Risalah Sayr Wa Suluk :Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi

BOOK ID

سرشناسه:ملکی تبریزی، جواد آقا ‫، ‫ - 1343ق.

Maleki Tabrizi, , Jawad

عنوان قراردادی:رساله لقاء الله . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور: ‫ Risalah Sayr Wa Suluk[Book] ‫ : Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi ‫ / Mirza Jawad Maleki Tabrizi ‫ ; penterjemah : Muhammad al-Caff.

مشخصات نشر: ‫ Qom ‫ : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa ‫ , 2014 ‫ = 1393.

مشخصات ظاهری: ‫215ص.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله ‫؛ پ1393/278/185 ، نمایندگی المصطفی در اندونزی ‫؛ 24.

شابک: ‫ 978-964-195-080-6

وضعیت فهرست نویسی:فیپا

یادداشت:اندونزیایی.

آوانویسی عنوان:رساله...

موضوع:عرفان

موضوع:الهیات

موضوع: ‫رویت الهی

شناسه افزوده:الکاف، محمد، مترجم

شناسه افزوده:Alkaff, Muhammad

شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده:Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره: ‫ BP284/5 ‮ ‫ ‫ /م7ر5049519 1393

رده بندی دیویی: ‫ 297/83 ‮

شماره کتابشناسی ملی:3649515

P:1

point

بسم الله الرحمن الرحیم

P: 2

Risalah Sayr Wa Suluk

Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi

Jawad Maleki Tabrizi

penerjemah:

Muhammad al-Caff

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

P: 3

Risalah Sayr Wa Suluk Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi

penulis: Jawad Maleki Tabrizi

penerjemah: Muhammad al-Caff

cetakan: pertama, 1393 sh/2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-080-6

رساله لقاء الله

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله

تیراژ: 300

قیمت: 95000 ریال

مؤلف: جواد ملکی تبریزی

مترجم: محمد الکاف

چاپ اول: 1393 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

P: 4

rishalah

Sayr wa Suluk

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA

P: 5

P: 6

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA • vii

PRAKATA . xi

KATA PENGANTAR . xviii

PENDAHULUAN 1

TEKAD DAN TAUBAT 47

KISAH TAUBAT PEMUDA PENCURI KAIN KAFAN 51

TAUBAT NABI DAWUD. 57

MENYIAPKAN SARANA MENUJU TAUBAT 59

TAUBATNYA PEMBUNUH TUJUH PULUH NABI - 62

RAHMAT LUAS TUHAN • 66

MENYIAPKAN AGENDA MURĀQABAH 70

RINTIHAN DAN JERITAN PENULIS 74

TAUBAT HAKIKI • 79

P: 7

TANDA TANGISAN HAKIKI 80

MUSYĀRATHAH, MURĀQABAH, MUHASABAH . 82

BIMBINGAN ALLAH DALAM TIDUR. 85

MENEMUKAN PENGETAHUAN-PENGETAHUAN PADA

ALAM MIMPI 86

MIMPI-MIMPI YANG MENGGEMBIRAKAN PENULIS . 87

ADAB MAKAN, MINUM, DAN TIDUR 95

PENGARUH POSITIF SALAT MALAM DAN BANGUN

MALAM 97

PECUTAN BAGI PESULUK • 132

INDEKS 185

P: 8

PRAKATA

Buku berjudul [asli] Risālah Liqā'ullah atau Sayr wa Sulūk(1)

ini merupakan sebuah karya terbaik dan amat bernilai dari

seorang ulama besar-seorang guru ruhani dan irfan (gnosis),

Mirza Jawad Maliki Tabrizi. Beliau adalah seorang ‘arif agung

dan bijak serta salah seorang tokoh ternama dalam bidang irfan

teoritis (irfan nazhari) dan irfan praktis (irfan 'amalī) abad

ini. Ia memiliki peran cukup besar dalam menyosialisasikan

nilai-nilai akhlak dan irfan di lingkungan pengkaji ilmu dan

masyarakat secara luas. Tiga buah buku yang ditulisnya, yaitu

al-Murāqabāt (Mawas Diri), Asrār al-Shalah (Rahasia-Rahasia

Salat), dan Liqā'ullāh (Berjumpa Allah), menjadi langkah

penting dan sangat berguna bagi upayanya mendidik akhlak

masyarakat.

Khusus dalam buku ini, ia memaparkan tema-tema

penting dalam sayr wa sulūk (perjalanan ruhani) dengan

sangat sederhana, lugas, dan jelas, sehingga mudah dipahami

P: 9


1- 1. Penamaan buku ini dengan Liqā'uLlah berasal dari Ayatullah Mirza Khalil Kamrahi, salah seorang muridnya yang menonjol, karena penulis sendiri tidak pernah memberikan nama pada buku ini. Menurut sebagian sumber dan keterangan, buku ini populer dengan nama Sayr wa Sulūk.

bagi siapa pun. Oleh karena itu, tidak heran apabila buku ini

mendapat sambutan luar biasa dari kalangan masyarakat.

Mirza Jawad Maliki Tabrizi adalah salah satu dari murid

seorang arif ternama, Mulla Husein Qali Hamadani, dan

sekaligus merupakan guru Imam Khumaini.(1) Imam Khumaini

sendiri sangat menghormati dan memberikan kedudukan

khusus padanya. Sikap yang demikian tampak dalam setiap

tulisannya. Ia menyebut nama Mirza Jawad Maliki Tabrizi

dengan ungkapan penghormatan dan menganjurkan untuk

membaca buku-bukunya. Berikut di antara ungkapan

penghormatan beliau padanya, “Beliau termasuk ulama

kontemporer. Bacalah dan telaahlah buku-buku syaikh besar

dan arif billah, Haji Mirza Jawad Tabrizi! Mudah-mudahan

dengan membacanya, kamu terhindar dari penyimpangan dan

kesesatan!(2)

Berkenaan dengan buku ini, Imam Khumaini berkomentar,

"Jika seseorang ingin mendapatkan penjelasan lebih tentang

ini (pertemuan dengan Tuhan), hendaknya merujuk pada buku

Liqā'ullāh, karya seorang arif billah, Haji Mirza Jawad Tabrizi.

Dalam buku ini terkumpul banyak riwayat dan keterangan

tentang masalah ini."(3) Tidak ketinggalan, Allamah Sayyid

Muhammad Husein Teherani juga berkomentar tentang

buku ini. Dia menulis, “Buku ini benar-benar termasuk di

antara buku-buku yang sangat bernilai, yang disusun untuk

menjelaskan masalah sayr wa sulūk"(4) Dia juga menulis, “Buku

Liqā'ullah ini adalah api (penerang] khusus, kunci pembuka

pintu, dan jalan kesuksesan bagi para pesuluk."(5)

Allamah Hasan Zadeh Amuli berkata, “Saat aku mendengar

orang besar ini menulis sebuah buku tentang Ligāʻullah,

segera aku “ketuk semua pintu"-dengan keyakinan siapa

mencari maka ia akan dapat untuk mendapatkannya lalu

P: 10


1- 2. Silahkan lihat: Thabib-e Delha [(Penyembuh Hati); buku yang memaparkan keterangan tentang Mirza Jawad Maliki Tabrizi.
2- 3. Sirru al-Shalah, hlm. 68, cetakan pertama.
3- 4. Cehel Hadits (40 Hadis, karya Imam Khumaini) hlm. 453, hadis ke-28.
4- 5. Tawhid Ilmi wa 'Ainī, him. 329.
5- 6. Allah Syenāsi, 40/2.

mempelajarinya dengan seluruh jiwa dan hatiku dan merasakan

kelezatan darinya sejauh kemampuanku."(1)

Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi berkata, “Buku Liqā'ullāh

ini, meski bentuknya kecil, tetapi sangat besar maknanya,

karena memuat banyak tema penting seputar jalan menuju

pertemuan dengan Allah. Dalam pandangan orang-orang

khusus dari kalangan mukhlisin (orang-orang yang ikhlas),

[buku] ini adalah jiwa bagi orang-orang saleh dan sebersit

cahaya Tuhan yang tampak di kening mereka."(2)

Ayatullah Fahri, dalam mengomentari buku ini,

mengatakan, “Buku ini bukan kumpulan kutipan dari pelbagai

keterangan, mengingat penulisnya adalah seorang pesuluk

dan ahli batin. Di samping itu, dia juga seorang fakih yang

memiliki kedudukan tinggi, bersih dari sifat-sifat tercela,

dan berkomitmen kepada jalan Ahlulbait yang lurus. Buku ini

dibutuhkan oleh para pemula dalam sayr suluk mereka, sehingga

bagi mereka buku ini ternilai cukup dan tak membutuhkan

pembimbing selainnya untuk waktu yang lama. Buku ini, alih-

alih dalam menjelaskan masalah-masalah agama yang sangat

pelik, yang dalam sejumlah besar tulisan orang-orang ‘sok alim'

tak berakhir pada kesimpulan yang benar dan jelas, kecuali

kebingungan, bahkan kesesatan dan penyimpangan, justru

bagaikan pelita dan cahaya yang memancar dari Allah pada

para pesuluk yang memiliki keyakinan yang kuat."(3)

Pada suatu kesempatan, Allamah Thabathaba'i memberikan

komentar tentang buku Mirza Jawad Tabrizi yang berjudul

al-Murāqabāt. Menurutnya, “Buku ini bagaikan lautan yang

penuh dengan mutiara dan barang-barang berharga lainnya

yang tak akan tertampung oleh sebuah wadah yang lebih kecil

darinya. Penulisnya, tak diragukan lagi, merupakan figur agung

dan menempati derajat tinggi, yang nilainya tak dapat diukur

P: 11


1- 7. Thabīb-e Delha, hlm. 175.
2- 8. Thabīb-e Delha, hlm. 128.
3- 9. Thabīb-e Delha, hlm. 123.

dengan alat ukur apa pun. Dalam buku ini terkandung banyak

pelajaran yang baik dengan pandangan yang mendalam dan

dijaga oleh orang-orang yang ber-wilayah kepada Allah.”(1)

Lantaran biografi, keutamaan, dan kemuliaan penulis telah

dijelaskan secara panjang lebar dalam buku berjudul Thabīb-e

Delha, kami tak akan mengulanginya di sini. Akan tetapi, yang

akan kami sampaikan adalah tentang alasan atas kajian dan

penerjemahan buku Risälah 'Liqa'uLllāh' ini.

Allamah Teherani, dalam penjelasannya tentang risalah ini

dan penelitian ulang terhadap karya ini, mengatakan:

Risalah ini untuk pertama kalinya dicetak oleh Haji

Mirza Khalil Kamrehi, yang hasilnya banyak dibumbui

penjelasan tambahan dan perubahan (tahrīf). Adapun

naskah ini adalah karya yang sudah dicetak ulang setelah

sebagian penjelasan tambahan tersebut dibuang dan

sebagian lainnya dipertahankan. Sayyid Ahmad Qahri

menerbitkannya dengan menambahkan sebuah makalah

karya Imam Khumaini yang berada di bawah tanggung

jawab Manshurat Nihzhat Zanane Musalman (Penerbit

Kebangkitan Wanita Muslim). Adapun keterangan semua

tahrīf tersebut di luar tanggung jawab cetakan ini. Pada

tahun 1405 HQ, penerbit Hijrah mencetaknya, meskipun

dengan hasil yang belum benar-benar terbebas dari tahrif

tersebut. Hal ini disebabkan oleh masuknya naskah-

naskah cetakan terdahulu pada cetakan ini. Saya berharap,

Allah membantu saya dan orang lain yang berusaha

mencetak naskah asli buku ini tanpa ada penambahan dan

pengurangan di dalamnya. Allah Maha Penolong. (2)

Komentar Allamah Teherani di atas mendorong kami

untuk melakukan penelitian atas naskah asli buku ini. Setelah

P: 12


1- 10. Thabib-e Delha, hlm. 154 dan 157.
2- 11. Allah Syenāsi, 90/2.

melakukan upaya yang panjang, akhirnya penelitian kami

berbuah dengan mendapatkan naskah asli kitab ini di salah satu

bagian pada sejumlah naskah tulisan tangan di perpustakaan

Ayatullah Mar'asyi Najafi. Kami pun segera membuatkan

kopiannya. Hak cetak naskah ini ada di tangan Ayatullah

Sayyid Husein Fathimi Qummi, yang merupakan salah seorang

murid terkenal dari Mirza Jawad Tabrizi. Kewenangannya ini

ditunjukan dengan mencatumkan nama Fathimi pada bagian

pertama naskah ini.

Seorang dokter bernama Abdul Hamid Maliki, yang tak lain

adalah saudara kandung dari penulis sendiri, pada tahun 1337

HQ atau enam tahun sebelum penulis wafat, menyusun naskah

ini hingga menjadi sebuah buku dan memperlihatkannya

kepada penulis untuk dikoreksi. Ia sendiri kemudian

memberikan catatan kaki padanya. Selain melakukan penelitian

dan koreksi atas naskah yang berasal dari terbitannya ini,

upaya yang sama pun dilakukannya atas naskah serupa yang

diterbitkan oleh penerbit-penerbit lain, seperti penerbitan

Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi, Mushtafavi, Hijrat, dan

Ayatullah Fahri, Bersama itu, ia merasa perlu menerjemahkan

teks-teks berbahasa Arab yang memenuhi setengah dari risalah

ini dan hadis-hadis yang dikutip padanya, kemudian saya

letakan dalam kurung. Demikian pula, apabila sejumlah kata

dan pernyataan dirasa perlu untuk ditambahkan padanya, saya

letakkan di dalam kurung. Ayat-ayat suci Al-Quran dan hadis-

hadis yang dibawakan, diberikan keterangan cara membacanya

dan catatan sumbernya. Catatan kaki yang diberikan penulis

dan sebelumnya pernah dimuat pada naskah hasil koreksi

ditandai dengan kalimat, “Minhu 'ufiya 'anhu". Pada bagian

akhir catatan kaki, saya cantumkan nama almarhum Mirza

Jawad Maliki Tabrizi, ditambah pencantuman penjelasan-

P: 13

penjelasan dari sejumlah urafa dan filsuf, khususnya Allamah

Sayyid Muhammad Husein Teherani.

Sebuah risalah karya seorang arif besar dari Kota Tabriz ini

diharapkan mampu memberikan dorongan dan semangat bagi

orang-orang yang membutuhkan perjumpaan dengan kekasih

sejati dalam menapaki jalan menuju perjumpaan dengan-Nya.

Lebih dari itu, usaha yang tak seberapa ini diharapkan diterima

di sisi-Nya kelak dan memberikan kebahagiaan kepada ruh

penulisnya. Amin.

Hauzah Ilmiah Qum, 1380

Shadiq Hasan Zadeh

Catatan:

1 Penamaan buku ini dengan Liqā'uLlah berasal dari Ayatullah Mirza Khalil

Kamrahi, salah seorang muridnya yang menonjol, karena penulis sendiri

tidak pernah memberikan nama pada buku ini. Menurut sebagian sumber dan

keterangan, buku ini populer dengan nama Sayr wa Sulūk.

2 Silahkan lihat: Thabib-e Delha [(Penyembuh Hati); buku yang memaparkan

keterangan tentang Mirza Jawad Maliki Tabrizi.

Sirru al-Shalah, hlm. 68, cetakan pertama.

4 Cehel Hadits (40 Hadis, karya Imam Khumaini) hlm. 453, hadis ke-28.

5 Tawhid Ilmi wa 'Ainī, him. 329.

6 Allah Syenāsi, 40/2.

7 Thabīb-e Delha, hlm. 175.

8 Thabīb-e Delha, hlm. 128.

9 Thabīb-e Delha, hlm. 123.

10 Thabib-e Delha, hlm. 154 dan 157.

11 Allah Syenāsi, 90/2.

P: 14

KATA PENGANTAR

Jalan Menuju Perjumpaan

Prof. Dr. Abdul Hadi W. M.

Jalan keruhanian atau spiritualitas Islam diberi banyak nama.

Sarjana-sarjana orientalis di Barat memberi nama, antara lain,

sebagai mistisisme Islam (Islamic mysticism). Hal tersebut di-

gunakan untuk memudahkan mereka melakukan perbandin-

gan dengan bentuk-bentuk spiritualitas yang mereka kenal,

yang pada umumnya dianggap sebagai ragam dari mistisisme

yang mereka kenal. Orang-orang Islam sendiri di berbagai

negeri dan sepanjang sejarah, juga menyebutnya dengan

berbagai perkataan. Ada yang menyebutnya sebagai ilmu su-

luk, irfan, ilmu makrifat, ilmu tariqat, tasawuf, dan lain se-

bagainya. Meskipun nama yang diberikan padanya beraneka

ragam, begitu pula aliran pemikiran, metode keruhanian, dan

P: 15

amalannya berbeda-beda, tetapi tujuan dari apa yang dise-

but ilmu suluk, irfan, dan tasawuf itu tidak banyak berbeda.

Tujuan itu adalah penyaksian akan Wajah-Nya. Seorang salik

(penempuh jalan keruhanian) tidak dapat dikatakan mencapai

puncak kearifan atau makrifat apabila belum melakukan per-

jumpaan dengan-Nya (liqā' Allāh).

Inilah tema pokok yang senantiasa dibahas dan di-

uraikan para ahli makrifat atau irfan sepanjang masa di neg-

eri yang berbeda-beda, termasuk Jawad Maliki Tabrizi yang

judul asli bukunya adalah Risalah Liqā'ullāh. Kendati demiki-

an, para ahli irfan atau makrifat memiliki cara berbeda dalam

menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqāmāt) yang

harus ditempuh seorang salik dalam perjalanan menjumpai

Yang Satu, begitu pula keadaan-keadaan ruhani (ahwāl) yang

menyertainya pada saat tahapan-tahapan itu dicapai. Con-

toh menarik dalam sejarah kepustakaan ilmu suluk ialah pe-

maparan Fariduddin Attar, seorang penyair sufi Persia abad

ke-12 M, dalam alegori mistiknya, Manthiq al-Thayr (Musy-

awarah Burung). Sekadar perbandingan bagi pembaca buku

Jawad Maliki Tabrizi, Risalah Sayr wa Suluk; Tuntunan Menu-

ju Perjumpaan Ilahi, di sini dapat dituturkan kembali pe-

maparan 'Attar.

Manthiq al-Thayr menceritakan penerbangan bu-

rung-burung mencari raja-diraja mereka, Simurgh, yang

berada di puncak Gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat

mereka berada. Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung

kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi

yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sementara

burung-burung melambangkan jiwa atau ruh manusia yang

gelisah karena kerinduannya kepada Hakikat Ketuhanan.

Simurgh sendiri merupakan lambang diri hakiki mereka dan

sekaligus lambang hakikat ketuhanan. Perjalanan itu melalui

P: 16

tujuh lembah atau wadi yang melambangkan tahapan-taha-

pan keruhanian (maqāmāt) yang dicapai seorang salik dalam

menuntut ilmu suluk, dan keadaan-keadaan jiwa (ahwāl) yang

menyertai pencapaian itu. Pada akhir cerita, 'Attar men-

yatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung (si-

murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah

hakikat diri mereka sendiri.

Tujuh lembah itu ialah: pertama, Lembah Talab atau

Pencarian. Di lembah ini banyak kesukaran, rintangan, dan

godaan dijumpai oleh seorang salik. Untuk mengatasinya,

seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan

harus mengubah diri sepenuhnya dengan membalikkan nilai-

nilai yang dipegangnya selama ini, Kecintaan pada dunia harus

dilepaskan, baru kemudian ia dapat terselamatkan dari bahaya

kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan ca-

haya kudus Keagungan Ilahi. Di lembah pencarian, seseorang

harus memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan,

orang dapat bersabar. Kata 'Attar, “Bersabarlah dan berusa-

halah terus dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (hi-

dayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahi-

riah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!"

Kedua, Lembah Cinta (isyq). "Attar melambangkan

cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran se-

bagai asap yang mengaburkannya. Namun, cinta sejati dapat

menyingkirkan asap. Di sini ‘Attar mengartikan cinta seba-

gai penglihatan batin yang terang sehingga tembus pandang,

artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal, kemudian

menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang

yang cinta bukan memandang segala sesuatu dengan mata

pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang

telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan ben-

da-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Di jalan

P: 17

Cinta banyak sekali godaan dijumpai. Hanya petunjuk Tuhan

yang dapat menyelamatkan seseorang yang berada dalam ba-

haya, dan petunjuk itu datang sesuai dengan ikhtiar dan doa

yang dipanjatnya sendiri di masa lalu dan doa yang dipanjat-

kan orang-orang terdekat.

Ketiga, Lembah Kearifan atau Makrifat. Kearifan ber-

beda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersi-

fat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi kare-

na isinya ialah tentang Yang Abadi. Kearifan merupakan laba

yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan

batin terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakikat tung-

gal segala sesuatu, Kearifan menyebabkan seseorang selalu

terjaga kesadarannya akan Yang Satu, dan waspada terhadap

kelemahan, kekurangan, dan keabaian dirinya karena godaan

dan tipu muslihat "yang banyak”.

Keempat, Lembah Kebebasan atau Kepuasan (is-

tighnā"). Di lembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa ses-

eorang atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat

dengan ikhtiar biasa. Karena pandangan telah tercerahkan

oleh kehadiran Yang Abadi, di lembah keempat ini seseorang

mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki

dan utama, mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau

yang semata-mata menyangkut kepentingan diri sendiri.

Seseorang mesti memperbanyak kerja keruhanian, misalnya

dengan ibadah, berderma, memperbanyak amal saleh, mem-

bangun pesantren, menyebarkan kegiatan keagamaan, dan

sebagainya.

Kelima, Lembah Tauhid. Di lembah ini semuanya pecah

berkeping-keping, kemudian menyatu kembali. Semua yang

tampak berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakikat

yang sama. Jadi, di lembah ini seseorang menyadari bahwa

hakikat wujud yang banyak itu sebenarnya satu, maksudnya

P: 18

manifestasi Cinta Yang Satu, yaitu rahman dan rahim-Nya.

Keenam, Lembah Hayrat atau Ketakjuban. Di sini kita

menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata sehing-

ga seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul

rasa duka yang tak terkira.

Ketujuh, Lembah Faqir dan Fana Faqir artinya tidak

memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari dirin-

ya, kecuali Cintanya kepada Yang Satu. Keadaan ini disusul

dengan baqa, yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan.

Ini disebabkan oleh salik telah sampai ke gerbang perjump-

aan dengan Ilahi (liqā' Allāh). Apabila seseorang telah men-

capai tahapan ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki,

dirinya yang universal, dan dengan demikian mengenal sung-

guh-sungguh asal keruhaniannya. Hadis yang mengatakan,

"Siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya" dapat di-

jelaskan melalui uraian di atas. Di sini, seseorang mengenal

bahwa dirinya benar-benar makhluk ruhani, bukan sekedar

makhluk jasmani dan nafsani.

Mengenai pengetahuan tentang diri itu, Imam

al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya, Kimiya-i Sa'adah

(Kimia Kebahagiaan), "Pengetahuan tentang diri yang sebe-

narnya berada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut:

siapakah Anda, dari mana Anda datang? Ke mana Anda akan

pergi, dan apa tujuan Anda datang serta tinggal sejenak di

sini, dan di manakah letak kebahagiaan Anda? .... Suatu bagian

penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari ka-

jian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan

kepada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pen-

cipta. Manusia dengan tepat disebut 'ālam al-shaghir (jagad

cilik) dalam dirinya. Susunan kerangka jasadnya mesti dipe-

lajari, tidak hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dok-

ter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai peng-

P: 19

etahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana kajian

yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa pada

sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan kepada kita

lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya .... Namun,

di atas segalanya, pengetahuan tentang jiwa dan keruhanian

manusia lebih penting, sebab pengetahuan semacam itulah

yang dapat membawa kita sampai pada pengetahuan tentang

Tuhan."

Jawad Maliki Tabrizi, sebagai seorang ahli irfan teo-

retis dan praktis sekaligus, mula-mula menerangkan tentang

tafsir-tafsir yang diberikan terhadap perkataan liqā' Allah dan

menghubungkan makna dari perkataan tersebut dengan ka-

ta-kata lain dalam beberapa doa dan hadis yang diriwayatkan

para perawi. Misalnya kata wushūl/washil (sampai), ziarah,

menyaksikan wajah-Nya, tajalli penyaksian hati dan keteri-

katan ruhani. Dalam beberapa doa disebut berulang perkata-

an, "Wa la tahrimnī al-nazhara ilā wajhika (Janganlah Engkau

melarangku melihat wajah-Mu!)." Dalam konteks pembahasan

yang sama, sufi Nusantara terkemuka, Hamzah Fansuri, men-

gaitkan makna perkataan liqā' Allah dengan al-Qur'an 2: 115,

'Aynamā tuwallū fa-tsamma wajhu'llāhi." (Ke mana pun kau

memandang, akan tampak wajah Allah).

Keyakinan para ahli irfan atau makrifat, bahwa per-

jumpaan dengan-Nya mungkin dalam arti penyaksian secara

kalbiah didasarkan pada al-Qur'an 57:4, "Wa huwa ma'a-kum

ayna-mā kuntum (Dan Dia menyertaimu di mana pun kau be-

rada)." Seperti dikatakan Hamzah Fansuri dalam syairnya,

Jika terdengar olehmu firman

Pada Taurat, Injil, Zabur dan Furqan

Wa huwa ma'a-kum pada ayat Qur'an

Bil kulliy shay'in muhit ma nanya iyan

P: 20

Syariat Muhammad ambilkan suluh

Ilmu haqiqat yogya kau pertubuh

Nafsumu itu yogya kau bunuh

Makanya dapat sekalian luruh

Menurut Jawad Maliki Tabrizi, yang dibahas dalam

ilmu suluk atau irfan adalah tema-tema yang tinggi, bukan

tema berkenaan masalah keseharian. Tema-tema itu terma-

suk dalam berbagai perkara berkenaan dengan rahasia ketu-

hanan dan merupakan bagian dari pokok-pokok utama ajaran

Islam. Ajaran ini dikemukakan untuk meningkatkan ketakwaan

dan penyucian diri, sedangkan ketakwaan dan penyucian diri

adalah jalan mencapai makrifat dan perjumpaan dengan-Nya.

Dengan itu, nafsu hewani dipupus, dan potensi keruhanian

serta iman manusia ditingkatkan.

Kini, buku yang mungkin Anda tunggu itu telah ter-

hidang di hadapan Anda melalui terjemahannya yang bagus.

Hidangan ruhani itu telah diturunkan dari langit pengetahuan

seorang arif dari Tabriz dan tersedia di atas meja di hadapan

Anda yang sudah tidak sabar untuk menyantapnya. Semoga

Anda memperoleh tuntunan untuk melakukan perjumpaan ti-

dak hanya dalam wacana dan kata-kata.

P: 21

P: 22

PENDAHULUAN

Bismillah al-Rahmān al-Rahim

Segala puji bagi Allah dan salawat atas Rasulullah dan keluarganya

Kata liqā'ullah (berjumpa Allah, dan penjelasan tentang diri-

Nya disebut lebih dari 20 tempat dalam al-Qur'an. Penjelasan

tersebut juga disebut dalam ucapan para Nabi a.s. dan para

imam. Dalam riwayat-riwayat tersebut, tidak sedikit yang

membicarakan tentang transendensi (tanzīh) Allah. Meskipun

demikian, di kalangan ulama terjadi perbedaan dalam masalah

ini, di mana yang terpenting dan terbesar dari semua yang ada

adalah dua pandangan berikut ini.

Pertama, pandangan “transendensi mutlak". Bahkan,

puncak makrifat-menurut mereka-tidak lain adalah

memahami masalah ini, di mana Allah harus disucikan

semurni-murninya atau ditransendensikan secara utuh (tanzih

muthlaq). Atas dasar ini, menurut pandangan ini, kandungan

sejumlah ayat suci dan riwayat yang menjelaskan makrifatullah

P: 1

(pengetahuan tentang Allah) dan liqā'ullāh (pertemuan dengan

Allah) mesti ditakwil. Misalnya dengan menakwil kata liqā'ullah

yang terdapat dalam ayat-ayat suci dan semua riwayat dengan

makna “kematian”, “menerima ganjaran", atau “tertimpa azab".

Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa riwayat-

riwayat yang masuk dalam kelompok riwayat "transendensi

mutlak" dan kelompok riwayat "imanensi" (tasybīh), atau

riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang kemungkinan

makrifatullah, dapat diterima. Pertama, dengan memahami

riwayat tersebut sebagai kelompok riwayat yang menolak

makrifatullah secara indriawi dan [menolak] kemungkinan

dalam memahami Dzat Allah. Kedua, dengan memahami

riwayat tersebut sebagai kelompok riwayat yang menerima

kemungkinan mengenal Allah secara global, yakni melingkupi

sifat-sifat dan manifestasi-manifestasi-Nya berikut semua

tingkatannya, sejauh kemampuan makhluk-Nya.

Dengan kata lain, apabila tirai-tirai kegelapan dan tirai-

tirai cahaya tersingkap bagi seorang hamba, maka pada

saat itu ia telah meraih makrifat tentang dzat, nama-nama,

dan sifat-sifat Tuhan, di mana makrifat tersebut tentunya

bukanlah jenis makrifat sebelum penyingkapan. Pendeknya,

cahaya jamaliyyah (keindahan) dan jalaliyyah (keagungan)

Allah termanifestasikan di hati, akal, serta inti diri (sirr) para

wali terpilih-Nya dalam tingkatan tertentu, di mana mereka

memfanakan dirinya dan merasakan kekekalan (al-baqa).

Saat itu, ia menafikan keindahan dirinya, sementara akalnya

tenggelam dalam pengetahuan-Nya. Puncak keadaan tersebut

adalah di mana posisi akalnya diganti, lalu Tuhan sendiri yang

mengurus urusannya.

Setelah mencapai semua tingkatan penyingkapan,

manifestasi cahaya keindahan, fanā' dalam Allah, dan kekal

P: 2

bersama-Nya, ia masih memperoleh buah dari makrifat

tersebut, yaitu dia sampai pada hakikat makrifat dzat, dan pada

saat itu dia akan melihat kelemahan dirinya secara mukāsyafah

(penyingkapan). Tentu saja kelemahan semacam ini pun adalah

jenis makrifat, sementara kelemahan semua manusia adalah

kelemahan dari makrifat. Namun, yang satu di mana dan yang

lainnya di mana? Memang, benda mati memiliki kelemahan

dalam makrifat, begitu juga dengan manusia. Namun, tentu

saja terdapat tingkatan-tingkatan derajat; tingkatan derajat

Rasulullah Saw. dengan manusia yang lain, bahkan para ulama,

lebih tinggi dari kelemahan mereka dan benda mati.

Pendapat pertama cenderung didominasi oleh kelompok

teolog dari kalangan ulama besar. Mereka berargumen

menggunakan penjelasan lahiriah seputar sejumlah riwayat

dan takwil dari ayat-ayat suci, sebagian riwayat, dan doa-doa

yang menjelaskan masalah liqā'ullāh.(1) Saya yang hina ini akan

membawakan sebagian dari ayat-ayat suci dan riwayat yang

mengandung pengertian yang dimaksud berikut takwil dari

sejumlah ulama atasnya, agar yang benar dapat dibedakan dari

yang salah.

Berkaitan dengan ayat-ayat suci yang menerangkan

masalah ligāʻullāh (pertemuan dengan Allah), kelompok

pertama memahaminya dengan makna kematian dan

menerima ganjaran dari Allah. Akan tetapi, kelompok kedua,

di pihak lain, menolak pemahaman itu dengan mengatakan,

"Itu adalah bentuk pemahaman secara alegoris yang tidak

mungkin diterapkan di sini. Dan seandainya itu yang kita

terapkan, makna yang lebih dekat darinya ialah sebuah

tingkatan dari pertemuan, yang mana dari sudut pandang

syariat mungkin dicapai oleh makhluk-Nya, kendati menurut

pandangan umum ('uruf) bukan bentuk pertemuan yang

P: 3


1- 1. Pendapat ini diutarakan dengan jelas oleh Syaikh Ihsa'i dan para pendukungnya. Namun, pada saat yang sama, mereka menakwil riwayat- riwayat tentang liga'ullah (pertemuan dengan Allah) dan makrifatullah dengan pengertian yang kedua. Menurut mereka, semua sifat dan asma Allah menegaskan kedudukan makhluk. Bahkan, mereka tidak mengakui dzat Allah sebagai sumber pengetahuan atas sifat-sifat-Nya. Ini karena mereka meyakini konsep "transendensi mutlak".-minhu 'ufiya 'anhu. (Al-Marhum Mirza Jawad Maliki Tabrizi)

hakiki'. Akan tetapi, lantaran suatu kata digunakan untuk

menunjukan makna aslinya, tentu saat kita mempersepsi kata

pertemuan' yang dipahami darinya, maka pertemuan fisik

adalah hakiki, pertemuan ruhani adalah hakiki, pertemuan

maknawi adalah hakiki, dan begitu juga dengan bentuk-bentuk

pertemuan lainnya sepanjang ruh maknanya masih terkandung

di dalamnya. Tentu saja, masing-masing dari bentuk-bentuk

pertemuan itu [mesti] sesuai dengan kelayakan kondisi yang

bertemu dan yang ditemui.

Kalau memang demikian, dapat dikatakan bahwa makna

hakiki dari kata pertemuan juga terkandung dalam pertemuan

makhluk dengan Tuhan Yang Mahaagung, dengan keadaan

yang sesuai dengan pertemuan keduanya. Ini adalah pengertian

dari beragam kata yang disebutkan dalam sejumlah doa dan

riwayat, seperti, sampai (wushūl), ziarah, menyaksikan wajah-

Nya, tajalli (manifestasi), penyaksian hati, dan keterikatan ruh;

sedangkan lawannya sering diartikan dengan perpisahan dan

keterhalangan.

Dalam sebuah tafsir atas riwayat Qad qāmat al-shalāh

(salat telah ditegakkan) yang dikutip dari Amirulmukminin,

Ali bin Abi Thalib, dijelaskan bahwa maksud riwayat tersebut

adalah saat ziarah telah dekat. Demikian juga dalam beberapa

doa, kalimat berikut ini disebutkan berulang-ulang, wa la

tahrimnī al-nazhara ila wajhika (Janganlah Engkau melarang

aku untuk melihat wajah-Mu!). Imam Ali juga pernah berkata,

"Wa lakin tarāhu al-qulību bi haqāi'qi al-īmān (Akan tetapi hati

menyaksikan-Nya dengan kebenaran-kebenaran iman)."

Dalam Munajat Sya'baniyah disebutkan, "Wa alhiqni binūri

"izzika al-abhaj fa-akūna laka 'ārifan (Dan masukkanlah aku

ke dalam cahaya kemuliaan-Mu yang Mahaagung, sehingga

aku menjadi orang yang mengenal-Mu!). Masih dalam doa

P: 4

yang sama, disebutkan, "Wa anir abshāra qulābinā bidhiyā'i

nazhariha ilayka hattā takhriqa abshār al-qulubi hujūban

nūri fa tashila ilā ma'dini al-azhamati wa tashīra arwāhunā

mu'allaqatan bi'izzi qudsika (Sinarilah penglihatan hati kami

dengan cahaya penyaksian kepada-Mu, sehingga penglihatan

hati ini dapat merobek tirai-tirai cahaya, lalu sampai pada

sumber keagungan. Dan, ruh kami dapat bergabung dengan

keagungan serta kesucian-Mu!)” Dalam doa Kumail disebutkan,

"Wa habnī shabartu 'ala 'azābika fakayfa ashbiru 'alā firāgika?

(Kalau aku dapat bersabar terhadap azab-Mu, lalu bagaimana

aku dapat bersabar terhadap perpisahan dengan-Mu?)"

Penolakan terhadap syubhat-syubhat eksternal yang

datang dengan mendasarkan [diri] pada pemahaman yang

bersih, dan setelah memerhatikan kalimat-kalimat tersebut

dengan saksama, menegaskan bahwa liqā'ullāh bukan

bermakna 'menerima ganjaran, masuk surga', 'makan buah-

buahan surga', atau 'melihat bidadari. Lalu, apa hubungan

makna-makna ini dengan kalimat-kalimat tersebut? Kalau

seseorang dapat memaknai kata liqā'ullah dengan makna-

makna yang jauh berbeda dengan makna aslinya, bagaimana

ia memaknai kata-kata lainnya? Misalnya, apa makna yang

diberikannya pada kata “penyaksian wajah-Nya”? Bagaimana

kami harus memaknai kalimat, “Masukkanlah aku ke dalam

cahaya kemuliaan-Mu Yang Mahaagung, agar aku menjadi

orang yang mengenal-Mu"? Dan apakah kalimat, "Sinarilah

penglihatan hati kami dengan cahaya penyaksian kepada-Mu"

dapat dimaknai dengan memakan buah-buahan surga?

Jika seseorang berpendapat bahwa makna sebenarnya

dari liqā'ullāh bukan semua itu, melainkan dengan makna

pertemuan dengan nabi-Nya atau para imam, berarti

berdasarkan pendapat ini, jika seseorang mewakili kita untuk

P: 5

menyampaikan sesuatu kepada wakil raja, secara alegoris

ia dapat mengatakan, "Saya telah berbicara dengan raja."

Sebagaimana dalam sejumlah riwayat kata "wajah Allah"

kadang-kadang dipahami dengan arti para wali dan nabi-nabi-

Nya; misalnya Rasulullah Saw. adalah wajah-Nya bagi para

imam, dan para imam sendiri adalah wajah-Nya bagi kita.

Kami akan menjawab pendapat tersebut seperti ini.

Pertama, kalau memang maksud "wajah Allah" adalah para

manusia suci, maka saat mereka atau Rasulullah Saw. berdoa

dengan kalimat doa yang menyebut kata "wajah Allah", makna

apa yang dipahami oleh mereka dari-Nya? Kemudian, misalnya

dalam riwayat tentang mi'raj Rasulullah Saw. disebutkan

kalimat berikut ini, "Beliau menyaksikan sebersit cahaya

keagungan yang melintas di hadapannya", harus dimaknai

apa kalimat tersebut? Dan masih banyak lagi kalimat yang

terkandung dalam doa-doa yang bernada serupa.

Adapun pendapat yang diajukan sebagai jawaban atas

pendapat ini dengan memaknai "wajah Allah" dengan maqam

Rasulullah Saw. dan para imam, setelah mereka berhasil

mencapai kedekatan dan fana pada Dzat Allah, sejatinya tak

lebih dari penerimaan terhadap perkara yang diperselisihkan,

bukan jawaban atasnya.

Uraian atas jawaban ringkas ini dapat disampaikan

demikian. Dalam sejumlah riwayat muktabar disebutkan kalimat

berikut, “Kami adalah asmā al-husnā". Maksud asmā al-husnā

di sini, jika bukan dalam bentuk makna, maka dalam bentuk

realitas objektif. Sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah

riwayat bahwa Allah memiliki dua macam asmā (nama-nama):

pertama, dalam bentuk makna; dan yang kedua, dalam bentuk

realitas objektif, di mana dengan semua asma'-Nya itu, Dia

mengatur semua alam dan memanifestasikan diri-Nya pada

P: 6

alam-alam ini. Bahkan, semua alam adalah manifestasi dari

asmā'-Nya. Pengertian ini dapat dipahami dari banyak kalimat

dalam doa-doa yang bersumber dari para imam, di antaranya

adalah sebagai berikut:

"Aku bersumpah dengan nama-Mu yang dengannya

Engkau ber-tajalli (memanifestasi] pada diri fulan bin fulan!"

"Aku bersumpah) demi nama-Mu yang dengannya Engkau

menciptakan langit dan bumi."

Dalam doa Kumail disebutkan, “Dengan nama-Mu yang

memenuhi pilar-pilar segala sesuatu.”

Dalam kitab Ushul al-Kafi dan Tawhid al-Shaduq,

diriwayatkan bahwa Imam Ja'far al-Sadiq berkata:

Sesungguhnya, Allah menciptakan sebuah nama dengan

huruf tapi tak bersuara, dengan kata tapi tak terucap,

dengan sosok tapi tak bertubuh, dengan penyerupaan

tapi tak bersifat, dan dengan warna tapi tak berwarna.

Nama-Nya ini tak berpenjuru, tak memiliki batasan,

tak terjangkau oleh indra orang yang mengkhayal,

dan tersembunyi tanpa ditutupi. Kemudian, Dia

menjadikannya kalimat yang sempurna, yang terbagi

menjadi empat bagian secara bersamaan; tanpa salah

satu darinya mendahului yang lain. Selanjutnya, darinya

Dia menampakkan tiga nama lain berdasarkan kebutuhan

makhluk padanya dan menyembunyikan satu darinya-

(karena itu) disebut dengan nama yang tersembunyi

dan tersimpan (al-ism al-maknūn al-makhzūn). Adapun

nama-nama yang tampak ini, nama yang tampak darinya,

ialah Allah Yang Mahatinggi (Allah Ta'ala). Kemudian,

Dia Yang Mahasuci menundukkan empat pilar untuk

masing-masing nama-nama itu. Jadi, keseluruhan pilar itu

P: 7

berjumlah dua belas pilar. Lalu, Dia menciptakan 30 nama

bagi setiap pilar (12 pilar tersebut), maka nama-nama itu

terus meningkat (hingga berjumlah 360 nama), yang mana

semuanya merupakan cabang dari tiga nama sebelumnya.

Nama-nama itu ialah al-Rahman (Maha Pengasih), al-

Rahim (Maha Penyayang), al-Malik (Maha Menguasai),

al-Quddūs (Mahasuci), al-Khalik (Maha Pencipta), al-Bāri'

(Maha Menjadikan), al-Mushawwir (Maha Pembentuk), al-

Hayy (Mahahidup), al-Qayyūm (Maha Berdiri Sendiri), Lā

Ta'khudzuhu Sinatun wa lā nawmun (Yang Tak Pernah

Mengantuk dan Tidur), al-Alīm (Maha Mengetahui), al-

Khabir (Maha Mengabarkan), al-Sami' (Maha Mendengar),

al-Bashir (Maha Melihat), al-Hakīm (Mahabijak), al-Azīz

(Mahaagung), al-Jabbār (Maha Berkuasa), al-Mutakabbir

(Mahaagung), al-'Aliy (Mahatinggi), al-Azhīm (Mahaagung),

al-Muqtadir (Maha Menentukan), al-Qadir (Mahamampu),

al-Salām (Maha Pemberi Keselamatan), al-Mu'min (Maha

Pemberi Keamanan), al-Muhaymin (Maha Melindungi), al-

Munsyi' (Maha Memulai), al-Badī' (Maha Memulai Sesuatu

yang Baru), al-Rafi' (Mahatinggi), al-Jalīl (Mahaagung),

al-Karīm (Maha Pemurah), al-Rāziq (Pemberi rezeki),

al-Muhyī (Maha Menghidupkan), al-Mumīt (Maha

Mematikan), al-Bā’its (Maha Membangkitkan), al-Warits

(Maha Mewariskan).

Jadi, nama-nama ini dan nama yang terbaik (asmā'ul husna)

lainnya yang mencapai 360 nama terhubung dengan tiga

nama sebelumnya. Tiga nama ini merupakan pilar-pilar

dan (sekaligus) tabir bagi satu nama yang tersebunyi dan

tersimpan pada tiga nama tersebut. Inilah maksud sebuah

ayat suci yang berbunyi, “Katakanlah, serulah (Dia dengan

P: 8

nama) Allah! Atau serulah (Dia dengan nama) al-Rahmān!

Yang mana pun kamu seru, adalah dari nama-nama-Nya

yang terbaik (asmā al-husnā)."(1)

Berdasarkan riwayat di atas, ditambah sejumlah riwayat

yang lain dan doa-doa mutawatir, diketahui bahwa nama-

nama itu masuk kategori makhluk dan bersifat objektif. Dalam

riwayat-riwayat muktabar pun terdapat ucapan para imam

sebagai berikut, "Kami adalah asmā' al-husnā, bahkan imam

adalah ism aʼzham (nama yang agung).”

Menurut akidah Ahlul Bait, Rasulullah Saw. adalah makhluk

paling mulia, ia pun adalah ism a'zham (nama yang agung).

Dalam doa-doa di bulan suci Ramadhan, disebutkan bahwa

Rasulullah Saw. adalah tabir terdekat, maksudnya, makhluk

yang terdekat dengan-Nya. Dalam sebuah riwayat lainnya

tentang Imam Ali, dikatakan bahwa beliau begitu dekat dengan

Allah,(2)

Penelaahan terhadap hadis-hadis ini menghasilkan:

pertama, hadis-hadis ini muktabar dari segi sanadnya dan

hal ini diakui oleh para ulama mazhab. Mereka menyebut

dan mencantumkan sanad kesahihan hadis-hadis tersebut

dalam kitab-kitab mereka yang dipandang sebagai rujukan.

Selanjutnya, dengan merenungi hadis-hadis ini, akan terkuak

bahwa maqam Rasulullah Saw. adalah maqam ism aʼzham dan

tabir terdekat, serta lebih tinggi dari 35 nama dari 300 nama.(3)

Bahkan, beliau Saw. meliputi semua nama yang ada. Sebab,

berdasarkan riwayat yang disebutkan sebelumnya, 300 nama

itu merupakan pilar-pilar dari tiga nama, dan ketiga nama ini

adalah pilar-pilar dan tabir bagi ism a'zham (nama teragung),

yang tersimpan dan tersembunyi, dan tak lain juga makhluk-

Nya.

P: 9


1- 2. Ushul al-Kafi, 1: 112, Bab Huduts al-Asma', hadis ke-1; Tawhid al-Shaduq, Cetakan Lembaga al-Shaduq, hlm, 190-191, Bab Asma' Allah Ta'ala, hadis ke-3. Dalam kitab Tawhid al-Shaduq, tertulis dengan kalimat berikut, bi al- hurufi ghayri man'utin (dengan huruf yang tak bersifat), yang lengkapnya tercantum demikian, Inna Allāha tabaraka wa ta'āla khalaga isman bi al- hurufi wa huwa 'azza wa jalla bi al-hurufi ghayri manutin (Sesungguhnya, Allah Yang Mahatinggi telah menciptakan nama dengan huruf. Dan, Dia 'azza wa jalla dengan huruf yang tak bersifat). Pada bagian komentar atas naskah kitab al-Kafi dikatakan bahwa kalimat "wa huwa 'azza wa jalla bil hurufit" tidak disebutkan dalam kitab al-Kafi dan Bihar al-Anvār. Namun, kalimat itu tercantum pada naskah-naskah yang dikutip dari kitab Tawhid al-Shadaq yang ada pada saya. Allamah Majlisi mengatakan, “Dalam sejumlah besar naskah, tampaknya merupakan objek perselisihan dan hasil pekerjaan sebagian kalangan para editor naskah (nasikhin). Mereka ini berpikir bahwa sifat-sifat ini tidak dapat menjadi sifat bagi nama yang terucap. Mereka lupa bahwa berdasarkan ucapan imam, "Kemudian Dia menjadikannya kalimat yang sempurna," jelas dan pasti dengan wujudnya tak dapat menjadi sifat bagi nama yang terucap. Jadi, maksud dari nama ini bukan nama yang terucap, melainkan, penciptaan Allah yang menjadi sumber kemunculan nama-nama dan sifat-sifat pada makhluk-Nya." Bagi yang menginginkan penjelasan lebih jauh] atas hadis ini, silakan merujuk syarah ayat 180 QS Al-A'rāf 7., yang tedapat dalam kitab Bihār al- Anwār, kitab-kitab syarah al-Kafi, dan Tafsīr al-Mīzān. Al-Marhum Faidh juga membawakan hadis ini dalam kitab al-Waſi yang dikutip dari kitab al-Kafi; Cetakan Hurufi, Isfahan, 1: 463-464, hadis ke-1. Saya juga membawakannya dalam kitab Tawhid Ilmi wa 'Aini, hlm. 320-321, yang dikutip dari sumber yang sama. (al-Marhum Allamah Teherani)
2- 3. Abu Nu'aim Isfahani dalam kitab Hilyah al-Muttaqin, 1: 68, dengan sanad muttasil-nya meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi, “Janganlah kamu mencaci maki Ali, karena ia adalah orang yang bersentuhan dengan dzat Allah Yang Maha Tinggi.” (Al-Marhum Allamah Teherani)
3- 4. Nama-nama yang tercantum dalam semua naskah berjumlah 300 nama, sedangkan menurut keterangan sebelumnya, harus berjumlah 360 nama. Hal itu harus dipahami, apakah karena luput dari penulisan atau penulisnya sekedar ingin mengesankan banyak dari angka itu, karena angka 360 telah disebutkan sebelumnya.

Setelah mendengar penjelasan tentang masalah tingkatan-

tingkatan magam dan sejenak memikirkannya, kita akan melihat

bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah maqam-magam

Rasulullah Saw. Dan, hal ini bisa diartikan bahwa kedekatan

beliau Saw. adalah kedekatan maknawi dan makrifatnya juga

merupakan makrifat hakiki. Meskipun penjelasan panjang lebar

tentang masalah ini telah disampaikan, tetapi tetap dibutuhkan

penegasan yang berasal dari Nabi Saw., ahlulbait, dan para

khalifah-Nya yang suci, yaitu pewaris ilmu Rasulullah Saw.

Maka, jelas bahwa pemahaman semacam ini tidak bertentangan

dengan klaim sejumlah ulama, yaitu bahwa makrifat kepada

Allah Yang Maha Penyayang, di mana secara spesifik hanya

dimiliki oleh wali-wali-Nya, adalah hal yang mungkin sekaligus

dicintai. Lebih dari itu, ini adalah masalah terpenting dalam

agama dan puncak tujuan penciptaan semua tingkatan langit

dan bumi, bahkan semua alam.

Seandainya dengan semua penjelasan ini masih ada

seseorang yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya

tentang maqam "transendensi mutlak" Dzat Allah dengan

berkata, "Tidak ada jalan sama sekali untuk mengenal Allah;

baik secara detail maupun global, sampai pada hakikat-Nya

maupun sebatas 'wajah-Nya, pada saat itu, jika ia berpikir

dengan benar, ia akan memahami bahwa pendapatnya itu

meniscayakan penolakan terhadap kemampuan akal, penyia-

nyiaan potensi akal, dan [menerima] kemustahilannya, tanpa ia

sadari. Sementara para imam dalam sejumlah hadis muktabar

menyatakan penolakannya terhadap pendapat 'transendensi

mutlak?"

Dalam sebuah riwayat yang dikutip dari kitab al-Kafis,(1)

dikisahkan bahwa seorang zindik (orang yang memiliki akidah

menyimpang) bertanya kepada Imam Ja'far al-Sadiq, “Apakah

P: 10


1- 5. Ushūl al-Kafi, 1: 83-85, Bab Ithlāgi al-Qawl bi Annahu Syai'un, dengan sanad muttasilnya kepada Hisyam bin Hakam. (Allamah Teherani)

bagi-Nya [memiliki] inniyah (indentitas wujud) dan mā'iyyah

(keapaan/esensi)?" Beliau menjawab, “Ya, sesuatu tak akan ada

melainkan dengan inniyah dan mā'iyyah!" Penanya itu kembali

melontarkan pertanyaan, "Apakah Dia juga memiliki kayfiyyah

(howness/kekualitasan)?” Beliau berkata, “Tidak. Karena

kayfiyyah adalah batasan bagi sifat sesuatu dan kekuasaannya!

Tetapi, kita tidak dibenarkan menerima pendapat ta'thil

(pandangan yang menolak kemampuan akal) dan tasybīh

(pandangan yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).

Sebab, siapa yang menolak-Nya, berarti ia mengingkari-Nya

dan membuang sifat rububiyah-Nya, dan menjadikan-Nya

sia-sia. Dan, siapa yang menyerupakan-Nya dengan selain-

Nya, ia telah melekatkan sifat makhluk yang tercipta, yang

tak berhak atas sifat rububiyah. Jadi, harus dibuktikan bahwa

Dia memiliki kayfiyyah yang tidak dimiliki oleh selain-Nya, Dia

tidak memiliki sekutu, Dia tidak diliputi oleh selain-Nya, dan

tidak pula diketahui oleh selain-Nya."

Pada bagian pertama hadis ini disebutkan bahwa orang

zindik itu bertanya, “Apa Dia?" Imam menjawab, “Dia adalah

Tuhan, Dia adalah yang disembah, dan Dia adalah Allah!"

Selanjutnya, Imam melanjutkan dengan berkata, “Apa yang aku

katakan bukan dimaksudkan pada huruf-huruf ini, melainkan

pada makna dan sesuatu yang menciptakan segala sesuatu.

Oleh sebab itu, maksudku adalah sifat dari huruf-huruf ini dan

makna yang dimaksud."

Dialog ini sampai pada keterangan perawi, Hisyam bin

Hakam, bahwa penanya berkata, "Sesungguhnya, tak ada

sesuatu yang terlintas dalam pikiran kita, kecuali ia adalah

makhluk." Imam menjawab, "Kalau begitu, tak ada tuntutan

Allah kepada kita untuk bertauhid karena tidak mungkin

kita diwajibkan untuk menerima sesuatu yang tak pernah

P: 11

terlintas dalam pikiran kita! Akan tetapi, maksud ucapan kami

ialah bahwa segala sesuatu yang terlintas dalam pikiran kita

melalui indra, maka indra tersebut akan membatasinya dan

menampilkannya (dalam pikiran dengan bentuk), dan ini adalah

makhluk. Oleh karena itu, penolakan atas-Nya sama dengan

membatilkan-Nya, ..."

Oleh sebab itu, seharusnya manusia tidak menafikan

setiap makna transendensi (tanzīh) Tuhan. Pasalnya, hal

semacam ini bukanlah hakikat dan justru kebatilan. Walaupun

sebenarnya hal tersebut hanya menunjukkan penolakan,

tetapi makna-makna yang tak pantas dan hanya menunjukkan

keterbatasan dan kekurangan pada diri Allah harus ditolak.

Misalnya, pengetahuan indriawi dengan semua cabangnya

[tentang Tuhan). Adapun pengetahuan mata hati dan akal, itu

bukan tentang dzat melainkan "wajah-Nya". Seandainya hal ini

ditolak, tentu tidak ada pengetahuan yang bisa dimiliki para

nabi, wali-wali, dan orang-orang arif, kecuali apa yang bisa

dimiliki oleh orang awam secara umum.

Sebenarnya, jika seseorang memiliki bashīrah (penglihatan

batin) sedikit saja, ia akan mendapati orang-orang yang

menolak pengetahuan tentang “wajah-Nya"—tanpa mereka

sadari dan kehendaki-memiliki pengetahuan tentang

keyakinan hati ('aqd qolbī i'tiqādī); sedangkan pengetahuan

partikular tentang keyakinan hati mereka ini bertentangan

dengan konsep "transendensi mutlak" yang mereka kemukakan

karena mereka mengucapkan makna-makna semacam ini,

misalnya dalam doa-doa mereka, “Engkau adalah Yang Maha

Pengasih dan Maha Pengampun, maka lakukanlah sesuatu

untukku sesuai kehendak-Mu!"

Tentu, yang mereka kehendaki bukan semata-mata huruf-

huruf yang tak pernah mereka pahami maknanya. Akan tetapi,

P: 12

yang mereka inginkan adalah dzat itu sendiri sebagai pemilik

sifat-sifat tersebut. Meskipun dalam persepsi mereka, di

satu sisi tidak sesuai dengan dzat-dzat mumkin. Dan mereka

berpikir bahwa sifat kasih sayang Tuhan ternafikan dari

makna sifat kasih sayang yang melazimkan saling interaksi

dan berpengaruh terhadap hati. Akan tetapi, saat itu secara

global mereka memahami makna tersebut, yang mana hal itu

mendorong mereka untuk berdoa dan menundukkan diri.

