersebut. Tetapi,
jika seseorang berhasil menguraikan, mencampakkan insaniahnya,
dan terbebaskan dari dirinya, seluruh taklif akan terangkat dan hukum
yang berlaku untuk kalbu akan mendominasi. Kufur dan iman berlaku
untuk bingkai. Apabila ‘pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain’ (QS. Ibrahim [14]: 43). tersingkap bagi seseorang, taklif akan
terangkat darinya; ‘tanah yang sudah rusak tidak perlu dipajak’. Kondisi
batin ini tidak layak memperoleh taklif; perintah maupun larangan.”(1)
Ketika mensyarahi syair Syaikh Mahmud Syabestari, Lahiji
berkata:
Menurut urafa, tujuan syariat serta amal ibadah lahiriah dan
batiniah adalah taqarrub kepada Dzat Yang Maha Haqq. Setelah
para salik jalan Allah sampai kepada puncak kesempurnaan firman
Ilahi yang menegaskan, ‘Jika Aku mencintai seorang hamba, Aku
akan menjadi telinga, penglihatan, kaki, tangan, dan lisannya,’
serta sampai kepada maqam cinta. Setelah sampai kepada kedua
maqam ini, mereka terbagi ke dalam dua golongan:
p:135
Golongan pertama: cahaya tajallî Ilahi menutupi cahaya akal.
Mereka tenggelam ke dalam samudera ketunggalan dan menjadi
sirna. Kondisi akal mereka untuk selamanya, tidak kembali lagi
dari ‘kemabukan’ ke ‘pantai’ kesadaran. Akal mereka telah dicabut,
para ulama dan wali sepakat bahwa taklif syariat dan ibadah gugur
dari pundak mereka, karena seluruh taklif hanya dibebankan
atas akal. Golongan ini dikenal dengan nama ‘gila (wâlih) di jalan
tarekat’.
Golongan kedua: setelah tenggelam ke dalam samudera
ketunggalan, sirna dari diri mereka, dan kekal karena kekekalan
Dzat Yang Maha Haqq, mereka dikembalikan lagi dan sadar
setelah sirna (al-shahw ba‘d al-mahw) dan ketercerai-beraian setelah
kemanunggalan (al-farq ba‘da al-jam‘). Tujuan pengembalian demi
membimbing seluruh makhluk. Permulaan seluruh taklif syariat,
baik yang wajib maupun yang sunah, di akhir langkah pun mereka
juga masih memiliki kewajiban tersebut. Mereka tidak pernah
mengabaikan seluruh syariat dan ibadah sedetik pun. Golongan
kedua ini juga terbagi dalam dua kelompok:
Kelompok pertama: setelah kembali ke dunia keterceraiberaian
dan keberbilangan (al-farq wa al-katsrah), mereka tertutup
dari dunia ketunggalan dan kemanunggalan karena efek-efek dunia
keberbilangan telah mendominasi diri mereka. Dalam kondisi
seperti ini, supaya kondisi dunia ketunggalan dan kemanunggalan
tetap terjaga, mereka harus melaksanakan seluruh perantara yang
dapat menyambungkan mereka dengan dunia tersebut, seperti
ibadah dan zikir. Keharusan ini berguna karena dua hal: pertama,
supaya mereka keluar dari kondisi ketertutupan; dan kedua,
guna memberikan petunjuk kepada orang-orang yang meminta
petunjuk.
Kelompok kedua: setelah sampai ke maqam tauhid dan tingkat
kemanunggalan dan kemutlakan, mereka kembali kepada maqam
jam‘ al-jam‘ dan kekekalan setelah kefanaan guna menyempurnakan
p:136
orang-orang yang tidak sempurna. Karena kesempurnaan mereka
telah sampai ke puncak paling tinggi, sisi keberbilangan mereka
tidak menjadi tirai bagi dunia ketunggalan. Tetapi, malah
sebaliknya. Kelompok ini memiliki tugas menyempurnakan orangorang
yang tidak sempurna, karena kelompok ditugaskan supaya
menjaga seluruh perintah dan larangan syariat.(1)
Selanjutnya, Lahiji menambahkan:
Jika seorang arif termasuk golongan orang-orang sempurna
yang telah disebutkan pada bagian ketiga, ia masih memperoleh
perintah untuk melaksanakan seluruh hukum syariat; perintah dan
larangan tidak gugur dari mereka, karena ia bertugas membimbing
orang lain. Meskipun demikian, karena ia telah sampai ke puncak
kesempurnaan, ia sudah diwajibkan memelihara perantara guna
menyempurnakan dirinya.”
Dalam prolog, jld. 5 Masnawi, Maulawi membubuhkan:
Syariat tidak ubahnya seperti belajar ilmu medis. Tarekat adalah
seperti menjauhi segala sesuatu yang dilarang oleh ilmu medis,
mengkonsumsi obat, memperoleh hakikat kesehatan abadi, dan
membebaskan diri dari keduanya. Setelah seseorang meninggal
dunia, syariat dan tarekat terputus darinya. Yang akan tersisa
adalah hakikat.
Ketika melakukan komparasi antara pernyataan para ulama dan
urafa, Lahiji menulis, “Golongan urafa yang tidak kembali ke maqam
kesadaran dari ketenggelaman dan kemabukan, akal mereka telah
dicabut. Sebagian ulama sepakat bahwa taklif syariat dan seluruh
ibadah lahiriah gugur dari mereka. Mereka adalah bak makhluk
Dzat Maha Haqq yang tidak lagi dikenai kewajiban membayar pajak.
p:137
Golongan ini tidak dapat diikuti dan juga tidak dapat ditolak. Adapun
urafa yang kembali ke pantai kesadaran dari lautan kemabukan dan
kesirnaan, seluruh taklif syariat dan ibadah tidak gugur dari pundak
mereka. Hasilnya, pernyataan para ulama dan urafa keduanya adalah
benar.”(1)
Sebenarnya tidak ada perbedaan antara pandangan fuqaha dan
urafa. Keguguran taklif senantiasa disandarkan kepada ketiadaan
syarat-syarat taklif, seperti kefanaan diri arif, kesirnaan, dan kehilangan
akal dan pikirannya.
Hal ini adalah sebuah masalah yang sangat gamblang, rasional, dan
mudah dipahami. Ketika membenarkan keguguran taklif, Ibn Sina juga
melontarkan tolok ukur tersebut. Ia berkata, “Bagaimana mungkin arif
tersebut dibebani taklif, sedangkan taklif hanya diperuntukkan kepada
orang yang memahaminya?”(2)
Dari penjelasan di atas dan pernyataan para urafa yang lain dapat
disimpulkan mereka meyakini keguguran taklif dengan tiga alasan:
Ketidak-sadaran diri seorang arif dalam sebagian kondisi.
Hukum-hukum syariat berhubungan dengan bingkai insaniah
manusia. Jika seseorang berhasil melangkah lebih tinggi dari
bingkai tersebut, maka taklif akan gugur dari pundaknya. Hal ini
dinyatakan oleh ‘Ainul Qudhat.
Mengamalkan syariat adalah sebuah perantara untuk memperoleh
kesempurnaan. Setelah tujuan berhasil digapai, perantara itu
tidak akan bernilai lagi. Alasan ini dapat dipahami dari pernyataan
Maulawî.
Di antara ketiga alasan ini, hanya alasan pertama yang dapat
diakurkan dengan prinsip ilmu fiqih. Alasan kedua dan ketiga tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip fiqih tersebut.
p:138
Menurut pandangan Dawud Qaishari, kandungan sebuah intuisi
(kasyf) dapat bertentangan dengan kesepakatan para ulama agama. Ia
berkata,
Apabila kesepakatan para ulama lahiriah bertentangan dengan intuisi
yang benar dan sesuai dengan intuisi Nabawi, kesepakatan ini
tidak menjadi hujah bagi para urafa pemilik intuisi tersebut.
Penentangan para urafa pemilik intuisi terhadap kesepakatan
para ulama lahiriah tidak lantas mengundang cercaan dan juga
tidak menyebabkan hal itu keluar dari garis syariat, karena
para urafa ini mengambil hukum mereka dari batin Rasulullah
Saw dan Ahlul Bait beliau.”(1)
Atas dasar ini, para urafa Muslim memperbolehkan untuk mengubah
hukum Islam dalam kondisi-kondisi tertentu sesuai pemahaman
mereka. Pada hakikatnya, mereka sedikit banyak meyakini relatifitas
hukum. Maulawî memaparkan relatifitas ini dalam kisah Musa dan
Syabân. Disebutkan, salah seorang nabi Ulul Azmi berjumpa dengan
seorang penggembala. Sang nabi meminta supaya penggembala itu
mengikuti agamanya. Tetapi, penggembala tersinggung mendengar
ucapan nabi tersebut dan lantas mengarahkan pandangannya kepada
gunung dan padang sahara. Allah menegur Nabi Musa as. dan membenarkan
tindakan sang penggembala. Maulawî memaparkan firman
Allah itu dalam bait-bait syair berikut ini:
Kami telah tentukan sirah bagi tiap orang;
kami telah berikan istilah bagi tiap orang.
Menurut dia baik dan menurutmu buruk;
menurut dia baik dan menurutmu ditolak.
Kami bebas dari semua kesucian dan kekotoran;
dari semua tindakan dan perbuatan.
p:139
Pujilah bangsa India dengan istilah India;
pujilah bangsa Sindi dengan istilah Sindi. (1)
Relativitas ini menegaskan bahwa syarat utama untuk seluruh
peristiwa dan kejadian adalah sisi batin manusia, bukan sisi lahirnya.
Dalam pandangan para ulama agama, segala bentuk perubahan hukum
syariat tidak diperbolehkan. Perubahan hanya dibolehkan dalam
kondisi tertentu yang pemilik syariatnya sendiri mengizinkan hukumhukum
sekunder menduduki hukum-hukum primer. Dalam keadaan
ini pun, pada hakikatnya hukum yang berlaku memang demikian,
bukan berubah.
Meski bagaimanapun, berdasarkan prinsip para urafa Islam,
karena kenabian Rasulullah Saw memiliki ruang lingkup yang terluas
dan intuisi beliau adalah intuisi yang paling sempurna dibandingkan
dengan intuisi-intuisi yang lain, tidak ada sebuah intuisi lain pun yang
dapat dibayangkan berada di luar ruang lingkup intuisi beliau itu.
Penentangan intuisi terhadap syariat sering dilontarkan Ibnu
Arabidalam beberapa kesempatan(2) dan mendapat kritik yang serius.
Penentangan ini dapat dijelaskan dalam tiga gambaran:
Pertama, asal intuisi tidak salah dan juga tidak bertentangan
dengan syariat. Tetapi, pandangan seorang salik bertentangan dengan
syariat. Ibnu Arabi dalam buku Asrâr Al-Kholwah mengisyaratkan hal
ini; kedua, seperti telah kami paparkan, syariat memiliki sisi batin yang
beraneka ragam. Dengan cara perjalanan dalam tingkatan-tingkatan
wujud, manusia mengenal sisi-sisi tersebut. Dalam setiap tingkatan, ia
berhasil menyingkap sejumlah rahasia. Mungkin saja hukum-hukum
yang berlandaskan pada rahasia-rahasia khusus untuk satu tingkatan
secara lahiriah bertentangan dengan hukum-hukum yang khusus
dimiliki oleh tingkatan-tingkatan yang lain. Padahal, hukum ini tidak
sedang saling berseberangan, tetapi berada pada jalur vertikal antara
yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, hukum yang disimpulkan
p:140
Nabi Khidir as bertentangan secara lahiriah dengan hukum yang
diyakini oleh Nabi Musa as. Padahal hakikatnya setiap hukum adalah
sahih dan benar pada kedudukannya masing-masing.(1)
Khidir memotong leher anak laki-laki itu;
masyarakat awam tidak memahami rahasianya.
Orang yang menerima wahyu dan firman dari Allah;
segala tindakannya adalah kebenaran.
Benar juga bila pemberi jiwa mengambil jiwa;
ia adalah khalifah, tangannya adalah tangan Allah.
Jika Khidir membocorkan bahtera di lautan;
terdapat seratus kebenaran dalam pembocoran ini.
Akal Musa dengan seluruh nur dan seni itu tertutupi;
janganlah terbang bila kamu tidak bersayap. (2)
Ketiga, ini adalah yang paling menarik. Para urafa dan wali sedikit
banyak memiliki posisi kenabian. Meskipun kenabian membawa yang
syariat baru (nubuwwah at-tasyrî‘) telah ditutup. Tetapi, kenabian yang
bertugas menyampaikan syariat (nubuwwah al-ta‘rîf) sebagai hasil
sebuah wilâyah akan tetap berlanjut. Para wali dari umat Muhammad
Saw dapat juga memperoleh hukum-hukum syariat. Meskipun mereka
tidak berkewajiban menampakkan seluruh hukum tersebut kepada
masyarakat. Tetapi, mereka mengamalkannya. Jika hukum-hukum
ini bertentangan dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh para
mujtahid agama, hal ini disebabkan mujtahid keliru dalam ijtihad
mereka. Seperti ditegaskan Ibnu Arabi, kekeliruannya bisa jadi karena
sebuah hadis yang diyakini sahih oleh para ulama. Tetapi, sebenarnya
tidak sahih. Mungkin juga disebabkan oleh hadis yang dibuang karena
jalur sanadnya memuat para perawi yang lemah. Tetapi, realitanya
hadis tersebut adalah sahih. Para wali menerima hadis tersebut dari
ruh Nabi Muhammad Saw secara langsung, sebagaimana para sahabat
p:141
mendengarnya secara langsung dari lisan suci beliau. Oleh karenanya,
mungkin salah satu penyebab pertentangan antara intuisi dan syariat
adalah masalah ini.(1)
Para wali meyakini ilmu intuitif mereka lebih unggul dibandingkan
ilmu para fuqaha dan muhadis. Sebagaimana diungkapkan Bayazid,
para wali menerima ilmu dari Allah Yang Mahahidup, sedangkan para
ulama dan muhadis menerima ilmu dari orang-orang yang sudah
meninggal dunia.(2)
Selain perubahan hukum, toleransi dalam agama, hukum, dan
amalan keseharian juga dikemukakan tetapi akan dibahas pada
kesempatan mendatang.
Dalam perdebatan yang berlangsung antara para ulama dan urafa
Muslim, senantiasa terdapat dua masalah tentang kenabian yang
menebar pertikaian: pertama, kenabian ta‘rîf belum ditutup; kedua,
wilâyah adalah lebih utama daripada kenabian.
Kami akan menjelaskan kedua masalah tersebut secara singkat:
Berdasarkan prinsip ini, pertama, karena keunggulan tingkatan wujud
yang dimiliki, manusia memiliki sebuah keluasan, kemutlakan, dan
universalitas wujud yang khusus. Dengan kriteria-kriteria wujud ini,
ia menguasai seluruh alam semesta; menjadi hamba Allah dan juga
menjadi tuhan alam semesta; kedua, manusia dari sisi universalitas
dan dominasi wujud (wilâyah), berada pada maqam Allah dan serupa
dengan-Nya. Oleh karena itu, seluruh sifat dan kriterianya berada pada
kedudukan yang lebih unggul dibandingkan dengan manusia biasa,
serta serupa dan dekat kepada sifat-sifat Allah. Konse`kuensinya, ia
memiliki sebuah makrifat yang lebih utama; yakni wahyu dan ilham.
p:142
Dalam pandangan para urafa, kenabian tidak lain, seseorang yang
memiliki wilâyah dan kedekatan wujud kepada-Nya. Wilâyah adalah
universalitas wujudnya. Wilâyah sumber seluruh sifat dan efek yang
ia miliki. Di antara sifat dan efek-efek itu adalah ilmu dan tentang
alam gaib, kita menyebutnya wahyu. Dengan demikian, wilâyah—
sebagaimana telah kami paparkan adalah sumber kenabian. Jika
kenabian berbarengan dengan misi tabligh, hal ini disebut risalah.
Wilâyah meliputi kenabian dan kenabian meliputi risalah dan syariat.
Di antara ketiga wilâyah, kenabian, dan risalah, risalah adalah
sifat lahiriah dan duniawiah yang dimiliki oleh seorang utusan; yakni
peran perantara antara Allah dan makhluk dalam menentukan syariat.
Oleh karena itu, risalah termasuk dalam kategori kondisi (hâl), bukan
maqam.
Dengan alasan ini, risalah dan syariat dapat ditutup. Tetapi,
wilâyah kenabian tidak pernah ditutup dan senantiasa berlanjut. Para
wali menerima serentetan hakikat dan makrifat yang pada hakikatnya
adalah sejenis kenabian. Ibnu ‘Arabi menyebut makrifat ini dengan nama
“kenabian tahqîq” dan “kenabian umum”. Tetapi, hakikat dan
makrifat bersifat personal dan para wali dapat mengungkapkannya.
Hanya saja, mereka tidak memperoleh tugas untuk menyampaikannya
dan menentukan sebuah syariat dengan berlandaskan kepadanya. Sebaliknya,
mereka malah memperoleh perintah supaya tidak menyampaikannya
dan menentukan syariat dengan bersandarkan kepadanya.(1)
Jelas, tradisi dan pemahaman kaum agamis dan para ulama tidak
dapat menoleransi pandangan semacam itu. Pada akhirnya, satu prinsip
yang dapat kita terima hanyalah adanya pemberi berita gembira yang
secara umum berkembang di kalangan Mukminin. Keyakinan bahwa
setiap masa harus ada seorang quthb yang memiliki kuasa perantara dalam
makrifat jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunah.
p:143
Keunggulan wilâyah atas kenabian adalah salah satu masalah masyhur
dalam dunia irfan Islami. Ibnu Arabi dan para pensyarah meyakini hal
ini. Mengapa demikian? Kenabian adalah manifestasi dan kulit luar
wilâyah. Sesuatu yang menjadi faktor dan sebab kesempurnaan pada
hakikatnya adalah wilâyah. Tetapi, berdasarkan pandangan ini, ada dua
masalah yang muncul:
Pertama, pemahaman ulama dan kaum agamis tentang masalah
wilâyah. Mereka memahami, para wali dan syaikh irfan haruslah lebih
unggul dari sisi maqam dan tingkatan kesempurnaan dibandingkan
dengan para nabi; kedua, ajaran-ajaran pertama Islam (Al-Qur’an dan
Sunah) tidak pernah menyinggung masalah ini.
Para urafa menyelesaikannya dengan pembenaran sebagai berikut:
Keunggulan wilâyah atas kenabian tidak berarti bahwa para wali,
syaikh, dan qutb memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
kedudukan para nabi. Kedudukan wilâyah para nabi memiliki
keunggulan atas kenabian dan risalah mereka. Alasannya, wilâyah
adalah sebuah maqam Ilahi yang menyebabkan mereka fana dalam
Dzat Yang Maha Haqq dan mengantarkan mereka kepada puncak
kesempurnaan. Dengan demikian, mereka dapat menggapai hakikat
gaib yang intuitif. Kenabian adalah sisi kemalaikatan mereka. Pada
maqam ini, mereka dapat berhubungan dengan para malaikat dan
menerima wahyu. Risalah adalah maqam insaniah dan kemakhlukan
para nabi. Pada maqam ini, mereka memiliki kedudukan yang sejajar
dengan manusia dan menyampaikan seluruh makrifat kepadanya.
Kesimpulannya, kedudukan wilâyah seorang nabi lebih tinggi
dibandingkan kedudukan kenabian dan risalahnya, bukan kedudukan
wilâyah seseorang yang bukan nabi dan rasul yang lebih tinggi. Para
wali irfan tidak mengklaim bahwa mereka tidak membutuhkan
kenabian.(1)
p:144
Apabila Al-Qur’an dan Sunah tidak pernah menyinggung masalah
ini. Malah kita tidak pernah memiliki satu pun hadis palsu berkenaan
dengan masalah tersebut.
p:145
p:146
Etika dan Amal dalam Agama dan Irfan
Kita Menyepakati Bahwa irfan dan agama memiliki prinsip yang
selaras dengan akhlak dan amal. Guna menelaah korelasi tersebut
dalam hubungannya dengan nilai-nilai universal dalam Islam, dapat
kita bagi dalam dua hal:
Kebebasan dan ikhtiar manusia.
Tujuan akhir akhlak dan amal.
Selanjutnya, kita harus mengkomparasikan pandangan agama dan
irfan berkenaan dengan akhlak amal personal, akhlak amal familial,
dan akhlak amal sosial. Hanya terlebih dahulu kami akan memaparkan
tentang kebebasan dan ikhtiar manusia dan tujuan akhir akhlak dan
amal manusia.
Dalam tradisi agama, manusia adalah makhluk mukallaf yang memiliki
ikhtiar. Sementara dalam pandangan aliran Asy‘ariyyah, manusia
p:147
sekalipun atas nama kasb (usaha) harus bertanggung jawab atas seluruh
amal dan perbuatannya.
Ia mendapatkan pahala (dari kebaikan) yang telah diusahakannya
dan memperoleh siksa (dari kejahatan) yang telah dikerjakannya.
(QS. Al-Baqarah [2]: 285).
Dalam irfan Islami pun, selama manusia berada di alam keterceraiberaian
dan belum sampai ke alam kemanunggalan dan fana, ia adalah
mukallaf dan harus bertanggung jawab atas amal perbuatannya. Guna
memperjelas masalah ini, patut kita camkan bersama bahwa manusia
dalam irfan Islami memiliki tiga wajah dan posisi yang berbeda dan
saling kontradiktif sebagai berikut:
Tidak memiliki ikhtiar lahiriah dan batiniah.
Bebas, berikhtiar, dan berperan dalam menentukan nasib.
Berpengaruh di alam semesta dan seluruh sistemnya.
Dalil perbedaan pandangan irfan dan tasawuf Islami memiliki
wajah beraneka ragam berdasarkan keadaan dan tingkatan wujud yang
ia miliki. Bukan hanya satu pribadi berbeda dengan satu pribadi yang
lain. Satu person itu sendiri dalam setiap hari, setiap jam, dan bahkan
setiap saat berbeda dengan dirinya pada hari, jam, dan saat yang lain.
Setiap hari adalah hari yang baru. Manusia kadang-kadang sangat hina
dan lemah sehingga ia bersedia menyembah patung kayu dan batu
hasil pahatannya sendiri. Kadang-kadang ia sangat agung dan maha
kuat sehingga ia mengumandangkan seruan “ana Al-Haqq” (akulah
Dzat Yang Maha Haqq) dan mengaku sebagai tuhan alam semesta.(1)
Dan kadang pula ia menganggap dirinya tidak memiliki ikhtiar, bahkan
ia meyakini bahwa dirinya tidak memiliki eksistensi. Sekarang kami
akan menjelaskan masing-masing wajah yang berbeda tersebut secara
ringkas.
p:148
Etika dan Amal dalam Agama dan Irfan
Pertama, seluruh sifat bersumber dari maujud. Dalam konsep wahdat
al-wujûd yang diyakini oleh para urafa, tidak ada satu pun maujud
yang memiliki eksistensi kecuali Dzat Yang Maha Haqq. Kita tidak
berhak membicarakan eksistensi manusia, apalagi kemampuan
dan ikhtiarnya. Seluruh efek bersumber dari Sumber Yang Tunggal.
Sementara penisbahan efek tersebut kepada orang lain hanya bersifat
figuratif dan muncul dari khayalan dan ketidakmampuan akal kita,
atau karena sebagian kemaslahatan;
Kedua,(1) keluasan wujud manusia sebagai kawn jâmi‘ menuntut
ia menjadi manusia yang agung atau adakalanya menjadi manusia
hina. Kehinaannya bisa sampai pada suatu batas tertentu sehingga ia
berani menyembah batu dan kayu. Meskipun demikian, keagungannya
juga bisa sampai pada tertentu sehingga ia bisa menjadi tuhan untuk
seluruh semesta alam.
Ketiga, berlandaskan konsep “rahasia takdir”, seluruh manusia
memiliki sifat, kondisi, dan kemampuan yang telah ditentukan
sebelumnya dan tidak mungkin diubah kembali. Alam semesta adalah
sebuah releksi dari maujud (a‘yân) yang permanen dan hakikat-hakikat
ilmiah. Seluruh maujud dan hakikat adalah akibat logis (lawâzim) dari
sifat yang permanen dan tidak akan pernah berubah. Atas dasar ini,
seluruh alam semesta memiliki sistem yang tidak akan pernah berubah.
Manusia juga tidak terkecualikan dari prinsip ini.(2)
Pertama, setiap arif sebelum sampai kepada maqam fana, sebagaimana
layaknya orang lain, berada dalam maqam ketercerai-beraian. Pada
kondisi ini ia pun sangat bergantung kepada akal dan panca inderanya.
Ia melihat keberbilangan. Ia memiliki jati diri. Ia adalah seseorang yang
p:149
mukallaf dan memiliki tanggung jawab; ia harus melakukan mujahadah
dan berjerih payah supaya dapat menemukan sebuah ‘harta karun.’;
Kedua, konsep manifestasi menuntut supaya setiap maujud menjadi
manifestasi asmâ’ dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Haqq. Tentunya,
sesuai dengan kapasitas yang ia miliki. Karena manusia adalah kawn
jâmi‘, setiap tingkatan kesempurnaan dapat menjadi manifestasi asmâ’
dan sifat-sifat Dzat Yang Maha Haqq. Tentunya, kemampuan, ilmu,
dan ikhtiar adalah salah satu dari semua asmâ’ dan sifat itu.(1);
Ketiga, konsekuensi logis dari kesempurnaan wujud pada
tingkatan kekekalan setelah kefanaan dan ketercerai-beraian setelah
kemanunggalan adalah memperhatikan adab dan tatakrama. Tuntutan
konsep wahdat al-wujûd dan tauhid irfani seharusnya menisbahkan
seluruh peristiwa alam semesta, baik yang bersifat baik maupun buruk,
kepada Dzat Yang Maha Haqq. Meskipun demikian, dalam rangka
memperhatikan adab dan tatakrama, seorang arif yang sempurna
menjadikan dirinya sebagai perisai untuk Allah sehingga setiap jenis
kekurangan dan cela tertuju kepadanya, dan Dzat Yang Maha Haqq
tetap tersucikan dari setiap jenis aib dan cela.(2)
Hai Hafez meskipun dosa bukan berada di tangan kita,
tetapi jagalah adab dan katakan dosaku.
Hafizd
Pada dua tingkatan dan maqam, seorang arif melontarkan ucapan yang
bukan menunjukkan rintihan ikhtiarnya, tetapi merupakan bukti atas
jeritan kemampuannya:
Pertama, pada maqam kemanunggalan dan kefanaan. Ia
menisbahkan seluruh asmâ’ dan sifat Ilahi kepada dirinya. Ia
hlm. 167.
p:150
mengumandangkan seruan “Anâ Al-Haqq” dan meyakini dirinya
sebagai sumber utama seluruh peristiwa di alam semesta.(1);
Kedua, dalam kelapangan jiwa (basth), seorang arif menyaksikan
tanda-tanda inayah dan tajallî Sang Kekasih, dan ia merasakan
kemabukan cinta. Klaim semacam ini banyak ditemukan dalam syairsyair
cinta (basthiyyah wa syathhiyyah) para urafa Muslim. Khususnya
dalam syair-syair hasil karya Maulawî.(2)
Tidak satu pun fondasi di atas yang sesuai dengan pandangan
ulama dan pemahaman tradisional kaum agamis, kecuali fondasi
pertama, poin kedua. Berlandaskan hal tersebut, para urafa menetapkan
beberapa masalah dalam ruang lingkup akhlak dan amal yang tidak
dapat diterima oleh para ulama, dan tentunya juga tidak bisa dijangkau
oleh pemahaman masyarakat umum. Keguguran taklif dari pundak
para urafa yang sudah menggapai kesempurnaan dan telah sampai
kepada Dzat Yang Maha Haqq adalah salah satu masalah tersebut.
Kita sudah membahas masalah ini. Tetapi, masalah etika perlu
diutarakan lebih rinci.
Dalam pandangan agama, tujuan akhir akhlak dan amal untuk
mencapai keridhaan, dan mendekatkan diri ke keharibaan-Nya.
Akhlak buruk dan amal yang tidak terpuji dapat mengundang murka
Allah dan menjauhkannya dari inayah dan rahmat-Nya.
Akhlak terpuji sangat ditekankan oleh Islam. Rasulullah Saw
diutus untuk menyempurnakan keutamaan akhlak. Beliau bersabda,
“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Hanya dengan perantara akhlak mulia dan amal salih, kita dapat
menunaikan hak iman, terhindar dari kecelakaan dan kerugian serta
berhasil melaksanakan ujian Ilahi. Tetapi, menurut pandangan irfan,
p:151
tujuan semua itu supaya kita sampai kepada maqam kesempurnaan
wujud dan makrifat, yang akhirnya kita fana dalam Dzat Yang Maha
Haqq. Dalam pandangan para urafa, akhlak mulia dan amal salih
hanyalah suatu perantara untuk mendidik manusia supaya ia menjadi
manusia berkarakteristik Ilahi. Dengan kata lain, tujuan akhlak
dan amal dalam pandangan agama adalah memperbaiki hubungan
antara hamba dan Allah sehingga ia memperoleh keridhaan Ilahi.
Sedangkan, dalam pandangan irfan, semua itu bertujuan supaya ia
dapat meneruskan perjalanan dalam menempuh kesempurnaan
wujudnya. Tujuan agama adalah mengatur kehidupan dan menjamin
kebahagiaan manusia di kehidupan duniawi dan ukhrawi melalui jalan
menaati perintah dan menjauhi larangan Ilahi. Sedangkan, tujuan irfan
adalah suluk dan kesempurnaan manusia pada sisi-sisi batiniah serta
perubahan wujudnya secara total.
Dalam pandangan tradisi agama, pada tingkat pertama, nilai-nilai etis
dan praktis bersumber dari ajaran agama dan perintah Ilahi. Pada
tingkat berikutnya, nilai tersebut bermuara dari diagnosa fitrah manusia
atau yang lebih dikenal dengan nama “nurani etis” (vejdon-e akhlaqi).
