21 Nasehat Penghalus Budi- Jilid

Point

عنوان و نام پدیدآور:21 Nasehat Penghalus Budi/ محمدتقی مصباح یزدی

ناشر: بنیاد تعلیم و تربیت امام خمینی ره

زبان:مالایی

مشخصات ظاهری: 2 جلد

موضوع:زندگی - دوستان خوب - نصیحت

p: 1

Jilid 1

Point

22 Nasihat Abadi Penghalus Budi: Buku Pertama

Diterjemahkan dari Pand e Javid (1) karya Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, terbitan

Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini, Musim Dingin 1380 H.Sy/cetakan ke-3

Penerjemah : Abdillah Ba'abud

Penyunting : Ahmad Subandi

Pembaca Pruf : Aos Abdul Gaos

Korektor Teks Arab : Syafrudin

22 Nasihat Abadi Penghalus Budi

Perancang Isi : Pay Ahmed

Perancang Kulit : Zarwa 76

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

Cetakan :1, Juni 2012

Diterbitkan oleh: Penerbit Citra Jl. Buncit Raya Kav.35 Pejaten Jakarta 12510

Telp. (021) 799 6767 Fax. (021) 799 6777

Website : www.iccjakarta.com

e-mail : penerbit_citra14@yahoo.com

ISBN : 978-979-26-0715-4 (no.jil. lengkap)

978-979-26-0716-1 (jil. 1)

p: 2

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI...1

1 NASIHAT SAMAWI...3

Pendahuluan...5

Arti dan Pengertian Wasiat...6

Apa Gunanya Berwasiat kepada Seorang Imam yang Maksum?...6

Sang Pemberi Wasiat...9

Penerima Wasiat (Mukhathab)...15

Motivasi Wasiat...20

2 NILAI - NILAI FUNDAMENTAL...23

Nilai-Nilai Terbaik...24

Takwa adalah Inti Seluruh Nilai...25

Mengingat Allah (Dzikrullah)...27

Berpegang Teguh pada Tali Allah...28

Kelalaian adalah Penyebab Terjadinya Penyelewengan...29

3 BERBAGAI KONDISI HATI (1)...37

Dimensi dan Tingkatan Wujudi Manusia...38

Qalbun Salim...40

Menghidupkan dan Mematikan Hati (Ihya wa Imatatul Qalb)...42

Cara Menghidupkan Hati...44

Cara Menguatkan Hati...48

Hikmah (Cahaya Batin)...53

4 BERBAGAI KONDISI HATI (2)...55

Ketenteraman Hati...57

Hati yang Tenang...58

Sabar dan Tashabbur...59

p: 3

Mendengar Tidaklah sama dengan Melihat...62

Hati yang Dapat Mengambil Pelajaran (Ibrah)...65

5 DARI IBRAH HINGGA GHAFLAH...69

Naik Turun dan Berubah-Ubahnya Kehidupan...70

Para Pendahulu adalah Pelita Petunjuk Jalan bagi Para Pendatang...72

Dunia yang Mana?...73

Berjalan dalam Afaq dan Anfus...76

Dunia Hanyalah Tempat Lewat...78

Antara Dunia dan Akhirat ...79

6 JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN (SABIL AL SA'ADAH)...83

Syarat Utama Kebahagiaan...84

Kerugian Tiada Tara...85

Mundurnya Pemikiran pada Era Pencerahan Ilmu...92

Amar Makruf dan Nahi Mungkar Bukanlah Sebuah Pekerjaan...95

7 JIHAD FI SABILILLAH...99

Kedudukan Tugas dan Tanggung Jawab Sosial...100

Jihad yang Lebih Besar...102

Syarat-Syarat Jihad Ideologis dan Kebudayaan...104

Bahaya-Bahaya Jihad Kultural...108

Syi'ah Sejati...111

8 ILMU DAN AMAL...115

Syarat-Syarat Pelaksanaan Tugas...116

Tashabbur (Melatih Kesabaran) dalam Mendalami Agama...126

Jenis-Jenis Sabar...128

9 PERLINDUNGAN ILAHI...131

Macam-Macam Bahaya...132

Pengaruh Iman Pada Penanggulangan Bahaya...133

Meminta Pertolongan kepada Allah...136

Makna Istikharah...141

Istikharah dalam Pandangan Ahli Syariat...142

Memadukan antara Ilmu dan Amal...147

10 PENDIDIKAN (TARBIYAH)...151

Pesan-Pesan Tak Tertulis...153

Mempertimbangkan Daya Tangkap Mitra Bicara...153

Menghargai Kesempatan...154

Pembenahan (Ishlah) Sebelum Munculnya Penyelewengan (Inhiraf)...157

Berbagai Dimensi Tarbiyah Hati...159

Ciri-Ciri Hati yang Ternoda...162

p: 4

Hati yang Suci dan Bersih adalah Wadah bagi Makrifat...164

Keuntungan Tanpa Susah Payah...165

11 BERBAGAI MANFAAT PENGALAMAN...167

Nasihat dari Seorang Ayah yang Penyayang...169

2Langkah-Langkah Awal dalam Mendidik Pemuda...173

Al-Quran dan Itrah (Ahlulbait as). Telah Tersingkirkan...182

12 MENUNTUT ILMU...185

Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan-Pengetahuan Keagamaan (Ma'arif Diniyah)...188

Syarat-Syarat Menuntut Ilmu...193

13 HAKIKAT DUNIA...199

Dunia dalam Pandangan Awam...201

Pandangan yang Benar tentang Dunia...207

Dunia dalam Pandangan Imam Ali as...210

Berbagai Efek Positif yang Ditimbulkan oleh Pandangan yang Benar...216

14 KEANGKUHAN...219

Fitrah Haus Ilmu (Cinta Pengetahuan)...222

Kesombongan dan Sifat Angkuh adalah Penyakit bagi Ilmu...225

Penyebab Kesombongan...226

Sebab Berkembangnya Benih Kesombongan...230

Pengaruh Keangkuhan pada Perilaku Manusia...233

15 ADAB BERGAUL...239

Neraca bagi Pergaulan yang Baik...241

Manfaat dan Hasil dari Pergaulan yang Baik...243

Cara Berperilaku dengan Neraca Pergaulan (Imam Ali as)...246

Bangga Diri (Ujub) Merupakan Penyakit bagi Pergaulan Sosial yang Sehat...250

Usaha Muspra...253

16 AGENDA HIDUP...257

Mengapa Dunia Dihina?...259

Jalan Kehidupan...261

Bagaimana Cara Kita Menempuh Perjalanan Hidup?...264

Bagaimana Cara Hidup dengan Beban yang Ringan?...266

Memilih Jalan Hidup...269

17 HUBUNGAN DENGAN ALLAH (1)...271

Kelalaian yang Tak Terkira atas Beragam Nikmat yang Tak Terbatas...272

Nikmat Iman dan Mengenal Allah Swt...274

Nikmat Hubungan dengan Allah Swt...275

Nikmat Tanpa Batas oleh Kekuasaan yang Tak Terbatas...279

p: 5

18 HUBUNGAN DENGAN ALLAH (2)...283:

Pengertian Syafaat...285

Rahmat Ilahi Lebih Cepat daripada Keadilan-Nya...292

19 DOA (1)...299

Diundurnya Ijabah Doa...301

Doa adalah Pengakuan Amali atas Penghambaan...302

Neraca Ijabah (Pengabulan)...303

Perubahan dalam Hal-Hal yang Diminta...304

Bersungguh-sungguh dalam Berdoa...306

Alasan Ditundanya Ijabah...307

Apa yang kita Minta dalam Doa?...312

20 DOA (2)...315

Tak Ada Doa Tanpa Ijabah...317

Doa dan Taklif Syar'i...319

Segala sesuatu itu Baik Bila Berada pada Tempatnya...321

Tanggung Jawab Sesuai dengan kemampuan...323

Beragam Kapasitas Takamul Manusia...325

Perjalanan Akhirat...329

21 MENGINGAT KEMATIAN...335

Keyakinan pada Hari Kebangkitan (Ma'ad) dan Pembenahan Perilaku...336

Kematian akan Datang Secara Tiba-Tiba...340

Mengapa Kenikmatan Dunia Harus Kita Anggap Bukan Kenikmatan?...342

Pengaruh Perilaku Sosial terhadap Perilaku Individu...345

Malas atau Zuhud?...347

22 DUNIA DAN AKHIRAT...349

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Manusia Menjadi Hamba Dunia...351

Cara-Cara Penanggulangan agar Manusia tidak Menjadi Hamba Dunia ...353

Berbagai Macam dan Bentuk Penghambaan pada Dunia...359

Kafilah Dunia...361

Perbedaan antara Amal Duniawi dan Ukhrawi...363

CATATAN KAKI...367

p: 6

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI

Nahj al-Balaghah bagaikan samudera tanpa tepian yang di dalamnya tersimpan berbagai permata yang sangat berharga. Kitab yang layak diberi sebutan “saudara al-Quran” ini memiliki beragam dimensi (makna) yang berbeda-beda dan sepanjang sejarah telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan ulama dan cendekia, baik muslim maupun nonmuslim. Sesuai dengan dzawa (cita rasa keilmuan), pemahaman dan potensi dirinya, masing-masing telah mengarungi satu sudut dari samudera ini dan mengambil manfaat dari berbagai kekayaan yang terlihat maupun tak terlihat darinya.

Salah satu dimensi penting dan menonjol dari kitab ini yang relatif banyak ditemukan di dalam materi-materi yang dikandungnya adalah sisi moral dan pendidikan (akhlak dan tarbiyah). Nasihat-nasihat muhim Amirul Mukminin as dalam bidang ini dapat menjadi petunjuk dan penuntun bagi para salik yang haus akan pencerahan rohani dan mencari hakikat-hakikat yang murni dan sejati dalam menempuh perjalanan mereka. Berdasarkan hal ini, seorang guru mulia dan alim berhati terang Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi (semoga Allah memanjangkan umurnya) telah menjadikan salah satu maktubat penting dan sarat nilai

Imam Ali as sebagai acuan dari rangkaian pelajaran akhlak beliau, sehingga

p: 1

dapat menyegarkan jiwa-jiwa yang haus akan pengetahuan ketuhanan (må’arif Ilahiyah) dan nasihat akhlak (mawaizh akhlaqiyah) dari sumber yang penuh berkah ini. Buku ini bukanlah hal lain kecuali wasiat Imam Ali as kepada putra mulia beliau Imam Hasan Mujtaba as yang memuat banyak kandungan makna yang sangat tinggi dan luar biasa. Kini kami bersyukur kepada Allah Swt, karena dapat mempersembahkan kumpulan pembahasan dalam sebuah kitab yang ada di tangan Anda ini kepada segenap pencinta Imam Ali as dan para pengikut jalan wilayah, bertepatan dengan tahun yang oleh Rahbar Hadhrat Ayatullah Khamenei (semoga Allah memanjangkan umur beliau) dinamakan sebagai “Tahun Amirul Mukminin as.”

Mengingat materi-materi kitab ini telah disampaikan dalam bentuk ceramah, tentu tidak dapat disamakan dengan kitab-kitab pada umumnya yang memang sejak awal diniatkan untuk ditulis. Meskipun dalam penulisannya telah dilakukan perubahan atas redaksinya, bagaimanapun juga bentuk ceramahnya tidak sepenuhnya hilang dan sedikit banyak dapat terlihat di seluruh bagian kitab. Perlu diketahui, disebabkan banyaknya materi kitab, maka kitab ini disusun dalam dua jilid, yang tidak lama lagi jilid keduanya juga akan diterbitkan, insya Allah.

Akhir kalam, perlu kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Agha Ali Zinati yang telah melakukan penulisan atas ceramah-ceramah ini dan juga kepada Hujjatul Islam Muhammad Mahdi Nadiri yang telah melakukan penyuntingan akhir atas kumpulan ini.

Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini qs

p: 2

1- NASIHAT SAMAWI

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

مِنَ الْوَالِدِالْفانِ. المُقِرِّ لِلزَّمانِ المُدْبر العُمُرِ، المُسْتَسْلِم لِلدَّهْرِ الذّامِّ لِلدُّنْیا، السَّاکِنَ مَسَاکِنَ المَوْتی، والظّاعِن عَنْها غَداً. إِلَی الْوَلَدِ المُؤَمَّلِ مَالایُدْرَکُ السَّالِکِ سَبیلَ مَنْ قَدْهَلَکَ، غَرَضِ الأَسْقامِ، وَرَهِینَةَ الأَیّامِ، وَرَمیَّةِ المَصَائِب و عَبْدِالدُّنیَا، وَ تَاجِرِالغُرُورِ، وَغَریمِ المَنایا وأَسیرِ المَوْتِ وَحَلِیفِ الهُمُومِ، وَقَرِینِ الأَحْزَانِ، وَ رَصیدِالآفَاتِ، وَ صَریعِ الشَّهَوَاتِ وَ خَلیفَةِ الأَمْوَاتِ.

(Sebuah wasiat) dari seorang ayah yang tak lama lagi akan meninggalkan dunia, yang mengakui kesulitan-kesulitan zaman, yang setiap saat dimakan oleh usia, yang tak berdaya dalam menghadapi waktu, yang mencela dunia, yang

p: 3

tinggal di kediaman orang-orang yang telah mati dan esok dia juga akan pergi (Wasiat ini aku berikan), kepada seorang putra yang berangan-angan atas hal-hal yang tak akan dapat digapai, yang melangkah di atas jalan orang-orang - yang telah binasa (mati), yang menjadi sasaran empuk bagi berbagai macam penyakit, yang terjerat oleh pergantian siang dan malam, yang menjadi target berbagai macam musibah, hamba dunia, pedagang tipuan, yang berutang pada berbagai macam hasrat, tawanan maut, sekutu kecemasan, kawan kesedihan, sasaran malapetaka, yang selalu kalah dengan hawa nafsu dan sebagai penerus orang-orang yang telah mati.

أمّا بَعْدُ فَاِنَّ فِیمَا تَبَیَّنْتُ مِنْ إدْبَارِ الدُّنْیَا عَنِّی وَجُمُوحِ الدَّهْرِ عَلَیَّ وَ إقْبَالِ الآخِرَة اِلَیَّ مَایَزعُنی عَنْ ذِکْرِ مَنْ سوَایَ وَالاِْهْتِمَامِ بِمَا وَرَائی غَیْرَ أَنِّی حَیْثُ تَفَرَّدَ بِی دُونَ هَمِّ النَّاسِ هَمُّ نَفْسی، فَصَدَفَنی رأیی وَ صَرَفَنی عَنْ هَوایَ، وَ صَرَحَ لِی مَحْضُ أَمْری فَأَفْضَی بی إلی جِدٍّ لایُری مَعَهَ لَعِبٌ، وَ صِدْق لاَیَشُوبُهُ کَذِبٌ وَجَدْتُکَ بَعْضِی بَلْ وَجَدْتُکَ کُلِّی حَتّی کانَّ شَیْئاً لَوْ أَصَابَکَ أَصَابَنِی، وَ حَتّی کَانَّ المَوْتَ لَوْ أَتَاکَ أَتَانِی، فَعْنَانِی مِنْ أَمْرِکَ مَا یَعْنِینیِ عَنْ أَمْرِ نَفْسِی فَکَتَبْتُ إِلَیْکَ کِتابِی هذا مُسْتَظْهِراً بِهِ إِنْ أَنَا بَقِیتُ لَکَ أَوْ فَنِیتُ.

Amma ba'd. Sesungguhnya apa yang telah kusadari dari berpalingnya dunia dariku, kekerasan zaman yang menimpa diriku dan semakin dekatnya kehidupan akhirat bagiku, (semua itu) telah membuatku untuk tidak memikirkan selain diriku dan menjadikanku berkonsentrasi pada kehidupan akhiratku. Akan tetapi, sementara aku hanya sibuk memikirkan nasibku dan melupakan yang lain, tiba-tiba ada yang mengubah pandanganku, mengingatkanku untuk tidak hanya memikirkan diriku dan menampakkan apa yang juga merupakan

p: 4

kesungguhan tanpa permainan serta kejujuran yang tidak terkontaminasi oleh dusta. Dan kudapatkan engkau merupakan sebagian dari diriku, bahkan kudapatkan engkau adalah keseluruhan diriku, sehingga apabila sesuatu menimpamu, seakan-akan hal itu juga menimpaku, dan apabila kematian mendatangimu, maka sepertinya kematian itu juga mendatangi diriku. Dengan begitu, maka urusan yang penting bagimu, juga akan menjadi penting bagiku seperti urusanku sendiri. aku menulis risalah ini untukmu sebagai sebuah sarana untuk menolongmu (dalam mencari jalan yang benar), baik di saat aku masih hidup di sisimu atau kelak

meninggalkanmu.

Pendahuluan

Setelah mengambil pelajaran dan beristifadah dari Hadis Mikraj dan berbagai nasihat Ilahi (mawa'izh Ilahiyah) kepada Rasul saw di malam mikraj, dan juga setelah kita terangi hati kita dengan berbagai nasihat Rasulullah saw kepada salah seorang sahabat pilihan dan terbaik beliau, yakni Abu Dzar ridhwanullahi alaih, kini bila Allah Swt berkenan memberikan taufik-Nya, kita akan membahas dan mengambil manfaat serta pelajaran dari wasiat Amirul Mukminin Imam Ali as kepada putra

tercinta beliau Imam Hasan Mujtaba as. Wasiat ini telah dinukil oleh Allamah Majlisi (semoga Allah meridainya) di dalam kitab Bihar al-Anwar(1). dan Harrani juga telah menukilnya di dalam kitab Tuhaf al-Uqul(2) Syarif Radhi juga telah mencantumkan wasiat ini di dalam Nahj al-Balaghah(3) Hadis ini juga dimuat dalam kitab-kitab lain dan di kebanyakan kitab itu lebih banyak disebut sebagai wasiat Imam Ali as kepada Imam Hasan Mujtaba as. Perlu diketahui, pada sebagian sumber disebutkan bahwa wasiat ini ditujukan kepada (putra Imam Ali as yang lain), yakni Muhammad Hanafiyah. Pada pembahasan yang akan datang akan dikaji lebih jauh tentang benar dan tidaknya pendapat ini. Di dalam wasiat ini terdapat berbagai keistimewaan dan kekhususan yang jarang ditemukan pada wasiat-wasiat lain. Wasiat ini sungguh luar biasa dan mempunyai kandungan makna yang sangat tinggi, juga disertai dengan mukadimah khusus yang sulit ditemukan

p: 5


1- 1. Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 74, hal.200.
2- 2 Harrani, Tuhaf al-Uqul, hal. 70.
3- 3 Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah (Kumpulan Khotbah, Surat, dan Aforisma Imam Ali bin Abi Thalib, surat ke-31.

tandingannya di tempat lain. Lebih daripada itu, dalam metode masuk dan keluar dari setiap materinya, telah diperkaya dengan berbagai poin psikologi dan tarbiyah yang sangat mendidik.

Arti dan Pengertian Wasiat

Kata wasiat berarti pesan. Yang dimaksud dengan wasiat di sini bukanlah wasiat dalam istilah fikih, yang hanya berkaitan dengan wasiat pascawafat. Akan tetapi, wasiat di sini tidak ubahnya dengan apa yang diucapkan oleh setiap khatib salat Jumat yang berkata, “Ushikum bi taqwallah.” Tentu khatib salat Jumat tidak bermaksud mengatakan bertakwalah kepada Allah setelah kematianku. Wasiat Imam Ali as ini juga tertuju kepada segenap manusia di seluruh tempat dan waktu termasuk di dalamnya anak-anak beliau. Wasiat inipun tidak hanya ditujukan secara khusus kepada orang-orang yang dekat dengan beliau atau baru dijadikan rujukan setelah kematian beliau. Di dalam wasiat ini, mula-mula Imam Ali as memperkenalkan dirinya dan menjelaskan tentang pribadinya sebagai seorang yang memberikan wasiat. Beliau menjelaskan bagaimana situasi, posisi dan kondisi dirinya serta dengan alasan apa beliau menyampaikan wasiat ini. Lalu beliau juga

menjelaskan tentang pribadi yang menerima wasiat, bagaimana situasi, posisi dan kondisinya. Selanjutnya beliau menyinggung tentang hubungan antara sang pemberi wasiat dan yang menerimanya. Di awal wasiat, beliau menyampaikan ringkasan dari pesan-pesannya, baru kemudian beliau memberikan keterangan secara terperinci.

Apa Gunanya Berwasiat kepada Seorang Imam yang Maksum?

Meski dalam cara penjelasan Imam Ali as terdapat banyak poin mendidik yang perlu untuk direnungkan, namun cara khusus yang beliau gunakan dalam memasuki sebuah tema dan keluar darinya, juga sifat-sifat yang beliau sebutkan bagi pemberi dan penerima wasiat, telah menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami dan menyimpulkan wasiat ini. Sebagai contoh, di dalam wasiat ini, Imam Ali as memberikan

p: 6

serangkaian sifat bagi sang penulis wasiat, yang sepintas tidak pantas disandang oleh seorang Imam yang maksum. Beliau juga menyebutkan - serangkaian sifat bagi si penerima wasiat, yakni Imam Hasan Mujtaba as yang secara zahir tidak sesuai dengan kedudukan beliau sebagai seorang Imam yang maksum. Oleh sebab itu, sebagian lebih menerima riwayat-riwayat dan kitab-kitab yang menyebutkan bahwa si penerima wasiat adalah Muhammad Hanafiyah dan beranggapan bahwa riwayat tersebut lebih dekat dengan kebenaran. Karena di dalam wasiat ini terdapat ungkapan-ungkapan yang dinisbatkan kepada pemberi wasiat dan penerimanya yang tidak sesuai dengan maqam ‘ishmah dan imamah, kecuali apabila dikatakan bahwa si penerima wasiat bukanlah seorang yang maksum. Karenanya, bentuk ungkapan dalam wasiat ini dari satu sisi dapat menyebabkan penyimpulan yng tidak benar dari hadis tersebut. Dari sisi lain, orang-orang yang lemah iman, dapat menjadikan riwayat ini sebagai bukti akan ketidakmaksuman para Imam suci (salam atas mereka) seraya berdalih, bahwa para Imam as tidak mendakwakan kesucian bagi diri mereka sendiri, sementara kedudukan kedudukan (maqamat) yang didakwahkan oleh orang-orang Syi'ah atas para Imam suci tersebut, tidaklebih dari sekadar ghuluw dan puijian yang berlebihan. Karena para Imam sendiri tidak pernah mendakwahkan bahwa mereka mengetahui ilmul gaib ataupun maqam ishmah bagi diri mereka.

Wasiat ini telah membuktikan bahwa para Imam tidak lebih dari manusia biasa, yang melakukan dosa, berbuat kesalahan, bahkan jahil serta tidak mengetahui beberapa hal. Salah satu dalil yang dijadikan sandaran oleh kelompok ini adalah ungkapan-ungkapan awal yang tertulis dalam wasiat ini. Seperti ungkapan tajir al-ghurur (pedagang tipuan, yakni dunia), atau shari' al-syahawat (yang selalu kalah dengan hawa nafsu), kedua predikat ini diberikan oleh Imam Ali as kepada si penerima wasiat, yaitu Imam Hasan Mujtaba as, yang sama sekali tidak sesuai dengan maqam ‘ishmah. Apabila mukhathab (orang yang diajak bicara) adalah seorang Imam yang maksum, maka dapat diyakini bahwa ungkapan tersebut tidaklah benar ditujukan padanya. Karena, ketika Imam Ali as berkata, "Wasiat ini aku berikan kepada seseorang yang selalu kalah dengan

p: 7

hawa nafsunya," maka hal ini akan memberikan arti bahwa mukhathab-ku adalah seseorang yang dalam berperang dengan hawa nafsunya selalu kalah dan takluk. Predikat ini sama sekali tidak sesuai dengan maqam imamah Imam Hasan Mujtaba as. Di sini hanya tersisa dua pilihan, apakah mukhathab wasiat bukan Imam Hasan Mujtaba as, atau sesuai pendapat sebagian orang, bahwa kemaksuman bukanlah sesuatu yang harus bagi para Imam Namun perlu ditegaskan, bahwa kedua kesimpulan di atas tidaklah benar. Kami tidak hendak mengatakan bahwa riwayat (wasiat) ini berpredikat qath’i al-shudur dan benar-benar telah diriwayatkan seperti ini. Akan tetapi, mengingat kandungan makna yang sangat tinggi dan bernuansa Ilahi di dalam matannya, dan telah nukil oleh para ulama besar yang sangat mulia, maka dapat diduga kuat bahwa riwayat ini benar adanya. Dari sisi lain, apabila kita sedikit mencermati kalimat-kalimat dalam wasiat ini, maka kita akan segera dapat memutuskan bahwa kedua kesimpulan di atas sangat jauh dari kebenaran. Karena Imam Ali as hendak menyampaikan wasiat ini dengan cara tertentu sehingga dapat diambil manfaatnya oleh semua orang. Dan, apabila beliau hendak memberikan wasiat sebagai seorang Imam yang maksum kepada Imam maksum

lainnya, maka sudah barang tentu beliau akan menggunakan ungkapan-ungkapan yang sesuai dengan maqam ishmah. Apabila yang terjadi seperti itu, maka dapat dipastikan wasiat itu tidak akan berguna bagi masyarakat pada umumnya. Lebih daripada itu, apabila sedianya Imam Ali as hendak memberikan wasiat yang khusus bagi putra maksumnya, maka sudah barang tentu akan terdapat makna-makna yang sangat dalam dan tinggi, sehingga kita tidak dapat memahami serta memanfaatkan kandungannya. Coba Anda asumsikan, apabila dua orang maksum hendak saling memberikan pesan, kira-kira apa yang akan mereka katakan? Jelas

sekali, apabila wasiat disampaikan oleh dua manusia maksum (suci) yang masing-masing memiliki ilmu Ilahi dan tidak ada hal yang tidak mereka ketahui, maka dapat dipastikan wasiat itu tidak akan berguna bagi selain mereka. Tentu akan dikatakan: Mereka adalah orang-orang maksum yang saling berbincang di antara mereka sendiri, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kita.

p: 8

Yang benar adalah meskipun Imam Ali as menjadikan putra makşumnya sebagai mukhathab dari wasiat, tetapi tujuan utama beliau adalah masyarakat secara umum agar mereka dapat mengambil pelajaran darinya. Bukan tidak mungkin bahwa mukhathab asli beliau justru masyarakat umum dan Imam Hasan sebenarnya tidak memerlukan wasiat tersebut.

Alhasil, menyampaikan pesan dengan cara seperti ini, yang pada awalnya si pemberi wasiat menjelaskan posisi dirinya dan kemudian menjelaskan posisi si penerima wasiat, telah memberikan arti bahwa “aku sebagai Imam maksum tidak sedang berwasiat kepada pengikutku, tetapi aku sebagai seorang ayah yang sudah tua, yang telah menjalani masa hidup cukup panjang dan tidak lama lagi menjelang kematian, hendak menyampaikan sebuah wasiat.” Yang lebih menarik lagi, dengan dijelaskannya sifat-sifat si penerima wasiat, maka wasiat ini sebenarnya tertuju kepada siapa saja yang memiliki sifat-sifat tersebut, walaupun

mukhathab yang disebut adalah Imam Hasan as.

Sang Pemberi Wasiat

Kini harus dijelaskan siapakah gerangan si pemberi wasiat? Imam Ali as telah memperkenalkan dirinya sebagai seorang ayah yang sudah tua yang ajalnya sudah amat dekat. Ayah ini sedang berwasiat kepada putranya yang masih sangat belia dan berada di puncak kekuatan masa mudanya. Ungkapan-ungkapan di awal wasiat, menggambarkan beliau hanya sebagai seorang ayah, seorang ayah yang telah memiliki banyak pengetahuan serta pengalaman tentang kehidupan dirinya dan orang-orang yang telah mendahuluinya. Wasiat ini ditujukan kepada seorang mukhathab yang belum mengerti tentang kesulitan dan berbagai musibah serta rintangan kehidupan yang akan menimpanya, dan mau tidak mau harus dia hadapi dan bercengkerama dengannya. Setiap pemuda yang menyadari bahwa di masa yang akan datang dia akan menghadapi berbagai macam kesulitan dan dia membutuhkan nasihat serta petunjuk yang dapat menerangi jalan hidupnya, maka sudah barang tentu dia akan berkeinginan untuk mengambil petunjuk dari wasiat ini.

p: 9

Namun, seandainya Imam Ali as berkata, “Ini adalah wasiat dari seorang imam maksum Ali Amirul Mukminin kepada putranya yang juga maksum Hasan bin Ali,” maka dapat dipastikan orang lain tidak akan tertarik untuk mendengar atau membacanya. Karena menurut mereka ini adalah perbincangan di antara dua Imam maksum dan tidak ada hubungannya dengan kami. Oleh karena itu, beliau menurunkan posisi dirinya sedemikian rupa dan mengemas wasiat tersebut dalam sebuah

perbincangan yang berlangsung antara seorang ayah tua dengan putra belianya, sehingga seluruh pemuda dapat mengambil pelajaran darinya. Hal tersebut adalah motivasi beliau, agar orang lain dapat memanfaatkan wasiat ini. Karenanya, hubungan antara ayah dan anak benar-benar digambarkan secara jelas, ketika beliau berkata, “Wahai putraku, betapa aku sangat menyayangimu! Sedemikian rupa sayangku padamu, sehingga bahkan ketika seluruh pikiranku terfokus pada diriku sendiri, aku tetap tidak dapat melupakanmu!"

Dalam kehidupan sehari-hari, perhatian manusia telah disibukkan oleh berbagai macam masalah yang merupakan tanggung jawabnya, atau banyak tersita oleh berbagai hal yang dia saksikan dan pahami. Namun meskipun begitu keadaannya, bagaimanapun juga dia tetap tidak dapat melupakan putra dan penggalan jiwanya. Karenanya, beliau berkata, “Kala aku sendiri dan tidak memikirkan yang lain selain diriku, di saat yang seperti itupun aku tetap tidak dapat melupakanmu. Engkau wahai putraku, laksana bagian dari wujudku atau bahkan seluruh wujudku adalah kamu, dan sepertinya engkau tak ubahnya adalah diriku."

Imam Ali as memberikan penjelasan yang seperti itu disebabkan seseorang akan mendengar dengan sepenuh jiwa nasihat dari orang lain, ketika dia merasa yakin bahwa si penasihat sungguh-sungguh menginginkan kebaikan pada dirinya dan memberikan nasihat berdasarkan cinta serta kasih sayang. Engkau juga dapat mencoba hal ini. Sejauh apa engkau memercayai seseorang, maka sejauh itu pula engkau memberikan perhatian pada ucapannya. Apabila engkau menduga bahwa apa yang dia ucapkan berkaitan dengan orang lain (bukan dirimu), tidak peduli apakah yang dia ucapkan itu sesuatu yang baik atau yang buruk, maka

p: 10

disebabkan tidak berkaitan dengan dirimu dan orang yang mengucapkan tidak memikirkan kemaslahatanmu, maka tentu engkau tidak akan serius dalam menyimak dan memerhatikannya; atau bahkan engkau sama sekali tidak tertarik untuk mendengar atau melakukan apa yang dinasihatkannya. Namun sebaliknya, apabila engkau merasa yakin bahwa apa yang dia ucapkan padamu berangkat dari kepedulian dan semata-mata menginginkan kebaikan bagi dirimu, sudah barang tentu engkau akan memerhatikan secara saksama apa yang dia ucapkan, sehingga engkau dapat memahaminya dengan baik lalu mengamalkannya.

Oleh sebab itu, setelah memperkenalkan dirinya sebagai seorang yang sedang menjalani masa-masa akhir hidupnya, beliau memperkenalkan si penerima wasiat sebagai putranya yang masih sangat muda yang di kemudian hari akan menghadapi berbagai macam tantangan, kesulitan dan cobaan, lalu berkata, “Begitu besar rasa sayangku padamu, sehingga aku merasakan bahwa engkau adalah bagian dari diriku, bahkan aku melihat seluruh dirimu adalah aku!” Dengan begitu, si mukhathab ketika membaca wasiat tersebut, akan segera memahami bahwa betapa si pemberi wasiat sangat peduli pada dirinya. Dia akan mengetahui bahwa wasiat tersebut bermuara pada kasih sayang yang tulus. Tentu, ketika seseorang berkata seperti ini kepada anaknya dan menjelaskan beberapa masalah seperti

dalam wasiat ini, apalagi seorang ayah seperti Imam Ali as dan putra seperti Imam Hasan Mujtaba as, maka sangat perlu bagi kita untuk juga menyimak dengan baik wasiat tersebut, untuk kita ketahui rahasia apa yang tersimpan di dalamnya, apa saja yang menyebabkan kebahagiaan manusia dalam hidupnya, sehingga dengan mencapainya kita juga dapat meraih kebahagiaan. Pada hakikatnya, dengan cara penjelasan seperti ini, pertama-tama Imam Ali as hendak menumbuhkan motivasi pada diri mukhathab agar terdorong untuk memberikan perhatian yang lebih pada isi wasiat, baru kemudian beliau masuk pada isi nasihat dan menebar

berbagai mutiara kata.

Sebagaimana yang telah dikatakan, tidak banyak nasihat yang memiliki berbagai keistimewaan yang terdapat dalam wasiat Ilahi ini. Wasiat ini beliau tulis dalam situasi ketika beliau baru saja selesai dari Perang Shiffin

p: 11

dan berbagai kesulitan serta permasalahannya; sebuah perang yang berakhir dengan masalah hakamiyah dan berbagai rentetannya. Pada saat itulah beliau menuangkan seluruh pengalaman hidupnya dalam satu wasiat kepada putranya. Karena hari-hari itu adalah hari-hari terakhir dalam hidupnya dan sedikitpun kesempatan tidak boleh ada yang terbuang, maka semua hal yang beliau dapatkan dalam enam puluh tahun umurnya, beliau berikan kepada sebaik-baik orang, yang merupakan bagian dari wujudnya bahkan merupakan seluruh wujud beliau. Dan siapa lagi yang lebih layak untuk menerima hasil enam puluh tahun umur daripada seorang putra seperti Imam Hasan Mujtaba as(1)

Dalam wasiat yang sangat berharga ini telah diterangkan berbagai masalah penting; di dalamnya telah dipaparkan petunjuk-petunjuk yang paling urgen dan sangat dibutuhkan bagi kesempurnaan kehidupan manusia dengan penuh kecermatan. Harapan kami, mudah-mudahan penjelasan-penjelasan ini menjadikan pembicara, pendengar dan pembacanya, dapat memahami wasiat ini lalu bersungguh-sungguh dalam mengamalkannya, insya Allah. Dalam wasiat ini, Imam Ali as telah menempatkan dirinya sebagai seorang ayah yang sudah lanjut usia dan sedang menjalani masa-masa akhir hidupnya. Tanpa sedikitpun menyinggung perihal imamah, ilmu imamah dan ishmah, beliau langsung menyampaikan nasihat serta wasiat kepada putranya dan berkata, “Wasiat ini diberikan oleh seorang ayah yang sedang di ambang perjalanan menuju akhirat; seorang ayah yang mengakui berlalunya waktu dan berpalingnya (masa hidup di) dunia.” Yang menarik adalah, beliau as tidak berkata, “Ini adalah wasiat dari Ali Amirul Mukminin,” tetapi beliau mengatakan, “Ini adalah wasiat dari seorang ayah yang sudah tua, di ambang kematian, yang mengakui berlalunya waktu ...” Alasannya adalah, agar semua orang dapat menganggap dirinya sebagai mukhathab dari pesan ini. Ungkapan al-muqirri li al-zamân, sedikit tidak jelas bagi kami maksudnya. Ungkapan ini dapat dimaknai sebagai berikut: Setiap manusia tentu ingin memerangi dan menundukkan faktor-faktor yang mengancam kelangsungan hidup

p: 12


1- 4 Catatan Penyunting: Sebagaimana diketahui, Perang Shiffin adalah perang antara Imam Ali dan Muawiyah yang berakhir dengan peristiwa tahkim (arbitrase) antara kedua belah pihak. Dengan tipu daya, pihak Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash berhasil mengecoh Abu Musa Asy'ari, sebagai perwakilan dari Imam Ali. Tahkim diawali dengan pengangkatan mushaf al-Quran dengan pedang dari pihak Muawiyah sebagai perlambang mereka ingin melakukan gencatan senjata dengan berhukum pada al-Quran. Oleh sebagian pengikut Ali, tindakan Muawiyah tersebut merupakan sikap tulus Muawiyah untuk melakukan gencatan senjata sehingga mereka mendesak Imam as untuk melakukan pakta damai. Semula Imam as mengingatkan mereka akan tipu daya Muawiyah tetapi kericuhan semakin membesar sehingga terjadilah peristiwa tahkim, yang dari sana muncul berbagai peristiwa seperti munculnya kelompok Khawarij dan seterusnya.

serta kenyamanannya. Salah satu faktor yang membuat manusia tidak nyaman adalah masalah berlalunya waktu, yang dapat mengubah pemuda menjadi tua renta. Meskipun untuk beberapa saat, kehidupan tetap berlanjut di masa tua, namun bagaimanapun juga pada akhirnya usia akan semakin melemahkan manusia dan menyeretnya pada kematian. Apabila waktu tidak berjalan, manusia akan hidup abadi di dunia. Manusia tidak ingin usianya berkurang dan kehidupannya berakhir. Dia ingin berumur panjang dan hidup abadi, ini adalah tuntutan fitrah setiap manusia. Namun apa mau dikata, berjalannya waktu adalah sebuah realitas yang

tidak dapat dicegah dan dilawan. Mau tidak mau harus diterima bahwa manusia adalah sebuah maujud dengan umur yang terbatas dan cepat berlalu. Karena itu, meskipun kematian adalah sesuatu yang pahit dan manusia berusaha lari darinya, namun dia tidak memiliki pilihan kecuali menerima kematian tersebut. Di sini seorang ayah berkata kepada putranya bahwa dia menerima kenyataan ini dan pasrah pada berjalannya waktu, dia meyakini bahwa roda zaman terus berputar dan tidak ada jalan keluar darinya. Dengan kata lain, arti dari ungkapan al-muqirri li al-zamân adalah tunduk, pasrah dan menyerah pada usia dan masa. Artinya, “aku

menerima kenyataan umur yang terbatas dan pada suatu saat nanti hari-hari ini akan berakhir."

Nah, dengan bersandar pada realitas yang tak terbantah ini, beliau kemudian melanjutkan, “al-mudbiril ‘umur,” yakni seorang ayah yang usianya telah lewat, berlalu dan hampir berakhir; dia akan segera pergi meninggalkan dunia ini dan takkan kembali, dan ayah ini telah pasrah pada waktu. Ungkapan al-mustalimi li al-dahr hampir sama artinya dengan al-muqirri li al-zamân, hanya saja ungkapan al-mustaslimi li al-dahr memuat makna yang lebih tegas dan jelas, seakan menggambarkan keadaan dua orang yang sedang bertarung di medan laga. Salah satu merasa tak berdaya dan hampir kalah. Karena itu, dia kemudian mengangkat kedua tangannya dan menyerah. Keadaan seperti inilah yang dialami oleh manusia terhadap berlalunya waktu. Sebenarnya dia tidak mau menyerah pada waktu dan ingin hidup abadi, namun dalam bertarung melawan waktu, akhirnya dia menyadari bahwa kekalahannya adalah sebuah

p: 13

kepastian yang tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu dia mengangkat kedua tangannya dan menyerahkan diri pada waktu. Kita juga akan menyerah, pergi meninggalkan dunia ini dan tidak ada jalan yang lain. Dengan demikian, yang dimaksud dalam ungkapan al-mustalim li al-dahr adalahorang yang mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah kalah dengan waktu, karena memang dia sadar bahwa dia tidak dapat melawan dan menang dalam bertarung dengannya.

Sebagai seorang pemberi wasiat, beliau kemudian memperkenalkan dirinya sebagai al-dzam li al-dunya, yakni wasiat ini datang dari seseorang yang masa hidupnya telah berlalu dan memandang hina dunia. Seakan beliau hendak berkata, “Usah berharap bahwa dalam wasiat ini, aku akan menyemangatimu untuk meraih kenikmatan dan gemerlap dunia. Akan tetapi, sejak awal sedianya aku telah memandang rendah dunia dan hendak menunjukkan kepadamu berbagai macam keburukannya. Aku adalah seorang ayah yang telah menghabiskan cukup lama waktu hidup di dunia, tetapi dia tidak suka dan benci pada kehidupan di dunia. Dengan begitu, bagaimana mungkin aku mengajakmu untuk suka pada dunia dan menikmati berbagai macam kelezatan di dalamnya selama engkau bisa?!

Tentu, tidak akan seperti itu. Ayah hendak menasihatkan kepadamu, bahwa jangan sekali-kali kamu pernah menilai dunia dengan nilai yang tinggi dan jangan pernah tunduk pada dunia atau mengagungkannya. Aku katakan padamu, bahwa aku mencela dunia, karena sekarang aku berada di sebuah tempat yang sebelumnya telah dihuni oleh orang-orang yang kini telah mati. Ya, aku sedang menjalani hidup di sebuah tempat di mana orang-orang yang dahulu pernah hidup di sana sekarang telah sirna dan tak ada bekasnya, sementara aku sendiri tidak lama lagi akan bergabung dengan mereka. Di bumi ini di tempat di mana kita sekarang berada sebelumnya telah hidup beribu-ribu manusia, namun kini mereka semua telah tiada. Apakah (kamu mengira) bahwa kita, yang kini menempati tempat tinggal mereka, akan hidup abadi?! Pasti kitapun akan mati seperti halnya mereka. Ayah ini adalah seorang ayah yang melihat dirinya dalam situasi dan

posisi yang seperti itu, di sebuah tempat yang kafilah orang-orang mati telah melaluinya dan dia adalah salah seorang di antara mereka. Masing-masing akan berhenti di pemberhentian ini dalam beberapa waktu untuk

p: 14

kemudian kembali mengemas bekal dan melanjutkan perjalanan. Aku akan segera menyusul mereka.” Karenanya, dalam lanjutan wasiat, beliau berkata, “Al-Zhâ'ini 'anhâ ghadân” yakni “Wasiat ini datangnya dari seseorang yang sebentar lagi akan berangkat meninggalkan pemberhentian sementara ini. Kini dia tinggal di pemberhentian kafilah secara temporer, namun tak ubahnya dengan kafilah-kafilah sebelumnya yang telah pergi dan masuk dalam golongan orang-orang yang telah mati, iapun akan pergi meninggalkan pemberhentian ini juga." Dengan keterangan di atas, menjadi jelaslah sosok pemberi wasiat. Oleh sebab itu, apabila seseorang hendak mengetahui pribadi sang pemberi wasiat, cukup baginya menyimak dan mempelajari sifat-sifat ini untuk mengenal lebih jauh tentangnya, baru kemudian menyimpulkan apakah kandungan wasiat itu berguna baginya atau tidak.

Penerima Wasiat (Mukhathab)

Dalam lanjutan pesannya, beliau memperkenalkan si penerima wasiat sebagai berikut, "Wasiat ini aku berikan), kepada seorang putra yang berangan-angan atas hal-hal yang tak akan dapat digapai, yang melangkah di atas jalan orang-orang yang telah binasa (mati), yang menjadi sasaran empuk bagi berbagai macam penyakit, yang terjerat oleh pergantian siang dan malam, yang menjadi target berbagai macam musibah,...“

Ayah ini berwasiat kepada putranya dengan memberikan seluruh pengalaman hidupnya. Seorang anak yang mempunyai berjuta angan-angan dengan gelora jiwa muda yang masih menyala-nyala. Kita semua tahu, bahwa masa muda adalah masa menumpuknya berbagai macam keinginan dan cita-cita. Apabila keinginan serta cita-cita ini tidak ada, tidak akan ada juga aktivitas dan dinamika dalam kehidupan manusia.

Kehidupan manusia telah terjalin kuat dengan angan-angan serta cita-cita.

Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang di masa mudanya adalah akibat dari dorongan yang diberikan oleh harapan serta cita-citanya. Semakin dekat dengan masa tua dan kerentaan, maka aktivitasnya akan menurun seiring dengan berkurangnya angan-angan serta keinginannya. Ungkapan

p: 15

Imam Ali as yang berbunyi, “al-sâliki sabîla man qad halaka gharadh al-asqâm,” dari satu sisi mirip dengan firman Allah dalam al-Quran: inna al-insâna lafî khusrin(1) (sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian), wa kâna al-insânu 'ajúla(2) (dan manusia itu mempunyai sifat tergesa-gesa) atau inna al-insana khuliqa halûân(3) (sesungguhnya manusia itu telah diciptakan bersifat suka berkeluh-kesah), yang mungkin di benak sebagian orang akan menimbulkan pertanyaan seperti: Apakah celaan-celaan yang telah dialamatkan kepada manusia ini, juga meliputi manusia-manusia suci (al-ma'shûmîn) 'alaihim al-salam? Apakah mereka

juga diciptakan dengan sifat tergesa-gesa dan suka berkeluh-kesah? Demikian pula halnya dengan seluruh sifat buruk yang dijelaskan dalam al-Quran berkaitan dengan manusia, apakah semuanya juga meliputi para Imam suci?

Jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut sangatlah jelas, bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat tersebut adalah manusia-manusia biasa dan tentu tidak meliputi insan-insan yang mendapatkan keistimewaan serta bimbingan khusus dari Allah Swt, seperti halnya para Imam suci as. Manusia diciptakan dengan watak dan tabiat yang bersifat tergesa-gesa serta mudah mengeluh. Pada umumnya manusia memang seperti itu. Tentu kita mengerti, ketika Imam Ali as berkata, “Aku berwasiat kepada seorang putra yang mempunyai banyak angan-angan yang tak akan pernah dicapainya atau sifat-sifat lain yang kerendahan serta keburukannnya

lebih kentara,” bukanlah berarti bahwa Imam Hasan as memiliki sifat- sifat tersebut. Akan tetapi, maksud beliau bahwa, "dalam keadaanku yang seperti ini aku berwasiat kepada seorang pemuda juga dalam situasi dan kondisinya. Yakni, aku memposisikan diriku sebagai layaknya manusia biasa yang menjadi ayah dan sedang memberikan pesan serta nasihat kepada putranya yang juga laiknya manusia biasa. Aku adalah seorang ayah yang sudah tua sementara anakku masih sangat muda, aku memiliki segudang pengalaman yang hendak aku bagi dan ajarkan padanya." Dengan demikian, maka menjadi jelas sudah, bahwa dua kesimpulan di atas, bukanlah merupakan kesimpulan yang benar dan tepat. Beliau menggambarkan pribadi yang menerima wasiat sebagai, “...al-Sâliki sabîla

p: 16


1- 5 QS. al-Ashr [103]:2.
2- 6 QS. al-Isra [17]:11.
3- 7 QS. al-Ma'arij [70]:19.

man qad halaka gharadh al-asqâmiwa rahînat al-ayyam wa ramiyyatil mashậib 1... " Yakni, si penerima wasiat adalah seseorang yang sedang berjalan di

jalan orang-orang yang telah mati dan binasa. Kata haláka di sini sama sekali tidak memberikan arti kehancuran dari sisi moral, tetapi kehancuran yang berarti kematian. Kata gharad juga tidak bermakna tujuan, tetapi berarti sasaran dan target bidikan anak panah. Tentu seorang pemuda dalam hidupnya masih akan menghadapi banyak kesulitan, ujian, cobaan, sakit dan lain sebagainya (dari puspawarna serta berubah-ubahnya kehidupan), bagaikan puluhan anak panah yang dibidikkan padanya. Dengan kata lain, setiap pemuda adalah sasaran empuk bagi berbagai macam penyakit dan menjadi sandera pergantian siang dan malam.

Waktu telah menjadikannya sandera dan berbagai macam musibah sedang membidiknya.

Di sini, Imam Ali as memberikan dua keterangan lain untuk memperkenalkan si penerima wasiat, yang menyebabkan sebagian orang mengira bahwa si penerima wasiat adalah Muhammad Hanafiyah, sementara Imam Hasan Mujtaba as sebagai pribadi yang maksum, tidak mungkin menjadi mukhathab dari wasiat ini. Dua keterangan yang dimaksud adalah ketika Imam Ali as menyifati si penerima wasiat dengan sifat ‘abd al-dunyâ wa tâjir al-ghurûr. Kebanyakan orang memandang,

bahwa dua ungkapan ini sungguh tidak sesuai (dengan sosok Imam Hasan as) dan mengandung makna serta pengertian yang sangat negatif, padahal

(kalau kita mau sedikit jeli), ternyata ungkapan tersebut merupakan sifat manusia secara takwini.

Setiap maujud yang tinggal di dunia ini, tentu dia akan terikat oleh faktor serta hukum alaminya. Faktor dan hukum tersebut seakan memiliki, menjadikannya tunduk serta patuh padanya. Terlepas dari berbagai macam perlindungan, pengajaran dan penjagaan Ilahi, manusia secara alami sebagai manusia termasuk para nabi, wali dan seluruh orang beriman, tunduk pada hukum-hukum alam. Setiap perniagaan di dunia adalah perniagaan tipuan. Karena apabila kita perhatikan, apa yang sebenarnya dicari oleh manusia, dengan apa dia melakukan muamalah dan apa yang sebenarnya diharapkan (dari dunia), maka kita akan menyadari bahwa

p: 17

hakikat kehidupan dunia sebenarnya tidak lebih dari sekadar tipuan dan fatamorgana. Yang ada di dunia hanyalah barang-barang tipuan semata. Sebagaimana yang diabadikan dalam firman Allah: wa mål al-hayât al- dunyâ illâ matâ al-ghurûr (Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah barang tipuan semata). Ketika keadaannya seperti ini secara umum, maka setiap orang yang bersinggungan dengan barang-barang dunia, tentu dalam hukum takwini dia dapat diberi predikat sebagai tâjir al-ghurûr (1) (pedagang barang tipuan). Dengan demikian, keterangan yang diberikan oleh Imam Ali as tidaklah dalam rangka mencela si penerima wasiat karena dia telah melakukan perniagaan barang tipuan sehingga berarti dia telah melakukan sebuah perbuatan yang sangat buruk, namun yang beliau maksud adalah bahwa seperti itulah sifat dan tabiat kehidupan di dunia. Ungkapan beliau, hanyalah sebuah penjelasan tentang realitas takwini kehidupan dunia. Benar, dalam rangka memberikan nasihat, haruslah berbicara seperti itu, sehingga mukhathab ketika merenungkan dirinya, maka dia akan segera menyadari bahwa sebenarnya dia adalah seorang pedagang barang tipuan dan tidak lagi mengikat hatinya dengan barang tipuan tersebut. Selanjutnya, beliau menyifati mukhathab-nya, yakni manusia secara umum, dengan berkata, “Wa gharîm al-manâyâ wa asîr al-mawti wa halîf al-humũmi wa qarîn al-ahzâni wa rashîd al-afâti wa sharî'i al-syahawâti wa khalifat al-amwât(yang berutang pada berbagai macam hasrat/kematian, tawanan maut, sekutu kecemasan, kawan kesedihan, sasaran malapetaka, yang selalu kalah dengan hawa-nafsu dan sebagai pengganti orang-orang yang telah mati). Malapetaka, kesulitan dan kematian telah menawannya.

Manusia bagaikan pengutang yang penagihnya tidak akan pernah berhenti mencarinya. Penagih itu tidak lain adalah ajal yang selalu memburu manusia dan tidak akan berhenti hingga mendapatkannya. Maka manusia tiada lain adalah pengutang yang berada dalam cengkeraman penagihnya, yakni kematian, malapetaka dan berbagai masalah serta kesulitan. Ungkapan lain yang oleh sebagian orang juga dianggap tidak sesuai dengan maqam Imam Hasan as adalah ketika Imam Ali as berkata, “... wa qarîn al-ahzâni wa rashîd al-afâti wa sharî'i al-syahawât.” Wahai kau yang masih berusia muda, engkau adalah teman duka, luka, kecemasan dan

p: 18


1- 8 QS. Ali Imran [3]:185.

kesedihan; berbagai macam petaka, cobaan serta ujian akan menimpamu; dan kau akan terkalahkan serta tertawan oleh kemauan-kemauan nafsumu. -- Mereka yang menganggap ungkapan ini tidak sesuai dengan maqam Imam Hasan as berkata, “Dalam keterangan ini, Imam Hasan as digambarkan sebagai seorang manusia yang bangkit berperang melawan nafsunya, namun kalah dan tergeletak tak berdaya. Karena kata shari' diberikan kepada seseorang yang kalah dan terjatuh dalam pertandingan dan pertarungan gulat. Maka sharî'i al-syahawât berarti orang yang kalah dan tak berdaya dalam pertarungan dengan hawa nafsunya, sementara Imam Hasan as bukanlah seseorang yang kalah dengan godaan hawa nafsunya."

Namun, perlu diperhatikan, bahwa keterangan yang disampaikan oleh Imam Ali as telah menjelaskan sebuah hakikat dan realitas. Yakni, Allah Swt telah menciptakan manusia dengan berbagai macam naluri yang menguasainya, sehingga manusia tidak bisa terbebas secara menyeluruh darinya. Apabila naluri-naluri tersebut tidak ada, kehidupan dunia ini tidak akan dapat berlangsung. Karena, naluri-naluri itulah yang membuat seorang manusia dapat bertahan hidup, seperti makan dan minum. Bahkan sebagian naluri itulah yang menjamin kelangsungan hidup umat manusia, seperti naluri biologis. Dan, betapa banyak naluri yang masing-masing menjadi sarana yang dengannya kehidupan manusia bisa berlanjut. Manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga mau tidak mau dia tidak dapat terbebas dari naluri-naluri tersebut secara menyeluruh, bahkan dia tidak dapat menolaknya. Apabila manusia suci dapat terhindar dari jeratan nafsu, tentu hal ini tidak mudah bagi manusia biasa. Hal ini merupakan topik lain yang tidak akan kami bahas di sini. Topik bahasan kita di sini adalah seorang pemuda (biasa) yang mempunyai berbagai macam naluri yang menguasai dirinya dan dia ia tidak bisa lepas dari cengkeramannya. Tentu tidak setiap pemenuhan tuntutan naluri adalah

buruk, bahkan dalam situasi dan kondisi tertentu bisa menjadi wajib hukumnya.

Sifat lain yang diberikan oleh Imam Ali as kepada penerima wasiat adalah khalifah al-amwât. Yakni penerima dan pendengar wasiat ini seperti

p: 19

halnya pemberi wasiat, adalah penghuni tempat tinggal orang-orang yang telah mati; tinggal di kediaman yang dulunya ditempati oleh orang-orang yang kini telah meninggal dunia, dan seseorang yang sekarang menjadi mukhathab dari wasiat ini adalah pengganti bagi mereka. Kita juga sebagai mukhathab (secara tidak langsung) dari wasiat ini juga harus menyadari bahwa kita tinggal di sebuah tempat yang tidak dapat dihuni secara kekal dan abadi.

Semua yang telah dijelaskan di atas bertujuan untuk memperkenalkansiapa yang memberi dan menerima wasiat disertai sisipan poin-poin nasihat yang sangat mendidik.

Motivasi Wasiat

Usai memperkenalkan pemberi wasiat dan sifat-sifat penerimanya, selanjutnya Imam Ali as menjelaskan motivasi penulisan wasiat dan hubungan antara si pemberi dan penerimanya: Amma ba'd. Sesungguhnya apa yang telah kusadari dari berpalingnya dunia dariku, kekerasan zaman yang menimpa diriku dan semakin dekatnya kehidupan akhirat bagiku, (semua itu) telah membuatku untuk tidak memikirkan selain diriku dan menjadikanku berkonsentrasi pada kehidupan akhiratku...

Kala aku menyadari bahwa dunia telah berpaling dariku, masa hidupku telah berlalu dan akhirat semakin dekat denganku, maka hal ini telah membuatku untuk tidak memerhatikan dan memikirkan selain diriku. Keadaan ini juga telah mencegahku untuk menyibukkan diri dengan hal- hal lain. Namun apa boleh buat, ternyata aku tetap tidak bisa melupakan dirimu. Karena setiap aku memikirkan dan memerhatikan diriku bahwa ini adalah waktu-waktu terakhir hidup, terlebih ketika aku mengingat bahwa kehidupan akhirat akan menjelang, kehidupan abadi telah menanti dan aku harus melupakan segala-galanya untuk fokus serta konsentrasi

pada diri sendiri, tetap saja aku tidak dapat mengabaikanmu. Dengan kata lain, ketika aku sedang sibuk memikirkan diriku dan pikiranku berbicara secara jujur serta apa adanya padaku; kala semua kebenaran tampak dan mengemuka; kala aku teralihkan dari godaan hawa nafsu, bersih dari berbagai kotoran jiwa dan tampak jelas apa yang

p: 20

menjadi tanggung-jawabku, dalam keadaan seperti itu aku melihat dirim sebagai bagian dari diriku."

Demikianlah hubungan beliau dengan si mukhathab, beliau berkata, "Kala aku benar-benar sedang memikirkan diri dan urusanku tanpa sedikitpun canda dan dusta (shidqin lâ yasyûbuhu kidzbun), kala itu aku tidak hanya melihat dirimu sebagai sebagian dari diriku, tetapi aku melihatmu sebagai keseluruhan dari diriku.”

Tanpa mencampuradukkan pemahaman bahwa wujud para Imam suci as merupakan satu hakikat dan cahaya, di sini Imam Ali as mengkhithab Imam Hasan dari perspektif seorang ayah yang sedang berbicara dengan putranya dari hati ke hati. Semula beliau berkata bahwa putranya merupakan sebagian dari dirinya yang secara takwini tidak mungkin dapat dipisahkan, namun ketika beliau menyadari bahwa tidak lama lagi beliau akan meninggalkan dunia ini dan si putra adalah penerusnya, beliau kemudian menyimpulkan bahwa “aku sebentar lagi akan pergi dan engkau sepenuhnya akan menggantikan diriku.” Kala itu beliau melihat bahwa

seluruh wujudnya akan digantikan oleh sang putra. Agar wasiat tersebut dapat menarik perhatian penerimanya, maka beliau mengungkapkan semua itu dengan dalih kasih sayang, kepedulian dan semata-mata menginginkan kebaikan bagi sang putra. Begitu besarnya kasih sayangku padamu, sehingga apapun yang aku inginkan bagi diriku, aku juga menginginkan hal itu untukmu. Selanjutnya beliau berkata, “Hatta kaanna syay-an law ashâbaka ashâbani.” Bila ada musibah atau kesulitan yang menimpamu, semua itu seakan menimpa diriku juga. Sedemikian rupa aku melihatmu sebagai diriku, apabila kematian datang padamu, seakan kematian itu juga datang padaku. Singkat kata, apapun yang muhim dan berarti bagimu, hal itu juga muhim dan berarti bagiku.

Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa dalam kehidupan ada serangkaian hal yang dianggap penting oleh manusia, sementara beberapa hal lain merupakan perkara biasa dan tidak terlalu penting, boleh ada dan boleh tidak ada. Berangkat dari pemikiran di atas, Imam Ali as berkata, “Hal-hal yang sangat urgen dan vital bagiku, aku juga melihatnya penting serta vital bagimu. Kini, ketika aku melihat diriku dalam kedaan seperti

p: 21

ini dan kau dalam keadaanmu yang seperti itu, aku tuliskan wasiat ini untukmu dan aku menjadikannya sebagai petunjuk, sandaran dan

pelindung bagimu, baik sekarang saat aku masih berada di sampingmu atau nanti ketika aku sudah pergi meninggalkan dunia ini. Wasiat ini adalah

hasil dari seluruh umurku yang kini aku serahkan padamu." ::

p: 22

2- NILAI-NILAI FUNDAMENTAL

Point

فإنی اُوصِیْکَ بِتَقْویَ اللّهِ یا بُنَیَّ وَ لُزوُمِ أَمْرِهِ، وَ عِمارَةِ قَلْبِکَ بِذِکْرِهِ، وَالاِْعْتِصامِ بِحَبْلِهِ، وَأَیُّ سَبَب أَوْثَقُ مِنْ سَبَب بَیْنَکَ وَ بَیْنَ اللّهِ جَلَّ جَلالُهُ إِنْ أَخَذْتَ بِهِ.

Maka wahai putraku, aku berwasiat padamu untuk bertakwa kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya, hidupkan hatimu dengan selalu mengingat-Nya dan berpegang-teguhlah pada tali-Nya (ketaatan dan penghambaan). Dan ikatan apa yang dapat lebih dipercaya dan diandalkan dibandingkan dengan ikatan antara engkau dengan Tuhanmu (Allah) Jalla Jalaluhu, asal engkau sungguh-sungguh dalam menjalinnya(1).

Sebagaimana yang sudah dibahas, Imam Ali as dalam wasiat Ilahi ini telah memperkenalkan diri dan mukhathab-nya dengan beberapa sifat tertentu, sehingga siapa saja yang memiliki sifat-sifat itu, maka dia juga (secara tidak langsung) dapat menjadi sasaran dari wasiat tersebut. Dari sisi lain, dalam wasiat itu terdapat penegasan hubungan antara pemberi dan penerima wasiat, juga alasan apa yang menjadi motivasi pemberi wasiat untuk berwasiat. Dijelaskannya hubungan yang penuh kasih sayang

p: 23


1- 9 Pada bagian wasiat ini terdapat sedikit perbedaan redaksi dalam penukilannya. Karena tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam arti, maka kami tidak melihat perlu untuk membawakannya.

ini dapat menyebabkan penerima wasiat segera membangun hubungan yang bersifat emosional serta rasional dengan pemberi wasiat ketika dia merasa yakin bahwa si pemberi wasiat benar-benar menginginkan kebaikan baginya. Hal ini termasuk poin yang sangat berperan penting bagi seseorang untuk dapat menerima nasihat serta anjuran dengan sepenuh hati. Setelah mendapatkan kepercayaan dan penerimaan dari si pendengar, tibalah saatnya bagi beliau untuk menjelaskan nilai-nilai hakiki kehidupan yang dengannya hati dan akal manusia dapat menjadi terang dan tercerahkan.

Nilai-Nilai Terbaik

Pertama-tama beliau menyampaikan wasiatnya secara ringkas dan global. Hal ini termasuk salah satu dari keistimewaan dari wasiat ini. Dalam setiap poin globalnya terkandung banyak nilai tarbiyati yang amat tinggi. Ketika seseorang tidak memiliki banyak waktu untuk menelaah seluruh isi wasiat, cukuplah baginya untuk menelaah ringkasan dari wasiat ini yang tidak lebih dari satu lembar halaman dan memahami maksudnya. Lebih daripada itu, apabila seseorang di awal telah mengetahui topik-topik sebuah kitab atau risalah secara global, dia akan lebih siap untuk memahami dan mengingat bahasan-bahasan detailnya. Di awal, beliau menyampaikan serangkaian nasihat pendek dan ringkas, selanjutnya adalah keterangan serta rincian dari poin-poin ringkas tersebut. Dalam nasihat yang ringkas, beliau mendasarkan serta menekankan wasiatnya pada tiga nilai pokok dan fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu takwa, mengingat Allah dan berpegang teguh pada tali Ilahi. Jelas sekali, penerima wasiat ini bukanlah seseorang yang asing atau tidak tahu menahu mengenai Islam dan iman, tetapi dia adalah seseorang yang diasumsikan telah beriman kepada Allah, menerima kebenaran ajaran Islam dan dasar-dasar pokoknya, meskipun belum mendapat bimbingan secara sempurna. Karenanya, beliau tidak memulai pesannya dengan, “Bahwa engkau harus mengetahui, mengenal dan menyembah Tuhan.” Meski dalam rincian wasiat nanti, beliau menyampaikan beberapa keterangan berkaitan dengan makrifatullah, namun karena

p: 24

telah diasumsikan bahwa penerima wasiat adalah seseorang yang telah beriman kepada Allah dan meyakini dasar-dasar agama serta dharuriyyat-nya, maka dalam bagian nasihat yang global ini beliau tidak menyentuh masalah makrifatullah. Akan tetapi, di awal beliau justru berpesan tentang takwa kepada Allah, yang selalu menjadi topik utama ajaran serta nasihat semua kitab samawi dan merupakan pesan dari para rasul, nabi dan para wali-salam atas mereka semua. Sehingga, siapapun yang menjadi Imam dan berbicara dengan masyarakat, dia berkewajiban untuk menyampaikan pesan takwa kepada mereka, walaupun masa kebersamaannya dengan masyarakat hanyalah sebentar. Sebagaimana dalam masing-masing khotbah Jumat dan salat lain yang ada khotbahnya, imam salat Jumat

harus menyampaikan pesan takwa kepada pendengar khotbahnya, karena pesan takwa merupakan rukun dari khotbah tersebut. Apabila pesan tidak disampaikan, akan dianggap kurang dan tidak sempurna.

Takwa adalah Inti Seluruh Nilai

Kata takwa dan berbagai pecahannya telah banyak dimuat dalam ayat-ayat al-Quran. Salah satu nilai yang paling tinggi dalam sistem nilai Islam adalah takwa, atau dapat dikatakan bahwa takwa adalah inti dan dasar bagi semua nilai. Allah Swt berfirman: inna akramakum ‘indallâhi atqakum,(1) yakni satu-satunya ukuran kemuliaan bagi hamba di sisi Allah adalah takwa dan tidak ada nilai lain yang dapat menggantikannya. Oleh sebab itu, sangatlah wajar apabila topik pertama yang disampaikan oleh Imam Ali as kepada mukhathab wasiatnya adalah takwa. Karena, dia adalah inti dari semua pesan dan nasihat. Kita telah membahas takwa di berbagai kesempatan. Untuk itu, di sini kita hanya akan membahas secara ringkas saja. Dalam wasiat ini, beliau berkata, “Fa ushîka bi taqwallâhi wa luzûmi amrihi (aku berwasiat padamu untuk bertakwa kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah- Nya).” Takwa mempunyai banyak makna. Kadang kata takwa berarti

menjauhi dosa-dosa dan kadang berarti menjaga seluruh hukum syar'i, baik wajibat maupun muharramat. Apabila yang dimaksud dari takwa adalah cuma menjauhi dosa-dosa, dalam hal ini harus dikatakan bahwa

p: 25


1- 10 QS. al-Hujurat [49]:13.

kalimat luzûmi amrihi telah di-'athafkan pada taqwallâhi, karenanya arti" *ma'thufdan ma'thuf'alaih menjadi berbeda. Arti takwa di sini adalah hanya meninggalkan dosa-dosa dan menjauhi maksiat, sementara maksud dari luzîmi amrihi adalah menjaga tugas-tugas Ilahi dan kewajiban-kewajiban taklifi, yang seorang mukalaf harus mengikat diri dengannya. Dengan kata lain, taqwa adalah meninggalkan yang dilarang dan luzûmi amrihi berarti melaksanakan perintah dan kewajiban. Namun, apabila yang dimaksud adalah arti umum takwa yang meliputi melaksanakan perintah serta menjauhi larangan, maka dalam hal ini kalimat luzûmi amrih merupakan ‘athaf khash pada ‘am, yakni di awal beliau berpesan tentang takwa secara umum, lalu berpesan secara khusus tentang luzîmi amrihi (melaksanakan

perintah-perintah Allah). Ada juga kemungkinan makna lain yang tidak begitu kuat, yaitu kata amr di sini tidak dimaksudkan sebagai amr tasyri'i, melainkan amr

yang berarti urusan atau pekerjaan. Amrullah yakni pekerjaan dan urusan Allah. Dengan begitu, arti luzûmi amrihi adalah, “Lakukanlah pekerjaan-pekerjaan (bernuansa) Ilahi dan tinggalkan hal-hal yang tidak mempunyai warna Ilahi.” Alhasil, pesan pertama yang disampaikan oleh Imam Ali as adalah menjaga takwa. Satu pesan ini telah merangkum dan meliputi seluruh nilai yang mulia dalam Islam dan semua agama Ilahi.

Mengapa beliau mengawali pesannya dengan takwa? Tentu karena takwa merupakan pusat dan sentral bagi semua nilai yang mulia. Di samping itu, apabila mentalitas takwa dan takut kepada Allah tidak ada pada diri seseorang, orang tersebut tidak akan mencapai apa-apa. Seseorang yang tidak mengindahkan hukum-hukum Ilahi dan tidak mengikat dirinya dengan menjalankan yang wajib serta meninggalkan yang haram, maka dia tidak akan sampai kemana-mana. Manusia yang dalam hidupnya mempunyai karakter tidak peduli dan tidak patuh pada norma-norma kebaikan, dia akan kehilangan makna dan arti dari hidupnya. Syarat utama

dalam perjalanan takamul (penyempurnaan diri) seorang manusia, adalah ditentukannya sebuah neraca dan pedoman atas perbuatan dan perilaku,

sehingga dengannya dia dapat mengontrol tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Ketika hendak meniti jalan kesempurnaan diri, seorang manusia harus bisa

p: 26

terlepas dari jeratan dan kendali nafsu yang liar. Karena apabila seseorang masih dikuasai oleh hawa nafsunya dan mematuhi apapun yang menjadi tuntutannya, dia tidak akan dapat meningkatkan kualitas kesempurnaan dirinya. Dengan demikian, langkah pertama adalah kontrol diri dan dari sinilah Imam Ali as memulai wasiatnya.

Mengingat Allah (Dzikrullah)

Pesan utama beliau yang kedua adalah mengingat Allah Swt yang dapat membuat hati menjadi tenang. Karenanya beliau berkata, “Wa ‘imârata qalbika bi dzikrih (hidupkan hatimu dengan selalu mengingat-Nya). Dan, sebagaimana nanti Anda akan saksikan dalam lanjutan wasiat Ilahi ini, masalah hati akan menjadi topik sentral dalam semua pembahasannya. Di awal, beliau hanya berbicara tentang masalah menghidupkan hati dengan zikrullah. Beliau hendak mengatakan bahwa hati (qalb) manusia bisa hidup dan bisa mati, bisa sehat dan bisa sakit dan bisa menjadi baik serta bisa menjadi buruk.

Dari keterangan beliau, dapat disimpulkan, bahwa hati mempunyai kehidupan dan kematian yang khusus baginya. Sungguh luar biasa, bahwa hati mempunyai sebuah kehidupan dan juga kematian, sebagaimana hati juga harus mempunyai ketenteraman serta ketenangan dalam menerima beberapa kesulitan. Hati juga mempunyai kemampuan untuk meyakini serangkaian hakikat dan kebenaran. Sudah barang tentu, tak seorangpun mau keberadaannya sia-sia dan tak berarti, seperti tanah yang tandus tidak ada air, tanaman dan tak terurus. Setiap manusia pasti menginginkan keberadaannya dapat berguna dan berarti; dia ingin hidup,

tumbuh, berkembang dan berbuah. Hati manusia, laksana sebuah kawasan yang dapat menjadi subur dan makmur, sebagaimana hati manusia juga berpeluang untuk menjadi sebuah kawasan yang tandus dan hancur. Dengan kata lain, hati manusia dapat menjadi seperti rumah atau istana yang megah dan mewah, sebagaimana juga dapat menjadi sebuah gubuk reyot yang rusak dan hancur. Masalah ini sepenuhnya kembali kepada manusia itu sendiri, apakah dia akan menjadikan hatinya seperti rumah rusak dan tanah tandus ataukah menjadikannya seperti istana megah dan

p: 27

tanah yang subur lagi menghasilkan. Alhasil, Imam Ali as dengan indah telah berkata, "Hidupkanlah hatimu!” Beliau juga telah menyinggung cara untuk menghidupkan hati dalam jangka pendek, yaitu dengan cara menyibukkan hati dengan mengingat Allah (dzikrullah). Apabila zikrullah tidak terdapat dalam hati, hati akan rusak dan menjadi seperti tanah yang tandus, gersang dan tidak dapat memberikan hasil. Karenanya harus diketahui, bahwa hati adalah sebuah maujud dan hakikat yang dapat hidup dengan zikrullah dan tanpanya dia akan hancur. Di sini, kita tidak akan membahas secara khusus tentang hakikat hati (qalb), seperti apa yang dimaksud dengan hati? Bagaimana roh manusia serta kekuatan-kekuatan jiwa manusia disebut sebagai hati?(1) (Yang ditekankan oleh Imam Ali as dalam wasiat ini, adalah), “Jagalah hatimu tetap hidup dan baik, jangan sampai rusak dan hancur, dan satu- satunya jalan untuk itu adalah dengan menghidupkan zikrullah dalam hati."

Berpegang Teguh pada Tali Allah

Pesan pokok ketiga yang disampaikan oleh Imam Ali as adalah, “Wa’tashimu bi hablihi.” (Berpegangteguhlah pada tali Allah!) Arti kata i'tisham adalah berpegangan. Yakni, ketika seseorang berpegangan atau menempel pada sesuatu, maka keadaan itu disebut dengan i'tisham. (Dalam bahasa Arab), adakalanya sebagai ganti kata i’tisham, digunakan juga kata istimsak atau tamassuk, seperti yang tersebut dalam sebuah ayat, “Fa qad istamsaka bi al-'urwah al-wutsqa,(2) yang arti istimsak di sini sama dengan arti yang diberikan oleh kata i'tisham. Adapun kata habl bermakna tali.

Yang perlu dikaji pada bagian ini adalah: Pada saat apa manusia akan menempel dan berpegangan pada tali? Kapan dia merasa perlu untuk menempel dan berpegangan pada tali? Ketika seseorang hendak naik ke atas, maka dia akan berpegangan dengan tali yang akan membantunya untuk naik. Demikian pula halnya dengan seseorang yang bergantung dan khawatir akan jatuh, dia perlu untuk berpegangan pada sebuah tali agar tidak terjatuh. Singkat kata, ketika seseorang merasakan bahaya

p: 28


1- 11. Untuk informasi lebih berkaitan dengan masalah hati, Anda dapat merujuk pada kitab Akhlaq dar Quran, jil. 1, hal.239-266, karya Ustaz Muhammad Misbah Yazdi.
2- 12 QS. al-Baqarah [2]:256.

akan jatuh, dia memerlukan tali yang dapat menyelamatkan dirinya agar tidak jatuh. Karena dia sadar, selama dia berpegangan pada tali, maka dia tidak akan terjatuh. Demikian pula halnya apabila seseorang hendak mendaki puncak kesempurnaan diri, dia perlu sebuah sarana untuk menaiki tingkatan-tingkatan kesempurnaannya. Jadi, ketika beliau berpesan, “Berpegang teguhlah pada tali Ilahi,” artinya bahwa kamu dalam keadaan dan posisi yang sangat berbahaya, hampir jatuh dan binasa, dan apabila kamu hendak selamat dari bahaya ini, kamu harus berpegangan pada tali yang kuat, yang dapat menyelamatkanmu; apabila ini tidak kamu lakukan, engkau pasti akan terjatuh. Ketika diberikan perintah kepada manusia untuk berpegangan pada tali Ilahi, maka hal itu adalah sebuah peringatan baginya bahwa dia dalam keadaan bahaya dan harus berjaga-jaga agar tidak terjatuh. Seperti halnya seseorang dalam keadaan tergantung di atas dan hampir jatuh, sehingga diberi peringatan agar berhati-hati.

Mungkin kita belum pernah dihadapkan pada situasi di mana kita akan terjatuh dari tempat yang tinggi atau dihadapkan pada situasi yang sangat berbahaya. Tentu keadaan tergantung pada tempat yang tinggi itu sangatlah menakutkan atau apabila kita membayangkan bahwa diri kita berada di tepi lembah yang sangat curam dan dalam keadaan hampir jatuh dan tidak ada orang yang dapat menolong kita. Dalam keadaan seperti itu pastilah rasa takut yang luar biasa akan menguasai diri kita dan kita akan berusaha mencari sesuatu yang dapat kita pegang yang dapat menyelamatkan kita dari terjatuh ke dasarnya. Atau, apabila seseorang berada di dalam mobil yang hendak jatuh ke dalam jurang, tentu mereka yang di dalam mobil tersebut akan berusaha berpegangan pada sesuatu agar bisa selamat dan tidak terjatuh.

Kelalaian adalah Penyebab Terjadinya Penyelewengan

Seorang mukmin senantiasa harus merasa dalam bahaya, karena di bawah kakinya ada neraka dan lembah api yang setiap saat dia bisa terjatuh ke dalamnya. Dia bergantung di angkasa, di mana satu sisinya adalah malakut dan rahmat Ilahi, sementara sisi lainnya adalah lembah api dan siksa abadi, dan tidak ada jaminan untuk tidak jatuh ke dalamnya. Manusia

p: 29

berada di tepi jurang, sebuah jurang yang mengakibatkan kesengsaraan dan azab abadi. Bila yang benar itu adalah bahwa pascakematian semuanya akan berakhir, tentu kita tidak akan menghadapi masalah yang besar seperti ini. Namun, kenyataannya adalah bahwa sedikit kesalahan melangkah dalam kehidupan dunia, maka risikonya adalah azab yang kekal. Kebanyakan manusia, apabila ditimpa oleh sebuah masalah dan kesulitan yang berat, dia segera mengharap kematian agar terbebas dari beban masalah; dia akan berkata, “Seandainya aku sudah mati lebih dahulu, aku tidak akan tertimpa oleh masalah ini! (Terlepas dari apa yang akan

terjadi atasnya setelah kematian? Bagaimana dan apa yang akan menimpa dirinya?).” Begitu dia merasakan derita-derita berat kehidupan, maka dia akan segera mengharap kematian. Bahkan, mereka yang beriman kepada Allah akan berucap, “Ya Allah, segera ambil nyawa kami, sungguh kami sudah tidak tahan lagi!” Semua ini dia lakukan lantaran sudah sangat tidak tahan memikul derita dan rela pada ketentuan Ilahi. Karena dirasa sangat berat baginya, maka dia mengharap kematian. Dia sudah kehilangan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi derita dan kesulitan dunia, sehingga dalam pandangannya kematian jauh lebih mudah dan tidak menyakitkan. Dalam perhitungannya, menghadapi kematian serta berbagai peristiwa yang akan terjadi pascakematian, jauh lebih ringan daripada

derita kehidupan dunia.

Dalam rangka menjelaskan derita-derita abadi hari kiamat yang tiada henti, al-Quran mengutip keluhan dari lisan ahli jahannam, berkata, “Wa nâdau yâ mâliku liyaqdhi ‘alainâ rabbuka... (1) Yakni, kepada penjaga neraka mereka berkata, "Wahai Malik, lakukan sesuatu agar Tuhan segera menyelesaikan urusan kami (mematikan kami)!” Sedemikian tidak tahannya mereka pada siksa neraka, sehingga mereka memohon kepada Malik untuk melakukan sesuatu agar Allah segera menyudahi kehidupan mereka. Dengan kata lain, mereka hendak berkata, “Biarlah kami mati, agar selamat dari siksa yang teramat pedih ini!” Akan tetapi, mereka akan mendengar jawaban, “Innakum mâkitsûn,(2) di sini tidak ada kematian dan kalian akan tinggal di neraka dan mendapatkan siksa Ilahi untuk selama-lamanya. Bagaimanapun juga, kebanyakan dari kesulitan duniawi-ukhrawi kita, adalah sebagai akibat dari kelalaian serta ketidakpedulian kita. Karena

p: 30


1- 13 QS. al-Zukhruf [48]:77
2- 14 QS. al-Zukhruf [43]:77.

kita tenggelam dalam kelalaian, maka kita tidak sadar dan khawatir akan derita dan bahaya yang mengancam. Dalam berbagai tulisan dan ceramahnya, ada beberapa kata yang sering Imam Khomeini (rahimahullah) gunakan. Di antaranya adalah kata tawajjuh (artinya: memerhatikan). Apabila kalian mencermati tulisan dan ceramah beliau, kalian akan mendapati bahwa beliau sering kali mengatakan, “Oghoyon tawajjuh dosyteh bosyid ... (yakni, perhatikan dan cermatilah!). Tentu ada rahasia yang tersimpan di balik sering digunakannya kata tawajjuh; karena banyak kesulitan dan masalah yang timbul akibat kelalaian dan kurangnya perhatian (tawajjuh). Apabila kita memerhatikan (tawajjuh) dan menyadari, bahwa setiap saat ada kemungkinan kita terjatuh dalam lautan api abadi, tentunya kita tidak akan

terlena dan bersikap tenang-tenang. Tentu kita tidak akan lagi menjalani hidup ini dengan tenang dan santai. Apabila seseorang mau sedikit lebih cermat dalam berpikir tentang hal ini, akan muncul ruhiyah dan semangat dalam hidup yang sangat menbangun. Berbagai tangisan, doa dan munajat, hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tawajjuh. Apabila ada sedikit tawajjuh, jeritan-jeritan (munajat) di malam hari akan terwujud. Karenanya, apabila kita tidak merasakan derita, sebabnya adalah karena memang kita tidak memiliki tawajjuh tentang bahaya besar apa saja yang sedang kita hadapi. Apabila seseorang menyadari dan memerhatikan bahwa kehidupan dunia baginya seperti bergantung pada sebuah ruang di atas yang di bawahnya adalah lautan api yang menyala-nyala, yang kobarannya bermuara pada hawa-nafsu manusia, tentu hal pertama yang terlintas dalam pikiran dan hatinya adalah mencari sesuatu yang dapat

mengikat serta menahan dirinya agar tidak terjatuh ke lembah api tersebut.

Mencari sesuatu yang dapat menjadi pegangan bagi manusia adalah hal terpenting setelah tawajjuh.

Jika keadaan ini benar-benar kita pikirkan, maka sesuatu yang paling urgen untuk dilakukan manusia, tidak lain adalah berpegang-teguh pada tali Allah (i'tisham bi hablillâh). Al-Quran, Rasul saw dan Ahlulbait as telah berulang-ulang menjelaskan masalah yang serius ini sambil menunjukkan jalan keluarnya, seperti halnya saran dan anjuran yang diberikan kepada

p: 31

umat manusia agar berpegang teguh pada tali Allah, atau seperti dalam ayat: fa qad istamsaka bil 'urwat al-wutsqa, (1) atau ayat: wa man yuslim wajhahu ilallâh wa huwa muhsinûn fa qad istamsaka bil“urwat al-wutsqa. (2) Kata urwah berarti pegangan dan yang dimaksud adalah sesuatu yang kuat yang dapat dijadikan tempat bergantung dan menjadi pegangan bagi manusia agar tidak jatuh. Pegangan pada bejana atau ceret juga disebut dengan 'urwah, karena dengannya kita dapat mengangkat ceret dan bejana tersebut. Manusia membutuhkan bagi keamanan dirinya agar tidak terjatuh dari pegangan yang wutsqa (kuat), yakni sebuah pegangan yang telah dipastikan memiliki kekuatan yang tak tertandingi. Seseorang yang hendak terjatuh, sangatlah wajar apabila dia mencari pegangan yang telah diyakini kekuatannya, yang dapat menyelamatkan dirinya dari kejatuhan yang pasti. Kebutuhan ini adalah kebutuhan alami (fitri) manusia. Apabila seseorang mempunyai sikap tawajjuh dan menyadari kebutuhan ini, tentu dia akan mencari sarana yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Allah juga telah memberitahukan kepada manusia dan berkata, "Untuk selamat dari bahaya yang besar ini, engkau harus bergantung serta berpegangan pada tali yang kokoh, dan tidak lain tali itu adalah tali Ilahi yang dapat menyelamatkanmu. Tali-tali yang kekuatannya seperti sarang laba-laba, bukanlah tali yang layak untuk dijadikan pegangan. Bila engkau hendak meraih kebahagiaan, engkau tidak dapat meraihnya dengan perantara jaring laba-laba yang lemah. Apabila engkau takut jatuh, engkau tidak bisa selamat dengan berpegangan pada jaring laba-laba, karena wa inna awhana al-buyûti labait al-'ankabut (serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba).(3) Faktor dunia dan sarana-sarana duniawi bagi keselamatan manusia, tak ubahnya seperti sarang laba-laba. Hanya ada satu sarana dan perantara yang dapat menyelamatkan manusia yang sangat kuat dan kokoh, yaitu tali Ilahi (hablullah) yang tidak akan putus dan tidak bisa diputuskan. Pada hakikatnya, tali yang kuat dan dapat dijadikan pegangan ini adalah hubungan yang kuat antara manusia dengan Tuhannya. Apabila

manusia menyadari hubungan ini dan memperkuatnya, sebenarnya dia telah berpegangan pada tali yang tidak akan pernah putus. Al-Quran

p: 32


1- 15 QS. al-Baqarah [2]:256.
2- 16 QS. Luqman [31]:22.
3- 17 QS. al-Ankabut [31]:41.

menegaskan, “La (i)nfishậma laha, (1) yakni tali ini tidak akan pernah terputus. Namun apabila manusia berpegangan pada tali yang lain,

cepat atau lambat tali itu akan terputus. Tentu, tali-tali non-Ilahi secara keseluruhan cepat terputus dan tidak bertahan lama, hanya saja kita sering memandang sesuatu yang cepat berlalu sebagai sesuatu yang bermasa panjang, sementara dalam neraca Ilahi segala sesuatu hanyalah sebentar saja, seperti yang ditegaskan dalam sebuah ayat, “Innahum yaraunahu ba'idan wa narâhu qarîbân(2) (artinya: Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh, sementara Kami memandangnya dekat). Alhasil, untuk meraih berbagai macam keinginan dan harapan, ada banyak sarana duniawi yang kita anggap bisa mengantarkan kita pada semua keinginan itu dan menyelamatkan kita dari bahaya. Padahal, kita lupa bahwa hanya ada satu sarana yang dapat menyelamatkan kita, yaitu sarana dan faktor

Ilahi (jalan Allah).

Jalan Allah sendiri memiliki berbagai macam substansi.

Karenanya, hablullah di dalam ayat wa'tashimû bi hablillahi jamî'an(3) telah ditafsirkan ke dalam berbagai makna yang secara keseluruhan merupakan substansi-substansi dari hablullah. Substansi-substansi hablullah adalah al-Quran, Islam, Rasul saw dan Ahlulbait as. Wilayah para Imam suci as adalah

substansi-substansi dari hablullah. Apabila hablullah ditafsirkan pada cahaya-cahaya suci ini, al-Quran dan Islam, maksudnya adalah sekadar menunjukkan substansi, sementara esensinya adalah hubungan dan ikatan dengan Allah Swt. Apabila manusia ingin selamat, dia harus menjalin hubungan dengan Allah Swt. Ketika Rasul saw dan Ahlulbait as menjelaskan sesuatu, maka menerima, memerhatikan dan menggunakannya akan terhitung sebagai membangun hubungan dengan Allah Swt. Apabila sampai kepada kita sebuah keterangan dari al-Quran, menerima dan mengamalkannya juga terhitung sebagai i'tisham bi al-qur'an yang berarti i'tisham bi hablillah dan menjalin hubungan dengan Allah. Apapun yang berkaitan dengan-Nya, akan berarti jalinan hubungan dengan-Nya. Habl (tali) di sini juga berperan sebagai penghubung dan pengikat, yang mengikat sesuatu dari tempat dimulainya perjalanan hingga ke tujuan akhirnya. Kadang sebagai ganti kata habl digunakan juga kata sabab, yang

p: 33


1- 18 QS. al-Baqarah [2]:256.
2- 19 QS. al-Ma'arij [70]:6.
3- 20 QS. Ali Imran [3]:103.

mengandung arti sama. Sabab dalam bahasa berarti tali dan penghubung, yakni perantara yang menghubungkan sesuatu dengan lainnya, dan inilah arti yang sebenarnya dari sabab. Mungkin firman Allah Swt yang berbunyi, "Wabtaghù ilaihil wasîlah (dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya),(1) mempunyai arti yang umum sehingga mencakup makna sabab dan habl sekaligus, dan bertawasul kepada Rasul dan para Imam as juga merupakan salah satu substansi wabtaghû ilaihil wasîlah. Maksudnya, untuk membangun hubungan dengan Allah, kita harus mencari jalan dan perantara. Jalan ini adalah jalan yang telah ditentukan oleh Allah sendiri sehingga dengan perantara itu kita dapat membangun hubungan dengan- Nya. Dan tentu, untuk meraih keselamatan, manusia harus bersungguh-sunggh dalam mencari sabab dan wasilahnya. Oleh karena itu, Imam Ali as setelah kalimat wal i'tisham bi hablillah, berkata, “Wa ayyu sababin awtsaqu min sababin baynaka wa baynallâhi jalla jalaluh (dan ikatan apa yang dapat lebih dipercaya dan diandalkan dibandingkan dengan ikatan antara engkau dengan Tuhanmu (Allah) Jalla Jalaluhu). Benar, perantara apa yang lebih kuat dari perantara yang menghubungkanmu dengan Tuhanmu?! Ya, mau tidak mau kita harus menemukan perantara dan berpegang teguh pada tali untuk mendapatkan petunjuk, dan tali mana yang lebih kuat dari tali yang menghubungkan antara hamba dengan Tuhannya?! Wujud dan keberadaanmu adalah esensi hubungan dengan Allah. Jika kehendak Allah dan hubungan dengan-Nya tidak ada, dirimu dan seluruh semesta juga tidak akan ada.

Esensi dan pokok keberadaanmu secara takwini terkait erat dengan Allah Swt.

Segala keberadaan bergantung penuh pada kehendak-Nya. Kalau begitu, ikatan apa yang bisa lebih dari keberadaan itu sendiri?! Adakah sesuatu yang nilainya lebih tinggi atau ikatannya lebih sempurna dibandingkan dengan ikatan antara manusia dengan Tuhannya, sehingga manusia perlu untuk mencarinya sebagai sarana yang dapat mengantarnya pada tujuan yang diinginkan?! Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, Imam Ali as pertama berpesan tentang takwa, lalu berpesan tentang mengingat Allah dan pada puncaknya mengarahkan kita pada titik yang sama sekali tidak

p: 34


1- 21 QS. al-Maidah [57:35.

boleh diabaikan dengan Allah Swt agar dapat selamat dari berbagai bahaya dan Allah-lah yang senantiasa melindunginya. Perlu diketahui, bahwa Allah tidak

* memberikan perlindungan (khusus-Nya) kepada setiap orang secara jabriy, tetapi Dia akan melindungi orang-orang yang berpegang teguh pada-Nya. Ini adalah hukum dan sunnah Ilahi. Karena dunia ini bukanlah alam deterministik. Di alam ini telah ditentukan agar manusia memilih sendiri jalan keselamatan dan bahagiaannya. Apabila engkau mau menerima dan berpegang teguh pada tali Ilahi, Dia akan menjaga dan melindungimu. Jika engkau berpaling, Dia juga tidak akan mengejarmu atau memaksamu untuk berjalan di jalan hidayah. Dalam al-Quran, Allah Swt telah berfirman, “Falaw syâ-a lahadâkum 'ajma'în(1) (maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya). Lafaz “law” di sini adalah untuk imtina' atau biasa disebut dalam istilah “law imtina'iyah,” yang memberikan arti bahwa Allah tidak akan memberi hidayah secara paksa atas kalian. Apabila engkau ingin mendapatkan hidayah, engkau harus mengulurkan tanganmu agar ditarik oleh-Nya dan diberi petunjuk. Di alam ini, semua manusia telah mengulurkan tangan mereka ke sana ke mari, namun mereka lalai atau tidak mengetahui, kepada siapa seharusnya tangan mereka diulurkan dan dipautkan. Imam Ali as menjelaskan, “Ikatan apa yang dapat lebih dipercaya dan diandalkan dibandingkan dengan ikatan antara engkau dengan Tuhanmu (Allah) Jalla Jalaluhu. Jika manusia mengaitkan dirinya dengan tali Ilahi, sebenarnya dia telah mengaitkan dirinya pada sarana keselamatan yang paling kuat. Bila dia meninggalkan tali Allah dan hubungannya dengan Allah, (bila

akhirnya dia tidak selamat), tidak ada yang patut disalahkan melainkan dirinya sendiri.”

Dalam peribahasa Persia dikatakan, “Gar gedo kohil bud, taqshire shohibkhuneh cist? (Artinya: Bila pengemis itu adalah pemalas, apa salahnya tuan rumah?)

Manusia harus memohon kepada Allah Swt agar diberi taufik untuk dapat berpegang teguh dengan tali-Nya..]

p: 35


1- 22 QS. al-An'am (6):149.

Syarat utama dalam perjalanan takamul (penyempurnaan diri) seorang manusia, adalah ditentukannya sebuah neraca dan pedoman atas perbuatan dan perilaku, sehingga dengannya dia dapat mengontrol tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Ketika hendak meniti jalan kesempurnaan diri, seorang manusia harus bisa terlepas dari jeratan dan kendali nafsu yang liar. Karena apabila seseorang masih dikuasai oleh hawa nafsunya dan mematuhi apapun yang menjadi tuntutannya, dia tidak akan dapat meningkatkan kualitas kesempurnaan dirinya.

p: 36

3- BERBAGAI KONDISI HATI (1)

Point

فَأَحْیِ قَلْبَکَ بِالْمَوْعِظَةِ، وَ أَمِتْهُ بِالزُّهْدِ، وَ قَوِّهِ بِالْیَقینِ، وَ نَوِّرْهُ بِالْحِکْمَةِ.

Maka hidupkan hatimu dengan nasihat (maw'izhah), matikan dia dengan kezuhudan, kuatkan dia dengan keyakinan dan terangi dia dengan hikmah! T opik bahasan kita adalah surat wasiat yang ditulis oleh Imam Ali as di akhir masa hidupnya untuk putra beliau Imam Hasan Mujtaba as. Pada bagian awal surat wasiat ini, beberapa nasihat pendek telah diberikan sebagai ringkasan dari keseluruhan isi wasiat. Laiknya seorang penulis, yang dalam sebuah pasal pendek di awal kitab membawakan ringkasan isinya, baru kemudian masuk dalam perincian di pasal-pasal berikutnya, dalam surat wasiatnya, Imam Ali as juga memakai cara ini.

Sampai di sini, beberapa kalimat dari bagian awal surat wasiat yang merupakan ringkasan dan gambaran umum darinya, sedikit-banyak telah dijelaskan. Kini tibalah saatnya untuk menjelaskan beberapa kalimat berikutnya dari surat wasiat Ilahi ini.

Pada bagian ini, Imam Ali as menjadikan hati sebagai pokok bahasannya dan memberikan beberapa penjelasan seputar hati manusia.

p: 37

Cara ini ditempuh disebabkan jalan untuk kebaikan (shalah) dan perbaikan (ishlah) manusia adalah melalui perbaikan pada hatinya. Bahkan hakikat manusia itu tidak lain adalah hatinya. Apabila seseorang hendak dekat dengan Allah, dia harus mencapai tujuan itu dengan melalui jalan hati. Apabila dia hendak membersihkan dirinya dari berbagai kotoran, dia harus menyucikan hatinya dari berbagai kotoran. Singkat kata, hatilah yang mempunyai dan memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Karena pada bagian ini hati merupakan topik utamanya, ada baiknya bila diberikan sedikit penjelasan seputar pengertian hati.

Dimensi dan Tingkatan Wujudi Manusia

Jika istilah dimensi (bu’d) dapat dibenarkan, dapat juga dikatakan bahwa manusia mempunyai berbagai dimensi wujudi. Manusia mempunyai raga dan roh. Roh sendiri mempunyai beberapa sifat atau tingkatan khusus. Serangkaian tingkatan bersifat vertikal dan serangkaian yang lain bersifat horizontal. Bila kita perhatikan, kita telah menisbatkan berbagai macam hal pada manusia, seperti memahami, mengenali, mencintai dan berbagai keinginan serta keadaan batin lainnya.

Secara keseluruhan dapat dikatakan, bahwa apa yang kita nisbatkan pada manusia dapat dibagi dalam tiga kategori (ma'qulah).

a. Hal-hal yang berhubungan dengan raga manusia, seperti apa yang terjadi dalam tubuh manusia dengan perantara otot dan saraf. Hal-hal ini bila (terkadang) dinisbatkan pada roh, karena roh berperan dalam memberikan rangsangannya sehingga dianggap sebagai kerja roh. Apabila dikatakan bahwa roh mempunyai faktor pelaku (quwwah ‘amilah), hasil kerjanya akan tampak dalam hal- hal yang bersifat ragawi.

Hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan, pengenalan, ilmu dan pemahaman. Mungkin istilah yang paling mencakup semua makna ini adalah ilmu, baik ilmu hudhuri, syuhudi-qalbi ataupun hushuli dengan seluruh bagiannya. Bagaimanapun juga, beberapa makna di atas termasuk dalam hal-hal yang kita nisbatkan pada

roh kita.

p: 38

dan ketertarikan. Dalam psikologi, berbagai hal tersebut dibagi dalam beberapa kategori seperti' emosi, sensasi dan reaksi, misalnya perasaan takut, cinta, memusuhi, berharap, rindu, benci, suka, duka dan sedih, Serangkaian perasaan ini memang tidak disebut sebagai ilmu, tetapi semua itu tidak akan terjadi tanpa

pemahaman. Sebagai contoh: Seseorang tidak dapat takut, kalau dia tidak mengetahui bahwa dirinya takut atau tidak mengerti bahwa dirinya takut. Setiap orang yang merasa takut, pastilah ketakutannya terkait dengan pengetahuan dan pemahamannya. Memang benar, bahwa rasa takut bukanlah ilmu, namun bukan

berarti tanpa pemahaman. Atau cinta, juga bukan ilmu, namun dia juga tidak akan terwujud tanpa pemahaman dan pengetahuan. Yakni, tidaklah mungkin manusia mencintai seseorang, tetapi dia tidak tahu apakah dia mencintainya, atau memusuhi seseorang, tapi dia tidak tahu apakah dia memusuhinya. Benar, bahwa ilmu

dan pengetahuan sendiri mempunyai beberapa aras dan tingkatan, namun pada semua tingkatannya, baik yang sadar, tidak sadar atau setengah sadar, masing-masing mempunyai suatu bentuk pemahaman tersendiri.

Oleh karenanya, dalam sebuah keterangan singkat, dapat dikatakan, hal-hal yang dinisbatkan pada roh adalah pemahaman, kecenderungan dan perbuatan, yakni pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan roh dalam raga yang berkaitan dengan perbuatan, sama sekali tidak kaitannya dengan hati. Tidak ada ayat, riwayat dan dalil yang menyatakan bahwa hati manusia berperan dalam pertumbuhan fisik manusia, atau memberi nutrisi pada tubuh manusia. Berbagai aktivitas dalam tubuh manusia yang dinisbatkan pada roh ini, sama sekali tidak dapat dinisbatkan pada hati. Adapun dua kategori yang lain, yaitu pemahaman dan kecenderungan, tentu dapat dinisbatkan pada hati. Dengan kata lain, mulai dari ilmu hudhuri sampai pada ilmu-ilmu dan pemahaman-pemahaman yang lain, juga berbagai perasaan, emosi, sensasi serta reaksi, semua itu dapat dinisbatkan pada hati. Dalam al-Quran, di samping lafaz qalb, lafaz fuad juga digunakan,

p: 39

meskipun substansi dari keduanya sama. Jika Allah Swt di dalam al-Quran berkata, “Mâ kadzaba al-fuadu-mâ ra'a (Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya).(1) Yang dimaksud dengan penglihatan di sini, tentu penglihatan hati (ru'yah qalbiy). Ilmu ini adalah ilmu hudhuri, syuhudi dan

bathiniy, yakni hati yang melihat. Dengan begitu, hati mempunyai semacam pengetahuan dan pemahaman dari jenis ilmu dan pandangan yang bersifat hudhuri. Atau pada tempat lain, Imam Ali as pernah berkata, “Lâ tudrikuhul ‘uyun bimusyahadatil ‘iyan wa lakin tudrikuhul qulubu bi haqai'iqil iman (Allah tidak dapat dijangkau dengan indra penglihatan, tetapi Dia dapat dijangkau oleh hati dengan hakikat-hakikat keimanan).(2) Yakni, hati dapat melihat Allah dengan semacam ilmu hudhuri dan syuhudi. Adapun penisbatan hal-hal yang bersifat emosional dan sensasional pada hati, merupakan hal yang telah diterima dan disepakati dan penisbatannya pada hati sudah sangat populer. Dalam al-Quran, banyak hal seperti ini yang telah dinisbatkan pada hati. Kata “hati” mungkin dapat dikatakan sama dengan kata qalb dan fuad dalam bahasa Arab. Kita telah banyak menisbatkan beberapa perkara pada hati, seperti bila kita katakan, “Hatiku ingin”, “hatiku suka”, “hatiku rindu”, “hatiku gembira”, “hatiku sedih”, “hatiku kecewa” dan sebagainya. Beberapa ungkapan ini juga telah digunakan dalam bahasa Arab pada lafaz qalb. Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa kata qalb mempunyai dua kriteria yang berbeda: (1) ilmu dan pemahaman dan (2) kemauan dan kecenderungan. Sebagaimana pengetahuan, ilmu, pengenalan dan sejenisnya dapat dinisbatkan pada hati, maka hal-hal seperti ketertarikan, kemauan, kecenderungan, baik yang positif seperti cinta, atau yang negatif seperti benci, semuanya dapat juga dinisbatkan pada hati.

Qalbun Salim

Dengan memerhatikan keterangan di atas, dapat dikatakan bahwa hati adalah maujud yang mempunyai dua hakikat yang berbeda. Dengan kata lain, hati adalah maujud yang di samping melakukan berbagai pekerjaan, juga mengalami berbagai macam keadaan. Dapat juga dikatakan, bahwa hati sepertinya diciptakan untuk memberi pengaruh dan terpengaruh.

p: 40


1- 23 QS. al-Najm (53):11.
2- 24 Imam Ali, Nahj al-Balaghah, khotbah ke-178.

Seperti halnya mata, yang diciptakan untuk melihat, dan apabila tidak melihat maka dia akan disebut buta atau cacat mata, hati juga harus melihat berbagai hal, mendengarnya, bereaksi dan mengalami berbagai macam keadaan. Sebagai misal, ada serangkaian hal yang harus disukai dan serangkaian hal lain yang harus dibenci. Yakni, hati harus mempunyai serangkaian kecenderungan, sebagaimana dia harus mempunyai berbagai macam pandangan. Nah, apabila sebuah hati memiliki apa yang harus dia miliki, dia dapat disebut sebagai hati yang sehat (salim). Al-Quran menyebutnya sebagai qalbun salim.(1) Namun, apabila ada hati yang tidak memiliki apa yang seharusnya dimiliki, tidak mengetahui apa yang seharusnya diketahui, tidak memahami apa yang seharusnya dipahami (menyeleweng dan salah pemahamannya), ketika harus tenang justru mengalami kegelisahan serta kegundahan, ketika seharusnya takut justru tidak bereaksi apa-apa; singkat kata, dia tidak menampilkan apa yang diharapkan, maka hati yang seperti ini dapat disebut sebagai hati yang sakit (maridh). Sehubungan dengan manusia-manusia yang seperti ini, al-Quran menyifati hati-hati mereka sebagai hati yang sakit: fi qulûbihim maradhun fa zâdahumullahu maradhân(2) (Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah mereka dengan penyakit). Yang dimaksud dengan hati di sini tidak lain adalah roh manusia, yang mempunyai berbagai macam pemahaman, kemauan dan kecenderungan. Apabila hati ini dalam kondisi sebagaimana yang seharusnya, dia disebut sebagai hati yang salim, sedangkan apabila tidak dalam kondisi yang seharusnya, dia adalah hati yang sakit (maridh). Keadaan dan sifat yang dinisbatkan pada hati memiliki dua sisi, salah satunya diinginkan dan yang lain tidak diinginkan. Misalnya, ketika hati itu salim (sehat secara maknawi), maka itu adalah keadaan yang diinginkan dan memang seharusnya begitu. Sebaliknya, hati yang sakit, tentu tidak diinginkan dan seharusnya tidak seperti itu. Jika dikatakan bahwa hati itu hidup, yakni hidupnya hati merupakan keadaan dan sifat yang diinginkan baginya. Dalam al-Quran dinyatakan: Wa mâ ‘allamnahu al-syi`ra wa mâ yanbaghi lahu in huwa illa dzikrun wa qurânun mubin. Liyundzira man kâna hayyan wa yahiqqal qawlu 'ala al-kâfirîn(3) (Dan Kami tidak mengajarkan

p: 41


1- 25 Yawma lâ yanfa’u malun wa lâ banun illa man atallaha bi qalbin salim. (Yaitu) pada hari di mana harta dan anak-anak tidak dapat berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (tidak rusak). (QS. al-Syu'ara [26]:88-89.
2- 26 QS. al-Baqarah [2]:10.
3- 27 QS. Yasin (36):69-70.

penerangan. Agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar hujah tegak atas orang-orang kafir). Peringatan al-Quran dan ajakan serta ajaran para nabi hanya akan berpengaruh pada hati yang hidup. Sebagaimana pada tempat lain Allah berfiman, “Fainnaka lâ tusmi’ul mawtą(1) (Sesungguhnya engkau tidak dapat memahamkan sesuatu kepada orang-orang yang mati); yakni, orang-orang yang telah mati hatinya, mereka tidak dapat memahami apa pun, dan peringatan wahyu serta para nabi tidak akan berpengaruh apa-apa pada mereka. Keterangan ini sangat sesuai dengan sehat dan sakitnya hati. Apabila hati itu sehat (salim), keadaan seperti itulah yang diharapkan darinya, karena hati yang sakit akan berakibat pada kematian hati tersebut. Sebagaimana apabila seseorang itu sakit dan tidak diobati, dia harus rela dengan kematian yang segera menjemputnya; demikian pula halnya dengan hati, apabila dia sakit dan tidak segera diobati, maka sakitnya akan berkepanjangan dan akan berakhir dengan kematian.

Menghidupkan dan Mematikan Hati (Ihya wa ImatatulQalb)

Yang diharapkan adalah hidupnya hati. Apabila hati itu mati, itu merupakan keadaan yang buruk baginya. Namun di dalam wasiat dan pesan Ilahi ini, kita melihat ada dua perintah: perintah untuk menghidupkan hati dan juga perintah untuk mematikannya. Sungguh menarik, ketika Imam Ali as berkata dalam wasiat ini, “Fa ahyi qalbaka bi al-maw'izhah wa amithu bi al-zuhdi,” yang artinya, “Hidupkan hatimu dengan nasihat dan matikan dia dengan kezuhudan (keterikatan pada dunia)!”

Di sini timbul pertanyaan, apakah kematian hati juga merupakan keadaan yang diharapkan? Dalam menjawab harus dikatakan, bahwa kematian ini adalah lawan dari kehidupan yang tidak diharapkan. Hati manusia ibarat satu koin dengan dua sisi yang berbeda, yang harus diusahakan untuk menghidupkan satu sisinya dan mematikan sisi yang lain. Kecenderungan, keinginan dan kemauan hati, berbeda-beda adanya.

p: 42


1- 28 QS. al-Rum [30]:52.

Ada serangkaian keinginan yang bersifat Ilahi, seperti keinginan dan kecenderungan pada kesempurnaan yang tanpa batas serta mengarah pada taqarrub ilallah, di mana sangat diharapkan dan seharusnya hati dihidupkan. Semakin hati hidup, maka dia akan lebih baik, produktif dan bermanfaat. Namun sebaliknya, hati manusia juga mempunyai serangkaian keinginan dan kemauan yang mengarah pada hayawaniyah (kebinatangan) serta kehinaan. Ini juga merupakan keinginan dan kecenderungan yang bisa terjadi pada hati. Berbagai syahwat, keinginan hewani-setani dan semua kecenderungan nafsu amarah(1) manusia yang dinisbatkan pada hati, termasuk sifat dan kecenderungan hati yang tidak diharapkan, karenanya harus dimatikan. Kemauan-kemauan ini dalam diri harus dikontrol sedemikian rupa agar jangan sampai menguat hingga akhirnya manusia dikuasai oleh nafsu amarah. Kemauan-kemauan yang seperti ini harus dimatikan. Karena, jika tidak, dia akan menghambat proses penyempurnaan manusia. Tentu, mematikan berbagai kemauan ini, bukan berarti menutup rapat-rapat penyalurannya, yang berarti membunuh semua hasrat secara mutlak,

namun yang dimaksudkan adalah memenuhi tuntutannya selama berada pada jalur penyempurnaan manusia dan sebagai sarana meraih kesempurnaan, kemuliaan dan kepatuhan pada Allah Swt. Dengan begitu, pemenuhan tuntutannya merupakan keadaan hati yang diharapkan. Apabila manusia mempunyai kecenderungan (yang tak terkendali) pada syahwat, makan, minum, nafsu-nafsu hewani, menginginkan dunia secara berlebihan, rakus, tamak dan lain sebagainya, maka bersamaan dengan semua itu akan muncul juga serangkaian kemauan yang negatif lainnya. Ketika berbagai kemauan itu berkobar, dia akan menghanguskan

kehidupan manusia dan menghancurkan akhiratnya. Oleh sebab itu, kemauan-kemauan negatif ini harus segera dipadamkan dan dibunuh. Ketika beliau di dalam wasiat ini berkata, “Matikanlah hatimu!," maksudnya ialah hati yang hidupnya tidak diharapkan, dan kematian di sini adalah kematian syahwat dan sifat kehewanan (hayawaniyah) manusia. Hayat atau kehidupan (bagi hati) mempunyai dua arti: hayat yang diharapkan dan hayat yang tidak diharapkan. Pengertian tentang hayat di

p: 43


1- 29 Catatan Penyunting: Dalam tradisi Sufi, berasaskan al-Quran, nafsu manusia sedikit dapat dibagi tiga: nafsu amarah, nafsu lawamah dan nafsu muthmainah. Nafsu amarah mengarahkan manusia kepada pikiran dan perbuatan negative, nafsu lawamah adalah nafsu (baca: jiwa) yang menyesali kesalahan yang dilakukan, sementara nafsu muthmainah (jiwa yang tenteram) adalah kondisi jiwa yang sudah mencapai ketenteraman.

dalam pikiran kita ialah sesuatu yang menjadi sebab gerak dan aktivitas. Karenanya, apabila kita mengatakan bahwa hewan ini hidup, maksudnya adalah bahwa hewan ini bernapas, bergerak dan beraktivitas. Ketika dia berhenti bergerak dan tidak lagi bernapas, kita mengatakan bahwa hewan ini telah mati. Dengan demikian, yang dimaksud dari kehidupan tidak lain adalah adanya aktivitas tersebut. Namun di sini, kita mengatakan bahwa hati itu hidup, yakni dia aktif dalam sisi tertentu. Tidak setiap aktivitas hati merupakan tanda dari kehidupannya, melainkan hanya aktivitas pada arah tertentu yang dapat menjadi tanda bagi kehidupannya. Oleh sebab itu, harus dilihat lebih dulu, bahwa hati itu aktif di sisi yang mana? Apakah pada sisi yang memang diharapkan aktivitasnya atau sebaliknya? Apakah dia aktif pada arah kesempurnaan dan tawajjuh kepada Allah Swt ataukah tidak?

Hati yang aktif pada hal-hal kebaikan, maka dia harus dijaga untuk tetap hidup. Aktivitas yang seperti ini harus terus ditingkatkan serta diperkuat faktor-faktornya. Sementara ada sisi lain dari aktivitas hati yang penuhi oleh hal-hal yang bersifat setani dan berbagai keinginan negatif yang bermuara pada syahwat yang membara. Sudah tentu, aktivitas yang semacam ini tidak boleh dihidupkan, melainkan harus dibunuh dan dipadamkan.

Dengan demikian, makna kehidupan bagi hati adalah kehidupan yang diharapkan, yakni kehidupan hati yang bernuansa Ilahi. Sementara kematian yang diharapkan atas hati adalah kematian sisi hewani dan setani hati. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan: Dari sisi tertentu hidupnya hati sangat diharapkan, dan dari sisi lain kematiannya juga diharapkan.

Cara Menghidupkan Hati

Setelah memberikan pesan untuk mematikan dan menghidupkan hati, maka muncullah beberapa pertanyaan berikut ini: Bagaimana cara menghidupkan dan mematikan hati? Jalan apa yang harus dilalui agar hati dapat menjadi hidup atau mati? Bagaimana bisa diraih hidup dan matinya hati?

p: 44

Dalam nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as, disebutkan bahwa kita mempunyai hati yang bisa hidup dan bisa mati. Ada bentuk kehidupan hati yang diharapkan sekaligus kematiannya yang berlawanan dengan kehidupan ini. Kehidupan hati yang diharapkan adalah hidup dan aktifnya keinginan-keinginan Ilahi serta dominasinya atas berbagai keinginan manusia. Kematian yang tidak diharapkan dari hati adalah terbunuhnya keinginan-keinginan Ilahi pada diri manusia, sementara kematian hati yang diharapkan adalah terbunuhnya berbagai macam keinginan rendah hewani. Dengan kata lain, kehidupan hati yang tidak diharapkan, yaitu

menghidupkan barbagi keinginan rendah hewani dan dominasinya atas diri manusia. Nah, kini apa yang akan kita lakukan agar kita bisa mencapai kehidupan dan kematian hati yang diharapkan? Dan pada saat yang sama, bagaimana kita dapat terhindar dari kehidupan serta kematian hati yang tidak diharapkan?

Berkaitan dengan menghidupkan hati dan memiliki hati yang hidup, beliau berpesan, “Ahyi qalbaka bi al-maw'izhati. Hidupkan hatimu dengan nasihat!” Sebaik-baik cara untuk menghidupkan hati adalah dengan mendengar atau membaca nasihat; melakukan telaah atas kitab-kitab yang berisikan nasihat. Sebagai misal, mengambil nasihat-nasihat yang ada di dalam al-Quran, nasihat para nabi, rasul dan Imam (salam atas mereka semua). Bahkan manusia bisa memberikan nasihat pada dirinya sendiri. Manusia dapat menjadi penasihat bagi dirinya dengan mendiktekan pada dirinya konsep-konsep kebaikan atau mengingatkan dirinya sendiri.

Dengan mendengar, membaca dan memberi instruksi nasihat pada diri, maka hati manusia akan menjadi hidup. Mencoba cara menghidupkan hati yang seperti ini, sangat mudah. Ketika perhatian manusia tertuju pada nasihat, maka di dalam dirinya dia akan merasakan munculnya sebuah kondisi yang membuat batin

serta hatinya aktif pada arah tertentu. Sebagai contoh, apabila seseorang mempunyai sifat malas dan tidak bergairah untuk mengerjakan salat nafilah, tetapi setelah mendengarkan atau membaca maw'izhah (yang berkaitan dengan pahala serta nilai salat nafilah), maka dia mulai tergerak dan tersemangati untuk mengerjakannya. Atau, apabila seseorang

p: 45

mempunyai kegemaran untuk melihat film-film yang tidak senonoh • dibandingkan dengan membaca atau mendengar al-Quran dan hadis, maka setelah mendengar nasihat (tentang efek negatif film tersebut dan nilai serta pahala membaca al-Quran dan hadis), iapun mulai mengubah kecenderungan dan kegemarannya yang negatif menjadi positif. Sebelum mendapatkan maw'izhah, dia tidak tertarik pada hal-hal yang mengajaknya ke arah akhirat, namun setelah mengikuti majelis maw'izhah, begitu keluar dari majelis tersebut, dia mulai tertarik untuk membaca atau mendengar lebih banyak tentang hal-hal yang dapat menjadi bekalnya di

kehidupan akhirat. Terciptalah gerak, semangat dan kehidupan baru dalam hatinya, karena sebelum ini hatinya mati, berbagai kecenderungan positif terkubur dan mati, dan yang seperti itu adalah tanda dari kematian hati, namun kini telah bergerak dan hidup kembali. Nasihat dan maw'izhah dapat menghidupkan hati; dia dapat menggerakkan hati pada arah yang seharusnya, dia dapat membangkitkan berbagai kecenderungan dan keinginan yang diharapkan pada hati manusia. Seperti itulah peran nasihat dalam menghidupkan hati manusia.

Dari sisi lain, terkadang faktor-faktor internal tertentu, seperti sebab-sebab natural, fisiologis, genetik, hormonal dan lain sebagainya, dapat menciptakan kondisi bagi manusia ketika keinginan serta tuntutan syahwat dan hewani dalam diri menjadi menguat, dan membuat seseorang tidak dapat melakukan kegiatan seperti belajar, menelaah, beribadah dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut akan menarik keinginan dan kecenderungan manusia pada arah yang menyimpang. Demikian pula halnya dengan faktor-faktor eksternal, yang terkadang juga ikut memberikan pengaruhnya. Sebagai contoh, menyaksikan hal-hal atau mendengar topik-topik tertentu, akan membantu dalam memperkuat kecenderungan tertentu pula pada diri seseorang.

Kita semua tahu, kecenderungan negatif dapat muncul pada diri manusia. Para pemuda lebih terancam untuk terseret pada kecenderungan yang seperti ini bila dibandingkan dengan yang lain. Dalam keadaan seperti ini, hati juga bisa dikatakan hidup, namun hidup dan geraknya mengarah kepada setan, kehidupan seperti inilah yang harus segera

p: 46

diakhiri dan berbagai kecenderungan serta bara ini harus dipadamkan. Namun, bagaimana caranya? Di sinilah, Imam Ali as memberikan solusi dengan pesan, "Amithu bi al-zuhdi. Padamkan hatimu (yang berkecenderungan negatif) dengan kezuhudan.” Caranya adalah dengan mengurangi kenikmatan duniawi dan

hidup zuhud (mawas diri). Ketika seseorang berlebihan dalam menikmati berbagai macam kesenangan duniawi, banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang membangkitkan gairah dan melihat serta membaca hal-hal yang bersifat stimulatif, sudah barang tentu dia akan tertimpa oleh kondisi-kondisi setani yang menghancurkan. Karenanya, apabila seseorang ingin selamat dari situasi dan kondisi yang semacam ini dan tidak didominasi oleh keadaan-keadaan setani, dia harus menghindarkan diri dari faktor-faktor penyebabnya dan menstabilkan berbagai macam kecenderungan yang ada. Mengapa harus seperti itu?

Jawabannya adalah, karena apabila sebab telah tercipta, akibatpun akan datang mengikutinya. Oleh sebab itu, apabila sebuah akibat tidak diinginkan, jangan pernah memberi peluang kemunculan pada sebabnya. Dengan memerhatikan kondisi fisik dan jiwa para pemuda, khususnya mereka yang sedang menjalani masa remaja yang penuh gejolak, maka langkah yang paling tepat untuk menyelamatkan diri adalah dengan mengurangi beragam kenikmatan duniawi. (Dalam agama), banyak

ditunjukkan jalan dan cara untuk mengurangi berbagai kenikmatan duniawi, seperti berpuasa, menjalankan ibadah, menyibukkan diri dalam kegiatan yang menggunakan pemikiran dan sebagainya yang masing-masing dapat mengurangi gairah manusia pada kenikmatan duniawi. Sampai di sini, kita telah mengetahui bahwa ada suatu bentuk kehidupan yang diharapkan bagi hati, yaitu kehidupan yang mengarahkan manusia pada Allah, spiritualitas (ma'nawiyyat) dan kesempurnaan. Apabila keadaan, kondisi dan semangat yang seperti ini hidup pada diri manusia, kita dapat mengatakan bahwa hati manusia itu hidup. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang diharapkan dan jalan terbaik untuk mendapatkannya adalah melalui maw'izhah. Karena dengan mau'izhah-lah seseorang dapat merindukan akhirat serta berbagai macam kenikmatan

p: 47

dan kelebihannya, juga dapat menghindarkan diri dari azab akhirat dan berbagai kesulitannya. Sekali lagi, kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan yang diharapkan dan cara mendapatkannya tidak lain kecuali dengan maw'izhah. Adapun kematian hati yang diharapkan, yaitu kematian syahwat dan padamnya berbagai macam kecenderungan setani, jalan untuk meraihnya adalah dengan hidup zuhud, sebagaimana dinasihatkan oleh Imam Ali as: wa amithu bi al-zuhdi.

Dengan keterangan di atas, menjadi jelas sudah bagaimana hidup dan matinya hati sama-sama diharapkan, sebagaimana telah diterangkan juga jalan untuk merealisasikannya. Ada sebuah kehidupan yang diharapkan bagi hati, sebagaimana ada juga kematian yang diharapkan baginya, dan kedua-duanya harus diwujudkan.

Cara Menguatkan Hati

Selanjutnya, Imam Ali as menjelaskan dua keadaan terpuji lainnya bagi hati berikut cara untuk mendapatkannya seraya berkata, “Wa qawwihi bi al-yaqini wa nawwirhu bi al-hikmah (Kuatkan hatimu dengan keyakinan dan terangilah dia dengan hikmah). Setiap bagian atau faktor tertentu, apabila bisa melakukan tugasnya dengan baik, dia akan mendapatkan hal-hal yang baik baginya, dan bagian serta faktor tersebut akan menjadi kuat.

Ini adalah hakikat yang berlaku pada segenap makhluk hidup, termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Apabila manusia dapat melakukan apa yang diinginkannya, maka dia adalah maujud yang kuat, dan bila tidak bisa, dia adalah maujud yang lemah. Apabila tubuh manusia mengalami pertumbuhan yang semestinya, dia adalah manusia yang kuat, dan bila tidak, dia adalah manusia yang lemah. Demikian pula halnya dengan hati. Apabila hati manusia dengan aktivitas batininya dapat mencapai hal-hal yang baik baginya, hati tersebut adalah hati yang kuat. Namun, adakalanya meski dia telah berusaha sedemikian rupa, dia

tidak dapat meraih apa-apa, maka dalam bentuk yang seperti ini, hati ini merupakan hati yang lemah.

Allah memberikan hati kepada manusia dengan tujuan agar manusia dapat melakukan hal-hal yang baik baginya dan mencapai kesempurnaan

p: 48

serta kekuatan yang muhim baginya; agar manusia dapat menghindarkan dirinya dari berbagai macam kelemahan yang dapat menjadi sebab kemunduran, keterbelakangan dan kekurangan pada dirinya. ... Yang penting dibahas di sini adalah apa yang harus dilakukan agar supaya hati menjadi kuat? Telah dikatakan, bahwa roh manusia dapat dipandang dari dua sisi dan sudut pandang, meskipun dari kedua sudut pandang tersebut hati tetaplah hati. Akan tetapi, hati dipandang dari dua sudut yang berbeda: Pertama, dari sisi pemahaman, ilmu dan pengetahuan. Kedua, dari sisi kecenderungan, keinginan dan perasaan (emosi). Di sini,

perhatian lebih ditekankan pada sisi pemahaman, ilmu, kesadaran dan pengetahuan.

Aspek intelektual hati dapat diperkuat dengan keyakinan.

Apabila hati bisa memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang paling urgen dan fundamental bagi manusia, seperti ideologi, konsep hidup dan pandangan

dunia dalam tingkat pemahaman yang tinggi, dapat dipastikan bahwa hati ini akan menjadi kuat. Karena dia telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Namun, apabila hati tidak mendapatkan keyakinan dan mengalami keraguan, waswas, kegundahan dan ketidakpastian, hati ini akan menjadi hati yang lemah, karena tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik. Hati harus dapat mencapai keyakinan untuk menjadi kuat. Bila tidak dapat meraihnya, dia akan menjadi sebuah maujud yang lemah, tak berdaya dan pada puncaknya akan berakhir dengan kehancuran manusianya.

Apabila seseorang berkeinginan untuk memiliki hati yang kuat dan mempunyai sisi pengetahuan yang tinggi, dia harus berusaha mendapatkan keyakinan. Seseorang yang tidak peduli pada masalah-masalah makrifat, tentu dia tidak akan pernah memilki hati yang kuat. Karenanya, dia harus memberikan perhatian dan kepedulian pada masalah-masalah i'tiqadi (berkaitan dengan akidah) dan setiap pengetahuan yang berpengaruh pada ketentuan akhir dari perjalanan hidupnya, seperti pengetahuan tentang Allah, Hari Akhir dan lain sebagainya, atau terhadap masalah-masalah mendasar duniawi yang sederhana. Apabila dia merasakan ada kelemahan berkaitan dasar-dasar agama (ushuluddin), dia tidak boleh duduk tenang;

p: 49

dia tidak boleh berpangku tangan tidak berbuat apa-apa dan membiarkan keadaan tersebut berlangsung hingga terjadi sesuatu. Akan tetapi, dia harus berusaha maksimal untuk meraih kesempurnaan pengetahuandan keyakinan. Apabila hati tidak digunakan untuk meraih keyakinan, hari demi hari dia akan semakin melemah, mundur dan berakhir dengan kehancuran manusianya. Tak ubahnya seperti anggota-anggota badan, jika satu anggota tidak digunakan sama sekali dalam aktivitas, dia akan menjadi lemah dan tidak kuat. Sebagai misal, bila mata seseorang ditutup untuk beberapa tahun, dia akan berangsur menjadi lemah atau bahkan

berakhir dengan kebutaan. Oleh sebab itu, apabila salah satu dari mata seseorang itu sangat tajam sementara yang lain terlalu lemah, terapinya adalah dengan menutup untuk sementara waktu mata yang kuat atau dipasangkan kaca mata hitam agar terjadi keseimbangan. Demikian pula halnya, apabila tangan seseorang diikat untuk beberapa waktu dan tidak dipakai untuk bekerja, maka setelah beberapa waktu tangan tersebut akan mengalami mati rasa atau bahkan tidak bisa difungsikan lagi. Singkat kata, setiap anggota tubuh akan menjadi kuat dengan dipakai beraktivitas dan akan menjadi lemah ketika dinonaktifkan. Tentunya hal yang serupa dapat terjadi pada hati. Karenanya, bila kita hendak menjadikan hati menjadi kuat, kita harus menggunakannya untuk berpikir secara argumentatif

hingga mencapai sebuah keyakinan. Ada banyak jalan untuk meraih keyakinan, tetapi di sini bukanlah tempatnya untuk kita bahas secara panjang lebar. Salah satu dari jalan tersebut adalah istidlal ‘aqliy (argumentasi rasional), yang dengannya dapat diraih keyakinan hushuli bagi manusia. Apabila kita dalam keadaan

ragu atau tidak meyakini sebagian dari hal-hal yang berkaitan dengan akidah, kita tidak boleh tinggal diam, bersikap tidak peduli, apatis dan membiarkan keraguan tersebut. Namun kita harus berusaha sedemikian rupa untuk meraih keyakinan. Jelas sekali, bahwa mereka yang tidak memiliki keyakinan, sebenarnya mereka sedang mengalami masalah dan hati mereka tidak berdaya dalam menghadapinya. Mengapa hati mereka bisa menjadi lemah, perlu dicari sebab-musababnya untuk kemudian diberikan obat penyembuhnya. Allah Swt telah memberi jalan kepada

p: 50

mereka, yang di dalamnya Dia mencegah sekalian hamba-Nya untuk melalui sebuah jalan yang tidak berakhir pada keyakinan atau melarang mereka untuk berhubungan dengan perkara-perkara yang merintangi mereka dalam mencapai tahap keyakinan. Apabila Dia meminta dari kita untuk meraih keyakinan dan berfirman, “Wa bi al-akhirati hum yûqinûn(1) (Dan mereka meyakini kehidupan akhirat),” maka sudah barang tentu Dia juga telah menentukan dan menunjukkan jalan apa yang harus ditempuh untuk meraihnya. Dengan demikian, jika kita ingin memiliki hati yang kuat, kita harus berusaha memperoleh pengetahuan dan makrifat yang disertai dengan keyakinan.

Sebagaimana ketika bahan-bahan makanan sampai pada tanaman atau tubuh hewan dan manusia, maka akan bertambah pula kesempurnaan pada tumbuhan, hewan dan manusia; yakni suatu hal yang bersifat eksistensional yang sebelumnya tidak ada akan muncul dan hal inilah yang menyebabkan tubuh mendapatkan kekuatan baru. Di sini, hati manusia juga diumpamakan sebagai makhluk hidup yang memerlukan makanan. Jika hakikat-hakikat keyakinan sampai kepada hati, hati tersebut akan menjadi kuat. Namun, bila hati dibiarkan dalam keadaan tidak tahu dan tidak mendapatkan pengetahuan yang disertai keyakinan, dia akan tetap

dalam kelemahan dan dari waktu ke waktu akan menjadi semakin lemah hingga hancur dan binasa.

Cara menguatkan hati adalah dengan mencari keyakinan dan menuntut ‘ulum yaqini.

Salah satu tugas hati adalah mencari ‘ulum yaqini, apabila hati bekerja pada arah ini maka dia akan menjadi kuat. Sebagaimana setiap anggota tubuh akan menjadi kuat dengan beraktivitas, hatipun akan menjadi kuat dengan melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Di samping makna ini, telah dijelaskan juga makna lain untuk menguatkan hati, yaitu bahwa hati tak ubahnya seperti tubuh manusia yang dapat menjadi kuat dengan makanan tertentu. Sebagaimana bila makanan tidak diterima oleh tubuh, maka dia akan menjadi lemah, hati manusiapun akan menjadi kuat dengan makanan maknawi, yakni hati harus diberi makan dengan makanan yang sesuai dengannya, yaitu pemahaman, ilmu dan pengetahuan yang disertai keyakinan.

p: 51


1- 30 QS. al-Baqarah [2]:40.

Dari sisi lain, terdapat makna lain yang bisa diberikan untuk "wa qawwihi bi al-yaqin,” yaitu makna yang diambil dari perbandingan ungkapan Imam Ali as ini dengan ungkapan berikutnya. Beliau berkata, "Wa nawwirhu bi al-hikmati (Terangi hatimu dengan hikmah!). Keterangannya sebagai berikut: Kata hikmah dalam lisan kebanyakan ayat dan riwayat, bila tidak dikatakan seluruhnya, digunakan untuk menerangkan hikmah ‘amali (praktis). Maksud beliau dari ungkapan qawwihi bi al-yaqîn adalah pengetahuan-pengetahuan teoretis (nazharı), sedang maksud beliau dari hikmah dalam nawwirhu bi al-hikmati adalah pengetahuan-pengetahuan

praktis. Istilah hikmah amali ditujukan untuk pengetahuan yang bersifat pasti, bersifat yakin dan benar, yang pengaruhnya dapat terlihat pada perilaku manusia; yakni pengetahuan-pengetahuan bersifat pasti(1) yang digunakan dalam aturan-aturan perilaku manusia. Keyakinan-keyakinan yang benar (i'tiqadat haqqah) yang di dalam istilah disebut sebagai ma’arif nazhari atau hikmah nazhari, dapat menyebabkan kekuatan hati.

Kekuatan di sini berlawanan dengan kelemahan.

Apabila hati manusia dalam keadaan ragu dan tidak memahami berbagai hakikat dengan keyakinan, hati ini adalah hati yang lemah; ibarat tanaman-tanaman berbatang ramping yang tidak dapat bertahan menghadapi berbagai badai keraguan dan syubhat. Adapun keyakinan, adalah sebuah unsur yang sangat kuat, dan, ketika melekat pada hati, maka hatipun akan menjadi kuat dan tidak ada satu badaipun yang dapat menggetarkan atau menggoyahnya. Yakni, beragam keraguan, syubhat dan kesesatan berpikir (fallacy) yang dihembuskan oleh setan-setan dari bangsa jin dan manusia, tidak akan dapat menggoyah hati ini. Karena hati

tersebut telah mendapatkan ma'arif yaqiniyah dan telah menjadi kuat.

Akan tetapi, bila hati dalam keadaan ragu, dia akan mudah goyah, seperti dahan yang ramping yang terus-menerus bergetar menghadapi angin dan tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan. Oleh sebab itu, apabila kita ingin memiliki hati yang kuat; yakni hati yang dapat bertahan menghadapi beragam syubhat dan kesesatan berpikir; hati yang kokoh, tidak lemah dan tidak mudah goyah, maka kita harus mencari keyakinan.

p: 52


1- 31 Pengetahuan-pengetahuan (ma'arif) ini disebut dengan hikmah,disebabkan pengetahuan-pengetahuan ini bersifat pasti, kuat dan mendatangkan keyakinan.

Hikmah (Cahaya Batin)

Salah satu sifat-sifat lain hati adalah terang dan gelapnya hati. Hati yang tidak memiliki hikmah-hikmah, baik yang praktis ('amali) maupun yang teoretis (nazhari), maka hati tersebut adalah hati yang gelap, yang tidak tahu harus berbuat apa dan meyakini apa, tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil? Agar hati menjadi terang, maka jalannya adalah dengan mencari hikmah. Keadaan lain yang diharapkan bagi hati adalah terang dan bercahayanya hati, yang dapat diperoleh melalui hikmah. Dengan demikian, hati di samping harus kuat dan kokoh, dia juga harus terang dan bercahaya. Kedua kondisi tersebut penting bagi hati, mengapa? Ya, karena terkadang jalannya hati itu terang dan dia dapat berjalan di bawah cahayanya, dan terkadang gelap-gulita, sehingga meskipun hati itu kuat adanya, namun karena jalannya gelap, maka dia tetap tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Dalam al-Quran dan riwayat, biasanya istilah hikmah digunakan untuk hikmah praktis yang dapat menerangi jalan hati. Seseorang yang berhias dengan hikmah amali (perilaku yang baik), mengetahui apa saja yang harus diperoleh, perbuatan apa saja yang harus dilakukan dan sifat apa saja yang harus dimiliki, maka dia sebenarnya sedang berjalan di jalan yang terang dan penuh cahaya. Akan tetapi, apabila dia tidak memiliki hikmah praktis dan berjalan di jalan yang gelap, maka meski akidah dan hatinya kuat, namun karena dia tidak tahu perbuatan apa saja yang harus dia lakukan dan sifat-sifat apa saja yang harus didapatkan, maka dia tidak akan sampai ke mana-mana.

Hati akan menjadi kuat dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, benar dan mendatangkan keyakinan, sehingga tidak ada satupun badai keraguan dan syubhat yang mampu menggoyahnya. Dengan hikmah praktis, hati akan menemukan jalannya, jalan itu akan menjadi terang dan bercahaya baginya, sehingga hati tidak akan pernah tersesat dalam kegelapan. Berdasarkan keterangan di atas, ungkapan qawwihi bi al-yaqin memberikan arti, “Kuatkan hatimu dengan pengetahuan-

p: 53

pengetahuan yang pasti dan benar.” Sedangkan ungkapan nawwirhu bi al-hikmah memberikan arti, “Terangi jalan hatimu dengan hikmah amali, agar dia dapat melihat jalannya dengan terang dan dapat berjalan dengan langkah-langkah pasti.” Ayat-ayat di dalam al-Quran yang menyinggung cahaya (nur) sebagai sarana jalan hidup manusia, dapat menjadi bukti kuat atas makna ini, seperti firman Allah, Dan apakah orang yang sudah mati (karena kebodohan dan kesesatan], kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang (ilmu dan agama], yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia [nûrân yamsyi bihi fi al-nâsi], serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita kebodohan dan kesesatan] yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya(1) Yang dimaksud dari nûrân yamsyi bihi fi al-nâsi adalah seberkas cahaya yang dengannya dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat. Maka manusia dalam berjalan dan bergerak membutuhkan pada cahaya dan cahaya itu dapat diperoleh dengan takwa. Atau dalam ayat lain disebutkan, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah akan memberikan kepada kalian dua bagian dari rahmat-Nya dan menjadikan untuk kalian cahaya yang dengan cahaya itu kalian dapat berjalan [menuju kebahagiaan abadi] (2) Dengan demikian, apabila seseorang setelah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menempuh jalan takwa, Allah akan memberinya cahaya yang dapat menerangi jalannya. Nah, ketika Imam Ali as berkata, “Terangilah hatimu dengan hikmah, karena apabila hati telah menjadi terang, maka dia akan dengan mudah menemukan jalannya," maksud beliau dari hikmah di sini adalah hikmah praktis; karena hikmah praktislah yang menyebabkan perilaku manusia menjadi benar. Tentu, ucapan-ucapan Ahlulbait as mempunyai kedalaman makna yang tak terhingga, yang akal manusia tidak berdaya untuk menyelaminya.

Yang kami lakukan, hanyalah memaksimalkan pemahaman agar dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari kalimat-kalimat penuh cahaya mereka.

p: 54


1- 32 QS. al-An'am [6]:122.
2- 33 QS. al-Hadid [57]:28.

4- BERBAGAI KONDISI HATI (2)

Point

وَذَلِّلْهُ بِذِکْرِ الْمَوْتِ، وَقَرِّرْهُ بِالْفَناءِ وَأَسْکِنْهُ بِالْخَشْیَةِ، وَأَشْعِرْهُ بِالصَّبْرِ، وَبَصِّرْهُ فَجائِعَ الدُّنْیا وَحَذَّرْهُ صَوْلَةَ الدَّهْرِ، وَفُحْشَ تَقَلُّبِهِ، وَ تَقَلُّبَ الْلَّیالی وَالأَْیَّامِ.

Dan hinakan dia (hati) dengan mengingat kematian, buatlah dia mengakui kefanaan, jadikan dia tenteram dengan takut (kepada Allah), kenakan padanya

pakaian kesabaran, pahamkan dia akan berbagai malapetaka dunia dan peringatkan dia akan kekuasaan waktu serta getirnya perubahan juga pergantian siang dan malam!

sebagaimana yang telah dibahas, hati mengemban dua fungsi penting: Pertama adalah fungsi untuk mengetahui, mengenali dan memahami, sedang yang kedua adalah sebagai sumber berbagai macam keinginan dan kecenderungan yang menjadi motor bagi aktivitas manusia. Pada gilirannya, keinginan dan kecenderungan manusia juga terbagi menjadi dua. Ada serangkaian keinginan dan kecenderungan yang mengarah kepada Allah dan surga, dan ada juga serangkaian keinginan

dan kecenderungan yang mengarah kepada setan dan jahannam. Kedua-

p: 55

duanya bermuara pada hati, yakni hati manusia dapat memiliki keinginan dan kecenderungan Ilahi, sebagaimana dia juga daat memiliki keinginan dan kecenderungan setani. Telah kalian ketahui, bahwa sumber gerak manusia adalah keinginan- keinginan hatinya. Karena setiap gerak ikhtiyari manusia selalu memerlukan motivasi dan harus ada sebuah faktor yang menciptakan motivasi tersebut. Berbagai macam keinginan ini adakalanya tergerakkan hingga memunculkan sebuah hasrat yang menarik dan menggerakkan manusia pada arah tertentu. Di sinilah, terkadang karena manusia kalah oleh naluri-naluri hewani, maka hatinya melawan dan tidak mau patuh, seperti kuda liar yang menolak untuk ditunggangi dan tidak mau diberi tali kekang yang dapat menjadi kendali bagi penunggangnya. Tidakkah Anda pernah melihat kuda-kuda liar yang belum dijinakkan, bagaimana kuda-kuda tersebut berjingkrak-jingkrak dan melompat-lompat ke atas dan ke bawah, bagaimana mereka berlarian ke sana ke mari berusaha menghindar untuk ditunggangi, bahkan ketika sesekali berhasil ditunggangi, dia tidak mau mengikuti kendali sang penunggang hingga terkadang membuat para penunggangnya terjatuh dan terpelanting. Hati manusia juga mempunyai karakter yang mirip dengan kuda-kuda liar yang belum dijinakkan itu. (Terkadang) syahwat, keinginan-keinginan hewani-setani, ambisi untuk meraih kedudukan, bara nafsu-birahi

dan lain sebagainya, begitu kuatnya pada diri manusia, sehingga dia tidak berdaya untuk menundukkan dan mengendalikannya. Dengan kata lain, hati manusia bisa menjadi tak terkendali dan memutuskan tali kekangnya, persis seperti seorang penunggang yang tidak dapat manaiki punggung kuda liar dan mengendalikannya. Menaiki punggung kuda liar sama dengan jatuh terpelanting dari punggungnya, sebagaimana manusia yang berhati liar dan binal, juga tidak bisa menjalani hidup yang penuh ketenteraman dan keselamatan, dan dia juga tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Apa yang harus dilakukan terhadap kuda yang liar agar menjadi jinak, patuh dan dapat dikendalikan? Bagaimana dia bisa keluar dari kondisi kebinalan dan pembangkangannya? Dan bagaimana juga bisa didapatkan hati yang jinak dan mudah dikendalikan?

p: 56

Ketenteraman Hati

Apabila diri atau hati manusia mempunyai keinginan-keinginan hewani yang liar, yakni apabila rangsangan dalam diri ke arah yang negatif sudah sedemikian kuat dan sulit dikendalikan, maka satu-satunya faktor yang dapat menyelamatkan manusia dari bahaya nafsu yang liar ini adalah dengan mengingat kematian. Apabila seseorang mengingatkan dirinya pada kematian, secara otomatis hatinya akan menjadi tenang dan jinak.

Semakin banyak seseorang dapat mengarahkan dirinya pada kematian, kuda liar ini akan semakin mudah untuk dijinakkan. Seseorang harus memahamkan pada dirinya bahwa kematian akan segera menjelang. Dan, meski kini seseorang itu berada di puncak kekuatan dan aktivitas, tetapi kekuatan ini akan segera berakhir pada suatu hari nanti dan tak akan kembali. Hendaknya dia katakan pada diri sendiri, “Janganlah engkau lupa diri dan sombong dengan kondisi kuat dan sehat di masa kini, karena kekuatan serta kesehatan itu akan segera berakhir dan suatu hari nanti engkau akan mati!”

Bagaimana cara seseorang untuk membuat dirinya mengingat kematian, maka pengaruh dan efek ini akan dia dapatkan, karena mengingat kematianlah yang mampu menjinakkan hati manusia. Dalam kaitan ini terdapat banyak contoh dan mungkin kita baru mencoba sebagian saja. Seperti apabila pada suatu waktu, salah satu keinginan hati kita menguat dan tak bisa dikendalikan, namun kadang terjadinya sebuah peristiwa tertentu akan mengalihkan diri kita dari keinginan tersebut. Keinginan itu dengan segala kekuatannya untuk menggerakkan hati, tiba-tiba berhenti, bisa dikendalikan dan menjadi jinak. Perkara-perkara duniawipun dapat mengalihkan perhatian seseorang, namun cara yang terbaik untuk menjinakkan hati adalah dengan mengingat kematian. Seorang manusia dalam hidupnya harus senantiasa memikirkan kematian, dia harus selalu waspada bahwa cepat atau lambat kematian akan menemuinya. Mengingat kematian akan menyelamatkan manusia dari keadaan nafsu yang tak terkendali, membangkang dan liar. Semakin sering manusia menghadirkan kematian pada dirinya, akan semakin mudah dia menjinakkan dirinya. Dengan sedikit keterangan di atas, maka menjadi jelas buat kita arti dari

p: 57

ucapan Imam Ali as yang berkata, “Wa dzallilhu bi dzikr al-maut (Dan hinakan dia dengan mengingat kematian!).” Kita semua tahu bahwa kata dzalul adalah lawan dari kata jamuh (membangkang dan tidak patuh) yang berarti jinak. Keduanya biasa dipakai sebagai kata sifat bagi hewan tunggangan. Bila hati membangkang

dan tidak mau patuh, dia dapat dijinakkan dengan mengingat kematian. Bila kita ingin ingatan akan kematian menguat pada hati, kita harus menjinakkan hati. Sebaik-baik jalan adalah kita membuat hati mengakui bahwa “kamu tidak akan hidup selamanya, suatu hari nanti kamu akan mati dan kamu telah ditentukan untuk mengalami kefanaan di dunia.” Mungkin karena hal ini juga, setelah mengucapkan "dzallilhu bi dzikr al-maut," Imam Ali as lalu menyambungnya dengan ucapan, “Wa qarrirhu bi al-fana’ (Jadikan dia mengakui akan kefanaan diri)!” Dengan demikian, kesadaran akan terbatasnya usia dan datangnya kematian serta kefanaan

dunia, akan membuat hati menjadi patuh, jinak dan mudah dikendalikan (ke arah yang positif).

Hati yang Tenang

Perlu diketahui, bahwa kuda yang jinakpun terkadang saat berjalan membuat ketenangan dan kenyamanan penunggangnya hilang. Yakni, meski dia sudah jinak, berada di bawah kendali penunggang dan tidak liar lagi hingga menjatuhkan penunggangnya, namun tetap saja dia berjalan tidak tenang dan selalu menggerak-gerakkan penunggangnya. Karenanya, untuk dapat menjadi tunggangan yang baik, maka setelah dijinakkan, kuda harus ditenangkan, karena sekadar dijinakkan tidaklah cukup. Bagi manusia juga tidak cukup hanya dengan menjinakkan hati, namun manusia juga perlu untuk menjadikan hatinya sebagai hati yang tenang dan tenteram. Oleh sebab itu, beliau setelah mengatakan, “Jinakkan hatimu dengan mengingat kematian” dilanjutkan dengan imbauan, “Wa askinhu bil khasyyati (Tenangkan hatimu dengan takut kepada Allah!).” Seseorang akan dapat menggunakan hatinya dengan sempurna, apabila hati tersebut seperti kuda yang jinak dan terlatih, tidak seperti kuda yang meski tidak liar, namun bila ditunggangi membuat lelah penungganya

p: 58

karena sering bergerak. Karenanya, di samping dijinakkan, dia juga harus dilatih dan ditenangkan. Jika kalian hendak menunggangi diri dan mengambil manfaat darinya, jinakkan dia dengan mengingat kematian dan pegang kendalinya, lalu tenang dan tenteramkan dia dengan rasa takut kepada Allah, agar kalian juga menjadi tenang dan tenteram. Semakin tinggi rasa takut pada diri seseorang kepada Allah Swt, maka hatinya akan semakin tenang dan tenteram hingga mudah untuk digunakan (pada hal-hal yang baik). Dzallilhu bi dzikr al-maut (jinakkan hatimu dengan mengingat kematian), hingga dia mengakui akan kefanaan diri (garrirhu bi al-fana). Nah, bila hati sudah menjadi jinak, askinhu bikhasyyati (tenang dan tenteramkan dia dengan rasa takut kapada Allah).

Sabar dan Tashabbur

Setelah mendapatkan hati yang tenang dan tenteram, maka tugas penting berikutnya adalah menjaga kondisi tersebut agar tidak berubah. Dalam lanjutan wasiat Ilahi ini, beliau mengajak kita untuk menjaga dan mengawasi kondisi hati dengan berpesan, “Awa asy’irhu bi al-shabr (Kenakan pakaian kesabaran atas hatimu!).”

Arti dari kata asy'ir adalah mengenakan pakaian. Kata sya'ar/syi'ar dalam bahasa Arab berarti pakaian dalam yang langsung bersentuhan dengan kulit, sementara pakaian luar disebut dengan kata datsar/ditsar, dan kata mudatstsir berarti seseorang yang mengenakan pakaian luar, seperti mantel atau jubah, atau menyelimutkan kain pada sekujur tubuhnya. Pakaian dalam disebut dengan kata sya’ar karena dia menempel pada tubuh langsung, dan yang dimaksud dengan kata asy’irhu dalam kalimat Imam Ali as adalah, “Kenakan sya’ar pada hatimu,” yakni kenakan pakaian yang menempel langsung pada hatimu, dan pakaian itu adalah kesabaran yang harus dilekatkan langsung pada hati.

Di sini terdapat juga kemungkinan makna lainnya, yaitu asy'irhu dimaknai dengan aʼlimhu yang berarti pengetahuan dan kesadaran. Karenanya ketika beliau berkata, “Wa asy'irhu bi al-shabr," yakni sebagaimana syiar dikumandangkan dalam peperangan sebagai sarana

p: 59

pemberitahuan, maka kalimat beliau berarti, “Beritahukan pada hatimu akan (pentingnya) kesabaran, agar jangan menyeleweng dari jalan kebenaran atau kehilangan ketenangan serta ketenteramannya di hadapan godaan-godaan setan."

Meskipun makna pertama sepertinya lebih sesuai dibandingkan dengan makna yang kedua ini. Makna yang pertama adalah, “Jadikan kesabaran sebagai pakaian dalam bagi hatimu.” Berdasarkan makna ini, hati manusia digambarkan sebagai maujud yang telanjang yang membutuhkan pakaian; pakaian sendiri terkadang adalah pakaian luar yang tidak langsung menempel ke tubuh dan tidak mempunyai pengaruh langsung. Dia hanya berperan di permukaan sebagai hiasan bagi orang

lain yang memandangnya. Adakalanya yang dimaksud adalah pakaian dalam yang bersentuhan langsung dengan tubuh. Yang dimaksud di sini adalah bahwa kesabaran laksana pakaian dalam yang melekat langsung pada hati tanpa penghalang. Pakaian seperti inilah yang sesuai dengan hati, karena dapat memberikan pengaruh dan efek langsung pada hati. Kesabaran akan mewujudkan kondisi dalam hati yang dapat bertahan, tabah dan tidak mudah mengeluh terhadap berbagai macam kesulitan dan tekanan dalam hidup.

Ketika mempunyai keinginan yang belum tercapai, tertimpa musibah, menghadapi kesulitan, mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan, sakit, kekurangan materi atau apa saja yang menyulitkan, seperti tetangga yang buruk, teman yang tidak sehati dan lain sebagainya, manusia akan menunjukkan salah satu dari dua sikap dan reaksi: adakalanya dia tidak tabah dalam menghadapi berbagai macam masalah di atas, dia menjerit, berteriak, mengumpat, mengeluh, merasa tidak nyaman, gundah, gelisah dan tidak tenang; atau, dia menunjukkan ketabahan, ketegaran, ketenangan dalam menghadapi semua kesulitan dan musibah itu.

Yang penting dan menjadi pokok bahasan di sini adalah menemukan sikap dan reaksi yang tepat bagi seseorang dalam menghadapi masalah dan musibah, karena cara menyikapi berbagai peristiwa dan kejadian, hingga batasan tertentu, berada di bawah ikhtiar (pilihan) manusia itu sendiri. Bila seseorang telah melatih dirinya sedemikian rupa dengan kesabaran,

p: 60

ketabahan dan kelapangan dada, tentunya dia dapat meningkatkan kekuatan dirinya dalam menghadapi berbagai permasalahan serta bisa berhasil dalam menghadapi berbagai peristiwa dan tantangan zaman yang menimpanya. Akan tetapi, bila dia tidak memiliki mentalitas yang seperti itu, maka di hadapan berbagai kesulitan, dia akan cepat menyerah, mengeluh, menjerit dan menunjukkan ketidaktabahan. Sedikit rintangan masalah sudah cukup untuk membuatnya kehilangan ketenangan, kestabilan diri dan tak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Perlu diketahui, bahwa ada perbedaan antara tashabbur dan shabr. Terkadang seseorang secara lahiriah tidak menunjukkan ketidaksabaran, dia tidak menjerit dan berteriak, namun di dalam hatinya dia gelisah dan tidak tenang sehingga berakibat pada ketidakmampuannya dalam menjalankan pekerjaan dan tugas sehari-hari. Secara lahir dia tenang, namun batinnya tidak berbeda dengan orang-orang yang gelisah dan bermental lemah. Yang seharusnya dimiliki oleh manusia bukanlah

ketenangan lahiriah, tetapi bagaimana ketenangan lahiriah itu bisa merasuk di dalam hati dan batinnya, sehingga dari dalam dirinya muncul kesabaran, ketabahan, ketegaran dan kekuatan dalam menghadapi berbagai kesulitan. Manusia dengan mentalitas seperti inilah yang bisa berhasil dalam menjalani hidupnya.

Akan tetapi, bila hanya menunjukkan tashabbur secara lahiriah saja, sementara batinnya galau, maka manusia yang seperti tidak akan berhasil. Karena setiap kali melakukan pekerjaan, dia tidak dapat membuat perkembangan berarti, sehingga seluruh waktu dan kesempatan hidupnya akan terbuang sia-sia. Seseorang dapat memanfaatkan dengan baik kesempatan dan berbagai kemampuan diri, ketika hatinya tenang dan tidak galau. Perlu juga dipahami, bahwa yang dimaksud bukanlah kita menanti kehidupan yang tenteram, tenang dan tanpa masalah, karena masalah dan kesulitan akan selalu ada dalam kehidupan dunia; dan memang manusia

diciptakan selalu diiringi dengan kesusahan dan kesulitan. Di dalam sebuah ayat ditegaskan: la qad khalaqna al-insana fi kabad. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam kesusahan.(1) Meskipun bentuk masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh masing-masing manusia berbeda, namun

p: 61


1- 34 QS. al-Balad [90]:4.

tidak akan ditemukan di dunia ini seorang manusia yang tidak mempunyai masalah dan problem. Meskipun ragam kesulitan berlainan dari segi

waktu, namun kehidupan seluruh manusia senantiasa telah terjalin kuat dengan masalah

Apabila seseorang berhasil mendidik dirinya hingga bisa tabah menghadapi berbagai kesulitan dan tidak menyerah kalah, inilah yang dimaksud dengan ajaran-ajaran Ilahi. Namun bila seseorang tidak cukup terlatih dan mudah menyerah begitu menghadapi sedikit masalah, manusia yang semacam ini tidak akan bisa bertahan menghadapi gejolak zaman dan akan hancur dari dalam dirinya. Lambang keberhasilan seseorang adalah ketabahannya dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Kesabaran ini tidak cukup di luar diri saja (datsar), melainkan harus melekat di hati (sya’ar) dan merasuk ke dalamnya. Jika ketidaktabahan bukan merupakan keadaan yang baik, maka tashabbur secara lahiriah, yakni menampakkan ketabahan di luar dan galau di dalam, juga bukan merupakan keadaan yang

baik. Seseorang harus sabar dan tabah dari dalam hatinya. Oleh sebab itu, maksud dari ungkapan Imam Ali as yang berkata, “Asy'irhu bi al-shabr," adalah: jadikan kesabaran sebagai sya’ar bagi hatimu! Yakni, kesabaran harus menjadi pakaian yang melekat dan menempel di hati. Jadikanlah kesabaran sedemikian rupa hingga seakan tak pernah lepas dan berpisah dari hati. Dengan kata lain, kesabaran tidak boleh hanya tampak di luar diri, tetapi dia harus merasuk hingga kedalaman jiwa. Apabila kondisi yang seperti ini terwujud di dalam hati seseorang, dapat dipastikan dia akan menjadi manusia yang berhasil, atau tidak akan pernah mencapai

apa-apa.

Mendengar Tidaklah Sama dengan Melihat

Telah dikatakan, bahwa untuk menjinakkan hati manusia, manusia harus mengingat kematian. Namun, yang penting di sini adalah, bagaimana supaya manusia mengingat kematian? Harus dikatakan, bahwa semua manusia tidaklah sama dan berbeda-beda. Sebagian manusia hanya dengan menyadari bahwa suatu hari nanti akan mati dan hidup di dunia tidak akan abadi, maka ingatan tentang kematian akan selalu hidup

p: 62

di hatinya. Namun sebagian yang lain, mereka harus terlebih dahulu melihat contoh-contoh nyata dari kematian untuk dapat mengingat dan merenungkan kematian, yakni sebelum mereka menyaksikan kematian dengan mata kepala sendiri, maka sekadar mengetahui tentang kematian tidak akan memberikan pengaruh apa-apa. Jelas sekali, bahwa “melihat" mempunyai pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan “mendengar dan memahami.” Banyak hal yang diketahui oleh manusia, namun pengaruh yang diberikan oleh pengetahuan tidak akan pernah sama dengan pengaruh yang diberikan oleh penglihatan pada sikap dan perilakunya. Bila

seseorang akhirnya berkesempatan melihat sesuatu yang telah diketahui sebelumnya, akan muncul pengaruh baru pada dirinya yang sebelumnya tidak ada. Tentu kalian pernah mendengar tentang cerita Nabi Musa as, ketika pergi ke Thur untuk bermunajat. Allah Swt mewahyukan kepadanya, bahwa "ketika engkau pergi, kaummu telah beralih menyembah anak sapi emas (buatan Samiri).” Musa as telah mendengar wahyu dari Allah dan menjadi tahu tentang apa yang terjadi pada kaumnya, dan karena wahyu tersebut datangnya dari Allah Swt, maka beliau tidak sedikitpun meragukan kebenarannya. Musa as tidak seberapa kaget ketika mendapat pemberitahuan tentang perubahan kaumnya melalui wahyu. Namun, ketika beliau berada di tengah-tengah kaumnya danmenyaksikan langsung bagaimana kaumnya menjadi penyembah patung anak sapi, beliau sangat terguncang dan marah besar. Di dalam al-Quran disebutkan: wa alqal alwâha wa akhadza bira’si akhîhi yajurruhu ilaihi (Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya).(1) Dia marah dan berteriak di depan wajah Harun sambil berkata, “Bagaimana engkau membiarkan kaum ini melakukan penyembahan atas patung anak sapi?” Kegeraman dan kemarahan Musa as tersebut telah dipicu oleh apa yang dilihat oleh mata kepalanya sendiri, sementara sebenarnya dia telah mengetahui apa yang terjadi atas kaumnya. Dari sini bisa kita lihat, bagaimana pengaruh yang diberikan oleh melihat sama sekali berbeda dengan pengaruh yang diberikan oleh sekadar mengetahui atau mendengar. Mengapa? Jawabannya adalah, karena memang manusia telah diciptakan sedemkian rupa, sehingga dia lebih terpengaruh oleh apa yang

p: 63


1- 35 QS. al-A'raf [7]:150

langsung dilihatnya dari pada apa yang didengar atau diyakini berdasarkan serangkaian argumentasi:

Sebaik-baik jalan bagi seseorang agar hatinya mengingat kematian, kefanaan dan tidak bernilainya dunia dibandingkan dengan akhirat, adalah dengan melihat langsung dan dari dekat berbagai bekas bencana, malapetaka, peperangan, hancurnya rumah-rumah dan istana serta beragam kesulitan yang terjadi di dunia. Menelaah dan mempelajari bekas- bekas sejarah kehidupan manusia seperti di atas atau mendiskusikannya juga sangat berguna, namun pengaruhnya tidak akan sedahsyat apabila seseorang melihat dengan mata kepala sendiri bekas-bekas bencana dan malapetaka tersebut. Jika seseorang menyaksikan semua itu dari

dekat, pengaruhnya jauh lebih besar dibandingkan dengan sekadar mengetahuinya. Mungkin poin inilah yang menjadi sebab mengapa al-Quran memberikan anjuran yang sangat ditekankan atas manusia untuk melakukan sair fil afaq (menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi), karena di dalam melihat terdapat pengaruh yang tidak ada pada mendengar atau menelaah. Oleh karenanya, Allah Swt berfirman di dalam al-Quran: qul sîrû fi al-ardhi fanzhurû kaifa kâna 'âqibatul ladzîna min qablu (Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, lalu lihat dan saksikan bagaimana nasib orang-orang yang terdahulu”)(1) atau, fa sîrû fi al-ardhi fanzhurû kaifa kâna îâqibat al-mukadzdzibî (Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, lalu lihat dan saksikan bagaimana nasib orang-orang yang mendustakan (para nabi] ”).(2) Mungkin alasan anjuran Allah Swt ini, agar manusia melihat langsung dan mengambil pelajaran dari apa-apa yang menimpa orang- orang terdahulu. Karenanya, Allah Swt tidak menggunakan kata i'lamu (ketahuilah) atau isma’u (dengarlah), tetapi Dia berkata: fa sîrû fi al- ardhi fanzhurû, yakni saksikan dan lihatlah dari dekat. Manusia diajak untuk melihat dan menyaksikan, tidak sekadar mengetahui dan mendengar.

Kita seringkali mendengar bahwa di daerah atau kota tertentu telah terjadi bencana banjir, gempa atau bencana-bencana alam lainnya, namun sekadar mendengar ini tidak sama dengan apabila kita menyaksikan banjir atau gempa terjadi di tempat tinggal kita sendiri, lalu kita saksikan juga

p: 64


1- 36 QS. al-Rum [30]:42.
2- 37 QS. al-Nahl (16]:36.

berbagai kerusakan, kehancuran dan kesulitan yang diakibatkannya. Tentu, pengaruh kita menyaksikan dan mengalami sendiri bencana berikut akibatnya, jauh lebih besar ketimbang kita mendengar ada sebuah bencana terjadi nun jauh di sana. Hal ini jugalah yang menjadi fokus keterangan yang diberikan oleh Imam Ali as, yakni usahakanlah untuk melihat dan menyaksikan dari dekat berbagai masalah, ketidaksetiaan, berubah-ubahnya keadaan dan kesulitan-kesulitan dunia, agar memberikan pengaruh yang cukup pada diri kita, sehingga hati kita tidak akan tertipu dengan kehidupan dunia yang sangat hina. Apabila memandang gemerlap dunia, istana-istana, bangunan-bangunan yang megah nan indah, kebun-kebun dan beragam pemandangan yang elok, menyebabkan hati kita terpaut pada dunia, maka di samping itu kita juga harus melihat berbagai malapetaka, bencana, kehancuran dan kesulitan-kesulitan dunia, agar tercipta keseimbangan dalam hati dan kita tidak terlalu jatuh cinta pada dunia. Karena jika tidak begitu, hati kita akan terpaut dengan dunia. Bila hati sudah terpaut dengan dunia, kita akan melupakan akhirat, yang akan membawa kita pada siksa abadi. Oleh sebab itu, beliau memberikan pesan khusus berkaitan dengan masalah ini dan berkata, “Bashshirhu faja’ia al-dunya," yakni tunjukkan pada hatimu berbagai petaka dunia, agar hatimu melihat dan mengetahuinya. Kata “bashshirhu” di sini juga bisa diberi arti yang lain, yaitu bashirah. Yang dimaksud dengan bashirah adalah, bahwa manusia harus pandai-pandai dalam menghadapi berbagai petaka dan tipuan dunia agar tidak

terjerumus dan tertipu. Alhasil, beliau tidak mengatakan “pahamkan pada hatimu” atau “ingatkan hatimu,” karena memang tujuannya bukan sekadar memahamkan pada hati, tetapi ada tujuan yang lebih besar dan lebih tinggi, yaitu lakukanlah sesuatu agar hatimu melihat dan menyaksikan berbagai petaka dan kesulitan dunia.

Hati yang Dapat Mengambil Pelajaran (Ibrah)

Dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as mengajak hati untuk mengambil pelajaran (fibrah) dari ketidakmenentuan dan berubah-ubahnya kehidupan dunia. Beliau as berkata, “Wa hadzdzirhu shaulata al-dahri wa

p: 65

fuhsya taqallubihi wa taqallubil layâli wa al-ayyâmi”yakni peringatkan hatimu akan kekuasaan waktu, tidak dapat diperhitungkannya perubahan (tidak dapat diprediksi dengan pasti apa yang akan terjadi) dan pergantian siang dan malam. Waktu atau masa berpotensi untuk menguasai manusia. Hati manusia mempunyai banyak keinginan dan tidak pernah puas. Sementara itu, banyak orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, tetapi berbagai macam peristiwa yang terjadi sepanjang masa hidup, sepertinya telah memisahkan antara mereka dengan keinginan-keinginannya, sebagaimana juga telah memisahkan mereka dengan apa-apa yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu, peringatkan hatimu akan serangan waktu, di mana dia tidak lagi memberi kesempatan padamu untuk bergerak dan berpikir.

Peringatkan juga hatimu akan terjadinya perubahan masa, karena perubahannya bisa terjadi sangat drastis dan menyakitkan. Jangan sekali-kali kamu menganggap perubahan keadaan di dunia ini remeh dan sepele. Sebagai misal, janganlah kamu mengira manfaat atau bahaya yang bisa terjadi di dunia ini, remeh dan tak berarti, tetapi sebagian perubahan boleh jadi sangat dahsyat dan luar biasa. Perubahan yang bisa terjadi di dunia, dapat melempar seseorang dari puncak kemuliaan yang paling tinggi menuju lembah kehinaan yang paling dalam. Boleh jadi seseorang hari ini di puncak kekuasaan, namun pada keesokan harinya dia akan berubah menjadi lemah, terhina dan tak berdaya apa-apa.

Perubahan yang sangat drastis ini, tidak hanya terjadi dalam masalah-masalah materiil, tetapi bisa juga terjadi dalam masalah-masalah maknawi dan spiritual. Banyak orang yang telah berhasil mencapai derajat tinggi di bidang ilmu, ketakwaan, maknawiyyat dan ‘irfan, namun setelah beberapa waktu dia terjatuh ke jurang kenistaan, sehingga kenyataan yang terjadi akan sangat sulit untuk dipercaya. Dalam usia pendek hidup kita di dunia ini, peristiwa-peristiwa yang semacam ini telah terjadi, dan bila kita tidak melihat langsung dan hanya mendengar saja, kita akan sulit untuk bisa percaya tentang bagaimana orang-orang yang telah mencapai

puncak kemuliaan, bisa turun dan terjerumus ke jurang kehinaan; mereka terhinakan hanya dalam waktu yang sangat singkat; dari istana-istana surgawi terlempar menuju kedalaman neraka jahannam. Karenanya, kita

p: 66

harus menyadari, bahwa setiap saat terdapat kemungkinan terjadinya berbagai macam peristiwa seperti di atas, yang dalam waktu singkat dapat merampas dan merebut semua kemuliaan dan kebaikan yang kita miliki. Kita harus selalu waspada, bahwa semua bahaya ini ada di hadapan jalan, kita harus arif dan pandai mengambil pelajaran. Jangan sombong dan lupa diri; jangan sekali-kali lalai akan bahaya yang mengancam di hadapan perjalanan hidup kita. Kita tidak akan pernah bisa mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi, kecuali apabila kita tunjukkan dan perlihatkan kepada hati kita tentang berbagai perubahan dan peristiwa-

peristiwa tragis yang telah menimpa umat manusia. Hanya dengan cara melihat dan menyaksikan berbagai perubahan itulah, hati kita akan dapat mengambil pelajaran dan ibrah.

p: 67

Apabila memandang gemerlap dunia, istana-istana, bangunan-bangunan yang megah nan indah, kebun-kebun dan beragam pemandangan yang elok,

menyebabkan hati kita terpaut pada dunia, maka di samping itu kita juga harus melihat berbagai malapetaka, bencana, kehancuran dan kesulitan-kesulitan dunia, agar tercipta keseimbangan dalam hati dan kita tidak terlalu jatuh cinta pada dunia. Karena jika tidak begitu, hati kita akan terpaut dengan dunia. Bila hati sudah terpaut dengan dunia, kita akan melupakan akhirat, yang akan membawa kita pada siksa abadi.

p: 68

5- DARI IBRAH HINGGA GHAFLAH

Point

وَأَعْرِضْ عَلَیْهِ أَخْبارَ الْماضِینَ وَ ذَکِّرْهُ بِما أَصابَ مَنْ کانَ قَبْلَکَ مِنَ الاَْوَّلیِنَ، وَسِرْ فِی دِیارِهِمْ، وَاعْتَبِرْ آثارَهُمْ، وَانْظُرْ ما فَعَلوُا وَأَیْنَ حَلُّوا وَنَزَلوُا، وَعَمَّنِ انْتَقَلُوا، فَاِنَّکَ تَجِدُهُمْ قَدْ انْتَقَلوُا عَنِ الأَْحِبَّةِ، وَحَلُّوا دارَ الغُرْبَةِ وَکَأَنَّکَ عَنْ قَلِیل قَدْ صِرْتَ کَأَحَدِهِمْ، فَأَصْلِحْ مَثْواکَ، وَلا تَبِعٌ اَخِرَتَکَ بِدُنْیاکَ.

Tunjukkan padanya (hati) kisah-kisah orang-orang terdahulu, ingatkan dia akan apa-apa yang telah menimpa orang-orang sebelummu, berjalanlah di kota-kota mereka, ambillah pelajaran dari bekas-bekas peninggalan mereka, lihatlah apa yang telah mereka lakukan, di manakah mereka tinggal dan berhenti (sekarang)? Darimana mereka telah berpindah? Sungguh, engkau akan menemukan bahwa mereka telah berpindah dari tempat orang-orang yang mereka sayangi dan kini tinggal di tempat yang asing baginya. Dan (ketahuilah), bahwa tidak lama lagi engkau akan menjadi seperti mereka. Oleh sebab itu, benahi dan perbaikilah tempat tinggalmu dan jangan sekali-kali menjual akhiratmudengan dunia.(1)

p: 69


1- 38 Pada matan sebagian kitab yang menukil wasiat ini, terdapat perbedaan penempatan kalimat juga penghapusan sebagian kalimat. Matan di atas merupakan matan yang paling lengkap dibandingkan dengan yang lain.

Tak diragukan lagi, bahwa kisah-kisah masyarakat dan orang-orang terdahulu merupakan pelita petunjuk bagi jalan masyarakat yang akan datang. Cara mudahnya adalah dengan menangkap pesan sejarah, agar supaya hati mengambil pelajaran darinya. Dalam lanjutan wasiatnya kepada Imam Hasan as, Imam Ali as berkata, "Tunjukkan pada hatimu kisah dan peristiwa yang dialami oleh orang-orang terdahulu. Betapa banyak orang yang hidup layak dan mulia, namun tidak lama kemudian terhina dan mengalami nasib yang buruk. Betapa banyak pula orang yang hidup dengan menjaga norma kehidupan insani dan meniti tingkatan-

tingkatan kesempurnaannya, berhasil melejit pada keharibaan Ilahi dan sampai ada maqam yang sangat dekat di sisi Allah. Berdasarkan semua itu, manusia harus menelaah dan mengkaji tentang sejarah dan perbuatan orang-orang terdahulu, lalu hendaknya dia mencari tahu apa saja yang dapat menyebabkan suatu masyarakat atau individu dapat hidup dengan kemuliaan. Dan apa saja yang dapat menyebabkan kehinaaan serta kenistaan individu atau masyarakat? Baru setelah itu, dia berusaha mencari hal-hal yang dapat mengantarnya pada kebahagiaan serta kemuliaan, dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kehinaan serta kenistaan.

Singkat kata, manusia harus mengambil pelajaran dari para pendahulunya, sebagaimana al-Quran berulang-ulang berpesan tentang hal muhim ini di banyak tempat. Seperti firman Allah, Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, lalu lihat dan saksikan bagaimana nasib orang-orang yang terdahulu.(1)

Kini dalam bagian pesan Ilahi ini, pemimpin orang bertakwa Ali as mulai memaparkan dan menjelaskan masalah penting ini.

Naik Turun dan Berubah-Ubahnya Kehidupan Pada lazimnya di dalam kehidupan dunia, manusia tidak akan mengalami sakit atau nasib buruk sepanjang hidup dan terus-menerus. Akan tetapi, setiap orang pasti pernah mengalami masa-masa bungah sebagaimana juga pernah mengalami masa-masa susah. Begitulah apa

yang akan dia alami di masa yang akan datang. Terjadinya perubahan dalam kehidupan, tidaklah begitu penting, namun yang penting adalah bagaimana manusia bisa melihat dan berpikir bahwa betapa masa selalu berubah-ubah, naik-turun, manis-pahit dan bersamaan dengan perubahan

p: 70


1- 39 QS. al-Rum [30]:42.

Dari Ibrah Hingga Ghaflah

itu, nasib manusiapun ikut mengalami perubahan. Dapat dipastikan, jika manusia benar-benar mau berpikir tentang perubahan-perubahan ini, dia akan mendapatkan dua poin yang senantiasa akan dia ingat,

1. Berbagai kesenangan, keberuntungan dan keberhasilan di dunia hanyalah bersifat sementara, dan tidak seharusnya seseorang tertipu olehnya.

2. Sebaliknya, kesusahan, ketidakberuntungan dan kegagalan di dunia juga bersifat sementara dan pada suatu hari akan berakhir. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh berputus asa. Manusia tidak boleh tertipu oleh kesenangan, kesuksesan dan keberuntungan jangka pendek dan temporal dunia. Karena sebelum kita

telah hidup banyak manusia yang boleh jadi telah menikmati dunia ini lebih daripada kita dan dengan keberuntungan yang lebih banyak lagi, tetapi semua nikmat dan keberuntungan itu tidak bertahan lama bagi mereka. Maka itu, kita juga tidak boleh terpaut dan tertipu oleh nikmat-nikmat yang kita miliki, karena semua itu tidak akan bertahan lama bagi kita. Perjalanan masa dan waktu bisa naik-turun dan senantiasa berubah-ubah, bahkan terkadang bersifat sangat drastis. Apabila manusia sedikit lalai, bukan tidak mungkin dia akan jatuh ke jurang kehinaan meskipun sebelumnya berada di puncak kemuliaan. Namun, apabila manusia mempunyai renungan dan pandangan yang benar tentang berbagai perubahan, dia bukan hanya tidak akan tertipu oleh kenikmatan dunia, tetapi dia juga tidak

akan gelisah dan berputus asa bila tidak memiliki kenikmatan tersebut. Karenanya, apabila dia menghadapi sebuah permasalahan, dia sangat yakin bahwa permasalahan ini tidak akan berlangsung abadi; dia mengerti dan menyadari dengan pasti bahwa baik kesulitan maupun kenikmatan di dunia, kedua-duanya tidak ada yang abadi. Dia tahu persis bahwa semuanya akan berlalu. Dalam hal ini, al-Quran menegaskan, “Fa inna ma'a al-'usri yusrân. Inna ma'a al-'usri yusrân.” Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.(1) Maka

janganlah sekali-kali kamu lupa diri dengan nikmat-nikmat yang sampai padamu dan jangan pula berputus asa dengan berbagai kesulitan dan

p: 71


1- 40 QS. al-Insyirah [94]:5-6

masalah yang menimpamu. Karena di dalam kehidupan dunia ini banyak perubahan, naik-turun dan tidak ada yang abadi.

Para Pendahulu adalah Pelita Petunjuk Jalan bagi Para Pendatang

Dapat dipastikan, bahwa menelaah, mencermati dan mempelajari bekas-bekas peninggalan dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh orang-orang terdahulu, merupakan salah satu cara terbaik untuk mengambil pelajaran dari kehidupan mereka. Menelaah dan mengkaji detail-detail sejarah mereka, akan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi jiwa manusia. Manfaat pertamanya adalah dapat menjadikan seseorang memahami lebih baik arti dan esensi kehidupan dunia. Dia akan menyadari bahwa berbagai kesenangan, kesusahan, kekuatan, kelemahan, kekuasaan, pemerintahan yang kuat, istana-istana yang megah, semuanya akan

segera berakhir dan hancur. Para pemiliknya akan mati, tak terkecuali kita juga akan melewati masa-masa itu dan suatu hari nanti kita akan pergi meninggalkan dunia ini. Singkatnya, kita akan memahami bahwa dunia adalah sekadar tempat lewat dan bukan tempat menetap. Contohnya, lihatlah bangunan piramida di Mesir yang tercatat sebagai salah satu dari keajaiban dunia, di mana ilmu pengetahuan dengan segala perkembangan dan kemajuannya, hingga kini belum dapat menguak tentang siapa, dengan pengetahuan yang bagimana dan berdasarkan formula-formula ilmiah yang seperti apa, mereka dapat membangun Piramida tersebut. Dengan kekuatan dan sarana yang seperti apa, batu-batu besar itu ditumpuk satu di atas yang lain. Rahasia-rahasia di balik peninggalan ini dan ribuan fenomena menakjubkan lainnya yang ditinggalkan oleh orang-orang terdahulu, masih tetap tidak diketahui dan mistrius. Alhasil, baik kekuatan-kekuatan yang mengubah gunung menjadi istana dan telah mengmbangkan ilmu pengetahuan serta industri sedemikian majunya maupun mereka yang bahkan tidak mampu dan merasa kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, semuanya tanpa kecuali telah pergi meninggalkan dunia ini. Nah, bila orang-orang

terdahulu setelah menjalani masa hidup pendek atau panjang, akhirnya

p: 72

mati, lalu apakah kita akan hidup kekal?! Apakah kita adalah kain yang terpisah dari rajutan semesta dan berumur abadi?! Betapa banyak orang yang hidupnya papa, tak punya apa-apa dan selalu ditemani masalah serta musibah, di samping itu betapa banyak orang yang dengan kerja-kerasnya dan berhasil mengumpulkan bagi diri dan keluarganya berbagai fasilitas kehidupan dan beragam makanan, mereka semua sempat hidup di antara teman dan orang-orang yang dicintai, namun akhirnya mereka semuanya mati dan berpisah dengan segalanya. Semua kisah dan cerita kehidupan tersebut juga akan berlaku atas kita semua dan akhir dari dunia ini adalah kematian.

Kehidupan dunia dan berbagai fenomena alam ini tidaklah kekal dan abadi.

Di hadapan kehidupan ini akan ada kehidupan lain yang kekal, abadi dan tanpa kematian. Jika semua sebab yang di alam ini menyebabkan kematian, dikumpulkan di alam sana, tak satupun dari sebab itu yang bisa berfungsi untuk meniscayakan kematian, karena di alam sana tidak ada lagi kematian. Sebagai misal, di alam ini terbakar secara sederhana saja dapat menyebabkan kematian, namun api di alam sana yang ada di neraka jahannam, yang daya bakarnya ribuan kali lipat lebih dahsyat dari api dunia dan digunakan untuk menyiksa para pendosa, namun api tersebut tidak bisa membunuh manusia. Allah Swt berfirman, Setiap kali kulit

mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab.(1) Di tempat lain Dia berfirman, Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja. Dia menjawab, “Kalian akan tetap tinggal di [neraka ini7. »(2) Meski mereka memohon kepada Allah melalui malaikat Malik agar segera dimatikan saja lantaran tidak tahan pada pedihnya azab, namun permohonan mereka tidak akan pernah dikabulkan dan dikatakan kepada mereka bahwa mereka akan tinggal di sana untuk selama-lamanya.

Dunia yang Mana?

Telah dijelaskan, bahwa yang penting adalah, manusia melakukan perbandingan antara dunia dan akhirat dan hendaknya dia memahami perbedaan keduanya. Apakah kenikmatan-kenikmatan dunia sedemukian berartinya hingga layak kebahagiaan akhirat dikorbankan untuknya? Seandainya manusia dapat meraih kekuasaan seperti Firaun hingga dapat mendirikan Piramida atau memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Harun

p: 73


1- 41 QS. al-Nisa [4]:56.
2- 42 QS. al-Zukhruf [43]:77.

Rasyid atau harta semelimpah Qarun, sampai disinggung dalam al-Quran: , .... wa atainahu minal kunuzi ma inna mafatihahu latanu’u bil’ushbati ulil quwwati.(1) (Dan Kami telah anugerahkan kepadanya harta-benda yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat); seandainya manusia memiliki semua kekayaan dan harta-benda tersebut, hingga akhir umurnya tidak pernah sakit, juga tidak dihadapkan pada kesusahan atau ditinggal mati oleh orang yang paling dicintainya dan hidup dengan segala kenikmatan dunia tanpa terganggu, maka tetap saja tidak sepadan bila kebahagiaan ukhrawi dibandingkan dengan kenikmatan duniawi. Apakah layak seseorang demi kenikmatan dunia yang fana ini berpaling dari kenikmatan ukhrawi? Padahal, kehidupan di dunia terbatas dan akan segera berakhir, sementara kehidupan ukhrawi kekal, abadi dan tiada habisnya.

Yang menjadi penyebab seseorang lebih memilih dan mengutamakan kehidupan dunia yang terbatas atas kehidupan akhirat yang kekal, adalah keterpautan hati pada dunia. Semakin besar cinta seseorang kepada keluarga, kerabat dan teman-temannya di dunia, maka dia juga akan semakin sulit dan sakit, kala harus meninggalkan dunia ini. Dari sisi lain, ketika dia memijakkan kakinya di tempat yang tidak dia kenal dan ketahui, maka dia akan merasa ketakutan dan kebingungungan, dan dia akan lebih takut lagi bila tidak membawa bekal di tempat asing itu. Dengan pemerian seperti di atas, apakah layak dan masuk akal, seseorang meninggalkan dan mengabaikan kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan abadi yang tak pernah terlintas pada pemikiran siapa saja, untuk menjadi takut dan merasa terasing di kehidupan di sana?! Dalam al-Quran ditegaskan, Tak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka dari macam-

macam nikmat yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan.(2)

Benar, tak seorangpun mengetahui dan tak akan terlintas di pikiran siapapun, bahwa pahala perbuatan baik di dunia itu adalah nikmat-nikmat dan kesenangan-kesenangan yang tak terbatas dan tak terhingga. Nikmat nikmat yang dapat menjadi cahaya mata dan semua itu telah disimpan baginya di alam gaib. Nah, apakah masuk di akal, manusia mengabaikan

p: 74


1- 43 QS. al-Qashash [28]:76.
2- 44 QS. al-Sajdah (32):17.

berbagai macam nikmat dan kesenangan yang kekal dan abadi demi kenikmatan-kenikmatan yang cepat berlalu dan bersifat sementara di dunia? Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, seandainyapun seluruh nikmat dunia ini dapat diraih oleh manusia, tetap tidak layak bagi manusia jatuh hati padanya. Mengapa? Ya, karena semua kenikmatan dunia terbatas dan akan segera berakhir, dan dengan pasti juga dapat dikatakan bahwa tidak mungkin seseorang bisa mendapatkan semua nikmat yang ada di dunia. Masing-masing manusia hanya bisa merasakan sebagian dari kenikmatan dunia tersebut dan dalam waktu yang sangat terbatas. Di samping itu, kita menyadari bahwa tak seorangpun di dunia ini yang hidup tanpa kesulitan, karena kehidupan dunia memang tidak selamanya enak dan menyenangkan. Hal ini adalah masalah yang sangat muhim, ketika setiap orang harus menyadarkan diri dan menanamkan dalam hatinya akan kenyataan ini, untuk kemudian dia terapkan dalam perilaku hidup dan menjadi acuan baginya guna menentukan tugas-tugas apa saja yang harus dilakukan di dunia.

Kita semua telah mengetahui dan meyakini bahwa alam akhirat adalah alam kehidupan yang abadi. Kita semua sedang dalam perjalanan menuju akhirat dan penerima wasiat ini juga adalah orang yang mengimani tentang masalah ini. Namun, sekadar keyakinan dan iman, tidak akan memiliki pengaruh kuat dan selamanya. Seseorang harus mengupayakan hal-hal, agar iman serta keyakinan ini hidup dan aktif. Jalan dan cara untuk menghidupkan keyakinan ini adalah seseorang harus melihat, mendengar, merenungkan dan mempelajari bekas-bekas kehidupan orang- orang terdahulu. Dari pengalaman itulah manusia akan membenarkan dengan sepenuh hati bahwa dunia bukanlah tempat tinggal yang abadi dan bukanlah tempat yang layak untuk didamba dan dicintai. Oleh sebab

itu, Imam Ali as berkata, “Wa'ridh 'alaihi akhbâr al-mâdhîna.” Tunjukkan pada hatimu kisah orang-orang terdahulu! Yakni, orang-orang yang hidup sebelum kamu, agar hatimu tidak tersesat dan tertipu.

Sebagaimana yang telah lalu, pokok dari bahasan ini adalah hati dan manusia memang selalu berurusan dengan hatinya. Apabila dia ingin meraih kebahagiaan, dia harus membenahi hatinya; apabila dia

p: 75

ingin menyelesaikan masalah-masalahnya, dia harus menyelesaikan masalah-masalah hatinya. Perlu kiranya untuk diketahui, mengapa beliau menjadikan hati sebagai pokok bahasan dan berkata: 'a'ridh alaihi... (tunjukkan pada hati). Tunjukkan pada hatimu cerita-cerita masyarakat terdahulu, mungkin alasan dari ungkapan ini adalah: Terkadang manusia menelaah sesuatu atau mendengar tentang sesuatu, tetapi hanya di permukaan, selayang pandang dan tidak mendalam hingga melekat dan merasuk ke dalam hatinya. Sebagai contoh, apabila seseorang pergi berziarah ke pemakaman dan menyaksikan orang-orang yang telah mati

ditanam dalam tanah, namun dia hanya sekadar melihat begitu saja lalu pergi meninggalkan pemakaman tersebut, jelas sekali, bahwa cara melihat yang seperti ini, sama sekali tidak akan merasuk dalam hati. Dia harus melihat, mendengar dan merenung sedemikian rupa sehingga merasuk ke dalam jiwa dan bergetar hatinya. Dia harus benar-benar memahami, mengerti dan memikirkan. Sepertinya, karena alasan inilah beliau berkata, “Tunjukkan padanya (hatimu) kisah-kisah orang-orang terdahulu dan ingatkan dia akan apa-apa yang telah menimpa orang-orang yang hidup sebelummu!"