Keterangan ini dan pengetahuan partikular pada keyakinan

hati ini bertentangan dengan konsep "transendensi mutlak"

yang mereka klaim. Orang-orang yang mengkritik pengetahuan

dan juga mengkritik posibilitas pengetahuan mengatakan,

"Makna-makna universal dari nama-nama dan sifat-sifat

Tuhan yang kamu yakini sebagai bentuk-bentuk keyakinan hati

kepada-Nya, kami mendapatinya melalui penyaksian batin dan

kami mencapai hakikat-hakikat tersebut dalam batasan tanzih."

Segala sesuatu yang nyata, yang tersingkap bagi kami, sama

dengan apa yang diyakini oleh para teolog Syiah Imamiyah

sebagai sesuatu yang dipersepsi oleh alam pikiran dan sebuah

bentuk keyakinan hati. Akan tetapi, yang satu masuk dalam

kategori konsep, sedangkan yang lainnya masuk dalam kategori

kesadaran hati. Seperti perbedaan konsep manis yang ada

pada pikiran manusia dengan realitasnya yang masuk dalam

kategori kualitas rasa, yakni rasa pada sebagian benda yang

bersentuhan dengan permukaan lidah, yang ia sebut dengan

manis. Dua hal ini dilihat dari satu sisi adalah sama dan dilihat

dari sisi lain tak saling bertemu.

Para teolog muslim pun mengatakan bahwa cahaya agung

Allah Yang Mahatinggi bermakna zahir dan batin. Kendati

demikian, hakikatnya berbeda dengan cahaya-cahaya lainnya,

seperti cahaya matahari, bulan, dan lain-lain. Rasulullah Saw.

P: 13

menyaksikan makna dan hakikat apa yang ada di balik zahir

dan batin yang merupakan salah satu manifestasi dari sebuah

nama Ilahi dalam bentuk hakikat rahasia dan ruhnya. Namun,

hal ini tetap sesuai dengan tanzih, “Tak ada dari cahaya-cahaya

yang menyerupai-Nya, bahkan Dia lebih agung dari tanzih ini.”

Inilah yang kami sebut dengan makrifat.

Penjelasan-penjelasan di atas adalah sebuah pendekatan

dengan perumpamaan, serupa dari satu segi, tetapi berbeda

dari banyak segi. Jadi, para wali memperoleh makrifat ism

zhāhir (nama lahir) Allah dengan manifestasi (tajallī) ism

zhāhir tesebut pada diri mereka. Saat itu, mereka mengatakan,

"Apakah selain-Mu memiliki keberadaan yang tak dimiliki oleh-

Mu hingga ia menjadi muzhhir (pemberi keberadaan) bagi-

Mu?" Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Aku tidak pernah melihat

sesuatu, melainkan aku menyaksikan Allah sebelum, bersama,

dan sesudahnya."

Tidak dibenarkan seseorang mengingkari atau menakwil

hal ini, dengan dalih bahwa dirinya sedang mengalami apa

yang disebut dengan keyakinan hati, lalu ia menamai keadaan

ini. Mahasuci Allah dari kemampuan seseorang menyaksikan

hal-hal yang nyata dari nama-nama-Nya. Dan, sangat alami

manusia tidak menyukai apa yang tidak diketahuinya.

Bagaimanapun, jika seorang mukmin memegang prinsip

bahwa setiap persoalan yang tidak dapat dipahaminya

maka harus ia tolak, niscaya ia akan juga menolak apa-apa

yang diimaninya. Bahkan, menurut Imam Ja'far al-Sadiq,

jika seseorang setelah berusaha menelaah dan memikirkan

sebuah persoalan tetapi tak dapat memahaminya, lalu

karenanya ia menolak dan mengingkari persoalan tersebut

serta menjadikan sikap semacam ini sebagai prinsip hidup dan

pola beragamanya, sejatinya ia akan keluar dari keimanannya.

P: 14

Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat memahami ucapan para

nabi, wali, dan ulama yang benar terkait dengan masalah ini,

menunjukan kepasrahan kepada sang pemberi ilmu, Allah, dan

meluruskan niatnya seraya terus menelaah dan merenungi

ucapan-ucapan orang-orang mulia itu atau bertanya kepada

ulama yang terjangkau olehnya, pasti Allah mengajarkan dan

menjelaskan masalah ini kepadanya atau menunjuki jalan

bagaimana memahaminya.

Jelas bahwa tema-tema yang sangat tinggi dan termasuk

rahasia-rahasia rabbaniyah ini adalah bagian dari ajaran

Islam. Bahkan secara global, orang-orang yang tenggelam

dengan kejumudan membenarkannya dan memahami bahwa

peningkatan ketakwaan dan menyucikan diri adalah jalan

untuk mencapai makrifat pada-Nya. Menurut mereka, dari

sana potensi kehewanan manusia akan melemah digantikan

dengan menguatnya potensi ruhani dan keimanannya, saat

itulah mata batinnya akan terbuka menyaksikan hakikat objek

tema ini dengan penyaksian batin. Hal ini juga diisyaratkan

oleh sebuah ayat suci:

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan Kami,

maka Kami akan menunjukan jalan-jalan Kami kepada

mereka.” (QS Al-'Ankabūt [29]: 69].

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa orang yang

memiliki dua mata batin yang dengannya ia dapat menyaksikan

alam gaib, jika Allah menghendaki kebaikan baginya, Dia akan

membuka kedua batinnya itu.

Wahai saudara-saudaraku, jika sekarang ini Anda

bertekad menjadi ahli makrifat, manusia sempurna, pribadi

spiritual, sekutu para malaikat, dan sahabat para nabi dan

para wali, mulailah dengan mengikat tekadmu itu dengan

P: 15

ajaran agama, buanglah sebagian dari sifat kehewananmu,

berakhlaklah dengan akhlak ruhani, dan jangan memelihara

derajat kehewanan serta puas dengan nilai benda-benda

mati. Ini adalah perjalanan dari air dan tanah menuju tempat

asal diri kita, yaitu alam yang tinggi (illiyyīn) dan tempat

orang-orang yang dekat dengan Allah (muqarrabīn). Teruslah

berusaha melalui penyaksian batin Anda agar sampai pada

makrifat perkara besar ini dan makrifat diri (nafs) yang agung.

Seriusilah upaya ini, terutama dalam mengenal diri sendiri,

karena mengenal diri sendiri sama dengan mengenal Allah,

sebagaimana disebutkan dalam riwayat, “Siapa mengenal

dirinya, sejatinya ia telah mengenal Tuhannya." (1)

Sebagian ulama menafsirkan riwayat di atas dengan

menyatakan bahwa mengenal hakikat diri sendiri adalah hal

yang tak mungkin tercapai. Pernyataan mereka ini seakan

melupakan sebagian riwayat lain yang secara jelas mendukung

makna pertama. Seperti kadungan sebuah riwayat yang

tercantum dalam kitab Mishbah al-Syarī'ah, yang menyebutkan

bahwa sejumlah orang bertanya, "Ilmu apa yang dimaksud

dalam sebuah riwayat yang berbunyi, “Tuntutlah ilmu meskipun

hingga ke negeri Cina!?" Imam menjawab, “Maksudnya adalah

mengenal diri dan di dalamnya terkandung pengenalan kepada

Allah." (2)

Demikian pula dijelaskan dalam sebuah riwayat bahwa

sejumlah orang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Bagaimana

cara mencapai makrifatullah?” Beliau Saw. menjawab, “Dengan

mengenal diri."

Alhasil, ketahuilah bahwa ukuran kemanusiaan bukan pada

bentuknya karena bentuknya dapat ditempelkan di pintu kamar

mandi. Bukan pada fisiknya, karena binatang yang kotor pun

berfisik. Bukan karena ia makan dan melakukan hubungan

P: 16


1- 6. Mishbāh al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41,
2- 7. Mishbah al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41.

seks, karena beruang dan babi jauh lebih kuat dalam hal ini.

Bukan dengan kemarahan dan kemampuan untuk membalas,

karena anjing dan serigala memiliki kekuatan amarah melebihi

manusia. Namun sebenarnya, ukuran kemanusiaan yang

membuat Anda disebut manusia dan yang membedakan Anda

dari yang lain adalah ilmu, makrifat, dan akhlak yang baik.

Ilmu dan makrifat tak dapat diraih, kecuali dengan

memperbaiki akhlak. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah

riwayat dari Amirulmukminin, "Ilmu tidak berada di langit

hingga harus turun untukmu, tidak pula berada di perut bumi

hingga harus naik untukmu. Akan tetapi, ilmu berada di hatimu.

Oleh sebab itu, berakhlaklah dengan akhlak orang-orang suci

hingga tampak bagimu (ilmu dan makrifat]."(1)

Keterangan ringkas di atas dapat diperluas demikian,

segala sesuatu yang ada pada realitas eksternal, permisalannya

ada pada diri manusia, bahkan seluruh sifat dan nama Ilahi

memberikan efek padanya. Manusia adalah sebuah buku

yang ditulis oleh tangan Sang Sebaik-baik Pencipta. Ia adalah

permisalan dari lawh al-mahfūzh. Ia adalah hujjah Allah

terbesar. Ia adalah pengemban amanah yang bumi dan langit

tak sanggup memikulnya. Dengan kata lain, dirinya meliputi

perwujudan tiga alam, yaitu alam indra, alam imajinal (mitsāl),

dan alam akal

Jika seseorang berhasil menundukkan alam indra dan

alam imajinal di bawah pengaruh akalnya, yakni ia curahkan

perhatian dan tekadnya kepada akalnya, niscaya potensi akal

yang dimilikinya menjadi sempurna dan kekuasaan alam

syahadah (indriawi) dan mitsāl (alam imajinal) akan diserahkan

kepadanya. Pendeknya, ia akan mencapai suatu maqam yang

tak pernah terpikir oleh siapa pun.

P: 17


1- 8. Kalimat Maknūnah (Cetakan Sanggi Tahun 1316 HQ), hlm. 219.

Apabila akalnya mengikuti alam indra yang merupakan

alam natural dan alam inferior (alam al-sijjin), dan ia

tenggelam di dalamnya yang menurut ungkapan al-Qur'an,

"Dia cenderung kepada dunia,(1) maka Allah lebih tahu—setelah

ruhnya terpisah dengan badan ini-bencana seperti apa,

kesengsaraan seperti apa, kezaliman dan kesulitan seperti

apa yang akan dihadapinya, khususnya pada kiamat kubrā

(besar) yang merupakan “hari diungkapkannya berbagai macam

rahasia" (QS Al-Thāriq: 9).

Jadi, hendaknya manusia memperbaiki akhlak dan amal

mereka, serta gerakan dan diamnya disesuaikan dengan

timbangan syariat dan akal karena syariat dan akal selalu

harmonis dan keduanya memerintahkan supaya manusia

menyandang sifat-sifat, karakter-karakter dan akhlak-

akhlak ahli-ahli spiritual, agar pelbagai gerakan dan diamnya

menyebabkan peningkatan ke alam yang lebih tinggi dan

derajat mulia para ahli spiritual. Dengan kata lain, mencapai

makrifat (pengetahuan) tentang “Allah, malaikat-malaikat-

Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya dan Hari Akhir."(2)

Pada konteks ini, ia mencapai makrifat intuitif (al-ma'rifah al-

wijdaniyyah), ia merepresentasikan insan spiritual, bukan insan

material atau jasmani.

Artinya, ia menjadi wujud yang benar-benar manusia,

bukan wujud yang berupa hewan. Berkaitan dengan ini,

Alamul Hudali (3)dalam kitab Ghurar wa Dhurar, menukil

riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat beliau ditanya

tentang alam 'ilwiy (alam yang tinggi), beliau menjawab, “Allah

menciptakan manusia dengan jiwa yang berpikir. Apabila

manusia menyucikan jiwanya dengan dua sayap, yaitu ilmu dan

amal, jiwa yang berpikir tersebut akan menyerupai permata.

Dan apabila tabiatnya seimbang dan ia menjauhi sifat-sifat

P: 18


1- 9. "Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah- kisah itu agar mereka berpikir," (QS Al-A'raf 7.: 176).
2- 10. "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul- Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Siapa yang kafir kepada Allah, malaikat- malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS Al-Nisa' [4]: 136).
3- 11. Yang dimaksud dengan Alamul Huda adalah Sayyid Murtadha. Beliau memiliki kitab yang berjudul Amālī yang terkenal dengan sebutan Ghurar wa Dhurar dan yang dimaksud adalah kitab beliau, yaitu Ghurar al-Fawa'id wa Dhurar al-Qala'id, di mana kitab tersebut diisyaratkan dalam kitab al-Dzari'ah [16: 44]. Tetapi dengan pencarian yang teliti, terbukti bahwa riwayat tersebut tidak terdapat di situ, tetapi terdapat dalam kitab Ghurar wa Dhurar yang diberi syarah (keterangan) oleh Omidi Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi, di mana Jamal Khansari, seorang muhaqqiq (peneliti), memberikan syarah terhadapnya dan dia menyebutkan riwayat ini dengan uraian yang terperinci pada juz 4, halaman 218 sampai 221 no. 5885. Saya menyebutnya dalam juz 3, majelis 17 dari halaman 160 sampai halaman 162 pada bagian "Mengenal Hari Akhir" dari pembahasan tentang pelbagai macam ilmu dan makrifat Islam dan saya tambahkan pernyataan yang bernas (berdalil kuat) yang saya nukil dari seorang ustad dan guru yang mulia Allamah Thabathaba'i. (Almarhum Allamah Teherani).

yang tercela, niscaya ia berada pada jalan keseimbangan dan

keadilan. Sehingga, dia akan berpartisipasi dengan 'tujuh langit

yang kokoh."*(1)

Dalam riwayat lain yang sejenis, Ali bin Abi Thalib-ketika

menguraikan tentang khalifah-setelah menjelaskan beberapa

poin, menyatakan, “Siapa yang berakhlak dengan akhlak Ilahi,

ia akan menjadi wujud yang benar-benar insani dan tidak

menjadi wujud hewani. Orang seperti ini akan masuk dalam

kelompok malaikat yang memiliki bentuk (shūrah), di mana

setelah maqam ini, tidak ada maqam yang lebih tinggi."

Apabila kekuasaan dan wilayah ini dicapai oleh seseorang,

setelah melalui alam-alam air dan tanah yang merupakan

alam kegelapan, selanjutnya ia akan mencapai maqam ma'rifah

al-nafs (pengenalan diri); maqam hakikat jiwa dan ruh yang

merupakan alam cahaya dan kunci ma'rifatullah (mengenal Allah

Yang Maha Mengatur). Ia melihat-Nya dengan penyingkapan

(al-kasyf) dan dengan penyaksian secara langsung. Lantaran hal

ini, ia akan sadar bahwa jiwanya berasal dari alam nonmateri.

Pada saat itu, ia dapat melewati tabir-tabir kegelapan

dan selamat darinya. Dia tidak akan tinggal diam, bahkan

melaju terus menuju maqam yang mungkin dicapainya dari

pengenalan Allah, kecuali hijab-hijab cahaya. Saat melalui

hijab-hijab dan berusaha untuk mencapai maqam yang tinggi

ini, ia akan merasakan kelezatan-kelezatan, pesona-pesona,

dan layanan-layanan serta pelbagai macam alam yang ada, di

mana tidak akan bisa merasakan dan memahami hal ini selain

ahlinya.

Apabila seseorang meyakini alam tersebut melalui jalan

ilmu atau jalan argumentasi, sebagaimana yang ditulis oleh

Syeikh al-Rais (Ibn Sina) dalam Maqāmat (jenjang-jenjang

spiritual) dan 'urafa-'urafa yang lain; atau mengikuti dan

P: 19


1- 12. Sebelum riwayat ini, disebutkan bahwa Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib ditanya tentang alam yang tinggi, yakni alam mujarradāt (alam immaterial) yang jenjangnya lebih tinggi daripada alam jasmani. Kemudian beliau berkata, "Gambar-gambar yang sunyi dari materi, yang lebih tinggi daripada kekuatan dan potensi. Allah Swt memanifestasi kepadanya, lalu ia menjadi terang benderang, lalu dengan penuh perhatian dan kesinambungan, Dia memperhatikannya sehingga ia bersinar dan Dia mencipratkan model dan contoh-Nya kepada identitasnya serta mengejawantahkan perbuatan-Nya padanya. (Syarh Ghurar wa Dhurar Omadi, Jamal Khunsari, juz 4, halaman 218 sampai halaman 221, no. 5885).

belajar dari ahlinya, maka tentu masih ada ribuan perbedaan

antara ilmu dan makrifat ini. Keutamaan pengenalan melalui

penyaksian (syuhūd) dan intuisi (wijdāni) serta kelezatan

saat melalui pelbagai macam jenjang ini, sebagaimana yang

disampaikan dan diriwayatkan dalam kitab al-Kafi dari Imam

al-Sadiq yang mengatakan:

Andaikan manusia mengetahui keutamaan makrifatullah,

niscaya mata mereka tidak akan terpesona kepada

kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepada

musuh-musuh dari pelbagai pesona dunia dan pelbagai

macam kenikmatannya. Sehingga, bagi mereka dunia lebih

rendah dan lebih hina dari apa yang mereka injak oleh

kaki-kaki mereka. Mereka menikmati makrifatullah dan

merasakan kelezatannya sebagaimana kelezatan orang

yang berada di taman surga bersama wali-wali Allah.

Sesungguhnya, mengenal Allah merupakan hiburan dari

setiap hal yang menakutkan, teman dari setiap kesunyian,

dan cahaya dari setiap kegelapan, serta kekuatan dari

setiap kelemahan dan obat dari setiap penyakit. (1)

Berkaitan dengan defenisi 'arif (penempuh jalan spiritual),

dalam kitab Misbah al-Syari'ah disebutkan:

'Arif adalah orang yang pribadinya bersama manusia dan

hatinya bersama Allah. Dan andaikan hatinya lupa dari

Allah sesaat saja, ia akan mati karena kerinduan kepada-

Nya. 'Arif adalah orang kepercayaan yang menjaga titipan-

titipan Allah, khazanah rahasia-rahasia-Nya, tempat

cahaya-Nya, petunjuk rahmat-Nya terhadap makhluk-Nya,

kendaraan ilmu-ilmu-Nya, serta timbangan keutamaan

dan keadilan-Nya. Ia tidak butuh kepada makhluk, obsesi,

dan dunia. Tiada penghibur baginya selain Allah dan

P: 20


1- 13. Rawdhah al-Kafi, hlm. 247, hadis 347 dari Muhammad bin Salim, dari Ahmad bin Rayyan dan dari ayahnya, dari Jamil dan dari ayahnya.

tiada pembicaraan, isyarat, dan nafas, kecuali dengan

Allah, untuk Allah, dari Allah, dan bersama Allah. Ia selalu

mondar-mandir di antara taman-taman kesucian-Nya,

dan membekali dirinya dengan kelembutan-kelembutan

keutamaan-Nya. Makrifat itu adalah pokok (dasar) dan

cabangnya adalah iman.(1)

Diriwayatkan dalam kitab al-Kafi dan kitab al-Tawhid

bahwa Imam al-Sadiq berkata: “Sesungguhnya ruh orang

mukmin sangat lekat dengan ruh Allah, melebihi lekatnya

pantulan cahaya matahari dengan matahari."

Dalam hadis Qudsi yang disepakati oleh seluruh mazhab

Islam, disebutkan bahwa Allah berfirman:

Tiadalah seorang hamba yang berusaha mendekatkan

dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai

dari apa yang telah Aku wajibkan baginya. Sesungguhnya,

dia berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-

amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan ketika Aku

mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang

dengannya ia mendengar, matanya yang dengannya ia

melihat, lisannya yang dengannya ia berbicara, tangannya

yang dengannya ia menggerakkan sesuatu. Apabila ia

berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.

Dan apabila ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan

memberinya.(2)

Khajah Nashiruddin berkata:

Ketika seorang 'arif terputus dari diriſegoisme]nya lalu

terikat dengan al-Haqq (Allah), ia melihat segala kekuasaan

tenggelam dalam kekuasaan-Nya yang selalu terkait

dengan seluruh yang bisa dikuasai, segala ilmu tenggelam

P: 21


1- 14. Mishbah al-Syari'ah, bab 95.
2- 15. Al-Kafi, 2/352.

dalam ilmu-Nya, di mana tidak ada sesuatu pun dari yang

ada (maujud-maujud) tersembunyi dari ilmu-Nya, segala

kehendak tenggelam dalam kehendak-Nya, di mana tidak

ada satu pun dari makhluk yang terlepas dari kehendak-

Nya, bahkan setiap wujud itu berasal dari-Nya dan selalu

mendapat curahan karunia-Nya.

Apabila demikian adanya, al-Haqq akan menjadi matanya

yang dengannya ia melihat, pendengarannya yang

dengannya ia mendengarkan dan kekuasaannya yang

dengannya ia melakukan sesuatu dan ilmunya yang

dengannya ia mengetahui dan wujudnya yang dengannya

ia berada. Pada saat itu, seorang 'arif berakhlak dengan

akhlak Allah secara hakiki.(1)

Dalam kitab Misbah al-Syari'ah disebutkan:

Orang yang sedang dimabuk rindu tidak bernafsu untuk

makan, tidak merasa nikmat untuk minum, tidak merasa

nyaman untuk tidur, tidak merasa terhibur dengan sahabat,

tidak merasa perlu bernaung di suatu rumah, tidak tinggal

dalam suatu bangunan, tidak memakai pakaian yang

lembut dan tidak dapat diduga. Ia menyembah kepada

Allah Swt. sepanjang malam dan siang, dengan harapan

sampai kepada apa yang dirindukannya. Dia bermunajat

pada-Nya dengan lisan kerinduan seraya mengungkapkan

apa yang ada dalam lubuk hatinya yang paling dalam,

sebagaimana Allah Swt. menceritakan tentang Musa bin

Imran, saat ia berjanji pada Tuhannya dengan mengatakan

kepada-Nya, "Dan aku bersegera menujumu wahai

Tuhanku, agar Engkau ridha."

P: 22


1- 16. Syarh Isyarat Ibn Sina, Magamat al-'Arifin, delapan halaman terakhir. Di dalamnya terdapat penjelasan pengarang yang mengatakan, "Isyarah" firfan (mistik) dimulai dengan pembedaan, kontradiksi, peninggalan, dan penolakan. Perhatian secara mendalam terhadap komprehensifitas, yaitu komprehensifitas sifat-sifat al-Haqg terhadap zat-zat yang berkehendak kepada al-shida (kebenaran) dan berakhir pada al-wāhid (yang satu), lalu wuquf (berhenti).

Lalu, Nabi Saw. menceritakan keadaannya, "Beliau (Musa)

tidak makan, tidak minum dan tidak tidur, bahkan tidak

bersemangat untuk melakukan hal-hal tersebut saat pergi

maupun pulang selama empat puluh hari, lantaran rindu

pada Tuhan-nya."

Jika engkau memasuki taman kerinduan, bertakbirlah

atas diri dan keinginanmu dari dunia. Tinggalkanlah hal-

hal yang menyebabkan kemelekatan dengan dunia dan

cegahlah dirimu dari selain yang engkau rindukan. Lalu,

sahuti (panggilan Ilahi) antara kehidupan dan kematian

agar Allah menetapkan pahala agung bagimu. Sebagai

perumpamaan, seseorang yang rindu kepada Allah Swt.

bagikan orang yang tenggelam, seluruh pikiran dan

kegelisahannya hanya terfokus kepada keselamatannya,

sedangkan segala sesuatu selainnya dilupakannya.(1)

Dalam kitab 'llal al-Syarā'i' diriwayatkan bahwa Rasulullah

Saw. bersabda:

Sesungguhnya, Nabi Syu'aib menangis karena cinta

kepada Allah hingga matanya menjadi buta. Lalu,

Allah mengembalikan matanya. Namun, ia kembali

menangis hingga matanya kembali buta. Sekali lagi

Allah mengembalikan matanya, tapi beliau menangis

lagi hingga matanya kembali buta. Dan lagi-lagi, Allah

mengembalikan matanya. Hingga pada keempat kalinya,

Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Syu'aib sampai

kapan engkau seperti ini? Apabila ini dilakukan karena

takut pada api neraka, Aku akan menyelamatkanmu dan

bila ini dilakukan karena kerinduan pada surga, Aku telah

menjaminmu sebagai ahli surga." Syu'aib pun menjawab,

P: 23


1- 17. Misbah al-Syari'ah, bab 98, hlm. 65. Dalam redaksi yang dicatat oleh Musthafawi, seorang alim yang mulia disebutkan seperti ini, "Wawaddi' jamī'a al-ma'lufat" (dan berpisahlah dengan segala hal yang mendatangkan keakraban), sedangkan dalam teks al-marhum Maliki disebutkan, "wada'i (dan tinggalkanlah). Kami pun menukil dan menerjemahkan sesuai dengan yang terakhir ini.

"Ilahi dan Junjunganku, Engkau mengetahui bahwa aku

tidak menangis karena takut api neraka-Mu, tidak juga

karena rindu pada surga-Mu, tetapi cinta kepada-Mu

telah terjalin di dalam hatiku dan aku tidak sabar untuk

melihatmu” Lalu Allah mewahyukan, "Jika memang seperti

ini, Aku segera menjadikan Musa bin Imran, orang yang

Aku ajak bicara (Kalīmullāh) sebagai pembantumum(1)

Dalam Doa Kumail disebutkan, “Oh seandainya aku, wahai

Tuhanku dan Junjunganku serta Pemimpinku, mampu bersabar

menahan siksa-Mu, tetapi bagaimana mungkin aku dapat

bersabar berpisah denganmu?" Dalam Munajat Sya'baniyah

disebutkan, “Anugerahilah aku hati yang kerinduannya

mendekatkan kepada-Mu, lisan yang ketulusannya terangkat

menuju-Mu, dan pandangan yang seharusnya mendekatkan

kepada-Mu.” Disebutkan juga, “Dan gabungkanlah aku dengan

cahaya kemuliaan-Mu yang terang sehingga aku mampu

mengenal-Mu dan berpaling dari selain-Mu." Selain itu, dalam

doa Abu Hamzah al-Tsumali disebutkan, "Sesungguhnya,

Engkau tidak pernah terhijab dari makhluk-Mu, tetapi

perbuatan-perbuatan buruklah yang menyebabkan mereka

terhijab dari-Mu."(2)

Saudaraku yang mulia, bila ingin kami ungkapkan

semuanya ungkapan-ungkapan seperti ini yang dengan jelas

dan tegas menjelaskan makrifat, mahabbah (kecintaan) dan

pencapaian maqam kedekatan serta pertemuan spiritual,

niscaya akan menjadi satu buku (lain). Hal ini terutama tampak

dalam doa-doa dan munajat-munajat para imam pemberi

petunjuk (ahlulbait Nabi Saw.) dan apa yang telah saya nukil

dari pelbagai riwayat yang dilihat dari sisi sanadnya sangat

terpercaya dan muktabar, di mana para ulama Imamiyah

menerima riwayat-riwayat tersebut, dan masih banyak lagi

P: 24


1- 18. Shaduq, 'Ilal al-Syarā'i, 1/74, bab 51.
2- 19. Disebutkan dalam kitab Nafa'is al-Funūn, 2: 56-58, pasal keenam tentang tampilnya hijab-hijab insani melalui ketergantungan manusia kepada tubuh, bahwa Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah ta'ala memiliki tujuh puluh ribu hijab atau tabir dari cahaya dan kegelapan," Ketahuilah bahwa ruh manusia karena dekat pada Allah Yang Mahamulia, sedangkan ia berada di alam kegelapan dan berkecimpung dengannya, maka ia harus melalui tujuh puluh ribu alam dan dari setiap alam itu ada intisarinya yang ia harus berjalan bersamanya. Ketika ruh mencapai bingkainya, maka saat itu terdapat tujuh puluh ribu hijab cahaya dan kegelapan, hijab-hijab cahaya berasal dari alam ruhani dan hijab-hijab kegelapan berasal dari alam fisik. Setiap perhatian manusia terhadap segala sesuatu di setiap alam, meskipun alam itu alam yang sekunder, maka itu merupakan media kesempurnaan, tetapi bila dibandingkan dengan setiap keadaan ruh, maka ia menjadi hijab, di mana lantaran hijab-hijab itu, ia tercegah dari memasuki alam malakut dan penyaksian keindahan lahat dan mencicipi dialog dengan Allah serta kemuliaan kedekatan dan karamah, Bahkah, ia justru terjerumus dari a'la 'illiyin (tempat kedekatan yang paling tinggi) ke tempat yang paling rendah dalam alam materi (asfal al-safilin). Meskipun beberapa ribu tahun ia telah melakukan khalwat khusus tanpa perantara sehingga merasakan kemuliaan kedekatan, tetapi dalam tempo yang singkat, hanya karena perantara hijab-hijab, maka keadaan sebelumnya tersebut terlupakan secara keseluruhan, Walaupun ia berusaha untuk berpikir kembali, ia tetap tidak bisa ingat. Bila Anda memang tidak terkena penyakit hijab itu, Anda tidak akan pernah menjadi pelupa seperti ini; semangat mendapatkan keintiman itu tidak mungkin segera Anda ubah dengan keberpalingan dan ketakutan, karena keakraban dan keintiman dahulu yang diperolehnya dengan Allah Yang Mahamulia, maka disematkan kepadanya nama insān (manusia). Lantaran Allah Yang Mahamulia sejak azali mengetahui eksistensi manusia, maka ia dipanggil-Nya dengan sebutan insan, sebagaimana firman- Nya, "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS Al-Insan [76]: 1). Dan karena terkait dan terikat dengan alam ini, keakraban dan kedekatan tersebut terlupakan. Maka nama yang lain yang lebih sesuai disandingkan padanya, dan Allah memanggilnya dengan sebutan Ya ayyuhannas (wahai manusia yang lupa). Berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, "Dan ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah Swt." Yakni, sekelompok orang yang sehari-harinya sibuk dengan urusan dunia, hendaklah mereka mengingat kembali hari- hari yang mereka dahulu berada di haribaan Allah dan berada pada magam kedekatan dan kemuliaan, sehingga mungkin saja letupan-letupan kerinduan akan mewujud dalam hatinya dan ia benar-benar ingin menuju kembali ke tempat tinggal dan kediamannya yang hakiki itu, "Supaya mereka ingat. Supaya mereka kembali." Sebab, ketika cinta terhadap kampung halaman (asal-muasal) muncul, itu adalah hakikat iman. Disebutkan dalam riwayat, "Cinta terhadap tanah kelahiran (wathan) adalah sebagian dari iman." Apabila ia sampai ke negeri aslinya, itulah maqam ihsan, "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang baik dan tambahannya," (QS Yunūs [10]: 26). Apabila ia telah melewati negeri asalnya, maka itu merupakan derajat 'irfan, "Dan orang-orang yang paling dahulu (dalam keimanan), merekalah yang paling dulu (dalam ketakwaan). Mereka itulah orang yang didekatkan kepada haribaan Allah)," (QS Al-Waqiah [56]: 10–11). Apabila ia telah melangkahkah kakinya pada maqam wushūl (sampai) maka itu adalah derajat 'iyan (penglihatan secara nyata), “Di tempat yang benar di sisi Penguasa (Allah) Yang Berkuasa." (QS Al-Qamar [54]: 55). Setelah maqam itu, tidak ada lagi batasan dan penyifatan serta penjelasan yang mampu menjangkaunya. Dan bila cinta kepada negeri asli bersemi dalam hatinya, lalu ia tidak berusaha kembali kepadanya dan hatinya terbelenggu oleh kenikmatan dunia ini dan tertipu oleh pelbagai macam pesona dan kebatilan dunia, maka sebenarnya ia mengalami kerugian abadi dan berada dalam penjara yang kekal, "(Mereka) berada dalam siksaan) angin yang panas dan air yang mendidih, dan dalam naungan asap panas yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan," (QS Al-Waqiah [56]: 42–44). Tujuan dari peletakan pelbagai macam hijab (penutup) adalah mengekalkan keturunan atau generasi Bani Adam dan keteraturan alam. Bilamana pelbagai macam hijab itu tidak meluas dan mengenai Anda, niscaya Anda tidak akan melakukan urusan-urusan dunia dan sibuk memperhatikan alam yang rendah. Sebagaimana tampak bahwa sebagian pesuluk saat mereka menempuh suluknya, lalu tersingkap hijabnya, mereka mampu mengetahui kedekatan dan kemuliaan yang asli, sehingga lantaran saking gembiranya dan kuatnya kerinduan untuk mencapai kesempurnaan, maka mereka berkonsentrasi pada alam ukhrawi. Atau lantaran hanyut dalam kecemburuan saat terjerembab dalam alam kekaguman, ia berpaling dari dunia dan seisinya dan mencapai puncak keikhlasan saat beribadah dan melaksanakan kewajibannya.

riwayat-riwayat yang semacam ini. Misalnya, berkaitan dengan

riwayat-riwayat yang menggambarkan tentang manifestasi

(tajallī) Allah di langit dan tentang cahaya keagungan

sebagaimana yang terdapat dalam doa-doa, serta yang lebih

tinggi daripada itu terdapat di dalam al-Qur'an yang mulia.

Dalam Doa Simat(1) yang dibaca oleh banyak ulama,

terdapat redaksi doa yang berbunyi, “Dan berilah aku karunia

memandang wajah-Mu", dan masih dalam doa yang sama

disebutkan, “Dan jangan Kau larang aku untuk melihat wajah-

Mu yang mulia”. Dalam lima belas munajat (yang disebutkan

dalam kitab Shahīfah Sajjādiyah-penerj.), juga banyak

disinggung pernyataan mengenai wushul (pencapaian),

nazhar (pemandangan), liqā' (pertemuan), qurb (kedekatan),

dan ma'rifat (pengenalan). Saya sendiri, meskipun tidak

menyebutnya karena dari sisi sanad-nya saya masih belum

mampu menetapkan keabsahannya, tetapi bagi para pengikut

ulama-ulama yang alim, semua riwayat itu adalah hujjah atau

dalil.

Mengapa demikian? Karena munajat-munajat itu dibaca

oleh ulama-ulama alim yang kandungannya mereka sepakati

dan setujui. Begitu juga dalam doa Arafah-nya penghulu para

syahid, Imam Husein, di mana seluruh pernyataan itu terdapat

di dalamnya. Meskipun ulama-ulama alim membaca doa

tersebut, tetapi saya sendiri, karena belum mampu menetapkan

keabsahan sanadnya, tidak menukilnya. Pada kajian yang lalu

disebutkan bahwa ungkapan-ungkapan seperti ini ditafsirkan

dengan menerima ganjaran (pahala) dan ini tentu bertentangan

dengan nash. Apabila dalam riwayat melihat (ru'yah) dan

pertemuan (liga') ditafsirkan dengan pahala, tentu ini lantaran

sang penanya tidak mampu memahami [makna melihat dan

pertemuan) selain melihat dengan mata. Sebagaimana saat

P: 25


1- 20. Doa ini juga dikenal dengan nama doa al-Syabbūr. Doa ini disunnahkan dibaca pada akhir waktu di Hari Jumat-peny.

Rasulullah Saw. ditanya oleh sebagian penanya tentang makna

khullah Nabi Ibrahim al-Khalil, beliau menjawabnya dengan

makna selain persahabatan. Sebab, apabila penanya menerima

penjelasan yang lain selain penjelasan ini, (dikhawatirkan] ia

dapat menjadi kafir. Pasalnya, penanya tersebut tidak pernah

memahami [makna] persahabatan selain kasih sayang manusia

terhadap sesama manusia yang lain. Sehingga, bila ada

penjelasan yang lain, pasti akan menjadi kafir.

Apabila Anda menginginkan penjelasan yang lebih

daripada ini, silakan Anda merujuk kepada doa-doa dan

munajat-munajat para imam pemberi petunjuk (ahlulbait)

dan begitu juga riwayat-riwayat yang menyinggung masalah

pahala amal-amal, misalnya dalam doa Rajab, di mana Sayyid

Ibn Thawus menukilnya dengan sanad yang sangat baik

dalam kitab Iqbal; kitab yang disetujui oleh Imam Mahdi. Ibn

Thawus sendiri tentu membaca doa tersebut. Dalam kitab itu

disebutkan doa seperti ini, “Ya Allah aku memohon kepada-Mu

dengan makna-makna yang seluruh pemimpin (wali) pilihan-

Mu yang mengetahui rahasia-Mu menyeru-Mu dengannya ....

Dan, dengan maqam-maqam-Mu yang tidak ada perbedaan

antaranya dan antara-Mu, kecuali bahwa mereka adalah

hamba-hamba-Mu dan makhluk-Mu, penutupan (al-rata) dan

pembukaan (al-fatq) maqam berada di tangan-Mu.(1)

Perhatikanlah doa di malam-malam bulan Ramadan:

"Oh! Oh! Betapa rindunya kepada Yang Melihatku

sementara aku tidak melihat-Nya."

Perhatikanlah pula doa Arafah, doa Hari Jumat dan seluruh

munajat Amirulmukminin. Dalam riwayat-riwayat berkenaan

dengan pahala-pahala, perhatikanlah hadis Mi'raj yang

disebutkan dalam kitab al-Wafi sebagaimana diriwayatkan

P: 26


1- 21. Doa ini termasuk bagian dari doa bulan Rajab. Disebutkan oleh Syaikh Thusi, Misbah al-Mutahajjid, hlm. 559; Syaikh Kafami, al-Misbah, hlm. 529 dan dalam kitab al-Balad al-Amin, hlm. 179; Sayyid Ibn Thawus, Iqbal, hlm, 646; Allamah Majlisi, Bihar al-Anwār, 20: 343. Namun, Ayatullah Muhaddist Hajj Syaikh Muhammad Taqi Syusytari dalam al-Akhbar al Dhaktlah menolak riwayat tersebut dan menganggapnya sebagai riwayat palsu, Kami sendiri pada zaman beliau hidup telah menjawab beberapa keberatan terkait dengan riwayat tersebut. Tidak kurang dari enam belas halaman kami sampaikan jawaban kami. Sebetulnya, jawaban terbaik disampaikan dalam syarah pembicaraan Ayatullah Maliki Tabrizi yang ditulis di sini, tetapi karena keberatannya dalam teks kitab Allah Syenāsi tidak tepat dan catatan pinggirnya mencakup halaman yang cukup banyak, Karena itu, kami akan mengemasnya dalam bentuk diktat tersendiri dan memasukkannya di akhir kitab Allah Syenāsi, juz 2. Allah tempat mencari pertolongan. (Al-Marhum Allamah Teherani)

oleh ulama-ulama alim, yakni Allah berfirman, “Wahai Ahmad

...(Sampai kepada riwayat, yang Rasulullah Saw. bersabda):

"Wahai Tuhanku, apakah permulaan ibadah?” Allah

menjawab, “Diam dan puasa. Engkau tahu apa warisan

puasa, wahai Ahmad?” Beliau menjawab, “Tidak wahai

Tuhanku". Allah Swt. menjawab, "Warisan puasa adalah

sedikit makan dan sedikit bicara serta melaksanakan

ibadah. Warisan kedua adalah diam. Diam mewariskan

hikmah dan hikmah mewariskan makrifat, dan makrifat

mewariskan keyakinan. Lalu, ketika hamba telah mencapai

maqam yakin, ia tidak peduli apakah ia berada dalam

kesulitan atau kemudahan. Inilah maqam orang-orang

yang ridha. Maka, siapa yang beramal untuk mencapai

ke-ridha-an-Ku, Aku akan memberinya tiga keistimewaan:

Aku akan mengenalkannya pada syukur yang tidak

dicampuri dengan kejahilan, zikir yang tidak dicampuri

kelupaan, dan cinta kepada-Ku yang tidak didahului oleh

cinta kepada makhluk. Dan, ketika ia mencintai-Ku, Aku

akan mencintainya dan Aku akan menjadikannya dicintai

oleh makhluk-Ku. Aku akan membuka mata hatinya hingga

ia dapat menyaksikan keagungan dan kebesaran-Ku, dan

Aku tidak akan menyembunyikan darinya ilmu orang-

orang yang khusus dari makhluk-Ku. Aku akan menyerunya

di kegelapan malam dan di terangnya siang, sehingga

pembicaraannya bersama para makhluk dan pergaulannya

bersama mereka terputus, lalu Aku akan memperdengarkan

pembicaraan-Ku dan pembicaraan malaikat-Ku padanya,

serta Aku akan memberitahu rahasia-Ku yang Aku tutupi

dari ciptaan-Ku.... Kemudian, Aku akan mengangkat

hijab-hijab antara diri-Ku dan dirinya, membuatnya

menikmati pembicaraan-Ku, dan membuatnya nyaman

P: 27

memandang-Ku.... Selanjutnya, Aku akan menjadikan

wewenang dan kekuasaan hamba-Ku ini di atas wewenang

dan kekuasaan raja dan para penguasa, sehingga seluruh

penguasa akan tunduk kepadanya. Setiap penguasa zalim

akan takut kepadanya dan setiap binatang buas akan

melunak di hadapannya. Aku akan menjadikan surga dan

apa yang ada di dalamnya rindu kepadanya dan Aku akan

membuat akalnya tenggelam dalam makrifat kepada-Ku

dan Aku akan menaikkan derajat akalnya. Kemudian, Aku

akan mempermudah kematian dan sakaratul maut-nya,

baik suasana panas maupun ketakutannya, hingga dia

diantar menuju surga dalam keadaan merindu. Tatkala

malaikat maut menjemputnya, ia berucap: 'Selamat datang,

sungguh Anda beruntung! sungguh Anda beruntung! Allah

benar-benar rindu pada Anda! Ketahui wahai waliullah!

Pintu-pintu yang amal-amalmu naik melewatinya akan

menangisimu, begitu juga dengan mihrab dan tempat

salatmu, keduanya menangisimu. Lalu, dia berkata: 'Aku

rela dengan kerelaan Allah dan kemuliaan-Nya.' Dan, ruh

keluar dari badannya bagaikan keluarnya rambut dari

tepung. [Saat itu) Para malaikat berdiri di depan kepalanya

di mana pada setiap tangan mereka terdapat cawan yang

berisi air (telaga] Kautsar dan cawan yang berisi khamar.

Mereka memberi minum ruhnya sehingga penderitaan dan

rasa pahitnya hilang, lalu mereka menyampaikan berita

gembira nan agung: 'Sungguh beruntung dan alangkah

nikmatnya tempatmu. Sesungguhnya Anda datang pada

Dzat Mahamulia dan Mahadermawan, Sang Kekasih Yang

Mahadekat."

P: 28

Lalu, ruh itu pun terbang dari hadapan malaikat dan

bergegas menuju Allah dengan cepat, melebihi cepatnya

kedipan mata. Tiada hijab dan penutup antara dia dan

Allah Ta'ala. Allah sangat rindu padanya, lalu ia duduk di

sisi mata air, di sebelah kanan Arsy (Singgasana Tuhan],

kemudian dikatakan padanya; "Wahai ruh, bagaimana

engkau meninggalkan dunia?" Ia pun menjawab: “Ilahi

dan Junjunganku, demi kemuliaan dan kebesaran-Mu,

aku tidak mengetahui dunia. Sejak Engkau ciptakan aku

hingga saat ini, aku sangat takut kepada-Mu." Kemudian,

Allah mengatakan: “Engkau benar! Sesungguhnya jasadmu

memang di dunia, tetapi ruhmu bersama-Ku. Engkau

berada dalam pengawasan-Ku, Aku mengetahui rahasiamu

dan yang tampak darimu. Mintalah kepada-Ku), niscaya

Aku akan memberimu dan berharaplah kepada-Ku sehingga

Aku memuliakanmu. Ini adalah surga-Ku, maka bersenang-

senanglah di dalamnya! Ini adalah kekuasaanku, maka

tinggallah engkau di dalamnya!"

Sang Ruh berkata: “Ilahi, Engkau telah memperkenalkanku

kepada-Mu sehingga aku tidak butuh kepada seluruh

makhluk-Mu. Dan demi kemuliaan dan kebesaran-

Mu, andaikan ridha-Mu menuntutku mesti dipotong

berpotong-potong atau dibunuh tujuh puluh kali lebih

keras dibanding yang dirasakan manusia, ridha-Mu masih

lebih aku cintai ...." Allah azza wa jalla berkata: "Demi

kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan menutup

antara diri-Ku dan dirimu dalam setiap bergulirnya waktu,

sehingga engkau dapat masuk menemui-Ku kapan pun

engkau kehendaki. Dan, demikianlah yang Aku lakukan

terhadap para kekasih-Ku."

P: 29

Selanjutnya, saat menjelaskan kehidupan yang abadi, Allah

mengatakan, “Pemilik kehidupan abadi itu Aku, akan Kujadikan

seperti ini dan seperti itu ...." Sampai Dia mengatakan: “Dan

Aku akan buka mata hati dan pendengarannya, sehingga ia

mendengar dari-Ku dengan hatinya dan melihat keagungan

dan kebesaran-Ku [juga] dengan hatinya.”

Masih dalam hadis yang sama, Allah berfirman:

Sesungguhnya, pemberian paling rendah di akhirat yang

Aku berikan kepada kaum yang memparktikkan zuhud

adalah Aku akan memberi mereka semua kunci-kunci

surga, sehingga mereka dapat membuka pintu mana pun

yang mereka kehendaki. Dan Aku tidak menutup wajah-Ku

dari mereka. Aku akan memberi mereka pelbagai nikmat

dan kelezatan dari pembicaraan-Ku.... Lalu, Aku buka

empat pintu bagi mereka: satu pintu yang mana pelbagai

macam hadiah (sejak] pagi-sore disediakan pada mereka

dan satu pintu lainnya yang mana mereka dapat melihat

dari[dalam]nya apa yang mereka kehendaki.

Adapun berkaitan dengan sifat ahli akhirat, dalam

lanjutan] hadis ini disebutkan, "Dan Aku akan singkapkan

pelbagai macam tirai darinya.... Dan tidak ada yang mengurusi

pencabutan nyawanya selain-Ku, dan saat nyawanya tercabut

akan Aku katakan, "Selamat datang atas kedatanganmu

menemui-Ku.(1)

Semua yang kami sebutkan ini di sini adalah riwayat-

riwayat yang sahih dan muktabar, yang apabila kami

memperluas jangkauan penyebutannya sebagaimana yang

disebutkan dalam riwayat-riwayat tentang Dawud, begitu juga

riwayat-riwayat yang terdapat dalam lima belas munajat, dan

juga munajat-munajat yang ditambahkan, yaitu doa Arafah-

P: 30


1- 22. Asal hadis ini terdapat dalam kitab yang bernilai, Irsyad al-Qulüb fi al- Mawā'izh wa al-Hikam, karya Abu Muhammad Hasan bin Abi al-Hasan Muhammad Dailami, di mana beliau termasuk ulama besar, ahli zuhud, dan syaikh pada abad ketujuh, Kitab [ini] meyebutkan-dalam cetakan maktabah Abu Dzar Jamhari Musthafawi tahun 1375 Hijriah Qamariyah-hadis ini di akhir kitab yang berakhir dengan pembahasan hadis Mi'raj atau Ahmad dari halaman 278 sampai 286, sedangkan dalam cetakan Muassasah Alami, Beirut terdapat dalam juz pertama dari halaman 199 sampai 206. Muhaqqiq Mulla Muhammad Muhsin Faidh Kasyani menyebutnya dalam kitab al-Wafi, bab "Mawa'izhuLlah Subhanah", 3: 38-42. Abu Muhammad Husain bin Abi al-Hasan bin Muhammad Dailami meriwayatkannya dalam kitab Irsyadul al-Qulub ila ash-Shawab secara mursal dari Imam Shadiq yang sanad-nya bukan dari Dailami, dari ayahnya, dari kakeknya Amirulmukminin Ali yang meriwayatkan sambil berkata: “Rasulullah Saw. saat malam Mi'raj bertanya pada Allah, 'Ya Rabbi, perbuatan apa yang terbaik?...." Hadis yang memang sangat menarik dan terperinci. Allamah Majlisi dalam kitab Bihar al-Anwar -juz 17-meriwayatkannya dan juga disebutkan dalam kitab Irsyad al-Qulüb Dailami dari Amirul Mukminin Ali. Setelah itu, Majlisi di akhir hadis itu mengatakan, "Berkaitan dengan hadis ini, ada dua jalur periwayatan yang saya sodorkan. Saya telah menetapkan keabsahan dua hadis ini dari sisi sanad, dan juga telah saya jelaskan secara detail."

yang diriwayatkan oleh Sayyid Ibn Thawus dalam kitabnya, al-

Iqbal, dan al-Allamah dalam kitabnya al-Mazār, semua ini lebih

dari batasan tawatur.

Dalam hadis tentang salat, pada pembahasan bacaan

salat terdapat suatu riwayat yang menyebutkan bahwa

maqam seseorang akan meninggi pada setiap ayat, atau ia

akan mencapai suatu derajat tertentu, sampai dikatakan

pada "Satu derajat dari cahaya Tuhan Yang Mahamulia.”

Dalam hadis tentang perjumpaan orang mukmin pada kitab

al-Mustadrak karya Syahid yang menukil dari kitab Anwar,

karya Abu Ali bin Muhammad bin Hammam, diriwayatkan

bahwa Allah berfirman, “Aku bersaksi kepada kalian hamba-

hamba-Ku bahwa Aku telah memuliakannya (mukmin] dengan

[memberi kesempatan) memandang cahaya-Ku, kebesaran-Ku,

dan keagungan-KuPertemuan dengan Tuhan juga disebutkan

dalam hadis tentang pahala jihad, sebagaimana tertulis dalam

kitab al-Tahdīb dan dalam kitab Hisāl Sab'ah yang merupakan

karya Syahid, disebutkan bahwa, "[Pahala] Yang ketujuh, ia

akan melihat wajah Allah dan sungguh itu adalah kenikmatan

bagi setiap nabi dan syahid."(1)

Berkenaan dengan pahala sujud syukur saat salat wajib,

disebutkan dalam hadis sahih:

Sesungguhnya, seorang hamba ketika salat dan melakukan

sujud syukur, maka Allah Swt. membuka hijab antara

dia dan para malaikat, lalu Allah berkata: "Wahai para

malaikat-ku! Lihatlah hamba-Ku; ia telah menunaikan

kewajiban yang telah Aku tetapkan, ia telah memenuhi

janji-Ku, dan ia sujud kepada-Ku sebagai bentuk syukur

atas kenikmatan yang Aku berikan kepadanya! Wahai para

malaikat-Ku! Apa gerangan yang ia peroleh? Para malaikat

menjawab: “Wahai Tuhan kami, [ia memperoleh) rahmat-

P: 31


1- 23. Tahdzīb al-Ahkām, 6: 122.

Mu.” Lalu Allah Swt. berkata: "Selanjutnya apa?" Para

malaikat menjawab: "Wahai Tuhan kami, Engkau akan

mencukupi kebutuhannya". Lalu Allah berkata: "Selanjutnya

apa?" [Sementara itu] Tiada sesuatu pun yang tertinggal

dari kebaikan, kecuali telah disebut oleh para malaikat.

Lalu Allah Swt. [kembali] berkata: "Wahai para malaikat-

Ku, selanjutnya apa?" Akhirnya, para malaikat menjawab:

"Wahai Tuhan kami, kami tidak tahu.” Lalu, Allah Swt.

berkata: "Aku akan bersyukur kepadanya sebagaimana

ia bersyukur kepada-Ku, Aku akan menganugerahinya

keutamaan-Ku dan Aku akan memperlihatkan kepadanya

'wajah-Ku"(1)

Dalam pahala orang yang buta disebutkan bahwa Allah

berkata, “Dan Aku akan memperlihatkan wajah-Ku kepadamu."

Dalam riwayat tentang jamuan ahli surga, disebutkan

bahwa setelah membaca al-Qur'an, mereka dipanggil untuk

mendengarkan pembicaraan Allah. Mereka merasa terhormat

dan karena begitu menikmati pendengaran tersebut, hingga

menyebabkan mereka tak sadarkan diri (pingsan) dalam tempo

yang lama. Setelah kembali sadar, mereka dipanggil untuk

berkunjung menikmati keindahan Zat Yang Mahaindah. Tiba-

tiba, suatu cahaya memanifestasi, dan lantaran manifestasi

cahaya tersebut, kembali mereka tidak sadarkan diri dalam

tempo yang begitu lama. Akhirnya, karena lama tak sadar, para

bidadari pun mengadukan keadaan mereka.

Pada bagian lain dari hadis yang sama, tetapi berkaitan

dengan pahala ahli surga-yakni mereka yang mampu menjaga

lisan mereka dari pembicaraan yang tidak perlu dan mampu

menjaga perut mereka dari kelebihan makanan-disebutkan,

"Aku melihat mereka setiap hari tujuh puluh kali dan Aku

berbicara kepada mereka setiap kali Aku melihat mereka."

P: 32


1- 24. Tahdzīb al-Ahkam, 2: 110, Man La Yahdhuruhu al-Faqth, terbitan Maktabah Shaduq, 1: 343.

Wahai sahabatku yang mulia, berlaku adillah! Apakah

mungkin seseorang menolak seluruh ayat, riwayat, dan doa

ini yang disebutkan dengan pelbagai macam redaksi?! Apabila

dari sisi sanad Anda menginginkan sanad yang muktabar,

dan mereka hanya menyebutkan tingkatan tawatur hingga

mencapai empat puluh, saya mampu mendatangkannya sampai

lima ratus tingkatan tawatur, bahkan sampai seribu sanad.

Adapun al-Qur'an, tentu saja ia tidak memerlukan sanad.

Namun, apabila Anda menginginkan dalalah (indikasi tekstual),

tentu tidak ada yang melebihi nash. Lagi pula, dalalah sebagian

dari lafal hadis semacam ini sama sekali tidak diragukan dan

tidak mengindikasikan makna majazi (metaforis).

Tentu, manusia harus memperhatikan bahwa pertemuan

dengan Allah bukan seperti pertemuan dengan makhluk.

Melihat kepada-Nya bukan melihat dengan mata kepala; bukan

melihat seperti penglihatan fisik. Untuk melihat-Nya, bahkan

penglihatan hati pun harus suci dari suatu khayalan dan begitu

juga penglihatan akal harus suci dari hal-hal yang irrasional.

Sebagaimana disebutkan dalam doa Shahifah 'Alawiyah, bahwa

Sayyidina Ali berkata: "Dia Tuhan) memanifestasi dalam hati

tanpa bentuk/gambar (mitsāl] yang dibatasi oleh pemikiran

imajinatif atau digapai oleh pemikiran rasional.(1) Sayid Ibn

Thawus dalam kitab Falāh al-Sā'il [halaman 211] mengatakan:

Diriwayatkan bahwa junjungan kita, Imam Ja'far bin

Muhammad al-Sadiq, jatuh pingsan saat membaca al-

Qur'an dalam salatnya. Tatkala beliau sadar, beliau ditanya:

"Apa gerangan yang menyebabkan keadaanmu seperti

ini?” Beliau menjawab: "Aku senantiasa mengulang-ulang

ayat al-Qur'an hingga aku sampai pada keadaan seolah-

olah aku mendengar ayat tersebut disampaikan secara

lisan dari Zat yang menurunkannya secara mukāsyafah

P: 33


1- 25. Shahifah 'Alawiyyah, khath Fakhru al-Asyraf, hlm. 16. Berikut ini merupakan doa Sayyidina Ali berkaitan dengan penyifatan dan pengagungan Allah. "Segala puji bagi Allah yang pertama kali dipuji, yang terakhir disembah, yang paling dekat ekistensinya, yang memulai tanpa diketahui keazalian-Nya dan tanpa dikenali akhir dari permulaan-Nya. Dia ada sebelum keberadaan tanpa cara tertentu. Dia ada pada setiap tempat tanpa bisa dilihat dengan mata. Dia dekat dari setiap rahasia dan bisikan tanpa jarak. Hal-hal yang gaib, bagi-Nya tampak jelas dan hati tak mampu menjangkau kebesaran- Nya. Mata tidak mampu menggapai keagungan-Nya, begitu juga hati tidak mampu mengingkari makrifat-Nya. Dia memanifestasi dalam hati tanpa bentuk (gambar) yang dibatasi oleh pemikiran imajinatif atau digapai oleh pemikiran rasional. Kemudian Dia menjadikan dari diri-Nya sebagai bukti atas Kebesaran- Nya yang tak memiliki lawan, padanan, bentuk dan rupa. Adapun keesaan-Nya adalah tanda pengaturan(rubūbiyyah)-Nya. Dan kematian yang mendatangi makhluk-Nya memberitakan penciptaan dan kekuasaan-Nya." Sampai akhir doa, di mana di samping sangat menarik dan padat, juga menunjukan keberadaan Allah. Penjelasan ini dijadikan argumentasi oleh 'Arif Rabbani dan Alim Shamadani kita. Begitu juga pernyataan bahwa: "Dia ada sebelum keberadaan tanpa cara tertentu. Dia ada dalam setiap tempat tanpa bisa dilihat dan Dia dekat dari setiap bisikan tanpa jarak."

