سرشناسه:ملکی تبریزی، جواد آقا ، - 1343ق.
Maleki Tabrizi, , Jawad
عنوان قراردادی:رساله لقاء الله . اندونزیایی
عنوان و نام پدیدآور: Risalah Sayr Wa Suluk[Book] : Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi / Mirza Jawad Maleki Tabrizi ; penterjemah : Muhammad al-Caff.
مشخصات نشر: Qom : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa , 2014 = 1393.
مشخصات ظاهری: 215ص.
فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله ؛ پ1393/278/185 ، نمایندگی المصطفی در اندونزی ؛ 24.
شابک: 978-964-195-080-6
وضعیت فهرست نویسی:فیپا
یادداشت:اندونزیایی.
آوانویسی عنوان:رساله...
موضوع:عرفان
موضوع:الهیات
موضوع: رویت الهی
شناسه افزوده:الکاف، محمد، مترجم
شناسه افزوده:Alkaff, Muhammad
شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)
شناسه افزوده:Almustafa International UniversityAlmustafa International Translation and Publication center
رده بندی کنگره: BP284/5 /م7ر5049519 1393
رده بندی دیویی: 297/83
شماره کتابشناسی ملی:3649515
P:1
بسم الله الرحمن الرحیم
P: 2
Risalah Sayr Wa Suluk
Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi
Jawad Maleki Tabrizi
penerjemah:
Muhammad al-Caff
pusat penerbitan dan
penerjem ah an internasional al Musthafa
P: 3
Risalah Sayr Wa Suluk Tuntunan Menuju Perjumpaan Ilahi
penulis: Jawad Maleki Tabrizi
penerjemah: Muhammad al-Caff
cetakan: pertama, 1393 sh/2014
penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa
percetakan: Norenghestan
jumlah cetak: 300
ISBN: 978-964-195-080-6
رساله لقاء الله
ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله
تیراژ: 300
قیمت: 95000 ریال
مؤلف: جواد ملکی تبریزی
مترجم: محمد الکاف
چاپ اول: 1393 ش / 2014م
چاپخانه: نارنجستان
© Al-Mustafa International Publication and Translation Center
Stores:
ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9
OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,
Fax: +98 25-32133146
IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.
Tel: +98 21-66978920
OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.
Tel: +98 51-38543059
www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir
kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih
P: 4
rishalah
Sayr wa Suluk
P: 5
P: 6
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB DAN PERSIA • vii
PRAKATA . xi
KATA PENGANTAR . xviii
PENDAHULUAN 1
TEKAD DAN TAUBAT 47
KISAH TAUBAT PEMUDA PENCURI KAIN KAFAN 51
TAUBAT NABI DAWUD. 57
MENYIAPKAN SARANA MENUJU TAUBAT 59
TAUBATNYA PEMBUNUH TUJUH PULUH NABI - 62
RAHMAT LUAS TUHAN • 66
MENYIAPKAN AGENDA MURĀQABAH 70
RINTIHAN DAN JERITAN PENULIS 74
TAUBAT HAKIKI • 79
P: 7
TANDA TANGISAN HAKIKI 80
MUSYĀRATHAH, MURĀQABAH, MUHASABAH . 82
BIMBINGAN ALLAH DALAM TIDUR. 85
MENEMUKAN PENGETAHUAN-PENGETAHUAN PADA
ALAM MIMPI 86
MIMPI-MIMPI YANG MENGGEMBIRAKAN PENULIS . 87
ADAB MAKAN, MINUM, DAN TIDUR 95
PENGARUH POSITIF SALAT MALAM DAN BANGUN
MALAM 97
PECUTAN BAGI PESULUK • 132
INDEKS 185
P: 8
Buku berjudul [asli] Risālah Liqā'ullah atau Sayr wa Sulūk(1)
ini merupakan sebuah karya terbaik dan amat bernilai dari
seorang ulama besar-seorang guru ruhani dan irfan (gnosis),
Mirza Jawad Maliki Tabrizi. Beliau adalah seorang ‘arif agung
dan bijak serta salah seorang tokoh ternama dalam bidang irfan
teoritis (irfan nazhari) dan irfan praktis (irfan 'amalī) abad
ini. Ia memiliki peran cukup besar dalam menyosialisasikan
nilai-nilai akhlak dan irfan di lingkungan pengkaji ilmu dan
masyarakat secara luas. Tiga buah buku yang ditulisnya, yaitu
al-Murāqabāt (Mawas Diri), Asrār al-Shalah (Rahasia-Rahasia
Salat), dan Liqā'ullāh (Berjumpa Allah), menjadi langkah
penting dan sangat berguna bagi upayanya mendidik akhlak
masyarakat.
Khusus dalam buku ini, ia memaparkan tema-tema
penting dalam sayr wa sulūk (perjalanan ruhani) dengan
sangat sederhana, lugas, dan jelas, sehingga mudah dipahami
P: 9
bagi siapa pun. Oleh karena itu, tidak heran apabila buku ini
mendapat sambutan luar biasa dari kalangan masyarakat.
Mirza Jawad Maliki Tabrizi adalah salah satu dari murid
seorang arif ternama, Mulla Husein Qali Hamadani, dan
sekaligus merupakan guru Imam Khumaini.(1) Imam Khumaini
sendiri sangat menghormati dan memberikan kedudukan
khusus padanya. Sikap yang demikian tampak dalam setiap
tulisannya. Ia menyebut nama Mirza Jawad Maliki Tabrizi
dengan ungkapan penghormatan dan menganjurkan untuk
membaca buku-bukunya. Berikut di antara ungkapan
penghormatan beliau padanya, “Beliau termasuk ulama
kontemporer. Bacalah dan telaahlah buku-buku syaikh besar
dan arif billah, Haji Mirza Jawad Tabrizi! Mudah-mudahan
dengan membacanya, kamu terhindar dari penyimpangan dan
kesesatan!(2)
Berkenaan dengan buku ini, Imam Khumaini berkomentar,
"Jika seseorang ingin mendapatkan penjelasan lebih tentang
ini (pertemuan dengan Tuhan), hendaknya merujuk pada buku
Liqā'ullāh, karya seorang arif billah, Haji Mirza Jawad Tabrizi.
Dalam buku ini terkumpul banyak riwayat dan keterangan
tentang masalah ini."(3) Tidak ketinggalan, Allamah Sayyid
Muhammad Husein Teherani juga berkomentar tentang
buku ini. Dia menulis, “Buku ini benar-benar termasuk di
antara buku-buku yang sangat bernilai, yang disusun untuk
menjelaskan masalah sayr wa sulūk"(4) Dia juga menulis, “Buku
Liqā'ullah ini adalah api (penerang] khusus, kunci pembuka
pintu, dan jalan kesuksesan bagi para pesuluk."(5)
Allamah Hasan Zadeh Amuli berkata, “Saat aku mendengar
orang besar ini menulis sebuah buku tentang Ligāʻullah,
segera aku “ketuk semua pintu"-dengan keyakinan siapa
mencari maka ia akan dapat untuk mendapatkannya lalu
P: 10
mempelajarinya dengan seluruh jiwa dan hatiku dan merasakan
kelezatan darinya sejauh kemampuanku."(1)
Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi berkata, “Buku Liqā'ullāh
ini, meski bentuknya kecil, tetapi sangat besar maknanya,
karena memuat banyak tema penting seputar jalan menuju
pertemuan dengan Allah. Dalam pandangan orang-orang
khusus dari kalangan mukhlisin (orang-orang yang ikhlas),
[buku] ini adalah jiwa bagi orang-orang saleh dan sebersit
cahaya Tuhan yang tampak di kening mereka."(2)
Ayatullah Fahri, dalam mengomentari buku ini,
mengatakan, “Buku ini bukan kumpulan kutipan dari pelbagai
keterangan, mengingat penulisnya adalah seorang pesuluk
dan ahli batin. Di samping itu, dia juga seorang fakih yang
memiliki kedudukan tinggi, bersih dari sifat-sifat tercela,
dan berkomitmen kepada jalan Ahlulbait yang lurus. Buku ini
dibutuhkan oleh para pemula dalam sayr suluk mereka, sehingga
bagi mereka buku ini ternilai cukup dan tak membutuhkan
pembimbing selainnya untuk waktu yang lama. Buku ini, alih-
alih dalam menjelaskan masalah-masalah agama yang sangat
pelik, yang dalam sejumlah besar tulisan orang-orang ‘sok alim'
tak berakhir pada kesimpulan yang benar dan jelas, kecuali
kebingungan, bahkan kesesatan dan penyimpangan, justru
bagaikan pelita dan cahaya yang memancar dari Allah pada
para pesuluk yang memiliki keyakinan yang kuat."(3)
Pada suatu kesempatan, Allamah Thabathaba'i memberikan
komentar tentang buku Mirza Jawad Tabrizi yang berjudul
al-Murāqabāt. Menurutnya, “Buku ini bagaikan lautan yang
penuh dengan mutiara dan barang-barang berharga lainnya
yang tak akan tertampung oleh sebuah wadah yang lebih kecil
darinya. Penulisnya, tak diragukan lagi, merupakan figur agung
dan menempati derajat tinggi, yang nilainya tak dapat diukur
P: 11
dengan alat ukur apa pun. Dalam buku ini terkandung banyak
pelajaran yang baik dengan pandangan yang mendalam dan
dijaga oleh orang-orang yang ber-wilayah kepada Allah.”(1)
Lantaran biografi, keutamaan, dan kemuliaan penulis telah
dijelaskan secara panjang lebar dalam buku berjudul Thabīb-e
Delha, kami tak akan mengulanginya di sini. Akan tetapi, yang
akan kami sampaikan adalah tentang alasan atas kajian dan
penerjemahan buku Risälah 'Liqa'uLllāh' ini.
Allamah Teherani, dalam penjelasannya tentang risalah ini
dan penelitian ulang terhadap karya ini, mengatakan:
Risalah ini untuk pertama kalinya dicetak oleh Haji
Mirza Khalil Kamrehi, yang hasilnya banyak dibumbui
penjelasan tambahan dan perubahan (tahrīf). Adapun
naskah ini adalah karya yang sudah dicetak ulang setelah
sebagian penjelasan tambahan tersebut dibuang dan
sebagian lainnya dipertahankan. Sayyid Ahmad Qahri
menerbitkannya dengan menambahkan sebuah makalah
karya Imam Khumaini yang berada di bawah tanggung
jawab Manshurat Nihzhat Zanane Musalman (Penerbit
Kebangkitan Wanita Muslim). Adapun keterangan semua
tahrīf tersebut di luar tanggung jawab cetakan ini. Pada
tahun 1405 HQ, penerbit Hijrah mencetaknya, meskipun
dengan hasil yang belum benar-benar terbebas dari tahrif
tersebut. Hal ini disebabkan oleh masuknya naskah-
naskah cetakan terdahulu pada cetakan ini. Saya berharap,
Allah membantu saya dan orang lain yang berusaha
mencetak naskah asli buku ini tanpa ada penambahan dan
pengurangan di dalamnya. Allah Maha Penolong. (2)
Komentar Allamah Teherani di atas mendorong kami
untuk melakukan penelitian atas naskah asli buku ini. Setelah
P: 12
melakukan upaya yang panjang, akhirnya penelitian kami
berbuah dengan mendapatkan naskah asli kitab ini di salah satu
bagian pada sejumlah naskah tulisan tangan di perpustakaan
Ayatullah Mar'asyi Najafi. Kami pun segera membuatkan
kopiannya. Hak cetak naskah ini ada di tangan Ayatullah
Sayyid Husein Fathimi Qummi, yang merupakan salah seorang
murid terkenal dari Mirza Jawad Tabrizi. Kewenangannya ini
ditunjukan dengan mencatumkan nama Fathimi pada bagian
pertama naskah ini.
Seorang dokter bernama Abdul Hamid Maliki, yang tak lain
adalah saudara kandung dari penulis sendiri, pada tahun 1337
HQ atau enam tahun sebelum penulis wafat, menyusun naskah
ini hingga menjadi sebuah buku dan memperlihatkannya
kepada penulis untuk dikoreksi. Ia sendiri kemudian
memberikan catatan kaki padanya. Selain melakukan penelitian
dan koreksi atas naskah yang berasal dari terbitannya ini,
upaya yang sama pun dilakukannya atas naskah serupa yang
diterbitkan oleh penerbit-penerbit lain, seperti penerbitan
Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi, Mushtafavi, Hijrat, dan
Ayatullah Fahri, Bersama itu, ia merasa perlu menerjemahkan
teks-teks berbahasa Arab yang memenuhi setengah dari risalah
ini dan hadis-hadis yang dikutip padanya, kemudian saya
letakan dalam kurung. Demikian pula, apabila sejumlah kata
dan pernyataan dirasa perlu untuk ditambahkan padanya, saya
letakkan di dalam kurung. Ayat-ayat suci Al-Quran dan hadis-
hadis yang dibawakan, diberikan keterangan cara membacanya
dan catatan sumbernya. Catatan kaki yang diberikan penulis
dan sebelumnya pernah dimuat pada naskah hasil koreksi
ditandai dengan kalimat, “Minhu 'ufiya 'anhu". Pada bagian
akhir catatan kaki, saya cantumkan nama almarhum Mirza
Jawad Maliki Tabrizi, ditambah pencantuman penjelasan-
P: 13
penjelasan dari sejumlah urafa dan filsuf, khususnya Allamah
Sayyid Muhammad Husein Teherani.
Sebuah risalah karya seorang arif besar dari Kota Tabriz ini
diharapkan mampu memberikan dorongan dan semangat bagi
orang-orang yang membutuhkan perjumpaan dengan kekasih
sejati dalam menapaki jalan menuju perjumpaan dengan-Nya.
Lebih dari itu, usaha yang tak seberapa ini diharapkan diterima
di sisi-Nya kelak dan memberikan kebahagiaan kepada ruh
penulisnya. Amin.
Hauzah Ilmiah Qum, 1380
Shadiq Hasan Zadeh
Catatan:
1 Penamaan buku ini dengan Liqā'uLlah berasal dari Ayatullah Mirza Khalil
Kamrahi, salah seorang muridnya yang menonjol, karena penulis sendiri
tidak pernah memberikan nama pada buku ini. Menurut sebagian sumber dan
keterangan, buku ini populer dengan nama Sayr wa Sulūk.
2 Silahkan lihat: Thabib-e Delha [(Penyembuh Hati); buku yang memaparkan
keterangan tentang Mirza Jawad Maliki Tabrizi.
Sirru al-Shalah, hlm. 68, cetakan pertama.
4 Cehel Hadits (40 Hadis, karya Imam Khumaini) hlm. 453, hadis ke-28.
5 Tawhid Ilmi wa 'Ainī, him. 329.
6 Allah Syenāsi, 40/2.
7 Thabīb-e Delha, hlm. 175.
8 Thabīb-e Delha, hlm. 128.
9 Thabīb-e Delha, hlm. 123.
10 Thabib-e Delha, hlm. 154 dan 157.
11 Allah Syenāsi, 90/2.
P: 14
Jalan Menuju Perjumpaan
Prof. Dr. Abdul Hadi W. M.
Jalan keruhanian atau spiritualitas Islam diberi banyak nama.
Sarjana-sarjana orientalis di Barat memberi nama, antara lain,
sebagai mistisisme Islam (Islamic mysticism). Hal tersebut di-
gunakan untuk memudahkan mereka melakukan perbandin-
gan dengan bentuk-bentuk spiritualitas yang mereka kenal,
yang pada umumnya dianggap sebagai ragam dari mistisisme
yang mereka kenal. Orang-orang Islam sendiri di berbagai
negeri dan sepanjang sejarah, juga menyebutnya dengan
berbagai perkataan. Ada yang menyebutnya sebagai ilmu su-
luk, irfan, ilmu makrifat, ilmu tariqat, tasawuf, dan lain se-
bagainya. Meskipun nama yang diberikan padanya beraneka
ragam, begitu pula aliran pemikiran, metode keruhanian, dan
P: 15
amalannya berbeda-beda, tetapi tujuan dari apa yang dise-
but ilmu suluk, irfan, dan tasawuf itu tidak banyak berbeda.
Tujuan itu adalah penyaksian akan Wajah-Nya. Seorang salik
(penempuh jalan keruhanian) tidak dapat dikatakan mencapai
puncak kearifan atau makrifat apabila belum melakukan per-
jumpaan dengan-Nya (liqā' Allāh).
Inilah tema pokok yang senantiasa dibahas dan di-
uraikan para ahli makrifat atau irfan sepanjang masa di neg-
eri yang berbeda-beda, termasuk Jawad Maliki Tabrizi yang
judul asli bukunya adalah Risalah Liqā'ullāh. Kendati demiki-
an, para ahli irfan atau makrifat memiliki cara berbeda dalam
menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqāmāt) yang
harus ditempuh seorang salik dalam perjalanan menjumpai
Yang Satu, begitu pula keadaan-keadaan ruhani (ahwāl) yang
menyertainya pada saat tahapan-tahapan itu dicapai. Con-
toh menarik dalam sejarah kepustakaan ilmu suluk ialah pe-
maparan Fariduddin Attar, seorang penyair sufi Persia abad
ke-12 M, dalam alegori mistiknya, Manthiq al-Thayr (Musy-
awarah Burung). Sekadar perbandingan bagi pembaca buku
Jawad Maliki Tabrizi, Risalah Sayr wa Suluk; Tuntunan Menu-
ju Perjumpaan Ilahi, di sini dapat dituturkan kembali pe-
maparan 'Attar.
Manthiq al-Thayr menceritakan penerbangan bu-
rung-burung mencari raja-diraja mereka, Simurgh, yang
berada di puncak Gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat
mereka berada. Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung
kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi
yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sementara
burung-burung melambangkan jiwa atau ruh manusia yang
gelisah karena kerinduannya kepada Hakikat Ketuhanan.
Simurgh sendiri merupakan lambang diri hakiki mereka dan
sekaligus lambang hakikat ketuhanan. Perjalanan itu melalui
P: 16
tujuh lembah atau wadi yang melambangkan tahapan-taha-
pan keruhanian (maqāmāt) yang dicapai seorang salik dalam
menuntut ilmu suluk, dan keadaan-keadaan jiwa (ahwāl) yang
menyertai pencapaian itu. Pada akhir cerita, 'Attar men-
yatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung (si-
murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah
hakikat diri mereka sendiri.
Tujuh lembah itu ialah: pertama, Lembah Talab atau
Pencarian. Di lembah ini banyak kesukaran, rintangan, dan
godaan dijumpai oleh seorang salik. Untuk mengatasinya,
seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan
harus mengubah diri sepenuhnya dengan membalikkan nilai-
nilai yang dipegangnya selama ini, Kecintaan pada dunia harus
dilepaskan, baru kemudian ia dapat terselamatkan dari bahaya
kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan ca-
haya kudus Keagungan Ilahi. Di lembah pencarian, seseorang
harus memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan,
orang dapat bersabar. Kata 'Attar, “Bersabarlah dan berusa-
halah terus dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (hi-
dayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahi-
riah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!"
Kedua, Lembah Cinta (isyq). "Attar melambangkan
cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran se-
bagai asap yang mengaburkannya. Namun, cinta sejati dapat
menyingkirkan asap. Di sini ‘Attar mengartikan cinta seba-
gai penglihatan batin yang terang sehingga tembus pandang,
artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal, kemudian
menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang
yang cinta bukan memandang segala sesuatu dengan mata
pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang
telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan ben-
da-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Di jalan
P: 17
Cinta banyak sekali godaan dijumpai. Hanya petunjuk Tuhan
yang dapat menyelamatkan seseorang yang berada dalam ba-
haya, dan petunjuk itu datang sesuai dengan ikhtiar dan doa
yang dipanjatnya sendiri di masa lalu dan doa yang dipanjat-
kan orang-orang terdekat.
Ketiga, Lembah Kearifan atau Makrifat. Kearifan ber-
beda dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersi-
fat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi kare-
na isinya ialah tentang Yang Abadi. Kearifan merupakan laba
yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan
batin terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakikat tung-
gal segala sesuatu, Kearifan menyebabkan seseorang selalu
terjaga kesadarannya akan Yang Satu, dan waspada terhadap
kelemahan, kekurangan, dan keabaian dirinya karena godaan
dan tipu muslihat "yang banyak”.
Keempat, Lembah Kebebasan atau Kepuasan (is-
tighnā"). Di lembah ini tidak ada lagi nafsu memenuhi jiwa ses-
eorang atau keinginan mencari sesuatu yang mudah didapat
dengan ikhtiar biasa. Karena pandangan telah tercerahkan
oleh kehadiran Yang Abadi, di lembah keempat ini seseorang
mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki
dan utama, mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau
yang semata-mata menyangkut kepentingan diri sendiri.
Seseorang mesti memperbanyak kerja keruhanian, misalnya
dengan ibadah, berderma, memperbanyak amal saleh, mem-
bangun pesantren, menyebarkan kegiatan keagamaan, dan
sebagainya.
Kelima, Lembah Tauhid. Di lembah ini semuanya pecah
berkeping-keping, kemudian menyatu kembali. Semua yang
tampak berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakikat
yang sama. Jadi, di lembah ini seseorang menyadari bahwa
hakikat wujud yang banyak itu sebenarnya satu, maksudnya
P: 18
manifestasi Cinta Yang Satu, yaitu rahman dan rahim-Nya.
Keenam, Lembah Hayrat atau Ketakjuban. Di sini kita
menjadi mangsa ketakjuban yang menyilaukan mata sehing-
ga seolah-olah kita tenggelam dalam kebingungan dan timbul
rasa duka yang tak terkira.
Ketujuh, Lembah Faqir dan Fana Faqir artinya tidak
memiliki apa-apa lagi, semuanya sudah terampas dari dirin-
ya, kecuali Cintanya kepada Yang Satu. Keadaan ini disusul
dengan baqa, yaitu pengalaman hidup kekal dalam Tuhan.
Ini disebabkan oleh salik telah sampai ke gerbang perjump-
aan dengan Ilahi (liqā' Allāh). Apabila seseorang telah men-
capai tahapan ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki,
dirinya yang universal, dan dengan demikian mengenal sung-
guh-sungguh asal keruhaniannya. Hadis yang mengatakan,
"Siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya" dapat di-
jelaskan melalui uraian di atas. Di sini, seseorang mengenal
bahwa dirinya benar-benar makhluk ruhani, bukan sekedar
makhluk jasmani dan nafsani.
Mengenai pengetahuan tentang diri itu, Imam
al-Ghazali mengatakan dalam kitabnya, Kimiya-i Sa'adah
(Kimia Kebahagiaan), "Pengetahuan tentang diri yang sebe-
narnya berada dalam pengetahuan tentang hal-hal berikut:
siapakah Anda, dari mana Anda datang? Ke mana Anda akan
pergi, dan apa tujuan Anda datang serta tinggal sejenak di
sini, dan di manakah letak kebahagiaan Anda? .... Suatu bagian
penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari ka-
jian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan
kepada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pen-
cipta. Manusia dengan tepat disebut 'ālam al-shaghir (jagad
cilik) dalam dirinya. Susunan kerangka jasadnya mesti dipe-
lajari, tidak hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dok-
ter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai peng-
P: 19
etahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana kajian
yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa pada
sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan kepada kita
lebih banyak tentang kejeniusan pengarangnya .... Namun,
di atas segalanya, pengetahuan tentang jiwa dan keruhanian
manusia lebih penting, sebab pengetahuan semacam itulah
yang dapat membawa kita sampai pada pengetahuan tentang
Tuhan."
Jawad Maliki Tabrizi, sebagai seorang ahli irfan teo-
retis dan praktis sekaligus, mula-mula menerangkan tentang
tafsir-tafsir yang diberikan terhadap perkataan liqā' Allah dan
menghubungkan makna dari perkataan tersebut dengan ka-
ta-kata lain dalam beberapa doa dan hadis yang diriwayatkan
para perawi. Misalnya kata wushūl/washil (sampai), ziarah,
menyaksikan wajah-Nya, tajalli penyaksian hati dan keteri-
katan ruhani. Dalam beberapa doa disebut berulang perkata-
an, "Wa la tahrimnī al-nazhara ilā wajhika (Janganlah Engkau
melarangku melihat wajah-Mu!)." Dalam konteks pembahasan
yang sama, sufi Nusantara terkemuka, Hamzah Fansuri, men-
gaitkan makna perkataan liqā' Allah dengan al-Qur'an 2: 115,
'Aynamā tuwallū fa-tsamma wajhu'llāhi." (Ke mana pun kau
memandang, akan tampak wajah Allah).
Keyakinan para ahli irfan atau makrifat, bahwa per-
jumpaan dengan-Nya mungkin dalam arti penyaksian secara
kalbiah didasarkan pada al-Qur'an 57:4, "Wa huwa ma'a-kum
ayna-mā kuntum (Dan Dia menyertaimu di mana pun kau be-
rada)." Seperti dikatakan Hamzah Fansuri dalam syairnya,
Jika terdengar olehmu firman
Pada Taurat, Injil, Zabur dan Furqan
Wa huwa ma'a-kum pada ayat Qur'an
Bil kulliy shay'in muhit ma nanya iyan
P: 20
Syariat Muhammad ambilkan suluh
Ilmu haqiqat yogya kau pertubuh
Nafsumu itu yogya kau bunuh
Makanya dapat sekalian luruh
Menurut Jawad Maliki Tabrizi, yang dibahas dalam
ilmu suluk atau irfan adalah tema-tema yang tinggi, bukan
tema berkenaan masalah keseharian. Tema-tema itu terma-
suk dalam berbagai perkara berkenaan dengan rahasia ketu-
hanan dan merupakan bagian dari pokok-pokok utama ajaran
Islam. Ajaran ini dikemukakan untuk meningkatkan ketakwaan
dan penyucian diri, sedangkan ketakwaan dan penyucian diri
adalah jalan mencapai makrifat dan perjumpaan dengan-Nya.
Dengan itu, nafsu hewani dipupus, dan potensi keruhanian
serta iman manusia ditingkatkan.
Kini, buku yang mungkin Anda tunggu itu telah ter-
hidang di hadapan Anda melalui terjemahannya yang bagus.
Hidangan ruhani itu telah diturunkan dari langit pengetahuan
seorang arif dari Tabriz dan tersedia di atas meja di hadapan
Anda yang sudah tidak sabar untuk menyantapnya. Semoga
Anda memperoleh tuntunan untuk melakukan perjumpaan ti-
dak hanya dalam wacana dan kata-kata.
P: 21
P: 22
Bismillah al-Rahmān al-Rahim
Segala puji bagi Allah dan salawat atas Rasulullah dan keluarganya
Kata liqā'ullah (berjumpa Allah, dan penjelasan tentang diri-
Nya disebut lebih dari 20 tempat dalam al-Qur'an. Penjelasan
tersebut juga disebut dalam ucapan para Nabi a.s. dan para
imam. Dalam riwayat-riwayat tersebut, tidak sedikit yang
membicarakan tentang transendensi (tanzīh) Allah. Meskipun
demikian, di kalangan ulama terjadi perbedaan dalam masalah
ini, di mana yang terpenting dan terbesar dari semua yang ada
adalah dua pandangan berikut ini.
Pertama, pandangan “transendensi mutlak". Bahkan,
puncak makrifat-menurut mereka-tidak lain adalah
memahami masalah ini, di mana Allah harus disucikan
semurni-murninya atau ditransendensikan secara utuh (tanzih
muthlaq). Atas dasar ini, menurut pandangan ini, kandungan
sejumlah ayat suci dan riwayat yang menjelaskan makrifatullah
P: 1
(pengetahuan tentang Allah) dan liqā'ullāh (pertemuan dengan
Allah) mesti ditakwil. Misalnya dengan menakwil kata liqā'ullah
yang terdapat dalam ayat-ayat suci dan semua riwayat dengan
makna “kematian”, “menerima ganjaran", atau “tertimpa azab".
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa riwayat-
riwayat yang masuk dalam kelompok riwayat "transendensi
mutlak" dan kelompok riwayat "imanensi" (tasybīh), atau
riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang kemungkinan
makrifatullah, dapat diterima. Pertama, dengan memahami
riwayat tersebut sebagai kelompok riwayat yang menolak
makrifatullah secara indriawi dan [menolak] kemungkinan
dalam memahami Dzat Allah. Kedua, dengan memahami
riwayat tersebut sebagai kelompok riwayat yang menerima
kemungkinan mengenal Allah secara global, yakni melingkupi
sifat-sifat dan manifestasi-manifestasi-Nya berikut semua
tingkatannya, sejauh kemampuan makhluk-Nya.
Dengan kata lain, apabila tirai-tirai kegelapan dan tirai-
tirai cahaya tersingkap bagi seorang hamba, maka pada
saat itu ia telah meraih makrifat tentang dzat, nama-nama,
dan sifat-sifat Tuhan, di mana makrifat tersebut tentunya
bukanlah jenis makrifat sebelum penyingkapan. Pendeknya,
cahaya jamaliyyah (keindahan) dan jalaliyyah (keagungan)
Allah termanifestasikan di hati, akal, serta inti diri (sirr) para
wali terpilih-Nya dalam tingkatan tertentu, di mana mereka
memfanakan dirinya dan merasakan kekekalan (al-baqa).
Saat itu, ia menafikan keindahan dirinya, sementara akalnya
tenggelam dalam pengetahuan-Nya. Puncak keadaan tersebut
adalah di mana posisi akalnya diganti, lalu Tuhan sendiri yang
mengurus urusannya.
Setelah mencapai semua tingkatan penyingkapan,
manifestasi cahaya keindahan, fanā' dalam Allah, dan kekal
P: 2
bersama-Nya, ia masih memperoleh buah dari makrifat
tersebut, yaitu dia sampai pada hakikat makrifat dzat, dan pada
saat itu dia akan melihat kelemahan dirinya secara mukāsyafah
(penyingkapan). Tentu saja kelemahan semacam ini pun adalah
jenis makrifat, sementara kelemahan semua manusia adalah
kelemahan dari makrifat. Namun, yang satu di mana dan yang
lainnya di mana? Memang, benda mati memiliki kelemahan
dalam makrifat, begitu juga dengan manusia. Namun, tentu
saja terdapat tingkatan-tingkatan derajat; tingkatan derajat
Rasulullah Saw. dengan manusia yang lain, bahkan para ulama,
lebih tinggi dari kelemahan mereka dan benda mati.
Pendapat pertama cenderung didominasi oleh kelompok
teolog dari kalangan ulama besar. Mereka berargumen
menggunakan penjelasan lahiriah seputar sejumlah riwayat
dan takwil dari ayat-ayat suci, sebagian riwayat, dan doa-doa
yang menjelaskan masalah liqā'ullāh.(1) Saya yang hina ini akan
membawakan sebagian dari ayat-ayat suci dan riwayat yang
mengandung pengertian yang dimaksud berikut takwil dari
sejumlah ulama atasnya, agar yang benar dapat dibedakan dari
yang salah.
Berkaitan dengan ayat-ayat suci yang menerangkan
masalah ligāʻullāh (pertemuan dengan Allah), kelompok
pertama memahaminya dengan makna kematian dan
menerima ganjaran dari Allah. Akan tetapi, kelompok kedua,
di pihak lain, menolak pemahaman itu dengan mengatakan,
"Itu adalah bentuk pemahaman secara alegoris yang tidak
mungkin diterapkan di sini. Dan seandainya itu yang kita
terapkan, makna yang lebih dekat darinya ialah sebuah
tingkatan dari pertemuan, yang mana dari sudut pandang
syariat mungkin dicapai oleh makhluk-Nya, kendati menurut
pandangan umum ('uruf) bukan bentuk pertemuan yang
P: 3
hakiki'. Akan tetapi, lantaran suatu kata digunakan untuk
menunjukan makna aslinya, tentu saat kita mempersepsi kata
pertemuan' yang dipahami darinya, maka pertemuan fisik
adalah hakiki, pertemuan ruhani adalah hakiki, pertemuan
maknawi adalah hakiki, dan begitu juga dengan bentuk-bentuk
pertemuan lainnya sepanjang ruh maknanya masih terkandung
di dalamnya. Tentu saja, masing-masing dari bentuk-bentuk
pertemuan itu [mesti] sesuai dengan kelayakan kondisi yang
bertemu dan yang ditemui.
Kalau memang demikian, dapat dikatakan bahwa makna
hakiki dari kata pertemuan juga terkandung dalam pertemuan
makhluk dengan Tuhan Yang Mahaagung, dengan keadaan
yang sesuai dengan pertemuan keduanya. Ini adalah pengertian
dari beragam kata yang disebutkan dalam sejumlah doa dan
riwayat, seperti, sampai (wushūl), ziarah, menyaksikan wajah-
Nya, tajalli (manifestasi), penyaksian hati, dan keterikatan ruh;
sedangkan lawannya sering diartikan dengan perpisahan dan
keterhalangan.
Dalam sebuah tafsir atas riwayat Qad qāmat al-shalāh
(salat telah ditegakkan) yang dikutip dari Amirulmukminin,
Ali bin Abi Thalib, dijelaskan bahwa maksud riwayat tersebut
adalah saat ziarah telah dekat. Demikian juga dalam beberapa
doa, kalimat berikut ini disebutkan berulang-ulang, wa la
tahrimnī al-nazhara ila wajhika (Janganlah Engkau melarang
aku untuk melihat wajah-Mu!). Imam Ali juga pernah berkata,
"Wa lakin tarāhu al-qulību bi haqāi'qi al-īmān (Akan tetapi hati
menyaksikan-Nya dengan kebenaran-kebenaran iman)."
Dalam Munajat Sya'baniyah disebutkan, "Wa alhiqni binūri
"izzika al-abhaj fa-akūna laka 'ārifan (Dan masukkanlah aku
ke dalam cahaya kemuliaan-Mu yang Mahaagung, sehingga
aku menjadi orang yang mengenal-Mu!). Masih dalam doa
P: 4
yang sama, disebutkan, "Wa anir abshāra qulābinā bidhiyā'i
nazhariha ilayka hattā takhriqa abshār al-qulubi hujūban
nūri fa tashila ilā ma'dini al-azhamati wa tashīra arwāhunā
mu'allaqatan bi'izzi qudsika (Sinarilah penglihatan hati kami
dengan cahaya penyaksian kepada-Mu, sehingga penglihatan
hati ini dapat merobek tirai-tirai cahaya, lalu sampai pada
sumber keagungan. Dan, ruh kami dapat bergabung dengan
keagungan serta kesucian-Mu!)” Dalam doa Kumail disebutkan,
"Wa habnī shabartu 'ala 'azābika fakayfa ashbiru 'alā firāgika?
(Kalau aku dapat bersabar terhadap azab-Mu, lalu bagaimana
aku dapat bersabar terhadap perpisahan dengan-Mu?)"
Penolakan terhadap syubhat-syubhat eksternal yang
datang dengan mendasarkan [diri] pada pemahaman yang
bersih, dan setelah memerhatikan kalimat-kalimat tersebut
dengan saksama, menegaskan bahwa liqā'ullāh bukan
bermakna 'menerima ganjaran, masuk surga', 'makan buah-
buahan surga', atau 'melihat bidadari. Lalu, apa hubungan
makna-makna ini dengan kalimat-kalimat tersebut? Kalau
seseorang dapat memaknai kata liqā'ullah dengan makna-
makna yang jauh berbeda dengan makna aslinya, bagaimana
ia memaknai kata-kata lainnya? Misalnya, apa makna yang
diberikannya pada kata “penyaksian wajah-Nya”? Bagaimana
kami harus memaknai kalimat, “Masukkanlah aku ke dalam
cahaya kemuliaan-Mu Yang Mahaagung, agar aku menjadi
orang yang mengenal-Mu"? Dan apakah kalimat, "Sinarilah
penglihatan hati kami dengan cahaya penyaksian kepada-Mu"
dapat dimaknai dengan memakan buah-buahan surga?
Jika seseorang berpendapat bahwa makna sebenarnya
dari liqā'ullāh bukan semua itu, melainkan dengan makna
pertemuan dengan nabi-Nya atau para imam, berarti
berdasarkan pendapat ini, jika seseorang mewakili kita untuk
P: 5
menyampaikan sesuatu kepada wakil raja, secara alegoris
ia dapat mengatakan, "Saya telah berbicara dengan raja."
Sebagaimana dalam sejumlah riwayat kata "wajah Allah"
kadang-kadang dipahami dengan arti para wali dan nabi-nabi-
Nya; misalnya Rasulullah Saw. adalah wajah-Nya bagi para
imam, dan para imam sendiri adalah wajah-Nya bagi kita.
Kami akan menjawab pendapat tersebut seperti ini.
Pertama, kalau memang maksud "wajah Allah" adalah para
manusia suci, maka saat mereka atau Rasulullah Saw. berdoa
dengan kalimat doa yang menyebut kata "wajah Allah", makna
apa yang dipahami oleh mereka dari-Nya? Kemudian, misalnya
dalam riwayat tentang mi'raj Rasulullah Saw. disebutkan
kalimat berikut ini, "Beliau menyaksikan sebersit cahaya
keagungan yang melintas di hadapannya", harus dimaknai
apa kalimat tersebut? Dan masih banyak lagi kalimat yang
terkandung dalam doa-doa yang bernada serupa.
Adapun pendapat yang diajukan sebagai jawaban atas
pendapat ini dengan memaknai "wajah Allah" dengan maqam
Rasulullah Saw. dan para imam, setelah mereka berhasil
mencapai kedekatan dan fana pada Dzat Allah, sejatinya tak
lebih dari penerimaan terhadap perkara yang diperselisihkan,
bukan jawaban atasnya.
Uraian atas jawaban ringkas ini dapat disampaikan
demikian. Dalam sejumlah riwayat muktabar disebutkan kalimat
berikut, “Kami adalah asmā al-husnā". Maksud asmā al-husnā
di sini, jika bukan dalam bentuk makna, maka dalam bentuk
realitas objektif. Sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah
riwayat bahwa Allah memiliki dua macam asmā (nama-nama):
pertama, dalam bentuk makna; dan yang kedua, dalam bentuk
realitas objektif, di mana dengan semua asma'-Nya itu, Dia
mengatur semua alam dan memanifestasikan diri-Nya pada
P: 6
alam-alam ini. Bahkan, semua alam adalah manifestasi dari
asmā'-Nya. Pengertian ini dapat dipahami dari banyak kalimat
dalam doa-doa yang bersumber dari para imam, di antaranya
adalah sebagai berikut:
"Aku bersumpah dengan nama-Mu yang dengannya
Engkau ber-tajalli (memanifestasi] pada diri fulan bin fulan!"
"Aku bersumpah) demi nama-Mu yang dengannya Engkau
menciptakan langit dan bumi."
Dalam doa Kumail disebutkan, “Dengan nama-Mu yang
memenuhi pilar-pilar segala sesuatu.”
Dalam kitab Ushul al-Kafi dan Tawhid al-Shaduq,
diriwayatkan bahwa Imam Ja'far al-Sadiq berkata:
Sesungguhnya, Allah menciptakan sebuah nama dengan
huruf tapi tak bersuara, dengan kata tapi tak terucap,
dengan sosok tapi tak bertubuh, dengan penyerupaan
tapi tak bersifat, dan dengan warna tapi tak berwarna.
Nama-Nya ini tak berpenjuru, tak memiliki batasan,
tak terjangkau oleh indra orang yang mengkhayal,
dan tersembunyi tanpa ditutupi. Kemudian, Dia
menjadikannya kalimat yang sempurna, yang terbagi
menjadi empat bagian secara bersamaan; tanpa salah
satu darinya mendahului yang lain. Selanjutnya, darinya
Dia menampakkan tiga nama lain berdasarkan kebutuhan
makhluk padanya dan menyembunyikan satu darinya-
(karena itu) disebut dengan nama yang tersembunyi
dan tersimpan (al-ism al-maknūn al-makhzūn). Adapun
nama-nama yang tampak ini, nama yang tampak darinya,
ialah Allah Yang Mahatinggi (Allah Ta'ala). Kemudian,
Dia Yang Mahasuci menundukkan empat pilar untuk
masing-masing nama-nama itu. Jadi, keseluruhan pilar itu
P: 7
berjumlah dua belas pilar. Lalu, Dia menciptakan 30 nama
bagi setiap pilar (12 pilar tersebut), maka nama-nama itu
terus meningkat (hingga berjumlah 360 nama), yang mana
semuanya merupakan cabang dari tiga nama sebelumnya.
Nama-nama itu ialah al-Rahman (Maha Pengasih), al-
Rahim (Maha Penyayang), al-Malik (Maha Menguasai),
al-Quddūs (Mahasuci), al-Khalik (Maha Pencipta), al-Bāri'
(Maha Menjadikan), al-Mushawwir (Maha Pembentuk), al-
Hayy (Mahahidup), al-Qayyūm (Maha Berdiri Sendiri), Lā
Ta'khudzuhu Sinatun wa lā nawmun (Yang Tak Pernah
Mengantuk dan Tidur), al-Alīm (Maha Mengetahui), al-
Khabir (Maha Mengabarkan), al-Sami' (Maha Mendengar),
al-Bashir (Maha Melihat), al-Hakīm (Mahabijak), al-Azīz
(Mahaagung), al-Jabbār (Maha Berkuasa), al-Mutakabbir
(Mahaagung), al-'Aliy (Mahatinggi), al-Azhīm (Mahaagung),
al-Muqtadir (Maha Menentukan), al-Qadir (Mahamampu),
al-Salām (Maha Pemberi Keselamatan), al-Mu'min (Maha
Pemberi Keamanan), al-Muhaymin (Maha Melindungi), al-
Munsyi' (Maha Memulai), al-Badī' (Maha Memulai Sesuatu
yang Baru), al-Rafi' (Mahatinggi), al-Jalīl (Mahaagung),
al-Karīm (Maha Pemurah), al-Rāziq (Pemberi rezeki),
al-Muhyī (Maha Menghidupkan), al-Mumīt (Maha
Mematikan), al-Bā’its (Maha Membangkitkan), al-Warits
(Maha Mewariskan).
Jadi, nama-nama ini dan nama yang terbaik (asmā'ul husna)
lainnya yang mencapai 360 nama terhubung dengan tiga
nama sebelumnya. Tiga nama ini merupakan pilar-pilar
dan (sekaligus) tabir bagi satu nama yang tersebunyi dan
tersimpan pada tiga nama tersebut. Inilah maksud sebuah
ayat suci yang berbunyi, “Katakanlah, serulah (Dia dengan
P: 8
nama) Allah! Atau serulah (Dia dengan nama) al-Rahmān!
Yang mana pun kamu seru, adalah dari nama-nama-Nya
yang terbaik (asmā al-husnā)."(1)
Berdasarkan riwayat di atas, ditambah sejumlah riwayat
yang lain dan doa-doa mutawatir, diketahui bahwa nama-
nama itu masuk kategori makhluk dan bersifat objektif. Dalam
riwayat-riwayat muktabar pun terdapat ucapan para imam
sebagai berikut, "Kami adalah asmā' al-husnā, bahkan imam
adalah ism aʼzham (nama yang agung).”
Menurut akidah Ahlul Bait, Rasulullah Saw. adalah makhluk
paling mulia, ia pun adalah ism a'zham (nama yang agung).
Dalam doa-doa di bulan suci Ramadhan, disebutkan bahwa
Rasulullah Saw. adalah tabir terdekat, maksudnya, makhluk
yang terdekat dengan-Nya. Dalam sebuah riwayat lainnya
tentang Imam Ali, dikatakan bahwa beliau begitu dekat dengan
Allah,(2)
Penelaahan terhadap hadis-hadis ini menghasilkan:
pertama, hadis-hadis ini muktabar dari segi sanadnya dan
hal ini diakui oleh para ulama mazhab. Mereka menyebut
dan mencantumkan sanad kesahihan hadis-hadis tersebut
dalam kitab-kitab mereka yang dipandang sebagai rujukan.
Selanjutnya, dengan merenungi hadis-hadis ini, akan terkuak
bahwa maqam Rasulullah Saw. adalah maqam ism aʼzham dan
tabir terdekat, serta lebih tinggi dari 35 nama dari 300 nama.(3)
Bahkan, beliau Saw. meliputi semua nama yang ada. Sebab,
berdasarkan riwayat yang disebutkan sebelumnya, 300 nama
itu merupakan pilar-pilar dari tiga nama, dan ketiga nama ini
adalah pilar-pilar dan tabir bagi ism a'zham (nama teragung),
yang tersimpan dan tersembunyi, dan tak lain juga makhluk-
Nya.
P: 9
Setelah mendengar penjelasan tentang masalah tingkatan-
tingkatan magam dan sejenak memikirkannya, kita akan melihat
bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah maqam-magam
Rasulullah Saw. Dan, hal ini bisa diartikan bahwa kedekatan
beliau Saw. adalah kedekatan maknawi dan makrifatnya juga
merupakan makrifat hakiki. Meskipun penjelasan panjang lebar
tentang masalah ini telah disampaikan, tetapi tetap dibutuhkan
penegasan yang berasal dari Nabi Saw., ahlulbait, dan para
khalifah-Nya yang suci, yaitu pewaris ilmu Rasulullah Saw.
Maka, jelas bahwa pemahaman semacam ini tidak bertentangan
dengan klaim sejumlah ulama, yaitu bahwa makrifat kepada
Allah Yang Maha Penyayang, di mana secara spesifik hanya
dimiliki oleh wali-wali-Nya, adalah hal yang mungkin sekaligus
dicintai. Lebih dari itu, ini adalah masalah terpenting dalam
agama dan puncak tujuan penciptaan semua tingkatan langit
dan bumi, bahkan semua alam.
Seandainya dengan semua penjelasan ini masih ada
seseorang yang tetap bersikukuh dengan pendapatnya
tentang maqam "transendensi mutlak" Dzat Allah dengan
berkata, "Tidak ada jalan sama sekali untuk mengenal Allah;
baik secara detail maupun global, sampai pada hakikat-Nya
maupun sebatas 'wajah-Nya, pada saat itu, jika ia berpikir
dengan benar, ia akan memahami bahwa pendapatnya itu
meniscayakan penolakan terhadap kemampuan akal, penyia-
nyiaan potensi akal, dan [menerima] kemustahilannya, tanpa ia
sadari. Sementara para imam dalam sejumlah hadis muktabar
menyatakan penolakannya terhadap pendapat 'transendensi
mutlak?"
Dalam sebuah riwayat yang dikutip dari kitab al-Kafis,(1)
dikisahkan bahwa seorang zindik (orang yang memiliki akidah
menyimpang) bertanya kepada Imam Ja'far al-Sadiq, “Apakah
P: 10
bagi-Nya [memiliki] inniyah (indentitas wujud) dan mā'iyyah
(keapaan/esensi)?" Beliau menjawab, “Ya, sesuatu tak akan ada
melainkan dengan inniyah dan mā'iyyah!" Penanya itu kembali
melontarkan pertanyaan, "Apakah Dia juga memiliki kayfiyyah
(howness/kekualitasan)?” Beliau berkata, “Tidak. Karena
kayfiyyah adalah batasan bagi sifat sesuatu dan kekuasaannya!
Tetapi, kita tidak dibenarkan menerima pendapat ta'thil
(pandangan yang menolak kemampuan akal) dan tasybīh
(pandangan yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).
Sebab, siapa yang menolak-Nya, berarti ia mengingkari-Nya
dan membuang sifat rububiyah-Nya, dan menjadikan-Nya
sia-sia. Dan, siapa yang menyerupakan-Nya dengan selain-
Nya, ia telah melekatkan sifat makhluk yang tercipta, yang
tak berhak atas sifat rububiyah. Jadi, harus dibuktikan bahwa
Dia memiliki kayfiyyah yang tidak dimiliki oleh selain-Nya, Dia
tidak memiliki sekutu, Dia tidak diliputi oleh selain-Nya, dan
tidak pula diketahui oleh selain-Nya."
Pada bagian pertama hadis ini disebutkan bahwa orang
zindik itu bertanya, “Apa Dia?" Imam menjawab, “Dia adalah
Tuhan, Dia adalah yang disembah, dan Dia adalah Allah!"
Selanjutnya, Imam melanjutkan dengan berkata, “Apa yang aku
katakan bukan dimaksudkan pada huruf-huruf ini, melainkan
pada makna dan sesuatu yang menciptakan segala sesuatu.
Oleh sebab itu, maksudku adalah sifat dari huruf-huruf ini dan
makna yang dimaksud."
Dialog ini sampai pada keterangan perawi, Hisyam bin
Hakam, bahwa penanya berkata, "Sesungguhnya, tak ada
sesuatu yang terlintas dalam pikiran kita, kecuali ia adalah
makhluk." Imam menjawab, "Kalau begitu, tak ada tuntutan
Allah kepada kita untuk bertauhid karena tidak mungkin
kita diwajibkan untuk menerima sesuatu yang tak pernah
P: 11
terlintas dalam pikiran kita! Akan tetapi, maksud ucapan kami
ialah bahwa segala sesuatu yang terlintas dalam pikiran kita
melalui indra, maka indra tersebut akan membatasinya dan
menampilkannya (dalam pikiran dengan bentuk), dan ini adalah
makhluk. Oleh karena itu, penolakan atas-Nya sama dengan
membatilkan-Nya, ..."
Oleh sebab itu, seharusnya manusia tidak menafikan
setiap makna transendensi (tanzīh) Tuhan. Pasalnya, hal
semacam ini bukanlah hakikat dan justru kebatilan. Walaupun
sebenarnya hal tersebut hanya menunjukkan penolakan,
tetapi makna-makna yang tak pantas dan hanya menunjukkan
keterbatasan dan kekurangan pada diri Allah harus ditolak.
Misalnya, pengetahuan indriawi dengan semua cabangnya
[tentang Tuhan). Adapun pengetahuan mata hati dan akal, itu
bukan tentang dzat melainkan "wajah-Nya". Seandainya hal ini
ditolak, tentu tidak ada pengetahuan yang bisa dimiliki para
nabi, wali-wali, dan orang-orang arif, kecuali apa yang bisa
dimiliki oleh orang awam secara umum.
Sebenarnya, jika seseorang memiliki bashīrah (penglihatan
batin) sedikit saja, ia akan mendapati orang-orang yang
menolak pengetahuan tentang “wajah-Nya"—tanpa mereka
sadari dan kehendaki-memiliki pengetahuan tentang
keyakinan hati ('aqd qolbī i'tiqādī); sedangkan pengetahuan
partikular tentang keyakinan hati mereka ini bertentangan
dengan konsep "transendensi mutlak" yang mereka kemukakan
karena mereka mengucapkan makna-makna semacam ini,
misalnya dalam doa-doa mereka, “Engkau adalah Yang Maha
Pengasih dan Maha Pengampun, maka lakukanlah sesuatu
untukku sesuai kehendak-Mu!"