Berjalan dalam Afaq dan Anfus

Sebelum ini, pesan Imam Ali as berkisar pada: manusia harus menelaah sejarah masyarakat terdahulu atau mendengarkan cerita-cerita tentang mereka. Selanjutnya, selain menekankan pesan-pesan yang lalu, beliau menegaskan, agar manusia menggunakan penglihatannya untuk menyaksikan dan membuktikan ketidaksetiaan dunia pada para penghuninya; manusia tidak boleh merasa cukup hanya dengan mendengar, menelaah dan bahkan merenungkan tentang bekas-bekas peninggalan masyarakat terdahulu, tetapi dia harus melihat dan menyaksikan dari dekat bagaimana cita-cita dan dambaan-dambaan hilang dan lenyap dalam

hembusan waktu! Beliau as berkata, “Berjalanlah di negeri-negeri mereka, ambillah pelajaran dari sisa-sisa peninggalan mereka, lihatlah apa yang telah mereka lakukan, di manakah mereka tinggal dan berhenti (sekarang)?”

p: 76

Oleh sebab itu, manusia harus berupaya memiliki keyakinan dan iman yang hidup dan aktif. Dalam hal ini dia harus menggunakan pendengaran dan penglihatannya sekaligus. Dia harus mendengar kisah-kisah masyarakat terdahulu dan menyaksikan bekas-bekas peninggalan mereka. Beliau hendak mengatakan, “Berkelilinglah ke negeri-negeri orang-orang terdahulu, saksikan berbagai bekas peninggalan mereka, apa yang telah mereka perbuat, apa yang telah mereka bangun dan ciptakan, hasil dan manfaat apa yang telah mereka peroleh, lalu ke mana mereka pergi setelah seumur hidup melakukan berbagai macam pekerjaan yang melelahkan dan melalui lika-liku kehidupan yang penuh gejolak, di manakah kini mereka tinggal? Siapa saja yang telah mereka tinggalkan? Betapa banyak orang-orang terkasih dan tercinta yang mereka tinggalkan, padahal ketika mereka masih tinggal dunia, mereka tidak sanggup untuk berpisah dari orang-orang tersebut walau dalam waktu yang sebentar, namun kini harus mereka tinggalkan untuk selama-lamanya." Dan, betapa indahnya jawaban yang diberikan oleh Imam Ali as atas berbagai pertanyaan di atas. Imam as berkata, “Sungguh, engkau akan menemukan bahwa mereka telah berpindah dari tempat orang-orang yang mereka sayangi dan kini tinggal di tempat yang sunyi.” Nanti, setelah engkau melihat dan merenungkan bekas-bekas peninggalan mereka, engkau akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa ternyata mereka telah berpisah dari teman-teman dekat dan orang-orang yang mereka sayangi, lalu mereka berpindah ke suatu tempat yang baru dan asing bagi mereka. Hal itu disebabkan karena mereka hanya kenal dan akrab dengan dunia dan penghuni dunia, sementara mereka tidak akrab dan asing sama

sekali dengan penghuni akhirat. Karena mereka hanya dekat dengan penghuni dunia saja, kini ketika mereka meninggalkan dunia, mereka merasa terasing dan kikuk di alam barunya. Mereka laksana musafir yang mendatangi sebuah tempat yang asing dan belum pernah mereka singgahi, di sana mereka tidak kenal dengan siapapun dan benar-benar tinggal di tempat yang sangat asing.

Nah, kini setelah kita melihat dan menelaah sejarah kehidupan orang-rang terdahulu, memahami hasil dari kehidupan yang penuh gejolak,

p: 77

muncullah pertanyaan penting berikut ini: Apa yang telah kita perbuat dan apa yang selanjutnya akan kita lakukan? Apakah kita akan terselamatkan dari apa-apa yang telah menimpa orang-orang sebelum kita? Sudahkah kita memikirkan tentang jalan keselamatan bagi diri kita? Di sinilah, Imam Ali as menyadarkan manusia akan sebuah kepastian yang akan dia hadapi dalam hidupnya dan berkata, “Dan (ketahuilah), bahwa tidak lama lagi engkau akan menjadi seperti salah satu dari mereka.” Ya, kamu akan segera mengalami nasib yang sama dengan mereka yang telah mati terlebih dahulu. Ini adalah ketentuan dan kepastian hidup yang tidak dapat dihindari, dan inilah akhir dari kehidupan dunia.

Dunia Hanyalah Tempat Lewat

Setelah menelaah dan menyaksikan kisah serta bekas peninggalan orang-orang terdahulu, maka tentu manusia akan menyadari akan ketidaksetiaan dunia pada para penghuninya; dia juga akan mengetahui dan mengerti tentang ketentuan akhir hidup yang pasti akan menimpanya. Nah, bila seperti itu, tak diragukan lagi, dia akan berupaya menciptakan masa depan yang baik dan indah bagi dirinya. Setelah mempelajari dan melihat kisah serta bekas peninggalan orang-orang terdahulu, tentu manusia akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kehidupan dunia ibarat sebuah jalan yang mau tidak mau harus dilewati dan bukan merupakan tempat

tinggal yang bisa dihuni untuk selama-lamanya. Hukum universal yang berlaku atas alam dan manusia sejak pertama kali adanya kedua fenomena tersebut, selalu dan senantiasa berjalan dalam satu garis dan tidak akan berubah; di alam ini manusia terus berjalan tanpa pernah berhenti. Oleh sebab itu, dunia bukanlah tempat bersantai-santai bagi manusia, apalagi tempat tinggal. Perputaran hari dan waktu bukan di tangan manusia, suka atau tidak suka waktu akan terus berputar dan manusia selalu dalam gerak dan perjalanan. Akan tetapi, kamu harus melihat, ke mana kamu akan pergi? Dan ke mana kamu akan bertempat tinggal? Bagaimanakah nasibmu kelak di sana? Apakah masuk akal di tengah perjalanan, manusia menyia-nyiakan kesempatan dan hidup lalai, lalu tidak bisa berbuat apa-apa di tempat tinggal barunya? Padahal, tak seorangpun pernah hidup enak di dunia ini dan kehidupan dunia tidak pernah lepas dari kesulitan; apabila

p: 78

ada yang pernah merasakan kenikmatan dan kesenangan di dunia, maka itu hanyalah sebentar dan sementara saja, dan akan disusul oleh berbagai macam kesulitan, kesusahan, kesedihan dan kepedihan. de Nah, ketika ketentuan hidup manusia seperti ini dan hukum ini berlaku secara universal atas segenap manusia, maka Imam as berpesan, "Oleh sebab itu, benahi dan perbaikilah tempat tinggalmu dan jangan sekali-kali menjual akhiratmu dengan dunia.” Jangan sampai kaujual

akhiratmu dengan dunia, benahi dan perbaikilah tempat tinggalmu yang sesungguhnya! Lihatlah ke mana kau akan pergi dan perbaikilah tempat itu!

Antara Dunia dan Akhirat

Setelah engkau mengerti dan ketahui tentang hakikat dunia, yang sekadar merupakan tempat lewat dan berjalan, sebuah tempat yang tidak mungkin bisa dijadikan tempat tinggal, maka apakah benar bila kehidupan akhirat yang abadi engkau jual, lalu engkau membeli kehidupan dunia yang sementara?! Jelas sekali, apabila seseorang mempunyai renungan serta pemikiran yang cukup, dia akan menyimpulkan bahwa menjual akhirat dengan dunia adalah sebuah perdagangan yang sangat merugikan. Sudah barang tentu manusia yang berakal waras tidak akan pernah setuju dan rela dengan perdagangan yang seperti ini, dia tidak akan menjual

akhirat yang abadi dengan dunia yang sementara (lâ tabi' âkhirataka bi dunyâka!).

Di akhir, poin berikut ini perlu diperhatikan dan dicermati: Apa hubungan antara berbagai keadaan dan kondisi hati dengan mendengar serta melihat bekas-bekas peninggalan masyarakat terdahulu, sehingga Imam Ali as berpesan kepada kita untuk menelaah dan melihat bekas-bekas peninggalan tersebut untuk membenahi dan memperbaiki hati kita?

Jawabannya adalah: Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa dalam pandangan beliau terdapat hubungan yang sangat erat di antara keduanya, sementara kita hanya bisa menguak sedikit dari hubungan tersebut sesuai dengan kadar pemahaman serta gambaran kita yang tidak sempurna. Dengan pemahaman yang sedikit itu kita bisa menilai bahwa

p: 79

hubungan di antara keduanya jauh lebih dalam dan luas daripada yang sudah kita pahami.

Sebagaimana yang telah lalu, beliau berkata, “Pelajari dan cermatilah berbagai keadaan orang-orang terdahulu, ke manakah akhir dari perjalanan hidup mereka?” Mungkin kesimpulan dari ungkapan dan pesan yang sangat berharga ini adalah apa yang telah beliau tegaskan, yaitu, “Jangan sekali-kali kaujual akhiratmu dengan duniamu.” Nah, kini ketika telah kaumengerti dan ketahui bahwa akhir dari kehidupan orang-orang terdahulu adalah kematian dan kepergian, dan kauketahui pula bahwa kehidupan dunia ini tak lebih dari sekadar tempat lewat dan berjalan menuju akhirat, maka jangan sampai kauhabiskan semangat dan energimu

semata-mata untuk kehidupan yang sementara dan kaulalaikan tujuanmu yang sesungguhnya. Akan tetapi, engkau justru harus fokus pada tujuan yang hakiki, maka benahilah tempat tinggalmu yang sebenarnya. Engkau di alam dunia ini sedang dalam perjalanan, di sini bukanlah tempat tinggal dan bermukim! Tempat tinggalmu yang sejati adalah akhirat. Jika begitu, berpikirlah untuk membenahi dan memperbaiki kediaman akhirmu.

Jangan pernah kaujual akhiratmu dengan duniamu! Yakni, jangan kautukar kehidupan akhirat yang kekal dan abadi dengan kehidupan dunia yang sebentar dan sementara ini. Dengan memerhatikan beberapa keterangan di atas, mungkin hubungan antara ucapan beliau pada bagian ini dengan bagian sebelumnya ketika beliau berpesan, “Benahilah hatimu," maka masalah ini mengemuka bahwa ternyata hati tidak sepenuhnya dan langsung di bawah kendali manusia, sehingga dia dapat mengendalikan hati sesuai dengan keinginannya. Nah, bila seperti itu adanya, lalu bagaimana cara kita untuk membenahi hati? Di sinilah, sepertinya beliau

hendak mengatakan bahwa hati harus dibenahi melalui mata dan telinga. Karena yang memengaruhi hati pada hakikatnya adalah apa-apa yang kita lihat dan dengar. Apabila kita memberikan arah yang positif dan benar pada apa-apa yang kita lihat dan dengar, sehingga hati dapat mendengar dan melihat hal-hal yang bermanfaat dan berguna baginya, maka hati akan terbenahi. Sebagai misal, apabila hati mendengar dan melihat hal-hal yang memberikan pelajaran baginya, pelajaran tersebut akan dapat memperbaiki

p: 80

hati. Dengan demikian, sangatlah mungkin hubungan antara dua bagian dari pesan beliau ini adalah upaya untuk mengarahkan dengan benar apa-apa yang kita lihat dan dengar, sehingga berakibat pada perbaikan dan pembenahan hati. Dengan kata lain, beliau berpesan, “Lakukan ishlah (pembenahan) atas apa-apa yang kamu lihat dan dengar, agar dengannya kaudapat melakukan ishlah atas hatimu.”[]

p: 81

Sekadar keyakinan dan iman, tidak akan memiliki pengaruh kuat dan selamanya. Seseorang harus mengupayakan hal-hal, agar iman serta keyakinan ini

hidup dan aktif. Jalan dan cara untuk menghidupkan keyakinan ini adalah seseorang harus melihat, mendengar, merenungkan dan mempelajari bekas-bekas kehidupan orang-orang terdahulu.

p: 82

6- JALAN MENUJU KEBAHAGIAAN ( SABIL AL-SA'ADAH)

Point

وَ دَعِ الْقَوْلَ فیِمَا لا تُعْرِفُ، وَالنَّظَرَ فیِمَا لاتُکَلَّفْ، وَأَمْسِکْ عَنْ طَریِق إِذا خِفْتَ ضَلالَتَهُ، فَاِنَّ الْکَفَّ عِنْدَ حَیْرَةِ الضَلالَةِ خَیْرٌ مِنْ رُکُوبِ الاَْهْوالِ. وَ أْمُرْ بِالْمَعْروُفِ تَکُنْ مِنْ أَهْلِهِ، وَ أَنْکِرِ الْمُنْکَرَ بِلِسَانِکَ وَ یَدِکَ، وَ بایِنْ مَنْ فَعَلَهُ بِجُهْدِکَ.

Janganlah engkau berbicara tentang apa yang tidak engkau ketahui dan mengurusi yang bukan tanggung jawabmu. Menjauhlah dari jalan yang engkau khawatir akan tersesat di sana, karena menahan diri di saat khawatir akan tersesat jauh lebih baik daripada mengarungi bahaya. Anjurkanlah yang makruf, maka engkau akan termasuk di antara orang-orang yang berbuat baik; dan cegahlah yang mungkar dengan lisan dan tanganmu, dan menjauhlah dengan segenap kemampuanmu dari orang-orang yang melakukan kemungkaran.(1)

Setelah memberikan pesan-pesan secara global dan menerangkan berbagai kondisi hati, Imam Ali as mulai masuk pada pesan-pesan rinci dan pada langkah pertama beliau as berwasiat, “Da'il qawla

p: 83


1- 45 Pada sebagian transkrip kalimat “al-nazhar fimâ lâ tukallaf" dibawakan dengan kalimat “alkhithab fimâ lâ tukallaf", sehingga berarti: “Janganlah engkau berbicara tentang hal-hal yang bukan merupakan urusanmu!"

.

fimâ là ta’rifyakni janganlah engkau berbicara perihal sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya! Mungkin korelasi antara bagian dari wasiat ini dengan sebelumnya adalah: Apabila kita hendak mengamalkan wasiat ini dan berpikir tentang kehidupan dunia dan akhirat masing-masing, kita telah sampai pada kesimpulan bahwa seluruh masyarakat terdahulu telah pergi, dan akhir dari kehidupan kita tidak berbeda dengan mereka, yaitu kematian. Sesuai dengan isi wasiat, kita menyimpulkan, bahwa kita harus berpikir sungguh-sungguh tentang kehidupan akhirat. Kemudian kita akan dihadapkan pada serangkaian pertanyaan, di antaranya: Apa yang harus kita lakukan? Hal apa yang harus kita pentingkan dan nomor satukan yang berguna bagi kebahagiaan abadi kita? Seseorang yang berada di awal perjalanan dan baru memasuki usia taklif, maka hal apa yang harus menjadi fokus pemikirannya? Setelah memahami semua permasalahan ini, maka apa yang harus dilakukan? Apa saja yang harus diperhatikan, agar dia tidak mengalami kerugian serta penyesalan di masa mendatang yang tidak akan pernah dapat diperbaiki? Dimulai darimana dan bagaimana dia harus melangkahkan kakinya dalam perjalanan dari dunia menuju akhirat, agar dengan melaluinya dia dapat menjadi tamu yang mendapatkan keridaan Ilahi dan tidak memperoleh murka serta azab-Nya? Sepertinya, apa yang disampaikan oleh Imam Ali as dalam wasiatnya adalah jawaban-jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut dan berikut ini adalah penjelasannya.

Syarat Utama Kebahagiaan

Sebagaimana yang telah lalu di awal wasiat ini, mukhathab (orang yang diajak bicara) dalam wasiat ini adalah setiap muslim dengan akidah yang tidak menyimpang dan secara global mempunyai pengetahuan tentang wajibat, muharramat, dharuriyyat dan qath’iyyat dalam Islam. Dengan kriteria ini, tentu orang tersebut akan mementingkan pelaksanaan kewajiban-kewajiban (wajibat) dan meninggalkan keharaman-keharaman (muharramat), yakni dia mengikat diri dan patuh pada poin pertama yang disebutkan dalam wasiat ini (takwa); dia akan menjauhi yang haram dan mengerjakan yang wajib. Nah, setelah mengamalkan nasihat ini,

yakni mengamalkan yang wajib dan meninggalkan yang haram, barulah pertanyaan ini mengemuka: Apa yang harus kita perbuat dalam perjalanan

p: 84

hidup di dunia agar dapát mengambil manfaat yang terbaik bagi kehidupan akhirat? Bagaimanakah caranya kita di dunia dapat menghasilkan bekal bagi kehidupan akhirat tanpa menjadikan dunia sebagai tujuan? Singkatnya, setelah kita mengetahui bahwa kehidupan dunia hanyalah sekadar sarana, maka pertanyaan ini mengemuka: Lalu apa yang penting bagi kita di dunia? Apa yang harus lebih diperhatikan dan apa yang harus diperbuat?

Sepertinya dalam rangka ini, Imam Ali as berkata, bahwa langkah pertamanya adalah “Lakukan pengkajian serta penelitian atas hal-hal yang tidak kamu ketahui atau kamu meragukannya, agar kamu dapat memahami tugas-tugasmu lebih baik. Dan jangan pernah sekali-kali melangkahkan kakimu di jalan yang tidak kamu mengerti.” Hal ini merupakan masalah vital pada bagian wasiat beliau yang nanti juga akan dibahas lebih lanjut di bawah topik tafaqquh dalam agama. Namun, sebelum kita sampai pada topik tafaqquh fi al-dîn, kita dianjurkan untuk diam dalam hal yang memang kita tidak mengetahuinya. Pesan ini juga sangat penting, beliau berpesan kepada kita, “Jangan engkau berbicara atas apa-pa yang kau memang belum mengetahuinya.”

Kerugian Tiada Tara

Hal mendasar ini perlu dicamkan, bahwa kehidupan dunia adalah modal yang dengannya harus diraih kebahagiaan abadi akhirat. Oleh sebab itu, dengan pandangan yang seperti ini, seseorang harus barhati-hati dan waspada agar jangan sampai kehilangan modalnya. Di banyak tempat dalam al-Quran, umur telah diumpamakan sebagai modal yang dengannya manusia berdagang dan berniaga, “Yâ ayyuhal ladzîna âmanû hal adullukum 'alâ tijāratin tunjikum min adzâbin ‘alîm Hai orang-orang yang beriman maukah kalian Aku tunjukkan pada suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kalian dari azab yang pedih?(1) Dalam ayat yang lain Allah menegaskan, Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka itu mengharapkan sebuah perniagaan yang tidak akan merugi.(2)

p: 85


1- 46 QS. al-Shaff [61]:9.
2- 47 QS. Fathir [35]:29.

Dalam kenyataan, manusia di kehidupan sehari-harinya lebih akrab dengan konsep muamalah dan tijarah (peniagaan) dibandingkan dengan konsep-konsep yang lain. Oleh sebab itu, Allah Swt menggunakan lafaz-lafaz, seperti muamalah dan tijarah yang sangat akrab dengan keseharian kita. Nah, ungkapan là tabi' akhirataka bi dunyâka di dalam ucapan Imam Ali as ini, juga beliau gunakan lantaran kita sudah akrab dengan konsep jual-beli dan perdagangan, sementara kita juga mengetahui bahwa dunia dan akhirat juga dapat dimuamalahkan satu dengan lainnya. Karenanya beliau berkata, “Lâ tabi’ âkhirataka bi dunyâka!" Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari perniagaan, kita selalu memberi dan menerima sesuatu. Demikian pula halnya dengan usia kita, karena usia kita tidak tetap dan diam, tetapi senantiasa berlalu dan berkurang; suka tidak suka umur kita akan berakhir, maka sudah sepatutnya kita berusaha agar mendapat sesuatu yang sangat berharga sebagai gantinya. Sebagai ganti dari usia yang berlalu dan kesempatan yang lepas dari tangan, kita harus mendapatkan sesuatu dan barang yang

bernilai tinggi. Namun, jika umur ini digunakan dan ditukar dengan sesuatu yang tidak berharga, pada hakikatnya kita telah membuang serta menyia-nyiakan modal yang kita miliki, dan karena kita tidak mendapatkan apa-apa, maka kita dapat dipastikan telah mengalami kerugian. Bila ini terjadi, sudah barang tentu bukan merupakan tindakan yang benar dan diterima oleh akal, karena dia telah memberikan modal yang sangat berharga (umur/kesempatan hidup), namun dia tidak mendapatkan apa-apa sebagai gantinya. Dan jauh lebih bodoh lagi, apabila seseorang menggunakan umurnya untuk bermaksiat dan berbuat dosa, karena dia

bukan saja tidak mendapatkan apa-apa, namun justru dia telah membeli azab dan siksa bagi dirinya. Dengan kata lain, dia tidak hanya kehilangan modalnya, tetapi dia telah membeli azab juga. Yang penting di sini adalah, seseorang harus berusaha mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari modal umur yang telah dia habiskan untuknya. Kadang seseorang duduk di sebuah majelis dan berbicara tentang apa saja sambil membanggakan diri; dia berusaha untuk memberikan

pendapatnya di segala cabang dan disiplin ilmu, seperti filsafat, fikih,

p: 86

akhlak, sosial, hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur dan bangunan, kedokteran, teknik dan sebagainya. Bahkan, dia berusaha menampilkan dirinya seakan memang ahli dan pakar di berbagai bidang tersebut; dia memerikan segala sesuatu dengan penuh percaya diri dan kalimat-kalimat yang lugas. Dia berani mengatakan seperti ini dan bukan seperti itu, padahal kalau dia mau jujur pada dirinya, ternyata dia tidak tahu apa-apa; semua yang dia katakan hanya bermuara pada hawa nafsu. Kelakuan yang seperti ini, tentu telah menyedot banyak waktu dan energi bagi manusia; dia telah membuang-buang umurnya tanpa mendapatkan hasil apa-apa. Nah, kini mari kita hakimi diri kita masing-masing. Jika usia digunakan untuk pembicaraan-pembicaraan yang seperti ini, lalu apa yang bisa kita

hasilkan darinya? Kita telah terbiasa untuk berbicara tentang detail dan globalnya semua permasalahan di dunia, padahal tak satupun darinya yang telah kita mengerti. Kita bukan saja tidak ahli di berbagai bidang itu, bahkan pengetahuan yang sederhanapun tidak kita miliki, tetapi karena sudah menjadi topik pembicaraan, maka kitapun memaksa diri untuk memberikan komentar tentangnya. Lebih menarik lagi, kadang sebuah pembicaraan terseret pada perdebatan dan saling perbantahan hingga suasana memanas dan suara membumbung ke angkasa, namun tidak menghasilkan apa-apa.

Masalah di atas hanyalah sebuah contoh kecil dari ribuan kesibukan sehari-hari yang kita gunakan untuk membuang-buang waktu tanpa ada yang dihasilkan. Kegiatan yang seperti itu tidak mempunyai nama selain mengumbar kedunguan. Seseorang yang berbicara tentang sesuatu yang dia sendiri tidak mengerti dan tidak tahu apakah yang dia katakan itu benar atau salah, lalu terlibat perdebatan dan saling bantah seputar masalah itu, dan meskipun dia tidak mengerti tetap bersikeras dan ngotot akan kebenaran pendapatnya dan menyalahkan pendapat lawannya, apakah perbuatan yang seperti ini bisa diberi nama selain kebodohan? Sayangnya, perbuatan dan perilaku yang seperti ini banyak dilakukan oleh penghuni dunia, padahal semua orang tahu bahwa perbuatan ini adalah perbuatan

bodoh dan tidak terpuji.

p: 87

Apabila seseorang termotivasi untuk berbicara hanya karena ada topik yang dibicarakan dan dia ikut berbicara semata-mata untuk menunjukkan eksistensi dirinya, dapat dipastikan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak benar dan tidak akan memberikan hasil apa-apa selain kerusakan, hilangnya harga diri di mata orang lain dan terbuangnya kesempatan hidup secara sia-sia. Bahkan, betapa banyak perdebatan yang seperti ini bisa mengakibatkan timbulnya permusuhan, dendam dan pertikaian. Oleh sebab itu, Imam Ali as di awal-awal pesannya berkata, “Jika engkau tidak sedang melakukan perbuatan yang baik dan tidak sedang mencari keuntungan, paling tidak janganlah engkau membuang-buang modal umurmu dan imanmu. Jangan sekali-kali engkau berbicara tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui.” Bahasan yang telah lalu berkaitan dengan berbicara. Dalam hal perbuatan dan aktivitas yang lain juga dapat terjadi keadaan yang sama seperti halnya berbicara. Misalnya, terkadang kita melakukan pekerjaan- pekerjaan yang tidak penting dan bukan merupakan tugas serta tanggung- jawab kita selain tidak memberikan manfaat apa-apa bagi dunia serta akhirat kita, bahkan tidak jarang akan menyebabkan kerugian duniawi dan ukhrawi yang besar bagi kita. Akan tetapi, sepertinya kita merasa tidak enak kalau tidak turut campur dan berusaha tampil dan hadir di mana-mana. Tentu saja, mentalitas yang seperti ini akan menyeret

seseorang pada jalan yang menyimpang dan tanpa ada tujuan serta hasil yang didapatkan dia telah menyia-nyiakan waktu dan energinya. Padahal kalau dia mau merujuk pada diri dan merenung, dia akan menyadari bahwa pekerjaan ini bukanlah tugas serta tanggung-jawabnya, dan sama sekali tidak ada kaitan dengan dirinya. Tentu terkadang kita dihadapkan pada tugas amar makruf dan nahi mungkar, baik yang wajib maupun mustahab, dan melibatkan diri dalam tugas tersebut adalah perbuatan baik dan terpuji, terlebih bila disertai dengan niat yang tulus. Akan tetapi, apabila alasan-alasan tersebut tidak ada dan keterlibatan kita dalam berbagai pekerjaan itu tidak memberikan pengaruh apa-apa, dan juga bukan merupakan tugas serta tanggung-jawab kita, maka dapat dipastikan bahwa ikut campur dalam pekerjaan

p: 88

tersebut merupakan tindakan yang irasional. Apabila manusia dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu, dia harus menempuh jalan yang benar untuk sampai pada tujuan tersebut. Jangan sampai dia keliru dalam mengambil jalan, yakni jalan yang tidak berakhir pada tujuannya atau dia mengambil jalan-jalan yang tidak pasti dan tidak diketahui akan berakhir di mana. Apakah masuk akal, bila seseorang mempunyai tujuan dan ingin segera sampai pada tujuan itu, lalu dia mengabaikan jalan yang benar dan memilih jalan yang meragukan sambil bergumam, “Insya Allah, kita akan sampai pada tujuan"?! Secara pasti dapat dikatakan, bahwa orang yang menempuh jalan yang meragukan, berarti niat dan motivasinya bukanlah sesuatu yang terpuji dan bersifat Ilahi.

Alhasil, ketika seseorang mengabaikan jalan yang terang dan pasti, serta menempuh jalan yang meragukan dan menyimpang untuk sampai pada tujuan, maka bila akhirnya dia tidak sampai pada tujuan dan tentu akan berakhir begitu, adakah orang yang patut disalahkan selain dirinya sendiri?! Oleh sebab itu, kita harus menggunakan modal yang kita miliki pada jalan tidak akan merugikan diri kita dari sisi perkataan, pemikiran, perbuatan dan dugaan. Dengan memerhatikan berbagai keterangan di atas, marilah kita cermati bagian dari ucapan Imam Ali as berikut ini.

1. Da’i al-qawla fimâ là ta'rif. Janganlah engkau berbicara tentang sesuatu yang tidak kau mengerti. Ketika sekelompok orang sedang membahas sesuatu yang tidak kaumengerti, maka janganlah engkau memaksa diri untuk turut campur dalam pembahasan itu. Karena apabila engkau turut campur, maka tidak ada yang akan

kau peroleh selain kerugian. Tentu pembahasan atau kajian ilmiah dan tahkiki dengan tujuan tertentu yang di dalamnya seseorang mengetahui apa yang sedang dilakukan dan apa yang dicari, tidak termasuk dalam larangan di atas. Namun, mengemukakan pendapat dan memberikan fatwa atau hukum oleh orang yang

tidak mengerti permasalahan baik di bidang fikih, politik, sosial, kedokteran, arsitektur dan sebagainya adalah pekerjaan yang tidak terpuji dan harus dihindari. Lebih daripada itu, perilaku seperti ini seringkali mendatangkan bahaya fatal. Misalnya,

p: 89

ikut campur dalam hal yang berkaitan dengan kedokteran dan pengobatan, bisa berakibat pada semakin memburuknya keadaan orang yang sakit atau bahkan kematiannya, dan campur tangan tanpa pengetahuan yang seperti ini sungguh merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan sangat berbahaya. ** Dengan demikian, nasihat ini adalah nasihat rasional yang dapat dipahami oleh nalar manusia bahwa apabila seseorang tidak mengerti tentang sesuatu, seharusnya dia tidak memberikan komentar tentangnya. Da'i al-qawla fimâ lâ ta’rif. Janganlah berbicara tentang sesuatu yang tidak kau mengerti! Apabila kita mau menggunakan satu nasihat ini saja, betapa banyak waktu yang telah kita hemat dan selamatkan! Apabila waktu, umur dan kesempatan yang kita habiskan untuk berbicara dan berbuat yang tidak perlu dan tanpa guna, kita gunakan untuk mencari ilmu dan melakukan ibadah, betapa banyak manfaat dan kemuliaan yang bisa kita raih!

2. Wa al-nazhara fimâ lâ tukallaf. Janganlah engkau berpikir tentang sesuatu yang bukan taklif dan tugasmu, sebagaimana engkau tidak perlu berkomentar tentangnya. Jangan kausibukkan pikiranmu untuk memikirkan hal-hal yang bukan merupakan taklifmu. Terkadang seseorang merasa yakin bahwa dia bertanggung jawab dalam urusan kehidupan individual dan sosial, oleh sebab itu dia kemudian melakukan tindakan sesuai dengan tugas yang merupakan tanggung jawabnya. Sebagaimana terkadang dia mengetahui bahwa dia sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab atas suatu perkara atau dia mempunyai keyakinan bahwa dia tidak memiliki kekuatan baik aktual maupun potensial atas suatu perkara sehingga dia bisa masuk dan mengambil peran di dalamnya atau perkara tersebut sama sekali tidak ada sangkut paut dengan dirinya dan tentu dia tidak dapat berperan apa-apa, nah dalam keadaan ya seperti ini, dia bahkan tidak perlu menyibukkan

dirinya untuk berpikir seputar perkara itu. Perlu dicermati, bahwa yang menjadi ukuran taklif seseorang bukanlah batasan geografis atau jauh-dekatnya lokasi. Betapa banyak hal yang terjadi nun jauh di sana di belahan bumi lain dan kita mempunyai

p: 90

taklif, tugas dan tanggung jawab di sana. Bisa juga terjadi suatu perkara di rumah kita sendiri, namun hal itu bukan merupakan taklif dan tanggung jawab kita. Alhasil, apabila kita mengetahui bahwa kita tidak mempunyai taklif terhadap suatu perkara, kita tidak boleh menyibukkan diri kita atas perkara tersebut. Sebagai contoh, perhatikanlah beberapa masalah sederhana yang mungkin akan kita temui berikut ini. Kadang beberapa lelaki protes dan tidak setuju dengan dekorasi, tabir

dan permadani sebuah kamar dan berkomentar, “Mengapa diletakkan di sini dan tidak di sana? Mengapa harus seperti ini dan tidak seperti itu?” Padahal masalah ini bukan merupakan tanggung jawab mereka dan lebih merupakan tugas kaum perempuan; para lelaki seharusnya tidak ikut campur dalam masalah seperti ini, biarlah menjadi urusan para wanita. Nah, perhatikan bagaimana terkadang kita bahkan tidak mempunyai tanggung jawab berkaitan dengan kamar tidur kita sendiri, kita harus lebih fokus pada apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan jangan sampai kita menyibukkan pikiran dengan yang bukan tugas, taklif serta tanggung jawab kita. Selain itu, intervensi dalam masalah- masalah yang seperti ini, tidak jarang dapat menimbulkan perselisihan dan perdebatan yang sama sekali tidak berguna dan bermanfaat. Sungguh mengherankan seseorang sedemikian kosong dari aktivitas muhim yang perlu dipikirkan hingga berkesempatan untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting seperti di atas.

Memang, jika seseorang tidak mempunyai kegiatan yang bermanfaat dan berguna, dia akan menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna dan yang bukan merupakan tugas serta tanggung jawabnya. Padahal apabila selama 24 jam dia benar-benar memaksimalkan waktunya untuk melakukan hal-hal yang merupakan taklifnya, dia tetap akan merasa kekurangan waktu; maka bagaimana dia bisa membuang-buang waktu yang sangat berharga dan terbatas ini untuk melakukan hal-hal yang dapat dipastikan bukan merupakan tanggung jawabnya. Oleh sebab itu, Imam Alias berkata, “Janganlah engkau turut campur dan melakukan intervensi pada hal-hal yang bukan merupakan taklif serta tanggung jawabmu!”

p: 91

Amsik ‘an tharîqin idzâ khifta dhalâlatahu. Hindarilah jalan yang kamu khawatir akan tersesat di sana. Adakalanya, setelah diketahui dan ditentukannya tujuan, manusia dihadapkan pada dua jalan: jalan yang pasti akan berakhir pada tujuan dan jalan yang meragukan serta dikhawatirkan dapat berujung pada kesesatan. Dalam kondisi yang seperti ini, maka dia harus menempuh jalan yang terang dan pasti; jika dia mengabaikan jalan yang benar dan terang lalu memilih jalan yang meragukan, maka sungguh dia telah melakukan kebodohan dan tindakan yang tidak rasional. Manusia sudah seharusnya menghindari jalan yang dia khawatir akan tersesat di sana dan memilih jalan yang terang dan pasti; dia tidak boleh melangkahkan kaki di jalan yang belum diyakini kebenarannya. Nah, jika seperti itu, ketika seseorang tidak merasa aman dari ketersesatan dan ketidakmenentuan, maka berhenti barjalan adalah pilihan yang terbaik. Imam Ali as berkata, “Fa inna al-

kaffa ‘inda hairati al-dhalâl khairun min ruküb al-ahwâl, yakni berhenti kala bingung dan ragu jauh lebih baik daripada melangkah di jalan yang tidak aman dari bahaya. Kerugian yang paling kecil dari keliru jalan adalah seseorang harus kembali kala sudah sampai di ujung perjalanan. Lebih daripada itu, ada kemungkinan seseorang akan dihadapkan pada lembah-lembah curam yang sangat berbahaya atau jalan-jalan kecil yang gelap, naik-turun, berliku dan berlumpur yang bisa berakibat pada kematian manusia. Bila ini yang terjadi, siapakah yang pantas untuk disalahkan? Apakah ada yang lebih layak untuk disalahkan selain diri sendiri (yang berani melangkah tanpa pengetahuan)?!

Mundurnya Pemikiran pada Era Pencerahan Ilmu

Ketika dikatakan, “janganlah engkau sibukkan pikiranmu dengan hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya denganmu; jangan pula turut-campur dalam pekerjaan-pekerjaan yang bukan merupakan tanggung-jawabmu dan biarkan orang lain mengurusi urusan mereka sendiri,” besar kemungkinan akan muncul pemahaman yang keliru atas nasihat ini, yakni akan tercipta pemahaman bahwa manusia tidak usah peduli dengan urusan orang lain atau seperti yang dijelaskan dalam sebuah peribahasa, “Biarlah

p: 92

Isa as mengurusi agamanya dan Musa as mengurusi agamanya sendiri!” Pemahaman dan pemikiran yang keliru ini sejak awal sudah ada di antara firkah-firkah dan kelompok-kelompok Islam dan non-Islam dan berlanjut hingga masa kini dalam bentuk barunya, sebagaimana dapat kalian saksikan sekarang di dunia Barat. Pada masa awal Islam juga terdapat kelompok-kelompok yang apabila mendengar nasihat-nasihat yang seperti ini (sibukkan dirimu dengan urusanmu sendiri!) atau ayat al-Quran yang berbunyi: Ya ayyuhal ladzîna âmanû 'alaikum anfusakum lâ yadhurrukum man dhalla idzahtadaitum(1) (Hai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian, tiadalah orang-orang yang tersesat itu dapat mendatangkan mudarat bagi kalian apabila kalian telah mendapatkan petunjuk...), mereka akan menyimpulkan bahwa telah datang perintah untuk hidup menyepi dan menyendiri serta beranggapan: 'Kita tidak ada urusan dengan orang lain

dan harus sibuk dengan urusan kita sendiri. Biasanya, mereka akan tinggal di rumah atau sudut-sudut masjid untuk berkhalwat dan beribadah, serta secara total meninggalkan urusan-urusan sosial. Kelompok Sufi yang ada sekarang, sedikit banyak mempunyai kecenderungan yang seperti ini. Apabila pada masa kini terdapat

penyimpulan-penyimpulan yang keliru seperti ini di Dunia Timur, akarnya adalah kesalahan dalam memahami serangkaian maw'izhah. Apabila dalam budaya Barat terdapat pemikiran yang semacam ini, akarnya adalah pemikiran batil lainnya.

Tahukah kalian, bahwa berhala dunia Barat, kufur dan imperialis adalah kebebasan (freedom). Slogan mereka adalah, “Apapun yang ingin kalian lakukan, maka lakukanlah, usah peduli dengan orang lain! Setiap orang bebas untuk menentukan pola, gaya dan cara hidupnya."

Pemikiran ini terus berkembang hingga akhirnya masalah hubungan dengan sesama jenis telah resmi disahkan oleh undang-undang; mereka menggelar demonstrasi besar-besaran untuk mendukung disahkannya hubungan sesama jenis. Bahkan di negar-negara yang sudah sangat maju dan berperadaban, perkawinan antara pria dengan pria telah dilindungi oleh undang-undang. Mereka merasa bangga bahwa mereka mempunyai kebebasan dan undang-undang yang seperti itu. Sebaliknya, apabila

p: 93


1- 48 QS. al-Maidah [5]:105.

seseorang datang kepada orang lain untuk memberikan sebuah nasihat, hal ini dianggap sebagai perbuatan yang keluar dari sopan santun pergaulan. Tak seorangpun berhak untuk turut campur dan melakukan intervensi pada urusan orang lain. Alhasil, kecenderungan pemikiran yang menyimpang dan penyimpulan yang keliru dari nasihat serta ajaran moral Islam, dapat menghasilkan anggapan yang salah seperti di atas. Ketika dikatakan, pikirkanlah dirimu, mereka mengira bahwa maksudnya adalah kita tidak mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain. Bahkan pada sebagian masyarakat, budaya ini telah dikukuhkan dalam undang-undang sehingga setiap orang boleh melakukan apa saja yang dia inginkan dan bebas mengerjakan apa saja yang dia maukan dan tak seorangpun boleh melakukan protes terhadapnya, kecuali apabila perbuatannya mengusik kebebasan orang lain. Sementara Islam tidak menerima kedua pemikiran tersebut, karena amar makruf dan nahi mungkar masuk dalam kewajiban yang pasti dalam Islam. Bahkan dalam sebagian riwayat nilai amar makruf dan nahi mungkar diletakkan

di atas salat. Karena apabila amar makruf dan nahi mungkar ditinggalkan, salat dan kewajiban-kewajiban yang lain juga akan ditinggalkan.

Pada hakikatnya, dilaksanakannya kewajiban-kewajiban dalam Islam adalah hasil dari perbuatan amar makruf dan nahi mungkar dan berkaitan erat dengannya. Imam Baqir as pernah berkata, “Sesungguhnya amar makruf dan nahi mungkar adalah jalannya para nabi dan metode orang-orang saleh, dia adalah kewajiban yang sangat agung yang dengannya semua faridhah dapat dilaksanakan.”(1) Tentu, kewajiban amar makruf dan nahi mungkar tidak akan pernah sejalan dengan konsep kesufian yang cenderung untuk berkhalwat di sudut-sudut masjid sambil menyibukkan diri dengan zikir dan ibadah; asing dengan masyarakat, menyendiri dan tidak berhubungan dengan mereka. Namun, Islam mengatakan:

Sebagaimana kamu bertanggung jawab atas dirimu, kamu juga mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain. Tentu terdapat syarat-syarat dan aturan khusus berkaitan dengan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar yang telah dijelaskan di kitab-kitab fikih. Sebagaimana salat masuk dalam kewajiban (dharuriyyat)

p: 94


1- 49 Allamah Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, juz 11, hal.395.

Islam dan mempunyai ketentuan dan syarat-syarat tertentu, amar makruf dan nahi mungkar juga termasuk dalam dharuriyyat Islam dan mempunyai syarat serta ketentuannya sendiri. Apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi, sebagai sebuah taklif yang wajib, dia harus dilaksanakan, baik orang lain suka maupun tidak suka dan sesuai dengan peradaban serta budaya dunia atau tidak sesuai. Maka, ketika Imam Ali as berkata, “Da'in nazhara fimâ lâ tukallaf” (Janganlah engkau memikirkan sesuatu yang bukan merupakan taklif dan tugasmu), tentunya beliau tidak memaksudkan amar makruf dan nahi mungkar yang merupakan sebuah

taklif syar'i yang pasti. Maksud beliau adalah agar jangan kita berpikir tentang sesuatu yang berada di luar taklif kita, sementara amar makruf dan nahi mungkar adalah sebuah taklif Ilahi dan kita diperintah untuk melaksanakannya.

Pada hakikatnya amar makruf dan nahi mungkar adalah tugas dan taklif kita. Mungkin, untuk mencegah anggapan dan penyimpulan yang keliru, Imam Ali as segera menyambung nasihatnya dengan kalimat, "Waʼmur bi al-ma'ruf..."; yakni, apabila aku mengatakan berpikirlah tentang diri kalian sendiri dan jangan masuk dalam urusan-urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diri kalian, hal ini bukan berarti aku melarang kalian untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akan

tetapi, aku justru berpesan: Wa'mur bi al-ma'rufi takun min ahlihi wa ankir al- munkara bi lisanika wa yadika, yakni perintahkan yang baik-baik dan jadilah orang yang berbuat baik serta cegahlah perbuatan yang buruk dengan lisan dan tanganmu!

Amar Makruf dan Nahi Mungkar Bukanlah Sebuah Pekerjaan

Amar makruf dan nahi mungkar selain memberikan manfaat bagi orang lain dan membenahi masyarakat, dan terbenahinya kondisi masyarakat akan kembali menguntungkan pelaku amar makruf dan nahi mungkar, juga mempunyai manfaat yang lain, yaitu' ketika seseorang melakukan taklif ini dan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, maka secara otimatis dia juga akan termotivasi untuk melakukan perbuatan

p: 95

baik dan lebih mementingkannya. Tentu, pengaruh ini dapat timbul dari“. perbuatan amar makruf dan nahi mungkar, apabila dia dilakukan dengan niat yang tulus dan sebagai taklif Ilahi, bukan sebagai pekerjaan atau tugas dari atasan. Karena terkadang pelaksanaan taklif Ilahi ini dapat berubah menjadi sebuah pekerjaan dan tugas dari atasan, seperti apabila seseorang ditugasi untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan maw'izhah dan mendapat gaji darinya. Amar makruf dan nahi mungkar yang semacam ini besar kemungkinan tidak akan memberikan pengaruh apa-apa pada pelakunya, karena di sini tidak ada hubungan hati yang terjalin antara pembicara dan pendengar; pengaruh yang ada hanyalah sebatas suara yang keluar dari mulut seseorang, sementara hatinya tidak terlibat sama sekali; apa yang dikatakan tidak keluar dari hati, kepedulian dan niat tulus demi kebaikan orang lain, karenanya nasihat tersebut tidak akan bersemayam pada hati pendengarnya, selain juga tidak memberikan pengaruh apa-apa bagi pelakunya.

Ada kemungkinan pelaku amar makruf dan nahi mungkar adalah pelaku dosa juga, sementara dia berkata kepada orang lain janganlah berbuat dosa! Dapat dipastikan ucapan seseorang yang berkata, “janganlah berbuat dosa dan dosa itu adalah buruk,” sementara dia sendiri melakukan dosa tersebut, tidak akan memberikan pengaruh banyak pada pendengarnya. Karena ucapan itu dikatakan tidak dengan motivasi Ilahi dan mungkin hanya sebagai pekerjaan serta tugas semata di mana dia akan mendapat upah dan ongkos yang telah disepakati darinya. Allah Swt telah mengecam orang-orang yang seperti ini dalam firman-Nya:

Apakah kalian memerintah manusia untuk melakukan kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri dan kalian membaca kitab Allah, mengapa kalian tidak berpikir?!(1); Mengapa kalian tidak melakukan perintah kebaikan yang kalian berikan kepada orang lain?! Adapun apabila amar makruf dan nahi mungkar dilakukan sebagai taklif syar'i, dan tentu berangkat dari kepedulian terhadap orang lain agar tidak terjerumus ke jalan yang sesat serta tidak ada tendensi dalam pikirannya untuk mendapatkan upah bahkan tidak jarang dia posisikan dirinya dalam bahaya agar dapat menyampaikan yang makruf dan mencegah

p: 96


1- 50 QS. al-Baqarah [2]:44.

yang mungkar serta menyelamatkan umat manusia dari kesesatan, yang seluruh daya dan upayanya dia kerahkan demi terlaksananya taklif Ilahi, jika seperti ini, maka dia akan berbuat lebih baik lagi dan ajakannya akan berpengaruh secara mendalam di hati para pendengarnya. Iapun tidak pernah masuk dalam kecaman ayat: Ata’murunannasa bi al-birri wa tansauna anfusakum (Apakah kalian memerintah manusia untuk melakukan kebaikan, sementara kalian melupakan diri kalian sendiri). Dengan demikian, salah satu manfaat dari amar makruf dan nahi mungkar yang seperti ini adalah si pelaku akan lebih sungguh-sungguh dalam menjalankan kebaikan dan taklif syar'i serta lebih istikamah dalam amalnya. Karena dia telah mengajak orang lain untuk berbuat baik dan meninggalkan yang mungkar, maka dia sendiri akan menjadi lebih serius dalam mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarangnya.

Amar makruf dan nahi mungkar tidak hanya dilakukan dengan lisan, tetapi adakalanya situasi dan kondisi mengharuskan seseorang untuk bertindak lebih dari sekadar memberikan peringatan lewat lisan. Seseorang harus menyingsingkan lengan bajunya untuk terjun dalam mencegah yang mungkar dan merealisasikan yang makruf. Tentu, amar makruf dan nahi mungkar yang seperti ini harus sesuai dengan syarat dan aturan fikih yang ada. Akan tetapi, apabila seseorang tidak dapat mencegah maksiat dengan nasihat dan maw'izhah serta tidak mempunyai kekuatan lain, tugasnya sesuai yang diungkapkan oleh Imam Ali as adalah, “Wa bayin man fa'alahu bi juhdik. Upayakan dirimu untuk menjauh dari para pelaku kemungkaran!.

Seseorang apabila tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar, setidaknya dia harus menjauhi orang-orang yang melakukan kemungkaran. Karena, jika tidak, secara perlahan mereka akan menyeretnya dalam perbuatan mungkar. Mengapa begitu? Ya, karena bergaul dan bercengkerama dengan para pelaku kemungkaran, sedikit demi sedikit akan menjadikan kemungkaran yang mereka lakukan luntur dari mata hati manusia dan secara berangsur dia akan terjerumus di dalam perbuatan-perbuatan nista itu; dia akan segera menjadi pelayan setan dan meniru tingkah-polah teman-teman sepergaulannya. Oleh sebab itu, Imam Ali as dengan tegas menyatakan, “Bersungguh-sungguhlah untuk menjauhi para pelaku kemungkaran!" ()

p: 97

Apabila seseorang termotivasi untuk berbicara hanya karena ada topik yang dibicarakan dan dia ikut berbicara semata-mata untuk menunjukkan eksistensi dirinya, dapat dipastikan bahwa dia telah melakukan sesuatu yang tidak benar dan tidak akan memberikan hasil apa-apa selain kerusakan, hilangnya harga diri di

mata orang lain dan terbuangnya kesempatan hidup secara sia-sia.

p: 98

7- JIHAD FI SABILILLAH

Point

وَ جاهِدْ فیِ اللّهِ حَقَّ جِهادِهِ وَ لا تَأْخُذْکَ فِی اللّهِ لَوْمَةُ لائِم، وَ خُضِ الْغَمَراتِ اِلَی الْحَقِّ حَیْثُ کانَ، وَ تَفَقَّهْ فِی الدِّیِنِ، وَ عَوِّدْ نَفْسَکَ التَّصَبُّرَ عَلَی المَکْرُوهِ، فَنِعْمَ الخَلْقُ الصَّبْرَ.

Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad, dan jangan sekali-kali terpengaruh oleh cercaan para pencerca dalam urusan Allah. Hadapilah segala bahaya demi kebenaran di manapun dia berada, pelajarilah agama dengan baik dan biasakan dirimu untuk tahan serta tabah dalam menghadapi kesulitan, karena kesabaran adalah sebaik-baik akhlak!

Tema besar yang hingga kini diungkapkan oleh Imam Ali as dalam wasiat Ilahinya adalah agar manusia menjaga sifat kewaspadaan dan kehati-hatian dalam hidup. Di dalam pesan beliau, banyak ditekankan agar manusia berbicara pada tempatnya, diam pada tempatnya, tidak asal ikut campur dalam urusan orang lain, menghindarkan diri dari jalan yang dapat menyesatkan, tidak mengeluarkan nasihat kecuali

p: 99

benar-benar berangkat dari niat baik yang tulus, tidak berkomentar atau memberi pernyataan tentang sesuatu yang masih diragukan hingga menjadi jelas baginya dan lain sebagainya. Sebagaimana yang telah kita ketahui, terkadang sebagian nasihat dapat disimpulkan secara keliru oleh orang yang belum matang pemikirannya, sehingga ucapan beliau yang berbunyi: Da’in nazhara fimâ lâ tukallafu (Jangan urusi sesuatu yang bukan merupakan tanmggung jawabmu), diartikan dengan, “Manusia harus berpikir tentang dirinya sendiri, berpikir tentang keselamatan dirinya saja dan tidak mempunyai tanggung jawab sama sekali terhadap orang lain.” Nah, agar tidak disalahartikan seperti itu, beliau dalam lanjutan pesannya menyinggung tentang tanggung jawab sosial manusia; yakni di samping seseorang harus memerhatikan taklif dan tugas individualnya, dia juga harus memberikan perhatian pada tugas sosialnya, seperti amar makruf dan nahi mungkar dan jihad di jalan Allah. Tugas dan tanggung jawab manusia terhadap masyarakatnya, pada hakikatnya adalah tanggung jawab dirinya, karena pengaruhnya dalam kehidupan lebih besar dibandingkan dengan tugas dan tanggung jawab pribadi. Berikut ini adalah penjelasan tentang tanggung jawab sosial dari bagian wasiat Ilahi beliau.

Kedudukan Tugas dan Tanggung Jawab Sosial

Sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa manfaat dan bahaya yang timbul dari melaksanakan atau mengabaikan tugas dan tanggung jawab sosial, jauh lebih penting dari tugas pribadi dan pengaruhnya bagi diri dan masyarakat juga lebih besar. Dengan kata lain, manfaat dan kerugian tugas-tugas seperti ini juga akan kembali kepada diri sendiri dan masyarakat. Apabila seseorang melakukan pengabdian kepada masyarakat, masyarakat akan mendapat keuntungan, tetapi orang pertama yang akan merasakan keuntungan ini adalah si pelaku pengabdian itu sendiri. Dia akan mendapatkan pengaruh langsung dari pengabdiannya selain

janji pahala dan ganjaran yang akan dia terima dari pelaksanakan tugas Ilahinya. Sebaliknya, apabila dia meninggalkan tugas ini, orang pertama

p: 100

yang akan merasakan kerugian adalah dirinya sendiri dan kerugian yang terbesar juga akan tertuju padanya. Karena, selain dia tidak mendapatkan pengaruh positif dari pelaksanaan tugas tersebut, dia juga akan berisiko. menerima siksa dan balasan Ilahi akibat meninggalkan taklifnya. Perlu direnungkan, bahwa kadang kepentingan sebuah tugas sosial jauh melebihi beberapa kepentingan pribadi. Bahkan, apabila seseorang melakukan seratus ibadah dan amal pribadi, namun meninggalkan satu taklif wajib sosial atau meremehkan dan mengabaikannya, dia tidak akan selamat dari siksa Ilahi serta akan mendapat efek negatif dari meninggalkan kewajiban sosial tersebut. Pahala-pahala dia raih dari amal dan ibadah pribadi tidak sebanding dengan siksa yang dia dapat dari meninggalkan

kewajiban serta taklif sosial, karena sebagian dari tugas-tugas sosial, seperti tingkatan-tingkatan dalam amar nahi mungkar atau jihad fi sabilillah, sedemikian penting dan menentukan sehingga bahaya serta kerugian yang timbul akibat meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab tersebut terhadap diri dan masyarakat, tidak dapat dibandingkan atau diganti dengan ibadah dan amal pribadi (yang mustahab) seberapapun banyaknya amal dan ibadah tersebut. Karena tidak ada amal ibadah mustahab pribadi yang dapat menggantikan tugas dan tanggung jawab sosial. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab manusia terhadap masyarakat, baik di bidang finansial, kultural, intelektual, pendidikan dan lain sebagainya, pada hakikatnya adalah tugas pribadinya, yang hasilnya

akan kembali pada dirinya sebelum kepada yang lain. Oleh sebab itu, sebagaimana kita harus memberikan perhatian pada tugas dan tanggung jawab pribadi, kita juga harus memberikan perhatian pada tugas dan tanggung jawab sosial, bahkan kita harus lebih mementingkan tugas dan tanggung jawab sosial dari yang pribadi. Tugas dan tanggung jawab sosial yang paling utama adalah amar makruf dan nahi mungkar, kita harus memberikan perhatian yang cukup untuknya. Begitu pentingnya tugas dan tanggung jawab amar makruf dan nahi mungkar sehingga sama sekali tidak boleh diabaikan, bahkan dia harus direalisasikan dalam berbagai macam cara, dari menunjukkan wajah yang tidak suka, sikap tidak setuju, imbauan dan nasihat sampai ketika kekuatan

p: 101

harus digunakan atau lebih daripada itu dengan mengorbankan jiwa demi menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya tugas dan kewajiban ini. Benar, dalam tahap-tahap tertentu terkadang perlawanan sosial dapat menjadi wajib sebagai salah satu bentuk dari amar makruf dan nahi mungkar, seperti perlawanan yang dilakukan oleh Sayyidusysyuhada' Imam Husain bin Ali as. Beliau dalam menjelaskan alasan kebangkitan

serta perlawanannya berkata, “Innama kharajtu li thalabil ishlaha fi ummati jaddi uridu an amura bi al-ma'rufi wa anha aʻnil munkari (Aku tidak keluar kecuali untuk melakukan pembenahan atas umat datukku, aku ingin memerintahkan yang makruf dan mencegah yang mungkar). (1) Beliau menegaskan bahwa alasan dan filsofi utama dari perlawanannya adalah amar makruf dan nahi mungkar. Alhasil, amar makruf dan nahi mungkar

mempunyai beberapa tahapan dan tingkatan yang berbeda. Setiap tahapannya mempunyai syarat-syarat tertentu. Adapun keterangan serta ibaca di buku-buku fikih.

Jihad yang Lebih Besar

Salah satu dari tugas dan tanggung jawab sosial yang penting dan wajib seperti salat adalah jihad fi sabilillah. Kita semua tahu bahwa maksud populer dari jihad adalah perang dengan orang-orang kafir, meskipun jihad tidak hanya terbatas pada peperangan serta pertempuran. Jihad mempunyai substansi yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi serta perkembangan zaman yang terjadi. Oleh karena itu, perlu kiranya sedikit dibahas tentang maksud dan arti jihad secara khusus untuk dapat dipahami dengan saksama substansi dan macam-macamnya. Jelas sekali, bahwa perlawanan bersenjata di medan perang merupakan

salah satu dari bentuk jihad, sebagaimana jihad-jihad lain juga dibutuhkan oleh masyarakat seperti jihad di bidang ilmu, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Macam-macam jihad di atas pada gilirannya juga mempunyai syarat-syarat tertentu yang sayang kurang banyak dikaji dan dibahas. Ada satu jenis jihad yang banyak ditekankan dalam ayat dan riwayat, yaitu jihad al-nafs. Betapa indah apa yang disabdakan oleh Rasul

p: 102


1- 51 Mausu'ah Kalimat al-Imam al-Husain as, hal.291.

saw kala menjelaskan tentang kemuliaan serta pentingnya jihad ini. Beliau saw berkata, “Selamat atas kaum yang baru saja melaksanakan jihad kecil (perang bersenjata di medan laga) dan masih tersisa bagi mereka jihad yang besar.' Ditanyakan kepada Rasulullah saw, 'Apa yang dimaksud dengan jihad akbar itu?' Beliau saw berkata, “Jihad akbar adalah jihad melawan hawa nafsu.(1) Lafaz jihad dan mujahadah digunakan dalam arti: pengerahan segenap daya dan upaya oleh seseorang dalam melawan dan memerangi musuhnya. Oleh sebab itu, setiap kali lafaz jihad diperdengarkan, maka makna yang segera muncul di benak adalah perang di front serta pengerahan kekuatan. Akan tetapi, adakalanya yang menjadi musuh adalah musuh internal yang

jauh lebih bahaya daripada musuh eksternal; sebagaimana Rasul saw pernah berkata, “A’da ‘aduwwika nafsukallati baina janbaik” (Musuhmu yang paling memusuhimu adalah nafsu yang ada di dalam dirimu).(2) Jihad akbar adalah perlawanan atas berbagai tuntutan dan kemauan nafsu, yakni manusia harus dapat mengendalikan serta menundukkan berbagai keinginan nafsu. Apabila nafsu hendak melampaui batas, dia mempunyai kekuatan untuk menghentikannya. Dengan demikian, maka jihad akbar atau jihad al-nafs juga merupakan pengerahan kekuatan dalam

menghadapi musuh. Karena musuh yang dihadapi berada di dalam [diri] dan tentu sangat sulit seseorang berperang dengan diri serta berbagai tuntutannya, maka jihad ini dinamakan sebagai jihad akbar. Pemimpin besar revolusi Islam (Iran) Imam Khomeini qs telah banyak membahas seputar jihad akbar. Beliau sendiri memulai perjuangannya dengan jihad al-nafs. Setelah meraih kemenangan dalam jihad ini, barulah beliau bisa berperan dalam menghidupkan agama dan menyelamatkan masyarakat Islam dari kehancuran dan kekalahan yang pasti. Kalimat- kalimat beliau ibarat pelita bercahaya terang yang senantiasa dapat

menjadi petunjuk bagi kehidupan kita. Oleh sebab itu, jangan sampai kita melupakan ucapan serta pesan insan Ilahi yang telah berhasil menghidupkan Islam Muhammadi saw itu. Kita harus menjadikan pesan dan petuahnya sebagai petunjuk sepanjang waktu. Sebelum segala sesuatu, kita harus melakukan jihad al-nafs dan penyucian diri (tazkiyah al-nafs),

p: 103


1- 52 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 5, Kitab al-Jihad.
2- 53 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 70, hal.64, hadis ke-7.

agar kita dapat menang di front serta medan lainnya, seperti politik, militer, budaya dan lain sebagainya. Di antara macam-macam jihad, yang kini sedang dihadapi utamanya oleh pusat-pusat keilmuwan seperti hauzah dan universitas yang mengemban tugas berat atasnya, adalah jihad kultur dan ideologi. Jihad ini berada di undak para sukarelawan dunia pendidikan hauzah dan universitas, dan merupakan tanggung jawab mereka yang mengaku sebagai serdadu Imam Zaman al-Mahdi ajallallahu farajahu al-syarif. Kita semua merupakan percikan rahmat dari wujud suci al-Mahdi afsy (semoga Allah menyegerakan kemunculannya); kita berkeyakinan bahwa para Imam Suci Ahlulbait (salam atas mereka semua) adalah perantara bagi turunnya anugerah dan rahmat Ilahi, sebagaimana dalam Ziyarah Jami'ah(1) kita mengkhithab mereka: Bikum yunazzalul ghaitsu (Berkat cahaya-cahaya suci kalian Ahlulbait, hujan (atau pertolongan) diturunkan).(2) Maka dalam hal ini, tugas para pelajar agama jauh lebih berat, di samping ilmu yang mereka dalami secara otmatis akan menjadikan mereka sebagai pionir dalam jihad ini, sementara pemuda sukarelawan dari kalangan universitas maupun nonuniversitas, harus menjadi bahu-bahu yang kuat dalam mendukung

perjuangan para ulama. Dengan demikian, jihad di bidang kebudayaan dan ideologi merupakan tugas dan tanggung jawab yang utamanya tertuju kepada para rohaniawan dan hauzah ilmiyah (pusat pendidikan agama). Berikut ini adalah sedikit penjelasan berkaitan dengan jihad ini.

Syarat-Syarat Jihad Ideologis dan Kebudayaan

1. Mengenal Musuh

Dalam jihad ini, juga terdapat beberapa syarat yang akan kita sebutkan di sini. Di antaranya, pertama kita harus mengenali siapa musuh ideologis dan kebudayaan kita, bagaimana cara kerja mereka dalam memengaruhi dan menembus masyarakat kita, untuk kemudian kita persiapkan dan tentukan senjata apa yang paling sesuai dan cocok untuk menghadapi mereka. Sebagaimana di medan tempur, senjata-senjata modern dan mutakhir tidak dapat dihadapi dengan pedang dan tombak, dan harus

p: 104


1- 54 Catatan Penyunting: Tentang kandungan dan faedah ziarah ini, lihat Mulla Bashir Rahim, Menziarahi Para Wali, (Jakarta: Al-Huda, 2011). Dalam buku ini, Rahim mengulas hampir setiap bait ziarah sehingga pada gilirannya memberikan pengertian mendalam kepada para pembacanya.
2- 55 Syekh Abbas Qommi, Mafatih al-Jinan: Ziyarah al-Jami'ah.

dipersiapkan senjata-senjata yang memadai untuk menghadapi mereka. Dalam perang ideologi dan kebudayaan juga harus dipersiapkan alat dan "sarana yang sesuai untuk menghadapi serangan serta konspirasi lawan. Pekerjaan ini merupakan sebuah taklif syar'i dan wajib hukumnya atas para ulama dan tokoh masyarakat. Perlu disadari, karena hingga kini dalam melaksanakan tugas penting jihad ideologis dan kebudayaan serta menghadapi serangan musuh, kita tidak mempunyai kekuatan yang memadai, maka tugas dan tanggung-jawab para ulama dan tokoh agama menjadi semakin berat. Mereka harus dapat membongkar segenap siasat, strategi serta konspirasi musuh dan memberikan perlawanan terhadapnya. Mengapa begitu? Ya, karena dalam perang militer, seluruh lapisan

masyarakat bahkan para remaja dapat berpartisipasi, namun dalam front ini (front perang ideologi dan kebudayaan), peperangan hanya bisa diikuti oleh orang-orang terpelajar dengan bekal keilmuwan yang memadai dan utamanya merupakan tanggung jawab para ulama dan tokoh-tokoh hauzah ilmiyah. Mereka harus bersungguh-sungguh dalam peperangan ini, karena bahaya dari serangan budaya dan ideologi tidaklah lebih kecil dibandingkan serangan militer Partai Ba'ts (sebuah partai sosialis), Amerika, negara-negara adikuasa dan setiap musuh militer lainnya, bahkan bahayanya tidak lebih kecil dari bom atom sekali pun. Karena bahaya ini mengancam keimanan para pemuda kita, sebagaimana sebagian dari serangan itu telah berhasil memengaruhi masyarakat kita dan hasil-hasil revolusi Islam kita telah menjadi target bidikannya. Dalam perang ideologi dan kebudayaan, musuh menyasar keyakinan dan keimanan masyarakat; serangan itu bertujuan menjadikan masyarakat tidak lagi peduli pada agama serta negara, dan itulah sesuatu yang ingin mereka wujudkan. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab para ulama dan pengawal akidah serta keimanan masyarakat, adalah menyadarkan mereka dari bahaya yang sedang mengancam modal termahal mereka dengan pencerahan; para ulama bertanggung jawab untuk menunjukkan kepada mereka siapakah musuh-musuh budaya dan peradaban Islam.

p: 105

2. Memperbaiki Niat dan Motivasi

Syarat lain dari jihad ini adalah adanya niat dan motivasi yang bersifat Ilahi. Dari sisi ini, tak ubahnya seperti jihad-jihad yang lain dalam Islam dan tak berbeda sama sekali. Yakni, semakin banyak pengetahuan seseorang dan semakin tulus niatnya, maka perbuatan dan amalnya akan semakin benilai. Hasil dari pejuangan yang dilakukan, sepenuhnya bergantung pada iman, makrifat dan ketulusan niat para mujahid di front ini. Pekerjaan dan pengabdian yang dilakukan seorang manusia sebagai taklif syar'inya bagi masyarakat, juga akan bermanfaat bagi dirinya sendiri apabila bermuara pada motivasi yang bersifat Ilahi. Mungkin saja

seseorang memberikan hartanya untuk amal kebaikan serta pengabdian sosial dan masyarakat banyak terbantu olehnya, tetapi disebabkan niat serta motivasinya tidak untuk Allah, maka dia sama-sekali tidak akan mendapatkan hasil dari infaknya. Sebagai misal, orang-orang kaya yang membangun berbagai rumah sakit dan yayasan sosial dengan tujuan popularitas. Meskipun di berbagai rumah sakit mereka banyak penderita yang diobati dan masyarakat mendapat banyak manfaat dari yayasan-yayasan mereka, maka para pendiri hanya akan mendapatkan sekadar popularitas yang memang menjadi tujuan mereka, tetapi mereka tidak akan mendapatkan ganjaran dan pahala di sisi Allah. Sebabnya adalah karena mereka tidak mempunyai motivasi selain riya dan pamer diri. Dalam perang militer pun, mungkin saja seseorang di tengah front melakukan berbagai macam perlawanan serta menunjukkan keberanian dan bahkan sampai gugur di medan laga, namun tidak ada manfaat serta hasil yang dia dapatkan. Telah dinukil sebuah riwayat yang menguatkan dan membenarkan keterangan di atas. Dalam sebuah peperangan, ada seorang yang terjun ke medan laga dan berteriak-teriak mencari lawan duel. Iapun akhirnya terlibat dalam pertempuran yang luar biasa sengit dan menarik banyak perhatian. Sementara itu, salah seorang sahabat yang berdiri di dekat Rasul saw dan menyaksikan keberanian orang tersebut dalam pertempuran bertanya kepada beliau, “Dengan keberanian yang telah dia tunjukkan, kira-kira setinggi apa maqam yang akan dia dapatkan?” Dengan satu tolehan, beliau menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa." Si

p: 106

penanya menyangka bahwa mungkin Rasul saw tidak memahami apa dan siapa yang telah dia tanyakan, karenanya dia bertanya lagi kepada beliau, * “Saya bertanya kepada Anda tentang orang yang sekarang sedang terlibat dalam pertempuran yang sengit ini dan menunjukkan keberaniannya?" Beliau berkata, “Ya, akupun memberikan jawaban tentang petarung ini, dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari perjuangannya.” Si penanya berkata, “Mengapa ya Rasulullah?” Beliau berkata, “Ia pergi ke medan laga semata-mata untuk menghindari ejekan orang atas dirinya. Ketika pemuda ini berjalan di lorong-lorong kota Madinah, para wanita mengejeknya dan berkata, “Alangkah tidak bergunanya pemuda ini! Sungguh dia adalah pemuda yang tidak mempunyai perasaan, bagaimana orang-rang tua pergi

ke medan jihad serta menyambut syahadah, sedangkan dia tinggal di rumah seperti seorang pengecut dan penakut!" Ejekan-ejekan inilah yang akhirnya mendorong dirinya untuk membuat keputusan dan berangkat ke medan jihad, dan dia berkata pada dirinya: Aku akan pergi ke medan laga dan akan aku tunjukkan sebuah perlawanan yang fenomenal, agar semua orang tahu siapa sebenarnya diriku! Karena pemuda ini berangkat ke medan laga semata-mata untuk mendapatkan popularitas serta sanjungan, maka dia tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.”

Dalam riwayat lain disebutkan: (Rasul saw) berbicara tentang seorang yang datang ke medan jihad, “Orang ini terbunuh di medan jihad dalam rangka memperoleh keledai! Dan karena niat utamanya adalah mencari keledai, maka dia tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.” Di dalam jihad politik, ekonomi dan ideologi, syarat ini juga mutlak diperlukan. Seseorang yang naik mimbar untuk memberikan nasihat, dia akan mendapatkan pahala dari amalnya apabila dia lakukan tulus karena Allah.

Akan tetapi, apabila tujuannya adalah agar orang-rang memberikan pujian dan berkata padanya, “Barakallah! Ahsanta!,” atau “Alangkah indah dan luar biasa apa yang diucapkannya!," maka penceramah ini tak ubahnya seperti syahidul himar(orang yang gugur karena seekor keledai) di atas dan jihad kulturalnya sama sekali tidak akan bermanfaat bagi dirinya. Meskipun banyak orang yang mengambil manfaat dari pesan dan nasihatnya, atau bahkan dapat mencapai maqam-maqam yang tinggi dari sisi keilmuwan serta ketakwaan, namun tetap tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa bagi dirinya.

p: 107

3. Keselarasan antara Aktivitas-Aktivitas Kultural dengan Berbagai Kebutuhan

Selain dari apa yang telah disebutkan, dalam jihad intelektual dan kultural, kita harus mengetahui apa sebenarnya tugas kita dan itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh mengikuti apa yang menjadi keinginan dan kemauan kita semata. Ketika dasar-dasar agama dalam bahaya, kita tidak boleh sibuk dengan “lukisan di dinding"; ketika sendi- sendi agama sedang goyah, maka kita tidak layak berpikir tentang "hiasan dan lukisan yang bersifat aksesoris.” Apabila kita sungguh-sungguh mau belajar karena Allah, kita harus melihat pengetahuan apa yang dibutuhkan masyarakat, sebuah pengetahuan yang apabila tidak kita pelajari maka masyarakat akan mengalami kesulitan. Apakah pengetahuan, pekerjaan dan urusan-urusan yang sudah banyak ditangani orang, kita akan mengulangnya lagi, dan apakah yang seperti itu bisa dianggap sebagai pekerjaan Ilahi dan khidmat kepada Islam? Sementara kita menyaksikan di bidang lain, banyak pekerjaan dan masalah yang belum digarap secara maksimal dan terabaikan.

Apa alasan syar'i yang bisa dikemukakan untuk melakukan pekerjaan secara berulang-ulang (tanpa dibutuhkan)?! Oleh sebab itu, dalam aktivitas intelektual dan kultural serta belajar, kitapun harus memerhatikan skala prioritas. Setelah menentukan tugas yang tepat, barulah kita berkonsentrasi di situ. Dengan kata lain, kita harus memilih pekerjaan dan pelajaran yang menjadi kebutuhan masyarakat. Dari situ kita akan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan lebih tepat.

Bahaya-Bahaya Jihad Kultural

1. Penyelewengan Pemikiran (Motivasi-Motivasi Batil dan Non-Ilahi)

Salah satu bahaya terbesar dalam kegiatan intelektual dan kultural adalah seseorang setelah menentukan tugasnya, mengumpulkan berbagai sarana yang menunjang dan siap untuk melaksanakan tugas tersebut, kemudian terpengaruh oleh ucapan orang lain sehingga dia menjadi lemah, patah semangat dan niat serta motivasinya menjadi berubah.

p: 108

Sebagai contoh, apabila seseorang mau sejenak berpikir dan mengkaji-ulang tujuan-tujuannya, bahwa apa yang menjadi motivasinya sehingga dia memilih sebuah pekerjaan atau jurusan tertentu, maka dia akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang mengherankan dan di luar dugaannya. Besar kemungkinan kesimpulan-kesimpulan itu tidak menyenangkan - baginya, atau bahkan dia tidak mau mengkaji seluruh motivasi tersebut agar permasalahan menjadi jelas bagi dirinya; dia hanya berkata, “Insya Allah benar dan diterima oleh Allah.” Padahal, apabila dia melakukan pengkajian yang lebih teliti berkaitan dengan tujuan dan motivasinya,

dia akan mengetahui betapa tidak bernilainya tujuan-tujuan tersebut dan betapa jauh dia terlempar dari kebenaran, atau dengan kata lain: Betapa selama ini dia telah menyibukkan hati dan pikirannya dengan fatamorgana dan hal-hal yang tak berguna.

2. Penyelewengan dalam Perbuatan (Pengaruh Ucapan Negatif Orang Lain)

Tak pelak lagi, salah satu faktor yang berpengaruh pada tindakan manusia adalah pendapat orang dan masyarakat umum. Omongan serta pendapat masyarakat memang sangat memengaruhi perilaku manusia. Sebagai misal, sebagian pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang, kemudian dipuji dan diberi ucapan, “Sungguh luar biasa apa yang telah kamu lakukan (ahsanta/masya-Allah),” maka secara otomatis orang yang telah mendapatkan pujian itu, akan memiliki motivasi lebih dalam melakukan pekerjaan itu. Sebaliknya, terkadang seseorang dengan pengetahuan yang teliti, usaha yang maksimal dan penentuan yang penuh kehati-hatian, memutuskan bahwa sebuah pekerjaan tertentu adalah baik dan harus dilakukan, tetapi hanya disebabkan masyarakat tidak suka atau alasan lainnya, tiba-tiba dia meninggalkan pekerjaan tersebut dan tidak menyukainya lagi. Menghadapi situasi dan kondisi yang seperti ini, apa yang harus dilakukan? Sejauh apa manusia dapat

bertahan menghadapi pemikiran dan opini umum? Apakah dia harus tetap melakukan pekerjaan yang telah dia pilih atau mengerjakan apa yang menjadi keinginan masyarakat umum? Sebagai contoh, kadang seseorang dengan pengetahuan yang teliti telah menentukan sebuah pekerjaan yang

p: 109

menurutnya wajib dan harus dilakukan, tetapi apabila dia melakukan pekerjaan tersebut, dia akan dicela oleh istri, ayah, ibu, saudara dan kerabat lainnya. Nah, dalam situasi dan kondisi yang seperti ini, sejauh apa dia mampu bertahan menghadapi pemikiran serta pendapat keluarga yang tidak setuju dan tetap melakukan pekerjaan yang baik, benar dan harus menurutnya? Berangkat dari kenyataan yang seperti inilah, al-Quran menegaskan, Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kalian yang murtad dari aghamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, (dan) bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela...(1) Kandungan ayat ini juga diungkap dalam wasiat Imam Ali as ketika beliau berkata, “Jahid fillahi haqga jihâdihi wa la ta'khudzka fillahi laumatu la’imin. Berjihadlah di jalan Allah dengan sungguh-sungguh dan jangan patah semangat dalam berjuang di jalan Allah oleh cercaan para pencerca! Lakukanlah sebenar-benar jihad di jalan Allah, laksanakan taklif dan tugasmu secara sempurna dan jangan segan-segan untuk berkorban dengan harta, nyawa, harga diri dan kemuliaan dalam melaksanakan tugas Ilahimu; laksanakan apapun yang merupakan taklif Ilahimu! Tugas ini

akan terlaksana, apabila seseorang tidak mudah terpengaruh oleh cercaan para pencerca dan celaan orang tidak akan membuatnya berpaling dari melaksanakan tugas Ilahi (lâ ta'khudzka fillahi laumatu la’im).

Bahaya besar ini bisa saja menimpa individu dan masyarakat.

Efek negatifnya adalah keduanya bisa menyeleweng dan menyimpang. Terkadang seseorang setelah melakukan perenungan dan pemikiran panjang, dia memutuskan untuk memilih sebuah jalan, bahkan dengan beragam dalil dan argumentasi, dia melihat bahwa pekerjaan tertentu wajib hukumnya untuk dia lakukan. Akan tetapi, ketika dia hendak melaksanakan tugas tersebut, dengan melihat reaksi yang ditunjukkan oleh orang lain serta ocehan mereka, seperti, “Jangan lakukan hal itu atau jangan sampai kaulaksanakan pekerjaan tersebut,” maka dia berada pada

p: 110


1- 56 QS. al-Maidah [5]:54.

sasaran celaan serta cercaan orang lain dan mulai kendor semangatnya untuk melakukan tugas yang menurutnya harus dan perlu. Akhirnya, dia benar-benar mundur dan meninggalkan sebuah pekerjaan yang telah dia putuskan sebagai tugas yang wajib bagi dirinya. Di sinilah, Imam Ali as mengingatkan kepada Imam Hasan, putra beliau, tentang bahaya ini seraya berkata, "Bersungguh-sungguhlah dalam perjuanganmu, jangan sampai kau terpengaruh oleh ucapan serta cercaan orang, sehingga engkau teralihkan untuk melaksanakan tugas Ilahimu, dan jangan sampai pendapat orang lain membuatmu berubah pikiran untuk melaksanakan

tugas Ilahi-mu.”

Syi'ah Sejati

Sedemikian pentingnya masalah pendirian yang teguh dan tidak mudah terpengaruhnya seseorang oleh pendapat orang lain, sehingga dalam sabda para Imam suci as, hal ini dijadikan sebagai tolok ukur kesyi'ahan. Dalam sebuah riwayat, Imam Baqir as berkata kepada salah seorang sahabat khususnya yang bernama Jabir bin Yazid Ju’fi, “Ketahuilah (wahai Jabir), engkau tidak akan termasuk pengikut kami, kecuali apabila seluruh penduduk kota tempat tinggalmu berkumpul dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang berperilaku buruk, namun kautidak risau oleh ucapan mereka, atau apabila mereka berkata bahwa engkau adalah orang yang saleh, namun kau tidak bersuka cita dengan pujian mereka. Nilai dan ukur dirimu dengan kitab Allah!(1) Dengan kata lain, Imam Baqir as hendak mengatakan, “Wahai Jabir, apabila engkau ingin menjadi pengikut kami, sifat Syi'ah kami haruslah seperti ini. Apabila semua masyarakat kota sepakat dan mengumandangkan yel-yel: ‘Mampus Jabir! Jabir adalah seorang lelaki yang berperilaku buruk dan jahat! Jabir kafir! Namun celaan dan cercaan mereka sama sekali tidak memengaruhi hatimu atau membuatmu gelisah. Sebaliknya, apabila mereka semua sepakat dan mengelu-elukanmu dalam

yel-yel: 'Hidup Jabir! Sungguh Jabir adalah manusia yang luar biasa hebat! Ahsanta!” Namun puja-puji mereka tidak sedikitpun memengaruhi hatimu

p: 111


1- 57 Harrani, Tuhaf al-Uqul.

dan kau tidak merasa tersanjung dengannya. Tentu tidak mudah bagi manusia untuk mencapai level kejiwaan serta mentalitas yang semacam ini. Coba bayangkan, apbila satu orang saja berkata kepada diri kita, Mengapa engkau lakukan perbuatan itu! Betapa buruk apa yang telah kau kerjakan!' Dapat dipastikan, kita akan merasa tidak senang hati dan tak lagi bersemangat untuk melakukan pekerjaan tersebut, apalagi kalau yang mengatakan hal itu adalah seluruh masyarakat kota.

Ahlulbait as ingin mendidik manusia-manusia yang dalam rangka menjalankan taklif Ilahi tidak bisa digoyahkan dan mundur oleh harta, modal perniagaan, nyawa, kemuliaan, harga diri, orang-orang yang dicintai dan sebagainya. Orang-orang yang terdidik dalam madrasah Ahlulbait as juga dapat dipastikan mempunyai jiwa yang siap berkorban dalam jihad kultural; mereka siap mempersembahkan seluruh kesempatan hidupnya untuk menerangkan dan menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Apabila manusia yang mempunyai mentalitas seperti ini menjadi sasaran celaan serta cercaan dalam jihadnya, dia sedikitpun tak akan goyah ataupun

menyesal. Sebagai contoh, seseorang yang dengan motivasi serta tujuan Ilahi menuntut ilmu agama, mengajarkan pengetahuan-pengetahuan ketuhanan (ma’arif Ilahiyah) atau melakukan kegiatan lain, maka dia tidak akan patah semangat lantaran celaan orang lain. Oleh sebab itu, apabila dikatakan padanya, “Seandainya engkau mengambil pekerjaan itu, maka banyak penghasilan yang akan kauperoleh setiap bulannya; bukankah dengan utang yang menumpuk, rumah gubuk dan keadaan ekonomi yang menghimpit, engkau tidak bisa belajar serta berdakwah dengan baik?!" Seluruh ucapan itu sama sekali tidak akan memengaruhi hati dan

semangatnya. Inilah salah satu makna dan maksud dari wasiat Imam Ali as yang berkata, “Lâ ta’khudzka fillahi lawmatu la’imin. Oleh sebab itu, setiap orang harus melakukan introspeksi dalam diri. Apabila amal perbuatannya tidak berdasar pada taklif dan rida Ilahi, dia harus segera membenahi niatnya, dan setelah ditentukan secara pasti apa taklif, tugas dan tanggung jawabnya, maka dia tidak boleh menunda-nunda atau bermalas-malasan. Apabila dia meninggalkan taklif dan tanggung jawabnya, semata-mata karena omongan orang, dia harus mengkaji ulang tentang kesyi'ahannya,

p: 112

atau bahkan dia harus meragukan apakah dirinya benar-benar seorang Syi'ah?! Oleh sebab itu, kita harus menjadikan al-Quran, kalam dan kemauan Allah Swt sebagi tolok ukur dari segala perbuatan kita. Imam Baqir as berkata, "Timbanglah dirimu dengan apa yang ada dalam kitab Allah! Apabila engkau mendapati dirimu berjalan di jalannya, engkau bersikap zuhud atas perintah zuhudnya, mengikuti ajakannya dan takut atas ancamannya, maka pertahankanlah keadaan itu dan bergembiralah atas imbalan yang akan kaudapatkan. Karena apabila kau sudah seperti itu, semua yang dikatakan orang tentangmu, sama sekali tidak akan membahayakan dirimu. Akan tetapi, apabila engkau mendapatkan dirimu berada di jalan yang bertentangan dengan al-Quran, hal apa yang sebenarnya telah menipu dirimu?!(1) Dengan kata lain, kita hanya perlu melihat apa yang baik dan buruk menurut al-Quran, untuk kemudian mengikutinya. Dalam hal ini, tentu kita harus banyak berlatih untuk dapat membimbing dan menciptakan diri yang berpendirian teguh dan tidak mudah terpengaruh oleh omongan orang, sehingga kita dapat istikamah dalam mengamalkan apa yang menjadi taklif dan tanggung jawab Ilahi

kita. Kita juga harus bersungguh-sungguh dalam menentukan apa yang menjadi tugas dan taklif kita, karenanya dalam lanjutan wasiat, Imam Ali as berkata, “Wa tafaqqah fi al-dîn" (pelajarialah agama secara mendalam); bila seseorang hendak menjalankan tugasnya, pertama-tama dia harus mengetahui apa sebenarnya tugas yang ada di pundaknya. Hal ini tidak mungkin terwujud kecuali melalui jalan tafaqquh dalam agama dan memahami hakikat-hakikat agama serta pengetahuan ketuhanan. Sebelum segala sesuatu, seseorang harus mempunyai pemahaman tentang agamanya, agar dia dapat mengetahui dengan ilmu hal-hal apa saja yang harus diutamakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan pengetahuan tersebut. Selain itu, tidak ada omongan ataupun celaan, seberapapun menyakitkan dan membuat hati perih, yang dapat membuatnya berhenti atau mundur dalam menjalankan taklif, tugas dan suluknya di jalan Allah.

p: 113


1- 58 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 78, bab 22, hal.162, hadis ke-1.

Ahlulbait as ingin mendidik manusia-manusia yang dalam rangka menjalankan taklif llahi tidak bisa digoyahkan dan mundur oleh harta, modal perniagaan, nyawa, kemuliaan, harga diri, orang-orang yang dicintai dan sebagainya. Orang-orang yang terdidik dalam madrasah Ahlulbait as juga dapat dipastikan mempunyai jiwa yang siap berkorban dalam jihad kultural; mereka siap mempersembahkan seluruh kesempatan hidupnya untuk menerangkan dan menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam.

p: 114

8- ILMU DAN AMAL

Point

وَجاهِدْ فِی اللّهِ حَقَّ جِهادِهِ وَلاتَأْخُذْکَ فِی اللّهِ لَوْمَةُ لائِم وَخُضِ الْغَمَراتِ اِلیَ الْحَقِّ حَیْثُ کانَ، وَ تَفَقَّهْ فِی الدِّینِ، وَ عَوِّدْ نَفْسَکَ التَّصَبُّرَ عَلَی الْمَکْرُوهِ، فَنِعْمَ الْخُلْقُ الصَّبْرَ.

Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad, dan jangan sekali-kali terpengaruh oleh cercaan para pencerca dalam urusan Allah. Hadapilah segala bahaya demi kebenaran di manapun dia berada, pelajarilah agama dengan baik dan biasakan dirimu untuk tahan serta tabah dalam menghadapi kesulitan, karena kesabaran adalah sebaik-baik akhlak! M

Setelah memerintahkan jihad, Imam Ali as berpesan, “Wa lâ ta'khudzka fillahi laumatu la’im; yakni, ketika sedang menjalankan tugas da taklif, seseorang tidak boleh terpengaruh oleh omongan orang, khususnya omongan yang tidak berbobot dan bernilai. Karena, apabila perhatiannya pada apa kata orang dan masyarakat, akan banyak tugas dan taklif yang akan dia tinggalkan, atau bahkan dia tidak dapat melaksanakan tugasnya sama sekali. Mengapa begitu? Ya, karena pada

p: 115

setiap perkara dan tugas, pasti ada sekelompok orang yang tidak setuju dan memberikan kritikan serta celaan dengan berbagai macam alasan. Jika perhatian seseorang hanya terpaku pada celaan orang lain, dapat dipastikan ia tidak akan bisa melaksanakan tugas serta taklifnya dengan baik. Oleh sebab itu, di awal seseorang harus dengan baik menentukan apa yang menjadi tuganya, baru kemudian dia memaksimalkan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan keridaan Ilahi. Pujian atau celaan orang tidak boleh sedikitpun memengaruhi hati dan tekadnya. Imam Ali as menyampaikan wasiat ini setelah berpesan tentang jihad, dengan tujuan agar omongan dan pendapat orang tidak memengaruhi seseorang dalam melaksanakan jihad serta taklifnya. Karena makna umum

mujahadah, adalah berusaha dalam menjalankan tugas; sighah mufa'alah (mujahadah) memberikan arti bahwa manusia dalam menjalankan taklif serta tugasnya, selalu berhadapan dengan hawa nafsu serta bisikan-bisikan setan jin dan manusia, dan harus bertahan dalam menghadapinya. Tak ubahnya seperti dua orang yang saling berhadapan; yakni hawa nafsu berhadapan dengan akal manusia atau berhadapan dengan (aturan Ilahi, karenanya dinamakan dengan mujahadah. Apabila dikatakan manusia harus senantiasa melawan nafsunya dan bermujahadah, maka yang dimaksud adalah makna ini, yaitu manusia harus selalu berusaha agar tidak berada di bawah kendali nafsu, setan dan pemikiran orang lain, dan seharusnya dia memerhatikan apa kata Allah dan melangkahkan kaki berdasarkan tugas

serta taklif Ilahi. Karenanya, setelah berwasiat tentang jihad, Imam Ali as berpesan, “Dalam menjalankan tugas dan jihad, jangan sampai engkau tertawan oleh omongan orang, agar kau dapat melaksanakan jihad serta tugas Ilahimu dengan baik dan sempurna.”

Syarat-Syarat Pelaksanaan Tugas

1) Syarat Ilmu

Seseorang yang hendak melaksanakan tugas, bermujahadah dengan hawa nafsu, bertahan dalam menghadapi godaan-godaan nafsu dan tidak terpengaruh oleh omongan orang lain, maka dia harus melengkapi

p: 116

dirinya dengan dua hal: Pertama, dia harus mengetahui kebenaran dan tidak keliru dalam menentukan tugasnya. Karena mengetahui tugas-tugas dan menerapkan nilai-nilai yang universal pada substansi-substansinya, bukanlah pekerjaan yang mudah, dan tidak sungguh-sungguh dalam hal ini, akan berakibat pada tertutupnya kebenaran dan tidak diketahuinya tugas-tugas. Memang, tidak setiap penerapan nilai-nilai universal pada berbagai substansinya itu sulit. Karena pada sebagian perkara, setiap orang dengan modal kaidah umum, dapat menentukan berbagai substansinya dan dapat mengetahui dengan tepat apa yang menjadi tugasnya. Namun, adakalanya penerapan kaidah umum pada substasinya, sedemikian sulit dan rumit, sehingga penentuan tugas juga akan menjadi sulit, seperti apabila lafaz ‘am yang ditakhshish, lafaz muthlaq yang ditaqyid, atau dalam pelaksanaan terjadi tabrakan nilai antara yang penting dengan yang lebih penting, atau masalah berkisar pada cara pelaksanaan sebuah tugas dan penentuan substansi-substansi taklif dan lain sebagainya. Misalnya, salah satu dari kewajiban dan keharusan dalam agama adalah masalah amar makruf dan nahi mungkar. Sebagian orang beranggapan bahwa apabila mereka hendak melarang seseorang dari perbuatan mungkar, mereka harus menggunakan kalimat-kalimat yang bernuansa celaan dan hardikan, sementara kita mengetahui bahwa masih ada banyak cara untuk melaksanakan kewajiban ini; masih ada ribuan cara yang lebih baik dalam rangka menjalankan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar seperti melakukan nahi mungkar dengan penjelasan dan cara bicara yang bisa diterima dan pantas, sehinga pelaku kemungkaran dapat merasakan niat baik kita dan segera menyesali perbuatannya. Sangat disayangkan, dalam banyak hal, bukan hanya motivasi non-Ilahi yang kita miliki dalam menjalankan amar makruf dan nahi mungkar,

dan bukan hanya tidak berangkat dari niat baik kita, tetapi apa yang kita lakukan pada hakikatnya adalah sebuah dosa besar. Umpamanya jika seseorang dengan alasan mencegah kemungkaran, mempermalukan orang di hadapan umum atau mengeluarkan unek-unek serta kekesalan pribadinya atas orang tertentu, padahal mempermalukan orang mukmin termasuk dalam dosa-dosa besar. Kebanyakan cara-cara yang digunakan

p: 117

untuk melakukan amal baik, adalah cara yang salah untuk menjalankan sebuah taklif, bahkan bisa terhitung sebagai dosa lain (di hadapan dosa yang hendak dicegah). - : Sangat disayangkan, terkadang untuk menjalankan sebuah taklif yang wajib, kita melakukan beberapa dosa besar. Cara yang kita gunakan untuk

melakukan amar makruf dan nahi mungkar, selain tidak berpengaruh pada pelaku kemungkaran, tetapi justru menambah pembangkangannya dan secara sengaja melakukan dosa-dosa yang lain. (Hal itu terjadi), karena amar makruf dan nahi mungkar telah dilakukan dengan cara yang tidak benar dan tentu tidak akan memberikan hasil yang positif, bahkan menjadikan pelakunya semakin termotivasi untuk berbuat dosa. Oleh sebab itu, dalam menjalankan taklif amar makruf dan nahi mungkar yang merupakan kewajiban yang paling urgen dalam agama, haruslah berdasar pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh agama, agar amar makruf dan nahi mungkar dapat terlaksana dengan cara yang baik dan benar. Kita harus belajar bagaimana cara menghadapi dan berbicara dengan setiap orang dan tentu kita juga harus memerhatikan situasi dan kondisi juga waktu dan tempat agar tugas penting ini dapat terlaksana dan memberikan hasil sebagaimana yang diinginkan, di samping agar kita juga terbebas dari sifat angkuh, 'ujub dan menunjukkan kemuliaan diri. Apabila kita menjalankan kewajiban Ilahi

dengan motivasi Ilahi pula seraya tetap menjaga syarat serta ketentuannya, juga memerhatikan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka dapat dipastikan kita tidak akan menuai hasil yang sebaliknya. Maka perlu diperhatikan, bahwa sekadar mengetahui taklif dan kewajiban telah dijelaskan dalam al-Quran atau dianggap sebagai sesuatu yang niscaya (dharuriy) dalam agama, tidaklah cukup untuk segera melaksanakan kewajiban tersebut. Akan tetapi, berbagai syarat dan ketentuannya harus juga dipelajari, agar kewajiban tersebut dapat dilaksanakan dengan cara yang benar. Jika seseorang tidak memerhatikan syarat serta ketentuan amar makruf dan nahi mungkar, sangat besar kemungkinan dalam menjalankan taklif ini dia akan terjerumus dalam perbuatan dosa yang lebih buruk dan lebih besar. Sebagai misal, ada

p: 118

seseorang yang melakukan dosa kecil secara sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat oleh orang lain, lalu seseorang yang tidak mengetahui syarat dan ketentuan amar makruf dan nahi mungkar, mempermalukan si pelaku dosa kecil di hadapan khalayak. Padahal mempermalukan dan menjatuhkan harga diri orang mukmin adalah termasuk dalam dosa besar. Sementara si pelaku amar makruf dan nahi mungkar mengira bahwa dirinya telah melakukan kewajibannya dan tidak menyadari bahwa sebenarnya dia telah melakukan dosa besar.

Oleh sebab itu, seseorang yang hendak menjalankan sebuah tugas dan kewajiban, maka dia harus memerhatikan beberapa poin berikut: Pertama, dia harus mengetahui dengan benar apa tugasnya berikut syarat dan ketentuannya. Hal ini berkaitan dengan masalah pengetahuan dan pengenalan, yakni dia harus mengenali kebenaran secara tepat dan sesuai dengan realitas. Kemudian dia mempelajari tentang cara yang benar dalam menjalankan taklif serta tugasnya. Nah, baru setelah itu dia boleh menjalankan serta mengamalkan tugas dan taklif tersebut. Rangkaian langkah dan kegiatan di atas dapat disebut sebagai tafaqquh fi al-dîn. Maksudnya adalah seseorang harus memahami dan mendalami agamanya, sehingga dia mengerti tentang ajaran-ajaran Ilahi yang dianutnya dan

mengetahui tugas serta taklifnya. Pemahaman yang mendalam tentang agama ini, disebut sebagai tafaqquh fi al-dîn. Pengertian ini jauh lebih umum dibandingkan dengan makna faqahah yang ada dalam pikiran kita, meskipun lebih detail dan rinci dari apa yang biasa kita istilahkan dengan fiqih.

2) Syarat Amal

Tahap yang kedua dalam menjalankan taklif adalah tahapan amal. Setelah kita mengetahui pekerjaan apa yang harus dilakukan, tibalah saatnya untuk membulatkan tekad dan bekerja keras dalam rangka menjalan tugas. Pada tahapan ini harus manusia bercengkerama dengan berbagai kesulitan dan masalah, serta dia harus mengamalkan setiap kebenaran yang dia dapatkan. Pada tahapan makrifat, kebenaran harus dipisahkan dari yang batil dengan perantara ilmu, mencari pengetahuan

p: 119

dan tafaqquh fi al-dîn, untuk kemudian pada tahapan amal, taklif dan kebenaran harus dijalankan dengan penuh semangat, kerja-keras dan penyiapan berbagai sarana penunjang, dan tentu dalam koridor keridaan Ilahi.

"Mungkin berdasar keterangan di atas, Imam Ali as dalam lanjutan wasiatnya berkata, “Khudhil ghamarâti ilal haqqi haitsu kâna;" yakni pada tahapan kedua, penekanan ditujukan pada terlaksanakannya kebenaran dalam kehidupan, yang di dalamnya usaha harus dimaksimalkan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai macam kesulitan harus diwujudkan. Ketika kalian sudah menemukan makrifat dan kebenaran serta mengetahui yang hak, maka janganlah kalian mengira bahwa pekerjaan sudah selesai, garis finish telah dilalui dan tidak ada tugas lagi kecuali duduk tenang di rumah, beristirahat, bebas dari taklif dan tanggung jawab, tetapi kalian masih ada tugas dalam mengamalkan dan menjalankannya. Kalian masih harus masih harus mengarungi lautan, ombak dan api; kalian masih

harus memasuki berbagai gelombang cobaan dan kesulitan; kalian harus terus maju menghadapi berbagai macam musibah serta ujian dalam rang merealisasikan yang hak dalam kehidupan. Menemukan kebenaran bukanlah akhir dari segala-galanya, sehingga kalian bisa duduk tenang dan bersantai.

Apabila seorang mukmin hendak menjalankan tugasnya dan memakmurkan kehidupan ukhrawinya, dia harus bersiap diri melakukan serta berkorban apa saja demi tegaknya kebenaran, meskipun karenanya dia harus memasuki pekerjaan-pekerjaan yang sulit dan rumit. Jelas sekali, bahwa manusia pada umumnya takut, khawatir dan tidak suka pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit dan berisiko tinggi. Sepertinya bermalas-malasan dan bersantai, sudah menjadi fenomena instingtif bagi manusia, dan usaha serta kerja keras dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan rintangan tidak lagi sesuai dengan nalurinya. Bahkan dia berusaha melepaskan diri dari pekerjaan yang sulit dan tanggung jawab yang berat.

Kebanyakan manusia ingin hidup santai di sebuah tempat sambil beranggapan bahwa semua tugasnya sudah selesai dan tuntas dikerjakan!

p: 120

Sebagai misal, dia memegang tasbih di tangan, membaca salawat atau satu surah al-Quran atau membuka sebuah buku dan membacanya. Memang, beberapa pekerjaan tersebut adalah baik dan mendatangkan pahala, dengan syarat tidak ada tugas yang lebih penting di pundaknya. (Akan tetapi) Seorang muslim Syi'ah (pengikut) Imam Ali as, harus selalu siap beraktivitas dan menjalankan tugas; harus selalu aktif dan dinamis serta siap melakukan pengorbanan dan mempertaruhkan nyawanya demi kebenaran. Dia tidak boleh duduk bersantai dan berleha-leha di sudut-sudut rumah; bermalas-malasan dan menganggur dijadikan sebagai pekerjaan, lalu menamakannya dengan mendalami agama, menyucikan diri dan berzuhud. Semua itu adalah tipuan belaka dan bukan merupakan mendalami agama atau penyucian diri. Apabila bangun malam, salat di tengah malam dan mengerjakan salat nafilah adalah tugas seorang mukmin dan baik untuk dilakukan, maka di pagi hari dia tetap harus bangun untuk beraktivitas dan bekerja. Dia tidak boleh mengganti waktu kerja dengan satu jam membaca al-Quran dan beberapa rakaat salat! Pengaturan dan perencanaan dalam bekerja, merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan seseorang. Membaca al-Quran, berdoa dan bermunajat dengan Allah haruslah dilakukan pada waktunya, seperti saat sahur di sepertiga malam terakhir. Karena, di malam hari dan waktu sahur, roh manusia lebih siap untuk melakukan ibadah, munajat dan berkeluh kesah kepada Allah. Sepertinya Allah Swt dalam ayat ini, “Wa qur'an al-fajri. Inna qur'an

al-fajri kâna masyhûdân (dirikanlah pula salat) subuh. Sesungguhnya salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat),(1) hendak menarik perhatian kita, maksudnya, membaca al-Quran menjelang terbitnya fajar, disaksikan oleh para malaikat. Apabila engkau hendak membaca al-Quran, bacalah bainatthulu’ain dan sebelum azan subuh, karena: Inna nâsyi’ata al-laili hiya asyaddu wath'an wa aqwamu qîlan. Inna laka fi al-nahâri sabhan thawîlan. (Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (lebih khusuk] dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak] ).(2) Salat malam dan doa di waktu sahur adalah sebaik-baik bukti atas keikhlasan, ketulusan hati

p: 121


1- 59 QS. al-Isra [17]:78.
2- 60 QS. al-Muzzammil [73]:6-7.

serta kesungguhan iman seorang hamba. Siang hari adalah waktu dan kesempatan tuk bekerja dan beraktifitas Apabila engkau benar-benar ingin melakukan ibadah, waktunya adalah di malam hari, dalam kesunyian dan ketenangannya. Lakukanlah ibadah di waktumu yang tidak lagi disibukkan oleh pekerjaan di siang

hari, yakni pada waktu ketika semua mata tengah lelap tertidur, seluruh tubuh berbaring di atas ranjang yang empuk melepas segala kepenatan dan di waktu ketika tidak ada yang memantau keadaan umat manusia kecuali Allah, maka di saat itulah seharusnya engkau memisahkan tubuh dari tempat tidur dan mengajak jiwa serta rohmu untuk bermunajat, berdoa dan beribadah kepada Allah. Ibadah di waktu sahur lebih terjamin ketulusannya dan bebas dari sifat riya, sementara siang hari adalah waktu untuk berusaha dan bekerja dengan segenap kekuatan serta kemampuan yang ada dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan. Ibadah tidak boleh menjadi alasan untuk datang terlambat di tempat kerja atau diliburkannya proses taklim, penelitian dan telaah.

Sebagaimana kesibukan dalam pekerjaan dan perniagaan tidak dapat menjadi alasan untuk meninggalkan salat serta kewajiban-kewajiban yang lain, (maka salat dan ibadah yang lainnya juga tidak dapat menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban mencari nafkah dan bekerja). Belajar, menuntut ilmu dan melakukan penelitian juga (bisa menjadi) wajib hukumnya dan tidak bisa digantikan oleh kesibukan lainnya. Amal yang mustahab tidak boleh menggeser amal yang wajib. Hukum ini juga berlaku pada seluruh tugas dan tanggung jawab manusia. Umpamanya, seorang pegawai atau pejabat negara tidak boleh datang terlambat di

kantornya dengan alasan bahwa dia belum membaca ziarah Asyura karena meskipun ziarah Asyura itu dibaca dengan penuh keikhlasan, tetap saja tidak bisa menjadi alasan keterlambatan masuk kerja. Dan, apabila engkau adalah pencinta Imam Husain as yang sejati, kamu sudah harus berada di balik meja kantor pada awal waktu, karena itu adalah tugas dan tanggung jawabmu. Pekerjaan itu adalah kewajibanmu, sementara ziarah Asyura adalah amal yang mustahab dan tidak bisa menggeser amalan yang wajib.

p: 122

Gila Kerja

Anjuran dan imbauan untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab individual dan sosial, menjadikan sebagian orang jatuh dalam ifrath (berlebih-lebihan) dalam bekerja, sehingga mereka lebih mendahulukan kerja daripada berpikir dan gerak fisikal mendahului aktivitas nalar mereka. Untuk itu, perlu kiranya sedikit dijelaskan seputar masalah penting ini, bahwa keadaan selalu mau dan siap bekerja dalam segala macam aktivitas tanpa perenungan yang matang serta menyibukkan

diri dalam pekerjaan tanpa tujuan yang jelas, bukanlah sesuatu yang pantas dilakukan oleh orang yang berakal dan beriman. (Orang yang berakal dan beriman), harus terlebih dahulu mengetahui apa tugas dan bagaimana cara melakukannya, untuk kemudian bertindak dan bekerja. Dengan kata lain, kendati mentalitas suka santai dan memanjakan diri itu tercela, tidak baik dan harus dihilangkan, namun mentalitas pokok bekerja dan beraktivitas juga tidaklah terpuji, dan tidak seharusnya seseorang menyibukkan diri dalam aktivitas yang tidak bermanfaat dan tanpa tujuan yang jelas. Terlebih dahulu dia harus memikirkan dan mengetahui apa yang baik dan benar, untuk kemudian melakukan tindak lanjut atasnya.

Imam Ali as berkata, “Khudhi al-ghamarâti ilal haqqi haitsu kâna," yakni, “selamilah kedalaman samudera demi mengetahui kebenaran tentang pandangan hidup dan keyakinan untuk dijadikan pedoman dalam segala amal perbuatan.” Nah, setelah diperolehnya pemahaman yang benar, barulah seseorang layak untuk turun dalam tindakan dan kerja. Ada juga ungkapan yang hampir sama dengan apa yang dipesankan oleh Imam Ali as berkaitan dengan menuntut ilmu, yaitu apa yang

diucapkan oleh Imam Shadiq as, yang berbunyi, “Uthlub al-'ilma wa law bikhaudh al-lująji wa syâqq al-muhaji,(1) yakni, “Tuntutlah ilmu sekalipun dengan menyelami kedalaman lautan dan mempersembahkan jiwa!" Dengan kata lain, bersiaplah untuk meneteskan darah dalam rangka mencari ilmu, karena pengorbanan pantas diberikan untuk mendapatkan ilmu dan kebenaran. Untuk mengetahui kebenaran dan mengaktualisasikannya dalam bentuk amal perbuatan, manusia harus siap memaksimalkan usaha dan

p: 123


1- 61 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 78, hal.277, hadis ke-113.

membuang jauh-jauh sifat malas serta suka bersantai. Pasalnya, kedua mentalitas ini tidak baik baginya dan akan menjadi penghalang untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Jangan sampai dengan alasan zuhud, takwa dan meninggalkan dunia, kita bermalas-malasan dan bersantai. Sikap bermalas-malasan dan bersantai, bila kita anggap sebagai zuhud, takwa dan meninggalkan dunia, maka tidak hanya semakin membuat kita jauh dari takwa dan zuhud, tetapi justru akan menyeret kita dalam penyimpangan dan penyelewengan. Tidaklah pantas manusia menipu dirinya sendiri dengan perbuatan yang seperti ini. Dengan penuh keyakinan, dapat dikatakan bahwa Allah jauh lebih mengetahui tentang apa yang disembunyikan oleh manusia dalam hatinya, apakah niat seseorang itu benar-

benar ingin mencapai kezuhudan atau sekadar ingin bersantai, bermalas- malasan dan bebas dari berbagai macam tugas serta tanggung jawab. Seseorang yang hendak memerangi sifat malas dan suka santai, dia harus berdialog dengan berbagai kesulitan dan rintangan hidup, agar secara berangsur mentalitas mengenali tugas dan siap berkorban dalam menjalankannya menjadi kuat. Tentu, menghadapi berbagai kesulitan bagi mereka yang terbiasa hidup santai dan bermalas-malasan akan terasa sangat berat. Pada umumnya, orang-orang seperti ini tidak tabah dan mudah menyerah dalam menghadapi sedikit tantangan, kesulitan dan

rintangan. Bahkan, begitu merasakan bahwa masalah yang dihadapi sedikit rumit dan membutuhkan banyak energi, mereka akan segera meninggalkan taklifnya. Katakanlah, ada seorang anak yang hidup dimanjakan di rumah oleh kedua orang tuanya dan menjadi besar dengan kebutuhan yang selalu dipenuhi dan disediakan. Maka ketika suatu saat dia harus berpisah dengan orang tua dan hidup sendiri di tempat yang asing, besar kemungkinan dia tidak bisa bertahan dalam menghadapi berbagai macam kesulitan serta tanggung jawab yang kini harus dia pikul sendiri. Karena menurutnya tanggung jawab ini sulit, dia akan berlepas diri darinya.

Seseorang yang telah menentukan bahwa tugasnya adalah belajar dan menuntut ilmu, mau tak mau dia harus sudah mempersiapkan dirinya untuk tugas tersebut dan menghadapi berbagai tantangan-Nya. Akan tetapi, karena anak tersebut tidak terbiasa dalam menghadapi kesendirian,

p: 124

kesulitan, rasa lapar dan ketidaknyamanan, atau bahkan belum pernah merasakannya sama sekali, maka di hari-hari pertama belajar, dia akan memutuskan bahwa tempat itu tidak sesuai dengannya dan terlalu jauh berbeda dari rumah yang selalu memenuhi kebutuhan serta keperluannya; sang ibu di rumah selalu menyiapkan makanan untuknya dan mengajaknya untuk makan dengan memohon dan mengharap. Namun, di tempat yang baru, dia harus menyiapkan peralatan makan sendiri, mencuci piring sendiri, ... Dari sisi lain, terkadang kesulitan ekonomi datang menimpa, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, dia terpaksa berutang, atau secara kebetulan dia tinggal sekamar dengan anak yang tidak baik, sehingga membuat kesulitan yang dihadapinya bertambah berat, maka dapat dipastikan bahwa anak yang selalu hidup dimanja, tidak akan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai macam kesulitan tersebut dan segera meninggalkan tugas belajarnya; dia akan berlepas diri dari tanggung jawab dan tugas syar’inya.

Ini hanyalah contoh sederhana dari kesulitan personal, sementara menjalankan tugas dalam menghadapi kesulitan sosial, ratusan kali lipat lebih sulit. Apabila seorang manusia hendak memiliki kehidupan yang tertata sesuai dengan kehendak Allah Swt dan Rasul-Nya, semestinya dia harus siap menghadapi berbagai macam kesulitan dan tantangan. Jelas sekali, bahwa manusia yang tidak terlatih, lebih mengutamakan lari dari masalah daripada menghadapinya; dia akan berkata, “Aku tidak menghendaki tugas serta pahala yang seperti ini, selamat tinggal!" Bukankah mendapatkan satu suap roti dari bekerja dan bercocok tanam atau lainnya, lebih mudah diraih dan tidak perlu menanggung berbagai macam tantangan yang berat, korban perasaan dan kesukaran. Apakah untuk masuk ke dalam surga, harus melalui satu pintu ini saja?! Seseorang yang membantu fakir miskin dengan uangnya, juga bisa masuk ke dalam surga. Masih ada ribuan jalan dan perbuatan baik yang dapat mengantarkan kita masuk surga, lalu apa perlunya kita menanggung berbagai kesulitan ini?!

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa “Bi qadri al-kaddi tuktasab al-ma’ali, faman thalaba al- ‘ulasahar al-layali,” yakni, “Sesuai dengan

p: 125

usaha yang diberikan, kedudukan serta kemuliaan akan diraih. Maka itu, barangsiapa yang hendak mencapai kemuliaan di sisi Ilahi, dia harus bangun di malam hari.” Dengan kata lain, “imbalan dan pahala akan diperoleh sesuai dengan kesulitan dan kesukaran yang ditanggung. Para penghuni surgapun tidak berada pada satu tingkatan yang sama. Apabila manusia tidak ingin menyesal di sana, dia harus siap menghadapi berbagai kesulitan sebaik-baik hamba Allah dengan tulus dan lapang dada.

Tashabbur (Melatih Kesabaran) dalam Mendalami Agama

Manusia harus membuang mentalitas suka santai dan bermalas-malasan serta memeranginya. Karena, mentalitas seperti ini, terkadang bisa membuat orang menciptakan berbagai macam alasan untuk membenarkan tindakannya. Contohnya, karena menanggung berbagai macam kesulitan menuntut ilmu itu berat, maka dia akan dengan mudah beralasan bahwa tubuhnya lemah dan sakit-sakitan, karenanya, “aku harus segera meninggalkan tugas menuntut ilmu dan mencari kegiatan lainnya”; dia dapat merangkai sejuta alasan untuk membenarkan tindakan meninggalkan tugas menuntut ilmu dan bahwa tindakan ini merupakan

kewajiban syar'i baginya. Dia bisa meyakinkan dirinya bahwa tindakan meninggalkan taklim sebagai kewajiban syar'i, padahal taklim itu sudah pasti merupakan kewajiban syar'i! Apabila seseorang hendak terbebas dari berbagai waswas setani ini, dia harus melatih dirinya untuk menghadapi berbagai rintangan dan

tantangan kehidupan. Dia harus terus melatih serta mengupayakan agar dirinya kuat dan tabah. Kepada seseorang yang mempunyai sifat tabah dan sabar, diistilahkan dengan shabur atau shabbar. Adapun tashabbur artinya adalah melatih kesabaran. Tashabbur adalah ketika seseorang belum terbiasa dan terlatih dalam menghadapi kesulitan dan tantangan dan baru untuk pertama kalinya berhadapan dengannya. Oleh sebab itu, orang yang seperti ini masih baru melatih dan memaksa dirinya untuk bersabar dan tabah dalam menghadapi berbagai macam kesulitan, agar secara berangsur mentalitas suka santai dan bermalas-malasan dapat

p: 126

rintangan serta tantangan. Tahapan melatih diri untuk bisa sabar dan tabah inilah yang disebut dan distilahkan dengan tashabbur. Menurut para udaba (ahli sastra), salah satu makna dari wazan tafa’ul adalah takalluf (memaksa diri). Yakni, jika dikatakan: Tallafa al-shabra, artinya adalah: memaksakan kesabaran pada diri.

Dengan demikian, maka tafaqquh fi al-dîn, bertentangan dengan anggapan sebagian orang, bukanlah pekerjaan yang mudah atau mencari makan dari agama, tetapi berarti menguatkan dan mengairi pohon agama, karena tafaqquh fi al-dîn merupakan pekerjaan dan tugas yang sangat berat; untuk menuntut ilmu agama dan pengetahuan tentang ajaran-ajarannya dibutuhkan kesabaran serta ketabahan dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan tantangan. Setelah berpesan tentang tafaqquh fi al-dîn, Imam Ali as berkata, “Awwid nafsaka al-tashabbura ‘alal makruhi,” yakni, latih dan biasakan dirimu (untuk mencapai kebenaran) agar tabah dalam menghadapi sesuatu yang tidak kamu sukai! Bila ingin berhasil dan sukses, kalian harus melakukan tashabbur, yakni mencoba, melatih dan membiasakan diri dengan kesabaran serta ketabahan. Diperlukan masa latihan yang cukup panjang, agar sifat sabar dan tabah dapat menjadi karakter pada diri. Saat itulah sabar dan tabah akan menjadi mudah. Memang benar, bahwa di awal-awal, pekerjaan ini akan terasa menyulitkan, tetapi tetap harus dilalui sekalipun pelan-pelan dan selangkah demi selangkah sambil meyakinkan pada diri bahwa sifat sabar ini dapat diwujudkan, hingga suatu saat ini masalah menghadapi kesulitan dan rintangan, benar-benar menjadi pekerjaan yang mudah dan biasa. Inna ma'a al-'usri yusrân. Sungguh bersama kesukaran ada kemudahan)(1); sayaj'alullahu ba’da ‘usrin yusrân (Allah akan menjadikan kemudahan setelah kesukaran). (2) Sudah menjadi sunnatullah, Allah menghadapkan manusia di awal untuk bercengkerama dengan berbagai kesukaran dan kesulitan, baru kemudian akan datang masa ketika manusia terbebas darinya; yakni, setelah manusia berhasil tabah dan sabar dalam menghadapi kesulitan, Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah

baginya, karena tanpa kesabaran manusia tidak akan bisa melaksanakan berbagai tugas dan taklifnya.

p: 127


1- 62 QS. al-Insyirah [94]:6.
2- 63 QS. al-Thalaq [65]:7.

Jenis-Jenis Sabar

Tepat kiranya, apabila di sini sedikit disinggung tentang jenis-jenis - kesabaran. Rasulullah saw berkata, “ Al-shabru tsalatsatun shabrun 'ala al- mushibati wa shabrun ‘ala al-tha’ati wa shabrun ‘ala al-ma'shiyati.” Sabar itu ada tiga jenis: sabar atas musibah dan bencana, sabar dalam menjalankan ketaatan dan taklif Ilahi, dan sabar untuk menahan diri dari berbuat dosa dan maksiat. (1) Terkadang seseorang menghadapi kejadian dan musibah yang menyakitkan, seperti kefakiran, sakit, berpisah dengan karib-kerabat, ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai, ketika dia dituntut untuk bersabar dalam menghadapi semua itu. Kesabaran yang seperti ini disebut dengan kesabaran atas musibah. Adapun sabar atas maksiat, terjadi ketika nafsu dan amarah menguasai manusia dan hampir jatuh dalam perbuatan dosa. Apabila dalam situasi dan kondisi yang seperti itu, manusia bisa menjaga diri dan tidak terjerumus ke dalam maksiat, maka dia dapat dianggap sebagai seorang yang telah bersabar atas maksiat. Dengan kata lain, menjaga diri untuk tidak ternoda oleh perbuatan dosa juga merupakan satu jenis dari kesabaran.

Bentuk lain kesabaran adalah sabar dalam menjalankan ketaatan. Melaksanakan berbagai taklif Ilahi, tidak selamanya mudah. Sebagai contoh, belajar sebagai sebuah taklif, bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk menjadi seorang alim dan berpengetahuan tinggi, sangatlah berat dan sulit. Adakalanya dalam belajar, seseorang hanya ingin mendapatkan nilai yang tinggi, tentu hal ini tidaklah terlalu sulit. Namun jika seseorang benar-benar bertujuan untuk menjadi tahu dan mengerti atau ingin benar-benar melaksanakan tugasnya, bukanlah pekerjaan yang mudah dan ringan. Dia harus melenturkan tulang dan memeras otak, untuk bisa

mencapai tujuannya. Tentu kalian sering mendengar pepatah berikut ini: Mullo syudan ceh oson, odam syudan ceh musykil, artinya: Betapa mudahnya untuk menjadi pandai, namun alangkah sulitnya untuk menjadi manusia (sebenar-benar manusia)! Marhum Hajj Syekh Abdulkarim ridhwanullahi 'alaih

p: 128


1- 64 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 71, hal. 77, hadis ke-12.

mengatakan, “Mullo syudan ceh musykil, odam syudan ceh muhal.” Betapa sulitnya untuk menjadi pandai, dan betapa mustahilnya untuk menjadi manusia! Alhasil, menuntut ilmu dan menjadi alim, khususnya apabila dilakukan dengan niat taat kepada Allah dan menjalankan taklifnya, tentu akan disertai dengan berbagai macam kesulitaan dan rintangan. Dan, bila seseorang benar-benar mengetahui posisi serta tugasnya, dia tidak akan pernah menyerah dan mundur dalam menghadapi segala kesulitan dan rintangan.

Oleh sebab itu, ketika Rasul saw berkata, “Al-shabru nishf al-îmân (Sabar itu separuh dari iman),(1) atau Imam Ja'far as berkata, “Al-Shabru ra's al-îmân (Sabar adalah inti dari keimanan),(2) sungguh mereka tidak

berlebihan dalam hal ini, (karena memang sebesar itulah nilai kesabaran). Bahkan, apabila ada orang yang mengatakan bahwa kesabaran adalah bagian terbesar dari keimanan, dia tidak berlebihan dalam ucapannya itu. Apabila seseorang ingin memiliki perbuatan yang terpuji, diridai oleh Allah dan layak diberi predikat sebagai Syi'ah Ali as, dia harus melatih dirinya untuk sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai macam kesulitan. Kesabaran dan ketabahan tidak bisa diperoleh oleh seseorang dalam waktu yang cepat dan singkat, melainkan dia harus merupakan hasil dari latihan dan proses membiasakan diri yang cukup lama. Dia

harus melatih dirinya untuk memilih pekerjaan yang lebih sulit, meskipun banyak pekerjaan lebih mudah yang bisa dia pilih.

Contohnya, kendati ada makanan yang enak, dia berusaha mengabaikan makanan itu demi melatih diri untuk mengendalikan nafsu. Jika memang tidak ada makanan yang enak dan seseorang terpaksa untuk makan makanan yang tidak enak, hal itu tidak bisa disebut melatih diri. Ketika makanan telah dihidangkan di atas sufrah, aroma kelezatannya telah merebak ke seluruh ruangan dan selera telah terpancing untuk segera menyantap hidangan tersebut, namun seseorang berhasil menahan diri beberapa waktu dan tidak memakannya, berarti dia telah mengambil langkah pertama dalam melatih dirinya untuk bersabar. Yakni, apabila

kalian berada di hadapan hidangan makanan yang serba lezat, namun kalian berhasil menahan diri beberapa menit dan tidak langsung menyantapnya,

p: 129


1- 65 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 82, hal. 137, hadis ke-22.
2- 66 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.87, hadis ke-1.

maka hal itu bisa disebut sebagai latihan untuk bersabar. Atau, apabila seseorang ingin berhasil untuk tidak melihat kepada wanita non-muhrim, dia harus melatih dirinya untuk tidak melihat sebagian yang halal-halal, -- agar tidak terjatuh dalam yang haram. Yakni, dia harus membuat batasan bagi yang haram-haram dan tidak boleh melampauinya. Karena, apabila dia berada di dekat batasan tersebut, sedikit langkah yang keliru akan membuatnya menyimpang dan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Man waqa'a fisy syubuhat waqa'a fi al-haram kara’in yura’i haulal hima yusyaku an yuwaqi'ahu... Barangsiapa

yang jatuh dalam hal-hal yang syubhat, dia akan jatuh dalam hal-hal yang haram, seperti penggembala yang menggembala di tepi sumur, maka besar kemungkinan akan terjatuh ke dalamnya).(1) Dengan demikian, jika kalian tidak mau terjatuh ke dalam sumur, setidaknya ambillah jarak dari sumur tersebut; sebagaimana apabila kalian tidak mau terjatuh dalam pandangan yang haram, kalian sudah harus memalingkan pandangan dari sebagian yang halal, sebagai latihan untuk mengontrol pandangan dari yang haram. Demikian pula halnya, ji ka kalian ingin menyelamatkan pendengaran dari hal-hal yang haram, kalian harus menjauhkan pendengaran dari hal-hal yang syubhat. Jadikanlah yang halal sebagai batasan agar tidak terjerumus ke dalam yang haram. Karena, jika yang menjadi batasan itu yang haram, tidak akan ada jarak antara yang halal dengan yang haram. Dengan kata lain, apabila kalian ingin selamat dari yang haram, kalian harus menciptakan batasan, yakni kalian harus meninggalkan yang syubhat, agar tidak terjatuh dalam haram. Perilaku berhati-hati seperti ini, juga bisa disebut sebagai bagian dari melatih diri untuk bersabar.)

p: 130


1- 67 Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, juz 1, hal. 729.

9- PERLINDUNGAN ILAHI

Point

واَلْجِیءْ نَفْسَکَ فِی الاُْمُورِ کُلِّهَا إلَی اِلهِکَ فَاِنَّکَ تُلْجِئُهَا إلی کَهْف حَریِز و مَانِع عَزیِز، و أَخْلِصْ فِی الْمَسْأَلَةِ لِرَبِّکَ، فَاِنَّ بِیَدِهِ الْعَطَاءَ وَ الْحِرْمانَ، وأکْثِرِ الاِْسْتِخَارَةَ وَ تَفهَّمْ وَصِیَّتِی ولاتَذْهَبَنَّ عَنْکَ صَفْحاً(1)، فَاِنَّ خَیْرَ القَوْلِ ما نفَعَ و اعْلَمْ أَنَّهُ لاخَیْرَ فِی عِلْم لایَنْفَعُ، وَلا یُنْتَفَعُ بِعِلْم لا یَحِقُّ تَعَلُّمُهُ.

Serahkanlah dirimu dalam segala urusan pada perlindungan Allah, karena dengan demikian, engkau telah menyerahkan dirimu pada sandaran yang kokoh dan pelindung yang kuat. Mintalah seluruh kebutuhan hanya kepada Tuhanmu, karena hanya Dialah yang bisa memberi dan mencegah. Banyaklah meminta kebaikan kepada Allah. Pahamilah wasiatku ini baik-baik dan jangan engkau lewatkan tanpa memerhatikan dan merenungkannya. Karena sebaik-baik perkataan adalah yang bermanfaat. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada kebaikan dalam ilmu yang tidak bermafaat dan tidaklah mungkin seseorang dapat mengambil manfaat dari sebuah ilmu yang tidak layak untuk

dipelajari.

p: 131

Kehidupan dunia tidak selamanya sunyi dari ujian, musibah dan bencana, serta dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kejadian-kejadian yang menyakitkan dan peristiwa-peristiwa yang menyulitkan. Yang penting dalam menghadapi berbagai peristiwa, ujian dan bencana, adalah memberikan tempat pada bencana dan musibah dalam kehidupan. Artinya, sebelum terjadinya bencana dan musibah, manusia sudah harus memikirkan dan

mempersiapkan diri serta memberi ruang dalam kehidupannya bagi musibah dan bencana bila terjadi suatu hari nanti, dengan harapan mampu menghadapi dan menanggulanginya tanpa mengalami kerugian yang tidak seharusnya. Oleh sebab itu, perlu kiranya untuk diketahui beberapa faktor yang dapat membantu manusia dalam menghadapi berbagai peristiwa dan bencana. Sehingga, dengan perencanaan dan persiapan yang perlu, dapat diberikan reaksi yang sesuai dan manusia bisa keluar dengan selamat dari berbagai macam musibah yang berat dan tidak menjadikan berbagai tugas serta tanggung jawab hidupnya terbengkalai. Untuk itu, sangatlah perlu untuk mengkaji macam-macam bahaya dan musibah serta beberapa faktor yang berpengaruh (positif) dalam menghadapinya, yang pada bagian dari wasiat ini telah disinggung beberapa hal penting berkaitan dengannya.

Macam-Macam Bahaya

Tak pelak lagi, bahwa di dalam kehidupan manusia akan berhadapan dengan berbagai macam bahaya dan musuh. Sebagian dari bahaya itu akan mengancam jiwa dan hartanya, sebagian akan mengancam keluarga, orang-orang yang dicintai, kemuliaan dan harga dirinya dan sebagian yang lain akan mengancam roh dan hatinya. Masih ada lagi bahaya- bahaya seperti godaan nafsu dan setan dari bangsa jin dan manusia yang mengancam akidah dan pemikiran manusia dengan menebarkan keraguan, mengajaknya pada berbagai kecenderungan serta sifat yang buruk dan menggodanya untuk melakukan perbuatan yang merugikan kehidupan akhirat, kesempurnaan dan kebahagiaan abadinya. Adapun bahaya apa yang paling besar bagi kehidupan manusia, hal itu bergantung pada

pengetahuan manusia tersebut. Tentu bahaya terbesar bagi manusia yang beriman, adalah bahaya-bahaya yang bersifat maknawi. Seorang mukmin

p: 132

tentu lebih khawatir terjerat ke dalam bahaya perbuatan dosa dibandingkan bahaya-bahaya lainnya. Dengan kata lain, ketakutannya untuk terjerumus ke dalam dosa jauh lebih besar dibandingkan ketakutan lainnya, karena dia mengerti bahwa terjerat dosa akan mengakibatkan bahaya yang sangat besar yang tidak mudah untuk diperbaiki. Oleh sebab itu, seorang mukmin tidak begitu khawatir dengan bahaya dan ancaman materi, karena kerugian-kerugian materi sangat mudah diganti, di samping bahaya serta ancaman seperti ini justru dapat menyebabkan terhapusnya dosa dan naiknya maqam spiritual manusia. Bahkan, kerugian-kerugian duniawi dapat menjadi sarana dan sebab berbagai kebahagiaan ukhrawi, kesempurnaan diri dan peningkatannya. Karenanya, bahaya dan ancaman yang seperti ini tidak terlalu merisaukan manusia yang beriman; bagi seorang mukmin berbagai bahaya maknawi dan ukhrawi jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang kerugian materi dan duniawi, bahkan tak bisa dibandingkan. Akan tetapi, perlu diperhatikan, karena tingkat keimanan setiap manusia tidaklah sama, maka sebagian

mereka masih lebih takut pada ancaman bahaya duniawi dan materi. Umpamanya, manusia lebih takut pada ancaman penyakit, khususnya penyakit-penyakit yang sulit diobati, ketimbang maksiat dan dosa. Sikap yang seperti itu adalah sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan dan lemahnya iman. Akan tetapi, seberapapun kadar keimanan seorang mukmin, dia masih lebih takut pada bahaya yang mengancam dasar keimanan serta keyakinannya dibandingkan bahaya-bahaya yang lain;

seorang mukmin masih lebih khawatir pada bahaya yang mengancam keimanan dan akidahnya.

Pengaruh Iman Pada Penanggulangan Bahaya

Yang penting di sini adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk dapat selamat dari berbagai macam bahaya? Tidak dapat dipungkiri, bahwa kita sedikit banyak telah mempunyai andil dalam terciptanya beberapa bahaya yang mengancam kehidupan diri sendiri. Kebanyakan dari kita apabila sudah berhadapan dengan ancaman dan bahaya yang serius, merasa tak berdaya dan seakan tak mampu dalam menanggulanginya.

p: 133

Misalnya, ketika terjadi gempa bumi atau penyakit epidemik atau segala bahaya yang sulit untuk keluar darinya, karena kita merasa lemah dan tak berdaya, maka kita berusaha mencari tempat atau orang untuk berlindung dan bersandar serta meminta pertolongan. Oleh sebab itu, setiap manusia yang sedang menghadapi bahaya atau hampir binasa, maka sebelum segala sesuatu, dia pasti akan berpikir pada perlunya tempat untuk bersandar serta berlindung. Karena dia telah mendapati dirinya tak berdaya dalam menghadapi bahaya tersebut, maka dia akan berteriak meminta pertolongan. Situasi dan kondisi yang seperti ini pasti akan

dialami oleh setiap orang dalam hidup dan dia tidak bisa lolos darinya, kendati manusia seringkali melalaikan dan melupakannya. Alhasil, manusia akan selalu berhadapan dengan bahaya-bahaya dalam hidup. Setiap kali menghadapi bahaya, dia akan merasa perlu untuk berlindung dan bersandar pada sebuah tempat; dia akan berusaha mencari sesuatu yang dapat menjaga dan melindunginya dari berbagai bahaya tersebut Perlu diperhatikan, bahwa manusia sesuai dengan keyakinan, kejiwaan dan jenis bahaya yang mengancamnya, juga akan mencari perlindungan yang sesuai dengan keyakinan serta jenis bahaya tersebut

untuk melindungi dirinya. Oleh sebab itu, sebagian manusia ketika merasa terancam oleh sebuah bahaya, sebelum yang lain dia akan ingat kepada Allah, karena dia meyakini bahwa Allah memiliki kekuasaan dan kekuatan di atas segala sesuatu; dia menyadari bahwa sekuat apapun makhluk, telah mendapatkan kekuatannya dari Allah Swt; dia meyakini apabila manusia berlindung pada sebuah gua, gua itu adalah ciptaan Allah yang dijadikan sebagai tempat berlindung bagi sekalian manusia dan hewan. Atau apabila untuk mencegah virus dan penyakit tertentu, dia melakukan vaksinasi atau menggunakan sarana pengobatan lainnya, dalam hati dia menyadari bahwa semua itu telah disediakan oleh Allah bagi makhluk-Nya. Orang-orang yang memiliki iman yang kuat, ketika berhadapan dengan bahaya, sebelum segala sesuatu mereka akan berlindung dan bertawakal kepada Allah. Sebagaimana anak ayam berlindung di balik sayap induknya atau

p: 134

anak kecil dalam dekapán ibúnya, mereka juga berlindung dan bersandar kepada Allah Swt. Namun, mereka yang imannya lemah, mereka akan langsung mencari berbagai perlindungan yang bersifat materi. Contohnya, apabila jatuh sakit, pertama mereka akan ke dokter dan mencari obat dan memasrahkan penuh diri mereka kepada dokter dan obat-obatan. Atau, apabila mereka berhadapan dengan kesulitan hidup lainnya, mereka akan mencari perlindungan alamiah dan natural yang sesuai dengan permasalahannya. Nah, bila semua sarana natural tidak dapat menyelesaikan kesulitannya dan mereka sudah berputus asa, barulah mereka menggunakan cara seperti bertawasul kepada manusia-manusia suci (para Imam as) dan berlindung kepada Allah Swt. Pada tahapan akhir ketika sudah putus asa dari segala sarana alamiah, mereka akan ingat dan berlindung kepada Allah serta bertawasul kepada kekasih-kekasih Allah.

Jelas sekali, cara menghadapi kesulitan dan bahaya yang seperti ini, menunjukkan atas kurang dan lemahnya iman. Ketika merasakan adanya bahaya, maka pada saat-saat awal, seorang mukmin sejati akan berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah Swt yang telah menciptakan jalan keluar bagi kesulitan dan bahaya tersebut. Dia mengetahui bahwa kekuasaan dan kekuatan Allah berada di atas segala-galanya; Dia adalah tempat berlindung yang dapat menyelamatkan manusia dan menjaganya dari berbagai bahaya dan musuh. Semua perantara dan sarana akan tunduk di hadapan kekuatan yang lebih adidaya. Dan, dalam kaitan ini,

satu-satunya kekuatan yang tak terkalahkan adalah kekuatan Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung.

Tentu, sesuai dengan perintah Allah Swt sendiri, manusia tetap harus berperantara pada sebab dan sarana natural, yakni, bukan berarti ketika seseorang jatuh sakit, dia tidak perlu ke dokter atau meminum obat, atau ketika menghadapi bahaya seperti gempa bumi, banjir dan sebagainya, dia tidak bergegas keluar dari rumah, dan sebagai gantinya, bertawasul kepada para Imam serta bertawakal kepada Allah Swt di dalam rumah. Akan tetapi, tindakan yang benar adalah, sementara hatinya pasrah dan meminta perlindungan dari Allah Swt, dia juga harus memanfaatkan berbagai sebab

p: 135

dan sarana alamiah yang telah Allah sediakan untuk menyelamatkan diri, karena menggunakan sebab-sebab natural untuk menyelamatkan diri termasuk dalam taklif Ilahi. Allah Swt telah menyisipkan berbagai macam hikmah di balik memanfaatkan sebab dan sarana natural dan telah memerintahkan manusia untuk mencari jalan keluar dari beragam kesulitan, bahaya dan penyakit dari sebab dan sarana tersebut. Sesuai dengan kadar keimanan dan pengetahuannya, manusia akan

berlindung dan bersandar pada kekuatan Allah Swt kala menghadapi kesulitan dan bahaya. Keadaan mengingat dan berlindung kepada Allah Swt ini tentu akan menguatkan kadar keimanan manusia, karena peningkatan keimanan dan makrifat akan terjadi dengan bantuan keadaan-keadaan hati yang seperti ini dan iman akan menjadi semakin kuat bila diikuti dengan tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan aturan Allah Swt). Karenanya, Imam Ali as berkata,

واَلْجِیءْ نَفْسَکَ فِی الاُْمُورِ کُلِّهَا إلَی اِلهِکَ فَاِنَّکَ تُلْجِئُهَا إلی کَهْف حَریِز و مَانِع عَزیِز، و أَخْلِصْ فِی الْمَسْأَلَةِ لِرَبِّکَ

Serahkanlah dirimu dalam segala urusan pada perlindungan Allah, karena dengan demikian, engkau telah menyerahkan dirimu pada perlindungan yang kokoh dan pelindung yang kuat. Mintalah seluruh kebutuhan hanya kepada Tuhanmu! Pada setiap situasi dan kondisi ketika berhadapan dengan bahaya dan musuh, dan engkau memerlukan perlindungan yang kuat, maka bersandar serta bertawakallah kepada Allah. Karena, bila engkau bersandar pada tempat berlindung yang seperti ini, engkau pasti akan aman dari bahaya dan tak akan mungkin kalah oleh berbagai bahaya dan musuh.

Meminta Pertolongan kepada Allah

Perlu diperhatikan, bahwa masalah bersandar dan berlindung kepada Allah Swt, tidak hanya untuk mencegah musuh dan bahaya, tetapi untuk mendapatkan manfaat, juga harus meminta pertolongan kepada Allah Swt. Hal ini disebabkan segala urusan ada di tangan Allah Swt. Sesungguhnya,

p: 136

baik pencegahan bencana maupun pemberian anugerah dan nikmat, harus diminta dan dimohon dari-Nya.

Perlu juga dipahami, bahwa bersandar kepada Allah dan berlindung kepada-Nya, sangat dibutuhkan baik dalam tataran anal maupun dalam keyakinan dan hati. Dalam kaitan ini yang paling penting adalah kebergantungan hati. Ketika manusia merasakan adanya kebutuhan dan bahaya, maka seluruh anggota tubuh dan jiwa raganya harus menghadap kepada Allah. Sebagai contoh, apabila untuk bernafas, dia memerlukan udara, maka dalam hatinya dia harus menyadari bahwa Allah Swt yang mengalirkan udara tersebut ke dalam paru-parunya; apabila dia mampu menutup kelopak matanya, dia menyadari bahwa Allah yang memberikan kemampuan itu pada dirinya; atau apabila dia mampu menelaah dan memahami sesuatu dengan otaknya, maka dalam hatinya dia meyakini bahwa Allah yang memberi kemampuan untuk memahami pada dirinya.

Kesadaran dan kejiwaan yang seperti inilah yang dapat disebut sebagai kejiwaan seorang hamba yang tulus (mukhlish). Ikhlash yakni bagaimana seorang hamba mengikhlaskan segala yang dia miliki kepada Allah Swt, sehingga tidak ada kebergantungan sekecil apapun dalam dirinya selain kepada Allah Swt. Apabila mempunyai harapan, dia hanya akan berharap kepada Allah; apabila merasa takut, dia hanya akan takut kepada Allah; apabila membutuhkan pertolongan, dia hanya akan meminta pertolongan dari Allah Swt. Dengan kata lain, dirinya adalah seperti yang dipesankan oleh Imam Ali as:أَخْلِصْ فِی الْمَسْأَلَةِ لِرَبِّکَ(mintalah hanya kepada Tuhanmu!), dalam meminta dan memohon berbagai keperluan serta kebutuhan, maka tuluskan permintaan serta permohonanmu hanya kepada Allah Swt dan yakinlah bahwa Dia yang akan memenuhi segala kebutuhan dan keperluan, dan janganlah berharap selain kepada-Nya! Oleh sebab itu, apabila di dalam agama, kita dianjurkan berusaha mencari sebab dan sarana natural, maka dalam menjalankan taklif agama ini, tetap tidak dibenarkan apabila diri kita sampai benar-benar bergantung dan mengandalkan berbagai sebab dan sarana tersebut. Namun kita harus tetap memandangnya sebagai sekadar sebab dan sarana. Itupun kita lakukan karena memang ada perintah Ilahi, kebergantungan serta kesadaran diri kita harus tetap

p: 137

kepada Allah semata; kita meminta segala keperluan dan kebutuhan hanya kepada-Nya semata:

فَاِنَّ بِیَدِهِ الْعَطَاءَ وَ الْحِرْمانَ

Hanya Dia yang berkuasa untuk memberi atau mencegah. Banyak keadaan yang kita alami dalam hidup atau berbagai hubungan yang kita jalin dengan orang lain, berjalan atas dasar pemikiran ini. Yakni,

apabila seseorang percaya dan suka pada orang lain, hal itu disebabkan dia mempunyai harapan bila suatu saat menghadapi kesulitan, maka orang tersebut yang akan membantu dan menolongnya. Oleh sebab itu, apabila dia menghadapi kesulitan dan hubungannya dengan orang tersebut bermasalah, dia akan mengalami putus asa dan merasa sendirian tak punya penolong. Demikian pula halnya, ketika berkeinginan untuk mendapatkan berbagai manfaat dan keuntungan, maka dia harus menjilat, merendahkan diri, menghinakan diri dan tunduk kepada orang lain. Karena, jika tidak begitu, dia tidak akan mendapatkan manfaat serta keuntungan yang diinginkan.

Hal ini terpaksa dilakukan, karena dia sangat yakin bahwa apabila saya dapat mengambil hati si fulan, saya akan dapat meraih apa yang saya inginkan. Kepada dirinya dia berkata, “Jika saya menghormati dia, menundukkan kepala di hadapannya dan mencium tangan-Nya, dia pasti akan membantu saya. Bila sikap-sikap tersebut tidak saya jaga, dapat dipastikan saya tidak akan dapat memperoleh apa yang saya inginkan.” Namun, apabila dia berkeyakinan bahwa seluruh nikmat datangnya dari sisi Allah Swt dan Dialah yang mengendalikan semua hati manusia, maka alih-alih tunduk pada sesama manusia, dia hanya akan tunduk dan

menghamba kepada Allah, tanpa harus merendahkan dan menghinakan diri di hadapan manusia. Hamba yang seperti ini, hanya dan hanya patuh dan tunduk pada aturan-aturan Allah Swt. Seandainya dia terkadang patuh kepada sebagian manusia, maka ketundukannya itupun dia lakukan dalam rangka mematuhi perintah dan anjuran Allah Swt. Yakni, karena Allah

p: 138

memerintah manusia untuk patuh kepada kedua orang tua, ispun patuh kepada kedua rang tuanya, dan kepatuhannya kepada kedua orang tua, pada hakikatnya adalah kepatuhan kepada Allah Swt.(1) Dengan kata lain, karena Allah yang memberikan perintah untuk tunduk, patuh dan hormat, maka dia lakukan semua itu dan sesungguhnya ketundukan ini kembali pada ketundukan kepada Allah Swt. Ketundukan yang seperti ini sama sekali tidak menyebabkan kehinaan, karena ketundukan ini kembali pada ketudukan kepada Allah Swt dan dengan perintah-Nya. Namun, apabila seseorang berkeyakinan bahwa tanpa menjilat dan merendahkan diri, dia tidak akan meraih keinginannya, sebenarnya dia telah merendahkan dirinya dan jatuh dalam satu jenis kemusyrikan. Mengapa jatuh dalam kemusyrikan? Ya, karena dia telah menganggap ada kekuatan selain Allah Swt yang bisa qmemberikan pengaruh dalam nasibnya. Di samping itu, keyakinan dan imannya menjadi lemah, dia merasa tak berdaya, kecil dan terhina, perasaan hina akan menguasai dan meliputi jiwa serta perbuatannya; sementara Allah Swt tidak rela hamba-Nya berada dalam keadaan seperti itu. Allah Swt menginginkan agar hati hamba-Nya hanya bergantung pada-Nya dan tidak pernah menghinakan diri di hadapan siapa pun, kecuali bila ketundukan dan kepatuhan kepada orang lain itu mengandung hikmah dan atas perintah-Nya, seperti kepatuhan kepada kedua orang tua, orang-orang saleh dan para ulama yang bertakwa, dan patuh kepada manusia-manusia yang mempunyai kedudukan khusus di sisi Allah. Kepatuhan kepada mereka pada hakikatnya adalah kepatuhan kepada Allah Swt. Oleh sebab itu, bila seseorang demi meraih berbagai kenikmatan duniawi—tunduk dan patuh pada orang lain, dia telah jatuh dalam kemusyrikan tertentu. Lebih daripada itu, Allah Swt tidak rela hamba- Nya terikat pada kehendak manusia lain. Dia hanya rela bila hamba-Nya tunduk semata-mata kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya, Hai sekalian hamba, ketahuilah bahwa agama hanya untuk Allah (tanpa syirik dan riya). (2) Allah juga berfirman, Dan mereka tidak diperintah kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan pada-Nya.(3) Imam Ali as juga berpesan sesuai dengan ayat-ayat di atas, “Memintalah hanya kepada Tuhanmu.”

p: 139


1- 68 QS. al-Isra (17]:24: Wakhfidh lahuma janahadz dzulli minarrahmati... Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (kedua orang tua) dengan penuh
2- 69 QS. al-Zumar (39):5.
3- 70 QS. al-Bayyinah (98):5.

Oleh sebab itu, seberapa besar ketidaktulusan manusia dan sejauh apa selain Allah telah menguasai amal perbuatannya, maka sebanyak itu juga nilai dirinya akan berkurang. Sebagaimana emas, semakin berkurang kemurniannya, maka akan semakin rendah nilai dan harganya. Terkadang manusia bisa tidak mempunyai keikhlasan kepada Allah Swt, sehingga dalam wujudnya tidak ditemukan sedikitpun emas. Nilai dan harga diri manusia, tak ubahnya seperti emas, sepenuhnya bergantung pada ketulusan dan kemurniannya. Allah menginginkan hamba-Nya murni dan tulus kepada-Nya, dan jangan ada selain Allah Swt di dalam hatinya.

Hal ini bukan berarti Allah bakhil, tetapi Allah Swt hanya menginginkan kesempurnaan bagi hamba-Nya, karena hanya dengan ketulusan, hamba dapat dekat dengan Allah dan menjadi sempurna. Nah, karena Allah menginginkan kesempurnaan dan kebahagiaan bagi hamba-Nya, maka Dia memperingatkan hamba-Nya agar tidak terjerumus dalam jurang kemusyrikan dan berpesan, “Ikhlaskan dirimu hanya kepada-Ku!" Apabila seseorang berkeyakinan bahwa meraih kenikmatan dan

tercegah dari-Nya, semata-mata ada di tangan Allah, dia tidak akan sudi untuk tunduk dan menghinakan dirinya di hadapan siapa pun; dia baru mau tunduk dan patuh kepada selain Allah Swt, kalau memang itu merupakan perintah-Nya. Dengan demikian, manusia yang seperti ini, pada hakikatnya hanya tunduk dan patuh kepada Allah Swt semata. Dalam menjelaskan makna ini, Allah Swt berfirman, Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan padamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia, dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, tak ada yang dapat mencegah karunia-Nya. Dia memberikan karunia itu kepada siapa saja yang dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya.(1) Meskipun dalam ayat ini yang menjadi mukhathab (mitra bicara) adalah Rasulullah saw, namun tujuannya adalah memahamkan kepada kita semua tentang makna yang terkandung di dalamnya, dan tentu pengetahuan beliau saw jauh di atas pengetahuan kita. Dalam ayat tersebut, Allah Swt berkata, “Jika Aku hendak menimpakan atasmu suatu kerugian, tak akan ada orang yang dapat mencegah Ku, sebaliknya jika Aku hendak memberikan padamu suatu keuntungan, maka tak ada juga yang mampu mencegahnya.” Nah, bila memang kekuasaan

p: 140


1- 71 QS. Yunus (10):107,

Allah Swt seperti itu adanya, mengapa engkau (hai manusia) masih bersandar dan berharap kepada selain Allah?! Layakkah seorang hamba yang mempunyai makrifat akan Tuhannya, menghadapkan wajahnya kepada selain Allah dan mengemis serta meminta-minta dari setiap manusia asing dan tak berdaya?! Mengapa hamba tersebut tidak datang ke rumah Mahbub Sejatinya (Allah Swt)? Mengapa dia mengizinkan dirinya untuk mengetuk rumah orang-orang tak punya dan tidak mengetuk rumah yang Mahakaya Raya dan Maha Segala-galanya?! Bukankah setiap yang dimiliki oleh manusia adalah hasil dari pemberian Zat yang Mahakaya

Raya dan semuanya itu adalah sekadar pinjaman dari-Nya?! Jika seperti itu adanya, lalu mengapa hati manusia yang beriman kepada Allah terpaut oleh harta-harta orang lain yang sebenarnya adalah pinjaman dari Allah Swt, namun tidak terpaut pada Sang Pemiliki sejati dari seluruh harta dan kekayaan itu?! Bukankah yang seperti ini dapat disebut sebagai kebodohan dan kejahilan yang nyata?! Dengan demikian, maka yang benar dan masuk akal adalah,

أَخْلِصْ فِی الْمَسْأَلَةِ لِرَبِّکَ، فَاِنَّ بِیَدِهِ الْعَطَاءَ وَ الْحِرْمانَ

Mintalah seluruh kebutuhan hanya kepada Tuhanmu, karena hanya Dialah yang bisa memberi dan mencegah!

Makna Istikharah

Telah dijelaskan, bahwa meminta dan memohon dari sesama manusia yang juga membutuhkan pemberian, adalah kehinaan dan perbuatan yang tidak pantas, karenanya segala permohonan serta permintaan harus ditujukan kepada Allah Swt. Lalu, perlu kita ketahui, apa yang harus diminta dan dimohonkan dari Allah Swt? Dalam hal ini, Imam Ali as berpesan kepada kita:

وأکْثِرِ الاِْسْتِخَارَةَ

Mintalah selalu kebaikan kepada Allah Swt.

p: 141

Untuk memahami lebih jauh bagian dari wasiat ini, sedikit-banyak perlu dikaji tentang makna dan pengertian istikharah.

Sedikitnya, ada tiga makna yang dapat diberikan pada kata istikharah,

1. Istikharah berarti mencari yang baik, yakni ketika kamu hendak melakukan suatu pekerjaan, pertama yang dilakukan adalah memikirkannya dengan matang, bagaimana cara terbaik untuk melakukannya baru kemudian mengerjakannya. Berdasarkan makna ini, istikharah berarti mencari yang baik, bahkan yang

terbaik dari pemikiran atau pekerjaan serta jalan dan cara terbaik untuk merealisasikannya. Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk yang secara fitrah mencari kesempurnaan dan hal-hal yang terbaik bagi dirinya.

2. Istikharah berarti meminta kebaikan dari Allah Swt (thalab al-khairi minallah). Karena manusia secara fitrah mencari dan menginginkan kebaikan, maka dia memohon dan meminta kebaikan dari Allah Swt untuk dirinya.

3. Istikharah berarti mengungkap sebuah maslahat dalam suatu urusan melalui cara-cara yang telah diatur. Yakni, seseorang mengungkap maslahat dan kebaikan yang sesungguhnya melalui cara tertentu yang telah diterangkan dalam sebagian riwayat. Sebagai misal, dengan menggunakan al-Quran, tasbih atau cara-cara lain yang telah dijelaskan dalam riwayat, seseorang berusaha untuk mengungkap maslahat yang sebenarnya dalam urusan tertentu.

Dari tiga makna dan arti di atas bagi istikharah, yang sesuai dengan pesan Imam Ali as di sini adalah arti yang kedua, yakni meminta dan memohon kebaikan dari sisi Allah Swt (thalab al-khairi minallah), sebagai keterangan lanjutan dari ucapan beliau sebelumnya: mintalah hanya kepada Tuhanmu!).

Istikharah dalam Pandangan Ahli Syariat

Dalam bagian ini, tepat kiranya diberikan jawaban seputar sebagian syubhat dan pertanyaan tentang beberapa hal yang kabur, tidak jelas dan

p: 142

Penggunaan istikharah berada dalam posisi ketika manusia sudah tidak dapat menentukan maslahatnya melalui akal, pemikiran dan musyawarah, yakni ketika seseorang berada dalam posisi yang benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa serta memutuskan yang mana. Oleh sebab itu, dia melakukan istikharah untuk menghilangkan kebingungan serta kegundahannya. Sepertinya penjelasan rasional dan maksud dari riwayat-riwayat yang membolehkan istikharah,

memberikan petunjuk, bahwa berpikirlah untuk menghilangkan keraguan, menentukan apa yang baik dan maslahat bagi dirimu, dan bila kamu menghadapi jalan buntu, maka mintalah petunjuk kepada Zat yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana tentang apa yang baik bagi dirimu! Tentu, Allah tidak akan mewahyukan langsung padanya tentang apa yang baik dan maslahat bagi dirinya, namun dia hanya menjadikan istikharah sebagai wasilah (perantara) yang menghubungkan antara dirinya dengan Allah Swt. Seakan hamba tersebut berkata, “Ya Allah, aku melakukan amal ini semata-mata untuk meraih rida-Mu dan apa yang baik menurut-Mu, maka berilah aku petunjuk pada jalan yang benar.” Dengan demikian, istikharah dilakukan untuk menghilangkan keraguan, kebingungan dan kegundahan, dan bukan untuk setiap hal yang sederhana dan mudah, sehingga berakibat pada mengabaikan akal serta pemikiran dan menjadikan istikharah sebagai ganti dari berpikir serta bermusyawarah. Jika Anda menelaah dan mengkaji seluruh kitab riwayat, Anda tidak akan menemukan keterangan dari para Imam as yang menyatakan, “Singkirkan akal dan musyawarah, lalu gantilah dengan melakukan istikharah!” Yang benar adalah istikharah baru dilakukan kala semua upaya rasional telah dilakukan untuk menentukan yang baik dan maslahat, namun tidak berhasil menghilangkan kebingungan dan keraguan, maka di situlah tempat dan posisi dilakukannya istikharah.

p: 143

Dalil Istikharah

Hal lain yang perlu sedikit dibahas di sini adalah berkaitan dengan dalil istikharah. Dalil"apa yang membenarkan seseorang untuk beristikharah di saat bingung dan ragu, dan istikharah mana yang harus dipilihnya? Menggunakan istikharah sebagai cara untuk menghilangkan keraguan dan kegalauan tidaklah memerlukan dalil ta’abbudiy khusus, karena cara ini merupakan salah satu jalan untuk menghilangkan kegalauan. Ketika akal menghukumi bahwa kebingungan serta kegalauan tidak baik bagi manusia maka tentu diperlukan cara dan perantara yang dapat menghilangkan keraguan tersebut. Nah, ketika kebingungan dan keraguan perlu untuk

dihilangkan, maka setiap cara dan perantara masyru' (tidak bertentangan dengan syariat) yang dapat menghilangkan keraguan serta kebingungan tersebut adalah baik dan layak untuk dilakukan. Dan, ketika istikharah dalam hal ini digunakan untuk menghilangkan keraguan, maka hukumnya adalah baik dan layak untuk dilakukan. Istikharah, pada hakikatnya, adalah sebuah doa. Dengan beristikharah, seakan seorang hamba berkata kepada Allah Swt, “Ya Allah, hamba-Mu dalam keraguan dan kebingungan, Engkau adalah Zat Yang Maha Mengetahui segala-galanya dan Maha Penyayang dari segala penyayang, maka tunjukkanlah padaku sebuah jalan yang di sana ada kebaikan bagi hamba-Mu ini! Dengan kata lain, seseorang dalam istikharah dengan berperantara pada ayat-ayat al-Quran berusaha

memahami tentang apa yang baik baginya menurut pandangan Allah Swt. Pada hakikatnya, seorang mukmin yang percaya dan berperasangka baik pada Tuhannya, mengetahui dan menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa, lalu dia berkata kepada Rabbnya, “Ya Allah, aku berdoa kepada-Mu, kabulkanlah doaku dan tunjukkanlah padaku jalan yang terbaik!” Dan, karena orang mukmin mempunyai perasangka baik yang seperti ini kepada Tuhannya, maka ketika dia meminta petunjuk dari-Nya, maka dia akan merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah akan memberinya petunjuk pada jalan yang baik dan benar. Karenanya, seandainyapun kita tidak mempunyai dalil syar'i menyangkut istikharah, tetap saja istikharah tidak akan bertentangan

p: 144

dengan syariat. Karena istikharah tidak lebih dari sebuah sinyal atau tanda yang seorang hamba ketika meminta kepada Allah, akan berkata, “Ya Allah, dengan perantara sinyal atau tanda ini, tunjukkan padaku mana jalan yang baik dan mana pula jalan yang buruk!" Lepas dari semua itu, terdapat banyak riwayat dan dalil syar'i khusus berkaitan dengan istikharah, yang keterangannya di luar cakupan bahasan kita.(1)

3. Sisi Pendidikan dalam Istikharah

Jelas adanya, sudah menjadi hukum dan sunnatullah bahwa manusia tidak dikehendaki untuk mengetahui berbagai realitas melalui jalan yang tidak alamiah, sebagaimana rezeki dan kebutuhan hidupnya juga tidak dijamin secara gaib. Untuk mendapatkan rezekinya, telah diberikan pada manusia ribuan sebab dan perantara yang masing-masing memiliki hikmahnya sendiri. Karena, pada hakikatnya, tidaklah mustahil bagi Allah untuk menurunkan dari langit satu karung makanan dan kebutuhan hidup di depan pintu setiap rumah sebagai rezekinya. Berbagai macam sarana dan fasilitas telah disediakan untuk manusia, agar dengan usaha dan kerja keras, manusia dapat memperoleh kebutuhan hidupnya dari dalam gunung dan laut, dan pada semua itu terdapat hikmah yuang tersembunyi.

Di antaranya, berbagai pekerjaan dan aktivitas itu dapat mewujudkan hubungan sosial dan serangkaian tanggung jawab; atau usaha dan kerja itu merupakan ajang cobaan dan ujian bagi manusia yang dengannya dapat ditempuh jenjang takamul-nya.

Nah, dalam kaitan ini, istikharah juga merupakan sebuah usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia di kala bingung dan bimbang untuk menentukan mana yang baik dan buruk baginya. Yakni, ketika akalnya sudah tidak dapat berbuat lebih dan pengalamannya tidak bisa membantu, manusia tidak mau berhenti berusaha dan menyerah pada keraguan serta kebingungannya, dia tetap berupaya untuk memastikan mana yang baik dan buruk baginya. Dan, hal ini merupakan bukti bahwa manusia pantang menyerah dan terus berusaha. Sebenarnya, manusia harus memaksimalkan beragam kemampuannya terlebih dahulu dan memanfaatkan pikiran serta pengalamannya untuk mengatasi berbagai masalah dan problemnya.

p: 145


1- 72 Untuk keterangan lebih, silakan merujuk pada Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 77 dan 91; Irsyad al-Mustabshir fi al-Istikharah.

Nah, apabila setelah semua usaha itu, dia menyadari bahwa pikiran dan pengalamannya tidak cukup, maka dia masih harus bermusyawarah dan meminta bantuan kepada mereka yang ahli dan berpengalaman lebih banyak. Nah, apabila setelah semua itu ternyata masalah masih belum juga terselesaikan dan yang baik atau yang benar belum terkuak, maka dia harus segera meminta petunjuk kebaikan dari Allah dan tidak boleh membiarkan dirinya dalam keraguan dan kebingungan. Sifat utama seorang mukmin adalah pantang putus asa dan senantiasa memohon kebaikan dirinya dari Allah Swt. Yakni, kendati sudah tidak berdaya untuk berbuat apa-apa, dia tetap tidak akan berputus asa. Dia akan berkata, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir. Tuhanku, sesungguhnya aku membutuhkan pada

setiap kebaikan yang Engkau turunkan untukku!” Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa seorang mukmin tidak akan pernah menemukan jalan buntu dalam hidupnya. Apabila dia berada dalam situasi dan kondisi yang dia bingung dan tidak mengetahui mana yang baik dan bermaslahat baginya, maka dia tidak akan berputus asa, dia hanya tinggal memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Allah, berilah aku petunjuk-Mu!” dia akan beristikharah dengan al-Quran atau butiran-butiran tasbih, lalu meminta kepada Allah untuk diberi petunjuk mana yang baik dan bermaslahat baginya.

Dengan demikian, seorang mukmin setelah memaksimalkan segala usaha dan upaya, bila akhirnya tidak menemukan mana yang baik baginya, maka dia akan meminta bantuan lewat istikharah, bukan selalu beristikharah dalam segala urusan kecil dan besar. Misalnya, seorang mukmin tidak akan beristikharah untuk urusan minum air atau menuntut ilmu dan lain sebagainya. Apabila seorang mukmin beristikharah untuk segala urusan yang besar dan kecil, sebenarnya dia telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hikmah yang diberikan oleh Allah Swt dan juga bertentangan dengan sirah Nabi saw dan para Imam suci as.

Kalian tidak akan pernah menemukan bahwa Rasul saw berkata kepada para sahabatnya, “Beristikharalah untuk segala urusanmu!” Atau para Imam suci as berkata kepada para sahabatnya, “Jangan gunakan akal kalian dan jangan pula bermusyawarah. Cukup lakukan istikharah saja untuk semua urusanmu.”

p: 146

Jika kita mau sedikit cermat, kita akan menyadari bahwa mengesampingkan akal dan tidak bermusyawarah termasuk mengufuri nikmat Allah Swt. Tentunya Allah, Rasul saw.dan Ahlulbait as tidak pernah memerintahkan kita untuk mengufuri nikmat akal dan musyawarah (tukar pikiran). Allah memberi kita akal, tentunya agar kita menggunakan dan memanfaatkannya, serta tidak seharusnya akal dikesampingkan. Sebagaimana juga Allah, dengan bantuan kekuatan akal dan adanya

manusia-manusia yang pandai dan bijak, telah dibuka jalan untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran. Nah, apabila dua jalan di atas masih belum dapat menyelesaikan masalah kita, barulah kita boleh memikirkan dan mencari jalan yang lain. Rumusan dan aturan hidup manusia adalah bahwa manusia dituntut untuk melakukan berbagai macam pekerjaannya dengan cara berpikir, bertukar pikiran dan memanfaatkan pengalaman orang lain.

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan hukum-hukum syariat, tidaklah bisa dilakukan dengan cara beristikharah, melainkan harus melalui ijtihad atau taklid untuk dapat mengetahui dan mengamalkannya. Atau, untuk menentukan maslahat-maslahat yang biasa dalam hidup, tidaklah diperlukan istikharah, tetapi manusia harus berpikir dan bermusyawarah. Tentu, apabila seseorang telah meyakini bahwa dirinya tidak lagi mampu untuk mengetahui mana yang baik dan benar, dia tidak boleh membiarkan dirinya dalam keputusasaan, keraguan serta kegalauan. Tetapi dia harus segera meminta dan memohon kepada Allah Swt agar diberi petunjuk.

Kesimpulannya adalah pada ranah rasio dan nalar, manusia tidak boleh beristikharah, karena istikharah hanya akan membantu kita di kala galau, bingung dan ragu ke mana harus pergi dan apa yang harus diperbuat. Sungguh tidak benar, apabila sebuah masalah ilmiah atau masalah pemikiran, berusaha diselesaikan dengan cara beristikharah.

Memadukan antara Ilmu dan Amal

Usai menjelaskan beberapa masalah muhim dan mendesak, Imam Ali as memberikan peringatan yang bersifat umum agar mukhathab siap untuk menjalankan semua pesannya. Peringatan ini juga mengandung anjuran

p: 147

kepada mukhathab untuk sungguh-sungguh menjalankan apa yang telah beliau wasiatkan. Karena, bila tidak, seluruh pesan dan wasiat itu akan sia-sia. Oleh sebab itu, setelah memberikan beberapa pesan di atas, beliau kemudian melanjutkan:

وَ تَفهَّمْ وَصِیَّتِی ولاتَذْهَبَنَّ عَنْکَ صَفْحاً

Pahamilah baik-baik wasiatku dan jangan hanya kaudengar atau baca begitu saja, tetapi perhatikan, renungkan dan cermatilah maksud-maksud yang terkandung di dalamnya!

Di sini, terdapat sedikit perbedaan redaksi di antara beberapa transkrip yang ada. Dalam sebuah transkrip tertulis: Wa lâ tadzhabanna ‘anka shafhan, tetapi dalam Nahj al-Balaghah tertulis: Lâ tadzhabanna ‘anha shafhan. Jika redaksinya lâ tadzhabanna 'anha shafhan, mukhathab-nya adalah orang yang menjadi lawan bicara itu sendiri, yakni, “Janganlah engkau melewatkan pesan ini tanpa perenungan yang cermat dan mendalam.” Lâ tadzhabu yakni là tadzhabu anta, dan dhamir ‘anha kembali pada wasiat ini, sedangkan shafhan artinya berpaling dan tidak memerhatikan dengan sungguh-sungguh.

Adapun dalam transkrip lain tertulis: Lâ tadzhabanna ‘anka shafhan. Ada kemungkinan lâ tadzhabanna adalah fi'il muannats ghaib, sehingga bila seperti ini, maka makna dari ucapan ini adalah lâ tadzhabu washiyyati ‘anka shafhan, yakni, “jangan sampai wasiatku ini lewat begitu saja tanpa memberikan pengaruh apa-apa padamu.” Lepas daripada itu semua, yang ditekankan di sini adalah bahwa Imam Ali as berharap agar wasiat dan pesan beliau betul-betul direnungkan,

diperhatikan, dicermati dan diamalkan.

فَاِنَّ خَیْرَ القَوْلِ ما نفَعَ و اعْلَمْ أَنَّهُ لاخَیْرَ فِی عِلْم لایَنْفَعُ

Sebuah ucapan itu baik, bila bermanfaat bagimu dan kauamalkan; dan ketahuilah, bila engkau mendapatkan ilmu, namun tidak kaumanfaatkan, maka

p: 148

ilmu tersebut menjadi sia-sia belaka. Karena tujuan menuntut ilmu adalah untuk diamalkan dan digunakan. Apabila engkau menuntut ilmu, namun tidak kauamalkan, tak ubahnya seperti engkau mengambil resep obat dari dokter, namun tidak kauambil dari apotek. Tentu saja, hal itu merupakan perbuatan yang muspra. Apabila seseorang menerima resep dari dokter dan tidak menebusnya, sungguh dia telah melakukan perbuatan yang muspra, karena resep dokter adalah obat darinya.

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata,

لا یُنْتَفَعُ بِعِلْم لا یَحِقُّ تَعَلُّمُهُ.

Dan tidaklah mungkin seseorang dapat mengambil manfaat dari sebuah ilmu yang tidak layak untuk dipelajari.

Dalam kalimat ini, beliau menerangkan sebuah talazum tharafaini (korelasi dua sisi), yakni dari satu sisi, ilmu yang baik dan layak untuk kaupelajari adalah ilmu yang bermanfaat bagimu, dan dari sisi lain, apabila engkau mengetahui bahwa sebuah ilmu tidak berguna bagimu, ketahuilah bahwa di dalamnya tidak ada kebaikan dan tidak boleh engkau meluangkan waktu untuk mempelajarinya.()

p: 149

Sifat utama seorang mukmin adalah pantang putus asa dan senantiasa memohon kebaikan dirinya dari Allah Swt. Yakni, kendati sudah tidak berdaya untuk berbuat

apa-apa, dia tetap tidak akan berputus asa. Dia akan berkata, “Rabbi inni lima anzalta ilayya min khairin faqir. Tuhanku, sesungguhnya aku membutuhkan pada

setiap kebaikan yang Engkau turunkan untukku!" Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa seorang mukmin tidak akan pernah menemukan jalan buntu dalam

hidupnya.

p: 150

10- PENDIDIKAN (TARBIYAH)

Point

یا بُنَیَّ اِنِّی لَمّا رَأَیْتُکَ قَدْ بَلَغْتَ سِنّاً ورَأَیْتُنِی اَزْدادُ وَهْناً بادَرْتُ بِوَصِیَّتِی اِلَیْکَ لِخِصَال؛ مِنْهَا اَنْ یَعْجَلَ بِی اَجَلی دَوْنَ أَنْ اُفْضِیَ اِلَیکَ بِمَا فِی نَفْسِی، اَوْ اَنْقُصَ فِی رَأْیِی کَمَا نَقَصْتُ فِی جِسْمِی، اَوْ أَنْ یَسْبِقَنِی اِلَیْکَ بَعْضُ غَلَباتِ الْهَوی و فِتَنِ الدُّنْیَا وَ تَکُونَ کَالصَّعْبِ النَّفُورِ وَاِنَّمَا قَلْبُ الْحَدَثِ کَالاَْرْضِ الخَالِیَةِ، مَا اُلْقِیَ فیِهَا مِنْ شَیْیء الاّ قَبِلَتْهُ، فَبادِرْ بِالاَْدَبِ قَبْلَ أن یَقْسُوَ قَلْبُکَ وَ یَشْتَغِلَ لُبُّکَ، لِتَسْتَقْبِلَ بِجِدِّ رَأْیِکَ مِنَ الأَمْرِ ما قَدْ کَفَاکَ أَهْلُ التَّجَارِبِ بُغْیَتَهُ وَ تَجْرِبَتَهُ فَتَکوُنَ قَدْ کُفیتَ مَؤُونَةَ الطَّلَبِ، وَ عُوفیتَ مِنْ عِلاجِ التَجْرِبَةِ، فَأَتَاکَ مِنْ ذلِکَ مَا کُنَّا نَأْتیهِ، وَ اسْتَبَانَ لَکَ مِنْهَا مَا رُبَّما أَظْلَمَ عَلَیْنا فِیهِ.

Wahai putraku, ketika aku melihatmu telah mencapai usia akil balig dan melihat diriku semakin lemah (dimakan usia), maka aku bergegas untuk menuliskan sebuah wasiat untukmu dalam beberapa pokok penting: (Hal ini perlu

p: 151

aku lakukan), sebelum ajal lebih dulu menjemputku, sementara aku belum sempat menerangkan untukmu apa yang ada dalam benakku; atau sebelum kemampuan bërpikirku melemah sebagaimana tubuhku; atau (wasiatku) didahului oleh berbagai godaan hawa nafsu dan tipuan dunia yang menjeratmu, sehingga dirimu menjadi seperti onta pembangkang. Sesungguhnya, hati anak muda laksana lahan yang belum ditanami; tidak ada benih yang ditaburkan atasnya, kecuali akan diterima. Maka bergegaslah pada adab (aturan agama), sebelum hatimu mengeras dan pikiranmu teralihkan, agar kamu menghadapi urusan (hidupmu) dengan penuh kesungguhan berbekal pengalaman dan pencapaian banyak orang tanpa harus merasakan lelah letihnya pencarian dan pengalaman tersebut. Dengan demikian, berarti kamu seakan telah melalui apa saja yang telah kami lalui, dan bahkan akan menjadi jelas bagimu apa yang mungkin masih samar bagi kami.(1)

Bagian pertama wasiat Imam Ali as berisikan nasihat-nasihat pokok dan mendasar beliau yang telah dijelaskan secara global. Dalam bagian berikutnya, beliau seakan hendak mulai merincinya lebih jauh. Sebagaimana yang telah lewat pada pembukaan wasiat ini, pemberi wasiat menampilkan dirinya sebagai seorang ayah yang sudah memasuki usia senja dan memberikan pesan-pesan kepada putra belianya yang sangat dicinta. Dia berusaha memberikan seluruh pengalaman hidup padanya. Oleh sebab itu, di sini sama sekali tidak disinggung tentang maqam kemaksuman mereka, sehingga akan timbul pertanyaan apakah seorang maksum memerlukan wasiat seperti ini atau tidak. Karena tujuan utama dari wasiat ini, adalah agar banyak orang yang mengambil pelajaran dan hikmah darinya.

Walaupun si pemberi wasiat adalah pribadi yang maksum dan penerimanya adalah juga seorang maksum, namun wasiat ini telah disampaikan sedemikian rupa, sehingga setiap ayah dan anak dapat mengambil manfaat darinya. Dengan begitu, maka disampaikannya beberapa ungkapan yang tidak sesuai dengan maqam seorang maksum, tidaklah bertentangan dengan keluarnya wasiat ini dari seorang maksum yang disampaikan juga kepada maksum yang lain. Pada hakikatnya,

mereka berdua hanyalah sekadar peraga untuk pemberi dan penerima

p: 152


1- 73 Pada sebagian transkrip, redaksi lamma raaituka qad balaghta... tertulis lamma raaituni qad balaghtu, sehingga artinya berubah menjadi, “Ketika aku melihat diriku telah berusia lanjut”; yakni, Imam Ali as menerangkan tentang kondisi dirinya dan bukan Imam Hasan as. Juga redaksi fa badir, tertulis fa badartuka, sehingga artinya berubah menjadi: “Maka aku bergegas untuk mengajarkan adab padamu.”

wasiat, yang di dalamnya Imam Ali as berperan sebagai seorang ayah yang sudah tua yang berwasiat kepada putranya yang masih sangat belia, lalu berkata, “Ya bunayya, inni lamma raaituka qad balaghta sinnan... Aku memberimu nasihat, karena dari satu sisi aku telah melihatmu mulai tumbuh dewasa dan memasuki usia akil balig, maka tibalah saatnya bagiku untuk menyampaikan beberapa pesan penting yang memang perlu bagimu untuk mengetahuinya; dan dari sisi lain, aku sudah sangat dekat dengan akhir umurku dan berada di ambang kematian, karenanya aku gunakan kesempatan berharga ini untuk memberikan serangkaian

wasiat untukmu.

Pesan-Pesan Tak Tertulis

Sebelum lebih jauh menerangkan dan menafsirkan bagian dari wasiat samawi ini, kiranya perlu sedikit penjelasan tentang beberapa poin tersembunyi berkaitan dengan cara penyampaian wasiat Ilahi Imam Ali as. Selain kandungan lafaz-lafaz dan makna kalimat-kalimatnya, metode yang digunakan dalam penyampaian wasiat Imam Ali as, khususnya pada bagian ini, juga mengandung banyak makna yang detail, tinggi dan mendalam, yang di dalamnya banyak pandangan yang tajam dan pikiran yang cemerlang, tidak mampu untuk membidik dan memahaminya. Hanya mereka yang mendapatkan pertolongan Ilahi dan ilmu samawi,

yang mampu menguak semua rahasia itu. Di sini, kami hanya akan menyinggung sebagian dari makna tinggi dan detail tersebut sebatas kemampuan yang ada.

Mempertimbangkan Daya Tangkap Mitra Bicara

Kendati sampai di sini, Imam Ali as belum masuk pada penjelasan secara rinci tentang wasiatnya dan belum menerangkan seluruh pesan beliau. Namun dalam metode khusus penyampaian pesannya, secara tidak langsung beliau telah menyinggung beberapa poin penting dan mengajak mitra bicara untuk memerhatikan hal-hal yang biasanya sering diabaikan dan dilupakan. Pembicara haruslah memikirkan dan mempertimbangkan kondisi mitra bicara dan kesiapannya untuk mendengar, memahami dan

p: 153

menggunakan materi yang hendak disampaikan. Sebagai contoh, seorang anak balita tentu belum siap mendengar dan memahami sebagian besar nasihat dan cenderung menganggap berbagai omongan sebagai permainan, namun berbeda dengan seorang yang sudah memasuki usia remaja, dia sudah mempunyai kesiapan memahami dan menggunakan berbagai macam nasihat yang sampai padanya. Oleh sebab itu, para pengajar dan pendidik harus memerhatikan dan

mempertimbangkan kemampuan untuk memahami, tingkat pengetahuan dan kapasitas intelektual serta emosional anak didiknya. Mereka harus memikirkan, apakah ucapan mereka dapat diterima dan digunakan ataukah tidak? Sebagai misal, sebagian nasihat yang berguna bagi para pemuda, adakalanya tidak terlalu berguna bagi anak-anak dan mereka yang sudah tua renta, dan sebaliknya. Dengan demikian, maka pembicara dan pemberi nasihat, haruslah memerhatikan kapasitas para pendengarnya secara menyeluruh.

Nah, sepertinya Imam Ali as dalam rangka menjaga poin penting ini, beliau berkata, “Ya bunayya inni lamma raaituka qad balaghta sinnan...;

yakni, mengingat engkau (wahai putraku) telah melewati masa kanak- kanak dan mulai memasuki usia yang siap untuk menerima dan memahami masalah-masalah serius, maka aku tibalah saat yang tepat bagiku untuk menjelaskan berbagai masalah tersebut.” Di sini, Imam Ali as benar-benar memerhatikan kondisi mitra bicaranya dan mulai memberikan pesan dan wasiatnya di saat yang tepat dan sesuai dengan kapasitas serta kesiapan mitra bicaranya, agar pesan-pesan itu dapat dipahami dan berguna. Karena, jika hal ini tidak diperhatikan, dapat dipastikan semua pesan dan nasihat itu tidak akan bermanfaat dan muspra belaka.

Menghargai Kesempatan

Mari kita melihat sisi lain dari wasiat Ilahi yang luar biasa ini. Kita akan melihat bagaimana Imam Alias juga menjelaskan keadaan dan kondisi dirinya, ketika beliau berkata,

p: 154

وَرَأَیْتُنِی اَزْدادُ وَهْناً بادَرْتُ بِوَصِیَّتِی اِلَیْکَ و اوردت خصالا

Ketika aku juga mengamati diriku, aku mendapatkan bahwa dari hari ke hari aku bertambah lemah dan akan semakin tak berdaya, karenanya aku segera memberikan wasiat ini padamu sebelum ajalku tiba lebih dulu, sementara aku belum menyampaikan pesan-pesanku.

Ucapan Imam Ali as ini merupakan pelajaran yang sangat penting bagi kita, yaitu apabila kesempatan untuk melakukan sebuah pekerjaan baik telah tersedia dan waktunya sudah tepat, sebaiknya seseorang bersegera untuk melakukannya. Karena fitta'khiri afatun, yakni di dalam penundaan terdapat efek dan risiko yang bisa menjadi tidak baik, karena kita tidak dapat memastikan apakah di masa yang akan datang kita masih hidup dan mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Besar kemungkinan kita sudah tidak ada di masa yang akan datang, atau seandainya kita masih hidup pun, belum tentu kita masih memiliki kemampuan untuk

melakukannya. Sebagai contoh, mungkin saja kita masih hidup di masa yang akan datang, namun kita menderita sakit atau terdapat berbagai macam halangan dalam hidup sehingga kita tidak dapat melaksanakan pekerjaan baik ataupun tanggung jawab tersebut. Oleh karenanya, kita harus bersegera melakukan pekerjaan baik selagi sempat. Imam Ali as berkata, “Oleh karena itu, aku bersegera dalam menyampaikan wasiatku, karena aku khawatir ajalku tiba dan pesan serta nasihat belum kusampaikan.” Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu dari alasan disegerakannya penyampaian wasiat ini adalah:

أَنْ یَعْجَلَ بی اَجَلی دَوْنَ أَنْ اُفْضِیَ اِلَیْکَ مَا فِی نَفْسی

Kekhawatiran lebih cepatnya kedatangan ajal sebelum pesan disampaikan.

Beliau juga menambahkan, bahwa kemampuan berpikir setiap manusia juga akan berkurang seiring dengan melemahnya tubuh dan badan (au ana anqusha fi ra’yi kama naqashtu fi jismi). Hari ini dan sekarang, mungkin

p: 155

aku masih mampu untuk menyampaikan berbagai wasiat padamu, namun di masa yang akan datang, aku belum tahu apakah aku masih bisa untuk menyampaikan dan menjelaskannya, karena mungkin pikiran dan ingatanku sudah menjadi lemah seperti halnya fisikku. Kita semua telah mengetahui, bahwa apabila ada yang mengkritisi dengan berkata, bahwa Imam Ali as adalah seorang maksum (manusia suci), yang lanjutnya usia tidak akan membuatnya lemah dalam pemikiran dan

ingatan, cukuplah beberapa penjelasan yang telah lalu sebagai jawabannya, yakni, bahwa Imam Ali as tidak menyampaikan wasiat ini kepada putranya sebagai serang Imam maksum, melainkan sebagai seorang ayah yang sudah memasuki usia tua dengan segudang pengalaman berharga. Dari sini dapat juga diambil pelajaran, bahwa jika kalian pada hari ini masih sehat dan kuat secara jasmani dan pemikiran sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas praktis dan ilmiah, bersegeralah untuk melakukannya dan jangan pernah menunda-nunda. Janganlah kalian mengira bahwa kemampuan dan kesempatan ini akan terus ada bagi kalian

hingga akhir umur. Karena apabila seseorang sudah memasuki usia tua, akan banyak pekerjaan ilmiah dan praktis yang sudah tidak mungkin lagi untuk dilakukan. Di masa tua, pekerjaan-pekerjaan seperti mengkaji, menelaah, beribadah dan lain sebagainya, akan menjadi sangat sulit untuk dilakukan. Dengan demikian, keterangan yang diberikan oleh Imam Ali as ini, merupakan nasihat yang tidak langsung, yang di dalamnya beliau mengingatkan kita, “Apabila sarana dan kesempatan untuk melakukan pekerjaan baik telah tersedia, maka bersegeralah untuk melakukannya dan hargailah kesempatan yang ada, karena manusia tidak mengetahui apakah di masa datang sarana dan kesempatan itu masih ada atau sudah tidak ada.”

Dengan kata lain, pada bagian ini, Imam Ali as menyadarkan kita akan adanya beberapa rintangan dan penghalang pokok dalam rangka melakukan pekerjaan baik, di antaranya:

1. Tibanya ajal dan berakhirnya masa hidup.

p: 156

2. Hilangnya kesehatan dan kemampuan berpikir.

3. Hilangnya kesempatan yang tepat.

Nah, sebelum datangnya berbagai halangan di atas, pekerjaan baik "" haruslah segera dilakukan dan tidak ditunda ke masa yang akan datang. Sepertinya, berangkat dari sinilah Imam Ali as menyampaikan wasiat yang sangat berharga ini, karena beliau sendiri berkata, “Sebelum tibanya ajal dan berkurangnya kemampuan fisik dan berpikirku, juga sebelum berkuasanya keinginan-keinginan setani pada dirimu serta kesiapan untuk menerima nasihat, maka aku bersegera untuk menyampaikan wasiat ini kepadamu.”

Pembenahan (Ishlah) Sebelum Munculnya Penyelewengan (Inhiraf)

Apabila kita mengamati dengan cermat bagian wasiat ini, di dalamnya terdapat sebuah pesan tidak langsung lainnya, yaitu, “Wahai manusia, sebelum kalian ternoda dan terkotori, hargai dan jagalah dirimu agar tidak tercemar (oleh dosa-dosa). Apabila noda dosa yang melekat pada dirimu hanya sedikit, berusahalah agar noda itu tidak bertambah, karena jika noda dosa telah menguasai seluruh dirimu, nasihat tidak akan pernah dapat berpengaruh pada hatimu dan tidak akan ada gunanya. Hargai dan pergunakan kesempatan yang ada dan sebelum berbagai macam noda menguasai hatimu. Asah dan bersihkanlah hatimu dengan

nasihat, sebagaimana para pemberi nasihatpun haruslah menghargai dan memanfaatkan dengan baik kesempatan yang ada, mereka harus cepat-cepat menerangi dan menghidupkan hati para penerima nasihat sebelum lebih dulu terkotori.”

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam wasiat beliau ini adalah bagaimana beliau menjaga sopan santun bicara dan memberikan perhatian yang besar untuk meraih kepercayaan dari mitra bicaranya. Oleh sebab itu, beliau tidak berkata, “Karena aku khawatir kamu tidak akan hidup lama dan berumur panjang, maka aku segera menyampaikan wasiat ini padamu."

p: 157

Cara berbicara yang seperti ini, selain tidak menarik untuk didengar oleh mitra bicara, apalagi seorang pemuda yang hendak diambil hati dan kesediaannya untuk mendengarkan berbagai macam nasihat, juga bertentangan dengan "akhlak berbicara” dan besar kemungkinan akan membuat mitra bicara berpaling dan tidak lagi mau mendengar nasihat nasihat yang hendak diberikan. Ketika sebuah pembicaraan membuat lawan bicara tidak nyaman, marah dan tersinggung, maka pembicaraan tidak akan lagi dapat memberikan pengaruhnya. Bahkan akan menimbulkan dampak yang sebaliknya dari mitra bicara (penolakan). Oleh sebab itu,

Imam Ali as justru berbicara tentang dirinya dan berkata, “Mungkin, tidak lama lagi ajalku akan tiba.” Beliau cukup menjelaskan bahwa ajalnya segera datang, dengan harapan agar mitra bicara juga berpikir tentang kematian yang akan menimpa dirinya; karena tidak ada tanda pada dahi manusia tentang ajal dan sampai kapan waktu hidupnya. Betapa banyak mereka yang masih dalam usia muda dan belum memasuki masa tua, telah pergi meninggalkan dunia, sementara banyak orang yang tidak mengira bahwa kematian akan datang pada masa-masa muda. Dengan demikian, alasan lain disegerakannya pemberian wasiat ini adalah: memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melakukan upaya menerangi dan menghidupkan hati (para remaja), sebelum hati mereka dikuasai oleh bala tentara setan, sehingga tidak ada lagi nasihat yang bisa berpengaruh. Karena hati telah terkotori dan hawa nafsu telah berkuasa, maka hati para remaja itu sudah tidak memiliki kesiapan untuk mendengar berbagai macam nasihat baik. Hati yang tidak memiliki kesiapan untuk mendengar pesan dan nasihat, tak ubahnya seperti onta pembangkang yang liar dan tak terkendali; dia tidak hanya tidak mau mendengar nasihat, malahan dia berusaha menjauh dan menghindar darinya. Lebih daripada

itu beliau mengingatkan, agar kalian menghindar dari dosa dan hawa nafsu, karena dosa dan mengikuti hawa nafsu akan menyesatkan manusia sehingga kalam yang hak tidak lagi dapat berpengaruh baginya dan dia akan sangat sulit untuk diberi petunjuk. Beliau menegaskan,

p: 158

اَوْ أَنْ یَسْبِقَنی اِلَیْکَ بَعْضُ غَلَباتِ الْهَوی وَفِتَنِ الدُّنْیا وَ تَکُونَ کَالصَّعْبِ النَّفُورِ

Aku bergegas menulis wasiat, dengan tujuan agara wasiatku tidak didahului oleh berbagai godaan hawa nafsu dan tipuan dunia yang menjeratmu, sehingga dirimu

menjadi seperti onta pembangkang yang akan lari kala mendengar nasihat. Ungkapan Imam Ali as ini sangatlah indah, menarik dan luar biasa. Beliau menjelaskan bahwa alasan mengapa dirinya bersegera dalam memberikan wasiat ini adalah, “Aku khawatir berbagai godaan nafsu telah menjeratmu lebih dulu sebelum wasiatku sampai padamu.” Ketika hawa nafsu dan tipuan dunia telah menjeratmu, kamu bukan saja tidak siap untuk menerima nasihat, tetapi kamu akan lari dan menghindar darinya, persis seperti onta liar yang tidak mau menyerahkan punggungnya untuk ditunggangi. Sebelum semuanya terlambat, aku bersegera untuk

menuliskan dan memberikan wasiat ini padamu. Mengapa? Jawabannya adalah,

اِنَّما قَلْبُ الْحَدَثِ کَالاْرْضِ الْخالِیَةِ، ما اُلْقِیَ فیها مِنْ شَیْء اِلاّ قَبِلَتْةُ

Hati remaja dan belia, tak ubahnya seperti tanah kosong dan belum tertanami, dia akan menumbuhkan benih apa saja yang ditaburkan atasnya.

Apabila aku tidak segera menaburkan pada hatimu pencerahan, nasihat dan pesan-pesan yang baik, dapat dipastikan engkau akan mengalami penyelewengan nafsu dan pemikiran.

