Manifestasi-Manifestasi Ilahi

BOOK ID

سرشناسه : صدرالدین شیرازی، محمد بن ابراهیم، 979-1050ق.

Mulla Sadra Shirazi

عنوان و نام پدیدآور : Manifestasi-Manifestasi IlahiRisalah Ketuhanan Dan Hari Akhir SebagaiPerjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan[Book]/ Mulla Sadra; penterjemahIrwan Kurniawan.

مشخصات نشر : Qum : Al-Mustafa International Translation and Publication Center, , 2014 = 1393.

مشخصات ظاهری : 285ص.؛ ؛ 5/14×5/21 س م.

فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ ؛ پ1393/269/176 .. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ ؛ 15.

شابک : 200000ریال 978-964-195-046-2 :

وضعیت فهرست نویسی : فاپا

یادداشت : اندونزیایی.

یادداشت : این کتاب برگرفته و ترجمه ای از آثار ملاصدرا است.

یادداشت : نمایه.

آوانویسی عنوان : منیفستاسی...

موضوع : فلسفه اسلامی

شناسه افزوده : کورنیاوان، ایروان، مترجم

شناسه افزوده : Kurniawan, Irwan

شناسه افزوده : جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده : Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره : BBR1049/ص4م8 1393

رده بندی دیویی : 189/1

شماره کتابشناسی ملی : 3649497

p:1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Manifestasi-Manifestasi Ilahi

Risalah Ketuhanan Dan Hari Akhir Sebagai

Perjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan

Mulla Sadra

penerjemah:

Irwan Kurniawan

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Manifestasi-Manifestasi Ilahi Risalah Ketuhanan dan Hari Akhir sebagai

Perjalanan Pengetahuan Menuju Kesempurnaan

penulis: Mulla Sadra

penerjemah: Irwan Kurniawan

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-046-2

تجلی الهی

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اله

تیراژ: 300

قیمت: 200000 ریال

مؤلف: ملاصدرا

مترجم: ایروان کورنیا وان

چاپ اول: 1393 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

DAFTAR ISI

Pengantar Editor Bahasa Arab......1

Pengantar......5

PENDAHULUAN......9

BAGIAN PERTAMA.......13

Mengenal Asal, Tujuan, dan Cara Segenap Perbuatan Tersusun-Nya.......13

1.MANIFESTASI......14

Tujuan Utama Kitab Ilahi: Hikmah Yang Hakiki dan Tujuan Yang Dicari......14

2.MANIFESTASI ......20

Pembuktian Eksistensi Allah......20

3.MANIFESTASI ......25

4.MANIFESTASI......31

MAIESTAS Allah dalam Kemestian Wujud......31

Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dan Penjelasan ihwal Sifat-sifat Haqîqiyyah, Idhâfiyyah, dan Salbiyyah......31

MANIFESTASI......38

Ilmu Allah tentang Zat-Nya dan tentang Selain-Nya: Penjelasan ihwal Berbagai Bagian dan Tingkatan Ilmu......38

p: 5

6.MANIFESTASI ......48

Kekekalan Ketuhanan Allah, Penjelasan tentang KalamNya, dan Verifikasi Perbedaan Rinci antara Kitab dan Kalam.....48

7.MANIFESTASI......60

Kebaruan Alam dan Keberadaan Eksistensinya, Eksistensi Segala Sesuatu di Dalamnya yang Didahului Ketiadaan Berkaitan dengan Waktu, Penjelasan ihwal

Gerakan Substansial, dan Kajian tentang Kehancuran dan Kesirnaan Alam .....60

8.MANIFESTASI......67

Cara Bermula dan Kembali dan Isyarat ihwal Hierarki Turun dan Hierarki Naik.....67

BAGIAN KEDUA.....79

Tentang Kebangkitan (Ma'âd)....79

1.MANIFESTASI.....80

Pembuktian dan Penjelasan Berbagai Pendapat ihwal Kebangkitan Jasmani .........80

2.MANIFESTASI......90

Manusia Dibangkitkan dengan Seluruh Kekuatan dan Organnya .......90

3.MANIFESTASI...93

Hakikat Kematian dan Penjelasan tentang Ajal Alamiah dan Perbedaannya dengan Kematian Ikhtirâmî........93

4.MANIFESTASI.........98

Esensi Kubur dan Siksaan Serta Pahalanya ....98

5.MANIFESTASI.....105

Kebangkitan, Cara Manusia Dibangkitkan, dan Kemunculannya di Dunia....... 105

p: 6

MANIFESTASI.....109

Berkumpul di Padang Mahsyar: Verifikasi bahwa Waktu adalah ‘Illah Rotasi dan Sebab Tersembunyinya Segala Maujud;

dan Ketika Waktu dan Tempat Hilang, Seluruh Makhluk Berkumpul.....109

7.MANIFESTASI.....115

Ihwal ash-Shirâth: Penjelasan bahwa ash-Shirâth adalah Jalan Kebenaran dan Agama Tauhid dan Nukilan Berbagai Riwayat dari Para Imam tentang ash-Shirâth..................115

8.MANIFESTASI.....120

Pengungkapan Lembaran-lembaran, Penampakan Buku buku Catatan, dan Cara Penyingkapan Rahasiarahasia dalam Kiamat Besar dan Kiamat Kecil....120

LAMPIRAN.....151

GLOSARIUM.....187

END NOTES.....199

INDEKS.....281

p: 7

Transliterasi Arab

p: 8

Transliterasi Persia

p: 9

p: 10

Pengantar Editor Bahasa Arab

Bismihi Ta‘âlâ Segala puji bagi Allah yang cahaya-Nya memancar di dalam kalbu para wali-Nya, yang menghilangkan segala sesuatu selain-Nya dari batin para kekasih-Nya, yang membuat mereka merasakan manisnya keakraban dan cinta-Nya sehingga dada mereka bercahaya dengan segenap tasbih matahari esensi ke-Dia-an (huuwiyyah)-Nya. Maha Agung sebutan-Nya.

Maha Besar kekudusan-Nya dan Maha Tinggi kemuliaan- Nya. Dia-lah Maha Raja Yang Maha Mengawasi, Yang Maha Kudus, Yang Maha Mulia lagi Yang Maha Perkasa. Maha Suci Tuhan yang menampakkan diri dengan dan untuk Zat (dzât)- Nya. Dia menampakkan segala sesuatu dengan penyaksian (musyâhadah) atas-Nya dalam kegaiban eksistensi (wujûd)-Nya dan menjadikan segala sesuatu sebagai manifestasi (mazhâhir) dari zat dan segenap nama (asma)-Nya. Maha Suci Dia dari keberagaman makhluk-makhluk-Nya.

Saya menyampaikan shalawat dan salam kepada pemilik nama termulia, yang berbicara dengan lisan martabat beliau, yakni “Aku adalah penghulu anak Adam," yang menyebarkan setiap kebaikan dan kesempurnaan, membuka pintu setiap kemenangan, dan menyempurnakan setiap kesempurnaan; matahari yang menyinari dan cahaya yang menerangi; wasilah

p: 1

limpahan karunia dan kemurahan; perantara kebaikan dan limpahan eksistensi – Nabi Muhammad saaw.

Selanjutnya, ini adalah lampiran yang indah dan kajian yang bagus, yang disertakan pada buku al-Mazhâhir al-Ilâhiyyah fî Asrar al-'Ulûm al-Kamâliyyah, karya penulisnya, syaikh yang sempurna dan menyempurnakan, penyejuk mata para penganut tauhid, seorang bijak bestari dan filosof yang teliti, pilihan para wali ‘irfan dan kiblat orang-orang suci, guru kita yang terkemuka dan syaikh kita yang teragung - Muhammad bin Ibrâhîm bin Yahyâ al-Qawâmî asy-Syîrâzî, semoga Allah merahmati dan meridhainya serta menjadikan surga tertinggi- Nya sebagai tempat kembalinya.

Kajian buku ini, sekalipun berukuran kecil dan sederhana dalam susunannya, sangat mendalam. Buku ini menghimpun berbagai argumentasi, hikmah kajian, dan tempat pencarian cita-rasa spiritual (dzawq) dan penyingkapan mistis (kasyf).

Buku ini berisi pilihan masalah-masalah ilmiah tentang al- mabda' (“tempat bermula”) dan al-ma'îd (“tempat kembali”) serta ringkasan dzawq yang dihasilkan dari perjalanan spiritual (sair-wasulûk) dalam “permulaan” (bad') dan “kembali” (“aud).

Dalam buku ini, penulisnya yang sangat alim mengetengahkan kajian-kajianyang indah, pendalaman-pendalamanyang bagus, dan rumus-rumus ilmiah yang luput dari kajian kitab-kitab sebelumnya dan tidak tercakup dalam kitab-kitab sesudahnya.

Lebih penting lagi, beliau menggoreskan tulisannya dengan cahaya di atas lembaran-lembaran kulit secara lahiriah dan makna-maknanya diukir dengan pena akal di atas lembaran- lembaran secara batiniah.

p: 2

Penerbitan dan distribusi buku ini dilakukan oleh Universitas Masyhad sebagai keikutsertaannya dalam perayaan yang dilaksanakan pada tahun ini, yakni hari-jadi ke-400 filosof yang agung ini, semoga Allah meridhainya.

Dalam menerbitkan naskah ini, kami bersandar pada naskah tulisan tangan atau manuskrip. Selain itu, kami juga berupaya memperbaiki kata-kata yang sulit dipahami seraya tetap memelihara amanah dalam menyampaikan maknanya.

Hal ini dilakukan dengan merujuk pada sejumlah karya beliau yang lain.

Sebagai pengakuan atas keutamaan dan kedudukan tinggi penulisnya, kami persembahkan buku ini kepada para pencari- nya dari haribaan pemilik keutamaan dan kesempurnaan.

Kami juga tidak melupakan kontribusiyang diberikan Prof.

Dr. ‘Alî Akbar Fayyadh, Guru Besar di Universitas Teheran dan Dekan Fakultas Syari'ah dan Fakultas Sastra di Khurasan, yang telah menyumbangkan pendapat-pendapatnya yang berharga seputar buku ini.

Akhirnya, kami berharap semoga Allah meneguhkan kami di dalam upaya ini. Sesungguhnya Dia Maha Mulia lagi Maha Pemberi karunia.

Jalâluddîn al-MûSaawî al-Asytiyânî Pengantar Editor Bahasa Arab

p: 3

p: 4

Pengantar

Bismillâhirrahmânirrahîm Kebaikan Paling Utama dan Dasar Keutamaan: Meraih Hikmah Sejati dan Menyempurnakan kemampuan Nalar dan Kemampuan Pengamalan Maha Suci Engkau, ya Allah, wahai Pelimpah kemurahan dan ek- sis tensi, wahai Pemilik keutamaan dan cahaya, wahai Penyem- buh penyakit hati, wahai Penyelamat jiwa dari kerangkeng ra ga menuju kebahagiaan, jadikanlah kami termasuk dalam go longan kaum arif de ngan cahaya kudus-Mu dan para pemegang teguh tali-Mu! Terangilah akal kami dengan cahaya makrifat dan pengenalan ihwal ketuhanan (ru bûbiyyah)-Mu! Pandang lah kami dengan mata pertolongan dan kasih sayang-Mu! Su cikanlah kami dari kotoran dan noda dengan kekuatan pemeliharaan-Mu! Jadikanlah kami termasuk para penyaksi cahaya-Mu dan mereka yang dekat dengan-Mu! Jadikanlah kami teman para penghuni kerajaan-Mu! Engkaulah pelimpah segala kebaikan, yang menurunkan segala keberkahan dan melimpahkan cahaya dari kegelapan. Ya Allah, limpahkan shalawat kepada penunjuk jalan keselamatan dan kebenaran, pem bimbing hamba-hamba-Mu menuju jalan yang benar, pemimpin dan pemandu mereka menuju tempat Pengantar A 55

p: 5

kembali, Muhammad Saaw serta keluarganya yang suci dan mulia.

Kebahagiaan dan wasilah paling utama serta pangkal kebaikan dan keutamaan adalah memperoleh hikmah Ilahi yang benar dan menyempurnakan(1) kemampuan nalar (nazhari) dengan mencari ilmu-ilmu hakiki dan pengetahuan keyakinan, serta menyempurnakan al--nglal-hayûlânî(2) dengan pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, kerajaan-Nya, dan malakût- Nya, dan pengetahuan tentang hari akhirat, tempat-tempat persinggahannya, dan tempat-tempat menetapnya. Dengan- nya manusia menempuh jalan ‘iran dan menuju arah ka'bah ilmu dan keimanan serta terbebas dari penjara bencana dan kerugian menuju surga kebahagiaan dan kedekatan dengan Yang Maha Pengasih (ar-Rahmân). Dengannya diperoleh pengetahuan tentang kata-kata yang penuh cahaya, esensi- esensi ruhani, dan cahaya-cahaya malakut yang merupakan sumber pengetahuan tentang ar-Ralumân, sebagaimana disebutkan da lam hikmah klasik: “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah bertuhan.” Artinya, ia menjadi seorang alim yang sangat mengenal Tuhannya âlim rabbânî) yang fana dari dirinya dan dalam penyaksian keindahan dan keluhuran Yang Maha Awal (al-Awwal), sebagaimana dikatakan oleh Sang Guru Pertama (al-Mu´allim al-Awwal), yakni Aristoteles, “Barangsiapa tidak mampu mengenal dirinya, maka ia tidak akan mampu mengenal Penciptanya." Mengenal diri, baik esensi maupun sifatnya, merupakan awal menuju pengenalan tentang Tuhan. Dengan memperoleh- nya, manusia termasuk dalam golongan malaikat yang dekat

p: 6


1- Ketahuilah, buku ini mencakup dua ilmu yang mulia: pertama, ilmu tentang al-mabda' yang meliputi pengetahuan tentang sifat-sifatnya, pengaruhnya, dan cara kemunculan segala sesuatu darinya; kedua, ilmu tentang al-ma'âd yang meliputi cara kemunculan diri manusia, prinsip pemben- tukannya, bahan-bahan fisiknya, puncak kesempurnaan dan kenaikannya hingga kedudukannya yang tertinggi, kefanaannya di dalam dzât Allah, serta berbagai bahasan tentang nubuwat-nubuwat dan mimpi-mimpi. Hen- daklah diketahui bahwa kemampuan nalar (al-quwwah al-nazhariyyah) dan kemampuan pengamalan (al-quwwah al--amaliyyah) memiliki kesamaan dalam pengaruh dan cahayanya. Dengan kemampuan nalar, sang penempuh jalan spiritual memperoleh ilmu yang meyakinkan ('ilm al-yaqîn) dan, dengan kemampuan pengamalan, ia memperoleh penyaksian yang meyakinkan (‘ain al-yaqîn) dan kebenaran yang meyakinkan (luaqq al-yaqîn). Kedua kemampuan ini, yakni kemampuan nalar dan kemampuan pengamalan, diibaratkan oleh Jalâluddîn Rûmî sebagai dua sayap.
2- Al-'aql al-Wayúlânî: Potensi dalam diri yang siap menerima esensi sesuatu apa pun yang abstrak.

dengan Tuhan, padahal sebelumnya ia termasuk jenis binatang yang jauh dari Tuhan. Mengenal diri adalah pegang- an yang kuat dan sandaran yang kukuh dalam mendekatkan diri ke pada Allah dan memperoleh kebahagiaan di akhirat.

Ketidaktahuan tentang, dan pengingkaran atas, pengetahuan Ilahiah ini, padahal ada kesiapan dan potensi untuk belajar dan memperolehnya, merupakan pangkal kesengsaraan dan hukuman, sumber setiap kemunafikan dan penyakit jiwa, serta be nih se tiap pohon terkutuk dan pohon yang buruk di dunia dan akhirat. Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu- lah orang-orang yang lalai (QS an-Nahl 16: 108). Mereka beroleh siksaan, kerugian yang besar, duka-cita, dan penyesalan pada Hari Kiamat.

Ilmu-ilmu kesempurnaan dan pengetahuan-pengetahuan Ilahiah itu berbeda-beda jenis dan macamnya, banyak cabang dan dahannya. Manusia, dengan pengetahuannya tentang hal- hal universal (kulliyyât), tidak mampu mengenali jenis-jenis dan macam-macamnya, terutama kaitannya dengan hal-hal yang bersifat relatif, dan tak mampu memperolehnya. Oleh karena itu, aku menulis sebuah risalah untuk mengkaji beberapa masalah yang berkaitan dengan al-mabda' dan al-ma'îd. Ini dimaksudkan untuk membantu siapa saja yang memiliki potensi dalam memperoleh kesempurnaan dan mempunyai pengalaman lebih dalam memperoleh kebenaran (al-hâl), dan bukan kabar angin (al-qâl). Aku memberi judul kitab ini al- Mazhâhir al-Ilâhiyyah fî Asrâr al-'Ulûm al-Kamâliyyah. Alhamdu lillâh, risalah ini terdiri dari pendahuluan, beberapa pasal, dan

p: 7

penutup. Aku memohon taufik kepada Allah agar tabir-tabir dosa diangkat dan ditunjukkan jalan sunnah hidayah, karena sesungguhnya Dia Maha Pelimpah di awal dan di akhir.

Manifestasi-Manifestasi Ilahi

p: 8

PENDAHULUAN

Hikmah adalah Ilmu Paling Utama, Induk Segala Ke- baikan, dan kesempurnaan Tertinggi: Mengenal Zat, Sifat, dan Perbuatan-Nya, serta Cara Keluar dan Kembalinya Segala Se suatu dari dan kepada-Nya Ketahuilah, teman-temanku para mujahid dan saudara- saudaraku kaum Mukmin, bahwa yang dimaksud hikmah di sini, yakni, mengenal esensi Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal (nl-Haqq al-Awwal) dan martabat eksistensi (wu jûd)-Nya, mengenal sifat dan perbuatan-Nya serta bagaimana segala maujud muncul dari-Nya di dunia dan akhirat; mengenal jiwa dan kekuatan berikut martabatnya; mengenal al-'aql al- hayûlînî (akal potensial) yang merupakan tempat bertemun- ya dua lautan dan tempat bergabungnya dua iklim, serta ba- gaimana keadaan kebahagiaan dan kesengsaraan; dan mengenal jiwa yang mencapai tempat yang tinggi, dari tanah terendah ke puncak tertinggi, yang merupakan posisi untuk meman- dang keindahan tiada duanya dan memperoleh penyaksian abadi — bukanlah hikmah yang dikenal di kalangan orang- orang yang berhubungan dengan mereka yang berfilsafat dan berpegang teguh pada komentar atas kajian-kajian transenden (al-abhâts al-muta-âliyyah).

p: 9

Akan tetapi, yang dimaksud dengan hikmah di sini(1) adalah hikmah yang menyiapkan jiwa untuk naik ke Kelompok Terting gi (al-Mala' al-Aʻlâ) dan tujuan terjauh, yakni pertolongan Tuhan dan karunia Ilahi yang hanya dianugerahkan dari sisi Allah saja, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa diberi hikmah itu, maka ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang banyak (QS al-Baqarah 2: 269). Itulah hikmah yang kadang-ka- dang diidentikkan dengan Al-Qur'an, sesekali dengan cahaya (an- nûr), dan- di kalangan kaum arif – disebut sebagai “Akal sederhana" (al-'aql al-basîth)?. Hikmah itu adalah karunia Allah, kesempurnaan zat-Nya, dan kelangsungan eksistensi- Nya. Allah memberi kannya kepada orang-orang pilihan- Nya di antara hamba-hamba dan kekasih-kekasih khusus- Nya. Siapa pun dari makhluk ini tidak akan meraihnya kecu- ali setelah meninggalkan keduniaan dan nafsunya dengan membawa ketakwaan, kewaraan, kezuhudan hakiki dan masuk ke jalan sulûk orang-orang yang didekatkan kepada Al- lah dari kalangan malaikat-Nya dan hamba-hamba-Nya yang saleh sehingga Allah menge ta hui di da lam dirinya ada suatu ilmu, lalu memberinya hikmah dan kebaikan, menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dan memberinya cahaya yang menuntunnya di dalam kegelapan dunia. Apakah orang yang sudah mati, lalu Kami menghidup kannya dan memberinya ca- haya yang terang, yang dengan cara ya itu ia berjalan di tengah- tengah masyarakat?... (QS Al-An'âm 6: 122).

Ketahuilah, kajian-kajian Ilahiah dan pengetahuan- pengetahuan ketuhanan sangatlah samar, jalan suluk yang

p: 10


1- Ketika Allah menciptakan manusia sebagai sebuah eksistensi yang tersusun dari ruh dan badan, masing- masing memiliki pengaruh satu sama lain. Ruh, yakni nafs (diri) manusia, memiliki dua sisi: keter kaitan dan keterlepasan. Oleh karena itu, kedua kemampuan ini harus disempurnakan. Menyempurnakan kemampuan nalar hanya dapat dilakukan dengan memikirkan sistem eksistensi sebagaimana mestinya. Diri, ketika memikir- kan segala sesuatu berdasarkan hal yang semestinya dalam kadar keluasan manusiawi, menjadi suatu alam yang bersifat akal (ʻaqli) yang paralel dengan alam yang bersifat entitas (-ainí). Lembaran jiwa menjadi sebuah buku sempurna yang memperlihatkan bentuk segala sesuatu, baik yang abstrak maupun yang bersifat materi, baik yang bersifat falak maupun yang bersifat unsur. Menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan tentang Allah, sifat-sifat-Nya, dan pengaruh-pengaruh-Nya serta dengan pengetahuan tentang bagaimana segala sesuatu kembali kepada-Nya merupakan maksud tertinggi dan puncak tujuan bagi manusia. Ilmu-ilmu Ilahi adalah inti Manifestasi-Manifestasi Ilahi keimanan kepada Allah, sifat-sifat-Nya yang luhur dan nama-nama-Nya yang indah. Tentang bagian dari filsafat ini, terdapat banyak penjelasan dan argumentasi di dalam kitab-kitab Ilahi. Menyempurnakan kemampuan praktis (al-quwwah al- 'amaliyyalı), yakni akal praktis (al-'aql al-´amalí), hanya dapat diperoleh dengan mengikuti para nabi, melaksanakan segala kewajiban, meninggalkan segala larangan, dan menempa lahir dan batin. Setelah penempuh jalan spiritual menyempurnakan bangunan batin, kepadanya tampak ca- haya keimanan dari dalam batinnya. Kemudian, ia melihat dua entitas dan manifestasinya, yang bersifat ruhani dan kejiwaan, terpenjara di dalam penjara materi. Lalu, ia berkata, “Wahai para penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang tercerai-berai atau Allah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa? Ia lalu menghadap pada batinnya dan mengetahui kekurangannya dan kesia-siaan waktunya. Kemudian, semua cita-citanya menjadi satu cita-cita.

pelik, yang tidak berhenti pada kebenarannya kecuali seorang demi seorang dan tidak ditunjukkan pada esensinya kecuali pendatang demi pendatang. Barangsiapa ingin menyelami lautan pengetahuan Ilahi dan mendalami hakikat ketuhanan, maka ia harus menempa diri dengan latihan-latihan (riyâdhah) ilmiah dan amaliah serta memperoleh kebahagiaan abadi sehingga terbitnya cahaya kebenaran dimudahkan baginya dan ia pun memperoleh kemampuan bawaan (malakalı) untuk menanggalkan badan dan naik ke kerajaan langit. Oleh karena itu, Guru Pertama, Aristoteles, berkata, “Barangsiapa ingin memasuki ilmu kami, maka hendaklah ia menciptakan fitrah lain di dalam dirinya." Sebab, ilmu-ilmu Ilahi sama dengan akal yang kudus. Untuk mengetahuinya diperlukan pengosongan yang sempurna (dari keduniaan) dan luthf yang kuat, yakni fitrah kedua, karena pikiran makhluk dalam fitrah pertama adalah keras lagi kasar.

Semoga Allah mengeluarkan kita dari kegelapan materi alamiah, memasukkan cahaya hakikat ke dalam diri kita, dan memperlihatkan eksistensi-Nya kepada kita dengan hidayah-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Tuhan dan Maula segala sesuatu serta tempat bermula dan berakhirnya segala eksistensi.

Pendahuluan

p: 11

p: 12

BAGIAN PERTAMA

photo

Mengenal Asal,......

Mengenal Asal, Tujuan, dan Cara Segenap Perbuatan Tersusun-Nya

p: 13

MANIFESTASI 1

Tujuan Utama Kitab Ilahi....

Tujuan Utama Kitab Ilahi:Hikmah Yang Hakiki dan Tujuan Yang Dicari.

Ketahuilah, maksud tertinggi dan inti paling jernih dari ditu- runkannya Kitab Ilahi adalah mengajak para hamba kepada Raja Yang Maha Tinggi – Tuhan akhirat dan dunia. Tujuannya adalah mengajarkan kepada hamba untuk naik dari dasar kekurangan dan kerugian menuju puncak kesempurnaan dan pengenalan (ʻirfân) serta menjelaskan bagaimana melakukan perjalanan ruhani (ns-safar)(1) menuju Allah. Pasal-pasal, bab- bab, surah-surah, dan ayat-ayatnya mencakup enam tujuan; tiga di antaranya adalah sebagai penopang, pokok, dan pi- lar yang penting, sementara tiga yang lain berfungsi sebagai lampiran dan pelengkap.

Tiga pokok yang penting adalah: Pertama, mengenal Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal (al-Haqq al-Awwal) dan sifat-sifat dan pengaruh-pengaruh-Nya; Kedua, mengenal jalan yang lurus (ash-shirâth al-mustaqîm) dan tingkatan-tingkatan ke- naikan kepada Allah dan cara melakukan perjalanan spiritual (sulûk) kepada-Nya; Ketign, mengenal al-ma'îd dan tempat kembali kepada-Nya serta keadaan orang-orang yang sampai kepada-Nya dan ke negeri rahmat dan kemuliaan-Nya, yakni pengetahuan tentang al-ma'ûd dan keimanan pada hari akhirat.

p: 14


1- Makna safar dalam metodologi ahli 'irfan akan dibahas di bagian akhir buku ini, insya' Allâh.

Adapun tiga pelengkap tersebut adalah: Pertama, mengenal orang-orang yang diutus dari sisi Allah untuk berdakwah kepada makhluk dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Mereka adalah para pemandu perjalanan akhirat dan para pemimpin kafilah; Ke dua, penuturan pendapat kaum ateis, penyingkapan kejelekanke- jelekan mereka dan pembodohan akal mereka dalam kesesatan. Tujuannya dalam hal ini adalah memperingatkan akan jalan kebatilan; Ketiga, pengajaran cara memakmurkan tempat- tempat persinggahan (manâzil) dan fase-fase perjalanan (marâlul) menuju Allah, peribadatan, cara mengambil bekal dan kendaraan untuk perjalanan ke akhirat, persiapan dengan latihan menung- gang kendaraan, dan pemberian makan hewan tunggangan.

Tujuannya adalah bagaimana mengetahui cara pergaulan manusia dengan para penghuni dunia ini, yang sebagian da-rinya ada di dalam dirinya, seperti nafsu serta kekuatan syahwat dan marahnya, dan ilmu ini dinamakan pendidikan moral (tahdzîb al-akhlág), dan sebagian lainnya berada di luar diri nya. Ada- pun berkumpul di dalam sebuah rumah, seperti dengan kelu- arga, pelayan, orangtua, dan anak, yang dinamakan pengaturan rumah, atau di sebuah kota, yang dinamakan ilmu politik dan hukum-hukum syariat, seperti diyat, qishash, dan ke ten tu- anketentuan hukum - semua ini merupakan enam bagian dari tu juan Kitab Ilahi. Dalam risalah ini kami kemukakan masalahmasalah hikmah Ilahi, mana yang sesuai dengan tiga bagian penting yang pada hakikatnya merupakan pilar-pilar keimanan dan pokok-pokok ‘irfân. Semoga Allah menunjuki kita ke dalam kejelasan dan keyakinan.

p: 15

Penjelasan Ketahuilah, mengenal Tuhan didasarkan pada tiga tingkatan:

mengenal Zat Ilahi,(1)mengenal sifat-sifat ketuhanan-Nya, dan mengenal perbuatan-perbuatan ke-Maha Mandirian-Nya.

Mengenal Zat Ilahi merupakan bidang yang paling sempit dan paling sulit untuk dipikirkan dan dibicarakan, karena hakikat al-Wajib – Maha Tinggi Kemuliaan-Nya, merupakan esensi yang tidak tersusun dari bagian-bagian serta kekuatan cahaya dan eksistensi yang tidak terbatas. Hakikat-Nya adalah personifikasi dan entifikasi (taʻayyun) itu sendiri. Tidak ada konsep, perumpamaan, persamaan, dan perlawanan bagi-Nya.

Tidak ada definisi bagi-Nya dan tidak ada pula penjelasan yang dapat menjelaskannya. Bahkan, Dia adalah penjelas bagi segala sesuatu. Tidak ada yang lebih tahu dan mengetahui selain Zat-Nya sendiri dan tidak ada saksi atas-Nya. Justru, Dia-lah saksi atas segala sesuatu. ... Dan apakah tidak cukup dengan Tuhanmu balowa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS Al-Fushshilat 41: 53); Maka, apakah Tuhan yang menjaga setiap diri atas apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian halnya)?... (QS al-Ra'd 13: 33); Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya,... (QS al-An'âm 6: 18); Dan tunduklah semua wajah (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Maha Hidup lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya) (QS Thẩha 20: 111).

Diri terbakar ketika menetap bias-bias cahaya wajah-Nya, apalagi jika mendapat langsung cahaya wajah-Nya. Tidak mungkin mengenal Zat-Nya kecuali dengan merobohkan gunung egoisme atau keakuan (al-aniyyah) penempuh jalan

p: 16


1- Ketahuilah, para ahli penyingkapan (kasyf) dan kesaksian (syulûd) serta orang-orang berakal dan ulama sepakat bahwa tidak mungkin mengetahui Zat Allah Yang Maha Benar dengan kualitas intrinsik-Nya, dan dalam hal itu tidak ada perdebatan di kalangan para ulama, karena pengetahuan dan kekuasaan Allah SWT Maha Besar atas segala sesuatu. Tidak mungkin mengetahuinya karena mengetahui sesuatu dengan esensinya merupakan bagian dari pengetahuan tentangnya, sementara Allah ti- dak termasuk dalam lingkup pengetahuan. Dalam kitab Tafsîr ash-Shafi, ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Thâ Hâ (ayat 110): “.............. Tetapi ilmu mereka tidak meliputi-Nya" tentang tauhid, penulisnya mengutip ha- dis dari Amirul Mukminim as, “Pengetahuan seluruh makhluk tidak dapat meliputi Allah Swt, karena Dia menutup pandangan hati. Tidak ada pengetahuan yang menggapai-Nya dengan kualitas (kaif) dan tidak pula hati dapat meneguhkannya dengan batasan. Tidak ada yang dapat menyifati-Nya kecuali sebagaimana Dia menyifati diri-Nya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Din-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dialah Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Lahir, Maha Batin, Pencipta lagi Pemberi bentuk. Dia menciptakan segala sesuatu, tetapi tidak ada satu pun dari segala sesuatu itu yang menyerupai-Nya. Jelaslah bagi orang yang terpelajar bahwa maksud “Tutup” (glithân) dalam ucapan Imam as adalah batasan kemungkinan. Batasan ini merupakan penyebab keterbatasan mumkin (eksistensi yang bersifat mungkin) dan cakupanpengetahuannya tentang Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal. Dan karena Allah tidak memiliki batas eksistensi, justru Dia adalah eksistensi yang murni dan jelas. Dia memiliki cakupan pengetahuan dan kekuasaan atas segala sesuatu. Bahkan, pada maqam Zat dan kegaiban-Nya, Yang Maha Benar, yang disifati sebagai khazanah tersembunyi, bebas dari pembatas- an. Dari ucapan Imam as yang memancarkan cahaya wilâyah, diketahui bahwa esensi Zat-Nya tidak diketahui oleh siapa pun dengan bentuk pengetahuan dan ilmu apa pun, baik ilmu luudluûrî maupun ilmu luusluûlî. Dia ti- dak dapat digapai dengan kekuatan akal dan tidak pula dengan penginderaan. Sebaliknya, karena kesempurnaan kemuliaan dan kekuasaan-Nya, Dia melihat segala sesuatu. Dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Dia- lah Pencipta segala sesuatu yang saling bertentangan, permisalan-permisalan, segala sesuatu yang serupa, dan eksistensi itu sendiri karena penglihatan dan pengenalan- Nya adalah Zat-Nya itu sendiri. Sementara itu, Dia melihat segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu yang tidak diketahui [oleh makhluk]. Dia tidak dapat digapai karena ketinggian manifestasi-Nya dan kesempurnaan cahaya dan keluasan-Nya.

spiritual(1) sampai ia menyaksikan Zat-Nya, sebagaimana kata seorang arif, “Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhan- ku. Kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan mengenal Tuhanku.” Akal tidak memiliki jalan untuk mengenal Zat- Nya. Karenanya, dikeluarkan larangan untuk memikirkan Zat Allah, seperti sabda Nabi saaw., “Pikirkanlah nikmat- nikmat Allah, tetapi janganlah memikirkan Zat-Nya" dan ucapan Amirul Mukminin'Alî bin Abî Thâlib as, “Barangsiapa memikirkan Zat Allah, maka ia kufur. Dan barangsiapa memikirkan sifat-sifat-Nya, maka ia beroleh petunjuk.” Oleh karena itu, Al-Qur'an tidak menjelaskan pengenalan tentang Zat Allah secara lebih luas kecuali dalam pengkudusan dan penyucian semata, se perti tersebut firman-Nya: ... Tiada tuhan selain Din,... (QS al-Baqarah 2: 255); Maha Suci Tuhanmu yang memiliki keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan (QS al-Shaffât 37: 180); Pencipta langit dan bumi,... (QS al-Baqarah 2: 117); Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar (QS al-Waqi'ah 56: 7496).

Dalam mengenal sifat-sifat-Nya,(2)bidang untuk berpikir- nya lebih luas dan lingkup pembahasannya lebih bebas karena sifat-sifat-Nya merupakan konsep-konsep rasional yang di dalamnya akal memiliki kontribusi. Akan tetapi, dalam diri Yang Maha Awal (al-Awwal), substansiasi sifat-sifat itu adalah Zat-Nya dengan Zat-Nya, sementara dalam yang selain-Nya tidaklah demikian. Oleh karena itu, Al-Qur'an mencakup rincian-rin ciannya di dalam banyak ayat, seperti firman-Nya: ...

Dan Din-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS al-Hasyr 59: 24); Dia-lah Allah yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha

p: 17


1- Engkau tahu bahwa mengetahui Yang Maha Benar (al- Haqq) dengan kualitas intrinsik-Nya tidak dapat diperoleh oleh siapa pun, walaupun penghuni al-Mala' al-A'lân menuntutnya, sebagaimana kita menuntutnya. Hal itu ditunjukkan Nabi Saaw. dalam sabda beliau: “Kami tidak mengenal-Mu dengan pengenalan yang sebenar-benarnya." Adapun mengetahui-Nya secara umum dapat dilakukan dengan ilmu lushûlî dan ilmu hudhûrî sekaligus. Dengan ilmu luslûlî, yang dimaksud adalah bahwa manusia me- miliki bentuk ilmu yang membahas tentang Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal dengan melihat efek-efek yang bersifat mungkin dan menjadikannya sebagai bukti atas eksistensi-Nya. Adapun, ilmu luudhûrî adalah bahwa Yang Maha Benar, dengan kemunculan-Nya dalam ting- katan-tingkatan esensi (a'yân), pena-pena imkan, dan tajallî- Nya, disaksikan oleh segala sesuatu. Ilmu ini, karena ke- munculan-Nya yang sangat tinggi, menjadi tersembunyi. Ketersembunyian itu disebabkan oleh kemunculan-Nya yang sangat tinggi. Ketika Eksistensi-Nya menguatkan segala eksistensi, dan kemunculan semua maujud ada- lah melalui eksistensi-Nya, maka Dia lebih jelas daripada segala sesuatu. Ketahuilah, Dia mengetahui segala sesuatu. Dia menjadi dalil atas segala sesuatu dan menjadi jelas bahwa eksistensi yang bersifat mungkin membutuhkan dalil tersebut, tetapi Wujud Yang Wajib Ada (al-Wujûd al-Wajib) tidak membutuhkan hal tersebut karena Dia tidak memerlukan peneguhan dan pembuktian. Bahkan, mengingkari al-Wajib berarti keluar dari fitrah Ilahi. Ketika Yang Maha Benar (al-Haqq) dinisbatkan pada sesuatu, maka penisbatan itu merupakan hubungan pancaran (idhâfah isyrâqiyyalı). Idhâfah isyrâqiyyah adalah penciptaan itu sendiri. Sebab ('illah) dalam eksistensi mendahului akibat (maʻlûl). Dengan demikian, pengetahuan kita tentang asal kejadian kita menunjukkan keberadaan asal kejadian kita dengan penisbatan penciptaan-Nya pada kita. Oleh karena itu, pengetahuan kita tentang eksistensi kita mendahului pengetahuan kita tentang diri kita. Pengetahuan kita tentang-Nya mendahului pengetahuan kita tentang diri kita dengan pengetahuan luudluûrî dan ilmu syulûdî, karena Eksistensi-Nya mendahului penciptaan kita. Penyebab ketersembunyian ilmu ini adalah banyaknya kemunculan- Nya. Ilmu yang mulia ini berada dalam puncak kebersa- hajaan dan kesederhanaan. Namun, kemunculan dan eksistensi itu semata-mata dengan kadar sesuatu yang dipancarkan dan yang memancarkan. Di dalam Mishbâh al-Uns, halaman 59, dari Syaikh al-Kâmil Shadruddîn, dalam tafsir surah al-Fâtihah, dikatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat tentang mustahilnya mengetahui Zat Allah dari sisi hakikatnya, bukan dalam hal nama, hukum, hubungan, atau tingkatan." Kemudian, dia berkata, "Verifikasi yang paling sempurna mengungkapkan bahwa apabila seseorang mencium bau dari makrifatnya, maka hal itu terjadi setelah jejaknya sirna; hukum, penglihatan dan namanya terhapus; dan kebinasaannya di bawah pengaruh cahaya-cahaya Yang Maha Benar dan kesucian Wajah-Nya yang mulia.” Kukatakan: Ini merupakan musyahadah hudhûriyyah dan syuhûd ninî (bukan 'ilmî)yang diperoleh para wali dan orang-orang sempurna setelah melakukan serangkaian latihan spiritual (riyâdhah). Musyahadah ini lebih tinggi dan lebih mulia daripada setiap pengetahuan ('irfân). Tingkat pengetahuan yang paling tinggi tentang sesuatu hanya diperoleh dengan kesatuan orang yang mengetahui ('âlim) dan objek yang diketahui (maʻlům), sementara penyebab ketidaktahuan (jahl) tak lain adalah keberlainan (al-ghairiyyah). Jika kesatuan telah menjadi sempurna, maka musyâhadah pun menjadi sempurna. Pengetahuan sempurna hanya diperoleh setelah terhapusnya goresan- goresan entifikasi imkân. Inilah yang dimaksud dari sabdanya, “... Kecuali dengan hancurnya gunung ke- akuan."
2- Di bagian akhir buku ini akan dijelaskan bagaimana memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan itu, insya Allah. Kami katakan bahwa memikirkan sifat-sifat Yang Maha Benar (al-Haqq) dalam tataran pemikiran manusia, dengan pemutlakan yang hakiki, termasuk kemustahilan yang paling besar. Tidak ada perbedaan antara zat dan sifat-sifat dari sisi ini, karena eksistensi dalam keesaan transenden (aladiyyah) adalah ilmu, kekuasaan, dan sifat- sifat yang lain itu sendiri.

Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan (QS Hasyr 59: 23).

Dalam mengenal sifat-sifat-Nya juga ada hal-hal yang sangat samar, karena yang sanggup mengenal sebagian sifat- Nya seperti al-Kalâm (Maha Berfirman) hanyalah orang-orang yang memiliki pandangan batin (bashîrah) yang sangat jelas.

Begitu pula, sifat-sifat seperti as-Samî' (Maha Mendengar), al- Bashîr (Maha Melihat), al-Istiwa 'ala al-Arsy (Bersemayam di atas Arsy), dan sebagainya hanya dapat diketahui oleh mereka yang memiliki pengetahuan mendalam (ar-râsikluûn fî al-'ilm).(1) Adapun mengenal perbuatan-perbuatan-Nya adalah lautan yang tepi-tepinya sangat luas. Masing-masing tepi diselami dan kedalamannya diseberangi menurut kemampuan seseorang dalam menyeberanginya. Namun, hal itu tidak akan dilakukan melalui penelitian, karena penelitian berkaitan dengan sifat-sifat seperti keterkaitan sifat-sifat dengan Zat.

Tidak ada sesuatu di dalam Eksistensi (al-Wujúd) itu selain Zat, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang merupakan gambaran nama-nama-Nya dan segenap manifestasi (mazhâhir) sifat-sifat-Nya. Di antara sifat-sifat-Nya ada yang tampak jelas di alam nyata (“âlam asy-syuhûd). Al-Qur'an meliputnya secara jelas dan rinci maupun secara sekilas dan umum. Sifat-sifat pertama adalah seperti disebutkannya langit, bumi, planet- planet, matahari, bulan, dan sebagainya yang dikenal oleh orang-orang yang memandang dan berkata, “Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan ini secara batil. Maha Suci Engkau.

Maka, peliharalah ka mi dari siksa api neraka” (QS Ali Imrân 3: 191).

p: 18


1- Adapun mengetahui perbuatan-perbuatan Allah dengan ilmu luuslûlî mungkin dilakukan hanya secara umum, karena sesuatu yang kita ketahui hanyalah konsep-konsep yang lepas dari esensinya. Mengetahui sesuatu dengan kualitas intrinsiknya berpangkal dari pengetahuan ten- tang eksistensi khususnya. Seseorang akan mengetahui eksistensi itu hanya dengan musyhâluadah ludhûriyyah dan hubungan dengan penyebabnya, karena esensi sebab- sebab itu diketahui hanya melalui sebab-sebabnya sendiri. Musyahadah ludhûriyyah diperoleh hanya oleh sebagian orang yang terbebas dari selubung kemanusiaan, yaitu mereka yang dibantu dengan pertolongan Ilahi. Mereka memasuki tempat suci penyaksian itu dan menyaksikan Yang Maha Benar (al-Haqq), sungguh-sungguh mengeta- hui nama-nama-Nya yang indah, melihat perbuatan-per- buatanNya, dan menjadikan Yang Maha Benar (al-Haqq) sebagai saksi atas segala sesuatu.

Sementara itu, sifat-sifat yang dikemukakan secara garis besar adalah seperti disebutkannya makhluk-makhluk spiritual (ruhôniyyât), ruh, akal, nafs, lauh, qalam, bahkan al-'arsy dan al-kursî – menurut sebagian ahli- para malaikat yang bekerja sebagai wakil di alam bumi yang merupakan alam malakut paling rendah, para pencatat amalan, para malaikat yang ada di sebelah kiri, para pencatat kebaikan, para pembantu malaikat pencabut nyawa, para penjaga neraka, para penghuni daratan dan gunung, jin, setan-setan yang menguasai jin manusia yang menolak bersujud kepada Adam a.s., dan para malaikat langit yang merupakan alam malakut tertinggi. Ini semua berada di luar alam nyata. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya, dan hanya kepada-Nya mereka bersujud (QS al-A'râf: 206). Yang paling ting gi di antara mereka adalah para pemikul 'Arsy, al-Karrûbiyyûn, dan para malaikat al- Muhîmûn.(1) Mereka diam di Hazhîrah al-Quds, tidak berpaling ke alam ini. Bahkan, mereka tidak berpaling kepada selain Allah dan para penghuni bumi yang putih, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Saaw., "Sesungguhnya Allah memiliki sebuah bumi putih tempat perjalanan matahari.

Bumi itu memiliki tiga puluh hari, yakni seperti tiga puluh kali hari di dunia. Bumi itu dipenuhi oleh makhluk yang tidak mengetahui bahwa Allah didurhakai di bumi dan mereka juga tidak mengetahui bahwa Allah menciptakan Adam dan Iblis." Mereka khusyuk dalam penyaksian Hadirat Ilahi dan mereka termasuk ahli fana dalam tauhid. Semoga Allah menjadikan kita termasuk ahli tauhid di dunia dan akhirat.

Mengenal Asal, Tujuan, dan Cara Segenap Perbuatan Tersusun-Nya

p: 19


1- Al-Muhîmûn adalah para malaikat yang tenggelam di dalam penyaksian keindahan-keindahan Yang Maha Benar (al-Haqq), yang tidak mengetahui bahwa Allah men- ciptakan Adam disebabkan kesibukan mereka dengan menyaksikan Yang Maha Benar (al-Haqq) dan kecintaan mereka yang sangat besar. Mereka menempati tempat yang tinggi, yang tidak ditugasi untuk sujud karena kegaiban mereka dari selain Yang Maha Benar (al-Haqq) dan keterpesonaan mereka pada cahaya keindahan itu. Mereka tidak memberikan tempat kepada apa pun selain- Nya dan mereka adalah al-Karrûbiyyûn. Seorang ahli tauhid (semoga Allah meridhainya) menjelaskan, "Para malaikat itu, karena besarnya cinta mereka, tidak memiliki perantaraan untuk menguasai, padahal mereka diciptakan pada tataran akal pertama, perantara di antara Yang Maha Benar (al-Haqq) dan segala sesuatu. Yang Maha Benar (al-Haqq) telah menampakkan diri kepada mereka dalam keluhuran keindahan-Nya sehingga mereka bergerak ke sana dan gaib dari diri mereka sendiri. Mereka mengenal hanya Yang Maha Benar (al-Haqq) dan penciptaan mereka didominasi hakikat tajallî sehingga menenggelamkan dan membinasakan mereka. Dalam hal itu, terdapat kemusykilan yang disebutkan guru para Syaikh kami – filosof kawakan dan arif yang sempurna, Agha Mîrzâ Hâsyim Rasytî- dalam komentar-komentarnya atas kitab Mishbâh al-Uns dan jawaban atasnya. Hal terbaik dalam sanggahan ini adalah mengenai al-Wajib yang disebutkan seorang pemuka, yakni Mîrzâ Mahdî al-Asytiyânî (qaddasallalu sirralu) dalam buku Asâs al-Kitâb.

MANIFESTASI 2

Pembuktian Eksistensi Allah

Allah bersaksi balwa tiada tuhan selain Dia (QS Ali `Imrân 3: 18).

Ketahuilah, para penempuh jalan spiritual yang menunjukkan adanya jejak-jejak atas sifat-sifat dan sifat-sifat atas Zat Allah memiliki banyak metode [dalam argumentasi itu), dan metode yang pa ling baik di antaranya adalah dua metode berikut ini:

pertama, mengenal diri(1) kemanusiaan.(2) Dan di dalam dirimu sendiri, ti dak kah kalian memperhatikan? (QS al-Dzârriyât: 21). Ini merupakan metode terbaik setelah metode kaum yang benar (ash-shiddîqûn); kedua, memperhatikan cakrawala dan diri sendiri, sebagaimana ditun jukkan dalam firman-Nya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di cakrawala dan di dalam diri mereka sendiri sehingga tampak kepada mereka baliwa Dia-lah Yang Maha Benar (al-Haqq) (QS Fushshilat 41:53) Di dalam Al-Qur'an terdapat ba nyak ayat tentang me- tode ini. Oleh karena itu, Allah memuji orang-orang yang memperhatikan penciptaan langit dan bumi dan menyanjung orang-orang yang memikirkan jejak-jejak tindakan dan eksistensi-Nya. Untuk membuktikan hal ini terdapat metode lain, yakni penunjukan atas Zat-Nya dengan Zat-Nya. (3)Yang demikian itu karena sesuatu yang paling jelas adalah karakter eksistensi mutlak(4) dalam esensinya sebagai eksistensi mutlak, yakni hakikat(5) al-Wajib Swt (6)itu sendiri, dan sesuatu apa pun(7) selain Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal(al-Haggal-Awwal)

p: 20


1- 1. Agar diketahui bahwa nafs dari asal pembentukan jasmaniahnya hingga puncak kesempurnaan intelektualnya selalu berada dalam perubahan-perubahan internal, pergantian-pergantian, dan gerakan-gerakan substansial (al-luarakât al-jawhariyyahı). Kadang-kadang ia merupakan kekuatan jasmani, bentuk materi, dan sesekali merupakan jiwa sensitif dalam tingkatan-tingkatannya, lalu menjadi sesuatu yang dapat dikonseptualisasikan, terpikirkan, berbicara, dan dihasilkan akal teoritis setelah akal aktual dan akal efektif yang diungkapkan dengan ar-rûh al-amrî dalam firman Allah : Katakanlah: “Ruh itu adalah amir Tuhanku.” Tidak diragukan lagi bahwa yang mengeluarkannya dari yang potensial menjadi aktual dan dari lingkup kekurangan ke tingkat kesempurnaan sudah pasti merupakan maujud yang esensinya, secara potensial, membebaskan hakikat dari segala kekurangan seraya menolak tasalsul yang mustahil. Maujud itu bisa berupa Wajib al-Wujúd atau salah satu malaikat yang bersifat akal yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam apa pun yang diperintahkan kepada mereka dan mereka melaksanakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka. Menegaskan keberadaan pemisahan-pemisahan akal tidak terlepas dan tidak tergambarkan kecuali dengan adanya al-Wajib Swt. Akan halnya keberadaan metode ini sebagai metode yang lebih baik dari pada metode kaum shiddîqûn, tidak ada tempat yang memadai untuk menjelaskannya secara rinci. Penjelasan garis besarnya adalah bahwa, sebagaimana di dalam metode kaum shiddîgûn, diperoleh pengenalan tentang Allah dalam Zat, sifat, dan perbuatan, demikian pula halnya dengan cara ini. Hal itu seperti diriwayatkan dari Imam a.s., “Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.”(Mîrzâ Hasan Nûrî).
2- 2. Penegasannya adalah bahwa jiwa (nafs) manusia yang berbicara dan berfikir adalah sesuatu yang abstrak (luput dari materi). Kebaruannya semata-mata karena kebaruan badan. Setiap yang baru memiliki ‘illah. Penyebab eksistensinya tidak lain adalah maujud yang terlepas dari materi, karena mempengaruhi (ta'tsîr) dan dipengaruhi (ta’atstsur) dalam hal-hal yang bersifat jasmani bergantung pada penempatan dan kedekatan, bukan penempatan pada sesuatu yang abstrak dalam kaitannya dengan materi. Dengan kata lain, karena posisi keabstrakan dan keterp- isahannya dari materi, jiwa menjadi lebih mulia daripada fisik dan benda-benda yang bersifat jasmani. Tidak mun- gkin sesuatu yang lebih hina menjadi sebab bagi eksistensi sesuatu yang lebih mulia. Penyebabnya haruslah yang lebih mulia darinya. Dengan demikian sebab pemberi emanasinya haruslah berupa maujud yang tidak bergantung pada materi, baik esensi maupun perbuatannya.
3- 3. Secara umum, metode argumentasi ini adalah bahwa, setelah teguhnya identitas eksistensi itu dan keberadaannya yang memiliki hakikat sebagai sebuah identitas, dikatakan bahwa eksistensi diteguhkan dengan burhan yang direalisasikan dalam entitas-entitas, baik berupa hakikat eksistensi maupun bukan hakikat eksistensi. Yang kami maksud dengan hakikat eksistensi adalah sesuatu yang tidak dicampuri sesuatu yang bukan eksistensi, yakni ketiadaan (‘adam), keterbatasan, dan kekurangan atau mahiyah. Tidak diragukan lagi, eksistensi yang tidak dicampuri sesuatu yang bukan eksistensi merupakan eksistensi murni, eksistensi sempurna, dan kesempurnaan eksistensi. Demikian pula, ia merupakan Wajib al-Wujûd. Sebab, kami tidak mengartikan Wajib al-Wujûd kecuali yang menjadi ada dilihat dari esensi-Nya tanpa memandang semua realitas yang berada di luar esensi-Nya dan tanpa memperhatikan semua sudut pandang di luar hakikat- Nya, baik bersifat penafsiran maupun pembatasan, baik hakiki maupun sebutan saja, sebagai substansiasi dari predikat maujud. Hakikat eksistensi yang kami katakan pun demikian. Kami katakan bahwa, jika hakikat eksistensi tidak terwujud, maka sesuatu tidak terwujud sama sekali. Penjelasan ketakterpisahan ini adalah bahwa yang selain hakikat eksistensi bisa berupa mâliyah atau pun eksistensi yang dicampuri ketiadaan dan keterbatasan. Setiap mâhiyah bisa maujud dengan bantuan eksistensi, tidak bisa dengan sendirinya. Di dalam Eksistensi itu, bila bukan hakikat ek- sistensi, terdapat komposisi dari eksistensi sebagai eksis- tensi dan karakteristik yang lain. Setiap karakteristik selain eksistensi adalah ketiadaan ('ndam) atau bersifat nihilistik (“adamí). Segala sesuatu yang kompleks (murakkab) yang muncul setelah kesederhanaan (basîthi)-nya membutuhkan kesederhanaan itu. Ketiadaan 'adam) tidak memiliki pengaruh pada keberadaan sesuatu, sementara sifat ketiadaan (“adamı), tidak diragukan lagi, teguh di dalam eksistensi itu dan dinisbatkan padanya. Setiap konsep sesuatu dan atributnya, baik berupa mâhiyah maupun si- fat yang lain, baik bersifat penegasan maupun bersifat pe- negasian, merupakan cabang dari eksistensi sesuatu itu. Kami mengutip pembicaraan tentang eksistensi tersebut dan yang diasumsikan bahwa ia bukan hakikat eksistensi. Pembicaraan itu kembali menjadi pegangan atau berakhir pada suatu eksistensi murni yang tidak dicampuri sesuatu apa pun. Ini merupakan kesimpulan yang disebutkan penulis (qaddasallâlu sirrah) dalam risalah al--Arsyiyyah dengan sedikit perubahan. Oleh karena itu perhatikanlah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
4- 4. Kemurnian yang tidak dicampuri selain eksistensi berupa ketiadaan 'adam), keterbatasan (qushur), dan mâhiyah. Oleh karena itu, pahamilah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
5- 5. Penjelasan secara ringkas adalah bahwa eksistensi berdasarkan esensinya itu sendiri tidak berasal dari esensi-esensi yang bersifat substansi dan aksiden, serta tidak disifati sebagai mungkin dan esensinya sendiri dengan esensinya menentang ketiadaan. Penjelmaan entitas-entitas yang bersifat substansi dan aksiden karena keberadaannya di luar lingkup eksistensi merupakan dua aksiden dalam bentukyang khusus. Karena eksistensi luput dari penyifatan sebagai mâliyah maka ia menjadi wajib bagi esensinya tanpa memperhatikan realitas dan arah. Dengan sendirinya ia menuntut kemurnian dan menafikan keberlainan. Mengingat kemunculannya pada tingkatan- tingkatan ciptaan dan manifestasinya di dalam pikiran dan realitas, darinya muncul esensi-esensi. Dengan sendirinya ia menuntut bahwa ia menjadi tempat berhimpunnya nama-nama yang terindah (al-asma' al-husna) dan darinya tampak konsep-konsep dan entitas-entitas tak berubah (al-a'yân ats-tsâbitall). Dialah yang menampakkan segala sesuatu dan ia lebih tampak daripada segala sesuatu, karena kemunculan setiap sesuatu berasal darinya. Dari apa yang telah kami sebutkan, jelas bahwa yang Maha Benar lagi Yang Maha Awwal (al-Haqq al-Awwal) menurut akal lebih tampak dan lebih dikenal daripada hal yang mungkin. Akal menyaksikan Yang Maha Benar (al-Haqq) sebagai bukti atas segala sesuatu. Para pengkaji (al-Muhaqqiq) dari kalangan penganut tauhid melihat Yang Maha Benar (al- Haqq) sebagai saksi atas segala sesuatu. Dari eksistensi- Nya mereka berargumentasi atas nama-nama-Nya, dan dari nama-nama-Nya atas ciptaan-Nya, Yang Maha Benar (al-Haqq) tampak, tidak gaib, sementara alam itu gaib, tidak tampak, karena kemunculan itu berasal dari eksistensi. Setiap kali eksistensi itu telah sempurna, maka kemunculan dan manifestasinya pun lebih sempurna. Jika engkau melihat semua maujud secara keseluruhan dan secara rinci, maka engkau akan mendapati penyatuan itu menyertainya, tidak terpisah darinya. Benarlah bahwa, berdasarkan perbuatan dan kemunculan, Sang Pencipta adalah segala sesuatu itu sendiri. Diriwayatkan dari Imam Ali as, “Dia muncul di dalam kegaiban dan gaib di dalam kemunculan. Dia tampak lalu tersembunyi. Dia tersembunyi lalu tampak nyata.” Dari beliau juga diriwayatkan, “Kenalilah Allah dengan Allah.” Inilah ringkasan metodologi orang-orang terpercaya (shiddîqûn) berdasarkan burhan dan ‘irfân. Sebab, jika Zat-Nya diketahui dengan Zat-Nya tanpa memandang segala sesuatu yang ada diluar Zat-Nya, maka hal itu menjadi substansiasi (mishdag) bagi predikat maujud dan kebenaran atasnya. Kami mengartikan Wajib al-Wujûd hanya seperti itu. Oleh karena itu, perhatikanlah. (Mîrzâ Hasan Nûrî). Isyarat atas penjelasan ketakterpisahan dalam syarat yang kami sebutkan di dalam hâsyiyah (pinggiran kitab) dengan ucapan kami,“Jika hakikat eksistensi tidak terwujud, maka sesuatu tidak akan terwujud. Dengan memperhatikannya, hal itu akan tampak.” Oleh karena itu, perhatikanlah. (Mîrzâ Hasan Nûrî). 8. Karena dengan pandangan yang jeli dan penyingkapan yang jelas, maʻlül (akibat) tiada lain adalah salah satu fase keberadaan‘illah-nya yang bersifat emanasi. Eksistensi dan kemunculan menyatu dalam esensi. Setiap kali eksistensi itu lebih luas dan lebih kuat maka kemunculannya lebih sempurna. Hubungan eksistensi dengan Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal (al-Haqq al-Awwal) adalah dengan kemestian (wujûb) dan dengan mahiyât adalah dengan kemungkinan (imkân). Wujûb didahulukan atas imkân. Dengan demikian, al-Wujûd al-Wajib, karena kapasitas- Nya sebagai penopang segala sesuatu dan segala maʻlül, mengenal Zat-Nya dengan ilmu yang sederhana dengan perantaraan eksistensi 'illah-nya yang bersifat emanasi. Ilmu-Nya tentang Zat-Nya menjadi yang disebabkan (musabbab) dari ilmu-Nya dengan 'illah-nya. Ilmu ini bersifat fitrah, bukan sesuatu yang diusahakan. Di dalam tafsir Maulana Imam Hasan al-Askari as disebutkan bahwa Imam al-Shâdiq as ditanya tentang Allah. Beliau menjawab, "Wahai hamba Allah, apakah engkau pernah menumpang kapal?” Orang itu menjawab, "Tentu!” Beliau berkata, “Pernahkah kapal itu pecah, sementara tidak ada kapal lain yang menolongmu dan engkau sendiri tidak dapat berenang?" Ia menjawab, “Ya, pernah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ketika itu hatimu terpaut pada sesuatu yang mampu menyelamatkanmu dari kesulitanmu?'' Ia menjawab, “Benar." Beliau berkata, “Sesuatu itu adalah Allah yang mampu menyelamatkan ketika tidak ada sesuatu apa pun yang dapat me- nyelamatkan.” Hadis ini dinukil dari Tafsîr al-Shâfî karya Muhsin Qâsânî (Mîrzâ Hasan Nûrî). 10. Penjelasan tentang keraguan ini akan dikemukakan di bagian akhir buku ini. 11. Maksud ucapan “eksistensi segala sesuatu” adalah seperti yang diriwayatkan dari para Imam Maksum bahwa eksistensi segala sesuatu, dalam kapasitasnya sebagai eksistensi yang tidak hilang, berasal dari eksistensi Allah Swt dan tidak akan terpisah darinya. Diriwayatkan dari para Imam a.s., “Keluar dari segala sesuatu tidak seperti keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dan masuk ke dalam sesuatu tidak seperti masuknya sesuatu ke dalam sesuatu yang lain. Keluar dari sesuatu tidak dengan kehi- langan dan masuk ke dalam sesuatu tidak dengan per- campuran.” Diriwayatkan dari pemimpin kita, pemimpin di dunia dan akhirat (semoga jiwaku menjadi penebusnya), “Tauhid-Nya adalah pembedaan-Nya dari makhluk-Nya. Prinsip pembedaan itu adalah pemisahan sifat, bukan pe- misahan pengasingan.” Eksistensi segala sesuatu adalah eksistensi yang tidak terpisah dari eksistensi Allah. Bahkan, eksistensi Allah melingkupi dan mendominasinya. Segala sesuatu melingkupi sesuatu dan yang melingkupi segala yang melingkupi adalah Allah. Dan Allah mengepung me- reka dari be lakang mereka (QS al-Burûj 85: 20) seperti ca haya melingkupi kegelapan, asal meliputi keadaan-keadaan dan sudut-sudut pandang, dan esensi meliputi ma- nifestasi-manifestasi, sebagaimana beliau (quddisa sirrul) ingatkan dalam pembahasan yang akan datang. Maksud beliau bukanlah yang terlihat dari lahiriah ungkapan ini, basîthah al-laqîqah kullu asyyâ', dengan bentuk yang lebih tinggi, serta merupakan bukti atasnya dan penyingkapan tabir ketersembunyian dari wajahnya. Tidak lebih dari itu. Ketahuilah, maksud yang mulia ini adalah menjelaskan keesaan dan keMaha Mandirian Allah serta kesucian-Nya dari segala kekurangan yang merupakan ajaran penting da- lam agama dan wajib diyakini, baik secara umum maupun secara detail, bagi setiap mukallaf. Masing-masing harus meyakini hal ini menurut kadar kemampuannya. Oleh karena itu, kajilah dan bersikap teguhlah dalam masalah ini, karena hal itu dapat menggelincirkan kaki, dan salam adalah sebaik-baik penutup. (Mîrzâ Hasan Nûrî). 12. Syaikh dalam at-Ta‘lîqât, al-Isyârât, dan asy-Syifấ', telah menjelaskan bahwa eksistensi itu mutlak, tidak menjadi maʻlûl bagi mâliyah, karena ia sendiri bukan merupakan maujud. “Illah eksistensi adalah eksistensi, sebab mâhiyah adalah mâhiyah, dan sebab ketiadaan adalah ketiadaan. 13. Kalimat kekudusan ini telah diriwayatkan dari para ulama zaman dahulu. Yang mereka maksudkan bukanlah yang dipahami orang-orang bodoh. Inti maksud mereka tentang ungkapan ini (basíthah al-haqîqah kull asiyâ') adalah bahwa Zat Allah adalah tunggal dan tidak tersusun dari bagian- bagian. Tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari cakupan eksistensi kekuasaan, ilmu, dan kehendak-Nya. Kaidah ini sendiri sesuai dengan fir man-Nya: Dan Din-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya (QS al-An'âm 6: 18); Ingatlah balawa sesungguhnya Dia Maha Meliputi se- gala sesuatu (QS Fushshilat 41: 54). Dari seorang yang sempurna diriwayatkan, “Dia adalah yang tampak dan menampakkan.” Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Dia- lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin (QS al-Hadîd 57: 3). Diriwayatkan dari Imam Ali as, “Di dalam segala sesuatu bukan dengan percampuran dan di luar segala sesuatu bukan dengan pertentangan.” Maksud dari al-basîth (sederhana) dalam ungkapan mereka adalah eksistensi murni. Penjelasannya adalah bahwa, seandainya berdasarkan Zat-Nya, Dia bukan yang disifati dengan salah satu sifat kesempurnaan di mana Dia merupakan subtansiasi (mishdâq) bagi penega- sian kesempurnaan dan penegasan kesempurnaan yang lain, maka hal itu menyebabkan ketersusunan-Nya terdiri dari keberadaan dan kehilangan. Komposisi itu merupakan keharusan bagi esensi yang bersifat mungkin (al-imkân al-dzâti). Hakikat Allah harus bersifat wajib dengan esen- si-Nya dan tegak dengan hakikat-Nya. Karena Zat-Nya merupakan sumber segala kesempurnaan, maka setiap kesempurnaan mengalir dan memancar dari-Nya. Di sisi- Nya adalah khazanah segala sesuatu. Hal itu ditunjukkan dalam Kitab-Nya yang tidak didatangi kebatilan dari de- pan maupun dari belakangnya: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanalınya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu (QS al- Hijr 15: 21). Zat-Nya adalah ek sis tensi mur ni. Ke murnian sesuatu tidak berulang. Jika setiap sesuatu dipandang sem- purna, maka kemunculannya bukanlah sebagai sesuatu itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dalam ucapan seseorang, “Illiyyah (kesebaban) dan maʻlûliyyah (keakibatan) sebagai satu eksistensi yang muncul dalam dua bentuk.” Ringkasnya, hakikat eksistensi memiliki kemunculan dan ketersembunyian, serta awal dan akhir. Ia memiliki maqam ijmânil, qur'ân, keberhimpunan, penyucian, maqam perincian, pembedaan, dan keserupaan. Maqam ijmal, qur'an, dan keberhimpunan, dan penyuciannya adalah ke- benaran (luaqq), sementara maqam perincian, pembedaan, dan keserupaannya adalah khalq (penciptaan). Hakikat Allah dengan kapasitasnya Yang Mahalahir dengan Zat- Nya dan manifestasi (mazhhar) bagi selain-Nya, serta ilmu, kekuasaan, dan eksistensi-Nya yang meliputi segala sesuatu adalah kegaiban murni dan ketersembunyian mutlak. 14. Dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, halaman 11: “Guru Pertama (nl-Mu´allim al-Awwal) mengungkapkan al-wujûb al-dzât dengan diam dan al-wujûd bi al-gluair dengan gerakan. Keadaannya jelas.” 15. Di dalam buku-bukunya, pengarang telah menjelaskan otentisitas (ashâlal) eksistensi. Kami telah menyebutkan masalah ini dalam sebuah artikel yang kami tulis tentang al-masya'ir. 16. Setiap malnyah dan mahnyât, bila akal mengkajinya, akan mendapatinya luput dari eksistensi dan ketiadaan. Dalam perwujudannya sebagai entitas dan eksistensinya, ia membutuhkan realitas yang lain. Realitas yang lain itu, jika tidak terwujud menjadi entitas dengan esensinya, dihasilkan dalam batas dirinya. Ia pun membutuhkan selainnya sehingga terjadi rangkaian yang tidak terputus (tasalsul) atau berakhir pada sesuatu yang terwujud menjadi entitas dengan esensinya sendiri. Ini karena se- tiap sesuatu yang memiliki aksiden harus berakhir pada sesuatu yang memiliki esensi. Sesuatu yang terwujud menjadi entitas dengan sendirinya dan terwujud dengan esensinya adalah Eksistensi (al-Wujûd). Inilah yang di mak- sud dengan ucapannya “Karena ia merupakan sesuatu yang paling berhak mewujud menjadi entitas... dan seterusnya.” (Mîrzâ Hasan Nûrî). 17. Karena hal itu menuntut kebalikannya. (Mîrzâ Hasan Nûrî). 18. Seperti pengetahuan kita tentang diri kita dan kekuatannya. Prinsip-prinsip itu diketahui dengan pengetahuan- pengetahuannya. Sementara itu, Sang Pencipta Allah diketahui dengan maʻlûlît-Nya dalam tingkatan maʻlûlât. (Mîrzâ Hasan Nûrî). 19. Cakupan hakikat Eksistensi atas segala sesuatu dan bentangan cahaya al-Haqq atas mahnyât tidak seperti cakupan konsep-konsep dan esensi-esensi universal atas detail-detail khusus yang berada di alam materi (se- perti cakupan genus atas spesies-spesies dan spesies atas individu-individu). Penjelasannya adalah bahwa universalitas, keumuman, dan kemutlakan kadang-kadang terjadi di dalam konsep-konsep seperti penampakan setiap mahjah universal pada individu-individu di alam materi dan kadang-kadang pula terjadi pada eksistensi di alam materi. Cakupan hakikat Eksistensi atas esensi-esensi di alam materi merupakan aliran dan bentangannya pada esesni-esensi. Bentangan, cakupan, dan aliran ini muncul dari manifestasi ketunggalan dan kemunculan Yang Maha Benar (al-Haqq) pada cermin segala sesuatu dan ketersembunyian-Nya dalam segala sesuatu (dan itulah akhir penampakan yang jelas). Muncul dengan ketertabiran dan tersembunyi dengan penampakan pada celupan pewarnaan dalam setiap kemunculan. Segala sesuatu, dalam hubungannya dengan Allah, tak lain adalah cahaya-cahaya manifestasi Zat dan sifat keazalian-Nya. Kemutlakan, universalitas, dan keumuman dalam esensi-esensi muncul dari kelemahan dan keterbatasan serta kejauhannya dari eksistensi. Setiap kali kemutlakan, universalitas, dan keumuman itu lebih luas, maka ia lebih jauh dari penampakan entitas dan eksistensi. Sumber keuniversalan dan ketidak-jelasan tak lain adalah kejauhan dari eksistensi. Hal ini berbeda dari keuniversalan dan keumuman dalam eksistensi. Ia mun- cul dari kesempurnaan, keluasan, dan keserbameliputan. Para ‘urafâ' menamai al-Wujûd al-Munbasîth karena kemunculan dan aliran-Nya pada segala sesuatu me- rupakan ungkapan yang universal, umum, dan mutlak. Mereka menyebut eksistensi terbatas dengan kekhususan dan keterbatasan yang bersifat parsial. Pancaran umum dan rahmat yang luas ini tidak dapat ditunjukkan dan ditentukan dengan suatu ketentuan, karena ia merupakan jalinan dan hubungan murni. 20. Seperti aliran nafas manusia pada rangka-rangka huruf dan kata. Al-Wujûd al-Munbasîth ini adalah Sang Pencipta. Ia merupakan perbuatan Allah yang mutlak. Oleh karena itu, dalam bahasa para ‘urafâ', ia dinamai nafas Rahumanî karena keserupaannya dengan nafas manusia dalam ben- tangan dan alirannya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
6- 6.Sebab, jika Zat-Nya diketahui dengan Zat-Nya tanpa memandang segala sesuatu yang ada diluar Zat-Nya, maka hal itu menjadi substansiasi (mishdag) bagi predikat maujud dan kebenaran atasnya. Kami mengartikan Wajib al-Wujûd hanya seperti itu. Oleh karena itu, perhatikanlah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
7- 7.Isyarat atas penjelasan ketakterpisahan dalam syarat yang kami sebutkan di dalam hâsyiyah (pinggiran kitab) dengan ucapan kami,“Jika hakikat eksistensi tidak terwujud, maka sesuatu tidak akan terwujud. Dengan memperhatikannya, hal itu akan tampak.” Oleh karena itu, perhatikanlah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

bukanlah hakikat eksistensi itu sendiri. Dari situ ditegaskan titik pangkal (al-mabda') tertinggi dan tujuan paling puncak.

Yang benar adalah bahwa Eksistensi al-Wajib merupakan perkara yang bersifat fitrah (1)yang tidak membutuhkan penjelasan. Seorang hamba, ketika jatuh ke dalam ketakutan dan keadaan-keadaan sulit, bertawakal kepada Allah dan menghadap secara naluriah kepada Penyebab segala sebab dan Pemberi kemudahan dalam perkara-perkara yang sulit, sekalipun ia tidak memahaminya. Oleh karena itu, engkau lihat kebanyakan orang arif (ʻurafî')— dalam membuktikan Eksistensi-Nya dan pengaturan-Nya atas makhluk-makhluk- berargumentasi dengan keadaan yang dapat disaksikan ketika seseorang jatuh ke dalam perkara-perkara yang menakutkan,(2) seperti tenggelam dan kebakaran. Di dalam kalam Ilahi pun ada isyarat tentang hal ini. Betapa sesat kaum ad-Dahriyyah, ath-Thuibâʻiyyah, al-Bukhtiyyah, dan teman-teman Setan yang menyerupai para ulama, yang mendustakan para Nabi Allah, dan mengatakan bahwa alam ini bersifat qadîm atau dahulu (qadîmı) dan pendapat ini tidak bernilai. Tempat mereka adalah Neraka Jahim dan balasan bagi mereka adalah jauhnya mereka dari kenikmatan.

Penjelasan Rasional Ketahuilah bahwa “ke-itu-an" (inniyyah),(3) esensi (mâliyah), dan eksistensi (wujúd) Allah Swt adalah eksistensi segala sesuatu,(4) dan eksistensi-Nya adalah hakikat eksistensi itu sendiri tanpa campuran dan tidak berbilang. Ini karena setiap esensi menghadapi eksistensi. Oleh karena itu, penyebutannya

p: 21


1- 8. Karena dengan pandangan yang jeli dan penyingkapan yang jelas, maʻlül (akibat) tiada lain adalah salah satu fase keberadaan‘illah-nya yang bersifat emanasi. Eksistensi dan kemunculan menyatu dalam esensi. Setiap kali eksistensi itu lebih luas dan lebih kuat maka kemunculannya lebih sempurna. Hubungan eksistensi dengan Yang Maha Benar lagi Yang Maha Awal (al-Haqq al-Awwal) adalah dengan kemestian (wujûb) dan dengan mahiyât adalah dengan kemungkinan (imkân). Wujûb didahulukan atas imkân. Dengan demikian, al-Wujûd al-Wajib, karena kapasitas- Nya sebagai penopang segala sesuatu dan segala maʻlül, mengenal Zat-Nya dengan ilmu yang sederhana dengan perantaraan eksistensi 'illah-nya yang bersifat emanasi. Ilmu-Nya tentang Zat-Nya menjadi yang disebabkan (musabbab) dari ilmu-Nya dengan 'illah-nya. Ilmu ini bersifat fitrah, bukan sesuatu yang diusahakan.
2- 9.Di dalam tafsir Maulana Imam Hasan al-Askari as disebutkan bahwa Imam al-Shâdiq as ditanya tentang Allah. Beliau menjawab, "Wahai hamba Allah, apakah engkau pernah menumpang kapal?” Orang itu menjawab, "Tentu!” Beliau berkata, “Pernahkah kapal itu pecah, sementara tidak ada kapal lain yang menolongmu dan engkau sendiri tidak dapat berenang?" Ia menjawab, “Ya, pernah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ketika itu hatimu terpaut pada sesuatu yang mampu menyelamatkanmu dari kesulitanmu?'' Ia menjawab, “Benar." Beliau berkata, “Sesuatu itu adalah Allah yang mampu menyelamatkan ketika tidak ada sesuatu apa pun yang dapat me- nyelamatkan.” Hadis ini dinukil dari Tafsîr al-Shâfî karya Muhsin Qâsânî (Mîrzâ Hasan Nûrî).
3- 10. Penjelasan tentang keraguan ini akan dikemukakan di bagian akhir buku ini.
4- 11. Maksud ucapan “eksistensi segala sesuatu” adalah seperti yang diriwayatkan dari para Imam Maksum bahwa eksistensi segala sesuatu, dalam kapasitasnya sebagai eksistensi yang tidak hilang, berasal dari eksistensi Allah Swt dan tidak akan terpisah darinya. Diriwayatkan dari para Imam a.s., “Keluar dari segala sesuatu tidak seperti keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dan masuk ke dalam sesuatu tidak seperti masuknya sesuatu ke dalam sesuatu yang lain. Keluar dari sesuatu tidak dengan kehi- langan dan masuk ke dalam sesuatu tidak dengan per- campuran.” Diriwayatkan dari pemimpin kita, pemimpin di dunia dan akhirat (semoga jiwaku menjadi penebusnya), “Tauhid-Nya adalah pembedaan-Nya dari makhluk-Nya. Prinsip pembedaan itu adalah pemisahan sifat, bukan pe- misahan pengasingan.” Eksistensi segala sesuatu adalah eksistensi yang tidak terpisah dari eksistensi Allah. Bahkan, eksistensi Allah melingkupi dan mendominasinya. Segala sesuatu melingkupi sesuatu dan yang melingkupi segala yang melingkupi adalah Allah. Dan Allah mengepung me- reka dari be lakang mereka (QS al-Burûj 85: 20) seperti ca haya melingkupi kegelapan, asal meliputi keadaan-keadaan dan sudut-sudut pandang, dan esensi meliputi ma- nifestasi-manifestasi, sebagaimana beliau (quddisa sirrul) ingatkan dalam pembahasan yang akan datang. Maksud beliau bukanlah yang terlihat dari lahiriah ungkapan ini, basîthah al-laqîqah kullu asyyâ', dengan bentuk yang lebih tinggi, serta merupakan bukti atasnya dan penyingkapan tabir ketersembunyian dari wajahnya. Tidak lebih dari itu. Ketahuilah, maksud yang mulia ini adalah menjelaskan keesaan dan keMaha Mandirian Allah serta kesucian-Nya dari segala kekurangan yang merupakan ajaran penting da- lam agama dan wajib diyakini, baik secara umum maupun secara detail, bagi setiap mukallaf. Masing-masing harus meyakini hal ini menurut kadar kemampuannya. Oleh karena itu, kajilah dan bersikap teguhlah dalam masalah ini, karena hal itu dapat menggelincirkan kaki, dan salam adalah sebaik-baik penutup. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

sebagai eksistensi dan esensinya sebagai subtansiasi bagi ditentukannya hukum atasnya membutuhkan pembuat yang menjadikannya dan sesuatu yang menegaskan tercegahnya pengaruh sesuatu yang lain dalam eksistensinya dalam hal bahwa sebab ('illah) harus merupakan pendahuluan bagi akibat (maʻlül) dalam eksistensinya. Didahulukannya esensi atas eksistensinya dengan eksistensil(1) tidaklah masuk akal. Oleh karena itu, Eksistensi Allah Swt adalah Esensi-Nya, dan Esensi- Nya adalah Eksistensi-Nya juga. Sebab, bila tidak, eksistensi(2) setiap benda bukanlah esensi sederhana (basíth) dan bukan eksistensi murni, melainkan sebuah eksistensi bagi sebagian benda. Maka, sudah pasti benda itu tersusun dari ketiadaan (“adam) dan percampuran antara wujud yang mungkin (yang eksistensinya bergantung pada eksistensi lainnya) dan wujud yang mesti (yang eksistensinya tidak bergantung pada eksistensi lainnya), dan hal itu mustahil terjadi.