(penyingkapan spiritual) dan melihat dengan jelas.(1) Dan,

kekuatan manusia tidak mampu menangkap penyaksikan

kebesaran Ilahi” Dan hati-hatilah wahai orang yang tidak

mengetahui hakikat tersebut dari menganggap hal itu

mustahil atau setan menjadikan keraguan pada sesuatu

yang mungkin saja terjadi dari apa yang kami riwayatkan.

Sebaiknya, jadilah Anda orang yang membenarkan!

Tidakkah Anda mendengar Allah berfirman: "Tatkala

Tuhan memanifestasi pada gunung, maka gunung itu pun

hancur dan Musa pun jatuh pingsan."

Manusia, bila ingin menyingkap alam-alam ini dan

menyaksikan-Nya, ia mesti menetapkan satu tujuan agung dan

mesti mengetahui apa yang sejatinya harus ia cari. Pertama, dia

harus memahami betapa besar sesuatu yang dicarinya sehingga

kesungguhannya dalam mencari sesuai dengan kebesaran

sesuatu yang dicarinya. Misalnya, orang yang berusaha

mencari sesuatu yang rendah, tentu kesungguhannya dalam

mencari tidak bisa disamakan dengan orang yang mencari

Penguasa Alam. Mengingat yang dicari ini keagungan-Nya-

dilihat dari sisi kemuliaan, cahaya kewibawaan, kekuasaan,

serta kenikmatannya—tidak sebanding bahkan tidak bisa

dibandingkan dengan hakikat apa pun. Dan, seorang pencari

yang pemula tidak mampu membayangkan-Nya, meskipun

dia berusaha membayangkan, bahkan mencapai salah satu

dari ribuan hakikat-Nya pun tidak. Oleh karena itu, secara

umum semestinya perbandingannya pada batasan-batasan

pengetahuan dan rasio yang dimilikinya. Misalnya, kemuliaan-

kemuliaan di alam indriawi yang disaksikan oleh para pembesar

dunia dan para penguasa, dibandingkan dengan keagungan dan

kekuasaan Penguasa seluruh alam. Dari perbandingan ini, dia

akan menyaksikan begitu agungnya Penguasa semesta.

P: 34


1- 26. Karena pembicaraan tentang mukāsyafah (penyingkapan batin) Imam Ja'far Sadiq sangat tepat kami sebutkan di sini, saya akan sebutkan pelbagai macam sisi dan bentuk mukāsyafah dari Allamah Syamsuddin bin Muhammad Amuli dalam kitab Nafā'is al-Funā, 2:62-65, beliau mengatakan, "Pasal kesembilan tentang mukāsyafah dan pelbagai macam bentuknya, ketahuilah bahwa hakikat penyingkapan dari hijab (tabir) adalah suatu bentuk yang sebelumnya bagi seseorang tidak bisa dipahami, meskipun pada alam manusia terlihat tujuh puluh ribu alam, di mana dengan kekuatan yang terpendam dalam dirinya manusia mampu mengetahui tujuh puluh ribu alam dari jasmani dan ruhani, tetapi ahli hakikat menamakan mukasyafah sebagai makna-makna yang dapat dipahami oleh pengetahuan-pengetahuan batin, Tak syak lagi, karena pesuluk (penempuh jalan spiritual) yang benar tertarik oleh keinginan yang kuat, sehingga dari alam tabiat (alam material), ia meletakkan kakinya di alam syariat, lalu ia melanjutkan perjalanannya ke tangga kebenaran dan ketulusan, yaitu jalan thariqat berdasarkan mujāhadah (perjuangan spiritual) dan riyadhah (olah batin), sehingga ia mampu melewati pelbagai macam hijab sampai tujuh puluh ribu hijab, lalu pandangannya terbuka dan pelbagai macam keadaan dan maqam itu tersingkap dan terlihat baginya. Sesuai dengan kuantitas tersingkapnya hijab dan kualitas kebeningan akal, maka makna-makna rasional akan tampak kepadanya dan dia akan mengetahui rahasia-rahasia rasional. Hal yang demikian itu disebut dengan penyingkapan teoritis (kasyf nazhari), dan ia tidak perlu terlalu percaya padanya. Selama masih dalam pandangan mata dan belum turun (terkukuhkan), maka ia tidak perlu percaya. Sebagian besar filsuffokus kepada pencapaian rasional dan menghabiskan waktunya di situ, sehingga akhirnya mereka hanya tetap berada di maqam ini, Tapi mereka menyebut hal ini sebagai pencapaian kepada tujuan yang hakiki. Yang demikian ini karena mereka tidak mengenali maksud sesungguhnya, sehingga mereka pun terhalang dari penyaksian pengetahuan-pengetahuan yang lain, sehingga akhirnya mereka ingkar kepadanya dan berada pada jenjang kesesatan, lalu mereka tersesat sebagaimana sebelumnya dan menyesatkan banyak sekali, Dan karena mereka mampu melewati penyingkapan rasional, maka terjadilah penyingkapan hati dan itu disebut dengan penyingkapan syuhudi (kasyf syuhudī). Dari sini, pelbagai macam cahaya tersingkap, dan setelah itu terjadi penyingkapan-penyingkapan rahasia, di mana hal ini disebut dengan penyingkapan ilhāmi (kasyf ilhāmi). Pelbagai rahasia penciptaan dan hikmah wujud segala sesuatu akan mewujud di maqam ini dan menampak. Dan setelah itu, penyingkapan-penyingkapan ruhani yang disebut dengan mukasyafah ruhi terjadi. Dan pada permulaan maqam ini, jenjang-jenjang surga dan penyaksian-penyaksian Malaikat Ridwan dan menyaksikan malaikat dan berbicara dengannya pun tersingkap baginya. Dan, kerena ruh secara umum sudah suci, bening, dan terbebaskan dari kotoran kotoran jasmani, maka ia pun menjadi cemerlang, sehingga tersingkap baginya alam-alam yang tidak terbatas dan dia berada di hadapan ruang lingkup keabadian dan keazalian. Hijab zaman dan tempat diangkat darinya, sebagaimana pada permulaan penciptaan makhluk, pelbagai macam makhluk dan tingkatan-tingkatannya tersingkap baginya dan apapun yang akan terjadi pada masa depan pun mampu dilihatnya secara langsung dan di sinilah Rasulullah Saw. bersabda, "Janganlah mengangkat kepala kalian karena aku melihat kalian dari depanku dan dari belakangku." Sebagian besar kejadian-kejadian luar biasa yang mereka namakan sebagai karamah adalah kemampuan yang berasal dari kemampuan mengawasi dan mengendalikan pikiran dan mengetahui hal-hal yang gaib dan mampu melewati api, air dan udara dan ilmu melipat bumi dan sebagainya yang terjadi pada maqam ini. Makna demikian ini bagi para ahli hakikat tidak terlalu memiliki keistimewaan dan tidak perlu diperhitungkan sebab orang-orang yang sesat pun mencapai maqam seperti ini, sebagaimana Rasulullah Saw. [suatu kali] bertanya kepada Ibn Shayyad, "Apa yang kamu lihat?" la menjawab, "Aku melihat 'Arsy di atas air." Kemudian Rasulullah Saw. mengatakan, "Itu adalah Arsy Iblis." Begitu juga disebutkan dalam riwayat bahwa Dajjal mampu menghidupkan orang yang telah mati. Ilmu semacam ini tidak perlu dijadikan tolok ukur kebenaran. Pasalnya, hakikat karamah hanya bisa dicapai oleh ahli agama dan itu pun setelah penyingkapan spiritual, di mana penyingkapan-penyingkapan tersembunyi terjadi. Sebab, ruh ada yang kafir dan ada yang Muslim, sedangkan ruh yang tersembunyi adalah ruh yang khusus dan itu disebut dengan nur hadrati (cahaya Allah) yang Allah Swt berikan kepada orang-orang yang khusus sebagaimana difirmankan, "Mereka itulah orang-orang yang Allah telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya." (QS Al-Mujādilah [58]: 22). Berkaitan dengan ruh secara mutlak, Allah berfirman, "Yang mengutus ruh dengan membawa urusan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya." (QS Al-Mu'min [40]: 15). Dan berkaitan dengan hak Rasulullah Saw., Allah berfirman, "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur'an) dan tidaklah pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (QS Al-Syūrā [42]: 52). Yaitu cahaya khusus hadrati yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya, di mana dengan perantaranya mereka mampu menggapai alam sifat-Nya. Hati adalah perantara alam mulk dan malakut; di satu sisi berada di alam malakut dan yang lain berada di alam mulk. Dengan tampilan yang ada pada alam malakut, ia mampu memancarkan cahaya akal dan ruh. Dan dengan tampilan yang pada alam mulk, ia memiliki pengaruh-pengaruh cahaya spiritual dan rasional yang mampu menembus kepada jiwa dan raga, sehingga relasi alam ruh dan hati pun terjadi. Dengan tampilan yang ada di dalam ruh, ia akan memanfaatkan pelbagai anugerahnya. Dan dengan tampilan yang ada dalam hati, maka pelbagai macam hakikat-hakikat anugerah tersebut akan sampai (kepada tujuannya). Begitu juga relasi alam, sifat-sifat ketuhanan dan spiritual pun akan terjadi, sehingga mampu menyaksikan sifat-sifat Tuhan, di mana gambar dan pantulan-Nya dirasakan oleh alam spiritual. Yang demikian ini disebut dengan penyingkapan sifat-sifat (kasyf shifāti). Dalam keadaan ini, bila sifat-sifat alam disingkapkan, seseorang akan memperoleh ilmu ladunni. Dan bila sifat-sifat Jalal yang disingkapkan, maka seseorang akan memperoleh fana' hakiki, dan berdasarkan ini akan dipredikatkan padanya seluruh sifat. Adapun penyingkapan esensial (kasyf dzāti), ia merupakan sebuah kedudukan tinggi yang tidak mampu diungkapkan dengan kata-kata dan dilukiskan dengan sesuatu. Semoga Allah menjadikan kita termasuk sebagai orang-orang yang berhasil menggapainya. Kitab Falah al-Sall, ditahqiq oleh Majidi, hlm. 211

Selanjutnya, hendaklah ia membandingkan antara alam

indriawi dan alam-alam gaib: malakūt, jabarūt, serta selainnya.

Lalu, renungkan kualitas kekuasaan penguasa-penguasa dunia

dan bandingkan dengan kekuasaan spiritual. Pada akhirnya,

ia akan melihat akan seperti apa keadaan kekuasaan para

penguasa dunia yang hanya berlangsung puluhan tahun saja

jika dibandingkan dengan kekuasaan abadi?! Jawabnya adalah

kekurangan. Dan, tentu saja masih banyak ribuan kekurangan

yang ada dan bisa dibayangkan dari kekuasaan dunia ini.

Adapun kekuasaan spiritual adalah kekuasaan yang

hakiki, seperti kekuasaan manusia terhadap anggota tubuh,

kekuatan, dan daya khayalnya. Oleh karena itu, umat Islam

hendaknya memperhatikan penggambaran kekuasaan ukhrawi

sebagaimana diberitakan oleh riwayat-riwayat yang berkaitan

dengan kekuasaan ahli surga, di mana ada perintah Allah pada

mereka dan ditulis di dalamnya: "Aku menjadikanmu hidup

yang tidak akan mati dan engkau [mampu) mengatakan kepada

sesuatu, 'Jadilah! Maka ia menjadi [sesuatu].**(1)

Kesimpulannya, Allah Yang Maha Pencipta telah

menganugerahkan kemampuan kepada manusia yang sehat

jiwanya untuk membuat pelbagai bentuk gambar imajinatif;

kemampuan seperti itu dan yang melebihinya dikaruniakan-

Nya kepada hamba-hamba-Nya yang khusus dari para nabi

dan para wali di dunia ini, begitu juga mayoritas atau seluruh

penghuni surga di akhirat, di mana mereka mampu membuat

benda-benda eksternal dengan izin Allah.

Ahli makrifat memandang bahwa mukjizat para nabi dan

karamah para imam berasal dari jalan ini. Jadi, bila manusia

mengukur setiap persoalan dengan akal, ia akan melihat bahwa

derajat-derajat dan batasan-batasan segala sesuatu berada

pada tempatnya alias dibuat secara adil. Namun, ketika akal

P: 35


1- 27. Disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah berfirman, "Hamba-Ku, taatlah kepada-Ku niscaya Aku akan menjadikanmu seperti-Ku. Aku Mahahidup dan tidak akan mati dan Aku pun menjadikanmu hidup dan tidak mati; Aku Mahakaya sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun, maka Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Aku dalam kondisi apapun akan tetap ada dan Aku pun menjadikanmu dalam kondisi apapun akan senantiasa ada!" Ka'ab al-Ahbar meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang lain sebagai berikut, "Wahai anak Adam, Aku Mahakaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Taatlah kepada-Ku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Wahai anak Adam, Aku Mahahidup dan tidak mati. Taatilah Aku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, niscaya Aku akan menjadikanmu pun hidup dan tidak mati. Aku mengatakan kepada sesuatu jadilah' maka menjadilah ia sesuatu; taatlah kepada-Ku atas apa yang aku perintahkan kepadamu, sehingga engkau pun dapat mengatakan kepada sesuatu jadilah maka ia menjadi sesuatu!" Kalimat Allāh, hlm. 140 dan 536, sumber-sumbernya berasal dari kitab 'Uddah al-Da'i, di mana Ahmad bin Fahd Hilli menyebutkannya dari Ka'ab al-Ahbar dan Masyāriq Anwar al-Yaqin, di mana Hafizh Rajab Barsi menyebutkannya, serta Irsyād al-Qulüb di mana Hasan bin Muhammad Dailami juga menyebutkannya. Pada halaman 143, dinukil hadis qudsi yang menyebutkan, "Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menaati-Nya atas apa yang Dia inginkan, lalu Allah pun menuruti kemauan mereka atas apa yang mereka inginkan, sehingga mereka mengatakan kepada sesuatu jadilah, maka ia menjadi sesuatu." (Pada halaman 537, Hafizh Rajab Barsi menyebutkkan sumbernya berasal dari kitab Masyariq Anwar al-Yaqin)

disingkirkan, saat itu kebatilan dan perbedaan antara cahaya

dan kegelapan, baik dan buruk, hina dan mulia tidak akan

tampak baginya.

Jadi, keterangan yang kami sampaikan di atas berkaitan

dengan perbandingan kemuliaan antara persoalan ini

(kenikmatan spiritual) dan hal-hal selainnya yang dicari yang

sampai saat ini cukup jelas bagi kita semua. Adapun bila

Anda ingin membayangkan sekilas tentang kelezatan dan

kenikmatan spiritual [itu sendiri], simaklah keterangan singkat

tentang kelezatan alam ini yang disampaikan oleh sebagian

ahli makrifat: Kedudukan kehidupan hakiki seakan-akan ia

adalah mata air kehidupan yang menyembur dan bergejolak.

Bagi orang-orang yang mendapatkan karunia kehidupan hakiki,

maka seluruh bentuk kenikmatan dan kelezatan, tanpa ada

kontradiksi dan kekurangan, disiapkan untuk mereka. Misalnya,

segala kelezatan yang didambakan oleh seluruh orang dari

pelbagai makanan, pemandangan, pendengaran, penciuman,

dan pelbagai sentuhan, kapan pun bisa didapatkan tanpa ada

halangan, pertentangan, dan penentangan.

Kelezatan ini termasuk kelezatan-kelezatan alam

indriawi yang disebut Surga al-Na'īm (Jannah al-Na'īm). Bila

hal ini Anda bandingkan dengan pelbagai macam kelezatan

dan keindahan manifestasi cahaya-cahaya Keindahan dan

Keagungan Allah Yang Mahaindah dan Mahabesar, saat itu Anda

akan menggunakan seluruh kesungguhan dan usaha untuk

menggapainya. Dalam riwayat-riwayat para imam ahlulbait

terdapat isyarat-isyarat tentang alam ini. Misalnya, dalam

sebuah riwayat disebutkan bahwa air di surga itu memiliki

rasa seluruh minuman dan makanan. Begitu pula dalam hadis

Mi'raj yang telah disebutkan pada pembahasan terdahulu, di

mana Allah saat berdialog dengan hamba-Nya mengatakan:

P: 36

"Inilah surga-Ku. Nikmatilah ketenangan di dalamnya." Hamba

tersebut menjawab: “Ketika Engkau telah memperkenalkanku

kepada-Mu sehingga aku tidak butuh kepada segala sesuatu.”

Dalam hadis tentang perjamuan dalam pembahasan

terdahulu disebutkan bahwa ketika Allah memanifestasi, ahli

surga pingsan dalam waktu yang lama, sehingga bidadari pun

mengadukan hal itu. Lalu, Allah Yang Mahaagung kembali

menyadarkan mereka.

Wahai saudaraku yang mulia, berusahalah dengan

sungguh-sungguh dan berimanlah kepada Allah dan rasul-

Nya serta para imam ahlulbait dan janganlah Anda hanya

mengimajinasikan pahala, siksa, surga dan jahanam, serta

kedekatan dan kejauhan. Apa yang telah disebutkan adalah

sesuatu yang terlintas dalam hati manusia, sedangkan surga

tidak bisa dibayangkan oleh hati manusia.

Aku tergila-gila di dua dunia

Apa yang harus dilakukan bagi orang yang tergila-gila

kepada-Mu di dua dunia

Aku hanya ingin mengetuk pintu-Mu hai Tuhan

Jangan Kau bawa aku ke surgaku

Maha suci Engkau dari tempat dan materi

Tidak penting bagiku tanah surga

Tetapi kasih sayang dan belaian cinta-Mu adalah tujuanku

Rida-Mu menjadi ketentraman hatiku

Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku tidak menyembah-

Mu karena takut pada neraka-Mu dan tamak pada surga-Mu,

tetapi aku mendapati-Mu layak untuk disembah sehingga

P: 37

aku menyembah-Mu."(1) Dalam sebuah dialog, Nabi Syu'aib

mengatakan: “Aku merintih bukan karena takut neraka, bukan

juga karena cinta surga, tetapi aku merintih karena jauh dari-

Mu. Sungguh aku tidak sabar menantikan pertemuan dengan-

Mu!" Dalam doa Kumail, Anda mendengar penghulu kaum

'arifin dan pemimpin orang-orang yang bermunajat [Ali bin

Abi Thalib] berkata: "Anggap] Aku dapat bersabar menahan

siksa-Mu, tetapi bagaimana mungkin aku dapat bersabar dari

berpisah dengan-Mu."

Wahai yang tidak memiliki malu! Wahai yang tertutup

pendengarannya! Bila engkau benar-benar memiliki bagian

dari alam ini, maka di mana pengaruhnya? Mengapa engkau

tampak diam? Mengapa engkau tidak mendaki gunung?

Mengapa engkau tidak lari ke padang pasir? Mengapa wirid

siang dan malammu tidak berupa, “Oh, alangkah menyesalnya

aku atas apa yang aku sia-siakan dari karunia Allah?"

Seandainya cuma ada sangkaan yang Anda miliki, kenapa

Anda tidak begitu menyesal? Seandainya Anda memiliki

kemungkinan, mengapa kehidupanmu tidak berubah? Dan

mengapa Anda tidak memutuskan hubungan dengan dunia

yang fana ini? Dan katakanlah: "Alangkah menyesalnya!"

"Alangkah ruginya!" "Alangkah hancurnya” “Alangkah pedihnya!"

dan “Alangkah celakanya!" Memang, iman dapat menjadi

lemah; dan hati karena cinta kepada dunia dapat menjadi

sakit. Oleh sebab itu, jika tidak ada iman, tentu keraguan

saja cukup; kemungkinan pun cukup. Kami berlindung dan

mengadu kepada Allah, kepada Rasulullah Saw, dan kepada

Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib, serta kepada ahlulbait yang

suci, terutama kepada khalifah kita di zaman ini; imam zaman,

penguasa, junjungan, tempat berlindung, cahaya, kehidupan,

dan tujuan harapan kita. Semoga ruh kita dan ruh alam semesta

P: 38


1- 28. Mulla Muhammad Jawad Shafi Gulbaigani, Misbāh al-Falah wa Miftān al- Najah, hlm. 74.

menjadi tebusannya. Semoga salawat Allah tercurahkan bagi

mereka semuanya.

Catatan:

1 Pendapat ini diutarakan dengan jelas oleh Syaikh Ihsa'i dan para

pendukungnya. Namun, pada saat yang sama, mereka menakwil riwayat-

riwayat tentang liga'ullah (pertemuan dengan Allah) dan makrifatullah

dengan pengertian yang kedua. Menurut mereka, semua sifat dan asma Allah

menegaskan kedudukan makhluk. Bahkan, mereka tidak mengakui dzat Allah

sebagai sumber pengetahuan atas sifat-sifat-Nya. Ini karena mereka meyakini

konsep "transendensi mutlak".-minhu 'ufiya 'anhu. (Al-Marhum Mirza Jawad

Maliki Tabrizi)

2 Ushul al-Kafi, 1: 112, Bab Huduts al-Asma', hadis ke-1; Tawhid al-Shaduq,

Cetakan Lembaga al-Shaduq, hlm, 190-191, Bab Asma' Allah Ta'ala, hadis ke-3.

Dalam kitab Tawhid al-Shaduq, tertulis dengan kalimat berikut, bi al-

hurufi ghayri man'utin (dengan huruf yang tak bersifat), yang lengkapnya

tercantum demikian, Inna Allāha tabaraka wa ta'āla khalaga isman bi al-

hurufi wa huwa 'azza wa jalla bi al-hurufi ghayri manutin (Sesungguhnya,

Allah Yang Mahatinggi telah menciptakan nama dengan huruf. Dan, Dia

'azza wa jalla dengan huruf yang tak bersifat). Pada bagian komentar atas

naskah kitab al-Kafi dikatakan bahwa kalimat "wa huwa 'azza wa jalla bil

hurufit" tidak disebutkan dalam kitab al-Kafi dan Bihar al-Anvār. Namun,

kalimat itu tercantum pada naskah-naskah yang dikutip dari kitab Tawhid

al-Shadaq yang ada pada saya. Allamah Majlisi mengatakan, “Dalam sejumlah

besar naskah, tampaknya merupakan objek perselisihan dan hasil pekerjaan

sebagian kalangan para editor naskah (nasikhin). Mereka ini berpikir bahwa

sifat-sifat ini tidak dapat menjadi sifat bagi nama yang terucap. Mereka lupa

bahwa berdasarkan ucapan imam, "Kemudian Dia menjadikannya kalimat

yang sempurna," jelas dan pasti dengan wujudnya tak dapat menjadi sifat bagi

nama yang terucap. Jadi, maksud dari nama ini bukan nama yang terucap,

melainkan, penciptaan Allah yang menjadi sumber kemunculan nama-nama

dan sifat-sifat pada makhluk-Nya."

Bagi yang menginginkan penjelasan lebih jauh] atas hadis ini, silakan

merujuk syarah ayat 180 QS Al-A'rāf (7), yang tedapat dalam kitab Bihār al-

Anwār, kitab-kitab syarah al-Kafi, dan Tafsīr al-Mīzān. Al-Marhum Faidh juga

membawakan hadis ini dalam kitab al-Waſi yang dikutip dari kitab al-Kafi;

Cetakan Hurufi, Isfahan, 1: 463-464, hadis ke-1. Saya juga membawakannya

dalam kitab Tawhid Ilmi wa 'Aini, hlm. 320-321, yang dikutip dari sumber

yang sama. (al-Marhum Allamah Teherani)

Abu Nu'aim Isfahani dalam kitab Hilyah al-Muttaqin, 1: 68, dengan sanad

muttasil-nya meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi, “Janganlah kamu

mencaci maki Ali, karena ia adalah orang yang bersentuhan dengan dzat Allah

Yang Maha Tinggi.” (Al-Marhum Allamah Teherani)

Nama-nama yang tercantum dalam semua naskah berjumlah 300 nama,

sedangkan menurut keterangan sebelumnya, harus berjumlah 360 nama.

P: 39

Hal itu harus dipahami, apakah karena luput dari penulisan atau penulisnya

sekedar ingin mengesankan banyak dari angka itu, karena angka 360 telah

disebutkan sebelumnya.

5 Ushūl al-Kafi, 1: 83-85, Bab Ithlāgi al-Qawl bi Annahu Syai'un, dengan sanad

muttasilnya kepada Hisyam bin Hakam. (Allamah Teherani)

6 Mishbāh al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41,

7 Mishbah al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41.

8 Kalimat Maknūnah (Cetakan Sanggi Tahun 1316 HQ), hlm. 219.

9 "Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya

dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan

hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika

kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya

dia mengulurkan lidahnya juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang

yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-

kisah itu agar mereka berpikir," (QS Al-A'raf (7): 176).

10 "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-

Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab

yang Allah turunkan sebelumnya. Siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-

malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka

sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS Al-Nisa' [4]: 136).

11 Yang dimaksud dengan Alamul Huda adalah Sayyid Murtadha. Beliau memiliki

kitab yang berjudul Amālī yang terkenal dengan sebutan Ghurar wa Dhurar

dan yang dimaksud adalah kitab beliau, yaitu Ghurar al-Fawa'id wa Dhurar

al-Qala'id, di mana kitab tersebut diisyaratkan dalam kitab al-Dzari'ah [16:

44]. Tetapi dengan pencarian yang teliti, terbukti bahwa riwayat tersebut

tidak terdapat di situ, tetapi terdapat dalam kitab Ghurar wa Dhurar yang

diberi syarah (keterangan) oleh Omidi Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi,

di mana Jamal Khansari, seorang muhaqqiq (peneliti), memberikan syarah

terhadapnya dan dia menyebutkan riwayat ini dengan uraian yang terperinci

pada juz 4, halaman 218 sampai 221 no. 5885.

Saya menyebutnya dalam juz 3, majelis 17 dari halaman 160 sampai

halaman 162 pada bagian "Mengenal Hari Akhir" dari pembahasan tentang

pelbagai macam ilmu dan makrifat Islam dan saya tambahkan pernyataan

yang bernas (berdalil kuat) yang saya nukil dari seorang ustad dan guru yang

mulia Allamah Thabathaba'i. (Almarhum Allamah Teherani).

12 Sebelum riwayat ini, disebutkan bahwa Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib

ditanya tentang alam yang tinggi, yakni alam mujarradāt (alam immaterial)

yang jenjangnya lebih tinggi daripada alam jasmani. Kemudian beliau

berkata, "Gambar-gambar yang sunyi dari materi, yang lebih tinggi daripada

kekuatan dan potensi. Allah Swt memanifestasi kepadanya, lalu ia menjadi

terang benderang, lalu dengan penuh perhatian dan kesinambungan, Dia

memperhatikannya sehingga ia bersinar dan Dia mencipratkan model dan

contoh-Nya kepada identitasnya serta mengejawantahkan perbuatan-Nya

padanya. (Syarh Ghurar wa Dhurar Omadi, Jamal Khunsari, juz 4, halaman

218 sampai halaman 221, no. 5885).

13 Rawdhah al-Kafi, hlm. 247, hadis 347 dari Muhammad bin Salim, dari Ahmad

bin Rayyan dan dari ayahnya, dari Jamil dan dari ayahnya.

P: 40

14 Mishbah al-Syari'ah, bab 95.

15 Al-Kafi, 2/352.

16 Syarh Isyarat Ibn Sina, Magamat al-'Arifin, delapan halaman terakhir. Di

dalamnya terdapat penjelasan pengarang yang mengatakan, "Isyarah"

firfan (mistik) dimulai dengan pembedaan, kontradiksi, peninggalan, dan

penolakan. Perhatian secara mendalam terhadap komprehensifitas, yaitu

komprehensifitas sifat-sifat al-Haqg terhadap zat-zat yang berkehendak

kepada al-shida (kebenaran) dan berakhir pada al-wāhid (yang satu), lalu

wuquf (berhenti).

17 Misbah al-Syari'ah, bab 98, hlm. 65. Dalam redaksi yang dicatat oleh

Musthafawi, seorang alim yang mulia disebutkan seperti ini, "Wawaddi'

jamī'a al-ma'lufat" (dan berpisahlah dengan segala hal yang mendatangkan

keakraban), sedangkan dalam teks al-marhum Maliki disebutkan, "wada'i

(dan tinggalkanlah). Kami pun menukil dan menerjemahkan sesuai dengan

yang terakhir ini.

18 Shaduq, 'Ilal al-Syarā'i, 1/74, bab 51.

19 Disebutkan dalam kitab Nafa'is al-Funūn, 2: 56-58, pasal keenam tentang

tampilnya hijab-hijab insani melalui ketergantungan manusia kepada tubuh,

bahwa Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah ta'ala memiliki tujuh puluh ribu

hijab atau tabir dari cahaya dan kegelapan," Ketahuilah bahwa ruh manusia

karena dekat pada Allah Yang Mahamulia, sedangkan ia berada di alam

kegelapan dan berkecimpung dengannya, maka ia harus melalui tujuh puluh

ribu alam dan dari setiap alam itu ada intisarinya yang ia harus berjalan

bersamanya. Ketika ruh mencapai bingkainya, maka saat itu terdapat tujuh

puluh ribu hijab cahaya dan kegelapan, hijab-hijab cahaya berasal dari alam

ruhani dan hijab-hijab kegelapan berasal dari alam fisik.

Setiap perhatian manusia terhadap segala sesuatu di setiap alam,

meskipun alam itu alam yang sekunder, maka itu merupakan media

kesempurnaan, tetapi bila dibandingkan dengan setiap keadaan ruh, maka

ia menjadi hijab, di mana lantaran hijab-hijab itu, ia tercegah dari memasuki

alam malakut dan penyaksian keindahan lahat dan mencicipi dialog dengan

Allah serta kemuliaan kedekatan dan karamah, Bahkah, ia justru terjerumus

dari a'la 'illiyin (tempat kedekatan yang paling tinggi) ke tempat yang paling

rendah dalam alam materi (asfal al-safilin).

Meskipun beberapa ribu tahun ia telah melakukan khalwat khusus

tanpa perantara sehingga merasakan kemuliaan kedekatan, tetapi dalam

tempo yang singkat, hanya karena perantara hijab-hijab, maka keadaan

sebelumnya tersebut terlupakan secara keseluruhan, Walaupun ia berusaha

untuk berpikir kembali, ia tetap tidak bisa ingat. Bila Anda memang tidak

terkena penyakit hijab itu, Anda tidak akan pernah menjadi pelupa seperti

ini; semangat mendapatkan keintiman itu tidak mungkin segera Anda ubah

dengan keberpalingan dan ketakutan, karena keakraban dan keintiman

dahulu yang diperolehnya dengan Allah Yang Mahamulia, maka disematkan

kepadanya nama insān (manusia).

Lantaran Allah Yang Mahamulia sejak azali mengetahui eksistensi

manusia, maka ia dipanggil-Nya dengan sebutan insan, sebagaimana firman-

Nya, "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia

P: 41

ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS Al-Insan [76]:

1). Dan karena terkait dan terikat dengan alam ini, keakraban dan kedekatan

tersebut terlupakan. Maka nama yang lain yang lebih sesuai disandingkan

padanya, dan Allah memanggilnya dengan sebutan Ya ayyuhannas (wahai

manusia yang lupa).

Berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, "Dan ingatkanlah mereka

dengan hari-hari Allah Swt." Yakni, sekelompok orang yang sehari-harinya

sibuk dengan urusan dunia, hendaklah mereka mengingat kembali hari-

hari yang mereka dahulu berada di haribaan Allah dan berada pada magam

kedekatan dan kemuliaan, sehingga mungkin saja letupan-letupan kerinduan

akan mewujud dalam hatinya dan ia benar-benar ingin menuju kembali ke

tempat tinggal dan kediamannya yang hakiki itu, "Supaya mereka ingat.

Supaya mereka kembali." Sebab, ketika cinta terhadap kampung halaman

(asal-muasal) muncul, itu adalah hakikat iman. Disebutkan dalam riwayat,

"Cinta terhadap tanah kelahiran (wathan) adalah sebagian dari iman." Apabila

ia sampai ke negeri aslinya, itulah maqam ihsan, "Bagi orang-orang yang

berbuat baik, ada pahala yang baik dan tambahannya," (QS Yunūs [10]: 26).

Apabila ia telah melewati negeri asalnya, maka itu merupakan derajat 'irfan,

"Dan orang-orang yang paling dahulu (dalam keimanan), merekalah yang

paling dulu (dalam ketakwaan). Mereka itulah orang yang didekatkan kepada

haribaan Allah)," (QS Al-Waqiah [56]: 10–11). Apabila ia telah melangkahkah

kakinya pada maqam wushūl (sampai) maka itu adalah derajat 'iyan

(penglihatan secara nyata), “Di tempat yang benar di sisi Penguasa (Allah) Yang

Berkuasa." (QS Al-Qamar [54]: 55).

Setelah maqam itu, tidak ada lagi batasan dan penyifatan serta penjelasan

yang mampu menjangkaunya.

Dan bila cinta kepada negeri asli bersemi dalam hatinya, lalu ia tidak

berusaha kembali kepadanya dan hatinya terbelenggu oleh kenikmatan

dunia ini dan tertipu oleh pelbagai macam pesona dan kebatilan dunia,

maka sebenarnya ia mengalami kerugian abadi dan berada dalam penjara

yang kekal, "(Mereka) berada dalam siksaan) angin yang panas dan air yang

mendidih, dan dalam naungan asap panas yang hitam. Tidak sejuk dan tidak

menyenangkan," (QS Al-Waqiah [56]: 42–44).

Tujuan dari peletakan pelbagai macam hijab (penutup) adalah

mengekalkan keturunan atau generasi Bani Adam dan keteraturan alam.

Bilamana pelbagai macam hijab itu tidak meluas dan mengenai Anda, niscaya

Anda tidak akan melakukan urusan-urusan dunia dan sibuk memperhatikan

alam yang rendah. Sebagaimana tampak bahwa sebagian pesuluk saat mereka

menempuh suluknya, lalu tersingkap hijabnya, mereka mampu mengetahui

kedekatan dan kemuliaan yang asli, sehingga lantaran saking gembiranya

dan kuatnya kerinduan untuk mencapai kesempurnaan, maka mereka

berkonsentrasi pada alam ukhrawi. Atau lantaran hanyut dalam kecemburuan

saat terjerembab dalam alam kekaguman, ia berpaling dari dunia dan

seisinya dan mencapai puncak keikhlasan saat beribadah dan melaksanakan

kewajibannya.

20 Doa ini juga dikenal dengan nama doa al-Syabbūr. Doa ini disunnahkan dibaca

pada akhir waktu di Hari Jumat-peny.

P: 42

21 Doa ini termasuk bagian dari doa bulan Rajab. Disebutkan oleh Syaikh Thusi,

Misbah al-Mutahajjid, hlm. 559; Syaikh Kafami, al-Misbah, hlm. 529 dan dalam

kitab al-Balad al-Amin, hlm. 179; Sayyid Ibn Thawus, Iqbal, hlm, 646; Allamah

Majlisi, Bihar al-Anwār, 20: 343. Namun, Ayatullah Muhaddist Hajj Syaikh

Muhammad Taqi Syusytari dalam al-Akhbar al Dhaktlah menolak riwayat

tersebut dan menganggapnya sebagai riwayat palsu, Kami sendiri pada zaman

beliau hidup telah menjawab beberapa keberatan terkait dengan riwayat

tersebut. Tidak kurang dari enam belas halaman kami sampaikan jawaban

kami. Sebetulnya, jawaban terbaik disampaikan dalam syarah pembicaraan

Ayatullah Maliki Tabrizi yang ditulis di sini, tetapi karena keberatannya

dalam teks kitab Allah Syenāsi tidak tepat dan catatan pinggirnya mencakup

halaman yang cukup banyak, Karena itu, kami akan mengemasnya dalam

bentuk diktat tersendiri dan memasukkannya di akhir kitab Allah Syenāsi, juz

2. Allah tempat mencari pertolongan. (Al-Marhum Allamah Teherani)

Asal hadis ini terdapat dalam kitab yang bernilai, Irsyad al-Qulüb fi al-

Mawā'izh wa al-Hikam, karya Abu Muhammad Hasan bin Abi al-Hasan

Muhammad Dailami, di mana beliau termasuk ulama besar, ahli zuhud, dan

syaikh pada abad ketujuh, Kitab [ini] meyebutkan-dalam cetakan maktabah

Abu Dzar Jamhari Musthafawi tahun 1375 Hijriah Qamariyah-hadis ini di

akhir kitab yang berakhir dengan pembahasan hadis Mi'raj atau Ahmad dari

halaman 278 sampai 286, sedangkan dalam cetakan Muassasah Alami, Beirut

terdapat dalam juz pertama dari halaman 199 sampai 206.

Muhaqqiq Mulla Muhammad Muhsin Faidh Kasyani menyebutnya dalam

kitab al-Wafi, bab "Mawa'izhuLlah Subhanah", 3: 38-42. Abu Muhammad

Husain bin Abi al-Hasan bin Muhammad Dailami meriwayatkannya dalam

kitab Irsyadul al-Qulub ila ash-Shawab secara mursal dari Imam Shadiq yang

sanad-nya bukan dari Dailami, dari ayahnya, dari kakeknya Amirulmukminin

Ali yang meriwayatkan sambil berkata: “Rasulullah Saw. saat malam Mi'raj

bertanya pada Allah, 'Ya Rabbi, perbuatan apa yang terbaik?...." Hadis yang

memang sangat menarik dan terperinci. Allamah Majlisi dalam kitab Bihar

al-Anwar -juz 17-meriwayatkannya dan juga disebutkan dalam kitab Irsyad

al-Qulüb Dailami dari Amirul Mukminin Ali. Setelah itu, Majlisi di akhir hadis

itu mengatakan, "Berkaitan dengan hadis ini, ada dua jalur periwayatan yang

saya sodorkan. Saya telah menetapkan keabsahan dua hadis ini dari sisi

sanad, dan juga telah saya jelaskan secara detail."

23 Tahdzīb al-Ahkām, 6: 122.

24 Tahdzīb al-Ahkam, 2: 110, Man La Yahdhuruhu al-Faqth, terbitan Maktabah

Shaduq, 1: 343.

25 Shahifah 'Alawiyyah, khath Fakhru al-Asyraf, hlm. 16. Berikut ini merupakan

doa Sayyidina Ali berkaitan dengan penyifatan dan pengagungan Allah.

"Segala puji bagi Allah yang pertama kali dipuji, yang terakhir disembah,

yang paling dekat ekistensinya, yang memulai tanpa diketahui keazalian-Nya

dan tanpa dikenali akhir dari permulaan-Nya. Dia ada sebelum keberadaan

tanpa cara tertentu. Dia ada pada setiap tempat tanpa bisa dilihat dengan

mata. Dia dekat dari setiap rahasia dan bisikan tanpa jarak. Hal-hal yang

gaib, bagi-Nya tampak jelas dan hati tak mampu menjangkau kebesaran-

Nya. Mata tidak mampu menggapai keagungan-Nya, begitu juga hati tidak

mampu mengingkari makrifat-Nya. Dia memanifestasi dalam hati tanpa bentuk

P: 43

(gambar) yang dibatasi oleh pemikiran imajinatif atau digapai oleh pemikiran

rasional. Kemudian Dia menjadikan dari diri-Nya sebagai bukti atas Kebesaran-

Nya yang tak memiliki lawan, padanan, bentuk dan rupa. Adapun keesaan-Nya

adalah tanda pengaturan(rubūbiyyah)-Nya. Dan kematian yang mendatangi

makhluk-Nya memberitakan penciptaan dan kekuasaan-Nya."

Sampai akhir doa, di mana di samping sangat menarik dan padat, juga

menunjukan keberadaan Allah. Penjelasan ini dijadikan argumentasi oleh 'Arif

Rabbani dan Alim Shamadani kita. Begitu juga pernyataan bahwa: "Dia ada

sebelum keberadaan tanpa cara tertentu. Dia ada dalam setiap tempat tanpa

bisa dilihat dan Dia dekat dari setiap bisikan tanpa jarak."

26 Karena pembicaraan tentang mukāsyafah (penyingkapan batin) Imam Ja'far

Sadiq sangat tepat kami sebutkan di sini, saya akan sebutkan pelbagai macam

sisi dan bentuk mukāsyafah dari Allamah Syamsuddin bin Muhammad Amuli

dalam kitab Nafā'is al-Funā, 2:62-65, beliau mengatakan, "Pasal kesembilan

tentang mukāsyafah dan pelbagai macam bentuknya, ketahuilah bahwa

hakikat penyingkapan dari hijab (tabir) adalah suatu bentuk yang sebelumnya

bagi seseorang tidak bisa dipahami, meskipun pada alam manusia terlihat

tujuh puluh ribu alam, di mana dengan kekuatan yang terpendam dalam

dirinya manusia mampu mengetahui tujuh puluh ribu alam dari jasmani dan

ruhani, tetapi ahli hakikat menamakan mukasyafah sebagai makna-makna

yang dapat dipahami oleh pengetahuan-pengetahuan batin,

Tak syak lagi, karena pesuluk (penempuh jalan spiritual) yang benar

tertarik oleh keinginan yang kuat, sehingga dari alam tabiat (alam material),

ia meletakkan kakinya di alam syariat, lalu ia melanjutkan perjalanannya ke

tangga kebenaran dan ketulusan, yaitu jalan thariqat berdasarkan mujāhadah

(perjuangan spiritual) dan riyadhah (olah batin), sehingga ia mampu melewati

pelbagai macam hijab sampai tujuh puluh ribu hijab, lalu pandangannya

terbuka dan pelbagai macam keadaan dan maqam itu tersingkap dan

terlihat baginya. Sesuai dengan kuantitas tersingkapnya hijab dan kualitas

kebeningan akal, maka makna-makna rasional akan tampak kepadanya dan

dia akan mengetahui rahasia-rahasia rasional. Hal yang demikian itu disebut

dengan penyingkapan teoritis (kasyf nazhari), dan ia tidak perlu terlalu

percaya padanya. Selama masih dalam pandangan mata dan belum turun

(terkukuhkan), maka ia tidak perlu percaya.

Sebagian besar filsuffokus kepada pencapaian rasional dan menghabiskan

waktunya di situ, sehingga akhirnya mereka hanya tetap berada di maqam ini,

Tapi mereka menyebut hal ini sebagai pencapaian kepada tujuan yang hakiki.

Yang demikian ini karena mereka tidak mengenali maksud sesungguhnya,

sehingga mereka pun terhalang dari penyaksian pengetahuan-pengetahuan

yang lain, sehingga akhirnya mereka ingkar kepadanya dan berada pada

jenjang kesesatan, lalu mereka tersesat sebagaimana sebelumnya dan

menyesatkan banyak sekali,

Dan karena mereka mampu melewati penyingkapan rasional, maka

terjadilah penyingkapan hati dan itu disebut dengan penyingkapan syuhudi

(kasyf syuhudī). Dari sini, pelbagai macam cahaya tersingkap, dan setelah itu

terjadi penyingkapan-penyingkapan rahasia, di mana hal ini disebut dengan

penyingkapan ilhāmi (kasyf ilhāmi). Pelbagai rahasia penciptaan dan hikmah

wujud segala sesuatu akan mewujud di maqam ini dan menampak. Dan setelah

itu, penyingkapan-penyingkapan ruhani yang disebut dengan mukasyafah

P: 44

ruhi terjadi. Dan pada permulaan maqam ini, jenjang-jenjang surga dan

penyaksian-penyaksian Malaikat Ridwan dan menyaksikan malaikat dan

berbicara dengannya pun tersingkap baginya. Dan, kerena ruh secara umum

sudah suci, bening, dan terbebaskan dari kotoran kotoran jasmani, maka ia

pun menjadi cemerlang, sehingga tersingkap baginya alam-alam yang tidak

terbatas dan dia berada di hadapan ruang lingkup keabadian dan keazalian.

Hijab zaman dan tempat diangkat darinya, sebagaimana pada permulaan

penciptaan makhluk, pelbagai macam makhluk dan tingkatan-tingkatannya

tersingkap baginya dan apapun yang akan terjadi pada masa depan pun

mampu dilihatnya secara langsung dan di sinilah Rasulullah Saw. bersabda,

"Janganlah mengangkat kepala kalian karena aku melihat kalian dari depanku

dan dari belakangku."

Sebagian besar kejadian-kejadian luar biasa yang mereka namakan

sebagai karamah adalah kemampuan yang berasal dari kemampuan

mengawasi dan mengendalikan pikiran dan mengetahui hal-hal yang

gaib dan mampu melewati api, air dan udara dan ilmu melipat bumi dan

sebagainya yang terjadi pada maqam ini. Makna demikian ini bagi para ahli

hakikat tidak terlalu memiliki keistimewaan dan tidak perlu diperhitungkan

sebab orang-orang yang sesat pun mencapai maqam seperti ini, sebagaimana

Rasulullah Saw. [suatu kali] bertanya kepada Ibn Shayyad, "Apa yang kamu

lihat?" la menjawab, "Aku melihat 'Arsy di atas air." Kemudian Rasulullah Saw.

mengatakan, "Itu adalah Arsy Iblis." Begitu juga disebutkan dalam riwayat

bahwa Dajjal mampu menghidupkan orang yang telah mati. Ilmu semacam ini

tidak perlu dijadikan tolok ukur kebenaran. Pasalnya, hakikat karamah hanya

bisa dicapai oleh ahli agama dan itu pun setelah penyingkapan spiritual, di

mana penyingkapan-penyingkapan tersembunyi terjadi. Sebab, ruh ada yang

kafir dan ada yang Muslim, sedangkan ruh yang tersembunyi adalah ruh yang

khusus dan itu disebut dengan nur hadrati (cahaya Allah) yang Allah Swt

berikan kepada orang-orang yang khusus sebagaimana difirmankan, "Mereka

itulah orang-orang yang Allah telah tanamkan keimanan dalam hati mereka

dan menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya." (QS Al-Mujādilah [58]: 22).

Berkaitan dengan ruh secara mutlak, Allah berfirman, "Yang mengutus

ruh dengan membawa urusan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya

dari hamba-hamba-Nya." (QS Al-Mu'min [40]: 15). Dan berkaitan dengan

hak Rasulullah Saw., Allah berfirman, "Dan demikianlah Kami wahyukan

kepadamu ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah

al-Kitab (al-Qur'an) dan tidaklah pula mengetahui apakah iman itu, tetapi

Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa

yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (QS Al-Syūrā [42]: 52).

Yaitu cahaya khusus hadrati yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya,

di mana dengan perantaranya mereka mampu menggapai alam sifat-Nya.

Hati adalah perantara alam mulk dan malakut; di satu sisi berada di alam

malakut dan yang lain berada di alam mulk. Dengan tampilan yang ada pada

alam malakut, ia mampu memancarkan cahaya akal dan ruh. Dan dengan

tampilan yang pada alam mulk, ia memiliki pengaruh-pengaruh cahaya

spiritual dan rasional yang mampu menembus kepada jiwa dan raga, sehingga

relasi alam ruh dan hati pun terjadi. Dengan tampilan yang ada di dalam ruh,

ia akan memanfaatkan pelbagai anugerahnya. Dan dengan tampilan yang ada

dalam hati, maka pelbagai macam hakikat-hakikat anugerah tersebut akan

P: 45

sampai (kepada tujuannya). Begitu juga relasi alam, sifat-sifat ketuhanan dan

spiritual pun akan terjadi, sehingga mampu menyaksikan sifat-sifat Tuhan, di

mana gambar dan pantulan-Nya dirasakan oleh alam spiritual. Yang demikian

ini disebut dengan penyingkapan sifat-sifat (kasyf shifāti).

Dalam keadaan ini, bila sifat-sifat alam disingkapkan, seseorang akan

memperoleh ilmu ladunni. Dan bila sifat-sifat Jalal yang disingkapkan,

maka seseorang akan memperoleh fana' hakiki, dan berdasarkan ini akan

dipredikatkan padanya seluruh sifat. Adapun penyingkapan esensial (kasyf

dzāti), ia merupakan sebuah kedudukan tinggi yang tidak mampu diungkapkan

dengan kata-kata dan dilukiskan dengan sesuatu. Semoga Allah menjadikan

kita termasuk sebagai orang-orang yang berhasil menggapainya. Kitab Falah

al-Sall, ditahqiq oleh Majidi, hlm. 211

27 Disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah berfirman, "Hamba-Ku, taatlah

kepada-Ku niscaya Aku akan menjadikanmu seperti-Ku. Aku Mahahidup

dan tidak akan mati dan Aku pun menjadikanmu hidup dan tidak mati;

Aku Mahakaya sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun, maka Aku pun

menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Aku dalam kondisi

apapun akan tetap ada dan Aku pun menjadikanmu dalam kondisi apapun

akan senantiasa ada!"

Ka'ab al-Ahbar meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang lain sebagai

berikut, "Wahai anak Adam, Aku Mahakaya dan tidak membutuhkan sesuatu

pun. Taatlah kepada-Ku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga

Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Wahai

anak Adam, Aku Mahahidup dan tidak mati. Taatilah Aku atas apa yang Aku

perintahkan kepadamu, niscaya Aku akan menjadikanmu pun hidup dan tidak

mati. Aku mengatakan kepada sesuatu jadilah' maka menjadilah ia sesuatu;

taatlah kepada-Ku atas apa yang aku perintahkan kepadamu, sehingga engkau

pun dapat mengatakan kepada sesuatu jadilah maka ia menjadi sesuatu!"

Kalimat Allāh, hlm. 140 dan 536, sumber-sumbernya berasal dari kitab 'Uddah

al-Da'i, di mana Ahmad bin Fahd Hilli menyebutkannya dari Ka'ab al-Ahbar

dan Masyāriq Anwar al-Yaqin, di mana Hafizh Rajab Barsi menyebutkannya,

serta Irsyād al-Qulüb di mana Hasan bin Muhammad Dailami juga

menyebutkannya. Pada halaman 143, dinukil hadis qudsi yang menyebutkan,

"Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menaati-Nya atas apa

yang Dia inginkan, lalu Allah pun menuruti kemauan mereka atas apa yang

mereka inginkan, sehingga mereka mengatakan kepada sesuatu jadilah, maka

ia menjadi sesuatu." (Pada halaman 537, Hafizh Rajab Barsi menyebutkkan

sumbernya berasal dari kitab Masyariq Anwar al-Yaqin)

28 Mulla Muhammad Jawad Shafi Gulbaigani, Misbāh al-Falah wa Miftān al-

Najah, hlm. 74.

P: 46

TEKAD DAN TAUBAT

Wahai sahabat seperjalanan, setelah tujuan menjadi jelas,

selanjutnya bulatkanlah tekadmu dengan kuat dan katakanlah,

"Aku tidak punya utang lagi sehingga aku akan meneruskan

langkahku dan mencapai tujuanku" Taubat yang benar adalah

taubat dari segala kesalahan masa lalu. Taubat itu sendiri

memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkatan-

tingkatan orang-orang yang bertaubat. Dalam kitab Misbah

al-Syari'ah disebutkan, “Taubat adalah tali Allah dan berasal

dari uluran bantuan-Nya. Seorang hamba hendaknya selalu

bertaubat dalam setiap keadaan. [Ketahuilah] Setiap kelompok

dari hamba memiliki taubat. Taubatnya para nabi adalah dari

keguncangan [maqam] al-Sirr (idhthirāb al-sirr); taubatnya

para wali adalah dari polusi pikiran-pikiran; taubatnya orang-

orang yang bersih jiwanya adalah dari bernafas selain Allah,

sedangkan taubatnya orang-orang yang khusus adalah dari

kesibukan selain kepada Allah dan taubatnya orang-orang

awam adalah dari dosa."

P: 47

Taubat yang harus dilakukan oleh orang awam

sebagaimana disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib—saat

menjelaskan tentang makna istigfar-memiliki enam rukun.(1)

Pertama, penyesalan. Penyesalan [saat masih hidup]

merupakan solusi dari banyak masalah, terutama bila

dibandingkan dengan penyesalan saat menjelang] kematian

dan setelahnya, yang tidak dapat dibayangkan bagaimana

penyesalan yang bakal diterima dan dihadapi oleh orang yang

tidak bertaubat. Mengingat di dunia ini manusia tidak akan

pernah mampu memprediksi musibah-musibah (yang bakal

diterimanya]; bagaimana kegembiraan, keindahan, cahaya-

cahaya, serta kekuasaan kemudian (dapat) diganti dengan

kesengsaraan, kesulitan, kegelapan, dan amarah, sehingga [bila

tetap pada kondisi tidak bertaubat] manusia tidak akan pernah

mampu mencapai penyesalan pada derajat ukhrawi yang bisa

dibayangkannya di dunia ini!

Kedua, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan dan

dosa] kembali.

Ketiga, menunaikan hak-hak makhluk.

Keempat, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang

ditinggalkannya.

Kelima, mengganti daging yang tumbuh dari hal-hal

yang haram dalam badannya dengan melatih fisiknya melalui

riyādhah (olah jiwa) dan memberinya minuman serta makanan

yang halal, hingga tumbuh kulit dan daging yang baru.

Keenam, sebagai ganti dari lamanya waktu kemaksiatan

yang dilakukan dan dinikmatinya, ia pun harus merasakan

penderitaan dalam ketaatan.

Secara global, penjelasan rinci riwayat di atas adalah

bahwa ketika manusia mengetahui hakikat dengan benar

P: 48


1- Abdul Razzak Kaylani, Tarjamah wa Syarh Mishbah al-Syari'ah, him. 434. Catatan Razzak Kaylani

dan mengetahui pengaruh maksiat-misalnya seseorang saat

memakan harta anak yatim, ia benar-benar meyakini bahwa

ia memakan api, api ini tidak akan pernah padam, bahkan

setelah kematian, justru ia semakin menguat dan membara;

membakar urat-urat dan bagian dalam tubuh manusia. Dan,

setelah urat-urat dan bagian dalam manusia terbakar, organ

dan bagian tubuh manusia tersebut diutuhkan kembali—secara

otomatis pengetahuan akan hal ini membangkitkan penyesalan

sesuai dengan kadar penderitaan dan kesulitannya. Dan, ia

harus bergerak untuk menghindari maksiat, terutama dengan

keyakinan bahwa saat ia berhasil memadamkan api yang

dinyalakannya sendiri itu, maka betapa kelezatan-kelezatan

dan kemuliaan-kemuliaan akan digapainya. Lalu, sesuai dengan

pengetahuan itu, ia terdorong dengan penuh kerinduan

untuk memadamkan api tersebut sehingga setiap pekerjaan

berat yang dihadapinya, bila ia harus melakukannya, ia akan

melakukannya dengan penuh kerinduan.

Apabila Anda bertanya, "Selain tersembuhkan dari maksiat,

kelezatan, dan kemuliaan, apa lagi yang bakal diraih dalam

taubat? Menurut kami, tidakkah Anda mengetahui bahwa Allah

mengganti keburukan-keburukan dengan kebaikan-kebaikan

yang berlipat ganda. Tidakkah Anda mengetahui kemuliaan dan

berita gembira agung yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,

'Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat,'!