Tentu, yang mereka kehendaki bukan semata-mata huruf-
huruf yang tak pernah mereka pahami maknanya. Akan tetapi,
P: 12
yang mereka inginkan adalah dzat itu sendiri sebagai pemilik
sifat-sifat tersebut. Meskipun dalam persepsi mereka, di
satu sisi tidak sesuai dengan dzat-dzat mumkin. Dan mereka
berpikir bahwa sifat kasih sayang Tuhan ternafikan dari
makna sifat kasih sayang yang melazimkan saling interaksi
dan berpengaruh terhadap hati. Akan tetapi, saat itu secara
global mereka memahami makna tersebut, yang mana hal itu
mendorong mereka untuk berdoa dan menundukkan diri.
Keterangan ini dan pengetahuan partikular pada keyakinan
hati ini bertentangan dengan konsep "transendensi mutlak"
yang mereka klaim. Orang-orang yang mengkritik pengetahuan
dan juga mengkritik posibilitas pengetahuan mengatakan,
"Makna-makna universal dari nama-nama dan sifat-sifat
Tuhan yang kamu yakini sebagai bentuk-bentuk keyakinan hati
kepada-Nya, kami mendapatinya melalui penyaksian batin dan
kami mencapai hakikat-hakikat tersebut dalam batasan tanzih."
Segala sesuatu yang nyata, yang tersingkap bagi kami, sama
dengan apa yang diyakini oleh para teolog Syiah Imamiyah
sebagai sesuatu yang dipersepsi oleh alam pikiran dan sebuah
bentuk keyakinan hati. Akan tetapi, yang satu masuk dalam
kategori konsep, sedangkan yang lainnya masuk dalam kategori
kesadaran hati. Seperti perbedaan konsep manis yang ada
pada pikiran manusia dengan realitasnya yang masuk dalam
kategori kualitas rasa, yakni rasa pada sebagian benda yang
bersentuhan dengan permukaan lidah, yang ia sebut dengan
manis. Dua hal ini dilihat dari satu sisi adalah sama dan dilihat
dari sisi lain tak saling bertemu.
Para teolog muslim pun mengatakan bahwa cahaya agung
Allah Yang Mahatinggi bermakna zahir dan batin. Kendati
demikian, hakikatnya berbeda dengan cahaya-cahaya lainnya,
seperti cahaya matahari, bulan, dan lain-lain. Rasulullah Saw.
P: 13
menyaksikan makna dan hakikat apa yang ada di balik zahir
dan batin yang merupakan salah satu manifestasi dari sebuah
nama Ilahi dalam bentuk hakikat rahasia dan ruhnya. Namun,
hal ini tetap sesuai dengan tanzih, “Tak ada dari cahaya-cahaya
yang menyerupai-Nya, bahkan Dia lebih agung dari tanzih ini.”
Inilah yang kami sebut dengan makrifat.
Penjelasan-penjelasan di atas adalah sebuah pendekatan
dengan perumpamaan, serupa dari satu segi, tetapi berbeda
dari banyak segi. Jadi, para wali memperoleh makrifat ism
zhāhir (nama lahir) Allah dengan manifestasi (tajallī) ism
zhāhir tesebut pada diri mereka. Saat itu, mereka mengatakan,
"Apakah selain-Mu memiliki keberadaan yang tak dimiliki oleh-
Mu hingga ia menjadi muzhhir (pemberi keberadaan) bagi-
Mu?" Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Aku tidak pernah melihat
sesuatu, melainkan aku menyaksikan Allah sebelum, bersama,
dan sesudahnya."
Tidak dibenarkan seseorang mengingkari atau menakwil
hal ini, dengan dalih bahwa dirinya sedang mengalami apa
yang disebut dengan keyakinan hati, lalu ia menamai keadaan
ini. Mahasuci Allah dari kemampuan seseorang menyaksikan
hal-hal yang nyata dari nama-nama-Nya. Dan, sangat alami
manusia tidak menyukai apa yang tidak diketahuinya.
Bagaimanapun, jika seorang mukmin memegang prinsip
bahwa setiap persoalan yang tidak dapat dipahaminya
maka harus ia tolak, niscaya ia akan juga menolak apa-apa
yang diimaninya. Bahkan, menurut Imam Ja'far al-Sadiq,
jika seseorang setelah berusaha menelaah dan memikirkan
sebuah persoalan tetapi tak dapat memahaminya, lalu
karenanya ia menolak dan mengingkari persoalan tersebut
serta menjadikan sikap semacam ini sebagai prinsip hidup dan
pola beragamanya, sejatinya ia akan keluar dari keimanannya.
P: 14
Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat memahami ucapan para
nabi, wali, dan ulama yang benar terkait dengan masalah ini,
menunjukan kepasrahan kepada sang pemberi ilmu, Allah, dan
meluruskan niatnya seraya terus menelaah dan merenungi
ucapan-ucapan orang-orang mulia itu atau bertanya kepada
ulama yang terjangkau olehnya, pasti Allah mengajarkan dan
menjelaskan masalah ini kepadanya atau menunjuki jalan
bagaimana memahaminya.
Jelas bahwa tema-tema yang sangat tinggi dan termasuk
rahasia-rahasia rabbaniyah ini adalah bagian dari ajaran
Islam. Bahkan secara global, orang-orang yang tenggelam
dengan kejumudan membenarkannya dan memahami bahwa
peningkatan ketakwaan dan menyucikan diri adalah jalan
untuk mencapai makrifat pada-Nya. Menurut mereka, dari
sana potensi kehewanan manusia akan melemah digantikan
dengan menguatnya potensi ruhani dan keimanannya, saat
itulah mata batinnya akan terbuka menyaksikan hakikat objek
tema ini dengan penyaksian batin. Hal ini juga diisyaratkan
oleh sebuah ayat suci:
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh dijalan Kami,
maka Kami akan menunjukan jalan-jalan Kami kepada
mereka.” (QS Al-'Ankabūt [29]: 69].
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw. bahwa orang yang
memiliki dua mata batin yang dengannya ia dapat menyaksikan
alam gaib, jika Allah menghendaki kebaikan baginya, Dia akan
membuka kedua batinnya itu.
Wahai saudara-saudaraku, jika sekarang ini Anda
bertekad menjadi ahli makrifat, manusia sempurna, pribadi
spiritual, sekutu para malaikat, dan sahabat para nabi dan
para wali, mulailah dengan mengikat tekadmu itu dengan
P: 15
ajaran agama, buanglah sebagian dari sifat kehewananmu,
berakhlaklah dengan akhlak ruhani, dan jangan memelihara
derajat kehewanan serta puas dengan nilai benda-benda
mati. Ini adalah perjalanan dari air dan tanah menuju tempat
asal diri kita, yaitu alam yang tinggi (illiyyīn) dan tempat
orang-orang yang dekat dengan Allah (muqarrabīn). Teruslah
berusaha melalui penyaksian batin Anda agar sampai pada
makrifat perkara besar ini dan makrifat diri (nafs) yang agung.
Seriusilah upaya ini, terutama dalam mengenal diri sendiri,
karena mengenal diri sendiri sama dengan mengenal Allah,
sebagaimana disebutkan dalam riwayat, “Siapa mengenal
dirinya, sejatinya ia telah mengenal Tuhannya." (1)
Sebagian ulama menafsirkan riwayat di atas dengan
menyatakan bahwa mengenal hakikat diri sendiri adalah hal
yang tak mungkin tercapai. Pernyataan mereka ini seakan
melupakan sebagian riwayat lain yang secara jelas mendukung
makna pertama. Seperti kadungan sebuah riwayat yang
tercantum dalam kitab Mishbah al-Syarī'ah, yang menyebutkan
bahwa sejumlah orang bertanya, "Ilmu apa yang dimaksud
dalam sebuah riwayat yang berbunyi, “Tuntutlah ilmu meskipun
hingga ke negeri Cina!?" Imam menjawab, “Maksudnya adalah
mengenal diri dan di dalamnya terkandung pengenalan kepada
Allah." (2)
Demikian pula dijelaskan dalam sebuah riwayat bahwa
sejumlah orang bertanya kepada Rasulullah Saw., “Bagaimana
cara mencapai makrifatullah?” Beliau Saw. menjawab, “Dengan
mengenal diri."
Alhasil, ketahuilah bahwa ukuran kemanusiaan bukan pada
bentuknya karena bentuknya dapat ditempelkan di pintu kamar
mandi. Bukan pada fisiknya, karena binatang yang kotor pun
berfisik. Bukan karena ia makan dan melakukan hubungan
P: 16
seks, karena beruang dan babi jauh lebih kuat dalam hal ini.
Bukan dengan kemarahan dan kemampuan untuk membalas,
karena anjing dan serigala memiliki kekuatan amarah melebihi
manusia. Namun sebenarnya, ukuran kemanusiaan yang
membuat Anda disebut manusia dan yang membedakan Anda
dari yang lain adalah ilmu, makrifat, dan akhlak yang baik.
Ilmu dan makrifat tak dapat diraih, kecuali dengan
memperbaiki akhlak. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah
riwayat dari Amirulmukminin, "Ilmu tidak berada di langit
hingga harus turun untukmu, tidak pula berada di perut bumi
hingga harus naik untukmu. Akan tetapi, ilmu berada di hatimu.
Oleh sebab itu, berakhlaklah dengan akhlak orang-orang suci
hingga tampak bagimu (ilmu dan makrifat]."(1)
Keterangan ringkas di atas dapat diperluas demikian,
segala sesuatu yang ada pada realitas eksternal, permisalannya
ada pada diri manusia, bahkan seluruh sifat dan nama Ilahi
memberikan efek padanya. Manusia adalah sebuah buku
yang ditulis oleh tangan Sang Sebaik-baik Pencipta. Ia adalah
permisalan dari lawh al-mahfūzh. Ia adalah hujjah Allah
terbesar. Ia adalah pengemban amanah yang bumi dan langit
tak sanggup memikulnya. Dengan kata lain, dirinya meliputi
perwujudan tiga alam, yaitu alam indra, alam imajinal (mitsāl),
dan alam akal
Jika seseorang berhasil menundukkan alam indra dan
alam imajinal di bawah pengaruh akalnya, yakni ia curahkan
perhatian dan tekadnya kepada akalnya, niscaya potensi akal
yang dimilikinya menjadi sempurna dan kekuasaan alam
syahadah (indriawi) dan mitsāl (alam imajinal) akan diserahkan
kepadanya. Pendeknya, ia akan mencapai suatu maqam yang
tak pernah terpikir oleh siapa pun.
P: 17
Apabila akalnya mengikuti alam indra yang merupakan
alam natural dan alam inferior (alam al-sijjin), dan ia
tenggelam di dalamnya yang menurut ungkapan al-Qur'an,
"Dia cenderung kepada dunia,(1) maka Allah lebih tahu—setelah
ruhnya terpisah dengan badan ini-bencana seperti apa,
kesengsaraan seperti apa, kezaliman dan kesulitan seperti
apa yang akan dihadapinya, khususnya pada kiamat kubrā
(besar) yang merupakan “hari diungkapkannya berbagai macam
rahasia" (QS Al-Thāriq: 9).
Jadi, hendaknya manusia memperbaiki akhlak dan amal
mereka, serta gerakan dan diamnya disesuaikan dengan
timbangan syariat dan akal karena syariat dan akal selalu
harmonis dan keduanya memerintahkan supaya manusia
menyandang sifat-sifat, karakter-karakter dan akhlak-
akhlak ahli-ahli spiritual, agar pelbagai gerakan dan diamnya
menyebabkan peningkatan ke alam yang lebih tinggi dan
derajat mulia para ahli spiritual. Dengan kata lain, mencapai
makrifat (pengetahuan) tentang “Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya dan Hari Akhir."(2)
Pada konteks ini, ia mencapai makrifat intuitif (al-ma'rifah al-
wijdaniyyah), ia merepresentasikan insan spiritual, bukan insan
material atau jasmani.
Artinya, ia menjadi wujud yang benar-benar manusia,
bukan wujud yang berupa hewan. Berkaitan dengan ini,
Alamul Hudali (3)dalam kitab Ghurar wa Dhurar, menukil
riwayat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib saat beliau ditanya
tentang alam 'ilwiy (alam yang tinggi), beliau menjawab, “Allah
menciptakan manusia dengan jiwa yang berpikir. Apabila
manusia menyucikan jiwanya dengan dua sayap, yaitu ilmu dan
amal, jiwa yang berpikir tersebut akan menyerupai permata.
Dan apabila tabiatnya seimbang dan ia menjauhi sifat-sifat
P: 18
yang tercela, niscaya ia berada pada jalan keseimbangan dan
keadilan. Sehingga, dia akan berpartisipasi dengan 'tujuh langit
yang kokoh."*(1)
Dalam riwayat lain yang sejenis, Ali bin Abi Thalib-ketika
menguraikan tentang khalifah-setelah menjelaskan beberapa
poin, menyatakan, “Siapa yang berakhlak dengan akhlak Ilahi,
ia akan menjadi wujud yang benar-benar insani dan tidak
menjadi wujud hewani. Orang seperti ini akan masuk dalam
kelompok malaikat yang memiliki bentuk (shūrah), di mana
setelah maqam ini, tidak ada maqam yang lebih tinggi."
Apabila kekuasaan dan wilayah ini dicapai oleh seseorang,
setelah melalui alam-alam air dan tanah yang merupakan
alam kegelapan, selanjutnya ia akan mencapai maqam ma'rifah
al-nafs (pengenalan diri); maqam hakikat jiwa dan ruh yang
merupakan alam cahaya dan kunci ma'rifatullah (mengenal Allah
Yang Maha Mengatur). Ia melihat-Nya dengan penyingkapan
(al-kasyf) dan dengan penyaksian secara langsung. Lantaran hal
ini, ia akan sadar bahwa jiwanya berasal dari alam nonmateri.
Pada saat itu, ia dapat melewati tabir-tabir kegelapan
dan selamat darinya. Dia tidak akan tinggal diam, bahkan
melaju terus menuju maqam yang mungkin dicapainya dari
pengenalan Allah, kecuali hijab-hijab cahaya. Saat melalui
hijab-hijab dan berusaha untuk mencapai maqam yang tinggi
ini, ia akan merasakan kelezatan-kelezatan, pesona-pesona,
dan layanan-layanan serta pelbagai macam alam yang ada, di
mana tidak akan bisa merasakan dan memahami hal ini selain
ahlinya.
Apabila seseorang meyakini alam tersebut melalui jalan
ilmu atau jalan argumentasi, sebagaimana yang ditulis oleh
Syeikh al-Rais (Ibn Sina) dalam Maqāmat (jenjang-jenjang
spiritual) dan 'urafa-'urafa yang lain; atau mengikuti dan
P: 19
belajar dari ahlinya, maka tentu masih ada ribuan perbedaan
antara ilmu dan makrifat ini. Keutamaan pengenalan melalui
penyaksian (syuhūd) dan intuisi (wijdāni) serta kelezatan
saat melalui pelbagai macam jenjang ini, sebagaimana yang
disampaikan dan diriwayatkan dalam kitab al-Kafi dari Imam
al-Sadiq yang mengatakan:
Andaikan manusia mengetahui keutamaan makrifatullah,
niscaya mata mereka tidak akan terpesona kepada
kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan kepada
musuh-musuh dari pelbagai pesona dunia dan pelbagai
macam kenikmatannya. Sehingga, bagi mereka dunia lebih
rendah dan lebih hina dari apa yang mereka injak oleh
kaki-kaki mereka. Mereka menikmati makrifatullah dan
merasakan kelezatannya sebagaimana kelezatan orang
yang berada di taman surga bersama wali-wali Allah.
Sesungguhnya, mengenal Allah merupakan hiburan dari
setiap hal yang menakutkan, teman dari setiap kesunyian,
dan cahaya dari setiap kegelapan, serta kekuatan dari
setiap kelemahan dan obat dari setiap penyakit. (1)
Berkaitan dengan defenisi 'arif (penempuh jalan spiritual),
dalam kitab Misbah al-Syari'ah disebutkan:
'Arif adalah orang yang pribadinya bersama manusia dan
hatinya bersama Allah. Dan andaikan hatinya lupa dari
Allah sesaat saja, ia akan mati karena kerinduan kepada-
Nya. 'Arif adalah orang kepercayaan yang menjaga titipan-
titipan Allah, khazanah rahasia-rahasia-Nya, tempat
cahaya-Nya, petunjuk rahmat-Nya terhadap makhluk-Nya,
kendaraan ilmu-ilmu-Nya, serta timbangan keutamaan
dan keadilan-Nya. Ia tidak butuh kepada makhluk, obsesi,
dan dunia. Tiada penghibur baginya selain Allah dan
P: 20
tiada pembicaraan, isyarat, dan nafas, kecuali dengan
Allah, untuk Allah, dari Allah, dan bersama Allah. Ia selalu
mondar-mandir di antara taman-taman kesucian-Nya,
dan membekali dirinya dengan kelembutan-kelembutan
keutamaan-Nya. Makrifat itu adalah pokok (dasar) dan
cabangnya adalah iman.(1)
Diriwayatkan dalam kitab al-Kafi dan kitab al-Tawhid
bahwa Imam al-Sadiq berkata: “Sesungguhnya ruh orang
mukmin sangat lekat dengan ruh Allah, melebihi lekatnya
pantulan cahaya matahari dengan matahari."
Dalam hadis Qudsi yang disepakati oleh seluruh mazhab
Islam, disebutkan bahwa Allah berfirman:
Tiadalah seorang hamba yang berusaha mendekatkan
dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
dari apa yang telah Aku wajibkan baginya. Sesungguhnya,
dia berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-
amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Dan ketika Aku
mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar, matanya yang dengannya ia
melihat, lisannya yang dengannya ia berbicara, tangannya
yang dengannya ia menggerakkan sesuatu. Apabila ia
berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.
Dan apabila ia memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan
memberinya.(2)
Khajah Nashiruddin berkata:
Ketika seorang 'arif terputus dari diriſegoisme]nya lalu
terikat dengan al-Haqq (Allah), ia melihat segala kekuasaan
tenggelam dalam kekuasaan-Nya yang selalu terkait
dengan seluruh yang bisa dikuasai, segala ilmu tenggelam
P: 21
dalam ilmu-Nya, di mana tidak ada sesuatu pun dari yang
ada (maujud-maujud) tersembunyi dari ilmu-Nya, segala
kehendak tenggelam dalam kehendak-Nya, di mana tidak
ada satu pun dari makhluk yang terlepas dari kehendak-
Nya, bahkan setiap wujud itu berasal dari-Nya dan selalu
mendapat curahan karunia-Nya.
Apabila demikian adanya, al-Haqq akan menjadi matanya
yang dengannya ia melihat, pendengarannya yang
dengannya ia mendengarkan dan kekuasaannya yang
dengannya ia melakukan sesuatu dan ilmunya yang
dengannya ia mengetahui dan wujudnya yang dengannya
ia berada. Pada saat itu, seorang 'arif berakhlak dengan
akhlak Allah secara hakiki.(1)
Dalam kitab Misbah al-Syari'ah disebutkan:
Orang yang sedang dimabuk rindu tidak bernafsu untuk
makan, tidak merasa nikmat untuk minum, tidak merasa
nyaman untuk tidur, tidak merasa terhibur dengan sahabat,
tidak merasa perlu bernaung di suatu rumah, tidak tinggal
dalam suatu bangunan, tidak memakai pakaian yang
lembut dan tidak dapat diduga. Ia menyembah kepada
Allah Swt. sepanjang malam dan siang, dengan harapan
sampai kepada apa yang dirindukannya. Dia bermunajat
pada-Nya dengan lisan kerinduan seraya mengungkapkan
apa yang ada dalam lubuk hatinya yang paling dalam,
sebagaimana Allah Swt. menceritakan tentang Musa bin
Imran, saat ia berjanji pada Tuhannya dengan mengatakan
kepada-Nya, "Dan aku bersegera menujumu wahai
Tuhanku, agar Engkau ridha."
P: 22
Lalu, Nabi Saw. menceritakan keadaannya, "Beliau (Musa)
tidak makan, tidak minum dan tidak tidur, bahkan tidak
bersemangat untuk melakukan hal-hal tersebut saat pergi
maupun pulang selama empat puluh hari, lantaran rindu
pada Tuhan-nya."
Jika engkau memasuki taman kerinduan, bertakbirlah
atas diri dan keinginanmu dari dunia. Tinggalkanlah hal-
hal yang menyebabkan kemelekatan dengan dunia dan
cegahlah dirimu dari selain yang engkau rindukan. Lalu,
sahuti (panggilan Ilahi) antara kehidupan dan kematian
agar Allah menetapkan pahala agung bagimu. Sebagai
perumpamaan, seseorang yang rindu kepada Allah Swt.
bagikan orang yang tenggelam, seluruh pikiran dan
kegelisahannya hanya terfokus kepada keselamatannya,
sedangkan segala sesuatu selainnya dilupakannya.(1)
Dalam kitab 'llal al-Syarā'i' diriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
Sesungguhnya, Nabi Syu'aib menangis karena cinta
kepada Allah hingga matanya menjadi buta. Lalu,
Allah mengembalikan matanya. Namun, ia kembali
menangis hingga matanya kembali buta. Sekali lagi
Allah mengembalikan matanya, tapi beliau menangis
lagi hingga matanya kembali buta. Dan lagi-lagi, Allah
mengembalikan matanya. Hingga pada keempat kalinya,
Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Syu'aib sampai
kapan engkau seperti ini? Apabila ini dilakukan karena
takut pada api neraka, Aku akan menyelamatkanmu dan
bila ini dilakukan karena kerinduan pada surga, Aku telah
menjaminmu sebagai ahli surga." Syu'aib pun menjawab,
P: 23
"Ilahi dan Junjunganku, Engkau mengetahui bahwa aku
tidak menangis karena takut api neraka-Mu, tidak juga
karena rindu pada surga-Mu, tetapi cinta kepada-Mu
telah terjalin di dalam hatiku dan aku tidak sabar untuk
melihatmu” Lalu Allah mewahyukan, "Jika memang seperti
ini, Aku segera menjadikan Musa bin Imran, orang yang
Aku ajak bicara (Kalīmullāh) sebagai pembantumum(1)
Dalam Doa Kumail disebutkan, “Oh seandainya aku, wahai
Tuhanku dan Junjunganku serta Pemimpinku, mampu bersabar
menahan siksa-Mu, tetapi bagaimana mungkin aku dapat
bersabar berpisah denganmu?" Dalam Munajat Sya'baniyah
disebutkan, “Anugerahilah aku hati yang kerinduannya
mendekatkan kepada-Mu, lisan yang ketulusannya terangkat
menuju-Mu, dan pandangan yang seharusnya mendekatkan
kepada-Mu.” Disebutkan juga, “Dan gabungkanlah aku dengan
cahaya kemuliaan-Mu yang terang sehingga aku mampu
mengenal-Mu dan berpaling dari selain-Mu." Selain itu, dalam
doa Abu Hamzah al-Tsumali disebutkan, "Sesungguhnya,
Engkau tidak pernah terhijab dari makhluk-Mu, tetapi
perbuatan-perbuatan buruklah yang menyebabkan mereka
terhijab dari-Mu."(2)
Saudaraku yang mulia, bila ingin kami ungkapkan
semuanya ungkapan-ungkapan seperti ini yang dengan jelas
dan tegas menjelaskan makrifat, mahabbah (kecintaan) dan
pencapaian maqam kedekatan serta pertemuan spiritual,
niscaya akan menjadi satu buku (lain). Hal ini terutama tampak
dalam doa-doa dan munajat-munajat para imam pemberi
petunjuk (ahlulbait Nabi Saw.) dan apa yang telah saya nukil
dari pelbagai riwayat yang dilihat dari sisi sanadnya sangat
terpercaya dan muktabar, di mana para ulama Imamiyah
menerima riwayat-riwayat tersebut, dan masih banyak lagi
P: 24
riwayat-riwayat yang semacam ini. Misalnya, berkaitan dengan
riwayat-riwayat yang menggambarkan tentang manifestasi
(tajallī) Allah di langit dan tentang cahaya keagungan
sebagaimana yang terdapat dalam doa-doa, serta yang lebih
tinggi daripada itu terdapat di dalam al-Qur'an yang mulia.
Dalam Doa Simat(1) yang dibaca oleh banyak ulama,
terdapat redaksi doa yang berbunyi, “Dan berilah aku karunia
memandang wajah-Mu", dan masih dalam doa yang sama
disebutkan, “Dan jangan Kau larang aku untuk melihat wajah-
Mu yang mulia”. Dalam lima belas munajat (yang disebutkan
dalam kitab Shahīfah Sajjādiyah-penerj.), juga banyak
disinggung pernyataan mengenai wushul (pencapaian),
nazhar (pemandangan), liqā' (pertemuan), qurb (kedekatan),
dan ma'rifat (pengenalan). Saya sendiri, meskipun tidak
menyebutnya karena dari sisi sanad-nya saya masih belum
mampu menetapkan keabsahannya, tetapi bagi para pengikut
ulama-ulama yang alim, semua riwayat itu adalah hujjah atau
dalil.
Mengapa demikian? Karena munajat-munajat itu dibaca
oleh ulama-ulama alim yang kandungannya mereka sepakati
dan setujui. Begitu juga dalam doa Arafah-nya penghulu para
syahid, Imam Husein, di mana seluruh pernyataan itu terdapat
di dalamnya. Meskipun ulama-ulama alim membaca doa
tersebut, tetapi saya sendiri, karena belum mampu menetapkan
keabsahan sanadnya, tidak menukilnya. Pada kajian yang lalu
disebutkan bahwa ungkapan-ungkapan seperti ini ditafsirkan
dengan menerima ganjaran (pahala) dan ini tentu bertentangan
dengan nash. Apabila dalam riwayat melihat (ru'yah) dan
pertemuan (liga') ditafsirkan dengan pahala, tentu ini lantaran
sang penanya tidak mampu memahami [makna melihat dan
pertemuan) selain melihat dengan mata. Sebagaimana saat
P: 25
Rasulullah Saw. ditanya oleh sebagian penanya tentang makna
khullah Nabi Ibrahim al-Khalil, beliau menjawabnya dengan
makna selain persahabatan. Sebab, apabila penanya menerima
penjelasan yang lain selain penjelasan ini, (dikhawatirkan] ia
dapat menjadi kafir. Pasalnya, penanya tersebut tidak pernah
memahami [makna] persahabatan selain kasih sayang manusia
terhadap sesama manusia yang lain. Sehingga, bila ada
penjelasan yang lain, pasti akan menjadi kafir.
Apabila Anda menginginkan penjelasan yang lebih
daripada ini, silakan Anda merujuk kepada doa-doa dan
munajat-munajat para imam pemberi petunjuk (ahlulbait)
dan begitu juga riwayat-riwayat yang menyinggung masalah
pahala amal-amal, misalnya dalam doa Rajab, di mana Sayyid
Ibn Thawus menukilnya dengan sanad yang sangat baik
dalam kitab Iqbal; kitab yang disetujui oleh Imam Mahdi. Ibn
Thawus sendiri tentu membaca doa tersebut. Dalam kitab itu
disebutkan doa seperti ini, “Ya Allah aku memohon kepada-Mu
dengan makna-makna yang seluruh pemimpin (wali) pilihan-
Mu yang mengetahui rahasia-Mu menyeru-Mu dengannya ....
Dan, dengan maqam-maqam-Mu yang tidak ada perbedaan
antaranya dan antara-Mu, kecuali bahwa mereka adalah
hamba-hamba-Mu dan makhluk-Mu, penutupan (al-rata) dan
pembukaan (al-fatq) maqam berada di tangan-Mu.(1)
Perhatikanlah doa di malam-malam bulan Ramadan:
"Oh! Oh! Betapa rindunya kepada Yang Melihatku
sementara aku tidak melihat-Nya."
Perhatikanlah pula doa Arafah, doa Hari Jumat dan seluruh
munajat Amirulmukminin. Dalam riwayat-riwayat berkenaan
dengan pahala-pahala, perhatikanlah hadis Mi'raj yang
disebutkan dalam kitab al-Wafi sebagaimana diriwayatkan
P: 26
oleh ulama-ulama alim, yakni Allah berfirman, “Wahai Ahmad
...(Sampai kepada riwayat, yang Rasulullah Saw. bersabda):
"Wahai Tuhanku, apakah permulaan ibadah?” Allah
menjawab, “Diam dan puasa. Engkau tahu apa warisan
puasa, wahai Ahmad?” Beliau menjawab, “Tidak wahai
Tuhanku". Allah Swt. menjawab, "Warisan puasa adalah
sedikit makan dan sedikit bicara serta melaksanakan
ibadah. Warisan kedua adalah diam. Diam mewariskan
hikmah dan hikmah mewariskan makrifat, dan makrifat
mewariskan keyakinan. Lalu, ketika hamba telah mencapai
maqam yakin, ia tidak peduli apakah ia berada dalam
kesulitan atau kemudahan. Inilah maqam orang-orang
yang ridha. Maka, siapa yang beramal untuk mencapai
ke-ridha-an-Ku, Aku akan memberinya tiga keistimewaan:
Aku akan mengenalkannya pada syukur yang tidak
dicampuri dengan kejahilan, zikir yang tidak dicampuri
kelupaan, dan cinta kepada-Ku yang tidak didahului oleh
cinta kepada makhluk. Dan, ketika ia mencintai-Ku, Aku
akan mencintainya dan Aku akan menjadikannya dicintai
oleh makhluk-Ku. Aku akan membuka mata hatinya hingga
ia dapat menyaksikan keagungan dan kebesaran-Ku, dan
Aku tidak akan menyembunyikan darinya ilmu orang-
orang yang khusus dari makhluk-Ku. Aku akan menyerunya
di kegelapan malam dan di terangnya siang, sehingga
pembicaraannya bersama para makhluk dan pergaulannya
bersama mereka terputus, lalu Aku akan memperdengarkan
pembicaraan-Ku dan pembicaraan malaikat-Ku padanya,
serta Aku akan memberitahu rahasia-Ku yang Aku tutupi
dari ciptaan-Ku.... Kemudian, Aku akan mengangkat
hijab-hijab antara diri-Ku dan dirinya, membuatnya
menikmati pembicaraan-Ku, dan membuatnya nyaman
P: 27
memandang-Ku.... Selanjutnya, Aku akan menjadikan
wewenang dan kekuasaan hamba-Ku ini di atas wewenang
dan kekuasaan raja dan para penguasa, sehingga seluruh
penguasa akan tunduk kepadanya. Setiap penguasa zalim
akan takut kepadanya dan setiap binatang buas akan
melunak di hadapannya. Aku akan menjadikan surga dan
apa yang ada di dalamnya rindu kepadanya dan Aku akan
membuat akalnya tenggelam dalam makrifat kepada-Ku
dan Aku akan menaikkan derajat akalnya. Kemudian, Aku
akan mempermudah kematian dan sakaratul maut-nya,
baik suasana panas maupun ketakutannya, hingga dia
diantar menuju surga dalam keadaan merindu. Tatkala
malaikat maut menjemputnya, ia berucap: 'Selamat datang,
sungguh Anda beruntung! sungguh Anda beruntung! Allah
benar-benar rindu pada Anda! Ketahui wahai waliullah!
Pintu-pintu yang amal-amalmu naik melewatinya akan
menangisimu, begitu juga dengan mihrab dan tempat
salatmu, keduanya menangisimu. Lalu, dia berkata: 'Aku
rela dengan kerelaan Allah dan kemuliaan-Nya.' Dan, ruh
keluar dari badannya bagaikan keluarnya rambut dari
tepung. [Saat itu) Para malaikat berdiri di depan kepalanya
di mana pada setiap tangan mereka terdapat cawan yang
berisi air (telaga] Kautsar dan cawan yang berisi khamar.
Mereka memberi minum ruhnya sehingga penderitaan dan
rasa pahitnya hilang, lalu mereka menyampaikan berita
gembira nan agung: 'Sungguh beruntung dan alangkah
nikmatnya tempatmu. Sesungguhnya Anda datang pada
Dzat Mahamulia dan Mahadermawan, Sang Kekasih Yang
Mahadekat."
P: 28
Lalu, ruh itu pun terbang dari hadapan malaikat dan
bergegas menuju Allah dengan cepat, melebihi cepatnya
kedipan mata. Tiada hijab dan penutup antara dia dan
Allah Ta'ala. Allah sangat rindu padanya, lalu ia duduk di
sisi mata air, di sebelah kanan Arsy (Singgasana Tuhan],
kemudian dikatakan padanya; "Wahai ruh, bagaimana
engkau meninggalkan dunia?" Ia pun menjawab: “Ilahi
dan Junjunganku, demi kemuliaan dan kebesaran-Mu,
aku tidak mengetahui dunia. Sejak Engkau ciptakan aku
hingga saat ini, aku sangat takut kepada-Mu." Kemudian,
Allah mengatakan: “Engkau benar! Sesungguhnya jasadmu
memang di dunia, tetapi ruhmu bersama-Ku. Engkau
berada dalam pengawasan-Ku, Aku mengetahui rahasiamu
dan yang tampak darimu. Mintalah kepada-Ku), niscaya
Aku akan memberimu dan berharaplah kepada-Ku sehingga
Aku memuliakanmu. Ini adalah surga-Ku, maka bersenang-
senanglah di dalamnya! Ini adalah kekuasaanku, maka
tinggallah engkau di dalamnya!"
Sang Ruh berkata: “Ilahi, Engkau telah memperkenalkanku
kepada-Mu sehingga aku tidak butuh kepada seluruh
makhluk-Mu. Dan demi kemuliaan dan kebesaran-
Mu, andaikan ridha-Mu menuntutku mesti dipotong
berpotong-potong atau dibunuh tujuh puluh kali lebih
keras dibanding yang dirasakan manusia, ridha-Mu masih
lebih aku cintai ...." Allah azza wa jalla berkata: "Demi
kemuliaan dan kebesaran-Ku, Aku tidak akan menutup
antara diri-Ku dan dirimu dalam setiap bergulirnya waktu,
sehingga engkau dapat masuk menemui-Ku kapan pun
engkau kehendaki. Dan, demikianlah yang Aku lakukan
terhadap para kekasih-Ku."
P: 29
Selanjutnya, saat menjelaskan kehidupan yang abadi, Allah
mengatakan, “Pemilik kehidupan abadi itu Aku, akan Kujadikan
seperti ini dan seperti itu ...." Sampai Dia mengatakan: “Dan
Aku akan buka mata hati dan pendengarannya, sehingga ia
mendengar dari-Ku dengan hatinya dan melihat keagungan
dan kebesaran-Ku [juga] dengan hatinya.”
Masih dalam hadis yang sama, Allah berfirman:
Sesungguhnya, pemberian paling rendah di akhirat yang
Aku berikan kepada kaum yang memparktikkan zuhud
adalah Aku akan memberi mereka semua kunci-kunci
surga, sehingga mereka dapat membuka pintu mana pun
yang mereka kehendaki. Dan Aku tidak menutup wajah-Ku
dari mereka. Aku akan memberi mereka pelbagai nikmat
dan kelezatan dari pembicaraan-Ku.... Lalu, Aku buka
empat pintu bagi mereka: satu pintu yang mana pelbagai
macam hadiah (sejak] pagi-sore disediakan pada mereka
dan satu pintu lainnya yang mana mereka dapat melihat
dari[dalam]nya apa yang mereka kehendaki.
Adapun berkaitan dengan sifat ahli akhirat, dalam
lanjutan] hadis ini disebutkan, "Dan Aku akan singkapkan
pelbagai macam tirai darinya.... Dan tidak ada yang mengurusi
pencabutan nyawanya selain-Ku, dan saat nyawanya tercabut
akan Aku katakan, "Selamat datang atas kedatanganmu
menemui-Ku.(1)
Semua yang kami sebutkan ini di sini adalah riwayat-
riwayat yang sahih dan muktabar, yang apabila kami
memperluas jangkauan penyebutannya sebagaimana yang
disebutkan dalam riwayat-riwayat tentang Dawud, begitu juga
riwayat-riwayat yang terdapat dalam lima belas munajat, dan
juga munajat-munajat yang ditambahkan, yaitu doa Arafah-
P: 30
yang diriwayatkan oleh Sayyid Ibn Thawus dalam kitabnya, al-
Iqbal, dan al-Allamah dalam kitabnya al-Mazār, semua ini lebih
dari batasan tawatur.
Dalam hadis tentang salat, pada pembahasan bacaan
salat terdapat suatu riwayat yang menyebutkan bahwa
maqam seseorang akan meninggi pada setiap ayat, atau ia
akan mencapai suatu derajat tertentu, sampai dikatakan
pada "Satu derajat dari cahaya Tuhan Yang Mahamulia.”
Dalam hadis tentang perjumpaan orang mukmin pada kitab
al-Mustadrak karya Syahid yang menukil dari kitab Anwar,
karya Abu Ali bin Muhammad bin Hammam, diriwayatkan
bahwa Allah berfirman, “Aku bersaksi kepada kalian hamba-
hamba-Ku bahwa Aku telah memuliakannya (mukmin] dengan
[memberi kesempatan) memandang cahaya-Ku, kebesaran-Ku,
dan keagungan-KuPertemuan dengan Tuhan juga disebutkan
dalam hadis tentang pahala jihad, sebagaimana tertulis dalam
kitab al-Tahdīb dan dalam kitab Hisāl Sab'ah yang merupakan
karya Syahid, disebutkan bahwa, "[Pahala] Yang ketujuh, ia
akan melihat wajah Allah dan sungguh itu adalah kenikmatan
bagi setiap nabi dan syahid."(1)
Berkenaan dengan pahala sujud syukur saat salat wajib,
disebutkan dalam hadis sahih:
Sesungguhnya, seorang hamba ketika salat dan melakukan
sujud syukur, maka Allah Swt. membuka hijab antara
dia dan para malaikat, lalu Allah berkata: "Wahai para
malaikat-ku! Lihatlah hamba-Ku; ia telah menunaikan
kewajiban yang telah Aku tetapkan, ia telah memenuhi
janji-Ku, dan ia sujud kepada-Ku sebagai bentuk syukur
atas kenikmatan yang Aku berikan kepadanya! Wahai para
malaikat-Ku! Apa gerangan yang ia peroleh? Para malaikat
menjawab: “Wahai Tuhan kami, [ia memperoleh) rahmat-
P: 31
Mu.” Lalu Allah Swt. berkata: "Selanjutnya apa?" Para
malaikat menjawab: "Wahai Tuhan kami, Engkau akan
mencukupi kebutuhannya". Lalu Allah berkata: "Selanjutnya
apa?" [Sementara itu] Tiada sesuatu pun yang tertinggal
dari kebaikan, kecuali telah disebut oleh para malaikat.
Lalu Allah Swt. [kembali] berkata: "Wahai para malaikat-
Ku, selanjutnya apa?" Akhirnya, para malaikat menjawab:
"Wahai Tuhan kami, kami tidak tahu.” Lalu, Allah Swt.
berkata: "Aku akan bersyukur kepadanya sebagaimana
ia bersyukur kepada-Ku, Aku akan menganugerahinya
keutamaan-Ku dan Aku akan memperlihatkan kepadanya
'wajah-Ku"(1)
Dalam pahala orang yang buta disebutkan bahwa Allah
berkata, “Dan Aku akan memperlihatkan wajah-Ku kepadamu."
Dalam riwayat tentang jamuan ahli surga, disebutkan
bahwa setelah membaca al-Qur'an, mereka dipanggil untuk
mendengarkan pembicaraan Allah. Mereka merasa terhormat
dan karena begitu menikmati pendengaran tersebut, hingga
menyebabkan mereka tak sadarkan diri (pingsan) dalam tempo
yang lama. Setelah kembali sadar, mereka dipanggil untuk
berkunjung menikmati keindahan Zat Yang Mahaindah. Tiba-
tiba, suatu cahaya memanifestasi, dan lantaran manifestasi
cahaya tersebut, kembali mereka tidak sadarkan diri dalam
tempo yang begitu lama. Akhirnya, karena lama tak sadar, para
bidadari pun mengadukan keadaan mereka.
Pada bagian lain dari hadis yang sama, tetapi berkaitan
dengan pahala ahli surga-yakni mereka yang mampu menjaga
lisan mereka dari pembicaraan yang tidak perlu dan mampu
menjaga perut mereka dari kelebihan makanan-disebutkan,
"Aku melihat mereka setiap hari tujuh puluh kali dan Aku
berbicara kepada mereka setiap kali Aku melihat mereka."
P: 32
Wahai sahabatku yang mulia, berlaku adillah! Apakah
mungkin seseorang menolak seluruh ayat, riwayat, dan doa
ini yang disebutkan dengan pelbagai macam redaksi?! Apabila
dari sisi sanad Anda menginginkan sanad yang muktabar,
dan mereka hanya menyebutkan tingkatan tawatur hingga
mencapai empat puluh, saya mampu mendatangkannya sampai
lima ratus tingkatan tawatur, bahkan sampai seribu sanad.
Adapun al-Qur'an, tentu saja ia tidak memerlukan sanad.
Namun, apabila Anda menginginkan dalalah (indikasi tekstual),
tentu tidak ada yang melebihi nash. Lagi pula, dalalah sebagian
dari lafal hadis semacam ini sama sekali tidak diragukan dan
tidak mengindikasikan makna majazi (metaforis).
Tentu, manusia harus memperhatikan bahwa pertemuan
dengan Allah bukan seperti pertemuan dengan makhluk.
Melihat kepada-Nya bukan melihat dengan mata kepala; bukan
melihat seperti penglihatan fisik. Untuk melihat-Nya, bahkan
penglihatan hati pun harus suci dari suatu khayalan dan begitu
juga penglihatan akal harus suci dari hal-hal yang irrasional.
Sebagaimana disebutkan dalam doa Shahifah 'Alawiyah, bahwa
Sayyidina Ali berkata: "Dia Tuhan) memanifestasi dalam hati
tanpa bentuk/gambar (mitsāl] yang dibatasi oleh pemikiran
imajinatif atau digapai oleh pemikiran rasional.(1) Sayid Ibn
Thawus dalam kitab Falāh al-Sā'il [halaman 211] mengatakan:
Diriwayatkan bahwa junjungan kita, Imam Ja'far bin
Muhammad al-Sadiq, jatuh pingsan saat membaca al-
Qur'an dalam salatnya. Tatkala beliau sadar, beliau ditanya:
"Apa gerangan yang menyebabkan keadaanmu seperti
ini?” Beliau menjawab: "Aku senantiasa mengulang-ulang
ayat al-Qur'an hingga aku sampai pada keadaan seolah-
olah aku mendengar ayat tersebut disampaikan secara
lisan dari Zat yang menurunkannya secara mukāsyafah
P: 33
(penyingkapan spiritual) dan melihat dengan jelas.(1) Dan,
kekuatan manusia tidak mampu menangkap penyaksikan
kebesaran Ilahi” Dan hati-hatilah wahai orang yang tidak
mengetahui hakikat tersebut dari menganggap hal itu
mustahil atau setan menjadikan keraguan pada sesuatu
yang mungkin saja terjadi dari apa yang kami riwayatkan.
Sebaiknya, jadilah Anda orang yang membenarkan!
Tidakkah Anda mendengar Allah berfirman: "Tatkala
Tuhan memanifestasi pada gunung, maka gunung itu pun
hancur dan Musa pun jatuh pingsan."
Manusia, bila ingin menyingkap alam-alam ini dan
menyaksikan-Nya, ia mesti menetapkan satu tujuan agung dan
mesti mengetahui apa yang sejatinya harus ia cari. Pertama, dia
harus memahami betapa besar sesuatu yang dicarinya sehingga
kesungguhannya dalam mencari sesuai dengan kebesaran
sesuatu yang dicarinya. Misalnya, orang yang berusaha
mencari sesuatu yang rendah, tentu kesungguhannya dalam
mencari tidak bisa disamakan dengan orang yang mencari
Penguasa Alam. Mengingat yang dicari ini keagungan-Nya-
dilihat dari sisi kemuliaan, cahaya kewibawaan, kekuasaan,
serta kenikmatannya—tidak sebanding bahkan tidak bisa
dibandingkan dengan hakikat apa pun. Dan, seorang pencari
yang pemula tidak mampu membayangkan-Nya, meskipun
dia berusaha membayangkan, bahkan mencapai salah satu
dari ribuan hakikat-Nya pun tidak. Oleh karena itu, secara
umum semestinya perbandingannya pada batasan-batasan
pengetahuan dan rasio yang dimilikinya. Misalnya, kemuliaan-
kemuliaan di alam indriawi yang disaksikan oleh para pembesar
dunia dan para penguasa, dibandingkan dengan keagungan dan
kekuasaan Penguasa seluruh alam. Dari perbandingan ini, dia
akan menyaksikan begitu agungnya Penguasa semesta.
P: 34
Selanjutnya, hendaklah ia membandingkan antara alam
indriawi dan alam-alam gaib: malakūt, jabarūt, serta selainnya.
Lalu, renungkan kualitas kekuasaan penguasa-penguasa dunia
dan bandingkan dengan kekuasaan spiritual. Pada akhirnya,
ia akan melihat akan seperti apa keadaan kekuasaan para
penguasa dunia yang hanya berlangsung puluhan tahun saja
jika dibandingkan dengan kekuasaan abadi?! Jawabnya adalah
kekurangan. Dan, tentu saja masih banyak ribuan kekurangan
yang ada dan bisa dibayangkan dari kekuasaan dunia ini.
Adapun kekuasaan spiritual adalah kekuasaan yang
hakiki, seperti kekuasaan manusia terhadap anggota tubuh,
kekuatan, dan daya khayalnya. Oleh karena itu, umat Islam
hendaknya memperhatikan penggambaran kekuasaan ukhrawi
sebagaimana diberitakan oleh riwayat-riwayat yang berkaitan
dengan kekuasaan ahli surga, di mana ada perintah Allah pada
mereka dan ditulis di dalamnya: "Aku menjadikanmu hidup
yang tidak akan mati dan engkau [mampu) mengatakan kepada
sesuatu, 'Jadilah! Maka ia menjadi [sesuatu].**(1)
Kesimpulannya, Allah Yang Maha Pencipta telah
menganugerahkan kemampuan kepada manusia yang sehat
jiwanya untuk membuat pelbagai bentuk gambar imajinatif;
kemampuan seperti itu dan yang melebihinya dikaruniakan-
Nya kepada hamba-hamba-Nya yang khusus dari para nabi
dan para wali di dunia ini, begitu juga mayoritas atau seluruh
penghuni surga di akhirat, di mana mereka mampu membuat
benda-benda eksternal dengan izin Allah.
Ahli makrifat memandang bahwa mukjizat para nabi dan
karamah para imam berasal dari jalan ini. Jadi, bila manusia
mengukur setiap persoalan dengan akal, ia akan melihat bahwa
derajat-derajat dan batasan-batasan segala sesuatu berada
pada tempatnya alias dibuat secara adil. Namun, ketika akal
P: 35
disingkirkan, saat itu kebatilan dan perbedaan antara cahaya
dan kegelapan, baik dan buruk, hina dan mulia tidak akan
tampak baginya.
Jadi, keterangan yang kami sampaikan di atas berkaitan
dengan perbandingan kemuliaan antara persoalan ini
(kenikmatan spiritual) dan hal-hal selainnya yang dicari yang
sampai saat ini cukup jelas bagi kita semua. Adapun bila
Anda ingin membayangkan sekilas tentang kelezatan dan
kenikmatan spiritual [itu sendiri], simaklah keterangan singkat
tentang kelezatan alam ini yang disampaikan oleh sebagian
ahli makrifat: Kedudukan kehidupan hakiki seakan-akan ia
adalah mata air kehidupan yang menyembur dan bergejolak.
Bagi orang-orang yang mendapatkan karunia kehidupan hakiki,
maka seluruh bentuk kenikmatan dan kelezatan, tanpa ada
kontradiksi dan kekurangan, disiapkan untuk mereka. Misalnya,
segala kelezatan yang didambakan oleh seluruh orang dari
pelbagai makanan, pemandangan, pendengaran, penciuman,
dan pelbagai sentuhan, kapan pun bisa didapatkan tanpa ada
halangan, pertentangan, dan penentangan.
Kelezatan ini termasuk kelezatan-kelezatan alam
indriawi yang disebut Surga al-Na'īm (Jannah al-Na'īm). Bila
hal ini Anda bandingkan dengan pelbagai macam kelezatan
dan keindahan manifestasi cahaya-cahaya Keindahan dan
Keagungan Allah Yang Mahaindah dan Mahabesar, saat itu Anda
akan menggunakan seluruh kesungguhan dan usaha untuk
menggapainya. Dalam riwayat-riwayat para imam ahlulbait
terdapat isyarat-isyarat tentang alam ini. Misalnya, dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa air di surga itu memiliki
rasa seluruh minuman dan makanan. Begitu pula dalam hadis
Mi'raj yang telah disebutkan pada pembahasan terdahulu, di
mana Allah saat berdialog dengan hamba-Nya mengatakan:
P: 36
"Inilah surga-Ku. Nikmatilah ketenangan di dalamnya." Hamba
tersebut menjawab: “Ketika Engkau telah memperkenalkanku
kepada-Mu sehingga aku tidak butuh kepada segala sesuatu.”
Dalam hadis tentang perjamuan dalam pembahasan
terdahulu disebutkan bahwa ketika Allah memanifestasi, ahli
surga pingsan dalam waktu yang lama, sehingga bidadari pun
mengadukan hal itu. Lalu, Allah Yang Mahaagung kembali
menyadarkan mereka.
Wahai saudaraku yang mulia, berusahalah dengan
sungguh-sungguh dan berimanlah kepada Allah dan rasul-
Nya serta para imam ahlulbait dan janganlah Anda hanya
mengimajinasikan pahala, siksa, surga dan jahanam, serta
kedekatan dan kejauhan. Apa yang telah disebutkan adalah
sesuatu yang terlintas dalam hati manusia, sedangkan surga
tidak bisa dibayangkan oleh hati manusia.