Setiap manusia mampu mendiagnosa prinsip nilai dan anti nilai.
Allah berfirman, “Lalu Dia (Allah) mengilhamkan kepadanya (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya.”(1)
Tetapi, dalam pandangan irfan, nilai etis dan praktis tidak bermuara
dari ajaran agama dan nurani etis. Masih banyak sumber lain,
di antaranya:
Dominasi cinta dan kehendak kolektif seluruh alam semesta untuk
kembali kepada asal-muasal mereka.
Rahasia takdir.
Konsep wahdat al-wujûd.
p:152
Prinsipalitas (ashâlah) sisi batiniah.
Seluruh instruksi para syaikh secara umum dan ajaran-ajaran
mursyid setiap salik secara khusus.
Dalam pandangan agama, faktor yang mendorong manusia melakukan
amal salih dan berakhlak mulia adalah sebagai berikut:
Keimanan kepada Allah dan Hari Pembalasan.
Pendidikan yang benar.
Lingkungan yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai keutamaan.
Naluri etis manusia.
Tindak berhati-hati dan konsep kemaslahatan yang tersimpan
dalam akal manusia.
Para urafa Muslim, menambahkan faktor lain yang dapat
mendorong manusia berakhlak mulia dan beramal salih:
Riyadhah yang tidak bertujuan untuk memerangi hawa nafsu,
tetapi membunuh hawa nafsu.
Dominasi cinta dan kehendak kolektif seluruh alam semesta untuk
kembali kepada asal-muasal mereka.
Rahasia takdir dan kemampuan yang bersifat azali.
Faktor kesempitan dan kelapangan jiwa (qabdh wa basth).
Prinsip wahdat al-wujûd.
Konsep prinsipalitas batin dan kekhayalan sisi lahiriah.
Instruksi syaikh dan mursyid.
Supaya buku ini tidak terlalu tebal, kami sengaja tidak menjelaskan
seluruhnya sekalipun secara ringkas. Sebab, sedikit banyak kita sudah
mengetahui maksud tersebut.
p:153
5. Amal Agamis dan Amal Irfani
Kami akan menelaah secara ringkas apa yang dimaksud dengan akhlak
personal, familial, dan sosial.
Masalah akhlak dan amal salih bagi setiap orang dalam pandangan
agama sudah sangat gamblang. Keharusan berbuat baik dan menjauhkan
diri dari perbuatan buruk disepakati juga oleh agama dan irfan. Nilainilai
keutamaan kebaikan dapat kita urai menjadi: takwa, adil, berani,
rendah hati, jujur, ikhlas, cinta, sabar, dermawan, dan rela berkorban.
Sebaliknya, dusta, iri hati, pengecut, kikir, mendambakan keburukan
orang lain, mencuri, menipu, sombong, bejat, kezaliman, dan ingin
dipuji orang adalah perilaku-perilaku yang buruk dan tercela.
Keutamaan atau keburukan masing-masing karakter di atas sejalan
dengan ajaran irfan dan agama. Tetapi, ada satu hal yang menurut ajaran
irfan tergolong sikap terpuji, tetapi agama tidak membenarkannya.
Sebagai contoh, tindakan mempersulit diri. Berdasarkan prinsip
riyadhah, perbuatan mempersulit diri sendiri adalah tindakan terpuji.
Agama tidak menerima hal ini, karena sama dengan ajaran monasticisme
dan bid’ah. Begitu pula, melakukan tarian sufi, menempuh jalan hidup
yang mengundang cercaan orang lain, usaha agar tidak dikenal orang,
atau hidup dengan nama yang buruk.
Dalam bidang ini, agama dan irfan memiliki kesepakatan dalam
banyak masalah. Meskipun demikian, dalam beberapa kondisi, irfan
menganjurkan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran
agama, seperti membujang dan tidak membentuk sebuah kehidupan
berumah tangga.
p:154
Berkenaan dengan akhlak dan amal dalam bidang sosial terdapat
beberapa anjuran irfani yang bertentangan dengan aturan agama.
Sebagai contoh, toleransi terhadap para pemeluk agama dan mazhabmazhab
lain atau kompromi terhadap orang-orang yang berbuat dosa.
Kami akan mengutarakan akhlak perilaku para urafa, sembari
menjelaskan sebagian dari pemikiran mereka. Setelah mempelajari
buku-buku hasil karya para urafa dan banyak bergaul dengan para
syaikh tasawuf, Ibn Sina dapat menyusun ajaran para urafa secara
rinci dan teliti. Ia juga menerangkan ajaran-ajaran tersebut. Sebagai
bukti atas keberhasilan Ibn Sina ini, karya tulisnya tidak memperoleh
penentangan dan kritikan dari para urafa yang hidup pada abad-abad
setelah itu. Oleh karena itu, kami akan menukil pernyataannya:
a. Seorang arif memiliki wajah ceria, menyenangkan, dan senantiasa
tersenyum. Karena kerendahan hati, ia mengagungkan sesuatu
yang kecil seakan-akan sesuatu itu agung, dan memperlakukan
orang-orang yang tidak dikenal seakan-akan ia sedang bergaul
dengan orang-orang yang masyhur. Bagaimana mungkin ia tidak
berwajah ceria, sedangkan ia telah jatuh cinta kepada Dzat Yang
Maha Haqq, serta juga cinta kepada segala sesuatu dan ia melihat
Dzat Yang Maha Haqq pada segala sesuatu itu? Bagaimana mungkin
ia tidak memandang seluruh manusia itu sama, sedangkan ia
mendapatkan seluruh manusia itu sama? Hanya mereka yang
sibuk dengan kebatilanlah yang layak dikasihani.
b. Seorang arif memiliki beberapa kondisi yang menyebabkan ia tidak
mampu menahan segala sesuatu, sekalipun suara yang sangat pelan,
apalagi penghambat dan penghalang-penghalang yang lain. Hal
ini terjadi ketika batinnya telah terbang menuju Dzat Yang Maha
Haqq. Akan tetapi, sebuah tirai batin menutup jalannya. Keadaan
ini terjadi sebelum ia sampai kepada Allah, tetapi setelah sampai
kepada-Nya. Terkadang ia tenggelam dalam Dzat Yang Maha Haqq
dan tidak memperhatikan apa pun selain-Nya. Dan terkadang ia
p:155
dapat menggapai kedua sisi: Allah dan makhluk, karena ia memiliki
kekuatan sehingga masing-masing tidak menjadi penghalang
baginya. Begitu pula saat ia kembali dari haribaan Dzat Yang Maha
Haqq dan mengenakan pakaian kemuliaan. Pada kondisi ini, ia
mampu memikul segala sesuatu, karena ia adalah makhluk Allah
yang paling bahagia karena keelokan dirinya.
c. Seorang arif tidak pernah mengintai dan memata-matai orang lain.
Ketika melihat kemungkaran, ia tidak melakukan sebuah tindakan
yang didorong oleh amarah. Sebaliknya, ia akan menghadapinya
dengan penuh iba dan rasa kasihan, karena ia mengetahui rahasia
takdir. Ketika ia melakukan amar makruf, ia melakukannya
dengan penuh toleransi, bukan dengan tindakan keras dan penuh
penghinaan. Jika ia melihat sebuah makruf yang sangat agung, ia
merasa “iri” terhadap orang yang telah melakukannya.
d. Seorang arif adalah pemberani. Mengapa tidak? Ia tidak takut
terhadap kematian. Ia dermawan dan terbuka tangan. Mengapa
tidak? Ia tidak pernah menambatkan hati kepada kebatilan. Ia
adalah pemaaf. Mengapa tidak? Jiwanya sangat agung sehingga
ia tidak akan terpengaruh oleh keburukan yang dilakukan oleh
orang dan lantas membuatnya bertindak tidak senonoh. Ia akan
membuang seluruh bentuk permusuhan dan kesumat. Mengapa
tidak? Kalbunya selalu diisi oleh keberadaan Dzat Yang Maha Haqq.
e. Ditinjau dari sisi usaha dan keinginan, para urafa memiliki tingkatan
jiwa berbeda-beda. Perbedaan ini timbul dari motivasi ‘ibrah yang
mereka miliki. Bisa jadi kehidupan yang sulit dan mudah adalah
sama bagi seorang sufi atau bahkan lebih sulit dari kelihatannya.
Kebahagiaan dan kesengsaraan sama baginya, tetapi ia lebih
memilih kesengsaraan. Hal ini terjadi ketika ia memandang bahwa
kebahagiaan berkonsekuensi menghinakan seluruh makhluk
selain Allah. Bisa jadi seorang sufi memilih untuk merias diri dan
berbau semerbak mewangi, memilih sesuatu yang terbaik, dan
menjauhi segala sesuatu yang kurang dan tidak berharga. Hal ini
p:156
terjadi ketika ia memperhatikan sisi lahiriah. Oleh karena itu, pada
setiap sesuatu, ia mencari sesuatu yang terbaik. Hal ini karena ia
menemukan inayah Ilahi yang terbanyak dalam sesuatu itu dan
memandangnya lebih serupa dan lebih dekat kepada Sang Kekasih.
Perbedaan ini kadang terjadi pada para urafa yang berbeda-beda,
dan kadang-kadang juga ditinjau dari masa dan kondisi berbedabeda
yang dimiliki oleh satu orang arif.”(1)
Unsur-unsur terpenting dalam irfan sebagai berikut:
a. Kecintaan kepada Dzat Yang Maha Haqq dan seluruh manifestasi-
Nya. Kecintaan ini adalah sumber universalitas kecintaan kepada
segala sesuatu. Alasannya, kedengkian dan prasangka buruk
timbul dari segala jenis kontradiksi, perpecahan, dan pandangan
yang dangkal. Stice berkata, “Dalam jati diri irfani terpendam
unsur kecintaan yang sangat dalam. Kecintaan ini adalah motivasi
tertinggi untuk mengerjakan amal-amal yang baik.”(2)
b. Keceriaan dan kebahagiaan yang sempurna dipenuhi oleh Dzat
Yang Maha Haqq. Unsur ini menjadi sumber kemuliaan jiwa, rasa
toleransi, pengusiran seluruh kesumat, dan karakteristik insani
yang tinggi. Alasannya, sumber utama kedengkian mengharapkan
keburukan bagi orang lain, dan kesumat adalah perasaan lemah,
kekurangan, dan merasa membutuhkan.
c. Pengetahuan terhadap rahasia takdir yakni tidak menghina orang
lain, khususnya orang-orang yang berdosa, tidak mengintai dan
memata-matai mereka, mengharapkan kebaikan, belas kasih, dan
memaafan segala kesalahan mereka.
Jangan engkau memandang aku yang mabuk dengan penuh hina;
tidak ada satu pun maksiat dan zuhud tanpa kehendak-Nya.
Hafizd
p:157
Hal ini karena sikap memandang orang lain buruk dan tidak
lagi memperhatikan situasi dan kondisi. Begitu pula, ia tidak
memperhatikan faktor dan masa lalu yang mempengaruhi seluruh
perilaku dan amalnya.
d. Tidak takut terhadap kematian. Sebaliknya, rindu kepadanya.
Unsur ini menjadi sumber utama keberanian. Alasannya, seluruh
rasa takut berakhir kepada ketakutan terhadap kematian.
e. Menjauhi cinta terhadap dunia. Hasil unsur ini adalah
kedermawanan, kejujuran, dan kebebasan. Alasannya, sumber
utama kekikiran dan ketamakan merupakan kehinaan.
Ketergantungan kepada materi adalah ketergantungan kalbu
kepada dunia. “Kecintaan kepada dunia adalah kepala seluruh
kesalahan.”
f. Menguasai seluruh keinginan dan naluri. Tidak diragukan lagi, salah
satu ajaran utama irfan adalah riyadhah dan menundukkan hawa
nafsu dan keinginan. Unsur ini dalam diri manusia sangat dominan.
Jika setiap perilaku buruk bertentangan dengan kebenaran,
hakikat, kesucian, dan keadilan dilakukan secara sengaja, tindakan
ini pastilah bersumber dari hawa nafsu. Barangsiapa berhasil
menundukkan hawa nafsunya, ia akan teramankan dari niat-niat
jahat dan perilaku-perilaku buruk.
g. Wahdat al-wujûd. Hasil prinsip ini adalah kesatuan maujud
secara fundamental. Di antaranya, kesatuan hakiki seluruh jiwa
manusia. Secara alamiah, pemikiran semacam ini adalah kecintaan
yang dalam dan tidak teruraikan di antara umat manusia. Stice
berkata:
Teori irfani ajaran akhlak yang berlandaskan pemisahan jiwa
secara parsial membuat manusia menyembah dirinya sendiri.
Hal ini menjadi sumber seluruh peperangan, ketamakan,
pertikaian, kedengkian, kezaliman, kerusakan cara berpikir,
serta muara seluruh petaka keburukan dan ketidak-adilan.
p:158
Seperti juga yang dikatakan Thomas Hobbes, korelasi nurani
bersifat natural karena kesadaran irfani setara dengan
perasaan mencintai. Dalam korelasi ini seorang arif tidak lagi
melihat perbedaan antara ‘aku’ dan ‘kamu’ atau antara ‘kamu’
dan ‘dia’; ia melihat seluruh makhluk dalam jiwa yang bersifat
universal sebagai sesuatu yang satu. Berdasarkan teori ini,
kasih sayang adalah satu-satunya akar dari ajaran akhlak.
Setelah itu, Stice menukil perkataan Arthur Schopenhauer.
Meskipun Schopenhauer bukanlah seorang arif dan bukan juga
figur keutamaan akhlak. Tetapi pemikirannya dipengaruhi ajaran
irfan Barat dan Timur. Ia dapat menjelaskan substansi metafisik
teori ini dengan sangat baik. Schopenhauer berkata:
Barangsiapa berhasil melalui batas-batas parsial dan mengenal
hakikat universal di antara sekian banyak hakikat parsial, ia
pasti memahami perbedaan antara orang yang menyebabkan
penderitaan dan orang yang memikul penderitaan hanya bersifat
lahiriah dan tidak memiliki hubungan dengan alam realita
(nafs al-amr). Penyebab penderitaan dan pemikul penderitaan
adalah satu. Jika tirai tersingkap dari mereka dan mereka
dapat melihat dengan satu kaca-mata, niscaya penyebab penderitaan
dapat melihat dengan jelas bahwa ia berada dalam
wujud orang-orang yang sedang mengalami penderitaan itu.
Dalam irfan Islami berkenaan dengan masalah ini seperti yang
tertuang dalam pernyataan “Bani Adam adalah laksana anggota
tubuh manusia, dalam penciptaan mereka berasal dari satu mutiara”
dan sangat lumrah “apabila satu anggota tubuh merasakan
sakit pada suatu hari, anggota-anggota tubuh yang lain
p:159
tidak akan merasa tenang”, hal ini dalam keseharian banyak kita
jumpai.
Arif adalah seseorang yang dapat meniadakan seluruh faktor
lahiriah perbedaan dan pertikaian tersebut. Ia sanggup menemukan
cahaya rahasia-Nya. Dalam jalan ini, ia harus mencintai seluruh
jenis makhluk dan memahami penderitaan mereka secara
mendalam. Syaikh Abul Hasan Al-Kharqânî (wafat tahun 426 H.)
berkata:
Apabila jari salah seorang penduduk Turkistan hingga Syam
terkena duri, maka penderitaan itu adalah milikku. Begitu
pula, apabila kaki salah seorang penduduk Turki hingga Syam
terbentur batu, maka penderitaannya adalah milikku. Jika
sebuah hati tertimpa sebuah kesedihan, maka kesedihan itu
adalah milikku.”
Syaikh Abul Hasan melanjutkan:
Allah Swt manganugerahkan daya berpikir kepadaku.
Karena daya berpikir ini, aku mengenal keesaan-Nya
hingga aku sampai pada suatu tingkatan di mana pikiranku
menjadi sebuah hikmah, jalan yang benar, dan kasih sayang
kepada seluruh makhluk. Aku tidak menemukan orang yang
lebih memiliki kasih sayang kepada para makhluk daripada
diriku sendiri. Seandainya kematianku menggantian
kematian mereka. Seandainya hisab amal seluruh makhluk
ditimpakan ke pundakku sehingga mereka tidak perlu lagi
dihisab pada Hari Kiamat. Oh, seandainya siksa seluruh
makhluk ditimpakan kapadaku sehingga mereka tidak
pernah melihat siksa dalam neraka.(1)
p:160
h. Alam batin adalah prinsipal dan alam lahir hanyalah sebuah khayal.
Konsekuensi prinsip ini adalah kelapangan pandangan berkenaan
alam lahir dan seluruh bentuk manifestasi. Dalam pandangan
para urafa, alam semesta memiliki dua sisi: pada satu sisi, terdapat
hakikat yang didominasi oleh ketunggalan, kemutlakan, dan
bersifat akromatik (tidak berwarna). Sisi ini adalah abadi, prinsipal,
dan riil. Pada sisi yang lain, terjelma manifestasi-manifestasi
hakikat tersebut. Sisi ini berbilang, bersifat khayali, konvensif,
tidak kekal, figuratif, dan nonprinsipal. Sisi ini diciptakan oleh
pemahaman kita yang kurang dan keberbilangan yang kita miliki.
Jangan sampai kita lupakan. Sisi prinsipal alam semesta
hanya dapat dipahami melalui pengalaman intuitif. Sedangkan,
sisi nonprinsipal dan khayali berhubungan dengan akal dan
panca indera, serta menjadi sumber interpretasi, pengetahuan,
dan makrifat sehari-hari.(1)
Prinsip ini memiliki konsekuensi logis, di antaranya:
Berdasarkan konsep prinsipalitas alam batin dan konvensifitas
(i‘tibâr) alam lahir, perbedaan agama yang ada tidak begitu penting,
karena seluruh perbedaan hanya berhubungan dengan alam lahir
dan interpretasi. Tujuan seluruh makhluk hanyalah satu. Abu Sa‘id
Abul Khair menyatakan: “Sebanyak jumlah makhluk semesta alam
terdapat jalan menuju kepada Dzat Yang Maha Haqq.”(2)
Atas dasar ini, jalan untuk sampai kepada Allah Swt tidak pernah
tertutup bagi siapa pun. Para pengikut agama yang membatasi jalan
menuju kepada Allah hanya mungkin dicapai melalui agama mereka
sangatlah keliru besar.
p:161
Ibnu Arabi menyatakan:
Setiap hamba memiliki keyakinan khusus tentang Tuhan yang
telah menciptakan dirinya. Ia menemukan-Nya seukuran luas
perasaan dan pandangan yang terdapat dalam dirinya. Atas dasar
ini, keyakinan tentang para tuhan, sebagaimana keberadaan
para tuhan itu sendiri, sangat berbeda dan beraneka ragam.
Tetapi, seluruh keyakinan tersebut hanyalah forma-forma
untuk sebuah keyakinan kepada Allah.”(1)
Setelah itu, ia melantunkan syair berikut ini:
Seluruh makhluk mencetuskan banyak keyakinan tentang
Allah, dan aku meyakini seluruh keyakinan itu.(2)
Adakah pernyataan yang lebih indah daripada pernyataan di atas?
Pernyataan yang dapat menghentikan pertikaian di antara kaum dan
umat yang berbeda, dan menghembuskan ketenangan, keyakinan,
toleransi, dan rasa memaaan dalam jiwa mereka? Jika seseorang
mengatakan “Khodä”, orang kedua mengatakan “Tari”, orang ketiga
menyebut “Tanakri”, orang keempat mengatakan “Allah”, orang kelima
mengatakan “God”, dan orang keenam mengatakan “Dive”, maka hal
ini tidak masalah. Kita hanya harus mementingkan makna. Dengan
ini, kita memahami bahwa seluruh makhluk meyakini satu Sumber
Keberadaan Yang Mahaagung. Perbedaannya, setiap orang mengenal
dan meyakini tuhannya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ia
miliki. Bait-bait berikut ini adalah syair makruf Ibnu Arabi:
Kalbuku bisa menerima setiap keyakinan,
menjadi tempat gembala kijang dan tempat peribadatan para
rahib.
p:162
Menjadi rumah patung-patung dan Ka‘bah jamaah haji,
menjadi lembaran Taurat dan mushaf Al-Qur’an.
Aku mengikuti agama cinta ke manapun rombongannya
berlalu,
cinta adalah agamaku, simbol dan isyarat adalah imanku.(1)
Maulawî pernah berpesan kepada anaknya yang bernama Bahâ’
Walad:
Meskipun jalan beraneka ragam, tetapi tujuan adalah satu.
Tidakkah kamu perhatikan bahwa jalan menuju Ka‘bah sangat
banyak. Sebagian orang menuju Ka‘bah melalui jalan laut dan
sebagian yang lain melalui jalur darat. Jika kamu melihat jalanjalan
itu, maka terlihat perbedaan yang sangat gamblang. Akan
tetapi, jika kamu melihat tujuan akhir, seluruhnya adalah satu
dan tunggal. Ketika mereka telah tiba di Ka‘bah, baru diketahui
bahwa seluruh pertikaian yang telah terjadi di pertengahan itu
memiliki satu tujuan.(2)
Sikap toleransi muncul dari prinsipalitas alam batin, bukan alam
lahir. Para urafa memandang sisi batin, bukan sisi lahir. Dengan
demikian, yang penting adalah mereka menyembah Dzat Yang Maha
Haqq. Tata cara penyembahan tidaklah penting. Sangat jelas, konsep ini
tidak sejalan dengan pandangan agama yang hanya mengakui agama
Islam sebagai agama yang benar, dan juga tidak sesuai dengan konsep
pluralisme Barat yang berdiri di atas prinsip nonabsolutisme, politik,
dan lain sebagainya. Supaya kapasitas buku ini tidak bertambah tebal,
kami tidak akan memasuki pembahasan ini.
p:163
Para urafa hanya mencari sisi batin. Dosa dan keburukan hanya sebutan
yang berhubungan dengan sisi lahir manusia. Sangat lumrah apabila
mereka tidak memandang orang-orang yang berdosa dengan mata
penghinaan.
Para urafa meyakini sisi batin manusia sebagai sesuatu yang
prinsip dan tidak begitu memperhatikan sisi lahirnya. Secara lahiriah
mereka juga menunjukkan, ada orang yang dianggap bercitra buruk,
tetapi sebenarnya tokoh besar nan agung. Sebagai contoh, Syaikh
Ahmad Jâm. Kadang mereka berlebihan dalam mengambil sikap tidak
memperhatikan hal-hal yang bersifat lahir dan malah memburukkan
nama mereka sendiri.
Maulawî pernah berkata,
Semua di alam batin tidak pernah memiliki nama. Akan tetapi,
karena makna mengalir dari alam batin melalui jalur bahasa,
terbentuklah ungkapan. Di alam bahasa, ia memiliki nama kufur
dan iman, baik dan buruk.”(1)
Kosa kata dan ungkapan berhubungan dengan alam lahir, sedangkan
makna bertalian dengan alam batin. Para urafa tidak memperhatikan
perbedaan ungkapan. Maulawî mencontohkan dengan empat orang
yang sama-sama meminta anggur. Mereka mengungkapkan keinginan
dengan bahasa masing-masing. Karena perbedaan bahasa yang mereka
miliki, akhirnya mereka bertengkar sengit.
Sangat jelas, tidak satu pun toleransi irfan sejalan dengan ajaran
agama. Di penghujung pembahasan ini, alangkah baiknya kita
renungkan pernyataan Ibn Jauzî, salah seorang ulama makruf Islam,
yang mengkritik irfan. Ia menganggap, beberapa prinsip tasawuf
p:164
menjadi faktor penyelewengan akhlak dan dekadensi moral. Keenam
prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
Para urafa menyerahkan seluruh perilaku kepada takdir Ilahi yang
bersifat azali. Kesengsaraan dan kebahagiaan manusia tidak dapat
diubah. Jika demikian, apakah hasil usaha dan upaya manusia
untuk berzuhud dan bertakwa?
Allah tidak memerlukan amal-amal kita. Ketaatan dan dosa tidak
memiliki peran di haribaan-Nya. Jika demikian, untuk apakah
seluruh jerih payah yang kita lakukan di dunia ini?
Rahmat Allah sangat luas dan tidak bertepi. Rahmat ini juga
meliputi orang-orang yang berdosa. Lalu, mengapa kita harus
membatasi diri?
Sekelompok urafa melakukan latihan riyadhah yang sangat berat
guna membersihkan batin. Memperoleh kesucian batin adalah
pekerjaan sulit. Mereka mengambil kesimpulan bahwa usaha di
jalan yang tidak membuahkan hasil adalah pekerjaan yang tidak
berarti. Mereka berpaling dan menuruti ajakan hawa nafsu.
Sekelompok urafa berhasil mencapai keramat, maqam, dan
anugerah khusus karena riyadhah yang dilakukan secara
berkesinambungan. Mereka menyangka telah sampai kepada
tujuan akhir dan tidak perlu lagi kepada amal dan aturan-aturan
syariat. Mereka juga meyakini dengan penuh kesombongan bahwa
diri mereka lebih tinggi dari ketaatan dan dosa.
Sekelompok yang lain setelah melakukan riyadhah dalam beberapa
masa menyangka bahwa diri mereka telah sampai kepada maqam
hakikat dan alam batin. Oleh karena itu, sudah tidak perlu lagi
kepada perintah dan larangan syariat. Seluruh perintah dan
larangan hanya pantas untuk masyarakat awam. Sedangkan
mereka bukan termasuk dalam golongan masyarakat awam. Pada
akhirnya, mereka tidak masuk dalam ruang lingkup taklif.(1)
p:165
p:166
Khilafah Wilayah Dalam Pandangan Agama dan Irfan
Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan-pembahasan
sebelumnya, peran Rasulullah Saw adalah menyelamatkan umat
manusia dari kebodohan dan kesesatan, dan menuntun mereka menuju
agama yang benar. Beliau tidak pernah mengklaim sebagai orang yang
melebihi batas. Satu-satunya klaim beliau adalah beliau hanyalah
seorang manusia seperti layaknya orang lain. Perbedaan beliau dengan
mereka adalah Allah telah memilih beliau untuk menyampaikan agama
dan mengumumkan perintah dan larangan Ilahi.
Secara praktis, berbeda dengan para penguasa kala itu,
Rasulullah Saw tidak pernah ingin berkuasa atas umat manusia. Al-
Qur’an menegaskan, “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya
kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah
orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah [88]:21-22). Tugas
beliau hanyalah memberikan nasihat dan mengingatkan hakikat yang
sebenarnya. Beliau tidak pernah bertujuan menguasai masyarakat dan
memanfaatkan mereka demi kepentingan-kepentingan hawa nafsu.
Rasulullah Saw datang untuk:
p:167
Menguraikan dan melepaskan tali tawanan dari leher mereka,
menyuruh mengerjakan yang makruf dan melarang yang mungkar,
menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan yang buruk.
(QS. Al-A‘raf [7]: 157).
Dan beliau datang supaya tidak seorang pun menjadi tawanan
orang yang lain dan tidak seorang pun menaati selain perintah
Allah. “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” (QS. Yusuf [12]: 67).
Dalam masyarakat agama, Rasulullah Saw adalah seorang hamba
Allah yang senantiasa menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya,
tidak ubahnya seperti anggota masyarakat yang lain. Beliau senantiasa
mengkhawatirkan tugas yang ada di pundak beliau dan melaksanakan
taklif sebelum orang lain, dan bahkan melebihi mereka.
Satu-satunya tujuan yang penting bagi Rasulullah Saw sebagai
seorang pemimpin masyarakat agama adalah memelihara situasi
spiritual agamis mereka dan menempatkan mereka di atas jalan
taqarrub kepada Allah.
Dalam catatan sejarah kehidupan nabi Islam Saw, tidak pernah
disaksikan terdapat sebuah keberlimpahan harta dan kedudukan. Perut
yang paling lapar adalah perut beliau. Beliau duduk dan tidur di atas
tikar. Ketika duduk, beliau tidak pernah bersandar. Beliau mengambil
roti dengan tangan beliau sendiri dan tidak pernah duduk di pinggir
hidangan makanan karena beliau tidak ingin hidup bermewahmewah.
Beliau tidak pernah mengendarai keledai yang berpelana.
Beliau mengenakan pakaian yang kasar. Beliau sayang terhadap semua
orang dan menempatkan mereka di depan. Jika seseorang berdiri guna
membukakan tempat bagi beliau, maka beliau marah.
Figur semacam ini tidak boleh ditempati oleh orang-orang yang
tidak memiliki karakteristik seperti nabi. Kaum Muslimin kala itu
berbeda pendapat, tetapi mereka sepakat bahwa masyarakat Islam
harus memiliki seorang pemimpin. Mereka juga setuju berkenaan
dengan dua masalah fundamental:
p:168
Pertama, definisi imam. Imam adalah seseorang yang berhak
memimpin masyarakat, baik di bidang agama maupun dunia, setelah
Rasulullah Saw meninggal dunia.(1);
Kedua, keharusan penentuan seorang imam sepeninggal Rasulullah
Saw Seluruh aliran dan mazhab Islam serta seluruh ulama dan ahli
teologi, kecuali beberapa orang yang berasal dari sekte Khawarij dan
Asham dari aliran Mu‘tazilah, mengakui keharusan penentuan seorang
imam. Perbedaan yang ada adalah:
Mu‘tazilah dan Syiah meyakini bahwa keharusan ini bersifat
rasional.
Ahli Sunah meyakini bahwa keharusan ini hanya bersifat tekstual.
Sebagian aliran menyandarkan keharusan ini kepada akal dan teks
syariat.(2)
Pada kesempatan kali ini, yang penting bagi kita, wilâyah seorang
imam atau khalifah menurut indikasi lahiriah Al-Qur’an dan Sunah
serta pemahaman dan tradisi kaum agamis hanya bersifat wilâyah
tata tinta (tasyrî‘iyyah). Wilâyah ini hanya bertujuan mengatur segala
urusan yang berhubungan dengan agama dan dunia masyarakat.