(QS Al-Baqarah [2]: 222). Tidakkah Anda membayangkan

kedudukan cinta Allah [pada orang yang bertaubat]? Ahli haqq

(kebenaran) mengatakan bahwa kecintaan Allah kepada hamba-

hamba-Nya tampak dalam bentuk disingkapkannya tabir-tabir

bagi mereka, lalu Dia memberi mereka karunia kedekatan dan

pertemuan dengan-Nya."

P: 49

Wahai sahabat seperjalanan, bila pendahuluan-

pendahuluan spiritual ini terjadi dan memanifestasi pada

seorang yang bertaubat, di mana dengan segenap wujudnya

ia bersedia untuk mengobati luka maksiatnya, maka setiap

atom dari wujudnya, dengan pelbagai macam jenjang dan

arah, akan merendah dan mengagungkan Allah dan ia akan

mengatakan, “Aku bertaubat kepada Allah," dan secara otomatis

jenjang-jenjang yang lain secara sempurna akan menjadi lurus

dan benar. Ada beberapa persoalan terkait hakikat mistik yang

berkenaan dengan maksiat. Misalnya, kisah pemuda yang

membongkar kuburan. Ingatlah kisah ini dan perhatikanlah!

Apakah ada orang yang menyuruh pemuda itu untuk melakukan

perbuatan demikian? Atau, pengetahuan pribadi yang parsial

tentang besarnya kejahatannya, memaksanya untuk melakukan

suatu tindakan seperti ini? Riwayat tentang taubatnya pemuda

yang membongkar kuburan ini sangat bagus. Anda perhatikan,

lalu renungkanlah taubatnya dilihat dari sisi orang awam,

lalu dari sisi taubat para wali dan setelah itu dari sisi taubat

para nabi, di mana masing-masing memiliki cerita tersendiri,

sehingga masing-masing [bisa] memberikan pengaruh bagi

Anda, bak tetesan air hujan di atas bebatuan yang keras.

Catatan;

1 Abdul Razzak Kaylani, Tarjamah wa Syarh Mishbah al-Syari'ah, him. 434.

Catatan Razzak Kaylani

P: 50

KISAH TAUBAT PEMUDA PENCURI KAIN KAFAN

Berkaitan dengan sebab turunnya ayat, “Dan (juga) orang-orang

yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri

sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap

dosa-dosa mereka. Dan, siapa lagi yang dapat mengampuni

dosa selain daripada Allah?" (QS Ali 'Imrān [3]: 35), disebutkan

bahwa diriwayatkan dari kitab Majālis Shadūql dari Imam al-

Sadiq yang berkata:

Mu'ad bin Jabal menemui Rasulullah Saw. dalam keadaan

menangis sambil mengucapkan salam. Kemudian, setelah

menjawab salamnya, Rasul Saw. bertanya, “Mengapa engkau

menangis?" Mu'ad menjawab, “Ya Rasulullah, di depan pintu ada

seorang pemuda yang mukanya tampan dan wajahnya putih,

tetapi ia menangisi masa mudanya, seperti ibu yang ditinggal

mati oleh anaknya. Dia ingin bertemu denganmu, ya Rasulullah”

Lalu, Nabi Saw. menjawab, “Biarkan pemuda itu masuk kemari.”

P: 51

Lalu Mu'ad pergi dan memanggil pemuda itu supaya masuk

menemui Rasulullah Saw. Pemuda itu pun mengucapkan salam

dan Rasulullah Saw. menjawab salamnya. Rasulullah bertanya

padanya, “Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis

begitu hebat?" Ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak

menangis; aku telah melakukan sebuah dosa yang bila Allah

mengetahui sebagian dosa itu, niscaya aku akan disiksa-Nya

dengan dimasukkan ke dalam Jahannam. Aku sendiri melihat

dan merasakan bahwa aku akan segera mendapatkan siksaan

itu dan pasti dosaku ini tidak akan pernah diampuni-Nya."

Kemudian Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah engkau

mempersekutukan Allah dengan sesuatu?" Pemuda itu menjawab,

"Aku berlindung kepada Allah dari menyekutukan-Nya dengan

sesuatu." Rasul Saw. [kembali] bertanya, “Apakah engkau

membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh?" Pemuda

itu menjawab, “Tidak." Kemudian Rasulullah mengatakan, "Allah

akan mengampuni dosa-dosamu, meskipun sebesar gunung."

Pemuda itu menimpali, "Dosa-dosaku lebih besar

daripada gunung." Rasul Saw. mengatakan, "Allah tetap akan

mengampuni, meskipun dosa itu besarnya seperti tujuh bumi

dan laut beserta pohon-pohonnya dan apa yang ada di dalamnya

dari makhluk-makhluk."

Pemuda pendosa itu berkata, "Dosa-dosaku lebih besar

daripada semua itu.” Rasulullah Saw. menjawab, “Allah akan

mengampunimu meskipun dosa-dosamu sebesar langit,

bintang-bintang, dan sebesar Arsy dan Kursi." Pemuda pendosa

itu berkata, "Dosa-dosaku pun lebih besar daripada itu."

Mu'ad, si perawi hadis ini, mengatakan bahwa Rasulullah Saw.

memandang ke wajah pemuda itu dan tampaknya beliau Saw.

dalam keadaan marah dan mengatakan, “Celaka engkau! Dosa-

dosamu yang besar atau Allah Yang Mahabesar?"

P: 52

Lalu, pemuda itu tersungkur di tanah sembari

mengatakan, “Mahasuci Tuhanku, tidak ada yang lebih besar

daripada Allah. Tuhanku yang lebih besar daripada segala

kebesaran, ya Rasulullah.” Rasulullah Saw. [kembali] bertanya,

"Apakah ada yang mengampuni dosa-dosa besar, kecuali Allah

Yang Mahabesar?" Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah!"

Sejenak, ia terdiam. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Celaka

engkau wahai pemuda! Apakah engkau tidak akan memberi

tahu aku salah satu dari dosa-dosamu?" Pemuda itu menjawab,

"Tentu aku akan memberitahu. Pekerjaanku selama tujuh tahun

adalah melakukan pembongkaran kuburan, Aku mengeluarkan

orang-orang yang telah mati dan aku ambil kain kafan mereka.

Hingga suatu waktu, ada seorang perempuan dari perempuan-

perempuan Anshar yang meninggal. Setelah mayat itu dibawa

dan dikebumikan, saat memasuki waktu malam, aku datang

ke kuburannya. Aku bongkar kuburannya, aku keluarkan

jenazahnya, dan aku ambil kafannya. Setelah itu (selesai], aku

kembali. Di tengah perjalanan, setan membisikiku, hingga

akhirnya aku kembali ke kuburan itu lagi. Aku berzina dengan

jenazah itu. Lalu, aku letakkan ia [dalam keadaan) telanjang

di tempat itu. Kemudian, aku pun kembali. Tiba-tiba, aku

mendengar suara dari mayat itu memanggilku, 'Oh, celaka

engkau wahai pemuda dari Pengadil pada Hari Akhir. Pada

hari itu, engkau dan aku akan menghadapi hisab-Nya. Apakah

engkau akan meninggalkan aku sebagai mayat telanjang seperti

ini? Dan engkau mencuri kafanku sehingga nanti pada Hari

Kiamat aku dibangkitkan dari kubur dalam keadaan junub?

Sungguh celaka engkau dari api neraka, wahai pemuda, dan aku

ragu engkau akan mencium bau surga."" Setelah itu, pemuda

pendosa itu berkata, “Apa yang harus aku lakukan ya Rasulullah?"

Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku

wahai fasik, wahai orang yang melakukan dosa besar, Aku takut

P: 53

tertular api neraka yang akan membakarmu. Betapa dekat

neraka itu kepadamu."

Setelah Rasulullah Saw. menyampaikan semua itu,

akhirnya pemuda itu pun meninggalkan beliau dan hilang

dari pandangannya. Dia menyendiri di suatu pojok kota, yang

berada di sisi gunung. Dia meletakkan kedua tangannya di

lehernya. Dia sibuk beribadah sembari bermunajat, “Wahai

Tuhanku, inilah hambamu yang bodoh, yang kedua tangannya

terikat. Wahai Tuhanku, Engkau mengenali aku dan apa yang

terjadi padaku. Engkau pun mengetahui wahai Tuhanku,

wahai Junjunganku, bahwa aku termasuk orang-orang yang

menyesal dan aku telah mendatangi Nabi-Mu dalam keadaan

bertaubat, lalu beliau mengusirku, sehingga rasa takutku

semakin bertambah. Aku menyeru-Mu dengan nama-Mu dan

kebesaran-Mu serta keagungan kekuasaan-Mu agar Engkau

tidak memutus harapanku dan tidak membuatku kecewa.

Wahai Junjunganku, janganlah Engkau sia-siakan doaku, jangan

Engkau buat aku putus asa dari rahmat-Mu."

Pemuda itu mengulang-ulang doa tersebut sampai empat

puluh hari empat puluh malam. Sampai-sampai keadaannya

membuat binatang-binatang buas yang berkeliling di tempat

itu, ikut menangis melihat keadaannya.

Setelah menjalani empat puluh hari penuh dalam keadaan

demikian, dia berkata, “Ya Allah, apa yang Engkau lakukan

berkaitan dengan hajatku? Jika Engkau mengabulkan doaku dan

mengampuni kesalahanku, aku akan kembali kepada Nabi-Mu.

Dan jika Engkau tidak mengabulkan doaku, tidak mengampuni

dosa dan kesalahanku serta Engkau ingin menyiksaku, maka

segerakanlah turunkan api yang membakarku atau siksaan

dunia yang menghancurkanku, tetapi sebagai gantinya,

selamatkanlah aku dari aib pada Hari Kiamat."

P: 54

Kemudian, Allah menurunkan ayat berikut pada Rasul-

Nya, "Dan juga) orang-orang yang apabila mengerjakan

perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri," yaitu ia

melakukan dosa yang lebih besar daripada zina, membongkar

kuburan, dan mengambil kafan, mereka ingat pada Allah,

lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, lalu ia

ingat Allah dan meminta ampun atas dosanya, yakni ia takut

kepada Allah dan segera bertaubat, dan siapa lagi yang dapat

mengampuni dosa selain Allah? Allah kemudian berfirman,

"Telah datang kepadamu wahai Muhammad, seorang hamba-

Ku dalam keadaan bertaubat, yang sebelumnya telah kau usir.

Maka, ke mana ia hendak menuju, ke mana ia hendak pergi,

ke mana ia hendak bertanya, dan siapakah yang mengampuni

dosanya selain Aku?" Lalu, Allah berfirman, “Dan mereka tidak

meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."

(QS Ali 'Imran [3]: 135.) Yakni ia menyesal serta tidak mengulang

kembali dosanya, yaitu zina dan mengambil kafan. Dan,

imbalannya adalah ampunan dari Tuhannya dan surga yang

mengalir di bawahnya sungai-sungai, di mana mereka selalu

berada di surga dan “Dan itulah sebaik-baik pahala orang-

orang yang beramal," (QS Ali `Imran [3]: 136).

Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw. keluar dalam keadaan

tersenyum dengan membacakan ayat tersebut. Kemudian

beliau Saw. mengatakan kepada para sahabatnya, "Siapa yang

bisa membawaku kepada pemuda yang bertaubat tersebut?"

Mu'ad berkata, “Ya Rasulullah, aku dengar ia berada di

puncak gunung.” Lalu, Rasululllah ditemani sahabat-sahabatnya

berusaha menemui pemuda itu di puncak gunung. Rasulullah

mencari pemuda itu dan akhirnya menemukannya. Beliau

melihatnya berada di antara batu besar. Ia berdiri di situ

sambil meletakkan kedua tangannya di lehernya. Karena sering

P: 55

terkena sinar matahari, wajahnya menghitam. Dan, karena

sering menangis, bola matanya nyaris tertutup.

Pemuda itu berdoa demikian, “Wahai Junjunganku,

Engkau telah memperbagus rupaku dan memperbaiki

bentukku. Maka, apa yang Engkau harapkan dariku? Apakah

Engkau akan membakar aku di neraka atau Engkau akan

menenteramkanku di haribaan-Mu? Ya Allah, Engkau telah

banyak berbuat baik kepadaku, Engkau telah memberi

pelbagai nikmat kepadaku, maka bagaimana akhir

kehidupanku? Apakah engkau akan menggiringku ke dalam

surga atau ke dalam neraka? Ya Allah, bila kesalahan dan

dosaku lebih besar daripada langit dan bumi serta daripada

Kursi[kekuasaan]-Mu yang luas dan Arsy-Mu yang agung,

maka Engkau berkuasa untuk mengampuni kesalahanku

atau Engkau akan membongkar aibku pada Hari Kiamat.”

Di tengah-tengah munajatnya, pemuda tersebut

tersungkur di tanah. Sementara binatang-binatang buas

padang pasir berada di sekelilingnya dan di dekat kepalanya

dalam keadaan berbaris menangisi pemuda itu.

Rasulullah Saw. mendekati si pemuda. Beliau membuka

tangannya yang diletakkan di lehernya itu dan mengusap debu

yang berada di kepalanya sambil berkata, “Aku sampaikan

berita gembira kepadamu, wahai Buhlul, bahwa Allah telah

membebaskanmu dari api neraka." Kemudian beliau menoleh

ke arah para sahabat seraya mengatakan, "Hendaklah kalian

bertobat dari dosa kalian sebagaimana yang dilakukan Buhlul”(1)(2)

Catatan:

1 Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 96, majlis 11, hadis 76.

2 Faidh Kasyani, Tafsir al-Shafi (cetakan A'lami: Beirut), 1: 352–358.

Catataki Shadug, Amat,

P: 56


1- Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 96, majlis 11, hadis 76.
2- Faidh Kasyani, Tafsir al-Shafi (cetakan A'lami: Beirut), 1: 352–358. Catataki Shadug, Amat,

TAUBAT NABI DAWUD

Berkenaan dengan taubatnya para nabi, cukuplah Anda

memperhatikan riwayat yang menceritakan taubatnya Nabi

Dawud a.s. Diriwayatkan bahwa, setelah dua malaikat turun

untuk memperingatkannya, Dawud bersujud dan tidak

mengangkat kepalanya dari sujud selama empat puluh hari,

kecuali untuk suatu keperluan dan salat. Dan, selama empat

puluh hari ini, beliau tidak makan, tidak minum, dan seluruh

waktunya dihabiskan dalam tangisan. Lantaran begitu lama

tangisannya, sehingga air matanya menggenangi sekitar

matanya. Bahkan, di dekat kepalanya tumbuh tanaman-

tanaman [lantaran) dari air matanya. Dalam seluruh waktunya,

Nabi Dawud selalu menyeru Allah dengan ungkapan yang

berasal dari hati yang hancur dan terbakar. Beliau bertaubat

dengan sungguh-sungguh dan di antara munajat yang

diucapkannya adalah, “Mahasuci Allah, pencipta cahaya. Dahi

terluka karena lamanya sujud, air mata telah habis tertumpah,

dan kedua kaki (menjadi) memar. Dalam keadaan seperti ini,

P: 57

aku terluka sehingga kedua lututku terasa melekat dengan

kulitku." Kemudian datanglah suara yang menyeru, "Wahai

Dawud, apakah engkau lapar sehingga Aku akan memberimu

makan? Apakah engkau haus sehinggga Aku akan memberimu

minum? Apakah engkau teraniaya sehingga Aku akan

menolongmu?" Tetapi Dawud tidak menyebutkan dosa-dosa

yang diperbuatnya. Nabi Dawud berteriak sambil berkata, “Ada

yang ingin aku ucapkan dari dosa yang telah aku lakukan” Ada

suara yang menyeru, “Angkatlah kepalamu dari sujud sehingga

Aku mengampunimu." Dawud tetap tidak mau mengangkat

kepalanya sehingga Jibril pun datang, lalu ia mengangkat

kepalanya. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setelah

taubatnya diterima, lagi-lagi beliau menangisi dosanya, yang

lantaran begitu hebat tangisan dan teriakannya, sehingga

orang-orang yang mendengarnya pun menyingkir dan beliau

pun berkali-kali jatuh pingsan.(1)

Catatan:

1 Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al Anwar, 14/28.

P: 58


1- Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al Anwar, 14/28.

MENYIAPKAN SARANA MENUJU TAUBAT

Ringkasnya, hendaklah taubat dilakukan dengan diawali

penyesalan, ketundukan, keagungan, dan tangisan, baik secara

kualitas maupun kuantitas, yang sesuai dengan banyaknya dosa.

Terutamanya, hendaklah yang bersangkutan menyeru Allah

saat beristigfar kepada-Nya dengan memanggil-manggil nama-

nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sesuai dengan maqam

taubat, bahkan sesuai dengan dosa si pendosa yang karenanya

ia bertaubat. Bila taubat itu dari dosa yang khusus, hendaklah

dilakukan dalam keadaan, kondisi, pakaian, dan gerakan yang

mampu lebih menarik rahmat dan kasih sayang Ilahi. Misalnya,

dengan rayuan yang menunjukkan ketidakmampuan dan rasa

takut akan siksa Ilahi, Dan, hendaklah ia masuk dari pintu yang

sesuai dengan keadaannya.

Jadi, hendaklah ia masuk dari pintu-pintu rahmat

Ilahi yang sesuai dengan keadaannya. Bila ia tidak mampu

P: 59

masuk dari pintu mana pun, hendaklah ia masuk dari pintu

ketidakputusasaan, yaitu pintu Iblis, dan mengatakan, "Wahai

yang mengabulkan permohonan makhluk-Nya yang paling

dibenci, yaitu Iblis, ketika ia meminta masa tangguh, janganlah

Engkau halangi aku dari ijabah-Mu."

Ketahuilah bahwa sebelum kematian tiba, pintu taubat akan

tetap terbuka, meskipun dosa (dari orang yang bersangkutan]

tidak bisa dibayangkan. Dan, hendaklah diketahui bahwa rasa

putus asa dari rahmat Allah adalah seburuk-buruk dosa dan

tidak ada dosa yang lebih tinggi daripada putus asa dari rahmat

Ilahi. Mungkin, saya kurang sopan menyebutkannya, tetapi

karena ini adalah pembelajaran bagi kita bersama, maka saya

harus menyebutkannya, bahwa putus asa dari rahmat Allah itu

lebih buruk ketimbang membunuh para nabi.

Pesuluk harus mengetahui bahwa setan mencurahkan

segala tenaganya supaya manusia dalam setiap keadaannya

tercegah dari jalan menuju Allah. Dan, bila jalan yang

biasa, yaitu hawa nafsu, sudah tidak dapat dibuatnya untuk

menyimpangkan manusia, maka ia berusaha menyelewengkan

manusia melalui jalan-jalan syariat dan akal. Bila manusia tidak

juga mampu dikuasainya melalui jalan ini, maka setan akan

mengganggu dengan mengatakan bahwa, “Urusanmu telah

selesai; engkau tidak akan pernah mampu melakukan taubat

yang hakiki. Taubat yang hakiki memiliki syarat-syarat, engkau

mana mampu mengamalkan syarat-syarat itu! Dan, bila syarat-

syaratnya tidak mampu engkau lakukan, maka tidak bertaubat

lebih baik daripada taubat bohong-bohongan." Di samping itu,

setan akan mengatakan, "Engkau begitu banyak melakukan

dosa, tentu kelayakan dan kebahagiaan untuk diterimanya

taubat tidak akan mungkin engkau peroleh."

P: 60

Bila pesuluk mendengarkan ocehan-ocehan ini dan

menerimanya, ia akan kalah, dan setan yang terkutuk akan

memenuhi keinginannya. Adapun bila ocehan-ocehan setan

ini ditolaknya, dan mengatakan, “Pertama, rahmat Allah yang

mampu diimajinasikan adalah rahmat yang membuat engkau

(Iblis) tidak berputus asa dan doamu mustajab. Kedua, bila

aku tidak mampu mencapai taubat hakiki yang sempurna,

maka sebatas mana pun taubat yang aku lakukan, akan aku

lakukan," mungkin saja Allah yang Maha Pengasih, dengan

kadar taubat yang aku lakukan ini, akan memberiku petunjuk

untuk mengantarkanku ke jenjang taubat yang lebih tinggi dan

lebih sempurna. Dan, bila aku berhasil] melakukan [taubat]

itu, maka lagi-lagi Allah akan memberikan kepadaku petunjuk

yang lebih tinggi sehingga aku disampaikannya kepada taubat

yang sempurna. Sebagaimana “kebiasaan" Allah memang

demikian. Namun, bila ucapanmu yang aku dengar, tentu

kehancuran, ketidakselamatan, dan keterputusasaan yang

pasti (menimpa], di mana semua itu merupakan dosa besar

yang menghancurkan, yang mungkin saja akan berimbas pada

penyegeraan dan bertambahnya azab serta kerugian dunia dan

akhirat.

P: 61

TAUBATNYA PEMBUNUH TUJUH PULUH NABI

Wahai pesuluk, kami berlidung kepada Allah [dari] bilamana

tujuh puluh nabi terbunuh,(1) maka yang membunuhnya tidak

boleh berputus asa dan meninggalkan taubat, karena keduanya

akan mendatangkan kebinasaan dan akan menyebabkan

tambahan siksaan. Mengingat, dalam taubat masih ada

kemungkinan keselamatan sementara dalam putus asa dan

meninggalkan taubat terdapat siksaan yang pasti.

Jawaban lain yang cukup kuat untuk menghadapi was-was

yang cukup keji semacam "engkau tidak mampu melakukan

taubat yang benar” adalah “Ya benar, seandainya bukan

karena inayah [bantuan] Allah yang aku peroleh, tentu taubat

sejati yang sebenarnya mudah, tidak dapat kulakukan. Dan,

[seandainya) taubatku adalah taubat yang kurang [sempurna),

tetapi lantaran inayah Allah yang diberikan kepadaku, maka

aku pun bisa mencapai maqam dan jenjang tinggi yang tidak

P: 62


1- Diriwayatkan oleh Jabir yang berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi Saw. sambil berkata, 'Wahai Nabi Allah, ada perempuan yang membunuh anaknya sendiri dengan tangannya. Apakah perempuan tersebut bisa bertaubat?' Nabi berkata kepadanya, 'Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, andaikan wanita tersebut membunuh tujuh puluh nabi, lalu ia bertaubat dan menyesal dan Allah mengetahui bahwa ia tidak akan lagi berbuat maksiat selamanya, maka Allah pasti akan menerima taubatnya dan mengampuninya. Sesungguhnya, pintu taubat itu tetap terbuka antara Timur dan Barat, dan bahwa orang yang bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tidak punya dosa,"" (Mustadrak al-Wasā'il, 12:131).

dapat dibayangkan sebelumnya." Bila ditanya kepadaku, “Dari

mana engkau memastikan memperoleh inayah itu?" Aku akan

menjawab, “Dari mana dipastikan bahwa inayah itu tidak akan

aku peroleh?" Jika dikatakan bahwa, "Inayah itu memerlukan

kelayakan!” Maka jawablah, “Kelayakan yang diperoleh oleh

para pemuka agama mereka dapatkan dari mana? Bukankah

mereka itu juga diberi [kelayakan) dan aku pun berusaha

mengambil dari-Nya?” Dan, bila akhirnya dikatakan, “Kelayakan

apa yang engkau dapatkan dengan perbuatan [taubat]

seperti ini? Apa yang engkau harapkan? Tidakkah engkau

melihat bahwa kelayakan ini tidak diberikan kepada setiap

orang?" Jawablah, “Aku cuma berusaha mengemis, bukankah

mengemis itu adalah gratis?" Jika dikatakan, “Tidak semua

yang diminta oleh pengemis-pengemis diberikan.” Maka

katakanlah, “Barangkali mereka tidak memiliki kesungguhan

dalam mengemis." Bila kembali dikatakan, "Engkau telah

menentang dan berbuat maksiat, hukum kekuasaan Allah

yang Mahaagung menolakmu.” Jawablah, “Hukum kekuasaan

dan keperkasaan-Nya tidak berarti bahwa setiap penentangan

[terhadap-Nya) itu dihadapi dengan amarah dan reaksi negatif-

Nya." Bila dikatakan, "Amarah Tuhan akan muncul di mana?"

Katakanlah, "Akan muncul kepada orang-orang sepertimu

yang selalu menentang Allah Yang Mahabesar dan menentang

ajakan-Nya. Engkau berusaha menghalangi hamba-hamba-

Nya dari haribaan-Nya dan membuat mereka putus asa." Bila

dikatakan bahwa, “Kamu layak untuk mendapatkan siksaan-

Nya, dan [ketahuilah] janji siksaan-Nya terhadap orang yang

melakukan maksiat adalah pasti, sedangkan ijabah dan ſusaha

dari] pengemisanmu masih dalam kategori ‘mungkin” Maka

katakanlah, “Anda melakukan kesalahan. Anda lalai akan janji

ijabat dan penerimaan-Nya. Bahkan, bila Penguasa tidak

merealisasikan ancaman-Nya, hal itu tidak tercela. Tetapi,

P: 63

bila Dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan janji-

Nya, tidak ada seorang pun beranggapan bahwa Tuhan tidak

memenuhi janji-Nya." Bila dikatakan, "Wajahmu menghitam

karena dosa dan keadaanmu hancur, maka bagaimana engkau

akan menghadap langit yang suci?" Jawablah, “Bila wajahku

menghitam, maka cahaya-cahaya wajah yang mulia para wali

akan kembali membuat wajahku bersinar dan bercahaya." Bila

dikatakan, “Engkau tidak layak untuk bertawasul kepada wali-

wali itu." Jawablah, "Aku bertawasul melalui perantara sahabat-

sahabat mereka."

Pendeknya, berhati-hatilah jangan sampai engkau tertipu

dan menjadi putus asa dari rahmat Allah yang luas. Begitu juga

dalam menjawab [was-was setan], katakanlah, “Bilamana aku

terusir dan diusir [sejauh] seribu tahap dari [pintu rahmat]

ini, maka aku akan kembali. Pintu ini adalah pintu yang

hingga saat ini tidak pernah terdengar [cerita] seseorang

yang mengharapkan rahmat melalui pintu ini dengan cara

meminta, merendahkan diri, dan mengemis, lalu ia pulang

dalam keadaan berputus asa!(1)

Tidak pernah terdengar seperti

itu.” Sebagaimana Fir'aun pernah mengemis pada suatu malam

dan dia tidak berputus asa. Tuhan pun pernah mengabulkan

permohonanmu, wahai setan yang terkutuk. Jadi, bila engkau

usir aku dari pintu ini, aku akan datang dari pintu yang lain.

Catatan:

1Diriwayatkan oleh Jabir yang berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi

Saw. sambil berkata, 'Wahai Nabi Allah, ada perempuan yang membunuh

anaknya sendiri dengan tangannya. Apakah perempuan tersebut bisa

bertaubat?' Nabi berkata kepadanya, 'Demi jiwa Muhammad yang ada di

tangan-Nya, andaikan wanita tersebut membunuh tujuh puluh nabi, lalu

ia bertaubat dan menyesal dan Allah mengetahui bahwa ia tidak akan lagi

berbuat maksiat selamanya, maka Allah pasti akan menerima taubatnya dan

mengampuninya. Sesungguhnya, pintu taubat itu tetap terbuka antara Timur

P: 64


1- Seorang arif, Syahid Mulla Abd al-Shamad Hamidani, menulis dalam syarah Shanifah Sajjādiyah dari Abu Sa'id Khudri yang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Salah seorang yang terdahulu pernah membunuh sembilan puluh sembilan orang yang tidak berdosa, bertanya kepada seorang yang paling alim di daerahnya dan meminta petunjuknya. Ia datang kepada orang alim itu dan mengatakan, 'Aku telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah masih ada pintu taubat untukku?' Orang alim itu mengatakan, "Tidak. Maka orang alim itu pun dibunuh, sehingga sempurnalah menjadi seratus orang yang dibunuhnya. Lalu, dia bertanya lagi kepada orang yang paling alim di tengah-tengah masyarakat pada saat itu. Ia mengatakan kepadanya, 'Aku telah membunuh seratus orang, apakah masih ada pintu taubat buatku?' Orang alim itu menjawab, 'Iya? Kemudian ia melanjutkan, "Siapakah gerangan yang membuat jarak antara engkau dan taubatmu? Pergilah ke daerah kawasan si fulan, di sana ada masyarakat yang sedang sibuk beribadah kepada Allah Swt. dan engkau pun harus bergabung bersama mereka untuk beribadah dan janganlah kembali ke negerimu di mana negeri itu adalah negeri yang jelek. Kemudian, orang itu pun pergi ke tempat yang dimaksud. Ketika sampai di pertengahan jalan, malaikat maut datang dan mengambil nyawanya. Para malaikat rahmat dan malikat azab akhirnya berselisih. Para malaikat rahmat mengatakan, 'la sedang menuju kepada kami, sedangkan para malaikat azab mengatakan, 'la sama sekali tidak melakukan amal yang baik. Kemudian, malaikat dalam bentuk manusia berada di sana, lalu ia menjadi hakim dan mengatakan, 'Hendaklah jarak antara dua tempat itu kalian ukur, sehingga diketahui jarak mana yang lebih dekat.' Kemudian para malaikat pun mengukurnya, dan mereka menemukan bahwa ia lebih dekat ke tanah taubat atau daerah yang sedang ditujunya.' Akhirnya, para malaikat rahmat pun menerimanya." Disebutkan dalam riwayat bahwa ia satu jengkal lebih dekat dari tanah orang-orang saleh. Oleh karena itu, ia pun termasuk dianggap orang yang saleh. Dalam riwayat lain disebutkan, "Allah Yang Mahabesar mewahyukan kepada salah satu kawasan tanah, 'Menjauhlah!' dan Allah mengatakan kepada kawasan yang lain, 'Mendekatlah! Kemudian Dia berkata, di antara dua tanah ini ukurlah. Ternyata didapati orang tersebut lebih dekat ke tanah tempat yang ditujunya satu jengkal, sehingga ia pun diampuni," (Bahr al-Ma'arif, 2: 51, Penerbit Hikmah).

dan Barat, dan bahwa orang yang bertaubat dari dosa bagaikan orang yang

tidak punya dosa,"" (Mustadrak al-Wasā'il, 12:131).

Seorang arif, Syahid Mulla Abd al-Shamad Hamidani, menulis dalam syarah

Shanifah Sajjādiyah dari Abu Sa'id Khudri yang meriwayatkan bahwa

Rasulullah Saw. bersabda, "Salah seorang yang terdahulu pernah membunuh

sembilan puluh sembilan orang yang tidak berdosa, bertanya kepada seorang

yang paling alim di daerahnya dan meminta petunjuknya. Ia datang kepada

orang alim itu dan mengatakan, 'Aku telah membunuh sembilan puluh

sembilan orang, apakah masih ada pintu taubat untukku?' Orang alim itu

mengatakan, "Tidak. Maka orang alim itu pun dibunuh, sehingga sempurnalah

menjadi seratus orang yang dibunuhnya. Lalu, dia bertanya lagi kepada orang

yang paling alim di tengah-tengah masyarakat pada saat itu. Ia mengatakan

kepadanya, 'Aku telah membunuh seratus orang, apakah masih ada pintu

taubat buatku?' Orang alim itu menjawab, 'Iya? Kemudian ia melanjutkan,

"Siapakah gerangan yang membuat jarak antara engkau dan taubatmu?

Pergilah ke daerah kawasan si fulan, di sana ada masyarakat yang sedang

sibuk beribadah kepada Allah Swt. dan engkau pun harus bergabung bersama

mereka untuk beribadah dan janganlah kembali ke negerimu di mana negeri

itu adalah negeri yang jelek. Kemudian, orang itu pun pergi ke tempat yang

dimaksud. Ketika sampai di pertengahan jalan, malaikat maut datang dan

mengambil nyawanya. Para malaikat rahmat dan malikat azab akhirnya

berselisih. Para malaikat rahmat mengatakan, 'la sedang menuju kepada kami,

sedangkan para malaikat azab mengatakan, 'la sama sekali tidak melakukan

amal yang baik. Kemudian, malaikat dalam bentuk manusia berada di sana,

lalu ia menjadi hakim dan mengatakan, 'Hendaklah jarak antara dua tempat

itu kalian ukur, sehingga diketahui jarak mana yang lebih dekat.' Kemudian

para malaikat pun mengukurnya, dan mereka menemukan bahwa ia lebih

dekat ke tanah taubat atau daerah yang sedang ditujunya.' Akhirnya, para

malaikat rahmat pun menerimanya." Disebutkan dalam riwayat bahwa ia

satu jengkal lebih dekat dari tanah orang-orang saleh. Oleh karena itu, ia pun

termasuk dianggap orang yang saleh.

Dalam riwayat lain disebutkan, "Allah Yang Mahabesar mewahyukan

kepada salah satu kawasan tanah, 'Menjauhlah!' dan Allah mengatakan kepada

kawasan yang lain, 'Mendekatlah! Kemudian Dia berkata, di antara dua tanah

ini ukurlah. Ternyata didapati orang tersebut lebih dekat ke tanah tempat

yang ditujunya satu jengkal, sehingga ia pun diampuni," (Bahr al-Ma'arif, 2:

51, Penerbit Hikmah).

P: 65

RAHMAT LUAS TUHAN

Rasulullah Saw. bersabda, “Bila seseorang membunuh tujuh

puluh nabi dan dia bertaubat, maka taubatnya akan diterima."(1)

[Lihat] Taubatnya Wahsyi, pembunuh Sayyidina Hamzah,

penghulu para syuhada (Sayyidu al-Syuhada'), meskipun

perbuatannya itu sangat memukul hati Nabi Saw., tetapi

taubatnya diterima.(2) Dan, tidakkah engkau mendengar apa

yang dikatakan oleh Nabi Musa Kalimullah, “Aku memaafkan

semua orang, kecuali pembunuh al-Husain."(3)

Apabila taubat benar-benar dilakukan, sejatinya itu

sangat mudah. Setiap bentuk taubat itu bagus dan tidak

boleh dianggap kurang, meskipun hanya [dengan] sebiji

atom kebaikan, satu kata kebaikan, satu kali ucapan tasbih

dan tahmid serta tahlil. Itu semua memberikan manfaat dan

meninggalkannya mendatangkan kerugian. Setiap lintasan

pikiran yang menggiring manusia supaya meninggalkan

kebaikan yang parsial (sedikit] ini, pasti datangnya dari setan,

makhluk yang tidak pernah menginginkan dan mengatakan

P: 66


1- Mustadrak al-Wasa il, 12: 131.
2- Dalam hadis disebutkan, "Hamzah dan pembunuhnya berada di surga" Majma' al-Bahrayn, 3: 1916.
3- Bihār al-Anwār, 13:345.

kebaikan kepada manusia. Padahal, terkadang karena satu kata

kebaikan (yang sedikit] saja, dapat menyebabkan keselamatan

keseluruhan manusia. Jadi, kebaikan semacam ini tentu akan

membawa pengaruh dan cahaya. Cahaya yang menyebabkan

seseorang mendapatkan taufik, di mana dari taufik yang satu

[dapat] mengantarkan pada taufik yang lain, hingga pada

akhirnya manusia digiring menuju alam cahaya. Suatu kaidah

umum yang sama sekali tidak bisa diingkari bahwa orang-

orang mukmin secara bertahap mencapai maqam taubat yang

tinggi. Artinya, taubat pun seperti maqam-maqam agama yang

lain, memiliki jenjang-jenjang.

Wahai pesuluk, pencari dan penempuh jalan Allah! Tahapan

pertama taubat adalah suatu yang penting dilakukan. Sangat

baik saat melakukan taubat, Anda merujuk kepada amalan

yang disebutkan oleh Sayyid Ibn Thawus dalam kitab al-Iqbal

berkaitan dengan amal-amal bulan Dzulqa'dah. Perinciannya

sebagai berikut:

Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pada hari Minggu

kedua bulan Dzulqa'dah keluar sembari bersabda, “Wahai

manusia, siapakah di antara kalian yang menginginkan

taubat?" Para sahabat menjawab, "Kami semua

menginginkan taubat.” Beliau Saw. bersabda, "Mandilah

dan ambillah air wudu serta lakukanlah salat empat rakaat,

di mana pada setiap rakaatnya kalian hendaknya membaca

surah al-Fatihah tiga kali, lalu membaca surah Tauhid,

surah al-Falaq, dan al-Nas sekali. Dan setelah selesai salat,

hendaklah kalian beristigfar sebanyak tujuh puluh kali dan

akhirilah dengan mengucapkan 'Lā haulā wa la quwwata

illā billāh al-'aliyyi al-'azhim' (tiada daya dan kekuatan

kecuali dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung)

sebanyak tujuh kali. Setelah itu, katakanlah, 'Ya Wazīzu ya

P: 67

ghaffar, ighfirlī dzunūbi wa dzunūba jamā'il mu'minin wal

mu'mināt fainnahu la yaghfiru adzunūba illā anta' (Wahai

Yang Mahamulia, wahai Yang Maha Mengampuni Dosa,

ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa seluruh orang-

orang mukmin dan mukminah, karena sesungguhnya tiada

yang mengampuni dosa selain Engkau)."

Lalu, Rasulullah Saw. melanjutkan sabdanya, "Tiadalah

seorang hamba dari umatku yang mengamalkan amalan ini,

kecuali ada yang menyeru dari langit dengan mengatakan,

'Wahai hamba Allah! Hendaklah engkau menyibukkan

diri dengan amalmu, sehingga taubatmu diterima dan

dosamu dimaafkan." Malaikat yang lain di bawah Arsy juga

berseru, “Wahai hamba! Selamat bagimu, keluargamu, dan

keturunanmu." Kemudian yang lain bersuara lagi, “Orang-

orang yang menuntutmu akan rida (memaafkanmu)

pada Hari Kiamat." Malaikat yang lain bersuara, "Wahai

hamba! Engkau akan mati dalam keadaan membawa

iman dan agama, yang tidak akan dicabut darimu. Dan,

kuburanmu akan bersinar dan bercahaya." Malaikat yang

lain bersuara, "Wahai hamba! Ayah dan ibumu akan

bergembira denganmu, meskipun dahulu mereka pernah

marah kepadamu. Ayah dan ibumu serta keturunanmu

akan dimaafkan, dan di dunia dan di akhirat kamu akan

mendapatkan kelapangan rezeki” Lalu Jibril menyeru, “Aku

akan datang bersama malikat maut saat kematianmu, tapi

aku akan mengasihimu dan tidak akan menyiksamu, dan

pengaruh kematian tidak akan menyulitkanmu dan ruh

akan keluar dari badanmu dengan mudah."

P: 68

Kami para sahabat mengatakan, “Ya Rasulullah, bagaimana

bila seseorang mengamalkan amalan ini selain pada bulan

Dzulqa'dah? Rasul Saw. menjawab, “[Sama] Sebagaimana

yang telah aku sabdakan." Lalu beliau Saw. menambahkan,

"Kalimat-kalimat ini Jibril ajarkan kepadaku pada malam

Mi'raj."(1)

Catatan:

1 Mustadrak al-Wasa il, 12: 131.

2 Dalam hadis disebutkan, "Hamzah dan pembunuhnya berada di surga" Majma'

al-Bahrayn, 3: 1916.

3 Bihār al-Anwār, 13:345.

4 Ibn Thawus, Iqbal al-Amāl, hlm. 614.

P: 69


1- Ibn Thawus, Iqbal al-Amāl, hlm. 614.

MENYIAPKAN AGENDA MURĀQABAH

Hal yang sangat baik, apabila orang yang menginginkan taubat,

dua atau tiga hari sebelumnya mengamalkan amalan berikut:

hendaklah ia memiliki buku (catatan), dan (ingatlah] adakah

pada hari-hari ini dan pada masa-masa lalu, atau sejak masa

kecil hingga hari ini, hak dan tanggungan kepada orang lain

yang (masih] berada di pundaknya. Bila ada, hendaklah ia

menulisnya di buku itu. Sebab, tanggungan harta bagi anak

kecil pun menjadi tanggung jawabnya, di mana setelah anak itu

besar, ia harus memenuhinya. Begitu juga dari hak-hak Allah,

yaitu dari ibadah yang dilalaikan dan diabaikannya, semua itu

harus ditulisnya, bahkan sangat baik sekali bila ſhak-hak] setiap

anggota tubuhnya juga ditulis dalam buku itu. Lalu, hendaklah

ia betul-betul merenung dan memikirkan secara mendalam,

apakah anggota tubuhnya pernah melakukan kelalaian saat

melakukan kewajiban atau melakukan tindakan haram. Kalau

dia lupa tidak melakukan suatu kelalaian, biarkan lembaran

P: 70

buku itu kosong, tetapi kalau ada sesuatu yang diingat,

hendaknya ia segera mencatatnya. Misalnya, dia menulis dalam

catatan buku itu tentang kondisi mata; apakah mata itu pernah

digunakan untuk maksiat, seperti melihat kepada wanita yang

nonmuhrim, melihat laki-laki tampan, melihat aurat orang

mukmin, melihat ke rumah orang lain, melihat kepada tulisan

tanpa izin dan rida si pemiliknya, melihat untuk menakut-

nakuti orang mukmin, melihat dengan pandangan emosi kepada

ayah dan ibu atau kepada orang-orang dekat atau kepada

para ulama atau kepada orang-orang mukmin secara umum

tanpa pembenaran syariat, melihat dengan tujuan mengejek

atau memperolok atau dengan tujuan untuk mencari aib

orang atau dengan tujuan untuk menghina atau menunjukkan

kesombongan, melihat dengan keinginan menunjukkan

kekurangan orang mukmin atau mengungkap sesuatu yang

tersembunyi dari orang mukmin, karena terkadang melihat

dapat menjadi sebab sempurna atas terbunuhnya seseorang

atau banyak orang dan dapat juga menjadi sebab sempurna

bagi perampasan harta, sebagaimana firman Allah, “Mengetahui

(pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan

oleh hati." (QS Al-Mu'min [40]: 19). Demikianlah hak-hak mata.

Begitu juga hak-hak anggota tubuh yang lain, terutama lisan,

di mana hak-haknya tidak ada batasan,

Dengan demikian, hendaklah seseorang memperhatikan

hak-hak harta dan hak-hak istihlāliyah(1) dan tak lupa

melaksanakan hak-hak amaliyah(2) dan beristigfar terhadap

hal-hal yang bisa diperbaiki dengan hanya beristigfar. Adapun

hak-hak yang tidak lagi mampu seseorang serahkan kepada

pemilik atau penerima haknya, maka lakukanlah amalan-

amalan baik sesuai dengan kadar haknya. Dan, hendaklah ia

membayar kafarah [denda) yang menjadi tanggung jawabnya

dan melaksanakan qishas (hukuman) yang ditetapkan padanya,

P: 71


1- Istihlaliyah berarti mengembalikan harta milik seseorang atau sekadar meminta kerelaan dan keridaannya.
2- Hak-hak amaliyah seperti melakukan salat dan puasa qadha (pengganti puasa yang ditinggalkan).

sedangkan sesuatu yang masuk dalam kategori syubhat yang

[mestinya) dihindari, hendaklah ia benar-benar berhati-hati dan

tidak teledor serta berusaha memperbaikinya. Lalu, kerjakan

perbuatan mulia seperti yang disarankan dalam kitab al-Iqbal,(1)

membaca doa taubat yang ada pada Shahīfah Sajjādiyah,

mengingat kembali berbagai maksiat besar, dan mengingat

juga nikmat khusus Allah, di mana meski Dia mampu dengan

segala kekuasaan-Nya untuk menurunkan siksa dan amarah

di hadapan kemaksiatan yang dilakukan tanpa rasa malu ini,

tetapi Dia tetap menganugerahinya dengan ribuan kenikmatan.

Selanjutnya, hendaklah ia bersimpuh dan meletakkan tanah

di kepalanya dan tangan kanannya diletakkan di lehernya dan

diikat, adapun tangan kirinya diikat di dadanya, sehingga ia

menyerupai kondisi orang-orang yang tersiksa. Lalu, bukunya

diberikan dengan tangan kiri. Mudah-mudahan dengan cara

seperti ini ia memahami makna ayat, “Adapun orang-orang

yang diberikan kitabnya dari belakang." (QS Al-Insyiqāq [84]: 10).

Terkadang, yang ditonjolkan [oleh Tuhan] takut akan siksa,

besarnya kesulitan dan dahsyatnya api Jahannam, terkadang

tentang ular-ular dan kalajengking-kalajengking, dan terkadang

lagi tentang mata rantai dan belenggu. Berkaitan dengan

ayat, “Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya

tujuh puluh hasta," (QS Al-Hāqqah [69]: 32.), dalam riwayat

disebutkan bahwa satu hasta [di akhirat] panjangnya beberapa

kilometer dari ukuran kilometer di dunia, di mana [rantai] itu

dimasukkan dari kepalanya dan keluar dari duburnya. Dan

terkadang lagi, al-Qur'an memberitakan tentang kerasnya

siksaan dan besarnya bentuk Malaikat, yang juga sangat kejam

dan sangat menakutkan, serta makanan dan minuman Zaqum,

Dhari, dan Ghislin.(2) "Disiramkan air yang sedang mendidih ke

atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala

P: 72


1- Ibn Thawus, Iqbal al Amal, hlm, 147 and 197.
2- Zaqum adalah nutrisi penghuni neraka, Dhari adalah tanaman berduri, Ghislin adalah darah dan nanah yang mengalir di antara penduduk neraka.

apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka)" (QS

Al-Hajj [22]: 19-20).

Catatan:

1 Istihlaliyah berarti mengembalikan harta milik seseorang atau sekadar

meminta kerelaan dan keridaannya.

2 Hak-hak amaliyah seperti melakukan salat dan puasa qadha (pengganti puasa

yang ditinggalkan).

3 Ibn Thawus, Iqbal al Amal, hlm, 147 and 197.

4 Zaqum adalah nutrisi penghuni neraka, Dhari adalah tanaman berduri,

Ghislin adalah darah dan nanah yang mengalir di antara penduduk neraka.

P: 73

RINTIHAN DAN JERITAN PENULIS

Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi,

kasihanilah daku ketika aku berada di antara kobaran api neraka

Jahannam yang membakar, Tak lama kemudian, ada suara yang

berteriak, “Di mana Jawad bin Syafi' [nama penulis penerj)

yang di dunia telah terlena dalam angan-angan yang panjang?

Ia telah menghabiskan waktunya berlalu begitu saja dan sibuk

melakukan pekerjaan-pekerjaan hina dan keji." Setelah selesai

panggilan yang menakutkan ini, petugas-petugas khusus dari

Jahannam yang membawa tonggak-tonggak dari baja dengan

begitu cepat mendatangiku, lalu memukuliku dan memberiku

siksaan yang sangat pedih dan aku dihempaskannya ke dasar

Neraka Jahannam. Mereka berkata padaku, “Rasakanlah,

sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia." (QS Al-

Dukhān [44]: 49). Mereka menempatkan aku di suatu rumah

para tawanan yang kekal di dalamnya, di mana sudah ada

api yang menyala-nyala. Minuman yang diberikan kepadaku

P: 74

sangatlah panas dan tempat tinggalku adalah Jahannam, yang

dengan api yang menyambar-nyambar membuatku hancur. Di

sana aku diseret ke dalam dasar neraka, dan dalam kondisi yang

sangat mengenaskan seperti ini, akhir harapanku hanyalah

supaya aku mati dan hancur, Sayangnya, di sana tidak ada

kematian dan keterpisahan. [Malah] Kaki terikat sampai ke

dahi dan wajah menjadi gelap karena banyaknya dosa. Dalam

keadaan yang demikian, aku berteriak dari setiap penjuru,

"Wahai malaikat, ancaman-ancaman azab kepada kami telah

terjadi dan terbukti. Beratnya rantai dari baja membuat kami

lemah dan kulit-kulit kami telah melepuh. Wahai malaikat,

kami telah terbakar oleh Jahannam dan telah habis kekuatan

kami. Keluarkanlah kami dari sini. Sungguh kami tidak akan lagi

melakukan perbuatan-perbuatan keji dan dosa."

Lalu, kami mendengar jawaban, “Tidak! Sekarang bukanlah

waktu untuk mendapatkan keamanan bagi kalian. Kemungkinan

kalian keluar dari api yang membakar sama sekali tidak ada.

'Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu

berbicara dengan Aku, (QS Al Mu'minūn [23]: 108). Andaikan

kalian keluar dari api neraka dan terselamatkan darinya, pasti

kalian akan kembali melakukan dosa dan melanggar apa yang

dilarang!"

Dalam keadaan seperti ini, sungguh aku benar-benar

putus asa. Aku menyadari tidak ada lagi jalan keselamatan

bagiku. Penyesalan yang sangat besar dan menyakitkan,

menyelimuti seluruh wujudku, lalu wajahku pun dihempaskan

ke dalam neraka sehingga di atas kepalaku ada api, di bawah

kakiku ada api, di sebelah kananku ada api, dan di sebelah

kiriku pun ada api. Akhirnya, aku tenggelam dari segala penjuru

dalam api, bahkan makananku, minumanku, tempat tidurku,

pakaianku, dan tempat istirahatku pun api.

P: 75

Aku berada di antara percikan-percikan api Jahannam

dengan pakaian-pakaian sangat menjijikkan yang bisa terbakar.

Aku selalu mengalami pukulan beruntun dan menahan rantai-

rantai berat yang selalu menerpaku. Aku senantiasa merasakan

kesempitan Jahannam dan tubuhku terpotong-potong dalam

dasar neraka sehingga aku pun meleleh dan mendidih di

dalamnya, bagaikan makanan yang dididihkan di dalam periuk.

Dalam kondisi seperti ini, aku berteriak dengan cukup

keras dan tiba-tiba tiang-tiang dari baja dihantamkan di atas

kepala dan wajahku, sehingga akibat hantaman yang keras,

dahiku pun terbelah dan air yang baunya busuk dan menjijikkan

keluar dari mulutku. Dan, karena begitu panas dan terbakarnya

(tubuh] karena kehausan, maka hati dan jantungku tercabik-

cabik dan bola mataku pun keluar dari kelopaknya, seperti

air mata yang jatuh di wajah. Lalu, dari anggota tubuhku ada

daging-daging yang terpisah dan berjatuhan, dan dari ujung

kulit dan rambut-rambutku terkelupas dan tercabut. Dan,

setiap kali kulit-kulitku terpotong dan rusak, maka kembali

diganti dengan kulit baru yang lebih segar. Pada saat itu,

tulang-tulang karena begitu panasnya api neraka, terpisah

dari badan, sehingga tidak ada daging sedikit pun pada

tulang-tulang tersebut yang tersisa. Yang masih bertahan

adalah ruhku yang menempel pada urat (pembuluh), di mana

dengan hancurnya pembuluh ini, maka kematian akan menjadi

pasti. Namun, kematian tak kunjung menghampiriku. Aku pun

meminta kepada Tuhan Yang Mahaesa agar sebaiknya dan

secepatnya aku dimatikan. Dalam keadaan seperti ini, aku

mengatakan, “Hai Malik (malaikat penjaga neraka), biarlah

Tuhanmu membunuh kami saja, Dia menjawab, 'Kamu akan

tetap tinggal (di neraka ini)," (QS Al-Zukhruf [43]: 77).

P: 76

Dengan demikian, hendaklah seseorang memanfaatkan

seluruh potensi kesepian (jiwa), kefakiran, ketidakmampuan,

keremukan hati, baik dalam ucapan, tindakan, rupa, dan

pakaian. Sebab, itu semua akan memengaruhi hati manusia dan

pengaruh hati tersebut menyebabkan terpancingnya lautan

rahmat Ilahi. Jika engkau membenarkan hal ini, perhatikanlah

amalan para pembesar (pemuka) agama saat mereka melakukan

munajat dan beristigfar. Bagaimana keadaan mereka? Misalnya,

ada di antara mereka yang meletakkan rantai di leher mereka,

lalu duduk di atas tanah; ada yang pergi ke kuburan dan

mengambil tanah, lalu memoleskannya pada tubuh mereka;

atau ada yang menarik jenggot mereka. Demikianlah, coba Anda

perhatikan keadaan taubatnya Nabi Yunus a.s.! Perhatikanlah

seorang bijaksana yang terdidik dalam keluarga kenabian, yaitu

Rubail! Bagaimana beliau mengajarkan keadaan bertaubat

kepada kaumnya dan dia sendiri mengamalkan hal tersebut

sehingga bencana yang seharusnya turun pun ditiadakan.

Rubail telah mengajarkan kepada mereka supaya anak-anak

harus dipisahkan dari ibunya, anak-anak kambing dipisahkan

dari induknya, dan anak-anak sapi dipisahkan dari betinanya.

Lalu, para ibu diletakkan di atas gunung, sementara anak-anak

mereka diletakkan di dataran, dan kaum pria meletakkan tanah

di atas kepala mereka.

Lantaran hal ini, [anak-anak] binatang berteriak-

teriak karena dipisahkan dari induknya dan karena ingin

mendapatkan makanan. Mereka berteriak karena lapar dan

ingin mendapatkan susu. Sementara, anak-anak kaum tersebut,

karena ingin mendapatkan susu dan karena dipisahkan dari

ibunya, mereka pun menangis. Kaum tersebut karena takut

terhadap azab dan betapa mengerikannya siksaan pada

hari itu, wajah mereka menjadi menguning, seperti terkena

matahari. Mereka gemetar, seakan-akan aroma siksaan dan

P: 77

pedihnya azab benar-benar mereka saksikan, sehingga dengan

hati yang tersayat mereka berteriak, "Ya Tuhan kami, kami

telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak

mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya

kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'rāf [7]:23).

Panggilan, “Ya Arhāma al-Rahimin" (wahai Yang Maha

Pengasih di antara yang mengasihi) membahana ke angkasa.

Ringkasnya, saat itu) terjadilah miniatur mahsyar, dan

akhirnya [dengan taubat yang mereka lakukan], dicabutlah

doa dan laknatan Nabi mereka, meski turunnya azab telah

ditetapkan. Sungguh lautan rahmat Dzat Arhama al-Rāhimin

pun muncul. Malaikat Israfil diberi perintah oleh Allah supaya

menyampaikan kepada kaum Nabi Yunus bahwa Allah telah

mengampuni mereka. Lalu, beliau mengangkat bencana dari

mereka dan bencana itu dihantamkan ke gunung. Wahai

pesuluk, wahai saudara, “kebiasaan" Allah yang diberlakukan-

Nya di antara hamba-hamba-Nya adalah satu model.

Hingga detik ini, saya dan Anda masih memiliki waktu.

Bencana dan musibah belum turun dan belum tampak. Kita

bisa mendapatkan lautan rahmat Dzat Arhama al-Rahimīn dan

kita harus memadamkan "api" yang menyambar ini.

P: 78

TAUBAT HAKIKI

Wahai pesuluk, saat saya belajar agama di Najaf al-Asyraf, saya

melihat seorang alim yang mengamalkan ilmunya, yakni Mulla

Husain Qali Hamidani. Seorang yang mulia, bijak, dan luar biasa.

Beliau mengajarkan kepada salah satu santrinya amalan taubat.

Untuk melaksanakan pekerjaan yang penting ini, dua atau

tiga hari beliau menghilang dan tidak tampak. Setelah beliau

muncul, kami melihat perubahan yang cukup drastis pada

fisiknya. Badannya yang semula tampak gemuk dan berlemak,

hari itu tampak seolah separuhnya hilang. Dan, raut mukanya

tidak tampak berseri, tetapi tampak memucat, menguning, dan

lesu. Saya pikir, tidak mungkin beliau melakukan riyādhah (olah

spiritual) satu atau dua hari, lalu diikuti perubahan secepat

ini. Ternyata, setelah itu saya paham bahwa beliau betul-betul

beramal bak ksatria yang serius. Saya mendengar bahwa dalam

majelis taubatnya, beliau menangis dan merintih selama enam

jam.