Berbagai Dimensi Tarbiyah Hati

Usia remaja adalah waktu yang tepat untuk diberikan dan menerima nasihat, karena hati mereka masih seperti lahan kosong yang belum ditaburi benih dan siap untuk menerima benih apapun yang hendak ditaburkan atasnya. Tanah yang siap untuk ditanami, bila ditaburkan benih apapun atasnya, maka benih itu akan tumbuh dan berkembang. Akan tetapi,

p: 159

apabila di atas tanah itu banyak tumbuh rumput ilalang atau sebelumnya telah ada benih yang ditaburkan, maka menanam benih baru akan menjadi pekerjaan yang sangat sulit dan tentu tidak akan semudah menanam di atas lahan kosong, selain pertumbuhannyapun akan menjadi lambat.. " Hati seorang pemuda juga mempunyai keadaan yang seperti itu, bersih dan suci serta belum tercemari oleh berbagai pemikiran dan ideologi yang menyimpang. Sifat-sifat nafsu yang tercela masih belum berkobar. Apabila terdapat noda, tentu masih bersifat sederhana, yang cepat datang dan cepat pula menghilang. Dengan kata lain, dosa dan pemikiran yang menyimpang masih belum mengakar dan merasuk dalam jiwa serta belum menjadi karakter baginya. Oleh sebab itu, hati pemuda sangat siap menerima

taklim dan tarbiyah. Setiap benih taklim dan tarbiyah yang ditanamkan atasnya, tanpa susah payah, akan tumbuh sebagaimana yang diinginkan dalam waktu yang cepat. Akan tetapi, manusia yang telah tumbuh dewasa, karena sifat-sifat nafsunya telah berubah menjadi karakter dan mengakar serta merasuk ke dalam jiwa, akan sangat sulit untuk melakukan perubahan dan perbaikan atasnya. Persis seperti lahan yang telah banyak ditumbuhi rumput ilalang dan telah ditanami oleh berbagai macam benih sehingga penuh dengan berbagai jenis tanaman serta tumbuhan; tentu apabila ada lahan yang seperti ini benih ditaburkan, maka dia tidak akan mudah untuk tumbuh dan berkembang. Besar kemungkinan berbagai tanaman dan tumbuhan yang sudah ada akan mencegah tumbuhnya benih yang

baru ditaburkan seperti yang diinginkan. Berangkat dari kenyataan ini, Imam Ali as berkata, bahwa karena hati pemuda masih suci, bersih, kosong dan bersih dari berbagai macam kotoran, maka hati tersebut ibarat sebuah lahan yang siap untuk ditanami. Karena, lahan tersebut kosong dan siap menumbuhkan setiap benih yang ditaburkan dalam waktu yang singkat. Kemudian beliau berkata:

فَبادِرْ بِالاَْدَبِ قَبْلَ اَنْ یَقْسُوَ قَلْبُکَ وَیَشْتَغِلَ لُبُّکَ

Cepat-cepatlah engkau mendidik dirimu sebelum hatimu menjadi keras dan pikiranmu teralihkan!

p: 160

Sepertinya, ungkapan 'gabla an yaqsuwa qalbuka' membidik aspek amali hati dan ungkapan ‘yasytaghila lubbuka’ menyinggung aspek intelektualnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hati pemuda memiliki kesiapan untuk mendapatkan taklim dan tarbiyah dari dua aspek (amali dan ilmi). Ketika hati manusia telah disibukkan dengan berbagai macam pemikiran dan hal-hal yang saling bertentangan, kotor dan batil, maka pada hakikatnya secara teoretis hati tersebut telah mengalami penyimpangan. Perlahan tapi pasti, hati tersebut akan kehilangan keteguhannya, sehingga mudah mengalami keraguan bahkan dalam hal-hal yang sangat jelas dan terang. Tentu, ketika hati manusia mengalami penyimpangan intelektual, maka dia akan meragukan segala sesuatu. Selain daripada itu, ketika otak

seseorang penuh dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda, maka dia tidak akan mudah untuk menerima pemikiran baru yang benar dan kadang justru menolaknya. Sebaliknya, apabila otak manusia itu kosong, dia akan mudah menerima dan menampung apapun yang dituangkan atasnya. Permasalah pokoknya ada di sini, bahwa ketika usia manusia bertambah, otaknya akan penuh dengan berbagai macam pemikiran yang berbeda dan kontradiktif, sehingga tidak lagi mempunyai kesiapan untuk menerima pemikiran baru yang benar. Gambaran aspek amali hatipun juga seperti ini, yakni ketika hati seseorang telah dicemari oleh berbagai perbuatan buruk dan tidak pantas, maka dia akan menjadi keras, sehingga nasihat tidak akan bisa berpengaruh serta proses tarbiyahnya menjadi sulit. Dalam pentasybihan yang maʼqul (rasional) dengan yang mahsus (sensasional, indriawi), dapat dijelaskan melalui keterangan berikut ini: Bayangkan sebuah gelas

yang telah digunakan untuk menampung minyak goreng, tentu akan sulit pembersihannya untuk digunakan kembali. Berbeda dengan gelas bersih, mengkilat yang tidak bernoda minyak, tentu gelas tersebut dapat digunakan dengan mudah. Seperti itulah gambaran hati manusia, selama keburukan-keburukan perilaku belum mencemarinya secara mendalam dan hati tersebut masih bersih dan suci, maka proses tarbiyahnya akan sangat mudah. Namun, bila hati tersebut telah tercemari oleh dosa dan maksiat serta sifat-sifat yang tercela secara mendalam, proses pembersihan serta

p: 161

tarbiyahnyapun akan sangat sulit dan tidak mudah. Hati yang seperti itu tidak lagi mudah untuk dibimbing pada adab dan akhlak yang baik. Bahkan adakalanya kotoran serta berbagai macam perangai buruknya, tidak bisa lagi dibersihkan. Poin penting yang perlu direnungkan dan tidak boleh dilupakan adalah bahwa hati yang telah tercemar oleh pemikiran yang keliru dan akhlak serta perbuatan yang tercela, pertama-tama, haruslah dibersihkan terlebih dahulu dengan susah-payah, agar hati tersebut kembali siap untuk menerima pemikiran yang benar dan sifat-sifat yang terpuji. Hati yang telah tercemar oleh maksiat dan akhlak yang tercela serta pemikiran yang menyimpang, tak ubahnya seperti bejana yang kotor dan berminyak. Selama belum dibersihkan, hati tersebut tidak akan pernah bisa menerima makrifat yang benar serta akhlak yang terpuji.

Ciri-Ciri Hati yang Ternoda

Dengan memerikan bagian dari wasiat ini, Imam Ali as memperingatkan putranya, Imam Hasan as, agar menyadari harga dirinya dan bahwa dia sedang berada dalam periode kehidupan yang mana dan seperti apa kondisi kejiwaannya. Beliau meminta kepada putranya untuk menghargai masa belia dan remaja, yang di dalamnya hati masih bersih, polos dan belum ternoda oleh berbagai macam keburukan dan kotoran jiwa. Hendaknya dia menghargai kesempatan ini dan juga menyadari bahwa kesempatan ini tidak selamanya ada, karena sangat mungkin hati seseorang berubah menjadi keras (qasiy). Jika itu terjadi, jalan untuk menempuh jenjang kesempurnaan dan kemuliaan, akan tertutup baginya. Karena hati yang sudah keras, tidak akan pernah tersentuh oleh apapun dan dia akan

menutup jalan menuju kebahagiaan (dunia-akhirat) atas pemiliknya. Sewajarnya, hati manusia harus bisa tersentuh, memiliki kepekaan dan meneteskan air mata; hati tidak boleh kebal dan bebal, sehingga tidak ada nasihat dan pesan yang dapat menyentuh dan memengaruhinya. Al-Quran memberikan penekanan atas masalah ini dan mencela Ahlulkitab, khususnya kaum Yahudi, atas sifat ini (kekerasan hati), Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir dari padanya sungai-sungai... (1)

p: 162


1- 74 QS. al-Baqarah [2]:74.

Adapun hati-hati kalian bahkan tidak mampu untuk mengeluarkan sekadar satu tetes air mata! Atau dalam ayat lain dinyatakan, Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka dalam mengingat Allah dan pada kebenaran yang telah turun (atas mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang (Yahudi) yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara merekaadalah orang-orang yang fasik.(1)

Jika seseorang berpaling dari kebenaran yang sampai kepadanya dan bersikap acuh tak acuh, secara perlahan dia akan kehilangan kesiapan untuk menerima kebenaran secara menyeluruh. Besar kemungkinan, apabila dia sejak awal mau memerhatikan kebenaran yang sampai padanya, hatinya akan tersentuh dan terpengaruh serta tumbuh kesiapan untuk menerima kebenaran tersebut. Janganlah bersikap seperti orang-orang (Yahudi), yang membiarkan waktu berlalu dan terus melakukan perbuatan dosa, hingga akhirnya hati mereka menjadi keras dan tidak lagi berpeluang untuk menerima kebenaran.

Dalam wasiat ini, Imam Ali as juga memperingatkan bahwa janganlah kalian bersikap seperti itu, yakni tidak mempedulikan nasihat yang sampai kepada kalian. Apabila kalian bersikap tidak peduli dan acuh tak acuh, bahaya yang akan ditimbulkan jauh lebih besar daripada bahaya yang muncul dari tidak mengamalkan nasihat tersebut. Karena sikap tidak peduli dan acuh tak acuh pada nasihat (maw'izhah), secara berangsur akan menghilangkan kesiapan untuk menerima kebenaran. Maka waspada dan berhati-hatilah, bersegeralah untuk menerima nasihat (dan kebenaran), bergegaslah untuk memperbaiki diri dan akhlak, sebelum hati kalian menjadi keras dan pikiran kalian sibuk dengan hal-hal lain. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, apabila hati telah menjadi keras, hati tersebut

tidak lagi dapat tersentuh dan memberikan reaksi yang positif terhadap kebenaran yang sampai padanya. Demikian pula halnya dengan pikiran manusia, apabila pikiran tersebut telah penuh dengan berbagai macam konsep dan pemikiran yang menyimpang, dia tidak lagi mau menerima

p: 163


1- 75 QS. al-Hadid [57]:16.

kebenaran dan konsep yang baik, karena tidak tersisa tempat lagi dalam pikirannya bagi hal-hal yang baik dan benar. Apabila hati telah penuh dan sibuk, akan sulit untuk menerima yang baik dan benar. Apa yang telah dijelaskan di atas adalah sebuah kebenaran, yang masing-masing kita dapat mencoba serta membuktikannya. Sebagai misal, jika kamu sejak pagi sampai malam sibuk dan berbicara dari satu tempat ke tempat lainnya, pikiranmu telah terkuras habis sepanjang waktu itu,

maka dalam keadaan seperti itu, kamu tidak lagi bisa berkonsentrasi untuk melakukan telaah dan kehilangan gairah untuk mendengar omongan baru, meskipun omongan tersebut sangat berguna. Mengapa begitu? jawabannya adalah karena memang pikiran dan hatimu telah sibuk, penuh dan lelah, sehingga kamu tidak lagi bergairah untuk menerima pemikiran-pemikiran baru. Tentu, keadaan yang seperti ini sering kita alami berkaitan dengan hati. Contohnya, pada hari tertentu ketika kita mempunyai banyak kesibukan duniawi, maka secara otomatis kekhusukan dalam salat akan terganggu dan sulit diwujudkan. Alasannya adalah karena

memang pada hari itu, hati kita telah disibukkan oleh berbagai macam aktivitas keduniaan yang padat.

Hati yang Suci dan Bersih adalah Wadah bagi Makrifat

Hati manusia senantiasa menjadi sasaran serangan berbagai macam pemikiran yang menyesatkan, godaan nafsu dan fitnah, karenanya dia harus memikirkan sebuah strategi untuk selamat dari berbagai serangan anak panah najis dan kotor tersebut. Yang harus dia lakukan adalah, sebelum berbagai macam pemikiran yang tidak benar datang menyerbu dan dipelajari, dan sebelum berbagai macam kotoran bersarang dan melekat di hati sehingga tidak lagi tersisa ruang bagi pemikiran dan makrifat yang berguna, maka dia harus bersegera menerima nasihat-nasihat yang baik, mempelajari pemikiran yang benar dan membenahi

diri. Apabila dia pandai memanfaatkan kesempatan untuk membenahi diri sebelum mengerasnya hati dan sibuknya pikiran, peluang keberhasilan dalam tarbiyah pikiran dan hati (fikri-qalbi)-nya akan semakin besar, selain itu dia akan lebih cepat mencapai tujuan-tujuannya.

p: 164

Hal itu disebabkan pikiran dan hatinya belum tercemar sehingga dapat menjadi penghalang bagi proses penyempurnaan diri, juga karena dia belum kehilangan kesiapan untuk menerima (kebaikan dan kebenaran). Dia masih berkesempatan untuk mengambil pelajaran dari berbagai pengalaman seumur hidup orang lain, apa yang didapatkan oleh para pendahulu dengan seumur hidup kerja keras dan usaha, berhasil dia dapatkan dan genggam hanya dalam beberapa saat. Sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Ali as, “Nasihat dan maw'izhah yang aku berikan padamu, adalah hasil dari seumur hidup usaha dan kerja keras; enam puluh tahun lamanya pengalaman, hingga aku dapatkan semua ini, dan kini hasil dari pengalaman enam puluh tahun itu aku berikan padamu seluruhnya. Maka, berusahalah dalam menjaga dirimu, dan sebelum datangnya serangan berbagai macam pemikiran yang menyimpang dan godaan-godaan setan, persiapkanlah dirimu, karena makrifat dan hikmah hanya akan singgah pada hati yang bersih.”

Keuntungan Tanpa Susah Payah

Sekolah kehidupan memberikan pelajaran pengalaman kepada manusia. Barangsiapa yang cermat dan teliti dalam mempelajarinya, akan mendapatkan dua keuntungan. Salah satu dari keuntungan tersebut bersifat kontan dan langsung, sedang yang satu lagi menuntut usaha yang penuh kesadaran. Yang kontan dan langsung adalah pengalaman yang diberikan oleh para siswa terdahulu dari sekolah ini. Pengalaman itu telah tersedia dan tersuguhkan bagi manusia tanpa perlu bersusah payah dalam mendapatkannya; dia dapat mengambil pelajaran dari seluruh manusia yang pernah hidup di muka bumi dan memanfaatkannya.

Imam Ali as dalam hal ini berkata,

لِتَسْتَقْبِلَ بِجِدِّ رَأْیِکَ مِنَ الاْمْرِ ما قَدْ کَفاکَ اَهْلُ الْتِّجارِبِ بُغْیَتَهُ وَ تَجْرِبَتَهُ

p: 165

Aku berpesan padamu agar engkau bersungguh-sungguh dan cermat dalam mempelajari berbagai pengalaman orang-orang terdahulu yang telah bersusah

payah dalam mendapatkannya. Dengan begitu, kata beliau as,

فَتَکُونَ قَدْ کُفیتَ مَؤُونَةَ الطَّلَبِ وَ عُوفِیتَ مِنْ عِلاجِ التَّجْرِبَهْ

Kamu telah terbebaskan dari ongkos dan jerih payah mendapatkan berbagai pengalaman mereka. Karena mereka telah menanggung semua itu dan kini

diserahkan padamu secara cuma-cuma.

فَأَتاکَ مِنْ ذَلِکَ ما کُنّا نَأْتیه

Sesuatu yang dulu kami kejar dan cari sepanjang hidup, kini tersedia dan tersuguhkan begitu saja untukmu, bahkan tanpa kamu mencarinya, pelajaran itu yang datang padamu, dan lebih daripada itu, kamu berpeluang untuk memanfaatkannya lebih daripada kami yang mengalaminya.

وَ اسْتَبانَ لَکَ مِنْها ما رُبَّمَا اَظْلَمَ عَلَیْنا فِیه

Keuntungan yang lain bagimu adalah apabila sebagian dari poin-poin pelajaran yang terkandung di dalam pengalaman itu tersembunyi bagi kami, ketika pengalaman itu ada di tanganmu, engkau berpeluang untuk menguak dan mengungkapnya dengan ketajaman berpikirmu. Ketika berbagai pengalaman ini engkau sandingkan dengan pikiranmu, maka berbagai poin pelajaran yang tersembunyi itu akan dapat terkuak dan engkau bisa menggunakan pengalaman tersebut lebih baik daripada kami. Dengan demikian, di samping pengalaman yang kita dapatkan secara cuma-cuma, kita juga harus berusaha mendapatkan pengalaman-

pengalaman anyar; dan dengan mencari pengalaman yang anyar serta menyempurnakan pengalaman yang lama, besar kemungkinan kita akan dapat berhasil dalam mewujudkan berbagai cita-cita mulia kita. O

p: 166

11- BERBAGAI MANFAAT PENGALAMAN

Point

یا بُنَیِّ إِنِّی وَ إِنْ لَمْ أَکُنْ قَدْ عُمِّرْتُ عُمْرَ مَنْ کانَ قَبْلِی، فَقَدْ نَظَرْتُ فِی أعمارِهِمْ و فَکَّرْتُ فِی أخْبارِهِمْ، وَ سِرْتُ فِی آثارِهِمْ حَتَّی عُدْتُ کَأَحَدِهِمْ، بَلْ کَأَنِّی بِمَا انْتَهی إلَیَّ مِنْ اُمُورِهِمْ قَدْ عُمِّرْتُ مَعَ أَوَّلِهِمْ إلی آخِرِهِمْ، فَعَرفْتُ صَفْوَ ذلِکَ مِنْ کَدَرِهِ، وَ نَفْعَهُ مِنْ ضَرَرِهِ، وَ اسْتَخْلَصْتُ لَکَ مِنْ کُلِّ أَمْر نَخیلَهُ، وَتَوَخَّیْتُ لَکَ جَمیلَهُ، وَ صَرَفْتُ عَنْکَ مَجْهُولَهُ، و رَأیْتُ حَیْثُ عَنانِی مِنْ أَمْرِکَ ما یَعْنِی الوالِدَ الشَّفیقَ، و أجْمَعْتُ عَلَیْهِ مِنْ أَدَبِکَ أَنْ یَکُونَ ذلِکَ وَ أَنْتَ مُقْبِلُ الْعُمْرِ وَ مُقْتَبِلُ الدَّهْرِ، ذُو نِیَّة سَلیمَة وَ نَفْس صَافِیَة، وَ أَنْ اَبْتَدِئَکَ بِتَعْلیمِ کِتابِ اللّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ تَأویلِهِ وَ شَرایِعَ الاِْسْلامِ وَ أحْکامِهِ وَ حَلاَلِهِ وَ حَرامِهِ لا اُجاوِزُ بِکَ ذلِکَ إلی غَیْرِهِ، ثُمَّ أَشْفَقْتُ أَنْ یَلْتَبِسَ مَا اخْتَلَفَ النّاسُ فیهِ مِنْ أَهْوَائِهِمْ وَ آرائِهِمْ مِثْلَ الَّذِی الْتَبَسَ عَلَیْهِمْ وَ کانَ إحْکامُ ذلِکَ لَکَ عَلی ما کَرِهْتُ مِنْ تَنْبیهِکَ لَهُ أحَبَّ اِلیَّ مِنْ اِسْلامِکَ اِلی أَمْر لا آمَنُ عَلَیْکَ فیهِ الْهَلَکَةَ وَ رَجَوْتُ أَنْ یُوَفِّقَکَ اللّهُ فیهِ لِرُشْدِکَ وَ أَنْ یَهْدِیَکَ لِقَصْدِکَ، فَعَهِدْتُ اِلَیْکَ وَصِیَّتی بِهذِهِ.

p: 167

Wahai putraku, kendatipun aku tidak memiliki usia orang-orang yang hidup sebelumku, namun aku telah mencermati perilaku serta perbuatan mereka, merenungkan berita-berita tentang mereka dan menyaksikan peninggalan- peninggalan mereka. Dengan begitu aku menjadi seperti salah seorang dari mereka. Bahkan dengan pengetahuanku tentang berbagai urusan mereka, seakan aku hidup bersama-sama mereka dari generasi yang pertama hingga yang terakhir. Kini aku telah mengetahui yang jernih dari yang keruh, yang bermanfaat dari yang berbahaya, dan aku telah menyimpulkan untukmu yang terbaik dan terindah dari segala sesuatu serta menjauhkanmu dari hal-hal yang sebelumnya) majhul (bagimu). Dan karena perhatianku pada urusanmu adalah perhatian seorang ayah yang sayang (kepada putranya) dan bersungguh-sungguh untuk memberikan bimbingan padamu, maka aku ingin menyampaikan (bimbingan ini) pada masa belia dan di awal kehidupanmu, sementara engkau baru saja mengarungi kehidupan dan masih terbentang masa yang panjang di hadapan dengan niat yang masih baik dan jiwa yang masih suci. Aku ingin mulai mengajarkan padamu tentang Kitab Allah Azza wa Jalla berikut takwilnya, syariat-syariat Islam berikut hukum-hukumnya,

apa yang halal dan apa yang haram, dan aku tidak akan berbicara yang lain (sebelum yang ini tuntas). Kemudian, aku sangat khawatir menjadi rancu dan tidak jelas bagimu hal-hal yang diperselisihkan oleh umat manusia karena hawa-nafsu dan beragam pendapat mereka, sebagaimana hal-hal ini sudah menjadi rancu dan tidak jelas bagi mereka. Maka dari itu, perlu bagiku untuk menguatkan (akidahmu), meskipun aku tidak suka untuk mengingatkanmu (tentang perselisihan dan hal-hal yang syubhat, karena jiwamu masih bersih dan suci), namun itu lebih aku sukai daripada akhirnya engkau menyerahkan dirimu pada hal-hal yang aku tidak

yakin engkau akan selamat dari kehancuran di dalamnya. Aku berharap semoga Allah memberimu taufik untuk mendapatkan jalan yang lurus dan memberimu petunjuk pada tujuan yang benar. Maka aku memberimu dan menuliskan wasiat ini untukmu.

Seperti yang lalu, dalam bagian wasiat ini, Imam Ali as menjelaskan beberapa poin muhim secara tidak langsung; yakni sebelum beliau memberikan wasiat dan nasihatnya secara langsung, beliau terlebih dahulu

p: 168

menyinggung beberapa hal yang sangat penting nilainya dari aspek taklim dan tarbiyah. Sepertinya beliau hendak memperingatkan kita secara tidak langsung melalui beberapa poin tersebut.

Nasihat dari Seorang Ayah yang Penyayang

Begitulah ucapan Imam Ali as. Dia tidak hanya mengandung lafaz-lafaz yang menunjukkan makna fashih dan baligh, tetapi bentuk -dan-metode pembicaraan beliau juga menjelaskan dan memuat banyak pesan tersembunyi. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk memahami dan memperoleh pesan-pesan tak tergantikan Imam Ali as yang telah disampaikan secara tidak langsung. Pertama-tama, marilah kita membaca ulang apa yang telah beliau sampaikan, Wahai putraku, kendatipun aku tidak berumur panjang dan aku tidak hidup bersama seluruh manusia terdahulu, namun karena aku menelaah berita dan peninggalan mereka, maka seakan aku mempunyai usia yang sangat panjang sepanjang usia seluruh pendahulu dan hidup bersama mereka semua. Hal itu disebabkan aku telah mempelajari seluruh pengalaman hidup mereka. Dengan begitu, maka seakan diriku hidup sepanjang usia semua manusia sebelumku. Dengan kata lain, sebanyak peninggalan para pendahulu yang telah kuketahui, maka dapat dikatakan bahwa aku telah berumur sepanjang umur mereka semua; seakan aku telah hidup bersama mereka dalam ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan demikian, aku telah memiliki banyak ilmu dan pengalaman yang bukan hanya merupakan hasil seluruh hidup satu orang, tetapi merupakan hasil hidup seluruh umat manusia terdahulu. Dan kini, semua ilmu dan pengalaman itu embahkan untukmu.

Sepertinya dengan keterangan di atas, secara tersirat Imam Ali as hendak menyampaikan: Apabila engkau hendak memberikan bimbingan (tarbiyah) bagi seseorang, maka pertama-tama jadikan dia percaya dan yakin pada kemampuan keilmuwan mu, agar orang yang hendak kaudidik menyadari sedang berhadapan dengan siapa dan apakah engkau memang layak untuk memberikan tarbiyah atau tidak. Nah, apabila mutarabbi (peserta didik) dan pendengar telah mempunyai keyakinan serta kepercayaan kepada murabbi-nya (pendidik), tentu dia akan mendengarkan

p: 169

seluruh ucapan murabbi-nya dengan penuh kesungguhan. Akan tetapi, bila - mutarabbi tidak mengetahui dengan siapa dia berhadapan dan siapa yang akan memberikan bimbingan serta nasihat, dia tidak akan bersungguh- sungguh dan sepenuh hati dalam mendengarkan apa yang diucapkan oleh sang murabbi, dia tidak akan menggunakan apa yang dinasihatkan, dia tidak akan memahaminya dengan serius dan tidak akan mengamalkan secara benar dan teliti. Maka, jika beliau di awal pembicaraannya berkata, “Aku hendak memberikan padamu hasil pengalaman hidup ribuan bahkan jutaan manusia sekaligus ...," hal itu disebabkan menurut beliau, mutarabbi atau mukhathab harus mempunyai kepercayaan yang lebih terhadap ucapan sang murabbi, agar proses tarbiyah dapat berjalan seperti yang diinginkan. Untuk lebih jelasnya tentang kedudukan poin ini dalam proses taklim dan tarbiyah, perhatikanlah contoh berikut ini.

Bayangkan apabila Anda hendak memberikan hadiah pada seseorang, tentu bagi orang yang menerimanya, hadiah tersebut akan mendapatkan perhatian darinya sesuai dengan sejauh apa hadiah itu berarti baginya. Misalnya, apabila Anda memberikan hadiah senilai 100 Toman (sekitar 10.000 rupiah) kepada seseorang, terlepas dari nilai maknawinya, hadiah tersebut tidaklah terlalu berarti bagi si penerima, dan jika hilangpun baginya tidak terlalu penting. Karenanya, dia tidak terlalu sibuk dan teliti dalam menjaganya. Akan tetapi, apabila hadiah tersebut berupa biji berlian yang langka di dunia dan berharga sangat mahal, tentunya dia akan sangat memerhatikan, teliti dan sangat berhati-hati dalam menjaganya. Sepertinya dalam wasiat ini, mula-mula Imam Ali as memperkenalkan diri dan posisinya secara rinci, lalu menyinggung tentang nilai wasiat serta khazanah perolehan ilmunya, dengan tujuan agar mukhathab (mitra bicara) tidak menerimanya sebagai wasiat yang biasa-biasa saja, melainkan sebuah wasiat dan petunjuk dari seseorang yang memiliki pengalaman seluruh manusia yang pernah hidup sebelumnya. Telah datang seorang manusia Ilahi dan mulia untuk memberimu petunjuk dan bimbingan dan dia akan memberikan khazanah ilmu yang luar biasa dan mutiara-mutiara hikmah yang tidak ada duanya, yang merupakan hasil umur dari seluruh

p: 170

umat manusia terdahulu. Sungguh hadiah ini adalah pemberian yang sangat berharga dan berarti, sebuah hadiah yang hari demi hari disimpan dan ditumpuk (dengan penuh kesabaran), kini seluruhnya diserahkan padamu. Oleh sebab itu, dia harus dimuliakan dan dijaga seperti jiwa dan nyawa; dia tidak didapatkan dengan harga yang murah, dan sepatutnya tidak dilepas dengan harga yang murah pula. Selain daripada itu, hadiah tersebut haruslah digunakan pada waktu yang tepat dan ambillah banyak manfaat dari kandungannya yang begitu tinggi dan sarat nilai. Dengan alasan apapun, janganlah sesuatu yang berharga ini tidak dipakai dan diabaikan begitu saja.

Ungkapan lain yang digunakan oleh Imam Ali as dalam rangka menanamkan wasiatnya ke dalam hati mukhathab serta mendapatkan kepercayaan darinya, adalah penggunaan ungkapan indah dan menyejukkan hati 'ya bunayya’ Ungkapan ini menunjukkan rasa kasih dan puncak kesayangan. Beliau as tidak mengatakan “ya ibni” atau “ya waladi,” tetapi beliau berkata, "Ya bunayya" yang berarti “wahai putra kecilku” atau “wahai putraku yang mulia dan tercinta” atau “wahai sayangku.” Di

dalam bahasa Arab, terdapat banyak ungkapan untuk menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang, dan ini hanyalan salah satunya yang digunakan oleh beliau.

Imam Ali as berkata, “Wahai putra kecilku, wahai putraku yang mulia dan tercinta, kendatipun umurku tidak panjang dan aku tidak hidup bersama dengan orang-orang yang hidup sebelumku, akan tetapi disebabkan aku merenungkan serta mempelajari tentang pemikiran, peninggalan dan berita-berita mereka, maka seakan aku menjadi salah satu dari masing-masing mereka dan berumur serta hidup bersama para pendahulu semuanya."

Poin lain yang dapat diambil dari ucapan Imam Ali as ini adalah apabila manusia mempelajari dan menelaah kehidupan orang lain serta bagaimana naik-turunnya kondisi kehidupan mereka sepanjang masa, dia seperti telah berumur sebanyak umur mereka, mengetahui seluruh ilmu mereka dan seakan hidup bersama mereka dari generasi yang paling awal hingga yang terakhir.

p: 171

Maka sepatutnyalah bagi kita untuk menghargai wasiat ini, karena Imam Ali as dalam mendapatkannya, telah mempersembahkan seluruh masa hidupnya, dan dari waktu ke waktu sepanjang hidupnya telah mengumpulkan semua penglaman itu dalam sebuah khazanah ilmu. Kini beliau berikan kepada kita semua.

Mungkin sebagian berpikir, bahwa menerima secara mutlak, menukil sejarah orang-orang terdahulu dan mengkaji berbagai peristiwa, sejarah dan pengalaman mereka, hanyalah berarti sebuah penukilan apa yang terjadi di masa lalu dan menerimanya begitu saja, bukanlah merupakan tindakan yang benar dan rasional, atau seandainyapun benar, tetap saja tidak begitu penting dan berarti. Lebih daripada itu, masyarakat terdahulu tidak mempunyai kemajuan di bidang ilmu dan budaya seperti masyarakat zaman sekarang, sehingga kehidupan mereka dapat memberikan arti penting bagi kehidupan kita. Yang justru penting adalah, bagaimana kita dapat mengembangkan ilmu yang telah mereka capai. Oleh sebab itu, Imam Ali as berkata, “Aku tidak merasa cukup hanya dengan mengumpulkan berbagai informasi tentang kehidupan orang-orang terdahulu, tetapi aku melakukan renungan, penimbangan serta studi-kritis atas berbagai informasi tersebut. Aku saring semuanya dengan neraca tuntunan Ilahi, aku pisahkan yang benar dari yang tidak benar, yang hak dari yang batil, yang baik dari yang buruk dan yang bermanfaat dari yang berbahaya.

Betapa banyak orang yang mengira telah mengambil keuntungan dan manfaat dari masa hidupnya dan masyarakatpun menganggap hidupnya sebagai kehidupan yang ideal, namun setelah aku periksa dan cermati, ternyata mereka bukan saja tidak mengambil keuntungan, tetapi justru mengalami kerugian. Aku telah menelaah dan mempelajari semua pengetahuan yang telah kudapatkan dari para pendahulu, aku telah pisahkan antara yang bermanfaat dan berbahaya, lalu apa yang baik serta bermanfaat itulah kupersembahkan bagi kalian. Aku hanya memberikan pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dan penting bagi kalian. Di dalam wasiat ini, aku tidak sertakan hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan dan kebimbangan bagi kalian. Aku tidak

p: 172

sertakan hal-hal yang kalian tidak mampu untuk mengetahui mana yang benar dan tidak, sehingga kalian menjadi pusing dan bingung. Aku hanya menyampaikan hal-hal yang secara pasti bermanfaat dan tidak mendatangkan kerugian bagi kalian, karena aku berposisi sebagai seorang ayah yang cinta dan sayang kepada putranya dengan sepenuh jiwa. Tentu apapun yang penting dan dapat menjadi kebaikan dan maslahat bagi putraku, akan aku jelaskan. Oleh sebab itu, aku berusaha menjelaskan kepadamu sebaik-baik adab dan jalan hidup; apapun yang penting bagi seorang ayah yang sayang kepada putranya, maka penting

juga bagiku. Karenanya, aku berusaha menerangkan kepadamu nasihat- nasihat terbaik, yang di dalamnya terdapat kebaikan serta maslahat bagimu; aku juga berusaha membimbingmu dengan bimbingan yang baik dan benar. Aku juga menyadari, bahwa aku akan melakukan ini sementara kamu masih sangat muda dan belia, karena kau akan berhadapan dengan masa depan yang sama sekali kau tidak mengerti tentangnya. Maka, alangkah baiknya, sementara kau masih muda dan

berada di awal kehidupan, aku berikan kepadamu semua nasihat ini, agar dapat kaugunakan sepanjang hidupmu. Engkau berpeluang untuk memanfaatkan nasihat-nasihat ini secara baik dan sempurna; engkau juga dapat memanfaatkan serta menggunakan nasihat-nasihat ini, sementara niat dan tujuanmu masih suci, bersih dan belum ternoda; engkau masih memiliki hati yang bersih dan suci pula. Oleh sebab itu, dalam usiamu yang sangat menentukan dan rentan ini, sebelum yang lain-lain, aku mulai mengajarkan padamu al-Quran beserta hakikat-hakikatnya, halal-haram Ilahi dan hukum-hukum agama. Karena, berbagai pengetahuan

tersebut merupakan serangkaian pengetahuan yang paling penting dan menjadi tanggungjawabku untuk mengajarkannya kepadamu.”

Langkah-Langkah Awal dalam Mendidik Pemuda

Walaupun serangkaian nasihat ini disampaikan oleh Imam Ali as dalam bentuk laporan, tetapi di dalamnya terdapat banyak poin penting yang disinggung dan masing-masing merupakan pesan yang penuh dengan petunjuk dan hikmah. Berikut ini adalah beberapa contoh darinya,

p: 173

1. Ilmu dan Pengetahuan yang Paling Awal

Setiap guru dan pendidik atau setiap ayah yang sayang dan penuh perhatian terhadap anaknya, pada langkah awal sebelum ternodanya hati dan jiwa, haruslah mengajarkan hakikat-hakikat agama kepada anaknya; dia harus mengajarkan padanya akidah dan pemikiran yang benar, karena bila tidak diperhatikan dan akhirnya tertunda, besar kemungkinan hati anak yang masih muda dan belia itu akan tercemar dengan akidah-akidah yang menyimpang. Tentu pelurusannya akan menuntut energi yang berlipat dan besar. Hal itu disebabkan, harus dilakukan pembersihan atas berbagai noda dari akidah yang menyimpang, untuk kemudian diajarkan pengetahuan dan akidah yang benar secara intensif, agar dapat menggeser akidah-akidah yang keliru tersebut.

Nah, sebelum hati anak menjadi kotor dan selama dia masih memiliki hati yang bersih dan niat yang suci, ajarkanlah padanya pengetahuan-pengetahuan yang muhim dan ilmu-ilmu yang mendasar. Pada langkah awal, ajarkan padanya hal-hal yang bila dia tidak mengetahuinya, tidak hanya akan berbahaya baginya, tetapi dapat menutup semua jalan menuju kebaikan, perbaikan dan perkembangan baginya. Karena ilmu-ilmu yang dapat dipelajari terbagi menjadi beberapa macam: Ada serangkaian ilmu yang bila diketahui dapat memberikan manfaat; di hadapan serangkaian lain dari ilmu-ilmu yang bila tidak diketahui, tidak begitu merugikan. Jenis yang ketiga, adalah ilmu-ilmu yang bila tidak diketahui, dapat menjadi penghalang atas jalan kebahagiaan dan kita akan kehilangan banyak hal yang penting dan bersifat mendasar. Yang keempat, adalah ilmu-ilmu yang bila diketahui dan dipelajari, justru dapat menjadi penghalang atas jalan kebahagiaan dan menyebabkan kesengsaraan. Dengan demikian, maka ilmu dapat dibagi menjadi empat kelompok,

1. Ilmu-ilmu yang bila diketahui, berbahaya dan merugikan.

2. Ilmu-ilmu yang bila diketahui, bermanfaat dan menguntungkan.

3. Ilmu-ilmu yang bila tidak diketahui, berbahaya dan merugikan.

4. Ilmu-ilmu yang bila tidak diketahui, tidak berbahaya dan tidak merugikan.

p: 174

Nah, di antara berbagai macam jenis ilmu, tidak ada ilmu yang lebih penting untuk diketahui selain apa yang telah tercantum dalam al- Quran. Karena tidak diketahuinya ilmu-ilmu yang ada di al-Quran, dapat menyebabkan tertutupnya jalan menuju kebahagiaan. Oleh karenanya, ilmu-ilmu tersebut berada pada tingkatan pertama dan yang paling muhim untuk diketahui dan dipelajari.

Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa apabila ada ilmu atau pengetahuan yang penting dan lebih baik bagi kebahagiaan manusia selain yang termaktub dalam al-Quran, tentunya akan Allah Swt berikan dan persembahkan kepada umat manusia. Seluruh pendahulan dan persiapan yang telah dilakukan untuk turunnya al-Quran, termasuk pemilihan hamba terbaik untuk penyampaian risalah abadi-Nya, ditambah dengan berbagai ibadah Rasul saw, sehingga benar-benar tercipta kesiapan yang sempurna bagi turunnya hadiah dan wahyu Ilahi, semua itu telah menunjukkan perhatian yang luar biasa dari Allah Swt pada kebahagiaan sekalian hamba-Nya, sekaligus membuktikan betapa tinggi nilai hadiah Ilahi tersebut. Tidak pernah ada hadiah seperti itu yang turun atas umat manusia sepanjang sejarah hidupnya. Apakah mungkin, sebaik-baik hadiah dan pemberian Ilahi, tidak menerangkan tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia di dalam hidupnya? Dengan kata lain, apakah mungkin di dalam hadiah terbesar itu, kebutuhan pokok manusia dan hal-hal yang sangat urgen baginya, diabaikan?! Apakah dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bijaksana, bila Tuhan semesta alam, dengan semua kecintaan, rahmat dan kasih saying-Nya kepada sekalian hamba-Nya, dan

dengan memilih sebaik-baik hamba-Nya sebagai utusan dengan tujuan menurunkan kitab wahyu, namun di dalam kitab tersebut tidak terdapat hal-hal yang dapat menjawab kebutuhan-kebutuhan pokok dan sangat mendasar bagi manusia?! Apakah mungkin di dalam kitab wahyu tersebut, hal-hal yang sangat penting itu diabaikan, atau bahkan sebaliknya, di dalamnya dijelaskan hal-hal yang tidak berguna dan bermanfaat bagi kehidupan manusia?! Tentu, tidak seperti itu! Dapat dipastikan bahwa di dalam al-Quran telah diterangkan hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok dan sangat mendasar bagi kehidupan manusia.

p: 175

Nah, bila ada seorang ayah yang penuh kasih dan menginginkan kebaikan bagi anaknya, sebelum segala sesuatunya, dia harus terlebih dahulu mengajarkan kepadanya kandungan al-Quran serta halal dan haram menurut agama. Karena semua itu, adalah hal-hal yang bila tidak diketahui oleh manusia, dia akan merugi dan merusak kebahagiaan dunia serta akhiratnya. Oleh sebab itu, Imam Ali as berkata, “Pada langkah awal, pelajarilah kitab Allah, tafsir, ayat-ayat dan hakikat-hakikatnya. Selama hal- hal tersebut belum tuntas kamu pelajari, janganlah engkau mencoba untuk belajar pengetahuan yang lainnya. Akupun sebagai seorang ayah, sebelum segala sesuatu, telah berpesan padamu untuk mempelajari pengetahuan- pengetahuan ini, yakni prioritas utama ada pada masalah makrifatullah,

makrifah tentang agama-Nya dan makrifat tentang kandungan al-Quran. Sebelum semua itu engkau pelajari, janganlah meluangkan waktu untuk mempelajari pengetahuan lainnya."

2. Kesesuaian Kandungan Wasiat dengan Kemampuan

Pemahaman Mitra Bicara Dari wasiat sarat hikmah Imam Ali as ini, juga dapat diperoleh satu dasar penting dalam taklim dan tarbiyah, yaitu para pengajar dan

pendidik yang mempunyai kepedulian terhadap murid-muridnya dan Para orang tua yang memikirkan masa depan anak-anaknya, hendaknya memerhatikan kemampuan murid dan anak berkaitan dengan materi-materi pelajaran dan pendidikan yang akan diberikan. Yakni, setelah ditentukannya materi-materi yang urgen dan penting, materi-materi tersebut juga harus disesuaikan dengan daya tangkap dan kemampuan para murid untuk memahaminya. Misalnya, seandainya sebelum segala sesuatu, perlu untuk diajarkan tentang pengetahuan ketuhanan kepada mereka, maka harus juga diperhatikan kemampuan untuk memahami pada mukhathab serta kondisi si pendengar dan pelajar. Betapa banyak anak yang baru saja merambah masa awal remaja dan masih belum mampu untuk memahami banyak pengetahuan. Oleh sebab itu, sangatlah tidak bijak apabila diberikan kepada mereka materi-materi yang berat yang mereka tidak mempunyai cukup kemampuan untuk memahaminya. Kendati Amirul Mukminin as menyampaikan wasiat ini pada seseorang yang berusia

p: 176

sekitar tiga puluh tahun, tetapi ini tidak berarti bahwa apabila mitra bicara sudah siap untuk mendengar dan menimba pengetahuan, diberikan padanya pengetahuan-pengetahuan yang sangat tinggi dan mendalam, di mana orang yang sudah mencapai usia akil baligpun masih kesulitan dalam memahaminya. Yang benar adalah penyampaian berbagai macam pengetahuan harus disesuaikan dengan kemampuan untuk memahami pada pendengar dan lawan bicara.

Karenanya, di antara hal-hal yang akan diajarkan dan dipesankan, Imam Ali as memberikan prioritas pada masalah-masalah agama (ma’arif diniyah), yang bila tidak diketahui akan mendatangkan kerugian yang luar biasa. Dalam mengajarkan pengetahuan keagamaan atau pengetahuan yang lain, tetap harus dilihat kesesuaian materi dengan daya tangkap mitra bicara dan pendengarnya. Materi tidak boleh terlalu ringan, sehingga akan dianggap enteng dan diremehkan oleh lawan bicara; sebaliknya, materi juga tidak boleh terlalu tinggi sehingga tidak dapat dijangkau oleh lawan bicara dan menjadi sia-sia.

3. Berbagai Penyimpangan dan Penyelewengan yang Menghadang

Apa yang hingga kini telah dijelaskan dari wasiat Ilahi ini adalah aspek-aspek positif dan pengetahuan-pengetahuan yang harus diajarkan oleh seorang murabbi kepada mutarabbi. Namun, apakah ini saja cukup? Apakah penjelasan dasar-dasar agama (ushuluddin) dan dalil-dalilnya sudah mencukupi bagi mutarabbi? Sebagai misal, apakah penjelasan tentang tauhid, kenabian (nubuwwah), hari kebangkitan (ma'ad), sifat-sifat Ilahi dan imamah berikut dalil-dalilnya, sudah cukup? Apakah dalam mengajarkan hukum-hukum agama, hanya cukup dengan menjelaskan apa yang halal dan apa yang haram?

Masalah penting ini juga telah diperhatikan oleh manusia Ilahi itu.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Ali as berkata, Kemudian, aku sangat khawatir menjadi rancu dan tidak jelas bagimu hal-hal yang diperselisihkan oleh umat manusia karena hawa-nafsu dan beragam pendapat mereka, sebagaimana hal-hal ini sudah menjadi rancu dan tidak

p: 177

jelas bagi mereka. Maka dari itu, perlu bagiku untuk menguatkan (akidahmu), - meski aku tidak suka untuk mengingatkanmu (tentang perselisihan dan hal-hal yang syubhat, karena jiwamu masih bersih dan suci), namun itu lebih aku sukai daripada akhirnya engkau menyerahkan dirimu pada hal-hal yang aku tidak yakin engkau akan selamat dari kehancuran di dalamnya. Yakni, di samping mengajarkan pengetahuan-pengetahuan yang penting dan urgen, harus juga dijelaskan dan diingatkan tentang hal-hal yang dapat mengakibatkan penyelewengan serta penyimpangan, agar dapat dilakukan pencegahan dini, dan agar masalah-masalah yang

dperselisihkan dan berpotensi menimbulkan kerancuan serta keraguan, tidak mengakibatkan seseorang menjadi tersesat. Imam Ali as juga menegaskan, “Sebenarnya aku tidak suka dan tidak mau membicarakan masalah-masalah seperti ini; aku tidak melihat ada kebaikan bagimu dalam memaparkan bahasan-bahasan yang penuh syubhat, kerancuan dan keraguan yang bermuara pada pemikiran-pemikiran yang saling bertentangan dan nalar-nalar yang keliru; aku tidak mau mengacaukan pikiranmu dengan menerangkan hal-hal yang syubhat dan bahasan-bahasan yang penuh kontradiksi di samping pemikiran-pemikiran yang

jelas, kuat dan lurus. Akan tetapi, karena aku khawatir engkau terjerat dan terseret ke dalam penyimpangan pemikiran mereka dan berbagai doktrin manusia-manusia berniat busuk yang tidak menginginkan apa- apa kecuali agar engkau tersesat, maka setelah menjelaskan pengetahuan dan hukum Ilahi (ahkam Ilahiyah), aku juga terpaksa menjelaskan berbagai macam syubhat serta jawabannya, agar engkau dapat bertarung dengan mereka tidak dengan tangan kosong, namun dengan pemikiran yang telah dipersenjatai. Oleh sebab itu, setelah mengajarkan pengetahuan, aku tidak membiarkanmu tanpa pegangan begitu saja, sehingga engkau dapat tergelincir dalam berbagai jebakan syubhat dan doktrin yang batil, tetapi aku mempersenjataimu untuk dapat menjawab berbagai syubhat mereka

agar engkau selamat dan tidak jatuh dalam jurang kehancuran. Karenanya, dalam memberi petunjuk, tidak cukup hanya dengan menjelaskan pengetahuan dan hukum Ilahi (ma’arif wa ahkam Ilahiyah), tetapi kita juga harus memerikan berbagai macam syubhat dan

p: 178

penyimpangan. Sekadar menerangkan pengetahuan, untuk memberi petunjuk dan selamat dari berbagai doktrin setani, tidaklah cukup. Hal ini perlu, agar dengan bekal pengetahuan tentang kebenaran, dimiliki juga kemampuan untuk mempertahankan makrifat-makrifat dan hukum-hukum Ilahi di hadapan berbagai macam syubhat serta doktrin-doktrin yang batil, sehingga dapat selamat dari jurang kehancuran dan kesesatan. Melalui keterangan di atas, dengan jelas dapat dipahami bahwa taklim dan tarbiyah, selain mempunyai sisi pengukuhan (serangkaian nilai dan prinsip), juga mempunyai sisi penafian, yakni di samping penjelasan

tentang makrifat yang sebenarnya (ma’arif haqqah), harus juga disinggung tentang berbagai penyimpangan dan kekeliruan berpikir. Seseorang tidak hanya harus mengetahui tentang pembuktian tauhid, namun dia juga harus mempelajari dan mampu untuk membuktikan kebatilan trinitas (tatslits). Dengan demikian, di samping penjelasan seputar pengetahuan-pengetahuan yang benar, haruslah juga dipaparkan serta dijawab tentang berbagai macam penyimpangan berpikir dan syubhat, agar kita tidak terjerumus ke dalam jebakan setan.

Dalam menjelaskan hukum-hukum dan pengetahuan-pengetahuan yang benar, penentuan mana yang benar tidaklah terlalu sulit di dalamnya. Akan tetapi, ketika seseorang dihadapkan pada doktrin-doktrin yang batil serta menjadi sasaran beragam syubhat, sangatlah sulit untuk mengetahui mana yang benar di dalamnya. Mengapa seperti itu? Ya, karena tidak sedikit dari pemikiran batil yang dibungkus dengan kebenaran. Oleh sebab itu, sangatlah sulit untuk mencari jalan hidayah di antara berbagai macam penyimpangan dan penyelewengan bepikir. Sepertinya, oleh karena masalah ini, Imam Ali as kemudian melanjutkan wasiatnya dengan sebuah doa, “Aku berharap semoga Allah memberimu taufik untuk mendapatkan jalan yang lurus dan memberimu petunjuk pada tujuan yang benar. Maka aku memberimu dan menuliskan wasiat ini untukmu.” Yakni, aku berharap semoga Allah membimbingmu pada jalan yang benar dan lurus, juga menyelamatkanmu dari kesesatan dan penyimpangan; aku berharap semoga Allah memberimu petunjuk pada jalan tengah yang terletak di antara ifrath dan tafrith (berlebihan dan kurang); jalan yang lurus dan benar adalah jalan yang berada di antar dua sisi ifrath dan tafrith.

p: 179

Dengan memerhatikan gencarnya serangan pemikiran yang batil dan akidah yang menyimpang, tanpa diragukan lagi, mengetahui mana yang benar serta mengamalkannya akan sulit bagi manusia. Hanya sedikit manusia yang mampu menemukan jalan hidayah dan lurus, sedangkan kebanyakan mereka akan masuk pada arah ifrath atau tafrith. Tujuan diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab suci adalah juga untuk memberikan petunjuk bagi umat manusia di lembah kebingungan ini. Allah Swt di dalam al-Quran telah memberikan predikat orang-orang yang terpilih kepada mereka yang telah menemukan jalan kebenaran.

Allah Swt berfirman, Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun sebagian di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang menempuh jalan tengah (terhindar dari ifrath atau tafrith) dan di antara mereka ada (pula) yang lebih cepat dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah; yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (1) Atau seperti dalam ayat lain, di mana Allah berfirman,

وَ عَلَی اللَّهِ قَصْدُ السَّبیلِ وَمِنْها جائِرٌ وَ لَوْ شاءَ لَهَدیکُمْ اَجْمَعین

Dan hak bagi Allah (untuk menerangkan) jalan yang lurus (benar serta jauh dari ifrath dan tafrith), dan di antara jalan-jalan ada yang menyimpang Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah Dia akan memberi petunjuk kalian semuanya (kepada jalan yang lurus).(2) Juga dalam surah al-Nahl, Allah Swt berfirman, Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (sebagai penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang (di langit) mereka mendapatkan petunjuk.(3) Allah Swt telah menjadikan bintang-bintang di langit yang di antara manfaatnya adalah sebagai penunjuk jalan bagi manusia di kegelapan malam agar tidak tersesat di tengah padang pasir yang gelap-gulita. Kalam Allah yang mengatakan, “wa 'alallahi qashd al- sabîl. (Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus),(4) merupakan kiasan dan isyarat bagi makna yang lain, yaitu ketika Allah Swt, melalui cahaya bintang-bintang, memberi petunjuk kepada kita akan arah yang

p: 180


1- 76 QS. Fathir (35):32.
2- 77 QS. al-Nahl (16):9.
3- 78 QS. al-Nahl (16]:16.
4- 79 QS. al-Nahl (16):9.

benar, maka dapat dipastikan bahwa dalam urusan maknawi, Diapun telah memberi petunjuk bagi kita untuk menuju jalan yang benar. Jelas sekali, bahwa masalah “tersesat,” tidak hanya dapat terjadi, di padang pasir, tetapi dalam masalah-masalah maknawi (pemikiran) juga terdapat banyak jalan menyimpang dan menyesatkan yang selalu menghadang. Lebih daripada itu, dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa penyimpangan dan kesesatan dalam akidah dan pemikiran, jauh lebih buruk dan berbahaya bagi manusia, bahkan penyimpangan tersebut bisa tak terbenahi untuk selamanya. Apakah mungkin Tuhan yang

menjadikan bintang-bintang di langit sebagai petunjuk arah bagi kita melalui cahayanya agar kita tidak tersesat dan tersasar dalam perjalanan, membiarkan kita tanpa petunjuk untuk meniti perjalanan hidup dalam hal- hal maknawi dan pemikiran?! Tuhan yang sedemikian rupa menjaga dan memerhatikan apa yang maslahat bagi kita agar tidak tersesat di padang pasir yang luas dalam kegelapan, apakah mungkin Dia tidak memikirkan dan melakukan apa-apa untuk kebahagiaan serta proses kesempurnaan sekalian hamba-Nya dengan menunjukkan jalan yang lurus dan benar? Tentu, Dia tidak seperti itu, tetapi seperti yang difirmankan 'wa

‘alallâhi qashd al-sabil', yakni Allah akan memberikan petunjuk dan hidayah maknawi bagi umat manusia, bahkan Dia telah menyediakan banyak sekali petunjuk bagi mereka. Karena di sana terdapat banyak juga jalan yang menyimpang dan menyesatkan, dalam lanjutan ayat dinyatakan 'wa minha ja’irun', yakni banyak di antara jalan-jalan itu yang menyimpang dan membuat orang menjadi tersesat. Janganlah kalian mengira bahwa setiap garis jalan yang dibuat atau tanda-tanda cahaya yang diberikan adalah jalan yang lurus dan benar; ketahuilah bahwa di antara sebagian jalan itu, terdapat jalan-jalan yang menyimpang dan menyesatkan dan

hanya Allahlah yang memberikan petunjuk pada jalan yang benar. Apabila kalian mau mendengar dan menggunakan berbagai petunjuk yang telah Allah turunkan dalam kitabNya, kalian tentu akan mendapatkan petunjuk tersebut. Namun, bila kalian tidak mau menggunakan petunjuk tersebut dan mensyukurinya, lalu kalian berbuat seakan Allah tidak pernah memberikan petunjuk serta arahan, maka dapat dipastikan, kalian akan

p: 181

tersesat dan terjerumus pada jalan yang menyimpang. Dengan demikian, Allah Swt, Rasul saw dan para Imam suci as dengan menjelaskan pengetahuan-pengetahuan yang benar, telah menunjukkan kepada kita cara menentukan mana jalan yang lurus dari jalan yang menyimpang, sebagaimana Imam Ali as dalam wasiat Ilahinya telah menunjukkan jalan hidup yang benar bagi kita.

Al-Quran dan Itrah (Ahlulbait as) Telah Tersingkirkan

Tak diragukan lagi, bahwa al-Quran dan Ahlulbait as adalah dua tiang utama dalam hal petunjuk dan mencari kebenaran yang telah Allah berikan kepada umat manusia. Selain hidayah, seluruh kebutuhan pokok umat manusia sepanjang hidupnya, telah dijelaskan dalam dua sumber yang tak terbatas ini. Di hadapan dua anugerah besar ini, ternyata ketidakpedulian kita juga tak terkira. Pasalnya, apabila ditanyakan kepada kita, sejauh apa kita telah mengambil petunjuk dari al-Quran dan Ahlulbait as, kita seperti tidak mempunyai jawaban untuknya. Bahkan, tragedi ini tidak hanya sebatas ini, jauh lebih daripada itu, ternyata kita seperti tidak

merasa membutuhkan al-Quran dan Ahlulbait as dan karena itulah kita tidak terdorong untuk merujuk pada al-Quran.

Nah, apabila seorang individu atau sebuah masyarakat dalam hidupnya tidak merasa perlu pada al-Quran dan tidak merujuk pada al-Quran sebagai pelita hidayah dan akhirnya tersesat, siapakah yang harus disalahkan?! Allah Swt telah menunjukkan mana jalan yang lurus dan mana yang menyimpang. Diapun telah memberikan tanda-tanda dan mengutus para pembimbing bagi umat manusia; apabila kemudian kalian tidak menggunakannya, siapakah yang layak untuk disalahkan? Jelas sekali, bahwa kalian tidak dapat mencela selain diri kalian sendiri. Oleh sebab itu, kita harus pandai-pandai menggunakan apa yang telah termaktub dalam kitab Ilahi serta berbagai penjelasan dan tafsir yang telah dibawakan oleh Rasul saw dan Ahlulbaitnya, karena satu-satunya petunjuk bagi kita adalah al-Quran dan Ahlulbait as (sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasul saw dalam riwayat-riwayat yang mutawatir).

p: 182

Berbagai Manfaat Pengalaman inan

Al-Quran dan Itrah (Ahlulbait) adalah sumber petunjuk utama bagi kita dan tidak ada yang lebih utama dari keduanya. Jika kitả mau merujuk pada dua sumber hidayah Ilahi ini, di dunia kita tidak akan tersesat, galau dan ragu. Namun, apabila kita mengabaikan bahkan berpaling dari keduanya, jangan pernah mengharap untuk mendapatkan petunjuk yang benar dari selainnya. Dalam al-Quran dinyatakan, Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang tidak diacuhkan."(1) Dalam ayat tersebut, Rasul saw mengeluh kepada Allah seraya berkata, “Wahai Tuhanku, kaumku telah menjauh dari al-Quran.” Apabila kita mau menggunakan petunjuk dari al-Quran dan Ahlulbait as, besar kemungkinan Allah Swt akan menambahkan kepada kita jalan dan petunjuk yang lain. Namun bila yang dua ini kita abaikan, janganlah pernah mengharap untuk bisa menemukan jalan yang

benar dan lurus lainnya, sehingga kita bisa mendapat petunjuk dan tidak menyimpang:)

p: 183


1- 80 QS. al-Furqan (35):30.

Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa apabila ada ilmu atau pengetahuan yang penting dan lebih baik bagi kebahagiaan manusia selain yang

termaktub dalam al-Quran, tentunya akan Allah Swt berikan dan persembahkan kepada umat manusia.

p: 184

12- MENUNTUT ILMU

Point

وَ اعْلَمْ مَعَ ذلِکَ یا بُنَیَّ أَنَّ أَحَبَّ ما أَنْتَ اَخِذٌ بِهِ مِنْ وَصِیَّتِی إِلَیْکَ تَقْوَی اللَّهِ وَالاِْقْتِصَارُ عَلَی ما فَرَضَهُ اللّهُ عَلَیْکَ، وَاَلأَخْذُ بِمامَضی عَلَیْهِ الاَْوَّلوُنَ مِنْ آبائِکَ وَالصَّالِحوُنَ مِنْ أَهْلِ بَیْتِکَ فَانِّهُمْ لَنْ یَدْعوُا أَنْ یَنْظُروُا لأَِنْفُسِهِم کَما أَنْتَ ناظِرٌ، وَ فَکَّروُا کَما أَنْتَ مُفَکِّرٌ، ثَمَّ رَدَّهُمْ آخِرُ ذلِکَ أِلیَ الاَْخْذِ بِما عَرَفوُا، وَالاِْمْساکِ عَمّا لَمْ یُکَلَّفُوا فَاِنْ أَبَتْ نَفْسُکَ عَنْ أَنْ تَقْبَلَ ذلِکَ دوُنَ أَنْ تَعْلَمَ کَما عَلِموُا فَلْیَکُنْ طَلَبُکَ لِذلِکَ بِتَفَهُّم وَ تَعَلُّم لاَبِتَوَرُّطِ الشُّبَهاتِ وَ عُلُوِّ الْخُصُوماتِ، وَ ابْدَأْ قَبْلَ نَظَرِکَ فِی ذلِکَ بِالاِْسْتَعانَةِ بِاِلَهِکَ عَلَیْهِ وَ الرَّغْبَةِ أِلَیْهِ فِی تَوْفیقِکَ وَ نَبْذِ کُلِّ شَائِبَة أَدْخَلَتْ عَلَیْکَ کُلَّ شُبْهَة، أَوْ أَسْلَمَتْکَ أِلَی ضَلالِة فَاِنْ أَیْقَنْتَ أَنْ قَدْ صَفالَکَ قَلْبَکَ فَخَشَعَ وَ تَمَّ رَأْیُکَ فَاجْتَمَعَ، وَ کَانَ هَمُّکَ فِی ذلِکَ

p: 185

هَمّاً واحِداً، فَانْظُرْ فیما فَسَّرْتُ لَکَ، وَ أِنْ لَمْ یَجْتَمِعْ لَکَ رَأْیُکَ عَلَی ما تُحِبُّ مِنْ نَفْسِکَ وَ فَراغِ نَظَرِکَ وَ فِکْرِکَ، فَاعْلَمْ أَنَّکَ أِنَّما تَخْبِطُ خَبْطَ الْعَشْواءُ (وَ تَتَوَرَّطُ الظَّلْماءَ) وَ لَیْسَ طالِبُ الدِّینِ مِنْ خَبَطَ وَلاخَلَطَ، وَالاِْمْساکُ عِنْدَ ذلِکَ أَمْثَلُ وَ إِنَّ أَوَّلَ ما أَبْدُؤُکَ بِهِ فی ذلِکَ وَ آخِرَهُ أَنِّی أَحْمَدُ أِلَیْکَ اللّهَ أِلهَیِ وَأِلَهَ الاَوَّلینَ وَالاَْخِرینَ وَ رَبَّ مَنْ فِی السّماواتِ وَالاَْرَضینَ بِما هُوَ أَهْلُهُ، وَ کَما یُجِبْ وَ یَنْبَغی لَهُ وَ نَسْأَلَُه أَنْ یُصَلِّی عَلَی سَیِّدَنَا مُحَمَّد النَّبِی(صلی الله علیه وآله)، وَ عَلَی أَنْبِیاءِ اللَّهِ بِجَمیعِ صَلاةِ مَنْ صَلَّی عَلَیْهِ مَنْ خَلْقِهِ، وَ أَنْ یُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَیْنَا بِما وَفَّقَنا لَهُ مِنْ مُسألِتِهِ بِالاِْسْتِجابَةِ لَنا فَاِنَّ بِنَعْمَتِهِ تُتَمُّ الصّالِحاتِ.

Ketahuilah wahai putraku, bahwa yang paling aku sukai untuk kamu ambil dari wasiatku padamu adalah takwa kepada Allah, membatasi diri pada apa yang telah Allah wajibkan atasmu dan mengamalkan perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh para pendahulu dari ayah-ayahmu serta orang-orang saleh dari keluargamu, karena mereka tidak pernah berhenti untuk melihat apa yang baik bagi diri mereka sebagaimana kamu melihat bagi dirimu; dan mereka berpikir sebagaimana kamu juga berpikir. Lalu pemikiran itu mengantarkan mereka untuk melakukan apa yang mereka telah ketahui dan menahan diri atas perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan kewajiban dan tanggung jawab mereka. Dan, apabila dirimu enggan untuk menerima itu tanpa mengetahui sebagaimana yang mereka ketahui, jadikanlah pencarianmu akan hal itu dengan pemahaman dan belajar, tidak dengan memasuki hal-hal yang tidak jelas (syubhat) dan jatuh dalam sengitnya perdebatan. Dan sebelum kamu masuk dalam pencarian, mulailah (langkahmu) dengan meminta pertolongan kepada Tuhanmu dan berpaling kepada-Nya agar memberimu taufik (keberhasilan),

p: 186

dan tinggalkanlah setiap keraguan yang dapat memasukkanmu dalam syubhat (ketidakjelasan) dan mengantarkan dirimu pada kesesatan. Nah, apabila engkau telah yakin bahwa hatimu sudah bersih, terang dan siap menerima (kebenaran), dan tekadmu sudah bulat serta berpadu, dan keinginanmu dalam hal ini telah menjadi satu keinginan yang kuat, pada saat itu, renungkanlah dengan baik apa yang telah kujelaskan padamu. Dan apabila pandanganmu belum sampai pada apa yang engkau sukai sehingga pikiranmu merasa tenang serta yakin akan (kebenaran)nya, maka ketahuilah bahwa sebenarnya engkau telah berjalan dalam kebutaan dan menjejakkan kaki dalam kegelapan, padahal seorang pencari agama tidak boleh melangkahkan kaki pada jalan yang tidak diketahui serta mencampuradukkan (yang jelas dengan yang tidak jelas), dan dalam situasi yang seperti ini, menahan diri dan berhenti jauh lebih baik.

Sesungguhnya awal dan akhir dari pesanku untukmu dalam hal ini adalah, bahwa aku memuji bagimu Allah, Tuhanku dan Tuhan orang-orang awal dan akhir serta Tuhan bagi siapapun yang ada di seluruh langit dan bumi sebagaimana Dia layak untuk menerimanya, dan sebagaimana yang harus dan pantas bagi-Nya. Dan kami memohon kepada-Nya agar Dia bersalawat atas junjungan kami Muhammad sang nabi saw dan atas para nabi-Nya yang lain dengan seluruh salawat yang bersalawat atasnya dari sekalian makhluk-Nya. Dan, aku memohon agar Allah menyempurnakan nikmat-Nya atas kami melalui taufik-Nya dalam mengijabahi permintaan kami, karena hanya dengan nikmat-Nyalah, semua kebaikan akan menjadi sempurna.

Setelah selesai dari bagian pertama wasiat, yang banyak memuat pesan-pesan singkat dan ringkas, kini imam Ali as mulai masuk dalam rinciannya dan berkata, “Wahai putraku, hal terpenting yang harus menjadi perhatianmu dan yang paling aku inginkan, yaitu takwa kepada Allah dan bagaimana engkau dapat membatasi diri atas kewajiban-kewajiban Ilahi dan mengamalkan sirah salaf yang saleh. Ungkapan beliau yang mengatakan,

أَنَّ أَحَبَّ ما أَنْتَ اَخِذٌ بِهِ مِنْ وَصِیَّتِی إِلَیْکَ تَقْوَی اللَّهِ

p: 187

Yang paling aku inginkan untuk kauperhatikan dari wasiatku padamu, telah menarik perhatian pendengar dån membuatnya menganggap betapa penting kandungan wasiat tersebut. Cara pengungkapan yang seperti ini telah menunjukkan bahwa beliau benar-benar menjaga kaidah-kaidah balaghah dalam kalamnya. Dalam kalam yang penuh daya tarik ini, selain pada takwa juga telah diwasiatkan untuk membatasi diri dengan kewajiban-kewajiban Ilahi. Alasan wasiat dan pesan pada takwa, sudah sangat jelas. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan membatasi diri pada “kewajiban-kewajiban Ilahi (wajibat Ilahiyah)? Apa yang menjadi alasan beliau dan

mengapa beliau berpesan akan hal ini? Untuk mendapat keterangan yang jelas akan masalah ini, terlebih dahulu perlu diberi pemerian (taudhih) secara menyeluruh atas bagian dari wasiat ini.

Cara-Cara Memperoleh Pengetahuan-Pengetahuan Keagamaan (Ma’arif Diniyah)

Untuk menjelaskan bagian dari wasiat Ilahi yang sangat berharga ini, harus dikatakan, bahwa manusia dapat menempuh dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan ketuhanan. Yang pertama, adalah dia hanya mempelajari secara tuntas hal-hal yang bersifat niscaya (dharuri) dalam agama dan bersandar pada dalil-dalil serta istidlal yang kuat, namun dalam hal-hal yang termasuk dalam pengetahuan-pengetahuan parsial (ma’arif juz'iyah) dan hukum-hukum cabang (ahkam far’iyah), dia bersandar dan bertaklid pada hasil penelitian orang lain. Sebagai misal, setelah dia berhasil membuktikan dasar-dasar tauhid dan kenabian dengan dalil yang kuat, dia kemudian bersandar pada penelitian orang lain dalam furu’-nya. Atau setelah bersandar pada dalil yang kuat, dia menerima bahwa al-Quran adalah kitab Allah, semua isinya benar dan harus beramal berdasarkan kitab tersebut, kemudian dalam keyakinan-keyakinan parsial

(i'tiqadat juz'iyah), seperti keyakinan pada malaikat, alam barzakh, kiamat, tempat-tempat berhenti (mawaqif) di hari kiamat, ... dia tidak merasa perlu menelusuri dengan burhan dan istidlal. Dia sudah bisa meyakini semua itu beserta segala furu’-nya karena telah termaktub dalam al-Quran.

p: 188

Nah, dengan cara yang digunakan dalam hal akidah, cara tersebut juga digunakan dalam hukum-hukum praktis (ahkam amaliyah), yakni setelah dibuktikan dan dimengerti tentang dharuriyyat agama bahwa sebagai misal salat dan puasa itu wajib, maka dalam rincian hukum salat dan puasa, dia bertaklid pada para ahli, fukaha dan maraji'. Dia tidak lagi mau menghabiskan energi untuk melakukan pembuktian atas rincian hukum- hukum salat dan puasa dari al-Quran, sunnah dan dalil-dalil akli. Mungkin yang dimaksud dalam bagian wasiat-Ilahi ini adalah bahwa kita harus memberikan perhatian yang serius pada dasar-dasar agama (ushuluddin) dan hukum-hukum dharuriy-nya dengan melakukan pembuktian sehingga sampai pada sebuah keyakinan tanpa sedikitpun keraguan. Akan tetapi,

dalam masalah-masalah hukum yang bersifat cabang (far'iy) serta keyakinan-keyakinan parsial, kita cukup berhenti pada sebuah keyakinan yang bersifat global, bahwa apapun yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, maka itu adalah kebenaran yang sejati. Sementara, dalam rangka praktik berkaitan dengan hukum-hukum yang detail dan rinci, kita cukup bertaklid pada para fakih dan marjd' (maraji). Sebagai contoh, apabila ditanyakan, bagaimana keyakinanmu tentang proses pertanyaan yang diberikan pada malam pertama di alam kubur? Kita hanya cukup menjawab, apapun yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya, itu adalah benar; dalam hukum-hukum praktis pun, kita akan melakukan hal dan cara yang sama. Yakni, kita melakukan pembuktian dalam dharuriyyat agama dengan dalil dan burhan yang kuat, namun kemudian kita bersandar pada keterangan yang diberikan oleh para fukaha dan ahli hukum berkaitan dengan hukum-hukum parsial dan cabang, yang tanggung jawab penelitian dan pengkajiannya tidak lagi kita pikul sendiri. Jelas kiranya bahwa cara mendapatkan pengetahuan yang seperti ini merupakan cara yang penuh kehati-hatian dan jauh lebih aman ketimbang cara yang bersifat tafshil dan rinci.

Adapun cara yang kedua adalah, kita mencari dalil dan bukti atas seluruh masalah keyakinan (i'tiqadi) dan hukum-hukum praktis, yakni di samping masalah dasar-dasar akidah dan hukum-hukum agama yang bersifat dharuriy, kita juga harus melakukan pembuktian atas masalah-

p: 189

masalah akidah yang bersifat rinci dan begitu juga halnya dengan hukum- hukum cabang. Dengan kata lain, kita selalu dituntut membawakan dan memberikan dalil atas semua permasalahan (baik yang asasi maupun fari) dan kita tidak boleh keluar dari hasil pembuktian. Kita harus menutup mata dari berbagai pendapat pakar dan hanya mengikuti apa yang kita peroleh dari dalil serta pembuktian. Kita harus mengikuti dalil, bukan yang membawakan dalil.

Perlu diperhatikan, bahwa cara yang kedua ini, tentu tidak banyak pengikutnya dan kecil kemungkinannya untuk dapat dilakukan. Pasalnya, apabila seluruh permasalahan akidah yang mendasar harus dipahami dan dibuktikan, lalu akidah-akidah terperinci (tafshiliy) satu demi satu harus juga dibuktikan, kemudian dilakukan penelitian atas berbagai kritikan yang masuk dan menjawabnya, selanjutnya dilakukan pemisahan antara yang benar dan yang tidak benar, maka hal itu merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan tidak bisa dilakukan oleh setiap dan sembarang orang.

Tentu, cara ini merupakan cara yang baik dan ideal, namun tidak mungkin dilakukan oleh semua orang dan semua orang belum tentu mampu melakukannya. Hanya bagi orang-orang yang mempunyai kesiapan dan waktu yang cukup juga ketelitian yang memadai, disertai dengan niat yang suci, Ilahi dan kuat, maka cara ini merupakan cara yang sangat bermanfaat dan urgen. Akan tetapi, apabila syarat-syarat cara ini tidak terpenuhi, cara dan jalan ini tidak boleh ditempuh. Jauh lebih baik digunakan jalan dan cara yang pertama. (Dengan cara yang pertama), dalam pembuktian akidah-akidah tafshiliy dan juz’iy, kita hanya cukup mengetahuinya bahwa hal tersebut bersumber pada Allah, Rasul saw dan para Imam suci as, sementara dalam hukum-hukum amaliah (praktis) dan masalah-masalah partikular (juz’iyah), kita cukup mengikuti pendapat para fukaha. Apabila ditanyakan kepada kita, apa dalil dalam melakukan suatu amalan tertentu, kita cukup menjawabnya bahwa kita tidak mengetahuinya secara rinci. Karena para ahli fikih berpendapat seperti itu, maka kita mengikutinya. Sebagaimana dalam seluruh permasalahan kehidupan, seperti urusan berobat, pemasangan instalasi listrik, membangun rumah, perbaikan mesin mobil dan lain sebagainya, kita juga merujuk pada para ahlinya. Nah,

p: 190

dalam masalah hukum-hukum praktis agama, kitapun merujuk kepada para ahli fikih dan melakukan amalan sesuai dengan pendapat mereka. Apabila kita telah meyakini kemampuan seorang dokter, kita tidak perlu lagi melakukan penyelidikan mengapa dia memberikan ampul dan tablet ini atau mengapa dia memberi kita resep atas obat-obat tertentu. Akan tetapi, karena kita telah meyakini keahlian serta tanggung jawabnya, kita hanya tinggal mengikuti apa yang menjadi keputusan dan sarannya. Dengan demikian, apabila kita tidak memiliki syarat-syarat yang cukup untuk menempuh jalan dan cara yang kedua, kita harus menempuh jalan

dan cara yang pertama, agar kita selamat dari bahaya-bahaya yang dapat mengancam keselamatan manusia di jalan tersebut.

Seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berjalan, maka dia tidak boleh lalai akan bahaya-bahaya yang mengancam manusia dalam menempuh perjalanan, bahaya yang dapat membuatnya tersesat dan tersasar. Terlebih apabila dia berhadapan dengan sebuah syubhat yang tidak dimengerti dan dia tidak mempunyai kemampuan untuk memahaminya. Berbagai macam bahaya dari sisi keyakinan dan moral (akidah dan akhlak), bisa saja menghadang di perjalanan kehidupan ilmiah dan praktis manusia dan mencuri ketenangan serta ketenteraman dalam hidupnya. Namun, apabila benar-benar telah dimiliki kemauan yang kuat,

niat yang tulus, waktu yang cukup dan motivasi Ilahi, tidak ada salahnya untuk menempuh jalan dan cara yang kedua, yang seluruh permasalahan harus dibuktikan secara rinci dan semua syubhat harus dikaji lalu diberikan jawabannya.

Sesuatu yang paling disukai oleh Imam Ali as adalah takwa dalam ilmu dan amal serta membatasi diri pada taklif-taklif yang wajib. Perhatikanlah, betapa pentingnya masalah ini dalam dunia kita sekarang. Apabila manusia mengamalkan hal ini, dia akan terselamatkan dari banyak penyimpangan dan penyelewengan. Mereka yang terjerumus dalam berbagai penyelewengan dan penyimpangan adalah sebagai akibat dari tidak mengamalkan wasiat penting ini. Atau, karena mereka melakukan (pencarian) dengan motivasi non-Ilahi serta cara yang keliru, atau dalam rangka mencari ilmu melangkah terlalu cepat serta terburu-buru; atau

p: 191

kadang tidak mempelajari mukadimah-mukadimah yang perlu atas ilmu yang hendak diraih, atau masuk dalam pencarian tanpa guru, ahli dan pembimbing. Beberapa faktor di atas, masing-masing sudah cukup untuk menjadi sebab terjadinya penyimpangan dan penyelewengan bagi * seseorang. Dengan demikian, maka pertama-pertama haruslah diketahui secara jelas dan teliti, apa yang yang menjadi taklif dan tugas kita. Baru kemudian kita memastikan adanya kesiapan, kemauan, waktu luang yang cukup untuk melakukan pencarian ilmu secara terperinci. Lebih penting dari semua itu adalah menjadikan niat yang tulus serta motivasi Ilahi yang jauh dari hawa nafsu sebagai esensi dari apa yang dilakukan. Selanjutnya, kita harus meminta pertolongan dan petunjuk dari Allah Jalla Jalaluhu,

karena tanpa pertolongan dari-Nya, maka seharusnya dan sepantasnya kita tidak pernah melangkahkan kaki dan berjalan dalam hal ini. Kesimpulan dari ungkapan imam Ali as, “wa’lam ma'a dzalika ya bunayya anna ahabba..." ialah: ketahuilah, yang paling aku sukai dari wasiatku untuk kaupakai dan gunakan pada tingkat pertama, adalah takwa kepada Allah dan kepatuhan kepada Allah Swt yang juga merupakan wasiat seluruh nabi dan wali Allah. Pada tingkat yang kedua adalah membatasi diri pada hal-hal yang Allah wajibkan atasmu.

وَالاِْقْتِصَارُ عَلَی ما فَرَضَهُ اللّهُ عَلَیْکَ

Maksud dari kalimat ini-dengan memerhatikan kalimat-kalimat yang sebelumnya dalam wasiat-adalah: apabila engkau tidak memiliki kemauan yang kuat, niat yang tulus serta waktu yang cukup untuk melakukan pencarian dan pengkajian ilmu, atau tidak terpenuhuinya sarana pencarian serta guru yang membimbing,..., maka engkau tidak boleh melakukan pencarian dan pengkajian dalam hal ini. Akan tetapi, engkau harus membatasi diri dengan keyakinan yang bersifat global dan

beramal melalui taklid. Dengan kata lain, engkau harus menentukan apa yang menjadi tugasmu dan berusaha mengetahui apa yang Allah maukan darimu dan apa yang Allah wajibkan atasmu. Itulah yang harus engkau tekuni serta jalani. Karena yang wajib atasmu adalah mempelajari dan

p: 192

mengetahui dasar-dasar akidah serta hukum-hukum agama yang bersifat niscaya (dharuriy). Lebih daripada itu, yang berada di luar kemampuanmu * serta tidak terkumpul syarat-syaratnya, maka hal tersebut tidaklah wajib. bagimu dan tidak boleh kaujalani, karena hanya akan mendatangkan * kerugian dan menyebabkan penyimpangan bagimu." D

Hal ketiga dalam wasiatnya yang paling diinginkan oleh Imam Ali as untuk dilakukan, yaitu mengikuti apa yang telah diteladankan oleh para salaf yang saleh. Beliau as menegaskan:

وَاَلأَخْذُ بِمامَضی عَلَیْهِ الاَْوَّلوُنَ مِنْ آبائِکَ وَالصَّالِحوُنَ مِنْ أَهْلِ بَیْتِکَ

Yakni, yang wajib atasmu dan yang aku suka untuk kaulakukan, adalah mengikuti para pendahulu (salaf) yang saleh dan mengamalkan apa yang telah mereka peroleh melalui penelitian dan pengkajian. Karena, ketelitian dan kehati-hatian yang kaumiliki dalam menjalani hidup, juga mereka miliki. Mereka juga melakukan pemikiran dan perenungan dalam hidupnya dengan penuh ketelitian dan usaha yang maksimal dan mereka telah sampai pada keputusan akan apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukan. Para ayah dan pendahulumu yang saleh yang tentu engkau percayai, telah sampai pada kesimpulan-kesimpulan hidup pascapenelitian dan pengkajian yang panjang, kemudian mereka beramal berdasarkan apa yang telah mereka ketahui dan pahami. Mereka meninggalkan dan mengabaikan hal-hal yang tidak mereka mengerti dan pahami. Singkat kata, menurut Imam Ali as, mengikuti jejak salaf yang saleh dan dapat dipercaya merupakan salah satu jalan yang aman dan kita dianjurkan untuk mengikutinya.

Syarat-Syarat Menuntut Ilmu

Sampai di sini telah disebutkan tiga jalan untuk meniti kehidupan yang selamat. Pertama, mencari pengetahuan dalam keyakinan-keyakinan dasar (ushul i'tiqadi) dan pengetahuan-pengetahuan dasariah-praktis (ma’arif asasi-amaliy) serta taklid dalam masalah-masalah partikular. Kedua, bersandar pada sirah salaf yang saleh. Ketiga, mencari ilmu dan makrifat

p: 193

Nah, apabila seseorang puas dengan cara yang pertama dan kedua dan dia tidak bisa menerima untuk sekadar mengikuti para salaf yang saleh dan berkeinginan untuk memahami seluruh permasalahan secara tahkiki, yakni berkeinginan untuk mengkaji secara detail seluruh masalah akidah dan mengeluarkan seluruh hukum-

hukum praktis melalui ijtihad, seharusnya dia memerhatikan dengan saksama apa yang diwasiatkan oleh Imam Ali as. Dalam menjelaskan syarat-syarat mencari ilmu dan makrifat, beliau menegaskan,

فَلْیَکُنْ طَلَبُکَ لِذلِکَ بِتَفَهُّم وَ تَعَلُّم لاَبِتَوَرُّطِ الشُّبَهاتِ وَ عُلُوِّ الْخُصُوماتِ

Carilah ilmu dengan tujuan untuk mengerti dan memahaminya, tidak dengan tujuan perdebatan dan bantah-bantahan (falyakun thalabuka dzalika bitafahhumin wa ta'allumin la bi tawarruthi al-syubuhat wa ‘uluww al-khushumat). Oleh sebab itu, kita harus membahas secara tuntas wasiat dan pesan beliau dalam hal ini. Mari kita dengar apa syarat-syarat menuntut ilmu dari lisan beliau.

1. Niat yang Suci dan Tulus

Dalam mencari dan menuntut ilmu, langkah dan syarat pertamanya adalah niat yang tulus dan suci. Engkau harus terlebih dahulu memperbaiki niat dan menjadikan tujuan pencarian ilmu tidak hanya untuk sekadar memahami dan mengetahui. Jangan sampai niatmu (dalam mencari ilmu) hanya untuk mempersenjatai diri dalam pertikaian dan perdebatan. Maka, benar-benar perhatikan niatmu, apakah dirimu sungguh-sungguh ingin memahami sesuatu atau kamu hanya ingin berdebat, berbantah-bantahan dan memamerkan ilmu. Apabila syarat ini telah kaupenuhi secara sempurna dan engkau benar-benar ingin memahami hakikat dan kebenaran tanpa ada tujuan lain yang negatif, saat itulah engkau boleh melangkah ke syarat berikutnya dalam mencari ilmu. Karena, sekiranya engkau sudah tidak lulus dalam syarat yang pertama, janganlah sekali-kali engkau teruskan langkahnmu. Sebab, menuntut ilmu dengan tujuan yang tidak benar, pada hakikatnya bukanlah menuntut ilmu, tetapi berarti memaksa diri untuk membawa dan memikul pengetahuan.

p: 194

2. Meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Swt

Syarat kedua dalam mencari ilmu adalah meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah Swt sejak dimulainya pencarian hingga kelanjutannya. Imam Ali as berpesan,

وَ ابْدَأْ قَبْلَ نَظَرِکَ فِی ذلِکَ بِالاِْسْتَعانَةِ بِاِلَهِکَ عَلَیْهِ وَ الرَّغْبَةِ أِلَیْهِ فِی تَوْفیقِکَ

Mengingat mencari dan mengkaji ilmu secara terperinci dan mendalam (tafshili-tahqiqiy) dalam masalah keyakinan-keyakinan dan hukum-hukum praktis sangatlah berbahaya dan berisiko tinggi, maka engkau harus memohon pertolongan kepada Allah dan membersihkan niat agar dapat meraih pengetahuan-pengetahuan yang benar dan memahami hukum-hukum sebagaimana adanya, lalu mengamalkannya. Oleh sebab itu, syarat kedua adalah bersandar pada pertolongan Ilahi. Karena tanpa inayah-Nya, tak seorangpun dapat sampai pada tujuan. Tentu, semakin suci tujuan seseorang, maka bersandar pada maqam rububiy menjadi semakin dibutuhkan dan pengaruhnya juga akan semakin besar dan dalam. Perlu kita waspadai, bahwa meminta pertolongan dan bertawakal kepada Allah tidak hanya diperlukan pada awal pencarian, tetapi selalu diperlukan sepanjang masa pencarian, yakni dari waktu ke waktu dan dalam tiap-tiap materi pencarian dan bahasan, tidak boleh sekejappun dilupakan masalah isti'anah dan tawakal kepada Allah.

3. Menghindari Hal-Hal yang Menyesatkan

Syarat ketiga dalam mencari ilmu adalah menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat dan menghindari dalil, cara dan jalan yang tidak jelas serta meragukan. Berkaitan dengan masalah ini, Imam Ali as berkata,

وَتَرْکِ کُلِّ شائِبَة اَدْخَلَتْ عَلَیْکَ شُبْهَةً اَوْ اَسَلَمَتْکَ اِلَی ضَلاَلة

Yakni, dalam mencari ilmu, hindarilah dalil dan bukti yang menarikmu dalam syubhat dan menenggelamkanmu dalam kekeliruan. Hendaknya engkau memilih jalan yang benar (yang tidak meragukan) agar bisa

p: 195

melalui jalan-jalan yang menyimpang, yang dapat menyeretmu pada kesalahan dan kesesatan. Oleh sebab itu, berpeganglah pada dalil dan bukti yang jelas dan tidak menyesatkan. Dalam rangka mencari ilmu, beberapa syarat di atas memang perlu diperhatikan. Sebagai misal, engkau harus memastikan bahwa niat dan

hatimu benar-benar suci dan bersih. Engkaupun tidak mempunyai niatan lain kecuali hendak memahami dan mengerti akan sesuatu. Nah, apabila hatimu sudah benar-benar bersih, niatmu tulus, tujuanmu hanyalah untuk memahami dan engkau bersandar pada inayah dan taufik Ilahi dalam setiap langkahmu dan jalan yang kautempuh adalah jalan yang benar dan dalil yang kaugunakan adalah dalil yang kuat, maka ketahuilah bahwa pencarianmu ini dapat dipastikan akan dapat menyingkap kebenaran dari yang majhul dan akan membawamu menuju hakikat dan kebenaran. Ilmu ini adalah ilmu yang layak dinamakan sebagai nur Ilahi.

4. Kemauan yang kuat dan Tekad yang Bulat

Nah, setelah dipenuhinya beberapa syarat yang lalu, tibalah saatnya bagimu untuk membuat keputusan yang pasti dan membulatķan tekad untuk memusatkan seluruh daya dan energi dalam mencari dan menuntut ilmu. Ketika keputusan telah dibuat untuk melangkah dalam pencarian ilmu, janganlah sekali-kali engkau gunakan energimu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain. Akan tetapi, engkau harus menjadikan seluruh perhatian dan konsentrasimu dalam rangka pencarian ilmu; engkau harus memusatkan seluruh daya dan energimu dalam penyelesaian masalah dan memahami berbagai hakikat. Engkau harus banyak menambah ilmu

dan menjauhi aktivitas-aktivitas yang tidak berkaitan dengan ilmu. Yang dimaksud dari ungkapan:

تَمَّ رَأْیُکَ فَاجْتَمَعَ، وَ کَانَ هَمُّکَ فِی ذلِکَ هَمّاً

Adalah sampainya seseorang pada keputusan serta tekad yang bulat. Oleh sebab itu, ungkapan,

p: 196

فَانْظُرْ فیما فَسَّرْتُ لَکَ، وَ أِنْ لَمْ یَجْتَمِعْ لَکَ رَأْیُکَ عَلَی ما تُحِبُّ مِنْ نَفْسِکَ وَ فَراغِ نَظَرِکَ وَ فِکْرِکَ، فَاعْلَمْ أَنَّکَ أِنَّما تَخْبِطُ خَبْطَ الْعَشْواءُ وَ تَتَوَرَّطُ الظَّلْماءَ

Perhatikan apa yang telah kujelaskan kepadamu dengan seluruh jiwamu. Jika tidak, engkau akan seperti unta yang tidak bisa melihat di malam hari, yang berjalan di kegelapan. Maksudnya, pikirkan dan renungkan syarat-syarat pencarian yang telah dijelaskan secara rinci, agar engkau dapat meraih hakikat dan kebenaran. Apabila syarat-syarat ini tidak dapat kamu penuhi dan kumpulkan, sebaiknya engkau tidak melangkahkan kaki dalam pencarian. Misalnya, apabila engkau tidak mempunyai waktu yang cukup, kemauan yang kuat atau syarat-syarat yang diperlukan untuk pencarian serta pengkajian, janganlah engkau melangkahkan kaki pada jalan ini, karena jalan ini sangatlah berbahaya. Tanpa syarat-syarat yang memadai dan perlu, berarti engkau telah memasuki sebuah padang luas yang gelap,

sehingga engkau tidak mampu membedakan dan melihat mana jalan dan mana lubang yang mematikan. Yakinilah, apabila syrat-syarat di atas tidak kaupenuhi, dapat dipastikan engkau akan terjerumus dalam kekeliruan. Alih-alih mendapatkan hakikat dan kebenaran, engkau akansemakin jauh darinya. Oleh sebab itu, janganlah engkau memasuki jalan ini, karena pencarian ilmu agama tidak pernah sesuai dengan kesalahan dan kekeliruan.

Seseorang yang hendak mencari pengetahuan agama, haruslah berhati-hati untuk tidak jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Seseorang yang melakukan kesalahan dan kekeliruan atau mempunyai niat yang tidak suci serta motivasi setani dan bermuara pada hawa nafsu, maka dia tidak dapat melakukan pencarian pengetahuan-pengetahuan keagamaan. Apabila dia memaksakan diri, dapat dipastikan dia akan jatuh dalam kekeliruan dan kesesatan. Nah, dalam kondisi yang seperti itu, maka al-imsaku ‘inda dzalika amtsalu (berhenti dan tidak melanjutkan pencarian, akan jauh lebih baik).

p: 197

Sepertinya, karena masalah-masalah yang diketengahkan oleh Imam Ali as ini sangat penting, maka beliau melanjutkan bagian wasiat ini dengan memuji Allah dan mengakhirinya dengan doa. Beliau berkata, “Wala inna awwala ma abdauka bihi fi dzalika wa akhirahu inni ahmadu ilaikallaha Ilahi wa ilaha al-awwalin wa al-akhirin ... Sesungguhnya awal dan akhir dari pesanku untukmu dalam hal ini adalah bahwa aku memuji bagimu Allah, Tuhanku dan Tuhan orang-orang awal dan akhir serta Tuhan bagi siapapun yang ada di seluruh langit dan bumi sebagaimana Dia layak untuk menerimanya, dan sebagaimana yang harus serta pantas bagi-Nya." Pada hakikatnya, dengan puja dan puji ini, beliau hendak memulai bagian rinci serta tafshili dari wasiat Ilahinya. Namun beberapa baris yang berisi pujian dan doa ini, tidak dimuat dalam beberapa naskah termasuk Nahj al-Balaghah, tetapi dimuat dalam kitab Bihar al-Anwar.()

p: 198

13- HAKIKAT DUNIA

Point

یا بُنَیَّ قَدْ أَنْبَأْتُکُ عَنِ الدُّنْیا وَحالِها وَانْتِقالِها وَزَوالِهِا بِأَهْلِها، وَأَنْبَأْتُکَ عَنْ الاخِرَةِ وَما أَعَدَّ اللّهُ فیها لأَِهْلِها، وَضَرَبْتُ لَکَ أَمْثالاً لِتَعْتَبِرَ وَتَحْذُوَ عَلَیْها الاَْمْثالَ إِنَّما مَثَلُ مَنْ أَبْصَرَ الدُّنْیا کَمَثَلِ قَوْم سَفْر نَبا بِهِمْ مَنْزِلٌ جَدْبٌ فَأَمُّوا مَنْزِلاً خَصِیباً فَاحْتَمَلُوا وَعْثَاءَ الطَّریقِ وَ فِراقَ الصَّدِیِقِ، وَخُشُونَةَ السَّفَرِ فِی الْطَّعامِ وَالْمَنامِ لِیَأْتُوا سَعَةَ دارِهِمْ وَمَنْزِلَ قَرارِهِمْ، فَلَیْسَ یَجِدوُنَ لِشَیْیء مِنْ ذلِکَ أَلَماً وَلا یَرَوْنَ لِنَفَقَتِهِ مَغْرَماً وَلا شَیْءٌ أَحَبُّ إِلَیْهِمْ مِمّا یُقَرِّبُهُمْ مِنْ مَنْزِلِهِمْ، وَمَثَلُ مَنِ اغْتَرَّ بِها کَقَوْم کانُوا فِی مَنْزِل خَصِیب فَنَبَا بِهِمْ إِلی مَنْزِل جَدْب فَلَیْسَ شَیْیءٌ أَکْرَهَ إِلَیْهِمْ، وَلا أَهْوَلَ لَدَیْهِمْ مِنْ مُفارَقَةِ ما هُمْ فِیهِ إِلَی مَا یَهْجَمُونَ عَلَیْهِ، وَیَصیروُنَ إِلَیْهِ.

p: 199

Wahai putraku, aku telah memberitahukan kepadamu tentang dunia kondisinya, perubahan dan kefanaannya beserta penghuninya. Aku juga telah memberitahukan padamu tentang akhirat dan apa yang Allah telah sediakan di sana bagi para penghuninya. Akupun telah memberikan untukmu banyak perumpamaan (tentang dunia dan akhirat), agar kamu dapat mengambil pelajaran darinya dan bertindak menurutnya. Sesungguhnya, perumpamaan orang-orang yang telah memahami dunia seperti para musafir yang sudah tidak betah dengan tempat tinggal yang tandus, lalu mereka bergegas untuk pindah menuju tempat tinggal yang subur; (untuk itu), mereka bersabar atas kesulitan perjalanan, perpisahan dengan para sahabat dan kesukaran dari segi makanan dan tidur selama dalam pengembaraan, demi untuk sampai pada tempat tinggal yang lapang dan tenteram. Karenanya, mereka tidak sedikitpun merasakan keperihan atas semua (kesukaran dalam perjalanan) itu dan tidak juga menganggap ada kerugian atas biaya perjalanan yang dikeluarkan dan tidak ada yang lebih mereka sukai ketimbang apa yang dapat membawa mereka lebih dekat pada tempat tinggal yang diidamkan tersebut. Sedangkan perumpamaan mereka yang tertipu dengan dunia, laksana orang-orang yang tinggal di sebuah

tempat yang subur, lalu pergi menuju tempat yang tandus, maka tidak ada yang lebih mereka benci dan tidak ada yang lebih menakutkan bagi mereka daripada

meninggalkan tempat subur yang pernah mereka huni menuju tempat yang baru mereka datangi dan tempati.

Bagian pertama dari wasiat Imam Ali as kepada putra beliau Imam Hasan Mujtaba as yang berisikan nasihat-nasihat singkat, telah kami jelaskan dan tafsirkan. Sesuai dengan taufik yang telah Allah berikan pada kami, wasiat tersebut telah kita bahas. Bagian kedua dari wasiat ini, berisikan nasihat-nasihat yang sedikit lebih rinci. Di dalamnya beliau memberikan penjelasan yang lebih banyak di dalamnya. Pada beberapa bagiannya, beliau juga memberikan penjelasan atas apa yang telah beliau sampaikan pada bagian pertama.

Sebagaimana yang telah disinggung, beberapa salinan surat (wasiat) ini, satu dengan yang lain terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Berdasarkan salinan kitab Bihar al-Anwar yang menjadi acuan kami, kini beliau—setelah mengucapkan puji syukur Ilahi-menarik perhatian

p: 200

Hakikat Dunia

semua pembaca pada posisi serta kondisi kehidupan manusia di dunia dan kaitannya dengan kehidupan akhirat.

Dunia dalam Pandangan Awam

Apabila manusia hendak membuat sebuah keputusan yang penuh kesadaran dan memilih jalan yang benar, dia harus mempunyai pengetahuan yang cukup. Lebih daripada itu, dia juga harus memahami beberapa syarat tertentu dan menjaganya. Dalam kaitan ini, syarat pertama adalah dia harus mengetahui bahwa dia berada dalam posisi yang seperti apa. Apabila manusia tidak mengetahui posisinya, bahwa dia berada di mana, darimana asalnya, akan ke mana pergi, apa tujuannya dan kesulitan-kesulitan apa yang akan dihadapi, sudah barang tentu dia tidak dapat membuat sebuah keputusan yang terukur dan benar. Apabila sebuah keputusan dibuat tanpa pengetahuan yang memadai dan memerhatikan beberapa hal di atas, dapat dipastikan bahwa keputusan tersebut merupakan sebuah keputusan yang ngawur dan tidak akan membawa manusia pada apa yang menjadi tujuannya. Manusia dapat memilih jalan yang benar dan mengambil keputusan yang rasional serta terukur, ketika dia sudah memahami di mana keberadaan dirinya, seperti apa posisinya, apakah dunia, tempat seperti apakah dunia itu dan bagaimana dia harus memandangnya. Karena semua hal tersebut akan sangat berpengaruh pada cara dan bentuk hidupnya. Terkhusus, cara dia dalam memandang dunia dan sejauh apa dia memahami tempat hidupnya. Semua itu akan mempunyai pengaruh yang besar dalam tindak-tanduknya. Oleh sebab itu, di sini kita akan paparkan berbagai pandangan tentang dunia dan pengaruhnya pada perilaku manusia.

1. Pandangan Hewani (Dunia sebagai Tujuan)

Tidak diragukan, bahwa pandangan manusia tentang tempat di mana dia tinggal dan hidup di sana, berbeda-beda. Sebagian mereka sepertinya tidak memandang dunia dengan mata yang benar-benar melihat, karenanya mereka tidak akan pernah mampu memberikan penalaran serta gambaran (yang benar dan tepat) tentang dunia. Dia akan selalu bingung, bimbang dan setengah sadar. Dia tidak mengetahui bahwa dia sedang di

p: 201

mana berada dan akan pergi ke mana. Dia tak ubahnya seperti orang yang baru saja terbangun darií tidur dalam keadaan bingung, tidak menentu dan belum sepenuhnya sadar. Terkadang dia merasa lapar dan berusaha untuk makan sesuatu dan mengisi perutnya; kadang dia merasakan haus dan dahaga, dan berusaha mencari sesuatu yang dapat menghilangkan rasa hausnya; ada saat-saat di mana dia berkeinginan untuk memperoleh kursi dan kedudukan, sementara dia belum menyadari bahwa di mana sekarang dia berada, lalu kemarin di mana dan esok akan ke mana? Seperti inilah realitas kehidupan sebagian manusia. Mereka hanya berpikir menikmati dunia serta makan dan minum layaknya hewan dan binatang. Dalam al-Quran ditegaskan, ... Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti halnya binatang-binatang ternak.(1)

Manusia-manusia yang seperti ini harus dilepas di padang rumput agar bebas makan dan minum, karena mereka adalah binatang-binatang yang tidak memahami dan mengerti tentang kehidupan. Mereka tidak dapat mengambil sebuah keputusan yang rasional dan terukur. Mereka persis seperti binatang yang dengan rasa lapar, terdorong untuk mencari rumput dan makanan. Dengan rasa haus, pergi untuk mencari minum dan dengan rasa lelah, pergi untuk tidur dan beristirahat. Seperti itulah kehidupan mereka, terdorong dan tergerak oleh keinginan dan rasa yang harus dipuaskan. Apa yang terjadi esok hari, tak ubahnya dengan apa

yang terjadi pada hari ini. Esok adalah hari baru dengan agenda yang lalu.

Mereka tidak pernah berpikir, bahwa darimana mereka berasal, akan ke mana mereka dengan agenda yang berulang setiap harinya, apa tujuan mereka dan apa yang harus mereka lakukan. Hal-hal seperti ini sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Kondisi orang-orang yang seperti ini dan seperti apa nasib mereka,

sangatlah jelas. Karena tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dari orang-orang yang bingung, setengah sadar, mabuk, berperangai seperti hewan dan tidak mempunyai pengertian serta pemahaman. Mereka adalah orang-orang yang tidak berpikir dan tidak juga menggunakan nalar. Mereka adalah sekelompok orang yang tuli dan bisu yang tidak mengerti apa-apa. (Dalam al-Quran ditegaskan): Sesungguhnya seburuk-buruk yang

p: 202


1- 81 QS. Muhammad [47]:12.

berjalan (di muka bumi) di sisi Allah adalah mereka yang tuli, bisu dan tidak mengerti apa-apa.(1) Orang-orang seperti ini tidak hanya merupakan seburuk-buruk manusia, tetapi dia juga merupakan seburuk-buruk binatang dan tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan dari mereka.

2. Dunia sebagai Tempat Lewat

Setelah meninggalkan kelompok pertama, kita akan berjumpa dengan kelompok lain yang sedikit berpikir tentang diri, posisi dan alam sekitarnya. Pada tahap awal, mereka menyadari bahwa dunia ini senantiasa bergerak dan berlalu. Untuk menggambarkan kelompok ini, bayangkan keadaan seseorang yang tertidur dalam pesawat, lalu tiba-tiba dia terbangun dan memandang sekitarnya, dia menyaksikan sebagian orang duduk sambil menikmati makanan dan minuman, sebagian yang lain sibuk membaca, sebagian lagi ... dan seterusnya. Namun ketika dia melihat keluar jendela, barulah dia menyadari bahwa dia berada dalam pesawat, di perut langit dan bergerak di atas samudera-samudera, dia tidak berdaya apa-apa untuk menahan lajunya; karena yang mengendalikan pesawat itu orang lain, sementara selain sang pilot tidak ada yang bisa berbuat apa-apa.

Pesawat bergerak sesuai kehendak pilotnya di angkasa yang luas dan di atas lautan yang dalam, sementara dia mau tidak mau harus tetap pergi bersama para penumpang yang lain. Nah, ketika dia terbangun dari tidur dan menyadari keberadaan serta ke mana tujuannya, waktu terus berjalan.

Dia tidak bisa menghentikan laju pesawat walaupun untuk beberapa detik saja, agar dia bisa berpikir tentang apa yang akan dilakukan atau ke mana dia hendak pergi. Apabila keinginannya itu diutarakan, semua akan menertawainya, karena mereka semua mengetahui bahwa pesawat terus melaju dengan kecepatan yang tinggi. Oleh sebab itu, kelompok ini pada tahap awal telah menyadari bahwa mereka berada dalam suatu kendaraan berkecepatan tinggi dan kendali tidak di tangan mereka sehingga mereka bisa menghentikannya. Nah, setelah mereka menyadari bahwa mereka dalam keadaan bergerak, barulah mereka berpikir tentang ke mana tujuan dari pergerakan ini; mereka berpikir di mana mereka kini berada, akan ke mana, kelak akan sampai di mana dan ke mana mereka sedang dibawa.

p: 203


1- 82 QS. al-Anfal [8]:22.

3. Perumpamaan ini memang berlaku atas dunia dan realitas kehidupan duniawi.

Perumpamaan ini hampir sepenuhnya sama dengan hakikat dunia serta kehidupan duniawi, yakni sekelompok manusia telah memahami dengan baik bahwa mereka di dunia ini sedang berada di atas kendaraan waktu, sebuah kendaraan yang tidak dapat dikurangi kecepatannya atau dihentikan, agar mereka dapat berpikir tentang apa yang harus mereka lakukan pada hari ini. Sebagai misal, tidak dapat dikatakan pada hari Rabu, “Berhentilah dan jangan berlalu, agar kami mempunyai kesempatan yang lebih untuk berpikir dan membuat keputusan.” Kendaraan waktu ini bergerak dengan cepat dan tidak dapat dihentikan sekalipun untuk sesaat. Kalian tidak dapat menghentikan waktu subuh agar tidak berjalan menuju waktu zuhur, atau zuhur juga tidak dapat dihentikan agar tidak menuju pada waktu malam. Mau tidak mau, waktu ini akan terus berjalan. Inilah sebenarnya umur yang terus berjalan dan berkurang. Kamu suka atau tidak suka, dia tetap berjalan. Setiap manusia, sejak awal dapat merasakan bahwa kehidupan dunia ini terus bergerak dan berlalu, yakni, alam dan ruang kehidupan ini terus berjalan dan tidak ada kesempatan untuk menetap di sana.

Nah, kini setelah dipahami bahwa keberadaan ini terus berlalu, muncul pertanyaan berikut ini: keberadaan ini berasal darimana dan akan menuju ke mana? Pesawat keberadaan yang bergerak dengan cepat ini, akan membawa kita darimana dan ke mana? Dengan ungkapan lain, kini harus dipikirkan bahwa kita berada di mana? Lalu akan pergi ke mana? Apa akhir dari semua ini? Dalam sebuah riwayat dikatakan, “Rahimallahu imra'an 'alima min aina wa fi aina wa ila ina."Semoga Allah merahmati seseorang yang mengetahui dirinya darimana, di mana dan akan ke mana.

Setelah diketahuinya hakikat ini dan bahwa alam keberadaan ini akan berlalu, kembali pemahaman manusia pada tingkatan-tingkatan

keberadaan, berbeda satu dengan lainnya. Berikut ini adalah sekilas

tentang berbagai pandangan dalam kaitan ini.

a. Melewati dunia yang makmur menuju kehancuran serta ketiadaan

Baik kiranya kita gunakan contoh lalu untuk menjelaskan keyakinan manusia tentang dunia sebagai tempat lewat atau tempat tinggal

p: 204

sementara. Dengan memerhatikan contoh tersebut, apabila kita benar-benar teliti, kita akan memahami bahwa teman-teman seperjalanan yang ada dalam pesawat itu sendiri, terbagi menjadi dua kelompok: sebagian meyakini bahwa dunia ini sementara dan suatu hari nanti akan berakhir dan binasa. Karenanya mereka hanya memikirkan bagaimana caranya mereka mendapatkan harta dan makanan yang baik agar dapat menikmati serta memanfaatkannya secara ideal. Hal ini disebabkan karena mereka meyakini bahwa kehidupan di dunia ini akan berakhir pada kefanaan. Semua makanan dan minuman yang ada juga terbatas hingga waktu tertentu. Karena keterbatasan waktu itu, mereka berlomba-lomba dengan penuh kerakusan untuk memperoleh dan memanfaatkan apa yang ada di dunia. Mereka berpikir untuk mendapatkan bagiannya secepat dan sebanyak mungkin, karena kalau tidak, semuanya akan habis dan tidak lagi dapat ditemukan.

Tak diragukan lagi, akibat dari cara berpikir dan berperilaku yang seperti ini, adalah kebatilan serta kehancuran. Karena semuanya telah diyakini terbatas, sementara dan akan berakhir pada kefanaan, mereka mengira bahwa semua yang ada, hanya terbatas pada beberapa waktu kehidupan di dunia. Karena itu, mereka sangat menghargai kesempatan dan hanya berpikir untuk mencari kesenangan serta kepuasan dalam hidup. Mereka meyakini bahwa akhir dari dunia ini adalah kefanaan serta kehancuran yang cepat atau lambat pasti akan tiba waktunya.

b. Melewati dunia yang sementara menuju tempat tinggal yang abadi (darul qarar)

Bersama dengan kelompok orang seperjalanan sebelumnya, juga ada sekelompok lain yang berkeyakinan bahwa akhir dari dunia yang sementara ini bukanlah kefanaan serta ketiadaan, tetapi mereka memandangnya sebagai tujuan dan justru mereka mempersiapkan diri selama hidup di dunia untuk sampai pada tujuan itu. Untuk itu, mereka mengatur serta merencanakan seluruh amal perbuatan mereka dengan penuh kehati-hatian dan kesabaran hingga menjadi sebuah agenda pekerjaan yang telah diperhitungkan; (karena kehidupan pascadunia adalah tujuan mereka),

p: 205

maka mereka tidak terlalu fokus pada urusan-urusan kesenangan duniawi seperti makan, minum, . Mereka berusaha membekali diri dengan pengetahuan yang cukup untuk dapat memilih serta menentukan jalan hidup (yang benar).

Berdasarkan analisis dan pemikiran yang serius, mereka akan memilih jalan yang memang harus mereka lalui agar dapat mencapai tujuan. Sama sekali berbeda dengan kelompok sebelumnya, mereka tidak memandang harta dunia serta apa yang ada dalam pesawat dengan penuh kerakusan, sehingga mereka makan, minum dan memanfaatkan apa saja yang diperoleh. Akan tetapi, mereka selalu berpikir, merenung dan melaksanakan tugasnya dengan penuh kesabaran serta ketenangan Mereka selalu menimbang, mengukur dan meneliti segala urusan mereka dan hanya berpikir untuk melakukan apa yang benar-benar merupakan

tugas dan tanggung-jawab mereka. Terkadang mereka mengkritisi dan menyalahkan perbuatan kelompok pertama, dan mempertanyakan mengapa mereka harus berbuat seperti itu. Tentu, jelas sekali apa yang akan menjadi jawaban dari kelompok pertama, mereka akan berkata, “Karena sedianya tidak lama lagi kita akan mati dan binasa, maka kita harus memanfaatkan kesempatan yang ada, yakni selama kita bisa dan mampu, seharusnya kita memanfaatkan serta menikmati apa yang ada dunia.” Dengan kata lain, apabila sudah jelas bahwa suatu hari nanti kita akan mati, setidaknya kita telah memaksimalkan kesempatan yang ada dan marilah kita bersenang-senang selama masih hidup. Akan tetapi, kelompok yang kedua berpendapat lain dan berkata, “Kita di dunia ini mempunyai tujuan dan berkeinginan agar secepat mungkin sampai di sana. Oleh sebab itu, kita mempersiapkan diri untuk sampai di sana. Sejak saat ini kita selalu menghitung waktu dan menanti kapan kita bisa segera tiba di sana untuk dapat bertemu dengan keluarga, karib-kerabat serta teman-teman kita. Kita sangat rindu untuk bertemu mereka,

sementara makan dan minum di sini telah menghalangi serta mencegah kita untuk melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan.”

p: 206

Pandangan yang Benar tentang Dunia

Sebagaimana yang telah lalu, hingga kini telah ditunjukkan tiga pandangan tentang hakikat dunia. Di dalamnya setiap manusia telah memilih dan hidup berdasarkan salah satu dari tiga cara pandang tersebut. Adakalanya, manusia memilih pandangan kelompok pertama, yang pada hakikatnya tidak layak disebut sebagai pandangan, tetapi lebih tepat disebut sebagai kehidupan hewani, atau memilih cara pandang kelompok kedua, yang karena meyakini dunia sebagai tempat lewat dari tempat tinggal yang makmur menuju kehancuran dan ketiadaan, maka mereka berusaha memuaskan diri di dunia sepuas-puasnya. Atau, pandangan yang dipilih oleh kelompok ketiga, yang memandang dunia sebagai “darul harakati ila daril qarar" (tempat lewat menuju kediaman yang sesungguhnya dan abadi). Selama belum meneliti secara saksama dan sungguh-sungguh beberapa pandangan ini, maka tentu manusia tidak akan dapat mengambil keputusan yang benar.

Pada tahap awal, pandangan yang pertama haruslah dikesampingkan, yakni karena pandangan yang pertama tidak lebih dari pandangan hewani, maka secara pasti dia harus ditinggalkan. Nah, sekarang manusia tinggal memilih salah satu dari dua pandangan yang tersisa. Dengan kata lain, manusia harus menerima pandangan yang mengatakan bahwa dunia ini akan hancur serta berakhir dengan ketiadaan di mana segala sesuatu akan sirna, mati dan tak tersisa, atau menerima pandangan yang mengatakan bahwa di hadapan ada sebuah tujuan yang teramat penting; tujuan adalah sebuah tempat tinggal yang sangat makmur di mana karib-kerabat dan teman-teman yang setia sedang menanti kedatangan kita dengan penuh kerinduan, sementara kita juga menghitung hari untuk segera bertemu dengan mereka. Tentu, manusia harus mengkaji secara teliti dalil dari dua kelompok ini, baru kemudian dia menentukan salah satu darinya berdasarkan dalil

yang diyakini kebenarannya. Sudah barang tentu, mau tidak mau, pada akhirnya kita harus memilih salah satu dari dua pandangan ini dan menjadi salah satu dari dua kelompok yang ada. Nah, untuk itu baik kiranya apabila kita mengetahui serta mengenal ciri-ciri masing-masing dari dua kelompok ini.

p: 207

Orang-orang yang mengira bahwa semua yang ada hanyalah kehidupan beberapa saat dunia ini dan pascadunia tidak ada apa-apa, dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang rakus, penyembah kenikmatan, egois, tidak peduli kepada orang lain dan tidak bertujuan. Mereka hanya akan mengejar kenikmatan sementara duniawi, pemuasan berbagai keinginan nafsu dan tidak berpikir selain makanan, minuman dan kenikmatan-kenikmatan hewani lainnya yang tersedia di alam dunia. Hal ini mereka lakukan, karena mereka berkeyakinan bahwa suatu hari nanti dunia ini akan berakhir dan segala sesuatu akan menjadi şirna. Di samping

mereka, terdapat orang-orang yang meyakini bahwa kehidupan dunia ini adalah sebuah perjalanan menuju sebuah tujuan, dan tujuannya itu bukanlah ketiadaan serta kefanaan. Dunia ini adalah dar al-harakah (dunia gerak), dar al-sair (tempat lewat) dan dar al-safar (dunia perjalanan), dan tujuan dari gerak serta perjalanan ini adalah dar al-qarar (tempat tinggal yang abadi); sebuah tempat yang menjamin ketenangan, ketenteraman serta kemakmuran. Di sanalah tujuan yang hakiki, dan bila dibandingkan dengan dunia yang sementara, di sana adalah tempat tinggal yang abadi. Justru dunia yang dianggap sebagai tempat hidup, pada hakikatnya adalah tempat kematian serta ketiadaan. Pandangan ini persis bertolak belakang dengan pandangan orang-orang yang berpikir bahwa bila ada kehidupan, ya kehidupan dunia sekarang ini, yang beberapa saat lagi akan berakhir dan berujung pada kematian serta ketiadaan yang meliputi segala sesuatu.

Kesimpulannya, sebagian berkeyakinan bahwa pascakehidupan dunia, tidak ada hal lain kecuali kematian dan ketiadaan, dan sebagian yang lain berkeyakinan bahwa dunia adalah tempat hidup sementara dan penghuninya dalam perjalanan menuju kehidupan yang abadi. Oleh sebab itu, sering dikatakan, bahwa sekarang kita berada dalam cengkeraman kematian. Bila nanti sampai pada tujuan, di sanalah tempat hidup yang sesungguhnya (dar al-hayat). Sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah ayat al-Quran,

وَ ما هذِهِ الْحَیوةُ الدُّنْیا اِلاّ لَهْوٌ وَ لَعِبٌ وَ اِنَّ الدَّارَ الاَْخِرَةَ لَهِیَ الْحَیْوَانُ

p: 208

لَوْکانُوا یَعْلَمُون

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.(1) Dengan demikian, kehidupan yang hakiki ada di sana, seperti disebutkan dalam sebuah ayat,

یقول یا لیتنی قَدَّمْتُ لِحَیاتِی

Dia mengatakan, "Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini. (2)

Ayat yang penuh cahaya ini, telah menegaskan dengan jelas bahwa kehidupan yang hakiki itu ada di sana (akhirat). Dua pandangan ini sudah barang tentu akan menyebabkan munculnya dua sikap yang sangat berbeda. Salah satu pandangan akan membuat sebagian menjadi tamak dan rakus yang hanya berpikir tentang kenikmatan-kenikmatan duniawi, sementara pandangan yang lain menyebabkan sebagian menjadi sibuk dengan perbuatan-perbuatan yang bersifat maknawi dan tidak begitu peduli dengan urusan makan dan minum.

Pada bagian ini, Imam Ali as membawakan sebuah contoh yang mirip dengan contoh yang kami sebutkan sebelumnya, bahwa manusia mempunyai dua pandangan yang berbeda tentang dunia. Sebagian telah mengenal dunia secara cermat dan mengetahui hakikatnya secara sempurna. Mereka itu adalah orang-orang yang berpergian dari tempat yang tandus dan tak berair menuju tempat yang hijau, subur dan melimpah airnya, yakni dunia adalah sebuah perjalanan dari tempat yang kering dan tandus menuju tempat yang subur dan kaya air. Mereka memahami bahwa mereka sedang berjalan dari padang pasir yang tandus dan kering menuju tempat yang subur dan bersumber. Kafilah yang seperti itu, tentu akan mencari dan menyiapkan sarana perjalanan yang terbaik,

p: 209


1- 83 QS. al-Ankabut [29]:64.
2- 84 QS. al-Fajr [89]:24.

untuk segera dapat sampai pada tempat yang dituju dan diidamkan. Apabila untuk kepentingan itu mereka harus keluar biaya, pasti akan terasa ringan bagi mereka dan sama sekali tidak memberatkan, karena tujuannya adalah untuk secepat mungkin dapat sampai pada tempat yang didambakan. Apabila terdapat kendaraan yang lebih cepat dari yang ada, mereka akan berusaha untuk mendapatkannya. Bahkan sekiranya untuk keperluan itu diperlukan biaya yang lebih, mereka tidak akan segan-segan untuk memenuhinya, agar dapat segera sampai pada tujuan. Bahkan, sekiranya untuk perjalanan ini diperlukan biaya yang sangat besar sekali

pun, mereka tetap tidak akan merasa khawatir untuk memenuhi atau berusaha mendapatkannya. Mereka akan mengerahkan segenap energi dan seluruh biaya dengan perasaan senang tanpa sedikitpun penyesalan, karena memang mereka tidak mempunyai tujuan lain selain mencapai tempat tersebut.

Namun, mereka yang memandang bahwa kehidupan dunia dengan kematian berarti berpindah dari tempat yang subur menuju tempat yang kering-kerontang dan tandus, maka sudah barang tentu mereka tidak akan melakukan usaha apa-apa untuk mempercepat perjalanan mereka. Mereka hanya akan berpikir untuk bagaimana bisa lebih membuat diri mereka senang dan puas sebelum tiba di tempat yang tidak mereka kehendaki. (Sikap ini mereka ambil), karena dalam pandangan mereka, kematian berarti kefanaan serta ketiadaan, dan pascakematian semuanya akan menjadi sirna dan tidak ada sesuatu yang tersisa. Kalaupun ada sesuatu, tidak ada yang merupakan miliknya. Orang-orang yang seperti ini, tentu akan memanfaatkan secara maksimal kesempatan hidup di dunia untuk menyenangkan dan memuaskan semua tuntutan nafsu seperti makan, minum, bersenang-senang dan lain sebagainya.

Dunia dalam Pandangan Imam Ali as

Dari berbagai pandangan yang ada tentang dunia dan akhirat, beliau telah memberikan pandangan yang benar dalam wasiatnya kepada putra beliau Imam Hasan Mujtaba as dan berkata:

p: 210

یا بُنَّیَ قَدْ اَنْبَاْتُکَ عَنِ الدُّنْیا وَحالِها وَ زَوالِها وَانْتِقالِها بِاَهْلِها

Wahai putraku, aku telah memberitahukan kepadamu tentang dunia, kondisinya, perubahan dan kefanaannya beserta penghuninya. Pertama, aku telah memberitahukan kepadamu tentang dunia dan hakikatnya, bahwa dunia sementara, akan berlalu dan sirna. Dunia ini bukanlah tempat yang abadi. Sementara akhirat adalah sebuah tempat yang penuh dengan nikmat, kelezatan dan kebahagiaan, dan telah disediakan oleh Allah bagi para kekasih-Nya. Agar kalian dapat membandingkan antara alam dunia dan alam akhirat, kami akan menjelaskan dan membawakan beberapa contoh di sini untuk dipetik pesannya, direnungkan, dijadikan pelajaran dan dipilih. Nah, setelah itu silakan kalian hidup sesuai dengan cara yang kalian inginkan. Pilihlah teladan kalian dengan pemahaman yang benar dan sesuaikanlah amal perbuatan kalian dengan teladan tersebut. Lalu apakah contoh dan perumpamaan itu?

Innama matsalu man abshar al-dunya (man akhbarad dunya)(1) kamatsali qawmin safrin naba bihim manzilun jadbun fa ammu manzilan khashiban...

Sesungguhnya, perumpamaan orang-orang yang telah memahami dunia laksana para musafir yang sudah tidak betah dengan tempat tinggal yang tandus, lalu mereka bergegas untuk pindah menuju tempat tinggal yang subur.

Orang-orang yang melihat dunia dengan mata hati yang terbuka dan pengetahuan yang mendalam, ibarat kafilah yang melakukan perjalanan dari tempat yang kering, tandus dan tak bertanaman menuju tempat yang subur, kaya air dan penuh nikmat. Mereka telah siap untuk menghadapi berbagai kesulitan dalam perjalanan untuk sampai pada tempat yang mereka dambakan. Bagi mereka, berpisah dari teman-teman dan menyaksikan kematian mereka, bukanlah hal yang berat, karena mereka akan bertemu dengan teman-teman sejatinya di sana. Apabila beberapa waktu tertunda, mereka sama sekali tidak gundah dan gelisah, karena

p: 211


1- 85 Di dalam salinan yang lain.

mereka meyakini bahwa mereka harus melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan abadinya. Imam Ali berkata, "(Untuk itu), mereka bersabar atas kesulitan perjalanan perpisahan dengan para sahabat dan kesukaran dari segi makanan dan tidur selama dalam pengembaraan, demi untuk sampai pada tempat tinggal yang lapang dan tenteram.” Tentu saja, kondisi perjalanan tidaklah sama dengan tinggal di rumah. Di dalam perjalanan akan ada keletihan dan ketidaknyamanan. Ada kekurangan tidur dan istirahat, ada kekurangan dari segi makanan dan minuman dan lain sebagainya. Tentulah perjalanan tidak sama seperti kita berada di rumah dan tempat tinggal sendiri. Akan tetapi, kelompok dan kafilah ini telah siap menanggung berbagai macam kesulitan perjalanan, karena mereka mengetahui bahwa tidak lama lagi mereka akan sampai pada tempat tinggal yang luas, penuh ketenangan, ketenteraman dan kekal-abadi. Imam Ali as melanjutkan, “Mereka mau menanggung segala kesulitan itu), demi untuk sampai pada tempat tinggal yang lapang dan tenteram. Karenanya, mereka tidak sedikitpun merasakan keperihan atas semua (kesukaran dalam perjalanan) itu dan tidak juga menganggap ada kerugian atas biaya perjalanan yang dikeluarkan dan tidak ada yang lebih mereka sukai ketimbang apa yang dapat membawa mereka lebih dekat pada tempat tinggal yang diidamkan tersebut.

Oleh sebab itu, mereka tidak sedikitpun merasakan derita dan ketidaknyamanan. Sebagaimana apabila seseorang sedang bergegas pergi menuju kekasihnya, dia tidak sedikitpun merasakan keletihan. Meskipun pada hakikatnya tubuhnya mengalami keletihan, dia tidak merasakannya. Meskipun dalam perjalanan ini banyak biaya yang dikeluarkan, dia tidak menganggapnya sebagai kerugian. Dia sama sekali tidak merasa telah banyak mengeluarkan biaya. Bahkan dia merasa bangga bahwa untuk menemui kekasihnya, dia telah sanggup mengeluarkan biaya dan pengorbanan yang besar. Di dalam benaknya hanya ada satu keinginan, yaitu sampai pada tempat tujuannya. Dalam pandangannya, tidak ada yang lebih dia sukai selain apa yang membuatnya lebih dekat pada tempat tinggal kekasihnya. Perumpamaan ini adalah gambaran keadaan hati orang-orang yang telah mengenal dan mengetahui dunia sebagaimana adanya.

p: 212

Akan tetapi, bertentangan dengan pandangan ini adalah pandangan orang-orang yang hanya melihat sisi lahir dunia dan tertipu olehnya. Mereka terpikat dan merasa puas dengannya. Mereka tak ubahnya seperti orang-orang yang tertipu oleh makanan pahit yang dilapisi oleh sesuatu yang manis dengan rasa dan warna yang memikat, di mana mereka baru menyadari rasa pahitnya setelah dimakan. Orang-orang yang berpikiran pendek dan dangkal juga mudah terkecoh oleh sisi lahir dunia yang menarik dan menggoda. Mereka mengira bahwa dunia adalah hakikat sejati yang mereka cari dan damba. Mereka lalai dan tidak menyadari

bahwa sesuatu yang di permukaan terlihat manis dan menggoda selera ini, pada hakikatnya adalah racun yang dapat membunuh. Hal ini disebabkan karena konsentrasi dan fokus mereka hanya tertuju pada sisi lahiriah dunia tanpa memahami hakikat dan sisi batinnya.

Salah satu ungkapan yang digunakan di dalam al-Quran berkaitan dengan dunia adalah ungkapan “matâ'u al-ghurûr,” di mana disebutkan: Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (menipu) (matâ'u al-ghurûr).(1) Kata ghurûr di sini berarti tipuan. Dunia tak ubahnya seperti dot yang dijejalkan pada mulut bayi untuk mengalihkan dari apa yang sebenarnya dimaukan dan agar dia sejenak lalai dari air susu ibu. Atau, seperti lapisan warna dan rasa yang dibalutkan pada racun yang mematikan akan dikira sebagai makanan yang lezat dan menggoda selera untuk diberikan kepada orang-orang yang lalai. Perlu diketahui, bahwa orang-orang yang tertipu dunia juga terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang memandang dunia dengan cara pandang binatang. Kelompok lainnya adalah salah satu dari dua kelompok yang memandang dunia sebagai tempat lewat (tempat tinggal sementara), yaitu mereka yang menganggap dunia sebagai tempat yang akan berakhir dengan ketiadaan dan kesia-siaan. Mereka itu juga termasuk orang-orang yang tertipu oleh dunia. Dengan kata lain, baik mereka yang tidak memahami hakikat dunia maupun mereka yang memahami hakikatnya dan meyakini dunia sebagai tempat hidup sementara, namun berujung pada ketiadaan dan kesia-siaan, kedua kelompok ini masuk dalam mereka yang tertipu oleh dunia.

p: 213


1- 86 QS. Ali Imran (3):185.

Kedua kelompok tersebut telah tertipu oleh dunia, namun dengan bentuk kelalaian dan perilaku serta sikap yang berbeda. Meskipun kelompok lalai dan tertipu yang kedua sama dengan mereka yang memahami hakikat dunia dalam hal ketidakabadian dunia, perbedaan pandangan keduanya tentang dunia sangatlah jelas berbeda. Sebagaimana kelompok tertipu kedua ini juga sama dalam hal kelalaian dengan kelompok tertipu pertama yang tidak menyadari bahwa mereka sedang dalam perjalanan di dunia ini dan tidak menyadari bahwa dunia ini adalah tempat tinggal yang sementara, namun tetap saja sikap dan perilaku keduanya berbeda.

Karena, sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, bahwa kelompok pertama secara mutlak berada dalam kebingungan dan ketidaksadaran, bahkan mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berjalan di atas waktu dan mereka tidak mengerti apakah ada perjalanan atau tidak?! Tentu saja, sikap dan pandangan kelompok kedua tidaklah sama dengan kelompok yang pertama.

Kesimpulannya, terdapat tiga pandangan manusia terhadap dunia: sebagian tidak memahami dunia kecuali sebagai kehidupan terbatas dalam hari-hari yang singkat dalam kebingungan serta ketidaksadaran dan menganggap kematian sebagai kefanaan serta kebinasaan yang bersifat mutlak. Kelompok kedua adalah mereka yang memandang dunia sebagai perjalanan dari ketenteraman serta kesenangan menuju kesulitan, bencana dan kehancuran. kelompok yang ketiga adalah mereka yang memandang dunia sebagai perjalanan dari kesulitan, bencana dan kekacauan menuju tempat tinggal yang didambakan dan idamkan. Kendati pandangan kelompok ketiga dan kedua sama dalam hal ketidakabadian dunia, namun arah perjalanan pada kedua kelompok ini tidaklah sama. Kelompok kedua (kebalikan dari kelompok ketiga) berpandangan bahwa mereka sedang berjalan dari tempat yang baik dan ideal menuju sebuah penjara yang tidak diketahui dan gelap gulita. Ketika menggambarkan pandangan mereka, imam Ali as berkata, “Dan perumpamaan mereka yang tertipu oleh dunia laksana orang-orang yang tinggal di sebuah tempat yang subur, lalu pergi menuju tempat yang tandus, maka tidak ada yang lebih mereka benci dan tidak ada yang lebih menakutkan bagi mereka daripada meninggalkan

p: 214

tempat subur yang pernah mereka huni menuju tempat yang baru mereka datangi dan tinggali.”

Dengan kata lain, tidak ada yang lebih mereka benci daripada perjalanan ini, sebuah perjalanan yang akan memindahkan mereka dari tempat yang mereka sukai menuju tempat yang tidak mereka inginkan. Bagi orang-orang seperti ini, setiap saat yang terbuang ibarat terbuangnya satu umur yang penuh bencana dan petaka. Mereka melihat diri mereka sedang mendekati kekurangan, tempat yang tandus, paceklik, padang luas tanpa air dan rumput, kematian dan kebinasaan. Tentu saja, setiap waktu yang berlalu akan berarti sebuah kehidupan yang sulit dan semakin sulit. Pada hakikatnya mereka lebih suka untuk tetap tinggal di dunia yang mereka anggap penuh dengan berbagai kenikmatan dan sangat takut untuk berpisah darinya. Oleh sebab itu, mereka tidak mau kehilangan dunia. Pandangan mereka yang keliru inilah yang membuat hati mereka senantiasa merasakan kesedihan dan kegelisahan tanpa akhir dalam hidup mereka. Perilaku mereka cenderung tamak, rakus, gundah dan bersifat liar bak binatang. Mereka berusaha mendapatkan sebaik dan sebanyak mungkin dari dunia untuk dapat lebih menikmatinya. Mereka sangat menghargai kesempatan untuk dapat sebanyak mungkin merasakan dan memanfaatkan berbagai macam kenikmatan yang ada. Karena dalam anggapan mereka, apabila ada kelezatan dan kenikmatan, adanya hanya di masa kehidupan dunia ini dan pascakematian semuanya akan berakhir. Oleh sebab itu, manusia harus mengambil satu dari dua pandangan tentang dunia ini dengan pengetahuan dan pemikiran yang mempunyai dasar-dasar yang kuat. Dua pandangan itu adalah,

1. Kehidupan berarti hidup beberapa hari saja, yakni kehidupan adalah masa hidup beberapa saat di dunia yang semuanya akan berakhir dan hancur dengan kematian. Setelah kehidupan ini tidak ada lagi kehidupan dan kenikmatan, karena kesenangan dan kenikmatan hanyalah ada dalam kehidupan dunia.

2. Kehidupan berarti perjalanan menuju kehidupan yang sejati, yakni kehidupan di dunia tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan

p: 215

akhirat pascakematian. Justru di akhiratlah manusia akan merasakan kehidupan yang hakiki dan sejati. Kehidupan akhirat. adalah tujuan, sementara kehidupan dunia adalah tempat lewat menuju kehidupan yang abadi di sana.

Berbagai Efek Positif yang Ditimbulkan oleh Pandangan yang Benar

Kini, setelah dijelaskannya beberapa pandangan yang berbeda, kita harus berpikir dengan baik dalam hal ini. Dengan memilih dan menentukan pandangan yang benar, kita juga harus berusaha mewujudkannya dalam tataran praktis hidup kita. Jika tidak begitu, sudah sangat jelas bahwa sekadar meyakini adanya kehidupan akhirat dan hari kebangkitan (ma'ad) tidaklah mencukupi. Yakni, apabila kita menerima dan meyakini bahwa akhirat itu ada dan kehidupan yang abadi dan sejati itu di sana, dalam masa hidup yang berdurasi sekitar lima puluh sampai enam puluh tahun ini, kita harus menyadari bahwa diri kita berada dalam sebuah perjalanan dan seharusnya kita juga bersikap dan berperilaku sebagai layaknya seorang musafir. Kita harus menyadari bahwa semakin ringan beban perjalanan kita, perjalanan kitapun akan menjadi lebih nyaman. Sebaliknya, semakin berat beban yang kita bawa, perjalanan kita akan semakin melelahkan selain akan memperlambat sampainya kita pada tujuan. Oleh sebab itu, kita harus berusaha membawa beban seringan mungkin, agar perjalanan kita tidak melelahkan.

Kita harus menjadikan hati kita tidak terikat dengan apa yang ada di dunia. Kita harus menyadari bahwa semua ini akan ditinggalkan dan kita harus segera pergi karena di sini bukanlah tempat tinggal yang abadi. Tanaman-tanaman yang hijau ini tidak lama lagi akan mengering, layu dan hancur. Semua yang ada di dunia ini tidak layak untuk dicintai, dipegangi sehingga hati kita terikat olehnya. Apabila pandangan kita betul-betul seperti ini, sudah barang tentu akan berpengaruh pada perilaku dan amal kita. Kita tidak lagi sudi menjilat dan merangkai berbagai dusta hanya untuk dapat mengenyangkan perut. Kita tidak lagi mau melakukan dosa

dan hal-hal haram demi mengisi kehidupan yang sesaat ini. Kita tidak akan

p: 216

tunduk dan patuh kepada sembarang manusia. Kita akan pandai dalam menjaga kemuliaan dan harga diri kita. Apabila pada suatu waktu diri kita tertimpa kefakiran atau musibah, kita tidak akan menampakkan dan mengeluhkan hal itu kepada banyak orang. Dalam al-Quran disebutkan, Orang yang tidak tahu menyangka mereka

orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta.(1) Kemuliaan dan harga dirinya tidak mengizinkan orang lain mengetahui kebutuhannya. Semangatnya tidak hanya pada terjaminnya kebutuhan-kebutuhan materi, tetapi dia sangat bersungguh-sungguh untuk sampai ada kesempurnaan-

kesempurnaan spiritual dan berusaha meraihnya. Apabila dia terlihat mencari kebutuhan dan keperluan duniawi, dia melakukannya semata-mata karena itu merupakan tanggung jawab serta taklif atas dirinya, dan pada hakikatnya dia berusaha untuk tidak menjadi beban bagi orang lain. Nah, apabila kita melihat urusan-urusan duniawi dengan cara pandang yang seperti ini, seluruh aktivitas hidup kita akan terhitung sebagai ibadah dan akan berguna bagi kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi, apabila perkara-perkara duniawi ini menjadi tujuan dan hakikat yang dicari serta dunia sebagai tujuan akhir kehidupan, itu

sama halnya dengan menciptakan fondasi atau dasar penyelewengan dan kesesatan. Karena dalam kerangka berpikir yang seperti ini, seluruh perbuatan dan energi penggerak berbagai aktivitas bermuara pada cinta dunia. Yang membuatnya bersemangat untuk bekerja, adalah meraih berbagai kenikmatan dan pemenuhan perut serta kebutuhan hidup, seperti sandang, papan, kendaraan dan lain sebagainya. Mengapa seperti itu? Jawabannya jelas sekali: Ketika dalam pandangan seseorang dunia itu adalah tujuan, maka janganlah dinanti perilaku dan sikap kecuali yang sesuai dengan cara pandang tersebut. Karena dia berpikir bahwa setelah kehidupan dunia ini, tidak ada lagi kehidupan dan semuanya akan hancur dan binasa. Namun, apabila seseorang itu meyakini bahwa dunia adalah sebuah jalan dan tujuannya adalah akhirat, sudah barang tentu dia akan menunjukkan cara dan gaya hidup yang berbeda; seluruh perbuatan dan aktivitasnya akan berarti pelaksanaan taklif (Ilahi). Hatinya tidak pernah tergoda oleh kemauan-kemauan nafsu dan tidak pernah bercita-cita

p: 217


1- 87 QS. al-Baqarah [2]:273.

untuk meraih kedudukan serta kekayaan duniawi. Yang didambakannya adalah sampainya dia pada Mahbub-nya (Allah Swt); dia berusaha untuk menjaga diri agar tidak dipisahkan dari Sang Mahbub oleh dunia dan kenikmatannya. Oleh sebab itu, dia cenderung melihat dunia sebagai sesuatu yang remeh dan menjijikkan. Alangkah indahnya perumpamaan yang disampaikan oleh Imam Ali as dalam menyifati dunia, beliau berkata, "Perumpamaan kehidupan dunia dan berbagai harta-bendanya adalah ibarat tulang babi yang telah lapuk di tangan seorang penderita lepra.” Untuk memahami dengan baik perumpamaan ini, bayangkan seekor babi hidup, betapa dia adalah binatang yang sangat menjijikkan. Apalagi apabila dia telah mati dan menjadi bangkai atau tulang-belulang yang telah lapuk. Sungguh tidak dapat dibayangkan betapa itu sangat menjijikkan! Menyaksikan tulang lapuk hewan kotor yang buruk rupa, menjijikkan dan berbau busuk akibat terbiasa memakan makanan yang busuk, tentu beberapa kali lebih menjijikkan, sehingga tidak dapat dijelaskan dalam kata-kata dan berada di luar bayangan. Seekor babi hidup saja, sudah menjijikkan, apalagi bangkainya. Lebih buruk dari itu, tulang lapuk dari bangkai itu yang tidak dapat digambarkan betapa menjijikkannya,

ditambah lagi tulang yang sangat menjijikkan ini berada dalam genggaman tangan penderita lepra. Apabila seseorang terkena penyakit lepra, wajahnya akan berubah menjadi buruk dan sangat menjijikkan, sehingga sekalipun di tangan-Nya terdapat bunga yang indah, tetap saja tidak ada orang yang berkeinginan untuk memandangnya. Nah, kini bayangkan apabila di tangan penderita lepra itu terdapat tulang busuk babi yang telah lapuk. Sekarang, katakan bagaimana pandangan orang yang berakal terhadap tulang tersebut?! Mereka yang telah mengenal dan memahami dunia, tentu akan memandang dunia seperti itu. Kita semua juga harus

memandang dunia seperti itu. Dengan gambaran yang seperti ini, tinggal kita melihat diri kita sendiri, apakah kita sudah termasuk kelompok manusia yang berpandangan seperti itu?[]

p: 218

14- KEANGKUHAN

Point

ثُمَّ فَزَّعْتُکَ بِاَنْواعِ الجَهالاتِ لِئَلاَّ تَعُدَّ نَفْسَکَ عالِماً، فَاِنَّ الْعالِمَ مَنْ عَرَفَ اَنَّ ما یَعْلَمُ فیما لا یَعْلَمُ قَلیلٌ فَعَدَّ نَفْسَهُ بِذلِکَ جاهِلا، فَازْدادَ بِما عَرَفَ مِنْ ذلِکَ فی طَلَبِ الْعِلْمِ اِجْتِهادَاً، فَما یَزالُ لِلْعِلْمِ طالِبَاً، وَفیهِ راغِباً، وَلَهُ مُسَتفیداً، وَلاَِهْلِهِ خاشِعاً وَلِرَأْیِةِ مُتَّهَماً وَلِلصُّمْتِ لازِماً، وَلِلْخَطَأِ جاحِداً وَمِنْهُ مُسْتَحْیِیاً وَاِنْ وَرَدَ عَلَیْهِ ما لا یَعْرِفُ لا یُنْکِرُ ذلِکَ لَما قَدْ قَدَّرَ بِهِ نَفْسَهُ مِنَ الْجَهالَةِ. وَ اِنَّ الْجاهِلَ مَنْ عَدَّ نَفْسَهُ بِما جَهِلَ مِنْ مَعْرِفَةِ الْعِلْمِ عالِماً وَ بِرَأْیِهِ مُکْتَفیاً فیما یَزالُ مِنَ الْعُلَماءِ مُباعِداً وَ عَلَیْهِمْ زارِیاً وَ لِمَنْ خالَفَهُ مُخَطِّیِاً وَ لِما لَم یَعْرِفْ مِنَ الاُْمُورِ مُضَلِّلا وَ اِذا وَرَدَ عَلَیْهِ مِنَ الاَْمْرِ ما لا یَعْرِفُهُ اَنْکَرَهُ وَ کَذَّبَ بِهِ وَ قالَ بِجَهالَتِهِ ما اَعْرِفُ هَذا، وَ ما اَراهُ کانَ، وَ ما اَظُنُّ اَنْ یَکُونَ، وَ اَنّی کانَ، وَ لا اَعْرِفُ ذلِکَ لِثَقَتِهِ بِرَأْیِهِ وَ قِلَّةِ مَعْرِفَتِهِ بِجَهالَتِهِ فَما یَنْفَکُّ مِمّا یَری فیِما

p: 219

یَلْتَبِسُ عَلَیْهِ رَأْیُهُ و مِمَّا لا یَعْرِفُ لِلْجَهْلِ مُسْتَفیداً وَ لِلْحَقِّ مُنْکِراً و فِی اللِّجاجَةِ مُتَجِرِّیاً و عَنْ طَلَبِ الْعِلْمِ مُسْتَکْبِراً.

Aku peringatkan kamu tentang macam-macam kebodohan, agar kamu tidak menganggap dirimu sebagai orang yang alim (pandai). Karena sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang menyadari bahwa apa yang dia ketahui sangatlah sedikit dibandingkan dengan apa yang tidak dia ketahui, oleh sebab itu dia memandang dirinya sebagai orang yang jahil. Karena itu pula dia selalu bersemangat untuk menuntut ilmu dan mencarinya; dia selalu cinta pada pengetahuan, mengambil manfaat darinya dan tunduk di hadapan ahli ilmu. Dia tidak apriori pada pendapatnya, banyak bersikap diam, berusaha menghindarkan diri dari kesalahan dan merasa malu atasnya. Apabila dihadapkan padanya sebuah masalah yang tidak dia ketahui, dia tidak serta-merta mengingkarinya, karena dia telah memberikan kemungkinan tidak tahu pada dirinya. Dan sesungguhnya orang yang jahil adalah orang yang menganggap dirinya tahu atas perkara yang sebenarnya tidak dia ketahui dan merasa puas dengan pendapatnya sendiri; dia selalu menjauh dari ulama serta mencemooh mereka. Siapapun yang bertentangan dan berbeda pendapat dengannya, pasti akan disalahkan; dia dengan mudah memberikan predikat sesat atas hal-hal yang belum dia ketahui. Apabila dihadapkan padanya suatu perkara yang tidak dia ketahui, dia akan serta-merta mengingkari dan mendustakannya, dan dengan penuh kebodohan berkata, “Aku tidak pernah tahu yang seperti ini (sebagai ungkapan yang mengisyaratkan kebatilan masalah tersebut), aku tidak melihatnya seperti itu, aku tidak mengira begitu, bagaimana bisa seperti itu dan aku tidak mengetahuinya." (Semua itu berani dia utarakan), karena dia terlalu yakin pada kebenaran pendapatnya dan kurangnya kesadaran akan kebodohan diri. Maka, sebagai akibat dari terlalu percaya pada kebenaran pendapatnya sendiri dan ketidak-tahuannya, dia selalu menuai kebodohan, mengingkari kebenaran, berani bersikukuh pada kesalahan dan terlalu angkuh untuk menuntut ilmu.(1) Dari pelajaran yang lalu, kita telah memahami tentang pentingnya kehidupan akhirat dan bahwa dunia adalah sebuah jalan yang akan berakhir

pada sebuah kehidupan abadi. Kita telah memahami dengan baik bahwa

p: 220


1- 88 Bagian dari wasiat ini hanya ada dalam kitab Tuhaf al-Uqul dan Bihar al-Anwar.

perjalanan ini memang harus ditempuh hingga sampai pada tempat tujuan dan tempat tinggal yang hakiki, yaitu kehidupan abadi. Oleh sebab itu, apabila kita mengira bahwa tujuan adalah dunia, berarti kita telah jatuh dalam kekeliruan yang besar dan kita akan membuang-buang energi yang sedianya harus digunakan untuk sampai pada kehidupan ukhrawi secara sia-sia.

Apabila manusia mau sedikit berpikir dan merenung, dia akan segera memahami permata yang sangat berharga ini; dia akan memahami bahwa kehidupan dunia yang dianggap sebagai kehidupan hakiki, bila dibandingkan dengan kehidupan abadi ukhrawi adalah ibarat kematian dan kefanaan; karena di sanalah kehidupan yang sejati dan kehidupan dunia hanyalah sebuah jalan, bukan tujuan dan dambaan. Tujuan yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dan lebih mulia bila dibandingkan dengan kehidupan dunia yang hanya sesaat.

Nah, kini apabila kita telah meyakini bahwa dunia adalah jalan menuju akhirat, tentu pertanyaan berikut ini, yang di dalamnya terkandung ribuan pertanyaan akan mengemuka: Bagaimana seharusnya kita hidup di dunia yang merupakan jalan menuju akhirat agar kita dapat sampai pada kebahagiaan ukhrawi yang abadi? Kita semua menyadari bahwa dalam perjalanan singkat kehidupan dunia, banyak sekali tantangan dan kesulitan, di mana bertahun-tahun sudah bahkan berabad-abad para ilmuwan telah berusaha menyelesaikan berbagai kesulitan itu, namun tak kunjung berhasil. Nah, apalagi dengan kehidupan abadi akhirat yang jauh berada di luar jangkauan akal. Apabila kehidupan yang hakiki, kita pandang jauh lebih sulit daripada kehidupan sementara dunia, pertanyaan berikut ini akan mengemuka: Kesulitan-kesulitan apa saja yang ada di sana dan jalan apa yang harus kita lalui agar kita dapat sampai pada tujuan akhir serta kebahagiaan abadi? Pertanyaan ini adalah sebuah pertanyaan yang bersifat global dan bila dijabarkan akan mendatangkan soal-soal yang lebih detail dan rinci berkaitan dengan setiap saat dari kehidupan serta apa yang menjadi tanggung jawab masing-masing dari anggota tubuh kita terhadap diri dan orang lain. Sebagai misal, apa yang harus dilakukan

oleh mata, telinga, tangan, kaki, akal, hati, ... dalam masa hidup di dunia?

p: 221

Bagaimanakah seharusnya sikap kita dan apa yang menjadi tanggung jawab kita terhadap ayah, ibu, seluruh anggota keluarga, anak-anak, berbagai individu dalam masyarakat dan setiap manusia yang lain, agar kita bisa sampai pada tujuan mulia yang diidamkan? Alhasil, banyak masalah dan urusan rumit yang masing-masing akan melahirkan satu disiplin ilmu khusus yang apabila manusia ingin benar-benar sampai ada kebahagiaan abadi, dia harus mencari jalan keluarnya; dia harus mengetahui dengan baik bagaimana seharusnya dia mengisi kehidupan agar dapat menjaga keselamatan dirinya dan meraih kebahagiaan yang abadi. Berikut ini,

dari sebuah sudut pandang, kami akan menjelaskan serta menerangkan berbagai masalah tersebut.

Fitrah Haus Ilmu (Cinta Pengetahuan)

Langkah pertama yang harus diambil setelah berhadapan dengan beragam masalah rumit dan setumpuk pertanyaan yang seakan tak pernah berakhir, adalah menemukan jawaban yang dapat memberikan solusi dan dapat menyelamatkan diri kita dari jeratannya. Jelas sekali, apabila seseorang berkeinginan untuk mendapatkan jawaban dari berbagai persoalan tersebut, dia harus menuntut dan mencari ilmu. Akan tetapi belajar dan menuntut ilmu di sini sangat berbeda dengan kebanyakan belajar dan menuntut ilmu lainnya. Kebanyakan dari kegiatan belajar dan menuntut ilmu berangkat dari pemuasan keinginan, untuk mencari kerja dan penghasilan atau karena sebuah nilai yang dihormati oleh masyarakat. Sementara menuntut dan mencari ilmu di sini harus dipicu oleh motivasi-

motivasi Ilahi dan tujuan yang suci di mana hal-hal yang majhul harus diubah menjadi maʼlum agar jalan menuju kebahagiaan ditemukan, sehingga dengannya diketahui bagaimana dia harus melangkah di segala situasi dan bagaimana sikap serta perilakunya kepada orang lain. Apabila kita menuntut dan mencari ilmu dengan motivasi yang seperti ini, dapat dipastikan bahwa belajar kita akan mempunyai nilai yang sangat tinggi.

Mungkin, oleh sebab inilah Imam Ali as membahas tentang masalah mencari ilmu dan berbagai bahaya yang menghadang para penuntutnya. (Dengan kata lain), untuk mencapai kebahagiaan abadi, kita mau tidak mau

p: 222

harus mencari jawaban dan solusi praktis atas serangkaian pertanyaan, dan tugas penting ini tidak mungkin kita lakukan kecuali dari jalan menuntut ilmu. Dalam rangka mencapai kesempurnaan, tidak ada jálan lain kecuali mendapatkan jawaban ilmiah atas berbagai pertanyaan dan problema di atas, dan tentu jawabannya hanya mungkin diperoleh melalui belajar dan mencari ilmu. Dari sisi lain, kita menyadari bahwa masalah mencari ilmu itu sendiri merupakan tuntutan fitrah setiap manusia. Yakni, sebelum seorang manusia mencapai kematangan berpikir (bulugh ‘aqlaniy) di dalam dirinya telah tertanam sebuah motivasi fitriah untuk mengubah kebodohan (majhulat)-nya menjadi pengetahuan (maʼlumat).

Sebagai contoh, apabila kalian perhatikan anak-anak berusia tiga sampai lima tahun, pada umumnya mereka banyak bertanya. Fenomena ini disebabkan adanya suatu kehausan fitrah yang mendorong mereka untuk mengetahui, memahami dan mengubah seluruh ketidaktahuan menjadi pengetahuan. Dengan demikian, ketika dinyatakan menuntut dan mencari ilmu itu adalah fitrah yang bermuara pada motivasi bawah sadar, maka maksudnya adalah bahwa nilai ilmu dan mencari ilmu tidak bisa diragukan dan tidak perlu lagi disusun premis-premis yang membuktikan manfaat ilmu dan mencari ilmu untuk kemudian dijadikan dasar atas pentingnya ilmu dan pencariannya. Yakni, cukuplah seseorang berpikir, mengapa ada dorongan kuat dalam diri untuk bertanya dan mengetahui hal-hal yang belum diketahui?!(Maka dia akan menemukan), bahwa dalam dirinya terdapat sebuah motivasi kuat yang tanpa dia sadari mendorong dan menggiringnya untuk mencari jawaban dari hal-hal yang tidak dia ketahui. Dari sejak kanak-kanak motivasi ini telah berkobar dalam diri manusia dan menggerakkannya untuk mencari ilmu. Terkadang, dalam

waktu-waktu tertentu, motivasi fitri ini menguat oleh faktor-faktor eksternal; sebagai misal, setelah menginjak masa akil balig, seseorang akan menyadari bahwa permasalahan dan problematika hidupnya harus diberi solusi dengan bersandar pada ilmu dan pengetahuan; dia harus mempelajari jalan dan konsep kehidupan, dan dia mengerti bahwa tanpa cahaya ilmu, dia tidak akan sampai ke mana-mana, maka di saat itulah nilai mencari ilmu baginya akan berlipat ganda dan motivasinya untuk mencari ilmu juga semakin menguat.

p: 223

Perlu diketahui, bahwa faktor-faktor eksternal tidaklah selalu menjadi penguat sebuah motivasi. Akan tetapi, sebagaimana dia dapat menjadi penguat, adakalanya dia juga dapat melemahkan motivasi tertentu. Contohnya, beberapa halangan dan rintangan yang terdapat dalam mencari ilmu yang menyebabkan lemahnya motivasi pencarian dan apabila manusia tidak berhati-hati terhadap berbagai bahaya tersebut, maka besar kemungkinan semangat serta motivasinya akan padam dan mati. Dengan kata lain, sebagaimana motivasi ini dapat menjadi sarana takarub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), takamul (proses menyempurna) dan

ditemukannya jalan menuju kebahagiaan, apabila motivasi itu melemah, akan dapat menyebabkan manusia terseret dalam jurang kebodohan dan terperangkap dalam beragam jerat setan. Alih-alih menjadi faktor yang dapat meningkatkan dan meninggikan kualitas manusia, dia dapat menjadi penyebab jatuh dan hancurnya manusia, bahkan hingga mengancam kehidupannya. Terkadang, sedemikian rumit dan pelik masalahnya, sehingga ilmu yang telah dipelajari yang seharusnya mendatangkan manfaat, justru dapat berbahaya dan merugikan bagi penuntutnya. Kendati dia telah bekerja keras, belajar dan meninggalkan kesempatan beristirahat dan bersenang-senang, namun dalam menuntut ilmu dia jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan, sehingga belajar dan mencari ilmu bukan hanya tidak mendatangkan manfaat, tetapi justru mengakibatkan banyak bahaya dan kerugian.

Oleh sebab itu, setelah memberikan perhatian pada pokok tujuan dan terciptanya sebuah pandangan berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat, Imam Ali as mengalihkan topik pembicaraan pada sebuah bahasan yang menjelaskan tentang berbagai kekeliruan, bencana dan bahaya yang menghadang jalan para pencari ilmu dan mereka yang hendak mengambil manfaat darinya. Beliau berkata, “Summa fazza'tuka bianwa'il jahalat...."; yakni setelah kujelaskan mengenai pentingnya kehidupan ukhrawi dan bagaimana kedudukan dunia bila dibandingkan dengan akhirat, kini aku memperingatkanmu akan kebodohan-kebodohan yang terdapat dalam perjalanan hidup yang mungkin menimpamu. Jangan pernah engkau mengira bahwa karena kau adalah seorang yang berpengetahuan (alim),

p: 224

maka kamu akan terbebas dari kebodohan-kebdohan ini. Ketahuilah, berbagai kekeliruan dan jerat-jerat setan yang penuh tipuan sedang mengintaimu. Bahkan, berbagai jerat dan perangkap ini lebih berbahaya bagimu daripada ancaman lainnya.

Kesombongan dan Sifat Angkuh adalah Penyakit bagi Ilmu

Berbicara tentang berbagai penyakit dan kekeliruan yang terdapat pada jalan para pencari ilmu adalah sama halnya dengan menbahas faktor-faktor yang dapat menyemangati seseorang untuk mencari ilmu. Bahkan jauh lebih penting. Oleh sebab itu, Imam Ali as memberikan beberapa keterangan berkaitan dengan masalah ini yang pada hakikatnya dapat disebut sebagai panduan ringkas tentang adab taklim dan tarbiyah. Beliau telah memberikan serangkaian rumus yang perlu diketahui, dipahami dan digunakan oleh setiap pencari ilmu. Jika rumusan ini tidak diketahui, dia tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu yang dipelajarinya.

Sebagai peringatan awal, beliau memberikan penegasan bahwa sumber dari berbagai penyakit dan bahaya yang dapat mengancam para penuntut ilmu adalah sifat sombong dan angkuh. Tentu hal ini tidak berarti bahwa semua penyakit para pencari ilmu tersimpul pada satu penyakit ini. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa penyakit ini merupakan poros, muara dan sumber asli dari seluruh penyakit yang ada. Seorang manusia yang jahil di hadapan setiap masalah yang tidak dia ketahui, tidak memiliki apa-apa selain sebuah pertanyaan (akan hal yang tidak dia ketahui); dia memiliki ketidaktahuan dan dia sadar akan ketidaktahuannya. Kesadaran akan ketidaktahuan ini sama sekali tidak memberi ruang baginya untuk menonjolkan serta membanggakan diri. Akan tetapi, karena dia menyadari

kekurangan dirinya yang harus dihilangkan, maka dia akan merendah dan mau bertanya untuk menghilangkan ketidaktahuannya.

Kondisi sadar akan kekurangan diri sama sekali tidak akan menimbulkan penyakit dan tidak akan membuat seseorang menjadi sombong dan angkuh. Tidak ada orang yang menyombongkan dan membanggakan kebodohannya, dan tentu dia tidak dapat berkata, “Karena

p: 225

aku tidak tahu, maka sungguh hebat dan luar biasa diriku." Dalam kondisi seperti ini, dia tidak mungkin tertimpa oleh penyakit yang bernama kesombongan dan keangkuhan. Selama seseorang mempunyai kebodohan yang bersifat sederhana dan nonkompleks (jahl basith), maka dia akan steril dari penyakit sombong dan angkuh. Akan tetapi, apabila seseorang mulai mengetahui beberapa hal dan sedikit berilmu, dia akan berada dalam ancaman penyakit sombong dan angkuh. Karena dia merasa telah benar-benar mengetahui sesuatu dan memiliki ilmu, maka anggapan inilah yang membuat celah dan mendasari penyelewengan serta menanamkan benih penyakit dalam dirinya.

Penyebab Kesombongan

Mungkin di benak Anda muncul sebuah pertanyaan: Bagaimana seseorang dapat terkena penyakit sombong hanya karena mengetahui satu dua masalah, sementara masih ada ribuan masalah yang belum dia ketahui dan masih banyak hal yang belum dia mengerti? Dan mengapa ketika dia belum mengetahui apa-apa dan tidak mempunyai apa-apa selain setumpuk ketidaktahuan, dia bisa selamat dari penyakit ini?! Untuk pertanyaan ini,

ada dua jawaban yang bisa dipaparkan:

1. Ketika seseorang mengayunkan langkah-langkah awal dalam menuntut ilmu, dia tidak mengetahui seberapa banyak majhulat yang dimilikinya (yakni, hal-hal yang belum dia ketahui), namun dia hanya mengetahui bahwa dia tidak tahu apa-apa dan hanya itu. Dia mengetahui bahwa dia mempunyai banyak ketidaktahuan dan

tidak memahami banyak masalah; dia tidak mengenal berbagai disiplin ilmu dan bahkan dia tidak mengetahui bahwa fulan ilmu berbicara tentang apa serta membahas masalah apa. Misalnya, seorang pelajar yang baru menginjak tingkat pendidikan menengah atau atas, secara global dia mengetahui bahwa ada

beberapa bahasan yang dipaparkan dalam ilmu matematika, namun dia secara spesifik dan rinci tidak mengetahui masalah serta subjek bahasannya seperti apa. Dia tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan aritmatika atau masalah apa

p: 226

saja yang dibahas dalam ilmu geometri?! Pada dasarnya, dia tidak * mengerti, tidak mempunyai gambaran bahkan tidak memiliki persoalan atau subjek masalah untuk diketahui dan dipelajari. Dia tidak mengerti apakah dia sudah tahu atau belum? Apakah dia mempunyai kemampuan untuk menjawab dan menguraikan

permasalahan atau tidak? dia hanya mengetahui secara garis besar, bahwa ada serangkaian subjek dan masalah yang dibahas oleh para ahli matematika, kimia, fisika dan seterusnya, tetapi dia tidak memahami bahwa masalah-masalah itu seperti apa. Dengan kata lain, dia tidak mengerti subjek dan masalah apa yang dibahas dalam ilmu-ilmu tersebut.

Oleh sebab itu, ketidaktahuan seperti ini, tidak dapat dibanggakan dan disombongkan. Adapun seseorang yang telah mengetahui beberapa hal dan telah mengerti serangkaian masalah dan jawabannya dari sang guru, adakalanya dia akan mengira bahwa dirinya telah mengetahui banyak hal. Hal itu disebabkan karena dia menduga bahwa ilmu hanya sebatas yang telah dia ketahui. Umpamanya, dia menduga bahwa ilmu kedokteran hanya tersimpul dalam beberapa masalah sederhana dan terbatas. Dengan begitu, dia berani mendakwa bahwa dirinya telah mengetahui banyak masalah kedokteran, padahal masih banyak lagi masalah kedokteran yang belum dia ketahui. Contoh lainnya, seorang santri baru ketika mulai mengerti beberapa masalah dari ilmu sharaf dan nahwu, mengenal sighah madhi dan mudhari', dia mengira bahwa dirinya telah menguasai seluruh ilmu sharaf dan nahwu. Karena (menurut pandangannya), seluruh ayat al-Quran dan ahadis (ucapan para maksum as) tidak lepas dari bentuk fi'il madhi, mudhari' atau beberapa bentuk kata kerja lain yang telah dia ketahui dan tidak ada hal lain dia perlu dia pelajari lagi. Maka salah satu sebab seseorang terkena penyakit sombong adalah karena dia tidak menyadari bahwa pada hakikatnya masih banyak hal yang belum dia ketahui dan mengerti, tetapi dia mengira bahwa dengan ilmu yang terbatas telah mengetahui segalanya dan tidak ada hal lain yang belum terjawab baginya.

p: 227

2. Sebab lain dari sifat 'sombong adalah cinta diri yang membuat seseorang selalu melihat kebaikan-kebaikan diri dan melupakan berbagai aib dan kekurangannya. Ketika seorang pelajar mulai mengetahui beberapa masalah ilmu, dia akan berkata pada dirinya, “Sebelum ini, aku tidak tahu dan mengerti apa-apa," namun setelah dia mengetahui beberapa hal, dia menganggap sedikit yang dia ketahui sebagai sebuah pengetahuan yang luar biasa banyak, lalu mengira bahwa dirinya telah mengetahui segala-galanya. Oleh sebab itu, dia akan melupakan seluruh ketidaktahuannya, bahkan dia akan menjadi lupa dan lalai akan ketidaktahuannya.

Egoisme dan narsisme telah mencegah dirinya untuk mencari apa-apa yang belum dia ketahui. Apabila kita hendak mengambil contoh dari masalah materi, orang yang seperti itu adalah seperti orang yang miskin dan tidak punya apa-apa; dia sama sekali tidak mengenal harta dan kekayaan, dia hanya tahu bahwa dirinya

tidak memiliki apa-apa. Nah, apabila suatu hari dia mendapatkan kekayaan atau memperoleh keuntungan dari sebuah muamalah atau mendapatkan warisan dan menjadi orang yang berada, dia cenderung melenceng dan bersikap melampaui batas. Dia mengira bahwa apa yang telah dia dapatkan dari sedikit harta itu sebagai

sesuatu yang luar biasa besar dan banyak, dia mengira dirinya telah menjadi kaya raya. Dia tidak menyadari dan lalai bahwa pada hakikatnya masih banyak hal yang belum dia miliki. Contoh di atas adalah sebuah misal sederhana yang bisa terjadi dalam masalah materi, sementara dalam hal-hal maknawi, masalahnya bisa menjadi lebih rumit dan pelik. Penyimpangan yang diakibatkan bisa menjadikan kehidupan seseorang menjadi rusak dan hancur. Ketika pengetahuan dan pemilikan yang sedikit dianggap sebagai sesuatu yang banyak dan luar biasa, dan seseorang mengira bahwa dia telah mengetahui dan memiliki banyak hal yang penting dan berharga, sebenarnya dia telah menutup sendiri jalan untuk berkembang dan maju ke tahap-tahap kesempurnaan berikutnya. Hal ini disebabkan dia telah beranggapan mengetahui segala hal dan memiliki segala sesuatu, sehingga tidak ada

p: 228

lagi hal yang perlu dia ketahui dan peroleh. Padahal, masih banyak hal yang belum dia ketahui, sebagaimana masih banyak juga hal yang belum dia miliki Mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang seorang alim di bidang ilmu nahwu yang berada dalam sebuah kapal dan tidak ada orang yang dapat dia ajak bicara kecuali pedagang atau orang awam biasa. Ketika hendak menunjukkan seberapa luas pengetahuannya di bidang sastra dan bahasa, si alim berkata kepada pedagang, “Seberapa banyak ilmu nahwu yang telah kauketahui?" Si pedagang menjawab, “Aku tidak tahu apa-apa tentang ilmu nahwu,” Si alim berkata dalam keheranan, "Oh, engkau tidak tahu apa-apa tentang nahwu, sungguh engkau telah menyia-nyiakan separuh dari umurmu!" Si pedagang sedikit tersinggung dengan ucapan

si alim dan berkata: Apa boleh buat, aku memang belum pernah belajar ilmu nahwu dan tidak tahu apa-apa tentangnya. Tidak berselang lama, datanglah angin topan yang dahsyat dan merusak badan kapal hingga terjadi kebocoran dan tenggelam secara perlahan. Nahkoda dan para awak kapal sibuk menyelamatkan penumpang, hingga pada akhirnya tidak ada jalan lain kecuali masing-masing harus berusaha menyelamatkan dirinya dengan berenang menuju daratan. Si pedagang kemudian bertanya kepada pakar nahwu, “Apakah kamu bisa berenang?" Si alim menjawab dengan gemetaran, “Aku tidak bisa berenang." Kemudian si pedagang berkata, “Wah, sungguh engkau telah menyia-nyiakan seluruh umurmu. Tadi engkau mengatakan bahwa aku telah menyia-nyiakan separuh dari umurku

hanya karena tidak mengetahui ilmu nahwu, nah sekarang sebagai akibat engkau tidak mengetahui ilmu berenang, dengan penuh ketegasan aku katakan padamu bahwa engkau telah menyia-nyiakan seluruh umurmu, karena kamu tidak punya jalan lain kecuali memasrahkan diri dan jiwamu dalam gulungan ombak laut yang membunuh.”

Dalam cerita ini, si alim nahwu mengira bahwa dengan mengetahui beberapa masalah dari ilmu sastra dan bahasa, telah menjadi seorang ‘allamah dan ilmuwan zaman yang dapat selamat dari segala masalah dan bahaya, sementara dia lalai bahwa dia tidak mampu menyelamatkan dirinya dari sekadar air.

p: 229

Sebab Berkembangnya Benih Kesombongan

Apabila kita hendak berbicara tentang sebab kesombongan secara universal, kita harus mengalihkan perhatian pada wujud manusia yang pada dasarnya merupakan makhluk lemah. Salah satu tanda kelemahan manusia adalah keterbatasan kapasitas yang dimilikinya. Umpamanya, seseorang yang mengetahui ilmu kedokteran, dia akan beranggapan bahwa seluruh ilmu terbatas pada kedokteran dan ilmu-ilmu yang lain tidak ada nilainya dibandingkan dengan kedokteran. Atau seseorang yang ahli di bidang sastra, dia akan mengira bahwa semua ilmu terbatas di dalamnya, dan bila ada orang yang tidak mengenal sastra berarti dia tidak berilmu. Sikap yang seperti ini tidak hanya terjadi di kalangan ulama dan intelektual, di mana seorang fakih, filsuf, dokter, ... akan berpikir seperti ini. Akan tetapi setiap orang cenderung menganggap besar apapun yang dimilikinya dan sama sekali tidak berpikir bahwa masih banyak hal lain yang harus dia pelajari dan peroleh. Karena apa yang telah dia ketahui dan miliki menguasai seluruh hidupnya, maka dia tidak sempat berpikir tentang cabang-cabang ilmu lainnya, bahkan dia berkata dalam dirinya, "Apabila di sana masih ada sesuatu yang penting dan berharga, sudah pasti kita akan mengetahui dan memilikinya. Nah, karena kita tidak mengetahui dan memilikinya, maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut tidaklah penting dan berharga. (Di dalam al-Quran disebutkan): Law kâna khairan mâ sabaqûna ilaih:(1), yakni, “Kalau sekiranya (al-Quran) itu adalah suatu yang baik, tentulah mereka tidak akan mendahului kami (beriman) kepadanya. Mereka bahkan berani berkata, “Apabila kami tidak memiliki sesuatu, sudah barang tentu hal itu tidak berguna dan tidak juga bermanfaat. Ilmu dan pengetahuan yang telah kita mengerti dan pahami, itulah yang penting dan berguna, sementara yang lain tidak penting sama sekali. Apabila ada orang yang mengetahui ilmu yang kami ketahui, sungguh ilmu itu cukup baginya, karena semua yang penting ada di dalamnya dan bukan yang lain. Sikap-sikap negatif yang seperti ini pada hakikatnya bermuara pada keterbatasan pengetahuan manusia yang menganggap penting dan berharga sedikit dari apa yang diketahui dan dimilikinya, sementara dia menganggap hal-hal lain yang ada di dunia dan diketahui serta dimiliki oleh orang lain sebagai sesuatu yang tidak penting dan berharga.”

p: 230


1- 89 QS. al-Ahqaf [46]:11.

Keangkuhan

Sungguh ini merupakan penyakit yang berbahaya, ketika seseorang menganggap penting apa yang diketahuinya dan sama sekali tidak memberikan nilai dan menganggap penting pada apa yang diketahui oleh orang lain. Menarikya, apabila kita perhatikan, kebanyakan ilmu yang dikuasai dan dibanggakan itu adalah ilmu-ilmu zhanni (bersifat dugaan), dan bukan ilmu-ilmu burhani (yaqini) yang pasti dan tidak mungkin salah. Ketika kebanyakan dari ilmu-ilmu yang kita ketahui itu

bersifat zhanni, lalu mengapa tanpa alasan kita menyombongkan dan membanggakannya?! Dalam ilmu-ilmu zhanni terdapat banyak perbedaan pendapat, dan banyaknya perbedaan itu menunjukkan pada tidak tuntasnya pembahasan dalam ilmu-ilmu tersebut dan masih banyak pendapat lain yang bisa menggesernya. Namun, meskipun begitu adanya, kita tetap saja jatuh dalam kesombongan dan keangkuhan. Sementara di tengah masyarakat masih banyak ideologi dan pemikiran yang berkembang, bagaimana dan mengapa kita menganggap salah semua pemahaman yang tidak sama dengan pemahaman kita dan merasa benar sendiri. Ketika seorang ilmuwan meneliti dan mengkaji sebuah permasalahan atau mendalami cabang ilmu tertentu hingga sampai pada sebuah kesimpulan dan pandangan tertentu, kendati dia telah melakukan penelitian dan kajian yang mendalam dan melelahkan, ternyata dia hanya menghasilkan sebuah hipotesis dan dugaan kuat pribadi. Dan, hampir seperti itulah apa yang terjadi pada semua cabang ilmu pengetahuan.

Oleh sebab itu, kita harus menyadari dari kedalaman wujud diri, bahwa seperti halnya diri kita, orang lain juga melakukan pemikiran, penelitian dan juga bekerja keras untuk sampai pada sebuah kesimpulan. Bilamana mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda dengan kita, kita tidak berhak serta merta menyalahkan kesimpulan tersebut. Darimana bisa dibuktikan bahwa dugaan dan pandangan kita lebih dekat pada kebenaran dibandingkan dugaan dan pandangan mereka? Apabila kita dalam suatu masalah tertentu merasa sangat yakin akan kebenaran pandangan kita, orang lain juga bisa sangat yakin seperti halnya diri kita akan kebenaran pendapatnya. Di sinilah penyakit sombong dapat memunculkan dirinya hingga menyebabkan seseorang menjadi sangat yakin akan kebenaran pendapatnya

p: 231

dan menyalahkan serta menganggap keliru pandangan orang lain. Dengan kata lain, ketika seseorang melakukan penelitian dan kajian lalu sampai pada pandangan serta kesimpulan tertentu, dia tidak lagi menganggap dan memberikan nilai pada semua pendapat ilmuwan lainnya dan dengan penuh keangkuhan menganggap benar pendapatnya sendiri. Boleh jadi, pada suatu saat orang ini akan berubah pandangan dan kesimpulan, namun sayangnya dia masih juga bersikap sama atas pandangan keduanya sebagaimana sikapnya pada pandangan yang pertama, yakni menganggap hanya pendapatnya yang benar, sementara semua pendapat yang lain salah. Padahal, apabila kita mau sedikit merenung, maka kita akan menyadari bahwa hampir semua ilmu manusia bersifat zhanni (hypothetical), dimana beberapa petunjuk yang bersifat zhanni pula telah mengarahkan kita pada suatu pandangan tertentu, sementara orang lain berdasarkan beberapa petunjuk zhanni lainnya juga bisa menyimpulkan pandangan yang berbeda.

Oleh sebab itu, sebagaimana ada kemungkinan bahwa pandangan dan pendapat kalian benar, ada kemungkinan juga pandangan dan pendapat mereka yang benar. Sama sekali tidak ada jaminan pasti bahwa pendapat dan keyakinan kalian lebih penting dan lebih dekat pada kebenaran, dan hanya egoisme, narsisme serta keangkuhan yang mengatakan bahwa pendapatkulah yang benar dan semua orang bodoh serta tidak mengerti apa-apa. Namun, bila seseorang tidak terkena penyakit sombong, angkuh dan egoisme, tentu dengan penuh kerendahan hati dia akan berkata, “Dugaan saya telah sampai pada kesimpulan ini dan mudah-mudahan dapat menjadi dasar yang kuat bagi amalan saya, dan mungkin saja orang lain mempunyai pemahaman yang lebih baik daripada apa yang telah saya

pahami.” Sayang sekali, tidak banyak orang yang dapat mengemukakan pendapatnya dengan penuh kerendahan hati. Sementara, tidak sedikit juga orang yang mengemukakan pendapatnya dengan penuh keangkuhan yang bersikeras bahwa hanya pendapatnyalah yang paling benar dan apapun yang dikatakan orang lain adalah salah. Terkadang seseorang (yang berkepribadian angkuh), berani membuat pernyataan-pernyataan

p: 232

yang tidak benar dan tepat, sebagaimana yang disinggung oleh Imam Ali as, ketika si angkuh mengungkapkan pandangannya dengan nada mencibir pendapat orang lain, “Aku tidak pernah mendengar yang seperti ini, dan apabila ada, tentu sudah diungkapkan oleh para ulama dan kami mendengar serta mengetahui sumbernya.” (Ia berani berkata seperti itu), padahal dia sendiri tidak mengetahui serta tidak pasti bahwa pendapat yang benar itu seperti apa. Hal itu dia ucapkan semata-mata untuk memahamkan kepada lawan bicara, bahwa mengapa para ulama yang lebih besar darimu tidak pernah mengungkapkan masalah ini?! Apa yang menjadi dasarmu dalam menyimpulkan pendapat ini?! Dengan demikian, pendapatmu tidak berdasar dan tidak mungkin benar!! Alhasil, dia berani bersikukuh, menginjak-injak kebenaran, melampaui batas serta tidak menghargai pendapat orang lain, dan muara dari semua sikap buruk itu tidak lain adalah egoisme (kesombongan dan keangkuhan).

Pengaruh Keangkuhan pada Perilaku Manusia

Setelah kita mengetahui sebab timbulnya penyakit angkuh di bidang ilmu dari cermin ucapan Imam Ali as, kini tiba saatnya bagi kita untuk mengetahui sifat-sifat ulama dari lisan beliau. Menurut Imam Ali as ulama terbagi menjadi dua kelompok, yakni orang-orang yang bergelut di bidang ilmu, mempunyai dua karakter, sifat, sikap dan kepribadian. Karena mereka memandang ilmu dari dua sudut pandang yang berbeda, maka sebagai konsekuensinya muncullah dua metode dan sikap yang berbeda pula. Kelompok pertama adalah mereka yang dalam menyifatinya Imam Ali as berkata, “Orang-orang yang melihat hal-hal yang sudah diketahui jauh lebih sedikit dibandingkan hal-hal yang belum diketahui.” Beliau menegaskan, “Fa inna al-'alima man ‘arafa anna ma ya'lamu fi ma la ya’lamu qalîl. Sesungguhnya orang yang alim adalah orang yang menyadari bahwa apa yang dia ketahui sangatlah sedikit dibandingkan dengan apa yang tidak dia ketahui.” Dengan kata lain, dia mempunyai pemikiran Qurani berkaitan dengan ilmunya. Karena telah ditegaskan dalam al-Quran tentang ilmu manusia, Wa utîtum minal ‘ilmi illa qalilan.

Dan tidak diberikan kepada kalian ilmu melainkan hanya sedikit saja. (1) dia sepenuhnya sadar bahwa pengetahuannya sangat sedikit bila dibandingkan

p: 233


1- 90 QS. al-Isra [17]:85.

dengan hal-hal yang tidak dia ketahui, dan apa yang dia ketahui jauh lebih sedikit dibandingkan pengetahuannya. Karena dia memandang ilmu dan pengetahuannya dengan cara pandang yang seperti ini, bahwa yang tidak dia ketahui jauh lebih banyak daripada yang diketahui sehingga ilmunya tidak pernah tampak besar, maka ilmunya tidak dapat menimbulkan keangkuhan serta kesombongan diri. Dengan keterangan lain, ketika dia menyaksikan kegelapan ketidaktahuan jauh lebih dominan dan hanya ada beberapa titik di sana-sini yang memancarkan cahaya sedikit pengetahuan, maka dia tidak dapat menyombongkannya.

Lebih daripada itu, karena dia melihat ketidaktahuannya dan menyifati dirinya sebagai seorang yang jahil, maka iapun memiliki sikap, perilaku dan cara hidup tertentu yang (sesuai dengan sikap realistisnya). Sebagai misal, dia akan terus bersemangat dan berusaha menambah ilmu serta pengetahuannya dan tidak pernah merasa bahwa dirinya tidak lagi perlu belajar, hal ini disebabkan dia melihat dirinya sebagai orang jahil. Orang yang seperti ini akan selalu membuka lembaran-lembaran kitab ketidaktahuannya dan akan berkata pada dirinya, “Betapa banyak hal yang masih harus aku pelajari dan ketahui.” Dengan pengetahuan yang benar

akan perbandingan antara ketidaktahuan dan yang diketahui pada diri, maka dia menyadari dengan penuh keyakinan bahwa pengetahuannya sangat sedikit. Dengan begitu usaha dan keinginannya untuk menambah ilmu terus bertambah dari hari ke hari sehingga setiap saat dia berusaha mendapatkan ilmu baru.

Imam Ali as berkata, “Fa ma yazalu lil 'ilmi thaliban wa fihi raghiban wa lahu mustafidan. "Karena dia merasa bodoh dan haus akan pengetahuan, maka dia senantiasa bersemangat untuk mencari ilmu dan tidak pernah merasa puas dari mata air pengetahuan yang berlimpah. Dia selalu merasakan dirinya haus dan dahaga akan ilmu pengetahuan. Pengaruh lain dari pandangan yang seperti ini adalah, ketika dia berjumpa dengan ahli ilmu yang lain, maka dia akan selalu bersikap rendah hati dan menghormati dan tidak akan pernah bersikap sombong dan angkuh. Ketika seseorang memandang dirinya jahil, sudah barang tentu dia akan menunjukkan sikap tunduk dan rendah hati di hadapan para

p: 234

ulama. Karena dalam dirinya dia berkata, “Mereka (para ulama) mengetahui hal-hal yang tidak aku ketahui oleh sebab itu aku harus bersikap rendah hati dan hormat kepada mereka.” Imam Ali as berkata, “Orang-orang semacam ini akan tunduk dan takzim terhadap ahli ilmu (wa li ahlihi khasyi'an).” Perlu kita ketahui, bahwa (secara lughawi) kata khusyu' lebih tinggi artinya dibandingkan dengan kata khudhu'. Kata khudhu' lebih banyak digunakan untuk gerakan-gerakan fisik seperti menunduk dan bentuk-bentuk penghormatan secara zahir lainnya, sementara kata khusyu' lebih berarti ketundukan hati, yakni di dalam hati seseorang memandang kecil dirinya di hadapan ulama. Dia menghormati ulama tidak hanya dari gerak fisiknya saja, namun dari dalam hatinya.

Pengaruh ketiga dari cara berpikir yang seperti ini adalah orang-orang semacam ini tidak terlalu memberikan nilai yang berlebihan atau bersikukuh pada pendapatnya sendiri. Bahkan dia tidak mau bersandar pada pendapat-pendapat zhanniy dirinya (tanpa mempertimbangkan pendapat yang lain). Kata Imam Ali as, “Wa li ra’yihi muttahiman. Dia selalu bersikap curiga dan sangsi pada pendapatnya sendiri dan mengatakan bahwa mungkin pendapatku salah.” Alangkah luar biasanya, apabila seseorang setelah ribuan kali berusaha dan bekerja keras selama bertahun-tahun, serta menempuh perjalanan yang panjang dalam menuntut ilmu, lalu setelah dia menyimpulkan sesuatu, dia tidak berkata, “Inilah pendapat yang benar," bahkan dia masih berpikir, “Mungkin pendapatku ini salah.”

Contoh yang sangat menonjol dari orang-orang yang seperti ini adalah almarhum Allamah Thabathaba'i rahimahullah. Setiap kali dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya, beliau berkata, “Aku tidak tahu! Padahal dia adalah seorang guru yang telah menekuni ilmunya selama lebih dari lima puluh tahun dan menjadi pakar serta ahli di bidangnya. Akan tetapi, di awal setiap jawaban yang hendak beliau sampaikan, dengan lantang beliau berkata, “Aku tidak tahu.” Setelah itu barulah beliau sedikit merenung dan berkata, “Bisa dikatakan seperti ini” atau "Coba pikirkan, mungkin bisa dijawab seperti ini.” Mentalitas dan

hati khusuk yang dimiliki oleh Allamah Thabathaba’i coba bandingkan dengan orang yang tidak pernah mengucapkan kalimat “tidak tahu” pada

p: 235

lisannya, atau dengan orang yang tidak berilmu, namun dengan penuh keberanian bersedia memberikan jawaban, sehingga kita bisa memahami dan mengerti akan betapa tingginya nilai perilaku terpuji ini. Seorang alim dan ilmuwan sejati sadar bahwa sebagian besar dari ilmunya bersifat zhanni dan sangat mungkin pendapat yang telah disimpulkan adalah salah dan tidak benar. Oleh sebab itu, dia selalu curiga dan tidak bersikap apriori atas pendapat dan kesimpulannya.

Salah satu sikap terpuji dan perilaku indah dari orang-orang semacam ini adalah mereka lebih banyak mengambil sikap diam, yakni, mereka bukan hanya tidak memberikan pendapat yang pasti (gath’i), tetapi mereka berusaha tidak banyak mengemukakan pendapat dan mereka lebih bersemangat untuk melakukan koreksi atas pandangannya sendiri. Imam Ali as menegaskan, “Wa lishshamti laziman, walil khathai jahidan, wa minhu mustahyiyan. Mereka merasa malu apabila bersalah dan menganggap itu sebagai aib bagi diri mereka. Berbeda dengan mereka yang baru mengenal ilmu, sok tahu dan banyak bicara. Orang-orang yang di setiap

kesempatan mengemukakan pendapat dan memberikan kesimpulan yang bersifat qath’i pada setiap masalah. Apabila pendapat mereka kemudian terbukti salah dan keliru, dengan tanpa malu mereka berkata, “Itu adalah pendapat kami yang kemarin, namun sekarang inilah pendapat baru kami.” Akan tetapi, bilamana seseorang mengeluarkan pendapat dan kesimpulan dengan pemikiran serta perhitungan yang matang, bila kemudian terbukti tidak tepat, maka dia akan merasa sangat malu sekali. Apabila dihadapkan padanya pendapat yang baru, dia tidak serta merta menolak dan mengingkarinya; apabila ditujukan padanya sebuah pertanyaan yang

dia tidak mengetahui jawabannya, dia tidak berusaha lari dan berkelit dari persoalan dengan berkata, “Oh, tidak seperti itu” atau “Itu salah,” tetapi dengan tegas dia akan mengatakan, “Aku tidak tahu!" Karena seorang alim dan ilmuwan sejati lebih banyak memerhatikan kejahilan diri dan menganggap dirinya sebagai orang jahil, maka dia tidak lagi memiliki sesuatu yang bisa ditunjukkan dan dijadikan sarana untuk menonjolkan serta membesarkan diri; dia juga tidak akan tergesa-gesa

menolak atau mengingkari pendapat orang lain. Namun sebaliknya,

p: 236

seseorang yang menganggap dirinya banyak ilmu, pada hakikatnya dia adalah orang jahil yang mempunyai sikap dan perilaku yang sepenuhnya berlawanan dengan alim sejati. Imam Ali as menegaskan, bahwa orang-orang yang menyombongkan ilmunya, pada hakikatnya adalah orang-orang bodoh. Beliau berkata, “Innal jahila man ‘adda nafsahu bima jahila min ma'rifat al-'ilmi “aliman. Sesungguhnya orang yang jahil adalah orang yang menganggap dirinya tahu atas perkara yang sebenarnya tidak dia ketahui.” Mereka adalah orang-orang yang sejatinya jahil, karena meski mereka mengetahui bahwa ilmunya sedikit, namun mereka tetap saja

menilai diri mereka sebagai alim dan memasukkan diri mereka dalam kalangan ulama dan ahli ilmu. Ketika mereka meyakini sesuatu, mereka merasa puas dengannya dan sama sekali tidak merasa perlu pada belajar, mengkaji, meneliti dan seterusnya. Mereka cenderung bersikap apriori dan mengatakan, “Inilah kebenaran; kebenaran adalah apa yang sesuai dengan pemahaman kami.”

Menurut mereka, seorang alim adalah orang yang tidak lagi membutuhkan ulama dan bertanya kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka menjauhi para ulama dan apabila melihat sedikit kesalahan dari ulama, mereka langsung menyalahkan dan membesar-besarkannya (wa liman khalafahu mukhaththian). Dari sisi lain, karena mereka mengira telah mengetahui banyak hal yang sebenarnya belum mereka ketahui, mereka telah menjadikan diri mereka sebagai sarana yang dapat menyesatkan diri mereka sendiri. Mereka berani berdusta atas apa-apa yang tidak mereka ketahui. Dengan penuh kebodohan dan lisan yang meremehkan, mereka

berkata, “Masalah apa lagi ini?” Dan, dengan sombong berkata, “Dari sekian banyak telaah yang aku lakukan, aku belum pernah melihat masalah yang seperti ini, karenanya menurutku hal ini tidaklah demikian.” Pada hakikatnya, karena dia tidak mempunyai jawaban, dia berusaha berkelit dengan cara seperti itu (tanpa sudi mengakui ketidaktahuannya). Bahkan terkadang mereka berani melangkah lebih dari itu dan berkata, “Apabila hal itu memang benar adanya, tentu kami sudah mengetahuinya; dan karena kami tidak tahu, maka sudah pasti hal tersebut tidak benar.”

p: 237

Berbicara dengan kalimat yang seperti itu menunjukkan bahwa mereka bahkan tidak menyadari kejahilannya. Sebagai akibatnya, mereka bersikeras pada pendapatnya dan tidak mau menghormati pendapat orang lain. Mereka tidak lagi berusaha menambah ilmu. Ketika masalah yang benar disodorkan padanya, karena tidak tahu, merekapun berani mengingkarinya. )

p: 238

15- ADAB BERGAUL

Point

یا بُنَیَّ تَفَهَّمْ وَصِیَّتِی وَاجْعَلْ نَفْسَکَ مِیزاناً فیِما بَیْنَکَ وَبَیْنَ غَیْرِکَ، فَاَحْبِبْ [وَ أَحِب ]لِغَیْرِکَ ما تُحِبُّ لِنَفْسِکَ وَاکْرَهْ لَهُ ما تُکْرِهُ لَها! لا تَظْلِمْ کَما لا تُحِبُّ أَنْ تُظْلَمَ وَ أَحْسِنْ کَما تُحِبُّ اَنْ یُحْسَنَ اِلَیْکَ! وَاسْتَقْبِحْ لِنَفْسِکَ ما تَسْتَقْبِحُهُ مِنْ غَیْرِکَ، وَارْضَ مِنَ النّاسِ ما تَرْضی لَهُمْ مِنْکَ! وَلا تَقُلْ بِما لا تَعْلَمُ، بَل لا تَقُلْ کُلَّ ما تَعْلَمُ وَلا تَقُلْ ما لاتُحِبُّ اَنْ یُقالَ لَکَ!(1) وَاعْلَمْ أَنَّ الإِعْجابَ ضِدُّ الصَّوابِ وَ آفَةُ الأَلْبابِ(2) [ وَاسْعَ فِی کَدْحِکَ وَلا تَکُنْ خازِناًلِغَیْرِکَ!] وَ إِذا هُدِیتَ لِقَصْدِکَ فَکُنْ أَخْشَعَ ما تَکوُنُ لِرَبِّکَ!