Aku tergila-gila di dua dunia
Apa yang harus dilakukan bagi orang yang tergila-gila
kepada-Mu di dua dunia
Aku hanya ingin mengetuk pintu-Mu hai Tuhan
Jangan Kau bawa aku ke surgaku
Maha suci Engkau dari tempat dan materi
Tidak penting bagiku tanah surga
Tetapi kasih sayang dan belaian cinta-Mu adalah tujuanku
Rida-Mu menjadi ketentraman hatiku
Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Aku tidak menyembah-
Mu karena takut pada neraka-Mu dan tamak pada surga-Mu,
tetapi aku mendapati-Mu layak untuk disembah sehingga
P: 37
aku menyembah-Mu."(1) Dalam sebuah dialog, Nabi Syu'aib
mengatakan: “Aku merintih bukan karena takut neraka, bukan
juga karena cinta surga, tetapi aku merintih karena jauh dari-
Mu. Sungguh aku tidak sabar menantikan pertemuan dengan-
Mu!" Dalam doa Kumail, Anda mendengar penghulu kaum
'arifin dan pemimpin orang-orang yang bermunajat [Ali bin
Abi Thalib] berkata: "Anggap] Aku dapat bersabar menahan
siksa-Mu, tetapi bagaimana mungkin aku dapat bersabar dari
berpisah dengan-Mu."
Wahai yang tidak memiliki malu! Wahai yang tertutup
pendengarannya! Bila engkau benar-benar memiliki bagian
dari alam ini, maka di mana pengaruhnya? Mengapa engkau
tampak diam? Mengapa engkau tidak mendaki gunung?
Mengapa engkau tidak lari ke padang pasir? Mengapa wirid
siang dan malammu tidak berupa, “Oh, alangkah menyesalnya
aku atas apa yang aku sia-siakan dari karunia Allah?"
Seandainya cuma ada sangkaan yang Anda miliki, kenapa
Anda tidak begitu menyesal? Seandainya Anda memiliki
kemungkinan, mengapa kehidupanmu tidak berubah? Dan
mengapa Anda tidak memutuskan hubungan dengan dunia
yang fana ini? Dan katakanlah: "Alangkah menyesalnya!"
"Alangkah ruginya!" "Alangkah hancurnya” “Alangkah pedihnya!"
dan “Alangkah celakanya!" Memang, iman dapat menjadi
lemah; dan hati karena cinta kepada dunia dapat menjadi
sakit. Oleh sebab itu, jika tidak ada iman, tentu keraguan
saja cukup; kemungkinan pun cukup. Kami berlindung dan
mengadu kepada Allah, kepada Rasulullah Saw, dan kepada
Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib, serta kepada ahlulbait yang
suci, terutama kepada khalifah kita di zaman ini; imam zaman,
penguasa, junjungan, tempat berlindung, cahaya, kehidupan,
dan tujuan harapan kita. Semoga ruh kita dan ruh alam semesta
P: 38
menjadi tebusannya. Semoga salawat Allah tercurahkan bagi
mereka semuanya.
Catatan:
1 Pendapat ini diutarakan dengan jelas oleh Syaikh Ihsa'i dan para
pendukungnya. Namun, pada saat yang sama, mereka menakwil riwayat-
riwayat tentang liga'ullah (pertemuan dengan Allah) dan makrifatullah
dengan pengertian yang kedua. Menurut mereka, semua sifat dan asma Allah
menegaskan kedudukan makhluk. Bahkan, mereka tidak mengakui dzat Allah
sebagai sumber pengetahuan atas sifat-sifat-Nya. Ini karena mereka meyakini
konsep "transendensi mutlak".-minhu 'ufiya 'anhu. (Al-Marhum Mirza Jawad
Maliki Tabrizi)
2 Ushul al-Kafi, 1: 112, Bab Huduts al-Asma', hadis ke-1; Tawhid al-Shaduq,
Cetakan Lembaga al-Shaduq, hlm, 190-191, Bab Asma' Allah Ta'ala, hadis ke-3.
Dalam kitab Tawhid al-Shaduq, tertulis dengan kalimat berikut, bi al-
hurufi ghayri man'utin (dengan huruf yang tak bersifat), yang lengkapnya
tercantum demikian, Inna Allāha tabaraka wa ta'āla khalaga isman bi al-
hurufi wa huwa 'azza wa jalla bi al-hurufi ghayri manutin (Sesungguhnya,
Allah Yang Mahatinggi telah menciptakan nama dengan huruf. Dan, Dia
'azza wa jalla dengan huruf yang tak bersifat). Pada bagian komentar atas
naskah kitab al-Kafi dikatakan bahwa kalimat "wa huwa 'azza wa jalla bil
hurufit" tidak disebutkan dalam kitab al-Kafi dan Bihar al-Anvār. Namun,
kalimat itu tercantum pada naskah-naskah yang dikutip dari kitab Tawhid
al-Shadaq yang ada pada saya. Allamah Majlisi mengatakan, “Dalam sejumlah
besar naskah, tampaknya merupakan objek perselisihan dan hasil pekerjaan
sebagian kalangan para editor naskah (nasikhin). Mereka ini berpikir bahwa
sifat-sifat ini tidak dapat menjadi sifat bagi nama yang terucap. Mereka lupa
bahwa berdasarkan ucapan imam, "Kemudian Dia menjadikannya kalimat
yang sempurna," jelas dan pasti dengan wujudnya tak dapat menjadi sifat bagi
nama yang terucap. Jadi, maksud dari nama ini bukan nama yang terucap,
melainkan, penciptaan Allah yang menjadi sumber kemunculan nama-nama
dan sifat-sifat pada makhluk-Nya."
Bagi yang menginginkan penjelasan lebih jauh] atas hadis ini, silakan
merujuk syarah ayat 180 QS Al-A'rāf (7), yang tedapat dalam kitab Bihār al-
Anwār, kitab-kitab syarah al-Kafi, dan Tafsīr al-Mīzān. Al-Marhum Faidh juga
membawakan hadis ini dalam kitab al-Waſi yang dikutip dari kitab al-Kafi;
Cetakan Hurufi, Isfahan, 1: 463-464, hadis ke-1. Saya juga membawakannya
dalam kitab Tawhid Ilmi wa 'Aini, hlm. 320-321, yang dikutip dari sumber
yang sama. (al-Marhum Allamah Teherani)
Abu Nu'aim Isfahani dalam kitab Hilyah al-Muttaqin, 1: 68, dengan sanad
muttasil-nya meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi, “Janganlah kamu
mencaci maki Ali, karena ia adalah orang yang bersentuhan dengan dzat Allah
Yang Maha Tinggi.” (Al-Marhum Allamah Teherani)
Nama-nama yang tercantum dalam semua naskah berjumlah 300 nama,
sedangkan menurut keterangan sebelumnya, harus berjumlah 360 nama.
P: 39
Hal itu harus dipahami, apakah karena luput dari penulisan atau penulisnya
sekedar ingin mengesankan banyak dari angka itu, karena angka 360 telah
disebutkan sebelumnya.
5 Ushūl al-Kafi, 1: 83-85, Bab Ithlāgi al-Qawl bi Annahu Syai'un, dengan sanad
muttasilnya kepada Hisyam bin Hakam. (Allamah Teherani)
6 Mishbāh al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41,
7 Mishbah al-Syari'ah, Cetakan dan Komentar dari Mushtafawi, bab 62, hlm. 41.
8 Kalimat Maknūnah (Cetakan Sanggi Tahun 1316 HQ), hlm. 219.
9 "Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya
dia mengulurkan lidahnya juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-
kisah itu agar mereka berpikir," (QS Al-A'raf (7): 176).
10 "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab
yang Allah turunkan sebelumnya. Siapa yang kafir kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS Al-Nisa' [4]: 136).
11 Yang dimaksud dengan Alamul Huda adalah Sayyid Murtadha. Beliau memiliki
kitab yang berjudul Amālī yang terkenal dengan sebutan Ghurar wa Dhurar
dan yang dimaksud adalah kitab beliau, yaitu Ghurar al-Fawa'id wa Dhurar
al-Qala'id, di mana kitab tersebut diisyaratkan dalam kitab al-Dzari'ah [16:
44]. Tetapi dengan pencarian yang teliti, terbukti bahwa riwayat tersebut
tidak terdapat di situ, tetapi terdapat dalam kitab Ghurar wa Dhurar yang
diberi syarah (keterangan) oleh Omidi Abdul Wahid bin Muhammad Tamimi,
di mana Jamal Khansari, seorang muhaqqiq (peneliti), memberikan syarah
terhadapnya dan dia menyebutkan riwayat ini dengan uraian yang terperinci
pada juz 4, halaman 218 sampai 221 no. 5885.
Saya menyebutnya dalam juz 3, majelis 17 dari halaman 160 sampai
halaman 162 pada bagian "Mengenal Hari Akhir" dari pembahasan tentang
pelbagai macam ilmu dan makrifat Islam dan saya tambahkan pernyataan
yang bernas (berdalil kuat) yang saya nukil dari seorang ustad dan guru yang
mulia Allamah Thabathaba'i. (Almarhum Allamah Teherani).
12 Sebelum riwayat ini, disebutkan bahwa Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib
ditanya tentang alam yang tinggi, yakni alam mujarradāt (alam immaterial)
yang jenjangnya lebih tinggi daripada alam jasmani. Kemudian beliau
berkata, "Gambar-gambar yang sunyi dari materi, yang lebih tinggi daripada
kekuatan dan potensi. Allah Swt memanifestasi kepadanya, lalu ia menjadi
terang benderang, lalu dengan penuh perhatian dan kesinambungan, Dia
memperhatikannya sehingga ia bersinar dan Dia mencipratkan model dan
contoh-Nya kepada identitasnya serta mengejawantahkan perbuatan-Nya
padanya. (Syarh Ghurar wa Dhurar Omadi, Jamal Khunsari, juz 4, halaman
218 sampai halaman 221, no. 5885).
13 Rawdhah al-Kafi, hlm. 247, hadis 347 dari Muhammad bin Salim, dari Ahmad
bin Rayyan dan dari ayahnya, dari Jamil dan dari ayahnya.
P: 40
14 Mishbah al-Syari'ah, bab 95.
15 Al-Kafi, 2/352.
16 Syarh Isyarat Ibn Sina, Magamat al-'Arifin, delapan halaman terakhir. Di
dalamnya terdapat penjelasan pengarang yang mengatakan, "Isyarah"
firfan (mistik) dimulai dengan pembedaan, kontradiksi, peninggalan, dan
penolakan. Perhatian secara mendalam terhadap komprehensifitas, yaitu
komprehensifitas sifat-sifat al-Haqg terhadap zat-zat yang berkehendak
kepada al-shida (kebenaran) dan berakhir pada al-wāhid (yang satu), lalu
wuquf (berhenti).
17 Misbah al-Syari'ah, bab 98, hlm. 65. Dalam redaksi yang dicatat oleh
Musthafawi, seorang alim yang mulia disebutkan seperti ini, "Wawaddi'
jamī'a al-ma'lufat" (dan berpisahlah dengan segala hal yang mendatangkan
keakraban), sedangkan dalam teks al-marhum Maliki disebutkan, "wada'i
(dan tinggalkanlah). Kami pun menukil dan menerjemahkan sesuai dengan
yang terakhir ini.
18 Shaduq, 'Ilal al-Syarā'i, 1/74, bab 51.
19 Disebutkan dalam kitab Nafa'is al-Funūn, 2: 56-58, pasal keenam tentang
tampilnya hijab-hijab insani melalui ketergantungan manusia kepada tubuh,
bahwa Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah ta'ala memiliki tujuh puluh ribu
hijab atau tabir dari cahaya dan kegelapan," Ketahuilah bahwa ruh manusia
karena dekat pada Allah Yang Mahamulia, sedangkan ia berada di alam
kegelapan dan berkecimpung dengannya, maka ia harus melalui tujuh puluh
ribu alam dan dari setiap alam itu ada intisarinya yang ia harus berjalan
bersamanya. Ketika ruh mencapai bingkainya, maka saat itu terdapat tujuh
puluh ribu hijab cahaya dan kegelapan, hijab-hijab cahaya berasal dari alam
ruhani dan hijab-hijab kegelapan berasal dari alam fisik.
Setiap perhatian manusia terhadap segala sesuatu di setiap alam,
meskipun alam itu alam yang sekunder, maka itu merupakan media
kesempurnaan, tetapi bila dibandingkan dengan setiap keadaan ruh, maka
ia menjadi hijab, di mana lantaran hijab-hijab itu, ia tercegah dari memasuki
alam malakut dan penyaksian keindahan lahat dan mencicipi dialog dengan
Allah serta kemuliaan kedekatan dan karamah, Bahkah, ia justru terjerumus
dari a'la 'illiyin (tempat kedekatan yang paling tinggi) ke tempat yang paling
rendah dalam alam materi (asfal al-safilin).
Meskipun beberapa ribu tahun ia telah melakukan khalwat khusus
tanpa perantara sehingga merasakan kemuliaan kedekatan, tetapi dalam
tempo yang singkat, hanya karena perantara hijab-hijab, maka keadaan
sebelumnya tersebut terlupakan secara keseluruhan, Walaupun ia berusaha
untuk berpikir kembali, ia tetap tidak bisa ingat. Bila Anda memang tidak
terkena penyakit hijab itu, Anda tidak akan pernah menjadi pelupa seperti
ini; semangat mendapatkan keintiman itu tidak mungkin segera Anda ubah
dengan keberpalingan dan ketakutan, karena keakraban dan keintiman
dahulu yang diperolehnya dengan Allah Yang Mahamulia, maka disematkan
kepadanya nama insān (manusia).
Lantaran Allah Yang Mahamulia sejak azali mengetahui eksistensi
manusia, maka ia dipanggil-Nya dengan sebutan insan, sebagaimana firman-
Nya, "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia
P: 41
ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS Al-Insan [76]:
1). Dan karena terkait dan terikat dengan alam ini, keakraban dan kedekatan
tersebut terlupakan. Maka nama yang lain yang lebih sesuai disandingkan
padanya, dan Allah memanggilnya dengan sebutan Ya ayyuhannas (wahai
manusia yang lupa).
Berdasarkan hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, "Dan ingatkanlah mereka
dengan hari-hari Allah Swt." Yakni, sekelompok orang yang sehari-harinya
sibuk dengan urusan dunia, hendaklah mereka mengingat kembali hari-
hari yang mereka dahulu berada di haribaan Allah dan berada pada magam
kedekatan dan kemuliaan, sehingga mungkin saja letupan-letupan kerinduan
akan mewujud dalam hatinya dan ia benar-benar ingin menuju kembali ke
tempat tinggal dan kediamannya yang hakiki itu, "Supaya mereka ingat.
Supaya mereka kembali." Sebab, ketika cinta terhadap kampung halaman
(asal-muasal) muncul, itu adalah hakikat iman. Disebutkan dalam riwayat,
"Cinta terhadap tanah kelahiran (wathan) adalah sebagian dari iman." Apabila
ia sampai ke negeri aslinya, itulah maqam ihsan, "Bagi orang-orang yang
berbuat baik, ada pahala yang baik dan tambahannya," (QS Yunūs [10]: 26).
Apabila ia telah melewati negeri asalnya, maka itu merupakan derajat 'irfan,
"Dan orang-orang yang paling dahulu (dalam keimanan), merekalah yang
paling dulu (dalam ketakwaan). Mereka itulah orang yang didekatkan kepada
haribaan Allah)," (QS Al-Waqiah [56]: 10–11). Apabila ia telah melangkahkah
kakinya pada maqam wushūl (sampai) maka itu adalah derajat 'iyan
(penglihatan secara nyata), “Di tempat yang benar di sisi Penguasa (Allah) Yang
Berkuasa." (QS Al-Qamar [54]: 55).
Setelah maqam itu, tidak ada lagi batasan dan penyifatan serta penjelasan
yang mampu menjangkaunya.
Dan bila cinta kepada negeri asli bersemi dalam hatinya, lalu ia tidak
berusaha kembali kepadanya dan hatinya terbelenggu oleh kenikmatan
dunia ini dan tertipu oleh pelbagai macam pesona dan kebatilan dunia,
maka sebenarnya ia mengalami kerugian abadi dan berada dalam penjara
yang kekal, "(Mereka) berada dalam siksaan) angin yang panas dan air yang
mendidih, dan dalam naungan asap panas yang hitam. Tidak sejuk dan tidak
menyenangkan," (QS Al-Waqiah [56]: 42–44).
Tujuan dari peletakan pelbagai macam hijab (penutup) adalah
mengekalkan keturunan atau generasi Bani Adam dan keteraturan alam.
Bilamana pelbagai macam hijab itu tidak meluas dan mengenai Anda, niscaya
Anda tidak akan melakukan urusan-urusan dunia dan sibuk memperhatikan
alam yang rendah. Sebagaimana tampak bahwa sebagian pesuluk saat mereka
menempuh suluknya, lalu tersingkap hijabnya, mereka mampu mengetahui
kedekatan dan kemuliaan yang asli, sehingga lantaran saking gembiranya
dan kuatnya kerinduan untuk mencapai kesempurnaan, maka mereka
berkonsentrasi pada alam ukhrawi. Atau lantaran hanyut dalam kecemburuan
saat terjerembab dalam alam kekaguman, ia berpaling dari dunia dan
seisinya dan mencapai puncak keikhlasan saat beribadah dan melaksanakan
kewajibannya.
20 Doa ini juga dikenal dengan nama doa al-Syabbūr. Doa ini disunnahkan dibaca
pada akhir waktu di Hari Jumat-peny.
P: 42
21 Doa ini termasuk bagian dari doa bulan Rajab. Disebutkan oleh Syaikh Thusi,
Misbah al-Mutahajjid, hlm. 559; Syaikh Kafami, al-Misbah, hlm. 529 dan dalam
kitab al-Balad al-Amin, hlm. 179; Sayyid Ibn Thawus, Iqbal, hlm, 646; Allamah
Majlisi, Bihar al-Anwār, 20: 343. Namun, Ayatullah Muhaddist Hajj Syaikh
Muhammad Taqi Syusytari dalam al-Akhbar al Dhaktlah menolak riwayat
tersebut dan menganggapnya sebagai riwayat palsu, Kami sendiri pada zaman
beliau hidup telah menjawab beberapa keberatan terkait dengan riwayat
tersebut. Tidak kurang dari enam belas halaman kami sampaikan jawaban
kami. Sebetulnya, jawaban terbaik disampaikan dalam syarah pembicaraan
Ayatullah Maliki Tabrizi yang ditulis di sini, tetapi karena keberatannya
dalam teks kitab Allah Syenāsi tidak tepat dan catatan pinggirnya mencakup
halaman yang cukup banyak, Karena itu, kami akan mengemasnya dalam
bentuk diktat tersendiri dan memasukkannya di akhir kitab Allah Syenāsi, juz
2. Allah tempat mencari pertolongan. (Al-Marhum Allamah Teherani)
Asal hadis ini terdapat dalam kitab yang bernilai, Irsyad al-Qulüb fi al-
Mawā'izh wa al-Hikam, karya Abu Muhammad Hasan bin Abi al-Hasan
Muhammad Dailami, di mana beliau termasuk ulama besar, ahli zuhud, dan
syaikh pada abad ketujuh, Kitab [ini] meyebutkan-dalam cetakan maktabah
Abu Dzar Jamhari Musthafawi tahun 1375 Hijriah Qamariyah-hadis ini di
akhir kitab yang berakhir dengan pembahasan hadis Mi'raj atau Ahmad dari
halaman 278 sampai 286, sedangkan dalam cetakan Muassasah Alami, Beirut
terdapat dalam juz pertama dari halaman 199 sampai 206.
Muhaqqiq Mulla Muhammad Muhsin Faidh Kasyani menyebutnya dalam
kitab al-Wafi, bab "Mawa'izhuLlah Subhanah", 3: 38-42. Abu Muhammad
Husain bin Abi al-Hasan bin Muhammad Dailami meriwayatkannya dalam
kitab Irsyadul al-Qulub ila ash-Shawab secara mursal dari Imam Shadiq yang
sanad-nya bukan dari Dailami, dari ayahnya, dari kakeknya Amirulmukminin
Ali yang meriwayatkan sambil berkata: “Rasulullah Saw. saat malam Mi'raj
bertanya pada Allah, 'Ya Rabbi, perbuatan apa yang terbaik?...." Hadis yang
memang sangat menarik dan terperinci. Allamah Majlisi dalam kitab Bihar
al-Anwar -juz 17-meriwayatkannya dan juga disebutkan dalam kitab Irsyad
al-Qulüb Dailami dari Amirul Mukminin Ali. Setelah itu, Majlisi di akhir hadis
itu mengatakan, "Berkaitan dengan hadis ini, ada dua jalur periwayatan yang
saya sodorkan. Saya telah menetapkan keabsahan dua hadis ini dari sisi
sanad, dan juga telah saya jelaskan secara detail."
23 Tahdzīb al-Ahkām, 6: 122.
24 Tahdzīb al-Ahkam, 2: 110, Man La Yahdhuruhu al-Faqth, terbitan Maktabah
Shaduq, 1: 343.
25 Shahifah 'Alawiyyah, khath Fakhru al-Asyraf, hlm. 16. Berikut ini merupakan
doa Sayyidina Ali berkaitan dengan penyifatan dan pengagungan Allah.
"Segala puji bagi Allah yang pertama kali dipuji, yang terakhir disembah,
yang paling dekat ekistensinya, yang memulai tanpa diketahui keazalian-Nya
dan tanpa dikenali akhir dari permulaan-Nya. Dia ada sebelum keberadaan
tanpa cara tertentu. Dia ada pada setiap tempat tanpa bisa dilihat dengan
mata. Dia dekat dari setiap rahasia dan bisikan tanpa jarak. Hal-hal yang
gaib, bagi-Nya tampak jelas dan hati tak mampu menjangkau kebesaran-
Nya. Mata tidak mampu menggapai keagungan-Nya, begitu juga hati tidak
mampu mengingkari makrifat-Nya. Dia memanifestasi dalam hati tanpa bentuk
P: 43
(gambar) yang dibatasi oleh pemikiran imajinatif atau digapai oleh pemikiran
rasional. Kemudian Dia menjadikan dari diri-Nya sebagai bukti atas Kebesaran-
Nya yang tak memiliki lawan, padanan, bentuk dan rupa. Adapun keesaan-Nya
adalah tanda pengaturan(rubūbiyyah)-Nya. Dan kematian yang mendatangi
makhluk-Nya memberitakan penciptaan dan kekuasaan-Nya."
Sampai akhir doa, di mana di samping sangat menarik dan padat, juga
menunjukan keberadaan Allah. Penjelasan ini dijadikan argumentasi oleh 'Arif
Rabbani dan Alim Shamadani kita. Begitu juga pernyataan bahwa: "Dia ada
sebelum keberadaan tanpa cara tertentu. Dia ada dalam setiap tempat tanpa
bisa dilihat dan Dia dekat dari setiap bisikan tanpa jarak."
26 Karena pembicaraan tentang mukāsyafah (penyingkapan batin) Imam Ja'far
Sadiq sangat tepat kami sebutkan di sini, saya akan sebutkan pelbagai macam
sisi dan bentuk mukāsyafah dari Allamah Syamsuddin bin Muhammad Amuli
dalam kitab Nafā'is al-Funā, 2:62-65, beliau mengatakan, "Pasal kesembilan
tentang mukāsyafah dan pelbagai macam bentuknya, ketahuilah bahwa
hakikat penyingkapan dari hijab (tabir) adalah suatu bentuk yang sebelumnya
bagi seseorang tidak bisa dipahami, meskipun pada alam manusia terlihat
tujuh puluh ribu alam, di mana dengan kekuatan yang terpendam dalam
dirinya manusia mampu mengetahui tujuh puluh ribu alam dari jasmani dan
ruhani, tetapi ahli hakikat menamakan mukasyafah sebagai makna-makna
yang dapat dipahami oleh pengetahuan-pengetahuan batin,
Tak syak lagi, karena pesuluk (penempuh jalan spiritual) yang benar
tertarik oleh keinginan yang kuat, sehingga dari alam tabiat (alam material),
ia meletakkan kakinya di alam syariat, lalu ia melanjutkan perjalanannya ke
tangga kebenaran dan ketulusan, yaitu jalan thariqat berdasarkan mujāhadah
(perjuangan spiritual) dan riyadhah (olah batin), sehingga ia mampu melewati
pelbagai macam hijab sampai tujuh puluh ribu hijab, lalu pandangannya
terbuka dan pelbagai macam keadaan dan maqam itu tersingkap dan
terlihat baginya. Sesuai dengan kuantitas tersingkapnya hijab dan kualitas
kebeningan akal, maka makna-makna rasional akan tampak kepadanya dan
dia akan mengetahui rahasia-rahasia rasional. Hal yang demikian itu disebut
dengan penyingkapan teoritis (kasyf nazhari), dan ia tidak perlu terlalu
percaya padanya. Selama masih dalam pandangan mata dan belum turun
(terkukuhkan), maka ia tidak perlu percaya.
Sebagian besar filsuffokus kepada pencapaian rasional dan menghabiskan
waktunya di situ, sehingga akhirnya mereka hanya tetap berada di maqam ini,
Tapi mereka menyebut hal ini sebagai pencapaian kepada tujuan yang hakiki.
Yang demikian ini karena mereka tidak mengenali maksud sesungguhnya,
sehingga mereka pun terhalang dari penyaksian pengetahuan-pengetahuan
yang lain, sehingga akhirnya mereka ingkar kepadanya dan berada pada
jenjang kesesatan, lalu mereka tersesat sebagaimana sebelumnya dan
menyesatkan banyak sekali,
Dan karena mereka mampu melewati penyingkapan rasional, maka
terjadilah penyingkapan hati dan itu disebut dengan penyingkapan syuhudi
(kasyf syuhudī). Dari sini, pelbagai macam cahaya tersingkap, dan setelah itu
terjadi penyingkapan-penyingkapan rahasia, di mana hal ini disebut dengan
penyingkapan ilhāmi (kasyf ilhāmi). Pelbagai rahasia penciptaan dan hikmah
wujud segala sesuatu akan mewujud di maqam ini dan menampak. Dan setelah
itu, penyingkapan-penyingkapan ruhani yang disebut dengan mukasyafah
P: 44
ruhi terjadi. Dan pada permulaan maqam ini, jenjang-jenjang surga dan
penyaksian-penyaksian Malaikat Ridwan dan menyaksikan malaikat dan
berbicara dengannya pun tersingkap baginya. Dan, kerena ruh secara umum
sudah suci, bening, dan terbebaskan dari kotoran kotoran jasmani, maka ia
pun menjadi cemerlang, sehingga tersingkap baginya alam-alam yang tidak
terbatas dan dia berada di hadapan ruang lingkup keabadian dan keazalian.
Hijab zaman dan tempat diangkat darinya, sebagaimana pada permulaan
penciptaan makhluk, pelbagai macam makhluk dan tingkatan-tingkatannya
tersingkap baginya dan apapun yang akan terjadi pada masa depan pun
mampu dilihatnya secara langsung dan di sinilah Rasulullah Saw. bersabda,
"Janganlah mengangkat kepala kalian karena aku melihat kalian dari depanku
dan dari belakangku."
Sebagian besar kejadian-kejadian luar biasa yang mereka namakan
sebagai karamah adalah kemampuan yang berasal dari kemampuan
mengawasi dan mengendalikan pikiran dan mengetahui hal-hal yang
gaib dan mampu melewati api, air dan udara dan ilmu melipat bumi dan
sebagainya yang terjadi pada maqam ini. Makna demikian ini bagi para ahli
hakikat tidak terlalu memiliki keistimewaan dan tidak perlu diperhitungkan
sebab orang-orang yang sesat pun mencapai maqam seperti ini, sebagaimana
Rasulullah Saw. [suatu kali] bertanya kepada Ibn Shayyad, "Apa yang kamu
lihat?" la menjawab, "Aku melihat 'Arsy di atas air." Kemudian Rasulullah Saw.
mengatakan, "Itu adalah Arsy Iblis." Begitu juga disebutkan dalam riwayat
bahwa Dajjal mampu menghidupkan orang yang telah mati. Ilmu semacam ini
tidak perlu dijadikan tolok ukur kebenaran. Pasalnya, hakikat karamah hanya
bisa dicapai oleh ahli agama dan itu pun setelah penyingkapan spiritual, di
mana penyingkapan-penyingkapan tersembunyi terjadi. Sebab, ruh ada yang
kafir dan ada yang Muslim, sedangkan ruh yang tersembunyi adalah ruh yang
khusus dan itu disebut dengan nur hadrati (cahaya Allah) yang Allah Swt
berikan kepada orang-orang yang khusus sebagaimana difirmankan, "Mereka
itulah orang-orang yang Allah telah tanamkan keimanan dalam hati mereka
dan menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya." (QS Al-Mujādilah [58]: 22).
Berkaitan dengan ruh secara mutlak, Allah berfirman, "Yang mengutus
ruh dengan membawa urusan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dari hamba-hamba-Nya." (QS Al-Mu'min [40]: 15). Dan berkaitan dengan
hak Rasulullah Saw., Allah berfirman, "Dan demikianlah Kami wahyukan
kepadamu ruh dari sisi Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah
al-Kitab (al-Qur'an) dan tidaklah pula mengetahui apakah iman itu, tetapi
Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa
yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami." (QS Al-Syūrā [42]: 52).
Yaitu cahaya khusus hadrati yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya,
di mana dengan perantaranya mereka mampu menggapai alam sifat-Nya.
Hati adalah perantara alam mulk dan malakut; di satu sisi berada di alam
malakut dan yang lain berada di alam mulk. Dengan tampilan yang ada pada
alam malakut, ia mampu memancarkan cahaya akal dan ruh. Dan dengan
tampilan yang pada alam mulk, ia memiliki pengaruh-pengaruh cahaya
spiritual dan rasional yang mampu menembus kepada jiwa dan raga, sehingga
relasi alam ruh dan hati pun terjadi. Dengan tampilan yang ada di dalam ruh,
ia akan memanfaatkan pelbagai anugerahnya. Dan dengan tampilan yang ada
dalam hati, maka pelbagai macam hakikat-hakikat anugerah tersebut akan
P: 45
sampai (kepada tujuannya). Begitu juga relasi alam, sifat-sifat ketuhanan dan
spiritual pun akan terjadi, sehingga mampu menyaksikan sifat-sifat Tuhan, di
mana gambar dan pantulan-Nya dirasakan oleh alam spiritual. Yang demikian
ini disebut dengan penyingkapan sifat-sifat (kasyf shifāti).
Dalam keadaan ini, bila sifat-sifat alam disingkapkan, seseorang akan
memperoleh ilmu ladunni. Dan bila sifat-sifat Jalal yang disingkapkan,
maka seseorang akan memperoleh fana' hakiki, dan berdasarkan ini akan
dipredikatkan padanya seluruh sifat. Adapun penyingkapan esensial (kasyf
dzāti), ia merupakan sebuah kedudukan tinggi yang tidak mampu diungkapkan
dengan kata-kata dan dilukiskan dengan sesuatu. Semoga Allah menjadikan
kita termasuk sebagai orang-orang yang berhasil menggapainya. Kitab Falah
al-Sall, ditahqiq oleh Majidi, hlm. 211
27 Disebutkan dalam hadis qudsi bahwa Allah berfirman, "Hamba-Ku, taatlah
kepada-Ku niscaya Aku akan menjadikanmu seperti-Ku. Aku Mahahidup
dan tidak akan mati dan Aku pun menjadikanmu hidup dan tidak mati;
Aku Mahakaya sehingga tidak membutuhkan sesuatu pun, maka Aku pun
menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Aku dalam kondisi
apapun akan tetap ada dan Aku pun menjadikanmu dalam kondisi apapun
akan senantiasa ada!"
Ka'ab al-Ahbar meriwayatkan hadis ini dengan redaksi yang lain sebagai
berikut, "Wahai anak Adam, Aku Mahakaya dan tidak membutuhkan sesuatu
pun. Taatlah kepada-Ku atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, sehingga
Aku pun menjadikanmu kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun. Wahai
anak Adam, Aku Mahahidup dan tidak mati. Taatilah Aku atas apa yang Aku
perintahkan kepadamu, niscaya Aku akan menjadikanmu pun hidup dan tidak
mati. Aku mengatakan kepada sesuatu jadilah' maka menjadilah ia sesuatu;
taatlah kepada-Ku atas apa yang aku perintahkan kepadamu, sehingga engkau
pun dapat mengatakan kepada sesuatu jadilah maka ia menjadi sesuatu!"
Kalimat Allāh, hlm. 140 dan 536, sumber-sumbernya berasal dari kitab 'Uddah
al-Da'i, di mana Ahmad bin Fahd Hilli menyebutkannya dari Ka'ab al-Ahbar
dan Masyāriq Anwar al-Yaqin, di mana Hafizh Rajab Barsi menyebutkannya,
serta Irsyād al-Qulüb di mana Hasan bin Muhammad Dailami juga
menyebutkannya. Pada halaman 143, dinukil hadis qudsi yang menyebutkan,
"Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang menaati-Nya atas apa
yang Dia inginkan, lalu Allah pun menuruti kemauan mereka atas apa yang
mereka inginkan, sehingga mereka mengatakan kepada sesuatu jadilah, maka
ia menjadi sesuatu." (Pada halaman 537, Hafizh Rajab Barsi menyebutkkan
sumbernya berasal dari kitab Masyariq Anwar al-Yaqin)
28 Mulla Muhammad Jawad Shafi Gulbaigani, Misbāh al-Falah wa Miftān al-
Najah, hlm. 74.
P: 46
Wahai sahabat seperjalanan, setelah tujuan menjadi jelas,
selanjutnya bulatkanlah tekadmu dengan kuat dan katakanlah,
"Aku tidak punya utang lagi sehingga aku akan meneruskan
langkahku dan mencapai tujuanku" Taubat yang benar adalah
taubat dari segala kesalahan masa lalu. Taubat itu sendiri
memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan tingkatan-
tingkatan orang-orang yang bertaubat. Dalam kitab Misbah
al-Syari'ah disebutkan, “Taubat adalah tali Allah dan berasal
dari uluran bantuan-Nya. Seorang hamba hendaknya selalu
bertaubat dalam setiap keadaan. [Ketahuilah] Setiap kelompok
dari hamba memiliki taubat. Taubatnya para nabi adalah dari
keguncangan [maqam] al-Sirr (idhthirāb al-sirr); taubatnya
para wali adalah dari polusi pikiran-pikiran; taubatnya orang-
orang yang bersih jiwanya adalah dari bernafas selain Allah,
sedangkan taubatnya orang-orang yang khusus adalah dari
kesibukan selain kepada Allah dan taubatnya orang-orang
awam adalah dari dosa."
P: 47
Taubat yang harus dilakukan oleh orang awam
sebagaimana disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib—saat
menjelaskan tentang makna istigfar-memiliki enam rukun.(1)
Pertama, penyesalan. Penyesalan [saat masih hidup]
merupakan solusi dari banyak masalah, terutama bila
dibandingkan dengan penyesalan saat menjelang] kematian
dan setelahnya, yang tidak dapat dibayangkan bagaimana
penyesalan yang bakal diterima dan dihadapi oleh orang yang
tidak bertaubat. Mengingat di dunia ini manusia tidak akan
pernah mampu memprediksi musibah-musibah (yang bakal
diterimanya]; bagaimana kegembiraan, keindahan, cahaya-
cahaya, serta kekuasaan kemudian (dapat) diganti dengan
kesengsaraan, kesulitan, kegelapan, dan amarah, sehingga [bila
tetap pada kondisi tidak bertaubat] manusia tidak akan pernah
mampu mencapai penyesalan pada derajat ukhrawi yang bisa
dibayangkannya di dunia ini!
Kedua, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan dan
dosa] kembali.
Ketiga, menunaikan hak-hak makhluk.
Keempat, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang
ditinggalkannya.
Kelima, mengganti daging yang tumbuh dari hal-hal
yang haram dalam badannya dengan melatih fisiknya melalui
riyādhah (olah jiwa) dan memberinya minuman serta makanan
yang halal, hingga tumbuh kulit dan daging yang baru.
Keenam, sebagai ganti dari lamanya waktu kemaksiatan
yang dilakukan dan dinikmatinya, ia pun harus merasakan
penderitaan dalam ketaatan.
Secara global, penjelasan rinci riwayat di atas adalah
bahwa ketika manusia mengetahui hakikat dengan benar
P: 48
dan mengetahui pengaruh maksiat-misalnya seseorang saat
memakan harta anak yatim, ia benar-benar meyakini bahwa
ia memakan api, api ini tidak akan pernah padam, bahkan
setelah kematian, justru ia semakin menguat dan membara;
membakar urat-urat dan bagian dalam tubuh manusia. Dan,
setelah urat-urat dan bagian dalam manusia terbakar, organ
dan bagian tubuh manusia tersebut diutuhkan kembali—secara
otomatis pengetahuan akan hal ini membangkitkan penyesalan
sesuai dengan kadar penderitaan dan kesulitannya. Dan, ia
harus bergerak untuk menghindari maksiat, terutama dengan
keyakinan bahwa saat ia berhasil memadamkan api yang
dinyalakannya sendiri itu, maka betapa kelezatan-kelezatan
dan kemuliaan-kemuliaan akan digapainya. Lalu, sesuai dengan
pengetahuan itu, ia terdorong dengan penuh kerinduan
untuk memadamkan api tersebut sehingga setiap pekerjaan
berat yang dihadapinya, bila ia harus melakukannya, ia akan
melakukannya dengan penuh kerinduan.
Apabila Anda bertanya, "Selain tersembuhkan dari maksiat,
kelezatan, dan kemuliaan, apa lagi yang bakal diraih dalam
taubat? Menurut kami, tidakkah Anda mengetahui bahwa Allah
mengganti keburukan-keburukan dengan kebaikan-kebaikan
yang berlipat ganda. Tidakkah Anda mengetahui kemuliaan dan
berita gembira agung yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
'Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat,'!
(QS Al-Baqarah [2]: 222). Tidakkah Anda membayangkan
kedudukan cinta Allah [pada orang yang bertaubat]? Ahli haqq
(kebenaran) mengatakan bahwa kecintaan Allah kepada hamba-
hamba-Nya tampak dalam bentuk disingkapkannya tabir-tabir
bagi mereka, lalu Dia memberi mereka karunia kedekatan dan
pertemuan dengan-Nya."
P: 49
Wahai sahabat seperjalanan, bila pendahuluan-
pendahuluan spiritual ini terjadi dan memanifestasi pada
seorang yang bertaubat, di mana dengan segenap wujudnya
ia bersedia untuk mengobati luka maksiatnya, maka setiap
atom dari wujudnya, dengan pelbagai macam jenjang dan
arah, akan merendah dan mengagungkan Allah dan ia akan
mengatakan, “Aku bertaubat kepada Allah," dan secara otomatis
jenjang-jenjang yang lain secara sempurna akan menjadi lurus
dan benar. Ada beberapa persoalan terkait hakikat mistik yang
berkenaan dengan maksiat. Misalnya, kisah pemuda yang
membongkar kuburan. Ingatlah kisah ini dan perhatikanlah!
Apakah ada orang yang menyuruh pemuda itu untuk melakukan
perbuatan demikian? Atau, pengetahuan pribadi yang parsial
tentang besarnya kejahatannya, memaksanya untuk melakukan
suatu tindakan seperti ini? Riwayat tentang taubatnya pemuda
yang membongkar kuburan ini sangat bagus. Anda perhatikan,
lalu renungkanlah taubatnya dilihat dari sisi orang awam,
lalu dari sisi taubat para wali dan setelah itu dari sisi taubat
para nabi, di mana masing-masing memiliki cerita tersendiri,
sehingga masing-masing [bisa] memberikan pengaruh bagi
Anda, bak tetesan air hujan di atas bebatuan yang keras.
Catatan;
1 Abdul Razzak Kaylani, Tarjamah wa Syarh Mishbah al-Syari'ah, him. 434.
Catatan Razzak Kaylani
P: 50
Berkaitan dengan sebab turunnya ayat, “Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka. Dan, siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain daripada Allah?" (QS Ali 'Imrān [3]: 35), disebutkan
bahwa diriwayatkan dari kitab Majālis Shadūql dari Imam al-
Sadiq yang berkata:
Mu'ad bin Jabal menemui Rasulullah Saw. dalam keadaan
menangis sambil mengucapkan salam. Kemudian, setelah
menjawab salamnya, Rasul Saw. bertanya, “Mengapa engkau
menangis?" Mu'ad menjawab, “Ya Rasulullah, di depan pintu ada
seorang pemuda yang mukanya tampan dan wajahnya putih,
tetapi ia menangisi masa mudanya, seperti ibu yang ditinggal
mati oleh anaknya. Dia ingin bertemu denganmu, ya Rasulullah”
Lalu, Nabi Saw. menjawab, “Biarkan pemuda itu masuk kemari.”
P: 51
Lalu Mu'ad pergi dan memanggil pemuda itu supaya masuk
menemui Rasulullah Saw. Pemuda itu pun mengucapkan salam
dan Rasulullah Saw. menjawab salamnya. Rasulullah bertanya
padanya, “Apa gerangan yang menyebabkan engkau menangis
begitu hebat?" Ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak
menangis; aku telah melakukan sebuah dosa yang bila Allah
mengetahui sebagian dosa itu, niscaya aku akan disiksa-Nya
dengan dimasukkan ke dalam Jahannam. Aku sendiri melihat
dan merasakan bahwa aku akan segera mendapatkan siksaan
itu dan pasti dosaku ini tidak akan pernah diampuni-Nya."
Kemudian Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah engkau
mempersekutukan Allah dengan sesuatu?" Pemuda itu menjawab,
"Aku berlindung kepada Allah dari menyekutukan-Nya dengan
sesuatu." Rasul Saw. [kembali] bertanya, “Apakah engkau
membunuh jiwa yang Allah haramkan untuk dibunuh?" Pemuda
itu menjawab, “Tidak." Kemudian Rasulullah mengatakan, "Allah
akan mengampuni dosa-dosamu, meskipun sebesar gunung."
Pemuda itu menimpali, "Dosa-dosaku lebih besar
daripada gunung." Rasul Saw. mengatakan, "Allah tetap akan
mengampuni, meskipun dosa itu besarnya seperti tujuh bumi
dan laut beserta pohon-pohonnya dan apa yang ada di dalamnya
dari makhluk-makhluk."
Pemuda pendosa itu berkata, "Dosa-dosaku lebih besar
daripada semua itu.” Rasulullah Saw. menjawab, “Allah akan
mengampunimu meskipun dosa-dosamu sebesar langit,
bintang-bintang, dan sebesar Arsy dan Kursi." Pemuda pendosa
itu berkata, "Dosa-dosaku pun lebih besar daripada itu."
Mu'ad, si perawi hadis ini, mengatakan bahwa Rasulullah Saw.
memandang ke wajah pemuda itu dan tampaknya beliau Saw.
dalam keadaan marah dan mengatakan, “Celaka engkau! Dosa-
dosamu yang besar atau Allah Yang Mahabesar?"
P: 52
Lalu, pemuda itu tersungkur di tanah sembari
mengatakan, “Mahasuci Tuhanku, tidak ada yang lebih besar
daripada Allah. Tuhanku yang lebih besar daripada segala
kebesaran, ya Rasulullah.” Rasulullah Saw. [kembali] bertanya,
"Apakah ada yang mengampuni dosa-dosa besar, kecuali Allah
Yang Mahabesar?" Pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah!"
Sejenak, ia terdiam. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, "Celaka
engkau wahai pemuda! Apakah engkau tidak akan memberi
tahu aku salah satu dari dosa-dosamu?" Pemuda itu menjawab,
"Tentu aku akan memberitahu. Pekerjaanku selama tujuh tahun
adalah melakukan pembongkaran kuburan, Aku mengeluarkan
orang-orang yang telah mati dan aku ambil kain kafan mereka.
Hingga suatu waktu, ada seorang perempuan dari perempuan-
perempuan Anshar yang meninggal. Setelah mayat itu dibawa
dan dikebumikan, saat memasuki waktu malam, aku datang
ke kuburannya. Aku bongkar kuburannya, aku keluarkan
jenazahnya, dan aku ambil kafannya. Setelah itu (selesai], aku
kembali. Di tengah perjalanan, setan membisikiku, hingga
akhirnya aku kembali ke kuburan itu lagi. Aku berzina dengan
jenazah itu. Lalu, aku letakkan ia [dalam keadaan) telanjang
di tempat itu. Kemudian, aku pun kembali. Tiba-tiba, aku
mendengar suara dari mayat itu memanggilku, 'Oh, celaka
engkau wahai pemuda dari Pengadil pada Hari Akhir. Pada
hari itu, engkau dan aku akan menghadapi hisab-Nya. Apakah
engkau akan meninggalkan aku sebagai mayat telanjang seperti
ini? Dan engkau mencuri kafanku sehingga nanti pada Hari
Kiamat aku dibangkitkan dari kubur dalam keadaan junub?
Sungguh celaka engkau dari api neraka, wahai pemuda, dan aku
ragu engkau akan mencium bau surga."" Setelah itu, pemuda
pendosa itu berkata, “Apa yang harus aku lakukan ya Rasulullah?"
Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Menjauhlah dariku
wahai fasik, wahai orang yang melakukan dosa besar, Aku takut
P: 53
tertular api neraka yang akan membakarmu. Betapa dekat
neraka itu kepadamu."
Setelah Rasulullah Saw. menyampaikan semua itu,
akhirnya pemuda itu pun meninggalkan beliau dan hilang
dari pandangannya. Dia menyendiri di suatu pojok kota, yang
berada di sisi gunung. Dia meletakkan kedua tangannya di
lehernya. Dia sibuk beribadah sembari bermunajat, “Wahai
Tuhanku, inilah hambamu yang bodoh, yang kedua tangannya
terikat. Wahai Tuhanku, Engkau mengenali aku dan apa yang
terjadi padaku. Engkau pun mengetahui wahai Tuhanku,
wahai Junjunganku, bahwa aku termasuk orang-orang yang
menyesal dan aku telah mendatangi Nabi-Mu dalam keadaan
bertaubat, lalu beliau mengusirku, sehingga rasa takutku
semakin bertambah. Aku menyeru-Mu dengan nama-Mu dan
kebesaran-Mu serta keagungan kekuasaan-Mu agar Engkau
tidak memutus harapanku dan tidak membuatku kecewa.
Wahai Junjunganku, janganlah Engkau sia-siakan doaku, jangan
Engkau buat aku putus asa dari rahmat-Mu."
Pemuda itu mengulang-ulang doa tersebut sampai empat
puluh hari empat puluh malam. Sampai-sampai keadaannya
membuat binatang-binatang buas yang berkeliling di tempat
itu, ikut menangis melihat keadaannya.
Setelah menjalani empat puluh hari penuh dalam keadaan
demikian, dia berkata, “Ya Allah, apa yang Engkau lakukan
berkaitan dengan hajatku? Jika Engkau mengabulkan doaku dan
mengampuni kesalahanku, aku akan kembali kepada Nabi-Mu.
Dan jika Engkau tidak mengabulkan doaku, tidak mengampuni
dosa dan kesalahanku serta Engkau ingin menyiksaku, maka
segerakanlah turunkan api yang membakarku atau siksaan
dunia yang menghancurkanku, tetapi sebagai gantinya,
selamatkanlah aku dari aib pada Hari Kiamat."
P: 54
Kemudian, Allah menurunkan ayat berikut pada Rasul-
Nya, "Dan juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri," yaitu ia
melakukan dosa yang lebih besar daripada zina, membongkar
kuburan, dan mengambil kafan, mereka ingat pada Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, lalu ia
ingat Allah dan meminta ampun atas dosanya, yakni ia takut
kepada Allah dan segera bertaubat, dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain Allah? Allah kemudian berfirman,
"Telah datang kepadamu wahai Muhammad, seorang hamba-
Ku dalam keadaan bertaubat, yang sebelumnya telah kau usir.
Maka, ke mana ia hendak menuju, ke mana ia hendak pergi,
ke mana ia hendak bertanya, dan siapakah yang mengampuni
dosanya selain Aku?" Lalu, Allah berfirman, “Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."
(QS Ali 'Imran [3]: 135.) Yakni ia menyesal serta tidak mengulang
kembali dosanya, yaitu zina dan mengambil kafan. Dan,
imbalannya adalah ampunan dari Tuhannya dan surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, di mana mereka selalu
berada di surga dan “Dan itulah sebaik-baik pahala orang-
orang yang beramal," (QS Ali `Imran [3]: 136).
Setelah ayat ini turun, Rasulullah saw. keluar dalam keadaan
tersenyum dengan membacakan ayat tersebut. Kemudian
beliau Saw. mengatakan kepada para sahabatnya, "Siapa yang
bisa membawaku kepada pemuda yang bertaubat tersebut?"
Mu'ad berkata, “Ya Rasulullah, aku dengar ia berada di
puncak gunung.” Lalu, Rasululllah ditemani sahabat-sahabatnya
berusaha menemui pemuda itu di puncak gunung. Rasulullah
mencari pemuda itu dan akhirnya menemukannya. Beliau
melihatnya berada di antara batu besar. Ia berdiri di situ
sambil meletakkan kedua tangannya di lehernya. Karena sering
P: 55
terkena sinar matahari, wajahnya menghitam. Dan, karena
sering menangis, bola matanya nyaris tertutup.
Pemuda itu berdoa demikian, “Wahai Junjunganku,
Engkau telah memperbagus rupaku dan memperbaiki
bentukku. Maka, apa yang Engkau harapkan dariku? Apakah
Engkau akan membakar aku di neraka atau Engkau akan
menenteramkanku di haribaan-Mu? Ya Allah, Engkau telah
banyak berbuat baik kepadaku, Engkau telah memberi
pelbagai nikmat kepadaku, maka bagaimana akhir
kehidupanku? Apakah engkau akan menggiringku ke dalam
surga atau ke dalam neraka? Ya Allah, bila kesalahan dan
dosaku lebih besar daripada langit dan bumi serta daripada
Kursi[kekuasaan]-Mu yang luas dan Arsy-Mu yang agung,
maka Engkau berkuasa untuk mengampuni kesalahanku
atau Engkau akan membongkar aibku pada Hari Kiamat.”
Di tengah-tengah munajatnya, pemuda tersebut
tersungkur di tanah. Sementara binatang-binatang buas
padang pasir berada di sekelilingnya dan di dekat kepalanya
dalam keadaan berbaris menangisi pemuda itu.