Eksistensi-Nya adalah eksistensi semua maujud karena Dia adalah hakikat murni dari eksistensi, yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar, melainkan ia mencatatnya (QS al-Kahfi 18: 49). Dia-lah asal-usul dan hakikat dalam segala maujud, dan yang selain-Nya adalah keadaan dan sudut pandangnya. Dia-lah Zat dan yang selain-Nya adalah nama- nama, manifestasi-Nya (tajallî dan mazhhar). Dia-lah Cahaya (nûr) dan yang selain-Nya adalah bayangan dan biasnya. Dia- lah Yang Maha Benar (al-Haqq) dan yang selain Wajah-Nya yang mulia adalah batil. Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah- Nya (QS al-Qashash 28: 88); Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan kebenaran (QS al-Ahqaf 46: 3). Oleh karena itu, eksistensi hakiki adalah

p: 22


1- 12. Syaikh dalam at-Ta‘lîqât, al-Isyârât, dan asy-Syifấ', telah menjelaskan bahwa eksistensi itu mutlak, tidak menjadi maʻlûl bagi mâliyah, karena ia sendiri bukan merupakan maujud. “Illah eksistensi adalah eksistensi, sebab mâhiyah adalah mâhiyah, dan sebab ketiadaan adalah ketiadaan.
2- 13. Kalimat kekudusan ini telah diriwayatkan dari para ulama zaman dahulu. Yang mereka maksudkan bukanlah yang dipahami orang-orang bodoh. Inti maksud mereka tentang ungkapan ini (basíthah al-haqîqah kull asiyâ') adalah bahwa Zat Allah adalah tunggal dan tidak tersusun dari bagian- bagian. Tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari cakupan eksistensi kekuasaan, ilmu, dan kehendak-Nya. Kaidah ini sendiri sesuai dengan fir man-Nya: Dan Din-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya (QS al-An'âm 6: 18); Ingatlah balawa sesungguhnya Dia Maha Meliputi se- gala sesuatu (QS Fushshilat 41: 54). Dari seorang yang sempurna diriwayatkan, “Dia adalah yang tampak dan menampakkan.” Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Dia- lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir dan Yang Maha Batin (QS al-Hadîd 57: 3). Diriwayatkan dari Imam Ali as, “Di dalam segala sesuatu bukan dengan percampuran dan di luar segala sesuatu bukan dengan pertentangan.” Maksud dari al-basîth (sederhana) dalam ungkapan mereka adalah eksistensi murni. Penjelasannya adalah bahwa, seandainya berdasarkan Zat-Nya, Dia bukan yang disifati dengan salah satu sifat kesempurnaan di mana Dia merupakan subtansiasi (mishdâq) bagi penega- sian kesempurnaan dan penegasan kesempurnaan yang lain, maka hal itu menyebabkan ketersusunan-Nya terdiri dari keberadaan dan kehilangan. Komposisi itu merupakan keharusan bagi esensi yang bersifat mungkin (al-imkân al-dzâti). Hakikat Allah harus bersifat wajib dengan esen- si-Nya dan tegak dengan hakikat-Nya. Karena Zat-Nya merupakan sumber segala kesempurnaan, maka setiap kesempurnaan mengalir dan memancar dari-Nya. Di sisi- Nya adalah khazanah segala sesuatu. Hal itu ditunjukkan dalam Kitab-Nya yang tidak didatangi kebatilan dari de- pan maupun dari belakangnya: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanalınya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu (QS al- Hijr 15: 21). Zat-Nya adalah ek sis tensi mur ni. Ke murnian sesuatu tidak berulang. Jika setiap sesuatu dipandang sem- purna, maka kemunculannya bukanlah sebagai sesuatu itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dalam ucapan seseorang, “Illiyyah (kesebaban) dan maʻlûliyyah (keakibatan) sebagai satu eksistensi yang muncul dalam dua bentuk.” Ringkasnya, hakikat eksistensi memiliki kemunculan dan ketersembunyian, serta awal dan akhir. Ia memiliki maqam ijmânil, qur'ân, keberhimpunan, penyucian, maqam perincian, pembedaan, dan keserupaan. Maqam ijmal, qur'an, dan keberhimpunan, dan penyuciannya adalah ke- benaran (luaqq), sementara maqam perincian, pembedaan, dan keserupaannya adalah khalq (penciptaan). Hakikat Allah dengan kapasitasnya Yang Mahalahir dengan Zat- Nya dan manifestasi (mazhhar) bagi selain-Nya, serta ilmu, kekuasaan, dan eksistensi-Nya yang meliputi segala sesuatu adalah kegaiban murni dan ketersembunyian mutlak.

eksistensi mesti yang disebut Wujûb al-Wujûd. Sementara itu, eksistensi selain-Nya adalah eksistensi metaforis yang disebut “eksistensi karena yang lain.” Kadang-kadang keduanya diungkapkan dengan diam (sukûn)(1) dan gerak (luarakalı).

Berbeda halnya dengan eksistensi yang wajib, karena ia adalah maujud dengan segala ungkapan dalam semua tingkatan.

Seakan-akan ia menetap dalam apa yang semestinya. Lalu, dari keadaan itu, muncullah pengertian eksistensi (wujûd) dan ketiadaan ('ndam).

Catatan Janganlah engkau mengira bahwa eksistensi (al-wujûd) hanya- lah soal penyebutan saja (i'tibârí), seperti dugaan orang-orang yang terhijab dari menyaksikannya. Akan tetapi, ia adalah perkara yang teraktualisasi di dalam esensi (aʻyân), karena ia adalah sesuatu(2) yang paling pantas untuk teraktualisasi.(3) Ini karena yang selainnya bisa teraktualisasi dengannya dan ada di dalam substansi atau di dalam pikiran. Dengannya segala sesuatu yang hakiki memperoleh hakikatnya. Bagaimana ia bisa menjadi perkara yang tidak dapat didefinisikan? Padahal, ia sederhana (basîth) dan tidak ada sesuatu yang lebih dapat didefinisikan darinya, tetapi ia tidak mungkin (4)digambarkan, karena penggambaran sesuatu menunjukkan diperolehnya pengertian dan perpindahannya dari batasan esensi menuju batasan pikiran. Hal ini berlaku pada selain eksistensi. Adapun dalam hal eksistensi, hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan penyaksian (musyâhadah)(5) dan penglihatan ('iyân)(6) yang jelas tanpa definisi dan keterangan.

p: 23


1- 14. Dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, halaman 11: “Guru Pertama (nl-Mu´allim al-Awwal) mengungkapkan al-wujûb al-dzât dengan diam dan al-wujûd bi al-gluair dengan gerakan. Keadaannya jelas.”
2- 15. Di dalam buku-bukunya, pengarang telah menjelaskan otentisitas (ashâlal) eksistensi. Kami telah menyebutkan masalah ini dalam sebuah artikel yang kami tulis tentang al-masya'ir.
3- 16. Setiap malnyah dan mahnyât, bila akal mengkajinya, akan mendapatinya luput dari eksistensi dan ketiadaan. Dalam perwujudannya sebagai entitas dan eksistensinya, ia membutuhkan realitas yang lain. Realitas yang lain itu, jika tidak terwujud menjadi entitas dengan esensinya, dihasilkan dalam batas dirinya. Ia pun membutuhkan selainnya sehingga terjadi rangkaian yang tidak terputus (tasalsul) atau berakhir pada sesuatu yang terwujud menjadi entitas dengan esensinya sendiri. Ini karena se- tiap sesuatu yang memiliki aksiden harus berakhir pada sesuatu yang memiliki esensi. Sesuatu yang terwujud menjadi entitas dengan sendirinya dan terwujud dengan esensinya adalah Eksistensi (al-Wujûd). Inilah yang di mak- sud dengan ucapannya “Karena ia merupakan sesuatu yang paling berhak mewujud menjadi entitas... dan seterusnya.” (Mîrzâ Hasan Nûrî).
4- 17. Karena hal itu menuntut kebalikannya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
5- 18. Seperti pengetahuan kita tentang diri kita dan kekuatannya. Prinsip-prinsip itu diketahui dengan pengetahuan- pengetahuannya. Sementara itu, Sang Pencipta Allah diketahui dengan maʻlûlît-Nya dalam tingkatan maʻlûlât. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
6- 19. Cakupan hakikat Eksistensi atas segala sesuatu dan bentangan cahaya al-Haqq atas mahnyât tidak seperti cakupan konsep-konsep dan esensi-esensi universal atas detail-detail khusus yang berada di alam materi (se- perti cakupan genus atas spesies-spesies dan spesies atas individu-individu). Penjelasannya adalah bahwa universalitas, keumuman, dan kemutlakan kadang-kadang terjadi di dalam konsep-konsep seperti penampakan setiap mahjah universal pada individu-individu di alam materi dan kadang-kadang pula terjadi pada eksistensi di alam materi. Cakupan hakikat Eksistensi atas esensi-esensi di alam materi merupakan aliran dan bentangannya pada esesni-esensi. Bentangan, cakupan, dan aliran ini muncul dari manifestasi ketunggalan dan kemunculan Yang Maha Benar (al-Haqq) pada cermin segala sesuatu dan ketersembunyian-Nya dalam segala sesuatu (dan itulah akhir penampakan yang jelas). Muncul dengan ketertabiran dan tersembunyi dengan penampakan pada celupan pewarnaan dalam setiap kemunculan. Segala sesuatu, dalam hubungannya dengan Allah, tak lain adalah cahaya-cahaya manifestasi Zat dan sifat keazalian-Nya. Kemutlakan, universalitas, dan keumuman dalam esensi-esensi muncul dari kelemahan dan keterbatasan serta kejauhannya dari eksistensi. Setiap kali kemutlakan, universalitas, dan keumuman itu lebih luas, maka ia lebih jauh dari penampakan entitas dan eksistensi. Sumber keuniversalan dan ketidak-jelasan tak lain adalah kejauhan dari eksistensi. Hal ini berbeda dari keuniversalan dan keumuman dalam eksistensi. Ia mun- cul dari kesempurnaan, keluasan, dan keserbameliputan. Para ‘urafâ' menamai al-Wujûd al-Munbasîth karena kemunculan dan aliran-Nya pada segala sesuatu me- rupakan ungkapan yang universal, umum, dan mutlak. Mereka menyebut eksistensi terbatas dengan kekhususan dan keterbatasan yang bersifat parsial. Pancaran umum dan rahmat yang luas ini tidak dapat ditunjukkan dan ditentukan dengan suatu ketentuan, karena ia merupakan jalinan dan hubungan murni.

Ketahuilah, mencakupnya eksistensi pada segala sesuatu tidak seperti mencakupnya hal yang universal (al-kullí) pada yang parsial (al-juz'í), melainkan ketercakupan dalam hal penyebaran dan pengaliranạ(1) pada struktur esensi, pengaliran konseptualisasi yang tidak diketahui. Pada esensinya, ia bukan substansi (jawhar) dan bukan pula aksiden (ʻaradh), karena masing-masing merupakan nama dari esensi universal. Telah ditegaskan bahwa eksistensi teraktualisasi dengan dirinya sendiri dan diperoleh dengan esensinya. Sekiranya ia berada di bawah substansi yang merupakan pengertian jenis atau berada di bawah pengertian jenis dari aksiden-aksiden, tentu ia membutuhkan sesuatu yang menghasilkan eksistensi, seperti pemisahan dan apa yang berlaku padanya berupa hal-hal lain yang menghasilkan eksistensi. Dengan demikian, eksistensi bukan lagi sebuah eksistensi, dan ini keliru. Oleh karena itu, perhatikanlah apa yang telah kami kemukakan. Engkau harus mengkajinya secara mendalam, karena memperhatikan kebenaran merupakan hal yang semestinya.

p: 24


1- 20. Seperti aliran nafas manusia pada rangka-rangka huruf dan kata. Al-Wujûd al-Munbasîth ini adalah Sang Pencipta. Ia merupakan perbuatan Allah yang mutlak. Oleh karena itu, dalam bahasa para ‘urafâ', ia dinamai nafas Rahumanî karena keserupaannya dengan nafas manusia dalam ben- tangan dan alirannya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

MANIFESTASI 3

Mengesakan Allah dalam.....

Mengesakan Allah dalam Kemestian Wujud Allah berfirman: Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa.

Tidak ada Tuhan selain Dia (QS al-Baqarah 2: 163). Tuhan alam semesta adalah Maha Esa; tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan (al-ilâhiyyalı)-Nya. Bukti-buktinya sangat banyak.

Di antara bukti-bukti itu adalah pandangan tentang kesatuan alam bahwa alam ini seluruhnya adalah satu, yang disebut kesatuan alamiah. Beberapa bagiannya lebih mulia dan lebih tinggi daripada sebagian yang lainnya. Seluruhnya adalah satu hewan yang berpikir (hayawân nâthiq) yang dinamai manusia. Alam fisik adalah badan dan lahiriahnya, sementara alam arwah adalah ruh dan batinnya. Seluruhnya tersusun dalam satu perilaku.(1)Jika alam ini satu, maka Tuhan alam dan penciptanya pun adalah satu. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan-Nya, sebagaimana tidak ada sekutu bagi- Nya dalam Zat-Nya. Allah berfirman: Apakah ada keragu-raguan tentang Allah, Pencipta langit dan bumi? (QS İbrâhîm 14: 10).

Juga: Dan sekali-kali tidak ada tuhan lain beserta-Nya. Kalau tuhan lain beserta-Nya, maka masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Dia yang mengetahui semua yang gaib dan

p: 25


1- 1. Para pengkaji telah cukup menjelaskan bagaimana keselarasan antara alam ini, yang dinamai manusia besar atau makrokosmos (al-insan al-kabîr) dan individu manusia yang dinamai manusia kecil atau mikrokosmos (al-insân al-shaghîr) dalam buku-buku catatan perjalanan ruhani mereka. Ringkasnya, sebagaimana setiap satu bagian dari individu manusia berkaitan dengan yang lain dengan jalinan yang alamiah dan berhubungan dengan yang lain dengan hubungan yang bersifat alami, keberadaan satu bagian darinya tidak mungkin dan tidak dapat dipikirkan serta tidak ada hasilnya, dan tidak mencapai kesempurnaan dan tujuan penciptaannya, kecuali dengan bagian yang lain. Kemajemukan bagian-bagiannya dan pertentangan organ-organnya tidak merusak kesatuan individualnya dan kepribadian alamiahnya. Demikian pula, esensinya di alam ini, seperti sandal dengan sandal. Jika kesatuan individual itu telah terjadi di dunia dan “Manusia besar” ini, maka penyandarannya tercegah kecuali pada Pencipta Yang Maha Tunggal. Sebagaimana telah ditegaskan bahwa tercegahnya penyandaran satu ma‘lül individual pada dua ‘illah (sebab) bebas karena tuntutannya, entah tak dapat dibantah atau keberadaan kedua 'illah itu tidak berfungsi, semuanya itu mustahil dan batil. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

semua yang tampak. Maka Dia Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan (QS al-Mu'minûn 23: 91-92).

Masalah ini memiliki cara lain, yakni bahwa perwujudan maʻlül menjadi entitas adalah dengan perwujudan penciptanya(1) menjadi entitas yang melimpahi eksistensinya. Sebab, eksisten- si dalam setiap sesuatu adalah perwujudan menjadi entitas itu sendiri dan perwujudannya menjadi entitas adalah eksisten- sinya itu sendiri. Pemberi eksistensinya adalah juga pemberi perwujudannya menjadi entitas. Sebagaimana setiap sesuatu tidak memiliki dua eksistensi dan penampakan, demikian pula ia tidak memiliki dua pemberi eksistensi dan perwujud- an menjadi entitas, karena bentuk eksistensi dan perwujudan menjadi entitas saling bertentangan, dan penyifatan dengan salah satu dari keduanya menuntut dinafikannya penyifatan dengan yang lain. Demikian pula halnya dalam penyifatan asal eksistensi dan personifikasinya. Jika diasumsikan bahwa suatu benda memiliki dua eksistensi, maka keduanya saling meng- hancurkan sehingga tidak satu pun yang dapat mengungguli yang lain. Penjelasan ini adalah makna firman Allah: Sekiranya di langit dan bumi ada beberapa tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak binasa (QS al-Anbiyâ' 21: 22).(2) Tidak ada arti nya apa yang disangkakan sebagian dari mereka tentang terjadinya kesukariaan dan pertengkaran di antara dua tuhan yang di- asumsikan, karena kalimat itu adalah kalimat retoris – bahkan puitis –yang dalam Al-Qur'an diungkapkan sebagai contoh da ri ke ku rangan ini. Hal itu ditegaskan dengan firman-Nya:

Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya(3) sehingga kedua ciptaan itu serupa

p: 26


1- 2.Rahasia keberadaan perwujudan ma‘lûl menjadi entitas adalah dengan perwujudan 'illah aktifnya, yakni keberadaan eksistensi maʻlûl dalam kapasitas sebagai maʻlûl yang tidak bertolak belakang dengan 'illah-nya dan bersatu dengannya, sebagai satu aspek dari kesatuan yang dikenal oleh ahlinya. Maulana pemimpin di dunia dan akhirat a.s. berkata, “Penyatuannya adalah pembedaannya dari makhluk-Nya dan ketentuan pembedaan itu adalah pemisahan sifat, bukan pemisahan keterasingan.” (Mîrzâ Hasan Nûrî).
2- 3. Maksud ungkapan ini adalah bahwa, bila di langit dan bumi ada beberapa tuhan selain Allah, tentu keduanya memiliki dua eksistensi dan dua perwujudan entitas. Kalau keduanya memiliki dua eksistensi, tentu keduanya akan binasa. Adapun ketakterpisahan pertama adalah karena perwujudan ma'lûl menjadi entitas dengan perwujudan illah-nya. Sementara itu, ketakterpisahan kedua adalah karena aspek-aspek eksistensi dan perwujudan entitas saling bertolak belakang. Penyifatan masing-masing da- ri langit dan bumi menuntut dinafikannya penyifatan dengan yang lain sehingga keduanya binasa. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
3- 4. Kemungkinan, aspek penegasan itu adalah firman Allah Swt: Mereka men ciptakan seperti ciptaan-Nya. Dia tidak mengatakan “mereka menciptakan ciptaan-Nya'. Isyarat tentang hal itu sangat kuat, yakni bahwa satu ciptaan tidak bisa dibayangkan berasal dari dua pencipta dan satu maʻlül tidak bersandar pada dua 'illah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

menurut pandangan mereka? Katakanlah, “Allah adalah Pencipta se- gala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa (QS al-Ra'd 13: 16).

Ringkasan ihwal Wahidiyyah dan Ahadiyyah Allah(1) Ketahuilah, ayat-ayat Al-Qur'anyang memuat tentang pengesa- an-Nya banyak sekali. Di antaranya adalah ayat-ayat berikut ini: Janganlah engkau sembah, di samping Allah, tuhan apa pun yang lain. Tidak ada tuhan selain Dia (QS al-Qashash 28:88); Katakanlah, “Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa...'' (QS al-Anbiyâ' 21: 108); Ja nganlah kalian menyembah dua tuhan. Sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa,... (QS al-Nahl 16: 51).

Adapun argumentasi rasional(2) atas wahdaniyyah-Nya adalah juga Zat-Nya. Engkau tahu bahwa Dia adalah hakikat dan eksistensi murni. Sementara itu, hakikat eksistensi meru- pakan realitas sederhana, tidak memiliki mahiyyah dan keterpi- sahan (fashl), serta di dalamnya tidak ada komposisi (tarkib) sama sekali. Oleh karena itu, jelaslah bahwa Dia adalah Yang Maha Esa lagi Maha Mandiri. Setiap Yang Maha Esa (Ahad) dan Maha Mandiri (ash-Shamad) adalah Dia Yang Maha Tunggal serta tidak ada sekutu dan keberbilangan bagi-Nya.

Di antara bukti-bukti yang menunjukkan waldâniyyah dan ahadiy yah adalah firman Allah: Katakanlah, “Din-lah Allah Yang Maha Esa. Allah Yang Maha Mandiri.” (QS al-Ikhlâsh 112: 1). Ini merupakan dalil bah wa Dia adalah Zat yang Esa.

Sebab, bila Dia memiliki bagian, tentu Dia membutuhkan bagian lainnya sehingga Dia tidak menjadi Yang Maha Kaya.

p: 27


1- 5. Perbedaan antara ahad danwâlid adalah bahwa ahad adalah dzât itu sendiri tanpa dipandang adanya kemajemukan di dalamnya, yakni hakikat murni yang tidak dipandang berisi nama, sifat, dan penampakan entitas. Bahkan, ia merupakan eksistensi murni tanpa syarat apa pun, ka- rena syarat merupakan sumber keberlainan, perbedaan, maupun kemajemukan. Ucapan kami“Ia adalah eksistensi” semata-mata untuk memberikan pemahaman, sebagaimana kata pemimpin ahli tauhid, Imam Ali as, “Kesempurnaan tauhid adalah menafikan sifat-sifat dari-Nya.” Ringkasnya, alad adalah hakikat murni yang merupakan sumber al-kâfûrî, bahkan al-Kâfûrî itu sendiri, yakni Eksistensi Mutlak tanpa syarat apa pun. Hakikat al- Wujûd adalah kebenaran (haqq]; al-Muthlag adalah perbuat- an-Nya, dan al-Muqayyad adalah pengaruh-Nya.” Wâlid adalah dzât dengan kemungkinan adanya kemajemukan nama, sifat, dan penampakan ciptaan. Perbedaan antara wahid dan ahad hanya dalam sebutan saja, karena kemajemukan yang bersifat sebutan saja tidak merusak kesatuan murni yang hakiki. Bahkan kehadiran wâhuidiyyah merupakan kehadiran ahadiyyah itu sendiri. Firman Allah Swt: Katakanlah, “Dia-lah Allah Yang Maha Esa (alund).” Adalah pembicaraan yang bersifat perintah dari dzât yang serba meliputi. Kesatuan esensi (al-ahadiyyah al-dzâtiyyah) terdapat dalam penampakan rincian. Ia datang dari nama-nama Dzât Allâh merupakan isyarat pada kehadiran Wâlidiyyah. Karena terdapat perbedaan antara ahadiyyah dan wâhidiyyah secara penyebutan, Dia berfirman: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah Yang Maha Mandiri. Al-Shamad (Yang Maha Mandiri) adalah Allah, karena nama Allah merupakan nama bagi Dzât mengingat keberadaannya mencakup seluruh kesempurnaan nama- nama dansifat-sifat. Ash-Shamadjuga merupakandzât dalam Kehadiran Wâlidiyyah mengingat kebergantungan semua eksistensi yang bersifat mungkin kepadanya. Mengingat kemencakupannya pada nama-nama yang agung (nl-asma al-husna), ia merupakan sandaran segala sesuatu. Karena ke-Maha Mandiri-an mutlak tidak terpisahkan dari kemur- nian eksistensi dan tidak menerima kemajemukan dan keberbilangan, karena di dalam eksistensi tidak ada sesuatu kecuali ia ada di dalam kemurnian eksistensi dan kemurnian sesuatu tanpa terkecuali — maka Allah berfirman: Tiada sesuatu pun yang se banding dengan-Nya. Eksistensi mesti (Wujûb al-Wujûd) menuntut kemurnian. Kemurnian tidak terpisahkan dari kesatuan. Setiap kema- jemukan datang belakangan dari esensi murni.
2- 6. Penyempurnaan bukti ini dan yang sesudahnya berdasarkan realitas eksistensi dan keberadaannya sebagai pemilik hakikat realitas telah dijelaskan. Dia adalah Yang Maha Benar (al-Haqq) yang tidak didatangi kebatilan. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

Jika hal seperti itu (yakni, membutuhkan yang lain) masih dipandang sebagai Yang Maha Kaya, maka yang demikian itu keliru. Dia disebut sebagai Yang Maha Kaya karena sifat Maha Kaya mengharuskan Allah Maha Mandiri. Yang Maha Mandiri (ash-Shamad) adalah Yang Maha Kaya, yang dibutuh- kan oleh segala sesuatu. Kalau Dia Maha Esa, tentu Dia juga Maha Tunggal dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebab, bila Dia memiliki sekutu dalam Zat-Nya, tentu Dia merupakan kom- posisi dari bagian-bagian yang berbeda dan bagian-bagian itu bersekutu dengan-Nya sehingga Dia menjadi sebuah kompo- sisi. Kalau Dia memiliki sekutu dalam kerajaan-Nya, tentu Dia bukanlah Yang Maha Kaya, yang dibutuhkan oleh selain-Nya.

Dengan demikian, shamadiyyah-Nya adalah bukti dari ahadiy- yah-Nya, dan ahadiyyah-Nya adalah bukti dari fardâniyyah (ke- tunggalan)-Nya.

Bukti Rasional Ketahuilah bahwa, dalam setiap “dua," ke-"dua"-annya bisa dari aspek zat dan hakikat, seperti warna hitam dan gerakan; dari aspek bagian hakikat di alam materi, seperti manusia dan kuda, atau di dalam pikiran, seperti warna hitam pekat dan warna hitam muda; atau disebabkan perkara tambahan berupa aksiden, seperti penulis, orang buta huruf, dan sesuatu lainnya dariaspekyang tidakdikonsepsikan ini sebagaisumber muncul- nya keberbilangan yang mesti. Aspek pertama adalah karena kesatuan hakikat wujud; aspek kedua adalah karena ketung- galannya; aspek ketiga adalah karena kesempurnaan zat yang wajib ada, dan keberadaan maʻlûl setiap yang kurang dibatasi

p: 28

oleh sesuatu yang lain; dan aspek keempat adalah karena ke- mustahilan adanya yang mesti didahului oleh sesuatu yang spesifik di alam materi. Bahkan, setiap hal yang diasumsikan sebagai bersifat spesifik berupa kuantitas (kam), kualitas (kaif), dan sebagainya harus merupakan sesuatu yang ditentukan oleh esensinya. Oleh karena itu, esensi atau Zat-Nya menjadi bukti bagi wahdaniyyah-Nya. Hal itu karena Allah adalah al- Haqq dan bahwa apa yang kalian seru selain-Nya adalah batil.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Verifikasi 'Arsyî tentang keesaan Sifat-sifat Kesempurnaan-Nya(1) Ketahuilah, sifat-sifat(2) Allah adalah abstrak, bukan aksiden pada esensi-Nya. Setiap sifat dari-Nya adalah benar (haqq), mandiri (shamad), dan tunggal (fard). Dalam diri-Nya, semua kesempurnaan-Nya harus menghasilkan perbuatan. Tidak ada satu pun dari sifat-sifat-Nya yang tersembunyi di dalam potensi dan kemungkinan. Sebagaimana wujûd-Nya Swt adalah Hakikat Wujûd sehingga Dia adalah segala Wujûd dan segalanya adalah wujúd,(3) demikian pula seluruh sifat kesempurnaan-Nya adalah dari Zat-Nya. Dengan demikian, sifat kemahatahuan-Nya adalah pengetahuan tentang segala sesuatu; kemahakuasaan-Nya adalah kekuasaan atas segala sesuatu, dan kehendak-Nya adalah kehendak atas segala sesuatu. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS al-Anfal 8: 41). Bagi-Nya segala apa yang ada di la ngit dan segala apa yang ada di bumi; apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Kemahatahuan-Nya ada-

p: 29


1- 7.Sifat-sifat kesempurnaan Allah adalah Zat-Nya itu sendiri. Jika mengesakan Zat-Nya teguh, maka mengesakan sifat- sifat-Nya pun teguh. Sebab, kalau Allah memiliki sekutu dalam sifat-sifat-Nya, tentu Dia memiliki sekutu dalam Zat-Nya dan Dia tentu merupakan realitas (-ainiyyah). Semua zat berasal dari pancaran-pancaran Zat-Nya; semua sifat berasal dari keadaan sifat-sifat-Nya, dan semua kesempurnaan berasal dari naungan kesempurnaan-Nya. Maha Tinggi kedudukan-Nya; Maha Kudus nama-na- ma-Nya, dan bersinar terang burhân-Nya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
2- 8.Ketahuilah bahwa keesaan sifat-Nya diketahui dari keesaan Zat-Nya, karena Zat-Nya adalah semua eksistensi. Semua kesempurnaan yang didapati dalam selain-Nya sesungguhnyaberasaldari-Nya.Semuasifatkesempurnaan bersumber dari ilmu, kekuasaan, dan kehendak di dalam keluasan dan kemutlakan, berputar bersama eksistensi ke mana saja eksistensi itu berputar. Selain itu, Allah merupakan eksistensi murni. Dia juga adalah ilmu, ke- kuasaan, dan kehendak murni. Eksistensi, ilmu, kekuasaan, dan kehendak ada di dalam dzât ahadiyyah-Nya, menyatu di dalam Zat. Perbedaannya hanya terjadi dalam konsep. Keberbilangan konsep ini tidak menyebabkan penyifatan Allah dengan sifat-sifat dan makna-makna yang berbeda. Ketinggian dan kemuliaan Allah adalah dengan hakikat kudus-Nya, bukan dengan sesuatu yang lain. Selain itu, setiap maujud yang bersifat mungkin adalah ma'lûl, yang dikuasai, dan yang dikehendaki Allah tanpa perbedaan arah dan sudut pandang. Demikian pula, pencipta eksistensi yang bersifat mungkin dan yang memancar- kan inniyyât adalah Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Kuasa, Pencipta (Mûjid), dan Maujud dalam keberadaan- Nya sebagai tunggal, yang esa, baik Zat maupun sifat- Nya.
3- 9.Setiap yang merupakan hakikat sesuatu tidak dicampuri oleh sesuatu itu, kecuali hakikat sesuatu itu tampak. Setiap yang merupakan hakikat eksistensi tidak dicampuri oleh selain eksistensi. Dengan demikian, ia adalah semua ek- sistensi dan semuanya adalah eksistensi. Demikian pula halnya dengan semua sifat. Semua yang merupakan hakikat ilmu tidak dicampuri oleh selain ilmu. Ia adalah semua ilmu dan semuanya adalah ilmu. Begitu pula, pembicaraan tentang keMaha Kuasaan, kemahahidupan, kemahakehendakan, dan sifat-sifat kesempurnaan yang lain. Allah adalah hakikat dari segala hakikat. Tidak satu hakikat pun terpisah dari hakikat-Nya. Zat yang keadaannya seperti itu mustahil berbilang. Sebab, bila Dia memiliki sekutu dalam eksistensi atau dalam sesuatu dari segenap kesempurnaan eksistensi, tentu Dia kehilangan satu bentuk eksistensi atau suatu kesempurnaan eksistensi sehingga yang diasumsikan sebagai hakikat eksistensi itu tidak menjadi hakikat eksistensi. Kesederhanaan hakikat (basíthah al-haqîqah) adalah segala sesuatu, tetapi dalam bentuk yang lebih tinggi. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

lah kemahakuasaan-Nya dan kemahakuasaan-Nya adalah ke- mahatahuan-Nya, dan kehendak-Nya adalah kedua-duanya.

Tidak akan terjadi perubahan di antara sifat-sifat itu kecuali dalam konsep. Benar, apa yang dikatakan Bahmânyâr dalam at-Tahshîl: “Wajib al-wujûd se luruhnya adalah ke mahatahuan; seluruhnya adalah kemahakuasaan, dan seluruhnya adalah ke- hendak." Amirul Mukminin Ali a.s. berkata, “Kesempurnaan tauhid adalah menafikan sifat-sifat.” Yang dimaksud bukanlah menafikan makna sifat-sifat itu dari Zat-Nya. Jika tidak, ma- ka hal itu akan memunculkan penihilan (at-taʻthíl), dan hal itu merupakan kekufuran yang nyata. Akan tetapi, yang dimaksud adalah menafikan sifat-sifat yang memberikan tambahan pada Zat-Nya dalam wujud dan hakikat. Berdasarkan hal ini, benarlah orang yang mengatakan, “Sifat-sifat-Nya adalah esensi-Nya," sebagaimana dikatakan mazhab kaum teosof (al-lukamâ) dan para pengkaji (al-muhaqqiqûn). Benar pula orang yang mengatakan, “Sifat-sifat itu bukanlah esensi-Nya dan bukan pula selain-Nya,” sebagaimana dikatakan mazhab Asy'ariyyah, kalau mereka mengetahui apa yang kami kaji.

Oleh karena itu, berpeganglah pada pandangan hati dalam perkara ini dan jangan termasuk orang-orang yang lalai.

p: 30

MANIFESTASI 4

Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dan..........

Nama-nama dan Sifat-sifat Allah dan Penjelasan ihwal Sifat-sifat Haqîqiyyah, Idhâfiyyah, dan Salbiyyah.

Ketahuilah bahwa pengetahuan tentang nama-nama Ilahi merupakan pengetahuan yang mulia dan mendalam di puncak kesamaran,(1) yang mengunggulkan bapak kita (Adam a.s.) atas pa ra malaikat. Allah berfirman: Dan Dia mengajarkan ke pada Adam nama-nama seluruhinya.(2) Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat dan berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama- nama (benda-benda) itu bila kalian memang orang-orang yang benar.” Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau! Tidak ada yang kami ketalui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.

Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah berfirman, “Wahai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!" Maka, setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu, Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepada kalian balawa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan ?'' (QS al-Baqarah 2: 31-33). Yang dimaksud dengan al-ism adalah makna yang dikandung Zat menurut kaum arif (al-'urafâ'). Perbedaan antara nama (al-ism) dan sifat (ash-shifalı) adalah seperti perbedaan antara “kompleks” (al-murakkab) dan “sederhana" (al-basîth). Contoh al-ism adalah seperti "yang

p: 31


1- 1. Para pengkaji (muhaqqiq) sepakat bahwa al-Wujûd adalah al-Haqg. Yang ada di dunia ini hanyalah manifestasi (tajaliyyât) Zat dan sifat-sifat-Nya. Karena Zat-Nya Yang Maha Tinggi, maka Dia tidak membutuhkan alam dan seisinya. Namun, nama-nama-Nya yang berkaitan dengan makhluk-makhluk menuntut penampakan diri (mazhhar) di alam materi. Penampakan itu adalah esensi-esensi (mâliyât). Telah ditegaskan bahwa di antara setiap nama dan penampakan terdapat hubungan bersifat esensial yang tidak diciptakan, tanpa penciptaan Zat-Nya Yang Maha Kudus lagi Maha Esa. Oleh karena itu, setiap nama menampakkan pengaruhnya pada mazhhar itu, dan setiap mazhhar menuntut nama yang termanifestasi dan tampak di dalamnya. Ism dalam istilah mereka merupakan dzât bagi suatu sifat. Dengan demikian, nama (al-ism) dan yang dinamai (nl-musammâ) menyatu dalam dzît, tetapi berbeda dalam sudut pandang. Nama-nama yang dilafazkan adalah nama-nama dari segala nama, yakni Sang Pencipta, Pemberi bentuk, dan Pengatur alam ini dengan nama- nama-Nya. Al-Qur'an, Hadis-hadis Nabi, dan Khabar- khabar para Wali sarat dengan penjelasan apa yang kami kemukakan. Nama-nama yang menunjukkan kelembutan, kasih sayang, keakraban, dan ketakutan dinamaijamâliyyah (sifat keindahan), sedangkan nama-nama yang menunjukkan keperkasaan dan kemurkaan dinamai jalâliyyah (sifat ketinggian). Di bawah setiap ketinggian (jalâl) adalah keindahan (jamâl), seperti kecintaan yang bergelora dihasilkan dari keindahan ketunggalan (al-jamal al-ahadí) yang merupakan ketundukan akal kepadanya. Setiap ketinggian memiliki keindahan, yakni kelembutan yang ter sembunyi di dalam keperkasaan Ilahi: Dan di dalam qisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal (QS al-Baqarah 2: 179). "Surga di k e lilingi hal-hal yang tidak diingini, sementara neraka dikelilingi hal-hal yang diingini.” Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as, Pemimpin Ahli Tauhid, “Maha Suci Tuhan yang rahmat- Nya meliputi para wali-Nya dalam hukuman-Nya yang keras, dan hukuman-Nya keras bagi musuh-musuh-Nya dalam keluasan rahmat-Nya.” Manifestasi-manifestasi kemakhlukan adalah seperti cermin-cermin bening yang memantulkan al-Haqq. Al-Haqq dalam kemunculan-Nya menuntut penampakan-penampakan (mazhâhir) dan kebutuhan dari dua pihak. Orang yang bahagia membutuhkan kebahagiaan dan orang yang terkutuk membutuhkan keterkutukan dalam bahasa kesiapan. Yang satu tidak berhasil sebagai keadaan dan ucapan, dan yang kedua tidak berhasil sebagai keadaan tetapi menanggapi keadaan. Dan tidaklah seruan orang-orang kafir itu melainkan dalam kesesatan. Nama-nama itu seluruhnya berada di dalam cakupan nama Allah yang agung dan mencakup semua nama. Mazhhar nama ini merupakan mazhlar paling sempurna yang mencakup semua mazhhar. Ia memiliki pengaruh pada
2- 2.semuanya. Ia adalah Nabi kita Muhammad Saaw Petunjuk yang lebih jelas daripada ini adalah ucapan beliau, “Adam dan keturunannya berada di bawah panjiku." Riwayat-riwayat yang datang dari para Imam as berbeda- beda dalam menafsirkan ayat yang mulia ini. Menurut sebagian riwayat, yang dimaksud dengan asma (nama- nama) adalah nama-nama terindah (al-asma' al-lusnâ). Sementara itu, menurut riwayat lainnya, yang dimaksud dengan asma adalah nama segala sesuatu hingga hakikat dan esensinya yang dalam bahasa kaum arifin (al-'Urafã') disebut “Entitas-entitas permanen” (al-aʻyân ats-tsâbitah). Dalam riwayat lainnya lagi disebutkan bahwa yang di- maksuddenganismâ'adalahnama-nama para Imamas tidak ada perbedaan di antara riwayat-riwayat itu berdasarkan hakikat menurut kaum arif yang berpandangan batin, karena kesimpulannya sama. Sebab, hakikat dan esensi segala sesuatu merupakan bentuk nama-nama Allah yang terindah. Demikian pula, hakikat ruhaniah dan nuraniah mereka a.s. merupakan penampakan-penampakan yang lengkap dan manifestasi-manifestasi yang sempurna bagi nama-nama suci itu. Pengetahuan yang sempurna tentang hakikat nama-nama suci itu tidak akan terpikirkan tanpa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Pengetahuan itu menuntut tempat-tempat penampakan-penampakan dan manifestasi-manifestasinya. Dan itu adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah adalah Pemilik keutamaan yang besar. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

putih,” sementara sifat adalah seperti "warna putih.” Yang dinamai (al-musammâ) kadang-kadang satu, tetapi namanya banyak. Ia merupakan predikat rasional (malmúlânt ‘aqliyyah), dan yang dimaksud dengannya bukan lafaz, karena ia tidak mengandung predikasi penyatuan (luaml ittihâdî). Predikat (malumûlût) itu pada hakikatnya adalah tanda-tanda(1) dan pengenalan-pengenalan tentang zat yang disifati dengannya.

Kadang-kadang sifat diungkapkan dengan al-ism. Dengan makna ini, ia mengandung perbedaan-perbedaan(2) dalam hal apakah al-ism merupakan al-musammâ itu sendiri atau tidak.

Dan Allah memiliki nama-nama yang indah. Maka bermohonlah kepada-Nya dengan [menyebut] nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam [menyebut] na ma-nama-Nya (QS al-A'râf 7: 180). Jika hal ini telah jelas, maka ketahuilah bahwa nama-nama Allah pada hakikatnya adalah mahmûlît´aqliyyah yang tercakup di dalam Zat keesaan- Nya. Nama-nama itu tidak berkaitan dengan penciptaan dan pemberian pengaruh, melainkan ada tanpa diciptakan,(3) ada di dalam Zat-Nya. Dengan ciptaan-ciptaan itu sendiri, Zat Allah pun diketahui, dan ciptaan-ciptaan itu merupakan manifestasi (mazhâhir) dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yakni kalam- kalam Allah yang sempurna dan ruh-ruh yang tinggi-yang merupakan pancaran cahaya wajah dan kesempurnaan-Nya serta tanda-tanda keagungan dan keindahan-Nya. Itulah al- asmâ' al-luusnâ (nama-nama yang indah).(4)

p: 32


1- 3. Yakni tanda-tanda makrifat dzât yang kudus. Sebab, kita tidak memiliki cara untuk mengetahui dzât itu kecuali dari konsep-konsep dan tanda-tanda. Dalam hal ini, konsep- konsep dan tanda-tanda itu merupakan kunci-kunci kegaiban dan tanda-tanda petunjuk rahasia ketunggalan (aladiyyah). (Mîrzâ Hasan Nûrî).
2- 4. Perbedaan itu berpangkal dari perbedaan dalam memahami apakah sifat itu adalah dzât itu sendiri atau bukan. Yang dimaksud adalah bahwa perbedaan itu ditafsirkan dan diistilahkan demikian, yakni jika orang mengatakan bahwa al-ism adalah al-musammâ itu sendiri, maka al-ism yang dimaksudkannya adalah predikat rasional (malımûlît ‘aqliyyah). Sementara itu, orang yang mengatakan bahwa al-ism bukan al-musammâ, maka al-ism yang dimaksudkannya adalah lafaz-lafaz yang merupakan nama-nama itu. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
3- 5.Sebagaimana “Menciptakan" tidak berkaitan dengan nama-nama, melainkan ia bukan "yang diciptakan" dengan kebergantungan dan dengan ketidakterciptaannya dzât itu sendiri, demikian pula “Menciptakan” tidak ber- kaitan dengan entitas-entitas permanen, yang merupakan tuntutan nama-nama itu dan ada dengan keberadaan nama-nama itu. Entitas-entitas permanen pun bukan “yang diciptakan" dengan ketergantungan dan dengan ketidak-dijadikan dzât yang kudus. Nama-nama abstrak dan tuntutan-tuntutannya merupakan entitas-entitas yang teguh, sebagaimana ia ada dengan bergantung pada eksistensi dzât. Demikian pula ia bukan ketidakterciptaan dengan ketergantungan pada eksistensi dzât. Hal itu tidak menyebabkan keterlarangan yang diduga oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah ini, yang terhalang dari mengkaji pengetahuan-pengetahuan. Keterlarangan itulah yang disebutkan di dalam karya- karyanya sebagai celaan kepada pengarang (qaddasa sirruh) dan muridnya. Ia menjadikannya sebagai sandaran untuk mencela keduanya dan alasan untuk mengkafirkan mereka. Keterlarangan ini hanya muncul apabila entitas- entitas ketidakterciptaan berada di dalam keteguhan ilmu. Hal itu merupakan maujud yang otentik dan bebas, bukan "yang diciptakan” dari eksistensi itu. Ia tidak mengetahui bahwa kesesuatuan (syay'iyyah)yang bersifat abstrak secara mutlak bergantung pada eksistensi dalam asal keteguhan dan kehasilan, serta dalam kebutuhan-kebutuhan dzât-nya berupa "yang diciptakan" dan "yang tak diciptakan” serta tuntutan-tuntutan eksistensi yang lain dalam kapasitasnya sebagai eksistensi. Kesesuatuan yang abstrak bersifat konseptual jika ada dengan eksistensi "yang diciptakan.” Sebagaimana ia bergantung pada eksistensi itu pada asal kemaujudan dan kehasilan, demikian pula ia bergantung padanya dalam hal yang berhubungan dengan "yang diciptakan.” Ia terwujud dengan terwujudnya eksistensi itu dan diciptakan dengan keterciptaan eksistensi itu, bukan dengan kehasilan dan keterciptaan lainnya, apabila ia ada dengan eksistensi ketidakterciptaan. Demikian pula halnya dengan entitasnya. Telah dijelaskan bahwa makna- makna dan esensi-esensi dapat menerima berbagai aspek eksistensi dan berbagai bentuk ciptaan dan kesaksian. Kadang-kadang, ia ada dengan eksistensi yang masih bersifat mungkin (imkân) dalam konfigurasi-konfigurasi dan tingkatan-tingkatannya. Kadang-kadang pula, ia ada dengan Eksistensi Wajib (nl-Wujûd al-Wajib) dengan mengikuti makna nama-nama terindah (al-asma' al-lusnân) dan sifat-sifat tertinggi. Oleh karena itu, kajilah dan ber- sikap teguhlah dalam masalah ini, sebab hal ini dapat menggelincirkan kaki. (Mîrzâ Hasan Nûrî)
4- 6. Allah Yang Maha tinggi kedudukan-Nya dan Maha Suci nama-nama-Nya memiliki nama-nama abstrak yang tidak diciptakan dengan ketidakterciptaan, yang teguh pada esensi-esensi yang kudus dan nama-nama eksisten- si “yang diciptakan," yaitu esensi-esensi yang sempurna dan ujaran-ujaran ruhaniah abstrak yang diungkapkan dengan akal dan ruh suci. Semuanya merupakan makrifat keindahan-Nya dan bukti-bukti kesempurnaan dan keluhuran-Nya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

Verifikasi Ketahuilah bahwa di antara sifat-sifat Allah, pertama, adalah sifat-sifat hakiki sempurna (haqûqiyyah kamâliyyah) seperti ke- murahan (al-jûd), kekuasaan (al-qudrali), dan pengetahuan (al- ‘ilm), yang bukan tambahan bagi Zat-Nya, melainkan Zat itu sendiri dalam arti Zat-Nya dari segi hakikatnya sebagai asal si- fat-sifat itu dari-Nya dan substansiasi makna yang dikandung- nya; kedua, sifat negasi murni (salbiyyah mahdhall) seperti keku- dusan (quddûsiyyah), ketunggalan (fardiyyah), keazalian (azaliy- yah), dan sebagainya. Penyifatan dengan sifat-sifat ini berpang- kal pada penyifatan dengan sifat-sifat kekurangan; dan, ketiga, sifat-sifatpenisbatan murni(idhâfiyyahmahdhah)seperti pencipta pertama (al-mubda'iyyah), pencipta dari ketiadaan (al-mubdi-‘iy- yalı), pencipta (al-Khâliqiyyahı), dan sebagainya yang merupakan tambahan pada Zat-Nya, yang mengikutinya dan mengikuti apa yang dengan sifat-sifat itu dinisbatkan pada Zat-Nya dan, dengan wahdaniyyah-Nya, tidak membutuhkan tambahan si- fat-sifat ini. Sebab, ketinggian dan kemuliaan Yang Wajib Ada itu bukanlah karena sifat-sifat idhâfiyyah ini, melainkan karena keberadaan-Nya di dalam Zat-Nya, yang darinya muncul sifat- sifat ini.(1) Jelaslah bahwa sifat-sifat hakiki-Nya tidak banyak, ti- dak berbilang, dan tidak ada perbedaan di dalamnya kecuali dari aspek penamaan. Hal itu seperti dikatakan Syaikh ar-Ra'îs (yakni, Ibnu Sînâ) dalam al-Ta‘lîqât, “Sesungguhnya Yang Maha Awal (al-Awwal) tidak berbilang karena keberbilangan sifat-sifat-Nya. Sebab, jika setiap sifat-Nya telah teguh, maka sifat yang lain dianalogikan padanya. Dengan demikian, qud- rah-Nya adalah hayâh-Nya dan hayâh-Nya adalah qudrah-Nya.

p: 33


1- 7. Dalam Ilâhiyyât asy-Syifa', Syaikh (Ibn Sînâ) berkata, “Kami tidak peduli, bahwa dzât Allah Swt diambil, dengan penisbatan tertentu, dari eksistensi yang masih bersifat mungkin (mumkin al-wujûd), karena ia, dalam kapasitas sebagai sebab bagi eksistensi Zayd, bukan wajib, bahkan dari aspek dzât-Nya." Apa yang dikemukakan Syaikh (Ibn Sînâ) dalam al- Ta‘lîqât bertentangan dengan apa yang disebutkannya dalam asy-Syifa'. Kebenaran bersama penulis buku ini. Demi Allah, kajian dalam masalah-masalah filsa- fat merupakan haknya dalam lingkungan Islam. Wajib dalam dzât, seperti engkau ketahui, adalah wajib dari semua aspek. Di dalamnya tidak ada aspek kemungkinan (imkâniyyalı) sama sekali. Hal ini membantah pendapat kaum Mu'tazilah yang berpendapat dinafikannya sifat- sifat, serta membantah pendapat sebagian dari kelompok ekstrem dari kalangan mutakallifîn yang mengatakan kebaruan sifat-sifat, dan membantah pendapat semua ahli taklid yang mengatakan kemungkinan terjadinya pemisahan ciptaan dari pencipta yang hakiki. Kami telah menyebutkan bahwa semua sifat-Nya adalah dzât-Nya itu sendiri, keutamaan-keutamaan-Nya adalah pemberian keutamaan itu sendiri. Semua sifat-Nya berpangkal pada satu asal dan satu substansiasi (mishdâq). Dengan demiki- an, sifat-sifat eksistensialnya berpangkal pada eksistensi wajib-Nya, sifat-sifat penegasian-Nya berpangkal pada penegasian imkân, sifat-sifat penisbatan (idhâfiyyah)-Nya berpangkal pada idhâfiyyah isyrâqiyyah, yaitu kemunculan dan wajah Allah. Cahaya-Nya dan segala yang ada di dalamnya adalah permanen, sedangkan makhluk akan hilang dan berubah.

Kedua sifat itu adalah satu. Dia adalah Yang Maha Hidup yang secara intrinsik berarti Yang Maha Kuasa dan Dia adalah Yang Maha Kuasa yang secara intrinsik berarti Yang Maha Hidup.” Selain itu, Abû Thâlib al-Makkî berkata, “Kehendak (masyi'ahı)-Nya adalah kekuasaan (qudraht)-Nya.” Demikian pula, sifat-sifat idhâfiyyah-Nya tidak berbilang dan tuntutannya tidak berbeda, dan seperti itu pula sifat-sifat salbiyyah-Nya.

Hal itu karena penisbatannya pada segala sesuatu, walaupun namanya berbilang dan berbeda-beda, semuanya berpangkal pada satu makna dan satu penisbatan, yang kemahategakkan (qayyûmiyyalı)-Nya bersifat positif bagi segala sesuatu.(1) Dari sini, tampaklah makna ucapan Syaikh ar-Ra'îs dalam at-Ta‘lîqât, “Segala sesuatu pada awalnya merupakan eksistensi yang wajib ada (wajibât); tidak ada eksistensi yang masih mungkin (imkân) sama sekali. Jika sesuatu tidak ada pada suatu waktu, maka ia hanya ada dari aspek reseptivitas atau kemampuan menerima (qabiliyyalı), bukan dari aspek pemberian pengaruh (fãʻiliyyah). Karena setiap kali potensi terbentuk dari materi, maka di situ terbentuk forma (sluứrah), karena di sana tidak ada larangan dan kekikiran. Dengan demikian, segala sesuatu di sana adalah wajibât yang tidak terbentuk pada suatu waktu dan tercegah pada waktu yang lain, dan tidak ada di sana sebagaimana ada pada kita." Ketahuilah, Zat-Nya tidak berubah karena perubahan par- tikular-partikular yang dinisbatkan padanya, seperti dinukil dari Syaikh Syihâbuddîn as-Suhrawardî, “Termasuk hal- hal yang harus engkau ketahui dan kaji adalah bahwa tidak boleh melekatkan berbagai penisbatan pada Yang Mesti yang

p: 34


1- 8. Penambahan ini, berdasarkan penyandarannya kepada al-Haqq, adalah satu, walaupun menurut kemampuan- kemampuan penerimaannya adalah berbilang. Di dalam Alquran disebutkan: Dan amr Kami hanyalah satu (QS al- Qamar 54:50). Yang dimaksudkan dengan amr di sini bu kan perkara yang bersifat penetapan hukum (tasyri'i) karena ia berbilang, melainkan amr yang bersifat penciptaan (takwînî).

menyebabkan perbedaan sudut pandang (haytsiyyât). Akan tetapi, Dia memiliki satu penisbatan, yakni mabda'iyyah. Pada Tuhanmu tidak ada waktu pagi dan waktu petang." Penjelasan Ketahuilah, Allah adalah nama Zat Ilahi mengingat cakupan- nya atas semua sifat kesempurnaan dan bentuknya(1) adalah al-insan al-Kâmil (manusia paripurna). Hal itu ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Saaw., “Aku diberi seluruh kalam.” Ar-Rahmân(2) adalah yang menuntut eksistensi yang meliputi keseluruhan (al-kull) berdasarkan tuntutan hikmah. Ar-Rahîm adalah yang menuntut kesempurnaan maknawi bagi segala sesuatu berdasarkan batasannya. Oleh karena itu, dikatakan Yâ Rahmân ad-dunyâ wa Rahîm al-akhirah (Wahai Yang Maha Pengasih di dunia dan Yang Maha Penyayang di akhirat).

Dengan demikian, makna Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm adalah dengan [nama] bentuk yang sempurna lagi mencakup rahmat khusus dan umum berupa penampakan Zat Ilahi. Makna ini ditunjukkan Nabi Saaw. dalam sabdanya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia" karena akhlak yang mulia terbatas pada hakikat kemanusiaan yang komprehensif.

Percikan Ketahuilah, semua maujud merupakan manifestasi dari sifat- sifat dan pengaruh-pengaruh Allah melalui perbedaan dalam ketersembunyian dan ketampakan. Hal ini menegaskan apa yang diriwayatkan Abû Yazîd, “Sesungguhnya keseluruhan(al- kull) ada di dalam keseluruhan.” Rasulullah Saaw. merupakan

p: 35


1- 9. Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa nama Allah mencakup semua nama. Nama ini menunjukkan dzât ketunggalan yang mencakup semua nama dan sifat serta termanifestasi di dalam semua nama berdasarkan manifestasi-manifestasi (mazhâhir) Ilahi. Berdasarkan tingkatannya, nama ini didahulukan atas semua nama sehingga mazhhar (penampakan)-nya didahulukan atas semua mazhhar yang lain. Ia memiliki kekuasaan yang sempurna atas semua mazhhar itu. Nama Ilahi yang serba meliput ini berdasarkan kemunculannya pada salah satu nama. Semua mazhhar merupakan mazhhar nama ini. Karena cakupan nama ini atas seluruh nama maka semua nama merupakan cabang-cabang dan bagian-bagian- nya. Dari sini diketahui bahwa semua yang ada di alam ini, di dalam semua konfigurasi eksistensinya, termasuk dalam kemunculan-kemunculan hakikat Muhammad dan bahwa alam ini merupakan bentuk dari hakikatnya yang komprehensif. Semua mazhhar dari akal pertama (al-'ngl al-awwal) dari ruh yang agung hingga materi pertama (al- hayâlâ al-ûlî) merupakan pecahan dari hakikat ini. Dengan cakupan ini, terbentuk kekhalifahan. Karena manusia paripurna yang muncul pada segala sesuatu memiliki kemunculan-kemunculan dan manifestasi-manifestasi pada segala sesuatu, maka awal kemunculannya adalah di dalam akal pertama. Oleh karena itu, Rasulullah Saaw. bersabda, “Yang pertama diciptakan oleh Allah adalah cahayaku.” Penisbatan cahaya pertama pada dirinya merupakan isyarat detail yang diketahui oleh orang Manifestasi-Manifestasi Ilahi yang merasakan cawan minuman Muhammad Saaw., bahwa akal merupakan sebuah kebaikan dari kebaikan- kebaikannya. Ringkasnya, manusia ini mengalir pada se- mua maujud. Oleh karena itu, Imam Ali as berkata, “Aku bersama pena (al-qalam) secara sembunyi-sembunyi dan bersama Muhammad Saaw secara terang-terangan.” Hal itu karena para nabi merupakan mazhhar eksistensinya, dan otoritas mereka merupakan cabang dari otoritasnya. Ia tampak dalam eksistensi mereka. Yang tampak itu tersembunyi di dalam mazhlar, walaupun jiwanya yang suci termasuk mazhâhir otoritas penutup para nabi. Oleh karena itu, ia berkata, “... Bersama Muhammad Saaw se- cara terang-terangan."
2- 10. Dzât ketunggalan, berdasarkan kebermulaan dzât-Nya, menuntut rahmat kebermulaan kesyukuran, yakni eksistensi yang terbentang pada segala sesuatu dalam semua dengan berdasarkan padanya, yakni berdasarkan apa yang diterima dzât-Nya dengan kemampuan penerimaan dzât dan kemungkinan dzât-nya. Sementara itu, berdasarkan keberakhiran dzât-nya, ia menuntut rahmat penerimaan yang terbatas, yakni kesempurnaan abstrak pada segala sesuatu berdasarkan batas akhir. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, karena kebermulaan dan keberakhirannya meliputi segala sesuatu. Din-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Aklir merupakan permulaan segala sesuatu dan tujuan segala wahyu. Dia-lah Allah, Sang Pencipta. Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali. (QS al-Syûrâ 42: 53) sebagaimana keberadaan orang-orang yang celaka pada permulaannya tidak bertentangan dengan keluasan rahmat kebermulaan-Nya, melainkan menegaskannya. Demikian pula, kekekalan mereka pada akhirnya di negeri kecelakaan tidak bertentangan dengan keluasan rahmat akhir-Nya. Rahmat-Ku mendahului murka-Ku. Du- nia bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka menuntut rahmat Rahmâniyyah, dan akhirat dengan kenikmatan dan siksaannya menuntut rahmat Rahîmiyyah. Wahai Pengasih di dunia dan Penyayang di akhirat. Dunia terbatas pada orang-orang yang berbahagia, demikian pula akhirat. Keselamatanlah bagi pengikut hidayah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

manifestasi dari semua sifat Ilahi melalui kesamaan. Apabila manifestasinya sama, maka ia seperti garis katulistiwa (khath al-istiwî') di dalam wilayah eksistensi. Apabila cahaya al-Haqq terpancar dari langit hakikat, maka ia tidak memiliki bayangan ketika cahaya hakikat itu sampai di tengah-tengah langit dunia.

Dari situlah diketahui makna ucapan mereka, “Nabi Saaw. dan al-Waslî (Imam 'Alî) a.s. melihat ke arah belakang seperti meli- hat ke arah depan.” Oleh karena itu, pahamilah dan cermatilah ucapan ini sehingga hal ini jelas bagimu.

Pelengkap Tidak diragukan lagi, nama yang paling agung (nl-ism al-aʻzham) sepantasnya bermakna mencakup semua makna nama-nama Ilahi secara umum. Demikian pula, penampakannya harus merupakan hakikat yang mencakup semua hakikat mumkinât (maujud yang mungkin ada), yang merupakan penampakan- penampakan. Di antara nama-nama itu, tidak ada yang pantas bagi cakupan ini kecuali nama Allah, demikian pula al-Hayy al- Qayyûm (Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri). Namun, nama yang pertama (Allâh) pantas untuk itu berdasarkan kajian ilmiah dan nama kedua berdasarkan gelaran Lâ ilâla illên luwa al-Hayy al-Qayyûm (Dia-lah Allah; tiada tuhan selain Dia Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri Sendiri). Cakupan al-Hayy al-Qayyûm atas semua sifat kesempurnaan karena ke- Maha Hidup-an-Nya menunjukkan wujûd yang wajib, dan Dia adalah sumber sifat-sifat. Sementara itu, ke-Maha Berdiri Sendirian-Nya merupakan bentuk hiperbola (mubalaghah) dari al-qiyâm (berdiri) untuk mengekalkan segala maujud

p: 36

dari segi kesempurnaan. Kedua nama ini adalah nama yang paling agung (al-ism al-aʻzlam) bagi siapa yang menyaksikan manifestasinya. Barangsiapa menyebut kedua nama itu dengan bahasa penyaksian, bukan bahasa penjelasan, maka ia telah menyebut Allah dengan nama-Nya yang paling agung, yang - jika Dia diseru dengannya, maka Dia mengabulkan dan, jika diminta, maka Dia memberi.

Ketahuilah, al-ism al-aʻzlam yang diriwayatkan bahwa ia tersembunyi, ketersembunyiannya adalah karena setiap peminta tidak memiliki lisân hâl. Jika ia memiliki lisân hâl, maka setiap nama yang dengannya Tuhannya diseru, itulah al-ism al- aʻzham. Oleh karena itu, ketika Abû Yazîd ditanya tentang al- ism al-aʻzlam, ia menjawab, “Ia tidak memiliki definisi tertentu.

Akan tetapi, ia memenuhi rumah hatimu dengan wahdaniyyah- nya. Jadi, setiap nama adalah al-ism al-nʻzlam.” Jelaslah bahwa termasuk nama-nama itu adalah huruf-huruf yang tersusun dan juga kata-kata yang terangkai, seperti ar-rahmân ar- rahîm. Nama ini memiliki kekhususan dalam susunannya dan kekhususan lain dalam kesendirian, seperti bahan obat dalam ramuan. Katakanlah, “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tam bahan se banyak itu” (QS al-Kahfi 18: 109).

p: 37

MANIFESTASI 5

Ilmu Allah tentang Zat-Nya dan.....

Ilmu Allah tentang Zat-Nya dan tentang Selain-Nya: Penjelasan ihwal Berbagai bagian dan Tingkatan Ilmu.

Setiap eksistensi (wujûd)(1) tidak dicampuri ketiadaan ('ndam), tidak ditutupi tirai dan penutup, dan tidak diliputi kegelapan.

Ia tersingkap bagi Zat-Nya, hadir, dan tidak gaib dari Zat-Nya.

Zat-Nya merupakan pengetahuan ('ilmi), yang mengetahui (âlim) dengan Zat-Nya, dan yang diketahui (maʻlûm) karena Zat-Nya. Se bab, wujûd dan cahaya (nûr) adalah satu: Allah ada- lah cahaya langit dan bumi (QS al-Nûr 24:35). Tidak ada tirai bagi- Nya selain ketiadaan dan ketidak-aktifan. Dengan demikian, setiap wujûd, berdasarkan asalnya, pantas untuk menjadi yang diketahui (maʻlûm). Perintang baginya untuk menjadi seperti itu bisa berupa ketiadaan ('adam) dan nihilistik (ʻadamí) seperti materi pertama (al-hayûlê al-úlâ) karena keberadaannya di dalam kesamaran. Al-Wajib Swt, karena dzât-Nya terbebas dari ketiadaan, fisik, komposisi, dan sifat mungkin, berada dalam tingkatan mudrikiyyah, mudrakiyyah, 'âqiliyyah, dan ma‘qûliyyah tertinggi. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (apa yang kalian tampakkan dan rahasiakan). Dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengeta hui? (QS al-Mulk 67: 14). Tidak lu - put dari pengetaluan Tuhanmu walaupun sebesar atom di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang

p: 38


1- 1. Ketahuilah bahwa ilmu (al-'ilm) secara mutlak, berdasarkan metodologi ahli al-Haqq, bersumber dari satu bentuk eksistensi khusus yang murni dan tidak dicampuri ketiadaan. Penjelasannya, benda-benda yang bersifat fisik, karena keberadaannya sebagai hakikat yang terpisah dari eksistensi, tidak dapat dihubungkan ilmu itu padanya. Hal itu karena benda tersusun dari materi dan bentuk yang menempatinya. Hayûlên (materi pertama) adalah realitas yang sangat samar. Ia tidak memiliki pengaruh dan perwujudan menjadi materi. Bahkan ia bukan maujud secara aktual. Perwujudannya menjadi materi hanya dengan forma yang menempatinya. Setiap forma yang bersifat fisik, karena ketersusunannya dari bagian-bagian, tidak memiliki esensi yang jelas yang dapat diketahui. Hal itu karena setiap bagian dari fisik itu gaib dari bagian yang lain. Setiap forma bersifat fisik yang menempati hayâlâ, karena keberadaannya sebagai sesuatu yang bergerak di atas kekekalan di dalam eksistensinya, merupakan kekuatan ketiadaannya. Setiap ke-dia-an (Juuwiyyah) yang eksistensinya muncul secara perlahan tidak menjadi ada dengan seluruh esensinya bagi esensinya. Ia tidak memiliki identitas yang jelas dalam entitas. Jika sesuatu tidak memiliki keteguhan pada esensinya dan eksistensi pada dirinya, maka ia tidak mencapai esensinya dan tidak mungkin dikenali kecuali dengan kekuatan penghimpun yang kuat dan tidak ada penghalang atas alirannya pada segala sesuatu untuk menopangnya. Ketahuilah bahwa Dia meliputi segala sesuatu. Kita berada dalam cermin makrifat-Nya.

lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyn ta [al-Lauhal-Mahfúzh] (QS Yûnus 10:61). Meng kaji(1) hakikat ilmu (al-'ilm) berkaitan dengan pengantar beberapa premis yang berisi penjelasan. Buku ini tidak memadai untuk meli- putnya. Oleh karena itu, kami tidak mengetengahkannya di sini. Barangsiapa memiliki pandangan hati (bashîrah qalbiyyah) maka cukuplah baginya apa yang telah dan akan kami kemu- kakan tentang beberapa tingkatannya agar batinnya tercerahi dengan cahaya kebenaran sehingga ia menyaksikan bahwa Dia adalah yang mengetahui ('âlim), yang diketahui (maʻlûm), dan pengetahuan (‘ilm) yang hakiki. Kesulitan memahami hakikat pengetahuan ini disebabkan hubungan-hubungan inderawi dan kotoran fisik. Barangsiapa buta di dunia ini, maka in juga bu ta di akhirat (QS al-Isra' 17:72). Oleh karena itu, sebagian ahli berkata, “Barangsiapa ingin rumahnya dicerahi dengan pengenalan terhadap hakikat segala sesuatu maka ia harus menutup pintu-pintu indera." Pencerahan Ketahuilah, ‘ilm kadang-kadang diatributkan pada sesuatu yang diketahui esensinya (maʻlûm bi adz-dzât) yang merupakan bentuk yang hadir pada yang mengenal (mudrik) dengan kehadiran yang hakiki atau bersifat hukum. “Ilm dan maʻlûm (objek ilmu) dalam penamaan ini bersatu menjadi sebuah esensi tetapi penamaannya berbeda. 'Ilm kadang-kadang diatributkan pada perolehan sesuatu dalam kemampuan perseptif (al-quwwah al-mudrikah) atau penampakan di dalamnya. Itulah makna sekunder yang darinya terbentuk

p: 39


1- 2.Ketahuilah bahwa ilmu, seperti eksistensi, tidak termasuk ke dalam suatu kategori (maqûlalı), yakni suatu hakikat. Ia memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dan saling mengungguli. Pada suatu tingkatan ada pengetahuan tentang segala sesuatu yang lain. Pada tingkatan yang lain terdapat pengetahuan tentang sesuatu dan ketidaktahuan tentang sesuatu lainnya. Karena Zat Allah adalah eksistensi segala sesuatu dalam bentuk yang paling sempurna, maka Dia mengetahui segala sesuatu tanpa dicampuri kejahilan. Zat-Nya merupakan ilmu terinci (tafshílí) tentang segala sesuatu dalam bentuk yang tidak menyimpang dari cakupan ilmu-Nya sebesar atom sekalipun. Kehadiran Zat-Nya pada Zat-Nya merupakan ilmu keseluruhan (ijmâlî) dalam penyingkapan yang bersifat tafshílí.

al--âlim, al-ma'lûm, dan sebagainya. Al-Wajib Swt adalah yang mengetahui ("âlim) dengan makna pertama. Dalam at-Ta‘lîqât, Syaikh ar-Ra'îs (Ibn Sînâ) mengatakan, “Bila engkau berkata, “Aku memikirkan sesuatu, ini berarti bahwa pengaruh darinya ada di dalam esensimu. Dengan demikian, pengaruh itu memiliki eksistensi, dan esensimu memiliki eksistensi pengaruh itu. Bila eksistensi pengaruh itu bukan di dalam selainnya, melainkan di dalamnya, tentu ia juga mengenalinya, sebagaimana ketika eksistensinya milik selainnya, maka yang lain itu mengenalinya. Barangsiapa mengira bahwa keberadaan al-mujarrad (keabstrakan) mengetahui dirinya sendiri dan penyifatan tambahan pada dirinya dianggap sebagai substansiasi, tentu ia harus mengatakan ketiadaan ke- beradaan al-Wajib al-Haqq sebagai yang mengetahui Zat-Nya kecuali setelah realitas tambahan pada Zat-Nya itu ada. Ini adalah ucapan keji dan kezaliman yang sangat buruk bagi kalangan pengkaji.” Oleh karena itu, enyahkanlah kezaliman anggapan ini dari dirimu dan bukalah mata hatimu. Sebab, jika ‘ilm adalah dihasilkannya sesuatu yang luput dari apa yang melingkupinya untuk suatu realitas abstrak dan eksistensinya terpisah sendiri atau dengan bentuknya sebagai hasil yang hakiki, maka al-Wajib al-Wujûd berada pada tujuan tertinggi yang luput dari materi dan dikuduskan dari tabir hayûlînî.

Dia memikirkan dan mengetahui Zat-Nya. Ilmu-Nya adalah ilmu yang paling sempurna dan paling kuat cahayanya serta paling kudus. Bahkan, tidak ada penisbatan bagi ilmu-Nya pada ilmu-ilmu selain-Nya, sebagaimana tidak ada penisbatan antara eksistensi-Nya yang hakiki dan eksistensi segala

p: 40

sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, tetapi Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Din-lah Yang Maha Halus la gi Maha Mengetahui (QS al-An'âm 6: 103). Se gala pemikiran tidak dapat menyamai-Nya; imajinasi tidak berlaku pada-Nya, dan pikiran manusia tidak dapat menyentuh-Nya.

Hikmah Ketimuran Ketahuilah, tingkatan-tingkatan ilmu Allah Swt tentang sega- la sesuatu – baik yang secara menyeluruh dan tak terbedakan (ijmâl) maupun yang secara terinci (tafshâl) – banyak sekali.(1) Di an ta ranya adalah: pertama, al-'inâyah, (2)yakni ilmu atau penge ta- huan tentang segala sesuatu yang merupakan Zat-Nya yang kudus itu sendiri. Itulah akal sederhana (al-'ngl al-basíth). Tidak ada tafshíl di dalamnya dan tidak pula ada ijmûl di atasnya. Al- ‘inayah adalah ‘ilm tafshîlî yang menjadi banyak. Berdasarkan pendapat kaum Paripatetik (al-Masysyâ'ûn) dan orang-orang yang mengikuti langkah mereka, seperti Guru Kedua, Syaikh ar-Ra'îs, dan muridnya, Bahmânyâr, yang demikian itu adalah lukisan tambahan pada Zat-Nya yang tidak memiliki tempat.

Itulah Zat-Nya. Menurut pandangan orang-orang yang tidak mengakui bentuk(slûrah) dalam Zat-Nya sebagai tambahan pa- danya, seperti kaum Stoic (ar-Rawâqiyyûn) dan kawan-kawan, terutama Syaikh al-Ilâhî dalam Hikmah al-Isyrâq, keberadaan Zat-Nya, yang dari-Nya terlimpah bentuk segala sesuatu, tidak memiliki tempat. Akan tetapi, Dia adalah pengetahuan sederhana (film basîtlı) yang meliputi segala sesuatu, Pencipta ilmu-ilmu terinci yang ada sesudah-Nya, yakni esensi segala sesuatu yang muncul dari-Nya dengan karakter-karakternya

p: 41


1- 3. Pengetahuan (al-'ilm) adalah diperolehnya bentuk yang diketahui, yakni ide yang sesuai dengan realitas di alam materi. Hal itu berlaku terus-menerus dalam ilmu yang qadim dan yang baru. Ilmu Sang Pencipta bersifat aktual yang mendahului pengetahuan di alam materi. Bentuk pengetahuan itu muncul sebelum keberadaannya. Ben- tuk itu tidak mungkin dihasilkan pada objek yang lain, sebab hal itu akan menyebabkan daur dan tasalsul dan tidak menjadi pengetahuan baginya serta bukan bentuk- bentuk yang berkaitan dengan ajaran Plato karena kami mengingkari hal itu, dan tidak pula dari maujud di alam materi. Sebab, ilmu itu hanyalah bentuk. Tidak ada lagi kemungkinan kecuali ada di dalam wilayah Rubûbiyyah, walaupun tidak diketahui bagaimana hal itu terjadi. Hal ini tidak menjadi masalah, karena pentingnya ilmu lebih sempit daripada itu. Tujuan masalah yang luhur ini tidak diinginkan, terutama di dunia ini sehingga tidak meminta sesuatu pun dari dirimu. Para malaikat yang dekat kepada Tuhan, para nabi, dan para wali yang arif tidak mampu menggapainya, kecuali barangsiapa yang diberi kelebihan oleh Allah Swt. Jika engkau menginginkan sebersit cahaya darinya, maka perangilah nafsu mu, bertafakkurlah dalam khalwatmu, dan kosongkanlah sudut-sudut hatimu agar pembicara yang diyakini berbicara kepadamu. Berakhir sampai di sini ucapan Syaikh ar-Ra'îs yang ditulis untuk mengkaji ilmu Sang Pencipta Swt. Mîrzâ Hasan Nûrî mengutip ungkapan ringkas ini dari Ibn Sînâ.
2- 4.“Inayat berdasarkan metodologi penulis yang berpendapat tentang ilmu tafshílíada dalam dzât-Nya, yakni pengetahuan tentang dzat bersifat luudlûrî yang menyingkapkan segala sesuatu secara detail dalam tingkatan dzât sebelum keberadaannya. Adapun bukti atas penjelasan ini, yang merupakan pendapat orisinal pengarang, didasarkan pada penjelasan tentang premis-premis yang dijelaskan panjang lebar dalam buku-bukunya. Premis-premis itu tidak terdapat selain dalam buku karya pengarang.

bahwa semua itu berasal dari-Nya, bukan berada di dalam- Nya. Hal itu ditunjukkan de ngan firman-Nya: Dan di sisi-Nya ada kunci-kunci kegaiban yang tidak ada yang mengetahui kecuali Dia (QS al-An'âm 6: 59).

Kedua, al-qalam dan al-lauh. Al-qalam adalah maujud bersifat akal yang menengahi antara Allah dan ciptaan-Nya. Di dalam- nya terdapat semua bentuk atau forma segala sesuatu dalam rupa yang bersifat konseptual. Ia adalah juga akal sederhana (“aql basîth). Namun, al-Haqq al-Awwal adalah satu hakikat yang sederhana. Jumlah al-qalam adalah banyak, tidak dalam puncak kesederhanaan. Hal ini ditunjukkan dengan fir man-Nya: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami khazanahnya (QS al-Hijr 15: 21). Dan kepunyaan Allah perbendaharaan langit dan bu mi (QS al-Munafiqun 63: 7). Akal-akal aktif itulah qalam- qalam, karena tugasnya adalah membentuk hakikat-hakikat dalam lembaran (laul) jiwa dan lembaran hati, sebagaimana dilukiskan dengan pena-pena pada lembaran dan lempengan.

Lauh adalah substansi bersifat jiwa dan malaikat ruhaniah yang menerima ilmu-ilmu dari dalam dan mendengar kalam Allah darinya. Kadang-kadang kedua tingkatan ini diungkapkan dengan al-qalam al-aʻlâ, al-'aql al-awwal, ar-rûh al- aʻzlam, al-malak al-muqarrab, dan al-mumkin al-asyraf. Jelaslah bahwa bentuk-bentuk semua yang diciptakan Allah dari permulaan hingga akhir alam adalah yang dihasilkan dalam bentuk sederhana yang disucikan dari kemajemukan yang bersifat terinci. Itulah bentuk qadha Allah Swt. Tempatnya adalah alam jabarût yang dinamakan dengan Umm al-Kitâb menurutung kapan ini, se bagaimana Allah Swt berfirman: Dan

p: 42

sesungguhnya Al-Qur'an itu di dalam Induk Kitab (Umm al-Kitâb) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hik mah (QS al-Zukhruf 43: 4). Dengan ungkapan lain, dengan qalam dilimpahkan forma-forma pada jiwa-jiwa universal dan jiwa-jiwa langit. Allah Swt berfir man: Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (QS al-Dhuhâ 93: 3–4). Adapun penamaan alam ini dengan alam jabarût karena - sebagaimana ia memancarkan forma dan hakikat segala sesuatu dengan pancaran dari al-Haqq- ia juga memancarkan sifat-sifat dan kesempurnaan sekunder (kamâlât tsanawiyyah)-nya, yang dengannya kekurangan-kekurangannya dikalahkan. Dengan ungkapan ini atau dengan ungkapan bahwa kekalahannya adalah atas kamâlât-nya, ia dinamakan alam jabarût dan merupakan sifat ben tuk jabâriy yah Allah: Dan tidak jatuh sebiji Sawi pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (QS al- An âm 6: 59).

Ketiga, qadha dan qadar.(1) Qadha merupakan eksistensi semua maujud dengan hakikatuniversalnya dan bentuk-bentuk konseptualnya di alam akal (al--âlam al-'aqlî) dalam bentuk universal, bukan melalui penampakan. Ia berkaitan dengan al-Haqq al-Awwal, dan terdapat di dalam wilayah Ilahi yang tidak sepatutnya dipandang termasuk sejumlah alam dalam arti sesuatu selain Allah. Akan tetapi, ia dipandang termasuk kebutuhan-kebutuhan Zat-Nya yang tidak diciptakan. Ia adalah khazanah-khazanah Allah Swt yang merupakan pancaran cahaya serta kilauan keindahan dan keagungan.

p: 43


1- 5. Sebagian filosof berpendapat bahwa bentuk-bentuk parsial yang ada di dunia materi itu merupakan tingkatan ilmu Allah Swt yang terakhir. Telah dijelaskan bahwa setiap eksistensi yang bersifat fisik adalah yang mengubah esensi dan eksistensi. Eksistensi, selama keberadaannya di dalam serangkaian gerakan, tidak mungkin diketahui kecuali dengan alat yang bersifat fisik. Pendapat yang mengatakan bahwa maujud yang bersifat fisik – dalam analogi dengan sebab-sebab yang tinggi, adalah tetap, tidak berubah, dan tidak berganti dengan kebaruan atau kesirnaan ada- lah pendapat yang batil. Sebab, materi adalah materi untuk selama-lamanya dan karena perbandingan materi dan keabstrakan darinya bukan suatu bentuk penisbatan. Benar, bila dikatakan bahwa ia merupakan sesuatu yang diketahui dengan aksiden melalui perantaraan bentuk- bentuk yang terindera, tentu ia memiliki bentuk. Setiap maujud yang bersifat materi harus dikenali dari eksistensi terindera yang menyatu dengan bentuk fisik seperti kesatuan peniru dan yang ditiru.

Ada dua macam qadar: qadar 'ilmîdan qadar khârijî. Qadar ‘ilmî adalah teguhnya forma semua maujud di alam jiwa (al- âlam an-nafsi) dalam bentuk parsial sesuai dengan apa yang ada di dalam materi eksternalnya yang bersandar pada sebab- sebab dan 'illah-nya, keharusan bagi waktunya, dan tercipta di dalam kemampuan kognitif dan jiwa impresionistik. Sementara itu, qadar khârijî (eksternal) merupakan eksistensi maujud di dalam materi-materi eksternalnya yang terpisah satu per satu, terikat dengan waktu-waktu dan zaman-zamannya, dan bergantung pada materi-materinya, dan kesiapannya terangkai tanpa terputus dan terus-menerus. Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran (qadar) yang tertentu (QS al-Hijr 15:21). Qadar ‘ilmî di tunjukkan dengan firman-Nya:

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran tertentu (QS al-Qamar 54: 49) dan Allah menghapuskan dan mene- tapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitâb (QS al-Ra'd 13: 49).