Wahai putraku, pahamilah wasiatku dan jadikanlah dirimu sebagai neraca (ukuran) antara engkau dan orang lain. Maka apa yang kamu sukai bagi dirimu,

p: 239

anggaplah hal itu juga disukai oleh orang lain; dan apa yang kamu benci bagi dirimu, maka anggaplah hal itu juga dibenci oleh orang lain. Janganlah menindas sebagaimana kau tak suka ditindas. Berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana kau suka untuk diperlakukan secara baik oleh orang lain. Apa yang kaupandang buruk dari orang lain, pandanglah juga sebagai sesuatu yang buruk bila kaulakukan. Jadikanlah dirimu rela atas perlakuan manusia sebagaimana engkau rela memperlakukan mereka. Janganlah berbicara tentang apa yang tidak kauketahui, dan bahkan jangan kaukatakan semua yang kau ketahui, dan janganlah kauucapkan sesuatu yang kamu tidak suka bila sesuatu itu diucapkan padamu.(1) Dan ketahuilah bahwa mengagumi diri bertentangan dengan kebenaran dan penyakit bagi pikiran.(2) Berusahalah dengan keras (dalam hidup) dan jangan menjadi penyimpan (harta) bagi orang lain. Dan bilamana kau telah terbimbing pada apa yang menjadi tujuanmu, maka sebisa mungkin jadikan dirimu tunduk pada Tuhanmu.

Masalah yang dalam wasiat berharga dan mulia ini mendapat perhatian dan penekanan adalah pentingnya kehidupan abadi dibandingkan dengan kehidupan dunia. (di dalam wasiat ini ditekankan), bahwa tidak bernilainya kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat, merupakan sesuatu yang sama sekali tidak boleh dilupakan serta dilalaikan. Masalah ini telah disisipkan dengan penekanan tertentu oleh Imam Ali as dalam berbagai keterangan pada seluruh topik wasiat bersama poin-poin lain berkaitan dengan moral individual dan sosial serta masalah hubungan antarmanusia.

Sebagaimana sebelumnya telah kalian baca, bahwa Imam Ali as telah memberikan perumpamaan tentang dunia dan kehidupan dunia. Beliau berkata, “Penghuni dunia laksana kafilah yang sedang berjalan dengan tujuan tertentu, yaitu hingga mereka bisa sampai pada sebuah tempat yang nyaman, tenteram, makmur dan damai, sebuah tempat yang dapat memberikan seluruh keinginan serta dambaan manusia. Memang, kafilah ini harus terlebih dahulu menempuh perjalanan yang sulit dan melelahkan untuk bisa sampai pada tujuan dengan selamat serta menggapai seluruh cita-citanya. Bila seseorang tidak mau menanggung lelahnya perjalanan dan menerima berbagai konsekuensinya, dia tidak akan sampai pada

p: 240


1- 91 Pada sebagian salinan, kalimat beliau dinukil sebagai berikut: Wala taqul ma la ta’lamu bal la taqul kulla ma 'alimta mimma la tuhibbu an yuqala laka. Janganlah berbicara tentang apa yang tidak kauketahui, dan jangan katakan semua yang kau ketahui yang kau tidak suka bila hal itu diucapkan atasmu.
2- 92 Pada sebagian salinan, setelah kata afatul albab terdapat tambahan kalimat: Fas'a fi kadhika wa la takun khazinan lighairika. Berusahalah dengan keras (dalam hidup) dan jangan menjadi penyimpan (harta) bagi orang lain.

tujuan. Karena dengan begitu, berarti dia harus diam dan tak bergerak agar terhindar dari berbagai risiko perjalanan, padahal yang seperti ini tidak mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila manusia menyadari bahwa periode perjalanan ini sangat singkat kendati penuh dengan kesulitan dan di hadapan ada kehidupan abadi, tentulah beberapa tahun masa perjalanan ini tidak bisa dibandingkan dengan keabadian. Bahkan, seandainya kehidupan dunia berlangsung selama beribu-ribu tahun pun, tetap laksana satu kedipan mata dibandingkan dengan kehidupan yang abadi." Pada hakikatnya, dengan pemahaman seperti di atas, tidak ada orang yang mau mengorbankan kehidupan abadi akhirat dengan beberapa saat kesenangan hidup di dunia. Namun, apabila seseorang salah dalam memandang dunia dan mengira bahwa dunialah tujuannya, di sini seluruh nilai akan berganti dan semua perhitungan akan berubah, dan tentu pandangan yang seperti ini akan memunculkan sikap serta perilaku tertentu terhadap kehidupan dunia. Pada puncaknya dia akan mencari kebahagiaannya di dunia serta kehilangan kebahagiaan abadi di akhirat.

Masalah ini merupakan salah satu dari kandungan tinggi wasiat Ilahi dari seorang insan kamil (Imam Ali as) yang telah dibahas secara tuntas. Kini, berangkat dari pandangan Ilahi ini, wasiat ini akan menjelaskan hal-hal berkaitan dengan hubungan sosial.

Neraca bagi Pergaulan yang Baik

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as memberikan sebuah rumusan kepada dunia tentang dasar-dasar nilai yang sangat penting dan berharga berkaitan dengan bagaimana seharusnya bentuk hubungan antarmanusia. Topik ini juga akan kembali dijelaskan pada bagian lain dari wasiat ini. Beliau menerangkannya dalam sebaik-baik ungkapan hikmah. Inilah ungkapan beliau, “Wa ayyu kalimati hikamin ſahsanu kalimati hikamin] jami'atin an tuhibba linnasi ma tuhibbu linafsika wa tukriha lahum ma tukrihu laha.” Maksudnya, kalimat hikmah yang paling mencakup seluruh makna berkaitan dengan pergaulan dan metode bergaul dalam masyarakat adalah bahwa ukuran dan tolok ukur perilaku yang terpuji ialah dirimu sendiri. Di sini Imam Ali as berkata, "Wahai putraku, engkau memerlukan

p: 241

sebuah rumusan dan neraca bagi sikap dan perilakumu terhadap orang lain, yang dengannya engkau dapat mengukur dan menilai mana sikap yang baik dan bagaimana seharusnya perilakumu dalam pergaulan."- Dengan kata lain, seakan beliau hendak mengatakan, “Wahai putraku tercinta, di dalam hidup, mau tidak mau, engkau akan bertemu dengan berbagai macam orang. Untuk dapat bersikap benar terhadap mereka dalam berbagai situasi, engkau sangat membutuhkan sebuah neraca yang benar dan komprehensif. Neraca itu tidak lain adalah merujuk pada dirimu sendiri. Misalnya, dalam rangka menjaga hak-hak orang

lain, engkau harus mengetahui bagimana seharusnya sikapmu terhadap mereka? Bagaimana seharusnya engkau berbicara dengan mereka? Karena bagi manusia, pertanyaan ini selalu terpapar bagaimana seharusnya saya bersikap terhadap lawan bicara, anak, istri, orang tua, saudara, tetangga dan seluruh manusia. Bagaimana seharusnya aku berperilaku terhadap orang lain dan apa yang seharusnya menjadi ukuran serta neraca bagi perilaku saya dalam pergaulan di tengah masyarakat? Dalam syariat suci Islam berkaitan dengan pergaulan telah dirumuskan serangkaian aturan secara rinci dan spesifik, telah dijelaskan apa yang wajib dan mustahab dalam pergaulan umum, sebagaimana telah dijabarkan pula apa yang haram dan makruh di dalamnya secara detail. Akan tetapi, subjek bahasan di sini bertujuan menunjukkan rumusan umum dan bukan rinciannya, dan apakah dapat disebutkan neraca umum yang dapat mencakup seluruh detail sehingga dengannya kita dapat mengukur perbuatan dan perilaku kita apakah benar atau salah, sekaligus kita dapat memperbaiki perilaku kita dengan neraca tersebut. Apabila neraca yang seperti itu ada, lalu seperti apakah neraca tersebut, sebuah neraca yang dapat mendeteksi benar atau salahnya berbagai perilaku? Di

sinilah Imam Ali as memberikan rumusan yang dapat menjadi sebaik-baik neraca dalam sebuah kalimat yang sarat hikmah. Tak seorangpun selain beliau yang dapat memberikan rumusan yang seperti ini (ahsanu kalimati hikamin).

Ucapan penuh hikmah dan neraca komprehensif itu ialah bahwa dalam bergaul dengan orang lain yang menjadi ukuran dan neraca

p: 242

adalah dirimų sendiri. Perlakukan orang lain sebagaimana kamu suka diperlakukan olehnya, yakni posisikan dirimu seakan kamu adalah orang lain dan katakana, “Apabila aku adalah dia, aku suka kalau dia memperlakukan diriku dengan cara yang seperti ini. Karenanya, aku harus memperlakukannya sebagaimana aku suka diperlakukan olehnya." Nah, apabila manusia dalam pergaulannya mau menggunakan neraca ini, dapat dipastikan banyak masalah dan problema yang terdapat dalam pergaulan akan terselesaikan. Tentu, pada hari-hari pertama, diperlukan kehati-hatian, konsentrasi serta kesabaran untuk berperilaku seperti ini. Namun dengan sedikit latihan, perilaku ini akan berubah menjadi kebiasaan dan karakter (malakah) dan kita akan memperlakukan orang sebagaimana diri kita suka diperlakukan olehnya.

Manfaat dan Hasil dari Pergaulan yang Baik

Bila kita menelaah kembali neraca yang komprehensif dalam pergaulan ini, kita akan mendapatkan beberapa poin penting dan berharga lainnya. Poin pertama adalah cakupan luas dari fungsi neraca ini. Dilihat dari fungsinya, kaidah dan rumusan ini telah memberi kita sebuah neraca yang benar-benar bernilai tinggi dengan cakupan yang begitu luas dan dapat menentukan tugas dan tanggung jawab kita dalam hal perilaku di pelbagai situasi dan kalangan. Poin lain adalah berkaitan dengan sebab dan alasan diberikannya neraca ini, yakni mengapa kita harus memperlakukan orang lain dengan cara seperti ini dan memosisikan diri kita seperti halnya orang lain?

Jelas sekali, bahwa cara bergaul dan berperilaku dengan orang lain bermuara pada nilai kemanusiaan dan kesamaan wujud, yaitu kesetaraan seluruh manusia dalam kemanusiaan dan kemuliaan insani. Menurut keterangan semua nabi dan apa yang termaktub dalam kitab-kitab suci mereka, berasal dari satu ayah dan satu ibu. Lebih daripada itu, apabila masalah kesetaraan semua manusia dalam kemanusiaan (insaniyah) dan kemuliaan insani, masih diperselisihkan dan belum disepakati, tidak demikian halnya dengan sikap saling menghargai di antara manusia. Nilai ini sudah pasti tak dapat dipungkiri. Tidak benar apabila seseorang

p: 243

menuntut perlakuan tertentu dari orang lain, namun pada saat yang sama dia mengabaikan tuntutan orang lain. Secara pasti dan tanpa sedikitpun keraguan dapat dikatakan, bahwa apabila kita menuntut perlakuan tertentu dari orang lain, orang lainpun akan mempunyai tuntutan yang sama dengan kita. Oleh sebab itu, agar dapat diketahui apa yang menjadi kemauan dan tuntutan orang lain dan bagaimana seharusnya perilaku kita terhadap mereka, maka kita harus menempatkan diri kita dalam posisi mereka. Sehingga, apabila kita berada dalam posisi mereka, kita akan mengetahui apa yang menjadi tuntutan mereka. Dengan cara seperti

itu, tentu kita akan mengetahui apa yang sebenarnya mereka maukan. Fondasi dan dasar pandangan serta pemikiran ini, tidak lain merujuk pada kemuliaan insani dan perhatian pada hak serta tanggung jawab satu kepada yang lain.

Perlu diketahui, bahwa kita semua memiliki hak dan tanggung jawab satu sama lain. Kita adalah manusia-manusia yang sama dalam kemanusiaan dan kemuliaan insane. Tanpa menjaga dan menghormati hubungan sosial yang sehat, kehidupan kita tidak akan bahagia dan kita tidak akan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan kehidupan materi dan maknawi kita. Karenanya, kita harus melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita satu sama lain sebagai manusia

tanpa memperhitungkan kekhususan-kekhususan dari sisi individu, suku, kelompok, jabatan dan lain sebagainya. Yakni, bahwa kita adalah manusia-manusia yang harus hidup bersama dan tidak dapat berpisah serta menutup mata dari kehidupan yang bermasyarakat. Kenyataan bahwa kehidupan ini memerlukan hubungan yang saling menghargai satu dengan yang lain, cukuplah pemahaman ini agar dapat membuat diri kita menjaga dan menghormati hak satu sama lain dan berperilaku yang sesuai. Masalah penting ini akan dapat terwujud apabila kita menggunakan neraca pergaulan dan hidup bersama (yang diberikan oleh Imam Ali as,

yakni dengan memposisikan diri kita sebagai orang lain. Ungkapan Imam Ali as yang penuh hikmah ini adalah sebuah neraca komprehensif yang dapat menentukan seperti apa harusnya perilaku serta perlakuan kita kepada orang dalam kehidupan interpersonal dan sosial,

p: 244

dan bagaimanapun diusahakan serta diupayakan, tidak akan pernah bisa ditemukan neraca yang lebih baik daripada neraca ini. Apabila neraca ini kita jadikan pedoman atas perilaku kita, kita akan dapat membenahi dan mereformasi segala cinta, benci, tuntutan, kemauan, sikap, keputusan, kebijakan kita. Sedemikian komprehensif dan universalnya kaidah serta rumusan ini, sehingga dia terbebas dari segala pengaruh ideologi, akidah, hak-hak dan lain sebagainya. Cukup sebagai manusia saja, kita secara otomatis akan tercakup dalam kaidah dan rumusan ini. Rumusan ini merupakan rumusan lintas agama, suku, bangsa dan budaya.

Sebagai misal, dalam lingkungan keluarga, terlepas dari sifat, karakter dan perilaku tertentu yang dimiliki oleh suami dan istri, neraca ini tetap dapat menjalankan fungsinya. Yakni, kendati dimungkinkan masing-masing dari suami dan istri terikat oleh hukum dan tanggung jawab yang berbeda, namun dalam hubungan interpersonal, mereka mempunyai tuntutan yang sama dan mereka bisa menjalani hidup dengan tenteram berdasarkan kaidah dan rumusan ini. Karena setiap orang dari sisi bahwa dia adalah manusia, tentu mempunyai harapan-harapan dari orang lain, sebagaimana mereka juga punya serangkaian harapan darinya.

Apabila dalam kehidupan rumah tangga, salah satu pasangan bersikap suka memaksa, berarti dia harus juga mau menerima sikap tersebut dari pasangannya. Apabila bagi suami sikap memaksa istri itu dinilai buruk, demikian pula halnya sikap memaksa suami terhadap istri, dan begitu juga sebaliknya. Atau apabila sebuah sikap tertentu dari suami terhadap istri dinilai baik, maka sikap yang sama dari istri terhadap suami, juga bernilai baik.

Masalah ini juga bisa berlaku dalam hubungan antara ayah dan anak. Namun tentu dengan tidak mencampuradukkan serangkaian hak ayah terhadap anak dan hak anak terhadap ayah. Akan tetapi, dilihat dari sisi bahwa keduanya adalah manusia yang hidup bersama dan memiliki hubungan yang sama, maka keduanya terikat oleh sebuah hubungan timbal-balik yang berimbang, yakni, hubungan itu akan berlangsung lancar apabila ayah dalam perilakunya terhadap anak, bisa memposisikan diri sebagai anak sehingga dapat mengerti apa yang menjadi kemauan anak,

p: 245

dan sebaliknya anak dalam perilakunya terhadap ayah, bisa memposisikan diri sebagai ayah sehingga dapat mengerti apa yang dimaukan oleh ayah. Sebagai misal, sedikit-banyak kita dapat mengingat masa kanak- kanak diri kita. Adakalanya kita tidak suka pada tindakan orang tua dan menyalahkan mereka. Nah, kini setelah kita menjadi ayah, seharusnya kita tidak melakukan terhadap anak kita tindakan yang tidak kita sukai dari ayah dan ibu kita. Jangnlah kita melakukan hal-hal yang dulu tidak kita sukai dari orang tua kita terhadap anak-anak kita. Sebaliknya, apabila ada hal-hal yang dulu kita sukai dari tindakan orang tua kita, seharusnya kita

juga melakukan tindakan tersebut terhadap anak-anak kita. Umpamanya, apabila kita berbuat sebuah kesalahan, kita suka diperingatkan dengan cara yang halus dan tidak kasar, maka hal yang sama seharusnya kita terapkan pada anak-anak kita bila mereka berbuat salah. Yakni, kita harus memposisikan diri sebagai anak, sehingga kita mengerti apa yang diinginkan serta dimaukan oleh seorang anak dari orang tuanya bila anak tersebut berbuat suatu kesalahan.

Nah, perilaku dan karakter yang seperti ini harus dimiliki oleh semua orang. Apabila setiap orang dapat memposisikan dirinya sebagai orang lain, akan banyak masalah pergaulan sosial yang terselesaikan.

Cara Berperilaku dengan Neraca Pergaulan (Imam Ali as)

Karena bagian dari wasiat ini sangat penting adanya, di mana sebuah rumusan dalam pergaulan yang jelas, urgen dan gamblang telah diberikan, Imam Ali as melanjutkan wasiatnya dengan kalimat: Ya bunayya tafahham washiyyati (wahai putraku, pahamilah pesanku!), dengan tujuan menarik perhatian si penerima (pembaca) pesan agar memahami serta menghayati kandungan wasiat tersebut. Barulah kemudian beliau berkata, “Ij’al nafsaka mizanan fima bainaka wa baina ghairika. Dalam bergaul dengan orang lain, jadikanlah dirimu sebagai ukuran sebuah hubungan sosial agar kamu tidak menghadapi masalah. Adapun bagaimana caranya? Caranya adalah: Ahbib lighairika ma tuhibbu linafsika. Bila kamu menyukai perilaku tertentu bagi dirimu, ketahuilah bahwa apa yang kamu sukai itu juga disukai oleh

p: 246

orang lain. Apabila kamu menyukai sebuah perbuatan dari orang lain, perlakukanlah orang lain sebagaimana yang kamu suka diperlakukan oleh orang lain terhadap dirimu. Apa yang kamu inginkan bagi'dirimu, jadikan hal itu juga diinginkan oleh orang lain, karena orang lain juga manusia seperti dirimu. Begitu pula sebaliknya: Ikrah lahu ma tukrihu linafsika; Apabila ada sesuatu yang tidak kamu sukai dan inginkan, jadikan hal itu juga tidak disukai dan diinginkan oleh orang lain. Apabila ada sesuatu yang benar-benar buruk dan tidak baik bagimu, ketahuilah bahwa hal tersebut juga buruk dan tidak baik bagi orang lain. Penggunaan neraca

dan kaidah ini dalam tindakan dan perilaku, tentu akan mendatangkan banyak kebaikan serta keindahan. Dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as menyebutkan beberapa efek positif darinya. Apabila kaidah dan rumusan ini selalu dipakai dan dijaga, dapat dipastikan tidak ada orang yang terzalimi, yakni, karena kamu tidak

suka dizalimi dan direbut serta diinjak-injak hak-hakmu, maka kamupun tidak akan melakukan hal-hal yang tidak kamu sukai terhadap orang lain. Imam Ali as berkata, “La tazhlim kama la tuhibbu an tuzhlam. Sebagaimana kamu tidak mau dizalimi, maka janganlah kamu berbuat zalim terhadap orang lain, karena dia juga manusia seperti halnya dirimu dan mempunyai harapan serta keinginan yang sama dengan dirimu. Apabila setiap manusia mau menjadikan dirinya sebagai neraca atas berbagai perbuatan dan tindakannya, maka dapat dijamin tidak akan ada manusia yang teraniaya dan terzalimi. Apabila pemikiran yang sama berlaku di tengah-tengah masyarakat, tidak akan ada lagi orang yang teraniaya dan direbut atau diinjak-injak hak-haknya. Sebagai hasilnya banyak masalah dan problema

ditengah masyarakat akan teratasi dan terselesaikan. Dari sisi lain, beliau berpesan, “Ahsin kama tuhibbu an yuhsana ilaika." Apabila kamu suka orang lain berbuat baik padamu, kamu juga harus berbuat baik terhadap orang lain. Apabila perbuatan tertentu, seperti ketidaksopanan, mencaci, mencari-cari aib dan berkata kotor yang dilakukan oleh orang itu tidak baik dalam pandanganmu, janganlah engkau lakukan perbuatan tersebut atas orang lain, karena tentu perbuatan itu juga buruk dalam pandangan mereka. Bagaimana kamu menilai ketidaksopanan orang atas dirimu

p: 247

sebagai perbuatan buruk, lalu ketidaksopananmu terhadap orang lain bukan merupakan perbuatan buruk?! Oleh sebab itu, beliau melanjutkan, “Wastaqbih min nafsika ma tastaqbihu min ghairika.” Apabila sebuah perbuatan dari orang lain kamu nilai buruk dan tidak baik, maka perbuatan itu juga buruk dan

tidak baik bila kamu lakukan terhadap orang lain. Lalu dilanjutkan, “Wardha minannasi laka ma tardha bihi lahum minka.” Perlakukanlah orang lain dengan sebuah perlakuan yang kamu rela bila diperlakukan oleh mereka dengannya. Apabila dirimu menginginkan orang lain memperlakukan dirimu dengan perlakuan tertentu sehingga kamu suka dan rela, ketahuilah bahwa mereka juga menantikan perlakuan yang sama dari dirimu. Sesuatu yang membuatmu rela dari orang lain, hal

itu pula yang akan menjadikan orang lain rela darimu. Sebagaimana kamu suka orang lain melakukan sesuatu yang kamu senangi dan membuatmu rela, kamu juga harus melakukan sesuatu yang disenangi oleh orang lain dan membuatnya rela.

Kini, dengan memerhatikan beberapa bahasan di atas, Imam Ali as selanjutnya menjelaskan sebuah substansi nyata dari cara bergaul dengan orang lain berkaitan dengan hubungan antara alim dan muta'allim yang memang harus dijaga dan diperhatikan secara sungguh-sungguh. Substansi penting itu adalah: sebagaimana engkau tidak suka menerima kesulitan akibat ulah dari orang lain, maka seharusnya ulahmu juga tidak menjadi sebab atas kesulitan bagi orang lain. Sebagai misal, berhubungan dengan orang dalam hal menjawab pertanyaan dan memberi petunjuk mereka. Apabila engkau memang tidak tahu menahu tentang sebuah masalah, maka dengan tegas dan lantang katakan “aku tidak tahu.” Bagaimana engkau berharap dari orang yang tidak mengetahui sebuah permasalahan untuk berkata

tidak tahu, sementara engkau sendiri menjadi sebab atas tersesatnya mereka lantaran berbagai keteranganmu yang tidak berdasar pada pengetahuan?! Apabila ada orang yang bertanya padamu tentang sesuatu dan kamu tidak mengetahuinya, maka katakan dengan tegas dan tanpa ragu-ragu bahwa “aku tidak tahu” dan jangan sekali-kali

p: 248

membuat orang lain susah dan tersesat akibat jawabanmu. Oleh sebab itu, dalam menjawab pertanyaan orang, berlakulah sebagaimana engkau berharap pada orang lain untuk juga bersikap terus terang padamu, yakni, bila engkau mengetahui, jawablah, dan bila kamu ragu atau tidak tahu, jangan kau sesatkan mereka. Mereka yang tidak mempunyai pengetahuan dan tidak mau berterus terang untuk berkata “kami tidak tahu” dan berani memberikan pandangan tanpa ilmu, sungguh telah berbuat kesalahan besar. Karena kita berharap dari orang lain untuk tidak menjadi sebab atas ketersesatan diri kita dengan keterangan yang tidak berdasar. Yang menjadi harapan kita adalah apabila mereka memang tidak tahu, ya katakan saja tidak tahu.

Alhasil, pada tahap awal, janganlah engkau berbicara atau menjelaskan tentang sesuatu yang tidak kamu ketahui, lalu tahap keduanya adalah, kamu juga tidak harus berbicara atau menjelaskan tentang semua yang kamu ketahui (wa la taqul bima la ta'lamu bal la taqul kulla ma ta’lamu wa la taqul mimma la tuhibbu an yuqala laka). Kamu harus lebih dulu memikirkan, apakah berbicara tentang sebuah masalah itu beramanfaat dan bermaslahat atau tidak. Apabila membicarakan sebuah masalah dapat menyebabkan kerusakan dan terancamnya kelangsungan hubungan bermasyarakat, engkau tidak boleh membicarakannya. Seumpama engkau menyaksikan salah serang dari dua temanmu yang telah berbuat kesalahan pada yang lain dengan menggunjing serta mencacinya, maka apabila ucapan yang kamu dengar itu kamu sampaikan pada yang lain, meskipun apa yang kamu ucapkan itu adalah benar dan tidak ada dusta, sudah barang tentu tidak akan mendatangkan maslahat dan akan mengancam hubungan pertemanan mereka. Oleh sebab itu, engkau tidak harus membicarakan atau mengutarakan segala hal yang kau ketahui. Singkat kata, pertama, janganlah engkau berbicara tentang sesuatu yang tidak kauketahui secara mutlak, dan kedua, engkau juga tidak harus bercerita tentang segala yang kau ketahui. Akan tetapi, lihatlah, apakah dalam membicarakan itu terdapat manfaat dan maslahat atau tidak. Apabila engkau ragu tentang baik-tidaknya, posisikanlah dirimu sebagai pendengar sehingga engkau dapat bersikap dengan benar.

p: 249

Bangga Diri (Ujub) Merupakan Penyakit bagi Pergaulan Sosial yang Sehat

Sekalipun kaidah, neraca dan rumusan pergaulan (yang diberikan oleh Imam Ali as) ini diterima dan benar adanya, namun masih banyak orang yang tidak menggunakan serta menjaganya. Masih banyak orang yang tidak siap untuk bersikap dan berperilaku dengan perilaku serta sikap yang mereka harapkan dari orang lain. Mereka tidak pernah memposisikan diri meraka sebagai orang lain, sepertinya mereka menganggap diri mereka sebagai benang yang terpisah dari rajutan.

Yang perlu dipertanyakan di sini adalah mengapa mereka bersikap dan berperilaku seperti itu? Apa yang kira-kira menjadi sebab dari penyakit ini? Darimana asal dan sumbernya? Apa yang menjadi sebab terjadinya penyelewengan sikap mereka? Di akhir bagian ini, Imam Ali as menjelaskan, “Wa'lam annal i'jaba dhiddash shawabi.” Ketahuilah bahwa sumber permasalahan terletak pada sifat ujub atau bangga diri (persenyawaan antara egoisme dan narsisme). Yakni, karena dia melihat dirinya berbeda dengan yang lain dan merupakan benang yang terpisah dari rajutan, maka dia tidak sudi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan orang lain dan juga tidak mau berperilaku sesuai apa yang diharapkan oleh orang lain. Akan tetapi (dengan penuh kepongahan) dia berkata, “Aku boleh berharap dan mempunyai tuntutan dari orang, namun pada saat yang sama orang tidak boleh berharap dan menuntut sesuatu dariku.” Boleh jadi, faktor-faktor utama yang menjadi sebab munculnya sikap negatif ini, berbeda-beda. Salah satu dari faktor utama tersebut adalah dia melihat dirinya lebih tinggi dari yang lain dan berlaku sombong. Umpamanya, dia mengira dirinya sebagai seorang alim dan orang lain jahil lalu berkata, “Karena aku adalah seorang alim, maka orang lain harus hormat padaku, sementara aku tidak harus hormat pada mereka.” Atau yang lain lagi berkata, “Karena aku kaya, maka orang lain harus hormat padaku.” Atau seseorang yang mengira dirinya sebagai orang mukmin yang taat dan orang lain sebagai ahli maksiat, dia berpikir karena dirinya adalah hamba yang taat, maka orang lain harus hormat dan takzim padanya.

p: 250

Anggapan-anggapan yang salah inilah yang menyebabkan seseorang akhirnya berani menginjak-injak kaidah pergaulan yang sarat hikmah dan mengambil jalan yang menyimpang. Di sinilah langkah pertama orang-orang yang tersesat, yaitu ketika seseorang menganggap dirinya lebih hebat dan lebih istimewa dari yang lain; seakan hanya dirinya saja yang punya kelebihan dan inilah seburuk-buruk penyakit yang menimpa seseorang, sebuah penyakit yang dapat menyeret seseorang dalam kehancuran dunia dan akhirat sekaligus. Penyakit ini harus dihadapi dengan serius, dan seseorang seharusnya selalu melihat dirinya lebih kecil dari yang lain. Apabila memang dia mendapatkan anugerah dari Allah dan mempunyai beberapa kelebihan, dia harus melihatnya sebagai titipan dan amanah yang diberikan oleh Allah Swt atas dirinya dan bukan semata-mata untuknya. Pantaskah seorang hamba bersikap angkuh dan menyombongkan harta dan kekayaan Allah yang dititipkan padanya?! Lebih daripada itu, bagaimana dan dengan apa dia dapat menjamin bahwa harta dan kekayaan itu akan berlangsung terus hingga akhir hidupnya?

Besar kemungkinan, dia akan kehilangan segala-galanya dan jatuh miskin atau mendapatkan akibat yang buruk. Mungkin saja, orang yang dianggapnya bodoh dan sesat, justru mendapatkan hidayah dan menjadi ahli surga, sementara dia menjadi sesat dan ahli jahannam! Sebagaimana dalam peribahasa terkenal (Persia) dikatakan, “Anak burung dihitung di akhir musim gugur.” Siapa yang bisa tahu tentang bagaimana akhir masa hidupnya?! Sepanjang masa hidup, kita telah menyaksikan banyak contoh yang mengherankan dan menakjubkan, betapa banyak orang yang berada di puncak kejayaan, tiba-tiba terjungkal ke lembah kehinaan. Siapa yang dapat memastikan akibat baik dalam hidupnya? Oleh sebab itu, manusia harus selalu berusaha melihat dirinya lebih rendah dari yang lain, agar mudah bersikap tawaduk dan rendah hati dan bersedia memberikan hak-hak orang lain; sehingga dapat menjadi manusia yang sedikit berharap dan jauh dari sifat ujub dan angkuh. Dengan demikian, rahasia di balik mengapa sebagian tidak bersedia dan tidak mau tunduk ada neraca komprehensif tarbiyati, sosial dan akhlaki, adalah karena mereka menilai diri mereka lebih dibandingkan

p: 251

orang lain dan tidak mau memposisikan diri mereka di tempat orang lain. Di dalam diri mereka bergumam, “Aku berbeda dengan orang lain.” Karenanya mereka memberlakukan neraca dan aturan pada perilaku orang, namun dirinya bebas untuk berbuat apa saja. Mereka pada hakikatnya terjerat penyakit egoisme dan narsisme (keakuan) sehingga merasa puas secara berlebihan pada dirinya. (Padahal), apabila seseorang bisa melihat dirinya seperti orang lain, dia tidak akan mempunyai tuntutan yang ngawur dan melampaui batas. Akan tetapi, seseorang yang menganggap dirinya sebagai benang yang terpisah dari rajutan, maka tidak akan mau menggunakan hikmah amali ini.

Contohnya, seseorang yang berkata, "Orang lain harus lebih dulu mengucapkan salam padaku, dan aku tidak harus mendahului mereka; orang lain harus menunjukkan sikap hormatnya padaku, dan aku tidak harus menghormati mereka; orang lain harus selalu memberikan apa yang menjadi kebutuhanku, dan aku tidak harus menolong mereka; orang lain harus tunduk serta patuh padaku, dan aku tidak harus patuh pada mereka," dan begitulah seterusnya. Orang yang seperti ini, adalah orang yang menganggap dirinya istimewa dan lebih unggul dari yang lain. Kendati sikap ini tidak mereka ungkapkan secara terang-terangan, namun dia

telah tumbuh dan terdidik serta terbiasa dengan sikap dan mentalitas ini, dan tentu sulit baginya untuk melepaskan diri darinya. Apabila kita mau berpikir dengan benar dan mau memposisikan diri kita di tempat orang lain dan menjadikan diri sebagai ukuran serta neraca perilaku terhadap orang lain, banyak dari masalah hidup kita akan terselesaikan. Dengan neraca dan kaidah pergaulan yang sarat hikmah dan bagaikan permata yang tiada bandingan ini, sebuah rumusan yang belum pernah terucap dan tak akan terucap dari lidah (selain lisan suci Imam Ali as), hubungan antar seluruh umat manusia dapat dibenahi dan menjadi baik.

Apa yang telah dijelaskan di atas adalah salah satu dari bahaya sosial dan amali dari sifat ujub dan bangga diri. Dari sisi lain, terdapat efek-efek negatif dari sudut pemikiran dan keilmuwanan dari sifat ini. Ujub, sebagaimana dapat merusak perilaku manusia, dia juga dapat menghancurkan otak, akal dan pemikiran manusia. Akal manusia yang

p: 252

terkena penyakit ini, dapat dipastikan tidak akan berfungsi dengan baik. Ketika manusia bisa bebas dari penyakit ujub, maka dia akan berada dalam perlindungan rasul batin (akal) dan zahir (para nabi dan rasul) hingga dapat tertuntun pada jalan yang benar dan lurus. Bila seseorang tidak terkena penyakit ujub dan angkuh, dia akan dengan mudah menemukan jalan penghambaan, tunduk, patuh dan melihat dirinya bukan apa-apa di hadapan Allah Swt. Salah satu tanda terselamatkannya seseorang dari penyakit ujub dan takabur, adalah ketundukan dan kepatuhannya kepada Allah Swt. Selama ujub, egoisme dan takabur masih melekat pada diri seseorang, maka dia tidak akan mungkin dapat tunduk dan patuh kepada Allah Swt. Ketika 'keakuan' telah dihancurkan, barulah penghambaan

akan muncul. Apabila kita hendak menjadi hamba yang patuh, maka selain berusaha mendapatkan petunjuk serta anugerah dari Allah Swt, kita juga harus membuang berbagai hal yang menjadi penghalangnya. Salah satu penghalang itu adalah sifat ujub. Ujub(1) menghalangi kita untuk menyadari kelemahan dan ketidakberdayaan diri kita di hadapan Allah Swt. Ketika penghalang itu hilang, maka barulah ketundukan, kepasrahan dan ketaatan akan muncul, dan itulah saatnya bagi manusia untuk bergerak menuju kedudukan-kedudukan maknawi yang tinggi.

Usaha Muspra

Pada sebagian salinan wasiat Ilahi ini, telah ditambahkan dua kalimat lain, di mana Imam Ali as berkata, “Fas'a (was’a)(2) fi kadhika wa la takun khazinan lighairika.”Berusahalah dengan keras (dalam hidup) dan jangan menjadi penyimpan (harta) bagi orang lain. Bilamana kau telah terbimbing pada apa yang menjadi tujuanmu, sebisa mungkin jadikan dirimu tunduk pada Tuhanmu.

Berkaitan dengan kalimat ini, sebagian berpendapat bahwa (Imam Ali as) bertujuan menyelamatkan manusia dari sifat malas dan memanjakan diri. Beliau memberikan peringatan pada manusia agar tidak berlaku malas dan lemah semangat dalam menjalani kehidupan individualnya. Di dalam nasihat Rasulullah saw kepada Abu Dzar(3) telah kita baca, bahwa sikap malas dan lemah semangat dapat menjauhkan seseorang dari kebahagiaan

p: 253


1- 93 Catatan Penyunting: Untuk pembahasan dari aspek mistisisme dan akhlak yang lebih komprehensif, bandingkan dengan Imam Khomeini, 40 Hadis: Telaah atas Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung: Mižan, 2004), khususnya Hal.65-86.
2- 94 Perbedaan dalam salinan (transkrip).
3- 95 Syarah dan tafsir dari nasihat Rasul saw ini dapat Anda baca dalam kitab berjudul Tusyeh oleh Ayatullah Misbah Yazdi.

(dunia dan akhirat). Orang yang malas berkaitan dengan dunia, maka dia akan lebih malas lagi dalam masalah-masalah ukhrawinya. Oleh sebab itu, manusia harus giat, penuh semangat dan banyak berusaha. Orang yang lemah, lembek dan malas, maka dia akan kehilangan dunia dan merusak akhiratnya. Alasannya adalah karena dunia merupakan tempat baginya untuk berusaha dan beramal dengan penuh semangat untuk meraih beragam nikmat dan pahala ukhrawi. Dengan kata lain, dunia ini adalah tempat gerak dan perjalanan, nah sebagaimana engkau senang apabila mobilmu melaju lebih cepat dari yang lain, maka demikian pula hanya

dengan perjalanan akhirat dan kamu tidak boleh bermain-main dalam menjalaninya. Dunia ini adalah tempat bagi kita untuk bekerja keras dan sama sekali tidak cocok untuk bermalas-malasan, selain kamu tidak bisa mendapatkan apa-apa dengannya. Ini adalah salah satu makna dari ucapan imam Ali as yang berkata, “Was’a fi kadhika wa la takun khazinan lighairika.”

Ada juga makna lain yang dikemukakan oleh para penafsir dan pensyarah kitab ini. Di dalam al-Quran, Allah Swt berfirman, Wahai manusia, engkau berjalan menuju Tuhanmu dengan bekerja keras dan bersusah-payah hingga menemui-Nya.(1) Dalam ayat ini telah dijelaskan sebuah makna yang sangat tinggi berkaitan dengan posisi manusia dalam perjalanan menuju akhirat dan pengaruh kehidupan duniawi terhadap kehidupan ukhrawi. Dalam ayat tersebut ditegaskan, bahwa hakikat kehidupan manusia adalah berusaha dan bekerja keras untuk “berjumpa” dengan Allah. Kalimat kadihun ila rabbika diucapkan kepada seseorang yang berada dalam perjalanan menuju Tuhannya dengan kemampuan yang bersifat maksimal. Dengan keterangan yang lebih jelas, kehidupan ini pada hakikatnya adalah usaha untuk mencapai inna lillahi wa inna ilaihi raji'un(2) yakni, bahwa kehidupan adalah usaha untuk kembali kepada Allah dan berjumpa dengan-Nya untuk mendapat kepastian akhir dari nasib manusia. Dengan demikian, maka ayat kadihun ila rabbika kadhan famulaqih(3) ini memberikan arti bahwa seluruh kehidupan manusia itu adalah gerak, usaha dan kerja keras sebuah gerak yang bertujuan dan mengarah kepada Allah Swt.

p: 254


1- 96 QS. al-Insyiqaq [84]:6.
2- 97 QS. al-Baqarah [2]:156.
3- 98 QS. al-Insyiqaq [84]:6.

Alangkah baiknya, apabila kita dapat mengambil manfaat dan keuntungan dari perjalanan dan pergerakan ini dengan memakmurkan kehidupan ukhrawi kita. Untuk menjelaskan bagian ini, ada baiknya bila kita mengetahui bahwa terdapat dua bentuk gerak dan amal bagi manusia: Pertama adalah amal takwini, yakni manusia mau tidak mau dia berada dalam sebuah gerak, dia tidak berkuasa untuk berpaling dari berbagai aktivitas. Pergerakan ini tidak selalu mendatangkan keuntungan bagi setiap manusia, karena tujuan akhirnya juga tidak sama. Walaupun semua manusia akan menuju akhirat, namun akhirat bukanlah tempat dengan satu rumah, namun dua rumah. Yang menentukan di rumah mana manusia akan tinggal di akhirat nanti adalah amal perbuatannya sendiri, di mana sebagian akan masuk surga dan yang lain ke neraka. Gerak dan perjalanan ini merupakan sesuatu yang bersifat takwini bagi semua manusia. Mereka yang pandai memanfaatkan dengan baik perjalanan ini dengan usaha dan kerja kerasnya, maka dia akan memastikan kebahagiaan bagi dirinya. Dengan demikian, boleh jadi makna dari was'a fi kadhika adalah gerak dan usaha menuju Allah yang menuntut kesungguhan dan kerja keras agar dapat mengambil manfaat, hasil, bekal dan akhir yang bahagia dari

perjalanan ini. Karenanya dalam menyempurnakan wasiatnya, Imam Ali as menambahkan, “Wa la takun khazinan lighairika. Janganlah engkau menjadi penyimpan harta bagi orang lain. Maksudnya adalah, dalam usaha ini janganlah engkau berpikir sesuatu selain keuntungan ukhrawimu, karena tujuan ada di sana dan engkau tidak perlu berusaha untuk kepentingan orang lain. Apabila engkau berusaha, perhitungkan kira-kira manfaat ukhrawi apa yang bisa kauperoleh. Mengapa engkau harus bekerja dan berusaha yang manfaatnya bagi orang lain dan tidak bagi dirimu. Mengapa engkau harus menumpuk dan menimbun harta dengan membuka rekening bank di sana-sini; engkau berusaha siang dan malam semata-mata untuk menambah digit angka dari tabunganmu, namun engkau tidak dapat menikmatinya dan justru orang lain yang akan menikmati hasil jerih-payahmu?! Manusia yang berakal, tentu dia tidak akan mau melakukan sebuah pekerjaan dan usaha yang tidak memiliki keuntungan ukhrawi

p: 255

baginya. Manusia berakal adalah manusia yang mempunyai tujuan untuk memetik buah dan hasil kerjanya di akhirat, dan selain itu akan berarti

kekeliruan, kerugian serta kesia-siaan baginya. 0

p: 256

16- AGENDA HIDUP

Point

وَاعْلَمْ یا بُنَیَّ اَنَّ أَمامَکَ طَریِقاً ذا مَسافَة بَعیِدَة، وَ أَهْوال شَدیدَة، وَاَنَّهُ لا غِنَی بِکَ عَنْ حُسْنِ الاِْرتِیادِ، وَقَدِّرْ بَلاغَکَ مِنَ الزّادِ مَعَ خِفَّةِ الظَّهْرِ، فَلا تَحْمِلَنَّ عَلی ظَهْرِکَ فَوْقَ بَلاغِکَ [طاقَتِک] فَیَکوُنَ ثَقیلا وَ وَبالاً عَلَیْکَ، وَ إِذا وَجَدْتَ مِنْ أَهْلِ الْحاجَةِ مَنْ یَحْمِلُ لَکَ زادَکَ [اِلی یَوْمِ الْقِیامَة ]فَیُوافِیکَ بِهِ [غَدَا] حَیْثُ تَحْتاجُ اِلَیْهِ فَاغْتَنِمْهُ، وَ اغْتَنِمْ مَنْ اسْتَقَرْضَکَ فِی حالِ غِنَاکَ وَ جَعَلَ قَضاءَهُ لَکَ فِی یَوْمِ عُسْرَتِکَ [وَ حَمِّلْهُ اِیَّاهُ، وَ أَکْثِرْ مِنْ تَزْویدِهِ وَ أَنْتَ قادِرٌ عَلَیْهِ فَلَعَلَّکَ تَطْلُبُهُ فَلاتَجِدُه] وَ اعْلَمْ أَنَّ أَمامَکَ عَقَبَةً کَؤُوداً [المُخِفُّ فِیها اَحْسَنُ حالا مِنَ المُثْقِلِ وَالمُبْطِیءُ عَلَیْها اَقْبَحُ حالا مِنَ الْمُسْرِع] لا مُحَالَةَ أَنَّ مَهْبِطُها بِکَ عَلی جَنَّة، أَوْ نار، فَارْتَدُ لِنَفْسِکَ قَبْلَ نُزوُلِکَ [وَ وَطَّئ المَنْزِلَ قَبْلَ حُلُولِکَ

p: 257

فَلَیْسَ بَعْدَ الْمَوْتِ مُسْتَعْتَبٌ وَ لا اِلیَ الدُّنْیا مُنْصَرَفٌ.

Ketahuilah wahai putraku, bahwa di hadapanmu terdapat jalan yang panjang dan tantangan serta kesulitan yang berat, sungguh perlu bagimu untuk mencari yang baik serta berusaha yang benar. Bawalah bekal secukupnya dengan mempertimbangkan keringanannya, (sehingga engkau dapat sampai pada tujuan dengan beban yang ringan). Jangan kaupikul beban yang melampaui kemampuanmu agar beratnya tidak menjadi bencana atas dirimu. Apabila engkau mendapatkan orang yang membutuhkan untuk membawakan bekalmu sampai hari kiamat lalu dikembalikan padamu kelak di kala kau memerlukannya, maka janganlah kaubuang kesempatan baik itu. Anggaplah sebagai keuntungan bagi dirimu orang yang meminta pinjaman padamu di saat kayamu dan dibayarkan di kala sulitmu. Sebanyak mungkin berikan bebanmu pada orang lain dan berikan padanya bekal yang banyak sementara engkau masih mampu untuk melakukan itu, karena adakalanya, engkau mencari (orang yang mau menerima pemberianmu), namun kau tidak lagi bisa menemukannya. Ketahuilah bahwa di hadapanmu terdapat jalan mendaki yang sulit dilalui, di mana orang yang ringan bebannya jauh lebih baik keadaannya dibandingkan dengan yang bebannya berat dan yang berjalan lamban jauh lebih buruk keadaannya dibandingkan dengan yang berjalan cepat, sementara titik akhir dari perjalanan ini, mau tidak mau, adalah surga atau neraka. Maka persiapkan dengan baik dirimu sebelum tiba di sana dan perbaikilah tempat tinggalmu sebelum kauhuni, karena pascakematian, tidak ada lagi peluang untuk meminta ampunan dan tidak ada jalan untuk kembali ke dunia.

Telah kami singgung sebelumnya, bahwa bagian pokok dari wasiat Imam Ali as adalah berkaitan dengan menjelaskan kehidupan manusia di dunia dan juga perbandingan antara dunia dan akhirat. Masalah penting ini juga dapat ditemukan pada banyak sabda beliau dan para Imam suci lainnya. Mungkin hampir semua khotbah dalam Nahj al-Balaghah telah menyinggung tentang masalah ini. Yang perlu menjadi perhatian kita di sini adalah mengetahui rahasia di balik berbagai penekanan yang diberikan pada masalah dan topik ini.

p: 258

Mengapa Dunia Dihina?

Kecintaan dan perhatian besar manusia pada kehidupan duniawi, kerja keras untuk mendapatkan kedudukan serta kekayaan dunia sehingga membuat manusia lupa terhadap akhirat atau bahkan mengingkarinya, semua itu mungkin adalah alasan mengapa para Imam as memberikan pernyataan yang bersifat menghina atas dunia. Pada hakikatnya, dunia dihina dan direndahkan karena bisa menjadi sebab kelalaian manusia terhadap akhirat. Beragam pemandangan dan suara penuh godaan serta rayuan dunia ini selalu tersuguhkan di hadapan manusia dan ibarat petir, kilatan dan cahayanya telah memengaruhi seluruh wujud manusia

dan membuatnya bersemangat untuk mendapatkan serta meraihnya. Sementara akhirat, karena jauh dari jangkauan sensasi manusia dan memang berada di luar hal-hal yang bersifat indrawi, maka sudah barang tentu kurang mendapatkan perhatian darinya. Oleh sebab itu, para Imam suci as melakukan upaya keras untuk membuka rahasia kehinaan dunia agar kehidupan akhirat tak terlupakan dan tertipu oleh tipuan serta rayuan dunia. Dengan kata lain, karena akhirat tidak dapat dispensasi di dunia, maka lumrah bila dia kurang mendapatkan perhatian dari manusia. Kalaupun ada orang yang memerhatikan akhirat berdasarkan dalil rasional

(burhan ‘aqli) atau keterangan para nabi dan rasul as, maka tetap saja pengaruhnya sangat lemah bagi manusia yang cenderung melihat sisi lahir kehidupan dan sangat mudah baginya untuk melupakan akhirat.

Pada saat yang sama, terpampangnya beragam kenikmatan dunia di hadapan mata telah secara kuat menarik dan menjerat manusia ke dalamnya. Tidak ada seorang muslim yang meragukan dan tidak mengenal akhirat atau perbandingan antara dunia dan akhirat, tetapi karena pengetahuan ini tidak diperbaharui setiap hari atau tidak diketahui secara mendalam, maka dalam tataran amal, mereka tidak begitu memerhatikan kehidupan akhirat. Sehingga pada sebagian besar waktunya, mereka lalai dan berpikir bahwa yang penting adalah kehidupan beberapa saat dunia yang digeluti setiap hari. Mereka menjadi lalai dan lupa bahwa ada kehidupan akhirat yang merupakan tujuan hidup yang sesungguhnya. Hanya para nabi dan wali yang sama sekali tidak pernah melupakan masalah-masalah ukhrawi, namun sebagian besar manusia lupa dan lalai.

p: 259

Oleh sebab itu, masalah pentingnya kehidupan ukhrawi harus senantiasa diingatkan kepada manusia, agar dia menyadari bahwa kehidupan dunia yang sementara tidak dicintai secara buta hingga tenggelam dalam berbagai usaha, pekerjaan, penyusunan rencana dan mencari kedudukan serta kekuasaan duniawi. Dunia hanyalah perjalanan beberapa saat dan tujuan berada di tempat lain. Karenanya, di dalam al-Quran, sabda Rasul saw, Nahj al-Balaghah dan seluruh keterangan para Imam suci as telah ditekankan tentang rendahnya nilai dunia dan meruginya orang-rang yang tertipu oleh godaannya. Seperti disebutkan dalam al-Quran, “Wa mal hayat al-dunya illa la’ibun wa lahwun...,(1) yakni bahwa kehidupan dunia tidak lebih dari sekadar permainan dan kesenangan sesaat.

Dalam ayat lain dinyatakan, Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami. Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan atas apa yang selalu mereka kerjakan.(2) Dalam ayat yang lain lagi ditegaskan, Celakalah orang-orang kafir karena siksa yang amat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.(3)

Al-Quran telah menerangkan masalah ini secara berulang-ulang. Alasannya adalah karena dunia mempunyai tampilan yang menipu dan menggoda, sementara akhirat tidak tampak seperti halnya dunia. Manusia dapat memahami serta merasakan dunia melalui pancaindranya dan tampilan luar selalu hadir di hadapan matanya. Sementara pemahaman manusia tentang akhirat tidak dia dapatkan melalui pancaindra dan akhirat tidak tampak secara fisik baginya. Karenanya, perhatian manusia lebih banyak tertuju pada dunia dan berbagai godaannya. Hal ini dapat membuatnya lalai dari tujuan asli dan akhirnya. Maka dari itu, manusia

memerlukan kepada orang yang mengingatkan serta membangunkannya dari kelalaian. Dalam rangka ini pula, Imam Ali as pada beberapa bagian wasiatnya kepada imam Hasan as dan secara berulang-ulang telah menjelaskan

p: 260


1- 99 QS. al-An'am [6]:32.
2- 100 QS. Yunus [10]:7-8.
3- 101 QS. Ibrahim (14]:2-3.

perbandingan antara kehidupan dunia dan akhirat dan bahwa akhirat jauh lebih berharga daripada dunia. Berikut ini adalah bagian lain dari wasiat beliau yang juga berbicara tentang masalah ini:

وَاعْلَمْ یا بُنَیَّ اَنَّ أَمامَکَ طَریِقاً ذا مَسافَة بَعیِدَة، وَ أَهْوال شَدیدَة

Wahai putraku, di hadapanmu terbentang jalan yang panjang, penuh bahaya dan menakutkan yang harus kaulalui.

Oleh sebab itu, alasan di balik semua pengulangan ini adalah melenyapkan kelalaian dari atmosfer pikiran dan hati, agar manusia yang tertidur lelap dalam kelalaian oleh berbagai godaan dunia, dapat terbangun dan kembali sadar.

Jalan Kehidupan

Sebagaimana yang telah dibahas, kehidupan dunia hanyalah jembatan yang mengantar manusia menuju akhirat. Dunia tidak lebih dari sekadar tempat lewat yang penuh bahaya serta rintangan dan mau tidak mau harus dilalui oleh manusia. Jarak panjang (masafah ba'idah) yang dimaksud di sini bukanlah panjangnya jarak geografis, di mana manusia bertolak dari satu titik menuju titik yang lain dan berapa kilometer yang telah ditempuhnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan masafah di sini tidak lain adalah umur manusia yang dijalani.

Perjalanan ini memiliki dua keistimewaan: pertama, perjalanan ini sangat panjang yang bentangan-Nya di luar bayangan kita dan belum diketahui akan berhenti kapan dan di mana. Sekalipun akal manusia ditambah energi serta kecepatannya, tetap saja tidak akan dapat memahami dan mencapai batas akhirnya. Keistimewaan lain dari perjalanan ini adalah beragam bahaya, ketakutan yang ditimbulkan dan rintangan-Nya. Sedemikian rupa rintangan itu, sehingga saat demi saatnya, detik demi detiknya, dapat membuat manusia tergelincir, tersesat dan merebut ketenangan dan ketenteraman hidupnya. Lalai sesaat dapat berakibat

penyesalan seumur hidup dan bermil-mil terjauhkan dari kebenaran. Kondisi kehidupan yang seperti ini, tentu menuntut kehati-hatian yang

p: 261

lebih dari manusia. Dia harus senantiasa mengawasi tingkah laku dan amal perbuatannya, karena kesalahan sesaat dapat berakibat kerugian berabad.

Harus jujur dikatakan, bahwa hanya para nabi, washi dan wali yang dapat memahami perjalanan ini sebagaimana adanya. Imam Ali as dan para Imam suci as lainnya mengetahui dengan baik di mana letak tujuan manusia, berapa panjang jaraknya dan jalan mana yang harus dilalui untuk sampai pada tujuan. Adapun kita, semaksimal apapun berpikir, tetap saja hanya sedikit yang kita mengerti. Mungkin lantaran pemahaman yang mendalam inilah, kawan dan lawan menyatakan ketidakmampuannya untuk memahami hakikat kehidupan Imam Ali as. Sehari-hari beliau berada di ladang atau di medan perang. Ketika berada di pucuk pimpinan, beliau tetap turun mengurusi beragam masalah seluruh lapisan masyarakat. Seluruh waktunya, selain yang beliau gunakan untuk ibadah wajib dan sebagian mustahabbat, dihabiskan untuk menyelesaikan segala urusan dan kebutuhan rakyat. Aktivitas beliau di siang hari sangatlah padat. Di malam hari, aktivitas beliau berubah bentuk. Sebagian dari waktu malamnya, dia gunakan untuk mengurusi fakir miskin dan para yatim, sebagian malam yang lain beliau gunakan untuk ibadah dan hanya sedikit dari waktu malam beliau gunakan untuk beristirahat dan tidur. Selain sedikit waktu tidur, beliau menghabiskan waktu malamnya dalam ibadah. Ibadah yang penuh dengan jeritan dan tangisan yang mengeluhkan panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Beliau menyadari bahwa perjalanan ini panjang, namun bekal yang dimiliki hanya sedikit. Beliau mengerti bahwa tujuan yang hendak didatangi oleh manusia sangatlah jauh. Akan tetapi, aku dan kamu sebanyak apapun berpikir, tetap saja apa yang kita ketahui sedikit. Singkat kata, dari keterangan para Imam suci as dapat disimpulkan bahwa jauh jarak perjalanan ini berada di luar jangkauan pemikiran manusia dan kita tidak akan dapat memahaminya dengan baik. Mereka telah memahami hal-hal yang kita tidak mampu untuk memahaminya. Apakah seseorang yang menyadari bahwa di hadapannya terbentang jalan yang panjang dan perjalanan yang jauh dapat duduk tenang,

membuang-buang waktu, berbicara yang tidak berguna, ...? Seseorang

p: 262

harus sedemikian tidak mempunyai pekerjaan dan tujuan dalam hidupnya, sehingga berkesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna di atas! Dengan mencermati sebuah contoh sederhana dari sekian banyak aktivitas yang kita lakoni, kita dapat menguji dan menilai perilaku kita: apabila pada suatu hari kita mempunyai tugas untuk pergi dari satu kota ke kota yang lain (yang berjarak sekitar 100 kilometer), tentu sebelum kita sampai pada tujuan, kita tidak dapat duduk tenang dan terus berusaha dengan penuh kehati-hatian agar bisa lebih cepat sampai ke kota yang dituju. Apabila kendaraan yang dinaiki adalah kendaraan pribadi, kita akan lebih berhati-hati, sehingga dalam beberapa kilometer kita berhenti guna mengontrol dan melakukan tindakan-tindakan antisipatif yang perlu pada kondisi mobil. Begitulah watak dan pemikiran manusia. Dia akan bersikap hati-hati dalam perjalanan dan pada kendaraan yang dinaiki, dan tidak akan tenang sebelum sampai pada tujuan. Nah, apabila memang watak manusia seperti itu adanya, bagaimana dia bisa duduk tenang tanpa mengkhawatirkan apakah dia tertinggal dari kafilah atau tidak dalam sebuah perjalanan yang akhirnya belum diketahui!! Apa yang telah dijelaskan di atas, hanyalah satu sisi dari masalah, dan masih ada kesulitan yang lain. Permasalahan bukan hanya terletak pada jauhnya jarak perjalanan, tetapi jalan ini adalah sebuah jalan yang penuh bahaya. Setiap saat kita dapat jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Di hadapan kita masih terbentang jalan panjang berliku pegunungan yang penuh rintangan. Sedikit saja kelalaian, dapat membuat kita terlempar ke lembah yang sangat dalam.

Singkat kata, di hadapan kita terbentang jalan yang panjang dan penuh bahaya, di mana setiap waktu ada ribuan rintangan yang menghadang. Apabila kita mau mencermati dengan baik dan teliti, melihat ke kanan dan ke kiri, tentu kita akan dapat mengetahui betapa banyak orang telah tersesat, jatuh dan tergelincir. Kita akan menemukan orang- orang tersesat yang sama sekali tidak pernah kita duga bahwa mereka akan sedemikian menyimpang dan menyeleweng. Mereka jatuh dalam keraguan, ketidakpastian dan bahkan sampai pada titik pengingkaran. Hal ini hanyalah sebagian kecil dari penyimpangan yang bisa kita pahami,

p: 263

sementara masih banyak lagi penyimpangan dan penyelewengan yang masih tertutup, karena Allah memang berkehendak untuk meletakkan hijab atas berbagai kekeliruan dan kesalahan hamba-hamba-Nya. Maka dari itu, kita harus selalu waspada dan tidak lalai dari berbagai macam bahaya yang menghadang sepanjang perjalanan hidup. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perjalanan kehidupan mempunyai dua kriteria: Pertama, berjarak panjang dan yang lain adalah, penuh bahaya dan sangat menakutkan. Imam Ali as menegaskan, Ketahuilah wahai putraku, bahwa di hadapanmu terbentang jalan yang panjang dan tantangan serta kesulitan yang berat.

Bagaimana Cara Kita Menempuh Perjalanan Hidup?

Kini, setelah kita mengetahui bahwa di hadapan terbentang jalan yang panjang dan penuh bahaya, maka apa yang harus dilakukan? Bisakah kita berhenti berjalan sehingga aman dari bahaya? Jawabanya adalah, tanpa banyak kata, bahwa jelas sekali manusia tidak mempunyai pilihan kecuali harus menerima keberadaan diri, sementara waktu selalu mengikutinya. Dengan demikian, mau tidak mau, kita sedang berjalan menuju akhirat dan harus disusun sebuah strategi agar kita bisa sampai tujuan dengan selamat. Oleh sebab itu, kita harus mempelajari berbagai sisi dan seluk-beluk perjalanan ini, lalu berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Kita perlu mempelajari bagaimana perjalanan ini harus ditempuh dan dengan sarana apa. Bekal apa yang perlu dibawa sehingga bisa sesuai dengan apa yang dibutuhkan dalam perjalanan serta jaraknya. Bukankah perjalanan pegunungan, memerlukan bekal dan peralatan tertentu? Demikian pula halnya dengan perjalanan laut yang menuntut bekal dan sarana khusus. Apalagi, bila jarak perjalanan yang hendak ditempuh ini sangat panjang dan jauh!

Harus dilakukan perencanaan yang baik untuk kemudian kita berjalan sesuai dengannya. Imam Ali as berkata, “Wa annahu la ghina bika fihi ‘an husn al-irtiyad.” Arti lafaz irtiyad dalam bahasa sekarang adalah perencanaan. Di dalam perjalanan ini, kalian memerlukan sebuah pemikiran dan perencanaan yang matang; kalian harus melewati jalan

p: 264

yang benar dan melangkah dengan penuh kewaspadaan: Dalam hal ini, urusan perencanaan, pemilihan jalan dan jenis bekal telah diserahkan pada diri kalian masing-masing. Untuk lebih jelasnya, simaklah contoh berikut ini. Bayangkan bahwa kalian hendak melakukan sebuah perjalanan selama sepuluh hari dan sepanjang jalan tidak ada makanan yang bisa dibeli. Nah, untuk sampai pada tujuan dengan selamat, setidaknya dibutuhkan bekal yang cukup untuk sepuluh hari. Yakni, bawalah bekal secukupnya dan jangan terlalu banyak sehingga akan memberatkan perjalanan, juga tidak boleh kurang sehingga tidak mencukupi selama di perjalanan. Sesuaikanlah bekal dengan panjang-pendeknya perjalanan. Mengingat dalam perjalanan hidup di dunia terbentang jalan yang panjang dan tak

terbatas, maka harus juga disiapkan bekal yang sesuai dengan perjalanan ini. Apabila bekal yang dibawa terlalu sedikit, kita akan berhenti di tengah jalan dan binasa. Sementara, apabila bekal melebihi kadar kebutuhan, akan menyebabkan keletihan yang tidak perlu dan perjalanan menjadi lamban. Oleh karenanya, harus dibuat perencanaan yang matang sehingga bekal tidak sampai kurang atau lebih, karena ifrath dan tafrith keduanya merugikan dan bertentangan dengan nalar.

Puncak ketidakberakalan adalah ketika sebagian manusia membawa barang-barang yang sama sekali tidak diperlukan dan tidak bermanfaat apa-apa selain menambah beratnya beban, bahkan dapat membuat perjalanan menjadi terhenti akibat kelelahan yang ditimbulkan. Ketika beban dan bekal perjalanan itu berat, maka gerak perjalanan akan menjadi lamban dan kadang bisa terhenti. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dan hanya membawa bekal yang memang dibutuhkan; membawa bekal yang tanpanya perjalanan tidak dapat dilakukan. Kita juga harus berhati-hati berkaitan dengan kadarnya, jangan sampai kurang atau berlebihan, karena keduanya dapat mengganggu kelancaran perjalanan. Semakin ringan bekal yang dibawa, maka perjalanan akan semakin mudah dan menyenangkan. Dalam perjalanan panjang dan penuh bahaya ini, manusia diminta untuk menjaga serta memerhatikan dua hal: pertama, membawa

p: 265

bekal secukupnya. Karena, kurang atau kebanyakan, keduanya dapat mendatangkan kerugian. Yang kedua, adalah membawa hanya yang perlu-perlu saja dan meninggalkan semua yang tidak dibutuhkan agar tidak mengganggu lancarnya perjalanan. Dengan demikian, berarti manusia harus berbekal namun dengan bekal yang tidak memberatkan, karena jika tidak, maka dia akan lamban dan lebih lama sampai tujuan, dan sudah barang tentu banyak energi yang dikeluarkan, sehingga terkadang bisa terhenti di tengah jalan.

Imam Ali as be rkata, “ Fa tahmilanna ‘ala zhahrika fauqa balaghika. Janganlah engkau membawa sesuatu yang tidak kamu butuhkan; janganlah kamu pikul beban yang melebihi kemampuanmu. Fa yakunu tsagilan wa wabalan ‘alaika. Karena membawa beban yang di luar kemampuanmu, akan memberatkan dan bisa menjadi bencana bagimu, bahkan menghentikan perjalananmu.

Bagaimana Cara Hidup dengan Beban yang Ringan?

Sampai di sini, pembicaraan dapat disimpulkan, bahwa kehidupan dunia merupakan perjalanan panjang yang penuh rintangan dan sangat baik bagi manusia apabila mempunyai beban yang ringan dalam perjalanan ini. Oleh sebab itu, perlu untuk diketahui bagaimana dapat hidup dengan beban yang ringan, sehingga perjalanan ini dapat dilakukan tanpa susah payah? 'Imam Ali as mengajarkan sebuah perjalanan tanpa susah payah dalam sebuah misal yang indah dan berkata, “Para musafir pada umumnya berpikir untuk menitipkan barang bawaannya pada orang lain dan perbuatan ini dinilai sebagai suatu kecerdikan.” Dengan kata lain, musafir yang barang bawaannya sangat banyak selalu berharap mempunyai teman perjalanan sehingga dapat membantunya dalam memikul beban tanpa harus keluar biaya. Akal juga akan memuji perilaku yang semacam ini, yakni tidak ada yang lebih baik dari sebuah perjalanan dengan beban ringan dengan menitipkan beban-beban yang berat kepada orang lain dan menerimanya kembali di tempat tujuan. Tidak ada orang berakal yang

p: 266

tidak menginginkan hal yang seperti ini. Apabila ditawarkan kepadanya, pasti dia tidak akan menolak. Rasio dan hukum rasional berkata, “Titipkan beban perjalananmu kepada orang lain sehingga engkau dapat berjalan dengan beban yang ringan.” Namun, sayang sekali, di dalam perjalanan dunia, tidak banyak orang

yang berpikir seperti ini dan melakukannya. Yakni, tidak banyak orang di dunia yang mau memberikan harta bendanya yang lebih dan tidak dibutuhkan kepada mereka yang membutuhkan untuk diambil kembali saat dibutuhkan di akhirat. Tak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang seperti ini adalah orang-orang yang paling cerdik dan pandai; memberikan apa yang sementara ini tidak dibutuhkan kepada fakir miskin untuk diambil kembali saat dibutuhkan di akhirat. Sementara banyak orang yang bahkan tidak mau membayarkan kewajiban-kewajiban syar’inya (wujuhat syar'iyah) dan hanya melihat dunia saja. Tetapi kelompok di atas telah menghitung untung-rugi kehidupan dunia dengan baik dan sampai pada kesimpulan yang baik, bahwa dunia adalah perjalanan dan dalam perjalanan lebih baik

berbeban ringan dan di situlah letak kecerdikan yang sesungguhnya. Betapa indah apa yang diungkapkan oleh Imam Ali as. Beliau memahamkan kepada kita bahwa dunia adalah sebuah perjalanan, setiap perjalanan membutuhkan bekal. Nah, apabila ada orang yang hendak membawakan beban kita dan diserahkan kembali pada saat kita butuhkan, sudah barang tentu kita akan menerima tawarannya agar perjalanan kita menjadi ringan dan tidak melelahkan. Selain beban kita menjadi ringan, tidak ada biaya tambahan yang kita keluarkan dan nanti akan kita ambil berlipat ganda saat dibutuhkan. Oleh sebab itu, sangatlah rasional dan masuk akal bila kita memberikan harta benda duniawi kita kepada orang lain. Allah Swt berfirman, Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipatan yang banyak.(1)

Apa yang bisa lebih indah dan lebih jelas dari keterangan dalam ayat ini?! Allah yang memiliki segala-galanya: keberadaan, hidup dan harta kita dari-Nya dan Dialah yang memberikan semua itu kepada kita, kemudian Allah Swt berkata, “Harta yang Aku berikan padamu pinjamkan barang

p: 267


1- 102 QS. al-Baqarah [2]:245.

sejenak pada-Ku (yakni pinjamkan kepada kaum fakir dan miskin), kelak akan kukembalikan padamu secara berlipat. Nah, apabila kalian telah menerima pernyataan Allah Jalla Jalaluh ini, maka mengapa kalian tidak melakukannya?! Apabila kalian tidak mau melakukannya, hal ini sama artinya dengan kalian tidak menerima serta

tidak percaya pada firman-Nya. Dalam gardh al-hasanah ini, bagaimana kalian tidak mau menerima keuntungan 700% dari sisi Allah Swt dan mau menerima 20% keuntungan dari orang lain?! Mengapa kalian mau menerima ini dan menolak itu?! Bukankah ini merupakan tanda bahwa keyakinan dan keimananmu kepada Allah dan akhirat sangat lemah? Apabila kalian percaya kepada Allah yang Maha Memberi anugerah, kini sementara kalian masih dalam perjalanan dan membawa beban yang berat, carilah segera orang yang mau meringankan bebanmu dan menyerahkan kembali pada kalian saat dibutuhkan di akhirat nanti.

Pergunakanlah dengan baik kesempatan emas ini dan segera ringankan beban perjalanan akhiratmu. Adakah yang lebih baik dari meringankan beban kehidupan dunia yang menyesakkan dan mengambilnya kembali saat dibutuhkan. Jangan sekali-kali kalian mengira bahwa dalam perbuatan ini, kalian telah melakukan kesalahan dan berakibat kerugian, tetapi ini adalah sebuah kesempatan yang sangat beraharga dan harus digunakan. Segera letakkan beban kalian di atas pundak orang lain dan jangan menunggu mereka meminta pinjaman pada kalian, tetapi berikan sebanyak mungkin yang kalian miliki kepada mereka dan lebih banyak lagi. Ketahuilah bahwa sedikitpun dari harta yang kalian berikan tidak akan pernah hilang, harta itu akan terjaga bahkan menjadi berlipat ganda. Maka itu, ringankanlah

beban kalian sebanyak mungkin! Perlu diwaspadai, apabila engkau mampu melakukan peringanan beban sekarang, jangan pernah menundanya. Karena, besar kemungkinan di hari-hari berikut, kamu tidak bisa lagi melakukan hal itu. Ketika hari ini kamu bisa berbuat, memiliki kemampuan dan ada yang menerima dari kalian, pergunakanlah kesempatan berharga ini dengan sebaik-baiknya.

p: 268

Memilih Jalan Hidup

Bagian lain dari pesan Imam Ali as menyinggung poin berikut ini, bahwa perjalanan panjang berliku, naik-turun dan penuh rintangan dunia, pada akhirnya akan berakhir pada sebuah puncak yang sangat menakutkan dan mau tidak mau harus dilalui. Di balik puncak itu terdapat dua jalan dan tidak ada lagi jalan lainnya: satu jalan akan mengantar kita ke surga dan jalan yang lain akan mengantar kita ke neraka. Oleh sebab itu, sebelum sampai di titik ini, kita harus mengerahkan segenap daya dan upaya, yakni selama hayat masih dikandung badan, kita harus berpikir secara sungguh-sungguh dan memilih jalan yang terbaik. Karena apabila kita telah berada di puncak dan harus turun kembali, ketentuan sudah tidak lagi berada dalam tangan kita. Kita sudah tidak dapat memilih. Ketahuilah bahwa akhir dari perjalanan panjang ini adalah sebuah puncak dan sebelum sampai di sana, kita harus melakukan perencanaan yang baik, mengerahkan segenap kemampuan untuk memilih jalan yang benar, agar kita dapat melalui puncak itu dengan selamat. Karena ketika kita sudah berada di puncak dan dalam keadaan menghembuskan napas-napas terakhir kehidupan, maka kita sudah tidak lagi dapat memilih. Meskipun beribu-ribu kali kita ucapkan, “Rabbir ji'uni la'alli a'malu shalihan... Ya Allah kembalikan aku, agar aku dapat beramal baik). (1) Ya Allah, kembalikan aku ke dunia agar aku dapat memilih jalan yang benar, jawaban yang akan diperdengarkan, "Kesempatanmu telah habis, waktu telah berlalu dan kamu tidak akan mungkin dikembalikan ke dunia."

Nah, karena kita tidak tahu kapan kita sampai di puncak, maka kita harus selalu berada di jalan yang benar dan menjaga diri agar tidak berpindah dari jalan tersebut. Karena, apabila jalur yang kita pilih salah, jalan kembali tidak akan pernah terbuka buat kita. Sebelum sampai di puncak dan menginjakkan kaki di akhirat, lakukan perencanaan yang baik dalam kehidupanmu dunia dan tentukan jalanmu yang baik. Pilihan yang benar dalam perjalanan ini adalah apa yang dipesankan oleh Imam Ali as, yaitu berjalan dengan beban yang ringan.

p: 269


1- 103 QS. al-Mukminun [23]:99-100.

Tidak ada seorang muslim yang meragukan dan tidak mengenal akhirat atau perbandingan antara dunia dan akhirat, tetapi karena pengetahuan ini tidak diperbaharui setiap hari atau tidak diketahui secara mendalam, maka dalam tataran amal, mereka tidak begitu memerhatikan kehidupan akhirat. Sehingga pada sebagian besar waktunya, mereka lalai dan berpikir bahwa yang penting adalah kehidupan beberapa saat dunia yang digeluti setiap hari. Mereka menjadi lalai dan lupa bahwa ada kehidupan akhirat yang merupakan tujuan hidup yang sesungguhnya. Hanya para nabi dan wali yang sama sekali tidak pernah melupakan masalah-masalah ukhrawi, namun sebagian besar manusia lupa dan lalai.

p: 270

17- HUBUNGAN DENGAN ALLAH (1)

Point

وَ أعْلَمْ أَنَّ الَّذی بِیَدِهِ خَزائِنُ مَلَکُوتِ الدُّنْیا وَ الاَْخِرَةِ قَدْ أَذَنِ لِدُعائِکَ(1)، وَ تَکَفَّلَ لإِجابَتِکَ، وَ أَمَرَکَ أَنْ تَسْأَلَهُ لِیُعْطیَکَ وَ هُوَ رَحیمٌ کَریمٌ، لَمْ یَجْعَلْ بَیْنَکَ وَ بَیْنَهُ مَنْ یَحْجُبُکَ عَنْهُ، وَ لَمْ یُلْجِئْکَ إِلی مَنْ یَشْفَعُ لَکَ إِلَیْهِ، وَ لَمْ یَمْنَعْکَ إِنْ أَسَأْتَ مِنَ التَّوْبَةِ وَ لَمْ یُعَیِّرْکَ بِالاْنابَةِ، وَ لَمْ یُعاجِلْکَ بِالنِّقْمَةِ، وَ لَمْ یَفْضَحْکَ حَیْثُ تَعَرَّضْتَ لِلْفَضیحَةِ وَ لَمْ یُناقِشْکَ بِالْجَریمَةِ، وَ لَمْ یُؤْیِسْکَ مِنَ الرَّحْمَةِ، وَ لَمْ یُشَدِّدْ عَلَیْکَ فِی التَّوْبَةِ، فَجَعَلَ تَوْبَتَکَ التَّوَرُّعَ عَنِ الذَّنْبِ، وَ حَسَبَ سَیِّئَتَکَ وَاحِدَةً وَ حَسَنَتَکَ عَشْراً، وَ فَتَحَ لَکَ بَابَ الْمَتَابِ وَالاِْسْتِعْتابِ، فَمَتی شِئْتَ سَمِعَ نِداءَکَ وَ نَجْواکَ فَأَفْضَیْتَ إِلَیْهِ بِحاجَتِکَ وَ أبْثَثْتَهُ ذاتَ نَفْسِکَ وَ شَکَوْتَ إِلَیْهِ هُمُومَکَ وَ اسْتَعَنْتَهُ عَلی اُمُورِکَ، ثُمَّ جَعَلَ فِی یَدِکَ مَفاتیحَ خَزائِنِهِ بِما أَذِنَ فِیهِ مِنْ مَسْأَلَتِهِ، فَمَتی شِئْتَ اِسْتَفْتَحْتَ بِالدُّعاءِ أَبْوابَ خَزائِنِهِ.

p: 271

Ketahuilah, bahwa Dia yang khazanah (perbendaharaan) langit dan bumi * berada di tangan-Nya telah mengizinkanmu untuk berdoa serta menjamin ijabahnya. Dia telah memerintahkanmu agar meminta kepada-Nya untuk memberimu, karena Dia adalah Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Dia tidak menjadikan adanya orang yang menghalangi antara engkau dan Dia. Dia juga tidak menjadikan perantara antara engkau dan Dia. Apabila engkau berbuat kesalahan, Dia tidak pernah melarangmu untuk bertobat; Dia tidak mencelamu, bila kau kembali kepada-Nya. Dia tidak bercepat-cepat dalam memberikan hukuman padamu. Dia tidak mempermalukanmu, meskipun dirimu layak untuk dipermalukan. Dia tidak mempermasalahkan dosa dan kejahatanmu. Dia tidak pernah membuatmu berputus asa dari rahmat-Nya. Dia tidak akan mempersulit penerimaan tobatmu. Justru, Dia menjadikan tobatmu.sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari dosa. Dia menghitung setiap perbuatan burukmu sebagai satu dosa dan setiap perbuatan baikmu sebagai sepuluh kebaikan. Dia telah membuka lebar-lebar untukmu pintu ampunan dan jalan untuk kembali pada-Nya. Kapan saja engkau menyeru-Nya, Dia akan mendengar seruanmu.

Kapan saja engkau berbisik (dalam hati) kepada-Nya, Dia mengetahui bisikanmu. Engkau bisa ungkapkan kepada-Nya segala kebutuhan dan keinginan hatimu;

engkau bisa mengeluhkan segenap harap-cemasmu dan memohon pertolongan kepada-Nya atas segala urusan. Dia telah meletakkan di tanganmu kunci-kunci

khazanah-Nya dengan memberimu izin untuk meminta. Maka, kapanpun engkau mau, engkau dapat membuka semua pintu khazanah-Nya dengan doa. Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as berbicara tentang doa, hubungan manusia dengan Allah Swt, tobat dan munajat. Beliau telah membungkus berbagai poin penting dan berharga dalam kalimat-kalimat yang indah dan bercahaya lalu dipersembahkan kepada umat manusia. Agar berbagai pesan beliau dapat dicerna dengan baik, ikutilah beberapa keterangan berikut ini guna lebih mempersiapkan diri untuk memahaminya.

Kelalaian yang Tak Terkira atas Beragam Nikmat yang Tak Terbatas

Untuk memahami secara mendalam dan sempurna sebuah nikmat dan sesuatu yang berharga, terdapat beberapa jalan dan cara. Salah satunya

p: 272

adalah dengan melakukan perbandingan kala nikmat itu ada dan ketika nikmat tersebut tidak ada, lalu kita lihat perbedaan di antara dua keadaan itu. Pada saat itulah nilai keberadaan nikmat tersebut tidak hanya akan kita pahami, tetapi mungkin bisa kita rasakan dengan segenap jiwa dan raga. Seluruh nikmat duniawi, baik yang bersifat material maupun spiritual, juga seperti itu adanya, yakni dapat dinilai dengan cara ini. Seperti kata pepatah populer, “Arti sebuah nikmat dapat dirasakan oleh orang yang telah mengalami ketiadaannya.” Setiap nikmat yang kita miliki pada hakikatnya sangat bernilai dan untuk mengetahui nilai di balik setiap

nikmat adalah dengan cara membandingkan saat-saat ketika nikmat itu ada dan ketika tidak ada. Merupakan salah satu dari nikmat Ilahi yang terbesar, namun bahkan tidak pernah kita hitung sebagai nikmat, adalah kehidupan dunia. Ya, hidup di alam ini merupakan salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita. Akan tetapi, karena terlalu lalai, mungkin sebagian orang akan berpikir, “Apakah kehidupan ini juga dihitung sebagai nikmat?”

Manusia baru akan memahami bahwa hidup ini adalah sebuah nikmat yang besar, apabila dia terkena musibah dan hampir berakibat pada kematiannya; ketika dia menyaksikan dirinya bertarung untuk hidup dan nyawanya terancam. Pada saat itu dia akan menyadari bahwa ada sesuatu yang bernama kehidupan dan sangat berharga. Yang kami maksud dengan hidup di sini bukanlah keadaan sehat, karena dalam kondisi sakit, kita akan lebih mengerti artinya. Kesehatan merupakan kenikmatan lain di antara sekian banyak nikmat Ilahi yang kadang terlupakan, sehingga kita bisa berpikir tentang nilai dan urgensinya. Kita selalu tidak perhatian dan

jarang sekali menyadari seberapa besar nilai masing-masing anggota tubuh luar kita, seperti mata, telinga, tangan, kaki, ... dan anggota-anggota tubuh dalam, seperti otak, jantung, paru-paru, hati, ... Lebih daripada itu, terkadang kita sama sekali lupa akan keberadaannya dan baru menyadari ketika ada yang sakit atau terjadi gangguan pada fungsinya. Sebagai misal, ketika seseorang menderita sakit mata atau kebutaan, kala itu dia baru menyadari bahwa ada sebuah nikmat yang bernama mata dan betapa pentingnya arti mata yang selama ini terlupakan! Ketika terjadi gangguan pada mata, barulah kita bersedia untuk memberikan seluruh harta yang

p: 273

kita miliki demi kembalinya kesehatan mata atau agar kita dapat melihat lagi. Pada saat seperti itulah, dua bola mata yang terletak di wajah kita menampakkan nilai dan urgensinya. Demikian pula halnya dengan nikmat-nikmat yang lain, seperti lidah, telinga dan lain sebagainya. Apabila apresiasi kita terhadap nikmat-nikmat fisik seperti ini adanya, bagaimana halnya dengan nikmat-nikmat maknawi dan spiritual?! Padahal, nikmat-nikmat maknawi nilainya jauh lebih tinggi daripada nikmat-nikmat fisik. Seandainya, na'udzubillah, nikmat-nikmat maknawi itu dijauhkan dari diri kita, maka kita akan jatuh dalam sakit yang tak akan terobati!

Karena bagaimanapun juga, mengembalikan nikmat-nikmat fisik masih besar kemungkinannya, namun mengembalikan nikmat-nikmat maknawi sangatlah susah dan kadang mustahil. Nikmat yang paling sederhana adalah nikmat ingatan. Apabila untuk sehari saja manusia diambil ingatannya, barulah dia akan menyadari betapa tinggi nilai dari nikmat tersebut. Karena tanpa ingatan, dia akan melupakan segalanya, dia tidak lagi mengenal siapa ayah, ibu, istri, anak dan teman-temannya. Seketika itu juga kehidupannya akan lumpuh dan terhenti, bahkan dia tidak akan berani untuk sekadar ke luar rumah atau melakukan pekerjaan-pekerjaan

yang sederhana. Karena dia tidak ingat apa-pa dan tidak ada yang terlintas dalam pikirannya; dia tidak mengetahui di mana dirinya sedang berada, apa yang sedang dilakukan dan apa yang harus dilakukan. Apabila keadaan seperti ini terjadi, pada saat itulah kita akan memahami bahwa ada sebuah kenikmatan bernama ingatan dan alangkah berharganya nilai dari nikmat itu! Atau apabila untuk sehari saja Allah mengambil akal seseorang hingga berubah menjadi gila, maka baginya kematian jauh lebih mudah dan lebih enak daripada melanjutkan hidup dalam keadaan gila. Tentu, seorang manusia tidak mau dirinya dipandang lebih hina daripada binatang.

Nikmat Iman dan Mengenal Allah Swt

Sepertinya, watak dan cara berpikir manusia pada umumnya, sedemikian rupa sehingga selama masih memiliki nikmat-nikmat Ilahi dan keberadaannya belum terancam atau diambil, maka mereka tidak dapat menyadari nilai dan harganya. Nah, ketika nikmat-nikmat itu hilang atau

p: 274

diambil, barulah mereka menyadari akan harga dan nilainya. Ini adalah gambaran watak dan karakter umum manusia terhadap seluruh nikmat Allah.

Di antara semua nikmat dan sebelum nikmat-nikmat yang lain, adalah nikmat mengenal Allah Swt. Kita tidak bisa memahami setinggi apa nilai nikmat iman dan mengenal Allah. Sedikit dari iman lemah yang kita miliki dan kita semua mengakui bahwa iman dan makrifat kita terhadap Allah Swt sangat lemah dan kurang, baru akan kita sendiri nilainya ketika kita terkena keraguan dan syubhat. Apabila sedikit dari cahaya iman yang kita miliki ini padam, kala itu kita akan merasakan bagaimana jiwa kita akan terbakar dan tidak ada yang dapat menyelamatkan diri kita. Semoga Allah tidak menimpakan hal ini. Apabila hubungan kita dengan Allah

benar-benar terputus, sehingga tidak ada sedikitpun iman yang tersisa dalam jiwa, dan kita sama sekali tidak merasakan ada sebuah kekuatan yang menjadi rujukan serta tempat mengadu, maka dalam keadaan seperti itu, kita akan tersesat, dilanda kebingungan dan mengalami kesengsaraan abadi. Sebagaimana dikatakan oleh seorang arif, “Sungguh engkau belum pernah hidup tanpa iman, sehingga engkau bisa merasakan betapa pedihnya keadaan itu!" Karena diri kita tidak mengetahui betapa hina, sesat dan sengsaranya mereka yang tidak beriman, maka kita tidak dapat mengetahui nilai dan harga iman kita, meski iman yang kita miliki itu lemah dan tidak sempurna. Kita tidak menyadari betapa besar peran iman yang kita miliki dalam kehidupan dunia. Sudah barang tentu, pengaruh

iman tersebut bagi kehidupan akhirat dan kebahagiaan abadi, jauh lebih besar, tak terkira dan tak terjangkau oleh akal kita.

Nikmat Hubungan dengan Allah Swt

Setelah nikmat hubungan dengan Allah Jalla Jalaluhu, nikmat makrifat dan iman kepada Allah Swt merupakan nikmat Ilahi yang paling tinggi nilainya. Baik kiranya untuk memahami nikmat ini serta nilai tingginya, kita perhatikan metafora dan perbandingan berikut. Bayangkan, seandainya sesuai dengan protokoler yang berlaku

pada masa sekarang dalam pertemuan dengan para tokoh dan pembesar

p: 275

negara, hal yang sama juga diberlakukan dalam hubungan antara Allah dan sekalian hamba-Nya, maka berapa banyak energi dan waktu yang dibutuhkan?! Apabila suatu hari engkau hendak bertemu dengan kepala sebuah instansi negara, tentu tidak akan cepat dan mudah bagimu untuk menemuinya. Akan tetapi engkau harus melalui beberapa pintu pejabat dan petugas, juga sekat-sekat keamanan yang tidak akan mudah memberimu izin begitu saja untuk bertemu dengannya. Meskipun seandainya kepala instansi itu adalah pribadi yang baik, jujur, bijak, rendah hati, prorakyat dan telah ditentukan waktu khusus untuk bertemu dengan rakyatnya

secara bergilir sehingga tidak ada hak yang terabaikan, tetap saja karena banyaknya orang yang hendak bertemu dan keterbatasan waktu, engkau tidak dapat bertemu dengannya di setiap waktu dan kapan kau mau; pertemuan dengannya tidak akan pernah berlangsung dengan mudah dan cepat. Karena banyak yang hendak bertemu dan merujuk, sementara dia tidak lebih dari seorang manusia biasa yang memiliki waktu terbatas. Dari sisi lain, sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya, waktu yang dimilikinya juga terbatas; karena semakin besar kekuasaan dan tanggung jawab seorang pejabat, maka lingkup pengaruhnyapun semakin besar dan luas, dan sebagai konsekuensinya akan banyak orang yang menunggu untuk bertemu dengannya, sehingga waktunya akan menjadi semakin sempit dan terbatas. Sebagai contoh, apabila ada seorang pemilik langit dan bumi dan semua ketentuan berkaitan dengan langit dan bumi ada di tangan-Nya, maka seluas kepemilikannya, akan banyak orang yang berkeperluan untuk bertemu dan merujuk padanya; dengan begitu, waktu yang dimilikinya semakin terbatas dan bertemu dengannya akan semakin sulit. Perumpamaan di atas adalah sebuah misal untuk bertemu dengan seseorang yang kekuasaan dan lingkup tanggung jawabnya terbatas; di mana semakin besar kekuasaannya maka lingkup tanggung jawabnyapun akan semakin luas, waktunya semakin terbatas dan bertemu dengannya

semakin sulit. Nah, kini bayangkan suatu Maujud yang kekuasaan-Nya tak terbatas dan apabila aturan protokoler ini diberlakukan untuk bertemu dengannya.

p: 276

Maka dalam 100 tahun umur kita, mungkin hanya beberapa menit saja yang menjadi waktu kita untuk bertemu dengannya. Ya, kita tidak mempunyai kesempatan lebih dari beberapa menit saja untuk bertemu dengannya. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, apabila kekuasaan orang yang hendak ditemui itu tak terbatas, jatah waktu bertemu setiap orang akan menjadi nol dan hampir tidak ada waktu sama sekali. Hal ini disesuaikan dengan pemikiran manusia biasa pada umumnya.

Adapun berkaitan dengan pertemuan antara Allah Swt dengan segenap makhluk-Nya, kondisi serta keadaannya berbeda sama sekali. Allah Swt yang kekuasaan-Nya tak terbatas, ternyata mudah untuk dijangkau dan ditemui tanpa ada sedikitpun batasan. Di mana saja dan kapan saja engkau mau, hubungan dan pertemuan akan terlaksana. Hanya perlu menekan satu tombol, yakni cukup dengan mengarahkan hati kepada-Nya. Tidak diperlukan untuk bertemu dengan para pejabat di

bawah-Nya, mengambil waktu dan mendaftarkan nama terlebih dahulu. Nah, kini lakukan penilaian, betapa berharganya kemudahan untuk bertemu dengan Sang Kekasih Abadi?! Seseorang baru dapat memahami nikmat hubungan dan pertemuan dengan Allah ini, bila sudah pernah lama menunggu untuk bertemu dengan pejabat tertentu dan tak kunjung berhasil untuk bertemu dengannya. Orang yang seperti ini, tentu akan memahami betapa berharganya kemudahan bertemu dan berjumpa dengan Allah Swt. Seandainya tidak ada nikmat-nikmat Allah, selain satu nikmat ini saja, maka cukuplah bagi kita untuk sadar-diri. Akan tetapi, sayang seribu sayang, meskipun diri kita telah tenggelam dalam berbagai nikmat Ilahi yang harga dan nilainya jauh di atas jangkauan akal manusia, kita tetap tidak menyadari semua nikmat itu dan bahkan cenderung mengkufurinya.

Poin lain yang perlu diperhatikan di sini adalah, bahwa Allah Swt tidak akan pernah menolak dan tidak menjawab permintaan orang yang hendak bertemu dengan-Nya, sementara pertemuan dengan selain-Nya tidaklah seperti ini. Tidak setiap keinginan untuk bertemu dengan selain Allah terlaksana. Kalaupun terlaksana, tidak selalu berhasil untuk mendapatkan apa yang diinginkan. (Karena), apakah ada (selain Allah Swt), sebuah

p: 277

kekuasaan yang lingkupnya tak terbatas sehingga dapat mengabulkan segala kebutuhan orang yang membutuhkan dan meminta padanya?! Jelas sekali, bahwa kekuasaan setiap orang terbatas, dan meskipun dia menguasai semua khazanah di muka bumi, tentu suatu saat akan habis dan sirna. Akan tetapi Allah Swt, Dia mempunyai khazanah kekayaan yang tak akan pernah habis dan sirna.

Menurut apa yang diungkap oleh Imam Ali as, seandainya Allah Swt memberikan kepada seluruh manusia apa saja yang menjadi keinginan mereka, tetap saja rahmat serta khazanahn-Nya tidak akan pernah habis dan berakhir. Seberapa banyak keinginan dan harapan seorang manusia? Seberapa banyak keinginan enam milyar manusia yang hidup di muka bumi? Seandainya kita hitung seluruh umat manusia dari masa lalu sampai masa yang akan datang dan masing-masing mempunyai permintaan satu milyar kali satu milyar, lalu Allah Swt memberikan kepada mereka apa yang diminta, sungguh khazanah dan kekayaan Allah Swt tidaklah berkurang walau seujung jarum. Di mana lagi kalian dapat menemukan sumber rahmat, keagungan, kekuatan, kemurahan tanpa batas yang dapat

dihubungi kapan saja dengan penuh kemudahan?!!! Dengan ungkapan lain, pintu rahmat-Nya selalu terbuka, telinga-Nya senantiasa siap untuk mendengar berbagai kebutuhan kita. Bahkan tidak hanya siap, akan tetapi justru Dialah yang mengajak dan menyeru kita dengan penuh kesungguhan untuk datang mengetuk pintu-Nya. Namun sayang, kita yang tidak berpengetahuan dan tidak tahu berterima kasih, dan dengan latar belakang serta wajah yang buruk, masih berusaha menyombongkan diri. Apabila seseorang mempunyai kebaikan lalu membanggakannya, mungkin masih pantas. Namun, manusia yang tidak memiliki apa-apa,

seperti diri kita, apa yang akan dibanggakan dan disombongkan?! Kita tidak mempunyai kesempurnaan yang berasal dari diri kita sendiri bahkan sedikitpun tidak punya. Bagaimana manusia sehina diri kita bisa membanggakan serta menyombongkan diri kala dipanggil dan diseru oleh Zat yang Maha Segala-galanya. Sungguh sebuah kenyataan buruk yang sedang menimpa diri kita. Bagaimana ketika Zat yang keagungan-Nya tak terbatas dan kekuasaan-Nya tak akan sirna; Zat yang Maha

p: 278

Pemurah dan Mahasempurna, menyeru dan memanggil-manggil diri kita, namun kita yang bodoh dan tak tahu apa-apa, tidak mengindahkan seruan tersebut dan menolaknya. Zat yang memiliki kekuasaan tak terbatas dan tak terhingga, bahkan pikiran kita tidak mampu menjangkau sebagian kecil dari kekuasaan-Nya, telah memberikan izin kepada kita untuk menyeru dan bertemu dengan-Nya setiap waktu, tetapi kita tidak pandai berterima kasih kepada-Nya. Zat ini telah mengizinkan diri kita untuk meminta tanpa perantara, tanpa syarat, tanpa pendaftaran nama dan tanpa membuat janji untuk bertemu, lalu Dia sendiri yang menjamin pengabulan segala permintaan dan permhonan kita. Akan tetapi, (karena kebodohan diri kita sendiri), kita terjauhkan dari sumber anugerah yang luar biasa ini. (1) Apabila seseorang mau merenungkan tentang besarnya nikmat ini serta nilainya yang tinggi lalu mati karenanya, tidak akan ada yang mencelanya.

Nikmat Tanpa Batas oleh Kekuasaan yang Tak Terbatas

Sebagaimana yang telah lalu, Allah Swt telah dengan tegas menyatakan, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.(2) Dalam seruan umum ini, Allah Swt telah menyeru kita untuk datang tanpa perantara, pemeriksaan keamanan dan mendaftarkan nama. Dia tidak pernah memerintah kita untuk menemui fulan atau fulan agar menjadi perantara antara kita dengan diri-Nya, tetapi hubungan ini sifatnya langsung dan tanpa perantara. Lebih daripada itu, sumber nikmat tak terbatas dan kekuasaan tak terhingga ini, tidak hanya bersedia mengabulkan segala permintaan, namun seandainya kita telah berbuat dosa dan kesalahan, Diapun siap untuk mengampuni dan tetap memberikan apa yang menjadi permintaan kita. Dengan demikian, apabila dengan catatan buruk dan latar belakang yang tidak baik, kalian datang menuju pintu-Nya dan melakukan permohonan dengan menyesali dosa-dosa masa lalu, maka Dia akan segera mengampuni, mengabulkan hajat dan menaburi kalian dengan berbagai anugerah-Nya. Pada hakikatnya, hal ini merupakan nikmat lain, selain diberikan jaminan untuk permintaan masa kini dan masa akan datang, Dia juga

p: 279


1- 104 Pada bahasan berikutnya akan dijelaskan tentang sebab dan alasan tidak dikabulkannya sebagian doa.
2- 105 QS. Ghafir [40]:60.

bersedia untuk mengampuni berbagai kesalahan dan dosa di masa lalu. Seseorang yang seumur hidupnya berpaling dari Allah dan menimpakan beribu petaka atas diri dan merusak fitrahnya, apabila dia berkehendak untuk membenahi kesalahan masa lalunya, maka jalan dan caranya sangat jelas dan mudah. Melalui doa, selain kalian dapat mengadakan kontak serta permintaan kapan dan di mana saja, dengan doa kalian juga dapat membenahi kesalahan di masa lalu. Sungguh doa adalah sebuah nikmat yang berada di atas nikmat-nikmat yang lain, sehingga dapat disebut sebagai nikmat yang tak terhingga oleh kekuatan yang tak terbatas.

Seseorang yang sadar dan insyaf setelah 70 tahun maksiat dan kekufuran dan kembali kepada Allah, selain dia dapat berdoa untuk kebaikan masa kini dan masa datangnya, dia juga dapat memperbaiki berbagai dosa dan kesalahan masa lalu suramnya; dia hanya tinggal mengangkat tangan dan berdoa beberapa saat untuk mendapatkan perbaikan atas masa lalunya. Allah Swt berkata, “Kapanpun kalian merasa menyesal atas dosa- dosa, maka datanglah kepada-Ku, karena pintu ampunan-Ku selalu terbuka bagi kalian. Kalian tidak hanya mendapat jaminan kebaikan di masa datang, tetapi masa lalu kelam kalian juga akan diampuni, sehingga

api yang dahulu kalian kobarkan dalam jiwa dan membakar diri kalian, akan serta-merta padam dengan tobat. Tidak hanya menjadi padam, akan tetapi berubah menjadi kebaikan dan keselamatan bagi diri kalian. Dalam al-Quran disebutkan: Illa man taba wa amana wa ‘amila shalihan faulaika yubaddilullahu sayyiatihim hasanatin. Kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal kebajikan, maka Allah akan mengganti dosa-dosa mereka dengan kebaikan.(1) Apabila engkau telah berbuat buruk dan maksiat, pintu tobat selalu terbuka untukmu. Mungkin di dalam kehidupan, ada orang-orang yang mau mengampuni kesalahan kita di masa lalu, tetapi ketika kita datang pada mereka dan menyatakan penyesalan, maka diri kita akan menjadi sasaran cemohan dan cacian. Adapun, apabila seseorang benar-benar bertobat dan memohon ampunan kepada Allah, maka dia tidak akan pernah dicela dan dicaci. Bahkan tidak akan dikatakan padanya, “Mengapa engkau berbuat dosa?"

p: 280


1- 106 QS. al-Furqan [25]:70.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Ja'far Shadiq as berkáta, "Man "amila sayyiatan ujila fiha sab’á sa'atin minan nahari fain qala 'astaghfirullahal * ladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu' tsalatsa marratin làm tüktab 'alaihi. Seseorang yang telah berbuat dosa, maka dia akan diberi kesempatan * selama tujuh jam, dan apabila dia (sebelum berlalunya waktu tujuh jam) sebanyak tiga kali mengucapkan istighfar (astaghfirullahal ladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu), maka dosa itu tidak akan ditulis dalam kitab amalnya. (1) Artinya, orang itu tidak hanya tidak disiksa seketika usai berbuat dosa, tetapi Allah malah memerintahkan kepada para malaikat yang mencatat amal, “Bila seorang mukmin berbuat dosa, berilah kesempatan baginya sampai tujuh jam hingga bertobat.” Selain tidak langsung diberi siksaan, pencatatannyapun juga ditunda, karena mungkin sebelum waktu yang diberikan dia bertobat dan tetap dapat menjaga buku amalnya bersih dari catatan dosa.

Oleh sebab itu, apabila seorang manusia telah melakukan suatu perbuatan buruk dan mengotori dirinya, maka jalan pembersihan dirinya telah ditunjukkan dan jelas baginya. Tentu, masing-masing orang lebih mengetahui tentang masa lalunya dan dosa apa saja yang telah diperbuat. Dosa-dosa yang apabila kemudian terbongkar dan diketahui oleh keluarga, teman-teman, penduduk kota dan masyarakat, maka seseorang akan merasa malu dan hancur harga dirinya. Akan tetapi dengan tobat, Allah dengan kemuliaan dan kemurahan-Nya, berjanji untuk menjaga harga diri hamba-Nya. Di sini, Imam Ali as berkata kepada putranya Imam

Hasan as, “Demikianlah Tuhan yang kita miliki, pergunakan dengan sebaik-baiknya kesempatan pintu doa dan tobat yang terbuka ini untuk memohon ampunan dan segala kebaikan bagi (dunia akhiratmu), karena apabila kesempatan ini berlalu, maka kamu tidak akan dapat menggantinya dengan apapun.”

p: 281


1- 107 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.437.

Kita tidak mempunyai kesempurnaan yang berasal dari diri kita sendiri bahkan sedikitpun tidak punya. Bagaimana manusia sehina diri kita bisa membanggakan serta menyombongkan diri kala dipanggil dan diseru oleh Zat yang Maha Segala- galanya. Sungguh sebuah kenyataan buruk yang sedang menimpa diri kita. Bagaimana ketika Zat yang keagungan-Nya tak terbatas dan kekuasaan-Nya tak akan sirna; Zat yang Maha Pemurah dan Mahasempurna, menyeru dan memanggil-manggil diri

kita, namun kita yang bodoh dan tak tahu apa-apa, tidak mengindahkan seruan tersebut dan menolaknya.

p: 282

18- HUBUNGAN DENGAN ALLAH (2)

Point

وَ أعْلَمْ أَنَّ الَّذی بِیَدِهِ خَزائِنُ مَلَکُوتِ الدُّنْیا وَ الاَْخِرَةِ قَدْ أَذَنِ لِدُعائِکَ(1)، وَ تَکَفَّلَ لإِجابَتِکَ، وَ أَمَرَکَ أَنْ تَسْأَلَهُ لِیُعْطِیَکَ وَ هُوَ رَحیمٌ کَریمٌ، لَمْ یَجْعَلْ بَیْنَکَ وَ بَیْنَهُ مَنْ یَحْجُبُکَ عَنْهُ، وَ لَمْ یُلْجِئْکَ إِلی مَنْ یَشْفَعُ لَکَ إِلَیْهِ، وَ لَمْ یَمْنَعَکَ إِنْ أَسَأْتَ مِنَ التَّوْبَةِ وَ لَمْ یُعَیَّرْکَ بِالاِْنابَةِ، وَ لَمْ یُعاجِلْکَ بِالنِّقْمَةِ، وَ لَمْ یَفْضَحْکَ حَیْثُ تَعَرَّضْتَ لِلْفَضیحَةِ وَ لَمْ یُناقِشْکَ بِالْجَریمَةِ، وَ لَمْ یُؤْیِسْکَ مِنَ الرَّحْمَةِ، وَ لَمْ یُشَدِّدْ عَلَیْکَ فِی التَّوْبَةِ، فَجَعَلَ تَوْبَتَکَ التَّوَرُّعَ عَنْ الذَّنْبَ، وَ حَسَبَ سَیِّئَتَکَ وَاحِدَةً وَ حَسَنَتَکَ عَشْراً، وَ فَتَحَ لَکَ بَابَ الْمَتَابِ وَالاِْسْتِعْتابِ، فَمَتی شِئْتَ سَمِعَ نِداءَکَ وَ نَجْواکَ فَأَفْضَیْتَ إِلَیْهِ بِحاجَتِکَ وَ أبْثَثْتَهُ ذاتَ نَفْسِکَ وَ شَکَوْتَ إِلَیْهِ هُمُومَکَ وَ اسْتَعَنْتَهُ عَلی اُمُورِکَ، ثُمَّ جَعَلَ فِی یَدِکَ مَفاتیحَ خَزائِنِهِ بِما أَذِنَ فِیهِ مِنْ مَسْأَلَتِهِ، فَمَتی شِئْتَ اِسْتَفْتَحْتَ بِالدُّعاءِ أَبْوابَ خَزائِنِهِ.

p: 283

Ketahuilah, bahwa Dia yang khazanah (perbendaharaan) langit dan bumi berada di tangan-Nya telåh mengizinkanmu untuk berdoa serta menjamin ijabahnya. Dia telah memerintahkanmu agar meminta kepada-Nya untuk memberimu, karena Dia adalah Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah. Dia tidak menjadikan adanya orang yang menghalangi antara engkau dan Dia. Dia juga tidak menjadikan adanya perantara antara engkau dan Dia. Apabila engkau berbuat kesalahan, Dia tidak pernah melarangmu untuk bertobat; Dia tidak mencelamu, bila kau kembali kepada-Nya. Dia tidak bercepat-cepat dalam memberikan hukuman padamu. Dia tidak mempermalukanmu, meski dirimu layak untuk dipermalukan. Dia tidak mempermasalahkan dosa dan kejahatanmu. Dia tidak pernah membuatmu berputus asa dari rahmat-Nya. Dia tidak akan mempersulit penerimaan tobatmu. Justru, Dia menjadikan tobatmu sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari dosa. Dia menghitung setiap perbuatan burukmu sebagai satu dosa dan setiap perbuatan baikmu sebagai sepuluh kebaikan. Dia telah membuka lebar-lebar untukmu pintu ampunan dan

jalan untuk kembali pada-Nya. Kapan saja engkau menyeru-Nya, Dia akan mendengar seruanmu, dan kapan saja engkau berbisik (dalam hati) kepada-Nya, Dia mengetahui bisikanmu. Engkau bisa ungkapkan kepada-Nya segala kebutuhan dan keinginan hatimu; engkau bisa mengeluhkan segenap harap-cemasmu dan memohon pertolongan pada-Nya atas segala urusan. Dia telah meletakkan di tanganmu kunci-kunci khazanah-Nya dengan memberimu izin untuk meminta, maka kapanpun engkau mau, engkau dapat membuka semua pintu khazanah-Nya dengan doa.

Sampai di sini telah dijelaskan beberapa bagian dari wasiat Imam Ali as kepada putranya Hasan Mujtaba as. Kini masih akan dilanjutkan penjelasan bagian dari wasiat yang berkaitan dengan hubungan dengan Allah Swt. Nikmat hubungan dengan Allah Swt merupakan sebuah nikmat besar yang telah diberikan kepada manusia, sehingga setiap orang dapat berdialog langsung dengan Tuhannya kapan dan di mana saja dia mau tanpa perantara. Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as juga menyinggung tentang luasnya rahmat Ilahi sehingga manusia akan terdorong dan termotivasi untuk menjalin hubungan dengan-Nya. Perlu juga digarisbawahi, bahwa nikmat hubungan dengan Allah Swt, merupakan

p: 284

kemuliaan usia di mana segala kebutuhan dan keinginannya kepada Allah dan meminta rahmat serta anugerah dari-Nya. Apabila manusia mengetahui bahwa dengan doa dia dapat memperoleh rahmat Ilahi, tentunya dia akan terdorong untuk melakukannya. Mengingat hubungan antara Tuhan dan makhluk merupakan sesuatu yang sangat penting dan urgen serta menjelaskan makna doa, cara berdoa serta keistimewaannya akan banyak memberikan pemahaman pada poin-poin yang majhul dan tersembunyi, oleh sebab itu, kita akan mengupas masalah ini mengacu pada keterangan beliau:

Pengertian Syafaat

1. Syafaat dalam Pandangan Kristen

Topik bahasan kita adalah hubungan antara manusia dan Allah Swt. Adanya hubungan dan jalinan antara Tuhan dan makhluk-Nya telah diterima oleh sebagian agama dan ditolak oleh sebagian yang lain. Di antara agama-agama yang menerima adanya hubungan ini, masih terjadi perselisihan dalam cara dan bentuknya. Ada baiknya kita mengkaji tentang bagaimana bentuk hubungan ini, apakah manusia berhubungan dengan Tuhan menggunakan perantara atau tanpa perantara? Pada waktu apa dan dalam bentuk yang bagaimana hubungan ini dapat terlaksana, dan apa peran perantara antara sekalian hamba dengan Tuhannya?

Dalam kalimat pertama pada bagian wasiat ini, Imam Ali as menjelaskan tentang hubungan langsung antara manusia dan Tuhan, di mana Allah Swt tidak pernah memaksa hamba-Nya untuk berperantara, mencari pendamping dan syafaat dalam hubungan ini. Akan tetapi manusia bisa langsung menjalin hubungan dengan Allah Swt tanpa perantara dan meminta serta memohon apa yang menjadi hajatnya.

Imam Ali as berkata,

لَمْ یُلْجِئْکَ إِلی مَنْ یَشْفَعُ لَکَ إِلَیْهِ

Dia tidak menjadikan adanya perantara antara engkau dan Dia.

p: 285

Berangkat dari keterangan Imam Ali as ini, berarti setiap orang bisa langsung mengetuk pintu Ilahi dan melakukan permohonan serta permintaan hajat kepada-Nya. Namun, keterangan ini perlu dikaji lebih jauh, bagaimana makna ini bisa tidak bertentangan dengan masalah syafaat? Kita telah berkeyakinan bahwa Allah Swt telah mengukuhkan para pemberi syafaat yang akan mensyafaati kita dan menjadi perantara antara kita dengan berbagai anugerah Allah Swt. Sementara dalam wasiat ini, beliau menegaskan bahwa setiap manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah Swt. Hal ini sama juga dengan apa yang diungkap oleh Imam Ali Zainal Abidin as dalam doa Abu Hamzah Tsumali, ketika beliau berkata dalam doa: Walhamdulillahil ladzi unadihi kullama syi'tu lihajati wa akhlu bihi haitsu syi'tu lisirri bighairi syafi'in fa yaqdhi li hajati. Segala puji bagi Allah yang dapat aku seru setiap waktu untuk memenuhi kebutuhanku dan aku dapat menyendiri dengan-Nya, kapan saja aku mau, untuk mengungkapkan segala rahasiaku tanpa perantara, dan Dia akan mengabulkan segala hajatku. (1) Sepertinya antara beberapa keterangan yang ada di dalam wasiat Imam Ali as dan doa Imam Ali Zainal Abidin as ini, terdapat kontradiksi dengan masalah syafaat yang juga merupakan sebuah keyakinan yang diterima. Kontradiksi dan ketidaksesuian ini harus segera dicarikan

jawaban sebagai solusi dan jalan keluarnya. Untuk membuang kekaburan dan kontradiksi ini, dapat dikatakan: adakalanya maksud dari syafaat adalah seperti pengertian yang dikenal oleh masyarakat Kristiani, di mana manusia sama sekali, bahkan untuk hal-hal yang bersifat sederhana, tidak dapat melangkahkan kaki menuju Tuhan dan menjalin hubungan dengan-Nya kecuali harus dengan dan melalui orang lain sebagai perantara. Pengertian syafaat yang seperti ini bukanlah pengertian syafaat yang diterima di dalam Islam, karena Islam tidak menerima pengertian tentang perantara (pemberi syafaat) yang eksklusif seperti ini. Sebagaimana yang telah diketahui, salah satu tugas dari para Paus dan pendeta adalah menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan dalam hal penebusan dan

pengampunan dosa. Yakni, apabila seseorang berkeinginan agar dosanya diampuni, dia harus pergi menemui pendeta, melakukan pengakuan, lalu

p: 286


1- 108 Al-Shahifah al-Sajjadiyyah dan Mafatih al-Jinan: Doa Abu Hamzah Tsumali.

akan didoakan dan baru kemudian Tuhan akan mengampuni dosanya. Hampir sama dengan pengertian ini, adalah apa yang terjadi dan berlaku di kalangan para penyembah berhala. Mereka berkeyakinan bahwa para malaikat adalah putri-putri Tuhan dan merekalah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Oleh sebab itu, mereka harus disembah juga agar memberi syafaat di sisi Tuhan, dan tidak ada jalan lain untuk mendekatkan diri kepada Tuhan selain jalan ini. Keyakinan yang semacam ini, tak diragukan lagi, adalah sebuah keyakinan yang bersifat syirik (mempersekutukan Allah) dan jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Kita tidak mengenal syafaat yang seperti ini di dalam Islam.

2. Syafaat dalam Pandangan Islam

a) Syafaat di dunia

Di samping pengertian tentang syafaat yang tertolak ini, terdapat dua makna dan pengertian lain. Ada dua substansi lain berkaitan dengan syafaat yang dapat ditemukan. Pertama, adalah syafaat di dunia, yakni tawasul (berwasilah/berperantara) dengan Rasul saw dan para Imam suci as yang biasa kita lakukan, agar mereka memohonkan kepada Allah untuk mengabulkan doa-doa kita. Namun perlu digarisbawahi, bahwa amalan ini, bukan berarti apabila syafaat dan tawasul yang seperti ini tidak ada, maka jalan untuk berhubungan dengan Allah Swt menjadi tertutup sama sekali sehingga tidak ada doa yang sampai dan dikabulkan oleh-Nya. Akan tetapi, syafaat dan tawasul merupakan nikmat dan pintu lain bagi rahmat Ilahi, sehingga sesuai dengan kemampuan berdoa dan ibadah kita, kita akan mendapatkan rahmat Ilahi. Di samping itu terdapat sebuah faktor penguat yang dengannya kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar apa yang menjadi hak kita. Dengannya doa kita akan menjadi lebih baik, lebih banyak (dalam mendatangkan anugerah), lebih sempurna dan lebih cepat dikabulkan.

Melalui tawasul, apa yang menjadi keinginan kita akan kita peroleh secara sempurna. Fungsi tawasul dan syafaat di sini adalah sebagai faktor penguat, dan bukan berarti tanpanya kita tidak lagi dapat berdoa. (Di

p: 287

dalam ajaran Islam), setiap orang bisa menjalin hubungan dengan Allah kapan dan di mana saja sesuai kemauannya, dia bisa memohon ampunan dan meminta hajatnya sendiri. Akan tetapi, bertawasul dan menjadikan manusia-manusia suci para kekasih Allah sebagai pemberi syafaat adalah upaya untuk memuluskan dan melancarkan berbagai permohonan dan doa. Lebih daripada itu, jalan ini telah ditentukan dan dianjurkan oleh Allah sendiri, yakni sementara kita sendiri berdoa dan mengajukan permohonan kepada Allah, kita juga bertawasul kepada Rasulullah saw agar doa kita lebih cepat diterima dan dikabulkan. Contoh dan substansi

nyata dari syafaat dan tawasul, adalah makna yang dikandung dalam ayat berikut ini: Wa lau annahum idz zholamu anfusahum jauka wastaghfarullaha wastaghfara lahumur rasulu lawajadullaha tawwaban rahiman. Apabila (para pembangkang) yang menganiaya dirinya ini datang padamu dan memohon ampun kepada Allah dan Rasulpun memohonkan ampun bagi mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang: (1)

Nah, berdasarkan makna ini, syafaat berarti sebuah faktor penguat, sebuah faktor yang menjamin doa menjadi lebih sempurna dan lebih cepat dikabulkan. Bukan berarti apabila syafaat tidak ada dan Allah tidak mengadakan wasilah ini, lalu doa tidak mungkin dipanjatkan dan tidak ada lagi hubungan dengan Allah Swt, karena satu-satunya jalan berhubungan dengan Allah hanyalah dengan cara ini. Berdasarkan makna ini, meminta pertolongan kepada para wali dan kekasih Allah, bertawasul dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafaat adalah perbuatan yang sah-sah saja. Akan tetapi hal ini tidak berarti seandainya syafaat tidak ada, maka menjalin hubungan langsung dengan Allah menjadi tidak bisa dilakukan. Allah tidak pernah menutup jalan untuk berhubungan langsung dengan-Nya, tetapi mereka yang melewati jalan tawasul dan syafaat akan mendapatkan kemudahan serta kelancaran. Karena setiap orang akan menjalin hubungan dengan Allah sesuai kadar makrifat dan imannya, dan karena iman serta makrifat kita lemah, maka kualitas hubungan kitapun sangatlah rendah dan berada pada jalur yang sangat terbatas. Akan tetapi, apabila kita dapat menghubungkan diri kita pada jalur yang

p: 288


1- 109 QS. al-Nisa [4]:64.

lebih kuat, jalan yang lebih luas dan saluran yang lebih baik, sementara diri kita sendiri juga berusaha dan berdoa serta menggantungkan tangan kita pada pintu rahmat Ilahi yang luas, maka kemungkinan kita untuk mendapatkan rahmat Allah akan menjadi lebih besar dan lebih banyak. Sekali lagi, bukan berarti tanpa tawasul dan syafaat berarti kita tidak mungkin mendapatkan rahmat Ilahi.

Satu hal tidak boleh diabaikan dan dilupakan, bahwa Allah Swt memberikan nikmat ini, yakni bertawasul kepada Rasul saw dan Ahlulbait as disebabkan jalan ini lebih cepat dan mujarab untuk sampai pada rahmat Ilahi. Akan tetapi, apabila seseorang berpaling dan menyombongkan diri seraya berkata, “Aku akan mendatangi langsung pintu Allah tanpa perantara dan syafaat, karena aku tidak membutuhkan semua itu.” Maka, kesombongannya ini akan bisa menjauhkan dirinya dari rahmat

dan anugerah Ilahi. Yakni, apabila dia berpaling dari nikmat yang Allah berikan ini dan berlaku sombong, dapat dipastikan dia akan tersisihkan dari rahmat dan belas kasih Allah Swt. Dengan kata lain, apabila orang tersebut berkata, “Aku tidak mau berada di bawah bayang-bayang Rasul saw dan Ahlulbait as, biarlah aku sendiri yang berdoa dan berhubungan langsung dengan Allah,” maka keberpalingannya ini dapat menjauhkan dirinya dari syafaat (orang-orang yang memang diberi hak oleh Allah untuk memberikannya). Mereka dapat dipastikan akan terdepak dari rahmat Ilahi. Berkaitan dengan kaum munafik di masa Rasulullah saw yang menolak untuk datang menghadap Rasul saw agar beliau memintakan ampunan bagi mereka, Allah Swt berfirman, Baik engkau mohonkan ampunan bagi mereka atau tidak, hal itu tidak akan mengubah apa pun, karena Allah tidak akan pernah mengampuni mereka.(1) Karena mereka berpaling dan

menyombongkan diri serta mengatakan, “bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan Rasul saw untuk menjadi perantara atas iman kami,” oleh sebab itu akhirnya mereka tidak mendapatkan syafaat. Kesimpulannya, apabila pintu syafaat duniawi tidak dibuka, hal ini bukan berarti tidak ada lagi jalan untuk berhubungan dengan Allah Swt. Akan tetapi, seseorang tetap dapat menjalin hubungan langsung dengan Allah Swt meski tanpa perantara. Namun, apabila seseorang itu

p: 289


1- 110 QS. al-Munafiqun [63]:6.

mempunyai syafi'(pemberi syafaat), maka hubungannya dengan Allah Swt akan menjadi lebih kuat dan dia akan lebih mudah, lebih banyak serta lebih cepat sampai pada rahmat Ilahi dan apa yang menjadi keinginannya.

b) Syafaat di akhirat

Bahasan di atas berkaitan dengan syafaat di dunia, sementara kita masih mempunyai syafaat lain di akhirat, di mana Allah Swt akan menyelamatkan sebagian hamba-Nya dari neraka jahannam lantaran syafaat dan perantara yang diberikan oleh Rasul saw dan para Imam suci as. Yakni, orang-orang yang beriman kepada Allah Swt dan memasuki alam Mahsyar dengan iman, maka mereka akan mendapatkan syafaat Rasul saw dan para Imam as dan akhirnya mereka mendapatkan jalan menuju surga. Dengan demikian, syafaat ini akan meliputi orang-orang beriman dan bukan untuk mereka yang karena dosa akhirnya kehilangan iman. Orang-

orang yang beriman di dunia, dan apabila mereka melakukan dosa-dosa, telah mendapatkan ampunan di dunia karena berusaha menghindarkan diri dari dosa-dosa besar serta berbuat kebajikan, sehingga meninggal dunia dalam keadaan bersih dan terampuni, maka mereka akan termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat di akhirat. Perlu diketahui, bahwa ada banyak jalan untuk mendapatkan ampunan, salah satunya adalah dengan menjauhi dosa-dosa besar. Dalam al-Quran disebutkan, Mereka yang berusaha menjauhkan diri dari dosa-dosa besar serta perbuatan-perbuatan buruk dan hanya terlibat dosa-dsa kecil, maka sesungguhnya ampunan Tuhanmu sangatlah luas ...,(1) Orang-orang yang berusaha menjaga diri untuk tidak terjerumus dalam dosa-dosa besar

(kabairal itsm), maka berarti mereka telah menempatkan dan memposisikan dirinya untuk mendapatkan ampunan Ilahi. Karena salah satu dari dosa besar adalah secara terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil, maka pada hakikatnya orang-orang ini, selain mereka tidak melakukan dosa-dosa besar, merekapun tidak secara terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil. Oleh sebab itu, Allah Swt mengampuni kesalahan dan dosa-dosa kecil mereka. Seandainyapun mereka tidak bertobat, upaya menghidarkan diri dari dosa itu sendiri sudah dapat mendatangkan ampunan dari Allah Swt,

p: 290


1- 111 QS. al-Najm (53):32.

juga akan dijelaskan dalam wasiat Imam Ali as.

Jalan yang ketiga adalah syafaat. Jalan ini meliputi orang-orang yang belum mendapatkan ampunan dari jalan tobat atau belum bertobat atas

5. sebagian dosa yang pernah diperbuat atau yang tobatnya tidak diterima oleh Allah Swt, orang-orang ini akan mendapatkan azab di alam barzakh selama beberapa waktu, namun kemudian akan diselamatkan dengan perantara syafaat. Pada hakikatnya, yang menjadi sebab atas keselamatan mereka adalah iman mereka. Namun bila mereka tidak beriman atau meringankan serta meremehkan perintah-perintah Allah, khususnya salat, maka mereka tidak akan mendapatkan syafaat. Imam Shadiq as, menjelang wafat, mengumpulkan sanak-kerabatnya dan berkata, “Inna syafa'atana la tanalu mustakhiffan bishshalati. Syafaat kami tidak akan meliputi mereka yang meremehkan dan menganggap ringan kewajiban salat.(1) Sebagaimana yang telah dijelaskan, syafaat ini mempunyai syarat. Syaratnya adalah orang itu harus beriman, berhasil menjaga imannya sampai wafat dan memasuki alam akhirat dengan iman. Apabila akibat banyaknya perbuatan dosa, orang tersebut kehilangan iman, dia tidak akan mendapatkan syafaat. Pada hakikatnya, syafaat juga membantu

diampuninya dosa-dosa, tetapi faktor utama dalam pengampunan dosa adalah iman setiap manusia. Dan, mengingat bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Penyayang (al-rahim), maka Dia memberikan faktor tambahan untuk pengampunan dosa serta kesalahan. Faktor itu adalah syafaat para nabi, wali dan hamba-hamba Allah yang saleh; yakni sebagai bagian akhir dari ‘illah tammah (sebab sempurna) atas pengampunan dosa-dosa di dunia, adalah syafaat. Dengan demikian, syafaat tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang bersifat untung-untungan, karena seseorang yang tidak berhak tidak akan mungkin mendapatkannya. Dengan kata lain, seseorang tanpa melakukan hal-hal dan syarat-syarat tertentu di dunia dan akhirat, tidaklah mungkin mendapatkan syafat, tetapi syarat-syarat itu harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah dia akan memperolehnya. Untuk mendapatkan syafaat, seseorang di dunia harus banyak beristighfar dan melakukan tawasul (fastaghfarullaha wastaghfara lahumur rasulu).(2) Syafaat

p: 291


1- 112 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 83, hal. 19.
2- 113 QS. al-Nisa [4]:64.

di akhirat menuntut syarat iman di dunia, dia harus wafat dalam keadaan iman, imannya tidak hilang karena banyaknya dosa dan dengan iman memasuki alam akhirat, sehingga setelah menanggung azab sementara di alam barzakh dan penyucian diri barulah ia bisa masuk surga dan rumah rahmat ilahi melalui pintu gerbang Syafaat.

Rahmat Ilahi Lebih Cepat daripada Keadilan-Nya

a) Kemudahan tobat

Ungkapan Sang amirul kalam (julukan bagi Imam Ali as sebagai orang yang berbahasa indah dan penuh makna) dalam lafaz, gaya dan atmosfer sabdanya, memuat banyak makna tinggi dan mendalam, sehingga setiap cahaya yang dipancarkan oleh bagian tertentu dari sabdanya akan membuat mata kita tertutup untuk melihat pancaran cahaya dari bagian-bagian yang lain. Dibutuhkan beberapa orang yang mempunyai pandangan penuh bashirah untuk mengamati dan melakukan pengkajian, sehingga setiap pancaran cahayanya dapat ditangkap dan diuraikan. Bagian dari kalam beliau yang ini juga, sementara mengajak dan memotivasi kita

untuk menjalin hubungan dengan Allah Swt, namun pada saat yang sama telah dengan indah menggambarkan dan mengabarkan bahwa rahmat dan

ampunan Ilahi jauh lebih cepat daripada murka dan siksa-Nya. Imam Ali as berkata,

وَ لَمْ یَمْنَعَکَ إِنْ أَسَأْتَ مِنَ التَّوْبَةِ وَ لَمْ یُعَیَّرْکَ بِالاِْنابَةِ، وَ لَمْ یُعاجِلْکَ بِالنِّقْمَةِ، وَ لَمْ یَفْضَحْکَ حَیْثُ تَعَرَّضْتَ لِلْفَضیحَةِ وَ لَمْ یُناقِشْکَ بِالْجَریمَةِ

Bila engkau berbuat dosa, Dia tidak menolak tobatmu; Dia tidak menghinamu, bila engkau kembali kepada-Nya; Dia tidak terburu-buru untuk menyiksamu; meski engkau layak untuk dipermalukan, Dia tidak mempermalukanmu; Dia juga tidak menyoal dan mempersulit dirimu karena dosa yang kauperbuat.

p: 292

Keterangan di atas selain menunjukkan bahwa Allah Swt telah membuka pintu doa bagi manusia, juga menunjukkan berbagai bentuk rahmat Ilahi, sehingga manusia semakin termotivasi untuk memanfaatkan pintu yang telah dibuka dan nikmat yang telah dianugerahkan atasnya. Imam Ali as mengingatkan orang-orang yang lalai, bahwa bisa saja Allah Swt menurunkan azab langsung bagi hamba-Nya yang berbuat dosa, dan seandainya Allah membuat aturan yang seperti itu, tidaklah bertentangan dengan pikiran dan akal manusia. Karena setiap orang yang berbuat keburukan, harus menerima balasan dari perbuatannya sendiri,

baik dosa yang kecil maupun dosa yang besar. Akan tetapi, karena Allah Swt mempunyai rahmat dan kasih sayang pada hamba-Nya, Dia masih membuka pintu tobat dan ampunan bagi para pendosa sehingga dapat lolos dari azab dan siksa, bahkan manusia bisa memohon ampunan atas dosa-dosa yang terdahulu.

Nikmat yang besar dan tak terbatas ini bisa membuat seseorang yang menghabiskan umurnya dalam perbuatan maksiat lalu sadar dan insaf di akhir hayatnya dan melakukan tobat yang sebenar-benar tobat, untuk diampuni seluruh dsa-dosanya. Keadilan Ilahi menuntut setiap orang untuk menerima balasan dari perbuatan buruknya, namun karena rahmat Ilahi dapat mendahului keadilan-Nya, maka terbukalah kemungkinan bagi manusia, meskipun telah banyak berbuat dosa dan layak menerima siksa Ilahi, untuk menghapus dosa-dosanya dengan pertobatan dan terselamatkan dari siksa. Kemudian beliau menjelaskan secara lebih mendalam, bahwa Allah Swt tidak menjadikan tobat sebagai perkara yang sulit dan rumit; Dia juga tidak meletakkan syarat-syarat yang berat dan repot atasnya, sehingga tobat menjadi sesuatu yang pelik, mencekik dan mustahil untuk dilakukan. Umpamanya, Allah Swt tidak mengharuskan amalan-amalan berat tertentu atas para pendosa untuk diterimanya tobat (wa lam yusyaddid'alaika fit taubah. Dia tidak mempersulit dirimu dalam pertobatan). Cukuplah bagimu untuk benar-benar menyesali perbuatan burukmu dan tidak akan mengulanginya lagi. Menyesali dosa serta meninggalkannya akan menyebabkan dosa-dosa yang terdahulu diampuni. Tobat hanya membutuhkan sebuah keputusan dan tekad yang bulat. Tentu,

p: 293

apabila ada kewajiban yang engkau tinggalkan atau ada harta orang yang kaumakan, karena harta itu adalah hak manusia, maka ada aturan mainnya sendiri. Berdasarkan aturan main agama, ibadah wajib yang ditinggalkan harus dikada (qadha) dan hak orang lain harus dikembalikan agar supaya tobat dapat dilakukan dan diterima. Singkat kata, penyesalan atas apa yang diperbuat dan keputusan yang bulat untuk meninggalkan dosa, sudah cukup untuk diterimanya tobat dan pengampunan dosa. Oleh sebab itu, Imam Ali as berkata, “Faja'ala taubataka attawarru a‘nidz dzanbi. Tobat adalah sebuah upaya sungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari dosa dan meninggalkannya.” Apabila setelah membuat keputusan, seseorang berhasil menjaga serta menjauhkan diri dari dosa-dosa, cukuplah hal ini untuk menjadikan dosa-dosanya yang terdahulu terampuni dan terhapus.

b) Pahala tak terbatas dan siksa sekadarnya

Manifestasi lain dari lebih cepatnya rahmat Ilahi (atas keadilan-Nya), adalah tidak terbatasnya rahmat tersebut. Untuk lebih jelas memahami manifestasi ini, simaklah keterangan metaforis berikut ini. Umpamakan, seandainya kita mempunyai sebuah neraca untuk menghitung perbuatan baik dan buruk. Sebagai misal, bayangkan sebuah kalimat yang terdiri dari tiga kata, yang bila diungkapkan dalam bentuk tertentu akan terhitung sebagai dosa dan mendatangkan siksa; dan bila diucapkan dalam bentuk yang lain akan terhitung sebagai ibadah dan mendatangkan pahala. Berdasarkan neraca perhitungan amal, apabila terjadi perbuatan dosa

dengan kalimat yang terdiri dari tiga kata tersebut, maka siksa yang harus diterima oleh pelaku adalah sesuai dengan perhitungan dosa dari kalimat itu, dan seandainya yang dilakukan adalah perbuatan baik, maka pahala yang diterima oleh pelaku juga sesuai dengan perhitungan pahala dari kalimat itu.

Akan tetapi, di sisi Allah Swt, apabila seseorang berbuat dosa dengan sebuah kalimat yang terdiri dari tiga kata, maka dia hanya akan mendapatkan satu siksa, dan seandainya yang dilakukan dengan kalimat tersebut adalah perbuatan baik, maka dia akan mendapatkan sepuluh

p: 294

pahala padahal apabila yang diterapkan dalam hal ini adalah keadilan, pelaku yang berbuat dosa atau kebaikan dengan kalimat tersebut, harus mendapatkan siksa dan pahala yang sama. Akan tetapi, karena luasnya rahmat Allah atas sekalian hamba-Nya, maka Dia berfirman, Barangsiapa yang berbuat satu kebajikan, maka dia akan menerima imbalan sepuluh kali lipat.(1) Menurut perhitungan akal dan tuntutan keadilan, neraca yang digunakan untuk mengukur pahala, haruslah juga digunakan untuk mengukur dosa. Namun, Allah Swt dalam hal pebuatan baik telah memberikan sepuluh kali lipat pahala. Hal ini jelas menunjukkan akan rahmat Ilahi yang luar biasa dan bahwa rahmat-Nya telah mendahului keadilan-Nya. Menurut keadilan, sebagaimana satu dosa mendapatkan

satu siksa, maka satu perbuatan baik juga harus mendapatkan satu pahala. Namun, dalam sistem pengadilan Ilahi, satu dosa akan dihukum dengan satu siksa, sementara satu kebaikan akan diganjar dengan sepuluh pahala. Hal ini merupakan bukti nyata atas rahmat Ilahi yang bertujuan memotivasi manusia untuk kembali kepada Allah, rahmat-Nya dan memperbanyak kebajikan. Imam Ali as berkata:

وَ حَسَبَ سَیِّئَتَکَ وَاحِدَةً وَ حَسَنَتَکَ عَشْراً

(Tidakkah engkau kembali kepada Tuhanmu), Tuhan yang menghitung setiap perbuatan burukmu sebagai satu keburukan dan setiap perbuatan baikmu sebagai sepuluh kebaikan?!

c) Kemudahan adalah anugerah abadi Ilahi

Nikmat dan anugerah tiada henti Ilahi selalu meliputi sekalian hamba-Nya, bahkan dengan pelanggaran serta maksiat, Allah Swt bukan hanya tidak menutup pintu rahmat-Nya, tetapi justru membuka pintu tobat dan ampunan bagi hamba-hamba-Nya yang telah berbuat maksiat dan dosa. Dengan tobat, mereka tidak hanya berhak untuk mendapatkan nikmat umum dari-Nya, tetapi Allah Swt akan setia mendengar doa dan permohonan hamba-Nya serta mengabulkan berbagai hajat dan kebutuhan khususnya. Imam Ali as berkata, “Famata syi'ta sami’a nidaka wa najwaka faafdhaita ilaihi bihajatika. Kapan saja engkau menyeru-Nya, Dia akan

p: 295


1- 114 QS. al-An'am (6):170.

mendengar seruanmu kapan saja engkau berbisik dalam hati) kepada-Dia mengetahui bisikanmu, ini adalah pintu rahmat Ilahi yang telah dibuka lebar-lebar dihadapan manusia yang memudahkan hubungan dengan Allah kapan dan dimana saja, sehingga setiap waktu kita ketuk pintu-Nya dan meminta sesuatu kepada-Nya, Dia selalu mendengar dan menjawab segala permintaan kita. Di tangan kita telah diberikan kunci yang dengannya kita dapat membuka khazanah rahmat Ilahi, sehingga tidak ada lagi hijab antara kita dengan-Nya. Dengan demikian, maka kita tidak akan pernah merasa sendirian dan berputus asa dari rahmat-Nya.

Setiap saat kau menyeru-Nya, memanggil-Nya dengan suara lantang atau sekadar berbisik dalam hati, Dia akan mendengar semuanya. Oleh sebab itu, pergunakanlah dengan baik kesempatan ini, dan sampaikanlah segala hajat dan kebutuhanmu kapan dan di mana saja. Tuangkan segala rahasia dan permasalahanmu kepada-Nya; apabila engkau merasakan ketidaknyamanan dan mempunyai keluhan, mohonlah pertolongan dari-Nya. Engkau tidak hanya diizinkan untuk menyampaikan satu kebutuhan dan satu permohonan saja, tetapi sampaikan dan keluhkan kepada-Nya segala permasalahanmu. Hanya dengan doa, Dia akan menyerahkan seluruh kunci khazanah rahmat dan nikmat-Nya kepadamu. Dia sama sekali tidak pernah berkata, “Aku hanya akan memberimu sesuai dengan

kebutuhan dan keperluanmu,” tetapi Dia akan memberimu sesuai dengan kemauan, keinginan dan kesungguhanmu dalam meminta. Bahkan, Dia akan memberi nikmat sejauh akalmu dapat mengandaikan serta membayangkan. Dia adalah kunci bagi seluruh khazanah kekayaan-Nya.

Imam Ali as menegaskan,

فَمَتی شِئْتَ اِسْتَفْتَحْتَ بِالدُّعاءِ أَبْوابَ نعمته

Kapan saja kaumau, engkau dapat membuka pintu-pintu khazanah-Nya dengan doa.

p: 296

tempat yang aman dengan kunci bernomor rahasia, sehingga tidak ada yang membukanya. Akan tetapi Allah Swt, kunci seluruh khazanah rahmat-Nya yang tak terbatas, telah diserahkan kepada kita semua dengan mudahnya. Khazanah-Nya tidak dikunci atau digembok dengan nomor rahasia, bahkan tidak ada petugas keamanan yang menjaganya. Namun, sayang seribu sayang! Kendatipun rahmat Ilahi sedemikian luasnya dan kunci dari semua khzanah itu ada di genggaman tangan kita dan peluang sangat terbuka bagi kita untuk menghapus seluruh dosa dan nista, namun kita tidak pernah memanfaatkan berbagai fasilitas dan

kemudahan ini. Memangnya, seberapa banyak sih biaya yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan rahmat tak terhingga Ilahi, sehingga kita menjadi sedemikian lalai, malas dan tidak bersemangat?! Mengapa kita tidak mau menggunakan fasilitas dan sarana yang luar bisa ini?! Mengapa kita tidak berusaha membuka khazanah rahmat Ilahi yang tak terhingga dengan doa?! Sekali lagi, apa yang salah dengan diri kita?[]

p: 297

seseorang tanpa melakukan hal-hal dan syarat-syarat tertentu di dunia dan akhirat, tidaklah mungkin mendapatkan syafat, tetapi syarat-syarat itu harus dipenuhi terlebih dahulu, barulah dia akan memperolehnya. Untuk mendapatkan syafaat, seseorang di dunia harus banyak beristighfar dan melakukan tawasul (fastaghfarullaha wastaghfara lahumur rasulu).

p: 298

19- DOA (1)

Point

فَالْحِحْ عَلَیْهِ فِی الْمَسْأَلَةِ یَفْتَحْ لَکَ اَبْوابَ الرَّحْمَةِ وَلا یَقْنُطْکَ اِنْ اَبْطَأَتْ عَلَیْکَ الاِْجابَةُ فَاِنَّ العَطِیَّةَ عَلی قَدْرِ الْمَسْأَلَةِ، وَرُبَّما اُخِّرَتْ عَنْکَ الاْجابَةُ لِیَکُونَ اَطْوَلَ لِلْمَسْأَلَةِ وَاَجْزَلَ لِلْعَطِّیَةِ، وَ رَبَّما سَأَلْتَ الشَّیْءَ فَلَمْ تُؤْتَهُ وَاوُتیتَ خَیْراً مِنْهُ عاجِلاً وَ اجِلاً، اَوْ صُرِفَ عَنْکَ لِما هُوَ خَیْرٌ لَکَ(1) فَلَرُبَّ اَمْر قَدْ طَلَبْتَهُ فِیهِ هَلاکُ دینِکَ وَ دُنْیاکَ لَوْ اوُتِیتَهُ، وَلْتَکُنْ مَسْأَلَتُکَ فیِما یَعْنیِکَ مِمَّا یَبْقی لَکَ جَمالُهُ وَیُنْفی عَنْکَ وَبالُهُ وَ الْمالُ لا یَبْقی لَکَ وَلا تَبْقی لَهُ، فاِنَّهُ یُوشَکُ اَنْ تَری عاقِبَةَ اَمْرِکَ حَسَناً اَوْ سَیِّئاً أو یَعْفُوَ الْعَفْوُّ الْکَریمُ.

Maka bersungguh-sungguhlah dalam meminta, niscaya Dia akan membuka pintu-pintu rahmat-Nya bagimu. Dan jangan sampai engkau berputus asa bila permintaanmu lambat dikabulkan, karena sesungguhnya pemberian bergantung pada kadar permohonan. Adakalanya doamu lambat dikabulkan, supaya waktu berdoamu menjadi lama dan apa yang diberikan padamu menjadi lebih sempurna.

p: 299

Boleh jadi engkau meminta sesuatu dan tidak kunjung diberikan padamu, tetapi cepat atau lambat akan diberikan untukmu sesuatu yang lebih baik. (Karena),

adakalanya sesuatu yang kamu minta, padanya terdapat kehancuran agama dan duniamu bila diberikan padamu. Maka jadikanlah sesuatu yang kamu pinta adalah sesuatu yang kebaikannya akan abadi bagimu dan petakanya akan terjauhkan darimu, karena harta tidak akan abadi bagimu sebagaimana dirimu juga tidak akan tinggal abadi untuknya, (Ketahuilah), bahwa tidak lama lagi engkau akan melihat hasil akhir yang baik atau buruk dari hidupmu, atau engkau akan mendapatkan ampunan dari yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.

Tak diragukan lagi, tidak sedikit orang yang dengan suara lantang mengaku dirinya sebagai hamba. Tetapi hamba yang sebenar-benar hamba adalah pribadi yang manifestasi penghambaannya dapat terlihat dalam perilaku hidupnya. Tentu, apabila hati seorang hamba telah terpaut pada Zat yang Maha Segala-galanya, dapat dipastikan dia tidak akan pernah meminta kepada selain-Nya. Oleh sebab itu, apabila seorang hamba masih menaruh harapan dan butuh pada selain Allah, dia akan keluar dari golongan para hamba sejati, karena penghambaan kepada Allah bertentangan dengan memohon serta meminta kepada selain-Nya. Dan mungkin karena itu, Rasul saw berkata, “Al-Du'a mukhkhu al-'ibadah. Doa adalah hakikat dan esensi penghambaan.(1) Pada bagian wasiat ini, Maula al-Muwahhidin Amirul Mukminin Ali as memberikan pencerahan tentang doa, urgensi dan berbagai manfaatnya. Beliau juga memberikan motivasi untuk berdoa dan memperkenalkan doa sebagai kunci atas segala khazanah rahmat Ilahi. Berdasarkan ucapan beliau, rahmat Ilahi memiliki khazanah-khazanah yang tak terhingga dan tak akan pernah habis, dan untuk mendapatkan khazanah-khazanah tersebut diperlukan kunci dan menurut beliau kuncinya adalah doa. Setiap waktu ada orang yang mengingankan, maka hendaknya dia menggunakan kunci ini untuk membuka pintu berbagai khazanah rahmat Ilahi. Siapa saja yang yakin dengan firman Allah dan ucapan imam Ali as, maka dengan mendengar dan membaca berbagai keterangan ini, tentu dia akan memaksimalkan kesempatannya untuk berdoa. Karena di manakah dapat

p: 300


1- 115 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 99, hal.300, hadis ke-37.

lebih besar dibandingkan meraih berbagai khazanah Ilahi, sebuah hasil yang dapat bermanfat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita?! Makna dan maksud ini sedemikian jelas dalam kalimat-kalimat Imam Ali as, sehingga tidak tersisa tempat untuk meragukan dan mempersoalkannya. setiap orang yang membaca keterangan beliau, tentu dia akan bersegera dalam melakukan doa. Meskipun demikian adanya, masih saja ada orang-orang yang tidak berpengetahuan yang mempunyai serangkaian tuntutan dan pertanyaan nonproporsional dan tidak pada tempatnya, dan di sini Imam Ali as telah memberikan jawaban atasnya.

Diundurnya Ijabah Doa

Mungkin sebagian bertanya-tanya, mengapa doa yang sudah dipanjatkan berkali-kali, namun tidak kunjung dikabulkan? Apabila doa adalah kunci bagi rahmat dan khazanah Ilahi, maka seharusnya siapapun yang menggunakan kunci ini untuk membuka pintu rahmat Ilahi akan mendapatkan hasil dan tidak kembali dengan tangan hampa. Mengapa doa-doa kita tidak berfungsi dan meski kita telah berusaha dengan keras, tidak ada hasil yang kita peroleh? Di sinilah kemudian Imam Ali as memberikan jawaban yang sangat berharga atas syubhat dan persoalan ini. Beliau berkata, “Bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, dan janganlah engkau

meninggalkan doa hanya karena doamu belum dikabulkan!" Perlu juga diketahui, bahwa dalam lambat atau ditundanya pengabulan doa terdapat hikmah-hikmah yang luar biasa. Yakni, apabila di kali yang pertama doamu belum terkabulkan, janganlah engkau berputus asa! Besar kemungkinan, Allah Swt menunda pengabulan doamu karena sebuah sebab dan hikmah yang baik untukmu. Sebab dan hikmah itu adakalanya tertuju pada si pelaku doa dan adakalanya tertuju kepada orang dan

perkara lain. Sebagai misal, Allah Swt mengingaikan agar orang tersebut melakukan doa lagi agar memperoleh rahmat yang berlipat. Karena setiap sekali berdoa, seseorang akan berhak mendapat satu bentuk rahmat yang sesuai dengan doanya. Apabila dia berdoa lagi untuk kedua kalinya, dia akan berhak atas rahmat yang lain lagi. Apabila Allah Swt mengabulkan

p: 301

doanya pada kali pertama dan memberikan rahmat dan memberikan rahmat sesuai dengan doanya maka dia akan berhenti berdoa dan tidak akan mendapatkan

rahmat yang lebih sementara Allah Swt men nginkan agar hamba tersebut mendapatkan rahmat yang berlipat. Oleh sebab itu, adakalanya doa itu ditunda pengabulannya agar si pendoa berdoa lagi hingga berhak untuk mendapatkan rahmat yang berlipat. Karena dengan perantara doalah seorang hamba menjadi dekat dengan Allah Swt, dan bila dekat dengan Allah, dia akan mendapatkan rahmat-Nya. Dari sisi lain, Allah juga lebih menginginkan hamba-Nya mendapatkan rahmat yang berlipat daripada rahmat biasa. Tentu kapasitas dan kemampuan berdoa masing-masing hamba berbeda dan tidak sama. Tidak sedikit hamba yang berdoa

beberapa kali dan tidak mendapatkan ijabah, lalu menghentikan doanya, nah ketika itu Allah akan segera mengkabulkan doanya. Singkat kata, salah satu alasan di balik diundurnya pengabulan adalah agar hamba lebih banyak berdoa sehingga berhak untuk mendapatkan dan meraih rahmat yang berlipat.

Doa adalah Pengakuan Amali atas Penghambaan

Esensi doa adalah ibadah dan penghambaan. Seorang yang memanjangkan tangan permohonan kepada Allah Swt yang Maha Pemurah, baik secara praktik dia benar-benar mengangkat tangan atau hatinya tertuju kepada Allah Swt dan meminta pada-Nya, maka berarti dia telah menghamba kepada-Nya. Karena amalan-amalan seperti ini, berarti pengakuan secara amaliah atas penghambaan diri dan ketuhanan Allah, dan inilah makna dan roh ibadah. Apa sebenarnya yang Anda pikirkan tentang ibadah kepada Allah? Seseorang yang mendirikan salat atau melakukan ibadah yang lain, pada hakikatnya dia hendak berkata kepada Allah Swt,

“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu.” Ibadah adalah menampakkan penghambaan di sisi Allah dan tidak ada arti yang selain ini. Doa juga mengandung makna dan arti ini. Seseorang yang menengadahkan tangan dan berkata, “Allah, Allah," pada hakikatnya dia telah memposisikan dirinya sebagai hamba dan karena dia adalah hamba Allah, maka dia meminta dan memohon kepada-Nya, dan inilah yang dimaksud dengan ibadah. Seandainya doa tidak mempunyai manfaat selain

p: 302

bertambah dekatnya manusia kepada Allah dan ganjaran ukhrawi, maka hal ini sudah cukup bagi manusia untuk tidak meninggalkánnya. Padahal jelas sekali, bahwa doa mempunyai arti dan makna yang lebih tinggi bagi. manusia dari sekadar permintaan yang dikabulkan.. Namun, tidak sedikit manusia yang tidak memahami atau tidak mampu memahami nilai dan faedah yang terkandung di dalam doa. Karena sesungguhnya doa adalah sarana bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, beribadah dan mendulang pahala, di samping menjadi sarana untuk pemenuhan hajat serta keinginannya. Tentu sudah maklum adanya, bahwa anugerah dan pemberian Allah Swt tidak hanya terbatas pada hal-hal yang telah disebut di atas.

Neraca Ijabah (Pengabulan)

Perlu diketahui, bahwa salah satu dari hikmah diundurnya ijabah doa, adalah agar doa terus dipanjatkan dan diraihnya rahmat yang lebih banyak. Akan tetapi, hikmah penundaan ijabah tidak hanya terbatas pada rahmat berlipat yang akan diberikan kepada pelaku doa. Adakalanya hikmah dari penundaan ijabah adalah apabila doa segera dikabulkan pada saat manusia meminta, maka akan menimbulkan efek-efek yang tidak baik bagi si pendoa yang belum diketahui dan tidak disukai olehnya. Banyak hal yang diharapkan pada masa tertentu dan tidak diharapkan pada masa yang lain; yakni adakalanya sesuatu itu bermaslahat bagi manusia di masa tertentu dan merugikan baginya di masa yang lain. Oleh sebab itu, apabila doa segera dikabulkan pada saat diminta, maka tidak akan bermaslahat

bagi si pendoa. Dengan kata lain, kadang seseorang memohon sesuatu kepada Allah yang dia sendiri tidak mengetahui kapan sesuatu itu baik dan bermaslahat baginya dan kapan buruk serta membahayakan. Namun, karena manusia itu bersifat buru-buru dan ingin cepat mendapatkan apa yang diinginkan (wa kanal insanu 'ajulan. Manusia itu bersifat tergesa- gesa(1) maka dia juga ingin permohonannya segera dikabulkan. Ketika Allah melihat bahwa apa yang diminta oleh seorang hamba tidak bermaslahat dan buruk baginya, maka ijabah doa tersebut akan ditunda. Karena apabila doanya segera dikabulkan dan apa yang diminta

p: 303


1- 116 QS. al-Isra [17]:11.

langsung diberikan, pasti akan berakibat buruk dan tidak baik baginya, sehingga pengabulannya diundur sampai nanti apabila dikabulkan akan berakibat baik dan bermaslahat baginya. Bahkan, terkadang manusia meminta sesuatu yang sama sekali tidak bermaslahat baginya, maka Allahpun tidak akan mengabulkannya atau ditunda hingga apabila diberikan akan bermanfaat bagi si pendoa. Pada hakikatnya, doa-doa seperti ini adalah ibarat anak kecil yang sedang sakit lalu meminta

permen atau sesuatu yang tidak baik bagi kondisinya, dan bila diberikan akan semakin memperparah penyakitnya. Anak kecil tersebut karena tidak mengetahui bahwa apa yang diinginkan itu berbahaya bagi dirinya, maka dia bersikeras meminta kepada sang ibu untuk diberi, karena yang dia pahami hanya rasa manisnya permen. Akan tetapi, si ibu yang sayang pada anaknya mengetahui berbagai efek buruk permen, sehingga tidak mengabulkan permintaannya. Nah, demikian pula halnya dengan Allah Swt, apabila Dia tidak mengabulkan hajat seseorang dan tidak memberikan ijabah pada doa, sudah barang tentu sebabnya adalah karena

sesuatu yang diminta tidak bermaslahat bagi si peminta. Karena Allah Swt menginnginkan apa yang maslahat bagi hamba-Nya, maka Dia tidak mengabulkan permintaan tersebut.

Perubahan dalam Hal-Hal yang Diminta

Sebagaimana yang telah lalu, sebagian doa manusia tidak bermaslahat baginya dalam pandangan Allah Swt dan Dia akan mengubah permintaan hamba dengan sesuatu yang baik dan bermaslahat baginya, bahkan hamba itu akan merasakan bahwa apa yang akhirnya Allah berikan padanya adalah baik dan bermaslahat baginya. Keterangan ini bukan berarti Allah Swt menjadikan doa yang telah dipanjatkan tidak mempunyai pengaruh dan hasil, tetapi doa tersebut telah memberikan pengaruhnya dan karena doa itulah Allah Swt memberikan rahmat dan kebaikan. Pada mulanya hamba mengira bahwa maslahat dan kebaikan terletak pada apa yang dimohonkan, tetapi karena Allah jauh lebih mengetahui apa yang menjadi maslahat dan kebaikan hamba-Nya, maka Dia dalam ijabah, akan memberikan sesuatu yang baik dan bermaslahat bagi hamba. Untuk lebih jelasnya, apabila ada orang yang berdoa kepada Allah Swt dan meminta harta tertentu

p: 304

atau wanita tertentu untuk menjadi pendamping hidupnya, mengingat Allah lebih mengetahui bahwa harta atau wanita idaman tersebut tidak bermaslahat dan baik bagi si peminta, maka, dalam ijabah, Allah Swt akan memberikan harta dan wanita yang lain dan bermaslahat baginya. Hal-hal yang diberikan sebagai pengganti dari apa yang diminta, tidak lain adalah pengaruh dan hasil dari doa yang dipanjatkan itu. Yakni, doa yang dipanjatkan dalam rangka meminta harta atau wanita idaman tertentu itulah yang Allah kabulkan dengan sesuatu yang jauh lebih baik dan bermaslahat baginya. Dan hal ini tidak bisa diartikan bahwa doa yang dipanjatkan tidak terkabul, tetapi doa itu dikabulkan dengan ijabah yang bermaslahat bagi si pendoa. Dengan kata lain, Allah Swt di sini menggunakan wilayah-Nya dan memberikan apa yang baik dan bermaslahat bagi hamba-Nya. Manusia terkadang karena ketidaktahuan dan pemikiran yang keliru, mengira bahwa sesuatu itu baik dan berguna baginya lalu memintanya kepada Allah Swt, tetapi Allah akan memberikan padanya apa yang sebenarnya baik dan bermaslahat baginya, bahkan

diberikan yang lebih baik dari yang diminta. Oleh sebab itu, bila sebuah doa tidak dikabulkan, maka hal itu tidak bertentangan dengan serangkaian janji Allah di al-Quran, seperti: Ud’uni astajib lakum,(1) artinya: Berdoalah pada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya; atau, ”Wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fainni qaribun ujibu da’watad da’i idza da'an. Bila hambaKu meminta pada-Ku, maka sesungguhnya Aku berada sangat dekat, Akuakan mengabulkan doa orang yang berdoa bila dia meminta pada-Ku. (2) Karena semua janji Allah Swt pasti akan dipenuhi, meskipun terkadang harus ditunda atau digantikan dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta oleh manusia. Seorang hamba Allah seharusnya senantiasa berbaik-sangka dan percaya kepada-Nya, dan jangan pernah berpikir bahwa Allah bakhil dan tidak memberi apa yang diminta, Allah justru akan memberikan padanya sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta; yakni, selain hamba itu mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang diminta dan dimaukan melalui doanya, doa tersebut juga menjadikan dia

lebih dekat dengan dan menjadi sarana taqarrub ilallah baginya.

p: 305


1- 117 QS. Ghafir [40]:60.
2- 118 QS. al-Baqarah [2]:186.

Bersungguh-sungguh dalam berdoa

Setelah menunjukkan bahwa doa adalah kunci untuk membuka berbagai khazanah rahmat Ilahi, dalam lanjutan wasiatnya beliau berkata, “Kalian harus bersungguh-sungguh dan tak kenal lelah dalam berdoa. Jangan hanya dengan sekali berdoa dan tidak melihat ijabah, lalu kalian tinggalkan kunci berbagai khazanah Ilahi ini.” Karenanya, tidak hanya sekali, dua kali, sepuluh kali dan seratus kali, tetapi di dalam berdoa seorang hamba dituntut untuk bersungguh-sungguh dan tak kenal putus asa, karena Allah menyukai hamba yang bersikukuh dan “ngotot” dalam berdoa. Dengan keterangan lain, selain berdoa, bersungguh-sungguh

dan bersikukuh dalam meminta juga disukai oleh Allah Swt. Akan tetapi, mengapa Allah tidak bersegera dalam mengabulkan permintaan hamba sejak awal dia meminta, jawabannya adalah karena di balik penundaan itu terdapat hikmah-hikmah yang tersembunyi. Di awal, imam Ali as berkata, “La yaqnuthka in abthaat ‘alaikal ijabatu. Janganlah engkau berputus asa lantaran doamu lambat dikabulkan dan jangan kautinggalkan kunci khazanah rahmat Ilahi begitu saja. Engkau harus percaya dan yakin kepada Allah Swt, karena Dia akan memberi apa saja sesuai dengan permintaanmu.

Dari setiap kali doa dan permohonanmu, maka engkau akan berhak atas rahmat dan anugerah-Nya. Sesungguhnya tidak ada doa yang tidak mempunyai pengaruh dan hasil. Apabila Allah Swt tidak mengabulkan sebuah doa, berdoalah untuk kali kedua, agar engkau mendapatkan rahmat Ilahi yang berlipat. Memang sudah merupakan kehendak dan kemauan Allah untuk memberikan rahmat yang lebih banyak kepada hamba-Nya, dan meskipun rahmat Allah tanpa batas dan tak terhingga, namun bukan berarti tanpa perhitungan dan aturan, yakni seseorang harus menjadikan dirinya berhak atas rahmat terlebih dahulu, baru Allah Swt akan memberinya. Untuk menjadi berhak atas berbagai rahmat Ilahi, terdapat beberapa jalan untuk meraihnya, dan salah satunya adalah melalui berdoa. Apabila di kali yang pertama doamu belum terkabulkan, lakukan lagi hingga dirimu berhak atas rahmat-Nya. Apabila engkau mempunyai kesanggupan dan kesiapan, lakukan yang ketiga, keempat dan seterusnya.

p: 306

Yang penting terus berdoa, karena apabila tidak dikabulkan atau ditunda, maka engkau akan berhak atas rahmat yang lebih banyak. Banyaklah berdoa, karena hal itu akan menghasilkan anugerah yang banyak. juga bagimu. Karena dengan banyak berdoa, engkau akan berhak atas pemberian yang banyak pula. Karenanya, tidak boleh ada kata lelah dalam berdoa, karena: Rubbama ukhkhirat ‘ankal ijabatu liyakuna athwala lilmasalati wa ajzala lil’athiyyati. Adakalanya ijabah doamu ditunda, supaya engkau berdoa lebih lama dan mendapatkan pemberian yang lebih banyak.

Alasan Ditundanya Ijabah

Berkaitan dengan sebab tertundanya ijabah, terdapat banyak riwayat dengan muatan makna yang sangat indah dan menawan; mendengar riwayat-riwayat itu bagi mereka yang berjalan di lembah cinta, akan sangat menyenangkan dan mengasyikkan. Sebagai misal, dalam sebuah hadis imam Ja'far Shadiq as berkata, “Innalabda layad'u fayaqulullahu 'azza wa jalla lilmalakaini: 'Qadistajabtu lahu wa lakin ihbasuhu bihajatihi fainni uhibbu an asma'a shautahu.... Ketika seorang mukmin berdoa, Allah Swt berkata kepada malaikat: Aku telah mengabulkan doanya, tetapi tahan dan jangan berikan dulu, karena Aku suka mendengar suara hamba-Ku yang memohon dan meminta. Apabila kalian (malaikat) segera memberikan apa yang dia minta, maka dia tidak menyeru-Ku lagi, padahal Aku masih

ingin mendengar suara permohonannya.(1) Adapun seorang hamba yang hatinya telah ternodai oleh penyakit

nifaq (kemunafikan) dan Allah Swt tidak suka mendengar suaranya, maka Allah akan berkata kepada para malaikat, “Segera berikan apa yang menjadi

permintaannya!” Dengan demikian, ditundanya pengabulan doa, tidak berarti bahwa Allah tidak suka dan cinta kepada si pendoa, tetapi kadang justru menunjukkan bahwa Allah sangat suka dan cinta padanya. Yakni, semakin lama pengabulan doanya ditunda, akan semakin menunjukkan kecintaan Allah untuk mendengar suaranya dan bahwa dia telah berhak untuk mendapatkan rahmat yang lebih banyak. Dengan memerhatikan keterangan di atas, sepertinya bagian dari wasiat beliau yang berbunyi,

p: 307


1- 119 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.489, hadis ke-3.

رَبَّما سَأَلْتَ الشَّیْءَ فَلَمْ تُؤْتَهُ وَاوُتیتَ خَیْراً مِنْهُ عاجِلاً وَ اجِلاً

Boleh jadi engkau meminta sesuatu dan tidak kunjung diberikan padamu, tetapi cepat atau lambat akan diberikan untukmu sesuatu yang lebih baik. Hendak memberitahukan bahwa sebagian hamba akan menerima ijabah doanya di akhirat. Meskipun doa mereka tak kunjung dikabulkan, tetapi karena mereka telah mampu merasakan nikmatnya bermunajat dengan Sang Kekasih Sejati, maka mereka tidak sedikitpun merasa lelah dan bosan. Pada hakikatnya, mereka telah jatuh cinta pada munajat dan takarub melalui doa, sehingga terkabulnya permintaan menjadi sekadar sarana untuk dicapainya tujuan yang ideal ini. Mereka akan melupakan ijabah dan berdoa menjadi saat-saat indah bermesraan dengan Allah Swt. Pada bagian dari wasiat ini, beliau berkata, “Adakalanya dengan doa, kalian

meminta sesuatu dari Allah, namun Allah tidak memberikan apa yang kalian minta, tetapi Dia akan memberikan sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta. Kemudian, kalian mengira telah mendapatkan sesuatu tanpa doa, padahal itu adalah ijabah dari doa yang kalian panjatkan”;

yakni, kalian memohon sesuatu dari Allah Swt, tetapi tidak dikabulkan dan diganti dengan pemberian yang lebih dari apa yang kalian minta.” Ada juga sekelompok manusia yang berkapasitas di atas rata-rata, Allah Swt tidak pernah mengabulkan permintaan mereka di dunia dan menundanya hingga akhirat. Hal ini disebabkan, dari satu sisi, mereka telah sibuk dengan kenikmatan munajat dengan Alah Swt di dunia dan kenikmatan ini jauh lebih berarti bagi mereka daripada permintaan mereka sendiri; dan dari sisi lain, mereka ingin menerima pengabulan permintaan itu di akhirat, karena mereka lebih membutuhkannya di sana. Karena mereka memahami bahwa nikmat-nikmat ukhrawi jauh lebih berkualitas daripada nikmat-nikmat duniawi, maka mereka lebih berharap doa mereka dikabulkan di sana.

Alhasil, Allah Swt selalu memberikan yang terbaik bagi sekalian hamba-Nya. Hal ini berkaitan dengan yang terbaik di dunia atau yang terbaik di akhirat, dan kadang yang terbaik itu justru dengan tidak

p: 308

dikabulkan sama sekali. Karena, adakalanya apa yang dimohonkan itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi peminta atau tidak ada manfaatnya barang sedikit pun. Seandainya yang seperti itu diberikan oleh Allah kepada kalian, tentu kalian akan menyesalinya. Kadang terjadi, seseorang bersikeras dan ngotot dalam berdoa hingga lelah dan melakukan berbagai macam nazar yang berat hingga doanya terkabul, tetapi kemudian dia menyadari bahwa betapa banyak masalah dan

problem yang ditimbulkan oleh apa yang diminta. Banyak sekali contoh sehubungan dengan masalah ini dan kitapun telah mengalaminya dalam kehidupan masing-masing atau menyaksikannya dalam kehidupan orang lain. Yakni, banyak orang dengan keinginan yang luar biasa menggebu, melakukan berbagai macam upaya dalam berdoa hingga melakukan nazar-nazar yang sangat berat, namun ketika apa yang mereka inginkan itu diberikan oleh Allah, barulah mereka mengerti serta menyadari bahwa apabila mereka tidak pernah meminta hal itu, maka akan lebih baik bagi kehidupan mereka.

Sebagai contoh, kadang Allah Swt tidak menganugerahi anak kepada seseorang, namun dia dengan nazar, doa dan permohonan yang tak kenal lelah akhirnya berhasil mendapatkan apa yang diinginkan dan Allah mengabulkan apa yang menjadi permohonannya. Nah, ketika anak ini tumbuh dewasa, ternyata anak tersebut melakukan perbuatan yang membuat malu kedua orang tuanya, menggiring kedua orang tuanya untuk berbuat maksiat dan dosa, selalu membuat sedih dan susah mereka dan lain sebagainya, sehingga akhirnya kedua orang tua itu berkata, “Seandainya kami tidak pernah memilikinya!” Allah mengabulkan permintaan hamba

tersebut meskipun dengan penyesalan di kemudian hari, semata-mata hanya bertujuan agar hamba tersebut tidak berburuk-sangka kepada-Nya dan supaya hamba itu tidak kehilangan iman. Allah mengkhawatirkan iman hamba tersebut apabila tidak dikabulkan apa yang menjadi keinginannya. Karena hamba tersebut agar berkata dalam hati, “Dengan semua ibadah, doa dan nazar ini, bagaimana Allah Swt tidak memberi apa yang saya inginkan, jika begitu maka lebih baik aku tidak usah mengimani-Nya lagi atau Dia harus memberi apa yang menjadi permintaanku di dunia!!!"

p: 309

Allah Swt memberikan apa yang dimintanya, agar dia tidak kehilangan imán. Ini adalah satu dari ribuan contoh doa dan berbagai keinginan duniawi yang bila dikabulkan tidak bermaslahat bagi seorang mukmin, tetapi dia ngotot 1 untuk mendapatkan apa yang diinginkan hingga sampai pada titik penafian iman. Kondisi para hamba berkaitan dengan berbagai permintaan dan doa mereka kepada Allah Swt yang Mahakaya, tidaklah sama. Sebagian hamba apabila permohonan mereka tidak dikabulkan akan memengaruhi dan merusak imannya, dalam kondisi seperti ini Allah akan melakukan sebuah tindakan agar mereka tidak kehilangan iman. Sebagian yang lain bila dikabulkan permohonannya, maka akan menjadi sasaran empuk bagi setan, dan dalam keadaan seperti ini Allah akan melakukan tindakan yang lain dengan di atas.

Mungkin pembaca mengetahui cerita seorang(1) yang hidup di

masa Rasulullah saw dan mempunyai kondisi ekonomi yang sulit. Beliau membantunya untuk membelikan seekor kambing. Kambing itu akhirnya melahirkan kambing-kambing yang lain dan begitulah seterusnya sehingga orang tersebut memiliki peternakan kambing yang besar. Dari waktu ke waktu kambing bertambah dan bertambah terus, sehingga pemeliharaannya di kota menjadi sangat sulit. Dia terpaksa mencari tempat di luar kota untuk memelihara kambing-kambingnya dan berternak di sana. Karenanya, tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, dia tidak lagi sempat mengikuti salat berjemaah dengan Rasulullah saw dan terjauhkan

dari fadhilah dan nikmat maknawi yang besar ini. Pelan-pelan, dia mulai semakin jauh dari ibadah dan hal-hal yang bersifat maknawi. Nah, ketika akhirnya Rasulullah saw mengutus seseorang untuk menemuinya dan mengambil kewajiban zakatnya, dia menolak membayar kewajiban zakatnya sambil berkata, “Apakah engkau hendak menarik upeti dariku! Sungguh aku telah bekerja keras banting-tulang dan peras keringat untuk membangun peternakan ini dan aku tak akan memberinya kepada orang secara gratis!!!"

Pada akhirnya, imannya menjadi semakin lemah dan lemah sehingga Rasul saw memutuskan untuk menarik kembali modal awal yang beliau

p: 310


1- 120 Catatan Penyunting: Riwayat popular menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Tsa'labah.

diberikan padanya. Orang itupun dengan enteng mengembalikan modal dari Rasul saw karena menurutnya modal itu tidak berarti apa-apa bila

dibandingkan sudah menjadi miliknya sekarang. Akan tetapi dia lupa dalam pemberian karamah dari Rasul saw. Tidak lama setelah itu, terjadi sebuah wabah penyakit yang membinasakan semua kambing peliharaannya. Dalam kisah ini, pada mulanya orang tersebut dengan semangat yang menggebu-gebu berdoa

dan memohon kepada Allah agar dijadikan kaya-raya. Akan tetapi, begitu dia menjadi kaya pada saat yang sama dia menjadi miskin iman. Karena beriringan dengan bertambahnya kekayaan, dia semakin jauh dari ibadah, salat berjemaah dengan Rasul saw dan hadir di majelis-majelis beliau. Bahkan dia sedemikian melampaui batas hingga menganggap pembayaran kewajiban sebagai upeti yang ditarik secara paksa. Nah, pada saat itulah Rasul saw mengambil kembali karamahnya agar dia tidak semakin jauh dari iman dan agama. Oleh sebab itu, adakalanya hajat-hajat duniawi sangat berbahaya bagi agama dan iman manusia, dan karena Allah Swt mengetahui segala sesuatu dan menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, Dia tidak mengabulkan doa dan permintaannya agar tidak membahayakan agama serta tidak merusak dunia dan akhiratnya. Perlu juga diperhatikan, jangan sampai keterangan di atas membuat kita berpikir: Lalu untuk apa kita berdoa?! Baik kita berdoa ataukah tidak, keputusan berada di tangan Zat yang Maha Mengetahui maslahat; apabila mau, Dia akan memberi, bahkan tanpa doa sekalipun, Dia telah banyak memberi anugerah kepada manusia. Bila begitu adanya, lalu apa arti penting sebuah doa, apalagi bila akhirnya tidak dikabulkan? Dari

keterangan Imam Ali as pada bagian ini, memang terlihat seakan doa tidaklah berarti.

Jawabannya ialah: doa adalah ibadah kepada Allah dan mendatangkan pahala sekalipun tidak terkabul. Lebih daripada itu, pada hakikatnya tidak ada doa yang tidak dikabulkan, hanya saja terkadang langsung dikabulkan dan adakalanya diberikan pada waktu yang lain atau diganti dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta. Lebih dari semua itu, perlu diketahui bahwa seandainya doa tidak pernah dikabulkan di dunia dan

p: 311

dapat dikatakan, bahwa doa adalah sebuah simpanan yang sangat dibutuhkan di kehidupan akhirat. Dengan demikian, maka tidak ada doa yang nihil dan tidak berarti. Manfaat dan arti sebuah doa tidak hanya terbatas pada pengabulannya di dunia, tetapi bila doa tidak terkabul di dunia, maka dia pasti akan dikabulkan di akhirat.

Apa yang kita Minta dalam Doa?

Setelah diketahui bahwa tidak ada doa yang tidak dikabulkan dan setiap doa akan memberikan manfaat serta pengaruhnya sesuai dengan kebutuhan dunia dan akhirat, maka perlu kita ketahui apa yang seharusnya diminta dalam doa dari Zat Yang Maha Memberi anugerah? Jelas sekali, bahwa manusia dengan memiliki kunci berbagai khazanah Ilahi di tangan-Nya, dia harus membuka pintu khazanah yang besar nilainya, yakni, apabila dia hendak membuka pintu khazanah Ilahi dengan sebuah doa yang mustajab, dia harus membuka sebuah khazanah yang paling besar nilainya. Apabila dalam sebuah peti terdapat uang kertas senilai 1000

Toman, dalam peti yang lain terdapat satu keping emas Bahare Azadi dan pada peti yang ketiga terdapat satu biji berlian, sudah barang tentu orang yang berakal dengan sebuah kunci yang dapat membuka ketiga peti tersebut akan membuka peti yang nilainya paling tinggi dan lebih langgeng. Oleh sebab itu, kita harus meminta kepada Allah Swt sesuatu yang nilainya lebih tinggi dan manfaatnya lebih lama. Adapun harta dan kekayaan dunia adalah sesuatu yang tidak setia, bernilai rendah dan tidak abadi; kalaupun dia bisa bertahan beberapa waktu, dia tidak akan bertahan selama-lamanya dan suatu pasti akan pasti akan terpisahkan dari

diri kita. Karenanya dalam berdoa, hendaknya kita tidak terfokus pada perkara-perkara duniawi semata. Karena seberapapun banyaknya harta dunia, dia tetap akan sirna. Jauh lebih dalam berdoa kita memohon dan meminta kepada Allah Hal-hal yang bersifat abadi dan tidak fana; hal-hal yang kita tidak akan berpisah darinya dan dia tidak akan meninggalkan kita. Hendaknya kita meminta kepada Allah Swt sesuatu yang akan abadi bagi diri kita di akhirat.

p: 312

Imam Ali Berkata,"Waltakun masalatuka" Janganlah engkau meminta sesuatu yang tidak berguna dan bermanfaat bagi dirimu." Apalagi yang dapat mendatangkan kerugian bagi dirimu, tetapi mintalah sesuatu yang memang berguna, perlu, penting dan akan berlangsung abadi bagimu. Janganlah engkau meminta sesuatu yang akan sirna dalam waktu singkat dan berakibat bencana, petaka serta beban atas dirimu. Mintalah sesuatu dari Allah Swt yang tidak mendatangkan masalah dan

kesulitan bagimu di kemudian hari. Karenanya, mohonlah sesuatu kepada Allah hal-hal yang tak akan pernah sirna, nikmatnya tak pernah berhenti dan memberikan kebahagiaan yang bersifat abadi. Sungguh tidak dapat diterima oleh akal sehat, apabila seseorang memohon dan meminta kepada Allah sesuatu yang hanya berumur singkat dan bertahan sementara. ()

p: 313

Karenanya dalam berdoa, hendaknya kita tidak terfokus pada perkara-perkara duniawi semata. Karena seberapapun banyaknya harta dunia, dia tetap akan

sirna. Jauh lebih dalam berdoa kita memohon dan meminta kepada Allah Hal-hal yang bersifat abadi dan tidak fana; hal-hal yang kita tidak akan berpisah darinya dan dia tidak akan meninggalkan kita. Hendaknya kita meminta kepada Allah Swt sesuatu yang akan abadi bagi diri kita di akhirat.

p: 314

20- DOA (2)

Point

وَلْتَکُنْ مَسْأَلَتُکَ فیِما یَعْنیکَ مِمّا یَبْقی لَکَ جَمالُهُ وَ یُنْفی عَنْکَ وَبالُهُ وَالْمالُ لا یَبْقی لَکَ وَ لا تَبْقی لَهُ، فِاِنَّهُ یُوشَکْ أَنْ تَری عَاقِبَةَ أَمْرِکَ حَسَناً أوْ سَیِّئاً أو یَعْفُوَ العَفُوُّ الْکَریِمُ.

وَ اعْلَمْ یا بُنَیَّ أَنَّکَ خُلِقْتَ لِلاْخِرَةِ لا لِلدُّنْیا وَ لِلْفَناءِ لا لِلْبَقاءِ وَ لِلْمَوْتِ لا لِلْحَیاةِ وَ أَنَّکَ فِی مَنْزِل قُلْعَة وَ دار بُلْغَة، وَ طَریق اِلیَ الاخِرَةِ وَ أَنَّکَ طَریدُ الْمَوْتِ الذَّی لا یَنْجُو هارِبُهُ وَ لابُدَّ أَنَّهُ مُدْرِکُکَ یَوْماً، فَکُنْ مِنْهُ عَلی حَذَر أَنْ یُدْرِکَکَ عَلی حال سَیِّئَة قَدْ کُنْتَ تُحَدِّثُ نَفْسَکَ مِنْها بِالتَّوْبَةِ، فَیَحَوُلَ بَیْنَکَ وَ بَیْنَ ذلِکَ، فَاِذاً أَنْتَ قَدْ أَهْلَکْتَ نَفْسَکَ.

Maka jadikanlah sesuatu yang kauminta adalah sesuatu yang kebaikannya akan langgeng bagimu dan petakanya terjauhkan darimu, karena harta tidak akan abadi bagimu sebagaimana dirimu juga tidak akan tinggal abadi untuknya. (Ketahuilah), bahwa tidak lama lagi engkau akan melihat hasil akhir yang baik

p: 315

atau buruk dari hidupmu, atau engkau akan mendapatkan ampunan dari yang Maha Pengampun lagi Maha Pemurah.

Ketahuilah wahai putraku, sesungguhnya dirimu telah diciptakan untuk akhirat dan bukan untuk dunia; ditempatkan (di dunia) untuk sementara dan bukan untuk selamanya; dihidupkan (di dunia) untuk mati dan bukan untuk hidup abadi. (Ketahuilah), bahwa sesungguhnya engkau berada di sebuah tempat yang segera akan kautinggalkan, sebuah hunian sementara dan jalan menuju akhirat. Sungguh kini engkau berada dalam posisi dikejar-kejar oleh kematian yang tidak pernah ada orang yang berhasil menghindar darinya dan suatu hari nanti pasti dia akan menjeratmu. Maka, waspada dan berhati-hatilah selalu, jangan sampai kematian mendatangimu sementara engkau masih bergelimang dosa dan berangan-angan untuk melakukan tobat, sehingga dia dapat menjadi penghalang antara dirimu dan pertobatan. Dan jika begitu adanya, maka sungguh engkau telah menghancurkan dirimu sendiri.

Dalam mengkaji wasiat Ilahi Imam Ali as kepada putra beliau Imam Hasan Mujtaba as, bahasan telah sampai pada topik doa, urgensi dan pengaruhnya dalam kebahagiaan manusia dan pengampunan dosa. Dari keterangan beliau, kita telah memahami bahwa adakalanya apa yang kita minta dikabulkan oleh Allah Swt dan adakalanya tidak dikabulkan, tetapi diganti dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta. Karena Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya, sementara si hamba tidak mengetahuinya, maka Dia hanya akan memberikan apa yang bermaslahat bagi hamba-Nya. Singkat kata, pengetahuan dan kasih sayang Ilahi akan mendatangkan ijabah doa dalam sesuatu yang bermanfaat serta bermaslahat bagi pemintanya, sekalipun pengabulannya bisa tertunda sampai di kehidupan akhirat, karena memang lebih berguna dan dibutuhkan di sana. Bersandar pada cahaya kalam suci (subhani) Imam Ali as, kami akan ketengahkan

beberapa bahasan berkaitan dengan doa berikut ini, sehingga di samping beberapa bahasan yang telah lalu, pemikiran kita dapat lebih tercerahkan oleh berkah dari ucapan beliau sehubungan dengan nilai doa dan pengaruhnya pada kehidupan ukhrawi.

p: 316

Tak ada Doa tanpa Ijabah

Salah satu topik utama berkaitan dengan doa adalah masalah ijabah - (pengabulan). Mungkin Anda sudah sering mengalami, bahwa terkadang apa yang diminta dalam doa mendapatkan ijabah dan adakalanya doa dikabulkan dengan pemberian yang lain. Karenanya, dapat dikatakan, bahwa semua doa pasti akan mendapat ijabah dari sisi Allah Swt. Tentu, yang dimaksud doa di sini adalah doa yang dipanjatkan dengan memenuhi syarat-syaratnya. Sebagai misal, apabila sebuah doa dilakukan dengan makrifat, kehadiran kalbu dan niat takarub, dapat dipastikan doa tersebut akan dikabulkan. Akan tetapi, bila doa dilakukan dengan niat riya' dan pamer diri, maka tidak ada jaminan untuk mendapat ijabah dari Allah Swt. Berdasar pada pengertian ini, apabila sebuah doa dipanjatkan dengan cara yang benar, maka akan dikabulkan dan semua doa yang seperti ini juga akan mustajab; baik dikabulkan sesuai dengan permintaan atau dikabulkan dengan sesuatu yang lebih baik darinya. Ada juga penjelasan yang lain, yaitu: tidak semua doa akan dikabulkan, tetapi sebagian dikabulkan dan sebagian yang lain tidak dikabulkan. Yakni, sebagian doa akan dikabulkan sesuai dengan apa yang diminta, namun sebagian yang lain tidak dikabulkan; keduanya mendapat ijabah, hanya saja satu

mendapat ijabah positif dan yang lain mendapat ijabah negatif. Berdasar pada pemahaman yang seperti ini, telah dijelaskan dalam beberapa riwayat hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat diterimanya doa, di antaranya imam Ja'far Shadiq as berkata, “Jagalah tata cara berdoa ... karena bilaengkau tidak menjaga syarat-syarat doa, maka janganlah menunggu

pengabulan!”(1) Dalam sebagian riwayat lain, ditanyakan kepada Imam Ali as, “Mengapa sebagian doa tidak dikabulkan?” Beliau menjawab, “Sebab tidak dikabulkannya sebagian doa adalah adanya aib dalam perbuatan kalian.(2) Yakni, pengabulan doa menuntut syarat-syarat tertentu. Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi dalam doa dan pendoa, doa tidak akan terkabul. Oleh sebab itu, apabila dikatakan, bahwa setiap doa akan diberi ijabah dan tidak ada doa tanpa ijabah,(3) maka maksudnya adalah bahwa berdoa mempunyai syarat-syarat tertentu yang harus dijaga dan dipenuhi. Dalam pengertian yang seperti inilah dapat dikatakan, “Tidak

p: 317


1- 121 Muhammad Rey Syahri, Mizan al-Hikmah, juz 3.
2- 122 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 93, hal.322, hadis ke-36.
3- 123 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 93, hal.322, hadis ke-36; Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis ke-3129.

ada doa yang tidak dikabulkan, dan setiap doa akan diijabahi sesuai dengan apa yang diminta atau diijabahi dengan sesuatu yang lebih baik dari

permintaan." Dalam pandangan yang sepert ini, tentu tidak ada doa kecuali akan mendapatkan jawaban dan ijabah. Apabila dikatakan, bahwa untuk dikabulkannya doa dibutuhkan syarat-syarat tertentu dan tanpanya doa tidak akan mustajab, maksudnya adalah: apabila kita menginginkan pengabulan atas apa yang diminta, syarat-syarat doa haruslah dipenuhi terlebih dahulu. Sebagai contoh, di antara syarat-syarat dikabulkannya doa, hendaknya si pendoa berkata, “Ya Allah, apabila apa yang aku minta ini bermaslahat bagiku, maka kabulkanlah!” Tentu, apabila si pendoa telah mengetahui bahwa apa yang diminta itu tidak bermaslahat baginya, sudah pasti dia tidak akan memintanya. Hal ini dia lakukan, karena sebagai manusia dia menyadari bahwa tidak semua maslahat telah dia ketahui. Karenanya dalam berdoa dia berkata, “Ya Allah, apabila apa yang aku minta ini bermaslahat bagiku, maka kabulkanlah!” Dengan demikian, orang yang berdoa dengan cara seperti ini, doa dan permintaannya tidak akan pernah bertentangan dengan hikmah Ilahi, karena dia tidak meminta sesuatu yang bertentangan dengan hikmah tersebut. Hamba yang seperti ini telah menyadari bahwa dia sedang meminta dan memohon kepada Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana, sehingga di dalam benaknya tidak terpikir dan terlintas untuk meminta sesuatu yang bertentangan dengan hikmah Ilahi. Tentu, masih ada syarat-syarat lain berkaitan dengan pengabulan doa, dan buku kecil ini tidak dalam kapasitas untuk merincinya. Sebagai misal, doa tidak boleh dilakukan dengan niat riya dan pamer diri. Jelas sekali, Allah Swt tidak akan pernah mengabulkan doa yang didasari oleh niat seperti itu. Namun, apabila sebuah doa dipanjatkan tanpa riya dan penuh ketulusan, Allah tidak mungkin akan menolak permintaan dari hamba-Nya yang mukhlis. Kepada pendoa yang mukhlis, adakalanya Allah akan memberi apa yang menjadi permintaannya, atau akan diganti dengan nikmat duniawi atau ukhrawi lainnya. Maka jelas sudah, apabila dikatakan bahwa tidak ada doa yang dibiarkan tanpa ijabah, maksudnya adalah tidak semua yang diminta dalam doa akan dikabulkan.

p: 318

Doa dan Taklif Syar'i

Manusia pada umumnya, dengan sedikit anjuran atau larangan, *_ mudah jatuh ke dalam perilaku ifrath dan tafrith (berlebihan dalam suatu hal atau tidak sama sekali). Penyimpangan yang seperti juga dapat terjadi sehubungan dengan doa. Oleh sebab itu, perlu kiranya diberikan penjelasan agar manusia dapat selamat dari bahaya ini. Mengapa sebagian orang ketika diberi banyak anjuran untuk berdoa, sebagaimana yang terangkum pada wasiat Imam Ali as, mereka terjerumus ke dalam perilaku ifrath (berlebihan) dalam berdoa? Padahal anjuran dan ajakan ini, tidak bermaksud agar manusia meninggalkan semua kerja dan aktivitas untuk

digantikan dengan sebuah kitab doa yang dibaca dengan tujuan mengatasi semua tugas dan tanggung jawab. Ketahuilah, bahwa doa tidak akan pernah menggantikan taklif dan tanggung jawab yang wajib. Di mana ada taklif yang wajib hukumnya, maka kita harus melaksanakannya dengan penuh semangat dan kesungguhan sambil menjaga syarat-syaratnya. Sebagaimana tidak ada doa, zikir dan wirid yang dapat menggantikan kewajiban salat atau mempunyai pengaruh sepertinya. Doa juga tidak dapat menggantikan segala taklif yang lainnya. Ketika ada taklif untuk berperang (melawan kezaliman), doa tidak dapat menggantikan kewajiban jihad.

Pada masa awal Islam dan di zaman Imam Ali as, ada sekelompok orang yang tidak mau pergi jihad, dan ketika ditanyakan kepada mereka, “Mengapa kalian tidak pergi berjuang membantu pasukan muslimin dan bergabung dalam barisan mereka?” Mereka menjawab, “Kami lebih suka melakukan ibadah daripada berperang; kami tidak mau tangan kami kotor dan ternoda oleh darah manusia.” Sebagian yang lain menjawab, “Kami akan berkumpul di masjid dan berdoa untuk kemenangan pasukan muslimin; bukankah doa juga merupakan jalan keluar dari masalah, nah, kami akan membantu para pahlawan Islam di medan laga dengan doa!"