P: 79

TANDA TANGISAN HAKIKI

Intinya, diperlukan keseriusan. Tanpa keseriusan dan tanpa

tekad serta perhatian, perbuatan kita tidak memberikan hasil

yang positif, Perlu kami tegaskan di sini bahwa [kebanyakan]

tangisan kita bukan tangisan hakiki. Mengapa? Karena

tangisan hakiki berasal dan bersumber dari hati yang tersayat.

Sementara tidak seluruh air mata adalah tangisan.

Akan tetapi, sangat disayangkan dan sangat memalukan,

bahkan untuk pura-pura menangis pun kita tidak melakukannya.

Padahal, meskipun sebatas pura-pura menangis, kalau manusia

membiasakannya dan tekun melakukannya, niscaya itu akan

membawa pengaruh pada hati dan pada akhirnya akan

menyebabkan tangisan yang hakiki dan realistis.

Wahai pesuluk, taubat ini apabila dilakukan oleh seorang

hamba, niscaya akan mendatangkan harapan yang besar, Taubat

bagi seorang hamba akan menjadi sebab yang sempurna guna

mencapai tujuan. Menurut ayat al-Qur'an, taubat seperti ini

P: 80

merupakan jalan hidayah, "Sesungguhnya Allah Swt. mencintai

orang-orang yang bertaubat," (QS Al-Baqarah [2]: 222).

Dan, telah disebutkan bahwa kecintaan Allah kepada

hamba-Nya diberikan dalam bentuk penyingkapan hijab-hijab

(tabir-tabir), dan memang demikianlah tujuan aslinya. Maka,

alangkah tingginya derajat itu! Alangkah mulia dan kekalnya

maqam itu! Dan, tiada keadaan serta kenikmatan yang lebih

berharga dan indah selain daripada itu!

P: 81

Musyārathah, Murāqabah, Muhāsabah

Wahai pesuluk, setelah taubat, Anda harus melaku-

kan apa yang disebut dengan musyārathah,(1) muraqabah, dan

muhāsabah. Pada awal Subuh, hendaklah Anda melakukan

musyarathah dengan diri Anda sendiri. Musyārathah adalah

mitra yang paling mulia, paling berharga, dan merupakan

modal yang luar biasa. Selama sehari (dari pagi] sampai waktu

tidur, lakukanlah murāqabah (kewaspadaan) secara sempurna

dan saat [sebelum] tidur, lakukanlah muhāsabah (introspeksi)

secara sempurna dari seluruh apa yang pernah dilakukan; se-

lama masa hidupmu dari kekuatan-kekuatan lahir dan batin

dan dari pelbagai kenikmatan Ilahi yang engkau gunakan atau

engkau abaikan. Semua ini telah dijelaskan dengan indah oleh

ulama-ulama akhlak, di mana perinciannya tertulis dalam

kitab-kitab mereka. Namun, saya hanya mengisyaratkan ke-

pada masalah yang penting dan berpengaruh berkaitan den-

gan hal ini.

Saat hendak tidur, hendaknya Anda melakukan muhā-

P: 82


1- Musyārathah berarti berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat di hari itu.

sabah al-nafs (introspeksi diri) dan mengobati pengkhiana-

tan-pengkhianatan diri dengan serius. Segeralah bertaubat

dan tidak perlu lagi menunda-nundanya. Miliki tekad yang

kuat dan keinginan yang bulat, dan sadari bahwa tidur pada

hakikatnya adalah saudara kematian, sebagaimana ditegaskan

dalam al-Qur'an, "Allah memegang jiwa (orang) ketika mat-

inya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu

tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetap-

kan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai

waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya, pada yang demikian

itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang ber-

fikir," (QS Al-Zumar [39]: 42)."

Jadi, seyogianya, manusia memperbaharui persiapan

menuju kematian dengan kembali meneguhkan keimanan.

Dan dengan kesucian, hendaklah ia menghadap kiblat dan

menghadapkan hati ke arah kiblat yang hakiki. Dan sebutlah

nama Allah dalam mengamalkan amalan-amalan saat [sebe-

lum] tidur dan kemudian menyerahkan ruh dan jiwanya ke-

pada Allah. Sekali lagi, hendaklah ia memperhatikan amalan-

amalan sebelum tidur dan tidak meninggalkannya, yaitu saat

ia masuk ke tempat tidur hendaknya mengucapkan basmalah,

baik melalui hati dan lisannya, lalu membaca ayat "Qul innamā

anā basyarun mitslukum ..." (QS Al Kahfi [18]: 110). Dan ayat,

"Amana al-rasūlu bimā unzila ilayhi min rabbihi ..." (QS Al

Baqarah [2]: 285) dengan penuh perenungan dan dilanjutkan,

kemudian membaca tasbih Fatimah al-Zahra(1), ayat Kursi, dan

tiga atau sebelas kali surah al-Ikhlas dan tiga kali membaca

"YafaluLlāh ma yasyā’u bi qudratihi wa yahkumu mā yurīdu bi

'izzatihi” (Allah dengan kekuasaan-Nya melakukan apa yang

dikehendaki-Nya dan dengan kemulian-Nya memutuskan apa

P: 83


1- Diriwayatkan bahwa ketika Fatimah al-Zahra mengadukan keletihannya da- lam mengurusi pekerjaan rumah kepada ayahnya dan meminta kepadanya supaya mendatangkan pembantu, Rasulullah Saw. menjawab, "Apakah engkau mau aku ajarkan sesuatu yang lebih baik daripada pembantu? Lalu Rasul Saw melanjutkan sabdanya, "Saat engkau hendak tidur maka bacalah, subhonallah 33 kali, al-hamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali." Tasbih ini kemudian terkenal dengan sebutan "Tasbih al-Zahra". (Riwayat ini adalah sahih dan ter- dapat dalam banyak kitab hadis, di antaranya dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal 1/80 no 604).

yang diinginkan-Nya) dan ayat yang berkah, "Syahidallāh ..."

(QS Ali Imran [3]: 18-19). Lalu, hendaklah dia membaca istig-

far [sebagaimana) yang diriwayatkan dalam hadis atau istigfar

manapun secara umum. Itu sungguh bagus dibaca.

Catatan:

1 Musyārathah berarti berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat

di hari itu.

2 Diriwayatkan bahwa ketika Fatimah al-Zahra mengadukan keletihannya da-

lam mengurusi pekerjaan rumah kepada ayahnya dan meminta kepadanya

supaya mendatangkan pembantu, Rasulullah Saw. menjawab, "Apakah engkau

mau aku ajarkan sesuatu yang lebih baik daripada pembantu? Lalu Rasul Saw

melanjutkan sabdanya, "Saat engkau hendak tidur maka bacalah, subhonallah

33 kali, al-hamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali." Tasbih ini kemudian

terkenal dengan sebutan "Tasbih al-Zahra". (Riwayat ini adalah sahih dan ter-

dapat dalam banyak kitab hadis, di antaranya dalam kitab Musnad Ahmad bin

Hanbal 1/80 no 604).

P: 84

BIMBINGAN ALLAH DALAM TIDUR

Ketahuilah, adakalanya Allah membimbing hamba-Nya saat

ia tidur, sebagaimana dahulu pernah Dia lakukan kepada

para nabi dan kekasih-Nya. Aku yakin, sebagian kekasih-Nya

memperoleh kemuliaan [bimbingan] ini saat sedang tidur

di tengah hari. Dalam kondisi tersebut, mereka mendapat

pengenalan diri lebih baik dan lebih jelas. Dan, saat terjaga dari

tidur, dia menyaksikan seolah-olah hakikat dirinya keluar dan

menyatu dengan alam malakut, lalu tersadar dalam keadaan

masih merasakan keagungan itu. Bahkan, mereka menyaksikan

ruh mereka menarik badan mereka, yang membuat mereka

terheran-heran dan berkata dalam hati, “Apa yang terjadi pada

diriku?" sampai keadaan tersebut perlahan-lahan menghilang.

P: 85

MENEMUKAN PENGETAHUAN-PENGETAHUAN PADA ALAM MIMPI

Para pesuluk sering mendapat pengetahuan tentang banyak

hal melalui pelbagai mimpi, di mana tak jarang dalam pelbagai

mimpi yang mereka alami ini, mereka meniti maqam-magam

spiritual dengan pertemuan-pertemuannya dengan Rasulullah

Saw., para imam, dan tokoh-tokoh ulama.

Dalam tafsir ayat, “Bagi mereka kabar gembira dalam

kehidupan di dunia dan di akhirat," (QS Yūnus [101: 64)

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gembira di dunia

ialah mendapat kabar gembira melalui mimpi, yaitu seorang

hamba memimpikan sesuatu yang menggembirakan yang telah

menjadi miliknya.

P: 86

MIMPI-MIMPI YANG MENGGEMBIRAKAN PENULIS

Hamba yang hina ini selalu berharap [bisa) sering bermimpi

berjumpa dengan para manusia suci dan merasakan kasih

sayang dari mereka, sehingga [lantaran begitu berharapnya] aku

merasakan kenikmatan, kenyamanan, dan harapan pada mimipi-

mimpi itu, saat aku hendak tidur! Seseorang bertanya padaku,

"Memangnya engkau mendapatkan penyaksian dalam tidur?!"

Meskipun ia berkata demikian, tetapi aku bisa menerimanya.

Dengan merasakan kenikmatan dalam tidurku

Aku menyaksikan kebaikan dalam tidur

Saat aku terbagun dari tidur

Pertama-tama kamulah yang muncul dalam ingatan

Setelah membaca syair ini, jika dalam berpikir tidak

memberikan hasil pada dirinya, lalu dia tidur dalam keadaan

berpikir, jika tidak, ia sibukkan diri dengan berzikir, hingga

P: 87

dalam tidurnya ia dalam keadaan berzikir. Dalam kondisi

tersebut, apabila pada saat-saat terakhir antara sadar dan tidak ia

masih mengucapkan Ya Allah atau hanya kata Allah, itu masih

sangat bagus. Sebab, dalam kondisi tersebut, sering terjadi-

meskipun ia telah hanyut dalam tidurnya, suara nafasnya masih

bergerak sesuai dengan irama zikirnya, hingga kadang orang-

orang yang berada di dekatnya mendengarnya.

Dengan demikian, ia telah menunjukan kepasrahan dengan

seluruh dirinya kepada Allah, Ia menyadari bahwa saat ruhnya

kembali pada badannya, hal itu sama dengan ruh dihidupkan

kembali setelah kematian. Dan, ini merupakan nikmat baginya,

karena ribuan orang justru tak lagi berkesempatan untuk

bangun dari tidur mereka. Bukankah mereka ini saat berada

di dalam kubur tak mendapatkan kenikmatan di dalamnya?

Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku, niscaya

aku akan beramal saleh yang dahulu aku tinggalkan." (QS Al

Mu'minūn [23]: 99-100).

Mereka mendengar jawaban;

"Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu perkataan yang

diucapkannya saja." (QS Al Mu'minūn [23]: 100).

Ketika itu, ia melakukan sujud syukur sambil berkata

kepada diri sendiri, “Mereka tidak mengatakan 'sekali-kali

tidak' kepadaku dan masih mengembalikanku ke dunia."

Karena itu, saat masih terjaga, perbaikilah dan sempurnakanlah

perbuatanmu pada masa lalu, juga berusahalah agar kamu

menjadi orang-orang yang dekat dengan Allah.

Dalam rangka menjalankan komitmen ini, ia harus

merealisasikannya dengan bekerja demi memperoleh

keuntungan dunia dan akhirat. Bahkan, ia harus berusaha

mendekatkan diri kepada Allah melalui cara-cara apa saja yang

dibenarkan. Sekarang ini, modal itu telah Anda miliki, tetapi

P: 88

secepatnya akan diambil kembali dari tanganmu. Oleh karena

itu, raihlah keridoan Allah. Jika kamu menunjukan sikap tegas,

kamu akan mampu menghindarkan diri dari gangguan segala

sesuatu selain-Nya dan langkah-langkahmu semakin pasti

dalam meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat. “Katakanlah,

'Allah'. Kemudian, biarlah mereka bermain dalam kesesatan

mereka," (QS Al-An'ām [6]: 91).

Hendaknya Anda memusatkan pikiran dan

perhatianmu kepada-Nya, jangan mengharapkan

sesuatu, kecuali keutamaan dari-Nya, dan katakanlah,

"Tidak ada sesuatu yang aku harapkan selain diri-Mu."

Berhati-hatilah, jangan sampai angan-angan duniawi

menguasai pikiranmu dan kebutuhanmu pada dunia

memalingkanmu dari sesuatu yang sebenarnya harus

diraih. Sebab, hal itu mewariskan kesengsaraan di samping

bertentangan dengan asas penghambaan, sebagaimana sikap

berlebihan para budak dunia yang rakus dan cinta dunia lantaran

terlalu memikirkan kebutuhan pokok bagi dirinya. Tentu,

kalian tidak menyukainya. Ditambah, hal ini juga termasuk

akhlak tidak terpuji dan rendah, di mana keinginannya melulu

soal perut, seks, harta, dan jabatan duniawi yang menipu.

Sangat disesalkan apabila modal seseorang yang dapat

digunakan untuk memperoleh keuntungan pada kehidupan

lain sehingga dapat mendekatkannya kepada penguasa alam

malakut, justru ia gunakan untuk meraih keuntungan dan

kebahagiaan di dunia yang fana, rendah, dan tak berarti ini.

Apalagi, [ada] ayat dan riwayat menyatakan bahwa keuntungan

duniawi sejatinya bukan diperoleh melalui usaha karena bagian

setiap orang pada kehidupan dunia ini telah ditetapkan.

Seandainya ia kehilangan sesuatu dari [bagian] dunia, ia

akan kembali mendapatkannya. Seandainya asumsi ini benar,

P: 89

yakni kalau tujuan-tujuan duniawi dicapai melalui usaha

manusia, sebenarnya itu pun masih melalui jalan Tuhan, yaitu

ketawakalan, yang merupakan sebaik-baik jalan untuk sampai

pada kebahagiaan yang sebenarnya. Pendeknya, [keuntungan

dunia diperoleh] dengan ketawakalan dan bukan dengan

giat dalam usaha, mengingat tak ada keuntungan yang dapat

diperoleh dari berusaha mencari keuntungan dunia, selain

kesengsaraan dan tipuan. Hal ini diperkuat oleh sebuah riwayat

yang menyatakan bahwa "Siapa bangun di waktu pagi dengan

semangat mencari keuntungan dunia, maka ia terkena musibah."

Dalam sejumlah riwayat dipaparkan secara jelas bahwa

siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia tidak membuat

orang itu bergantung pada jalan-jalan dunia. Dan, sebuah hadis

Qudsi yang diriwayatkan oleh tsiqatul islām, Kulaini, dari imam

Ja'far al-Sadiq yang menjelaskan:

Imam Ja'far al-Sadiq pernah menyampaikan dalam

sebagian kitab yang ada bahwa Allah berfirman, “Aku

bersumpah demi kemuliaan, keagungan, keluhuran, dan

kedudukan-Ku yang Mahatinggi atas Arsy, Aku benar-benar

akan memutuskan harapan setiap orang yang berharap

kepada selain-Ku dengan keputusasaan, memakaikannya

dengan pakaian kehinaan di tengah masyarakat, dan

memalingkannya dari keinginannya mendekatkan diri

kepada-Ku atau menjauhkannya dari sampainya kepada-

Ku. Mengapa ia mencari pertolongan kepada selain-Ku

kala tertimpa musibah, padahal semua musibah berada

di tangan-Ku? Kenapa ia berharap kepada selain-Ku dan

berpikir dirinya sedang mengetuk pintu rumah selain-Ku,

padahal kunci setiap pintu yang terkunci ada ditangan-Ku

dan pintu rumah-Ku terbuka untuk orang yang memanggil-

Ku? Siapa yang mengharapkan pertolongan-Ku saat

mengalami kesulitan, tetapi Aku tak memenuhi harapannya

itu? Siapa yang meminta bantuan-Ku untuk urusan yang

P: 90

besar, tetapi Aku memutus harapannya? Aku menjaga

harapan hamba-hamba-Ku di sisi-Ku, tetapi mereka tak

menyukainya. Aku memenuhi langit-Ku dengan hamba-

hamba-Ku yang tak pernah lelah menyucikan-Ku dan Aku

memerintahkan mereka tidak menutup pintu-pintu antara

Aku dan hamba-hamba-Ku. Namun, mereka tak percaya

pada ucapan-Ku. Apakah ia tidak tahu bahwa tidak ada

siapa pun selain-Ku yang mampu memberikan solusi

atas kesulitan yang menimpanya, kecuali seizin-Ku! Lalu,

mengapa ia berpaling dari-Ku? Dengan kemurahan dan

kedermawanan-Ku, sesuatu yang ia tidak inginkan dari-

Ku, Aku berikan, dan kelak Aku akan ambil kembali darinya.

Namun, ia tidak memintanya kembali dari-Ku, bahkan ia

inginkan dari selain-Ku. Ia tahu kalau pemberian-Ku selalu

mendahului permohonannya kepada-Ku, tetapi, mengapa

saat ia memohon sesuatu kepada-Ku, ia masih berpikir

Aku tak akan mengabulkan permohonannya?! Apakah Aku

kikir sehingga membuatnya berpikir demikian?! Bukankah

setiap sifat murah hati dan kedermawanan, demikian pula

dengan sifat pemaaf dan kasih sayang, bersumber dari-

Ku?! Bukankah Aku adalah tumpuan semua harapan? Lalu,

siapa yang dapat memutus harapan-harapan selain Aku?

Apakah orang-orang itu tak takut karena berharap kepada

selain-Ku? Seandainya semua penghuni langit dan bumi

menginginkan Aku memberi nikmat kepada setiap orang

dari mereka sebesar permohonan mereka semua, hal itu

tak akan mengurangi kekuasaan-Ku, meski sebesar tubuh

seekor semut pun. Bagaimana [hal itu] dapat mengurangi

kekuasaan, sedangkan Aku adalah pengurusnya? Alangkah

meruginya orang yang putus asa dari rahmat-Ku. Alangkah

meruginya orang yang bermaksiat kepada-Ku. Dan,

alangkah meruginya orang yang melupakan-Ku.”(1)

Dalam riwayat lain, Imam Ja'far berkata:

Allah mewahyukan kepada Dawud a.s., “Siapa dari hamba-

hamba-Ku yang berlindung pada-Ku tanpa berlindung

P: 91


1- Al-Kafi, 2: 66.

pada makhluk-makhlukku yang lain, dan Aku mengetahui

hal itu dari niatnya, lalu langit, bumi, dan seisinya

memperdayakannya. Maka, Aku telah menyiapkan jalan

keluar baginya di antara semua itu. Dan, siapa dari

hamba-hamba-Ku yang berlindung pada salah satu dari

makhluk-Ku, yang Aku ketahui dari niatnya, melainkan

Aku jauhkan perantara-perantara yang ada di langit dan

bumi dari hadapannya lalu menyerahkan dunia ini pada

kekuasaannya, setelah itu Aku membebaskannya untuk

mati di lembah manapun."(1)

Imam Ja'far al-Sadiq juga berkata, “Sesungguhnya orang

kaya dan orang terpandang merupakan orang yang terombang-

ambing, tetapi jika keduanya mencapai derajat tawakal, niscaya

keduanya menjadi mantap."(2)

Alhasil, dalam masalah ini cukuplah ayat, “Tidakkah Allah

cukup bagi hamba-hamba-Nya," (QS Al-Zumar: 36). Karena itu,

cukup bagi seorang mukmin untuk mengatakan, “Benar, Allah

cukup bagiku," memusatkan perhatiannya kepada Allah dan

selalu merasakan kesedihan di hatinya. Ia merasakan kesedihan

ini, lantaran sewaktu hidupnya di dunia, (dari] setiap derajat

dari kondisi maqam-macam makrifat dan kedekatan pada Allah

yang ia rasakan, masih saja ada maqam yang lebih tinggi, hingga

[magam] sebagaimana yang imam Ali katakan, “Seandainya

tabir disingkap, tidak akan bertambah keyakinanku."(3)

Kesedihan setiap pesuluk adalah abadi; ini adalah

kesedihan di hati yang selalu berjalan beriringan dengan

kebahagiaan di wajahnya; atau kesedihan batin yang selalu

menemani kebahagiaan lahirnya. Dalam sebuah riwayat

dijelaskan bahwa kesedihan merupakan penghubung antara

seorang hamba dengan Tuhannya, selama penghubung ini

ada, maka ikatan hamba dengan Tuhannya tak akan putus.

Di samping itu, seorang hamba juga akan mengisi waktu-

P: 92


1- Al-Kafi, 2: 63.
2- Al-Kafi, 2: 64.
3- Kasyf al-Ghummah, 1: 170.

waktunya dengan bertawasul kepada "sang wajah" Allah; cahaya

dari cahaya-cahaya Allah; pancaran cahaya-Nya yang suci;

hujah-Nya yang agung, dan kepada hujah agung penutup para

washi, imam zaman serta selalu menantikan saat kehadirannya

yang penuh berkah, Ia pun senantiasa melantunkan doa suci,

Allahumma 'arrifnī nafsaka ...

(1)

(Ya Allah perkenalkanlah aku

pada diri-Mu ...), membaca surah tauhid sebanyak tiga kali

yang diperuntukan kepada imam zaman dan setiap subuh tidak

pernah meninggalkan membaca doa 'Ahd.

Alhasil, karena tak mampu menghadapkan wajahnya

secara langsung kepada Allah lantaran perbuatan maksiat,

kelalaian, dan kezalimannya, sehingga wajah sang hamba basah

dengan air muka putus asa dan tak berwibawa. Dalam keadaan

yang demikian, ia mengucapkan, “Ya Allah, dosa-dosaku telah

membuat wajahku kehilangan wibawa, maka aku hadapkan

diriku pada wajah khalifah-Mu yang bercahaya di sisi-Mu."

Lantas, ia melakukan banyak kebaikan dengan penuh

semangat. Lebih-lebih [kebaikan] dalam menjaga lisannya,

mengingat tidak ada hal yang butuh perhatian yang ketat

dan memiliki tingkat kesulitan dalam mengontrolnya yang

sebanding dengan lisan. Oleh karena itu, perintah yang

ditujukan pada lisan terasa lebih sulit; menjaganya terasa

berat dan semua akibat yang bersumber darinya berbahaya.

Meskipun, terkadang berbicara lebih mulia dari diam, tetapi

para pembimbing hati, dari kalangan para nabi dan waliyullah,

memprioritaskan diam atas bicara, “Seandainya bicaramu

adalah perak, maka diammu adalah emas.” Bahkan, apa yang

kalian pahami dari hadis Qudsi yang disebutkan sebelumnya,

sejatinya sudah cukup bagi kalian untuk lebih memilih diam.

Alhasil, mesti dipahami bahwa pengaruh perkataan

tak hanya dikhususkan pada sebagian eksistensi, bahkan

P: 93


1- "Ya Allah perkenalkanlah aku pada diri-Mu, karena sesungguhnya jika Engkau tidak memperkenalkanku pada-Mu, aku tak dapat mengenal nabi-Mu. Ya Allah, perkenalkanlah aku pada rasul-Mu, karena sesungguhnya jika engkau tidak memperkenalkanku pada rasul-Mu, aku tak dapat mengenal hujjah- Mu. Ya Allah, perkenalkanlah aku pada hujjah-Mu, karena sesungguhnya jika Engkau tidak memperkenalkanku pada hujjah-Mu, niscaya aku tersesat dari agamaku."

pengaruh perkataan ini, baik dalam bentuk pembenaran dan

pendustaan, atau cacian dan pujian, bisa pada eksistensi Tuhan

hingga wujud mumkin. Dengan cacian dan pujian, orang yang

mengucapkannya dapat jatuh dari derajat yang tinggi ke

derajat yang rendah dan dapat naik dari derajat yang rendah ke

derajat yang tinggi. Dengan satu ucapan yang keji, seseorang

bisa menjadi kafir, najis, dan tertimpa azab yang kekal. Dengan

satu ucapan pula, ia bisa melakukan sejumlah dosa besar,

seperti menipu, ghibah, menghina mukmin, membunuh ribuan

kekasih Allah, riya, sombong, dan lain-lain. Semua itu membuat

amal perbuatannya menjadi tak bernilai selamanya. Para tokoh

agama sendiri memberikan perhatian khusus pada dampak

negatifnya. Masalah penting inilah yang disinggung dalam

sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw.

dikumpulkan bersama tiga nabi lainnya. Masing-masing dari

mereka menyebutkan tentang suatu perbuatan (dari kaumnya]

yang bagaikan mengamalkan seluruh ajaran nabinya. Saat tiba

gilirannya, Rasulullah Saw. mengatakan, "Siapa menjaga dan

memelihara lisannya, maka ia telah mengamalkan seluruh

ajaran al-Qur'an." Para ulama akhlak memandang kalimat di

atas sebagai salah satu dari mukjizat beliau Saw.

Catatan;

1 Al-Kafi, 2: 66.

2 Al-Kafi, 2: 63.

3 Al-Kafi, 2: 64.

4 Kasyf al-Ghummah, 1: 170.

5 "Ya Allah perkenalkanlah aku pada diri-Mu, karena sesungguhnya jika Engkau

tidak memperkenalkanku pada-Mu, aku tak dapat mengenal nabi-Mu. Ya

Allah, perkenalkanlah aku pada rasul-Mu, karena sesungguhnya jika engkau

tidak memperkenalkanku pada rasul-Mu, aku tak dapat mengenal hujjah-

Mu. Ya Allah, perkenalkanlah aku pada hujjah-Mu, karena sesungguhnya jika

Engkau tidak memperkenalkanku pada hujjah-Mu, niscaya aku tersesat dari

agamaku."

P: 94

ADAB MAKAN, MINUM, DAN TIDUR

Jika keterangan umum di bawah ini ditambahkan pada ulasan

atas hadis Mi'raj yang lalu, maka cukup membuat seseorang

memilih sikap diam. Keterangan umum yang dimaksud adalah

seputar adab makan, minum, dan tidur,

Nilai makan dan minum secara kualitas, pertama-tama

harus bersih dari hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang

syubhat. Tidak terburu-buru dalam makan dan minum,

khususnya saat berhadapan dengan hidangan yang lezat.

Artinya harus ada jeda, minimal seukuran satu kali nafas. Dalam

masalah ini, sebaiknya makan bukan karena ingin menikmati

makanan yang lezat, tetapi untuk menghasilkan energi untuk

berbuat baik

Begitu pun dalam kuantitasnya, ukurannya adalah seperti

ini [sekadar untuk mendapat energi]. Ukuran pertengahannya

adalah seseorang tidak makan secara berlebih dan tidak

P: 95

menjauhi makan secara ekstrem. Makan secara berlebih

menyebabkan keras hati, sementara kurang makan mewariskan

sifat pemarah dan cepat tersinggung. Adapun ukuran yang

adil dalam makan ialah tidak meninggalkan makan lebih

dari tiga hari dan tidak makan dalam dua tahapan dalam

sehari-semalam, meskipun terkadang keduanya sebaiknya

ditinggalkan.

Pada intinya, jangan meninggalkan makan sampai

menyebabkan lemahnya fisik dan kelaparan pada tingkat yang

mengkhawatirkan serta tidak makan sedemikian rupa hingga ia

mampu mengenali beratnya makanan. Para ulama akhlak saat

menerangkan ukuran tersebut mengatakan, “Makanlah saat

benar-benar merasakan lapar dan berhenti sebelum kenyang."

Bagi seorang pemula, dalam menapaki perjalanan spiritual

sebaiknya dalam batasan tertentu mendahulukan rasa lapar,

terlebih kalau ia berpuasa.

Adapun tentang adab dalam tidur, seorang pembimbing

spiritual besar, almarhum Mulla Husein Qali Hamadani,

mengatakan, “Dalam sehari semalam, tidurlah dengan ukuran

[waktu] di bawah ukuran kedokteran." [Apabila] Menurut

kedokteran [baiknya] tidur selama tujuh jam, maka tidurlah

selama enam jam. Dan, biasakanlah bangun tidur di akhir

malam, karena orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi

dalam agama adalah ahli bangun malam, dan selain daripada

mereka tidak ditemukan [seorang yang ahli bangun malam].

P: 96

PENGARUH POSITIF SALAT MALAM DAN BANGUN MALAM

Kalau kita ingin memahami keutamaan salat tahajud, bangun

malam untuk bermunajat dan menangis, serta mendekatkan

diri kepada Allah, kita dapat merujuk ke sejumlah ayat dan

riwayat yang ada tentang masalah ini. Namun, di sini saya

akan membawakan dan menjelaskan secara ringkas sebagian

riwayat darinya untuk mengingatkan orang-orang yang

menginginkannya.

Salah satunya ialah yang diriwayatkan dari Imam

Muhammad al-Baqir sebagai berikut:

Sebagian yang diwahyukan Allah pada Musa bin Imran

adalah, “Berdusta orang yang mengatakan mencintai-Ku,

tetapi di waktu malam ia melupakan-Ku karena hanyut

dalam tidurnya. Hai putra Imran, jika kamu menyaksikan

orang-orang yang bangun [kala tengah malam] demi Aku

dalam kegelapan, ia berbicara dengan-Ku seolah-olah

P: 97

Aku berada di hadapannya, padahal Mahasuci Aku dari

kehadiran fisik. Hai putra Imran, berikan Aku air mata

kedua matamu, kekhusyukan dari hatimu dan ketundukan

dari tubuhmu, kemudian serulah Aku dalam kegelapan

malam, niscaya akan engkau dapati bahwa Aku dekat dan

mengabulkan doa-doamu."(1)

Rasulullah Saw. bersabda, “Kemuliaan seorang bergantung

pada salat malamnya."(2)

Diriwayatkan bahwa ketika Allah mengumpulkan orang-

orang terdahulu dan yang terakhir, seorang penyeru menyeru,

"Orang-orang yang punggung-punggung mereka menjauh

dari tempat tidur sambil menyeru Tuhan mereka dengan rasa

takut dan berharap," (QS Al-Sajdah[32]: 16). Lalu, mereka yang

hanya berjumlah sedikit itu bangun dan setelah mereka, giliran

orang-orang selain mereka dihisab.(3)

Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah

Saw. bersabda:

Di surga 'Adn, ada sebuah pohon yang darinya muncul

kuda-kuda zebra yang penuh dengan hiasan dari batu

yakut dan zabarzad, memiliki sayap, dan tak pernah

mengeluarkan kotoran atau pun kencing. Di surga, para

kekasih Allah mengendarai kuda-kuda itu ke mana pun

mereka ingin pergi. Ahli surga selain mereka berkata,

"Wahai saudara kami, seharusnya keadaan kalian itu tidak

berbeda dengan kami." Kemudian, mereka menghadap

Allah dan berkata, “Ya Allah, bagaimanakah hamba-hamba-

Mu itu meraih kedudukan yang mulia tersebut, sementara

kami tidak memperolehnya?!" Sesaat setelah mereka

melontarkan pertanyaan, sesosok malaikat keluar, lalu

berkata, “Mereka suka bangun malam, sementara kalian

P: 98


1- 1.Irsyad al-Qulüb, 1: 183.
2- 2.Bihar al-Anwār, 75: 109.
3- 3.Irsyad al-Qulüb, 1: 173.

tidur; mereka berpuasa, sementara kalian menikmati

hidangan; mereka menginfakkan sebagian hartanya karena

Allah, sementara kalian tak mau mengeluarkannya; mereka

banyak mengingat Allah dan selalu berdzikir, mereka juga

banyak menangis karena besarnya rasa takut kepada

Tuhan mereka dan mereka adalah pengasih"(1)

Diriwayatkan bahwa di antara permintaan Allah kepada

Nabi Dawud a.s. adalah:

"Wahai Dawud, mohonlah ampun dari akhir malam

sampai menjelang subuh. Wahai Dawud, jika malam telah

meliputimu, pandanglah bintang-bintang di langit, lalu

bertasbihlah kepada-Ku dan perbanyaklah mengingat-

Ku, niscaya Aku pun mengingatmu. Wahai Dawud,

sesungguhnya orang-orang yang bertakwa tak pernah

tidur di malam hari, kecuali mereka mengisinya dengan

salat malam untuk-Ku. Mereka tak melewati hari-hari

mereka, kecuali dengan menyibukan diri dengan dzikir.

Wahai Dawud, sesungguhnya para Arif mencelak mata

mereka dengan celak ahli bangun malam dan melewati

malam dalam keadaan terjaga, lalu mereka dengan semua

itu mengharapkan ridho-Ku. Wahai Dawud, sesungguhnya

orang yang bangun malam untuk salat kala orang lain tidur

dan ia melakukannya karena-Ku, niscaya Aku perintahkan

malaikat-malaikat-ku untuk mengabulkan apa yang

diinginkannya, surga-Ku merindukan untuk bertemu

dengannya, dan [bahkan] segala sesuatu yang basah dan

kering pun ikut mendoakannya."(2)

Dari Ibn Mas'ud, [disebutkan] bahwa Rasulullah Saw.

bersabda,

P: 99


1- 4.Irsyad al-Qulüb, 1: 173.
2- 5.Irsyad al-Qulub, 1: 174.

"Cukup membuat seseorang merugi, apabila ia melewati

malamnya hingga tiba waktu subuh tanpa salat dua rakaat

dan tidak mengingat Allah.” Lalu, salah seseorang berkata,

"Wahai Rasulullah Saw., semalam ada orang yang melewati

malamnya dengan tidur hingga tiba waktu subuh, sehingga

ia kehilangan kesempatan berzikir di malam itu." Mendengar

hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Setan telah mengencingi

telinga lelaki itu, hingga membuatnya tak mampu bangun."

Sebuah hadis dari Rasulullah Saw. berbunyi:

"Tak ada orang yang kehilangan seluruh malamnya,

melainkan setan telah mengencingi kedua telinganya dan

Įkelak] ia datang pada Hari Pembalasan dalam keadaan

tak memiliki apa pun. Tidak ada seorang yang tidur

malam, kecuali malaikat membangunkannya sebanyak

dua kali seraya berkata, 'Hai hamba Allah, bangunlah (dari

tidurmu), lalu duduklah agar kamu dapat mengingat Allah.

Setelah itu, sekiranya ia masih belum bangun, setan akan

mengencingi kedua telingannya."(1)

Diriwayatkan bahwa rumah-rumah yang di dalamnya

selalu didirikan salat malam dan biasa dibacakan al-Qur'an,

menjadi penerang bagi penghuni langit sebagaimana bintang-

bintang yang bersinar menerangi penghuni bumi.

Rasulullah Saw. dalam wasiatnya kepada Amirulmukminin

bersabda, "Perhatikanlah salat malam!" (beliau Saw. mengulangi

ucapannya ini sebanyak tiga kali).(2)

Rasulullah Saw. [juga pernah bersabda, “Tidakkah

kamu melihat wajah-wajah ahli salat malam? Mereka adalah

orang-orang yang berwajah paling baik, lantaran mereka suka

P: 100


1- 7.Irsyād al-Qulüb, 1: 181.
2- 8.Bihar al-Anwar, 87: 157.

menyendiri di malam hari karena Allah Yang Mahasuci, maka

Dia memakaikan mereka dengan cahaya-Nya.(1)

Imam Muhammad Baqir sewaktu ditanya tentang waktu

salat malam, beliau menjelaskan:

Tentang waktunya, kakekku Rasulullah Saw. pernah

bersabda,

“Sesungguhnya Allah memiliki penyeru yang biasa

menyeru di waktu Sahar (waktu menjelang subuh-peny.]

yang berkata, “Apakah ada orang yang berdoa, agar Aku

mengabulkannya? Apakah ada orang yang meminta

ampunan, agar Aku mengampuninya? Apakah ada orang

yang memohon sesuatu, agar Aku memberikannya?"

Kemudian, dia berkata, "Itulah waktu di mana Ya'qub

berjanji untuk memohonkan ampunan bagi anak-anaknya

dan juga waktu yang membuat Dia memuji orang-orang

yang memohon ampunan dosa, 'Dan orang-orang yang

memohon ampunan di waktu Sahar (waktu menjelang

subuh-peny.]; (QS Ali 'Imrān [3]: 17)"Sesungguhnya waktu

salat malam di akhir malam lebih utama ketimbang di awal

malam. Ini adalah waktu doa-doa diijabah. Salat di waktu

itu merupakan hadiah seorang mukmin untuk Tuhannya.

Oleh karena itu, berikanlah hadiah yang terbaik kepada

Tuhanmu, niscaya Dia akan memberikan hadiah yang

terbaik pula kepadamu. Namun, tidak ada orang yang akan

melakukannya kecuali mukmin sejati."(2)

Diriwayatkan bahwa Allah mewahyukan kepada sebagian

Shiddiqīn:

P: 101


1- 9.Bihar al-Anwar, 87: 159.
2- 10.Irsyad al-Qulub, 1: 182.

"Sesungguhnya Aku memiliki sejumlah hamba yang

mencintai-Ku dan Aku pun mencintai mereka, mereka

merindukan-Ku dan Aku pun merindukan mereka,

mereka mengingat-Ku dan Aku pun mengingat mereka,

mereka memandang-Ku dan Aku pun memandang mereka.

Jika kamu mengikuti jejak mereka, niscaya Aku akan

mencintaimu, tetapi seandainya kamu berpaling dari

(jalan) mereka, niscaya Aku akan memusuhimu." Hamba

itu bertanya, "Wahai Tuhanku, apa saja ciri-ciri mereka?"

Allah berkata, “Mereka senantiasa menunggu saat teduh di

siang hari, seperti halnya penggembala mencari tempat-

tempat teduh untuk kambing-kambing gembalaannya.

Mereka sangat menantikan saat terbenamnya matahari,

seperti burung-burung menantikan saat kembali ke

sarang-sarang mereka kala terbenamnya matahari. Lalu,

kala malam tiba dan suasana gelap sudah menyelimuti,

tempat-tempat istirahat beserta kasur dan bantalnya telah

disiapkan, dan setiap kekasih berkumpul dengan sang

terkasihnya, mereka justru menegakkan kaki-kaki mereka

di hadapan-Ku, menghadapkan wajah mereka untuk-Ku,

bermunajat kepada-Ku dengan ucapan-Ku, dan memohon

segala nikmat dari-Ku. Antara merintih, menangis, hingga

mengaduh dan antara duduk, berdiri, ruku', dan sujud [itu

adalah kondisi mereka). Dengan mata-Ku, Aku melihat apa

yang mereka usahakan untuk-Ku. Dan dengan telinga-Ku,

[Aku mendengar) apa yang mereka keluhkan dan adukan

karena cinta mereka kepada-Ku. Pertama-tama yang Aku

berikan pada mereka ialah tiga hal. Pertama, Aku masukkan

cahaya-Ku dihati mereka, agar mereka senantiasa

mengingat-Ku, sebagaimana Aku mengingat mereka.

Kedua, seandainya (berat] langit dan bumi beserta segala

isinya seberat timbangan [ganjaran) mereka, akan Aku

P: 102

jadikan semua itu kecil di hadapan mereka. Ketiga, dengan

wajah-Ku, Aku menghadap mereka. Dan, tentu seseorang

tahu, [kalau] Aku menghadap seseorang dengan wajah-

Ku, perhatian apa yang akan aku berikan kepadanya?!"

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa salah seorang hamba

berkata,

"Aku melihat dalam tidurku, seakan-akan aku sedang

berada di pinggir sebuah sungai misk yang mengeluarkan bau

wangi. Di kedua ujung sungai tersebut terdapat pohon yang

terbuat dari mutiara dan emas. Tiba-tiba, aku melihat sejumlah

bidadari yang mengenakan perhiasan dan pakaian berbahan

sutra dengan wajah-wajah bercahaya bak bulan, mereka berkata,

"Mahasuci Allah dari segala ucapan, Mahasuci Dia; Mahasuci

Dzat yang ada di semua tempat, Mahasuci Dia; Mahasuci Dzat

yang abadi sepanjang waktu, Mahasuci Dia." Aku berkata,

"Siapa kalian?" Mereka berkata, “Tuhan manusia, Tuhan [Nabi]

Muhammad Saw., telah menciptakan kami untuk orang-orang

yang bangun malam, yang mereka bermunajat kepada Pencipta

Alam, dan kala orang lain tidur, ia menangis." Aku berkata,

"Alangkah senang dan bahagianya orang-orang tersebut, siapa

mereka?” Para bidadari menjawab, “Mereka adalah orang-

orang yang bertahajud pada malam hari dengan membaca

al-Qur'an dan banyak mengingat Allah, baik dalam hatinya

(sembunyi-sembunyi) maupun dengan lisan (terang-terangan),

mereka merupakan orang-orang yang berinfak dan banyak

memohon ampunan [kepada Allah] di penghujung malam."(1)

Wahai saudaraku, perhatikan baik-baik makna riwayat

ini, Allah memiliki satu malaikat yang dinamakan al-Da'i

(Sang Penyeru). Setiap bulan Rajab, malaikat ini menyeru dari

malam hingga subuh dengan berkata, “Berbahagialah orang-

orang yang selalu mengingat Allah, berbahagialah orang-orang

Pengaruh Pesitif Salat Malam dan Bangun Malam

P: 103


1- 11.Irsyād al-Qulub, 1: 178.

yang taat." Allah berfirman, “Aku teman duduk bagi orang yang

duduk bersamaku, Aku menaati orang yang menaati-Ku dan

mengampuni orang yang meminta ampunan kepada-Ku."(1)

Wahai orang-orang miskin! Perhatikanlah dirimu apabila

kamu menaati Tuhanmu, betapa hal itu (dapat) membuatmu

mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi, yang tak dapat

dilukiskan oleh lisan dan tak dapat digambarkan oleh akal.

Lantaran upayamu dalam mencapai kedudukan yang tinggi

menjadikanmu pemimpin para malaikat dan dekat dengan Tuhan

alam semesta, lebih dari itu kamu menjadi orang yang ditaati

oleh para malaikat Allah. Namun, apabila kamu bermaksiat

kepada-Nya dan meremehkan perintahnya untuk salat

tahajud, serta memandang ringan ajakan-Nya agar bermunajat

kepada-Nya, maka setan akan menguasai dirimu. Alangkah

buruknya keadaanmu! Tidur yang lelap telah membuatmu

lalai mengingat Allah, menghalangimu untuk mencapai

kedudukan dan derajat muqarrabīn-yaitu kedudukan tertinggi

orang-orang termulia di sisi Allah dan menggabungkanmu

bersama orang-orang hina ke tempat yang paling rendah.

Bukankah kamu adalah orang yang berambisi untuk

menjadi teman orang-orang kaya dan berusaha keras mencapai

tujuan itu dengan mengeluarkan harta dan menggunakan

semua fasilitas yang kamu miliki, bahkan kamu pun berani

mengorbankan nyawamu agar bisa dekat dengan para

penguasa?! Lalu, apa artinya kemalasan dan kepura-puraanmu

dalam menyambut undangan Penguasa yang sebenarnya?! Dia

adalah penguasa yang seluruh kekuasaan raja-raja dan para

penguasa selain-Nya tak pernah sebanding dengan kekuasaan-

Nya walau sebesar biji sekalipun. Bahkan, semua kekuasaan

selain-Nya di bawah kekuasaan-Nya yang agung dan bayangan

dari bayang-bayang kekuasaan-Nya. Selain itu, Dia adalah

P: 104


1- 12.Ibn Thawus, Iqbal al-A'mal (Beirut: Ilami) hlm.118.

yang memenuhi semua nikmat yang kamu butuhkan, yang tak

terhitung [banyaknya] olehmu, bahkan oleh selainmu.

Betapa besar kerugian dan kehancuran yang akan

menimpamu karena perlakuan burukmu kepada Sang Penguasa

hakiki dan ketidakpedulianmu terhadap hak-hak-Nya! Tidak

akan ditemukan seorang pembantu pun di dunia ini yang

memperlakukan tuannya seperti itu, bahkan penguasa mana

pun di dunia ini tidak akan mau bekerja sama dengan menteri

dan karyawan semacam itu. Padahal, kamu tidak akan berbuat

demikian pada orang-orang yang sederajat denganmu, bahkan

pada bawahanmu, musuh-musuh, dan para penentangmu,

seperti halnya perbuatan burukmu kepada Tuhan. Sebab,

siapa pun bila musuhnya memberikan sepucuk surat undangan

kepadanya yang ia tulis dengan bahasa yang baik dan penuh

penghormatan, lalu ia kirim melalui orang yang baik dan mulia,

dirinya akan merasa malu untuk menolaknya. Mahasuci Allah,

betapa mulia, baik, lembut, dan dermawan-Nya!

Sesungguhnya sudah sepantasnya manusia

mempersembahkan dunia dan akhiratnya, semua kenikmatan,

kehormatan, dan kebahagiaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bahkan, seharusnya dirimu dan semua orang rela berkorban

demi setiap huruf dari kalimat-kalimat yang tercantum dalam

surat [undangan) itu. Namun, pengorbanan ini masih belum

dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, bahkan sama sekali tak

memadai, karena bagaimanapun tidak mampu memenuhi hak

bersyukur atas undangan tersebut sebagaimana seharusnya.

Bagaimana tidak, sementara hal (pengorbanan) ini terbatas dan

bukan apa-apa di hadapan pelayanan yang agung dan besar, Di

samping itu, jiwa ini merupakan bagian dari nikmat-nikmat-

Nya. Sebagaimana saat kamu menjadikan jiwamu sebagai

pengorbanan, itu pun termasuk nikmat-nikmat-Nya.

P: 105

Dengan demikian, Mahasuci Allah dari rasa takjub

akal pada kemuliaan sikap dan perhatian-Nya kepada

hamba-hamba-Nya. Meskipun Dia Yang Mahaagung telah

memberikan berbagai karunia-Nya kepada hamba-hamba-

Nya, tetapi seolah-olah Dia tidak merasa cukup dengan

semua itu, dan menjanjikan untuk memberi berbagai

kemulian dari pahala-pahala dan anugerah-anugerah serta

pemberian-pemberian yang tidak mampu dilukiskan lisan

para pujangga. Bahkan pemahaman para ulama pun menjadi

tumpul untuk mencernanya dan dalam hati manusia pun

tidak pernah terlintas. Allah berfirman, “Dan pada sebagian

malam lakukanlah salat tahajud sebagai tambahan Cibadah]

bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu membangkitkanmu

pada kedudukan yang terpuji." (QS Al-Isrā' [17]: 79).

Apa yang kita ketahui tentang hakikat "kedudukan yang

terpuji"? Dan, bagaimana kita menggambarkannya? Wahai

saudaraku, renungkanlah apa yang aku sampaikan kepadamu

dengan baik, bahwa ketika seseorang membandingkan segala

sesuatu dengan akalnya, ia membedakan yang bernilai dengan

yang kurang bernilai, tak menyamakan antara keduanya. Dan,

ia tidak menyukai yang kurang bernilai, meskipun keduanya

dari spesies yang sama dan memiliki sedikit perbedaan. Lalu,

bagaimana mungkin akal menyamakan pemberian Allah yang

sangat sempurna, dalam kenikmatan bermunajat, dalam

kedekatan diri kepada-Nya dan dalam memandang cahaya

wajah-Nya dengan kenikmatan-kenikmatan yang datang

dari selain-Nya?! Padahal, setiap kemuliaan dan kebahagiaan

yang bersumber dari-Nya tidak terbatas, baik dari segi waktu,

jumlah, atau batasan. Namun, segala sesuatu yang bersumber

dari selain-Nya, semuanya terbatas. Dan, tidak ada relasi antara

yang terbatas dengan yang tak terbatas.

P: 106

Kesimpulnya, seorang pesuluk harus selalu mengevaluasi

dirinya. Jika ia menyaksikan dirinya sedang terlena oleh dunia

dan membenci sifat-sifat yang terpuji, katakanlah kepadanya,

betapa buruk dan hinanya hal itu. Manusia selalu menerima

nikmat Allah, padahal ia tidak menghargainya, yakni dengan

membalas semua kebaikan Allah kepadanya dengan sikap yang

buruk dan tidak menghargai nikmat-nikmat-Nya yang besar.

Tentu, nilai perbuatan buruk kepada orang lain berbeda-

beda. Misalnya, perbuatan burukmu kepada orang yang telah

berbuat baik kepadamu, dalam pandangan orang-orang

yang berpikiran waras, lebih buruk dibandingkan dengan

perbuatan burukmu kepada orang yang tidak berbuat baik

kepadamu. Oleh karena itu, semakin banyak orang berbuat

baik kepada kita, maka nilai perbuatan buruk kita kepadanya

semakin bertambah besar. Misalnya, seorang kepala daerah

tingkat propinsi memberikan hadiah berupa buah-buahan

kepadamu. Menurut akal, akan ternilai buruk apabila kamu

tidak menghargai pemberiannya itu. Kalau setiap hari

kepala daerah itu memberikan buah-buahan kepadamu,

maka tidak menghargai pemberiannya lagi, tentu jauh

lebih buruk dari sebelumnya. Kalau kepala daerah itu terus

menerus melakukan kebaikan itu, tak hanya sebatas buah-

buahan, bahkan semua kebutuhan primermu, atau lebih

dari itu, hingga sesuatu yang bukan kebutuhan pokok pun

ia berikan kepadamu sampai-sampai kamu tak mampu lagi

menghitungnya, baik secara umum maupun detail. Dengan

kata lain, kebaikan yang tak terhitung besarnya kepadamu,

apabila kamu tidak peduli dan tidak menghargainya,

maka nilai keburukannya menjadi tak terhitung pula.

Hukum di atas juga berlaku apabila sang pemberi memiliki

derajat kemuliaan lebih tinggi. Misalnya, kalau sebelumnya

P: 107

orang yang berbuat baik kepadamu adalah seorang kepala

daerah tingkat propinsi, sekarang yang berbuat baik kepadamu

adalah seorang kepala negara, maka nilai keburukan dari tidak

menghargainya pun jauh lebih besar. [Bayangkan] Seandainya

sang pemberi itu memiliki keagungan yang sangat luar biasa,

hingga akal pun tak mampu menggambarkannya dan orang-

orang yang berakal pun dibuat terperangah, niscaya keburukan

dari tidak menghargainya dilihat dari dua sisi; yakni dari sisi

nikmat yang diberikan padanya dan sisi diri sang pemberi

nikmat-adalah keburukan yang tak terbatas.

Paparan di atas berdasarkan asumsi sikap tidak menghargai

yang terhitung kecil, sedikit, dan sederhana. Adapun apabila

sikap tidak menghargai semakin sering dilakukan, semakin

besar pula nilai buruknya. Apabila sikap tidak menghargai

lebih besar lagi, begitu pun nilai keburukannya menjadi

lebih besar juga. Nilai keburukan ini berlanjut hingga tahap

di mana sikap tidak menghargai ini tak pantas dilakukan,

bahkan kepada musuh sekalipun. Oleh karena itu, tidak

heran jika orang-orang yang mulia tidak mau menunjukan

permusuhannya dengan orang lain secara terang-terangan,

bahkan kepada musuh sekalipun. Mereka alih-alih menunjukan

sikap permusuhan, justru menyayangi, bahkan menunjukan

kerinduan dan cintanya yang sangat tinggi dan agung. Apabila

kamu meragukan masalah ini, renungkanlah firman Allah Yang

Maha Pemberi Nikmat dan Mahaagung dalam sebuah hadis

berikut ini. “Seandainya orang-orang yang berpaling dari-Ku

mengetahui bagaimana Aku merindukan mereka dan menanti

taubat mereka, niscaya-karena kerinduannya pada-Ku-mereka

akan mati dan semua belenggu di badan mereka pun terlepas!"

Selain itu, dalam firman-Nya di hadis Qudsi (hadis ini

dikutip dari kitab al-Kāfi, karya Kulaini) yang menerangkan

P: 108

bahwa Allah sangat senang dan gembira atas taubat hamba-

Nya, “Hai putra Adam, Aku bersumpah dengan hakmu atas-Ku,

bahwa Aku sangat mencintaimu. Akupun bersumpah dengan

hak-Ku atasmu, cintailah Aku!"

Dan firman-Nya kepada nabi dan kalimat-Nya, Isa bin

Maryam a.s., "Hai Isa, betapa Aku luaskan penglihatan-Ku,

menjadikan baik setiap permintaan, sementara orang-orang

[karena lalai] tak mau kembali kepada-Ku]."(1)

Alangkah buruk dan alangkah menyesalnya ... ke mana

harus bersandar [karena malu] dari ucapan agung ini dan

kedudukanya yang tinggi bagi orang-orang yang berakal.

Mahasuci Allah, kami telah bersikap buruk dan tidak

menghargai-Mu serta kami telah membuat diri kami buruk.

Aku bersumpah demi kemuliaan, keagungan, dan keindahan-

Nya, andaikan dahulu kami adalah manusia yang memiliki rasa

malu atau-paling tidak-kami memiliki sedikit rasa malu dan

akal, maka kami pantas sangat benci dan marah pada diri kami

atau lebih dari itu. Dan, kami rela Allah menyiksa kami dengan

azab yang pedih hingga Hari Kiamat tiba, bahkan lebih dari itu,

kami memohon agar kami berada dalam keadaan seperti itu

sepanjang usia kami lantaran demikian kecewa dan marahnya

kami pada diri kami. Sebab, bagaimana kami membiarkan

diri kami bermaksiat dan melakukan dosa di hadapan Allah,

sementara kami menyaksikan dan merasakan kelembutan dan

penghormatan-Nya pada diri kami?! Dengan pengetahuan

para imam tentang alam, kamu melihat bagaimana mereka

bermunajat kepada Allah, "Ya Allah, andaikan aku mampu

menanggung azab-Mu, aku tidak akan memohon maaf kepada-

Mu, tapi aku memohon kesabaran dari-Mu atasnya, karena

aku kecewa dan marah kepada diriku, bagaimana bisa aku

bermaksiat kepada-Mu?!"

P: 109


1- 13.Al-Jawāhair al-Sunniyah, hlm. 100.

Riwayat lain tentang masalah ini menerangkan bahwa

Imam Ali al-Sajjad berkata, "Wahai Tuhanku, seandainya aku

menangis hingga lepas tepi pelupuk mataku, merintih hingga

hilang suaraku, dan berdiri dihadapan-Mu hingga kedua

kakiku lumpuh, ruku' hingga tulang belakangku membengkok,

bersujud hingga kedua biji mataku keluar dari tempatnya,

makan tanah bumi ini sepanjang hidupku, minum air pasir

sepanjang masaku, dan aku senantiasa mengingat-Mu di sela-

sela itu hingga mulutku tak dapat digerakkan, selanjutnya

aku tidak pernah mengangkat wajahku ke langit karena malu

kepada-Mu, sungguh semua itu tak membuat terhapus satu

kesalahan dari sekian kesalahan-kesalahanku."(1)

Karena itu pula, Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Seandainya

pada hari perhitungan (al-hisāb) tidak lain hanya rasa malu

atas dipaparkannya segala amal perbuatan manusia di hadapan

Allah dan dosa-dosa ditampakkan, maka seseorang berhak

untuk tidak turun dari puncak gunung, tidak berlindung di

rumah-rumah, tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur,

kecuali pada keadaan kritis yang mengakibatkan kematian.(2)

Renungan ini cukup bagi pesuluk yang nafasnya

bersenyawa dengan cinta dan kerinduan kepada Allah, agar ia

mampu membawa dirinya ke puncak kesempurnaan. Apabila

ia menginginkan lebih merasakan cinta dan kerinduan kepada-

Nya, ia harus merenungkan kandungan sejumlah riwayat yang

menjelaskan tentang kelembutan Allah kepada orang-orang

yang suka bangun malam untuk beribadah, riwayat tentang

penampakan wajah dan cahaya-Nya yang menerangi mata

hati hamba-hamba-Nya, serta riwayat tentang undangan-

Nya pada hamba-hamba-Nya untuk menghadiri majelis cinta

dan kedekatan. Bagi para arif yang selalu mencari cinta-Nya,

penjelasan dari al-Qur'an berikut sudah cukup bagi mereka,

P: 110


1- 14.Shahifah al-Sajadiyyah, doa ke-16
2- 15.Mishbāh al-Syarī ah, Bab 84.