Imam, sebagaimana layaknya manusia lain dan Rasulullah Saw
sendiri, hanyalah seorang hamba dari sekian hamba-hamba Allah,
sekalipun ia adalah maksum menurut pandangan sebagian mazhab.
Kemaksuman Rasulullah adalah hasil inayah, penjagaan Ilahi, dan
ketakwaan yang beliau miliki. Ini adalah pandangan agama. Tetapi,
dalam pandangan para urafa, kedudukan seorang imam atau khalifah
sangat berbeda. Dalam persepsi mereka, ia adalah khalifah tatacipta
Dzat Yang Maha Haqq. Wilâyah-nya adalah juga sebuah wilâyah tata
cipta.
p:169
Khalifah dan wali memiliki kesempurnaan wujud berikut efekefeknya
yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Ia juga memiliki kedudukan yang lebih dekat kepada Dzat Yang Maha
Haqq daripada orang lain.(1)
Dasar keyakinan ini menurut keyakinan para urafa, segala sesuatu
selain Dzat Yang Maha Haqq (mâ siwâ) tidak memiliki wujud secara
hakiki. Segala sesuatu selain-Nya hanyalah manifestasi Dzat Yang
Maha Haqq dalam bentuk yang beraneka ragam.
Mâ siwâ yang hanya merupakan manifestasi Dzat Yang Maha
Haqq memiliki peringkat dan tingkatan berbeda-beda. Peringkat
dan tingkatan ini pada posisi anugerah Dzat Yang Maha Haqq
turun membentuk busur gerak menurun (qaus nuzûlî), dan pada
posisi seluruh cabang kembali kepada asal-muasalnya membentuk
busur gerak menaik (qaus shu‘ûdî).(2) Lingkaran kedua busur secara
keseluruhan tidak lain hanyalah manifestasi Dzat Yang Maha Haqq.
Dalam manifestasi ini, wali dan khalifah berada di puncak piramida
wujud. Kemudian dari titik ini, anugerah Ilahi tersebar meluas hingga
dasar piramida. Pada saat kembali, seluruh gerak akan berakhir di titik
yang sama.(3)
Seperti telah dijelaskan, khalifah adalah tuhan untuk seluruh alam
semesta dan memiliki seluruh sifat Ilahi kecuali sifat wajib dzâtî.(4)
Hal ini karena ia adalah manifestasi yang komprehensif untuk nama
“Allah”. Sebelum ia memiliki seluruh asmâ’ dan sifat Allah, ia tidak
dapat mengatur seluruh alam semesta.
Atas dasar ini, hakikat insan kamil yang tersusun dan terbentuk
dalam diri khalifah Ilahi memiliki dua sisi: pertama, manifestasi
tertinggi Dzat Yang Maha Haqq dan hamba-Nya, dan kedua, seluruh
alam semesta adalah hasil anugerah (faidh) dan manifestasinya, karena
p:170
itu ia disebut tuhan seluruh alam semesta.
Pengaturan seorang khalifah terhadap alam semesta bukan hanya
pengaturan tata tinta yang sekedar mengatur urusan dunia dan agama
umat manusia. Ia mengatur seluruh maujud alam semesta berdasarkan
inayah, kehendak Ilahi, dan kelayakan seluruh maujud.
Dalam pandangan para urafa, hak mengatur yang dimiliki oleh
seorang khalifah adalah manifestasi hak mengatur yang dimiliki oleh
Dzat Yang Maha Haqq. Dari sisi substansi, hak itu tidak berbeda dengan
hak-Nya. Para urafa Muslim membagi sejarah ke dalam dua periode:
pertama, periode kemunculan kenabian karena tuntutan asmâ’ lahiriah
Allah; dan kedua, periode kemunculan wilâyah. Qaishari berkata:
Wilâyah yang mutlak dan terikat menuntut supaya termanifestasi,
dan para nabi bukanlah manifestasi wilâyah. Karena tuntutan
asmâ’ lahiriah Allah, mereka adalah manifestasi kenabian. Oleh
karena itu, pada akhirnya, umat Nabi Muhammad Saw mewarisi
wilâyah seluruh nabi terdahulu. Artinya, wilâyah para nabi
terdahulu setelah kenabian ditutup termanifestasi dalam umat
Nabi Muhammad Saw.(1)
Atas dasar ini, setelah kenabian ditutup, periode manifestasi
wilâyah tiba. Sebagaimana Rasulullah Saw adalah pamungkas para
nabi, wilâyah beliau akan termanifestasi dalam diri wali pamungkas.
Wilâyah para nabi yang lain juga termanifestasi dalam diri para wali
yang lain.(2)
Konsep wilâyah yang diyakini oleh para urafa memiliki beberapa
prinsip fundamental. Kami akan memaparkannya secara ringkas.
p:171
Menurut keyakinan para urafa, seorang insan kamil sebagai kawn jâmi‘
dan manifestasi nama Allah harus selalu ada dan menempati puncak
piramida wujud dan seluruh alam semesta. Insan kamil pada periode
kenabian adalah nabi yang hidup pada masanya. Dengan perantara
wilâyah yang dimiliki, nabi menjadi perantara anugerah Ilahi dan
memiliki peran tatacipta. Melalui perantara kenabiannya, ia menjadi
media perantara penyampaian syariat dan memiliki peran tatatinta.
Setelah agama disempurnakan dan syariat disam-paikan secara utuh,
kenabian tidak perlu diperbaharui dan diulangi. Oleh karena itu,
misi risalah dan kenabian ditutup dan berakhir. Tetapi, wilâyah harus
berlanjut secara berkesinambungan. Hal ini karena mungkin umat
manusia tidak memerlukan lagi sebuah syariat baru. Tetapi, alam
semesta tidak pernah tidak memerlukan sebuah perantara anugerah
Ilahi. Selama alam semesta masih ada, wilâyah juga akan tetap ada. Alam
semesta tetap ada selama seorang wali masih ada di alam semesta.(1)
Masih Ada
Menurut keyakinan para urafa, syariat telah ditutup dan setelah agama
Islam, tidak akan ada lagi sebuah syariat baru. Wilâyah akan senantiasa
ada dan konsekuensi logis dari sebuah wujud yang lebih tinggi adalah
menggapai sebuah makrifat yang lebih tinggi. Para wali yang hidup pada
masa mereka akan mencapai makrifat yang baru. Maulawi berkata:
Misi kenabian ditutup dengan kenabian Rasulullah Saw
Meskipun misi kenabian telah ditutup, tetapi bagaimana dengan
ketuhanan? Ketuhanan masih tetap berlanjut dan figur-figur
yang memiliki sifat-sifat Ilahi masih tetap ada. Inayah Allah
p:172
yang tidak berujung kadang-kadang muncul melalui perantara
para rasul, dan kadang-kadang dianugerahkan kepada seorang
hamba tanpa perantara.(1)
Syams Tabrîzî pernah memaparkan masalah ini dengan menarik. Ia
mengkritik para ulama dan syaikh yang tenggelam dalam pembahasan
ilmu dan seni. Ia berkata:
Sampai kapankah kalian menunggangi pelana tanpa kuda dan
menderap kuda di arena perlombaan para jawara seperti ini?
Sampai kapankan kalian berdiri tegak dengan perantara tongkat
orang lain? Pernyataan-pernyataan yang kalian ungkapkan itu,
baik berupa hadis, tafsir, hikmah, dan lain sebagainya, adalah
pernyataan masyarakat untuk suatu masa di mana setiap orang
dari mereka memiliki kedudukan yang agung pada masanya dan
mengungkapkan makna-makna. Jawara masa kini adalah kalian
semua. Manakah rahasia dan pernyataan-pernyataan yang kalian
miliki sendiri?
Sebagian dari mereka adalah penulis wahyu dan sebagian
yang lain wadah wahyu. Sekarang, kamu harus berusaha supaya
kamu memiliki kedua posisi itu: wadah dan penulis wahyu.”(2)
Para urafa dari sejak permulaan sudah memperhatikan masalah
ini. Bayazid (w. 261 H) berkata:
Kalian menimba ilmu pengetahuan dari orang-orang mati.
Sedangkan kami menimba ilmu pengetahuan dari Dzat Yang
Maha Haqq. Dia senantiasa hidup dan tidak akan pernah
mati.(3)
p:173
Para nabi dan wali dalam masalah ini memiliki posisi yang sama.
Mereka telah sampai kepada maqam fana dan kemanunggalan. Lalu,
mereka kembali kepada maqam kekekalan setelah kefanaan, keterceraiberaian
setelah kemanunggalan, dan kesadaran setelah kesirnaan.
Dalam maqam ini, mereka memperoleh tugas untuk memberikan
hidayah dan bimbingan kepada umat manusia.(1) Ibnu Arabi berkata:
Ketahuilah bahwa kenabian dan wilâyah memiliki kesamaan
dalam tiga hal: (a) Makrifat ladunni dan ilmu pengetahuan tanpa
pengajaran orang lain; (b) Melakukan tindakan-tindakan luar
biasa yang tidak bisa dilakukan orang lain; dan (c) Menyaksikan
hakikat mitsâlî secara inderawi. Tetapi, keduanya berbeda dari sisi
khithâb (jenis ucapan). Khithâb yang disampaikan kepada seorang
nabi tidak pernah disampaikan kepada seorang wali.(2)
Pada kesempatan lain, Ibnu Arabi juga pernah berkata:
Para nabi dan wali memiliki kesamaan dalam tiga hal: (a)
Wahyu Ilahi; (b) Mukjizat; dan (c) Kenabian. Tetapi, substansi
kenabian yang dimiliki oleh para nabi berbeda dengan kenabian
yang dimiliki oleh para wali. Para wali menerima wahyu melalui
perantara hakikat para nabi. Setiap wali menerima wahyu melalui
perantara ruh seorang nabi yang merupakan sumber ilhamnya.
Nabi Muhammad Saw adalah pamungkas para nabi. Oleh karena
itu, seluruh nabi dan wali menyerap inayah dari batiniah beliau.
Wahyu para nabi memiliki konsekuensi pencetusan sebuah syariat.
Tetapi, wahyu para wali berfungsi menyempurnakan diri mereka
dan diri orang lain berdasarkan ajaran syariat seorang nabi.”(3)
p:174
Ia juga menegaskan:
Setiap wali Allah menerima segala sesuatu dari Allah melalui
perantara ruh seorang nabi yang dalam syariatnya dan dari
maqamnya sampai kepada wali itu secara intuitif. Sebagian wali
memahami hal ini dan sebagian yang lain tidak memahaminya.
Sebagian ada yang berpendapat, Allah telah mengatakan kepadaku.
Padahal, pemberi ilham kepada mereka tidak lain adalah nabi
mereka, (bukan Allah secara langsung).
Para wali umat Nabi Muhammad Saw merupakan pewaris
wilâyah juga menerima anugerah Ilahi (faidh) mereka melalui
perantara cahaya Nabi Muhammad Saw, karena beliau memiliki
seluruh tingkatan wujud yang dimiliki oleh para nabi terdahulu.
Sebagai contoh, pewaris wilâyah Nabi Musa as. tidak menerima
anugerah Ilahi dari cahaya Nabi Musa. Tetapi, ia menerimanya dari
cahaya Nabi Muhammad Saw. Hubungan pewaris Nabi Musa tidak
berbeda dengan hubungan Nabi Musa dengan Nabi Muhammad
Saw. Seluruh nabi berada dalam lingkaran wujud Nabi Muhammad
dan menerima anugerah Ilahi melalui perantara beliau.(1)
Menurut pandangan agama, para nabi senantiasa disertai oleh mukjizat,
seperti api berubah menjadi taman bunga untuk Nabi Ibrahim, orangorang
sakit disembuhkan dan orang-orang yang telah meninggal dunia
dihidupkan kembali oleh Nabi Isa, tongkat dan sinar putih tangan
Nabi Musa, serta Al-Qur’an, mikraj, dan pembelahan bulan oleh Nabi
Muhammad Saw Tetapi, apakah tindakan semacam itu dapat dilakukan oleh
Mukminin, orang-orang yang salih, dan para ulama? Jawaban para
p:175
ulama, semua itu tergantung kehendak Ilahi. Jika Allah menghendaki
supaya sebuah tindakan terlaksana di luar kebiasaan yang berlaku,
tindakan itu pasti terlaksana. Tetapi, dalam tradisi agama, mukjizat
senantiasa disertai oleh tanda-tanda kenabian seorang nabi. Para ulama
menyebut tindakan-tindakan tidak lumrah yang dilakukan oleh para
wali dan orang-orang salih dengan nama keramat atau karomah.
Para urafa meyakini para wali dapat melakukan tindakan-tindakan
tidak lumrah. Tradisi irfan dan tasawuf Islami dari sejak permulaan
senantiasa setuju dengan pandangan semacam ini. Dari sejak periode
tunas tasawuf, kita telah mendengar banyak keramat yang pernah
dilakukan oleh para wali, dimulai dari Ibn Ad-ham hingga para syaikh
masa kini.
Pandangan para urafa dan agama sehubungan dengan masalah
ini banyak memiliki perbedaan. Kami hanya ingin memaparkan dua
perbedaan saja. Pertama, menurut kacamata agama, meskipun para
ulama agama tidak menafikan bahwa tindakan-tindakan yang tidak
lumrah ini dapat dilakukan oleh Mukminin dan orang-orang salih.
Tetapi, tidak seorang Mukmin pun mengaku memiliki kemampuan
untuk itu. Hal itu pun tidak penting bagi mereka. Karena para ulama
dan orang-orang salih tidak pernah mengaku diri mereka lebih
unggul dibandingkan dengan orang lain, sehingga mereka tidak perlu
membuktikan keunggulan ini melalui keramat (karomah) apabila ada
seseorang yang mengingkarinya.
Berbeda dengan para syaikh tasawuf. Mereka mengajak
masyarakat kepada makrifat batiniah dan intuitif. Pada hakikatnya,
mereka mengaku diri mereka unggul pada sisi makrifat batiniah. Guna
membuktikannya, mereka mengambil dan menunjukkan tindakantindakan
yang tidak lumrah.
Pada hakikatnya, tugas para wali irfan dan syaikh tasawuf,
sebagaimana tugas para nabi mengajak orang lain kepada hal-hal gaib.
Masyarakat pun berhak meragukan kebenaran ajakan para nabi. Hal
ini karena mereka melihat para nabi tidak berbeda dengan diri mereka;
p:176
yakni manusia biasa seperti mereka. Oleh karena itu, para nabi dengan
bantuan mukjizat ingin menunjukkan kepada mereka, meskipun
mereka secara lahiriah tidak berbeda dengan manusia yang lain, tetapi
mereka didukung oleh kekuatan gaib. Mukjizat adalah tanda dukungan
ini.(1)
Para syaikh irfan juga memberitahukan berita dari alam lain
kepada masyarakat, sebuah alam yang dapat dimasuki oleh setiap
orang melalui jalan kematian yang ia pilih sendiri. Tetapi, mereka tidak
menunjukkan, dan bahkan tidak memperlihatkan alam ini kepada
masyarakat, karena “kebun permai” yang telah mereka lihat tidak dapat
dipindahkan atau dialihkan kepada orang lain. Untuk itu, menghadapi
keraguan yang dimiliki oleh masyarakat, tindakan tidak lumrah dan
keramat dapat menyelesaikan masalah ini. Tetapi, para ulama agama,
Mukminin, dan orang-orang salih tidak mengajak masyarakat kecuali
kepada ajaran yang telah dibawa oleh para nabi. Ajakan para nabi telah
disertai oleh mukjizat mereka masing-masing dan tidak perlu setiap
ulama dan orang Mukmin memiliki mukjizat khusus;
Kedua, menurut ajaran agama, mukjizat adalah sebuah fenomena
yang terlaksana karena kekuatan dan kekuasaan Allah. Artinya, tongkat
Nabi Musa as. diubah menjadi ular naga oleh Allah dan orang-orang
sakit pada masa Nabi Isa as. disembuhkan oleh Allah. Padahal, menurut
persepsi para urafa, sumber keramat dan tindakan yang tidak lumrah
adalah kemampuan wali itu sendiri. Artinya, ia telah berhasil sampai
kepada sebuah maqam tertentu. Ketika ia berhasil sampai kepada
makrifat yang lebih tinggi, ia pun memiliki kekuatan yang besar.
Landasan para urafa dalam masalah ini adalah dalam busur gerak
wujud menaik, ketika manusia berhasil menggapai tingkatan yang
lebih tinggi, ia pun memiliki sifat dan tindakan-tindakan yang lebih
tinggi pula. Dengan kata lain, dalam busur gerak wujud menaik, ketika
manusia berhasil menggapai sebuah tingkatan wujud, ia memiliki
keistimewaan yang ada pada tingkatan itu. Sifat-sifat bendawi (jamâdî)
p:177
berbeda dengan sifat-sifat hewani, dan sifat-sifat hewani berbeda
dengan sifat-sifat insani. Ketika manusia dalam perjalan suluk berhasil
menggapai tingkatan kesempurnaan wujud yang lebih tinggi, ia pun
memiliki sifat-sifat yang lebih tinggi pula. Salah satu sifat itu adalah
kemampuan melakukan sebuah pekerjaan yang tidak dapat dilakukan
oleh orang lain. Sepertinya, semakin kita menjauh dari periode-periode
permulaan perkembangan tasawuf, kita mendapatkan para pengikut
ajaran irfan semakin lebih memperhatikan keramat.(1)
Ada baiknya kita membaca keramat pertama kaum sufi. Berikut ini
contohnya:
Pada suatu hari, Ibrahim bin Ad-ham duduk di pinggiran sungai
Dajlah sembari menjahit pakaian luarnya yang telah sobek. Jarumnya
jatuh ke dalam sungai. Seseorang bertanya kepadanya: “Jarummu telah
jatuh ke dalam sungai. Apa yang hendak kamu lakukan?” Ibrahim
menunjuk ke arah sungai seraya berkata, “Kembalikanlah jarumku.”
Tiba-tiba seribu ekor ikan muncul dari dalam sungai. Setiap ekor
menggigit sebuah jarum yang terbuat dari emas. Ibrahim berkata,
“Aku hanya menginginkan jarumku.” Seekor ikan yang tampak kurus
menggigit jarum Ibrahim seraya berkata, “Sesuatu paling tidak berharga
yang dapat kutemukan di daerah Balkh adalah jarum ini. Selain itu,
kamu tidak mengetahuinya.”(2)
Persepsi para urafa tentang mukjizat dan keramat juga memiliki
perbedaan dengan para ulama. Penjelasannya sebagai berikut:
Para ulama mengharuskan mukjizat guna membuktikan kebenaran
klaim kenabian untuk umat manusia. Artinya, melalui perantara
mukjizat, kebenaran klaim kenabian seorang nabi dapat dibuktikan.
Masalah ini diterima oleh seluruh ahli teologi dan ulama agama. Dan
bahkan oleh para filosof Muslim seperti Ibn Sina (wafat tahun 428 H.)
dan Shadrul Muta’llihîn (wafat tahun 1050 H.).
p:178
Tetapi, menurut persepsi para urafa, keramat adalah sebuah tanda
kemajuan dan perkembangan spiritual seorang salik, bukan sebuah alat
untuk membuktikan kebenaran klaim seorang salik untuk selain salik.
Menurut para urafa, keramat adalah sebuah imbalan yang
bersifat duniawi bagi para salik. Tetapi, kadang sebuah keramat
menyebabkan keterjatuhan seorang salik. Jika seorang salik berhasil
mencapai maqam kesempurnaan, ia akan mendapatkan empat
keramat. Keempat keramat ini adalah tanda keberhasilannya dalam
meraih maqam tawakal seperti melangkahi bumi dalam sekejap
(thayy al-ardh), berjalan di atas air, berjalan di udara, dan memenuhi
kebutuhan makanan dari alam semesta. Keramat adalah pahala untuk
seorang salik karena ia berhasil berjalan secara berlawanan dengan
kebiasaan kehidupan sehari-hari. Karena ia hidup berlawanan dengan
kebiasaan kehidupan sehari-hari, Allah memberikan sebuah pahala
kepadanya; yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan yang
tidak lumrah. Keunggulan dalam bidang akhlak memiliki konsekuensi
keunggulan pada sisi kemampuan. Dengan demikian, mukjizat bertujuan
supaya umat manusia membenarkan klaim seorang nabi. Sedangkan,
keramat bertujuan supaya seorang salik merasa percaya diri terhadap
dirinya dan transendensi suluknya, serta tidak takut terhadap naik
turun perjalanan yang sedang ia lalui, dan ia tetap melangkah menuju
ke depan dengan langkah yang pasti.
Dengan demikian, tujuan mukjizat memiliki perbedaan
fundamental dengan tujuan keramat.(1)
Di antara para ulama agama, tidak seorang pun, kecuali Imam
Fakhrurrâzî (wafat tahun 606 H.), berpendapat bahwa mukjizat
bertujuan supaya nabi merasa percaya terhadap dirinya sendiri.(2)
p:179
Para urafa membagi ulama menjadi dua golongan utama:
Ulama yang menguasai ilmu-ilmu lahiriah dan resmi.
Ulama yang memiliki ilmu-ilmu hakiki dan batiniah.(1)
Kami akan memaparkan pembahasan lebih terperinci pada
pembahasan yang mengupas bahasa agama dan irfan.
Berkenaan dengan tingkatan-tingkatan para wali, seorang insan
kamil berada di puncak piramida alam semesta. Ia dikenal dengan nama
quthb. Di bawah posisi quthb, terdapat dua orang wazir; satu orang wazir
bertindak sebagai imam sebelah kanan dan satu wazir yang lain sebagai
imam sebelah kiri untuk quthb itu. Imam sebelah kanan mengurusi dan
mempergunakan alam metafisik dan gaib, sedangkan imam sebelah
kiri mempergunakan alam materi dan inderawi. Di bawah dua orang
imam terdapat maqam untuk empat orang. Kemudian, maqam untuk
tujuh orang yang bertindak sebagai para pemimpin tujuh iklim alam
semesta. Lalu, di bawah mereka, terdapat para wali yang berjumlah
sepuluh orang. Kemudian, berturut-turut dua belas orang, dua puluh
orang, empat puluh orang, dan tiga ratus enam puluh orang. Jumlah
mereka selalu permanen. Jika salah seorang dari mereka yang telah
menempati tingkatan lebih tinggi meninggal dunia, maka seorang wali
yang memiliki tingkatan lebih rendah darinya memperoleh kenaikan
tingkatan dan menempati posisinya.
Mata rantai tingkatan dan peringkat juga disebutkan dalam bukubuku
referensi irfan dan tasawuf, tetapi dengan sedikit perbedaan.(2)
Wilâyah ini ditetapkan untuk seluruh syaikh dan para pengganti
mereka berdasarkan maqam yang mereka miliki. Agama tidak pernah
mengutarakan penggambaran semacam ini.(3)
p:180
Ahmad Amin, bersandarkan teori Ibn Khaldun,(1)menekankan
konsep Mahdawiyyah yang diyakini Syiah tidak berbeda dengan konsep
quthbiyyah yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Pada akhirnya, Ibnu
Arabi juga menghubungkan konsep quthbiyyah dan wilâyah dengan
konsep Mahdawiyyah.(2)
Tetapi, seorang peneliti yang sadar akan memahami dengan mudah.
Rasulullah Saw tidak pernah menempelkan titel ketuhanan kepada
diri beliau dan tidak pula kepada para pengikut beliau.(3) Di samping
itu, dalam ungkapan para imam maksum as., tidak pernah ditemukan
sebuah pernyataan yang sejalan dengan konsep mata rantai wilâyah
yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Imam Ali as. dan putranya yang
bernama Imam Hasan as. tidak pernah menyinggung peran tatacipta
mereka dan para gubernur yang telah mereka tunjuk.
Pemahaman umum para ulama dan teolog Syiah yang terhindarkan
dari pengaruh ajaran tasawuf tidak pernah menyatakan bahwa imam yang
hidup di setiap masa adalah tuhan dan pengatur seluruh alam semesta.
Jika mereka menukil pernyataan yang memuat kandungan seperti
“seandainya bukan karena Anda, niscaya Aku tidak akan menciptakan
alam semesta” untuk para imam maksum as., pengertian ini berbeda
dengan konsep wilâyah tata cipta yang diyakini oleh kaum sufi.
Sebagian orang seperti kaum orientalis dan para peneliti Arab
menyebarkan sebuah pidato yang sangat lemah dan palsu, seperti
pidato Al-Bayân untuk Imam Ali as., dan menjadikannya sebagai
sandaran utama mereka. Jelas, tindakan ini dilakukan karena sebuah
kebodohan atau permusuhan mereka terhadap mazhab Syiah. Kita
dapat menemukan beberapa frase pernyataan Hallaj. Tetapi, kita tidak
akan dapat menemukan satu kalimat pun darinya dalam buku Nahj
Al-Balâghah.(4) Sayyid Radhî (wafat tahun 406 H.) pun tidak pernah
menyinggung pidato ini sekalipun satu kata.☐
p:181
p:182
Bab 9 Bahasa Agama dan Irfan
Seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, bahasa
agama dan irfan memiliki perbedaan yang fundamental. Bahasa Al-
Qur’an adalah sebuah bahasa yang lazim dipakai oleh masyarakat
umum, tegas, dan jelas. Sedangkan bahasa irfan adalah sebuah bahasa
yang tidak lumrah dipakai masyarakat umum, bahasa isyarat, dan tidak
tegas.
Perbedaan ini diterima secara aklamasi oleh kedua kelompok.
Kaum agamis dan para ulama agama mengakui bahwa bahasa Al-Qur’an
adalah bahasa Arab yang tegas dan jelas. Para urafa juga mengakui
bahwa bahasa irfan adalah bahasa isyarat, bukan bahasa yang tegas dan
jelas. Kami ingin menganalisis landasan perbedaan keduanya. Pertama,
kami akan mengutarakan peran bahasa secara universal. Kemudian,
menelaah bahasa agama dan irfan ditinjau dari sisi tatacara dan proses
transfer makna.
Seluruh bahasa yang digunakan oleh masyarakat dunia sebagai
alat komunikasi merupakan penemuan baru untuk menjembatani
p:183
kebutuhan yang mereka hadapi sehari-hari. Bahasa digunakan dalam
proses memahamkan, saling memahami, dan transmisi (pengiriman—
peny.) makna kepada orang lain berdasarkan kemampuan mereka
dalam mengolah dan mengatur suara.
Kita tidak perlu mengupas dan membahas proses kemunculan
bahasa. Yang penting, bahasa sudah ada memenuhi kebutuhan yang
kita miliki. Proses transfer makna melalui perantara bahasa terjadi
dengan cara berikut ini:
Dalam kehidupan sehari-hari umat manusia berhadapan dengan
segala macam benda. Mereka kemudian membedakan dan memisahkan
satu benda dari yang lainnya dan memberikan nama khusus kepada
masing-masing benda. Satu benda diberi nama air, benda kedua diberi
nama tanah, benda ketiga diberi nama dingin, dan benda keempat
diberi nama panas. Setelah nama-nama masing-masing benda dikenal
oleh masyarakat umum, seseorang menyebutkan suatu nama dan ingin
memahamkan makna nama tersebut kepada orang lain.
Atas dasar ini, fungsi bahasa tergantung kepada pemikiran.
Berbicara memiliki hubungan erat dengan berpikir. Jika para ulama logika
menjadikan nâthiq (rasional/berbicara) sebagai diferential (fashl) Untuk
manusia, hal ini sangat menarik karena dua alasan: pertama, berbicara
dan berbahasa adalah salah satu kriteria khusus manusia; dan kedua,
berbicara menunjukkan bahwa ia berpikir. Artinya, manusia adalah
hewan yang berbicara (hayawân nâthiq), pada hakikatnya kita sedang
menekankan, manusia adalah hewan yang berpikir sekaligus dapat
berbicara.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki gambaran fenomena
eksternal atau perasaan internal dalam ruang lingkup pemikirannya.
Lalu, ia mengungkapkan dengan menggunakan sebuah kosakata khusus
seperti air, roti, lapar, takut, pepergian, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, bahasa setiap kaum dan bangsa memiliki dua
keistimewaan: pertama, pada umumnya, bahasa pasti memiliki kosakata
untuk segala sesuatu yang mereka perlukan, bayangkan, dan temukan
p:184
dalam kehidupan sehari-hari; kedua, tidak ada satu kosakata pun yang
tidak memiliki instanta dan arti dalam ruang lingkup kemampuan
pemahaman mereka.
Hubungan pemikiran dan bahasa sangat dekat sekali sehingga
masing-masing saling mempengaruhi. Jika ada sebuah kata yang tidak
memiliki arti, maka kata itu tidak memiliki nilai linguistik. Secara
terminologis, kata itu termasuk dalam keranjang muhmalât (kata-kata
yang ditinggalkan). Muhmal adalah lawan kata musta‘mal (kata yang
dipakai). Musta‘mal adalah sebuah kata yang mengindikasikan sebuah
arti untuk sesuatu yang riil atau khayali. Tetapi, muhmal hanyalah
sebuah kata yang tidak memiliki indikasi dan fungsi.
Apabila kita menemukan sebuah kata, kita pasti mencari arti dan
maknanya, sehingga kata tersebut tidak muhmal dan menjadi sebuah
kata yang musta‘mal. Menurut para ahli logika kuno, pertanyaan pertama
yang layak dilontarkan adalah pertanyaan dengan menggunakan
“apa”. Tetapi, “apa” yang hanya memuat penjelasan arti secara bahasa
(mâ syârihah), bukan “apa” yang menjelaskan substansi sesuatu (mâ
haqîqiyyah). Jika kita mendengar kata Istanbul dan tidak mengetahui
artinya, maka kita harus bertanya. Dalam pertanyaan ini, kita pasti
bertanya dengan menggunakan ungkapan: “Apakah Istanbul itu?”