Rasulullah Saw. mendekati si pemuda. Beliau membuka
tangannya yang diletakkan di lehernya itu dan mengusap debu
yang berada di kepalanya sambil berkata, “Aku sampaikan
berita gembira kepadamu, wahai Buhlul, bahwa Allah telah
membebaskanmu dari api neraka." Kemudian beliau menoleh
ke arah para sahabat seraya mengatakan, "Hendaklah kalian
bertobat dari dosa kalian sebagaimana yang dilakukan Buhlul”(1)(2)
Catatan:
1 Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 96, majlis 11, hadis 76.
2 Faidh Kasyani, Tafsir al-Shafi (cetakan A'lami: Beirut), 1: 352–358.
Catataki Shadug, Amat,
P: 56
Berkenaan dengan taubatnya para nabi, cukuplah Anda
memperhatikan riwayat yang menceritakan taubatnya Nabi
Dawud a.s. Diriwayatkan bahwa, setelah dua malaikat turun
untuk memperingatkannya, Dawud bersujud dan tidak
mengangkat kepalanya dari sujud selama empat puluh hari,
kecuali untuk suatu keperluan dan salat. Dan, selama empat
puluh hari ini, beliau tidak makan, tidak minum, dan seluruh
waktunya dihabiskan dalam tangisan. Lantaran begitu lama
tangisannya, sehingga air matanya menggenangi sekitar
matanya. Bahkan, di dekat kepalanya tumbuh tanaman-
tanaman [lantaran) dari air matanya. Dalam seluruh waktunya,
Nabi Dawud selalu menyeru Allah dengan ungkapan yang
berasal dari hati yang hancur dan terbakar. Beliau bertaubat
dengan sungguh-sungguh dan di antara munajat yang
diucapkannya adalah, “Mahasuci Allah, pencipta cahaya. Dahi
terluka karena lamanya sujud, air mata telah habis tertumpah,
dan kedua kaki (menjadi) memar. Dalam keadaan seperti ini,
P: 57
aku terluka sehingga kedua lututku terasa melekat dengan
kulitku." Kemudian datanglah suara yang menyeru, "Wahai
Dawud, apakah engkau lapar sehingga Aku akan memberimu
makan? Apakah engkau haus sehinggga Aku akan memberimu
minum? Apakah engkau teraniaya sehingga Aku akan
menolongmu?" Tetapi Dawud tidak menyebutkan dosa-dosa
yang diperbuatnya. Nabi Dawud berteriak sambil berkata, “Ada
yang ingin aku ucapkan dari dosa yang telah aku lakukan” Ada
suara yang menyeru, “Angkatlah kepalamu dari sujud sehingga
Aku mengampunimu." Dawud tetap tidak mau mengangkat
kepalanya sehingga Jibril pun datang, lalu ia mengangkat
kepalanya. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setelah
taubatnya diterima, lagi-lagi beliau menangisi dosanya, yang
lantaran begitu hebat tangisan dan teriakannya, sehingga
orang-orang yang mendengarnya pun menyingkir dan beliau
pun berkali-kali jatuh pingsan.(1)
Catatan:
1 Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al Anwar, 14/28.
P: 58
Ringkasnya, hendaklah taubat dilakukan dengan diawali
penyesalan, ketundukan, keagungan, dan tangisan, baik secara
kualitas maupun kuantitas, yang sesuai dengan banyaknya dosa.
Terutamanya, hendaklah yang bersangkutan menyeru Allah
saat beristigfar kepada-Nya dengan memanggil-manggil nama-
nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang sesuai dengan maqam
taubat, bahkan sesuai dengan dosa si pendosa yang karenanya
ia bertaubat. Bila taubat itu dari dosa yang khusus, hendaklah
dilakukan dalam keadaan, kondisi, pakaian, dan gerakan yang
mampu lebih menarik rahmat dan kasih sayang Ilahi. Misalnya,
dengan rayuan yang menunjukkan ketidakmampuan dan rasa
takut akan siksa Ilahi, Dan, hendaklah ia masuk dari pintu yang
sesuai dengan keadaannya.
Jadi, hendaklah ia masuk dari pintu-pintu rahmat
Ilahi yang sesuai dengan keadaannya. Bila ia tidak mampu
P: 59
masuk dari pintu mana pun, hendaklah ia masuk dari pintu
ketidakputusasaan, yaitu pintu Iblis, dan mengatakan, "Wahai
yang mengabulkan permohonan makhluk-Nya yang paling
dibenci, yaitu Iblis, ketika ia meminta masa tangguh, janganlah
Engkau halangi aku dari ijabah-Mu."
Ketahuilah bahwa sebelum kematian tiba, pintu taubat akan
tetap terbuka, meskipun dosa (dari orang yang bersangkutan]
tidak bisa dibayangkan. Dan, hendaklah diketahui bahwa rasa
putus asa dari rahmat Allah adalah seburuk-buruk dosa dan
tidak ada dosa yang lebih tinggi daripada putus asa dari rahmat
Ilahi. Mungkin, saya kurang sopan menyebutkannya, tetapi
karena ini adalah pembelajaran bagi kita bersama, maka saya
harus menyebutkannya, bahwa putus asa dari rahmat Allah itu
lebih buruk ketimbang membunuh para nabi.
Pesuluk harus mengetahui bahwa setan mencurahkan
segala tenaganya supaya manusia dalam setiap keadaannya
tercegah dari jalan menuju Allah. Dan, bila jalan yang
biasa, yaitu hawa nafsu, sudah tidak dapat dibuatnya untuk
menyimpangkan manusia, maka ia berusaha menyelewengkan
manusia melalui jalan-jalan syariat dan akal. Bila manusia tidak
juga mampu dikuasainya melalui jalan ini, maka setan akan
mengganggu dengan mengatakan bahwa, “Urusanmu telah
selesai; engkau tidak akan pernah mampu melakukan taubat
yang hakiki. Taubat yang hakiki memiliki syarat-syarat, engkau
mana mampu mengamalkan syarat-syarat itu! Dan, bila syarat-
syaratnya tidak mampu engkau lakukan, maka tidak bertaubat
lebih baik daripada taubat bohong-bohongan." Di samping itu,
setan akan mengatakan, "Engkau begitu banyak melakukan
dosa, tentu kelayakan dan kebahagiaan untuk diterimanya
taubat tidak akan mungkin engkau peroleh."
P: 60
Bila pesuluk mendengarkan ocehan-ocehan ini dan
menerimanya, ia akan kalah, dan setan yang terkutuk akan
memenuhi keinginannya. Adapun bila ocehan-ocehan setan
ini ditolaknya, dan mengatakan, “Pertama, rahmat Allah yang
mampu diimajinasikan adalah rahmat yang membuat engkau
(Iblis) tidak berputus asa dan doamu mustajab. Kedua, bila
aku tidak mampu mencapai taubat hakiki yang sempurna,
maka sebatas mana pun taubat yang aku lakukan, akan aku
lakukan," mungkin saja Allah yang Maha Pengasih, dengan
kadar taubat yang aku lakukan ini, akan memberiku petunjuk
untuk mengantarkanku ke jenjang taubat yang lebih tinggi dan
lebih sempurna. Dan, bila aku berhasil] melakukan [taubat]
itu, maka lagi-lagi Allah akan memberikan kepadaku petunjuk
yang lebih tinggi sehingga aku disampaikannya kepada taubat
yang sempurna. Sebagaimana “kebiasaan" Allah memang
demikian. Namun, bila ucapanmu yang aku dengar, tentu
kehancuran, ketidakselamatan, dan keterputusasaan yang
pasti (menimpa], di mana semua itu merupakan dosa besar
yang menghancurkan, yang mungkin saja akan berimbas pada
penyegeraan dan bertambahnya azab serta kerugian dunia dan
akhirat.
P: 61
Wahai pesuluk, kami berlidung kepada Allah [dari] bilamana
tujuh puluh nabi terbunuh,(1) maka yang membunuhnya tidak
boleh berputus asa dan meninggalkan taubat, karena keduanya
akan mendatangkan kebinasaan dan akan menyebabkan
tambahan siksaan. Mengingat, dalam taubat masih ada
kemungkinan keselamatan sementara dalam putus asa dan
meninggalkan taubat terdapat siksaan yang pasti.
Jawaban lain yang cukup kuat untuk menghadapi was-was
yang cukup keji semacam "engkau tidak mampu melakukan
taubat yang benar” adalah “Ya benar, seandainya bukan
karena inayah [bantuan] Allah yang aku peroleh, tentu taubat
sejati yang sebenarnya mudah, tidak dapat kulakukan. Dan,
[seandainya) taubatku adalah taubat yang kurang [sempurna),
tetapi lantaran inayah Allah yang diberikan kepadaku, maka
aku pun bisa mencapai maqam dan jenjang tinggi yang tidak
P: 62
dapat dibayangkan sebelumnya." Bila ditanya kepadaku, “Dari
mana engkau memastikan memperoleh inayah itu?" Aku akan
menjawab, “Dari mana dipastikan bahwa inayah itu tidak akan
aku peroleh?" Jika dikatakan bahwa, "Inayah itu memerlukan
kelayakan!” Maka jawablah, “Kelayakan yang diperoleh oleh
para pemuka agama mereka dapatkan dari mana? Bukankah
mereka itu juga diberi [kelayakan) dan aku pun berusaha
mengambil dari-Nya?” Dan, bila akhirnya dikatakan, “Kelayakan
apa yang engkau dapatkan dengan perbuatan [taubat]
seperti ini? Apa yang engkau harapkan? Tidakkah engkau
melihat bahwa kelayakan ini tidak diberikan kepada setiap
orang?" Jawablah, “Aku cuma berusaha mengemis, bukankah
mengemis itu adalah gratis?" Jika dikatakan, “Tidak semua
yang diminta oleh pengemis-pengemis diberikan.” Maka
katakanlah, “Barangkali mereka tidak memiliki kesungguhan
dalam mengemis." Bila kembali dikatakan, "Engkau telah
menentang dan berbuat maksiat, hukum kekuasaan Allah
yang Mahaagung menolakmu.” Jawablah, “Hukum kekuasaan
dan keperkasaan-Nya tidak berarti bahwa setiap penentangan
[terhadap-Nya) itu dihadapi dengan amarah dan reaksi negatif-
Nya." Bila dikatakan, "Amarah Tuhan akan muncul di mana?"
Katakanlah, "Akan muncul kepada orang-orang sepertimu
yang selalu menentang Allah Yang Mahabesar dan menentang
ajakan-Nya. Engkau berusaha menghalangi hamba-hamba-
Nya dari haribaan-Nya dan membuat mereka putus asa." Bila
dikatakan bahwa, “Kamu layak untuk mendapatkan siksaan-
Nya, dan [ketahuilah] janji siksaan-Nya terhadap orang yang
melakukan maksiat adalah pasti, sedangkan ijabah dan ſusaha
dari] pengemisanmu masih dalam kategori ‘mungkin” Maka
katakanlah, “Anda melakukan kesalahan. Anda lalai akan janji
ijabat dan penerimaan-Nya. Bahkan, bila Penguasa tidak
merealisasikan ancaman-Nya, hal itu tidak tercela. Tetapi,
P: 63
bila Dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan janji-
Nya, tidak ada seorang pun beranggapan bahwa Tuhan tidak
memenuhi janji-Nya." Bila dikatakan, "Wajahmu menghitam
karena dosa dan keadaanmu hancur, maka bagaimana engkau
akan menghadap langit yang suci?" Jawablah, “Bila wajahku
menghitam, maka cahaya-cahaya wajah yang mulia para wali
akan kembali membuat wajahku bersinar dan bercahaya." Bila
dikatakan, “Engkau tidak layak untuk bertawasul kepada wali-
wali itu." Jawablah, "Aku bertawasul melalui perantara sahabat-
sahabat mereka."
Pendeknya, berhati-hatilah jangan sampai engkau tertipu
dan menjadi putus asa dari rahmat Allah yang luas. Begitu juga
dalam menjawab [was-was setan], katakanlah, “Bilamana aku
terusir dan diusir [sejauh] seribu tahap dari [pintu rahmat]
ini, maka aku akan kembali. Pintu ini adalah pintu yang
hingga saat ini tidak pernah terdengar [cerita] seseorang
yang mengharapkan rahmat melalui pintu ini dengan cara
meminta, merendahkan diri, dan mengemis, lalu ia pulang
dalam keadaan berputus asa!(1)
Tidak pernah terdengar seperti
itu.” Sebagaimana Fir'aun pernah mengemis pada suatu malam
dan dia tidak berputus asa. Tuhan pun pernah mengabulkan
permohonanmu, wahai setan yang terkutuk. Jadi, bila engkau
usir aku dari pintu ini, aku akan datang dari pintu yang lain.
Catatan:
1Diriwayatkan oleh Jabir yang berkata, "Seorang wanita datang kepada Nabi
Saw. sambil berkata, 'Wahai Nabi Allah, ada perempuan yang membunuh
anaknya sendiri dengan tangannya. Apakah perempuan tersebut bisa
bertaubat?' Nabi berkata kepadanya, 'Demi jiwa Muhammad yang ada di
tangan-Nya, andaikan wanita tersebut membunuh tujuh puluh nabi, lalu
ia bertaubat dan menyesal dan Allah mengetahui bahwa ia tidak akan lagi
berbuat maksiat selamanya, maka Allah pasti akan menerima taubatnya dan
mengampuninya. Sesungguhnya, pintu taubat itu tetap terbuka antara Timur
P: 64
dan Barat, dan bahwa orang yang bertaubat dari dosa bagaikan orang yang
tidak punya dosa,"" (Mustadrak al-Wasā'il, 12:131).
Seorang arif, Syahid Mulla Abd al-Shamad Hamidani, menulis dalam syarah
Shanifah Sajjādiyah dari Abu Sa'id Khudri yang meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw. bersabda, "Salah seorang yang terdahulu pernah membunuh
sembilan puluh sembilan orang yang tidak berdosa, bertanya kepada seorang
yang paling alim di daerahnya dan meminta petunjuknya. Ia datang kepada
orang alim itu dan mengatakan, 'Aku telah membunuh sembilan puluh
sembilan orang, apakah masih ada pintu taubat untukku?' Orang alim itu
mengatakan, "Tidak. Maka orang alim itu pun dibunuh, sehingga sempurnalah
menjadi seratus orang yang dibunuhnya. Lalu, dia bertanya lagi kepada orang
yang paling alim di tengah-tengah masyarakat pada saat itu. Ia mengatakan
kepadanya, 'Aku telah membunuh seratus orang, apakah masih ada pintu
taubat buatku?' Orang alim itu menjawab, 'Iya? Kemudian ia melanjutkan,
"Siapakah gerangan yang membuat jarak antara engkau dan taubatmu?
Pergilah ke daerah kawasan si fulan, di sana ada masyarakat yang sedang
sibuk beribadah kepada Allah Swt. dan engkau pun harus bergabung bersama
mereka untuk beribadah dan janganlah kembali ke negerimu di mana negeri
itu adalah negeri yang jelek. Kemudian, orang itu pun pergi ke tempat yang
dimaksud. Ketika sampai di pertengahan jalan, malaikat maut datang dan
mengambil nyawanya. Para malaikat rahmat dan malikat azab akhirnya
berselisih. Para malaikat rahmat mengatakan, 'la sedang menuju kepada kami,
sedangkan para malaikat azab mengatakan, 'la sama sekali tidak melakukan
amal yang baik. Kemudian, malaikat dalam bentuk manusia berada di sana,
lalu ia menjadi hakim dan mengatakan, 'Hendaklah jarak antara dua tempat
itu kalian ukur, sehingga diketahui jarak mana yang lebih dekat.' Kemudian
para malaikat pun mengukurnya, dan mereka menemukan bahwa ia lebih
dekat ke tanah taubat atau daerah yang sedang ditujunya.' Akhirnya, para
malaikat rahmat pun menerimanya." Disebutkan dalam riwayat bahwa ia
satu jengkal lebih dekat dari tanah orang-orang saleh. Oleh karena itu, ia pun
termasuk dianggap orang yang saleh.
Dalam riwayat lain disebutkan, "Allah Yang Mahabesar mewahyukan
kepada salah satu kawasan tanah, 'Menjauhlah!' dan Allah mengatakan kepada
kawasan yang lain, 'Mendekatlah! Kemudian Dia berkata, di antara dua tanah
ini ukurlah. Ternyata didapati orang tersebut lebih dekat ke tanah tempat
yang ditujunya satu jengkal, sehingga ia pun diampuni," (Bahr al-Ma'arif, 2:
51, Penerbit Hikmah).
P: 65
Rasulullah Saw. bersabda, “Bila seseorang membunuh tujuh
puluh nabi dan dia bertaubat, maka taubatnya akan diterima."(1)
[Lihat] Taubatnya Wahsyi, pembunuh Sayyidina Hamzah,
penghulu para syuhada (Sayyidu al-Syuhada'), meskipun
perbuatannya itu sangat memukul hati Nabi Saw., tetapi
taubatnya diterima.(2) Dan, tidakkah engkau mendengar apa
yang dikatakan oleh Nabi Musa Kalimullah, “Aku memaafkan
semua orang, kecuali pembunuh al-Husain."(3)
Apabila taubat benar-benar dilakukan, sejatinya itu
sangat mudah. Setiap bentuk taubat itu bagus dan tidak
boleh dianggap kurang, meskipun hanya [dengan] sebiji
atom kebaikan, satu kata kebaikan, satu kali ucapan tasbih
dan tahmid serta tahlil. Itu semua memberikan manfaat dan
meninggalkannya mendatangkan kerugian. Setiap lintasan
pikiran yang menggiring manusia supaya meninggalkan
kebaikan yang parsial (sedikit] ini, pasti datangnya dari setan,
makhluk yang tidak pernah menginginkan dan mengatakan
P: 66
kebaikan kepada manusia. Padahal, terkadang karena satu kata
kebaikan (yang sedikit] saja, dapat menyebabkan keselamatan
keseluruhan manusia. Jadi, kebaikan semacam ini tentu akan
membawa pengaruh dan cahaya. Cahaya yang menyebabkan
seseorang mendapatkan taufik, di mana dari taufik yang satu
[dapat] mengantarkan pada taufik yang lain, hingga pada
akhirnya manusia digiring menuju alam cahaya. Suatu kaidah
umum yang sama sekali tidak bisa diingkari bahwa orang-
orang mukmin secara bertahap mencapai maqam taubat yang
tinggi. Artinya, taubat pun seperti maqam-maqam agama yang
lain, memiliki jenjang-jenjang.
Wahai pesuluk, pencari dan penempuh jalan Allah! Tahapan
pertama taubat adalah suatu yang penting dilakukan. Sangat
baik saat melakukan taubat, Anda merujuk kepada amalan
yang disebutkan oleh Sayyid Ibn Thawus dalam kitab al-Iqbal
berkaitan dengan amal-amal bulan Dzulqa'dah. Perinciannya
sebagai berikut:
Disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pada hari Minggu
kedua bulan Dzulqa'dah keluar sembari bersabda, “Wahai
manusia, siapakah di antara kalian yang menginginkan
taubat?" Para sahabat menjawab, "Kami semua
menginginkan taubat.” Beliau Saw. bersabda, "Mandilah
dan ambillah air wudu serta lakukanlah salat empat rakaat,
di mana pada setiap rakaatnya kalian hendaknya membaca
surah al-Fatihah tiga kali, lalu membaca surah Tauhid,
surah al-Falaq, dan al-Nas sekali. Dan setelah selesai salat,
hendaklah kalian beristigfar sebanyak tujuh puluh kali dan
akhirilah dengan mengucapkan 'Lā haulā wa la quwwata
illā billāh al-'aliyyi al-'azhim' (tiada daya dan kekuatan
kecuali dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung)
sebanyak tujuh kali. Setelah itu, katakanlah, 'Ya Wazīzu ya
P: 67
ghaffar, ighfirlī dzunūbi wa dzunūba jamā'il mu'minin wal
mu'mināt fainnahu la yaghfiru adzunūba illā anta' (Wahai
Yang Mahamulia, wahai Yang Maha Mengampuni Dosa,
ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa seluruh orang-
orang mukmin dan mukminah, karena sesungguhnya tiada
yang mengampuni dosa selain Engkau)."
Lalu, Rasulullah Saw. melanjutkan sabdanya, "Tiadalah
seorang hamba dari umatku yang mengamalkan amalan ini,
kecuali ada yang menyeru dari langit dengan mengatakan,
'Wahai hamba Allah! Hendaklah engkau menyibukkan
diri dengan amalmu, sehingga taubatmu diterima dan
dosamu dimaafkan." Malaikat yang lain di bawah Arsy juga
berseru, “Wahai hamba! Selamat bagimu, keluargamu, dan
keturunanmu." Kemudian yang lain bersuara lagi, “Orang-
orang yang menuntutmu akan rida (memaafkanmu)
pada Hari Kiamat." Malaikat yang lain bersuara, "Wahai
hamba! Engkau akan mati dalam keadaan membawa
iman dan agama, yang tidak akan dicabut darimu. Dan,
kuburanmu akan bersinar dan bercahaya." Malaikat yang
lain bersuara, "Wahai hamba! Ayah dan ibumu akan
bergembira denganmu, meskipun dahulu mereka pernah
marah kepadamu. Ayah dan ibumu serta keturunanmu
akan dimaafkan, dan di dunia dan di akhirat kamu akan
mendapatkan kelapangan rezeki” Lalu Jibril menyeru, “Aku
akan datang bersama malikat maut saat kematianmu, tapi
aku akan mengasihimu dan tidak akan menyiksamu, dan
pengaruh kematian tidak akan menyulitkanmu dan ruh
akan keluar dari badanmu dengan mudah."
P: 68
Kami para sahabat mengatakan, “Ya Rasulullah, bagaimana
bila seseorang mengamalkan amalan ini selain pada bulan
Dzulqa'dah? Rasul Saw. menjawab, “[Sama] Sebagaimana
yang telah aku sabdakan." Lalu beliau Saw. menambahkan,
"Kalimat-kalimat ini Jibril ajarkan kepadaku pada malam
Mi'raj."(1)
Catatan:
1 Mustadrak al-Wasa il, 12: 131.
2 Dalam hadis disebutkan, "Hamzah dan pembunuhnya berada di surga" Majma'
al-Bahrayn, 3: 1916.
3 Bihār al-Anwār, 13:345.
4 Ibn Thawus, Iqbal al-Amāl, hlm. 614.
P: 69
Hal yang sangat baik, apabila orang yang menginginkan taubat,
dua atau tiga hari sebelumnya mengamalkan amalan berikut:
hendaklah ia memiliki buku (catatan), dan (ingatlah] adakah
pada hari-hari ini dan pada masa-masa lalu, atau sejak masa
kecil hingga hari ini, hak dan tanggungan kepada orang lain
yang (masih] berada di pundaknya. Bila ada, hendaklah ia
menulisnya di buku itu. Sebab, tanggungan harta bagi anak
kecil pun menjadi tanggung jawabnya, di mana setelah anak itu
besar, ia harus memenuhinya. Begitu juga dari hak-hak Allah,
yaitu dari ibadah yang dilalaikan dan diabaikannya, semua itu
harus ditulisnya, bahkan sangat baik sekali bila ſhak-hak] setiap
anggota tubuhnya juga ditulis dalam buku itu. Lalu, hendaklah
ia betul-betul merenung dan memikirkan secara mendalam,
apakah anggota tubuhnya pernah melakukan kelalaian saat
melakukan kewajiban atau melakukan tindakan haram. Kalau
dia lupa tidak melakukan suatu kelalaian, biarkan lembaran
P: 70
buku itu kosong, tetapi kalau ada sesuatu yang diingat,
hendaknya ia segera mencatatnya. Misalnya, dia menulis dalam
catatan buku itu tentang kondisi mata; apakah mata itu pernah
digunakan untuk maksiat, seperti melihat kepada wanita yang
nonmuhrim, melihat laki-laki tampan, melihat aurat orang
mukmin, melihat ke rumah orang lain, melihat kepada tulisan
tanpa izin dan rida si pemiliknya, melihat untuk menakut-
nakuti orang mukmin, melihat dengan pandangan emosi kepada
ayah dan ibu atau kepada orang-orang dekat atau kepada
para ulama atau kepada orang-orang mukmin secara umum
tanpa pembenaran syariat, melihat dengan tujuan mengejek
atau memperolok atau dengan tujuan untuk mencari aib
orang atau dengan tujuan untuk menghina atau menunjukkan
kesombongan, melihat dengan keinginan menunjukkan
kekurangan orang mukmin atau mengungkap sesuatu yang
tersembunyi dari orang mukmin, karena terkadang melihat
dapat menjadi sebab sempurna atas terbunuhnya seseorang
atau banyak orang dan dapat juga menjadi sebab sempurna
bagi perampasan harta, sebagaimana firman Allah, “Mengetahui
(pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan
oleh hati." (QS Al-Mu'min [40]: 19). Demikianlah hak-hak mata.
Begitu juga hak-hak anggota tubuh yang lain, terutama lisan,
di mana hak-haknya tidak ada batasan,
Dengan demikian, hendaklah seseorang memperhatikan
hak-hak harta dan hak-hak istihlāliyah(1) dan tak lupa
melaksanakan hak-hak amaliyah(2) dan beristigfar terhadap
hal-hal yang bisa diperbaiki dengan hanya beristigfar. Adapun
hak-hak yang tidak lagi mampu seseorang serahkan kepada
pemilik atau penerima haknya, maka lakukanlah amalan-
amalan baik sesuai dengan kadar haknya. Dan, hendaklah ia
membayar kafarah [denda) yang menjadi tanggung jawabnya
dan melaksanakan qishas (hukuman) yang ditetapkan padanya,
P: 71
sedangkan sesuatu yang masuk dalam kategori syubhat yang
[mestinya) dihindari, hendaklah ia benar-benar berhati-hati dan
tidak teledor serta berusaha memperbaikinya. Lalu, kerjakan
perbuatan mulia seperti yang disarankan dalam kitab al-Iqbal,(1)
membaca doa taubat yang ada pada Shahīfah Sajjādiyah,
mengingat kembali berbagai maksiat besar, dan mengingat
juga nikmat khusus Allah, di mana meski Dia mampu dengan
segala kekuasaan-Nya untuk menurunkan siksa dan amarah
di hadapan kemaksiatan yang dilakukan tanpa rasa malu ini,
tetapi Dia tetap menganugerahinya dengan ribuan kenikmatan.
Selanjutnya, hendaklah ia bersimpuh dan meletakkan tanah
di kepalanya dan tangan kanannya diletakkan di lehernya dan
diikat, adapun tangan kirinya diikat di dadanya, sehingga ia
menyerupai kondisi orang-orang yang tersiksa. Lalu, bukunya
diberikan dengan tangan kiri. Mudah-mudahan dengan cara
seperti ini ia memahami makna ayat, “Adapun orang-orang
yang diberikan kitabnya dari belakang." (QS Al-Insyiqāq [84]: 10).
Terkadang, yang ditonjolkan [oleh Tuhan] takut akan siksa,
besarnya kesulitan dan dahsyatnya api Jahannam, terkadang
tentang ular-ular dan kalajengking-kalajengking, dan terkadang
lagi tentang mata rantai dan belenggu. Berkaitan dengan
ayat, “Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya
tujuh puluh hasta," (QS Al-Hāqqah [69]: 32.), dalam riwayat
disebutkan bahwa satu hasta [di akhirat] panjangnya beberapa
kilometer dari ukuran kilometer di dunia, di mana [rantai] itu
dimasukkan dari kepalanya dan keluar dari duburnya. Dan
terkadang lagi, al-Qur'an memberitakan tentang kerasnya
siksaan dan besarnya bentuk Malaikat, yang juga sangat kejam
dan sangat menakutkan, serta makanan dan minuman Zaqum,
Dhari, dan Ghislin.(2) "Disiramkan air yang sedang mendidih ke
atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala
P: 72
apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka)" (QS
Al-Hajj [22]: 19-20).
Catatan:
1 Istihlaliyah berarti mengembalikan harta milik seseorang atau sekadar
meminta kerelaan dan keridaannya.
2 Hak-hak amaliyah seperti melakukan salat dan puasa qadha (pengganti puasa
yang ditinggalkan).
3 Ibn Thawus, Iqbal al Amal, hlm, 147 and 197.
4 Zaqum adalah nutrisi penghuni neraka, Dhari adalah tanaman berduri,
Ghislin adalah darah dan nanah yang mengalir di antara penduduk neraka.
P: 73
Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih di antara yang mengasihi,
kasihanilah daku ketika aku berada di antara kobaran api neraka
Jahannam yang membakar, Tak lama kemudian, ada suara yang
berteriak, “Di mana Jawad bin Syafi' [nama penulis penerj)
yang di dunia telah terlena dalam angan-angan yang panjang?
Ia telah menghabiskan waktunya berlalu begitu saja dan sibuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan hina dan keji." Setelah selesai
panggilan yang menakutkan ini, petugas-petugas khusus dari
Jahannam yang membawa tonggak-tonggak dari baja dengan
begitu cepat mendatangiku, lalu memukuliku dan memberiku
siksaan yang sangat pedih dan aku dihempaskannya ke dasar
Neraka Jahannam. Mereka berkata padaku, “Rasakanlah,
sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia." (QS Al-
Dukhān [44]: 49). Mereka menempatkan aku di suatu rumah
para tawanan yang kekal di dalamnya, di mana sudah ada
api yang menyala-nyala. Minuman yang diberikan kepadaku
P: 74
sangatlah panas dan tempat tinggalku adalah Jahannam, yang
dengan api yang menyambar-nyambar membuatku hancur. Di
sana aku diseret ke dalam dasar neraka, dan dalam kondisi yang
sangat mengenaskan seperti ini, akhir harapanku hanyalah
supaya aku mati dan hancur, Sayangnya, di sana tidak ada
kematian dan keterpisahan. [Malah] Kaki terikat sampai ke
dahi dan wajah menjadi gelap karena banyaknya dosa. Dalam
keadaan yang demikian, aku berteriak dari setiap penjuru,
"Wahai malaikat, ancaman-ancaman azab kepada kami telah
terjadi dan terbukti. Beratnya rantai dari baja membuat kami
lemah dan kulit-kulit kami telah melepuh. Wahai malaikat,
kami telah terbakar oleh Jahannam dan telah habis kekuatan
kami. Keluarkanlah kami dari sini. Sungguh kami tidak akan lagi
melakukan perbuatan-perbuatan keji dan dosa."
Lalu, kami mendengar jawaban, “Tidak! Sekarang bukanlah
waktu untuk mendapatkan keamanan bagi kalian. Kemungkinan
kalian keluar dari api yang membakar sama sekali tidak ada.
'Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu
berbicara dengan Aku, (QS Al Mu'minūn [23]: 108). Andaikan
kalian keluar dari api neraka dan terselamatkan darinya, pasti
kalian akan kembali melakukan dosa dan melanggar apa yang
dilarang!"
Dalam keadaan seperti ini, sungguh aku benar-benar
putus asa. Aku menyadari tidak ada lagi jalan keselamatan
bagiku. Penyesalan yang sangat besar dan menyakitkan,
menyelimuti seluruh wujudku, lalu wajahku pun dihempaskan
ke dalam neraka sehingga di atas kepalaku ada api, di bawah
kakiku ada api, di sebelah kananku ada api, dan di sebelah
kiriku pun ada api. Akhirnya, aku tenggelam dari segala penjuru
dalam api, bahkan makananku, minumanku, tempat tidurku,
pakaianku, dan tempat istirahatku pun api.
P: 75
Aku berada di antara percikan-percikan api Jahannam
dengan pakaian-pakaian sangat menjijikkan yang bisa terbakar.
Aku selalu mengalami pukulan beruntun dan menahan rantai-
rantai berat yang selalu menerpaku. Aku senantiasa merasakan
kesempitan Jahannam dan tubuhku terpotong-potong dalam
dasar neraka sehingga aku pun meleleh dan mendidih di
dalamnya, bagaikan makanan yang dididihkan di dalam periuk.
Dalam kondisi seperti ini, aku berteriak dengan cukup
keras dan tiba-tiba tiang-tiang dari baja dihantamkan di atas
kepala dan wajahku, sehingga akibat hantaman yang keras,
dahiku pun terbelah dan air yang baunya busuk dan menjijikkan
keluar dari mulutku. Dan, karena begitu panas dan terbakarnya
(tubuh] karena kehausan, maka hati dan jantungku tercabik-
cabik dan bola mataku pun keluar dari kelopaknya, seperti
air mata yang jatuh di wajah. Lalu, dari anggota tubuhku ada
daging-daging yang terpisah dan berjatuhan, dan dari ujung
kulit dan rambut-rambutku terkelupas dan tercabut. Dan,
setiap kali kulit-kulitku terpotong dan rusak, maka kembali
diganti dengan kulit baru yang lebih segar. Pada saat itu,
tulang-tulang karena begitu panasnya api neraka, terpisah
dari badan, sehingga tidak ada daging sedikit pun pada
tulang-tulang tersebut yang tersisa. Yang masih bertahan
adalah ruhku yang menempel pada urat (pembuluh), di mana
dengan hancurnya pembuluh ini, maka kematian akan menjadi
pasti. Namun, kematian tak kunjung menghampiriku. Aku pun
meminta kepada Tuhan Yang Mahaesa agar sebaiknya dan
secepatnya aku dimatikan. Dalam keadaan seperti ini, aku
mengatakan, “Hai Malik (malaikat penjaga neraka), biarlah
Tuhanmu membunuh kami saja, Dia menjawab, 'Kamu akan
tetap tinggal (di neraka ini)," (QS Al-Zukhruf [43]: 77).
P: 76
Dengan demikian, hendaklah seseorang memanfaatkan
seluruh potensi kesepian (jiwa), kefakiran, ketidakmampuan,
keremukan hati, baik dalam ucapan, tindakan, rupa, dan
pakaian. Sebab, itu semua akan memengaruhi hati manusia dan
pengaruh hati tersebut menyebabkan terpancingnya lautan
rahmat Ilahi. Jika engkau membenarkan hal ini, perhatikanlah
amalan para pembesar (pemuka) agama saat mereka melakukan
munajat dan beristigfar. Bagaimana keadaan mereka? Misalnya,
ada di antara mereka yang meletakkan rantai di leher mereka,
lalu duduk di atas tanah; ada yang pergi ke kuburan dan
mengambil tanah, lalu memoleskannya pada tubuh mereka;
atau ada yang menarik jenggot mereka. Demikianlah, coba Anda
perhatikan keadaan taubatnya Nabi Yunus a.s.! Perhatikanlah
seorang bijaksana yang terdidik dalam keluarga kenabian, yaitu
Rubail! Bagaimana beliau mengajarkan keadaan bertaubat
kepada kaumnya dan dia sendiri mengamalkan hal tersebut
sehingga bencana yang seharusnya turun pun ditiadakan.
Rubail telah mengajarkan kepada mereka supaya anak-anak
harus dipisahkan dari ibunya, anak-anak kambing dipisahkan
dari induknya, dan anak-anak sapi dipisahkan dari betinanya.
Lalu, para ibu diletakkan di atas gunung, sementara anak-anak
mereka diletakkan di dataran, dan kaum pria meletakkan tanah
di atas kepala mereka.
Lantaran hal ini, [anak-anak] binatang berteriak-
teriak karena dipisahkan dari induknya dan karena ingin
mendapatkan makanan. Mereka berteriak karena lapar dan
ingin mendapatkan susu. Sementara, anak-anak kaum tersebut,
karena ingin mendapatkan susu dan karena dipisahkan dari
ibunya, mereka pun menangis. Kaum tersebut karena takut
terhadap azab dan betapa mengerikannya siksaan pada
hari itu, wajah mereka menjadi menguning, seperti terkena
matahari. Mereka gemetar, seakan-akan aroma siksaan dan
P: 77
pedihnya azab benar-benar mereka saksikan, sehingga dengan
hati yang tersayat mereka berteriak, "Ya Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'rāf [7]:23).
Panggilan, “Ya Arhāma al-Rahimin" (wahai Yang Maha
Pengasih di antara yang mengasihi) membahana ke angkasa.
Ringkasnya, saat itu) terjadilah miniatur mahsyar, dan
akhirnya [dengan taubat yang mereka lakukan], dicabutlah
doa dan laknatan Nabi mereka, meski turunnya azab telah
ditetapkan. Sungguh lautan rahmat Dzat Arhama al-Rāhimin
pun muncul. Malaikat Israfil diberi perintah oleh Allah supaya
menyampaikan kepada kaum Nabi Yunus bahwa Allah telah
mengampuni mereka. Lalu, beliau mengangkat bencana dari
mereka dan bencana itu dihantamkan ke gunung. Wahai
pesuluk, wahai saudara, “kebiasaan" Allah yang diberlakukan-
Nya di antara hamba-hamba-Nya adalah satu model.
Hingga detik ini, saya dan Anda masih memiliki waktu.
Bencana dan musibah belum turun dan belum tampak. Kita
bisa mendapatkan lautan rahmat Dzat Arhama al-Rahimīn dan
kita harus memadamkan "api" yang menyambar ini.
P: 78
Wahai pesuluk, saat saya belajar agama di Najaf al-Asyraf, saya
melihat seorang alim yang mengamalkan ilmunya, yakni Mulla
Husain Qali Hamidani. Seorang yang mulia, bijak, dan luar biasa.
Beliau mengajarkan kepada salah satu santrinya amalan taubat.
Untuk melaksanakan pekerjaan yang penting ini, dua atau
tiga hari beliau menghilang dan tidak tampak. Setelah beliau
muncul, kami melihat perubahan yang cukup drastis pada
fisiknya. Badannya yang semula tampak gemuk dan berlemak,
hari itu tampak seolah separuhnya hilang. Dan, raut mukanya
tidak tampak berseri, tetapi tampak memucat, menguning, dan
lesu. Saya pikir, tidak mungkin beliau melakukan riyādhah (olah
spiritual) satu atau dua hari, lalu diikuti perubahan secepat
ini. Ternyata, setelah itu saya paham bahwa beliau betul-betul
beramal bak ksatria yang serius. Saya mendengar bahwa dalam
majelis taubatnya, beliau menangis dan merintih selama enam
jam.
P: 79
Intinya, diperlukan keseriusan. Tanpa keseriusan dan tanpa
tekad serta perhatian, perbuatan kita tidak memberikan hasil
yang positif, Perlu kami tegaskan di sini bahwa [kebanyakan]
tangisan kita bukan tangisan hakiki. Mengapa? Karena
tangisan hakiki berasal dan bersumber dari hati yang tersayat.
Sementara tidak seluruh air mata adalah tangisan.
Akan tetapi, sangat disayangkan dan sangat memalukan,
bahkan untuk pura-pura menangis pun kita tidak melakukannya.
Padahal, meskipun sebatas pura-pura menangis, kalau manusia
membiasakannya dan tekun melakukannya, niscaya itu akan
membawa pengaruh pada hati dan pada akhirnya akan
menyebabkan tangisan yang hakiki dan realistis.
Wahai pesuluk, taubat ini apabila dilakukan oleh seorang
hamba, niscaya akan mendatangkan harapan yang besar, Taubat
bagi seorang hamba akan menjadi sebab yang sempurna guna
mencapai tujuan. Menurut ayat al-Qur'an, taubat seperti ini
P: 80
merupakan jalan hidayah, "Sesungguhnya Allah Swt. mencintai
orang-orang yang bertaubat," (QS Al-Baqarah [2]: 222).
Dan, telah disebutkan bahwa kecintaan Allah kepada
hamba-Nya diberikan dalam bentuk penyingkapan hijab-hijab
(tabir-tabir), dan memang demikianlah tujuan aslinya. Maka,
alangkah tingginya derajat itu! Alangkah mulia dan kekalnya
maqam itu! Dan, tiada keadaan serta kenikmatan yang lebih
berharga dan indah selain daripada itu!
P: 81
Wahai pesuluk, setelah taubat, Anda harus melaku-
kan apa yang disebut dengan musyārathah,(1) muraqabah, dan
muhāsabah. Pada awal Subuh, hendaklah Anda melakukan
musyarathah dengan diri Anda sendiri. Musyārathah adalah
mitra yang paling mulia, paling berharga, dan merupakan
modal yang luar biasa. Selama sehari (dari pagi] sampai waktu
tidur, lakukanlah murāqabah (kewaspadaan) secara sempurna
dan saat [sebelum] tidur, lakukanlah muhāsabah (introspeksi)
secara sempurna dari seluruh apa yang pernah dilakukan; se-
lama masa hidupmu dari kekuatan-kekuatan lahir dan batin
dan dari pelbagai kenikmatan Ilahi yang engkau gunakan atau
engkau abaikan. Semua ini telah dijelaskan dengan indah oleh
ulama-ulama akhlak, di mana perinciannya tertulis dalam
kitab-kitab mereka. Namun, saya hanya mengisyaratkan ke-
pada masalah yang penting dan berpengaruh berkaitan den-
gan hal ini.
Saat hendak tidur, hendaknya Anda melakukan muhā-
P: 82
sabah al-nafs (introspeksi diri) dan mengobati pengkhiana-
tan-pengkhianatan diri dengan serius. Segeralah bertaubat
dan tidak perlu lagi menunda-nundanya. Miliki tekad yang
kuat dan keinginan yang bulat, dan sadari bahwa tidur pada
hakikatnya adalah saudara kematian, sebagaimana ditegaskan
dalam al-Qur'an, "Allah memegang jiwa (orang) ketika mat-
inya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetap-
kan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya, pada yang demikian
itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang ber-
fikir," (QS Al-Zumar [39]: 42)."
Jadi, seyogianya, manusia memperbaharui persiapan
menuju kematian dengan kembali meneguhkan keimanan.
Dan dengan kesucian, hendaklah ia menghadap kiblat dan
menghadapkan hati ke arah kiblat yang hakiki. Dan sebutlah
nama Allah dalam mengamalkan amalan-amalan saat [sebe-
lum] tidur dan kemudian menyerahkan ruh dan jiwanya ke-
pada Allah. Sekali lagi, hendaklah ia memperhatikan amalan-
amalan sebelum tidur dan tidak meninggalkannya, yaitu saat
ia masuk ke tempat tidur hendaknya mengucapkan basmalah,
baik melalui hati dan lisannya, lalu membaca ayat "Qul innamā
anā basyarun mitslukum ..." (QS Al Kahfi [18]: 110). Dan ayat,
"Amana al-rasūlu bimā unzila ilayhi min rabbihi ..." (QS Al
Baqarah [2]: 285) dengan penuh perenungan dan dilanjutkan,
kemudian membaca tasbih Fatimah al-Zahra(1), ayat Kursi, dan
tiga atau sebelas kali surah al-Ikhlas dan tiga kali membaca
"YafaluLlāh ma yasyā’u bi qudratihi wa yahkumu mā yurīdu bi
'izzatihi” (Allah dengan kekuasaan-Nya melakukan apa yang
dikehendaki-Nya dan dengan kemulian-Nya memutuskan apa
P: 83
yang diinginkan-Nya) dan ayat yang berkah, "Syahidallāh ..."
(QS Ali Imran [3]: 18-19). Lalu, hendaklah dia membaca istig-
far [sebagaimana) yang diriwayatkan dalam hadis atau istigfar
manapun secara umum. Itu sungguh bagus dibaca.
Catatan:
1 Musyārathah berarti berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan maksiat
di hari itu.
2 Diriwayatkan bahwa ketika Fatimah al-Zahra mengadukan keletihannya da-
lam mengurusi pekerjaan rumah kepada ayahnya dan meminta kepadanya
supaya mendatangkan pembantu, Rasulullah Saw. menjawab, "Apakah engkau
mau aku ajarkan sesuatu yang lebih baik daripada pembantu? Lalu Rasul Saw
melanjutkan sabdanya, "Saat engkau hendak tidur maka bacalah, subhonallah
33 kali, al-hamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali." Tasbih ini kemudian
terkenal dengan sebutan "Tasbih al-Zahra". (Riwayat ini adalah sahih dan ter-
dapat dalam banyak kitab hadis, di antaranya dalam kitab Musnad Ahmad bin
Hanbal 1/80 no 604).
P: 84
Ketahuilah, adakalanya Allah membimbing hamba-Nya saat
ia tidur, sebagaimana dahulu pernah Dia lakukan kepada
para nabi dan kekasih-Nya. Aku yakin, sebagian kekasih-Nya
memperoleh kemuliaan [bimbingan] ini saat sedang tidur
di tengah hari. Dalam kondisi tersebut, mereka mendapat
pengenalan diri lebih baik dan lebih jelas. Dan, saat terjaga dari
tidur, dia menyaksikan seolah-olah hakikat dirinya keluar dan
menyatu dengan alam malakut, lalu tersadar dalam keadaan
masih merasakan keagungan itu. Bahkan, mereka menyaksikan
ruh mereka menarik badan mereka, yang membuat mereka
terheran-heran dan berkata dalam hati, “Apa yang terjadi pada
diriku?" sampai keadaan tersebut perlahan-lahan menghilang.
P: 85
Para pesuluk sering mendapat pengetahuan tentang banyak
hal melalui pelbagai mimpi, di mana tak jarang dalam pelbagai
mimpi yang mereka alami ini, mereka meniti maqam-magam
spiritual dengan pertemuan-pertemuannya dengan Rasulullah
Saw., para imam, dan tokoh-tokoh ulama.
Dalam tafsir ayat, “Bagi mereka kabar gembira dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat," (QS Yūnus [101: 64)
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan gembira di dunia
ialah mendapat kabar gembira melalui mimpi, yaitu seorang
hamba memimpikan sesuatu yang menggembirakan yang telah
menjadi miliknya.
P: 86
Hamba yang hina ini selalu berharap [bisa) sering bermimpi
berjumpa dengan para manusia suci dan merasakan kasih
sayang dari mereka, sehingga [lantaran begitu berharapnya] aku
merasakan kenikmatan, kenyamanan, dan harapan pada mimipi-
mimpi itu, saat aku hendak tidur! Seseorang bertanya padaku,
"Memangnya engkau mendapatkan penyaksian dalam tidur?!"
Meskipun ia berkata demikian, tetapi aku bisa menerimanya.
Dengan merasakan kenikmatan dalam tidurku
Aku menyaksikan kebaikan dalam tidur
Saat aku terbagun dari tidur
Pertama-tama kamulah yang muncul dalam ingatan
Setelah membaca syair ini, jika dalam berpikir tidak
memberikan hasil pada dirinya, lalu dia tidur dalam keadaan
berpikir, jika tidak, ia sibukkan diri dengan berzikir, hingga
P: 87
dalam tidurnya ia dalam keadaan berzikir. Dalam kondisi
tersebut, apabila pada saat-saat terakhir antara sadar dan tidak ia
masih mengucapkan Ya Allah atau hanya kata Allah, itu masih
sangat bagus. Sebab, dalam kondisi tersebut, sering terjadi-
meskipun ia telah hanyut dalam tidurnya, suara nafasnya masih
bergerak sesuai dengan irama zikirnya, hingga kadang orang-
orang yang berada di dekatnya mendengarnya.
Dengan demikian, ia telah menunjukan kepasrahan dengan
seluruh dirinya kepada Allah, Ia menyadari bahwa saat ruhnya
kembali pada badannya, hal itu sama dengan ruh dihidupkan
kembali setelah kematian. Dan, ini merupakan nikmat baginya,
karena ribuan orang justru tak lagi berkesempatan untuk
bangun dari tidur mereka. Bukankah mereka ini saat berada
di dalam kubur tak mendapatkan kenikmatan di dalamnya?
Mereka berkata, "Wahai Tuhanku, kembalikanlah aku, niscaya
aku akan beramal saleh yang dahulu aku tinggalkan." (QS Al
Mu'minūn [23]: 99-100).
Mereka mendengar jawaban;
"Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu perkataan yang
diucapkannya saja." (QS Al Mu'minūn [23]: 100).
Ketika itu, ia melakukan sujud syukur sambil berkata
kepada diri sendiri, “Mereka tidak mengatakan 'sekali-kali
tidak' kepadaku dan masih mengembalikanku ke dunia."
Karena itu, saat masih terjaga, perbaikilah dan sempurnakanlah
perbuatanmu pada masa lalu, juga berusahalah agar kamu
menjadi orang-orang yang dekat dengan Allah.
Dalam rangka menjalankan komitmen ini, ia harus
merealisasikannya dengan bekerja demi memperoleh
keuntungan dunia dan akhirat. Bahkan, ia harus berusaha
mendekatkan diri kepada Allah melalui cara-cara apa saja yang
dibenarkan. Sekarang ini, modal itu telah Anda miliki, tetapi
P: 88
secepatnya akan diambil kembali dari tanganmu. Oleh karena
itu, raihlah keridoan Allah. Jika kamu menunjukan sikap tegas,
kamu akan mampu menghindarkan diri dari gangguan segala
sesuatu selain-Nya dan langkah-langkahmu semakin pasti
dalam meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat. “Katakanlah,
'Allah'. Kemudian, biarlah mereka bermain dalam kesesatan
mereka," (QS Al-An'ām [6]: 91).
Hendaknya Anda memusatkan pikiran dan
perhatianmu kepada-Nya, jangan mengharapkan
sesuatu, kecuali keutamaan dari-Nya, dan katakanlah,
"Tidak ada sesuatu yang aku harapkan selain diri-Mu."
Berhati-hatilah, jangan sampai angan-angan duniawi
menguasai pikiranmu dan kebutuhanmu pada dunia
memalingkanmu dari sesuatu yang sebenarnya harus
diraih. Sebab, hal itu mewariskan kesengsaraan di samping
bertentangan dengan asas penghambaan, sebagaimana sikap
berlebihan para budak dunia yang rakus dan cinta dunia lantaran
terlalu memikirkan kebutuhan pokok bagi dirinya. Tentu,
kalian tidak menyukainya. Ditambah, hal ini juga termasuk
akhlak tidak terpuji dan rendah, di mana keinginannya melulu
soal perut, seks, harta, dan jabatan duniawi yang menipu.
Sangat disesalkan apabila modal seseorang yang dapat
digunakan untuk memperoleh keuntungan pada kehidupan
lain sehingga dapat mendekatkannya kepada penguasa alam
malakut, justru ia gunakan untuk meraih keuntungan dan
kebahagiaan di dunia yang fana, rendah, dan tak berarti ini.
Apalagi, [ada] ayat dan riwayat menyatakan bahwa keuntungan
duniawi sejatinya bukan diperoleh melalui usaha karena bagian
setiap orang pada kehidupan dunia ini telah ditetapkan.