"Punggung-punggung mereka menjauh dari tempat tidur, seraya

berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan berharap."

(QS Al-Sajdah [32]: 16). Dalam ungkapan yang menyebutkan

bahwa bangun malam mereka yang menunjukkan penjauhan

terhadap kenikmatan dunia dan ungkapan kata "Tuhan

mereka", sangat berguna bagi 'urafa yang mencari cinta-

Nya, sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud a.s., “Dan

dengan mata-Ku, Aku melihat apa yang mereka pikul demi Aku;

dan dengan pendengaran-Ku, Aku mendengar apa yang mereka

sampaikan [karena cintanya) kepada-Ku.” Dan firman-Nya

kepada Musa a.s., "Berdusta orang yang mengatakan mencintai-

Ku, tetapi kala malam beranjak mendekati waktu subuh, justu

ia tidur melupakan-Ku."(1)

Jika seseorang merasa takut terhadap neraka dan

ingin masuk surga, hendaknya ia merenungi riwayat yang

menjelaskan ganjaran salat malam dan menangis karena takut

kepada Allah. Berkaitan dengan ini, al-Dailami meriwayatkan

sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw, bersabda, “Tidak ada

seorang mukmin yang dari kedua matanya keluar air mata

semisal sebesar sayap seekor serangga, lalu jatuh mengenai

wajahnya, kecuali Allah jauhkan ia dari api neraka."(2)

Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. bersabda, “Mata yang

sering menangis karena takut kepada Allah tidak akan pernah

melihat api neraka."(3)

Beliau Saw.juga bersabda, “Tidak ada tetesan yang paling

Allah cintai kecuali tetesan air mata yang keluar karena takut

kepada Allah dan tetasan darah yang tumpah di jalan Allah,

Dan, tidak ada hamba yang menangis karena Allah, kecuali Dia

memberikan kepadanya minuman dari minuman rahmat-Nya

dan di surga Dia akan menggantikan tangisannya itu dengan

tawa dan rasa bahagia. Allah merahmati orang yang bersamanya,

P: 111


1- 16.Al-Mahajjah al-Baydha', 8: 72.
2- 17.Irsyād al-Qulüb, 1: 191.
3- 18.Irsyad al-Qulub, 1: 191.

meskipun berjumlah 20 ribu orang. Dan, tidak ada orang yang

kedua matanya dipenuhi dengan air mata yang mengalir karena

takut kepada Allah, kecuali Allah mengharamkan tubuhnya dari

api neraka; adapun jika ſair matanya] mengenai wajahnya,

maka wajah itu tak akan mengalami kefakiran dan kehinaan.

Selanjutnya, jika seorang hamba menangisi keadaan suatu

umat, niscaya Allah akan menyelamatkan umat itu dengan

tangisannya."(1)

Dan sabdanya yang lain, “Siapa menangis karena dosa-

dosanya, maka akan diampuni dosa-dosanya. Siapa menangis

karena takut pada neraka, Allah akan melindunginya darinya.

Siapa menangis karena keinginannya pada surga, Allah akan

menempatkannya di dalamnya dan Dia pun akan memberikan

rasa aman dari ketakutan yang besar. Siapa menangis karena

takut kepada Allah, Dia akan mengumpulkannya bersama para

nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada' [orang-

orang yang syahid), dan shālihīn (orang-orang yang saleh), dan

mereka adalah sebaik-baik teman."(2)

Rasul juga pernah bersabda, "Tangisan karena takut kepada

Allah adalah kunci rahmat, tanda pengkabulan, dan pintu ijabah

(doa). "(3) Dan, "Jika seorang hamba menangis karena takut kepada

Allah, niscaya dosa-dosanya akan berguguran bagaikan daun-

daun yang berguguran. Dan suatu hari, keadaannya [akan]

seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya."(4)

Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Seandainya kulitmu telah

mengendur, kedua matamu meneteskan air mata dan hatimu

bergetar, maka sadarlah sadarlah, sesungguhnya kau telah

sampai pada tujuanmu."(5)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,

"Jika Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan membuat

hatinya merasakan kesedihan. Karena Allah sangat

P: 112


1- 19.Irsyād al-Qulüb,1: 191–192.
2- 20.Irsyād al-Qulüb, 1: 192.
3- 21.Irsyād al-Qulub, 1: 192.
4- 22.Irsyad al-Qulüb, 1: 192.
5- 23.Bihar al-Anwar, 90: 344.

mencintai setiap hati yang bersedih dan Dia tidak akan

memasukan ke neraka orang yang menangis karena takut

kepada-Nya, hingga air susu kembali ke dalam payudara

seorang ibu [maksudnya Tuhan mustahil memasukkan

ke neraka orang yag menangis karena takut kepadanya]."

Diriwayatkan bahwa dari pesan-pesan Allah kepada Nabi

Isa a.s., "Wahai Isa, berikanlah Aku air mata kedua matamu, rasa

takut dari hatimu, dan datangilah kuburan orang-orang yang

sudah mati, lalu berserulah dengan suara tinggi-semoga kamu

mendapat pelajaran dari mereka, 'Sesungguhnya aku termasuk

orang-orang yang akan menyusul' Wahai Isa, siramlah Aku

dengan air mata kedua matamu dan buatlah hatimu khusyuk

kepada-Ku. Wahai Isa, mohonlah pertolongan kepada-Ku saat

menghadapi kesulitan, sesungguhnya Aku akan menolong orang-

orang yang sedang menghadapi kesulitan dan menjawab doa

orang-orang yang sedang terhimpit [masalah). Sesungguhnya

Aku Maha Penyayang dari para penyayang."(1)

Dan di antara pesan-pesan Allah kepada Musa a.s., ialah,

"Matikanlah hatimu dengan rasa takut [kepada Tuhanmu).

Jadilah orang yang terbiasa dengan pakaian usang, namun

berhati baru, niscaya kamu tersembunyi dari pandangan

penduduk bumi tetapi dikenal di kalangan penduduk

langit. Diamlah di rumahmu dan jadilah pelita malam, lalu

lantunkanlah doa qunut di hadapan-Ku dengan qunutnya

orang-orang yang sabar. Dan, berteriaklah pada-Ku karena

banyaknya dosa-dosa sebagaimana teriakan orang yang lari

dari musuhnya. Lalu, minta tolonglah pada-Ku atas hal itu,

karena sesungguhnya Aku adalah sebaik-baik penolong dan

yang dimintai pertolongan."

Diriwayatkan bahwa, “Di antara surga dan neraka, ada

jalan yang membentang antara keduannya, di mana dilarang

P: 113


1- 24.Syaikh Hur Amili, Al-Jawāhir al-Sunniah, hlm. 110.

melewatinya kecuali untuk orang-orang yang biasa menangis

karena takut kepada Allah Swt." Dan diriwayatkan bahwa

Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Tuhanku

mengabarkan padaku, 'Demi kemuliaan dan keagungan-ku,

ahli ibadah tidak akan memperoleh seperti sesuatu yang mereka

dapatkan dari sisi Allah karena tangisan mereka. Dan karenanya,

Aku akan membangun sebuah istana untuknya di surga Rafiq

al-A'lā, di mana tidak ada orang lain yang menyamainya."

Juga di antara pesan-pesan Allah kepada Musa a.s. ialah,

"Tangisilah dirimu selama kamu hidup di dunia. Takutlah pada

kehancuran dan tempat-tempat kehancuran. Dan, jangan

tertipu oleh perhiasan dan kegemerlapan dunia." Dan, kepada

Isa a.s., Allah berpesan, "Wahai Isa putra seorang wanita

perawan suci, tangisilah dirimu seperti tangisan orang yang

berpisah dengan keluarganya dan tinggalkan dunia dengan

semua isinya untuk penghuninya, niscaya keinginanmu hanya

pada sesuatu yang ada di sisi Allah."

Diriwayatkan bahwa Amirulmukminin berkata, “Sewaktu

Allah berbicara kepada Musa, ia berkata, 'Apa ganjaran untuk

orang yang menangis karena takut kepada-Mu? Allah menjawab,

'Wahai Musa, Aku akan menjaga wajahnya dari panasnya

neraka dan membuatnya aman di hari ketakutan yang besar."

Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Pada Hari Kiamat, setiap

mata menangis, kecuali tiga mata: mata yang terpejam dari

memandang apa-apa yang diharamkan oleh Allah, mata yang

terjaga di malam hari dalam ketaatan kepada Allah, dan mata

yang menangis di tengah malam karena takut kepada Allah."

Pada kesempatan lain, beliau berkata, “Tidak ada sesuatu

yang tidak memiliki ukuran dan timbangan kecuali air mata.

Sesungguhnya, setetes air mata mampu memadamkan lautan

neraka. Oleh karena itu, tatkala mata penuh dengan air mata,

P: 114

wajahnya tidak akan mengalami kesulitan dan kehinaan.

Dan, tatkala air mata itu menetes ke luar, niscaya Allah

mengharamkannya dari api neraka. Lalu, seandainya menangis

karena suatu umat, niscaya mereka memperoleh rahmat

karenanya." Beliau juga berkata, "Tak satu pun mata yang tidak

menangis saat Hari Kiamat, kecuali mata yang menangis karena

takut pada Allah. Tidak ada mata yang penuh dengan air mata

karena takut pada Allah, kecuali Allah haramkan jasadnya atas

neraka. Seandainya air matanya menetes membasahi pipinya,

wajahnya tak akan mengalami musibah dan kehinaan. Dan,

tidak ada sesuatu yang tidak memiliki ukuran dan timbangan

kecuali air mata. Sesungguhnya, Allah memadamkan lautan

neraka dengan tetesan air mata. Dan, seandainya seorang

hamba menangis untuk suatu umat, niscaya Allah melimpahkan

rahmatnya kepada umat itu dengan tangisan hamba tersebut.”

Diriwayatkan dari Muawwiyah bin Ammar bahwa Imam

Muhammad al-Baqir berkata, “Di antara pesan-pesan Rasullulah

Saw. kepada Ali adalah, 'Wahai Ali, aku berpesan kepadamu

tentang suatu perkara, maka jagalah baik-baik.' Kemudian,

beliau melanjutkan, 'Wahai Tuhanku berilah pertolongan

kepadanya.' Setelah itu, Rasullulah Saw. menyebutkan butir-

butir Wasiatnya sampai pada ucapan berikut, “Yang keempat

ialah, banyak menangis karena takut kepada Allah 'azza wa jalla.

Karena untuk setiap tetesan air mata, Allah akan membangun

untukmu seribu rumah di surga"

Abu Hamzah meriwayatkan bahwa Imam Muhammad

al-Baqir berkata, “Tidak ada tetesan yang paling

dicintai oleh Allah, [selain] dari tetesan air mata yang

menetes di malam hari semata-mata karena takut

pada Allah dan tidak dimaksudkan pada selain-Nya."

P: 115

Ibn Abi Umair, meriwayatkan dari salah seorang sahabat

Imam Muhammad al-Baqir bahwa Imam Ja'far al-Sadiq

pernah berkata, “Allah mewahyukan kepada Nabi Musa a.s.,

'Sesungguhnya, hamba-hambaku tidak mendekat pada-Ku

dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain tiga perkara.

Musa a.s. bertanya, 'Wahai Tuhanku, apa tiga perkara itu?' Allah

menjawab, 'Zuhud di dunia, menjauhi maksiat, dan menangis

karena takut pada-Ku. Musa [kembali] bertanya, 'Wahai

Tuhanku, kalau memang demikian, apa ganjaran bagi pelaku

ketiga perkara itu? Kemudian Allah 'azza wajalla mewahyukan

kepadanya, 'Wahai Musa, bagi orang-orang zuhud di dunia

disediakan surga. Dan, orang yang menangis karena takut

kepada-Ku, tempatnya di surga yang paling tinggi yang tak

seorang pun menyamai kedudukannya itu. Adapun orang-orang

yang menjauhi maksiat, aku memeriksa (kesalahan) manusia

tetapi tidak pada mereka. "(1)

Dalam khotbah Haji Wadā', Rasullulah Saw. bersabda,

"Orang yang banyak menangis karena takut kepada Allah, setiap

tetes dari air matanya diberi (timbangan) ganjaran sebesar

Gunung Uhud, dan setiap tetes darinya [menjadi] mata air di

surga, di mana pada kedua ujungnya terdapat kota-kota, istana-

istana, dan segala sesuatu yang tak pernah dilihat mata dan tak

pernah didengar telinga dan tak terlintas pada hati manusia."(2)

Imam Muhammad al-Baqir meriwayatakan bahwa Nabi

Ibrahim a.s. berkata, “Wahai Tuhanku, apa ganjaran untuk

hamba yang wajahnya basah oleh air mata yang menetes

karena takut kepada-Mu?" Allah Swt. menjawab, “Ganjaran

baginya adalah ampunan dan keridoan-Ku pada Hari Kiamat."(3)

Riwayat lain dari Ishak bin Ammar, ia berkata kepada Imam

Jafar al-Sadiq, "Terkadang saat aku berdoa, aku cenderung

ingin menangis, tetapi tangisan itu tidak kunjung muncul.

P: 116


1- 25.Irsyad al-Qulub, bab 24, 1: 188-192.
2- 26.Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 517.
3- 27.Bihar al-Anwar, 90: 334.

Namun, sering kali ketika aku mengingat anggota keluargaku

yang telah meninggal dunia, muncul rasa sedih kemudian aku

menangis. Apakah hal itu diperbolehkan?” Beliau berkata, “Ya,

ingatlah kepada orang-orang yang meninggal dunia, sampai

saat rasa sedih muncul pada dirimu, saat itu menangislah

karena Tuhanmu."(1)

Sa'id bin Yasar berkata kepada Imam Ja'far al-Sadiq,

"Setiap saat aku berdoa, tak pernah aku menangis, apakah

memaksakan diri untuk menangis atau berpura-pura menangis

diperbolehkan?" Beliau berkata, “Iya, meskipun [tetesan air

mata yang mengalir) sebesar kepala seekor serangga."

Abu Hamzah menerangkan bahwa Imam Ja'far al-Sadiq

pernah berkata kepada Abu Bashir, “Setiap kamu merasa takut

atas terjadinya sesuatu atau memohon untuk suatu kebutuhan,

mulailah dengan menyebut nama Allah dan memuji-Nya dengan

pujian-pujian yang pantas bagi-Nya, lalu sampaikan salawat

atas Rasullulah Saw., lalu berusahalah menangis, meskipun air

mata yang menetes darinya sebesar kepala seekor serangga.

Sesungguhnya, ayahku selalu berkata, 'Saat (atau keadaan di

mana seorang hamba sangat dekat kepada Tuhan adalah ketika

ia menangis dalam sujudnya."

Diriwayatkan pula bahwa Imam Ja'far al-Sadiq pernah

berkata, “Apabila kamu merasa sulit untuk menangis, maka

buatlah dirimu pura-pura menangis! Jika karenanya, [akhirnya]

air mata menetes dari kedua matamu, meskipun sebesar kepala

seekor serangga, alangkah baiknya dirimu!"

Wahai saudaraku, ingatlah orang-orang yang banyak

menangis dan belajarlah menangis dari mereka, karena Adam

a.s., manusia pilihan Allah dan bapak bagi seluruh manusia,

demikian seringnya menangis sehingga seolah-olah kedua

pipinya seperti kubangan air mata. Dan, ingatlah Yahya a.s.,

P: 117


1- 28.Bihar al-Anwār, 90: 334.

seorang yang Allah jaga dari perbuatan dosa, begitu seringnya

menangis hingga seolah-olah daging di kedua pipinya berubah

menjadi air!

Dalam kitab Bihār al-Anwār, diriwayatkan dari kitab al-

Amālī yang sanadnya dari Rasulullah Saw., "Yahya mendatangi

Bait al-Maqdis. Beliau melihat sekelompok ruhaniawan, para

pendeta dan para rahib yang memakai baju besi dan penutup

kepala dari bulu-bulu domba. Tiba-tiba mereka mencakar

sebagian wajah mereka, lalu merantai dan mengikat diri

mereka di tiang-tiang masjid.

Ketika melihat fenomena itu, Yahya mendatangi ibunya

dan berkata kepadanya, 'Wahai ibu, beri aku baju besi dan

penutup kepala dari bulu domba agar aku dapat pergi ke Bait

al-Maqdis dan aku dapat beribadah kepada Allah bersama para

ruhaniawan dan para rahib itu. Ibunya menjawab, 'Sabarlah,

hingga utusan Tuhan, yaitu Nabi Zakaria, datang dan aku dapat

bermusyawarah dengannya dalam masalah ini. Ketika Zakaria

datang, ibunya memberi tahu kepadanya tentang permintaan

Yahya tersebut. Zakaria berkata kepadanya, “Wahai anakku,

apa gerangan yang menyebabkanmu menginginkan hal ini?

Bukankah sekarang engkau masih kecil?' Yahya menjawab,

'Wahai Ayah! Apakah Ayah tidak tahu kalau di luar sana ada

orang-orang yang usianya lebih muda dariku dan mereka

telah merasakan kematian?' Lalu Zakaria berkata, 'Iya betul!

Kemudian beliau berkata kepada ibunya, 'Datangkan untuknya

baju besi dan topi dari bulu domba' Ibunya pun memenuhi

permohonannya. Yahya memakai pakaian tersebut dan

meletakkan topi di atas kepalanya, lalu ia pergi ke Bait al-

Maqdis. Dia pun mulai beribadah dengan para pendeta,

hingga baju besi yang dipakainya menjadi memuai. Suatu hari

P: 118

dia melihat badannya yang mulai kurus dan lemah, ia pun

menangis.

Lalu Allah azza wa jalla mewahyukan kepadanya, 'Wahai

Yahya! Apakah engkau menangis karena kekurusan dan

kelemahan badanmu? Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku,

Aku bersumpah bila saja engkau benar-benar mengetahui

neraka, maka baju besi yang engkau pakai akan meleleh, apalagi

(baju) yang ditenun.' Yahya pun menangis sehingga air mata

menghancurkan daging di kedua pipinya dan orang-orang pun

melihat tulang rahang dan gigi-giginya.

Berita itu sampai kepada telinga ibunya, kemudian ibunya

datang menemuinya, begitu pula Zakaria. Para pendeta dan

para rahib berkumpul dan memberi tahu Yahya tentang

hilangnya daging di kedua pipinya. Yahya pun menjawab, “Aku

tidak merasakan hal itu sama sekali?

Zakaria berkata, “Wahai Anakku yang paling mulia! Apa

motivasimu mengerjakan hal ini? Sesungguhnya aku meminta

kepada Tuhan-ku supaya aku diberi karunia anak sepertimu

sehingga aku menjadi bahagia? Yahya menjawab, 'Bukankah

engkau yang telah memerintahkan aku melakukan hal ini, wahai

Ayah. Zakaria bertanya, 'Kapan hal itu, wahai Anakku?' Yahya

berkata, “Bukankah engkau mengatakan bahwa sesungguhnya

antara surga dan neraka terdapat penghalang yang tidak bisa

dilewati, kecuali orang-orang yang menangis karena takut

kepada Allah!' Zakaria menjawab, 'Benar, Oleh karena itu,

berusahalah dan bersungguh-sungguhlah dan sesungguhnya

urusanmu tidak sama dengan urusanku.' Yahya lalu berdiri

dan melepas baju besinya. Ibunya menghalanginya seraya

mengatakan, 'Wahai anakku, apakah engkau mengizinkanku

untuk membuat pelindung yang mampu menutupi dua pipimu,

sehingga gigimu tertutup dan air matamu tertumpah pada

P: 119

tempatnya. Yahya menjawab, 'Terserah engkau, wahai Ibu.'

Lalu ibunya pun melakukan hal ini. Dia membuat dua potongan

kain untuk menutupi gigi-giginya dan mengurai air matanya

sehingga bisa mengering di kain tersebut dan berjatuhan di

bahunya. Selanjutnya, kain-kain tersebut diangkatnya dan

diperasnya sehingga tetesan-tetesan air mata berhamburan

dari celah-celah jari-jemarinya. Zakaria memandangi anaknya

sementara air mata membasahi pipinya. Dia memandang ke

arah langit dan mengatakan, 'Wahai Tuhanku, ini adalah anakku

dan ini air matanya dan Engkau Yang Maha Pengasih di antara

Yang Mengasihi!

Zakaria, ketika ingin memberikan nasihat kepada Bani

Israil, ia menoleh ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri, ketika

ia melihat Yahya, ia tidak menyebut nama surga dan neraka.

Suatu hari, dia duduk memberikan nasihat kepada Bani Israil,

tiba-tiba Yahya datang, dia menutupi kepalanya dengan serban,

lalu duduk di tengah kerumunan manusia. Zakaria menoleh ke

sebelah kanan dan kiri, tetapi ia tidak melihat Yahya. Kemudian

ia mengatakan, 'Kekasihku, Jibril, berkata kepadaku dari

Allah: “Sesungguhnya di Jahannam ada gunung yang bernama

Sakaron, di tengah gunung itu ada sebuah lembah yang

dinamakan Ghadban, ia marah karena kemarahan Allah Yang

Maha Pengasih. Di lembah itu ada sumur yang tingginya baru

bisa ditempuh selama seratus tahun, di sumur itu ada peti-

peti dari api dan di peti-peti itu ada pakaian dari api, rantai

dari api, dan ikatan dari api. Kemudian Yahya mengangkat

kepalanya dan berkata, 'Oh ... betapa banyaknya orang yang

lalai dari Sakaron! Kemudian ia bergegas meninggalkan majlis

itu, sementara itu Zakaria berdiri dari tempat duduknya

dan menemui ibu Yahya seraya berkata, 'Wahai ibu Yahya,

berdirilah dan carilah Yahya, sesungguhnya aku khawatir tidak

melihatnya kembali, kecuali setelah dia meninggal!

P: 120

Lalu ibunya berdiri dan keluar untuk mencarinya.

Dia bertemu pemuda-pemuda Bani Israil. Mereka berkata

kepadanya, 'Wahai ibu Yahya, hendak kemana engkau?' Dia

menjawab, 'Aku ingin mencari anakku, Yahya. Sesungguhnya

telah diceritakan neraka di hadapannya, dia terpengaruh, dan

kemudian meninggalkan majlis entah ke mana.

Lalu, ibu Yahya pergi dan ditemani pemuda-pemuda itu.

Mereka lalu bertemu dengan seorang pengembala. Ibu Yahya

bertanya padanya, 'Wahai pengembala! Apakah engkau melihat

seorang pemuda yang sifatnya seperti ini?' Si pengembala itu

berkata kepada ibu Yahya, 'Sepertinya engkau mencari Yahya

ibn Zakaria.' 'Benar, itu adalah anakku. Diceritakan neraka di

hadapannya, lalu ia terpengaruh, ia menyesal dan ia pergi

entah ke mana, jawab ibu Yahya. Pengembala itu berkata, “Aku

memang pernah bertemu dengannya di suatu tempat, lalu aku

berpisah dengannya. Dalam keadaan kedua kakinya menyentuh

air dan matanya menghadap ke langit sambil berkata, 'Demi

kemulian-Mu wahai Junjungan-ku, aku tidak akan merasakan

air yang dingin sampai aku melihat kedudukanku di sisi-Mu."

Segera sang ibu menemui Yahya dan ia melihat Yahya

seperti yang diberitakan oleh pengembala itu. Kala menatap

wajah anaknya, ia segera menuju padanya, memeluknya, dan

bersumpah untuk membawa pulang anaknya ke rumah. Yahya

pun kembali bersama ibunya ke rumah. Ibunya bertanya,

'Apakah boleh pakaian yang engkau pakai aku lepas dan baju

yang terbuat dari bulu binatang yang keras itu aku ganti dengan

yang lebih halus?' Yahya menyetujui permintaan ibunya.

Selanjutnya, ibunya memasakkan untuknya kacang-kacangan,

Yahya memakannya dan kemudian tidur, sementara dia belum

melaksanakan salat. Dalam tidurnya, ia mendengar suatu suara

yang mengatakan, 'Wahai Yahya bin Zakaria, apakah engkau

P: 121

ingin rumah yang lebih baik dari rumahku, dan tetangga yang

lebih baik dari tetanggaku?' Yahya terbangun. Lalu dia berdiri

sambil berkata, "Wahai Tuhanku maafkanlah dosaku, Ilahi demi

kemuliaan-Mu, aku bersumpah tidak akan bernaung selain

naungan atap Bait al-Maqdis.' Dan ia berkata kepada ibunya,

“Berikan kembali penutup kepalaku.

Aku telah mengetahui bahwa engkau dan ayah akan

memasukanku ke dalam kehancuran. Ibunya memberikan

penutup kepalanya padanya dan mengikatkannya. Zakaria

berkata padanya, 'Wahai ibu Yahya, lepaskanlah ia, karena

sesungguhnya hijab-hijab telah tersingkap dari hatinya dan ia

telah menyaksikan hakikat, karena itu tidak lagi ada kelezatan

dalam kehidupan ini baginya. Kemudian Yahya berdiri dari

tempatnya dan kembali memakai pengikat kepalanya dan

menggunakan kembali penutup kepala dari bulu yang keras,

lalu datang ke Bait al-Maqdis. Dia mulai beribadah bersama

para pendeta dan para rahib, sehingga sampailah berita yang

menimpanya, yaitu ia dibunuh oleh kaum Yahudi."(1)

Wahai saudaraku, renungkanlah baik-baik riwayat-riwayat

di atas dan siapkanlah sebagian darinya untuk menghadapi saat

kefakiran dan ketakberdayaanmu, bahkan saat kamu mengalami

cobaan dan musibah. Seandainya kamu tak dapat menangis,

tidak ada jalan lain selain kamu berusaha menangis. Apabila

[masih] kesulitan untuk menangis lantaran hati sudah menjadi

keras, ketahuilah bahwa [berarti] dosa telah menyebabkanmu

menjadi sakit dan kotoran serta aib telah merusak hatimu,

khususnya semua kenikmatan lahiriah dunia yang menipu.

Dan, semua kebiasaan yang buruk dan rendah, seperti

bersenang-senang dalam kenikmatan dunia dan kecintaan

berlebihan padanya-sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah

hadis, merupakan pangkal kemaksiatan yang menghancurkan.

P: 122


1- 29.Syaikh Shaduq, Amali, hlm. 80-83. 29.Bihār al-Anwār, 70: 381.

Dan, cinta dunia dan kesenangan padanya membuat hati tidak

memberikan tempat untuk mengingat Allah dan Hari Kiamat.

Itulah keterangan ringkas seputar keutamaan dan

pentingnya menangis sebagaimana banyak diungkapkan dalam

banyak hadis. Begitu pula hadis yang menerangkan keutamaan

salat malam dan tahajud juga sangat banyak. Dan saya pikir, jika

seseorang merenungi hadis-hadis itu dan percaya padanya,

meskipun ia lemah tetapi memiliki fisik yang sehat, tentu ia

tidak akan membiarkan tidurnya yang indah mencegahnya

untuk melakukan salat malam atau tahajud. Ia pun tidak akan

senang tidak memperoleh semua keutamaan itu hingga dirinya

tercemari dengan kerendahan, kerugian, dan kehinaan, akibat

tidak melakukan salat malam atau tahajud. Siapa yang senang,

lantaran tidur satu jam, alih-alih menjadi imam salat bagi para

malaikat, justru menjadi imam bagi setan? Terlebih, bagaimana

hanya lantaran tidur, ia rela kehilangan kesempatan untuk

bermunajat kepada Sang Penguasa mutlak, kenikmatan dalam

berhubungan dengan-Nya, kenikmatan dalam memandang

cahaya wajah-Nya, dan hadir disisi-Nya?! Membuatnya menjadi

orang mati di malam hari dan pemalas di siang hari.

Dengan demikian, hadis-hadis yang bersumber dari

Rasulullah Saw. dan ahlulbaitnya tentang keutamaan bangun

dan salat malam telah membuat setiap akal terkagum-kagum,

tetapi sulit dipahami. Seandainya tak mudah membenarkannya,

sebaiknya merujuk pada ucapan shiddīqīn (orang-orang yang

benar), di mana Allah melukiskan ciri-ciri para kekasih-Nya

dengan mengatakan, “Allah mencintai mereka dan mereka

pun mencintai-Nya," (QS Al-Mā'idah [5]: 54). Mereka ini

adalah orang-orang yang sujud kepada Allah kala malam

tiba, bermunajat kepada-Nya, meneteskan air mata, dan

dengan cinta mereka membawa permohonan dan jeritan

P: 123

mereka ke hadapan Allah. Sesungguhnya, ungkapan pada

ayat berikut, cukup menjelaskan keadaan mereka, "Bagi orang

yang menggunakan hatinya dan memasang pendengarannya

sementara dia menyaksikannya." (QS Qāf [50]: 37).

Dalam kitab Ma'āniy al-Akhbār, Syaikh Shaduq

membawakan sebuah hadis dengan sanad yang bersambung

kepada Imam Ja'far al-Sadiq, yang menyebutkan bahwa

Amirulmukminin berkata, “Jika Allah menyaksikan penduduk

suatu desa melakukan maksiat secara keterlaluan, sementara

orang mukmin di sana hanya berjumlah tiga orang, Allah

memanggil mereka, 'Hai orang-orang yang bermaksiat,

seandainya orang-orang mukmin yang saling mencintai dan

menjaga karena keagungan-Ku, memakmurkan muka bumi dan

masjid dengan salat dan ibadah, dan senantiasa beristigfar di

penghujung malam tidak ada di tengah-tengah kalian, tentu

Aku sudah menimpakan azab-Ku kepada kalian dan tidak

kupedulikan keadaan kalian."*(1)

Syaikh Saduq membawakan hadis lain dalam kitab Amali

dengan sanad yang bersambung kepada Ibn Abbas, yang

menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa yang

diberi rezeki berupa kesanggupan melakukan salat malam,

yang ia melaksanakannya ikhlas karena Allah 'azza wa jalla,

berwudu dengan benar, lalu salat dengan niat yang tulus, hati

yang bersih, tubuh yang khusyuk, dan mata yang bercucuran air

mata, niscaya Allah jadikan sembilan saf para malaikat berada di

belakangnya, yang mana hanya Allah yang tahu jumlah malaikat

pada setiap safnya. Salah satu ujung setiap barisnya berada di

bagian Timur, sementara ujung lainnya di bagian barat. Lalu,

saat salat selesai dilakukan, Allah memberikan ganjaran derajat

sebanyak jumlah malaikat (yang ikut salat bersamanya]."(2)

P: 124


1- 30.Syaikh Saduq, Amālī, hlm. 125, hadis 114, majlis 16.
2- 31.Syaikh Saduq, Amālī, hlm, 254, hadis 432, majlis 47.

Dengan sanad yang bersambung kepada Imam Ja'far

al-Sadiq, Syaikh Saduq meriwayatkan sebuah hadis yang

menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Jika seorang

hamba bangun pada malam yang gelap dengan gagahnya

serta bermunajat pada-Nya, Allah akan menyinari hatinya."

Lalu, tatkala sang hamba mengucapkan, "Wahai Tuhanku,

wahai Tuhanku!" Allah pun menjawab panggilannya, “Labbaik!

Hamba-Ku mohonlah sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan

mengabulkannya. Bertawakallah pada-Ku, dan Aku akan

mencukupi (semua) kebutuhanmu." Kemudian, Allah berkata

kepada para malaikat, "Wahai para malaikat-Ku] Lihatlah

hamba-Ku itu, ia bangun di malam hari, sementara para

penganggur asyik bermain-main dan orang-orang yang

lalai nyaman dalam tidurnya. Saksikanlah bahwasanya Aku

mengampuni dosa-dosa hamba-Ku."(1)

Imam Ja'far al-Sadiq (juga] pernah berkata, “Ada tiga

perkara yang merupakan ruh iman, yaitu tahajud malam

hari, melayani berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, dan

menemui saudara-saudaranya:"(2)

Dalam kitab Tsawāb al-A'māl, disebutkan bahwa

Amirulmukminin berkata, "Salat malam menjadikan badan

sehat, membuat Allah 'azza wa jalla rida, membuat pelakunya

selalu dalam naungan rahmat-Nya, dan [menjadikannya]

berpegang teguh pada ajaran moral para nabi."(3)

Syaikh Saduq menukil dari Jabir yang berkata bahwa ia

mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak menjadikan

Ibrahim sebagai kekasih-Nya, kecuali karena ia selalu memberi

makan dan mengerjakan salat malam, sementara orang-orang

terlelap dalam tidur."35

Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Allah 'azza wa jalla

berfirman, 'Amal saleh menghapuskan keburukan dan dosa,' (QS

P: 125


1- 32.Bihār al-Anwar, 74: 352.
2- 33.Tsawab al-A'mal, hlm. 97.
3- 34.'llal asy-Syarāyi', 1: 49.

Hūd [11]: 114). Lalu, beliau melanjutkan, 'Ketahuilah, salatnya

orang mukmin pada malam hari menghapuskan dosa-dosanya

di siang hari."(1) Pada kesempatan lain, beliau berkata, "Salat

malam membuat wajah menjadi indah, membaguskan perangai,

membuat badan menjadi wangi, mendatangkan rezeki yang

banyak, membuat utang terlunasi, menghilangkan keluh kesah,

dan menajamkan pandangan."(2)

Dalam kitab Majma' al-Bayān disebutkan bahwa Rasulullah

Saw. pernah bersabda, “Jika seorang lelaki membangunkan

istrinya untuk salat malam, maka keduanya akan dicatat

sebagai pengingat Allah."

Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Sesungguhnya Allah pernah

mewahyukan kepada para nabi bani Israil, 'Jika kamu cinta untuk

bertemu dengan-Ku kelak di tempat yang suci, maka saat di dunia,

jadilah orang yang menyendiri, asing, gelisah, sedih, dan waspada

terhadap orang lain layaknya seekor burung yang terbang ke tanah

yang gersang, memakan pucuk-pucuk pohon, minum dari mata

air, dan kala malam tiba, ia kembali hanya kepada tempatnya, lalu

bergaul dengan Tuhannya dan khawatir terhadap sesamanya."(3)

Imam Muhammad al-Baqir mengatakan,

"Sesungguhnya Allah mencintai-beliau sebelumnya

menyebutkan beberapa perkara, yang pada akhir ucapannya,

orang yang bangun di malam hari untuk melakukan salat."

Seorang periwayat berkata bahwa ia berbicara kepada

Imam Ja'far al-Sadiq, “Diriku menjadi tebusanmu, beritahukan

kepadaku kapan waktu seorang hamba bisa lebih dekat kepada

Allah dan Allah pun dekat kepadanya?" Imam menjawab,

“Saat hamba itu bangun di akhir malam, sementara mata-

mata yang lain tertidur, ia berwudu dengan benar dan

dilanjutkan dengan salat malam. Ia hadapkan wajahnya

kepada Allah, merapatkan kedua kakinya, mengucapkan takbir

P: 126


1- 36.Tsawāb al-A'māl, hlm. 98.
2- 37.Misykat al-Anwar, hadis 1508, hlm. 449.
3- 38.Bihār al-Anwār, 31: 354,

(Allahu Akbar) dengan keras, memulai salatnya, membaca

sejumlah ayat, dan melakukan salat dua rakaat, yang mana

ia melanjutkan dengan dua rakaat berikutnya [saat dua

rakaat yang pertama selesai]. Lalu, tiba-tiba ada suara yang

memanggil dari sebelah kanan Arsy Allah yang muncul dari

langit yang terbentang, 'Wahai seorang hamba yang sedang

menyeru Tuhannya, sungguh kebaikan sedang menaungimu,

yang muncul dari langit yang terbentang. Begitu pula, para

malaikat menaungimu; mulai dari tempat kamu berdiri hingga

ke langit.' Dan ketika itu, Allah menyeru, “Hai hamba-Ku,

seandainya kamu mengetahui kepada siapa kamu bermunajat,

tentu kamu tidak akan memalingkan dirimu untuk selamanya."

Beliau juga berkata, “Orang yang paling dimurkai di sisi

Allah ialah (orang yang tak lebih dari] sesosok mayat di waktu

malam dan seorang pemalas di siang hari."(1)

Rasullulah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang terbaik

dari kalian adalah yang berakal.” Beliau ditanya, "Wahai,

Rasullah, siapa yang berakal itu?" Beliau menjawab, “Yaitu

orang yang tahajud di malam hari [melakukan salat malam],

sementara orang lain sedang tidur pulas."(2)

Suatu ketika, Imam Ali al-Sajjad pernah ditanya, “Kenapa

orang yang bertahajud memiliki wajah yang terindah?” Beliau

berkata, “Karena mereka menyendiri dengan Tuhan mereka,

sehingga Dia memakaikan pakaian cahaya-Nya kepada mereka”.(3)

Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Salat malam merupakan

keridaan Allah, kecintaan para malaikat, sunnah para nabi,

cahaya makrifat, asas keimanan, kenyamanan bagi badan,

kebencian bagi setan, senjata melawan musuh, sebab di-

ijabah-nya doa, diterimanya amal, keberkahan dalam

rejeki, penghubung antara pelaku[salat malam]nya dengan

pencabut nyawa, pelita di alam kubur, permadani yang

P: 127


1- 39.Bihar al-Anwar, 84: 158.
2- 40.Uyūn Akhbar, 1: 282.
3- 41.Balad al-Amin, hlm. 79.

dihamparkan di dalam[kubur]nya, jawaban atas [pertanyaan]

malaikat Munkar dan Nakir, dan yang menemani manusia

di dalam kubur hingga tiba Hari Kiamat. Saat Hari Kiamat

tiba, salat malam menjadi tempat yang rindang bagi para

pelakunya, mahkota di kepala dan pakaian kehormatan yang

dikenakannya, cahaya yang berada di depanya sewaktu ia

berjalan, hijab antara ia dan api neraka, hujah antara ia dan

Tuhannya, yang memberatkan timbangan [amal baiknya], tanda

pengenalnya melewati Shirāt al-Mustaqim, dan kunci surga.

Lantaran salat (malam) berisi takbir, tahmid, tasbih, tamjid,

taqdis, ta’zhim, bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dan doa."42

Dalam kitab Balad al-Amin karya Kafami diriwayatkan

bahwa Imam Shadiq berkata, "Seseorang yang tidak melakukan

salat malam bukan termasuk pengikut kami.” Dalam kitab

Tsawab al-A'mal dan al-Amālī karya Syekh Shaduq, diriwayatkan

bahwa seorang lelaki bertanya kepada Amirulmukminin

Ali bin Abi Thalib tentang keutamaan membaca al-Qur'an

ketika malam hari. Beliau menjawab, "Sampaikan berita

gembira kepada seseorang yang menghidupkan malamnya

dengan salat yang niatnya hanya untuk Allah dan memohon

pahala Ilahi. Maka Allah berkata pada malaikat, 'Tulislah

untuk hamba-Ku ini kebaikan-kebaikan sebanyak apa yang

ditumbuhkan oleh tanaman di malam hari dari biji-biji daun

dan pepohonan serta jumlah setiap bambu, dahan, dan tempat

yang dipenuhi dengan rerumputan' Dan siapa melaksanakan

salat sepersembilan malam, Allah akan memberinya sepuluh

doa yang mustajab dan akan memberinya kitab-Nya dengan

tangan-kanannya pada Hari Kiamat. Dan siapa melaksanakan

salat seperdelapan malam, Allah Azza wa Jalla akan

memberinya pahala sebagaimana seorang syahid yang sabar

yang niatnya tulus dan ia juga bisa memberikan syafaat kepada

keluarganya. Dan siapa yang melaksanakan salat sepertujuh

P: 128

malam, maka ia akan dibangkitkan dengan wajah yang

bersinar bagaikan bulan di malam purnama, ia akan berjalan

di atas jembatan (shirāth) dengan orang-orang yang selamat.

Dan siapa yang melakukan salat seperenam malam, maka ia

akan ditulis bersama orang-orang yang bertaubat dan akan

diampuni dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang.

Dan siapa yang mengerjakan salat seperlima malam, maka ia

akan berada di surga mendampingi Nabi Ibrahim Khalilullah,

Dan siapa yang melakukan salat seperempat malam, maka ia

termasuk orang-orang yang sukses; orang-orang yang kali

pertama diselamatkan sehingga ia berjalan di atas shirāth

bagaikan angin yang kencang dan ia akan masuk surga tanpa

hisab. Dan siapa yang melakukan salat sepertiga malam, maka

ia tidak akan berjumpa dengan malaikat, kecuali malaikat

mendambakan kedudukannya di sisi Allah dan dikatakan

kepadanya, 'Masuklah ke surga dari pintu mana pun yang

berjumlah delapan'. Dan siapa yang melakukan salat separuh

dari malam, maka andaikan diberikan kepadanya apa saja yang

ada di bumi dari emas tujuh puluh ribu kali, hal itu tidak akan

sebanding dengan balasan-Nya dan ia akan mendapatkan

keutamaan lebih dari tujuh puluh budak yang dibebaskannya

dari keturunan Ismail. Dan siapa yang melakukan salat dua

pertiga malam, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak

jumlah pasir di sahara dan pahala terendah baginya adalah

lebih berat daripada sepuluh kali gunung Uhud. Dan siapa

yang melakukan salat semalam penuh dan membaca al-Qur'an

dalam keadaan ruku' maupun sujud dan ia selalu berzikir, maka

ia akan diberi pahala yang paling rendahnya adalah dosa-dosa

akan keluar darinya sebagaimana ia dilahirkan oleh ibunya,

dan akan dituliskan kebaikan baginya sejumlah segala yang

diciptakan oleh Allah, dan ia akan mendapatkan derajat sebesar

itu, akan ditetapkan cahaya di makamnya, akan dihilangkan

P: 129

dosa dan kedengkian dari hatinya, akan diselamatkan dari siksa

kubur, akan diberi kebebasan dari neraka, akan dibangkitkan

bersama orang-orang yang aman, dan Allah berkata kepada

para malaikat-Nya, 'Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-

Ku ini yang menghidupkan malam untuk menggapai rida-Ku,

tempatkanlah ia di Surga Firdaus dan berilah ia seratus ribu

kota, di setiap kota terdapat seluruh apa yang disukai oleh

jiwa dan sedap di pandang mata serta sesuatu yang tidak

terlintas di hati. Di samping tentunya, Aku pun menyiapkan

bagi-Nya kemuliaan dan tambahan serta kedekatan di sisi-Ku."

Catatan:

1 Irsyad al-Qulüb, 1: 183.

2 Bihar al-Anwār, 75: 109.

3 Irsyad al-Qulüb, 1: 173.

4 Irsyad al-Qulüb, 1: 173.

5 Irsyad al-Qulub, 1: 174.

6 Irsyād al-Qulüb, 1: 178.

7 Irsyād al-Qulüb, 1: 181.

8 Bihar al-Anwar, 87: 157.

9 Bihar al-Anwar, 87: 159.

10 Irsyad al-Qulub, 1: 182.

11 Irsyād al-Qulub, 1: 178.

12 Ibn Thawus, Iqbal al-A'mal (Beirut: Ilami) hlm.118.

13 Al-Jawāhair al-Sunniyah, hlm. 100.

14 Shahifah al-Sajadiyyah, doa ke-16

15 Mishbāh al-Syarī ah, Bab 84.

16 Al-Mahajjah al-Baydha', 8: 72.

17 Irsyād al-Qulüb, 1: 191.

18 Irsyad al-Qulub, 1: 191.

19 Irsyād al-Qulüb,1: 191–192.

20 Irsyād al-Qulüb, 1: 192.

21 Irsyād al-Qulub, 1: 192.

22 Irsyad al-Qulüb, 1: 192.

23 Bihar al-Anwar, 90: 344.

P: 130

24 Syaikh Hur Amili, Al-Jawāhir al-Sunniah, hlm. 110.

25 Irsyad al-Qulub, bab 24, 1: 188-192.

26 Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 517.

27 Bihar al-Anwar, 90: 334.

28 Bihar al-Anwār, 90: 334.

29 Syaikh Shaduq, Amali, hlm. 80-83.

29 Bihār al-Anwār, 70: 381.

30 Syaikh Saduq, Amālī, hlm. 125, hadis 114, majlis 16.

31 Syaikh Saduq, Amālī, hlm, 254, hadis 432, majlis 47.

32 Bihār al-Anwar, 74: 352.

33 Tsawab al-A'mal, hlm. 97.

34 'llal asy-Syarāyi', 1: 49.

35 'Ilal asy-Syarayi', bab 84, hadis 7, 2: 62.

36 Tsawāb al-A'māl, hlm. 98.

37 Misykat al-Anwar, hadis 1508, hlm. 449.

38 Bihār al-Anwār, 31: 354,

39 Bihar al-Anwar, 84: 158.

40 Uyūn Akhbar, 1: 282.

41 Balad al-Amin, hlm. 79.

P: 131

PECUTAN BAGI PESULUK

Saat ini, apabila semua ibadah para jin dan manusia

dibandingkan dengan segala nikmat Tuhan yang besar,

tetap saja semua itu belum memiliki nilai. Terlebih, alih-alih

melakukan beribadah, kamu justru seperti sesosok mayat kala

malam hari dan seperti orang yang tak berguna dan pemalas

kala siang hari hingga malam kembali tiba! Bahkan, kamu sama

sekali tidak beranjak dari tempat tidur dan tidak membuka

mata lantaran terlelap dalam tidur, seolah-olah kerugian dan

rasa malu akibat tidur dan sering tidak melakukan salat malam,

menguntungkan dirimu. Padahal, jika kamu mengetahui

hakikat bangun malam-yaitu salat malam dan nilainya yang

teragung tentu kamu akan berusaha bersungguh-sungguh

untuk melakukanya dan setiap salatmu dapat paling banyak

memohonkan ampunan untukmu dan lebih kuat dalam

menumbuhkan rasa malu kepada Allah.

Apabila kamu ingin memahami kebenaran kata-kata

ini, pasang pendengaranmu baik-baik, karena saya akan

P: 132

beritahukan kepadamu tentang kesalahanmu yang paling

ringan terkait dengan etika saat berhadapan dengan Penguasa

Yang Mahabesar, Pengasih, dan Penyayang. Kesalahanmu itu

terletak pada kelalaianmu atas kehadiran-Nya saat salat, di

mana hatimu berpaling kepada selain-Nya. Jadi, jika kamu mau

memikirkan kesalahan ini, lalu membandingkan kehadiranmu

di hadapan orang terhormat di kotamu atau di hadapan salah

seorang terbaik dari masyarakatmu, dengan kehadiranmu di

hadapan Raja dari semua raja yang Maha Tinggi di saat salat,

kamu akan mengerti bahwa demikian besar penghinaan dan

kesalahanmu kepada-Nya. Hal ini lantaran kamu merasa

malu dan tidak mau membelakangi seorang yang terhormat

di kotamu saat ia sedang berbicara denganmu atau (tidak

mungkin] kamu sibuk berbicara dengan orang lain saat ia

sedang berbicara denganmu. Bahkan yang terparah adalah

kamu tunduk pada musuhnya, sementara ia hadir dan

memanggilmu. Padahal, kamu pun tidak suka apabila hal itu

kamu lakukan kepada orang-orang yang sederajat denganmu

atau kepada pembantu-pembantumu sekalipun.

Betapa buruk perbuatan dan keadaanmu dalam

menghadapi Raja Yang Mahaagung dan Penyayang saat kamu

sedang salat, padahal Dia telah memberikanmu kehormatan

dengan mengundangmu untuk melakukan perjalanan mi'raj

dan bermunajat kepada-Nya. Artinya, Dia telah memberikan

perhatian-Nya padamu tatkala mengundangmu untuk

berbicara dengan-Nya dalam suasana yang akrab dan mesra.

[Di mana apabila kamu memenuhi undangan-Nya] Dia Yang

Mahaagung, Pengasih, dan Penyayang ini selalu memerhatikan

dan menjagamu setiap saat, serta dengan kelembutan-

Nya menaungi semua ucapan dan perbuatanmu. Lalu, Dia

sebarkan kebaikan mulai dari tempat kamu berdiri hingga ke

ufuk langit, dan memerintahkan para malaikat-Nya yang mulia

P: 133

untuk mengelilingimu dari semua tempat itu sebagai tanda

penghormatan kepadamu. Kemudian, Dia memandangimu

dengan pandangan yang penuh rahmat dan membanggakanmu

di hadapan para malaikat-Nya yang mulia.

Hai miskin, hai bodoh, hai pelaku perbuatan buruk, hai

orang yang tak memiliki rasa malu, hai orang yang tidak

beriman, tidak berakal, dan tidak memiliki kesadaran terhadap

bahaya dan kerugian yang menimpa dirinya, di manakah

kamu?! Seekor bintang ternak saja, apabila ia menerima dari

pemeliharanya sepersepuluh dari yang kamu terima dari

Tuhanmu Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kamu akan

melihat binatang ternak itu selalu menantikan kedatangan

pemeliharanya dan menikmatinya. Tentu kamu sering

melihat bagaimana binatang-binatang, bahkan anjing-anjing,

menunjukan perhatian yang menakjubkan kepada tuannya

yang selalu memberikan makanan padanya. Apabila kamu

merenungkan bagaimana perilaku dan patuhnya anjing-anijng

itu kepada tuannya, tentu kamu akan merasa kalau anjing-

anjing itu memiliki rasa malu dan pengorbanan lebih darimu!

Hai manusia! Hai orang yang berakal! Sadarlah! Bagaimana

dapat dibenarkan perilaku buruk di hadapan Allah Yang

Mahaagung dan Maha Pemberi Nikmat, di mana tidak ada satu

pun dari makhluk-Nya, baik yang ada di langit maupun di bumi,

yang dapat menghitung nikmat yang telah diberikan-Nya dan

tidak ada pikiran orang berakal, pemahaman orang berilmu,

dan imajinasi para filsuf yang dapat menjangkau keagungan

kekuasaan-Nya.

Apakah bisa dibenarkan bila perilakumu kepada Allah

lebih buruk dari sikap seekor anjing kepada pemeliharanya?

Tidakkah kamu tahu kalau pemelihara anjing tidak memberi

makan peliharaannya, kecuali dari tulang-tulang yang

P: 134

tak lagi terbungkus daging, tetapi si anjing itu selalu siap

sepanjang malam menjaga tuannya beserta hewan-hewan

ternak miliknya; kapan pun anjing itu melihat ada orang asing

mencoba masuk tanpa izin, dengan sigap dan tanpa menunggu

perintah, ia menyerangnya. Sekalipun terkadang pemiliknya

lupa memberikan tulang-tulang yang tak lagi berdaging-

padanya, ia dapat menerimanya dan tetap menjaga rumah

pemeliharanya itu, tidak mau berpaling ke rumah orang lain!

Oleh karena itu, dengarlah hai orang yang tak memiliki

rasa malu! Kamu adalah orang yang telah berkhianat kepada

pemilikmu, yang menyayangimu, dan memberi nikmat-

Nya padamu, yang membangun rumah yang indah dan

mempersilakanmu untuk menempatinya, yang menyediakan

aneka makanan yang lezat dan mempersilakanmu untuk

menyantapnya. Namun sayangnya, kamu malah berkhianat

dan berpaling kepada musuh-Nya. Kedekatanmu dengan

musuh-Nya demikian bertambah besar sehingga seandainya

ia mengatakan, “Bermaksiatlah kepada Tuhanmu, agar kamu

mendapat lebih banyak nikmat-nikmat yang telah kamu terima,

kamu akan bersedia melaksanakannya meski harus dengan

bersujud kepadanya. Padahal, kamu tahu bahwa seandainya

bukan lantaran kebaikan Allah kepadamu, tidak memberikanmu

kekuatan dan menyediakanmu fasilitas pendukung, niscaya

kamu tidak akan mampu melakukannya. Alangkah besar

bencana dan musibah ini! [Kalau kamu menyadari akan

musibah besar ini ucapkanlah] "Sesungguhnya kami milik Allah

dan kepada-Nya kami kembali" (QS Al-Baqarah [2]: 156).

Bagaimana dengan keadaan kita saat Allah berkata kepada

kita, “Hai orang yang buruk! Hai orang yang buruk! Tidakkah

Aku telah memberikan keberadaan kepadamu?! Tidakkah

Aku secara langsung mengurusi semua urusanmu, sehingga

P: 135

Aku tak senang bila kamu hanya mendapat sebagian nikmat,

sementara nikmat yang lain tidak?! Sampai orang-orang tak

mampu melukiskannya dan tak mampu menghitungnya, tetapi

kamu bermaksiat kepada-Ku dengan menggunakan nikmat

dari-Ku, dan Aku menyaksikanmu! Perintah-Ku kepadamu

tentang suatu hal adalah maslahat bagimu, sedangkan

perintah musuh-Ku dan musuhmu kepadamu tentang suatu

hal adalah kehancuranmu. Namun sayangnya, justru kamu

menaatinya dan melawan-Ku, meskipun ia adalah musuh-

Ku dan musuhmu. Penyimpangan dan perbuatan maksiatmu

kepada-Ku ini, bahkan kamu lakukan dengan semua nikmat

dan fasilitas dari-Ku. Akulah yang selama ini memberikan

nikmat dan rezeki kepadamu dengan mengundangmu pada

kemuliaan-Ku dan [mengundangmu] menghadiri majelis kasih

sayang-Ku; di mana undangan ini merupakan suatu bentuk

perhatian dan penghormatan-Ku kepadamu. Namun, mengapa

kamu berpaling dari-Ku? Lebih peduli terhadap undangan dan

ajakan musuh-Ku serta menaatinya? Padahal, ia mengajakmu

untuk tinggal bersamanya di tempat yang paling rendah dan

hina di neraka."

Barangkali keadaan inilah yang pernah disinggung oleh

Imam Ja'far al-Sadiq kala ia berkata, “Seandainya tidak ada rasa

takut di Hari Pembalasan saat semua perbuatan dihisab kecuali

kekecewaan dan rasa putus asa di saat catatan amal perbuatan

dibuka dihadapan Allah, maka alangkah baiknya bila manusia

tinggal di atas gunung dan tetap di sana seumur hidupnya."(1)

Terkadang terlintas dalam benak bahwa mengetahui

bentuk kesalahan ini, penghinaan, dan menganggap remeh

yang disertai dengan diam tanpa meminta maaf adalah bentuk

menyebarkan aib yang luar biasa. Yang demikian itu karena

tidak mau meminta maaf meskipun di sebagian kasus tidak

P: 136


1- 1.Bihar al-Anwār, 68: 265.

benar adalah membuka peluang untuk penghinaan, bahkan

lebih buruk dari dosa itu sendiri. Oleh karena itu, dalam proses

meminta maaf dari berbagai kesalahan besar dan keburukan-

keburukan yang luar biasa ini dan setelah terlebih dahulu

mengakui kekurangan diri sendiri dengan penuh kekecewaan

dan penampakan kehinaan, kerendahan, serta rasa malu yang

kita miliki, maka kita di haribaan kesucian dzat agung Allah

dengan bahasa hati kita mengungkapkan:

Sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Engkau,

Mahasuci Engkau, sesungguhnya kami termasuk orang-orang

yang melakukan kezaliman, bahkan kami yang terburuk,

terendah, dan terhina dari mereka, sehingga sekiranya kami

mampu menanggung pembalasan dan azab-Mu, maka kami tak

akan memohon maaf, sebaliknya kami akan meminta Engkau

untuk mengazab kami dengan azab-Mu yang paling pedih dan

siksa-Mu yang paling buruk selamanya dan sepanjang masa.

Tentu, bagaimana kami bisa bermaksiat kepada-Mu, padahal

kami menerima semua kemuliaan agung yang bersumber dari

perhatian-Mu yang sangat tinggi dan tak ternilai. Sungguh

buruk yang telah kami lakukan.