Ketahuilah bahwa, sebagaimana alam akal (al-âlam al- ‘aqli) yang diungkapkan dengan qalam menempati kedudukan qadha, alam jiwa langit (al-'îlam al-nafsânî al-samawi) juga menempati kedudukan qadar Allah dan lauhqadha-Nya. Sebab, setiap yang sedang atau akan berjalan di alam ini tertulis ser- ta teguh di dalam jiwa-jiwa falak (nl-nufûs al-falakiyyah). Jiwa- jiwa falak itu mengetahui kebutuhan-kebutuhan gerakannya.

Sebagaimana lukisan-lukisan inderawi itu dituliskan dengan qalam pada lauh, juga terlukis bentuk-bentuk yang telah dike- tahui dan disusun dengan sebab-sebab dan 'illah-'illah-nya secara universal dari alam akal pada alam jiwa-jiwa universal.

p: 44

Bentuk-bentuk itu merupakan qadar-Nya dan tempatnya- yakni alam jiwa-jiwa universal yang ada di jantung alam menurut kalangan sufi-yang berada pada kedudukan qadar dan lauh qadha. Kemudian, lukisan parsial terlukis di dalam kemampuan-kemampuan cetakan yang bersifat falak. Alam ini adalah alam khayal universal dan alam ide ('îlam mitsâl), yakni laul qadar. Selain itu, alam tersebut, yang merupakan jiwa-jiwa akal universal, merupakan lauh qadha. Masing-masing dari kedua alam itu merupakan kitab yang nyata. Kitab pertama adalah al-Lauh al-Mahfûzh, yakni Umm al-Kitâb dan kitab kedua adalah kitab penghapusan (malow) dan peneguhan (itsbât).

Alam ini, yakni alam lauh qadar, adalah alam para malaikat pekerja.

Ringkasnya, alam-alam ini, baik universal maupun parsialnya, seluruhnya merupakan kitab-kitab Ilahi dan catatan-catatan ke-Maha Sucian bagi cakupannya atas kalam- kalam Allah yang sempurna. Alam akal dan alam jiwa-jiwa merupakan dua kitab Ilahi yang kadang-kadang disebut Umm al-Kitâb dan kitab yang nyata karena cakupannya atas segala sesuatu secara umum dan karena kemunculan keduanya di dalam segala sesuatu itu secara tafshîl. Jiwa yang tercetak itu disebut kitab penghapusan dan peneguhan(1) serta insan kamil yang dinamai makrokosmos, kitab yang meliputi kitab-kitab ini,(2) sebagaimana dikatakan alim Rabbânî, orang bijak dari Arab bagi bangsa Arab dan bukan Arab, yakni Imam Ali bin Abi Thalib as berikut ini:

Obatmu ada pada dirimu, tetapi engkau tak merasakan.

p: 45


1- 6. Untuk membuktikan gerakan substansial (al-luarakah al- jawhariyyalı) dalam jiwa-jiwa yang tertutup, ia selalu berada dalam penghapusan, peneguhan, pemisahan dari materi, dan keteguhan, berbeda dengan kitab-kitab Ilahi dan Umm al-Kitâb. Ia adalah alam keteguhan dan ketetapan, bukan alam kebaruan dan gerakan, karena dari suatu alam tidak ada sesuatu yang lain selain Allah. Bahkan, ia berada di dalam wilayah Ulûhiyyah. Alam Rubûbiyyah adalah qadîm dengan ke-qadîm-an Allah dan tidak dijadikan dengan ketidakterciptaan dzât, karena ia termasuk tuntutan-tun- tutan dzât lain yang diciptakan. Keqadimannya bukan kebebasan sehingga menuntut keberbilangan esensi yang qadîm. Hal ini seperti yang dipahami Syaikh Ahmad al- Ihsâ’î. Ia menjadikannya sandaran untuk mengkafirkan pengarang. Keyakinan batil ini tidak berarti apa-apa karena pengarang, dalam banyak risalah dan bukunya, mengatakan bahwa akal merupakan Nur Ilahi dan cahaya Qayyûmiyyah yang ada di dalam wilayah alam Ulûhiyyah, dan Kehadiran Rubûbiyyah bukan termasuk alam. (Mîrzâ Hasan Nûrî).
2- 7. Pengarang menempatkan pembahasan tentang tingkatan- tingkatan imkân dalam kalam dan kitab Allah. Dalam menjelaskan ucapan pengarang dan mengetengahkan pembahasan yang mendalam, kami terpaksa men- jelaskannya berdasarkan kajian pembahasan yang sangat ambigu. Menurut ahli makrifat, kata-kata itu berasal dari makna-makna yang umum, sedangkan maksud kalam adalah yang mengekspresikan perasaan pembicara yang maknanya lebih umum, baik pembicara itu adalah makh- luk maupun Allah. Kalam juga lebih umum berupa perkara yang gaib dan juga yang tampak. Kitab menetapkan sesuatu yang ditulis di dalamnya atau yang tertuliskan, baik dari kertas maupun dari lembaran-lembaran yang bersifat lahir dan bersifat maknawi. Berdasarkan hal itu, semua lembaran wujud kitab takwînî adalah kebenaran (nl- haqq) yang ditulis dengan pena kekuasaan-Nya.

Obatmu ada darimu, tetapi engkau tak melihat.

Engkaulah kitab yang nyata itu.

Dengan ayat-ayatnya ketersembunyian menampak.

Kau kira dirimu benda yang kecil, Padahal dalam dirimu terkandung alam besar.

Hal itu ditegaskan dengan ucapan Abû Yazîd, “Seandainya “Arsy dan segala yang ada di dalamnya masuk beribu-ribu kali ke dalam sebuah sudut hati Abû Yazîd, ia tidak akan merasakannya.” Karena akalnya merupakan kitab bersifat konseptual yang dinamakan Umm al-Kitâb, karena jiwanya merupakan al-Lauh al-Mahfûzh, karena ruh hewani yang ada di dalam otaknya adalah kitab penghapusan dan peneguhan, ia adalah lembaran-lembaran mulia dan suci yang tidak disentuh kecuali oleh mereka yang disucikan. Dari uraian yang kami kemukakan kepada Anda, tampaklah makna ucapan sebagian orang Yunani bahwa jiwa (nafs) adalah substansi mulia yang diumpamakan denganareayang tidak memiliki batas. Pusatnya adalah akal. Akal adalah area yang mengitari pusatnya, yakni kebaikan mutlak pertama. Dengan demikian, setiap benda abstrak (mujarrad) telah mengitarinya, dan ia merupakan pusatnya karena kesamaan hubungan dengannya. Apa yang kami kemukakan ini ditegaskan dengan syair berikut ini.

Tiap rahasia datang dari al-Hagg sampai ke akal.

Dan dari akal menuju jiwa, semuanya tersingkap.

Dari jiwa ke tempat calaya.

Dan dari lembaran khayal kalimat itu tertuliskan.

Dari pikiran, khayal menjadi illam,

p: 46

Bertugas untuk membawa pesan.

Pesan itu disampaikan dalam bentuk isyarat, Dan di dalam kitab dalam bentuk isyarat.

Oleh karena itu, peliharalah apa yang telah kami kemuka- kan dan jangan ditinggalkan kecuali bagi orang yang memiliki hati yang benar atau mendengarkan seraya memperhatikan.

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang selalu bertafakur dan semoga Dia menganugerahkan kepada kita jalan para penempuh jalan spiritual.

p: 47

MANIFESTASI 6

Kekekalan Ketuhanan Allah,...........

Kekekalan Ketuhanan Allah, Penjelasan tentang Kalam-Nya,dan Verifikasi Perbedaan Rinci antara Kitab dan Kalam.

Ketahuilah bahwa sekelompok orang sok pintar yang sibuk dengan sesuatu yang tidak berguna bagi mereka sendiri mengatakan bahwa Tuhan alam semesta ada pada waktu yang paling azali sambil menahan kemurahan dan pemberian nikmat-Nya serta berdiam diri dari melimpahkan dan memberikan kebaikan-Nya. Kemudian, muncullah niat- Nya untuk berbuat. Dia pun mulai berbuat, mencipta, dan memperbaiki. Lalu, Dia menciptakan ciptaan yang agung ini, yang sebagiannya tergapai indera dan sebagian lainnya hanya dapat diketahui dengan analogi dan burhan. Pandangan ini merupakan pendapat yang lemah dan hawa nafsu yang keji.

Sifat-sifat al-Hagg adalah Zat-Nya itu sendiri dan kesempurnaan-kesempurnaan aktif-Nya yang merupakan prinsip-prinsip tindakan-Nya, seperti qudrah (berkuasa), ‘ilm (mengetahui), irâdah (berkehendak), ralımah (mengasihi), dan jûd (bermurah), semuanya bukanlah tambahan pada dzât- Nya. Dia sendiri Maha Kuasa, Maha Berkehendak, dan Maha Pencipta atas apa saja yang diinginkan-Nya, apa pun yang dikehendaki-Nya, Dia melakukan apa yang diinginkan-Nya itu. Dia adalah Pencipta yang selalu dan terus-menerus berbuat

p: 48

atas alam ini, sebagaimana Dia Maha Mengetahui di dalam ke- abadian dan keazalian. Dengan demikian, sifat mencipta (khalq) adalah qadîm (ada sejak waktu azali) dan makhluk atau yang diciptakan adalah hadits (ada kemudian); mengetahui ('ilm) adalah qadîm dan yang diketahui adalah hâdits. Demikian pula, kehendak (irâdah) dan pelimpahan (ifâdhah) terus-menerus berlaku sejak azali, sementara yang dikehendaki (murâd) dan yang dilimpahkan (mufâdh) ada kemudian sebagai ciptaan yang baru. Engkau sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada Sunnah Allah itu (QS al-Fath 48: 23) karena tidak adanya perubahan di dalam Zat-Nya, kesempurnaan-kesempurnaan Zat-Nya; tidak ada pergantian pada pelimpahan-Nya; tidak ada yang dapat mengubah ka limat-kalimat-Nya (QS al-An'âm 6: 115), dan tidak ada perubahan pada fit rah Allah (QS al-Rûm 30: 30).

Firman-Nya adalah penciptaan-Nya dan perintah-Nya adalah kalimat-Nya dan penciptaan-Nya. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah berdirinya langit dan bumi dengan perintah- Nyn (QS al-Rûm 30: 25). Perintah-Nya ke kal. Ja ngan lah engkau keliru dengan menganalogikan ucapan ini dengan ucapan al- Asy'arî bahwa ‘ilm adalah qadîm dan ta'alluq (kebergantungan) adalah hâdits. Sebab, di antara kedua ucapan itu terdapat perbedaan yang jauh, yang membawa mereka pada dugaan buruk yang mengingkari apa yang mereka bayangkan bahwa alam ini hadits sesuai dengan apa yang disepakati para ahli syariat dari kalangan Yahudi, Nasrani, dan Muslim dan meng- ikuti konsensus para nabi. Mereka tidak mengetahui dengan jelas bahwa alam ini, baik keseluruhan, sebagian, universal maupun partikularnya, adalah ciptaan yang baru dan terkait

p: 49

dengan waktu. Hal itu tidak menafikan keberadaan-Nya yang menegakkan keadilan, kejujuran, kemurahan, dan kemuliaan secara azali dan abadi. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat di- halangi (QS al-Isra' 17: 20).

Verifikasi Ketahuilah, hakikat segala sesuatu dan bentuk-bentuk ilmiah aslinya terdapat di sisi Allah, mesti dengan kemestian Zat-Nya, kekal dengan kekekalan-Nya, bukan dengan kekekalannya.

Semuanya adalah satu dalam hal eksistensi, di mana tidak ada keberbilangan dalam eksistensinya, walaupun semua itu ba- nyak dalam makna dan bendanya, yang merupakan bentuk na- ma-na ma dan sifat-sifat Allah, sebagaimana firman-Nya: Dan di sisiNya kunci-kunci kegaiban; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (QS al-An'âm 6:59). Dengan penjelasan ini, dihilangkanlah kesamaran yang terdapat di dalam sabda Rasulullah Saw., “Allah adalah yang mengetahui ('âlim), bukan yang diketahui (maʻlûm)." Tentang bentuk ilmiah ditunjukkan dalam firman- Nya: Ti dak ada sesuatu pun yang gaib di langit dan bumi, melainkan ter dapat di dalam kitab yang nyata (QS al-Naml 27: 75); mereka masing-masing akan dikumpulkan lagi kepada Kami (QS Yâsîn 36: 32); dan Dan Allah menghapuskan kebatilan dan membe narkan kebenaran dengan kalimat-kalimat-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi h a ti (QS al-Syûrâ 42: 24).

Ketahuilah bahwa Sang Pencipta adalah pemilik kekuasaan (qudrah) dan kekuatan (quwwah) yang sempurna. Dia tidak diikuti kelemahan dan ketakberdayaan di dalam Zat-Nya dan tidak pula diiringi keterhapusan dan keusangan di dalam per-

p: 50

buatan-Nya. Dia berbuatdengan kehendak bebas, bukandengan tabiat. Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan kaum ateis.

Dia menegakkan segala hal, melimpahkan kebaikan sejak azali dan hingga abadi, menyebarkan bendera kekuasaan dengan menampakkan segala sesuatu yang mungkin (mumkinât), mengadakan segala yang ada, menciptakan segala makhluk, serta menundukkan dan mengatur segala perkara. Semuanya berada di bawah kekuasaan cahaya-Nya dan pengaruh kebesaran-Nya. Ketahuilah, kepada Allah kembali segala perkara (QS al-Syûrâ 26:53).(1) Penjelasan tentang Bagian-bagian al-Fâ‘il dan Cara Bertindak-Nya atas segala Sesuatu Fâ'il (pelaku perbuatan) dibagi ke dalam enam kelompok.

Pertama, yakni fā'il bi ath-thabʻ(pelaku perbuatan dengan tabiat), yang darinya muncul perbuatan tanpa disadari. Kedua, yakni fî'il bi al-qasr (pelaku perbuatan dengan paksaan), yang darinya muncul perbuatan tanpa disadari dan tidak dikehendaki.

Perbedaan di antara kedua pelaku perbuatan ini adalah yang pertama (pelaku perbuatan dengan tabiat) perbuatannya sesuai dengan wataknya, sementara pada bentuk kedua (pelaku perbuatan dengan paksaan) perbuatannya menyalahi tuntutan wataknya. Ketiga, yakni fã‘il bi al-jabr (pelaku perbuatan dengan dipaksa), yang darinya muncul perbuatan tanpa kehendak bebas setelah ia memiliki pilihan untuk melakukan perbuatan itu atau tidak melakukannya. Ketiga pelaku perbuatan itu sama-sama tidak memiliki keinginan

p: 51


1- 1. Argumentasi ucapan penulis adalah bahwa fî'iliyyah (kepelakuan) al-Haqq al-Awwal atas Eksistensi Wajib- Nya dan kesempurnaan Zat dan hakikat-Nya mustahil berada di luar Zat-Nya. Segala hal yang berada di dalam fa'iliyyah-Nya harus merupakan Zat-Nya itu sendiri. Zat Allah merupakan tujuan dari segala tujuan. Segala maujud yang bukan aspek fâ'iliyyah adalah Zat-Nya itu sendiri. Eksistensinya di dalam penciptaan tidaklah be- bas dan tidak merupakan pilihan sempurna. Ringkasnya, al-Wajib bagi Zat-Nya adalah karena kesempurnaan dzât dan hakikat-Nya. Ia harus selalu merupakan pancaran; pemberian pancaran-Nya tidak terputus dan cahaya-Nya tidak meredup. Sekiranya perbuatan-Nya bergantung pada syarat, sifat, kehendak, kepentingan, dan perkara lain (yang disebutkan ahli perdebatan), niscaya pelaku perbuatan itu adalah himpunan realitas ini. Hal itu pasti berakhir pada Zat yang wajib ada. Walhasil, pancaran- Nya selalu qadim dan tidak ada perintang bagi emanasi- Nya. Segala sesuatu yang berada di dalam wilayah-Nya adalah qadim, sementara yang dikenai emanasi adalah baru (hadits). Ini merupakan jalan tengah al-Haqq dan jalan ahli keyakinan dari kalangan filosof yang teguh. Kaum mutakallif, sebagaimana sebagian pengikut Mu'tazilah, berpendapat tentang kehendak yang terus diperbarui da- lam Zat-Nya. Juga sebagian filosof seperti Abû al-Barakất al-Baghdâdî dan sebagian lainnya berpendapat tentang kehendak yang qadim sebagai tambahan bagi Zat-Nya (karena banyaknya ketidaktahuan, karena ketidakjelasan sebelum adanya pengetahuan, mereka menetapkan takdir yang terbentang tanpa permulaan. Bahkan, mereka mene- gaskan bahwa Tuhan Yang Maha Mengawasi lagi Maha Kudus memiliki kekhususan berkaitan dengan waktu berupa penetapan ukuran, penetapan kuantitas, waktu- waktu, batasan, dan arah). Di setiap lembah mereka bingung dan di setiap bukit mereka linglung.

bebas dalam melakukan perbuatannya. Kempat, yakni fâ'il bi al-qashd (pelaku perbuatan dengan tujuan), yang darinya muncul perbuatan yang didahului dengan kemauannya yang didahului dengan pengetahuannya, berkaitan dengan tu- juannya untuk melakukan perbuatan tersebut. Hubungan asal kekuasaan dan kekuatannya tanpa disertai motif-motif dalam melakukan atau meninggalkan perbuatannya berada dalam tingkatan yang sama. Kelima, yakni fâ'il bi al-'inîyah (pelaku perbuatan dengan bantuan), yang mengikutkan perbuatannya dalam pengetahuannya pada aspek kebaikan di dalamnya ber- dasarkan perkara yang sama. Pengetahuannya tentang aspek kebaikan di dalam perbuatan itu sudah memadai baginya untuk memunculkan perbuatan itu tanpa maksud tambahan atas pengetahuan itu. Keenam, yakni fâ'il bi ar-ridhân (pelaku perbuatan dengan sukarela), yang pengetahuannya tentang esensinya, yang adalah dirinya sendiri, merupakan penyebab adanya sesuatu. Pengetahuannya tentang sesuatu itu adalah eksistensinya juga yang muncul darinya, tanpa ada perbedaan.

Penisbatan pengetahuannya tentang sesuatu juga merupakan penisbatan perlakuannya atas sesuatu itu tanpa perbedaan dan tidak berbilang. Ketiga pelaku perbuatan yang terakhir ini sama-sama melakukan perbuatannya dengan kehendak bebas.

Jelaslah bahwa penyifatan kepada Allah dengan fâ'iliyyah (melakukan perbuatan) dari tiga aspek pertama tidak diboleh- kan. Zat-Nya pun lebih tinggi daripada menjadi fâ'il dalam arti keempat karena tuntutannya, tanpa melihat keterpaksaan- atas perbanyakan yang menuntut perluasan. Dengan demi-

p: 52

kian, Dia adalah fâril (pelaku perbuatan) dengan al-'inâyah atau dengan ar-ridhân. Namun, yang benar adalah bahwa Dia adalah fâ'il dengan al-'inâiyah, karena Allah Swt mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu ada dengan pengetahuan yang merupakan Zat-Nya itu sendiri. Pengetahuan-Nya ten- tang segala sesuatu yang merupakan Zat-Nya itu sendiri men- jadi sumber eksistensi segala sesuatu sehingga Dia menjadi fâ'il dengan al-'inâyah. Janganlah engkau memperhatikan ucap- an kaum Thibâriyyah dan Dahriyyah, semoga Allah menghina- kan mereka, bahwa al-Wajib adalah fâ'il bi ath-thabʻ. Jangan pula engkau perhatikan ucapan mayoritas ahli kalam bahwa Dia adalah fâ'il dengan al-qashd, serta ucapan Syaikh ar-Ra'îs dan para pengikutnya bahwa fâʻiliyyah (kepelakuan)-Nya atas segala sesuatu yang konkret adalah dengan al-'inîyah dan atas bentuk ilmiah yang dihasilkan di dalam Zat-Nya adalah dengan ar-ridhân. Yakinilah apa yang kami jelaskan kepadamu dalam pengkajian masalah ini dan singkaplah penutup kebodohan dan tirai kegelapan dari pandangan batinmu. Jadilah engkau termasuk orang-orang yang mendapat hidayah Allah, lalu ikutilah hidayah mereka. Itulah petunjuk Allah yang dengannya ditunjuki sia pa saja yang Dia kehendaki (QS al-Zumar 39: 23).

Penjelasan Jika engkau ingin mengkaji kalimat-kalimat-Nya, maka ketahui- lah bahwa di antara Pencipta dan alam ini terdapat perantara- an-perantaraan yang bersifat cahaya (wasî'ith al-nûriyyah)? dan sebab-sebab perbuatan-Nya, yang berada di atas makhluk dan di bawah Khâliq. Mereka adalah tabir-tabir(1) Ilahi, tirai-tirai ca-

p: 53


1- 3. Ketahuilah, kaidah kemungkinan tertinggi (imkân al-asyraf) menuntut bahwa awal yang muncul dari al-Haqq al-Awwal adalah maujud sempurna dan abadi serta akal abstrak yang tidak terkena kebaruan dan kehilangan, dan harus ada di antara akal-akal abstrak dan al-Wajib. Demikian pula, di antara setiap akal dan yang menyusulnya ada hubungan spiritual dan kesatuan eksistensi (kesatuan hakikat), walaupun akal-akal memiliki aspek-aspek kemajemukan bersifat akal yang tidak berakhir. Kalau di antara tingkatan- tingkatan itu tidak terdapat kesatuan bersifat spiritual maka – berdasarkan kaidah imkân al-asyraf – hal itu menye- babkan keberadaan cahaya-cahaya yang tidak berujung di antara setiap tingkatan dan yang berikutnya. Tidak mungkin terhindar dari kemusykilan kecuali dikatakan, “Semua rangkaian akal-akal itu menjadi ada dengan satu eksistensi dan hidup dengan satu kehidupan.” Bahkan, jika engkau ditanya, maka jawaban yang benar adalah bahwa akal-akal (ʻuqûl) itu semuanya berasal dari tingkatan- tingkatan eksistensi-Nya, karena ia merupakan derajat yang tinggi dan memiliki keadaan-keadaan, pelataran- pelataran cahaya, dan tabir-tabir Ketuhanan. Tabir-tabir cahaya ini merupakan cahaya eksistensi-Nya dan bagian- bagian hakikat-Nya. (Hakikat itu adalah penyingkapan kesucian Tuhan Yang Maha Luhur tanpa isyarat). Kema- jemukan akal-akal itu tidak merusak ketunggalan dan kesatuannya dengan al-Haqg, karena kemajemukan arah dan penyingkapan serta berbilangannya sudut pandang tidak merusak ketunggalan asal hakikat Eksistensi. Semua akal ada di dalam sebuah eksistensi. Kalaupun engkau me- mandangnya dengan pandangan penghimpunan antara ketunggalan dan kemajemukan, engkau akan mendapati bahwa penjelmaan, penakdiran, dan kemunculan berada dalam bentuk ciptaan. Bahkan, pemakan dan peminum tidak bertentangan dengan ketunggalan asal hakikat yang menjadi ada dengan ketunggalan kemutlakan. Eksistensi memiliki kemunculan, ketersembunyian, kegaiban, kenyataan, kerahasiaan, dan keterbukaan. Kemunculannya berpangkal dari ketersembunyiannya. Kenyataannya berpangkal dari kegaibannya. Keterbukaannya bersumber dari kerahasiaannya. Perhatikanlah dirimu dengan ke- satuan Zat-Nya dan ketunggalan eksistensi-Nya. Ia memiliki tingkatan-tingkatan eksistensi dan aktivitas (fiʻliyyah). Eksistensimu memiliki maqam penyucian dan penyerupaan. Keabstrakannya tidak menafikan perwujud- annya menjadi materi. Ta‘aqqul (rasionalisasi)-nya tidak merusak pengosongannya. Demikian pula halnya aktivitas kekuatan-kekuatan lainnya. Rahasianya adalah bahwa eksistensi yang serba meliput dan sempurna meng- gabungkan keabstrakan (kemurnian) dan perwujudan menjadi materi. Perhatikanlah dirimu. Lalu kembalilah kepada Tuhanmu. Gabungkanlah antara penyucian (tanzîlı) dan penyerupaan (tasybîll). Bila engkau katakan penyucian, engkau bersyarat. Bila engkau katakan penyerupaan, engkau terbatas. Bila engkau katakan dua realitas, engkau tertolak. Engkau adalah pemimpin dan penghulu dalam makrifat. Waspadalah pada penyerupaan bila engkau berdua. Waspadalah pada penyucian bila engkau sendirian.

haya, dan cahaya qayyûmiyyah, seperti cahaya matahari yang terindera itu. Tirai-tirai itu seakan-akan pemisah antara esensi yang mencahayai (al-dzât al-nîrah) dan segala sesuatu yang di- cahayai. Perantara-perantara itu kadang-kadang diungkapkan dengan kalimat Allâl(1) dan kadang-kadang dengan kalimat at- tâmmah, yang tidak dilampaui oleh orang baik ataupun orang- orang durhaka dari kejahatan setiap setan. Ia termasuk alam al-amr yang seluruhnya merupakan kebaikan, tidak ada keja- hatan di dalamnya. Oleh karena itu, isti“îdzah (permohonan perlindungan) dari segala kejahatan dilakukan dengan kalimat Allâh. Setiap hal yang berada di alam makhluk dipenuhi de- ngan kejahatan, kekurangan, dan penyakit. Perantaraan kalimat itu untuk emanasi (al-ifâdhah) ditunjukkan dengan firman-Nya:

Seandainya lautan menjadi tinta untuk menuliskan) kalimat-kali- mat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) ka limat-kalimat Tuhanku (QS al-Kahfi 18: 109).

Kalimat-kalimat menunjukkan(2) esensi-esensi cahaya yang dengannya pancaran eksistensi sampai pada fisik dan sesuatu yang bersifat fisik. Lautan menunjukkan materi pertama (hayûlî) bersifat fisik, yang tugasnya adalah menerima dan memperbarui. Sementara itu, tugas kalimat adalah memberi- kan pancaran atau emanasi demi emanasi. Tidak diragukan, perantara-perantara itu merupakan identitas (huwiyyât) eksis- tensi sederhana dan esensi-esensi abstrak yang luput dari ma- teri fisik. Setiap esensi abstrak merupakan realitas ruhani yang eksistensinya merupakan pengetahuan('ilm) dan penginderaan (idrâk) itu sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa ia merupakan akal-akal ('uqúl) kudus dan ruh-ruh tinggi yang berhubungan

p: 54


1- 4.Dengan demikian, para Imam dinamai kalimật Allâh, karena mereka adalah para perantara yang memiliki dua arah antara Sang Pencipta dan makhluk. Oleh karena itu, kajilah.
2- 5.Tidak ada yang berpendapat bahwa penafsiran ayat itu dengan pengertian ini bertentangan dengan riwayat- riwayatyang datang dari para pengembanilmu dan hikmah, pemilik kemaksuman, yakni bahwayang dimaksud dengan kalimat Allah adalah keutamaan-keutamaan Amirul Muk- minin as. Lautan dalam pengertian kebahasaannya adalah lautan semua alam, karena penafsiran mereka adalah dari aspek batiniah, dan ayat yang mulia itu memiliki aspek batiniah yang lain. Kajilah dan amatilah kebenaran, karena mengkaji kebenaran itulah yang lebih pantas.

dengan al-Haqq al-Awwal seperti hubungan cahaya dengan ma- tahari. Karenanya, kalimat itu dinisbatkan kepada Allah Swt de ngan firman-Nya: Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat- ka li luat-Nga (QS al-An âm 6: 115). Ka dang-kadang kaliuất ini diungkapkan dengan al-'alam al-amr yang kadang-kadang juga diungkapkan dengan gaul Allâh (ucapan Allah), sebagaimana firman Allah Swt: Sesungguhnya ucap an Kami atas sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan padanya “Kun!” (“Jadilah!"), ma ka jadilah ia (QS al-Nahl 16:40) dan Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan atas kebanyakan mereka karena mereka tidak beriman (QS Yâsîn 36: 7). Ringkasnya, kalimat Allâh me ru- pakan realitas maujud yang bersifat ruhani, yang menguat- kan para nabi dengan wah yu: Dan demikianlah Ka mi wahyukan kepadamu wahuju dari amr Ka mi (QS al-Syûrâ 42: 52). Inilah ruh tinggi yang dikatakan bahwa ia tidak berada di bawah bayangan Kun karena ia adalah kalimat kun itu sendiri. Pada esensinya, ia adalah al-amr itu sendiri, dan kalimat Allah itulah yang paling tinggi, di mana dengannya kehidupan segala mau- jud dikatakan “Ruh Allah”: Katakan lah, “Ruh itu termasuk amr Tuhanku" (QS al-Isra' 17: 85). Dan amr Kami ha nyalah satu (QS al-Qamar 54: 50).(1) Pencerahan Akal Tidak diragukan lagi bahwa kehendak-Nya bersifat azali, dan pengkhususan atas beberapa hal dengan hubungan kehendak itu (irâdal) pada waktu-waktunya yang tertentu dan bersifat parsial ketika ada kesiapan disebabkan oleh kelemahan re-

p: 55


1- 6. Di antara kaidah-kaidah yang telah teguh di kalangan ahli tahqîq (verifikasi) dari kalangan ulama yang mendalam ilmunya adalah keaslian wajib di antara setiap ‘illah yang dipancarkan pada eksistensi ma'lûl dan ma'lûl-nya yang dipancarkan darinya. Jika ‘illah itu wajib dengan sendirinya dan tidak tersusun dari bagian-bagian serta merupakan eksistensi murni yang sederhana (basîth) dalam puncak kesederhanaannya, maka ia tidak menjadi “illah bagi dua hal dalam satu tingkatan. Ini karena setiap maʻlûl memiliki kekhususan dalam esensi ‘illah-nya yang memancar dan bersumber dari ‘illah tersebut. Bila tidak, ia akan menyebabkan pengutamaan tanpa ada yang diutamakan (tarjîh bi lân murajjalı) karena kesamaan eksistensi segala sesuatu dalam kaitan dengannya. Hal itu pun akan menyebabkan munculnya setiap sesuatu dari setiap sesuatu. Kekhususan itu harus merupakan kekhususan bagi keduanya (yakni 'illah dan maʻlül). Kadang-kadang kekhususan ini diungkapkan dengan kewajiban menda- hului eksistensi maʻlül. Kekhususan inilah yang menye- babkan eksistensi maʻlûl menjadi ada dan dengannya berbagai sisi ketiadaannya tertutup dan keluar dari batas keseimbangan. Walhasil,ʻillah yang memancar pada setiap sesuatu di dalam esensinya harus mengandung aspek tun- tutan sempurna yang dengannya eksistensi maʻlül menjadi ada. Eksistensi maʻlûl dan tingkatan eksistensi ‘illah- nya lebih kuat dan lebih sempurna daripada eksistensi khususnya. Kami telah menyebutkan bahwa pengetahuan “Menciptakannya sendiri” mengungkapkan pengetahuan- Nya tentangnya dalam bentuk yang lebih mulia. Jika engkau telah memahami apa yang kami bacakan, maka kami katakan: Jika dari al-Haqq al-Awwal mun cul lebih dari satu ma‘lůl, maka masing-masing dari kedua maʻlül itu harus merupakan kekhususan yang membedakan dari yang lain dalam zat permulaannya. Dari sini, muncullah ketiadaan keberadaan permulaan (mabda') sebagai yang tunggal hakiki dan sederhana, bahkan maujud yang menjadi banyak. Jika diasumsikan bahwa kesatuan dan ke- sederhanaan‘illah dan dengan kesederhanaannya muncul hal-hal yang menjadi banyak darinya, maka hal itu menyebabkan yang satu adalah banyak itu sendiri. Oleh karena itu, yang pertama muncul adalah maujud yang sempurna dan meliputi semua konfigurasi dan dengan kesatuannya segala sesuatu menjadi ada. Bagi para muhaqqiq dari kalangan filosof, hal itu merupakan al-'aql al-mwwal dan bagi ahli 'irfân, hal itu merupakan ungkapan wujud sederhana (al-wujúd al-munbasîth). Pengarang meng- gabungkan kedua pendapat ini. Dikatakannya, “Perbedaan antara al-'ngl al-Awwal dan al-wujûd al-munbasîth terjadi secara ijmâl dan tafshíl.” Kebenaran bersamanya, semoga Allah meninggikan kedudukannya.

septif untuk melakukan penerimaan secara sempurna. Jika de- mikian, maka kehendak itu kekal, sebab ucapan itu satu dan khithâb itu kekal. Sesungguhnya amr-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata, “Kun!” (“Jadilah!"), maka jadilah in (QS Yâsîn 36: 82). Al-Maqûl lah (sesuatu yang padanya perkataan disampaikan) dan mukhâtab (pendengar) merupakan sesuatu yang baru. Kalam-Nya yang merupakan amr-Nya berkaitan dengan semua ciptaan (mukawwanat). Perintah penciptaan itu, yakni ucapan dengan kalimat Kun, merupakan sebuah kalimat eksistensial sehingga benda-benda ciptaan mendengar ucapan-Nya dan masuk(1) ke dalam pintu eksistensi. Dan amr Kami ha nyalah satu se perti kejapan mata (QS al-Qamar 54: 50).

Barangsiapa memiliki pendengaran yang hakiki, maka ia akan mendengar kalam al-Haqq. Diriwayatkan dari Nabi Saaw.

bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya di tengah umatku terdapat para pembicara, tetapi mereka bukanlah para nabi pembawa syariat dan risalah.” Dalam riwayat lain, beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang bukan para nabi, yang keadaan mereka diinginkan oleh para nabi.” Artinya, mereka bukan para nabi pembawa syariat, melainkan mereka berada di dalam syariat ini seraya mengikuti Muhammad Saaw.

Ketahuilah bahwa kalam hakiki tidak disyaratkan dengan pakaian lafaz-lafaz dan huruf-huruf dan pembicara tidak dise- rupakan dengan bentuk pribadi, melainkan dengan penyam- paian kalam yang bersifat maknawi ke dalam hati orang yang mendengar dari Allah. Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berkata, “Kami mendengar."Padahal,mereka tidak Manifestasi-Manifestasi Ilahi

p: 56


1- 7. Ini adalah ucapan pertama yang membelah pendengaran mumkinât dan kata yang eksistensial yang di antara kata itu dan entitas-entitas terjadi persaingan.

mendengar. Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. Kalau Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan kalau Allah menja- dikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka berpaling juga (QS al-Anfâl 8: 21 – 23).

Hidayah Ketahuilah bahwa kalam Allah Swt tidak seperti yang diduga kaum Asy'ariyyah, bahwa ia termasuk makna-makna kedirian (sifat kedirian yang tegak dengan Zat-Nya) yang tegak dengan Zat Allah Swt. Mereka menamainya al-kalam al-nafsî. Tidak pula kalam Allah itu seperti pendapat kaum Mu'tazilah bahwa Dia menciptakan suara dan huruf-huruf. Ini menunjukkan bahwa makna-makna itu berada di dalam suatu wujud fisik. Bila demikian, semua kalam adalah kalam Allah. Bahkan, hakikat berbicara (takallum) adalah munculnya kalimat-kalimat yang sempurna (al-kalimânt al-tâmmât)dan diturunkannya ayat-ayat mulkamat dan mutasyâbihat ke dalam selubung lafaz-lafaz dan ungkapan-ungkapan. Kalam itu adalahqur'ân, yakni akal seder- hana (al-'aql al-basîth) (1)dan ilmu al-ijmâlî; furgân yakni ma'qûlît tafshíliyyah. Keduanya bukan al-Kitab, karena keduanya berasal dari alam al-amr dan alam al-qadhâu serta pemikulnya adalah al-Lauh al-Mahfûzh dan pena (al-qalam). Sementara itu, al-Kitab berasal dari alam makhluk (al-khalq) dan takdir (at-taqdîr), dan mazhhar-nya adalah alam al-qadr adz-dzihnî dan al-qadr al-'aynî.

Dua yang pertama tidak dapat dihapus dan diubah, karena ke- duanya berada di luar cakupan waktu, berbeda dengan yang

p: 57


1- 8.Dia mengatakan, kepada siapa yang dikehendaki keberadaannya,"Kun (“Jadilah!"), maka jadilah ia” tidak dengan suara yang diucapkan dan tidak dengan seruan yang terdengar. Kalam-Nya adalah perbuatan dari-Nya. (Dinukil dari Nahj al-Balâghah).

ketiga. Sebab, yang ketiga ini adalah maujud yang berkaitan dengan waktu dan tempatnya adalah lauh qadrî nafsânî, yakni lembaran penghapusan, peneguhan, dan penulisan. Setiap mencapainya, dan Al-Qu'ran. Tidak menyentuhnya kecuali orang- orang yang di sucikan (QS al-Waqi'ah 56: 79).

Ketahuilah, kalam yang diturunkan dari sisi Tuhan alam semesta memiliki beberapa tempat persinggahan (manazil), yakni al-qalam ar-rabbânî, al-Lauh al-Mahfûzh, lauh al-qadr dan langitdunia, dan lisan Jibrila.s.yang menyampaikannya kepada Rasulullah Saaw. dalam semua maqam. Kadangkadang beliau menerimanya dari Allah Swt tanpa perantaraan malaikat, seba gai mana firman-Nya: Kemudian ia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu, in menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah walnjukan.

Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya (QS al-Najm 53:1–11).(1) Kadang-kadang de ngan perantaraan Jibril a.s.: Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.

Kadang-kadang hal itu pada maqam yang bukan maqam Ilahi yang tinggi: Dan sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihatnya (Jibril), (yakni) di Sidrah al-Muntahî. Di dekatnya adalah surga tempat tinggal (QS al-Najm 53: 13–15). Maqam inilah yang ter- jadi pada awal biếtsah (pengangkatan sebagai Nabi) di Gua Hirâu atau di Gunung Fârân. Jibril mendatanginya dalam rupa yang dapat terindera, dan beliau mendengar darinya: Ba calah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tu- hanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan

p: 58


1- 9. Susunan ayat-ayat itu adalah: Demi bintang ketika ter benam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian, dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu, dia menyampaikan kepada hamba- Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya ti- dak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Fiman-Nya: Kemudian ia mendekat adalah Rasulullah Saaw kepada Allah Swt, naik dari tingkatan Jibril as, dan mencapai ar-Rafiq al-Aʻlâ. Oleh karena itu, Jibril as berkata, "Sekiranya semut mendekat, tentu ia terbakar." Firman-Nya: Lalu lebih dekat lagi, maksudnya adalah Rasulullah Saaw hanyalah sekadar lingkaran eksistensi yang meliputi semua yang terbagi dengan garis yang tidak jelas, yang membagi lingkaran itu menjadi dua paruh. Ka- rena kebermulaan dan pendekatan, makhluk merupakan busur pertama yang menutupi identitas dalam entitas- entitas segala makhluk dan memberinya bentuk. Sementara itu, al-Haqq adalah paruh lainnya, yang didekati sedikit demi sedikit. Demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli talgîg. Firman-Nya: Atau lebih dekat lagi menunjukkan dihilangkannya keduaan dan kefanaan di dalam tauhid dan kekal di dalam-Nya. Inilah yang ditunjukkan Ibn Fâridh: Dalam terjaga setelah penghapusan aku tidak menjadi selain-Nya. Diri-Ku dengan diriku ketika Aku menampakkan diri, aku menampakkan diri. Bagaimana dengan nama al-Haqq – dinaungi penjelmaanku menjadi materi. Cerita-cerita bohong keraguan menjadi ketakutanku. Kemudian, Dia mewahyukan kepada hamba-Nya rahasia-rahasia Ilahi dalam maqam ahadiyyah tanpa perantaraan Jibril. Maqam ini ditunjukkan oleh Rasulullah Saaw., “Aku memiliki waktu bersama Allah yang tidak dimiliki malaikat yang dekat dengan Allah dan tidak pula Nabi yang diutus." Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya berada dalam maqam keberhimpunan (jam“), ketunggalan (aluadiyyah), dan entifikasi (taʻayyun) awal dari hakikat- hakikat Ilahi. Dalam istilah ahli tauhid, fu’âd adalah ha- ti yang naik ke maqam ruh dalam menyaksikan segala kesaksian bagi dzât bersama penghimpunan sifat-sifat yang ada dengan sifat-sifat yang benar. Penghimpunan ini adalah penghimpunan eksistensi, bukan penghimpunan kesatuan yang tidak ada fu'ând di dalamnya dan tidak pula ada hamba bagi segala sesuatu. Penghimpunan dzât itu, di kalangan mereka, disebut ta'wîlât al--îrif al-kâmil al-kânsyî.

perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya (QS al-'Alaq 96: 1-5), se ba gaimana Musa as mendengar (wahyu) di Thûr Sînê. Ketika ia melihat api ...

Maka, ketika in datang ke tempat api itu, ia dipanggil, “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Oleh karena itu, tanggalkanlah kedua terompahmu ... Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan.

Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain-Ku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku (QS Thâhâ 20: 10– 14). Dari tempat-tempat persinggahan ka lam Allah yang tercatat di dalam kertas tampak kepada setiap orang, setiap pembicara membicarakannya, dan setiap pen- dengar mendengarkannya. Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam ... dan ia benar- benar di dalam kitab-kitab orang-orang terdahulu (QS al-Syu'arâ’ 26: 192 – 196).

p: 59

MANIFESTASI 7

Kebaruan Alam dan Keberadaan...............

Kebaruan Alam dan Keberadaan Eksistensinya, Eksistensi Segala Sesuatu di Dalamnya yang Didahului Ketiadaan Berkaitan dengan Waktu, Penjelasan ihwal Gerakan Substansial, dan Kajian tentang Kehancuran dan Kesirnaan Alam.

Ketahuilah, kitab-kitab Ilahi dan ayat-ayat kalam berbicara bahwa alam ini seluruhnya adalah baru berkaitan dengan waktu. Sebab, tujuan penciptaan alam ini bukan alam itu sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih mulia daripadanya. Tujuan penciptaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah menyampaikan segala sesuatu itu pada tujuan esensialnya dan kebaikan asalnya serta menghilangkan kejahatan dan kekurangannya darinya. Hal itu dimaksudkan agar alam ini seluruhnya merupakan kebaikan murni yang tidak ada kejahatan di dalamnya, cahaya murni yang tidak ada kegelapan di dalamnya, kesempurnaan yang tidak ada kekurangan di dalamnya, dan agama itu seluruhnya milik Allah. Tujuan dari asal penciptaan itu adalah keberadaan Pencipta dan limpahan-Nya yang mengantarkan setiap kekurangan pada kesempurnaan-Nya dan menyampaikan materi pada bentuknya, bentuk pada makna dan dirinya, dirinya pada tingkatan akal dan kedudukan ruh. Di sana terdapat ketenangan, ketenteraman, kebahagiaan puncak, kebaikan tertinggi, tujuan paling luhur, hati paling jernih

p: 60

dalam bangunan bumi dan langit, dan perjalanan bahtera materi pertama (hayûlî) dalam topan dunia. Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula (QS al-Anfâl 8: 42). Un tuk itu, didatangkan para nabi, para rasul, al-Kitab, dan para penyeru yang berperan sebagai nakhoda bagi bahtera ini sehingga ia dapat memotong jalan kejahatan dan kejahatan itu terputus, serta orang-orang yang duduk di dalamnya sampai ke tempat menetap mereka. Dunia hilang; kiamat ditegakkan, dan kejahatan dan ahli-ahlinya binasa. Oleh karena itu, wahai saudaraku, peliharalah ilmu yang tersimpan dan rahasia yang terpendam ini, yang hanya disentuh oleh orang-orang suci.

Bukti Rasional Ketahuilah, yang baru (hâdits) setelah ketiadaan haruslah yang diutamakan (murajjall) karena kemustahilan terjadinya sesuatu tanpa sebab. Murajjah itu harus berupa sesuatu yang baru seluruhnya atau sesuatu dari kesempurnaannya.

Jika tidak, pengutamaan (tarjîl) itu menjadi kekal sehingga pengaruh pun menjadi kekal. Ia bukan sesuatu yang baru. Ia telah diasumsikan sebagai sesuatu yang baru, dan ini berbeda.

Kemudian, kalam kembali pada murajjah. Dengan demikian, ‘illah-'illah yang baru membentuk rangkaian tasalsul yang tidak berhenti pada suatu ujung, dan ini adalah batil. Sebab, engkau mengetahui bahwa Pencipta adalah tempat permulaan serangkaian mumkinât seluruhnya dan Dia adalah azali, bukan baru. Atau, ia merupakan sebab-sebab yang beruntun. Masing-

p: 61

masing dari satu sebab menjadi sebab bagi yang berikutnya.

Dengan demikian, rangkaian itu harus berhenti pada satu sebab, yakni “illah dari seluruh ‘illah. Jadi, terbukti bahwa alam fisik adalah sesuatu yang baru dengan segala sesuatu di dalamnya.

Ketahuilah, masalah(1)kebaruanalaminidenganpembuktian adanya Pencipta serta pengesaan-Nya dan pengesaan sifat- sifat-Nya adalah salah satu hal yang dikaruniakan Allah kepada para muhaqqiq-Nya dan Dia mengutamakannya di atas kebanyakan makhluk-Nya. Segala puji bagi Allah yang telah me- nunjuki kami kepada ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk (QS al-A'râf 7: 43).

Pelengkap Ketahuilah, di dalam Kitab Ilahi terdapat banyak ayat yang menunjukkan kebinasaan dan kerusakan alam, tetapi bentuk- bentuk ilmiahnya kekal di sisi Allah Yang Maha Qadim.

Demikian menurut pendapat para filosof terkemuka dan para pengikut mereka terdahulu, kecuali para sahabat Aristoteles dan orang-orang yang datang kemudian. Di antara ayat-ayat tersebut ada lah firman Allah berikut:

Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada Hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya (QS al- Zumar 39: 67).

Dan ditiuplah sangkakala. Maka matilahı siapa yang ada di langit dan di bumi (QS al-Zumar 39: 68).

p: 62


1- 1. Ketahuilah, masalah ini pun termasuk masalah-masalah yang tidak mudah dikaji dan diketahui esensinya bagi seorang filosof atau arif dari generasi terdahulu dan generasi kemudian kecuali pengarang buku ini – semoga Allah meninggikan derajatnya. Ia termasuk segelintir filosof yang mampu menggabungkan antara syariat dan filsafat (hikmah). Telah terbukti bahwa alim ini, dengan beban keberadaannya, adalah seorang pembaru eksistensi dan identitas, dan bahwa hakikatnya adalah perubah- an itu sendiri. Setiap maujud yang berkaitan dengan waktu didahului ketiadaan yang jelas berkenaan dengan waktu berdasarkan esensi dan substansinya. Setiap identitas yang bersifat materi bisa ada dan kemudian ru- sak. Waktunya tidak kekal dan keadaannya tidak tetap, melainkan mengalami pembaruan. Keteguhannya adalah kebaruan itu sendiri. Setiap eksistensi dan keadaan materi berubah setiap saat. Allah memanifestasi dalam setiap maujud dengan nama-nama keagungan dan keindahan- Nya. Setiap manifestasi menuntut ciptaan baru dan setiap hari Dia selalu sibuk. Karena manifestasi ini teguh dan berlangsung terus-menerus, maka orang yang lalai mengira bahwa segala sesuatu adalah teguh. Sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang penciptaan yang baru. Bagi al-Haqq tidak ada penghalang untuk memberikan emanasi dan mencipta. Bahkan, fitrah-Nya adalah emanasi-Nya dan karakter-Nya adalah kemurahan. Kalau pertolongan itu250 S bukan berasal dari al-Haqq, tentu seluruh ciptaan ini sirna. Kedua tangan-Nya terjulur untuk memberikan ciptaan yang satu dan menghilangkan ciptaan yang lain. Ketahuilah, membuktikan kebaruan alam ini dengan metodologi ahli penelitian secara ringkas adalah bahwa perubahan itu tidak dikhususkan untuk aksiden berupa kuantitas (kam), kualitas (kaif), posisi (wadh‘), dan tempat (ain), karena tempat pertama gerakan dan pelaku lang- sung perubahan itu tidak boleh berupa realitas yang esensinya tetap dan eksistensinya tidak berubah. Sebab, perubahan itu harus berupa realitas yang berubah dan mengalir. Jelaslah bahwa syaikh dan filosof lain se- zamannya, semoga Allah menyucikan ruh mereka – menyiarkan bahwa sebab perubahan itu harus berupa realitas yang berubah. Mereka mengatakan bahwa materi, dari sisi ketetapannya, tidak menjadi sebab bagi gerakan itu. Akan tetapi, ia harus mengikuti perubahan dari luar seperti pembaruan tingkatan-tingkatan kedekatan dan kejauhan dari tujuan yang dimaksud dalam gerakan- gerakan materi, dan seperti pembaruan keadaan-keadaan lain dalam gerakan-gerakan terpaksa, seperti pembaruan kehendak yang muncul dari diri berdasarkan kebaruan keadaan-keadaan yang mendorong gerakan itu. Di dalam setiap gerakan ter dapat dua rangkaian: pertama, rangkaian asal gerakan; kedua, rangkaian yang tersusun dari keadaan- keadaan yang datang satu per satu. Yang tetap seperti materi bersama setiap bagian dari kedua rangkaian itu merupakan sebab syarat bagi yang lain. Demikian pula seba liknya: tidak bisa dalam bentuk daur yang mustahil terjadi. Namun, jawaban ini tidak memuaskan bagi orang yang berpengalaman dalam filsafat. Sebab, pembahasan tentang sebab yang menyebabkan gerakan dan perubahan bukanlah dalam ‘illah yang tersedia. Semua perubahan yang aksiden dan kuantitasnya harus muncul dari materi substansial. Ini karena pelaku semua gerakan adalah materi yang bersifat fisik. Materi yang tetap tidak menjadi sebab bagi pembaruan dan perubahan. Untuk bahasan lebih rinci tentang masalah ini, silakan merujuk pada al- Asfar dan buku-buku lain karya pengarang.

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti berjalannya mwan. (Be- gitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh setiap sesua tu (QS al-Naml 27: 88).

Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mengganti dengan makhluk yang baru (QS İbrâhîm 14: 19).

(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit (QS İbrâhîm 14: 48).

Ayat-ayat ini semuanya menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi akan rusak dan lenyap dengan tiupan sangkakala oleh Israfil. Di antara ayat-ayat yang menunjukkan kebaruan alam ini adalah firman Allah:

Din-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.(1) Kemudian, Dia bersemayam di atas “Arsy (QS al-Hadîd 57: 4).

Allâh mengabarkan penciptaan segala makhluk ciptaan dalam masa ini. Hal ini karena eksistensi perkara baru itu muncul secara bertahap. Waktu kejadiannya adalah juga waktu ketetapan dan kelangsungannya. Sebab, ia tidak memiliki kekekalan kecuali kejadian yang terus-menerus diperbarui.

Dengan demikian, melalui bukti itu dan juga Al-Qur'an, diketahui bahwa alam fisik ini seluruhnya adalah baru yang didahului dengan ketiadaan berkenaan dengan waktu. Fisik alamiah tidak memiliki kekekalan karena ia pada esensi- nya tidak luput dari kejadian baru. Identitas sesuatu yang pada esensinya tidak luput dari kejadian baru adalah baru; esensinya muncul secara bertahap, dan ia merupakan ciptaan yang dapat berubah. Namun, hakikat-hakikat kejenisan adalah eksistensi yang teguh pada ilmu Allah. Ilmu-Nya tentang sega-

p: 63


1- 2.Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “Enam hari” adalah jumlah lafaz kun. Jumlahnya dengan jumlah dua huruf yang diucapkan adalah 72. Itu merupakan jumlah saat dalam enam hari. Oleh karena itu, amatilah.

la sesuatu adalah teguh, tidak berubah, sementara objek-objek pengetahuan (maʻlûmât) dapat berubah, sebagaimana qudrah- Nya ber-sifat azali. Dan segala sesuatu yang muncul karena qudrah-Nya (maqdûrît) adalah baru. Apa yang ada di sisi kalian akan hilang dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal (QS al-Nahl 16: 96).

Verifikasi 'Arsyî Ketahuilah, hari-hari yang padanya terjadi penciptaan seluruh ciptaan bukanlah termasuk hari-hari dunia yang setiap hari- nya berada dalam peredaran matahari dengan gerakan orbit terjauh. Akan tetapi, hal itu termasuk hari-hari Rubûbiyyah yang setiap harinya sebanding dengan seribu tahun menurut perhitungan kalian. Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, ke- mudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang qadar- nya adalah seribu tahun menurut perhitungan kalian (QS al-Sajdah 32: 5). Sesung guhnya se hari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut per hi tungan kalian (QS al-Hajj 22: 47). Enam hari ini adalah enam ribu tahun dalam hitungan waktu Adam as, masa awal penciptaan segala ciptaan, berdasarkan perhitungan ahli sejarah dan ditegaskan oleh para astronom, hingga masa diutusnya Nabi Saaw. Allah mengabarkan penciptaan segala ciptaan dalam masa ini dalam arti penyempurnaannya, karena penyempurnaan segala ciptaan adalah dengan keberadaan Nabi Saaw. dan risalahnya. Ketahuilah bahwa hari-hari Ilâhiyyah bukanlah hari-hari Rubûbiyyah, karena hari Ilahi adalah hari tempat-tempat kenaikan yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun. Tidak seorang pun dapat menolaknya.

p: 64

(Yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik.

Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Maka, bersabarlah kamu dengan kesabaran yang baik (QS al-Ma'ārij 70: 2–5).

Penglihatan Akal Ketahuilah, sebab ditempatkannya diri manusia di alam ini(1) dan diujinya dengan ujian-ujian duniawi ini, yang melingkupi mereka di sana, adalah kesalahan(2) yang dilakukannya karena kecacatan imkân dalam substansinya dan kekurangan alamiah dalam esensinya dari ayah mereka, Adam as, ketika merasakan buah pohon dan tampak auratnya (QS al-A'râf 7: 22). Itulah pohon yang dilarang untuk dimakan. Lalu, ketika tipuan Iblis yang dilakukan kepada Adam as mencapai tujuannya dengan menimpakan penderitaan kepadanya, menggapai harapannya dengan menimpakan rasa waswas kepadanya, maka ia lalu me- mohon kepada Tuhannya agar diberi tangguh hingga hari me- reka dibangkitkan. Ketika permohonannya dikabulkan hingga waktu tertentu, ia membuat untuk dirinya sendiri surga yang ditumbuhi pohon-pohon tumbuh dan dialiri sungai-sungai yang menyerupai surga yang ditempati Adam as. Ia memban- dingkannya dan menginginkan yang semisalnya untuk dijadi- kan tempat tinggal, keturunan, anak-anak, dan para pengikut- nya. Surga yang diinginkannya itu seperti fatamorgana yang dikira air oleh orang yang sedang kehausan. Setelah menda- tanginya, ia tidak menemukan apa pun. Hal itu karena ia termasuk golongan jin dan analoginya seperti analogi kaum sofis yang keliru. Tujuan dari analogi itu adalah menjauhkan

p: 65


1- 3. Inilah yang terkandung di dalam ucapan guru para filosof, Guru Pertama, dalam Ontologi, bahwa penyebab keberadaan jiwa-jiwa manusia di alam ini adalah karena jiwa-jiwa itu berbulu seperti burung. Ketika bulunya ber- guguran karena perbuatan dosa jiwa bapak, maka mereka pun jatuh seperti burung di udara ke alam dunia. Jika jiwa-jiwa itu berbulu lagi, maka mereka dikembalikan ke alamnya yang semula.
2- 4.Ketahuilah bahwa jiwa-jiwa sebelum eksistensi yang bersifat fisik dan materi ini memiliki eksistensi di alam akal alam al-'aql) tidak dalam bentuk majemuk dan berbilang, karena keberbilangan dan kemajemukan meru- pakan karakteristik materi yang bersifat fisik. Jiwa-jiwa di alam ini, mengingat keterkaitannya dengan badan dan kejatuhannya ke dalam materi yang bersifat fisik, menjadi berbilang dan majemuk. Setiap alam memiliki karakteristik dan tuntutan khusus. Ketahuilah, masalah kejatuhan ji- wa dari alam kudus dan tempat tinggal ayahnya yang disucikan disebutkan dalam banyak ayat Alquran, kitab- kitab samawi, dan catatan-catatan perjalanan para filosof zaman dahulu. Penyebab kejatuhan dan turunnya me- reka adalah kejahatan yang mereka lakukan. Pengkajian masalah ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki pijakan teguh dalam pengetahuan-pengetahuan filsafat, mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki tingkatan-tingkatan eksistensi, dan mengetahui bahwa manusia memiliki eksistensi rasional (wujûd´aqliyyah), ek- sistensi ideal (wujûd mitsâliyyah), dan eksistensi material (wujûd maddiyyalı) serta meyakini kepastian kembalinya yang akhir (nihâyât) kepada permulaan(bidâyât). Sesungguh- nya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Telah ditegaskan bahwa perjalanan sesuatu dalam menyempurnakan dirinya, menggapai tujuan formalnya, kembali pada permulaannya, dan prinsip-prinsip keaktifannya merupakan tujuan penciptaan oleh al-Hagg, dan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan yang akan dicapainya. Ketahuilah, dosa yang muncul dari bapak kita yang disucikan ini adalah kesalahan yang bersifat penciptaan, yakni aspek-aspek dan sudut pandang-sudut pandang yang ada di dalam akal murni (ʻngl mujarrad) dan jiwa- jiwa sebelum badan yang ada dengan aspek-aspek dan sudut pandang-sudut pandang rasional yang mendahului aspek-spek material. Setiap akal memiliki eksistensi jiwa- jiwa yang terpisah dari badan.

makhluk dari ajaran yang benar dan jalan yang lurus. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah, wahai penempuh jalan spiritual menuju Allah dan yang terbang dengan sayap ilmu dan pengamalan! Mudah-mudahan engkau diperkenankan untuk keluar dari surga Iblis sehingga engkau dapat kembali ke surga ayahmu, Adam as, dan terbebas dari kotoran ras ketu- runan Iblis. Mereka menempati sudut-sudut urusan duniawi dengan kekafiran para pembangkang dan kesesatan orang- orang munafik, semoga Allah melindungi kita dari para pengikut dan tentara Iblis serta menganugerahi kita kekuatan untuk menjauhi keindahan dan perhiasan dunia. Barangsiapa bersandar pada keduniaan itu, tenggelam di dalam lautan syahwatnya, melakukan keharaman-keharamannya, dan asyik di dalam kelezatannya, maka ujiannya menjadi lama, musibah- nya menjadi besar, dan dirinya dihalangi dari surga bapaknya, Adam as.

p: 66

MANIFESTASI 8

Cara Bermula dan Kembali.....

Cara Bermula dan Kembali dan Isyarat ihwal Hierarki Turun dan Hierarki Naik Ketahuilah bahwa Allah adalah Pengatur makhluk dengan me- ngeluarkan mereka dari alam kemungkinan (mumkin al-imkân) menuju alam arwah. Kemudian, Dia menurunkan mereka dari alam arwah ke alam asybâh melewati kerajaan (malakút) tertinggi dan terendah dari jiwa-jiwa langit dan bumi, melalui orbit, bintang, ether, udara, air, dan tanah hingga mereka sam- pai ke tempat yang paling rendah dan neraka kegelapan, yakni materi pertama (hayûlû) dan lautan kegelapan. Negeri yang penghuninya zalim adalah akhir pengaturan perkara berda- sarkan firman-Nya: Dia mengatur urusan dari langit ke bumi (QS al-Sajdah 32: 5). Ke mu dian, terjadi pengembalian pada pintu kemanusiaan dengan tarikan-tarikan pertolongan Kehadiran Ilahi di mana terjadi proses turun melewati tempat-tempat persinggahan dan maqam-maqam hingga sampai ke insân kamil yang merupakan ruh alam, tempat penampakan diri Allah, dan khalifah-Nya. Pengertian ini ditunjukkan dengan perkataan berikut Tak ada yang mengingkari Allah Untuk menghimpun alam ini jadi satu.

p: 67

Barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak mem- pu nyai cahaya sedikit pun (QS al-Nûr 24: 40). Allah adalah pencipta kegelapan dan cahaya.

Penyingkapan dan Penerangan Ketahuilah bahwa hakikat Muhammad Saaw.(1) merupakan penampakan (mazhhar) nama Allah yang paling agung (al- ism al-aʻzham). Telah teguh di dalam ilmu-ilmu Ilahi bahwa al-Haqq merupakan bukti atas segala sesuatu, sebagaimana fir man-Nya: Apa kah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) balowa sesung- guhnya Dia me nyaksikan segala sesuatu? (QS Fushshilat 41: 53).

Selain itu, bahwa mabda' (permulaan) adalah tujuan itu sendiri; permulaan adalah akhir itu sendiri. Allah adalah pelaku segala sesuatu; dan manusia paripurna (al-insan al-Kâmil), yang tidak ada yang lebih sempurna darinya, adalah tujuan segenap makhluk. Kalau bukan karenamu, Aku tidak akan menciptakan alam ini. Jadi, ia harus menjadi bukti (burhân) bagi sesuatu yang lain, sebagaimana fir man-Nya: Telah datang kepada kalian bukti dari Tuhan kalian (QS al-Nisâ' 4: 174). Dan Kami datangkan kamu sebagai saksi atas mereka (QS al-Nisa' 4: 41).(2) Ketahuilah bahwa Allah telah menjadikan diri Nabi Saaw.

sebagai bukti, tidak seperti para nabi lainnya yang bukti mere- ka ada pada sesuatu yang lain, bukan pada diri mereka, seperti bukti Nabi Musa as adalah pada tongkatnya, tangannya, dan batu yang darinya terpancar dua belas mata air; setiap kelompok menge tahui tempat minum mereka (QS al-A'râf 7: 160). Jika diri Nabi Saaw. adalah bukti bagi segala sesuatu, maka setiap anggota tubuh dari organ-organ lahiriah dan batiniahnya

p: 68


1- 1.Bagi pengkaji yang memiliki pandangan hati, nama Allah yang paling agung (al-ism al-aʻzham) serta manifestasi dan kemunculannya bersumber dari ahadiyyah. Keesaan Zat (nl-ahadiyyah adz-dzîtiyyah) sendiri adalah tingkatan insan kâmil dan para waslu-nya, karena otoritas universal Mu- hammad Saaw. menjadi batin Ilahi. Dalilnya adalah bahwa Muhammad Saaw. merupakan mazhhar bagi manifestasi Zat-Nya. Kedudukan ini tidak diberikan kepada nabi yang lain, dan bahwa nabi-nabi yang lain merupakan mazhhar bagi manifestasi nama-nama dan sifat-sifatnya. Oleh karena itu, beliau bersabda, “Adam dan yang selainnya berada di bawah panjiku.” Diriwayatkan dari para Imam as, “Kami adalah orang-orang terakhir yang mendahului.” Ketahuilah, setelah mencapai tingkatan wâhidiyyah, mazhhar nama-nama Ilahi, dan barzakhiyyah kedua, tinggallah bagi Nabi Saaw satu tingkatan yang lain dari mazhhariyyah, yakni maqam au adnî (lebih dekat lagi), “arsy al-luwiyyah (tahta identitas), dan barzakhiyyah (perbatasan), pertama; dan bahwa aspek al-luubbî (cinta) yang ditunjukkan dengan firman-Nya, “Aku ingin dikenal” yang merupakan pangkal perkawinan yang terjadi pada segala sesuatu dan yang memelihara semua kemajemukan menjadi penyebab berkumpulnya nama- nama esensial (nl-asman al-dzîtiyyah) dan kunci-kunci kegaiban nama-nama pertama (al-awwaliyyah al-asma'iyyah) dalam al-ahadiyyah dan nama-nama universal otentik (al- asmâ' al-kulliyyah al-ashliyyah) dalam wahidiyyah, serta dari terjadinya pertemuan, percampuran, dan perkawinan di antara nama-nama esensial di dalam ahadiyyah dan nama-nama universal dalam wahidiyyah. Hati yang bersih dan suci melahirkan salah satu ahadi-ahmadî jam'î yang menghimpun antara kesempurnaan dzât dan nama-nama. Ia merupakan bentuk entifikasi pertama (taʻayyun al- awwal) dan mazhhar ahadiyyah. Maqam ini disebut maqam kesatuan dari kesatuan (jam' al-jam“). Tidak ada akhir bagi kebaikan-kebaikan yang menyertai maqam ini. Dengan keberadaannya, seluruh tingkatan kewalian (wilayah) ber- akhir. Maqam ini dikhususkan bagi Rasulullah Saaw dan para washi-nya. Dari mereka lahirlah semua mazhhar penciptaan. Imam Ali as berkata, “Turunkanlah kami dari Rubûbiyyah, lalu ucapkanlah tentang hak kami se- mau kalian.” Beliau juga berkata, “Kami adalah rahasia- rahasia Allah yang disimpan di dalam raga kemanusiaan.” Diriwayatkan hadis dari Imam Abû Muhammad al- Askari as, “Para penyaksi segala hakikat naik dengan kaki kenabian dan kewalian hingga berkata: Kalîm (yakni, Nabi Musa as, penerj.) memakai jubah pilihan, menepati janji kami. Ruh kudus di taman-taman Shânglúrah merasakan bâkûrah (buah-buah pertama) dari kebun-kebun kami.” Ini merupakan rahasia kewalian (wilayahı) mutlak Muhammad Saw. Mereka adalah al-'urwah al-wusthân karena maksum. Keutamaan mereka dibawa dalam wahyu. Keutamaan dalam asy-Syûrâ dan Hal atâ serta dalam al-Ahzâb berikutnya diketahui.
2- 2. Rahasia yang terkandung di dalamnya adalah bahwa ia memiliki tingkatan mw adnâ (atau lebih dekat) dan kesatuan dari kesatuan. Ia menampakkan diri dalam semua mazhhar. Eksistensi para nabi yang lain adalah seperti kedudukan cabang-cabang dan ranting-ranting. Ia memiliki maqam kekhataman mutlak. Di balik tingkatan ini tidak ada lagi selain kegaiban mutlak yang terbuka. Bagi pemiliknya, da- ri pembukaan-pembukaan terdapat pembukaan mutlak, dari batin-batin terdapat batin ketujuh, dari maqam- maqam terdapat maqam au adnâ, dari esensi-esensi lembut terdapat esensi lembut kemanusiaan ketujuh. Rasulullah Saaw menampakkan diri di dalam mazhhar-mazhluar semua nabi dan wali sejak Adam as hingga kita sekarang. Bagi para waslí-nya pun, dari pembukaan-pembukaan terdapat pembukaan mutlak. Namun, mereka mewarisi maqam ini. Mereka pun memiliki kemunculan dan tembusan di dalam segala sesuatu. Hakikat Almadiyyah dan wilayah kulliyyah Muhammadiyyah memiliki kemunculan dan penampakan diri yang kadang-kadang muncul dalam rupa kenabian mutlak yang menghimpun antara penetapan syariat (tasyri) dan taʻrîf (makrifat) dan kadang-kadang dalam rupa kewalian universal tanpa jubah kenabian, karena kewalian itu adalah batin kenabian. Wali adalah batin nama Allah, dan kewalian adalah batin Ilahiah. Perbedaan di antara keduanya ada dalam kemunculan dan ketersembu- nyian. Rahasia keutamaan Nabi Muhammad Saaw atas yang lainnya hanyalah dalam keluasan wilayah kewalian dan kenabiannya yang mewujud dari sisi kewalian. Barangsiapa mengetahui hal ini, maka ia mengetahui ra- hasia keutamaan para Imam yang suci atas para para nabi yang diutus dan ûlûl'azmi di antara mereka. Diriwayatkan dari Maulana Hasan al-Askari as, “Pada kami ada kenabian, kewalian, dan kemuliaan. Kami adalah menara hidayah. Para nabi mendapat pancaran dari cahaya kami dan hujjah Allah akan muncul atas semua makhluk.”

adalah bukti juga. Bukti itu adalah kekuatan ilmunya, seperti dikatakan Imam Ali as, “Nabi Saaw mengajariku seribu bab ilmu. Lalu dari setiap bab itu aku mendeduksi seribu bab lagi.” Bila keadaan sang waslî saja seperti ini, apalagi keadaan Nabi Saaw yang mengajarinya. Bukti akal praktisnya adalah firman Allah Swt: Dan sesung guhnya Engkau benar-benar berada dalam akhlak yang agung (QS al-Qalam 68: 4). Ana logikanlah pada keduanya bukti anggota-anggota tubuhnya yang lain, yakni kekuatan lahiriah dan kekuatan batiniah. Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS al- Najm 53:3–4).

Catatan Janganlah sekali-kali engkau mengira bahwa Nabi Saaw tidak mengetahui urusan ruh. Bagaimana ia bisa menjadi bukti dan manifestasi bagi semua sifat, sebagaimana disangkakan se- kelompok orang bahwa Allah menyamarkan pengetahuan ten- tang ruh kepada makhluk, dan hanya Dia yang mengetahuinya.

Bahkan, karena kebodohan mereka yang kelewat batas itu, me- reka berkata berkenaan dengan kedudukan kenabian bahwa Nabi Saaw tidak mengetahuinya. Terlalu tinggi kedudukan kekasih Allah dari tidak mengetahui perkara ruh. Allah telah menganugerahinya pengetahuan itu berdasarkan firman- Nya: Dia mengajarimu apa yang tidak engkau ketahui, dan karunia Allah kepa damu sangatlah besar (QS al-Nisa' 4: 113). Ketahuilah, diamnya Nabi Saaw tidak menjawab pertanyaan tentang ruh dan menunggu turunnya wahyu ketika orang-orang Yahudi

p: 69

bertanya kepadanya adalah karena perkara tersebut sulit dipahami. Beliau melihat ada kesulitan dalam menjawabnya karena orang-orang Yahudi itu tidak akan memahaminya disebabkan kedunguan, kekerasan hati, dan kerusakan akidah mereka. Persepsi tidak akan mempersepsi sesuatu apa pun yang bukan termasuk jenisnya. Indera tidak akan mengindera kecuali sesuatu yang dapat diindera. Imajinasi tidak akan mengenali kecuali sesuatu yang bersifat imajinatif. Akal tidak akan memahami kecuali sesuatu yang bersifat rasional (ʻaqlı).

Allah Swt berfirman: Dan tidak mema haminya kecuali orang-orang yang berilmu (QS al-Ankabût 29:43). Orang-orang yang berilmu adalah mereka yang, karena pengaruh keagungan dan fana dari egoisme eksistensi mereka, telah mencapai dasar lautan hakikat. Dengan demikian, mereka mengenal Allah dengan Allah serta mengesakan dan menguduskan-Nya. Dengan Allah, mereka mendengar, melihat, berbicara, dan menangkap [pengetahuan). Bagaimana pengetahuan tentang ruh ini bisa menjadi bahaya bagi orang yang memiliki maqam tinggi dan tingkatan luhur? Itulah karunia Allah yang dianugerahkan kepada siapa saja yang Dia kehendaki; dan Allah memiliki karunia yang amat besar (QS al-Jumu'ah 62: 4).

Verifikasi Ketahuilah bahwa tujuan dari segala maujud ini dan kekuatan- kekuatan alam, tetumbuhan, dan binatang seluruhnya adalah untuk manusia yang merupakan hasil tertinggi, inti paling jernih, dan tujuan paling puncak dari eksistensi ciptaan yang lain. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa apa

p: 70

yang ada di alam ini, berupa ciptaan-ciptaan lain, semuanya diciptakan untuk manusia. Tentang materi dan benda-benda mati, Allah berfirman: Dan Dia [menunduk kan pula] apa yang diciptakan untuk kalian di bumi ini dengan berbagai macamnya.

Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda [kekuasaan Allah] bagi kaum yang meng ambil pelajaran (QS al-Nahl 16: 13).

Dan Dia-lah yang menundukkan lautan agar kalian dapat memakan darinya daging yang segar, dan kalian mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kalian pakai (QS al-Nahl 16: 14). Tentang tetumbuhan, Allah berfirman: Allah yang men ciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan air hujan itu. Dia mengeluarkan berbagai buah-buahan menjadi rezeki untuk kalian (QS İbrâhîm 14: 32).

Ketahuilah bahwa Allah menjadikannya sebagai manusia dalam tujuh tingkatan. Ini ditunjukkan di berbagai tempat yang berbeda berdasarkan tuntutan hikmah. Judul Dia mencip ta kannya dari tanah [min turâb] (QS Âli `Imrân 3: 59) menunjukkan mabda' pertama. Judul dari lumpur hitam (min thîn) menunjukkan gabungan antara tanah dan air. Judul dari lumpur hitam yang diberi bentuk (luama'in masnún] (QS al-Hijr 15: 26, 28, 33) menunjukkan ta nah yang berubah karena uda ra dengan perubahan ringan. Judul dari tanah liat [min tlúîn lânzib] (QS al-Shaffât 37: 11) menunjukkan ta nah yang tetap dalam keseimbangan yang siap untuk menerima bentuk. Judul dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk [min shalshâlin min hama'in masnûn] (QS al-Hijr 15: 26, 28, 33) menunjukkan pembentukan dan mengambil pembalutan darinya. Di tempat dari tanah kering seperti tembikar (min shalshâlin

p: 71

kal fakhkhâr] (QS al-Rahmân 55: 14) itulah yang ka dang-ka dang dapat menerima pengaruh dari api sehingga ia menjadi se- perti tembikar. Dengan kekuatan api ini dalam diri manusia diperoleh pengaruh dari setan. Pengertian ini ditunjukkan da- lam firman-Nya: Dia menciptakan manusia dari tanah kering se per- ti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api (QS al-Rahmân 55: 14-15). Allah mengingatkan bahwa dalam diri manusia ada kekuatan setan menurut kadar pengaruh api pada tembikar, dan bahwa setan sendiri diciptakan dari nyala api yang tidak bisa diam. Lalu Allah mengingatkan penyempurnaan manusia de ngan tiupan ruh ke dalam dirinya berdasarkan firman-Nya:

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya, Kutiupkan kepadanya rul-Ku (QS Shâd 38: 71–72). Setelah itu, Allah mengingatkan penyempurnaan diri manusia dengan ilmu dan pengetahuan ber dasarkan firman-Nya: Dan Dia mengajari Adam nama- nama selu ruh nya (QS al-Baqarah 2: 31). Telah je laslah bahwa eksistensi manusia tidak terjadi dari Allah kecuali setelah materi alamiahnya disempurnakan dengan semua tingkatan ciptaan dan dilewatinya tingkatan-tingkatan tetumbuhan dan binatang, serta pada dirinya berkumpul semua kekuatan ta- nah dan pengaruh-pengaruh tetumbuhan dan binatang. Ini- lah tingkat kemanusiaan pertama yang dimiliki semua indi- vidu manusia. Kemudian, dengan kekuatannya, ia dapat naik ke alam langit dan melewati malakut tertinggi sebagai hasil da- ri ilmu dan pengamalan. Selanjutnya, untuknya dilipatkan ja- rak di antara kedua alam itu dan ditinggikan dari kedua alam itu dengan disempurnakan esensinya melalui pengetahuan

p: 72

dan peribadatan yang sempurna serta meraih keberuntungan berupa pertemuan dengan Allah setelah fana dari esensinya dan didengar doanya di alam suci jabarût. Ketika itu, ia menjadi pemimpin yang dipatuhi di alam tertinggi itu. Para malaikat bersujud kepadanya dan hukumnya berlaku atas malaikat dan di kerajaan langit. Mereka adalah makhluk pilihan Allah. Se- moga Allah menjadikan kita manusia yang yakin dan insan yang hakiki.

Pelengkap Ketahuilah, Allah Swt telah menghimpun kekuatan-kekuatan alam dalam diri manusia dan menciptakan manusia itu setelah segala sesuatu tersedia, yang terkumpul di alam ini. [Dia-lah] Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah (QS al-Sajdah 32: 7). Allah Swt men ciptakan sesuatu yang sederhana, yang kompleks, yang bersifat ruhaniah, pembuat, dan pembentuk.

Dengan demikian, manusia, dalam hal terkumpulnya kekuatan- kekuatan alam di dalam dirinya, laksana ringkasan al-Kitâb dan naskah pilihan dari al-Kitâb, yang kalimatnya ringkas tetapi maknanya sempurna. Ia bagaikan busa susu, krim dari wijen, dan minyak da ri zaitun. Allah Swt berfirman: Perumpamaan cahaya-Nya, yakni, di dalam hati orang Mukmin, sebagaimana menurut qirâ'ah Ibn Mas'ûd, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (misykat) yang di dalamnya terdapat pelita. Pelita itu di dalam kaca. Kaca itu laksana bintang yang seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkali, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat,... (QS

p: 73

al-Nûr 24: 35). Misy kat adalah badan. Kaca ada lah ruh hewani yang menempati posisi cermin bagi sifat-sifatnya. Minyak adalah kekuatan kudus yang merupakan aspek yang paling utama dari akal material (nl-'aql al-hayúlâní); ia merupakan tingkatan pertama jiwa yang berbicara dan berpikir dan tingkatan terakhir jiwa yang merasa. Pohon yang diberkahi adalah kekuatan berpikir; ia adalah aspek yang paling utama dari kekuatan imajinatif. Dari perumpamaan ini diperoleh per- umpamaan-perumpamaan lain yang berguna bagimu dalam menggapai tujuan. Dalam diri manusia terdapat segala sesuatu yang merupakan contoh dari apa yang ada di alam besar ini.

Maha Suci Allah yang menciptakaan keadaan ini. Tidak ada yang dapat melakukan hal ini selain Dia. Maka, Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik (QS al-Mu'minûn 23: 14).

Catatan Ketahuilah, perumpamaan ruh yang menopang badan adalah seperti api lampu, dan jantungnya adalah seperti cahaya dan darah hitam, yang di dalam jantungnya ada sumbu dan ma- kanan lembut yang diperlukannya seperti minyak, dan kehi- dupan lahiriah pada organ-organ tubuh yang disebabkannya adalah seperti lampu di sejumlah rumah. Sebagaimana lampu padam bila aliran minyaknya terhenti, maka lampu ruh pun akan padam bila kiriman makanannya terhenti. Sebagaimana sumbu kadang-kadang terbakar dan menjadi abu karena tidak mendapat aliran minyak sehingga lampu pun padam walau- pun berisi banyak minyak, demikian pula darah yang men- jadi tempat bergantungnya uap di dalam jantung sehingga ia akan padam meskipun ada makanan. Ia tidak menerima ma-

p: 74

kanan yang dapat mengekalkan ruh, sebagaimana abu tidak menerima minyak sehingga api tidak dapat menyala padanya.