Kadang-kadang juga terdapat suatu arti dan instanta yang tidak
memiliki kata. Dalam kondisi ini, arti ini tidak termasuk dalam kategori
bahasa. Kita tidak bisa berbicara berkenaan dengan arti tersebut. Jika
arti itu mau dimasukkan dalam proses bahasa, kita harus menemukan
sebuah kata untuknya. Dalam kondisi ini, kata yang telah disepakati
untuk mengungkapkan arti itu pada hakikatnya telah diletakkan dan
ditentukan (wadh‘) untuk arti tersebut. Sebagai contoh, ketika para
ahli bahasa Arab ingin menulis sebuah tatabahasa untuk bahasa Arab,
mereka menentukan beberapa kata untuk mengungkapkan sederetan
arti gramatikal, seperti fi‘l, ism, harf, fâ‘il, maf‘ûl, mudhâf, mudhâf ilaih,
dan lain sebagainya. Begitu pula halnya dalam ilmu fisika, kimia, dan
medis.
p:185
Dalam ruang lingkup yang sebenarnya, fungsi bahasa untuk
kehidupan masyarakat sehari-hari. Tetapi, setelah umat manusia
mengalami kemajuan dan tema-tema baru terungkap, mereka
menentukan kata-kata tertentu untuk arti dan tema-tema baru.
Hubungan bahasa dan pemikiran adalah hubungan yang tidak
terpisahkan. Pemikiran menciptakan bahasa dan memanfaatkanya
sebagai sebuah alat bantu. Jika pemikiran tidak ada, bahasa pun tidak
akan ada. Begitu pula yang terdapat dalam pembahasan bahasa agama
dan bahasa irfan.
Supaya kami dapat membandingkan dan menjelaskan dengan baik,
pertama kali kami akan menjelaskan proses kata dan arti yang sangat
rumit dalam ajaran irfan. Setelah itu, kami akan memaparkan fungsi
kata dalam teks-teks agama.
Ahmad Ghazali (w. 520 H.) berkata, “Ungkapan hadis ini
mengisyaratkan beberapa arti berbeda-beda. Dengan demikian,
kandungan hadis ini bersifat nakirah (tidak pasti). Tetapi, kandungan
nakirah ini hanya diperuntukkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dari
hadis ini, dapat disimpulkan dua fondasi: pertama, isyarat ungkapan;
dan kedua, ungkapan isyarat.”(1)
Seperti telah kami jelaskan sebelum ini, para syaikh tasawuf dari
sejak permulaan kemunculan ajaran ini sudah menekankan bahwa
bahasa mereka bukanlah bahasa biasa. Bahasa mereka adalah sebuah
bahasa isyarat. Sekarang, kita akan membahas hubungan bahasa dan
makna dalam pandangan irfan.
Apakah maksud makrifat irfani menggunakan bahasa yang tidak
lazim? Mengapa bahasa dalam ilmu irfan berbeda dengan bahasa
dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang lain? Guna menemukan
jawabannya, perlu kita renungkan beberapa hal berikut:
p:186
Tolok ukur utama penggunaan bahasa oleh umat manusia adalah
pemikiran. Jika kita tidak memiliki ide dan pemikiran, niscaya kita
tidak pernah memiliki bahasa. Bahasa mengandung sebuah makna
dan makna tersimpan dalam pemikiran. Pemikiran kitalah yang
memperluas ruang lingkup bahasa. Ibaratnya, batas dunia adalah batas
bahasa. Dengan cara menemukan makna dan instanta baru, pemikiran
dapat memperbanyak kosa kata baru. Marilah kita telaah bersama
bagaimana hubungan antara bahasa dan pengalaman irfani?
Tidak diragukan lagi, pengalaman irfani memiliki perbedaan
fundamental dengan perilaku keseharian dan masalah-masalah yang
ada dalam disiplin ilmu pengetahuan. Pengalaman irfani terwujud
dalam sebuah ranah yang terletak di balik ranah akal dan pemikiran
kita yang lazim, yakni ranah pengalaman irfani dan ranah akal dan
pikiran, yang sangat berbeda total. Alasannya, masalah dan kebutuhan
keseharian dan ilmu pengetahuan adalah personalisasi (ta‘ayyun)
dan keistimewaan diri kita sendiri yang bersifat lahiriah. Landasan
pemahaman dan penggambaran (idrâk wa tashawwur) dalam bidang
ilmu hushûlî tidak lain adalah diri kita, pengetahuan kita, perbedaan,
keberbilangan, esensi, dan kemustahilan dua hal yang kontradiktif
dapat terkumpul atau bisa terangkat. Sedangkan, landasan pengetahuan
intuitif dan pengaman irfani adalah penghapusan personalisasi,
melintas dari tirai batasan, ikatan, dan keberbilangan, membebaskan
diri dari ikatan masa dan ruangan, dan sampai kepada maqam fana,
kesirnaan, universalitas, dan kemutlakan.
Kita dapat memetik sebuah kesimpulan. Bahasa yang terwujud
karena kebutuhan-kebutuhan akal dan pikiran pasti memiliki
kemampuan untuk mentransmisikan (mengirimkan—peny.)
makna-makna yang tersimpan dalam ranah ini. Tetapi, bahasa tidak
akan mampu menjelaskan dan menginterpretasikan pengalamanpengalaman
irfani.
p:187
Bagaimanapun aku jelaskan tentang cinta;
aku merasa malu ketika aku meraih cinta.
Meskipun bahasa adalah penjelas segalanya;
tetapi cinta tanpa bahasa lebih cerah.
Berkenaan dengan fungsi bahasa, terdapat empat unsur yang
memainkan peran utama: pembicara, pendengar, makna, dan kata.
Dalam usaha mengungkapkan pengalaman irfani, seperti akan
kami jelaskan pada pembahasan mendatang, keempat unsur itu
menghadapi masalah dan kesulitan.(1) Atas dasar ini, seluruh hakikat
irfani tidak dapat dijelaskan secara tegas dan langsung. Dengan kata
lain, tidak mungkin dapat diungkapkan apalagi diutarakan. Hal ini
disepakati juga oleh para urafa di dunia Timur maupun dunia Barat.(2)
Menurut keyakinan ‘Ainul Qudhât, ketidakmungkinan diungkapkan
dan dipindahkan ini adalah dasar perbedaan makrifat irfani dengan
ilmu-ilmu pengetahuan yang resmi. Ia berkata,
Segala sesuatu yang maknanya dapat dijelaskan dengan
ungkapan yang sesuai dengan kandungannya disebut ilmu,
seperti ilmu sastra, matematika, ilmu alam, teologi, dan filsafat.
Dengan cara menjelaskan masalah-masalah yang ada dalam
ilmu pengetahuan, setiap guru yang alim menyatukan otak para
murid dengan otaknya sendiri. Sedangkan, tindakan semacam
ini tidak mungkin dilakukan dalam ranah makrifat irfani.”(3)
Aththar pernah menukil pernyataan Syibli (w. 334 H.) yang
menegaskan: “Ungkapan adalah bahasa ilmu pengetahuan, sedangkan
isyarat adalah bahasa makrifat.”(4)
Dari seluruh penjelasan di atas, fungsi bahasa dalam bidang ilmu
irfan sangat berbeda dengan bidang ilmu pengetahuan yang lain.
p:188
Marilah kita telaah bersama dari manakah perbedaan ini bermuara?
Menurut hemat kami, faktor perbedaan antara kedua bidang ilmu
yang berkenaan dengan fungsi bahasa adalah perbedaan substansial.
Dasar utama ilmu dan pengetahuan adalah dasar yang lazim nan
lumrah. Bahasa juga muncul dari alam pikiran kita yang lumrah.
Dengan demikian, hubungan ilmu dan pengetahuan dengan bahasa
seperti hubungan lazim kehidupan kita sehari-hari dengan bahasa.
Perbedaannya, masalah dan makna baru yang muncul dalam bidang
ilmu pengetahuan memerlukan kosakata dan frase-frase yang juga
baru. Kemudian apabila kita ingin menyelesaikan masalah dengan cara
mencetuskan dan menentukan sebuah kata baru (wadh‘).
Dengan kata lain, dalam bidang ilmu dan pengetahuan, persoalan
utama kita hanyalah ketiadaan kosakata, dan persoalan ini dapat
diatasi dengan cara mencetuskan dan menentukan kosakata baru
untuk makna-makna yang baru. Tetapi, dalam bidang makrifat dan
pengalaman-pengalaman irfani, persoalan utama kita, di samping
problem ketiadaan kosakata, adalah mewujudkan sebuah hubungan
antara kata dan makna. Pengalaman irfani bukanlah jenis masalah
yang kita hadapi sehari-hari. Pada dasarnya, akal dan pikiran kita
tidak mampu memahaminya. Padahal, bahasa hanya dapat menerima
instruksi dari ranah akal dan pikiran.
Melihat realita ini, apa yang harus kita lakukan? Apakah masih ada
jalan untuk mengungkapkan hakikat-hakikat irfani tersebut?
Secara praktis, para wali dan urafa sebenarnya sudah berbicara
dengan masyarakat umum. Mereka telah turun ke maqam pengungkapan
makna. Dengan demikian, hakikat irfani dapat diungkapkan dan
diutarakan. Sebagian pemikir berusaha menempatkan bahasa agama
dalam satu tingkat dengan bahasa irfan. Mereka ingin menarik beberapa
kesimpulan. Menurut hemat kami, prolog yang mereka susun berikut
kesimpulan yang ingin mereka tarik tidaklah benar. Marilah kita telaah
terlebih dahulu cara pengungkapan hubungan kata dan makna dalam
bidang makrifat irfani.
p:189
1. Dalam pandangan para filosof dan urafa Muslim, universum
memiliki tingkatan beraneka ragam dan berbeda. Tingkatan ini
dimulai dari tingkatan wujud yang paling sempurna; yakni Dzat
Wajib Al-Wujûd dan sumber seluruh wujud, dan diakhir dengan
hayûlâ Alam materi yang merupakan batas ketiadaan; dimulai
dari tingkatan wujud yang aktual (fi‘liyyah) secara sempurna dan
tidak terbatas hingga tingkatan wujud yang paling lemah, yakni
mâddah al-mawâdd (materi untuk segala materi) yang merupakan
potensial (bi al-quwwah) secara tidak terbatas. Proses ini
dinamakan busur gerak wujud menurun. Setelah itu, perjalanan
kesempurnaan wujud dimulai lagi dari maqam potensial yang tidak
terbatas; yakni mâddah al-mawâdd, hingga sampai ke tingkatan
wujud dan aktualitas yang paling tinggi. Proses ini disebut busur
gerak wujud menaik.(1)
Para filosof mengklasifikasikan tingkatan wujud dalam busur
gerak menurun dan menaik ke dalam beberapa alam: alam akal,
alam jiwa, dan alam materi.
Para urafa dan filosof pengikut aliran filsafat Illuminatif
menambahkan satu alam lagi kepada tiga alam di atas. Mereka
menamakan alam dengan nama alam mitsâl atau alam malakût.
Alam malakût adalah penengah dan barzakh antara alam metafisik
dan alam materi.(2)
2. Filsafat Shadrul Muta’allihîn berdiri di atas tiga fondasi fundamental:
prinsipalitas wujud,(3) wahdat al-wujûd,(4) dan gradasi dalam
p:190
hakikat wujud. (1) Ketiga dasar ini telah berhasil dibuktikan melalui
argumentasi dan juga dengan perantara intuitif. Berdasarkan
ketiga fondasi ini, seluruh universum, dimulai dari Sumber Utama
alam semesta (wujud aktual yang tidak terbatas) hingga mâddah
al-mawâdd alam materi yang merupakan wujud potensial yang
juga tidak terbatas, adalah seperti sebuah mata rantai yang saling
berkesinam-bungan sehingga tidak satu pun tingkatan wujud
terpisah dari tingkatan yang lain.
3. Berdasarkan konsep prinsipalitas wujud, sumber seluruh efek,
keistimewaan, dan sifat-sifat esensial (lawâzim) maujud
yang tidak terpisah adalah wujud itu sendiri.(2) Karena wujud
memiliki peringkat dan tingkatan berbeda dan beraneka ragam,
maka efek, keistimewaan, dan sifat esensial juga berbeda-beda
dan beraneka ragam seperti hidup, ilmu dan pemahaman,
kehendak, kemampuan, dan mempengaruhi, bersumber dari
wujud dan tidak dapat dipisahkan, karena selain wujud tidak
ada realita lain yang dapat digambarkan. Kemudian berdasarkan
perbedaan tingkatan wujud, seluruh efek juga berbeda dilihat
dari sisi kekuatan dan kelemahan, serta dari sisi kekurangan
dan kesempurnaan.
Kemunculan seluruh hakikat dan makna pada setiap alam adalah
sesuai tingkatan kesempurnaan alam tersebut. Sebagai contoh, hakikat
gaib yang dapat dipahami di alam metafisika tidak dapat dipahami
dan juga tidak akan muncul di alam materi. Memahami hakikat yang
tinggi mengharuskan tingkatan wujud yang lebih tinggi pula. Pemilik
Sabzawarî, hlm. 22-2 7; Nihâyah Al-Hikmah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, peringkat
ke-1, pasal ke-3.
p:191
tingkatan yang tinggi adalah para nabi dan wali Ilahi, serta sedikit
banyak para ulama, sastrawan, dan seniman.
Tidak diragukan lagi, apabila ilham dan wahyu tidak dapat dimiliki
oleh setiap orang, dan menuntut tempat yang layak dan pantas bagi
dirinya, maka ilmu, irfan, seni, dan sastra juga tidak dapat dimiliki atau
dipelajari oleh setiap orang.
Dengan demikian, para wali, urafa, ulama, penyair, sastrawan, dan
seniman masing-masing memiliki tingkatan dan kesempurnaan wujud
yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi mereka. Wahyu, makrifat,
ilmu, seni, dan sastra adalah hasil kesempurnaan wujud ini. Persoalan
yang mereka hadapi dalam mengungkapkan hakikat; di antaranya
memanfaatkan bahasa.
Penting sekali untuk diketahui, bagaimana cara pengiriman kandungan
makna tinggi yang muncul dari kesempurnaan wujud kepada alam
materi yang lazim kita alami sehari-hari.
Menurut pandangan para filosof Muslim, hal ini dapat digambarkan
berdasarkan ketunggalan jiwa insani dan perbedaan
tingkatan kekuatan pemahaman yang dimiliki, seperti indera,
khayal, apprehensi (wahm), dan akal.(1) Dalam pandangan mereka,
penghubung seluruh tingkatan wujud dalam proses transfer makna
adalah jiwa insani.
Caranya, hakikat yang telah diterima oleh tingkatan tertinggi
kekuatan pemahaman jiwa rasional (nâthiqah); yakni tingkatan
akal mustafâd dan kekuatan qudsi yang memiliki kemampuan
menyangka (quwwah qudsiyyah hadsiyyah), dalam perjalanan
tingkatan kekuatan pemahaman manusia, turun ke maqam khayal
dan indera komunal. Pada saat itu, hakikat dapat disampaikan
p:192
kepada para pendengar dengan menggunakan perantara kata-kata
yang lazim dan lumrah digunakan.(1)
Tetapi, para urafa menyuguhkan solusi fundamental dengan jalan
menyodorkan beberapa konsep:
Manusia sebagai kawn jâmi‘.
Manusia adalah manifestasi nama Allah yang komprehensif.
Insan kamil secara independen adalah sebuah universum yang
meliputi seluruh alam yang lain.
Meskipun manusia dari satu sisi adalah bagian parsial dari seluruh
universum. Tetapi, dari sisi yang lain, ia dengan kesendiriannya adalah
seluruh alam semesta. Seluruh tingkatan dan peringkat alam semesta
berada dalam ranah wujudnya. Keluasan dan komprehensifitas
wujudnya terbentang dari wujud aktual yang tidak terbatas (fi‘liyyah lâ
mutanâhiyah) hingga wujud potensial yang juga tidak terbatas (quwwah
lâ mutanâhiyah).
Dalam wujud manusia, tidak hanya tersimpan kemampuan
memahami alam universal yang terdapat di alam semesta tetapi,
wujud manusia dengan kesendiriannya meliputi seluruh alam
tersebut. Manusia adalah sebuah landasan kokoh untuk busur gerak
wujud dan anugerah Ilahi, baik dari sisi menaik maupun menurun,
dan jembatan penghubung kesatuan seluruh alam yang ada di
universum. Seluruh makna dan hakikat hanya dapat turun dalam
ranah wujudnya. Di alam semesta, materi dan makna hanya dapat
bertemu dalam wujud manusia. Inilah rahasia mengapa para nabi
dan wali yang bertugas memberikan hidayah kepada umat manusia
dipilih dari kalangan mereka sendiri. Seandainya malaikat dibebani
tugas ini, ia pertama kali harus menjadi manusia sehingga hubungan
itu dapat terlaksana. Allah menegaskan, “Dan kalau Kami jadikan
rasul (dari) kalangan malaikat, tentulah Kami jadikan ia berupa
p:193
seorang laki-laki.”(1)
Dalam pandangan para filosof maupun urafa, seluruh alam dan
aneka tingkatan wujud dapat terhubungkan dalam wujud manusia.
Oleh karena itu, transfer hakikat, makna, dan makrifat juga dapat
terlaksana melalui perantara manusia.
Berdasarkan seluruh fondasi di atas, kita dapat memetik kesimpulan
hubungan kata dan makna dalam ranah irfan. Kami akan menganalisis
perpindahan makna ke kata dari satu sisi dan juga perpindahan kata
ke makna dari sisi yang lain. Atas dasar ini, fungsi bahasa dalam ranah
ilmu irfan sangat pelik dan rumit sekali dalam dua segi: pertama,
menemukan dan menentukan kata untuk makna-makna irfani—
membahasakan makrifat-makrifat irfani; dan kedua, perpindahan
pemahaman pendengar dari kata kepada makna tersebut; yakni proses
memahami bahasa para urafa.
Kharazmi berkomentar tentang ayah Maulawî seraya berkata,
“Jika ia memulai sebuah ucapan dan tidak turun dari maqam
tersebut sebanyak tiga atau empat tingkatan, tidak seorang pun
dapat memahami ucapan-ucapannya.”(2)
Seperti telah dipaparkan, proses penurunan hakikat kepada bahasa
isyarat berlangsung dalam batin para nabi dan wali Ilahi. Mereka
memiliki kesempurnaan wujud yang dapat menurunkan ilham dan
makrifat intuitif. Dalam proses ini terjadi:
Pertama, hakikat-hakikat irfani turun dari ranah intuisi dan
menemukan jalannya sampai kepada ranah ilmu hushûlî yang
merupakan pusat kendali bahasa. Menurut para urafa, hal ini terjadi
karena sebuah kaidah yang menyatakan: “Bumi pasti menerima tetesan
p:194
dari gelas orang-orang dermawan.” Menurut Ibnu Arabi, landasan
filosofis tema ini adalah sebagai berikut:
Dari sisi aksi dan fungsi, akal memiliki keterbatasan dan tidak
dapat memahami seluruh hakikat yang ada di alam intuisi. Tetapi,
dari sisi penerimaan dan reaksi, akal tidak terbatas. Bahkan, akal
juga dapat menerima pengaruh dan efek dari hakikat-hakikat
intuitif.(1)
Pada kesempatan yang lain, Ibnu Arabiberkata, “Akal (ranah ilmu
hushûlî), sebagaimana dapat memanfaatkan pikiran (argumentasi),
juga dapat memanfaatkan hati (intuisi).”(2)
Plotinus berkata, “Kita tidak memiliki kemampuan dan tidak
pula kesempatan sehingga kita dapat mengucapkan satu kata
berkenaan dengan makrifat irfani. Tetapi, setelah berlalu, makrifat
dapat dibahas dan dapat pula diargu-mentasikan.”(3)
Maksud ungkapan “setelah berlalu” adalah perpindahan seorang
arif dari pengalaman irfani dan alam intuisi ke dunia kesadaran diri
yang dimiliki oleh masyarakat biasa.
Setelah kembali ke alam ketercerai-beraian dan keberbilangan,
jika ia membawa serta sekuntum “bunga mawar,” ini berarti ia telah
siap membagi-bagikannya kepada orang lain;
Kedua, dalam ranah ilmu hushûlî, seseorang dapat memahami
penjelasan ini dengan mudah. Mengungkapkan hakikat irfani tidak
dapat dilakukan secara langsung, karena hanyalah sebuah reeksi
dari pengalaman irfani yang dapat memasuki ranah ilmu hushûlî.
Pengalaman itu sendiri tidak dapat termuat dalam ranah ungkapan.
Menurut Sanâ’î, kita tidak memiliki ucapan untuk mengungkapkan
makna dan dalam ucapan kita juga tidak terdapat makna.
Pengalaman inderawi kita peroleh dan kita miliki sejak
permulaan dan telah terkotori oleh berbagai faktor dan aneka kategori
p:195
(maqûlah) yang ada dalam otak kita dan berbagai pengetahuan yang
ada dalam ranah ilmu hushûlî kita. Jika mencegah kontaminasi ini,
sebagaimana juga purifikasi pengalaman pada periode berikutnya
dari seluruh kategori dan pengetahuan yang mendominasi otak
dan ranah pengetahuan kita, bukanlah sebuah tindakan yang tidak
mungkin dilakukan, pencegahan ini tentunya sangatlah sulit sekali
dilakukan.(1)
Dalam usaha mengungkapkan pengalaman yang terpengaruhi
oleh berbagai pengetahuan yang ada dalam otak kita, akal dan pikiran
menemukan sebuah jarak yang sangat jauh dari hakikat dan substansi
pengalaman irfani itu sendiri. Jarak ini tidak berbeda dengan jarak yang
merentang antara dunia metafisika dan dunia materi.
Dengan ungkapan lain, hakikat dan makna irfani dalam proses
penurunan ini telah keluar dari posisinya dan memperoleh forma dan
manifestasi yang baru. Dengan demikian, otak kita akan memiliki
sebuah produk baru yang merupakan refleksi dari sebuah dunia dalam.
Tentunya, produk baru ini juga telah terkotori oleh berbagai refleksi
yang dihasilkan dari faktor-faktor dunia luar;
Ketiga, untuk mengungkapkan makna baru diperlukan
sebuah kata. Para urafa pada kesempatan ini, tidak berbeda
dengan para ulama yang lain, menggunakan bahasa yang lazim
digunakan oleh masyarakat umum. Mereka menggunakan katakata
yang sering digunakan masyarakat dengan menggunakan
gaya isti‘ârah (metafora) atau kinâyah (kiasan). Jelas, apabila
seorang arif menguasai bahasa dan terminologi ilmiah, hal ini
dapat membantunya menggunakan kosakata yang sesuai dan
mencetuskan sebuah terminologi baru. Para urafa yang menguasai
ilmu filsafat dengan baik telah memaparkan pembahasan irfan
teoritis dengan keluasan dan sistematika yang baik pula.(2) Syams
Tabrîzî pernah membandingkan kelemahan dirinya dengan Syaikh
p:196
Irâqî. Ia berkata, “Ia (Syaikh Irâqî) karena menguasai terminologi
ilmiah dapat menyingkap sebagian rahasia yang tersembunyi dan
mengungkapkannya dengan sebuah ungkapan yang sangat jitu.
Akan tetapi, aku tidak demikian.”(1)
Penjelasan hakikat irfani yang tidak dapat dijelaskan itu, dari satu
sisi, mudah diterangkan dan dijabarkan oleh para sufi seperti Abu
Sa‘id Abul Khair, Al-‘Aththâr, Maulawî, dan Hafez. Dari sisi lain, dapat
dijelaskan oleh pengetahuan, khususnya filsafat Islam, yang pernah
dimiliki oleh para urafa seperti Qaishari, Qunawi, Sayyid Haidar
Amuli, dan Shadrul Muta’llihin Syirazi.
Junaid pernah berkata, “Bahasa kami adalah isyarat.” Para urafa
memaparkan proses rumit yang ada dalam hubungan antara kata
dan makna dengan nama “isyarat”, sebagai ganti dari “ungkapan”.
Dengan demikian, bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan
makrifat dan hakikat irfani adalah bahasa “isyarat”. Bahasa “isyarat”
dan “simbol” adalah sebuah bahasa yang mencakup penyembunyian
(katm) dan pemaparan (ifsyâ’). Artinya, mengucapkan dalam
kondisi tidak mengucapkan dan tidak mengucapkan dalam kondisi
mengucapkan.(2)
Pembentukan bahasa isyarat muncul dari keempat unsur
perpindahan makna. Keempat unsur tersebut adalah pembicara,
pendengar, makna, dan kata. Problematika yang ada dalam empat
unsur ini menjadi faktor utama mengapa bahasa para nabi dan wali
harus disampaikan dalam bentuk bahasa isyarat. Penjelasan keempat
unsur tersebut sebagai berikut:
p:197
1. Pembicara; pada maqam intuisi, seorang arif telah melangkahi
dunia materi dan melampaui ranah ruang dan waktu. Ia telah
melintasi satu dunia dan sampai ke dunia lain. Ia telah kehilangan
kesadaran diri yang lumrah dimiliki di dunia ini dan begitu pula
tatanan berpikir sehari-hari. Jelas, orang semacam ini telah
kehilangan fungsi seorang manusia normal ketika menyampaikan
sebuah informasi dan pengetahuan.
Apa yang dapat kukatakan sebuah sarafku tidak sadarkan;
karena menyifati Dzat Penolong yang Dia tidak memiliki
penolong.
Barangsiapa melihat taman bunga yang tersembunyi;
gairah cintamu akan pupus sirna dari dirimu.
Maulana Rumi
2. Pendengar; hubungan kata dan makna dalam penjelasan irfani
tidak hanya menghadapi persoalan dari sisi pembicara. Tetapi,
juga dari sisi pendengar. “Mendengar” tidak berbeda dengan
“mengucapkan” juga memiliki banyak persoalan. Hal ini diakui
oleh para urafa di dunia Timur dan Barat. Stice menyebut
pandangan para urafa Barat dengan nama “kebutaan spiritual”
dan “kebutaan kalbu”.(1) Mengapa persoalan ini ada?
Sebuah pernyataan masyhur menegaskan bahwa barangsiapa
yang kehilangan sebuah indera, ia kehilangan sebuah ilmu. Kita
tidak mungkin dapat memahami sebuah hakikat yang untuk
memahaminya dibutuhkan sebuah indera khusus, padahal
kita tidak memiliki indera tersebut. Para urafa Timur dan Barat
menjelaskan realita ini dengan memaparkan sebuah perumpamaan
bahwa orang-orang buta tidak akan dapat memahami warna. ‘Ainul
Qudhat berkata, “Sekalipun orang buta menegaskan keyakinannya
yang mantap terhadap hakikat sebuah warna, penegasan ini hanya
p:198
bermuara dari gambaran-gambarannya yang batil.”(1)
3. Makna; makna dalam makrifat Ilahi memiliki peran terbanyak
dalam masalah mengapa makrifat irfani tidak dapat dijelaskan
dan hubungan antara kata dan makna memiliki persoalan?
Keistimewaan makna adalah sebagai berikut:
Dalam ranah hakikat dan makrifat intuitif, tidak ditemukan
distingsi (tamâyuz) dan keberbilangan. Konsekuensi adalah
juga tidak ada arti yang dapat ditemukan. Menurut penegasan
Stice, dalam ketunggalan yang sama sekali nondistingtif, Anda
tidak akan dapat menemukan sebuah arti pun untuk suatu apa
pun. Hal ini karena tidak terdapat bagian dan sisi-sisi yang
dapat membentuk sebuah bentuk. Arti dapat terwujud ketika
terdapat keberbilangan atau paling tidak perbedaan antara
dua sesuatu. Dalam batin keberbilangan, bagian dan sisi-sisi
yang serupa dapat terwujud dalam satu golongan, dan berbeda
dengan golongan-golongan yang lain. Pada saat itulah, kita
akan memiliki sekumpulan arti dan sebagai konsekuensinya,
kita juga akan memiliki kata.(2)
Atas dasar ini, makna intuitif adalah makna yang nondistingtif.
Makna tidak dapat digambarkan dan tidak pula dapat dipahami.
Pada dasarnya, hakikat intuitif tidak sejalan dengan akal
yang berdiri di atas dasar distingsi, keberbilangan, dan esensi
(huwiyyah). Kata-kata muncul karena sederetan arti yang telah
terbentuk dalam benak. Kata-kata tidak pernah berfungsi dalam
ranah hakikat irfani.
Persoalan ini sangat fundamental. Tetapi, ada juga persoalan
lain yang tidak berhubungan dengan pembahasan kita kali ini. Di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pelarangan menyebarkan rahasia. “Menyebarkan rahasia
ketuhanan adalah sebuah kekufuran.”
p:199
Penderitaan dan siksaan yang dialami oleh para urafa karena
menyebarkan rahasia.(1)
Usaha untuk menyembunyikan keadaan jiwa dan maqam yang
telah diperoleh, serta menutupi hakikat dari orang-orang yang
bukan ahlinya. Dalam sebuah pernyataan irfani ditegaskan,
“Janganlah kalian beritahukan rahasia-rahasia cinta kepada
orang yang hanya pandai mengaku-ngaku.”
4. Kata; Ibn Khaldûn berkata, “Kata-kata tidak dapat memaparkan
kehendak para sufi sehubungan dengan seluruh maksud tersebut
di atas. Hal ini karena seluruh kata diletakkan untuk makna yang
bersifat konvensional (umum), dan mayoritas makna ini berasal
dari makna yang bersifat inderawi.”(2)
Hal Ini telah kami jelaskan secara detail pada pembahasan yang
lalu.
Dengan demikian, bahasa para nabi, sastrawan, dan seniman
adalah bahasa isyarat. Menurut penegasan Ahmad Ghazali, “ungkapan
isyarat”.
Pada kesempatan ini, kami akan menjelaskan poin yang lain sebagai
berikut:
Setelah makna turun ke dunia ilmu hushûlî, otak, dan ranah
pengetahuan, bagaimanakah bentuk hubungan makna tersebut dengan
kata dan ungkapan yang akan kita pilih?