Wahai Tuhan dari hambamu ini, sesungguhnya keburukan

sama sekali bukan karena menurut kami—nikmat-Mu kurang

baik, atau bukan karena kekuasaan-Mu yang tinggi-dalam

pandangan kami-rendah, dan juga bukan karena pengingkaran

dan penentangan mereka, perlindungan pada-Mu dari keadaan

dan sifat ini, dan juga bukan karena kekufuran. Namun, semua

kemaksiatan itu semata-mata karena diri kami yang hina dan

kedudukan kami yang rendah sebagaimana perumpamaan

“kami bagaikan makhluk hidup yang hidup di pipa-pipa saluran

air limbah, yang tidak tahan dengan bau wangi, bahkan mati

karena menciumnya."

P: 137

Keadaan kami ini merupakan bukti dari keadilan-Mu,

yang memastikan jalan hidup kami harus seperti itu. Dan,

semua ketetapan-Mu atas diri kami dan hujjah yang Engkau

miliki, yang diterapkan pada kami, lantaran kedudukan yang

rendah dan keadaan yang buruk semacam ini. Kecuali kami

mendapatkan keutamaan-Mu yang mengubah keadaan diri

kami, seperti yang telah Engkau anugerahkan kepada para

kekasih-Mu, yaitu orang-orang yang Engkau perkenalkan

diri-Mu yang agung dan Engkau masukkan cinta-Mu di

hati mereka sehingga mereka mengenal dan mencintai-Mu.

Engkau memberikan mereka kemampuan memahami tipu

daya musuh dan menjauhkan diri dari bujuk rayunya. Dengan

karunia-Mu, mereka menjadi kuat, berpegang teguh pada tali-

Mu, dan bertawasul kepada-Mu dengan ber-wilāyah kepada

para kekasih-Mu. Dengan begitu, Engkau menerima mereka,

memberi mereka jalan untuk mendekatkan diri kepada-Mu,

mendidik mereka dengan akhlak-Mu. Namun, bagaimana

dengan kita yang masih terbelenggu dan hina ini?!

Sewaktu kami mengingat keagungan dan banyaknya

nikmat-Mu serta kehadiran-Mu dalam keadaan-keadaan

kami, di mana hati kami merasakan pengaruhnya, seketika

itu muncul ingatan di hati kami terhadap pelbagai perbuatan

buruk yang pernah kami lakukan dan keakraban kami dengan

semua sifat buruk ini. Semua keburukan itu menjelma di

depan mata kami, lalu musuh kami dan musuh-Mu datang

membantu menghiasinya di mata dan di hati kami agar kami

terhalang untuk mengenal-Mu, dan memalingkan kami dari

jalan yang dapat membawa kami kepada cinta-Mu, hingga

kami tak mampu menyelamatkan diri dari kehancuran dan

kesesatan. Dan, tidaklah dapat mengeluarkan kami dari

kegelapan tersebut, kecuali cahaya hidayah-Mu dan terbitnya

P: 138

matahari makrifat-Mu, sehingga perhatian-Mu yang penuh

kasih mengantarkan kami ke tempat dan derajat yang tinggi.

Demi keagungan-Mu, jika Engkau membiarkan kami dalam

kondisi seperti ini dan menyerahkan diri kami kepada musuh

kami, niscaya kami akan binasa dan menyebabkan orang lain

binasa serta kami dapat melakukan dosa-dosa besar. Dengan

penghormatan-Mu pada kami, kami melawan Engkau dengan

perbuatan-perbuatan kami yang buruk. Sungguh kami adalah

hamba-hamba-Mu yang melakukan dosa, yang memanggil

Engkau dengan suara lantang:

Demi kemuliaan, keagungan, dan kerajaan-Mu yang

mulia, pasti aku akan bermaksiat kepada-Mu, membinasakan

diri sendiri, melemparkan diri ke tempat yang paling rendah,

dan bergabung dengan golongan setan, kecuali Engkau

menjagaku dari semua kemungkinan buruk ini karena

memang diriku dilahirkan dan berkembang di dunia yang

rendah ini: tak berakal, bergelimang dengan kenikmatan dan

kegemerlapannya, dan biasa menuruti hawa nafsu. Aku tak

peduli dengan yang baik dan yang buruk, aku pun terlibat

dalam kemaksiatan ini bersama sejumlah orang terpandang,

teman-temanku, dan setiap orang yang aku temui dan aku

kenal, sehingga sifat-sifat buruk dalam diriku tumbuh, hingga

menjadi terbiasa melakukan kebodohan-kebodohan dan

mencintai dunia ini.

Semenjak pengaruh kebodohan dan sifat-sifat buruk

ini yang merupakan akibat perbuatan burukku sepanjang

kehidupanku di masa lalu bertempat dalam diriku, aku

terhalang dari menikmati "wajah-Mu" dan menyaksikan

keajaiban-keajaiban Alam Malakut. Meskipun Engkau

menganugerahkan akal dan ilmu kepadaku, tetapi pemberian

itu terlambat bagiku. Akal dan ilmu itu tak mampu melawan

P: 139

nafsu amarah [nafsu yang mengajak pada keburukan] dan setan

yang merasukiku. Aku tak mampu membersihkan diriku dari

sifat-sifat buruk dan keinginan-keinginanku yang rendah.

Kini aku telah menjadi tawanan nafsu amarah dan setan,

di mana dengan keduanya, perbuatan maksiatku berhasil

menghancurkan diriku. Lalu, bagaimana aku dapat mengingat-

Mu dan selalu menunjukkan perilaku baik di hadapan-Mu,

sementara aku belum mengenal siapa yang harus aku ingat

dan yang selalu hadir, bahkan aku belum mampu membedakan

antara kegelapan dengan cahaya?—Yang mengadukan perilaku-

perilaku buruk dan keadaanku yang rendah ini kepada-Mu, dan

datang pada pintu rahmat dan karunia-Mu—Lalu, bagaimana

aku bisa selamat?! Di mana kesalamatan itu? Di mana aku dapat

bebas dari penjara alam materi dan dari ketertawanan dunia

yang batil ini?! Seandainya Engkau tidak menyinari hati orang

yang tertawan ini dan tidak menariknya ke tempat abadi dan

penuh kenikmatan, tentu semakin mustahil ia memperoleh

kesalamatan!

Wahai Tuhan kami, Tuan kami, Pencipta kami, dan yang

memberikan nikmat kepada kami! Kami telah menzalimi diri

sendiri. Kini, kami mengakui semua perbuatan maksiat dan

dosa kami. Sebelum datangnya Hari Kiamat, kami akan berkata,

"Apakah ada jalan bagi kami untuk keluar dari neraka jahanam

ini?!" Kami sangat mengharapkan karunia dan perhatian-Mu

yang besar, agar pada hari pembalasan kelak, Engkau tidak

menjadikan kami orang-orang yang mengutarakan ucapan

itu dan mengungkapkan keberatan tersebut, serta tidak

mengumpulkan kehinaan dunia dan akhirat untuk diberikan

kepada kami.

Wahai Tuhan kami, melalui Diri-Mu, Engkau berikan

syafaat kepada para kekasih-Mu, dan melalui merekalah, kami

P: 140

bertawasul pada-Mu agar dikabulkan. Wahai Tuhan kami,

maka limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, anugerahkan

kami dengan makrifat dan cinta-Mu, dan keluarkan kami dari

kegelapan menuju cahaya yang menerangi! Sebab, apabila

Engkau perkenalkan diri-Mu pada kami, niscaya kami akan

mencintai-Mu. Apabila kami mencintaiMu, niscaya kejahilan,

kebatilan, dan keterperdayaan kami akan lebur menjadi debu,

bahkan, hijab yang menghalangi kami dari-Mu pun akan sirna.

Dan, kami akan menjadi seperti yang Engkau inginkan dari para

kekasih-Mu.

Sungguh kami adalah hamba-hamba-Mu yang sengsara,

karena mata kami terpejam dari melihat kebaikan-Mu.

Meskipun kami adalah orang-orang yang berada di sisi-Mu

dan bagian dari para tamu-Mu, dan Engkau Yang Mahamulia

mengajarkan kepada para hamba-Mu dan para kekasih-Mu

tentang adab menerima tamu, walaupun sebagian dari mereka

adalah orang-orang kafir, Kendati tamu-tamu-Mu tidak akan

celaka lantaran tidak diterima sebagai tamu dan Sang Tuan

Rumah tidak akan berkurang dari apa yang dimiliki-Nya

lantaran telah melayaninya. Namun wahai Tuhan-Ku, Engkau

mengetahui apabila Engkau tidak menerima kami sebagai

tamu, tentu kami akan sengsara dan binasa karena "kelaparan"

di hadapan-Mu. Untuk itu, wahai Dzat yang tak akan berkurang

[kekayaannya) karena memberi dan tak akan bertambah karena

menahan rezeki hamba-hamba-Nya, maka limpahkanlah kasih

sayang-Mu pada kami dan maafkanlah apa yang telah kami

lakukan!

Hai saudaraku dan cahaya mataku, apabila kamu benar-

benar telah merenungi penjelasan tentang keutamaan bangun

malam, salat tahajud, dan menangis karena takut kepada Allah,

lalu kamu tak terdorong untuk melakukannya, berarti kamu

P: 141

bersedia tak lagi disebut sebagai pengikut (Ahlulbait] dan

ditolak sebagai pecinta para imam, Berkaitan dengan hal ini,

Imam Hasan al-Asykari berkata, "Bukan termasuk dari kami,

orang yang meremehkan salat malam."(1)

Kamu lebih menyukai santai dan tidur daripada

berkhalwat dengan kekasihmu (Allah), bermunajat, duduk,

serta dekat bersama-Nya. Kamu tidak menginginkan kemuliaan

dan keagungan-Nya. Sungguh, apabila setelah merenungi

keterangan dalam masalah ini, kamu masih tidak berubah

dan tergerak melakukannya, ketahuilah bahwa kamu sedang

terancam tertimpa dua hal: apakah keyakinanmu kepada

ayat-ayat dan riwayat-riwayat ini akan dicabut atau dirimu

akan menjadi rusak karena cintamu kepada dunia yang hina,

kezaliman perbuatan maksiat, dan dorongan hawa nafsu

yang dapat merusak hati sekaligus dirimu, seperti halnya

cermin yang fungsinya telah hilang lantaran sedemikian

kotornya. Dampaknya, tidak ada lagi kebaikan yang dapat

menyelamatkanmu. Maka waspadalah, jangan sampai dirimu

lalai dari serangan penyakit yang mematikan ini! Karena bila

kamu terjangkit olehnya, kamu tak lagi dapat disembuhkan

hingga hidupmu berakhir dengan mengalami kecelakaan yang

besar dan kerugian di dua alam [dunia-akherat]. Janganlah

menunda-nunda untuk mencegah[penyakit]nya dan bertaubat,

sebagaimana diingatkan oleh hadis, "Sesungguhnya kata yang

paling banyak diucapkan oleh ahli neraka adalah 'nanti saja!"

Jika kamu mau mengamalkan apa yang telah disampaikan,

sekaligus berusaha dalam menyempurnakan dan menjaganya,

kamu harus melakukan secara sembunyi (tidak secara

terang-terangan) dan dengan ikhlas. Selain itu, kamu harus

memperhatikan [usahamu] ini setiap saat. Sertakan munajatmu

kepada-Nya dengan memilih kalimat-kalimat munajat yang

P: 142


1- 2.Mustadrak al-Wasāil, 3: 64.

sangat berkesan. Misalnya, pilihlah kalimat-kalimat yang sangat

menyentuh, membuat sedih, membuat air mata menetes, dan

menyemangati hati.

Demikian pula dengan gerak-gerik dan perilaku-perilaku

lahiriah tertentu, termasuk yang harus diperhatikan, seperti

mengguling-gulingkan [badan] di tanah, mengenakan baju

berbahan kasar, membalur kepala dengan tanah, duduk di atas

tanah, melingkarkan kedua tangan ke leher, khususnya dengan

cara yang dilakukan oleh ahli neraka jahanam; terkadang

berdiri, duduk, sujud dengan pelbagai cara, seperti meletakan

dahi ke tanah, mengusapkan wajah ke tanah, meletakan

dagu ke tanah; terkadang juga melakukan perbuatan seperti

orang yang sedang kebingungan dan sedih, seperti berjalan

sambil menyandarkan kepala ke dinding, menyentuhkan

api ke tubuh, membacakan firman-firman Allah kepada diri

sendiri, atau bisa juga dengan meniru) ucapan para malaikat,

seperti “Pergilah dan binasalah di dalamnya dan jangan bicara

denganku,"(1) ucapan malaikat Malik, "Sesungguhnya kamu

adalah orang-orang yang menetap di sana,"(2) ucapan malaikat

Fatan, “Sekali-sekali tidak, sesungguhnya itu adalah perkataan

yang diucapkannya saja,"(3) dan firman Allah, “Tangkap mereka,

lalu ikat dengan rantai. Kemudian, lemparkan mereka ke

dalam neraka jahanam,"(4). Lebih dari itu, bisa dengan mengajak

bicara anggota tubuh atau meratapinya, “Hai mataku yang

saat di dunia aku jaga dari terkena sedikit debu, bagaimana

keadaanmu di jahanam nanti kala kamu dipenuhi apinya?!" dan

"Hai mata, dahulu kamu sangat takut bila berada dekat dengan

burung dan merasa perih saat memakai celak, lalu bagaimana

keadaanmu seandainya kelak kamu dipakaikan celak dari api

neraka dan ditancapkan padamu paku yang telah memerah

karena terbakar?!"

P: 143


1- 3.QS Al Mu'minūn[23]: 108.
2- 4.QS Al-Zukhruf [43]: 77.
3- 5.QS Al Mu'minun [23]: 100.
4- 6.QS Al-Hāggah (691: 30.

Kamu berkata kepada kepalamu, “Hai kepala yang di

dunia tidak pernah aku letakkan ke bantal dari kapas kecuali

bantal itu berisi penuh dengan bulu-bulu burung. Dan aku

membiasakanmu menggunakan bantal dari bulu-bulu burung

'al-Qu'. Bagaimana keadaanmu seandainya kelak para malaikat

memukulmu dengan lempengan-lempengan besi yang telah

memerah terbakar oleh api neraka?!" Selanjutnya, bicaralah

semacam ucapan-ucapan ini dengan anggota tubuhmu yang

lain!

Apabila kamu lebih menyukai derajat cinta dan harapan

ketimbang derajat takut dan kepahitan, maka katakan kepada

jiwamu, “Hai jiwaku yang mulia, di dunia kamu selalu mengejar

kemuliaan, bergelimang dengan perhiasaan, senang istirahat

dan santai, bersenang-senang, berkumpul dengan wanita,

berteman dengan orang-orang terpandang, para pejabat dan

pemimpin, padahal Allah tidak meridai sebagian darinya. Dan,

demi kemuliaan hari pembalasan, keagungan kerajaan Allah dan

kebesaran kekuasaan-Nya, Allah mengajakmu untuk menuju

kepada cahaya dan keindahan-Nya, mendekatkan diri kepada-

Nya dan berada di sisi-Nya. Tetapi aku memilih untuk menukar

pertemanan dengan para wali dan shiddiqin dengan mendekati

setan. Aku memilih hawa Neraka Sijjin dengan meninggalkan

surga yang tinggi dan kedekatan kepada Allah. Musibah apa

yang akan aku terima dengan kesalahanku kepada Allah, ketika

aku termasuk orang-orang yang celaka dan binasa.

Oh, seandainya dahulu semua bujukan syahwat duniawi

yang rendah ini menjauhi diriku dan tidak menghalangiku

dari kenikmatan hakiki dan agung. Oh, seandainya dahulu

aku tidak menikmati kemuliaan yang tak berarti, sehingga

menyebabkanku tidak memperoleh kemuliaan yang tak ternilai.

Sungguh semua ini menyedihkan dan patut disesalkan, Apakah

P: 144

ada orang yang dapat membantuku agar aku dapat menangis,

menjerit, dan meratapi atas tidak tergapainya semua kemuliaan

dan keagungan ini dariku?! Dan, mau bersamaku meratapi

kehilangan semua nikmat yang besar dan kegagalan mencapai

kedudukan yang agung dan penting ini?!

Hai saudara-saudaraku, para pendosa dan orang yang

merugi! Berkumpullah dengan saudara-saudara kalian yang lain

dan selenggarakan majelis kesedihan dan ratapan bersama-

sama mereka!

Hai para sekutuku, pelaku dosa-dosa besar! Marilah

bersamaku, kita menyelenggarakan majelis kesedihan dan

ratapan!

Hai orang-orang yang membantuku dalam memasang

tabir-tabir (dalam] penghambaan, menghilangkan kemuliaan

rububiyah, dan menjual nikmat-nikmatnya yang kekal dengan

dorongan-dorongan syahwat yang hina. Saat ini, mari bersama-

sama dengan teman-teman kalian yang lain, menyelenggarakan

mejelis ratapan dan kesedihan atas kegagalan mencapai dan

memperoleh kemuliaan, keridoan, semua nikmat surgawi,

bidadari, pemuda-pemuda surga yang memiliki keindahan

bagaikan mutiara dan permata, kebaikan, dan perhatian dari

Allah Yang Maha Pemberi kepada kita. Merataplah atas diri kita

yang menukar alam-alam cahaya, kesenangan maknawi, dan

surga dengan kegelapan, kehinaan, dan laknat!

Dengan demikian, kita harus lebih serius memerhatikan

dan berupaya memiliki jiwa yang lembut, peduli, dan waspada.

Jika kita memahami tujuan yang sebenarnya, pasti kita lebih

serius untuk mencapainya, mengingat banyak hijab yang

menutup pengetahuan dan kesadaran kita atas cara-cara,

arahan-arahan, dan penjelasan-penjelasan tentang bagaimana

mencapai tujuan yang sebenarnya itu. Tidak ada orang yang

P: 145

mengetahuinya kecuali dirinya, seperti juga dalam urusan-

urusan dunia. Jadi sebenarnya, manusia tidak membutuhkan

guru dalam memahami cara-cara dan pelbagai trik dalam

urusan-urusan dunia, karena ia sendiri adalah seorang besar

dalam urusan ini.

Selanjutnya, apabila murid ingin mengamalkan tuntunan

ini, ia harus banyak berzikir di berbagai kesempatan, dan

menentukan waktu khusus untuk bertafakur dalam sehari-

semalam. Pertama yang harus dipikirkan dan direnungi olehnya

ialah kematian. Kematian yang direnungkan dengan hati yang

dalam dan bukan hanya melihat segi lahiriah kematian yang tak

bermafaat dan tak menyentuh. Perenungan terhadap kematian

adalah obat penawar rasa sakit bagi manusia yang terbakar

cinta dunia dan sebab utama ſupaya] perbaikan manusia dari

kerusakan akibat sifat-sifat buruk dan akhlak tercela.

Rasulullah Saw., ditanya, “Bagaimana orang dapat

mencapai derajat para syuhada?" Beliau Saw. menjawab, “Ya,

orang yang mengingat kematian setiap harinya sebanyak 20

kali."(1)

Penjelasan secara ringkas tentang pola tafakur, yaitu

memikirkan sejumlah perkara berikut.

Pertama, memikirkan dan merenungi kematian yang

datang secara tiba-tiba. Kematian secara tiba-tiba yang dialami

sejumlah orang, sebenarnya cukup sebagai bahan perenungan

bagi mereka yang berakal. Orang yang tak pernah menderita

sakit parah sebelumnya, tak merasakan ada tanda-tanda

kematian pada dirinya, bahkan ia menyangka dirinya akan

terus hidup untuk beberapa tahun ke depan, dapat secara tiba-

tiba ajalnya menjemput dan kesempatan hidupnya berakhir.

Bukankah banyak orang yang masih kuat, segar, dan semangat,

tidak berpikir akan mati cepat? Mereka mengkhayal memiliki

P: 146


1- 7.Tanbth al-Khawathir, 1: 268.

usia yang panjang, dari sisi pola kehidupannya di dunia seakan-

seakan mereka akan terus hidup di dunia ini untuk ratusan

tahun, tetapi mati secara tiba-tiba?! Kalau hal itu bisa terjadi

dan faktanya banyak yang telah terjadi, mengapa kita lalai dari

kematian secara tiba-tiba dan marasa tenang, seakan-seakan

hal itu tak akan terjadi?!

Kedua, memikirkan dan merenungi rasa sakit dan

ketakutan manusia yang luar biasa saat menjalani proses

kematian dan sakratulmaut. Rasa sakit pada bagian tubuh

sudah cukup menyiksa, lalu bagaimana dengan rasa sakit saat

kematian, yang tak ada manusia dapat memikulnya?! Rasa sakit

ini patut dijadikan bahan perenungan.

Sering kita mendengar tentang rasa sakit yang dialami

sebagian orang saat kematian menjemput mereka. Rasa sakit

yang dialami mereka seperti tusukan besi yang telah membara

setelah dibakar kemudian diletakan di atas materi lembut yang

basah, lalu kembali ditarik keluar. Dan, disebutkan juga bahwa

kematian yang dialami sebagian orang, [rasa sakitnya) seperti

sebatang besi yang penuh dengan duri tajam yang ditusukan

ke tubuh, sehingga setiap duri tajamnya menusuk urat-urat

dan bagian-bagian dalam tubuh yang sewaktu dikeluarkan

serta-merta semua urat dan bagian dalam tubuh tersebut

ikut tercabut keluar, dan sama sekali tidak ada yang tertinggal

di dalam tubuhnya. Dan, sebagian kematian terasa lebih

menyakitkan dan lebih berat dibandingkan dengan rasa sakit

saat tubuh dipotong-potong dengan gergaji atau gunting.

Kendati demikian, dengan semua keterangan di atas,

tentu sangat mengagetkan bila manusia (tetap] bergelimang

dalam kenikmatan dan kegemerlapan dunia sambil menunggu

kedatangan seorang utusan yang akan mencambuknya

beberapa kali sampai membuatnya tak mampu lagi merasakan

P: 147

semua kenikmatan itu. Tentu saja, sewaktu-waktu malaikat

Izrail akan mendatanginya dan memaksanya merasakan

sakratulmaut saat ia bergelimang dalam kenikmatan dan

kegemerlapan dunia. Orang semacam ini sama sekali tidak

peduli dengan kehidupan yang lain, akibat kebodohan dan

lupa diri. Orang sengsara ini tidak memahami dahsyatnya

rasa sakit saat menghadapi sakratulmaut. Memang, siapa

pun sebelum menyaksikan dan mengalami sakratulmaut

tidak akan memahami hakikatnya. Namun, seseorang dapat

memahaminya melalui riwayat-riwayat para nabi dan berita-

berita para kekasih Allah, dan bersandar pada dalil akal.

Adapun dalil akal yang menjelaskan masalah ini (dahsyatnya

rasa sakit saat sakratulmaut) adalah sebagai berikut: Setiap

tubuh yang tidak memiliki ruh tidak dapat merasakan sakit,

hanya tubuh yang memiliki ruh dapat merasakannya. Maka

yang merasakan sakit adalah ruh; sebesar apa pun luka yang

terdapat pada tubuh yang ruh bersemayam di dalamnya,

seukuran itu pula ruh merasakan sakit akibat luka itu. Misalnya,

apabila bagian kecil tubuh kita terluka atau terpotong, maka

rasa sakit yang diterima ruh sebesar itu juga. Apabila sebagian

besar tubuh yang terluka atau seluruhnya, seperti pada saat

seluruh tubuh sampai ke urat-uratnya menderita luka-luka

akibat penyiksaan berat, ruh pun akan merasakan sakit yang

teramat pedih.

Selanjutnya, coba bayangkan apabila rasa sakit dan

penyiksaan secara langsung (tanpa melalui tubuh lebih dulu)

menimpa ruh, pasti ruh merasakan sakit dan penderitaan yang

sangat luar biasa. Demikianlah keadaan ruh saat kematian

mendatanginya. Keadaan menyakitkan ini kemudian merambah

ke setiap bagian tubuh. Rasa sakitnya yang luar biasa menjalar

ke semua bagian badan termasuk ke urat-urat dan tulang-

P: 148

tulangnya, karena ruh tertarik melalui urat-urat, setiap

persendian, akar setiap helai rambut pada badan, dan mulai

dari pangkal kepala hingga bagian terakhir kedua kaki. Tentu

saja, dengan keadaan ini, tak ada tempat lagi untuk bertanya

tentang rasa sakit yang luar biasa saat kematian tiba.

Karena itu, mereka berkata bahwa rasa sakit saat kematian

melebihi rasa sakit akibat terpotong oleh gergaji atau gunting.

Anda menyaksikan seorang manusia tak lagi mampu berteriak

dan menjerit sebelum mengalami kematiannya secara total.

Hal ini karena kematian perlahan-lahan melumpuhkan

semua kekuatan fisiknya hingga suaranya tak lagi dapat

dibunyikan dan nafasnya tak lagi dapat diembuskan. Berbeda

dengan keadaannya sebelum ini, di mana keluhan dan

jeritannya, sampai nafasnya pun masih terdengar mengalir di

tenggorokannya. Namun sekarang, semua itu tak lagi terdengar

akibat semua kekuatan fisiknya telah lumpuh. Apakah Anda

tidak melihat bagaimana kelopak kedua matanya tertutup,

kedua bibir mulutnya tak dapat terbuka, dan lidah di dalam

mulutnya tak lagi dapat digerakan?! Ah...! keluhan demi

keluhan... kepedihan demi kepedihan ...! sampai jiwa-jiwa

melewati pangkal tenggorokan dan saat di mana kedua mata

tak lagi dapat memandang wajah-wajah anggota keluarga,

kerabat, dan teman-teman, bahkan cahaya yang memancar.

Dari riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini,

cukup bagi kita merujuk sebuah riwayat yang mengisahkan

seseorang yang sedang menjelaskan kematian yang pernah

menimpanya kepada Salman al-Farisi al-Muhammadi. Kutipan

riwayat tersebut adalah sebagai berikut:

Hai Salman ... Seandainya tubuhku dipisah-pisahkan

dengan gunting dan tulang-tulangku dipotong-potong

dengan gergaji, bagiku masih lebih ringan dan mudah

P: 149

bila dibandingkan dengan salah satu kondisi kematian.

Aku termasuk orang-orang yang saleh dan beruntung.

Suatu saat aku menyaksikan sosok bertubuh besar

dengan tatapan yang menakutkan di antara langit dan

bumi. Sosok yang menakutkan ini menunjuk ke arah mata,

mulut, dan telingaku sehingga menjadi buta, bisu, dan tuli.

(keterangannya berlanjut hingga sampai pada kalimat

berikut) Malaikat maut itu berkata, “Bergembiralah ...!

Kamu termasuk orang-orang yang saleh dan beruntung,

maka mendekatlah kepadaku!" Kemudian ia mencabut

ruhku. Mula-mula ruhku terpisah dari setiap bagian

tubuhku dengan sangat sakit dan berat, seperti seseorang

yang terlempar dari langit ke bumi. Proses pencabutan

ruhku terus berlanjut sampai pada bagian dadaku, di mana

secara keseluruhan ruhku tercabut dari tubuhku dengan

sangat keras. Kalau saja keadaan ini menimpa gunung,

maka gunung pun akan tercabut seketika. Demikianlah

keadaan saat ruhku dikeluarkan dari tubuhku.

Wahai saudaraku, riwayat ini telah mematahkan

pinggangku, karena orang yang jelas-jelas memiliki keimanan

yang teguh dan termasuk orang-orang saleh menjalani keadaan

itu sedemikian rupa. Bagaimana dengan orang yang belum

pasti baik, bahkan tidak mengira dirinya baik?! Kalau Anda

ingin lebih dari itu, perhatikanlah keterangan sebagian riwayat

yang menggambarkan bagaimana pedihnya sakratulmaut yang

dialami orang-orang kafir.

Syaikh Mufid, berdasarkan sanadnya, mengutip sebuah

riwayat dari Imam Baqir yang berbunyi sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah azza wa jalla apabila berkehendak

mencabut nyawa seorang pendurhaka, Dia akan

P: 150

memerintahkan malaikat maut dengan berkata,

"Datangilah musuhku bersama teman-temanmu. Aku

telah memberikan bermacam-macam nikmat kepadanya

dan Aku pun mengundangnya untuk menempati tempat

keselamatan (dār al-salām), tetapi ia tidak menghiraukan

ajakan-Ku dan tidak pula mensyukuri nikmat-Ku. Ambillah

ruh kotor itu, lalu lemparkan ia ke dalam neraka jahanam!"

Setelah menerima perintah itu, malaikat maut bergegas

mendatangi orang yang dimaksud dengan wajah penuh

amarah dan menakutkan bagaikan malam yang gelap

gulita, nafasnya seperti letupan api, kedua matanya

bagaikan listrik yang menyala, suaranya bak petir yang

menyambar, dan dengan kepala yang menjulang tinggi

di langit sementara kedua kakinya di udara; di mana

posisi kakinya yang satu di bagian timur, sedangkan

yang lainnya berada di bagian barat. Malakat maut ini

menggenggam sejumlah batang besi yang memiliki banyak

duri. Ia datang bersama 500 ratus malaikat lainnya yang

masing-masing dari mereka membawa cambuk api yang

menyala, pelana hitam, dan sebuah batu dari api neraka.

Di antara mereka ada yang bernama Syaqatis, termasuk

para malaikat penjaga neraka, ia mendekati orang itu lalu

meminumkannya minuman yang berasal dari neraka.

Saat pendurhaka ini mengalami semua kejadian itu, ia

pun kaget lalu memohon perlindungan sambil berteriak,

"Kembalikan aku ke dunia!" Sementara permintaannya

itu dijawab dengan, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu

perkataan yang diucapkannya saja." (QS Al-Mu'minūn 23:

100).

P: 151

Selanjutnya, malaikat maut memukulnya dengan tombak

besi, lalu dengan menggunakan alat tersebut, ia menarik ruh

pendurhaka itu yang dimulai dari kedua kakinya. Sewaktu

ruhnya tertarik sampai pada kedua lututnya, ia tak mampu

lagi bergerak. Saat inilah, malaikat maut memerintahkan

para malaikat yang bersamanya untuk mencambuknya dan

membuatnya merasakan pedihnya sakratulmaut hingga ruhnya

sampai pada kedua tenggorokannya. Sampai pada proses

ini, para malaikat itu sambil terus mencambuknya berkata,

“Keluarkanlah ruhmu! Hari ini, kamu akan dibalas dengan

azab yang hina, karena kamu telah mengucapkan perkataan

yang batil kepada Tuhanmu dan menyombongkan diri dari

tanda-tanda-Nya!" Setelah memisahkan ruh pendurhaka itu

dari badannya, mereka meletakan tubuhnya di bawah palu

besar, lalu mematah-matahkan tulang-tulangnya mulai dari

kedua jari-jari tangannya sampai kedua matanya. Akibat

penyiksaan itu, dari tubuhnya keluar bau yang sangat busuk

yang mengganggu kenyamanan penduduk langit. Ketika itu,

Allah dan semua penduduk langit melaknatnya.

Adapun kematian bagi para kekasih Allah merupakan awal

ketenangan, kebahagiaan, dan kesenangan serta nikmat yang

luar biasa. Keadaan para kekasih Allah yang demikian dapat kita

ketahui dari sejumlah hadis Rasulullah Saw. dan para imam, di

samping juga sebagaimana dikuatkan oleh kerinduan mereka

pada kematian yang terlihat dalam ungkapan dan perilaku

mereka. Hadis semacam ini cukup banyak dan di antaranya

adalah hadis Mi'raj yang membuat kita cukup untuk memahami

hal ini. Demikian juga ungkapan kerinduan para nabi dan wali

pada kematian, di antaranya ialah ungkapan Amirulmukminin,

"Demi Allah, kerinduan putra Abu Thalib pada kematian lebih

kuat dari keinginan seorang bayi pada susu ibunya."(1) Dan

penjelasan beliau tentang keadaan para pecintanya yang

P: 152


1- 8.Nah al-Balāghah, khutbah ke-5.

khusus, "Kalau bukan karena ajal yang telah Allah tetapkan

untuk mereka, tentu mereka telah mati karena dorongan

kecintaan mereka kepada Allah dan ganjarannya."(1)

Pemikiran di atas sangat berguna bagi kelompok pemula

(dalam perjalanan ruhani). Adapun kelompok tengah, yaitu

mereka yang telah memperoleh sebagian cahaya hikmah

dan terbebaskan dari sebagian tabir kezaliman, sepatutnya

lebih jauh mengenal dan memahami dirinya hingga terkuak

seluruh tabir kegelapan sekaligus segala bentuk khayalan dan

gambaran yang memalingkannya dari kebenaran dan melihat

jati dirinya yang sebenarnya. Saat ia mencapai tahapan penting

dan derajat agung ini, maka ia akan mengenal Allah dan hakikat

alam-alam, khususnya tentang hakikat alam-alam Mabda

(alam-alam pertama dalam proses penciptaan-penerj.) tanpa

melalui fisiknya.

Penjelasan lebih luas tentang masalah ini, sejauh yang

mungkin disampaikan, adalah sebagai berikut: pada setiap

manusia terdapat tiga alam; alam indriawi dan penampilan

(ālam al-hissi wa al-syahādah) yaitu alam materi ini, alam

khayal dan ide (alam al-khiyāl wa al-mitsal), dan alam akal

dan hakikat (ālam al-'aqlī wa al-haqiqah). Dari aspek wujudnya,

sesungguhnya manusia bermula dari alam materi, sebagaimana

dijelaskan dalam sebuah ayat suci Al-Qur'an, “Dan (Dia)

memulai penciptaan manusia dari tanah" (QS Al-Sajdah [32]:7).

Alam materi tercipta secara aktual untuk manusia dan

melalui alam materi ini manusia mengidentifikasi dan mengenal

dirinya, sehingga apabila ia mendengar orang lain, sekalipun ia

adalah orang bijak atau berilmu, mengatakan bahwa selain alam

materi terdapat alam lainnya, spontan ia menolaknya. Bahkan,

apabila seseorang mengemukakan bahwa dirinya memiliki

sifat-sifat khusus alam akal, niscaya ia akan mengafirkannya.

P: 153


1- 9.Nahj al-Balaghah, khutbah ke-193.

Hal ini terjadi lantaran alam materi tercipta secara aktual bagi

manusia, sementara dua alam yang lain masih berupa potensi

baginya. Ketiga alam itu tidak teraktualisasi pada manusia

secara bersamaan, kecuali alam materi, sebagian sifat-sifat

alam ide, dan lebih sedikit lagi dari sifat-sifat alam akal.

Problem kemanusiaan yang tak kunjung selesai—di

antaranya adalah akibat terjadinya gesekan keadaan-keadaan

alam ide dengan pancaran kecil cahaya alam akal dalam diri

manusia yang dampaknya menjadikan manusia salah dalam

menafsirkan tentang alam materi. Bagaimanapun, kemanusiaan

seseorang diindikasikan dengan alam akalnya. Sementara, pada

dua alam lainnya, manusia memiliki kesamaan dengan spesies-

spesies lain dari hewan, sekalipun dari aspek levelnya, pada

dua alam tersebut manusia memiliki derajat yang lebih tinggi

dibandingkan dengan alam seluruh hewan. Berkaitan dengan

tiga alam manusia ini, urutannya dan persoalan pengelolaannya

secara benar disebutkan dalam doa sujud di pertengahan Bulan

Sya'ban, di mana nabi Saw. berdoa, “... hitamku, imajinasiku, dan

putihku bersujud kepada-Mu."

Kesimpulannya, alam materi manusia meliputi materi

(māddah) dan bentuk (shūrah), sedangkan alam idenya ialah

suatu kenyataan dalam dirinya yang hakikatnya adalah

bentuk tetapi tak bermateri. Adapun alam akalnya ialah suatu

kenyataan dalam dirinya yang hakikatnya adalah tidak memiliki

materi dan tidak pula memiliki bentuk. Masing-masing dari tiga

alam ini merupakan suatu keniscayaan dan keadaan khusus

yang harus ada demi kesempurnaan manusia.

Oleh karena itu, orang yang tenggelam dalam alam

materi dan terpengaruh olehnya, di mana ia membentuk pola

hidupnya sesuai dengan watak alam ini, sementara pengaruh

alam akal pada dirinya sangat lemah, al-Qur'an menyebutnya

P: 154

dengan, “... ia cenderung pada bumi." (QS Al-A'rāf [7]: 176).

Manusia yang demikian telah menjadi manusia duniawi dan

bagian dari binatang, bahkan lebih buruk dari binatang itu

sendiri, seperti dijelaskan dalam al-Quran, “Tidaklah mereka

itu melainkan binatang-binatang, bahkan jauh lebih sesat." (QS

Al-Furqan [25]: 44).

Adapun orang yang naik ke alam akal dan pengaruh dari

alam ini mendominasi terhadap dua alam lainnya, ia akan

menjadi penguasa dan pemegang komando dalam eksistensi

dirinya. Kini, eksistensi dirinya bersifat spiritual hingga

menyempurnakan aspek rasionalitasnya dan hakikat, diri dan

ruhnya tersingkap bagi dirinya. Dengan demikian, kala hijab-

hijab kegelapan bahkan cahaya yang menutupi antara ia dan

pengenalan kepada Allah telah tersingkap, maka ia adalah

orang yang disebutkan dalam riwayat, “Siapa yang mengenal

dirinya, maka ia mengenal Tuhannya."

Jika paparan ringkas di atas telah Anda pahami, maka

lanjutkanlah merujuk pada penjelasan yang lebih detail dari

sifat-sifat khusus masing-masing dari ketiga alam tersebut.

Setelah itu, bersiap-siaplah untuk melakukan perjalanan

sambil bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah.

Di samping itu, bertawasulah kepada para kekasih Allah dalam

setiap urusanmu, baik yang terkait dengan urusan-urusan

partikular maupun universal, Ketahuilah, sesungguhnya alam

materi ini adalah alam kematian, kehancuran, kehilangan,

kegelapan, dan kebodohan. Materi (māddah) dan bentuk

(shūrah) alam ini merupakan sesuatu yang akan hancur dan

berkesudahan, selalu berubah-ubah dan terbagi-bagi, tidak

memiliki kesadaran dan pengetahuan, kecuali saat mengikuti

dua alam yang lain,

P: 155

Sesungguhnya, kehadiran-Nya pada indra melalui

perantara aksiden adalah dari sisi kesatuan yang berkelanjutan

(wahdat al-ittishaliy), sedangkan dari segi pluralitas (katsrah)

yang terbagi-bagi, setiap bagiannya tidak ada pada bagian

yang lain, sehingga seluruhnya saling tidak tampak, Hal ini

lantaran materi berasosiasi dengan ketiadaan, bahkan ia

adalah substansi yang gelap. Di samping itu, ia juga merupakan

kegelapan pertama dari kegelapan-kegelapan yang tampak.

Meskipun begitu, lantaran materi secara aktual berasal dari

alam cahaya, maka ia dalam potensialitasnya dapat menerima

bentuk-bentuk (shuwar) cahaya. Dan, melalui perantara

bentuk-bentuk cahaya ini, kegelapan materi pun sirna. Dalam

keadaan semacam ini, cahaya dengan kegelapannya bercampur,

begitu juga dengan kelemahan wujud serta penampilannya.

Karena kelemahannya itu, materi terikat oleh ruang dan waktu,

dan penghuninya yang khusus ialah orang-orang yang celaka

dari kalangan jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan

benda mati.

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah

berfirman, “Aku tidak pernah memandang alam jasmani (al-

ajsām) sejak pertama kali Aku ciptakan.(1) Penghuni alam ini

ialah orang-orang yang hanya mengenal alam ini, "Mereka

hanya mengetahui yang lahiriah dari kehidupan dunia ini,

sementara mereka lalai dari kehidupan akhirat." (QS Al-

Rūm [30]: 7). Pengetahuan mereka tak lebih dari objek-

objek indriawi. Mereka juga tidak mengenal alam-alam yang

tinggi, kecuali hanya nama-namanya. Dan, setiap kali mereka

mendengar keterangan tentang alam-alam yang tinggi itu,

mereka bandingkan dengan sifat-sifat khusus alamnya dan

menolaknya jika keterangan (tentang gambaran] alam-alam

yang tinggi tersebut berbeda dengan alam yang mereka

pahami.

P: 156


1- 10.Bihār al-Anwār, 70: 110.

Kesimpulannya, tempat yang mereka cari, sukai, dan

dijadikan sebagai tempat tinggal adalah alam materi ini. Semua

tujuan dan apa yang mereka harapkan semuanya berasal dari

alam ini. Mereka adalah orang-orang yang penglihatannya

terpaku pada kehidupan dunia dan selalu memikirkannya.

Mereka yakin bahwa yang dimaksud] diri adalah tubuh mereka,

dan ruh adalah ruh hewani semata. Adapun benda-benda mati

seluruhnya adalah eksistensi-eksistensi yang primer dan benar

serta substansi yang berdiri sendiri, yang tercipta di alam dan

tempat mereka. Adapun eksistensi alam-alam lain, menurut

keyakinan mereka, tidak lebih dari keberadaan yang imajinatif

dan khayalan, bukan sesuatu yang benar-benar ada.

Sesungguhnya, kenikmatan dan kepuasan yang mereka

rasakan terbatas pada makan-minum, pemuasan hasrat

biologis, dan memegang kekuasaan di dunia. Ingatan, pikiran,

khayalan, harapan, dan ilmu pengetahuan mereka hanya

terkait dengan objek-objek indriawi. Mereka sangat menyukai

bahkan mencintai semua itu. Mereka merindukan keindahan-

keindahan dan kenikmatan-kenikmatan dunia yang masih

belum sampai pada mereka, seperti halnya seorang pecinta

yang memperturutkan hawa nafsunya. Adapun jika sebagian

dari mereka dengan keadaan yang demikian beriman kepada

Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, dan nabi-nabinya serta

Hari Akhir, dengan keimanan yang tetap dan tak hilang hingga

tiba saat kematian, meskipun lemah, sedikit cahayanya,

begitu gelap perbuatan maksiatnya, sedikit amal salehnya dan

akhirnya buruk, mereka adalah orang-orang yang berharap

mendapatkan ampunan, meskipun setelah beberapa waktu

kemudian.

Adapun kelompok pertama adalah orang-orang celaka

dari kalangan orang-orang kafir. Kelompok ini tak mendapat

P: 157

apa-apa di akhirat, kecuali api neraka, karena mereka adalah

para penghuni Neraka Sijjin. Pada Hari Kiamat, apabila segala

sesuatu dipisah-pisah dan setiap cabang disatukan dengan

sumbernya, maka segala sesuatu yang bersifat cahaya di

dunia ini akan kembali ke alam cahaya, sementara kegelapan

dan apinya tetap tinggal. Lalu, bentuk setiap perbuatan dan

moral setiap orang akan berubah menjadi bentuk-bentuk yang

sesuai dengan situasi dan kondisi alam kiamat, seperti ada yang

berbentuk ular, kalajengking, dan lain-lain, di mana dengan

bentuk yang demikian, sang pelakunya akan disiksa.

Allah berfirman, "Siapa menginginkan kehidupan dunia

dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan

pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di

dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak

memperoleh di akhirat, kecuali neraka." (QS Hūd [11]: 15–16).

Kalau azab mereka di akhirat berkurang, itu karena di dunia

mereka pernah melakukan perbuatan yang baik.

Kesimpulannya, manusia pada awalnya tercipta di dunia

ini. Namun, seandainya setelah itu jiwanya yang telah terbentuk

terikat dengan dunia dan terbuai dengan segala kenikmatannya,

maka ia akan menetap di alam ini dan termasuk orang-orang

sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur'an, “la cenderung

pada dunia." (QS Al-A'rāf [7]: 176). Dan pada Hari Kiamat, ia

menjadi penghuni Neraka Sijjin. Namun, apabila sesudah

melewati tahapan penciptaannya, manusia mampu menjaga

dirinya dari kecenderungan pada dunia dan alam materi ini,

yakni ia berupaya menyempurnakan sifat-sifat akal dan ruhani

pada dirinya, maka tubuh dan fisiknya menjadi bagian alam akal

dan cahaya. Dan pada Hari Kiamat, ia akan menduduki derajat

tertinggi (a'lā ‘illiyyīn).

P: 158

Dengan kata lain, Allah pada awal mulanya menciptakan

manusia dari sari pati tanah, kemudian sari pati tanah ini

menjadi nuthfah (sperma), lalu menjadi darah, segumpal

daging, dan sebagian darinya menjadi tulang-tulang

dan sebagian lainnya membungkus tulang-tulang itu

sampai pada akhirnya membentuk tubuh yang sempurna.

Selanjutnya, Allah memberikan kehidupan kepadanya bahkan

memberikan kekuatan kepadanya agar mampu bergerak

dan mempertahankan diri. Dalam keadaan semacam ini,

Allah menganugerahkan padanya daya pembeda antara yang

bermanfaat dan yang merugikan bagi dirinya, sehingga ia

menyukai hal-hal yang bermanfaat dan membenci sebaliknya.

Apabila kehendak manusia tunduk pada kehendak Allah;

gerak dan diamnya terjadi secara harmonis dengan keinginan-

Nya dan tidak menyimpang sama sekali. Sejatinya, ia mencapai

maqam ridha. Orang yang mencapai maqam ini berhak atas

surga, tempat di mana tersedia apa yang ia inginkan. Oleh

sebab itu, sang penjaga surga dinamakan dengan Ridhwan.

Dalam hadis Mi'raj, Allah berfirman, “Siapa beramal dengan

rida-Ku, niscaya Aku anugerahkan tiga perkara kepadanya;

Aku ajarkan padanya bersyukur yang tak bercampur dengan

kebodohan, ingatan yang tak ternodai dengan kelupaan,

dan cinta pada-Ku yang tak pernah bisa dikalahkan oleh

kecintaan pada makhluk."(1) Selanjutnya, saat ia memahami

bahwa kemampuanya melebur dalam kemahamampuan Allah

dan tak menyaksikan kemampuannya pada selain Allah, baik

dirinya maupun orang lain, maka inilah maqam tawakal, “Siapa

bertawakal kepada Allah Swt., maka itu mencukupinya." (QS Al-

Thalāq [65]: 3).

Setelah sukses dalam magam tawakal, selanjutnya ilmunya

melebur dalam ilmu Allah, hingga tidak tersisa sesuatu pun

P: 159


1- 11.Irsyād al-Qulüb, 1: 380.

baginya. Inilah yang dinamakan dengan maqam wahdat

(kesatuan), "Mereka adalah orang-orang yang Allah berikan

nikmat." (QS Maryam [19]: 58).

Sebaliknya, apabila manusia ingin semaunya sendiri dan

mengikuti hawa nafsunya dalam gerak dan diamnya, padahal

Yang Mahabenar tidak pernah mengikuti hawa nafsu selain-

Nya, maka [ketahuilah] hawa nafsunya menyimpang dari

kehendakNya. Dan kehendak-Nya pasti menang, bukan hawa

nafsu manusia, “Dan telah dihalangi antara diri mereka dan

apa-apa yang diinginkan hawa nafsu mereka," (QS Al-Saba

[34]: 54). Hawa nafsunya akan menyeretnya ke dalam Neraka

Hawiyah, dan ia pun terbelenggu dan dirantai akibat semua

keinginan dan hawa nafsunya. Ini adalah balasan atas budak-

budak (mamālīk) hawa nafsu. Atas dasar ini, malaikat penjaga

neraka dinamakan Malik.

Apabila manusia tidak bertawakal, ia akan tertimpa

kehinaan. Apabila ia menjauhi keagungan magam wahdat

(maqam tauhid), ia akan terpuruk ke derajat yang paling

rendah, dan itu adalah derajat orang yang dilaknat, “Mereka

adalah orang-orang yang dilaknat Allah dan para pelaknat pun

ikut melaknat mereka.” (QS Al-Baqarah [2]: 159).

Jika Anda bertanya, “Bagaimana bisa semua keinginan

seseorang mengikuti kehendak Allah?"

Menurut saya, hal itu sangat mungkin terjadi dan

dimudahkan dengan kekuatan makrifat (pengetahuan). Apabila

seorang hamba mengetahui perhatian Allah dan ia pun orang

yang berakal, tentu ia tidak akan membiarkan hawa nafsunya

menyalahi kehendak Allah. Pasalnya, makrifatnya pada

kehendak Allah meniscayakan bahwa Allah hanya menghendaki

kebaikan dan kemaslahatan, bukan sebaliknya. Sementara,

orang yang berakal tidak bergerak, kecuali untuk kebaikan

P: 160

dan kemaslahatan; akar penentangan dalam dirinya terhadap

kehendak Allah telah mati. Lantaran keinginannya bersumber

dari pengetahuannya terhadap kebaikan dan kemaslahatan, dan

sewaktu ia paham bahwa tidak ada kebaikan dan kemaslahatan

selain apa yang dikehendaki oleh Allah, maka orang semacam

ini menjalani hidupnya sesuai dengan kehendak Allah.

Apabila Anda kembali bertanya, “Bagaimana kita dapat

menolak kemampuan selain Allah, sementara kita menyadari

dengan jelas adanya kemampuan itu ada pada diri kita dan

pada selain kita?"

Menurut saya, hal itu juga menjadi jelas dengan bersandar

pada makrifat (pengetahuan) dari kenyataan yang sebenarnya.

Sederhananya, seorang 'arif memahami tentang sesuatu yang

mungkin (mumkin) tidak akan terjadi, kecuali karena ada sebab,

demikian hingga berujung pada pangkal segala sebab yang

tidak lagi bersebab. Berdasarkan hal ini, maka semua perbuatan

hamba, meskipun lahir dari kemampuannya, tidak bisa

dilepaskan dari sebab. Sebab itu sendiri adalah kehendak Allah.

Dan, tidak ada suatu kemampuan, kecuali melalui kemampuan

selainnya, di mana dalam kemampuannya, ia tetaplah bukan

Sang Pemilik Kemampuan. Pemilik kemampuan hakiki hanyalah

Allah, “Tidaklah kalian berkehendak, kecuali Allah berkehendak,"

(QS Al-Insān [76]: 30).

Apabila pertanyaan lain diajukan, "Anggaplah bahwa

kehendak (irādah) dan kemampuan (qudrat) hanya milik Allah,

lantas bagaimana dengan ilmu (ilm) dan keberadaan (wujūd);

apakah keduanya juga hanya milik Allah?

Menurut saya, meskipun penjelasan atas persoalan ini

bisa sangat panjang dan mengkhawatirkan, tetapi paling

tidak saya harus mencoba dengan membawakan sebuah

jawaban yang Allah telah ilhamkan ke hatiku seraya memohon

P: 161

pertolongan-Nya agar saya dapat membawakannya dengan

bahasa yang mudah dicerna dan memperkecil hal-hal yang

mengkhawatirkan yang bisa terjadi karenanya, mengingat

kebanyakan pelajar merasa keberatan terhadap penggunaan

istilah-istilah teknis logika dan filsafat, demikian pula umumnya

orang tidak mengenal dan tidak akrab dengan istilah-istilah

tersebut. Oleh sebab itu, sangat penting membawakan sejumlah

keterangan sebagai pengantar. Pertama, banyak riwayat dari

Rasulullah Saw. yang menunjukan penolakan atas keberadaan

hakiki pada sebagian makhluk seperti, “Tidak ada daya dan

kekuatan kecuali hanya milik Allah”, “Segala puji hanya milik

Allah", dan "Tidak ada yang dapat memberi bahaya, manfaat,

pertolongan, dan bantuan kecuali Allah".(1) Padahal, dirinya

bahkan semua orang menyaksikan dengan mata sendiri bahwa

setiap makhluk alam ini memilik kemampuan, kekuatan, dapat

memberikan kebaikan, bisa membahayakan, bermanfaat, dan

memberikan pertolongan, Rasullulah Saw, sendiri beberapa

kali pernah menyatakan, "Syair paling benar yang diucapkan

oleh bangsa Arab adalah ucapan Labid, yaitu “Ketahuilah,

mengetahui segala sesuatu selain Allah adalah batil."(2)

Syeikh Saduq di dalam kitab Tawhid berkata tentang makna

al-fard. Menurutnya, kata ini merujuk pada menyibukkan diri

dengan Tuhan bukan pada ciptaannya. Adapun makna kedua,

kata ini merujuk pada maujud itu sendiri, tidak pada maujud

lain yang bersamanya.

Sebuah kalimat yang merupakan bagian dari doa malam

Kamis yang termuat dalam kitab Rabī' al-Asābīberbunyi, "Tak

terlihat di dalamnya, kecuali cahaya-Mu, dan tak terdengar

di dalamnya, kecuali suara-Mu."(3) Dan, sebuah riwayat dalam

kitab Tawhid, karya Syaikh Saduq, menyebutkan bahwa Imam

Muhammad Baqir berkata, “Allah ada, sedangkan selain-Nya

P: 162


1- 12.Syaikh Shaduq, Tawhid, hlm. 239.
2- 13.Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 192.
3- 14.Allamah Majlisi, Rabi' al-Asābi, hlm. 345.

tiada. Dia adalah cahaya yang tiada kegelapan di dalamnya.

Dia adalah kebenaran yang tiada dusta di dalamnya. Dia adalah

yang mengetahui tanpa ada kebodohan di dalamnya. Dia adalah

yang hidup tanpa ada kematian. Demikianlah Dia hari ini dan

selalu begitu untuk selamanya."(1)

Sementara itu, alam justru menunjukan sesuatu yang

berbeda dari keterangan riwayat tersebut. Sehubungan dengan

persoalan ini, para filsuf dan 'urafa memiliki banyak penjelasan,

tulisan, kisah-kisah, dan mukasyafah (penyingkapan secara

batin) yang menakjubkan!

Di samping itu, para pesuluk juga memiliki banyak

kritikan, asumsi, dan pendapat yang berbeda-beda. Sebagian

ulama mengemukakan pelbagai pendapat yang lucu, dan

sebagian lainnya sibuk menyampaikan dan menulis pelbagai

penolakan, pengafiran, penafsiran, dan pernyataan-pernyataan

yang sangat berbahaya. Kendati demikian, penjelasan yang

bisa mendekatkan kepada pemahaman orang-orang awam,

meskipun tidak terlalu mendalam, adalah bahwa Allah memiliki

realitas yang tak terbatas, tak ada kesempurnaan yang tidak

dimiliki-Nya, dan dia selalu ada di mana pun dan kapan pun,

Saya tidak pernah berpikir terdapat dari kaum Muslimin

yang menolak pernyataan-pernyataan yang benar tersebut,

khususnya para pemeluk Ahlul Bait, di mana mereka sepakat

dalam persoalan ini. Meskipun demikian, orang-orang

yang memiliki tingkat intelektual yang rendah dan sedikit

pengetahuan, akan banyak mengalami kebingungan dan

melontarkan pelbagai keberatan saat mencoba memahami

pernyataan-pernyataan itu bersamaan dengan penglihatan

mereka pada fenomena-fenomena yang terjadi pada alam.

Keyakinan atas keberadaan yang tak terbatas menuntut

penolakan terhadap keberadaan segala sesuatu selainnya;

P: 163


1- 15.Syeikh Saduq, Tawhīd, hlm. 140.

tentu tidak mungkin terpikir ada sesuatu meskipun terbatas

di satu sisi, sementara ada juga sesuatu yang tak terbatas di

sisi lain.

Berkaitan dengan hal ini, orang-orang yang meyakini

ketakterbatasan realitas Allah, dalam melihat alam ini terbagi

kepada beberapa kelompok dan memiliki pendapat sendiri-

sendiri. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa alam ini tidak

benar-benar ada, ia hanya sebatas bayangan, seperti halnya

fatamorgana dalam penglihatan orang yang haus. Kelompok

ini menyebut realitas Allah dengan "yang nyata”, sedangkan

terhadap selain-Nya dengan yang tampak”. Bahkan, lebih

jauh kelompok ini mengatakan bahwa apa pun yang dilihat,

dikhayalkan, dan dinalar dari alam ini, semuanya semata-

mata merupakan manifestasi dari nama-nama, sifat-sifat, dan

perbuatan-perbuatan Allah dan tidak ada dalam keberadaan,

kecuali Allah; nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-

perbuatan-Nya. Dengan kata lain, tidak ada apa pun kecuali

Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan realita-Nya. Untuk

mendukung pendapatnya ini, kelompok ini juga membawakan

pelbagai contoh.