Sebagaimana lampu kadang-kadang padam akibat dari dalam dirinya, seperti telah disebutkan, dan kadang-kadang akibat gangguan dari luar, seperti angin kencang, demikian pula ruh kadang-kadang padam oleh penyebab dari dalam dan kadang- kadang oleh penyebab dari luar, seperti akal, dan sebagaimana matinya lampu itu disebabkan waktu keberadaannya telah ber- akhir. Hal itu merupakan ajalnya, yang ada di dalam Umm al- Kitâb, dengan salah satu sebab yang telah ditentukan di dalam takdir, yakni berupa habisnya minyak, kerusakan sumbu, angin kencang, atau tiupan manusia. Demikian pula, padamnya ruh dan ajalnya ditentukan dalam qadha dan qadar Allah dengan salah satu sebab. Sebagaimana bila lampu padam dan seluruh rumah menjadi gelap, ruh pun padam dan seluruh badan menjadi gelap dan cahaya ruh itu meninggalkannya. Dari penjelasan yang telah kami kemukakan, hendaklah engkau menyalakan jiwa dari prinsip-prinsip yang tinggi, kalimat- kalimat yang sempurna, dan cahaya yang kekal. Cukuplah apa yang dikemukakan kepadamu berupa masalah-masalah yang berkenaan dengan ketuhanan bila engkau termasuk ahlinya.

Janganlah engkau mengingkari apa yang dibisikkan ke dalam telingamu berupa kesamaran beberapa masalah yang benar dengan beberapa masalah yang batil, karena kesamaran itu termasuk tindakan persepsi. Jika engkau memisahkan akal dan menyalakannya dengan cahaya kekudusan, maka akan jelaslah hakikat apa yang aku jelaskan kepadamu. Bila engkau mau, aku akan jelaskan kepadamu apa yang ada di dalam diri

p: 75

dan batinmu sehingga engkau meyakini apa yang aku jelaskan.

Aku akan memberikan permisalan kepadamu. Oleh karena itu, sekarang perhatikanlah apa yang aku katakan kepadamu tentang “Arsy dan al-Kursî.

Ketahuilah, “Arsy adalah manifestasi Tuhan dan Ka'bah adalah tanda-Nya. Allah mengajak para hamba menuju ma- nifestasi-Nya dengan hati mereka dan menuju tanda-Nya dengan badan mereka. Jika engkau memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa “Arsy adalah jantung alam semesta dan makrokosmos, sementara al-Kursî adalah dadanya, karena yang dimaksud dengan jantung maknawi adalah tingkatan jiwa yang mengatur dan mengenali hal-hal universal (kulliyyât) dan hati sanubari adalah manifestasinya. Demikian pula, yang dimaksud dengan dada maknawi adalah tingkatan jiwa hewani yang mengenali hal-hal partikular (juz'iyyât). Dada jasmani ini merupakan manifestasinya. Hubungan kelurusan jiwa manusia dengan hatinya untuk bertadabbur dengan kelurusan ar-Rahmân di atas “Arsy-Nya dengan pertolongan dan kasih sayang adalah seperti hubungan hati sanubari dengan “Arsy sanubari. Demikian pula, hubungan tindakan jiwa inderawi hewani dalam dada yang melingkupi substansi jantung di tempat darah alamiah yang tersebar di seluruh badan dengan tindakan kekuatan malakut dengan izin Allah pada al-Kursi yang mengelilingi substansi tujuh langit beserta cahaya- cahayanya adalah seperti hubungan dada parsial dengan al- Kursî yang bersifat fisik. Pahamilah apa yang aku kemukakan ini dan ambillah yang benar karena kebenaran lebih pantas untuk diambil.

p: 76

Penutup Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa Allah Swt telah memuji orang-orang yang mengamati esensi segala sesuatu, yang me- mikirkan penciptaan langit dan bumi, dan yang mengingat Allah dalam memperhatikan pengaruh-pengaruh penciptaan dan eksistensi-Nya. [Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka me mi kirkan penciptaan langit dan bumi (QS Ali `Imrân 3: 191).

Pilar terbesar dan pegangan paling kuat dalam melakukan pengamatan dan berpikir adalah kedekatan dengan Allah dan diperolehnya kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan ini hanya bisa diraih dengan memiliki ilmu pengetahuan dan makrifat, bukan dengan pengamalan dan ketaatan semata-mata, walaupun amal saleh merupakan sebuah cara atau wasilah.

Kepada-Nya perkataan yang baik naik, dan amal saleh dinaikkan- Nya (QS Fâthir 35: 10).

Allah Swt, dalam banyak ayat, telah mendorong hamba- hamba-Nya untuk mencari ilmu dengan penalaran, pembela- jaran, dan pengamatan atas perbuatan-perbuatan-Nya dan me- nafakkuri ayat-ayat-Nya, seperti dalam ayat-ayat berikut.

Maka ambillah pelajaran, walai orang-orang yang memiliki pan- dangan (QS al-Hasyr 59: 2).

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang ber akal (QS Ali `Imrân 3: 190).

Apakah mereka tidak memikirkan ... Apakah mereka tidak mem- perhatikan,... (QS al-A'râf 7: 184–185).

p: 77

Allah Swt menjadikan ketidaktahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya sebagai penyebab kembali ke neraka Jahim dan sik saan yang pedih. Allah Swt berfirman: Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (QS Thâhâ 20: 124). Barangsiapa lupa mengingat Allah, maka ia termasuk orang-orang yang pantas mendapatkan azab, siap untuk mendapat siksaan, dan dikumpulkan dalam keadaan buta dan tuli.

Hal itu karena akhirat dibina di atas makrifat dan zikir.

Karena akhirat merupakan sumber pengenalan dan esensi hewani, seperti akan kami jelaskan, maka memakmurkannya adalah dengan keyakinan, niat yang benar, dan pengenalan yang tulus. Sementara itu, dunia dibina di atas kegelapan materi dan memakmurkannya adalah dengan mengikuti syahwat dan angan-angan yang batil, karena ia merupakan sumber kotoran. Barangsiapa buta di dunia ini, maka di akhirat pun ia buta dan le bih sesat jalannya (QS al-Isra' 17: 72). Oleh karena itu, wahai saudaraku, jadilah termasuk orang-orang yang mengenal rahasia-rahasia Ilahi dan yang menyaksikan tanda-tanda ketuhanan sehingga cahaya kebenaran terbit di ufuk rahmat dan kegelapan ilusi sirna dan hilang dari ufuk kesesatan sehingga engkau melihat mereka yang menempati tempat-tempat dalam eksistensimu dan para pemimpin bahtera-bahtera yang bergerak di lautan batinmu. Agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula (QS al-Anfâl 8: 42).

p: 78

**

BAGIAN KEDUA

Tentang Kebangkitan (Ma'âd)

photo

p: 79

MANIFESTASI 1

Pembuktian dan Penjelasan Berbagai

Pembuktian dan Penjelasan Berbagai Pendapat ihwal Kebangkitan Jasmani.

Ketahuilah, para pengkaji dari kalangan filosof ahli syariat ber- pendapat tentang adanya kebangkitan kembali (ma'âd),(1) tetapi terjadi perbedaan pendapat tentang bagaimana caranya. Ma- yoritas teolog (mutakallim) dan ahli fiqih berpendapat bahwa ma'îd hanya terjadi pada jasmani – mengingat bahwa ruh me- rupakan benda lembut yang mengalir pada badan. Sementara itu, mayoritas filosof berpendapat bahwa ma'âd hanya terjadi pada ruhani. Di sisi lain, para filosof (al-lukamâ), teosof (al- mu ta'allihîn), dan para syaikh ahli makrifat (al-‘urafî) dalam agama ini berpendapat bahwa ma'îd terjadi pada jasmani dan ruhani sekaligus.(2) Ma'îd jasmani disebabkan manusia ini memiliki ruh dan jasad yang akan kembali ke akhirat, sehingga ketika seseorang melihatnya di Mahsyar, ia berkata, “Inilah si fulan yang yang dulu di dunia.” Barangsiapa mengingkari hal ini, maka ia telah mengingkari satu pilar utama dalam keimanan sehingga ia menjadi kafir menurut akal dan syariat. Ini berarti bahwa ia mengingkari banyak nash dan termasuk kaum ateis dan Dah- riyyah, termasuk mereka yang tidak dipandang sebagai kaum filosof dan tidak pula mereka dijadikan rujukan dalam cara berpikir ('ngalliyyât). Mereka pun tidak memiliki bagian dalam syariat. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari kebang- kitan jasad dan jiwa. Di antara mereka ada yang berpendapat

p: 80


1- 1. Beberapa pendapat tentang ma‘âd akan dijelaskan di bagian akhir buku ini.
2- 2. Pendapat bahwa kembalinya sesuatu yang sudah tidak ada (maʼdûm) tidak mungkin terjadi bertentangan dengan pendapat ini, karena mayat Zayd, misalnya, organ-organ asalnya tidak sirna. Oleh karena itu, mengembalikannya pada keadaan semula bukanlah sesuatu yang mustahil.

bahwa jika seseorang mati, maka lenyaplah ia. Ia tidak akan dihidupkan kembali. Mereka adalah orang-orang yang paling hina. Dinukil dari Galenus tentang tidak adanya komentar atas masalah ma'îd karena keragu-raguannya dalam urusan jiwa ini, apakah ia merupakan campuran sehingga akan sirna ataukah merupakan bentuk abstrak (yang luput dari materi] sehingga akan kekal.

Ketahuilah, perbedaan pendapat para penganut agama- agama dalam masalah ini serta tatacaranya hanyalah karena kesamaran dan peliknya masalah ini sehingga para filosof (lukamân'), seperti Syaikhar-Ra'îs dan orang-orang yang setingkat dengannya, menetapkan prinsip-prinsip ini, tetapi akal mereka dungu untuk menentukan tatacara ma'îd itu. Ayat-ayat dalam kitab-kitab samawi pun sama dalam menjelaskan makna ini.

Di dalam Injil disebutkan, “Manusia dikumpulkan sebagai ma- laikat yang tidak makan, tidak minum, tidak tidur, dan tidak beranak.” Di dalam Taurat disebutkan, “Para penghuni surga tinggal di dalam kenikmatan selama sepuluh ribu tahun, lalu mereka menjadi malaikat. Para penghuni neraka tinggal di da- lam jahim, lalu mereka menjadi setan." Dalam beberapa ayat Al-Qur'an disebutkan bahwa manusia dikumpulkan secara indi vi dual, seperti firman Allah Swt: Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri (QS Maryam 19: 95). Dalam se bagian ayat yang lain disebutkan bahwa mereka dikumpulkan dalam bentuk jasmani, seperti dalam fir man-Nya: Pada hari me reka diseret ke neraka di atas muka mereka (QS al-Qamar 54: 48). Sebagian ayat yang lain menunjukkan bahwa ma‘ad terjadi pada badan dan sebagian

p: 81

ayat menunjukkan bahwa ma'âd terjadi pada ruh. Yang benar adalah bahwa ma'âd terjadi pada keduanya. Ma'âd pada Hari Kiamat pada manusia sendiri(1) adalah dengan jiwa dan badan.

Karakter-karakter badan berupa ukuran, keadaan, dan se- bagainya mengalami perubahan. Tidak ada celanya kalau esen- si badan itu kekal, karena esensi setiap badan hanyalah dengan kekekalan jiwa bersama substansinya. Jika karakter-karakter substansi itu berubah hingga kalau engkau pernah melihat seseorang pada waktu yang lalu, lalu engkau melihatnya lagi setelah waktu yang lama dan keadaan-keadaan jasmaninya te- lah berubah, maka engkau tidak akan ragu untuk memastikan bahwa orang itu adalah orang yang pernah engkau lihat sebelumnya. Perubahan substansi fisik tidak ada pengaruhnya selama bentuk kejiwaannya terpelihara. Banyak esensi badan ini yang hilang dari badan di akhirat, karena badan di akhirat seperti bayangan ruh atau seperti bayangan terbalik yang ter- lihat pada cermin. Selain itu, ruh pada badan itu seperti cahaya yang mengenai dinding.(2) Perhatikanlah ucapan ini sehingga keadaan yang jelas tampak kepadamu.

Verifikasi Ketahuilah, jika hubungan jiwa dengan badan ini terputus, ma- ka jiwa itu kekal dan jiwa tersebut juga bisa rusak. Hal ini(3) di- tunjukkan dengan ucapan Musa as, Isa as, dan para nabi yang lain. Musa as berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Bertobatlah kepada Pencipta kalian, lalu bunuhlah diri kalian” (QS al-Baqarah 2:54). Arti nya, bunuhlah jasad ini dengan pedang karena sub- stansi jiwa tidak tersentuh besi. Isa as berkata kepada kaum

p: 82


1- 3. Penjelasan tentang tujuannya dan jawaban atas keraguan- keraguan terhadapnya akan dikemukakan di bagian akhir buku ini.
2- 4. Ini merupakan sebaik-baik perumpamaan. Sebagaimana tidak ada celanya kalau dinding berubah sementara esensi cahaya terpelihara, demikian pula tidak ada celanya kalau badan berubah dalam menerima jiwa de- ngan kepribadiannya. Badan duniawi bukanlah bayangan yang muncul dari jiwa. Jika tidak, tuntutannya tidak akan bertentangan dengan tuntutan jiwa. Namun, dalam ma'âd, badan itu mengalami perubahan dan menjadi seperti bayangan dan seperti imitasinya yang terbalik. Badan itu meniru sifat-sifat dan pembawaan-pembawaan yang terdapat di dalam jiwa, sebagaimana bayangan meniru sosok dan bentuk aslinya. Ini merupakan penjelmaan 258S amalan-amalan dan perwujudan akhlak yang disebutkan di dalam syariat yang suci dari para imam dan pemimpin kita – shalawat atas mereka, dengan berbagai ungkapan. Lafaz-lafaznya serupa dan maknanya saling menguatkan, sebagaimana yang tampak dari kajian terhadap kitab- kitab Hadis. Oleh karena itu, kajilah dan ikutilah. Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kita dengan hidayah serta memuliakan kita dengan pencahayaan dari cahaya- cahaya mereka dan memandu kita dengan cahaya mentari dan rembulan mereka – shalawat dan salam atas mereka. Dan juga kepada guru kami, Mîrzâ Hasan an-Nûrî- se- moga Allah mengekalkan pertolongan kepadanya. Kalimat “Dan juga kepada guru kami” ditulis oleh orang yang melakukan penukilan, yaitu Ustadz Aghâ‘Alî Mudarris.
3- 5. Da lam al-Mabda' wa al-Ma'ad disebutkan: ... Termasuk yang menunjukkan kekekalan jiwa dan bahwa jiwa itu tetap tepelihara dengan baik walaupun jasad rusak.

Hawariyyûn, “Jika aku meninggalkan rangka ini, maka aku berdiri di udara di sebelah kanan “Arsy di hadapan Bapakku dan Bapak kalian. Aku memberi syafaat kepada kalian. Oleh karena itu, pergilah kepada raja-raja di berbagai penjuru dan ajaklah mereka kepada Allah dan janganlah memuliakan me- reka, karena aku bersama kalian ke mana saja kalian pergi de- ngan memberikan pertolongan dan kekuatan kepada kalian.” Nabi Muhammad Saaw menunjukkan, "Kalian dikembalikan ke al-Haudh.” Bukti lain adalah bahwa Ahlul Bait Nabi Saaw.

meyakini pandangan ini ketika mereka menyerahkan jasad mereka kepada para pembunuh di Karbala secara sukarela.

Mereka justru tidak ridha mengikuti hukum Yazîd dan Ibn Ziyâd dan bersabar dalam menahan tikaman, pukulan, dan kehausan hingga jiwa mereka meninggalkan jasad mereka dan naik ke kerajaan langit. Mereka bertemu dengan para leluhur mereka yang suci Di antara ucapan para pemuka adalah yang menunjukkan hal ini. Dalam beberapa ungkapan filosofisnya, Plato berkata, “Kalau kita tidak akan mengalami ma'âd yang kita harapkan kebaikan di dalamnya, tentu dunia ini menjadi tempat segala kejahatan.” Ia juga berkata, “Kita di sini adalah orang-orang asing dalam tawanan materi dan kedekatan dengan setan yang mengeluarkan kita dari alam kita dengan sebuah pengkhianatan dari ayah kita, Adam as.” Sebelumnya kami telah mengemukakan apa yang menunjukkan hal itu. Ini pun ditunjukkan dengan ucapan Pythagoras dalam artikelnya yang terkenal dengan pesan-pesan emas(1) yang disampaikan kepada Diogenes. Pada akhir pesannya, ia berkata, “Jika

p: 83


1- 6. Dalam al-Mabda' wa al-Ma'ad disebutkan: ... Ia ada pada kami.

engkau meninggalkan badan ini hingga menjadi benda hampa di udara, maka waktu itu ia berpetualang dan tidak kembali menjadi manusia dan tidak akan ditimpa kematian." Tujuan pembuktian dengan ucapan para filosof dan pesan-pesan mereka setelah perbuatan-perbuatan para nabi(1) adalah kare- na di tengah masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang berpura-pura berfilsafat tetapi mereka tidak mengenal filsafat kecuali sekadar nama saja dan mereka tidak memahami raha- sia-rahasianya.(2) Mereka tersesat, tetapi mereka tidak menya- darinya.

Ketahuilah juga bahwa jika jiwa meninggalkan badan karena rusaknya percampuran, maka kemungkinannya adalah bahwa ia berpindah ke alam akal ('âlam al-‘uqûl) atau ke alam ide ('âlam al-mitsâl) yang disebut imajinasi (khayâl) yang terpisah yang menyerupai imajinasi yang bersambung ke tubuh binatang di alam ini atau hilang. Kemungkinan- kemungkinan itu tidak lebih dari empat. Dua yang terakhir adalah batil. Tinggallah dua yang pertama. Yang pertama adalah untuk golongan al-muqarrabûn dan yang kedua adalah untuk golongan kanan (ashhab al-yamîn) dan golongan kiri (nslıhâb asy-syimâl) dalam tingkatan masing-masing.

Terbukanya Penutup Mata Ketahuilah bahwa jiwa tidak bereinkarnasi dari satu badan ke badan lain di dunia, baik menjadi manusia yang disebut naskh, menjadi binatang yang disebut maskh, menjadi tumbuh- tumbuhan yang disebut faskh, atau menjadi benda mati yang disebut raskh. Benar bahwa jiwa memiliki bentuk yang

p: 84


1- 7. Dan syariat-syariat mereka.
2- 8. ... Fardu-fardu dan nafilah-nafilahnya, serta kelompok- kelompok dari Syar'iyyûn yang tidak mengenal syariat kecuali tulisannya saja, yang duduk di depan majelis dan berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka kuasai dengan baik dan berdebat tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui kadang-kadang tentang filsafat dengan syariat dan kadang-kadang pula tentang syariat dengan filsafat. Akhirnya, mereka berdiri dalam kebingungan dan keraguan sehingga mereka tersesat dan menyesatkan, te- tapi mereka tidak menyadarinya. (al-Mabda' wa al-Ma'âd, hlm. 233).

berbeda-beda di alam lain, yang bukan alam ini. Reinkarnasi (tanâsukh) dalam arti perubahan jiwa ke dalam bentuk yang lain menjadi bentuk binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda mati merupakan tingkatan yang rendah berdasarkan akhlak dan kebiasaan buruknya di dunia. Hal itu bukan merupakan sesuatu yang tidak bisa dibuktikan, melainkan hal itu(1)terbukti menurut ahli haqq serta para penganut agama- agama dan syariat, seba gai mana di dalam firman Allah Swt:

Dan Dia menjadikan sebagian mereka kera, babi, dan penyembah thagut (QS al-Mâidah 5: 60). Artinya, me reka ber einkarnasi menjadi binatang-binatang tersebut. Juga, fir man-Nya: Jadilah kalian kera yang hina (QS al-Baqarah 2: 65). Artinya, se telah perpsahan dengan badan, seperti sabda Nabi Saaw., “Manusia dikumpulkan pada Hari Kiamat dalam berbagai rupa” – yakni, dalam rupa yang sesuai dengan bentuk kejiwaan mere- ka. Oleh karena itu, dikatakan, “Tidak ada yang membantah bahwa ajaran reinkarnasi memiliki pijakan yang kokoh." Pe- ngertian inilah yang terkandung di dalam pendapat tentang reinkarnasi yang dikutip dari para tokoh filsafat, seperti Plato dan orang-orang sebelumnya, seperti Socrates, Pythagoras, Empedokles, Ighosadimon, dan Hermes yang digelari bapak filsafat. Jika engkau telah memahami hal ini, maka akan tam- paklah kepadamu bahwa pertentangan itu hanyalah bersifat verbal. Semuanya sepakat tentang batilnya reinkarnasi dalam pengertian yang dikenal luas.

Reinkarnasi yang benar menurut para tokoh kasyf dan syuluûd serta para penganut agama dan syariat adalah reinkarnasi batin menjadi binatang dan perubahan lahiriah

p: 85


1- 9. Perkara yang telah diteliti secara mendalam oleh para pemuka kasyf dan syuluậd.

dari suatu bentuk yang sesuai dengan perubahan batin karena dominasi kekuatan kejiwaan sehingga perubahan percampuran dan bentuk itu menjadi suatu bentuk yang memiliki sifat binatang. Hal ini terjadi pada suatu kaum yang jiwa mereka dikuasai kesengsaraan dan akal mereka lemah. Reinkarnasi menjadi binatang (maskli) ini sering terjadi pada zaman kita sekarang, sebagaimana reinkarnasi menjadi binatang pada Bani Israil. Hal ini ditunjukkan dengan sabda Nabi Saaw, “Mereka menampakkan persaudaraan dan menyembunyikan permusuhan. Lisan mereka lebih manis daripada madu, tetapi hati mereka lebih pahit daripada labu pahit. Hati mereka adalah hati serigala. Di tengah orang banyak mereka berpakaian kulit domba karena lembut." Ini adalah maskh batin: hatinya adalah hati serigala dan rupanya adalah rupa manusia. Semoga Allah memelihara kita dari kebinasaan ini.

Menyanggah Argumentasi Lawan Ketahuilah, yang termasyhur dalam menjelaskan batilnya re- inkarnasi adalah bahwa jika jiwa bereinkarnasi, maka satu ba- dan akan memiliki dua jiwa atau lebih. Dan itu mustahil. Sang- gahan ini masyhur, sebagaimana disebutkan Syaikh dalam al-Isyârât. Kami akan mengutip beberapa argumentasi mereka dan kami akan menjawabnya dengan taufik Allah Swt.

Pertama, mereka berargumentasi bahwa jika orang-orang jahil dan pendurhaka meninggalkan badan dan kekuatan yang mengingatkan keburukan perbuatan-perbuatan mereka dan ke- salahan-kesalahan karena kebodohan mereka, yang mengenali tabiat dan pandangan mereka, maka mereka menyelamatkan

p: 86

diri ke alam malakut. Lantas, di mana kesengsaraan? Jawabannya adalah bahwa mereka memiliki badan akhirat yang dengannya mereka dikumpulkan, dikenali, dan disiksa dengan berbagai kepedihan sesuai dengan perbuatan- per- buatan mereka.

Kedua, mereka berargumentasi(1) bahwa binatang tidak memiliki organ kecuali pada panas yang memiliki kemampuan penguraian. Kemudian, binatang memiliki perilaku yang menakjubkan dan gerakan-gerakan pikiran, seperti lebah dan sarangnya, laba-laba dengan rajutannya, serta kera dan burung parkit dengan kecerdikan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan seperti orang yang berakal. Selain itu, kepemimpinan singa, kesombongan harimau, pendengaran unta, firasat kuda, kesetiaan anjing, dan kelicikan burung elang, semuanya ini memiliki temperamen atau watak jahatnya; kehati-hatian hewan ternak pada serigala yang terpelihara di dalam imajinasi sehingga tidak berhati-hati pada hewan lain yang berbeda dalam ukuran, bentuk dan warnanya.

Dari suatu pengertian universal yang mengharuskan jiwa abstrak, tidak boleh diabaikan tanpa naik ke tingkatan manusia atau mencapai kebahagiaan yang bersifat akal (ʻnglí) setelah berpisah dari badan.

Jawabannya adalah bahwa setiap binatang memiliki ke- mampuan yang memberinya ilham dan pembimbing yang mengarahkannya pada karakter-karakter perilaku yang menakjubkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt:

Dan Tuhanmu memberikan walnju kepada lebah (QS al-Fath 48: 6).(2) Para penganut paham reinkarnasi yang paling lemah adalah

p: 87


1- 10. Dalam al-Syawâhid al- Rubûbiyyah disebutkan: Tidak seorang pun boleh mengatakan kuda berkurang sifat kekudaannya (hlm. 163, cetakan al-Hijriyyah).
2- 11. Di dalam al-Syawâhid, setelah mengutip ayat itu, penulisnya berkata, “Sebagian pengaruhnya tidak jauh dari pemilik perasaan parsial karena kita tidak mengingkari tiadanya keberbilangan darinya. Tingkatan itu dekat dengan tingkatan awal kemanusiaan, dikumpulkan ke sebagian barzakh paling rendah di akhirat.”

yang berpendapat bahwa sebagian dari jiwa tidak terpisah dari badan, karena hal itu merupakan bentuk reinkarnasi yang tidak tertentu pada tubuh binatang. Dan Allah memurkai mereka, melaknat mereka, dan menyediakan bagi mereka neraka Jahanam dan seburuk-bu ruk tem pat kembali (QS al-Fath 48: 6).(1) Lampiran Ketahuilah bahwa al-Ghazâlî dalam beberapa kitabnya menje- las kan: maad jasmani adalah bahwa bagian yang terpisah dari badan berhubungan dengan badan yang lain. Ia mengingkari kembalinya bagian-bagian badan pertama. Ia berkata, “Zayd adalah seorang tua. Ia sendiri yang dulu muda, dan ia sen- diri yang dulu anak-anak dan janin kecil di dalam perut ibu, tetapi bagian-bagian itu tidak kekal. Kebangkitan kembali (hasyr) pun demikian."(2) Ia juga berkata, “Ini bukan reinkar- nasi, karena ma'âd terjadi pada diri yang pertama, sedangkan reinkarnasi terjadi pada diri yang lain. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa jika ruh berhubungan lagi dengan badan yang lain, maka dari hubungan ini dihasilkan diri yang pertama, dan itulah hasyr yang hakiki, bukan reinkarnasi.” Sementara itu, di tempat lain ia berkata, “Ruh dikembalikan ke badan yang lain, bukan badan yang pertama, dan ia tidak bergabung sedikit pun dengan bagian-bagian itu." Kemudian, ia berkata, “Jika ada orang mengatakan bahwa ini adalah reinkarnasi, maka kami katakan bahwa kami menerima dan tidak ada masalah kalau hanya dalam penamaan saja. Syariat membolehkan reinkarnasi seperti ini."'(3) Sekelompok orang menerima pandangan ini karena mereka mengira bahwa yang

p: 88


1- 12. Di dalam al-Syawâhid disebutkan: Dikatakan kepada mereka, “Jiwa-jiwa ini, bila semuanya tercetak dengan sendirinya, dengan pertentangan atas argumentasi- argumentasi keabstrakan jiwa manusia, bertentangan dengan dengan mazhab mereka tentang kemustahilan perpindahan bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden dari suatu tempat ke tempat lain bila ia bersifat abstrak. Rahmat itu merupakan tuntutan untuk mengantarkan setiap maujud pada kesempurnaan dan tujuannya, serta kesempurnaan manusia di alam kedua – baik sebagai orang yang bahagia maupun sebagai orang yang celaka. Adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka di dalam surga. Sementara itu, orang-orang yang celaka, tem- pat mereka di dalam neraka.” (hlm. 164).
2- 13. Di dalam al-Asfâr, cetakan Hijriah, disebutkan: Orang- orang yang berpegang pada kembalinya bagian-bagian itu adalah orang-orang yang bertaklid tanpa pengetahuan.
3- 14. Di dalam naskah tulisan tangan disebutkan: Syariat membenarkan reinkarnasi seperti ini, tetapi tidak membenarkan yang lain.

harus diwaspadai dari ucapan Syaikh yang mulia ini adalah pemutlakan reinkarnasi sehingga ia menjawab bahwa syariat membolehkan reinkarnasi seperti ini. Tampaknya kemusykilan tersebut menyertai reinkarnasi yang tidak dibolehkan yang juga dikemukakan di sini, termasuk hal satu badan memiliki dua jiwa. Ucapannya sangat umum dan darinya tidak tampak perbedaan antara luasyr dan reinkarnasi. Kami tahu bahwa yang benar dalam ma'âd adalah kembalinya badan dengan esensinya, sebagaimana ditunjukkan syariat yang benar tanpa perlu penakwilan dan ditegaskan akal yang jelas tanpa perlu perincian.

p: 89

MANIFESTASI 2

Point

MANIFESTASI 2(1)

Manusia Dibangkitkan.....

Manusia Dibangkitkan dengan Seluruh Kekuatan dan Organnya Ketahuilah, setiap kekuatan di antara kekuatan-kekuatan akal praktis (al-'aql al-amalí) manusia bergerak dari jiwanya ke badan. Kedudukan jiwa adalah seperti burung samawi yang memiliki sayap dan bulu.(2) Dua sayap merupakan dua kekuatan ilmiah dan amaliahnya, sedangkan bulunya merupakan kekuatan. Kedudukan badan jasmani itu seperti telur yang darinya keluar burung. Bila waktu terbang tiba, burung itu terbang ke langit sambil membawa serta semua bulunya. Inilah perumpamaan jiwa. Tujuan dibangkitkannya kekuatan-kekuatan itu menunjukkan bahwa setiap kekuatan memiliki kesempurnaan, kelezatan, dan penderitaan yang sesuai dengannya.

Verifikasi Ketahuilah, penciptaan dan kebangkitan makrokosmos adalah seperti penciptaan dan kebangkitan mikrokosmos. Kami tidak menciptakan dan membangkitkan kalian kecuali seperti satu jiwa (QS Luqmân 31: 28). Organ-organ tubuh, setelah fitrah, mustahil rusak, sementara ruhnya tetap kekal. Namun, pada awal penciptaannya, ia memiliki eksistensi yang lemah dan dengan kekuatan seperti itu ia menyerupai ketiadaan (‘ndam) sehingga

p: 90


1- 1. Dalam al-Syawâhid disebutkan: Al-Isyraq kedelapan tentang hikmah menuntut kebangkitan manusia dengan semua kekuatan dan organnya.
2- 2.Bulu pada setiap sayap adalah kekuatan dan cabang- cabangnya (al-Syawâhid, hlm. 193).

pada hari-hari kehidupan badan ia keluar dari kekuatan itu menuju perbuatan. Eksistensi ruh itu menguat dan menjadi sempurna secara bertahap, sementara badan melemah, menjadi renta, serta kekuatan dan alat-alat itu menjadi lesu sedikit demi sedikit. Demikianlah hingga akhirnya badan itu mati. Setiap yang bernyawa akan merasakan kematian (QS Ali ‘Imrân 3: 185; QS al-Anbiyâ' 21: 36; QS al-Ankabût 29: 57). Se- mentara itu, ruh kekal, kembali kepada Tuhannya. Wahai jiwa yang tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai (QS al-Fajr 89: 27 – 28). Demikian pula, sejumlah alam yang lain. Langit dan bumi beserta isinya selalu dalam perpindahan dan pergantian hingga mengeluarkan jiwa-jiwa dan ruh-ruh yang ada di dalamnya dari kekuatan atau potensial menjadi perbuatan atau aktual secara bertahap dalam rentang waktu umur alamiahnya. Setiap rotasi itu berputar dalam jang- ka waktu lima ribu tahun. Dalam rentang waktu itu, semua hubungan dan keadaan kembali pada keadaannya semula.

Hal itu berdasarkan firman Allah berikut:

Demi langit yang memiliki pengembalian (QS al-Thâriq 86: 11).

Para malaikat dan Jibril naik kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun (QS al-Ma'ārij 70: 4).

Jika jangka waktu itu telah terlampaui dan persiapan telah selesai, maka hakikat dunia tampak ke alam akhirat. Segala sesuatu di dalam kuburan fisik dan tersimpan di dalam dada dan khazanah arwah keluar dari keadaan potensial menjadi aktual. Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri berbaris.

p: 91

Mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Allah Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar (QS al-Naba' 78: 38).

Catatan(1) Ketahuilah, jika diri manusia menghadapi kematian dan ruhnya keluar dari badan, maka kiamatnya telah ditegakkan. Nabi Saaw bersabda, “Barangsiapa mati, maka tegaklah kiamatnya." Ketika itu, terciptalah langitnya yang adalah induk otaknya, tersebarlah planet-planetnya yang adalah kekuatan penginde- raannya, berjatuhanlah bintang-bintangnya yang adalah inde- ranya, pudarlah mentarinya yang adalah jantungnya, sumber cahaya kekuatan dan panas naluriahnya, berguncanglah bumi- nya yang adalah badannya, robohlah gunung-gunungnya yang adalah tulang-tulangnya, dan dikumpulkanlah binatang- binatang liarnya yang merupakan kekuatan-kekuatan gerak- nya. Demikianlah analogi kematian manusia besar, yakni sejumlah alam jasmani yang merupakan hewan yang patuh kepada Allah Swt, bergerak dengan kehendak, dan memiliki satu badan. Ia adalah tubuh keseluruhan dan satu tabiat yang berjalan pada semuanya. Ia adalah tabiat seluruhnya, satu jiwa universal, dan ruh setiap yang mencakup semua akal. Ia diungkapkan dengan ‘Arsy maknawi tempat ar-Rahman berse- mayam. Dengan demikian, badan dan tabiat alam akan binasa, sedangkan jiwa dan ruh universalnya akan dikumpulkan ke negeri akhirat, kembali kepada Allah seraya tegak di sisi- Nya. Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS al- Rahmân 55: 26–27).

p: 92


1- 3. Tujuan dari catatan (tanbîh) ini adalah menunjukkan bahwa manusia yang dinamakan mikrokosmos bersama makrokosmos adalah sama dalam hal kekayaan dan tatacara. Oleh karena itu, perhatikanlah.

MANIFESTASI 3

Hakikat Kematian...........

Hakikat Kematian(1) dan Penjelasan.

tentang Ajal Alamiah dan Perbedaannya dengan Kematian Ikhtirâmî Ketahuilah, telah terbukti bahwa manusia tersusun dari dua substansi, yaitu badan yang bersifat fisik dan jiwa yang bersifat akal. Badan adalah yang dibawa dan jiwa adalah yang mem- bawa, bukan badan yang membawa ruh-seperti yang diduga kebanyakan orang-di mana dibisikkan pada telinga mereka bahwa ruh merupakan inti dari unsur-unsur dan karakter pilihan.(2)Keadaannya tidak seperti yang engkau bayangkan dan engkau kira. Apa yang kami kemukakan bertentangan dengan pendapat kaum muta’allihûn bahwa jiwa berjalan menuju Allah Swt, sementara badan merupakan kendaraan musafir itu. Pendapat mereka adalah pendapat kami juga, karena pengendara memelihara dan mendidik kendaraannya.

Ringkasnya, hakikat kematian adalah dikeluarkannya jiwa dari badan, dipalingkan dari alam indera, dan dihadapkan kepada Allah Swt dan kerajaan-Nya secara bertahap. Sehingga apabila ruh itu telah mencapai tujuannya, yaitu substansi dan sasarannya, yakni perbuatan dan kebebasan di dalam esensi, hubungannya dengan badan akan terhenti secara total. Inilah ajal alamiah yang ditentukan dalam qadha, bukan ajal ikhtirâmî (kemusnahan) yang terjadi berdasarkan ketentuan qadar. Pada

p: 93


1- 1. Di antara ucapan Galenus tentang penyebab kematian alamiah adalah munculnya dominasi panas atas cairan badan sehingga menghilangkan cairan itu. Kemudian, dengan hilangnya cairan tubuh, badan menjadi rusak; dan argumentasi mereka yang mendukung pendapat mereka bahwa penyebab kehidupan adalah juga penyebab kematian tidak bertentangan dengan apa yang telah kami kemukakan tentang hakikat kematian, karena ada kemungkinan kesesuaian kedua pendapat ini. Setiap kelompok merasa bangga dengan kelompok masing- masing
2- 2. Mereka pun mengira bahwa jiwa dihasilkan dari fisik. Jiwa menjadi kuat karena kekuatan nutrisi dan menjadi lemah karena kelemahan nutrisi pula. (Lihat al-Asfâr, hlm. 109).

dasarnya, hal itu bukanlah kematian-yang dikatakan oleh para fisikis dan para dokter — karena terputusnya hubungan jiwa dengan badan disebabkan kerusakan temperamen badan dan kerusakan pada fisik. Untuk menjelaskan masalah ini, kami kemukakan beberapa permisalan yang dapat membantu pemahaman.

Ketahuilah, perumpamaan fisik manusia di alam ini adalah seperti bahtera yang dilengkapi peralatan lengkap di lautan. Kekuatan-kekuatan jiwa dan tentara yang ditundukkan dengan izin Allah yang ada di dalamnya memelihara kondisi kapal ini. Bahtera badan tidak mudah bergerak ke berbagai arah kecuali dengan hembusan angin keinginan yang dipilih pemiliknya. Bila angin menjadi tenang, bahtera itu pun berhenti bergerak. Dengan menyebut nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuh nya (QS Hûd 11: 41). Sebagaimana jika angin menjadi tenang, yang hubungannya dengan bahtera itu seperti hubungan jiwa dengan raga, maka bahtera itu berhenti sebelum peralatannya rusak, demikian juga raga manusia.

Jika jiwa meninggalkannya, maka ia tidak bisa bergerak, walaupun tidak sedikit pun peralatannya yang rusak kecuali hilangnya angin ruh darinya. Dengan bukti ditegaskan bahwa angin itu bukan substansi bahtera dan bahtera bukan yang membawa angin. Akan tetapi, anginlah yang membawa bahtera itu. Demikian pula, ruh bukanlah substansi fisik.

Dari sini, pahamilah perbedaan antara ajal alamiah dan ajal ikhtirâmî, yang oleh pakar modern disebut ajal hatmî dan ajal mawqûfî. Perbedaan dalam contoh bahtera itu jelas, karena jika engkau mengetahui bahwa kerusakan bahtera itu, jika bahtera

p: 94

itu rusak, maka ia tidak luput dari dua hal, yakni bisa karena kerusakan pada fisiknya dan bisa juga karena susunannya yang terurai sehingga air masuk ke dalamnya. Hal ini menyebabkan bahtera itu tenggelam, rusak, dan orang-orang di dalamnya mati bila mereka tidak memperhatikan bahtera itu dan tidak segera memperbaikinya seperti kerusakan raga dan kekuatan- kekuatannya karena kelalaian salah satu organ dan karena kelalaian pemiliknya. Jiwa tidak lagi tinggal bersamanya ketika ia rusak, sebagaimana angin tidak menyertai bahtera. Angin ada dalam hembusannya, tidak hilang, di tempat keberadaan bahtera itu sebelumnya. Inilah ajal ikhtirâmî.

Adapun ajal alamiah adalah seperti kerusakan bahtera karena kekuatan angin kencang atau badai yang menghempaskan bahtera itu sehingga peralatannya tidak berfungsi. Peralatannya menjadi lemah dan perlengkapannya rusak sehingga bahtera itu pun tenggelam. Demikian pula halnya jiwa dan raga. Jika orang-orang yang menumpang kapal itu berpengetahuan tentang ketentuan takdir Ilahi, maka jiwa mereka tenteram, berserah diri kepada Tuhan mereka, saling menasehati di antara sesama mereka dalam kesabaran, tidak terlalu gelisah, dan merindukan perjalanan menuju negeri ma‘âd. Jika mereka melakukan perbuatan dan pengaturan ini, maka mereka akan terhindar dari kesedihan dan duka. Mereka meraih kenikmatan abadi. Namun, jika mereka bukan orang- orang yang berpengetahuan, maka balasan mereka adalah neraka Jahim, tercegah dari meraih kenikmatan dan jauh dari al-Haqq Yang Maha Mengetahui.

p: 95

Ketahuilah, wahai penempuh jalan spiritual yang berpe- ngalaman dan penuntut yang memiliki pandangan hati, berda- sarkan fitrah, engkau bermaksud mendekatkan diri kepada Tu- hanmu, naik kepada-Nya, sejak hari engkau diciptakan berupa nuthfah di dalam rahim. Engkau berpindah dari satu keadaan menuju keadaan yang lain dan dari satu tingkatan menuju ting- katan yang lain sehingga engkau bertemu dengan Tuhanmu dan menyaksikan-Nya. Engkau kekal di dalam jiwamu, entah dalam kebahagiaan dan kelezatan yang abadi bersama para nabi, orang-orang yang benar (shiddîqûn), para syuhada, dan orang-orang saleh “dan mereka itulah adalah sebaik-baik yang me- ne mani" (QS al-Nisa' 4:69) atau dalam kesedihan, penderitaan, siksaan dengan neraka Allah yang dinyalakan bersama orang- orang kafir, setan-setan, dan para pendurhaka; mereka inilah seburuk-buruk teman. Semoga Allah melindungi kita dari ke- jahatan jiwa-jiwa yang binasa ini.

Catatan Ketahuilah, bila ruh meninggalkan badan, tinggallah bersama- nya kelemahan eksistensi badan. Di dalam hadis, hal itu diung- kapkan dengan 'ajb al-dzanb dan para ulama berbeda pendapat dalam mengartikannya. Satu pendapat mengatakan bahwa itu artinya akal hayûlînî. Pendapat lain mengatakan bahwa itu adalah materi pertama (hayûlên al-awwal).(1) Pendapat ketiga mengatakan bahwa itu adalah bagian-bagian asal. Abû Hâmid al-Ghazâlî berkata, “Ia adalah jiwa dan darinya dibentuk pembentukan di akhirat." Abû Zaid ar-Raqrâqî berkata, “Ia adalah substansi tunggal yang kekal dalam bentuk ini, tidak

p: 96


1- 3. Dalam Hadis Nabi Saaw disebutkan, “Allah menciptakan badan di akhirat dari tulang ekor yang tersisa dari badan di dunia.” Barangkali, pengungkapannya tentang rahasia tulang ekor adalah bahwa bentuk-bentuk barzakh yang naik adalah bentuk lain yang diperoleh dari badan materi. Benarlah pengungkapannya dengan “Tulang ekor” yang merupakan bagian terakhir dari badan. Dalam riwayat lain disebutkan, “Setiap anak Adam (manusia) akan sirna kecuali tulang ekornya." Di dalam Tafsîr al-- Askarî, ketika menafsikan ayat: Lalu Kami berfirman, “Pukulkanlah mayat itu dengan sebagian organ sapi betina itu," ia berkata, “Mereka mengambil sepotong, yaitu tulang ekor, yang darinya Adam diciptakan dan di atasnya ia berkendaraan ketika dikembalikan menjadi ciptan yang baru.” Penulis buku ini menjadikan substansi kebangkitan kembali jasad dan badan bersifat ide (mitsâliyyah). Ia mengatakan bahwa tu- lang ekor adalah badan itu sendiri yang terdapat di dunia. Sementara itu, badan-badan di akhirat didasarkan pada apa yang dikaji olehnya sebagai luput dari materi duniawi yang dapat terkena perubahan. Ruh tidak mungkin kembali dari barzakh ke dunia dan hubungannya dengan badan duniawi seperti hubungannya sebelum kematian. Orang- orang yang berpendapat bahwa kebangkitan kembali jasad-jasad duniawi tanpa perubahan telah menjadikan dunia dan akhirat negeri yang sama. Padahal, sudah pasti, alam akhirat berbeda dari alam dunia ini. Dengan demikian, badan, menurut pengarang, tegak dengan aspek fa'iliyyah, yakni ia tak lain adalah badan di barzakh. Beliau berkata, “Dengan kerusakan badan duniawi, badan itu adalah badan selama keberadaannya sebagai materi bagi jiwa. Jika jiwa keluar darinya, maka ia tidak lagi disebut badan.” ‘Ajb adz-dzanb adalah sesuatu yang menjadi landasan penciptaan manusia dan ia tidak musnah. Maka Allah menciptakan dengan penciptaan akhirat atas “ajb adz-dzanb yang tinggal dari penciptaan ini, dan ia adalah asalnya.

berubah. Darinya dibentuk pembentukan kedua.” Syaikh Ibn al-'Arabî berkata, "Ia adalah entitas-entitas substansial permanen."'(1) Masing-masing memiliki alasan, tetapiyang benar adalah kekalnya kekuatan imajinasi. Jika jiwa meninggalkan badan dan membawa mutakhuayyalah mudrikah dari bentuk- bentuk jasmani, maka ia mengenali hal-hal yang bersifat fisik dan mengkhayalkan esensinya dengan bentuk fisik yang pernah dirasakannya ketika masih hidup. Seperti di dalam mimpi, ia membayangkan badannya, padahal indera-inderanya sudah tidak berfungsi. Pada esensinya jiwa memiliki pendengaran, penglihatan, perasaan, dan penciuman yang dengannya ia mengenali benda-benda yang dapat diindera, yang gaib dari alam ini dengan pengenalan parsial. Ia mendapati badannya terkubur dan merasakan penderitaan-penderitaan yang sampai kepadanya melalui hukuman-hukuman kejam dan tidak meyakini bahwa hal-hal yang dilihat orang itu setelah kematian, keadaan-keadaan di dalam kubur dan ketakutan- ketakutan saat kebangkitan, sebagai perkara yang imajinatif, tidak memiliki eksistensi di alam nyata, sebagaimana diduga sebagian Islamolog yang secara fanatik mengikuti para filosof asing yang melampaui batas dalam mengkaji rahasia-rahasia wahyu dan syariat. Sebab, barangsiapa meyakini hal ini, maka ia adalah kafir yang tersesat di dalam filsafat. Bahkan, perkara- perkara kiamat lebih kuat dalam eksistensinya dan lebih keras hasilnya dalam pembentukan substansi.

p: 97


1- 4.Ucapannya: Menurut Syaikh Ibn al-- Arabî, yang dimaksud dengan ‘ajb adz-dzanb (tulang ekor) adalah sesuatu yang menjadi landasan penciptaan di akhirat dan ia tidak rusak.

MANIFESTASI 4

Esensi Kubur dan....

Esensi Kubur dan Siksaan Serta Pahalanya Ketahuilah, manusia paripurna (insan kamil) pada hari-hari keberadaannya di dunia memiliki empat kehidupan, yakni ketetumbuhan (al-nabâtiyyah), kebinatangan (al-hayawâniyyah), keberbicaraan (al-nutqiyyah), dan kekudusan (al-qudsiyyah); dua kehidupan berada di dunia dan dua kehidupan lainnya berada di akhirat. Jika engkau menginginkan penjelasan masalah ini, maka engkau harus memahami pembicaraan seperti ini. Bila engkau menginginkan contoh dalam masalah ini, aku akan memberikan contoh kalam (pembicaraan). Ia memiliki kehidupan yang bersifat bentangan napas, yakni pada posisi ketetumbuhan; kehidupan yang bersifat suara lafaz, yakni pada posisi kebinatangan; kehidupan yang bersifat spiritualitas, yakni dalam posisi kemanusiaan; dan kehidupan yang bersifat hikmah, yakni dalam posisi ruh Ilahi.

Jika pembicaraan keluar dari rongga perut dan dunia orang yang berbicara, maka ia masuk ke dalam batin dan akhirat pendengar. Terlebih dahulu ia masuk ke dalam dadanya, lalu ke dalam hatinya. Apabila ia berangkat dari alam pembicaraan dan gerakan menuju alam pendengaran dan pemahaman, terputuslah dua kehidupan pertama darinya. Hal itu karena terputusnya napas dan tidak adanya suara. Setelah itu, je- laslah keadaannya dalam salah satu dari dua hal. Pertama, di

p: 98

salah satu taman surga. Hal itu apabila ia jatuh ke dalam dada yang luas dengan cahaya-cahaya makrifat kepada Allah dan pengilhaman-pengilhaman para malaikat. Dengan demikian, ia menjadi teman para malaikat Allah dan hamba-hamba-Nya yang saleh yang berkunjung ke kuburan ini. Kedua, di salah satu jurang neraka. Hal itu apabila ia jatuh ke dalam dada yang sempit yang dipenuhi kejahatan dan penyakit, tempat tinggal setan dan kezaliman, tempat yang mendapat laknat dan kebencian Allah, dan ia kekal di dalam siksaan. Batin dan dada yang didatangi para malaikat, para nabi, dan para wali setiap hari karena sangat jernih adalah seperti taman surga.

Sementara itu, batin dan dada yang setiap hari didatangi ribuan rasa waswas, kedustaan, dan kekejian(1)maka ia sendiri merupakan kesempitan dan kezaliman seperti salah satu jurang neraka. Batin dan dada seperti itu pantas mendapatkan laknat dan siksaan yang pedih. Barangsiapa yang dada mereka dipenuhi kekufuran maka mereka pantas mendapatkan murka dari Allah dan ba gi mereka siksaan yang besar (QS al-Nahl 16: 106). Demikian pula, jika manusia mati dan pergi dari alam ini, tinggallah padanya dua kehidupan akhirat jika ia termasuk pemiliknya.

Kehidupan ketetumbuhan dan kebinatangan terputus darinya.

Kami hanya mengatakan bahwa dua kehidupan itu terputus, bukan sirna, karena berdasarkan penelitian mendalam,(2) walaupun sesuatu tidak ditemukan, tidak mungkin sesuatu itu sirna secara hakiki. Jika tidak, pasti ia telah keluar dan hilang dari ilmu Allah Swt. Padahal, Allah Swt berfirman, Tidak luput dari pengetahuan Tuhan meskipun sebesar atom di bumi ataupun di la ngit,... (QS Yûnus 10: 61).

p: 99


1- 1. Permusuhan dan pertengkaran bagi manusia merupakan sumber kebencian, kutukan, kesusahan, dan siksaan yang pedih. (Lihat al-Syawâhid al-Rubûbiyyah).
2- 2. Artinya, segala sesuatu yang menjadi ada tercegah dari ketiadaannya karena hal itu akan menyebabkan kehilangan dan keluarnya dari ilmu Allah Swt.

Ketahuilah, kehidupan ketetumbuhan dan kebinatangan masing-masing memiliki kuburan, yaitu kadar pembentukan keduanya yang bertahap dan jangka waktu perubahan kedua- nya untuk menuju kesempurnaan di dunia. Itulah kuburan yang ada di dalam ilmu Allah, yaitu berupa bentuk esensi- esensi baru yang ada sebelumnya dan yang menyusul ke- mudian dalam ilmu-Nya sebelum sampai di kuburan(1) dunia ini dan setelah muncul darinya. Waktu "sebelum" (qabliyyah) ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah Saaw., “Ruh diciptakan dua ribu tahun sebelum badan." Waktu "sesudah” (ba'diyyah) di tunjukkan dengan firman-Nya: Dan kepada Allah kembali segala urus an (QS al-Anfâl 8: 44). Sementara itu, berkumpulnya dua waktu, sebelum dan sesudah, ditunjukkan dalam firman- Nya: Sebagai mana per mu laan kalian, begitulah kalian dikembalikan (QS al-A'râf7: 29). Ada pun, kuburan ji wa dan ruh [kembali] ke tempat kembalinya jiwa dan ruh. Setiap sesuatu kembali pada asalnya. Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali (QS al-Baqarah 2: 156).

Menyingkap Tirai Ketahuilah, kematian berhubungan dengan sifat-sifat, bukan dengan esensi-esensi, karena ia merupakan perpisahan, bukan kesirnaan dan kehilangan. Kuburan-kuburan itu sebagiannya ada di´Arsy (“arsyiyyah) dan sebagian lain ada di tanah (farsyiy- yah), karena Allah Swt, dengan qudrah-Nya yang sempurna, menciptakan wilayah 'Arsy beserta akal dan jiwanya. Dia menjadikannya tempat kembali bagi hati dan ruh; dan dengan hikmah-Nya yang agung, Dia menciptakan titik “Arsy dan

p: 100


1- 3. Ketahuilah, yang dimaksud dengan kubur, tempat mayat diberi pahala dan disiksa serta munculnya ketakutan- ketakutan yang dahsyat setelah alam ini, berdasarkan riwayat-riwayat yang datang dari para imam yang suci as, adalah alam barzakh. Di dalam Mir'ât al-'Uqûl disebutkan: Ular dan kalajengking itu berupa bentuk yang bersifat ide (mitsâliyyah) yang menggigit jasad yang bersifat ide atau yang muncul dari dalam kubur.” Dinukil dari guru kami, al-Bahấ'î: Barangkali, jumlah ular ini sebanyak jum - lah sifat-sifat tercela berupa kesombongan, riya, hasud, serta akhlak-akhlak lain dan perilaku tercela. Semua itu bercabang dan berdahan menjadi jenis yang banyak. Pada esensinya, semua itu menjadi ular di alam tersebut. Guru kami, Allamah al-Majlisî, dalam Mir'ât al--Uqûl, berkata, “Barangkali, yang dimaksud dengan kubur adalah alam barzakh.” Riwayat-riwayat yang menyebutkan siksaan kubur sangat jelas seperti yang disebutkannya.

menjadikannya tempat tinggal bagi raga dan jasad. Kemudian, berdasarkan tuntutangadha-Nyayangazali, Dia memerintahkan bentuk-bentuk Israfil ruh dan hati farsyiyyah tersebut agar berhubungan dengan badan farsyiyyah. Kemudian, dengan takdir-Nya yang pasti, Allah memerintahkan agar potensi dan kesiapan jasad ini pada suatu waktu menerima hati dan ruh tersebut sebagaimana yang Dia kehendaki. Apabila telah mencapai ajal atau batas waktu ketentuan Allah, yang merupakan sesuatu yang akan datang, dan mendekati waktu yang telah dijanjikan bagi kematian dan saat perpisahan bagi kehidupan, ruh itu kembali kepada Pemilik ruh sambil berkata: Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali (QS al-Baqarah 2: 156). Sementara itu, ra ga kembali ke tanah.

Darinya Kami menciptakan kalian dan kepadanya Kami mengem- balikan kalian (QS Thâhâ 20: 55).

Adapun ruh-ruh yang kotor, gelap, dan terbalik serta jiwa-jiwa celaka yang kafir terhadap nikmat Allah, maka Allah merasakan padanya pakaian lapar dan ketakutan (QS al-Nahl 16: 112). Mereka ber gerak ber sama beban-bebannya dari tanah yang hina ke arah ‘Arsy dengan sayap-sayap yang patah dan tangan-tangan yang terbelenggu dengan tali hubungan (taʻalluqât)() sehingga mereka tergantung di antara bumi dan “Arsy. Dan kalau engkau melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka (QS al-Sajdah 32:12). Kuburan di´Arsy adalah untuk al-sâ biqûn al-mu qar rabûn (orang-orang terdahulu yang didekatkan), sedangkan kuburan di tanah bisa berupa taman surga atau jurang neraka. Sebagian diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi

p: 101

mereka (QS al-A'râf 7: 30). ‘Arsy adalah ku buran bagi para ruh penghuni “Arsy, sedangkan tanah adalah kuburan jasad peng- huni tanah. Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, be gi tulah Kami akan mengulanginya (QS al-Anbiyâ' 21: 104).

Pencerahan Ketahuilah, setiap orang yang menyaksikan batinnya sendiri dengan pandangan batin di dunia, tentu ia melihatnya dipenuhi dengan berbagai macam pengganggu dan binatang buas, seperti syahwat, kemarahan, hasad, kedengkian, kesombong- an, makar, riya dan bangga diri.(1) Jika tidak, bagi kebanyakan manusia, mata mereka tertutup untuk menyaksikannya.

Apabila tirai itu tersingkap dan ia jatuh ke dalam kuburannya, maka ia akan melihatnya, tampak dengan bentuk-bentuknya sesuai dengan makna-maknanya. Dengan mata kepalanya ia melihat kalajengking dan ular yang merupakan tabiat dan sifat- sifatnya yang di masa hidupnya hadir dalam dirinya. Inilah siksaan kubur jika ia orang yang celaka, dan sebaliknya jika ia orang yang bahagia. (2)Di dalam hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saaw. disebutkan tentang siksaan kubur. Beliau bertanya [kepada para sahabat], “Apakah kalian tahu, tentang apa ayat: Ma ka baginya kehidupan yang sempit (QS Thâhâ 20: 124) diturunkan?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu." Beliau bersabda, “Tentang siksaan bagi orang kafir di dalam kuburannya yang dikuasai oleh sembilan puluh sembilan tinnîn. Tahukah kalian, apakah tinnîn itu? Yaitu sembilan puluh sembilan ular, yang masing-masing ular itu memiliki sembilan kepala yang menggigitnya, menjilatnya,

p: 102


1- 5. Yaitu yang senantiasa menerkam dan memangsanya kalau ia lalai terhadapnya walaupun sekejap.” (Lihat al- Syawâhid al-Rubûbiyyah, hlm. 200).
2- 6. Dengan kematian, jiwa terpisah dari badan dan tidak ada satu bentuk badan punyang menyertainya. Pada kematian ada pemisah dengan perpisahan badan dari negeri dunia. Yang mengenali esensinya dengan kekuatan imajinasinya adalah manusia yang dikubur itu sendiri, yang mati dalam bentuknya sebagaimana keadaannya di dalam mimpi ia melihat dirinya dalam bentuknya yang ada di dunia. Ia melihat realitas-realitas itu dengan perasaan batiniahnya sehingga ia melihat badannya terkubur. Ia juga melihat siksaan-siksaan dan kepedihan-kepedihan ditimpakan kepadanya sebagai hukuman yang terindera seperti yang disebutkan dalam syariat yang benar. Ini merupakan siksaan kubur. Kalau jiwa itu bahagia, ia mengkhayalkan dirinya, bentuk-bentuk perbuatannya, akibat-akibat perilakunya, dan hal-hal lain yang dijanjikan Nabi Saaw. melebihi apa yang diyakininya berupa taman-taman, kebun-kebun, bidadari, dan gelas dari mata air. Ini adalah pahala kubur. Kuburan hakiki adalah seperti ini, serta siksaan dan pahala yang telah kami sebutkan. (hlm. 201).

dan meniup tubuhnya hingga hari dibangkitkan.” Perhatikanlah hadis ini, wahaisang arif, dengan pandangan pengamatan mendalam (tadabbur) dan pengambilan pelajaran (i'tibâr), niscaya engkau mendapatkan pandangan batin dan petunjuk bahwa hadis ini dan yang semisalnya yang datang dari manusia-manusia maksum a.s. tentang keadaan hari kiamat dan ketakutan-ketakutannya adalah benar. Janganlah menjadi seperti orang yang berpura-pura menjadi filosof yang tidak mengenal hukum-hukum akhirat dan keadaan-keadaan kiamat. Mereka mengingkari hal ini dan yang semisalnya. Di antara mereka ada yang berkata, “Aku menengok ke dalam kuburan si fulan, tetapi aku tidak melihat satu pun dari ular- ular itu sama sekali.” Orang yang lemah dalam makrifat kepada Allah ini tidak mengetahui bahwa tinnîn ini memiliki bentuk yang tidak ditangkap indera, karena pengenalan indera dikhususkan pada kondisi materialnya berkaitan dengan tempat penginderaan yang hilang. Ular dan kalajengking itu tidak memiliki bentuk di luar diri mayat, karena hal itu merupakan gambaran akhlak dan perbuatan-perbuatannya.

Dengan demikian, bentuk tinnîn ada bersama orang kafir dan munafik sebelum kematiannya juga, yang dikenali di dalam batinnya. Namun, ia tidak menyadari adanya ular-ular beserta kepala-kepalanya itu.

Sebagian ulama mengatakan bahwa asal tinnîn ini adalah kecintaan pada keduniaan yang merupakan induk segala kesalahan dan darinya bercabang kepala-kepala sejumlah cabang akhlak tercela dari kecintaan pada keduniaan. Hal demikian itu disebabkan mereka lebih mencintai kehidupan dunia

p: 103

daripada kehidupan akhirat (QS. al-Nahl 16: 107). Mereka pantas mendapatkan ketetapan siksaan.

Di antara hal-hal yang menunjukkan penjelmaan perbuat- an-perbuatan dan akhlak itu adalah ucapan Phutagoras, “Ketahuilah, akan ditampakkan ucapan, perbuatan, dan pikiranmu kepadamu. Dari setiap gerakan pikiran, ucapan, atau perbuatan akan ditampakkan kepadamu bentuk-bentuk ruhaniah dan jasmaniahnya. Jika gerakan itu merupakan kemarahan atau syahwat maka akan menjadi materi setan yang menyakitimu dalam kehidupanmu dan menghalangimu dari mendapatkan cahaya setelah kematianmu. Jika gerakan itu bersifat akal maka akan menjadi pemilikan yang lezat dan memberikan kelezatan di duniamu dan dengan cahayanya kamu mendapatkan petunjuk di akhiratmu menuju kemuliaan Allah."

p: 104

MANIFESTASI 5

Kebangkitan, Cara Manusia Dibangkitkan, dan Kemunculannya di Dunia

Ketahuilah, kebangkitan (biótsah) adalah keluarnya jiwa dari debu rangka badan yang mengelilinginya, seperti keluarnya janin dari rahim. Lamanya keberadaan mayat di dalam kubur adalah seperti keberadaan janin di dalam rahim. Hubungan keadaan kubur dengan keadaan kebangkitan adalah seperti hubungan janin dengan kelahiran. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan (QS al-Mu'minûn 23: 100). Telah di tegaskan bahwa manusia memiliki bentuk penciptaan eksistensi setelah eksistensi yang sekarang ini dan bentuk-bentuk penciptaan eksistensi sebelumnya. Masing- masing ditujukan pada yang semisalnya. Telah ditunjukkan keadaan-keadaan sebelum nya da lam firman Allah: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Benar, kami menjadi saksi” (QS al-A'râf 7: 172). Artinya, Allah mengambil ruh mereka dari pung gung leluhur mereka. Jika telah diketahui bahwa manusia, baik yang bahagia maupun yang celaka atau sengsara, akan kem- bali kepada-Nya, maka kebangkitanmu adalah kedatanganmu kepada Allah dan kehadiranmu di hadapan-Nya, baik dengan

p: 105

kegembiraan karena pertemuan dengan-Nya maupun karena terpaksa. Barangsiapa senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun senang bertemu dengannya dan barangsiapa tidak senang bertemu dengan Allah, maka Allah pun tidak senang bertemu dengannya.(1) Pelengkap Ketahuilah, jenis alam ada tiga: pertama, dunia, yakni alam ma- teri; kedua, akhirat, yakni alam pengajaran dan latihan; ketiga, alam yang berada di balik dunia dan akhirat sekaligus, yakni barzakh, alam pemisahan dan mental. Alam pertama akan bi- nasa dan sirna, berbeda dengan dua alam yang lain, terutama alam ketiga yang merupakan tempat kembali yang hakiki bagi orang-orang yang didekatkan kepada Tuhan (al-muqarrabûn).

Manusia pada dasarnya adalah kumpulan dari alam-alam ini berdasarkan tiga persepsinya. Setiap kali salah satu dari tiga persepsi itu menguasainya, maka tempat kembalinya adalah hukum-hukum alam tersebut. Tiga tempat kembali ini ditunjuk- kan dalam firman Allah: Segolongan masuk surga dan se golongan lagi masuk neraka (QS al-Syûrâ 42: 7). Segolongan lainnya ada di dalam Kehadiran Allah, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa (QS al-Qamar 54: 55). Barangsiapa dikuasai hubungan duniawinya dan kelezatan inderawinya, maka sewaktu dijemput kematian ia disiksa dengan kehilangan rasa dan kekuatannya. Ia ditimpa kesedihan yang abadi dan siksaan yang pedih.(2) Barangsiapa dikuasai ketakutan akan sik- saan di akhirat, mengharapkan surga dan ampunan, bersikap zuhud di dunia, dan terputus dari kelezatan yang sementara

p: 106


1- 1. Surga itu ada dua, yakni surga ruhaniah dan surga jasmaniah. Surga ruhaniah terbentuk di dalam tafakur tentang alam semesta dan diri serta pengamatan yang mendalam terhadap ayat-ayat Allah Swt, bagaimana se- gala sesuatu datang dari-Nya, argumentasi dari hal-hal yang terindera ke hal-hal yang abstrak, bagaimana segala sesuatu kembali kepada-Nya, bagaimana keberadaan surga dan neraka, ma'âd, ash-shirâth, dan pengetahuan- pengetahuan lainnya yang di dunia ini merupakan benih pemandangan di akhirat. (Dunia adalah ladang akhirat, dan kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat). Oleh karena itu, Imam al-Shadiq as berkata, “Sekiranya manusia mengetahui apa yang terdapat di dalam ke- utamaan makrifat kepada Allah, niscaya mereka tidak akan menatapkan mata mereka pada apa yang menjadi kesenangan musuh berupa kesenangan kehidupan dunia." Sementara itu, surga jasmaniah terbentuk dari perbuatan- perbuatan shalih berupa shalat, puasa, haji, dan akhlak- akhlak utama. Karena melakukan akhlak-akhlak utama, jiwa menciptakan bentuk-bentuk yang bersifat fisik di dalam wilayah internalnya dan berkumpul bersamanya. Setelah keluar dari dunia ini, jiwa manusia terlepas dari kesibukan-kesibukan jasmaniah dan menggabungkan semua kekuatannya menjadi satu kekuatan. Di akhirat, ia memiliki penciptaan segala sesuatu yang diinginkan dengan izin Allah. Dalam menciptakan sesuatu yang diinginkannya itu, ia membutuhkan materi bersifat fi- sik yang terdapat di negeri gerakan (dâr al-Harakật). Apa saja yang terlintas di dalam pikirannya menjadi hadir di hadapannya. Neraka juga ada dua, yakni neraka ruhaniah yang bersifat akal dan neraka jasmaniah yang terindera. Neraka ruhaniah yang bersifat akal terbentuk dari terhalangnya kekuatan akal dari kesempurnaan-kesempurnaan jiwa dan ilmu-ilmu hakikat, penentangan terhadap ilmu-ilmu Ilahi dan makrifat-makrifat yang benar, pengingkaran atasnya, dan pengingkaran atas adanya mabda' dan ma'âd, keraguan tentang tingkatan para nabi dan para wali, dan berpegang teguh pada akidah-akidah yang batil dan pandangan- pandangan yang sesat. Sementara itu, neraka yang ter- indera terbentuk karena keberpalingan dari mengikuti para nabi, ketekunan dalam mengikuti syahwat, dan kecintaan pada dunia dan perhiasannya. Setelah terus- menerus melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan pekerjaan-pekerjaan tercela, jiwa terbentuk dengan rupa yang sesuai dengan perilaku dan perbuatannya. Ia menjadi manifestasi bagi bentuk-bentuk ular, kalajengking, dan racun, dan ia kadang-kadang tidak dibangkitkan dalam rupa manusia. Ia menjadi bagian dari kelompok setan dan binatang buas. Telah ditegaskan bahwa individu-individu manusia, walaupun berdasarkan penampakan eksistensi dan kelahirannya berada di dalam satu spesies, dibangkitkan dan dikembalikan ke akhirat dalam spesies yang ber- lainan. Di dalam Al-Qur'an dan Sunah Nabi Saaw terdapat isyarat-isyarat yang jelas tentang hakikat ini.
2- 2. Di dalam al-Mabda' dan al-Ma'âd disebutkan: Karena kelezatan duniawi tidak memiliki hakikat, maka keharmonisan yang bersifat inderawi adalah hal-hal yang bersifat kiasan. Oleh karena itu, barangsiapa merindu- kannya dan terbiasa dengannya, maka ia seperti orang yang merindukan sesuatu yang tidak ada dan mencari sesuatu yang batil, tidak menghasilkan buah dan tidak mendatangkan kebaikan (hlm. 320).

ini, maka tempat kembalinya adalah negeri keselamatan, ma- suk ke pintu-pintu surga, dan terhindar dari siksaan di neraka.

Barangsiapa dikuasai pemahaman perkara-perkara Ilahi dan kerinduan untuk mengetahui konsep-konsep tersebut, maka tempat kembalinya adalah dituntun di jalan malakut. Inilah tu- juan yang dicapai manusia dengan kekuatan perjalanan naik (sulûk mi'rânj)-nya di atas jalan tauhid. Barangsiapa keadaannya seperti ini, maka ia pasti memperoleh keuntungan yang sangat besar. Sebaliknya, barangsiapa menentangnya dan mengingkari jalannya karena mencari kekuasaan atas teman- temannya, maka ia pasti memperoleh kerugian yang nyata.

Bagian pertama, yakni mereka yang dikuasai hubungan- hubungan yang bersifat fisik dan kesenangan-kesenangan indera wi, ada dua bagian pertama, siksaan abadi; kedua, siksaan yang tidak abadi. Hal ini ditunjukkan Socrates, guru Plato, “Adapun orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, maka mereka dilemparkan ke dalam Thurthârus(1) dan mereka tidak keluar darinya untuk selama-lamanya. Sementara itu, bagi orang-orang yang menyesali dosa-dosa mereka sepanjang umur mereka dan dosa-dosa mereka tidak mencapai tingkatan itu, mereka dilemparkan ke dalam Thurthârus selama setahun penuh seraya mendapatkan siksaan; lalu mereka dilemparkan gelombang ke tempat yang darinya mereka memanggil musuh- musuh mereka sambil meminta mereka untuk menghadirkan qishash agar mereka selamat dari kejahatan bila mereka ridha.

Jika musuh-musuh tidak ridha, maka mereka dikembalikan ke Tlurthârus. Mereka terus-menerus melakukan hal itu hingga musuh-musuh mereka ridha kepada mereka. Orang-orang

p: 107


1- 3.Di bagian akhir buku ini disebutkan makna Thurthârus. Ustadz al-Muhaqqiq telah mengemukakan makna kata ini dalam pengantar yang disebutkan di bagian awal buku ini. Ia telah memenuhi undangan Tuhannya pada tahun1351 Hijriah Syamsiah.

yang memiliki perjalanan hidup yang utama dibebaskan dari tempat-tempat ini, dari bumi ini. Mereka akan terhindar dari tempat-tempat pemenjaraan ini dan mendiami bumi yang ber- sih." Penerjemah mengatakan bahwa Tlurthârus adalah celah yang besar dan jurang yang dialiri sungai-sungai. Di sisi lain, tempat itu disifati dengan sesuatu yang menunjukkan kobaran api, yakni lautan api yang di dalamnya ada pusaran. Benda apa pun yang masuk ke dalam pusaran itu pasti tenggelam.

Semoga Allah melindungi kita dari pusaran neraka itu.

p: 108

MANIFESTASI 6

Berkumpul di Padang......

Berkumpul di Padang Mahsyar: Verifikasi bahwa Waktu adalah “Illah Rotasi dan Sebab Tersembunyinya Segala Maujud; dan Ketika Waktu dan Tempat Hilang, Seluruh Makhluk Berkumpul.

Ketahuilah, waktu merupakan'illah bagirotasi dalam eksistensi, sementara tempat merupakan 'illah bagi penumpukan dan perpisahan dalam kehadiran. Keduanya merupakan sebab tersembunyinya segala maujud satu sama lain. Jika kedua sebab itu terangkat pada Hari Kiamat, maka tirai di antara makhluk-makhluk pun terangkat. Dengan demikian, seluruh makhluk, yang dahulu dan yang kemudian, berkumpul.

Katakanlah, “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang- orang yang kemudian benar-benar akan dikumpulkan pada waktu tertentu pada ha ri yang dikenal” (QS al-Waqi'ah 56: 49–50).

Itulah hari berkumpul, karena hasyr berarti jam' (berkumpul).

Dan Kami kumpulkan mereka, dan Kami tidak meninggalkan seorang pun dari mereka (QS al-Kahfi 18: 47). Itu lah hari ketika segala yang samar dipilah-pilah, ber dasarkan fir man Allah: Agar Allah memisahkan [golongan) yang buruk dari yang baik,... (QS al- Anfâl 8:37) dan dua [golongan) yang ber musuhan dipisahkan, berdasarkan firman-Nya: Agar Allah mene tapkan yang benar dan membatalkan yang salah (QS al-Anfâl 8: 8), dan fir man-Nya: Agar

p: 109

orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (QS al-Anfâl 8: 42).

Penjelasan Ketahuilah, segenap makhluk dari segala penjuru dikumpul- kan menurut perbuatan dan tabiat mereka. Ada kaum dengan wa jah penyiksaan: Dan (ingatlah) hari ketika musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan (QS Fushshilat 41: 19) dan ada pula kaum yang dalam keadaan buta: Kami mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (QS Thâha 20: 124). Ringkas nya, setiap orang di kum pulkan menurut usaha, perbuatan, dan apa yang dicintainya. Bahkan, kalaupun seseorang mencintai sebuah batu, ia dikumpulkan bersamanya. Makhluk-makhluk dikumpulkan dalam bentuk batin dan niat mereka. Hal itu mengandung pengertian reinkarnasi yang disebutkan orang-orang zaman dahulu.

Pencerahan Rasional Ketahuilah, di dalam batin setiap orang terdapat binatang kemanusiaan dengan semua organ, indera, dan kekuatannya.

Ia ada sekarang dan tidak akan mati karena kematian badan.

Bahkan, ia dikumpulkan dan dihisab pada Hari Kiamat. Ia diberi pahala dan disiksa. Kehidupannya tidak seperti kehidupan badan ini yang bersifat aksidental, melainkan kehidupan jiwa yang bersifat esensial. Ia adalah binatang pertengahan antara binatang akal dan binatang fisik. Di akhirat, ia dikumpulkan dalam bentuk perbuatan dan niatnya.(1)

p: 110


1- 1. Telah dijelaskan pada tempatnya bahwa pengulangan perbuatan-perbuatan itu, perbuatan baik ataupun perbuatan buruk, menyebabkan teguhnya pembawaan di dalam jiwa. Setiap pembawaan dihasilkan di dunia dengan perantaraan pengulangan perbuatan yang di dalam mala- kut membentuk sebuah bentuk yang sesuai dengannya. Penghuni dunia, karena kecenderungan mereka pada dunia dan perhiasan-perhiasannya, maka di dalam diri mereka, dengan perantaraan pengulangan perbuatan-per- buatan kebinatangan, muncul bentuk-bentuk binatang. Pada hari kiamat, mereka dikumpulkan dengan rupa pembawaan dan niat mereka. Diriwayatkan dari Nabi Saaw, “Sebagian manusia dikumpulkan dalam rupa kera dan babi."

Hikmah Penyingkapan Pemilik kasyf mengatakan, “Kiamat itu ada dua: pertama, kiamat kecil(al-qiyâmahal-shughrî), yakni dalam pernyataan bahwa bagi orang yang mati telah tegaklah kiamatnya; kedua, kiamat besar (al-qiyamah al-kubrî), yakni kiamat terbesar dan waktunya tidak diketahui. Ketentuan waktunya ada di sisi Allah. Barang-siapa mengatakan [ketentuan) waktunya, maka ia adalah pendusta berdasarkan sabda Nabi Saaw., “Berdustalah orang-orang yang menentukan waktu [kiamat]." Setiap hal yang terdapat di dalam kiamat besar memiliki permisalannya di dalam kiamat kecil, seperti telah engkau ketahui bahwa manusia adalah mikrokosmos dan keadaan-keadaannya merupakan contoh dari keadaan-keadaan makrokosmos. Kunci mengenal hakikat-hakikat ini adalah pengetahuan tentang kemanusiaan.

Makna kiamat besar adalah munculnya kebenaran dengan keesaan yang sempurna, dilipatnya langit, digenggamnya bumi, terhapusnya waktu dan tempat, hilangnya materi, kembalinya seluruh makhluk kepada Allah, kembalinya ruh, dan fananya segala sesuatu, termasuk cakrawala langit, jiwa, dan ruh, sebagaimana firman Allah: Maka matilah siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah (QS al-Zumar 39: 68). Ba gi merekalah di- dahulukan kiamat besar. Adapun orang-orang yang tertutup tirai, yang suka menduga-duga, dan yang diliputi keraguan mengatakan bahwa Hari Kiamatjauh dari manusia menurut hi- tungan waktu, seperti firman-Nya: Dan aku tidak me ngira Hari Kia mat itu akan datang (QS al-Kahfi 18: 36) dan luput dari nya berdasarkan keten tuan tempat, seperti firman-Nya: Dan mereka

p: 111

mendugn-duga tentang yang gaib dari tempat yang jauh (QS Saba' 34: 53). Sebaliknya, orang-orang yang berpandangan batin dan memiliki keyakinan melihat hari kiamat itu dekat menurut hi- tungan waktu, seperti firman Allah: Saat itu telah dekat dan bulan te lah terbelah (QS al-Qamar 54: 1). Mereka melihat hari kiamat telah hadir berdasarkan ketentuan tempat, se perti firman-Nya:

dan mereka di tangkap dari tempat yang de kat (QS Saba' 34: 51).

Analogikanlah yang terakhir pada yang awal, kematian pada kelahiran, kelahiran besar pada kelahiran kecil, dunia pada ibu, kuburan pada rahim, dan badan pada plasenta. Kiamat adalah hari pembalasan tanpa amalan, sedangkan hari syariat adalah hari amalan tanpa pembalasan dan keletihan tanpa pa- hala.

Kaidah dalam Rahasia Kiamat dan Waktu dan Tempatnya Ketahuilah, kiamat terjadi di dalam tirai-tirai langit dan bumi. Kedudukannya terhadap tirai-tirai ini adalah seperti kedudukan janin terhadap rahim ibunya. Oleh karena itu, kiamat tidak tegak kecuali apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya (QS al-Zalzalah 99:1–2); apa bila langit ter belah dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh (QS al-Insyiqâq 84: 1–2); dan apabila bintang-bintang jatuh ber serakan; apabila ma- tahari digulung; dan apabila lautan diluapkan; dan apabila gunung- gunung dihancurkan; dan apabila catatan-catatan dibuka; dan apabila neraka jahim dinyalakan.(1) Nabi Saaw bersabda, “Kiamat tidak akan tegak(2) sementara di muka bumi masih ada orang yang

p: 112


1- 2. Beberapa ayat dalam surah at-Takwîr (QS 81) dan surah al-Infithâr (QS 82)
2- 3. Ucapan beliau “Kiamat tidak akan tegak...” berarti kiamat dan as-sâ ah tidak akan terjadi selama di muka bumi masih terdapat manusia paripurna (al-Insân al-Kâmil). Mak- sudnya, as-sâ'ah tidak akan tiba sementara di bumi masih ada orang yang mengucapkan kalimat “Allah Allâh” dengan ucapan yang hakiki. Kemunculan makhluk yang paling sempurna dalam mengenal Allah, Shâlib Al-Zaman (yakni : Imam Mahdi – peny.) termasuk tanda-tanda akan tibanya (s-sâ'ah.

mengucapkan, “Allâh, Allâh.". Hal itu menunjukkan bahwa selama seseorang berada di luar tirai-tirai itu maka kiamat merupakan rahasia di dalam ilmu-Nya. Apabila tirai-tirai itu terkoyak, kiamat menjadi tampak baginya setelah sebelumnya gaib darinya. Bagi Nabi kita Saaw, kiamat tampak ketika tirai- tirai langit dan bumi terkoyak. Sesungguhnya ia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar (QS al-Najm 53: 18). Kia mat juga dinamakan as-sâʻah, karena ji wa- jiwa berusaha pergi ke sana tanpa menempuh jarak tempat, melainkan dengan menempuh napas-napas waktu dengan gerakansubstansialesensial(al-harakahal-jawhariyyahadz-dzâtiy- yah) dan menuju Allah. Sesungguhnya as-sâ‘ah itu pasti datang, tidak ada keraguan tentangnya. Namun, kebanyakan manusia tidak mem percayai (QS al-Mu'min 40: 59).