Seandainya ia kehilangan sesuatu dari [bagian] dunia, ia
akan kembali mendapatkannya. Seandainya asumsi ini benar,
P: 89
yakni kalau tujuan-tujuan duniawi dicapai melalui usaha
manusia, sebenarnya itu pun masih melalui jalan Tuhan, yaitu
ketawakalan, yang merupakan sebaik-baik jalan untuk sampai
pada kebahagiaan yang sebenarnya. Pendeknya, [keuntungan
dunia diperoleh] dengan ketawakalan dan bukan dengan
giat dalam usaha, mengingat tak ada keuntungan yang dapat
diperoleh dari berusaha mencari keuntungan dunia, selain
kesengsaraan dan tipuan. Hal ini diperkuat oleh sebuah riwayat
yang menyatakan bahwa "Siapa bangun di waktu pagi dengan
semangat mencari keuntungan dunia, maka ia terkena musibah."
Dalam sejumlah riwayat dipaparkan secara jelas bahwa
siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Dia tidak membuat
orang itu bergantung pada jalan-jalan dunia. Dan, sebuah hadis
Qudsi yang diriwayatkan oleh tsiqatul islām, Kulaini, dari imam
Ja'far al-Sadiq yang menjelaskan:
Imam Ja'far al-Sadiq pernah menyampaikan dalam
sebagian kitab yang ada bahwa Allah berfirman, “Aku
bersumpah demi kemuliaan, keagungan, keluhuran, dan
kedudukan-Ku yang Mahatinggi atas Arsy, Aku benar-benar
akan memutuskan harapan setiap orang yang berharap
kepada selain-Ku dengan keputusasaan, memakaikannya
dengan pakaian kehinaan di tengah masyarakat, dan
memalingkannya dari keinginannya mendekatkan diri
kepada-Ku atau menjauhkannya dari sampainya kepada-
Ku. Mengapa ia mencari pertolongan kepada selain-Ku
kala tertimpa musibah, padahal semua musibah berada
di tangan-Ku? Kenapa ia berharap kepada selain-Ku dan
berpikir dirinya sedang mengetuk pintu rumah selain-Ku,
padahal kunci setiap pintu yang terkunci ada ditangan-Ku
dan pintu rumah-Ku terbuka untuk orang yang memanggil-
Ku? Siapa yang mengharapkan pertolongan-Ku saat
mengalami kesulitan, tetapi Aku tak memenuhi harapannya
itu? Siapa yang meminta bantuan-Ku untuk urusan yang
P: 90
besar, tetapi Aku memutus harapannya? Aku menjaga
harapan hamba-hamba-Ku di sisi-Ku, tetapi mereka tak
menyukainya. Aku memenuhi langit-Ku dengan hamba-
hamba-Ku yang tak pernah lelah menyucikan-Ku dan Aku
memerintahkan mereka tidak menutup pintu-pintu antara
Aku dan hamba-hamba-Ku. Namun, mereka tak percaya
pada ucapan-Ku. Apakah ia tidak tahu bahwa tidak ada
siapa pun selain-Ku yang mampu memberikan solusi
atas kesulitan yang menimpanya, kecuali seizin-Ku! Lalu,
mengapa ia berpaling dari-Ku? Dengan kemurahan dan
kedermawanan-Ku, sesuatu yang ia tidak inginkan dari-
Ku, Aku berikan, dan kelak Aku akan ambil kembali darinya.
Namun, ia tidak memintanya kembali dari-Ku, bahkan ia
inginkan dari selain-Ku. Ia tahu kalau pemberian-Ku selalu
mendahului permohonannya kepada-Ku, tetapi, mengapa
saat ia memohon sesuatu kepada-Ku, ia masih berpikir
Aku tak akan mengabulkan permohonannya?! Apakah Aku
kikir sehingga membuatnya berpikir demikian?! Bukankah
setiap sifat murah hati dan kedermawanan, demikian pula
dengan sifat pemaaf dan kasih sayang, bersumber dari-
Ku?! Bukankah Aku adalah tumpuan semua harapan? Lalu,
siapa yang dapat memutus harapan-harapan selain Aku?
Apakah orang-orang itu tak takut karena berharap kepada
selain-Ku? Seandainya semua penghuni langit dan bumi
menginginkan Aku memberi nikmat kepada setiap orang
dari mereka sebesar permohonan mereka semua, hal itu
tak akan mengurangi kekuasaan-Ku, meski sebesar tubuh
seekor semut pun. Bagaimana [hal itu] dapat mengurangi
kekuasaan, sedangkan Aku adalah pengurusnya? Alangkah
meruginya orang yang putus asa dari rahmat-Ku. Alangkah
meruginya orang yang bermaksiat kepada-Ku. Dan,
alangkah meruginya orang yang melupakan-Ku.”(1)
Dalam riwayat lain, Imam Ja'far berkata:
Allah mewahyukan kepada Dawud a.s., “Siapa dari hamba-
hamba-Ku yang berlindung pada-Ku tanpa berlindung
P: 91
pada makhluk-makhlukku yang lain, dan Aku mengetahui
hal itu dari niatnya, lalu langit, bumi, dan seisinya
memperdayakannya. Maka, Aku telah menyiapkan jalan
keluar baginya di antara semua itu. Dan, siapa dari
hamba-hamba-Ku yang berlindung pada salah satu dari
makhluk-Ku, yang Aku ketahui dari niatnya, melainkan
Aku jauhkan perantara-perantara yang ada di langit dan
bumi dari hadapannya lalu menyerahkan dunia ini pada
kekuasaannya, setelah itu Aku membebaskannya untuk
mati di lembah manapun."(1)
Imam Ja'far al-Sadiq juga berkata, “Sesungguhnya orang
kaya dan orang terpandang merupakan orang yang terombang-
ambing, tetapi jika keduanya mencapai derajat tawakal, niscaya
keduanya menjadi mantap."(2)
Alhasil, dalam masalah ini cukuplah ayat, “Tidakkah Allah
cukup bagi hamba-hamba-Nya," (QS Al-Zumar: 36). Karena itu,
cukup bagi seorang mukmin untuk mengatakan, “Benar, Allah
cukup bagiku," memusatkan perhatiannya kepada Allah dan
selalu merasakan kesedihan di hatinya. Ia merasakan kesedihan
ini, lantaran sewaktu hidupnya di dunia, (dari] setiap derajat
dari kondisi maqam-macam makrifat dan kedekatan pada Allah
yang ia rasakan, masih saja ada maqam yang lebih tinggi, hingga
[magam] sebagaimana yang imam Ali katakan, “Seandainya
tabir disingkap, tidak akan bertambah keyakinanku."(3)
Kesedihan setiap pesuluk adalah abadi; ini adalah
kesedihan di hati yang selalu berjalan beriringan dengan
kebahagiaan di wajahnya; atau kesedihan batin yang selalu
menemani kebahagiaan lahirnya. Dalam sebuah riwayat
dijelaskan bahwa kesedihan merupakan penghubung antara
seorang hamba dengan Tuhannya, selama penghubung ini
ada, maka ikatan hamba dengan Tuhannya tak akan putus.
Di samping itu, seorang hamba juga akan mengisi waktu-
P: 92
waktunya dengan bertawasul kepada "sang wajah" Allah; cahaya
dari cahaya-cahaya Allah; pancaran cahaya-Nya yang suci;
hujah-Nya yang agung, dan kepada hujah agung penutup para
washi, imam zaman serta selalu menantikan saat kehadirannya
yang penuh berkah, Ia pun senantiasa melantunkan doa suci,
Allahumma 'arrifnī nafsaka ...
(Ya Allah perkenalkanlah aku
pada diri-Mu ...), membaca surah tauhid sebanyak tiga kali
yang diperuntukan kepada imam zaman dan setiap subuh tidak
pernah meninggalkan membaca doa 'Ahd.
Alhasil, karena tak mampu menghadapkan wajahnya
secara langsung kepada Allah lantaran perbuatan maksiat,
kelalaian, dan kezalimannya, sehingga wajah sang hamba basah
dengan air muka putus asa dan tak berwibawa. Dalam keadaan
yang demikian, ia mengucapkan, “Ya Allah, dosa-dosaku telah
membuat wajahku kehilangan wibawa, maka aku hadapkan
diriku pada wajah khalifah-Mu yang bercahaya di sisi-Mu."
Lantas, ia melakukan banyak kebaikan dengan penuh
semangat. Lebih-lebih [kebaikan] dalam menjaga lisannya,
mengingat tidak ada hal yang butuh perhatian yang ketat
dan memiliki tingkat kesulitan dalam mengontrolnya yang
sebanding dengan lisan. Oleh karena itu, perintah yang
ditujukan pada lisan terasa lebih sulit; menjaganya terasa
berat dan semua akibat yang bersumber darinya berbahaya.
Meskipun, terkadang berbicara lebih mulia dari diam, tetapi
para pembimbing hati, dari kalangan para nabi dan waliyullah,
memprioritaskan diam atas bicara, “Seandainya bicaramu
adalah perak, maka diammu adalah emas.” Bahkan, apa yang
kalian pahami dari hadis Qudsi yang disebutkan sebelumnya,
sejatinya sudah cukup bagi kalian untuk lebih memilih diam.
Alhasil, mesti dipahami bahwa pengaruh perkataan
tak hanya dikhususkan pada sebagian eksistensi, bahkan
P: 93
pengaruh perkataan ini, baik dalam bentuk pembenaran dan
pendustaan, atau cacian dan pujian, bisa pada eksistensi Tuhan
hingga wujud mumkin. Dengan cacian dan pujian, orang yang
mengucapkannya dapat jatuh dari derajat yang tinggi ke
derajat yang rendah dan dapat naik dari derajat yang rendah ke
derajat yang tinggi. Dengan satu ucapan yang keji, seseorang
bisa menjadi kafir, najis, dan tertimpa azab yang kekal. Dengan
satu ucapan pula, ia bisa melakukan sejumlah dosa besar,
seperti menipu, ghibah, menghina mukmin, membunuh ribuan
kekasih Allah, riya, sombong, dan lain-lain. Semua itu membuat
amal perbuatannya menjadi tak bernilai selamanya. Para tokoh
agama sendiri memberikan perhatian khusus pada dampak
negatifnya. Masalah penting inilah yang disinggung dalam
sebuah riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw.
dikumpulkan bersama tiga nabi lainnya. Masing-masing dari
mereka menyebutkan tentang suatu perbuatan (dari kaumnya]
yang bagaikan mengamalkan seluruh ajaran nabinya. Saat tiba
gilirannya, Rasulullah Saw. mengatakan, "Siapa menjaga dan
memelihara lisannya, maka ia telah mengamalkan seluruh
ajaran al-Qur'an." Para ulama akhlak memandang kalimat di
atas sebagai salah satu dari mukjizat beliau Saw.
Catatan;
1 Al-Kafi, 2: 66.
2 Al-Kafi, 2: 63.
3 Al-Kafi, 2: 64.
4 Kasyf al-Ghummah, 1: 170.
5 "Ya Allah perkenalkanlah aku pada diri-Mu, karena sesungguhnya jika Engkau
tidak memperkenalkanku pada-Mu, aku tak dapat mengenal nabi-Mu. Ya
Allah, perkenalkanlah aku pada rasul-Mu, karena sesungguhnya jika engkau
tidak memperkenalkanku pada rasul-Mu, aku tak dapat mengenal hujjah-
Mu. Ya Allah, perkenalkanlah aku pada hujjah-Mu, karena sesungguhnya jika
Engkau tidak memperkenalkanku pada hujjah-Mu, niscaya aku tersesat dari
agamaku."
P: 94
Jika keterangan umum di bawah ini ditambahkan pada ulasan
atas hadis Mi'raj yang lalu, maka cukup membuat seseorang
memilih sikap diam. Keterangan umum yang dimaksud adalah
seputar adab makan, minum, dan tidur,
Nilai makan dan minum secara kualitas, pertama-tama
harus bersih dari hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang
syubhat. Tidak terburu-buru dalam makan dan minum,
khususnya saat berhadapan dengan hidangan yang lezat.
Artinya harus ada jeda, minimal seukuran satu kali nafas. Dalam
masalah ini, sebaiknya makan bukan karena ingin menikmati
makanan yang lezat, tetapi untuk menghasilkan energi untuk
berbuat baik
Begitu pun dalam kuantitasnya, ukurannya adalah seperti
ini [sekadar untuk mendapat energi]. Ukuran pertengahannya
adalah seseorang tidak makan secara berlebih dan tidak
P: 95
menjauhi makan secara ekstrem. Makan secara berlebih
menyebabkan keras hati, sementara kurang makan mewariskan
sifat pemarah dan cepat tersinggung. Adapun ukuran yang
adil dalam makan ialah tidak meninggalkan makan lebih
dari tiga hari dan tidak makan dalam dua tahapan dalam
sehari-semalam, meskipun terkadang keduanya sebaiknya
ditinggalkan.
Pada intinya, jangan meninggalkan makan sampai
menyebabkan lemahnya fisik dan kelaparan pada tingkat yang
mengkhawatirkan serta tidak makan sedemikian rupa hingga ia
mampu mengenali beratnya makanan. Para ulama akhlak saat
menerangkan ukuran tersebut mengatakan, “Makanlah saat
benar-benar merasakan lapar dan berhenti sebelum kenyang."
Bagi seorang pemula, dalam menapaki perjalanan spiritual
sebaiknya dalam batasan tertentu mendahulukan rasa lapar,
terlebih kalau ia berpuasa.
Adapun tentang adab dalam tidur, seorang pembimbing
spiritual besar, almarhum Mulla Husein Qali Hamadani,
mengatakan, “Dalam sehari semalam, tidurlah dengan ukuran
[waktu] di bawah ukuran kedokteran." [Apabila] Menurut
kedokteran [baiknya] tidur selama tujuh jam, maka tidurlah
selama enam jam. Dan, biasakanlah bangun tidur di akhir
malam, karena orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi
dalam agama adalah ahli bangun malam, dan selain daripada
mereka tidak ditemukan [seorang yang ahli bangun malam].
P: 96
Kalau kita ingin memahami keutamaan salat tahajud, bangun
malam untuk bermunajat dan menangis, serta mendekatkan
diri kepada Allah, kita dapat merujuk ke sejumlah ayat dan
riwayat yang ada tentang masalah ini. Namun, di sini saya
akan membawakan dan menjelaskan secara ringkas sebagian
riwayat darinya untuk mengingatkan orang-orang yang
menginginkannya.
Salah satunya ialah yang diriwayatkan dari Imam
Muhammad al-Baqir sebagai berikut:
Sebagian yang diwahyukan Allah pada Musa bin Imran
adalah, “Berdusta orang yang mengatakan mencintai-Ku,
tetapi di waktu malam ia melupakan-Ku karena hanyut
dalam tidurnya. Hai putra Imran, jika kamu menyaksikan
orang-orang yang bangun [kala tengah malam] demi Aku
dalam kegelapan, ia berbicara dengan-Ku seolah-olah
P: 97
Aku berada di hadapannya, padahal Mahasuci Aku dari
kehadiran fisik. Hai putra Imran, berikan Aku air mata
kedua matamu, kekhusyukan dari hatimu dan ketundukan
dari tubuhmu, kemudian serulah Aku dalam kegelapan
malam, niscaya akan engkau dapati bahwa Aku dekat dan
mengabulkan doa-doamu."(1)
Rasulullah Saw. bersabda, “Kemuliaan seorang bergantung
pada salat malamnya."(2)
Diriwayatkan bahwa ketika Allah mengumpulkan orang-
orang terdahulu dan yang terakhir, seorang penyeru menyeru,
"Orang-orang yang punggung-punggung mereka menjauh
dari tempat tidur sambil menyeru Tuhan mereka dengan rasa
takut dan berharap," (QS Al-Sajdah[32]: 16). Lalu, mereka yang
hanya berjumlah sedikit itu bangun dan setelah mereka, giliran
orang-orang selain mereka dihisab.(3)
Dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
Di surga 'Adn, ada sebuah pohon yang darinya muncul
kuda-kuda zebra yang penuh dengan hiasan dari batu
yakut dan zabarzad, memiliki sayap, dan tak pernah
mengeluarkan kotoran atau pun kencing. Di surga, para
kekasih Allah mengendarai kuda-kuda itu ke mana pun
mereka ingin pergi. Ahli surga selain mereka berkata,
"Wahai saudara kami, seharusnya keadaan kalian itu tidak
berbeda dengan kami." Kemudian, mereka menghadap
Allah dan berkata, “Ya Allah, bagaimanakah hamba-hamba-
Mu itu meraih kedudukan yang mulia tersebut, sementara
kami tidak memperolehnya?!" Sesaat setelah mereka
melontarkan pertanyaan, sesosok malaikat keluar, lalu
berkata, “Mereka suka bangun malam, sementara kalian
P: 98
tidur; mereka berpuasa, sementara kalian menikmati
hidangan; mereka menginfakkan sebagian hartanya karena
Allah, sementara kalian tak mau mengeluarkannya; mereka
banyak mengingat Allah dan selalu berdzikir, mereka juga
banyak menangis karena besarnya rasa takut kepada
Tuhan mereka dan mereka adalah pengasih"(1)
Diriwayatkan bahwa di antara permintaan Allah kepada
Nabi Dawud a.s. adalah:
"Wahai Dawud, mohonlah ampun dari akhir malam
sampai menjelang subuh. Wahai Dawud, jika malam telah
meliputimu, pandanglah bintang-bintang di langit, lalu
bertasbihlah kepada-Ku dan perbanyaklah mengingat-
Ku, niscaya Aku pun mengingatmu. Wahai Dawud,
sesungguhnya orang-orang yang bertakwa tak pernah
tidur di malam hari, kecuali mereka mengisinya dengan
salat malam untuk-Ku. Mereka tak melewati hari-hari
mereka, kecuali dengan menyibukan diri dengan dzikir.
Wahai Dawud, sesungguhnya para Arif mencelak mata
mereka dengan celak ahli bangun malam dan melewati
malam dalam keadaan terjaga, lalu mereka dengan semua
itu mengharapkan ridho-Ku. Wahai Dawud, sesungguhnya
orang yang bangun malam untuk salat kala orang lain tidur
dan ia melakukannya karena-Ku, niscaya Aku perintahkan
malaikat-malaikat-ku untuk mengabulkan apa yang
diinginkannya, surga-Ku merindukan untuk bertemu
dengannya, dan [bahkan] segala sesuatu yang basah dan
kering pun ikut mendoakannya."(2)
Dari Ibn Mas'ud, [disebutkan] bahwa Rasulullah Saw.
bersabda,
P: 99
"Cukup membuat seseorang merugi, apabila ia melewati
malamnya hingga tiba waktu subuh tanpa salat dua rakaat
dan tidak mengingat Allah.” Lalu, salah seseorang berkata,
"Wahai Rasulullah Saw., semalam ada orang yang melewati
malamnya dengan tidur hingga tiba waktu subuh, sehingga
ia kehilangan kesempatan berzikir di malam itu." Mendengar
hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, “Setan telah mengencingi
telinga lelaki itu, hingga membuatnya tak mampu bangun."
Sebuah hadis dari Rasulullah Saw. berbunyi:
"Tak ada orang yang kehilangan seluruh malamnya,
melainkan setan telah mengencingi kedua telinganya dan
Įkelak] ia datang pada Hari Pembalasan dalam keadaan
tak memiliki apa pun. Tidak ada seorang yang tidur
malam, kecuali malaikat membangunkannya sebanyak
dua kali seraya berkata, 'Hai hamba Allah, bangunlah (dari
tidurmu), lalu duduklah agar kamu dapat mengingat Allah.
Setelah itu, sekiranya ia masih belum bangun, setan akan
mengencingi kedua telingannya."(1)
Diriwayatkan bahwa rumah-rumah yang di dalamnya
selalu didirikan salat malam dan biasa dibacakan al-Qur'an,
menjadi penerang bagi penghuni langit sebagaimana bintang-
bintang yang bersinar menerangi penghuni bumi.
Rasulullah Saw. dalam wasiatnya kepada Amirulmukminin
bersabda, "Perhatikanlah salat malam!" (beliau Saw. mengulangi
ucapannya ini sebanyak tiga kali).(2)
Rasulullah Saw. [juga pernah bersabda, “Tidakkah
kamu melihat wajah-wajah ahli salat malam? Mereka adalah
orang-orang yang berwajah paling baik, lantaran mereka suka
P: 100
menyendiri di malam hari karena Allah Yang Mahasuci, maka
Dia memakaikan mereka dengan cahaya-Nya.(1)
Imam Muhammad Baqir sewaktu ditanya tentang waktu
salat malam, beliau menjelaskan:
Tentang waktunya, kakekku Rasulullah Saw. pernah
bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki penyeru yang biasa
menyeru di waktu Sahar (waktu menjelang subuh-peny.]
yang berkata, “Apakah ada orang yang berdoa, agar Aku
mengabulkannya? Apakah ada orang yang meminta
ampunan, agar Aku mengampuninya? Apakah ada orang
yang memohon sesuatu, agar Aku memberikannya?"
Kemudian, dia berkata, "Itulah waktu di mana Ya'qub
berjanji untuk memohonkan ampunan bagi anak-anaknya
dan juga waktu yang membuat Dia memuji orang-orang
yang memohon ampunan dosa, 'Dan orang-orang yang
memohon ampunan di waktu Sahar (waktu menjelang
subuh-peny.]; (QS Ali 'Imrān [3]: 17)"Sesungguhnya waktu
salat malam di akhir malam lebih utama ketimbang di awal
malam. Ini adalah waktu doa-doa diijabah. Salat di waktu
itu merupakan hadiah seorang mukmin untuk Tuhannya.
Oleh karena itu, berikanlah hadiah yang terbaik kepada
Tuhanmu, niscaya Dia akan memberikan hadiah yang
terbaik pula kepadamu. Namun, tidak ada orang yang akan
melakukannya kecuali mukmin sejati."(2)
Diriwayatkan bahwa Allah mewahyukan kepada sebagian
Shiddiqīn:
P: 101
"Sesungguhnya Aku memiliki sejumlah hamba yang
mencintai-Ku dan Aku pun mencintai mereka, mereka
merindukan-Ku dan Aku pun merindukan mereka,
mereka mengingat-Ku dan Aku pun mengingat mereka,
mereka memandang-Ku dan Aku pun memandang mereka.
Jika kamu mengikuti jejak mereka, niscaya Aku akan
mencintaimu, tetapi seandainya kamu berpaling dari
(jalan) mereka, niscaya Aku akan memusuhimu." Hamba
itu bertanya, "Wahai Tuhanku, apa saja ciri-ciri mereka?"
Allah berkata, “Mereka senantiasa menunggu saat teduh di
siang hari, seperti halnya penggembala mencari tempat-
tempat teduh untuk kambing-kambing gembalaannya.
Mereka sangat menantikan saat terbenamnya matahari,
seperti burung-burung menantikan saat kembali ke
sarang-sarang mereka kala terbenamnya matahari. Lalu,
kala malam tiba dan suasana gelap sudah menyelimuti,
tempat-tempat istirahat beserta kasur dan bantalnya telah
disiapkan, dan setiap kekasih berkumpul dengan sang
terkasihnya, mereka justru menegakkan kaki-kaki mereka
di hadapan-Ku, menghadapkan wajah mereka untuk-Ku,
bermunajat kepada-Ku dengan ucapan-Ku, dan memohon
segala nikmat dari-Ku. Antara merintih, menangis, hingga
mengaduh dan antara duduk, berdiri, ruku', dan sujud [itu
adalah kondisi mereka). Dengan mata-Ku, Aku melihat apa
yang mereka usahakan untuk-Ku. Dan dengan telinga-Ku,
[Aku mendengar) apa yang mereka keluhkan dan adukan
karena cinta mereka kepada-Ku. Pertama-tama yang Aku
berikan pada mereka ialah tiga hal. Pertama, Aku masukkan
cahaya-Ku dihati mereka, agar mereka senantiasa
mengingat-Ku, sebagaimana Aku mengingat mereka.
Kedua, seandainya (berat] langit dan bumi beserta segala
isinya seberat timbangan [ganjaran) mereka, akan Aku
P: 102
jadikan semua itu kecil di hadapan mereka. Ketiga, dengan
wajah-Ku, Aku menghadap mereka. Dan, tentu seseorang
tahu, [kalau] Aku menghadap seseorang dengan wajah-
Ku, perhatian apa yang akan aku berikan kepadanya?!"
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa salah seorang hamba
berkata,
"Aku melihat dalam tidurku, seakan-akan aku sedang
berada di pinggir sebuah sungai misk yang mengeluarkan bau
wangi. Di kedua ujung sungai tersebut terdapat pohon yang
terbuat dari mutiara dan emas. Tiba-tiba, aku melihat sejumlah
bidadari yang mengenakan perhiasan dan pakaian berbahan
sutra dengan wajah-wajah bercahaya bak bulan, mereka berkata,
"Mahasuci Allah dari segala ucapan, Mahasuci Dia; Mahasuci
Dzat yang ada di semua tempat, Mahasuci Dia; Mahasuci Dzat
yang abadi sepanjang waktu, Mahasuci Dia." Aku berkata,
"Siapa kalian?" Mereka berkata, “Tuhan manusia, Tuhan [Nabi]
Muhammad Saw., telah menciptakan kami untuk orang-orang
yang bangun malam, yang mereka bermunajat kepada Pencipta
Alam, dan kala orang lain tidur, ia menangis." Aku berkata,
"Alangkah senang dan bahagianya orang-orang tersebut, siapa
mereka?” Para bidadari menjawab, “Mereka adalah orang-
orang yang bertahajud pada malam hari dengan membaca
al-Qur'an dan banyak mengingat Allah, baik dalam hatinya
(sembunyi-sembunyi) maupun dengan lisan (terang-terangan),
mereka merupakan orang-orang yang berinfak dan banyak
memohon ampunan [kepada Allah] di penghujung malam."(1)
Wahai saudaraku, perhatikan baik-baik makna riwayat
ini, Allah memiliki satu malaikat yang dinamakan al-Da'i
(Sang Penyeru). Setiap bulan Rajab, malaikat ini menyeru dari
malam hingga subuh dengan berkata, “Berbahagialah orang-
orang yang selalu mengingat Allah, berbahagialah orang-orang
Pengaruh Pesitif Salat Malam dan Bangun Malam
P: 103
yang taat." Allah berfirman, “Aku teman duduk bagi orang yang
duduk bersamaku, Aku menaati orang yang menaati-Ku dan
mengampuni orang yang meminta ampunan kepada-Ku."(1)
Wahai orang-orang miskin! Perhatikanlah dirimu apabila
kamu menaati Tuhanmu, betapa hal itu (dapat) membuatmu
mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi, yang tak dapat
dilukiskan oleh lisan dan tak dapat digambarkan oleh akal.
Lantaran upayamu dalam mencapai kedudukan yang tinggi
menjadikanmu pemimpin para malaikat dan dekat dengan Tuhan
alam semesta, lebih dari itu kamu menjadi orang yang ditaati
oleh para malaikat Allah. Namun, apabila kamu bermaksiat
kepada-Nya dan meremehkan perintahnya untuk salat
tahajud, serta memandang ringan ajakan-Nya agar bermunajat
kepada-Nya, maka setan akan menguasai dirimu. Alangkah
buruknya keadaanmu! Tidur yang lelap telah membuatmu
lalai mengingat Allah, menghalangimu untuk mencapai
kedudukan dan derajat muqarrabīn-yaitu kedudukan tertinggi
orang-orang termulia di sisi Allah dan menggabungkanmu
bersama orang-orang hina ke tempat yang paling rendah.
Bukankah kamu adalah orang yang berambisi untuk
menjadi teman orang-orang kaya dan berusaha keras mencapai
tujuan itu dengan mengeluarkan harta dan menggunakan
semua fasilitas yang kamu miliki, bahkan kamu pun berani
mengorbankan nyawamu agar bisa dekat dengan para
penguasa?! Lalu, apa artinya kemalasan dan kepura-puraanmu
dalam menyambut undangan Penguasa yang sebenarnya?! Dia
adalah penguasa yang seluruh kekuasaan raja-raja dan para
penguasa selain-Nya tak pernah sebanding dengan kekuasaan-
Nya walau sebesar biji sekalipun. Bahkan, semua kekuasaan
selain-Nya di bawah kekuasaan-Nya yang agung dan bayangan
dari bayang-bayang kekuasaan-Nya. Selain itu, Dia adalah
P: 104
yang memenuhi semua nikmat yang kamu butuhkan, yang tak
terhitung [banyaknya] olehmu, bahkan oleh selainmu.
Betapa besar kerugian dan kehancuran yang akan
menimpamu karena perlakuan burukmu kepada Sang Penguasa
hakiki dan ketidakpedulianmu terhadap hak-hak-Nya! Tidak
akan ditemukan seorang pembantu pun di dunia ini yang
memperlakukan tuannya seperti itu, bahkan penguasa mana
pun di dunia ini tidak akan mau bekerja sama dengan menteri
dan karyawan semacam itu. Padahal, kamu tidak akan berbuat
demikian pada orang-orang yang sederajat denganmu, bahkan
pada bawahanmu, musuh-musuh, dan para penentangmu,
seperti halnya perbuatan burukmu kepada Tuhan. Sebab,
siapa pun bila musuhnya memberikan sepucuk surat undangan
kepadanya yang ia tulis dengan bahasa yang baik dan penuh
penghormatan, lalu ia kirim melalui orang yang baik dan mulia,
dirinya akan merasa malu untuk menolaknya. Mahasuci Allah,
betapa mulia, baik, lembut, dan dermawan-Nya!
Sesungguhnya sudah sepantasnya manusia
mempersembahkan dunia dan akhiratnya, semua kenikmatan,
kehormatan, dan kebahagiaannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan, seharusnya dirimu dan semua orang rela berkorban
demi setiap huruf dari kalimat-kalimat yang tercantum dalam
surat [undangan) itu. Namun, pengorbanan ini masih belum
dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, bahkan sama sekali tak
memadai, karena bagaimanapun tidak mampu memenuhi hak
bersyukur atas undangan tersebut sebagaimana seharusnya.
Bagaimana tidak, sementara hal (pengorbanan) ini terbatas dan
bukan apa-apa di hadapan pelayanan yang agung dan besar, Di
samping itu, jiwa ini merupakan bagian dari nikmat-nikmat-
Nya. Sebagaimana saat kamu menjadikan jiwamu sebagai
pengorbanan, itu pun termasuk nikmat-nikmat-Nya.
P: 105
Dengan demikian, Mahasuci Allah dari rasa takjub
akal pada kemuliaan sikap dan perhatian-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Meskipun Dia Yang Mahaagung telah
memberikan berbagai karunia-Nya kepada hamba-hamba-
Nya, tetapi seolah-olah Dia tidak merasa cukup dengan
semua itu, dan menjanjikan untuk memberi berbagai
kemulian dari pahala-pahala dan anugerah-anugerah serta
pemberian-pemberian yang tidak mampu dilukiskan lisan
para pujangga. Bahkan pemahaman para ulama pun menjadi
tumpul untuk mencernanya dan dalam hati manusia pun
tidak pernah terlintas. Allah berfirman, “Dan pada sebagian
malam lakukanlah salat tahajud sebagai tambahan Cibadah]
bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu membangkitkanmu
pada kedudukan yang terpuji." (QS Al-Isrā' [17]: 79).
Apa yang kita ketahui tentang hakikat "kedudukan yang
terpuji"? Dan, bagaimana kita menggambarkannya? Wahai
saudaraku, renungkanlah apa yang aku sampaikan kepadamu
dengan baik, bahwa ketika seseorang membandingkan segala
sesuatu dengan akalnya, ia membedakan yang bernilai dengan
yang kurang bernilai, tak menyamakan antara keduanya. Dan,
ia tidak menyukai yang kurang bernilai, meskipun keduanya
dari spesies yang sama dan memiliki sedikit perbedaan. Lalu,
bagaimana mungkin akal menyamakan pemberian Allah yang
sangat sempurna, dalam kenikmatan bermunajat, dalam
kedekatan diri kepada-Nya dan dalam memandang cahaya
wajah-Nya dengan kenikmatan-kenikmatan yang datang
dari selain-Nya?! Padahal, setiap kemuliaan dan kebahagiaan
yang bersumber dari-Nya tidak terbatas, baik dari segi waktu,
jumlah, atau batasan. Namun, segala sesuatu yang bersumber
dari selain-Nya, semuanya terbatas. Dan, tidak ada relasi antara
yang terbatas dengan yang tak terbatas.
P: 106
Kesimpulnya, seorang pesuluk harus selalu mengevaluasi
dirinya. Jika ia menyaksikan dirinya sedang terlena oleh dunia
dan membenci sifat-sifat yang terpuji, katakanlah kepadanya,
betapa buruk dan hinanya hal itu. Manusia selalu menerima
nikmat Allah, padahal ia tidak menghargainya, yakni dengan
membalas semua kebaikan Allah kepadanya dengan sikap yang
buruk dan tidak menghargai nikmat-nikmat-Nya yang besar.
Tentu, nilai perbuatan buruk kepada orang lain berbeda-
beda. Misalnya, perbuatan burukmu kepada orang yang telah
berbuat baik kepadamu, dalam pandangan orang-orang
yang berpikiran waras, lebih buruk dibandingkan dengan
perbuatan burukmu kepada orang yang tidak berbuat baik
kepadamu. Oleh karena itu, semakin banyak orang berbuat
baik kepada kita, maka nilai perbuatan buruk kita kepadanya
semakin bertambah besar. Misalnya, seorang kepala daerah
tingkat propinsi memberikan hadiah berupa buah-buahan
kepadamu. Menurut akal, akan ternilai buruk apabila kamu
tidak menghargai pemberiannya itu. Kalau setiap hari
kepala daerah itu memberikan buah-buahan kepadamu,
maka tidak menghargai pemberiannya lagi, tentu jauh
lebih buruk dari sebelumnya. Kalau kepala daerah itu terus
menerus melakukan kebaikan itu, tak hanya sebatas buah-
buahan, bahkan semua kebutuhan primermu, atau lebih
dari itu, hingga sesuatu yang bukan kebutuhan pokok pun
ia berikan kepadamu sampai-sampai kamu tak mampu lagi
menghitungnya, baik secara umum maupun detail. Dengan
kata lain, kebaikan yang tak terhitung besarnya kepadamu,
apabila kamu tidak peduli dan tidak menghargainya,
maka nilai keburukannya menjadi tak terhitung pula.
Hukum di atas juga berlaku apabila sang pemberi memiliki
derajat kemuliaan lebih tinggi. Misalnya, kalau sebelumnya
P: 107
orang yang berbuat baik kepadamu adalah seorang kepala
daerah tingkat propinsi, sekarang yang berbuat baik kepadamu
adalah seorang kepala negara, maka nilai keburukan dari tidak
menghargainya pun jauh lebih besar. [Bayangkan] Seandainya
sang pemberi itu memiliki keagungan yang sangat luar biasa,
hingga akal pun tak mampu menggambarkannya dan orang-
orang yang berakal pun dibuat terperangah, niscaya keburukan
dari tidak menghargainya dilihat dari dua sisi; yakni dari sisi
nikmat yang diberikan padanya dan sisi diri sang pemberi
nikmat-adalah keburukan yang tak terbatas.
Paparan di atas berdasarkan asumsi sikap tidak menghargai
yang terhitung kecil, sedikit, dan sederhana. Adapun apabila
sikap tidak menghargai semakin sering dilakukan, semakin
besar pula nilai buruknya. Apabila sikap tidak menghargai
lebih besar lagi, begitu pun nilai keburukannya menjadi
lebih besar juga. Nilai keburukan ini berlanjut hingga tahap
di mana sikap tidak menghargai ini tak pantas dilakukan,
bahkan kepada musuh sekalipun. Oleh karena itu, tidak
heran jika orang-orang yang mulia tidak mau menunjukan
permusuhannya dengan orang lain secara terang-terangan,
bahkan kepada musuh sekalipun. Mereka alih-alih menunjukan
sikap permusuhan, justru menyayangi, bahkan menunjukan
kerinduan dan cintanya yang sangat tinggi dan agung. Apabila
kamu meragukan masalah ini, renungkanlah firman Allah Yang
Maha Pemberi Nikmat dan Mahaagung dalam sebuah hadis
berikut ini. “Seandainya orang-orang yang berpaling dari-Ku
mengetahui bagaimana Aku merindukan mereka dan menanti
taubat mereka, niscaya-karena kerinduannya pada-Ku-mereka
akan mati dan semua belenggu di badan mereka pun terlepas!"
Selain itu, dalam firman-Nya di hadis Qudsi (hadis ini
dikutip dari kitab al-Kāfi, karya Kulaini) yang menerangkan
P: 108
bahwa Allah sangat senang dan gembira atas taubat hamba-
Nya, “Hai putra Adam, Aku bersumpah dengan hakmu atas-Ku,
bahwa Aku sangat mencintaimu. Akupun bersumpah dengan
hak-Ku atasmu, cintailah Aku!"
Dan firman-Nya kepada nabi dan kalimat-Nya, Isa bin
Maryam a.s., "Hai Isa, betapa Aku luaskan penglihatan-Ku,
menjadikan baik setiap permintaan, sementara orang-orang
[karena lalai] tak mau kembali kepada-Ku]."(1)
Alangkah buruk dan alangkah menyesalnya ... ke mana
harus bersandar [karena malu] dari ucapan agung ini dan
kedudukanya yang tinggi bagi orang-orang yang berakal.
Mahasuci Allah, kami telah bersikap buruk dan tidak
menghargai-Mu serta kami telah membuat diri kami buruk.
Aku bersumpah demi kemuliaan, keagungan, dan keindahan-
Nya, andaikan dahulu kami adalah manusia yang memiliki rasa
malu atau-paling tidak-kami memiliki sedikit rasa malu dan
akal, maka kami pantas sangat benci dan marah pada diri kami
atau lebih dari itu. Dan, kami rela Allah menyiksa kami dengan
azab yang pedih hingga Hari Kiamat tiba, bahkan lebih dari itu,
kami memohon agar kami berada dalam keadaan seperti itu
sepanjang usia kami lantaran demikian kecewa dan marahnya
kami pada diri kami. Sebab, bagaimana kami membiarkan
diri kami bermaksiat dan melakukan dosa di hadapan Allah,
sementara kami menyaksikan dan merasakan kelembutan dan
penghormatan-Nya pada diri kami?! Dengan pengetahuan
para imam tentang alam, kamu melihat bagaimana mereka
bermunajat kepada Allah, "Ya Allah, andaikan aku mampu
menanggung azab-Mu, aku tidak akan memohon maaf kepada-
Mu, tapi aku memohon kesabaran dari-Mu atasnya, karena
aku kecewa dan marah kepada diriku, bagaimana bisa aku
bermaksiat kepada-Mu?!"
P: 109
Riwayat lain tentang masalah ini menerangkan bahwa
Imam Ali al-Sajjad berkata, "Wahai Tuhanku, seandainya aku
menangis hingga lepas tepi pelupuk mataku, merintih hingga
hilang suaraku, dan berdiri dihadapan-Mu hingga kedua
kakiku lumpuh, ruku' hingga tulang belakangku membengkok,
bersujud hingga kedua biji mataku keluar dari tempatnya,
makan tanah bumi ini sepanjang hidupku, minum air pasir
sepanjang masaku, dan aku senantiasa mengingat-Mu di sela-
sela itu hingga mulutku tak dapat digerakkan, selanjutnya
aku tidak pernah mengangkat wajahku ke langit karena malu
kepada-Mu, sungguh semua itu tak membuat terhapus satu
kesalahan dari sekian kesalahan-kesalahanku."(1)
Karena itu pula, Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Seandainya
pada hari perhitungan (al-hisāb) tidak lain hanya rasa malu
atas dipaparkannya segala amal perbuatan manusia di hadapan
Allah dan dosa-dosa ditampakkan, maka seseorang berhak
untuk tidak turun dari puncak gunung, tidak berlindung di
rumah-rumah, tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur,
kecuali pada keadaan kritis yang mengakibatkan kematian.(2)
Renungan ini cukup bagi pesuluk yang nafasnya
bersenyawa dengan cinta dan kerinduan kepada Allah, agar ia
mampu membawa dirinya ke puncak kesempurnaan. Apabila
ia menginginkan lebih merasakan cinta dan kerinduan kepada-
Nya, ia harus merenungkan kandungan sejumlah riwayat yang
menjelaskan tentang kelembutan Allah kepada orang-orang
yang suka bangun malam untuk beribadah, riwayat tentang
penampakan wajah dan cahaya-Nya yang menerangi mata
hati hamba-hamba-Nya, serta riwayat tentang undangan-
Nya pada hamba-hamba-Nya untuk menghadiri majelis cinta
dan kedekatan. Bagi para arif yang selalu mencari cinta-Nya,
penjelasan dari al-Qur'an berikut sudah cukup bagi mereka,
P: 110
"Punggung-punggung mereka menjauh dari tempat tidur, seraya
berdoa kepada Tuhan mereka dengan rasa takut dan berharap."
(QS Al-Sajdah [32]: 16). Dalam ungkapan yang menyebutkan
bahwa bangun malam mereka yang menunjukkan penjauhan
terhadap kenikmatan dunia dan ungkapan kata "Tuhan
mereka", sangat berguna bagi 'urafa yang mencari cinta-
Nya, sebagaimana firman Allah kepada Nabi Dawud a.s., “Dan
dengan mata-Ku, Aku melihat apa yang mereka pikul demi Aku;
dan dengan pendengaran-Ku, Aku mendengar apa yang mereka
sampaikan [karena cintanya) kepada-Ku.” Dan firman-Nya
kepada Musa a.s., "Berdusta orang yang mengatakan mencintai-
Ku, tetapi kala malam beranjak mendekati waktu subuh, justu
ia tidur melupakan-Ku."(1)
Jika seseorang merasa takut terhadap neraka dan
ingin masuk surga, hendaknya ia merenungi riwayat yang
menjelaskan ganjaran salat malam dan menangis karena takut
kepada Allah. Berkaitan dengan ini, al-Dailami meriwayatkan
sebuah hadis bahwa Rasulullah Saw, bersabda, “Tidak ada
seorang mukmin yang dari kedua matanya keluar air mata
semisal sebesar sayap seekor serangga, lalu jatuh mengenai
wajahnya, kecuali Allah jauhkan ia dari api neraka."(2)
Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. bersabda, “Mata yang
sering menangis karena takut kepada Allah tidak akan pernah
melihat api neraka."(3)
Beliau Saw.juga bersabda, “Tidak ada tetesan yang paling
Allah cintai kecuali tetesan air mata yang keluar karena takut
kepada Allah dan tetasan darah yang tumpah di jalan Allah,
Dan, tidak ada hamba yang menangis karena Allah, kecuali Dia
memberikan kepadanya minuman dari minuman rahmat-Nya
dan di surga Dia akan menggantikan tangisannya itu dengan
tawa dan rasa bahagia. Allah merahmati orang yang bersamanya,
P: 111
meskipun berjumlah 20 ribu orang. Dan, tidak ada orang yang
kedua matanya dipenuhi dengan air mata yang mengalir karena
takut kepada Allah, kecuali Allah mengharamkan tubuhnya dari
api neraka; adapun jika ſair matanya] mengenai wajahnya,
maka wajah itu tak akan mengalami kefakiran dan kehinaan.
Selanjutnya, jika seorang hamba menangisi keadaan suatu
umat, niscaya Allah akan menyelamatkan umat itu dengan
tangisannya."(1)
Dan sabdanya yang lain, “Siapa menangis karena dosa-
dosanya, maka akan diampuni dosa-dosanya. Siapa menangis
karena takut pada neraka, Allah akan melindunginya darinya.
Siapa menangis karena keinginannya pada surga, Allah akan
menempatkannya di dalamnya dan Dia pun akan memberikan
rasa aman dari ketakutan yang besar. Siapa menangis karena
takut kepada Allah, Dia akan mengumpulkannya bersama para
nabi, shiddiqin (orang-orang yang benar), syuhada' [orang-
orang yang syahid), dan shālihīn (orang-orang yang saleh), dan
mereka adalah sebaik-baik teman."(2)
Rasul juga pernah bersabda, "Tangisan karena takut kepada
Allah adalah kunci rahmat, tanda pengkabulan, dan pintu ijabah
(doa). "(3) Dan, "Jika seorang hamba menangis karena takut kepada
Allah, niscaya dosa-dosanya akan berguguran bagaikan daun-
daun yang berguguran. Dan suatu hari, keadaannya [akan]
seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya."(4)
Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Seandainya kulitmu telah
mengendur, kedua matamu meneteskan air mata dan hatimu
bergetar, maka sadarlah sadarlah, sesungguhnya kau telah
sampai pada tujuanmu."(5)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,
"Jika Allah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan membuat
hatinya merasakan kesedihan. Karena Allah sangat
P: 112
mencintai setiap hati yang bersedih dan Dia tidak akan
memasukan ke neraka orang yang menangis karena takut
kepada-Nya, hingga air susu kembali ke dalam payudara
seorang ibu [maksudnya Tuhan mustahil memasukkan
ke neraka orang yag menangis karena takut kepadanya]."
Diriwayatkan bahwa dari pesan-pesan Allah kepada Nabi
Isa a.s., "Wahai Isa, berikanlah Aku air mata kedua matamu, rasa
takut dari hatimu, dan datangilah kuburan orang-orang yang
sudah mati, lalu berserulah dengan suara tinggi-semoga kamu
mendapat pelajaran dari mereka, 'Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang akan menyusul' Wahai Isa, siramlah Aku
dengan air mata kedua matamu dan buatlah hatimu khusyuk
kepada-Ku. Wahai Isa, mohonlah pertolongan kepada-Ku saat
menghadapi kesulitan, sesungguhnya Aku akan menolong orang-
orang yang sedang menghadapi kesulitan dan menjawab doa
orang-orang yang sedang terhimpit [masalah). Sesungguhnya
Aku Maha Penyayang dari para penyayang."(1)
Dan di antara pesan-pesan Allah kepada Musa a.s., ialah,
"Matikanlah hatimu dengan rasa takut [kepada Tuhanmu).
Jadilah orang yang terbiasa dengan pakaian usang, namun
berhati baru, niscaya kamu tersembunyi dari pandangan
penduduk bumi tetapi dikenal di kalangan penduduk
langit. Diamlah di rumahmu dan jadilah pelita malam, lalu
lantunkanlah doa qunut di hadapan-Ku dengan qunutnya
orang-orang yang sabar. Dan, berteriaklah pada-Ku karena
banyaknya dosa-dosa sebagaimana teriakan orang yang lari
dari musuhnya. Lalu, minta tolonglah pada-Ku atas hal itu,
karena sesungguhnya Aku adalah sebaik-baik penolong dan
yang dimintai pertolongan."
Diriwayatkan bahwa, “Di antara surga dan neraka, ada
jalan yang membentang antara keduannya, di mana dilarang
P: 113
melewatinya kecuali untuk orang-orang yang biasa menangis
karena takut kepada Allah Swt." Dan diriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya Tuhanku
mengabarkan padaku, 'Demi kemuliaan dan keagungan-ku,
ahli ibadah tidak akan memperoleh seperti sesuatu yang mereka
dapatkan dari sisi Allah karena tangisan mereka. Dan karenanya,
Aku akan membangun sebuah istana untuknya di surga Rafiq
al-A'lā, di mana tidak ada orang lain yang menyamainya."
Juga di antara pesan-pesan Allah kepada Musa a.s. ialah,
"Tangisilah dirimu selama kamu hidup di dunia. Takutlah pada
kehancuran dan tempat-tempat kehancuran. Dan, jangan
tertipu oleh perhiasan dan kegemerlapan dunia." Dan, kepada
Isa a.s., Allah berpesan, "Wahai Isa putra seorang wanita
perawan suci, tangisilah dirimu seperti tangisan orang yang
berpisah dengan keluarganya dan tinggalkan dunia dengan
semua isinya untuk penghuninya, niscaya keinginanmu hanya
pada sesuatu yang ada di sisi Allah."
Diriwayatkan bahwa Amirulmukminin berkata, “Sewaktu
Allah berbicara kepada Musa, ia berkata, 'Apa ganjaran untuk
orang yang menangis karena takut kepada-Mu? Allah menjawab,
'Wahai Musa, Aku akan menjaga wajahnya dari panasnya
neraka dan membuatnya aman di hari ketakutan yang besar."
Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Pada Hari Kiamat, setiap
mata menangis, kecuali tiga mata: mata yang terpejam dari
memandang apa-apa yang diharamkan oleh Allah, mata yang
terjaga di malam hari dalam ketaatan kepada Allah, dan mata
yang menangis di tengah malam karena takut kepada Allah."
Pada kesempatan lain, beliau berkata, “Tidak ada sesuatu
yang tidak memiliki ukuran dan timbangan kecuali air mata.
Sesungguhnya, setetes air mata mampu memadamkan lautan
neraka. Oleh karena itu, tatkala mata penuh dengan air mata,
P: 114
wajahnya tidak akan mengalami kesulitan dan kehinaan.
Dan, tatkala air mata itu menetes ke luar, niscaya Allah
mengharamkannya dari api neraka. Lalu, seandainya menangis
karena suatu umat, niscaya mereka memperoleh rahmat
karenanya." Beliau juga berkata, "Tak satu pun mata yang tidak
menangis saat Hari Kiamat, kecuali mata yang menangis karena
takut pada Allah. Tidak ada mata yang penuh dengan air mata
karena takut pada Allah, kecuali Allah haramkan jasadnya atas
neraka. Seandainya air matanya menetes membasahi pipinya,
wajahnya tak akan mengalami musibah dan kehinaan. Dan,
tidak ada sesuatu yang tidak memiliki ukuran dan timbangan
kecuali air mata. Sesungguhnya, Allah memadamkan lautan
neraka dengan tetesan air mata. Dan, seandainya seorang
hamba menangis untuk suatu umat, niscaya Allah melimpahkan
rahmatnya kepada umat itu dengan tangisan hamba tersebut.”
Diriwayatkan dari Muawwiyah bin Ammar bahwa Imam
Muhammad al-Baqir berkata, “Di antara pesan-pesan Rasullulah
Saw. kepada Ali adalah, 'Wahai Ali, aku berpesan kepadamu
tentang suatu perkara, maka jagalah baik-baik.' Kemudian,
beliau melanjutkan, 'Wahai Tuhanku berilah pertolongan
kepadanya.' Setelah itu, Rasullulah Saw. menyebutkan butir-
butir Wasiatnya sampai pada ucapan berikut, “Yang keempat
ialah, banyak menangis karena takut kepada Allah 'azza wa jalla.