Mereka lalai, bahwa setiap sesuatu itu ada tempatnya sendiri, bahkan setiap titik mempunyai posisi yang tersendiri. Selain daripada itu tidak ada jaminan pasti bahwa doa mereka akan mustajab. Dengan demikian, setiap ada taklif yang wajib, taklif itu harus dilaksanakan, karena doa tidak akan

p: 319

pernah mengambil alih posisinya. Contoh lainnya dalam kaitan ini adalah kajian, telaah dan kerja intelektual. Kita sering lalai, bahwa studi, kajian dan telaah (agama) pada masa ini merupakan sebuah taklif yang besar dan sangat penting. Pada zaman ini, jihad intelektual tak ubahnya seperti jihad di front-front pertempuran, wajib hukumnya bagi kita, bahkan urgensinya dapat melebihi jihad di medan laga. Karena masih banyak kerja yang harus dilakukan dalam hauzah ilmu-ilmu Islam (ulum islami) dan tidak banyak orang yang bekerja serta beraktivitas dalam lingkup ini. Kini, dunia Islam masih sangat kekurangan dan membutuhkan orang-orang yang benar-benar memahami Islam untuk memberikan penjelasan dan penafsiran yang benar tentang agama samawi ini. Karena masih sangat minimnya ulama yang mumpuni dalam berbagai cabang pengetahuan keislaman dari satu sisi, dan kebutuhan akan ulama yang setiap waktu terus meningkat dari sisi lain, maka kewajiban yang asalnya bersifat fardhu kifayah ini menjadi fardhu ‘ain atas seluruh umat Islam. Selama kebutuhan masyarakat kepada ulama

belum terpenuhi, taklif ini senantiasa bersifat wajib ‘ainiy (fardhu ‘ain) dan kita harus mengerahkan segala daya dan upaya menunaikan kewajiban ini. Apabila kita tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan taklif ini dan alih-alih belajar dan telaah, kita membawa kitab-kitab doa ke sana ke mari sambil meminta kepada Allah, “Ya Allah anugerahkan ilmu pada kami, menangkan Islam, selamatkan masyarakat Islam dari kebodohan, “... maka, selain tidak mendapatkan hasil, sebenarnya kita telah berbuat dosa, karena lari dari kewajiban yang ada di pundak kita. Apabila kita berkeinginan untuk menyelamatkan muslimin dari kebodohan, kita harus banyak belajar dan mengentas diri terlebih dahulu dari kebodohan. Nah, pada saat itulah kita dapat memandaikan masyarakat dengan ilmu yang

telah kita miliki. Doa adalah sebuah amalan yang mustahab (sunnah) hukumnya dan tidak ada amalan mustahab yang bisa mengambil alih amalan yang wajib. Tak diragukan lagi, kita semua telah mengetahui bahwa taklif yang mustahab tidak dapat menggeser taklif yang wajib. Karena taklif mustahab tidak sederajat dengan taklif yang wajib, sehingga dapat dikatakan mana yang harus didahulukan. Dengan adanya taklif yang wajib, maka amal mustahab akan tergeser posisinya.

p: 320

Apa yang telah dibahas di atas adalah perbandingan antara amal yang wajib dengan doa. Nah, kini kita akan sedikit berbicara' perbandingan antara doa dengan amal-amal mustahab yang lain. Perlu digarisbawahi, bahwa doa juga tidak dapat mengambil alih dan menggantikan semua amalan mustahab. Yakni, perlu diketahui bahwa amalan-amalan mustahab, semuanya tidak berada dalam satu level dan tingkatan yang sama, dan doa kendati hukumnya mustahab, bukan berarti kedudukannya lebih tinggi dari semua amalan mustahab, sehingga dapat mengambil alih dan menggeser seluruh amalan mustahab. Bahkan, ada beberapa amalan mustahab yang kedudukan dan levelnya berada di atas doa. Seandainya semua amalan mustahab itupun kedudukannya sederajat dengan doa, tetap saja doa

tidak dapat menggantikan amalan-amalan mustahab yang lain. Artinya, kita tidak boleh meninggalkan seluruh amalan mustahab untuk diganti dengan doa saja.

Segala Sesuatu itu Baik Bila Berada pada Tempatnya

Manusia bukanlah maujud satu dimensi. Roh manusia mempunyai dimensi yang bermacam-macam. Setiap dimensi wujud manusia akan mengalami penyempurnaan (takamul) dengan cara kerja dan perilaku khusus masing-masing. Oleh sebab itu, apabila seorang manusia tidak memanfaatkan dan memaksimalkan seluruh potensi roh yang bisa dikembangkan dan hanya fokus pada satu atau sebagian dimensi saja, seperti sisi ritual dan ibadah (baik yang wajib maupun yang mustahab) atau sisi ekonomi serta kerja dan lain sebagainya, maka roh dan jiwanya tidak akan stabil dan seimbang, dan hal ini berarti dia telah menutup jalan untuk berevolusi dan bertakamul itu sendiri.

Dalam sebuah misal dan perbandingan antara yang ma'qul dan mahsus (rasional dan sensasional), apa yang dimaksud dengan keterangan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: Semua anggota tubuh manusia harus tumbuh dan berkembang secara seimbang. Apabila sebagian dari anggota tubuh berkembang luar biasa dan anggota-anggota tubuh yang lain tidak berkembang atau tetap kecil, maka keseimbangan tubuh dan badan akan kacau dan tak terjaga. Sebagai contoh, apabila kepala manusia terus

p: 321

berkembang dan terlalu besar dibandingkan dengan tubuhnya, maka dia menjadi manusia yang berpostur aneh dan tak seimbang, selain akan kehilangan keindahan tubuhnya. Karena keindahan tidak akan terwujud tanpa keseimbangan. Demikian pula halnya dengan roh dan jiwa manusia. Telah kami katakan, bahwa roh manusia bersifat multidimensional. Apabila hanya satu bagian saja yang berkembang sementara yang lain tidak, manusia akan menjadi tidak seimbang dan berhenti meniti proses evolusi dan takamulnya. Apabila seseorang hanya mengalami perkembangan dalam hal berdoa saja dan sangat kurang berkaitan dengan pintu-pintu ilmu dan amal lainnya, maka dia juga menjadi manusia yang tidak seimbang. Apabila seseorang giat berdoa, tetapi tidak melakukan silaturahmi, tidak peduli kepada para tetangga yang fakir dan sama sekali tidak pernah berinfak dan membantu orang lain, dia tidak akan mencapai kesempurnaan insani. Atau, apabila seseorang

berdoa, tetapi dia terlalu cinta pada harta dan tidak pernah membantu serta menolong orang lain, orang seperti ini belum mengalami takamul secara ideal dan sebagaimana mestinya. Sebagaimana kebalikan dari semua perilaku ini juga akan menghambat proses takamul manusia; yakni orang yang sibuk bekerja, mempunyai aktivitas yang padat serta banyak membantu orang lain, namun tidak pernah beribadah dan berdoa bagi dirinya dan orang lain, maka dia juga mengalami kekurangan dari sisi maknawi dan rohani. Seluruh aturan syariat suci Islam harus dipandang sebagai sebuah kesatuan yang saling terkait dan harmonis dan setiap sesuatu haruslah diletakkan serta digunakan pada tempat dan posisinya. Oleh sebab itu, apabila terdapat anjuran yang berbunyi, “Berdoalah dan

jadikan doa sebagai kunci untuk membuka seluruh khazanah rahmat Ilahi,” maka hal ini bukan berarti berdoalah saja dan jangan membaca al-Quran, jangan melakukan amalan-amalan yang mustahab, jangan melakukan kajian dan telaah, jangan bersilaturahmi, jangan membantu orang-orang miskin dan tak mampu, lupakan seluruh amalan dan taklif yang wajib, ... Tidak, tidak berarti begitu. Akan tetapi, setiap sesuatu itu baik di tempat dan posisinya. Doa tidak seharusnya menjadi penghalang atas amalan-amalan yang wajib dan mustahab, seperti membaca al-Quran dan lain sebagainya.

p: 322

Program-program ritual dan ibadah manusia juga harus berjalan seimbang dengan kerja dan aktivitas sehari-harinya. Dalam satu kalimat, kita tidak boleh lupa bahwa menjaga keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan aktivitas sangatlah penting dan perlu. Keseimbangan akan tercapai, apabila seluruh aturan agama kita jalankan sebagai sebuah kesatuan yang sempurna dan harmonis; semua aturan agama, baik yang bersifat ritual maupun nonritual, harus dijalankan sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan oleh agama itu sendiri sehingga kita dapat terhindar dari perilaku yang bersifat ifrath atau tafrith.

Tanggung Jawab Sesuai dengan Kemampuan

Ketika dikatakan bahwa semua ibadah, aturan dan anjuran agama harus dipakai dan digunakan untuk mencapai kesempurnaan, maka pertanyaan berikut ini akan muncul di benak manusia: sejauh apa seseorang harus beribadah dan melaksanakan aturan-aturan agama? Apakah kadarnya telah ditentukan dalam syariat? Apakah semua orang sama dalam hal ini? Di sini akan dijelaskan poin penting sebagai berikut. Setiap manusia dalam setiap level, tingkatan dan usia, telah ditentukan apa yang menjadi taklifnya. Yang dimaksud di sini bukanlah setiap manusia itu sama dan harus sama dalam hal melakukan kewajiban yang berada

dalam tanggung jawabnya. Umpamanya, semua harus membaca al-Quran dengan kadar tertentu yang sama, sama dalam salat nafilah, amalan- amalan mustahab, doa, infak dan lain sebagainya. Tidak, tidak seperti itu. Akan tetapi, terdapat perbedaan dan ukuran perbedaan ini mengacu pada kemampuan dan kapasitas masing-masing manusia dalam menerima tanggung jawab. Sebagai contoh, seseorang yang telah mempersiapkan dirinya untuk menuntut ilmu, maka taklif dan tanggung jawabnya dalam bidang keilmuwanan menjadi lebih besar dibandingkan dengan orang lain. Ketika seseorang telah mengambil tanggung jawab dalam sebuah taklif, maka dia telah mengugurkan beban ini dari tanggung jawab orang lain. Dengan begitu, dia memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan selainnya, karena hal itu telah berubah menjadi tanggung jawab pokoknya.

p: 323

Di dalam hidupnya, manusia harus menjalin hubungan dengan Tuhannya lewat munajat dan doa, dan hal ini merupakan salah satu dari dimensi takamul rohaninya. Akan tetapi, hal ini tidak kemudian berarti bahwa manusia harus mengerahkan dan menghabiskan seluruh energinya untuk berdoa, sehingga tugas dan taklif yang lain, seperti belajar dan mengkaji ilmu, akan terabaikan. Akan tetapi, setiap aturan, perintah dan anjuran agama harus dijalankan sesuai dengan porsinya masing-masing. Misalnya, pada saat-saat luang dan di hari-hari libur atau di waktu-waktu yang penuh fadhilah, maka ada baiknya kita sempatkan diri untuk membaca doa dan bermunajat. Bukan karena doa itu baik dan mempunyai hasil yang luar biasa, maka kita tinggalkan kegiatan belajar dan pengkajian untuk diganti dengan doa. Adapun seseorang yang sudah tidak mampu dan tidak berdaya untuk berbuat apa-apa; seseorang yang tidak mempunyai banyak aktivitas dan tanggung jawab sosial, apabila dia sedang berada di rumah dan tidak ada tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan, tidak masalah baginya apabila hendak menggunakan

sebagian besar waktunya untuk beribadah, berdoa, bermunajat dan membaca al-Quran.

Oleh sebab itu, apabila dikatakan, bahwa berbagai pekerjaan dan aktivitas harus dibagi, dan kita harus melaksanakan seluruh aturan dan taklif Ilahi, hal ini bukan berarti porsi semua aktivitas itu harus sama. Akan tetapi, tak ubahnya dengan berbagai aktivitas dan pekerjaan wajib sosial, setiap orang mempunyai tanggung jawab dan tugasnya masing-masing. Seseorang yang memiliki banyak harta, maka tugasnya dalam berinfak jauh lebih berat dibandingkan dengan seorang tukang batu yang berpenghasilan sedikit dan pas-pasan. Orang kaya itu harus berinfak sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana si tukang batu juga dituntut untuk berinfak sesuai dengan kemampuannya. Yang menjadi ukuran di sini bukanlah kuantitas, tetapi bagaimana infak dapat disesuaikan dengan pemasukan keuangan yang ada. Alhasil, setiap orang sesuai dengan pengetahuannya tentang agama (ma’arif diniyah) dan dengan melihat situasi serta kondisi pemahaman dan posisi sosialnya, haruslah memaksimalkan beragam ibadah untuk menitijalan penyempurnaan dirinya.

p: 324

Sudah tentu, menyusun program dan agenda hidup yang seperti itu bukanlah sesuatu yang mudah dan harus merujuk para ulama dan mursyid yang ‘arif billah. Pada hakikatnya, salah satu rahasia dibutuhkannya seorang mursyid dalam masalah-masalah akhlaqi dan tarbiyati, adalah karena para ulama akhlak mengetahui secara komprehensif semua masalah yang mungkin dihadapi dan mereka dapat melakukan jarh wa ta'dil (memberikan kritik dan solusi), di samping dapat menyusun sebuah agenda hidup bagi setiap orang sesuai dengan pengetahuan, batasan tanggung jawab, kemampuan, posisi sosial dan berbagai kebutuhannya. Karena itu, baik kiranya bila seseorang mau berbicara dan bermusyawarah dengan mereka yang mempunyai pengalaman yang mumpuni dalam hal ini.

Beragam Kapasitas Takamul Manusia

Sebagaimana yang telah dibahas, manusia adalah maujud yang multidimensi dan untuk proses penyempurnaan dirinya (takamul), segenap dimensi harus mendapatkan perhatian yang proporsional. Agar hal ini dapat direalisasikan, maka semua aturan Islam yang seluruh dimensi wujud manusia telah mendapatkan perhatian di dalamnya, haruslah diamalkan. Yakni, satu hal pokok ini harus dicamkan, bahwa roh dan jiwa kita sangat membutuhkan pada semua aturan yang ada di dalam agama dan bagaimanapun juga semua aturan itu haruslah digunakan dan dimanfaatkan secara maksimal. Perlu diketahui, bahwa mengabaikan salah

satu dari aturan agama, berarti membiarkan adanya kekurangan pada salah satu dimensi wujud kita; mereka yang hanya mengamalkan dan menggunakan sebagian aturan agama dan meninggalkan yang lain, tidak akan dapat menyempurnakan diri dan memutus jalannya sendiri untuk menyempurna secara rohani. Oleh sebab itu, para tokoh akhlak dan para peniti jalan kesempurnaan, selalu waspada dan memberikan perhatian penuh agar jangan sampai ada sebuah aturan agama yang terabaikan dan tidak dikerjakan. Baik kiranya di sini kita singgung sekelumit dari sikap taqayyud (komitmen) dan ta’abbud dari Marhum Allamah Thabathaba'i

rahimahullah berkaitan dengan mengamalkan seluruh aturan Islam. Beliau berkata, “Guru akhlak saya telah memerintahkanku untuk mengumpulkan riwayat-riwayat berkaitan dengan sirah Rasul saw dari

p: 325

kumpulan kitab hadis bernilai tinggi Bihar al-Anwar, dengan tujuan agar aku dapat mengambil pelajaran dari sirah beliau bagi kehidupanku dan agar bisa juga menjadikan rujukan bagi orang lain yang membacanya.” Perintah guru akhlak beliau ini telah menyebabkan beliau menulis kumpulan hadis dari kitab Bihar al-Anwar dengan judul Sunan Al-Nabiy saw dan menjadikan beliau sangat memerhatikan semua sunnah Rasul saw dan mengamalkannya. Alhasil, sementara beliau melakukan pengumpulan, beliau menemui sebuah riwayat yang di dalamnya bercerita bahwa Rasul saw pernah makan sebuah hidangan yang di dalamnya terdapat belalang laut dan menyukainya. Marhum Allamah yang sejak awal bertekad untuk menjalankan semua sunnah Rasul saw dalam hidupnya berusaha mencari

belalang laut. Ketika akhirnya berhasil menemukan belalang tersebut, beliaupun menyantapnya dalam sebuah hidangan. Hal ini beliau lakukan dengan tujuan agar paling tidak beliau telah memakan apa yang pernah dimakan dan disukai oleh Rasul saw.

Seseorang yang hendak meniti jalan kesempurnaan dan melakukan peningkatan kualitas diri hingga mencapai puncak kesempurnaan dengan mengikuti Rasul saw dan para Imam suci as, harus berusaha mempelajari detail-detail sejarah dan sirah mereka lalu mengamalkannya. Di dalam al-Quran ditegaskan, “Apabila kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu. (1) Artinya, seluruh perbuatan Rasul dan para maksum as hendaknya menjadi perhatian kita, jangan sampai kita hanya mengerjakan sebagian saja dan mengabaikan serta melalaikan yang lainnya, karena hal itu akan mengakibatkan diri kita menjadi manusia satu dimensi dan bukan multidimensi.

Sebagai penutup dari bagian wasiat ini dan bahasan doa, penting untuk diingatkan poin berikut. Kendati doa bisa menjadi sarana realisasi berbagai kebutuhan dan keinginan manusia, namun arti anjuran untuk berdoa ini tidak lantas menggantikan peran usaha dan kerja dalam rangka mendapatkan berbagai keinginan dan kebutuhan tersebut. Manusia yang mengenal Allah dan berbagai hikmah-Nya, mengetahui dengan baik bahwa apabila di dalam kehidupan ini Allah Swt telah menentukan serangkaian sebab dan sarana, tentu semua itu sudah sesuai dengan hikmah dan

p: 326


1- 124 QS. Ali Imran [3]:31.

kebijaksanaan-Nya. Oleh sebab itu, apabila untuk sepotong roti, kita harus bekerja keras untuk mendapatkannya, hal ini sama sekali bukan berarti Allah Swt yang Maha Pemurah itu pelit. Allah Swt bisa saja memenuhi langsung kebutuhan hamba-hamba-Nya tanpa harus bekerja, sebagaimana di surga nanti akan seperti itu keadaannya, yakni apapun yang diinginkan oleh hamba akan dipenuhi dan disiapkan. Apabila di surga seorang hamba menginginkan buah tertentu, maka dahan-dahan buah yang dimaksud akan merendah menghampiri siapa yang menginginkannya, dan di duniapun Allah Swt mampu untuk melakukan yang seperti itu. Namun, apabila seperti itu keadaan di dunia, manusia tidak akan menyempurna. Dunia adalah tempat pendidikan, bimbingan dan berkembangnya berbagai

potensi manusia. Manusia di dunia harus bergerak dengan ikhtiar dan kehendaknya masing-masing untuk berkembang dan menyempurna. Jangan pernah Anda mengira sama nilainya, antara perbuatan yang dilakukan secara terpaksa dengan perbuatan yang dilakukan dengan ikhtiar sendiri dan kehendak bebas. Sudah sangat jelas, apabila manusia melakukan sebuah perbuatan dengan ikhtiar dan kehendaknya sendiri, maka dia akan meraih kesempurnaan yang lebih. Semakin besar unsur kehendak dan kebebasan manusia dalam melakukan suatu perbuatan, semakin besar pula pengaruh positifnya pada rohnya dan dia telah mendapatkan kesempurnaan yang lebih karenanya. Tentu, pada sebagian perbuatan dan tindakan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial, harus diberikan peringatan

dan hukuman agar serangkaian perbuatan dilakukan atau ditinggalkan. Namun, peringatan dan hukuman, tidak bisa diberlakukan untuk perbuatan-perbuatan yang bersifat individual, tetapi diberlakukan semata-mata demi menjamin terjaganya maslahat bagi masyarakat secara umum. Alhasil, perkembangan dan penyempurnaan diri manusia berada pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan ikhtiar secara bebas tanpa paksaan. Apabila Allah Swt telah menentukan berbagai perantara dan sarana, seperti usaha dan kerja keras yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencari dan memenuhi kebutuhan hidupnya, hal itu disebabkan dalam usahanya manusia akan dihadapkan pada berbagai tantangan dan cobaan,

p: 327

dan disitulah letak terwujudnya kesempurnaan dan penyempurnaan diri bagi manusia. Dalam menghadapi berbagai cobaan dan tantangan ini, ada banyak tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh manusia. Apabila dia dapat melakukan berbagai taklif ini dengan benar dan berhasil lolos darinya, dia akan mengalami perkembangan dan peningkatan maknawi-rohani. Namun apabila dia gagal dan tidak lulus dari berbagai ujian ini, dia akan jatuh dalam ketersesatan dan kehancuran. umpamanya, apabila dalam perjalanan hidup dan berbagai aktivitasnya, dia bersikap jujur, benar dan menjaga amanat yang ada di atas pundaknya, maka dia akan berkembang dan menyempurna, sedangkan jika menyeleweng dan menyimpang, maka dia jatuh dan binasa. Dengan memerhatikan poin inilah, manusia akan selalu dihadapkan pada berbagai taklif dan hal itulah yang menjadi sarana bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai insaninya. Sebagaimana Allah Swt dapat memberikan ilmu ladunni (ilmu tanpa belajar) kepada sebagian nabi dan sebagian maujud diciptakan suci dari kekurangan dan dosa, hal yang sama juga bisa Allah Swt lakukan terhadap diri kita. Jika itu terjadi, proses pertumbuhan dan penyempurnaan diri kita akan terhenti.

Menariknya, sekalipun manusia mengetahui dan menyadari bahwa berbagai sarana yang telah ditentukan oleh Allah Swt berdasar pada hikmah, tetapi apabila dia dihadapkan pada kebutuhan, dia lebih suka untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan secara cepat dan tanpa bersusah payah. Oleh sebab itu, apabila dia berdoa dan tidak terkabul, maka dia akan mengeluh dan menggerutu sambil berkata, "Mengapa Allah tidak mengabulkan doa saya?” dia lalai bahwa di dalam kesulitan hidup yang dihadapinya, tersimpan dan tersembunyi banyak hikmah, dan bahwa dia tidak akan dapat menyempurna tanpa melalui berbagai cobaan, rintangan, kesulitan dan lika-liku kehidupan. Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengharapkan solusi masalah secara cepat dan instan atau semua kebutuhan akan terpenuhi hanya dengan doa. Kita harus terus berusaha dan bekerja keras, sementara kita camkan di dalam benak dan pemikiran, bahwa seandainya perkara ini akan mendatangkan maslahat bagi diri kita, pasti doa ini akan mendapatkan ijabah dan bila tidak, maka Allah Swt pasti

p: 328

akan memberi apa yang menjadi maslahat bagi kita. Apabila sesuatu yang diminta oleh pendoa tidak akan bermaslahat baginya, Allah Swt akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang diminta. Ketika berdoa, di dalam hati atau lisannya, tentunya seorang mukmin menyadari syarat-syarat ini, yakni apabila berdoa, dalam hati atau lisannya, dia telah mensyarati apa yang diminta dengan kemaslahatan bagi dirinya. Misalnya, (Ya Allah, berikan padaku ini dan itu, bila memang bermaslahat bagi diriku!). Lebih daripada itu, berdoa bagi seorang mukmin menjadi sarana untuk bertakarub dan menunjukkan penghambaan kepada-Nya, sebelum menjadi sarana untuk meminta sesuatu. Apabila yang dia minta dikabulkan, alangkah baiknya, dan bila tidak, dia tetap optimis bahwa Allah

akan memberikan apa yang benar-benar bermaslahat bagi dirinya.

Perjalanan Akhirat

Dalam lanjutan bagian wasiat Ilahi ini, Imam Ali as kembali pada topik yang pernah dibicarakan sebelumnya. Beliau berbicara tentang dunia dan akhirat serta perbandingan di antara keduanya. Beliau juga mengingatkan bahwa kehidupan dunia sangat singkat dan merupakan mukadimah bagi kehidupan yang sesungguhnya di akhirat seraya berkata, “Kehidupan dunia adalah jalan yang akan mengantar kita pada tujuan akhir dan tempat tinggal yang sejati.”

Harus dikatakan, bahwa pembahasan seputar doa merupakan sebuah topik sisipan yang dimasukkan oleh Imam Ali as, sementara beliau berbicara tentang dunia dan akhirat. Nah, kini setelah selesai membahas doa, beliau kembali pada topik asli dan utamanya yang berhubungan dengan akhirat, perbandingan antara dunia dan akhirat dan pentingnya kehidupan akhirat.

Beliau as berkata,

وَ اعْلَمْ یا بُنَیَّ أَنَّکَ خُلِقْتَ لِلاْخِرَةِ لا لِلدُّنْیا وَ لِلْفَناءِ لا لِلْبَقاءِ وَ لِلْمَوْتِ لا لِلْحَیاةِ وَ أَنَّکَ فِی مَنْزِل قُلْعَة وَ دار بُلْغَة، وَ طَریق اِلیَ الاخِرَةِ

p: 329

Ketahuilah wahai putraku, bahwa engkau telah diciptakan untuk akhirat bukan untuk dụnia. Dunia hanyalah sebuah jalan yang mengantarmu menuju akhirat dan di sanalah tujuan akhirmu. Jalan ini harus kaulalui hingga sampai pada tujuan. Engkau telah diciptakan untuk tinggal di sana, sementara kehidupan dunia dengan segala kesulitannya akan berakhir fana. kehidupan dunia ini adalah kefanaan dan kefanaan bukanlah tujuan.

Dengan memerhatikan makna dari lam ghayat, dapat dikatakan bahwa akhir dari kehidupan dunia adalah fana dan kematian. Oeh sebab itu, fana hanyalah milik kehidupan dunia, karena jika tidak begitu, maka pada hakikatnya kita tidak mempunyai fana yang bersifat mutlak. Karena keberadaan manusia tidak bisa hilang sama sekali, tetapi dia akan dihidupkan kembali di akhirat untuk hidup abadi dan selama-lamanya. Fana secara khusus hanya berkaitan dengan kehidupan duniawi, yakni akhir dari kehidupan dunia adalah fana (khuliqta lilfanai la lilbagai). Dalam sebagian riwayat lain, justru kebalikan dari kalimat di atas yang ditegaskan, yakni berbunyi: Khuliqta lilbaqai la lilfanai, tentu dalam bentuk ini adalah berkaitan dengan kehidupan akhirat, dan yang dimaksud adalah keabadian di akhirat. Kalian tidak diciptakan untuk mati di akhirat dan menjadi fana, tetapi kalian diciptakan untuk hidup kekal dan abadi di sana. Dengan demikian, kedua kalimat tersebut adalah benar. Khuliqta lilbagai, yakni kehidupan abadi adalah tujuan, dan khuliqta lifanai, yakni engkau datang ke alam dunia untuk pergi meninggalkannya, karena engkau tidak diciptakan untuk menetap di dunia. Apabila dikatakan, khuliqta lilfanai wa lilmauti la lilhayati, maksudnya adalah kehidupan duniawi itu memang diciptakan untuk kematian dan fana. Kami dan kalian akan meninggalkan alam ini dan akan mati. Maksud dari kematian adalah akhir dan puncak dari kehidupan ini. Apabila di tempat lain dikatakan: Khuliqta lilhayati la lilmauti, maka yang dimaksud adalah kehidupan ukhrawi, dan berarti bahwa engkau tidak diciptakan untuk kefanaan dan kenihilan, tetapi engkau diciptakan untuk hidup kekal-abadi di akhirat. Di dunia ini, kita pasti akan mati, karena dunia hanyalah tempat tinggal sementara. Dunia hanyalah tempat pemberhentian, tidak lebih dari itu, atau lebih tepat disebut sebagai kedai kopi, di mana kita hanya

p: 330

mampir sebentar lalu kembali membawa perbekalan dan malanjutkan perjalanan. Dunia bukanlah tempat hunian abadi dan selamanya. Orang yang mampir ke kedai kopi hanya bertujuan untuk melepas lelah barang sebentar. tidak ada orang yang mampir ke kedai kopi lalu menggelar permadani berbenang emas, menata peralatan masak-memasak secara permanen dan bertempat tinggal di sana, tetapi dia hanya beristirahat sebentar, membuang keletihan, memperbaharui kekuatan dan kembali berjalan ke arah tempat yang menjadi tujuan. Tempat yang dikunjungi sesaat, dalam bahasa arab disebut sebagai manzilu qulatin, yakni tempat

yang akan kita tinggalkan dan kita tidak akan menetap di sana; atau bisa disebut sebagai halte atau tempat pemberhentian sementara. Demikianlah hakikat kehidupan dunia; dunia bukanlah tempat untuk tinggal abadi dan tempat bersenang-senang. Karena dunia adalah daru bulghatin wa thariqin ilalakhirati (yakni, sebuah tempat yang segera akan kautinggalkan, sebuah hunian temporal dan jalan menuju akhirat).

Dunia adalah sebuah tempat yang tidak lama setelah kita sampai di sana, kita harus cepat-cepat berkemas, kembali membawa bekal dan melanjutkan perjalanan menuju akhirat. Imam Ali as berkata, “Annaka tharidul mautil ladzi la yanju minhu haribuhu," yakni tujuan adalah akhirat, sementara kematian mengejar dan terus mengikuti kita, di mana tidak ada tempat untuk lari dari kejarannya. Secara lughawi (bahasa), kata tharid digunakan untuk seorang anak yang lari dari keluarganya. Adakalanya keluarga cepat menyadari kepergian anak mereka, lalu mengejar, mencari, mendapatkan dan membawanya pulang kembali. Namun, adakalanya anak

itu sedemikian cepat pergi sehingga keluarga kehilangan jejaknya dan anak itu hidup dalam pelarian. Di sini Imam Ali as berkata, “Kematian datang mencari dan mengejarmu, sehingga betapapun engkau cepat berlari dan cara apapun yang kaugunakan untuk menghindar darinya, dia tetap akan menghampiri dan menjeratmu.” Jangan pernah mengira, bahwa apabila engkau memiliki segala sarana dan peralatan yang dapat menjaga kesehatan dan kebugaranmu dengan berbagai treatment dan perawatan yang perlu, maka engkau akan dapat hidup abadi. Tidak, sekali lagi tidak, karena bagaimanapun juga cakar tajam kematian akan

p: 331

segera mencengkerammu; suatu hari nanti kematian pasti akan meraih kita (labudda annahu yudrikuka yauman). Di sinilah, "terkadang kita mempunyai kesiapan untuk dijemput oleh kematian dan tidak ada kesulitan yang kita hadapi. Yakni, apa yang dibutuhkan untuk kehidupan akhirat telah kita persiapkan sebelumnya

dan rapor amal kita bersih dari nilai buruk. Akan tetapi, masalah akan timbul, apabila saat kematian menjemput, kita belum siap sama sekali atau kita tidak suka mati dalam keadaan seperti itu. Oleh sebab itu, karena kita tidak mengetahui kapan kematian datang menjemput, maka kita harus sedemikian rupa berusaha mengatur perilaku kita sehingga kapanpun kematian itu tiba, kita selalu dalam keadaan siap dan tidak bersusah hati, karena perhitungan amal kita sudah bersih, tidak ada lagi tanggung jawab kepada Allah Swt, sekalian makhluk-Nya dan semua utang salat serta puasa wajib telah kita bayarkan. Maka mulai sekarang, cepat bayar dan tunaikan seluruh tanggung jawab dan kewajibanmu. Karena, apabila kematian datang menjemput, kita tidak akan lagi mempunyai waktu barang sedetik. Cepat bayar semua utangmu, kerjakan semua salat dan puasa kadamu dan bersiaplah selalu untuk dijemput kematian. Jangan sampai kematian tiba, sementara kita sedang asyik bermaksiat, belum siap dan belum bertobat dari segala maksiat dan dosa. Jangan sampai kematian datang menjemput pada saat kamu tidak suka untuk dijemput oleh kematian dalam keadaan seperti itu. Karena engkau tidak tahu kapan kematian akan datang, maka jaga dan persiapkan dirimu selalu. Imam Ali as berkata, “Jangan sampai kematian mendatangimu sementara dirimu belum siap dan engkau berkata pada dirimu: Di masa datang aku akan bertobat dari seluruh maksiat; lalu kematian tiba-tiba datang dan menjadi pemisah antara dirimu dan pertobatan.” Dalam pikiranmu, engkau berniat untuk bertobat setelah melakukan maksiat ini. Kepada dirimu engkau berkata, “Kini setelah aku tergoda oleh setan dan terjerumus dalam dosa, maka nanti aku akan bertobat!" Padahal, darimana engkau mengetahui bahwa kematian tidak akan datang di saat engkau berbuat maksiat dan tidak lagi memberimu kesempatan untuk bertobat?!

p: 332

Oleh sebab itu takutlah pada kematian yang datang padamu disaat yang tidak kamu inginkan; sementara kamu massih menanti sebuah kesempatan untuk

nembenahi masa lalu dengann pertobatan. Apabila yang seperti itu terjadi, yakni kamu lalai dan menggampangkan dan menunda tobat, tidak mengkada berbagai kewajiban yang belum dikerjakan, belum membayar utang-utang yang masih menjadi tanggung jawabmu dan belum menyelesaikan berbagai perhitungan amalmu, lalu pada saat yang seperti itu kematian datang menjemput dan tidak ada lagi kesempatan untuk bertobat dan membenahi diri, maka siapa yang pantas untuk disalahkan? Jelas sekali, bahwa tidak ada yang pantas untuk disalahkan selain dirimu sendiri, karena engkaulah yang telah menghancurkan dirimu sendiri. Imam Ali as menegaskan, “Engkau sendiri yang telah menghancurkan dirimu dan tak perlu kau mencari orang lain untuk disalahkan!”[]

p: 333

Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengharapkan solusi masalah secara cepat dan instan atau semua kebutuhan akan terpenuhi hanya dengan doa. kita harus terus berusaha dan bekerja keras, sementara kita camkan di dalam benak dan pemikiran, bahwa seandainya perkara ini akan mendatangkan maslahat bagi diri kita, pasti doa ini akan mendapatkan ijabah dan bila tidak, maka Allah Swt pasti akan memberi apa yang menjadi maslahat bagi kita

p: 334

21- MENGINGAT KEMATIAN

Point

یا بُنَیَّ اَکْثِرْ ذِکْرَ الْمَوْتِ وَذِکْرَ ماتَهْجُمُ عَلَیْهِ وَتُفْضِی بَعْدَ الْمَوْتِ اِلَیْهِ، وَاجْعَلْهُ اَمامَکَ حَتّی یَأْتِیَکَ وَقَدْ اَخَذْتَ مِنْهُ حِذْرَکَ وَشَدَدْتَ لَهُ اَزْرَکَ وَ لا یَأْتِیَکَ بَغْتَةً فَیَبْهَرَکَ وَ لا یَأْخُذْکَ عَلی غَرَّتِکَ وَ اَکْثِرْ ذِکْرَ الاخِرَةِ وَ ما فیِها مِنَ النَّعیمِ وَالْعَذابِ الاَْلیِمِ فَاِنَّ ذلِکَ یُزَهِّدُکَ فِی الدُّنْیا وَ یُصَغِّرُها عِنْدَکَ.

وَ اِیّاکَ اَنْ تَغْتَرَّ بِما تَرَی مِنْ إِخْلادِ أَهْلِها وَ تَکالُبِهِمْ عَلَیْها وَ قَدْ نَبَّأَکَ اللَّهُ جَلَّ جَلالُهُ عَنْها وَ نَعَتْ اِلَیْکَ نَفْسَهَا وَ تَکَشَّفَتْ لَکَ عَنْ مَساوِیها...

Wahai putraku, perbanyaklah mengingat kematian dan berbagai peristiwa yang akan menimpamu serta kaualami pascakematian. Jadikanlah maut berada di hadapanmu sehingga kala dia datang, kau telah berjaga-jaga dan mempersiapkan diri untuknya. Jangan sampai kematian mendatangimu secara mendadak hingga membuatmu terkejut dan mengambil nyawamu dalam

p: 335

keadaan kau tertipu (oleh dunia). Perbanyaklah mengingat akhirat beserta apa yang ada di sana dari berbagai macam nikmat dan siksa yang pedih, karena

hal itu akan membuatmu zuhud di dunia dan menjadikan dunia kecil dalam pandanganmu. Jangan sampai engkau tertipu oleh apa yang kau saksikan dari keasyikan penghuni dunia dan bagaimana mereka saling berebut atas harta dunia. Karena Allah telah memberitahumu tentang dunia dan dunia sendiri telah menunjukkan sifat-sifatnya padamu, dan telah terbongkar untukmu berbagai macam keburukannya.

Dalam mensyarahi dan menafsirkan wasiat Imam Ali as kepada putra beliau Imam Hasan Mujtaba as, kita telah sampai pada topik yang berbicara tentang perhatian pada kehidupan akhirat, kehidupan abadi dan mengingat kematian. Tak diragukan lagi bahwa setiap maujud yang hidup akan mengalami kematian, dan tidak ada akhir bagi dunia selain kematian. (1) Akan tetapi, apa yang menjadi perhatian para kekasih Allah selain realitas

ini, adalah mengingat selalu kematian, yang akan memberikan banyak pengaruh positif pada tarbiyah, akhlak, perilaku dan pemikiran manusia. Yakni, setelah menyadari tentang kematian, maka setiap pribadi muslim hendaknya senantiasa mengingat kematian dan tidak melupakannya, karena sekadar mengetahui dan meyakini kematian tidaklah cukup baginya. Pada hakikatnya, puncak dan makna yang terdalam dari pengetahuan dan keyakinan akan maut dan hari kebangkitan (ma'ad), tersimpan pada sikap selalu mengingat kematian tanpa pernah lalai darinya. Dalam wasiat ini, Imam Ali as berpesan kepada kita akan hal yang

amat penting ini dan menjelaskan berbagai pengaruh positifnya dalam kehidupan, dengan harapan agar menjadi petunjuk bagi para pencari jalan kebenaran.

Keyakinan pada Hari Kebangkitan (Ma'ad) dan Pembenahan Perilaku

Apabila kita mencermati ayat-ayat al-Quran, kita akan melihat bahwa salah satu dari topik yang dibahas melebihi topik-topik lainnya adalah topik tentang kehidupan ukhrawi dan mengingat kematian. Alasannya adalah karena keyakinan akan kehidupan ukhrawi dan kehidupan abadi

p: 336


1- 125 Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, khotbah ke-156.

Mengingat Kematian mempunyai peran yang paling besar terhadap perubahan perilaku manusia bahkan masalah keyakinan kepada Allah dan tauhid, tidak memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan keyakinan akan kehidupan ukhrawi terhadap perubahan serta pembenahan perilaku serta perbuatan manusia. Betapa banyak orang yang mempunyai keyakinan kepada Tuhan, namun tidak meyakini adanya kiamat, mengatakan, “Kita bebas melakukan apa saja yang kita mau dan inginkan di dunia ini. Seandainya Tuhan tidak rela atas peerbuatan kita, hal itu tidaklah penting bagi kita dan tidak masalah!!"

Akan tetapi, sekiranya orang tersebut meyakini hari kebangkitan dan memercayainya serta mengetahui bahwa masalah yang dihadapi bukan hanya ketidakrelaan Allah Swt, melainkan ada kehidupan yang penuh kesengsaraan dan siksa abadi, maka dia akan berpikir untuk berbuat dan berperilaku semaunya. Hal ini disebabkan mereka menyadari bahwa mereka tidak dapat menghindar begitu saja dari siksa abadi dan hidup kekal sengsara di akhirat, kecuali apabila dia sangat lalai dan tidak tahu apa-apa. Seandainya seseorang memiliki sedikit akal dan melakukan perbandingan antara kehidupan dunia yang hanya sesaat dengan kehidupan akhirat yang

abadi, menimbang antara yang terbatas dengan yang tak terbatas, tentunya dia tidak akan mau dan sudi menukar yang abadi dan tak terhingga dengan yang sementara dan terbatas. Sekalipun ada juga orang-orang yang tingkat makrifatnya kepada Allah Swt sedemikian tinggi dan kecintaan kepada Allah telah bersemayam di hati mereka, yang rela untuk menjalani hidup di dunia dan akhirat dengan penuh kesengsaraan dan siksa, asalkan mereka mendapatkan keridaan dari Allah Swt, karena dalam keyakinan mereka keridaan Allah Swt melebih segala-galanya.

Namun sayang seribu sayang, jumlah orang-orang yang seperti ini sangatlah sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar manusia jauh lebih mendambakan surga, bidadari dan istana di akhirat ketimbang rida Ilahi. Padahal seharusnya kita memiliki pemahaman seperti para kekasih Allah dan menjadikan keridaan Ilahi lebih penting dari apapun. Kita seharusnya mengerahkan segenap daya dan upaya untuk meraih barang secuil dari rida-Nya, syukur-syukur bila kita dapat meraihnya secara

p: 337

sempurna. Di dalam al-Quran ditegaskan, Ridhwanun minallahi akbaru. " keridaan dari Allah itu lebih besar dari segala sesuatu (1)

alhasil realitas berbicara bahwa manusia masih sangat jauh dari kedudukan dan tingkat makrifat yang seperti ini. Sangat sedikit dan jarang - sekali orang-orang yang dapat berucap seperti, “Sumpah, demi kemuliaan dan keagungan-Mu, seandainya rida-Mu terletak pada dicincang serta dicabik-cabiknya tubuhku dan aku dibunuh dengan cara pembunuhan yang paling menyakitkan atas manusia sebanyak tujuh puluh kali, maka sungguh rida-Mu lebih aku cintai dan inginkan.” Apabila rida-Mu adalah dengan disiksanya aku dalam api neraka dan dengan begitu Engkau rela pada-Ku, maka aku akan tetap mendamba rida-Mu.

Ucapan yang seperti ini tentu tidak pernah terlintas dalam benak dan pikiran manusia biasa, apalagi tertuang dalam bentuk munajat dan sesuatu yang didamba?! Mungkin kita hanya sebatas membaca dan mengulang-ulang lafaznya, tanpa disertai dengan sedikitpun makrifat, kerinduan dan cinta kepada Allah Swt seperti yang dimiliki oleh maksumin as, sehingga dapat memberikan pengaruh yang begitu dahsyat dalam jiwa seseorang. Kenyataan berbicara, bahwa manusia pada umumnya lebih berpikir tentang siksa dan ketakutan terhadap siksa atau dambaan akan pahala, dan justru dua faktor inilah yang lebih berpengaruh pada amal perbuatan mereka, yakni faktor ancaman dan berita gembira atau rasa takut dan harapan kepada Allah Swt. Sungguh sedikit sekali jumlah orang-orang yang dalam hidupnya semata-mata mencari keridaan dan kerelaan Ilahi. Dua faktor pahala dan siksa sama sekali tidak berpengaruh bagi mereka. Oleh sebab itu, apabila manusia mempunyai keyakinan terhadap akhirat dan mengetahui bahwa hasil dari semua perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya akan terekam dan terjaga selama-lamanya, maka dia akan berhati-hati dan selalu waspada. Akan tetapi, apabila dia tidak ingat akan kehidupan akhirat dan melupakannya, maka hawa nafsu akan

menguasainya, dia akan mengutamakan kenikmatan dunia yang cepat berlalu dan tangannya akan ternodai oleh berbagai maksiat dan dosa. Maka dari itu, sesuatu yang paling bisa mencegah manusia dari berbuat keburukan dan dosa adalah rasa takutnya akan kesengsaraan dan siksa

p: 338


1- 126 QS. al-Taubah (9]:72.

abadi bahkan keinginan untuk mendapatkan imbalan, pahala dan kebangkitan abadi pengaruhnya tidak sebesar ketakutan manusia akan azab dan siksa. Karenanya jelas sudah, mengapa di dalam al-Quran, ucapan Rasul saw dan para maksumin as, termasuk Nahj al-Balaghah, topik utamanya berkisar pada dunia-akhirat, tidak berartinya kenikmatan dunia bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi dan menciptakan cinta serta kerinduan pada kehidupan ukhrawi serta zuhud terhadap dunia. Tentu, maksudnya bukan supaya manusia tidak suka dan membenci kehidupan dunia, karena bagaimanapun juga kehidupan dunia adalah juga merupakan

nikmat yang sangat berharga di mana kehidupan akhirat setiap manusia bergantung dan ditentukan oleh bentuk kehidupannya di dunia. Yang dijadikan sorotan dalam berbagai ayat dan riwayat ini, adalah keterikatan dan keterpautan hati seseorang pada kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang tercela lantaran menjadi sebab lupa dan lalainya manusia pada kehidupan ukhrawi.

Nah, apabila dalam ucapan-ucapan Imam Ali as, topik ini disampaikan secara berulang-ulang, hal itu disebabkan memang beliau bertujuan untuk melakukan pengulangan tersebut. Bukankah pada kenyataannya manusia memang mudah melupakan akhirat?! Dan, pada saat yang sama, bukankah manusia juga mudah tertipu oleh gemerlap dan kilau wajah dunia, sehingga dia mudah tertarik dan terjerat dalam berbagai kenikmatannya. Pengulangan ini dilakukan agar manusia tidak mudah lupa terhadap akhirat dan juga tidak mudah tertipu oleh dunia. Pengulangan ini dilakukan juga karena manusia selalu membutuhkan pengingat yang

membuatnya tidak mudah tertipu oleh dunia dan membuatnya dapat berpikir tentang akhirat. Dengan keterangan lain, pengulangan ini bertujuan agar manusia tidak lupa bahwa kehidupan dunia ini akan segera berakhir dengan kematian. Karena apabila manusia melupakan akhirat, dia akan mudah tertipu oleh rayuan setan dan melupakan tujuan serta arti kehidupannya; dia tidak lagi menyadari apa akhir dari perjalanan hidupnya. Hal ini akan membuatnya menganggap kenikmatan dan kesenangan dunia bersifat abadi. Dan, walaupun dia telah melihat berbagai bencana,

p: 339

peristiwa, baragam kejadian yang menyakitkan dan kematian, dia tetap akan merasa kehidupan ini abadi dan berbagai kenikmatan sesaatnya sebagai nikmat-niklmat yang abadi pula. sebaliknya apabila manusia menyadari dan ingat bahwa kehidupan ini ada batas akhirnya, sudah barang tentu dia akan dapat memberikan

penilaian yang benar atasnya. Apabila kita mengetahui dan menyadari bahwa usia hidup kita terbatas dan tidak untuk selama-lamanya, kita akan memanfaatkan kesempatan yang terbatas ini sebaik-baiknya dan tentu kita akan menghabiskannya di jalan yang benar. Yakni, semakin kita menyadari sebentarnya masa hidup, kita akan semakin maksimal dalam menggunakan dan memanfaatkannya. Namun, apabila kita lalai dan lupa atas singkatnya waktu hidup, kita akan menyibukkan diri dalam berbagai kesenangan dari hari ke hari yang lain secara terus-menerus, kemudian secara perlahan kita melupakan kematian. Ketika kematian terlupakan,

maka manusia akan menjadi lalai. Dalam kelalaian, dia akan mudah jatuh dalam berbagai dosa, maksiat dan penyimpangan. Oleh sebab itu, jalan yang dapat menyelamatkan kita dari berbagai godaan dan bisikan setan serta hawa nafsu adalah dengan mengingat kematian yang akan datang menjelang, di mana kita akan dipaksa pergi dari dunia yang hina ini.

Kematian akan Datang Secara Tiba-Tiba

Di samping semua pembicaran yang penting, terdapat sebuah poin yang lebih halus dari rambut dan hanya dapat ditangkap oleh pikiran-pikiran yang mau cermat. Poin itu adalah bahwa tidak diketahuinya waktu kematian, seperti halnya kematian dan keyakinan terhadap kehidupan akhirat, mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perubahan dan pembenahan perilaku manusia. Pada hakikatnya, poin yang lebih halus dari rambut ini, merupakan nikmat Ilahi yang paling besar kepada manusia. Karena dengan tidak ditentukannya kapan datangnya kematian, setiap orang akan berpikir bahwa kematian dan ajalnya dapat tiba kapan saja. Oleh sebab itu, dia selalu waspada dan mawas diri dalam menjaga amal dan perbuatannya. Yakni, karena ajal setiap orang itu tidak diketahui kapan waktunya, maka kemajhulan waktu ini menjadikan kematian selalu

p: 340

diingat dan hadir dalam pemikiran dan benak manusia Dia akan semakin menghargai usia dan menjaga tingkah lakunya. Apabila salah satu dari pesan para Imam adalah banyak-banyaklah mengingat kematian, maka hal ini disebabkan mengingat kematian mempunyai pengaruh positif yang sangat besar pada tarbiyah manusia. Di sini, Imam Ali as juga berkata, “Ya bunayya aktsir min dzikr al-mauti wa dzikra ma tahjumu 'alaihi wa tufdhi ba'da al-mauti ilaihi waj’alhu amamaka.” Wahai putraku, perbanyaklah mengingat kematian dan apa yang akan menimpamu dan akan ke mana dirimu setelah kematian! Jadikanlah kematian dan peristiwa-peristiwa yang akan kauhadapi pascakematian di hadapan matamu, sehingga engkau akan terus mengingat dan tidak pernah melupakannya.

Jelas sekali, apabila engkau mengkondisikan hidupmu seperti ini, maka ketika kematian itu akhirnya datang padamu, engkau akan bersedia, tidak terkejut dan siap untuk menghadapinya. Sebaliknya, apabila engkau melupakan kematian, engkau tidak akan siap untuk menyongsong perjalanan akhirat; engkau akan terus menunda pelaksanaan kewajiban dan kadanya; engkau tidak akan tergerak untuk menunaikan hak-hak orang yang ada dalam tanggung jawabmu; engkau akan terus menunda-nunda dan menggampangkan taklif dengan berkata “besok dan besok”; engkau akan berkata, “Aku masih muda dan waktu masih panjang”; engkau akan meremehkan dan menggampangkan pelaksanaan tugas dan kewajiban, hingga tiba-tiba kematian datang menyergapmu di kala kamu lalai dan kehabisan waktu. Pada saat itu sudah tidak ada lagi yang dapat dilakukan dan kau tidak mempunyai pilihan selain pasrah pada azab ukhrawi. Oleh sebab itu, pikirkan sesuatu dan berbuatlah, sebelum tiba waktunya di mana engkau harus tunduk pada siksa yang pedih. Yang harus engkau lakukan adalah berpikirlah tentang kematian

selalu, bersungguh-sungguhlah dalam mengerjakan berbagai taklif dan kewajibanmu, karena nanti atau besok, kematian bisa saja datang menjemput di kala kamu lalai dan santai. Waspadalah selalu akan kematian, hingga kapanpun dia datang engkau tidak dalam keadaan lalai. Tunggulah kematian laksana tuan rumah yang menanti dengan penuh harap kedatangan tamunya!

p: 341

Mengapa Kenikmatan Dunia Harus Kita Anggap-Bukan Kenikmatan?

nikmat duniawi yang menggoda dan nikmat-nikmat ukhrawi yang abadi. Mau tidak mau dia akan terpengaruh oleh salah satu dari dua kekuatan ini dalam perilakunya. Yang terbaik bagi manusia adalah konsentrasi dan fokus pada akhirat. Agar dunia dan beragam kenikmatannya tidak mencuri hati kita, menenggelamkan kita di dalamnya dan menjadikan kita lalai dari akhirat, terdapat banyak jalan dan salah satunya adalah dengan selalu mengingat kematian, alam akhirat, nikmat-nikmat yang abadi dan siksa-siksa yang teramat pedih. Hal-hal seperti di atas akan mengurangi kecintaan kita pada dunia, dunia menjadi kecil dalam pandangan kita dan kita tidak terpaut serta terjerat olehnya.

Imam Ali as menasihatkan, “Wa aktsir dzikr al-akhirati wa ma fiha minan na'imi wa al-'adzab al-alimi fa inna dzalik yuzahhiduka fi al-dunya wa yushaghghiruha 'indaka. Dan perbanyaklah mengingat akhirat beserta apa yang ada di sana dari berbagai macam nikmat dan siksa yang pedih, karena hal itu akan membuatmu zuhud di dunia dan menjadikan dunia kecil dalam pandanganmu.”

Kita harus mengetahui bahwa dunia sangat kecil dibandingkan dengan akhirat. Apabila kita menganggapnya besar, hal itu disebabkan kita menilai dan mengukur berbagai fenomena duniawi dengan neraca duniawai. Sebagai contoh, bayangkan satu makhluk hidup kecil yang hanya bisa dilihat lewat mikroskop bergerak dari satu ujung rambut ke ujung lainnya, makhluk ini akan memakan waktu yang cukup lama untuk bergerak dari satu ujung rambut ke ujung lainnya. Karena ukuran

tubuhnya sangat kecil dan karena dia mengukur serta memandang hal- hal dengan neraca yang dimilikinya, maka dia mengira bahwa perjalanan ini sangat jauh dan panjang serta membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada tujuan dan akhir perjalanan. Sementara dalam pandangan manusia, rambut dikenal sebagai ukuran yang paling kecil yang bisa dicabut dengan mudah lalu dibuang; rambut bukanlah apa-apa dalam penglihatan manusia karena saking kecilnya dan bahkan tidak dianggap

p: 342

sebagai ukuran. Makhluk tersebut, karena sanngat kecil bahkan Anda tidak bisa memandang seperti apa lembutnya mata makhluk itu dan betapa pendek jangakauan pandangannya. Oleh sebab itu, dia menganggap satu - helai rambut ini sebagai sebuah jalan yang besar dan panjang, sehingga dia perlu waktu yang cukup lama unuk mencapai ujungnya.

Sebagaimana yang telah Anda simak, perbedaan pandangan ini ternyata sangat bergantung seberapa kita mengerti dan memahami. Oleh karena itu, saya dan kalian tidak bisa mengukur seberapa lama hidup ini, karena pandangan kita sangat terbatas, tak ubahnya seperti sehelai rambut dalam pandangan makhluk kecil di atas; dia akan memandang bahwa sehelai rambut itu sangat panjang, dan kitapun akan memandang dunia yang kecil dan sebentar ini sebagai sesuatu yang besar dan lama. Kita tidak mengetahui berapa tahun lagi, kapan dan bagaimana dia akan berakhir. Sementara akal manusia dapat memahami, bahwa meskipun alam dunia ini telah berlangsung lama, tetap saja dia terbatas, mempunyai batasan dan suatu saat pasti akan berakhir. Akan tetapi, waktu di akhirat tidak akan pernah berakhir. Kalikan pada ribuan kali masa dunia, dia tetap tidak akan berakhir, karena dia abadi, tak terbatas dan tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Alam dunia betapapun besarnya, tetap saja bukan tak terbatas dan tidak ada sesuatu yang bisa dibandingkan dengan yang tak terbatas. Selain keterbatasan dari segi waktu, dari segi tempatpun juga seperti itu.

Apa yang ditegaskan dalam firman Allah di al-Quran yang menjanjikan kepada setiap orang mukmin sebuah surga yang luasnya seluas langit dan bumi (jannatin ‘ardhuhas samawatu wa al-ardhu),(1) pada hakikatnya hendak menjelaskan bahwa selain abadi, surga itu juga tak terbatas dari segi tempat. Adapun mengapa kita berhadapan dengan alam yang seperti ini? Jawabannya adalah mungkin hal ini merupakan manifestasi dari rahmat Ilahi yang juga terbatas. Bukankah rahmat Ilahi itu tak berbatas?! Pada setiap alam dan kehidupan, setiap orang akan mendapatkan rahmat Ilahi sebesar kapasitas yang dimilikinya, dan di alam akhirat Allah juga memberikan kapasitas yang memadai kepada manusia sehingga dia bisa meraih rahmat Ilahi yang ada pada alam itu. Hal ini menunjukkan

p: 343


1- 127 QS. Ali Imran [3]:133: lisi, Bihar al-Anwar, juz 78; Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah khotbah ke-32

akan Keagungan roh dan wujud manusia. keagungan dan kapasitas ini merupakan hasil dari amal perbuatan manusia selama 50-100 tahun hidup di dunia. Padahal

seluruh amal perbuatan buatan manusia, bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan imbalan dan pahala ukhrawi. Sebagaimana nikmat-nikmat dunia juga tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan nikmat- nikmat akhirat yang tak akan pernah berakhir, bahkan dunia lebih kecil nilainya dari sehelai rambut yang tercabut dari kepala dan dibuang bila dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat.

Karena nikmat di sini terbatas dan yang di sana tak terbatas, maka keduanya tidak bisa dibandingkan dan berbeda level serta tingkatannya. Hanya orang-orang tertentu yang telah memiliki pandangan Ilahi yang dapat memahami nilai dan kedudukan akhirat. Oleh sebab itu, dalam pandangan orang seumpama Ali bin Abi Thalib as, dunia tidak lebih berarti dari daun-daun kering yang terjatuh dari pohon.(1) Ali as telah mampu menyaksikan seperti apa adanya akhirat dengan ra’yul 'ain, di mana letaknya dan seperti kedudukan serta nilainya dibandingkan dengan dunia. Sosok yang mengetahui hakikat dunia itulah yang berkata, “Di mataku dunia tidak lebih berharga dari percikan air yang keluar dari hidung domba ketika bersin.” Atau, dalam kesempatan lain beliau berkata, “Di mataku dunia tidak lebih berharga dari tulang bangkai babi yang telah lapuk dan berada di tangan penderita lepra.” Memang apa nilai tulang bangkai babi yang telah lapuk di tangan penderita lepra?! Imam Ali as berkata, “Dunia di mataku bahkan tidak lebih berarti dari semua itu.”

Beliau mengatakan yang seperti ini, disebabkan memang beliau mengetahui nilai dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Berbagai rahmat dan nikmat akhirat yang tak terbatas sedemikian jelas, terbukti dan diyakini oleh Imam Ali as, sehingga seandainya tabir-tabir kegaiban disingkap dan semua nikmat itu dapat disaksikan dengan mata, maka keyakinan beliau sedikitpun tidak akan bertambah (law kusyifal ghithau mazdadtu yaqinan. Seandainya tabir kegaiban disingkap, keyakinanku

tidak akan bertambah). (2) Adapun kita, manusia-manusia yang telah terbutakan oleh dunia, tidak mempunyai pandangan seperti manusia-manusia suci as. Dari sisi lain,

p: 344


1- 128 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 40, hal.153.
2- 129 Catatan Penyunting: QS. Ali Imran (3):185.

keyakinan hati kita juga terlampau lemah, sehingga meskipun Imam Ali as setiap hari berkata sepuluh kali kepada kita bahwa dunia tidak mempunyai nilai dan jangan kaupautkan dirimu padanya, tetap saja kita tidak akan percaya. Ketika para Imam as melihat diri kita tenggelam dalam kebodohan dan maksiat, mereka berusaha dengan berbagai macam cara dan penjelasan untuk mendekatkan pikiran kita yang jauh dari kebenaran kepada kebenaran dan membuka mata kita untuk melihat indahnya kebenaran. Karena hawa nafsu dan bisikan setan telah menutup dan meliputi hati kita, dan kecintaan kepada dunia telah membutakan mata hati kita sehingga kita tidak mampu lagi menangkap dan memahami kebenaran. Karena Imam Ali as sangat mencintai para pencintanya dan juga sekalian hamba-hamba

Allah, dengan berbagai macam penjelasan, beliau berusaha memahamkan hakikat kepada mereka, sehingga kita tidak lagi jatuh cinta pada tulang bangkai babi yang sudah lapuk dan mengarahkan cinta kita pada nikmat-nikmat yang jauh lebih berkualitas yang telah disediakan Allah bagi para hamba-Nya. Karena apabila kita terjerat oleh dunia, kita tidak akan mendapatkan nikmat-nikmat yang abadi. Kita harus menjalankan apa yang menjadi tugas kita, nanti Allah Swt akan menurunkan bagi kita di dunia nikmat-nikmat halal yang tidak akan bertabrakan dengan nikmat- nikmat ukhrawi. Boleh saja kalian menikmati dunia, tetapi jangan sampai

terjerat dan tertipu olehnya.

وَاِیّاکَ اَنْ تَغْتَرَّ بِما تَرْی مِنْ اِخْلادِ اَهْلِ الدنیا الیها

Jangan sampai engkau tertipu oleh apa yang kausaksikan dari keasyikan penghuni dunia.

Pengaruh Perilaku Sosial terhadap Perilaku Individu

Pada umumnya manusia terpengaruh oleh lingkungan sekitar dan perilaku orang lain serta berusaha untuk berperilaku seperti kebanyakan masyarakat. Dia tidak mau tampak berbeda dari kebanyakan orang dan terkadang begitu mudah dan cepat terpengaruh, bahkan khawatir barang selangkah atau sesaat tertinggal dari pola dan gaya hidup masyarakatnya.

p: 345

Dengan kata lain, ketika seseorang melihat masyarakat mementingkan sesuatu, karena dia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perhitungan dan kajian, apakah sesuatu yang dicari oleh masyarakat itu memang penting adanya atau tidak, apakah benar atau salah; hanya karena dia tidak mau tertinggal dari masyarakat, maka akhirnya dia mengikuti mereka secara buta tanpa perhitungan yang matang.

Memang, tidak bisa dipungkiri, bahwa perilaku umum masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku individu. Sebagai contoh, apabila suatu hari dia menyaksikan masyarakat menyukai sesuatu dan berusaha keras untuk mendapatkannya, maka dia juga menunjukkan minatnya dan berusaha memilikinya. Atau, apabila dia melihat ada banyak orang yang berkerumun dan melakukan antrian pada sebuah tempat, tanpa banyak pikir, begitu melihat kerumunan itu dia akan langsung bergabung di sana. Mungkin saja, dengan perjuangan yang sangat keras, dia berhasil tidak terpengaruh pada kali pertama, kedua dan ketiga, tetapi dengan terus-menerus menyaksikan perilaku dan minat umum masyarakat, maka dia akan berubah sikap dan secara perlahan akan terpengaruh oleh mereka. Yakni, manusia secara tidak sadar terpengaruh oleh perilaku dan opini masyarakat kebanyakan. Poin yang perlu dicermati di sini adalah bahwa kadar keterpengaruhan seseorang berkaitan dengan aktivitas duniawi dan perbuatan yang tujuannya adalah berbagai kesenangan serta kenikmatan duniawi, jauh lebih besar dan lebih kuat (dibandingkan dengan yang bersifat ukhrawi). Ketika membuka mata terhadap panggung kehidupan masyarakat, kita dapat menyaksikan bagaimana mereka saling berebut dan berkelahi dalam memperoleh kenikmatan dunia. Atau kala kita pergi ke pasar, kita menyaksikan bagaimana sebagian dalam rangka mendapatkan harta dunia dan agar tidak tertinggal dari orang lain, bagaimana mereka terlibat perbuatan saling tipu, menaikkan harga barang secara tidak wajar dan melakukan berbagai kecurangan. Singkat kata, kita menyaksikan masyarakat secara umum, di mana satu mengikuti yang lain, berusaha dan berkonsentrasi untuk mendapatkan harta dunia sebanyak-banyaknya dan hal inilah yang menjadi topik inti dari pembicaraan dan pikiran mereka, tidak yang lain.

p: 346

Apabila wajah dunia dan orang-orang yang terjerat oleh dunia, kita bayangkan di hadapan mata, mereka tak ubahnya seperti sekawanan burung elang yang telah menajamkan cakarnya dan masing-masing berpikiran untuk mendapatkan bagian terbanyak dari daging hasil buruan; kadang mereka terlibat saling bunuh, saling patuk dan saling cakar untuk berebut atau merebut harta dunia yang telah di dapatkan oleh yang lain. Keterangan ini bukan saja merupakan gambaran nyata dari kehidupan banyak manusia, tetapi kebanyakan muslimin juga berperilaku seperti ini. Nah, apabila kita menyaksikan bahwa kebanyakan manusia saling bunuh lantaran dunia, kita tidak boleh tertipu dan berebut bangkai harta dunia seperti kawanan burung pemakan bangkai yang berebut bangkai. Harta dunia seperti bangkai yang diperebutkan oleh sekawanan burung pemakan bangkai. Seorang muslim yang berpikiran bijak haruslah mewaspadai dirinya agar tidak termasuk dalam golongan sekawanan serigala dan burung pemakan bangkai; dia seharusnya cukup mencari rezeki sebagaimana yang Allah Swt perintahkan dan rela serta puas atas apa yang Allah tentukan baginya; dan jangan sampai dia menjadi manusia yang setiap hari sibuk untuk memperbanyak harta agar terus bertambah

dan bertambah.

Malas atau Zuhud?

Perlu dicermati, bahwa larangan untuk memperbanyak harta bukanlah berarti bermalas-malasan. Yang tidak terpuji itu adalah keserakahan dan ketamakan, bukan usaha dan kerja-keras. Justru, seseorang dianjurkan untuk banyak bekerja dan berusaha, namun hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan serta keperluan orang lain bukan menumpuk harta untuk diri sendiri. Yang perlu diwujudkan oleh manusia adalah ketaatan kepada Allah Swt yang terjelma dalam perilaku adan amal perbuatan. Mencintai dunia, setiap tahun melakukan pergantian mobil, dekorasi rumah dan mencari rumah yang lebih luas, adalah perbuatan yang tidak terpuji

dan tanda dari ketertipuan. Serakah dan suka kepada dunialah yang menyebabkan hidup manusia menjadi sengsara. Manusia harus berpikir untuk mengetahui apa yang menjadi tugas serta kewajibannya untuk kemudian dikerjakan. Manusia harus tenang dalam menjalani hidupnya,

p: 347

karena Allah tidak menginginkan hamba-Nya yang saleh hidup sengsara dan terhina di dunia. Perhatian kita harus terfokus pada nikmat-nikmat yang telah Allah tentukan dan khususkan bagi para kekasih-Nya, karena nikmat-nikmat duniawi bebas untuk dinikmati semua, baik kekasih maupun musuh Allah, baik mukmin maupun kafir; nikmat-nikmat tersebut ibarat bangkai yang diperebutkan sekawanan burung elang dan pemakan bangkai, dan jangan sampai dirimu seperti binatang tersebut. Apabila engkau menyaksikan banyak orang yang berebut dunia dengan penuh kerakusan dan keserakahan, maka usahakan jangan sampai dirimu seperti

mereka, juga ikut-ikutan berebut dunia! Allah Swt telah menjelaskan hakikat dunia di dunia dalam firman- Nya, Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan dan menipu(1) Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah permainan dan kesenangan yang melenakan.(2) Ini adalah penjelasan Allah Swt tentang hakikat dunia yang memahamkan kepada kita bahwa dunia tidak lebih dari sekadar kesenangan sesaat, kesenangan yang melenakan dan permainan. Dari sisi lain, dunia juga telah mempekenalkan dirinya kepada kita, yakni, di dunia tidak ada hari tanpa masalah, bencana, musibah, kezaliman, pembunuhan tak kenal belas kasih, penderitaan, penyakit yang tak terobati,

kecelakaan, perpisahan yang menyakitkan dan lain sebagainya (na'at ilayka nafsaha, yakni dunia telah menyifati dirinya untukmu). Nah, ketika dunia sendiri sudah menyifati dirinya seperti ini, lalu mengapa engkau masih mencintainya?! Ketika dunia telah memberitakan tentang kematian dirinya dan dia sendiri berkata, “Aku tidak akan kekal bagimu”; dan Allah juga berkata, “Dunia tidak akan abadi dan hanya merupakan permainan serta kesenangan sesaat, maka selain kita tidak boleh jatuh hati padanya, kita juga harus mencabut rasa cinta kita kepadanya.”

p: 348


1- 130 Catatan Penyunting: Misalnya, QS. al-Hadid (57]:20.
2- 131 Muhammad Rey Syahri, Mizan al-Hikmah, juz 3, hal.297.

22- DUNIA DAN AKHIRAT

Point

وَ اِیّاکَ أَنْ تَغْتَرَّ بِما تَری مِنْ إِخْلادِ أَهْلِهَا وَ تَکالُبِهِمْ عَلَیْها وَ قَدْ نَبَّأَکَ اللّهُ جَلَّ جَلالُهُ عَنْها وَ نَعَتْ اِلَیْکَ نَفْسَها وَ تَکَشَّفَتْ لَکَ عَنْ مَساوِیهَا فَاِنَّما أَهْلُها کِلاْبٌ عاوِیَةٌ وَ سِباعٌ ضارِیَةٌ، یَهِرُّ بَعْضُها بَعْضاً وَ یَأْکُلُ عَزیزُها ذَلیلَها [وَ یَقْهَرُ کَبیرُها صَغیرَها] قَدْ أَضَلَّتْ أَهْلَهَا عَنْ قَصْدِالسَّبیل، وَ سَلَکَتْ بِهِمْ طَریقَ الْعَمَی وَ أَخَذَتْ بِأَبْصارِهِمْ عَنْ مَنْهِجِ الصَّوابِ، فَتَاهُوا فِی حَیْرَتِها وَ غَرِقُوا فِی فِتْنَتِها، وَ اتَّخَذُوها رَبّاً، فَلَعِبَتْ بِهِمْ، وَ لَعِبُوا بِها وَ نَسُوا ماوَراءَها.

Jangan sampai engkau tertipu oleh apa yang kausaksikan dari keasyikan penghuni dunia dan bagaimana mereka saling berebut atas harta dunia. Karena

Allah telah memberitahumu tentang dunia dan dunia sendiri telah menunjukkan sifat-sifatnya padamu, dan telah terbongkar untukmu berbagai macam keburukannya. Sesungguhnya penghuni dunia tak ubahnya seperti anjing-anjing

p: 349

yang menyalak dan binatang-binatang buas pemangsa yang saling meraung: Yang kuat akan memangsa yang lemah dan yang besar akan menginjak yang kecil. Dunia telah membuat penghuninya menyimpang dari jalan yang benar dan menggiring mereka menuju jalan kebutaan. Dunia telah membutakan mata penghuninya dari jalan kebenaran, sehingga mereka tersesat dalam kebingungan dan tenggelam dalam fitnahnya. Mereka telah menjadikan dunia sebagai Tuhan, maka mereka dipermainkan olehnya dan merekapun bermain dengannya sehingga mereka melupakan kehidupan pascadunia.

رُوَیْداً حَتّی یُسْفِرَ الظَّلامُ، کَأَنْ قَدْ وَرَدَتِ الظَّعیِنَةُ یُوشِکُ مَنْ أَسْرَعَ أَنْ یَلْحَقَ. و اعلم یا بنی، أن من کانت مطیته اللیل و النهار فإنه یسار به و إن کان واقفا و یقطع المسافة و إن کان مقیما وادعا.

Waspadalah, wahai putraku, jangan sampai engkau menjadi orang yang diburukkan oleh banyaknya keburukan dunia. Sebagian (penghuni dunia) seperti ternak yang tertambat dan sebagian yang lain tak terikat; mereka telah kehilangan akal dan sedang berjalan ke arah-arah yang tidak diketahui. Mereka laksana kawanan petaka di lembah penuh bahaya tanpa ada gembala yang mengurusi mereka. Bersabarlah barang sejenak hingga tabir kegelapan terbuka! Kini seakan kafilah telah sampai pada tujuan dan mereka yang bergegas akan datang menyusul.

Cinta dunia dan cinta akhirat, keduanya tidak akan pernah bisa berkumpul.(1) Karenanya, hati manusia sebagai sentra cinta dan benci

adalah tempat bagi salah satu dari cinta dunia atau cinta akhirat dan tidak mungkin menjadi tempat bagi keduanya. Berdasarkan pada pengetahuan ketuhanan dan keislaman, hati seorang mukmin harus menjadi tambang bagi cinta akhirat. Dalam rangka menjamin tercapainya tujuan yang ideal dan diharapkan ini, maka mewaspadai hal-hal yang menjadi sebab dan faktor kecenderungan manusia terhadap dunia dan melupakan akhirat, selalu menjadi masalah yang penting dan urgen. Topik bahasan pada

p: 350


1- 132 QS. Ali Imran [37:185.

bagian ini adalah menjelaskan dan menyebutkan beberapa sebab dan faktor tersebut. Karena hati manusia yang merupakan tempat bagi berbagai cinta dan benci, sumber berbagai kesempurnaan dan penyimpangan, pembenahan dan pengarahannya (ishlah dan tarbiyah) akan menjadikan hidup manusia menjadi baik dan terarah.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Manusia Menjadi Hamba Dunia

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as memberikan petunjuk berkaitan dengan faktor-faktor cinta dunia dan memperingatkan manusia untuk tidak jatuh cinta kepada dunia. Sebelum menyebutkan segala sebab dan faktor yang ada, kita akan terlebih dahulu menyinggung sebuah faktor yang lebih utama daripada faktor-faktor yang lain. Faktor yang merupakan sebab bagi tumbuh dan terbukanya jalan bagi faktor yang lain adalah masalah kurangnya pengetahuan dan buruknya moral manusia. Yakni, seseorang lantaran tidak memiliki pengetahuan dan kesempurnaan maknawi yang memadai, akan dengan mudah tertarik oleh gemerlap dunia dan melupakan akhirat. Semua kita tahu bahwa beragam kenikmatan dunia memiliki daya tarik alami yang berusaha menarik serta menyeret manusia padanya. Oleh

sebab itu, mereka yang tidak memiliki kematangan maknawi dan asing dengan pengetahuan ketuhanan dan hal-hal yang bersifat metafisik, akan dengan mudah terpengaruh oleh daya tarik ini dan menjadi cinta kepada dunia, bahkan menjadi hamba dunia. Selain ketidakmatangan dan ketidakkesempurnaan pengetahuan manusia, daya goda dan daya tarik dunia sendiri juga merupakan faktor lain bagi terjeratnya manusia; yakni daya tarik alami berbagai kenikmatan dan kesenangan dunia, juga dapat menjerat dan menipu manusia. Sedemikian kuatnya daya tarik dunia, sehingga dia mampu menonaktifkan daya pikir manusia.

Di samping beberapa sebab dan faktor di atas, juga terdapat faktor-faktor lain yang semakin memperkuat pengaruh daya tarik dan dan daya pikat dunia terhadap manusia. Salah satu darinya adalah faktor sosial. Biasanya, kebanyakan manusia di setiap masyarakat mempunyai kecintaan

p: 351

yang sangat kuat terhadap dunia dan mereka sanggup bekerja keras, banting tulang dan peras keringat untuk mendapatkan dunia. Seorang manusia ketika melihat kebanyakan orang di sekitarnya sibuk mencari berbagai kenikmatan dunia, maka dia dengan cepat berubah menjadi seperti mereka dan tertarik oleh di dunia di bawah pengaruh gelombang animo masyarakat. Ketika seseorang menyaksikan sebagian besar masyarakat bergerak menuju arah tertentu dan berusaha mendapatkan harta benda tertentu, bahkan sebagian mengorbankan jiwanya untuk itu, kondisi masyarakat yang seperti ini, pasti akan menjadikan orang tersebut juga tergerak dan tertarik pada arah yang sama. Karena dia mengira bahwa apa yang dikejar oleh sebagian besar masyarakat itu adalah sesuatu yang memang penting dan berharga. Dari sisi lain, apabila manusia menyaksikan hal yang sama pada para tokoh dan pemuka masyarakat, maka dia akan lebih cepat lagi tertarik dan terpengaruh oleh gelombang cinta dunia; dia akan bergegas menceburkan dirinya dalam gelombang itu tanpa banyak berpikir dan menunda waktu.

Dengan sebuah pemikiran dan pembuktian yang sangat sederhana, dia akan dengan cepat meniru apa yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat. Sebagai misal, dia berdalil sepert ini, “Kebanyakan masyarakat, bahkan orang-orang yang terpandang dan berpengaruh, sibuk mencari dan menikmati dunia; apa yang diperhatikan dan menjadi kesibukan sebagian besar masyarakat dan para tokoh, dapat dipastikan sebagai perbuatan yang penting dan terpuji. Oleh sebab itu, akupun akan melakukan hal yang sama seperti apa yang mereka lakukan.” Dengan keterangan lain, orang itu berkata pada dirinya, “Banyak orang terpandang yang menyibukkan diri dalam perbuatan ini (premis minor); setiap apa yang menjadi kesibukan orang-orang terpandang dan kebanyakan masyarakat, pastilah merupakan perbuatan yang baik dan terpuji (premis mayor); maka akupun tidak boleh ketinggalan dan tidak boleh lalai untuk melakukan hal yang sama dengan mereka (kesimpulan).”

Jelas sekali, bahwa faktor daya tarik perilaku sosial ini, mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan faktor-faktor sosial yang lain dalam menarik manusia ke arah dunia. Masih ada faktor-faktor sosial

p: 352

lain, seperti persaingan, menjaga gengsi, menghindari celaan dan lain sebagainya yang dapat manarik manusia ke arah dunia. Sebagai contoh, sebagian orang untuk menghindari cemoohan orang atau khawatir jangan sampai keluarga, istri dan anak berkata padanya, “Engkau adalah orang yang tidak berarti, tidak bisa mencari uang, tidak punya kedudukan dan hanya hidup secara pas-pasan"; maka dia segera bergegas tanpa kenal lelah mencari dunia dan melupakan akhirat. Faktor lain yang perlu ditambahkan pada beberapa faktor ini, adalah faktor hasutan dan bisikan setan yang selalu hadir aktif dalam berbagai kegiatan manusia. Dia juga mengambil energi dan manfaat dari faktor-faktor daya tarik dunia yang ada dan berusaha keras menampakkan dunia di mata manusia sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan.

Cara-Cara Penanggulangan agar Manusia tidak Menjadi Hamba Dunia

Di hadapan faktor-faktor yang berpengaruh pada tumbuh dan berkembangnya kecintaan terhadap dunia pada diri manusia, juga terdapat faktor-faktor lain yang dapat mencabut akar-akar kecintaan pada dunia, melemahkan berbagai hasutan serta bisikan setan, mengurangi berbagai dorongan cinta kepada dunia dan lebih mengaktifkan cara berpikir sehat dan bijak manusia. Salah satu dari faktor yang berpengaruh dalam memerangi kecintaan pada dunia adalah perhatian dan konsentrasi akal dan hati pada ayat-ayat Ilahi dan kalimat-kalimat suci serta berbagai nasihat sarat pencerahan yang disampaikan oleh para nabi dan manusia-manusia suci as. Petunjuk merekalah yang dapat menjadi daya tolak bagi manusia dalam menghadapi dan memerangi berbagai rayuan setan, gemerlap dunia

yang sangat menggoda dan bala tentara setan yang menghadang.

Demikian juga halnya, apabila kita mau menelaah dan mengkaji apa yang diucapkan oleh Imam Ali as, kita akan mempunyai kekuatan untuk menghadapi serangan bala tentara setan dengan memanfaatkan secara maksimal bala tentara Allah Swt. Kita akan dapat lebih memanfaatkan faktor-faktor yang menarik kita ke arah Allah dan nilai-nilai maknawi dan pada saat yang sama melemahkan faktor-faktor setani. Dalam wasiatnya,

p: 353

Imam Ali as juga berbicara tentang faktor sosial yang menyebabkan manusia melakukan hal yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat dan orang-orang terpandang. Nah, karena beliau melihat kebanyakan manusia berperilaku seperti ini dan berada di bawah pengaruh faktor ini sehingga mereka mengarah kepada dunia secara berlebihan, maka beliau memberikan beberapa nasihat sebagai obat dan penawar yang dapat menghapus pengaruh dari faktor tersebut.

Dalam pandangan beliau, kebanyakan manusia mengarah kepada dunia lantaran melihat kebanyakan orang dan para tokoh masyarakat juga melakukan hal yang sama, sehingga berdasar pada perilaku mereka, disimpulkan bahwa mencintai dan mencari dunia adalah perbuatan yang baik dan terpuji. Karena menurut beliau dalil yang dipakai ini tertolak, maka beliau berusaha menghilangkannya dari pemikiran manusia. Rumusan umum yang mengatakan bahwa “Saya harus melakukan apa yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat dan para tokoh agar tidak tertinggal dan terbelakang,” menurut Imam Ali as adalah sebuah rumusan yang kebenarannya tidak absolut. Beliau menegaskan, bahwa tidak setiap yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat dan para pemukanya, adalah perbuatan yang baik dan terpuji. Hal ini tetap harus dikaji dan ditelaah, apa yang menjadi alasan mereka untuk melakukan perbuatan itu? Dalam setiap hal yang hendak kaulakukan, maka pelajari dengan baik alasan dan dalilnya serta gunakan akal pikiranmu! Hanya karena sebuah kegiatan dilakukan oleh sebagian orang, kebanyakan orang, atau bahkan semua orang, tidak serta-merta menjadi dalil dan bukti bahwa perbuatan itu baik adanya, tetapi engkau tetap harus mempelajari dan memikirkannya. Apabila menurut pemikiran dan nalarmu, perbuatan itu tidak benar, ikutilah apa kata akalmu. Kalian tidak boleh secara buta mengikuti kebanyakan orang, bahkan semua orang sekalipun. Semoga riwayat dari Imam Baqir as yang berkata kepada Jabir bin Yazid al-Ju'fi, belum terlupakan. Beliau berkata, “Ketahuilah (wahai Jabir), engkau tidak akan termasuk pengikut kami, kecuali apabila seluruh penduduk kota tempat tinggalmu berkumpul dan menyatakan bahwa kamu adalah seorang laki-laki yang berperilaku buruk, namun kau tidak risau oleh ucapan mereka, atau apabila mereka

p: 354

berkata bahwa kamu adalah orang yang saleh, namun kau tidak bersuka cita dengan pujian mereka. Nilai dan ukur dirimu dengan kitab Allah!” Maksudnya, apabila dirimu ingin menjadi orang yang berwilayah kepada kami (Ahlulbait as) dan pencinta kami, engkau harus berperilaku seperti ini, yakni, engkau sama sekali tidak risau dan khawatir, meskipun seluruh penduduk kotamu sepakat untuk mencelamu atas perbuatan yang di dalamnya terdapat rida Ilahi. Engkau tetap yakin bahwa karena itu perintah Allah dan taklifmu, maka perbuatan itu baik bagimu. Jangan pernah engkau mengikuti kebanyakan orang untuk menentang Tuhanmu. Bahkan, bukan hanya jangan ikuti mereka, tetapi usah kaurisau dan bersedih hati! Biarkan mereka mengatakan apa yang hendak mereka katakan, engkau hanya perlu konsentrasi pada apa yang menjadi tugasmudari Allah Swt, dan persetan dengan pendapat mayoritas (bila bertentangandengan rida Ilahi)!

Sebaliknya, apabila seluruh penduduk kota memuja dan memujimu, bahkan mencium kaki dan tanganmu, jangan pernah bergembira dan bersenang hati karenanya! Seorang mukmin, harus sedemikian kuat keyakinan dan agamanya, mendasari setiap perbuatannya dengan dalil dan burhan serta tidak terpengaruh oleh pujian dan pujaan orang lain. Di sini, Imam Ali as berkata, “Tidakkah engkau melihat bagaimana penghuni dan pencinta dunia berebut dan saling bunuh atas harta dunia, janganlah engkau menjadi seperti mereka! Jangan sampai engkau berpikir bahwa apa yang mereka perebutkan adalah sesuatu yang penting dan

benar-benar berharga, hanya karena sebagian besar mereka melakukan perebutan. Akan tetapi, lakukan telaah dan kajian terlebih dahulu, siapa mereka dan apa yang sebenarnya mereka perebutkan?” Dalam penjelasannya, beliau mengajak kita untuk bersikap rasional dan bertindak berdasarkan pada dalil dan bukti, lalu memperkenalkan kita pada sifat-sifat buruk kelompok manusia yang mengejar dan cinta buta kepada dunia. Beliau berkata, “Innama ahluha kilabun 'awiyatun wa siba’un dhariyatun. Mereka laksana anjing-anjing yang menyalak dan binatang-binatang buasyang memangsa.” Mereka saling mencakar dan beradu tanduk. Siapa

p: 355

yang lebih kuat akan mengoyak daging yang lemah lalu melahapnya. Demikianlah sifat kebanyakan penghuni dunia dan penghambanya. Mereka tak pernah berhenti memperebutkan harta dunia. Nah, apabila engkau menyaksikan di sebuah tempat sekawanan anjing dan serigala memperebutkan sesuatu dan saling bunuh, apakah engkau akan ikut- ikutan berebut? Atau karena jumlah mereka banyak dan banyak juga orang-orang yang ternama, maka engkau akan bergabung dan berebut

seperti mereka? Oleh sebab itu, apabila engkau menyaksikan sekelompok manusia sibuk dalam suatu pekerjaan, maka terlebih dahulu kamu harus meneliti dan mempelajari, siapakah orang-orang itu, apa yang sedang mereka lakukan, apa tujuan mereka dan apa yang menjadi alasan serta motivasi mereka? Jangan pernah engkau menjadikan jumlah mereka sebagai ukuran kebenaran! Apabila mereka melakukan suatu pekerjaan yang diterima oleh akal dan direstui oleh syariat, lakukanlah. Namun, apabila yang mereka lakukan tidak dibolehkan oleh Allah, Rasul, para Imam suci as dan para ulama serta tidak diterima oleh akal, maka segera tinggalkan dan jauhilah! Kendati jumlah mereka banyak dan mengajak serta menyemangatimu untuk bergabung. Jangan sampai dirimu berbuat seperti kebanyakan orang yang terjerat dunia dan menjual akalnya dengan harga yang sangat murah; atau seperti orang-orang yang kehilangan akal dan melupakan Allah Swt dan

kehidupan akhirat. Orang-orang yang tak ubahnya anjing-anjing gila dan binatang-binatang liar saling bunuh dan cakar. Janganlah hanya karena kebanyakan orang melakukan sesuatu, kemudian kamu ikut-ikutan dengan mereka! Imam Ali as, kembali meneriakkan kebenaran di sini dan berkata, “Iyyaka an taghtarra bima tara min ikhladi ahliha wa takalubihim 'alaiha. Jangan sampai dirimu tertipu oleh perilaku mereka yang terjerat dunia, jatuh cinta dan terpaut padanya dan saling bunuh untuknya.”

Engkau juga harus menjaga diri untuk tidak terikat dan terjerat pada dunia. Sementara Allah Swt telah berfirman, Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (menipu); (1) Sesungguhnya kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah permainan dan kesenangan yang

melenakan.(2) Apakah pantas, hanya karena sebagian masyarakat saling

p: 356


1- 133 QS. Ali Imran [37:185.
2- 134 QS. Muhammad [47]:36

bertengkar untuk dunia, engkau juga meniru mereka dan saling bunuh demi harta dunia?! Apakah masuk di akal, apabila engkau biarkan dirimu mengejar dan terjerat oleh dunia, padahal dunia sendiri telah menunjukkan berbagai keburukannya padamu; dunia yang telah menimpakan padamu berbagai kesulitan, musibah, bencana, penyakit dan ketidaknyamanan; dunia yang seluruh sifatnya adalah kehinaan dan kerendahan. Sebagai akibatnya, engkau akan melupakan akhirat, padahal di sana sedikitpun tidak ada berbagai kesengsaraan yang kerap terjadi di dunia; di sana tidak ada perang, tidak ada hak yang dirampas, tidak ada kelaparan, tidak ada penyakit dan tidak ada segala keburukan serta kejahatan. Akhirat, jauh berbeda dengan dunia yang setiap saat menunjukkan berbagai

kesengsaraan dan kesulitan kepada para penghuninya. Karenanya, janganlah pernah tertipu dan terjerat oleh dunia dan para pencintanya! Imam Ali as berkata, Sesungguhnya penghuni dunia tak ubahnya seperti anjing-anjing yang menyalak dan binatang-binatang buas pemangsa yang saling meraung: Yang kuat akan memangsa yang lemah dan yang besar akan menginjak yang kecil. Janganlah engkau berperilaku berdasarkan peraturan yang berlaku di kalangan binatang buas, di mana yang besar akan menginjak yang kecil atau memangsanya! Apakah pantas manusia yang berakal meniru sekawanan anjing buas dan hidup liar seperti mereka?! Dalam pandangan lain, Imam Ali as mengumpamakan orang-orang yang terjerat oleh dunia, seperti sekawanan ternak yang sakit, yang di

dalamnya sang penggembala telah putus asa akan kesembuhan mereka sehingga mereka dibiarkan lepas di padang gersang nan tandus. Dengan kata lain, mereka yang terjerat dunia, jauh lebih hina dari sekawanan domba yang dijaga dan diurus oleh seorang penggembala. Mereka ibarat sekawanan ternak yang tidak lagi dapat memberikan manfaat, mereka dibiarkan lepas, karena dari sekawanan ternak berpenyakit tidak ada sesuatu yang bisa diperoleh kecuali kerugian dan bahaya. Karena berpenyakit, maka lebih baik mereka dilepas agar menjadi mangsa bagi sekawanan serigala. Nah, dengan keterangan yang seperti ini, masih sudikah engkau untuk bergabung dengan sekawanan ternak yang dilepas dan berpenyakit itu?! Jumlah mereka tidak sedikit, apakah dirimu masihberminat untuk bergabung?!

p: 357

Apabila hewan itu sehat dan masih bisa diambil manfaatnya, tentunya dia akan dirawat dan diurus oleh penggembala, seperti seekor domba yang diberi makan dan minum untuk diambil susu dan dagingnya. Tidak demikian halnya dengan ternak yang sakit, karena tidak lagi bisa diambil manfaatnya, maka dia dibuang dan dilepas hingga mati atau dimangsa oleh binatang buas. Oleh sebab itu, Imam Ali as berkata, “Orang-orang yang terjerat oleh dunia, adalah ibarat sekawanan ternak yang dilepas oleh penggembalanya."

Apabila perumpamaan ini hendak kita terapkan pada pengetahuan- pengetahuan ketuhanan, harus dikatakan bahwa Allah Swt telah berlepas tangan dari orang-orang yang terjerat oleh dunia. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak bisa diharapkan lagi kebaikan serta manfaatnya. Di dalam al-Quran telah ditegaskan, Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka secara bertahap (menuju kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui.(1) Atau dalam ayat lain, Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tetap tidak akan beriman.(2) Dalam menyifati kelompok ini, Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya saw, (Wahai Muhammad), berpalinglah engkau dari orang-orang yang berpaling dari mengingat Kami dan tidak menginginkan apa-apa selain kehidupan dunia.(3) Karena tidak ada kebaikan yang bisa kauharapkan dari mereka, maka sebaiknya lepas dan tinggalkan mereka! Dengan segala rahmat tak terhingga yang dimiliki-Nya, Allah Swt berpesan kepada Nabi-Nya, “Berpalinglah dari orang-orang yang berpaling dari mengingat Kami dan tidak menginginkan apapun selain kehidupan dunia. Karena mereka adalah orang yang telah terjerat oleh dunia dan terkena penyakit kelalaian yang teramat parah. Kadar makrifat, ilmu dan pengetahuan mereka tidak lebih dari sekawanan hewan. Puncak pemahaman mereka adalah sebatas perut dan nafsu birahi saja, bahkan mereka lebih rendah dan hina dari sebagian binatang. Mereka adalah sekawanan binatang berpenyakit yang telah dibuang dan dilepas oleh Sang penggembala, karena tidak ada apa-apa

yang bisa diharapkan dari mereka. Nah, dengan berbagai sifat buruk yang ada pada sekawanan binatang ini, apakah hewan-hewan yang berpenyakit

p: 358


1- 135 QS. al-A'raf [7]:182.
2- 136 QS. al-Baqarah [2]:6.
3- 137 QS. al-Najm [53]:29.

dan tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka kecuali menularkan penyakitnya, yakni apakah orang-orang yang tidak mengenal nilai selain dunia ini, masih layak dan pantas untuk dijadikan panutan dan teladan untuk kemudian diikuti dan ditiru oleh umat manusia?!

Berbagai Macam dan Bentuk Penghambaan pada Dunia

Dalam lanjutan perumpamaan penuh makna di atas, Imam Ali as kemudian membagi masyarakat yang terjerat dunia menjadi dua kelompok dan berkata, “Sebagian dari sekawanan ternak ini tertambat dan diikat, sementara sebagian yang lain dilepas dan dibiarkan begitu saja." Namun, mengapa Imam Ali as membagi masyarakat yang terjerat leh dunia menjadi dua kelompok hewan di atas? Para mufasir Nahj al-Balaghah dan kalimat- kalimat Imam Ali as, mempunyai penjelasan yang beragam dalam hal ini. Sebagian mufasir berkata, “Dalam pembagian ini, sekelompok hewan yang terikat atau kakinya diberi pemberat adalah gambaran dari orang-orang yang lebih lemah dan geraknya lebih lambat di tengah masyarakat; mereka adalah orang-orang yang gerak dan kemampuan manuvernya lebih sedikit

dibandingkan yang lain. Mereka itulah yang diumpamakan seperti hewan-hewan yang terikat atau yang kakinya diberi pemberat. Adapun sebagian yang lain lepas dan bebas; mereka lebih kuat dan lebih banyak melakukan gerak serta manuver daripada kelompok yang pertama."

Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah bahwa sebagian mereka yang terjerat oleh dunia mempunyai kekuatan yang lebih dalam mencari dunia, mereka memaksimalkan usahanya tanpa pernah lelah dan berhenti, namun sebagian yang lain karena lebih lemah, tidak mempunyai daya jelajah seperti kelompok pertama sehingga mereka tidak dapat menggunakan seluruh waktunya untuk mencari dan mengejar dunia. Sebagian mufasir yang lain berpendapat bahwa pembagian ini mengarah pada macam-macam bentuk penghambaan pada dunia; karena masyarakat berbeda-beda berkaitan dengan penghambaan mereka terhadap dunia. Sebagian dari mereka, meskipun gandrung dan cinta kepada dunia, namun karena masih menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang masih mempunyai nilai

p: 359

dan kemuliaan, maka mereka masih membatasi diri dalam pencarian dunia dan tidak mau melakoni sembarang pekerjaan. Namun, sebagian yang lain tidak seperti itu halnya; mereka meletakkan semua nilai kemanusiaan dan norma agama di bawah kaki dan sanggup melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya, yaitu harta dunia. Tentu Anda telah mengetahui, bahwa pada zaman sekarang cara berpikir bebas dan tidak terikat oleh nilai dan norma apapun seperti ini, dianggap sebagai sebuah nilai yang sangat tinggi bagi manusia. Bahkan sebagian berpendapat, letak kesempurnaan nilai insani adalah membebaskan diri sebebas-bebasnya dan melepaskan semua belenggu yang mengikat untuk mencapai apapun yang menjadi keinginan dan hasrat manusia. Seperti halnya paham Liberalisme yang menjadikan kebebasan mutlak dan demokrasi sebagai motto dari berbagai aktivitas dan gerak hidupnya, tanpa sedikitpun mau adanya norma atau agama yang membatasi ruang geraknya. Inilah sebenarnya berhala besar masa kini. Mereka mengatakan bahwa manusia itu bebas untuk melakukan apa saja, kecuali

apabila mengganggu orang lain atau menimbulkan kekacauan. Segenap perbuatan manusia, selama tidak mengganggu orang lain, boleh dilakukan, dia bebas dan boleh melakukan apa saja dalam hidupnya tanpa ada sekat dan batas. Mereka yang bebas dan tidak terikat oleh aturan dan norma apapun ini adalah sekawanan hewan yang dalam wasiat Imam Ali as disifati dengan sifat “lepas dan tak terikat" sehingga dia bebas untuk bergerak ke sana kemari dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki. Pada sebagian salinan dan kitab yang memuat wasiat Ilahi Imam Ali as ini, ungkapan, qad adhallat ‘aqlaha ditulis qad adhallat ‘uqulaha.

Apabila yang tertulis adalah “uqulaha, mengingat dalam metafora ini manusia yang terjerat oleh dunia diumpakan sebagai hewan, maka maksudnya adalah bahwa manusia yang terjerat oleh dunia tak ubahnya seperti hewan-hewan yang dilepas bebas, yakni manusia itu bahkan membebaskan dirinya dari hukum akal dan syariat sekaligus. Imam Ali as kemudian melanjutka, “Suruhu ‘ahatin biwadi wa'tsin laisa laha ra’in yuqimuha [yutsimuha) alabathumud dunya fala’ibu biha wa nasu ma waraaha,(1) yakni, mereka yang terjerat oleh dunia ibarat sekawanan

p: 360


1- 138 Bagian wasiat ini sesuai dengan matan yang dimuat dalam kitab Ushul al-Kafi.

ternak yang terkena penyakit dan dilepas dan dibiarkan di padang tandus nan kering; tidak ada gembala yang mengurụsi mereka atau mengajak mereka untuk merumput. Mereka telah diajak dunia untuk bermain dan merekapun menerima ajakannya sehingga mereka lupa diri dan terlena dalam permainan dunia. Karena mereka sibuk dengan dunia, mereka melupakan kehidupan akhirat yang ada di hadapannya. Nah, apabila keadaan dan kondisi orang-orang yang terjerat oleh dunia seperti ini adanya, manusia yang berakal tidak seharusnya meniru dan mengikuti jejak sesat mereka.

Kafilah Dunia

Mengingat dalam pemikiran Imam Ali as cinta dunia adalah sesuatu yang tercela dan merupakan sumber penyimpangan serta penyelewengan manusia, maka penjelasan akan hakikat dunia dan kedudukannya di hadapan akhirat, menjadi salah satu topik utama dalam wasiat dan berbagai ucapan beliau. Kini, dengan ungkapan yang indah dan bersastra, di mana seakan beliau berada di sebuah ketinggian dan dari kejauhan melihat debu-debu mengepul ke angkasa yang menunjukkan adanya sebuah kafilah yang datang. Beliau berkata, “Ruwaidan hatta yusfir al-zhalam... Bersabarlah barang sejenak, sebentar lagi suasana akan menjadi terang. Sepertinya ada yang sedang datang; oh, benar, sebuah kafilah telah datang; sekedup- sekedupnya telah terlihat. Bersabarlah, sebentar lagi kegelapan akan berganti terang dan kafilah penghuni dunia akan segera tiba. Lihatlah, siapakah mereka yang datang! Sepertinya ada yang tiba lebih dahulu dan tidak lama akan disusul oleh yang lain. Mereka yang berada di belakang juga akan segera menyusul dan bergabung dengan yang datang lebih dulu.

Imam Ali as berbicara secara metaforis, bahwa beliau seakan berada di sebuah tenmpat di akhirat dan sedang menanti bagaimanakah kafilah-kafilah penghuni dunia datang menuju akhirat. Tunggulah sejenak, sebentar lagi suasana akan menjadi terang dan kalian akan menyaksikan kafilah-kafilah penghuni dunia datang. Sebagian akan datang lebih cepat

p: 361

semua akan tiba dan berkumpul di sini. Kehidupan dunia tak ubahnya seperti kafilah dan karavan yang akan membawa para musafirnya menuju akhirat. Maka janganlah engkau mengikat hati dengan beberapa hari perjalanan ini, karena dia hanya berlangsung sementara dan hanya sekejap mata, tidak lama lagi kegelapan akan sirna dan ufuk akhirat akan menjadi terang, dan pada saat itulah, kafilah-kafilah ahli dunia akan sampai di akhirat dalam kelompok-kelompok secara bergantian. Percayalah, bahwa tak seorangpun dapat menarik dirinya dri kafilah ini, bahkan mereka yang berada di belakang, cepat atau lambat, pasti akan menyusul dan bergabung. Imam Ali as melanjutkan, “Ketahuilah, bahwa siapapun yang kendaraannya adalah siang dan malam, maka dia akan dibawa berjalan,

sekalipun dia sedang berhenti, karena Allah tidak menginginkan kecuali kehancuran dunia...” Ketika manusia berada dalam perjalanan dan sebuah kafilah, dia mengira bahwa dia dapat menarik diri dan mengurungkan niatnya untuk berada dalam kafilah tersebut. Di sinilah kemudian Imam Ali as mengingatkan dan berkata, “Meskipun dunia tidak lebih dari sebuah kafilah, namun tak seorangpun dapat mengurungkan niatnya untuk tidak berada dalam kafilah ini. Kafilah ini bukanlah kafilah yang bisa dihapus atau diganti namanya. Dunia adalah sebuah kafilah, yang seandainya engkau tidak mau berada di sana, dia akan tetap membawamu bersamanya. Engkau tidak bisa tidak ikut dalam kafilah ini. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka, dia akan membawamu menuju akhirat.” Mungkin Anda akan bertanya, apa yang dijadikan kendaraan dalam kafilah ini sehingga manusia tak mempunyai pilihan dan tak berdaya kecuali ikut bersamanya, bahkan tak kuasa untuk mengendalikan cepat-lambatnya perjalanan. Dalam kafilah ini, suara dan jeritan manusia tidak akan pernah dihiraukan dan tak bernilai. Jawabannya jelas sekali, bahwa kendaraan perjalanan ini adalah bergeraknya waktu siang dan malam yang berada di luar kendali aku dan engkau. Engkau tidak bisa memperlamban atau mempercepat lajunya. Ini adalah sebuah kendaraan yang membawamu pergi, baik engkau mengiginkannya atau tidak, dia

p: 362

akan membawamu menuju rumah akhirat. Kendaraan kita adalah siang dan malam. Kita berada di sebuah pesawat atau lebih tepatnya pesawat waktu yang menerbangkan kita mengarungi zaman menuju akhirat tanpa kita bisa menghentikan, mengendalikan, menunda atau berpisah darinya. Ini adalah hukum pasti Allah Swt, bahwa dunia akan berakhir dan akhirat akan berlangsung kekal dan abadi. Seakan manusia berada di hadapan dua rumah, salah satunya adalah rumah yang atapnya akan roboh dan mulai terdengar beberapa material yang mulai berjatuhan darinya, dan yang satu lagi adalah sebuah istana yang berdiri kokoh, kuat dan tak bisa digoyang. Manusia di hadapkan pada dua pilihan, apakah dia akan tinggal di rumah yang hampir roboh atau di istana yang kokoh berdiri. Tempat manakah

yang akan dipilih oleh manusia yang mempunyai akal sehat? Apakah dunia yang sedang mengalami kehancuran atau akhirat yang kekal abadi? Dan sepenuhnya, hak pilih ada pada diri kalian masing-masing!

Perbedaan antara Amal Duniawi dan Ukhrawi

Di akhir, poin berikut ini perlu diperhatikan, bahwa maksud dengan berbagai keterangan di atas, bukanlah hendak mengajak kita untuk bermalas-malasan dan tidak melakukan apa-apa di dunia, dan kita berkata pada diri sendiri, “Mau tidak mau, hari ini atau esok, pasti kita akan mati dan suatu hari nanti dunia ini pasti hancur.”

Akan tetapi yang dimaksudkan adalah, janganlah kita menjerat dan mengikat diri pada dunia. Di dunia ini, pekerjaan dapat dilakukan dengan dua cara dan dua motivasi. Ada pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan karena cinta pada dunia, dan ada pula pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebagai tugas, taklif dan untuk meraih keridaan Ilahi. Boleh jadi, bentuk pekerjaan yang dilakukan tidak berbeda secara kasat mata, tetapi motivasi dan niatnya yang berbeda-beda. Kala Imam Ali

as menggali sumur dan mengeluarkan air di banyak tempat di padang pasir Madinah, apa yang beliau lakukan secara fisik tak ubahnya seperti yang banyak orang lakukan dalam rangka mencari keuntungan materiil dari penggalian. Akan tetapi yang membedakan adalah, satu melakukan penggalian untuk meraih rida Ilahi, sementara yang lain melakukan

p: 363

penggalian untuk mencari keuntungan duniawi. Atau ketika Imam Ali as memikul karung yang berisikan biji kurma untuk di tanam di padang pasir para petani menanamnya untuk keuntungan duniawi, sementara Imam Ali as menanam semua itu semata-mata untuk mendapatkan keridaan Ilahi. Oleh sebab itu, sebelum air kanal atau sumur menyembur dan mengalir, beliau sudah meminta pena dan kertas untuk mewakafkannya. Akan tetapi, ketika firma kita berlaba besar, kebun kita tiba waktu panennya dan pohon-pohon kita memberikan buah-buahnya, tiba-tiba kita menjadi kikir dan berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang lebih

besar dari sebelumnya. Kini, silakan Anda memberikan penilaian, sejauh apa perbedaan dari keduanya?! Apabila semua kerja keras dan usaha ini karena Allah adanya, semua akan terhitung sebagai ibadah; tidak peduli itu pekerjaan di pabrik, di lahan pertanian atau perkebunan, belajar di sekolah, jihad di medan laga, penelitian di labaratorium dan segala bentuk kerja ilmiah dan industri lainnya. Apabila semua pekerjaan itu dilakukan karena Allah, mencari nafkah yang halal, tidak menjadikan diri sebagai beban bagi orang lain, untuk kepentingan dan kemajuan masyarakat Islam dan lain sebagainya, maka semua kegiatan itu akan terhitung sebagai ibadah. Bahkan adakalanya menjadi wajib hukumnya. Karenanya, apabila kita melihat Imam Ali as mencela dan merendahkan dunia seperti itu, kita

menyadari dan memahami bahwa tujuan beliau adalah agar kita tidak jatuh cinta dan menjadikan dunia sebagai tujuan hidup kita.

Apabila mencari harta dunia menjadi tujuan seseorang, dapat dipastikan bahwa dia tidak akan lagi peduli pada masalah halal dan haramnya. Dia hanya akan berpikir untuk bagaimana caranya mendapatkan uang dan harta sebanyak-banyaknya. Dapat dipastikan bahwa dalam keadaan yang seperti itu, dia akan melupakan atau menunda hal-hal yang berkaitan dengan rida Ilahi, taklif syar'i, tanggung sosial dan kepentingan masyarakat; sehingga secara perlahan tapi pasti, Allah

akan benar-benar terhapus dari hati dan pikirannya. Akan tetapi, apabila

p: 364

tujuan dari semua pekerjaan dan aktivitas itu adalah keridaan Allah Swt |_dan menjalankan perintah-peintah-Nya, seperti menafkahi keluarga atau pengabdian kepada masyarakat, maka pekerjaan dan aktivitasnya sudah bukan bersifat duniawi lagi. Walaupun pekerjaan yang dilakukan adalah sebuah pekerjaan yang berkaitan dengan materi, seperti membantu fakir miskin, tetap akan terhitung sebagai aktivitas Ilahi-ukhrawi dan bukan duniawi. Demikian pula halnya dengan pekerjaan-pekerjaan maknawi (nonmateriil), seperti mengajar, berdakwah, taklim dan tarbiyah, kajian- kajian ilmiah, penemuan-penemuan dan lain sebagainya yang menyebabkan meningkatnya kualitas pengetahuan dan budaya masyarakat, semua itu akan terhitung sebagai ibadah, amal ukhrawi dan tidak ada kaitannya

dengan cinta dunia (hubb al-dunya). Cinta dunia adalah apabila semua pekerjaan itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan keuntungan materi bagi diri sendiri. Dan yang dimaksud oleh Imam Ali as agar kita tidak terjerat dan jatuh cinta pada dunia adalah lakukan semua aktivitas dan pekerjaan karena Allah (taqarruban ilallah) dengan menjaga halal dan haramnya, agar dapat bermanfaat bagi kehidupan kita di akhirat. )

p: 365

p: 366

CATATAN KAKI

1 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 74, hal.200.

2 Harrani, Tuhaf al-Uqul, hal. 70.

3 Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah (Kumpulan Khotbah, Surat, dan Aforisma Imam Ali bin Abi Thalib, surat ke-31.

4 Catatan Penyunting: Sebagaimana diketahui, Perang Shiffin adalah perang antara Imam Ali dan Muawiyah yang berakhir dengan peristiwa tahkim (arbitrase)

antara kedua belah pihak. Dengan tipu daya, pihak Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash berhasil mengecoh Abu Musa Asy'ari, sebagai perwakilan dari Imam

Ali. Tahkim diawali dengan pengangkatan mushaf al-Quran dengan pedang dari pihak Muawiyah sebagai perlambang mereka ingin melakukan gencatan senjata

dengan berhukum pada al-Quran. Oleh sebagian pengikut Ali, tindakan Muawiyah tersebut merupakan sikap tulus Muawiyah untuk melakukan gencatan senjata

sehingga mereka mendesak Imam as untuk melakukan pakta damai. Semula Imam as mengingatkan mereka akan tipu daya Muawiyah tetapi kericuhan semakin

membesar sehingga terjadilah peristiwa tahkim, yang dari sana muncul berbagai peristiwa seperti munculnya kelompok Khawarij dan seterusnya.

5 QS. al-Ashr [103]:2.

6 QS. al-Isra [17]:11.

7 QS. al-Ma'arij [70]:19.

8 QS. Ali Imran [3]:185.

9 Pada bagian wasiat ini terdapat sedikit perbedaan redaksi dalam penukilannya. Karena tidak terjadi perubahan yang mendasar dalam arti, maka kami tidak melihat perlu untuk membawakannya.

10 QS. al-Hujurat [49]:13.

11 Untuk informasi lebih berkaitan dengan masalah hati, Anda dapat merujuk pada kitab Akhlaq dar Quran, jil. 1, hal.239-266, karya Ustaz Muhammad Misbah Yazdi.

p: 367

12 QS. al-Baqarah [2]:256.

13 QS. al-Zukhruf [48]:77

14 QS. al-Zukhruf [43]:77.

15 QS. al-Baqarah [2]:256.

16 QS. Luqman [31]:22.

17 QS. al-Ankabut [31]:41.

18 QS. al-Baqarah [2]:256.

19 QS. al-Ma'arij [70]:6.

20 QS. Ali Imran [3]:103.

21 QS. al-Maidah [57:35.

29 QS. al-An'am (6):149.

28 QS. al-Najm (53):11.

24 Imam Ali, Nahj al-Balaghah, khotbah ke-178.

25 Yawma lâ yanfa’u malun wa lâ banun illa man atallaha bi qalbin salim. (Yaitu) pada hari di mana harta dan anak-anak tidak dapat berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang salim (tidak rusak). (QS. al-Syu'ara [26]:88-89.

26 QS. al-Baqarah [2]:10.

27 QS. Yasin (36):69-70.

28 QS. al-Rum [30]:52.

29 Catatan Penyunting: Dalam tradisi Sufi, berasaskan al-Quran, nafsu manusia sedikit dapat dibagi tiga: nafsu amarah, nafsu lawamah dan nafsu muthmainah.

Nafsu amarah mengarahkan manusia kepada pikiran dan perbuatan negative, nafsu lawamah adalah nafsu (baca: jiwa) yang menyesali kesalahan yang dilakukan,

sementara nafsu muthmainah (jiwa yang tenteram) adalah kondisi jiwa yang sudah mencapai ketenteraman.

30 QS. al-Baqarah [2]:40.

31 Pengetahuan-pengetahuan (ma'arif) ini disebut dengan hikmah, disebabkan pengetahuan-pengetahuan ini bersifat pasti, kuat dan mendatangkan keyakinan.

32 QS. al-An'am [6]:122.

33 QS. al-Hadid [57]:28.

34 QS. al-Balad [90]:4.

35 QS. al-A'raf [7]:150.

36 QS. al-Rum [30]:42.

37 QS. al-Nahl (16]:36.

38 Pada matan sebagian kitab yang menukil wasiat ini, terdapat perbedaan penempatan kalimat juga penghapusan sebagian kalimat. Matan di atas merupakan matan yang

p: 368

paling lengkap dibandingkan dengan yang lain.

39 QS. al-Rum [30]:42.

40 QS. al-Insyirah [94]:5-6.

41 QS. al-Nisa [4]:56.

42 QS. al-Zukhruf [43]:77.

43 QS. al-Qashash [28]:76.

44 QS. al-Sajdah (32):17.

45 Pada sebagian transkrip kalimat “al-nazhar fimâ lâ tukallaf" dibawakan dengan kalimat “alkhithab fimâ lâ tukallaf", sehingga berarti: “Janganlah engkau berbicara

tentang hal-hal yang bukan merupakan urusanmu!"

46 QS. al-Shaff [61]:9.

47 QS. Fathir [35]:29.

48 QS. al-Maidah [5]:105.

49 Allamah Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, juz 11, hal.395.

50 QS. al-Baqarah [2]:44.

51 Mausu'ah Kalimat al-Imam al-Husain as, hal.291.

52 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 5, Kitab al-Jihad.

53 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 70, hal.64, hadis ke-7.

54 Catatan Penyunting: Tentang kandungan dan faedah ziarah ini, lihat Mulla Bashir Rahim, Menziarahi Para Wali, (Jakarta: Al-Huda, 2011). Dalam buku ini, Rahim mengulas hampir setiap bait ziarah sehingga pada gilirannya memberikan pengertian mendalam kepada para pembacanya.

55 Syekh Abbas Qommi, Mafatih al-Jinan: Ziyarah al-Jami'ah.

56 QS. al-Maidah [5]:54.

57 Harrani, Tuhaf al-Uqul.

58 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 78, bab 22, hal.162, hadis ke-1.

59 QS. al-Isra [17]:78.

60 QS. al-Muzzammil [73]:6-7.

61 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 78, hal.277, hadis ke-113.

62 QS. al-Insyirah [94]:6.

68 QS. al-Thalaq [65]:7.

69 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 71, hal. 77, hadis ke-12.

65 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 82, hal. 137, hadis ke-22.

66 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.87, hadis ke-1.

67 Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, juz 1, hal. 729.

68 QS. al-Isra (17]:24: Wakhfidh lahuma janahadz dzulli minarrahmati... Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (kedua orang tua) dengan penuh kesayangan...)

p: 369

69 QS. al-Zumar (39):5.

70 QS. al-Bayyinah (98):5.

71 QS. Yunus (10):107,

72 Untuk keterangan lebih, silakan merujuk pada Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 77 dan 91; Irsyad al-Mustabshir fi al-Istikharah.

73 Pada sebagian transkrip, redaksi lamma raaituka qad balaghta... tertulis lamma raaituni qad balaghtu, sehingga artinya berubah menjadi, “Ketika aku melihat diriku telah berusia lanjut”; yakni, Imam Ali as menerangkan tentang kondisi dirinya dan bukan Imam Hasan as. Juga redaksi fa badir, tertulis fa badartuka, sehingga artinya berubah menjadi: “Maka aku bergegas untuk mengajarkan adab padamu.”

74 QS. al-Baqarah [2]:74.

75 QS. al-Hadid [57]:16.

76 QS. Fathir (35):32.

77 QS. al-Nahl (16):9.

78 QS. al-Nahl (16]:16.

79 QS. al-Nahl (16):9.

30 QS. al-Furqan (35):30.

81 QS. Muhammad [47]:12.

82 QS. al-Anfal [8]:22.

88 QS. al-Ankabut [29]:64.

84 QS. al-Fajr [89]:24.

85 Di dalam salinan yang lain.

86 QS. Ali Imran (3):185.

87 QS. al-Baqarah [2]:273.

88 Bagian dari wasiat ini hanya ada dalam kitab Tuhaf al-Uqul dan Bihar al-Anwar.

89 QS. al-Ahqaf [46]:11.

90 QS. al-Isra [17]:85.

91 Pada sebagian salinan, kalimat beliau dinukil sebagai berikut: Wala taqul ma la ta’lamu bal la taqul kulla ma 'alimta mimma la tuhibbu an yuqala laka. Janganlah berbicara tentang apa yang tidak kauketahui, dan jangan katakan semua yang kauketahui yang kau tidak suka bila hal itu diucapkan atasmu.

92 Pada sebagian salinan, setelah kata afatul albab terdapat tambahan kalimat: Fas'a fi kadhika wa la takun khazinan lighairika. Berusahalah dengan keras (dalam hidup) dan jangan menjadi penyimpan (harta) bagi orang lain.

93 Catatan Penyunting: Untuk pembahasan dari aspek mistisisme dan akhlak yang lebih komprehensif, bandingkan dengan Imam Khomeini, 40 Hadis: Telaah atas

p: 370

Hadis-Hadis Mistis dan Akhlak, (Bandung: Mižan, 2004), khususnya Hal.65-86.

94 Perbedaan dalam salinan (transkrip).

95 Syarah dan tafsir dari nasihat Rasul saw ini dapat Anda baca dalam kitab berjudul Tusyeh oleh Ayatullah Misbah Yazdi.

96 QS. al-Insyiqaq [84]:6.

97 QS. al-Baqarah [2]:156.

98 QS. al-Insyiqaq [84]:6.

99 QS. al-An'am [6]:32.

100 QS. Yunus [10]:7-8.

101 QS. Ibrahim (14]:2-3.

102 QS. al-Baqarah [2]:245.

108 QS. al-Mukminun [23]:99-100.

104 Pada bahasan berikutnya akan dijelaskan tentang sebab dan alasan tidak dikabulkannya sebagian doa.

105 QS. Ghafir [40]:60.

106 QS. al-Furqan [25]:70.

107 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.437.

108 Al-Shahifah al-Sajjadiyyah dan Mafatih al-Jinan: Doa Abu Hamzah Tsumali.

109 QS. al-Nisa [4]:64.

110 QS. al-Munafiqun [63]:6.

111 QS. al-Najm (53):32.

112 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 83, hal. 19.

113 QS. al-Nisa [4]:64.

114 QS. al-An'am (6):170.

115 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 99, hal.300, hadis ke-37.

116 QS. al-Isra [17]:11.

117 QS. Ghafir [40]:60.

118 QS. al-Baqarah [2]:186.

119 Syekh Kulaini, al-Kafi, juz 2, hal.489, hadis ke-3.

120 Catatan Penyunting: Riwayat popular menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah Tsa'labah.

121 Muhammad Rey Syahri, Mizan al-Hikmah, juz 3.

122 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 93, hal.322, hadis ke-36.

123 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 93, hal.322, hadis ke-36; Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis ke-3129.

124 QS. Ali Imran [3]:31.

p: 371

125 Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, khotbah ke-156.

126 QS. al-Taubah (9]:72.

127 QS. Ali Imran [3]:133:

128 lisi, Bihar al-Anwar, juz 78; Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah khotbah ke-32

129 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 40, hal.153.

130 Catatan Penyunting: QS. Ali Imran (3):185.

131 Catatan Penyunting: Misalnya, QS. al-Hadid (57]:20.

132 Muhammad Rey Syahri, Mizan al-Hikmah, juz 3, hal.297.

133 QS. Ali Imran [37:185.

134 QS. Muhammad [47]:36

135 QS. al-A'raf [7]:182.

136 QS. al-Baqarah [2]:6.

137 QS. al-Najm [53]:29.

138 Bagian wasiat ini sesuai dengan matan yang dimuat dalam kitab Ushul al-Kafi.

p: 372

Jilid 2

Point

عنوان و نام پدیدآور:21 Nasehat Penghalus Budi/ محمدتقی مصباح یزدی

ناشر: بنیاد تعلیم و تربیت امام خمینی ره

زبان:مالایی

مشخصات ظاهری: 2 جلد

موضوع:زندگی - دوستان خوب - نصیحت

p: 1

Point

p: 2

21 NASIHAT ABADI PENGHALUS BUDI

BUKU KEDUA

Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

p: 3

21 Nasihat Abadi Penghalus Budi: Buku Kedua

Diterjemahkan dari Pand_e Jawid (2) karya Prof. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi,

susunan Ali Zinati, terbitan Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini ra

Musim Dingin 1380 Syamsyiah

Penerjemah : Abdillah Ba’abud

Penyunting: Haydar Ali Azhim

Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved

Dilarang memperbanyak tanpa seizin penerbit

Cetakan I, Februari 2014/ Rabiul Akhir 1435

Diterbitkan oleh:Citra

Jl. Buncit Raya Kav.35 Pejaten Jakarta Selatan 12510

Telp.021-799 6767 Faks.021-799 6777

e-mail : penerbit_citra14@yahoo.com

facebook : penerbit citra

rancang isi : Five Images Studio

rancang kulit : zarwa76@gmail.com

ISBN : 978-979-26-0715-4 (no.jil.lengkap)

978-979-26-0733-8 (jil. 2)

p: 4

DAFTAR ISI

NASIHAT ABADI PENGHALUS BUDI ...iii

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI ...xi

23 METODE HIDUP...1

Kehidupan Sementara... 4

Zuhud sebagai Jalan dan Prinsip hidup...8

Cara Mencari Harta Dunia ...17

24 KAWAN YANG BAIK ...23

Kecenderungan Fitrah Manusia untuk Bergaul...24

Cara Seimbang dalam Memenuhi Berbagai Kecenderungan dan Kebutuhan...26

Tolok Ukur bagi Pergaulan yang Terpuji...29

Neraca untuk Memilih Teman...34

Cara Memilih Teman...42

25 PENYAKIT HUBUNGAN SOSIAL...45

Apa yang Dimaksud dengan Buruk Sangka (Su’uzhzhan)? ...46

Maksud Larangan Berkaitan dengan kondisi dan Aktivitas Rohani...48

Batasan antara Prasangka Baik dan Prasangka Buruk...53

Keharusan untuk Mengetahui Kelayakan Seseorang...62

Penyakit Perusak Pertemanan...65

26 MENJAGA HATI...73

Neraca Pemanfaatan Kenikmatan Duniawi...74

Seburuk-Buruk Kezaliman...76

Kendali Hati...79

27 ANGAN-ANGAN PANJANG...91

Mukadimah...91.

Keselarasan antara Kesungguhan dan Kemampuan dalam Bercita-cita...99

p: 5

Ramainya Pasar Khayal dan Fantasi...101

28 HATI YANG BERSIH...107

Hati dan Berbagai Aktivitasnya...108

Sumber Makanan Hati...108

Asupan yang Baik Harus Diberikan Secara Dawam Agar Hati Bersinar...111

Hikmah Di Balik Pengulangan Perbuatan Ibadah dan Akhlak...112

Ilmu adalah Pelita Jalan...114

Faktor-faktor yang Menyebabkan Penyimpangan dari Tujuan...116

Menghargai Kebaikan Orang...118

Takamul Tidak Dapat Diraih dengan Kejahilan...119

29 KEDUDUKAN PENGALAMAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA ...121

Tanda Keberakalan...122

Peranan Pengalaman dalam Hidup...124

Manis dan Getirnya Pertemanan...128

Menunda-Nunda (Taswif) adalah Pencegah serta Penghambat Keberhasilan...131

30 KESEMPATAN-KESEMPATAN EMAS...137

Tidak Setiap Pencari Dapat Menemukan Apa yang Dicarinya...138

Bagaimana Cara Memanfaatkan kesempatan!...141

Musafir Tanpa Bekal Takwa di Dunia Tidak akan Pernah Sampai di Tujuan...142

Permintaan Maaf adalah Sesuatu yang Harus Segera Dilakukan...145

Keseimbangan dalam Menikmati Fasilitas yang Ada...147

31 AKAR SIFAT “SELALU MENCARI KEMENANGAN DAN KEUNGGULAN (INGIN SELALU DI ATAS)”...151

Keseimbangan dalam Memenuhi Beragam Keinginan...152

Pengaruh Tarbiah pada Pemenuhan Berbagai Gharizah...154

Akibat Buruk dari Sikap Berlebihan dalam Mencintai Diri...160

Penyembuhan Sifat Lajajah (Berkeras Hati)...162

Akibat dan Efek Lajajah...164

p: 6

32 BAHAYA DAN KEWASPADAAN...171

Memegang Amanat...172

Menjaga Amanah Selalu Bersifat Baik...174

Menepati Janji...176

Kerakusan dan Ketamakan adalah Perbuatan yang Bermuara pada Ketidakwarasan ... 177

Ujian Bagi Manusia adalah Sebuah Keharusan Berdasar pada Sunah Ilahi...179

Bekerja keras Dibarengi Tawakal adalah Jalan Tengah yang Harus Ditempuh...180

Kekhawatiran yang Rasional (baca: Masuk Akal)...183

33 HUBUNGAN SOSIAL...187

Peran Hubungan Sosial dalam Evolusi Serta Takamul Manusia ...189

Prinsip Umum dalam Berbagai Hubungan Sosial...193

Tanda Kebakhilan...199

Prinsip Berbagi dan Berderma...201

Hal-Hal yang Dapat Merusak Hubungan Sosial yang Sehat ...207

34 ADAB PERTEMANAN (1) ...213

Cara-Cara Memperkuat Hubungan Pertemanan...215

Cara-Cara Menyelamatkan Kehidupan Masyarakat dari Berbagai petaka yang Dapat Menghancurkannya...228

35 ADAB PERTEMANAN (2) ...233

Lebih Buruk dari Yang Buruk ... 234

Batasan Pertemanan dan Ukuran Ketulusan ... 237

Menghindari Posisi Tuduhan dan Fitnah...241

Kewajiban untuk Menjaga Kehormatan dan Harga Diri Yang Merusak Hubungan Pertemanan...245

Sikap l'tidal dalam Beragam Tanggung Jawab...248

36 ADAB PERTEMANAN (3)... 253

Sikap Kurang Kasih Sayang Jauh Lebih Baik Daripada Sikap Kasar ...254

Hubungan Pertemanan Tidak Akan Pudar...256

Kecenderungan-Kecenderungan yang Berlawanan...259

Menebar Cinta atau Kikir atas Kasih Sayang dan keramahan?...262

p: 7

Antara Memaafkan dan Balas Dendam...263

Menzalimi Diri Sendiri...267

37 MACAM-MACAM REZEKI...271

Takdir dan Qadha' Ilahi...272

Pengaruh Qadha-Qadar dari Sisi Tarbiah...275

Antara Takdir dan Taklif Syar'i...283

Keseimbangan jiwa dalam Perubahan Zaman...286

38 DUNIA YANG IDEAL...291

Cara Hidup di Dunia...292

Hakikat Kehidupan Dunia dalam Ideologi Para Nabi...294

Akhir dari Kehidupan Non-llahi...299

Perdagangan ala Al-Quran...301

Membeli Keridaan Allah (Ridhwan Ilahi) ...304

Tidak Ada yang Perlu Disesali dari Dunia...308

39 PELAJARAN SEJARAH (1)...313

Masa Lampau adalah Pelita Bagi Masa Depan...313

Logika 'Ibrah (Mengambil Pelajaran dari Orang Lain di Masa Lampau)...316

Ibrah Tanpa Logika...317

Sebuah Contoh dan Sebuah Catatan...320

Selembar Catatan dalam Sejarah...321

Balasan Kufur Nikmat...326

40 PELAJARAN SEJARAH (2)...329

Pengulangan atau Keserupaan Peristiwa-peristiwa...330

Masa Depan Berbeda dengan Masa Silam...335

Sistematika Peristiwa-peristiwa Sosial...339

Ringkasan dan Kesimpulan Bahasan...344

41 ANTARA MANUSIA DAN HEWAN...347

Peranan Keinginan dan Kecenderungan dalam Perilaku...347

Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Mewujudkan dan Menguatnya Keinginan...349

Pertentangan Di Antara Beberapa kecenderungan dan Keinginan...350

Batasan Antara Manusia dan Hewan...353

p: 8

42 MENGHARGAI HAK ORANG...357

Menghargai Hak Orang yang Menghargai Hak Kita...357

Pengertian Hak dari Sisi Undang-Undang...358

Tolok Ukur Menjaga Hak Orang Lain dalam Etika...360

Beberapa Problem yang Terjadi Sesama Manusia ...362

Jalan dan Cara Menghadapi Beragam Kesulitan dan Problem... 363

43 KEUTAMAAN DAN KERENDAHAN...371

Sikap I'tidal Adalah Tolok Ukur Keutamaan...372

Pengertian Batasan l'tidal...377

Sikap dan Perilaku l'tidal Sangat Dianjurkan Di Dalam Al-Quran dan Hadis...379

Antara Sikap moderat dan kezaliman...382

Sikap I'tidal dalam Angan-Angan dan Cita-Cita...385

p: 9

p: 10

PENGANTAR PENERBIT EDISI PARSI

Nahj al-Balaghah laksana samudera tak bertepi yang di dalamnya tersimpan berbagai permata yang sangat berharga. Kitab yang layak diberi sebutan “saudara al- uran” ini memiliki beragam dimensi (makna) yang berbeda-beda dan sepanjang sejarah telah mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan ulama dan cendekia, baik muslim maupun nonmuslim. Sesuai dengan dzawa (cita rasa keilmuwan ), pemahaman dan potensi dirinya, masing-masing telah mengarungi satu sudut dari

samudera ini dan mengambil manfaat dari berbagai kekayaan yang terlihat maupun tak terlihat darinya. Salah satu matra paling muhim dan menonjol dari kitab

ini yang relatif banyak dijumpai di dalam materi-materi yang dikandungnya adalah aspek moral dan pendidikan (akhlak dan tarbiah). Nasihat-nasihat penting Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam bidang ini dapat menjadi petunjuk dan penuntun bagi para salik yang haus akan pencerahan rohani dan mencari hakikat-hakikat yang murni dan sejati dalam menempuh perjalanan mereka. Berdasarkan hal ini, seorang guru mulia dan alim berhati terang Profesor Muhammad

Taqi Mishbah Yazdi (semoga Allah memanjangkan umurnya) telah menjadikan salah satu maktubat penting dan sarat nilai Imam Ali as sebagai acuan dari rangkaian pelajaran akhlak beliau, sehingga dapat menyegarkan jiwa-jiwa yang haus akan

p: 11

pengetahuan ketuhanan (ma’arif ilahiyyah) dan nasihat akhlak (mawa'izh akhlaqiyyah) dari sumber yang penuh berkah ini. Buku ini bukanlah hal lain kecuali wasiat Imam Ali as kepada putra mulia beliau Imam Hasan Mujtaba as yang memuat banyak kandungan makna yang sangat tinggi dan luar biasa. Kini kami bersyukur kepada Allah Swt, karena dapat mempersembahkan kumpulan pembahasan dalam sebuah kitab yang ada di tangan Anda ini kepada segenap pencinta Imam Ali as dan para pengikut jalan wilayah, bertepatan dengan tahun yang oleh Rahbar Ayatullah Ali Khamenei (semoga Allah memanjangkan umur beliau) dinamakan sebagai ahun “ Amirul Mukminin as”.

Mengingat materi-materi kitab ini telah disampaikan dalam bentuk ceramah, tentu tidak dapat disamakan dengan kitab-kitab pada umumnya yang memang sejak awal diniatkan untuk ditulis. Meskipun dalam penulisannya telah dilakukan perubahan atas redaksinya, bagaimanapun juga bentuk ceramahnya tidak sepenuhnya hilang dan sedikit banyak dapat terlihat di seluruh bagian kitab. Akhir kalam, perlu kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Agha Ali Zinati yang telah melakukan penulisan atas ceramah-ceramah ini dan juga kepada Hujjatul Islam Muhammad Mahdi Nadiri yang telah melakukan penyuntingan akhir atas kumpulan ini.

p: 12

23-METODE HIDUP

Point

وَ اعْلَمْ یَا بُنَیَّ أَنَّ مَنْ کَانَتْ مَطِیَّتُهُ اللَّیْلَ وَ النَّهَارَ فَإِنَّهُ یُسَارُ بِهِ وَ إِنْ کَانَ لایسیر . أَبَی اللَّهُ إِلَّا خَرَابَ الدُّنْیَا وَ عِمَارَةَ الْآخِرَةِ.

یا بُنَیَّ ! فَإِنْ تَزْهَدْ فِیمَا زَهَّدَکَ اللَّهُ فِیهِ مِنَ الدُّنْیَا وَ تَعْزِفْ نَفْسَکَ عَنْهَا فَهِیَ أَهْلُ ذَلِکَ وَ إِنْ کُنْتَ غَیْرَ قَابِلٍ نَصِیحَتِی إِیَّاکَ فِیهَا فَاعْلَمْ یَقِیناً أَنَّکَ لَنْ تَبْلُغَ أَمَلَکَ وَ لَنْ تَعْدُوَ أَجَلَک ،وَ أَنَّکَ فِی سَبِیلِ مَنْ کَانَ قَبْلَکَ.فَخَفِّضْ فِی الطَّلَبِ.وَ أَجْمِلْ فِی الْمُکْتَسَبِ،فَإِنَّهُ رُبَّ طَلَبٍ قَدْ جَرَّ إِلَی حَرَبٍ؛فَلَیْسَ کُلُّ طَالِبٍ بِمَرْزُوقٍ،وَ لَا کُلُّ مُجْمِلٍ بِمَحْرُومٍ.وَ أَکْرِمْ نَفْسَکَ عَنْ کُلِّ دَنِیَّةٍ وَ إِنْ سَاقَتْکَ إِلَی الرَّغَائِبِ،فَإِنَّکَ لَنْ تَعْتَاضَ بِمَا تَبْذُلُ مِنْ نَفْسِکَ عِوَضاً.

Ketahuilah, barangsiapa yang siang dan malam adalah kendaraannya, maka dia akan dijalankan olehnya, meskipun dia berdiam diri. Allah Swt tidak menghendaki kecuali kehancuran dunia dan kemakmuran akhirat. Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu. Apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih

p: 1

angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Ketahuilah, engkau sedang berjalan di jalan orang-orang yang (pernah hidup) sebelummu, maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya; karena betapa banyak pencarian yang justru berakibat pada hilangnya modal. Tidak setiap yang gigih mencari itu akan mendapatkan apa yang diinginkan, sebagaimana tidak setiap yang tenang dalam mencari itu akan hidup kekurangan. Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan, karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.

Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, satu-satunya jalan untuk selamat dari berbagai penyimpangan dan godaan serta bisikan setan, adalah mengambil petunjuk dari cahaya ilmu serta bimbingan Ahlulbait as. Dalam rangka mendapatkan petunjuk tersebut, kami akan menjelaskan serta mengulas rangkaian nasihat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as, sebagai lanjutan dari apa yang telah diurai pada Buku Pertama. Dengan harapan, penulis dan pembaca dapat mengambil pelajaran dari sumber anugerah rabbani ini dan mendapat rida ilahi serta Hadhrat Wali al-Ashr (Imam Mahdi) ‘ajjalallahu farajahu al-syarif melalui jalan ini.

Sebelum segalanya, kita memohon kepada Allah Swt agar memberi petunjuk kepada kita semua dengan berkah cahaya-cahaya suci maksumin as serta kemuliaan darah para syuhada agung Islam, sehingga menjadikan hati kita layak menerima cahaya-cahaya ilmu Ahlulbait as dan pantas mereguk telaga Kautsar pengetahuan-pengetahuan Ilahi serta khazanah ilmu-ilmu rabbani.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Buku Pertama, surat wasiat Imam Ali as kepada Imam Hasan as dapat dibagi menjadi tiga bagian: pada bagian pertama, beliau

p: 2

menjelaskan tentang siapa yang memberi wasiat dan siapa pula yang menerima wasiat, di mana beliau menyebutkan beberapa sifat seputar dirinya sebagai pemberi wasiat dan juga putranya sebagai penerima wasiat. Beliau juga menjelaskan tentang kedudukan surat wasiat dalam kultur Islam, lalu menyinggung nilai wasiat-wasiat yang diberikan dan menyemangati orang lain untuk mengambil pelajaran serta petunjuk di dalamnya. Pada bagian kedua, beliau melakukan komparasi antara dunia dan akhirat, dan dengan memberikan penekanan pada kehidupan dunia yang bersifat temporal, beliau membangun dasar serta fondasi bagi sebuah pemikiran Ilahi yang berperan untuk menciptakan pandangan yang benar tentang kehidupan dunia serta hubungannya dengan kehidupan akhirat. Apa yang telah tertuang dalam wasiat ini, bisa dikatakan sebagai sebaik-baik keterangan berkaitan dengan hakikat dunia, yang diperkenalkan sebagai “tempat lewat” sehingga

dapat menjadi pijakan untuk menerangkan wasiat-wasiat beliau pada bagian akhir.

Pada bagian ketiga, beliau memberikan serangkaian nasihat dan program kerja yang penerimaannya telah beliau jelaskan pada bagian pertama dan kedua. Pada hakikatnya, bahasan-bahasan bagian pertama dan kedua adalah pintu gerbang bagi materi yang akan disampaikan pada bagian ketiga. Karena, dengan memberikan pandangan yang benar, dapat diwujudkan dasar untuk perbuatan baik serta pembenahan diri. Perbuatan yang benar dan tulus, juga pembenahan diri dan islah maknawi (spiritual), hanya dapat terwujud apabila manusia mempunyai pandangan yang benar tentang diri dan alam keberadaan. Oleh sebab itu, beliau tidak memberikan program kerja pada bagian pertama, bahkan program kerja tersebut baru diberikan setelah pencerahan pemikiran pada bagian pertama dan kedua, sehingga dapat menjadi pijakan yang cukup untuk masuk pada bagian ketiga. Bagian ketiga

p: 3

dijelaskan dalam keterangan-keterangan singkat serta kalimat-kalimat pendek; keterangan-keterangan yang tiap bagiannya memuat khazanah pengetahuan yang tak ternilai serta menyimpan dunia makrifat di dalamnya.

Kini tibalah saatnya untuk memaparkan serta mengulas bagian ketiga dari surat wasiat Ilahi ini yang berisi program-program kerja dalam balutan ungkapan-ungkapan singkat serta kalimat-kalimat yang pendek. Tentu, meskipun kalimat-kalimatnya pendek, ia memiliki kedalaman makna yang tak terhingga yang tangan pemikiran para penyelam hakikat tak mampu menjangkau dasarnya. Kenyataan tak terbantah ini telah memberikan alasan bagi sebagian ulama untuk memberikan penjelasan singkat dari lautan hikmah amali (praktis) ini dan tidak terlalu menyelami kedalamannya. Sementara kenyataan ini, juga telah menarik sebagian yang lain untuk memberikan penjelasan yang panjang-lebar atasnya. Di antara dua cara ekstrem di atas, kami memilih cara ketiga, yang merupakan jalan tengah di antara keduanya, yakni kami tidak akan memberikan penjelasan serta penafsiran yang luas dan mendalam dengan berbagai prolog serta epilog, namun juga

tidak dengan sekadar keterangan dan terjemah sederhana, tetapi akan diambil jalan tengah dan diberikan keterangan serta ulasan yang cukup jelas agar setidaknya dapat diraih berbagai mutiara yang sangat berharga dari lautan hikmah ini.

Kehidupan Sementara

Salah satu metode terbaik dalam menjelaskan sesuatu-yang sesuai dengan tabiat manusia—adalah dengan menggunakan metafora (perumpamaan). Imam Ali as

juga menggunakan metode ini. Beliau menggambarkan kehidupan duniawi manusia laksana seorang musafir yang sedang berpergian lalu menarik berbagai nilai hikmah dari perumpamaan yang sangat indah ini. (Beliau hendak

p: 4

menegaskan): Bahwa berdasar pada realitas, kesaksian, agama dan ilmu, manusia telah menerima sebuah kenyataan bahwa suatu hari nanti dia pasti akan meninggalkan dunia fana ini dan bahwa kehidupannya di dunia tak ubahnya seperti musafir lalu, sekalipun sangat berbeda dengan safar-safar pada umumnya. Dalam safar-safar biasa, kita sepenuhnya bebas dalam menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, seperti kapan kita akan pergi, bagaimana kita

menempuh perjalanan, jalur mana yang mau dilalui, di mana saja kita akan berhenti, kapan kita beristirahat dan seterusnya. Tak diragukan, ketika kita bepergian dengan sarana serta biaya sendiri, meskipun dalam sebuah safar wajib seperti ibadah haji, kita mempunyai kebebasan dalam menentukan bagaimana safar tersebut dilakukan. Namun dalam safar lain, yaitu perjalanan mengarungi waktu serta menjalani usia, kita tidak mempunyai kebebasan seperti di atas. (Dalam perjalanan ukhrawi), kita tidak lagi bebas menentukan kapan tinggal dan pergi; baik kita suka ataupun tidak, mereka tetap akan mengajak kita pergi. Perjalanan ini

adalah sebuah perjalanan yang kendalinya tidak lagi berada di tangan kita. Kita tidak bisa menolak untuk tidak pergi, bagaimana pun kita tidak menginginkannya, kita tetap harus pergi. Inilah perbedaan mendasar antara safar-safar duniawi dengan safar ukhrawi. Pada safar-safar duniawi, manusia bebas untuk menentukan kendaraan, kecepatan serta tujuannya. Sebagai misal, seseorang bisa menentukan apakah saya akan naik kendaraan pribadi ataukah kendaraan umum, apakah

dengan kapal laut ataukah pesawat udara, dalam kecepatan tinggi ataukah rendah. Namun safar ukhrawi adalah sebuah perjalanan yang bersifat deterministik, baik kita mau ataupun tidak mau, tetap kita akan diajak dan dibawa untuk melakukan perjalanan tersebut. Apa pun yang terjadi kita harus pergi, pendapat kita tidak lagi diperhitungkan, kita tidak lagi bisa menentukan kapan waktu perginya bahkan dalam cepat atau

p: 5

lambatnya perjalanan, kita tidak bisa mengontrol apa pun berkaitan dengannya. Singkat kata, dalam safar ini kita tidak hanya tidak mempunyai hak untuk memberi keputusan dan mengemukakan pendapat, tetapi kita bahkan tidak mempunyai kemampuan untuk menunjukkan reaksi apa pun. Perjalanan ini adalah perjalanan deterministik yang telah ditentukan bagi kita. Mereka akan membawa kita paksa dengan sebuah kendaraan yang sangat cepat dan tak bisa dikontrol atau dikendalikan. Mereka menaikkan kita di atas kendaraan waktu dan hari-hari dengan kecepatan yang mereka inginkan. Kendaraan ini berjalan dengan kecepatan dan arah di luar kontrol serta kendali kita. Kendaraan itu akan membawa kita pada suatu tujuan yang telah digariskan serta ditentukan oleh amal perbuatan kita sendiri. Oleh sebab itu, kita harus mengenali hakikat perjalanan ini, memahami urgensinya serta selalu waspada atas setiap perilaku kita, agar tidak ada perbuatan yang asal-asalan sehingga dapat menjauhkan kita dari tujuan yang telah ditentukan dan mengantar kita pada kebinasaan. Kita harus selalu waspada bahwa kendaraan waktu yang cepat ini menuntut kehati-hatian serta ketelitian yang lebih dari kita.

Di sini perlu kami perlu memberikan penekanan ulang, meskipun dalam nasihat ilahi-samawi ini Imam Ali as menjadikan putranya Hasan bin Ali sebagai lawan bicara, pada hakikatnya semua pemuda menjadi sasaran nasihat beliau. Beliau mengajarkan kepada semua pemuda tentang hakikat kehidupan dunia. Dengan kata lain, sekalipun secara lahiriah beliau menyampaikan nasihat serta bimbingan ini kepada putranya sendiri, tetapi nasihat ini juga tertuju kepada semua pemuda yang memiliki karakter serta sifat-sifat kepemudaan pada umumnya seperti putra beliau. Bahkan karena beliau adalah pribadi yang sangat peduli pada nasib umat manusia secara menyeluruh dan menganggap serta menyayangi mereka tak ubahnya seperti anak-anak tercinta beliau, maka

p: 6

nasihat ini pun pada hakikatnya meliputi seluruh manusia. Seakan beliau hendak mengatakan kepada seluruh pemuda yang mencari kesempurnaan, “apabila kalian hendak mencari jalan menuju kebaikan dan kesempurnaan, kalian tidak akan menemukan jalan yang lebih baik dari jalan yang telah aku tunjukkan kepada putraku.” Apakah kalian pernah menemukan ayah yang lebih peduli daripada Ali atau putra yang lebih baik dari pada Hasan bin Ali? Kini kalian telah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah seumpama Ali as dan kalian telah diperlakukan seperti putranya yang maksum, maka hargailah perhatian serta kepedulian ini. Sadarilah, kalian sedang berhadapan dengan surat wasiat yang seperti apa! Kini dengan memerhatikan metafora yang lugas dan kaya makna ini, Imam Ali as berkata kepada putranya: "Ketahuilah, barangsiapa yang siang dan malam adalah kendaraannya, maka dia akan dijalankan olehnya, meskipun dia berdiam diri,” Siapa yang berkendara pada kendaraan zaman? Tentu yang menaiki kendaraan siang dan malam bukanlah sosok tertentu, tetapi kita semua dan siapa pun yang hidup di dunia berkendara di atasnya yang melaju dengan cepat tanpa pernah berhenti.

Seluruh penghuni masa berada di atas kendaraan waktu, dan baik mereka mau ataupun tidak mau, siang dan malam terus membawa mereka berjalan tanpa berhenti walau sesaat. Setiap kedipan mata, waktu berlalu dan tak akan pernah kembali. Dengan penyifatan yang seperti ini, tak diragukan kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan dan mempersiapkan bekal serta berbagai sarana kehidupan yang bahagia (di masa mendatang). Karena bagaimanapun juga, suatu hari nati kita akan mengarungi perjalanan dan sampai pada tujuan. Di sana kita sangat memerlukan sarana-sarana kehidupan yang memadai. Semua itu harus kita persiapkan sebelum tiba di sana.

p: 7

Mengingat bahwa kehidupan dunia adalah perjalanan menuju akhirat dan kita sedang berjalan ke arah akhirat, kita sudah tidak boleh berpikir bahwa dunia adalah tempat tinggal dan tempat menetap bagi kita. Kita sudah harus serius berpikir bahwa tempat menetap berada di luar dunia. Tentu kita sudah harus memikirkan bagaimana kita bisa hidup tenteram dan bahagia di sana. Kita tidak boleh lagi berpikir bahwa rumah dan bangunan di dunia ini akan selalu kokoh dan tegak berdiri untuk jadi hunian abadi. Tetapi kita sudah harus menerima kenyataan bahwa kehidupan dunia sedang berjalan menuju kehancuran, (sebagaimana yang ditegaskan

oleh beliau), "Allah Swt tidak menghendaki kecuali kehancuran dunia dan kemakmuran akhirat.” Kehidupan ukhrawi adalah kehidupan yang hakiki dan abadi. (Disebutkan dalam al- Quran): ...Wa innad daral akhirata lahiyal hayawanu...,(1)

yakni, sesungguhnya kehidupan akhirat adalah kehidupan yang abadi. Kehidupan yang sesungguhnya hanya di sana, sementara dunia hanyalah tempat lewat menuju kehidupan abadi ukhrawi. Dunia bukan tempat tinggal yang abadi, bahkan dunia tidak memiliki kelayakan untuk dijadikan tempat tinggal. Dunia tidak lebih dari sekadar jalan dan tempat lewat.

Oleh sebab itu, ia tidak abadi dan hanya bersifat sementara. Ketika dunia telah terbukti sebagai tempat lewat dan bersifat sementara, apakah ia masih layak untuk dicintai? Dari metafora di atas dapat dipahami dengan sempurna bahwa seberapa besar nilai kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan yang sesungguhnya dan telah menjadi jelas bahwa kehidupan dunia dibanding dengan kehidupan akhirat tak lebih dari sekadar tempat lewat yang sangat singkat, hanya sebuah jalan pendek yang menghantar kita menuju kehidupan abadi ukhrawi.

p: 8


1- 1.QS. al-Ankabut [29]:64.

Zuhud sebagai Jalan dan Prinsip hidup

Kini kita telah memahami posisi kehidupan dunia di alam keberadaan. Kita juga sudah mengetahui di mana serta ke mana kita akan pergi. Dengan begitu tentu kita akan dapat membuat neraca serta ukuran untuk apa yang harus kita lakukan di dunia dan apa pula yang harus dilakukan untuk akhirat. Kini kita telah mengerti bagaimana seharusnya kita perlakukan dunia dan akhirat dan apa yang harus kita usahakan bagi keduanya. Dalam kaitan ini, secara khusus Imam Ali as

berpesan, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu.”

Dalam menjelaskan bagian dari wasiat Ilahi ini, kembali dakwaan di atas mengemuka, bahwa sasaran dari wasiat Ilahi ini adalah seluruh umat manusia dan bukan hanya Imam Hasan as. Bagian ini menjadi bukti dan dalil atas dakwahan tersebut, karena seorang insan maksum seperti Imam Hasan as tentu tidak pernah terpaut hatinya pada kehidupan duniawi sehingga perlu menghindar darinya. Ucapan Imam Ali as yang berbunyi, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu” tentu tidak dapat diterapkan pada pribadi suci seumpama Imam Hasan as, yakni tidak mungkin bagi Imam Hasan as untuk tidak mengamalkan apa yang dinasihatkan oleh sang Ayah. Sudah pasti Imam Hasan as akan mendengarkan, memerhatikan serta mengamalkan apa yang dipesankan oleh ayahnya. Nah, dari situ dapat disimpulkan bahwa dijadikannya Imam Hasan as sebagai sasaran wasiat, hanyalah sebagai sasaran formal (shuriy), sedangkan sasaran aslinya adalah seluruh manusia dan masyarakat awam. Cara memberi nasihat yang seperti ini adalah seperti yang sering diungkap dalam sebuah peribahasa (Persia) “Kukatakan kepada pintu,

p: 9

tapi dengarlah wahai dinding”, yakni kandungan makna kalimat akan menemukan sasarannya sendiri. Lawan bicara (mukhtahab) zahir kalimat Imam Ali as adalah putranya Hasan bin Ali, namun kandungannya lebih tertuju kepada umat manusia secara umum. Tujuan utama Imam Ali as dalam menjelaskan hakikat

dunia dan akhirat juga perbandingan posisi dunia di hadapan akhirat, adalah agar dapat diambil sikap yang benar atas kehidupan duniawi. Beliau menegaskan sikap yang harus diberikan pada kehidupan dunia sebagai berikut, “Wahai putraku, seandainya engkau berlaku zuhud terhadap dunia sebagaimana Allah menghendakimu untuk berpaling darinya, maka sudah sepantasnya dunia diperlakukan seperti itu.” Seakan Imam Ali as hendak mengatakan bahwa satu-satunya perlakuan yang

pantas diberikan pada kehidupan dunia, adalah zuhud dan berpaling dari gemerlapnya, karena dunia tidak mempunyai kelayakan untuk diminati serta dicintai.

Tentu yang dimaksud dengan zuhud di sini bukanlah kemudian manusia tinggal di gua, hutan atau padang pasir serta menarik diri dari masyarakat. Tetapi maksudnya adalah manusia tidak terpaut hatinya kepada dunia. (Dalam pandangan Islam), hidup di dunia adalah sebuah tugas serta amalan wajib, sedangkan bermalas-malasan dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan duniawi, baik yang bersifat individual maupun sosial, baik yang bersifat material maupun spiritual, adalah perbuatan yang tercela dan bisa menjadi sebab kehancuran abadi. Karenanya, makna zuhud bukanlah meninggalkan dunia dan hidup di tempat-tempat terpencil jauh dari masyarakat, tetapi yang menjadi tujuan adalah tidak jatuh hati dan terpaut cinta padanya, sebagaimana Imam Ali as sendiri tidak menarik

diri dari kehidupan masyarakat dan tidak pernah mengajak orang untuk melakukan itu. Dengan demikian, makna zuhud adalah tidak mencintai dunia dan tidak menjadikan kehidupan

p: 10

dunia sebagai tujuan. Zuhud sama sekali tidak berarti kita tidak melakukan apa-apa di dunia, kita harus tetap bekerja dan beraktivitas di dunia, namun tidak untuk dunia. Kita harus senantiasa berjuang secara maksimal di dunia demi memakmurkan kehidupan akhirat serta meraih keridaan ilahi, sebagaimana Mawla al-Muwahhidin (Imam Ali as) juga memeras keringat dan membanting tulang bekerja di ladang, namun begitu sudah tumbuh dan mulai menghasilkan, beliau segera mewakafkannya. Zuhud dan menjadi seorang zahid tidak berarti bermalas-malasan dan berdiam diri, karena zuhud yang dimaksud dalam banyak ayat dan riwayat sama sekali berbeda dengan bermalas-malasan atau mengucilkan diri. Kita di dunia dituntut untuk berusaha secara maksimal dalam memakmurkan kehidupan ukhrawi dengan tujuan meraih rida Allah Swt dan tidak untuk tenggelam dalam gemerlap dunia yang menipu.

Imam Ali as sangat menyadari bahwa memang sulit untuk mewujudkan karakter zuhud. Tentu banyak orang yang tidak bisa menerima dengan lapang dada apa yang menjadi pesan beliau atau, bila menerima, sanggup untuk mengamalkannya. Oleh sebab itu, beliau kemudian dengan menyadari apa yang ada di benak serta pemikiran mereka tentang kehidupan dunia, memberikan arahan seperti ini, “Apabila kalian tidak bisa menerima sepenuhnya apa yang aku nasihatkan dan tidak

sanggup mengamalkannya secara sempurna", yakni kalian tidak bisa mencabut hati dari kehidupan dunia seperti Salman, Abu Dzar dan yang seperti mereka, yakni apabila kalian merasa tidak bisa hidup dunia tanpa terpaut pada beragam kelezatan serta kenikmatannya, maka setidaknya berusahalah sekuat tenaga untuk mengurangi keterikatan serta keterpautan padanya. Ketika kalian tidak dapat mewujudkan zuhud yang ideal dalam diri, maka jangan kemudian kalian menyerahkan

diri kalian begitu saja kepada dunia, tetapi setidaknya maksimalkan usaha untuk terus melatih diri agar terlepas

p: 11

dari kecintaan pada dunia dan meraih karakter zuhud. Jangan sampai diri kalian lupa akan hakikat dunia yang sementara dan fana. Jangan sampai pemikiran yang benar tentang dunia hilang dari ingatan. Dengan demikian, Imam Ali as tidak sepenuhnya melepas begitu saja orang-orang yang lemah dan tidak berdaya dalam

menghadapi godaan dunia, tetapi beliau tetap memberikan petunjuk serta bimbingan yang sesuai dengan kondisi mereka. Memang benar, yang menjadi tujuan utama Imam Ali as adalah bagaimana manusia dapat mencapai puncak tertinggi dari kezuhudan serta posisi ideal dari keberpalingan terhadap dunia sehingga hatinya benar-benar kosong dari ketertarikan padanya. Akan tetapi, ketika beliau menyadari bahwa ada orang-orang lemah yang tidak tahan atas godaan dunia, beliau tetap memberikan kiat-kiat khusus agar jiwa dan hati mereka tidak dipenuhi dengan keterpautan serta kecintaan padanya. Tak dapat dipungkiri, manusia harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia, bahkan sebagian harus bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan tersebut. Meski begitu adanya, tetap saja manusia tidak boleh kemudian jatuh cinta pada kenikmatan serta harta benda dunia dan menjadikannya sebagai tujuan hidup.

Tingkatan zuhud yang paling ideal adalah bahwa sekalipun berusaha dan bekerja di dunia semata-mata demi meraih kenikmatan duniawi, tetapi manusia melakukan semua itu demi meraih keridaan ilahi, karena semua itu akan berpengaruh positif bagi kebahagiaan abadinya. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki tekad yang seperti itu dan tidak mampu mengosongkan hati secara sempurna dari kecintaan terhadap dunia, setidaknya mereka harus memaksimalkan

kemampuan untuk tidak terlalu larut dalam mencintai dunia dan mengambil pola hidup seimbang (antara dunia

p: 12

dan akhirat), yakni jangan sampai meninggalkan kezuhudan secara total. Dan apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Dengan kata lain, apabila kalian tidak dapat menjalankan pesanku secara sempurna dengan menceraikan dunia; apabila kalian masih belum bisa membuang ketertarikan pada dunia serta keinginan untuk mencarinya, maka sadarilah bahwa tak ada manusia yang dapat meraih semua angan dan citanya. Berangkat dari kenyataan ini, setidaknya kendalikan nafsu serta kerakusanmu dalam mencari dunia. Meskipun engkau tidak bisa mewujudkan sifat zuhud dalam diri (yakni menjadikan akhirat dan Tuhan sebagai tujuan utama) dan mempunyai kecintaan yang luar

biasa terhadap dunia, setidaknya buanglah angan-angan yang terlalu panjang dan jauh; jangan selalu kauturuti apa yang menjadi keinginanmu dan jangan kauhabiskan umur serta pikiranmu hanya untuk mengejar angan-angan duniawi. Karena telah terbukti, mereka yang menghabiskan seluruh umurnya untuk mengejar dunia, ternyata tidak pernah berhasil untuk mewujudkan semua keinginan dan angannya. Dunia adalah tempat (pertarungan) yang sempit. Sudah

barang tentu tidak mungkin semua keinginan serta angan manusia dapat terwujud di sana. Sering terjadi, apa yang kalian inginkan juga diinginkan dan diincar oleh orang lain. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa tidak semua orang bisa meraih apa yang menjadi angan serta keinginannya. Terkadang, apa yang diinginkan oleh seseorang bergantung pada berbagai sarana serta fasilitas yang tidak berada di bawah kendalinya secara menyeluruh, sehingga tidak ada kepastian baginya untuk meraih apa yang menjadi keinginan serta impiannya. Di sisi lain, pengalaman dan induksi membuktikan bahwa tidak ada manusia yang dapat meraih seluruh angan dan keinginannya,

p: 13

dan memang tidak akan ada yang mampu untuk mewujudkan seluruh angan dan keinginan duniawi. Nah, sementara kalian belum mampu menutup mata cinta serta keinginan hati dari dunia, maka perlu diketahui dan disadari bahwa angan-angan di dunia tidak akan pernah habis serta tidak seluruhnya dapat diraih. Tak sedikitpun diragukan, sebagaimana seluruh angan-angan di dunia tidak dapat dicapai, seluruh angan-anganmu pun juga tidak akan tercapai seperti yang lain; hanya sebagian angan-anganmu akan terwujud dan sebagian yang lain tidak.

Oleh sebab itu, setidaknya kurangilah kadar angan-anganmu. Apabila mencabut kecintaan pada dunia dari hati terasa sulit dan engkau merasa tidak mampu melakukannya, setidaknya lakukan pengendalian atas kadarnya. Di samping itu, engkau juga jangan melarutkan diri dalam mengejar angan-angan sepanjang waktu dan usia, tetapi berilah batasan waktu untuk berhenti berangan-angan dalam hal-hal duniawi yang pada hakikatnya sedikit dan tidak berharga. Sadarilah, setiap manusia mempunyai kesempatan hidup yang sangat terbatas, janganlah kaubiarkan dirimu untuk mengejar angan-angan yang membutuhkan waktu seribu

tahun untuk mewujudkannya. Berkaitan dengan angan-angan panjang Bani Israil dan orang-orang Yahudi, Allah Swt berfirman, Dan sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya daripada siksa. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan(1). Orang-orang Yahudi dan Bani Israil sedemikian cintanya kepada dunia hingga mereka ingin berumur seribu tahun. Seandainya mereka bisa mencapai keinginannya dan diberi kesempatan hidup selama seribu, mereka masih akan meminta tambahan seribu tahun lagi. Angan-angan dunia senantiasa menyibukkan

p: 14


1- 2 QS. al-Baqarah [2]:96.

hati mereka. (Kecintaan terhadap dunia), bisa menjadikan seseorang mempunyai angan-angan dan mimpi yang tidak realistis; apakah manusia bisa bertahan hidup selama seribu tahun, sehingga menginginkannya?! Boleh jadi ayat di atas hendak menjelaskan bahwa sering kali keinginan dan angan-angan manusia itu melebihi umur serta kesempatan hidupnya, bahkan melebihi usia dunia itu sendiri. Kemudian Allah Swt menegaskan bahwa angan-angan panjang seperti itu tidak akan terwujud dan masa hidup kalian akan berakhir sebelum terpenuhinya segala angan dann impian. Benar, dalam sejarah manusia, ada sekelompok manusia yang hidup selama seribu tahun, namun pada masa sekarang, pada umumnya maksimal usia manusia itu sekitar seratus dua puluh tahun. Sebagaimana disebutkan

dalam sebuah peribahasa: “Seratus dua puluh tahun adalah garis akhir dari kehidupan duniawi”. Usia manusia tidak akan mencapai seribu tahun, sehingga dia menyusun angan-angan untuk seribu tahun. Berhadapan dengan realitas yang tak terbantah ini, bagaimana sebagian orang masih saja mengejar angan-angan yang tidak mungkin diwujudkan dalam kurun waktu seratus tahun?!

Salah satu dari ketidakwarasan yang dilakukan oleh sebagian manusia adalah kerja serta usaha tak kenal lelah orang-orang yang sudah memiliki harta berlimpah. Meskipun dia mengetahui bahwa masa investasi di dunia terbatas, dia masih tetap mencari dan mengejar dunia dengan penuh kerakusan. Padahal, harta yang telah dia kumpulkan sudah begitu banyak dan dapat menghidupi keluarga serta anak cucunya hingga beberapa keturunan. Apa sebenarnya yang akan dia peroleh dari kerakusan ini? Di manakah titik akhir bagi kerakusan serta penumpukan harta ini? Apa sebenarnya yang terdapat dalam benak dan pemikirannya, sementara tidak

banyak lagi waktu menjelang akhir hayatnya?! Apa perilaku

p: 15

yang seperti ini mempunyai nama lain selain “kegilaan dalam menumpuk harta?!” Karena, sekalipun dia mengetahui serta menyadari bahwa dia tidak akan mampu menikmati serta memanfaatkan semua harta itu, dia tetap mengumpulkan serta menumpuknya dengan penuh kerakusan. Seakan-akan yang menjadi impiannya itu adalah sekadar menjadi kaya dan kekayaan itu tercatat atas namanya. Dia merasa mendapat kelezatan dari sekadar dikenal sebagai orang yang memiliki banyak harta dan kaya raya. Sebagai kesimpulan, jika kita berkeinginan untuk menikmati sebagian dari perkara-perkara duniawi dan berangan-angan untuknya, maka kita tetap harus mengingat dan tidak melupakan usia serta masa hidup yang terbatas. Dalam usia yang terbatas ini, hendaknya kita mengejar cita dan angan-angan yang sesuai dengannya. Jangan sekali-kali memimpikan angan-angan duniawi yang terlalu panjang, karena hal itu tidak bisa diraih dengan usia yang terbatas.

Jangan habiskan usia terbatas ini hanya untuk dunia. Apakah kalian mengetahui berapa lama masa hidup kalian di dunia dan tinggal berapa lama lagi sisanya, sehingga kalian habiskan untuk mengejar harta dunia dengan kerakusan tingkat tinggi? Pada masa kini, manusia pada umumnya hanya memiliki masa hidup antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Lalu bagaimana kita menumpuk angan-angan yang baru akan terwujud setelah seratus tahun!? Nah, jika memang kita mempunyai keinginan-keinginan di dunia, hendaknya kita sesuaikan dengan kesempatan hidup yang kita miliki. Kita harus memiliki cita dan angan-angan yang rasional dan realistis yang bisa terwujud serta bermanfaat bagi masa hidup yang sangat pendek ini.

Dan apabila engkau tidak menerima nasihatku tentang dunia, yakinlah bahwa engkau tidak akan meraih angan-anganmu dan engkau tidak bisa menghindar dari ajalmu. Ketahuilah, engkau

p: 16

sedang berjalan di jalan orang-orang yang pernah hidup) sebelummu, maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya ... Lihatlah orang-orang yang pernah hidup sebelummu, berapa lama sebenarnya mereka tinggal di dunia? Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); maka Jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal Kepada Rasul-Nya Allah Swt berkata, “Kami tidak memberikan umur yang kekal bagi manusia-manusia sebelummu, dan Kami pun tidak akan memberimu umur yang abadi. Adakah kepada orang-orang yang hidup sebelum masamu diberikan kehidupan yang kekal?(1) Tidak, mereka semua telah mati. Mereka telah meninggalkan dunia ini dan engkau pun juga akan meninggalkannya. Nah, sekarang ketika engkau menyadari bahwa semua telah pergi dan engkau juga akan segera menyusul mereka, dan dalam masa

hidup semua angan-angan tidak akan tercapai, maka jangan kerahkan seluruh kemampuanmu hanya untuk dunia semata! Apabila engkau ingin mengejar dunia, lakukan dengan tenang tanpa kerakusan! Jangan tidak berusaha sama sekali, tapi juga jangan mengejar dunia dengan kerakusan, kejarlah angan-angan dengan penuh kehati-hatian! Jika engkau tidak dapat mencerabut akar cinta dunia dari hatimu, setidaknya kejarlah hal-hal yang sederhana tanpa tergopoh-gopoh dan tergesa- gesa; kejarlah dunia dengan tenang tanpa loba!

Cara Mencari Harta Dunia

Mengingat bahwa arti zuhud adalah tidak mencintai dunia dan bukan meninggalkan dunia, maka baik akal sebagai rasul batin maupun syariat sebagai rasul zahir telah memberikan hak dan ruang bagi manusia untuk mencari dunia serta mengambil manfaat darinya. Namun, apa yang dapat dijadikan ukuran serta neraca dalam pencarian dan

p: 17


1- 3 QS. al-Anbiya' [21]:34.

pemanfaatan dunia? Di manakah letak batasannya? Apabila seseorang untuk bertahan dan melanjutkan hidup mau tidak mau harus mencari serta mengambil manfaat dari dunia, dan dengannya dapat melakukan penghambaan kepada Allah Swt, maka bagaimana seharusnya dia berhubungan dengan dunia agar tidak terpaut cinta padanya; bagaimana dia harus mengambil manfaat dari dunia, namun hatinya tidak terjerat serta tertawan olehnya?

Sesuai dengan tuntutan akal dan syariat yang menyatakan bahwa mencari dunia adalah sebuah keharusan yang tak terelakkan, setelah memberikan wasiat tentang kezuhudan, di sini Imam Ali as kemudian menjelaskan tentang cara yang benar dalam mencari dunia, agar penerima wasiat dapat mencari dunia dengan cara yang benar dan sarat keindahan; beliau berkata: “..maka bersikaplah tenang dalam mencari (dunia) dan gunakan cara yang baik untuk memperolehnya!” Keterangan di atas sering diungkap dalam literatur Islam dan riwayat-riwayat Ahlulbait as.

Dalam kitab-kitab fikih dan hadis(1) dapat ditemukan dalam bahasan tentang al-makâsib sebuah subtopik berjudul “al-ijma' al fi al-thalab" yang berarti cara yang baik dan benar dalam mencari harta dunia. Ada sekelompok orang yang mau dan sanggup menerjang apa saja, baik yang halal maupun yang haram, yang syar'i maupun non- syar'i demi meraih harta benda duniawi. Sebagai misal, apabila dia hendak mencari uang, rumah, mobil, kedudukan tertentu, wanita pendamping hidup atau keinginan-keinginan yang lain, dia cenderung melampaui batas, segala cara dia lakukan tanpa berpikir apakah cara tersebut dibenarkan oleh agama atau tidak, dia menghalalkan segala cara demi mewujudkan keinginan duniawinya tanpa peduli dengan kemuliaan dan kehormatan diri serta norma-norma insani. Padahal sebagai

p: 18


1- 4 Bihar al-Anwar, jil.73, bab 122, hal.92; jil.87, bab 12, hal.257; jil. 103, bab 1, hal. 103; Mustadrak al-Wasail, jil.8, bab 47; jil. 13, bab 10.

Seorang manusia seharusnya dia menempuh jalan yang mulia dan bermartabat dalam meraih beragam keinginan agar nilai-nilai kemanusiaannya tidak terinjak-injak. Hendaknya dia memerhatikan mana yang halal serta mana yang haram, agar kemuliaan insani dan islaminya tidak tergadaikan demi impian-impian duniawinya; hendaknya dia mencari dunia dengan cara yang benar dan mulia yang jauh dari kehinaan serta kerendahan perilaku.

Nah, ketika engkau mendapati dirimu tidak bisa berpaling dan menutup mata dari gemerlap dunia dan karena memang manusia tidak bisa berlepas diri secara total dari kebutuhan duniawinya, setidaknya tempuhlah jalan yang benar dan mulia dalam mencarinya tanpa harus mengotori diri dengan perbuatan haram yang menghinakan; dan jangan sekali-kali engkau menjual kemuliaan dirimu dengan dunia yang fana. Karena betapa banyak orang yang berusaha keras dan mati-

matian dalam mencari dunia, namun alih-alih dia mendapatkan keuntungan justru menuai kerugian dan berakhir dengan hilangnya modal kerja. Ada banyak pedagang yang mencari dunia dengan penuh kerakusan, tetapi mereka tidak sedikitpun mendapat keuntungan, bahkan seluruh modal kerjanya ikut habis terbuang dan mengalami kerugian yang besar. Karena tidak selalu mereka yang bekerja dengan penuh kerakusan sambil menghalalkan segala cara, akan mendapatkan harta

serta keuntungan yang lebih banyak. Beliau menegaskan, "Karena betapa banyak pencarian yang justru berakibat pada hilangnya modal. Tidak setiap yang berusaha keras mencari itu akan mendapatkan apa yang diinginkan, sebagaimana tidak setiap yang tenang dalam mencari itu akan hidup kekurangan." Yakni, banyak orang yang berusaha mati-matian justru mengalami kerugian dan banyak pula mereka yang berusaha dan bekerja secara wajar dan proporsional mendapat keuntungan yang banyak. Betapa banyak orang yang bekerja secara santun dengan perhitungan yang matang, tanpa kecemasan dan ketergesa-gesaan, tanpa menjual kehormatan

p: 19

dan kemuliaan diri, sambil menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan etika insan, mereka berhasil meraih manfaat serta keuntungan yang sebesar-besarnya dari kehidupan dunia. Sungguh tidak benar, mereka yang mencari dunia dengan penuh ketenangan melalui jalan-jalan yang benar dan sarat kemuliaan, pasti akan merugi dan hidup kekurangan! Oleh sebab itu, dalam mencari dunia, pilihlah jalan yang rasional, jalan yang dapat menjaga agama, kehormatan serta kemuliaan diri. Jangan hanya untuk mendapatkan harta dunia yang sangat tidak berarti, kemudian engkau injak-injak agama, kehormatan serta kemuliaan dirimu. Beliau

menasihatkan, "Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan, karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.” Muliakanlah dirimu dari hal-hal yang hina dan

jagalah kehormatan serta kemuliaan dirimu; jauhilah perbuatan haram, menjilat serta menjual harga diri demi kebutuhan-kebutuhan sesaat duniawi, karena agama, kehormatan serta kemuliaan diri yang telah engkau korbankan, tak akan pernah tergantikan oleh harta benda duniawi yang tak berharga.

Seorang mukmin harus pandai menjaga kehormatan serta kemuliaan dirinya. Ketika membutuhkan sesuatu, tidak mengutarakan serta membeberkan kebutuhannya kepada setiap orang. Betapa indah pujian al-Quran kepada sekelompok orang yang berada dalam kebutuhan dan kesulitan ekonomi, namun begitu luar biasa mereka menjaga kemuliaan serta kehormatan diri sehingga masyarakat mengira mereka sebagai orang-orang kaya. Mereka sangat menjaga kemuliaan diri

sehingga tidak pernah meminta-meminta dengan cara yang melanggar etika. Allah Swt mengabadikan mereka dalam sebuah ayat yang artinya:

p: 20

(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan

apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.(1) Mereka yang terdidik dalam ajaran Ahlulbait as tidak

akan pernah meminta-minta walaupun dalam kebutuhan. Apabila mereka diberi hadiah dan santunan secara sembunyi- sembunyi, wajah mereka memerah dan tidak sanggup untuk menerimanya. Namun, ada sekelompok manusia yang hanya karena harta benda tak berharga dunia sudi mempertaruhkan kehormatan serta kemuliaannya dan membeberkan apa yang menjadi kebutuhannya kepada setiap orang. Sementara seorang mukmin sejati tidak akan pernah melakukan hal-hal

yang menghinakan diri atau melakukan kejahatan demi meraih harta benda duniawi yang cepat berlalu; disebabkan dia telah mendengar nasihat dari Maulanya yang berkata, “Muliakan dirimu dari setiap perbuatan yang menghinakan, meskipun hal itu akan menyampaikan dirimu pada apa yang engkau inginkan; karena setiap (nilai agama dan harga diri) yang telah engkau pertaruhkan tak akan pernah bisa digantikan.” Jauhilah perbuatan yang menghinakan, sekalipun ia

dapat membawamu untuk meraih beragam keinginan. Boleh jadi, seseorang menempuh sebuah jalan yang dapat menyampaikannya padahal-hal yang diinginkan, namundengan harga yang sangat mahal, yaitu dengan mempertaruhkan kemuliaan, martabat, harga diri dan perbuatan-perbuatan yang menghinakan; sungguh suatu kebodohan! Apabila seujung jarum kemuliaan, martabat, harga diri serta agamamu dihinakan dan sebagai imbalannya seluruh dunia diberikan padamu, hal itu masih belum sebanding dengan harga diri,

p: 21


1- 5 QS. al-Baqarah [2]:278.

kemuliaan serta agamamu! Apa kira-kira yang bisa engkau raih dengan mempertaruhkan kemuliaan dan harga diri?! Yang pasti, engkau hanya akan mendapatkan sesuatu yang lebih rendah dari nilai kemuliaan serta harga dirimu dan tidak akan pernah sebanding dengannya, seberapa pun besar nilai materi yang didapat! Dengan kata lain, apa yang engkau pertaruhkan dari agama dan kemuliaan diri, maka engkau akan mendapatkan sesuatu yang jauh lebih rendah nilainya dari agama dan kemuliaan diri! Dengan demikian, apabila engkau memang tidak dapat menarik diri dari keterpautan pada dunia secara total, setidaknya carilah dunia dari jalan yang halal tanpa mempertaruhkan harga diri, kemuliaan serta nilai-nilai tinggi agama. Karena harga kemuliaan diri dan nilai-nilai agama jauh lebih besar bahkan dari ribuan dunia dan harta benda duniawi. Jangan pernah engkau timbang dan hargai agama serta kemuliaan diri dengan harta benda duniawi yang tidak

berharga, karena engkau tidak hanya akan kehilangan modal, tetapi engkau juga akan kehilangan jiwa dan dirimu sebagai pemilik modal.

p: 22

24-KAWAN YANG BAIK

Point

وَ مِنْ خَیْرِ حَظِّ امْرِء قَرینٌ صالِحٌ، فَقارِنْ أَهْلَ الْخَیْرِ تَکُنْ مِنْهُمْ، وَ بایِنْ أَهْلَ الشّرِّتَبِنْ عَنْهُمْ

Sebaik-baik keuntungan bagi manusia adalah kawan yang baik, maka bertemanlah dengan orang-orang baik niscaya engkau akan dimasukkan dalam golongan mereka; dan jauhilah orang-orang buruk (jahat) agar engkau tidak dimasukkan dalam golongan mereka.

Bergaul, bersosial serta berhubungan dengan orang lain adalah sebuah keharusan bagi manusia. Cara dan bentuk pergaulanlah yang dapat bermanfaat atau merugikan bagi manusia. Hubungan yang benar akan mendatangkan manfaat sementara hubungan yang keliru akan berbahaya bagi kehidupan manusia. Apabila hubungan serta pergaulan didasarkan pada konsep Ilahi serta nilai-nilai mulia insani, hasilnya adalah kemajuan serta perkembangan jiwa manusia menuju hal-hal yang positif. Hasil itu mempunyai nilai dan arti Bagian ini terdapat sedikit perbedaan redaksi dengan apa yang tertulis di dalam Nahj al-Balaghah.

p: 23

yang sangat berharga bagi manusia. Mengapa? Jawabannya adalah karena kesempurnaan diri merupakan tujuan manusia. Oleh sebab itu, pergaulan dengan orang lain merupakan salah satu sarana bagi manusia untuk meningkatkan serta mengembangkan kualitas diri demi mencapai tujuan-tujuan mulia insani. Berkaitan dengan masalah ini, dengan bantuan serta inayah Ilahi, kami akan mencoba mengulasnya sebatas kemampuan.

Kecenderungan Fitrah Manusia untuk Bergaul

Dalam kehidupan dunia, manusia tidak bisa menghindari pergaulan dan bersosialisasi dengan orang lain. Meskipun bergaul dan berteman merupakan kebutuhan tak terelakkan bagi manusia dan tidak benar apabila manusia meninggalkan pergaulan, bukan berarti bahwa setiap bentuk pergaulan dan pertemanan itu baik dan dibenarkan. Nah, ketika bergaul dan bersosialisasi adalah sebuah keharusan, maka pergaulan harus berdasar pada sebuah neraca dan ukuran yang benar dan aman, sehingga manusia dapat menyaring serta memilih teman bergaulnya berdasarkan neraca tersebut. Apabila manusia dapat memilih teman bergaulnya secara benar, dia akan memperoleh manfaat serta keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebagaimana telah diketahui, kecenderungan untuk bergaul serta bersosialisasi

adalah kecenderungan yang bermuara pada fitrah insani dan tidak perlu dipelajari; kecenderungan itu begitu kuatnya sehingga manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang mempunyai tabiat “madani” serta fitrah sosial. Di sini kita tidak akan membuktikan apakah manusia itu benar-benar bertabiat madani ataukah tidak, mungkin akan dibahas pada kesempatan lain. Namun, kita semua menyadari dan mendapati bahwa keinginan untuk bersosial dan bergaul terdapat dalam

diri manusia. Oleh sebab itu, manusia merasa tidak nyaman dan kesepian hidup sendirian. Apabila seseorang dalam

p: 24

beberapa waktu, walau hanya sebentar, berada di sebuah tempat sendirian tanpa ada seorang pun yang menemani, pasti akan sulit baginya untuk melalui saat-saat itu. Apalagi bila dia terpaksa tinggal sendirian dan bukan merupakan keinginannya. Sedemikian kuatnya kecenderungan ini dalam diri manusia, sehingga dia tidak hanyak tertarik untuk bergaul dengan kawan dekat atau orang sekota saja, tetapi dia ingin berkenalan, berkomunikasi dan beramah tamah dengan siapa saja yang dia temui. Sebagai misal, apabila seseorang terdampar dan tersesat di padang pasir atau hutan, dan selama berhari-hari tidak dapat melihat atau berhubungan

dengan manusia, maka begitu dia melihat seorang manusia, tentu dia akan merasakan kegembiraan yang luar biasa seakan dia telah menemukan apa yang selama ini dicari dan dinanti.

Bahkan, meskipun orang yang ditemui itu asing dan belum dikenalnya atau bahkan dia tidak mengerti bahasa serta tidak dapat berkomunikasi dengannya, tetap saja dia merasa senang (karena tidak lagi sendirian). Dia akan berusaha dengan segala cara untuk mendekati, mengenali dan membangun komunikasi dengannya. Hal ini dengan sangat jelas membuktikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan alamiah untuk bergaul dan hidup bersama. Perlu digarisbawahi, besar dan kecilnya kecenderungan ini juga bervariasi dalam fase-fase usia manusia. misalnya, pada masa remaja kecenderungan untuk bergaul dengan orang lain terasa sangat kuat, sementara pada masa-masa berikutnya seiring dengan pertambahan usia, kecenderungan ini secara berangsur akan mengalami penurunan. Tak sedikitpun disangsikan, Allah Swt telah menganugerahkan kecenderungan ini dalam jiwa manusia berdasar pada hikmah-hikmah tertentu. Sebagai contoh, di

antara hikmah yang terkandung di dalamnya adalah bergaul dan

p: 25

berteman dengan manusia-manusia yang ideal dan sempurna (baca: insan kamil) merupakan sarana terbaik bagi manusia untuk mencapai kebahagian serta tujuan tertinggi insani. Mengingat pemenuhan kecenderungan-kecenderungan fitri manusia dapat dilakukan dengan dua cara dan bentuk, yaitu pemenuhan secara seimbang dan pemenuhan secara tidak seimbang (baca: ekstrem), maka kecenderungan fitri manusia untuk bergaul dan berteman ini juga dapat dipenuhi secara

ifrath dan tafrith, dan secara keseluruhan memang kehidupan manusia di dunia ini dapat berada di bawah dua pengaruh (baik dan buruk). Sebagai misal, manusia mempunyai kebutuhan pada makanan dan kebutuhan ini harus dipenuhi, namun tidak kemudian setiap makanan dengan sembarang takaran itu baik bagi manusia. Ketika terbukti bahwa kecenderungan tertentu itu bermuara pada fitrah manusia, tidak kemudian lantas boleh dipenuhi secara sembarangan tanpa syarat dan aturan. Akan tetapi, karena berbagai kecenderungan itu merupakan anugerah dari Sang Pencipta yang pasti sarat dengan hikmah dan dengan maksud menggiring umat manusia pada tujuan- tujuan tertentu, maka kita harus memenuhinya dengan memerhatikan tujuan-tujuan tersebut. Artinya, dalam rangka memenuhi berbagai kecenderungan fitri, manusia dihadapkan pada dua jalan: Ada jalan yang baik dan benar, yang akan mendatangkan manfaat serta kesempurnaan bagi manusia, dan ada pula jalan yang keliru dan menyimpang, yang akan berbahaya, merugikan dan membuat manusia semakin jauh dari kesempurnaan. Tentu bagi setiap manusia yang mencari kesempurnaan dan kemuliaan, pasti akan memilih jalan yang pertama dan memenuhi berbagai kecenderungan fitrahnya secara seimbang dan proporsional. Rumusan ini (yakni pemenuhan kebutuhan secara seimbang) berlaku pada berbagai kebutuhan dan kecenderungan fitrah manusia,

termasuk pemenuhan kebutuhan libido, makanan, pergaulan dan lain sebagainya.

p: 26

Cara Seimbang dalam Memenuhi Berbagai Kecenderungan dan Kebutuhan

Pemenuhan kebutuhan secara seimbang dan proporsional, selain merupakan tuntutan syariat juga merupakan tuntutan akal sehat. Yang penting di sini adalah bagaimana kita dapat menjelaskan secara praktis dan realistis makna keseimbangan dan bagaimana memenuhi beragam kecenderungan serta kebutuhan dengan cara yang benar. Sebagai contoh, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk bergaul dan berteman. Dia sangat ingin untuk dapat memenuhi kecenderungan tersebut. Tak diragukan, ada hikmah serta tujuan yang tersembunyi di balik kecenderungan ini. Tentu hikmah tersebut dapat diwujudkan bila kecenderungan itu

dipenuhi dengan cara yang benar, seperti apabila seseorang menjadikan orang pandai dan orang yang berperilaku mulia sebagai teman bergaulnya, tentu dia akan mendapatkan banyak manfaat dari pergaulan seperti itu dan membantu proses penyempurnaan dirinya.

Akan tetapi, apabila seseorang tidak mengindahkan aturan pergaulan dan memilih orang yang berperilaku buruk dan sama sekali asing dari etika, pergaulan ini tidak akan memberikan apa-apa baginya selain kerugian, kehancuran, kerusakan dan bencana. Berbagai kecenderungan yang bermuara pada fitrah dapat juga diibaratkan dengan pedang dengan dua sisi yang sama tajam, yakni ia bisa menjadi sarana yang mendatangkan kebaikan dan keburukan; ia dapat menjadi

sarana kesempurnaan dan pada saat yang sama bisa menjadi penyebab kehancuran. Hampir semua kecenderungan insani bersifat seperti itu, termasuk juga kecenderungan untuk bergaul dan berteman.

Apa yang harus dilakukan, apakah kita akan mendasarkan hidup pada pergaulan dan pertemanan dengan semua orang, ataukah kita menyendiri dan tidak bergaul dengan

p: 27

siapa pun? (Jawaban yang benar) adalah memang manusia harus menyandarkan kehidupannya pada pergaulan serta pertemanan, namun perlu diperhatikan bahwa maksudnya bukan sembarang pergaulan dengan siapa saja tanpa norma, aturan dan batasan. Dengan kata lain, sebagaimana kita tidak dibenarkan untuk mengucilkan diri dan memutus hubungan dengan semua orang, kita juga tidak dibenarkan untuk membuka hubungan dan pergaulan dengan segala orang.

Dua cara bergaul di atas adalah salah dan bersifat ekstrem (ifrath dan tafrith) serta jauh dari keseimbangan. Di dalam bergaul dan berteman seharusnya manusia mengambil sikap seimbang, proporsional dan tidak berlebihan. Di kalangan ulama akhlak terdapat sebuah prinsip yang juga diterima di kalangan hukama (para filsuf), yaitu “prinsip keseimbangan”. Meskipun tidak begitu jelas apa yang kemudian menjadi ukuran serta neraca dari keseimbangan yang dimaksud, secara garis besar prinsip ini adalah sebuah prinsip yang benar dan dapat diterima. Sebagian ulama akhlak mengambil langkah lebih jauh, dan dengan mengikuti para

filsuf Yunani Kuno khususnya Aristotelian, meyakini bahwa keseimbangan merupakan neraca serta tolok ukur bagi kebaikan dalam perbuatan. Mereka hendak mengatakan, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang jauh dari ifrath dan tafrith; perbuatan yang di dalamnya terdapat keseimbangan, sikap

moderat, tidak ekstrem dan tidak berlebihan. Keterangan di atas boleh jadi tidak dapat diterima secara menyeluruh, tetapi dapat dikatakan bahwa keseimbangan bisa menjadi neraca yang sangat bagus untuk menilai perbuatan serta perilaku yang baik, karena di dalamnya tidak banyak ditemukan pengecualian. Boleh jadi, sikap seimbang dan moderat dapat menjadi faktor penilai kebaikan dalam segala perbuatan. Perlu diketahui, dalam riwayat-riwayat Ahlulbait as dapat ditemukan keterangan-keterangan yang mengukuhkan makna

p: 28

ini. Sebagai misal, dalam sebuah riwayat yang sangat populer, Imam Musa Kazhim as berkata, “Sebaik-baik perkara adalah yang berada di tengah (yakni, tidak kurang dan tidak juga berlebihan).(1) Atau dalam riwayat lain disebutkan, “Sebaik- baik perkara bagiku adalah jalan tengah dalam kebenaran.(2) Juga disebutkan dalam sebuah riwayat: “Sebaik-baik manusia di sisiku adalah mereka yang mengambil jalan tengah (bersikap moderat), maka dekatilah mereka!(3) Sebagaimana yang telah dijelaskan, riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa menjaga keseimbangan dalam perilaku dapat dijadikan sebagai sebuah neraca dan ukuran, meski tidak dapat dianggap sebagai dalil yang bersifat mutlak dan qath’i. Alhasil, setelah diketahuinya tujuan dari kehidupan, manusia harus menggunakan berbagai kecenderungan dirinya secara benar dan seimbang demi tercapainya tujuan tersebut. Karena tanpa keseimbangan, yang akan terjadi adalah penyimpangan serta menjauhnya manusia dari tujuan.