Hubungan itu bukanlah sebuah hubungan yang bersifat
hakiki. Sekalipun, menurut keyakinan Syaikh Mahmud Syabestari,
penggunaan kata dalam makna irfani bersifat hakiki dan dalam
kehidupan sehari-hari bersifat figuratif (majâzî).(3)
p:200
Pandangan Syaikh Mahmûd dapat dibenarkan berdasarkan
pandangan NeoPlatonisme. Untuk sementara ini, kita kesampingkan
terlebih dahulu pandangan ini. Pandangan yang kami terima adalah
penggunaan kata untuk makna-makna yang umum digunakan dalam
kehidupan sehari-hari bersifat hakiki dan untuk makna-makna irfani
bersifat figuratif. Tetapi, dalam penggunaan figuratif, kita juga harus
memperhatikan poin berikut:
1. Ungkapan seperti wahdat al-wujûd, kegaiban esensi, ketunggalan,
keesaan, lima figur mulia (al-hadharât al-khamsah),
keberbilangan, kemanunggalan, cinta, jadzbab (mabuk dalam
cinta kepada Allah), intuisi, dan fana memiliki penggunaan yang
permanen di kalangan para urafa. Sekalipun demikian, seluruh
ungkapan ini sebagaimana akan kami jelaskan sangatlah rumit
dipahami oleh masyarakat awam dan bersifat ambigu. Artinya,
hubungan kata dan ungkapan-ungkapan tersebut dengan makna
dan hakikatnya terjadi berlandaskan proses penurunan (kualitas)
dari sisi makna dan penggunaan figuratif dari sisi kata. Meskipun
demikian, hubungan itu adalah sebuah hubungan yang permanen.
“Kegaiban esensi”, “keesaan”, atau ungkapan-ungkapan yang lain
senantiasa menghikayatkan sejumlah hakikat tertentu, meskipun
hakikat dan makna tersebut tidak dapat dipahami oleh akal dan
pikiran yang lazim. Dengan kata lain, tidak dapat dipahami oleh
ilmu hushûlî . Sekalipun demikian, penggunaan bahasa dan isyarat
untuk mengungkapkan seluruh hakikat masih memiliki sebuah
permanensi.
Landasan permanensi adalah ungkapan dan kata-kata yang
langsung dan tanpa perantara dengan cara mentransmisikan arti
yang lazim digunakan, bukan melalui cara metafora (istî‘ârah),
kiasan (kinâyah), dan lain sebagainya. Dalam metode penggunaan
kiasan dan metafora, makna asli sebuah kata merupakan makna
lazim dan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari tidak boleh
diabaikan. Dengan kata lain, tidak terjadi transmisi (pengalihan
p:201
—peny.) makna. Makna tersebut hanya digunakan sebagai cermin,
perantara, dan jembatan untuk mengungkapkan sebuah
arti irfani.
2. Banyak sekali ungkapan irfani sebagaimana telah kami jelaskan—
yang menggunakan metode metafora dan kiasan. Dalam metode
ini, tolok ukur pemahaman sebuah tema adalah makna dan arti
lazim sebuah kalimat dan kata yang digunakan sebagai cermin
dan jembatan untuk mengungkapkan makna irfani. Kami akan
menjelaskan tema ini secara ringkas:
Metafora; seperti telah kami paparkan di atas, dalam penggunaan
metafora, kita menggunakan sebuah kata dalam sebuah makna figuratif
(tidak hakiki) berdasarkan sebuah unsur penyerupaan (tasybîh).
Syarat yang diperlukan, kata yang kita gunakan adalah kata yang
dijadikan tolok ukur penyerupaan (musyabbah bih) dan maksud yang
kita inginkan adalah makna yang diserupakan (musyabbah). Tetapi,
musyabbah tidak boleh disebutkan dan juga lahiriah ungkapan tidak
boleh mengindikasikannya. Harus ada sebuah analogi (qarînah) yang
membuktikan bahwa kita menginginkan selain arti lahiriah ungkapan
tersebut. Penggunaan semacam ini banyak ditemukan di tengahtengah
masyarakat, seperti “mutiara terjatuh dari atas bunga Nargis
dan mengalirkan air kepada bunga yang kering kerontang”. Dalam
ungkapan-ungkapan irfani kita juga dapat menemukan ungkapanungkapan
metaforik semacam ini.
Kiasan; dalam metode kiasan, sebuah kata masih digunakan dalam
artinya yang asli. Tetapi, pembicara menginginkan salah satu arti logis
(lâzim) di balik arti asli tersebut. Dalam metode kiasan, tidak boleh
melupakan arti asli sebuah kata, berbeda dengan metode metafora
dan figuratif. Kata tersebut masih digunakan dalam artinya yang asli.
Tetapi, maksud asli pembicara bukanlah arti asli tersebut, tetapi salah
satu arti logis di balik arti asli itu.
Di kalangan masyarakat, sering kita dengar pernyataan bahwa
tangan Imam Ali as. selalu terjulur dan pintu rumahnya selalu terbuka
p:202
untuk mem-bantu masyarakat. Dalam irfan ungkapan-ungkapan
seperti darwisy, mabuk, orang yang selalu berlalu-lalang di tempat
bermabuk-mabukan, dan gila. Jelas, maksud ungkapan semacam ini
hanyalah arti logis kata-kata tersebut.
Figurasi tersusun; penggunaan sekelompok kata dan ungkapan
dalam ketentuan penggunaan yang serupa dengan ketentuan aslinya.
Penggunaan semacam ini dikenal juga dengan nama “alegori (tamtsîl)
dengan cara metafora”. Jika ungkapan-ungkapan itu sangat masyhur
digunakan oleh masyarakat, ungkapan itu dinamakan “perumpamaan”
(matsal).
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kita sering mendengar
ungkapan bahwa anak seekor serigala akhirnya akan menjadi serigala
juga, meskipun ia tumbuh besar bersama manusia. Para urafa juga
menggunakan metode ini dalam menjelaskan hakikat dan maknamakna
gaib.
“Ungkapan orang lain” dapat digunakan sebagai bidang untuk
mengungkapkan “rahasia para pemikat cinta”; semua ini berdasarkan
metode ini dan terdapat juga dalam buku Masnavi-ye Mavlavi,
Manthiq Al-Thayr karya ‘Aththar, dan buku-buku yang lain. Di permulaan
buku Masnavi kita dapat membaca syair berikut:
Dengarkanlah seruling yang sedang berkisah,
ia mengadukan perpisahan yang harus dialami.
Begitu pula puluhan kisah nyata dan khayal yang dimanfaatkan
sebagai sebuah alegori. Pada dasarnya, ghazal-ghazal irfani berdiri tegak
di atas alegori ini. Dalam ghazal irfani, seorang arif mengungkapkan
semerbak dan bara cinta dalam bentuk cinta figuratif dan yang lazim
dialami oleh masyarakat. Sekalipun demikian, ia juga mengungkapkan
cinta yang sejati. Oleh karena itu, ungkapan irfani memiliki nilai setara
dengan tema-tema biasa. Alasannya, meskipun maksudnya adalah
cinta yang sejati, tetapi ia mengungkapkan hal itu di sela-sela cinta
figuratif.
p:203
Para urafa sering memanfaatkan bait-bait syair secara irfani,
sedangkan para penyair syair-syair tersebut pada umumnya tidak
mengenal masalah irfani. Sebagai contoh, syair khamar Abu Nawas (w.
199 H.) dan syair Shahib bin ‘Ibad (w. 385 H.). Dua bait syair berikut
ini sangat masyhur sering dikidungkan oleh Ibnu Arabidan para urafa
yang lain:
Gelas itu mencair dan khamar pun turut mencair,
keduanya berbentuk serupa dan sulit ditandai.
Seakan-akan terdapat khamar tanpa cawan,
dan seakan-akan juga terdapat cawan tanpa khamar.
Ibnu Faridh (w. 632 H.) sangat terpengaruh oleh syair-syair
Syarif Radhi (w. 406 H.), penulis buku Nahj Al-Balâghah.(1) Salah
seorang penyair pernah melantunkan bait syair berikut di hadapan
Syaikh Abu Sa‘id Abul Khair (w. 440 H.):
Aku akan bersembunyi di balik syair ghazalku,
sehingga aku kecupkan ciuman di bibirmu sembari kau baca
alasannya.
Syaikh Abul Khair bertanya kepadanya: “Siapakah penyair yang
telah melantunkan syair ini?” Penyair itu menjawab: “‘Imârah Al-
Marwazî.” Mendengar jawaban itu, Syaikh Abul Khair menziarahi
kuburan ‘Imârah bersama sekelompok kaum sufi.(2) Almarhum Rahi
memiliki sebuah syair yang menegaskan berikut ini:
Aku mengetahui bara cinta-Mu dengan perantara cermin, Engkau
lebih cinta berjumpa denganku daripada diriku sendiri.
p:204
Menurut hemat kami, syair ini adalah syair terlugas yang
menggambarkan ajaran irfan. Berdasarkan prinsip ini, dasar utama
penciptaan adalah kecintaan Dzat Yang Maha segalanya terhadap
keindahan diri-Nya dan cinta kepada-Nya adalah cinta yang paling asli
dan hakiki terhadap Kekasih yang hakiki tersebut. Kecintaan menjadi
faktor mengapa ia menciptakan sebuah manifestasi dan cermin untuk
diri-Nya. Padahal, bisa jadi Almarhum Rahi hanya menghendaki
sisi lahiriah syair yang telah dilantunkan itu dan sama sekali tidak
memperhatikan sisi kiasan di atas.
Di penutup bagian pembahasan, perlu kami ingatkan kembali
bahwa bahasa metafora, alegori, dan kiasan yang digunakan untuk
mengungkapkan makrifat irfani tidak pernah dapat mengungkapkan
seluruh makrifat dan pengalaman tersebut. Bahasa ini bukan hanya
tidak dapat mendekatkan akal kita kepada seluruh hakikat irfani,
tetapi bahkan malah dapat menjauhkannya. Di kalangan ulama sudah
masyhur, apabila metode penyerupaan dan alegori dari satu sisi dapat
mendekatkan kita kepada hakikat, metode ini dari beberapa sisi malah
dapat menjauhkan kita. Oleh karena itu, sekalipun para urafa telah
berusaha menerangkan makrifat-makrifat irfani. Akhirnya, malah
mengakui kelemahan diri mereka dan menyatakan bahwa seluruh
makrifat irfani berada di luar ranah ungkapan manusia. Maulawî pernah
menggambarkan hubungan antara Dzat Yang Maha Haqq dan makhluk.
Setelah menggunakan beberapa jenis penyerupaan dan ungkapan yang
sangat lembut nan jeli, akhirnya ia juga mengakui kelemahan dirinya.
Engkau bak jiwa dan kami bak tangan dan kaki,
gerak-gerik tangan terjadi karena jiwa.
Engkau bak akal dan kami bak penjelasan ini,
lidah ini bisa menjelaskan karena akal.
gkau bak kebahagiaan dan kami bak tertawa,
karena kebahagiaan kami menjadi jaya.
Setiap gerakan kami menjadi saksi
p:205
atas Dzat Yang Mahaagung nan Abadi.
Gerakan batu penggiling gandum di penggilingan,
bak saksi atas keberadaan air mengalir.
Hai Dzat di luar bayangan dan ungkapanku,
buyarlah seluruh pembedaan dan penyerupaanku.
Maulana Rumi
2.3. Dari Teks ke Makna, Takwil, dan “Isyarat Ungkapan”
Pada kesempatan ini, kita akan menelaah proses perpindahan dari kata
ke makna dan hakikat yang dilakukan oleh para urafa. Proses penurunan
(tanazzul wa tanzîl) menarik makna ke dalam ranah kata. Tetapi, kita
akan menggiring kata ke ruang lingkup makna melalui takwil. Artinya,
kita akan memahami makna melalui jalan kata. Berbeda dengan
proses penurunan (tanzîl), takwil adalah sebuah proses gerak menaik.
Perbedaannya, tanzîl adalah proses gerak menurun sebuah makna dari
haribaan Dzat Yang Maha Haqq kepada makhluk. Sedangkan, takwil
adalah gerak menaik manusia dari ranah makhluk ke haribaan Dzat
Yang Maha Haqq, dari sisi lahiriah ke sisi batiniah. Landasan utama
gerak menaik adalah sisi kawn jâmi‘ yang dimiliki oleh manusia. Ketika
mendengarkan makrifat irfani melalui kata-kata yang lazim digunakan
sehari-hari, seseorang dapat memahami makna-makna yang berbedabeda
sesuai dengan transendensi dan universalitas wujud yang ia miliki.
Makna ini berada dalam posisi vertikal antara satu makna dengan
makna lain. Memahami makna dan hakikat tergantung kepada derajat
wujud yang dimiliki oleh seseorang, memahami ungkapan dan isyaratisyarat
yang mengungkapkan makna-makna tersebut juga bergantung
kepada tingkatan wujud yang ia miliki. Secara global, kerumitan dan
kesulitan memahami bahasa para urafa disebabkan oleh beberapa
faktor di bawah ini:
p:206
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelum ini,
berdasarkan teori prinsipalitas wujud dan gradasi hakikat wujud,
apabila tingkatan dan peringkat wujud berbeda, efek-efeknya juga akan
berbeda pula. Hasilnya, proses memahami yang merupakan salah satu
efek wujud akan berbeda dalam tingkatan dan peringkat wujud yang
berbeda-beda.
Dengan ungkapan lain, proses penurunan makna dan hakikat juga
terjadi berdasarkan proses penurunan wujud. Proses memahami hakikat
yang berhubungan dengan setiap tingkatan dan peringkat wujud hanya
mungkin terealisasi ketika peringkat dan tingkatan kesempurnaan
wujud tersebut terealisasi. Hasilnya, proses memahami hakikat akan
berbeda-beda sesuai dengan tingkatan dan peringkat kesempurnaan
wujud dalam proses busur gerak menaik. Seperti pernah ditegaskan
oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadis, Al-Qur’an memiliki tujuh
atau tujuh puluh batin. Menurut sebuah hadis yang lain, Al-Qur’an
memiliki empat tingkatan makna: lahir, batin, hadd, dan mathla‘.(1)
Lahiriah Al-Qur’an adalah makna dan arti yang ditangkap oleh
otak kita ketika kita mendengar Al-Qur’an untuk pertama kali. Batin
Al-Qur’an adalah arti logis (lâzim) untuk makna lahir. Makna hadd
adalah makna dan hakikat yang dapat dipahami oleh akal dan pikiran
kita setelah sampai kepada puncak kesempurnaannya. Mathla‘ adalah
hakikat rahasia Ilahi dan isyarat Rabbaniah yang hanya dapat digapai
melalui jalan intuisi. Dengan demikian, lahiriah Al-Qur’an adalah milik
masyarakat awam. Batin Al-Qur’an adalah milik masyarakat khawas.
Hadd Al-Qur’an hanya dimiliki oleh orang-orang yang paling utama
dari kalangan masyarakat khawas. Sedangkan, mathla‘ Al-Qur’an
hanya dimiliki oleh para wali Ilahi secara khusus. Makrifat-makrifat
irfani tidak ubah-nya seperti Al-Qur’an dan hadis qudsi juga memiliki
peringkat dan tingkatan-tingkatan tersebut.(2)
p:207
Pengetahuan yang dapat dipahami oleh masyarakat awam dari
Al-Qur’an dan makrifat irfani sangatlah terbatas dan sedikit sekali.
Guna memahami tingkatan makna dan hakikat yang berbeda-beda,
diperlukan kesempurnaan wujud dan syair menaik yang sesuai
dengan masing-masing tingkatan. Berdasarkan pandangan ini,
seluruh ayat Al-Qur’an, hadis, atau pernyataan-pernyataan para wali
sangatlah sulit dan rumit untuk dapat dipahami dan senantiasa akan
berada dalam kondisi ini. Alasannya, setelah kita sampai kepada satu
tingkatan wujud dan sebuah pengetahuan, masih ada peringkat dan
tingkatan-tingkatan lebih tinggi yang kita belum sampai kepadanya.
Setiap pribadi hanya dapat berhubungan dengan makna yang sesuai
dengan tingkatan wujud dirinya. Jika tidak demikian, yang ia miliki
hanyalah khayalan hakikat dan makna. Menurut pernyataan Maulawî,
Al-Qur’an tidak memerlukan takwil. Kitalah yang harus menakwilkan
diri kita sendiri.
Makrifat-makrifat irfani dapat terpengaruh oleh kondisi batin dari
dua sisi: kondisi batin pembicara dan kondisi batin pendengar.
Seorang arif dalam maqam tawakal mengucapkan sebuah ucapan dan
dalam maqam ridha mengucapkan sebuah ucapan yang lain. Ia karena
tuntutan perasaan takut (khawf) mengucapkan sebuah ucapan dan karena
tuntutan harapan (raajâ’) akan mengucapkan sebuah ucapan yang lain.
Dengan demikian, kondisi batin seorang pembicara sangat memiliki
peran dalam menjelaskan sebuah makrifat. Dari sisi yang lain, kondisi
batin dan maqam pendengar memaksa para nabi dan wali supaya
menurunkan kualitas ucapan mereka sesuai dengan kadar akal dan
pikiran lawan bicara mereka. Rasulullah Saw pernah bersabda:
Kami para nabi diperintahkan supaya berbicara dengan
masyarakat sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka.(1)
p:208
Supaya terjadi interaksi dan proses saling memahami, para nabi
as. diperintahkan supaya berbicara dengan bahasa kaum mereka.
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang
kepada mereka (QS. Ibrahim [14]: 4.).
Bahasa dan penjelasan wahyu sangat terpengaruh oleh kadar pemahaman
dan konsentrasi lawan bicara. Begitu pula berkenaan dengan
seluruh penjelasan dan ucapan para nabi dan wali.
Guna mengungkapkan hakikat, para urafa menggunakan metode
metafora, kiasan, dan alegori. Fondasi utama metode penggunaan ungkapan
ini adalah alasan penggunaan (munâsabah), dan alasanalasan
ini tidak bersifat sistematik. Konsekuensinya, penggunaan yang digunakan
untuk menjelaskan hakikat; yakni alasan-alasan penggunaan
yang dapat menghubungkan kata dengan makna dan perumpamaan
dengan hakikat, tidak dapat diklasifikasikan.
Jangan sampai Anda salah paham. Maksud kami bukanlah kesulitan
mengklasifikasikan alasan-alasan penggunaan itu sendiri, karena para
ahli sastra Bahasa Arab telah mengklasifikannya dengan baik. Sebagai
contoh, alasan keserupaan, alasan juz’iyyah dan kulliyyah, alasan
sebab dan akibat, dan bahkan alasan kontradiksi. Maksud kami ada
lah kesulitan menentukan alasan penggunaan yang diinginkan oleh
pembicara ketika ia menggunakan sebuah kata, metafora, dan perumpamaan
tertentu. Berkenaan dengan realita alam mimpi, Qaishari
berkata:
p:209
Kesaksian-kesaksian manusia dalam khayal yang terikat (alam
mimpi) sangat jarang yang tidak memerlukan sebuah ta’bir; semua
kesaksian itu memerlukan ta’bir. Hal ini karena setiap makna
tidak akan muncul dalam setiap bentuk. Tetapi, antara makna
dan bentuk-bentuk khusus yang menjadi bidang kemunculannya
terdapat kesesuaian dan alasan (munâsabah). Dengan demikian,
orang yang telah bermimpi harus memahami makna-makna yang
muncul melalui jalan bentuk-bentuk tersebut dengan bantuan
ahli ta’bir yang lain.268
Di samping problem di atas; yakni problem menentukan alasan
penggunaan, Ibnu Sina menambahkan satu problem yang lain. Dalam
problem ini, perpindahan kekuatan khayal tidak permanen dan juga
tidak berakhir. Menurut hemat Ibn Sina, ditinjau dari sisi kekuatan
dan kelemahannya, efek-efek spiritual yang menghinggapi jiwa, baik
dalam kondisi tidur maupun terjaga, memiliki tingkatan dan peringkat
yang berbeda-beda. Pada kesempatan ini, ia hanya menyebutkan tiga
tingkatan:
1. Tingkatan lemah; dalam tingkatan ini, tidak satu pun efek tersisa.
Oleh karena itu, jiwa tidak mungkin dapat menemukannya kembali.
2. Tingkatan menengah; khayal berpindah dari jiwa, dan ada
kemungkinan akan kembali lagi kepadanya.
3. Tingkatan kuat; ketika menerima efek tersebut, jiwa telah permanen
dan sangat kokoh. Jiwa selalu memperhatikan dan menjaganya,
serta tidak mengizinkannya hilang nan lenyap.
Tiga tingkatan ini tidak hanya dikhususkan untuk efek-efek tersebut.
Tetapi, semua tingkatan dapat memperoleh tempat untuk setiap
kenangan akal. Sebagian efek tercipta sedemikian rupa sehingga akal
kita tidak dapat berpindah darinya. Sebagian yang lain terjadi
268 Moqaddameh-ye Syarh-e Tä’iyyeh, Dawud Qaishari, tujuan ke-1, pasal ke-3.
p:210
sedemikian rupa sehingga akal kita berpindah darinya dan dapat
melupakannya. Sebagian ketiga tercipta sedemikian rupa sehingga akal
dapat pulang kembali kepadanya dengan sebuah analisis, dan kadangkadang
kepulangan ini pun tidak mungkin terjadi sekalipun dengan
analisis apa pun.
Setelah itu, Ibn Sina melanjutkan:
Jika makrifat-makrifat gaib yang terlukis dalam kekuatan
khayal, baik dalam kondisi tidur maupun kondisi terjaga, tetap
terpelihara seperti apa adanya sedia kala, seluruh makrifat
tersebut dinamakan wahyu atau ilham yang tidak memerlukan
ta’bir dan takwil. Tetapi, jika hakikat dan makna-maknanya
musnah, yang tersisa hanyalah efek dan tanda-tandanya saja,
maka makrifat-makrifat tersebut memerlukan takwil dan
ta’bir. Takwil dan ta’bir ini akan berbeda-beda sesuai dengan
kemampuan setiap orang, waktu, dan tradisi. Perpindahan
ini sama sekali tidak dapat diatur dan tidak pula dapat
diklasifikasikan. Dan seluruh hakikat masih tetap berada dalam
“kabut” keambiguan.”269
Dalam seluruh ungkapan semacam ini, pembicara berada dalam
dunianya sendiri dan pendengar juga berada dalam dunianya sendiri.
Akibatnya, tidak ada kalkulasi dan perhitungan yang detail untuk itu.
Di penutup pembahasan, perlu kami ingatkan satu poin. Para urafa
tidak pernah mengingkari indikasi jelas dan tegas Al-Qur’an untuk
makna-makna lahiriahnya. Tetapi, menurut mereka, maksud wahyu
tidak hanya terbatas pada makna-makna lahiriah. Bahasa wahyu adalah
sebuah bahasa isyarat dan simbol yang memiliki indikasi-indikasi
berlapis-lapis.
269 Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, metode ke-10, pasal ke-21-22.
p:211
Dengan beberapa alasan dan bukti, bahasa wahyu tidak sesuai dengan
bahasa para urafa:
a. Wahyu sendiri tidak memaparkan bahasa dirinya dalam proses
penurunan (tanzîl) dan takwil seperti dipaparkan oleh para
urafa.Al-Qur’an senantiasa menekankan bahwa bahasanya adalah
bahasa yang mudah dipahami. Para nabi pun berbicara dengan
menggunakan bahasa kaum mereka supaya seluruh ajaran mereka
dapat dipahami dengan baik.
Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan
bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan
terang kepada mereka (QS. Ibrahim [14]: 4).
Karena alasan ini, banyak ayat Al-Qur’an yang menekankan
bahwa bahasa Al-Qur’an adalah Bahasa Arab yang jelas. Di antara
ayat-ayat itu adalah sebagai berikut ini:
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (QS. Yusuf [12]: 2).
Allamah Thabathabai berkenaan dengan masalah ini menulis:
Al-Qur’an mulia yang juga termasuk dalam klasifikasi ucapan,
tidak ubahnya seperti ucapan masyarakat umum, menyingkap
makna yang ia inginkan. Indikasi Al-Qur’an tidak pernah
samar. Dalil eksternal juga tidak ada yang dapat membuktikan
bahwa maksud Al-Qur’an adalah selain arti literal yang dapat
dipahami dari Bahasa Arabnya itu. Mengapa indikasi Al-Qur’an
tidak pernah samar? Alasannya, jika seseorang mengenal
Bahasa Arab, ia akan dapat memahami makna ayat-ayat Al
p:212
Bahasa Agama dan Irfan
Qur’an secara jelas, sebagaimana ia juga dapat memahami arti
ungkapan-ungkapan Bahasa Arab yang lain.(1)
b. Tidak seorang pun dari Muslimin yang pernah hidup pada masa
permulaan Islam menghadapi persoalan dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam beberapa kesempatan, mereka
memanfaatkan ayat-ayat tersebut dan menjadikannya sebagai
sandaran. Para mufasirin yang hidup pada masa itu hanyalah
menjelaskan sebagai makna kata yang terdapat dalam suatu ayat
dan menerangkan sebab turun suatu ayat. Pada masa khilafah
para khalifah yang merupakan masa penyalinan naskah Al-Qur’an
dalam jumlah yang banyak dan mengirimkannya ke berbagai
penjuru negara Islam, mereka menganggap bahwa teks Al-Qur’an
sudah cukup untuk memahami maksud wahyu dan tidak perlu
disertai dengan penafsiran dan penjelasan.
c. Agama Islam adalah sebuah agama rasional yang menyandarkan
seluruh ajarannya kepada akal. Umat manusia diwajibkan supaya
menerima kandungan dan ajaran agama dengan jalan memahami
dan melalui jalan akal. Konsep ini terus berlanjut hingga
sampai-sampai mukjizat hanya digunakan sebagai sarana untuk
membuktikan kebenaran klaim kenabian. Kandungan dakwah
Islam hanya harus diterima melalui jalan akal. Para ulama Islam
pun menekankan bahwa beragama tanpa argumentasi adalah
sebuah tindakan yang tidak benar dan tidak diterima.(2)
Al-Qur’an yang mulia senantiasa mengecam taklid buta dan
mengajak umat manusia supaya melakukan pertimbangan dan
lalu menentukan pilihan. Karena masalah sangat gamblang dan
supaya pembahasan kita tidak terlalu bertele-tele, kami tidak
akan menyebutkan bukti-bukti untuk itu pada kesempatan ini.
Rasionalitas adalah salah satu kebanggaan agama Islam. Oleh
p:213
karena itu, bahasa wahyu harus disusun dan dibentuk sedemikian
rupa sehingga bisa dipahami dan direnungkan oleh seluruh
umat manusia dan di seluruh masa. Karena alasan ini, Ibn Sina
menekankan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah sebuah bahasa yang
jelas dan tegas.(1)
d. Al-Qur’an mulia menjadikan seluruh umat manusia, sekalipun
orang-orang yang kafir dan musyrik, sebagai lawan bicara dan
mengajukan argumentasi untuk seluruh mereka. Al-Qur’an
meminta supaya mereka mere-nungkan dan memikirkan ayatayatnya.
Sampai-sampai kitab ini meminta dari mereka supaya
membuat sebuah kitab lain seperti Al-Qur’an apabila mereka
mampu. Seluruh bukti ini menunjukkan bahasa Al-Qur’an adalah
sebuah bahasa biasa dan bisa dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat. Jika tidak demikian, mengajak umat manusia untuk
merenungkannya dan menjadikan mereka sebagai lawan bicara
adalah sebuah tindakan yang tidak logis. Tidak ada dalil dan bukti
yang dapat membuktikan bahwa bahasa Al-Qur’an adalah sebuah
bahasa yang luar biasa. Pada penutup pembahasan ini, kami akan
menjelaskan dua poin yang mungkin dapat menimbulkan kritik
sehubungan dengan bahasa Al-Qur’an: pertama, masalah takwil;
dan kedua, keberadaan ayat-ayat mutasyâbih.
Berenaan dengan ayat-ayat mutasyâbih, sepertinya tidak satu
ayat khusus pun dalam Al-Qur’an yang tidak dapat dipahami oleh
seluruh Muslimin. Menurut keyakinan sebagian ahli tafsir, ayat-ayat
mutasyâbih hanya terjelma dalam huruf-huruf muqaththa‘ah yang
terdapat pada permulaan sebagian surah Al-Qur’an. Tetapi, Allamah
Thabathabai menganggap, pendapat ini tidak benar,(2) dan menurut hemat kami, pendapat ini juga tidak benar. Dengan demikian, ayat-ayat
mutasyâbih juga harus memiliki makna dan takwil. Hanya saja, ayat-
p:214
ayat ini dapat dipahami dengan merujukkannya kepada ayat-ayat yang
lain. Artinya, ayat-ayat ini dapat dijelaskan melalui perantara wahyu
dan ilmu Ilahi. Kita dapat memahami ayat-ayat mutasyâbih dengan
cara merujukkannya kepada ayat-ayat yang jelas dan tegas (muhkam).
Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa kita tidak pernah
memiliki satu ayat pun yang maksud sejatinya tidak dapat dipahami.
Ayat-ayat Al-Qur’an ada kalanya dapat dipahami tanpa melalui
perantara apa pun, seperti ayat-ayat muhkam, dan ada kalanya dapat
dipahami dengan melalui sebuah perantara ayat yang lain, seperti ayatayat
mutasyâbih. Sehubungan dengan huruf-huruf muqaththa‘ah yang
terdapat di permulaan sebagian surah Al-Qur’an, huruf-huruf ini tidak
memiliki indikasi literal. Karena itu, seluruh huruf tidak termasuk
dalam klasifikasi ayat-ayat muhkam dan mutasyâbih.(1)
Dengan semua penjelasan ini, dari kata mutasyâih dalam Al-Qur’an,
konsep tanzîl dan takwil irfani tidak dapat disimpulkan. Sehubungan
dengan takwil, Allamah Thabathabai menulis sebagai berikut:
Kita memiliki sepuluh pendapat tentang arti takwil. Tetapi, hanya
terdapat dua pendapat yang lebih masyhur dibandingkan dengan
pendapat-pendapat yang lain:
(a) Pendapat para ulama terdahulu. Menurut keyakinan mereka,
takwil adalah sinonim dengan tafsir (arti sebuah ucapan).