Karena untuk setiap tetesan air mata, Allah akan membangun
untukmu seribu rumah di surga"
Abu Hamzah meriwayatkan bahwa Imam Muhammad
al-Baqir berkata, “Tidak ada tetesan yang paling
dicintai oleh Allah, [selain] dari tetesan air mata yang
menetes di malam hari semata-mata karena takut
pada Allah dan tidak dimaksudkan pada selain-Nya."
P: 115
Ibn Abi Umair, meriwayatkan dari salah seorang sahabat
Imam Muhammad al-Baqir bahwa Imam Ja'far al-Sadiq
pernah berkata, “Allah mewahyukan kepada Nabi Musa a.s.,
'Sesungguhnya, hamba-hambaku tidak mendekat pada-Ku
dengan sesuatu yang paling Aku cintai selain tiga perkara.
Musa a.s. bertanya, 'Wahai Tuhanku, apa tiga perkara itu?' Allah
menjawab, 'Zuhud di dunia, menjauhi maksiat, dan menangis
karena takut pada-Ku. Musa [kembali] bertanya, 'Wahai
Tuhanku, kalau memang demikian, apa ganjaran bagi pelaku
ketiga perkara itu? Kemudian Allah 'azza wajalla mewahyukan
kepadanya, 'Wahai Musa, bagi orang-orang zuhud di dunia
disediakan surga. Dan, orang yang menangis karena takut
kepada-Ku, tempatnya di surga yang paling tinggi yang tak
seorang pun menyamai kedudukannya itu. Adapun orang-orang
yang menjauhi maksiat, aku memeriksa (kesalahan) manusia
tetapi tidak pada mereka. "(1)
Dalam khotbah Haji Wadā', Rasullulah Saw. bersabda,
"Orang yang banyak menangis karena takut kepada Allah, setiap
tetes dari air matanya diberi (timbangan) ganjaran sebesar
Gunung Uhud, dan setiap tetes darinya [menjadi] mata air di
surga, di mana pada kedua ujungnya terdapat kota-kota, istana-
istana, dan segala sesuatu yang tak pernah dilihat mata dan tak
pernah didengar telinga dan tak terlintas pada hati manusia."(2)
Imam Muhammad al-Baqir meriwayatakan bahwa Nabi
Ibrahim a.s. berkata, “Wahai Tuhanku, apa ganjaran untuk
hamba yang wajahnya basah oleh air mata yang menetes
karena takut kepada-Mu?" Allah Swt. menjawab, “Ganjaran
baginya adalah ampunan dan keridoan-Ku pada Hari Kiamat."(3)
Riwayat lain dari Ishak bin Ammar, ia berkata kepada Imam
Jafar al-Sadiq, "Terkadang saat aku berdoa, aku cenderung
ingin menangis, tetapi tangisan itu tidak kunjung muncul.
P: 116
Namun, sering kali ketika aku mengingat anggota keluargaku
yang telah meninggal dunia, muncul rasa sedih kemudian aku
menangis. Apakah hal itu diperbolehkan?” Beliau berkata, “Ya,
ingatlah kepada orang-orang yang meninggal dunia, sampai
saat rasa sedih muncul pada dirimu, saat itu menangislah
karena Tuhanmu."(1)
Sa'id bin Yasar berkata kepada Imam Ja'far al-Sadiq,
"Setiap saat aku berdoa, tak pernah aku menangis, apakah
memaksakan diri untuk menangis atau berpura-pura menangis
diperbolehkan?" Beliau berkata, “Iya, meskipun [tetesan air
mata yang mengalir) sebesar kepala seekor serangga."
Abu Hamzah menerangkan bahwa Imam Ja'far al-Sadiq
pernah berkata kepada Abu Bashir, “Setiap kamu merasa takut
atas terjadinya sesuatu atau memohon untuk suatu kebutuhan,
mulailah dengan menyebut nama Allah dan memuji-Nya dengan
pujian-pujian yang pantas bagi-Nya, lalu sampaikan salawat
atas Rasullulah Saw., lalu berusahalah menangis, meskipun air
mata yang menetes darinya sebesar kepala seekor serangga.
Sesungguhnya, ayahku selalu berkata, 'Saat (atau keadaan di
mana seorang hamba sangat dekat kepada Tuhan adalah ketika
ia menangis dalam sujudnya."
Diriwayatkan pula bahwa Imam Ja'far al-Sadiq pernah
berkata, “Apabila kamu merasa sulit untuk menangis, maka
buatlah dirimu pura-pura menangis! Jika karenanya, [akhirnya]
air mata menetes dari kedua matamu, meskipun sebesar kepala
seekor serangga, alangkah baiknya dirimu!"
Wahai saudaraku, ingatlah orang-orang yang banyak
menangis dan belajarlah menangis dari mereka, karena Adam
a.s., manusia pilihan Allah dan bapak bagi seluruh manusia,
demikian seringnya menangis sehingga seolah-olah kedua
pipinya seperti kubangan air mata. Dan, ingatlah Yahya a.s.,
P: 117
seorang yang Allah jaga dari perbuatan dosa, begitu seringnya
menangis hingga seolah-olah daging di kedua pipinya berubah
menjadi air!
Dalam kitab Bihār al-Anwār, diriwayatkan dari kitab al-
Amālī yang sanadnya dari Rasulullah Saw., "Yahya mendatangi
Bait al-Maqdis. Beliau melihat sekelompok ruhaniawan, para
pendeta dan para rahib yang memakai baju besi dan penutup
kepala dari bulu-bulu domba. Tiba-tiba mereka mencakar
sebagian wajah mereka, lalu merantai dan mengikat diri
mereka di tiang-tiang masjid.
Ketika melihat fenomena itu, Yahya mendatangi ibunya
dan berkata kepadanya, 'Wahai ibu, beri aku baju besi dan
penutup kepala dari bulu domba agar aku dapat pergi ke Bait
al-Maqdis dan aku dapat beribadah kepada Allah bersama para
ruhaniawan dan para rahib itu. Ibunya menjawab, 'Sabarlah,
hingga utusan Tuhan, yaitu Nabi Zakaria, datang dan aku dapat
bermusyawarah dengannya dalam masalah ini. Ketika Zakaria
datang, ibunya memberi tahu kepadanya tentang permintaan
Yahya tersebut. Zakaria berkata kepadanya, “Wahai anakku,
apa gerangan yang menyebabkanmu menginginkan hal ini?
Bukankah sekarang engkau masih kecil?' Yahya menjawab,
'Wahai Ayah! Apakah Ayah tidak tahu kalau di luar sana ada
orang-orang yang usianya lebih muda dariku dan mereka
telah merasakan kematian?' Lalu Zakaria berkata, 'Iya betul!
Kemudian beliau berkata kepada ibunya, 'Datangkan untuknya
baju besi dan topi dari bulu domba' Ibunya pun memenuhi
permohonannya. Yahya memakai pakaian tersebut dan
meletakkan topi di atas kepalanya, lalu ia pergi ke Bait al-
Maqdis. Dia pun mulai beribadah dengan para pendeta,
hingga baju besi yang dipakainya menjadi memuai. Suatu hari
P: 118
dia melihat badannya yang mulai kurus dan lemah, ia pun
menangis.
Lalu Allah azza wa jalla mewahyukan kepadanya, 'Wahai
Yahya! Apakah engkau menangis karena kekurusan dan
kelemahan badanmu? Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku,
Aku bersumpah bila saja engkau benar-benar mengetahui
neraka, maka baju besi yang engkau pakai akan meleleh, apalagi
(baju) yang ditenun.' Yahya pun menangis sehingga air mata
menghancurkan daging di kedua pipinya dan orang-orang pun
melihat tulang rahang dan gigi-giginya.
Berita itu sampai kepada telinga ibunya, kemudian ibunya
datang menemuinya, begitu pula Zakaria. Para pendeta dan
para rahib berkumpul dan memberi tahu Yahya tentang
hilangnya daging di kedua pipinya. Yahya pun menjawab, “Aku
tidak merasakan hal itu sama sekali?
Zakaria berkata, “Wahai Anakku yang paling mulia! Apa
motivasimu mengerjakan hal ini? Sesungguhnya aku meminta
kepada Tuhan-ku supaya aku diberi karunia anak sepertimu
sehingga aku menjadi bahagia? Yahya menjawab, 'Bukankah
engkau yang telah memerintahkan aku melakukan hal ini, wahai
Ayah. Zakaria bertanya, 'Kapan hal itu, wahai Anakku?' Yahya
berkata, “Bukankah engkau mengatakan bahwa sesungguhnya
antara surga dan neraka terdapat penghalang yang tidak bisa
dilewati, kecuali orang-orang yang menangis karena takut
kepada Allah!' Zakaria menjawab, 'Benar, Oleh karena itu,
berusahalah dan bersungguh-sungguhlah dan sesungguhnya
urusanmu tidak sama dengan urusanku.' Yahya lalu berdiri
dan melepas baju besinya. Ibunya menghalanginya seraya
mengatakan, 'Wahai anakku, apakah engkau mengizinkanku
untuk membuat pelindung yang mampu menutupi dua pipimu,
sehingga gigimu tertutup dan air matamu tertumpah pada
P: 119
tempatnya. Yahya menjawab, 'Terserah engkau, wahai Ibu.'
Lalu ibunya pun melakukan hal ini. Dia membuat dua potongan
kain untuk menutupi gigi-giginya dan mengurai air matanya
sehingga bisa mengering di kain tersebut dan berjatuhan di
bahunya. Selanjutnya, kain-kain tersebut diangkatnya dan
diperasnya sehingga tetesan-tetesan air mata berhamburan
dari celah-celah jari-jemarinya. Zakaria memandangi anaknya
sementara air mata membasahi pipinya. Dia memandang ke
arah langit dan mengatakan, 'Wahai Tuhanku, ini adalah anakku
dan ini air matanya dan Engkau Yang Maha Pengasih di antara
Yang Mengasihi!
Zakaria, ketika ingin memberikan nasihat kepada Bani
Israil, ia menoleh ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri, ketika
ia melihat Yahya, ia tidak menyebut nama surga dan neraka.
Suatu hari, dia duduk memberikan nasihat kepada Bani Israil,
tiba-tiba Yahya datang, dia menutupi kepalanya dengan serban,
lalu duduk di tengah kerumunan manusia. Zakaria menoleh ke
sebelah kanan dan kiri, tetapi ia tidak melihat Yahya. Kemudian
ia mengatakan, 'Kekasihku, Jibril, berkata kepadaku dari
Allah: “Sesungguhnya di Jahannam ada gunung yang bernama
Sakaron, di tengah gunung itu ada sebuah lembah yang
dinamakan Ghadban, ia marah karena kemarahan Allah Yang
Maha Pengasih. Di lembah itu ada sumur yang tingginya baru
bisa ditempuh selama seratus tahun, di sumur itu ada peti-
peti dari api dan di peti-peti itu ada pakaian dari api, rantai
dari api, dan ikatan dari api. Kemudian Yahya mengangkat
kepalanya dan berkata, 'Oh ... betapa banyaknya orang yang
lalai dari Sakaron! Kemudian ia bergegas meninggalkan majlis
itu, sementara itu Zakaria berdiri dari tempat duduknya
dan menemui ibu Yahya seraya berkata, 'Wahai ibu Yahya,
berdirilah dan carilah Yahya, sesungguhnya aku khawatir tidak
melihatnya kembali, kecuali setelah dia meninggal!
P: 120
Lalu ibunya berdiri dan keluar untuk mencarinya.
Dia bertemu pemuda-pemuda Bani Israil. Mereka berkata
kepadanya, 'Wahai ibu Yahya, hendak kemana engkau?' Dia
menjawab, 'Aku ingin mencari anakku, Yahya. Sesungguhnya
telah diceritakan neraka di hadapannya, dia terpengaruh, dan
kemudian meninggalkan majlis entah ke mana.
Lalu, ibu Yahya pergi dan ditemani pemuda-pemuda itu.
Mereka lalu bertemu dengan seorang pengembala. Ibu Yahya
bertanya padanya, 'Wahai pengembala! Apakah engkau melihat
seorang pemuda yang sifatnya seperti ini?' Si pengembala itu
berkata kepada ibu Yahya, 'Sepertinya engkau mencari Yahya
ibn Zakaria.' 'Benar, itu adalah anakku. Diceritakan neraka di
hadapannya, lalu ia terpengaruh, ia menyesal dan ia pergi
entah ke mana, jawab ibu Yahya. Pengembala itu berkata, “Aku
memang pernah bertemu dengannya di suatu tempat, lalu aku
berpisah dengannya. Dalam keadaan kedua kakinya menyentuh
air dan matanya menghadap ke langit sambil berkata, 'Demi
kemulian-Mu wahai Junjungan-ku, aku tidak akan merasakan
air yang dingin sampai aku melihat kedudukanku di sisi-Mu."
Segera sang ibu menemui Yahya dan ia melihat Yahya
seperti yang diberitakan oleh pengembala itu. Kala menatap
wajah anaknya, ia segera menuju padanya, memeluknya, dan
bersumpah untuk membawa pulang anaknya ke rumah. Yahya
pun kembali bersama ibunya ke rumah. Ibunya bertanya,
'Apakah boleh pakaian yang engkau pakai aku lepas dan baju
yang terbuat dari bulu binatang yang keras itu aku ganti dengan
yang lebih halus?' Yahya menyetujui permintaan ibunya.
Selanjutnya, ibunya memasakkan untuknya kacang-kacangan,
Yahya memakannya dan kemudian tidur, sementara dia belum
melaksanakan salat. Dalam tidurnya, ia mendengar suatu suara
yang mengatakan, 'Wahai Yahya bin Zakaria, apakah engkau
P: 121
ingin rumah yang lebih baik dari rumahku, dan tetangga yang
lebih baik dari tetanggaku?' Yahya terbangun. Lalu dia berdiri
sambil berkata, "Wahai Tuhanku maafkanlah dosaku, Ilahi demi
kemuliaan-Mu, aku bersumpah tidak akan bernaung selain
naungan atap Bait al-Maqdis.' Dan ia berkata kepada ibunya,
“Berikan kembali penutup kepalaku.
Aku telah mengetahui bahwa engkau dan ayah akan
memasukanku ke dalam kehancuran. Ibunya memberikan
penutup kepalanya padanya dan mengikatkannya. Zakaria
berkata padanya, 'Wahai ibu Yahya, lepaskanlah ia, karena
sesungguhnya hijab-hijab telah tersingkap dari hatinya dan ia
telah menyaksikan hakikat, karena itu tidak lagi ada kelezatan
dalam kehidupan ini baginya. Kemudian Yahya berdiri dari
tempatnya dan kembali memakai pengikat kepalanya dan
menggunakan kembali penutup kepala dari bulu yang keras,
lalu datang ke Bait al-Maqdis. Dia mulai beribadah bersama
para pendeta dan para rahib, sehingga sampailah berita yang
menimpanya, yaitu ia dibunuh oleh kaum Yahudi."(1)
Wahai saudaraku, renungkanlah baik-baik riwayat-riwayat
di atas dan siapkanlah sebagian darinya untuk menghadapi saat
kefakiran dan ketakberdayaanmu, bahkan saat kamu mengalami
cobaan dan musibah. Seandainya kamu tak dapat menangis,
tidak ada jalan lain selain kamu berusaha menangis. Apabila
[masih] kesulitan untuk menangis lantaran hati sudah menjadi
keras, ketahuilah bahwa [berarti] dosa telah menyebabkanmu
menjadi sakit dan kotoran serta aib telah merusak hatimu,
khususnya semua kenikmatan lahiriah dunia yang menipu.
Dan, semua kebiasaan yang buruk dan rendah, seperti
bersenang-senang dalam kenikmatan dunia dan kecintaan
berlebihan padanya-sebagaimana dijelaskan dalam sejumlah
hadis, merupakan pangkal kemaksiatan yang menghancurkan.
P: 122
Dan, cinta dunia dan kesenangan padanya membuat hati tidak
memberikan tempat untuk mengingat Allah dan Hari Kiamat.
Itulah keterangan ringkas seputar keutamaan dan
pentingnya menangis sebagaimana banyak diungkapkan dalam
banyak hadis. Begitu pula hadis yang menerangkan keutamaan
salat malam dan tahajud juga sangat banyak. Dan saya pikir, jika
seseorang merenungi hadis-hadis itu dan percaya padanya,
meskipun ia lemah tetapi memiliki fisik yang sehat, tentu ia
tidak akan membiarkan tidurnya yang indah mencegahnya
untuk melakukan salat malam atau tahajud. Ia pun tidak akan
senang tidak memperoleh semua keutamaan itu hingga dirinya
tercemari dengan kerendahan, kerugian, dan kehinaan, akibat
tidak melakukan salat malam atau tahajud. Siapa yang senang,
lantaran tidur satu jam, alih-alih menjadi imam salat bagi para
malaikat, justru menjadi imam bagi setan? Terlebih, bagaimana
hanya lantaran tidur, ia rela kehilangan kesempatan untuk
bermunajat kepada Sang Penguasa mutlak, kenikmatan dalam
berhubungan dengan-Nya, kenikmatan dalam memandang
cahaya wajah-Nya, dan hadir disisi-Nya?! Membuatnya menjadi
orang mati di malam hari dan pemalas di siang hari.
Dengan demikian, hadis-hadis yang bersumber dari
Rasulullah Saw. dan ahlulbaitnya tentang keutamaan bangun
dan salat malam telah membuat setiap akal terkagum-kagum,
tetapi sulit dipahami. Seandainya tak mudah membenarkannya,
sebaiknya merujuk pada ucapan shiddīqīn (orang-orang yang
benar), di mana Allah melukiskan ciri-ciri para kekasih-Nya
dengan mengatakan, “Allah mencintai mereka dan mereka
pun mencintai-Nya," (QS Al-Mā'idah [5]: 54). Mereka ini
adalah orang-orang yang sujud kepada Allah kala malam
tiba, bermunajat kepada-Nya, meneteskan air mata, dan
dengan cinta mereka membawa permohonan dan jeritan
P: 123
mereka ke hadapan Allah. Sesungguhnya, ungkapan pada
ayat berikut, cukup menjelaskan keadaan mereka, "Bagi orang
yang menggunakan hatinya dan memasang pendengarannya
sementara dia menyaksikannya." (QS Qāf [50]: 37).
Dalam kitab Ma'āniy al-Akhbār, Syaikh Shaduq
membawakan sebuah hadis dengan sanad yang bersambung
kepada Imam Ja'far al-Sadiq, yang menyebutkan bahwa
Amirulmukminin berkata, “Jika Allah menyaksikan penduduk
suatu desa melakukan maksiat secara keterlaluan, sementara
orang mukmin di sana hanya berjumlah tiga orang, Allah
memanggil mereka, 'Hai orang-orang yang bermaksiat,
seandainya orang-orang mukmin yang saling mencintai dan
menjaga karena keagungan-Ku, memakmurkan muka bumi dan
masjid dengan salat dan ibadah, dan senantiasa beristigfar di
penghujung malam tidak ada di tengah-tengah kalian, tentu
Aku sudah menimpakan azab-Ku kepada kalian dan tidak
kupedulikan keadaan kalian."*(1)
Syaikh Saduq membawakan hadis lain dalam kitab Amali
dengan sanad yang bersambung kepada Ibn Abbas, yang
menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa yang
diberi rezeki berupa kesanggupan melakukan salat malam,
yang ia melaksanakannya ikhlas karena Allah 'azza wa jalla,
berwudu dengan benar, lalu salat dengan niat yang tulus, hati
yang bersih, tubuh yang khusyuk, dan mata yang bercucuran air
mata, niscaya Allah jadikan sembilan saf para malaikat berada di
belakangnya, yang mana hanya Allah yang tahu jumlah malaikat
pada setiap safnya. Salah satu ujung setiap barisnya berada di
bagian Timur, sementara ujung lainnya di bagian barat. Lalu,
saat salat selesai dilakukan, Allah memberikan ganjaran derajat
sebanyak jumlah malaikat (yang ikut salat bersamanya]."(2)
P: 124
Dengan sanad yang bersambung kepada Imam Ja'far
al-Sadiq, Syaikh Saduq meriwayatkan sebuah hadis yang
menerangkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Jika seorang
hamba bangun pada malam yang gelap dengan gagahnya
serta bermunajat pada-Nya, Allah akan menyinari hatinya."
Lalu, tatkala sang hamba mengucapkan, "Wahai Tuhanku,
wahai Tuhanku!" Allah pun menjawab panggilannya, “Labbaik!
Hamba-Ku mohonlah sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengabulkannya. Bertawakallah pada-Ku, dan Aku akan
mencukupi (semua) kebutuhanmu." Kemudian, Allah berkata
kepada para malaikat, "Wahai para malaikat-Ku] Lihatlah
hamba-Ku itu, ia bangun di malam hari, sementara para
penganggur asyik bermain-main dan orang-orang yang
lalai nyaman dalam tidurnya. Saksikanlah bahwasanya Aku
mengampuni dosa-dosa hamba-Ku."(1)
Imam Ja'far al-Sadiq (juga] pernah berkata, “Ada tiga
perkara yang merupakan ruh iman, yaitu tahajud malam
hari, melayani berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, dan
menemui saudara-saudaranya:"(2)
Dalam kitab Tsawāb al-A'māl, disebutkan bahwa
Amirulmukminin berkata, "Salat malam menjadikan badan
sehat, membuat Allah 'azza wa jalla rida, membuat pelakunya
selalu dalam naungan rahmat-Nya, dan [menjadikannya]
berpegang teguh pada ajaran moral para nabi."(3)
Syaikh Saduq menukil dari Jabir yang berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak menjadikan
Ibrahim sebagai kekasih-Nya, kecuali karena ia selalu memberi
makan dan mengerjakan salat malam, sementara orang-orang
terlelap dalam tidur."35
Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Allah 'azza wa jalla
berfirman, 'Amal saleh menghapuskan keburukan dan dosa,' (QS
P: 125
Hūd [11]: 114). Lalu, beliau melanjutkan, 'Ketahuilah, salatnya
orang mukmin pada malam hari menghapuskan dosa-dosanya
di siang hari."(1) Pada kesempatan lain, beliau berkata, "Salat
malam membuat wajah menjadi indah, membaguskan perangai,
membuat badan menjadi wangi, mendatangkan rezeki yang
banyak, membuat utang terlunasi, menghilangkan keluh kesah,
dan menajamkan pandangan."(2)
Dalam kitab Majma' al-Bayān disebutkan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda, “Jika seorang lelaki membangunkan
istrinya untuk salat malam, maka keduanya akan dicatat
sebagai pengingat Allah."
Imam Ja'far al-Sadiq berkata, “Sesungguhnya Allah pernah
mewahyukan kepada para nabi bani Israil, 'Jika kamu cinta untuk
bertemu dengan-Ku kelak di tempat yang suci, maka saat di dunia,
jadilah orang yang menyendiri, asing, gelisah, sedih, dan waspada
terhadap orang lain layaknya seekor burung yang terbang ke tanah
yang gersang, memakan pucuk-pucuk pohon, minum dari mata
air, dan kala malam tiba, ia kembali hanya kepada tempatnya, lalu
bergaul dengan Tuhannya dan khawatir terhadap sesamanya."(3)
Imam Muhammad al-Baqir mengatakan,
"Sesungguhnya Allah mencintai-beliau sebelumnya
menyebutkan beberapa perkara, yang pada akhir ucapannya,
orang yang bangun di malam hari untuk melakukan salat."
Seorang periwayat berkata bahwa ia berbicara kepada
Imam Ja'far al-Sadiq, “Diriku menjadi tebusanmu, beritahukan
kepadaku kapan waktu seorang hamba bisa lebih dekat kepada
Allah dan Allah pun dekat kepadanya?" Imam menjawab,
“Saat hamba itu bangun di akhir malam, sementara mata-
mata yang lain tertidur, ia berwudu dengan benar dan
dilanjutkan dengan salat malam. Ia hadapkan wajahnya
kepada Allah, merapatkan kedua kakinya, mengucapkan takbir
P: 126
(Allahu Akbar) dengan keras, memulai salatnya, membaca
sejumlah ayat, dan melakukan salat dua rakaat, yang mana
ia melanjutkan dengan dua rakaat berikutnya [saat dua
rakaat yang pertama selesai]. Lalu, tiba-tiba ada suara yang
memanggil dari sebelah kanan Arsy Allah yang muncul dari
langit yang terbentang, 'Wahai seorang hamba yang sedang
menyeru Tuhannya, sungguh kebaikan sedang menaungimu,
yang muncul dari langit yang terbentang. Begitu pula, para
malaikat menaungimu; mulai dari tempat kamu berdiri hingga
ke langit.' Dan ketika itu, Allah menyeru, “Hai hamba-Ku,
seandainya kamu mengetahui kepada siapa kamu bermunajat,
tentu kamu tidak akan memalingkan dirimu untuk selamanya."
Beliau juga berkata, “Orang yang paling dimurkai di sisi
Allah ialah (orang yang tak lebih dari] sesosok mayat di waktu
malam dan seorang pemalas di siang hari."(1)
Rasullulah Saw. bersabda, “Sesungguhnya yang terbaik
dari kalian adalah yang berakal.” Beliau ditanya, "Wahai,
Rasullah, siapa yang berakal itu?" Beliau menjawab, “Yaitu
orang yang tahajud di malam hari [melakukan salat malam],
sementara orang lain sedang tidur pulas."(2)
Suatu ketika, Imam Ali al-Sajjad pernah ditanya, “Kenapa
orang yang bertahajud memiliki wajah yang terindah?” Beliau
berkata, “Karena mereka menyendiri dengan Tuhan mereka,
sehingga Dia memakaikan pakaian cahaya-Nya kepada mereka”.(3)
Imam Ja'far al-Sadiq berkata, "Salat malam merupakan
keridaan Allah, kecintaan para malaikat, sunnah para nabi,
cahaya makrifat, asas keimanan, kenyamanan bagi badan,
kebencian bagi setan, senjata melawan musuh, sebab di-
ijabah-nya doa, diterimanya amal, keberkahan dalam
rejeki, penghubung antara pelaku[salat malam]nya dengan
pencabut nyawa, pelita di alam kubur, permadani yang
P: 127
dihamparkan di dalam[kubur]nya, jawaban atas [pertanyaan]
malaikat Munkar dan Nakir, dan yang menemani manusia
di dalam kubur hingga tiba Hari Kiamat. Saat Hari Kiamat
tiba, salat malam menjadi tempat yang rindang bagi para
pelakunya, mahkota di kepala dan pakaian kehormatan yang
dikenakannya, cahaya yang berada di depanya sewaktu ia
berjalan, hijab antara ia dan api neraka, hujah antara ia dan
Tuhannya, yang memberatkan timbangan [amal baiknya], tanda
pengenalnya melewati Shirāt al-Mustaqim, dan kunci surga.
Lantaran salat (malam) berisi takbir, tahmid, tasbih, tamjid,
taqdis, ta’zhim, bacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dan doa."42
Dalam kitab Balad al-Amin karya Kafami diriwayatkan
bahwa Imam Shadiq berkata, "Seseorang yang tidak melakukan
salat malam bukan termasuk pengikut kami.” Dalam kitab
Tsawab al-A'mal dan al-Amālī karya Syekh Shaduq, diriwayatkan
bahwa seorang lelaki bertanya kepada Amirulmukminin
Ali bin Abi Thalib tentang keutamaan membaca al-Qur'an
ketika malam hari. Beliau menjawab, "Sampaikan berita
gembira kepada seseorang yang menghidupkan malamnya
dengan salat yang niatnya hanya untuk Allah dan memohon
pahala Ilahi. Maka Allah berkata pada malaikat, 'Tulislah
untuk hamba-Ku ini kebaikan-kebaikan sebanyak apa yang
ditumbuhkan oleh tanaman di malam hari dari biji-biji daun
dan pepohonan serta jumlah setiap bambu, dahan, dan tempat
yang dipenuhi dengan rerumputan' Dan siapa melaksanakan
salat sepersembilan malam, Allah akan memberinya sepuluh
doa yang mustajab dan akan memberinya kitab-Nya dengan
tangan-kanannya pada Hari Kiamat. Dan siapa melaksanakan
salat seperdelapan malam, Allah Azza wa Jalla akan
memberinya pahala sebagaimana seorang syahid yang sabar
yang niatnya tulus dan ia juga bisa memberikan syafaat kepada
keluarganya. Dan siapa yang melaksanakan salat sepertujuh
P: 128
malam, maka ia akan dibangkitkan dengan wajah yang
bersinar bagaikan bulan di malam purnama, ia akan berjalan
di atas jembatan (shirāth) dengan orang-orang yang selamat.
Dan siapa yang melakukan salat seperenam malam, maka ia
akan ditulis bersama orang-orang yang bertaubat dan akan
diampuni dosanya, baik yang lalu maupun yang akan datang.
Dan siapa yang mengerjakan salat seperlima malam, maka ia
akan berada di surga mendampingi Nabi Ibrahim Khalilullah,
Dan siapa yang melakukan salat seperempat malam, maka ia
termasuk orang-orang yang sukses; orang-orang yang kali
pertama diselamatkan sehingga ia berjalan di atas shirāth
bagaikan angin yang kencang dan ia akan masuk surga tanpa
hisab. Dan siapa yang melakukan salat sepertiga malam, maka
ia tidak akan berjumpa dengan malaikat, kecuali malaikat
mendambakan kedudukannya di sisi Allah dan dikatakan
kepadanya, 'Masuklah ke surga dari pintu mana pun yang
berjumlah delapan'. Dan siapa yang melakukan salat separuh
dari malam, maka andaikan diberikan kepadanya apa saja yang
ada di bumi dari emas tujuh puluh ribu kali, hal itu tidak akan
sebanding dengan balasan-Nya dan ia akan mendapatkan
keutamaan lebih dari tujuh puluh budak yang dibebaskannya
dari keturunan Ismail. Dan siapa yang melakukan salat dua
pertiga malam, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak
jumlah pasir di sahara dan pahala terendah baginya adalah
lebih berat daripada sepuluh kali gunung Uhud. Dan siapa
yang melakukan salat semalam penuh dan membaca al-Qur'an
dalam keadaan ruku' maupun sujud dan ia selalu berzikir, maka
ia akan diberi pahala yang paling rendahnya adalah dosa-dosa
akan keluar darinya sebagaimana ia dilahirkan oleh ibunya,
dan akan dituliskan kebaikan baginya sejumlah segala yang
diciptakan oleh Allah, dan ia akan mendapatkan derajat sebesar
itu, akan ditetapkan cahaya di makamnya, akan dihilangkan
P: 129
dosa dan kedengkian dari hatinya, akan diselamatkan dari siksa
kubur, akan diberi kebebasan dari neraka, akan dibangkitkan
bersama orang-orang yang aman, dan Allah berkata kepada
para malaikat-Nya, 'Wahai para malaikat-Ku, lihatlah hamba-
Ku ini yang menghidupkan malam untuk menggapai rida-Ku,
tempatkanlah ia di Surga Firdaus dan berilah ia seratus ribu
kota, di setiap kota terdapat seluruh apa yang disukai oleh
jiwa dan sedap di pandang mata serta sesuatu yang tidak
terlintas di hati. Di samping tentunya, Aku pun menyiapkan
bagi-Nya kemuliaan dan tambahan serta kedekatan di sisi-Ku."
Catatan:
1 Irsyad al-Qulüb, 1: 183.
2 Bihar al-Anwār, 75: 109.
3 Irsyad al-Qulüb, 1: 173.
4 Irsyad al-Qulüb, 1: 173.
5 Irsyad al-Qulub, 1: 174.
6 Irsyād al-Qulüb, 1: 178.
7 Irsyād al-Qulüb, 1: 181.
8 Bihar al-Anwar, 87: 157.
9 Bihar al-Anwar, 87: 159.
10 Irsyad al-Qulub, 1: 182.
11 Irsyād al-Qulub, 1: 178.
12 Ibn Thawus, Iqbal al-A'mal (Beirut: Ilami) hlm.118.
13 Al-Jawāhair al-Sunniyah, hlm. 100.
14 Shahifah al-Sajadiyyah, doa ke-16
15 Mishbāh al-Syarī ah, Bab 84.
16 Al-Mahajjah al-Baydha', 8: 72.
17 Irsyād al-Qulüb, 1: 191.
18 Irsyad al-Qulub, 1: 191.
19 Irsyād al-Qulüb,1: 191–192.
20 Irsyād al-Qulüb, 1: 192.
21 Irsyād al-Qulub, 1: 192.
22 Irsyad al-Qulüb, 1: 192.
23 Bihar al-Anwar, 90: 344.
P: 130
24 Syaikh Hur Amili, Al-Jawāhir al-Sunniah, hlm. 110.
25 Irsyad al-Qulub, bab 24, 1: 188-192.
26 Syaikh Shaduq, Amālī, hlm. 517.
27 Bihar al-Anwar, 90: 334.
28 Bihar al-Anwār, 90: 334.
29 Syaikh Shaduq, Amali, hlm. 80-83.
29 Bihār al-Anwār, 70: 381.
30 Syaikh Saduq, Amālī, hlm. 125, hadis 114, majlis 16.
31 Syaikh Saduq, Amālī, hlm, 254, hadis 432, majlis 47.
32 Bihār al-Anwar, 74: 352.
33 Tsawab al-A'mal, hlm. 97.
34 'llal asy-Syarāyi', 1: 49.
35 'Ilal asy-Syarayi', bab 84, hadis 7, 2: 62.
36 Tsawāb al-A'māl, hlm. 98.
37 Misykat al-Anwar, hadis 1508, hlm. 449.
38 Bihār al-Anwār, 31: 354,
39 Bihar al-Anwar, 84: 158.
40 Uyūn Akhbar, 1: 282.
41 Balad al-Amin, hlm. 79.
P: 131
Saat ini, apabila semua ibadah para jin dan manusia
dibandingkan dengan segala nikmat Tuhan yang besar,
tetap saja semua itu belum memiliki nilai. Terlebih, alih-alih
melakukan beribadah, kamu justru seperti sesosok mayat kala
malam hari dan seperti orang yang tak berguna dan pemalas
kala siang hari hingga malam kembali tiba! Bahkan, kamu sama
sekali tidak beranjak dari tempat tidur dan tidak membuka
mata lantaran terlelap dalam tidur, seolah-olah kerugian dan
rasa malu akibat tidur dan sering tidak melakukan salat malam,
menguntungkan dirimu. Padahal, jika kamu mengetahui
hakikat bangun malam-yaitu salat malam dan nilainya yang
teragung tentu kamu akan berusaha bersungguh-sungguh
untuk melakukanya dan setiap salatmu dapat paling banyak
memohonkan ampunan untukmu dan lebih kuat dalam
menumbuhkan rasa malu kepada Allah.
Apabila kamu ingin memahami kebenaran kata-kata
ini, pasang pendengaranmu baik-baik, karena saya akan
P: 132
beritahukan kepadamu tentang kesalahanmu yang paling
ringan terkait dengan etika saat berhadapan dengan Penguasa
Yang Mahabesar, Pengasih, dan Penyayang. Kesalahanmu itu
terletak pada kelalaianmu atas kehadiran-Nya saat salat, di
mana hatimu berpaling kepada selain-Nya. Jadi, jika kamu mau
memikirkan kesalahan ini, lalu membandingkan kehadiranmu
di hadapan orang terhormat di kotamu atau di hadapan salah
seorang terbaik dari masyarakatmu, dengan kehadiranmu di
hadapan Raja dari semua raja yang Maha Tinggi di saat salat,
kamu akan mengerti bahwa demikian besar penghinaan dan
kesalahanmu kepada-Nya. Hal ini lantaran kamu merasa
malu dan tidak mau membelakangi seorang yang terhormat
di kotamu saat ia sedang berbicara denganmu atau (tidak
mungkin] kamu sibuk berbicara dengan orang lain saat ia
sedang berbicara denganmu. Bahkan yang terparah adalah
kamu tunduk pada musuhnya, sementara ia hadir dan
memanggilmu. Padahal, kamu pun tidak suka apabila hal itu
kamu lakukan kepada orang-orang yang sederajat denganmu
atau kepada pembantu-pembantumu sekalipun.
Betapa buruk perbuatan dan keadaanmu dalam
menghadapi Raja Yang Mahaagung dan Penyayang saat kamu
sedang salat, padahal Dia telah memberikanmu kehormatan
dengan mengundangmu untuk melakukan perjalanan mi'raj
dan bermunajat kepada-Nya. Artinya, Dia telah memberikan
perhatian-Nya padamu tatkala mengundangmu untuk
berbicara dengan-Nya dalam suasana yang akrab dan mesra.
[Di mana apabila kamu memenuhi undangan-Nya] Dia Yang
Mahaagung, Pengasih, dan Penyayang ini selalu memerhatikan
dan menjagamu setiap saat, serta dengan kelembutan-
Nya menaungi semua ucapan dan perbuatanmu. Lalu, Dia
sebarkan kebaikan mulai dari tempat kamu berdiri hingga ke
ufuk langit, dan memerintahkan para malaikat-Nya yang mulia
P: 133
untuk mengelilingimu dari semua tempat itu sebagai tanda
penghormatan kepadamu. Kemudian, Dia memandangimu
dengan pandangan yang penuh rahmat dan membanggakanmu
di hadapan para malaikat-Nya yang mulia.
Hai miskin, hai bodoh, hai pelaku perbuatan buruk, hai
orang yang tak memiliki rasa malu, hai orang yang tidak
beriman, tidak berakal, dan tidak memiliki kesadaran terhadap
bahaya dan kerugian yang menimpa dirinya, di manakah
kamu?! Seekor bintang ternak saja, apabila ia menerima dari
pemeliharanya sepersepuluh dari yang kamu terima dari
Tuhanmu Yang Maha Pengasih dan Penyayang, kamu akan
melihat binatang ternak itu selalu menantikan kedatangan
pemeliharanya dan menikmatinya. Tentu kamu sering
melihat bagaimana binatang-binatang, bahkan anjing-anjing,
menunjukan perhatian yang menakjubkan kepada tuannya
yang selalu memberikan makanan padanya. Apabila kamu
merenungkan bagaimana perilaku dan patuhnya anjing-anijng
itu kepada tuannya, tentu kamu akan merasa kalau anjing-
anjing itu memiliki rasa malu dan pengorbanan lebih darimu!
Hai manusia! Hai orang yang berakal! Sadarlah! Bagaimana
dapat dibenarkan perilaku buruk di hadapan Allah Yang
Mahaagung dan Maha Pemberi Nikmat, di mana tidak ada satu
pun dari makhluk-Nya, baik yang ada di langit maupun di bumi,
yang dapat menghitung nikmat yang telah diberikan-Nya dan
tidak ada pikiran orang berakal, pemahaman orang berilmu,
dan imajinasi para filsuf yang dapat menjangkau keagungan
kekuasaan-Nya.
Apakah bisa dibenarkan bila perilakumu kepada Allah
lebih buruk dari sikap seekor anjing kepada pemeliharanya?
Tidakkah kamu tahu kalau pemelihara anjing tidak memberi
makan peliharaannya, kecuali dari tulang-tulang yang
P: 134
tak lagi terbungkus daging, tetapi si anjing itu selalu siap
sepanjang malam menjaga tuannya beserta hewan-hewan
ternak miliknya; kapan pun anjing itu melihat ada orang asing
mencoba masuk tanpa izin, dengan sigap dan tanpa menunggu
perintah, ia menyerangnya. Sekalipun terkadang pemiliknya
lupa memberikan tulang-tulang yang tak lagi berdaging-
padanya, ia dapat menerimanya dan tetap menjaga rumah
pemeliharanya itu, tidak mau berpaling ke rumah orang lain!
Oleh karena itu, dengarlah hai orang yang tak memiliki
rasa malu! Kamu adalah orang yang telah berkhianat kepada
pemilikmu, yang menyayangimu, dan memberi nikmat-
Nya padamu, yang membangun rumah yang indah dan
mempersilakanmu untuk menempatinya, yang menyediakan
aneka makanan yang lezat dan mempersilakanmu untuk
menyantapnya. Namun sayangnya, kamu malah berkhianat
dan berpaling kepada musuh-Nya. Kedekatanmu dengan
musuh-Nya demikian bertambah besar sehingga seandainya
ia mengatakan, “Bermaksiatlah kepada Tuhanmu, agar kamu
mendapat lebih banyak nikmat-nikmat yang telah kamu terima,
kamu akan bersedia melaksanakannya meski harus dengan
bersujud kepadanya. Padahal, kamu tahu bahwa seandainya
bukan lantaran kebaikan Allah kepadamu, tidak memberikanmu
kekuatan dan menyediakanmu fasilitas pendukung, niscaya
kamu tidak akan mampu melakukannya. Alangkah besar
bencana dan musibah ini! [Kalau kamu menyadari akan
musibah besar ini ucapkanlah] "Sesungguhnya kami milik Allah
dan kepada-Nya kami kembali" (QS Al-Baqarah [2]: 156).
Bagaimana dengan keadaan kita saat Allah berkata kepada
kita, “Hai orang yang buruk! Hai orang yang buruk! Tidakkah
Aku telah memberikan keberadaan kepadamu?! Tidakkah
Aku secara langsung mengurusi semua urusanmu, sehingga
P: 135
Aku tak senang bila kamu hanya mendapat sebagian nikmat,
sementara nikmat yang lain tidak?! Sampai orang-orang tak
mampu melukiskannya dan tak mampu menghitungnya, tetapi
kamu bermaksiat kepada-Ku dengan menggunakan nikmat
dari-Ku, dan Aku menyaksikanmu! Perintah-Ku kepadamu
tentang suatu hal adalah maslahat bagimu, sedangkan
perintah musuh-Ku dan musuhmu kepadamu tentang suatu
hal adalah kehancuranmu. Namun sayangnya, justru kamu
menaatinya dan melawan-Ku, meskipun ia adalah musuh-
Ku dan musuhmu. Penyimpangan dan perbuatan maksiatmu
kepada-Ku ini, bahkan kamu lakukan dengan semua nikmat
dan fasilitas dari-Ku. Akulah yang selama ini memberikan
nikmat dan rezeki kepadamu dengan mengundangmu pada
kemuliaan-Ku dan [mengundangmu] menghadiri majelis kasih
sayang-Ku; di mana undangan ini merupakan suatu bentuk
perhatian dan penghormatan-Ku kepadamu. Namun, mengapa
kamu berpaling dari-Ku? Lebih peduli terhadap undangan dan
ajakan musuh-Ku serta menaatinya? Padahal, ia mengajakmu
untuk tinggal bersamanya di tempat yang paling rendah dan
hina di neraka."
Barangkali keadaan inilah yang pernah disinggung oleh
Imam Ja'far al-Sadiq kala ia berkata, “Seandainya tidak ada rasa
takut di Hari Pembalasan saat semua perbuatan dihisab kecuali
kekecewaan dan rasa putus asa di saat catatan amal perbuatan
dibuka dihadapan Allah, maka alangkah baiknya bila manusia
tinggal di atas gunung dan tetap di sana seumur hidupnya."(1)
Terkadang terlintas dalam benak bahwa mengetahui
bentuk kesalahan ini, penghinaan, dan menganggap remeh
yang disertai dengan diam tanpa meminta maaf adalah bentuk
menyebarkan aib yang luar biasa. Yang demikian itu karena
tidak mau meminta maaf meskipun di sebagian kasus tidak
P: 136
benar adalah membuka peluang untuk penghinaan, bahkan
lebih buruk dari dosa itu sendiri. Oleh karena itu, dalam proses
meminta maaf dari berbagai kesalahan besar dan keburukan-
keburukan yang luar biasa ini dan setelah terlebih dahulu
mengakui kekurangan diri sendiri dengan penuh kekecewaan
dan penampakan kehinaan, kerendahan, serta rasa malu yang
kita miliki, maka kita di haribaan kesucian dzat agung Allah
dengan bahasa hati kita mengungkapkan:
Sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Engkau,
Mahasuci Engkau, sesungguhnya kami termasuk orang-orang
yang melakukan kezaliman, bahkan kami yang terburuk,
terendah, dan terhina dari mereka, sehingga sekiranya kami
mampu menanggung pembalasan dan azab-Mu, maka kami tak
akan memohon maaf, sebaliknya kami akan meminta Engkau
untuk mengazab kami dengan azab-Mu yang paling pedih dan
siksa-Mu yang paling buruk selamanya dan sepanjang masa.
Tentu, bagaimana kami bisa bermaksiat kepada-Mu, padahal
kami menerima semua kemuliaan agung yang bersumber dari
perhatian-Mu yang sangat tinggi dan tak ternilai. Sungguh
buruk yang telah kami lakukan.
Wahai Tuhan dari hambamu ini, sesungguhnya keburukan
sama sekali bukan karena menurut kami—nikmat-Mu kurang
baik, atau bukan karena kekuasaan-Mu yang tinggi-dalam
pandangan kami-rendah, dan juga bukan karena pengingkaran
dan penentangan mereka, perlindungan pada-Mu dari keadaan
dan sifat ini, dan juga bukan karena kekufuran. Namun, semua
kemaksiatan itu semata-mata karena diri kami yang hina dan
kedudukan kami yang rendah sebagaimana perumpamaan
“kami bagaikan makhluk hidup yang hidup di pipa-pipa saluran
air limbah, yang tidak tahan dengan bau wangi, bahkan mati
karena menciumnya."
P: 137
Keadaan kami ini merupakan bukti dari keadilan-Mu,
yang memastikan jalan hidup kami harus seperti itu. Dan,
semua ketetapan-Mu atas diri kami dan hujjah yang Engkau
miliki, yang diterapkan pada kami, lantaran kedudukan yang
rendah dan keadaan yang buruk semacam ini. Kecuali kami
mendapatkan keutamaan-Mu yang mengubah keadaan diri
kami, seperti yang telah Engkau anugerahkan kepada para
kekasih-Mu, yaitu orang-orang yang Engkau perkenalkan
diri-Mu yang agung dan Engkau masukkan cinta-Mu di
hati mereka sehingga mereka mengenal dan mencintai-Mu.
Engkau memberikan mereka kemampuan memahami tipu
daya musuh dan menjauhkan diri dari bujuk rayunya. Dengan
karunia-Mu, mereka menjadi kuat, berpegang teguh pada tali-
Mu, dan bertawasul kepada-Mu dengan ber-wilāyah kepada
para kekasih-Mu. Dengan begitu, Engkau menerima mereka,
memberi mereka jalan untuk mendekatkan diri kepada-Mu,
mendidik mereka dengan akhlak-Mu. Namun, bagaimana
dengan kita yang masih terbelenggu dan hina ini?!
Sewaktu kami mengingat keagungan dan banyaknya
nikmat-Mu serta kehadiran-Mu dalam keadaan-keadaan
kami, di mana hati kami merasakan pengaruhnya, seketika
itu muncul ingatan di hati kami terhadap pelbagai perbuatan
buruk yang pernah kami lakukan dan keakraban kami dengan
semua sifat buruk ini. Semua keburukan itu menjelma di
depan mata kami, lalu musuh kami dan musuh-Mu datang
membantu menghiasinya di mata dan di hati kami agar kami
terhalang untuk mengenal-Mu, dan memalingkan kami dari
jalan yang dapat membawa kami kepada cinta-Mu, hingga
kami tak mampu menyelamatkan diri dari kehancuran dan
kesesatan. Dan, tidaklah dapat mengeluarkan kami dari
kegelapan tersebut, kecuali cahaya hidayah-Mu dan terbitnya
P: 138
matahari makrifat-Mu, sehingga perhatian-Mu yang penuh
kasih mengantarkan kami ke tempat dan derajat yang tinggi.
Demi keagungan-Mu, jika Engkau membiarkan kami dalam
kondisi seperti ini dan menyerahkan diri kami kepada musuh
kami, niscaya kami akan binasa dan menyebabkan orang lain
binasa serta kami dapat melakukan dosa-dosa besar. Dengan
penghormatan-Mu pada kami, kami melawan Engkau dengan
perbuatan-perbuatan kami yang buruk. Sungguh kami adalah
hamba-hamba-Mu yang melakukan dosa, yang memanggil
Engkau dengan suara lantang:
Demi kemuliaan, keagungan, dan kerajaan-Mu yang
mulia, pasti aku akan bermaksiat kepada-Mu, membinasakan
diri sendiri, melemparkan diri ke tempat yang paling rendah,
dan bergabung dengan golongan setan, kecuali Engkau
menjagaku dari semua kemungkinan buruk ini karena
memang diriku dilahirkan dan berkembang di dunia yang
rendah ini: tak berakal, bergelimang dengan kenikmatan dan
kegemerlapannya, dan biasa menuruti hawa nafsu. Aku tak
peduli dengan yang baik dan yang buruk, aku pun terlibat
dalam kemaksiatan ini bersama sejumlah orang terpandang,
teman-temanku, dan setiap orang yang aku temui dan aku
kenal, sehingga sifat-sifat buruk dalam diriku tumbuh, hingga
menjadi terbiasa melakukan kebodohan-kebodohan dan
mencintai dunia ini.
Semenjak pengaruh kebodohan dan sifat-sifat buruk
ini yang merupakan akibat perbuatan burukku sepanjang
kehidupanku di masa lalu bertempat dalam diriku, aku
terhalang dari menikmati "wajah-Mu" dan menyaksikan
keajaiban-keajaiban Alam Malakut. Meskipun Engkau
menganugerahkan akal dan ilmu kepadaku, tetapi pemberian
itu terlambat bagiku. Akal dan ilmu itu tak mampu melawan
P: 139
nafsu amarah [nafsu yang mengajak pada keburukan] dan setan
yang merasukiku. Aku tak mampu membersihkan diriku dari
sifat-sifat buruk dan keinginan-keinginanku yang rendah.