Tolok Ukur bagi Pergaulan yang Terpuji

Telah kita ketahui, semata-mata bersandar pada keseimbangan tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Untuk membuktikan keterangan di atas, cukup dikatakan: apabila seseorang yang tidak mempunyai tujuan atau sedang mengejar tujuan-tujuan yang batil, menerapkan pola keseimbangan, dia tidak akan dapat mencapai kebenaran serta tujuan idealnya. Oleh sebab itu, sikap moderat dan gerak seimbang ini harus mempunyai tujuan yang benar. Apabila seorang manusia mampu menentukan tujuan yang baik dalam hidupnya dan berperilaku seimbang dalam beragam kecenderungan fitrinya, dia akan mengalami keberhasilan. Karena sekadar bersikap seimbang tidaklah cukup meraih kebahagiaan, sebagaimana

p: 29


1- Bihar al-Anwar, jil. 76, hal.292.
2- Nahj al-Balaghah, Surat ke-53.
3- Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-127.

sekadar mengetahui tujuan hidup yang benar juga tidak akan menjadikan manusia mampu meraihnya. Nah, setelah kita mengetahui pola gerak yang benar dalam

menggapai tujuan, yaitu pola seimbang dan moderat, kini tibalah saatnya untuk dikaji dan dijelaskan apa sebenarnya tujuan hidup manusia.

Berkaitan dengan manusia serta tujuan hidupnya, setidaknya ada dua pandangan yang mengemuka. Ada pandangan yang melihat bahwa manusia merupakan sebuah kumpulan dari bermacam urusan dan beragam dimensi. Mereka yang berpandangan seperti ini, mengatakan manusia mempunyai banyak sisi dan dimensi. Sebagai misal, manusia mempunyai (kebutuhan akan) makanan, pakaian, pergaulan, istri, anak-anak, pekerjaan, studi dan lain sebagainya, yakni sebuah kumpulan dari bermacam urusan serta aktivitas yang masing-masing mempunyai tujuan tersendiri. (Dalam pandangan kelompok ini), berbagai macam urusan itu berdiri

sendiri dan tidak saling terkait. Sepertinya dalam pandangan ini, manusia bukanlah satu maujud, tetapi beberapa maujud yang disatukan sehingga jadilah seorang manusia dengan bermacam urusan dan beragam dimensi; sementara berbagai urusan tersebut (yakni, makanan, pakaian, pasangan, anak, pekerjaan, studi, ...) tidak saling terkait dan berhubungan. Singkat kata, urusan-urusan tersebut satu tidak sama dengan yang lain dan manusia diharap mampu untuk menciptakan

keseimbangan di antaranya. Dengan begitu, tujuan utama manusia adalah memenuhi beragam kebutuhan dengan menjaga keseimbangan di antaranya.

Pandangan yang lain mengatakan, manusia telah diciptakan untuk meraih tujuan tertentu. Segala urusan dan kebutuhan manusia adalah sarana baginya untuk mencapai tujuan yang satu itu. (Dan tidak benar bila dikatakan), bahwa

p: 30

manusia mempunyai beberapa tujuan yang harus ditempuh dan diraih dari beberapa jalur yang berbeda. Untuk memahami dua pandangan ini secara lebih

baik, ilustrasi berikut ini akan membantu. Bayangkanlah sekumpulan kabel kecil yang dibungkus dalam kabel yang lebih besar. Dalam kumpulan tersebut, masing-masing kabel kecil bermula dari sebuah tempat dan berakhir pada tempat yang lain. Satu kabel tidak berhubungan dengan yang lain dan beberapa kabel tersebut hanya dikumpulkan dalam sebuah kabel besar tanpa ada hubungan di antaranya. Kabel-kabel tersebut, ada yang menyalakan lampu, kipas angin, setrika,

televisi dan lain sebagainya. Orang yang menyaksikan kabel besar tersebut, berpikir bahwa itu hanya satu kabel, padahal di dalamnya terdapat banyak kabel kecil (dengan fungsi yang berbeda-beda); karena masing-masing bermula pada sebuah tempat dan berakhir di tempat tertentu. Nah, sekarang harus dipertegas, apakah manusia adalah maujud yang seperti itu? Yakni, manusia adalah sebuah maujud yang di dalam tubuh serta jiwanya terdapat beragam rangkaian yang berbeda-beda, yang masing-masing bermula dari sebuah tempat dan berakhir di tempat tertentu dan tidak ada hubungan serta kaitan antara satu dengan lainnya. Atau

tidak seperti itu, yakni meskipun terdapat banyak rangkaian dan sarana dalam tubuh dan jiwa manusia, semua itu mengarah pada sebuah titik serta tujuan yang sama. Dengan kata lain, apakah kanal-kanal ini akan berakhir pada satu lautan atau setiap kanal itu bermula pada sebuah tempat dan berakhir

di lautan yang berbeda satu dengan lainnya? Apakah roh manusia adalah sebuah maujud yang mengambil energi serta manfaat dari berbagai sarana dan jalur menuju satu tujuan akhir dan kesempurnaan tertinggi, yakni manusia adalah satu maujud dengan satu tujuan; atau tidak seperti itu, yakni roh manusia adalah sebuah kumpulan dari beragam dimensi

p: 31

yang berdiri sendiri dan terdapat tujuan khusus bagi masing- masing dimensinya? Yang dapat disimpulkan dari berbagai ayat dan riwayat, di antara dua pandangan di atas adalah bahwa Islam memandang bahwa hakikat manusia tidak lain adalah roh ilahinya yang telah ditiupkan ke dalam raga. Raga hanyalah sarana bagi roh dan jiwa untuk berevolusi dan menyempurna sehingga dapat meraih tujuan yang telah ditentukan baginya. Ketika manusia bisa sampai di sana, ia akan mendapatkan beragam nikmat rohani dan jasmani dalam kualitas yang sempurna.(1)

Adapun apa gerangan tujuan tersebut dan di mana, pertama, harus disadari bahwa karena kita belum sampai pada tujuan, maka sudah barang tentu hakikatnya belum jelas bagi kita. Hal itu disebabkan “tujuan” tersebut termasuk dalam kategori sesuatu yang harus diraih dan ditemukan, bukan sesuatu yang hanya diketahui. Yang belum menemukan dan meraihnya, tentu tidak akan mengerti serta memahami hakikatnya. Sekadar mengetahui dan memahaminya tidak akan mengantar kita pada hakikat dari tujuan yang sangat mulia itu, bahkan kita tidak akan mampu sekadar memberinya nama. Kita mengetahui bahwa nama (tujuan tertinggi) itu adalah “kedekatan dengan Allah Swt”. Dengan kata lain, tempat yang harus diraih manusia adalah sebuah tempat yang menjadikan manusia berada dekat dengan Rabb-nya. Kita hanya mengetahui satu titik, satu tujuan dan sesuatu yang dicari, dan itu tidak lain adalah kedekatan dengan Allah Swt. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan adalah kedekatan dengan Allah Swt, semata-mata berdasar pada dasar-dasar pandangan Islam yang benar, yang menyatakan bahwa tujuan hakiki

kehidupan manusia adalah kehidupan abadi di sisi rahmat ilahi. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan adalah kedekatan dengan Allah Swt, karena memang tujuan tersebut telah dijelaskan dalam literatur keislaman, seperti ketika Allah

p: 32


1- 10 Asfar Arba'ah, jil.9, hal.97 dan 164.

Swt menjelaskan permohonan serta doa Asiyah istri Firaun: Rabbibni li 'indaka baitan fil jannah (Ya Allah, dirikanlah bagiku di sisi-Mu sebuah rumah di surga!(1) Di dalam al-Quran banyak ayat yang memuat makna “di sisi Tuhan”, seperti, Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya; mereka akan memperoleh derajat-derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.(2) Di tempat yang disenangi (shidq) di sisi Tuhan yang berkuasa.(3) Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. (4) Bagi mereka (disediakan) darussalam (surga) di sisi Tuhannya dan Dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal saleh yang selalu mereka kerjakan.(5) Ungkapan-ungkapan seperti “fi jiwarillah” atau “fi jiwari rahmatillah," merupakan ungkapan-ungkapan irfani yang juga memberikan makna seperti ayat-ayat di atas (yakni, di sisi Tuhan atau di sisi rahmat-Nya). Apa kira-kira ungkapan yang bisa dipilih untuk menyampaikan makna tinggi dan ideal bagi kedekatan dengan Allah Swt? Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, tidak ada lafaz dan kata yang bisa menjelaskan hakikat agung tersebut, yakni akan sampai di mana perjalanan manusia dan apa sebenarnya tingkatan wujud tertinggi bagi kesempurnaannya! Apa yang biasa digunakan dalam bahasa urf untuk menggambarkan kesempurnaan tertinggi ini, tidak lain adalah apa telah disinggung di atas, seperti “di dekat Tuhan”, “di sisi Tuhan”, “fi jiwarillah” atau “fi jiwari rahmatillah.”

p: 33


1- QS. al-Tahrim [66]:11.
2- QS al-Anfal [8]:4.
3- QS. al-Qamar [54]:55.
4- QS. Ali Imran (3):169.
5- QS. al-An'am (6]:127.

Lafaz-lafaz tersebut mengisyaratkan maqam Ilahi yang hakikatnya di luar pemahaman kita. Mudah-mudahan bila nanti kita sampai di sana, kita akan memahami hakikat makna dari maqam tersebut. Apabila kita menggunakan nikmat-nikmat Ilahi yang tak terbatas, kita harus memanfaatkannya dalam rangka mencapai tujuan suci itu dan kita harus menyesuaikan gerak dan langkah kita dengan tujuan tersebut. Kita harus selalu memantau mana perbuatan-perbuatan yang mendekatkan diri

pada tujuan itu, untuk secara terus menerus kita tekuni dan kita juga harus memanfaatkan serta mengarahkan berbagai kecenderungan internal pada maqam tertinggi itu. Oleh sebab itu, yang perlu dijadikan neraca untuk memilih jalan benar dalam memanfaatkan berbagai kecenderungan dan naluri adalah sejauh apa pengaruhnya dalam mendekatkan diri pada tujuan tertinggi itu. Karenanya, semata-mata keseimbangan, tidak dapat menjadi neraca yang tepat dan

benar. Akan tetapi, keseimbangan hanya boleh dijadikan penggerak yang memberikan pengaruh positif, bukan sebagai kepastian (burhan). (Keseimbangan), tidak dapat menjadi penunjuk jalan dan bagaimana seharusnya penggunaan berbagai kecenderungan serta anugerah Ilahi secara benar.

Kita tidak mengetahui secara pasti batasan keseimbangan atas setiap kecenderungan, nikmat dan kebutuhan? Apabila kita mengetahui secara jelas batasan keseimbangan dari masing-masing kecenderungan dan nikmat, barulah kita dapat menggunakannya hingga sampai pada tujuan akhir yang diinginkan. Keseimbangan itu sendiri tidak dapat memberikan batasan yang jelas serta terpecaya dalam pemanfaatan masing- masing kecenderungan dan anugerah.

Neraca untuk Memilih Teman

Nah, ketika manusia tidak dapat meninggalkan pertemanan serta pergaulan dan harus mengarungi perjalanan kehidupan

p: 34

ideal dari celah hidup bermasyarakat, maka untuk menentukan arah perjalanan yang benar, dia harus memiliki sebuah kompas yang bisa menjadi penunjuk arah dan jalan. Namun, sebelumnya, kita harus benar-benar memahami cara kerja kompas tersebut; harus berada di arah mana jarum kompas itu sehingga dapat memandu kita untuk mencapai tujuan tertinggi insani, yang tidak lain adalah siratalmustakim, yakni menuju Allah, ilallah dan fi sabilillah. Telah diketahui, tujuan hidup adalah meniti jalan yang benar, yakni jalan penghambaan kepada Allah Swt, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Dan hendaklah kalian menyembah-Ku; inilah jalan yang lurus.(1) Yakni, menjadikan Allah Swt sebagai tujuan, bergerak menuju Allah, menafikan pengaruh independen dari diri dan dari setiap maujud serta tidak melihat kekuatan selain kekuatan-Nya, mengikat diri dengan penghambaan kepada-Nya dan menjadikan Dia sebagai satu-satunya sesembahan serta satu-satunya yang layak dicinta. Inilah jalan yang lurus dan inilah tujuan hidup. Semua jalan yang ditempuh harus berakhir pada tujuan ini. Berbagai jalan dan cabang-cabangnya harus berakhir di siratalmustakim, yang berteman serta bergaul dengan orang lain adalah salah satu cabangnya. Pergaulan yang merupakan tuntutan fitrah manusia, bila dijalani dengan adab serta tata-kramanya, akan menjadi jalan menuju Allah sekaligus sarana yang mengantar manusia pada jalur kebenaran.

Dari keterangan di atas, dapat dipahami mengapa (Islam) menganjurkan untuk berteman serta bergaul dengan orang-orang baik. Tentu saja dianjurkan, karena bergaul dengan mereka akan menjadikan manusia mengarah serta ingat kepada Allah Swt; berteman dengan mereka akan menjadikan manusia selalu dekat dengan kebenaran. Mereka akan selalu menjadi pengingat bagi manusia (untuk) tidak menyimpang dari siratalmustakim. Dengan penuh keyakinan, dapat

p: 35


1- 16 QS. Yasin [36]:61.

dikatakan bahwa orang-orang yang menjauhkan manusia dari kebenaran serta membuat hatinya lalai dari mengingat Allah Swt, sama sekali tidak layak untuk dijadikan sebagai teman bergaul. Inilah neraca dasar serta satu-satunya ukuran yang dapat digunakan untuk memilih sahabat dan teman bergaul. Betapa indahnya sabda Imam Ja'far Shadiq as yang dinukil dari Rasul saw, ketika beliau bercerita tentang ucapan Isa al-Masih as kepada Hawariyyun: “Para Hawari bertanya

kepada Isa as, 'Wahai Ruhullah, siapakah orang-orang yang baik untuk dijadikan teman bergaul?' Nabi Isa as menjawab, Orang yang memandangnya dapat mengingatkan kalian kepada Allah Swt, yang ucapannya dapat menambah ilmu kalian dan perbuatannya memberikan semangat kepada kalian (untuk meraih kebahagiaan) di akhirat.(1) Nah, ketika sudah dipahami bahwa tujuan hidup dan kesempurnaan tertinggi manusia adalah kedekatan dengan Allah Swt, semua perbuatan, segala cinta dan benci kita haruslah tertuju pada kedekatan tersebut. Dalam pada itu, memilih teman bergaul dengan tiga kriteria di atas dapat mengantar kita menuju kedekatan Ilahi. Kriteria pertama teman yang baik adalah memandangnya dapat mengingatkan

kita kepada Allah Swt. Kita harus mencari teman yang hanya dengan melihatnya secara otomatis ingatan akan Allah akan hidup dalam hati kita. Kriteria pertama yang harus dimiliki oleh orang yang hendak dijadikan sebagai teman dalam pandangan Islam adalah bergaul dengannya akan membuat hati kita teringat kepada Allah Swt; dia adalah seseorang yang keikhlasan serta ketakwaan menghiasi perilaku, tutur-kata dan perbuatannya, sedemikian berhati-hati dalam berbuat

dan berucap, sehingga melihatnya akan serta merta membuat kita ingat kepada Allah Swt. Kriteria kedua bagi teman yang baik adalah ketika berbicara beberapa kalimat dengannya, ilmu dan pengetahuanmu akan bertambah. Dia tidak pernah

p: 36


1- 17 Al-Kafi, jil.1, hal.39, hadis ke-3.

membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat atau tidak berarti. Setiap ucapannya mengandung hikmah, menambah informasi, menyelesaikan masalah dan sarat pelajaran. Singkat kata, pembicaraannya berguna bagimu serta menambah pengetahuanmu.

Sudah barang tentu, kita harus mengambil pelajaran darinya hingga dapat mendekatkan kita pada tujuan serta membantu kita dalam meraih kedekatan dengan Allah Swt. Oleh sebab itu, teman yang ideal adalah seorang teman yang wajahnya membuatmu ingat kepada Allah serta ucapannya dapat menambah ilmumu.

Dengan kata lain, seseorang dapat menjalin hubungan dengan seseorang melalui tiga jalan: dari ucapan, wajah dan perbuatan. Berkaitan dengan pengaruh perbuatan, Imam Ali as berkata, “Teman yang baik adalah seorang teman yang perbuatannya dapat memberimu semangat untuk mengejar perkara-perkara ukhrawi.” Apabila seseorang senantiasa berpikir tentang akhirat, pola pikirnya akan mengarahkan perbuatannya pada akhirat dan kebahagiaan abadi.

Orang-orang akan menyaksikan akidah serta ideologinya termanifestasi dalam perbuatannya, dan berteman dengan orang yang seperti itu akan menjadikan diri kita tergiring pada arah yang ditujunya. Alhasil, segala perbuatannya akan membuat kita selalu berpikir tentang akhirat dan berbuat untuk kebahagiaan abadi ukhrawi.

Seseorang yang tampangnya mencerminkan dosa dan tampilannya menebar aroma kuburukan, tentu bukanlah orang yang layak untuk dijadikan teman. Bergaul dengannya tidak hanya membuat kita lupa kepada Allah, tetapi akan membuat kita selalu ingat kepada setan (baca: perbuatan buruk). Tidak ada hal yang bermanfaat dalam pembicaraannya. Sebagai misal, dia selalu berucap, “Barang ini sekarang mahal harganya, barang itu harganya turun”; “si fulan telah melakukan ini dan

p: 37

si fulan melakukan itu”. Isi pembicaraannya hanya gunjingan serta keburukan orang lain. Pembicaraan terbaiknya hanya berkisar seputar apa saja yang kini mahal harganya dan apa saja yang murah harganya, atau berisi beragam keluhan seperti kini hidup menjadi semakin susah, harga kontrak rumah sudah sangat mahal, siapa yang mampu bertahan dalam kehidupan yang seperti ini dan lain sebagainya. Tidak ada satu pun ucapannya yang membuat kita ingat kepada Allah Swt.

Begitulah contoh perangai teman yang buruk, bahkan bisa lebih buruk daripada itu. Teman yang buruk hanya akan berbicara tentang keduniawian, seperti pembicaraannya terfokus pada peningkatan penghasilan, kemewahan dan kenikmatan materi, tanpa peduli apakah peningkatan itu diperoleh dari jalan yang halal atau haram. Pikirannya hanya dipenuhi dengan mengganti dekorasi rumah, membeli kendaraan model terbaru dan yang seperti itu; perilakunya juga seperti pemikirannya, tak menentu dan tak terarah. Orang yang seperti itu, meskipun kemampuannya tidak dapat menjangkau angan-angan duniawinya, namun

karena pemikirannya terfokus pada angan-angan tersebut, maka secara berangsur pemikirannya akan memengaruhi perilakunya. Karenanya, apabila kita hendak memilih teman yang baik, kita harus memilihnya berdasar pada neraca ini. Yakni, pilihlah seorang teman yang membuatmu dekat pada tujuan Ilahi, membantumu meniti siratalmustakim dan menjagamu dari penyimpangan serta kemerosotan moral. Serupa dengan keterangan Imam Ali as di atas, setelah memberikan penekanan pada pentingnya memiliki teman yang baik, beliau juga berkata, “Salah satu dari keberuntungan manusia dalam kehidupan, adalah memiliki teman yang baik.” Ada beberapa riwayat dengan kandungan makna seperti sabda di atas, ketika Rasul saw berkata, “Apabila Allah Swt menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Allah akan

p: 38

memberikan seorang pendamping saleh baginya. Apabila dia lupa kepada Allah, pendamping itu akan mengingatkannya, dan apabila dia ingat kepada Allah, dia akan setia membantunya.(1) Riwayat di atas telah menimbulkan sebuah dorongan serta motivasi untuk mencari teman yang saleh. Apabila kita telah menemukan dan memiliki teman yang baik, kita harus pandai menjaga serta menghargai nilainya. Jangan sampai terlepas dari tangan. Karena teman yang baik itu bagaikan batu permata yang langka dan sulit didapat. Seseorang harus mencari ke sana ke mari dan berusaha ribuan kali untuk mendapatkan seorang teman baik, dan tentu menjaganya jauh lebih sulit dari mendapatkannya. Tak satu kepala pun yang menolak akan pentingnya seorang teman bergaul yang baik. Semua orang sepakat akan urgensinya dalam kehidupan manusia.

Mereka yang berpikir untuk menjauh dari masyarakat dan hidup sendirian, berarti tidak tahu menahu tentang ajaran Islam yang benar dan sedang melangkah melawan fitrahnya. Allah Swt telah menjadikan keberadaan umat manusia sebagai nikmat bagi satu sama lain, namun kita terkadang mengubah nikmat tersebut menjadi bencana. Kita sebagai manusia harus bisa saling memberi manfaat, dan pergaulan serta pertemanan adalah sebuah sarana kebaikan luar biasa yang Allah Swt anugerahkan kepada kita. Besarnya pengaruh yang dapat diberikan oleh seorang teman pada arah kehidupan manusia, tidak dapat diberikan oleh pengaruh dari berbagai faktor lainnya. Dalam kaitan ini, para remaja lebih berada dalam pengaruh pergaulan dan pertemanan dibandingkan orang-orang dewasa.

Tak diragukan, di samping faktor pertemanan, masih ada faktor-faktor lain yang dapat memberikan pengaruh. Seringkali kita tidak memerhatikan berbagai faktor yang

p: 39


1- 18 Bihar al-Anwar, jil.77, hal. 164, hadis ke-2.

memengaruhi arah kehidupan. Akan tetapi, begitu mendalam pengaruh teman dalam kehidupan seorang manusia sehingga tanpa disadari seluruh hidupnya telah berada di bawah pengaruh orang lain. Sedemikian halus dan lembutnya pengaruh yang diberikan oleh teman sepergaulan, sehingga sebagian ulama mengibaratkannya dengan suapan makanan yang berada di dalam mulut, lezatnya rasa makanan tersebut menjadikan mulut terus bekerja untuk mengunyah, namun tanpa disadari tiba-tiba makanan itu masuk ke tenggorokan dan hilang tertelan ke dalam perut. Demikian pula halnya dengan teman, dia akan menelan berbagai kebaikan seseorang tanpa disadarinya. Kekayaan spiritual dan material seseorang akan lenyap dan hilang bila dia bergaul dengan teman-teman yang buruk; sebaliknya kekayaaan itu akan bertambah jika seseorang memiliki teman bergaul yang baik. Teman yang baik dapat mengalihkan serta menghindarkan seseorang dari berbagai macam keburukan hanya dengan pengaruh sederhana. Sementara, apabila orang itu berusaha sendiri untuk menghilangkan berbagai keburukan diri, dia harus berpikir lama dan berusaha keras mengenali keburukan diri lalu menghilangkannya. Dia harus banyak membaca buku, melatih diri, menyusun rencana dan bekerja keras untuk menghilangkan secara berangsur, sebagai misal, salah satu dari sifat-sifat buruknya. Akan tetapi, apabila dia bergaul

dengan seorang teman yang baik, dengan mudah perangai mulia si teman agar berpengaruh dalam perilakunya dan secara berangsur sifat buruknya akan hilang tanpa perlu bersusah payah. Sebaliknya, apabila seseorang bergaul dengan teman yang buruk, dia pun dengan mudah akan terpengaruh oleh

perilaku-perilaku buruknya. Peran teman dalam mengubah perangai, perilaku dan sifat-sifat seseorang, meskipun halus dan lembut, mempunyai pengaruh yang luar biasa besar. Dengan begitu, maka cukuplah bagi seorang manusia untuk mencari teman yang baik agar

p: 40

dapat memberikan pengaruh yang baik dan menghilangkan keburukan diri. Pengaruh positif tersebut akan segera terlihat dalam perangai dan perilaku yang berubah menjadi baik. Sebagaimana teman yang buruk juga akan dengan cepat mengubah perangai dan perilaku menjadi buruk, bahkan sampai menghancurkan kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, para Imam as senantiasa memberikan peringatan kepada kita untuk tidak bergaul dan berteman dengan pribadi-pribadi yang berkelakuan buruk. Dalam sebuah riwayat Imam Ali as berkata, “Hindarilah bersahabat dengan teman yang buruk, karena dia akan membinasakan temannya dan menghinakan orang yang menyertainya.(1) Tidak ada nikmat yang melebihi teman baik; sahabat yang

baik, ibarat sebuah minuman yang manis dan menyegarkan. Sahabat yang baik akan memberikan pengaruh yang baik serta menghilangkan aib dan keburukan diri. Dia akan menularkan sifat-sifat baik dan membuang sifat-sifat buruk. Sahabat yang baik adalah penolong manusia dalam kehidupan dunia serta pendamping yang terus memberikan spirit dalam perjalanan menuju akhirat. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, tidak ada faktor yang dapat berpengaruh kepada diri manusia

melebihi pengaruh seorang sahabat. Dikatakan, sebaik-baik keuntungan bagi manusia adalah teman yang baik. Apabila seseorang melihat serta mengetahui ada seorang sahabat yang baik, dia harus segera mendekati dan bergaul dengannya agar dapat mengambil pengaruh positif darinya. Karenanya, apabila engkau ingin termasuk dalam golongan orang-orang baik, maka bertemanlah dengan mereka. Bila engkau tidak ingin masuk dalam golongan orang-orang buruk, hindarilah pergaulan dengan mereka! Apabila kamu bergaul dan berteman dengan orang-orang baik, kamu akan menjadi baik. Dikatakan: Qarin ahlal k hairi takun minhum;

yakni, bergaullah dengan orang-orang baik, maka engkau

p: 41


1- 19 Mizan al-Hikmah, jil.5, hal.299, hadis ke-10236.

akan menjadi seperti mereka. Bergaul dengan orang-orang baik akan menarikmu menuju kemuliaan dan orang-orang baik. Sebagaimana apabila engkau bergaul dengan teman- teman yang buruk, engkau akan menjadi buruk. Apabila engkau tidak suka termasuk dalam golongan orang-orang buruk, hindarilah bergaul dengan mereka!

Cara Memilih Teman

Di sini banyak hal yang bisa dibahas, namun kita akan memilih beberapa yang terpenting darinya: Kebaikan dan keburukan adalah sebuah mafhum tasykikiy

dan mempunyai tingkatan-tingkatan yang berbeda. Oleh sebab itu, ketika dikatakan: bergaullah dengan orang-orang baik, tentu tingkatan paling tinggi dari orang-orang baik adalah para maksum (baca: manusia-manusia suci) as, karena mereka berada dalam kebaikan mutlak tanpa aib dan noda. Namun, antara kita dan mereka terbentang jarak yang sangat jauh. Sementara selain mereka, tentu sedikit banyak ada kekurangan serta kelemahan di sana-sini. Nah, apabila kita

melihat adanya kekurangan pada seseorang, apakah kemudian kita harus segera memutus pertemanan dengannya dan kita harus mencari seseorang yang benar-benar sempurna seratus persen tanpa sedikitpun aib dan kekurangan; dan sebelum kita bertemu dengan sosok ideal, maka kita harus hidup menyendiri dan menghindari segala bentuk pertemanan? Lalu, apakah yang dimaksud dengan “jangan bergaul dengan orang-orang buruk” itu adalah jangan bergaul dengan mereka yang selalu berbuat keburukan? Tingkatan tertinggi kebaikan, memang hanya ditemukan di kalangan para wali dan para maksum as. Namun, (pada masa

ini) kita tidak bisa bertemu dengan mereka, apalagi bergaul, berinteraksi dan mengambil manfaat secara langsung dari mereka. Nah, dalam kondisi ketika kita tidak mampu bertemu dan berhubungan dengan mereka, lalu apa yang harus dilakukan?

p: 42

Kebaikan dan keburukan adalah dua pengertian bersifat relatif dan keduanya mempunyai tingkatan-tingkatan. Boleh jadi di sebuah kota terdapat sosok terpandang dan dianggap sebagai orang yang paling baik, namun tidak mungkin semua orang berteman dan bergaul dengannya. Boleh jadi di kotamu ada orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang baik dan engkau ingin bergaul dengan mereka, namun tidak mungkin engkau lakukan. Lalu, bagaimana cara kita bergaul dengan orang-orang baik? Apabila yang dimaksud dengan orang-orang baik itu adalah para maksum atau yang sepertimereka, hal itu tidak dapat kita lakukan. Para maksum di luar jangkauan kita, sementara selain mereka yang mempunyai sifat-sifat mereka, juga sulit untuk ditemukan. Menghadapi kenyataan yang seperti ini, sepertinya

seseorang sulit untuk membuka pintu pertemanan. Meskipun kita telah mengetahui bahwa pergaulan adalah kebutuhan manusia, namun karena sosok teman yang ideal tidak ditemukan, pertemanan tidak bisa dilakukan. Nah, kembali pertanyaan di atas mengemuka, dengan siapa kita bergaul? Jawabannya adalah kita bergaul dan berteman dengan orang- orang yang berada dalam jangkauan kita, namun kita pilih yang terbaik di antara mereka. Lalu, apa yang dapat menjadi ukuran dan neraca bagi “yang terbaik”? Jawabannya adalah seperti apa yang telah dibahas sebelum ini, bahwa teman yang baik adalah seorang teman yang membuat kita dekat dengan Allah dan seperti apa yang telah dijelaskan dalam keterangan Nabi Isa as di atas. Masalah lain yang perlu dibahas di sini adalah bagaimana

cara kita memilih dan bergaul dengan orang-orang saleh? Dari mana kita memulai pergaulan serta apa batasannya? Tak diragukan, dalam setiap komunitas dapat ditemukan orang baik. Kita hanya perlu menjalin hubungan pertemanan sebatas aktivitas dan tanggung jawab mereka, yakni pergaulan

p: 43

dengan mereka harus dijalin melalui aktivitas dan bidang- bidang yang mereka tekuni. Orang-orang baik terkadang ditemukan di kalangan para ulama atau di kalangan pedagang dan pengusaha. Pada setiap kelompok dan berbagai lapisan masyarakat pasti ada orang-orang baiknya. Hendaknya kita menjalin pergaulan dari jalur kegiatan serta aktivitas mereka, seperti belajar dari para ulama dan berdagang dengan para pelaku usaha, dan begitulah seterusnya. Kita harus selalu

berusaha menarik perhatian mereka dengan tujuan yang tulus untuk menjadikan diri kita sebagai orang-orang baik seperti mereka, karena kita menyadari bahwa berteman dengan orang-orang baik akan menjadikan diri kita seperti mereka. Niat dan tujuan kita harus terfokus pada mengambil inspirasi serta motivasi dari perilaku mereka untuk peningkatan akhlak kita. Sedikit banyak harus kita pahamkan kepada mereka bahwa kita tidak mempunyai tujuan lain dalam pergaulan selain

peningkatan kualitas akhlak dan perilaku. Orang-orang baik juga berkeinginan untuk menarik dan mengajak orang lain untuk menjadi baik.

Oleh sebab itu, perlu kiranya kita memperkenalkan diri kita serta apa yang menjadi tujuan kita kepada mereka, bahwa kita hanya mencari kebaikan, kebahagiaan dan kemuliaan insane. Kita tidak ingin mengganggu atau membuang-buang waktu mereka, agar mereka mengenal dan menerima kita dengan lapang dada. Bahkan, apabila kita mengenal ada orang- orang baik yang ingin kita jadikan sebagai teman dan sahabat. Ada baiknya untuk kita sempatkan diri berdoa kepada Allah

Swt atau bertawasul kepada para Imam as agar Allah membuka serta memudahkan jalan pertemanan dengan mereka dan menjadikan kita dapat mengambil sebanyak mungkin manfaat dari pertemanan itu. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah apabila kita telah menemukan dan berteman dengan mereka, kita pun harus pandai menjaga hak-hak mereka sebagai teman. Berkaitan dengan hak-hak pertemanan, akan lebih banyak dibahas pada bagian berikut dari wasiat ini. []

p: 44

25-PENYAKIT HUBUNGAN SOSIAL

Point

لا یَغْلِبَنَّ عَلَیْکَ سُوءُ الظَّنِّ فَاِنَّهُ لا یَدَعُ بَیْنَکَ وَ بَیْنَ صَدیق صَلْحاً

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu.(1)

Pada bagian ketiga surat wasiatnya, Imam Ali as menjelaskan beberapa poin penting dalam kalimat-kalimat yang singkat. Kalimat-kalimat yang singkat itu mengandung arti dan makna yang sangat tinggi dan mendalam. Sepanjang keberadaan alam dan manusia, kalimat-kalimat itu senantiasa akan menjadi pelita bagi umat manusia sebagai penunjuk jalan hidup yang benar. Tinggal sejauh apa kita dapat mewarnai pemikiran dan perbuatan kita dengan petunjuk-petunjuk

tersebut, dan seberapa besar usaha kita dalam menghayati serta mengamalkan wasiat-wasiat Ilahi itu. Pada bagian ini, Imam Ali as mengenalkan kepada kita

salah satu dari penyakit yang dapat merusak hubungan pertemanan, yaitu “sifat buruk sangka” berikut akibat-akibat buruk yang dapat ditimbulkannya. Bisa dikatakan, buruk sangka (su’uzhzhan) adalah virus terganas dalam merusak hubungan pertemanan, persaudaraan, hidup bertetangga, kerja sama dan segala bentuk pergaulan yang lain. Apabila

p: 45


1- 20 Pada sebagian naskah tertulis shafhan sebagai ganti shulhan.

sebuah masyarakat terserang oleh virus buruk sangka, virus ini dapat merusak kehidupan masyarakat itu dengan cepat hingga ke akar-akarnya. Dengan demikian, melindungi masyarakat dari virus berbahaya ini merupakan pekerjaan yang paling urgen dan seluruh anggota masyarakat harus mengemban tanggung jawab ini agar masyarakat dan setiap individunya dapat terjaga dari akibat buruknya.

Apa yang Dimaksud dengan Buruk Sangka (Su’uzhzhan)?

Dalam nasihatnya berkaitan dengan hal ini, Imam Ali as

لا یَغْلِبَنَّ عَلَیْکَ سُوءُ الظَّنِّ فَاِنَّهُ لا یَدَعُ بَیْنَکَ وَ بَیْنَ صَدیق صَلْحاً

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka! yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu. Pertama, kita harus memahami dengan baik apa yang dimaksud beliau dari keterangan ini. Nah, dalam memaknai keterangan di atas, setidaknya ada dua penjelasan yang dapat dipaparkan:

1. Ungkapan seperti ini biasanya digunakan untuk sebuah sifat yang permanen pada seseorang, yakni sebuah sifat yang telah menjadi karakter atau malakah bagi seseorang. Orang Arab ketika mengatakan:

((غلب علیه الکرم))

((غلب علیه الجود))

((غلب علیه الشح والبخل))

Maksudnya adalah bahwa kedermawanan atau kepelitan merupakan sifat permanen yang sudah melekat

p: 46

dan tak terpisahkan darinya. Apabila kalimat Imam Ali as hendak dimaknai seperti uraian di atas, kalimat beliau bisa diartikan sebagai berikut: Janganlah engkau menjadi ahli buruk sangka dan janganlah engkau berburuk sangka kepada siapa dan apa saja! Jangan sampai engkau dikuasai oleh mentalitas buruk sangka sehingga buruk sangka menjadi karakter dan sifat permanen bagimu! 2. Makna lain yang bisa diberikan pada kalimat Imam Ali as adalah bahwa beliau melarang kita untuk mengikuti buruk sangka yang kerap melintas dalam benak manusia. Maksudnya adalah bahwa manusia seringkali mengalami perasaan buruk sangka pada seseorang atau suatu perkara, tetapi dia kemudian tidak menjadikan perasaan itu memengaruhi sikap dan sepak terjangnya.

Dengan kata lain, boleh jadi hati ini berburuk sangka dan berpikiran negatif tentang sesuatu, namun kita tidak membiarkan pikiran itu menguasai serta mewarnai sikap dan keputusan kita. Ada kalanya buruk sangka sedemikian memengaruhi seseorang sehingga dia tak berdaya untuk menghindar dan menepis pengaruh buruknya terhadap sikap dan keputusannya. Pengaruh buruk sangka itu dapat terlihat jelas pada raut wajah, gerak-gerik, sikap dan keputusannya. Nah, orang yang seperti itulah yang dinamakan bahwa dia telah dikuasai oleh virus buruk sangka.

Berdasar pada kemungkinan makna yang kedua ini, kalimat Imam Ali as akan berarti sebagai berikut: “Apabila engkau mengalami perasaan buruk sangka, jangan sampai engkau terpengaruh olehnya, tetapi kuasailah perasaan buruk sangkamu dan jangan biarkan dia memengaruhi sikap dan keputusanmu!"

Dua makna di atas, dapat diberikan pada keterangan dan kalimat Imam Ali as, namun biasanya dalam bahasa Arab,

p: 47

kalimat itu lebih condong untuk diartikan dengan makna yang pertama, yaitu hindarilah buruk sangka, jangan sampai sifat itu menjadi perangai dan karakter permanen bagimu! Oleh sebab itu, dari dua makna atas kalimat la yaghlibanna 'alaika su’uzhzhanni, maka arti maksimal yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Jagalah dirimu, jangan sampai sifat buruk sangka menguasaimu! Jangan sampai buruk sangka menjadi karakter dan sifat permanenmu, sehingga engkau

berburuk sangka kepada semua orang! Sebenarnya, makna ini lebih sesuai dengan kalimat berikut beliau yang berbunyi: (Karena sifat buruk sangka), tidak

akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu. Yakni, buruk sangka akan membuatmu selalu curiga, bermusuhan dan berpandangan negatif pada semua orang.

Maksud Larangan Berkaitan dengan kondisi dan Aktivitas Rohani

Sehubungan dengan buruk sangka (su’uzhzhan), banyak sekali topik yang dipaparkan dalam ayat dan riwayat. Di dalam al-Quran buruk sangka digolongkan dalam sifat-sifat tercela yang dilarang secara tegas: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (1)

p: 48


1- 21 QS. al-Hujurat [49]:12.

Pada ayat di atas, buruk sangka disebut sebagai perbuatan maksiat dan dosa besar. Demikian pula, dalam banyak riwayat telah dijelaskan bahwa buruk sangka adalah perbuatan maksiat yang harus dihindari.(1) Oleh sebab itu, tak sedikitpun diragukan bahwa buruk sangka merupakan salah satu sifat tercela dan dilarang dalam etika islami. Namun di sini, ada beberapa hal yang masih kabur dan perlu untuk dijelaskan, sebagai misal: buruk sangka, dugaan, keraguan bahkan keyakinan, merupakan kondisi dan aktivitas rohani yang berada di luar kendali manusia, untuk kemudian bisa diperintah atau dilarang. Lalu, bagaimana seseorang dilarang atas sesuatu yang berada di luar ikhtiar dan kendalinya!? Dengan kata lain, hal-hal tersebut merupakan aktivitas rohani yang akan muncul dengan sendirinya pada situasi dan kondisi tertentu. Ketika hal-hal yang mendatangkan keyakinan itu terkumpul, manusia pasti akan merasakan keyakinan. Ketika

syarat-syarat untuk yakin itu tidak ada, manusia akan jatuh dalam keraguan tanpa bisa dihindari. Demikian pula hanya dengan “buruk sangka” atau “baik

sangka”, yakni ada faktor-faktor di luar yang menyebabkan munculnya prasangka atau sangkaan. Ketika faktor-faktor itu terkumpul, mau tidak mau prasangka itu akan muncul dengan sendirinya dan hal itu terjadi di luar kendali manusia. Lalu, bagaimana manusia diminta untuk berbaik sangka dan untuk tidak berburuk sangka? Ketika sebab, syarat dan faktor sangkaan itu ada, maka prasangka itu akan serta- merta muncul, bisa prasangka baik dan bisa pula prasangka buruk. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita diminta untuk berbaik sangka dan dilarang untuk berburuk sangka, sementara kedua-duanya berada di luar kendali dan ikhtiar kita. Dan, bukankah taklif atas sesuatu yang berada di luar kemampuan diri itu, merupakan taklif yang keliru dan tidakbisa diterima!?

p: 49


1- 22 Muhammad Raysyahri, Mizan al-Hikmah, maddah .

Banyak sekali jawaban yang telah diberikan pada permasalahan ini. Di antaranya adalah jawaban berikut. Memang benar, ketika sebab, syarat dan faktor yang

memunculkan berbagai kondisi rohani seperti ragu, yakin dan prasangka itu telah terkumpul, manusia tidak bisa menghindar darinya. Akan tetapi, manusia masih mempunyai ikhtiar dalam menata serta mengatur beberapa mukadimah dari sebab, syarat dan faktornya. Dengan kata lain, ketika mukadimah- mukadimah itu berada dalam ikhtiar manusia, manusia bisa diberi taklif sehubungan dengan mukadimah-mukadimah tersebut. Sebagai contoh, di antara mukadimah-mukadimah

yang bisa berpengaruh pada kondisi rohani adalah memberi sugesti pada diri (talqin al-nafs). Yang biasa terjadi dalam pemikiran seseorang dalam berbagai hal adalah pada mulanya dia hanya menduga sebuah hal dengan dugaan yang sangat lemah, namun sedemikian rupa dia sibukkan dirinya dengan dugaan tersebut hingga menguat dari waktu ke waktu. Tanpa terasa kemudian dugaan yang lemah itu berubah menjadi sangkaan dan boleh jadi kemudian berubah menjadi sebuah

keyakinan karena terus menerus disugestikan pada pemikiran. Atau sebaliknya, sebuah keyakinan akan melemah dan berubah menjadi keraguan, bila secara terus menerus diberi sugesti keraguan akan kebenarannya, seperti bila seseorang terus mengatakan kepada dirinya: Darimana aku mengetahui bahwa hal tersebut seperti itu adanya? Mungkin tidak seperti itu! Boleh jadi aku salah dalam memahaminya! ... Jika secara terus menerus, dia berusaha meragukan apa yang sudah

diyakininya, boleh jadi keyakinan itu akan berubah menjadi sebuah keraguan.

Dengan demikian, maka meskipun timbulnya keyakinan dan prasangka tidak sepenuhnya di bawah kendali manusia, namun melaui berbagai mukadimahnya keduanya dapat berada di bawah kendali manusia dan manusia dengan

p: 50

kehendak dan usahanya bisa mewujudkan atau menafikan keyakinan dan keraguan dalam dirinya. Sebab itulah manusia bisa menerima taklif berkaitan dengan larangan berburuk sangka. Sebagai misal, bila dikatakan kepada seseorang: “Janganlah berprasangka dan menduga-duga", maksudnya adalah hindarilah hal-hal yang bisa mewujudkan prasangka itu pada dirimu. Ragukan dan tepislah semua mukadimah yang akan memunculkan prasangka sehingga prasangka itu tidak

mengkristal dalam pikiranmu. Kadang di kegelapan malam, kita menyaksikan seseorang berjalan perlahan di lorong- lorong kota dengan sesuatu yang dipanggul di atas pundaknya.

Hal pertama yang terbersit dalam pikiran kita adalah bahwa dia seorang pencuri dan sedang memanggul barang curiannya di kegelapan malam agar tidak diketahui orang. Itu adalah hal pertama yang terbersit dalam pikiran, namun seseorang bisa menindaklanjuti pikiran awalnya dengan dua cara bertindak yang berbeda. Pertama, pikiran awal itu segera dilemahkan dan diragukan dengan bergumam, “Darimana aku tahu bahwa dia adalah seorang pencuri dan apa buktinya!? Boleh jadi yang dipanggul itu adalah pakaian atau sembako yang hendak dia bagikan kepada orang-orang miskin dan dia berjalan pelan agar tidak diketahui banyak orang.” Kedua, pikiran awal itu diperkuat, dengan bergumam, "Oh, lihat, betapa dia berjalan penuh kehati-hatian. Tentu agar orang lain tidak melihatnya.

Dari jalannya saja dapat dipastikan bahwa dia adalah seorang pencuri.”

Nah, dengan cara seperti itulah seseorang dapat merajut prasangka baik atau prasangka buruk. Maka ketika dikatakan, “Jangan berburuk sangka!", maksudnya adalah jangan biarkan dirimu merajut mukadimah-mukadimah negatif yang akan melahirkan buruk sangka, namun tepislah dan ragukan mukadimah-mukadimah tersebut agar tidak mengarah pada perbuatan buruk sangka. Yang menarik untuk dipelajari adalah bagaimana kita mengolah bersitan-bersitan awal

p:100

pikiran agar menjadi prasangka yang baik. Masalah ini telah dijelaskan begitu indah dalam banyak riwayat dan keterangan ulama yang nanti akan kita bahas bersama. Jawaban lain yang diberikan pada permasalahan ini adalah meskipun munculnya prasangka dan dugaan itu di luar kendali manusia, “disimpan” atau “dibuang"nya prasangka tersebut secara umum berada dalam kendalinya. Manusia mempunyai peran yang besar dalam menyimpan atau membuang sebuah

prasangka. Yakni, manusia bisa mencegah munculnya prasangka dengan menepis mukadimah-mukadimahnya dan dia juga bisa membuang prasangka pascakemunculannya, dengan sugesti-sugesti yang melemahkan keberadaan prasangka tersebut, sehingga prasangka itu hanya muncul sebentar untuk kemudian menghilang. Sebagian ulama dan mufasir juga memberikan jawaban-jawaban yang lain atas permasalahan ini. (Allamah Thabathaba'i) dalam Tafsir al-Mizan menjelaskan, “Buruk sangka sebagai salah satu kondisi dan aktivitas rohani, memang tidak dapat menjadi sasaran taklif. Apabila buruk sangka dilarang dan dijadikan sasaran taklif, maksudnya adalah jangan biarkan prasangka buruk berpengaruh dalam tindakan dan perbuatanmu! Firman Allah Swt yang artinya, Jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa, maksudnya, jangan biarkan prasangka buruk berpengaruh dalam sikap dan keputusanmu; jangan bertindak berdasar pada prasangka dan jangan beri kesempatan prasangka untuk memberikan barang sedikit pun dari pengaruhnya! Boleh jadi, dalam hatimu timbul prasangka buruk, namun bukan itu yang menjadi sasaran taklif. Apa yang engkau rasakan dalam hati dan jiwa, tidak akan pernah menjadi sasaran taklif. Akan tetapi, taklif berkaitan dengan apa yang akan engkau perbuat dan lakukan. Dengan demikian, bila buruk sangka itu menjadi haram dan makruh, maka

p: 51

(maksudnya adalah) bertindak, bersikap dan memutuskan sesuatu berdasar padanya menjadi haram dan tercela.(1) Beberapa jawaban berkaitan dengan prasangka dan buruk sangka, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, kita harus berusaha menghilangkan faktor-faktor yang memunculkan prasangka buruk, lalu memberikan sugesti yang dapat melemahkannya. Bila sudah terwujud, kita harus dapat segera melenyapkannya. Pada puncaknya, jangan biarkan dia berpengaruh dalam sikap, tindakan dan keputusan kita!

Batasan antara Prasangka Baik dan Prasangka Buruk

Selain permasalahan di atas, terdapat permasalahan yang lebih penting berkaitan dengan buruk sangka. Masalah itu adalah apabila seseorang selalu dituntut untuk menghilangkan atau mengabaikan prasangka buruknya terhadap orang lain dan diminta untuk bersikap bertentangan dengan apa yang menjadi prasangkanya, yakni diminta untuk selalu menyikapi orang lain dengan prasangka baik, maka dapat dipastikan dia akan mengalami kerugian, baik dalam urusan individu maupun sosial. Sebagai misal, seandainya Anda hendak berteman dengan seseorang, lalu Anda menjadikannya teman hanya dengan melihat dia salat, puasa dan melakukan beberapa kebaikan, Anda menjadikannya sebagai teman sejati hanya bermodal beberapa perbuatan baik tersebut tanpa memberikan sedikitpun kecurigaan, sehingga Anda tak ragu-ragu untuk menitipkan harta dan barang berharga kepadanya, boleh jadi Anda akan mengalami kerugian dan tertipu olehnya. Yakni, setelah berlalunya waktu, Anda baru menyadari ternyata dia adalah orang yang berpura-pura baik dan tulus, padahal hakikatnya adalah seorang yang jahat dan fasid. Nah, apabila kemudian Anda mengalami kerugian moral dan material darinya, lalu adakah yang patut dipersalahkan selain diri Anda sendiri? Bukankah kerugian tersebut adalah

p: 52


1- 23 Allamah Thabathaba'i, Al-Mizan, jil. 18, hal. 483.

akibat dari keteledoran serta kebersahajaan diri Anda dalam memercayai seseorang tanpa memberikan sedikitpun dugaan buruk atasnya?

Seorang pejabat atau kepala perusahaan, apabila dia menerapkan konsep baik sangka dalam tindakan dan sikapnya, dapat dipastikan dia akan mengalami kegagalan. Karena, banyak sekali bawahan dan para pekerja yang menampilkan sifat-sifat baik dan menyembunyikan sifat-sifat buruk sehingga dapat menipu atau mencuri jam kerja, namun luput dari pantauan atasan; dan hal itu terjadi karena si pejabat atau kepala perusahaan tersebut tidak melibatkan buruk sangka

dan menyikapi seluruh bawahannya dengan prasangka baik. Nah, adakah faktor yang menyebabkan semua pelanggaran ini terjadi selain sikap berbaik sangka tanpa sedikitpun melibatkan buruk sangka dan kecurigaan? .. Alhasil, apabila seseorang berbaik sangka dan bersikap hanya atas dasar baik sangka, maka sebagai akibatnya masyarakat akan terkhianati. Apabila seorang pemimpin berdasar pada baik sangka menugaskan seseorang pada suatu jabatan atau sebuah tugas yang berhubungan dengan nasib serta harta orang banyak, besar kemungkinan akan terjadi pengkhianatan pada harta dan nasib rakyat. Tentu saja yang berdosa serta bertanggung jawab atas kerugian dan pengkhianatan tersebut adalah sang pemimpin itu sendiri karena telah memberi kepercayaan kepada orang yang tidak tepat. Dengan demikian, bagaimana seseorang bisa berbaik sangka kepada semua orang dan mendasarkan sikapnya pada prasangka baik, sementara hal tersebut dapat mendatangkan kerugian individual dan sosial; rasionalkah apabila seorang pemimpin mendasarkan sikapnya pada hanya prasangka baik?! Menyadari adanya akibat yang buruk ini, mengapa syariat memberikan penekanan pada sikap “berbaik sangka” dan menganjurkan kita untuk berbaik sangka?

p: 53

Sebelum munculnya pertanyaan ini di benak masyarakat, para Imam as telah memberikan perhatian pada permasalahan dan memberikan jawaban serta penjelasan dalam banyak riwayat. Di antaranya adalah apa diucapkan oleh Imam Ali as dalam kitab Nahj al-Balaghah:

اذا استَولَی الصَّلاحُ عَلَی الزَّمانِ وَ اهلِهِ ثُمَّ اساءَ رَجُلٌ الظَّنَّ بِرَجُلٍ لَهُ تَظهَر مِنهُ خِزیةٌ فَقَد ظَلَمَ وَ اذَا استَولَی الفَسادُ عَلَی الزَّمانِ وَ اهلِهِ فَاحسَنَ رَجُلٌ الظَّنَّ بِرَجُلٍ فَقَد غَرَّرَ.

Apabila pada suatu masa kebanyakan masyarakatnya adalah orang-orang baik dan saleh, kemaslahatan tampak di mana-mana, maka pada zaman seperti itu seseorang tidak pantas untuk berburuk sangka kepada orang lain. Apabila ditemukan satu dua orang atau sekelompok kecil yang berbuat buruk dan melakukan pelanggaran, seseorang tidak boleh berburuk sangka kepada semua orang. Namun hendaknya dia menghindar dari orang atau kelompok tersebut. Hal itu disebabkan atmosfer kebaikan dan kemaslahatan telah meliputi segala tempat. Sebaliknya, apabila sebuah masa dipenuhi oleh orang-orang fasid atau atmosfer keburukan telah meliputi segala area, dalam situasi yang seperti itu seseorang tidak boleh berbaik sangka. Apabila di masa yang seperti itu dia berbaik sangka,

sungguh dia telah tertipu.(1)

Berdasar pada riwayat di atas, apabila dalam banyak riwayat akhlak terdapat anjuran untuk berbaik sangka kepada semua orang, maka maksudnya adalah ketika atmosfer kebaikan dominan pada sebuah masa; yakni apabila mayoritas penghuni sebuah masa adalah orang-orang baik, maka kita dianjurkan untuk berbaik sangka kepada semua orang. Sebaliknya, pada sebuah masa yang mayoritas penghuninya adalah orang-orang buruk, kita tidak boleh berbaik sangka terhadap semua orang.

p: 54


1- 24 Nahj al-Balaghah, aforisme ke-114.

Justru kita dituntut untuk berhati-hati dan mendahulukan prasangka buruk, kecuali apabila terdapat tanda-tanda yang membuktikan kebaikan seseorang atau kelompok tertentu. Riwayat Imam Ali as di atas sedikit banyak telah memberikan penjelasan atas kekaburan permasalahan ini. Sebagian ulama, dalam rangka membuang kekaburan dari permasalah ini, berkata, “Yang dimaksud dari anjuran berbaik sangka adalah berbaik sangka terhadap bagaimana seseorang

itu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, yakni apabila engkau melihat seseorang melakukan sesuatu, engkau menganggap bahwa dia telah melakukan tugasnya dengan benar, karena apabila kita hendak menghakimi perbuatan seseorang, setidaknya terdiri dari dua sudut pandang:

1. Kita membenarkan serta menganggap benar apa yang dilakukannya dari sudut pandang syar'i dan akhlaki, yakni apabila kita hendak menelusuri apakah yang dilakukan itu benar atau salah, kita menganggap bahwa dia telah melakukan yang benar secara syar'i, dan bila salah maka dianggap ma’dzur karena tidak memahami hukum yang benar. Alhasil, meski perbuatannya salah secara syar’i, hal ini tidak kemudian membuatnya layak dicela atau diberi predikat fasik. Oleh sebab itu, selama masih ada alasan yang bisa kita berikan atas perbuatannya, kita akan berbaik sangka dan menganggap perbuatannya benar. bahkan bila dia berbuat kesalahan, kita masih memberi kemungkinan boleh jadi dia benar dan penilaian saya yang keliru. Seandainya kita yakin akan kesalahannya, kita akan mengatakan bahwa dia sedang khilaf dan tidak melakukannya dengan sengaja.

Ada banyak riwayat yang telah dinukil dari para Imam as berkaitan dengan keterangan di atas, seperti dalam kitab Wasail al-Syi'aha(1) dan kitab-kitab Ushul dalam bab

p: 55


1- 25Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, jil.8, hal.263 dan 501.

-

Ashalah al-Shihhah yang maksudnya, “Apabila engkau menyaksikan suatu perbuatan dari saudara seagamamu, sebisa mungkin tafsirkanlah perbuatan itu sebagai

kebaikan.” Dalam sebagian riwayat ditegaskan, “Apabila seseorang mendatangimu dan membawakan lima puluh kesaksian dan bayyinah (baca: bukti) tentang dosa yang diperbuat oleh pribadi tertentu, namun apabila pribadi itu mengingkarinya dan berkata, 'Aku tidak melakukannya', maka terima dan benarkanlah ucapannya! Abaikan semua bukti dan kesaksian dan terimalah ucapannya!" Apa sebenarnya yang dimaksud dari penyikapan yang seperti ini? Apakah maksudnya kita mendustakan seratus saksi dan membenarkan pengakuan satu orang? Bukankah ini artinya kita mengunggulkan pengakuan seorang mukmin dengan mengabaikan kesaksian seratus orang mukmin? Bukankah mendustakan kesaksian banyak orang adalah sebuah dosa? Apakah kita berhak untuk bersikap seperti itu? Apakah maksudnya, apabila kita meragukan kefasikan seseorang, kuantitas tidak lagi bisa menjadi ukuran dan tolok ukur?

Dalam menjawab beberapa pertanyaan tentang makna riwayat di atas, harus dikatakan bahwa shaddiqhu wa kadzdzibhum (Benarkan dia seorang dan dustakan

mereka!), maksudnya adalah bersikaplah seolah-olah engkau membenarkan dia seorang dan mendustakan mereka, bukan berarti mendustakan serta menganggap

mereka semua fasik secara syar'i. Tentu makna riwayat tidak seperti itu, bahwa dalam keraguan antara kefasikan satu orang dengan seratus orang, kita jadikan kuantitas sebagai ukuran. Riwayat tidak mengatakan, “Anggaplah seratus orang itu fasik, namun jangan anggap fasik yang satu orang.” Akan tetapi, maksud riwayat adalah engkau jangan serta merta menganggap yang satu ini sebagai fasik, berburuk sangka dan menuduhnya. Karena, sebagaimana

p: 56

engkau akan bertanggung jawab terhadap satu orang, engkau juga akan bertanggung jawab terhadap seratus orang. (Dengan kata lain, jangan sekali-kali terpengaruh oleh kuantitas dalam menentukan sebuah sikap!). Oleh sebab itu, sebagaimana yang tampak dari zahir riwayat, makna dari kalimat “shaddiqhu wa kadzdzibhum” ialah bersikaplah sedemikian rupa seakan engkau menerima pengakuan satu orang itu dan mendustakan yang lain. Hal ini tidak berarti mendustakan atau tidak menerima suara yang lebih banyak. Karena menerima pengakuan satu orang dan mendustakan pengakuan banyak orang merupakan perilaku yang tidak etis dan bisa terhitung sebagai dosa. Dengan demikian, maksud dari takdzib (mendustakan) dan tashdiq (membenarkan) dalam kaitan ini adalah takdzib dan tashdiq ‘amali, yakni bersikaplah seakan satu orang itu tidak melakukan kesalahan. Ketika engkau membenarkannya dan tidak menggubris pendapat yang lebih banyak, maka seakan engkau telah mendustakan mereka. Hal ini disebabkan tidak wajib bagimu untuk menerima serta membenarkan keterangan dari banyak orang. Yang dimaksud dari prasangka baik dan prasangka buruk di sini adalah jangan menyikapinya dengan prasangka buruk, sebagaimana engkau juga tidak wajib bersikap dengan prasangka baik. Dengan kata lain, engkau secara pemikiran harus berprasangka baik, namun tidak harus berprasangka baik dalam bersikap dan bertindak.

Makna di atas adalah makna yang tercantum dalam tafsir al-Mizan. Dalam menafsirkan ayat ijtanibu katsiran minazhzhnanni,(1) Allamah Thabathaba'i berkata, "Ijtanibu... dalam tataran amal, bukan berarti mengubah berbagai probabilitas pemikiran seperti prasangka. . Bagaimanapun juga, probabilitas pemikiran yang seperti

p: 57


1- 26 QS. al-Hujurat [49]:12.

itu di luar kendali kita, maka bagaimana taklif akan ditujukan padanya."

2. Bentuk lain penyikapan adalah memperlakukan, bermuamalah serta bersikap berdasar pada prasangka baik.

Bentuk penyikapan yang seperti ini, menurut hemat kami, bukanlah penyikapan yang rasional. Di sini kita tidak lagi bisa bersandar pada shaddiqhu wa kadzdzibhum

(benarkan dia seorang dan dustakan mereka!), yang berarti menyalahkan sekelompok orang demi membenarkan satu orang. Yakni, kita putuskan untuk menganggap bahwa satu orang itu saleh dan bekerja sama dengannya, sambil menyatakan, “Karena dia telah menyatakan tidak melakukan dosa, maka kita pun membenarkannya lalu memercayakan nasib serta harta rakyat kepadanya. Pada hakikatnya, penyikapan ini adalah penyikapan ‘amali berdasar pada husnuzhzhan, berbeda dengan bentuk penyikapan pertama yang merupakan penyikapan fikri berdasar pada husnuzhzhan, meskipun kita tidak bertindak berdasar pada buruk sangka. Tidak ada dalil dan riwayat yang dalam tataran penyikapan praktis (ʻamali) mengajak kita untuk shaddiqhu wa kadzdzibhum, yakni mendustakan dan meragukan kesaksian banyak orang lalu berbaik sangka, memercayai dan bekerja sama dengan satu orang. Apabila dengan adanya banyak bukti dan kesaksian yang bertentangan dengan satu kesaksian, kita masih membenarkan satu orang dan menganggapnya sebagai orang baik dan saleh, lalu kita bekerja sama dan memberinya kepercayaan, maka sebenarnya kita telah menipu diri kita sendiri. Bahkan, seandainya kita mempunyai taklif yang seperti itu dan harus dilakukan, tetap saja tidak ada celah untuk kemudian kita bisa percaya tanpa sedikitpun kecurigaan,

p: 58

yakni apabila secara syar'i kita mempunyai taklif untuk hal ini, tetap saja kita tidak bisa memercayai seseorang yang diragukan oleh banyak kesaksian dan bukti untuk bermuamalah tanpa kekhawatiran serta kecurigaan. Memang dalam pemikiran, kita harus menganggapnya sebagai orang baik dan boleh jadi banyak orang yang memberikan kesaksian buruk itu salah, sehingga hati kita dapat memandangnya secara jernih, namun dalam tataran amal kita tetap tidak memercayainya dan kita tidak mau menipu diri sendiri untuk bekerja sama dengannya. Apalagi kalau kita hendak memasrahkan kepadanya nasib dan harta orang banyak atau memberikan sebuah jabatan untuknya.

Tak disangsikan, apabila dengan adanya sekian banyak bukti serta kesaksian akan ketidakjujuran seseorang, lalu kita memberinya sebuah jabatan publik dan akhirnya dia benar-benar melakukan pengkhianatan, maka kita juga akan memikul beban dosa yang diperbuatnya. Dalam urusan-urusan yang seperti ini, kita harus lebih teliti dan berhati-hati hingga mendapatkan keyakinan bahwa orang yang hendak kita pasrahi amanat rakyat adalah pribadi yang benar-benar saleh dan jujur. Meskipun seandainya dalam hati kita berpandangan bahwa dia adalah orang yang baik berdasar pada husnuzhzhan 'ilmi, kita harus tetap melakukan penelitian serta kajian tentang pribadi tersebut hingga benar-benar yakin bahwa dia adalah sosok yang baik dan bersih.

Oleh sebab itu, apabila urusannya adalah (seperti) penempatan seseorang pada jabatan publik tertentu, sekadar husnuzhzhan dan ashalah al-shihhah tidaklah

cukup, tetapi harus dilakukan penelitian serta kajian yang mendatangkan keyakinan bahwa sosok tersebut bersih dantidak mempunyai latar belakang pengkhianatan sehingga

p: 59

nasib dan harta rakyat tidak akan dijadikan ajang korupsi dan konspirasi. Dalam tataran amal, tidak ada keharusan bagi kita untuk berbaik sangka kepada semua orang atau memberikan predikat positif kepada siapa saja yang kita temui, sehingga ketika kita ditanya tentang seseorang, kemudian kita harus mengatakan serta memberikan kesaksian bahwa dia adalah orang baik dan adil. Lalu, ketika ditanyakan kepada kita, apa dasar dari predikat yang kita berikan, kita menjawab, “Ya, karena orang tersebut telah berkata bahwa dia orang bersih dan tidak melakukan kesalahan, maka kita harus membenarkan pengakuannya, karena kita telah diperintah shaddiqhu wa kadzdzibhum.” Tentu tidak seperti itu. Kita tidak berhak memberi kesaksian tentang kebaikan seseorang berdasar pada kesaksian orang itu sendiri. Karena kesaksian kita harus bersandar pada bukti-bukti empiris, seperti bergaul dan berteman langsung dengannya sehingga kita dapat melihat langsung kebaikan, keadilan, ketakwaan serta bagaimana dia menjaga mana yang halal dan mana yang haram. Ashalah al-Shihhah tidak dapat menjadi pembenar

sebuah kesaksian, sebagaimana juga tidak dapat menjadi pembenar untuk memasrahkan urusan umat kepada pribadi yang terbukti kebaikannya secara empiris. Hukum nalarpun tidak membenarkan kita untuk memasrahkan urusan harta kepada pribadi seperti itu. Boleh jadi hukumnya tidak haram, tetapi karena kita menyadari bahwa ada kemungkinan dia berkhianat, maka memasrahkan urusan keuangan kepadanya sama halnya dengan menipu diri sendiri. Oleh sebab itu, bertindak dan bersikap dengan dasar ashalah al-shihhah hanya bisa dibenarkan apabila kebanyakan masyarakat pada masa itu adalah orang- orang baik atau pada sebuah lingkungan yang rata-rata penduduknya adalah orang-orang saleh.

p: 60

Keharusan untuk Mengetahui Kelayakan Seseorang

Kita telah membahas serta menafsirkan beberapa dimensi ma’arif Ilahi seputar husnuzhzhan dan su’uzhzhan, tetapi masih ada beberapa sisi dan dimensi yang masih kabur dan perlu penjelasan lebih lanjut. Di sini kita akan membahas satu lagi dari dimensinya.

Apakah yang dimaksud dengan husnuzhzhan dalam tataran praktis adalah menerima pengakuan seseorang lalu memperlakukannya seperti orang-orang pada umumnya yang belum ada kesaksian buruk atasnya? Sebagai contoh, apabila ada seseorang yang telah diberi predikat buruk oleh lima puluh saksi, dan kita pun dalam tataran pemikiran menganggapnya sebagai orang baik dan berbaik sangka serta menerima pengakuan kebersihan dirinya, apakah kemudian dalam tataran amal kita boleh menganggapnya sebagai orang baik dan bahwa dia jujur dalam pengakuannya? Apakah setelah kita memberikan predikat baik atasnya dalam tataran pemikiran dan berbaik sangka dalam hati kepadanya yang merupakan maksud dari riwayat, kemudian kita boleh memercayainya dalam tataran amal, lalu memasrahkan kepadanya perwakilan masyarakat di bidang politik, ekonomi atau jabatan-jabatan penting lainnya? Apakah boleh, sementara banyak orang

mengatakan bahwa si fulan adalah orang yang tidak baik, kita mengabaikan semua pendapat itu dan memercayai pengakuan si fulan yang menyatakan bahwa dirinya baik dan bersih, lalu memasrahkan jabatan-jabatan penting kepadanya? Bolehkah kita memercayai dan merasa tenang dengan pribadi yang

seperti itu? Bolehkah kita memasrahkan kepadanya sebuah jabatan syar'i atau memberinya tanggung jawab atas harta dan nasib masyarakat banyak? Bolehkan kita menyerahkan kepadanya urusan pengadilan atau menjadikannya sebagai wakil dari Wali Fakih atau memasrahkan urusan-urusan penting lainnya? Apakah maksud dari riwayat-riwayat yang berkaitan dengan husnuzhzhan adalah kita berbaik sangka

p: 61

kepada si fulan dalam tataran amal dan memperlakukannya seperti pada umumnya orang yang salim al-fitrah (fitrahnya belum terkontaminasi) dan musallam al-thaharah (pribadi yang kebaikannya disepakati oleh banyak orang)? Masalah-masalah inilah yang perlu dibahas serta dikaji lebih dalam, agar kita tidak keliru dalam memahami riwayat, juga tidak salah dalam bersikap, baik pada tataran amal dan praktik maupun dalam tataran pemikiran dan teori.

Sebagaimana telah dibahas, maksud riwayat di atas adalah agar kita berbaik sangka kepada pribadi yang seperti itu dalam tataran pemikiran. Ketika telah banyak orang yang berbicara serta bersaksi akan penyelewengan seseorang, kita tetap harus berpikiran jernih dan berbaik sangka kepadanya dalam hati sambil bergumam mudah-mudahan mereka salah dalam menilainya. Sikap ini boleh kita ambil, apabila sebelumnya kita telah mengenal pribadi tersebut sebagai orang yang baik, namun apabila kita tidak mengenalnya sama sekali, kita tidak bisa menerima kesaksian dia seorang dengan melawan kesaksian orang banyak akan keburukan pribadi tersebut, terlebih bila para saksi itu adalah orang-orang yang adil (baca: baik dan terpercaya). (Kesimpulannya, kita dapat menerapkan dua sikap yang

berbeda dalam tataran yang berbeda pula).

Pertama, sikap kita tentang pribadi tersebut dalam tataran pemikiran. Kita bisa melakukan evaluasi apakah dia benar-benar telah melakukan dosa dan pelanggaran, atau dia melakukannya karena khilaf dan tidak dengan kesengajaan. Dalam tataran pemikiran, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa boleh jadi pribadi itu tidak melakukan kesalahan dan para saksi itu keliru dalam mendengar atau menukil. Atau, seandainya dia telah melakukan sebuah pelanggaran, belum tentu dia lakukan

dengan sengaja, karena bisa jadi tidak mengerti hukum atau salah dalam menerapkannya. Kita bisa merangkai seribu

p: 62

alasan sehingga bisa meyakini bahwa dia tidak melakukan pelanggaran yang menyebabkan kefasikan. Dengan begitu, hati kita tetap bersih dan berbaik sangka kepadanya serta tidak menganggapnya sebagai seorang fasik. Namun, hal ini tidak berarti kita memercayainya dalam tataran amal, dan bukan itu pula maksud husnuzhzhan dalam riwayat. Oleh sebab itu, apabila ada kesaksian sekelompok orang tentang keburukan seseorang yang tidak kita kenal sebelumnya, lalu berdasar

pada riwayat yang memerintah kita untuk berbaik sangka kepada semua orang, kemudian kita serahkan sebuah jabatan penting kepadanya dan akhirnya dia berkhianat, maka jangan salahkan selain diri kita sendiri. Banyak sekali riwayat yang menguatkan pengertian di atas, bahwa kita tidak berhak untuk menilai fasik seseorang dan menganggapnya sebagai pendosa dalam hati dan pemikiran. Namun perlu juga digarisbawahi, bahwa husnuzhzhan qalbi tidak serta merta melahirkan husnuzhzhan amali sehingga kita bisa memasrahkan sebuah urusan penting kepada seseorang tanpa kajian dan ujian yang mendatangkan keyakinan akan kelayakannya. Oleh sebab itu, dalam rangka memberikan sebuah tugas dan tanggung jawab, terlebih dahulu harus diketahui kelayakan seseorang dari sisi kepribadian, etika, ilmu, bagaimana sepak-terjangnya di tengah masyarakat dan lain sebagainya. Husnuzhzhan qalbi dan dzihni yang dianjurkan dalam banyak riwayat, tidak sama dengan husnuzhzhan 'amali yang berarti kepercayaan dan yang keberadaannya bersifat urgen dalam penyerahan tugas serta tanggung jawab. Oleh sebab itu, sekadar husnuzhzhan qalbi terhadap seseorang, tidaklah cukup untuk menyerahkan sebuah tanggung jawab penting kepadanya.

Penyakit Perusak Pertemanan

Disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, terdapat orang- orang yang menderita penyakit buruk sangka akut sehingga

p: 63

su’uzhzhan menjadi sebuah karakter dan dia tidak bisa percaya kepada siapa pun. Kadang manusia mengalami kondisi serta keadaan yang tidak wajar. Sebagai misal, seseorang mempunyai teman yang dipercaya dan sudah bersahabat dalam waktu yang cukup lama. Akan tetapi, dalam sebuah peristiwa, teman tersebut bersikap buruk, berkhianat dan memberikan kerugian yang besar kepadanya. Peristiwa tersebut bisa berdampak sangat buruk, sehingga dia tidak lagi bisa memercayainya, bahkan dia tidak lagi bisa percaya kepada siapa pun. Sebuah peristiwa yang merugikan, tekanan psikologis dan sebuah ketidaknyamanan dapat membuat seseorang kehilangan kontrol sehingga berpandangan buruk kepada semua orang, lalu berkata, “Semua orang adalah pengkhianat dan tidak ada

lagi manusia yang dapat dipercaya!” Kondisi psikologis yang seperti itu menjadikan seseorang tidak dapat hidup nyaman dengan masyarakat. Tentu saja, kondisi psikologis seperti itu bukanlah kondisi yang normal, dan boleh jadi nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as berkaitan dengan su’uzhzhan juga berkaitan dengan masalah yang seperti ini. (Imam Ali as berkata), Jangan sampai dirimu dikuasai oleh sifat buruk sangka yang tidak akan menyisakan ketenteraman serta kedamaian bagimu dengan siapa pun yang menjadi temanmu.

Jangan sampai sifat buruk sangka menjadi karakter dalam dirimu, yakni jangan sampai engkau berburuk sangka serta berpandangan buruk kepada semua orang, karena jika itu terjadi, maka engkau tidak akan memiliki teman dan sahabat yang bisa engkau percaya. Apabila buruk sangka serta kecurigaan menjadi karakter seseorang, dia tidak lagi bisa percaya, berteman dan berkawan dengan siapa pun; ia tidak lagi bisa hidup harmonis dalam suasana saling percaya dengan

semua orang. Karena dia beburuk sangka serta berpandangan negatif kepada semua orang, hilanglah nikmat keharmonisan serta pertemanan dalam hidupnya. Kala itulah kehidupan dunia menjadi neraka Jahanam baginya dan dia tidak lagi bisa

p: 64

melakukan pekerjaan-pekerjaan duniawi-ukhrawinya dengan penuh ketenangan. Dalam urusan dunia, manusia memerlukan teman-teman yang bisa dipercaya dan membantunya dalam menjalani hidup; sebagaimana dalam urusan akhirat dia juga memerlukan teman-teman yang dapat dipercaya dan senantiasa memberikan nasihat serta petunjuk kepadanya. Apabila seseorang memutuskan untuk tidak menerima dan percaya kepada siapa pun, maka sebelum orang lain, dialah

yang akan menanggung kerugian. Karena dia berpandangan buruk kepada semua orang, maka dia tidak bisa menjalin serta merasakan hangatnya persahabatan dan pertemanan. Sebagai konsekuensinya, dia akan kehilangan banyak kenikmatan dunia. Apabila kita mau melihat kehidupan dengan pandangan yang jernih, sebagian besar kenikmatan duniawi, baik material maupun spiritual, berasal dari pertemanan serta persahabatan. Misalnya, teman sekelas, teman sekamar, teman diskusi, guru, ... sangat berpengaruh dalam keberhasilan serta kesuksesan seseorang di bidang studi. Atau rekan kerja, teman sekantor, relasi bisnis dan lain sebagainya, sangat menentukan dalam keberhasilan seseorang di bidang kerja. Nah, apabila tidak ada orang yang bisa kita percaya, kehidupan ini akan menjadi sulit.

Tidak mempunyai teman di dunia adalah salah satu bencana besar bagi manusia.

Dalam bahasan yang lalu, telah dinukil sebuah riwayat dari Imam Ali as yang maknanya: setelah makrifatullah tidak ada nikmat yang lebih mulia dan indah daripada teman serta sahabat yang baik. Apabila seorang manusia berburuk sangka kepada semua orang, dia tidak akan bisa memperoleh teman dan tentu dia akan kehilangan salah satu nikmat Allah yang terbesar. Bukan tidak mungkin, sifat buruk sangka ini akan menarik kehidupan seorang manusia pada berbagai macam

kesulitan dan bencana.

p: 65

Perlu diketahui, sebagaimana sikap "tidak percaya” kepada semua orang akan mendatangkan permasalahan dalam pertemanan, “sikap percaya” kepada semua orang juga berpotensi menimbulkan permasalahan lain. Kalau orang mudah percaya dengan orang lain, dia akan mudah tertipu dan terpengaruh oleh perilaku, pemikiran serta pergaulan yang buruk dan menyesatkan. Sebagai misal, dalam urusan pekerjaan, mencari pasangan hidup, pergaulan sosio-kultural

juga etika keagamaan, dia dapat mengalami kerugian serta penyelewengan disebabkan oleh sikap baik sangka yang berlebihan. Oleh sebab itu, manusia harus dapat mengambil jalan tengah dan seimbang agar tidak terjerumus dalam sikap ekstrem (ifrath-tafrith), yakni tidak terlalu mudah untuk berbaik sangka dan memercayai semua orang, namun tidak juga terlalu berburuk sangka hingga tidak dapat memercayai orang Oleh sebab itu, dia harus berusaha secara rasional untuk mendapatkan teman yang baik. Tentunya, dia harus jeli dan teliti dalam mencari sahabat serta tidak merasa cukup dengan bukti-bukti yang masih lemah. Akan tetapi, begitu teman yang baik itu ditemukan dan setelah diuji ternyata dia memang orang yang bertakwa, berakhlak dan bijak, maka dia harus menjaganya, menghargainya dan tidak mudah percaya atas suara-suara yang berbicara miring tentangnya; dia harus selalu berbaik sangka kepadanya. Seandainya ada

seratus orang adil yang bersaksi bahwa dia telah melakukan penyimpangan, maka kepada mereka semua dia harus berkata, “Bertahun-tahun sudah aku bergaul dan bersahabat dengannya, aku benar-benar percaya kepadanya, boleh jadi kalian silap dalam memahaminya...” Yakni, dia harus pandai mempetahankan teman tersebut dan tidak mudah percaya dengan omongan yang beredar di luar, kecuali kalau memang terbukti bahwa dia benar-benar bersalah. Keyakinan akan

kesalahannya harus bersandar pada bukti-bukti yang kuat,

p: 66

dan selama belum didapatkan keyakinan akan kesalahan sang teman, maka jangan mudah percaya dengan bukti-bukti serta kesaksian-kesaksian yang masih lemah dan meragukan. Boleh jadi dalam pemikiran, kita mempunyai gambaran yang negatif pada seorang teman, namun kita tidak boleh serta merta menarik kepercayaan atasnya dalam tataran amal, yakni kita harus tetap memperlakukannya sebagai seorang teman. Ketika dikatakan bahwa manusia harus berbaik sangka terhadap orang lain, maksudnya adalah dalam hati pun kita tidak boleh berpikiran buruk tentangnya, tetapi kita harus terus mengembangkan pikiran positif dan prasangka baik tentang dia. Misalnya, kita terus bergumam, “Betapa banyak orang yang berpikiran keliru tentang diri saya, namun setelah beberapa waktu, mereka baru menyadari kesalahannya, dan boleh jadi mereka juga keliru dalam memandangnya, maka saya tidak boleh ikut begitu saja atas apa yang menjadi pemikiran dan pendapat mereka.”

Seseorang tidak boleh asal-asalan dalam mencari teman bergaul. Sekadar melihat kebaikan seseorang secara lahiriah tidaklah cukup untuk kemudian menjadikannya sebagai teman, tetapi kita harus berhati-hati dan melakukan kajian serta ujian hingga benar-benar yakin bahwa dia layak untuk dijadikan sebagai teman dan sahabat. Yang dimaksud dengan “yakin” di sini adalah keyakinan secara urf dan uqala”, karena kalau yang kita cari adalah sosok teman ideal seperti

Salman Farisi qadasallahu sirruh, maka kita harus bersabar menunggu hingga Allah Swt menghidupkannya lagi! Tentu orang idelis seperti itu tidak akan pernah menemukan teman yang cocok, karena kalau seseorang terlalu berhati-hati dan hendak menemukan seorang teman yang sempurna serta tidak ada kekurangannya, maka dia harus sabar untuk hidup tanpa teman hingga menemukan seorang teman yang baik, bertakwa, jujur, tidak berpura-pura, setia, mau berkorban

p: 67

dan seterusnya. Hal ini bukan berarti kita merasa cukup dengan bekal husnuzhzhan, namun kita harus menggunakan neraca standar dalam mencari teman dengan melakukan sedikit ujian hingga kita benar-benar yakin bahwa dia adalah orang yang layak untuk dijadikan sebagai teman. Setelah kita memilihnya sebagai teman, maka kita harus selalu berbaik sangka kepadanya dan menghindarkan diri dari buruk sangka serta menolak omongan-omongan yang miring tentangnya, (kecuali benar-benar telah terbukti keburukannya). Setan sama sekali tidak suka melihat dua orang mukmin yang berteman dan bersahabat. Kaidah umum yang dipahami

dari kalam Ilahi juga menekankan masalah ini: Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (1) Benar bahwa ayat ini berkaitan dengan khamar dan judi, namun sebenarnya tidak terbatas hanya pada dua itu. Keduanya hanyalah dua faktor yang dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian. Pemahaman universal (mafhum kulli) ayat ini juga mencakup bahasan kita. Artinya, sebagaimana setan berusaha menciptakan permusuhan serta kebencian di antara kalian melalui khamar dan judi, dia juga berusaha menciptakan permusuhan serta kebencian di antara kalian melalui jalan dan cara yang lain. Yang menjadi tujuannya adalah permusuhan di antara kalian. Dia bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian itu melalui cara-cara selain khamar dan judi. Setan paling tidak suka dan tidak rela dengan hubungan harmonis penuh persahabatan di antara dua orang mukmin. Oleh sebab itu, setan berusaha dengan segala cara menimbulkan permusuhan dan kebencian. Contohnya,

p: 68


1- 27 QS. al-Maidah [5]:91.

setan berusaha mengajak manusia melakukan cacian, makian, sindiran, omongan yang menghasut, gunjingan, celaan dan mencari aib orang lain agar hubungan pertemanan yang penuh kasih serta keharmonisan di antara dua orang mukmin menjadi sirna dan berubah menjadi hubungan yang penuh permusuhan dan kecurigaan. Itulah yang membuat mata setan berbinar-binar penuh kegembiraan. Nah, kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk membuat buta

mata setan dengan mencari sahabat-sahabat yang baik dan membangun hubungan pertemanan yang penuh ketulusan dan kasih sayang, sehingga kita bisa saling cinta karena Allah Swt dan kita harus menjadikan pertemanan ini sebagai sarana peningkatan sisi maknawi dan spiritualitas.

Banyak riwayat yang menganjurkan kita untuk menjalin pertemanan dan hubungan cinta-kasih karena Allah Swt, di antaranya adalah riwayat yang dinukil oleh Imam Baqir as dari datuknya Rasulullah saw:

الْمُتَحَابُّونَ فِی اللَّهِ یَوْمَ الْقِیَامَةِ عَلَی أَرْضِ زَبَرْجَدَةٍ خَضْرَاءَ ف_ِی ظ_ِلِّ ع_َرْش_ِهِ ع_َنْ ی_َم_ِینِهِ وَ کِلْتَا یَدَیْهِ یَمِینٌ وُجُوهُهُمْ أَشَدُّ بَیَاضاً وَ أَضْوَأُ مِنَ الشَّمْسِ الطَّالِع_َةِ ی_َغ_ْب_ِطُهُمْ بِمَنْزِلَتِهِمْ کُلُّ مَلَکٍ مُقَرَّبٍ وَ کُلُّ نَبِیٍّ مُرْسَلٍ یَقُولُ النَّاسُ مَنْ هَؤُلَاءِ فَیُقَالُ هَؤُلَاءِ الْمُتَحَابُّونَ فِی اللَّهِ.

اصول کافی ج : 3 ص : 191 روایة : 7

Orang-orang yang saling mengasihi dan mencintai di jalan Allah pada Hari Kiamat akan berada di atas tanah Zabarjud berwarna hijau di bawah naungan Arasy pada sisi kanan. Wajah-wajah mereka lebih putih dan lebih bercahaya daripada matahari kala terbit. Seluruh malaikat muqarrab dan nabi yang diutus mendambakan kedudukan mereka. Orang-orang bertanya, "Siapakah mereka itu?” Maka dikatakan: “Mereka adalah orang-

p: 69

orang yang saling mencintai di jalan Allah (dan karena Allah Swt). (1) Yang dapat menyampaikan manusia pada kesempurnaan serta kedudukan tinggi ini adalah perjuangan serta usaha mereka dalam menghadapi berbagai macam tipu daya setan untuk menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mukminin. Karena perjuangan itulah mereka mendapatkan kedudukan yang begitu mulia di sisi Allah Swt. Salah satu cara untuk melawan tipu daya itu adalah menolak dan tidak menerima sembarang omongan yang tidak baik, gunjingan serta celaan orang terhadap teman dan sahabat kita. Kita harus menolak dari dalam hati semua pembicaraan yang tidak baik berkaitan dengan sahabat sendiri. []

p: 70


1- 28 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.7, hal. 195, riwayat ke-64.

p: 71

26-MENJAGA HATI

Point

بِئْسَ الطَّعَامُ الْحَرَامُ وَ ظُلْمُ الضَّعِیفِ أَفْحَشُ الظُّلْمِ إِذَا کَانَ الرِّفْقُ خُرْقاً کَانَ الْخُرْقُ رِفْقاً رُبَّمَا کَانَ الدَّوَاءُ دَاءً وَ الدَّاءُ دَوَاءً وَ رُبَّمَا نَصَحَ غَیْرُ النَّاصِحِ وَ غَشَّ الْمُسْتَنْصَحُ .

Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram dan seburuk-buruk kezaliman adalah berbuat zalim terhadap orang lemah. Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga; dan bersabar atas sesuatu yang tidak disuka akan menjaga hati. Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan

akan berarti kelembutan. Adakalanya obat menjadi penyakit dan penyakit menjadi obat. Adakalanya nasihat didapat dari orang yang tidak disangka dan adakalanya orang yang dimintai nasihat melakukan pengkhianatan.

Bagian ketiga wasiat Imam Ali as kepada putranya Hasan bin Ali as adalah kalimat-kalimat pendek yang berisikan nasihat-nasihat umum. Nasihat-nasihat beliau selain berguna untuk kehidupan dunia, bermanfaat pula untuk kebahagiaan akhirat. Sebesar taufik yang Allah Swt berikan, kami akan

p: 72

berusaha mengupas serta menjelaskan kalimat-kalimat penuh cahaya beliau agar mudah dicerna dan dimanfaatkan, insya Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini, pada transkrip-transkrip wasiat beliau ada sedikit perbedaan dari sisi volume kalimat dan penempatan beberapa alinea. Nah, untuk menghindari perbedaan beberapa transkrip yang ada, kami memutuskan untuk menukilnya dari kitab Bihar al-Anwar. Sebagai misal, kalimat di bawah ini sama sekali tidak

ditemukan pada beberapa transkrip atau dinukil dengan sedikit perbedaan kalimat:

بِئْسَ الطَّعَامُ الْحَرَامُ وَ ظُلْمُ الضَّعِیفِ أَفْحَشُ الظُّلْمِ و...

Dengan menyadari adanya beberapa perbedaan yang ada, kami akan berusaha menjelaskan serta menafsirkan pesan-pesan mulia dari wasiat beliau.

Neraca Pemanfaatan Kenikmatan Duniawi

Berkaitan dengan pemanfaatan kenikmatan duniawi Imam Ali as berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram.”

Kalimat ini dapat dijelaskan dalam dua penafsiran:

1. Manusia pada umumnya mempunyai sebuah neraca dan ukuran untuk menilai perkara-perkara duniawi, sehingga dia bisa memanfaatkan atau menghindarkan dirinya dari perkara-perkara itu. Dengan adanya neraca, manusia dapat menilai serta menentukan sikapnya berkaitan dengan perkara-perkara duniawi, seperti bila dia berkata, “Apa saja yang sesuai dengan seleraku maka itu adalah baik, dan apa saja yang tidak sesuai dengan seleraku maka itu adalah buruk.” Dengan adanya neraca seperti di atas, dia akan menentukan sikapnya berdasarkan pada neraca

p: 73

tersebut berkaitan dengan seluruh urusan duniawinya, yakni apa saja yang mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah baik, dan yang tidak mendatangkan kenikmatan, maka itu adalah buruk.

Dalam pandangan Imam Ali as, tidak satupun neraca materialisme murni yang dapat dijadikan sebagai barometer yang benar karena perlu juga disertakan

neraca maknawi dan rohani. Belum tentu setiap makanan yang disuka itu baik bagi manusia, sebagaimana belum tentu juga makanan yang tidak disuka itu buruk baginya. Akan tetapi, selain masalah "enak” atau “tidak enak” dan sesuai selera atau tidak sesuai selera, juga harus ada neraca maknawi. Makanan yang baik adalah makanan yang halal meskipun tidak enak rasanya, dan makanan yang buruk adalah makanan yang haram meskipun enak an manis rasanya. Berdasar pada interpretasi ini, maka perlu juga diperhatikan nilai-nilai maknawi dan tidak hanya membatasinya nilai-nilai materialisme. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa maksud dari kalimat Imam Ali as yang berkata, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram”, adalah mengajak penerima nasihat untuk juga memerhatikan sisi maknawi dan rohani dari kenikmatan-kenikmatan duniawi.

2. Interpretasi lain yang bisa diberikan pada kalam Imam Ali as adalah bahwa yang beliau maksud dari kalimat “seburuk-buruk makanan adalah makanan yang haram” adalah hal-hal yang haram secara mutlak, yakni segala perbuatan yang kita lakukan semuanya akan berpengaruh pada roh dan jiwa. Makanan yang kita makan akan berpengaruh pada tubuh kita. Apabila makanan itu sehat dan bergizi, tubuh akan menjadi sehat, berenergi dan tumbuh dengan baik. Bila makanan yang kita konsumsi itu beracun, tubuh akan sakit, terserang oleh aneka bakteri dan mikroba, bahkan

p: 74

bisa berakhir dengan kematian. Demikian pula halnya dengan roh dan jiwa yang akan mengalami sehat-sakit dan hidup-mati akibat perbuatan-perbuatan baik dan buruk di dunia. Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, tak ubahnya seperti makanan dan minuman yang kita berikan kepada roh dan jiwa. Sebagaimana makanan yang buruk, seperti makanan beracun, dapat membuat tubuh menjadi sakit, perbuatan haram dan maksiat juga seperti makanan beracun yang dapat membuat roh dan jiwa menjadi sakit. Kondisi roh dan jiwa kita sangat bergantung pada perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Sebagaimana makanan dapat berpengaruh pada kondisi tubuh, maka perbuatan-perbuatan kita juga akan berpengaruh pada kondisi roh dan jiwa. Berdasarkan keterangan di atas, maka maksud kalam Imam Ali as berarti “perbuatan haram adalah makanan yang buruk bagi roh manusia.” Interpretasi yang kedua ini lebih luas dan mencakup dibandingkan dengan interpretasi pertama.

Seburuk-Buruk Kezaliman

Salah satu pesan dan wasiat beliau adalah menghindarkan serta menjauhkan diri dari berbuat zalim, terkhusus kepada orang-orang lemah. Seburuk-buruk kezaliman adalah berbuat zalim terhadap orang-orang lemah. Setiap perbuatan zalim itu buruk.

Kezaliman yakni perbuatan melampaui batas, tidak menjaga hak-hak orang dan merampas hak orang lain. Ketika seseorang tidak menjaga hak orang lain berarti dia telah berbuat zalim dan melakukan perbuatan buruk, baik yang dizalimi itu orang lemah maupun orang kuat. Hanya saja, apabila yang diabaikan haknya itu adalah orang lemah, perbuatan itu menjadi lebih buruk. Kondisi orang yang lemah seharusnya dapat membangkitkan rasa iba dan empati kita untuk menjaga dan melindunginya; keadaan orang lemah menuntut belas kasih dan kasih sayang. Namun, bila alih-alih

p: 75

melindungi, mengasihi dan membantu orang yang lemah, kita justru menzalimi dan menganiayanya, maka kezaliman yang kita lakukan akan berlipat-lipat nilainya. Karena yang kita lakukan itu bertentangan dengan tuntutan hati nurani dan bagaimana seharusnya orang lemah diperlakukan. Kita tidak hanya tidak menolongnya, namun justru menganiaya, menzalimi dan mengabaikan hak-haknya; karenanya kezaliman ini menjadi lebih buruk. Pada hakikatnya perbuatan itu adalah kezaliman berlapis, dan itulah sebabnya mengapa bersifat lebih buruk.

Sebab lain yang menjadikan perbuatan zalim atas si lemah itu lebih buruk dari perbuatan zalim atas si kuat adalah karena si kuat masih bisa mempertahankan haknya sementara si lemah tidak berdaya. Di samping itu, menzalimi orang lemah bisa dilakukan lebih mudah dan lebih sempurna tanpa risiko berarti, sementara menzalimi orang kuat tentu lebih sulit dan berisiko; karena itulah menzalimi orang lemah dan menginjak-injak haknya menjadi jauh lebih buruk.

Alhasil, Imam Ali as hendak mengingatkan kepada kita agar berhati-hati bila berhadapan dengan orang lemah, jangan sampai kita perlakukan dia sembarangan dan semau-mau kita. Ketidakberdayaan orang-orang lemah, seharusnya membuat kita mengasihi serta menolong mereka. Jangan sampai alih-alih menolong dan membantu mereka, kita justru menzalimi dan merampas hak-hak mereka, sementara mereka tidak mempunyai sedikitpun kekuatan untuk mempertahankan hak

dan membela diri.

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga.” Ungkapan ini adalah sebuah ungkapan yang luar biasa dan jarang sekali diucapkan. Sebagaimana kita ketahui, sebagian perbuatan yang kita lakukan, dapat diberi predikat baik dan buruk, dan seperti itulah sebagian besar perbuatan kita. Lebih jelasnya, perbuatan

p: 76

kita pada umumnya dapat disifati dengan dua sifat. Misalnya “berbicara”, “makan”, “berjalan”, mungkin bersifat baik dan mungkin juga bersifat buruk. “Berbicara” pada sebuah kesempatan adakalanya bersifat baik dan terpuji, namun pada kesempatan lain “berbicara” bisa bersifat buruk dan tercela. Demikian pula hanya dengan perbuatan "tertawa", boleh jadi baik dan terpuji pada kesempatan tertentu, dan buruk serta tercela pada kesempatan yang lain. Perbuatan itu sendiri

dalam beberapa contoh di atas tidak mengisyaratkan kebaikan ataupun keburukan. Namun ada serangkaian perbuatan yang baik-buruknya sudah bisa dipahami dari nama dan sebutannya, karena nama dan inisialnya sudah memahamkan kebaikan atau keburukan. Perbuatan itu sudah menyimpan nilai tunggal baik atau buruk di dalamnya dan hanya baik atau buruk. Sebagai misal, perbuatan fahsya’(baca: kejahatan, kekejian dan keburukan); tentu tidak perlu lagi dicarikan dalil mengapa

kejahatan itu buruk. Kejahatan itu sendiri sudah cukup untuk menunjukkan serta membuktikan keburukan dirinya. Mengapa fahsya' itu buruk? Jawabannya adalah karena fahsya’ tidak bisa menjadi kebaikan. Sebagaimana ihsan (lawan dari fahsya’), tidak bisa menjadi keburukan. Kita tidak perlu dalil untuk membuktikan keburukan fahsya’atau kebaikan ihsan.

Allah Swt berfirman dalam al-Quran, Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.99

Alasan mengapa tidak boleh mendekati perbuatan zina, karena perbuatan itu bersifat fahisyah, yakni perbuatan yang teramat keji. Kata fahsya' telah menunjukkan kekejian serta keburukan sebuah perbuatan. Ungkapan Imam Ali as yang berkata: “Perbuatan buruk, seperti namanya, buruk juga(1) menunjukkan bahwa perbuatan buruk itu bisa diketahui dari namanya dan tidak perlu lagi bukti akan keburukannya. Kezaliman juga merupakan salah satu dari perbuatan yang

p: 77


1- 29 QS. al-Isra' [17]:32.

berkategori fahisyah dan buruk, sehingga tidak ada kezaliman yang bersifat baik. Ketika sebuah perbuatan itu adalah kezaliman, maka dia pasti buruk dan tidak mungkin baik.

Kendali Hati

Tak diragukan, manusia melakukan berbagai macam hal disebabkan adanya keinginan serta rangsangan, dan hati merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam memunculkan berbagai macam keinginan dan rangsangan. Hatilah yang memberikan arah pada ikhtiar manusia dan menariknya ke sana-sini. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan sebuah metode untuk mengendalikan serta menjaga hati; beliau berkata, “Dan bersabar atas sesuatu yang tidak disuka akan menjaga hati.” Hati manusia tentu mempunyai hasrat dan keinginan. “Hawa nafsu” adalah keinginan-keinginan yang muncul di hati yang pada umumnya berisikan hasrat-hasrat sesaat dan tidak baik, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena

sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (1) Ketika hati menginginkan sesuatu, maka sekadar keinginan yang berasal dari hati, tidak serta merta menunjukkan

bahwa itu adalah sebuah keinginan yang baik. Seringkali hati menginginkan sesuatu yang berbahaya bagi manusia. Hasrat dan keinginan itu memang sering muncul dalam hati secara alamiah, namun bisa dilakukan sesuatu agar hasrat itu tidak muncul atau setidaknya tidak berkembang menjadi sebuah keinginan yang kuat serta menguasai jiwa manusia. Dengan kata lain, hati bisa menjaga serta melindungi dirinya dari berbagai macam hasrat dan keinginan yang muncul. Perlu

p: 78


1- 30 QS. Yusuf [12]:53.

diusahakan bagaimana hati berada dalam kondisi menjaga diri dan kendalinya berada pada si empunya. Jangan biarkan hati kita liar dalam menyukai serta menginginkan apa saja, karena kendalinya ada pada diri kita. Karena apabila hati sudah mengarah pada suatu keinginan, seluruh anggota tubuh juga akan mengarah padanya. Ketika hati berhasrat pada sesuatu, mata, telinga dan seluruh anggota tubuh juga akan mengarah dan bergerak menuju hasrat tersebut.

Aku menjerit karena ulah mata dan hati Karena yang dilihat mata selalu diingat hati Apabila kita bisa mengendalikan hati, sebagian besar permasalahan mendasar kita telah terselesaikan. Apa yang harus dilakukan sehingga hati berada dalam kendali? Apa yang harus kita lakukan agar hati tidak liar dan bergerak ke sana-sini dan mengejar apa saja yang menjadi hasratnya? Hati dapat dikontrol dan dikendalikan dengan proses melatih diri. Hati harus ditarik ke arah berlawanan dari apa yang menjadi hasrat serta keinginannya. Tentu arah yang berlawanan itu tidak dimaukan oleh hati dan tidak mudah untuk memalingkan hati dari kemauan serta hasratnya. Karenanya, hati perlu dijinakkan dengan latihan-latihan.

Biarlah kubuat sebuah belati yang berujung baja

Kutusuk mata dengannya agar hati terbebas dari bara (hasrat)

Sebagai misal, hati mengajak kita untuk melihat nonmuhrim. Apabila kita hendak mengendalikan hati, kita harus mencegah mata dari melihat sesuatu yang tidak

dihalalkan. Kita harus terus melatih diri dengan perenungan dan kesabaran agar keinginan dan hasrat maksiat ternafikan dari hati. Apabila kita berkehendak untuk memegang kontrol hati, kita harus terus melatihnya dengan penuh kesabaran

p: 79

untuk menghindari maksiat hingga terbiasa, yakni kita harus melakukan riyadhah dan membimbing hati agar berpaling dari melihat nonmuhrim. Riyadhah dalam bahasa berarti olah raga, yakni melatih diri. Apabila kita hendak memegang kendali hati, ia harus dibimbing melalui latihan-latihan keras untuk berpaling dari menuruti hawa nafsu. Sebagaimana bila seseorang ingin berprestasi di bidang olah raga, tentu dia harus melakukan latihan-latihan yang keras dan kontinu,

seperti mengangkat beban dari yang ringan sampai yang paling berat. Demikian pula halnya dalam urusan maknawi, apabila kita hendak menguasai keinginan-keinginan hati dan hasrat diri dengan memegang penuh kendali hati, kita harus terus berlatih dan berusaha keras.

Latihan dalam olah raga ini adalah latihan untuk membiasakan hati bersabar sehingga bisa meninggalkan hasrat serta keinginannya (yang non-syar’) dan menjadi

pahlawan di medan perang maknawi. Tashabbur adalah memaksakan kesabaran pada diri, yakni takalluf yang berarti mau susah dan repot untuk mengerjakan sesuatu. Bersabar bukanlah pekerjaan yang mudah dan gampang, tetapi memerlukan usaha dan kerja keras untuk menjadi sabar. Sebagai missal, apabila kita hendak memalingkan pandangan dari yang haram, kita harus melatih diri untuk tidak melihat sebagian yang halal. Manusia memang terbiasa untuk melihat sana-sini, karenanya sulit sekali baginya untuk mengendalikan pandangan. Bahkan seakan tidak ada jalan lain untuk mengontrolnya kecuali dengan memenjarakan diri. Apabila kita ingin tidak jatuh dalam pandangan haram, kita harus mengendalikan pandangan yang halal dan menguasainya. Sebagai misal, beberapa

menit usai salat, tundukkanlah pandangan dengan berzikir, bertasbih, berdoa dan membaca taʼqibat. Dengan melatih kesabaran, seseorang akan menjadi kuat dan mampu untuk

p: 80

mengendalikan keinginan serta hasrat hati. Hati manusia tak ubahnya seperti kuda yang lepas kendali yang berlari tak tentu arah. Dan, tidak ada cara untuk kembali memegang kendalinya kecuali melalui kesabaran. Apabila Anda hendak memegang kendali hati, Anda harus melatihnya dengan hal-hal yang tidak disukainya; harus terus berlatih, riyadhah dan kerja keras untuk membatasi hasrat serta keinginannya. Di samping hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai lazimnya kehidupan dunia, manusia juga harus bersabar atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh orang lain. Terkadang ada beberapa ulah orang yang menuntut kita

untuk bersabar dalam menghadapinya. Kita harus pandai mengabaikan hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut tanpa harus mempermalukannya. Apalagi kalau perbuatan itu dilakukan oleh seorang mukmin, yang bila kita tidak bisa bersabar, maka akan berakhir dengan mempermalukan seorang mukmin. Kadang kita dituntut untuk bersabar demi menjaga kehormatan serta harga diri orang lain. Boleh jadi bersabar atas kelakuan orang bisa mendatangkan pahala yang lebih banyak daripada bertahun-tahun ibadah dan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam takamul maknawi (penyempurnaan spiritual). Melatih diri untuk bersabar dan menahan diri secara berangsur akan memberi kita kekuatan untuk mengendalikan hati dan mengontrol kemauan-kemauannya sehingga hati tidak menjadi budak nafsu. (Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata): “Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan akan berarti kelembutan.”

Kalimat beliau ini menyinggung secara singkat sebuah pembahasan penting dalam filsafat akhlak, yaitu apakah akhlak bersifat nisbi (relatif) atau mutlak (absolut)? Kita semua telah mengetahui bahwa salah satu pembahasan penting dalam filsafat akhlak adalah apakah akhlak itu nisbi atau mutlak.

p: 81

Penjelasannya, ketika dikatakan bahwa suatu perbuatan itu baik, apakah selamanya, di mana saja dan bagi siapa saja perbuatan itu baik ataukah kebaikannya bersifat relatif? Dikatakan relatif, karena perbuatan tersebut pada waktu, tempat dan bagi orang-orang tertentu, baik; namun pada tempat, waktu dan bagi orang-orang lain, tidak baik. Tidak ada kesepakatan pendapat berkaitan dengan kenisbian atau kerelatifan akhlak, tetapi banyak aliran serta paham yang berbeda pandangan berkaitan dengannya. Sebagian berpendapat bahwa maksud dari kenisbian akhlak adalah bahwa baik-buruknya segala sesuatu bergantung pada tempat, waktu, situasi dan kondisi; dan tidak ada kebaikan atau keburukan absolut (baca: mutlak). Adakalanya sesuatu itu baik bagi sebagian orang dan tidak baik bagi sebagian yang lain. Ketika sebuah perbuatan dipandang baik oleh sekelompok orang, maka perbuatan itu baik bagi mereka; dan sebaliknya, bila sebuah perbuatan dipandang buruk oleh sekelompok lain, maka perbuatan itu buruk bagi mereka. Dengan kata lain, tidak ada neraca absolut berkaitan dengan nilai baik dan buruk.

Ada juga yang berpendapat bahwa ada sebuah neraca absolut bagi kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, mereka yang meyakini adanya neraca absolut ini akan menghadapi kesulitan dalam beberapa kasus tertentu. Contohnya, berdasar pada pendapat ini, apabila kejujuran adalah kebaikan, maka kejujuran itu baik di segala tempat dan waktu; sementara apabila sebuah kebohongan dapat menyelamatkan jiwa seorang mukmin, maka seseorang harus berdusta dan mengabaikan

kejujuran. Pada situasi yang seperti itu, Islam menganjurkan kita untuk berbohong demi menyelamatkan jiwa manusia dari tangan orang zalim. Kasus-kasus seperti inilah yang kemudian membuat sebagian orang menganggap bahwa akhlak dalam Islam bersifat nisbi dan relative, karena berdusta itu terkadang buruk dan terkadang baik; sebagaimana halnya kejujuran yang

p: 82

terkadang baik dan terkadang buruk. Padahal tidak seperti itu hakikat penafsirannya. Tentu pembahasan rinci-ilmiah berkaitan dengan masalah ini menuntut tempat tersendiri, di sini hanya akan diberikan penjelasan secara umum dan garis besar saja.

Dalam menjelaskan beberapa perbuatan seperti di atas, harus dikatakan bahwa baik dan buruknya perbuatan itu bersandar pada neraca-neraca yang lebih universal. Sebagai contoh, baik-buruknya kejujuran dan dusta bergantung pada serangkaian maslahat dan mafsadah (kerugian atau bahaya) yang ditimbulkannya. Kejujuran tidak selalu baik dan terpuji secara mutlak, sebagaimana dusta juga tidak selalu buruk dan tercela secara mutlak, namun terdapat syarat-syarat juga

faktor situasi dan kondisi yang dapat menjadikan sebuah perbuatan itu bersifat baik atau buruk.

Sebagian filsuf besar akhlak yang mempunyai kecenderungan seperti ini beranggapan bahwa ketika dikatakan sebuah perbuatan itu baik, maka tidak akan

ada pengecualian. Seperti ketika dikatakan bahwa sikap lembut itu adalah sebuah kebaikan dan banyak riwayat yang menganjurkan serta memuji sikap lembut, maka timbul kesalahpahaman bahwa dalam hal ini tidak ada pengecualian, yang berarti bahwa manusia harus selalu bersikap lembut dan tidak boleh menggunakan kekerasan sama sekali. Atau ketika kesabaran disebut sebagai kebaikan dan banyak sekali ayat dan riwayat yang menganjurkan kita untuk bersabar, maka

muncul anggapan bahwa kemarahan adalah sebuah kesalahan dan manusia tidak boleh marah secara mutlak. Padahal pada kaidah-kaidah umum itu terdapat pengecualian. Memang, kasus-kasus pengecualian itu tidak banyak, tetapi meski sedikit, pengecualian itu ada. Sebagai contoh, dalam sirah amali Imam Ali as atau dalam surat-surat yang beliau tulis untuk para gubernur dan pejabat pemerintahan, kita menyaksikan

p: 83

ada ungkapan-ungkapan sangat keras yang digunakan untuk mengecam beberapa pelanggaran serta penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan.; kala itu ke mana perginya kelembutan dan kesabaran Ali as? Mengapa kalimat-kalimat yang digunakan bukan kalimat-kalimat yang lunak

serta sarat kelembutan, seperti: Wahai anak-anakku, wahai putra-putraku, wahai orang-orang yang kucintai, jangan kalian lakukan pekerjaan buruk ini! Aku mohon kepada kalian, baitulmal adalah hak rakyat, jagalah dengan baik hak-hak mereka! Ternyata sikap Imam Ali as tidak selalu sama, beliau bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi juga sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Memang dalam pergaulan kita dianjurkan untuk bersikap ramah dan penuh kelembutan, namun terhadap orang-orang yang melanggar dan melakukan penyelewengan, kita dituntut untuk dapat bersikap tegas dan keras.

· Ketika seseorang diperlakukan dengan lembut, sebenarnya dia telah diberi kesempatan untuk berpikir, merenung dan memahami kesalahan diri; memberi dia kesempatan untuk melakukan pembelaan diri dengan bukti-bukti rasional. Sebaliknya, apabila seseorang diperlakukan secara keras dan kasar, lalu dikatakan kepadanya, “Engkau telah berbuat buruk, engkau tidak mengerti, engkau bodoh, ..."; perlakuan tersebut selain melanggar etika islami, pada hakikatnya telah

menghilangkan kesempatan introspeksi dan usaha untuk memperbaiki diri darinya. Agar tidak tercipta kondisi buruk seperti itu, sudah seharusnya orang seperti itu diperlakukan dengan kelembutan agar tercipta interaksi yang baik di tengah masyarakat. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tidak setiap

perlakuan dan sikap lembut itu benar dan terpuji. Karena ketika yang dipertaruhkan adalah hak dan maslahat orang banyak, maka seseorang yang berkhianat atas harta muslimin

p: 84

harus disikapi dengan tegas dan keras. Dalam kasus seperti ini, apabila dia diperlakukan dengan kelembutan, dia akan semakin berani untuk meneruskan kejahatannya. Apabila seseorang yang mengorupsi milyaran (rupiah) uang rakyat diperlakukan secara lembut dan lunak, lalu kita ajak ia untuk bertobat seraya

berkata, “Sayangku, jangan lakukan perbuatan ini, karena akibatnya hanyalah kerugian bagimu!” Lalu dia menjawab, “Baiklah, aku tidak akan melakukannya lagi.” (Jika seperti itu perlakuan yang diberikan kepada seorang koruptor), maka dia akan kembali melakukan kejahatannya bahkan dia siap untuk melakukan yang lebih besar lagi. Tentu, sikap lunak dan dan lembut dalam hal ini sama sekali tidak tepat dan keliru. Karena sikap lunak terhadap para pengkhianat rakyat, tidak akan

membuahkan apa-apa selain menjadikan mereka bertambah semangat untuk melanjutkan kejahatannya. Oleh sebab itu, ketegasan dan kekerasan diperlukan pada tempatnya. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, “Apabila kelembutan diartikan dengan kekerasan, maka kekerasan akan berarti kelembutan." Adakalanya ketegasan dan kekerasan memberikan hasil kelembutan dan sikap lunak, yakni sesuatu yang menjadi hasil dari sikap lembut dan lunak, terkadang dihasilkan oleh sikap tegas dan keras. Terkadang kita harus menerapkan sikap terbalik, karena ketegasan telah berarti kelembutan dan kekerasan berarti kelunakan. Adakalanya

cinta dan kasih sayang itu harus dituangkan dalam bahasa kekerasan dan ketegasan. Oleh sebab itu, segala anjuran dan pujian yang diberikan pada kelembutan, kasih sayang, kesabaran, ketabahan, rendah hati dan lain sebagainya, bukan berarti tidak ada pengecualiannya, karena ada saat-saat tertentu ketika sikap lunak, sabar dan lembut, harus diganti dengan sikap tegas, marah dan keras demi tercapainya tujuan yang baik.

p: 85

Hal ini telah terungkap dalam berbagai riwayat, di antaranya Rasul saw pernah berkata, “Kerutkan wajahmu bila berhadapan dengan ahli kemungkaran dan bertakarublah kepada Allah dengannya!(1) Dalam riwayat yang lain, Imam Ali as berkata:

مَنْ تَرَک إِنْکارَ الْمُنْکرِ بِقَلْبِهِ وَ لِسَانِهِ فَهُوَ مَیتٌ بَینَ الْأَحْیاءِ

“Barangsiapa yang meninggalkan pengingkaran hal-hal yang mungkar dengan hati, tangan dan lisannya, maka dia bagaikan orang mati di tengah orang-orang yang hidup.(2) Seseorang yang tidak dapat mencegah kemungkaran dengan perbuatan dan tindakan, maka setidaknya dia harus menunjukkan mimik serta sikap yang memahamkan kepada si pelaku kemungkaran bahwa dia tidak setuju dengan perbuatannya dan bahwa apa yang dilakukannya itu buruk. Seseorang tidak boleh menebar wajah penuh senyuman dan sikap rendah hati kepada semua orang tanpa melihat apakah dia teman atau musuh, pendosa atau orang yang taat, baik atau jahat. Akan tetapi, seseorang terkadang perlu bersikap tegas dan keras kepada mereka yang memang pantas diperlakukan

seperti itu.

Namun, bukan juga berarti bahwa manusia harus selalu bersikap keras kepada semua orang. Sikap tegas dan keras hanya boleh digunakan pada momen-momen tertentu dengan penuh ketelitian serta kehati-hatian. Sikap keras kita harus rasional, jernih, objektif dan tidak boleh dipengaruhi oleh rasa cinta atau benci. Perlu diketahui, sikap keras, tegas dan amarah juga mempunyai tempat yang benar dalam kehidupan dan dibutuhkan.

p: 86


1- 31 Muttaqi Hindi, Kanz al-Ummal, hadis ke-5518 dan 5586.
2- 32 Thusi, Al-Tahdzib, jil.6, hal. 181.

Dengan demikian, jelas sudah apa yang termaktub dalam beberapa ayat dan riwayat atau sebagian sikap Imam Ali as juga para Imam yang lain; dengan dasar apa perintah untuk bersikap lembut dikeluarkan, namun pada kesempatan lain beliau mengangkat cambuk untuk menghukum pelaku kejahatan atau memberikan kecaman dengan nada keras "tsakkalatka ummuka!” (Semoga ibumu berduka atas kepergianmu!). (1) Orang yang bijaksana tahu persis kapan dia harus bersikap lembut dan lunak, juga kapan dia harus bersikap tegas dan keras. Oleh sebab itu, apabila kita menemukan atau menyaksikan orang-orang mulia bersikap tegas dan keras, kita harus memahami bahwa apa yang dilakukan itu adalah benar dan tidak bertentangan dengan akhlak. Apabila sikap lembut akan mendatangkan hasil yang buruk, kita harus bersikap sebaliknya, yakni tegas dan keras, agar menghasilkan sesuatu yang positif.

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Adakalanya obat menjadi penyakit dan penyakit menjadi obat.” Betapa banyak penyakit yang justru mendatangkan kesembuhan, dan sebaliknya, sesuatu yang dianggap sebagai obat, justru mendatangkan penyakit. Sebagai misal, ada makanan-makanan yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh tubuh, namun pada saat yang sama dia menjadi sumber dan penyebab munculnya penyakit-penyakit tertentu. Demikian pula halnya dengan

sikap dan perilaku manusia, harus sesuai dengan kaidah di atas.

Setiap sesuatu harus ditempatkan pada tempatnya, karena jika tidak, maka akan mendatangkan hasil yang sebaliknya. Hal lain yang dipesankan oleh beliau: “Apabila engkau tidak mengenal seseorang, apakah dia menginginkan kebaikanmu ataukah tidak, atau bahkan apabila engkau mengetahuinya bahwa dia menyimpan niat jahat terhadapmu, engkau tetap tidak dibenarkan untuk berpikiran bahwa apa saja yang dikatakannya itu merugikan dirimu. Boleh jadi

p: 87


1- 33 Nahj al-Balaghah, aforisme ke-417.

orang yang tidak suka kepadamu itu memberikan sebuah nasihat yang bermanfaat bagimu. Oleh sebab itu, kita harus mendengar dengan baik dan penuh ketelitian setiap ucapan darimana pun sumbernya, apakah ucapan itu benar atau salah? Apabila engkau mendapati ucapan tersebut sebagai sebuah kebenaran, jangan segan-segan untuk menerimanya, meskipun sumbernya itu adalah musuhmu. Dari sisi lain, terkadang kita sudah sangat percaya terhadap seseorang yang bukan

maksum. Boleh jadi orang tersebut berbicara berdasar pada hawa nafsunya, dan jika kita menerimanya begitu saja, maka kita akan tersesat olehnya. Hanya karena kita sudah percaya dan yakin terhadap kebaikan seseorang, kita tidak boleh menerima semua ucapannya begitu saja dan menganggapnya benar lalu mengikutinya. Bahkan, boleh jadi orang baik itu menyampaikan sesuatu dengan niat yang baik pula, namun apa yang disampaikan itu bukanlah kebenaran, karena dia bukan

pribadi yang maksum dan mungkin melakukan kesalahan.

Kesimpulannya, kita tidak boleh berpandangan buruk tentang seseorang secara berlebihan, sehingga seluruh ucapannya kita anggap buruk dan salah. Karena musuh

sekalipun terkadang menyampaikan sebuah kebenaran yang bermanfaat bagi diri kita. Dari sisi lain, apabila kita percaya kepada seseorang, kita juga tidak boleh menerima semua ucapannya secara buta dan menganggap bahwa semua yang disampaikan itu bermanfaat bagi diri kita. Singkat kata, kita tetap harus memberikan kemungkinan kebenaran ucapan musuh, sebagaimana kita juga tetap harus memberikan kemungkinan niat busuk serta pengkhianatan dari seorang

yang terpercaya. Dalam lanjutan wasiatnya, beliau berkata, “Adakalanya nasihat didapat dari orang yang tidak disangka dan adakalanya orang yang dimintai nasihat melakukan pengkhianatan.”

p: 88

Betapa banyak orang yang bukan penasihat dan teman kita memberikan nasihat dengan niat baik kepada kita, bahkan nasihat yang seperti itu jarang kita jumpai dari teman-teman dekat kita. Dari sisi lain, betapa banyak nasihat yang diberikan oleh teman dekat dan orang-orang yang kita percaya, namun pada hakikatnya mereka menyimpan niat busuk dan berusaha menipu kita. Hal ini mungkin saja terjadi, karena mereka bukanlah orang-orang suci. Bisa saja mereka tergoda oleh

hawa nafsu dan berbuat buruk terhadap kita. Jangan sampai prasangka buruk membuat kita kehilangan banyak hal yang positif, dan jangan sampai pula prasangka baik yang berlebihan mendatangkan kerugian yang besar! ]

p: 89

27-ANGAN-ANGAN PANJANG

Point

إیاک والإتکال علی المنی فانها بضائع النوکی و مطل عن الاخره و الدنیا

Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat.

Mukadimah

Sebagaimana telah diketahui bahwa bagian akhir dari wasiat Imam Ali as kepada putranya Hasan bin Ali as ini berupa kalimat-kalimat pendek dan nasihat-nasihat universal tanpa penjelasan dan uraian. Pada bagian ini, Imam Ali as berkata, “Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu.”

Nûkâ adalah bentuk jamak dari kata nuk yang berarti dungu dan bebal. Kita harus mengkaji lebih jauh apa maksud Imam dari kalimat ini. Lafaz-lafaz yang digunakan dalam kalimat ini satu hampir sama dengan yang lain, tetapi berbeda dalam tempat penggunaannya. Oleh sebab itu, sebagian mengalami kesalahan dalam menafsirkan dan memahaminya. Secara umum sering terjadi pemahaman yang keliru atas lafaz-lafaz mutlak dan umum dalam ayat serta riwayat. Hal itu terjadi karena qaid dan takhshishnya (baca: rincian penjelasan) bersifat tersembunyi, implisit dan terpisah. Karenanya, mereka yang

p: 90

tidak memerhatikan rincian penjelasan dari keterangan yang mutlak tersebut, bisa salah dalam mengambil kesimpulan. Oleh sebab itu, untuk memahami ayat dan riwayat diperlukan keakraban dengan ayat dan riwayat juga dasar-dasar pengetahuan keislaman (ma’arif islami). Meskipun semua ayat dan riwayat itu adalah cahaya dan manusia harus mengambil petunjuk darinya, tetap dibutuhkan ketelitian serta kejelian, dan ucapan Imam Ali as di atas termasuk dalam kategori ini.

Kita sendiri terkadang menggunakan lafaz-lafaz yang maknanya berdekatan, namun kita tidak memerhatikan tempat penggunaannya dan boleh jadi kita juga akan

mengalami kekeliruan dalam menentukan substansi dan hukum-hukumnya. Di antara kata-kata itu adalah kata seperti harapan, raja', umuniyyah, tamanni, cita-cita dan amal (angan- angan). Beberapa kata tersebut mempunyai makna yang berdekatan dan hampir sama, karenanya dibutuhkan qaid dan takhshish agar maksud yang hendak disampaikan dapat diterima dengan benar. Oleh sebab itu dalam menafsirkan sebuah kalimat harus diperhatikan makna lafaz serta tempat

penggunaannya, juga harus diperhatikan qaid serta takhshish yang disertakan pada kalimat tersebut.

Dalam wasiatnya, Imam Ali as memperingatkan kita untuk tidak jatuh dalam angan-angan panjang. Banyak keterangan dalam riwayat yang mirip dengan pesan beliau, seperti apa yang diucapkan oleh beliau dalam Nahj al-Balaghah:

إنما أخاف علیکم إثنتان: اتباع الهوی و طول الأمل

Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah dua hal:

mengikuti hawa nafsu dan berangan-angan panjang (1)

p: 91


1- 34 Nahj al-Balaghah, Khotbah ke-28.

Imam Ali as telah menunjukkan ada dua bahaya yang paling mengancam kehidupan manusia, yang pertama adalah mengikuti hawa nafsu serta hasrat hati dan yang kedua adalah angan-angan panjang. Perlu digarisbawahi, angan-angan panjang bukanlah sekadar bahaya biasa, tetapi merupakan bahaya yang sangat serius dan mengkhawatirkan. Sebegitu bahayanya, hingga Imam Ali as berkata, “Yang paling aku takutkan dari kalian.” Karenanya, dalam wasiat ini beliau berpesan kepada putranya, “Janganlah engkau mengandalkan angan-angan, karena angan-angan adalah modal orang-orang dungu dan akan mencegahmu dari kebaikan dunia dan akhirat!"

Nasihat dan anjuran agama yang mencegah kita untuk berangan-angan panjang, sepertinya bertentangan dengan apa yang dianjurkan dalam ilmu psikologi, yang mendorong serta memberi semangat manusia untuk bermimpi, berangan-angan dan bercita-cita tinggi, lalu bagaimana dapat dijelaskan pertentangan ini?

Para pakar ilmu jiwa justru menganjurkan dengan penuh penekanan agar manusia mempunyai angan-angan serta harapan-harapan yang tinggi dan hal itu dianggap sebagai pertanda bagi kehidupan ideal serta kesehatan jiwa. Nah, bagaimana dua pandangan yang berbeda ini diambil jalan tengahnya. Lebih daripada itu, di antara riwayat-riwayat yang sampai kepada kita dari para Imam as, juga terdapat pertentangan, karena sebagian riwayat menganjurkan kita untuk selalu mempunyai harapan dan mencela keputusasaan, sementara sebagian yang lain, seperti pesan Imam Ali as ini, mencegah kita untuk berangan-angan dan menumpuk harapan di dunia. Nah, kini kita harus mengkaji, apakah memiliki cita-cita yang tinggi dan harapan jangka panjang adalah sebuah aib dan perbuatan yang harus dihindari? Sebagai misal, apabila seseorang membuat perencanaan untuk 30 tahun ke depan

p: 92

dan sejak saat ini dia berusaha untuk dapat mencapainya selama waktu yang dicanangkan, apakah dia dianggap telah melakukan sebuah kekeliruan dan sedang mengejar angan- angan kosong? Apa sih sebenarnya sisi buruk dari sekadar memiliki cita-cita dan angan-angan panjang? Apa sebenarnya yang dimaksud oleh Imam Ali as ketika mencegah kita untuk bersandar pada angan-angan yang panjang? Agar topik bahasan menjadi jelas, perlu kiranya memerhatikan beberapa poin berikut: Terlebih dahulu harus diketahui bahwa maksud dari angan-angan atau cita-cita adalah sebuah keinginan yang belum tecapai yang ingin diraih pada masa mendatang. Cita- cita dan dambaan adalah sesuatu yang diinginkan, namun belum tercapai dan tidak mudah untuk meraihnya; perlu perencanaan, kerja keras dan kesabaran juga waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Itu adalah arti dari angan-angan dan cita-cita, selanjutnya perlu juga diketahui, berkaitan dengan apa cita-cita dan angan-angan itu? Berbagai macam hal, baik duniawi maupun ukhrawi, dapat menjadi objek cita-cita dan angan-angan; bisa murni kenikmatan duniawi sampai perkara-perkara yang murni ukhrawi. Apabila cita-cita dan angan-angan tersebut berkaitan dengan materi dan kenikmatan duniawi, cita-cita tersebut dapat dibagi menjadi dua: pertama, mencita-citakan sesuatu yang haram menurut syariat, seperti menginginkan harta serta kedudukan dengan cara melanggar

syariat; tentu yang seperti ini sudah sangat jelas hukumnya.

Kedua, mencita-citakan sesuatu yang secara syar'i halal dan tidak bermasalah, seperti bercita-cita untuk memiliki rumah yang luas, mobil model terbaru, harta berlimpah, kebun buah, istana dan lain sebagainya; tentu yang seperti ini juga pada batas dirinya tidak haram. Yang menjadi ukuran serta neraca untuk menghukumi aktivitas yang seperti ini adalah: sebesar apa energi, usaha, aktivitas serta waktu yang dipertaruhkan

p: 93

untuk mewujudkan berbagai keinginan dan angan-angan tersebut? Tentu angan-angan serta cita-cita tinggi berkaitan dengan kenikmatan materi dan duniawi yang banyak menyita waktu dan energi seperti di atas, sangat tidak terpuji dan tercela dari sudut pandang akhlak Islam.

Orang-orang yang mengejar angan-angan panjang duniawi, mau tidak mau, akan terhalangi serta teralihkan dari menjalankan taklif-taklif syar'i dan meraih kesempurnaan- kesempurnaan maknawi, karena dia harus menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya untuk meraih semua kemegahan dunia itu. Sebagai misal, seorang pekerja biasa yang sama sekali belum mempunyai modal, namun dia berangan-angan untuk menjadi orang kaya raya dengan harta berlimpah.

Sementara dia harus menjaga seluruh hukum syariat dan akhlak islami, dia juga harus bekerja siang dan malam untuk mengejar mimpinya; bangun dan tidurnya, waktu istirahat dan ketenangan hidupnya, seluruhnya dikonsentrasikan untuk meraih harapan tersebut hingga secara berangsur mencapai keberhasilan. Tak diragukan, bila seperti itu adanya, tidak ada kekuatan yang tersisa baginya untuk mencari ilmu, ketakwaan, ibadah, berkhidmat kepada masyarakat, membantu fakir-miskin dan seterusnya.

Tanpa disadari, mengejar mimpi-mimpi duniawi seperti di atas memang akan menghambat manusia untuk mengerjakan tugas-tugas wajibnya. Oleh sebab itu, menyimpan cita- cita tinggi duniawi merupakan sesuatu yang tercela dalam agama. Akan tetapi, apabila harta serta kedudukan tersebut dia perjuangkan demi meraih tujuan-tujuan ukhrawi, seperti bila demi berkhidmat kepada sesama, membenahi kehidupan masyarakat, mendakwahkan Islam, seseorang berusaha untuk

menduduki jabatan sebagai Presiden atau Perdana Menteri, maka seberapapun usaha dan energi yang diberikan akan tercatat sebagai perbuatan yang mulia. Dengan kata lain,

p: 94

semakin mulia tujuan seseorang dan semakin jauh niatnya dari sekadar memenuhi tuntutan nafsu, maka semakin bernilai pula usaha dan kerja kerasnya. Apabila dia mengejar sebuah kedudukan demi sebuah misi Ilahi, usahanya tidak hanya tidak tercela, namun justru terpuji dan mulia. Namun perlu juga diperhatikan, mengejar dunia demi tujuan ukhrawi mempunyai beberapa syarat. Pertama, dia harus melihat dan mengkaji kemungkinan tercapainya cita-cita tersebut; apakah cita-cita yang diharapkan itu dapat diraih dengan melihat situasi dan kondisi serta fasilitas yang ada? Seberapa besar kemungkinan tercapainya cita-cita dan dambaan tersebut? Tentu, dalam kaitan ini, kemungkinan tercapainya tujuan itu haruslah besar. Oleh sebab itu, pertama harus diprediksi dan dihitung

seberapa besar kemungkinan tercapainya tujuan tersebut. Kedua, kita harus melihat seberapa besar nilai dari cita-cita dan dambaan itu, yakni apabila akhirnya cita-cita itu tercapai, sejauh apa dia dapat bermanfaat bagi akhirat serta pengkhidmatan kepada Islam dan masyarakat Islam? Dengan memahami situasi dan kondisi yang ada berkaitan dengan diri dan masyarakat, sejauh apa dia dapat memanfaatkan cita-cita tersebut dalam berkhidmat kepada Islam? Apabila hasil

telaah dua syarat di atas memberikan jawaban yang positif, berarti cita-cita dan mimpi tersebut layak untuk dikejar dan diwujudkan. Kemungkinan keberhasilan (ihtimal) serta kadar hasil (muhtamal) harus sedemikian besar dan tinggi, agar mengejar cita-cita tersebut dapat disebut sebagai sebuah usaha yang terpuji dan bersifat rasional. Apabila setelah sepuluh secara pasti dia dapat mencapai cita-cita tersebut, tetapi kemungkinan penggunaannya dalam berkhidmat kepada

agama dan masyarakat hanya satu persen, maka meskipun kadar ihtimal begitu kuat, namun kadar muhtamal-nya sangat lemah, dan tentu cita-cita ini sudah tidak layak untuk dikejar

p: 95

dan diwujudkan. Kadang keadaannya terbalik, yaitu ihtimal lemah, namun muhtamal-nya sangat kuat, yakni kemungkinan dicapainya cita-cita sangat kecil, namun bila tercapai pasti akan berguna dan digunakan untuk tujuan-tujuan ukhrawi yang mulia; jika begitu keadaannya, jangan pertaruhkan usia dan biaya untuk menggapainya. Singkat kata, apabila dua syarat di atas telah terkumpul, cita-cita dan angan-angan itu layak untuk dikejar; dan bila kedua syarat atau salah satunya

tidak ada, cita-cita dan angan-angan tersebut tidak layak untuk dikejar dan diperjuangkan. Yang dimaksud dengan nilai sebuah cita-cita adalah sebuah cita-cita yang dapat digunakan dalam merealisasikan nilai-nilai Ilahi dan tujuan-tujuan suci, seperti apabila cita-cita tersebut dapat membantu dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan ukhrawi kita. Namun perlu juga diperhatikan bahwa untuk melakukan sebuah pekerjaan, tidak cukup hanya dengan memperhitungkan kadar ihtimal dan muhtamal. Masih ada hal lain lagi yang perlu diperhitungkan, yaitu melihat serta mengkaji nilai pekerjaan-pekerjaan yang mudah. Dengan begitu, kita dapat memilih

sesuatu yang bernilai lebih tinggi di antara berbagai pekerjaan dan cita-cita yang muhtamal. Boleh jadi, ada pekerjaan- pekerjaan lain yang bernilai tinggi, karenanya kita perlu melakukan komparasi apakah satu pekerjaan khusus ini yang bernilai lebih tinggi atau pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Sebagai kesimpulan, ada tiga perhitungan yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti sebuah cita dan angan. Pertama, menghitung kadar kemungkinan tercapainya sebuah cita dan angan-angan (ihtimal). Kedua, menghitung kadar cita dan angan-angan tersebut, sejauh apa ia bisa bermanfaat bagi akhirat dan khidmat kepada sesama. Ketiga, melihat berbagai cita dan angan-angan yang lain bila dibandingkan dengan cita dan angan-angan yang hendak diraih sekarang, mana di antara

keduanya yang lebih bermanfaat untuk urusan ukhrawi, yakni

p: 96

kita perlu mengkaji dan meneliti lebih jauh, adakah pekerjaan-pekerjaan lain yang nilainya lebih tinggi dari cita dan angan yang ada? Seandainya memang tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting daripada cita dan angan-angan tersebut, barulah terbuka jalan bagi kita untuk mewujudkannya.

Apabila cita-cita dan angan-angan itu tinggi dari sisi ihtimal, kuat dari sisi muhtamal dan tidak ada pekerjaan yang lebih baik dan lebih penting darinya, cita-cita dan

angan-angan tersebut harus segera ditindaklanjuti. Tentu cita-cita dan angan-angan yang seperti itu sangat bagus dan terpuji. Sebagai misal, apabila seseorang berkeinginan memiliki sarana dan fasilitas duniawi yang lebih baik untuk berkhidmat kepada Allah Swt, hamba Allah dan agama, maka cita-cita dan angan-angan itu sangatlah baik dan tidak ada sisi buruknya. Namun, apabila kemungkinan tercapainya angan-angan tersebut sangat kecil (ihtimal) dan muhtamal-nya tidak begitu bernilai, mengejar angan-angan yang seperti itu tidak berbeda dengan berkhayal dan berfantasi. Sangatlah disayangkan apabila kesempatan hidup dihabiskan untuk hal-hal tak bernilai seperti itu.

Teori di atas dapat diterapkan serta dirasakan secara nyata pada contoh berikut ini. Dalam sebuah negara berpenduduk 100 juta jiwa, ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk menjadi presiden. Seandainya ada sekitar 10 juta orang yang ingin menjadi presiden, kemungkinan untuk berhasil adalah satu per sepuluh juta bagi masing-masing orang. Sudah barang tentu kemungkinan keberhasilannya sangatlah kecil. Akan tetapi, meskipun kecil dari sisi ihtimal, tetapi sangat

besar dari sisi muhtamal, yakni apabila seseorang benar-benar dapat menjadi presiden, dia akan menempati posisi yang sangat strategis untuk berkhidmat kepada Islam dan muslimin. Di hadapannya terbentang luas area untuk berkhidmat dan melayani umat. Nah, sekarang tinggal berhitung dengan

p: 97

syarat yang ketiga, yaitu dia harus melihat dan mengkaji apakah ada pekerjaan lain yang nilainya lebih baik daripada mencalonkan diri sebagai kepala negara atau tidak? Yakni, dia harus memastikan bahwa tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik dari sisi ihtimal dan muhtamal, juga tidak ada pekerjaan lain yang setidaknya bernilai setara dengan pencalonan diri sebagai presiden.

Ringkasan dari pembahasan di atas adalah bahwa untuk bercita-cita atau mengejar cita-cita, pertama seseorang haruslah melihat apakah cita-cita itu hanya berguna untuk dunia atau juga berguna untuk akhirat? Apabila hanya berguna untuk dunia, apakah mengerahkan segala daya dan upaya untuk tujuan yang seperti itu mempunyai nilai dari sudut pandang Ilahi dan islami ataukah memang layak kita banting tulang peras keringat sepanjang waktu sekadar untuk meraih

kenikmatan duniawi? Nah, apabila cita-cita tersebut hanya bernilai duniawi, usaha untuk menggapainya sungguh tidak rasional. Namun bila juga bernilai maknawi, harus dilakukan tiga perhitungan di atas hingga dapat diputuskan apakah cita-cita tersebut layak dikejar dan diperjuangkan ataukah tidak?

Keselarasan antara Kesungguhan dan Kemampuan dalam Bercita-cita

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah perbedaan antara kesungguhan dan kemampuan individu-individu manusia. Dengan menyadari bahwa manusia tidak sama dari sisi kesungguhan, kemauan dan keseriusan, maka masing- masing mereka harus menyesuaikan cita-citanya dengan kesungguhan serta keseriusannya, karena cita-cita yang tinggi juga menuntut kesungguhan dan kemauan yang tinggi pula dalam mewujudkannya. Sebagai misal, seandainya orang awam biasa berkeinginan untuk menjadi wakil rakyat di parlemen, dia harus berusaha sungguh-sungguh dan serius untuk suatu hari nanti mencapai kedudukan tersebut. Tentu

p: 98

cita-cita ideal dan tinggi seperti itu dari seorang awam biasa, sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kesungguhan serta kemauan yang tinggi. Salah satu hal yang dapat menunjukkan tinggi rendahnya kemauan seseorang adalah duniawi atau ukhrawinya apa yang menjadi cita-cita. Ada orang-orang yang sedemikian rendah kemauannya sehingga selalu mengejar hal-hal yang bersifat instan, yakni dia ingin mendapatkan hasil pekerjaannya pada saat itu juga, dia tidak mau mengejar cita-cita yang menuntut banyak waktu, energi besar, perencanaan yang detail dan kerja keras. Ada juga orang-orang yang suka berkhayal dan

merajut mimpi, mereka selalu mendambakan hal-hal yang kemungkinan tercapainya sangat kecil. Dua bentuk perilaku di atas (dengan mengabaikan sudut pandang agama) sangat tidak terpuji dari sudut pandang akhlak dan etika.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelum ini, dalam segala hal termasuk dalam masalah ini, keseimbangan perlu dijaga. Dengan kata lain, keseimbangan (i'tidal) adalah salah satu neraca untuk menilai dan mengapresiasi perbuatan, termasuk dalam masalah ini. Manusia tidak boleh selalu mengikuti gerak dan langkah orang lain. Dia harus bersemangat, bersungguh-sungguh, berkemauan dan tidak boleh lemah serta bermalas-malasan. Dia tidak boleh hanya mengejar pekerjaan-

pekerjaan yang mudah dan sederhana dengan hasil instan, juga tidak benar mengejar cita-cita yang irasional dan tak terjangkau. Sebagaimana seseorang yang berkemauan rendah dan bermalas-malasan dalam hidup tidak akan mencapai keberhasilan yang berarti, manusia tukang khayal juga tidak akan pernah berkembang dan maju. Ketidakberhasilan itu disebabkan jenis orang seperti ini ketika berusaha, baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, selalu berada di bawah

bayangan cita-cita yang irasional dan tidak masuk akal tanpa menjalani tiga perhitungan di atas. Seringkali, begitu timbul

p: 99

keinginan akan sesuatu, tanpa perenungan dan pikir panjang, dia tinggalkan seluruh pekerjaannya dan mengalihkan segenap konsentrasi pada keinginan barunya. Padahal dia belum mempelajari dengan baik bagaimana cara untuk meraih cita-citanya. Oleh sebab itu, biasanya usaha serta kerja keras orang-orang seperti ini hanya akan menghasilkan kesia-siaan.

Karenanya, manusia harus memiliki keseimbangan dalam bercita-cita, yakni tidak terlalu malas, mencari hasil instan, tidak terlalu santai dan menunggu orang lain menghidangkan makanan dan menyuapinya, namun jangan juga terlalu berlebihan membuang energi dalam mengejar semua cita-cita dan keinginan yang tidak begitu bernilai dan berarti. Manusia harus berpikir seimbang, melakukan perhitungan yang matang, memilih jalan yang rasional dan mengeluarkan biaya

serta tenaga seperlunya demi mencapai apa yang menjadi cita-cita. Betapa banyak orang berkemauan tinggi, namun mereka tidak mengetahui jalan untuk meraih apa yang diinginkan. Ada juga orang-orang yang mengetahui jalan, namun tidak mau bersusah payah untuk mengejar apa yang dicita-citakan, atau tidak memiliki program yang jelas dalam rangka meraih cita- cita dan tujuan. Orang-orang seperti di atas pada umumnya tidak akan meraih keberhasilan dalam hidup, karena di satu sisi mereka menganggap beberapa hal itu remeh dan di bawah kelasnya, dan tentu mereka tidak mau mengejar hal-hal yang dianggap rendah. Di sisi lain, mereka juga tidak mempunyai penilaian yang tepat serta program yang benar untuk meraih apa yang dicita-citakan. Mereka merasa terhibur dengan khayalan dan terlalu percaya pada angan-angan.

Ramainya Pasar Khayal dan Fantasi

Dari apa yang telah dibahas dapat disimpulkan bahwa mempunyai dan mengejar cita-cita yang tinggi itu baik apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi. Akan tetapi, apabila kita

p: 100

mengejar sebuah cita-cita tanpa syarat-syarat di atas, meskipun sebuah cita-cita sederhana, tentu akan terkena kecaman Imam Ali as yang melarang kita untuk bersandar pada angan- angan duniawi. Namun, apabila seseorang mempunyai cita-cita yang tinggi dan memahami jalan untuk meraihnya, juga bisa melakukan penilaian yang benar, lalu dengan bertawakal kepada Allah Swt bekerja keras serta berusaha untuk meraih cita-citanya. Tentu mengejar dan memperjuangkan cita-cita yang seperti itu sama sekali tidak tercela. Cita-cita yang seperti itu adalah justru cita-cita yang membuat kehidupan seseorang menjadi dinamis dan bergelora. Manusia harus menjauhkan dirinya dari sikap berputus asa. Setelah berpasrah kepada Allah Swt, dia memilih sebuah tujuan dan cita-cita

yang rasional, terukur dan berarti, lalu berupaya mewujudkan cita-cita tersebut dengan usaha yang cukup dan sesuai. Hal itu disebabkan alam ini adalah alam sebab dan sarana, wa an laisa lil insani illa ma sa'a (dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang dia usahakan).(1) Pada hakikatnya, mereka yang mempunyai angan-angan tinggi dan irasional, pada umumnya tidak melakukan usaha yang sesuai untuk meraihnya, mereka tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dan tidak berpikir tentang skala prioritas. Mereka tak ubahnya seperti orang yang menggunakan modalnya dalam perdagangan di alam khayal atau seperti pepatah (Persia) yang berbunyi “menumbuk beras pada lesung khayalan!"

Mungkin Anda sudah pernah mendengar cerita Sa'di tentang seorang pedagang yang berfantasi mempunyai perdagangan yang laris manis. Dia selalu melakukan jual beli dalam khayalan sambil berkata, “Aku telah mendapatkan keuntungan sekian dari barang ini dan laba sekian dari barang itu... kemudian aku membeli beberapa budak dan pelayan. Apabila mereka melanggar dan tidak patuh, kepalanya akan aku pukul dengan tongkat hingga tidak kuasa untuk bersuara."

p: 101


1- 35 QS. al-Najm [58]:39.

Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara kendi minyak yang pecah hingga tersadar bahwa semua perdagangan tadi hanyalah khayalan belaka dan yang sebenarnya terjadi adalah kendi minyak yang dia pecahkan.

Orang-orang yang mempunyai cita-cita setinggi langit namun tidak mengetahui jalan untuk mencapainya, tidak mempunyai program yang jelas untuk meraihnya, atau tidak melakukan usaha untuk mewujudkannya, maka mereka itu adalah para pedagang yang sedang berniaga dengan modal hayalan dan fantasi.

Betapa indahnya apa yang digambarkan oleh Imam Ali as tentang orang-orang seperti di atas! Mereka adalah orang-orang bodoh dan dungu yang sedang berniaga dengan modal angan-angan dan fantasi. Angan-angan dan khayalan adalah modal dagang orang-orang dungu dan tak berakal. Yang menjadi sasaran nasihat Imam Ali as ini adalah orang yang hendak bersandar serta mengandalkan dirinya pada angan-angan panjang tak terukur, yakni angan-angan yang irasional

dan belum dipikirkan serta dikaji secara matang. Yang dipermasalahkan di sini bukan sembarang cita-cita dan angan-angan. Yang dimaksud oleh riwayat sebagai angan-angan yang paling berbahaya adalah angan-angan panjang duniawi yang bersifat fantasi dan irasional. Yang dimaksud dalam riwayat adalah agar manusia tidak mempunyai banyak mimpi serta keinginan sehingga menghabiskan seluruh waktu serta konsentrasi untuk meraih dan menggapainya. Angan-angan

panjang seperti itu dapat menyebabkan manusia lupa pada kehidupan akhirat. Angan-angan serta cita-cita yang tercela adalah angan-angan panjang duniawi, yang menurut Imam Ali as, adalah bahaya terbesar yang mengancam kehidupan seorang manusia.

Yang dimaksud oleh Imam Ali as dalam wasiat ini adalah angan-angan serta cita-cita irasional yang belum dipikirkan

p: 102

secara matang juga belum disusun program yang jelas dan belum diikuti dengan usaha yang sesuai untuk meraihnya. Beliau berkata, “Jangan sekali-kali kalian bergantung pada angan-angan yang seperti itu, karena angan-angan yang seperti itu adalah modal kerja orang-orang dungu yang tidak menggunakan akal sehatnya.” Orang-orang yang menyandarkan dirinya pada angan-angan seperti itu, tanpa disertai dengan syarat-syarat yang telah dibahas di atas, akan

kehilangan dunia dan akhirat sekaligus. Nasihat beliau adalah semua aturan serta tatanan kehidupan yang tidak hanya terkait dengan kehidupan akhirat saja, karena orang-orang yang hidup hanya dengan angan-angan tanpa disertai dengan usaha yang memadai untuk meraihnya, pada hakikatnya dia sedang menghancurkan kehidupan duniawinya (sebelum kehidupan ukhrawi). Karena dia belum menelaah secara tuntas apa yang menjadi tujuan, belum mempunyai pengetahuan yang cukup dan tidak berusaha mewujudkannya, maka dapat dipastikan dia tidak dapat meraih tujuan. Ketika tujuan duniawinya tak tercapai, sudah barang tentu tujuan ukhrawinya juga tidak akan tercapai. Apabila seseorang berusaha dan bekerja keras untuk meraih tujuan duniawinya dan akhirnya tercapai, besar kemungkinan dia akan meraih juga tujuan ukhrawinya. Akan tetapi, apabila dia tidak berusaha dan hanya hidup dengan angan-angan belaka, dia akan kehilangan dunia

sekaligus akhirat. Syarat-syarat ini juga berlaku untuk meraih pengetahuan serta tujuan-tujuan ukhrawi. Seseorang yang ingin mencapai kedudukan ukhrawi dan derajat para wali, namun tidak berusaha dan berjuang dan hanya mengucapkan kalimat insya Allah untuk meraihnya, sebenarnya dia sedang bersandar pada angan-angan serta khayalan yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Al-Quran telah memberikan sebuah contoh yang sempurna untuk khayalan serta angan-angan dari lisan Ahlulkitab:

p: 103

Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” Katakanlah, "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?(1) Allah Swt telah memberikan banyak nikmat terhadap Bani Israil dan mengasihi mereka. Al-Quran juga telah menyebutkan beberapa anugerah maddi-maknawi (material dan spiritual) kepada mereka. Banyaknya curahan nikmat serta anugerah Allah atas mereka menjadikan mereka lupa diri dan mengira bahwa mereka sangat istimewa di sisi-Nya. Bahkan mereka berani berkata, “Nahnu abnullah wa ahibbauh”, yakni kami adalah anak-anak Allah dan para kekasih-Nya. (2) Mereka beranggapan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan para kekasih-Nya. Tentunya Allah tidak akan mengirim dan memasukkan para kekasih dan anak-anak-Nya ke dalam neraka Jahanam. Apabila ada orang dari kalangan Bani Israil yang melakukan dosa yang sangat besar, maka dia hanya akan berada di neraka dalam beberapa hari saja untuk kemudian diselamatkan. Di sinilah kemudian al-Quran menegaskan, “Tilka amaniyyuhum”, yakni itu hanyalah khayalan dan angan mereka saja.(3) Dengan bukti apa mereka bisa berkata seperti itu dan sejauh apa mereka meyakini bahwa mereka akan meraih kebahagiaan dan selamat dari siksa api neraka?! Apa dalil dan bukti yang kalian miliki sehingga kalian berani berkata seperti itu?! Apabila kalian mempunyai dalil danbukti, tunjukkan dan jelaskan! Allah Swt berkata: Qul hatu burhanakum in kuntum shadiqin! (QS. al-Baqarah [2]:111): Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang

p: 104


1- 36 QS. al-Baqarah [2]:80.
2- 37 QS. al-Maidah [5]:18.
3- 38 QS. al-Baqarah [2]:111.

kosong belaka. Katakanlah, "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” Yang kalian ungkap itu hanyalah khayalan yang tak berdasar. Darimana kalian bisa meyakini bahwa kalian akan masuk ke surga dan selamat dari neraka? Manusia harus memahami apa yang diinginkan dan mengetahui bahwa hal tersebut dapat diraih serta jalan apa yang harus ditempuh untuk menggapainya. Bahwa surga itu ada dan dapat diraih adalah sesuatu yang tak diragukan, namun bagaimana cara meraihnya? Apakah cukup dengan membangun angan-angan dan khayal seperti Bani Israil? Tentu di sana ada syafaat, namun syarat-syarat untuk mendapatkannya juga harus dipenuhi. Allah Swt tidak mempunyai hubungan kekerabatan serta kekeluargaan dengan siapa pun. Siapa pun yang taat kepada Allah, maka dia adalah kekasih-Nya, dan siapa pun yang bermaksiat kepadanya, maka dia adalah musuh-Nya. Benar, adakalanya para kekasih Allah yang taat kepada-Nya tergelincir atau tergoda nafsu hingga berbuat dosa, namun dengan bertobat dan memohon ampunan, mereka akan selamat dari siksa. Syarat mendapatkan syafaat adalah pertama, dia adalah pencinta Allah Swt, Rasul saw dan Ahlulbait as; kedua, patuh dan taat kepada-Nya; ketiga, dosanya adalah dosa yang tidak disengaja dan dia sudah berusaha menjaga hukum-hukum Allah Swt, karena sekadar mengungkap cinta kepada Allah, Rasul dan Ahlulbait as bukanlah syarat yang cukup untuk membuat seseorang meraih surga. Jika begitu adanya, hal itu tak lebih dari sekadar angan-angan dan khayal belaka. Alhasil, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat, sungguh tidak berakal apabila seseorang menggantungkan dirinya pada angan-angan serta khayal yang irasional, karena

yang seperti itu adalah perilaku orang-orang bodoh dan dungu yang justru akan menghalangi serta mencegah seseorang untuk mencapai tujuan dunia dan akhiratnya.

p: 105

28-HATI YANG BERSIH

Point

ذَکِّ قَلْبَکَ بِالاَْدَبِ کَما تُذَکِّی النّارُ بِالْحَطَبِ، وَ لا تَکُنْ کَحاطِبِ اللَّیْلِ وَ غِثاءِ السَّیل وَ کُفْرُ النِّعْمَةِ لُؤْمٌ وَ صُحْبَةُ الجاهِلِ شُؤْمٌ.

Nyalakan dan terangi hatimu dengan adab sebagaimana api dinyalakan dan dikobarkan dengan kayu. Janganlah seperti pencari kayu di malam hari dan sampah di atas air bah. Mengufuri nikmat (baca: tidak mensyukuri) adalah sifat orang yang tak kenal budi dan berteman dengan orang jahil akan mendatangkan kesialan

(baca: kemalangan). Beragam kondisi yang menimpa hati manusia seperti kesedihan, kegembiraan, ketenangan, kegalauan dan lain sebagainya adalah hal-hal yang paling berpengaruh pada perilaku serta perbuatan manusia. Sedemikian berpengaruhnya sehingga jalan terbaik dan termanjur untuk membenahi perilaku manusia adalah dengan membenahi hatinya. Oleh sebab itu, tidak hanya ulama akhlak, bahkan para hukama (baca: para filsuf) memberikan dorongan untuk diraihnya kondisi-kondisi tertentu bagi hati dan berpendapat bahwa hal itu merupakan langkah awal untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan ketuhanan (ma’arif ilahiyyah). Dalam kaitan ini, Imam Ali as juga berwasiat dan memberikan nasihat untuk menjaga kebersihan hati agar tercipta kondisi-kondisi khusus

p:100

yang dapat membantu manusia dalam meniti fase-fase evolusi dan kesempurnaan.

Hati dan Berbagai Aktivitasnya

Pada bagian wasiat Ilahi ini, Imam Ali as berkata, "Terangi dan bersihkanlah hatimu dengan adab, sebagaimana api dikobarkan dan dibesarkan nyalanya dengan kayu.” Dalam wasiat ini, hati manusia diumpamakan dengan api, yang bila dibiarkan akan padam dan mati, namun bila diberi kayu bakar, maka ia akan terus menyala dan berkobar. Nyala api berasal dari dirinya, namun ia membutuhkan kayu untuk dapat terus menyala. Demikian pula halnya dengan hati manusia, membutuhkan adab agar dapat bercahaya, terang dan kuat. Api berkobar dengan kayu bakar, sementara hati menjadi terang dan bercahaya dengan adab. Di sini Imam Ali as membidik adab sebagai sesuatu yang dapat menguatkan cahaya hati sehingga hati dapat berfungsi secara maksimal. Adab sendiri mempunyai banyak makna dan arti, dan di sini akan dijelaskan sebagian darinya. Yang dimaksud dengan adab adalah hal-hal yang membuat perilaku manusia menjadi baik, yakni sesuatu yang dipelajari dalam rangka memperbaiki perilaku. Kata ta’dib juga berasal dari kata dasar adab. Apabila engkau ingin hatimu menyala dan bercahaya seperti api yang berkobar, engkau harus memberinya makanan adab serta perilaku yang baik dan bijak, karena jika tidak, dia akan kehilangan cahaya dan padam.

Sumber Makanan Hati

Hati (qalb) dalam istilah al-Quran dan riwayat bukanlah anggota sanubari yang berada di sebelah kiri dada. Yang dimaksud dengan hati adalah sebuah kekuatan yang dapat memahami beragam makna dan sebagai pusat dari rasa dan perasaan. Apabila kita mengkaji penggunaan kata hati (qalb)

di dalam al-Quran, setidaknya akan ditemukan dua sifat

p: 106

khusus padanya: pertama, hati adalah sebuah kekuatan yang dapat melihat serta memahami berbagai hakikat dan makna. Kedua, telah dinisbatkan kepada hati berbagai macam perasaan serta emosi, seperti kasih sayang, kelembutan, kekerasan, keramahan, kekasaran dan lain sebagainya. Persamaan kata qalb dalam bahasa Parsi adalah kata dil yang telah banyak digunakan baik dalam prosa maupun puisi, seperti bila dikatakan: Dilat ro pok kun (bersihkan hatimu) atau dile nuroni dosyteh bosyid (milikilah hati yang bercahaya) atau dil ganjineye makrifat wa khoneye mahabbatast (hati adalah tambang makrifat dan rumah cinta), maka maksudnya adalah apa yang dalam bahasa Arab disebut dengan qalb atau fuad.(1) Dengan memerhatikan penjelasan Imam Ali as, maka hati adalah sebuah kekuatan dalam diri manusia yang berpotensi untuk menyala dan memberikan kehangatan serta cahaya. Akan tetapi, hal itu tidak bisa terjadi dengan sendirinya, hati memerlukan asupan dan energi. Sebagaimana tubuh, khususnya pada masa kanak-kanak, berpotensi untuk tumbuh dan berkembang, tetapi tubuh tidak bisa tumbuh begitu saja, ia memerlukan makanan untuk berkembang. Demikian halnya dengan hati, ia mempunyai kesiapan untuk memahami berbagai macam hakikat dan mengekspresikan berbagai macam perasaan, namun harus diberi makanan serta asupan yang baik. Hati manusia tak ubahnya dengan lampu minyak yang membutuhkan bahan bakar khusus untuk dapat menerangi. Apabila sebuah lampu listrik memberikan cahaya, hal itu disebabkan ia terhubung dengan pusat energi dan mengambil tenaga darinya. Demikian pula halnya dengan hati manusia yang membutuhkan asupan dan energi untuk dapat berfungsi memahami beragam hakikat serta berekspresi. Oleh sebab itu, maka harus disiapkan sumber energi yang cukup bagi hati sehingga dapat melakukan dua aktivitas penting di

p: 107


1- 39 Untuk keterangan lebih detail, silakan merujuk kitab Akhlaq dar Quran karya Ayatullah Mishbah Yazdi.

atas, karena tanpa sumber energi, dapat dipastikan hati akan mati.

Poin lain yang dapat dipahami dari ucapan penuh cahaya Imam Ali as adalah apabila kita ingin hati bercahaya dan mempunyai kesiapan untuk menerima berbagai macam hakikat dan berekspresi, harus dicari sesuatu yang dapat memberikan energi positif baginya. Tidak setiap hal dapat menjadi sumber energi bagi hati, sebagaimana apabila kita masukkan air atau batu di dalam api, keduanya tidak akan menambah baranya. Apabila hati diberi sesuatu yang dapat memadamkan cahayanya, cahaya itu akan padam dan mati. Sebagai akibatnya, hati tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak setiap yang diberikan kepada hati akan

bermanfaat baginya, juga tidak setiap informasi yang diberikan kepada hati akan menguatkan kepekaan, cahaya dan membantu proses takamul-nya (penyempurnaan). Boleh jadi hati menerima asupan-asupan racun yang dapat merusak, menghancurkan, mematikan atau memperlambat gerak dan aktivitasnya. Oleh sebab itu, harus diberikan asupan-asupan yang baik, benar dan tepat agar hati dapat berkembang, menyempurna dan meningkat kualitasnya. Karenanya harus

segera diketahui dan dikenali asupan-asupan energi yang baik bagi hati, yakni asupan-asupan yang begitu diterima oleh hati dapat membuatnya bercahaya dan menyempurna. Asupan itu adalah sesuatu yang oleh Imam Alias dinamakan dengan “adab”. Adab adalah sesuatu yang mengetahuinya dapat memperbaiki perilaku, pergaulan dan akhlak. Manusia harus mempelajari hal-hal yang apabila diberikan kepada hati dapat memperbaiki perilaku dan membantunya melakukan perbuatan yang baik serta meninggalkan perbuatan yang buruk. Apabila hati secara terus-menerus diberi asupan yang seperti itu, besar kemungkinan hati akan semakin bersinar dan dekat dengan kesempurnaannya. Namun, apabila hati

p: 108

dibiarkan begitu saja dan diberi sembarang asupan tanpa ditelaah baik-buruknya, harapan akan perkembangan serta penyempurnaan hati tak lebih dari sekadar harapan yang hampa dan sia-sia, dan justru sebab-sebab penyimpangan serta kehancuran hati yang akan terkumpul. Oleh sebab itu, kita harus selalu berhati-hati untuk selalu mengajarkan adab kepada hati serta memberikan asupan-asupan yang baik, bermanfaat dan mendidik baginya. Berkaitan dengan perasaan dan emosi, kita juga harus menggiring hati pada perasaan dan emosi yang bernuansa Ilahi serta menjauhkannya dari perasaan dan emosi yang bersifat setani.

Asupan yang Baik Harus Diberikan Secara Dawam Agar Hati Bersinar

Poin lain yang dapat dipahami dari wasiat Imam Ali as adalah bahwa hati sebagai sentral pemahaman dan perasaan harus diberi asupan baik secara dawam dan terus-menerus. Kadang kita berpikir bahwa setelah memahami sesuatu, baik dengan bukti rasional, tekstual, mukasyafah dan lain sebagainya, lalu kita merasa cukup dan menutup diri. Sebagai misal, apabila kita sekali telah memahami bahwa Tuhan ada, beriman kepada- Nya dan mengucapkan syahadat, maka itu akan cukup untuk selamanya, padahal tidak seperti itu keadaannya. Sebagaimana untuk mewujudkan penerangan diperlukan bahan bakar dan energi, dan untuk kelangsungannya juga dibutuhkan keberadaan bahan bakar secara terus menerus, maka hati pun membutuhkan asupan dan energi positif yang dawam dan terus

menerus. Dengan sekali mengetahui dan sekali pembuktian, bukan berarti semua pekerjaan telah selesai. Memerhatikan dan konsentrasi pada satu permasahan hingga beberapa waktu, sedikit banyak akan memberikan pengaruh kepada manusia. Tentu masa pengaruhnya pada kehidupan manusiasangat bergantung pada kekuatan intervensi dan faktor-faktor eksternal baik yang positif maupun negatif. Alhasil,

p: 109

ketika seseorang memahami sebuah kebenaran, pengaruhnya sangat terbatas pada perilaku manusia. Karenanya, hati harus dijaga, dikembangkan dan diberi asupan agar tidak padam dan hilang pengaruhnya. Hanya sekali mendapat ilmu dan sekali beriman, tidaklah cukup untuk seumur hidup. Manusia harus selalu memberikan energi dan asupan pada iman dan akidahnya, selalu mengkaji dan mencari bukti-bukti baru yang menguatkan, juga harus selalu melakukan hal-hal yang dapat menghidupkan iman dan akidah tersebut.

Hikmah Di Balik Pengulangan Perbuatan Ibadah dan Akhlak

Rahasia di balik perintah serta anjuran pengulangan amalan-amalan ibadah dan nonibadah dalam syariat Islam dan seluruh agama samawi adalah agar dengan diulang-ulang dapat hidup keyakinan dalam hati dan menjadi asupan serta energi bagi iman dan ilmu dari waktu ke waktu. Sebagai misal, dalam banyak bagian ibadah salat, terjadi pengulangan sebutan “Allahu Akbar"; ketika hendak melakukan rukuk harus mengucap “Allahu Akbar”, ketika hendak melakukan

sujud harus mengucap “Allahu Akbar”, usai membaca al- Fatihah dan surah harus mengucap “Allahu Akbar”, dan ketika salat usai, disunahkah untuk mengucapkan “Allahu Akbar” sebanyak tiga kali. Demikian juga dengan bacaan tasbihat al-Zahra', “Allahu Akbar” harus diulang sebanyak tiga puluh empat kali. Semua pengulangan ini adalah karena manusia memerlukan asupan rohani dan imani secara kontinu dan terus menerus. Sebagaimana hanya dengan sekali menarik napas

dan menyampaikan udara ke paru-paru tidaklah cukup dan manusia harus selalu bernapas dan memasukkan oksigen ke dalam tubuh, demikian pula hal dengan roh menuntut asupan yang terus menerus. Sebagaimana jasmani manusia tidak bisa melanjutkan hidup sampai akhir umur hanya dengan sekali makan, demikian pula halnya dengan hati dan rohani

p: 110

manusia, keduanya membutuhkan asupan yang kontinu dan proporsional.

Apabila akidah dan pengetahuan (ma’arif) yang benar tidak selalu disuguhkan dan diingatkan kepada hati, lambat laun akan menjadi kurang warna dan hilang pengaruhnya. Sebagai akibatnya, ketika berhadapan dengan berbagai paradoks serta pemikiran yang menyimpang akan mudah terkalahkan dan akan mengalami keraguan serta kebimbangan atas pemikiran, pengetahuan dan akidahnya. Apabila kita menyaksikan orang-orang yang dulunya meyakini akidah Islam dan syariatnya, namun setelah beberapa waktu menjadi bimbang dan ragu, hal itu disebabkan karena mereka tidak senantiasa mengulang serta memperkuat ilmu, iman dan amalnya. Apabila seseorang mengalami kelalaian dan melakukan dosa, keyakinannya akan melemah dan mulai meragukan segala sesuatu. Sebagai

contoh, apabila seseorang melihat karamah para Imam as dalam menyembuhkan orang sakit, kemudian dia berkata, “Ah, itu hanya kebetulan saja.” Tak diragukan, ucapan seperti itu bermuara pada lemahnya iman dan pengetahuan, yakni sebuah kelemahan yang disebabkan oleh kelalaian pada kebenaran serta pengaruh faktor-faktor antiiman, yaitu maksiat dan dosa.

Nah, apabila kita menghendaki hati kita bersinar dan bercahaya, berkembang serta bertambah dekat pada hakikat dan kebenaran, maka pemberian asupan yang sehat dan baik harus terus dilakukan, yakni diberikan kepada hati pemikiran yang benar serta dijauhkan dari hal-hal yang dapat meracuni serta merusaknya. Dalam hal ini, yang menjadi sumber kehidupan bagi hati, yang membuat hati tetap hidup, berkembang dan bercahaya, adalah adab. Adab akan membangkitkan ma'arif

yang benar juga kondisi-kondisi hati yang bernuansa Ilahi dan kesucian, selain dapat menjaga hati dari berbagai macam penyakit, seperti kelalaian, maksiat, lemahnya pengetahuan,

p: 111

pemikiran yang menyimpang, waham dan keraguan (syubhah). Sebagaimana halnya makanan-makanan yang sehat dan bergizi akan menyehatkan badan, dan makanan-makanan yang beracun akan melemahkan badan bahkan membunuhnya, maka demikian pula hanya dengan hati yang berkembang serta meningkat kualitasnya dengan asupan-asupan yang baik dan pengetahuan yang benar. Jika tidak mendapatkan asupan yang baik, dan hanya diberi asupan syubhah, waham serta pemikiran yang menyimpang, ia akan kehilangan iman dan rusak secara perlahan. Oleh sebab itu, terangilah hati dengan dengan adab dan pelajaran-pelajaran yang dapat melahirkan perilaku baik, sebagaimana api dapat menyala dan berkobar dengan kayu bakar.

Ilmu adalah Pelita Jalan

Apabila dalam ungkapannya Imam Ali as menggunakan contoh kayu bakar atau hal-hal yang serupa dengannya, hal itu disebabkan pada masa itu belum ada lampu listrik seperti sekarang sehingga dapat memberikan contoh dengannya. Fashahah dan balaghah sebuah kalimat menuntut seseorang untuk memberikan contoh dengan hal-hal yang dikenal dan akrab dengan pemahaman masyarakat pada zaman itu. Karena kayu bakar dan api sangat populer kala itu, maka beliau pun memberikan tamsil dengannya. Ada macam-macam cara orang dalam mencari kayu bakar pada masa dahulu. Sebagian orang yang pandai, mereka mencari

kayu bakar dengan memanfaatkan terangnya cahaya matahari, sehingga mereka dapat mencari atau membeli dan memilih kayu-kayu yang baik untuk dijadikan bahan bakar. Namun, ada orang-orang yang kurang cerdik sehingga mencari kayu di kegelapan malam. Sudah tentu, mereka tidak dapat memilih kayu-kayu yang baik di kegelapan. Di sinilah kemudian orang-orang Arab membuat peribahasa bahwa “si polan seperti pencari kayu di malam hari' (ka hathibillail”. Orang-orang

p: 112

yang mencari kayu bakar di kegelapan malam, boleh jadi alih-alih mendapatkan kayu bakar, mereka membawa kayu-kayu yang tidak bisa dijadikan kayu bakar atau bisa saja tertimpa hal-hal yang berbahaya, seperti terpatuk ular atau tersengat kalajengking di kegelapan. Yakni, alih-alih mendapatkan kayu bakar, dia justru mengumpulkan hal-hal yang tidak berguna dan bahkan bisa membahayakan keselamatan jiwanya. Orang Arab menggunakan peribahasa ka hathibillail (seperti pencari kayu di malam hari) untuk menggambarkan seseorang yang berbuat tanpa berpikir sebelumnya, sehingga alih-alih mendapatkan manfaat justru terkena bahaya dan kerugian. Orang yang pandai dan mengerti atas apa yang dikerjakan, pertama-tama menentukan tujuan, lalu mempelajari serta mengkaji jalan-jalan yang akan ditempuh untuk meraih tujuan tersebut kemudian baru bekerja untuk merealisasikannya. Orang yang bijak tidak menundukkan kepala lalu berusaha

tanpa berpikir untuk menggapai sebuah tujuan yang tidak jelas. Atau, seandainya pun tujuan telah diketahui, dia melakukan sesuatu yang tidak dia mengerti apakah akan membawanya kepada tujuan atau justru menjauhkannya dari tujuan. Jelas sekali, tidak setiap aktivitas itu akan memberikan manfaat dan hasil positif bagi manusia. Apabila seseorang berdiam diri tidak melakukan aktivitas, hal itu jauh lebih baik daripada dia berjalan dan bergerak ke arah berlawanan yang

semakin menjauhkannya dari tujuan. Gerak dan usaha itu akan bermanfaat apabila dapat membuat kita semakin dengan tujuan. Oleh sebab itu, yang mula-mula harus diketahui adalah tujuan, lalu cara dan jalan untuk sampai kepada tujuan, baru kemudian kita melangkah untuk sampai kepada tujuan.

Seseorang yang melakukan sesuatu dengan mata tertutup, tidak menyadari apakah yang dilakukan itu bermanfaat atau berbahaya dan tidak serius dalam menentukan apa yang maslahat bagi dirinya, maka dia adalah hathibullail (pencari

p: 113

kayu di kegelapan malam). Manusia tidak boleh berperilaku seperti pencari kayu di malam hari, karena tanpa pengetahuanyang cukup, dia bisa mengumpulkan dan menghasilkan sesuatu yang justru akan mengakibatkan kehancuran diri. Seseorang yang berusaha membuat hatinya terang dan bersinar, maka dia harus mencari sesuatu yang dapat menghidupkan serta meningkatkan kualitas hati dengan pengetahuan. Dia harus bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, sehingga

dia dapat mengambil yang benar dan menjauhkan serta menghindarkan dirinya dari kebatilan. Dia harus berusaha memperkenalkan dan mengharmoniskan hatinya dengan hakikat dan kebenaran, sehingga dia menjadi peka dengan kebatilan apabila datang dan dapat mengidentifikasinya dengan cepat.

Penjelasan di atas telah memahamkan kepada kita bahwa hati memerlukan asupan energi agar dapat bersinar dan bercahaya. Asupan yang dibutuhkan adalah asupan yang sehat dan bermanfaat, yaitu pemikiran dan ajaran yang benar, terjamin, menenteramkan dan mendidik, bukan sembarang pemikiran, konsep dan ajaran. Manusia harus terlebih dahulu memilih dan memilah mana yang hak dan mana pula yang batil, sehingga tidak menghabiskan waktụ sia-sia untuk

menelaah dan mengkaji hal-hal yang rancu, kotor, batil dan berbahaya.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penyimpangan dari Tujuan

Dalam kaitan ini, Imam Ali as menyebutkan dua jenis penyimpangan. Pertama, penyimpangan yang terjadi pada seseorang yang mengetahui tujuan dengan baik, namun tidak mengetahui jalan menuju tujuan tersebut. Orang ini tak ubahnya seperti hathibullail (pencari kayu di malam hari) yang salah dalam memilih jalan. Hathibullail mengerti dengan baik bahwa untuk menghidupkan hati diperlukan “kayu bakar”. Dia

p: 114

memahami tujuan dan sangat jelas baginya, namun dia salah memilih dalam jalan yang mengantarkannya kepada tempat kayu bakar atau dia salah dalam memilih waktu sehingga tidak bisa sampai tujuan.

Penyimpangan ini berkaitan dengan jalan untuk meraih tujuan, bukan tujuannya. Adapun penyimpangan jenis kedua adalah penyimpangan yang lebih berbahaya dari yang pertama, yaitu ketika seseorang tidak mengetahui tujuan atau salah dalam menentukan tujuan hidupnya. Penyimpangan ini tentu lebih buruk, karena tujuan sama sekali belum diketahui. Orang yang tidak mengetahui tujuan, berarti dia telah memasrahkan dirinya pada beragam aliran, dia tidak tahu mau dibawa ke

mana dan tidak mengerti apa yang sedang dicari. Orang seperti ini, oleh Imam Ali as, diumpamakan dengan sampah di atas air bah (ghitsa’ussail). Dia tak ubahnya seperti sampah dan kotoran yang dibawa ke berbagai arah oleh gelombang air bah sehingga dia tak menyadari darimana dia berasal dan di mana akan berakhir. Pada hakikatnya, dia telah menyerahkan dirinya pada gelombang air bah yang menghanyutkan segala hal dan beragam badai peristiwa yang menghancurkan. Dia berjalan mengikuti arah angin dan sama sekali tidak mengerti di mana akan berhenti dan nasib apa yang akan diterima. Manusia yang tidak mempunyai tujuan hidup, berarti tidak berpikir untuk apa dia diciptakan, akan ke mana dia pergi dan apa yang harus dilakukan. Begitu dia melihat sekelompok orang melakukan sesuatu, dia pun bergegas melakukannya, tanpa menyadari untuk apa dia melakukan itu dan apa tujuannya. Orang-orang seperti ini tidak pernah mempunyai tujuan dan memikirkannya.

Berusahalah agar kalian tidak berjalan seperti orang-orang yang tak mempunyai tujuan dan melepaskan diri mengikuti arah angin peristiwa. Akan tetapi, berpikirlah,

tentukan tujuan, jadilah sosok yang merdeka dan berbuatlah

p: 115

secara sungguh-sungguh dengan kesadaran dan pengetahuan. Jangan selalu bersikap reaksioner dan membiarkan orang lain mengambil keputusan untuk dirimu lalu menarikmu ke sana-sini sesuai kemauannya. Milikilah kemampuan untuk menentukan dan mengambil keputusan sendiri.

Menghargai Kebaikan Orang

Di antara kalimat hikmah pendek yang disampaikan oleh Imam Ali as dalam lanjutan wasiatnya, adalah kalimat berikut ini: mengufuri nikmat (baca: tidak mensyukuri) adalah sifat orang yang tak kenal budi. Secara fitrah manusia berkecenderungan untuk berterima kasih dan memberikan penghargaan serta pujian kepada siapa pun yang memberinya sesuatu. Allah Swt memang telah menciptakan manusia dengan kecenderungan seperti itu. Ketika seseorang diberi sesuatu atau dibantu oleh orang lain, dia akan mengucapkan terima kasih serta memberikan penghargaan kepada si pemberi. Hal itu dia lakukan karena ada tuntutan dari dalam dirinya, yang bila

tidak disampaikan maka dia merasa tidak tenang dan gelisah. Penghargaan dan ucapan terima kasih itu dilakukan dengan tujuan agar kecenderungan batin dan fitrah Ilahinya menjadi tenteram. Akan tetapi, terkadang terjadi penyimpangan serta penyelewengan fitrah pada diri manusia sehingga kecenderungan Ilahi tersebut hilang. Sebagai akibat dari memperturutkan hawa nafsu, terjerat dengan kelezatan-kelezatan sesaat duniawi dan pilihan yang buruk, manusia kehilangan berbagai kemuliaan, keagungan jiwa dan fitrah Ilahinya.

Sedemikian jauhnya penyimpangan dan penyelewengan, sehingga terkadang seseorang tidak lagi peduli dengan kebaikan orang lain. Dia melupakan dan mengabaikan dengan mudah kebaikan orang atas dirinya. Tentu saja, manusia yang tidak dapat menghargai kebaikan orang lain, maka dia juga akan mengabaikan serta melupakan berbagai macam anugerah

p: 116

dan pemberian Allah Swt. Mentalitas tak mengenal budi baik orang ini sangatlah buruk dan dapat menyebabkan manusia kehilangan kemuliaan diri yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Esensi wujud manusia tersimpul pada kemuliaan diri sebagai anugerah Ilahi. Esensi roh serta jiwa manusia cenderung pada berterima kasih, bersyukur dan menghargai budi baik orang lain. Nah, apabila ada manusia yang tidak mempunyai kecenderungan ini, berarti dia telah kehilangan

sebuah anugerah besar yang telah Allah berikan padanya, sehingga kini dia menjadi manusia hina, rendah, licik dan tak kenal budi. Imam Ali as berkata, “Mengufuri nikmat adalah sifat orang yang tak kenal budi.” Ini adalah puncak kehinaan dan kerendahan, di mana seseorang tidak bisa memahami, menghargai kebaikan orang lain, bahkan bersikap acuh tak acuh dan melupakannya. Lebih daripada itu, ada orang-orang yang bukan hanya tidak membalas budi baik dengan kebaikan,

namun membalas kebaikan dengan kejahatan (seperti populer dalam peribahasa Indonesia: Air susu dibalas dengan air tuba-pener).

Takamul Tidak Dapat Diraih dengan kejahilan

Manusia telah diciptakan dengan nikmat kebersamaan, saling membantu, saling menolong, saling menyempurnakan

dan seterusnya. Namun tak sedikit pun diragukan, jalan takamul (baca: evolusi) tidak dapat diambil dari orang-orang yang jahil dan kehilangan rasionalitas dalam berpikir. Duduk dan bergaul dengan orang-orang jahil tidak akan memberikan manfaat apa-apa selain kerugian dan kesengsaraan. Ada beberapa alasan mengapa seseorang kehilangan rasionalitas atau tidak dapat memanfaatkan akalnya. Sebagian sengaja melakukan pilihan yang bodoh dan membodohi dirinya sendiri, sebagian memang sejak lahir mempunyai kekurangan pada akal dan pikirannya. Kadang ada yang kehilangan kewarasan karena penyakit, seperti stres dan depresi. Kadang

p: 117

ada yang akalnya mandul karena tidak pernah digunakan sehingga kekuatan berpikirnya terus melemah dari waktu ke waktu, karena setiap kekuatan dan kemampuan anugerah Ilahi yang tidak digunakan lambat-laun akan melemah dan tidak berfungsi.

umpamanya, seandainya seseorang menutup matanya untuk beberapa waktu, mata itu akan kehilangan ketajamannya. Atau, apabila salah satu anggota tubuh seperti tangan diikat dan tidak digerakkan untuk beberapa waktu, ia juga akan kehilangan kekuatannya. Demikian pula halnya dengan kekuatan akal yang dianugerahkan oleh Allah Swt sejak lahir, apabila tidak kita gunakan dan fungsikan sebagaimana mestinya, ia akan kehilangan kekuatan dan ketajamannya.

Yang dimaksud dengan tidak menggunakan akal adalah gaya hidup seseorang yang tenggelam dalam syahwat serta memperturutkan hawa nafsu. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak lagi bisa mendengar suara hati dan akalnya, dan secara perlahan namun pasti, cahaya hati dan akal akan meredup terus meredup hingga padam sama sekali. Oleh sebab itu, bergaul dengan orang-orang yang akal dan hatinya telah mati, selain tidak bermanfaat, juga akan mendatangkan

bencana serta malapetaka yang dapat merugikan serta membahayakan kehidupan manusia. Sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali as, “Dan berteman dengan orang jahil akan mendatangkan kesialan (baca: kemalangan).”[]

p: 118

29-KEDUDUKAN PENGALAMAN DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

Point

وَالْعَقْلُ حِفْظُ التَّجارُبِ، وَ خَیْرُ ما جَرَّبْتَ ما وَعَظَکَ، وَ مِنَ الْکَرَمِ لینُ الشِّیم. بادِرِ الْفُرْصَةَ قَبْلَ أَنْ تَکُونَ غُصَّةً

Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.

Perilaku ramah dan santun termasuk dalam kemuliaan akhlak. Bergegaslah menggunakan kesempatan sebelum hilang dan berubah menjadi penyesalan.

Bahasan kita adalah seputar nasihat dan wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as. Bagian akhir dari wasiat ini yang merupakan bagian utama dari nasihat beliau adalah pesan-pesan singkat dalam wadah kalimat-kalimat pendek yang mengandung pelajaran kehidupan dunia dan jalan menuju kebahagiaan akhirat. Meskipun sepintas terlihat bahwa nasihat-nasihat singkat tersebut tidak saling berhubungan, namun dengan sedikit perenungan dan berbekal pemahaman akan pandangan ilahi-islami juga sedikit mengenal ajaran Ahlulbait as, maka akan dapat terkuak dan terlihat hubungan antara satu dengan yang lain, sehingga

beragam ilmu dan hikmah dapat ditarik dari samudera luas tak terbatas ini. Pada bagian ini, Imam Ali as menunjukkan sebuah sumber makrifat (yang sangat penting), yaitu belajar dari pengalaman-pengalaman (diri sendiri) dan orang lain.

p: 119

Tanda Keberakalan

Diantara hal yang ditekankan pada bagian wasiat ini adalah mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu. Dengan menimba banyak pengalaman, seseorang akan dapat menimba banyak pelajaran dan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya. Apabila seseorang mengabaikan dan melupakan pengalaman-pengalaman yang ada, itu adalah puncak kejahilannya. Ketika manusia memasuki kehidupan dunia, menurut al-Quran, dia tidak mempunyai modal ilmu dan pengetahuan. Dan Allah

mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(1) (Yang dimaksud oleh ayat ini adalah pengetahuan yang disadari oleh manusia, karena manusia mempunyai semacam pengetahuan bawah sadar dan fitri tentang Allah Swt dan beberapa hakikat lain sebagai modal tersembunyi yang digunakan pada waktunya). Berdasarkan ayat di atas, ketika dilahirkan manusia tidak memiliki pengetahuan yang disadari. Akan tetapi, manusia secara berangsur mempunyai kemampuan untuk berpikir dan memahami berbagai hakikat. Kemampuan akal manusia akan menguat dari waktu ke waktu, khazanah pengetahuannya akan terus bertambah seiring interaksinya dengan berbagai hal. Ada banyak hal yang dapat membantu manusia memperoleh banyak pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi proses evolusinya. Di samping perkara-perkara eksternal yang merupakan hasil dari pengalaman pribadi atau orang lain, manusia harus menggunakan kekuatan internal berpikir untuk menambah khazanah ilmunya. Di atas segala ilmu, adalah ilmu yang telah diwahyukan dan diilhamkan oleh Allah Swt kepada para nabi dan wali. Ilmu ini mempunyai jalan dan jalur tersendiri. Manusia dapat menambah pengetahuannya dari jalur ini untuk dapat berkembang di jalan kemanusiaan dan kesempurnaan.

p: 120


1- 40 QS. al-Nahl (16]:78.

Oleh sebab itu, dapat disebut sebagai kebodohan apabila manusia tidak menggunakan akal dan tidak menimba berbagai ilmu yang ada, baik itu ilmu yang Allah Swt tebar di luar dirinya, atau ilmu yang Allah wahyukan kepada para nabi as, atau ilmu-ilmu yang merupakan hasil penelitian serta kajian para ulama, atau ilmu-ilmu yang diajarkan oleh para guru kepadanya, atau pengalaman-pengalaman hidup dirinya dan orang lain. Perumpamaan orang ini adalah seperti orang yang mengabaikan serta tidak memanfaatkan harta karun gratis lalu mengemis di sana-sini. Patut disayangkan, kita sedikit banyak telah berperilaku seperti contoh di atas dan tidak bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu. Kita tidak menggunakan kemampuan berpikir sebagaimana mestinya.

Kita menyibukkan diri dengan perkara-perkara duniawi yang tidak bernilai hingga kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang lebih penting. Kita juga belum secara maksimal memanfaatkan ilmu-ilmu yang telah dikumpulkan oleh orang lain. Bahkan kita tidak berminat untuk sekadar membuka kitab dan menelaahnya. Kita mau menghabiskan waktu untuk banyak hal yang tidak penting, namun kita tidak mau mengambil kitab dari rak dan membacanya. Dalam kaitan ini, keadaan kita, orang-orang Islam, lebih buruk dan paling merugi di antara umat-umat yang lain, karena kita telah kehilangan lebih banyak modal dan menyia-

nyiakan kekayaan maknawi yang lebih unggul. Kita seharusnya mengambil banyak manfaat dari apa yang terkandung dalam al-Quran dan lautan ilmu tak terbatas Ahlulbait as, namun kita tidak mengetahui nilai ilmu-ilmu tersebut dan sedikit sekali yang kita ambil darinya. Kita semua meyakini bahwa ilmu yang paling tinggi dan sempurna terdapat dalam al- Quran dan kalimat-kalimat Ahlulbait as, namun sayang sekali kita tidak memanfaatkannya. Khazanah ilmu tiada tara dan

harta tak terbatas itu selalu berada di tangan kita, namun kita tidak pandai menggunakannya. Kita tidak meneguk air

p: 121

dari telaga Kautsar ayat dan riwayat sehingga rasa dahaga kita tersegarkan dengan berpikir, menelaah dan mengkaji isi serta kandungannya. Sangat disayangkan, sementara kita memiliki banyak sarana dan prasarana dalam hal ini, seperti para guru (baca: ulama), karya tulis mereka dan berbagai macam pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun orang lain, namun kita tidak memanfaatkan semua secara maksimal. Tentu kita harus segera membenahi kekurangan ini.

Peranan Pengalaman dalam Hidup

Sesuatu yang mudah bagi semua orang dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan adalah pengalaman. Pengalaman pribadi dan berbagai pengalaman orang lain

adalah dua pelita bagi jalan kehidupan yang dapat menerangi jalan menuju masa depan. Pada tingkat pertama adalah pengalaman pribadi yang bisa segera digunakan sebelum yang lain. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, seseorang yang telah menghabiskan usianya melalui beragam peristiwa yang keras dan melelahkan sehingga mendapat banyak pengalaman hidup, namun dia tidak menggunakannya pada saat dibutuhkan atau bahkan melupakannya sama sekali. Apakah perlakuan yang seperti ini terhadap sumber-sumber pengetahuan dapat dinamakan selain dengan kebodohan dan kedunguan!? Padahal, dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa setiap manusia sesuai dengan usia dan keadaannya masing- masing, sedikit banyak mempunyai pengalaman berkaitan

dengan masalah pribadi, keluarga, masyarakat, politik, bahkan cara belajar, bergaul dan perjalanan yang pernah dilakukan, juga masalah-masalah besar-kecil lainnya, dan seharusnya dia dapat belajar dari berbagai pengalaman itu.

Namun, lagi-lagi sangat disayangkan, bahwa sebagian besar kita, kendati mempunyai berbagai macam pengalaman yang sangat berharga, kebanyakan darinya kita lupakan dan tidak digunakan.

p: 122

Mungkin hal ini pernah terjadi pada diri Anda, dalam sebuah masalah yang Anda mempunyai pengalaman di situ, pengalaman itu Anda berikan kepada orang lain, namun Anda sendiri tidak menggunakan pengalaman tersebut dan justru melupakannya. Orang lain mengambil manfaat dari pengalaman Anda, namun Anda sendiri tidak. Orang lain menggunakan sarana dan pengalaman kita hingga mengalami kemajuan yang luar biasa, namun kita sendiri tidak menggunakan dan justru mengalami kemunduran. Adakah nama lain bagi perilaku yang seperti ini selain kebodohan dan kejahilan!?