Lampiran Ketahuilah, tanah Mahsyar(tempat berkumpul)adalah bumi ini yang ada dunia. Namun, bumi ini akan berubah menjadi bumi yang lain. Permukaannya dibentangkan dan dihamparkan.

Di dalamnya tidak terlihat kebengkokan dan di sana semua makhluk, dari awal hingga akhir dunia, dikumpulkan. Pada hari itu bumi dihamparkan menurut kadar yang mencukupi untuk menampung semua makhluk. Makna bentangan dan hamparannya adalah digabungkannya seluruh tempat yang ada pada setiap waktu, sebagaimana berkaitan dengan waktu- waktu yang ada dalam pandangan kesaksian Allah. Demikian pula, bumi yang ada pada waktu azali dan abadi. Seluruh lapisan bumi menjadi satu bumi, dan di dalamnya seluruh

p: 113

makh luk dikumpulkan. Allah berfirman: Dan bu mi menjadi te- rang-benderang dengan cahaya Tuhannya, dan buku catatan diberi- kan, dan para nabi dan para saksi didatangkan, dan diputuskan di an- tara mereka dengan kebenaran, dan mereka tidak dizalimi (QS Yâsîn 36: 69).

p: 114

MANIFESTASI 7

Ihwal ash-Shirâth:

Ihwal ash-Shirâth: Penjelasan bahwa ash-Shirâth adalah Jalan Kebenaran dan Agama Tauhid dan Nukilan Berbagai Riwayat dari Para Imam tentang ash-Shirâth.

Ash-Shirâthi(1) adalah jalan kebenaran dan agama tauhid yang menghimpun para nabi, para rasul, dan para pengikut mereka.

Ash-shirâth al-mustaqîm (jalan yang lurus), yang apabila dilalui, akan mengantarkanmu ke surga. Ash-shirâth adalah bentuk petunjuk atau hidayah, yang diciptakan untuk dirimu selama engkau berada di alam tabiat, termasuk perbuatan-perbuatan hati. Di dunia ini, ash-shirâth, seperti makna-makna lain yang luput dari jangkauan indera, tidak dapat disaksikan dengan bentuk yang terjangkau indera. Bila tirai materi tersingkap melalui kematian, Hari Kiamat membentangkan untukmu sebuah jembatanyang terindera di atas neraka Jahannam. Ujung pertamanya ada di al-mauqif (tempat perhentian) dan ujung akhirnya ada di pintu surga. Orang yang menyaksikannya mengetahui bahwa ash-shirâth adalah amal perbuatan Anda sendiri. Ia juga mengetahui bahwa ash-shirâth itu telah ada di dunia sebagai sebuah jembatan yang dibentangkan di atas Jahanam tabiatmu, yang dikatakan padanya, “Apakah engkau telah penuh?” Lalu, engkau katakan, “Apakah masih ada tambahan?" agar ditambahkan ke dalam panjang, lebar, dan di

p: 115


1- 1. Dalam Maſânî al-Akhbâr, al-Shadûq meriwayatkan hadis melalui sanad nya dari Imam al-Shadiq as bahwa Imam as ditanya tentang ash-shirâth. Beliau menjawab, “[Al-shirâthi] adalah jalan menuju makrifat kepada Allah. Ada dua jenis al-shirâth, yakni al-shirâth di dunia dan al-shirâth di akhi rat. Al-shirâth yang ada di dunia adalah pemimpin yang harus di taati. Barangsiapa mengenalnya di dunia dan mengikuti pe tunjuknya, ma ka ia dapat melewati alshirâth yang merupakan jembatan neraka Jahanam di akhirat. Akan tetapi, barangsiapa tidak mengenalnya di dunia, maka kakinya tergelincir di atas al-shirâth di akhirat dan jatuh ke dalam neraka Jahanam.” Diriwayatkan dari Imam al-Shadiq as, “Al-shirâth al- mustaqîm adalah Amirul Mukminin as” Dari beliau juga diriwayatkan, “Bentuk manusiawi (al-shứrah al-insaniyyah) adalah jalan yang lurus menuju setiap kebaikan dan jalan yang terbentang di antara surga dan neraka." Al-Shadûq meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Imam al-Shadiq as, “Manusia melewati al-shirâth dalam dua tingkatan. Al-shirâth lebih tipis dari rambut dan lebih tajam dari pedang. Di antara mereka ada yang melewatinya seperti kilat, ada yang seperti lompatan kuda, ada yang merayap, ada yang berjalan kaki, dan ada yang bergantung sehingga kadang-kadang neraka mengambil sebagian darinya dan membiarkan sebagian lainnya." Diriwayatkan juga bahwa mereka melewati al-shirâth menurut kadar cahaya mereka. Dalam khabar yang lain disebutkan, “Al-shirâth tampak pada pandangan pada Hari Kiamat menurut kadar orang-orang yang lewat di atasnya." Karena al-shirâth itu terbentang di atas neraka, maka setiap orang pasti mendatanginya, karena kesempurnaannya yang bersifat substansial. Awal perjalanan spiritual (sulûk)-nya adalah tabiat. Setiap orang, baik yang bahagia maupun yang celaka, pasti melewatinya, karena asal Jahanam adalah dari dunia. Asal dan materinya adalah kebergantungan jiwa pada realitas- realitas duniawi dan perhiasan-perhiasannya.

dalammu berupa naungan yang memiliki tiga cabang. Inilah mak na jalan (nsh-shirâtlı) Allah berdasarkan firman-Nya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk pada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di la ngit dan di bumi (QS al-Syûrâ 42:52–53). Penyimpangan dari jalan itu menyebabkan keguguran dari fitrah dan kejatuhan ke dalam neraka Jahanam.

Ketahuilah, para nabi dan para rasul Allah Swt merupakan jalan Allah Swt di alam dunia ini. Barangsiapa membelakangi mereka, maka ia jatuh ke dalam neraka Jahanam. Jalan yang lurus (ash-shi râth al-mustaqîm) itu memiliki dua aspek: pertama, lebih tipis dari rambut; kedua, lebih tajam dari pedang. Demikian pula, jiwa manusia memilki dua aspek dan dua kekuatan, yakni kekuatan ilmiah dan kekuatan amaliah. Barangsiapa yang kedua kekuatannya itu sempurna dengan memperoleh makrifat Ilahi, meraih ilmu-ilmu ketuhanan, dan menjauhkan diri dari keharaman-keharaman dan larangan-larangan Allah, maka ia diberi kemudahan dalam melewati ish-shirâth ini secepat kilat Tambahan Penyingkapan dan Penjelasan Syaikh ash-Shadûq Muhammad bin ´Alî Bâbawaih al-Qummî berkata, “Keyakinan kita pada ash-shirâth adalah bahwa ia benar, bahwa ia adalah jembatan Jahanam, dan bahwa semua makhluk akan lewat di atasnya. Allah berfirman: Dan tidak seorang pun di antara kalian melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhan kalian adalah suatu kemestian yang sudah ditetap- kan” (QS Maryam 19: 71). Ia juga mengatakan, “Ash-Shirâth

p: 116

dalam bentuk lain adalah nama para luujjah Allah. Barangsiapa mengenal dan menaati mereka di dunia ini, maka Allah memberinya kemudahan melewati ash-shirâth yang merupakan jembatan neraka Jahanam pada Hari Kiamat.” Nabi Saaw. berpesan kepada ‘Alî a.s., “Wahai ‘Alî, pada Hari Kiamat nanti, aku, engkau, dan Jibril duduk di atas ash-shirâth. Tidak seorang pun dapat melewati ash-shirâth itu kecuali orang yang membenarkan otoritas (wilayah)-mu." Di tempat lain, beliau juga bersabda, “Syiar-syiar kaum Muslim di atas ash-shirâth adalah Rabbî sallim, Rabbî sallim ('Ya Tuhanku, selamatkanlah; Ya Tuhanku, selamatkanlah!').” Seorang ahli syuhûd berkata, “Allah menciptakan ash- shirâth dari rahmat-Nya yang dikeluarkan untuk orang-orang Mukmin. Ash-shirâth dikhususkan bagi para penganut tauhid (al-muwahhidûn). Orang-orang kafir tidak dapatlewatdiatasnya, karena neraka telah merenggut jenazah-jenazah mereka dari tempat perhentian (al-maugif). Ash-shirâth bisa menyempit dan bisa juga melebar menurut tingkatan para penganut tauhid.

Ash-shirâth itu sempit bagi orang-orang yang berdosa dan lebar bagi orang-orang yang bertakwa, terutama bagi para nabi dan para wali Allah. Cepat dan lambat dalam menempuh ash-shirâth didasarkan pada kadar kedekatan kepada Tuhan. Kelompok pertama dari mereka menempuhnya seperti kejapan mata dan secepat kilat; mereka adalah para nabi Allah. Kelompok kedua menempuhnya seperti hembusan angin dan terbang; mereka adalah orang-orang yang benar (ash-shiddîgûn) dan para wali Allah. Kelompok ketiga menempuhnya seperti lompatan kuda yang bagus; mereka adalah orang-orang yang berjihad mela-

p: 117

wan nafsu. Kelompok keempat menempuhnya seperti me nung-gang kendaraan; mereka adalah orang-orang yang ber- takwa. Kelompok kelima menempuhnya dengan berlari; mere ka adalah para ahli ibadah. Kelompok keenam menempuhnya dengan berjalan kaki; mereka adalah orang-orang yang ber- buat baik secara sembunyi-sembunyi. Kelompok ketujuh me- nempuh nya dengan berjinjit; mereka adalah para penganut tauhid yang tidak tahu rasa malu.

Catatan tentang Keadaan-keadaan yang Ditampakkan pada Hari Kiamat Ketahuilah, apabila cahaya dari segala cahaya telah muncul, keagung an wajah Allah Yang Maha Mandiri(1) tersingkap, ke kuasa an ahadiyyah mendominasi, aspek-aspek fâʻiliyyah menguat, reseptivitas dan kesiapan keluar dari kondisi po- tensial menjadi aktual, gerakan-gerakan sampai ke tujuannya, hakikat-hakikat muncul dari tempat-tempat kegaibannya dan tirai-tirai materinya, maka setiap pemilik mabda akan kembali pada mab da'-nya, setiap sesuatu kembali pada asalnya, dan setiap pemilik tu juan kembali ke tujuannya. Ingatlah, kepada Allah semua urusan kem bali (QS al-Syûrâ 26: 53). Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan (QS al-Mu'min 40:

16). Dan Allah yang mempusakai langit dan bumi (al-Hadîd 57:

10). Apabila setiap bagian bersambung dengan asalnya, setiap cabang melekat pa da asalnya, buku catatan setiap sesuatu sampai pada batas waktunya, matahari dan bulan disatukan, cahaya bintang-bintang meredup, matahari digulung, planet- planet berserakan, bulan mengalami gerhana,

p: 118


1- 2.Ketahuilah, tajallî, dari segi pemutlakan dan ahadiyyah, menghilangkan semua entifikasi. Tajallî ini diperoleh orang yang sempurna dalam beberapa keadaan sulûk dan bukan merupakan maqam bagi mereka. Manusia paripurna dan para waslu-nya yang maksum dalam semua keadaan me- miliki maqam karena telah tegaknya kiamat mereka di dunia ini. Imam Ali as mengabarkan hal ini, “Sekiranya tabir tersingkap, tidak akan bertambah keyakinanku.” Hal itu pun ditunjukkan Nabi Muhammad Saaw dengan sabdanya, “Sekarang, kiamatku telah ditegakkan."

ser ta langit dan bumi kembali pada keadaannya semula pada hari ke tika Kami menggulung langit seperti menggulung lembaran- lembaran kertas (QS al-Anbiyâ' 21: 104); pada hari bumi diubah menjadi bumi yang lain (QS İbrâhîm 14: 48); dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan (QS al-Hâqâh 69: 14). Segala yang ada di bawah langit kembali. Ja- hanam dinamai dengan nama ini karena jurangnya yang dalam.

Dikatakan "sumur Jahanam” artinya jurang yang dalam.

Ash-shirâth dipancangkan dari bumi naik ke langit, yaitu lan tai al-Kursî dari aspek batinnya. Oleh karena itu, dikatakan bah wa lantai surga adalah al-Kursî, atapnya adalah 'Arsy ar- Rahmân. Timbangan-timbangan diletakkan di tanah Mahsyar.

Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (QS al-A'râf 7: 8) milik ar-Rah mân. Tirai-tirai di antara Allah dan hamba-hamba-Nya di angkat. Itulah makna penyingkapan betis. Pada hari betis dising kap kan (QS al-Qalâm 68: 42). Tidak seorang pun kekal di dalam agama apa pun kecuali ia bersujud kepada Allah secara khusus dengan sujud yang dijanjikan.

p: 119

MANIFESTASI 8

Pengungkapan Lembaran-lembaran,.......

Pengungkapan Lembaran-lembaran, Penampakan Buku-buku Catatan, dan Cara Penyingkapan Rahasia-rahasia dalam Kiamat Besar dan Kiamat Kecil.

Ketahuilah, ucapan dan perbuatan, selama eksistensinya di da lam gerakan dan suara, keduanya tidak kekal dan teguh. Na mun, barangsiapa melakukan suatu perbuatan dan mengu- capkan suatu ucapan, darinya akan dihasilkan pengaruh pada ji wa nya dan keadaan itu kekal sepanjang zaman. Jika per- buatan-perbuatan dilakukan berulang-ulang, maka pengaruh- pengaruh itu melekat di dalam jiwa. Dengan demikian, ke adaankeadaan itu menjadi pembawaan (malakalı), lalu berkumpul di dalam dirinya dan khazanah perseptifnya. Itulah bu ku ca tatan yang pada hari ini tertutup bagi pandangan ma ta. De ngan kematian, baginya tersingkap tulisan yang sebelumnya gaib darinya ketika ia masih hidup. Setiap orang yang me lakukan kebaikan ataupun kejahatan, meskipun sebesar atom, akan men dapatinya tertulis dalam lembaran dirinya atau lem baran yang lebih tinggi darinya. Itulah yang disebut pengungkapan lem baran-lembaran. Bila tiba saat pandang annya jatuh pada wa jahnya sendiri, tersingkaplah ca tatan itu padanya, dan ia ber kata: Kitab apakah ini yang tidak me lewatkan yang kecil ataupun yang besar melainkan mencatatnya (QS al-Kahfi 18: 49). Ketika

p: 120

itu, ia menajamkan penglihatan untuk membaca kitab dir- inya. Maka Kami singkapkan darimu tutup matamu, maka pengli- hatanmu pada hari itu amat tajam (QS Qâf 50: 22). Dan pada Hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terluadapmu” (QS al-Isra 17: 13–14).

Tentang hal ini(1) diriwayatkan banyak hadis melalui jalur Ahlul Bait a.s dan lain-lain dari Nabi Saaw.

Pertama, diriwayatkan sebuah hadis dari Qais bin ´Ashim bahwa Nabi Saaw. bersabda, “Hai Qais, sesungguhnya bersama kemuliaanada kehinaan; bersama kehidupanada kematian, dan bersama dunia ada akhirat. Bagi setiap sesuatu ada pengawas dan atas setiap sesuatu ada penghisab. Bagi setiap ajal ada kitab catatan. Engkau pasti memiliki pendamping yang dikubur bersamamu. Ia hidup dan engkau dikubur bersamanya, dan engkau bersamanya. Bila ia mulia, ia memuliakanmu. Akan tetapi, jika ia tercela, maka ia mengkhianatimu. Kemudian, ia hanya akan dikumpulkan bersamamu dan hanya akan ditanya tentang dirimu. Oleh karena itu, jadikanlah ia shalih saja.

Sebab, bila ia shalih, engkau senang kepadanya. Akan tetapi, jika ia rusak, maka engkau hanya akan merasa jijik kepadanya.

Ia adalah perbuatanmu sendiri." Kedua, diriwayatkan bahwa Nabi Saaw. bersabda, “Surga adalah sebuah ladang, dan tanamannya adalah lafaz subhanallah (“Maha Suci Allah').” Ketiga, Nabi Saaw. bersabda, “Orang kafir diciptakan dari dosa orang Mukmin.”

p: 121


1- Yakni hari ketika segala rahasia ditampakkan. Pada hari itu, hal gaib menjadi nyata, rahasia menjadi terbuka, dan berita menjelma dengan memiliki rupa. Jika pandangan orang-orang yang lalai jatuh pada buku catatan itu, mereka berkata, “Kitab apakah ini yang tidak melewatkan sesuatu yang kecil dan yang besar melainkan mencatatnya.” Oleh karena itu, kiamat disebut juga hari ditampakkannya segala rahasia. Dalilnya adalah bahwa selama jiwa berada di alam dunia ini karena kesibukannya mengatur badan, mengarahkannya pada syubhat duniawi, dan memper- temukannya dengan 'illah-`illah yang secara kebetulan, ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat lembaran catatan dirinya. Namun, setelah ia kembali ke akhirat dan tidak membutuhkan badan, maka ia merasa cukup dengan dirinya serta kekuatan-kekuatan yang melekat padanya, dan bentuk-bentuk yang terdapat di dalam esensinya. Jika pengetahuannya merupakan hal-hal yang suci dan perbuatan-perbuatan shalih maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Sebaliknya, jika pekerjaannya adalah perbuatan-perbuatan buruk maka dia akan berteriak, "Celakalah aku.” Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Lembaran catatan amal perbuatan setiap orang adalah buku catatan yang padanya tertera amalan-amalan dan perbuatan-perbuatannya. Jika ia termasuk orang-orang yang suka berbuat kebajikan maka buku catatannya diberikan dari sebelah kanannya, tetapi jika ia termasuk orang-orang yang suka berbuat keburukan maka buku catatannya diberikan dari sebelah kirinya. Sesungguhnya buku catatan orang-orang yang berbuat kebajikan [tersimpan] di dalam “Illiyyîn. Tahukah kamu, apakah *Illiyyîn itu? [Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan. Sesungguhnya buku catatan orang-orang yang durhaka tersimpan di dalam Sijjîn. Tahukah kamu, apakah Sijjîn itu? [Yaitu) kitab yang bertulis.

Barangsiapa termasuk orang-orang yang berhak mendapatkan kebahagiaan dan golongan kanan (ashhâb al-yamîn) maka pengetahuannya adalah hal-hal yang suci. Kitabnya diberi kan dari sebelah kanannya dari arah ‘Illiyyîn: Sesungguhnya ki tab orang-orang yang berbakti itu dalam 'Illiyyîn (QS al-Muthaffifîn 83: 18). Sebaliknya, barangsiapa termasuk orang-orang celaka yang di tolak dan pengetahuannya terbatas pada hal-hal yang bersifat parsial, maka kitabnya diberikan dari sebelah kirinya dari arah Sijjîn: Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersim- pan di dalam Sijjîn (QS al-Muthaffifîn 83: 7) karena ia termasuk orang-orang berdosa. Dan sekiranya engkau melihat ketika orang- orang yang berdosa itu menundukkan kepala di hadapan Tuhan mereka (QS al-Sajdah 32: 12).

Timbangan dan Penghisaban Allah berfirman: Kami akan memasang timbangan keadilan pada Hari Kiamat sehingga seseorang tidak dizalimi sedikit pun (QS al- Anbiyâ' 21: 47). Ketahuilah, penghisaban adalah menggabungkan bilangan dan kuan titas yang bertebaran. Dengan kekuasaan Allah, dalam sekejap tampak kepada seluruh makhluk hasil dari kebaikan dan kejelekan mereka. Dia paling cepat dalam memberikan penghisaban.

Terdapat perbedaan pendapat dalam mengartikan almîzîn (timbangan). Satu pendapat mengatakan bahwa al-mízân ada lah para nabi dan para washî. Hal itu ditunjukkan dengan ha dis yang menyebutkan bahwa Imam ash-Shâdiq a.s. ditanya tentang firman Allah: Dan Kami memasang timbangan yang adil pada Hari Kiamat (QS al-Anbiyâ' 21: 47). Beliau a.s. menjawab,

p: 122

“Al-mîzîn adalah para nabi dan para waslî." Ada pula pendapat yang menyebutkan bahwa al-mîzên adalah timbangan segala ilmu. Di antara kedua pendapat itu tidak ada perbedaan karena timbangan segala ilmu adalah Al-Qur'an, dan mereka (para nabi dan para washi) adalah para pengembannya.

Ketahuilah, timbangan-timbangan yang disebutkan di da- lam Al-Qur'an pada dasarnya ada tiga, yakni timbangan ta'îdul, timbangan talâzum, dan timbangan ta'ânud. Namun, timbangan pertama terbagi lagi ke dalam tiga bagian, yakni yang besar, yang pertengahan, dan yang kecil. Jadi, timbangan itu ada lima. Barangsiapa mempelajari kelima timbangan yang ditu- runkan Allah di dalam Kitab-Nya kepada Rasul-Nya, maka ia telah mendapatkan petunjuk. Sebaliknya, barangsiapa tersesat darinya dan mengamalkan pendapatnya sendiri, maka ia telah sesat. Timbangan yang pertama, dan ia lebih besar dari ta'îdul, adalah timbangan al-Khalîl (Ibrâhîm a.s.) yang digunakannya kepada Namrûdz. Hal itu seperti dikisahkan Allah dalam firman-Nya: Tuhanku yang menghidupkan dan mematikan... Maka ter diam lah orang kafir itu (QS al-Baqarah 2: 258). Timbangan kedua, yakni timbangan pertengahan, yang juga dipasang oleh Allah, dan pengguna pertamanya adalah Ibrâhîm a.s., di mana ia berkata: Aku tidak suka pada sesuatu yang hilang (QS al-An'âm 6: 76). Timbangan ke tiga ada lah timbangan kecil, dan itu pun dipasang oleh Allah, di mana Dia mengajarkan kepada Nabi- Nya Saaw. dalam Al-Qur'an da lam firman-Nya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya ketika mereka berkata, “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia" (QS al-An'âm 6: 91). Timbangan ke empat adalah

p: 123

timbangan talâzum, yakni yang dipahami dari firman Allah:

Kalau saja di dalam keduanya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Allah, pastilah keduanya hancur (QS al-Anbiyâ' 21: 21 – 22).

Timbangan kelima adalah timbangan ta'înud, dan tempatnya di dalam Al-Qur'an adalah firman Allah ketika mengajari Na- bi-Nya: Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepada ka lian dari langit dan bumi?" Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya ka- mi atau kalian pasti berada di dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata (QS Saba' 34: 24). Ringkasnya, timbangan setiap se - suatu adalah dari jenisnya sendiri. Misalnya, timbangan filsafat adalah ilmu logika (manthiq), timbangan lingkaran adalah jang- ka, timbangan tiang adalah waterpas, timbangan syair adalah farûdh, dan timbangan garis adalah mistar. Dengan demikian, timbangan kiamat adalah dari jenis alam akhirat.

Syaikh ath-Thâ'ifah Abû Ja'far Muhammad bin ´Alî bin Bâbawaih al-Qummî r.a. berkata, “Keyakinan kami pada penghisaban adalah bahwa hal itu benar. Ada orang yang penghisabannya diurus oleh Allah dan ada pula orang yang penghisabannya diurus oleh para hujjah-Nya. Penghisaban para nabi dan para Imam diurus oleh Allah. Setiap nabi mengurus penghisaban para wasluî-nya dan para waslu mengurus penghisaban umat-umatnya." Ketahuilah, timbangan ini merupakan bukti makrifat tenta- ng Allah serta sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, para malaikat, kitab-kitab, para rasul, dan kerajaan-Nya agar diketahui cara penimbangan dengannya sebagai pengajaran dari para nabi- Nya, sebagaimana para nabi belajar dari para malaikat-Nya.

Allah adalah pengajar pertama. Pengajar kedua adalah Jibril.

p: 124

Pengajar ketiga adalah Nabi Saaw. Orang pertama yang meng- gunakan timbangan ini adalah Bapak Para Nabi, Ib râhîm al-Klualîl a.s., lalu para nabi lainnya hingga putranya yang diku- duskan, Muhammad Saaw. Dan itulah lujjah Kami yang Ka-mi beri kan kepada Ibrâhîm untuk menghadapi kaumnya. Kami ting- gikan sia pa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tu hanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetalui (QS al-An'âm 6: 83).

Verifikasi Ketahuilah, setiap perbuatan baik, seperti shalat, puasa, shalat tahajud, dan sebagainya, berdasarkan pengaruhnya pada ji wa dan kesuciannya dari kegelapan tabiat dan tarikannya dari du nia ke akhirat adalah sesuai dengan kadar dan kekuatan tertentu.

De mikian pula, setiap perbuatan buruk memiliki kadar pe ng a ruh berupa kegelapan substansi jiwa dan penebalannya. Se mua itu tertutup dari penglihatan makhluk di dunia. Akan te tapi, ketika kia mat terjadi, hal itu tersingkap kepada mereka ka re na tirai-ti rai diangkat. Setiap orang yang, dengan kekuatan keya kinan dan cahaya keimanan, tidak dapat menyelamatkan diri nya dari be lenggu tabiat pun tergadai dengan perbuatannya.

Hal itu sesuai dengan kadar terselenggaranya perbuatan-per- buatan, di perolehnya hasil, dan daya tariknya membawa jiwa pada salah sua tu kedua sisi, seperti kedudukan timbangan yang memiliki dua piringan; salah satu piringannya cenderung ke bawah, yakni neraka Jahim menurut kadar kesenangan fana yang di kan dungnya, sementara piringan lainnya cenderung ke alam atas dan negeri kenikmatan menurut kadar kesenang-

p: 125

an abadi yang dikandungnya. Jika terjadi kontradiksi di antara kedua piringan itu, maka keputusannya adalah dari Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar, untuk memasukkannya ke salah satu negeri itu, entah negeri kenikmatan atau negeri Jahim, berdasarkan timbangannya tersebut.

Ketahuilah, piringan kebaikan ada di sebelah timur dan piringan keburukan ada di sebelah barat. Piringan pertama adalah piringan Golongan Kanan (ashhâb al-yaman) dan piring- an kedua adalah piringan Golongan Kiri (nshihab asy-syjimâl).

Keduanya berada dalam satu ketentuan dan hal kanan atau kiri, timur atau barat, dan surga atau jahim. Kedua tangan orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan menjadi kanan semua, sedangkan kedua tangan orang-orang yang mendapat- kan keterkutukan menjadi kiri semua.

Penghisaban Penghisaban adalah penggabungan berbagai hal yang berserakan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, sebagaimana telah engkau ketahui sebelumnya.

Ketahuilah, kelompok-kelompok manusia, ditinjau dari aspek penghisaban pada Hari Kiamat, ada dua golongan. Pertama, golongan yang masuk surga dan diberi kenikmatan. Mereka ada tiga kelompok, yaitu[1] orang-orang yang didekatkan dan sempurna (al-muqarrabûn al-Kâmilûn) dalam makrifat dan tajarrud (kebebasan). Karena kesucian dan tingginya kedudukan mereka dari kesibukan dengan buku catatan dan penghisaban, mereka memasuki surga tanpa penghisaban.

Tentang mereka, Allah ber fir man: Engkau tidak menanggung

p: 126

sedikit pun penghisaban mereka dan mereka tidak menanggung sedikit pun penghisabanmu (QS al-An' âm 6: 52); [2] se kelom- pok dari ashlâb al-yamîn yang tidak pernah melaku kan ke- maksiatan dan kejahatan di dunia, serta tidak pula mem buat ke rusakan di muka bumi karena kejernihan bati dan ke kuatan ji wa mereka dalam mengerjakan ketaatan dan menda tangkan kebaikan. Mereka pun memasuki surga tanpa penghi saban. Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang ti dak ingin menyom bongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bu mi. Dan kesu dahan (yang baik] itu adalah bagi orang-orang yang ber tak wa (QS al-Qashash 28: 83); [3] sekelompok orang yang jiwa mereka tu lus dan catatan amal an mereka kosong dari pengaruh keburuk an dan kebaikan sekaligus. Karenanya, Al- lah memberikan rah mat dan keutamaan [ke pada mereka).

Mereka tidak pernah ter sen tuh buruknya sik saan, karena sisi rahmat lebih berat dari pa da sisi kemurkaan. M e reka pun memasuki surga tanpa penghisaban. Rahmat-Ku meli puti segala sesuatu (QS al-A'râf 7: 156).

Kedun, golongan orang-orang yang pantas mendapatkan sik sa an. Mereka pun terdiri dari tiga kelompok, yakni [1] kelompok orang-orang yang catatan amalan mereka kosong dari amal sha lih dan sudah pasti mereka adalah orang-orang kafir. Me reka me masuki Jahanam tanpa penghisaban; [2] kelompok orang-orang yang sebenarnya memiliki sedikit ke- baikan, tetapi ten tang me re ka dikatakan: Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang te lah mereka usa hakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka ker jakan (QS Hud 11: 16); Dan Kami hadapi segala amalan yang mereka ker jakan, lalu Kami ja dikan amalan itu [bagaikan] debu yang beterbangan (QS al-Furqân 25: 23); [3]

p: 127

kelompok orang-orang yang pada dasarnya termasuk para pelaku kebaikan, yakni mereka telah mencampuradukkan amal shalih dengan ke burukan (QS al-Tawbah 9: 102). Mere ka terbagi ke dalam dua kelompok lagi, yakni (a) kelompok yang didebat dalam penghisaban dengan sangat teliti dan terperinci karena mereka hidup di dunia dengan sifat ini; dan (b) kelompok yang mengkhawatirkan penghisaban yang buruk dan mencemaskan siksaan pada Hari Kiamat. Mereka tidak disiksa terlalu berat dengan perbantahan kepada mereka dalam penghisaban.

Penjelasan Ketahuilah, wahai orang yang kukasihi, bahwa engkau adalah penempuh perjalanan (musafir) dari dunia ke akhirat.

Engkau adalah pedagang dan modalmu adalah kehidupanmu.

Perdaganganmu adalah meraih makrifat-makrifat, dan itulah bekal perjalananmu ke tempat kembalimu. Faedah dan ke- untunganmu adalah kehidupan abadimu beserta kenikmatan- nya, bertemu dengan Allah dan mendapatkan ridha-Nya.

Kerugianmu adalah kebinasaan dirimu dengan terhalangnya engkau dari kedekatan kepada Allah dan negeri kemuliaan- Nya. Ketahuilah, ahli mata uang itu sangat teliti. Ia hanya menerima darimu emas dan perak murni saja. Ia menimbang kebaikan-kebaikanmu dengan timbangan yang tepat. Hisablah dirimu sebelum umurmu berakhir dan sebelum engkau dihisab pada saat engkau tidak dapat lagi memperbaiki diri.

Timbangan-timbangan itu diangkat pada hari penghisaban dan di dalamnya ada pahala dan siksaan. Adapun, orang yang timbangannya berat maka ia dalam kehidupan yang menyenangkan.

p: 128

Sementara itu, orang yang timbangannya ringan, maka tempat kembalinya adalah Hâwiyah. Talukah engkau, apakah Hâwiyah itu? [Yakni] api yang menyala-nyala (QS al-Qâri'ah 101: 6-10).

Catatan Ketahuilah, batin manusia di dunia adalah lahiriah di akhirat.

Apa saja keadaannya yang gaib di sini menjadi nyata di sana.

Setiap rahasia akan menjadi tampak, karena jiwa pada esensi- nya memiliki pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan, sentuhan, khayalan, tindakan, perbuatan, dan gerakan. Ia memiliki mata penglihatan yang melihat Tuhannya; telinga pendengaran yang mendengar kata-kata para malaikat serta suara dan nyanyian burung-burung surga; penciuman yang mencium harum keakraban dan wangi kekudusan; perasaan yang merasakan rasa surga;sentuhanyang menyentuh bidadari, yaitu perasaan ruhaniah dan indera batiniah beserta hal-hal yang dapat dirasa dari para penghuni surga jika tidak ada tabir yang menutupinya dan penghalang yang merintanginya.

Adapun indera dunia, ia akan lenyap dan objek-objek yang diinderanya pun sirna, yang menyebabkan siksaan yang pedih dan tercegah dari mendapatkan kenikmatan.

Surga dan Neraka Benar Adanya Ketahuilah, Allah memiliki alam yang bukan alam ini, yakni alam akhirat, alam batin, alam gaib, dan alam malakut. Alam yang sekarang ini adalah alam dunia, alam lahir, dan alam nya- ta. Kerajaan dan penciptaan itu teguh sekarang. Tempat kedua- nya bukan di dalam lahiriah alam ini, karena ia terindera dan

p: 129

setiap sesuatu yang terindera dengan indera jasmani adalah berada di dunia ini. Surga adalah di alam akhirat. Benar, tempat keduanya adalah di dalam tabir-tabir langit. Keduanya memiliki penampakan (mazhhar) di alam ini. Khabar-khabar meriwayatkan penentuan beberapa tempat keduanya.

Ketahuilah, terdapat banyak hadis yang bermacam-macam tentang keberadaan dan ketiadaan keduanya. Sebagian hadis menunjukkan bahwa keduanya belum ada sekarang, tapi akan ada setelah dunia ini lenyap serta langit dan bumi hancur.

Sebagian lagi menunjukkan bahwa keduanya sudah ada sekarang. Kedua versi hadis yang datang dari para panutan yang maksum dan pemilik hikmah a.s. itu tidak bertentangan, karena surga yang ada sekarang adalah surga yang darinya bapak kita dan istrinya, Adam a.s. dan Hawa - dikeluarkan karena kekeliruan mereka. Sementara itu, surga dan neraka yang muncul setelah dunia ini lenyap adalah surga amalan dan perbuatan, yang terbentuk setelah perbuatan-perbuatan dan pengaruh-pengaruh diakhiri.

Muhammad bin ´Alî bin Bâbawaih al-Qummî r.a. berkata, “Keyakinan kami pada surga adalah bahwa surga itu merupa- kan negeri keabadian dan negeri keselamatan. Di dalamnya tidak ada kematian, ketuaan, sakit, penyakit, dan kefakiran.

Surga adalah negeri kekayaan.” Tentang neraka, beliau berkata, “Keyakinan kami pada ne- raka adalah bahwa neraka itu merupakan negeri penyiksaan dan negeri hukuman bagi orang-orang kafir dan para pelaku kemaksiatan. Keduanya memiliki pintu-pintu dan tingkatan- tingkatan. Dan para malaikat itu masuk ke tempat mereka melalui se-

p: 130

mua pintu (QS al-Ra'd 13: 23). Jahannam itu memiliki tujuh pintu.

Setiap pintu untuk golongan tertentu dari mereka" (QS al-Hijr 15:

44). Semoga Allah memelihara kita dari panasnya api neraka.

Keadaan-keadaan yang Ditampakkan di Hari Kiamat Keadaan-keadaan yang ditampakkan pada Hari Kiamat di an- taranya sebagai berikut.

Pertama, al-A'râf, yakni pagar di antara surga dan neraka yang memiliki sebuah pintu. Di sebelah dalamnya terdapat rahmat, yakni yang masuk ke wilayah surga, sedangkan di sebelah luarnya terdapat siksaan, yakni yang masuk ke wilayah neraka. Ke dalamnya dimasukkan orang yang kedua piringan timbangannya setimbang. Mereka melihat dengan satu mata ke neraka dan dengan mata lain ke surga. Dan di atas al-Aſrâf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tan da-tanda mereka (QS al-A'râf 7: 46).(1) Kedua, dzabh al-maut (penyembelihan kematian), yakni bahwa Allah menampakkannya pada Hari Kiamatdalam bentuk domba berwarna putih. Yahyâ a.s. datang sambil membawa pisau besar, lalu menyembelihnya seraya berseru, “Wahai para penghuni neraka, kalian kekal [di dalamnya) tanpa kematian.” Pada waktu itu, di dalam neraka hanya ada orang-orang yang pantas menjadi penghuninya. Adapun para penghuni surga ketika melihat kematian itu, mereka sangat bergembira. Mereka berkata, “Semoga denganmu Allah memberkahi kami. Engkau telah membebaskan kami dari dunia. Engkau adalah kebaikan yang datang kepada kami dan hadiah terbaik yang dipersem- bahkan untuk kami." Nabi Saaw. bersabda, “Kematian merupa-

p: 131


1- 3. Al-Muhaqqiq al-'Azhîm al-Mawlâ al-Kâsyânî, dalam Qurrat al-“Uyûn halaman 493, mengatakan, “Jika kata al- a'râf merupakan bentuk derivasi dari kata maʼrifah maka para nabi dan para wali a.s. adalah orang-orang yang mengenal ('ârifûn) dan yang dikenal (maʻrûfûn) di dunia ini. Jika al-n-râf berarti al-'urafyaitu tempat-tempat yang tinggi, maka mereka, karena ketinggian makrifat dan ketajaman pandangan batin mereka, seakan-akan berada di tempat yang tinggi seraya memandang orang-orang selain mereka yang berada pada tingkatan yang berbeda-beda [di bawah tingkatan mereka). Mereka dapat membedakan orang- orang yang berbahagia dari orang-orang yang sengsara karena mereka telah mengenal orang-orang itu tetapi jauh dari mereka di dunia ini." Ketahuilah, para wali berada di suatu tempat, karena keterangkatan mereka dari dunia ini dan keterhubungan mereka dengan al-Mala' al-Aʻlâ, melihat penghuni surga dan tingkatan-tingkatannya serta penghuni neraka dan tingkatan-tingkatannya di dunia ini. Namun, tingkatan para wali dan orang-orang sempurna berbeda-beda menurut kesiapan, kesempurnaan, dan perilaku spiritual mereka. Ruh, yaitu jiwa yang lembut, dalam hal kenaikannya ke al-Mala' al-Aʻlân, alam arwah, dan al-Lauh- memiliki batin ketiga, yaitu sesuatu yang terbuka bagi kekhususan mereka. Dalilnya adalah jawaban Zayd bin Haritsah, seorang sahabat Nabi Saaw, ketika dia berkata, “Pagi ini aku sebagai seorang Mukmin yang sebenarnya," ketika Nabi Saaw bertanya kepadanya, “Bagaimana keada- anmu pagi ini?" Ia berkata, “Aku seakan-akan memandang “Arsy al-Rahmân yang tampak." Inilah martabat “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya” dalam istilah ahli makrifat. Martabat ini merupakan tingkatan ihsân yang pertengahan. Selain itu, ruh memiliki batin keempat. Dalilnya adalah firman Allah Swt: “Hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah (nawâfil) sehingga Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya ... (dan seterusnya).” Ruh juga memiliki batin kelima, keenam, dan ketujuh. Puncak tingkatan ini dikhususkan bagi Nabi kita Muhammad Saaw. dan para Ahlul Baitnya yang maksum as. Tidak satu tanda pun darinya terbuka kecuali kepada ahli waris Muhammad Saaw, karena mereka adalah jalan yang paling agung. Alias – karena pengetahuannya terhadap tingkatan- tingkatan itu, pernah ditanya tentang makna ayat: dan di atas Aſraf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka, menjawab, “Kamilah al-A'râf yang Allah tidak dikenal kecuali me- lalui jalan makrifat kami. Kamilah al-Aſraf yang pada hari kiamat berdiri di antara surga dan neraka." Diriwayatkan dari Imam al-Baqir as, “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan umat ini dan orang-orang yang menjadi pemimpin (imam)dari keluarga Muhammad Saaw” Beliau juga berkata, “Al-A'râf adalah jalan di antara surga dan neraka. Para pendosa yang diberi syafaat oleh para imam akan selamat."

kan hadiah bagi orang Mukmin.” Sementara itu, para penghu- ni neraka ketika melihat kematian itu, mereka merasa takut dan berkata, “Engkau adalah keburukan yang datang kepada kami. Semoga engkau mematikan kami sehingga kami merasa tenang dengan apa yang ada di dalamnya." Kemudian, pintu- pintu neraka ditutup tanpa pernah dibuka lagi sehingga para penghuninya terkurung dan mereka berdesak-desakan satu sama lain. Tekanan kepada para penghuni neraka itu sangat kuat. Mereka yang berada di bawah kembali ke atas dan melihat manusia dan setan-setan di dalamnya seperti sepotong daging di dalam kuali. Ketika di bawahnya dinyalakan api yang besar, kuali itu mendidih seperti mendidihnya air yang sangat panas (QS al-Dukhân 44: 46). Se tiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambahkan nya lanya untuk mereka (QS al-Isra 17:97) dengan mengganti kulit mereka.

Makna Tiupan Allah berfirman: Dan sangkakala ditiup (QS al-Zumar 39: 68).(1) Ketika Nabi Saaw. ditanya tentang sangkakala itu, beliau menjawab, “Terompet dari cahaya yang siap ditiup oleh Isrâfîl.” Dikatakan bahwa sangkakala itu sempit dan lebar.

Perbedaan itu adalah bahwa bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya lebar, atau sebaliknya, dan masing-masing memiliki penjelasan Tiupan itu ada dua, yakni satu tiupan memadamkan neraka dan tiupan yang lain menyalakannya. Dan ditiuplah sangkakala. Maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian, sangkakala itu ditiup sekali

p: 132


1- 4. Diriwayatkan dari Nabi Saaw, “Di dalamnya terdapat ular sejumlah hitungan arwah.” Barangkali, kiasan tentang jurang-jurang barzakh adalah “Kuburan itu bisa berupa salah satu taman surga atau salah satu jurang neraka” tempat ruh-ruh berpindah ke sana, dan rahasia penyifatannya dengan luas dan sempit adalah karena tidak ada sesuatu yang lebih luas daripada imajinasi. Hal itu karena jiwa dengan kekuatan imajinasinya mengkonsepsi sesuatu berdasarkan eksistensinya di alam materi. Di sam- ping itu, di dalam keluasannya tidak ada penghilangan makna-makna universal. Ia melihat setiap sesuatu dalam bentuk bayangan konsepsi barzakhinya, berbeda dengan akal. Akal melihat batin dan makna sesuatu yang luput dari bentuk. Adapun, rahasia cahaya yang diungkapkan Imam as adalah jelas. Hal itu karena cahaya tampak dengan esensinya sendiri dan merupakan penampakan (mazhhar) sesuatu yang lain. Imajinasi adalah cahaya yang menampakkan semua bentuk bayangan di dalam alam- nya. Setiap badan materi duniawi memiliki jantung dan pokok yang kekal setelah kematian badan. Itu merupakan bentuk yang khusus ada di barzakh dan badan yang bersifat ide itu sendiri. Kehidupan badan yang bersifat ide ini adalah kehidupan esensial. Sumber eksistensi dan kelahirannya adalah badan materi dan jasmani ini yang akan sirna. Jika seseorang mati maka seluruh materinya terlepas. Ia kekal bersama jasad yang bersifat cahaya di barzakh. Dengan demikian, semua indera manusia setelah kematian hanyalah dengan bentuk ini.

lagi. Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu [putusan masing- masing] (QS al-Zumar 39: 68). Shuậr (sang kakala) atau sluwâr adalah bentuk jamak dari slûrah (bentuk), karena peniupnya adalah pemberi bentuk dengan izin Allah. Bila sangkakala itu telah siap, sumbu kesiapannya adalah seperti rumput kering yang [mudah] terbakar. Itulah kesiapan untuk menerima seperti kesiapan rumput kering dengan api yang tersembunyi di dalamnya untuk menerima nyala. Sangkakala barzakh itu seperti lampu yang dinyalakan dengan ruh yang ada di dalamnya. Isrâfîl meniup dengan satu kali tiupan lalu mengalir pada sangkakala tersebut sehingga memadamkannya. Tiupan berikutnya mengalir, yaitu tiupan lain pada bentuk-bentuk yang disiapkan untuk menyala. Itulah penciptaan kedua, lalu dinyalakan dengan ruhnya. Tiba-tiba, mereka berdiri sambil menanti.

Bentuk-bentuk itu berdiri sebagai makhluk hidup yang berbicara dengan orang yang diajak bicara oleh Allah. Lalu, ada yang berbicara dengan “Segala puji bagi Allah”; ada yang berbicara mengucapkan: Siapakah yang membangkitkan kami dari tem pat tidur kami? (QS Yâsîn 36: 52) dan ada yang berbicara mengucapkan“Segala puji bagi Allahyang menghidupkan kami setelah mematikan kami dan kepada-Nya kami dikembalikan.” Tiup an per tama itu ditunjukkan Nabi Saaw. dalam sabdanya:

“Ketika itu, penghuni bumi mati sehingga tidak seorang pun yang masih hidup. Kemudian, penghuni langit mati sehingga tidak seorang pun yang masih hidup kecuali malaikat pencabut nyawa, para pemikul 'Arsy, Jibrîl, dan Mîkâ'îl.” Selanjutnya, beliau bersabda, “Malaikat pencabut nyawa didatangkan

p: 133

sehingga ia berdiri di hadapan Allah. Ia ditanya, 'Siapakah yang masih hidup?' Padahal Allah lebih mengetahui hal itu.

Malaikat pencabut nyawa menjawab, “Wahai Tuhanku, tidak ada yang masih hidup kecuali malaikat pencabut nyawa, Jibral, dan Mîkâ’îl.' Lalu, dikatakan kepadanya, “Hendaklah Jibrîl dan Mîkâ’îl mati.' Malaikat pencabut nyawa berkata, “Mereka ada- lah utusan dan kepercayaan-Mu.' Allah menjawab, “Aku telah menetapkan kematian bagi setiap jiwa yang bernyawa.' Allah berkata kepada para pemikul Arsy, 'Hendaklah kalian mati.' Kemudian, malaikat pencabut nyawa didatangkan dalam ke- adaan bersedih, tidak mengangkat kepalanya. Lalu, ia ditanya, “Siapakah yang masih hidup?' Ia menjawab, “Tidak ada yang masih hidup kecuali malaikat pencabut nyawa.' Dikatakan ke- padanya, “Matilah engkau, wahai malaikat pencabut nyawa! Setelah itu, Allah mengambil bumi dengan tangan kanan- Nya dan langit dengan tangan kiri-Nya. Dia bertanya, “Di manakah orang-orang yang dulu menyeru sekutu selain-Ku? Di manakah orang-orang yang dulu menjadikan (selain Allah) sebagai tuhan?"" Kemudian, sangkakala itu ditiup sekali lagi maka tiba-tiba me reka ber diri menanti (QS al-Zumar 39: 68).

Zabaniyyah Allah berfirman: Di atasnya ada sembilan belas (malaikat pen- jaga] (QS al-Muddatstsir 74: 30). Ketahuilah, para (malaikat) pengatur urusan di barzakh-barzakh alam kegelapan dan bayangan alam materi, yang lahiriahnya adalah dunia, tetapi batiniahnya adalah tingkatan-tingkatan neraka jahim, adalah yang ditunjukkan de ngan fir man-Nya: Dan [malaikat-malaikat]

p: 134

pengatur urusan [dunia] (QS al-Nâzi'ât 79:5) sete lah firman-Nya:

Dan [malaikat-malaikat] yang mendahului dengan kencang. Hal itu karena keberadaan masing-masing dari kedua kelompok malaikat itu berada di bawah eksistensi substansi kekudusan dari esensi yang bercerai-berai, eksistensi yang mendahului kejiwaan dan kealaman para (malaikat] pengatur itu, seperti ruhaniah alam besar jasmani dan alam kecil manusiawi. Di alam besar yang tinggi terdapat ruh planet-planet yang berjalan, ruh dua belas, dan kumpulan sembilan belas [malaikat] pengatur.

Demikian pula, di alam kecil manusiawi, yaitu kepala-kepala kekuatan langsung untuk mengatur dan bertindak. Di barzakh- barzakh bawah terdapat sembilan belas kekuatan.

Tujuh di antaranya merupakan prinsip-prinsip perbuatan ketetumbuhan dan sebab-sebabnya; tiga di antaranya meru- pakan pokok dan empat yang lain merupakan cabang. Lalu, dua belas sisanya merupakan prinsip-prinsip perbuatan kebi- natangan; sepuluh di antaranya merupakan prinsip-prinsip pengenalan, yaitu lima bersifat lahiriah, lima lagi bersifat batiniah, dan dua berupa syahwat dan kemarahan. Masing- masing dari yang sembilan belas ini memiliki andil dalam membangkitkan api neraka Jahim yang sumbernya adalah dua gejolak panas Jahanam alamiah, yang sekarang ini tersembunyi dari pandangan makhluk dan akan muncul pada hari kiamat.

Manusia akan melihatnya membakar kulit hingga terkelupas.

Yang mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil orang yang mem- be lakang (QS al-Ma'ârij 70: 16–17). Barangsiapa berada dalam hidayah dari Tuhannya, maka ia akan melewati jalan yang lurus, jalan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Ia

p: 135

melewati jalan Allah dengan cahaya hidayah dengan kedua kaki ilmu dan amal. Ia sampai ke negeri kedamaian dan selamat dari siksaan dan kebinasaan. Ia terbebas dari perbudakan dunia dan urusan syahwat. Allah membuat perumpamaan (yakni] seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki. Adakah keadaan kedua budak itu sama? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetalui (QS al-Zumar 39: 29).

Rahasia Pohon Thûbâ dan Pohon Zaqqûm Allah berfirman:

Kebahagiaanlah ( thâbâ ) bagi mereka dan tempat kembali yang baik (QS al-Ra'd 13: 29).

Sesungguhnya pohon Zaqqûm itu makanan orang yang banyak ber dosa (QS al-Dukhân 44: 43 – 44), yakni pohon makanan orang yang berdosa.

Sesungguhnya ia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka Jahim (QS al-Shaffât: 64), yakni tabiat duniawi.

Mayangnya seperti kepala setan (QS al-Shaffât 37:65). Mayang (thal' ) merupakan tempat permulaan eksistensi badan yang menyebabkan dihasilkannya buah, dan kemunculannya adalah di puncak. Buah adalah makanan. Setiap mayang seakan-akan kepala setan. Makanan tersebut adalah hasrat yang rendah dan keinginan yang batil, yang menjadi makanan dan menguatkan jiwa para penganut kesesatan, memenuhi tabiat dan batin mereka dengan syahwat duniawi yang membawa mereka ke

p: 136

dalam neraka jahim dan siksaan yang pedih.

Ketahuilah, jika jiwa manusia sempurna dalam ilmu dan amal maka ia menjadi seperti pohon yang baik yang menghasil- kan ilmu-ilmu hakiki dan buahnya adalah pengetahuan- pengetahuan keyakinan. Perumpamaan pohon Tluâbâ adalah seperti jiwa yang bahagia dan mulia karena ilmu dan amal.

Diriwayat kan hadis melalui sahabat-sahabat kami r.a.: “Pohon Thâbân batangnya ada di rumah ‘Alî bin Abî Thâlib a.s. Tidak seorang Mukmin pun kecuali di rumahnya ada satu cabang dari cabang-ca bang nya.” Itulah firman Allah: Kebahagiaanlah ( thâbâ) bagi mereka dan tempat kembali yang baik (QS al-Ra'd 13: 29). Penakwilannya da ri se gi keilmuan adalah bahwa makrifat-makrifat Ilahi, terutama yang berkaitan dengan keadaan-keadaan akhirat, hanya membutuhkan perolehan cahaya dari pelita kenabian Penutup Para Nabi, yakni Muhammad Saaw., dengan perantaraan waslî-nya yang per- tama dan wali umatnya yang paling mulia, ‘Alî a.s. Hal itu karena cahaya ilmu-ilmu Ilahi hanya tersebar di dalam jiwa orang-orang yang siap menerima purnama wilâyal-nya dan bintang hidayahnya, seperti yang dijelaskan dalam sabda Nabi Saaw.: “Aku adalah kota ilmu dan Alî adalah pin tunya.” Dirinya yang suci, dibandingkan dengan para wali dan ulama yang lain dalam kelahiran ruhaniah, adalah seperti diri Adam, Bapak Umat Manusia, dalam kelahiran formal. Oleh karena itu, diriwayatkan dari Nabi Saaw., “Wahai ‘Alî, aku dan eng- kau adalah bapak umat ini.” Penulis al-Futûhât al-Makkivijah, Muhyiddîn Ibn 'Arabî, berkata, “Pohon Thûbê bagi semua pohon surga adalah seperti

p: 137

Adam bagi anak-anak yang lahir darinya. Setelah Allah Swt menanam pohon manusia itu dan menyempurnakan pencip- taannya, lalu Dia meniupkan ruh-Nya padanya. Sebenarnya, ketika Dia menanam pohon Thâbân itu dengan tangan-Nya dan meniupkan ruh-Nya padanya, Dia menghiasnya dengan buah yang manis dan perhiasan-perhiasan yang memberikan keindahan kepada pemakainya. Kita adalah tanahnya, sebagai- mana segala yang ada di permukaan tanah dijadikan perhiasan bagi tanah itu. Pohon Thuûbên memberikan hakikatnya yang se- suai pada seluruh buah surga, sebagaimana biji kurma dan segala yang dibawanya memberikan cahaya yang ada pada buahnya." Jelaslah bahwa pohon Thâbâ adalah pokok-pokok makrifat dan akhlak agar menjadi perhiasan jiwa yang pantas, sebagai- mana segala yang ada di tanah menjadi perhiasan baginya.

Hal itu karena tanah pohon tersebut, bila menjadi jiwa-per- hiasan-perhiasannya pastilah berupa perhiasan ilmu, makrifat, akhlak dan pembawaan-pembawaan yang baik.

Hakikat Dunia dan Akhirat Allah berfirman:

Ketaluilah baliwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megahan di an ta ra kalian (QS al-Hadîd 57: 20).

Dan kehidupan dunia ini tidak lain luanyalah kesenangan yang menipu (QS al-Hadîd 57: 20).

p: 138

Ketahuilah, dunia termasuk alam materi ' âlam al-mulk) dan alam kasat-mata ('âlam al-syahâdah), sedangkan akhirat ter- masuk alam malakut dan alam gaib. Kadang-kadang dikatakan bahwa dunia adalah alam mahsûsît (yang terindera), sedang- kan akhirat adalah alam ma'qûlût (berupa konsep). Ini tidak- lah benar. Ini merupakan ucapan para filosof yang menging- kari adanya kebangkitan kembali (ma‘âd) jasmani dan adanya surga dan neraka yang bersifat fisik. Perkataan yang benar ada- lah bahwa dunia merupakan alam keberadaan dan kerusakan, sedangkan akhirat merupakan negeri keabadian. Dikatakan bahwa dunia adalah cermin akhirat karena ia merupakan alam syahadah dan padanya terlihat alam gaib, yakni akhirat. Alam dunia adalah tiruan alam akhirat. Oleh karena itu, di antara manusia ada yang diberi taufik dan kemudahan oleh Allah untuk menggunakan nalar dan mengambil pelajaran. Ia tidak melihat sesuatu di alam ini kecuali membawanya ke alam akhirat. Lalu, hal itu disebut “lewat” (“ubûral) atau "pelajaran" ('ibrah). Allah telah menyuruh hamba-hamba-Nya melakukan hal itu dengan firman-Nya: Maka ambillah pelajaran, wa lui orang-orang yang berakal (QS al-Hasyr 59: 2). Di antara mereka ada yang dibutakan mata hatinya. Ia tidak dapat mengambil pelajaran dan tidak dapat melewati penjara ini. Oleh karena itu, ia terpenjara di alam indera dan alam kasat-mata. Untuk memenjarakannya, pintu-pintu Jahanam akan dibuka. Mereka adalah orang-orang yang tidak memasukkan ke dalam perut mereka kecuali api (QS al-Baqarah 2: 174).

Yang benar, surga dan neraka telah diciptakan. Hal itu ber- dasarkan firman Allah: Surga itu luasnya seperti luas langit dan

p: 139

bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman (QS al-Hadîd 57:21) dan fir man-Nya: Oleh karena itu, takutlah pada neraka yang su luhnya ada lah manusia dan batu (QS al-Baqarah 2: 24). Inilah yang diriwayatkan dari para Imam, sebagaimana diriwayatkan dari panutan para ahli hadis, Abû Ja'far Muhammad bin ´Alî bin Bâbawaih al-Qummî, dalam 'Uyûn al-Akhbâr ar-Ridhâ melalui sanadnya yang bersambung kepada 'Abd al-Salâm bin Shâlih al-Hara wî. Ia berkata: Aku bertanya kepada Ali bin Musa ar-Ridha as, “Wahai putra Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang surga dan neraka! Apakah keduanya sekarang telah diciptakan?” Beliau menjawab, “Benar, Rasulullah Saaw. telah memasuki surga itu dan melihat neraka ketika dibawa naik (mi'raj) ke langit.” Aku berkata kepadanya, “Ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa keduanya sekarang masih berupa konsep (al-muqaddarah), belum diciptakan.” Beliau menjawab, “Mereka bukan dari golongan kami dan kami pun bukan dari golongan mereka. Barangsiapa mengingkari ihwal sudah diciptakannya surga dan neraka, maka ia telah mendustakan Nabi Saaw. dan mendustakan kami. Ia tidak termasuk ke dalam otoritas kami sedikit pun dan kekal di dalam neraka Jahanam. Allah berfirman: Inilah Jahanam yang dulu didustakan oleh orang-orang yang berdosa. Mereka berkeliling di antaranya dan air mendidih yang panasnya memuncak (QS al- Rahmân: 43–44). Nabi Saaw bersabda, “Ke tika aku dibawa naik ke langit, Jibril as menggenggam tanganku dan kemudian membawaku masuk ke surga. Ia mengambilkan kurma basah darinya untukku. Lalu aku memakannya sehingga kurma basah itu berubah menjadi nuthfah di dalam sulbiku. Setelah

p: 140

aku turun dari langit, aku meniduri Khadijah as sehingga ia mengandung [janin) Fathimah as. Dan Fathimah as adalah bidadari. Setiap kali aku merindukan surga, aku mencium wangi putriku, Fathimah as." Ringkasnya, dunia adalah kejadian bersifat api yang akan sirna dan rusak. Barangsiapa bersandar padanya, maka ia pan- tas mendapatkan neraka. Sementara itu, akhiratadalah kejadian bersifat cahaya yang tinggi dan kekal. Ia merupakan gambaran surga dan tempat-tempat persinggahannya hingga tertabir dari indera ini. Barangsiapa mengenal dirinya dan Tuhannya, maka dirinya kosong dari tabir dunia dan menjadi ahli akhirat dan kenikmatannya. Itulah negeri akhirat. Kami menjadikannya untuk orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan yang tinggi dan tidak pula kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan (yang baik] bagi orang-orang yang bertakwa (QS al-Qashash 28: 83).

Kaidah dalam Verifikasi Khilafah Ketahuilah, ketika hikmah Ilahi yang komprehensif menuntut semua kesempurnaan yang mencakup nama-nama terindah dan sifat-sifat yang tinggi, Dia membentangkan kerajaan pen- ciptaan dan kasih sayang. Dia menyebarkan bendera kekuasaan dan hikmah dengan menampakkan wujud-wujud yang bersifat mungkin (al-mumkinât), menciptakan segala makhluk, serta me- nundukkan segala perkara dan mengaturnya. Perkara ini lang- sung berasal dari Zat Yang Maha Qadim lagi Maha Tunggal tanpa perantaraan yang jauh sekali karena jauhnya hubungan antara kemuliaan ke-qadîm-an dan kehinaan kebaruan (hudûts).

Oleh karena itu, Allah menetapkan untuk mengangkat wakil

p: 141

yang mewakili-Nya dalam tindakan, otoritas, pemeliharaan, dan penjagaan. Tidak pelak lagi, wakil itu memiliki satu wajah yang diarahkan pada ke-qadîm-an yang terbentang dari al-Haqq Swt dan wajah lain yang dihadapkan kepada makhluk. Dengan demikian, dalam rupa-Nya, Dia menciptakan khalifah yang menggantikannya dalam tindakan dan memberinya semua nama dan sifat-Nya. Dia menempatkannya pada sandaran kekhalifahan dengan menyerahkan ukuran semua perkara dan melimpahkan ketentuan hukum mayoritas kepadanya.

Yang dimaksud dengan eksistensi alam adalah diciptakannya manusia yang merupakan khalifah Allah di alam ini. Tujuan dari pilar-pilar itu adalah dihasilkannya tetumbuhan; dari tetumbuhan dihasilkan hewan-hewan; dari hewan-hewan dihasilkan manusia; dari manusia dihasilkan ruh-ruh, dan dari ruh yang berbicara dan berpikir dihasilkan khalifah Allah di bumi. Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi (QS al-Baqarah 2: 30). Nabi haruslah mengambil pelajaran dari sisi Allah Swt sebagai anugerah dan hadiah untuk hamba-hamba-Nya. Ia adalah perantara di antara dua alam itu, mendengar dari satu sisi dan berbicara kepada sisi yang lain. Demikianlah keadaan para duta Allah Swt. Kepada hamba-hamba-Nya dan para pemberi syafaat pada Hari Kiamat. Pada hati Nabi Saaw. ada dua pintu: sa tu pintu terbuka ke alam malakut, yaitu alam al-Lauh al-Mahfûzh dan alam para malaikat ilmiah dan amaliah, dan pintu yang lain terbuka pada kekuatan penginderaan untuk mengetahui apa yang ada pada indera, untuk mengetahui kebutuhan-ke- butuhan makhluk. Nabi ini harus menuntut segenap makhluk agar taat dan beribadah menurut syariatnya, untuk memandu

p: 142

mereka dengan mengembalikan mereka dari posisi kebina- tangan menuju posisi kemalaikatan, karena para nabi adalah kepala kafilah-kafilah.

Perbedaan antara Kenabian, Syariat, dan Siyasah Ketahuilah, hubungan kenabian dengan syariat adalah seperti hubungan ruh dengan jasad yang di dalamnya terdapat ruh.

Sementara itu, politik yang luput dari syariat adalah seperti jasad tanpa ruh. Sekelompok orang yang mengaku filosof mengira bahwa tidak ada perbedaan antara syariat dan siyasah.

Plato menjelaskan kebatilan ucapan mereka dalam buku al-Na- wâmis (atau The Laws, karya Plato yang diterjemahkan ke da- lam bahasa Arab oleh Hunain bin Ishâq [195-264 H]-penerj.).

Ia menjelaskan perbedaan antara keduanya dengan aktif (fi'l) dan pasif (infi'al). Perbedaannya dari segi aktif adalah bahwa tindakan-tindakan siyasah merupakan kepingan-kepingan cacat yang disempurnakan dengan syariat, sedangkan tindakan-tindakan syariat bersifat universal sempurna tanpa membutuhkan siyasah. Sementara itu, perbedaannya dari segi pasif adalah bahwa perintah syariat berkaitan dengan diri yang diperintah, sementara perintah siyasah terpisah darinya.

Misalnya, syariat memerintahkan seseorang agar bepuasa dan menegakkan shalat. Lalu ia menerima dan melaksanakannya sendiri sampai manfaatnya kembali kepada dirinya. Sementara itu, bila siyasah memerintahkan seseorang untuk menanggal- kan apa yang dipakai dan berbagai bentuk perhiasan, hal itu se- mata-mata untuk orang-orang yang melihatnya, bukan untuk orang yang memakainya.

p: 143

Penyebab Mimpi yang Benar Hendaklah diketahui terlebih dahulu bahwa makna mimpi adalah terhalangnya ruh dari lahir ke batin. Yang dimaksud dengan ruh di sini adalah substansi berupa uap panas yang tersusun dari campuran-campuran pilihan. Ia merupakan kendaraan bagi kekuatan jiwa dan dengannya kekuatan itu bergerak serta menghubungkan penginderaan dan gerakan ke tujuannya. Beberapa sifatnya telah disebutkan. Ringkasnya, ruh ini, dengan perantaraan urat dan denyutan, tersebar ke lahiriah badan. Namun, kadang-kadang ruh itu tertahan untuk menuju batin karena beberapa sebab, seperti tuntutan untuk isti- rahat dari banyaknya gerakan, kesibukan dalam memberikan pengaruhnya pada batin agar sumbat-sumbat itu terbuka, atau ruh itu sedikit cacat sehingga tidak menyempurnakan lahir dan batin sekaligus. Kekurangan dan kelebihannya memiliki beberapa sebab yang baik yang disebutkan dalam buku-buku kedokteran.

Jika aliran ruh dari lahir ke batin terhalang dan indera ti- dak berfungsi karena suatu sebab, maka jiwa itu kosong dari kegiatan indera. Hal itu karena ia terus-menerus disibukkan dengan berpikir tentang apa yang dibawa indera padanya. Jika jiwa mendapatkan kesempatan dan penghalang-penghalang terangkat darinya, maka ia siap untuk berhubungan dengan substansi-substansi ruhaniah bersifat akal yang mulia, yang di dalamnya terdapat lukisan semua maujud, yang dalam syariat diungkapkan dengan al-Lauh al-Mahfûzh, substansi kejiwaan, dan kekuatan-kekuatan impresionistik dari barzakh-barzakh tinggi, yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk entitas

p: 144

material dan detail-detail jasmani berupa lukisan-lukisan, terutama yang sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan jiwa dan menjadi sesuatu yang penting baginya. Ketika tabir terangkat sedikit dengan tidur, yang merupakan saudara kema- tian, suatu lukisan dan gambar tampak pada cermin jiwa, yang sesuai dengannya dan di hadapannya. Jika gambar-gambar tersebut bersifat parsial dan tetap terpelihara di dalam jiwa dalam bentuknya dan kekuatan imajinatif di dalamnya tidak berfungsi, maka mimpi itu benar walaupun kekuatan imajinasi mendominasi atau persepsi jiwa atas gambar itu lemah.

Mnurut karakternya, kekuatan imajinasi itu berubah menjadi permisalan-permisalan yang sesuai yang dilihat jiwa, seperti perubahan ilmu menjadi susu, perubahan musuh menjadi ular, dan perubahan kerajaan menjadi laut dan gunung:(1) Mimpi Kacau: Mimpi yang Tidak Berdasar Ketahuilah, dengan kekuatan imajinasi jiwa yang ada di alam- nya, seperti posisi kekuatan gerak di alam ini, dari jiwa itu muncul gerakan dan perubahan yang disebut tindakan dan perbuatan di alam inderawi dengan kekuatannya dan dengan bantuan sebab-sebab yang lain. Demikian pula, dengan kreasi- nya di dalam kerajaan dan alamnya, kekuatan imajinasi itu me- munculkan bentuk-bentuk jasmaniah di dalam batin yang se- bagiannya sesuai dengan apa yang ada di alam-alam. Sebagian- nya bersifat acak yang tidak berdasar pada sesuatu dari alam- alam, barzakh-barzakh, dan bentuk-bentuk yang berakar kuat, yang terdapat di alam-alam itu, yang sebagiannya sesuai dengan sebagian yang lain. Sebab, dunia-dunia dan alam-

p: 145


1- 5. Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd hal.346 disebutkan: “Penjelasannya adalah bahwa setiap makna rasional dari alam ibdâ (penciptaan) adalah bentuk alamiah di alam materi, karena alam-alam itu saling bersesuaian. Penge- tahuan terhadap sesuatu yang menguatkan jiwa adalah substansi ruhani. Bentuk ilmiah pada seseorang hanya dihasilkan setelah dibuangnya bekal-bekal dan perbedaan dari apa yang digapai indera berupa person-person genus. Setelah itu, yang kekal adalah bentuk yang tidak berbeda. Bahkan, jiwa memiliki bentuk yang murni, jernih, dan dapat digapai akal kejiwaan. Ketika badan menjadi citra dan makanan yang lembut dan lezat maka hubungan jiwa terhadap badan adalah seperti hubungan ilmu terhadap jiwa dalam ta'bir yang dikemukakan tentang ilmu. Dalam hal ini terdapat kisah bahwa seorang laki- laki datang kepada Ibn Sîrîn. Orang itu berkata, “Aku bermimpi pada tanganku ada cincin yang dengannya aku menutup mulut beberapa laki-laki dan kelamin beberapa perempuan.” Ibn Sîrîn berkata, “Kamu adalah muazin yang pernah melantunkan azan pada bulan Ramadhan sebelum fajar.” Orang itu berkata, “Engkau benar." Orang lain datang kepadanya, lalu berkata, “Aku bermimpi seakan-akan menuangkan minyak pada zaitun.” Ibn Sîrîn menjawab, “Jika di dalam kekuasanmu ada seorang budak yang kamu beli maka telitilah keadaannya, karena ia adalah ibumu. Sebab, zaitun adalah asal minyak, dan minyak itu dikembalikan pada asalnya.” Orang ketiga datang kepadanya dan berkata, “Aku bermimpi seakan- akan aku mengalungkan mutiara ke leher babi.” Ibn Sîrîn berkata, “Kamu mengetahui hikmah dari bukan ahlinya." Peristiwa pun terjadi persis seperti yang dia katakan. Ta'bir itu, dari awal hingga akhir, merupakan permisalan yang mengajarkan kepada Anda jalan permisalan. Para nabi tidak berbicara kepada makhluk kecuali dengan permisalan, karena mereka ditugaskan untuk berbicara dengan makhluk menurut kadar kemampuan akal mereka. Sebagaimana akal makhluk merupakan permisalan bagi akal-akal yang tinggi dalam hakikatnya, demikian pula apa yang disampaikan kepada mereka. Hendaklah permisalan-permisalan dari pengetahuan-pengetahuan yang benar dan kadar akal mereka dalam tidur tidak me- nyingkapkan sesuatu padanya kecuali dengan sebuah permisalan. Apabila mereka mati maka mereka terbangun dan mengetahui bahwa permisalan itu benar. Permisalan itu artinya memberikan makna pada suatu bentuk. Jika ia memperhatikan maknanya maka ia mendapatkan kebe- naran. Sebaliknya, jika ia memperhatikan bentuknya maka ia mendapatkan kepalsuan. Kadang-kadang khayalan menggantikan sesuatu yang dilihat di dalam mimpi dengan sesuatu yang menyerupainya dan sesuai dengannya atau yang bertentangan, seperti orang yang melihat bahwa anaknya yang akan lahir adalah anak laki-laki, tetapi yang lahir adalah anak perempuan, atau sebaliknya. Mimpi ini membutuhkan tindakan tambahan dalam mena'birkannya. Kadang-kadang perubahan imajinasi yang ditentukan dengan jenis tertentu tidak terjadi sehingga bercabang- lah bentuk-bentuk pena'birannya yang pada akhirnya menjadi berbeda dengan perbedaan individu, keadaan, tindakan, musim, serta kesehatan orang yang tidur dan juga pena'bir. Hal itu tidak diperoleh kecuali dari perkiraan dan percampuran dalam banyak kesamaran.

alam itu sesuai menurut bentuk-bentuk tersebut kecuali yang diciptakan jiwa dengan olok-olok imajinasi dan perilaku sembrononya, karena hal itu semata-mata merupakan sesuatu yang dibuat-buat, tidak berdasar.

Jika imajinasi, dengan olok-olok dan kebingungannya yang tidak lepas darinya dalam sebagian besar keadaan, bentuk- bentuk yang bersifat acak, berpindah padanya, dan mengana- logikannya dengan realitas-realitas lain dalam keadaan tidur, makajiwa menyaksikannya, tetapi ia sibuk dengan peniruannya sebagaimana ia sibuk dengan indera dalam keterjagaan, terutama bila substansinya lemah dan terpengaruh oleh pengaruh kekuatan-kekuatan materi. Akibatnya, ia tidak siap berhubungan dengan substansi ruhaniah dan imajinatif karena kebingungannya yang kuat akibat suatu sebab tertentu. Ia terus-menerus melakukan peniruan dan menciptakan bentuk- bentuk yang tidak memiliki eksistensi tetapi melekat di dalam ingatan hingga ia terbangun. Lalu, ia teringat pada apa yang dilihatnya di dalam mimpi. Peniruannya pun memiliki sebab dari keadaan-keadaan dan campuran badan. Jika campurannya didominasi warna kuning, maka peniruannya adalah dengan bagian-bagian yang berwarna kuning. Jika di dalamnya terdapat panas, maka peniruannya adalah dengan api, hangat, dan panas. Jika dingin yang dominan, maka peniruannya adalah dengan es, musim dingin, dan sebagainya. Jika warna hitam yang dominan, maka peniruannya adalah dengan segala sesuatu yang berwarna hitam dan perkara-perkara yang menakutkan. Bentuk api, misalnya, hanya dihasilkan dalam imajinasi ketika panas menjadi dominan, karena panas yang

p: 146

ada di suatu tempat menerobos ke tetangganya, sebagaimana cahaya matahari menembus fisik. Artinya, ia akan menjadi sebab bagi kejadiannya berupa segala sesuatu yang diciptakan sebagai maujud yang memiliki eksistensi. Demikian pula hal-hal lainnya. Kekuatan imajinasi itu tercetak pada fisik yang panas sehingga ia terpengaruh dengan pengaruh yang sesuai dengan karakternya. Seperti telah dijelaskan, setiap sesuatu dapat terpengaruh oleh sesuatu yang lain. Ia hanya terpengaruh oleh sesuatu yang sesuai dengan substansi dan karakter penerima pengaruh ini. Imajinasi bukanlah sesuatu yang bersifat fisik sehingga jiwa menerima panas, lalu dari panas itu ia menerima apa yang terdapat di dalam karakter panas, yakni bentuk panas. Inilah penyebabnya.

Mengetahui Penyebab Pengetahuan tentang Hal- hal Gaib dalam Keterjagaan Engkau telah mengetahui penyebab pengetahuan tentang hal- hal gaib dalam tidur, yakni dikarenakan tidak berfungsinya indera, hubungan jiwa dengan substansi akal dan kejiwaan, dan penerimaannya atas prinsip-prinsip itu dan bentuk-bentuk yang sesuai dengannya dan yang diperhatikannya. Pada sebagian jiwa, hal itu dapat terjadi dalam keterjagaan(1) karena ketercakupan kekuatannya dengan memandang sisi atas dan sisi bawah sekaligus. Selain itu, sebagian jiwa menguat untuk menghimpun kesibukan berbagai realitas dalam satu keadaan.

Lalu, ia menulis, berbicara, dan mendengar. Jiwa seperti ini, yang memiliki kemampuan tertentu untuk menekan kedua aspek tersebut, dalam beberapa keadaan dapat mengurangi

p: 147


1- 6. Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, halaman 348 disebutkan: “Mungkin, pada beberapa orang hal itu terjadi dalam keadaan terjaga disebabkan dua hal. Pertama,... (dan seterusnya).”

kesibukan indera dan mengetahui alam gaib. Beberapa perkara tampak kepadanya seperti kilat(1) yang menyambar. Ini meru- pakan satu aspek dari kenabian. Kemudian, ketika jiwa imajinasi ini melemah, di alam ingatan masih tersimpan hal gaib yang tersingkap kepadanya dalam bentuk aslinya. Hal itu merupa- kan sebuah wahyu yang jelas. Jika imajinasi itu menguat dan sibuk dengan karakter peniruan, maka wahyu ini membutuh- kan penakwilan sebagaimana mimpi membutuhkan taʻbîr. (2) Pesan-pesan Ketahuilah, wahai penempuh jalan spiritual menuju Allah, peminat untuk memperoleh Kerajaan Tuhannya Yang Maha Tinggi, dan pengharap dimasukkannya ke dalam Firdaus yang tertinggi, bahwa lautan makrifat tidak memiliki tepi kecuali bahwa setiap tingkatan adalah sesuaidengan kadar penyelaman dan penceburannya. Setiap orang yang melakukan amalan- amalan binatang buas dan binatang-binatang liar serta mem- praktikkan tipuan-tipuan setan tidak mungkin dapat melaku- kan penceburan dan penyelaman itu. Hal itu karena pada diri mereka tertanam kuat bentuk-bentuk kefasikan dan pembawa- an-pembawaan (malakânt) yang menyesatkan dan terakumulasi di dalam dada mereka. Dengan demikian, mereka tetaplah sebagai orang-orang yang kebingungan dan tersesat dalam kebodohan dan gelapnya kebingungan. Perbuatan mereka adalah sia-sia dan kepala mereka tertunduk. Tidak ada bagi mereka dari makrifat Allah itu bagian yang dimiliki orang- orang yang beriman dan mereka itu bertakwa. Bagi mereka kabar gembira di du nia dan akhirat (QS Yûnus 10: 63-64).

Manifestasi-Manifestasi Ilahi

p: 148


1- 7.Kilat adalah sesuatu dari pancaran cahaya yang pertama tampak kepada hamba sehingga membawanya masuk ke dalam kedekatan kepada Tuhan untuk berjalan kepada Allah.
2- 8.Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, hlm. 348 disebutkan: “Kedua, kering dan panas mendominasi campuran itu dan ruh yang berupa uap itu berkurang sehingga jiwa bertindak karena dominasi warna hitam dan lemahnya hubungan ruh dari materi dan indera. Bersama terbukanya mata dan pintu-pintu indera yang lain, ia menjadi seperti orang bingung yang tidak menyadari apa yang dilihat dan didengarnya. Hal itu karena keluarnya ruh ke sisi lahir berlangsung lemah. Juga tidak mustahil bahwa suatu substansi ruhaniah dari alam gaib tampak pada dirinya. Lalu, hal itu dibicarakan dan mengalir pada lidahnya seakan-akan ia juga lalai terhadap apa yang dibicarakannya. Hal ini terjadi pada sebagian orang gila dan dukun. Mereka membicarakan sesuatu yang sesuai dengan apa akan terjadi. Ini merupakan satu jenis kekurangan yang dikira sebagai sebuah kesempurnaan dan kewalian oleh orang-orang bodoh. Sebab pertama itu merupakan satu jenis kesempurnaan.”

Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa dirimu adalah musafir menuju Allah dari stasiun eksistensinya yang per- tama dan badanmu adalah kendaraanmu. Oleh karena itu, persiapkanlah bekal dan persiapan dengan senjata yang dapat menghalau pencuri di tempat-tempat persinggahan (manâzil) dan perampok di perjalanan agar mengantarkan dirimu ke tempat tujuan yang hakiki dan maksud yang diyakini, yang merupakan puncak segala tujuan.