Kini aku telah menjadi tawanan nafsu amarah dan setan,
di mana dengan keduanya, perbuatan maksiatku berhasil
menghancurkan diriku. Lalu, bagaimana aku dapat mengingat-
Mu dan selalu menunjukkan perilaku baik di hadapan-Mu,
sementara aku belum mengenal siapa yang harus aku ingat
dan yang selalu hadir, bahkan aku belum mampu membedakan
antara kegelapan dengan cahaya?—Yang mengadukan perilaku-
perilaku buruk dan keadaanku yang rendah ini kepada-Mu, dan
datang pada pintu rahmat dan karunia-Mu—Lalu, bagaimana
aku bisa selamat?! Di mana kesalamatan itu? Di mana aku dapat
bebas dari penjara alam materi dan dari ketertawanan dunia
yang batil ini?! Seandainya Engkau tidak menyinari hati orang
yang tertawan ini dan tidak menariknya ke tempat abadi dan
penuh kenikmatan, tentu semakin mustahil ia memperoleh
kesalamatan!
Wahai Tuhan kami, Tuan kami, Pencipta kami, dan yang
memberikan nikmat kepada kami! Kami telah menzalimi diri
sendiri. Kini, kami mengakui semua perbuatan maksiat dan
dosa kami. Sebelum datangnya Hari Kiamat, kami akan berkata,
"Apakah ada jalan bagi kami untuk keluar dari neraka jahanam
ini?!" Kami sangat mengharapkan karunia dan perhatian-Mu
yang besar, agar pada hari pembalasan kelak, Engkau tidak
menjadikan kami orang-orang yang mengutarakan ucapan
itu dan mengungkapkan keberatan tersebut, serta tidak
mengumpulkan kehinaan dunia dan akhirat untuk diberikan
kepada kami.
Wahai Tuhan kami, melalui Diri-Mu, Engkau berikan
syafaat kepada para kekasih-Mu, dan melalui merekalah, kami
P: 140
bertawasul pada-Mu agar dikabulkan. Wahai Tuhan kami,
maka limpahkanlah rahmat-Mu kepada kami, anugerahkan
kami dengan makrifat dan cinta-Mu, dan keluarkan kami dari
kegelapan menuju cahaya yang menerangi! Sebab, apabila
Engkau perkenalkan diri-Mu pada kami, niscaya kami akan
mencintai-Mu. Apabila kami mencintaiMu, niscaya kejahilan,
kebatilan, dan keterperdayaan kami akan lebur menjadi debu,
bahkan, hijab yang menghalangi kami dari-Mu pun akan sirna.
Dan, kami akan menjadi seperti yang Engkau inginkan dari para
kekasih-Mu.
Sungguh kami adalah hamba-hamba-Mu yang sengsara,
karena mata kami terpejam dari melihat kebaikan-Mu.
Meskipun kami adalah orang-orang yang berada di sisi-Mu
dan bagian dari para tamu-Mu, dan Engkau Yang Mahamulia
mengajarkan kepada para hamba-Mu dan para kekasih-Mu
tentang adab menerima tamu, walaupun sebagian dari mereka
adalah orang-orang kafir, Kendati tamu-tamu-Mu tidak akan
celaka lantaran tidak diterima sebagai tamu dan Sang Tuan
Rumah tidak akan berkurang dari apa yang dimiliki-Nya
lantaran telah melayaninya. Namun wahai Tuhan-Ku, Engkau
mengetahui apabila Engkau tidak menerima kami sebagai
tamu, tentu kami akan sengsara dan binasa karena "kelaparan"
di hadapan-Mu. Untuk itu, wahai Dzat yang tak akan berkurang
[kekayaannya) karena memberi dan tak akan bertambah karena
menahan rezeki hamba-hamba-Nya, maka limpahkanlah kasih
sayang-Mu pada kami dan maafkanlah apa yang telah kami
lakukan!
Hai saudaraku dan cahaya mataku, apabila kamu benar-
benar telah merenungi penjelasan tentang keutamaan bangun
malam, salat tahajud, dan menangis karena takut kepada Allah,
lalu kamu tak terdorong untuk melakukannya, berarti kamu
P: 141
bersedia tak lagi disebut sebagai pengikut (Ahlulbait] dan
ditolak sebagai pecinta para imam, Berkaitan dengan hal ini,
Imam Hasan al-Asykari berkata, "Bukan termasuk dari kami,
orang yang meremehkan salat malam."(1)
Kamu lebih menyukai santai dan tidur daripada
berkhalwat dengan kekasihmu (Allah), bermunajat, duduk,
serta dekat bersama-Nya. Kamu tidak menginginkan kemuliaan
dan keagungan-Nya. Sungguh, apabila setelah merenungi
keterangan dalam masalah ini, kamu masih tidak berubah
dan tergerak melakukannya, ketahuilah bahwa kamu sedang
terancam tertimpa dua hal: apakah keyakinanmu kepada
ayat-ayat dan riwayat-riwayat ini akan dicabut atau dirimu
akan menjadi rusak karena cintamu kepada dunia yang hina,
kezaliman perbuatan maksiat, dan dorongan hawa nafsu
yang dapat merusak hati sekaligus dirimu, seperti halnya
cermin yang fungsinya telah hilang lantaran sedemikian
kotornya. Dampaknya, tidak ada lagi kebaikan yang dapat
menyelamatkanmu. Maka waspadalah, jangan sampai dirimu
lalai dari serangan penyakit yang mematikan ini! Karena bila
kamu terjangkit olehnya, kamu tak lagi dapat disembuhkan
hingga hidupmu berakhir dengan mengalami kecelakaan yang
besar dan kerugian di dua alam [dunia-akherat]. Janganlah
menunda-nunda untuk mencegah[penyakit]nya dan bertaubat,
sebagaimana diingatkan oleh hadis, "Sesungguhnya kata yang
paling banyak diucapkan oleh ahli neraka adalah 'nanti saja!"
Jika kamu mau mengamalkan apa yang telah disampaikan,
sekaligus berusaha dalam menyempurnakan dan menjaganya,
kamu harus melakukan secara sembunyi (tidak secara
terang-terangan) dan dengan ikhlas. Selain itu, kamu harus
memperhatikan [usahamu] ini setiap saat. Sertakan munajatmu
kepada-Nya dengan memilih kalimat-kalimat munajat yang
P: 142
sangat berkesan. Misalnya, pilihlah kalimat-kalimat yang sangat
menyentuh, membuat sedih, membuat air mata menetes, dan
menyemangati hati.
Demikian pula dengan gerak-gerik dan perilaku-perilaku
lahiriah tertentu, termasuk yang harus diperhatikan, seperti
mengguling-gulingkan [badan] di tanah, mengenakan baju
berbahan kasar, membalur kepala dengan tanah, duduk di atas
tanah, melingkarkan kedua tangan ke leher, khususnya dengan
cara yang dilakukan oleh ahli neraka jahanam; terkadang
berdiri, duduk, sujud dengan pelbagai cara, seperti meletakan
dahi ke tanah, mengusapkan wajah ke tanah, meletakan
dagu ke tanah; terkadang juga melakukan perbuatan seperti
orang yang sedang kebingungan dan sedih, seperti berjalan
sambil menyandarkan kepala ke dinding, menyentuhkan
api ke tubuh, membacakan firman-firman Allah kepada diri
sendiri, atau bisa juga dengan meniru) ucapan para malaikat,
seperti “Pergilah dan binasalah di dalamnya dan jangan bicara
denganku,"(1) ucapan malaikat Malik, "Sesungguhnya kamu
adalah orang-orang yang menetap di sana,"(2) ucapan malaikat
Fatan, “Sekali-sekali tidak, sesungguhnya itu adalah perkataan
yang diucapkannya saja,"(3) dan firman Allah, “Tangkap mereka,
lalu ikat dengan rantai. Kemudian, lemparkan mereka ke
dalam neraka jahanam,"(4). Lebih dari itu, bisa dengan mengajak
bicara anggota tubuh atau meratapinya, “Hai mataku yang
saat di dunia aku jaga dari terkena sedikit debu, bagaimana
keadaanmu di jahanam nanti kala kamu dipenuhi apinya?!" dan
"Hai mata, dahulu kamu sangat takut bila berada dekat dengan
burung dan merasa perih saat memakai celak, lalu bagaimana
keadaanmu seandainya kelak kamu dipakaikan celak dari api
neraka dan ditancapkan padamu paku yang telah memerah
karena terbakar?!"
P: 143
Kamu berkata kepada kepalamu, “Hai kepala yang di
dunia tidak pernah aku letakkan ke bantal dari kapas kecuali
bantal itu berisi penuh dengan bulu-bulu burung. Dan aku
membiasakanmu menggunakan bantal dari bulu-bulu burung
'al-Qu'. Bagaimana keadaanmu seandainya kelak para malaikat
memukulmu dengan lempengan-lempengan besi yang telah
memerah terbakar oleh api neraka?!" Selanjutnya, bicaralah
semacam ucapan-ucapan ini dengan anggota tubuhmu yang
lain!
Apabila kamu lebih menyukai derajat cinta dan harapan
ketimbang derajat takut dan kepahitan, maka katakan kepada
jiwamu, “Hai jiwaku yang mulia, di dunia kamu selalu mengejar
kemuliaan, bergelimang dengan perhiasaan, senang istirahat
dan santai, bersenang-senang, berkumpul dengan wanita,
berteman dengan orang-orang terpandang, para pejabat dan
pemimpin, padahal Allah tidak meridai sebagian darinya. Dan,
demi kemuliaan hari pembalasan, keagungan kerajaan Allah dan
kebesaran kekuasaan-Nya, Allah mengajakmu untuk menuju
kepada cahaya dan keindahan-Nya, mendekatkan diri kepada-
Nya dan berada di sisi-Nya. Tetapi aku memilih untuk menukar
pertemanan dengan para wali dan shiddiqin dengan mendekati
setan. Aku memilih hawa Neraka Sijjin dengan meninggalkan
surga yang tinggi dan kedekatan kepada Allah. Musibah apa
yang akan aku terima dengan kesalahanku kepada Allah, ketika
aku termasuk orang-orang yang celaka dan binasa.
Oh, seandainya dahulu semua bujukan syahwat duniawi
yang rendah ini menjauhi diriku dan tidak menghalangiku
dari kenikmatan hakiki dan agung. Oh, seandainya dahulu
aku tidak menikmati kemuliaan yang tak berarti, sehingga
menyebabkanku tidak memperoleh kemuliaan yang tak ternilai.
Sungguh semua ini menyedihkan dan patut disesalkan, Apakah
P: 144
ada orang yang dapat membantuku agar aku dapat menangis,
menjerit, dan meratapi atas tidak tergapainya semua kemuliaan
dan keagungan ini dariku?! Dan, mau bersamaku meratapi
kehilangan semua nikmat yang besar dan kegagalan mencapai
kedudukan yang agung dan penting ini?!
Hai saudara-saudaraku, para pendosa dan orang yang
merugi! Berkumpullah dengan saudara-saudara kalian yang lain
dan selenggarakan majelis kesedihan dan ratapan bersama-
sama mereka!
Hai para sekutuku, pelaku dosa-dosa besar! Marilah
bersamaku, kita menyelenggarakan majelis kesedihan dan
ratapan!
Hai orang-orang yang membantuku dalam memasang
tabir-tabir (dalam] penghambaan, menghilangkan kemuliaan
rububiyah, dan menjual nikmat-nikmatnya yang kekal dengan
dorongan-dorongan syahwat yang hina. Saat ini, mari bersama-
sama dengan teman-teman kalian yang lain, menyelenggarakan
mejelis ratapan dan kesedihan atas kegagalan mencapai dan
memperoleh kemuliaan, keridoan, semua nikmat surgawi,
bidadari, pemuda-pemuda surga yang memiliki keindahan
bagaikan mutiara dan permata, kebaikan, dan perhatian dari
Allah Yang Maha Pemberi kepada kita. Merataplah atas diri kita
yang menukar alam-alam cahaya, kesenangan maknawi, dan
surga dengan kegelapan, kehinaan, dan laknat!
Dengan demikian, kita harus lebih serius memerhatikan
dan berupaya memiliki jiwa yang lembut, peduli, dan waspada.
Jika kita memahami tujuan yang sebenarnya, pasti kita lebih
serius untuk mencapainya, mengingat banyak hijab yang
menutup pengetahuan dan kesadaran kita atas cara-cara,
arahan-arahan, dan penjelasan-penjelasan tentang bagaimana
mencapai tujuan yang sebenarnya itu. Tidak ada orang yang
P: 145
mengetahuinya kecuali dirinya, seperti juga dalam urusan-
urusan dunia. Jadi sebenarnya, manusia tidak membutuhkan
guru dalam memahami cara-cara dan pelbagai trik dalam
urusan-urusan dunia, karena ia sendiri adalah seorang besar
dalam urusan ini.
Selanjutnya, apabila murid ingin mengamalkan tuntunan
ini, ia harus banyak berzikir di berbagai kesempatan, dan
menentukan waktu khusus untuk bertafakur dalam sehari-
semalam. Pertama yang harus dipikirkan dan direnungi olehnya
ialah kematian. Kematian yang direnungkan dengan hati yang
dalam dan bukan hanya melihat segi lahiriah kematian yang tak
bermafaat dan tak menyentuh. Perenungan terhadap kematian
adalah obat penawar rasa sakit bagi manusia yang terbakar
cinta dunia dan sebab utama ſupaya] perbaikan manusia dari
kerusakan akibat sifat-sifat buruk dan akhlak tercela.
Rasulullah Saw., ditanya, “Bagaimana orang dapat
mencapai derajat para syuhada?" Beliau Saw. menjawab, “Ya,
orang yang mengingat kematian setiap harinya sebanyak 20
kali."(1)
Penjelasan secara ringkas tentang pola tafakur, yaitu
memikirkan sejumlah perkara berikut.
Pertama, memikirkan dan merenungi kematian yang
datang secara tiba-tiba. Kematian secara tiba-tiba yang dialami
sejumlah orang, sebenarnya cukup sebagai bahan perenungan
bagi mereka yang berakal. Orang yang tak pernah menderita
sakit parah sebelumnya, tak merasakan ada tanda-tanda
kematian pada dirinya, bahkan ia menyangka dirinya akan
terus hidup untuk beberapa tahun ke depan, dapat secara tiba-
tiba ajalnya menjemput dan kesempatan hidupnya berakhir.
Bukankah banyak orang yang masih kuat, segar, dan semangat,
tidak berpikir akan mati cepat? Mereka mengkhayal memiliki
P: 146
usia yang panjang, dari sisi pola kehidupannya di dunia seakan-
seakan mereka akan terus hidup di dunia ini untuk ratusan
tahun, tetapi mati secara tiba-tiba?! Kalau hal itu bisa terjadi
dan faktanya banyak yang telah terjadi, mengapa kita lalai dari
kematian secara tiba-tiba dan marasa tenang, seakan-seakan
hal itu tak akan terjadi?!
Kedua, memikirkan dan merenungi rasa sakit dan
ketakutan manusia yang luar biasa saat menjalani proses
kematian dan sakratulmaut. Rasa sakit pada bagian tubuh
sudah cukup menyiksa, lalu bagaimana dengan rasa sakit saat
kematian, yang tak ada manusia dapat memikulnya?! Rasa sakit
ini patut dijadikan bahan perenungan.
Sering kita mendengar tentang rasa sakit yang dialami
sebagian orang saat kematian menjemput mereka. Rasa sakit
yang dialami mereka seperti tusukan besi yang telah membara
setelah dibakar kemudian diletakan di atas materi lembut yang
basah, lalu kembali ditarik keluar. Dan, disebutkan juga bahwa
kematian yang dialami sebagian orang, [rasa sakitnya) seperti
sebatang besi yang penuh dengan duri tajam yang ditusukan
ke tubuh, sehingga setiap duri tajamnya menusuk urat-urat
dan bagian-bagian dalam tubuh yang sewaktu dikeluarkan
serta-merta semua urat dan bagian dalam tubuh tersebut
ikut tercabut keluar, dan sama sekali tidak ada yang tertinggal
di dalam tubuhnya. Dan, sebagian kematian terasa lebih
menyakitkan dan lebih berat dibandingkan dengan rasa sakit
saat tubuh dipotong-potong dengan gergaji atau gunting.
Kendati demikian, dengan semua keterangan di atas,
tentu sangat mengagetkan bila manusia (tetap] bergelimang
dalam kenikmatan dan kegemerlapan dunia sambil menunggu
kedatangan seorang utusan yang akan mencambuknya
beberapa kali sampai membuatnya tak mampu lagi merasakan
P: 147
semua kenikmatan itu. Tentu saja, sewaktu-waktu malaikat
Izrail akan mendatanginya dan memaksanya merasakan
sakratulmaut saat ia bergelimang dalam kenikmatan dan
kegemerlapan dunia. Orang semacam ini sama sekali tidak
peduli dengan kehidupan yang lain, akibat kebodohan dan
lupa diri. Orang sengsara ini tidak memahami dahsyatnya
rasa sakit saat menghadapi sakratulmaut. Memang, siapa
pun sebelum menyaksikan dan mengalami sakratulmaut
tidak akan memahami hakikatnya. Namun, seseorang dapat
memahaminya melalui riwayat-riwayat para nabi dan berita-
berita para kekasih Allah, dan bersandar pada dalil akal.
Adapun dalil akal yang menjelaskan masalah ini (dahsyatnya
rasa sakit saat sakratulmaut) adalah sebagai berikut: Setiap
tubuh yang tidak memiliki ruh tidak dapat merasakan sakit,
hanya tubuh yang memiliki ruh dapat merasakannya. Maka
yang merasakan sakit adalah ruh; sebesar apa pun luka yang
terdapat pada tubuh yang ruh bersemayam di dalamnya,
seukuran itu pula ruh merasakan sakit akibat luka itu. Misalnya,
apabila bagian kecil tubuh kita terluka atau terpotong, maka
rasa sakit yang diterima ruh sebesar itu juga. Apabila sebagian
besar tubuh yang terluka atau seluruhnya, seperti pada saat
seluruh tubuh sampai ke urat-uratnya menderita luka-luka
akibat penyiksaan berat, ruh pun akan merasakan sakit yang
teramat pedih.
Selanjutnya, coba bayangkan apabila rasa sakit dan
penyiksaan secara langsung (tanpa melalui tubuh lebih dulu)
menimpa ruh, pasti ruh merasakan sakit dan penderitaan yang
sangat luar biasa. Demikianlah keadaan ruh saat kematian
mendatanginya. Keadaan menyakitkan ini kemudian merambah
ke setiap bagian tubuh. Rasa sakitnya yang luar biasa menjalar
ke semua bagian badan termasuk ke urat-urat dan tulang-
P: 148
tulangnya, karena ruh tertarik melalui urat-urat, setiap
persendian, akar setiap helai rambut pada badan, dan mulai
dari pangkal kepala hingga bagian terakhir kedua kaki. Tentu
saja, dengan keadaan ini, tak ada tempat lagi untuk bertanya
tentang rasa sakit yang luar biasa saat kematian tiba.
Karena itu, mereka berkata bahwa rasa sakit saat kematian
melebihi rasa sakit akibat terpotong oleh gergaji atau gunting.
Anda menyaksikan seorang manusia tak lagi mampu berteriak
dan menjerit sebelum mengalami kematiannya secara total.
Hal ini karena kematian perlahan-lahan melumpuhkan
semua kekuatan fisiknya hingga suaranya tak lagi dapat
dibunyikan dan nafasnya tak lagi dapat diembuskan. Berbeda
dengan keadaannya sebelum ini, di mana keluhan dan
jeritannya, sampai nafasnya pun masih terdengar mengalir di
tenggorokannya. Namun sekarang, semua itu tak lagi terdengar
akibat semua kekuatan fisiknya telah lumpuh. Apakah Anda
tidak melihat bagaimana kelopak kedua matanya tertutup,
kedua bibir mulutnya tak dapat terbuka, dan lidah di dalam
mulutnya tak lagi dapat digerakan?! Ah...! keluhan demi
keluhan... kepedihan demi kepedihan ...! sampai jiwa-jiwa
melewati pangkal tenggorokan dan saat di mana kedua mata
tak lagi dapat memandang wajah-wajah anggota keluarga,
kerabat, dan teman-teman, bahkan cahaya yang memancar.
Dari riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini,
cukup bagi kita merujuk sebuah riwayat yang mengisahkan
seseorang yang sedang menjelaskan kematian yang pernah
menimpanya kepada Salman al-Farisi al-Muhammadi. Kutipan
riwayat tersebut adalah sebagai berikut:
Hai Salman ... Seandainya tubuhku dipisah-pisahkan
dengan gunting dan tulang-tulangku dipotong-potong
dengan gergaji, bagiku masih lebih ringan dan mudah
P: 149
bila dibandingkan dengan salah satu kondisi kematian.
Aku termasuk orang-orang yang saleh dan beruntung.
Suatu saat aku menyaksikan sosok bertubuh besar
dengan tatapan yang menakutkan di antara langit dan
bumi. Sosok yang menakutkan ini menunjuk ke arah mata,
mulut, dan telingaku sehingga menjadi buta, bisu, dan tuli.
(keterangannya berlanjut hingga sampai pada kalimat
berikut) Malaikat maut itu berkata, “Bergembiralah ...!
Kamu termasuk orang-orang yang saleh dan beruntung,
maka mendekatlah kepadaku!" Kemudian ia mencabut
ruhku. Mula-mula ruhku terpisah dari setiap bagian
tubuhku dengan sangat sakit dan berat, seperti seseorang
yang terlempar dari langit ke bumi. Proses pencabutan
ruhku terus berlanjut sampai pada bagian dadaku, di mana
secara keseluruhan ruhku tercabut dari tubuhku dengan
sangat keras. Kalau saja keadaan ini menimpa gunung,
maka gunung pun akan tercabut seketika. Demikianlah
keadaan saat ruhku dikeluarkan dari tubuhku.
Wahai saudaraku, riwayat ini telah mematahkan
pinggangku, karena orang yang jelas-jelas memiliki keimanan
yang teguh dan termasuk orang-orang saleh menjalani keadaan
itu sedemikian rupa. Bagaimana dengan orang yang belum
pasti baik, bahkan tidak mengira dirinya baik?! Kalau Anda
ingin lebih dari itu, perhatikanlah keterangan sebagian riwayat
yang menggambarkan bagaimana pedihnya sakratulmaut yang
dialami orang-orang kafir.
Syaikh Mufid, berdasarkan sanadnya, mengutip sebuah
riwayat dari Imam Baqir yang berbunyi sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah azza wa jalla apabila berkehendak
mencabut nyawa seorang pendurhaka, Dia akan
P: 150
memerintahkan malaikat maut dengan berkata,
"Datangilah musuhku bersama teman-temanmu. Aku
telah memberikan bermacam-macam nikmat kepadanya
dan Aku pun mengundangnya untuk menempati tempat
keselamatan (dār al-salām), tetapi ia tidak menghiraukan
ajakan-Ku dan tidak pula mensyukuri nikmat-Ku. Ambillah
ruh kotor itu, lalu lemparkan ia ke dalam neraka jahanam!"
Setelah menerima perintah itu, malaikat maut bergegas
mendatangi orang yang dimaksud dengan wajah penuh
amarah dan menakutkan bagaikan malam yang gelap
gulita, nafasnya seperti letupan api, kedua matanya
bagaikan listrik yang menyala, suaranya bak petir yang
menyambar, dan dengan kepala yang menjulang tinggi
di langit sementara kedua kakinya di udara; di mana
posisi kakinya yang satu di bagian timur, sedangkan
yang lainnya berada di bagian barat. Malakat maut ini
menggenggam sejumlah batang besi yang memiliki banyak
duri. Ia datang bersama 500 ratus malaikat lainnya yang
masing-masing dari mereka membawa cambuk api yang
menyala, pelana hitam, dan sebuah batu dari api neraka.
Di antara mereka ada yang bernama Syaqatis, termasuk
para malaikat penjaga neraka, ia mendekati orang itu lalu
meminumkannya minuman yang berasal dari neraka.
Saat pendurhaka ini mengalami semua kejadian itu, ia
pun kaget lalu memohon perlindungan sambil berteriak,
"Kembalikan aku ke dunia!" Sementara permintaannya
itu dijawab dengan, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya itu
perkataan yang diucapkannya saja." (QS Al-Mu'minūn 23:
100).
P: 151
Selanjutnya, malaikat maut memukulnya dengan tombak
besi, lalu dengan menggunakan alat tersebut, ia menarik ruh
pendurhaka itu yang dimulai dari kedua kakinya. Sewaktu
ruhnya tertarik sampai pada kedua lututnya, ia tak mampu
lagi bergerak. Saat inilah, malaikat maut memerintahkan
para malaikat yang bersamanya untuk mencambuknya dan
membuatnya merasakan pedihnya sakratulmaut hingga ruhnya
sampai pada kedua tenggorokannya. Sampai pada proses
ini, para malaikat itu sambil terus mencambuknya berkata,
“Keluarkanlah ruhmu! Hari ini, kamu akan dibalas dengan
azab yang hina, karena kamu telah mengucapkan perkataan
yang batil kepada Tuhanmu dan menyombongkan diri dari
tanda-tanda-Nya!" Setelah memisahkan ruh pendurhaka itu
dari badannya, mereka meletakan tubuhnya di bawah palu
besar, lalu mematah-matahkan tulang-tulangnya mulai dari
kedua jari-jari tangannya sampai kedua matanya. Akibat
penyiksaan itu, dari tubuhnya keluar bau yang sangat busuk
yang mengganggu kenyamanan penduduk langit. Ketika itu,
Allah dan semua penduduk langit melaknatnya.
Adapun kematian bagi para kekasih Allah merupakan awal
ketenangan, kebahagiaan, dan kesenangan serta nikmat yang
luar biasa. Keadaan para kekasih Allah yang demikian dapat kita
ketahui dari sejumlah hadis Rasulullah Saw. dan para imam, di
samping juga sebagaimana dikuatkan oleh kerinduan mereka
pada kematian yang terlihat dalam ungkapan dan perilaku
mereka. Hadis semacam ini cukup banyak dan di antaranya
adalah hadis Mi'raj yang membuat kita cukup untuk memahami
hal ini. Demikian juga ungkapan kerinduan para nabi dan wali
pada kematian, di antaranya ialah ungkapan Amirulmukminin,
"Demi Allah, kerinduan putra Abu Thalib pada kematian lebih
kuat dari keinginan seorang bayi pada susu ibunya."(1) Dan
penjelasan beliau tentang keadaan para pecintanya yang
P: 152
khusus, "Kalau bukan karena ajal yang telah Allah tetapkan
untuk mereka, tentu mereka telah mati karena dorongan
kecintaan mereka kepada Allah dan ganjarannya."(1)
Pemikiran di atas sangat berguna bagi kelompok pemula
(dalam perjalanan ruhani). Adapun kelompok tengah, yaitu
mereka yang telah memperoleh sebagian cahaya hikmah
dan terbebaskan dari sebagian tabir kezaliman, sepatutnya
lebih jauh mengenal dan memahami dirinya hingga terkuak
seluruh tabir kegelapan sekaligus segala bentuk khayalan dan
gambaran yang memalingkannya dari kebenaran dan melihat
jati dirinya yang sebenarnya. Saat ia mencapai tahapan penting
dan derajat agung ini, maka ia akan mengenal Allah dan hakikat
alam-alam, khususnya tentang hakikat alam-alam Mabda
(alam-alam pertama dalam proses penciptaan-penerj.) tanpa
melalui fisiknya.
Penjelasan lebih luas tentang masalah ini, sejauh yang
mungkin disampaikan, adalah sebagai berikut: pada setiap
manusia terdapat tiga alam; alam indriawi dan penampilan
(ālam al-hissi wa al-syahādah) yaitu alam materi ini, alam
khayal dan ide (alam al-khiyāl wa al-mitsal), dan alam akal
dan hakikat (ālam al-'aqlī wa al-haqiqah). Dari aspek wujudnya,
sesungguhnya manusia bermula dari alam materi, sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah ayat suci Al-Qur'an, “Dan (Dia)
memulai penciptaan manusia dari tanah" (QS Al-Sajdah [32]:7).
Alam materi tercipta secara aktual untuk manusia dan
melalui alam materi ini manusia mengidentifikasi dan mengenal
dirinya, sehingga apabila ia mendengar orang lain, sekalipun ia
adalah orang bijak atau berilmu, mengatakan bahwa selain alam
materi terdapat alam lainnya, spontan ia menolaknya. Bahkan,
apabila seseorang mengemukakan bahwa dirinya memiliki
sifat-sifat khusus alam akal, niscaya ia akan mengafirkannya.
P: 153
Hal ini terjadi lantaran alam materi tercipta secara aktual bagi
manusia, sementara dua alam yang lain masih berupa potensi
baginya. Ketiga alam itu tidak teraktualisasi pada manusia
secara bersamaan, kecuali alam materi, sebagian sifat-sifat
alam ide, dan lebih sedikit lagi dari sifat-sifat alam akal.
Problem kemanusiaan yang tak kunjung selesai—di
antaranya adalah akibat terjadinya gesekan keadaan-keadaan
alam ide dengan pancaran kecil cahaya alam akal dalam diri
manusia yang dampaknya menjadikan manusia salah dalam
menafsirkan tentang alam materi. Bagaimanapun, kemanusiaan
seseorang diindikasikan dengan alam akalnya. Sementara, pada
dua alam lainnya, manusia memiliki kesamaan dengan spesies-
spesies lain dari hewan, sekalipun dari aspek levelnya, pada
dua alam tersebut manusia memiliki derajat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan alam seluruh hewan. Berkaitan dengan
tiga alam manusia ini, urutannya dan persoalan pengelolaannya
secara benar disebutkan dalam doa sujud di pertengahan Bulan
Sya'ban, di mana nabi Saw. berdoa, “... hitamku, imajinasiku, dan
putihku bersujud kepada-Mu."
Kesimpulannya, alam materi manusia meliputi materi
(māddah) dan bentuk (shūrah), sedangkan alam idenya ialah
suatu kenyataan dalam dirinya yang hakikatnya adalah
bentuk tetapi tak bermateri. Adapun alam akalnya ialah suatu
kenyataan dalam dirinya yang hakikatnya adalah tidak memiliki
materi dan tidak pula memiliki bentuk. Masing-masing dari tiga
alam ini merupakan suatu keniscayaan dan keadaan khusus
yang harus ada demi kesempurnaan manusia.
Oleh karena itu, orang yang tenggelam dalam alam
materi dan terpengaruh olehnya, di mana ia membentuk pola
hidupnya sesuai dengan watak alam ini, sementara pengaruh
alam akal pada dirinya sangat lemah, al-Qur'an menyebutnya
P: 154
dengan, “... ia cenderung pada bumi." (QS Al-A'rāf [7]: 176).
Manusia yang demikian telah menjadi manusia duniawi dan
bagian dari binatang, bahkan lebih buruk dari binatang itu
sendiri, seperti dijelaskan dalam al-Quran, “Tidaklah mereka
itu melainkan binatang-binatang, bahkan jauh lebih sesat." (QS
Al-Furqan [25]: 44).
Adapun orang yang naik ke alam akal dan pengaruh dari
alam ini mendominasi terhadap dua alam lainnya, ia akan
menjadi penguasa dan pemegang komando dalam eksistensi
dirinya. Kini, eksistensi dirinya bersifat spiritual hingga
menyempurnakan aspek rasionalitasnya dan hakikat, diri dan
ruhnya tersingkap bagi dirinya. Dengan demikian, kala hijab-
hijab kegelapan bahkan cahaya yang menutupi antara ia dan
pengenalan kepada Allah telah tersingkap, maka ia adalah
orang yang disebutkan dalam riwayat, “Siapa yang mengenal
dirinya, maka ia mengenal Tuhannya."
Jika paparan ringkas di atas telah Anda pahami, maka
lanjutkanlah merujuk pada penjelasan yang lebih detail dari
sifat-sifat khusus masing-masing dari ketiga alam tersebut.
Setelah itu, bersiap-siaplah untuk melakukan perjalanan
sambil bertawakal dan memohon pertolongan kepada Allah.
Di samping itu, bertawasulah kepada para kekasih Allah dalam
setiap urusanmu, baik yang terkait dengan urusan-urusan
partikular maupun universal, Ketahuilah, sesungguhnya alam
materi ini adalah alam kematian, kehancuran, kehilangan,
kegelapan, dan kebodohan. Materi (māddah) dan bentuk
(shūrah) alam ini merupakan sesuatu yang akan hancur dan
berkesudahan, selalu berubah-ubah dan terbagi-bagi, tidak
memiliki kesadaran dan pengetahuan, kecuali saat mengikuti
dua alam yang lain,
P: 155
Sesungguhnya, kehadiran-Nya pada indra melalui
perantara aksiden adalah dari sisi kesatuan yang berkelanjutan
(wahdat al-ittishaliy), sedangkan dari segi pluralitas (katsrah)
yang terbagi-bagi, setiap bagiannya tidak ada pada bagian
yang lain, sehingga seluruhnya saling tidak tampak, Hal ini
lantaran materi berasosiasi dengan ketiadaan, bahkan ia
adalah substansi yang gelap. Di samping itu, ia juga merupakan
kegelapan pertama dari kegelapan-kegelapan yang tampak.
Meskipun begitu, lantaran materi secara aktual berasal dari
alam cahaya, maka ia dalam potensialitasnya dapat menerima
bentuk-bentuk (shuwar) cahaya. Dan, melalui perantara
bentuk-bentuk cahaya ini, kegelapan materi pun sirna. Dalam
keadaan semacam ini, cahaya dengan kegelapannya bercampur,
begitu juga dengan kelemahan wujud serta penampilannya.
Karena kelemahannya itu, materi terikat oleh ruang dan waktu,
dan penghuninya yang khusus ialah orang-orang yang celaka
dari kalangan jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda mati.
Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah
berfirman, “Aku tidak pernah memandang alam jasmani (al-
ajsām) sejak pertama kali Aku ciptakan.(1) Penghuni alam ini
ialah orang-orang yang hanya mengenal alam ini, "Mereka
hanya mengetahui yang lahiriah dari kehidupan dunia ini,
sementara mereka lalai dari kehidupan akhirat." (QS Al-
Rūm [30]: 7). Pengetahuan mereka tak lebih dari objek-
objek indriawi. Mereka juga tidak mengenal alam-alam yang
tinggi, kecuali hanya nama-namanya. Dan, setiap kali mereka
mendengar keterangan tentang alam-alam yang tinggi itu,
mereka bandingkan dengan sifat-sifat khusus alamnya dan
menolaknya jika keterangan (tentang gambaran] alam-alam
yang tinggi tersebut berbeda dengan alam yang mereka
pahami.
P: 156
Kesimpulannya, tempat yang mereka cari, sukai, dan
dijadikan sebagai tempat tinggal adalah alam materi ini. Semua
tujuan dan apa yang mereka harapkan semuanya berasal dari
alam ini. Mereka adalah orang-orang yang penglihatannya
terpaku pada kehidupan dunia dan selalu memikirkannya.
Mereka yakin bahwa yang dimaksud] diri adalah tubuh mereka,
dan ruh adalah ruh hewani semata. Adapun benda-benda mati
seluruhnya adalah eksistensi-eksistensi yang primer dan benar
serta substansi yang berdiri sendiri, yang tercipta di alam dan
tempat mereka. Adapun eksistensi alam-alam lain, menurut
keyakinan mereka, tidak lebih dari keberadaan yang imajinatif
dan khayalan, bukan sesuatu yang benar-benar ada.
Sesungguhnya, kenikmatan dan kepuasan yang mereka
rasakan terbatas pada makan-minum, pemuasan hasrat
biologis, dan memegang kekuasaan di dunia. Ingatan, pikiran,
khayalan, harapan, dan ilmu pengetahuan mereka hanya
terkait dengan objek-objek indriawi. Mereka sangat menyukai
bahkan mencintai semua itu. Mereka merindukan keindahan-
keindahan dan kenikmatan-kenikmatan dunia yang masih
belum sampai pada mereka, seperti halnya seorang pecinta
yang memperturutkan hawa nafsunya. Adapun jika sebagian
dari mereka dengan keadaan yang demikian beriman kepada
Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, dan nabi-nabinya serta
Hari Akhir, dengan keimanan yang tetap dan tak hilang hingga
tiba saat kematian, meskipun lemah, sedikit cahayanya,
begitu gelap perbuatan maksiatnya, sedikit amal salehnya dan
akhirnya buruk, mereka adalah orang-orang yang berharap
mendapatkan ampunan, meskipun setelah beberapa waktu
kemudian.
Adapun kelompok pertama adalah orang-orang celaka
dari kalangan orang-orang kafir. Kelompok ini tak mendapat
P: 157
apa-apa di akhirat, kecuali api neraka, karena mereka adalah
para penghuni Neraka Sijjin. Pada Hari Kiamat, apabila segala
sesuatu dipisah-pisah dan setiap cabang disatukan dengan
sumbernya, maka segala sesuatu yang bersifat cahaya di
dunia ini akan kembali ke alam cahaya, sementara kegelapan
dan apinya tetap tinggal. Lalu, bentuk setiap perbuatan dan
moral setiap orang akan berubah menjadi bentuk-bentuk yang
sesuai dengan situasi dan kondisi alam kiamat, seperti ada yang
berbentuk ular, kalajengking, dan lain-lain, di mana dengan
bentuk yang demikian, sang pelakunya akan disiksa.
Allah berfirman, "Siapa menginginkan kehidupan dunia
dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di
dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka." (QS Hūd [11]: 15–16).
Kalau azab mereka di akhirat berkurang, itu karena di dunia
mereka pernah melakukan perbuatan yang baik.
Kesimpulannya, manusia pada awalnya tercipta di dunia
ini. Namun, seandainya setelah itu jiwanya yang telah terbentuk
terikat dengan dunia dan terbuai dengan segala kenikmatannya,
maka ia akan menetap di alam ini dan termasuk orang-orang
sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Qur'an, “la cenderung
pada dunia." (QS Al-A'rāf [7]: 176). Dan pada Hari Kiamat, ia
menjadi penghuni Neraka Sijjin. Namun, apabila sesudah
melewati tahapan penciptaannya, manusia mampu menjaga
dirinya dari kecenderungan pada dunia dan alam materi ini,
yakni ia berupaya menyempurnakan sifat-sifat akal dan ruhani
pada dirinya, maka tubuh dan fisiknya menjadi bagian alam akal
dan cahaya. Dan pada Hari Kiamat, ia akan menduduki derajat
tertinggi (a'lā ‘illiyyīn).
P: 158
Dengan kata lain, Allah pada awal mulanya menciptakan
manusia dari sari pati tanah, kemudian sari pati tanah ini
menjadi nuthfah (sperma), lalu menjadi darah, segumpal
daging, dan sebagian darinya menjadi tulang-tulang
dan sebagian lainnya membungkus tulang-tulang itu
sampai pada akhirnya membentuk tubuh yang sempurna.
Selanjutnya, Allah memberikan kehidupan kepadanya bahkan
memberikan kekuatan kepadanya agar mampu bergerak
dan mempertahankan diri. Dalam keadaan semacam ini,
Allah menganugerahkan padanya daya pembeda antara yang
bermanfaat dan yang merugikan bagi dirinya, sehingga ia
menyukai hal-hal yang bermanfaat dan membenci sebaliknya.
Apabila kehendak manusia tunduk pada kehendak Allah;
gerak dan diamnya terjadi secara harmonis dengan keinginan-
Nya dan tidak menyimpang sama sekali. Sejatinya, ia mencapai
maqam ridha. Orang yang mencapai maqam ini berhak atas
surga, tempat di mana tersedia apa yang ia inginkan. Oleh
sebab itu, sang penjaga surga dinamakan dengan Ridhwan.
Dalam hadis Mi'raj, Allah berfirman, “Siapa beramal dengan
rida-Ku, niscaya Aku anugerahkan tiga perkara kepadanya;
Aku ajarkan padanya bersyukur yang tak bercampur dengan
kebodohan, ingatan yang tak ternodai dengan kelupaan,
dan cinta pada-Ku yang tak pernah bisa dikalahkan oleh
kecintaan pada makhluk."(1) Selanjutnya, saat ia memahami
bahwa kemampuanya melebur dalam kemahamampuan Allah
dan tak menyaksikan kemampuannya pada selain Allah, baik
dirinya maupun orang lain, maka inilah maqam tawakal, “Siapa
bertawakal kepada Allah Swt., maka itu mencukupinya." (QS Al-
Thalāq [65]: 3).
Setelah sukses dalam magam tawakal, selanjutnya ilmunya
melebur dalam ilmu Allah, hingga tidak tersisa sesuatu pun
P: 159
baginya. Inilah yang dinamakan dengan maqam wahdat
(kesatuan), "Mereka adalah orang-orang yang Allah berikan
nikmat." (QS Maryam [19]: 58).
Sebaliknya, apabila manusia ingin semaunya sendiri dan
mengikuti hawa nafsunya dalam gerak dan diamnya, padahal
Yang Mahabenar tidak pernah mengikuti hawa nafsu selain-
Nya, maka [ketahuilah] hawa nafsunya menyimpang dari
kehendakNya. Dan kehendak-Nya pasti menang, bukan hawa
nafsu manusia, “Dan telah dihalangi antara diri mereka dan
apa-apa yang diinginkan hawa nafsu mereka," (QS Al-Saba
[34]: 54). Hawa nafsunya akan menyeretnya ke dalam Neraka
Hawiyah, dan ia pun terbelenggu dan dirantai akibat semua
keinginan dan hawa nafsunya. Ini adalah balasan atas budak-
budak (mamālīk) hawa nafsu. Atas dasar ini, malaikat penjaga
neraka dinamakan Malik.
Apabila manusia tidak bertawakal, ia akan tertimpa
kehinaan. Apabila ia menjauhi keagungan magam wahdat
(maqam tauhid), ia akan terpuruk ke derajat yang paling
rendah, dan itu adalah derajat orang yang dilaknat, “Mereka
adalah orang-orang yang dilaknat Allah dan para pelaknat pun
ikut melaknat mereka.” (QS Al-Baqarah [2]: 159).
Jika Anda bertanya, “Bagaimana bisa semua keinginan
seseorang mengikuti kehendak Allah?"
Menurut saya, hal itu sangat mungkin terjadi dan
dimudahkan dengan kekuatan makrifat (pengetahuan). Apabila
seorang hamba mengetahui perhatian Allah dan ia pun orang
yang berakal, tentu ia tidak akan membiarkan hawa nafsunya
menyalahi kehendak Allah. Pasalnya, makrifatnya pada
kehendak Allah meniscayakan bahwa Allah hanya menghendaki
kebaikan dan kemaslahatan, bukan sebaliknya. Sementara,
orang yang berakal tidak bergerak, kecuali untuk kebaikan
P: 160
dan kemaslahatan; akar penentangan dalam dirinya terhadap
kehendak Allah telah mati. Lantaran keinginannya bersumber
dari pengetahuannya terhadap kebaikan dan kemaslahatan, dan
sewaktu ia paham bahwa tidak ada kebaikan dan kemaslahatan
selain apa yang dikehendaki oleh Allah, maka orang semacam
ini menjalani hidupnya sesuai dengan kehendak Allah.
Apabila Anda kembali bertanya, “Bagaimana kita dapat
menolak kemampuan selain Allah, sementara kita menyadari
dengan jelas adanya kemampuan itu ada pada diri kita dan
pada selain kita?"
Menurut saya, hal itu juga menjadi jelas dengan bersandar
pada makrifat (pengetahuan) dari kenyataan yang sebenarnya.
Sederhananya, seorang 'arif memahami tentang sesuatu yang
mungkin (mumkin) tidak akan terjadi, kecuali karena ada sebab,
demikian hingga berujung pada pangkal segala sebab yang
tidak lagi bersebab. Berdasarkan hal ini, maka semua perbuatan
hamba, meskipun lahir dari kemampuannya, tidak bisa
dilepaskan dari sebab. Sebab itu sendiri adalah kehendak Allah.
Dan, tidak ada suatu kemampuan, kecuali melalui kemampuan
selainnya, di mana dalam kemampuannya, ia tetaplah bukan
Sang Pemilik Kemampuan. Pemilik kemampuan hakiki hanyalah
Allah, “Tidaklah kalian berkehendak, kecuali Allah berkehendak,"
(QS Al-Insān [76]: 30).
Apabila pertanyaan lain diajukan, "Anggaplah bahwa
kehendak (irādah) dan kemampuan (qudrat) hanya milik Allah,
lantas bagaimana dengan ilmu (ilm) dan keberadaan (wujūd);
apakah keduanya juga hanya milik Allah?
Menurut saya, meskipun penjelasan atas persoalan ini
bisa sangat panjang dan mengkhawatirkan, tetapi paling
tidak saya harus mencoba dengan membawakan sebuah
jawaban yang Allah telah ilhamkan ke hatiku seraya memohon
P: 161
pertolongan-Nya agar saya dapat membawakannya dengan
bahasa yang mudah dicerna dan memperkecil hal-hal yang
mengkhawatirkan yang bisa terjadi karenanya, mengingat
kebanyakan pelajar merasa keberatan terhadap penggunaan
istilah-istilah teknis logika dan filsafat, demikian pula umumnya
orang tidak mengenal dan tidak akrab dengan istilah-istilah
tersebut. Oleh sebab itu, sangat penting membawakan sejumlah
keterangan sebagai pengantar. Pertama, banyak riwayat dari
Rasulullah Saw. yang menunjukan penolakan atas keberadaan
hakiki pada sebagian makhluk seperti, “Tidak ada daya dan
kekuatan kecuali hanya milik Allah”, “Segala puji hanya milik
Allah", dan "Tidak ada yang dapat memberi bahaya, manfaat,
pertolongan, dan bantuan kecuali Allah".(1) Padahal, dirinya
bahkan semua orang menyaksikan dengan mata sendiri bahwa
setiap makhluk alam ini memilik kemampuan, kekuatan, dapat
memberikan kebaikan, bisa membahayakan, bermanfaat, dan
memberikan pertolongan, Rasullulah Saw, sendiri beberapa
kali pernah menyatakan, "Syair paling benar yang diucapkan
oleh bangsa Arab adalah ucapan Labid, yaitu “Ketahuilah,
mengetahui segala sesuatu selain Allah adalah batil."(2)
Syeikh Saduq di dalam kitab Tawhid berkata tentang makna
al-fard. Menurutnya, kata ini merujuk pada menyibukkan diri
dengan Tuhan bukan pada ciptaannya. Adapun makna kedua,
kata ini merujuk pada maujud itu sendiri, tidak pada maujud
lain yang bersamanya.
Sebuah kalimat yang merupakan bagian dari doa malam
Kamis yang termuat dalam kitab Rabī' al-Asābīberbunyi, "Tak
terlihat di dalamnya, kecuali cahaya-Mu, dan tak terdengar
di dalamnya, kecuali suara-Mu."(3) Dan, sebuah riwayat dalam
kitab Tawhid, karya Syaikh Saduq, menyebutkan bahwa Imam
Muhammad Baqir berkata, “Allah ada, sedangkan selain-Nya
P: 162
tiada. Dia adalah cahaya yang tiada kegelapan di dalamnya.
Dia adalah kebenaran yang tiada dusta di dalamnya. Dia adalah
yang mengetahui tanpa ada kebodohan di dalamnya. Dia adalah
yang hidup tanpa ada kematian. Demikianlah Dia hari ini dan
selalu begitu untuk selamanya."(1)
Sementara itu, alam justru menunjukan sesuatu yang
berbeda dari keterangan riwayat tersebut. Sehubungan dengan
persoalan ini, para filsuf dan 'urafa memiliki banyak penjelasan,
tulisan, kisah-kisah, dan mukasyafah (penyingkapan secara
batin) yang menakjubkan!
Di samping itu, para pesuluk juga memiliki banyak
kritikan, asumsi, dan pendapat yang berbeda-beda. Sebagian
ulama mengemukakan pelbagai pendapat yang lucu, dan
sebagian lainnya sibuk menyampaikan dan menulis pelbagai
penolakan, pengafiran, penafsiran, dan pernyataan-pernyataan
yang sangat berbahaya. Kendati demikian, penjelasan yang
bisa mendekatkan kepada pemahaman orang-orang awam,
meskipun tidak terlalu mendalam, adalah bahwa Allah memiliki
realitas yang tak terbatas, tak ada kesempurnaan yang tidak
dimiliki-Nya, dan dia selalu ada di mana pun dan kapan pun,
Saya tidak pernah berpikir terdapat dari kaum Muslimin
yang menolak pernyataan-pernyataan yang benar tersebut,
khususnya para pemeluk Ahlul Bait, di mana mereka sepakat
dalam persoalan ini. Meskipun demikian, orang-orang
yang memiliki tingkat intelektual yang rendah dan sedikit
pengetahuan, akan banyak mengalami kebingungan dan
melontarkan pelbagai keberatan saat mencoba memahami
pernyataan-pernyataan itu bersamaan dengan penglihatan
mereka pada fenomena-fenomena yang terjadi pada alam.
Keyakinan atas keberadaan yang tak terbatas menuntut
penolakan terhadap keberadaan segala sesuatu selainnya;
P: 163
tentu tidak mungkin terpikir ada sesuatu meskipun terbatas
di satu sisi, sementara ada juga sesuatu yang tak terbatas di
sisi lain.
Berkaitan dengan hal ini, orang-orang yang meyakini
ketakterbatasan realitas Allah, dalam melihat alam ini terbagi
kepada beberapa kelompok dan memiliki pendapat sendiri-
sendiri. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa alam ini tidak
benar-benar ada, ia hanya sebatas bayangan, seperti halnya
fatamorgana dalam penglihatan orang yang haus. Kelompok
ini menyebut realitas Allah dengan "yang nyata”, sedangkan
terhadap selain-Nya dengan yang tampak”. Bahkan, lebih
jauh kelompok ini mengatakan bahwa apa pun yang dilihat,
dikhayalkan, dan dinalar dari alam ini, semuanya semata-
mata merupakan manifestasi dari nama-nama, sifat-sifat, dan
perbuatan-perbuatan Allah dan tidak ada dalam keberadaan,
kecuali Allah; nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-
perbuatan-Nya. Dengan kata lain, tidak ada apa pun kecuali
Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan realita-Nya. Untuk
mendukung pendapatnya ini, kelompok ini juga membawakan
pelbagai contoh.
Kelompok lainnya mengatakan, kita percaya pada
ketakterbatasan Tuhan, tetapi kita menyaksikan alam ini,
dengan semua substansi dan aksidennya, adalah sesuatu
yang nyata. Sementara itu, kita tidak mampu menalar
hakikat ketakterbatasan Allah di samping keberadaan alam
yang terbatas. Oleh sebab itu, kami menerima pernyataan-
pernyataan yang benar tentang ketakterbatasan Allah secara
taklid saja. Kami tidak diwajibkan untuk memahaminya.