Nah, agar tidak menyia-nyiakan modal yang kita miliki, kita harus segera menyadari modal yang kita miliki dan memahami pengaruhnya dalam menunjukkan jalan serta kemajuan kita. Kita harus mengetahui bahwa untuk mendapat petunjuk dan menemukan jalan hidup yang benar, kita semua sedikit banyak mempunyai pengalaman yang dapat menjadi pelita yang menerangi jalan hidup ini. Tentu, kita juga tidak boleh lalai untuk menambahkan berbagai pengalaman orang

lain dalam pengalaman pribadi. Dalam surat wasiat ini, Imam Ali as juga pernah berkata yang maksudnya: Aku mengetahui sejarah orang-orang terdahulu, sehingga aku seakan hidup dengan mereka semua. Dengan kata lain, orang yang mengetahui berbagai pengalaman orang-orang terdahulu, maka seakan dia mempunyai usia yang sangat panjang dan hidup bersama mereka. Namun nyatanya, kebanyakan kita tidak hanya tidak mengambil pelajaran dari pengalaman

orang lain, bahkan pengalaman diri sendiri pun terlupakan dan terabaikan. Inilah yang disebut dengan puncak kejahilan dan kedunguan. Orang yang berakal adalah orang yang menjaga dan mengambil pelajaran dari pengalaman pribadinya di samping pengalaman orang lain demi menerangi jalan hidupnya. Sebagaimana yang telah dibahas, orang yang telah mendapatkan anugerah pengetahuan dari Allah Swt, selain

p: 123

mengambil pelajaran dari pengalaman pribadi dan orang lain, dia juga memprioritaskan ilmu-ilmu agama dan ajaran para nabi dan wali yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari pengalaman apa pun. Perlu digarisbawahi, ilmu, pengetahuan, dan nasihat-nasihat para nabi dan wali telah sedemikian rupa dijelaskan sehingga manfaatnya dapat menjangkau semua orang dan dapat dipelajari serta digunakan oleh semua. Al-Quran dan Sunah terbukti berguna bagi semua orang dalam segala urusan. Sebagai misal, ketika di sini ditekankan bahwa manusia harus mengambil pelajaran dari pengalaman pribadi dan orang lain untuk menerangi jalan kehidupan, setiap manusia berakal sehat dapat melakukannya dan mengambil manfaat darinya dalam seluruh fase kehidupan. Hal itu disebabkan adanya kaidah umum (yang terucap lewat lisan Imam Ali as), “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.” Bagi mereka yang akrab dengan masalah-masalah filsafat dan epistemologi masa kini, boleh jadi apa yang diungkap oleh Imam Ali as yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan dan pemikiran manusia adalah pengalaman, bernuansa aliran empirisisme, padahal tidak seperti itu adanya. Ketika Imam Ali as berkata, “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran,” bukan berarti beliau membatasi ilmu dan pengetahuan pada pengalaman serta hal-hal yang bersifat empiris. Beliau hanya ingin menegaskan bahwa konsekuensi keberakalan adalah memanfaatkan serta mengambil pelajaran dari pengalaman. Beliau sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa sumber semua pengetahuan dan pemikiran manusia adalah pengalaman, sehingga ungkapan beliau dapat dianggap sebagai pengukuhan pemikiran empirisisme. Imam Ali as menyatakan, menurut akal dan nalar, manusia

p: 124

harus mengingat dan menjaga pengalamannya agar dapat dijadikan bekal yang bermanfaat dalam perjalanan hidupnya, yakni konsekuensi dan tanda keberakalan menuntut manusia untuk mengingat, menjaga serta mengambil pelajaran dari pengalamannya pada saat dibutuhkan. Tentu yang dimaksud bukanlah mencatat semua pengalaman atau menjadikan pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan petunjuk, karena manusia dalam hidupnya tidak cukup hanya

mengandalkan pengalaman saja. Banyak orang yang mencatat dan membukukan semua pengalaman hidupnya. Apabila tidak berlebihan dan tidak menjadikan seseorang melupakan tugas-tugas pentingnya, dan dia mencatat peristiwa-peristiwa yang mendidik dan inspiratif, sehingga bisa menjadi penerang jalan bagi dirinya

dan orang lain, pekerjaan itu adalah sesuatu yang baik dan terpuji. Namun dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, bahwa sekadar mengingat, mencatat dan mengabadikan pengalaman hidup, tidaklah cukup bagi manusia. Karena tujuan utama dari mengingat semua pengalaman itu adalah mengambil pelajaran darinya dalam tataran amal, sehingga dapat berpengaruh dalam perilaku serta menumbuhkan motivasi agar kita berbuat kebaikan dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Keadaan yang di dalamnya manusia dapat menggunakan serta memanfaatkan berbagai pengalaman pribadi dan orang lain disebut sebagai mengambil ibrah dan pelajaran dari pengalaman. Apabila berbagai pengalaman yang ada dapat menjadi penasihat serta guru bagi manusia dalam sepak terjangnya, berarti manusia tersebut telah memanfaatkan pengalaman dengan sebaik-baiknya. Walaupun rasio dan nalar menuntut agar manusia mengingat dan mengabadikan

pengalaman-pengalaman hidupnya, sebaik-baik pengalaman adalah pengalaman yang dapat berpengaruh dalam perbuatan

p: 125

dan sepak-terjang manusia. Dengan kata lain, pengalaman itu dapat menjadi penasihat serta petunjuk jalan hidup baginya. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Imam Ali as: “Tanda keberakalan adalah mengingat berbagai pengalaman, dan sebaik-baik pengalaman adalah yang memberimu pelajaran.” Sebaik-baik pengalaman adalah yang dapat menasihatimu dan berpengaruh pada perilakumu, yakni engkau dapat mengambil pelajaran dan mendapat petunjuk darinya.

Ungkapan-ungkapan seperti ibrah dan iktibar seringkali digunakan dalam ayat, riwayat termasuk dalam Nahj al-Balaghah sendiri. Banyak hal yang dapat menjadi ibrah bagi manusia, di antaranya adalah pengalaman-pengalaman pribadi dan orang lain. Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata, “Ambillah ibrah dari pengalamanmu dan ambillah pelajaran darinya.” Boleh jadi yang menjadi alasan dari wasiat ini adalah karena pengalaman pribadi merupakan sebuah pengalaman

yang dialami sendiri secara langsung, maka pengaruhnya lebih kuat dan terasa. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi berada pada prioritas utama dan baru kemudian pengalaman orang lain.

Manis dan Getirnya Pertemanan

Manusia selalu membutuhkan untuk hidup bersama dan bergaul dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang lain merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Pergaulan dan interaksi ini dapat menjadi sebab perkembangan serta kemajuan manusia bilamana manusia mampu mewujudkan kesabaran serta (kebesaran jiwa) dalamhidupnya. Dalam bergaul dengan orang lain, manusia harus mempunyai kesabaran serta ketahanan agar dapat mengambil

manfaat serta sisi baik dari kehidupan mereka. Tak diragukan, di sana terdapat perbedaan selera, pemikiran, perilaku dan gaya hidup di antara umat manusia. Sebagian manusia, mungkin akibat adanya perbedaan pandangan dengan kita, melakukan

p: 126

hal-hal yang tidak kita sukai, sebagian yang lain juga tidak kita sukai, bukan karena perbedaan pendapat, tetapi karena kurang pandai bergaul, sehingga ada hak yang diinjak-injak, atau perilaku yang tidak santun, atau sikap kurang hormat, perbuatan aniaya, perlakuan yang kasar dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat, manusia tidak akan imun dan aman dari perlakuan orang lain yang tidak senonoh. Sekalipun, pada umumnya, kita tidak dapat meihat kekurangan dan aib diri, kita hanya pandai mengeluhkan perbuatan tidak senonoh dan tidak terpuji orang lain. Sedikit sekali orang yang menyadari dan membenci perbuatan serta kekurangannya sendiri. Pada umumnya, kita lebih pandai untuk memahami perbuatan buruk orang lain. Sebagai misal, apabila ada orang yang berbuat zalim kepada kita, kita akan menyadari betapa buruk dan tercela perbuatan zalim itu. Akan tetapi, bila sepuluh kali lipat perbuatan zalim itu kita sendiri yang melakukannya, kita sama sekali tidak menyadari bahwa perbuatan itu adalah buruk. Apabila kita diperlakukan secara kasar dan tidak terhormat, kita akan merasakan ketidaknyamanan itu, namun bila hal yang sama kita lakukan terhadap orang lain, seringkali kita tidak menyadari betapa kita telah menyakiti orang tersebut. Perbuatan-perbuatan tak terpuji dan kasar seperti itu terkadang memang kita lakukan dan terjadi pada diri kita, karena kita memang bukan pribadi-

pribadi yang maksum dan suci. Apabila manusia dalam kehidupan bermasyarakatnya mudah marah dan merasa jengkel hanya dengan sedikit perlakuan tidak menyenangkan orang lain, dapat dipastikan dia tidak akan dapat mengambil manfaat dari pergaulan. Setiap orang pasti memiliki kelebihan dan kebaikan sebagaimana juga memiliki kekurangan dan keburukan. Apabila dalam pergaulan seseorang mudah tersinggung dan jengkel atas kekurangan

orang lain, dan hanya dengan sedikit sikap tidak hormat, sikap

p: 127

kasar dan aniaya segera memutus hubungan pertemanan dan meninggalkan pergaulan, dia akan sulit mendapatkan manfaat serta kebaikan dari orang lain. Apabila seseorang dalam hidup bermasyarakat berkeinginan untuk dapat merasakan nikmat keberadaan orang lain yang dianugerahkan Allah kepadanya, dia tidak boleh hanya mengharapkan kebaikan serta manfaat dari orang lain saja. Akan tetapi, dia juga harus bisa dan siap menerima kekurangan serta hal-hal yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi sebuah pergaulan, agar di samping semua itu dia dapat meraih manfaat serta keuntungan dari pergaulan. Kita semua adalah hamba-hamba Allah dan kita harus berusaha agar nikmat-nikmat Allah Swt dapat sampai kepada semua orang. Untuk terlaksananya tujuan mul ia tersebut kita dituntut agar sedikit bersabar. Setiap orang harus merajut serta menjaga sebuah hubungan yang baik agar komunikasi dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu saja, dengan perlakuan yang keras dan kasar, kita tidak dapat mengambil manfaat dari orang lain sebagaimana kita juga tidak dapat memberikan

manfaat kepada mereka. Jika seperti itu keadaannya, kita tidak dapat merasakan nikmat di balik kehidupan bermasyarakat yang Allah Swt anugerahkan kepada kita, yakni kita tidak dapat mengambil manfaat dan memberi manfaat kepada orang lain. Kebesaran jiwa menuntut kita untuk dapat menampilkan sikap yang lembut serta penuh pengertian dalam sebuah pergaulan. Kemuliaan seseorang terletak pada sikap lembut dan perilaku yang baik. Setiap insan berakal yang ingin

mendapatkan manfaat dari kehidupan bermasyarakat, maka dia harus pandai menjaga sikap dan perilakunya sehingga orang tertarik untuk menjalin hubungan dan pergaulan dengannya. Sebagaimana dia juga harus menjaga kebaikan sikap, perilaku dan bahasa yang santun agar orang lain siap menerima kebaikan, petunjuk, nasihat, arahan serta manfaat darinya.

p: 128

Menunda-Nunda (Taswif) adalah Pencegah serta Penghambat Keberhasilan

Salah satu hal yang sangat ditekankan dan dianjurkan oleh Ahlulbait as dalam berbagai nasihat dan pesan mereka adalah masalah menghargai serta memanfaatkan kesempatan. Manusia mempunyai serangkaian tujuan dan dia tidak dapat mewujudkan semua itu pada segala situasi serta keadaan, yakni setiap pekerjaan itu ada waktu yang sesuai baginya dan manusia harus memanfaatkan waktu yang sesuai itu untuk merealisasikannya. Pada hakikatnya setiap periode dalam kehidupan manusia telah diperuntukkan bagi pekerjaan dan tujuan tertentu. Pada masa remaja, kondisi jasmani dan rohani manusia mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu, sebagaimana masa tua dan senja juga mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu lainnya. Setiap periode kehidupan memiliki tuntutan serta kebutuhannya sendiri. Ada serangkaian pekerjaan yang dapat dilakukan di masa muda, namun sangat sulit untuk dilakukan di masa tua, sebagaimana ada pekerjaan-pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan di masa tua dan tidak sesuai bila dilakukan di masa muda. Hal itu disebabkan setiap periode kehidupan mempunyai tuntutannya masing-masing seiring dengan perkembangan serta perubahan kondisi jasmani dan rohani manusia pada setiap masa. Bahkan, faktor tempat juga dapat berpengaruh dalam hal ini dan setiap tempat mempunyai kesesuaian dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Sebagai missal, ada sekelompok orang yang pergi ke sebuah kota dalam rangka menuntut ilmu, hal itu disebabkan di kota mereka sendiri tidak terdapat fasilitas serta situasi dan

kondisi yang mendukung untuk belajar seperti yang tersedia pada kota tersebut.

Terdapat beberapa faktor dan unsur yang berkolaborasi dan saling menopang dalam mewujudkan sebuah situasi dan

p: 129

kondisi yang sesuai untuk pekerjaan serta aktivitas tertentu. Apabila faktor-faktor tersebut tidak saling menopang dan mendukung, sebuah pekerjaan dan aktivitas akan sangat sulit untuk dilakukan dan berkembang. Kesesuaian beberapa faktor penentu dalam sebuah aktivitas, termasuk di dalamnya kesesuaian dari sisi tempat dan waktu juga kesesuaian kondisi jasmani-rohani, itulah yang disebut dengan “kesempatan”. Oleh sebab itu, seorang manusia harus berpikir, apakah dalam

situasi dan kondisi yang seperti ini, yakni dalam usia, tempat dan waktu yang seperti ini, apakah dia dapat mewujudkan cita-cita dan tujuannya? Dengan kata lain, melihat situasi dan kondisi yang ada, hal terbaik apa yang dapat dilakukan demi meraih sesuatu yang berguna bagi kebahagiaan diri dan orang lain. Menggunakan faktor-faktor serta memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada dalam rangka meraih tujuan-tujuan tertentu dapat disebut sebagai memanfaatkan kesempatan.

Hal ini sangat dianjurkan dalam agama, karena tidak setiap situasi dan kondisi itu sesuai dan mendukung untuk diraihnya sebuah tujuan.

Semua penekanan dalam hal memanfaatkan kesempatan ini dilakukan, karena kebanyakan manusia itu suka lalai dan bersifat pelupa. Kita semua mengetahui bahwa masa muda itu tidak abadi dan akan segera berlalu, namun perilaku kita menunjukkan seakan masa muda itu abadi. Kita seringkali lupa bahwa suatu hari nanti kita akan menjadi tua dan seluruh kekuatan serta energi masa muda akan hilang dan kita tidak lagi sekuat masa muda untuk meraih apa yang kita inginkan.

Sedemikian lalainya kita, sehingga semua peringatan dan nasihat seakan tidak mampu menyadarkan diri kita dan satu persatu kesempatan yang kita miliki berlalu dan lepas dari genggaman. Realitas mengatakan, banyak nikmat dan kesempatan yang telah kita abaikan. Betapa kita sangat tidak menghargai kesempatan dan waktu yang Allah berikan sehingga banyak khazanah nikmat dan anugerah yang tidak

p: 130

kita gunakan dan manfaatkan. Kita baru menyadari semua itu ketika semua kesempatan sudah berlalu. Sebagai misal, bertahun-tahun kita berada di hauzah atau universitas, namun kita tidak pernah memanfaatkan keberadaan guru-guru besar dan berpengalaman untuk menimba ilmu, kita selalu mengulur-ulur waktu, hingga akhirnya kita tersadar ketika semuah sudah terlambat.

Perhatian agama suci Islam berkaitan dengan masalah kesempatan ini begitu tingginya, sehingga banyak sekali riwayat dengan berbagai macam penjelasan berbicara tentangnya, yakni manfaatkanlah kesempatan yang ada; jangan sampai ia terlepas dari genggamanmu, seperti riwayat berikut ini: Alfurshatu tamurru marras sahabi,(1) yakni kesempatan berlalu bagaikan awan. Atau, ketika Rasul saw berkata kepada Abu Dzar:

اِغْتَنِمْ خَمْساً قَبْلَ خَمْس: شَبابَکَ قَبْلَ هِرْمِکَ وَ صِحَّتَکَ قَبْلَ سُقْمِکَ وَ غِناکَ قَبْلَ فَقْرِکَ وَ فِراغَکَ قَبْلَ شُغْلِکَ وَ حَیاتَکَ قَبْلَ مَوْتِک

Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum fakirmu, lapangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu.(2)

Dalam wasiat ini, Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as juga mengingatkan, “Bergegaslah menggunakan kesempatan sebelum hilang dan berubah menjadi

penyesalan.” Gunakanlah kesempatan semasih adanya untuk

penyempurnaan diri, karena bila tidak digunakan, maka

p: 131


1- 41 Nahj al-Balaghah, hikmah ke-21.
2- 42 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.77, hal.77, hadis ke-3.

ia akan segera berubah menjadi penyesalan dan kesedihan yang tiada arti. Nah, sebelum ia terlepas dari genggaman tanganmu dan berubah menjadi penyesalan dan kesedihan, maka pergunakanlah sebaik-baiknya! Biasanya setan menghembuskan pemikiran yang batil dalam kemasan kalimat-kalimat bernuansa hikmah dengan tujuan menipu serta memperdaya manusia. Karena ilmu setan bukan hanya lebih dari ilmu kita, tetapi apabila kita kumpulkan ilmu ratusan manusia, masih belum cukup untuk menandingi ilmu si tuan Iblis. Setan telah hidup enam ribu tahun sebelum Adam hidup di dunia dan sampai sekarang masih hidup, ia telah menggunakan semua pengalaman diri dan orang lain. Oleh sebab itu, setan lebih berpengetahuan dari kita semua. Dia mengetahui segala cara yang ampuh untuk menyesatkan manusia. Jangan terlalu percaya diri akan kecerdikan kita dan merasa mampu menghadapi tipu daya setan serta tidak termakan tipuannya. Dia adalah “Mahaguru” yang dapat menipu orang dengan kalimat-kalimat penuh hikmah. Sebagai misal, dia dapat mengeluarkan kalimat hikmah seperti ini: "Manusia yang mempunyai pandangan jauh ke depan, tentu tidak akan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu,” padahal dia bertujuan agar kita menunda atau mengundur sebuah pekerjaan baik. Secara perlahan tapi pasti, dia hendak mencuri kesempatan emas yang kita miliki untuk melakukan pekerjaan yang baik. Kita pun jatuh dalam jeratan dan berkata, “Al-'ajalatu min al-syaithani. Terburu-buru itu adalah perbuatan setan, maka usah engkau terburu-buru! Kesempatan masih panjang dan banyak”, dan seterusnya. Contoh lain, mengapa engkau harus tergesa-gesa dalam belajar, tundalah barang satu hari, (agar engkau dapat belajar dalam keadaan fresh)! Atau, ketika dia memperdaya kita berkaitan dengan ibadah dan melakukan amalan-amalan mustahab, dia akan berbisik, “Ini adalah awal bulan Rajab, masih ada waktu 29 hari untuk puasa, tak perlu terburu waktu, berpuasalah pada hari yang berikutnya!”

p: 132

Nah, dengan tipuan-tipuan manis seperti itu dia berusaha mencuri kesempatan baik yang kita miliki. Setan akan melakukan segala cara dengan ungkapan-ungkapan yang menipu untuk menjauhkan kita dari perbuatan baik, seperti “jangan terburu-buru”, “lakukan dengan penuh ketenangan”, “pikirlah masak-masak”, “kamu masih terlalu muda untuk melakukan ibadah-ibadah panjang dan kesempatan masih banyak”, “jangan bebani masa mudamu dengan pelajaran- pelajaran yang berat”, “bersantailah sedikit”, “matangkan dulu cara berpikirmu sehingga kamu dapat melakukan ibadah dengan makrifat yang lebih tinggi”, dan seterusnya. Salah satu cara setan dalam menipu dan memperdaya manusia adalah dengan ungkapan berikut ini: manusia yang berpikiran jauh ke depan, tentu tidak akan terburu-buru dalam melakukan pekerjaannya. Untu mematahkan bisikan sesat dan menyimpang ini, Imam Ali as mengaskan, “Minal hazmi al-'azmu. Orang yang berpandangan jauh

ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja.” Apabila ada kesempatan untuk menuntut ilmu, beribadah, berkhidmat kepada sesama dan perbuatan baik lainnya, kesempatan tersebut harus segera dimanfaatkan agar tidak berlalu begitu saja. Menuntut ilmu, apabila dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt, itu adalah sebaik-baik ibadah. Apabila sebelum masuknya bulan Rajab, ada kesempatan untuk beribadah di tengah malam, maka kesempatan itu harus dimanfaatkan agar (ketika bulan Rajab tiba) kita dapat beribadah lebih maksimal. Orang yang berpandangan jauh ke depan adalah orang yang tidak mau membuang kesempatan begitu saja. Dia justru cepat dalam mengambil keputusan dan segera melakukan hal-hal yang bermanfaat, karena dia menyadari bahwa kesempatan tidak akan berulang dan datang kembali. Karena kalau kesempatan tidak segera dimanfaatkan, boleh jadi ia akan

p: 133

terlepas dari genggaman, sebagaimana dikatakan: Min sabab al-hirmani al-tawani. Salah satu dari sebab kehilangan adalah menunda-nunda atau berlambat-lambat. Menunda-nunda dan berlambat-lambat tidak dapat disebut sebagai kesabaran atau berpikir matang, namun lebih tepat disebut sebagai sikap meremehkan dan perangkap setan. Karena, perbuatan baik yang bisa dilakukan sekarang, bila ditunda-tunda, belum tentu dapat dilakukan di kemudian hari. Tentu, dalam melakukan perbuatan baik, harus juga diperhatikan skala prioritas, karena pekerjaan dan perbuatan baik itu banyak sekali. Bahkan, di antara pekerjaan-pekerjaan

yang wajib, kita masih harus mendahulukan yang lebih wajib. Pasalnya, adakalanya dalam satu kesempatan terjadi beberapa pilihan pekerjaan yang baik dan wajib. Nah, di situlah kita harus pandai-pandai dalam menentukan mana yang pentingdan mana yang lebih penting, atau mana yang wajib dan mana yang lebih wajib. Ketika Anda sudah menentukan mana yang lebih penting dan lebih wajib, maka Anda tidak boleh lagi menunda-nundanya, karena minal hazmi al-'azmu, orang

yang berpandangan jauh ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja, dan karena min sabab al-hirmani al-tawani, salah satu dari sebab kehilangan adalah menunda-nunda atau berlambat-lambat.17

p: 134

30-KESEMPATAN-KESEMPATAN EMAS

Point

وَمِنَ الْحَزْمِ الْعَزْمُ، وَ مِنْ سَبَبِ الْحِرْمانِ اَلتَّوانیّ، لَیْسَ کُلُّ طالِب یُصِیبُ وَ لا کُلُّ راکِب یَؤُوبُ وَ مِنَ الْفَسادِ إِضاعَةُ الزّادِ، وَلِکُلِّ اَمْر عاقِبَةٌ، رُبَّ یَسیر اَنْمی مِنْ کَثیر، وَ لا خَیْرَ فِی مُعِین مَهِین، وَ لا تَبیتَنَّ مِنْ أَمْر عَلی عُذْر، مَنْ حَلِمَ سادَ وَ مَنْ تَفَهَّمَ اِزْدادَ، وَ لِقاءُ أَهْلِ الْخَیْرِ عِمارَةُ الْقَلْبِ، ساهِلِ الدَّهْرَ ما ذلَّ لَکَ قَعُودُهُ

Kemauan yang kuat merupakan kecakapan, sedangkan kelambanan adalah penyebab kehilangan. Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya. Membuang-buang bekal adalah penyebab kehancuran. Setiap perkara pasti ada akhirnya. Adakalanya yang sedikit itu lebih cepat berkembang daripada yang banyak. Tidak ada kebaikan pada pendamping yang tidak berguna. Janganlah engkau lalui malam dengan tanggung jawab (baca: tugas) yang belum terselesaikan. Barangsiapa bersabar, dia akan menjadi mulia, dan barangsiapa yang mencari pengetahuan,

ilmunya akan bertambah. Berjumpa dengan orang-orang baik dapat menghidupkan hati. Naikilah kendaraan zaman selama ia bersikap jinak terhadapmu.

Terkadang seseorang dengan menganggap bahwa di kemudian hari masih banyak waktu dan masih ada

p: 135

kesempatan yang lebih baik untuk melakukan suatu pekerjaan, mengabaikan kesempatan yang ada di tangan dan menundanya. Sebagai akibatnya, boleh jadi dia akan kehilangan anugerah serta nikmat yang telah Allah Swt peruntukkan atasnya. Setan selalu membisikkan bahwa masih banyak waktu, di masa datang fasilitas akan semakin memadai, di masa datang pekerjaan dapat dilakukan lebih baik lagi dan seterusnya. Nah, agar manusia tidak terjatuh dalam jerat-jerat setan tersebut, Imam Ali as mengingatkan bahwa sikap berhati-hati tidak selalu berarti bahwa kita harus menunda pekerjaan. Boleh jadi, kehatian-hatian justru menuntut kita untuk segera mengerjakan pekerjaan tersebut, karena di masa datang tidak ada jaminan kita dapat melakukannya. Minal hazmi al-'azmu, yakni orang yang berpandangan jauh ke depan dituntut untuk dapat cepat mengambil keputusan dan bekerja. Sikap berhati-hati tidak selalu berarti menunda atau mengundur suatu pekerjaan, bahkan bisa berarti segera melaksanakannya. Sikap menunda tidak selalu menguntungkan dan mendatangkan manfaat. Kita hanya boleh menunda suatu pekerjaan apabila kita benar-benar yakin bahwa dengan menundanya, pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan lebih baik dan lebih sempurna.

Tidak Setiap Pencari Dapat Menemukan Apa yang Dicarinya

Kita telah memaknai sebagian kalimat dalam wasiat Imam Ali as, kendati makna yang lebih luas masih bisa diberikan atasnya. Pada bagian berikutnya, beliau berkata, “Laisa kullu thâlibin yushîbu wa lâ kullu râkibin yaûbu. (1) Terjemahan sederhana dari ungkapan Imam Ali as di atas adalah tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya, karena boleh jadi mereka

p: 136


1- 43 Dalam naskah lain tertulis: Wa la kullu ghaibin ya'udu.

yang pergi, tidak akan pernah kembali. Akan tetapi, ungkapan tersebut menyimpan makna yang tersembunyi, dan untuk memahami makna yang tersebunyi itu, terlebih dahulu perlu diketahui beberapa poin berikut. Pertama, dalam rangka apa ungkapan tersebut diucapkan. Jelas sekali, orang yang pergi, adakalanya kembali dan adakalanya tidak kembali. Sebagaimana halnya orang yang mengejar sebuah tujuan, adakalanya dia dapat meraihnya dan adakalanya dia tidak dapat meraihnya. Dengan begitu, apa tujuan dan maksud di balik ungkapan itu? Apa yang hendak disampaikan oleh Imam Ali as kepada lawan bicaranya dan hikmah apa yang hendak beliau ajarkan?

Sebagian penafsir dan pensyarah (Nahj al-Balaghah) memberikan ulasan seperti ini. Sebagian orang yang belum berpengalaman dan baru memulai sebuah pekerjaan beranggapan bahwa pekerjaan apa pun yang dirintis dan dilakukan pasti akan membuahkan hasil sesuai yang diinginkan. Ketika akhirnya dihadapkan pada kegagalan, mereka cenderung patah semangat dan berputus asa. Kondisi itu biasanya akan membuat seseorang tidak lagi berani melangkah dan memulai

pekerjaan baru. Dia akan berkata pada dirinya, “Kemarin, saya telah berusaha dan bekerja namun tidak berhasil, berarti apa pun yang saya lakukan pasti akan menemui kegagalan seperti yang lalu. Nasib saya telanjur tidak baik dan apa pun yang saya lakukan pasti tidak akan membuahkan hasil.” Nah, dalam rangka menghindarkan seseorang dari keputusasaan akibat kegagalan, beliau menegaskan, “Tidak setiap orang yang berusaha mencari atau mewujudkan sesuatu itu pasti memperoleh keberhasilan”, sehingga apabila dia tidak berhasil bisa dikatakan gagal dan tidak mampu. Sifat dan tabiat pekerjaan di dunia memang seperti itu adanya, yakni terkadang orang yang berusaha itu mendapatkan hasil dan adakalanya tidak berhasil. Berhasil atau tidak berhasil

p: 137

itu lumrah adanya. Manusia tidak boleh hanya terpaku memandang hasil kerja, sehingga bila mengalami kegagalan akan berputus asa. Manusia harus terus berusaha dan optimis, dengan kesadaran bahwa kegagalan itu mungkin saja terjadi. Terlalu menjanjikan keberhasilan pada diri akan mengakibatkan keputusasaan bila akhirnya mengalami kegagalan. Seperti halnya apabila seseorang memilih sebuah jalan dan dia merasa sangat yakin bahwa jalan yang dipilihnya itu lurus, bagus dan mulus, bila akhirnya ternyata terdapatnaik-turun, belokan atau lubang, maka besar kemungkinan dia akan terjatuh dan mematahkan kakinya. Itu disebabkan karena dia tidak mempersiapkan diri untuk jalan yang tidak mulus. Berbeda halnya apabila dia memberikan kemungkinan bahwa mungkin di hadapan ada belokan tajam, lubang atau jalan yang naik-turun, tentu dia akan dapat mengatasi serta mengendalikan dirinya. Dengan kata lain, dia telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Seperti itulah gambaran kehidupan manusia. Apabila seseorang berpikiran bahwa dia pasti berhasil, bila akhirnya menemui kegagalan dia akan berputus asa dan hilang semangat. Kebanyakan orang yang terjerat dalam nihilisme dan pemikiran menyimpang adalah akibat dari optimisme berlebihan yang hanya mengharapkan keberhasilan tanpa mempersiapkan diri unruk sebuah kegagalan. Karena mereka terlalu melenakan diri dalam beragam fantasi keberhasilan yang gagal dicapai, mereka jatuh dalam kegalauan jiwa, keputusasaan dan depresi. Akan tetapi, ketika sejak awal seseorang menyadari bahwa ada kemungkinan kegagalan dan

bahwa tidak setiap usaha itu pasti akan membuahkan hasil yang diinginkan, maka dia tidak akan pernah putus asa dan patah semangat bila mengalami sebuah kegagalan. Karena dia telah mengerti bahwa terkumpulnya beberapa faktor tidak serta merta dan selalu mendatangkan hasil. Apabila mentalitas

p: 138

seperti itu kita miliki, kita pun tidak akan mudah kehilangan semangat dan jatuh dalam keputusasaan. (Dalam benaknya selalu teringat apa yang diucapkan oleh Imam Ali as), “Tidak setiap pencari dapat menemukan apa yang dicari, dan tidak setiap penunggang dapat kembali ke tempat asalnya.”

Bagaimana Cara Memanfaatkan kesempatan?

Apa yang telah dibahas di atas adalah salah satu kemungkinan makna yang dapat diambil dari kalimat Imam Ali as. Namun dengan memerhatikan beberapa ulasan

sebelumnya, masih terbuka kemungkinan adanya makna lain dari ungkapan beliau. Ketika beliau berkata, “Adakalanya mengundur sebuah pekerjaan dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk meraih tujuannya.” Maksudnya, bersegeralah untuk melakukan pekerjaan pada kesempatan pertama, karena kesempatan kedua belum tentu tersedia. Mengapa? Karena tidak setiap pencari itu dapat menemukan apa yang dicarinya, atau tidak setiap orang yang mengejar sebuah

cita-cita, pasti dapat mewujudkannya. Maksud dari kalimat beliau yang berbunyi, “Manfaatkanlah kesempatan yang ada”, adalah agar kita dapat menghargai serta memanfatkan kesempatan di awal waktu dan tidak terhambat oleh bisikan setan atau terkena penyakit malas, karena bila diundur, tidak ada jaminan bagi kita untuk dapat melaksanankannya pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Sebagai misal, seorang pekerja yang berkata kepada dirinya, “Tidak masalah bila aku

tidak bekerja hari ini. Aku akan menggunakan uang tabungan dari hasil kerja kemarin dan besok aku kembali bekerja lagi”; atau ketika seorang pelajar berkata, “Tidak apa-apa bila aku tidak belajar hari ini, karena waktu belajar akan kuganti pada hari berikutnya.” Baik pekerja maupun pelajar di atas tidak menyadari bahwa besok belum tentu ada kesempatan bagi mereka untuk bekerja ataupun belajar, karena mungkin saja terjadi urusan-urusan lain yang membuat mereka tidak bisa bekerja ataupun belajar. Imam Ali as hendak menasihati bahwa apabila seseorang menunda pekerjaan dan bermalas-

p: 139

malasan lalu berdalih, “Tidak mengapa tidak kukerjakan hari ini, karena besok masih ada waktu, dan bila besok tidak, maka masih ada hari berikutnya”, maka hal ini tidak benar dan sangat keliru. Karena besok atau lusa belum tentu ada kesempatan seperti hari ini. Kesempatan tidak sepenuhnya berada di bawah kendali manusia. Oleh karenanya, manusia harus sangat menghargai kesempatan dan pandai-pandai dalam memanfaatkannya. Pergunakanlah kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menunda suatu pekerjaan yang bisa dilakukan hari ini untuk dikerjakan pada hari berikutnya! Dalam rangka menyemangati kita untuk giat beraktivitas sekaligus memerangi sifat malas serta kelambanan, Imam Ali as mengajarkan, “Apabila setan berbisik kepadamu untuk

menunda sebuah pekerjaan pada hari esok, maka katakan kepadanya: Jika tidak kukerjakan hari ini, boleh jadi esok hari aku tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya, karena kesempatan yang kini tersedia, belum pasti tetap tersedia pada esok hari. Apabila kukerjakan hari ini, setidaknya aku sudah

mengerjakan sebagian tugas dan tanggung jawabku. Namun bila kutunda esok dan akhirnya ada halangan, tugasku akan semakin bertumpuk.” Dari nasihat beliau kita bisa mengambil pelajaran, manusia harus bersikap realistis, memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya dan menghindarkan diri dari sifat malas dan lamban. Namun pada saat yang sama manusia juga tidak dibenarkan untuk terlalu menggantungkan diri pada hasil serta kesuksesan pekerjaan-pekerjaan duniawi, agar bila suatu hari dihadapkan pada sebuah kegagalan, dia tidak jatuh dalam kekecewaan serta keputusasaan.

Musafir Tanpa Bekal Takwa di Dunia Tidak akan Pernah Sampai di Tujuan

Sang Amirul Kalam dalam lanjutan nasihatnya berkata, “Minal fasadi idha’atuzzad., Membuang-buang bekal adalah

p:100.

penyebab kehancuran.” Apabila seseorang membuang-buang serta menghamburkan bekal perjalanannya dengan dalih dapat memperolehnya kembali, perbuatannya sama dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam sumur. Membuang-buang bekal perjalanan sama hanya dengan memosisikan diri dalam bahaya. Mengingat bahwa dalam al-Quran serta riwayat-riwayat yang sampai dari para insan suci, bahwa bekal perjalanan orang-orang beriman adalah ketakwaan, Imam Ali as hendak mengatakan bahwa jangan pernah meninggalkan takwa dalam kehidupan dunia. Manusia yang kehilangan ketakwaan tak ubahnya seperti pengembara dan musafir yang kehilangan bekal, dan dapat dipastikan bahwa hilangnya bekal akan berakibat pada kematian serta kebinasaan.

Beliau juga berkata, “Rubba yasîrin anma min katsîr. Adakalanya sesuatu yang sedikit berkembang lebih pesat daripada yang banyak.” Terkadang alasan penundaan sebuah pekerjaan serta tidak dipakainya kesempatan yang ada adalah anggapan bahwa bila dikerjakan sekarang maka hasilnya kurang maksimal. Seseorang kemudian menanti sebuah kesempatan di kemudian hari yang diawali dengan berbagai persiapan matang dengan harapan dicapainya hasil yang lebih banyak. Pemikiran yang seperti itu membuat seseorang mengabaikan hasil yang sedikit pada saat ini, demi hasil yang lebih banyak di masa mendatang. Dia beranggapan bahwa sebuah pekerjaan bila dilakukan dengan persiapan-persiapan yang panjang pasti akan memberikan hasil yang lebih banyak dan lebih maksimal, namun dia tidak menyadari bahwa pemikiran itu tidak bersifat menyeluruh dan universal. Tentu, apabila hitung-hitungan pasti mengatakan bahwa bila sebuah pekerjaan ditunda akan memberikan hasil yang lebih baik dan bila dilakukan sekarang akan menghambat serta menghalangi hasil yang lebih baik itu, maka boleh saja seseorang menundanya, (akan tetapi bila sama-sama tidak pasti, maka tidak benar bila pekerjaan hari ini ditunda dan diundur).

p: 140

Sebagai misal, apabila Anda mempunyai modal yang bila digunakan hari pada pekerjaan tertentu akan memberikan keuntungan sepuluh persen, namun bila Anda bersabar satu dua hari modal tersebut bisa digunakan dalam sebuah transaksi yang memberikan keuntungan dua puluh persen, tentu dalam hal ini sebaiknya Anda bersabar dan menunggu beberapa waktu untuk laba yang lebih baik. Dengan demikian, apabila investasi hari ini menyebabkan kita tidak bisa berinvestasi di kemudian hari dengan kepastian keuntungan yang lebih banyak, maka langkah yang rasional adalah menunda investasi hari ini untuk berinvestasi di kemudian hari dengan keuntungan yang lebih besar. Dalam hal ini seorang yang berakal akan berkata kepada dirinya, “Mengapa modal ini saya investasikan untuk sebuah

pekerjaan dengan sepuluh persen keuntungan? Bukankah lebih baik aku tunda besok untuk sebuah pekerjaan dengan keuntungan dua puluh persen.” Ketika di antara dua investasi di atas hanya satu yang bisa dipilih, tentu yang seharusnya dipilih adalah yang prosentase keuntungannya lebih besar. Namun bila keduanya bisa dilakukan bersama-sama, maka seharusnya kedua investasi itu dijalankan. Yakni, bila investasi pertama dengan keuntungan sepuluh persen tidak mengganggu investasi kedua dengan keuntungan dua puluh persen, sebaiknya dua kesempatan itu diambil sehingga ia dapat meraih dua keuntungan sekaligus.

Contoh lain, seandainya hari ini adalah tanggal 12 Rajab, seseorang berkata kepada dirinya, “Baiklah, saya tidak puasa hari ini, tapi saya akan puasa pada tanggal 13 Rajab karena termasuk dalam Ayyamul Bidh(1) dan pahala puasa di Ayyamul Bidh lebih besar dibandingkan hari-hari biasa.” Di sini juga harus dilihat, apakah dia hanya bisa puasa satu hari atau dua hari, nah apabila dia tidak berhalangan untuk berpuasa selama dua hari, maka

p: 141


1- 44 Hari-hari putih yang jatuh pada setiap tanggal 13,14, dan 15 Kamariah-penerj.

sebaiknya dia berpuasa dua hari, karena sungguh tidak masuk akal seseorang berdiam diri dan melepas sebuah amalan kecil dengan pahala yang sedikit demi melakukan sebuah amalan dengan pahala yang lebih besar, kecuali memang dia hanya berkesempatan untuk berpuasa satu hari di antara dua hari tersebut. Rumusan ini berlaku dan bisa diterapkan pada segala urusan dan aktivitas baik duniawi maupun ukhrawi. Dengan demikian, adakalanya manusia harus berpuas diri dengan keuntungan yang sedikit, karena terkadang sesuatu yang sedikit itu lebih cepat perkembangannya daripada sesuatu yang banyak, dan sedikit keuntungan yang pasti jauh lebih baik daripada keuntungan banyak yang tidak pasti. Sebagian pensyarah Nahj al-Balaghah memberikan makna lain terhadap ungkapan rubba yasîrin anma min katsîr dan berkata, “Sedikit yang halal jauh lebih baik daripada banyak yang haram,” yakni keuntungan halal yang sedikit jauh lebih baik daripada keuntungan banyak yang dihasilkan dari jalan yang haram. Karenanya, tidak benar apabila seseorang mengabaikan sedikit keuntungan halal hari ini demi keuntungan haram yang banyak pada hari mendatang. Akan tetapi, penafsiran ini terasa kurang tepat, karena lebih menekankan pada perbedaan antara yang halal dan yang haram, bukan antara yang sedikit dan yang banyak.

Permintaan Maaf adalah Sesuatu yang Harus Segera Dilakukan

Di antara nasihat penting yang sangat ditekankan dalam kalimat-kalimat singkat ini adalah: “Berusahalah untuk segera meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah dibuat dan jangan pernah menunda atau mengulur- ulurnya.” Banyak orang yang terkena penyakit ini, yakni dia tidak sudi untuk meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya atau menunda-nundanya. Apabila kita telah melakukan sebuah kesalahan dan bisa

p: 142

segera meminta maaf serta bertanggung jawab kepada orang yang haknya kita abaikan atau mendapat perlakuan yang tidak sopan dari kita, hendaknya segera kita lakukan. Sebagai contoh, apabila karena kelalalian, kita melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, maka apabila kita mampu mengganti kerugian tersebut, kita harus segera melakukannya dan tidak boleh ditunda. Imam Ali as telah menegaskan, “Dan janganlah engkau lalui malam dengan beban tanggung jawab yang belum terselesaikan.” Yakni, jangan tidur di malam hari sebelum engkau menyelesaikan tugas dan tanggung jawabmu! Apabila engkau berutang "minta maaf” kepada seseorang, lakukanlah dan setelah itu pergilah tidur! Apabila engkau berusaha menebus kelalaianmu dan meraih kembali semua keuntungan yang terlewatkan, janganlah engkau tunda sampai besok, tetapi bersegeralah untuk menebusnya! Karena bila ditunda sampai besok, Anda belum tentu sempat.

Semakin lama kita menanggung perbuatan buruk, hati kita akan semakin kotor. Bila hati semakin kotor, proses pembersihannya akan semakin sulit. Sebagai misal, apabila keluar sebuah ucapan tak senonoh dari mulut kita dan kita segera meminta maaf, ucapan itu tidak akan terlalu menyakiti hati orang yang bersangkutan. Namun apabila kita biarkan tanpa permintaan maaf hingga berhari-hari dan baru meminta maaf beberapa hari kemudian, dalam beberapa hari tersebut, si korban akan semakin sakit hati setiap kali mengingatnya dan sakit hatinya akan terus bertambah dariwaktu ke waktu. Kita sebenarnya bisa mencoba dan merasakan

keadaan yang seperti ini ketika ada seseorang melontarkan ungkapan yang tidak pantas terhadap diri kita, lalu dia tidak segera meminta maaf, maka seakan-akan ungkapan tersebut berulang secara terus menerus dan dari waktu ke waktu hati kita semakin sakit. Namun apabila dia segera mengucapkan kata maaf, akan lebih mudah buat kita untuk memaafkan nya.

p: 143

Oleh sebab itu, jangan pernah menunda permintaan maaf. Kita harus segera meminta maaf atas segala kekhilafan, kesilapan dan kesalahan yang kita perbuat.

Masalah ini (yakni bersegera dalam meminta maaf) akan menjadi lebih penting dan urgen bila dikaitkan dengan dosa-dosa serta kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam perjalanan penghambaan kepada Allah Swt. Pada kesempatan lain, Imam Ali as juga telah menyinggung hal ini. Beliau berkata, “Bersegerah memohon ampunan atas dosa-dosa yang telah dilakukan dan jangan menunda pertobatan!" Berdasarkan keterangan Imam Ali as, masalah ini selain berguna dalam urusan dunia juga berguna untuk urusan akhirat. Ketika beliau mengatakan, “Janganlah kalian menunda permintaan maaf,” maksudnya, “Janganlah kalian menunda untuk meminta maaf kepada sesama hamba Allah dalam urusan dunia sebagaimana janganlah pula kalian menunda untuk bertobat kepada Allah atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat.” Baik kesalahan terhadap sesama manusia maupun kesalahan terhadap Allah Swt, keduanya menuntut kita untuk segera meminta maaf dan memohon ampunan sesegera mungkin. Oleh sebab itu, apabila ada kesalahan yang kita perbuat, kita harus segera meminta maaf dan mengganti atau membayar kesalahan tersebut. Jangan biarkan waktu terus berlalu tanpa permohonan maaf, karena itu akan semakin mengotori hati dan memberatkan

azab ukhrawi.

Keseimbangan dalam Menikmati Fasilitas yang Ada

Dalam lanjutan nasihatnya, Imam Ali as memberikan sebuah perumpamaan yang sangat indah, beliau berkata, “Sâhil al-dahra mâ. dzalla laka qu'ûduh, yakni selama kendaraan dunia bersikap jinak, maka tunggangilah!” Dalam kalimat samawi yang indah ini, beliau mengumpamakan dunia

p: 144

seperti binatang unta yang manusia dapat menungganginya dalam langkah-langkah yang tidak terlalu cepat namun dapat sampai pada tujuan, meski mungkin saja terjadi, onta itu menjadi liar dan tidak lagi bisa dikendalikan. Oleh sebab itu, selama onta masih jinak dan bisa dikendalikan, kita bisa menunggangi dan memanfaatkannya. Apabila hal ini hendak dikaitkan dengan kendaraan-kendaraan besi pada masa kini, bisa dikatakan: boleh jadi mobil, pesawat atau kereta

api yang kita naiki mengalami kerusakan atau kecelakaan hingga tidak lagi dapat mengantar kita pada tujuan. Nah, selama semua fasilitas itu masih bisa digunakan, maka pergunakanlah sebaik-baiknya. Dunia adalah ibarat onta, yang bisa ditunggangi selama masih bersikap jinak, namun adakalanya ia menjadi liar dan tak mungkin lagi ditunggangi. Maka selama ia jinak, manfaatkanlah sebaik mungkin dan jangan lakukan hal-hal yang membuatnya menjadi liar dan tak terkendali hingga menghempaskanmu ke tanah. Perlakukan ia dengan baik dan benar hingga engkau dapat mengambil manfaat yang sebanyak-banyaknya.

Keterangan ini pada kesan pertamanya adalah nasihat yang sederhana. Namun bila direnungkan lebih jauh, sesungguhnya mengandung poin-poin yang sangat penting. Apa yang telah beliau nasihatkan, sebenarnya sering kita temui dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai misal, tubuh kita tak ubahnya seperti kendaraan yang selalu kita tunggangi, walau kita jarang menyadari bahwa kemampuan tubuh kita itu terbatas. Kita seringkali mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan tubuh kita, seperti makanannya, waktu istirahatnya, kesehatannya dan lain-lain. Kita perlu menyadari bahwa kemampuan tubuh kita sangat terbatas. Dengan menyadari keterbatasannya, kita akanlebih menghargai kesempatan serta fasilitas sosio-ekonomi yang tersedia dan memanfaatkannya secara maksimal dan

proporsional, karena kemampuan serta kesempatan itu tidak

p: 145

selalu ada. Oleh sebab itu, semaksimal mungkin gunakan kesempatan serta fasilitas yang ada di jalan Allah Swt dalam rangka berkhidmat kepada sesama dengan menjauihi sikap ifrath dan tafrith (baca: berlebihan).

Sebagai misal, kelas, guru, sekolah, teman dan tetangga yang baik adalah nikmat-nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Kita seharusnya mampu menghargai serta menggunakan semua nikmat itu secara ideal dan sebaik-baiknya. Karena akan datang suatu masa yang mungkin kita tidak bisa lagi menggunakan semua anugerah tersebut. Apalagi nikmat serta anugerah yang tidak dimanfaatkan bisa berubah menjadi sesuatu yang mendatangkan bahaya serta kerugian. Seperti halnya onta, ketika ia berubah menjadi liar, maka ia bukan hanya tidak akan mengantar kita pada tujuan, namun ia juga bisa mnghempaskan kita ke tanah dan membahayakan jiwa kita. Nah, sebelum beragam anugerah dan nikmat itu berubah menjadi sesuatu yang membahayakan, maka manfaatkan serta pergunakanlah secara proporsional dan sebaik-baiknya.(]

p: 146

p: 147

31- AKAR SIFAT "SELALU MENCARI KEMENANGAN DAN KEUNGGULAN (INGIN SELALU DI ATAS)”

Point

وَ إِیّاکَ أَنْ تُطیحَ بِکَ مَطِیَّةُ اللَّجاجِ وَ إِنْ قارَفْتَ سَیّئَةً فَعَجِّلْ مَحْوَها بِالتَّوبَةِ.

Jangan sampai dirimu dikuasai oleh tunggangan yang liar (tunggangan yang dapat membahayakan keselamatan jiwamu)! Dan, apabila dirimu terkotori oleh keburukan (baca: dosa), bersegeralah untuk membersihkannya dengan tobat! Kita telah menjelaskan serta memaknai beberapa bagian dari nasihat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba. Pada bagian nasihat berikut ini, beliau mengajak kita untuk bersikap waspada pada bahaya dari sifat liar tunggangan

serta masalah menunda-nunda pertobatan, sebuah bahaya yang sering tidak disadari dan terabaikan. Sifat bersikeras pada sebuah keinginan serta ketidakpatuhan seringkali kita jumpai pada anak-anak, bagaimana mereka tidak pernah mau mundur dan menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan apabila dikatakan kepada mereka “jangan dilakukan”, mereka justru akan semakin termotivasi untuk melakukan apa yang dilarang. Namun perlu diwaspadai, apabila sifat ini akhirnya

menjadi karakter serta merasuk ke dalam jiwa, ia akan terbawa pada semua fase kehidupan, mulai masa belia, remaja, masa

p: 148

tua bahkan hingga saat tutup usia. Betapa banyak orang yang terkena penyakit ini, namun ia sendiri tidak menyadarinya.

Keseimbangan dalam Memenuhi Beragam Keinginan

Yang hendak kita telaah serta kaji di sini adalah apa yang menjadi sebab hingga seseorang terjangkiti sifat ini? Mengapa ketika seorang manusia melakukan sebuah kesalahan, dia bersikeras untuk terus melakukannya, dan mengapa dia tidak berusaha menghindari dan meninggalkannya? Mengapa mengakui kesalahan begitu berat dan sulit bagi manusia? Mereka yang mempunyai anak atau sering bergaul dengan anak-anak tentu mengetahui bahwa meminta maaf dan

mengakui kesalahan bukanlah hal yang sulit bagi anak-anak. Hal ini berbeda dengan orang-orang dewasa yang cenderung susah untuk meminta maaf serta mengakui kesalahan, mereka justru bersikeras untuk terus melakukan kesalahan dan enggan membenahinya. Mereka tidak mau berkata, “Ya, kami telah melakukan kesalahan", namun mereka akan berkata, “Apa yang telah kami lakukan adalah benar.” Akar sifat dan sikap ini adalah gharizah dzatiyyah “cinta diri” yang ada pada setiap manusia. Gharizah (baca: kecenderungan) ini seperti halnya gharizah-gharizah lainnya, ada yang berlebihan (ifrath), ada yang kurang (tafrith) dan ada yang seimbang (mu'tadil). Mencintai diri pada dasarnya bukan saja tidak buruk tetapi juga baik dan sangat diperlukan.

Dapat dipastikan, orang yang tidak mencintai dirinya, maka dia tidak akan berusaha menyempurnakan diri, bahkan dia juga tidak akan berusaha menjaga keselamatan jiwanya. Oleh sebab itu, mencintai diri serta keinginan untuk melanjutkan kehidupan adalah sebuah kecenderungan yang pada hakikatnya tidaklah buruk, tetapi merupakan sebuah faktor yang Allah anugerahkan pada setiap makhluk hidup agar mereka berjuang untuk mempertahankan kehidupan serta

p: 149

berusaha meraih kesempurnaan-kesempurnaan wujudnya. Apabila faktor ini tidak ada, tidak ada makhluk hidup yang mau berusaha memperoleh kesempurnaan pada kehidupan materi maupun maknawinya.

Benar bahwa keberadaan kecenderungan ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan, namun yang penting di sini adalah neraca serta batas pemenuhannya yang harus seimbang dan tidak boleh dipenuhi secara berlebihan atau kurang sehingga menimbulkan penyimpangan, dan agar manusia mampu menggiring dirinya menuju kesempurnaan melalui gharizah ini. Setelah memahami neraca serta batas pemenuhannya, hal penting lainnya adalah memahami kesempurnaan serta apa yang dianggap sebagai kesempurnaan oleh manusia. Tak pelak lagi, manusia mencintai dirinya dan berkeinginan untuk menjadi lebih sempurna. Keinginan untuk menjadi lebih sempurna adalah perkara baik dan faktor positif dalam kehidupan, tetapi ia harus lebih jauh mengkaji apa itu sebenarnya kesempurnaan. Ketika manusia tidak mengerti di mana letak kesempurnaannya, maka dia terlebih dahulu harus mengkaji dan menelaah apa sebenarnya kesempurnaan bagi manusia itu. Dengan kata lain, benar bahwa manusia itu mencintai dirinya dan menginginkan kesempurnaan. Namun untuk mengetahui apa itu kesempurnaan, dia membutuhkan faktor lain yang bernama makrifat (baca: pengetahuan). Ketika makrifat ini disenyawakan dengan gharizah cinta diri, maka ia akan menghasilkan kebahagiaan.

Terdapat serangkaian gharizah serta keinginan yang memang sudah menyatu dengan wujud manusia yang memberikan pengaruh kuat pada arah perjalanan hidupnya, seperti halnya faktor-faktor natural, genetik, sosial dan lingkungan yang mempunyai pengaruh pada perilaku dan arah hidup yang ditempuh oleh seseorang. Bahkan pengaruh

p: 150

itu bisa terjadi secara tidak sadar tanpa perlu dipandu atau dibimbing, ia muncul begitu saja dan mengubah arah hidup seseorang. Oleh sebab itu, di samping faktor kecenderungan pada kesempurnaan yang ada pada diri manusia, harus juga ada pengetahuan serta makrifat yang membantu untuk menjaga perjalanan serta arah hidup manusia dari penyimpangan serta penyelewengan, agar di antara berbagai macam jalan yang ada, manusia dapat memilih jalan yang benar, sebuah jalan yang akan mengantar manusia menuju kesempurnaan hakikinya.

Pengaruh Tarbiah pada Pemenuhan Berbagai Gharizah

Kecenderungan (gharizah) untuk merdeka dan berdiri sendiri adalah kekuatan lain yang Allah berikan kepada manusia. Sebagai contoh sederhana, anak-anak pada usia balita, seandainya dia dapat berdiri tegak sendiri tanpa dibantu, dia tidak akan mengizinkan orang lain untuk mengangkat atau menuntunnya. Mungkin hal ini pernah Anda alami, bagaimana anak-anak balita itu mau dibantu dan ditolong oleh orang tua atau yang lebih dewasa ketika mereka belum bisa berdiri dan berjalan sendiri. Akan tetapi, begitu mereka bisa melakukannya sendiri, mereka tidak mau lagi dibantu dan dituntun. Bahkan ketika berjalan di jalan raya, orang tua harus berusaha keras untuk menuntun dan menggandeng tangan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa anak itu mempunyai kecenderungan untuk berdiri sendiri

dan tidak bergantung kepada orang lain. Hal ini merupakan gharizah (kecenderungan) untuk berdiri sendiri yang Allah tanamkan pada kedalaman wujud manusia. Kecenderungan ini, seperti halnya kecenderungan yang lain, bisa berada dalam kondisi yang baik dan adakalanya berada dalam kondisi yang tidak baik. Kondisi baiknya adalah kelak ketika si anak beranjak dewasa dia tidak akan menjadi beban bagi orang lain dan dia akan berusaha maksimal dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Namun apabila gharizah ini tidak

p: 151

terpupuk dengan baik, si anak senantiasa akan mengandalkan bantuan dari orang tua dan selalu bergantung kepada orang lain serta tidak mampu berdiri sendiri. Orang seperti ini ketika dihadapkan pada sebuah permasahan, dia tidak akan berusaha untuk menyelesaikannya sendiri, tetapi dia selalu menanti dan menunggu bantuan serta uluran tangan orang lain. Pribadi semacam ini tentu juga tidak akan banyak berusaha dalam urusan-urusan maknawiah, karena dia tidak terlatih untuk berusaha sendiri, dia telah terbiasa dibantu dan ditolong orang lain. Tentu mentalitas dan kejiwaan yang seperti ini tidaklah baik, karena akan menjadikan seseorang bergantung dan berada di bawah baying-bayang orang lain.

Dari sisi lain, apabila gharizah ini berada dalam kondisi ifrath (berlebihan), dia juga akan berbahaya bagi manusia, karena akan menyebabkan seseorang merasa super kuat dan merasa tidak perlu bantuan orang lain. Bahkan gharizah ini bisa menarik manusia hingga mengaku diri sebagai Tuhan serta lebih hebat dari semua makhluk. Mentalitas merasa diri paling hebat ini pada hakikatnya bersumber pada kebodohan, tak ubahnya seperti balita yang tidak mau dituntun ketika menyeberang jalan, sementara ia tidak sadar bahwa boleh jadi ada kendaraan yang menabraknya. Anak kecil itu tidak mau meletakkan tangannya pada tangan

ayah atau ibunya, ia ingin menyeberang jalan sendiri, ia terlalu percaya pada kemampuannya dan tidak menyadari bahwa ada bahaya besar yang mengancam keselamatannya;

ia tidak mengerti bahwa dirinya berada dalam kondisi yang masih perlu dibimbing serta dibantu oleh orang lain dan bila menolak bantuan maka bahaya besar sedang menantinya. Oleh sebab itu, baik ifrath maupun tafrith keduanya tidak baik dan berbahaya bila terjadi pada gharizah ini. Berdiri dan bergantung pada diri sendiri, meskipun merupakan sifat yang mulia dan terpuji, namun bila berlebihan, akan sangat

p: 152

berbahaya bagi kehidupan manusia. Apabila orang tua tidak berhati-hati dalam membimbing anak berkaitan dengan gharizah ini, kelak anak tersebut akan menghadapi banyak bahaya dan petaka dalam kehidupan. Salah satu dimensi dari gharizah ini adalah seseorang akan memberikan nilai khusus (baca: lebih) pada dirinya. Sebagai misal, ketika dia berbicara atau berbuat sesuatu, dia ingin ucapan dan perilakunya diterima oleh semua orang. Memang sudah merupakan kecenderungan fitri manusia yang mempunyai keinginan agar ucapan serta perbuatannya diterima orang lain tanpa syarat. Karena apabila ucapan dan perbuatannya dianggap salah, maka sebagai konsekuensinya dia tidak akan diterima oleh masyarakat dan lingkungannya, dan hal itu bertentangan dengan apa yang menjadi keinginan setiap manusia. Manusia mempunyai keinginan untuk diterima, dimuliakan dan dicintai oleh masyarakatnya. Kecenderungan ini harus berada pada jalur tarbiah dan kesempurnaan diri manusia.

Pada tahap awal seseorang ingin diterima oleh ayah, ibu dan teman-teman seumurnya. Tahap berikutnya, dia ingin diterima oleh masyarakat luas. Akan tetapi lambat-laun dia akan memahami bahwa yang sesungguhnya penting dan berharga adalah bukan penerimaan mereka. Yang paling penting dan berharga adalah penerimaan dari sisi Allah Swt bukan selain-Nya.

Keinginan untuk dicintai orang l ain adalah perkara yang baik dan terpuji, serta merupakan sebuah keinginan yang bermuara pada fitrah insan. Namun perlu juga disisipkan ke dalamnya unsur agama dan nalar agar dapat menjadi jalan tarbiah dan kesempurnaan bagi manusia. Unsur agama dan nalar akan mengajarkan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada sekadar diterima dan dicintai oleh orang, yaitu diterima dan dicintainya seseorang oleh

p: 153

Tuhan Sang Maha Pencipta. Puncak usaha dan perjuangan manusia haruslah tertuju untuk mendapatkan penerimaan dan cinta Ilahi yang merupakan kesempurnaan tertinggi baginya. Oleh sebab itu, para orang tua dan pendidik harus berusaha untuk memberikan arah yang benar pada keinginan fitrah tersebut secara bertahap. Pada masa kanak-kanak keinginan ini menuntut seseorang agar menjadi sama dengan anak-anak seumurnya, lalu pada tahapan berikutnya dia ingin diterima

oleh masyarakat, karena masyarakat umum menurutnya adalah lebih baik dan dia harus melakukan seuatu yang membuatnya diterima oleh mereka. Akan tetapi, orang tua dan guru harus mulai mengajarkan bahwa yang diterima bukan cuma satu macam kelakuan; karena apa yang disukai oleh kalangan anak-anak belum tentu diterima dan disukai oleh kalangan dewasa.

Orang tua dan guru harus juga mengajarkan bahwa penerimaan kalangan dewasa lebih bernilai ketimbang penerimaan anak- anak sebaya atau yang di bawah umurnya. Ketika si anak mulai memahami hal ini, maka dia akan melakukan penilaian dan muhasabah bahwa penerimaan siapa yang paling berharga. Nah, setelah itu barulah dia akan mencari si mahbub hakiki dan mempersembahkan semua yang dimiliki untuk meraih kerelaan-Nya. Apabila kecenderungan fitrah ini mendapat tarbiah sebagaimana mestinya, tentu akan memberikan hasil yang ideal dan luar biasa. Sebaliknya apabila tidak mendapatkan arahan dan bimbingan, maka dia akan tetap seperti itu dan tidak berkembang; dia hanya akan menjadi manusia yang bisanya cuma meniru dan mengikuti orang lain; dia akan menjadi pribadi minder yang tidak berani mengungkap atau mengekspresikan dirinya sendiri. Pribadi seperti itu bisanya hanya melihat apa yang dilakukan orang untuk ditiru dan

diikuti. Dia hanya ingin diterima oleh orang lain, sehingga dia tak ubahnya seperti anak-anak yang hanya ingin sama seperti anak-anak yang lain atau sama seperti masyarakatnya.

p: 154

Berbeda apabila kecenderungan fitrah ini mendapatkan tarbiah dan bimbingan, dia akan menyadari bahwa seseorang harus menentukan dan memilih sendiri siapa yang harus menjadi mahbubnya; bukan memaksa dirinya untuk menyukai apa saja yang disukai oleh orang lain; dan dia tidak ingin dicinta oleh orang-orang yang tidak dikenalnya. Pertanyaan yang harus dijawab di sini adalah: Cinta dan penerimaan siapakah yang paling penting dan bernilai? Hasil pemikiran yang jernih

dan renungan yang mendalam yang dilakukan olehnya akan memberikan jawaban bahwa penerimaan dan kecintaan di sisi Allah adalah cinta dan penerimaan tertinggi dan paling berharga bagi manusia. Di sinilah nanti akan tercipta sebuah tekad dalam dirinya untuk tidak menginginkan apa pun selain penerimaan dan keridaan ilahi. Terdapat beberapa ungkapan dalam al-Quran yang menekankan agar manusia tidak mencari apa pun kecuali keridaan Rabbnya, seperti:

وَ مَا لاَِحَد عِندَهُ ومِنْ نِّعْمَة تُجْزی إِلاّ ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ الاَْعْلَی اِنَّما نُطْعِمُکُمْ لِوَجْهِ اللّهِ لا نُریدُ مِنْکُمْ جَزاءً وَ لا شُکُورا وَمَن یَفْعَلْ ذَلِکَ ابْتِغآءَ مَرْضَات اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِیهِ أَجْراً عَظیِما

Ayat pertama adalah surah al-Lail ayat 19-20 yang menggunakan ungkapan “ibtighaa wajhi rabbih” yang berarti: Padahal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalas, tetapi (dia memberikan itu semata- mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Ayat kedua adalah surah al-Insan ayat 9 yang menggunakan ungkapan “wajhillah” yang berarti: Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk engharapkan

keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih.

p: 155

Ayat ketiga adalah surah al-Nisa' ayat 114 yang menggunakan ungkapan “mardhatillah” yang berarti, ... Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberikan pahala yang besar. Masih ada beberapa ungkapan lain dalam al-Quran yang serupa dengan makna di atas. (Berpijak pada beberapa ayat di atas), maka sudah seharusnya manusia dapat membimbing dengan benar kecenderungan fitrahnya dan tidak menjadikan

kecintaan dan penerimaan orang sebagai ukuran, dan semata-mata menjadikan keridaan dan kecintaan Ilahi sebagai tujuan utama dalam hidup

Kondisi seperti di atas juga dapat terjadi pada keinginan untuk mencari kesempurnaan, karenanya keinginan ini juga harus ditarbiah dan diarahkan. Sebagai misal, keinginan seseorang untuk menampilkan diri dan menganggapnya sebagai sebuah kesempurnaan. Benar bahwa kecenderungan ini bersifat fitri dan Ilahi, namun tetap harus ditunjukkan kepadanya jalan-jalan menuju kesempurnaan dan bagaimana cara mengidentifikasinya, sehingga dia sendiri dapat mengetahui di mana letak kesempurnaan hakikinya. Manusia harus mendapatkan bimbingan bahwa tidak setiap jalan yang ditempuhnya itu akan berakhir pada kesempurnaan, dan tentu tidak benar untuk bersikukuh dan bersikeras pada jalan tertentu. Yakni, manusia harus mengerti bahwa dirinya mungkin melakukan kekeliruan dan kesempurnaannya terletak pada “berpaling” dari kekeliruannya. Dia harus segera bertobat dari dosa yang telah diperbuat. Apabila dia menuduh atau mencaci seseorang, maka dia harus segera memohon maaf kepadanya; dan apabila dia telah melakukan kesalahan, meski tidak merugikan orang lain, maka dia harus segera meninggalkan perbuatan tersebut dan tidak meneruskannya. Apabila fitrah (baca: kecenderungan internal) mencintai diri dan mencari kesempurnaan disenyawakan, manusia akan

p: 156

dapat menemukan arah yang benar atas perilakunya dan terhindar dari kekeliruan. Sebagai misal, dia akan meninggalkan sikap “selalu membangkang dan menolak pandangan orang lain” menjadi sikap yang lebih lunak dan luwes sehingga dia dapat melihat cahaya kebenaran dan tunduk padanya. Ada banyak sekali manfaat dari menjalankan bagian nasihat Imam Ali as ini yang tentu tidak dapat diungkap semuanya di sini.

Akibat Buruk dari Sikap Berlebihan dalam Mencintai Diri

Dari keterangan di atas dapat dimengerti bagaimana seseorang dapat berkeras hati dan bersikukuh pada jalan kelirunya. Pada hakikatnya, sumber dari sifat buruk ini adalah kecenderungan fitrah yang mendorongnya untuk menampilkan kesempurnaan diri dan mengukuhkan jati diri. Dia beranggapan apabila dirinya diketahui bersalah, maka kepribadiannya akan ternodai dan hancur. Oleh sebab itu agar tidak tercipta citra buruk dalam pemikiran orang lain tentang dirinya, dia berusaha dengan segala daya dan upaya untuk mempertahankan kesalahan perilaku atau ucapannya. Nah, disini perlu kiranya sedikit kita mengetahui beberapa dampak

negatif dari perilaku yang seperti ini.

Sebagai misal, apabila Anda sedang berbincang-bincang dengan beberapa teman dan Anda sedang menjelaskan makna dari sebuah kalimat dalam kitab, lalu ada seorang teman yang berkata, “Bukan seperti itu maknanya, akan tetapi makna yang benar adalah demikian..." Dia menegaskan, “Yang benar adalah apa yang telah saya jelaskan.” Lalu Anda tidak mau kalah dan berkata, “Tidak, yang benar adalah apa yang tadi telah saya jelaskan.” Nah, Anda mereaksi koreksi teman itu dengan segala cara untuk memaksakan pendapat Anda, padahal Anda sudah menyadari bahwa pendapat Anda salah.

Sifat ngotot tidak mau mengakui kesalahan inilah yang disebut dengan “lajajah” dalam bahasa Arab. Hal ini sering terjadi pada

p: 157

diri kita, sekalipun kita jarang menyadarinya. Adakalanya, sifat buruk ini akan mendatangkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya.

Apabila sifat tersebut telah berubah menjadi karakter pada diri seseorang, tentu banyak sekali akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai misal, seseorang akan menganggap benar semua ucapannya dan tidak akan pernah mau mengakui kesalahan diri. Tentu, bersikukuh pada kesalahan akan mendatangkan dampak buruk, baik dalam tataran individual maupun sosial. Terlebih lagi, apabila orang tersebut mempunyai posisi dan kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat atau sebagai pemimpin sebuah lembaga, maka dia tidak hanya akan menyeret dirinya sendiri pada kekeliruan, namun segenap orang-orang di bawah kepemimpinannya juga akan terseret pada kekeliruan yang sama. Dia akan menyesatkan diri dan banyak orang sehingga kerusakan yang ditimbulkan akan sangat sulit untuk dibenahi. Mentalitas ini adalah mentalitas “tidak mau patuh” masa kanak-kanak yang terus dipelihara hingga masa dewasa, dan kelak ketika memasuki usia tua, di mana dia telah menjadi pemimpin, marja' taklid, kepala perusahaan, kepala rumah tangga dan lain sebagainya, maka sifat buruk ini akan tetap ada pada dirinya.

Baik kiranya, semasa kita masih remaja dan muda, sebelum terlambat dan sebelum mengakarnya sifat buruk ini di dalam diri, kita bebaskan diri darinya. Apabila Anda menemukan pada diri Anda sedikit kecenderungan untuk mempertahankan kesalahan dan tidak sudi mengakuinya, ketahuilah bahwa Anda berada di jalan yang sangat berbahaya dan akan menggiring Anda pada akhir yang buruk dan menyedihkan. Ketahuilah, semakin tinggi posisi Anda di tengah masyarakat, maka

dampak buruk dan kerusakan yang diakibatkan oleh sifat ini juga akan semakin besar dan berat. Kita harus segera meneliti dan memeriksa diri untuk dapat memahami sejauh apa sifat

p: 158

ini telah bersemayam pada diri kita dan kita harus secepatnya melakukan perbaikan, penyembuhan dan pembenahan diri. Jika tidak, bahaya dan bencana besar sedang menanti kita di kemudian hari.

Penyembuhan Sifat Lajajah (Berkeras Hati)

Ada baiknya di sini untuk dijelaskan masalah penyembuhan sifat lajajah. Untuk mendapat gambaran yang benar tentang penyembuhan sifat ini, pertama mari kita bayangkan sosok anak kecil yang suka ngotot dan tidak pernah mau mendengar nasihat. Apa yang akan kita lakukan bila kita berhadapan dengan anak kecil yang seperti itu? Apabila dia bersikeras untuk melakukan sesuatu (yang berbahaya), apa yang akan Anda lakukan terhadapnya? Apabila si anak tersebut sakit dan tidak boleh makan beberapa jenis makanan, namun dia ngotot dan memaksa untuk memakannya, atau kelakuan-kelakuan pada umumnya anak yang berbahaya, namun dia bersikeras untuk melakukannya, apa yang akan Anda lakukan? Nah, apabila Anda berhadapan dengan individu yang ngotot dan bersikeras seperti inilalu Anda juga menghadapinya dengan sikap yang sama, maka dapat dipastikan akan timbul konflik yang mengakibatkan kerugian dan mendatangkan bahaya. Akan tetapi, apabila Anda menghadapinya secara tenang dan mencoba mengalihkan anak tersebut pada sesuatu yang lebih disukai, seperti jenis permainan tertentu atau

berjalan-jalan ke kebun dan tempat bermain, maka besar kemungkinan si anak akan menerima tawaran Anda. Namun, bila si anak berkata, “Saya harus makan makanan ini”, lalu Anda juga bersikeras mengatakan, “Engkau tidak boleh makan makanan ini”, maka penanganan yang seperti itu akan membuat si anak semakin bersikukuh dan bersikeras pada pendiriannya.

Sifat buruk itu justru akan semakin mengakar dan bukan tidak mungkin akan timbul efek-efek negatif lainnya. Efek buruk pertama dari cara penanganan yang seperti ini, adalah

p: 159

Anda mendidik anak dengan cara tarbiah yang tidak baik (kekerasan). Seharusnya kengototan tidak dihadapi dengan kengototan lain, tetapi berusahalah untuk mengalihkan dia pada sesuatu yang lebih disukai. Pada dasarnya, hal-hal yang disukai dan dicari oleh manusia, baik maupun buruk, apabila dia akhirnya menemukan sesuatu lain yang lebih menarik, maka kesukaannya pada hal pertama akan sedikit berkurang. Hukum umum ini tidak hanya terbatas pada masalah lajajah, tetapi pada semua kecenderungan hewani-insani. Ketika seseorang sudah menyukai sesuatu, maka akan sulit sekali untuk ditahan, kecuali apabila ia menemukan sesuatu yang lebih disukainya.

Syahwat, amarah, egoisme dan lain sebagainya adalah ibarat tunggangan-tunggangan yang bila menjadi liar, maka akan sangat sulit untuk dikendalikan. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah jangan sampai syahwat berada dalam kondisi liar dan tak terkendali, karena dalam kondisi seperti itu hampir mustahil dapat diredam dan dikendalikan. Sebagian ulama mengatakan, usahakan agar syahwat tidak sampai mendidih, karena bila sudah mendidih akan sulit sekali mendingikannya. Demikian pula halnya dengan amarah, apabila seseorang sudah merasakan tanda-tanda akan marah, maka dia harus segera menarik diri dari tempat terbakarnya amarah, demi mencegah meledaknya amarah. Karena apabila emosi telah meledak, maka akan sangat sulit untuk diredam dan dihentikan. Begitu juga keadaannya dengan sifat lajajah, kita harus segera menghentikannya pada saat-saat awal. Apabila pernyataan yang salah baru sekali diucapkan, masih

belum terlalu sulit bagi kita untuk mengakui dan merevisinya. Akan tetapi, apabila pernyataan itu sudah dilontarkan berkali-kali sambil menyalahkan pandangan yang lain, akan sangat sulit bagi kita untuk menariknya kembali. Kita akan bersikeras bahwa yang benar adalah apa yang kita ucapkan dan pendapat yang lain adalah salah. Oleh sebab itu, sebelum

p: 160

kita masuk dalam kondisi “tak terkendali” atau “mengganas dan melampaui batas”, kita harus segera menghentikannya. Memang sudah seharusnya manusia tidak terlalu tergesa- gesa dalam mengambil sebuah keputusan. Ketika seseorang sudah melontarkan ucapan, akan sulit baginya untuk menarik ucapan tersebut. Oleh sebab itu, kita harus berusaha untuk mengukur, menimbang, memikirkan dan berhati-hati dalam melontarkan ucapan. Kita tidak boleh memutuskan atau mengungkapkan sesuatu secara tergesa-gesa tanpa dipikir masak-masak. Ini adalah salah satu cara untuk menghindarkan diri dari sifat lajajah atau menyelamatkan diri dari tunggangan yang liar. Apabila ada orang yang menanyakan sesuatu kepada kita, jangan tergesa-gesa dalam menjawabnya. Kita harus sejenak bersabar dan berpikir untuk memberikan jawaban agar terhindar dari kesalahan dan kecerobohan. Karena apabila kita menjawab dengan cepat tanpa dipikir secara matang, kemungkinan jatuh dalam kesalahan sangat besar. Bila telanjur salah, akan sulit bagi kita untuk mengakui dan menariknya kembali. Namun

apabila kita menjawabnya secara tenang dengan dipikir masak-masak, kita akan terhindar dari pemicu sifat lajajah.

Kita harus selalu berpikir tentang apa yang hendak kita ucapkan atau lakukan sehingga kita dapat mempersembahkan ucapan dan kelakuan yang terbaik dan terindah. Nah, ketika kita diminta untuk memutuskan sesuatu, sebaiknya kita ambil waktu satu jam atau bahkan satu hari bila tidak mendesak, agar kita dapat memberikan sebuah keputusan yang telah dipikir secara matang.

Akibat dan Efek Lajajah

Dalam salah satu nasihatnya Luqman Hakim berkata, (1) “Apabila mereka bermusyawarah denganmu, mintalah waktu tiga hari (untuk memutuskan) dan pikirkanlah apa yang

p: 161


1- 45 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.76, hal 271, hadis ke-28.

akan menjadi keputusanmu di waktu-waktu (sesudah) salat. Apabila ada yang datang meminta pendapatmu, mintalah waktu tangguh selama tiga hari untuk menjawabnya. Usai melaksanakan salat Subuh, duduk dan berpikirlah untuk mendapatkan sebuah keputusan, karena salat memberikan suasana kesucian dan ketulusan sehingga engkau dapat memberikan sebuah keputusan yang jernih. Apabila Anda dimintai pendapat untuk sebuah perkara penting, tidak usah terburu-buru menjawabnya, ambillah waktu barang dua sampai tiga hari, gunakan waktu itu untuk berpikir dan merenung serta bersabarlah untuk tidak terlalu cepat mengeluarkan keputusan, karena menarik kembali sebuah keputusan yang telah dikeluarkan bukanlah hal yang sederhana. Namun apabila setelah berpikir dan merenung Anda tetap mengalami sebuah kekeliruan, maka Anda harus tetap menerimanya dengan besar hati dan lapang dada. Karena mengakui sebuah kesalahan manfaatnya jauh lebih besar dan lebih menjaga harga diri daripada ngotot pada sesuatu yang keliru. Ketika orang-orang memahami kekeliruan Anda dan Anda tetap bersikeras dan bersikukuh pada kekeliruan tersebut, maka mereka akan semakin benci kepada Anda.

Karena masyarakat pada umumnya tidak menyukai seseorang yang ngotot pada sebuah kesalahan, sebagaimana diri kita juga tidak suka dengan orang yang ngotot pada kekeliruan. Jika seperti itu adanya, lalu mengapa kita masih ngotot atas kekeliruan yang kita ucapkan atau lakukan, sehingga semua orang membenci kita?! Dengan ngotot, kita berpikir sedang mempertahankan harga diri, padahal justru menghancurkan dan merendahkannya. Mungkin saja dalam jangka pendek

kita bisa menipu atau mengelabui beberapa orang sambil mengatakan bahwa yang benar adalah apa yang telah saya jelaskan, namun tidak lama kemudian kebenaran akan terungkap dan kesalahan serta lajajah kita akan menjadi semakin nyata.

p: 162

Hal seperti ini boleh jadi telah sering kita alami atau kita menjadi korban dari sikap lajajah ini. Kita harus camkan hal ini baik-baik bahwa bisa saja kita menipu dan membodohi orang lain selama beberapa waktu, akan tetapi pasti akan tiba masanya di mana kebohongan serta kekeliruan kita akan terungkap dan genggaman tangan kita menjadi terbuka. Oleh sebab itu, apabila kita memahami bahwa ada ucapan atau tindakan kita yang keliru, kita harus segera mengakui dan membenahinya. Apabila kita menghina seseorang, kita harus segera meminta maaf kepadanya. Karena dengan berlalunya waktu kotoran hati akan semakin mengakar dan menjadi sulit bagi kita untuk mengobatinya. Apabila kita berbuat dosa, kita harus sesegera mungkin memohon ampunan kepada Allah, karena terus-menerus melakukan dosa adalah sebuah bentuk lajajah yang sangat berbahaya. Sifat lajajah akan menjadikan manusia menolak kebenaran sekalipun dia mengetahuinya. Bahkan dia tidak mau menerima kebenaran itu dalam pikirannya.

Mungkin bagi sebagian orang sulit untuk diterima bagaimana seseorang bisa menolak sesuatu yang telah dipahami dan diyakini sebagai kebenaran. Membayangkan

mentalitas yang seperti itu saja sulit, apalagi meyakininya. Oleh sebab itu, sebagian orang tidak percaya apakah mungkin manusia itu bersikeras dan bersikukuh pada kekeliruan sampai sebegitunya. Namun ayat al-Quran mengungkapkan fakta tersebut:

وَ جَحَدُواْ بِهَا وَ اسْتَیْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ...

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. ... !(1)

p: 163


1- 46 QS. al-Naml [27]:14.

Ketika menyaksikan ayat-ayat Ilahi tampak di tangan Musa as dan meyakini ayat-ayat tersebut sebagai hakikat dan kebenaran, para pengikut Firaun tetap mengingkarinya. Mengapa? Jawabannya adalah zhulman wa ‘uluwwan, yakni mereka melakukan penolakan itu semata-mata karena sifat aniaya dan keinginan untuk tetap unggul dan berada di atas. Karena apabila mereka tunduk pada kebenaran yang dibawa oleh Musa as, mereka akan kehilangan harga diri dan tidak lagi punya kesempatan untuk berkuasa atas masyarakat. Kejiwaaan ingin selalu unggul dan berkuasa adalah sebuah kejiwaan yang sangat berbahaya. Dalam al-Quran ditegaskan:

...تِلْکَ الدَّارُ الاَْخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِینَ لاَ یُرِیدوُنَ عُلُوًّا فِی الاَْرْضِ وَ لاَ فَسَادًا ...

Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi(1)

Orang-orang yang mempunyai mentalitas ingin selalu unggul dan berada di atas yang lain tidak akan pantas untuk menjadi penghuni surge. Mentalitas seperti itu akan merusak dan menghancurkan jiwa manusia. Kejiwaan ini bermula dari hal-hal yang sepele dan sederhana. Oleh sebab itu, manusia harus mewaspadai dan

memeranginya sedini mungkin. Imam Baqir as berkata, “Contoh dari sifat ingin unggul atas yang lain adalah apabila seseorang ingin kancing atau tali bajunya lebih bagus dari yang lain dan disaksikan oleh orang lain.”48 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.79, hal.312. Ini adalah satu bentuk keinginan untuk mengungguli orang lain dan menjadi cikal-bakal sebuah kejiwaan yang sangat buruk dan berbahaya.

p: 164


1- 47 QS. al-Qashash [28]:83.

Manusia harus selalu melihat apa yang baik baginya dan apa sebenarnya yang Allah inginkan darinya untuk kemudian dia lakukan, sehingga dia tidak melakukan sesuatu berdasar pada keinginan untuk mengungguli orang lain. Kejiwaan yang membuat manusia selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dan ingin mengunggulinya adalah sebuah kejiwaan yang akan mengakibatkan sifat iri, aniaya dan mengabaikan hak-hak orang lain. Dengan kata lain, kejiwaan seperti ini hanya akan mengantar manusia pada penolakan dan pengingkaran (juhud dan kufr) atas kebenaran. Juhud adalah perbuatan mengingkari sebuah kebenaran yang telah diketahui, yakni dia dengan sengaja mengingkari kebenaran yang sudah dipahami. Ini adalah sebuah kondisi kejiwaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan berbagai macam penyimpangan yang lain. Kita harus selalu waspada dan berhati-hati jangan sampai sifat ingin mengungguli orang lain ini bersemayam dalam diri.

Sifat ini ditandai dengan lajajah di mana apa yang telah terucap dari lisan kita harus menjadi sebuah kebenaran meskipun kita telah mengetahui kebatilannya. Kita harus menjadi pribadi yang setia dan tunduk pada kebenaran, dari siapa pun dan di manapun kebenaran itu berada; bukan semata-mata karena hal tersebut adalah pendapat dan opini kita. Namun hal ini juga bukan berarti kita harus menerima semua pendapat orang dan bersikap lunak terhadapnya. Kita tidak sependapat dengan toleransi dengan interpretasi Barat yang menganggap semua pandangan itu benar. Manusia harus mencari tahu apa itu kebenaran untuk mendukung

dan membelanya. Kebenaran tidak boleh ditoleransi dengan kebatilan. Akan tetapi, apabila seseorang menyadari bahwa pendapatnya keliru dan tidak benar, dia harus berani mengakui dan meninggalkannya. Manusia harus mengikuti apa yang benar dan meninggalkan sifat lajajah-nya, yakni bersikeras dan ngotot pada kebatilan. Karena hal itu dapat mencegah manusia untuk membenahi kesalahan dan kekeliruannya.

p: 165

Lajajah adalah sebuah tunggangan liar yang dapat menghancurkan dan membunuh penunggangnya. Tak ubahnya seperti tunggangan syahwat dan amarah, yang bila lepas kendali akan menghancurkan semua yang kering dan basah, yakni menghancurkan semua yang ada di hadapannya tanpa pandang bulu. Namun sayang sekali, sekalipun kita mengetahui akibat buruk syahwat dan amarah, kita masih saja lalai dan tidak mewaspadainya. Lajajah adalah sebuah tunggangan liar yang tidak akan memberikan selain kehancuran bagi penunggangnya. Dalam nasihatnya, Amirul Mukminin as berkata kepada putranya al-Hasan as: “Berhati-hatilah, jangan sampai dirimu dikuasai oleh tunggangan yang liar (tunggangan yang dapat membahayakan keselamatan jiwamu)!"

Atau dalam naskah (nuskhah) yang lain ditegaskan:

اِیّاکَ اَنْ تُطیحَ بِکَ مَطِیَّةُ اللَّجاج

Yakni, lajajah tak ubahnya seperti tunggangan liar yang akan menghempaskanmu di atas tanah. Dalam kedua nukilan di atas, Imam Ali as mengumpamakan lajajah sebagai tunggangan liar yang bila manusia tidak dapat memegang kendalinya, maka dia akan menghempaskan dan menghancurkan penunggangnya. Salah satu dari contoh lajajah adalah lajajah dalam perilaku terhadap sesama manusia. Terus menerus berperilaku lajajah sama halnya dengan terus menerus berbuat dosa.

Oleh sebab itu, setelah melarang lajajah, beliau berkata, “Dan apabila dirimu terkotori oleh keburukan (baca: dosa), maka bersegeralah untuk membersihkannya dengan tobat!" Karena terus menerus dalam berbuat dosa adalah sebuah bentuk lajajah, sebab maknanya adalah selalu mengulang kesalahan yang telah diketahui sebagai kesalahan.()

p: 166

32-BAHAYA DAN KEWASPADAAN

Point

ولا تَخُنْ مَنِ ائْتَمَنَکَ و إِنْ خانَکَ، وَ لا تَذَعْ سِرَّهُ وَ إِنْ أذاعَ سِرَّکَ، وَ لا تُخاطِرْ بِشَیْء رَجاءَ أَکْثَرَ مِنْهُ وَاطْلُبْ فَإِنَّهُ یَأْتیکَ ما قُسِّمَ لَکَ، والتّاجِرُ مُخاطِرٌ.

Janganlah engkau mengkhianati orang yang memercayaimu meskipun dia mengkhianatimu! Janganlah engkau siarkan rahasianya meskipun dia menyiarkan rahasiamu! Janganlah engkau membahayakan dirimu untuk mencari sesuatu yang lebih (dari harta dunia). Carilah (harta dunia) sewajarnya, karena apa yang sudah menjadi bagianmu pasti akan mendatangimu. Dan pedagang adalah orang yang siap membahayakan dirinya.

Dalam menjelaskan dan menafsirkan wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as, kita telah sampai pada bagian ketika beliau mengetengahkan salah satu dari nilai umum etika dalam sistem nilai Islam. Yakni, di sana terdapat banyak amalan yang baik dan mulia, namun harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-syaratnya. Karena apabila syarat- syarat tersebut belum terpenuhi, amalan baik dan mulia itu akan kehilangan nilainya. Kendati kebanyakan perbuatan baik

dipaparkan secara mutlak dan bersifat umum dan universal, tetapi terdapat beberapa pengecualian. Sebagai contoh, kita semua mengetahui bahwa “berkata jujur” dalam pandangan Islam merupakan sebuah perbuatan baik, namun ada situasi dan kondisi tertentu dimana kita tidak boleh berkata jujur

p: 167

dan bahkan adakalanya justru harus berdusta. Apabila jiwa seorang mukmin terancam dan akan terselamatkan dengan sebuah kebohongan, maka berbohong di sini menjadi wajib hukumnya. Nah, meskipun "berkata jujur” merupakan sebuah kebaikan dalam nilai universal Islam, namun terdapat juga pengecualiannya.

Sebaliknya, ada perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam agama dan secara umum melakukannya adalah sebuah keburukan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu perbuatan yang buruk itu harus dilakukan. Sebagai misal, agama tidak memperbolehkan kita untuk menyakiti atau melukai orang lain dan merupakan perbuatan yang tidak pantas dan buruk. Namun apabila hal itu dilakukan dalam rangka hukum kisas atau sebagai balasan atas para pelaku kejahatan, maka perbuatan tersebut akan berubah menjadi sebuah kebaikan. Pada bulan- bulan haram, tidak diperbolehkan untuk memulai peperangan, namun apabila kita diserang pada bulan-bulan tersebut, maka memerangi mereka dalam rangka mempertahankan diri menjadi jihad yang sangat mulia dan tinggi nilainya. Contoh

lain, tidak diperbolehkan perang di Masjidil Haram, namun apabila muslimin diserang di Masjidilharam, maka mereka boleh berperang.

Memegang Amanat

Sebagian dari nilai-nilai etika, baik yang positif maupun yang negatif, mempunyai pengecualian yang harus diperhatikan tentang kapan, di mana dan kepada siapa. (Akan tetapi), ada pula nilai-nilai etika yang bersifat mutlak, seperti halnya “memegang amanah”. Salah satu dari nilai-nilai umum dan universal yang tidak mengalami pengecualian adalah “memegang amanah”. Oleh sebab itu, apabila seseorang menitipkan padamu sebuah amanah dan Anda menerimanya,

maka Anda harus menjaganya sedemikian rupa hingga mengembalikan amanah tersebut kepada yang berhak. Siapa

p: 168

pun yang menitipkan dan apa pun yang dititipkan, Anda tetap harus menjaga dan bertanggung jawab atasnya. Tidak ada pengecualian dalam hal amanah. Siapa yang menitipkan, kapan dititipkan dan di mana dititipkan tidak bisa mengubah tanggung jawab yang telah diterima. Bahkan, seandainya amanah itu datang dari seorang nonmuslim dan musuh sekalipun, apabila Anda telah menerimanya, maka Anda berkewajiban untuk menunaikan amanah tersebut.

Dalam sebuah riwayat yang sangat menarik, Imam Sajjad as berkata, “Apabila pembunuh ayahku menitipkan kepala terpenggalnya kepadaku, aku akan kembalikan padanya.” Perhatikan dengan baik, yang mengucapkan kalimat ini adalah Imam Sajjad as dan sesuatu yang diamanahkan adalah kepala Sayyidus Syuhada Imam Husain as, dan tentu tidak ada amanah yang lebih berharga melebihi kepala cucunda Rasul saw. Terlebih lagi, yang menitipkan kepala itu sudahlah pasti orang yang membunuhnya. Meskipun seperti itu gambarannya, Imam Sajjad as berkata, “Apabila aku menerima kepala ayahku sebagai amanah (baca: titipan), aku akan mengembalikannya.” Nah, apabila nilai etika “memegang amanah” ini ada pengecualiannya, sudah barang tentu amanah yang berkaitan dengan kepala al-Husain as

akan mengalami pengecualian. Akan tetapi Imam Sajjad as menegaskan, dalam hal ini pun tidak ada pengecualian. Bagaimanapun, amanah harus dikembalikan kepada si pemberi amanah.

Tentu, apabila seseorang sejak awal tidak mau menerima sebuah amanah atau sesuatu yang diamanahkan termasuk dalam hal-hal yang seharusnya tidak diterima, maka tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya.

Menjaga Amanah Selalu Bersifat Baik

Pada umumnya ketika berbicara tentang amanah dan menjaga amanah, yang pertama terpikirkan adalah amanah

p: 169

berkaitan dengan harta. Padahal, lingkup amanah jauh lebih luas dari sekadar materi dan harta benda. Masalah amanah bahkan meliputi sebuah pembicaraan atau pertemuan yang dirahasiakan. Sebagai misal, apabila seseorang bercerita kepada Anda tentang sebuah rahasia dalam hidupnya dan Anda telah berjanji unuk tidak menyiarkannya, maka Anda berkewajiban untuk menjaga rahasia dan amanah tersebut. Oleh sebab itu, dalam situasi apa pun Anda tidak boleh membuka rahasia tersebut, karena Anda telah berjanji untuk tidak membongkarnya. Tentu tidak demikian halnya apabila Anda sejak awal tidak berjanji untuk merahasiakannya.

Apabila seseorang berkata kepada Anda, “Aku ingin ungkapkan sebuah rahasia dan jangan pernah Anda ungkap kepada siapa pun selama aku masih hidup", kemudian Anda bersedia dan berjanji untuk tidak membongkarnya, maka Anda tidak boleh menceritakannya kepada siapa pun. Mengapa Anda tidak boleh membukanya? Jawabannya adalah karena hal itu sama dengan berkhianat atas sebuah amanat. Rahasia itu akan menjadi sebuah amanah dan Anda berkewajiban untuk menjaganya. Sebagian perbuatan, seperti “menjaga amanah”, tergolong dalam nilai-nilai etika yang bersifat tetap dan tidak akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, tidak ada faktor apa pun yang dapat memisahkannya dari nilai etika. Namun ada sebagian amal dan perbuatan yang akan bergeser dari nilai etika pada situasi dan kondisi tertentu. Contohnya, ada perbuatan buruk yang akhirnya menjadi baik karena terkait pada tujuan-tujuan tertentu, seperti “memberikan perlawanan setimpal”, disebut dalam al-Quran, Dan apabila kamu hendak memberikan balasan (atas sebuah perbuatan buruk), maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.(1) Mengacu pada prinsip “memberikan perlawanan setimpal” yang berdasar pada ayat dan riwayat, maka sebagian perbuatan

p: 170


1- 49 QS. al-Nahl (16]:126.

yang “buruk” menjadi boleh dilakukan, seperti halnya “perang" yang dilakukan untuk mempertahankan sebuah wilayah. Islam juga memberikan keterangan yang cukup rinci berkaitan dengan hukum-hukum “memberikan perlawanan setimpal”. Akan tetapi, berkaitan dengan nilai “menjaga amanah”, bahkan prinsip “memberikan perlawanan setimpal” tidak dapat berlaku atasnya, sehingga seseorang boleh berkhianat dalam rangka memberikan perlawanan yang setimpal. apabila Anda menganggap seseorang bersifat menjaga amanah lalu Anda menitipkan sebuah amanah kepadanya, tetapi dia berkhianat, hal ini tidak menjadikan Anda boleh untuk berkhianat atas sebuah amanah yang Anda terima darinya. Haramnya berkhianat atas sebuah amanah tidak akan berubah oleh prinsip “memberikan perlawanan setimpal”, sehingga dapat dikatakan: Karena dia telah mengkhianati saya, maka saya pun berhak untuk mengkhianatinya; tidak, tidak seperti itu adanya, kita tetap tidak boleh berkhianat atas seseorang yang mengkhianati kita. Apabila Anda menitipkan sebuah rahasia kepada seseorang, lalu dia membongkar rahasia tersebut, kemudian dia menitipkan rahasia kepada Anda, maka Anda tetap tidak berhak untuk membongkar rahasianya. Dengan kata lain, Anda tidak berhak memperlakukan amanahnya berdasar pada prinsip “memberikan balasan yang setimpal”. “Menjaga amanah” dan “haramnya khianat” merupakan nilai-nilai etika universal yang bersifat absolut dan sama sekali tak menerima pengecualian. Sebagian nilai-nilai akhlak seperti “kejujuran” masih mengalami pengecualian, dan pada situasi dan kondisi tertentu seseorang diperbolehkan untuk berdusta, namun tidak demikian halnya dengan nilai etika “menjaga amanah”.

Menepati Janji

Salah satu dari nilai-nilai etika dan akhlak adalah “menepati janji” yang termasuk dalam kategori nilai yang bersifat

p: 171

universal. Oleh sebab itu, apabila Anda telah berjanji dan terikat olehnya, maka Anda harus menepatinya. Di dalam al-Quran Allah Swt telah menegaskan: “Apabila kamu membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik, maka kamu harus menepatinya.” Namun, dalam prinsip “menepati janji” ada satu pengecualian, yaitu ketika pihak yang melakukan perjanjian dengan kita melakukan pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati; jika itu terjadi, maka kita juga terbebas dari ikatan tersebut. Sekalipun pelanggaran yang kita lakukan setelah pihak lain melakukan pelanggaran tidak dapat disebut sebagai pelanggaran janji, karena perjanjian adalah sebuah ikatan antara dua belah pihak. Apabila salah satu melakukan pelanggaran, kita tidak lagi berkewajiban untuk menepatinya. Dengan kata lain, apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak, perjanjian akan gugur dengan sendirinya. Hal ini berbeda dengan masalah “memegang amanah”, karena apabila orang lain berkhianat kepada kita, maka kita tetap tidak boleh berkhianat kepadanya. Apabila seseorang membongkar rahasia kita, kita tidak boleh membongkar

rahasianya sebagai balasan. Oleh sebab itu, tidaklah salah apabila kita mengatakan bahwa “menjaga amanah” merupakan nilai yang paling universal dalam sistem nilai Islam. Janganlah engkau mengkhianati orang yang memercayaimu meskipun dia mengkhianatmu! Dan Janganlah engkau sebarkan rahasianya meskipun dia menyebarkan rahasiamu! (Dari pesan Imam Ali as ini dapat dipahami), bahwa dalam kaitan “memegang amanah”

tidak berlaku prinsip “memberikan perlawanan setimpal”.

Kerakusan dan ketamakan adalah Perbuatan yang Bermuara pada ketidakwarasan

Nilai etika lain yang berlaku baik bagi orang mukmin maupun nonmukmin adalah menghindarkan diri dari sifat rakus dan tamak. Nilai ini sungguh sangat mendidik dan bermanfaat bagi setiap manusia. Akibat sifat tamak dan rakus

p: 172

ini, seringkali manusia mengabaikan sedikit manfaat yang pasti demi banyak manfaat dan hasil yang belum pasti, padahal sikap yang seperti itu sama sekali tidak rasional. Fenomena sifat buruk ini tidak hanya sering kita saksikan, namun tidak jarang sifat ini menjangkiti diri kita sendiri. Sebagai misal, kebanyakan orang apabila mendengar berita bahwa sebuah barang tertentu harganya akan naik, maka mereka akan mengumpulkan seluruh kekeyaannya untuk membeli dan menimbun barang tersebut dengan harapan menjualnya kembali di saat harganya telah melambung. Tak sedikitpun diragukan, perbuatan semacam itu sangat buruk dan tidak terpuji dan akan berlipat ganda keburukannya bila dilakukan oleh insan yang beriman.

Perbuatan buruk ini telah dengan jelas menunjukkan bahwa pelakunya adalah manusia yang tidak percaya kepada Allah Swt dan tidak mempunyai tujuan lain selain memuaskan rasa rakus dan tamaknya. Perbuatan ini selain buruk dari sisi etika dan terkadang haram dari sisi fikih, juga merupakan perbuatan yang tidak terpuji dari sudut pandang logika. Dengan kata lain, manusia berdasar pada kaidah logika dan perhitungan yang benar akan mengeluarkan modal demi sebuah keuntungan. Hal ini wajar adanya karena memang semua pekerja akan melakukan hal yang seperti itu demi meraih keuntungan tertentu. Petani menebar benih-benih tanaman di ladang dengan harapan dapat menuai hasil yang lebih banyak. Dia mengelurkan modal dalam mengolah tanah dan menyediakan benih demi meraih keuntungan di saat panen nanti. Pekerjaan seperti petani ini sangatlah wajar dan rasional, karena tanpa menanam, maka dia tidak akan pernah memanen. Seseorang bekerja keras peras keringat banting tulang demi meraih upah dan ongkos tertentu. Namun, ada orang-orang yang rakus dan tamak mengeluarkan modal secara berlebihan demi keuntungan yang berlipat ganda di masa mendatang. Tentu perbuatan yang bermuara pada

p: 173

kerakusan ini tidak dapat dibenarkan baik dari sudut pandang akal maupun syariat. Dalam kaitan ini Imam Ali as berpesan, “Janganlah engkau membahayakan dirimu untuk mencari sesuatu yang lebih (dari harta dunia).” Dengan kata lain, janganlah engkau pertaruhkan harta yang ada di tanganmu dengan sebuah

harapan hasil berlimpah yang belum pasti. Manfaatkan dengan baik harta yang ada di tanganmu dan jangan karena ketamakan dan kerakusan, engkau pertaruhkan harta tersebut demi harta yang lebih banyak namun belum pasti. Anda boleh mempertaruhkan harta yang sudah di tangan dengan dua syarat:

1. Keuntungan lebih yang Anda harapkan bersifat masuk akal dan sangat mungkin untuk diraih, selain halal menurut pandangan syariat.

2. Anda meraihnya dengan cara yang benar dan tidak melanggar hukum agama.

Pesan Imam Ali as ini pada hakikatnya bertujuan mencegah manusia agar tidak terjerumus pada perilaku rakus dan tamak, yakni mengimbau manusia untuk tidak mempertaruhkan harta di tangannya demi sesuatu lebih yang tak pasti semata-mata untuk memuaskan kerakusan serta ketamakannya. Tentu perbuatan yang seperti ini tidak benar menurut akal sehat selain tercela dari sudut pandang agama. Muaranya tidak lain adalah ketidakpercayaan kepada Allah Swt (sehingga membuat seseorang ingin menumpuk dan terus menumpuk harta demi menggaransi kebutuhannya sepanjang hidup).

Ujian Bagi Manusia adalah Sebuah Keharusan Berdasar pada Sunah Ilahi

Manusia harus mencari sumber penghidupan bagi dirinya. Telah menjadi sunah Ilahi (baca: ketentuan Allah Swt),

p: 174

bahwa manusia harus berusaha untuk mencari rezekinya di kehidupan dunia ini. Allah Swt tidak menginginkan manusia duduk berdiam diri dan menanti rezekinya turun dari langit. Meskipun terkadang Allah Swt berdasar pada hikmah-hikmah tertentu menurunkan maidah atau hidangan dari langit. Akan tetapi, mengapa Allah Swt telah menentukan bahwa manusia harus berusaha mencari sumber penghidupannya sendiri? Jawabannya adalah karena di dalam pencarian itu sendiri terkandung beragam hikmah dan manfaat. Banyak maslahat serta efek positif berada di balik usaha dan kerja mencari rezeki. Ketika manusia diuji dalam mencari beragam keutamaan dan fadilah, maka dia akan berhadapan dengan dua pilihan jalan, yakni dia harus memilih mana jalan yang benar agar tidak terjerumus dalam jalan yang salah, dia harus memilih perbuatan yang baik agar tidak jatuh dalam perbuatan yang buruk, dia harus memilih cara yang benar dari cara yang

keliru dan dia juga harus memilih mana yang diridai oleh Allah Swt serta menghindarkan diri dari yang tidak diridai-Nya. Apabila seseorang tidak memasuki arena ujian dalam hidupnya, dia tidak akan menghadapi beragam peristiwa serta tantangan yang akan menentukan nasibnya.

Manusia harus mencari serta menemukan perkembangan serta penyempurnaan diri di balik usaha dan perjuangan hidup. Dengan kata lain, dunia dengan berbagai macam ujian, kesulitan serta perjuangan di dalamnya dicipta agar manusia berhadapan dengan dua pilihan, dan dengan memilih jalan yang benar dia akan mencapai tujuan serta kesempurnaan dirinya. Ditegaskan dalam al-Quran: Liyabluwakum ayyukum ahsanu amalan, yakni untuk menguji mana di antara kalian

yang baik amalnya.(1) Nah, apabila manusia tidak memasuki medan laga kehidupan, dia tidak akan mengalami ujian, dan tidak ada proses perkembangan serta penyempurnaan diri baginya. Semakin manusia menarik diri dari kehidupan sosial

p: 175


1- 50 QS. Hud (117:7.)

dan tidak terjun dalam beragam tantangan dan kesulitannya, maka dia akan semakin jauh dari berbagai manfaat serta efek positifnya.

Manusia harus berusaha mencari rezekinya sehingga dia dapat memilih serta memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Hal itulah yang akan menentukan kebahagian serta kesengsaraan dalam kehidupan (duniawi-ukhrawi)nya. Tentu yang dimaksud dengan rezeki di sini tidak terbatas pada makanan dan minuman, karena semua yang diinginkan oleh manusia seperti ilmu, kedudukan, pasangan hidup, anak dan lain sebagainya, seluruhnya merupakan anugerah Ilahi yang

harus diperjuangkan oleh manusia untuk mendapatkannya. Meskipun terkadang karena beberapa maslahat Allah Swt akan memberikan ilmu ladunni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya, tetapi yang secara umum menjadi sunah Ilahi adalah agar manusia mendapatkan anugerah ilmu dengan berjuang, berusaha dan belajar keras, demikian pula halnya dengan anugerah-anugerah yang lain seperti kedudukan, harta, pasangan hidup, putra-putri dan lain sebagainya.

Bekerja keras Dibarengi Tawakal adalah Jalan Tengah yang Harus Ditempuh

Kita tidak boleh lupa, kebanyakan orang dalam menjalani hidupnya sering terjatuh dalam sikap ifrath dan tafrith (yakni berlebihan atau kurang sama sekali). Sebagian orang sedemikian keras memeras keringat dan membanting tulang dalam mencari harta seakan Allah Swt tidak kuasa untuk membantunya. Ada orang-orang yang menghabiskan seluruh waktu untuk mencari dan menumpuk harta, dia akan terus terdorong untuk mencari dan terus mencari tanpa jeda. Sebaliknya, ada juga orang-orang yang karena kemalasan bekerja atau salah dalam memahami maksud jaminan rezeki dari Allah, mengatakan bahwa kita akan mendapatkan rezeki

p: 176

yang telah ditakdirkan bagi kita; dengan kata lain, kita hanya akan mendapatkan apa yang telah ditakdirkan. Dengan pemahaman seperti itu, mereka merajut alasan

untuk hidup mengangggur, bermalas-malasan dan tidak bekerja. Jelas sekali, dua pandangan serta perilaku di atas adalah salah dan keliru. Manusia harus emahami bahwa rezekinya itu dari Allah dan hanya memohon kepada-Nya, namun pada saat yang sama dia juga harus menerima kerja keras dan usaha sebagai sebuah tanggung jawab dan kewajiban. Tentu tidaklah mudah untuk menentukan batasan usaha dan bekerja. Juga tidak mudah untuk menentukan sejauh apa manusia harus bertawakal dan bersandar kepada Allah Swt, namun di sini terdapat jalan tengah yang dapat membebaskan manusia dari perilaku ifrath dan tafrith.

Manusia tidak boleh jatuh dalam kerakusan serta ketamakan (ifrath), juga tidak boleh jatuh dalam bermalas-malasan dan mau hidup enak tanpa bekerja (tafrith).

Dalam kaitan ini Imamul Muttaqin (Pemimpin Orang- Orang yang Bertakwa) Ali bin Abi Thalib as berkata, “Carilah (harta dunia) sewajarnya, karena apa yang sudah menjadi bagianmu pasti akan mendatangimu.” Banyak orang yang berusaha keras dalam mencari harta, namun yang didapatkan hanya sedikit atau dia kehilangan harta dengan mudah yang telah dikumpulkan dan mati kelaparan. Betapa banyak hartawan kaya raya yang pada akhir hidup mati kelaparan; mereka dihadapkan pada situasi dan kondisi tertentu sehingga tidak mampu untuk mencari sesuap makanan dan seteguk minuman. Sebaliknya, ada orang-orang miskin yang tidak berdaya dan tidak mempunyai apa-apa, namun akhirnya menjadi kaya raya dan berlimpah harta. Berbagai peristiwa, kejadian serta pengalaman tersebut telah mengajarkan kepada kita bahwa tidak semua hal berada di bawah kendali diri sehingga kita dapat mewujudkan segala yang kita inginkan. Akan tetapi,

p: 177

pada hakikatnya ada kekuatan lain yang memegang kendali penuh atas segala sesuatu. Oleh sebab itu, kita tidak boleh bersandar hanya pada ikhtiar dan usaha kita, dan kita tidak boleh beranggapan bahwa apa yang kita dapatkan sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja keras kita. Dengan kata lain, semakin sedikit usaha yang kita lakukan, akan semakin sedikit pula apa yang kita peroleh. Yang benar adalah kita harus menjalankan apa yang menjadi kewajiban serta tanggung jawab kita, namun yang menentukan segala-galanya hanyalah Allah Swt. Kita harus senantiasa memohon kepada-Nya untuk memberikan apa yang terbaik buta diri kita.

Prinsip umum ini berlaku baik pada anugerah-anugerah materi seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya, juga berlaku pada anugerah-anugerah maknawi seperti ilmu, makrifat, kebersihan hati dan beragam kesempurnaan diri. Manusia harus bekerja keras dan berusaha maksimal, namun yang menentukan segala-galanya adalah Allah Swt bukan selain-Nya. Adakalanya Allah Swt memberikan rezeki yang berlimpah atau ilmu yang banyak kepada sebagian orang tanpa sedikitpun usaha, bahkan tidak terpikirkan oleh si penerima anugerah tersebut. Dalam kaitan ini Rasulullah saw pernah berkata, “Inna lirabbikum fi ayyami dahrikum nafahat...(1), yakni, terkadang Allah Swt memberikan kelapangan-kelapangan dalam hari- hari hidup kalian.” Kelapangan-kelapangan baik dalam

hal materi maupun nilai-nilai maknawi yang tak pernah diusahakan bahkan dimimpikan sekalipun. Sebagai misal, terkadang seseorang mendapatkan anugerah maknawi berupa kekhusukan dalam ibadah sehingga menariknya untuk bangun setiap malam dan berdoa sepanjang sahur. Namun, ada juga

p: 178


1- 51 Majlisi, Bihar al- Anwar, jil. 71, hal.321, riwayat ke-30 dan jil.83, hal 352, riwayat ke-4.

orang-orang yang berusaha keras untuk mendapat suasana hati yang khusuk seperti itu dan tak kunjung berhasil. Tentu, tidak tercapai dan teraihnya tujuan-tujuan materi dan maknawi yang diusahakan, tidak boleh membuat kita berhenti dan menyerah dan melepas tanggung jawab. Sebagai misal, karena saya tidak dapat salat dalam keadaan khusuk, maka apa artinya bagi saya untuk melakukan salat malam. Bagaimanapun juga, melakukan ibadah dan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah tugas dan kewajiban kita dan harus tetap dilakukan. Namun tercapainya suasana ibadah yang khusuk dan peningkatan sisi rohani sepenuhnya ada di tangan Sang Maha Segala-galanya.

Kekhawatiran yang Rasional

Pada bagian berikut wasiat Imam Ali as, terdapat dua ungkapan dan keterangan indah yang sepintas saling bertentangan. Pada satu sisi beliau berkata, “Jangan

pertaruhkan apa yang sudah ada di tanganmu dengan harapan mendapatkan yang lebih banyak”; sementara selanjutnya beliau berkata, “Pedagang adalah orang yang membahayakan dirinya, karena boleh jadi pedagang bukan hanya tidak mendapatkan keuntungan, akan tetapi seluruh modalnya juga ikut hilang, bahkan lebih daripada itu dia masih bertanggung jawab atas utang akibat kerugian dalam perdagangan." Dalam menjelaskan kekaburan ini, para pensyarah dan penafsir kalam Imam Ali as berpendapat bahwa dua keterangan di atas masing-masing menitikberatkan pada suatu hal tertentu, yakni keterangan pertama hendak menjelaskan

sesuatu dan keterangan yang kedua hendak menjelaskan sesuatu yang lain. Dalam keterangan wa la tukhathir bisyai'in raja'a aktsara minhu, maksudnya adalah jangan sampai karena perhitungan-perhitungan yang tidak masuk akal, engkau pertaruhkan hartamu demi meraih yang lebih banyak dan

p: 179

pada akhirnya engkau akan kehilangan harta yang sudah ada di tangan. Di sini Imam Ali as memperingatkan kita untuk tidak bergantung pada angan-angan yang irasional sehingga ketamakan akan menarik kita pada perhitungan-perhitungan yang tidak terukur sehingga berakibat pada kerugian hilangnya modal. Akan tetapi pada kalimat kedua, beliau berkata: “Wattajiru mukhathir”; pertama, beliau hendak menjelaskan meskipun kita dilarang mempertaruhkan harta di tangan karena ketamakan, namun kita tetap harus berani mempertaruhkannya dengan perhitungan-perhitungan yang terukur dan rasional. Manusia harus siap menghadapi tantangan dan kegagalan, sebagaimana seorang pedagang seperti itu adanya.

Kedua, beliau hendak menjelaskan bahwa sifat perdagangan dan seluruh urusan duniawi memang menuntut kita untuk mempertaruhkan sebagian yang kita miliki demi meraih manfaat serta keuntungan yang lebih. Petani yang menebar benih di ladang dengan harapan meraih keuntungan di masa panen, pada hakikatnya telah mempertaruhkan modal dan tenaganya; karena boleh jadi dia akan mengalami gagal panen karena satu dan lain hal. Meskipun ia mengetahui adanya risiko

itu, dia tetap harus melakukannya, karena jika tidak maka tidak akan terjadi penanaman. Hal yang sama berlaku dalam perniagaan. Orang yang berdagang sudah memperhitungkan baik keuntungan maupun kerugian yang mungkin diterima, namun itulah perdagangan. Jika semua orang menghindar dari kerugian dalam perdagangan, tidak akan pernah terjadi perdagangan, dan kita semua akan kesulitan membeli sesuatu serta meraih manfaat darinya. Oleh sebab itu, menantang

bahaya dalam hal ini merupakan perbuatan yang terpuji, karena kemungkinan kerugian termasuk sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perdagangan, dan kenyataan ini dapat diterima berdasar pada perhitungan rasional. Akan tetapi, apabila perdagangan dilakukan tanpa perhitungan yang benar

p: 180

dan semata-mata hanya bersandar pada angan-angan serta ketamakan, maka menantang bahaya di sini menjadi sangat tercela. Karena perdagangan yang seperti ini, selain tidak akan mendatangkan keuntungan, justru akan mendatangkan kerugian yang besar. Kesimpulannya, menantang bahaya secara rasional, adalah perbuatan baik dan terpuji; sebaliknya, menantang bahaya tanpa perhitungan yang benar, adalah perbuatan buruk dan tercela. []

p: 181

p: 182

33-HUBUNGAN SOSIAL

Point

وَأَحْسِنِ الْبَذْلَ، وقُلْ لِلنَّاسِ حُسْنًا. وأیُّ کَلِمةِ حِکَم جَامِعَة أَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِکَ وَتَکْرَهُ لَهُمْ مَا تَکْرَهُ لَهَا. إِنَّکَ قَلَّ مَا تَسْلَمُ مِمَّنْ تَسَرَّعْتَ إِلَیْهِ، اَوْ تَنْدِمُ إِنْ تَتَفَضَّلَ عَلَیْهِ. وَاعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْکَرَمِ الوَفَاءُ بِالذَّمَمِ، وَالصُّدُودُ آیَةُ المَقْتِ وَکَثْرَةُ الْعِلَلِ آیَةُ الْبُخْلِ، وَلَبَعْضُ إِمْسَاکِکَ عَلَی أَخِیکَ مَعَ لَطُف خَیْرٌ مِنْ بَذْل مَعَ جَنَف، وَمِنَ الْکَرَم(1)صِلَةُ الرَّحِمِ وَمَنْ یَثِقُ بِکَ أوْ یَرْجُوصِلَتَکَ اِذَا قَطَعْتَ قِرَابَتَکَ؟ اَلتَّجَرُّمُ وَجْهُ الْقَطِیعَةِ(2)، إِحْمِلْ نَفْسَکَ مِنْ اَخِیکَ عِنْدَ صَرْمِهِ إیَّاکَ عَلَی الصِّلَةِ، وَعِنْدَ صُدُودِهِ عَلَی اللُّطْفِ وَالْمُقَارَبَةِ، وَعِنْدَ جُمُودِهِ عَلَی البَذْلِ وَعِنْدَ تَبَاعُدِهِ عَلَی الدُّنُوِّ، وَعِنْدَ شِدَّتِهِ عَلَی اللِّینِ، وَعِنْدَ جُرْمِهِ عَلَی الْعُذْرِ حَتَّی کَأَنَّکَ لَهُ عَبْدٌ وَکَأَنَّهُ ذُوالنِّعْمَةِ عَلَیْکَ، وَإِیَّاکَ أَنْ تَضَعَ ذلِکَ فِی غَیْرِ مَوْضِعِهِ، أَوْتَفْعَلَهُ بِغَیْرِ أَهْلِهِ.

Berdermalah dengan baik dan berbicaralah kepada orang dengan ucapan yang baik pula. Alangkah indahnya kalimat hikmah yang mencakup segala kebaikan (berikut ini): Sukailah bagi orang lain apa yang engkau sukai bagi dirimu sendiri, bencilah bagi mereka apa yang engkau benci bagi dirimu sendiri. Sedikit sekali kemungkinan selamatmu apabila engkau tergesa-gesa (dalam memperlakukan) seseorang dan sedikit sekali kemungkinan penyesalanmu apabila engkau berbuat baik kepada seseorang. Ketahuilah, menepati janji merupakan kemuliaan, sedangkan berpaling adalah tanda

p: 183

kebencian serta dendam. Banyak alasan adalah tanda kebakhilan. Menolak pemberian kepada saudaramu (seagama) disertai kelembutan lebih baik daripada memberi disertai sikap yang kasar. Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa; dan siapa yang akan percaya kepadamu atau berharap menyambung

hubungan silaturahmi denganmu apabila kamu memutus hubungan tali silaturahmi dengan kerabatmu sendiri. Bersikukuh pada perbuatan yang tidak baik akan menjadi sebab terputusnya tali silaturahmi. Apabila saudaramu berusaha memutuskan hubungan silaturahmi denganmu, paksalah dirimu untuk menyambungnya;

dan apabila dia berpaling darimu, jangan pernah berhenti untuk bersikap ramah terhadapnya; dan apabila dia menolak dan tidak mau berbagi denganmu, jangan berlaku bakhil terhadapnya; dan apabila dia berusaha menjauh darimu, maka berusahalah untuk mendekatinya; dan apabila dia berlaku kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya; apabila dia berbuat kesalahan, maka berbesarhatilah untuk memaafkannya. (Singkat kata), perlakukan saudaramu seakan dirimu adalah budaknya dan kesejahteraanmu ada di tangannya. Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.

Menurut pandangan akal sehat, hidup bermasyarakat merupakan suatu keharusan dan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Kekuatan yang mengajak manusia untuk hidup bermasyarakat, berikut tujuan serta alasan mengapa manusia menerima bentuk kehidupan yang seperti ini, juga mengajak manusia untuk menyusun sebuah format dan program yang mengatur hubungan antaranggota masyarakat demi teraihnya beragam tujuan serta harapan dari hubungan tersebut;

bila tidak ada format dan program tertentu, kehidupan bermasyarakat yang berjalan tanpa adanya undang-undang yang mengaturnya, tidak akan dapat memberikan manfaat sebagaimana yang diharapkan. Tidak ada manusia berakal yang mau menerima kehidupan bermasyarakat tanpa

p: 184

peraturan, dan sudah barang tentu mereka akan menghindar demi keselamatan diri dari efek negatifnya. Oleh sebab itu, satu-satunya bentuk kehidupan bermasyarakat yang bisa diterima dan didamba adalah sebuah kehidupan bermasyarakat yang bersandar pada serangkaian prinsip, undang-undang serta peraturan yang menjamin terwujudnya tujuan-tujuan mulia insani. Karena hidup bermasyarakat sepanjang sejarah kehidupan umat manusia adalah sebuah keharusan, selain juga merupakan tuntutan akal sehat, maka mau tidak mau harus dikaji serta dipelajari apa yang seharusnya menjadi dasar serta prinsip bagi bentuk kehidupan yang seperti ini dan apa saja yang dapat menguatkan serta menciptakan keharmonisan di dalamnya.

Peran Hubungan Sosial dalam Evolusi Serta Takamul

Manusia Tema bahasan wasiat yang disampaikan oleh Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as pada bagian ini, adalah masalah etika sosial dan hubungan antara manusia satu sama lain. Sudah menjadi keyakinan kita, apa saja yang telah Allah Swt ciptakan di alam semesta ini, tanpa sedikitpun diragukan, adalah nikmat bagi seluruh umat manusia. Tentu kita memiliki keterbatasan ilmu untuk memahami semua bentuk hubungan antara fenomena-fenomena alam satu

dengan lainnya secara sempurna. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, dari waktu ke waktu ilmu umat manusia bertambah dan mereka semakin memahami rahasia hubungan antarfenomena alam serta filosofinya. Sebagai misal, (dahulu) kita tidak memahami apa hubungan yang ada antara galaksi Bima Sakti dengan galaksi lain. Namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kita menyadari bahwa seluruh bagian alam semesta ini saling terkait dan

berhubungan dalam sebuah sistem yang luar biasa. Dalam pandangan pertama, boleh jadi kita mengira bahwa maujud-

p: 185

maujud di alam semesta ini satu terpisah dengan yang lain; namun perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan pencerahan bahwa bagian-bagian alam ini saling terkait dan saling berpengaruh. Sekarang telah terbukti bahwa fenomena-fenomena seperti terbitnya matahari, pergerakan planet-planet, terbit dan tenggelamnya bintang-bintang, jatuhnya meteor dan batu-batu langit, hembusan angin dan lain sebagainya, mempunyai pengaruh yang sangat penting pada maujud-maujud di bumi. Fenomena-fenomena langit dan bumi, tumbuhnya tanaman, berkembangbiaknya hewan-hewan dan pergerakan benda-benda langit seluruhnya saling berpengaruh. Hal ini terus berlangsung sementara manusia masih tidak mengetahui secara sempurna dan detail manfaat serta faedah dari berbagai macam fenomena yang ada. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan telah terbukti bahwa ada beberapa maujud yang selama ini dianggap berbahaya, merugikan dan harus dilenyapkan, justru berguna bagi kehidupan sosial dan individu, bahkan boleh jadi manusia dalam menjaga keselamatan jiwanya harus mengambil manfaat darinya. Sebagai contoh, kini telah diketahui bahwa beberapa jenis ular dan kalajengking sangat berguna untuk menjaga keselamatan jiwa manusia dan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan jenis-jenis hewan tersebut. Dengan kata lain, justru hewan-hewan yang sebelum ini dianggap berbahaya dan berusaha untuk disingkirkan, sekarang telah diketahui sangat berguna dan menjadi obat bagi penyakit-penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan.

Perkembangan ilmu pengetahuan telah menunjukkan bahwa binatang-binatang yang tampak sangat berbahaya dan merugikan ternyata mempunyai banyak sekali manfaat; pada hakikatnya mereka telah dicipta bukan sebagai pengganggu, namun sebagai sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat. Oleh sebab itu, kini telah diyakini bahwa pada seluruh alam semesta telah berlaku sebuah sistem terpadu dan kokoh yang

p: 186

di dalamnya setiap maujud berada di bawah payung sistem tersebut dan saling menyempurnakan. Perkembangan ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa tidak hanya manusia saja yang saling menyempurnakan, tetapi seluruh keberadaan di alam ini saling terkait, saling berpengaruh dan saling menyempurnakan.

Tentu di dalam kumpulan ini, manusia mempunyai perbedaan yang mendasar dengan makhluk-makhluk lain. Manfaat dan bahaya seluruh makhluk satu dengan yang lain bersifat natural dan takwini, berbeda halnya dengan bahaya serta manfaat manusia yang secara umum mengikuti kehendak dan kemauan manusia itu sendiri. Sebagaimana halnya perkembangan serta evolusi manusia dari sisi maknawi dan rohani itu mengikuti kehendak serta kemauannya sendiri, demikian pula halnya dengan manfaat manusia bagi manusia yang lain yang juga bergantung pada kehendak serta kemauannya. Oleh sebab itu, manusia mempunyai kemampuan penuh untuk mengemas hidupnya sehingga bermanfaat serta saling menguntungkan bagi sesama, sebagaimana dia juga dapat membuat hidupnya menjadi bencana serta malapetaka bagi manusia lainnya. Dengan kata lain, manusia bisa mengemas hidup menjadi saling menguntungkan antarsesama atau saling merugikan. Manusia setiap saat bisa mengubah bentuk hubungannya dengan sesama, sebagaimana dia juga dapat mengubah nikmat-nikmat Allah yang lain menjadi bencana. Di dalam al-Quran telah ditegaskan, Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah mengubah nikmat Allah dengan pengingkaran (kekufuran) dan menjatuhkan kaumnya pada lembah kebinasaan.(1)

Di antara sekalian makhluk yang ada di alam semesta ini, manusia mempunyai keistimewaan serta kekhususantersendiri, yaitu manfaat serta bahaya diri mereka terhadap sesama atau makhluk-makhluk yang lain bergantung pada

p: 187


1- 52 QS. Ibrahim (14]:28.

kehendak serta ketentuannya sendiri. Hal itu disebabkan Allah Swt telah menciptakan manusia dengan ikhtiar (free will), meskipun Allah Swt telah membimbing manusia agar mengikuti serta mencontoh para suri teladan yang diutus- Nya agar dapat menjadikan hidupnya selalu bermanfaat dan tidak merugikan yang lain. Sebagaimana telah mendapat perintah untuk menyembah serta mengabdi kepada Allah Swt, manusia juga dalam kehidupan sosial mendapat perintah untuk mengatur kehidupannya sedemikian rupa hingga bisa bermanfaat bagi selainnya. Lebih jelasnya, tujuan utama dan tertinggi dari konsep kehidupan sosial Islam adalah agar manusia bisa saling menyempurnakan dan saling memberikan manfaat serta keuntungan satu dengan yang lain. Dengan harapan agar mereka dapat semaksimal mungkin menggunakan nikmat-nikmat materi serta nonmateri Ilahi dalam rangka menyempurnakan serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

Dalam lingkungan yang baik, manusia dapat bertakamul dan melangkah di jalan penyempurnaan diri secara lebih cepat dan lebih baik. Akan tetapi, apabila manusia hidup dalam sebuah lingkungan yang saling bermusuhan dan tidak kondusif, ketika terjadi konflik di dalam keluarga, antartetangga, antarkota dan lain sebagainya, maka sudah barang tentu manusia akan sulit menyempurna dalam situasi dan kondisi yang seperti itu. Dalam situasi perang dan konflikseperti di atas, seluruh energi dan potensi akan terkuras untuk menghadapi perseteruan serta penyelesaiannya, dan tidak tersisa lagi kesempatan bagi manusia untuk berpikir tentang

tujuan-tujuan hidup yang ideal. Bahkan boleh jadi manusia akan mengalami kemunduran yang luar biasa. Oleh sebab itu, kehidupan bermasyarakat harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat tercipta suasana yang tenteram, teratur, penuh keadilan dan saling menghormati serta menghargai

p: 188

antarsesama, sehingga manusia dapat melangkah menuju kesempurnaan serta evolusi yang positif. Kendatipun Allah Swt telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga manusia tetap mampu mengambil keputusan yang terbaik dalam situasi dan kondisi yang terburuk, namun hal itu tidaklah mudah dan tidak semua

manusia mampu bertahan dalam situasi dan kondisi yang sangat buruk. Pada situasi dan kondisi apa pun manusia dapat melangkah menuju Allah Swt serta menjalankan apa yang menjadi tugas serta kewajibannya. Akan tetapi, hal itu tidak mudah dan tidak banyak orang yang mampu bertahan dalam memegang kendali diri dan tidak terpengaruh dalam situasi yang tidak kondusif. Mungkin hanya beberapa gelintir manusia saja yang tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi

yang buruk dalam melakukan perjalanan takamul maknawi.

Prinsip Umum dalam Berbagai Hubungan Sosial

Apabila semua manusia menginginkan situasi dan kondisi yang kondusif dalam berkembang, mereka harus membangun hubungan yang sehat dan baik antarsesama. Hubungan yang seperti itu hanya dapat terwujud apabila asas kehidupan bermasyarakat berdasar pada kasih sayang, ketulusan dan kesantunan. Namun apabila kehidupan bermasyarakat dibangun di atas dasar kebencian, kedengkian, dendam, permusuhan, tipu daya dan egoism, masyarakat seperti itu

tidak akan pernah mengecap kehidupan yang damai dan tenteram. Masyarakat seperti itu tidak akan dapat melangkah menuju kesempurnaan maknawi. Semakin banyak cinta serta kasih sayang di antara individu masyarakat, maka masyarakat itu akan semakin membaik dan berpotensi besar untuk terus maju dan berkembang. Sebaliknya, semakin banyak dendam, permusuhan dan egoisme di antara individu masyarakat, maka masyarakat itu akan semakin jauh dari kebaikan serta kemaslahatan, dan sangat sulit untuk melangkah maju dalam

p: 189

proses takamul maknawi (baca: kesempurnaan rohani). Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat dapat menuju kebahagiaan serta kemajuan apabila berdasar pada kasih sayang yang tulus antarindividunya. Oleh sebab itu, seluruh nilai etika sosial Islam berdasar serta berakar pada hubungan yang penuh ketulusan, cinta serta kepedulian antarsesama. Sebelum ini telah disebutkan sebuah prinsip umum dan universal yang oleh Imam Ali as diberi predikat sebagai sebaik-baik kalimat hikmah yang bersifat komprehensif. Sebagaimana beliau as tegaskan, “Dan alangkah indahnya kalimat hikmah yang mencakup segala kebaikan (berikut ini): Sukailah bagi orang lain apa yang engkau sukai bagi dirimu sendiri; dan bencilah bagi mereka apa yang engkau benci bagi dirimu sendiri.” Perlakukan orang lain sebagaimana engkau memperlakukan dirimu dan jadikanlah dirimu pada posisi orang lain. Dalam segala bentuk dan tingkat hubungan antarmanusia, terdapat satu neraca yang dapat membuat hubungan menjadi hubungan yang sangat ideal dan berkualitas tinggi, yaitu “jadikanlah dirimu sebagai orang lain dan orang lain sebagi dirimu!" Dalam bentuk seperti itulah hubungan antarmanusia akan menjadi begitu indah, sehat dan sempurna. Semua individu masyarakat harus berpegang teguh pada prinsip ini dalam berbagai macam hubungan yang mereka jalin, seperti hubungan antara suami dan istri, orang tua dan anak, antartetangga, antarteman dan

seterusnya.

Apabila dalam lingkungan keluarga, Anda hendak mengetahui apa yang seharusnya Anda lakukan terhadap pasangan, anak, ayah atau ibu, maka Anda tinggal

membayangkan apabila diri Anda berada di tempat mereka dan mereka berada di posisi Anda, perlakuan seperti apa yang sebenarnya ingin Anda dapatkan dari mereka. Nah, dengan membayangkan diri berada pada posisi mereka, maka Anda dengan baik dapat memahami perlakuan apa yang seharusnya

p: 190

Anda berikan kepada mereka. Dengan demikian, apabila kita menginginkan sebuah prinsip umum dan komprehensif yang dapat menjadi neraca yang kuat dalam menjalin hubungan yang ideal dan bagaimana kita seharusnya memperlakukan orang lain, maka langkah yang kita ambil adalah dengan memosisikan diri kita pada posisi orang lain, sehingga dengan begitu kita dapat memahami apa yang seharusnya kita lakukan terhadap mereka; kita akan dengan mudah mengetahui

perlakuan seperti apa yang baik dan perlakuan seperti apa yang buruk.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, prinsip dan neraca ini dapat berlaku pada segala bentuk hubungan antarmanusia, seperti hunbungan antara orang tua dan anak, suami istri, antarsaudara, antartetangga dan seterusnya. Sebagai misal dalam hubungan antara orang tua dan anak. Apabila seorang ayah tidak mengetahui apa yang harus dia lakukan terhadap anaknya, maka si ayah tinggal memosisikan dirinya sebagai anak dan mulai berpikir, kira-kira perlakuan

apa yang saya inginkan sebagai seorang anak dari ayahnya. Nah, apabila dia telah menemukan sebuah perlakuan yang sesuai, perlakuan itulah yang harus dia terapkan kepada anaknya. Demikian pula halnya perlakuan terhadap tetangga; apabila Anda mempunyai tetangga dan Anda sedang mencari perlakuan yang benar dan baik terhadap tetangga, maka Anda harus memosisikan diri Anda sebagai tetangga dan perlakuan seperti apa yang Anda inginkan dari tetangga Anda. Nah, bila Anda telah menemukan suatu perlakuan yang menurut Anda baik, perlakukanlah tetangga tersebut dengan apa yang Anda sukai bila Anda berada di posisinya. Singkat kata, perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan oleh mereka. Prinsip ini bisa diterapkan di mana saja dan kapan saja, dan oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip yang lebih komprehensif berkaitan dengan hubungan sosial serta etikanya daripada prinsip ini.

p: 191

Menurut sebagian riwayat, konsep perilaku yang seperti ini dikategorikan dalam hak-hak antarmuslim dan mukmin. Ada juga beberapa penjelasan seputar prinsip etika ini. Dalam sebuah riwayat Imam Ja'far Shadiq as berkata, “Hak seorang muslim atas muslim yang lain adalah (masing-masing) menginginkan kebaikan bagi yang lain.”(1) Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Hak seorang mukmin atas mukmin yang lain adalah memperlakukan sauadaranya sebagaimana dia suka untuk diperlakukan seperti itu.(2) Atau dalam riwayat lain ditegaskan: “Setiap muslim bertanggung jawab untuk memperlakukan muslim yang lain dengan perlakuan yang dia sendiri suka diperlakukan seperti itu.” Bentuk lebih umumnya adalah agar setiap manusia memperlakukan orang lain sebagaimana dia suka diperlakukan seperti itu. Hal ini disebabkan hubungan antara manusia satu dengan yang lain mempunyai tingkatan yang berbeda- beda. Salah satu tingkatannya adalah hubungan antarsesama mukmin yang menuntut level tertentu dari perhatian dan cinta. Demikian pula halnya hubungan antarsesama muslim yang berada sedikit di bawah level hubungan antarsesama mukmin. Selanjutnya adalah hubungan antar sesama manusia yang bersifat lebih luas daripada hubungan antarmukmin dan antarmuslim. Namun, pada kesemuanya tetap harus berlaku kaidah umum etika sosial, yakni bagaimana kita perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan seperti itu. Dengan kata lain, kita harus memosisikan diri kita di posisi orang lain sehingga kita mengetahui bagaimana seharusnya perlakuan kita terhadap orang lain.

p: 192


1- 53 Kulaini, Al-Kafi, jil.2, hal. 171.
2- 54 Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.7, hal.238.

Nah, kini setelah kita memosisikan diri kita pada posisi orang lain, lalu sejauh apa kita harus menunjukkan rasa peduli dan kecintaan terhadapnya. Tentu, kepedulian dan kecintaan kita terhadap orang-orang yang menjalin hubungan sosial dengan kita tidak dapat di samaratakan secara menyeluruh. Pertanyaannya adalah, sejauh apa kita perlakukan dia sebagaimana kita ingin diperlakukan olehnya? Apa yang dapat menjadi neraca serta ukurannya? Ukurannya adalah sejauh apa hubungan kita dengannya. Artinya semakin kuat dan dalam jalinan serta hubungan kita dengan seseorang, maka semakin kuat dan dalam pula kecintaan serta kepedulian kita terhadapnya. Sebagai misal, apabila kita berhubungan dengan seorang muslim, kepedulian kita akan berlipat ganda dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Sedangkan bila kita berhubungan dengan seorang mukmin, kepedulian kita akan menjadi lebih meningkat lagi. Apabila seorang mukmin itu adalah tetangga kita, kepedulian akan lebih tinggi lagi. Demikian halnya apabila orang mukmin itu adalah orang tua kita, maka kepedulian akan semakin meningkat lagi dan begitulah seterusnya. Dengan demikian, sesuatu yang menjadi neraca dan ukuran bukanlah satu poin tertentu, karena boleh jadi ada banyak sisi, tingkatan dan unsur yang terlibat di dalam hubungan antra manusia. Dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as berkata, “Sedikit sekali kemungkinan selamatmu apabila kamu tergesa-gesa (dalam memperlakukan seseorang; dan sedikit sekali kemungkinan penyesalanmu apabila kamu berbuat baik kepada seseorang." Pada bagian ini beliau hendak menjelaskan bahwa tidak semua hubungan yang terjadi antara kita dengan orang lain itu selalu menyenangkan. Bila ditanyakan apakah manusia berhak untuk

tidak suka dengan perlakuan orang lain atau tidak berhak (dan bolehkah seseorang mengekspresikan ketidaksukaannya atas perlakuan orang lain), tentu membutuhkan penjelasan yang

p: 193

panjang lebar dan bukan di sini tempatnya. Yang menjadi topik di sini adalah apabila seseorang hanya karena tidak suka atau tidak puas dengan perlakuan yang dia terima dari orang lain lalu dia memberikan reaksi yang keras dan kasar tanpa perhitungan yang matang, maka dapat dipastikan orang tersebut tidak menjalankan prinsip umum etika sosial di atas; karena yang dituntut adalah agar dia memperlakukan orang lain sebagaimana dia suka diperlakukan oleh orang lain.

Pertanyaannya adalah apabila Anda berada di posisi orang tersebut, apakah Anda mau diperlakukan kasar secara tergesa-gesa tanpa penelitian lebih jauh? Atau Anda ingin agar mereka bersabar dan melakukan penelitian lebih jauh sehingga dapat memberikan sikap yang sepantasnya Anda terima? Boleh jadi, setelah berlalunya waktu, kita baru menyadari bahwa sikap kita seharusnya lebih lembut dan lebih lunak, dan tidak kasar seperti yang telah terjadi. Nah, apabila sikap kita bertentangan dengan prinsip umum etika di atas dan kita telah memperlakukan orang lain dengan sikap yang kasar tanpa tabayyun, dan kita telah memperlakukannya dengan perlakuan yang tidak terukur dan terkontrol, apakah kita masih berharap bahwa perlakuan kita yang keliru akan memberikan hasil dan dampak yang positif? Sangat jarang, perlakuan serta penyikapan yang tidak terukur akan berakhir dengan sesuatu yang baik dan tidak merugikan. Pada umumnya, perlakuan dan penyikapan yang salah justru akan mendatangkan dampak serta akibat yang sangat berbahaya dan merugikan. Akan tetapi, apabila kita menghadapi perlakuan yang tidak baik dengan kepala dingin serta penyikapan yang bijak, maka boleh jadi si pelaku akan menyadari kesalahan, menyesal dan memohon maaf kepada kita, dan dia akan meninggalkan perbuatan buruknya.

Pada umumnya, dalam masalah-masalah seperti ini penyikapan dengan “memberikan balasan yang setimpal tidak

p:100

p: 194

akan efektif dalam menyadarkan si pelaku keburukan. Boleh jadi reaksi keras dan tidak terukur kita, justru akan membuat si pelaku keburukan bertambah liar, melawan dan semakin bersemangat dalam keburukannya (lajajah). Penyikapan yang tepat dan berjiwa besar atas pelaku keburukan, besar kemungkinan akan membuatnya malu dan menyesali perbuatan buruknya.

Tanda Kebakhilan

Dalam kehidupan sosial dan bermasyarakat sering kali terjadi hubungan antara dua pihak dalam sebuah kesepakatan dan masing-masing pihak berkewajiban untuk

menunaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini dalam istilah fikih biasa disebut dengan ikatan akad. Tak diragukan, dalam ikatan akad masing-masing pihak berkewajiban untuk melakukan apa yang telah menjadi kesepakatan. Di dalam al-Quran telah ditegaskan: Awfu bi al-'uqud, yakni tunaikan dan penuhilah apa yang telah tertuang dalam akad-akad.(1) Akan tetapi, adakalanya tanggung jawab itu hanya dipikul oleh salah satu pihak saja. Misalnya, seseorang yang menampilkan dirinya sebagai penjamin sesuatu kepada seseorang, seperti apabila dia menjadikan dirinya sebagai penjamin sebuah utang- piutang atau cek giro dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tanggung jawab hanya dipikul oleh satu pihak saja, karena bukan merupakan sebuah akad antara dua pihak dan tidak memerlukan proses ijab-kabul. Dengan kata lain, orang tersebut telah menunjukkan sebuah kedermawanan dan kebesaran jiwa dengan menjadikan dirinya sebagai penjamin dan penanggung jawab bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Sudah barang tentu orang seperti ini berdasar pada kemuliaan serta kebesaran jiwanya tidak akan mangkir dan berpaling dari apa yang telah diucapkannya.

p: 195


1- 55 QS. al-Maidah [5]:1.

Dalam hubungan sosial juga ditemukan hubungan antarteman dan karib, sehingga seseorang berdasarkan ikatan pertemanan meminta dan memohon sesuatu kepada temannya dalam bentuk pemberian tanpa ada syarat tertentu. Tentu apabila ikatan pertemanan itu benar-benar ada, maka seseorang akan dengan mudah memberikan apa yang menjadi permintaan serta keinginan temannya tanpa sedikitpun perasaan berat hati. Namun, apabila yang terjadi adalah penolakan dan pengungkapan berbagai macam alasan untuk tidak memberi, maka dapat dipastikan bahwa antara keduanya tidak ada ikatan pertemanan yang sebenar-benar pertemanan. Boleh jadi penolakan dengan menderetkan segudang alasan itu adalah pertanda bahwa si fulan adalah sosok yang bersifat bakhil dan kikir. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, ”Dan berpaling adalah tanda kebencian serta dendam. Banyak alasan (untuk menolak) adalah tanda kebakhilan.”

Apabila seseorang datang kepadamu dan mengharapkan sesuatu darimu, jangan biarkan dia pulang dengan tangan hampa, karena orang dermawan dan murah hati tidak akan pernah mengecewakan pemintanya. Bahkan, seandainya pun Anda bukan orang yang dermawan dan murah hati, maka setidaknya tanggung jawab kemanusiaan dan pertemanan menuntut Anda untuk memberikan perhatian dan memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang dengan

beragam alasan menolak permintaan temannya, sesungguh dia telah memutus hubungan pertemanan. Bagaimanapun juga, merangkai alasan untuk menolak

permintaan seorang teman adalah tanda kebakhilan. (Setelah menderetkan beragam alasan) orang bakhil akan berkata, “Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu.” (Sebenarnya si bakhil bukan tidak bisa, namun dia tidak ingin untuk mengabulkan permintaanmu). Mungkin Anda pernah mendengar metafora

berikut.

p: 196

Ada seorang bakhil hidup di tempat yang jauh dari para sahabat dan karib kerabatnya. Suatu hari tetangganya meminta pertolongan kepadanya dan berkata, “Izinkan kami untuk menjemur pakaian pada tali jemuranmu.” Si bakhil kemudian menjawab, “Kami sedang menjemur gandum di atasnya." Padahal tidak mungkin gandum dijemur di atas tali, itu hanya alasan yang dibuat untuk tidak meminjamkan tali jemuran. Ketika seseorang sudah tidak mau untuk melakukan sesuatu, maka dia akan mencari seribu macam alasan. Apabila Anda menyaksikan seseorang yang dalam melakukan sebuah pekerjaan atau menjawab permintaan orang lain secara terus menerus mengemukakan berbagai macam alasan, pastikan bahwa dia adalah orang yang bakhil dan dia tidak mau melakukan pekerjaan tersebut. Apabila dia bukan orang bakhil, dia tidak akan merangkai alasan dan mempersulit perkara, tetapi dengan kebesaran jiwa dia akan segera melakukan pekerjaan itu atau memberikan apa yang menjadi kebutuhan orang miskin dengan lapang dada dan hati yang terbuka tanpa menunda-nundanya. Orang yang tidak bakhil suka sekali dan senang untuk bisa berkhidmat dan membantu orang lain.

Prinsip Berbagi dan Berderma

Berbagai kegiatan ekonomi sosial, seperti berbagi, menyantuni dan berderma merupakan sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan sebuah rumusan universal dan komprehensif, yang dengan menjaga satu pesan etika ini dapat terwujud sebuah kehidupan sosial yang berdasar pada kepedulian serta kasih sayang. Rumusan itu adalah: "Meninggalkan segala macam bentuk pemberian dan derma yang disertai pengundatan, penganiayaan, cacian dan penghinaan.” Apabila kita selesai mengapresiasi rumusan etika di atas dari sisi sosial dan kita mulai memandangnya dari

p: 197

sudut pandang yang lain, rumusan tersebut sebenarnya dapat menjadi dasar bagi setiap kegiatan ekonomi yang baik.Beliau menegaskan, “Menolak pemberian kepada saudaramu (seagama) disertai kelembutan lebih baik daripada memberi disertai sikap yang kasar." Meskipun santunan dan derma merupakan perbuatan yang sangat terpuji dan berguna dalam mempererat hubungan kemasyarakatan, namun tidak adanya pemberian dan derma bisa lebih baik apabila pemberian dan derma itu disertai dengan kasar dan melukai perasaan si penerima santunan. Banyak sekali orang yang berderma dan memberikan santunan, namun perbuatan baik itu mereka nodai dengan penganiayaan dan pengundatan. Dengan begitu, maka perbuatan yang baik dan mulia itu serta merta berubah menjadi keburukan. Dalam kaitan ini Allah Swt telah memberikan rambu-rambu, “La tubthilu shadaqatikum bi al- manni wa al-adza, yakni: “Janganlah kalian rusak (pahala) sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya (pengundatan) serta menyakiti (perasaan si penerima)."(1)

Dengan demikian, tidak memberi santunan dan tidak berderma akan jauh lebih baik daripada berderma dan menyantuni dengan sikap yang kasar dan tidak menjaga

perasaan si penerima. Tak sedikitpun diragukan bahwa demi terjaga serta kokohnya hubungan antarmanusia dan lebih khusus lagi antara sesama mukmin, manusia harus saling menolong dan saling berderma, namun derma dan santunan itu harus bersih dari pengundatan serta perbuatan yang dapat menyakiti atau melukai perasaan si penerima santunan. Karena jika tidak begitu, maka tidak berderma dan tidak memberi dengan kelembutan akan jauh lebih baik daripada berderma dan memberi yang disertai kekasaran serta ketidaklembutan. Penting untuk diperhatikan, dalam berderma dan memberikan santunan, karib kerabat dan orang-orang

p: 198


1- 56 QS. al-Baqarah [2]:264.

terdekat harus diutamakan daripada yang lain. Salah satu dari perintah serta anjuran penting dalam Islam adalah menyambung tali silaturahmi dengan karib kerabat yang mempunyai pengaruh sangat penting dalam mengukuhkan hubungan sosial, dan termasuk di dalamnya adalah pemberian santunan serta bantuan kepada mereka. Namun patut disayangkan, kegiatan sosial ini sering terabaikan dan terlupakan, padahal bantuan dan santunan dapat memperkuat hubungan sosial dan kekerabatan. Urgensi dan manfaat dari jalinan sosial yang seperti ini harus secara terus menerus didengungkan dan dibicarakan, sehingga dapat menyadarkan

serta memotivasi masyarakat untuk saling berbuat baik dan berderma. Lebih daripada itu, perlu juga diingatkan bahwa memutus hubungan silaturahmi merupakan salah satu dari dosa-dosa besar. Bahkan, dalam situasi dan kondisi tertentu menyambung tali silaturahmi menjadi wajib hukumnya.

Jelas sekali, seluruh kerabat tidaklah sama dalam hal perhatian; tentu yang lebih dekat lebih berhak untuk mendapatkan perhatian dan santunan. Di antara yang dekat, tentu yang membutuhkan santunan lebih berhak untuk mendapatkan perhatian. Karib kerabat yang kaya seharusnya memberikan perhatian yang lebih pada karib kerabat yang miskin, sementara karib kerabat yang miskin juga jangan memutus hubungan silaturahmi dengan karib kerabat yang kaya. Tidak seharusnya karib kerabat yang miskin berkata demikian, “Mereka yang kaya tidak perlu kepada kami dan bila kami mendatangi mereka, pasti mereka akan berpikir bahwa kami

datang untuk menerima santunan dari mereka.” Hubungan silaturahmi tidak boleh terputus dengan alasan apa pun. Silaturahmi harus terus dijaga meskipun

hanya untuk menyapa serta menanyakan keadaan keluarga. Tentu, silaturahmi tidak boleh dilakukan dengan menjual atau menginjak-injak kemuliaan serta harga diri. Karena

p: 199

silaturahmi yang berakhir dengan menginjak-injak kehormatan diri bukanlah silaturahmi. Nuansa silaturahmi haruslah nunsa yang saling menghormati, saling menghargai dan saling berbagi hadiah. Tentu, silaturahmi tidak sama persis dengan membantu fakir dan miskin, karena membantu orang-orang fakir adalah tema yang berbeda dan mempunyai syarat-syaratnya sendiri. Dengan pemahaman seperti itu, tidak seharusnya karib kerabat yang miskin memutus hubungan silaturahmi dengan karib kerabat yang kaya; karena tujuan utama silaturahmi adalah memperkuat serta memperkokoh ikatan kekeluargaan dan bukan memberi atau

meminta santunan. Silaturahmi juga dapat mengurai serta menyelesaikan berbagai kesalahpahaman di antara keluarga. Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata, “Minal karami shilaturrahmi. Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa dan bagian dari kedermawanan.”

Dalam lanjutan wasiatnya, beliau menyinggung tentang akibat buruk dari memutus hubungan silaturahmi seraya berkata, “Menyambung tali silaturahmi merupakan kebesaran jiwa; dan siapa yang akan percaya kepadamu atau berharap menyambung hubungan silaturahmi denganmu apabila kamu memutus hubungan

tali silaturahmi dengan kerabatmu sendiri." Apabila Anda telah memutus hubungan silaturahmi dengan keluarga Anda sendiri, lalu siapa yang akan berharap

untuk menjalin hubungan silaturahmi dengan Anda? Siapa lagi yang masih berharap pada pertolongan Anda? Orang- orang akan berkata bahwa si fulan telah memutus hubungan silaturahmi dengan keluarga dan karib kerabatnya dan tidak peduli kepada mereka, tentu nasib kita sudah sangat jelas, karena kita bukan karib kerabatnya. Ketika seseorang berlaku kasar kepada keponakan, sepupu dan karib kerabat yang lain, maka orang lain akan menilai bahwa orang tersebut akan

berlaku lebih kasar lagi kepada selain kerabatnya. Hubungan

p: 200

di antara orang-orang mukmin harus dijalin sedemikian rupa sehingga apabila ada yang mempunyai kebutuhan, dapat dengan tenang menyampaikan kebutuhannya kepada saudara seimannya dan dia yakin bahwa si saudara pasti akan membantunya.

Tentu permasalahan saling membantu di antara mukminin tidak bertentangan dengan menjaga kehormatan serta kemuliaan diri. Memang kemuliaan serta kehormatan diri menuntut seseorang untuk tidak menunjukkan apa yang menjadi kebutuhannya kepada orang lain dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Namun hal ini juga tidak berarti bahwa orang-orang yang berkelebihan tidak boleh membantu mereka yang membutuhkan. Dengan demikian, dua anjuran

Ilahi ini satu sama lain tidak saling bertentangan, namun justru saling menyempurnakan dan keduanya dapat menjadi solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan sosial.

Lebih daripada itu, terdapat satu perbuatan baik lainnya yang dapat mempertemukan dua anjuran etika di atas. Yaitu, dianjurkan agar orang-orang mampu dalam rangka membantu serta menyantuni orang-orang yang tidak mampu-hendaknya mengawali dengan meminta bantuan mereka dalam hal-hal yang sederhana, sehingga hal itu akan menjadikan orang-orang yang tidak mampu dapat menjalin komunikasi dan memaparkan apa yang menjadi kendala serta kebutuhannya. Dengan kata lain, orang-orang yang mampu meminta bantuan kepada orang-orang miskin dalam hal-hal yang sederhana, sehingga terbuka jalan bagi orang-orang

yang tidak mampu untuk meminta bantuan kepada orang-orang mampu dalam hal-hal yang bersifat pokok dan urgen.

Di samping itu, jangan pula dilupakan bahwa Allah Swt sangat senang kepada orang-orang yang bertawakal kepada-Nya, namun pada saat yang sama mereka memenuhi kebutuhannya melalui sebab-sebab yang diridai-Nya. Dan di antara sebab-

p: 201

sebab itu adalah meminta bantuan orang lain dengan tetap menjaga ketawakalan serta kehormatan dan kemuliaan orang lain.

Pada hakikatnya, hubungan-hubungan antarmasyarakat dan antarkelompok adalah sebuah jalan yang telah Allah wujudkan agar umat manusia dapat menjalin hubungan yang sehat antarsesama dalam menjamin kebutuhan-kebutahan syar'i-nya. Hubungan-hubungan ini mempunyai bentuk, cara dan tingkatan yang tersendiri dan itu semua harus dijaga agar hubungan tetap berjalan dengan baik. Salah satu contoh dari hubungan yang tidak sehat antaranggota masyarakat

adalah apabila masing-masing anggota masyarakat lebih mendahulukan meminta bantuan kepada orang asing daripada meminta bantuan kepada sesama anggota masyarakat atau orang terdekatnya. Tentu hubungan yang seperti ini adalah hubungan yang sangat tidak sehat dan tidak terpuji. Perilaku individu-individu dalam sebuah masyarakat Islam yang sehat harus terjalin sedemikian rupa sehingga dalam situasi krisis, mereka bisa saling bantu dan saling tolong. Sebagai misal,

hubungan antartetangga harus terjalin sedemikian rupa sehingga mereka dapat saling menolong dan bahu-membahu dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan berdasar pada cinta dan kasih sayang. Oleh sebab itu, hubungan sosial harus terjalin sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota masyarakat saling menolong dengan penuh suka cita serta ketulusan. Apabila perilaku individu masyarakat tidak berdasar pada cinta dan ketulusan, dan hubungan sosial kemasyarakatan juga jauh dari ketulusan dan kasih sayang, maka masing-masing anggota masyarakat tidak akan tertarik untuk merujuk kepada yang lain dalam kebutuhannya. Bagaimanapun juga, dengan menjaga rambu-rambu Islam yang menuntut manusia untuk menjaga harkat dan martabat diri, kita tetap tidak boleh berpaling dari memohon

p: 202

bantuan kepada sesama muslim dalam berbagai kebutuhan yang ada. Namun dari sisi lain, apabila kita diberi kelebihan serta keluasan rezeki, kita harus mempersiapkan diri untuk menolong orang lain dan berbuat sedemikian rupa sehingga mereka yang berkebutuhan tidak sungkan dan segan untuk meminta bantuan kita. Dan, semua bentuk hubungan sosial ini akan sangat bergantung pada sejauh apa ketulusan serta kasih sayang para pelakunya.

Perlu diperhatikan, hubungan saling menolong yang harmonis ini harus lebih memerhatikan karib kerabat terdekat, karena apabila mereka kurang mendapat perhatian, maka kita akan mendapat kecaman dan celaan. Lebih daripada itu, apabila kita tidak peduli dengan kerabat terdekat, maka orang lain tidak akan pernah berharap kepada bantuan kita. Jika kita tidak peduli kepada karib kerabat terdekat, orang lain tidak sedikit pun akan percaya kepada kita, karena dalam pemikiran

mereka akan terukir: Bila keluarga terdekatnya saja tidak dia pedulikan, maka bagaimana dengan kami yang bukan siapa-siapanya.

Hal-Hal yang Dapat Merusak Hubungan Sosial yang Sehat

Pada bagian wasiat ini terdapat sedikit perbedaan lafaz yang sampai dari Imam Ali as. Di dalam kitab berharga Bihar al-Anwar terekam: Al-tajarrum wajhul gathi'ah, sementara dalam naskah yang lain terekam: Al-tahrimu wajhul qathi’ah. Oleh sebab itu, kita menghadapi sedikit kerancuan dalam menjelaskan maksud dari kalimat-kalimat tersebut. Al-tahrim, berarti melarang, mencegah dan menghalangi; sementara al-tajarrum, berarti perbuatan buruk yang dilakukan secara

terus-menerus. Dengan memerhatikan dua lafaz yang berbeda ini, maka kalimat Imam Ali as dapat dimaknai sebagai berikut. Menolak permintaan atau menyakiti orang lain secara terus menerus akan mengakibatkan putusnya hubungan

p: 203

silaturahmi. Apabila ada yang bertanya, apa yang menjadi sebab terputusnya hubungan antarmanusia? Jawabannya adalah menolak permintaan atau suka menyakiti orang lain akan mengakibatkan terputusnya hubungan antarmanusia. Dengan kata lain, apabila engkau menolak orang yang datang kepadamu untuk meminta bantuan atau engkau memperlakukan orang lain dengan perilaku yang buruk secara terus menerus, maka hal itu dapat merusak hubunganmu dengan mereka. Perlahan tapi pasti, kehangatan hubunganmu dengan orang-orang itu akan pudar dan sirna. Perlu digarisbawahi, makna kalimat di atas belumlah pasti dan makna yang diberikan hanyalah sebatas dugaan dan kemungkinan. Boleh jadi lafaz yang sesùngguhnya bukan al-tahrim ataupun al-tajarrum, namun sesuatu yang lain. Akan tetapi, bersandar pada qarinah lafaz-lafaz sebelumnya, seperti lafaz al-takarrum, maka besar kemungkinan yang benar adalah lafaz al-tajarrum karena ber-wazan sama. Alhasil, dengan memerhatikan perbedaan lafaz yang ada, dapat dikatakan bahwa penyebab rusaknya hubungan sosial adalah penolakan

atas permintaan atau perbuatan buruk yang terus berulang. Sebab lain yang dapat merusak hubungan sosial adalah tindakan-tindakan yang bermuara pada kebencian dan balas dendam, yang beliau singgung pada bagian-bagian berikut dari wasiatnya. Seperti apa yang beliau tegaskan, “Apabila saudaramu berusaha memutuskan hubungan silaturahmi denganmu, paksalah dirimu untuk menyambungnya; apabila dia berpaling darimu, jangan pernah berhenti untuk bersikap ramah terhadapnya; apabila dia menolak dan tidak mau berbagi denganmu, jangan berlaku bakhil terhadapnya; apabila dia berusaha menjauh darimu, berusahalah mendekatinya; apabila dia berlaku kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya; apabila dia berbuat kesalahan, berbesarhatilah untuk memaafkannya.”

p: 204

Dalam menjaga hubungan silaturahmi, Imam Ali as berpesan, “Janganlah engkau balas perbuatan buruk dengan keburukan yang sama. Apabila ada di antara temanmu yang berbuat tidak baik terhadapmu dan melupakan pertemanan, tugasmu adalah membalasnya dengan kebaikan agar dia tersadar bahwa engkau adalah teman dan karibnya. Apabila dia berusaha memutuskan hubungan denganmu, berusahalah untuk tetap menyambungnya. Apabila dia tidak pernah mendatangimu, datangilah dia. Jangan pernah engkau berkata, ‘Karena dia tidak mau mendatangiku, akupun tidak akan mendatanginya.' Apabila dia berusaha mencegah sampainya

kebaikan kepadamu, engkau harus tetap menyampaikan kebaikan dan bersikap ramah kepadanya. Apabila dia menolak untuk memberikan sesuatu kepadamu, tetaplah bersikap dermawan terhadapnya. Apabila dia berusaha menjauh dan menghindar darimu dengan segala cara, engkau pun harus berusaha dengan segala cara untuk mendekatinya. Apabila dia bersikap kasar terhadapmu, tetaplah bersikap lembut kepadanya. Apabila dia secara terus menerus berbuat buruk

kepadamu, jangan pernah lelah untuk mencarikan alasan atas perbuatan buruknya; seperti engkau mengatakan pada dirimu: Mungkin dia terpaksa melakukan ini, atau dia tidak bermaksud seperti itu, atau dia tidak sengaja, atau dia tidak menyadari apa yang sedang dilakukannya, dan lain sebagainya, rajutlah seribu alasan untuk menyelamatkan dirinya dalam hatimu."" Dalam lanjutan wasiatnya, beliau memerintahkan kepada kita suatu perkara yang tidak mudah untuk dilaksanakan,

beliau berkata, “(Singkat kata), perlakukan saudaramu seakan dirimu adalah budaknya dan kesejahteraanmu ada di tangannya.” Imam Ali as memerintah kita untuk memperlakukan orang lain seakan kita ini adalah budaknya. Kalimat Imam Ali as ini telah dengan tegas menggambarkan sejauh apa hubungan sosial yang diinginkan oleh Islam. Hubungan sosial di dalam Islam sedemikian pentingnya sehingga kita diperintah untuk

p: 205

menjadikan diri kita seakan budak orang lain, apalagi apabila berkaitan dengan hubungan sesama muslim dan mukmin. Imam Ali as hendak mengajarkan kepada kita sebuah perkhidmatan yang muncul dari ketulusan jiwa sehingga kita tidak berharap balasan dan imbalan dari orang lain; justru kita diminta untuk menilai orang lain sebagai tuan dan pemilik diri kita. Kita diminta untuk bersabar, meskipun kita telah mendapatkan perlakuan buruk secara berulang kali. Psikologi hubungan

pertemanan yang seperti ini akan membuat kita siap terhadap berbagai macam bentuk perlakuan yang mungkin kita terima, dan dengan balasan kebaikan, maka besar kemungkinan si pelaku keburukan akan mengubah sikapnya. Sebaliknya, apabila sebuah perlakukan buruk langsung kita balas dengan perlakuan buruk yang sama, maka dapat dipastikan hubungan pertemanan akan hancur dan berubah menjadi permusuhan dan dendam yang sulit dipadamkan.

Manusia sering lupa dan keliru, karena apabila dia membalas setiap perlakuan buruk dengan perlakuan buruk, maka semua yang ada di jagad ini akan menjadi musuhnya. Dalam rangka menjaga hubungan pertemanan, apalagi hubungan pertemanan dan persaudaraan di antara muslimin, masing-masing kita berkewajiban untuk berkhidmat kepada teman dan setiap orang. Dengan begitu, perlakuan buruk apa saja yang mereka perbuat terhadapmu, engkau hanya berpikir bahwa “saya mempunyai kewajiban, dan kewajiban itu adalah berkhidmat dan memaksimalkan kebaikan kepada sesamamanusia.”

Dalam lanjutan mutiara hikmah ini, demi mencegah terjadinya akibat-akibat buruk yang fatal, beliau memberikan pengecualian, karena boleh jadi ada orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Beliau menegaskan, “ Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada

p: 206

seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.”

Di dalam kehidupan ini, ada orang-orang yang sebegitu buruk dan jahatnya, sehingga seakan mereka sudah tidak lagi memiliki fitrah insani. Nah, apabila Anda menjadikan diri Anda seakan budak bagi mereka, mereka akan memanfaatkan Anda untuk tujuan-tujuan buruknya yang justru merusak hubungan sosial antarmanusia. Namun demikian, kita harus tetap berhati-hati dan waspada, jangan sampai kita dengan mudah menghukumi orang sebagai manusia yang telah

keluar dari fitrahnya. Manusia secara umum layak untuk kita perlakukan diri kita sebagai budak mereka, namun ada saja orang-orang yang memang telah keluar dari fitrah insaninya dan tidak layak mendapatkan perlakuan seperti itu dari kita. Dengan kata lain, mereka bukanlah manusia yang layak

mendapatkan pelayanan dan perkhidmatan dari kita. Orang-orang seperti ini tidaklah banyak, mungkin satu di antara seribu orang. Yang masuk dalam pengecualian, adalah orang- orang yang apabila kita berbuat baik kepada mereka, mereka semakin berbuat buruk kepada kita; apabila kita bersikap

rendah hati kepada mereka, mereka justru bertambah angkuh dan sombong, dengan begitu, kita tidak boleh lagi berbuat baik kepada mereka. Bagaimanapun juga, kita tetap harus berhati-hati dan tidak sembarangan dalam menjalankan pesan dan wasiat ini. Imam Ali as menegaskan, “Akan tetapi, jangan sampai kebaikan ini engkau berikan kepada seseorang yang tidak layak dan tidak seharusnya mendapatkan perlakuan seperti ini darimu.” Pesan ini beliau letakkan di akhir, karena boleh jadi sebagai isyarat bahwa orang-orang yang buruk seperti ini sangat sedikit jumlahnya, sedangkan kebanyakan manusia layak untuk kita berkhidmat dan berbuat baik kepada mereka.()

p: 207

p: 208

34-ADAB PERTEMANAN (1)

Point

وَلاَتَتَّخِذَنَّ عَدُوَّ صَدِیقِکَ صَدِیقًا فَتُعَادِیَ صَدِیقَکَ، وَلاَتَعْمَلْ بِالْخَدیعَةِ فَاِنَّهُ خُلْقَ لَئِیم، وَامْحَضْ أَخَاکَ النَّصِیحَةَ حَسَنَةً کَانَتْ اَوْقَبِیحَةً، وَسَاعِدْهُ عَلَی کُلِّ حَال، وَ زَلِّ مَعَهُ حَیْثُ زَالَ، وَلاَتَطْلُبَنَّ مُجَازَاةَ اَخِیکَ وَإِنْ حَثَا التُّرَابَ بِفِیکَ وَخُذْ(1) عَلَی عَدُوِّکَ بِالْفَضْلِ فَاِنَّهُ اَحْرَی لِلظَّفَرِ، وَتَسْلِمْ مِنَ الدُّنْیَا [النَّاس] بِحُسْنِ الْخُلْقِ وَتَجَرُّعِ الْغَیْظَ، فَاِنِّی لَمْ اَرَ جُرْعَةً أَحْلَی مِنْهَا عَاقِبَةً وَلاَ أَلَذَّ مِنْهَا مَغَبَّةً وَلاَ تَصْرِمْ أَخَاکَ عَلَی ارْتِیَاب وَلاَتَقْطَعْهُ دُونَ اسْتِعْتَاب وَ لِنْ لِمَنْ غَالَظَکَ فَاِنَّهُ یُوشَکُ أَنْ یَلینَ لَکَ.

Janganlah engkau jadikan musuh temanmu sebagai teman, maka hal itu sama halnya dengan memusuhi temanmu. Jangan berbuat tipu daya, karena itu adalah perilaku orang-orang yang tak berbudi pekerti. Berikan nasihat kepada saudaramu dengan penuh ketulusan dan bantulah dia dalam segala keadaan; dan sertailah dia ke mana pun perginya. Janganlah engkau membalas saudaramu meskipun dia menyiramkan tanah pada mulutmu. Berbuat baiklah kepada musuhmu, karena hal itu lebih berpengaruh dalam mendatangkan kemenangan. Selamatkan dirimu dari dunia (umat manusia) dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah;sungguh aku tidak pernah melihat sesuatu yang hasil akhirnya lebih manis dan lebih indah dari (menjaga diri dengan akhlak dan meredam amarah). Janganlah engkau memutus hubungan dengan saudaramu hanya berdasar pada kecurigaan dan sebelum melakukan

p: 209

pengkajian. Bersikaplah lembut kepada orang yang berlaku kasar terhadapmu, boleh jadi tidak lama kemudian dia akan bersikap lembut kepadamu.

Sebagaimana telah diketahui, bagian akhir dari wasiat Imam Alias berkonsentrasi pada akhlak sosial, adab pergaulan dan hubungan antarmanusia dalam hidup bermasyarakat. Allah Swt telah menciptakan seluruh maujud bagi manusia. Tinggal pandai-pandainya manusia memanfaatkan seluruh anugerah yang telah Allah berikan kepadanya termasuk di dalamnya keberadaan manusia-manusia lain untuk mencapai tujuan-tujuan Ilahi. Manusia diminta untuk memanfaatkan secara cermat berbagai nikmat Allah untuk meraih tujuan- tujuan tertingginya. Akan tetapi, patut disayangkan, tidak sedikit manusia yang mengubah nikmat Ilahi menjadi

bencana. Bahkan mereka tidak hanya mengabaikan nikmat-nikmat tersebut, tetapi justru menjadikannya sebagai sarana untuk keburukan dan maksiat. Orang-orang seperti ini pada hakikatnya telah menzalimi diri mereka sendiri sebelum orang lain; mereka mengorbankan kebahagiannya sendiri dan kemudian merugikan orang-orang yang bergaul dengannya. Orang-orang seperti adalah jenis manusia yang berbahaya bagi dirinya sendiri, selain juga berbahaya bagi orang lain.

Dan, boleh jadi mereka tidak memberikan sumbangsih apa-apa dalam kehidupan dunia selain kerugian dan kerusakan. Padahal, manusia seharusnya saling meengambil manfaat dan saling menyempurnakan satu dengan yang lain. Mereka harus bersama-sama dan bahu membahu dalam rangka meraih tujuan-tujuan tertinggi insani-Ilahi, terkhusus lagi tujuan-tujuan tinggi Islam. Mereka juga harus berjuang sungguh-sungguh untuk mengembangkan serta memajukan

masyarakat Islam.

Cara-Cara Memperkuat Hubungan Pertemanan

Tak diragukan, dalam kehidupan sosial yang ideal, hubungan antarmasyarakatnya harus terjalin dengan penuh

p: 210

kehangatan serta ketulusan; masing-masing kelompok masyarakat harus berusaha menjaga dan mempererat hubungan di antara mereka, selain juga harus mewaspadai faktor-faktor yang dapat merusak keharmonisan serta kehangatan hubungan tersebut. Singkat kata, masyarakat yang ideal adalah sebuah masyarakat yang dapat menjaga keharmonisan hubungan di antara kelompok dan individunya sehingga senantiasa memperkaya diri dengan hal-hal yang dapat semakin mempererat hubungan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak serta menghancurkan hubungan di antara mereka.

Tentu apabila kita hendak berbicara secara komprehensif berkaitan dengan adab pergaulan serta persaudaraan juga tentang metode hidup bermasyarakat secara lengkap, maka kita harus memaparkan banyak bahasan seputar hubungan sosial dalam berbagai bab dan pasal. Jika itu yang diinginkan, setidaknya kita harus membahas tema-tema seperti: Bagaimana cara memilih teman yang baik dan layak untuk dijadikan kawan dalam pergaulan, apa neraca dan kriterianya,

bagaimana metode pemilihannya, bagaimana kita memulai pertemanan dan lain sebagainya. Akan tetapi, karena dalam buku ini tidak mungkin secara khusus digunakan untuk mendalami satu topik tertentu dan kita hanya mengkaji sesuai dengan alur pesan dan wasiat Amirul Mukminin as, maka kita hanya akan membatasi bahasan pada apa yang disinggung oleh beliau as dalam wasiatnya.

Perlu juga diperhatikan, ketika kita berbicara tentang teman dan musuh atau pertemanan dan permusuhan di sini, tentu dengan mengabaikan syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam memilih teman. Tentunya pemilihan teman berdasar pada bermacam neraca pemilihan akan memberikan hasil yang berbeda-beda pula. Sebagai misal, apabila keimanan dijadikan sebagai neraca dalam memilih

p: 211

teman, maka setidaknya neraca keimanan bisa dibagi dalam tiga tingkatan. Seseorang yang mempunyai kualitas iman tinggi dan seluruh dambaannya hanyalah meraih keridaan Ilahi, maka dia dalam memilih teman juga akan mencari orang-orang yang satu tingkatan dengannya, yaitu orang-orang yang selalu membuatnya semakin dekat dan semakin dekat dengan Allah Swt. Adapun mereka yang berkualitas iman menengah, maka dia juga akan mencari teman-teman yang sekualitas dengannya, yaitu orang-orang yang berteman dengan mereka tidak akan berdampak negatif pada akidah dan agamanya. Orang-orang kelas menengah ini, sekalipun tidak terlalu memikirkan perkembangan sisi maknawinya, tetapi mereka tidak rela bila harus kehilangan sisi maknawi dalam hidupnya akibat bergaul dengan teman yang salah. Sementara orang-orang yang lemah iman, mereka sangat longgar dan terbuka sekali untuk berteman dengan siapa saja. Dalam wasiat ini Imam Ali as tidak sedang menjelaskan syarat-syarat memilih teman, tetapi beliau memberikan penekanan bahwa berteman harus berjalan sesuai dengan

neraca Islami yang benar. Nah, pada bagian ini Imam Ali as menjelaskan beberapa prinsip yang harus dijalankan demi menjaga kelangsungan hubungan pertemanan yang baik dan ideal.

a. Ketulusan dan kesejatian

Salah satu hal yang harus dijaga dalam pertemanan adalah ketulusan. Sebagai konsekuensi ketulusan dan kesejatian dalam pertemanan adalah ketika Anda berteman dengan seseorang, maka janganlah Anda berteman juga dengan musuh-musuhnya. Tak diragukan, setiap manusia pasti mempunyai teman dan musuh dalam hidup. Akan tetapi, seorang mukmin yang neraca pertemanannya adalah rida Ilahi, tentu tidak akan pernah mau berteman dan bermanis-manis muka dengan para musuh Allah Swt

p: 212

dan agama, sebagaimana dia juga tidak akan berteman dengan temannya para musuh Allah atau temannya para musuh mukminin, dan pastilah mereka (teman para musuh Allah dan orang-orang beriman) tidak akan pernah sejalan dengan si mukmin. Namun mereka yang tidak memiliki iman ideal seperti ini, mereka masih berpeluang untuk berteman dengan musuh-musuh temannya. Hal itu disebabkan seluruh pertemanan dan permusuhannya tidak berdasar pada keimanan kepada Allah. Di antara orang-orang beriman yang mendirikan salat juga masih terbuka kemungkinan terjadinya permusuhan dan perselisihan dalam perkara-perkara duniawi. Oleh sebab itu, yang sangat penting di sini adalah bagaimana caranya membuang dan menghilangkan berbagai noda serta menjaga adab pertemanan dan pergaulan. Apabila Anda mempunyai seorang teman dan teman Anda mempunyai musuh, maka untuk menjaga hubungan pertemanan, maka Anda tidak diperkenankan untuk menjalin pertemanan dengan musuh-musuhnya supaya pertemanan Anda tetap terjaga dan tidak terputus. Anda tidak boleh menjalin pertemanan dengan musuh-musuh teman Anda secara diam-diam, sementara Anda menjaga hubungan pertemanan dengan teman Anda. Karena apabila teman Anda akhirnya mengetahui atau memergoki Anda sedang menjalin pertemanan dengan musuhnya, maka perasaan teman Anda akan cedera dan dia tidak akan lagi

menganggap Anda sebagai teman sejatinya. Oleh sebab itu, apabila Anda menghendaki hubungan pertemanan bisa berjalan langgeng, jangan sekali-kali berteman dengan musuh teman Anda. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menegaskan, “Janganlah engkau jadikan musuh temanmu sebagai teman, maka hal itu sama halnya dengan memusuhi temanmu.” Dalam wasiatnya beliau hendak

p: 213

menjelaskan, mengumpulkan teman dan musuh teman dalam pertemanan tidak akan pernah menghasilkan pertemanan yang tulus dan sejati. Apabila engkau mau

berteman dengan si fulan, engkau harus siap untuk tidak berteman dengan musuh-musuhnya. Namun perlu digarisbawahi, tidak berteman dengan musuh teman

tidaklah berarti harus ikut memusuhi musuh teman. Yang dimaksud adalah, janganlah kita mengadakan hubungan pertemanan yang mesra dengan musuh teman kita, karena yang demikian akan membahayakan dan merusak pertemanan yang pertama.

Boleh jadi seseorang dalam hubungan sosialnya berperilaku dengan dua wajah dan berperan ganda, yakni dia menampilkan dirinya sebagai teman bagi semua orang, namun pada hakikatnya dia tidak mempunyai cinta dalam hati dan tidak pula melakukan kewajiban sebagai seorang teman. Sosok seperti ini tak ubahnya seperti seorang pendusta yang melakukan tipu-daya. Dalam wasiatnya, Imam Alias hendak mengingatkan bahwa seorang mukmin harus menjauhkan dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak pantas seperti ini, karena seorang mukmin adalah sosok pribadi yang jujur, tulus dan apa adanya. Temannya adalah sebenar-benar teman baginya dan musuhnya adalah sebenar-benar musuh baginya. Seorang mukmin tidak akan menjalin pertemanan dengan seseorang dan berpura-pura menyukainya padahal di dalam hati tidak menyukainya atau bahkan memusuhinya. Apabila seorang mukmin menunjukkan pertemanan kepada seseorang,

maka pertemanan itu betul-betul keluar dari kedalaman hatinya. Alangkah indahnya apa yang telah dipaparkan oleh Amirul Mukminin as dalam kaitan ini: “Jangan

berbuat tipu daya, karena itu adalah perilaku orang-orang yang tak berbudi pekerti.” Yakni, janganlah engkau menipu orang lain dengan perilakumu, tetapi bersikaplah jujur

p: 214

dan apa adanya; jangan berbeda antara apa yang engkau tampakkan dan apa yang engkau sembunyikan. Ketika engkau menampakkan persahabatan kepada seseorang, maka jujurlah dengan apa yang engkau tampakkan dan jangan pernah menipunya dengan sikap bersahabatmu, karena perbuatan yang seperti itu bukanlah perbuatan yang pantas keluar dari seorang yang beriman. Perbuatan itu adalah perilaku orang-orang hina yang tak berbudi.

b. Menginginkan kebaikan (bagi teman) dan peduli Syarat lain yang diperlukan untuk memperkuat serta melanggengkan pertemanan adalah menginginkan

kebaikan bagi teman serta kepedulian padanya. Sudah sepatutnya ketika Anda mengikat persahabatan dengan seseorang, maka Anda harus menginginkan kebaikan

bagi dirinya. Pada hakikatnya syarat ini adalah penekanan pada keselarasan atau persamaan antara batin dan zahir kita, yakni setelah kita menerapkan neraca-neraca (Islam) dalam mencari teman yang baik dan akhirnya Anda menemukan teman yang baik, dan Anda yakin bahwa dia adalah benar-benar seorang sahabat yang sesuai dengan kriteria Islam, maka selain Anda harus menghargai bentuk persahabatan yang semacam ini, Anda juga harus memperlakukannya secara tulus dan baik. Dengan kata lain, Anda harus peduli serta menginginkan kebaikan baginya. Misalnya, Anda harus senantiasa menjadi pendamping dan membantunya dalam beragam kesulitan; Anda harus dapat memaafkan kesalahannya dan berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan. Oleh sebab itu, ketika Anda telah menjadikan seseorang sebagai teman, maka Anda tidak boleh mengabaikannya; Anda harus selalu menjadi pembela dan menginginkan kebaikan baginya; apabila Anda menemuinya berbuat kesalahan, Anda harus mengingatkannya dengan cara yang benar;

p: 215

apabila Anda melihatnya berbuat kebaikan, Anda harus memuji dan menyanjungnya; sedapat mungkin, Anda harus membantunya dalam meraih segala kesempurnaan dan apa saja yang dapat membuatnya lebih maju dan berkembang. Umpamanya, apabila ada dua pelajar atau dua mahasiswa yang saling berteman, maka masing- masing harus berbuat yang terbaik bagi temannya dan bagaimana temannya dan terus maju dan berkembang; seorang teman tidak boleh hanya memikirkan kemajuan dan keberhasilannya sendiri saja. Terkadang ada dua orang yang saling bersahabat, kendati persahabatannya terlihat begitu erat, namun masing-masing hanya berpikir tentang urusan dan kepentingannya sendiri, tanpa peduli dengan apa yang sedang dihadapi oleh karibnya. Hal ini

tentu tidak pantas untuk dilakukan oleh dua orang yang mengaku saling bersahabat. Persahabatan menuntut untuk saling peduli dan saling membantu, sedangkan

mengabaikannya dapat dihitung sebagai pengkhianatan dan ketidaktulusan dalam pertemanan. Dalam pandangan Islam, ketika seseorang memulai

oersahabatan dengan orang lain, maka dia harus menginginkan kebaikan bagi temannya dengan sepenuh jiwa. Dia tidak boleh tinggal diam untuk melakukan apa

yang bisa dilakukan bagi sahabatnya. Setiap perbuatan yang mendatangkan kecintaan Ilahi bagi dirinya, maka harus juga dia lakukan dengan niat baik bagi temannya, kendati terkadang perbuatan itu tidak terlalu menyenangkan bagi si teman. Umpamanya, apabila Anda menasihatinya, boleh jadi dia tidak suka dan merasa tersinggung, namun Anda harus tetap melakukannya dengan niat yang baik agar teman Anda terhindar dari sesuatu yang dapat membinasakan dirinya. Bagaimanapun juga dan apa pun konsekuensinya, Anda harus menyelamatkannya dari perbuatan buruk. Demikian pula halnya, apabila

p: 216

Anda melihatnya sedang berbuat kebaikan, Anda harus mendukungnya dan membantunya untuk selalu berada di jalur yang benar. Imam Ali as berkata, “Berikan

nasihat yang tulus kepada sahabatmu, baik ketika dia berbuat baik ataupun berbuat buruk.” Sebagai sahabat, Anda harus selalu dan senantiasa memikirkan dan menginginkan kebaikan bagi sahabat Anda, dan bukan hanya sewaktu-waktu atau bila sempat saja. Jangan sampai Anda lebih mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan sahabat Anda. Akan tetapi, Anda harus selalu membantunya dalam segala keadaan.

c. Kontinuitas dalam persahabatan

Tak diragukan, keadaan manusia berubah-ubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Terkadang miskin dan terkadang kaya, terkadang sakit dan terkadang

sehat... Dalam berbagai keadaan serta kondisi yang dihadapinya, manusia tentu membutuhkan pertolongan. Nah, sebagai teman, kita dituntut untuk menjadi pendamping dan penolongnya dalam berbagai keadaan. Jangan sampai kita hanya ada di sampingnya ketika dia kaya raya dan meninggalkannya ketika jatuh

miskin. Jangan hanya mendekatinya di kala posisi dan kedudukan sosialnya baik, namun melupakannya ketika kehilangan jabatan dan kedudukan. Kita harus menjadi

teman bagi sahabat kita kapan dan di mana saja serta bagaimana pun keadaannya. Sebagai sahabat, kita harus menjadi bayangan (positif) baginya.

Semua pesan dan wasiat beliau berkaitan dengan pertemanan dan persahabatan adalah berkaitan dengan pertemanan serta persahabatan yang sesuai dengan

neraca serta tolok ukur Islam. Oleh sebab itu, pesan dan wasiat beliau tidak meliputi pertemanan serta persahabatan yang bersifat nonislami. Apabila Anda

p: 217

menjalin pertemanan dengan seorang yang fasid dan fasik, tentu Anda tidak diminta untuk menjadi seperti bayangan baginya dan Anda harus membantunya dalam

segala keburukan dan kedurjanaan yang dilakukannya. Yang dimaksud oleh Imam Ali as adalah apabila Anda mempunyai teman yang baik, jangan pernah mengabaikan dan tidak membantunya dalam segala keadaan. Apabila Anda menemuinya sedang berbuat kesalahan, segera ingatkan dan selamatkanlah dia; apabila dia membutuhkan bantuan finansial, maka segera bantu dia. Bahkan dalam hal ini Anda dituntut untuk mengorbankan kepentingan materi dan maknawi Anda. Bersiaplah untuk berkorban demi sahabat Anda dan jangan pernah meninggalkannya sendiri.

Pesan dan wasiat Imam Ali as menunjukkan betapa Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pertemanan dan persahabatan. Dan, berdasar pada fondasi inilah dikatakan, keberadaan satu manusia adalah nikmat bagi yang lain dan kita harus memanfaatkan hubungan antarmanusia menjadi sesuatu yang bermaslahat bagi Islam dan seluruh umat manusia. Dengan penuh keyakinan dapat dikatakan, semakin erat dan tulus hubungan pertemanan, maka manfaatnya akan semakin besar dan semakin terasa bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, kita harus menjaga hubungan pertemanan di antara kita dan selalu berusaha agar hubungan ini tidak memudar atau mengarah kepada sesuatu yang buruk.

d. Menghindari dendam

Ada dua hal yang selalu meliputi dan membayangi kehidupan sosial manusia. Yang pertama adalah keharusan hidup bermasyarakat itu sendiri dan yang kedua adalah tidak luputnya manusia dari kesalahan. Dengan menyadari dan memahami kenyataan di atas,

p: 218

maka apabila salah seorang teman jatuh dalam sebuah kesalahan dan kekeliruan, tentu kesalahan tersebut tidak hanya berpengaruh pada kehidupan pribadinya saja, namun akan berpengaruh juga pada pergaulan dan kehidupan sosialnya. Ketika seorang teman berlaku buruk terhadap Anda dan menginjak-injak serta tidak menghormati ikatan pertemanan yang ada, sebagai misal, pada sebuah situasi dan kondisi yang seharusnya dia menolong Anda, namun dia tidak menolong Anda atau bahkan melakukan sesuatu yang semakin merugikan Anda, maka terhadap orang yang seperti ini apa yang seharusnya kita lakukan? Imam Ali as dalam kaitan ini memberikan jawaban dalam wasiatnya, “Dan janganlah engkau membalas saudaramu meskipun dia menyiramkan tanah pada mulutmu.”

Yakni, apabila teman dan sahabat Anda berlaku buruk terhadap Anda, janganlah Anda segera membalasnya dengan keburukan yang sama; kendati seandainya

temanmu itu menyiramkan tanah pada mulut dan kepalamu, tetaplah bersabar dan jangan membalasnya. Akan tetapi, lakukanlah sesuatu agar dia menyadari

kesalahan yang diperbuatnya sehingga akhirnya meminta maaf kepadamu; jangan balas keburukannya dengan keburukan. Jangan balas kejahatannya dengan kejahatan yang lain meskipun dia telah melakukan sesuatu yang membuatmu kesal dan marah. Kendalikan emosi dan kemarahanmu, jangan berusaha untuk balas dendam, tetapi bantu dia untuk menyadari kesalahan dan memohon maaf kepadamu.