Ketahuilah, apa yang dijelaskan kepadamu berupa bebe- rapa masalah hikmah Ilahi yang benar, yang setiap dasarnya tidak dapat digapai dan tidak mudah dipastikan kecuali bagi orang yang fitrahnya terhindar dari penyakit-penyakit duniawi dan bisikan setan, serta meninggalkan popularitas dan mencari kebersamaan, berhak untuk diambil. Hal ini terbuka bagi akal- akal ukhrawi yang berpaling dari kesenangan duniawi. Apa yang aku berikan kepadamu adalah apa yang dimudahkan ke- pada kita dengan karunia dan rahmat Allah Swt dan rahasia-ra- hasia al-mabda' dan al-ma'âd yang sampai kepada kita melalui limpahan karunia-Nya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada Muhammad Saaw dan keluarganya yang suci.

Tentang Kebangkitan (Ma'âd)

p: 149

p: 150

LAMPIRAN

Penjelasan Tujuan Penulis tentang al-Ma'ad dan Bantahan atas Berbagai Sanggahan Ucapannya, semoga Allah meninggikan kedudukannya: “Ke- bangkitan kembali (al-ma’âd) pada Hari Kiamat adalah diri ini sendiri... (dan seterusnya).” Ketahuilah, sekelompok kaum ateis dan kaum Dahriyyah berpendapat bahwa tidak mungkin terjadi kebangkitan kembali jasad dan ruh. Mereka mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia hanyalah memiliki badan yang terus-menerus ber- ubah dan menjadi lenyap seiring dengan hilangnya kehidupan ini. Ia akan kehilangan eksistensi dan tidak akan dibangkitkan kembali.

Sekelompok lain berpendapat bahwa badan inderawi ini mustahil dibangkitkan kembali, karena ia akan lenyap setelah kematian. Sementara itu, sekelompok teolog atau ahli kalam berpendapat bahwa sesuatu yang telah kehilangan eksistensi dapat dikembalikan pada keadaan semula. Pada argumentasi inilah mereka mendasarkan kebangkitan kembali jasad. Kelom- pok lainnya mengatakan bahwa manusia tidak akan sirna setelah kematian, karena ia memiliki bagian-bagian asal yang kekal setelah kematian.

p: 151

Para pengkaji dari kalangan filosof dan semua penganut agama-agama sepakat tentang hakikat asal kebangkitan kembali (al-ma'îd), tetapi mereka berbeda pendapat tentang tatacaranya. Mayoritas ahli kalam dan ahli fiqih dari kalangan Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kebangkitan kembali adalah secara fisik saja. Mereka mengingkari keabstrakan (terpisahnya ruh dari badan) dan kekekalan ruh. Menurut mereka, ruh adalah fisik yang mengalir pada badan seperti mengalirnya minyak pada zaitun dan air pada bunga mawar.

Pendapat ini bertentangan dengan hadis-hadis dan ayat-ayat Al-Qur'an yang berkenaan dengan kekekalan manusia setelah kematian, keadaan-keadaan barzakh, serta kebahagiaan yang bersifat akal dan ruhaniah. Tidak diragukan tentang batilnya pendapat ini, karena pendapat tersebut merupakan pendapat yang cacat, yang tidak dapat dipertimbangkan. Barangkali rusaknya pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani tidak lebih dari ini.

Mayoritas filosof dari aliran Paripatetik berpendapat bahwa kebangkitan kembali hanya terjadi pada ruhani, karena badan akan rusak setelah kematian dan tidak dikem- balikan lagi. Sementara itu, jiwa merupakan sesuatu yang abstrak dan bersifat ruhani sehingga tidak akan rusak. Selain itu, kembalinya jiwa pada badan setelah hubungan keduanya terputus merupakan reinkarnasi. Adapun para filosof aliran iluminasi (isyrâqi) berpendapat bahwa kebangkitan kembali itu terjadi pada jasmani dan ruhani sekaligus. Namun, mereka mengatakan bahwa ruh kembali pada badan yang bersifat ideal dan terpisah. Syaikh al-Isyrâqî berkata, “Di alam asybâh

p: 152

yang abstrak terjadi kebangkitan jasad seperti yang disebutkan dalam syariat Ilahi dan semua janji kenabian."(1) Banyak kaum Muslim menganut pandangan tentang adanya dua ma'âd, seperti al-Ghazâlî, al-Ka'bî, al-Râghib al-Ish- fahânî, dan lain-lain dari kalangan Ahlus Sunnah.

Mayoritas ulama kami dari kalangan Imamiyyah dan para syaikh kami dalam kalangan Itsna Asy'ariyyah, semoga Allah membangkitkan mereka bersama para Imam as yang suci- menganut pandangan tentang adanya dua ma'îd. Menurut me- reka, jiwa itu kekal dan akan kembali, sedangkan badan tidak akan lenyap secara keseluruhan karena beberapa bagian yang tercerai-berai dari manusia akan kekal. Pandangan seperti itu juga dianut oleh kaum Nasrani dan para penganut paham reinkarnasi. Namun, para penganut reinkarnasi berpendapat kembalinya ruh pada badan terjadi di dunia ini, bukan di akhirat. Mereka yang menganut pandangan tentang adanya dua ma'âd berbeda pendapat dalam masalah ma'îd itu sendiri.

Sekelompok dari mereka berpendapat bahwa ruh akan kembali pada badan yang pernah ada di dunia ini. Sekelompok yang lain berpendapat bahwa ruh akan kembali pada badan seperti yang ada di dunia ini. Sementara itu, penulis buku ini – semoga Allah meridhainya, berpendapat bahwa yang dibangkitkan kembali pada hari kiamat adalah badan yang ada di dunia ini dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan keadaan di akhirat.

p: 153


1- Syarh Hikmah al-Isyrâq, hlm. 517.

Beberapa Premis tentang Ma'âd Jasmani Menurut Metodologi Penulis Ketahuilah, penjelasan tentang maksud pengkaji ini bergan- tung pada penjelasan beberapa premis yang disebutkan di dalam al-Asfâr, al-Mabda' wa al-Ma'âd, al-Masya'ir, al- Syawâhid ar-Rubûbiyyah, dan karya-karyanya yang lain yang kami sebutkan secara ringkas.

Premis pertama: maujud di alam materi dan yang otentik di dalam entitas (a'yân) itulah eksistensi. Esensi (mâliyah) adalah naungan dan bayangan yang berasal dari eksistensi itu, bukan termasuk hal-hal artifisial (i'tibârt) yang tidak memiliki wujud di dalam entitas, sebagaimana pandangan yang dianut para filosof (Luukamâ) dan mayoritas ahli kalam. Selain itu, kese- suatuan (syay'iyyah) dan penampakan setiap sesuatu hanyalah dengan eksistensinya yang khusus. Setiap konsep dan esensi universal pada esensinya tidak dapat dihindarkan dari substan- sinya pada sesuatu yang banyak (mukatsarât). Dengan eksis- tensi, setiap materi yang tampak menampakkan diri. Tidak diragukan lagi, ia termasuk hal-hal yang dapat menjadi kuat dan menjadi lemah. Dengan kesederhanaan atau basathah-nya, ia memiliki banyak tingkatan dan banyak kemunculan. Suatu individu darinya kaya dengan dzât, sementara individu lain darinya lemah, membutuhkan dzât sesuatu yang lain. Perten- tangan di antara segala maujud terjadi karena pertentangan di antara sisi-sisi esensi dan ketika esensi itu merupakan realitas yang bersifat artifisial. Pertentangan ini berawal dari perten- tangan yang bersifat fatamorgana.

p: 154

Premis kedua: keraguan bisa terjadi pada individu- individu (afrâd) sebuah esensi, bahwa ia memiliki individu- individu yang berbeda dalam kekuatan dan kelemahannya, dan bahwa kekurangan dan kesempurnaan itu kembali pada materi yang sama. Manusia adalah individu materi, individu menengah (barzaklú) yang bersifat ide (mitsâlí), dan individu abstrak, sempurna dan bersifat aqlî. Sementara itu, eksistensi yang dipancarkan dari al-Haqq al-awwal turun dari eksistensi yang bersifat akal dan individu abstrak yang sempurna (pada setiap materi) ke eksistensi yang bersifat ide (mitsali) dan dari individu yang bersifat ide ke individu-individu materi yang tersebar.

Premis ketiga: kesesuatuan (syai'iyyah) sesuatu dalam kom- posisi-komposisi di dunia luar hanya terjadi dalam bentuk (sluậralı)-nya saja, karena materi pada setiap sesuatu merupakan realitas yang tidak jelas. Materi yang sama, tanpa memandang bentuk yang menopangnya, secara aktual, bukanlah sesuatu, dan ia tidak memiliki neraca keadilan (qisth) dalam tatanan eksistensi berupa pengaruh (fiʻliyyah) dan hasil (tahashslul).

Sumber komposisi dan pengaruh di dalam benda-benda yang bersifat materi adalah bentuk spesies itu, dan bahwa hubungan ma'ûd terhadap bentuk spesies tersebut adalah seperti hubung- an kekurangan terhadap kesempurnaan. Ringkasnya, bentuk itu di dalam setiap komposisi merupakan bentuk eksistensi komposisi tersebut. Telah ditegaskan bahwa pemisahan akhir pada spesies-spesies mencakup semua tingkatan yang diha- silkan dari gerakan dan perpindahan. Oleh karena itu, dikata- kan bahwa pembentukan materi badan pada setiap binatang

p: 155

semata-mata dengan bentuknya dan jiwanya yang mengatur badannya, bukan dengan fisik dan jasadnya. Kalau bentuk yang bersifat materi itu berubah menjadi bentuk yang bersifat ide, sebagaimana pada kejadian manusia setelah kematian, atau menjadi bentuk yang bersifat keakhiratan, seperti yang terjadi di akhirat, maka perubahan ini tidak merusak ke- inian (hâdzihiyyah) manusia. Setiap manusia memiliki badan yang bersifat ide dan jasmani yang memiliki ukuran, bentuk, warna, dan bentuk fisik di dalam batin fisik inderawi di dunia.

Hubungannya dengan badan yang bersifat keakhiratan adalah seperti hubungan sesuatu yang kurang terhadap sesuatu yang sempurna.

Premis keempat: eksistensi pada semua maujud tidak secara monoton, melainkandalam ukuran-ukuran, hubungan-hubung- an, ketentuan-ketentuan waktu, dan tingkatan-tingkatan yang dicampuri kemajemukan dan ketiadaan-ketiadaan (aʻdâm).

Hal itu karena maujud yang berkaitan dengan waktu dan bersifat jasmani memiliki identitas atau ke-dia-an (luuwiyyah) yang jelas secara aktual karena di dalam hubungan, keterpisah- an, dan kesatuannya merupakan kemajemukannya itu sendiri.

Sementara itu, pada benda-benda abstrak tidak seperti itu, karena setiap benda abstrak memiliki identitas yang jelas secara aktual. Ia tidak mengalami pembaruan dan kemajemuk- an di dunia luar, terutama benda abstrak yang bersifat akal.

Konfigurasi benda-benda abstrak merupakan konfigurasi yang sangat luas. Alamnya adalah alam yang luas. Konfigurasinya adalah konfigurasi penggabungan (washl) dan kesatuan (ittihîd) yang di dalamnya tidak dibenarkan adanya hal-hal

p: 156

yang bertentangan. Di dalamnya, hal-hal yang bertentangan menjadi satu. Substansi jiwa, karena sebagai individu yang satu dengan eksistensinya yang luas dan ketercakupannya yang sempurna, mendengar, melihat, merasa, dan mencium dengan pendengaran, penglihatan, perasaan, dan penciuman yang bersifat akal.

Semua kekuatan yang ada dalam maqam pemisahan (farq) jiwa dengan banyak tingkatan pada maqam keberhimpunannya menjadi ada dengan satu aspek. Namun, realitas di dalam konfigurasi itu tidak demikian karena sempitnya wadah dan eksistensinya yang kurang. Oleh karena itu, satu fisik di dalam konfigurasi ini tidak dapat disifati dengan sifat-sifat yang saling bertentangan berupa panas dan dingin dan sebagainya dari satu aspek.

Premis kelima: keberbilangan dan kemajemukan adalah dalam satu spesies, sebagaimana yang dihasilkan dengan keikutsertaan materi dan aspek kemampuan menerima (qabiliy- yah). Demikian pula, halitu dihasilkandariaspek-aspekyang ter- dapat pada pelaku (fâ'il), seperti maujud-maujud yang bersifat pemisahan (barzakh), proses turun (nuzûliyyah), dan bentuk- bentuk imajinasi yang tegak bersama jiwa. Tidak diragukan lagi, kemajemukan individu pada benda-benda yang bersifat ide bukanlah dari aspek materi yang mampu menerima kenaik- an dari materi. Bahkan, kemajemukan dan keberbilangan di dalam benda-benda materi pun dihasilkan dari aspek-aspek aktif dan jiwa manusia dengan kekuatan-kekuatan imajinasi- nya. Di dalam wilayahnya tercipta dan terbentuk benda-benda maujud di luar aspek-aspek alam materi ini dan memiliki alam

p: 157

yang luas. Setiap jiwa di akhirat memiliki alam yang lebih luas daripada yang dimilikinya di dunia.

Ini merupakan premis-premis yang menjelaskan adanya kebangkitan jasad dan ma'îd jasmani. Bila Anda memperhati- kan premis-premis ini, tampaklah kepada Anda bahwa yang dibangkitkan pada Hari Kiamat adalah badan yang ada di dunia ini, baik berupa ruh maupun badan, dengan beberapa perubahan karakteristik badan berupa komposisi, kerangka, dan sebagainya. Perubahan-perubahan ini tidak merusak entifikasi badan, karena materi pada setiap sesuatu diambil secara tidak jelas. Dan entifikasi setiap sesuatu dengan bentuknya. Kalau entifikasi bentuk terjadi tanpa materi, tentu ia merupakan sebuah bentuk dan bersifat aksi (fi'liyyah). Tidakkah Anda perhatikan bahwa badan manusia menghadapi kondisi-kondisi yang berubah-ubah dari masa kanak-kanak, masa pertumbuhan, masa baligh, masa muda, dan masa dewasa. Dengan perubahan-perubahan ini, ia tidak keluar dari kapasitasnya sebagai badan manusia. Kelalaian pada keabstrakan imajinasi menyebabkan pengingkaran atas kebangkitan jasad. Penulis buku ini termasuk segelintir orang yang menegaskan pengertian ini dan menjelaskan dengan bukti-bukti keabstrakan kekuatan-kekuatan imajinatif di dalam buku-buku dan catatan-catatan perjalanan spiritualnya.

Verifikasi 'Arsyî Ketahuilah, kembalinya jiwa dari barzakh ke alam ini dan hubungannya dengan badan jasmani menyebabkan berkumpulnya dua jiwa dalam satu badan. Hal itu karena

p: 158

setiap materi jasmani dipersiapkan untuk ditempati jiwa. Jika di dalam badan dihasilkan susunan yang benar, maka tidak mustahil dari benda abstrak yang bersifat akal itu dipancarkan jiwa yang mengaturnya tanpa kelambatan dan batas waktu.

Hal itu karena di dalam benda abstrak yang memiliki pengaruh sempurna tidak ada keadaan penantian. Jika diasumsikan adanya hubungan jiwa yang lain dengan badan ini, maka hal itu menyebabkan berkumpulnya dua jiwa dalam satu badan dan menyebabkan adanya dua bentuk pada satu materi. Hal ini batil – berdasarkan metodologi kaum yang mengingkari reinkarnasi. Adapun pandangan yang berdasarkan metodologi penulis adalah sebagai berikut.

Ketika jiwa menempati jasmani, pada awal penempatan dan keberadaannya ia adalah materi dan fisik itu sendiri. Setelah ia terangkat dan berpindah dari konfigurasi-konfigurasi benda mati, tetumbuhan, binatang, dan manusia ke alam kekudus- an dan kedekatan kepada ar-Rahman, maka ia menjadi benda abstrak yang sempurna dan terangkat dari materi jasmani. Hal itu karena jiwa, dengan keterpisahannya dari materi, tidak menjadi sirna setelah rusaknya badan dan kematian. Ia hanya merupakan salah satu kebutuhan materi jasmani. Tidak dira- gukan lagi, perpindahan jiwa dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain merupakan penyempurnaan diri yang muncul dari dalam dirinya. Sebagaimana jiwa, setelah menyempurnakan semua tingkatan tetumbuhan dan menjadi binatang, tidak kembali pada tingkatan tetumbuhan, demikian pula bila ia ke- luar dari badan dan berhubungan dengan alam kekudusan dan tempat tinggal bapaknya yang disucikan, mustahil ia kembali

p: 159

ke badan ini. Kembalinya ia ke badan setelah perpisahannya merupakan kembalinya hal yang aktual pada yang potensial dan dari eksistensi pada ketiadaan. Sesuatu tidak menuntut pembatalan esensinya. Dengan demikian, tidak mungkin jiwa turun dari kedudukannya yang lebih tinggi kecuali dengan munculnya pasivitas materi dan reseptivitas esensi. Ini meru- pakan dalil yang telak dalam mengingkari reinkarnasi dan ti- dak adanya perpindahan jiwa dari satu badan ke badan yang lain, baik turun maupun naik.

Penukilan dan Kemusykilan: Bahasan dan Kajian Ketahuilah, berdasarkan metodolgi penulis, badanyang dibang- kitkan pada hari kebangkitan bukan badan yang bersifat materi ini, yang rusak. Kami telah katakan bahwa perpindahan jiwa abstrak dari barzakh ke badan materi adalah benar-benar mus- tahil dan hal itu menyebabkan kembalinya jiwa tersebut dari aktual menjadi potensial. Menolak keraguan ini tidak mungkin dilakukan berdasarkan keabstrakan jiwa dan kekekalannya setelah badan rusak, hilangnya kekuatan, dan kembalinya jiwa ke barzakh. Saya tidak melihat pada ucapan penulis sebelum dan sesudahnya kalimat yang dapat membantah kerancuan ini. Setiap kata yang diucapkan dalam menolak keraguan ini tidak memadai, tidak memuaskan, dan tidak luput dari celah dan kekurangan.

Ghiyâtsuddîn al-Manshûr, dalam membantah keraguan tentang hubungan dua jiwa dengan satu badan, mengatakan, “Jiwa manusia memiliki dua aspek hubungan dengan badan.

Pertama, hubungan primer, yakni hubungannya dengan ruh

p: 160

yang berupa uap. Kedua, hubungan sekunder, yakni hubungan- nya dengan organ-organ yang kasar. Jika susunan ruh menyimpang dan hampir keluar dari kepentingan jiwa, maka hubungan sekunder antara jiwa dan organ-organ itu menguat.

Dengan demikian, bagian-bagian itu menjadi suatu entitas.

Kemudian, pada hari kebangkitan, jika bentuk badan dihim- pun dan disempurnakan untuk kedua kalinya dan dihasilkan lagi ruh yang berupa uap, maka hubungan ruh adalah seperti hubungan yang pertama kali. Hubungan sekunder itu men- cegah jiwa yang lain menempati susunan organ-organ itu.

Dengan demikian, yang dibangkitkan adalah jiwa yang kekal untuk memperoleh balasan.” Jawaban yang hampir serupa dikemukakan oleh Muhaqqiq al-Dawânî dan Sayyid Muhaqqiq al-Damâd serta para peneliti yang lain dan membenarkan adanya kebangkitan jasmani.

Jawaban mereka tidak luput dari kekeliruan dan kesamaran, karena terjadinya penempaanjiwa dan keberadaannya merupa- kan gerakan dan perubahan esensial dari tataran benda mati ke tataran manusia. Jika jalinan antara jiwa dan badan terputus dan jiwa itu kembali kepada Tuhannya, maka badan menjadi tanah yang hakiki melalui perubahan-perubahan tersebut. Hal itu karena konfigurasi materi adalah konfigurasi perubahan, kehilangan, dan kefanaan. Bila Anda ditanya, yang benar adalah bahwa jiwa, setelah kembali ke alam kekudusan dan terputus dari badan, tidak dapat dikatakan bahwa ia merupakan bentuk bagi badan yang rusak dan badan pun tidak bisa dikatakan sebagai materi bagi jiwa yang terpisah darinya kecuali secara kiasan saja. Bahkan, hubungannya dengan semua fisik adalah

p: 161

sama, karena jalinan dan hubungan antara jiwa [dan badan] terjadi dari kedua sisi, kecuali jalinan dari sisi jiwa sebagai tanggapan dan dari sisi badan sebagai persiapan. Oleh karena itu, diriwayatkan dari orang-orang terdahulu, “Jiwa dan badan saling berlawanan sebagai tanggapan dan persiapan.” Bila komposisi badan terurai, setiap unsur dan materi kembali pada asalnya dan hubungan jiwa dengannya mustahil bersifat kekal.

Sekiranya kami katakan bahwa organ-organ dan materi- materi itu kekal setelah komposisi tersebut terurai, tidak diragu- kan lagi bahwa jika organ-organ dan materi-materiyang dahulu itu bersatu kembali dan siap untuk menjalin hubungan dengan jiwa yang mengaturnya, maka tidak mustahil ia memancarkan jiwa yang sesuai dengan susunan tubuh yang benar. Kami telah menegaskan bahwa hubungan jiwa dengan badan adalah hubungan alamiah yang terjadi dari hubungan-hubungan esensial dan persiapan-persiapan yang sempurna di antara jiwa tersebut dan badan berdasarkan gerakan substansial (al- harakah al-jawhariyyah) dan penyempurnaan-penyempurnaan diri. Sejak awal penempatannya, jiwa bukanlah sesuatu yang dapat disebut. Awal keberadaannya dan tampilan kemuncul- annya hanya terjadi pada materi jasmani. Bahkan, di awal fitrah, ia adalah materi jasmani itu sendiri dan hubungannya dengan badan bukanlah hubungan menurut kehendak.

Dari uraian Sayyid yang mulia ini tampak bahwa ia lupa pada satu catatan penting, yakni bahwa jika badan rusak, organ- organ dan susunannya lenyap serta komposisinya terurai dan rusak, maka jiwa itu tidak lagi memiliki hubungan karena susunan itu rusak dan keseimbangan telah hilang. Kelalaian ten-

p: 162

tang bagaimana keberadaan jiwa, tingkatan-tingkatannya, dan kedudukan-kedudukannya, serta dibangkitkannya kembali badan dan fakultas-fakultas itu menjadi penyebab kegagalan yang besar ini.

Kesimpulannya, keraguan atas apa yang telah dijelaskan tentang hubungan dua jiwa dengan satu badan-berdasarkan filsafat yang termasyhur – dan kembalinya jiwa setelah aktual menjadi potensial juga didasarkan pada pilihan penulis – semoga Allah mensucikan nuraninya dan melimpahkan kemu- liaannya.

Penukilan dan Pemalsuan Sebagian filosof kontemporer, termasuk guru para syaikh kami, al-Aqâ ‘Alî al-Mudarrisî, telah tampil untuk membenarkan ma'îd jasmani dan kembalinya ruh ke badan dalam risalah Sabîl ar-Rasyâd. Tidak ada salahnya jika kami kutip ucapannya secara ringkas.

Beliau berkata: Teks-teks Al-Qur'an dan Sunah menunjuk- kan kembalinya ruh ke badan jasmani duniawi. Ketika jiwa di- kembalikan ke badan di dunia ini dan dibangkitkan maka hal itu merupakan reinkarnasi. Badan pergi ke tempat ruh dengan gerakan substansial. Sumber gerakan ini adalah hubunganesen- sial yang terjadi di antara jiwa dan badan. Tidak terjadinya ke- terpisahan jiwa secara universal dari badan melalui kematian disebabkan hubungan esensial yang tidak hilang dengan kematian. Dengan hubungan ini, badan bergerak ke tempat ruh. Tujuan eksistensi dan gerakan badan adalah untuk berhu- bungan dengan jiwa.

p: 163

Di dalam catatan pinggirnya atas kitab al-Asfâr, beliau mengatakan, “Jika jiwa terpisah dari badan, maka ia mening- galkan jejak-jejak disana dari aspek-aspekesensial dan fakultas- fakultas substansialnya. Peninggalan ini menimbulkan peng- aturan dan tanggapan esensialnya atas badan dengan satu bentuk ketergantungan. Ia tidak memiliki tujuan dan kesadar- an di sana, melainkan hal itu merupakan perkara alamiah. Jadi, badan setelah berpisah dari jiwanya, pada dasarnya, dibedakan dari badan-badan yang lain yang terpisah dari jiwanya. Demi- kian pula, unsur-unsur badan itu dibedakan dari unsur-unsur badan-badan yang lain dengan peninggalan ini, di mana jika jiwa melihat kekuatan penyingkapan, maka ia melihatnya dengan sifat peninggalan ini. Dipastikan bahwa badan yang ditinggalkan jiwa... adalah demikian dan demikian.” Gurunya, Mîrzâ Muhammad Hasan Nûrî, berkata, “Badan duniawi bukanlah naungan bagi jiwa. Jika tidak demikian, ma- ka tuntutannya tidak akan bertentangan dengan tuntutan jiwa.

Di dalam ma'îd ia berubah dan menjadi seperti naungan bagi- nya.” Maksudnya, bahwa naungan-naungan jiwa merupakan bentuk-bentuk yang dihasilkan di dalam jiwa di dunia dan ka- dang-kadang muncul dalam bentuk manusia dan di akhirat ka- dang-kadang muncul dalam bentuk babi dan bentuk-bentuk keakhiratan lainnya. Apa yang dipilih al-Hakîm al-Mudarris berpangkal pada keinginan yang tanpa tujuan.” Kukatakan: Alangkah baiknya kalau ada kesesuaian an- tara materi penerima dan bentuk abstrak yang meninggalkan setelah terpisah dan terangkat dari materi dan kembali ke akhirat. Jika jiwa meninggalkan badan, maka badan menjadi

p: 164

tanah yang rusak dan hilang, yang terletak di dalam gerakan- gerakan dan benda-benda yang digerakkan. Barangkali, ia men- jadi tetumbuhan atau binatang dan manusia. Jika badan rusak dan komposisinya terurai, maka tidak tersisa lagi di dalamnya susunan yang benar bagi terjalinnya hubungan. Setiap bagian kembali pada asal dan substansinya. Prinsip hubungan jiwa dengan badan hanya terjadi setelah dihasilkannya susunan dan kesiapan menerima jiwa. Bila jiwa keluar dari badan, susunan itu terurai dan badan itu pun sirna. Bahkan, sebenarnya terjadinya kematian itu hanyalah dipalingkannya jiwa dari badan. Keberpalingan itu hanya terjadi setelah susunan rusak dan kekuatan-kekuatan terurai. Rahasianya adalah bahwa materi jasmani selalu bergerak dan tidak ada sesuatu pun yang kekal di alam ini. Badan, seperti materi-materi jasmani lainnya, setelah jiwa berpaling, berubah menjadi bentuk yang lain. Ucapan beliau bahwa badan bergerak kepada ruh dan ia dapat dibedakan dari badan-badan yang lain merupakan ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan mahasiswa yang baru belajar, apalagi dari seorang pakar seperti beliau. Jika ba- gian-bagian badan terpisah dan setiap bagian menjadi bagian dari suatu spesies, maka eksistensinya tidak ada lagi, apalagi dibedakan dari yang lain. Setiap materi menuntut bentuk yang sesuai untuk esensinya.

Hal yang lebih dangkal dari ucapan beliau adalah bahwaji- wa berhubungan dengan badan duniawi untuk kedua kalinya, tetapi dengan kembalinya badan ke akhirat dan ke tempat ruh, bukan dengan kembalinya jiwa pada badan sehingga jiwa berdiri dan badan bergerak kepadanya.

p: 165

Kukatakan: Pakar ini mengatakan bahwa badan tidak ber- ubah menjadi bentuk lain setelah jiwa terpisah darinya. Tidak ada satu bentuk pun yang menempatinya. Perkaranya tidak seperti itu. Badan jasmani yang dulunya adalah badan Zayd, misalnya, apabila berubah bentuk menjadi tumbuhan atau binatang maka, tidak diragukan, ia bersatu dengan bentuk yang ditempatinya. Di dalamnya tidak ada lagi kesesuaian yang pernah terjadi antara badan dan jiwa yang meninggalkan- nya, walaupun hubungan yang masih ada berupa pancaran bentuk yang datang kemudian, yang memberi bentuk pada materi. Padahal, hal itu sendiri terbantah, tidak menghasilkan sesuatu yang dimaksud. Anehnya, beliau lari dari kebatilan reinkarnasi seraya mengatakan kembalinya badan kepada ruh.

Hal ini bukan saja tidak berdasar dan tidak berguna, tetapi juga kembali pada sesuatu yang ditinggalkannya. Hal itu karena hubungan ruh dengan badan disertai gerakan badan kepadanya. Jika terjadi di dunia ini, maka hal itu merupakan reinkarnasi karena hubungan dengan badan duniawi tidak mungkin terjadi kecuali di alam ini. Jika maksudnya adalah bahwa badan bergerak dan melakukan penyempurnaan sedikit demi sedikit sehingga terpisah dari materi, maka yang dibangkitkan di dalam ma'ad bukanlah badan jasmani yang bersifat materi, walaupun hal itu menyimpang dari asumsi.

Jika seseorang mengatakan, seperti disebutkan guru kami dalam ilmu-ilmu akal dan makrifat-makrifat Ilahi yang disampaikan pada beberapa saat ketika aku berguru kepadanya, yaitu Sayyid Abû al-Hasan al-Qazwînî, bahwa akhir penyempurnaan badan merupakan pangkal hubungan

p: 166

jiwa dengannya untuk kedua kalinya, maka kami katakan bahwa hubungan ini di dunia memunculkan pengertian bahwa akhirat adalah dunia itu sendiri dan bahwa jiwa kembali, bahkan berpaling dari kedudukannya yang tinggi dan kembali ke badan. Kami tidak mengartikan reinkarnasi kecuali seperti ini. Padahal, hubungan yang diklaim meng- hasilkan susunan yang seimbang dan sesuai dengan hubungan tersebut menimbulkan pengertian berkumpulnya dua jiwa da- lam satu badan. Jika hubungan ini terjadi di akhirat, maka hal itu menyebabkan perubahan badan materi. Kepindahan badan materi dari alam ini ke barzakh menimbulkan pengertian yang bertentangan dengan asumsi.

Kesimpulannya, jiwa, setelah mencapai kesempurnaan yang sesuai dengannya dan tersembunyi di dalam esensinya, tidak turun ke tingkatan sebelumnya. Anda tahu bahwa kematian merupakan sampainya jiwa pada kesempurnaan- kesempurnaan yang pantas baginya dan ketidakperluannya pada alat-alat. Dari hubungannya yang kedua dengan badan timbul pengertian kembalinya yang aktual menjadi potensial.

Hal ini menunjukkan kebutuhannya terhadap badan.

Pengertian ini di tunjukkan dalam firman Allah: “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku [ke dunia] agar aku mengerjakan perbuatan baik yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Itu hanyalah perkataan yang di ucap kan nya semata,(QS al-Mu'minûn 23: 99– 100). Benarlah penulis buku ini – semoga Allah meninggikan derajatnya, yang mengatakan bahwa kebangkitan kembali pada hari kebangkitan adalah dengan badan yang ada di alam ini, bukan badan yang semisalnya. Jika Anda menginginkan

p: 167

kajian yang lebih luas dalam masalah ini, silakan merujuk pada buku-buku karya penulis, karena dalam kajian-kajian seperti ini, beliaulah pakarnya.

Ucapannya: “Barang siapa yang didominasi ...” (dan sete- rusnya). Dalam catatan pinggir buku atas Hikmah al-Isyraq hlm. 510, beliau mengatakan: Keta huilah, Allah menciptakan substansi-substansi jiwa yang berbeda dengan esensi, entah berdasarkan pokok fitrah ataupun dengan perolehan keutamaan dan kehinaan. Sebagiannya adalah kebaikan bersifat cahaya yang cenderung pada hal-hal yang bersifat ketuhanan, yang berkeinginan besar untuk berhubungan dengan hal-hal yang bersifat spiritual dan akal. Itulah tempat kembalinya. Sebagian yang lain merupakan kotoran hina bersifat kegelapan yang cenderung pada hal-hal yang bersifat fisik, yang berkeinginan besar untuk berhubungan dengan hal-hal bersifat jasmani yang kasar ini. Sebagiannya lagi merupakan pertengahan antara kebaikan dan kejahatan yang tempatnya berada di antara hal-hal yang bersifat akal dan hal-hal yang bersifat inderawi. Kelompok pertama adalah mereka yang didekatkan dan ahli kekudusan. Alam mereka adalah alam akal dan ma‘qúlât (hal-hal yang dipikirkan oleh akal). Kelompok terakhir adalah Golongan Kiri (ashlab asy- syjimâl), para pendurhaka, dan orang-orang yang muka mereka ditundukkan dalam kelembutan dan kekasaran, sebagaimana ditunjukkan pensyarah. Alam mereka adalah alam bentuk- bentuk ukuran yang gaib dari indera keduniaan ini, bukan ke- akhiratan. Di antara mereka ada orang-orang yang berbahagia dan Golongan Kanan (ashihab al-yaman).

p: 168

Jika hal ini telah dipahami, ketahuilah bahwa sebagian mereka, seperti pengikut Ikhwân ash-Shafã dan lain-lain, berpendapat bahwa Jahannam merupakan alam kerusakan dan neraka adalah materi yang ditempati jasad-jasad yang menguasai badan dan kulit dengan penyatuan, penguraian, dan perubahan pada setiap saat yang memfanakannya pada waktu yang lebih cepat kalau penggantinya tidak segera datang, sebagaimana dije laskan dalam firman Allah:

Setiap kali kulit mereka hangus. Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan siksaan (QS al-Nisa' 4: 56).

Karena itu, takutlah kalian pada neraka yang kayu bakarnya ada- lah manusia dan batu (QS al-Baqarah 2: 24).

Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan api neraka Jahanam (QS al-Anbiyâ' 21: 98).

Jasad-jasad yang bersifat unsur ini memiliki materi yang dikenai kehangusan dan perubahan. Mereka mengira bahwa neraka yang ditunjukkan di dalam Al-Qur'an adalah materi yang mengalir di dalam jasad-jasad inderawi, terutama yang berada di bawah langit dunia. Di antara hal- hal yang menguatkan dugaan mereka, walaupun menurut kami batil, sebagaimana kamu ketahui sebelumnya, adalah bahwa seluruh ciptaan yang bersifat materi akan hilang dan terancam kerusakan dengan perantaraan penguasaan materi dengan pelepasan, perubahan, dan penguraian. Demikian pula, jiwa yang berhubungan dengan badan ini selama

p: 169

menyatu dengannya. Materi itu berpengaruh pada esensinya dan kekuatan-kekuatan inderawinya. Ia terpengaruh karena pengaruh api materi yang tersembunyi di dalam badan dengan penyatuan, penguraian, dan pengurangan cairan yang baik yang dihasilkannya dari makanan sedikit demi sedikit secara terus-menerus hingga menyebabkan kematian. Demikian pula, ia disakiti dengan diperbaruinya kepedihan dan sakit yang sumbernya adalah materi yang ditempati yang diciptakan Allah untuk kepentingan menolak materi-materi yang rusak.

Kepentingan itu pada asal eksistensi materi dan pengisiannya dengan panas naluriah merupakan penyempurnaan jiwa manusia yang berbicara dan berpikir selama berada di dalam badan. Dengan perubahan-perubahan ini ia kembali kepada pemiliknya dengan bahagia.

Jika manusia terangkat dari dunia ini menuju alam at- tashmuwur wa at-taʻuqqul, maka ia selamat dari siksaan neraka karena tidak ada materi di luar alam ini. Termasuk hal-hal yang menguatkan dugaan mereka adalah keadaan berbilangnya malaikat Zabaniyyah dan para penjaga neraka jahim sejumlah kekuatan-kekuatan yang melayani dan mengatur badan- badan yang bersifat kebinatangan. Demikian pula, keberadaan pintunya yang berjumlah tujuh seperti pintu-pintu kekuatan yang bersifat materi yang terbuka ke Jahanam badan dari alam jiwa. Pangkal kekuatan-kekuatan itu bercabang dari alamnya dan ia terbuka bagi penghuni neraka Jahim dari kalangan jin dan manusia. Sementara itu, pintu hati tertutup dengan cap dari Allah. Oleh karena itu, keberadaannya disifati dalam Al- Qur'an sebagai tempat yang serendah-rendahnya dan materi

p: 170

yang bersifat unsur.

Dalam bab ke-71 kitab al-Futûhât disebutkan: Ketahuilah, Jahanam merupakan makhluk terbesar. Ia adalah penjara milik Allah di akhirat. Ia dinamai Jahanam karena dasarnya yang jauh. Sebuah sumur dikatakan Jahanam apabila dasarnya sangat dalam. Jahanam itu berisi udara yang sangat panas dan udara yang sangat dingin. Di antara permukaan dan dasarnya berjarak perjalanan 7.500 tahun. Hal itu ditunjukkan dalam fir- man Allah Swt: Setiap kali [api itu) padam, Kami tambahkan la- gi nya la api untuk mereka (QS al-Nisa' 4: 56). Api itu terindera, karena bentuk api tidak disifati dengan penambahan dan pengurangan kecuali karena keberadaannya yang ditopang materi jasmani. Hakikat api tidak menerima penyifatan ini dari segi esensinya. Ia hanya menerima fisik yang terbakar dengan api yang ditundukkan sifat api. Dikatakan bahwa makna ayat: Setiap kali [api itu] padam (kullamê khabat), yakni api yang menguasai badan mereka dengan perantaraan padamnya syahwat dan kemarahan serta tidak berfungsinya kekuatan-kekuatan itu karena sakit atau ketuaan; Kami tambahkan untuk mereka (zidnâlum), yakni orang-orang yang disiksa dan tidak dikatakan zidnâhân (Kami tambahkan pada api itu). Artinya, siksaan itu berkobar di dalam batin mereka melalui diperolehnya penyakit di dalam jiwa mereka. Ini merupakan siksaan inderawi yang paling keras. Sebab, Allah telah menanamkan ke dalam batin mereka kemampuan untuk memikirkan apa yang mereka alami berupa sikap berlebih- lebihan terhadap Allah. Akibatnya, siksaan mereka yang bersifat kejiwaan lebih keras daripada ditimpakannya azab

p: 171

itu yang disertai penguasaan api yang terindera atas jasad mereka. Sumbernya adalah nafsu yang selalu memerintahkan pada kejahatan (an-nafs al-ammârah bi as-sû') yang tampak di dalam da da. Hal itu ditunjukkan dalam firman Allah: Dan tidak seorang pun dari kalian melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhan kalian adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.

Kemudian, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam ke- adaan berlutut (QS Maryam 19: 71–72).

Di dalam al-Futûhât al-Makkiyyah disebutkan, “Barangsiapa memahami ucapan ini, maka ia mengetahui tempat Jahanam.” Nabi Saaw bersabda, “Jika ditanya, aku akan mengatakannya. Jika tidak, aku akan diam.” Tentang ilmu Allah Swt, beliau bersabda, “Diam kami dalam masalah itu merupakan adab.” Neraka tidak menerima dikekalkannya penganut tauhid. Hal itu tiada lain adalah karena dengan ilmu tauhid dirinya telah menjadi akal secara aktual dan melampaui tingkatan materi dan indera, sebagaimana ucapan seorang imam as yang ditanya tentang siksaan yang berlaku secara umum dalam firman Allah Swt: Dan tidak seorang pun dari kalian. Beliau menjawab, “Kita dilewatkan di atasnya, sementara neraka itu padam." Di antara riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa tempat neraka itu adalah di alam yang paling rendah ini adalah riwayat yang menunjukkan bahwa neraka berada di bawah langit dunia. Misalnya, dalam hadis tentang miʻrâj, bahwa Nabi Saaw. di langit dunia melihat satu malaikat penjaga neraka. Malaikat itu membukakan salah satu jalan neraka kepadanya agar beliau dapat melihat ke dalamnya

p: 172

sehingga asap dan panasnya mengenai beliau, sementara di sebelah kirinya ada pintu. Dari Ibnu ‘Abbâs juga diriwayatkan, “Neraka berada di bawah tujuh lautan.” Hadis lain menunjukkan bahwa neraka itu berada di laut, seperti yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin as bahwa ia bertanya kepada seorang Yahudi, “Di manakah tempat neraka menurut kitab kalian?” Orang Yahudi itu menjawab, “Di laut." Imam as berkata, “Aku tidak melihat jawaban itu kecuali se- ba gai sebuah kebenaran berdasarkan firman Allah: Dan lautan yang di dalamnya ada api” (QS al-Thûr 52: 6). Diriwayatkan pula di dalam beberapa kitab tafsir bahwa lautan yang di dalamnya ada api adalah neraka. Diriwayatkan bahwa Nabi Saaw bersabda, “Janganlah kalian melewati sebuah lautan kecuali hendak berperang atau melakukan umrah, karena di bawah laut itu ada neraka.” Dikatakan bahwa Jahanam adalah lautan, yaitu yang mengelilingi mereka dan di sana bintang-bintang tersebar. Kemudian, laut itu dinyalakan dan jadilah Jahanam.

Pernyataan serupa datang dari orang-orang zaman dahulu.

Socrates berkata, “Orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dilemparkan ke dalam Tlurthârus. Mereka tidak keluar darinya untuk selama-lamanya. Adapun orang-orang yang me- nyesali dosa-dosa mereka sepanjang umur mereka maka me- reka dilemparkan ke dalam Thurthârus selama setahun penuh untuk disiksa. Kemudian, mereka dilemparkan ombak ke sua- tu tempat yang di sana orang-orang yang pernah mereka zalimi memanggil mereka dan meminta agar dilakukan qisas untuk menyelamatkan mereka dari kesengsaraan. Jika orang-orang yang dizalimi itu ridha, maka qisas itu dilakukan. Namun,

p: 173

jika orang-orang yang dizalimi itu tidak ridha maka mereka dikembalikan ke dalam Tlurthârus. Mereka terus-menerus diperlakukan seperti itu sampai orang-orang yang dizalimi itu ridha kepada mereka. Sementara itu, orang-orang yang berperilaku utama terbebas dari tempat-tempat ini di bumi.

Mereka terhindar dari tempat-tempat penjara dan menempati bumi yang bersih.” Di antara khabar-khabar yang menunjukkan bahwa seba- gian Jahanam berada di bumi ini adalah hadis yang diriwayat- kan dari Jâbir bin `Abdullâh, “Aku melihat asap dari tanah dhirâr. Ada yang mengatakan bahwa tanah dhirâr itu adalah sebuah tempat di Hadhramaut.” Ungkapan serupa disebutkan dalam hadis tentang Lembah Barhut yang diriwayatkan dari Amirul Muk minin as: “Tanah yang paling dibenci adalah Lembah Barhut. Di dalamnya ada arwah orang-orang kafir dan ada sebuah sumur yang airnya sangat bau, tempat kembali arwah orang-orang kafir.” al-Ashma'î menceritakan kisah dari seseorang di Hadhramaut bahwa ia berkata, “Dari arah tanah Barhut kami mencium bau yang sangat busuk. Setelah itu, datang berita kepada kami bahwa seorang pembesar kafir telah mati.” Tanggapan terhadap aspek-aspek ini dan seluruh buktinya adalah bahwa masing-masing dari surga dan neraka memiliki bentuk yang asli, yaitu di alam akhirat, dan memiliki penampak- annya di dunia ini. Tempat menetap di neraka dan hakikatnya adalah di neraka Jahanam (Dâr al-Bawâr) dan memiliki penampakan dan ketersembunyiannya di alam ini. Aspek- aspek rasional yang disebutkan tidak menunjukkan lebih dari

p: 174

kenyataan bahwa neraka itu memiliki keberadaan yang bersifat parsial dan kemunculan khusus di alam ini. Demikian pula, yang dinukil dari khabar-khabar tidak menunjukkan lebih dari kenyataan bahwa neraka memiliki penampakan di dunia ini.

Adapun neraka yang hakiki, tempat nyala dan kemunculannya tak mungkin diketahui oleh makhluk seluruhnya. Kemunculan kekuasaannya adalah di negeri akhirat, yang gejolaknya menge- pung mereka, sebagaimana firman Allah Swt:

Dan diperlihatkan neraka jahim dengan jelas kepada setiap orang yang melihat (QS al-Nâzi'ât 79: 36).

Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka jahim, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya de ngan 'ain al-yaqîn (QS al-Takâtsur 102: 5–7).

Sekarang neraka itu tidak diperlihatkan dan tidak tampak, bahkan tertutup kecuali bagi ahli kasyf dan ahli yakin. Api yang terindera tidak membakar secara hakiki. Api yang membakar secara hakiki adalah api Ilahi yang tertutup bagi indera dan berada di luar pemikiran dan analogi. Namun, api itu berkaitan dengan api yang terindera ini. Tempat perapiannya yang hakiki adalah neraka Jahim (Dâr al-Bawâr), bukan negeri eksistensi (Dâr al-Wujûd). Semoga Allah memelihara kita dan orang-orang yang memiliki keyakinan dari kejahatan dan kepedihannya pada hari kiamat.

Kukatakan: pangkal siksaan dan sumber pembakaran di akhirat merupakan malakah (ciri) yang diperoleh setiap orang

p: 175

menurut amal dan perbuatannya, sebagaimana pangkal pahala dan sumber kelezatan di akhirat tiada lain adalah malakah yang tertanam kokoh di dalam jiwa. Karena kejadian akhirat merupakan kejadian yang sempurna dan terlepas dari materi jasmani, maka mustahil ia menjadi sesuatu yang tampak. Sebab- sebab penyiksaan dan pemberian kenikmatan tidak berada di luar jiwa yang dibangkitkan. Akhirat bukanlah tempat bagi sebab-sebab yang bersifat kebetulan, di luar, dan berpengaruh terhadap segala sesuatu. Setiap orang dibangkitkan di akhirat bersama apa yang telah mereka kerjakan berupa malakah dan bentuk-bentuk kebaikan yang diperoleh melalui latihan-latihan (riyâdhât) kejiwaan, peribadatan, dan amal- amal shalih atau bentuk-bentuk kebinatangan serta malakah kesetanan yang dihasilkan dari penentangan, perlawanan, dan pembangkangan terhadap para rasul dan para duta Ilahi. Yang disiksa adalah realitas internal, bukan yang berada di luar cakupan keberadaan yang disiksa. Dalam Al- Qur'an, Allah berfirman: Pa da hari ketika se tiap diri mendapati kebaikan dihadapkan (di mukanya), begitu juga kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kalau di antara ia dan hari itu ada rentang waktu yang panjang (QS Ali `Imrân 3: 30).

Dalam Surah al-Isra', Allah berfirman: Dan setiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya pada lehernya. Dan pada hu- ri kiamat Kami keluarkan baginya kitab yang dijumpainya terbuka.

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu” (QS al-Isrâ'17: 13–14).

Dalam Surah al-Kahf, Allah berfirman: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan

p: 176

terhadap apa yang [tertulis] di dalamnya, dan mereka berkata, “Adu- hai, celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan mencatatnya,..." (QS al-Kahfi 18:49).

Socrates, guru Plato, berkata, “Adapun, orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar maka mereka dilemparkan ke da- lam Tlurthârus ... (dan seterusnya).” Penulis, dalam banyak bukunya, menukil ucapan Socartes ini. Kami tidak mendapatkan alasan penukilan ini hingga sekarang. Kandungannya sesuai dengan sebagian ayat-ayat Al- Qur'andanriwayat-riwayatyang menunjukkandikeluarkannya para pelaku kemaksiatan dan para pendurhaka dari neraka.

Ucapannya, “Di sana mereka diseru oleh orang-orang yang pernah mereka zalimi yang meminta agar dilakukan qisas” tidak luput dari kebingungan, bahkan tidak benar. Seharusnya, mereka memaafkan sehingga tidak dilakukan qisas atas mereka atau ungkapan yang seperti itu. Dari ucapan Socrates itu tampak bahwa ia mengatakan tentang kekalnya orang-orang kafir, pendurhaka, dan pelaku kemaksiatan, yang di dalam diri mereka tertanam malakah kejahatan dan bentuk-bentuk kebinatangan. Mereka berada di dalam neraka untuk selama- lamanya; dan dikeluarkannya sebagian pelaku kemaksiatan yang menyesali dosa-dosa mereka sepanjang umur mereka dari neraka dan dimasukkannya mereka ke dalam negeri yang dipenuhi rahmat setelah sumber siksaan itu hilang dari diri mereka. Hal itu karena bentuk-bentuk yang dihasilkan dari perbuatan-perbuatan buruk, selama tidak menjadi malakah yang tertanam di dalam jiwa, dapat dihilangkan serta esensi

p: 177

dan hakikat jiwa menjadi bersih kembali. Masalah ini ada di dalam pembahasan-pembahasan tentang penjelmaan amal- amal perbuatan, dihasilkannya malakah, dan penjelmaan niat pada Hari Kiamat. Telah kami tegaskan bahwa setiap sifat yang tertanam, malakah kejiwaan, dan sifat yang tidak tertanam memiliki kemunculan khusus di setiap tempat dan kejadian.

Kadang-kadang, sebuah bentuk memiliki pengaruh-pengaruh yang berbeda di berbagai tempat.

Penukilan dan Kajian Shadr al-Muta'allihîn, dalam asy-Syawâhid ar-Rubûbiyyah, hlm. 219, berkata, “Isyraq ke-16 tentang bagaimana kekalnya penghuni neraka yang memang pantas menghuni tempat itu. Ini merupakan masalah sulit yang diperdebatkan di antara ulama fiqih dan ulama kasyf. Demikian pula, hal itu diperdebatkan di kalangan ulama kasyfsendiri. Apakah siksaan bagi mereka itu kekal hingga waktu tak terhinggga ataukah mereka mendapatkan kenikmatan di negeri terkutuk itu sehingga siksaan bagi mereka berakhir pada waktu tertentu? Padahal, mereka sepakat bahwa orang-orang kafir itu tidak dikeluarkan dari tempat tersebut dan bahwa mereka tinggal di sana hingga waktu yang tak terbatas, karena masing-masing tempat, surga dan neraka, memiliki penghuni. Prinsip-prinsip teosofi menunjukkan bahwa setiap maujud memiliki tujuan yang digapainya pada suatu hari dan bahwa rahmat Ilahi mencakup segala se sua tu, sebagaimana firman Allah: Siksn- Ku akan Aku timpakan kepada siapa saja yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi se ga la sesuatu (QS al-A'râf 7: 156). Kami juga

p: 178

memiliki prinsip-prinsip yang menunjukkan bahwa jahim serta kepedihan dan kesengsaraannya kekal bagi penghuninya, sebagaimana surga beserta kenikmaan dan kebaikannya juga kekal bagi penghuninya. Namun, kekekalan bagi masing- masing tempat itu memiliki pengertian yang berbeda. Anda tahu bahwa tatanan dunia tidak akan menjadi lebih baik kecuali dengan adanya orang-orang yang berjiwa kasar dan berhati keras. Kalau orang-orang semuanya hidup bahagia, tentu tatanan itu menjadi rusak." Selanjutnya, beliau berkata, “Jika keberadaan setiap kelompok itu menurut ketentuan Ilahi dan tuntutan kemunculan nama Rabbani maka mereka memiliki tujuan-tujuan alamiah dan stasiun-stasiun dzatiyah.

Realitas-realitas esensial yang menjadi asal penciptaan segala sesuatu, jika segala sesuatu itu kembali padanya, itu akan menjadi keharmonisan, walaupun telah terjadi perpisahan dari- nya dalam rentang waktu yang panjang, sebagaimana firman Allah Swt: Dan dihalangi di antara mereka dan apa yang me reka inginkan (QS Saba' 34: 54). Allah Swt menampakkan se mua nama-Nya dalam semua maqam. Dia-lah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan Dia Maha Bijaksana lagi Maha Pengampun. Di dalam hadis disebutkan, “Kalau kalian tidak berbuat berdosa, tentu Allah Swt akan membinasakan kalian dan mendatangkan kaum yang berbuat dosa." Kesimpulan maksud beliau dari kalimat-kalimat ini dan yang semisalnya yang disebutkan di dalam buku ini dan buku-bukunya yang lain dalam masalah ini adalah bahwa semua maujud bergerak kepada al-Haqq al-Awwal (Hakekat Pertama), karena bagi setiap tujuan ada pemiliknya: Tidak ada

p: 179

satu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun- ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus (QS Hûd 11: 56). Dia-lah tu juan se gala sesuatu dan akhir segala maujud. Telah ditegaskan bahwa akhir adalah kembali ke permulaan. Kembali dan perjalanan ke asal eksistensi adalah suatu fitrah bagi setiap maujud. Keberpalingan segala sesuatu dari al-Hagg, pengingkaran terhadap-Nya, pembangkangan terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, dan diperolehnya malakah yang tercela tidak bertentangan dengan kebahagiaan yang bersifat esensi.

Telah ditegaskan bahwa semua gerakan dan kepindahan pada segala sesuatu adalah kepada Allah, dengan Allah, dan di jalan Allah. Segala sesuatu, menurut fitrah itu, pergi kepada-Nya. Jika pada orang kafir, munafik, dan pelaku kemaksiatan diperoleh malakah tercela yang dihasilkan dari kekafiran, kemunafikan, dan kemaksiatan, maka ia berpaling dari sesuatu yang telah menjadi fitrah baginya. Menurut kadar keberpalingannya dari fitrah itu, ia mendapatkan hukuman di akhirat. Namun, fitrah yang asli bertentangan dengan siksaan dan kepedihan yang muncul akibat pembangkangan itu karena substansi jiwa itu abstrak, tidak akan mengalami kerusakan.

Al-Haqq menampakkan diri pada setiap sesuatu dengan rahmat yang bersifat esensi. Pangkal siksaan itu merupakan realitas yang bersifat aksidental pada fitrah. Sesuatu yang bersifat esen- sial akan kekal dan sesuatu yang bersifat aksidental akan hi- lang. Akhir segala sesuatu adalah kembali kepada rahmat.

Tiap rahasia datang dari al-Haqq sampai ke akal.

Dari akal menuju jiwa, semua tersingkap.

p: 180

Dari jiwa ke tempat cahaya.

Dari lembaran, khayal kalimat itu tertuliskan.

Dari pikiran, khayal menjadi ilham.

Pikiran yang dari khayal menjadi illam , Bertugas untuk membawa pesan.

Pesan itu disampaikan dalam bentuk isyarat, Dan dalam kitab dalam bentuk ibarat.

Beliau berkata: Dinukil dalam al-Futûhật, “Mereka keluar menuju surga sehingga tidak tersisa seorang manusia pun di sana. Pintu-pintunya terus terbuka dan tertutup. Di dasar neraka Jahanam itu tumbuh tetumbuhan.” Kukatakan: Didahulukannya rahmat atas kemurkaan tidak bertentangan dengan kekekalan siksaan karena rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu bukan rahmat khusus yang hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman, tidak kepada orang-orang kafir dan pelaku kemaksiatan.

Benar, dominasi rahmat atas kemurkaan tidak dapat diingkari, dan orang-orang yang kekal di dalam neraka, dibandingkan dengan orang-orang yang selamat, adalah sedikit.

Yang benar adalah bahwa neraka Jahim adalah negeri bencana dan tempat hukuman yang kepedihan dan kesengsara- annya abadi. Penghuninya tidak akan terbebas dari penjara ini.

Ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-hadis Nabi, dan riwayat-riwayat para wali berbicara tentang kekekalan orang-orang kafir dan ahli kemaksiatan di dalam neraka. Orang yang memikul siksaan di atas siksaan dan memikul keabadian di atas waktu yang panjang adalah orang yang telah mempermainkan

p: 181

ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang datang dari orang-orang maksum dan suci. Rahasia yang terkandung di dalam hal itu adalah bahwa negeri akhirat merupakan negeri kesempurnaan. Di sanalah semua gerakan berakhir. Akhirat bukan negeri persiapan dan kesiapan, karena jiwa di akhirat disempurnakan dengan esensinya. Telah kami tegaskan bahwa jiwa-jiwa itu, berdasarkan kemunculan eksistensi, berada dalam satu spesies, tetapi berdasarkan kebangkitan kembali dan kejadian di akhirat menjadi beberapa spesies yang saling bertolak belak Tidak diragukan lagi bahwa, berdasarkan gerakan substan- sial, jiwa yang berbicara dan berpikir menjelma dalam bentuk yang sesuai dengan perbuatan-perbuatannya di dunia ini.

Bentuk-bentuk kezaliman dan kebinatangan jika sampai pada suatu batas tertentu, dengannya jiwa itu menjelma dan menjadi berada di dalam eksistensi jiwa. Bangunannya menjadi teguh di dalam ruh, di mana hal itu menjadi sumber aktivitasnya.

Bentuk-bentuk kepedihan dan kesakitan ini tidak mungkin hilang. Di akhirat, bentuk-bentuk itu tidak hilang darijiwa. Jiwa akan terbebas dari kepedihan dan kesengsaraannya, karena kepedihan dan kesengsaraan itu hanyalah aksiden asing yang tiak termasuk ke dalam substansi jiwa dan huwiyyah (kediaan) eksistensinya. Adapun, orang-orang yang di dalam eksistensi mereka tertanam malakah ini tidak memiliki peluang keluar dan masuk, dan siksaan tidak akan hilang dari mereka. Bahkan, sik- saanitu selalu terfokus kepada mereka dan diperbaruiuntuk me- reka selamanya. Apabila mereka tidak memiliki gerakan yang teguh maka, tidak diragukan lagi, mereka berdiri di neraka.

p: 182

Puncak gerakan mereka adalah diperbaruinya siksaan. Prinsip siksaan ini adalah substansi esensi dan hakikat mereka. Prin- sip itu kekal dengan kekekalan al-Haqg, dan siksaan mengikuti- nya. Eksistensi yang memancar dari al-Haqq melewati orang Mukmin dan orang kafir. Kepada orang Mukmin diberikan rahmat, kenikmatan, ruh, dan kesenangan, sedangkan kepada orang kafir diberikan siksaan dan kesedihan.

Pada yang satu kecemerlangan dan pada yang lain kesyukuran.

Di dalam ash-Shahífah al-Malakîtiyyah disebutkan:

Setiap kali kulit mereka hangus. Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain supaya mereka merasakan siksaan (QS al-Nisa' 4: 56).

Sesungguhnya pohon Zaqqûm adalah makanan orang yang banyak berdosa, sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut seperti mendidihinya air yang sangat panas (QS al- Dukhân 44: 43).

Siksaan memiliki proses naik dan proses turun sebagai persiapan dan tanggapan berkaitan dengan jiwa dan badan keakhiratan. Penghuni neraka tidak mungkin keluar dari siksaan. Tidak ada pangkal bagi gerakan penghuni neraka jahim, baik keluar maupun masuk, karena hal “keluar" muncul dari gerakan yang teguh. Apabila pangkal gerakan itu adalah yang bergerak itu sendiri maka, tidak diragukan lagi, ia terfokus pada dirinya dalam gerakan itu. Selama esensinya kekal maka siksaan itu pun kekal, dan yang bergerak di akhirat itu dicukupkan dengan esensinya dan pangkal esensinya.

p: 183

Tujuan keberadaan penghuni neraka adalah untuk merasakan siksaan.

Fantasi dan Catatan Kalau kita kembali kepada masalah terputus atau tidak terputusnya azab di dalam neraka maka didapati perbedaan pendapat. Penganut tauhid tidak kekal di dalam neraka.

Adapun keyakinan kepada al-Haqq itu terealisasi dalam jiwa manusia yang gaib. Dari sini, penganut tauhid yang melakukan kemaksiatan hanya merasakan azab lahiriah, bukan azab batiniah. Allah lebih menguasai urusan-Nya (QS Yûsuf 12: 21).

Adapun selain penganut tauhid, pada hakikatnya, seluruh maujud itu dalam pengetahuan sederhana (ʻilm basíth) menge- tahui al-Haqq. Pengetahuan sederhana ini tidak bertentangan dengan al-Haqq. Tenggelam dalam kemaksiatan menyebabkan azab itu berlaku bagi semua pelakunya.

Manusia berada di alam kegaiban, yakni alam yang memiliki wujud khusus, tidak memiliki wujud yang menuntut realisasi di dunia luar. Dalam bahasa lisan, kejadian itu memohon kepada al-Haqq untuk turun ke bumi. Hukum ini berlaku bagi semua orang, baik Mukmin maupun kafir, baik yang durhaka maupun yang taat. Jadi, seluruh manusia merupakan perwujudan dari perintah takwînî Allah. Akan tetapi, di dalam perintah tasyrí'î, ada manusia yang sengsara dan ada yang bahagia.

Setiap maujud, bila berada di bawah perintah mutlak Allah, walaupun memiliki sisi Rubûbiyyah khusus yang memiliki ibarat yang khusus pula – tidak ada orang lain yang

p: 184

berserikat di dalamnya, memiliki tuhan khusus dan nama khusus pula. Yang memberikan pada setiap sesuatu ciptaannya.

Di antara jenis-jenis rahmat ada rahmat imtinâniyyah, imtan- na bi ar-ralımân (yang memberi karunia dengan sifat sayang).

Ada juga rahmat yang berupa rahmat ralîmiyyah, aujaba bi ar-ralúm (yang mewajibkan dengan sifat kasih). Tidak diragu- kan lagi, keniscayaan dalam sifat kasih (ralîm) itu juga berasal dari imtinôniyyah, sebagaimana disabdakan, “Ar-Rahîm masuk ke dalam ar-Rahman melalui cara penggabungan.” Rahmat rahmâniyyah merupakan sisi kebaikan atas rahmat imtina- niyyah. Oleh karena itu, di setiap tempat, Allah disebut dengan nama ar-Rahman terlebih dahulu daripada penyebutan nama- nama-Nya yang lain. Buktinya adalah dalam kalimat Bismillâh ar-Rahmân ar-Ralîm.

Nama Allah mencakup ar-Rahmân dan ar-Rahîm, sedang- kan ar-Rahîm berasal dari nama ar-Rahman. Allah berfirman, “Rahmat-Ku mendahului murka-Ku.” Dia mewajibkan kasih sayang atas diri-Nya, dan Dia adalah yang paling pengasih dari segala yang mengasihi.

Dari uraian yang telah kami kemukakan, tampaklah bahwa terputusnya siksaan dari orang-orang kafir dan pendurhaka adalah dengan memperhatikan keluasan rahmat Allah serta kemunculan dan alirannya pada segala sesuatu.

Inilah keseluruhan pembicaraan dalam masalah ini. Perin- ciannya menuntut kesempatan yang luas. Segala puji bagi Allah yang disyukuri dan disembah, yang memancarkan kemurahan dan memberi eksistensi. Segala puji dan syukur bagi-Nya sema- ta untuk selama-lamanya. Semoga shalawat dan salam yang

p: 185

sempurna dan abadi dilimpahkan kepada para rasul dan para nabi-Nya, terutama junjungan kita, Muhammad, perantara tu- runnya keberkahan dan kebaikan, serta kepada keluarganya.

Koreksi dan komentar atas kitab al-Mazhâhir al-Ilâhiyyah ini selesai pada akhir bulan Syawal 1380 H.

Jalaluddîn al-Mûsâwî al-Asytiyânî Dosen Filsafat Islam, Universitas Masyhad, Iran.

p: 186

GLOSARIUM

Al-“Adam: Keadaan tidak ada, ketiadaan. Dalam pengertian po- sitif, kata ini menunjukkan ketiadaan manifestasi dalam Pengetahuan Allah. Dalam pengertian negatif, kata ini menunjukkan ketiadaan dan kesendirian relatif.

Al-Aladiyyah: Keesaan Transenden atau Keesaan Tertinggi; me- rupakan aspek lahiriah dari Esensi (dzât) jika dibanding- kan dengan aspek batiniah.

Ahadiyyah al-'ain: Keesaan Entitas; Keesaan Allah dalam ke ada- an yang benar-benar tidak bergantung pada ciptaan-Nya dan bahkan dari segenap nama-Nya.

Ahl Allâh: Kaum Allah. Gelar ini meliputi seluruh umat manu- sia, tetapi terdapat banyak derajat dalam Ahl Allâh.

Ahlul Bait. Anggota keluarga Nabi Muhammad Saaw.

Ahl al-Kasyf wa asy-Syuluûd: Orang-orang yang memperoleh pe nyingkapan dan penyaksian.

‘Alam al-Amr. Alam spiritual atau alam perintah. Alam yang di dalamnya tidak ada waktu dan materi.

‘Alam al-Amtsal: Alam analogi dan imajinasi atau alam imajinasi. Inilah sekat (barzakh) tempat misteri kekaburan kosmis bisa diungkapkan.

‘Alam al-Mulk: Alam materi, kerajaan lahiriah, alam peristiwa, atau makrokosmos.

“Alam ash-Shaglîr. Alam kecil yaitu mikrokosmos. Alam ini me-

p: 187

ngandung seluruh alam dalam bentuk laten. Alam ini ada- lah manusia itu sendiri.

Al-Amr at-Taklífi. Perintah Ilahi yang keluar melalui perantaraan seorang Nabi dan yang dengannya suatu umat beragama diperintah untuk “Melakukan ini dan menghindari itu”.

Al-Amr at-Takwînî. Perintah Ilahi yang menciptakan seluruh kosmos, perintah penciptaan tanpa perantara.

Amtsal: Citra atau keserupaan; “Jasad-jasad" yang terlihat dalam dunia imajinasi.

Al-Anniyyah: “Keituan” suatu benda, yang eksistensinya adalah lawan dari mâhiyah atau “Keapaan” suatu benda.

Al-`Aql: Intelek atau fakultas penalaran.

Al-'aql al-mwwal: Akal pertama; memiliki dua wajah: wajah yang menghadap Allah menerima (iqbal) dari Allah dan wajah yang menghadap ke dunia berpaling (idbâr) dari Allah.

“Aql Mujarrad: Akal murni.

‘Ardh: Aksiden; sesuatu yang tidak memiliki eksistensi bebas, melainkan hanya ada dalam eksistensi, substansi, atau aksiden yang lain.

Al-“Arsy: ‘Arsy Ilahi. Allah-yang tak bertempat, menciptakan langityang disebutal-'arsy, tempat Dia“Duduk”agar manu- sia bisa berdoa dan memohon berbagai kebutuhannya dari Allah.

Asfal as-Sâfilîn: yang paling rendah dari yang rendah; tempat yang paling rendah pada saat manusia turun dari manifes- tasi batiniah di dalam Pengetahuan Allah ke manifestasi lahiriah di dalam dunia. Dari sini manusia mengawali ke- naikan menuju Allah, perjalanan kembali kepada-Nya.

Al-Asma' al-Husnâ: Nama-nama Allah yang indah. Allah mem-

p: 188

beritahukan dalam Alquran bahwa Dia memiliki Nama- nama yang Indah. Inilah Nama-nama Kesempurnaan-Nya yang mencakup Keagungan (Jalâl) dan Keindahan (Jamâl).

Al-Asma' al-Jalâliyyal: Nama-nama Keagungan. Nama-nama ini berhubungan dengan Ketakterbandingan Allah (tanzîlı) dan disebabkan oleh Wujud Allah sendiri serta ketiadan ki- ta. Al-Asmâ' al-Jalâliyyahı meliputi Nama-nama seperti Yang Maha Agung (al-´Azlum), Yang Maha Perkasa (nl-Qahhâr).

Al-Asmâ al-Jamâliyyah: Nama-nama Keindahan; berkaitan dengan keserupaan Allah (tasybîn) dan disebabkan oleh kenyataan bahwa Rahmat mendahului kemurkaan serta cahaya menghapus kegelapan. Al-Asma' al-Jamâliyyah meliputi Nama-nama seperti Yang Maha Melindungi (al- Wâlí), Yang Maha Lembut (al-Latlîf), Yang Maha Pengasih (ar-Rahmân).

Atsar: Sisa-sisa, jejak-jejak, bekas-bekas, pengaruh-pengaruh.

Pengaruh dari Nama-nama Ilahi adalah fenomena dalam kosmos. Artinya, segala sesuatu, segala bentuk, dan sege- nap entitas yang memanifestasikan Nama-nama itu adalah pengaruh-pengaruh.

Aw Adnâ: “atau lebih dekat." Istilah ini menyiratkan Kesatuan dan Fana dalam Allah. Ini merupakan tahap terakhir dalam kenaikan menuju Allah, setelah kedudukan qaba qawsayn (jarak dua busur). Semata-mata karena Rahmat Allahlah kedudukan au adnâ ini bisa dicapai.

Al-Aſyân ats-Tsâbital: Entitas-entitas, arketip-arketip, esensi- esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah atau stabil.

Ini semua adalah potensi-potensi tak berubah dan tak terhingga yang tetap dalam hakikatnya.

p: 189

“Ain (jamaknya: a'yân): Satu esensi, penentu pertama, sumber itu sendiri. Istilah ini menunjukkan benda konkret tertentu yang dipersepsi di luar dunia nyata yang berbeda dengan konsep tentang benda yang sama dalam pikiran.

‘Ain al-Bashîrah: Mata hati, mata batin, pandangan mata spiritual. Terbukanya mata batin ini merupakan sebuah rahasia dan keajaiban yang hanya bisa ditimbulkan melalui Rahmat Tak Terhingga dari Yang Maha Pemurah.

‘Ain al-Haqg: Entitas Kebenaran: Wujûd atau Esensi Allah sen- diri.

“Ain al-Yaqîn: Penyaksian yang meyakinkan. Dalam tiga serang- kai ‘ilm al-yaqîn (ilmu yang meyakinkan), ‘nin al-yaqîn (pe- nyaksian yang meyakinkan), dan haqq al-yaqîn (hakikat yang meyakinkan).

Barâziklr. Sekat-sekat spiritual.

Barzakh. Penghalang, sekat, atau pemisah: "dunia ide” yang dianggap sebagai perantara antara dunia material atau dunia fenomenal dan dunia ruh yang murni dan Tuhan (Allah).

Barzakh al-Barâziklı: Sekat segala sekat; mengacu secara khusus kepada manusia paripurna.

Burhân: Bukti atau demonstrasi; bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan.

Burhân “Aqlî Bukti rasional. Jenis bukti ini bisa bernilai dalam tahap-tahap awal perjalanan menuju Allah.

Burûz: Penampakan atau “Memperlihatkan diri”.

Al-Basâ'ith al-mujarradalı. Kesederhanaan-kesederhanaan abs- trak; untuk menunjukkan intelegensi-intelegensi dan jiwa- jiwa pada benda-benda langit.

p: 190

Al-Basâith al-'aqlî. Kesederhanaan secara konseptual, yaitu ke- sederhanaan yang tidak mungkin dipikirkan sehingga ia tidak dapat dibagi walaupun secara mental.

Butluận: Relung kedalaman dan non-manifestasi. Inilah “Tem- pat” khazanah tersembunyi yang ditampakkan Allah dalam penciptaan alam semesta Dalâlah. Dalil, argumen atau bukti. Istilah ini diterapkan pada alam imajinasi yang sangat dekat dengan bukti Yang Maha Benar.

Daur: Istilah yang digunakan ilmu logika untuk menunjukkan perputaran dalam argumen atau bukti yang didapatkan ketika suatu proposisi diajukan yang diikuti oleh beberapa proposisi secara berurutan dan pada akhirnya proposisi yang terakhir ditetapkan sebagai bukti dari proposisi yang asal Dzât: Esensi. Ini adalah Allah dalam diri-Nya sendiri tanpa memperhatikan ciptaan-Nya, Sifat-sifat-Nya atau Nama- nama-Nya. Esensi itu berada di luar jangkauan pengetahu- an dan konseptualisasi.

Dzâtiyyah. Instrinsik, inheren, atau esensial. Ini berlaku pada pengagungan Allah oleh alam semesta. Pengagungannya bersifat intrinsik.

Fadhl: Kemurahan, anugerah, dan karunia.

Fâ'il: Pelaku. Allah Yang Maha Benar (nl-Haqq) tak pernah ber- henti menjadi Pelaku atas eksistensi dalam segala sesuatu yang bersifat mungkin.

Falak wilayah, langit, atau alam. Segenap cakrawala yang me- ngelilingi satu sumbu.

Fana: Fana, penafian diri, atau peniadaan diri. Saat bersatu de-

p: 191

ngan Allah, manusia mengalami fana atau penafian diri.

Inilah hilangnya batas-batas individual dalam keadaan ke- satuan.

Fanâ fî Allâh. Ini merupakan tahap terakhir dalam perjalanan kembali menuju Allah.

Farg: Keberbedaan, keberpisahan, atau ketersebaran. Farq ada- lah pembedaan antara sang hamba (ʻabd) dan Tuhannya (Rabb) pada proses turun dalam perjalanan menuju Allah.

Fashl: Pemisah. Ini adalah pembeda dari Allah sesudah penya- tuan (ittilând) dengan Allah yang penuh dengan derita dan kepedihan.

Fathr: Pembukaan. Ini merupakan salah satu bentuk pengeta hu- an langsung dari Allah yang "Membukakan pintu" alam gaib.

Al-Faidh al-muqaddas: Pancaran suci. Inilah manifestasi Allah dalam berbagai bentuk ciptaan.

Al-Ghayah: Tujuan atas batas terjauh. Seseorang yang tercerah- kan sejak awal perjalanannya akan tercerahkan pula di akhir perjalanannya. Namun, ada sebagian yang dipandang sebagai terpuji selama perjalanan, justru tercela di akhirnya (al-ghâynh).

Ghairiyyah keberlainan. “Keberlainan" inilah yang memung- kinkan kosmos dan segala sesuatu di dalamnya maujud.

Hâl: Keadaan spiritual yang menguasai hati.

Haqâ'ig: Hakikat-hakikat spiritual. Setiap entitas yang ada me- miliki hakikat spiritual khususnya sendiri berupa hubung- annya dengan Yang Maha Benar.

Al-Haqâ'iq ar-Rabbaniyyah: Hakikat-hakikat Ketuhanan. Semua ini adalah nama-nama indah Allah (al-asma' al-lusna).

p: 192

Al-Haqîqah: Hakikat. Al-Haqûgah menunjukkan hakikat esensial segala sesuatu atau kebenaran Ilahi. Inilah hakikat entitas.

Haqîqah al-faidh: Hakikat emanasi atau pancaran. Ini adalah ke- kuatan yang dengannya hakikat-hakikat Ilahi dialihkan dari sang Mursyid ke muridnya.

Al-Haqq: Yang Maha Benar.

Haqq al-yaqîn: Hakikat yang meyakinkan.

Haymân: Cinta yang bergelora dan penuh kasih sayang.

Hayman adalah kebingungan ekstatis yang terjadi ketika hati sang pencinta Allah terpikat karena cinta pada sang Kekasih yang berlebih.

Hayawân nâthig: Binatang yang berpikir dan berbicara. Ini ada- lah manusia itu sendiri. Kemampuan berpikir dan berbi- cara (nutlıq) merupakan salah satu ciri pembeda manusia.

Hayâlâ. Materi pertama atau substansi plastis universal: substra- tum yang tidak tertentu atau sekadar potensialitas yang tergabung dengan shứrah membentuk benda tertentu.

Hijâb: Hijab atau tirai. Hijab adalah segala sesuatu dari diri ma- nusia yang menyembunyikan dan menutupi Allah.

Huwiyyah: ke-Dia-an. Ini adalah hakikat gaib, aspek batin dari keesaan abstrak (al-ahadiyyah).

Idhâfah: Korelasi atau hubungan. Nama-nama Ilahi memerlu- kan berbagai hubungan. Sebab, Nama-nama Allah inilah yang mewujudkan kosmos. Yang Maha Kuasa (al-Qâdir) memerlukan objek kekuasaan (maqdûr). Yang Maha Pengasih (ar-Rahmân) membutuhkan objek kasih (marluûm).

Idhmihlâl: Lenyapnya diri. Inilah tingkatan fana yang tinggi.

p: 193

Idrîk: Persepsi atau pemahaman. Istilah ini dipergunakan un- tuk menunjukkan segala jenis pengalaman kognitif menge- nai benda-benda tertentu, baik yang berkaitan dengan organ-organ indera eksternal (idrâk al-hiss) maupun dalam pengertian indera-indera internal, seperti kemampuan for- matif (al-quwwah al-mutashawwirah), kemampuan estimatif (al-quwwah al-mutawahhimah), kemampuan imajinasi (al- quwwah al-mutakhayyilahı), atau kemampuan rasional (al- quwwah al-'nqliyyah).

ljâd: Penciptaan atau pengadaan. Penciptaan ini tak terba tas karena Allah, Yang Maha Pencipta, adalah Maha Tak Ter- batas.

'Ilm al-yaqîn: Ilmu yang meyakinkan.

Al-Insan al-Kâmil: Manusia paripurna. Ia adalah wakil (khalîfah) Allah. Melaluinya, Allah merenungkan dan memikirkan kesempurnaan yang berasal dari nama-Nya sendiri.

Intiqâl: Kepindahan. Di dalam perjalanan kembali, para wali Allah berpindah dari satu kedudukan ke kedudukan lain.

Untuk menapak ke kedudukan yang lebih tinggi, mereka sama sekali tidak bertolak dari kedudukan yang lebih rendah. Akan tetapi, perjalanan mereka bersama-sama dengan kedudukan yang lebih rendah.

Isti'dâd: Kesiapan; kemampuan, baik aktual maupun potensial, yang dimiliki sesuatu untuk berbuat dengan cara tertentu atau mengalami perubahan tertentu.

Ittilând: Penyatuan atau berpadunya dua hal. Ittihad dipandang sebagai ajaran doktrinal karena memadukan eksistensi dua wujud yang terpisah. Hal ini bertentangan dengan konsep kesatuan wujud.

p: 194

“Iyân: Visi berhadap-hadapan. Istilah ini menyatakan adanya dua wajah yang saling memandang.

Jamʻal-jam“: Kesatuan dari kesatuan, yaitu pengalaman kesatuan yang sama sekali tidak mengandung perbedaan, bahkan gagasan tentang persatuan dengan Allah sekalipun Jawhar. Substansi; segala sesuatu yang ada dalam realitas, se- mua benda dan bagian-bagiannya, langit, bintang-bintang, bumi, air, api, udara, berbagai tanaman dan binatang, dan sebagainya.

Juz'iyyât. Pengetahuan tentang hal-hal partikular. Yang terkan- dung dalam Pengetahuan Allah tentang hal-hal universal adalah Pengetahuan-Nya tentang hal-hal partikular.

Kâ'inât (kaun): Seluruh ciptaan. Semua makhluk diciptakan de- ngan Kata Perintah Allah “Kun” dan akan meninggalkan dunia ini ketika waktunya sudah habis.

Khayâl: Imajinasi; menunjukkan realitas yang maujud dalam tiga tempat yang berbeda. Pertama, khayâl yang maujud dalam kosmos di mana eksistensi sama dengan imajinasi.

Kedua, khayâl yang maujud dalam makrokosmos di mana sekat (barzakh) antara alam kasat mata dan alam spiritual bersifat imajinasi belaka. Ketiga, khayâl yang maujud dalam mikrokosmos di mana “Diri” (nafs) manusia adalah realitas di antara jiwa dan raga.