Bahkan, kami tidak dibolehkan memasuki wilayah ini dengan
pikiran kami.
P: 164
Adapun kelompok lainnya mengatakan bahwa kita tidak
mungkin memahami keberadaan, kecuali hanya sebatas yang
terlintas di benak dan secara metafora. Selain itu, mereka
melihat bahwa tidak ada pertentangan antara ketidakterbatasan
Allah dan realitas alam ini.
Kelompok yang lain justru menutup pikiran mereka. Bagi
mereka, mengetahui sifat Allah tidaklah mungkin bagi siapa
pun, sekalipun para nabi karena Mahasuci Allah dari sifat-sifat
dan nama-nama yang dapat diketahui, meskipun secara umum.
Semua kelompok ini berbeda pendapat dengan kelompok
pertama. Lantaran pandangan kelompok pertama bahwa alam
bukan merupakan wujud hakiki, dalam pandangan kelompok
lainnya, melazimkan kekufuran. Karena pernyataan bahwa
segala sesuatu adalah Tuhan, dengan kata lain bahwa terdapat
kesatuan, adalah suatu kekufuran yang jelas dan sangat
bertentangan dengan prinsip tauhid. Bagaimana mungkin
keberadaan gunung-gunung yang tinggi dan barang-barang
tambang, seperti berbagai macam besi, dianggap tidak
hakiki, bahkan hanyalah bayangan dan khayalan? Bagaimana
mungkin dapat dikatakan bahwa benda-benda najis hingga
jiwa-jiwa yang kotor adalah [bagian] nama-nama, sifat-sifat,
dan perbuatan-perbuatan Allah? Jika demikian adanya, lalu
bagaimana dengan kenikmatan-kenikmatan dan kepahitan-
kepahitan yang kita rasakan?!
Menanggapi hal ini, kelompok pertama menjawab bahwa
penolakan (penisbatan] wujud hakiki pada sesuatu [makhluk]
tidak bermakna bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, tidak juga
bermakna kesatuan (ittihad ) khalik dengan makhluk.
Syahdan, ada seorang bijak yang berasal dari Kota Isfahan.
Saat setiap kali merasakan sakit, dia memiliki kebiasaan
menyuruh pembantunya membeli makanan untuk dia makan
P: 165
bersama orang-orang yang hadir di dekatnya. Suatu hari,
saat tiba waktu makan, salah seorang pelajar di kota tersebut
mendatanginya untuk suatu keperluan. Segera orang bijak
ini menyuruh pembantunya untuk membeli makanan untuk
mereka berdua agar mereka bisa makan bersama-sama.
Pembantu itu pun kemudian pergi untuk membeli makanan
dan segera menghadirkanya untuk kedua orang itu.
Orang bijak berkata pada tamunya yang terhormat itu,
“Bacalah basmalah dan mari kita makan bersama-sama!" "Saya
sedang tidak mau makan," jawab sang tamu. "Apakah kamu
sudah makan?" tanya orang bijak. Tamu itu menjawab, “Belum".
Orang bijak itu kembali bertanya, “Lalu, kenapa kamu tidak
mau makan padahal kamu belum makan ?" "Aku berhati-hati
terhadap makanan yang Anda sajikan”, jawab sang tamu. Orang
bijak bertanya lagi, “Apa alasan atas kehati-hatianmu itu?" Ia
menjawab, “Aku mendengar Anda adalah orang yang meyakini
wahdat al-wujūd (kesatuan wujud). Itu adalah kekufuran dan
tidak dibolehkan bagiku untuk memakan makananmu; karena
makanan yang tersentuh olehmu menjadi najis!” Mendengar
jawaban tamunya ini, orang bijak berkata, “Apakah kamu
paham tentang wahdat al-wujūd hingga kamu menghukumi
orang yang meyakininya dengan kafir?" Sang tamu menjawab,
"Konsep wahdat al-wujūd bermakna bahwa Allah adalah
segala sesuatu dan segala sesuatu adalah Allah!" Orang bijak
itu berkata, “Pemahamanmu itu salah, mari kita makan! Aku
meyakini wahdat al-wujūd, tetapi aku tidak berpendapat bahwa
segala sesuatu adalah Tuhan, karena di antara sesuatu-sesuatu
itu ada Anda sendiri, dan aku tidak ragu bahwa Anda tidak
berbeda dengan seekor keledai atau lebih rendah dari itu. Jadi,
bagaimana mungkin aku mengakui Anda sebagai Tuhan?! Oleh
karena itu, kehati-hatianmu tidak beralasan. Marilah sekarang
kita makan bersama-sama!"
P: 166
Kesimpulan dialog di atas adalah penolakan terhadap
[penisbatan] wujud pada realitas makhluk (mawjūdāt) tidak
bermakna kesatuan makhluk dengan Tuhan. Wahdat (satu/
tunggal) bukanlah ittihād (kesatuan), sebab kesatuan hanya
dimungkinkan kecuali antara dua hal dan ini bertentangan
dengan konsep wahdat al-wujud.
Apabila Anda mengatakan, “Meskipun kita menerima
bahwa makna wahdat berbeda dengan makna ittihād, tetapi
tidak demikian dengan kesimpulan dari sejumlah keterangan
rinci 'urafa seputar tafsir atas kata-kata ini, misalnya
ungkapan-ungkapan mereka, “Tidak ada dalam rumah, kecuali
penghuninya', 'Dan sesungguhnya entitas-entitas (a'yān)
hanyalah batasan-batasan dan ketiadaan-ketiadaan, dan
tidak ada di alam nyata selain wujud dan itu adalah Allah, dan
perumpamaanya seperti laut dengan gelombangnya
Tanggapan terhadap perkataan ini adalah maksud mereka
dari kata-kata tersebut bahwa segala sesuatu ini dari sisi
dirinya adalah bukan wujud. Dan apabila Anda menentukan
hakikat-hakikatnya, akan ditemukan bahwa itu bukan wujud,
melainkan gambaran dan konsep semata.
Apabila Anda masih menyanggah jawaban ini dengan
mengatakan, "Kami tidak menerima maksud mereka itu, karena
mereka menyebutkan bahwa segala sesuatu setelah ada tetap
diangap ketiadaan dan batasan bagi keberadaan."
Aku katakan, “Maksud mereka sebenarnya ialah mahiyah
(esensi) tidak dapat dikatakan sebagai wujud hakiki. Wujud
hakiki eksternal adalah sesuatu yang maknanya satu, di mana
tidak ada sekutu baginya dalam realitas. Dia tunggal dan tidak
mungkin menjadi dua, sementara segala sesuatu selainnya
sebatas keadaan-keadaan yang terpancar dari wujud hakiki
tersebut. Namun, lantaran Anda tidak memahami wujud
P: 167
hakiki, Anda mempersepsikan bahwa wujud ini yang Anda
lihat penampilannya pada diri Anda dan orang lain, Anda
pikir itulah wujud hakiki. Persis seperti halnya kala Anda
mempersepsikan bahwa substansi-substansi alam adalah
substansi yang sebenarnya. Tentu ini akan kontras apabila
Anda berpikir dengan lebih mendalam dan secara benar atau
disingkapkan bagi Anda kenyataan yang sebenarnya dengan
penyingkapan batin (al-kasyf al-syuhūdi), niscaya Anda
menyaksikan substansi-substansi tersebut pada hakikatnya
adalah aksiden-aksiden (a rādh) dan bentuk-bentuk (asykāl)
dari wujud hakiki, bahkan ia merupakan aksiden-aksiden dan
batasan-batasan bagi wujud sederhana (wujūd munbasith), di
mana ia sendiri juga termasuk salah satu dari keadaan wujud
hakiki dan sebuah hubungan yang tidak memiliki pokok dan
akar apa pun."
Seandainya sanggahan kembali dilontarkan, "Bagaimana
mungkin dikatakan demikian [substansi-substansi alam adalah
aksiden-aksiden semata], sementara keberadaan substansi
tersebut terindra dan terpahami oleh kita? Pasalnya, akal dapat
membedakan antara substansi dan aksiden, dan pada realitas
eksternal, keberadaan keduanya terindra sesuai dengan
maknanya yang dipahami oleh akal. Akal dapat mengabstraksi
dua makna dari objek-objek luaran (mishdāq), sedangkan Anda
dalam penjelasan Anda menyalahkan akal dan indra, padahal
kita tidak memiliki alat lain untuk memahami sesuatu selain
keduanya.
Berikut tanggapan saya. Adapun pernyataanmu bahwa
indra kita dapat menjangkau mishdāq substansi dan aksiden,
hal ini sama sekali tidak bermanfaat dalam diskusi tentang
persoalan apakah substansi dan aksiden memiliki keberadaan
yang nyata atau tidak, Adapun seputar akal dapat menetapkan
P: 168
kesubstansian sesuatu adalah benar adanya. Akan tetapi,
dengan pemikiran yang sahih, akal menetapkan substansi yang
bersifat nişbi dengan dinisbatkan pada aksidennya dan bukan
pada substansi yang hakiki. Karena setelah [proses pemikiran
yang sahih, tidak diragukan lagi [akan dihasilkan kesimpulan]
bahwa tidak ada sesuatu pun yang mandiri, kecuali semuanya
bergantung kepada-Nya. Langit dan bumi seluruhnya serta
gunung-gunung yang menjulang tinggi nan berat itu diindra
sebagai maujud yang disifati dengan substansi, padahal indra
tidak melihat semua itu seperti itu, selain sebagai benda padat
yang besar dan tak bergerak.
Begitulah hal ini disebabkan oleh kesalahan indra yang
menghukumi akal dengan kesalahannya dan menjelaskan hal
tersebut pada ahlinya, yang mana mereka tidak meragukan
bahwa ini semua bukanlah substansi hakiki dan bukan pula
benda padat, tetapi sesuatu yang terus bergerak dan gelap;
ia tidak terlihat dari dirinya sendiri dan dari sekitarnya yang
fisikal. Kesalahan indra [dalam memberikan penilaian] bukanlah
hal yang asing, banyak bukti atas hal ini. Meskipun demikian,
kesalahan indra ini tak tampak oleh sebagian orang. Namun,
beberapa darinya mudah dipahami, sekalipun oleh orang
awam yang belum memiliki kemampuan yang sempurna dalam
menguak kebenaran dalam masalah ini.(1)
Bila Anda mengatakan, “Apabila inniyāh (kediaan) dan
māhiyah (esensi) adalah ketiadaan dan batasan yang tidak
memiliki wujud yang hakiki, meskipun setelah diciptakan,
maka bagaimana dengan rasa nikmat dan rasa sakit? Sementara
keduanya merupakan dua hal yang bersifat intuitif (wijdānī)
dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Secara sederhana,
jawaban bagi orang-orang yang mengingkari keduanya
P: 169
adalah dengan sabetan dan pukulan, sehingga mereka tidak
memungkiri lagi rasa sakit!"
Menurut saya, kita tidak dapat mengingkari keberadaan
rasa nikmat dan rasa sakit yang bersifat intuitif. Kita pun
sebenarnya tak bisa memungkiri pengaruh-pengaruh wujud
eksternal. Kendati demikian, hal ini tidak berarti bahwa wujud
keduanya dan (alat) perasa keduanya adalah wujud hakiki.
Sejatinya, perasaan ini dan pengaruhnya merupakan efek
dari wujud penghubung (wujūd al-rabthi). Selanjutnya, bila
Anda mengandaikan bahwa bentuk-bentuk tubuh ini adalah
inniyah, realitas, kehidupan, kelezatan serta penderitaan, di
mana itu semua merupakan sebagian keadaan-keadaan tubuh,
Anda akan melihat bahwa wujud dari bentuk tidak harus
bertentangan dengan kelezatan dan penderitaan. Bahkan
dengan pengamatan lebih jauh, Anda akan temukan bahwa
sesuatu yang memiliki bentuk, dalam penelitian rasional (al-
tahqiq al-'aqlī), akan melebur ke pelbagai bentuk dan batasan-
batasan dalam wujud sederhana (wujūd al-munbasith).(1) Ia juga
termasuk keadaan-keadaan, manifestasi-manifestasi, dan
penampilan-penampilan dari wujud hakiki. Tentu ini tidak
boleh Anda anggap mustahil karena kesempurnaan wujud
hakiki menuntut kompleksitas semacam ini. Lebih dari itu,
terdapat keadaan-keadaan wujud hakiki yang lain, selain dari
apa yang dapat Anda lihat dan selain dari yang terlintas dalam
hatimu. Lalu, bagaimana apabila Anda mampu menggapai
wujud itu dan hakikat-hakikatnya tersingkap bagi Anda?
Menurut hemat saya, bahwa ketika cahaya-cahaya
sebagian alam-alam yang tinggi tersingkap bagi jiwa-jiwa
yang lemah ini, mereka berimajinasi bahwa ini adalah cahaya
Tuhan Yang Mahawajib. Penyebab hal ini adalah kelemahan
P: 170
daya tangkap serta sedikitnya makrifat mereka, sebagaimana
hal itu pernah dialami oleh kalangan aulia yang agung.
Alhasil, pernyataan bahwa wujud hakiki hanya khusus
pada yang Mahawajib (Allah) dan wujud selain-Nya yang
bersifat "mumkin" bukanlah wujud hakiki-namun setara
dengan wujud yang terpantul dalam cermin, bukanlah hal
yang mustahil. Adapun apabila maksud orang-orang yang
berpandangan bahwa wahdat al-wujūd adalah demikian, hal
ini bukan dalam rangka menyatakan bahwa wujūd mumkin
adalah Wajib al-Wujūd. Lalu, kalau toh mengatakan semacam
itu ternilai sebagai sebuah kesalahan, maka kesalahan itu
bukanlah kesalahan yang menjurus kepada kekufuran,
melainkan kesalahan dalam menetapkan hakikat "mumkin".
Hal ini terjadi karena pengingkaran terhadap tingkatan wujud
dan pengingkaran terhadap pelbagai keutamaannya, di mana ia
belum berhasil menetapkan tingkatan Wajib al-Wujud. Padahal,
dapat dikatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa
segala sesuatu itu memiliki wujud hakiki, lebih dekat dengan
klaim penyekutuan "wujud mumkin" dengan Wajib al-Wujūd
dalam keniscayaan dan menjadikan "wujud mumkin" sesuatu
yang wajib. Sebenarnya, inilah kekufuran yang tidak disadari. (1)
Kendati demikian, keputusan yang benar adalah kekafiran
tidak musti disematkan kepada orang-orang yang berpendapat
seperti itu, sebagaimana keputusan yang benar pula bahwa
orang-orang yang berpendapat tentang tauhid al-Haqq (Allah)
dalam wujud hakiki itu tidak meniscayakan bahwa yang
mumkin al-wujud itu menjadi Wajib al-Wujūd, meskipun
sebenarnya konsekuensi pendapat mereka memang demikian
adanya. Oleh sebab itu, tidaklah layak seseorang dikafirkan
karena konsekuensi dari akidahnya.(2)
P: 171
Kesimpulannya, janganlah Anda lalai bahwa orang-orang
yang berpendapat seperti itu [baca: wahdat al-wujūd]—di
mana mereka berkata melalui jalan mukasyafah (penyingkapan
batin) tidak mengatakan bahwa di alam indriawi ini, misalnya
batu itu tidak mewujud atau batu (yang Anda lihat] bukanlah
batu, atau sifat keras dan berat dari batu, tidak ada. Sebaliknya,
mereka mengatakan bahwa wujud batu, begitu juga sifat
keras dan beratnya, dianggap sebagai wujud bayangan (wujūd
dhillī), yang apabila disandarkan pada penghuni alam ini,
maka ia mewujud dengan wujud yang khusus dan memiliki
sifat-sifat yang khusus pula. Adapun apabila ia dikaitkan dan
dibandingkan dengan alam mitsal, maka ia menjadi wujud
imaginal (wujūd mitsālī) dan memiliki sifat-sifat yang sesuai
dengan wujud imaginal, Begitu pula wujudnya dalam alam akal
adalah wujud rasional (wujūd 'aqlānī) dan sifat-sifatnya pun
sesuai dengan wujudnya. Sementara bila dikaitkan dengan alam
Zat, maka batu tersebut tidak ada wujudnya dalam alam ini,
tidak ada pengaruh, tidak ada nama, tidak ada deskripsi, dan
hanya ada maujud hakiki, yaitu dzat al-Haqq (Allah) yang nyata,
dan segala sesuatu selain-Nya tidak memiliki wujud yang nyata.
Ketika Allah memanifestasi kepada Nabi atau kepada
wali-Nya dengan zat-Nya, maka Nabi atau wali-Nya tidak
menyaksikan apa pun meskipun diri dan penglihatannya-
selain Zat Allah. Dia secara total fana dari alam, dari dirinya,
bahkan dari kefanaannya, lalu kekal bersama Allah. Pada saat
itu, dia mencapai sebuah maqam dan mengabarkan sebuah
kenyataan, “Tidak ada di rumah selain penghuninya dan bagi
kita rahmat Allah, Maha Menguasai dan Maha Mengampuni."
Ini adalah maqam terakhir dari maqam-maqam suluk, di mana
tiada seorang pun yang berkeinginan untuk mencapai maqam
yang lebih tinggi daripada ini, baik itu nabi maupun wali, baik
itu manusia maupun malaikat.
P: 172
Dan, janganlah Anda lalai bahwa apa yang kami sebutkan
dari alam-alam yang telah kami sebutkan ini, semuanya masuk
dalam alam ini [alam Dzat] dan tidak keluar darinya. Dengan
kata lain, bahwa alam ini memiliki keadaan dan sifat tertentu
bagi entitas-entitas (mawjūdāt) dalam batasan dan tingkatan
wujud. Alam mitsal adalah suatu keadaan dan sifat tertentu
yang lebih lembut dan berada dalam batin alam tersebut, bukan
di luar darinya. Siapa yang memiliki cahaya di mata indriawinya
dan ia melihat dengan bantuan cahaya matahari dan bulan, ia
memandang alam indriawi dengan seluruh sifat dan gambar-
gambar keindriawian. Sementara seseorang yang mata
imaginalnya terdapat cahaya imaginal (mitsalī) dan ia melihat
dengan bantuan cahaya bintang-bintang imaginal (al-kawākib
al-mitsāliyyah), maka ia melihat alam ini dengan sifat-sifat dan
gambar-gambar imaginalnya. Sebab, sifat-sifat dan gambar-
gambar pelbagai macam alam itu sesuai dengan kondisi
dan perbedaan yang dialaminya, sehingga masing-masing
terbedakan sesuai dengan kapasitas alam yang dihuninya. Bukti
akan perbedaan ini adalah masalah mimpi dan takwilnya, di
mana seseorang melihat suatu kenyataan sesuai dengan apa
yang dilihatnya dalam gambaran imaginalnya. Misalnya, dalam
mimpi ia melihat susu. Kemudian, ia menafsirkan mimpi itu
dengan ilmu. Dan setelah itu, ternyata mimpi itu pun terbukti
dalam realita dan takwilnya pun benar.
Alkisah, seorang pria dalam mimpinya melihat bahwa
di tangannya ada stempel yang dengan stempel itu ia
menstempel mulut-mulut masyarakat dan lubang-lubang
(furūj) mereka. Lalu, pria tersebut mendatangi penakwil mimpi
dan menceritakan mimpinya. Si penakwil mimpi mengatakan,
"Jika mimpimu itu termasuk mimpi yang benar, maka engkau
adalah muazin yang akan mengumandakan azan Subuh di
bulan Ramadhan lebih cepat dari waktunya, sehingga hal ini
P: 173
menyebabkan orang lebih cepat untuk tidak makan dan tidak
minum." Dan pada kenyataannya, ternyata mimpi itu memang
benar terjadi sebagaimana yang ditakwilkan oleh penakwil
mimpi tadi.
Begitu juga dalam banyak riwayat dan hadis berkaitan
dengan penjelasan keadaan-keadaan alam barzakh, kiamat, dan
penjelmaan amal [menjadi suatu bentuk tertentu), menjelaskan
secara benar klaim kami. Dengan demikian, dari seluruh apa
yang dijelaskan, maujud yang hakiki dan nyata hanyalah dzat
Allah, di mana alam Zat dan seluruh alam merupakan bagian
dari persoalan dan manifestasi-Nya. Suatu misal, ketika Allah
memanifestasi untuk kali pertama, maka mewujudlah alam
akal. Kemudian pada manifestasi kedua, terwujudlah alam jiwa
dan begitu seterusnya hingga terwujud alam indra. Adapun apa
yang ada di luar (manifestasi] merupakan maujud hakiki, benar,
tetap, dan merupakan urusan-Nya, sementara setiap urusan
dari urusan-urusan-Nya ibarat alam dari alam-alam yang
sempurna dalam tingkatannya. Setiap alam memiliki pengaruh
dan sifat-sifat khusus, begitu pula dengan alam yang paling
hina, kotor, dan sempit, yaitu alam indra. Alam indra memiliki
sifat khusus, gambar-gambar, serta batasan-batasan yang
banyak yang sesuai dengan tingkatan dari wujud. Sementara
wujud alam ini dan pengaruh-pengaruhnya hanya dikhususkan
di alam ini, begitu juga dengan alam-alam yang lain.(1)
Adapun alam mimpi, ia termasuk alam imaginal ("alam al-
mitsal). Setiap hal yang dapat] dilihat dalam alam mimpi adalah
apa yang ada di alam indra, entah itu tanah, langit, benda-
benda mati, tumbuh-tumbuhan, bahkan pelbagai macam
gambar yang terefleksi dalam cermin dan pelbagai gambar-
gambar imajinasi. Semua itu dari alam ini. Alam imaginal
sangatlah luas, bahkan pada dirinya memiliki banyak alam,
P: 174
sehingga ada yang mengatakan bahwa dalam alam imaginal
terdapat delapan belas ribu alam.
Dikisahkan dari sebagian ‘urafa bahwa apa pun yang
terdapat dari syariat yang tampak sebagai majazi (metafora)
di alam kita, mereka melihatnya pada sebagian alam sebagai
hakikat tanpa melampaui batas. Seperti halnya setiap orang
tidur yang melihat sesuatu dalam mimpinya, sejatinya apa
yang dilihatnya itu merupakan sifat dan keadaan yang bersifat
imaginal yang tampak padanya di alam imaginal. Demikian
halnya apa yang dilihat oleh seorang yang sadar (tidak dalam
keadaan tidur) di alam indriawi ini juga memiliki sifat dan
keadaan yang bersifat indriawi, yang tampak padanya di alam
indriawi.
Apabila dikatakan bahwa sesuatu yang dilihat oleh
seseorang yang sadar sebagai sebuah sifat bagi [objek] yang
dilihat dan bukan bagi orang yang melihat, dalam pandangan
saya, memang demikian pandangan sebagian besar orang.
Namun, realitanya bertentangan dengan ini, karena penglihatan
hakikatnya bersifat konseptual (kayfiyyat tashwīriyyah) bagi
jiwa, di mana ia mesti mempunyai pandangan yang sehat
dengan syarat-syarat khususnya. Namun tidak diketahui
apakah cara ini sesuai dengan realitas sifat-sifat yang ada pada
sesuatu itu; dalam pengertian bahwa gambar yang dilihat sama
dengan realitas yang ada pada jiwa orang yang melihatnya,
bahkan sering terjadi seseorang menyaksikan satu benda pada
dua waktu dengan dua model yang berbeda atau dua orang
yang menyaksikan satu benda yang sama pada satu waktu
dalam dua bentuk yang berbeda. Begitu juga cara melihat dari
jarak jauh atau dekat juga berbeda. Jadi, kualitas penglihatan
orang yang melihat sesuai dengan ketetapan Allah dengan
mempertimbangkan kondisi-kondisi para penglihat-itu
P: 175
berbeda-beda dan berdasarkan perbedaan alam-alam para
penglihat, maka kualitas yang dilihat pun berbeda. Dan,
mungkin ketika mata mitsāli melihat pelbagai objek, ia
menyaksikannya dengan kualitas dan gambaran yang lain.
Ringkasnya, bahwa ilmu yang didapatkan oleh orang yang
melihat-misalnya sesuatu itu berwarna merah dan dilihat
dari sisi besar-kecilnya, memiliki ukuran-ukuran dan kualitas
tertentu dikhususkan pada kualitas khusus pada jiwa, di mana
hal ini akan efektif saat syarat-syarat melihat sudah terpenuhi
sehingga kita menjadi yakin bahwa sesuatu yang tersingkap
bagi kita, seratus persen merupakan karakter-karakter yang
dimiliki oleh sesuatu itu. Bahkan, kita meyakini bahwa sesuatu
yang dilihat memiliki karakter. Kala kita melihatnya dari dekat
dengan mata indriawi, maka terungkaplah kualitas yang dilihat
ini dalam jiwa kita dan terbentuklah gambarannya.
Kita mengetahui bahwa terkadang rupa dan kualitas
yang dilihat dengan pandangan mitsali tidak seperti bentuk
(shūrah) [aslinya], begitu pula kita melihat bahwa sesuatu yang
dilihat dengan mata indriawi dari pelbagai bentuk, sejatinya
berbeda dalam jarak jauh ataupun dekat, dalam banyak dan
sedikitnya cahaya bintang-bintang dan pelita-pelita, dalam
sehat dan sakitnya orang yang melihat, dan dalam [penglihatan]
orang yang mengonsumsi obat dan orang-orang yang tidak
mengonsumsinya, bahkan ketika kita melihat suatu bentuk
dengan mata kanan, maka kita melihat tempatnya bukan
pada tempat kala kita melihatnya dengan mata kiri. Selain
itu, kita akan melihat sesuatu yang satu menjadi dua tatkala
kita melihat padanya seperti penglihatan orang yang juling.
Dengan demikian, dari pelbagai perbedaan penglihatan ini,
kita bisa mengambil hukum yang pasti, yaitu apa yang kita
saksikan tidak harus sesuai dengan karakter yang realistis
P: 176
dan hakiki dari sesuatu yang kita saksikan tersebut. Sebab,
bila penglihatan itu berarti bahwa orang yang melihat adalah
mencapai (merasakan) apa yang dilihatnya, maka seyogianya
jiwa orang yang melihat tersebut terpengaruh dengan sifat-
sifat sesuatu itu, misalnya panas dan dingin, dan sifat-sifat
lainnya.
Kesimpulannya, penglihatan dan begitu juga daya khayal
dan rasionalitas sebagaimana sudah disebutkan—terjadi
sebagai dampak dari persatuan antara yang melihat dengan
objek yang dilihatnya, antara pengkhayal dengan sesuatu yang
dikhayalkan, serta antara subjek yang mengetahui dan objek
yang diketahui, dan bukan hanya dilihat dari sisi pertalian
dan penisbatan dari keduanya. Maka, pengetahuan itu tidak
mungkin terwujud, kecuali dengan pencapaian si subjek
terhadap dzat ilmu pengetahuan dan itu dimungkinkan entah
dengan keluarnya si subjek dari dzat dirinya lalu dia mencapai
zat ilmu pengetahuan atau dengan jalan masuknya dzat ilmu
pengetahuan ke dalam dzat dirinya. Namun, dua jalan ini
mustahil, kecuali bila ia bersatu dengan dzat ilmu pengetahuan
dan tampil dalam bentuknya. Jadi, orang yang berilmu bila
dilihat dari dzat-nya tidak sama dengan dzat orang yang jahil
alias bodoh.
Oleh karena itu, ilmu terhadap benda-benda itu tidak
terkait dengan wujud eksternalnya. Sebab, bentuk-bentuk
(shuwar) benda tersebut dilihat dari esensinya-hanya terkait
pada benda-benda tersebut, sehingga penyatuan hanya terjadi
pada materi-materinya. Namun, terjadinya penyatuan bentuk
pada materi-materi benda bukan terjadi karena pencapaian
ilmu. Sebab, bentuknya itu adalah sesuatu yang tidak ada dan
hanya ada pada tataran potensial keberadaan. Di samping itu,
bentuk pada dirinya bukanlah zat yang seseorang mampu
P: 177
mencerap dan mengetahuinya. Dan, karena mustahil bagi
seseorang untuk menggapai bentuk-bentuk eksternal benda
tidak sebagaimana sesuatu lainnya itu diperoleh melalui jalan
yang muktabar dalam ilmu, berarti bentuk-bentuk eksternal
benda tidak diketahui dengan sesuatu yang asli, tidak pula
diketahui berdasarkan hakikatnya sebagaimana adanya. Dengan
demikian, objek pengetahuan potensial (ma'lūm bi al-quwwah)
bermakna dalam aspek potensialnya, seseorang mampu
mencerap bentuk-bentuk darinya, sehingga mendapatkan
ilmu tentang hal tersebut atau mengonsepsikan bentuk-bentuk
yang seperti bentuk-bentuk itu. Sebab, sesuatu yang ada atau
melekat pada karakter materi-materi itu mustahil berpindah
sendiri ke otak. Adapun objek pengetahuan langsung (ma'lūm bi
al-dzāt) bermakna bahwa segala sesuatu itu memiliki bentuk-
bentuk cerapan (shuwar idrākiyyah) yang berdiri dengan
dirinya sendiri dan bersatu dengannya, bukan dengan materi
eksternalnya. Sedangkan, objek pengetahuan aktual (ma'lūm
bi al-fi'l), hanya diketahui oleh orang yang mengetahuinya.
Maka, objek pengetahuan orang alim tidak sama dengan objek
pengetauan orang alim yang lain. Pada hakikatnya, alim, ilmu
dan ma'lūm (objek pengetahuan) itu bersatu. Hendaklah Anda
perhatikan poin ini dengan baik.
Maksud dari mengupas kajian ini secara terperinci
adalah agar pesalik (penempuh jalan spiritual) sadar dan
mengerti tentang bagaimana ia mampu menggapai ma'rifah
al-nafs (pengenalan diri), sehingga dari situ ia mampu
naik menuju puncak ma'rifah al-rabb (pengenalan Tuhan);
juga agar argumentasi yang dengannya afirmasi (tashdīg)
mengambil suatu penilaian tentangnya diketahui, serta
agar mempermudah pemula dalam menempuh jalan suluk,
di mana hal ini akan memberikan manfaat baginya dalam
pemikirannya. Pemikiran yang dimaksud adalah bentuk dan
P: 178
metode berpikir seperti yang biasa dipikirkan oleh pemikir-
pemikir, yang terkadang memilah-milah dan menganalisis
jiwanya dan terkadang memilah-milah dan menganalisis alam,
sampai kemudian ia sadar bahwa sesuatu yang dia ketahui dari
alam tidak lain adalah dirinya dan alam dirinya sendiri, bukan
alam eksternal. Dan, sesungguhnya alam-alam yang diketahui
ini adalah tingkatan dari jiwanya, sehingga ia layak bertanya
kepada dirinya, jiwaku itu apa?
Kemudian, hendaklah ia menafikan setiap gambar dan
khayal dari hatinya dan hendaklah pikirannya terpusat kepada
ketiadaan sehingga hakikat jiwanya tersingkap baginya, yakni
alam akan muncul di hadapannya dan menampakkan padanya
hakikat jiwanya tanpa bentuk dan materi. Ini merupakan
jenjang pertama dari ma'rifat al-nafs. Mungkin ini yang
diisyaratkan dalam tafsir ayat yang mulia, “Maka apakah orang-
orang yang hatinya dibukakan oleh Allah untuk (menerima)
Islam, lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang hatinya membatu)" (QS Al-Zumar [39]: 22). Ketika
tafsir ayat ini ditanyakan kepada Rasulullah Saw., beliau
menjawab, “Ia merupakan cahaya yang Allah letakkan di dalam
hatinya, kemudian dadanya pun menjadi lapang. Beliau ditanya,
"Apakah orang semacam ini memiliki tanda?* Beliau menjawab,
"Tandanya adalah bahwa ia memalingkan dirinya dari dunia
secara total dan kembali kepada kehidupan yang kekal serta
bersiap-siap untuk menjalani kematian sebelum datangnya
ajal.(1)
Mungkin, kebanyakan orang beranggapan bahwa yang
dimaksud dari meninggalkan dan berpaling dari dunia adalah
zuhud dari syahwat dunia, padahal makna hakikinya adalah
menghilangkan tabir tipuan di dunia dari penghuninya
dan menghilangkan ketidakdapatan melihat segala sesuatu
P: 179
sebagaimana adanya, yang ini merupakan perkara umum akibat
mereka gagal menggapai derajat ma'rifat al-nafs (pengenalan
diri). Poin ini hendaklah Anda perhatikan baik-baik!
Di sisi lain, masih ada persoalan yang tersisa, yaitu bahwa
kata wujūd (keberadaan) untuk Allah tidak digunakan dalam
terminologi syariat. Lalu, apa yang dimaksud oleh kaum filsuf
dari penggunaan kata wujūd untuk Allah?
Menurut saya, benar bahwa penyandaran kata wujūd
pada Allah tidak terdapat dalam riwayat-riwayat atau hadis-
hadis, tetapi kata yang mirip dan serupa dengan wujūd, seperti
kehidupan (al-hayāh) dan ilmu (al-'ilm), digunakan untuk
Allah.(1) Barangkali, sebab digunakannya dua kata tersebut
adalah untuk menafikan ambiguitas ditambahkannya wujud
terhadap zat. Sebab bila tidak, harus dipahami bahwa maksud
mereka adalah wujud eksternal yang berdiri sendiri dan menjadi
penyangga seluruh maujud. Dan, inilah yang sebetulnya
diinginkan oleh syariat saat menyebutkan kata mawjūd. Jadi,
sebagaimana kata al-hayāh (kehidupan) disandarkan kepada
kehidupan Allah, sejatinya ia merupakan petunjuk bahwa (sifat]
hidup bagi Allah bersifat esensial (zāti), bukan sesuatu yang
ditambahkan kepada zat, begitu juga ilmu dan wujud-Nya. Dari
sinilah kenapa dalam syariat tidak terdapat pemanggilan [untuk
Tuhan) dengan Wahai Wujud, Wahai Kehidupan, dan Wahai
Ilmu. Jadi, dalam kasus semacam ini, kita harus mengikuti
syariat dan tidak memanggil Allah dengan kata-kata tersebut.
Dengan kata lain, karena penamaan Allah dengan wujud,
ilmu, dan kehidupan tidak ditetapkan dalam syariat, kita pun
berkaitan dengan hal ini mengambil sikap pasif. Artinya, kita
tidak menyematkan sifat-sifat tersebut kepada Allah. Kendati
demikian, penggunaan kata-kata ini kepada-Nya sejauh untuk
memberikan penjelasan, tentu tidak sama dengan penamaan-
P: 180
Nya. Sebagaimana dalam riwayat yang berkenaan dengan
pensifatan Allah disebutkan bahwa Dia adalah "Ilmu yang tidak
ada kebodohan di dalamnya; Cahaya yang tidak ada kegelapan
di dalamnya; dan Kehidupan yang tidak ada kematian bagi-
Nya" Meskipun ungkapan-ungkapan seperti ini diterima, tetapi
Allah tidak pernah dipanggil dengan sebutan Ya 'Ilm (Wahai
Ilmu) dan Ya Hayāt (Wahai Kehidupan).
Telah banyak disebutkan dalam beberapa riwayat
Ahlulbait, apa yang tampak darinya termasuk dari pilar-pilar
teologi mereka, yaitu setiap sifat yang ada pada mumkin al-
wujūd (makhluk), maka sifat-sifat itu harus dinafikan dari Allah,
seperti ungkapan mereka, “... Barunya sesuatu menjadi saksi
akan keazalian-Nya, ketidakmampuan mereka yang tampak
menonjol menjadi bukti akan kekuasaan-Nya, dan segala
sesuatu yang secara niscaya akan fana, dengan sendirinya
menjelaskan akan keabadian Allah."(1) Dan juga, seperti
pernyataan lain dari mereka, “Karena Dia memberi substansi
pada substansi-substansi alam, maka diketahui bahwa Dia
bukan substansi; dan karena sarana-sarana pengetahuan
diciptakan oleh-Nya, maka diketahui bahwa diri-Nya sendiri
tidak memerlukan sarana-sarana pengetahuan tersebut."
Begitu juga riwayat-riwayat lain yang disebutkan berkaitan
dengan masalah ini.
Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Allah
Mahahidup, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha
Melihat, Mahakuasa, Maha Menginginkan, Maha Membenci,
dan Maha Berbicara, meskipun sifat-sifat ini juga terdapat
pada mumkin al-wujūd. Lalu, bagaimana dua persoalan ini bisa
diharmoniskan? Begitu juga terdapat pernyataan-pernyataan
ahli makrifat, di mana tampak jelas bahwa mereka menafikan
sifat-sifat mumkin (makhluk) dari Allah. Namun, pada saat yang
P: 181
sama, mereka mengatakan bahwa antara sebab dan akibat
harus terdapat titik temu dan keharmonisan. Lalu, bagaimana
mengharmoniskan dan mempersatukan dua persoalan ini?
Keharmonisan keduanya bisa dipahami dengan baik kalau
dalil-dalil persoalan tersebut diperhatikan dengan saksama.
Adapun dalil atas prinsip pertama dari perkataan-perkataan
mereka dan dalil atas prinsip yang tampak pada sebagian
dari mereka merupakan hukum umum (hukm al-ithlāq) dan
pembatasan (taqyīd). Bagi seorang yang berpandangan ithlaq
wāqi'i (pengumuman/generalisasi realistis), ia menganggap
seluruh sisinya tidak terbatas sehingga sifat-sifatnya harus
bertentangan dengan sifat-sifat sesuatu yang wujud dan
hakikatnya dapat memanifestasi dan mahiyyah-nya dapat
dicabut dari batas wujudnya. Jadi, sifat-sifat yang berasal
dari pengejawantahan sesuatu, maka mau tidak mau harus
bertentangan dengan sifat-sifat sesuatu yang tidak memiliki
pengejawantahan. Jadi, penampakan akan terjadi, di mana pada
hukum yang pertama ini akan bersifat kontradiktif. Kontradiksi
ini pada sifat mumkin al-wujūd dilihat dari mumkin-nya
(kedudukannya sebagai wujud mumkin), sedangkan dilihat dari
wujudnya, maka mau tidak mau dari ukuran yang di situ ia
dekat kepada Allah, maka pengaruh-pengaruh sifat Ilahi akan
mewujud padanya.
Jadi, ilmu, kekuasaan, kehendak, benci, dan bicara, yang
ada pada manusia dan bukan pada benda mati, merupakan
sifat-sifat kewujudan yang ditetapkan pada tingkatan wujud
ini. Dan, bila ahli makrifat mengatakan bahwa antara sebab
dan akibat harus ada keharmonisan dan titik temu, maksudnya
adalah sifat-sifat ini. Perlu diketahui, mumkin al-wujūd dibagi
menjadi dua: pertama, konsekuensi dari wujūd mumkin, di
mana ia tidak bertentangan dengan sifat-sifat Wajib al-Wujūd,
P: 182
bahkan menyerupainya. Kedua, mumkin dan māhiyah-nya yang
mengharuskan sifat-sifat ini harus dihilangkan dan dibersihkan
dari yang mengadakannya. Jadi, setiap sifat dari sifat-sifat
Wajib al-Wujūd yang ada pada mumkin al-wujud adalah dari
sifat-sifat-Nya, bukan dilihat dari aspek imkan-Nya, tetapi
dilihat dari aspek wujud-Nya.
Catatan:
1 Bihar al-Anwār, 68: 265.
2 Mustadrak al-Wasāil, 3: 64.
3 QS Al Mu'minūn[23]: 108.
4 QS Al-Zukhruf [43]: 77.
5 QS Al Mu'minun [23]: 100.
QS Al-Hāggah (691: 30.
7 Tanbth al-Khawathir, 1: 268.
8 Nah al-Balāghah, khutbah ke-5.
9 Nahj al-Balaghah, khutbah ke-193.
10 Bihār al-Anwār, 70: 110.
11 Irsyād al-Qulüb, 1: 380.
12 Syaikh Shaduq, Tawhid, hlm. 239.
13 Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 192.
14 Allamah Majlisi, Rabi' al-Asābi, hlm. 345.
15 Syeikh Saduq, Tawhīd, hlm. 140.
16 Masalah ini dengan sedikit merenung dan perhatian akan menjadi jelas
bahwa adalah hal yang mustahil bila adam (ketiadaan) berbalut hakikat
wujud. Bila tidak, maka kita harus menerima sesuatu yang kontradiktif
dengan dirinya sendiri atau sama dengan sesuatu yang kontradiktif dengan
dirinya. Tentu saja ketidakbenaran hal ini sangat jelas dan tidak memerlukan
dalil serta invaliditasnya tampak sekali. Segala sesuatu yang ketiadaannya itu
pasti, maka kekekalannya itu adalah sesuatu yang niscaya pula tertetapkan,
sehingga tidak bisa diklaim bahwa segala sesuatu itu memiliki wujud hakiki.
Perhatikanlah apa yang telah kami jelaskan dan bahwa itu adalah termasuk
burhan shiddiqin untuk menetapkan keesaan Tuhan. Inilah makna perkataan
Ali bin Abi Thalib, "Wahai yang menunjukkan dzat-Nya melalui dzat-Nya."
17 Wujud munbasith termasuk bagian wujud hakiki dan manifestasi dari
pelbagai manifestasinya. Dan, kebersamaannya dengan segala sesuatu
merupakan kebersaman identitas. Namun, kebersamaan Wajib al-Wujūd
(Allah) adalah kebersamaan yang bersifat qayyūmiyyat (mengontrol/
menguasai), mashdariyyat (sumber segala sesuatu), dan shamadiyyat (tempat
P: 183
tumpuan segala sesuatu). Wujud munbasith ketika bersama segala sesuatu
akan menjadi sesuatu itu (bak bunglon-penerj.). Ketika bersama substansi,
ia akan menjadi substansi; ketika bersama aksiden, ia menjadi aksiden; ketika
bersama sifat, ia akan menjadi sifat; ketika bersama jiwa, ia akan menjadi jiwa;
ketika bersama langit, ia akan menjadi langit; ketika bersama bumi, ia akan
menjadi bumi; sedangkan sesuatu Yang Wajib ketika bersama segala sesuatu,
Ia akan tetap menjadi Tuhan Sang Penguasa, Dialah yang di langit disebut
dengan "ilah" (Tuhan) dan di bumi juga disebut dengan ilah". (Allamah
Tehrani, Tawhid 'Ilmi wa 'Aini, hlm. 145).
18 Dengan nama Allah Yang Maha Agung, setiap orang yang bertauhid harus
mengatakan bahwa bersama segala sesuatu dan seluruh komponen-
komponen alam terdapat wujud eksternal hakiki yang mengelilinginya dari
seluruh penjuru yang berupa cahaya yang mendominasinya bahkan yang
menciptakan untuknya dalam setiap saat wujudnya, dan setiap aspek dari
wujudnya bergantung kepadanya (cahaya] dan kemandiriannya pun terkait
dengannya. Dan, cahaya yang mendominasi itu bersifat dhahir dan batin, awal
dan akhir, dan ia selalu bersama segala sesuatu, tetapi bukan berkolaborasi
latu, tetapi bukan meninggalkan. (Mirza Jawad
Maliki Tabrizi)
19 Allamah Thabathaba'i menyatakan, "Dalam benak orang-orang awam,
kesatuan wujud (wahdat wujudt) itu lebih buruk daripada orang kafir. Biarkan
orang menjadi Yahudi atau Kristen, yang penting ia tidak meyakini wahdat
wujūdī. (Allamah Tehrani, Tawhīd 'ilmī wa 'Ainī, hlm. 329)
20 Sesuatu yang dapat dijadikan contoh untuk mendekatkan pemahaman
terhadap masalah ini meskipun ia tidak sesuai dengan realitasnya pada
beberapa sisi adalah ilmu yang dinisbatkan pada objek yang diketahui.
Sebagaimana objek yang diketahui tidak akan terwujud, kecuali dengan
perantara ilmu, sementara esensi (mahiyah) dari objek yang diketahui
bukanlah ilmu itu sendiri. Dalam pembahasan ini bisa dikatakan bahwa maujud
hakiki itu satu dan itu adalah ilmu, sedangkan pemahaman-pemahaman
yang diketahui merupakan sifat (syu'ūn) dari ilmu itu sendiri yang tidak
memiliki wujud dalam realitas, kecuali pemahaman itu sendiri terikat dengan
ilmu. Dan, hal ini bisa dikatakan bahwa pemahaman-pemahaman ini saling
berbeda dengan pemahaman ilmu itu sendiri. Melalui contoh ini, hal-hal yang
berkaitan dengan alam wujud, tampaknya tidak benar dan jauh dari realita.
(Mirza Jawad Agha Maliki Tabrizi)
21 Rawdah al-Wa'idīn, hlm. 448.
22 Maksud ungkapan "inniyah" adalah "wujud” (Mirza Khalil Kumrahi).
23 Syaikh Saduq, Tawhid, bab 2, hadis 26, hlm. 69.
P: 184
berjumpa Allah 1
D
Dawud 30, 57, 58, 91, 99, 111
doa 'Ahd 93
doa Arafah 25, 26, 30
doa Kumail 5, 7, 24, 38
doa Rajab 26
doa Shahifah 33
doa Shahifah 'Alawiyah 33
F
Falāh al-Sā'il 33
Fir'aun 64
Abu Ali bin Muhammad bin
Hammam 31
Abu Hamzah 24, 115, 117
Abu Hamzah al-Tsumali 24
Adam 42, 46, 109, 117
Al-Dailami 111
Ahlul Bait 9,163
aksiden 156, 168, 169, 184
al-Allamah 31
Alamul Huda 40
al-Haqq 21, 22, 41, 171, 172
Ali bin Abi Thalib 4, 18, 19, 38,
40, 48, 183
Allamah Tehrani 184
Allamah Thabathaba'i xiii, 40,
184
al-Mazār 31
al-Murāqabāt xi, xiii
al-Mustadrak 31
al-Wafi 26, 39, 43
amaliyah 73
Amirulmukminin 4, 17, 26, 38,
40, 43, 100, 114, 124, 125,
152
Arsy 29, 45, 52, 56, 68, 90, 127
asmā 6,7,8,9
asmāul husnā 6,9
Ayatullah Fahri xiii, xv
Ayatullah Marasyi Najafi xv
Ayatullah Mirza Khalil Kamrehi
xiii, xv
Ayatullah Sayyid Husein
Fathimi Qummi xv
Ghurar wa Dhurar 18, 40
hadis Mi'raj 26, 36, 43, 95, 152
hadis Qudsi 21, 90, 93, 108, 156
Haji Mirza Khalil Kamrehi xiv
Hisāl Sab'ah 31
Ibn Sina 19, 41
Ibn Thawus 26, 31, 33, 43, 67,
69, 73
Ibn Abbas 124
Ibn Abi Umair 115
Ibn Mas'ud 99
Indeks $185%
P: 185
Liqā'ullah xi, xii, xiii
M
ilwiy 18
Imam Ali 4, 9, 110, 127
Imam Baqir 150
Imam Hasan al-Asykari 142
Imam Husein 25
Imamiyah 13, 24
Imam Ja'far al-Sadiq 7, 10, 14,
90, 92, 110, 112, 114, 115,
117, 124, 125, 126, 127, 136
Imam Khumaini xii, xiv, xvi
Imam Mahdi 26
Imam Muhammad Baqir 101,
162
inniyah 11, 184
intuitif 18, 169, 170
Iqbal 26, 31, 43, 67
irfan xi, 41, 42
irfan praktis xi
irfan teoritis xi
ism a'zham 9
maqam 6, 9, 10, 17, 19, 24, 26, 27,
31, 42, 44, 45, 47, 59, 62,
67, 81, 86, 92, 159, 160, 172
maqam ridha 159
maqam tawakal 159
maqam wahdat 160
Maqāmat 19, 41
ma'rifah al-nafs 178
Mawas Diri xi
māhiyah 169, 183
Mirza Jawad Maliki Tabrizi xi,
xii, xv, xvi, 39, 184
Mirza Jawad Tabrizi xii, xiii, xv
mishdäg 168
Mu'ad 51, 52, 55
Mu'ad bin Jabal 51
muktabar 6, 9, 10, 24, 30, 33,
178
Mulla Husain Qali Hamidani 79
Mulla Husein Qali Hamadani
xii, 96
mumkin al-wujud 171, 182
Munajat Sya'baniyah 4, 24
Musa 22, 23, 24, 34, 66, 97, 111,
113, 114, 115, 116
Jahannam 52, 72, 74, 75, 76
jalāliyyah 2
jamaliyyah 2
Jawad bin Syafi' 74
K
N
katsrah 156
keagungan 2, 5, 6, 25, 27, 30,
31, 34, 54, 59, 85, 90, 108,
109, 114, 124, 134, 138, 139,
142, 144, 145, 160
keindahan 2, 32, 36, 41, 48, 109,
144, 145, 157
Khajah Nashiruddin 21
Kursi 52, 56
Nabi Dawud 57, 58, 99, 111
Nabi Ibrahim al-Khalil 26
Nabi Musa Kalimullah 66
Nabi Yunus 77, 78
Najaf al-Asyraf 79
Neraka Hawiyah 160
P: 186
penyingkapan batin 44, 168, 172
pertemuan dengan Allah xiii, 2,
3, 33, 39
Pesuluk 60
substansi 156, 157, 164, 168, 169,
184
Syagatis 151
Syeikh al-Rais 19
Syeikh Saduq 162, 183
Syu'aib 23, 38
QS Al-Ankabūt 15
tajallī 14, 25
QS Al-An'ām 89
transendensi mutlak 1, 2, 10, 12,
QS Al-Baqarah 49, 81, 135, 160
13, 39
QS Al-Hajj 73
QS Al-Insān 42, 161
QS Al-Isrā' 106
QS Al-Mu'min 45, 71
'urafa 19, 111, 163, 167, 175
QS Al Mu'minin 75, 88, 183
W
QS Al-Sajdah 98, 111, 153
QS Al-Thariq 18
Wahdat 167
QS Al-Zukhruf 76, 183
wahdat al-wujūd 166, 167, 171
QS Al-Zumar 92, 179
Wājib al-Wujud 171
QS Maryam 160
wujud bayangan 172
wujud imaginal 172
wujud penghubung 170
wujud rasional 172
Salman al-Farisi al-Muhammadi wujud sederhana 168, 170
149
Sayyid Ahmad Qahri xiy
Sayyidina Ali bin Abi Thalib 18 Yahya 117
yang nyata 13, 14, 164, 169, 172
P: 187
P: 188