Berdasarkan pendapat ini, seluruh ayat Al-Qur’an pasti
memiliki takwil. Tetapi, karena penegasan ayat yang berbunyi,
‘Dan tidak seorang pun mengetahui takwilnya kecuali Allah,’
tidak seorang pun mengetahui takwil ayat-ayat mutasyâbih
secara khusus kecuali Allah. Sekelompok ulama terdahulu
berkeyakinan bahwa ayat-ayat mutasyâbih Al-Qur’an adalah
huruf-huruf muqaththa‘ah yang terdapat di permulaan
sebagian surah Al-Qur’an. Alasannya, dalam Al-Qur’an yang
mulia, tidak ada satu pun ayat yang artinya tidak dapat dipahami
p:215
oleh seluruh masyarakat kecuali huruf-huruf muqaththa‘ah
tersebut. Tetapi, kami telah menjelaskan kebatilan pendapat
ini pada pasal-pasal terdahulu.
Biar bagaimanapun, menilik beberapa alasan: pertama,
Al-Qur’an menyatakan bahwa selain Allah tidak mengetahui
takwil sebagian ayat Al-Qur’an; kedua, tidak ada satu ayat Al-
Qur’an pun yang takwilnya tidak dapat dipahami oleh seluruh
masyarakat; ketiga, huruf-huruf muqaththa‘ah yang terdapat di
permulaan sebagian surah tidak dapat dianggap sebagai ayatayat
mutasyâbih, pendapat tersebut adalah sebuah pendapat
yang batil di kalangan ulama masa kini dan telah diabaikan.
(b) Pendapat para ulama masa kini. Menurut pendapat mereka,
takwil adalah sebuah arti di balik arti lahiriah yang diinginkan
dari sebuah ucapan. Berdasarkan pendapat ini, seluruh ayat Al-
Qur’an tidak memiliki takwil dan hanya ayat-ayat mutasyâbih
yang memiliki takwil (sebuah arti di balik arti lahiriah). Tidak
seorang pun mengetahui takwil ini. Sebagai contoh, ayat-ayat
yang menggambarkan anggota tubuh, datang, duduk, rela,
marah, sedih, dan bentuk-bentuk materi yang lain bagi Allah
Swt Begitu pula ayat-ayat yang menisbahkan maksiat kepada
para malaikat dan nabi yang maksum. Pendapat secara praktis
sudah sedemikian mendominasi sehingga untuk sementara
ini takwil; yakni arti yang bertentangan dengan arti lahiriah,
menjadi sebuah hakikat kedua bagi sebuah kata. Penakwilan
ayat-ayat Al-Qur’an dalam pertikaian-pertikaian teologis
dengan cara mengartikannya berbeda dengan arti lahiriah
karena sebuah dalil, atas nama takwil, menjadi sebuah metode
yang sangat dominan. Padahal, metode ini masih belum bersih
dari kontradiksi.(1)
p:216
Menurut hemat kami, pendapat ini juga tidak benar. Alasannya
adalah beberapa hal berikut ini:
Pertama, dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang secara
tegas menyatakan bahwa takwil tidak hanya dikhususkan untuk ayatayat
mutasyâbih.(1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang lain juga memiliki takwil;
kedua, takwil dengan arti yang telah disebutkan oleh para ulama masa
kini; yakni arti yang bertentangan dengan arti lahiriah ayat, tidak sesuai
dengan rasionalitas dakwah Islam dan kefasihan (balâghah) Al-Qur’an;
ketiga, menilik penggunaan kosakata takwil yang beraneka ragam dalam
Al-Qur’an, kata ini lebih banyak berarti instanta, motivasi, dan hasil,
bukan arti yang bertentangan dengan arti lahiriah ayat. Sebagaimana
kosakata mutasyâbih, kosakata ini digunakan dalam Al-Qur’an dalam
arti yang bermacam-macam.
Takwil untuk setiap ayat mutasyâbih harus disesuaikan
dengan kandungan ayat itu sendiri. Berikut ini beberapa arti untuk
mutasyâbih:
a) Mutasyâbih berarti serupa dan pengulangan, seperti ayat-ayat yang
disebutkan secara berulang-ulang, ritme-ritme akhir setiap ayat,
kandungan-kandungan Al-Qur’an, atau kandungan dan ajaran
Al-Qur’an yang disebutkan secara berulang-ulang. Semua ini
disebutkan dalam buku-buku yang pernah ditulis oleh para ulama
terdahulu. Menurut hemat kami, maksud ayat-ayat mutasyâbih
adalah ajaran dan kandungan-kandungan yang secara lahiriah
hampir serupa dan disebutkan secara berulang-ulang tersebut.
Motivasi dan hasil pengulangan itu hanya diketahui oleh Allah,
meskipun Anda tidak mengetahuinya. Arti takwil adalah motivasi
dan hasil, bukan sebuah makna dan arti.
b) Maksud ayat mutasyâbih adalah ayat yang instanta riilnya
di alam nyata tidak diketahui, dan maksud takwil adalah
mengetahui semua instanta itu. Hal ini telah disinggung dalam
surah Yunus, ayat 39. Kadang-kadang maksud dari mutasyâbih
p:217
adalah rahasia seluruh perumpamaan dan kisah yang disebutkan
dalam Al-Qur’an tidak diketahui, seperti perumpamaan dengan
seekor lalat. Orang-orang kafir sering mempertanyakan apakah
maksud Allah dari perum-pamaan semacam itu?(1)
Sangat menarik sekali, dalam ayat yang memuat nyamuk
sebagai perumpamaan dan dalam ayat yang memuat ayat-ayat
muhkam dan mutasyâbih ditekankan bahwa kita harus menerima
ayat-ayat mutasyâbih(2) ini juga berasal dari Allah? Apakah maksud
penegasan “berasal dari Allah” ini?
Penegasan “berasal dari Allah” ini adalah sebuah jawaban bagi
usaha penyesatan dan pembakaran fitnah yang sering dilakukan
oleh para penentang Islam dan kaum munafikin. Mereka berusaha
menghina ayat-ayat Ilahi dengan berbagai macam alasan, seperti
ayatayat itu terkesan disebutkan secara berulang-ulang atau tidak
penting. Dengan jalan ini, mereka berusaha menyesatkan masyarakat.
Ketahuilah, jika bahasa Al-Qur’an ditelaah tanpa ada unsur
fanatisme dan penghukuman sebelumnya, dapat dipahami bahwa
bahasa itu tidak sejalan dengan takwil-takwil yang diyakini oleh kaum
sufi. Jika kita mau bersikap objektif, kaum sufi dalam masalah takwil
telah bertindak terlalu berlebihan. Allamah Thabathabai menulis:
Sekelompok lain para filosof yang kaum sufi juga termasuk dalam
kelompok ini meninggalkan tanzîl; yakni lahiriah Al-Qur’an, dan
hanya memperhatikan takwil. Faktor yang mendorong mereka
bertindak demikian adalah mereka senantiasa menyibukkan
diri dengan perenungan dan perjalanan dalam sisi batin alam
penciptaan, hanya memperhatikan ayat-ayat anfusî, dan tidak
memperhatikan alam lahir dan ayat-ayat âfâqî. Tindakan ini
mendorong masyarakat luas untuk berani menakwilkan ayat-
p:218
ayat Al-Qur’an. Mereka tidak mengenal batas untuk itu. Setiap
orang mengutara-kan apa yang diinginkan oleh hatinya. Mereka
menyusun syair-syair yang hanya memiliki realita di dunia khayal
dan mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan bersandarkan
kepadanya. Ringkas kata, mereka menjadikan segala sesuatu
sebagai dalil untuk membuktikan setiap sesuatu.
Sangat jelas sekali, Al-Qur’an tidak turun hanya dengan tujuan
untuk memberikan hidayah kepada kaum sufi pengkhayal.”(1)
p:219
p:220
Bab 10
Kesimpulan dan Apendixs
Kita telah menuntaskan pembahasan tentang korelasi antara
agama dan irfan dengan cara mengomparasikannya. Kami juga ingin
memaparkan kesimpulan dan pembahasan tambahan. Dari satu sisi,
hal ini adalah kesimpulan yang telah lalu, dan dari sisi lain merupakan
pembahasan baru yang belum diterangkan sebelumnya.
Kita memiliki lebih dari seribu definisi tentang irfan.(1) Sebagian
definisi itu diutarakan berlandaskan pada perilaku dan akhlak kaum
sufi. Abu Sa‘id Abul Khair berkata,
Tasawuf adalah Anda meletakkan seluruh angan-angan yang ada
di kepala Anda, memberikan seluruh apa yang ada di tangan Anda,
dan tidak berkeluh-kesah atas musibah yang sedang menimpa
Anda.”(2)
p:221
Ibnu Atha’ berkata, “Permulaan tasawuf adalah makrifat dan
penghujungnya adalah tauhid.”(1) Sebagian definisi tasawuf berdasarkan,
syair, dan suluk. Abu Muhammad Ruwaim berkata:
Tauhid hakiki (merupakan tujuan tasawuf) adalah Anda harus fana
dalam menghamba kepada-Nya. Anda harus fana dalam kesetiaan
kepada-Nya dari pengkhianatan diri Anda, sehingga Anda
menjadi fana secara total.(2)
Kelompok ketiga dalam definisi irfan disesuaikan dengan kondisi
lawan bicara atau kondisi arif sendiri. Sebagai contoh, apabila lawan bicara
seseorang yang mencintai kedudukan, syaikh akan menegaskan bahwa
tasawuf adalah meninggalkan keinginan pangkat dan kedudukan.
Apabila seorang arif sudah sampai ke maqam tawakal, ia akan menegaskan
bahwa tasawuf adalah tawakal dalam setiap urusan.
Ibn Sina adalah seorang filosof dan ahli logika. Meskipun demikian,
ia memaparkan definisi irfan dengan berlandaskan pada sekumpulan
amal, akhlak, perilaku, tujuan, dan hasil ajaran irfan. Ia berkata,
Irfan dimulai dengan memisahkan diri dari seluruh jenis kesibukan
duniawi, dilanjutkan dengan menolak dan mengusir seluruh jenis
mâ siwâ, dan berujung kepada menyucikan diri dari diri sendiri,
mengorbankan dan memfanakan diri sendiri, dan menggapai
maqam jam‘ yang merupakan maqam kepemilikan seluruh sifat
Dzat Yang Maha Haqq, demi sebuah Dzat yang senantiasa disertai
oleh kebenaran kehendak. Ketika itu, dengan cara berakhlak
dengan akhlak Rubûbiyyah, menggapai hakikat yang tunggal, dan
lantas wuqûf (berhenti di suatu titik), irfan akan sampai kepada
tingkat kesempurnaan.”(3)
p:222
Kesimpulan dan Apendiks
Pada abad VI H, perdebatan teologis dari satu sisi, dan diskusidiskusi
irfani yang kemudian dikenal dengan terminologi “irfan
teoritis” dan sebagai ganti dari aliran filsafat memperoleh penentangan
yang sangat keras dari sisi yang lain menjadi semakin meluas. Dari
semenjak abad ini, bermunculan beberapa definisi irfan yang seutuhnya
terpengaruh oleh pemikiran filsafat dan teologi. Sebagai contoh, definisi
yang pernah diajukan oleh Qaishari berikut ini:
Irfan adalah pengetahuan tentang Dzat Yang Maha Haqq Swt dari
sisi asmâ’, sifat-sifat, dan seluruh manifestasi-Nya, pengetahuan
tentang Sumber Utama alam semesta, ma‘ad, hakikat-hakikat
alam semesta, dan bagaimana seluruh hakikat kembali kepada
satu hakikat; yakni dzat tunggal yang dimiliki oleh Allah Swt,
dan pengetahuan tentang jalan suluk dan mujahadah guna
membebaskan jiwa kita dari ketercekikan dan keterjeratan dalam
lubang keterbatasan, lantas bergabung dengan Sumber Keberadaan
diri kita dan memiliki sifat kemutlakan dan universalitas.”(1)
Definisi ini berusaha menempatkan irfan pada tolok ukur ilmu
irfan; yakni substansi Dzat Yang Maha Haqq. Kami telah memaparkan
definisi irfan berdasarkan metode, tujuan, dan hasil yang diharapkan
dari ilmu ini. Irfan adalah sebuah aliran yang dapat mengantarkan
manusia kepada makrifat yang lebih tinggi dari makrifat biasa (yang
dimiliki oleh sebagian besar manusia), disertai dengan usaha untuk
melintasi bagian luar alam semesta yang berbilang dan nonprinsipal
ini menuju bagian dalam alam semesta yang tunggal dan prinsipal.
Dalam perjalanannya, irfan telah melalui beberapa periode dimulai
dari pertengahan abad ke-2 Hijriah hingga abad ke-7 Hijriah. Akhirnya,
setelah seluruh fondasi dan ajarannya telah menjadi kesepakatan kaum
arif terbentuk, irfan muncul sebagai sebuah ajaran di dunia Islam. Dalam
buku ini, kami telah memaparkan seluruh ajaran tersebut sembari
p:223
membandingkannya dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama
Islam. Dalam memaparkan persamaan dan perbedaan-perbedaan yang
ada, kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan diri dari
sikap fanatisme.
Kami juga berusaha menerangkan pemahaman agama, dan
menjadikan kaum agamis, Al-Qur’an, dan Sunah sebagai tolokukurnya.
Apabila kami memasuki pandangan yang dimiliki oleh sekte
dan mazhab-mazhab Islam yang lain, kami tidak mungkin melakukan
sebuah penilaian. Sebagai contoh, jika yang dibahas ihwal pandangan
aliran Batiniah atau kaum sufi, permasalahannya akan berbeda.
Jika ada yang bertanya, mengapa tidak memasukkan pandangan
kaum sufi ke dalam ajaran agama? Sedangkan secara praktis, kami telah
mendukung pandangan kelompok yang menentang aliran tasawuf?
Apakah ini tidak berarti membela salah satu pihak yang sedang
bertikai? Jawabannya, kami mengabaikan pandangan yang setuju
atau menentang aliran tasawuf. Tetapi, apabila dalam penelitian kami
sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa sebagai contoh Islam tidak
pernah mengajarkan konsep wahdat al-wujûd, kami secara praktis pasti
akan mendukung pandangan yang menentang aliran tasawuf. Perlu
diingat, dukungan ini bukanlah maksud dan tujuan asli kami, tetapi
hanya sebagai kesimpulan yang berhasil kami teliti.
Sedapat mungkin, kami meninjau tradisi pemahaman yang pernah
muncul di permulaan Islam sebagai sebuah indikasi lahiriah Al-Qur’an
dan Sunah. Kami tidak pernah mempedulikan orientasi, kesimpulan,
dan interpretasi-interpretasi yang pernah muncul pada abad-abad
setelah itu.
Akhirnya, jenis korelasi apakah yang terdapat antara agama dan
irfan? Sekali lagi ini adalah kesimpulan, sambil menilik pembahasan
yang telah lalu.
p:224
Jelas sekali, irfan memiliki sederet ajaran yang tidak pernah dilontarkan
oleh agama Islam dan agama ini juga tidak pernah mengajak umat
manusia untuk meyakininya. Di masa permulaan Islam, tidak seorang
sahabat pun menyinggung masalah tersebut. Sebagian ajaran itu malah
tidak pernah dikenal oleh para ulama dan kaum agamis sendiri yang
selalu menunjukkan pembelaan terhadap aliran irfan dan tasawuf.
Sebagai contoh, kami sebutkan tiga nama tokoh irfan dan tasawuf
yang masing-masing pernah hidup di paruh kedua abad V H.
Mereka adalah Ali bin Utsman Al-Hujwairi, Khajah Abdullah Anshari,
dan Muhammad Ghazali.(1) Kami juga akan menelaah apakah
mereka pernah memaparkan prinsip dasar tasawuf berikut ini atau
tidak?
Menurut konsep wahdat al-wujûd, alam semesta hanya memiliki satu
hakikat tidak lebih. Selain Hakikat Yang Tunggal, segala sesuatu yang
dianggap ada oleh mereka yang terhijabi adalah khayalan belaka. Inilah
hakikat tauhid yang diyakini oleh para urafa.
Sehubungan dengan konsep ini, Imam Ghazali tidak pernah mengutarakan
tentang tauhid seutuhnya yang bersifat teologis.(2) Hujwairi
pernah menyinggung perbedaan antara tauhid para urafa dan tauhid
dalam keyakinan agama. Tetapi, hal ini masih ambigu.(3)
Cinta kasih adalah salah satu prinsip dasar aliran tasawuf pada
periode sistematisasi dan kesempurnaan irfan. Prinsip ini tidak pernah
disinggung dalam buku Kasyf Al-Mahjûb. Bukan hanya kita tidak
p:225
akan pernah menemukan sebuah pasal dengan judul tersebut,
konsekuensi logis dan masalah-masalah yang ada dalam prinsip ini juga
tidak pernah dipaparkan di sela-sela pasal-pasal yang lain.
Imam Ghazali dalam rukun ke-4 buku Kimiyo-e Sa‘odat
mengkhususkan pasal ke-9 dengan pembahasan cinta kasih. Tetapi,
pembahasan yang ia utarakan lebih memiliki corak rasional daripada
irfan. Buku-buku hasil karya tulis Ahmad Ghazali, ‘Ainul Qudhat,
‘Aththar, dan Maulawi banyak memaparkan masalah cinta. Sedangkan
Imam Ghazali tidak pernah memaparkan pembahasan cinta seperti
mereka.
Imam Ghazali tidak meyakini prinsip cinta sebagai realita
substansial yang mendominasi seluruh alam semesta. Analisis yang
pernah ia lontarkan adalah diri, mencintai diri sendiri, atau paling
tidak pengetahuan yang kita miliki. Padahal, prinsip cinta dalam
bukubuku karya tulis para urafa setelah itu adalah sebuah kedudukan
yang lebih tinggi daripada semua itu.
Mengapa Hujwairi tidak pernah memaparkan masalah cinta? Dan
mengapa Imam Ghazali hanya menerangkan cinta secara sederhana
dan dangkal? Mungkin alasannya: Pertama, mungkin pengungkapan
dan pengalaman yang mereka miliki hanya terbatas pada batasan itu;
Kedua, para penentang aliran tasawuf tidak setuju dengan kosa-kata
cinta berkenaan dengan hubungan antara manusia dan Allah. Oleh
karena itu, di permulaan pembahasaan, Imam Ghazali membenarkan
keabsahan penggunaan kosa kata cinta.(1)
Dalam ajaran tasawuf, fana adalah tujuan akhir syair dan suluk. Di
samping itu, fana termasuk salah satu dasar ajaran tasawuf dan irfan.
Al-Hujwairî membuka sebuah pasal khusus tentang pembahasan fana
dan keabadian. Ia tidak menerima bahwa fana berarti kefanaan sebuah
p:226
substansi. Menurut pandangannya, fana yang benar adalah kefanaan
sifat-sifat.(1)
Dalam buku Kimiyo-e Sa‘odat, Imam Ghazali tidak pernah
membuka sebuah pasal dengan judul fana. Pada rukun ke-4, ia
membahas kematian sesuai pembahasan biasa yang lumrah dibahas
dalam ajaran agama, dan tidak memiliki hubungan dengan konsep
fana dalam ajaran tasawuf sama sekali.
Salah satu tujuan ajaran irfan adalah mencapai makrifat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan makrifat biasa. Hujwairi membuka
sebuah pasal yang terperinci tentang pembahasan “makrifat”. Tetapi,
dalam pasal ini tidak terdapat pembahasan makrifat intuitif. Ia lebih
banyak menitik-beratkan pembahasan teologis dengan faktor dan sebab
sebuah makrifat.(2) Imam Ghazali tidak menyinggung masalah ini
dalam buku Kimiyo-e Sa‘odat. Ia memaparkan pembahasan makrifat
tentang Dzat Yang Maha Haqq dalam prolog dan macam-macam ilmu
pengetahuan dalam rukun ke-1 secara sangat sederhana.
Khajah Abdullah Anshari dalam beberapa risalah yang pernah ia
tulis memaparkan jenis khusus makrifat. Tetapi, pembahasannya
tidak sistematis dan kurang mendalam. Semua membuktikan bahwa
masalah tersebut tidak dikupas dalam teks keislaman. Jika tidak, niscaya
kaum agamis yang hidup di abad-abad permulaan masa Islam
pasti mengetahuinya. Terdapat korelasi antara ajaran urafa dengan
NeoPlatonisme, agama kuno di India, ajaran para filosof Yunani kuno,
Persia kuno, dan para urafa Kristen. Realita ini tidak diragukan lagi
oleh seorang peneliti yang objektif. Kami tidak akan memaparkannya.
Anda dapat merujuk kepada buku-buku yang pernah ditulis oleh para
peneliti.(3)
p:227
Perlu kami ingatkan dua hal penting berikut ini: Pertama, tasawuf
tidak boleh dianggap sebagai bagian dari ajaran mazhab Syiah; kedua,
dalam rangka membela aliran tasawuf dan membandingkannya dengan
ajaran Islam, kita tidak boleh terperangkap ke jurang kerancuan
signifikasi (dalâlah) dan tindak penyesuaian kandungan (tathbîq).
Tasawuf tidak boleh dianggap sebagai bagian dari ajaran mazhab
Syiah. Ini adalah sebuah realita yang didukung oleh setiap peneliti yang
berpikiran objektif. Alasannya:
a. Kemunculan, perkembangan, dan proses kesempurnaan ajaran
irfan dan tasawuf terjadi dalam lingkungan mazhab Ahli Sunah.
Para syaikh, pendiri, dan penyebar aliran ini, dimulai dari Junaid,
Bayazid, Syibli, dan Hallaj hingga Qusyairi, Kalabadi, Sarraj, Imam
Ghazali, Ibnu Arabi, Maulawi, dan tokoh-tokoh yang lain, seluruh
mereka menganut mazhab Ahli Sunah.
b. Jika salah satu konsep tasawuf; yakni konsep quthb, serupa dengan
konsep imâmah dalam ajaran Syiah sebagaimana diklaim oleh
Ahmad Amîn dan Ibn Khaldun, maka puluhan masalah tasawuf
yang lain tidak memiliki keserupaan sama sekali dengan ajaran
mazhab Syiah. Sebagai contoh, wahdat al-wujûd, fana, wilâyah dan
kenabian, kepamungkasan khilafah, riyadhah, cinta, rahasia, dan
ajaran-ajaran yang lain.
c. Ajaran-ajaran tasawuf dalam konsep quthb, pengajaran, ajaran
lahiriah, batiniah, dan lain sebagainya lebih banyak serupa dengan
aliran Syiah Batiniah dan mazhab Syiah Isma’iliyyah, bukan mazhab
Syiah Itsna ‘Asyariyyah. Secara kebetulan, kemunculan aliran
batiniah dalam mazhab Syiah berbarengan dengan kemunculan
aliran tasawuf dalam mazhab Ahli Sunah.
Kedua fenomena ini muncul pada abad ke-2 Hijriah. Atas
dasar ini, sebagai ganti dari klaim yang menyatakan bahwa aliran
batiniah Syiah berasal dari aliran tasawuf atau aliran tasawuf
berasal dari aliran batiniah Syiah, sebaiknya kita menemukan
sebuah sumber yang menyebabkan kemunculan kedua fenomena
p:228
itu. Dapat dipastikan, terdapat faktor dan peristiwa-peristiwa yang
terjadi kala itu. Faktor dan peristiwa itu muncul sebagai aliran
batiniah dalam mazhab Syiah dan sebagai aliran tasawuf dalam
mazhab Ahli Sunah. Kita harus meneliti apakah faktor itu dan
apakah peristiwa tersebut?
Kita tidak boleh rancu signifikasi (dalâlah) dan tindak penyesuaian
kandungan (tathbîq). Dua masalah ini sangat berbeda. Indikasi
teks-teks keislaman (Al-Qur’an dan Sunah) terhadap suatu masalah
berbeda dengan tindak penyesuaian suatu masalah dengan teks-teks
tersebut. Para urafa telah berusaha menyesuaikan kandungan ratusan
ayat dan hadis dengan ajaran-ajaran mereka. Pada hakikatnya, tindakan
ini hanyalah sebuah upaya penyesuaian kandungan teks terhadap
sebuah ajaran, bukan indikasi teks terhadap ajaran tersebut. Ayat dan
hadis-hadis tersebut tidak pernah mengindikasikan ajaran yang ingin
diterapkan oleh para urafa. Masalah ini tidak ubahnya seperti tindakan
aliran Komunisme yang berusaha menghapuskan hak milik pribadi.
Setelah aliran ini muncul, sebagian Muslimin yang memiliki kecondongan
terhadap aliran tersebut berusaha menyesuaikan kandungan sebagian
teks agama, seperti ayat yang menegaskan, “Hanya bagi-Nya-lah kerajaan
seluruh langit dan bumi,” dan ayat-ayat yang lain, dengan konsep
Komunisme itu. Mereka selalu mengatakan bahwa Islam tidak pernah
mengakui keberadaan hak milik pribadi. Seluruh hak milik hanya
dimiliki oleh Allah.
Ini adalah sebuah usaha penyesuaian kandungan teks, bukan
indikasi teks. Jika aliran Komunisme tidak pernah muncul ke permukaan
dunia dan sebagian Muslimin tidak memiliki kecondongan
kepadanya, niscaya mereka tidak pernah menyimpulkan keyakinan
Komunisme tentang hak milik dari ayat tersebut. Tasawuf dan irfan
juga demikian. Jika ajaran tasawuf tentang konsep wahdat al-wujûd
dan fana tidak ada, niscaya tidak seorang pun dapat memahami
kedua konsep itu. Mari kita simak ayat yang menegaskan, “Dia-lah
p:229
yang awal, yang akhir, yang lahir, dan yang batin,” dan ayat lain yang
menyatakan: “Seluruh manusia yang ada di atas bumi ini pasti fana.”
Begitu pula tentang takwil dan tindak-tindak penyesuaian yang lain.
Semenjak dahulu kala, umat manusia memahami bahwa alam semesta
memiliki dua sisi. Pertama, sisi luar merupakan sisi keberbilangan, tidak
hakiki, tidak permanen nan abadi, dan penuh tipuan; Kedua, sisi dalam
adalah sisi ketunggalan, prinsipalitas, permanen, dan hakiki. Dalam
pandangan aliran-aliran pemikiran yang dipengaruhi oleh Pythagoras,
alam semesta yang tampak adalah alam yang bohong, penipu, dan
sebuah ufuk yang kelam. Di alam ini, cercahan cahaya Ilahi terpecahbelah.
Negeri India terlebih dahulu mengenal corak pemikiran semacam
ini, atau paling tidak termasuk salah satu negeri yang memiliki
corak pemikiran tersebut secara tertulis dari peradaban kuno. Dalam
ajaran Upanishad, alam semesta yang berubah-ubah beserta seluruh
fenomenanya adalah “Maya”. “Maya” berarti alam khayal. Hakikat alam
semesta yang gaib adalah “Brahman”. Segala sesuatu selain “Brahman”
hanyalah fatamorgana dan khayalan belaka.(2)
Konsep tersebut terdapat juga dalam aliran pemikiran
NeoPlatonisme. Di dunia Islam, konsep pemikiran ini muncul dalam
bentuk aliran tasawuf dan irfan. Mereka meyakini bahwa tasawuf dan
irfan adalah agama Islam itu sendiri. Seluruh dasar dan ajarannya
termaktub dan tersusun dalam Al-Qur’an dan Sunah, pandangan ini
sungguh keliru. Irfan bukan tidak memiliki korelasi dengan agama Islam,
bahkan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama Yahudi
dan Kristen. Orientasi semacam ini memiliki masa lalu historikal dan
tersebar luas secara goegrafis melebihi dan melampaui agama- agama
yang secara resmi tersebar di dunia.
p:230
Setelah pembahasan panjang tentang korelasi antara irfan dan
agama, Stice meyakini, irfan adalah sebuah ajaran yang terpisah dari
agama. Menurut keyakinannya, bahasa setiap agama adalah bahasa
yang mengungkapkan pengalaman-pengalaman irfani yang dimiliki
oleh para urafa yang menganut suatu agama. Ia menulis:
Biasanya, dalam setiap kebudayaan, setiap arif akan mengungkapkan
seluruh pengalaman dirinya sesuai dengan agama yang
tumbuh berkembang dalam pangkuannya.
Stice melanjutkan:
Sebagai ganti dari pertanyaan yang mempertanyakan, ‘Apakah
irfan secara substansial bersifat agamis?’ Kita dapat membalik
pertanyaan, ‘Apakah seluruh agama secara substansial bersifat
irfani?’ Hal ini karena sumber dan tolok ukur seluruh agama
adalah pengalaman illuminasi (isyrâq). Tetapi, seperti ditegaskan
oleh Prof. E. A. Burtt, irfan merupakan bagian terpenting agamaagama
di India hanyalah sepotong urat yang sangat tipis dalam
ajaran agama Kristen dan Islam.”
Dalam kelanjutan pembahasan tentang korelasi antara irfan
dan agama Kristen, berikut irfan dan agama-agama yang lain, Stice
berkesimpulan:
Kesimpulan umum korelasi antara irfan dari satu sisi dan
seluruh agama yang resmi (Kristen, Budha, dan agama-agama
yang lain) dari sisi lain adalah irfan terpisah dari seluruh agama.
Artinya, tanpa keberadaan agama sekalipun, irfan masih bisa
eksis.”(1)
p:231
Mereka yang ahli dalam bidang pandangan dunia dan ontologi
biasanya diklasifikasikan ke dalam empat golongan: teolog, filosof,
filosof Illuminatif (isyrâqîyyûn), dan urafa.
Dalam klasifikasi ini, perbedaan antara teolog dan filosof,
berikut antara kedua golongan ini dengan para filosof aliran filsafat
Illuminatif dan urafa sangat jelas. Para teolog terikat dengan agama.