Al-Kull: Segala sesuatu, keseluruhan, sesuatu yang bersifat uni- versal.

Lawâ'il: Pancaran cahaya yang tampak oleh relung wujud sese- orang Lawâmi“: Kilasan-kilasan cahaya yang masuk ke dalam hati dan menetap sebentar di situ.

p: 195

Ma'âd: Tempat kembali, alam akhirat, tujuan yang dijanjikan.

Mâhiyyah: Esensi atau hakikat sesuatu.

Malaw. Kemusnahan; menunjukkan kemusnahan segenap tin- dakan sang hamba dalam tindakan Allah.

Al-Mala' al-Aʻlân. Tataran Tinggi atau Majelis Agung; menun jukkan segenap malaikat dan makhluk spiritual, para wali mulia yang dekat kepada kepada Allah.

Manzil: Perhentian; tempat sang penempuh jalan spiritual sing- gah dan turun (nuzûl) sejenak sebelum meneruskan lang- kah dan gerak maju.

Maqâm: Kedudukan spiritual; yang diperoleh dan dicapai mela- lui upaya dan ketulusan sang penempuh spiritual.

Mawjud: Sesuatu yang ada atau ditemukan; atau sesuatu yang telah mempunyai eksistensi atau telah ditemukan.

Mazhhar. Manifestasi atau pengungkapan diri Allah. Kosmos adalah tempat manifestasi bagi seluruh Nama Allah. Se- bagian manifestasi itu tampak nyata (zhâhir) dan sebagian lain tersembunyi (bâthin).

Mitsal: Citra, bentuk, analogi, atau simbol.

Mizâj: Susunan tubuh manusia; mencerminkan kesiapan enti tas yang tidak dapat berubah pada tataran jasmani.

Al-Mu'allim al-Awwal: “Guru Pertama," gelar kehormatan yang diberikan oleh para ulama Muslim kepada Aristoteles ter- utama karena mereka merasa banyak belajar kepadanya mengenai logika Al-Mu'allim al-Tsânî: “ Guru Kedua," gelar kehormatan yang diberikan kepada filosof Muslim terkenal, al-Farabî, (257- 339 H/870-950 M) karena ia merupakan penafsir dan ko- mentator terbesar atas logika Aristoteles.

p: 196

Mukhayyalât. Data atau premis-premis imajinatif, yaitu pro- posisi-proposisi yang dinyatakan tidak perlu diyakini kebe- narannya tetapi memaksa pikiran untuk membayangkan seolah-olah ada.

Mumkin: Sesuatu yang mungkin; bisa ada dan bisa juga tidak ada. Eksistensinya di dunia ini bergantung sepenuhnya pa- da kehendak Allah untuk mengeluarkannya dari Pengeta- huan batiniah dalam Esensi pada manifestasi lahiriah dan dunia.

Musabbib al-asbâb: Penyebab segala sebab, yaitu Allah.

Nafs: Ego, diri, atau jiwa; dimensi manusia yang berada di antara ruh (rûh), yang adalah cahaya, dan jasmani (jism), yang adalah kegelapan.

Qîba qawsayn: Jarak dua busur; merupakan salah satu kedu duk- an spiritual tertinggi berupa kesempurnaan yang dicapai oleh manusia paripurna.

Qisth. Neraca keadilan; keadaan yang dimiliki oleh eksistensi.

Al-Râsiklún fî al-'ilm: Orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam. Mereka adalah orang-orang bijak Ilahi, yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang diri mereka sendiri dan Tuhan mereka, Allah.

Riyâdhah. Disiplin asketis atau latihan kezuhudan.

Sayr: Perjanjian spiritual melalui berbagai kedudukan, dari diri ke jiwa.

Shadr al-Muta'allihîn: “Yang Terkemuka di kalangan Para Teo sof,” suatu gelar kehormatan yang diberikan kepada Shad- ruddîn Muhammad bin Ibrâhîm asy-Syîrâzî, yang umum- nya dikenal dengan Mullâ Shadrâ (970– 1050 H/1571– 1640 M). Ia adalah seorang filosof terbesar di Iran.

p: 197

Shûral: Esensi suatu benda yang menyatu dengan materi per- tama (hayûlî) membentuk benda terntentu.

Syai'iyyah. Kesesuatuan; keadaan atau situasi berbagai entitas.

Ta‘ayyun: Entifikasi, menjadi entitas atau menjadi ada.

Takwîn: Penciptaan benda-benda alam yang kemungkinan akan mengalami kerusakan atau kehancuran.

Tamtsíl: Analogi; cara mengambil kesimpulan di mana kita me- ngamati kemiripan di antara dua benda dalam beberapa hal dengan kemiripan dalam beberapa hal lainnya.

Ta salsul: Kesinambungan peristiwa secara tidak terbatas atau kemunduran sebab-sebab secara tidak terbatas yang kedua-duanya secara logika tidak dapat diterima.

Tashawwur: Konseptualisasi atau "memberi bentuk pada." Tawahluum. Pemahaman atas objek atau situasi khusus pada tataran binatang sehingga tidak ada acuan sama sekali ke- pada yang universal atau konseptual dalam pengalaman kognitif sejenis ini.

Al-Wahidiyyah: Kesatuan, atau ketunggalan.

Wêjib al-Wujúd: Wujud Yang Mesti Ada, realitas yang tidak bisa tidak harus ada.

Washl: Persatuan atau penggabungan; menunjukkan gagasan tentang dualitas karena peristiwa penggabungan.

p: 198

END NOTES

BAGIAN PERTAMA

PENGANTAR

1. Ketahuilah, buku ini mencakup dua ilmu yang mulia:

pertama, ilmu tentang al-mabda' yang meliputi pengetahuan

tentang sifat-sifatnya, pengaruhnya, dan cara kemunculan

segala sesuatu darinya; kedua, ilmu tentang al-ma'âd yang

meliputi cara kemunculan diri manusia, prinsip pemben-

tukannya, bahan-bahan fisiknya, puncak kesempurnaan

dan kenaikannya hingga kedudukannya yang tertinggi,

kefanaannya di dalam dzât Allah, serta berbagai bahasan

tentang nubuwat-nubuwat dan mimpi-mimpi. Hen-

daklah diketahui bahwa kemampuan nalar (al-quwwah

al-nazhariyyah) dan kemampuan pengamalan (al-quwwah

al--amaliyyah) memiliki kesamaan dalam pengaruh dan

cahayanya. Dengan kemampuan nalar, sang penempuh

jalan spiritual memperoleh ilmu yang meyakinkan

('ilm al-yaqîn) dan, dengan kemampuan pengamalan, ia

memperoleh penyaksian yang meyakinkan (‘ain al-yaqîn)

dan kebenaran yang meyakinkan (luaqq al-yaqîn). Kedua

kemampuan ini, yakni kemampuan nalar dan kemampuan

p: 199

pengamalan, diibaratkan oleh Jalâluddîn Rûmî sebagai

dua sayap.

2. Al-'aql al-Wayúlânî: Potensi dalam diri yang siap menerima

esensi sesuatu apa pun yang abstrak.

PENDAHULUAN

1. Ketika Allah menciptakan manusia sebagai sebuah

eksistensi yang tersusun dari ruh dan badan, masing-

masing memiliki pengaruh satu sama lain. Ruh, yakni

nafs (diri) manusia, memiliki dua sisi: keter kaitan dan

keterlepasan. Oleh karena itu, kedua kemampuan ini

harus disempurnakan. Menyempurnakan kemampuan

nalar hanya dapat dilakukan dengan memikirkan sistem

eksistensi sebagaimana mestinya. Diri, ketika memikir-

kan segala sesuatu berdasarkan hal yang semestinya

dalam kadar keluasan manusiawi, menjadi suatu alam

yang bersifat akal (ʻaqli) yang paralel dengan alam yang

bersifat entitas (-ainí). Lembaran jiwa menjadi sebuah

buku sempurna yang memperlihatkan bentuk segala

sesuatu, baik yang abstrak maupun yang bersifat materi,

baik yang bersifat falak maupun yang bersifat unsur.

Menyempurnakan jiwa dengan pengetahuan tentang

Allah, sifat-sifat-Nya, dan pengaruh-pengaruh-Nya serta

dengan pengetahuan tentang bagaimana segala sesuatu

kembali kepada-Nya merupakan maksud tertinggi dan

puncak tujuan bagi manusia. Ilmu-ilmu Ilahi adalah inti

p: 200

keimanan kepada Allah, sifat-sifat-Nya yang luhur dan

nama-nama-Nya yang indah.

Tentang bagian dari filsafat ini, terdapat banyak

penjelasan dan argumentasi di dalam kitab-kitab Ilahi.

Menyempurnakan kemampuan praktis (al-quwwah al-

'amaliyyalı), yakni akal praktis (al-'aql al-´amalí), hanya dapat

diperoleh dengan mengikuti para nabi, melaksanakan

segala kewajiban, meninggalkan segala larangan, dan

menempa lahir dan batin. Setelah penempuh jalan spiritual

menyempurnakan bangunan batin, kepadanya tampak ca-

haya keimanan dari dalam batinnya. Kemudian, ia melihat

dua entitas dan manifestasinya, yang bersifat ruhani dan

kejiwaan, terpenjara di dalam penjara materi. Lalu, ia

berkata, “Wahai para penghuni penjara, manakah yang

lebih baik, tuhan-tuhan yang tercerai-berai atau Allah

yang Maha Esa lagi Maha Kuasa? Ia lalu menghadap pada

batinnya dan mengetahui kekurangannya dan kesia-siaan

waktunya. Kemudian, semua cita-citanya menjadi satu

cita-cita.

MANIFESTASI I

1. Makna safar dalam metodologi ahli 'irfan akan dibahas di

bagian akhir buku ini, insya' Allâh.

2. Ketahuilah, para ahli penyingkapan (kasyf) dan kesaksian

(syulûd) serta orang-orang berakal dan ulama sepakat

bahwa tidak mungkin mengetahui Zat Allah Yang Maha

p: 201

Benar dengan kualitas intrinsik-Nya, dan dalam hal itu

tidak ada perdebatan di kalangan para ulama, karena

pengetahuan dan kekuasaan Allah SWT Maha Besar atas

segala sesuatu. Tidak mungkin mengetahuinya karena

mengetahui sesuatu dengan esensinya merupakan

bagian dari pengetahuan tentangnya, sementara Allah ti-

dak termasuk dalam lingkup pengetahuan. Dalam kitab

Tafsîr ash-Shafi, ketika menafsirkan firman Allah dalam

surah Thâ Hâ (ayat 110): “.............. Tetapi ilmu mereka tidak

meliputi-Nya" tentang tauhid, penulisnya mengutip ha-

dis dari Amirul Mukminim as, “Pengetahuan seluruh

makhluk tidak dapat meliputi Allah Swt, karena Dia

menutup pandangan hati. Tidak ada pengetahuan yang

menggapai-Nya dengan kualitas (kaif) dan tidak pula hati

dapat meneguhkannya dengan batasan. Tidak ada yang

dapat menyifati-Nya kecuali sebagaimana Dia menyifati

diri-Nya: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya,

dan Din-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dialah

Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Lahir, Maha Batin,

Pencipta lagi Pemberi bentuk. Dia menciptakan segala

sesuatu, tetapi tidak ada satu pun dari segala sesuatu itu

yang menyerupai-Nya. Jelaslah bagi orang yang terpelajar

bahwa maksud “Tutup” (glithân) dalam ucapan Imam

as adalah batasan kemungkinan. Batasan ini merupakan

penyebab keterbatasan mumkin (eksistensi yang bersifat

mungkin) dan cakupanpengetahuannya tentang Yang

Maha Benar lagi Yang Maha Awal. Dan karena Allah tidak

memiliki batas eksistensi, justru Dia adalah eksistensi

p: 202

yang murni dan jelas. Dia memiliki cakupan pengetahuan

dan kekuasaan atas segala sesuatu. Bahkan, pada maqam

Zat dan kegaiban-Nya, Yang Maha Benar, yang disifati

sebagai khazanah tersembunyi, bebas dari pembatas-

an. Dari ucapan Imam as yang memancarkan cahaya

wilâyah, diketahui bahwa esensi Zat-Nya tidak diketahui

oleh siapa pun dengan bentuk pengetahuan dan ilmu

apa pun, baik ilmu luudluûrî maupun ilmu luusluûlî. Dia ti-

dak dapat digapai dengan kekuatan akal dan tidak pula

dengan penginderaan. Sebaliknya, karena kesempurnaan

kemuliaan dan kekuasaan-Nya, Dia melihat segala

sesuatu. Dengannya Dia mengetahui segala sesuatu. Dia-

lah Pencipta segala sesuatu yang saling bertentangan,

permisalan-permisalan, segala sesuatu yang serupa, dan

eksistensi itu sendiri karena penglihatan dan pengenalan-

Nya adalah Zat-Nya itu sendiri. Sementara itu, Dia melihat

segala sesuatu dan mengetahui segala sesuatu yang tidak

diketahui [oleh makhluk]. Dia tidak dapat digapai karena

ketinggian manifestasi-Nya dan kesempurnaan cahaya

dan keluasan-Nya.

Engkau tahu bahwa mengetahui Yang Maha Benar (al-

Haqq) dengan kualitas intrinsik-Nya tidak dapat diperoleh

oleh siapa pun, walaupun penghuni al-Mala' al-A'lân

menuntutnya, sebagaimana kita menuntutnya. Hal itu

ditunjukkan Nabi Saaw. dalam sabda beliau: “Kami tidak

mengenal-Mu dengan pengenalan yang sebenar-benarnya."

Adapun mengetahui-Nya secara umum dapat dilakukan

dengan ilmu lushûlî dan ilmu hudhûrî sekaligus. Dengan

p: 203

ilmu luslûlî, yang dimaksud adalah bahwa manusia me-

miliki bentuk ilmu yang membahas tentang Yang Maha

Benar lagi Yang Maha Awal dengan melihat efek-efek

yang bersifat mungkin dan menjadikannya sebagai bukti

atas eksistensi-Nya. Adapun, ilmu luudhûrî adalah bahwa

Yang Maha Benar, dengan kemunculan-Nya dalam ting-

katan-tingkatan esensi (a'yân), pena-pena imkan, dan tajallî-

Nya, disaksikan oleh segala sesuatu. Ilmu ini, karena ke-

munculan-Nya yang sangat tinggi, menjadi tersembunyi.

Ketersembunyian itu disebabkan oleh kemunculan-Nya

yang sangat tinggi. Ketika Eksistensi-Nya menguatkan

segala eksistensi, dan kemunculan semua maujud ada-

lah melalui eksistensi-Nya, maka Dia lebih jelas daripada

segala sesuatu. Ketahuilah, Dia mengetahui segala sesuatu.

Dia menjadi dalil atas segala sesuatu dan menjadi jelas

bahwa eksistensi yang bersifat mungkin membutuhkan

dalil tersebut, tetapi Wujud Yang Wajib Ada (al-Wujûd

al-Wajib) tidak membutuhkan hal tersebut karena Dia

tidak memerlukan peneguhan dan pembuktian. Bahkan,

mengingkari al-Wajib berarti keluar dari fitrah Ilahi. Ketika

Yang Maha Benar (al-Haqq) dinisbatkan pada sesuatu, maka

penisbatan itu merupakan hubungan pancaran (idhâfah

isyrâqiyyalı). Idhâfah isyrâqiyyah adalah penciptaan itu

sendiri. Sebab ('illah) dalam eksistensi mendahului akibat

(maʻlûl). Dengan demikian, pengetahuan kita tentang asal

kejadian kita menunjukkan keberadaan asal kejadian kita

dengan penisbatan penciptaan-Nya pada kita. Oleh karena

itu, pengetahuan kita tentang eksistensi kita mendahului

p: 204

pengetahuan kita tentang diri kita. Pengetahuan kita

tentang-Nya mendahului pengetahuan kita tentang diri

kita dengan pengetahuan luudluûrî dan ilmu syulûdî, karena

Eksistensi-Nya mendahului penciptaan kita. Penyebab

ketersembunyian ilmu ini adalah banyaknya kemunculan-

Nya. Ilmu yang mulia ini berada dalam puncak kebersa-

hajaan dan kesederhanaan. Namun, kemunculan dan

eksistensi itu semata-mata dengan kadar sesuatu yang

dipancarkan dan yang memancarkan. Di dalam Mishbâh

al-Uns, halaman 59, dari Syaikh al-Kâmil Shadruddîn,

dalam tafsir surah al-Fâtihah, dikatakan, “Tidak ada

perbedaan pendapat tentang mustahilnya mengetahui Zat

Allah dari sisi hakikatnya, bukan dalam hal nama, hukum,

hubungan, atau tingkatan." Kemudian, dia berkata,

"Verifikasi yang paling sempurna mengungkapkan bahwa

apabila seseorang mencium bau dari makrifatnya, maka

hal itu terjadi setelah jejaknya sirna; hukum, penglihatan

dan namanya terhapus; dan kebinasaannya di bawah

pengaruh cahaya-cahaya Yang Maha Benar dan kesucian

Wajah-Nya yang mulia.”

Kukatakan: Ini merupakan musyahadah hudhûriyyah

dan syuhûd ninî (bukan 'ilmî)yang diperoleh para wali dan

orang-orang sempurna setelah melakukan serangkaian

latihan spiritual (riyâdhah). Musyahadah ini lebih tinggi

dan lebih mulia daripada setiap pengetahuan ('irfân).

Tingkat pengetahuan yang paling tinggi tentang sesuatu

hanya diperoleh dengan kesatuan orang yang mengetahui

('âlim) dan objek yang diketahui (maʻlům), sementara

p: 205

penyebab ketidaktahuan (jahl) tak lain adalah keberlainan

(al-ghairiyyah). Jika kesatuan telah menjadi sempurna,

maka musyâhadah pun menjadi sempurna. Pengetahuan

sempurna hanya diperoleh setelah terhapusnya goresan-

goresan entifikasi imkân. Inilah yang dimaksud dari

sabdanya, “... Kecuali dengan hancurnya gunung ke-

akuan."

4. Di bagian akhir buku ini akan dijelaskan bagaimana

memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan itu, insya

Allah. Kami katakan bahwa memikirkan sifat-sifat Yang

Maha Benar (al-Haqq) dalam tataran pemikiran manusia,

dengan pemutlakan yang hakiki, termasuk kemustahilan

yang paling besar. Tidak ada perbedaan antara zat dan

sifat-sifat dari sisi ini, karena eksistensi dalam keesaan

transenden (aladiyyah) adalah ilmu, kekuasaan, dan sifat-

sifat yang lain itu sendiri.

5. Adapun mengetahui perbuatan-perbuatan Allah dengan

ilmu luuslûlî mungkin dilakukan hanya secara umum,

karena sesuatu yang kita ketahui hanyalah konsep-konsep

yang lepas dari esensinya. Mengetahui sesuatu dengan

kualitas intrinsiknya berpangkal dari pengetahuan ten-

tang eksistensi khususnya. Seseorang akan mengetahui

eksistensi itu hanya dengan musyhâluadah ludhûriyyah dan

hubungan dengan penyebabnya, karena esensi sebab-

sebab itu diketahui hanya melalui sebab-sebabnya sendiri.

Musyahadah ludhûriyyah diperoleh hanya oleh sebagian

orang yang terbebas dari selubung kemanusiaan, yaitu

mereka yang dibantu dengan pertolongan Ilahi. Mereka

p: 206

memasuki tempat suci penyaksian itu dan menyaksikan

Yang Maha Benar (al-Haqq), sungguh-sungguh mengeta-

hui nama-nama-Nya yang indah, melihat perbuatan-per-

buatanNya, dan menjadikan Yang Maha Benar (al-Haqq)

sebagai saksi atas segala sesuatu.

6. Al-Muhîmûn adalah para malaikat yang tenggelam di

dalam penyaksian keindahan-keindahan Yang Maha

Benar (al-Haqq), yang tidak mengetahui bahwa Allah men-

ciptakan Adam disebabkan kesibukan mereka dengan

menyaksikan Yang Maha Benar (al-Haqq) dan kecintaan

mereka yang sangat besar. Mereka menempati tempat

yang tinggi, yang tidak ditugasi untuk sujud karena

kegaiban mereka dari selain Yang Maha Benar (al-Haqq)

dan keterpesonaan mereka pada cahaya keindahan itu.

Mereka tidak memberikan tempat kepada apa pun selain-

Nya dan mereka adalah al-Karrûbiyyûn. Seorang ahli

tauhid (semoga Allah meridhainya) menjelaskan, "Para

malaikat itu, karena besarnya cinta mereka, tidak memiliki

perantaraan untuk menguasai, padahal mereka diciptakan

pada tataran akal pertama, perantara di antara Yang Maha

Benar (al-Haqq) dan segala sesuatu. Yang Maha Benar

(al-Haqq) telah menampakkan diri kepada mereka dalam

keluhuran keindahan-Nya sehingga mereka bergerak ke

sana dan gaib dari diri mereka sendiri. Mereka mengenal

hanya Yang Maha Benar (al-Haqq) dan penciptaan mereka

didominasi hakikat tajallî sehingga menenggelamkan

dan membinasakan mereka. Dalam hal itu, terdapat

kemusykilan yang disebutkan guru para Syaikh kami –

p: 207

filosof kawakan dan arif yang sempurna, Agha Mîrzâ

Hâsyim Rasytî- dalam komentar-komentarnya atas kitab

Mishbâh al-Uns dan jawaban atasnya. Hal terbaik dalam

sanggahan ini adalah mengenai al-Wajib yang disebutkan

seorang pemuka, yakni Mîrzâ Mahdî al-Asytiyânî

(qaddasallalu sirralu) dalam buku Asâs al-Kitâb.

MANIFESTASI 2

1. Agar diketahui bahwa nafs dari asal pembentukan

jasmaniahnya hingga puncak kesempurnaan

intelektualnya selalu berada dalam perubahan-perubahan

internal, pergantian-pergantian, dan gerakan-gerakan

substansial (al-luarakât al-jawhariyyahı). Kadang-kadang ia

merupakan kekuatan jasmani, bentuk materi, dan sesekali

merupakan jiwa sensitif dalam tingkatan-tingkatannya,

lalu menjadi sesuatu yang dapat dikonseptualisasikan,

terpikirkan, berbicara, dan dihasilkan akal teoritis setelah

akal aktual dan akal efektif yang diungkapkan dengan

ar-rûh al-amrî dalam firman Allah : Katakanlah: “Ruh itu

adalah amir Tuhanku.” Tidak diragukan lagi bahwa yang

mengeluarkannya dari yang potensial menjadi aktual dan

dari lingkup kekurangan ke tingkat kesempurnaan sudah

pasti merupakan maujud yang esensinya, secara potensial,

membebaskan hakikat dari segala kekurangan seraya

menolak tasalsul yang mustahil. Maujud itu bisa berupa

Wajib al-Wujúd atau salah satu malaikat yang bersifat akal

p: 208

yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam apa pun yang

diperintahkan kepada mereka dan mereka melaksanakan

apa saja yang diperintahkan kepada mereka. Menegaskan

keberadaan pemisahan-pemisahan akal tidak terlepas dan

tidak tergambarkan kecuali dengan adanya al-Wajib Swt.

Akan halnya keberadaan metode ini sebagai metode yang

lebih baik dari pada metode kaum shiddîqûn, tidak ada

tempat yang memadai untuk menjelaskannya secara rinci.

Penjelasan garis besarnya adalah bahwa, sebagaimana

di dalam metode kaum shiddîgûn, diperoleh pengenalan

tentang Allah dalam Zat, sifat, dan perbuatan, demikian

pula halnya dengan cara ini. Hal itu seperti diriwayatkan

dari Imam a.s., “Barangsiapa mengenal dirinya, maka

dia telah mengenal Tuhannya.”(Mîrzâ Hasan Nûrî).

2. Penegasannya adalah bahwa jiwa (nafs) manusia yang

berbicara dan berfikir adalah sesuatu yang abstrak (luput

dari materi). Kebaruannya semata-mata karena kebaruan

badan. Setiap yang baru memiliki ‘illah. Penyebab

eksistensinya tidak lain adalah maujud yang terlepas dari

materi, karena mempengaruhi (ta'tsîr) dan dipengaruhi

(ta’atstsur) dalam hal-hal yang bersifat jasmani bergantung

pada penempatan dan kedekatan, bukan penempatan pada

sesuatu yang abstrak dalam kaitannya dengan materi.

Dengan kata lain, karena posisi keabstrakan dan keterp-

isahannya dari materi, jiwa menjadi lebih mulia daripada

fisik dan benda-benda yang bersifat jasmani. Tidak mun-

gkin sesuatu yang lebih hina menjadi sebab bagi eksistensi

sesuatu yang lebih mulia. Penyebabnya

p: 209

haruslah yang lebih mulia darinya. Dengan demikian

sebab pemberi emanasinya haruslah berupa maujud

yang tidak bergantung pada materi, baik esensi maupun

perbuatannya.

3. Secara umum, metode argumentasi ini adalah bahwa,

setelah teguhnya identitas eksistensi itu dan keberadaannya

yang memiliki hakikat sebagai sebuah identitas, dikatakan

bahwa eksistensi diteguhkan dengan burhan yang

direalisasikan dalam entitas-entitas, baik berupa hakikat

eksistensi maupun bukan hakikat eksistensi. Yang kami

maksud dengan hakikat eksistensi adalah sesuatu yang

tidak dicampuri sesuatu yang bukan eksistensi, yakni

ketiadaan (‘adam), keterbatasan, dan kekurangan atau

mahiyah. Tidak diragukan lagi, eksistensi yang tidak

dicampuri sesuatu yang bukan eksistensi merupakan

eksistensi murni, eksistensi sempurna, dan kesempurnaan

eksistensi. Demikian pula, ia merupakan Wajib al-Wujûd.

Sebab, kami tidak mengartikan Wajib al-Wujûd kecuali yang

menjadi ada dilihat dari esensi-Nya tanpa memandang

semua realitas yang berada di luar esensi-Nya dan tanpa

memperhatikan semua sudut pandang di luar hakikat-

Nya, baik bersifat penafsiran maupun pembatasan, baik

hakiki maupun sebutan saja, sebagai substansiasi dari

predikat maujud. Hakikat eksistensi yang kami katakan

pun demikian. Kami katakan bahwa, jika hakikat eksistensi

tidak terwujud, maka sesuatu tidak terwujud sama sekali.

Penjelasan ketakterpisahan ini adalah bahwa yang selain

hakikat eksistensi bisa berupa mâliyah atau pun eksistensi

p: 210

yang dicampuri ketiadaan dan keterbatasan. Setiap mâhiyah

bisa maujud dengan bantuan eksistensi, tidak bisa dengan

sendirinya. Di dalam Eksistensi itu, bila bukan hakikat ek-

sistensi, terdapat komposisi dari eksistensi sebagai eksis-

tensi dan karakteristik yang lain. Setiap karakteristik selain

eksistensi adalah ketiadaan ('ndam) atau bersifat nihilistik

(“adamí). Segala sesuatu yang kompleks (murakkab) yang

muncul setelah kesederhanaan (basîthi)-nya membutuhkan

kesederhanaan itu. Ketiadaan 'adam) tidak memiliki

pengaruh pada keberadaan sesuatu, sementara sifat

ketiadaan (“adamı), tidak diragukan lagi, teguh di dalam

eksistensi itu dan dinisbatkan padanya. Setiap konsep

sesuatu dan atributnya, baik berupa mâhiyah maupun si-

fat yang lain, baik bersifat penegasan maupun bersifat pe-

negasian, merupakan cabang dari eksistensi sesuatu itu.

Kami mengutip pembicaraan tentang eksistensi tersebut

dan yang diasumsikan bahwa ia bukan hakikat eksistensi.

Pembicaraan itu kembali menjadi pegangan atau berakhir

pada suatu eksistensi murni yang tidak dicampuri sesuatu

apa pun. Ini merupakan kesimpulan yang disebutkan

penulis (qaddasallâlu sirrah) dalam risalah al--Arsyiyyah

dengan sedikit perubahan. Oleh karena itu perhatikanlah.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

4. Kemurnian yang tidak dicampuri selain eksistensi berupa

ketiadaan 'adam), keterbatasan (qushur), dan mâhiyah.

Oleh karena itu, pahamilah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

5. Penjelasan secara ringkas adalah bahwa eksistensi

berdasarkan esensinya itu sendiri tidak berasal dari

p: 211

esensi-esensi yang bersifat substansi dan aksiden, serta

tidak disifati sebagai mungkin dan esensinya sendiri

dengan esensinya menentang ketiadaan. Penjelmaan

entitas-entitas yang bersifat substansi dan aksiden karena

keberadaannya di luar lingkup eksistensi merupakan dua

aksiden dalam bentukyang khusus. Karena eksistensi luput

dari penyifatan sebagai mâliyah maka ia menjadi wajib

bagi esensinya tanpa memperhatikan realitas dan arah.

Dengan sendirinya ia menuntut kemurnian dan menafikan

keberlainan. Mengingat kemunculannya pada tingkatan-

tingkatan ciptaan dan manifestasinya di dalam pikiran dan

realitas, darinya muncul esensi-esensi. Dengan sendirinya

ia menuntut bahwa ia menjadi tempat berhimpunnya

nama-nama yang terindah (al-asma' al-husna) dan darinya

tampak konsep-konsep dan entitas-entitas tak berubah

(al-a'yân ats-tsâbitall). Dialah yang menampakkan segala

sesuatu dan ia lebih tampak daripada segala sesuatu, karena

kemunculan setiap sesuatu berasal darinya. Dari apa yang

telah kami sebutkan, jelas bahwa yang Maha Benar lagi

Yang Maha Awwal (al-Haqq al-Awwal) menurut akal lebih

tampak dan lebih dikenal daripada hal yang mungkin.

Akal menyaksikan Yang Maha Benar (al-Haqq) sebagai

bukti atas segala sesuatu. Para pengkaji (al-Muhaqqiq) dari

kalangan penganut tauhid melihat Yang Maha Benar (al-

Haqq) sebagai saksi atas segala sesuatu. Dari eksistensi-

Nya mereka berargumentasi atas nama-nama-Nya, dan

dari nama-nama-Nya atas ciptaan-Nya, Yang Maha

Benar (al-Haqq) tampak, tidak gaib, sementara alam itu

p: 212

gaib, tidak tampak, karena kemunculan itu berasal dari

eksistensi. Setiap kali eksistensi itu telah sempurna, maka

kemunculan dan manifestasinya pun lebih sempurna. Jika

engkau melihat semua maujud secara keseluruhan dan

secara rinci, maka engkau akan mendapati penyatuan itu

menyertainya, tidak terpisah darinya. Benarlah bahwa,

berdasarkan perbuatan dan kemunculan, Sang Pencipta

adalah segala sesuatu itu sendiri. Diriwayatkan dari

Imam Ali as, “Dia muncul di dalam kegaiban dan gaib

di dalam kemunculan. Dia tampak lalu tersembunyi.

Dia tersembunyi lalu tampak nyata.” Dari beliau juga

diriwayatkan, “Kenalilah Allah dengan Allah.” Inilah

ringkasan metodologi orang-orang terpercaya (shiddîqûn)

berdasarkan burhan dan ‘irfân.

Sebab, jika Zat-Nya diketahui dengan Zat-Nya tanpa

memandang segala sesuatu yang ada diluar Zat-Nya,

maka hal itu menjadi substansiasi (mishdag) bagi predikat

maujud dan kebenaran atasnya. Kami mengartikan Wajib

al-Wujûd hanya seperti itu. Oleh karena itu, perhatikanlah.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

Isyarat atas penjelasan ketakterpisahan dalam syarat yang

kami sebutkan di dalam hâsyiyah (pinggiran kitab) dengan

ucapan kami,“Jika hakikat eksistensi tidak terwujud, maka

sesuatu tidak akan terwujud. Dengan memperhatikannya,

hal itu akan tampak.” Oleh karena itu, perhatikanlah.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

8. Karena dengan pandangan yang jeli dan penyingkapan

yang jelas, maʻlül (akibat) tiada lain adalah salah satu fase

p: 213

keberadaan‘illah-nya yang bersifat emanasi. Eksistensi dan

kemunculan menyatu dalam esensi. Setiap kali eksistensi

itu lebih luas dan lebih kuat maka kemunculannya lebih

sempurna. Hubungan eksistensi dengan Yang Maha Benar

lagi Yang Maha Awal (al-Haqq al-Awwal) adalah dengan

kemestian (wujûb) dan dengan mahiyât adalah dengan

kemungkinan (imkân). Wujûb didahulukan atas imkân.

Dengan demikian, al-Wujûd al-Wajib, karena kapasitas-

Nya sebagai penopang segala sesuatu dan segala maʻlül,

mengenal Zat-Nya dengan ilmu yang sederhana dengan

perantaraan eksistensi 'illah-nya yang bersifat emanasi.

Ilmu-Nya tentang Zat-Nya menjadi yang disebabkan

(musabbab) dari ilmu-Nya dengan 'illah-nya. Ilmu ini

bersifat fitrah, bukan sesuatu yang diusahakan.

Di dalam tafsir Maulana Imam Hasan al-Askari as

disebutkan bahwa Imam al-Shâdiq as ditanya tentang

Allah. Beliau menjawab, "Wahai hamba Allah, apakah

engkau pernah menumpang kapal?” Orang itu menjawab,

"Tentu!” Beliau berkata, “Pernahkah kapal itu pecah,

sementara tidak ada kapal lain yang menolongmu dan

engkau sendiri tidak dapat berenang?" Ia menjawab, “Ya,

pernah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ketika itu hatimu

terpaut pada sesuatu yang mampu menyelamatkanmu

dari kesulitanmu?'' Ia menjawab, “Benar." Beliau berkata,

“Sesuatu itu adalah Allah yang mampu menyelamatkan

ketika tidak ada sesuatu apa pun yang dapat me-

nyelamatkan.” Hadis ini dinukil dari Tafsîr al-Shâfî karya

Muhsin Qâsânî (Mîrzâ Hasan Nûrî).

p: 214

10. Penjelasan tentang keraguan ini akan dikemukakan di

bagian akhir buku ini.

11. Maksud ucapan “eksistensi segala sesuatu” adalah seperti

yang diriwayatkan dari para Imam Maksum bahwa

eksistensi segala sesuatu, dalam kapasitasnya sebagai

eksistensi yang tidak hilang, berasal dari eksistensi Allah

Swt dan tidak akan terpisah darinya. Diriwayatkan dari

para Imam a.s., “Keluar dari segala sesuatu tidak seperti

keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lain dan masuk ke

dalam sesuatu tidak seperti masuknya sesuatu ke dalam

sesuatu yang lain. Keluar dari sesuatu tidak dengan kehi-

langan dan masuk ke dalam sesuatu tidak dengan per-

campuran.” Diriwayatkan dari pemimpin kita, pemimpin

di dunia dan akhirat (semoga jiwaku menjadi penebusnya),

“Tauhid-Nya adalah pembedaan-Nya dari makhluk-Nya.

Prinsip pembedaan itu adalah pemisahan sifat, bukan pe-

misahan pengasingan.” Eksistensi segala sesuatu adalah

eksistensi yang tidak terpisah dari eksistensi Allah. Bahkan,

eksistensi Allah melingkupi dan mendominasinya. Segala

sesuatu melingkupi sesuatu dan yang melingkupi segala

yang melingkupi adalah Allah. Dan Allah mengepung me-

reka dari be lakang mereka (QS al-Burûj 85: 20) seperti ca haya

melingkupi kegelapan, asal meliputi keadaan-keadaan

dan sudut-sudut pandang, dan esensi meliputi ma-

nifestasi-manifestasi, sebagaimana beliau (quddisa sirrul)

ingatkan dalam pembahasan yang akan datang. Maksud

beliau bukanlah yang terlihat dari lahiriah ungkapan ini,

basîthah al-laqîqah kullu asyyâ', dengan bentuk yang lebih

p: 215

tinggi, serta merupakan bukti atasnya dan penyingkapan

tabir ketersembunyian dari wajahnya. Tidak lebih dari itu.

Ketahuilah, maksud yang mulia ini adalah menjelaskan

keesaan dan keMaha Mandirian Allah serta kesucian-Nya

dari segala kekurangan yang merupakan ajaran penting da-

lam agama dan wajib diyakini, baik secara umum maupun

secara detail, bagi setiap mukallaf. Masing-masing harus

meyakini hal ini menurut kadar kemampuannya. Oleh

karena itu, kajilah dan bersikap teguhlah dalam masalah

ini, karena hal itu dapat menggelincirkan kaki, dan salam

adalah sebaik-baik penutup. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

12. Syaikh dalam at-Ta‘lîqât, al-Isyârât, dan asy-Syifấ', telah

menjelaskan bahwa eksistensi itu mutlak, tidak menjadi

maʻlûl bagi mâliyah, karena ia sendiri bukan merupakan

maujud. “Illah eksistensi adalah eksistensi, sebab mâhiyah

adalah mâhiyah, dan sebab ketiadaan adalah ketiadaan.

13. Kalimat kekudusan ini telah diriwayatkan dari para ulama

zaman dahulu. Yang mereka maksudkan bukanlah yang

dipahami orang-orang bodoh. Inti maksud mereka tentang

ungkapan ini (basíthah al-haqîqah kull asiyâ') adalah bahwa

Zat Allah adalah tunggal dan tidak tersusun dari bagian-

bagian. Tidak ada sesuatu pun yang menyimpang dari

cakupan eksistensi kekuasaan, ilmu, dan kehendak-Nya.

Kaidah ini sendiri sesuai dengan fir man-Nya: Dan Din-lah

yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya (QS al-An'âm

6: 18); Ingatlah balawa sesungguhnya Dia Maha Meliputi se-

gala sesuatu (QS Fushshilat 41: 54). Dari seorang yang

sempurna diriwayatkan, “Dia adalah yang tampak dan

p: 216

menampakkan.” Hal ini sesuai dengan firman-Nya: Dia-

lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Yang Maha Lahir

dan Yang Maha Batin (QS al-Hadîd 57: 3). Diriwayatkan

dari Imam Ali as, “Di dalam segala sesuatu bukan dengan

percampuran dan di luar segala sesuatu bukan dengan

pertentangan.” Maksud dari al-basîth (sederhana) dalam

ungkapan mereka adalah eksistensi murni. Penjelasannya

adalah bahwa, seandainya berdasarkan Zat-Nya, Dia

bukan yang disifati dengan salah satu sifat kesempurnaan

di mana Dia merupakan subtansiasi (mishdâq) bagi penega-

sian kesempurnaan dan penegasan kesempurnaan yang

lain, maka hal itu menyebabkan ketersusunan-Nya terdiri

dari keberadaan dan kehilangan. Komposisi itu merupakan

keharusan bagi esensi yang bersifat mungkin (al-imkân

al-dzâti). Hakikat Allah harus bersifat wajib dengan esen-

si-Nya dan tegak dengan hakikat-Nya. Karena Zat-Nya

merupakan sumber segala kesempurnaan, maka setiap

kesempurnaan mengalir dan memancar dari-Nya. Di sisi-

Nya adalah khazanah segala sesuatu. Hal itu ditunjukkan

dalam Kitab-Nya yang tidak didatangi kebatilan dari de-

pan maupun dari belakangnya: Dan tidak ada sesuatu pun

melainkan pada sisi Kamilah khazanalınya, dan Kami tidak

menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu (QS al-

Hijr 15: 21). Zat-Nya adalah ek sis tensi mur ni. Ke murnian

sesuatu tidak berulang. Jika setiap sesuatu dipandang sem-

purna, maka kemunculannya bukanlah sebagai sesuatu

itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dalam ucapan seseorang,

“Illiyyah (kesebaban) dan maʻlûliyyah (keakibatan)

p: 217

sebagai satu eksistensi yang muncul dalam dua bentuk.”

Ringkasnya, hakikat eksistensi memiliki kemunculan

dan ketersembunyian, serta awal dan akhir. Ia memiliki

maqam ijmânil, qur'ân, keberhimpunan, penyucian, maqam

perincian, pembedaan, dan keserupaan. Maqam ijmal,

qur'an, dan keberhimpunan, dan penyuciannya adalah ke-

benaran (luaqq), sementara maqam perincian, pembedaan,

dan keserupaannya adalah khalq (penciptaan). Hakikat

Allah dengan kapasitasnya Yang Mahalahir dengan Zat-

Nya dan manifestasi (mazhhar) bagi selain-Nya, serta

ilmu, kekuasaan, dan eksistensi-Nya yang meliputi segala

sesuatu adalah kegaiban murni dan ketersembunyian

mutlak.

14. Dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, halaman 11: “Guru Pertama

(nl-Mu´allim al-Awwal) mengungkapkan al-wujûb al-dzât

dengan diam dan al-wujûd bi al-gluair dengan gerakan.

Keadaannya jelas.”

15. Di dalam buku-bukunya, pengarang telah menjelaskan

otentisitas (ashâlal) eksistensi. Kami telah menyebutkan

masalah ini dalam sebuah artikel yang kami tulis tentang

al-masya'ir.

16. Setiap malnyah dan mahnyât, bila akal mengkajinya, akan

mendapatinya luput dari eksistensi dan ketiadaan. Dalam

perwujudannya sebagai entitas dan eksistensinya, ia

membutuhkan realitas yang lain. Realitas yang lain itu,

jika tidak terwujud menjadi entitas dengan esensinya,

dihasilkan dalam batas dirinya. Ia pun membutuhkan

selainnya sehingga terjadi rangkaian yang tidak terputus

p: 218

(tasalsul) atau berakhir pada sesuatu yang terwujud

menjadi entitas dengan esensinya sendiri. Ini karena se-

tiap sesuatu yang memiliki aksiden harus berakhir pada

sesuatu yang memiliki esensi. Sesuatu yang terwujud

menjadi entitas dengan sendirinya dan terwujud dengan

esensinya adalah Eksistensi (al-Wujûd). Inilah yang di mak-

sud dengan ucapannya “Karena ia merupakan sesuatu

yang paling berhak mewujud menjadi entitas... dan

seterusnya.” (Mîrzâ Hasan Nûrî).

17. Karena hal itu menuntut kebalikannya. (Mîrzâ Hasan

Nûrî).

18. Seperti pengetahuan kita tentang diri kita dan kekuatannya.

Prinsip-prinsip itu diketahui dengan pengetahuan-

pengetahuannya. Sementara itu, Sang Pencipta Allah

diketahui dengan maʻlûlît-Nya dalam tingkatan maʻlûlât.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

19. Cakupan hakikat Eksistensi atas segala sesuatu dan

bentangan cahaya al-Haqq atas mahnyât tidak seperti

cakupan konsep-konsep dan esensi-esensi universal

atas detail-detail khusus yang berada di alam materi (se-

perti cakupan genus atas spesies-spesies dan spesies

atas individu-individu). Penjelasannya adalah bahwa

universalitas, keumuman, dan kemutlakan kadang-kadang

terjadi di dalam konsep-konsep seperti penampakan setiap

mahjah universal pada individu-individu di alam materi

dan kadang-kadang pula terjadi pada eksistensi di alam

materi. Cakupan hakikat Eksistensi atas esensi-esensi di

alam materi merupakan aliran dan bentangannya pada

p: 219

esesni-esensi. Bentangan, cakupan, dan aliran ini muncul

dari manifestasi ketunggalan dan kemunculan Yang

Maha Benar (al-Haqq) pada cermin segala sesuatu dan

ketersembunyian-Nya dalam segala sesuatu (dan itulah

akhir penampakan yang jelas).

Muncul dengan ketertabiran dan tersembunyi dengan

penampakan pada celupan pewarnaan dalam setiap

kemunculan.

Segala sesuatu, dalam hubungannya dengan Allah,

tak lain adalah cahaya-cahaya manifestasi Zat dan

sifat keazalian-Nya. Kemutlakan, universalitas, dan

keumuman dalam esensi-esensi muncul dari kelemahan

dan keterbatasan serta kejauhannya dari eksistensi. Setiap

kali kemutlakan, universalitas, dan keumuman itu lebih

luas, maka ia lebih jauh dari penampakan entitas dan

eksistensi. Sumber keuniversalan dan ketidak-jelasan tak

lain adalah kejauhan dari eksistensi. Hal ini berbeda dari

keuniversalan dan keumuman dalam eksistensi. Ia mun-

cul dari kesempurnaan, keluasan, dan keserbameliputan.

Para ‘urafâ' menamai al-Wujûd al-Munbasîth karena

kemunculan dan aliran-Nya pada segala sesuatu me-

rupakan ungkapan yang universal, umum, dan mutlak.

Mereka menyebut eksistensi terbatas dengan kekhususan

dan keterbatasan yang bersifat parsial. Pancaran umum

dan rahmat yang luas ini tidak dapat ditunjukkan dan

ditentukan dengan suatu ketentuan, karena ia merupakan

jalinan dan hubungan murni.

p: 220

20. Seperti aliran nafas manusia pada rangka-rangka huruf

dan kata. Al-Wujûd al-Munbasîth ini adalah Sang Pencipta.

Ia merupakan perbuatan Allah yang mutlak. Oleh karena

itu, dalam bahasa para ‘urafâ', ia dinamai nafas Rahumanî

karena keserupaannya dengan nafas manusia dalam ben-

tangan dan alirannya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

MANIFESTASI 3

1. Para pengkaji telah cukup menjelaskan bagaimana

keselarasan antara alam ini, yang dinamai manusia besar

atau makrokosmos (al-insan al-kabîr) dan individu manusia

yang dinamai manusia kecil atau mikrokosmos (al-insân

al-shaghîr) dalam buku-buku catatan perjalanan ruhani

mereka. Ringkasnya, sebagaimana setiap satu bagian dari

individu manusia berkaitan dengan yang lain dengan

jalinan yang alamiah dan berhubungan dengan yang lain

dengan hubungan yang bersifat alami, keberadaan satu

bagian darinya tidak mungkin dan tidak dapat dipikirkan

serta tidak ada hasilnya, dan tidak mencapai kesempurnaan

dan tujuan penciptaannya, kecuali dengan bagian yang

lain. Kemajemukan bagian-bagiannya dan pertentangan

organ-organnya tidak merusak kesatuan individualnya

dan kepribadian alamiahnya. Demikian pula, esensinya

di alam ini, seperti sandal dengan sandal. Jika kesatuan

individual itu telah terjadi di dunia dan “Manusia besar”

ini, maka penyandarannya tercegah kecuali pada Pencipta

p: 221

Yang Maha Tunggal. Sebagaimana telah ditegaskan bahwa

tercegahnya penyandaran satu ma‘lül individual pada dua

‘illah (sebab) bebas karena tuntutannya, entah tak dapat

dibantah atau keberadaan kedua 'illah itu tidak berfungsi,

semuanya itu mustahil dan batil. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

Rahasia keberadaan perwujudan ma‘lûl menjadi entitas

adalah dengan perwujudan 'illah aktifnya, yakni

keberadaan eksistensi maʻlûl dalam kapasitas sebagai

maʻlûl yang tidak bertolak belakang dengan 'illah-nya dan

bersatu dengannya, sebagai satu aspek dari kesatuan yang

dikenal oleh ahlinya. Maulana pemimpin di dunia dan

akhirat a.s. berkata, “Penyatuannya adalah pembedaannya

dari makhluk-Nya dan ketentuan pembedaan itu adalah

pemisahan sifat, bukan pemisahan keterasingan.” (Mîrzâ

Hasan Nûrî).

3. Maksud ungkapan ini adalah bahwa, bila di langit dan

bumi ada beberapa tuhan selain Allah, tentu keduanya

memiliki dua eksistensi dan dua perwujudan entitas. Kalau

keduanya memiliki dua eksistensi, tentu keduanya akan

binasa. Adapun ketakterpisahan pertama adalah karena

perwujudan ma'lûl menjadi entitas dengan perwujudan

illah-nya. Sementara itu, ketakterpisahan kedua adalah

karena aspek-aspek eksistensi dan perwujudan entitas

saling bertolak belakang. Penyifatan masing-masing da-

ri langit dan bumi menuntut dinafikannya penyifatan

dengan yang lain sehingga keduanya binasa. (Mîrzâ Hasan

Nûrî).

p: 222

4. Kemungkinan, aspek penegasan itu adalah firman Allah

Swt: Mereka men ciptakan seperti ciptaan-Nya. Dia tidak

mengatakan “mereka menciptakan ciptaan-Nya'. Isyarat

tentang hal itu sangat kuat, yakni bahwa satu ciptaan tidak

bisa dibayangkan berasal dari dua pencipta dan satu maʻlül

tidak bersandar pada dua 'illah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

5. Perbedaan antara ahad danwâlid adalah bahwa ahad adalah

dzât itu sendiri tanpa dipandang adanya kemajemukan di

dalamnya, yakni hakikat murni yang tidak dipandang

berisi nama, sifat, dan penampakan entitas. Bahkan, ia

merupakan eksistensi murni tanpa syarat apa pun, ka-

rena syarat merupakan sumber keberlainan, perbedaan,

maupun kemajemukan. Ucapan kami“Ia adalah

eksistensi” semata-mata untuk memberikan pemahaman,

sebagaimana kata pemimpin ahli tauhid, Imam Ali as,

“Kesempurnaan tauhid adalah menafikan sifat-sifat

dari-Nya.” Ringkasnya, alad adalah hakikat murni yang

merupakan sumber al-kâfûrî, bahkan al-Kâfûrî itu sendiri,

yakni Eksistensi Mutlak tanpa syarat apa pun. Hakikat al-

Wujûd adalah kebenaran (haqq]; al-Muthlag adalah perbuat-

an-Nya, dan al-Muqayyad adalah pengaruh-Nya.”

Wâlid adalah dzât dengan kemungkinan adanya

kemajemukan nama, sifat, dan penampakan ciptaan.

Perbedaan antara wahid dan ahad hanya dalam sebutan

saja, karena kemajemukan yang bersifat sebutan saja tidak

merusak kesatuan murni yang hakiki. Bahkan kehadiran

wâhuidiyyah merupakan kehadiran ahadiyyah itu sendiri.

Firman Allah Swt: Katakanlah, “Dia-lah Allah Yang Maha

p: 223

Esa (alund).” Adalah pembicaraan yang bersifat perintah

dari dzât yang serba meliputi. Kesatuan esensi (al-ahadiyyah

al-dzâtiyyah) terdapat dalam penampakan rincian. Ia

datang dari nama-nama Dzât Allâh merupakan isyarat

pada kehadiran Wâlidiyyah. Karena terdapat perbedaan

antara ahadiyyah dan wâhidiyyah secara penyebutan, Dia

berfirman: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah Yang Maha

Mandiri. Al-Shamad (Yang Maha Mandiri) adalah Allah,

karena nama Allah merupakan nama bagi Dzât mengingat

keberadaannya mencakup seluruh kesempurnaan nama-

nama dansifat-sifat. Ash-Shamadjuga merupakandzât dalam

Kehadiran Wâlidiyyah mengingat kebergantungan semua

eksistensi yang bersifat mungkin kepadanya. Mengingat

kemencakupannya pada nama-nama yang agung (nl-asma

al-husna), ia merupakan sandaran segala sesuatu. Karena

ke-Maha Mandiri-an mutlak tidak terpisahkan dari kemur-

nian eksistensi dan tidak menerima kemajemukan dan

keberbilangan, karena di dalam eksistensi tidak ada

sesuatu kecuali ia ada di dalam kemurnian eksistensi

dan kemurnian sesuatu tanpa terkecuali — maka Allah

berfirman: Tiada sesuatu pun yang se banding dengan-Nya.

Eksistensi mesti (Wujûb al-Wujûd) menuntut kemurnian.

Kemurnian tidak terpisahkan dari kesatuan. Setiap kema-

jemukan datang belakangan dari esensi murni.

6. Penyempurnaan bukti ini dan yang sesudahnya

berdasarkan realitas eksistensi dan keberadaannya sebagai

pemilik hakikat realitas telah dijelaskan. Dia adalah Yang

Maha Benar (al-Haqq) yang tidak didatangi kebatilan.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

p: 224

7.

Sifat-sifat kesempurnaan Allah adalah Zat-Nya itu sendiri.

Jika mengesakan Zat-Nya teguh, maka mengesakan sifat-

sifat-Nya pun teguh. Sebab, kalau Allah memiliki sekutu

dalam sifat-sifat-Nya, tentu Dia memiliki sekutu dalam

Zat-Nya dan Dia tentu merupakan realitas (-ainiyyah).

Semua zat berasal dari pancaran-pancaran Zat-Nya; semua

sifat berasal dari keadaan sifat-sifat-Nya, dan semua

kesempurnaan berasal dari naungan kesempurnaan-Nya.

Maha Tinggi kedudukan-Nya; Maha Kudus nama-na-

ma-Nya, dan bersinar terang burhân-Nya. (Mîrzâ Hasan

Nûrî).

Ketahuilah bahwa keesaan sifat-Nya diketahui dari

keesaan Zat-Nya, karena Zat-Nya adalah semua eksistensi.

Semua kesempurnaan yang didapati dalam selain-Nya

sesungguhnyaberasaldari-Nya.Semuasifatkesempurnaan

bersumber dari ilmu, kekuasaan, dan kehendak di dalam

keluasan dan kemutlakan, berputar bersama eksistensi

ke mana saja eksistensi itu berputar. Selain itu, Allah

merupakan eksistensi murni. Dia juga adalah ilmu, ke-

kuasaan, dan kehendak murni. Eksistensi, ilmu, kekuasaan,

dan kehendak ada di dalam dzât ahadiyyah-Nya, menyatu

di dalam Zat. Perbedaannya hanya terjadi dalam konsep.

Keberbilangan konsep ini tidak menyebabkan penyifatan

Allah dengan sifat-sifat dan makna-makna yang berbeda.

Ketinggian dan kemuliaan Allah adalah dengan hakikat

kudus-Nya, bukan dengan sesuatu yang lain. Selain itu,

setiap maujud yang bersifat mungkin adalah ma'lûl, yang

dikuasai, dan yang dikehendaki Allah tanpa perbedaan

p: 225

arah dan sudut pandang. Demikian pula, pencipta

eksistensi yang bersifat mungkin dan yang memancar-

kan inniyyât adalah Yang Maha Mengetahui, Yang Maha

Kuasa, Pencipta (Mûjid), dan Maujud dalam keberadaan-

Nya sebagai tunggal, yang esa, baik Zat maupun sifat-

Nya.

Setiap yang merupakan hakikat sesuatu tidak dicampuri

oleh sesuatu itu, kecuali hakikat sesuatu itu tampak. Setiap

yang merupakan hakikat eksistensi tidak dicampuri oleh

selain eksistensi. Dengan demikian, ia adalah semua ek-

sistensi dan semuanya adalah eksistensi. Demikian pula

halnya dengan semua sifat. Semua yang merupakan

hakikat ilmu tidak dicampuri oleh selain ilmu. Ia adalah

semua ilmu dan semuanya adalah ilmu. Begitu pula,

pembicaraan tentang keMaha Kuasaan, kemahahidupan,

kemahakehendakan, dan sifat-sifat kesempurnaan yang

lain. Allah adalah hakikat dari segala hakikat. Tidak

satu hakikat pun terpisah dari hakikat-Nya. Zat yang

keadaannya seperti itu mustahil berbilang. Sebab, bila Dia

memiliki sekutu dalam eksistensi atau dalam sesuatu dari

segenap kesempurnaan eksistensi, tentu Dia kehilangan

satu bentuk eksistensi atau suatu kesempurnaan eksistensi

sehingga yang diasumsikan sebagai hakikat eksistensi itu

tidak menjadi hakikat eksistensi. Kesederhanaan hakikat

(basíthah al-haqîqah) adalah segala sesuatu, tetapi dalam

bentuk yang lebih tinggi. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

Manifestasi-Manifestasi Ilahi

p: 226

MANIFESTASI 4

1. Para pengkaji (muhaqqiq) sepakat bahwa al-Wujûd adalah

al-Haqg. Yang ada di dunia ini hanyalah manifestasi

(tajaliyyât) Zat dan sifat-sifat-Nya. Karena Zat-Nya Yang

Maha Tinggi, maka Dia tidak membutuhkan alam dan

seisinya. Namun, nama-nama-Nya yang berkaitan dengan

makhluk-makhluk menuntut penampakan diri (mazhhar)

di alam materi. Penampakan itu adalah esensi-esensi

(mâliyât). Telah ditegaskan bahwa di antara setiap nama

dan penampakan terdapat hubungan bersifat esensial

yang tidak diciptakan, tanpa penciptaan Zat-Nya Yang

Maha Kudus lagi Maha Esa. Oleh karena itu, setiap nama

menampakkan pengaruhnya pada mazhhar itu, dan setiap

mazhhar menuntut nama yang termanifestasi dan tampak

di dalamnya. Ism dalam istilah mereka merupakan dzât

bagi suatu sifat. Dengan demikian, nama (al-ism) dan yang

dinamai (nl-musammâ) menyatu dalam dzît, tetapi berbeda

dalam sudut pandang. Nama-nama yang dilafazkan

adalah nama-nama dari segala nama, yakni Sang Pencipta,

Pemberi bentuk, dan Pengatur alam ini dengan nama-

nama-Nya. Al-Qur'an, Hadis-hadis Nabi, dan Khabar-

khabar para Wali sarat dengan penjelasan apa yang kami

kemukakan.

Nama-nama yang menunjukkan kelembutan, kasih

sayang, keakraban, dan ketakutan dinamaijamâliyyah (sifat

keindahan), sedangkan nama-nama yang menunjukkan

keperkasaan dan kemurkaan dinamai jalâliyyah (sifat

p: 227

ketinggian). Di bawah setiap ketinggian (jalâl) adalah

keindahan (jamâl), seperti kecintaan yang bergelora

dihasilkan dari keindahan ketunggalan (al-jamal al-ahadí)

yang merupakan ketundukan akal kepadanya. Setiap

ketinggian memiliki keindahan, yakni kelembutan yang

ter sembunyi di dalam keperkasaan Ilahi: Dan di dalam qisas

itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang

berakal (QS al-Baqarah 2: 179). "Surga di k e lilingi hal-hal

yang tidak diingini, sementara neraka dikelilingi hal-hal

yang diingini.” Diriwayatkan dari Amirul Mukminin as,

Pemimpin Ahli Tauhid, “Maha Suci Tuhan yang rahmat-

Nya meliputi para wali-Nya dalam hukuman-Nya yang

keras, dan hukuman-Nya keras bagi musuh-musuh-Nya

dalam keluasan rahmat-Nya.” Manifestasi-manifestasi

kemakhlukan adalah seperti cermin-cermin bening yang

memantulkan al-Haqq.

Al-Haqq dalam kemunculan-Nya menuntut

penampakan-penampakan (mazhâhir) dan kebutuhan dari

dua pihak. Orang yang bahagia membutuhkan kebahagiaan

dan orang yang terkutuk membutuhkan keterkutukan

dalam bahasa kesiapan. Yang satu tidak berhasil sebagai

keadaan dan ucapan, dan yang kedua tidak berhasil

sebagai keadaan tetapi menanggapi keadaan. Dan tidaklah

seruan orang-orang kafir itu melainkan dalam kesesatan.

Nama-nama itu seluruhnya berada di dalam cakupan

nama Allah yang agung dan mencakup semua nama.

Mazhhar nama ini merupakan mazhlar paling sempurna

yang mencakup semua mazhhar. Ia memiliki pengaruh pada

p: 228

2.

semuanya. Ia adalah Nabi kita Muhammad Saaw Petunjuk

yang lebih jelas daripada ini adalah ucapan beliau, “Adam

dan keturunannya berada di bawah panjiku."

Riwayat-riwayat yang datang dari para Imam as berbeda-

beda dalam menafsirkan ayat yang mulia ini. Menurut

sebagian riwayat, yang dimaksud dengan asma (nama-

nama) adalah nama-nama terindah (al-asma' al-lusnâ).

Sementara itu, menurut riwayat lainnya, yang dimaksud

dengan asma adalah nama segala sesuatu hingga hakikat

dan esensinya yang dalam bahasa kaum arifin (al-'Urafã')

disebut “Entitas-entitas permanen” (al-aʻyân ats-tsâbitah).

Dalam riwayat lainnya lagi disebutkan bahwa yang di-

maksuddenganismâ'adalahnama-nama para Imamas tidak

ada perbedaan di antara riwayat-riwayat itu berdasarkan

hakikat menurut kaum arif yang berpandangan batin,

karena kesimpulannya sama. Sebab, hakikat dan esensi

segala sesuatu merupakan bentuk nama-nama Allah yang

terindah. Demikian pula, hakikat ruhaniah dan nuraniah

mereka a.s. merupakan penampakan-penampakan yang

lengkap dan manifestasi-manifestasi yang sempurna bagi

nama-nama suci itu. Pengetahuan yang sempurna tentang

hakikat nama-nama suci itu tidak akan terpikirkan tanpa

pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Pengetahuan

itu menuntut tempat-tempat penampakan-penampakan

dan manifestasi-manifestasinya. Dan itu adalah karunia

Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia

kehendaki. Allah adalah Pemilik keutamaan yang besar.

(Mîrzâ Hasan Nûrî).

p: 229

3. Yakni tanda-tanda makrifat dzât yang kudus. Sebab, kita

tidak memiliki cara untuk mengetahui dzât itu kecuali dari

konsep-konsep dan tanda-tanda. Dalam hal ini, konsep-

konsep dan tanda-tanda itu merupakan kunci-kunci

kegaiban dan tanda-tanda petunjuk rahasia ketunggalan

(aladiyyah). (Mîrzâ Hasan Nûrî).

4. Perbedaan itu berpangkal dari perbedaan dalam

memahami apakah sifat itu adalah dzât itu sendiri atau

bukan. Yang dimaksud adalah bahwa perbedaan itu

ditafsirkan dan diistilahkan demikian, yakni jika orang

mengatakan bahwa al-ism adalah al-musammâ itu sendiri,

maka al-ism yang dimaksudkannya adalah predikat

rasional (malımûlît ‘aqliyyah). Sementara itu, orang yang

mengatakan bahwa al-ism bukan al-musammâ, maka al-ism

yang dimaksudkannya adalah lafaz-lafaz yang merupakan

nama-nama itu. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

Sebagaimana “Menciptakan" tidak berkaitan dengan

nama-nama, melainkan ia bukan "yang diciptakan"

dengan kebergantungan dan dengan ketidakterciptaannya

dzât itu sendiri, demikian pula “Menciptakan” tidak ber-

kaitan dengan entitas-entitas permanen, yang merupakan

tuntutan nama-nama itu dan ada dengan keberadaan

nama-nama itu. Entitas-entitas permanen pun bukan

“yang diciptakan" dengan ketergantungan dan dengan

ketidak-dijadikan dzât yang kudus. Nama-nama abstrak

dan tuntutan-tuntutannya merupakan entitas-entitas

yang teguh, sebagaimana ia ada dengan bergantung pada

eksistensi dzât. Demikian pula ia bukan ketidakterciptaan

p: 230

dengan ketergantungan pada eksistensi dzât. Hal itu tidak

menyebabkan keterlarangan yang diduga oleh orang

yang tidak memiliki pengetahuan dalam masalah ini,

yang terhalang dari mengkaji pengetahuan-pengetahuan.

Keterlarangan itulah yang disebutkan di dalam karya-

karyanya sebagai celaan kepada pengarang (qaddasa

sirruh) dan muridnya. Ia menjadikannya sebagai sandaran

untuk mencela keduanya dan alasan untuk mengkafirkan

mereka. Keterlarangan ini hanya muncul apabila entitas-

entitas ketidakterciptaan berada di dalam keteguhan ilmu.

Hal itu merupakan maujud yang otentik dan bebas, bukan

"yang diciptakan” dari eksistensi itu. Ia tidak mengetahui

bahwa kesesuatuan (syay'iyyah)yang bersifat abstrak secara

mutlak bergantung pada eksistensi dalam asal keteguhan

dan kehasilan, serta dalam kebutuhan-kebutuhan dzât-nya

berupa "yang diciptakan" dan "yang tak diciptakan” serta

tuntutan-tuntutan eksistensi yang lain dalam kapasitasnya

sebagai eksistensi. Kesesuatuan yang abstrak bersifat

konseptual jika ada dengan eksistensi "yang diciptakan.”

Sebagaimana ia bergantung pada eksistensi itu pada asal

kemaujudan dan kehasilan, demikian pula ia bergantung

padanya dalam hal yang berhubungan dengan "yang

diciptakan.” Ia terwujud dengan terwujudnya eksistensi

itu dan diciptakan dengan keterciptaan eksistensi itu,

bukan dengan kehasilan dan keterciptaan lainnya, apabila

ia ada dengan eksistensi ketidakterciptaan. Demikian pula

halnya dengan entitasnya. Telah dijelaskan bahwa makna-

makna dan esensi-esensi dapat menerima berbagai aspek

p: 231

eksistensi dan berbagai bentuk ciptaan dan kesaksian.

Kadang-kadang, ia ada dengan eksistensi yang masih

bersifat mungkin (imkân) dalam konfigurasi-konfigurasi

dan tingkatan-tingkatannya. Kadang-kadang pula, ia

ada dengan Eksistensi Wajib (nl-Wujûd al-Wajib) dengan

mengikuti makna nama-nama terindah (al-asma' al-lusnân)

dan sifat-sifat tertinggi. Oleh karena itu, kajilah dan ber-

sikap teguhlah dalam masalah ini, sebab hal ini dapat

menggelincirkan kaki. (Mîrzâ Hasan Nûrî)

6. Allah Yang Maha tinggi kedudukan-Nya dan Maha Suci

nama-nama-Nya memiliki nama-nama abstrak yang

tidak diciptakan dengan ketidakterciptaan, yang teguh

pada esensi-esensi yang kudus dan nama-nama eksisten-

si “yang diciptakan," yaitu esensi-esensi yang sempurna

dan ujaran-ujaran ruhaniah abstrak yang diungkapkan

dengan akal dan ruh suci. Semuanya merupakan makrifat

keindahan-Nya dan bukti-bukti kesempurnaan dan

keluhuran-Nya. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

7. Dalam Ilâhiyyât asy-Syifa', Syaikh (Ibn Sînâ) berkata,

“Kami tidak peduli, bahwa dzât Allah Swt diambil, dengan

penisbatan tertentu, dari eksistensi yang masih bersifat

mungkin (mumkin al-wujûd), karena ia, dalam kapasitas

sebagai sebab bagi eksistensi Zayd, bukan wajib, bahkan

dari aspek dzât-Nya."

Apa yang dikemukakan Syaikh (Ibn Sînâ) dalam al-

Ta‘lîqât bertentangan dengan apa yang disebutkannya

dalam asy-Syifa'. Kebenaran bersama penulis buku

ini. Demi Allah, kajian dalam masalah-masalah filsa-

p: 232

fat merupakan haknya dalam lingkungan Islam. Wajib

dalam dzât, seperti engkau ketahui, adalah wajib dari

semua aspek. Di dalamnya tidak ada aspek kemungkinan

(imkâniyyalı) sama sekali. Hal ini membantah pendapat

kaum Mu'tazilah yang berpendapat dinafikannya sifat-

sifat, serta membantah pendapat sebagian dari kelompok

ekstrem dari kalangan mutakallifîn yang mengatakan

kebaruan sifat-sifat, dan membantah pendapat semua

ahli taklid yang mengatakan kemungkinan terjadinya

pemisahan ciptaan dari pencipta yang hakiki. Kami telah

menyebutkan bahwa semua sifat-Nya adalah dzât-Nya itu

sendiri, keutamaan-keutamaan-Nya adalah pemberian

keutamaan itu sendiri. Semua sifat-Nya berpangkal pada

satu asal dan satu substansiasi (mishdâq). Dengan demiki-

an, sifat-sifat eksistensialnya berpangkal pada eksistensi

wajib-Nya, sifat-sifat penegasian-Nya berpangkal pada

penegasian imkân, sifat-sifat penisbatan (idhâfiyyah)-Nya

berpangkal pada idhâfiyyah isyrâqiyyah, yaitu kemunculan

dan wajah Allah. Cahaya-Nya dan segala yang ada di

dalamnya adalah permanen, sedangkan makhluk akan

hilang dan berubah.

8. Penambahan ini, berdasarkan penyandarannya kepada

al-Haqq, adalah satu, walaupun menurut kemampuan-

kemampuan penerimaannya adalah berbilang. Di dalam

Alquran disebutkan: Dan amr Kami hanyalah satu (QS al-

Qamar 54:50). Yang dimaksudkan dengan amr di sini bu kan

perkara yang bersifat penetapan hukum (tasyri'i) karena ia

berbilang, melainkan amr yang bersifat penciptaan (takwînî).

p: 233

9. Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa nama Allah

mencakup semua nama. Nama ini menunjukkan dzât

ketunggalan yang mencakup semua nama dan sifat

serta termanifestasi di dalam semua nama berdasarkan

manifestasi-manifestasi (mazhâhir) Ilahi. Berdasarkan

tingkatannya, nama ini didahulukan atas semua nama

sehingga mazhhar (penampakan)-nya didahulukan atas

semua mazhhar yang lain. Ia memiliki kekuasaan yang

sempurna atas semua mazhhar itu. Nama Ilahi yang serba

meliput ini berdasarkan kemunculannya pada salah satu

nama. Semua mazhhar merupakan mazhhar nama ini.

Karena cakupan nama ini atas seluruh nama maka semua

nama merupakan cabang-cabang dan bagian-bagian-

nya. Dari sini diketahui bahwa semua yang ada di alam

ini, di dalam semua konfigurasi eksistensinya, termasuk

dalam kemunculan-kemunculan hakikat Muhammad dan

bahwa alam ini merupakan bentuk dari hakikatnya yang

komprehensif. Semua mazhhar dari akal pertama (al-'ngl

al-awwal) dari ruh yang agung hingga materi pertama (al-

hayâlâ al-ûlî) merupakan pecahan dari hakikat ini. Dengan

cakupan ini, terbentuk kekhalifahan. Karena manusia

paripurna yang muncul pada segala sesuatu memiliki

kemunculan-kemunculan dan manifestasi-manifestasi

pada segala sesuatu, maka awal kemunculannya adalah

di dalam akal pertama. Oleh karena itu, Rasulullah Saaw.

bersabda, “Yang pertama diciptakan oleh Allah adalah

cahayaku.” Penisbatan cahaya pertama pada dirinya

merupakan isyarat detail yang diketahui oleh orang

p: 234

yang merasakan cawan minuman Muhammad Saaw.,

bahwa akal merupakan sebuah kebaikan dari kebaikan-

kebaikannya. Ringkasnya, manusia ini mengalir pada se-

mua maujud. Oleh karena itu, Imam Ali as berkata, “Aku

bersama pena (al-qalam) secara sembunyi-sembunyi dan

bersama Muhammad Saaw secara terang-terangan.” Hal

itu karena para nabi merupakan mazhhar eksistensinya,

dan otoritas mereka merupakan cabang dari otoritasnya.

Ia tampak dalam eksistensi mereka. Yang tampak itu

tersembunyi di dalam mazhlar, walaupun jiwanya yang

suci termasuk mazhâhir otoritas penutup para nabi. Oleh

karena itu, ia berkata, “... Bersama Muhammad Saaw se-

cara terang-terangan."

10. Dzât ketunggalan, berdasarkan kebermulaan dzât-Nya,

menuntut rahmat kebermulaan kesyukuran, yakni

eksistensi yang terbentang pada segala sesuatu dalam

semua dengan berdasarkan padanya, yakni berdasarkan

apa yang diterima dzât-Nya dengan kemampuan

penerimaan dzât dan kemungkinan dzât-nya. Sementara

itu, berdasarkan keberakhiran dzât-nya, ia menuntut

rahmat penerimaan yang terbatas, yakni kesempurnaan

abstrak pada segala sesuatu berdasarkan batas akhir.

Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, Rahmat-Ku meliputi

segala sesuatu, karena kebermulaan dan keberakhirannya

meliputi segala sesuatu. Din-lah Yang Maha Awal dan

Yang Maha Aklir merupakan permulaan segala sesuatu

dan tujuan segala wahyu. Dia-lah Allah, Sang Pencipta.

Ketahuilah, kepada Allah segala perkara kembali. (QS al-Syûrâ

p: 235

42: 53) sebagaimana keberadaan orang-orang yang celaka

pada permulaannya tidak bertentangan dengan keluasan

rahmat kebermulaan-Nya, melainkan menegaskannya.

Demikian pula, kekekalan mereka pada akhirnya di

negeri kecelakaan tidak bertentangan dengan keluasan

rahmat akhir-Nya. Rahmat-Ku mendahului murka-Ku. Du-

nia bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang

yang celaka menuntut rahmat Rahmâniyyah, dan akhirat

dengan kenikmatan dan siksaannya menuntut rahmat

Rahîmiyyah. Wahai Pengasih di dunia dan Penyayang di

akhirat. Dunia terbatas pada orang-orang yang berbahagia,

demikian pula akhirat. Keselamatanlah bagi pengikut

hidayah. (Mîrzâ Hasan Nûrî).

MANIFESTASI 5

1. Ketahuilah bahwa ilmu (al-'ilm) secara mutlak,

berdasarkan metodologi ahli al-Haqq, bersumber dari satu

bentuk eksistensi khusus yang murni dan tidak dicampuri

ketiadaan. Penjelasannya, benda-benda yang bersifat fisik,

karena keberadaannya sebagai hakikat yang terpisah dari

eksistensi, tidak dapat dihubungkan ilmu itu padanya.

Hal itu karena benda tersusun dari materi dan bentuk

yang menempatinya. Hayûlên (materi pertama) adalah

realitas yang sangat samar. Ia tidak memiliki pengaruh

dan perwujudan menjadi materi. Bahkan ia bukan maujud

secara aktual. Perwujudannya menjadi materi hanya

p: 236

dengan forma yang menempatinya. Setiap forma yang

bersifat fisik, karena ketersusunannya dari bagian-bagian,

tidak memiliki esensi yang jelas yang dapat diketahui. Hal

itu karena setiap bagian dari fisik itu gaib dari bagian yang

lain. Setiap forma bersifat fisik yang menempati hayâlâ,

karena keberadaannya sebagai sesuatu yang bergerak

di atas kekekalan di dalam eksistensinya, merupakan

kekuatan ketiadaannya. Setiap ke-dia-an (Juuwiyyah) yang

eksistensinya muncul secara perlahan tidak menjadi

ada dengan seluruh esensinya bagi esensinya. Ia tidak

memiliki identitas yang jelas dalam entitas. Jika sesuatu

tidak memiliki keteguhan pada esensinya dan eksistensi

pada dirinya, maka ia tidak mencapai esensinya dan tidak

mungkin dikenali kecuali dengan kekuatan penghimpun

yang kuat dan tidak ada penghalang atas alirannya pada

segala sesuatu untuk menopangnya. Ketahuilah bahwa

Dia meliputi segala sesuatu. Kita berada dalam cermin

makrifat-Nya.

Ketahuilah bahwa ilmu, seperti eksistensi, tidak termasuk

ke dalam suatu kategori (maqûlalı), yakni suatu hakikat.

Ia memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda dan saling

mengungguli. Pada suatu tingkatan ada pengetahuan

tentang segala sesuatu yang lain. Pada tingkatan yang lain

terdapat pengetahuan tentang sesuatu dan ketidaktahuan

tentang sesuatu lainnya. Karena Zat Allah adalah eksistensi

segala sesuatu dalam bentuk yang paling sempurna, maka

Dia mengetahui segala sesuatu tanpa dicampuri kejahilan.

Zat-Nya merupakan ilmu terinci (tafshílí) tentang segala

p: 237

sesuatu dalam bentuk yang tidak menyimpang dari

cakupan ilmu-Nya sebesar atom sekalipun. Kehadiran

Zat-Nya pada Zat-Nya merupakan ilmu keseluruhan

(ijmâlî) dalam penyingkapan yang bersifat tafshílí.

3. Pengetahuan (al-'ilm) adalah diperolehnya bentuk yang

diketahui, yakni ide yang sesuai dengan realitas di alam

materi. Hal itu berlaku terus-menerus dalam ilmu yang

qadim dan yang baru. Ilmu Sang Pencipta bersifat aktual

yang mendahului pengetahuan di alam materi. Bentuk

pengetahuan itu muncul sebelum keberadaannya. Ben-

tuk itu tidak mungkin dihasilkan pada objek yang lain,

sebab hal itu akan menyebabkan daur dan tasalsul dan

tidak menjadi pengetahuan baginya serta bukan bentuk-

bentuk yang berkaitan dengan ajaran Plato karena kami

mengingkari hal itu, dan tidak pula dari maujud di alam

materi. Sebab, ilmu itu hanyalah bentuk. Tidak ada lagi

kemungkinan kecuali ada di dalam wilayah Rubûbiyyah,

walaupun tidak diketahui bagaimana hal itu terjadi. Hal

ini tidak menjadi masalah, karena pentingnya ilmu lebih

sempit daripada itu. Tujuan masalah yang luhur ini tidak

diinginkan, terutama di dunia ini sehingga tidak meminta

sesuatu pun dari dirimu. Para malaikat yang dekat kepada

Tuhan, para nabi, dan para wali yang arif tidak mampu

menggapainya, kecuali barangsiapa yang diberi kelebihan

oleh Allah Swt. Jika engkau menginginkan sebersit cahaya

darinya, maka perangilah nafsu mu, bertafakkurlah dalam

khalwatmu, dan kosongkanlah sudut-sudut hatimu agar

pembicara yang diyakini berbicara kepadamu. Berakhir

p: 238

sampai di sini ucapan Syaikh ar-Ra'îs yang ditulis untuk

mengkaji ilmu Sang Pencipta Swt. Mîrzâ Hasan Nûrî

mengutip ungkapan ringkas ini dari Ibn Sînâ.

“Inayat berdasarkan metodologi penulis yang berpendapat

tentang ilmu tafshílíada dalam dzât-Nya, yakni pengetahuan

tentang dzat bersifat luudlûrî yang menyingkapkan segala

sesuatu secara detail dalam tingkatan dzât sebelum

keberadaannya. Adapun bukti atas penjelasan ini, yang

merupakan pendapat orisinal pengarang, didasarkan

pada penjelasan tentang premis-premis yang dijelaskan

panjang lebar dalam buku-bukunya. Premis-premis itu

tidak terdapat selain dalam buku karya pengarang.

5. Sebagian filosof berpendapat bahwa bentuk-bentuk parsial

yang ada di dunia materi itu merupakan tingkatan ilmu

Allah Swt yang terakhir. Telah dijelaskan bahwa setiap

eksistensi yang bersifat fisik adalah yang mengubah esensi

dan eksistensi. Eksistensi, selama keberadaannya di dalam

serangkaian gerakan, tidak mungkin diketahui kecuali

dengan alat yang bersifat fisik. Pendapat yang mengatakan

bahwa maujud yang bersifat fisik – dalam analogi dengan

sebab-sebab yang tinggi, adalah tetap, tidak berubah,

dan tidak berganti dengan kebaruan atau kesirnaan ada-

lah pendapat yang batil. Sebab, materi adalah materi

untuk selama-lamanya dan karena perbandingan materi

dan keabstrakan darinya bukan suatu bentuk penisbatan.