Kelompok lainnya mengatakan, kita percaya pada

ketakterbatasan Tuhan, tetapi kita menyaksikan alam ini,

dengan semua substansi dan aksidennya, adalah sesuatu

yang nyata. Sementara itu, kita tidak mampu menalar

hakikat ketakterbatasan Allah di samping keberadaan alam

yang terbatas. Oleh sebab itu, kami menerima pernyataan-

pernyataan yang benar tentang ketakterbatasan Allah secara

taklid saja. Kami tidak diwajibkan untuk memahaminya.

Bahkan, kami tidak dibolehkan memasuki wilayah ini dengan

pikiran kami.

P: 164

Adapun kelompok lainnya mengatakan bahwa kita tidak

mungkin memahami keberadaan, kecuali hanya sebatas yang

terlintas di benak dan secara metafora. Selain itu, mereka

melihat bahwa tidak ada pertentangan antara ketidakterbatasan

Allah dan realitas alam ini.

Kelompok yang lain justru menutup pikiran mereka. Bagi

mereka, mengetahui sifat Allah tidaklah mungkin bagi siapa

pun, sekalipun para nabi karena Mahasuci Allah dari sifat-sifat

dan nama-nama yang dapat diketahui, meskipun secara umum.

Semua kelompok ini berbeda pendapat dengan kelompok

pertama. Lantaran pandangan kelompok pertama bahwa alam

bukan merupakan wujud hakiki, dalam pandangan kelompok

lainnya, melazimkan kekufuran. Karena pernyataan bahwa

segala sesuatu adalah Tuhan, dengan kata lain bahwa terdapat

kesatuan, adalah suatu kekufuran yang jelas dan sangat

bertentangan dengan prinsip tauhid. Bagaimana mungkin

keberadaan gunung-gunung yang tinggi dan barang-barang

tambang, seperti berbagai macam besi, dianggap tidak

hakiki, bahkan hanyalah bayangan dan khayalan? Bagaimana

mungkin dapat dikatakan bahwa benda-benda najis hingga

jiwa-jiwa yang kotor adalah [bagian] nama-nama, sifat-sifat,

dan perbuatan-perbuatan Allah? Jika demikian adanya, lalu

bagaimana dengan kenikmatan-kenikmatan dan kepahitan-

kepahitan yang kita rasakan?!

Menanggapi hal ini, kelompok pertama menjawab bahwa

penolakan (penisbatan] wujud hakiki pada sesuatu [makhluk]

tidak bermakna bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, tidak juga

bermakna kesatuan (ittihad ) khalik dengan makhluk.

Syahdan, ada seorang bijak yang berasal dari Kota Isfahan.

Saat setiap kali merasakan sakit, dia memiliki kebiasaan

menyuruh pembantunya membeli makanan untuk dia makan

P: 165

bersama orang-orang yang hadir di dekatnya. Suatu hari,

saat tiba waktu makan, salah seorang pelajar di kota tersebut

mendatanginya untuk suatu keperluan. Segera orang bijak

ini menyuruh pembantunya untuk membeli makanan untuk

mereka berdua agar mereka bisa makan bersama-sama.

Pembantu itu pun kemudian pergi untuk membeli makanan

dan segera menghadirkanya untuk kedua orang itu.

Orang bijak berkata pada tamunya yang terhormat itu,

“Bacalah basmalah dan mari kita makan bersama-sama!" "Saya

sedang tidak mau makan," jawab sang tamu. "Apakah kamu

sudah makan?" tanya orang bijak. Tamu itu menjawab, “Belum".

Orang bijak itu kembali bertanya, “Lalu, kenapa kamu tidak

mau makan padahal kamu belum makan ?" "Aku berhati-hati

terhadap makanan yang Anda sajikan”, jawab sang tamu. Orang

bijak bertanya lagi, “Apa alasan atas kehati-hatianmu itu?" Ia

menjawab, “Aku mendengar Anda adalah orang yang meyakini

wahdat al-wujūd (kesatuan wujud). Itu adalah kekufuran dan

tidak dibolehkan bagiku untuk memakan makananmu; karena

makanan yang tersentuh olehmu menjadi najis!” Mendengar

jawaban tamunya ini, orang bijak berkata, “Apakah kamu

paham tentang wahdat al-wujūd hingga kamu menghukumi

orang yang meyakininya dengan kafir?" Sang tamu menjawab,

"Konsep wahdat al-wujūd bermakna bahwa Allah adalah

segala sesuatu dan segala sesuatu adalah Allah!" Orang bijak

itu berkata, “Pemahamanmu itu salah, mari kita makan! Aku

meyakini wahdat al-wujūd, tetapi aku tidak berpendapat bahwa

segala sesuatu adalah Tuhan, karena di antara sesuatu-sesuatu

itu ada Anda sendiri, dan aku tidak ragu bahwa Anda tidak

berbeda dengan seekor keledai atau lebih rendah dari itu. Jadi,

bagaimana mungkin aku mengakui Anda sebagai Tuhan?! Oleh

karena itu, kehati-hatianmu tidak beralasan. Marilah sekarang

kita makan bersama-sama!"

P: 166

Kesimpulan dialog di atas adalah penolakan terhadap

[penisbatan] wujud pada realitas makhluk (mawjūdāt) tidak

bermakna kesatuan makhluk dengan Tuhan. Wahdat (satu/

tunggal) bukanlah ittihād (kesatuan), sebab kesatuan hanya

dimungkinkan kecuali antara dua hal dan ini bertentangan

dengan konsep wahdat al-wujud.

Apabila Anda mengatakan, “Meskipun kita menerima

bahwa makna wahdat berbeda dengan makna ittihād, tetapi

tidak demikian dengan kesimpulan dari sejumlah keterangan

rinci 'urafa seputar tafsir atas kata-kata ini, misalnya

ungkapan-ungkapan mereka, “Tidak ada dalam rumah, kecuali

penghuninya', 'Dan sesungguhnya entitas-entitas (a'yān)

hanyalah batasan-batasan dan ketiadaan-ketiadaan, dan

tidak ada di alam nyata selain wujud dan itu adalah Allah, dan

perumpamaanya seperti laut dengan gelombangnya

Tanggapan terhadap perkataan ini adalah maksud mereka

dari kata-kata tersebut bahwa segala sesuatu ini dari sisi

dirinya adalah bukan wujud. Dan apabila Anda menentukan

hakikat-hakikatnya, akan ditemukan bahwa itu bukan wujud,

melainkan gambaran dan konsep semata.

Apabila Anda masih menyanggah jawaban ini dengan

mengatakan, "Kami tidak menerima maksud mereka itu, karena

mereka menyebutkan bahwa segala sesuatu setelah ada tetap

diangap ketiadaan dan batasan bagi keberadaan."

Aku katakan, “Maksud mereka sebenarnya ialah mahiyah

(esensi) tidak dapat dikatakan sebagai wujud hakiki. Wujud

hakiki eksternal adalah sesuatu yang maknanya satu, di mana

tidak ada sekutu baginya dalam realitas. Dia tunggal dan tidak

mungkin menjadi dua, sementara segala sesuatu selainnya

sebatas keadaan-keadaan yang terpancar dari wujud hakiki

tersebut. Namun, lantaran Anda tidak memahami wujud

P: 167

hakiki, Anda mempersepsikan bahwa wujud ini yang Anda

lihat penampilannya pada diri Anda dan orang lain, Anda

pikir itulah wujud hakiki. Persis seperti halnya kala Anda

mempersepsikan bahwa substansi-substansi alam adalah

substansi yang sebenarnya. Tentu ini akan kontras apabila

Anda berpikir dengan lebih mendalam dan secara benar atau

disingkapkan bagi Anda kenyataan yang sebenarnya dengan

penyingkapan batin (al-kasyf al-syuhūdi), niscaya Anda

menyaksikan substansi-substansi tersebut pada hakikatnya

adalah aksiden-aksiden (a rādh) dan bentuk-bentuk (asykāl)

dari wujud hakiki, bahkan ia merupakan aksiden-aksiden dan

batasan-batasan bagi wujud sederhana (wujūd munbasith), di

mana ia sendiri juga termasuk salah satu dari keadaan wujud

hakiki dan sebuah hubungan yang tidak memiliki pokok dan

akar apa pun."

Seandainya sanggahan kembali dilontarkan, "Bagaimana

mungkin dikatakan demikian [substansi-substansi alam adalah

aksiden-aksiden semata], sementara keberadaan substansi

tersebut terindra dan terpahami oleh kita? Pasalnya, akal dapat

membedakan antara substansi dan aksiden, dan pada realitas

eksternal, keberadaan keduanya terindra sesuai dengan

maknanya yang dipahami oleh akal. Akal dapat mengabstraksi

dua makna dari objek-objek luaran (mishdāq), sedangkan Anda

dalam penjelasan Anda menyalahkan akal dan indra, padahal

kita tidak memiliki alat lain untuk memahami sesuatu selain

keduanya.

Berikut tanggapan saya. Adapun pernyataanmu bahwa

indra kita dapat menjangkau mishdāq substansi dan aksiden,

hal ini sama sekali tidak bermanfaat dalam diskusi tentang

persoalan apakah substansi dan aksiden memiliki keberadaan

yang nyata atau tidak, Adapun seputar akal dapat menetapkan

P: 168

kesubstansian sesuatu adalah benar adanya. Akan tetapi,

dengan pemikiran yang sahih, akal menetapkan substansi yang

bersifat nişbi dengan dinisbatkan pada aksidennya dan bukan

pada substansi yang hakiki. Karena setelah [proses pemikiran

yang sahih, tidak diragukan lagi [akan dihasilkan kesimpulan]

bahwa tidak ada sesuatu pun yang mandiri, kecuali semuanya

bergantung kepada-Nya. Langit dan bumi seluruhnya serta

gunung-gunung yang menjulang tinggi nan berat itu diindra

sebagai maujud yang disifati dengan substansi, padahal indra

tidak melihat semua itu seperti itu, selain sebagai benda padat

yang besar dan tak bergerak.

Begitulah hal ini disebabkan oleh kesalahan indra yang

menghukumi akal dengan kesalahannya dan menjelaskan hal

tersebut pada ahlinya, yang mana mereka tidak meragukan

bahwa ini semua bukanlah substansi hakiki dan bukan pula

benda padat, tetapi sesuatu yang terus bergerak dan gelap;

ia tidak terlihat dari dirinya sendiri dan dari sekitarnya yang

fisikal. Kesalahan indra [dalam memberikan penilaian] bukanlah

hal yang asing, banyak bukti atas hal ini. Meskipun demikian,

kesalahan indra ini tak tampak oleh sebagian orang. Namun,

beberapa darinya mudah dipahami, sekalipun oleh orang

awam yang belum memiliki kemampuan yang sempurna dalam

menguak kebenaran dalam masalah ini.(1)

Bila Anda mengatakan, “Apabila inniyāh (kediaan) dan

māhiyah (esensi) adalah ketiadaan dan batasan yang tidak

memiliki wujud yang hakiki, meskipun setelah diciptakan,

maka bagaimana dengan rasa nikmat dan rasa sakit? Sementara

keduanya merupakan dua hal yang bersifat intuitif (wijdānī)

dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Secara sederhana,

jawaban bagi orang-orang yang mengingkari keduanya

P: 169


1- 16.Masalah ini dengan sedikit merenung dan perhatian akan menjadi jelas bahwa adalah hal yang mustahil bila adam (ketiadaan) berbalut hakikat wujud. Bila tidak, maka kita harus menerima sesuatu yang kontradiktif dengan dirinya sendiri atau sama dengan sesuatu yang kontradiktif dengan dirinya. Tentu saja ketidakbenaran hal ini sangat jelas dan tidak memerlukan dalil serta invaliditasnya tampak sekali. Segala sesuatu yang ketiadaannya itu pasti, maka kekekalannya itu adalah sesuatu yang niscaya pula tertetapkan, sehingga tidak bisa diklaim bahwa segala sesuatu itu memiliki wujud hakiki. Perhatikanlah apa yang telah kami jelaskan dan bahwa itu adalah termasuk burhan shiddiqin untuk menetapkan keesaan Tuhan. Inilah makna perkataan Ali bin Abi Thalib, "Wahai yang menunjukkan dzat-Nya melalui dzat-Nya."

adalah dengan sabetan dan pukulan, sehingga mereka tidak

memungkiri lagi rasa sakit!"

Menurut saya, kita tidak dapat mengingkari keberadaan

rasa nikmat dan rasa sakit yang bersifat intuitif. Kita pun

sebenarnya tak bisa memungkiri pengaruh-pengaruh wujud

eksternal. Kendati demikian, hal ini tidak berarti bahwa wujud

keduanya dan (alat) perasa keduanya adalah wujud hakiki.

Sejatinya, perasaan ini dan pengaruhnya merupakan efek

dari wujud penghubung (wujūd al-rabthi). Selanjutnya, bila

Anda mengandaikan bahwa bentuk-bentuk tubuh ini adalah

inniyah, realitas, kehidupan, kelezatan serta penderitaan, di

mana itu semua merupakan sebagian keadaan-keadaan tubuh,

Anda akan melihat bahwa wujud dari bentuk tidak harus

bertentangan dengan kelezatan dan penderitaan. Bahkan

dengan pengamatan lebih jauh, Anda akan temukan bahwa

sesuatu yang memiliki bentuk, dalam penelitian rasional (al-

tahqiq al-'aqlī), akan melebur ke pelbagai bentuk dan batasan-

batasan dalam wujud sederhana (wujūd al-munbasith).(1) Ia juga

termasuk keadaan-keadaan, manifestasi-manifestasi, dan

penampilan-penampilan dari wujud hakiki. Tentu ini tidak

boleh Anda anggap mustahil karena kesempurnaan wujud

hakiki menuntut kompleksitas semacam ini. Lebih dari itu,

terdapat keadaan-keadaan wujud hakiki yang lain, selain dari

apa yang dapat Anda lihat dan selain dari yang terlintas dalam

hatimu. Lalu, bagaimana apabila Anda mampu menggapai

wujud itu dan hakikat-hakikatnya tersingkap bagi Anda?

Menurut hemat saya, bahwa ketika cahaya-cahaya

sebagian alam-alam yang tinggi tersingkap bagi jiwa-jiwa

yang lemah ini, mereka berimajinasi bahwa ini adalah cahaya

Tuhan Yang Mahawajib. Penyebab hal ini adalah kelemahan

P: 170


1- 17.Wujud munbasith termasuk bagian wujud hakiki dan manifestasi dari pelbagai manifestasinya. Dan, kebersamaannya dengan segala sesuatu merupakan kebersaman identitas. Namun, kebersamaan Wajib al-Wujūd (Allah) adalah kebersamaan yang bersifat qayyūmiyyat (mengontrol/ menguasai), mashdariyyat (sumber segala sesuatu), dan shamadiyyat (tempat tumpuan segala sesuatu). Wujud munbasith ketika bersama segala sesuatu akan menjadi sesuatu itu (bak bunglon-penerj.). Ketika bersama substansi, ia akan menjadi substansi; ketika bersama aksiden, ia menjadi aksiden; ketika bersama sifat, ia akan menjadi sifat; ketika bersama jiwa, ia akan menjadi jiwa; ketika bersama langit, ia akan menjadi langit; ketika bersama bumi, ia akan menjadi bumi; sedangkan sesuatu Yang Wajib ketika bersama segala sesuatu, Ia akan tetap menjadi Tuhan Sang Penguasa, Dialah yang di langit disebut dengan "ilah" (Tuhan) dan di bumi juga disebut dengan ilah". (Allamah Tehrani, Tawhid 'Ilmi wa 'Aini, hlm. 145).

daya tangkap serta sedikitnya makrifat mereka, sebagaimana

hal itu pernah dialami oleh kalangan aulia yang agung.

Alhasil, pernyataan bahwa wujud hakiki hanya khusus

pada yang Mahawajib (Allah) dan wujud selain-Nya yang

bersifat "mumkin" bukanlah wujud hakiki-namun setara

dengan wujud yang terpantul dalam cermin, bukanlah hal

yang mustahil. Adapun apabila maksud orang-orang yang

berpandangan bahwa wahdat al-wujūd adalah demikian, hal

ini bukan dalam rangka menyatakan bahwa wujūd mumkin

adalah Wajib al-Wujūd. Lalu, kalau toh mengatakan semacam

itu ternilai sebagai sebuah kesalahan, maka kesalahan itu

bukanlah kesalahan yang menjurus kepada kekufuran,

melainkan kesalahan dalam menetapkan hakikat "mumkin".

Hal ini terjadi karena pengingkaran terhadap tingkatan wujud

dan pengingkaran terhadap pelbagai keutamaannya, di mana ia

belum berhasil menetapkan tingkatan Wajib al-Wujud. Padahal,

dapat dikatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa

segala sesuatu itu memiliki wujud hakiki, lebih dekat dengan

klaim penyekutuan "wujud mumkin" dengan Wajib al-Wujūd

dalam keniscayaan dan menjadikan "wujud mumkin" sesuatu

yang wajib. Sebenarnya, inilah kekufuran yang tidak disadari. (1)

Kendati demikian, keputusan yang benar adalah kekafiran

tidak musti disematkan kepada orang-orang yang berpendapat

seperti itu, sebagaimana keputusan yang benar pula bahwa

orang-orang yang berpendapat tentang tauhid al-Haqq (Allah)

dalam wujud hakiki itu tidak meniscayakan bahwa yang

mumkin al-wujud itu menjadi Wajib al-Wujūd, meskipun

sebenarnya konsekuensi pendapat mereka memang demikian

adanya. Oleh sebab itu, tidaklah layak seseorang dikafirkan

karena konsekuensi dari akidahnya.(2)

P: 171


1- 18.Dengan nama Allah Yang Maha Agung, setiap orang yang bertauhid harus mengatakan bahwa bersama segala sesuatu dan seluruh komponen- komponen alam terdapat wujud eksternal hakiki yang mengelilinginya dari seluruh penjuru yang berupa cahaya yang mendominasinya bahkan yang menciptakan untuknya dalam setiap saat wujudnya, dan setiap aspek dari wujudnya bergantung kepadanya (cahaya] dan kemandiriannya pun terkait dengannya. Dan, cahaya yang mendominasi itu bersifat dhahir dan batin, awal dan akhir, dan ia selalu bersama segala sesuatu, tetapi bukan berkolaborasi latu, tetapi bukan meninggalkan. (Mirza Jawad Maliki Tabrizi)
2- 19.Allamah Thabathaba'i menyatakan, "Dalam benak orang-orang awam, kesatuan wujud (wahdat wujudt) itu lebih buruk daripada orang kafir. Biarkan orang menjadi Yahudi atau Kristen, yang penting ia tidak meyakini wahdat wujūdī. (Allamah Tehrani, Tawhīd 'ilmī wa 'Ainī, hlm. 329)

Kesimpulannya, janganlah Anda lalai bahwa orang-orang

yang berpendapat seperti itu [baca: wahdat al-wujūd]—di

mana mereka berkata melalui jalan mukasyafah (penyingkapan

batin) tidak mengatakan bahwa di alam indriawi ini, misalnya

batu itu tidak mewujud atau batu (yang Anda lihat] bukanlah

batu, atau sifat keras dan berat dari batu, tidak ada. Sebaliknya,

mereka mengatakan bahwa wujud batu, begitu juga sifat

keras dan beratnya, dianggap sebagai wujud bayangan (wujūd

dhillī), yang apabila disandarkan pada penghuni alam ini,

maka ia mewujud dengan wujud yang khusus dan memiliki

sifat-sifat yang khusus pula. Adapun apabila ia dikaitkan dan

dibandingkan dengan alam mitsal, maka ia menjadi wujud

imaginal (wujūd mitsālī) dan memiliki sifat-sifat yang sesuai

dengan wujud imaginal, Begitu pula wujudnya dalam alam akal

adalah wujud rasional (wujūd 'aqlānī) dan sifat-sifatnya pun

sesuai dengan wujudnya. Sementara bila dikaitkan dengan alam

Zat, maka batu tersebut tidak ada wujudnya dalam alam ini,

tidak ada pengaruh, tidak ada nama, tidak ada deskripsi, dan

hanya ada maujud hakiki, yaitu dzat al-Haqq (Allah) yang nyata,

dan segala sesuatu selain-Nya tidak memiliki wujud yang nyata.

Ketika Allah memanifestasi kepada Nabi atau kepada

wali-Nya dengan zat-Nya, maka Nabi atau wali-Nya tidak

menyaksikan apa pun meskipun diri dan penglihatannya-

selain Zat Allah. Dia secara total fana dari alam, dari dirinya,

bahkan dari kefanaannya, lalu kekal bersama Allah. Pada saat

itu, dia mencapai sebuah maqam dan mengabarkan sebuah

kenyataan, “Tidak ada di rumah selain penghuninya dan bagi

kita rahmat Allah, Maha Menguasai dan Maha Mengampuni."

Ini adalah maqam terakhir dari maqam-maqam suluk, di mana

tiada seorang pun yang berkeinginan untuk mencapai maqam

yang lebih tinggi daripada ini, baik itu nabi maupun wali, baik

itu manusia maupun malaikat.

P: 172

Dan, janganlah Anda lalai bahwa apa yang kami sebutkan

dari alam-alam yang telah kami sebutkan ini, semuanya masuk

dalam alam ini [alam Dzat] dan tidak keluar darinya. Dengan

kata lain, bahwa alam ini memiliki keadaan dan sifat tertentu

bagi entitas-entitas (mawjūdāt) dalam batasan dan tingkatan

wujud. Alam mitsal adalah suatu keadaan dan sifat tertentu

yang lebih lembut dan berada dalam batin alam tersebut, bukan

di luar darinya. Siapa yang memiliki cahaya di mata indriawinya

dan ia melihat dengan bantuan cahaya matahari dan bulan, ia

memandang alam indriawi dengan seluruh sifat dan gambar-

gambar keindriawian. Sementara seseorang yang mata

imaginalnya terdapat cahaya imaginal (mitsalī) dan ia melihat

dengan bantuan cahaya bintang-bintang imaginal (al-kawākib

al-mitsāliyyah), maka ia melihat alam ini dengan sifat-sifat dan

gambar-gambar imaginalnya. Sebab, sifat-sifat dan gambar-

gambar pelbagai macam alam itu sesuai dengan kondisi

dan perbedaan yang dialaminya, sehingga masing-masing

terbedakan sesuai dengan kapasitas alam yang dihuninya. Bukti

akan perbedaan ini adalah masalah mimpi dan takwilnya, di

mana seseorang melihat suatu kenyataan sesuai dengan apa

yang dilihatnya dalam gambaran imaginalnya. Misalnya, dalam

mimpi ia melihat susu. Kemudian, ia menafsirkan mimpi itu

dengan ilmu. Dan setelah itu, ternyata mimpi itu pun terbukti

dalam realita dan takwilnya pun benar.

Alkisah, seorang pria dalam mimpinya melihat bahwa

di tangannya ada stempel yang dengan stempel itu ia

menstempel mulut-mulut masyarakat dan lubang-lubang

(furūj) mereka. Lalu, pria tersebut mendatangi penakwil mimpi

dan menceritakan mimpinya. Si penakwil mimpi mengatakan,

"Jika mimpimu itu termasuk mimpi yang benar, maka engkau

adalah muazin yang akan mengumandakan azan Subuh di

bulan Ramadhan lebih cepat dari waktunya, sehingga hal ini

P: 173

menyebabkan orang lebih cepat untuk tidak makan dan tidak

minum." Dan pada kenyataannya, ternyata mimpi itu memang

benar terjadi sebagaimana yang ditakwilkan oleh penakwil

mimpi tadi.

Begitu juga dalam banyak riwayat dan hadis berkaitan

dengan penjelasan keadaan-keadaan alam barzakh, kiamat, dan

penjelmaan amal [menjadi suatu bentuk tertentu), menjelaskan

secara benar klaim kami. Dengan demikian, dari seluruh apa

yang dijelaskan, maujud yang hakiki dan nyata hanyalah dzat

Allah, di mana alam Zat dan seluruh alam merupakan bagian

dari persoalan dan manifestasi-Nya. Suatu misal, ketika Allah

memanifestasi untuk kali pertama, maka mewujudlah alam

akal. Kemudian pada manifestasi kedua, terwujudlah alam jiwa

dan begitu seterusnya hingga terwujud alam indra. Adapun apa

yang ada di luar (manifestasi] merupakan maujud hakiki, benar,

tetap, dan merupakan urusan-Nya, sementara setiap urusan

dari urusan-urusan-Nya ibarat alam dari alam-alam yang

sempurna dalam tingkatannya. Setiap alam memiliki pengaruh

dan sifat-sifat khusus, begitu pula dengan alam yang paling

hina, kotor, dan sempit, yaitu alam indra. Alam indra memiliki

sifat khusus, gambar-gambar, serta batasan-batasan yang

banyak yang sesuai dengan tingkatan dari wujud. Sementara

wujud alam ini dan pengaruh-pengaruhnya hanya dikhususkan

di alam ini, begitu juga dengan alam-alam yang lain.(1)

Adapun alam mimpi, ia termasuk alam imaginal ("alam al-

mitsal). Setiap hal yang dapat] dilihat dalam alam mimpi adalah

apa yang ada di alam indra, entah itu tanah, langit, benda-

benda mati, tumbuh-tumbuhan, bahkan pelbagai macam

gambar yang terefleksi dalam cermin dan pelbagai gambar-

gambar imajinasi. Semua itu dari alam ini. Alam imaginal

sangatlah luas, bahkan pada dirinya memiliki banyak alam,

P: 174


1- 20.Sesuatu yang dapat dijadikan contoh untuk mendekatkan pemahaman terhadap masalah ini meskipun ia tidak sesuai dengan realitasnya pada beberapa sisi adalah ilmu yang dinisbatkan pada objek yang diketahui. Sebagaimana objek yang diketahui tidak akan terwujud, kecuali dengan perantara ilmu, sementara esensi (mahiyah) dari objek yang diketahui bukanlah ilmu itu sendiri. Dalam pembahasan ini bisa dikatakan bahwa maujud hakiki itu satu dan itu adalah ilmu, sedangkan pemahaman-pemahaman yang diketahui merupakan sifat (syu'ūn) dari ilmu itu sendiri yang tidak memiliki wujud dalam realitas, kecuali pemahaman itu sendiri terikat dengan ilmu. Dan, hal ini bisa dikatakan bahwa pemahaman-pemahaman ini saling berbeda dengan pemahaman ilmu itu sendiri. Melalui contoh ini, hal-hal yang berkaitan dengan alam wujud, tampaknya tidak benar dan jauh dari realita. (Mirza Jawad Agha Maliki Tabrizi)

sehingga ada yang mengatakan bahwa dalam alam imaginal

terdapat delapan belas ribu alam.

Dikisahkan dari sebagian ‘urafa bahwa apa pun yang

terdapat dari syariat yang tampak sebagai majazi (metafora)

di alam kita, mereka melihatnya pada sebagian alam sebagai

hakikat tanpa melampaui batas. Seperti halnya setiap orang

tidur yang melihat sesuatu dalam mimpinya, sejatinya apa

yang dilihatnya itu merupakan sifat dan keadaan yang bersifat

imaginal yang tampak padanya di alam imaginal. Demikian

halnya apa yang dilihat oleh seorang yang sadar (tidak dalam

keadaan tidur) di alam indriawi ini juga memiliki sifat dan

keadaan yang bersifat indriawi, yang tampak padanya di alam

indriawi.

Apabila dikatakan bahwa sesuatu yang dilihat oleh

seseorang yang sadar sebagai sebuah sifat bagi [objek] yang

dilihat dan bukan bagi orang yang melihat, dalam pandangan

saya, memang demikian pandangan sebagian besar orang.

Namun, realitanya bertentangan dengan ini, karena penglihatan

hakikatnya bersifat konseptual (kayfiyyat tashwīriyyah) bagi

jiwa, di mana ia mesti mempunyai pandangan yang sehat

dengan syarat-syarat khususnya. Namun tidak diketahui

apakah cara ini sesuai dengan realitas sifat-sifat yang ada pada

sesuatu itu; dalam pengertian bahwa gambar yang dilihat sama

dengan realitas yang ada pada jiwa orang yang melihatnya,

bahkan sering terjadi seseorang menyaksikan satu benda pada

dua waktu dengan dua model yang berbeda atau dua orang

yang menyaksikan satu benda yang sama pada satu waktu

dalam dua bentuk yang berbeda. Begitu juga cara melihat dari

jarak jauh atau dekat juga berbeda. Jadi, kualitas penglihatan

orang yang melihat sesuai dengan ketetapan Allah dengan

mempertimbangkan kondisi-kondisi para penglihat-itu

P: 175

berbeda-beda dan berdasarkan perbedaan alam-alam para

penglihat, maka kualitas yang dilihat pun berbeda. Dan,

mungkin ketika mata mitsāli melihat pelbagai objek, ia

menyaksikannya dengan kualitas dan gambaran yang lain.

Ringkasnya, bahwa ilmu yang didapatkan oleh orang yang

melihat-misalnya sesuatu itu berwarna merah dan dilihat

dari sisi besar-kecilnya, memiliki ukuran-ukuran dan kualitas

tertentu dikhususkan pada kualitas khusus pada jiwa, di mana

hal ini akan efektif saat syarat-syarat melihat sudah terpenuhi

sehingga kita menjadi yakin bahwa sesuatu yang tersingkap

bagi kita, seratus persen merupakan karakter-karakter yang

dimiliki oleh sesuatu itu. Bahkan, kita meyakini bahwa sesuatu

yang dilihat memiliki karakter. Kala kita melihatnya dari dekat

dengan mata indriawi, maka terungkaplah kualitas yang dilihat

ini dalam jiwa kita dan terbentuklah gambarannya.

Kita mengetahui bahwa terkadang rupa dan kualitas

yang dilihat dengan pandangan mitsali tidak seperti bentuk

(shūrah) [aslinya], begitu pula kita melihat bahwa sesuatu yang

dilihat dengan mata indriawi dari pelbagai bentuk, sejatinya

berbeda dalam jarak jauh ataupun dekat, dalam banyak dan

sedikitnya cahaya bintang-bintang dan pelita-pelita, dalam

sehat dan sakitnya orang yang melihat, dan dalam [penglihatan]

orang yang mengonsumsi obat dan orang-orang yang tidak

mengonsumsinya, bahkan ketika kita melihat suatu bentuk

dengan mata kanan, maka kita melihat tempatnya bukan

pada tempat kala kita melihatnya dengan mata kiri. Selain

itu, kita akan melihat sesuatu yang satu menjadi dua tatkala

kita melihat padanya seperti penglihatan orang yang juling.

Dengan demikian, dari pelbagai perbedaan penglihatan ini,

kita bisa mengambil hukum yang pasti, yaitu apa yang kita

saksikan tidak harus sesuai dengan karakter yang realistis

P: 176

dan hakiki dari sesuatu yang kita saksikan tersebut. Sebab,

bila penglihatan itu berarti bahwa orang yang melihat adalah

mencapai (merasakan) apa yang dilihatnya, maka seyogianya

jiwa orang yang melihat tersebut terpengaruh dengan sifat-

sifat sesuatu itu, misalnya panas dan dingin, dan sifat-sifat

lainnya.

Kesimpulannya, penglihatan dan begitu juga daya khayal

dan rasionalitas sebagaimana sudah disebutkan—terjadi

sebagai dampak dari persatuan antara yang melihat dengan

objek yang dilihatnya, antara pengkhayal dengan sesuatu yang

dikhayalkan, serta antara subjek yang mengetahui dan objek

yang diketahui, dan bukan hanya dilihat dari sisi pertalian

dan penisbatan dari keduanya. Maka, pengetahuan itu tidak

mungkin terwujud, kecuali dengan pencapaian si subjek

terhadap dzat ilmu pengetahuan dan itu dimungkinkan entah

dengan keluarnya si subjek dari dzat dirinya lalu dia mencapai

zat ilmu pengetahuan atau dengan jalan masuknya dzat ilmu

pengetahuan ke dalam dzat dirinya. Namun, dua jalan ini

mustahil, kecuali bila ia bersatu dengan dzat ilmu pengetahuan

dan tampil dalam bentuknya. Jadi, orang yang berilmu bila

dilihat dari dzat-nya tidak sama dengan dzat orang yang jahil

alias bodoh.

Oleh karena itu, ilmu terhadap benda-benda itu tidak

terkait dengan wujud eksternalnya. Sebab, bentuk-bentuk

(shuwar) benda tersebut dilihat dari esensinya-hanya terkait

pada benda-benda tersebut, sehingga penyatuan hanya terjadi

pada materi-materinya. Namun, terjadinya penyatuan bentuk

pada materi-materi benda bukan terjadi karena pencapaian

ilmu. Sebab, bentuknya itu adalah sesuatu yang tidak ada dan

hanya ada pada tataran potensial keberadaan. Di samping itu,

bentuk pada dirinya bukanlah zat yang seseorang mampu

P: 177

mencerap dan mengetahuinya. Dan, karena mustahil bagi

seseorang untuk menggapai bentuk-bentuk eksternal benda

tidak sebagaimana sesuatu lainnya itu diperoleh melalui jalan

yang muktabar dalam ilmu, berarti bentuk-bentuk eksternal

benda tidak diketahui dengan sesuatu yang asli, tidak pula

diketahui berdasarkan hakikatnya sebagaimana adanya. Dengan

demikian, objek pengetahuan potensial (ma'lūm bi al-quwwah)

bermakna dalam aspek potensialnya, seseorang mampu

mencerap bentuk-bentuk darinya, sehingga mendapatkan

ilmu tentang hal tersebut atau mengonsepsikan bentuk-bentuk

yang seperti bentuk-bentuk itu. Sebab, sesuatu yang ada atau

melekat pada karakter materi-materi itu mustahil berpindah

sendiri ke otak. Adapun objek pengetahuan langsung (ma'lūm bi

al-dzāt) bermakna bahwa segala sesuatu itu memiliki bentuk-

bentuk cerapan (shuwar idrākiyyah) yang berdiri dengan

dirinya sendiri dan bersatu dengannya, bukan dengan materi

eksternalnya. Sedangkan, objek pengetahuan aktual (ma'lūm

bi al-fi'l), hanya diketahui oleh orang yang mengetahuinya.

Maka, objek pengetahuan orang alim tidak sama dengan objek

pengetauan orang alim yang lain. Pada hakikatnya, alim, ilmu

dan ma'lūm (objek pengetahuan) itu bersatu. Hendaklah Anda

perhatikan poin ini dengan baik.

Maksud dari mengupas kajian ini secara terperinci

adalah agar pesalik (penempuh jalan spiritual) sadar dan

mengerti tentang bagaimana ia mampu menggapai ma'rifah

al-nafs (pengenalan diri), sehingga dari situ ia mampu

naik menuju puncak ma'rifah al-rabb (pengenalan Tuhan);

juga agar argumentasi yang dengannya afirmasi (tashdīg)

mengambil suatu penilaian tentangnya diketahui, serta

agar mempermudah pemula dalam menempuh jalan suluk,

di mana hal ini akan memberikan manfaat baginya dalam

pemikirannya. Pemikiran yang dimaksud adalah bentuk dan

P: 178

metode berpikir seperti yang biasa dipikirkan oleh pemikir-

pemikir, yang terkadang memilah-milah dan menganalisis

jiwanya dan terkadang memilah-milah dan menganalisis alam,

sampai kemudian ia sadar bahwa sesuatu yang dia ketahui dari

alam tidak lain adalah dirinya dan alam dirinya sendiri, bukan

alam eksternal. Dan, sesungguhnya alam-alam yang diketahui

ini adalah tingkatan dari jiwanya, sehingga ia layak bertanya

kepada dirinya, jiwaku itu apa?

Kemudian, hendaklah ia menafikan setiap gambar dan

khayal dari hatinya dan hendaklah pikirannya terpusat kepada

ketiadaan sehingga hakikat jiwanya tersingkap baginya, yakni

alam akan muncul di hadapannya dan menampakkan padanya

hakikat jiwanya tanpa bentuk dan materi. Ini merupakan

jenjang pertama dari ma'rifat al-nafs. Mungkin ini yang

diisyaratkan dalam tafsir ayat yang mulia, “Maka apakah orang-

orang yang hatinya dibukakan oleh Allah untuk (menerima)

Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan

orang yang hatinya membatu)" (QS Al-Zumar [39]: 22). Ketika

tafsir ayat ini ditanyakan kepada Rasulullah Saw., beliau

menjawab, “Ia merupakan cahaya yang Allah letakkan di dalam

hatinya, kemudian dadanya pun menjadi lapang. Beliau ditanya,

"Apakah orang semacam ini memiliki tanda?* Beliau menjawab,

"Tandanya adalah bahwa ia memalingkan dirinya dari dunia

secara total dan kembali kepada kehidupan yang kekal serta

bersiap-siap untuk menjalani kematian sebelum datangnya

ajal.(1)

Mungkin, kebanyakan orang beranggapan bahwa yang

dimaksud dari meninggalkan dan berpaling dari dunia adalah

zuhud dari syahwat dunia, padahal makna hakikinya adalah

menghilangkan tabir tipuan di dunia dari penghuninya

dan menghilangkan ketidakdapatan melihat segala sesuatu

P: 179


1- 21.Rawdah al-Wa'idīn, hlm. 448.

sebagaimana adanya, yang ini merupakan perkara umum akibat

mereka gagal menggapai derajat ma'rifat al-nafs (pengenalan

diri). Poin ini hendaklah Anda perhatikan baik-baik!

Di sisi lain, masih ada persoalan yang tersisa, yaitu bahwa

kata wujūd (keberadaan) untuk Allah tidak digunakan dalam

terminologi syariat. Lalu, apa yang dimaksud oleh kaum filsuf

dari penggunaan kata wujūd untuk Allah?

Menurut saya, benar bahwa penyandaran kata wujūd

pada Allah tidak terdapat dalam riwayat-riwayat atau hadis-

hadis, tetapi kata yang mirip dan serupa dengan wujūd, seperti

kehidupan (al-hayāh) dan ilmu (al-'ilm), digunakan untuk

Allah.(1) Barangkali, sebab digunakannya dua kata tersebut

adalah untuk menafikan ambiguitas ditambahkannya wujud

terhadap zat. Sebab bila tidak, harus dipahami bahwa maksud

mereka adalah wujud eksternal yang berdiri sendiri dan menjadi

penyangga seluruh maujud. Dan, inilah yang sebetulnya

diinginkan oleh syariat saat menyebutkan kata mawjūd. Jadi,

sebagaimana kata al-hayāh (kehidupan) disandarkan kepada

kehidupan Allah, sejatinya ia merupakan petunjuk bahwa (sifat]

hidup bagi Allah bersifat esensial (zāti), bukan sesuatu yang

ditambahkan kepada zat, begitu juga ilmu dan wujud-Nya. Dari

sinilah kenapa dalam syariat tidak terdapat pemanggilan [untuk

Tuhan) dengan Wahai Wujud, Wahai Kehidupan, dan Wahai

Ilmu. Jadi, dalam kasus semacam ini, kita harus mengikuti

syariat dan tidak memanggil Allah dengan kata-kata tersebut.

Dengan kata lain, karena penamaan Allah dengan wujud,

ilmu, dan kehidupan tidak ditetapkan dalam syariat, kita pun

berkaitan dengan hal ini mengambil sikap pasif. Artinya, kita

tidak menyematkan sifat-sifat tersebut kepada Allah. Kendati

demikian, penggunaan kata-kata ini kepada-Nya sejauh untuk

memberikan penjelasan, tentu tidak sama dengan penamaan-

P: 180


1- 22.Maksud ungkapan "inniyah" adalah "wujud” (Mirza Khalil Kumrahi).

Nya. Sebagaimana dalam riwayat yang berkenaan dengan

pensifatan Allah disebutkan bahwa Dia adalah "Ilmu yang tidak

ada kebodohan di dalamnya; Cahaya yang tidak ada kegelapan

di dalamnya; dan Kehidupan yang tidak ada kematian bagi-

Nya" Meskipun ungkapan-ungkapan seperti ini diterima, tetapi

Allah tidak pernah dipanggil dengan sebutan Ya 'Ilm (Wahai

Ilmu) dan Ya Hayāt (Wahai Kehidupan).

Telah banyak disebutkan dalam beberapa riwayat

Ahlulbait, apa yang tampak darinya termasuk dari pilar-pilar

teologi mereka, yaitu setiap sifat yang ada pada mumkin al-

wujūd (makhluk), maka sifat-sifat itu harus dinafikan dari Allah,

seperti ungkapan mereka, “... Barunya sesuatu menjadi saksi

akan keazalian-Nya, ketidakmampuan mereka yang tampak

menonjol menjadi bukti akan kekuasaan-Nya, dan segala

sesuatu yang secara niscaya akan fana, dengan sendirinya

menjelaskan akan keabadian Allah."(1) Dan juga, seperti

pernyataan lain dari mereka, “Karena Dia memberi substansi

pada substansi-substansi alam, maka diketahui bahwa Dia

bukan substansi; dan karena sarana-sarana pengetahuan

diciptakan oleh-Nya, maka diketahui bahwa diri-Nya sendiri

tidak memerlukan sarana-sarana pengetahuan tersebut."

Begitu juga riwayat-riwayat lain yang disebutkan berkaitan

dengan masalah ini.

Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Allah

Mahahidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha

Melihat, Mahakuasa, Maha Menginginkan, Maha Membenci,

dan Maha Berbicara, meskipun sifat-sifat ini juga terdapat

pada mumkin al-wujūd. Lalu, bagaimana dua persoalan ini bisa

diharmoniskan? Begitu juga terdapat pernyataan-pernyataan

ahli makrifat, di mana tampak jelas bahwa mereka menafikan

sifat-sifat mumkin (makhluk) dari Allah. Namun, pada saat yang

P: 181


1- 23.Syaikh Saduq, Tawhid, bab 2, hadis 26, hlm. 69.

sama, mereka mengatakan bahwa antara sebab dan akibat

harus terdapat titik temu dan keharmonisan. Lalu, bagaimana

mengharmoniskan dan mempersatukan dua persoalan ini?

Keharmonisan keduanya bisa dipahami dengan baik kalau

dalil-dalil persoalan tersebut diperhatikan dengan saksama.

Adapun dalil atas prinsip pertama dari perkataan-perkataan

mereka dan dalil atas prinsip yang tampak pada sebagian

dari mereka merupakan hukum umum (hukm al-ithlāq) dan

pembatasan (taqyīd). Bagi seorang yang berpandangan ithlaq

wāqi'i (pengumuman/generalisasi realistis), ia menganggap

seluruh sisinya tidak terbatas sehingga sifat-sifatnya harus

bertentangan dengan sifat-sifat sesuatu yang wujud dan

hakikatnya dapat memanifestasi dan mahiyyah-nya dapat

dicabut dari batas wujudnya. Jadi, sifat-sifat yang berasal

dari pengejawantahan sesuatu, maka mau tidak mau harus

bertentangan dengan sifat-sifat sesuatu yang tidak memiliki

pengejawantahan. Jadi, penampakan akan terjadi, di mana pada

hukum yang pertama ini akan bersifat kontradiktif. Kontradiksi

ini pada sifat mumkin al-wujūd dilihat dari mumkin-nya

(kedudukannya sebagai wujud mumkin), sedangkan dilihat dari

wujudnya, maka mau tidak mau dari ukuran yang di situ ia

dekat kepada Allah, maka pengaruh-pengaruh sifat Ilahi akan

mewujud padanya.

Jadi, ilmu, kekuasaan, kehendak, benci, dan bicara, yang

ada pada manusia dan bukan pada benda mati, merupakan

sifat-sifat kewujudan yang ditetapkan pada tingkatan wujud

ini. Dan, bila ahli makrifat mengatakan bahwa antara sebab

dan akibat harus ada keharmonisan dan titik temu, maksudnya

adalah sifat-sifat ini. Perlu diketahui, mumkin al-wujūd dibagi

menjadi dua: pertama, konsekuensi dari wujūd mumkin, di

mana ia tidak bertentangan dengan sifat-sifat Wajib al-Wujūd,

P: 182

bahkan menyerupainya. Kedua, mumkin dan māhiyah-nya yang

mengharuskan sifat-sifat ini harus dihilangkan dan dibersihkan

dari yang mengadakannya. Jadi, setiap sifat dari sifat-sifat

Wajib al-Wujūd yang ada pada mumkin al-wujud adalah dari

sifat-sifat-Nya, bukan dilihat dari aspek imkan-Nya, tetapi

dilihat dari aspek wujud-Nya.

Catatan:

1 Bihar al-Anwār, 68: 265.

2 Mustadrak al-Wasāil, 3: 64.

3 QS Al Mu'minūn[23]: 108.

4 QS Al-Zukhruf [43]: 77.

5 QS Al Mu'minun [23]: 100.

QS Al-Hāggah (691: 30.

7 Tanbth al-Khawathir, 1: 268.

8 Nah al-Balāghah, khutbah ke-5.

9 Nahj al-Balaghah, khutbah ke-193.

10 Bihār al-Anwār, 70: 110.

11 Irsyād al-Qulüb, 1: 380.

12 Syaikh Shaduq, Tawhid, hlm. 239.

13 Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 192.

14 Allamah Majlisi, Rabi' al-Asābi, hlm. 345.

15 Syeikh Saduq, Tawhīd, hlm. 140.

16 Masalah ini dengan sedikit merenung dan perhatian akan menjadi jelas

bahwa adalah hal yang mustahil bila adam (ketiadaan) berbalut hakikat

wujud. Bila tidak, maka kita harus menerima sesuatu yang kontradiktif

dengan dirinya sendiri atau sama dengan sesuatu yang kontradiktif dengan

dirinya. Tentu saja ketidakbenaran hal ini sangat jelas dan tidak memerlukan

dalil serta invaliditasnya tampak sekali. Segala sesuatu yang ketiadaannya itu

pasti, maka kekekalannya itu adalah sesuatu yang niscaya pula tertetapkan,

sehingga tidak bisa diklaim bahwa segala sesuatu itu memiliki wujud hakiki.

Perhatikanlah apa yang telah kami jelaskan dan bahwa itu adalah termasuk

burhan shiddiqin untuk menetapkan keesaan Tuhan. Inilah makna perkataan

Ali bin Abi Thalib, "Wahai yang menunjukkan dzat-Nya melalui dzat-Nya."

17 Wujud munbasith termasuk bagian wujud hakiki dan manifestasi dari

pelbagai manifestasinya. Dan, kebersamaannya dengan segala sesuatu

merupakan kebersaman identitas. Namun, kebersamaan Wajib al-Wujūd

(Allah) adalah kebersamaan yang bersifat qayyūmiyyat (mengontrol/

menguasai), mashdariyyat (sumber segala sesuatu), dan shamadiyyat (tempat

P: 183

tumpuan segala sesuatu). Wujud munbasith ketika bersama segala sesuatu

akan menjadi sesuatu itu (bak bunglon-penerj.). Ketika bersama substansi,

ia akan menjadi substansi; ketika bersama aksiden, ia menjadi aksiden; ketika

bersama sifat, ia akan menjadi sifat; ketika bersama jiwa, ia akan menjadi jiwa;

ketika bersama langit, ia akan menjadi langit; ketika bersama bumi, ia akan

menjadi bumi; sedangkan sesuatu Yang Wajib ketika bersama segala sesuatu,

Ia akan tetap menjadi Tuhan Sang Penguasa, Dialah yang di langit disebut

dengan "ilah" (Tuhan) dan di bumi juga disebut dengan ilah". (Allamah

Tehrani, Tawhid 'Ilmi wa 'Aini, hlm. 145).

18 Dengan nama Allah Yang Maha Agung, setiap orang yang bertauhid harus

mengatakan bahwa bersama segala sesuatu dan seluruh komponen-

komponen alam terdapat wujud eksternal hakiki yang mengelilinginya dari

seluruh penjuru yang berupa cahaya yang mendominasinya bahkan yang

menciptakan untuknya dalam setiap saat wujudnya, dan setiap aspek dari

wujudnya bergantung kepadanya (cahaya] dan kemandiriannya pun terkait

dengannya. Dan, cahaya yang mendominasi itu bersifat dhahir dan batin, awal

dan akhir, dan ia selalu bersama segala sesuatu, tetapi bukan berkolaborasi

latu, tetapi bukan meninggalkan. (Mirza Jawad

Maliki Tabrizi)

19 Allamah Thabathaba'i menyatakan, "Dalam benak orang-orang awam,

kesatuan wujud (wahdat wujudt) itu lebih buruk daripada orang kafir. Biarkan

orang menjadi Yahudi atau Kristen, yang penting ia tidak meyakini wahdat

wujūdī. (Allamah Tehrani, Tawhīd 'ilmī wa 'Ainī, hlm. 329)

20 Sesuatu yang dapat dijadikan contoh untuk mendekatkan pemahaman

terhadap masalah ini meskipun ia tidak sesuai dengan realitasnya pada

beberapa sisi adalah ilmu yang dinisbatkan pada objek yang diketahui.

Sebagaimana objek yang diketahui tidak akan terwujud, kecuali dengan

perantara ilmu, sementara esensi (mahiyah) dari objek yang diketahui

bukanlah ilmu itu sendiri. Dalam pembahasan ini bisa dikatakan bahwa maujud

hakiki itu satu dan itu adalah ilmu, sedangkan pemahaman-pemahaman

yang diketahui merupakan sifat (syu'ūn) dari ilmu itu sendiri yang tidak

memiliki wujud dalam realitas, kecuali pemahaman itu sendiri terikat dengan

ilmu. Dan, hal ini bisa dikatakan bahwa pemahaman-pemahaman ini saling

berbeda dengan pemahaman ilmu itu sendiri. Melalui contoh ini, hal-hal yang

berkaitan dengan alam wujud, tampaknya tidak benar dan jauh dari realita.

(Mirza Jawad Agha Maliki Tabrizi)

21 Rawdah al-Wa'idīn, hlm. 448.

22 Maksud ungkapan "inniyah" adalah "wujud” (Mirza Khalil Kumrahi).

23 Syaikh Saduq, Tawhid, bab 2, hadis 26, hlm. 69.

P: 184

INDEKS

berjumpa Allah 1

D

Dawud 30, 57, 58, 91, 99, 111

doa 'Ahd 93

doa Arafah 25, 26, 30

doa Kumail 5, 7, 24, 38

doa Rajab 26

doa Shahifah 33

doa Shahifah 'Alawiyah 33

F

Falāh al-Sā'il 33

Fir'aun 64

Abu Ali bin Muhammad bin

Hammam 31

Abu Hamzah 24, 115, 117

Abu Hamzah al-Tsumali 24

Adam 42, 46, 109, 117

Al-Dailami 111

Ahlul Bait 9,163

aksiden 156, 168, 169, 184

al-Allamah 31

Alamul Huda 40

al-Haqq 21, 22, 41, 171, 172

Ali bin Abi Thalib 4, 18, 19, 38,

40, 48, 183

Allamah Tehrani 184

Allamah Thabathaba'i xiii, 40,

184

al-Mazār 31

al-Murāqabāt xi, xiii

al-Mustadrak 31

al-Wafi 26, 39, 43

amaliyah 73

Amirulmukminin 4, 17, 26, 38,

40, 43, 100, 114, 124, 125,

152

Arsy 29, 45, 52, 56, 68, 90, 127

asmā 6,7,8,9

asmāul husnā 6,9

Ayatullah Fahri xiii, xv

Ayatullah Marasyi Najafi xv

Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi

xiii, xv

Ayatullah Sayyid Husein

Fathimi Qummi xv

Ghurar wa Dhurar 18, 40

hadis Mi'raj 26, 36, 43, 95, 152

hadis Qudsi 21, 90, 93, 108, 156

Haji Mirza Khalil Kamrehi xiv

Hisāl Sab'ah 31

Ibn Sina 19, 41

Ibn Thawus 26, 31, 33, 43, 67,

69, 73

Ibn Abbas 124

Ibn Abi Umair 115

Ibn Mas'ud 99

Indeks $185%

P: 185

Liqā'ullah xi, xii, xiii

M

ilwiy 18

Imam Ali 4, 9, 110, 127

Imam Baqir 150

Imam Hasan al-Asykari 142

Imam Husein 25

Imamiyah 13, 24

Imam Ja'far al-Sadiq 7, 10, 14,

90, 92, 110, 112, 114, 115,

117, 124, 125, 126, 127, 136

Imam Khumaini xii, xiv, xvi

Imam Mahdi 26

Imam Muhammad Baqir 101,

162

inniyah 11, 184

intuitif 18, 169, 170

Iqbal 26, 31, 43, 67

irfan xi, 41, 42

irfan praktis xi

irfan teoritis xi

ism a'zham 9

maqam 6, 9, 10, 17, 19, 24, 26, 27,

31, 42, 44, 45, 47, 59, 62,

67, 81, 86, 92, 159, 160, 172

maqam ridha 159

maqam tawakal 159

maqam wahdat 160

Maqāmat 19, 41

ma'rifah al-nafs 178

Mawas Diri xi

māhiyah 169, 183

Mirza Jawad Maliki Tabrizi xi,

xii, xv, xvi, 39, 184

Mirza Jawad Tabrizi xii, xiii, xv

mishdäg 168

Mu'ad 51, 52, 55

Mu'ad bin Jabal 51

muktabar 6, 9, 10, 24, 30, 33,

178

Mulla Husain Qali Hamidani 79

Mulla Husein Qali Hamadani

xii, 96

mumkin al-wujud 171, 182

Munajat Sya'baniyah 4, 24

Musa 22, 23, 24, 34, 66, 97, 111,

113, 114, 115, 116

Jahannam 52, 72, 74, 75, 76

jalāliyyah 2

jamaliyyah 2

Jawad bin Syafi' 74

K

N

katsrah 156

keagungan 2, 5, 6, 25, 27, 30,

31, 34, 54, 59, 85, 90, 108,

109, 114, 124, 134, 138, 139,

142, 144, 145, 160

keindahan 2, 32, 36, 41, 48, 109,

144, 145, 157

Khajah Nashiruddin 21

Kursi 52, 56

Nabi Dawud 57, 58, 99, 111

Nabi Ibrahim al-Khalil 26

Nabi Musa Kalimullah 66

Nabi Yunus 77, 78

Najaf al-Asyraf 79

Neraka Hawiyah 160

P: 186

penyingkapan batin 44, 168, 172

pertemuan dengan Allah xiii, 2,

3, 33, 39

Pesuluk 60

substansi 156, 157, 164, 168, 169,

184

Syagatis 151

Syeikh al-Rais 19

Syeikh Saduq 162, 183

Syu'aib 23, 38

QS Al-Ankabūt 15

tajallī 14, 25

QS Al-An'ām 89

transendensi mutlak 1, 2, 10, 12,

QS Al-Baqarah 49, 81, 135, 160

13, 39

QS Al-Hajj 73

QS Al-Insān 42, 161

QS Al-Isrā' 106

QS Al-Mu'min 45, 71

'urafa 19, 111, 163, 167, 175

QS Al Mu'minin 75, 88, 183

W

QS Al-Sajdah 98, 111, 153

QS Al-Thariq 18

Wahdat 167

QS Al-Zukhruf 76, 183

wahdat al-wujūd 166, 167, 171

QS Al-Zumar 92, 179

Wājib al-Wujud 171

QS Maryam 160

wujud bayangan 172

wujud imaginal 172

wujud penghubung 170

wujud rasional 172

Salman al-Farisi al-Muhammadi wujud sederhana 168, 170

149

Sayyid Ahmad Qahri xiy

Sayyidina Ali bin Abi Thalib 18 Yahya 117

yang nyata 13, 14, 164, 169, 172

P: 187

P: 188

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109