Para filosof mengandalkan cara berpikir rasional dan bebas dari setiap
keterikatan guna mencapai sebuah tujuan dan premis khusus. Para
filosof Illuminatif dan urafa bersandarkan pada riyadhah dan suluk
guna mencapai makrifat intuitif. Lalu, apakah perbedaan kedua
golongan tersebut? Hal ini masih menjadi perdebatan. Sebagian tokoh
membedakan para filosof Illuminatif dari golongan urafa karena para
filosof Illuminatif berpegang kepada akal dan intuisi.(1) Tetapi, menurut
keyakinan sebagian tokoh seperti Mir Sayyid Syarif Jurjânî, para filosof
Illuminatif tidak terikat dengan agama khusus, sedangkan para urafa
terikat dengan agama tertentu.(2)
Menurut hemat kami, filsafat Illuminatif dan irfan adalah satu.
Kedua ajaran ini tidak mengharuskan keterikatan dengan agama
tertentu. Filsafat Illuminatif, sebagaimana telah dilontarkan oleh
Syaikh Isyrâq, adalah sebuah ajaran hasil gabungan antara aliran
filsafat Peripatetik dan sebagian penemuan teori filosofis yang sudah
tercampuri oleh ajaran-ajaran para filosof Yunani, Persia kuno, dan
NeoPlatonisme. Tasawuf Islami juga terpengaruh oleh seluruh ajaran
ini. Atas dasar ini, jika kita membuang ajaran filsafat Peripatetik dari
filsafat Illuminatif, maka ajaran filsafat Illuminatif tidak memiliki
perbe-daan dengan ajaran tasawuf. Tetapi, perlu kita ingat ajaran
tasawuf pada periode Syaikh Isyrâq belum memiliki keteraturan dan
sistimatika yang sempurna.
Syaikh Isyrâq menamakan tasawuf dan irfan dengan nama “filsafat”.
Dengan tindakan ini, ia telah memproklamirkan independensi irfan
p:232
dan tasawuf dari agama. Dengan merujukkan tasawuf dan irfan kepada
beberapa sumber yang berasal dari Yunani dan Persia kuno, sebagai
ganti dari Al-Qur’an dan Sunah, pemisahan irfan (filsafat Illuminatif)
dari ruang lingkup agama telah semakin sempurna.(1)
Tindakan Suhrawardî dari satu sisi adalah reaksi terhadap kondisi
yang dominan pada masa ia hidup. Saat itu terjadi pemberangusan aliran
filsafat dan para filosof karena konflik serius politik khilafah Baghdad.
Hal ini telah berhasil menyiapkan lahan demi perkembangan teologi
dan irfan. Sebagai akibat natural dari fenomena tersebut, seluruh ajaran
dan kebutuhan filosofis manusia secara umum berpindah kepada ranah
diskusi teologis dan irfani. Syaikh Isyrâq adalah manifestasi nyata dan
perwakilan sebuah semangat zaman yang berusaha menggabungkan
antara filsafat dan irfan, atau usaha memfalsafahkan irfan sebagai
sebuah aliran filsafat khusus.
Perlu diingat, para urafa Persia, berbeda dengan para urafa Arab,
secara sengaja atau tidak sengaja, telah banyak membantu proses
pemisahan irfan dari agama dan pengurangan aroma keagamaan
dalam ajaran-ajarannya. Ibnu Arabi yang selalu dijunjung oleh para
urafa sebagai seorang arif yang menduduki puncak piramida irfan
Islami tidak pernah melupakan Al-Qur’an dan Sunah sekejap mata
pun dalam buku-buku yang pernah ia tulis. Ia selalu menyebutkan
ayat dan hadis dalam lembaran-lembaran karya tulisnya. Ia ingin
menyampaikan kepada masyarakat umum bahwa irfan adalah sebuah
ajaran yang tumbuh besar dalam pangkuan agama.
Sebagian urafa menganggap bahwa tindakan Ibnu Arabi adalah
sebuah tipu daya. Dengan cara itu, ia berusaha supaya terjauhkan dari
cercaan dan protes para ulama agama. Salah satu contoh tipu dayanya
yang lain adalah ia menamakan setiap pasal buku Fushûsh Al-Hikam
dengan nama salah satu dari nabi-nabi Allah.(2)
p:233
Menurut hemat kami, tindakan Ibnu Arabi bukanlah sebuah
tipu daya, tetapi sebuah warna dan metode. Aliran tasawuf para urafa
seperti Ibnu Arabimemiliki warna agama. Mereka berusaha untuk
melontarkan ajaran irfan dalam bingkai ajaran-ajaran agama.
Tetapi, urafa Persia, memandang tasawuf sebagai sebuah ajaran
tasawuf murni, bukan dalam bentuk ajaran agama Islam. Pemisahan
ini memiliki bentuk dan manifestasi yang beraneka ragam. Dimulai
dari adab dan amalan khusus para urafa (khalwat, suluk, zikir, dan
melakukan tarian tasawuf atau yang lebih dikenal dengan tarian
berputar—peny.), cara berpakaian dan tempat berkumpul (pakaian
lusuh dan pusat pertapaan), hingga orang-orang yang dijadikan
rujukan (syaikh dan mursyid). Karena pemisahan tersebut, para ulama
agama menganggap seluruh tindakan tersebut sebagai bid‘ah dan
bertentangan dengan ajaran agama.
Salah satu contoh bid‘ah paling halus adalah mengganti zikir lâ ilâha
illallâh atau zikir-zikir lain dengan bentuk puisi-puisi dua bait.(1) Para
ulama pernah mengadukan Syiakh Abu Sa‘id ke istana Ghaznaviyân.
Mereka mengatakan, Syaikh Abu Sa‘id dalam sebuah pertemuan tidak
pernah membaca tafsir Al-Qur’an dan tidak pula hadis Rasulullah Saw
Ia hanya membaca bait-bait puisi.(2)
Contoh yang lain, Ibnu Arabi dalam sebuah proses eksplorasi
spiritual (mukâsyafah) menerima dan meriwayatkan buku Fushûsh Al-
Hikam dari Rasulullah Saw.(3) Berbeda dengan Maulawî. Ia selalu memulai
makrifat irfaninya dengan kisah seruling bambu. Di permulaan puisipuisinya
ia selalu memulai dengan ungkapan, “Dengarkanlah suara
merdu seruling bambu ketika ia sedang berhikayat.” Ia tidak pernah
memulai keenam buku Masnavi-nya dengan nama Allah dan salawat
serta salam untuk Rasulullah Saw. Jelas, tindakan ini bertentangan
dengan tradisi para ulama agama yang sudah hebat, mungkin untuk
pertama dan terakhir kali dalam sejarah Islam.
p:234
Yang lebih menarik lagi, para urafa Muslim tidak mengharuskan
keimanan dan keyakinan yang benar hingga beberapa tingkatan syair
dan suluk.
Menilik pembahasan dan kesimpulan bahwa irfan adalah sebuah ajaran
yang terpisah dan sama sekali berbeda dari agama, kita menghadapi
sebuah pertanyaan penting. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana
masyarakat agama menghadapi ajaran irfan?
Apabila kita meyakini irfan adalah agama itu sendiri, kita memiliki
kewajiban untuk menyebarkannya. Tetapi, jika kita meyakini irfan
adalah sebuah ajaran yang terpisah dari agama dan bersifat terbuka dan
independen, apakah tugas kita sekarang?
Menurut hemat kami, penjelasannya sebagai berikut:
Kami meyakini, irfan adalah sebuah ajaran yang terpisah dari
agama. Meskipun demikian, kami tidak menentang upaya untuk
menyebarkan dan mendukung ajaran irfan. Bahkan, kami juga secara
serius mendukung setiap usaha penyebaran ajaran ini, dan kami malah
menganjurkan supaya para pemeluk agama dan masyarakat agamis
menyebarkan dan mendukung ajaran irfan.
Mengapa kami bersikap demikian? Argumentasi dan dalilnya
sebagai berikut:
Irfan adalah sebuah ajaran yang berada pada garis vertikal dengan
agama dan begitu pula dengan filsafat. Artinya, irfan tidak pernah
berusaha menafikan agama atau filsafat. Menurut ajaran irfan,
manusia dapat menggapai kesempurnaan dan makrifat melalui
jalan agama dan filsafat, ia juga dapat mencapai kesempurnaan
p:235
makrifat yang lebih tinggi melalui perantara irfan. Para urafa Muslim
menerima ranah kekuasaan syariat untuk masyarakat umum seperti
yang telah digariskan oleh agama Islam. Para urafa menegaskan,
selama manusia sadar, ia wajib mengikuti ketentuan syariat.
Mengapa demikian? Karena para urafa tidak pernah menganggap
syariat terpisah dari hakikat. Hubungan antara syariat dan hakikat
seperti hubungan antara forma dan makna atau antara lahir dan
batin.(1)
Seperti telah kami paparkan pada pembahasan yang lalu, jika
para urafa melontarkan kritik pedas kepada para zahid dan ulama
agama, kritik ini lantaran para urafa menginginkan para zahid dan
ulama tidak hanya membatasi agama dalam ruang lingkup lahiriah
seperti yang mereka pahami sendiri. Para urafa masih menerima
fungsi rasio dan akal dalam area filsafat dan ilmu-ilmu pengetahuan
resmi yang lain. Jika para urafa juga melontarkan kritik tajam kepada
para filosof dan ulama, kritik ini dilontarkan supaya para filosof tidak
membanggakan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dan juga tidak
menolak bahwa manusia masih dapat menemukan hakikat dan
pengetahuan yang lain.
Hujwairi, salah seorang penulis ajaran tasawuf terdahulu,
pernah menulis masalah ini, “Jika golongan (urafa) ingin meremehkan
orang yang bersama mereka, mereka menyebut orang itu
sebagai ‘ilmuwan’. Cercaan ini bukan karena untuk mendapatkan
ilmu, tetapi guna meninggalkan hubungan belaka.”(2)
Kita tidak peduli dengan seluruh jenis penyelewengan yang
pernah terjadi dalam ajaran irfan. Yang pasti, irfan dan tasawuf tidak
menentang agama dan tidak pula menolak rasio. Ajaran ini malah
mengakui bahwa manusia mampu mencapai derajat kesempurnaan
dan makrifat dalam bentuk yang lain.
Tidak selayaknya pula memandang pengakuan tersebut sebagai
sebuah kemungkinan belaka. Jika memang benar, kita yang tidak
p:236
mempedulikannya akan menderita kerugian besar. Seandainya pun
klaim itu salah, kita telah melakukan tugas yang memang diharuskan
oleh tindak hati-hati dan usaha memandang ke masa depan, dan kita
tidak layak memperoleh celaan.
Selalu merasa kurang dengan apa yang kita miliki adalah realitas hidup
sehari-hari. Jika Adam dan Hawa tenggelam dalam kenikmatan surga
dan tidak memakan buah terlarang, niscaya manusia tidak turun ke
muka bumi dan kita tidak perlu lagi bersusah-payah untuk bekerja dan
mengayunkan cangkul.(1)
Kita harus menanggung segala jenis susah-payah di dunia sebagai
balasan atas sikap lalai. Sekarang pun belum terlambat. Kita dapat
kembali ke tempat semula. Kita bisa menempati surga Ilahi dengan
menikmati seluruh kenikmatan-Nya yang tiada bertepi, tetapi kali ini
karena pahala atas ketaatan yang telah kita lakukan. Meskipun seluruh
kesempatan masih tersedia, ada sebagian orang yang masih lalai.
Sekalipun mereka tahu kebahagiaan ukhrawi lebih besar, mereka tetap
tidak mau tunduk.
Kita masih memiliki kesempatan untuk mencari dan menemukan
sebentuk hakikat yang lebih tinggi. Tetapi, ini bukanlah sebuah taklif.
Taklif kita adalah batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Hasil taklif adalah juga surga yang penuh kenikmatan. Tetapi, jika
seseorang menginginkan lebih dari itu, kenapa tidak? Mengapa ia tidak
menggunakan kesempatannya?
Seperti telah disinggung, itu bukanlah taklif. Agama Allah tidak
memerintahkan kita untuk melakukan semua itu. Tetapi, jika kita
menghendaki dan siap menanggung akibatnya, hal ini jelas sama
sekali bukan persoalan. Jika seseorang yakin bahwa naungan pohon
Thuba—pinggiran teduh telaga Kautsar, bidadari surga, istana megah,
p:237
dan minuman surgawi, semua adalah sesuatu yang baik, tetapi ia juga
meyakini bahwa sahabat yang setia adalah lebih baik dari segalanya,
tentunya ia tidak melakukan sebuah keburukan. Mengapa ia harus
dicerca dan jalannya ditutup?
Menurut keyakinan para urafa, seluruh alam semesta, berlandaskan
pada proses gerak menurun dan menaik, pastilah mencari akar asalusul
diri mereka, baik secara sadar maupun tidak sadar. Irfan mengajak
seluruh alam semesta untuk kembali kepada-Nya.
Di sepanjang sejarah, aliran irfan disukai oleh masyarakat melebihi
setiap aliran dan mazhab. Api kalbu manusia selalu menyala untuk
mencapai Allah Swt sumber dari segala hakikat, serta fana di dalam-
Nya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk memadamkan dan
meredam api cinta umat manusia untuk sampai kepada-Nya. Semerbak
wewangi ajaran irfan tercium oleh setiap umat dan kaum di segala
zaman, bahkan di tengah-tengah para penghuni padang sahara yang
serba terkucilkan dari setiap informasi dan berita.
Karena daya tarik inilah, di dunia Islam, dengan seluruh jenis
penenta-ngan, pengejaran, dan penganiayaan yang telah dilakukan,
api irfani bukannya malah padam, bahkan menyala lebih benderang
hari demi hari. Seandainya pun api ajaran ini telah padam di seluruh
penjuru alam semesta, api tersebut tidak boleh padam di negeri Persia,
negeri yang dikenal dengan negeri Ahuramuzda dan dipenuhi oleh
cinta dan pencerahan batin.
Ketahuilah, bangsa Persia memiliki hubungan samawi dengan
ajaran irfan. Hubungan ini terwujudkan dalam sebuah ayat Al-
Qur’an. Karena anugerah Ilahi, kami memperhatikan masalah dan
menyebutkannya untuk pertama kali di prolog buku Ob-e Tarabnok,
sebuah buku yang telah kami tulis guna mengklasifikasikan diwan syair
Hafizd secara tematis. Penjelasannya adalah berikut ini:
p:238
Berdasarkan penegasan Al-Qur’an yang menyatakan, “Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari
agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya,”(1) bangsa Persia
memiliki hubungan yang erat dengan ajaran cinta dan irfan. Dalam ayat
ini, Allah mengancam Muslimin yang hidup di masa permulaan Islam;
apabila mereka tidak setia terhadap Islam, Allah akan membimbing
kaum lain sebagai ganti dari mereka kepada agama itu. Allah mencintai
kaum tersebut dan mereka juga mencintai-Nya.
Dari satu sisi, ayat ini menjadi landasan para urafa Muslim untuk
membuktikan keabsahan ajaran cinta dan irfan. Ayat ini menjadi
sumber ilham bagi mereka. Dari sisi lain, para sahabat pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw tentang instanta ayat tersebut. Beliau
menepukkan tangan ke pundak Salman Farisi seraya bersabda, “Orang
ini dan kaumnya.” Yakni bangsa Persia.(2)
Berdasarkan hubungan yang penuh berkah ini, bangsa Persia masa
kini, sebagaimana Maulawi dan Hafizd masa kemarin, bukan hanya
jangan menentang ajaran irfan, bahkan mereka harus menjadi corong
utama ajaran cinta dan irfan tersebut. Mungkin karena berkat hubungan
ini, corak irfan Islami-Irani mengungguli seluruh bentuk dan corak irfan
yang ada di seantero jagad raya, bak keunggulan sinar matahari atas
bintang-gumintang. Ajaran-ajaran yang pernah dilontarkan oleh para
urafa Muslim, seperti konsep lahir dan batin, fana, intuisi, manifestasi,
cinta, keterpisahan, keberpaduan, dan lain sebagainya, tidak pernah
kita temukan terbahas secara sistematis dan teratur dalam aliran-aliran
irfan yang lain.
Tidak diragukan lagi, Maulawî kita pada masa kini termasuk salah
satu figur sejarah umat manusia yang paling pelik. Sastra dan teksteks
irfani kita juga tidak memiliki tandingan di seluruh dunia. Dari
Masnavi, buku demi buku, pasal demi pasal, kisah demi kisah, dan
p:239
baris demi barisnya meluapkan makrifat yang tidak terhingga. Akal dan
logika serta perasaan dan pengalaman tidak pernah mengizinkan kita
asing dari bangunan cinta yang kokoh dan tidak bertawaf di sekeliling
Ka‘bah kalbu.
Stice berkata:
Kami selalu menekankan, jika pengalaman irfani hanya dianggap
sebagai sebuah pengalaman rasional sekalipun, ajaran ini masih
sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Maksud kami
bukan hanya berhubungan dengan masa lalu. Hal ini juga untuk
dunia di masa mendatang. Jika irfan diperlakukan sebagaimana
mereka memperlakukan ajaran-ajaran yang berbau khurafat dan
aliran ini dilemahkan atau diberanguskan seandainya tidakan
semacam ini mungkin dilakukan, niscaya tindakan itu adalah
sebuah pengkhiatan besar dan musibah yang menyakitkan atas
umat manusia. Sangat besar kemungkinannya, insan kamil atau
manusia super di masa mendatang adalah seorang arif.”(1)
Irfan secara keseluruhan dan para urafa Muslim, sebelum aliran
aliran irfan yang lain dan lebih baik dibandingkan seluruh aliran
tersebut, dapat memiliki peran dalam pendidikan dan transendensi
umat manusia. Irfan adalah sebuah ajaran yang mengajarkan
keimanan, keikhlasan, cinta, semangat lebih memen-tingkan orang
lain, keberanian, keridhaan, kedermawanan, tatakrama, rendah
hati, kesalihan, kebebasan, ketulusan hati, kasih sayang, mencari
hakikat, memperhatikan keindahan, tidak peduli terhadap harta dan
kedudukan, dan membebaskan diri dari jeratan diri dan hawa nafsu
kepada para pengikutnya.
Dalam pangkuan irfanlah seluruh kesombongan, kenikmatan,
hijab, dan penjaga pintu lenyap. Para pembesar ajaran irfan tidak
p:240
melihat di alam semesta ini dan begitu pula dalam diri manusia
kecuali kebaikan dan keindahan. Mereka memandang orangorang
yang suka bermabuk-mabukan di tempat berjudi seperti
memandang orang-orang ahli masjid, dan senantiasa mengharapkan
kesempurnaan mereka. Kaum sufi pernah bertanya kepada seorang
syaikh: “Apakah para hamba Allah yang sejati harus berada dalam
masjid?” Ia menjawab: “Para hamba Allah yang sejati juga bisa
berada dalam tempat perjudian.”(1)
Para urafa yang telah terdidik dengan suluk irfani mencintai
seluruh tipe manusia. Mereka tidak pernah memata-matai orang lain.
Mereka tidak pernah memandang orang dengan kaca mata penghinaan.
Mereka memaafkan dan menutupi seluruh kesalahan orang lain.
Bukan hanya dunia, mereka juga tidak pernah mengharapkan apa
pun dari alam akhirat. Dengan kalbu halus yang terpenuhi oleh “jiwa
malaikat”, mereka menanggung seluruh cercaan dan penghinaan dunia
ini. Mereka selalu setia dan memenuhi janji. Mereka dicerca dan ridha
karena dalam tarekat mereka ditegaskan, “Orang yang sakit hati adalah
kafir.”
Karena hembusan angin sepoi, mereka dapat pingsan dan tidak
sadarkan diri. Mereka dapat memahami bahasa bunga teratai dan nasrin.
Mereka dapat mamaknai tangisan awan dan senyuman bunga. Mereka
mengambil energi dari kicauan burung Bulbul, kidungan seruling,
dan makna-makna yang indah. Tetapi, mereka tidak seperti binatangbinatang
lain yang hanya dapat menikmati hidangan berwarna-warni
dan suapan-suapan yang manis.
Karena kelapangan wujud yang dimiliki, seorang arif menyatu
dengan seluruh alam semesta dan manusia. Abul Hasan Al-Kharqânî
(wafat tahun 426 H.) pernah berkata:
Apabila jari salah seorang penduduk Turkistan hingga Syam
terkena duri, penderitaan itu adalah milikku. Begitu pula, apabila
p:241
kaki salah seorang penduduk Turkia hingga Syam terbentur batu,
maka penderitaannya adalah milikku. Jika sebuah hati tertimpa
sebuah kesedihan, kesedihan itu adalah milikku. Aku malah
pernah mengatakan, seandainya aku mati sebagai dari mereka
sehingga mereka tidak pernah melihat kematian. Oh, seandainya
hisab amal seluruh makhluk ditimpakan ke pundakku sehingga
mereka tidak perlu lagi dihisab pada Hari Kiamat. Oh, seandainya
siksa seluruh makhluk ditimpakan kapadaku sehingga mereka
tidak pernah melihat siksa dalam api neraka.”(1)
Irfan mengajak seluruh umat manusia supaya naik melakukan
mikraj ruhani; mikraj dari alam materi ke alam nonmateri, dari alam
fisik ke alam metafisik, dari alam jisim ke alam jiwa, dari makhluk ke
Dzat Yang Maha Haqq, dan dari titik nol ke titik yang tidak terbatas.
Inilah jalan irfan, jalan semua irfan di seluruh penjuru alam semesta.
Tetapi, dalam irfan Islami, tarekat sipritual dihiasi oleh syariat
rasul pamungkas. Irfan Islami memiliki kesucian yang tidak dapat
dibandingkan dengan ajaran-ajaran irfan yang lain.
Walau bagaimanapun, menurut hemat kami, irfan adalah sebuah
usaha agung manusia yang memiliki manfaat besar, tidak ubahnya
seperti filsafat, teologi, fisika, medis, astronomi, dan cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang lain. Meskipun seluruh ilmu pengetahuan
tersebut tidak termasuk salah satu taklif asli agama, tetapi kita
tidak boleh menghalangi manusia untuk memanfaatkan seluruh
kemampuannya karena agama dan atas nama agama. Kita tidak boleh
menghalangi mereka dari seluruh manfaat dan kesempurnaan yang
dapat digapai oleh usaha-usaha semacam itu.
Jika kita tidak dapat memuaskan diri dengan kehidupan hewani. Kita
juga tidak dapat menemukan rahasia alam semesta yang penuh dengan
p:242
simbol dan teka-teki tanpa ketenangan jiwa. Jika kita tidak bisa puas
dengan seluruh penemuan akal guna menjawab seluruh pertanyaan
yang kita hadapi, sudah pasti kita menghadapi dua jalan: pertama,
kita tersungkur ke jurang keputus-asaan. Konsekuensinya, kita harus
menempuh sisa umur dengan tenang, tetapi dibarengi dengan rasa
keputus-asaan. Dengan alasan ini, seluruh aktifitas akan berhenti;
Kedua, mencari jalan dan usulan yang lain. Selama seseorang masih
mencari jalan dan bergerak, ia pasti tidak akan pernah memenjarakan
diri dalam jeruji keputus-asaan.
Irfan adalah jalan kedua bagi mereka yang sudah atau sedang
menghadapi dua jalan.
Kita asumsikan, dua orang melakukan seluruh bentuk usaha dan
tindakan guna membebaskan diri dari kesusahan atau ingin meraih
keuntungan. Tetapi, akhirnya usaha mereka tidak membuahkan hasil.
Mereka lelah dan sedih, padahal sudah sekian tahun dari umur mereka
telah digunakan untuk itu dan tidak membuahkan hasil. Mereka duduk
berpangku tangan di sebuah pojokan ruangan.
Beberapa orang alim dan berpengalaman datang menghampiri
kedua orang itu guna menunjukkan sebuah jalan. Mereka menganjurkan
kedua orang tersebut untuk menempuh jalan yang menjanjikan
keberhasilan. Jalan ini bukanlah sebuah jalan yang sederhana, tetapi
sebuah jalan yang dipenuhi oleh kesulitan dan kesengsaraan.
Hanya satu orang dari kedua orang itu yang membulatkan tekad
menempuh jalan irfan. Orang kedua sembari menunjukkan keputusasaan
tetap berada di tempat semula dan tidak melakukan gerakan apa
pun dengan alasan dari mana aku tahu bahwa dengan menempuh jalan
tersebut aku akan berhasil.
Sikap dan tindakan manakah yang lebih logis dan lebih benar?
Tidak diragukan lagi, tindakan dan sikap yang terus memacu semangat
dan tidak berpangku tangan muncul dari sebuah sikap rasional dan
berani. Alasannya, ia tetap mempedulikan sebuah kemungkinan dan
usulan baru. Sekarang, jika ia berhasil mencapai kesuksesan, tentu ia
p:243
menjadi orang yang berhasil, dan orang kedua itu gagal. Seandainya
usaha itu tidak membuahkan hasil apa pun, ia ditinjau dari sisi hasil
tidak berbeda dengan orang kedua yang tidak melakukan usaha apa
pun. Tetapi, ditinjau dari sisi rasio dan logika, orang pertama masih
lebih mulia dibandingkan orang kedua. Alasannya, orang pertama
telah berusaha dan tidak mencapai keberhasilan. Sementara itu, orang
kedua tidak melakukan usaha apa pun. Orang pertama menginginkan
dan tidak mencapai keinginannya. Tetapi, orang kedua tidak pernah
menginginkan sama sekali.
Irfan, syair, dan suluk menghadapi banyak persoalan di tengah
masyarakat kita. Persoalan terpenting yang dihadapi ajaran irfan di
tengah-tengah masyarakat kita adalah sebagai berikut:
Irfan adalah hasil sebuah kebutuhan dan rasa ingin selalu memiliki
lebih banyak yang dimiliki oleh manusia. Selama manusia masih ada,
usaha untuk menembus sisi batin alam semesta akan selalu ada. Atas
dasar ini, para peneliti ahli berusaha menghubungkan irfan yang ada
di sebuah negeri dengan irfan yang ada negeri lain atau irfan yang
dimiliki oleh suatu kaum dengan irfan yang dimiliki oleh kaum yang
lain. Tetapi, usaha ini adalah benar apabila ditinjau dari satu sisi, pada
akhirnya irfan yang ada di sebuah daerah adalah hasil kreasi manusia
yang berdomisili di daerah tersebut. Tidak ubahnya seperti masalahmasalah
kehidupan yang lain dan seperti ilmu filsafat, mate-matika,
dan lain sebagainya.
Irfani Persia adalah hasil kreasi manusia yang hidup di negeri
Persia. Irfan Islami juga berhubungan dengan pemeluk agama Islam.
Sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya secara
praktis, ajaran irfan terpisah dari agama. Ketika ajaran ini muncul
p:244
di dunia Islam dan negeri Persia, ajaran irfan menuai protes dan
penentangan yang serius dari para ulama agama dan kaum agamis.
Dari sejak permulaan kemunculannya, para ulama agama
menganggap irfan sebagai sebuah bid‘ah, eklektisisme, dan sebuah
fenomena yang muncul di luar ruang lingkup ajaran-ajaran agama.
Mereka menganggap diri mereka berkewajiban menghukum para tokoh
serta pengikut ajaran irfan. Penentangan para ulama agama terhadap
ajaran irfan tidak dapat diragukan lagi oleh siapa pun. Kami tidak akan
menyebutkan contoh dan bukti untuk itu pada kesempatan ini.
Semenjak permulaan kemunculan tasawuf, para pengikut ajaran
irfan masih memiliki keimanan yang kuat terhadap agama dan selalu
berusaha mengagamakan irfan. Ini adalah sebuah fenomena lumrah.
Alasannya:
Pertama, mereka yang mengikuti ajaran irfan memeluk agama
Islam. Setiap Muslim, semampu mungkin, tidak mau melakukan
sebuah tindakan atau meyakini sebuah keyakinan yang bertentangan
dengan agama Islam. Tindak mengagamakan irfan bukanlah sebuah
usaha ‘teror’ terhadap agama dan bukan pula sebuah tindakan taqiyah
guna menghadapi kaum agamis. Tindak mengagamakan irfan adalah
sebuah tindakan yang natural. Melihat realita ini, mereka meyakini
bahwa irfan dengan warna agama adalah sebuah tipu daya belaka(1)
sedang berjalan di atas jalan yang keliru; Kedua, para urafa yang
memeluk sebuah agama akan mengungkapkan seluruh pengalaman
irfani mereka dengan menggunakan bahasa agama. Irfan di dunia
Islam memiliki warna agama Islam dan secara perlahan-lahan menjadi
sebuah fenomena yang agamis. Hal ini menyebabkan sebagian sufi
seperti Imam Ghazali meyakini bahwa irfan adalah agama Islam itu
sendiri, atau Maulawî dan para urafa yang lain berkeyakinan bahwa
irfan adalah otak dan inti agama.
p:245
Proses pengagamaan irfan sangat berguna ditinjau dari sisi sebuah
solusi untuk menghadapi penentangan para ulama dan kaum agamis,
sekalipun dalam kadar yang relatif. Meskipun demikian, proses ini
adalah sebuah problem yang sangat besar bagi ajaran irfan. Alasannya,
seperti telah dibahas sebelumnya muatan irfan terdapat dalam agama.
Proses pengagamaan irfan dan membatasinya dalam bingkai
ajaranajaran agama, umumnya menyebab-kan tujuan dan programprogram
irfan terbengkalai dan terlupakan.