Benar, bila dikatakan bahwa ia merupakan sesuatu yang

diketahui dengan aksiden melalui perantaraan bentuk-

bentuk yang terindera, tentu ia memiliki bentuk. Setiap

p: 239

maujud yang bersifat materi harus dikenali dari eksistensi

terindera yang menyatu dengan bentuk fisik seperti

kesatuan peniru dan yang ditiru.

6. Untuk membuktikan gerakan substansial (al-luarakah al-

jawhariyyalı) dalam jiwa-jiwa yang tertutup, ia selalu berada

dalam penghapusan, peneguhan, pemisahan dari materi,

dan keteguhan, berbeda dengan kitab-kitab Ilahi dan Umm

al-Kitâb. Ia adalah alam keteguhan dan ketetapan, bukan

alam kebaruan dan gerakan, karena dari suatu alam tidak

ada sesuatu yang lain selain Allah. Bahkan, ia berada di

dalam wilayah Ulûhiyyah. Alam Rubûbiyyah adalah qadîm

dengan ke-qadîm-an Allah dan tidak dijadikan dengan

ketidakterciptaan dzât, karena ia termasuk tuntutan-tun-

tutan dzât lain yang diciptakan. Keqadimannya bukan

kebebasan sehingga menuntut keberbilangan esensi yang

qadîm. Hal ini seperti yang dipahami Syaikh Ahmad al-

Ihsâ’î. Ia menjadikannya sandaran untuk mengkafirkan

pengarang. Keyakinan batil ini tidak berarti apa-apa

karena pengarang, dalam banyak risalah dan bukunya,

mengatakan bahwa akal merupakan Nur Ilahi dan cahaya

Qayyûmiyyah yang ada di dalam wilayah alam Ulûhiyyah,

dan Kehadiran Rubûbiyyah bukan termasuk alam. (Mîrzâ

Hasan Nûrî).

7. Pengarang menempatkan pembahasan tentang tingkatan-

tingkatan imkân dalam kalam dan kitab Allah. Dalam

menjelaskan ucapan pengarang dan mengetengahkan

pembahasan yang mendalam, kami terpaksa men-

jelaskannya berdasarkan kajian pembahasan yang sangat

p: 240

ambigu. Menurut ahli makrifat, kata-kata itu berasal dari

makna-makna yang umum, sedangkan maksud kalam

adalah yang mengekspresikan perasaan pembicara yang

maknanya lebih umum, baik pembicara itu adalah makh-

luk maupun Allah. Kalam juga lebih umum berupa perkara

yang gaib dan juga yang tampak. Kitab menetapkan

sesuatu yang ditulis di dalamnya atau yang tertuliskan,

baik dari kertas maupun dari lembaran-lembaran yang

bersifat lahir dan bersifat maknawi. Berdasarkan hal itu,

semua lembaran wujud kitab takwînî adalah kebenaran (nl-

haqq) yang ditulis dengan pena kekuasaan-Nya.

MANIFESTASI 6

1. Argumentasi ucapan penulis adalah bahwa fî'iliyyah

(kepelakuan) al-Haqq al-Awwal atas Eksistensi Wajib-

Nya dan kesempurnaan Zat dan hakikat-Nya mustahil

berada di luar Zat-Nya. Segala hal yang berada di dalam

fa'iliyyah-Nya harus merupakan Zat-Nya itu sendiri.

Zat Allah merupakan tujuan dari segala tujuan. Segala

maujud yang bukan aspek fâ'iliyyah adalah Zat-Nya itu

sendiri. Eksistensinya di dalam penciptaan tidaklah be-

bas dan tidak merupakan pilihan sempurna. Ringkasnya,

al-Wajib bagi Zat-Nya adalah karena kesempurnaan dzât

dan hakikat-Nya. Ia harus selalu merupakan pancaran;

pemberian pancaran-Nya tidak terputus dan cahaya-Nya

tidak meredup. Sekiranya perbuatan-Nya bergantung

p: 241

pada syarat, sifat, kehendak, kepentingan, dan perkara

lain (yang disebutkan ahli perdebatan), niscaya pelaku

perbuatan itu adalah himpunan realitas ini. Hal itu pasti

berakhir pada Zat yang wajib ada. Walhasil, pancaran-

Nya selalu qadim dan tidak ada perintang bagi emanasi-

Nya. Segala sesuatu yang berada di dalam wilayah-Nya

adalah qadim, sementara yang dikenai emanasi adalah

baru (hadits). Ini merupakan jalan tengah al-Haqq dan jalan

ahli keyakinan dari kalangan filosof yang teguh. Kaum

mutakallif, sebagaimana sebagian pengikut Mu'tazilah,

berpendapat tentang kehendak yang terus diperbarui da-

lam Zat-Nya. Juga sebagian filosof seperti Abû al-Barakất

al-Baghdâdî dan sebagian lainnya berpendapat tentang

kehendak yang qadim sebagai tambahan bagi Zat-Nya

(karena banyaknya ketidaktahuan, karena ketidakjelasan

sebelum adanya pengetahuan, mereka menetapkan takdir

yang terbentang tanpa permulaan. Bahkan, mereka mene-

gaskan bahwa Tuhan Yang Maha Mengawasi lagi Maha

Kudus memiliki kekhususan berkaitan dengan waktu

berupa penetapan ukuran, penetapan kuantitas, waktu-

waktu, batasan, dan arah). Di setiap lembah mereka

bingung dan di setiap bukit mereka linglung.

2. Ketahuilah, wahai penempuh jalan spiritual, bahwa

cahaya-cahaya akal, perantara-perantara cahaya, dan

pancaran Rabbânî oleh mayoritas filosof dinamai akal aktif

(al-'uqûl al-fa'alah); oleh kaum Paripatetik dinamai ben-

tuk keilmuan (al-sluwar al-'ilmiyyah); oleh pengikut Pla-

to dinamai ide bercahaya (al-mitsl al-nûriyyah), dan oleh

p: 242

kaum sufi dinamai sinar-sinar yang mandiri (al-adhwa' al-

qayyûmiyyah) dan nama-nama Ilahi (al-asmâ al-Ilahiyyah).

Semua itu merupakan fase-fase Ilahi dan tabir-tabir cahaya

yang kekal dengan kekekalan Allah dan ada dengan ke-

beradaan-Nya. Oleh karena itu, pahamilah apa yang telah

kami kemukakan kepadamu dan jangan mengingkari

bisikan nuranimu.

3. Ketahuilah, kaidah kemungkinan tertinggi (imkân al-asyraf)

menuntut bahwa awal yang muncul dari al-Haqq al-Awwal

adalah maujud sempurna dan abadi serta akal abstrak yang

tidak terkena kebaruan dan kehilangan, dan harus ada di

antara akal-akal abstrak dan al-Wajib. Demikian pula, di

antara setiap akal dan yang menyusulnya ada hubungan

spiritual dan kesatuan eksistensi (kesatuan hakikat),

walaupun akal-akal memiliki aspek-aspek kemajemukan

bersifat akal yang tidak berakhir. Kalau di antara tingkatan-

tingkatan itu tidak terdapat kesatuan bersifat spiritual

maka – berdasarkan kaidah imkân al-asyraf – hal itu menye-

babkan keberadaan cahaya-cahaya yang tidak berujung

di antara setiap tingkatan dan yang berikutnya. Tidak

mungkin terhindar dari kemusykilan kecuali dikatakan,

“Semua rangkaian akal-akal itu menjadi ada dengan satu

eksistensi dan hidup dengan satu kehidupan.” Bahkan, jika

engkau ditanya, maka jawaban yang benar adalah bahwa

akal-akal (ʻuqûl) itu semuanya berasal dari tingkatan-

tingkatan eksistensi-Nya, karena ia merupakan derajat

yang tinggi dan memiliki keadaan-keadaan, pelataran-

pelataran cahaya, dan tabir-tabir Ketuhanan. Tabir-tabir

p: 243

cahaya ini merupakan cahaya eksistensi-Nya dan bagian-

bagian hakikat-Nya. (Hakikat itu adalah penyingkapan

kesucian Tuhan Yang Maha Luhur tanpa isyarat). Kema-

jemukan akal-akal itu tidak merusak ketunggalan dan

kesatuannya dengan al-Haqg, karena kemajemukan arah

dan penyingkapan serta berbilangannya sudut pandang

tidak merusak ketunggalan asal hakikat Eksistensi. Semua

akal ada di dalam sebuah eksistensi. Kalaupun engkau me-

mandangnya dengan pandangan penghimpunan antara

ketunggalan dan kemajemukan, engkau akan mendapati

bahwa penjelmaan, penakdiran, dan kemunculan berada

dalam bentuk ciptaan. Bahkan, pemakan dan peminum

tidak bertentangan dengan ketunggalan asal hakikat yang

menjadi ada dengan ketunggalan kemutlakan. Eksistensi

memiliki kemunculan, ketersembunyian, kegaiban,

kenyataan, kerahasiaan, dan keterbukaan. Kemunculannya

berpangkal dari ketersembunyiannya. Kenyataannya

berpangkal dari kegaibannya. Keterbukaannya bersumber

dari kerahasiaannya. Perhatikanlah dirimu dengan ke-

satuan Zat-Nya dan ketunggalan eksistensi-Nya. Ia

memiliki tingkatan-tingkatan eksistensi dan aktivitas

(fiʻliyyah). Eksistensimu memiliki maqam penyucian dan

penyerupaan. Keabstrakannya tidak menafikan perwujud-

annya menjadi materi. Ta‘aqqul (rasionalisasi)-nya

tidak merusak pengosongannya. Demikian pula halnya

aktivitas kekuatan-kekuatan lainnya. Rahasianya adalah

bahwa eksistensi yang serba meliput dan sempurna meng-

gabungkan keabstrakan (kemurnian) dan perwujudan

p: 244

menjadi materi. Perhatikanlah dirimu. Lalu kembalilah

kepada Tuhanmu. Gabungkanlah antara penyucian

(tanzîlı) dan penyerupaan (tasybîll).

Bila engkau katakan penyucian, engkau bersyarat.

Bila engkau katakan penyerupaan, engkau terbatas.

Bila engkau katakan dua realitas, engkau tertolak.

Engkau adalah pemimpin dan penghulu dalam makrifat.

Waspadalah pada penyerupaan bila engkau berdua.

Waspadalah pada penyucian bila engkau sendirian.

Dengan demikian, para Imam dinamai kalimật Allâh,

karena mereka adalah para perantara yang memiliki dua

arah antara Sang Pencipta dan makhluk. Oleh karena itu,

kajilah.

Tidak ada yang berpendapat bahwa penafsiran ayat itu

dengan pengertian ini bertentangan dengan riwayat-

riwayatyang datang dari para pengembanilmu dan hikmah,

pemilik kemaksuman, yakni bahwayang dimaksud dengan

kalimat Allah adalah keutamaan-keutamaan Amirul Muk-

minin as. Lautan dalam pengertian kebahasaannya adalah

lautan semua alam, karena penafsiran mereka adalah dari

aspek batiniah, dan ayat yang mulia itu memiliki aspek

batiniah yang lain. Kajilah dan amatilah kebenaran, karena

mengkaji kebenaran itulah yang lebih pantas.

6. Di antara kaidah-kaidah yang telah teguh di kalangan ahli

tahqîq (verifikasi) dari kalangan ulama yang mendalam

ilmunya adalah keaslian wajib di antara setiap ‘illah yang

p: 245

dipancarkan pada eksistensi ma'lûl dan ma'lûl-nya yang

dipancarkan darinya. Jika ‘illah itu wajib dengan sendirinya

dan tidak tersusun dari bagian-bagian serta merupakan

eksistensi murni yang sederhana (basîth) dalam puncak

kesederhanaannya, maka ia tidak menjadi “illah bagi dua

hal dalam satu tingkatan. Ini karena setiap maʻlûl memiliki

kekhususan dalam esensi ‘illah-nya yang memancar

dan bersumber dari ‘illah tersebut. Bila tidak, ia akan

menyebabkan pengutamaan tanpa ada yang diutamakan

(tarjîh bi lân murajjalı) karena kesamaan eksistensi segala

sesuatu dalam kaitan dengannya. Hal itu pun akan

menyebabkan munculnya setiap sesuatu dari setiap

sesuatu. Kekhususan itu harus merupakan kekhususan

bagi keduanya (yakni 'illah dan maʻlül). Kadang-kadang

kekhususan ini diungkapkan dengan kewajiban menda-

hului eksistensi maʻlül. Kekhususan inilah yang menye-

babkan eksistensi maʻlûl menjadi ada dan dengannya

berbagai sisi ketiadaannya tertutup dan keluar dari batas

keseimbangan. Walhasil,ʻillah yang memancar pada setiap

sesuatu di dalam esensinya harus mengandung aspek tun-

tutan sempurna yang dengannya eksistensi maʻlül menjadi

ada. Eksistensi maʻlûl dan tingkatan eksistensi ‘illah-

nya lebih kuat dan lebih sempurna daripada eksistensi

khususnya. Kami telah menyebutkan bahwa pengetahuan

“Menciptakannya sendiri” mengungkapkan pengetahuan-

Nya tentangnya dalam bentuk yang lebih mulia. Jika

engkau telah memahami apa yang kami bacakan, maka

kami katakan: Jika dari al-Haqq al-Awwal mun cul lebih

p: 246

dari satu ma‘lůl, maka masing-masing dari kedua maʻlül

itu harus merupakan kekhususan yang membedakan dari

yang lain dalam zat permulaannya. Dari sini, muncullah

ketiadaan keberadaan permulaan (mabda') sebagai yang

tunggal hakiki dan sederhana, bahkan maujud yang

menjadi banyak. Jika diasumsikan bahwa kesatuan dan ke-

sederhanaan‘illah dan dengan kesederhanaannya muncul

hal-hal yang menjadi banyak darinya, maka hal itu

menyebabkan yang satu adalah banyak itu sendiri. Oleh

karena itu, yang pertama muncul adalah maujud yang

sempurna dan meliputi semua konfigurasi dan dengan

kesatuannya segala sesuatu menjadi ada. Bagi para

muhaqqiq dari kalangan filosof, hal itu merupakan al-'aql

al-mwwal dan bagi ahli 'irfân, hal itu merupakan ungkapan

wujud sederhana (al-wujúd al-munbasîth). Pengarang meng-

gabungkan kedua pendapat ini. Dikatakannya, “Perbedaan

antara al-'ngl al-Awwal dan al-wujûd al-munbasîth terjadi

secara ijmâl dan tafshíl.” Kebenaran bersamanya, semoga

Allah meninggikan kedudukannya.

7. Ini adalah ucapan pertama yang membelah pendengaran

mumkinât dan kata yang eksistensial yang di antara kata

itu dan entitas-entitas terjadi persaingan.

Dia mengatakan, kepada siapa yang dikehendaki

keberadaannya,"Kun (“Jadilah!"), maka jadilah ia” tidak

dengan suara yang diucapkan dan tidak dengan seruan

yang terdengar. Kalam-Nya adalah perbuatan dari-Nya.

(Dinukil dari Nahj al-Balâghah).

p: 247

9. Susunan ayat-ayat itu adalah: Demi bintang ketika ter benam,

kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru,

dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang

diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril)

yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas, dan (Jibril

itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli, sedang dia berada

di ufuk yang tinggi. Kemudian, dia mendekat, lalu bertambah

dekat lagi, maka jadilah dia dekat sejarak dua ujung busur panah

atau lebih dekat lagi. Lalu, dia menyampaikan kepada hamba-

Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya ti-

dak mendustakan apa yang telah dilihatnya.

Fiman-Nya: Kemudian ia mendekat adalah Rasulullah

Saaw kepada Allah Swt, naik dari tingkatan Jibril as, dan

mencapai ar-Rafiq al-Aʻlâ. Oleh karena itu, Jibril as berkata,

"Sekiranya semut mendekat, tentu ia terbakar."

Firman-Nya: Lalu lebih dekat lagi, maksudnya adalah

Rasulullah Saaw hanyalah sekadar lingkaran eksistensi

yang meliputi semua yang terbagi dengan garis yang tidak

jelas, yang membagi lingkaran itu menjadi dua paruh. Ka-

rena kebermulaan dan pendekatan, makhluk merupakan

busur pertama yang menutupi identitas dalam entitas-

entitas segala makhluk dan memberinya bentuk. Sementara

itu, al-Haqq adalah paruh lainnya, yang didekati sedikit

demi sedikit. Demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli

talgîg. Firman-Nya: Atau lebih dekat lagi menunjukkan

dihilangkannya keduaan dan kefanaan di dalam tauhid

dan kekal di dalam-Nya. Inilah yang ditunjukkan Ibn Fâridh:

p: 248

Dalam terjaga setelah penghapusan aku tidak menjadi

selain-Nya.

Diri-Ku dengan diriku ketika Aku menampakkan diri, aku

menampakkan diri.

Bagaimana dengan nama al-Haqq – dinaungi penjelmaanku

menjadi materi.

Cerita-cerita bohong keraguan menjadi ketakutanku.

Kemudian, Dia mewahyukan kepada hamba-Nya

rahasia-rahasia Ilahi dalam maqam ahadiyyah tanpa

perantaraan Jibril. Maqam ini ditunjukkan oleh Rasulullah

Saaw., “Aku memiliki waktu bersama Allah yang tidak

dimiliki malaikat yang dekat dengan Allah dan tidak pula

Nabi yang diutus."

Hati tidak mendustakan apa yang dilihatnya berada

dalam maqam keberhimpunan (jam“), ketunggalan

(aluadiyyah), dan entifikasi (taʻayyun) awal dari hakikat-

hakikat Ilahi. Dalam istilah ahli tauhid, fu’âd adalah ha-

ti yang naik ke maqam ruh dalam menyaksikan segala

kesaksian bagi dzât bersama penghimpunan sifat-sifat

yang ada dengan sifat-sifat yang benar. Penghimpunan ini

adalah penghimpunan eksistensi, bukan penghimpunan

kesatuan yang tidak ada fu'ând di dalamnya dan tidak pula

ada hamba bagi segala sesuatu. Penghimpunan dzât itu, di

kalangan mereka, disebut ta'wîlât al--îrif al-kâmil al-kânsyî.

p: 249

MANIFESTASI 7

1. Ketahuilah, masalah ini pun termasuk masalah-masalah

yang tidak mudah dikaji dan diketahui esensinya bagi

seorang filosof atau arif dari generasi terdahulu dan

generasi kemudian kecuali pengarang buku ini – semoga

Allah meninggikan derajatnya. Ia termasuk segelintir

filosof yang mampu menggabungkan antara syariat dan

filsafat (hikmah). Telah terbukti bahwa alim ini, dengan

beban keberadaannya, adalah seorang pembaru eksistensi

dan identitas, dan bahwa hakikatnya adalah perubah-

an itu sendiri. Setiap maujud yang berkaitan dengan

waktu didahului ketiadaan yang jelas berkenaan dengan

waktu berdasarkan esensi dan substansinya. Setiap

identitas yang bersifat materi bisa ada dan kemudian ru-

sak. Waktunya tidak kekal dan keadaannya tidak tetap,

melainkan mengalami pembaruan. Keteguhannya adalah

kebaruan itu sendiri. Setiap eksistensi dan keadaan materi

berubah setiap saat. Allah memanifestasi dalam setiap

maujud dengan nama-nama keagungan dan keindahan-

Nya. Setiap manifestasi menuntut ciptaan baru dan setiap

hari Dia selalu sibuk. Karena manifestasi ini teguh dan

berlangsung terus-menerus, maka orang yang lalai mengira

bahwa segala sesuatu adalah teguh. Sesungguhnya mereka

dalam keraguan tentang penciptaan yang baru. Bagi al-Haqq

tidak ada penghalang untuk memberikan emanasi dan

mencipta. Bahkan, fitrah-Nya adalah emanasi-Nya dan

karakter-Nya adalah kemurahan. Kalau pertolongan itu

250 S

p: 250

bukan berasal dari al-Haqq, tentu seluruh ciptaan ini sirna.

Kedua tangan-Nya terjulur untuk memberikan ciptaan

yang satu dan menghilangkan ciptaan yang lain.

Ketahuilah, membuktikan kebaruan alam ini dengan

metodologi ahli penelitian secara ringkas adalah bahwa

perubahan itu tidak dikhususkan untuk aksiden berupa

kuantitas (kam), kualitas (kaif), posisi (wadh‘), dan tempat

(ain), karena tempat pertama gerakan dan pelaku lang-

sung perubahan itu tidak boleh berupa realitas yang

esensinya tetap dan eksistensinya tidak berubah. Sebab,

perubahan itu harus berupa realitas yang berubah dan

mengalir. Jelaslah bahwa syaikh dan filosof lain se-

zamannya, semoga Allah menyucikan ruh mereka –

menyiarkan bahwa sebab perubahan itu harus berupa

realitas yang berubah. Mereka mengatakan bahwa materi,

dari sisi ketetapannya, tidak menjadi sebab bagi gerakan

itu. Akan tetapi, ia harus mengikuti perubahan dari luar

seperti pembaruan tingkatan-tingkatan kedekatan dan

kejauhan dari tujuan yang dimaksud dalam gerakan-

gerakan materi, dan seperti pembaruan keadaan-keadaan

lain dalam gerakan-gerakan terpaksa, seperti pembaruan

kehendak yang muncul dari diri berdasarkan kebaruan

keadaan-keadaan yang mendorong gerakan itu. Di dalam

setiap gerakan ter dapat dua rangkaian: pertama, rangkaian

asal gerakan; kedua, rangkaian yang tersusun dari keadaan-

keadaan yang datang satu per satu. Yang tetap seperti

materi bersama setiap bagian dari kedua rangkaian itu

merupakan sebab syarat bagi yang lain. Demikian pula

p: 251

seba liknya: tidak bisa dalam bentuk daur yang mustahil

terjadi. Namun, jawaban ini tidak memuaskan bagi orang

yang berpengalaman dalam filsafat. Sebab, pembahasan

tentang sebab yang menyebabkan gerakan dan perubahan

bukanlah dalam ‘illah yang tersedia. Semua perubahan

yang aksiden dan kuantitasnya harus muncul dari materi

substansial. Ini karena pelaku semua gerakan adalah

materi yang bersifat fisik. Materi yang tetap tidak menjadi

sebab bagi pembaruan dan perubahan. Untuk bahasan

lebih rinci tentang masalah ini, silakan merujuk pada al-

Asfar dan buku-buku lain karya pengarang.

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

“Enam hari” adalah jumlah lafaz kun. Jumlahnya

dengan jumlah dua huruf yang diucapkan adalah 72. Itu

merupakan jumlah saat dalam enam hari. Oleh karena itu,

amatilah.

3. Inilah yang terkandung di dalam ucapan guru para

filosof, Guru Pertama, dalam Ontologi, bahwa penyebab

keberadaan jiwa-jiwa manusia di alam ini adalah karena

jiwa-jiwa itu berbulu seperti burung. Ketika bulunya ber-

guguran karena perbuatan dosa jiwa bapak, maka mereka

pun jatuh seperti burung di udara ke alam dunia. Jika

jiwa-jiwa itu berbulu lagi, maka mereka dikembalikan ke

alamnya yang semula.

Ketahuilah bahwa jiwa-jiwa sebelum eksistensi yang

bersifat fisik dan materi ini memiliki eksistensi di alam

akal alam al-'aql) tidak dalam bentuk majemuk dan

berbilang, karena keberbilangan dan kemajemukan meru-

p: 252

pakan karakteristik materi yang bersifat fisik. Jiwa-jiwa

di alam ini, mengingat keterkaitannya dengan badan dan

kejatuhannya ke dalam materi yang bersifat fisik, menjadi

berbilang dan majemuk. Setiap alam memiliki karakteristik

dan tuntutan khusus. Ketahuilah, masalah kejatuhan ji-

wa dari alam kudus dan tempat tinggal ayahnya yang

disucikan disebutkan dalam banyak ayat Alquran, kitab-

kitab samawi, dan catatan-catatan perjalanan para filosof

zaman dahulu. Penyebab kejatuhan dan turunnya me-

reka adalah kejahatan yang mereka lakukan. Pengkajian

masalah ini hanya mungkin dilakukan oleh orang yang

memiliki pijakan teguh dalam pengetahuan-pengetahuan

filsafat, mengetahui bahwa segala sesuatu memiliki

tingkatan-tingkatan eksistensi, dan mengetahui bahwa

manusia memiliki eksistensi rasional (wujûd´aqliyyah), ek-

sistensi ideal (wujûd mitsâliyyah), dan eksistensi material

(wujûd maddiyyalı) serta meyakini kepastian kembalinya

yang akhir (nihâyât) kepada permulaan(bidâyât). Sesungguh-

nya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.

Telah ditegaskan bahwa perjalanan sesuatu dalam

menyempurnakan dirinya, menggapai tujuan formalnya,

kembali pada permulaannya, dan prinsip-prinsip

keaktifannya merupakan tujuan penciptaan oleh al-Hagg,

dan bahwa segala sesuatu memiliki tujuan yang akan

dicapainya.

Ketahuilah, dosa yang muncul dari bapak kita yang

disucikan ini adalah kesalahan yang bersifat penciptaan,

yakni aspek-aspek dan sudut pandang-sudut pandang

p: 253

yang ada di dalam akal murni (ʻngl mujarrad) dan jiwa-

jiwa sebelum badan yang ada dengan aspek-aspek dan

sudut pandang-sudut pandang rasional yang mendahului

aspek-spek material. Setiap akal memiliki eksistensi jiwa-

jiwa yang terpisah dari badan.

MANIFESTASI 8

1. Bagi pengkaji yang memiliki pandangan hati, nama Allah

yang paling agung (al-ism al-aʻzham) serta manifestasi dan

kemunculannya bersumber dari ahadiyyah. Keesaan Zat

(nl-ahadiyyah adz-dzîtiyyah) sendiri adalah tingkatan insan

kâmil dan para waslu-nya, karena otoritas universal Mu-

hammad Saaw. menjadi batin Ilahi. Dalilnya adalah bahwa

Muhammad Saaw. merupakan mazhhar bagi manifestasi

Zat-Nya. Kedudukan ini tidak diberikan kepada nabi

yang lain, dan bahwa nabi-nabi yang lain merupakan

mazhhar bagi manifestasi nama-nama dan sifat-sifatnya.

Oleh karena itu, beliau bersabda, “Adam dan yang

selainnya berada di bawah panjiku.” Diriwayatkan dari

para Imam as, “Kami adalah orang-orang terakhir yang

mendahului.” Ketahuilah, setelah mencapai tingkatan

wâhidiyyah, mazhhar nama-nama Ilahi, dan barzakhiyyah

kedua, tinggallah bagi Nabi Saaw satu tingkatan yang

lain dari mazhhariyyah, yakni maqam au adnî (lebih dekat

lagi), “arsy al-luwiyyah (tahta identitas), dan barzakhiyyah

(perbatasan), pertama; dan bahwa aspek al-luubbî (cinta)

p: 254

yang ditunjukkan dengan firman-Nya, “Aku ingin

dikenal” yang merupakan pangkal perkawinan yang

terjadi pada segala sesuatu dan yang memelihara semua

kemajemukan menjadi penyebab berkumpulnya nama-

nama esensial (nl-asman al-dzîtiyyah) dan kunci-kunci

kegaiban nama-nama pertama (al-awwaliyyah al-asma'iyyah)

dalam al-ahadiyyah dan nama-nama universal otentik (al-

asmâ' al-kulliyyah al-ashliyyah) dalam wahidiyyah, serta dari

terjadinya pertemuan, percampuran, dan perkawinan

di antara nama-nama esensial di dalam ahadiyyah dan

nama-nama universal dalam wahidiyyah. Hati yang bersih

dan suci melahirkan salah satu ahadi-ahmadî jam'î yang

menghimpun antara kesempurnaan dzât dan nama-nama.

Ia merupakan bentuk entifikasi pertama (taʻayyun al-

awwal) dan mazhhar ahadiyyah. Maqam ini disebut maqam

kesatuan dari kesatuan (jam' al-jam“). Tidak ada akhir bagi

kebaikan-kebaikan yang menyertai maqam ini. Dengan

keberadaannya, seluruh tingkatan kewalian (wilayah) ber-

akhir.

Maqam ini dikhususkan bagi Rasulullah Saaw dan

para washi-nya. Dari mereka lahirlah semua mazhhar

penciptaan. Imam Ali as berkata, “Turunkanlah kami

dari Rubûbiyyah, lalu ucapkanlah tentang hak kami se-

mau kalian.” Beliau juga berkata, “Kami adalah rahasia-

rahasia Allah yang disimpan di dalam raga kemanusiaan.”

Diriwayatkan hadis dari Imam Abû Muhammad al-

Askari as, “Para penyaksi segala hakikat naik dengan kaki

kenabian dan kewalian hingga berkata: Kalîm (yakni, Nabi

p: 255

Musa as, penerj.) memakai jubah pilihan, menepati janji

kami. Ruh kudus di taman-taman Shânglúrah merasakan

bâkûrah (buah-buah pertama) dari kebun-kebun kami.” Ini

merupakan rahasia kewalian (wilayahı) mutlak Muhammad

Saw.

Mereka adalah al-'urwah al-wusthân karena maksum.

Keutamaan mereka dibawa dalam wahyu.

Keutamaan dalam asy-Syûrâ dan Hal atâ

serta dalam al-Ahzâb berikutnya diketahui.

2. Rahasia yang terkandung di dalamnya adalah bahwa ia

memiliki tingkatan mw adnâ (atau lebih dekat) dan kesatuan

dari kesatuan. Ia menampakkan diri dalam semua mazhhar.

Eksistensi para nabi yang lain adalah seperti kedudukan

cabang-cabang dan ranting-ranting. Ia memiliki maqam

kekhataman mutlak. Di balik tingkatan ini tidak ada lagi

selain kegaiban mutlak yang terbuka. Bagi pemiliknya, da-

ri pembukaan-pembukaan terdapat pembukaan mutlak,

dari batin-batin terdapat batin ketujuh, dari maqam-

maqam terdapat maqam au adnâ, dari esensi-esensi lembut

terdapat esensi lembut kemanusiaan ketujuh. Rasulullah

Saaw menampakkan diri di dalam mazhhar-mazhluar semua

nabi dan wali sejak Adam as hingga kita sekarang. Bagi

para waslí-nya pun, dari pembukaan-pembukaan terdapat

pembukaan mutlak. Namun, mereka mewarisi maqam ini.

Mereka pun memiliki kemunculan dan tembusan di dalam

segala sesuatu. Hakikat Almadiyyah dan wilayah kulliyyah

Muhammadiyyah memiliki kemunculan dan penampakan

p: 256

diri yang kadang-kadang muncul dalam rupa kenabian

mutlak yang menghimpun antara penetapan syariat

(tasyri) dan taʻrîf (makrifat) dan kadang-kadang dalam

rupa kewalian universal tanpa jubah kenabian, karena

kewalian itu adalah batin kenabian. Wali adalah batin nama

Allah, dan kewalian adalah batin Ilahiah. Perbedaan di

antara keduanya ada dalam kemunculan dan ketersembu-

nyian. Rahasia keutamaan Nabi Muhammad Saaw atas

yang lainnya hanyalah dalam keluasan wilayah kewalian

dan kenabiannya yang mewujud dari sisi kewalian.

Barangsiapa mengetahui hal ini, maka ia mengetahui ra-

hasia keutamaan para Imam yang suci atas para para nabi

yang diutus dan ûlûl'azmi di antara mereka. Diriwayatkan

dari Maulana Hasan al-Askari as, “Pada kami ada

kenabian, kewalian, dan kemuliaan. Kami adalah menara

hidayah. Para nabi mendapat pancaran dari cahaya kami

dan hujjah Allah akan muncul atas semua makhluk.”

p: 257

BAGIAN KEDUA

MANIFESTASI 1

1. Beberapa pendapat tentang ma‘âd akan dijelaskan di

bagian akhir buku ini.

2. Pendapat bahwa kembalinya sesuatu yang sudah tidak

ada (maʼdûm) tidak mungkin terjadi bertentangan dengan

pendapat ini, karena mayat Zayd, misalnya, organ-organ

asalnya tidak sirna. Oleh karena itu, mengembalikannya

pada keadaan semula bukanlah sesuatu yang mustahil.

3. Penjelasan tentang tujuannya dan jawaban atas keraguan-

keraguan terhadapnya akan dikemukakan di bagian akhir

buku ini.

4. Ini merupakan sebaik-baik perumpamaan. Sebagaimana

tidak ada celanya kalau dinding berubah sementara

esensi cahaya terpelihara, demikian pula tidak ada

celanya kalau badan berubah dalam menerima jiwa de-

ngan kepribadiannya. Badan duniawi bukanlah bayangan

yang muncul dari jiwa. Jika tidak, tuntutannya tidak akan

bertentangan dengan tuntutan jiwa. Namun, dalam ma'âd,

badan itu mengalami perubahan dan menjadi seperti

bayangan dan seperti imitasinya yang terbalik. Badan

itu meniru sifat-sifat dan pembawaan-pembawaan yang

terdapat di dalam jiwa, sebagaimana bayangan meniru

sosok dan bentuk aslinya. Ini merupakan penjelmaan

258S

p: 258

amalan-amalan dan perwujudan akhlak yang disebutkan

di dalam syariat yang suci dari para imam dan pemimpin

kita – shalawat atas mereka, dengan berbagai ungkapan.

Lafaz-lafaznya serupa dan maknanya saling menguatkan,

sebagaimana yang tampak dari kajian terhadap kitab-

kitab Hadis. Oleh karena itu, kajilah dan ikutilah. Segala

puji bagi Allah yang telah menunjuki kita dengan hidayah

serta memuliakan kita dengan pencahayaan dari cahaya-

cahaya mereka dan memandu kita dengan cahaya mentari

dan rembulan mereka – shalawat dan salam atas mereka.

Dan juga kepada guru kami, Mîrzâ Hasan an-Nûrî- se-

moga Allah mengekalkan pertolongan kepadanya. Kalimat

“Dan juga kepada guru kami” ditulis oleh orang yang

melakukan penukilan, yaitu Ustadz Aghâ‘Alî Mudarris.

5. Da lam al-Mabda' wa al-Ma'ad disebutkan: ... Termasuk

yang menunjukkan kekekalan jiwa dan bahwa jiwa itu

tetap tepelihara dengan baik walaupun jasad rusak.

6. Dalam al-Mabda' wa al-Ma'ad disebutkan: ... Ia ada pada

kami.

7. Dan syariat-syariat mereka.

8. ... Fardu-fardu dan nafilah-nafilahnya, serta kelompok-

kelompok dari Syar'iyyûn yang tidak mengenal syariat

kecuali tulisannya saja, yang duduk di depan majelis

dan berbicara tentang sesuatu yang tidak mereka kuasai

dengan baik dan berdebat tentang sesuatu yang tidak

mereka ketahui kadang-kadang tentang filsafat dengan

syariat dan kadang-kadang pula tentang syariat dengan

filsafat. Akhirnya, mereka berdiri dalam kebingungan dan

p: 259

keraguan sehingga mereka tersesat dan menyesatkan, te-

tapi mereka tidak menyadarinya. (al-Mabda' wa al-Ma'âd,

hlm. 233).

9. Perkara yang telah diteliti secara mendalam oleh para

pemuka kasyf dan syuluậd.

10. Dalam al-Syawâhid al- Rubûbiyyah disebutkan: Tidak

seorang pun boleh mengatakan kuda berkurang sifat

kekudaannya (hlm. 163, cetakan al-Hijriyyah).

11. Di dalam al-Syawâhid, setelah mengutip ayat itu,

penulisnya berkata, “Sebagian pengaruhnya tidak jauh dari

pemilik perasaan parsial karena kita tidak mengingkari

tiadanya keberbilangan darinya. Tingkatan itu dekat

dengan tingkatan awal kemanusiaan, dikumpulkan ke

sebagian barzakh paling rendah di akhirat.”

12. Di dalam al-Syawâhid disebutkan: Dikatakan kepada

mereka, “Jiwa-jiwa ini, bila semuanya tercetak dengan

sendirinya, dengan pertentangan atas argumentasi-

argumentasi keabstrakan jiwa manusia, bertentangan

dengan dengan mazhab mereka tentang kemustahilan

perpindahan bentuk-bentuk dan aksiden-aksiden dari

suatu tempat ke tempat lain bila ia bersifat abstrak.

Rahmat itu merupakan tuntutan untuk mengantarkan

setiap maujud pada kesempurnaan dan tujuannya, serta

kesempurnaan manusia di alam kedua – baik sebagai

orang yang bahagia maupun sebagai orang yang celaka.

Adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka di

dalam surga. Sementara itu, orang-orang yang celaka, tem-

pat mereka di dalam neraka.” (hlm. 164).

p: 260

13. Di dalam al-Asfâr, cetakan Hijriah, disebutkan: Orang-

orang yang berpegang pada kembalinya bagian-bagian itu

adalah orang-orang yang bertaklid tanpa pengetahuan.

14. Di dalam naskah tulisan tangan disebutkan: Syariat

membenarkan reinkarnasi seperti ini, tetapi tidak

membenarkan yang lain.

MANIFESTASI 2

1. Dalam al-Syawâhid disebutkan: Al-Isyraq kedelapan

tentang hikmah menuntut kebangkitan manusia dengan

semua kekuatan dan organnya.

Bulu pada setiap sayap adalah kekuatan dan cabang-

cabangnya (al-Syawâhid, hlm. 193).

3. Tujuan dari catatan (tanbîh) ini adalah menunjukkan

bahwa manusia yang dinamakan mikrokosmos bersama

makrokosmos adalah sama dalam hal kekayaan dan

tatacara. Oleh karena itu, perhatikanlah.

MANIFESTASI 3

1. Di antara ucapan Galenus tentang penyebab kematian

alamiah adalah munculnya dominasi panas atas cairan

badan sehingga menghilangkan cairan itu. Kemudian,

dengan hilangnya cairan tubuh, badan menjadi rusak; dan

argumentasi mereka yang mendukung pendapat mereka

p: 261

bahwa penyebab kehidupan adalah juga penyebab

kematian tidak bertentangan dengan apa yang telah

kami kemukakan tentang hakikat kematian, karena ada

kemungkinan kesesuaian kedua pendapat ini. Setiap

kelompok merasa bangga dengan kelompok masing-

masing

2. Mereka pun mengira bahwa jiwa dihasilkan dari fisik. Jiwa

menjadi kuat karena kekuatan nutrisi dan menjadi lemah

karena kelemahan nutrisi pula. (Lihat al-Asfâr, hlm. 109).

3. Dalam Hadis Nabi Saaw disebutkan, “Allah menciptakan

badan di akhirat dari tulang ekor yang tersisa dari badan

di dunia.” Barangkali, pengungkapannya tentang rahasia

tulang ekor adalah bahwa bentuk-bentuk barzakh yang

naik adalah bentuk lain yang diperoleh dari badan materi.

Benarlah pengungkapannya dengan “Tulang ekor” yang

merupakan bagian terakhir dari badan. Dalam riwayat

lain disebutkan, “Setiap anak Adam (manusia) akan sirna

kecuali tulang ekornya." Di dalam Tafsîr al-- Askarî, ketika

menafsikan ayat: Lalu Kami berfirman, “Pukulkanlah mayat

itu dengan sebagian organ sapi betina itu," ia berkata, “Mereka

mengambil sepotong, yaitu tulang ekor, yang darinya

Adam diciptakan dan di atasnya ia berkendaraan ketika

dikembalikan menjadi ciptan yang baru.” Penulis buku

ini menjadikan substansi kebangkitan kembali jasad dan

badan bersifat ide (mitsâliyyah). Ia mengatakan bahwa tu-

lang ekor adalah badan itu sendiri yang terdapat di dunia.

Sementara itu, badan-badan di akhirat didasarkan pada

apa yang dikaji olehnya sebagai luput dari materi duniawi

p: 262

yang dapat terkena perubahan. Ruh tidak mungkin kembali

dari barzakh ke dunia dan hubungannya dengan badan

duniawi seperti hubungannya sebelum kematian. Orang-

orang yang berpendapat bahwa kebangkitan kembali

jasad-jasad duniawi tanpa perubahan telah menjadikan

dunia dan akhirat negeri yang sama. Padahal, sudah

pasti, alam akhirat berbeda dari alam dunia ini. Dengan

demikian, badan, menurut pengarang, tegak dengan aspek

fa'iliyyah, yakni ia tak lain adalah badan di barzakh. Beliau

berkata, “Dengan kerusakan badan duniawi, badan itu

adalah badan selama keberadaannya sebagai materi bagi

jiwa. Jika jiwa keluar darinya, maka ia tidak lagi disebut

badan.”

‘Ajb adz-dzanb adalah sesuatu yang menjadi landasan

penciptaan manusia dan ia tidak musnah. Maka Allah

menciptakan dengan penciptaan akhirat atas “ajb adz-dzanb

yang tinggal dari penciptaan ini, dan ia adalah asalnya.

Ucapannya: Menurut Syaikh Ibn al-- Arabî, yang dimaksud

dengan ‘ajb adz-dzanb (tulang ekor) adalah sesuatu yang

menjadi landasan penciptaan di akhirat dan ia tidak

rusak.

MANIFESTASI 4

1. Permusuhan dan pertengkaran bagi manusia merupakan

sumber kebencian, kutukan, kesusahan, dan siksaan yang

pedih. (Lihat al-Syawâhid al-Rubûbiyyah).

p: 263

2. Artinya, segala sesuatu yang menjadi ada tercegah dari

ketiadaannya karena hal itu akan menyebabkan kehilangan

dan keluarnya dari ilmu Allah Swt.

3. Ketahuilah, yang dimaksud dengan kubur, tempat mayat

diberi pahala dan disiksa serta munculnya ketakutan-

ketakutan yang dahsyat setelah alam ini, berdasarkan

riwayat-riwayat yang datang dari para imam yang suci as,

adalah alam barzakh. Di dalam Mir'ât al-'Uqûl disebutkan:

Ular dan kalajengking itu berupa bentuk yang bersifat

ide (mitsâliyyah) yang menggigit jasad yang bersifat ide

atau yang muncul dari dalam kubur.” Dinukil dari guru

kami, al-Bahấ'î: Barangkali, jumlah ular ini sebanyak jum -

lah sifat-sifat tercela berupa kesombongan, riya, hasud,

serta akhlak-akhlak lain dan perilaku tercela. Semua itu

bercabang dan berdahan menjadi jenis yang banyak. Pada

esensinya, semua itu menjadi ular di alam tersebut. Guru

kami, Allamah al-Majlisî, dalam Mir'ât al--Uqûl, berkata,

“Barangkali, yang dimaksud dengan kubur adalah alam

barzakh.” Riwayat-riwayat yang menyebutkan siksaan

kubur sangat jelas seperti yang disebutkannya.

4. Di dalam al-Syawâhid disebutkan: Dan kaki-kaki yang

terikat dengan ikatan syahwat dan kata-kata buruk yang

tercerabut dari atas bumi tidak memiliki keteguhan.

Mereka menundukkan kepala dan tergantung di antara

Farsy dan 'Arsy: Dan [alangkah ngerinya] kalau kamu melihat

ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepala di

hadapan Tuhan mereka. (QS al-Sajdah 32: 12). Tampaklah

bahwa kematian datang dalam sifat-sifat, bukan dalam

esensi. (hlm. 200).

p: 264

5. Yaitu yang senantiasa menerkam dan memangsanya

kalau ia lalai terhadapnya walaupun sekejap.” (Lihat al-

Syawâhid al-Rubûbiyyah, hlm. 200).

6. Dengan kematian, jiwa terpisah dari badan dan tidak ada

satu bentuk badan punyang menyertainya. Pada kematian

ada pemisah dengan perpisahan badan dari negeri dunia.

Yang mengenali esensinya dengan kekuatan imajinasinya

adalah manusia yang dikubur itu sendiri, yang mati dalam

bentuknya sebagaimana keadaannya di dalam mimpi ia

melihat dirinya dalam bentuknya yang ada di dunia. Ia

melihat realitas-realitas itu dengan perasaan batiniahnya

sehingga ia melihat badannya terkubur. Ia juga melihat

siksaan-siksaan dan kepedihan-kepedihan ditimpakan

kepadanya sebagai hukuman yang terindera seperti yang

disebutkan dalam syariat yang benar. Ini merupakan

siksaan kubur. Kalau jiwa itu bahagia, ia mengkhayalkan

dirinya, bentuk-bentuk perbuatannya, akibat-akibat

perilakunya, dan hal-hal lain yang dijanjikan Nabi Saaw.

melebihi apa yang diyakininya berupa taman-taman,

kebun-kebun, bidadari, dan gelas dari mata air. Ini adalah

pahala kubur. Kuburan hakiki adalah seperti ini, serta

siksaan dan pahala yang telah kami sebutkan. (hlm. 201).

p: 265

MANIFESTASI 5

1. Surga itu ada dua, yakni surga ruhaniah dan surga

jasmaniah. Surga ruhaniah terbentuk di dalam tafakur

tentang alam semesta dan diri serta pengamatan yang

mendalam terhadap ayat-ayat Allah Swt, bagaimana se-

gala sesuatu datang dari-Nya, argumentasi dari hal-hal

yang terindera ke hal-hal yang abstrak, bagaimana segala

sesuatu kembali kepada-Nya, bagaimana keberadaan

surga dan neraka, ma'âd, ash-shirâth, dan pengetahuan-

pengetahuan lainnya yang di dunia ini merupakan

benih pemandangan di akhirat. (Dunia adalah ladang

akhirat, dan kehidupan sejati adalah kehidupan akhirat).

Oleh karena itu, Imam al-Shadiq as berkata, “Sekiranya

manusia mengetahui apa yang terdapat di dalam ke-

utamaan makrifat kepada Allah, niscaya mereka tidak

akan menatapkan mata mereka pada apa yang menjadi

kesenangan musuh berupa kesenangan kehidupan dunia."

Sementara itu, surga jasmaniah terbentuk dari perbuatan-

perbuatan shalih berupa shalat, puasa, haji, dan akhlak-

akhlak utama. Karena melakukan akhlak-akhlak utama,

jiwa menciptakan bentuk-bentuk yang bersifat fisik di

dalam wilayah internalnya dan berkumpul bersamanya.

Setelah keluar dari dunia ini, jiwa manusia terlepas dari

kesibukan-kesibukan jasmaniah dan menggabungkan

semua kekuatannya menjadi satu kekuatan. Di akhirat,

ia memiliki penciptaan segala sesuatu yang diinginkan

dengan izin Allah. Dalam menciptakan sesuatu yang

p: 266

diinginkannya itu, ia membutuhkan materi bersifat fi-

sik yang terdapat di negeri gerakan (dâr al-Harakật). Apa

saja yang terlintas di dalam pikirannya menjadi hadir di

hadapannya.

Neraka juga ada dua, yakni neraka ruhaniah yang

bersifat akal dan neraka jasmaniah yang terindera. Neraka

ruhaniah yang bersifat akal terbentuk dari terhalangnya

kekuatan akal dari kesempurnaan-kesempurnaan jiwa dan

ilmu-ilmu hakikat, penentangan terhadap ilmu-ilmu Ilahi

dan makrifat-makrifat yang benar, pengingkaran atasnya,

dan pengingkaran atas adanya mabda' dan ma'âd, keraguan

tentang tingkatan para nabi dan para wali, dan berpegang

teguh pada akidah-akidah yang batil dan pandangan-

pandangan yang sesat. Sementara itu, neraka yang ter-

indera terbentuk karena keberpalingan dari mengikuti

para nabi, ketekunan dalam mengikuti syahwat, dan

kecintaan pada dunia dan perhiasannya. Setelah terus-

menerus melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan

pekerjaan-pekerjaan tercela, jiwa terbentuk dengan rupa

yang sesuai dengan perilaku dan perbuatannya. Ia menjadi

manifestasi bagi bentuk-bentuk ular, kalajengking, dan

racun, dan ia kadang-kadang tidak dibangkitkan dalam

rupa manusia. Ia menjadi bagian dari kelompok setan dan

binatang buas.

Telah ditegaskan bahwa individu-individu manusia,

walaupun berdasarkan penampakan eksistensi dan

kelahirannya berada di dalam satu spesies, dibangkitkan

dan dikembalikan ke akhirat dalam spesies yang ber-

p: 267

lainan. Di dalam Al-Qur'an dan Sunah Nabi Saaw terdapat

isyarat-isyarat yang jelas tentang hakikat ini.

2. Di dalam al-Mabda' dan al-Ma'âd disebutkan: Karena

kelezatan duniawi tidak memiliki hakikat, maka

keharmonisan yang bersifat inderawi adalah hal-hal yang

bersifat kiasan. Oleh karena itu, barangsiapa merindu-

kannya dan terbiasa dengannya, maka ia seperti orang

yang merindukan sesuatu yang tidak ada dan mencari

sesuatu yang batil, tidak menghasilkan buah dan tidak

mendatangkan kebaikan (hlm. 320).

Di bagian akhir buku ini disebutkan makna Thurthârus.

Ustadz al-Muhaqqiq telah mengemukakan makna kata ini

dalam pengantar yang disebutkan di bagian awal buku

ini. Ia telah memenuhi undangan Tuhannya pada tahun

1351 Hijriah Syamsiah.

MANIFESTASI 6

1. Telah dijelaskan pada tempatnya bahwa pengulangan

perbuatan-perbuatan itu, perbuatan baik ataupun

perbuatan buruk, menyebabkan teguhnya pembawaan di

dalam jiwa. Setiap pembawaan dihasilkan di dunia dengan

perantaraan pengulangan perbuatan yang di dalam mala-

kut membentuk sebuah bentuk yang sesuai dengannya.

Penghuni dunia, karena kecenderungan mereka pada

dunia dan perhiasan-perhiasannya, maka di dalam diri

mereka, dengan perantaraan pengulangan perbuatan-per-

p: 268

buatan kebinatangan, muncul bentuk-bentuk binatang.

Pada hari kiamat, mereka dikumpulkan dengan rupa

pembawaan dan niat mereka. Diriwayatkan dari Nabi

Saaw, “Sebagian manusia dikumpulkan dalam rupa kera

dan babi."

2. Beberapa ayat dalam surah at-Takwîr (QS 81) dan surah

al-Infithâr (QS 82)

3. Ucapan beliau “Kiamat tidak akan tegak...” berarti kiamat

dan as-sâ ah tidak akan terjadi selama di muka bumi masih

terdapat manusia paripurna (al-Insân al-Kâmil). Mak-

sudnya, as-sâ'ah tidak akan tiba sementara di bumi masih

ada orang yang mengucapkan kalimat “Allah Allâh”

dengan ucapan yang hakiki. Kemunculan makhluk yang

paling sempurna dalam mengenal Allah, Shâlib Al-Zaman

(yakni : Imam Mahdi – peny.) termasuk tanda-tanda akan

tibanya (s-sâ'ah.

MANIFESTASI 7

1. Dalam Maſânî al-Akhbâr, al-Shadûq meriwayatkan hadis

melalui sanad nya dari Imam al-Shadiq as bahwa Imam as

ditanya tentang ash-shirâth. Beliau menjawab, “[Al-shirâthi]

adalah jalan menuju makrifat kepada Allah. Ada dua

jenis al-shirâth, yakni al-shirâth di dunia dan al-shirâth di

akhi rat. Al-shirâth yang ada di dunia adalah pemimpin

yang harus di taati. Barangsiapa mengenalnya di dunia

dan mengikuti pe tunjuknya, ma ka ia dapat melewati

alshirâth yang

p: 269

merupakan jembatan neraka Jahanam di akhirat. Akan

tetapi, barangsiapa tidak mengenalnya di dunia, maka

kakinya tergelincir di atas al-shirâth di akhirat dan jatuh ke

dalam neraka Jahanam.”

Diriwayatkan dari Imam al-Shadiq as, “Al-shirâth al-

mustaqîm adalah Amirul Mukminin as” Dari beliau juga

diriwayatkan, “Bentuk manusiawi (al-shứrah al-insaniyyah)

adalah jalan yang lurus menuju setiap kebaikan dan jalan

yang terbentang di antara surga dan neraka."

Al-Shadûq meriwayatkan hadis melalui sanadnya

dari Imam al-Shadiq as, “Manusia melewati al-shirâth

dalam dua tingkatan. Al-shirâth lebih tipis dari rambut

dan lebih tajam dari pedang. Di antara mereka ada yang

melewatinya seperti kilat, ada yang seperti lompatan kuda,

ada yang merayap, ada yang berjalan kaki, dan ada yang

bergantung sehingga kadang-kadang neraka mengambil

sebagian darinya dan membiarkan sebagian lainnya."

Diriwayatkan juga bahwa mereka melewati al-shirâth

menurut kadar cahaya mereka. Dalam khabar yang lain

disebutkan, “Al-shirâth tampak pada pandangan pada

Hari Kiamat menurut kadar orang-orang yang lewat di

atasnya."

Karena al-shirâth itu terbentang di atas neraka,

maka setiap orang pasti mendatanginya, karena

kesempurnaannya yang bersifat substansial. Awal

perjalanan spiritual (sulûk)-nya adalah tabiat. Setiap

orang, baik yang bahagia maupun yang celaka, pasti

melewatinya, karena asal Jahanam adalah dari dunia. Asal

p: 270

dan materinya adalah kebergantungan jiwa pada realitas-

realitas duniawi dan perhiasan-perhiasannya.

Ketahuilah, tajallî, dari segi pemutlakan dan ahadiyyah,

menghilangkan semua entifikasi. Tajallî ini diperoleh orang

yang sempurna dalam beberapa keadaan sulûk dan bukan

merupakan maqam bagi mereka. Manusia paripurna dan

para waslu-nya yang maksum dalam semua keadaan me-

miliki maqam karena telah tegaknya kiamat mereka di

dunia ini. Imam Ali as mengabarkan hal ini, “Sekiranya

tabir tersingkap, tidak akan bertambah keyakinanku.”

Hal itu pun ditunjukkan Nabi Muhammad Saaw dengan

sabdanya, “Sekarang, kiamatku telah ditegakkan."

MANIFESTASI 8

1. Yakni hari ketika segala rahasia ditampakkan. Pada hari

itu, hal gaib menjadi nyata, rahasia menjadi terbuka, dan

berita menjelma dengan memiliki rupa. Jika pandangan

orang-orang yang lalai jatuh pada buku catatan itu, mereka

berkata, “Kitab apakah ini yang tidak melewatkan sesuatu

yang kecil dan yang besar melainkan mencatatnya.” Oleh

karena itu, kiamat disebut juga hari ditampakkannya

segala rahasia. Dalilnya adalah bahwa selama jiwa berada

di alam dunia ini karena kesibukannya mengatur badan,

mengarahkannya pada syubhat duniawi, dan memper-

temukannya dengan 'illah-`illah yang secara kebetulan,

ia tidak memiliki kemampuan untuk melihat lembaran

p: 271

catatan dirinya. Namun, setelah ia kembali ke akhirat

dan tidak membutuhkan badan, maka ia merasa cukup

dengan dirinya serta kekuatan-kekuatan yang melekat

padanya, dan bentuk-bentuk yang terdapat di dalam

esensinya. Jika pengetahuannya merupakan hal-hal yang

suci dan perbuatan-perbuatan shalih maka dia memperoleh

ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan. Sebaliknya,

jika pekerjaannya adalah perbuatan-perbuatan buruk

maka dia akan berteriak, "Celakalah aku.” Dan dia akan masuk

ke dalam api yang menyala-nyala. Lembaran catatan amal

perbuatan setiap orang adalah buku catatan yang padanya

tertera amalan-amalan dan perbuatan-perbuatannya. Jika

ia termasuk orang-orang yang suka berbuat kebajikan

maka buku catatannya diberikan dari sebelah kanannya,

tetapi jika ia termasuk orang-orang yang suka berbuat

keburukan maka buku catatannya diberikan dari sebelah

kirinya. Sesungguhnya buku catatan orang-orang yang berbuat

kebajikan [tersimpan] di dalam “Illiyyîn. Tahukah kamu, apakah

*Illiyyîn itu? [Yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh

malaikat-malaikat yang didekatkan. Sesungguhnya buku catatan

orang-orang yang durhaka tersimpan di dalam Sijjîn. Tahukah

kamu, apakah Sijjîn itu? [Yaitu) kitab yang bertulis.

Al-Shadûq-Semoga rahmat senantiasa dilimpahkan

atasnya, meriwayatkan melalui sanadnya dari Hisyâm

bin Sâlim: Aku bertanya kepada Abu Ab dil lah as tentang

firman Allah 'Azza wa Jalla: Dan Kami letakkan tim bang an-

timbangan itu dengan adil untuk hari kiamat sehingga satu jiwa

tidak dizalimi sedikit pun. Beliau menjawab, “Timbangan-

p: 272

timbangan itu adalah para nabi dan para washî.”

Di dalam riwayat lain dari para imam as disebutkan:

“Kamilah timbangan-timbangan yang adil pada hari

kiamat itu."

Ketahuilah, yang dimaksud dengan al-mízân

(timbangan) di sini bukanlah timbangan yang digunakan

untuk menimbang benda-benda fisik yang biasa digunakan

di pasar, sebagaimana lembaran catatan amal perbuatan

itu pun bukan kertas yang berisi tulisan, melainkan jiwa-

jiwa manusia yang pada lembaran eksistensinya tertulis

seluruh perbuatan baik dan buruk, baik yang kecil maupun

yang besar. Di dalam kitab al-Ihtijâj karya al-Thabrâsî

diriwayatkan sebuah hadis dari Imam al-Shadiq as bahwa

beliau ditanya, bukankah perbuatan-perbuatan itu di-

timbang? Beliau menjawab, “Tidak, karena perbuatan-

perbuatan bukanlah benda fisik. Perbuatan-perbuatan itu

hanyalah berupa sifat yang mereka kerjakan. Orang yang

membutuhkan penimbangan sesuatu adalah orang yang

tidak mengetahui bilangan dan berat sesuatu itu. Semen-

tara itu, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi

Allah.” Beliau ditanya lagi, “Lalu, apa makna al-mîzîn itu?"

Beliau menjawab, “Keadilan.” Selanjutnya, beliau berkata,

“Apakah makna firman-Nya: Maka ba rangsiapa yang berat

timbangannya? [Yaitu) orang yang amal kebajikannya lebih

banyak (daripada keburukannya].”

Diriwayatkan dari Ali as, “Kebaikan-kebaikan

memberatkan timbangan, sedangkan keburukan-

keburukan meringankannya."

p: 273

Al-Mizan yang hakiki adalah keadilan Ilahi, yang tidak

berhak diperoleh kecuali oleh manusia paripurna (insân

Kâmil). Manusia paripurna penutup serta anak-cucu dan

para ahli warisnya meliputi semua timbangan. Mereka

adalah para pemilik pengetahuan tentang pandangan-

pandangan yang benar, ucapan-ucapan yang lembut, dan

perbuatan-perbuatan yang indah. Mereka memiliki maqam

kesatuan antara keberhimpunan (jam') dan keberpisahan

(farq), yang merupakan bayangan kesatuan hakiki yang

mencakup ilmu syariat, tarekat, dan hakikat. Oleh karena

itu, mereka para Imam a.s. disebut timbangan perbuatan

(al-mîzîn al-aʻmâl). Pada mereka ada keadilan yang nyata.

Oleh karena itu, mereka memiliki kesempurnaan mutlak

dalam kebaruan dan keqadiman, karena manusia sem-

purna memiliki dua lembaran, yaitu lembaran lahiriah dan

lembaran batiniah. Lembaran lahiriah paralel dengan alam

ini dan lembaran batiniahnya paralel dengan Kehadiran

Ilahi.

3. Al-Muhaqqiq al-'Azhîm al-Mawlâ al-Kâsyânî, dalam

Qurrat al-“Uyûn halaman 493, mengatakan, “Jika kata al-

a'râf merupakan bentuk derivasi dari kata maʼrifah maka

para nabi dan para wali a.s. adalah orang-orang yang

mengenal ('ârifûn) dan yang dikenal (maʻrûfûn) di dunia ini.

Jika al-n-râf berarti al-'urafyaitu tempat-tempat yang tinggi,

maka mereka, karena ketinggian makrifat dan ketajaman

pandangan batin mereka, seakan-akan berada di tempat

yang tinggi seraya memandang orang-orang selain mereka

yang berada pada tingkatan yang berbeda-beda [di bawah

p: 274

tingkatan mereka). Mereka dapat membedakan orang-

orang yang berbahagia dari orang-orang yang sengsara

karena mereka telah mengenal orang-orang itu tetapi jauh

dari mereka di dunia ini."

Ketahuilah, para wali berada di suatu tempat, karena

keterangkatan mereka dari dunia ini dan keterhubungan

mereka dengan al-Mala' al-Aʻlâ, melihat penghuni surga

dan tingkatan-tingkatannya serta penghuni neraka dan

tingkatan-tingkatannya di dunia ini. Namun, tingkatan

para wali dan orang-orang sempurna berbeda-beda

menurut kesiapan, kesempurnaan, dan perilaku spiritual

mereka. Ruh, yaitu jiwa yang lembut, dalam hal

kenaikannya ke al-Mala' al-Aʻlân, alam arwah, dan al-Lauh-

memiliki batin ketiga, yaitu sesuatu yang terbuka bagi

kekhususan mereka. Dalilnya adalah jawaban Zayd bin

Haritsah, seorang sahabat Nabi Saaw, ketika dia berkata,

“Pagi ini aku sebagai seorang Mukmin yang sebenarnya,"

ketika Nabi Saaw bertanya kepadanya, “Bagaimana keada-

anmu pagi ini?" Ia berkata, “Aku seakan-akan memandang

“Arsy al-Rahmân yang tampak." Inilah martabat “Engkau

menyembah Allah seakan-akan engkau melihatnya” dalam

istilah ahli makrifat. Martabat ini merupakan tingkatan

ihsân yang pertengahan. Selain itu, ruh memiliki batin

keempat. Dalilnya adalah firman Allah Swt: “Hamba-Ku

senantiasa mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah

sunnah (nawâfil) sehingga Aku menjadi pendengarannya,

penglihatannya ... (dan seterusnya).” Ruh juga memiliki

batin kelima, keenam, dan ketujuh. Puncak tingkatan ini

p: 275

dikhususkan bagi Nabi kita Muhammad Saaw. dan para

Ahlul Baitnya yang maksum as. Tidak satu tanda pun

darinya terbuka kecuali kepada ahli waris Muhammad

Saaw, karena mereka adalah jalan yang paling agung.

Alias – karena pengetahuannya terhadap tingkatan-

tingkatan itu, pernah ditanya tentang makna ayat: dan di

atas Aſraf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing

dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka, menjawab,

“Kamilah al-A'râf yang Allah tidak dikenal kecuali me-

lalui jalan makrifat kami. Kamilah al-Aſraf yang pada hari

kiamat berdiri di antara surga dan neraka."

Diriwayatkan dari Imam al-Baqir as, “Ayat ini

diturunkan berkenaan dengan umat ini dan orang-orang

yang menjadi pemimpin (imam)dari keluarga Muhammad

Saaw” Beliau juga berkata, “Al-A'râf adalah jalan di antara

surga dan neraka. Para pendosa yang diberi syafaat oleh

para imam akan selamat."

4. Diriwayatkan dari Nabi Saaw, “Di dalamnya terdapat

ular sejumlah hitungan arwah.” Barangkali, kiasan

tentang jurang-jurang barzakh adalah “Kuburan itu bisa

berupa salah satu taman surga atau salah satu jurang

neraka” tempat ruh-ruh berpindah ke sana, dan rahasia

penyifatannya dengan luas dan sempit adalah karena tidak

ada sesuatu yang lebih luas daripada imajinasi. Hal itu

karena jiwa dengan kekuatan imajinasinya mengkonsepsi

sesuatu berdasarkan eksistensinya di alam materi. Di sam-

ping itu, di dalam keluasannya tidak ada penghilangan

makna-makna universal. Ia melihat setiap sesuatu dalam

p: 276

bentuk bayangan konsepsi barzakhinya, berbeda dengan

akal. Akal melihat batin dan makna sesuatu yang luput

dari bentuk. Adapun, rahasia cahaya yang diungkapkan

Imam as adalah jelas. Hal itu karena cahaya tampak

dengan esensinya sendiri dan merupakan penampakan

(mazhhar) sesuatu yang lain. Imajinasi adalah cahaya yang

menampakkan semua bentuk bayangan di dalam alam-

nya. Setiap badan materi duniawi memiliki jantung dan

pokok yang kekal setelah kematian badan. Itu merupakan

bentuk yang khusus ada di barzakh dan badan yang

bersifat ide itu sendiri. Kehidupan badan yang bersifat

ide ini adalah kehidupan esensial. Sumber eksistensi dan

kelahirannya adalah badan materi dan jasmani ini yang

akan sirna. Jika seseorang mati maka seluruh materinya

terlepas. Ia kekal bersama jasad yang bersifat cahaya di

barzakh. Dengan demikian, semua indera manusia setelah

kematian hanyalah dengan bentuk ini.

5. Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd hal.346 disebutkan:

“Penjelasannya adalah bahwa setiap makna rasional dari

alam ibdâ (penciptaan) adalah bentuk alamiah di alam

materi, karena alam-alam itu saling bersesuaian. Penge-

tahuan terhadap sesuatu yang menguatkan jiwa adalah

substansi ruhani. Bentuk ilmiah pada seseorang hanya

dihasilkan setelah dibuangnya bekal-bekal dan perbedaan

dari apa yang digapai indera berupa person-person genus.

Setelah itu, yang kekal adalah bentuk yang tidak berbeda.

Bahkan, jiwa memiliki bentuk yang murni, jernih, dan

dapat digapai akal kejiwaan. Ketika badan menjadi citra

p: 277

dan makanan yang lembut dan lezat maka hubungan

jiwa terhadap badan adalah seperti hubungan ilmu

terhadap jiwa dalam ta'bir yang dikemukakan tentang

ilmu. Dalam hal ini terdapat kisah bahwa seorang laki-

laki datang kepada Ibn Sîrîn. Orang itu berkata, “Aku

bermimpi pada tanganku ada cincin yang dengannya aku

menutup mulut beberapa laki-laki dan kelamin beberapa

perempuan.” Ibn Sîrîn berkata, “Kamu adalah muazin

yang pernah melantunkan azan pada bulan Ramadhan

sebelum fajar.” Orang itu berkata, “Engkau benar." Orang

lain datang kepadanya, lalu berkata, “Aku bermimpi

seakan-akan menuangkan minyak pada zaitun.” Ibn

Sîrîn menjawab, “Jika di dalam kekuasanmu ada seorang

budak yang kamu beli maka telitilah keadaannya, karena

ia adalah ibumu. Sebab, zaitun adalah asal minyak, dan

minyak itu dikembalikan pada asalnya.” Orang ketiga

datang kepadanya dan berkata, “Aku bermimpi seakan-

akan aku mengalungkan mutiara ke leher babi.” Ibn Sîrîn

berkata, “Kamu mengetahui hikmah dari bukan ahlinya."

Peristiwa pun terjadi persis seperti yang dia katakan.

Ta'bir itu, dari awal hingga akhir, merupakan permisalan

yang mengajarkan kepada Anda jalan permisalan. Para

nabi tidak berbicara kepada makhluk kecuali dengan

permisalan, karena mereka ditugaskan untuk berbicara

dengan makhluk menurut kadar kemampuan akal mereka.

Sebagaimana akal makhluk merupakan permisalan

bagi akal-akal yang tinggi dalam hakikatnya, demikian

pula apa yang disampaikan kepada mereka. Hendaklah

p: 278

permisalan-permisalan dari pengetahuan-pengetahuan

yang benar dan kadar akal mereka dalam tidur tidak me-

nyingkapkan sesuatu padanya kecuali dengan sebuah

permisalan. Apabila mereka mati maka mereka terbangun

dan mengetahui bahwa permisalan itu benar. Permisalan

itu artinya memberikan makna pada suatu bentuk. Jika ia

memperhatikan maknanya maka ia mendapatkan kebe-

naran. Sebaliknya, jika ia memperhatikan bentuknya maka

ia mendapatkan kepalsuan. Kadang-kadang khayalan

menggantikan sesuatu yang dilihat di dalam mimpi dengan

sesuatu yang menyerupainya dan sesuai dengannya atau

yang bertentangan, seperti orang yang melihat bahwa

anaknya yang akan lahir adalah anak laki-laki, tetapi yang

lahir adalah anak perempuan, atau sebaliknya. Mimpi ini

membutuhkan tindakan tambahan dalam mena'birkannya.

Kadang-kadang perubahan imajinasi yang ditentukan

dengan jenis tertentu tidak terjadi sehingga bercabang-

lah bentuk-bentuk pena'birannya yang pada akhirnya

menjadi berbeda dengan perbedaan individu, keadaan,

tindakan, musim, serta kesehatan orang yang tidur dan

juga pena'bir. Hal itu tidak diperoleh kecuali dari perkiraan

dan percampuran dalam banyak kesamaran.

6. Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, halaman 348 disebutkan:

“Mungkin, pada beberapa orang hal itu terjadi dalam

keadaan terjaga disebabkan dua hal. Pertama,... (dan

seterusnya).”

Kilat adalah sesuatu dari pancaran cahaya yang pertama

tampak kepada hamba sehingga membawanya masuk ke

p: 279

dalam kedekatan kepada Tuhan untuk berjalan kepada

Allah.

Di dalam al-Mabda' wa al-Ma'âd, hlm. 348 disebutkan:

“Kedua, kering dan panas mendominasi campuran itu

dan ruh yang berupa uap itu berkurang sehingga jiwa

bertindak karena dominasi warna hitam dan lemahnya

hubungan ruh dari materi dan indera. Bersama terbukanya

mata dan pintu-pintu indera yang lain, ia menjadi seperti

orang bingung yang tidak menyadari apa yang dilihat

dan didengarnya. Hal itu karena keluarnya ruh ke sisi

lahir berlangsung lemah. Juga tidak mustahil bahwa

suatu substansi ruhaniah dari alam gaib tampak pada

dirinya. Lalu, hal itu dibicarakan dan mengalir pada

lidahnya seakan-akan ia juga lalai terhadap apa yang

dibicarakannya. Hal ini terjadi pada sebagian orang

gila dan dukun. Mereka membicarakan sesuatu yang

sesuai dengan apa akan terjadi. Ini merupakan satu jenis

kekurangan yang dikira sebagai sebuah kesempurnaan

dan kewalian oleh orang-orang bodoh. Sebab pertama itu

merupakan satu jenis kesempurnaan.”

LAMPIRAN

1.

p: 280

INDEKS

al-kalâm al-nafsî 57

Abd al-Salâm bin Shâlih al- al-Lauh al-Mahfûzh 39, 45,

Harawî 140

46, 57, 58, 142, 144

‘alam al-amr 55

al-Masysyâ'ûn 41

‘Alam al-Amtsál 187

al-Nawâmis 143

al-nufûs al-falakiyyah 44

‘Alam al-Mulk 187

al-qiyâmah al-ku brâ 111

“Ardh 188

al-qiyâmah al-shughrâ 111

Abû Hâmid al-Ghazâlî 96

al-quwwah al-mudrikah 39

Abû Yazîd 35, 36, 37, 46

al-Râghib al-Ishfahânî 153

Abû Zaid ar-Raqrâqî 96

al-sâbiqûn al-muqarrabûn 101

Adam as 64, 65, 66, 83, 256

al-Syawâhid ar-Rubûbiyyah 154

ahadiyyah 27, 28, 118, 193,

al-Ta‘lîqất 33, 232

206, 223, 224, 225, 230,

al-Wajib al-Haqq 40

249, 254, 255, 271

al-Wajib al-Wujûd 40

Ahlul Bait 83, 121, 187

Ali bin Abi Thalib as 45

Al-Amr at-Taklîfî 188

ar-Rawâqiyyûn 41

Al-Amr at-Takwînî 188

Aristoteles 6, 11, 62, 196, 197

al-AqâʻAlî al-Mudarrisî 163 ashhâb al-yamîn 84, 122, 126,

al-Asy'arîyyah 281

127, 168

al-Haqq al-Awwal 9, 14, 20,

42, 43, 54, 179, 212, 214,

241, 243, 246

ashhậb asy-syimâl 84, 126, 168

al-harakahal-jauhariyyahadz-

dzâtiyyah 283

Bahmânyâr 30, 41

al-Haudh 83

al-Isyârât 86, 216

barzakh 106, 133, 134, 135,

144, 145, 152, 157, 158,

R

p: 281

160, 167, 187, 195, 260, Fadhl 191

262, 263, 264, 276, 277 faidh al-muqaddas 192

bashîrah 18, 39

Fanâ 192

bashîrahqalbiyyah 281 farq 157, 274

bi'tsah 58, 105

fatamorgana 65, 154

burhân 48, 68, 210, 213, 225 Fath 49, 87, 88, 192

Burûz 190

Fathimah as 141

Firdaus 148

G

cakrawala 20, 111, 191

D

Dahriyyah 21, 53, 80, 151

dalâlah 282

daur 238, 252

Diogenes 83

dzabhal-mawt 282

dzâtiyyah 113, 224, 254, 255

Galenus 81, 261

gerakan substansial 113, 162,

163, 182, 208, 240

ghairiyyah 206

Ghiyâtsuddîn al-Manshûr 160

Gua Hirâ 58

Gunung Fârân 58

Guru Kedua 41, 196

Guru Pertama 6, 11, 196, 218, 252

Н

egoisme 16,70

eksternal 44, 194

emanasi 54, 193, 214, 242, 250

Empedokles 85

entifikasi 16, 158, 206, 249,

255, 271

esensihewani 282

ether 67

hâdits 49, 61, 242

haqq al-yaqîn 190, 199

Hawariyyûn 83

hayawannathiq 283

hayâlâ al-ûlâ 38, 234

Hermes 85

Hikmah al-Isyrâq 41, 168, 280

Hunain bin Ishâq 143

F

fâ'iliyyah 34, 52, 53, 118, 241,

263

1

Ibn al-'Arabî 97, 263

Manifestasi-Manifestasi Ilahi

p: 282

Ibn Sînâ 40, 232, 239

khayâl 84, 195

Ibnu Mas'ûd 284

khithub 56

idhâfah 204

Kitab Ilahi 14, 15, 62

idrâk 54, 194

kognitif 44, 194, 198

Ighosadimon 85

iluminasi 152

Imam Ash-Shadiq a.s 284 Lauh 39, 42, 45, 46, 57,58, 142,

impresionistik 44, 144

144, 275

insan al-Kâmil 35, 68

Lawâ'ih 195

irâdah 48, 49, 55

Lawâmi 196

Islamolog 97

Israfil 63

M

ittihâd 156, 192

Mâhiyyah 196

makrokosmos 45, 76, 90, 111,

187, 195, 221, 261

jabarût 42, 43

manzil 286

Jahanam 88, 115, 116, 117, materi pertama 38, 54, 61, 67,

119, 127, 132, 135, 139, 96, 198, 234, 236

140, 169, 170, 171, 172, mazhhar 22, 57, 68, 130, 218,

173, 174, 181, 270

227, 228, 234, 235, 254,

jalan spiritual 20, 47, 65, 95, 255, 256, 277

148, 196, 199, 201, 242 mikrokosmos 90, 111, 187,

Jibril as 140, 248

195, 221, 261

jûd 33, 48

mubalaghah 36

juz'iyyât 76

mudrik 39

Muhammad bin´Alî Bâbawaih

al-Qummî 116

Kâ'inât 195

Muhammad Saw 256

kalimât at-tâmmah 54 Muhaqqiq al-Dawânî 161

kamâlât tsanawiyyah 43 muhkamat 57

Khadijah as 141

Muhyiddîn Ibnu ‘Arabî 286

khath al-istiwa' 36

mumkinât 36, 51, 61, 141, 247

K

.

p: 283

N

Musa as 59, 68, 82, 256

parsial 24, 44, 45, 55, 76, 97,

mutak lahmudrikah 97

122, 145, 174, 220, 239,

260

pembalasan 112

Nabi viii, 2, 17, 19, 21, 35, 36, plasenta 112

56, 58, 64, 68, 69, 83, 85, Plato 83, 85, 107, 143, 177, 238,

86, 92, 102, 111, 112, 113, 242

117, 121, 123, 124, 125, Pythagoras 83, 85

131, 132, 133, 137, 140,

142, 172, 173, 181, 187, Q

188, 203, 227, 229, 249, qadar khârijî 43, 44

254, 255, 257, 262, 265, Qais bin `Ashim 121

268, 269, 271, 275, 276 qalam 19, 42, 43, 44, 57, 58,

Nafs 197

235

Namrûdz 123

qisth 155

naskh 84

qudrah 33, 34, 48, 50, 63, 64,

neraka Jahim 78, 95, 125, 135, 100

136, 170, 175, 181

nihilistik 38, 211

R

nûr 10, 22,38

Rabbânî 45, 242

nuthfah 96, 140

rahmah 48

râsikhûn fî al-'ilm 18

rasional 17, 32, 70, 174, 190,

objek pengetahuan 63

194, 230, 253, 254, 277

orang munafik 66

reinkarnasi 85, 86, 87, 88, 89,

orbit 64, 67

110, 152, 153, 159, 160,

163, 166, 167, 261

riyâdhah 11, 205

Padang Mahsyar 109

Rubûbiyyah 64, 154, 178, 184,

pahala 110, 112, 128, 175, 264, 238, 240, 255, 260, 263,

265

265

Paripatetik 41, 152, 242 ruh Ilahi 98

Р

p: 284

universal 7, 24, 43, 44, 45, 49,

Shadr al-Muta'allihîn 178,

76, 87, 92, 143, 154, 163,

197

193, 195, 198, 219, 220,

Shûrah 198

254, 255, 257, 276

Socrates 85, 107, 173, 177

Stoic 41

sulûk mi'raj 107

verbal 85

syahadah 139

verifikasi 245

Syai'iyyah 198

W

Syaikh al-Isyrâqî 152

Syaikh ar-Ra'îs 33, 34, 40, 41, wâhidiyyah 223, 224, 254, 255

53, 81, 239

wasâ'ith al-nûriyyah 53

Syihâbuddîn as-Suhrawardî

Washî 36

34

Washl 198

wilâyah 117, 137, 203, 255,

256

ta'alluq 49

taʻayyun 16, 249, 255

tabir hayûlânî 40

Yahudi 49, 69, 70, 173

Takwîn 198

Yahyâ a.s 131

Tamtsîl 198

Yunani 46

tashawwur 170

Tawahhum 198

The Laws 143

Zabaniyyah 134, 170

Thibâʻiyyah 21, 53

zaitun 73, 152, 278

Thûr Sînâ 59

Zaqqûm 136, 183

zuhud 106

Z

'Uyûn al-Akhbâr ar-Ridhâ 140

Umm al-Kitâb 42, 45, 46, 75,

240

p: 285

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109