Sebagai contoh, kita lihat Syaikh Abdul Qâdir Jaelani (Jîlânî atau
Jîlî—wafat tahun 561 H.). Tokoh ini adalah pendiri tarekat Al-Qâdiriyyah
yang memiliki pengikut di negara India, Pakistan, Indonesia,
dan mayoritas negeri Islam. Tetapi, buku-buku karya tulisnya tidak
menyinggung ajaran-ajaran serius, program, dan tujuantujuan yang
dimiliki oleh kaum sufi. Ia hanya mengisyaratkan masalah kekekalan,
cinta, ‘uzlah, dan lain sebagainya secara ringkas. Di antara buku-buku
Syaikh Abdul Qadir adalah Al-Fath Al-Rabbânî wa Al-Faydh Al-Rahmânî,
Al-Fuyûdhât Al-Robbâniyyah, Futûh Al-Ghayb, dan bukubuku
yang lain.(1)
Pada masa-masa dahulu dan sekarang, kita menganggap beberapa
orang sebagai arif. Tetapi, hakikatnya hanyalah seorang zahid dan tidak
memiliki hubungan dengan irfan. Di negara-negara Arab,
sampai-sampai di tempat-tempat yang beraktifitas atas nama irfan,
seperti pusat pertapaan Syâdziliyyah di Damaskus dan mayoritas negara
serta kota-kota yang lain, pada hari ini tidak terdengar lagi ajaran,
program, dan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh para urafa.
Tarian sufi mereka hanya memiliki aroma kezuhudan. Mereka
masih tetap berdiri sambil berbaris, memegang tangan masing-masing
peserta, dan menggerak-gerakkan tubuh mereka. Tetapi, bukan lagi
sebuah tarian sufi. Semua itu tidak lain hanyalah sebuah perkumpulan
zuhud, doa, istighfar, dan tobat. Hal ini tidak ubahnya seperti
gerakangerakan kolektif dalam acara pukul dada yang dilakukan
p:246
oleh para pengikut Syiah dalam acara-acara duka. Meskipun ada barisan
dengan irama khusus, memukul dada dan menggerak-gerakkan
kaki ke arah depan dan belakang, tetapi semua itu hanyalah sebuah
acara duka, tidak lebih.
Dari satu sisi, Syaikh Abbas Qommi pernah mengadu. Tasawuf
memiliki dua sisi: zuhud dan makrifat. Para ulama agama setuju
dengan sisi zuhud irfan, bukan sisi makrifatnya. Tetapi, karena
sepakat dengan sisi zuhud tasawuf, kadang-kadang dengan keliru
dinyatakan sebagai ajaran tasawuf dan irfan secara total.(1)
Pada umumnya, para ulama keliru menilai zuhud dan tasawuf.
Kekeliruan ini menyebabkan sebagian orang menyangka bahwa
irfan memiliki dua macam: penghambaan murni dan cinta murni.(2)
Padahal, mereka lalai bahwa sisi penghambaan murni tidak memiliki
hubungan dengan irfan sama sekali.
Ringkas kata, jika tasawuf, seperti halnya filsafat, dimanfaatkan
untuk berkhidmat kepada agama, ajaran ini tidak akan berhasil
menjalankan tujuan aslinya. Bukan berarti yang satu memiliki
kekurangan dan yang lain memiliki kelebihan. Tetapi, karena tuntutan
substansi keduanya ditinjau dari sisi fondasi, program, dan tujuan.
Setelah filsafat terkucilkan karena serangan Ghazali yang sangat
berpengaruh, dari abad VI H, pintu arena ajaran-ajaran nonfilosofis,
termasuk di dalamnya teologi dan tasawuf, terbuka lebar. Banyak
sekali tenaga dan kemampuan yang semestinya dimanfaatkan untuk
pembahasan filosofis digunakan untuk mengembangkan ajaran
teologis dan irfani. Akhirnya, tersusunlah sebuah ajaran irfani yang
terkontaminasi ajaran filsafat dan teologi. Para urafa pun, dengan
niat mengikuti jejak para nabi, mengambil sebuah keputusan untuk
berbicara dengan menggunakan bahasa kaum mereka. Perbedannya,
p:247
bahasa para nabi adalah bahasa masyarakat. Tetapi, kaum yang
menjadi lawan bicara para syaikh irfan kala itu adalah para filosof dan
ahli teologi. Bahasa ajaran irfan adalah bahasa ulama dan masyarakat
khawas. Qaishari , salah seorang pensyarah tasawuf yang masyhur,
pernah menjelaskan tujuannya mengapa ia memaparkan pembahasanpembahasan
irfani.
Irfan adalah sebuah ajaran yang berlandaskan intuisi dan
dzauq (perasaan spiritual). Hanya manusia pilihan yang layak
menerima makrifat intuitif. Meskipun demikian, melihat
penentangan para ulama yang hanya mendalami ilmu lahiriah;
karena mereka menyangka tasawuf tidak memiliki landasan
kuat dan tidak membuahkan hasil. Ajaran tasawuf hanyalah
sekumpulan khayalan syair dan mimpi indah orang-orang yang
tidak memiliki argumentasi dan makrifat-makrifat intuitif,
mereka tidak dapat dipercaya. Melihat penentangan ini, kami
memaparkan dan membahas tasawuf dengan menggunakan
metode dan dasar pembahasan yang mereka yakini. Paling
tidak, kami telah berbicara dengan menggunakan bahasa dan
logika mereka.(1)
Usaha teorisasi irfan yang kemudian lebih dikenal dengan
terminologi “irfan teoritis” ini adalah salah satu persoalan yang
mencegah perkembangan tasawuf. Kerugian yang ditimbulkan lebih
banyak daripada keuntungan yang diharapkan. Alasannya, ajaran irfan
hanya berlandaskan pada syair dan suluk, kondisi, dan maqam batiniah.
Alasan yang lain seperti telah kami paparkan, pengalaman-pengalaman
irfani tidak dapat diajarkan dan dialihkan atau dipindahkan kepada
orang lain. Oleh karena itu, teorisasi irfan tidak pernah dan tidak akan
pernah membuahkan hasil kecuali hanya sekedar kesibukan bohong
bagi para pencarinya. “Bahasa cinta tidak akan pernah tertorehkan di
atas secarik kertas”.
p:248
Dari sisi yang lain, sebagian orang keliru memahami. Mereka
menyangka bahwa barangsiapa menguasai pembahasan teoritis itu dan
berhasil menggapai posisi sebagai guru, ia telah sampai kepada maqam
tertentu dalam dunia irfan. Padahal, mereka tidak memiliki apa-apa
selain hanya sekedar menukil pendapat orang lain. Mereka tidak
memiliki peran selain menyesatkan orang lain. Hal ini karena mereka
telah duduk di atas tempat duduk orang-orang sem-purna, padahal
mereka sendiri tidak memiliki kesempurnaan. Mereka adalah para
nabi palsu, dan bahkan para “penyihir” yang memiliki profesi menipu
masyarakat.
Fenomena teorisasi tasawuf dimulai oleh para urafa. Syaikh Isyrâq
tidak begitu berhasil dalam usaha teorisasi ini, padahal ia sendiri
bermaksud membangun sebuah aliran filsafat Illuminatif dan berusaha
keras untuk mengombinasi filsafat dan irfan. Dalam pada itu, peran
Mulla Shadra (wafat tahun 1050 H.) dalam usaha memfilosofikan
irfan tidak tertandingi. Di antara sekian ajaran irfan yang sangat
fundamental, ia meletakkan konsep wahdat al-wujûd dan prinsipalitas
wujud sebagai dasar utama aliran Filsafat Transendentalnya (Al-Hikmah
Al-Muta‘âliyyah). Ia menekankan bahwa intuisi dan argumentasi harus
dimanfaatkan secara seimbang dan seirama.(1) Sampai sejauh mana ia
berhasil dalam usaha ini dan apakah hasil usahanya dalam arena irfan
dan filsafat? Ini adalah sebuah pembahasan yang dengan bantuan Allah
akan kami paparkan pada kesempatan yang lain.
Sejak para urafa memiliki pusat-pusat kegiatan khusus yang bernama
“hermitage” dalam banyak kota, dan pusat-pusat kegiatan ini
memperoleh tanggapan masyarakat umum, baik dari sisi spiritual
maupun material, ketua dan mursyid pusat-pusat kegiatan ini terbanjiri
banyak harta kekayaan yang melimpah-ruah. Hermitage adalah sebuah
tempat yang menjanjikan kedudukan dan harta. Di samping itu semua,
p:249
mereka juga memiliki kesucian dan kehormatan batiniah yang tidak
dimiliki oleh para raja.
Meskipun keagungan dan kesemarakan hermitage-hermitage itu
membantu penyebarluasan ajaran tasawuf, tetapi hal itu juga menjadi
perantara kerusakan ajaran ini. Harta kekayaan dan kedudukan sering
kali menipu para syaikh sufi. Mereka menjadikan kedudukan sebagai
harta warisan dan menyerahkannya kepada anak keturunan mereka.
Tidak semua syaikh sufi melakukan hal ini, dan salah seorang dari
mereke adalah Maulawi. Meskipun ia memiliki seorang putra alim
dan menjadi pusat perhatian yang bernama Bahâ’ Walad, ia malah
mengangkat Hisâmuddîn Chalabî sebagai khalifah.
Biar bagaimanapun, setelah para pewaris tidak memiliki kelayakan
menduduki posisi mursyid tasawuf, hermitage mengalami kevakuman
makrifat dan batiniah, dan hanya dihiasi oleh ritual-ritual lahiriah
belaka. Akhirnya, kehor-matan dan kesemarakan hermitage semakin
berkurang, sampai-sampai pergi ke hermitage dianggap sebagai
tindakan yang anti nilai.
Para pengklaim irfan yang menduduki posisi seperti itu adalah
orang yang telah menciptakan cela kehormatan irfan. Barangsiapa
yang memasuki pusat-pusat kegiatan tasawuf tersebut, ia tidak akan
menemukan kecuali hanya tatakrama yang harus dilakukan pada saat
masuk dan keluar dari hermitage, menjilat atasan, mencium tangan,
dan ritual-ritual lahiriah belaka. Peristiwa ini lebih banyak disebabkan
oleh fenomena pewarisan posisi seorang mursyid.
‘Ainul Qudhat pernah berkata:
Berapa ribu jenazah dibawa ke kuburan. Tetapi, tidak seorang pun
dari mereka yang telah sampai ke maqam ‘keraguan’. Berapa ribu
orang telah sampai ke maqam ‘keraguan’. Tetapi, tidak seorang
pun dari mereka yang sampai ke maqam ‘permohonan’. Berapa
ribu orang telah sampai ke maqam ‘permohonan’. Tetapi, tidak
seorang pun dari mereka yang berjalan di atas ‘jalan yang benar’.
Berapa ribu orang yang menjalani ‘jalan yang benar’. Tetapi, tidak
seorang pun dari mereka yang diganggu oleh rasa jemu, lalu tekad
dan semangatnya tidak kendor. Berapa ribu orang yang telah
menempuh seluruh jalan. Tetapi, tidak seorang pun dari mereka
memiliki kelayakan untuk “bersimpuh di haribaan Ilahi”. Semua
itu kami paparkan supaya Anda tidak menyangka bahwa jalan
irfan adalah sebuah jalan yang mudah.(1)
Jalan irfan memiliki dua kesulitan: pertama, keimanan kepada
kebenaran jalan irfan; dan kedua, persoalan yang harus dihadapi pada
saat melaksanakan riyadhah dan suluk.
Persoalan muncul dari realita bahwa pengalaman irfani tanpa
prolog suluk tidak akan pernah dapat digapai. Mengajak orang lain
menempuh jalan irfan tidak ubahnya seperti mengajaknya kepada halhal
yang gaib. Mengajak kepada hal-hal gaib yang pernah dilakukan
oleh para nabi pun tidak mudah diterima oleh masyarakat umum.
Meskipun demikian, irfan memiliki sebuah perbedaan dengan ajakan
kepada hal-hal gaib yang ada dalam agama itu. Perbedaan itu adalah
pengalaman irfani masih dapat diulangi oleh orang lain. Tetapi,
di permulaan langkah, tanpa mengandalkan pengalaman terlebih
dahulu, kita harus memasuki medan ini dengan sebuah keimanan dan
kepercayaan penuh.
Agama dapat menggunakan dua cara untuk mewujudkan keimanan
dalam diri seseorang: pertama, seluruh ajarannya yang rasional; dan
kedua, mukjizat. Tetapi, untuk mengajak kepada ajaran irfan, mukjizat
tidak dapat menjamin dan rasionalitas juga tidak memiliki tempat,
karena seluruh dasar ajaran irfan berhubungan dengan makrifat intuitif
dan tidak rasional. Kita harus memulai langkah irfani dengan taklid
p:250
atau dengan ungkapan lain keimanan yang didasari oleh taklid. Taklid
memiliki dasar dan akar yang rasional, di antaranya:
Pertama, memberikan perhatian kepada sebuah kemungkinan
adalah sebuah tindakan yang diterima oleh akal yang sehat; Kedua,
orang-orang yang berakal dapat mempercayai pengalaman-pengalaman
orang lain. Syaikh Syihabuddin Suhrawardi berkata:
Bagaimana mungkin observasi intuitif para nabi dan filosof kita
anggap tidak bernilai, sedangkan kita mempercayai observasi satu
dua orang sehubungan dengan masalah-masalah inderawi, seperti
astronomi?(1)
Atas dasar ini, sangatlah rasional apabila kita mulai melangkah
sehingga kita sampai ke sebuah tingkatan dan merasakan sebuah
pengalaman irfani. Untuk mencobanya meski hanya sekali pun,
tidaklah jauh dari logika.
Kita hendaknya memulai langkah kita dengan dasar taklid
tersebut. Apalagi, sekarang adalah masa eksperimen. Mengapa kita
harus melupakan pengalaman dan eksperimen irfani ini?
Sehubungan dengan persoalan suluk. Suluk adalah sebuah
perjalanan di sebuah jalur yang tidak dikenal, penuh dengan jalan
terjal, dan tidak berakhir. Barangsiapa meletakkan kaki di atas jalan
ini, ia pasti menghadapi bahaya. Seluruh jenis kesulitan dan kesukaran
adalah suatu hal yang lumrah. Pada dasarnya, jalan ini adalah jalan
kesulitan dan kesukaran. Dari sejak permulaan, kita sudah harus
mengurangi tidur dan makan, serta tidak mempedulikan kesehatan
dan keselamatan diri kita.
Apakah yang mendorong seseorang rela meletakkan dirinya dalam
seluruh kesukaran ini? Ada beberapa faktor di antaranya:
Dominasi cinta dan daya tarik Ilahi di seluruh alam semesta dan
umat manusia secara umum terjerat oleh ikatan cinta dan daya
tarik irfan.
p:251
Iman dan kehendak salik yang sangat kuat.
Inayah dan taufik Dzat Yang Maha Haqq.
Para pengajak kepada ajaran tasawuf dan para urafa yang sadar
diri.
Karena memperhatikan kapasitas buku ini, kami tidak akan
memaparkan lebih detail lagi. Penutup pasal ini adalah sebuah doa dari
Maulawî yang isinya sebagai berikut:
Ya Tuhanku, anugerah ini tak layak untuk usaha kami
balasan terbaik adalah anugerah-Mu yang tersembunyi.
Gapailah tangan kami dan belilah diri kami,
singkapkanlah seluruh tirai dan janganlah Kau cabik-cabik tirai
kami.
Belilah diri kami dari jeratan nafsu yang buruk ini
belatinya telah sampai menembus tulang-belulang kami.
Kami yang tidak berdaya terjerat oleh rantai yang kokoh
tidak seorang pun dapat menguraikannya selain Engkau, hai Raja
Nasib.
Kami berpaling dari diri kami menuju kepada-Mu
karena Engkau lebih dekat kepada diri kami daripada kami
sendiri).
Dengan kedekatan itu kami sangat jauh dari haribaan-Mu
dalam kegulitaan ini kirimkanlah kepada kami secercah cahaya.
Maulana Rumi
Sebagai pamungkas terbaik buku ini, kami haturkan sebuah doa
melalui lisan Al-Qur’an:
Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hambahamba-
Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya
Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-
Ma’idah [5]: 118).
p:252
p:253
p:254
Abdurrahman, Ibn Jauzî: Talbîs Iblis.
Aâkî: Manâqib Al-‘Ârif în, , revisi ulang oleh Tahsîn Yâzîjî,
Al-‘Afîfî, Abul ‘Alâ’: Ta‘lîqât Fash Al-Ya‘qûbî
Al-Âmulî, Sayyid Haidar: Asrâr Asy-Syarî‘ah,
Al-Ardabilî, Ahmad bin Muhammad: Hadîqah Asy-Syiah.
Al-‘Aththâr, Farîduddîn: Tadzkirah Al-Auliyâ’, jld. 2.
Al-Biqa‘i, Burhanuddîn: Mashra‘ Al-Tashawwuf.
Al-Fakhuri, Hana dan Khalil Al-Jarr: Torikh-e Falsafeh dar Jahon-e Eslom,
terjemahan Ayati.
Al-Ghazâlî, Imam Muhammad: Al-Munqidz min Adh-Dhalâl, cet. Beirut.
Aththar: Tadzkirat Al-Awliyâ’.
Al-Kâsyifî, Husain: Lobb-e Lobäb-e Masnavi.
Al-Kâsyânî, ‘Izzuddîn Mahmûd: Mishbâh Al-Hidâyah wa Miftâh Al-
Kifâyah, cet. Tehran Ghani.
Al-Muqbili: Al-‘Ilm Al-Syâmikh.
Al-Qomî,s Syaikh, Abbâs: Saf înah Bihâr Al-Anwâr, cet. Sanggi, Tehran,
jld. 2.
Al-Qûnawî, Shadruddîn: I‘jâz Al-Bayân f î Ta’wîl Umm Al-Qur’an, cet.
Haidar Abad.
Al-Qomi, Syaikh Abbâs: Saf înah Bihâr Al-Anwâr, jld. 2.
Al-Qomi, Syaikh Abbas: Saf înah Al-Bihâr, cet. Sanggi, jld. 2.
Ali bin Utsman Al-Hujwairî: Kasyf Al-Mahjûb.
Amîn, Ahmad: Dhuhâ Al-Islam, cet. Kairo.
Arabi, Ibnu: Fushûsh Al-Hikam.
p:255
Arabi, Ibnu: Risâlah Asrâr Al-Khalwah.
Arab, Ibnu i: Al-Futûhât Al-Makkiyyah, cet. Dâr Shâdir Beirut
Arabi, Ibnu: Risâlah Mawâqi‘ An-Nujûm,
Arabi, Ibnu: Risâlah Al-Anwâr
Arabi, Ibnu: Al-Futûhât Al-Makkiyyah, cet. Beirut, jld. 2
Äshoori, Däriyoos: Adyän va Maktabhä-ye Falsafi-ye Hend.
Ghazali, Ahmad: Al-Sawânih, cet. Bonyäd-e Farhang-e Iran.
Ghanî, Qâsim: Tärikh-e Tasavvof.
Goldziher: Zuhd va Tasavvuf dar Eslom, terj. Muhammad Ali Khalili.
Hazm, Ibn: Al-Fashl, cet. Beirut, jld. 2.
Homai,Jalaluddin: Tasavvuf dar Eslom.
Kâsyânî, Muhsin Faidh: Al-Mahajjah Al-Baydhâ’.
Khârazmî, Husain: Jawâhir Al-Asrâr, cet. Masy‘al, Isfahan, jld. 1.
Khaldun, Ibn: Al-Muqaddimah, jld. 2.
Khârazmî, Husain: Jawâhir Al-Asrâr, jld. 1.
Khaldun, Ibn: Al-Muqaddimah,, jld. 2.
Kulabadi: Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashowwuf .
Lahiji, Fayyadh: Govhar-e Murod.
Lahiji: Mafâtîh Al-A‘jâz .
Mahmud,Abdul Qadir: Al-Falsafah Al-Shûfiyyah f î Al-Islâm cet. Kairo.
Mahfûzh: Asy-Syarîf Ar-Radhî.
Majlisi, Muhammad Baqir: ‘Ain Al-Hayâh.
Maulawî: Kolliyät-e Divän-e Shams.
Maulawî: Fîhi Mâ Fîhi.
Mortazavi, Manuchehr: Maktab-e Hofezd.
Muta’llihîn, Shadrul: Al-Asfâr Al-Arba‘ah.
Muhammad bin Munawwar: Asrâr At-Tauhîd, revisi oleh Dr. Syafî‘î
Kadkani, penerbit Agah.
Muhammad, Shadrul Muta’llihîn bin Ibrahim Asy-Syîrâzî: Al-Asfâr Al-
Arba‘ah.
Nämeh-ha-ye: ‘Ainul Qudhât, revisi oleh ‘Afîf ‘Usairân.
Nasafi: Ensän-e Kämel.
p:256
Niccolson: Tasavvuf-e Eslomi, terj. Syafi’i Kadkani, cet. Tehran.
Qaishari: Moqaddameh-ye Syarh-e Fosoos.
Qaishari: Syarh Fushûsh Al-Hikam.
Russel, Bertrand: Tärikh-e Falsafeh-e Gharb, jld. 1.
Sya‘rânî: Al-Yawâqît wa Al-Jawâhir.
Sina, Ibn: Al-Najâh, Al-Ilâhiyyât.
Shabestari: Gulsyan-e Roz.
Stice: Erfän va Falsafeh, terj. Bahâ’uddîn Khorramshahi.
Sabzawarî, Mulla Hadi: Syarh-e Manzoomeh-ye Hekmat.
Sahruwardî Hikmah: Al-Isyrâq.
Shadrâ, Mulla: Al-Asfâr Al-Arba‘ah.
Sina, Ibn: Asy-Syifâ’ dan Al-Najâh.
Stice: Erfän va Falsafeh, terj. Khorramshähi, penerbit Soroosh.
Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain: Nihâyah Al-Hikmah.
Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain: Qor’än dar Esläm, cet. ke-6,
penerbit Jâmi‘ah
Mudarrisîn Qom.
Turkah, Ibn: Tamhîd Al-Qawâ‘id, cet. Anjoman-e Falsafeh Taimiyyah,
Ibn: Majmû‘ah Al-Rasâ’il wa Al-Masâ’il, Thusi, Sarraj: Al-
Luma‘.
Yahya bin Habsy Sharuwardî: Hikmah Al-Isyrâq, cet. Anjoman-e Fal
safeh.
Yatsribî, Yahya: Falsafeh va Erfän, cet. ke-4.
Yatsribî, Yahya: ‘Erfon-e Nazdari.
Zarrinkub,Abdul Husain: Josteju dar Tasavvuf-e Iron.
Zarrinkub: Arzesy-e Miros-e Shufiyyeh.
Zarrinkub, Abdul Husain: Anzesh-e Miräs-e Soofiyyeh, cet. ke-1.
p:257
p:258
A
‘Ain 28, 116
‘Ainul Qudhat 52, 73, 138, 198,
226, 250
‘Ainul Qudhât 52, 188, 251, 258
‘âlim wa ma‘lûm 8
‘Amr 26
‘Aql fa‘âl 124
‘Aql nazharî 124
‘Aradha 27
‘Ayn al-haqq 5
Abdullah Anshari 17, 225, 227
Abdurrahman Jami 17
Abdurrazzaq Kasyani 17
Abdurrazzâq Kasyi 25
Abid 11, 97, 99
Abu Hanifah 27
Abul Faraj Abdurrahman 29
Abu Muhammad Ruwaim 222
Abu Sa‘id Abul Khair 104, 161, 197,
204, 221
Abu Thalib Makki 17, 32, 17, 32
Abu Yazid Basthami 16, 25, 16, 25
Adab 6, 103, 150, 234
Afdhaliyyah wa jâmi‘iyyah 130
AfifuddinTilimsani 17
Ahadiyyah 122
Ahli Al-Qur’an 13
Ahli hadis 22, 34, 35
Ahli Sunah 2, 3, 18, 22, 24, 26, 27,
28, 29, 169, 228, 229
Ahwâl 15, 60
Ain Al-Qudhât 17
Ainî 66
Akal aktif 124, 126, 129
Akal teoritis 124
Akal universal 80
Akhlak 33, 35, 105, 147, 151, 152, 154,
155, 158, 159, 165, 179, 221,
222
Al-Futûhât 28, 66, 74, 77, 84, 142,
144, 161, 163, 173, 174, 181, 195,
258
Al-hadharât al-khamsah 201
Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah 249
Al-Kulabadi 261
Al-Luma‘ 17, 35, 101, 112, 259
Al-Majlisi 28
Al-Najâh 56, 57, 72, 79, 114, 192,
214, 259
Al-Naza‘ât Al-Shûfiyyah fî Al-Fikr
Al-Syî‘î 23
Al-Ri‘âyah li Huqûqillâh 16
Al-Syifâ 29, 56, 57, 72, 79, 114
Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl
Al-Tashawwuf 16
Alam Barzakh 82, 127
Alam jabarût 88, 127, 88, 127
Alam malakût 110, 127, 190
P:259
Alam materi 48, 56, 75, 79, 80, 92,
108, 110, 120, 180, 190, 191,
192, 242
Alam mitsâl 80, 127, 128, 129, 190
Alam mulk 110, 127, 128
Alam qudsi 9
Alegori 56, 57, 203, 205, 209
Ali Qari 77
Aliran Asy‘ariyyah 113, 147
Aliran Ittihadiyyah 25
Allamah Burhanuddin Al-Biqo‘i
28
Allamah Muhammad Baqir Majlisi
25, 26
Allamah Thabathabai 40, 73, 212,
214, 215, 218, 40, 73, 212, 214,
215, 218
Alwâh 46
Amal personal 147
Amal sosial 147
Analisis rasional
Argumentatif 55, 62, 55, 62
Arif 5, 6, 7, 8, 9, 11, 14, 15, 16,
17,
18, 19, 21, 22, 23, 29, 30, 31,
32, 37, 40, 48, 49, 50, 52, 54,
56, 59, 60, 61, 77, 83, 96, 97,
98, 137, 138, 149, 150, 151, 155,
156, 157, 159, 195, 196, 198,
203, 208, 222, 223, 231, 233,
240, 241, 246
Aroma kezuhudan 246
Arthur Schopenhauer 159
Asas Hari Akhir 57
Asas Kenabian 2
Asas Tauhid 1, 2
Ashâlah 5, 75, 153, 5, 75,
153
Ashâlat al-wujûd 120
Asy‘ariyyah 27, 113, 147
B
Bahasa Irfan 186
Bahasa Wahyu 212
Bakkâ’în 13
Balâghah 217
Baligh 4, 77, 134
Bi al- quwwah 6
Bid’ah 22, 29, 31, 100, 101, 102,
103, 133, 134, 154
Busur gerak menurun 6, 8, 65, 81,
83, 88, 122, 127, 130, 170, 190
C
Cinta 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 15, 16,
18,
37, 83, 91, 92, 93, 94, 95, 135,
151, 152, 153, 154, 155, 158, 163,
188, 200, 201, 203, 204, 205,
225, 226, 228, 238, 239, 240,
246, 247, 248, 252
D
Dalâlah 228, 229
Dzât wa kaifiyyah 8
Dzat Yang Maha Haqq 5, 9, 11, 48,
50, 54, 56, 65, 66, 70, 73, 74,
75, 76, 78, 87, 108, 109, 110,
114, 115, 121, 135, 136, 144, 148,
149, 150, 151, 152, 155, 156,
157, 161, 163, 169, 170, 171, 173,
205, 206, 222, 223, 227, 242,
253
E
Egoisme personal 5
Eksklusif 5
P:260
F
Fana 6, 7, 8, 16, 19, 24, 32, 45, 47,
48, 49, 53, 54, 56, 59, 67, 83,
84, 93, 94, 97, 98, 104, 107,
108, 109, 144, 148, 149, 152,
174, 187, 201, 222, 226, 227,
228, 229, 230, 238, 239
Farq 6, 7, 133, 136
Farq wa katsrah 6, 133
Flosof Illuminatif 232
Flosof Persia Kuno 11
Filsafat Shadrul Muta’allihîn 190
Fondasi 5, 14, 17, 57, 112, 122,
151, 186, 190, 191, 194,
209, 223, 247
Fushûsh Al-Hikam 14, 27, 28, 30,
41, 54, 61, 65, 67, 75, 78, 81,
84, 87, 122, 133, 143, 150, 161,
162, 163, 170, 172, 190, 193,
207, 223, 233, 234, 257, 259
G
Gerak busur menaik 6
Gerak turun 6
Gradasi 190, 207
H
Hadîqat Al-Syiah 25
hakikat 5, 6, 9, 10, 28, 29, 32, 34,
35, 37, 38, 39, 40, 42, 45, 49,
52, 55, 56, 64, 66, 70, 73, 75,
80, 81, 82, 86, 88, 89, 91, 92,
93, 94, 96, 97, 98, 110, 115,
116, 121, 53, 122, 126, 127, 129,
137, 143, 144, 149, 158, 159,
161, 165, 167, 170, 174, 188,
189, 191, 192, 193, 194, 195,
196, 197, 198, 199, 200, 201,
203, 205, 206, 207, 208, 209,
211, 216, 222, 223, 225, 236,
237, 238, 240
hakikat wujud 6, 45, 75, 98, 191,
207
Hâl 208
Halal 3, 11, 103, 133
Hal ihwal 3
Haram 3, 13, 58, 111, 133, 135
Hari Akhir 3, 57, 82, 84
Harits Al-Muhasibi 15, 16, 15, 16
Hayawân nâthiq 184
Hidâyah takwîniyyah 94, 120
Hujwairî 17, 73, 226, 236, 257
Hukum-hukum 3, 38, 43, 101,
119, 134, 140, 141
Hulûl 25, 27, 30
Husain bin Manshur Hallaj 16, 25,
16, 25
I
Ibn Faridh 30, 31, 53, 56, 81, 88,
96, 30, 31, 53, 56, 81, 88, 96
Ibn Jauzî 29, 164, 257
Ibn Khaldun 13, 30, 181, 200, 228,
13, 30, 181, 200, 228
Ibn Sab‘în 31
Ibn Sina 11, 56, 57, 71, 72, 125, 126,
138, 155, 178, 190, 192, 210,
211, 214, 222
Ibnu Arabi 9, 14, 17, 18, 25, 30, 31,
41, 42, 53, 54, 65, 74, 75, 81,
87, 131, 140, 141, 143, 150, 162,
173, 174, 181, 195, 228, 234,
84, 14, 17, 18, 25, 30, 31, 41,
42, 53, 54, 65, 74, 75, 81, 84,
87, 131, 140, 141, 143, 150, 162,
173, 174, 181, 195, 228, 234