Nasihat dan wasiat Imam Alias di atas telah menjadikan kita mengerti bagaimana harus bersikap terhadap teman yang melakukan kesalahan terhadap kita. Beliau melarang kita untuk melakukan balas dendam dan melanggar ikatan pertemanan: Ketika kita hidup di tengah masyarakat

p: 219

Islam yang penuh ikatan persaudaraan, tentu tidak akan ada orang yang dengan sengaja melukai atau menyakiti orang lain. Akan tetapi kita tetap dituntut untuk berbesar hati, karena mungkin saja ada anggota masyarakat yang lalai dan khilaf sehingga berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Nah, di sini kita tidak boleh membalas kesalahan atau keburukan yang dilakukan kerana khilaf dan lalai dengan kesalahan serta keburukan yang lain. Bahkan apabila kita mengikat pertemanan dengan seorang kafir sekalipun, kita tidak diperbolehkan serta merta membalas keburukannya dengan keburukan yang lain.(1)

Singkat kata, dalam dunia pertemanan dan persahabatan, kita dituntut untuk berbesar jiwa dan lapang dada. Apabila teman Anda melakukan sebuah kesalahan, baik dia seorang mukmin ataupu seorang kafir yang hidup dalam masyarakat Islam, Anda tidak boleh merusak pertemanan dan melakukan balas dendam,

karena kebanyakan dari kesalahan berkutat seputar permasalahan dunia dan materi, dan tidak semestinya dunia dan materi itu merusak kesucian ikatan pertemanan dan persahabatan. Bahkan terhadap si nonmuslim pun kita harus memberikan perhatian dan kasih sayang, juga selalu membantu dan berbuat baik kepadanya. Di dalam al-Quran telah ditegaskan:

p: 220


1- 57 Perlu diketahui bahwa menjalin pertemanan dengan seorang kafir, apalagi yang hidup dalam perlindungan pemerintah Islam, tidaklah dilarang. Seorang muslim boleh menjalin hubungan pertemanan dengan orang kafir (non-harbi), saling menolong dan boleh jadi si kafir akan tertarik pada kemuliaan ajaran Islam melalui pertemanan dengan muslimin. Apabila pada sebagian kitab-kitab fikih dikatakan, janganlah berteman dan menjalin "hubungan dengan musuh-musuh Rasul dan Ahlulbait as, maksudnya adalah mereka yang secara terang-terangan memusuhi dan memerangi Islam.

Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat dekat.(1) Dapat dipastikan bahwa bentuk perlakuan yang seperti ini dapat mengubah musuh menjadi teman dan permusuhan menjadi persahabatan. Al-Quran telah memberikan panduan dengan jelas: “Balaslah perlakuan buruk orang lain dengan kebaikan dan keramahan, sehingga engkau dapat menghentikan permusuhan dan bahkan mengubahnya menjadi persahabatan.” Perlakuan bersahabat terhadap orang yang melakukan permusuhan, sekalipun merupakan sebuah kebaikan yang bernilai tinggi, tetapi tentu memiliki syarat-syarat yang harus terpenuhi. Memang merupakan sebuah kebaikan, apabila manusia dapat mengubah perlakuan bermusuhan seseorang menjadi persahabatan. Akan tetapi, terdapat beberapa hal yang harus dicermati dalam halini. Contohnya, salah satu caranya adalah dengan menginginkan kebaikan atau memberikan kebaikan dan berlaku ihsan, agar dapat memberikan pengaruh positif kepada pelaku keburukan dan mengubah sikapnya terhadapmu. Penyikapan yang seperti ini merupakan salah satu prinsip yang diajarkan oleh al-Quran, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat di atas dan atau ayat berikut: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.(2) Searah dan sejalan dengan al-Quran, Imam Ali as juga menyampaikan prinsip etika ini dalam pesan dan wasiat beliau, “Berbuat-baiklah kepada musuhmu, karena hal itu lebih berpengaruh dalam mendatangkan kemenangan.”

p: 221


1- 58 QS. Fushshilat [41]:34.
2- 59 QS. al-Mukminun [23]:96.

Apabila engkau berlaku ihsan terhadap musuhmu, hal itu akan semakin mendekatkanmu pada tujuan, karena yang menjadi tujuan adalah menghentikan permusuhan dan kejahatan lawan. Dengan ihsan, terkadang kita dapat menghentikan permusuhan dan mencegah beragam kerugian yang akan menimpa umat Islam dari musuh- musuhnya. Dengan demikian, salah satu cara yang dapat menghentikan kejahatan para musuh adalah dengan berbuat ihsan kepada mereka. Dan, boleh jadi cara ini lebih manjur dan lebih cepat dalam menghentikan permusuhan ketimbang cara-cara kekerasan dan perlawanan dengan senjata.

Tentu makna dari pesan serta wasiat di atas adalah kita menyikapi semua permusuhan dengan kebaikan. Kaidah dan rumusan ini tentu tidak bersifat mutlak,

karena ada bentuk-bentuk permusuhan yang harus dilawan dan dihadapi dengan sikap yang lebih tegas. Hal ini tak ubahnya dengan kaidah-kaidah atau prinsip-

prinsip etika dan fikih lainnya, yang juga mempunyai pengecualian-pengecualian. Umpamanya, apabila kita berhadapan dengan musuh yang sangat bengis, kejam

dan berhati batu, sehingga semua kebaikan dan ihsan kita tidak akan berarti apa-apa baginya, bahkan perbuatan baik kita akan dianggap sebagai tanda kelemahan dan membuatnya semakin bersemangat untuk memusuhi kita. Maka, musuh-musuh yang seperti ini akan terkecualikan dari kaidah dan prinsip etika ini. Memang benar bahwa musuh-musuh berhati keras seperti ini tidaklah banyak di tengah masyarakat, namun kita harus tetap waspada dan berhati-hati bahwa tidak semua orang itu sama. Sebagai konsekuensinya, kita juga tidak dapat memperlakukan mereka dengan sikap yang sama. Dengan begitu, makna pesan dan wasiat Maula al-

Muwahhidin Ali as bukan berarti kita harus berbuat baik

p: 222

dan ihsan terhadap setiap musuh, karena kebaikan bagi musuh-musuh seperti ini adalah dengan memerangi mereka sehingga lenyap dari muka bumi dan berkurang azab mereka di sisi Allah nantinya. Memerangi musuh- musuh agama dan melenyapkan mereka dari muka bumi justru merupakan satu bentuk rahmat bagi mereka, karena hal itu akan berakibat pada semakin ringannya azab ukhrawi. Sikap ihsan hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang masih mempunyai hati nurani dan tidak bagi mereka yang hatinya sudah membatu dan mati.

Kesimpulannya, dalam hidup di tengah masyarakat, manusia secara umun dianjurkan untuk tidak segera membalas keburukan dengan keburukan, tetapi manusia

diminta untuk berjiwa besar dan membalas keburukan dengan kebaikan, sehingga tercipta suasana saling cinta dan saling kasih di tengah masyarakat. Keburukan

yang dibalas dengan kebaikan akan menjadikan suasana hidup masyarakat menjadi tenteram dan damai, karena banyak api bermusuhan yang menjadi padam dengannya dan permusuhan berbalik menjadi persahabatan. Sikap membalas keburukan dengan keburukan dan kejahatan dengan kejahatan yang lain akan mudah menimbulkan kekacauan dan konflik-konflik yang berkepanjangan, dan tentu akan mencabut suasana hidup yang dami dan tenteram. Sudah barang tentu, kehidupan masyarakat yang saling bermusuhan dan saling membenci akan membunuh potensi-potensi masyarakat itu sendiri dan menghancurkannya.

Cara-Cara Menyelamatkan Kehidupan Masyarakat dari Berbagai Petaka yang Dapat Menghancurkannya

a. Menjauhi amarah

Pada bagian berikut wasiatnya, Imam alias menjelaskan beberapa cara untuk menyelamatkan sebuah

p: 223

masyarakat dari kehancuran, beliau berkata, “Selamatkan dirimu dari dunia dan umat manusia dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah.” Apabila engkau ingin selamat dari petaka dan bahaya kehidupan bermasyarakat, maka perbaikilah akhlakmu, berperilakulah yang baik dan redamlah amarahmu.

Tentu sebagaimana yang telah diketahui, berperilaku baik dan santun tidak hanya dianjurkan untuk dilakukan terhadap orang-orang yang berperilaku baik saja, tetapi sebagai sebuah prinsip dalam etika Islam, kita diminta untuk berperilaku baik dan santun bahkan terhadap mereka yang berperilaku buruk dan kasar. Wasiat ini sejalan dengan pesan beliau sebelumnya yang berbunyi, “Apabila temanmu menyiramkan tanah pada mulutmu, maka jangan balas dia dengan perilaku yang sama.” Perlakuan orang yang seperti itu sudah barang tentu memancing dan menyulut amarah. Terkadang, satu dua kalimat yang tidak terukur dan diucapkan oleh seorang teman kepada kita dapat membuat kita jengkel dan marah. Atau, apabila kita diperlakukan oleh seseorang yang di luar harapan kita atau tidak dihormati sebagaimana mestinya, boleh jadi kita akan jengkel dan marah. Apalagi seandainya ada yang menyiramkan tanah pada mulut kita!! Dapat dimaklumi, mengontrol emosi dan menahan diri dalam situasi yang seperti itu tidaklah mudah, apalagi harus membalas perlakukan buruk dengan ihsan. Meredam amarah adalah perbuatan yang sangat sulit, namun hal itu sangat membangun dan berdampak positif. Apabila seseorang ingin selamat dari petaka kehidupan sosial, dia harus pandai-pandai melatih diri untuk mengendalikan emosi dan amarahnya, dan jangan mudah membalas keburukan dengan keburukan yang sama. Dalam kaitan ini, Imam Ali as menasihati putranya:

p: 224

“(Wahai putraku), selamatkan dirimu dari dunia (umat manusia) dengan akhlak yang mulia dan meredam amarah; sungguh aku tidak pernah melihat sesuatu yang hasil akhirnya lebih manis dan lebih indah dari (menjaga diri dengan akhlak dan meredam amarah).” Beragam minuman tidak memberikan sensasi yang

sama pada mulut seseorang. Sebagian minuman seperti air tawar yang sejuk akan memberikan sensasi kesegaran dan kesejukan. Sebagian minuman memberikan sensasi manis yang sangat nikmat, seperti air yang diperas dari buah-buahan. Ada juga minuman yang sangat pahit dan getir, seperti halnya cairan-cairan obat. Akan tetapi bagi meraka yang telah lulus dari Madrasah Ali bin Abi Thalib as (sebagai lulusan terbaik dari Madrasah Rasulullah saw), meredam amarah bagi mereka akan memberikan sensasi yang lebih manis dari sari buah yang paling lezat sekalipun. Si panutan orang-orang suci, Ali bin Abi Thalib as sendiri pernah berkata, “Ketika aku berhasil meredam amarahku, aku merasakan sensasi minuman manis yang sangat menyegarkan dan tidak ada minuman di dunia ini yang dapat menandingi kelezatannya." Nah, sudah semestinya bagi mereka yang mengaku sebagai pengikut Mawla al-Muttaqin as untuk juga melatih diri agar dapat menghiasi diri dengan kemuliaan akhlak seperti ini. Apabila dengan usaha dan kerja keras akhirnya kita dapat mengendalikan serta menundukkan amarah kita, kita akan merasakan sebuah kenikmatan yang tidak akan pernah kita dapat dari mengumbar emosi dan amarah.

Dari aspek lain, apabila kita mau sedikit cermat, membalas sikap buruk dengan mengumbar amarah, justru berpeluang untuk mendatangkan kerugian-kerugian

yang lain; berbeda halnya dengan meredam amarah, yang

p: 225

memang sangat sulit untuk dilakukan, boleh jadi akan mendatangkan manfaat dan kepuasan yang luar biasa. Dampak emosi dan amarah seribu kali lebih buruk dan

merugikan dibandingkan dengan bersabar dan menahan diri. Membalas amarah dengan menahan diri akan terasa indah, sementara membalas amarah dengan amarah justru akan melelahkan dan merugikan diri sendiri. Imam Ali as hendak memahamkan kepada kita bahwa “jangan dikira nasihat dan pesan yang aku berikan ini hanya sekadar pesan kering yang belum teruji; tidak, sekali lagi tidak seperti itu, tetapi ini adalah sebuah realitas yang telah aku coba dan praktikkan berulang-ulang. Ketika aku menganjurkan, redamlah amarahmu, hal ini karena aku telah mencobanya dan merasakan kenikmatan hasilnya, dan aku berani mengatakan bahwa meredam amarah rasanya jauh lebih lezat dan lebih manis dari minuman apa saja."

Imam Alias memberikan motivasi dan semangat kepada Sang putra dan siapa pun yang membaca nasihatnya untuk mencoba dan merasakan hasil dari akhlak mulia ini.

b. Menghindari putusnya hubungan pertemanan Munculnya kesalahpahaman dalam hidup bermasyarakat adalah sebuah fenomena yang biasa terjadi. Dengan kata lain, sudah merupakan kelaziman dari kehidupan bermasyarakat seseorang mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dan tidak dapat dimengerti dari sesama atau temannya. Nah, apabila kita langsung memberikan reaksi yang negatif terhadap setiap perlakuan yang belum sepenuhnya kita pahami latar belakangnya, tidak akan ada lagi hubungan pertemanan yang dapat dipertahankan, karena memang dalam hidup kita akan sering mendapat perlakukan yang tidak jelas seperti itu dari teman dan sahabat kita. Padahal prinsip

p: 226

yang harus dipegang serta dijunjung tinggi dalam hubungan sosial dan terlebih lagi hubungan antar teman adalah berbaik sangka dan mendasarkankan segala

perilaku pada niat yang baik. Nah, oleh sebab itu apabila kita menyaksikan serangkaian perilaku yang bersifat paradoks dan tidak jelas, pada penyikapan pertama

kita dituntut untuk berbaik sangka dan membenarkan perbuatan tersebut kendati belum tahu persis apa penjelasan serta alasannya. Dengan munculnya sedikit

keraguan, jangan serta merta memutus tali pertemanan dan persahabatan, dan jangan juga berburuk sangka. Akan tetapi, dengan tetap menjaga hubungan yang ada kita mulai mencari tahu dan mengkaji apa kira-kira alasan dan latar belakang dari sikap-sikap yang seperti itu sehingga kita mendapatkan kebenarannya. Bahkan, seandainya Anda telah yakin bahwa perbuatan ini adalah sebuah kekeliruan yang dilakukan dengan niat yang kotor, Anda tetap tidak dianjurkan untuk memutus hubungan pertemanan dan membalas keburukannya dengan keburukan, tetapi Anda diminta untuk membenahi, menasihati dan mengembalikan teman Anda ke jalur yang benar.

Sekadar menyaksikan perilaku yang paradoks dari seorang teman, jangan kemudian segera ditafsirkan bahwa teman Anda sudah tidak ingin lagi menjalin

hubungan pertemanan dan mengkhianati Anda sehingga harus didepak dan dibuang dari pertemanan. Kita tidak boleh memutus hubungan pertemanan hanya berdasar pada dugaan atau keraguan atas sikap dan perilaku teman kita. Bahkan seandainya Anda telah merasa yakin bahwa dia ingin berkhianat dan memutuskan hubungan pertemanan dengan Anda, Anda tetap tidak dianjurkan untuk bersegera memutus hubungan pertemanan yang sudah terjalin; Anda dituntut untuk melakukan seuatu

p: 227

agar dia menyesal serta membatalkan niatnya. Anda harus berusaha memahamkan dia atas kesalahan yang sedang dia lakukan. Dengan berbicara, memberikan

nasihat atau langkah-langkah strategis lainnya, Anda harus memotivasinya untuk tetap menjaga serta menghormati ikatan pertemanan yang ada. Bukan tidak mungkin, upaya dan usaha yang Anda lakukan akan membuatnya menyesal dan mengubah perilaku buruknya. Namun, apabila setelah semua upaya dan

usaha yang Anda lakukan, dia tetap bersikeras dan tidak menyesali perbuatannya, maka di saat itulah Anda boleh memutus hubungan pertemanan dengannya. []

p: 228

35-ADAB PERTEMANAN (2)

Point

مَا أَقْبَحَ الْقَطِیعَةَ بَعْدَ الصِّلَةِ وَالْجَفَاءَ بَعْدَ الاِْخَاءِ، وَالْعَدَاوَةَ بَعْدَ الْمَوَدَّةِ، وَالْخِیَانَةَ لِمَنِ ائْتَمَنَکَ، وَالْغَدْرَ بِمَنِ اسْتَأمَنَ إِلَیْکَ، وَإِنْ اَرَدْتَ قَطِیعَةَ أَخِیکَ فَاسْتَبْقِ لَهُ مِنْ نَفْسِکَ بَقِیَّةً یَرْجِعُ إِلَیْهَا إِنْ بَدَا لَهُ وَلَکَ یَوْمَاً مَا وَمَنْ ظَنَّ بِکَ خَیْراً فَصَدِّقْ ظَنَّهُ وَلاَتُضِیعَنَّ حَقَّ أَخِیکَ إِتِّکَالاً عَلَی مَا بَیْنَکَ وَبَیْنَهُ فَإِنَّهُ لَیْسَ لَکَ بِأَخ مَنْ أَضَعْتَ حَقَّهُ، وَلاَیَکُنْ أَهْلُکَ أَشْقَی النَّاسِ بِکَ

Alangkah buruk, putusnya hubungan silaturahmi pascaterjalinnya, dan pertikaian pascapersaudaraan, dan permusuhan pascakasih sayang, dan berkhianat terhadap orang yang memercayakan padamu, dan menipu orang yang percaya padamu. Apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya apabila suatu hari nanti ada sesuatu yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya. Apabila ada orang yang berbaik sangka kepadamu, realisasikan sangka baiknya. Jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya. Jangan sampai keluargamu menjadiorang-orang yang paling celaka di sisimu.

p: 229

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as masih berbicara seputar etika sosial dan adab pergaulan serta pertemanan. Nasihat-nasihat beliau ini, secara khusus tidak beliau tujukan kepada putranya (Imam Hasan Mujtaba as) sebagai seorang figur yang bertabur kemuliaan, tetapi beliau tujukan kepada setiap manusia yang ingin sukses dalam kehidupan bermasyarakatnya dan kepada siapa saja yang ingin menjaga nilai-nilai tinggi insani. Oleh sebab itu, pesan dan wasiat beliau juga secara khusus tidak tertuju kepada orang-prang mukmin yang percaya kepada Tuhan dan Hari Akhir, tetapi mencakup seluruh umat manusia. Siapa pun yang menerapkan nasihat-nasihat beliau dalam hidupnya, pasti akan merasakan hasil dan manfaat darinya, baik dia adalah seorang yang beriman atau bukan orang yang beriman. Akan tetapi, bagi mereka yang beriman dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt dengan mengamalkan nasihat-nasihat ini dan memberikan warna ibadah pada setiap aktivitasnya, maka dia akan dengan cepat mencapai tujuan tertingginya, yaitu kedekatan dengan Ilahi Rabbi. Sementara mereka yang tidak beriman dan

tidak bermakrifat, mereka hanya akan menikmati hasilnya dalam kehidupan duniawi. Orang-orang yang tidak beriman, walaupun mereka tidak dapat mencapai kedudukan tinggi orang-orang beriman, tetapi mereka akan memiliki kehidupan yang ideal di dunia dengan mengamalkan pesan serta wasiat agung ini.

Tema bahasan pada bagian wasiat ini adalah adab pergaulan dan prinsip hidup bermasyarakat serta cara menjalin hubungan dengan sesama manusia.

Lebih Buruk dari Yang Buruk

Pada bagian yang lalu telah dibahas beberapa nasihat dan hikmah tinggi berkaitan dengan adab pergaulan dengan teman, seperti bagaimana cara bersikap terhadap orang lain, cara memilih teman, cara bergaul dengan teman, cara memperkuat

p: 230

hubungan pertemanan dan lain sebagainya. Termasuk juga beberapa pesan, nasihat serta rumusan berkaitan dengan tugas-tugas antarteman dalam pergaulan. Kini beliau akan menjelaskan lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan prinsip dalam hubungan pertemanan. Ketika seseorang mulai melangkahkan kakinya

pada kehidupan bermasyarakat, maka dia harus menjaga serangkaian prinsip, seperti memilih teman yang baik, berbuat baik kepada orang, bersikap ramah dan menginginkan kebaikan bagi orang lain. Akan tetapi, setelah dia memasuki kehidupan dalam masyarakat, mempunyai teman-teman dan mempunyai kedudukan, maka dia akan dihadapkan pada tugas dan tanggung kawab yang lebih berat dari sebelumnya. Pada hari-hari pertama memasuki kehidupan masyarakat,

dia diberi nasihat untuk memilih teman yang baik dan menghindari teman-teman yang dapat menjerumuskan dirinya dalam penyimpangan. Pada periode ini, kita diminta untuk memilih teman-teman yang dapat membantu kita dalam meraih tujuan-tujuan hidup yang mulia. Pada periode berikutnya, ketika kita sudah memasuki kehidupan bermasyarakat, mempunyai teman-teman dan berhubungan dengan banyak orang, bahkan ada sebagian orang yang percaya terhadap diri kita, tentu pada tingkat ini kita mempunyai tugas serta tanggung jawab yang lebih berat dari periode sebelumnya.

Pada periode pertama, apabila seseorang tidak memilih teman-teman yang baik dan tepat, dia akan dicela dan boleh jadi dia akan menghadapi beragam kerugian akibat berteman dengan manusia-manusia yang tidak baik. Demikian pula halnya pada periode kedua, apabila setelah mendapatkan teman yang baik dan tepat, lalu karena satu dan lain hal dia harus putus hubungan dengan teman-temannya; tentu dalam hal ini dia juga akan dicela karena tidak dapat mempertahankan hubungan pertemanan. Manusia kadang dicela karena tidak

p: 231

melakukan sesuatu yang baik, namun adakalanya manusia dicela karena membuang sia-sia hasil kerjanya, tentu yang kedua jauh lebih menyakitkan.

Pesan dan wasiat Imam Ali as pada bagian ini berkaitan dengan kondisi ketika seseorang telah menemukan teman-teman yang baik, namun karena kurang pandainya dia dalam membina hubungan pertemanan, maka terputuslah hubungan itu dan dia kehilangan mereka. Atau seseorang yang dipercaya lalu berkhianat dan tidak menunaikan amanah yang diberikan padanya. Tak diragukan, kehilangan teman jauh lebih buruk daripada tidak mempunyai teman. Atau lebih baik sejak awal tidak dipercaya, daripada dipercaya lalu berkhianat. Imam Ali as berkata, “Alangkah buruk, putusnya hubungan silaturahmi pascaterjalinnya.” Hidup tanpa teman dan hubungan sosial memang tidak benar dan merugikan, tetapi jauh lebih merugikan apabila teman yang sudah dimiliki lepas dari genggaman dan terputus.

Demikian pula halnya dengan pertikaian setelah terjalinnya tali persaudaraan. Seseorang yang telah memiliki teman dan menjalin hubungan pertemanan dengannya, lalu mencederai hubungan tersebut, jauh lebih buruk daripada apabila sejak awal dia tidak mempunyai teman. Keberadaan teman adalah sebuah modal yang harus dihargai dan dijaga dengan baik seperti modal-modal yang lain, karena tidak mempunyai modal itu adalah kondisi yang tidak baik, dan lebih buruk daripada kondisi itu adalah mempunyai modal lalu dihilangkan. Demikian pula halnya dengan permusuhan setelah pertemanan, yang jauh lebih buruk daripada

permusuhan yang tidak diawali dengan pertemanan. Imam Ali as juga berkata, “(Alangkah buruknya) berkhianat terhadap orang yang memercayakan sesuatu kepadamu.” Jelas sekali bahwa mengkhianati seseorang adalah perbuatan yang buruk, namun lebih buruk lagi apabila pengkhianatan itu dilakukan

p: 232

kepada seseorang yang memercayaimu. Khianat mengandung beberapa makna, terkadang berupa menghilangkan hak seseorang dan terkadang berupa merampas dan mengambil harta orang. Ketika seseorang mempunyai kedudukan di tengah masyarakat dan orang percaya kepadanya; menjadikannya rujukan dan menitipkan barang-barang berharga kepadanya.

Nah, apabila kemudian orang seperti ini berkhianat, dia lebih buruk daripada orang yang belum mendapat kedudukan dan dipercaya oleh masyarakatnya.

Sebagaimana telah disinggung di awal, pesan dan wasiat Imam Ali as ini bersifat umum dan universal. Pesan beliau sangat bermanfaat dalam kehidupan dan dapat menjadi pembuka jalan. Bedanya adalah apabila yang menggunakan nasihat beliau adalah seorang mukmin yang berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, maka selain manfaat duniawi, dia juga mendapatkan manfaat ukhrawi, yakni selain mendapatkan kemajuan dan perkembangan urusan duniawi, dia juga mendapatkan kebahagiaan ukhrawi dan maknawi. Namun bagi mereka yang tidak beriman kepada Tuhan dan Hari Kiamat, dia hanya akan mendapatkan manfaat serta maslahat dalam kehidupan sosial dan duniawinya saja apabila menggunakan nasihat-nasihat ini dalam hidupnya sebagai sebuah prinsip kehidupan.

Batasan Pertemanan dan Ukuran Ketulusan

Salah satu dari alasan disampaikannya nasihat dan wasiat ini adalah untuk membangunkan kita dari tidur kelalaian. Karena beberapa pesan di atas termasuk dalam hal-hal yang sering dilalaikan, meskipun semua mengetahui dan mengakui kebenarannya. Nasihat dan pesan beliau, apabila dipikirkan dan direnungkan, maka semua kepala akan membenarkannya tanpa perlu dibuktikan secara nakli dan ta'abbudi. Semua orang mengetahui, apabila dia diberi amanat, seharusnya dia tidak berkhianat. Berkhianat atas sebuah amanah adalah

p: 233

perbuatan yang buruk dan semua orang mengetahuinya. Hal ini beliau wasiatkan lantaran sering dilupakan dan dilalaikan. Terkadang manusia jatuh dalam sikap ifrath dan tafrith. Umpamanya, seseorang menceritakan segala permasalahan dan rahasia kepada temannya tanpa sensor dan batas. Nah, ketika kemudian pertemanan mereka mulai memudar, maka dia merasa ketakutan dan tidak aman, karena semua rahasia telah diketahui oleh mantan temannya. Sering kali terjadi, bagaimana hubungan pertemanan yang erat, tiba-tiba berubah menjadi permusuhan yang hebat. Di saat itulah kemudian rahasia-rahasia yang telah dipercayakan dapat disalahgunakan. Karena pertemanan yang begitu erat dan hangat ini, tidak pernah terpikir akan rusak dan hancur, padahal selalu terbuka kemungkinan suatu hari pertemanan itu akan berubah menjadi permusuhan. Kendati kita diperintah untuk mencari teman-teman yang baik, namun itu bukan berarti kita boleh membongkar serta menyerahkan semua rahasia kepadanya. Ada hal-hal dalam hidup yang tidak perlu dibagi meskipun terhadap teman yang paling karib sekalipun. Manusia harus sangat berhati-hati dan tidak perlu membagi seluruh khazanah rahasianya kepada orang lain. Setelah beberapa tahun pertemanan, terujinya teman

dalam beragam situasi dan kondisi juga keyakinan terhadap kesetiaannya, baru kita boleh berbagi sebagian rahasia yang dirasa perlu untuk diketahui. Namun sebelum kita yakin akan kesetiaan dan ketulusannya, sebaiknya kita tidak berbagirahasia dengannya.

Masalah tersebut telah diketahui oleh setiap orang yang berakal, namun sayangnya sering dilupakan dan dilalaikan. Nanti ketika dampak buruknya telah menimpa dan dirasa, barulah orang menyadari dan menyesali kesalahan yang telah diperbuat. Perlu diketahui, dalam sebuah hubungan pertemanan, tidak ada keharusan untuk saling berbagi dan

p: 234

membongkar seluruh rahasia. Pemahaman yang seperti ini sungguh keliru dan tidak benar menurut akal sehat. Pada saat yang sama, seseorang harus mempunyai neraca dan ukuran yang benar dalam menunjukkan perasaan serta rasa sukanya kepada teman. Berdasar pada neraca dan ukuran itulah dia harus menyesuaikan rasa suka dan cintanya. Dalam menunjukkan perasaan cinta dan suka saja, seseorang dituntut untuk mengetahui batasan serta ukurannya, apalagi dalam masalah berbagi rahasia yang kalau tidak berhati-hati bisa berakibat pada hancurnya bangunan kehidupan. Rumusan dan kaidah ini juga perlu diperhatikan berkaitan

dengan musuh. Yakni, apabila kita bermusuhan dengan seseorang, kita tidak boleh mengumbar semua keburukan dan rasa benci kita kepadanya. Pasalnya, apabila permusuhan ini berlangsung lama, kita akan kehabisan amunisi untuk memojokkannya, atau apabila suatu hari nanti terbuka pintu pertemanan dengannya, kita tidak terlalu sulit mengikis permusuhan yang lalu.

Singkat kata, baik dalam pertemanan maupun permusuhan, kita tidak dianjurkan untuk mengungkap seluruh perasaan cinta atau mengumbar semua kebencian tanpa ada batasan. Ungkap perasaan suka dan tidak suka Anda secara wajar dan proporsional agar Anda tidak terjebak atau terjerat oleh apa yang Anda ungkapkan. Nah, apabila Anda mengalami salah paham dengan seseorang, baik Anda yang benar ataupun Anda yang salah, Anda tidak dianjurkan untuk mengumbar segala macam kebencian secara berlebihan (baca: ifrath) sehingga pintu damai akan tertutup untuk selama-lamanya. Anda dituntut untuk berhati-hati dalam semua tindakan dan ucapan. Jangan perlakukan temanmu dengan rasa suka yang berlebihan, karena suatu saat nanti dia bisa menjadi musuhmu; sebaliknya, jangan perlakukan musuhmu dengan rasa benci yang berlebihan, karena suatu saat nanti dia bisa

p: 235

menjadi temanmu. Dengan kata lain, jangan umbar seluruh kebencian, agar suatu saat bila engkau berteman dengannya, engkau bisa dengan mudah memandang wajahnya dan dia juga dapat dengan mudah memandang wajahmu. Imam Ali as berkata, “Dan apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya; apabila suatu hari nanti ada hal-hal yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya.”

Apabila engkau hendak memutus hubungan pertemanan, sisakan tempat untuk kemungkinan kembali menjadi teman. Umpamanya, Anda telah menjalin pertemanan yang cukup lama dengan seseorang, namun kini Anda melihatnya telah keluar dari jalur takwa dan Anda tidak ingin lagi berhubungan dengannya. Atau, boleh jadi hubungan pertemanan seseorang itu berkaitan dengan hubungan dalam perniagaan. Nah, setelah perniagaan surut, hubungan mereka juga ikut surut dan mulai memudar. Imam Ali as dalam kaitan ini hendak mengingatkan: apabila engkau hendak berpisah atau meninggalkan pertemanan dengan temanmu, janganlah engkau memutus hubungan itu sehingga sulit untuk dijalin kembali; akan tetapi, sisakan celah untuk dapat kau jalin lagi hubungan pertemanan dengannya apabila suatu saat nanti penghalang pertemanan telah sirna. Karena sangat mungkin terjadi pada suatu hari nanti Anda akan perlu untuk kembali membuka hubungan pertemanan dengannya. Oleh sebab itu, janganlah melakukan tindakan-tindakan yang dapat menutup rapat-rapat pintu terjalinnya kembali pertemanan. Kita harus selalu mengingat apa yang diwasiatkan oleh Maula al-Muttaqin, Imam Ali as, “Dan apabila engkau hendak memutus hubungan dengan saudaramu, maka sisakan tempat di hatimu untuk kembali berhubungan dengannya; apabila suatu hari nanti ada hal-hal yang menjadi jelas dan terbuka bagimu dan baginya."

p: 236

Menghindari Posisi Tuduhan dan Fitnah

Di antara hal penting yang harus diperhatikan dalam hidup bermasyarakat, adab pergaulan dan etika sosial, adalah masalah menghindari posisi tuhmah (baca: posisi tuduhan). Dalam kehidupan sosial dan pergaulan dengan orang lain, manusia harus sedemikian rupa berperilaku agar tidak menjadi sasaran tuduhan dan buruk sangka (baca: su’uzhzhan). Dengan kata lain, manusia tidak boleh melakukan perbuatan yang tidak terukur dan tidak pada tempatnya, agar tidak menjadi sasaran tuduhan dan buruk sangka orang lain. Sekalipun manusia tidak boleh secara berlebihan memerhatikan dan mementingkan pandangan orang lain dan harus menjadikan keridaan Ilahi sebagai tolok ukur sejati atas segala sepak terjangnya, namun tetap saja manusia tidak diperkenankan untuk melakukan hal- hal yang dapat menjadikan dirinya sebagai sasaran tuduhan dan buruk sangka.

Perlu diperhatikan, antara pandangan orang-yang buruk sangka termasuk di dalamnya--dan menginginkan kerelaan serta persetujuan orang, terdapat perbedaan yang sangat jelas dan mencolok. Manusia tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang yang menjadikan orang lain berpandangan buruk terhadap dirinya, tetapi pada saat yang sama dia juga tidak boleh berbuat semata-mata demi meraih kerelaan orang lain, namun dia harus berbuat semata-mata demi meraih

keridaan Allah Swt. Terkadang masyarakat menginginkan sesuatu dari kita yang tidak diinginkan dan tidak pula diridai oleh Allah Swt; terkadang juga masyarakat memberikan penilaian-penilaian yang tidak terukur, yakni mereka memuji dan mencela seenaknya tanpa alasan yang rasional. Dengan memerhatikan dua fenomena di atas, manusia tidak boleh menjadikan kerelaan masyarakat sebagai ukuran dan tolok ukur bagi perbuatannya, namun dia juga harus berhati-hati agar masyarakat tidak berburuk sangka serta menuduhnya dengan tuduhan yang buruk.

p: 237

Dengan kata lain, manusia harus berbuat tidak karena orang dan tidak memberi peluang orang untuk berburuk sangka terhadap dirinya. Bagaimanapun juga, meraih keridaan Ilahi adalah sebuah keharusan dan manusia harus senantiasa berpikir apakah Allah Swt rela terhadap dirinya atau tidak. Banyak riwayat shahih yang secara mendalam berbicara tentang hal ini dan sudah kita bahas pada Buku Pertama. Mungkin, di antara semua riwayat itu, yang paling menarik adalah ucapan Imam Baqir as kepada Jabir bin Yazid al-Ju'fi yang juga telah dibahas. Tolok ukur penilaian dan apresiasi adalah kalam Ilahi, ketentuan serta hukum-Nya dan

bukan pandangan masyarakat; manusia tidak diperkenankan untuk menjadikan pandangan masyarakat sebagai tolok ukur atas perbuatan dan tindakannya. Yang harus dijadikan tolok ukur adalah apa yang dimaukan oleh Allah Swt, Rasul saw dan para Imam suci as.

Manusia tidak perlu sibuk untuk meraih kerelaan masyarakat, bahkan dia tidak diperkenankan untuk semata- mata mencari baik sangka mereka, karena hal itu dapat menjerumuskan manusia dalam sebuah bentuk kemusyrikan. Yang dianjurkan dan dipesankan adalah jangan berbuat hal-hal yang menjadikan masyarakat berpandangan buruk dan berburuk sangka (terhadap diri kita). Manusia tidak diperkenankan untuk melakukan serangkaian perbuatan agar dipuji dan dipuja oleh masyarakat. Seorang mukmin yang muwahhid hanya memerhatikan serta memikirkan keridaan Ilahi dan bukan selain-Nya. Akan tetapi, apabila seseorang

itu bersama Allah Swt, Allah juga akan menjadikan hati masyarakat terpaut serta jatuh cinta kepadanya. (Ditegaskan dalam al-Quran), Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati umat manusia) kecintaan terhadap mereka.(1)

p: 238


1- 60 QS. Maryam (197:96).

Seorang mukmin tidak boleh beramal demi keridaan serta kerelaan manusia, dia berbuat semata-mata demi meraih keridaan Ilahi; Nah, sebagai imbalannya, Allah Swt akan membuka hati mayarakat untuk mencintai dan menyukainya. Dari sisi lain, seorang mukmin juga tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang menjadikan masyarakat berpandangan buruk serta berburuk sangka terhadapnya. sebagai akibat dari tidak mengindahkan serta lalai dari pesan Ilahi yang mencerahkan ini, sebagian ahli tasawuf terjerumus dalam kekeliruan. Mereka memahami jihad al-nafs dan memerangi diri adalah dengan melakukan serangkaian

perbuatan yang justru mendatangkan kecaman, cemoohan serta buruk sangka dari masyarakat. Karena kelompok (mutashawwifah) ini beranggapan bahwa memerangi hawa nafsu adalah dengan menanggung cemoohan serta celaan orang lain, maka mereka dinamakan sebagai kelompok Malamatiyyah. Salah satu kelompok aliran tasawuf Ahlusunnah ini beranggapan bahwa melakukan hal-hal yang mendatangkan celaan dan cemoohan dari masyarakat akan menjadikan

seseorang memperoleh kedekatan di sisi Allah Swt. Tentu anggapan seperti ini tidaklah benar, karena Allah Swt tidak suka kepada seorang mukmin yang melakukan serangkaian perbuatan tidak terukur sehingga dia mendapatkan celaan serta tuduhan buruk dari masyarakatnya. Kemaslahatan kehidupan sosial yang Islami menuntut terciptanya suasana saling berbaik sangka di antara masyarakat. Ajaran Ilahi-samawi tidak mengizinkan kepada seorang mukmin untuk

memosisikan diri dalam sasaran tuhmah (tuduhan negatif) serta buruk sangka masyarakatnya.

Kewajiban untuk Menjaga Kehormatan dan Harga Diri

Allah Swt tidak mengizinkan seorang mukmin untuk menjatuhkan kehormatan dan harga dirinya sendiri, sebagaima Allah Swt juga melarang seorang mukmin untuk menjatuhkan

p: 239

harga diri dan kehormatan orang lain. Harga diri seorang mukmin sangatlah terhormat, karenanya sebagaimana orang lain tidak boleh menjatuhkan harga diri seorang mukmin, maka dia sendiri juga tidak boleh untuk melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan orang lain berburuk sangka atau mengambil kesimpulan yang buruk tentangnya. Seorang mukmin tidak boleh memosisikan dirinya dalam sasaran tuduhan dan buruk sangka, sebagaimana dia juga tidak boleh berburuk sangka dan menuduh orang lain. Sekalipun dalam praktik kedua hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan, yakni tidak berbuat semata-mata demi meraih kerelaan

manusia dan pada saat yang sama dia tidak boleh menempatkan dirinya dalam posisi tuduhan dan buruk sangka. Oleh sebab itu, sangat sulit menjaga batasan-batasan yang sangat tipis ini. Manusia dituntut untuk menutupi beragam dosa, maksiat dan keburukan diri. Apabila ada kekurangan atau aib diri yang tidak diketahui orang lain, dia tidak diperkenankan untuk membuka serta membeberkannya. Nah, apabila dia dapat menjaga prinsip ini dalam kehidupan sosial, masyarakat akan berbaik sangka kepadanya. Hal itu adalah salah satu kenikmatan yang Allah Swt anugerahkan kepadanya; dia harus menghargai nikmat itu, karena kepercayaan serta dukungan masyarakat adalah sebuah modal yang dapat digunakan dalam kepentingan materi maupun maknawi, yakni nikmat keberadaan teman dan dukungan masyarakat dapat digunakan untuk mengarungi jenjang-jenjang kesempurnaan serta tujuan-tujuan tinggi insani.

Boleh jadi, dukungan masyarakat, pandangan baik dan kepercayaan mereka, dapat menjadikan Anda bersemangat untuk mengubahnya menjadi sangka baik yang hakiki. Dengan kata lain, seandainya sisi kesempurnaan dan sifat-sifat baik itu benar-benar tidak ada pada diri Anda, berusahalah mewujudkan dan merealisasikannya. Umpamanya, apabila masyarakat menganggap Anda sebagai sosok orang yang

p: 240

bertakwa dan ahli salat malam (baca: tahajud), wujudkanlah prasangka baik mereka dalam kehidupan nyata. Apabila masyarakat menilai Anda sebagai orang yang baik, jujur dan berakhlak mulia, jangan pernah lagi berdusta, jangan juga melakukan perbuatan yang buruk atau mengeluarkan ucapan yang tidak baik. Singkat kata, jangan sia-siakan sangka baik masyarakat terhadap diri Anda. Sangka baik dan kepercayaan masyarakat ini merupakan modal yang sangat berharga,

terutama bagi mereka yang memiliki posisi, kedudukan serta tanggung jawab sosial. Karenanya mereka harus berusaha keras untuk menjaga pandangan baik masyarakat serta kepercayaan ini; dan hendaknya mereka menampilkan perilaku yang dapat menjaga kepercayaan masyarakat serta mendatangkan keridaan Allah Swt. Tentu tak sedikitpun diragukan, bagi seorang mukmin, muwahhid dan beriman sempurna-Imam Hasan Mujtaba as sebagai salah satu contoh nyatanya—nasihat-nasihat di atas sama sekali tidak mempunyai tempat, yakni tidak ada artinya bagi sosok seumpama Imam Hasan Mujtaba as dikatakan: “Karena masyarakat berperasangka baik kepadamu, maka berlakulah seperti sangka baik mereka.” Beliau adalah sosok yang telah membersihkan diri dari berbagai macam keburukan

karena Allah Swt. Beliau jauh-jauh hari telah merealisasikan apa yang menjadi sangka baik masyarakat. Sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya, nasihat ini pada hakikatnya ditujukan kepada masyarakat secara umum. Dan, masyarakat umum biasanya memiliki serangkai kesalahan dan aib yang tertutup dari orang lain dan karena itu orang lain berbaik sangka kepadanya dan memandangnya dengan penilaian positif.

Yang Merusak Hubungan Pertemanan

Salah satu poin penting yang harus diperhatikan dalam dunia pertemanan adalah menjaga hak-hak pertemanan

p: 241

dalam beragam situasi dan kondisi juga naik-turunnya roda kehidupan. Ketika menjalin hubungan pertemanan yang harmonis dengan seseorang, terkadang manusia lupa menjaga hak-hak si teman yang akhirnya berakibat pada terabaikannya hak-hak pertemanan. Salah satu hak teman yang mukmin adalah menghormati dan menghargainya di hadapan orang lain dan harus mendahulukannya dalam urusan kebaikan. Apabila teman mukmin kita membutuhkan sesusatu, kita harus segera memenuhinya. Akan tetapi, sangat disayangkan, terkadang kita sering melupakan hak-hak teman dan tanggung jawab kita terhadapnya, bahkan terkadang kita bisa melupakan sama sekali sosok dan identitasnya.

Mengabaikan hak di sini terjadi karena sebegitu akrabnya hubungan pertemanan di antara mereka. Dan, seperti inilah pada umumnya pergaulan, ketika sudah semakin akrab, mereka kurang menghormati satu sama lain. Bahkan hal ini bisa menjurus pada mengabaikan hak-hak pertemanan. Sebagai misal, karena hubungan pertemanan sudah sedemikian dekatnya, maka antarteman akan saling panggil dengan ucapan “kamu”, dan karena sudah terbiasa saling panggil dengan kata ganti tersebut, maka di hadapan banyak orang pun mereka akan saling panggil dengan kata ganti tersebut. Perlu diwaspadai, perilaku antarteman yang seperti ini lambat-laun akan mengurangi kedekatan dan kualitas hubungan pertemanan. Kedekatan hubungan pertemanan tidak boleh menjadi alasan untuk diabaikannya hak-hak pertemanan di mata umum, seperti sikap saling menghormati dan saling menghargai di antara teman.

Bagaimanapun juga, hak-hak teman harus dijaga dan tidak boleh ada yang bersikap melampaui batas. Jangan sampai keakraban dan kedekatan menjadi sebab untuk tidak menghormati serta menghargai teman, apalagi sampai mengabaikan hak-hak seorang teman. Karena bagaimanapun

p: 242

juga, setiap orang mempunyai posisi di tengah masyarakat yang harus dihormati dan dihargai. Prinsip dan kaidah akhlak ini juga harus dijaga dalam hubungan suami istri. Benar, antara suami istri telah tercipta hubungan yang sedemikian dekatnya. Akan tetapi, di hadapan khalayak dan masyarakat, suami istri tidak boleh berperilaku seperti ketika mereka di rumah dan tidak dalam pantauan orang lain. Di hadapan orang, suami istri dituntut untuk menjaga sikap dan saling menghormati, seperti suami harus menghormati istri dalam berbicara dan begitu juga sebaliknya. Boleh jadi, suami istri di rumah mempunyai cara berkomunikasi yang tidak terlalu formal dan menggunakan kata-kata yang sedikit bebas. Namun, di hadapan masyarakat, mereka harus berbicara dengan kalimat-kalimat yang lebih menunjukkan rasa hormat dan sesuai dengan nilai-nilai kesantunan. Setiap situasi dan kondisi mempunyai batasannya masing- masing dan menuntut sikap-sikap tertentu yang tidak bisa disamaratakan. Dan keakraban di antara teman tidak bisa dijadikan dalih atau alasan untuk tidak saling menghormati. Sikap-sikap yang tidak terukur dan melampaui batas justru akan membahayakan hubungan pertemanan. Apabila dengan alasan pertemanan kita mengabaikan hak-hak teman, pada hakikatnya tidak ada hubungan pertemanan yang tersisa. Imam Ali as dalam kaitan ini menegaskan, “Dan jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya."Temanmu mempunyai hak-hak atasmu dan engkau bertanggung jawab untuk menghormati serta menghargainya di tengah masyarakat. Hal ini sama sekali tidak akan mencederai kedekatan kita dengan teman-teman, namun bagaimanapun juga kita tetap dituntut untuk saling menghormati di hadapan umum.

p: 243

Apabila kita tidak menghormati dan menghargai hak-hak teman, pada hakikatnya hubungan pertemanan tersebut telah sirna. Apabila Anda hendak berteman dengan seseorang, jagalah hak-haknya sebagai teman; karena jika tidak Anda jaga hak-haknya, pada hakikatnya Anda adalah bukan temannya. (Mari kembali kita ingat apa yang diucapkan oleh Imam Ali as), Dan jangan sekali-kali engkau mengabaikan hak saudaramu dengan dalih kedekatanmu dengannya, karena sungguh bukanlah saudaramu orang yang engkau abaikan haknya.

Sikap l'tidal dalam Beragam Tanggung Jawab

Hal penting lain yang harus diperhatikan dan dibahas di sini adalah masalah menjaga i'tidal atau keseimbangan dalam menjalankan tanggung jawab dan memberikan hak-hak pertemanan. Mengabaikan poin penting ini akan mendatangkan banyak masalah bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab berat. Banyak sekali orang lantaran tanggung jawab besar yang dipikulnya di tengah masyarakat, menjadi tidak berdaya untuk menjalankan tanggung jawab terhadap

orang-orang dekatnya seperti istri dan anak-anak. Dia lalai untuk menjaga keseimbangan dalam menjalankan hak-hak dan tanggung jawab yang diembannya. Seperti halnya mereka yang mempunyai banyak pekerjaan dan super sibuk; dia sudah pergi keluar rumah di awal pagi sementara anak-anak masih

tidur dan baru pulang ke rumah di kala anak-anak sudah kembali tidur. Saya teringat cerita salah seorang syahid mulia yang berkata, “Karena kesibukan dalam kerja pengawasan dan evaluasi, saya selalu pulang tengah malam ketika anak-anak sudah pergi tidur dan saya sudah harus meninggalkan rumah

lagi sebelum mereka terbangun. Terkadang dalam satu bulan saya hanya dapat bertemu sekali dengan anak-anak di saat bangunnya.”

Boleh jadi banyaknya kesibukan dan pekerjaan menjadikan seseorang lalai atas tanggung jawab terhadap istri dan anak

p: 244

sehingga hak-hak mereka terabaikan. Bagaimanapun juga seseorang dituntut untuk dapat menjaga keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan tanggung jawab atas keluarga. Kebanyakan orang mengorbankan orang-orang dekatnya demi tuntasnya tanggung jawab sosial, atau setidaknya porsi yang lebih besar diberikan pada masalah-masalah sosial dan sedikit sekali diberikan pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Hal ini merupakan masalah besar yang harus

selalu mendapatkan teguran dan peringatan. Oleh karenanya Imam Alias berpesan, “Jangan sampai keluargamu menjadi orang-orang yang paling celaka di sisimu.” Ingatlah, Anda mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan mereka mempunyai hak-hak atasmu. Jangan sampai lantaran tidak memerhatikan hak-hak mereka, akhirnya mereka menjadi terabaikan dan mengalami kesulitan. Ingatlah, keluargamu mempunyai hak atasmu dan wajib untuk diberikan. Setidaknya, sama

ratakan perhatianmu atas anak-anakmu dengan orang lain.

Mereka adalah manusia yang juga mempunyai serangkaian hak atasmu. Jangan sampai kesibukan di luar menjadikan kita mengabaikan keluarga sendiri.

Para pelajar, mahasiswa, peneliti dan mereka yang merasa memiliki tanggung jawab sosial, tentu akan menghadapi tantangan yang berat dalam masalah ini. Mereka berpikiran bahwa studi dan penelitian tak ubahnya seperti pertahanan militer bagi sebuah negara yang wajib dilakukan. Seandainya sepanjang pagi dan malam digunakan untuk studi dan penelitian, masih saja kurang waktu yang dibutuhkan, karena pekerjaan penelitian serta setumpuk masalah yang belum

terselesaikan menuntut waktu lebih dari 24 jam. Oleh sebab itu, mereka mengabdikan seluruh waktunya untuk tugas-tugas studi dan penelitian dan mereka beristirahat hanya untuk sekadar makan dan minum. Nah, pekerjaan yang tak kenal batas waktu seperti ini, tentu menyebabkan terabaikannya

p: 245

hak-hak orang tua, istri dan anak-anak. Hal ini biasanya lebih dirasakan oleh istri dan kedua orang tua.

Mereka yang pergi ke luar kota untuk belajar (atau bekerja) biasanya akan menghadapi masalah ini, karena mereka tinggal jauh dari orang tua dan istri. Para istri dan ibu akan merasa kesepian dan hanya bisa menanti kapan suami atau anak mereka pulang. Kesibukan dalam studi atau pekerjaan tidak menyisakan waktu bagi mereka untuk menjalankan tugas-tugas serta tanggung jawab dalam keluarga. Mereka bahkan sampai tidak punya waktu untuk sekadar menanyakan keadaan

orang tua dan istrinya. Sepertinya mereka tidak mengenal apa-apa selain buku dan pena, karenanya ketika pulang ke rumah pun mereka masih saja sibuk dengan berbagai catatan serta penelitiannya. Mereka tidak lagi sempat menanyakan keadaan orang tua yang sudah renta atau anak yang sedang sakit. Orang-orang seperti ini telah lalai dengan tanggung jawab terhadap keluarga atau jika tidak lalai mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mengurusi orang tua, istri dan anak-anaknya.

Jelas sekali bahwa studi pada masa kini tak ubahnya seperti masalah pertahanan dan aktivitas sosial lainnya yang bersifat harus dan wajib. Namun kita harus menyadari bahwa apabila hal itu menjadikan terabaikannya hak-hak keluarga, studi itu tidak pantas untuk dilanjutkan selain tidak akan pernah memberikan manfaat yang berarti. Sikap tidak peduli dan mengabaikan keluarga yang di dalamnya ada orang tua,

istri dan anak-anak, bisa berakibat pada munculnya masalah-masalah mental dan psikologis yang sulit untuk diobati. Dampak buruk lainnya adalah akan berkembang anak-anak yang asing dan tidak kenal dengan agama lantaran kurang mendapat tarbiah dan perhatian, sehingga menjadi masalah dan bencana bagi keluarga dan masyarakat umum. Imam Ali as mengingatkan, “Jangan sampai keluargamu menjadi orang-

p: 246

orang yang paling celaka di sisimu.” Yakni, jangan sampai keluarga kita menjadi orang-orang yang paling dirugikan lantaran sikap kita yang keliru dan kurang peduli. Bukan tidak mungkin, sikap keliru dan tidak peduli kita akan menjadikan mereka sengsara dan celaka. Oleh sebab itu, janganlah kita melakukan hal-hal yang menjadi penyebab penyimpangan serta kehancuran istri, anak-anak dan orang-orang terdekat kita sendiri. Sikap tidak peduli dan lalai merupakan sikap yang tidak sesuai dengan apa yang dipesankan oleh Maula al-Muttaqin Imam Ali as.()

p: 247

p: 248

36-ADAB PERTEMANAN (3)

Point

وَلاَ تَرْغَبَنَّ فِی مَنْ زَهِدَ فِیکَ، وَلاَیَکُونَنَّ أَخُوکَ أَقْوَی عَلَی قَطِیعَتِکَ مِنْکَ عَلَی صِلَتِهِ وَلاَیَکُونَنَّ(1) عَلَی الاِْسَاءَةِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الاِْحْسَانِ، وَلاَ عَلَی الْبُخْلِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الْبَذْلِ، وَلاَعَلَی التَّقْصِیرِ أَقْوَی مِنْکَ عَلَی الْفَضْلِ، وَلاَیَکْبُرَنَّ عَلَیْکَ ظُلْمُ مَنْ ظَلَمَکَ فَإِنَّهُ یَسْعَی فِی مَضرَّتِهِ وَنَفعِکَ، ولَیْسَ جَزَاءُ مَنْ سَرَّکَ أَنْ تَسُوءُهُ

Janganlah engkau berharap kepada orang yang menahan diri darimu. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan silaturahmi daripada engkau dalam menyambungnya. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam melakukan keburukan. dari pada engkau dalam berbuat kebaikan. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam kebakhilan daripada engkau dalam kedermawanan. Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam ketidakpedulian dan penolakan daripada engkau dalam kepedulian dan pemberian. Jangan sampai kezaliman orang yang menzalimimu menjadi besar dalam pandanganmu.

Dalam sebagian naskah dinukil “la takunanna” bukan “la yakun-anna”, sehingga pesan Imam Ali as akan berarti demikian: Jangan sampai kecenderunganmu untuk berbuat keburukan lebih kuat daripada kecenderunganmu untuk berbuat kebaikan. Jangan sampai kecenderunganmu pada kebakhilan lebih kuat daripada kecend-

erunganmu pada kedermawanan. Jangan sampai kecenderunganmu pada kekurangan (dalam berkhidmat) lebih kuat daripada kecenderunganmu pada keutamaan dalam berkhidmat.

p: 249

sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu. Dan balasan bagi orang yang membahagiakanmu bukanlah dengan engkau berbuat buruk dan menyakitinya. Salah satu tugas besar akhlaki seorang insan muslim, terkhusus pengikut ajaran Imam Ja'far Shadiq as yang telah ditekankan dalam banyak riwayat adalah menjaga hak-hak pertemanan dan ikhwan. Kata “ikhwan” dalam istilah Arab dan Islam tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu,

tetapi merupakan sebuah ungkapan umum yang hampir sama dengan kata “saudara”. Istilah ini pascarevolusi (Revolusi Iran 1979) telah menjadi sebutan populer dalam budaya sosial masyarakat kita ketika antara muslimin dan mukminin saling panggil dengan sebutan itu. Yang dimaksud dengan hak-hak ikhwan di sini adalah hak-hak orang-orang yang bergaul dan berteman dengan kita. Di dalam Islam, terkhusus dalam ajaran Ahlulbait, terdapat banyak hak yang diperuntukkan bagi ikhwan. Kita harus mengenal hak-hak tersebut dan menjaganya. Dari situlah kita akan menunjukkan kesetiaan kepada teman-teman kita. Kesetiaan terhadap teman itu sendiri merupakan sebuah nilai insani yang sangat tinggi dan ditekankan dalam ajaran Islam. Bagian wasiat dan pesan Imam Ali as ini juga membahas tentang pergaulan, hak teman, cara memilih teman dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sikap Kurang Kasih Sayang Jauh Lebih Baik Daripada Sikap Kasar

Sebagaimana yang telah dibahas, motivasi pertemanan dan ketertarikan antarmanusia sangatlah beragam dan bermacam-macam. Karena melihat ketakwaan seseorang, ketinggian ilmu atau kesempurnaan lainnya, kadang manusia menjalin hubungan pertemanan dengannya. Terkadang hubungan pertemanan berlangsung secara bertepuk sebelah tangan”, yakni yang satu tertarik untuk berteman sementara yang lain tidak. Nah, (Imam Ali as) menasihati untuk tidak memaksakan

p: 250

pertemanan dengan orang yang tidak ingin berteman dengan kita. Apabila Anda telah berusaha untuk mendekatkan diri dengan seseorang dan dia tidak merespon positif usaha Anda, maka jangan paksakan pertemanan dengannya. Dalam kaitan ini beliau menegaskan yang maknanya, “Apabila engkau telah berusaha untuk menjalin pertemanan dengan seseorang, namun dia tidak tertarik berteman denganmu, maka jangan pernah memaksakannya, karena hal itu hanya akan

menyebabkan kerendahan serta kehinaanmu. Masih banyak orang lain yang bisa kaupilih untuk berteman dengannya secara tulus. Apabila engkau memaksa sementara dia tidak mau berteman, usahamu hanya akan membuang-buang waktu dan energi, dan engkau tidak akan mendapatkan manfaat apa- apa darinya. Oleh sebab itu, bertemanlah dengan mereka yang memang mau berteman denganmu, karena pertemanan tidak bisa dibangun secara sepihak dan bertepuk sebelah tangan. Ketertarikan kedua belah pihak merupakan syarat utama dalam membangun sebuah ikatan pertemanan. Adapun bagi dua orang mukmin yang telah mencapai tingkat keimanan tertentu, maka yang menjadi ukuran pertemanan adalah kualitas keimanan itu sendiri. Apabila kedua belah pihak telah masuk dalam golongan orang-orang yang beriman, keduanya pasti akan saling menyukai, dan ketika itu tidak ada hal lain yang menjadi perekat hubungan pertemanan mereka selain keimanan."

Singkat kata, apabila dalam lingkungan kehidupan dan hubungan pertemanan, Anda melihat adanya orang-orang yang tidak suka untuk berteman dengan Anda, maka jangan pernah memaksakan pertemanan dengannya, karena hubungan yang seperti itu tidak akan pernah mendatangkan kebaikan. Tak diragukan, ketidak tertarikan orang lain untuk berteman dengan kita bisa disebabkan oleh beberapa sebab. Boleh jadi, pihak lain tidak mau berteman dengan kita karena kesalahpahaman atau perasangka buruk. Nah, semua itu

p: 251

harus diluruskan terlebih dahulu. Akan tetapi, apabila upaya pelurusan dan menghilangkan kesalahpahaman serta buruk sangka sudah dilakukan dan pihak lain tetap tidak tertarik untuk berteman dengan kita, maka memaksakan pertemanan dengannya hanya akan membuang waktu dan energi secara sia-sia; selain tidak akan mendatangkan manfaat apa-apa kecuali kehinaan diri dan penyesalan. Imam Ali as berkata, “Wa la targhabanna fi man zahida fika. Janganlah engkau

berharap kepada orang yang menahan diri darimu.” Atau bisa juga dimaknai sebagai berikut: “Jangan pautkan hatimu kepada orang yang tidak suka padamu.” Apabila seseorang telah menunjukkan ketidaktertarikannya padamu, janganlah engkau menunjukkan ketertarikan padanya dan jangan pula memaksa diri untuk menjalin hubungan pertemanan dengannya.

Hubungan Pertemanan Tidak Akan Pudar

Pesan dan wasiat Imam Ali as ini mengajarkan kepada kita tentang langkah-langkah awal dalam membangun hubungan pertemanan serta tahapan-tahapannya. Adakalanya permintaan pertemanan itu diterima dan adakalanya permintaan pertemanan ditolak; dan bila ditolak, kita tidak boleh memaksakannya. Sedangkan ketika permintaan pertemanan diterima, maka hal itu memerlukan penyikapan serta tindak lanjut tertentu. Ketika seseorang telah memilih teman dan merasa saling suka dan cocok sehingga hubungan pertemanan berjalan selama beberapa waktu; apabila kemudian terjadi permasalahan dan salah satu menghendaki putusnya hubungan pertamanan, apa yang harus dilakukan? Apakah langkah yang harus diambil adalah seperti apa yang telah dibahas di atas, yakni karena kautidak ingin menjalin hubungan denganku, maka aku tidak akan memaksakannya dan karena engkau tidak menjaga hak-hak pertemanan, maka aku juga tidak akan menjaga hak-hakmu; seperti itukah sikap

p: 252

yang benar? Jawabannya adalah tidak, tidak seperti itu. Di sini kita harus menjalankan adab pergaulan dan pertemanan yang telah diajarkan untuk mengambil sikap serta reaksi yang benar dan tepat.

Apabila sebuah hubungan pertemanan telah dibangun di atas dasar-dasar agama secara benar, kita tidak diperbolehkan untuk merusak hubungan tersebut. Apabila kita telah memilih teman yang baik dalam urusan dunia dan agama, yakni sebuah hubungan pertemanan yang diridai oleh Allah Swt, kita tidak boleh segera memutuskan hubungan tersebut hanya karena teman kita berniat untuk memutuskan hubungan pertemanan. Yang harus kita lakukan justru sebaliknya, yakni kita berusaha untuk kembali memperkuat hubungan yang sudah mulai melemah. Kita tidak boleh kehilangan teman hanya karena alasan-alasan yang sepele. Memang

benar, dalam mengawali hubungan pertemanan, seseorang tidak dianjurkan untuk memaksakan sebuah hubungan. Akan tetapi, apabila pertemanan telah terjalin, kita juga tidak boleh merusak hubungan tersebut dengan alasan yang tidak begitu penting. Dalam kaitan ini, telah banyak keterangan serta bimbingan yang sampai dari para Imam as dan sebagiannya telah kita singgung pada bahasan-bahasan yang lalu. Di sini, Imam Ali as memberikan penjelasan lain yang maknanya:

Apabila temanmu berkehendak untuk memutuskan hubungan pertemanan, janganlah engkau mengambil langkah yang sama, tetapi engkau justru harus menjaga serta mempertahankan hubungan yang telah terjalin indah di masa lalu. Jangan pernah engkau memutuskan sebuah hubungan pertemanan yang telah terjalin. Engkau harus berusaha seperti dua pegulat yang bertarung dan berusaha keluar sebagai pemenang. Berjuang dan bertahanlah untuk tetap menjaga hubungan

pertemanan. Jangan sampai pihak yang menghendaki putusnya hubungan pertemanan keluar sebagai pemenang; justru engkau yang harus menang dalam mempertahankan

p: 253

hubungan pertemanan. Engkau harus mengerahkan segala kemampuan yang ada untuk mempertahankan dan menjaga hubungan pertemanan Ilahi yang telah lama terjalin dan menangkan pertarungan dalam menjaga hubungan tersebut. Beliau berkata, “Waspadalah terhadap orang yang hendak memutuskan hubungan pertemanan; jangan sampai dia menang dan pertemananmu akhirnya terputus dengannya. Usahakan kekuatanmu dalam mempertahankan pertemanan lebih unggul daripada kekuatannya dalam memutus hubungan pertemanan. Jangan sampai engkau menghadapinya dengan kelemahan sementara dia berusaha memutus hubungan pertemanan dengan kekuatan penuh.”

Ungkapan Imam Ali as di sini memberikan motivasi serta kekuatan yang luar biasa dalam mempertahankan hubungan pertemanan. Beliau mengajak kita untuk

mengerahkan kemampuan maksimal dalam mempertahankan pertemanan seraya berkata, “Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan silaturahmi daripada engkau dalam menyambungnya.” Apabila temanmu melanggar janji dan berusaha memutus hubungan pertemanan lalu engkau menyerah begitu saja padanya, ketahuilah bahwa engkau lebih lemah daripada dia sehingga engkau pasrah dan tunduk padanya. Apabila kita mau mengikuti nasihat Imam Ali

as di sini, kita harus lebih kuat dari orang yang berusaha memutus hubungan silaturahmi dan jangan biarkan dia menang dalam memutus hubungan pertemanan. Oleh sebab itu, apabila hubungan pertemanan yang engkau jalani adalah hubungan pertemanan yang diridai oleh Allah Swt, engkau berkewajiban untuk menjaga serta mempertahankannya, dan jangan sampai hubungan tersebut putus akibat alasan-alasan yang sepele. Hal itu disebabkan, keberadaan seorang teman

baik dalam kehidupan ukhrawi dan dunia sangatlah penting dan berharga.

p: 254

Kecenderungan-Kecenderungan yang Berlawanan

Berbagai konflik internal antara dua poros yang saling berlawanan dan pertarungan yang berlangsung secara terus menerus antardua macam kecenderungan, selalu memosisikan manusia dalam dua pilihan yang sulit. Pada bagian ini, Imam Ali as menjelaskan tentang perlawanan antarteman dan sikap yang harus diambil; beliau berkata, “Jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam melakukan keburukan dari pada engkau dalam

berbuat kebaikan.” Sebelum ini, beliau telah menjelaskan bahwa jangan sampai saudaramu lebih kuat dalam memutus hubungan pertemanan daripada engkau dalam menjaga serta mempertahankan hubungan tersebut. Jangan biarkan saudaramu dengan kecenderungan-kecenderungan negatifnya keluar sebagai pemenang dalam memutus hubungan pertemanan.

Sebagaimana yang telah disinggung di awal pembahasan, terdapat naskah yang ungkapan “la yakunanna” dinukil dengan “la takunanna”. Apabila yang diambil adalah nukilan “la yakunanna”, maka yang dipahami adalah terdapat sebuah perbandingan serta perlawanan antardua macam kecenderungan, karena manusia memiliki kemampuan dan potensi untuk melakukan bermacam-macam aktivitas dan perbuatan. Keragaman kecenderungan ini begitu luas liputannya. Karenanya, pesandan nasihat ImamAliasini berlaku baik pada hubungan pertemanan maupun pada hubungan- hubungan lainnya. Sebagai misal, dalam hal pertemanan

terdapat dua macam kecenderungan dalam diri manusia yang saling bertentangan. Pada satu sisi ada kecenderungan yang menarik manusia untuk berbuat baik, melayani, bersikap peduli, bersikap ramah dan sebagainya, namun pada sisi lain, terdapat kecenderungan yang menarik manusia untuk berbuat jahat, buruk, bersikap kasar, berkhianat dan sebagainya. Dua kecenderungan atau dua potensi ini, keduanya berada di bawah ikhtiar manusia. Manusia mempunyai kuasa penuh

p: 255

untuk mengambil serta menindaklanjuti kecenderungan yang mana saja. Di sinilah kemudian Imam Ali as menjelaskan jalan yang benar serta kecenderungan mana yang harus dipilih seraya berkata, “Kemampuan untuk berbuat baik dan ihsan tidak boleh lebih lemah dari kemampuan untuk berbuat buruk dan jahat. Usahamu untuk berbuat baik, bersikap ramah, setia dan peduli kepada teman, harus lebih keras dibandingkan kecenderunganmu untuk berbuat buruk, berkhianat, bersikap

kasar dan tidak peduli.”

Di dalam batin Anda terdapat dua faktor serta kekuatan yang saling bertarung. Satu kekuatan berkata kepada Anda, Segera putuskan hubungan pertemanan. Apabila engkau melihat ketidaksetiaan dan mendapatkan perlakuan yang tidak ramah dari temanmu, segera balas dia dengan sikap dan perlakuan yang sama. Apabila dia berkhianat serta tidak peduli padamu dan meninggalkanmu di kala engkau membutuhkan bantuannya, tinggalkanlah dia saat membutuhkanmu dan perlakukan sebagaimana dia memperlakukanmu. Akan tetapi, di dalam dirimu terdapat kecenderungan lain yang berkata, Jaga dan pertahankanlah hubungan persahabatanmu. Setialah pada janji pertemanan dan jangan biarkan hubungan pertemanan menjadi rusak, bahkan berbesar hatilah untuk membalas engkhianatan

dan sikap tak kenal budi dengan perlakuan baik dan cinta. Jangan pernah kautinggalkan sikap baik dan perlakuan yang sarat cinta dan kasih sayang. Apabila sahabatmu berlaku buruk dan tidak setia, jangan sekali-kali engkau membalasnya dengan keburukan yang sama. Tetaplah setia pada ikatan persahabatan dan jangan pernah kaulepas dan rusak hubungan persahabatan Ilahimu apa pun taruhannya.

Dua faktor dan kecenderungan dalam batin ini selalu bertarung dan tarik-menarik, dan berusahalah untuk melangkah pada arah kecenderungan yang positif.

p: 256

Telah sama-sama kita pahami, pembicaraan Imam Ali as sebelum ini adalah perbandingan antara sikap dua teman yang salah satunya positif dan yang lain negatif. Akan tetapi di sini, beliau berbicara tentang dua kecenderungan yang saling berlawanan dalam diri manusia, di mana yang satu mengajak manusia untuk berbuat buruk, tak mengenal balas budi dan merusak hubungan pertemanan, sementara yang lain mengajak manusia untuk berbuat baik, kesetiaan, ketulusan dan menjaga hubungan pertemanan. Beliau berwasiat kepada kita untuk memilih kecenderungan yang kedua serya berkata, “Berusahalah untuk memperkuat kecenderungan yang kedua dalam dirimu, yakni ambil dan tindak lanjuti kecenderungan yang mengajakmu untuk berbuat baik, setia, berkhidmat dan berihsan kepada orang lain. Jangan sekali-kali engkau biarkan kecenderungan yang negatif menang atas kecenderungan- kecenderungan yang positif, sehingga engkau menjadi tidak setia dan berihsan terhadap orang lain terlebih sahabatmu. Imam Ali as menegaskan, “Wa la takunanna ‘alal isaati aqwa minka ‘alal ihsani. Jangan sampai kemampuanmu untuk

berbuat keburukan lebih besar daripada kemampuanmu untuk berbuat kebaikan. Berusahalah agar keinginanmu untuk berbuat kebaikan lebih besar dari pada keinginanmu untuk berbuat keburukan.” Berusahalah selalu dalam perbuatanmu untuk menginginkan kebaikan bagi orang lain dan berihsanterhadap mereka.

Demikian pula, jadikan kedermawananmu lebih kuat dan lebih besar daripada kekikiranmu. Apabila terbuka kesempatan bagimu untuk memberikan bantuan dalam masalah finansial dan materi, jangan sampai kesempatan tersebut terlewat darimu. Di dalam diri manusia terjadi pertarungan antara mendermakan

harta untuk kepentingan orang lain atau menyimpan harta untuk kepentingan diri sendiri; yang pertama disebut sebagai kedermawanan dan yang kedua adalah kekikiran atau "bukh”. Dalam kaitan ini, Imam Ali as memberikan nasihat, “Jadikan

p: 257

kecenderunganmu untuk mendermakan harta lebih kuat daripada kecenderunganmu untuk menyimpannya.” Dengan kata lain, meskipun kedua kecenderungan itu ada pada diri manusia, tetapi engkau harus berusaha memenangkan kecenderungan berderma atas kebakhilan dan kekikiran. Jadikanlah dirimu selalu bersemangat untuk membantu orang lain dalam masalah-masalah finansial.

Menebar Cinta atau Kikir atas Kasih Sayang dan Keramahan?

Tak diragukan, bantuan yang bisa diberikan kepada teman atau orang lain tidak hanya terbatas pada bantuan- bantuan keuangan dan materi, sebagaimana tidak semua problem bermuara pada masalah-masalah tersebut. Terkadang sebuah problem dapat diselesaikan dengan perbincangan dan tidak mungkin diselesaikan dengan uang. Sebagai misal, keharmonisan hubungan di antara dua orang teman mulai memudar disebabkan oleh beberapa faktor sehingga hubungan mereka menjadi renggang. Nah, masalah ini mungkin bisa diselesaikan apabila salah satu mau mendatangi yang lain dan menjelaskan duduk perkara dengan tenang atau meminta maaf bila memang terjadi sebuah kesalahan, sehingga hubungan pertemanan mereka kembali baik dan berjalan sebagaimana mestinya. Jelas sekali, tindakan di atas jauh lebih efektif dalam memulihkan hubungan pertemanan dibanding dengan bantuan keuangan.

Banyak masalah dan problem yang uang sama sekali tidak berdaya untuk memberikan solusi, tetapi ada cara dan jalan lain yang bisa menyelesaikannya. Contohnya, sikap perhatian dan peduli kepada teman sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan bantuan keuangan dan santunan. Sikap peduli dan perhatian terhadap teman merupakan sebuah keutamaan dan ihsan. Sebaliknya, sikap acuh tak acuh adalah cerminan dari keegoisan dan hedonisme. Di sinilah Imam Ali as menegaskan

p: 258

yang maknanya: Jangan sampai kemampuanmu untuk berderma dan berihsan lebih kecil daripada kemampuanmu untuk menahan pemberian dan mencintai diri sendiri.

Antara Memaafkan dan Balas Dendam

Yang telah dibicarakan selama ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan pergaulan dan menjaga hubungan persaudaraan serta pertemanan. Kini mari kita mengkaji dan melihat lebih jauh apa yang menjadi tugas insani-islami kita bila berhadapan dengan masalah memudar serta merenggangnya hubungan pertemanan. Adakalanya seseorang dihadapkan pada situasi dan kondisi dalam hubungan pertemanan ketika dia dikhianati atau bahkan dizalimi oleh temannya sendiri. Nah, apa yang harus dia lakukan? Apa yang menjadi tugas insani-islaminya dalam keadaan seperti itu?

Dalam situasi normal, manusia sangat peka terhadap orang yang hendak berbuat buruk atau merugikan dirinya. Kondisi kejiwaan yang seperti ini bukanlah sesuatu yang buruk, justru bermanfaat dan berguna baginya. Apabila manusia tidak peduli atas sebuah kezaliman yang menimpa dirinya dan membiarkan begitu saja setiap orang yang berbuat zalim kepadanya, dia tidak akan pernah meraih keberhasilan, baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Tak diragukan, manusia tidak boleh menjadi orang yang pasrah dan menerima kezaliman tanpa berbuat apa-apa. Akan tetapi, di dalam dunia pertemanan dan persahabatan, ada nuansa yang sedikit berbeda. Apabila ada orang asing berlaku zalim kepadamu, berikan balasan yang sesuai dengan kezaliman yang dilakukan. Namun, apabila yang

berlaku zalim terhadapmu adalah seorang teman, hal tersebut menuntut balasan tersendiri. Apabila temanmu berlaku zalim kepadamu, engkau tidak boleh segera melakukan balasan serta reaksi yang terlalu cepat tanpa dipikir masak-masak. Karena

p: 259

bersabar atas kezaliman yang diperbuat oleh teman seringkali mendatangkan dampak positif yang tak terhingga, dan oleh sebab itu hal ini diwasiatkan dan dipesankan oleh Maula al- Muttaqin Ali bin Abi Thalib as. Salah satu bahasan yang terpapar dalam etika sosial adalah bagaimana cara menaggapi kezaliman atau perbuatan yang melampaui batas dalam lingkungan pertemanan. Apakah harus ditanggapi dengan memberikan balasan yang setimpal? Apakah diperlukan penyikapan yang keras, bermuka masam dan melakukan balas dendam? Ataukah, harus menutup mata dan mengabaikannya begitu saja? Dalam ajaran agama, kedua bentuk penyikapan lembut dan keras telah diajarkan, meskipun masing-masing penyikapan mempunyai tempat khususnya. Dalam atmosfer pertemanan dan nuansa persahabatan, kita dianjurkan untuk menutup mata dan memaafkan. Sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Maidah ayat ke-13: Fa'fu 'anhum washfah innallaha yuhibbul muhsinin. Maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dengan kata lain, maafkanlah mereka sebagaimana engkau ingin dimaafkan oleh Allah Swt. Ayat ini dengan jelas telah menerangkan betapa penting sikap memaafkan serta mengabaikan kesalahan orang. Sekalipun dalam beberapa situasi dan kondisi kita juga dianjurkan untuk melakukan pembalasan setimpal dan perlawanan, terlebih

terhadap musuh-musuh agama. Tentu dalam kaitan ini banyak sekali yang dapat dibicarakan, seperti kapan harus memaafkan dan kapan harus melakukan perlawanan dan memberikan balasan. Apakah begitu mendapatkan perlakuan yang zalim, kita harus segera melakukan kisas, membalas dan merebut kembali hak

kita? Apakah orang yang berbuat zalim terhadap harta dan kemuliaan kita, sebaiknya diabaikan dan dibiarkan begitu saja tanpa diberi peringatan? Kajian atas ayat dan riwayat secara

p: 260

umum telah menunjukkan bahwa orang yang dizalimi berhak untuk melakukan perlawanan dan pembalasan terhadap pelaku kezaliman. Namun, hak tersebut adalah hak menurut undang- undang (syariat), sementara dari sisi etika dan akhlak, tidak ada anjuran yang begitu.

Tidak dipungkiri, membiarkan pelaku kezaliman tanpa balasan akan membuat si pelaku tidak jera dan termotivasi untuk melakukan kezaliman itu lagi, baik kepada orang yang sama maupun yang lain. Demikian pula halnya dengan memaafkan pelaku kezaliman yang dapat membuat si pelaku berani untuk mengulangi perbuatan buruknya. Oleh sebab itu, dalam beberapa kasus, pelaku kezaliman harus mendapatkan perlawanan dan balasan sebagai pelajaran dan upaya mencegah berulangnya kemungkaran (baca: nahi mungkar).

Sekalipun Anda bisa mengabaikan dan memaafkannya, Anda juga bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran bagi si pelaku kezaliman agar tidak mengulangi perbuatannya. Perbuatan buruknya harus mendapatkan balasan yang menjerakan agar si pelaku takut dan tidak berani menginjak-injak hak orang lain.

Perlu juga dipahami, ketika hak seseorang terabaikan dan terampas, maka sebenarnya ada hak Tuhan yang terampas, yakni si pelaku kezaliman telah melakukan kezaliman yang lebih besar terhadap dirinya sendiri. Oleh sebab itu, kita tidak boleh membiarkan pelaku kezaliman melakukan perbuatan buruknya tanpa ada yang mengingatkan atau menghentikan keburukannya, sehingga dia terdidik sebagai individu yang terbiasa berbuat dosa. Akhlak Islam menuntut kita untuk mengkhawatirkan serta menyelamatkan orang yang suka berbuat dosa. Apabila para pelaku kezaliman dibiarkan begitu saja, bukan hanya hak orang lain yang terampas dan terinjak-injak, tetapi para pelaku kezaliman itu sendiri juga akan merugi dan menjadi rusak kepribadiannya. Untuk mencegah

p: 261

perbuatan dosa dan terulangnya keburukan, si pelaku harus diberi perlawanan serta balasan agar mendapatkan peringatan dan menjadi jera. Dalam beberapa kasus tertentu, kisas dan memberikan balasan yang setimpal terhadap pelaku kezaliman jauh lebih baik ketimbang memaafkan dan membiarkannya, karena memaafkan dan membiarkan pelaku kezaliman akan menjadikan si pelaku berani mengulangi perbuatan buruknya. Berbeda apabila si pelaku kezaliman mendapatkan balasan, apalagi seandainya perbuatan buruk itu masih pada fase-fase awal, maka si pelaku akan segera jera. Selain itu, dengan melihat balasan serta perlawanan yang diterima oleh si pelaku kezaliman, orang lain juga akan mengambil pelajaran untuk tidak melakukan kezaliman serta perbuatan buruk yang

sama. Adakalanya memberikan perlawanan serta balasan yang setimpal kepada pelaku kezaliman, bukan hanya tidak memperbaiki perilaku si pelaku, tetapi justru membuatnya semakin bersemangat dalam melakukan serta meningkatkan perbuatan buruknya secara kuantitas dan kualitas. Ada orang-orang yang bila diberi peringatan, Dia menjadi semakin kasar, kecurigaannya meningkat dan permusuhannya semakin menggila. Nah, dalam kasus yang seperti ini, bisa jadi membiarkan serta mengabaikannya akan lebih baik ketimbang melakukan balasan serta perlawanan, karena bagaimanapun juga dia tidak bisa dibenahi, dan sebaiknya kita

tidak memberinya energi untuk semakin meningkatkan dan menambah keburukan. Dengan demikian, dalam menyikapi sebuah kezaliman, adakalanya kita harus memberikan pelajaran kepada si pelaku agar jera dan kembali ke jalan yang benar. Adakalanya pula kita perlu membalas keburukan dengan kebaikan agar si pelaku keburukan menjadi malu serta menyadari kesalahannya. Boleh jadi, balasan yang baik atas keburukan dapat menyadarkan si pelaku keburukan.

p: 262

Al-Quran telah menunjukkan kedua cara penyikapan di atas. Terkadang al-Quran mengajak kita untuk membalas keburukan dengan kebaikan, Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan eolah-olah telah menjadi teman yang setia.(1) Apabila seseorang berbuat buruk terhadapmu, balaslah keburukannya itu dengan kebaikan, sehingga dia akan sadar, mengubah sikap buruknya dan boleh jadi akan menjadi teman yang setia. Adakalanya menutup mata terhadap kezaliman serta perlakuan buruk orang lain, atau mencarikan alasan yang baik atas perbuatan buruk, dapat memberikan pengaruh positif yang luar biasa terhadap si pelaku. Umpamanya, dalam memberi alasan atau memaafkan keburukan orang lain, dikatakan, “Saya mengerti bahwa Anda terpaksa melakukannya dan Anda sebenarnya tidak berniat untuk melakukannya.” Atau, apabila si pelaku datang kepada Anda dan mengakui kesalahan, Anda membalasnya dengan ucapan, “Tidak apa-apa, tidak ada masalah besar yang telah terjadi. Aku mengerti bahwa Anda berada dalam sebuah situasi dan kondisi yang memaksa Anda untuk melakukan perbuatan tersebut. Ini merupakan kebetulan dan ketidaksengajaan, karena tidak mungkin orang seumpama Anda melakukan perbuatan yang seperti ini.” Alhasil, rangkailah kalimat dan kata-kata yang menjadikan orang tersebut menyadari kesalahan serta kekeliruannya. Nah, dalam kasus seperti ini, tentu memaafkan jauh lebih baik ketimbang menghukum dan membalas si pelaku keburukan dan kejahatan.

Menzalimi Diri Sendiri

Tak pelak lagi, memaafkan jauh lebih baik daripada balas dendam atau memberikan balasan yang setimpal, sekalipun bila berkaitan dengan teman terdapat kewajiban dan tanggung

p: 263


1- 62 QS. Fushshilat [41]:34.

jawab yang lebih berat. Menyaksikan perbuatan zalim yang dilakukan oleh seorang teman jauh lebih menyakitkan ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh orang lain, karena sensitivitas seseorang lebih tinggi terhadap seorang teman ketimbang orang lain. Karenanya sering dikatakan: "Tanah yang disiramkan oleh seorang teman jauh lebih menyakitkan ketimbang batu yang dilemparkan musuh.” Nah, ketika kita hendak memberikan reaksi serta penyikapan yang baik terhadap perbuatan buruk teman dan dari sisi lain kita juga ingin merasa puas dengan sikap kita, maka apa yang harus kita lakukan? Dalam kaitan ini, Imam Ali as berkata (yang maknanya): “Renungkan dan pikirkan, apakah orang yang berbuat zalim terhadapmu pada hakikatnya lebih merugikan dirinya sendiri atau dirimu? Dengan perbuatan zalim itu berarti dia telah berbuat dosa yang berakibat murka Allah dan siksa-Nya. Masih banyak efek buruk lain yang akan menimpa dirinya. Allah Swt tidak akan pernah tinggal diam atas setiap kezaliman yang terjadi. Dia menyediakan azab di dunia bagi para pelaku kezaliman sebelum azab ukhrawi.”

Dengan perenungan sederhana, Anda akan memahami bahwa dengan sedikit kezaliman yang dia lakukan terhadap Anda, dia telah banyak menzalimi dirinya sendiri. Dengan kata lain, kerugian yang dia timpakan kepadamu tidak bisa dibandingkan dengan banyaknya kerugian yang dia timpakan atas dirinya sendiri. Boleh jadi, ada sedikit hartamu yang diambil atau kehormatanmu yang dicederai, namun semua itu hanyalah masalah-masalah kecil yang segera berlalu dan terlupakan; sementara dia dengan dosa ini akan menanggung beban dosa hingga hari Kiamat dan selama engkau tidak memaafkannya, maka Allah Swt juga tidak akan meridai dan

mengampuninya. Dengan demikian, dia lebih merugikan serta membahayakan dirinya ketimbang dirimu. Dari sisi lain, apabila Anda kemudian memaafkannya, Anda berkesempatan untuk meraih pahala yang sangat besar, karena pemberian

p: 264

maaf akan mendatangkan pahala yang tak terkira nilainya. Perbuatan zalimnya terhadap Anda bisa berubah menjadi kesempatan mendulang pahala bagi Anda dan kerugian yang pasti baginya. Dengan begitu, Anda dapat memahami bahwa apabila ada orang yang berbuat jahat terhadap Anda, pada hakikatnya dia telah merugikan dirinya sendiri dan memberi Anda keuntungan yang luar biasa. Dengan cara berpikir yang seperti ini, Anda akan mudah memaafkan seorang teman

yang berbuat jahat. Sebaliknya, apabila Anda berpikir negatif dan berkata dalam hati, Sungguh keterlaluan apa yang dia perbuat terhadap diriku, padahal pertemanan di antara kita sudah berlangsung lama! Bagaimana dia sampai hati untuk melakukan kejahatan ini terhadap diriku!

Jika Anda berpikir seperti ini, kejahatannya akan berlipat ganda, bara permusuhan dan dendam akan menyala-nyala. Bukan tidak mungkin akan menyeret Anda untuk melakukan dosa yang sama. Nah, dari pada mengambil langkah negatif dan kekanak-kanakan tanpa dasar yang benar seperti di atas, maka sebaiknya Anda berpikir sebagai berikut: Pertama, siapa yang sebenarnya telah berbuat dosa, merugikan diri dan membahayakan nasibnya di akhirat kelak. Kedua, terbuka

kesempatan besar bagi Anda untuk meraih pahala besar dari “memaafkan”.

Tentu, sikap di atas bukan berarti kita menerima setiap kezaliman yang terjadi atas diri kita. Apabila sebuah kezaliman itu bersifat sosial, tidak bisa diabaikan dan dimaafkan begitu saja. Manusia harus bermentalitas memerangi kezaliman dan melawan keras setiap bentuk kezaliman serta penganiayaan atas masyarakat dan agama. Akan tetapi, dalam masalah-masalah individual, apabila memaafkan sebuah kezaliman yang terjadi pada seorang individu itu tidak menimbulkan dampak

negatif yang berarti, individu tersebut harus dapat memaafkan pelakunya. Nah, untuk mempunyai kesiapan mental dan

p: 265

kesanggupan dalam memaafkan perbuatan zalimoranglain, kita harus memahami bahwa perbuatan zalim itu lebih merugikan si pelaku ketimbang korban, selain bisa menjadi kesempatan mendulang pahala bagi si korban. Imam Ali as menegaskan, “Jangan sampai kezaliman orang yang menzalimimu menjadi besar dalam pandanganmu, karena sesungguhnya dia sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu.” Jangan pernah engkau tanamkan dalam pikiranmu tentang kebesaran keburukan serta kejahatan yang dilakukannya atas dirimu; tetapi jadikanlah kezalimannya menjadi remeh, kecil dan tidak penting dalam pandanganmu. Bagaimana? Apa yang harus dilakukan agar kezaliman orang lain menjadi kecil dan bisa diabaikan begitu saja? Beliau memberikan pandangan

yang seperti ini: “..., karena sesungguhnya ia sedang berusaha menghancurkan dirinya dan memberikan manfaat kepadamu.” Sadarilah, perbuatan buruknya itu jauh lebih berbahaya bagi dirinya ketimbang dirimu. Pandangan yang seperti ini akan menghindarkan Anda dari balas dendam atau reaksi negatif yang berlebihan selain membuat Anda dapat melupakan serta mengabaikan kejahatannya dengan mudah. Jangan pernah Anda besar-besarkan perbuatan buruknya atas diri Anda,

karena hal ini hanya akan mengantarkan Anda pada kesulitan serta permusuhan yang tiada akhir.

Pada akhir bagian ini, beliau kembali mengingatkan sebuah anjuran berkaitan dengan etika sosial lainnya seraya berkata, “Dan balasan bagi orang yang membahagiakanmu bukanlah dengan engkau berbuat buruk dan menyakitinya.” Kita bertanggung jawab untuk membalas kebaikan orang lain dengan balasan yang setimpal. Jangan sampai kita tidak mengapresiasi kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh teman-teman kita; apalagi, jangan sampai kebaikan mereka kita balas

dengan keburukan, karena bisa saja kita jatuh dalam kesalahan dan kekeliruan.[

p: 266

37-MACAM-MACAM REZEKI

Point

وَالرِّزْقُ رِزْقَانِ رِزْقٌ تَطْلُبُهُ وَ رِزْقٌ یَطْلُبُکَ، فَإِنْ لَمْ تَأْتِهِ أَتَاکَ، وَاعْلَمْ یَابُنَیَّ أَنَّ الدَّهْرَ ذُو صُرُوف فَلاَ تَکُنْ مِمَّنْ یَشْتَدُّ لاَئِمَتُهُ وَ یَقِلُّ عِنْدَ النَّاسَ عُذْرُهُ، مَا أقْبَحَ الخْضُوُعُ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَ الجَفَاءُ عِنْدَ الْغِنَی؛

Dan rezeki itu ada dua macam, ada rezeki yang engkau mencarinya dan ada pula rezeki yang mencarimu, dan bila engkau tidak mendatanginya maka dia akan mendatangimu. Ketahuilah wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang

maafnya di tengah masyarakat. Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan.

Pesan Imam Ali as pada bagian ini bersandar pada salah satu bahasan akidah yang berulang-ulang telah ditekankan dalam banyak ayat serta riwayat Ahlulbait as. Bagian wasiat ini telah menekankan sebuah prinsip dalam akidah sebagai berikut: Bahwasanya Allah Swt telah mengatur serta menentukan rezeki khusus bagi masing-masing hamba-Nya.

p: 267

Untuk itu, di awal akan dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan prinsip akidah ini, lalu kita akan mengkaji serta meneliti poin-poin praktisnya.

Takdir dan Qadha' llahi

Salah satu ajaran agama yang tak terbantah adalah bahwa Allah Swt telah menentukan rezeki khusus bagi setiap maujud. Al-Quran telah menegaskan, “Wa ma min dabbatin fi al-ardhi illa ‘alallahi rizquha. Dan tidak ada yang melata di muka bumi kecuali Allah (yang bertanggung jawab) atas rezekinya.(1) Hal ini merupakan salah satu dari hikmah Ilahi, karena sebagai konsekuensi dari kebijaksanaan Allah Swt adalah bahwa ketika Allah menciptakan makhluk, maka syarat-syarat kehidupan serta kelangsungannya secara otomatis menjadi tanggung jawab Allah Swt. Apabila Allah Swt menciptakan makhluk, lalu tidak menyediakan apa yang menjadi kebutuhan bagi kelangsungan hidupnya, maka pekerjaan Allah akan menjadi sia-sia dan tidak berarti. Sudah barang tentu yang seperti itu tidak sesuai dengan hikmah Ilahi. Hikmah Ilahi menuntut bahwa ketika Allah Swt menciptakan makhluk yang membutuhkan rezeki, maka Dia bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan awal hidupnya. Dan di mana pun Allah Swt menciptakan makhluk, maka di sekitar itu pula Allah menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Apa yang diperlukan oleh manusia-manusia yang hidup pada kawasan tertentu juga akan disediakan dalam tanaman, hewan dan

tambang-tambang yang ada di kawasan tersebut. Sebagai contoh, manusia-manusia yang diciptakan untuk hidup di sekitar garis Khatulistiwa, maka tidak mungkin makanannya diletakkan di daerah kutub utara, karena hal itu akan menjadi sia-sia dan tidak sesuai dengan hikmah Ilahi. Setiap manusia atau binatang yang diciptakan pada kawasan tertentu, maka kebutuhan hidupnya juga harus berada di kawasan tersebut;

p: 268


1- 63 QS. Hud [11]:6.

keyakinan ini merupakan bagian dari keyakinan akan prinsip "hikmah Ilahi”.

Allah Swt secara umum telah menentukan rezeki semua maujud, baik manusia maupun binatang. Pada hakikatnya, Allah Swt telah menciptakan bumi sedemikian rupa sehingga seluruh makhluk dapat melangsungkan kehidupan di sana; dan bagi setiap makhluk telah diberikan rezeki serta tempat khususnya. Semua ini merupakan berkah dari hikmah Ilahi (baca: Kemahabijaksanaan Allah Swt). Apabila salah satu dari makhluk hidup memerlukan rezeki tertentu, Allah Swt berkewajiban untuk menyediakannya. Di sini mungkin akan timbul pertanyaan berikut: Apabila Allah Swt telah menentukan dan menyediakan rezeki bagi setiap maujud, lalu mengapa manusia masih harus berusaha mendapatkan serta memperjuangkan rezekinya? Apabila Allah Swt telah menyediakan rezeki bagi setiap individu, kerja dan usaha tidak akan lagi diperlukan dan akan menjadi sia-sia bila dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah ketentuan Allah bertentangan dengan ikhtiar manusia?

Berikut ini adalah jawaban secara umum dari pertanyaan di atas: Ikhtiar manusia itu sendiri merupakan salah satu dari takdir dan ketentuan Allah Swt. Allah Swt telah menentukan bahwa si fulan harus berusaha melalui jalur tertentu untuk mencapai serta meraih rezekinya; dan sebelum ajalnya tiba, maka rezeki tertentu itu akan menjadi bagiannya. Dengan demikian, takdir Ilahi bukan hanya tidak bertentangan dengan ikhtiar dan usahanya, tetapi takdir itu justru akan terwujud melalui usaha serta kerjanya. Pada hakikatnya pengertian takdir adalah bahwa rezeki tertentu itu akan diraih melalui usaha yang tertentu pula. Ini merupakan sebuah jawaban umum yang dapat berlaku pada semua bentuk takdir dan qadha Ilahi.

p: 269

Perbuatan-perbuatan yang kita lakukan juga merupakan salah dari bentuk takdir dan qadha Ilahi. Umpamanya, apabila seseorang ditabrak mobil yang menyebabkan hilangnya salah satu anggota tubuh atau bahkan hilangnya nyawa, apakah bisa dikatakan bahwa dalam kecelakaan itu tidak ada yang salah dan sudah menjadi takdir atau ketentuan ilahi? Benar, hal itu memang telah ditakdirkan, namun dengan perantara seorang pengendara yang tidak berhati-hati dan ugal-ugalan sehingga berakibat kecacatan atau hilangnya nyawa seseorang. Pengendara itu tidak mematuhi peraturan lalu lintas atau melaju dengan kecepatan yang tidak

diizinkan sehingga menyebabkan kematian seorang pejalan kaki. Dengan demikian, peristiwa ini juga takdir dan juga merupakan akibat dari ikhtiar si pengendara yang ugal-ugalan. Usaha, ikhtiar dan pilihan setiap individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari takdir Ilahi. Demikian pula halnya dengan rezeki yang takdir dan ikhtiar di dalamnya tidak saling bertentangan, karena ikhtiar itu sendiri adalah bagian dari takdir Ilahi. Termasuk dalam takdir adalah ajal atau batas waktu

kehidupan. Bagi setiap manusia telah ditentukan batas waktu tertentu dalam kehidupan. Termasuk dalam takdir juga adalah masalah sehat dan sakit, yang telah

dijelaskan dalam banyak ayat dan riwayat. Sebagai misal, mari kita pelajari percakapan antara Nabi Ibrahim as dengan Namrud kala dia bertanya kepada Ibrahim as siapakah Tuhanmu? Dalam bagian jawabannya, Ibrahim as berkata, “Tuhanku adalah Zat yang memberi makan, memberi minum, dan bila aku jatuh sakit maka Dialah yang menyembuhkanku, dan Dialah yang mematikanku lalu menghidupkanku kembali.(1) Masalah mematikan, menghidupkan, menyembuhkan, membuat sakit dan memberi rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

p: 270


1- 64 QS. al-Syu'ara [26]:79-81.

Nabi Ibrahim as berbicara dalam rangka menjelaskan siapa sebenarnya Tuhan yang disembahnya; beliau menjelaskan, “Tuhanku adalah Zat yang hidup, mati, kesehatan, sakit dan rezekiku berada di tangan-Nya.”

Itu adalah serangkaian takdir yang ditegaskan dalam ayat dan riwayat, namun itu sama sekali tidak berarti menghapus atau menghilangkan peran usaha, ikhtiar dan tanggung jawab manusia. Keterangan singkat di atas cukup kiranya bagi kita untuk masuk pada bahasan-bahasan berkaitan dengan pesan dan wasiat Amirul Mukminin as. Adapun untuk mendalami hal-hal yang berkaitan dengan takdir, silakan merujuk pada kitab-kitab akidah, kalam, filsafat, tafsir dan keterangan serta penjelasan para ulama tentang riwayat-riwayat musykil (berkaitan dengan takdir).

Pengaruh Qadha-Qadar dari Sisi Tarbiah

Yang penting untuk dibahas setelah keterangan singkat di atas adalah: mengapa al-Quran dan riwayat menjelaskan dan menegaskan serangkain hal yang telah ditentukan (baca: ditakdirkan)? Mengapa al-Quran menyatakan bahwa setiap musibah yang menimpamu adalah takdir Ilahi? Allah Swt berfirman, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(1) Mengapa ada penekanan khusus pada serangkaian hal yang telah ditentukan serta ditakdirkan oleh Allah Swt dan menjadi bagian dari qadha-qadar Ilahi? Mengapa yang diungkap serta ditekankan hanya beberapa urusan tertentu; padahal segala sesuatu berada di bawah “pena takdir Ilahi”? Jawabannya adalah: Keterangan dalam ayat dan riwayat berkaitan dengan hal ini bertujuan untuk mewujudkan dan

p: 271


1- 65 QS. al-Hadid [57]:22.

memperkuat makrifat tauhidi pada diri manusia. Kesempurnaan insani menuntut manusia untuk lebih mengenal Tuhannya. Ketika kita mengenal tauhid dalam Zat, ibadah dan af’al (perbuatan), maka perhatian dan ingatan kita kepada Allah akan semakin menguat. Salah satu makna dari tauhid af'ali adalah kita meyakini bahwa pengaturan segala urusan makhluk berada di bawah kendali dan kuasa Allah Swt. Semakin kita menyadari dan memahami kuasa Allah Swt, maka perhatian kita terhadap Allah dalam seluruh fase kehidupan, juga akan semakin meningkat. Ketika kita menyadari bahwa kehidupan kita setiap saat berada dalam ketentuan-Nya, rezeki kita berada dalam kuasa-Nya, dan segala urusan yang berkaitan dengan diri kita berada dalam genggaman tangan-Nya, maka hal itu akan membuat kita senantiasa ingat serta tunduk kepada-Nya. Semakin sempurna makrifat kita, semakin sempurna pula pengetahuan maknawi kita. Pasalnya, kesempurnaan manusia

sepenuhnya bergantung pada makrifatnya akan Tuhan, sifat dan af'al Ilahi.

Makrifat tentang Allah Swt, sifat dan af'al Ilahi selain merupakan kesempurnaan dari sisi ilmu yang sangat urgen, juga mempunyai pengaruh yang luar biasa dari sisi amal. Apa yang telah diterangkan dan ditekankan dalam banyak ayat dan riwayat, secara umum bertujuan untuk mengukuhkan makrifat ini. Penekanan ini terlihat lebih banyak dalam riwayat-riwayat yang bernuansa mauizah. Dalam wasiat dan mauizah Amirul Mukminin ini juga, setelah beliau memberikan nasihat

amali: “Bersikaplah seperti ini dan jangan bersikap seperti itu; perlakukan teman dengan perlakuan yang seperti ini; beginilah seharusnya engkau bersikap terhadap orang-orang dekatmu,” dan seterusnya, kini beliau berkata, “Rezeki itu ada dua macam.” Di sini timbul pertanyaan penting berikut: mengapa Imam Ali as setelah memberikan serangkaian nasihat dan anjuran amali, lalu berpindah pada masalah lain dan berkata, “Dan rezeki itu ada dua macam, ada rezeki yang

p: 272

kamu mencarinya dan ada pula rezeki yang mencarimu, dan bila engkau tidak mendatanginya maka dia akan mendatangimu." Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan di atas, perlu kiranya diperhatikan poin berikut ini, bahwa dalam perjalanan hidup sedikit banyak kita telah dihadapkan pada kebutuhan-kebutuhan mendesak yang bila tidak terpenuhi akan mendatangkan banyak kesulitan. Sementara kita menghadapi kesulitan tersebut, kita melihat sepertinya semua jalan telah

terbuntu, tidak ada lagi jalan keluar dan kita pasrah. Namun tiba-tiba Allah Swt telah membuka sebuah jalan yang tidak pernah sedikit pun terpikir oleh kita dan masalah selesai. Tak ayal lagi, setiap dari kita pernah mengalami situasi seperti di atas dalam kehidupan, yakni Allah Swt menolong kita dalam situasi krisis dan kritis dari jalan yang tidak pernah kita sangka. Kenyataan ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa jangan pernah mengira bahwa datangnya rezeki itu sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja kita. Jangan pernah berpikiran bahwa satu-satunya faktor penentu dalam datangnya rezeki adalah usaha kita sehingga siapa yang ingin mendapatkan harta lebih banyak, maka dia harus bekerja lebih rakus dan berlarian dari satu titik ke titik lainnya tanpa mengenal lelah. Akan tetapi di samping itu semua terdapat unsur dan faktor lain yang berpengaruh dan Dialah yang justru menentukan. Jangan pernah beranggapan, bahwa yang

banyak usahanya, akan banyak pula rezekinya. Jangan pernah pula beranggapan bahwa usaha dan kerja keras adalah satu- satunya jalan untuk meraih harta dunia sehingga dengan berpegangan pada pemikiran yang batil ini Anda melakukan usaha dan upaya yang berlebihan dan penuh kerakusan. Semua itu adalah mentalitas dan psikologi para penyembah dan hamba dunia. Mereka adalah orang-orang yang puncak kepentingannya adalah terpenuhinya kebutuhan materi serta kepuasan jasmaninya. Manusia seperti jenis manusia yang

p: 273

rakus dan tidak pernah merasa cukup; mereka meninggalkan seluruh kewajiban syar'i, etika dan norma-norma pergaulan insani demi memaksimalkan usaha untuk mendapatkan materi dan harta yang lebih banyak. Tentu mentalitas dan gaya hidup yang seperti ini sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara umum, terlebih muslimin dan mereka yang menyandang sebuah jabatan dalam pemerintahan Islam. Dengan pola pikir yang seperti itu, manusia tidak akan pernah mencapai tujuan-tujuan mulia dan tinggi insani dalam hidupnya. Umpamanya, apabila seorang pelajar terkena virus (cinta materi) ini, dia tidak akan pernah dapat belajar serta menuntut ilmu dengan baik.

Mungkin yang menjadi sebab kita dipahamkan bahwa rezeki tidak semata-mata karena usaha dan kerja keras manusia dan Sang penentu sejati adalah Allah Swt, adalah agar kita tidak hidup dengan ketamakan. Pesan dan nasihat yang diberikan oleh Imam Ali as bertujuan untuk menghindarkan kita dari kehidupan yang selalu mengejar dunia, selain juga bertujuan untuk menumbuhkan dan memperkuat roh tawakal dalam diri manusia. Ada banyak contoh nyata berkaitan dengan masalah

dan boleh jadi Anda sendiri pernah mengalaminya. Banyak juga cerita yang pernah Anda dengar atau baca seputar orang-orang yang mendapatkan harta dan kemewahan dunia tanpa melalui kerja keras atau harta tersebut tidak bisa diraih meskipun dengan kerja keras selama ribuan tahun. Tentu sudah maklum adanya bahwa rezeki tidak terbatas pada kebutuhan-kebutuhan perut, tetapi semua yang diperlukan oleh manusia dalam hidupnya dapat disebut sebagai rezeki. Pemahaman bahwa rezeki tidak sepenuhnya bergantung pada usaha dan kerja manusia akan menjadikan manusia mempunyai kehidupan yang seimbang dalam

berhubungan dengan masyarakat dan tidak berlebihan dalam mencari materi, karena dia telah menyadari bahwa usaha dan

p: 274

kerja keras bukanlah segala-galanya dalam mendapatkan rezeki atau mata pencaharian. Betapa banyak orang yang berusaha, namun tidak mendapat apa-apa; dan betapa banyak orang yang tidak berusaha, namun mendapatkan harta yang berlimpah; dan betapa banyak pula orang berusaha begitu keras tanpa kenal lelah, namun hanya memperoleh sedikit dari harta dunia.

Dari sisi lain, masalah sarana dan fasilitas juga merupakan faktor lain. Adakalanya seseorang telah mendapatkan sarana dan fasilitas yang memadai berikut kiat-kiat, strategi serta manajemen kerja yang baik, namun alih-alih meraih keuntungan, dia justru kehilangan seluruh modal dan aset yang dimiliki. Apabila manusia memasuki dunia usaha dan secara penuh bergantung pada perhitungan matematis semata tanpa ada unsur tawakal kepada Allah Swt, maka ketika akhirnya dia merugi dan kehilangan modal awal, tentu dia akan mendapatkan pukulan yang sangat berat secara psikologis dan mental. Kondisi seperti ini sangat membahayakan bagi kesehatan mental dan jiwanya. Selain juga akan berpengaruh pada kesehatan fisiknya, bahkan bukan tidak mungkin dia akan terkena serangan jantung dan mati mendadak.

Mereka yang dalam kerjanya hanya bersandar pada usaha, perhitungan-perhitungan ekonomi dan peluang usaha, maka apabila akhirnya gagal dan merugi, tentu dia akan kehilangan keseimbangan jiwa dan berpotensi besar untuk terkena gangguan kewarasan. Coba Anda bayangkan, seseorang yang dengan perhitungan dan usahanya sendiri, tanpa bertawakal kepada Allah Swt, selama bertahun-tahun berusaha dan kerja keras mempersiapkan diri untuk menikahi seorang wanita, nah

apabila setelah persiapan yang bertahun-tahun itu akhirnya dihadapkan pada penolakan dari si wanita yang dicintainya, maka tidakkah dia akan mengalami hantaman keras dan

p: 275

kekecewaan yang luar biasa; dia akan mengalami tekanan psikologis yang sangat berat dan kehilangan keseimbangan jiwa yang dapat berujung pada kegilaan atau tindakan-tindakan brutal. Akan tetapi, apabila dia menyadari bahwa rezeki setiap manusia itu telah ditentukan serta diatur oleh yang Mahakuasa nan Mahabijaksana, dan dia melangkah dalam kehidupan dengan keyakinan yang seperti itu, maka dijamin dia tidak akan mengalami kecemasan yang seperti itu. Ketika seseorang menerima nasibnya sebagai sebuah ketentuan dari Zat yang Mahabijaksana tanpa campur tangan selain-Nya, maka dia akan meyakini bahwa di balik apa pun

yang menjadi takdirnya terkandung hikmah yang sangat besar dan dia akan terselamatkan dari dampak negatif serta perilaku yang menyimpang (akibat kecemasan, kegalauan serta keputusasaan).

Orang semacam itu telah meyakini bahwa Allah Swt tidak mungkin menentukan sesuatu baginya tanpa tujuan yang mulia. Boleh jadi sebuah musibah yang ditimpakan oleh Allah Swt kepadanya merupakan sebuah penyucian atas berbagai macam dosa serta maksiat yang selama ini dilakukan. Atau, boleh jadi sebuah musibah diberikan kepadanya adalah untuk membangkitkan semangat dan melenyapkan kelemahan diri. Terkadang balasan atas sebuah dosa diberikan di alam

dunia dalam bentuk kemiskinan dan kekurangan materi demi menghindarkan si pelaku dari siksa di alam barzakh dan hari Kiamat yang jauh lebih menyakitkan. Lebih daripada itu, hukuman dunia itu sendiri pada hakikatnya bermuara pada hikmah, rahmat dan kasih sayang Allah Swt kepada sekalian hamba-Nya. Terkadang para hamba dihadapkan pada situasi dan kondisi yang penuh cobaan serta keputusasaan dalam rangka penghapusan dosa atau peningkatan sisi maknawi dan

spiritual mereka. Hal itu dilakukan agar para hamba belajar untuk bersabar, tabah, selalu ingat kepada Allah dan rela atas segala ketentuanNya; sekalipun kerelaannya itu berarti hidup

p: 276

dalam kemiskinan dan tak tercapainya keinginan-keinginan duniawi. Keadaan ketika manusia terjauhkan dari apa yang menjadi keinginan dan dambaannya akan menjadikan dia mampu menapaki kedudukan (maqamat) maknawi yang tinggi.

Boleh jadi jumlah orang yang sampai pada maqamat ‘aliyah lantaran kesabaran atas berbagai musibah, tidak lebih sedikit dari mereka yang sampai maqamat itu lantaran ibadah. Allah Swt telah banyak mengangkat kedudukan para hamba-Nya pada maqamat ‘aliyah disebabkan kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai macam musibah dan cobaan. Berbagai macam peristiwa manis ataupun pahit yang terjadi, pasti di dalamnya terdapat hikmah-hikmah yang tersembunyi.

Allah Swt telah menegaskan di dalam al-Quran, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Setiap bencana yang terjadi di bumi, seperti banjir,

angin topan, gempa bumi dan lain sebagainya, atau pada diri manusia, seperti penyakit, kematian, kehilangan orang-orang tercinta dan lain sebagainya, semua itu telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Allah menciptakannya. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah: Mengapa harus seperti itu? Apakah Allah hendak menyengsarakan sebagian dari hamba-hamba-Nya tanpa tujuan dan alasan yang jelas?

Jawaban singkatnya adalah bahwa Allah Swt sebagai Zat Yang Mahasempurna dan Mahabijaksana tentu tidak pernah melakukan sesuatu tanpa hikmah dan tujuan, kendati kita tidak mengetahui apa sebenarnya hikmah dan alasan dari sebuah peristiwa. Dengan kata lain, apabila kita tidak mengetahui hikmah atau alasan di balik sebuah peristiwa, itu sama sekali tidak berarti bahwa dalam peristiwa tersebut

p: 277

tidak ada hikmah dan tujuan. Pemahaman dan keyakinan bahwa semua yang terjadi ini berlangsung di bawah kendali serta tadbir dan takdir Ilahi akan membuat kita tenang, tidak cemas, tidak berputus asa, tidak mengeluh dan tidak kehilangan iman. Tidak sedikit orang yang karena tidak memiliki pemahaman yang benar tentang takdir, harus kehilangan imannya lantaran musibah dan cobaan yang menimpa diri, keluarga atau hartanya. Mereka berpikir bahwa bila alam semesta dan dunia ini memiliki Tuhan yang Maha Pengasih, Penyayang dan Bijaksana, tentu tidak akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan dan menyengsarakan umat manusia. Terjadinya beberapa peristiwa yang menyakitkan dan menyengsarakan di dunia, mereka jadikan sebagai pertanda bahwa dunia ini tidak memiliki Tuhan atau jika Tuhan itu ada, maka Tuhan juga tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan yang menimpa umat manusia. Padahal, apabila kita mau berpikir lebih jernih, semua peristiwa yang terjadi, yang manis ataupun yang pahit, yang baik maupun yang buruk, semuanya memiliki hikmah dan sebab, walaupun hikmah

dan sebab itu tidak atau belum kita ketahui. Namun, apabìla kita memiliki keimanan dan keyakinan yang kuat bahwa Allah Swt adalah Zat yang Mahabijaksana, kendati kita tidak mengetahui hikmah dan sebab di balik beragam musibah yang terjadi, tetap saja iman kita akan terjaga, bahkan bisa semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dalam sebuah ayat, Allah Swt menegaskan salah satu manfaat di balik berbagai macam peristiwa dan musibah yang terjadi, Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (loh mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami) jelaskan yang demikian itu supaya kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan supaya

p: 278

kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (1) Ayat di atas merupakan sebuah penjelasan bahwa semua yang terjadi berada di bawah kendali takdir Ilahi, sehingga bila ada sebuah musibah yang menimpa diri Anda, Anda tidak akan kehilangan iman atau berduka cita secara berlebihan. Ketahuilah, Tuhan yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana itu melihat adanya maslahat besar di balik musibah atau bencana yang menimpa diri Anda.

Antara Takdir dan Taklif Syar'i

Telah sama-sama kita ketahui, di samping masalah takdir serta ketentuan Ilahi, juga ada hal-hal yang berkaitan dengan taklif syar'i dan tanggung jawab insani. Sebagai contoh, apabila pada suatu malam Anda menyaksikan salah seorang tetangga tertimpa musibah, maka berdasar pada taklif syar'i serta tanggung jawab akhlaki-insani, Anda harus segera datang untuk memberikan pertolongan kepadanya. Tidak benar apabila Anda berkata dalam hati, Itu sudah merupakan ketentuan dari Allah Swt dan kita tidak perlu datang menolongnya.

Membantu kesulitan dan problem orang lain merupakan tanggung jawab syar'iy-akhlaqi kita dan itu sama sekali tidak bertentangan dengan takdir sarat hikmah dari Allah Swt. Ketika di sebuah tempat terjadi bencana gempa bumi dan ratusan orang mati dan terjerat di bawah puing-puing bangunan, maka turut bersedih dan membantu mereka yang tertimpa musibah adalah kewajiban dan tanggung jawab syar'i. Adapun mengapa Allah Swt menjadikan takdir dalam sebuah bencana gempa bumi yang merenggut banyak jiwa dan hancurnya ribuan rumah merupakan masalah lain yang

p: 279


1- 66 QS. al-Hadid (57):23.

harus dijawab pada tataran ideologi dan pemikiran sehingga tidak merusak keimanan kita. Demikian pula halnya dengan bencana-bencana yang menimpa orang perseorangan. Terkadang orang yang berpemahaman sempit dan tidak sabaran, apabila tertimpa sebuah musibah, maka dia akan cepat mengeluh seraya berkata, “Sepertinya seluruh khazanah musibah yang dimiliki oleh Allah Swt ditimpakan hanya kepada orang-orang lemah seperti kami!” Pemikiran seperti ini tidak akan terjadi apabila sebelumnya dia telah memperkuat dan memahami prinsip takdir dengan benar. Dia tidak akan mengeluh dan berputus asa apabila memahami bahwa setiap fenomena yang terjadi berada di bawah tadbir dan kendali Zat Yang Mahabijaksana dan sesuai dengan perhitungan serta rencana yang telah tersusun sebelumnya. Inna dzalika 'alallahi yasir.

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(1) Segala takdir dan tadbir adalah mudah bagi Allah Swt. Jangan pernah mengira bahwa penentuan serta perencanaan sebuah peristiwa sejak ribuan tahun yang lalu dan merupakan sesuatu yang sulit dan mustahil bagi kita, hal itu juga sulit bagi Allah Swt. Tidak, sungguh tidak sesuatu yang sulit bagi Allah Swt. Innama amruhu idza arada syaian an yaqula lahu kun fayakun. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!”, maka terjadilah ia.(2) Alhasil, meyakini hikmah dan takdir Allah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana akan memberikan kekuatan dalam menghadapi musibah serta menghilangkan segala bentuk kecemasan dan kekhawatiran. Demikian pula halnya, apabila Anda mendapatkan nikmat dan anugerah, Anda tidak akan sombong, lupa diri dan lalai. Karena Anda telah memahami dengan benar bahwa baik musibah maupun anugerah, kebaikan maupun keburukan dunia, keduanya adalah sarana ujian bagi

p: 280


1- 67 QS. al-Hadid (57):22.
2- 68 QS. Yasin [36]:82.

manusia. Telah ditegaskan dalam al-Quran, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.(1) Dalam lingkaran hikmah Ilahi, sebagaimana musibah dan kesulitan adalah sebuah ujian, kesenangan dan anugerah juga merupakan ujian yang lain. Lantaran itu, kita tidak boleh lalai dan lupa diri bila mendapatkan nikmat dan anugerah. Apabila suatu hari nanti kita mendapatkan limpahan harta yang banyak, kita tidak boleh sombong dan melupakan Allah. Demikian pula halnya apabila kita tertimpa sebuah bencana atau mendapat kesulitan, kita tidak boleh mengeluh, menyesal dan berkecil hati. Kita harus selalu mengingat firman Allah, (Kami) jelaskan yang demikian itu supaya kalian jangan berduka cita atas apa yang luput dari kalian, dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.(2)

Nikmat-nikmat yang Allah berikan kepadamu, janganlah engkau anggap sebagai segala-galanya sehingga engkau menjadi sombong, angkuh dan lupa diri. Ada atau

tidak adanya harta tidak boleh membuat banyak perubahan pada diri Anda. Dari sudut pandang maknawi, Anda harus mencapai sebuah kedudukan yang di dalamnya harta atau kemiskinan tidak lagi bisa berpengaruh banyak pada diri Anda dan Anda hanya memandang anugerah atau musibah di dunia sebagai sebuah ujian semata. Nah, pemahaman dan keyakinan bahwa nikmat dan rezeki itu datang dari sisi Allah Swt dan telah ditentukan oleh-Nya, akan menjadikan manusia tidak sombong dan lupa diri bila mendapat rezeki yang berlimpah dan juga tidak kehilangan iman serta

p: 281


1- 69 QS. al-Anbiya [21]:35.
2- 70 QS. al-Hadid (57]:23.

kesabaran apabila mendapat musibah dan bencana, karena dia telah memahami dengan baik bahwa semua itu tidak lebih dari sekadar ujian yang Allah berikan atasnya di dalam kehidupan dunia.

Salah satu manfaat cara pandang yang seperti ini adalah manusia tidak lagi berlebih-lebihan dalam mencari harta dunia. Dia akan mencari dunia dengan cara yang baik, halal dan tidak memaksakan diri (baca: al-ijmal fi al-thalab). Hasil positif dari keyakinan yang seperti ini adalah terwujudnya etika dan kesantunan pada diri manusia dalam mencari nafkah, sehingga dia tidak terlalu rakus, tidak menghalalkan segala cara, tidak mengetuk setiap pintu dan tidak bersikap kejam serta menekan terhadap mereka yang berutang harta kepadanya. Hasil positif lainnya adalah dia tidak akan pernah berhenti untuk memperbaiki diri, meraih keutamaan

akhlak, melaksanakan taklif serta kewajiban syar’i dan tidak mengahabiskan seluruh waktunya untuk menumpuk dan menimbun harta. Ketika seseorang memahami bahwa tidak semua rezeki itu harus dicari dengan banting tulang dan peras keringat, karena rezeki itu ada dua, yaitu ada yang dicari dan ada yang datang sendiri, maka tentu dia tidak akan jatuh dalam pencarian yang berlebihan. Pandangan yang seperti ini akan mewujudkan keseimbangan perilaku pada diri manusia dan menghindarkannya dari sifat rakus dan tamak.

Keseimbangan Jiwa dalam Perubahan Zaman

Roh dan jiwa manusia tak ubahnya seperti tubuh dan jasadnya, selalu berubah dan berganti. Adanya perubahan pada jiwa dan raga manusia merupakan sebuah hakikat yang tak terbantahkan. Namun, yang tidak baik dan tercela di sini adalah ketidakstabilan jiwa manusia lantaran sebab-sebab yang sepele. Apabila perubahan itu mempunyai alasan yang rasional dan masuk akal, perubahan itu baik dan terpuji. Akan tetapi, apabila tidak memiliki alasan yang dapat diterima

p: 282

oleh nalar, perubahan itu bersifat buruk dan tercela. Ada orang-orang yang kejiwaannya selalu berubah-ubah setiap waktu seperti masa kanak-kanak. Apabila mendapatkan apa yang diinginkan, dia bergembira dan tertawa. Namun jika berhadapan dengan kesulitan, dia mudah bersedih, kecewa dan larut dalam kedukaan. Apabila ada orang yang sedikit berbuat baik kepadanya, dia langsung percaya dan suka, namun bila menghadapi penolakan dari seseorang, dia akan memusuhi orang tersebut, membencinya dan berbicara buruk di belakangnya.

Orang-orang semacam itu tidak pernah tenang dan stabil di dalam hidupnya, sementara seorang mukmin batin dan jiwanya harus tenang dan stabil. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelum ini bahwa memang jiwa manusia tidak dapat selalu berada dalam satu kondisi yang sama, namun ini juga tidak berarti bahwa jiwanya tidak stabil, gelisah dan tidak mempunyai ketenangan sama sekali. Ada orang-orang yang jika hari ini Anda bertanya kepada mereka tentang si fulan,

karena baru saja menyaksikan kebaikannya, mereka akan menjawab, “Orang itu layak untuk disejajarkan dengan para malaikat Allah Swt.” Namun, keesokan harinya, apabila Anda bertanya lagi kepada mereka tentang si fulan, karena baru saja menyaksikan keburukannya, mereka akan menjawab bahwa si fulan lebih buruk dari Iblis. Nah, penyikapan-penyikapan yang berubah-ubah setiap waktu dan tidak stabil seperti ini, bukanlah ciri-ciri sikap seorang mukmin.

Agar manusia terhindar dari sikap “pagi-sore” seperti di atas, dia harus mengetahui, memahami dan memerhatikan beberapa hal. Pada tahap awal, dia harus lebih banyak memahami tentang realitas yang terjadi dalam kehidupan, dunia, diri dan masyarakat. Dia harus memahami bahwa perbedaan kondisi dan keberagaman sikap antara satu orang dengan yang lain merupakan sebuah realitas yang

p: 283

tak terbantahkan. Terkadang manusia bersemangat untuk beribadah dan menjalani ketakwaan, tetapi adakalanya juga melemah dan kurang gairah. Terkadang manusia bersemangat untuk bergaul serta bersosialisasi, namun adakalanya dia ingin menarik diri dari kehidupan masyarakat. Secara umum perilaku dan sikap manusia cenderung berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan perubahan usia. Pada masa remaja dia mempunyai kecenderungan tertentu, sedangkan di masa

tua dia mempunyai kecenderungan yang lain. Keadaan setiap individu cenderung berubah-ubah seiring dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada. Adakalanya manusia berada dalam kondisi kecukupan harta dan adakalanya berada dalam kondisi kekurangan harta; terkadang sehat dan segar bugar, namun adakalanya jatuh sakit dan tidak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya dengan keadaan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan keseharian kita. Adakalanya mereka sedang bergembira dan adakalanya mereka sedang bersedih. Adakalanya mereka berada dalam kondisi yang bebas masalah, namun adakalanya mereka dihadapkan pada problem dan kesulitan. Perubahan situasi dan kondisi ini mau tidak mau akan berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Masa juga selalu berubah-ubah, namun manusia tidak boleh

selalu ikut berubah seperti masa. Manusia harus memiliki serangkaian sikap dan prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah mengikuti perubahan yang terjadi.

Karena perilaku dan sikap manusia itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka penyikapan kita terhadap orang juga tidak bisa hanya dengan melihat perilaku orang tersebut di masa kini saja, kita pun harus melihat rekaman peristiwa masa lalunya sehingga dapat memberikan penyikapan yang benar. Kita harus melihat dan mengingat pergaulan dengannya selama ini, sehingga kita tidak memberikan keputusan yang

p: 284

salah tentang seseorang hanya karena ada keinginan kita yang tidak terpenuhi olehnya di masa kini. Karena, boleh jadi kondisi dia sekarang berbeda dengan kondisinya di masa sebelumnya. Penyikapan kita tidak boleh tergesa-gesa, dangkal dan labil, melainkan kita harus berusaha mempunyai sikap yang berdasar pada prinsip-prinsip yang tidak selalu berubah. Apabila kita melihat sebuah perilaku yang tidak baik dari seseorang, kita harus berusaha untuk tidak mudah melakukan kecaman dan celaan. Kita harus pandai menoleransi dan bersabar beberapa waktu.

Dalam kaitan di atas, Imam Ali as berpesan, “Ketahuilah, wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang maafnya di tengah masyarakat. Boleh jadi, kita menganggap bahwa seseorang telah berbuat keburukan, padahal yang terjadi adalah kesalahpahaman. Bahkan, seandainya pun telah terjadi sebuah perbuatan buruk oleh seseorang, kita tidak boleh mengumbar segala celaan dan kecaman terhadapnya. Kita harus mempunyai sikap yang tenang, sabar dan toleran. Kita harus mencoba memahami terlebih dahulu mengapa orang tersebut melakukan keburukan ini. Bahkan, adakalanya kita dituntut untuk menutup mata dan tidak terlalu mencari-cari kesalahan atau keburukan seseorang. Jangan hanya karena satu perbuatan buruk, lalu kita mengubah seluruh sikap kita atasnya. Kita harus banyak belajar untuk memahami berubah-ubahnya kondisi seseorang, sehingga kita dapat memberikan sikap yang tepat dan tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan relatif yang mungkin terjadi pada diri seseorang.

Dengan memahami dan menyadari banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini, kita dituntut untuk memiliki kestabilan relatif dalam bersikap dan memberikan keputusan. Seorang mukmin dituntut untuk memiliki

p: 285

ketenangan dan kestabilan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Apabila seorang mukmin menyerahkan sikapnya pada berubah-ubahnya situasi dan kondisi, sehingga sikapnya selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi, maka derajatnya sebagai ahli iman juga akan berubah dan menurun. Kehidupan manusia mempunyai banyak sekali kondisi "naik-turun". Terkadang manusia dihadapkan pada situasi yang sangat sulit dari sisi materi, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjerit dan merasakan derita; dia berada dalam kesempitan meskipun dalam kebutuhan-kebutuhan primernya. Nah, apabila dalam kondisi terpuruk

seperti itu, tiba-tiba dia mendapatkan keuntungan yang besar dan harta yang berlimpah, maka dia harus sangat berhati-hati untuk tidak jatuh dalam kesombongan, keangkuhan dan ketidakpedulian terhadap teman-teman. Indahnya kehidupan justru terletak pada kerendahan hati di kala kaya. Alangkah buruknya kerendahan hati yang terpaksa di kala membutuhkan. Kerendahan hati di kala membutuhkan dan keangkuhan di kala berkecukupan adalah sikap yang sangat tercela dan tidak

terpuji. Imam Ali as menegaskan, “Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan."[]

p: 286

Roh dan jiwa manusia tak ubahnya seperti tubuh dan jasadnya, selalu berubah dan berganti. Adanya perubahan pada jiwa dan raga manusia merupakan sebuah hakikat yang tak terbantahkan. Namun, yang tidak baik dan tercela di sini adalah ketidakstabilan jiwa manusia lantaran sebab-sebab yang sepele. Apabila perubahan itu mempunyai alasan yang rasional dan masuk akal, perubahan itu baik dan terpuji. Akan tetapi, apabila tidak memiliki alasan yang dapat diterima

p: 287

oleh nalar, perubahan itu bersifat buruk dan tercela. Ada orang-orang yang kejiwaannya selalu berubah-ubah setiap waktu seperti masa kanak-kanak. Apabila mendapatkan apa yang diinginkan, dia bergembira dan tertawa. Namun jika berhadapan dengan kesulitan, dia mudah bersedih, kecewa dan larut dalam kedukaan. Apabila ada orang yang sedikit berbuat baik kepadanya, dia langsung percaya dan suka, namun bila menghadapi penolakan dari seseorang, dia akan memusuhi orang tersebut, membencinya dan berbicara buruk di belakangnya.

Orang-orang semacam itu tidak pernah tenang dan stabil di dalam hidupnya, sementara seorang mukmin batin dan jiwanya harus tenang dan stabil. Sebagaimana yang telah kita bahas sebelum ini bahwa memang jiwa manusia tidak dapat selalu berada dalam satu kondisi yang sama, namun ini juga tidak berarti bahwa jiwanya tidak stabil, gelisah dan tidak mempunyai ketenangan sama sekali. Ada orang-orang yang jika hari ini Anda bertanya kepada mereka tentang si fulan,

karena baru saja menyaksikan kebaikannya, mereka akan menjawab, “Orang itu layak untuk disejajarkan dengan para malaikat Allah Swt.” Namun, keesokan harinya, apabila Anda bertanya lagi kepada mereka tentang si fulan, karena baru saja menyaksikan keburukannya, mereka akan menjawab bahwa si fulan lebih buruk dari Iblis. Nah, penyikapan-penyikapan yang berubah-ubah setiap waktu dan tidak stabil seperti ini, bukanlah ciri-ciri sikap seorang mukmin.

Agar manusia terhindar dari sikap “pagi-sore” seperti di atas, dia harus mengetahui, memahami dan memerhatikan beberapa hal. Pada tahap awal, dia harus lebih banyak memahami tentang realitas yang terjadi dalam kehidupan, dunia, diri dan masyarakat. Dia harus memahami bahwa perbedaan kondisi dan keberagaman sikap antara satu orang dengan yang lain merupakan sebuah realitas yang

p: 288

tak terbantahkan. Terkadang manusia bersemangat untuk beribadah dan menjalani ketakwaan, tetapi adakalanya juga melemah dan kurang gairah. Terkadang manusia bersemangat untuk bergaul serta bersosialisasi, namun adakalanya dia ingin menarik diri dari kehidupan masyarakat. Secara umum perilaku dan sikap manusia cenderung berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan perubahan usia. Pada masa remaja dia mempunyai kecenderungan tertentu, sedangkan di masa

tua dia mempunyai kecenderungan yang lain. Keadaan setiap individu cenderung berubah-ubah seiring dengan berubahnya situasi dan kondisi yang ada. Adakalanya manusia berada dalam kondisi kecukupan harta dan adakalanya berada dalam kondisi kekurangan harta; terkadang sehat dan segar bugar, namun adakalanya jatuh sakit dan tidak berdaya untuk berbuat apa-apa.

Demikian pula halnya dengan keadaan orang-orang yang mempunyai keterkaitan dengan keseharian kita. Adakalanya mereka sedang bergembira dan adakalanya mereka sedang bersedih. Adakalanya mereka berada dalam kondisi yang bebas masalah, namun adakalanya mereka dihadapkan pada problem dan kesulitan. Perubahan situasi dan kondisi ini mau tidak mau akan berpengaruh pada sikap dan perilaku mereka. Masa juga selalu berubah-ubah, namun manusia tidak boleh

selalu ikut berubah seperti masa. Manusia harus memiliki serangkaian sikap dan prinsip yang tetap dan tidak berubah-ubah mengikuti perubahan yang terjadi.

Karena perilaku dan sikap manusia itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, maka penyikapan kita terhadap orang juga tidak bisa hanya dengan melihat perilaku orang tersebut di masa kini saja, kita pun harus melihat rekaman peristiwa masa lalunya sehingga dapat memberikan penyikapan yang benar. Kita harus melihat dan mengingat pergaulan dengannya selama ini, sehingga kita tidak memberikan keputusan yang

p: 289

salah tentang seseorang hanya karena ada keinginan kita yang tidak terpenuhi olehnya di masa kini. Karena, boleh jadi kondisi dia sekarang berbeda dengan kondisinya di masa sebelumnya. Penyikapan kita tidak boleh tergesa-gesa, dangkal dan labil, melainkan kita harus berusaha mempunyai sikap yang berdasar pada prinsip-prinsip yang tidak selalu berubah. Apabila kita melihat sebuah perilaku yang tidak baik dari seseorang, kita harus berusaha untuk tidak mudah melakukan kecaman dan celaan. Kita harus pandai menoleransi dan bersabar beberapa waktu.

Dalam kaitan di atas, Imam Ali as berpesan, “Ketahuilah, wahai putraku, sesungguhnya zaman ini penuh perubahan, maka janganlah engkau menjadi orang yang banyak mencela dan kurang maafnya di tengah masyarakat. Boleh jadi, kita menganggap bahwa seseorang telah berbuat keburukan, padahal yang terjadi adalah kesalahpahaman. Bahkan, seandainya pun telah terjadi sebuah perbuatan buruk oleh seseorang, kita tidak boleh mengumbar segala celaan dan kecaman terhadapnya. Kita harus mempunyai sikap yang tenang, sabar dan toleran. Kita harus mencoba memahami terlebih dahulu mengapa orang tersebut melakukan keburukan ini. Bahkan, adakalanya kita dituntut untuk menutup mata dan tidak terlalu mencari-cari kesalahan atau keburukan seseorang. Jangan hanya karena satu perbuatan buruk, lalu kita mengubah seluruh sikap kita atasnya. Kita harus banyak belajar untuk memahami berubah-ubahnya kondisi seseorang, sehingga kita dapat memberikan sikap yang tepat dan tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan relatif yang mungkin terjadi pada diri seseorang.

Dengan memahami dan menyadari banyaknya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dunia ini, kita dituntut untuk memiliki kestabilan relatif dalam bersikap dan memberikan keputusan. Seorang mukmin dituntut untuk memiliki

p: 290

ketenangan dan kestabilan dalam bersikap dan mengambil keputusan. Apabila seorang mukmin menyerahkan sikapnya pada berubah-ubahnya situasi dan kondisi, sehingga sikapnya selalu berubah seiring dengan perubahan yang terjadi, maka derajatnya sebagai ahli iman juga akan berubah dan menurun. Kehidupan manusia mempunyai banyak sekali kondisi "naik-turun". Terkadang manusia dihadapkan pada situasi yang sangat sulit dari sisi materi, sehingga dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjerit dan merasakan derita; dia berada dalam kesempitan meskipun dalam kebutuhan-kebutuhan primernya. Nah, apabila dalam kondisi terpuruk

seperti itu, tiba-tiba dia mendapatkan keuntungan yang besar dan harta yang berlimpah, maka dia harus sangat berhati-hati untuk tidak jatuh dalam kesombongan, keangkuhan dan ketidakpedulian terhadap teman-teman. Indahnya kehidupan justru terletak pada kerendahan hati di kala kaya. Alangkah buruknya kerendahan hati yang terpaksa di kala membutuhkan. Kerendahan hati di kala membutuhkan dan keangkuhan di kala berkecukupan adalah sikap yang sangat tercela dan tidak

terpuji. Imam Ali as menegaskan, “Alangkah buruknya sikap rendah hati di kala membutuhkan dan sikap kasar (baca: angkuh) di kala berkecukupan."[]

p: 291

38-DUNIA YANG IDEAL

Point

إِنَّمَا لَکَ مِنْ دَنْیَاکَ مَا أَصْلَحْتَ بِه مَثْوَاکَ فَأَنْفِقْ فِی حقٍّ وَ لاَ تَکُنْ خَازِنًا لِغَیْرِکَ وَ إِنْ کُنْتَ جَازِعًا عَلَی مَا تَفَلَّتَ مِنْ بَیْنِ یَدَیْکَ فَاجْزَعْ عَلَی کُلِّ مَا لَمْ یَصِلْ إِلَیْکَ؛

Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu, maka keluarkan hartamu dengan benar dan jangan sampai engkau menjadi penyimpan harta bagi orang lain. Apabila engkau mengeluh atas harta yang terlepas dari genggamanmu, (seharusnya) engkau juga mengeluh atas

seluruh harta yang tidak sampai ke tanganmu. Penghulu para muwahhid (Maula al-Muwahhidin) Imam Ali bin Abi Thalib as menjelaskan dalam bagian pesan ini dan

banyak bagian yang lain, tentang hakikat dunia yang tidak berharga dan cepat berlalu. Beliau telah menjelaskan hakikat ini dengan berbagai macam ungkapan dan keterangan bahwa dunia harus digunakan untuk mencapai kebahagiaan ukhrawi, karenajika tidak, semua yang diraih akan sirna dan tidak berarti apa-apa. Pengulangan yang beliau lakukan dalam wasiat ini maupun pada sabda-sabda beliau yang lain menunjukan betapa pentingnya masalah ini. Seandainya dilakukan pengulangan yang lebih dari apa yang ada, hal itu masih sangat perlu

p: 292

dan berguna. Karena manusia seringkali dilanda kelalaian serta keterlenaan dalam masalah dunia. Kendatipun manusia diingatkan setiap pagi dan malam tentang hakikat dunia, tetap saja manusia masih bisa lalai dan lupa untuk mengambil jalan yang benar dan tidak menyimpang berkaitan dengan dunia dan kenikmatan-kenikmatan di dalamnya. Oleh sebab itu, menunjukkan jalan serta cara yang benar dalam mengambil manfaat dari dunia, akan selalu penting bagi manusia dan

kebahagiaan hakikinya.

Cara Hidup di Dunia

Gambaran awal pada benak manusia tentang cara hidup yang benar biasanya tertuju pada pemenuhan kebutuhan hidup dan menikmati kehidupan duniawi. Karenanya, yang paling utama dipikirkan adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti makanan dan pakaian, baru kemudian akan beralih pada kebutuhan akan tempat tinggal dan pasangan hidup. Sementara seorang insan muslim yang percaya kepadaTuhan dan Hari Akhir juga akan berpikir tentang kehidupan

pascadunia. Selain berpikir tentang kebutuhan dunia, dia juga berpikir tentang kebutuhan akhirat sehingga dia mempunyai bekal yang cukup untuk hidup di sana. Setidaknya harus ada keseimbangan antara usaha untuk kebutuhan duniawi dengan usaha untuk kebutuhan ukhrawi. Kita juga harus berusaha untuk mengukir ibadah dan amal saleh sebagai bekal bagi kehidupan di akhirat. Kebanyakan dari awam muslimin menjalani hidup dengan menjaga keseimbangan antara dunia

dan akhirat. Ada kelompok yang lebih sedikit dari kalangan muslimin yang mempunyai keimanan lebih mendalam. Mereka berusaha melakukan sedikit lebih baik dibanding dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas, yaitu mereka selalu menjaga batasan halal-haram dan syariat Ilahi dalam perkara-perkara duniawi.

Kelompok ini dapat digolongkan sebagai orang-orang baik

p: 293

dan saléh yang berusaha selalu melangkah pada jalur yang digariskan oleh Allah Swt, Rasul saw dan Ahlul Bayt as Namun perlu diketahui, tingkatan tarbiah dalam ajaran para Nábi dan Imam as tidak hanya terbatas pada tingkat-tingkat rendah seperti di atas. Masih banyak lagi tingkatan serta maqam yang lebih tinggi yang mereka anjurkan untuk kita raih tingkátán đan maqam yang lebih tinggi, urusan menjalankan táklif sýäri serta menjaga akhlak islami menjadi sebuah tingkatan kesempurnaan yang sangät rénđäh. Pada hakikátnya; menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan merupakan langkah awal kesempurnaan dan masih ada

banyak lagi tingkatani serta' derajat yang lebih tinggi. Untuk mencapai tingkatan-tingkatan yangʻi tinggi itú;" manusia harus melakukan pembenahan atas pandangannya tentang kehidupan dunia. Dia harus mengetahui hubungan dirinya dengani Sáng Mahả kuasa;'i siapa dirinya; siapa sebenarnya Tuhannya dan apa sebenarnya hakikat dari tujúañ kehidupan dunia dan penciptaan dirinya?

Kita harus jujur mengakui bahwa pengetahuan kita dalam hal ini sangatlah kurang dan sedikit. Terkadang sebagai akibat dari pengetahuan yang kurang dan sedikit itulah akhirnya kita jatuh dalam kesalahan-kesalahan fatal yang menimbulkan kerugian-kerugian tak terperi, penyimpangan berpikir yang sangat berat sehingga berani berkata: Apa sebenarnya manfaat dari taklif-taklif syar'i dan

p: 294

hanya tidak mencari apa taklif-taklifnya di hadapan Allah Swt, tetapi mereka justru sedang menuntut hak-hak insaninya dari Allah Swt.

Akar pemikiran seperti ini berasal dari pandangan filsafat Barat tentang keberadaan, Tuhan dan manusia. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara ideologi yang dibawa serta didakwahkan oleh para nabi dengan ideologi yang populer di Barat masa kini. Bagaimanapun juga ideologi Barat yang berorientasikan materi, keduniawian dan ilhad (baca: menentang Tuhan) akan selalu ada. Selama setan ada, ideologi yang seperti ini juga akan terus ada; akan selalu

terjadi pertarungan antara ideologi Ilahi para nabi dengan ideologi setan yang kini termanifestasi dalam ideologi Barat. Oleh sebab itu, apabila siang dan malam kita selalu mengaitkan diri dengan ideologi para nabi, maka itu masih kurang, karena doktrin-doktrin ideologi Barat juga tidak pernah berhenti sepanjang waktu.

Hakikat Kehidupan Dunia dalam Ideologi Para Nabi

Dasar perbedaan dua ideologi ini terletak pada pandangan masing-masing tentang dunia, yang salah satunya beranggapan bahwa awal dan akhir kehidupan hanya berlangsung di dunia, sementara yang lain (sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran) berpandangan bahwa kehidupan manusia di dunia tak ubahnya seperti kehidupan janin di dalam rahim. Untuk sampai pada kehidupan yang lain, manusia harus seperti bayi menjalani beberapa masa dalam kandungan sampai siap untuk hidup di luar alam kandungan. Yakni, manusia harus menjalani beberapa waktu hidup di dunia sampai dirinya siap untuk menjalani kehidupan di alam pascadunia.

Yang membedakan antara kehidupan manusia di alam dunia dengan kehidupan janin di dalam kandungan adalah bahwa janin di dalam kandungan sama sekali tidak mempunyai

p: 295

ikhtiar dan dia berkembang seturut proses alamiah serta hukum takwini Ilahi sehingga tiba waktu lahirnya. Sementara manusia di rahim dunia harus berusaha dan berjuang dengan ikhtiar yang Allah berikan kepadanya sehingga siap untuk dilahirkan di alam rahmat Ilahi. Pada hakikatnya, kehidupan manusia baru dimulai di sana. Karenanya, orang-orang yang beranggapan bahwa kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dunia, ketika nanti dibangkitkan di alam akhirat,

akan berkata dengan penuh penyesalan: Ya laitani qaddamtu li hayati. Seandainya aku telah berbuat sesuatu untuk kehidupan ini (kehidupan ukhrawi).(1) Menarik untuk dicermati, dalam ayat di atas Allah tidak berfirman, Ya laitani qaddamtu li hayat al-akhirah, tetapi berfirman, “Ya laitani qaddamtu li hayati. Seandainya aku mempersembahkan sesuatu untuk kehidupanku”, yang bermakna bahwa kehidupan dunia adalah bukan kehidupanku. Kehidupan hakikiberada pada kehidupanpascadunia(kehidupan akhirat); sebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat, Wa inna al-dâr al-âkhirata lahiya al- hayawân. Sesungguhnya rumah akhirat adalah kekal abadi.(2) Ayat ini disampaikan dengan hashr (yang memberikan makna “hanya") serta penekanan yang berlapis (baca: taʼkid), seperti inna, lam ta'kid, dhamir fashl hiya, alif-lam pada lafaz al-hayawan setelah dhamir fashl hiya, sehingga memberikan makna bahwa kehidupan yang sebenar-benar kehidupan hanyalah di sana (akhirat). Berdasarkan ayat di atas, sungguh keliru apabila kita menganggap bahwa kehidupan dunia adalah sebuah kehidupan yang sebenar-benar kehidupan. Dunia adalah kehidupan tipuan (dar al-ghurur). Di sinilah letak perbedaan cara pandang “kita" dengan Allah Swt, Rasul dan para Imam as. Mereka mengatakan bahwa kehidupan yang hakiki berada di sana, akan tetapi “kita” bersikeras bahwa kehidupan hakiki

p: 296


1- 71. QS. al-Fajr [89]:24.
2- 72 QS. al-Ankabut [29]:64.

adalah kehidupan dişini (dunia). Kita mengira bahwa di sana adalah kematian dan ketiadaan; sementara mereka berkatá bahwa justru kehidupan yang sebenar-benar kehidupan ada di sana. Kehidupan dunia adalah sebuah kehidupan yang sangat singkat seperti satu kedipan máta, agar kita dapat tumbuh dan

berkembang sementara kehidupan akhirat adáalah tujuan dan tak terbatas. Seandainya pun kehidupan dunia inisdinamakan sebağải kehidupan; ia adalahi kehidupan yarig bersifat farli dan mukadimah untuk memasuki kehidupan yang hakiki dan asli * Apabila kita memahami hakikat ini dan mengimanınya, tentu sikap dan perilaku kita akan berubah. Pasalnya, ketika pandangan kita tentang keberadaan salam, manusia, masyarakat w. berubah, maka keinginan dan harapan kita

juga siakan berubah secara mendasar. Perubahan harapan dan keinginan itulah (yang akan mendatangkan perubahan pada sikap dan perilaku, bahkan akan mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas. Namun selama ipandangan kita tentang keberadaan; dunia, masyarakat dan manusias tidak seperti pandangan Allah Swt; Rasul dan para Imam'as, maka dapat dipastikan perilaku; sikäp;keinginan, dambaan dan harapan kita juga akan sesuai dengan cara pandang tersebut

Karena pandangan yang keliru akan memberikan pengaruh yang negatif pada sikap dan perilaku manusia, maka kita diingatkan untuk selalu berpikir tentang mana kehidupan yang hakiki:dan' mana yang hanya bersifati sementara, apa itu hakikat dunia dan apa pula hakikat kehidupan ukhrawi, berapa nilai kehidupan dunia bila dibandingkan dengan akhirat.

Alisis Memang, kebanyakan manusia masih terlena dengan kehidupan dunia seperti halnya diri kita sendiri: Kebanyakan dari kita sekalipun sudah memahami hakikat kehidupan dunia dan akhirat, ternyata belum memberikan pengaruh dan warna yang maksimal dalam perbuatan sehari-hari. Kità tetap bangun di pagi hari sementara rencana yang terseusun di otak kita

p: 297

!

seluruhnya berkaitan dengan keduniawjan. Kendati perhátian Allah Swt; i kedua orang tua dan tarbiah Islamiyah, sedikit banyak telah membuat kita bangun di saat fajar menigingat kehidupan i ukhrawi lalu emendirikann salat Subuh;i namun setelah dua rakaát; itú sélesai.semua pikiran, kita tercurah sepenuhnya pada kehidupan dunia hingga tibanya waktu:salat berikutnya. Adapun mereka yang jauh dari tarbiah ini, maka dapat dipastikan bahwa mereka hanya akan mengahabiskan waktu hidupnya dalam urusan-urusan duniawi Apabila; kita mau sedikit berpikir dan merenung;” kita bisa berbuat yang lebih baik dari: apa yang selama ini telah dilakukan. Kita bisa mengemas seluruh aktivitas duniawi kita dengan penuh semangat untuk membangun kehidupan ukhráwi, karena semua itu dilakukan dalam rangka meraihi keridaan Allah Swt;rsebagaimana ditegaskan dalam sebuah ayat Illabtighâu wajhirrabbíhil sa 'la (semata-mata untuki meraih

rida Tuhannya yang Mahatinggi):(1) Pada hakikatnya, aktivitas kerja keduniawan sama sekali tidakı bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Swt; bahkan kita bisa lebih giat dan bersemangat dalam kerja-kerja dünia apabila dilakukan dalam rangka meraih keridaan Ilahi Rabbi, sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat: Ibtighâ: mạrdhâtillâh (mengharap keridaan Allah Swt).(2) Perbedaan antara amal yang bersifat ukhrawi dan amal duniawi hanya terletak pada motivasi serta niat daripada perbuatan tersebut. Ketika ipandangan, kita tentang dunia telah berubah, maka tujuan kita juga akan berubah, lalu pada gilirannya motivasi serta niat kita juga akan berubah. Semua aktivitas keduniawian akan berjalan seperti sediakala, namuri kali ini dengan niat, motivasi serta tujuan yang berbeda dan lebih mulia, karena semua itu dilakukan dalam rangka menaih rida-ilahi dan kebahagian abadi.

p: 298


1- 73 QS. al-Lail [92]:20.
2- 74 QS. al-Nisa' [4]:114.

Dengan demikian, kita harus terlebih dahulu membenahi pandangan tentang alam (baca: dunia) dan manusia, dan pada tahap berikutnya kita harus sampai pada sebuah keyakinan bahwa kehidupan dunia adalah sebuah mukadimah untuk kehidupan hakiki ukhrawi yang abadi. Alam dunia adalah sebuah rahim yang akan mengantar kita pada kehidupan yang lebih luas dan tak terbatas, sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Quran, Wa jannatin 'ardhuhâ al-samâwâtu wa al-ardhi, yaitu surga yang luasnya terbentang antara langit dan bumi.(1) Sekarang telah dimengerti alasan mengapa ada penekanan dan pengulangan dalam berbagai ungkapan berkaitan dengan memahami hakikat dunia dan akhirat serta perbedaan di antara keduanya. Kini kita menyadari bahwa penekanan yang berulang-ulang itu sama sekali tidak berlebihan, bahkan harus terus ditambah intensitasnya, karena pemahaman itu akan sangat berpengaruh pada seluruh dimensi wujud, perbuatan, perasaan, pemikiran serta ideologi manusia. Oleh sebab itu, pada awal-awal surat wasiat ini, Imam ali as telah berbicara secara khusus seputar masalah ini. Dan, seperti surat dan khutbah beliau yang lain, beliau telah memberikan keterangan serta penjelasan yang gamblang tentang hakikat kehidupan dunia, untuk apa manusia diciptakan serta ditempatkan di sana, apa tujuan hakiki kehidupan manusia, dan seterusnya. Pada bagian ini pun beliau kembali menekankan hakikat dunia dan berkata, "Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu.” Yakni, yang akan berguna dari duniamu adalah apa yang dengannya engkau bangun akhiratmu. Apa pun dari dunia yang engkau gunakan untuk memakmurkan akhiratmu, maka itulah yang akan kekal dan abadi. Akan tetapi, bila duniamu hanya engkau gunakan untuk kehidupan dan kenikmatan dunia, manfaat serta kegunaannya hanya terbatas pada kehidupan sementara dan fana ini saja lalu akan binasa dan sirna secara sia-sia. Dan masih

p: 299


1- 75 QS. Ali Imran [3]:133.

ada sedikit catatan: apabila kenikmatan dunia itu dihasilkan dengan cara dan dari jalan yang halal sesuai hukum-hukum syar'i, maka tidak akan mendatangkan siksa. Namun, apabila kemakmuran dunia dan berbagai kenikmatannya diperoleh dengan cara menginjak-injak hukum syariat, kenikmatan-kenikmatan sementara dunia ini kelak akan berubah menjadi siksa yang amat pedih dan menyakitkan.

Akhir dari Kehidupan Non-Ilahi

Sekadar menjaga hukum-hukum syariat, mencari nafkah halal dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram, belum bisa dinilai sebagai cara hidup yang ideal dan sesuai dengan maqam yang tinggi. Akan tetapi manusia harus dapat menyesuaikan perbuatannya dengan apa yang menjadi keridaan Allah Swt, Rasul saw dan para Imam as dalam pandangan serta kecenderungannya berkaitan dengan dunia dan akhirat. Pasalnya, bila tidak seperti itu, sekadar menjaga hukum syariat, meninggalkan yang haram dan mencari rezeki halal, tak ubahnya seperti seorang manusia yang dengan permata berharga milikinya, membeli satu kali jamuan makan lezat; padahal dengan permata itu dia bisa membeli istana super mewah serta kebun-kebun yang luas; bagaimana dia begitu bodoh menyerahkan permata tersebut hanya untuk satu kali jamuan makan! Apakah yang dilakukan oleh manusia seperti ini dapat disebut sebagai pertukaran atau jual-beli yang pantas dan masuk akal?! Dapat dipastikan, orang-

orang berakal akan mencemooh serta menganggapnya dungu dan bodoh. Sekalipun hidangan nasi “daging panggang” dapat mengenyangkan perut manusia, tetapi itu tidak bisa dibandingkan dengan istana serta kebun yang luas dengan segala fasilitas mewahnya. Apa yang selama ini kita lakukan di dunia boleh jadi tidak

lebih baik dari orang yang menjual permata mahalnya dengan satu kali jamuan makan di atas. Padahal kita dengan modal

p: 300

kehidupan singkat dunia berpeluang besar untuk membeli istana dan kebun yang luas di alam akhirat. Ternyata puncak usaha dan upaya kita di dunia hanya sekadar tidak berbuat dosa dan menghindarkan diri dari azab ukhrawi. Dengan begitu; kita dalam kehidupan dunia tidak menghasilkan apa-apa untuk kehidupan akhirat selain terhindar dari azab dan siksa Kita telah kehilangan manfaat besar yang dapat diraih dalam kehidupan akhirat, karena kita merasa puas hanya dengan terhindar dari siksa serta kërugian yang bisa menimpa diri! Jelas, sekali, sikap yang seperti ini, yakni merasa cukup dengan tidak merugi, dan mengabaikan keuntungan, besar yang bisa diraih, adalah perbuatan yang tidak dapat diterima oleh nalar, dan logika. Dengan kata lain, perbuatan ini tidak dapat diberi predikat apa pun selain, sebuah kedunguan, karena, menjaga hukum-hukum syariat hanya akan menyelamatkan seseorang sangat besar lantaran mengabaikan, keuntungan yang tak terhingga. Tidak ada orang berakal yang dapat_menerima perilaku seperti ini

Keuntungan" hakiki adalah manakala seorang manusia dapat memanfaatkan seluruh kesel di dunia dalam meraih yang terbaik pa đá kehidupan akhirat yang kekal nän abadi Karena, satu-satunya hal yang kekal abadi dan tak akan sirna hanyalah kebahagiaan ukhrawi dan keridaan Ilahi; sementara yang lain, meskipun hala dan baik, indakum väntadu wa mi tetap akán sirna dan hilang. Ditegaskan dalam sebuah ayat, dallahi badu akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal nan abadi)

Dalam ayat lain disebutkan, Harta dan anak-anak adalah amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik

untuk menjadi, harapan:" Beragam kelezatan dan kenikmatan

p: 301

dunia hanyalah perhiasan bagi kehidupan sementara, karena semuanya akan hancur dan sirna. Ada sebuah perumpamaan di dalam al-Quran berkaitan dengan dunia, Dan berilah perumpamaan kepada mereka (mahusia), bahwa kehidupan dunia ädalah bağđikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi sübür karenahya' tumbuh-tumbuhan di múkä' bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan'itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin: Dän adalah: "Allah Maha küasa atas segala sesuatu.? Di sini perlu kiranya kita menginga dalam al-Quran

Perdagangan ala Al-Quran

demikian banyak harta kepada melimpah Qarun sehingga tumpukan kunci-kunci khazanah hartanya harus dipikul oleh orang-orang kuat untuk memindahkannya. Pada zaman itu belum ada bank sehingga masyarakat dapat menyimpan harta mereka di sana. Karenanya mereka terpaksa menyimpan harta benda di dalam khazanah-khazanah dengan kunci kuat untuk menjaganya dari para pencuri. Semakin besar sebuah khazanah, semakin besar pula kuncinya; semakin banyak harta yang dimiliki, semakin banyak pula khazanah yang dibutuhkan, dan sudah barang tentu akan

semakin banyak pula kunci yang diperlukani Orang, terkaya di, masa itu, adalah: Qarun, yang karena banyaknya kunci khazanah yang dimiliki, maka dibutuhkan orang-orang kụat untuk memindahkannya dari satu tempat ke tempat yang lain; Orang-orang mukmin, memberikan nasihat kepadą, Qaruni (Ingatlah), keţika, kaumnya; berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.(1) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri, akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di

p: 302


1- 78 QS. al-Kahfi [18]:45.

(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(1) Mereka memberi beberapa nasihat kepada Qarun. Pertama, janganlah engkau terlalu lupa diri dan bangga diri, karena Allah tidak suka kepada orang yang mabuk harta serta kesenangan. Yang dimaksud dengan kalimat la tafrah (di dalam ayat), bukanlah “jangan bergembira”, tetapi jangan sampai engkau berlebihan dalam kegembiraan sehingga menjadi terlena, angkuh dan lupa diri. Karena berbangga diri dengan berlimpahnya harta tidak akan memberikan hasil apa pun selain penyelewengan serta penyimpangan dari kebenaran dan jalan Allah Swt. Kedua, jadikanlah nikmat dunia yang Allah berikan kepadamu sebagai sarana untuk meraih kenikmatan akhirat yang abadi; jangan sampai engkau keliru dalam menentukan mana yang seharusnya menjadi sarana dan mana yang seharusnya menjadi tujuan. Ketiga, jangan pula engkau

melupakan nasibmu dari dunia. Berkaitan dengan nasihat yang ketiga, ada beberapa pendapat dari kalangan mufasirin: Sebagian mufasir berkata bahwa ketika orang- orang mukmin menasihati Qarun, pertama-tama mereka mengingatkan Qarun agar berpikir tentang akhirat. Kemudian, karena mereka khawatir (si Qarun) menjalankan nasihat ini secara berlebihan sehingga hanya berpikir tentang akhirat dan melupakan dunia sama sekali, maka mereka berkata, “Dan jangan lupakan bagianmu dari kehidupan dunia!” Dengan kata lain, mereka hendak berkata, “Apabila kami mengajakmu untuk berpikir tentang akhirat, ini bukan berarti kami memerintahmu untuk melupakan dunia sama sekali. Silakan engkau menikmati duniamu, namun jangan sampai hal itu membuat lupa akan akhirat yang abadi.”

p: 303


1- 79 QS. al-Qashash [28]:77.

Kelompok lain menafsirkan, “Jadikan akhirat sebagai tujuan aslimu, meski dengannya jangan sampai engkau melupakan dunia secara keseluruhan.” Kelompok yang lain berpendapat bahwa ayat ini (wa lâ tansa nashibaka mina al-dunya) pada hakikatnya merupakan penyempurna dari bagian sebelumnya (wabtaghi fima atakallahud daral akhirata), yakni, jangan sampai engkau lupa bahwa duniamu adalah sarana untuk meraih akhiratmu; engkau harus menjadikan kenikmatan dunia sebagai sarana untuk meraih kenikmatan akhirat. Dengan kata lain, maksud dari “jangan lupakan nasibmu dari dunia" adalah jangan lupa bahwa dunia adalah saranamu untuk meraih akhirat, karena jika tidak begitu, tidak ada sesuatu yang tersisa bagimu dari dunia.

Di antara beberapa penafsiran di atas, boleh jadi penafsiran akhir lebih dekat dengan kebenaran, karena Qarun tidak pernah melupakan kenikmatan duniawi sehingga perlu diingatkan dengan kalimat “jangan lupakan bagianmu dari dunia". Qarun adalah manusia yang seluruh keinginan serta hasratnya tertuju dan terpaku pada kelezatan serta kenikmatan duniawi. Yang jelas-jelas dilupakan oleh Qarun adalah menjadikan dunia sebagai sarana untuk meraih akhirat. Oleh karenanya, perlu dinasihatkan kepadanya: “Jangan lupakan akhiratmu dan jadikan dunia sebagai sarana untuk meraih akhirat, karena yang akan tersisa dari kenikmatan dunia ini hanyalah apa yang digunakan untuk meraih kenikmatan ukhrawi." Bagian dan nasib dari dunia yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa nikmat-nikmat dunia harus digunakan untuk meraih nikmat-nikmat akhirat. Yakni, nikmatilah dunia dengan sebuah cara sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan ukhrawimu. Menikmati dunia dalam jalur syariat dalam rangka beribadah dan memperoleh kekuatan untuk

p: 304

menjalankan tugas-tugas ilahi, itentu akan sangat berguna bagi kehidupan ukhrawi sa o buna un Dengan memerhatikan keterangan di atas, maka nasihat Imam Ali yang berbunyisja Sesungguhnya bagianmu dari dunia adalah japa yang dengannya engkau bangunsakņiràtmu?, terlihat lebih sesuai dengan penafsiran yang terakhir. Imam Ali as berkata, t1Innama: laka min dunydka ma ashlahta:bihi matswaka." Laka berarti bagianmu dari dunias innamd memberikan makna hashr:(yang berarti hanya itu dan bukan yang lain:), sehingga nasihat, beliau; akan berarti: sbagianmu dari dunia tidaki lain adalah apa yang dengannya engkau bangun riakhiratmu, Sebagaimana di dalam ayat di atas Allah Swt berfirman; La tansa, nashîbaka mina al-dunyâu :Jangan lupakan bagianmu dari dunia. Dan bagian yang dilupakan oleh Qarun adalah bahwa Qarun tidak menjadikan dunianya sebagai sarana untuk membangun akhirat. Sebagaimana telah disinggung di atas, ini merupakan salah satu penafsiran yang diberikan pada ayat:dii atas akan tetapi, di antara beberapa! penafsiran yang ada; penafsiran ini sterkesan lebih-itepat; kanena penafsiran, ini juga didukung oleh apa yang diucapkan oleh Imam Alias. Dalam-nasihatnýă beliau berkata, O Sesungguhnya-bagianmu dari dunia adalah apa yang dengannya engkau bangun akhinatmu dan apabila dunia digunakan pada tujuan yang lain, dia tidak akan; memberikan hasil apa-apa selain kerugian. Apabila manusia menggunakan dunia untuki dunia; ia kehilangan sesuatu yang dengannya dia dapat meraih sesuatu yang kekal nan abadi.

Apabila dunia digunakan untuk meraih selain akhirat, dia tidak akah pernah memberikan keuntungan, atá'ápa yang dihasilkan tidak dapat disebut sebagai sebuah keuntungan dalam kehidupan dunia adalah apabila dunia dapat menjadi sarana untuk meraih seuatu yang kekal nan abadi di akhirat."

p: 305

Membeli keridaan Allah (Ridhwan Ilahi)

Setelah menjelaskan kaidah dan rumusan umum tentang kehidupan dan meraih akhirat, beliau menjelaskan pula salah ebelum kita memasuki lanjutan dari nasihat beliau yang sangat berharga, perlu kiranya kita menyimak mukadimah berikut

Apabila kita memerhatikan sikap dan perilaku kita,

Kita akan mendapati bahwa diri kita kita tidak mudah untuk membelanjakan harta yang telah diperoleh. Tentu hal itu disebabkan kita memperolehnya dengan usaha dan kerja keras. Apa yang telah masuk dalam simpanan harta kita, tidak akan dengan mudah untuk dibelanjakan apalagi untuk hal-hal yang tidak berharga. Kita hanya akan mengeluarkannya untuk sesuatu yang perlu atau investasi yang menguntungkan. Nah, apabila harta dan modal itu dikeluarkan di jalan Allah, apakah

akan mendatangkan kerugianTentu tidak, investasi ukhrawi justru akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda dan abadi. Investasi di jalan Allah adalah satu-satunya investasi yang memberikan jaminan keuntungan tak terbatas dan sama sekali tidak ada kemungkinan ruginyą.

Dengan adanya jaminan keuntunigan tanpa kerugian dari sisi Allah Swt, maka apa yang dapat mencegah seseorang untuk berinvestasi di jalan Allah berpikir bahwa investasi duniawi lebih menguntungkan? Atau sebaiknya harta itu dibiarkan serta dikonsumsi begitu saja tanpa diinvestasikan? Yang mencegah kita untuk berinvestasi ukhrawi tidaķ lain adalah keterpautan pada kelezatan duniawi yang juga mencegah kita untuk berinfak di jalan Allah Swt. Untuk dapåt terlepas dari kebakhilan, kekikiran serta keterpaután pädä harta duniakita harus memahami bahwa manfaat dan Keuntungan yang hakiki itu justru terdapat pada investasi ukhrawi, bukan dalam mengonsumsinya

p: 306

untuk kehidupan dunia semata atau menyimpannya. Yang menguntungkan dan abadi adalah berinfak di jalan Allah Swt. Dalam al-Quran ditegaskan, Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung(1) Ungkapan ini telah digunakan dalam beberapa tempat di dalam al-Quran. Allah Swt menegaskan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang dapat selamat dari sifat kikir dan bakhil. Sebaliknya, mereka yang kikir dan hanya sibuk dengan menumpuk dan menyimpan harta tanpa berinfak adalah orang-orang yang merugi. Keberuntungan hanya akan menjadi milik orang-orang yang dapat membebaskan dirinya dari sifat bakhil dan kikir. Kekikiran dalam ayat di atas diungkapkan dengan kata syuhh, yang berarti "tangan yang menggenggam” sebagai pertanda kekikiran dan keterpautan diri pada harta dunia sehingga tidak mau berinfak sama sekali. Keterpautan pada dunia akan menjadikan manusia hancur dan sengsara. Lantaran itu, orang yang ingin meraih kebahagiaan dan keuntungan, dia harus membebaskan dirinya dari sifat buruk ini. Akan tetapi, yang penting untuk diketahui di sini adalah kapan manusia dapat terbebas dari rintangan ini (kekikiran dan kebakhilan)? Dengan memerhatikan keterangan-keterangan yang telah diungkap sebelum ini, maka jawaban dari pertanyaan di atas sudah sangat jelas dan terang. Manusia akan terbebas dari keterpautan pada dunia, apabila dia benar-benar memahami bahwa infak dan sedekahnya di dunia akan memberikan keuntungan baginya. Karena apabila harta itu

hanya dia gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan duniawi saja, maka kenikmatannya hanyalah bersifat sementara dan cepat berlalu dan tak satu pun kepala yang meragukan bahwa dunia adalah tempat tinggal yang tidak abadi. Namun, apabila

p: 307


1- 80 QS. al-Hasyr (597:9.)

manusia mau berinfak dan bersedekah di dunia, maka selain dia dapat menikmati kehidupan dunia, Allah Swt juga akan memberinya spirit dan gelora jiwa yang bersifat abadi. Ketika seseorang berkhidmat kepada orang lain semata-mata untuk meraih keridaan ilahi, maka di samping imbalan duniawi, nilai amalnya pun akan mengabadi selama-lamanya dan dia juga akan menuai hasil yang baik kelak di akhirat. Oleh sebab itu, dalam lanjutan wasiatnya, Imam Ali as berkata, “Berinfaklah

di jalan yang benar! Infakkan hartamu untuk orang-orang yang membutuhkan dan jangan simpan hartamu sehingga justru orang lain yang akan menikmatinya.”

Apa yang akan diraih oleh mereka yang hanya sibuk menumpuk harta dari waktu ke waktu? Apa sebenarnya yang hendak mereka capai? Bukankah mereka hanya akan menjadi orang-orang yang bersusah payah mengumpulkan harta untuk dinikmati oleh orang lain? Mereka tak ubahnya seperti seorang penjaga sebuah gudang penyimpanan harta agar tidak dicuri, lalu akan dinikmati oleh orang lain. Dia tak ada bedanya dengan seorang pelayan yang melayani kebutuhan orang lain. Apa pun keuntungan yang diperolehnya dengan susah payah, akan dirasakan oleh orang lain tanpa perlu bersusah payah. Boleh jadi, manfaat yang diambil oleh orang

lain dari harta hasil jerih payahnya, jauh lebih besar dari manfaat yang dirasakannya. Pada hakikatnya para penumpuk dan penimbun harta dunia adalah orang-orang yang bekerja keras siang dan malam tanpa kenal lelah demi kepentingan dan keuntungan orang lain.

Orang yang tidak berinfak di jalan Allah Swt persis dengan orang yang menjaga gudang harta tersebut, yakni orang yang menjaga gudang harta orang lain. Bedanya, si penjaga gudang ini tidak menuntut upah dan bayaran, karena dia melakukannya dengan sukarela. Si penumpuk harta dunia apabila dia meninggal dunia, maka tibalah giliran para ahli

p: 308

waris untuk bertarung dan bersengketa dalam perebutan harta. Boleh jadi pará ahli waris juga akan memberikan umpatan atau cemoohan kepada sempunyai hartai Apabila mereka tidak menunaikan tanggung jawab'sýar'i-nya; (siksa ukhrawi pasti akan menghadangi dan menjeratnya. Oleh sebab itu kini pikirkan sertâ renúngkan baik-baik; apa kira-kira keuntungan yang bisa diraiksoleh seorang penjaga"gudang Kartal tanpa bayaran?: Apakah kita memang dicipta untuk mengemban tugas sepeřti ini? -Apabila kita tidak dicipta untuk itu, berinfakláh di jalan yang benar dan jangan pernah menjadi penyimpan harta bagi orang lain.

Tidak Ada yang Perlu Disésali dari Dunia

Dalam , lanjutan wasiatnya, Pemimpin Orang-Orang Bertakwa, ini (Ali bin Abi Thalib) memberikan pesan lain kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as: Sebagai akibat dari keterikatan pada dunia dan kenikmatannya, apabila seseorang kehilangan, sedikit darinya, dia akan bersedih dan bersusah hati Mungkin masing-masinga kita pernah merasakan penyesälán; kekecewaan serta kesedihan akibat kehilangan harta dunia Sebagai misal dengan kehilangan sebuah bükü atat sebuah cincin' atau" sélémbár úiänig, kita tidak lagi dapat salát dengan 'khüsük;"pikiran kita akan selalu melayang dan terfokus pada pencarian apa yang telah' ħilang. Bahkan,

Hilangnya benda-benda sederhana' itu bisa membuat kitá kehilangan kendali dan bersikap kasar serta melampaui batas. Karena kehilangan tersebut kita bisa melakukan sesuatu yang melanggar syariat dan tata krama. Seperti itulah kondisi kejiwaan kita bila kehilangan selembar kertas uang. Lalu, bagaimana kejiwaan seorang manusia yang barang dagangannya tenggelam di laut, bebas? Bagaimana pula apabila terendam bencana banjir atau gempa bumi yang membumi hanguskan seluruh harta manusia, apa yang

p: 309

kemudian akan dilakukannya dan kejiwaan seperti apa yang akan menimpa dirinya? Alhasil, terkadang hilang sebuah cincin atau untaian tasbih yang terbuat dari batu permata akan membuat jiwa seseorang merasakan kesedihan dan kekecewaan yang menjadikannya tidak berdaya untuk berbuat apa-apa. Seluruh pikirannya

terfokus pada barang yang hilang. Dia tidak bisa menjalankan ibadah dengan khusuk, bahkan dia kehilangan semangat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya. Kesedihan dan kekecewaan ini terkadang sedemikian rupa memasygulkan hati seseorang sehingga dia tidak berdaya untuk berbuat apa-apa dan keceriaan hidupnya berubah menjadi sebuah kegetiran bak racun yang mematikan. Padahal semua kita telah memahami bahwa kehidupan dunia tidak akan pernah

luput dari bencana, petaka dan cobaan yang meliputi harta dan orang-orang tercinta (semoga Allah menjaga kita semua). Cobaan dan ujian pasti akan menimpa manusia. Karena itu, manusia harus mempersiapkan dirinya untuk menghadapi beragam kepastian dalam kehidupan dunia. Apabila seorang manusia itu jatuh dalam kekecewaan dan kesedihan yang tiada henti hanya karena kehilangan sebagian kecil dari harta dunianya, dapat dipastikan dia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan di dalam hidupnya. Manusia seperti ini tidak akan pernah mampu menjalankan tugas-tugas keagamaannya dan dia pun akan tidak berdaya untuk

melanjutkan studi atau pekerjaannya. Dia tidak akan pernah beribadah dengan kekhusukan hati dan dia tidak akan pernah merasakan keceriaan dalam bergaul dengan orang lain. Sikap dan perilakunya juga akan berubah terhadap istri dan anak-anaknya dan seterusnya.

Kejiwaan dan perilaku yang semacam ini menunjukkan sebuah penyakit yang sangat berbahaya. Dalam rangka mengobati penyakit seperti ini, Imam Ali as memberikan

p: 310

solusi (yang maknanya): “Coba pikirkan berapa banyak seluruh harta yang kaumiliki dan berapa banyak harta kekayaan di dunia yang belum kaumiliki. Tak diragukan, banyak hal yang belum kita miliki. Ada banyak kekayaan yang berada di tangan orang lain dan kita tidak memilikinya. Banyak harta karun yang terpendam di dalam tanah dan belum dikeluarkan. Banyak tambang emas, perak, minyak, tembaga dan lain sebagainya yang berada di tangan orang lain dan kita tidak memilikinya. Nah, apakah ada orang berakal yang bersedih dan bersusah hati lantaran tidak memiliki semua harta dan tambang itu? Tak diragukan, tidak ada orang berakal yang bersedih untuk itu. Apabila engkau kehilangan sesuatu, bayangkan bahwa sesuatu itu tidak pernah menjadi milikmu seperti kebanyakan kekayaan

dunia yang juga tidak pernah menjadi milikmu. Sebagaimana halnya engkau tidak pernah bersedih hati karena kekayaan yang belum pernah kaumiliki, maka

jangan pula bersedih untuk sedikit harta yang terlepas dari tanganmu. Jangan engkau mengusik ketenangan orang lain dan jangan pula engkau mengganggu orang lain; jangan engkau sia-siakan hidupmu. Akan tetapi, bersukurlah kepada Allah karena engkau pernah menikmatinya selama beberapa waktu. Dan, ketika sekarang harta itu terlepas dari tanganmu, maka anggaplah harta itu seperti kebanyakan harta yang belum pernah ada dalam genggamanmu. Pada hakikatnya ada

banyak hal yang belum pernah menjadi milikmu, lalu apakah terus kita harus bersedih dan bersusah hati karenanya?! Kita harus pandai bersyukur dan mensyukuri apa yang pernah menjadi milik kita. Apabila kini hilang atau berpindah tangan, biarlah orang lain menikmatinya; karena ada dan tidak adanya harta dunia tersebut tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita sehingga kita harus terus memikirkan dan bersedih untuknya. Apabila harta tersebut akhirnya kembali

p: 311

ke tangan kita, maka itu adalah sebuah nikmat baru yang menuntut ucapan syukur yang baru pula.” Dengan demikian, jalan terbaik untuk terbebas dari

perasaan sedih atas kehilangan harta adalah anggaplah harta itu seperti halnya kebanyakan harta yang belum pernah menjadi milikmu. Apakah kita bersedih untuk sesuatu yang belum kita miliki sehingga kita harus bersedih untuk sesuatu yang lepas dari tangan?!

Dalam kaitan ini Imam Ali as memberikan nasihat, “Apabila engkau mengeluhkan atas harta yang terlepas dari genggamanmu, maka (seharusnya) engkau juga mengeluhkan atas seluruh harta yang tidak sampai ke tanganmu.” Imam Ali as hendak mengatakan, harta yang terlepas dari genggamanmu dengan harta yang belum pernah menjadi milikmu itu adalah sama, yakni sama-sama tidak berada dalam kepemilikanmu, karena keduanya sama-sama tidak berada di tangan Anda.

Sebagaimana Anda tidak bersedih karena tidak memiliki yang itu, maka Anda juga seharusnya tidak bersedih dan bersusah hati karena tidak memiliki yang ini. ]

p: 312

p: 313

39-PELAJARAN SEJARAH (1)

Point

وَ اسْتَدْلِلْ عَلَی مَا لَمْ یَکُنْ بِمَا کَانَ فَاِنَّمَا الاُْمُورُ اَشْبَاهٌ وَ لاَ تَکْفُرَنَّ ذَا نِعْمَة فَإِنَّ کُفْرَ النِّعْمَةِ مِنَ أَلاَْمِ الْکُفْرِ وَاقْبَلِ العُذْرَ.

Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran. Jadilah pula orang yang dapat menerima

uzur orang lain.

Masa Lampau adalah Pelita Bagi Masa Depan

Kini kita akan memberikan syarah atas surat wasiat Imam Ali as kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as pada bagian yang berbunyi, Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki

keserupaan. Dengan kata lain, jadikanlah peristiwa dan kejadian masa lalu sebagai pelita serta petunjuk atas peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Kemudian beliau memberi alasan atas apa yang diucapkan sebelumnya dan berkata:

"Karena perkara-perkara dan peristiwa-peristiwa itu memiliki keserupaan antara satu dengan yang lain.” Dan tentu, kita dapat mengambil kesimpulan dari hal-hal yang serupa.

p: 314

Apa yang diucapkan oleh Imam Ali as di sini merupakan sebuah nasihat, bukan sesuatu yang bersifat ilmiah dan filosofis.81 Apa yang beliau nasihatkan adalah sebuah realitas tak terbantah dalam rangka mengingatkan orang-orang yang terlena dan lalai. Ketika manusia menelaah serta meneliti peristiwa-peristiwa dalam sejarah, dia akan memahami bahwa umat manusia sepanjang sejarah telah melewati beragam peristiwa manis dan getir, menyenangkan dan menyedihkan,

juga hal-hal yang menakjubkan hingga akhirnya sampai pada masa yang sekarang. Tentu semua itu belum berakhir, karena di masa mendatang manusia masih akan menghadapi hal-hal yang serupa dan tidak jauh berbeda dengan apa yang pernah dihadapi sebelumnya. Salah satu fenomena umum yang sejak dahulu terjadi dan akan selalu terjadi adalah bahwa generasi terdahulu selalu mewariskan harta, rumah dan apa saja yang pernah menjadi milik mereka kepada generasi yang sekarang.

Nah, di sini kita pun harus mengambil pelajaran dari kaidah umum ini, bahwa suatu hari nanti kita juga mau tidak mau harus meninggalkan apa saja yang pernah menjadi milik kita untuk diserahkan dan dimanfaatkan oleh orang lain. Oleh karena itu, jangan sampai hati kita terpaut pada harta dunia yang segera sirna dan berlalu. Keterikatan kepada dunia akan menjadikan diri kita tidak lagi pandai untuk membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Apabila diri kita terpaut pada dunia, kita akan berani melakukan perbuatan yang haram dan dilarang semata-mata untuk memuaskan apa yang menjadi hasrat serta keinginan kita.

Banyak manusia yang sedemikian rupa terikat pada harta dunia dan anak-anak sehingga mereka terjauhkan dari tugas-tugas syar'i dan taklif-taklif Ilahi. Padahal seorang manusia Di dalam filsafat ada sebuah kaidah yang berbunyi: Hukm al-amtsal fima yajuzu wa fima la yajuzu wahidun, yakni Hal-hal yang serupa

mempunyai hukum yang sama. Kaidah ini di kalangan para filsuf menjadi bahan perbincangan. Alhasil, apa yang diucapkan oleh Imam Ali as tidak ada kaitannya dengan kaidah ini.

p: 315

yang sungguh-sungguh mencari kesempurnaan diri, maka dia tidak boleh mengorbankan hal-hal yang mustahab atau nilai- nilai akhlak demi materi dan harta dunia. Hal itu disebabkan kerugian terkecil yang akan diterima oleh manusia akibat keterpautan diri kepada dunia adalah perhatian manusia akan berkurang terhadap perkara-perkara maknawi dan nilai-nilai luhur insan. Padahal, pikiran, hati dan jiwa manusia seharusnya hanya berkonsentrasi pada hal-hal maknawi yang bernilai tinggi. Tentu saja, salat yang tidak dibarengi oleh kekhusukan hati dan ibadah yang tidak dilakukan sepenuh hati akan semakin menambah kekerasan hati manusia. Sebagaimana belajar tanpa konsentrasi tidak akan memberikan hasil apa-apa, demikian pula halnya keterpautan hati kepada dunia, harta benda, istri dan anak-anak akan menjadikan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kesempurnaan yang hakiki. Bahkan, kendatipun semua kemewahan duniawi itu diperoleh dari jalan yang halal, tetap saja hal itu akan berbahaya dan menghambat perkembangan maknawi seorang insan. Lebih daripada itu, perhitungan harta dunia yang halal di

hari kiamat akan membuat manusia tertahan di alam Mahsyar.

Ini adalah kerugian paling ringan yang akan dihadapi oleh manusia sebagai akibat keterpautan pada harta dunia. Dalam rangka menjelaskan kenyataan ini, Imam Ali as berpesan, “Ambillah pelajaran dari masa silam dan perhatikanlah bahwa dunia tidak akan pernah setia kepada penghuninya.” Nasib orang-orang yang memautkan hatinya pada harta dunia sungguh sangat buruk, menyakitkan dan menyedihkan. Sebaliknya, kebahagiaan dan keberuntungan hanya akan diraih oleh orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt dan sibuk mencari keridaan-Nya.

Oleh sebab itu, banyaklah belajar dari generasi terdahulu dalam segala perbuatan dan sepak terjangmu, karena segala yang menimpa mereka, cepat atau lambat juga akan menimpamu.

p: 316

Logika ‘Ibrah (Mengambil Pelajaran dari Orang Lain di Masa Lampau)

Perlu diketahui bahwa kadar pengambilan pelajaran manusia dari sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu adalah berbeda-beda. Sebagian manusia melihat sejarah hanya selayang pandang dan merasa cukup dengan itu. Mereka tidak menganggap peristiwa-peristiwa itu sebagai sesuatu yang penting untuk diambil hikmah dan pelajarannya.

Mereka adalah jenis orang-orang yang mengikuti kesenangan hawa nafsu sesaat dan mengikuti hasrat diri secara buta tanpa berpikir. Begitu timbul keinginan dalam diri, mereka akan langsung merespon dan menindaklanjutinya. Bagi mereka tidak terlalu penting darimana muara hasrat dan keinginan tersebut. Begitu merasa lapar, haus, atau terangsang hasrat seksualnya, baik itu terjadi secara alami atau akibat pengaruh lingkungan dan masyarakat, mereka akan langsung menuruti

apa yang menjadi hasrat dan keinginannya. Mereka sama sekali tidak pernah berpikir bahwa perbuatan ini akan berakhir seperti apa dan apa yang menjadi akibatnya. Tentu, manusia-manusia seperti di atas pada hakikatnya telah menggunakan gaya hidup hewan dan binatang dan akan digolongkan dengan mereka. Al-Quran telah menegaskan, Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka). (1) akan tetapi, ada sekelompok lain yang selalu mengambil ‘ibrah (baca: pelajaran) dari peristiwa dan kejadian masa lampau, lalu menjadikan sejarah itu sebagai pelita jalan bagi masa depan mereka. Meskipun ada saja di antara mereka yang jatuh dalam sesat-pikir (fallacy) dan ekstremitas sehingga berkeyakinan bahwa setiap kejadian di masa lalu dapat dijadikan sebagai pijakan untuk masa kini dan juga masa mendatang. Mereka berpendapat bahwa setiap sesuatu adalah

p: 317


1- 82 QS. al-Hijr [15]:3.

dalil bagi sesuatu yang lain. Mereka yang mempunyai sikap berlebihan seperti ini, bahkan bisa melalaikan tugas-tugas sosial dan taklif-taklif syar’yang paling jelas dan sederhana. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak contoh nyata berikut ini.

'Ibrah Tanpa Logika

Sebelum kemenangan Revolusi Islam (Iran), ketika Imam Khomeini rahimahullah masih berjuang melawan tagut (baca: penguasa zalim), sebagian orang berkata, “Perjuangan dan perlawanan ini tidak akan memberi hasil,” dan oleh sebab itu mereka tidak pernah mau ikut dan terlibat dalam perjuangan. Ketika ditanyakan kepada mereka apa yang menjadi alasan pemikiran mereka dan bagaimana mereka dapat yakin dengan prediksi mereka, mereka menjawab, "Sudah berapa kali dan berapa lama para ulama berjuang untuk menggulingkan rezim yang zalim, dan bukankah selama ini mereka mengalami kegagalan dan tidak pernah berhasil menjatuhkan rezim tersebut. Sudah berapa banyak ulama yang berjuang, dipenjara dan bahkan gugur sebagai syahid di jalan ini, namun tak satu pun dari mereka mampu untuk menggulingkan rezim yang zalim. Gerakan revolusi ini pun tak ubahnya seperti perjuangan dan perlawanan yang sudah-sudah, dapat dipastikan ia akan berakhir dengan kegagalan dan kekalahan!"

Tak sedikitpun diragukan, cara berdalih seperti ini adalah sebuah cara berdalih yang bersifat ifrathi (baca: berlebihan/ ekstrem) dan penuh dengan sesat-pikir. Sudah barang tentu seseorang tidak dapat meninggalkan tanggung syar'i-nya semata-mata bersandar pada dalih dan alasan seperti ini, yaitu karena dulu tidak berhasil, maka sekarang pun tidak akan berhasil. Apakah berkaitan dengan taklif penting seperti “amar makruf nahi mungkar”, dalil seperti ini dapat diterapkan?

Dalil itu berbunyi seperti ini: karena tahun yang lalu saya telah menasihati orang seperti ini dan tidak berpengaruh

p: 318

apa-apa, maka tahun ini pun akan sama hasilnya, dan karena seperti itu adanya, maka amar makruf nahi mungkar tidak lagi wajib atas diri saya. Tentu saja bahwa dalil seperti ini tidak dapat menggugurkan kewajiban amar makruf nahi mungkar, karena boleh jadi pada tahun ini nasihat dan amar makruf nahi mungkar itu akan berhasil. Apabila hanya karena si fulan tidak mau mengindahkan amar makruf nahi mungkar yang saya berikan, maka amar makruf nahi mungkar itu ditinggalkan, lalu kapan lagi amar makruf nahi mungkar itu dapat diberikan?! Apakah dapat dikatakan seperti ini, bahwa saya telah melakukannya sekali, namun tidak berhasil, maka untuk selamanya tugas Ilahi ini sudah tidak wajib lagi bagi diri saya.

Contoh lain dari cara berdalih seperti ini adalah setiap kali ada pembicaraan tentang campur tangan dalam masalah-masalah sosial, dikatakan bahwa di sana

ada dukungan dan campur tangan Inggris, karenanya apa pun yang kita lakukan pasti akan menemui jalan buntu. Yakni, hanya dengan kalimat “ini adalah politik serta siasat Inggris”, maka pergerakan itu kita nafikan dan kita tolak.

Kalimat tersebut adalah kalimat yang menjadi sandaran dan buah bibir orang-orang tua, lalu diambil sebuah kesimpulan: Dengan begitu, maka percuma saja berjuang, ini semua tidak akan memberikan hasil apa-apa. Perlu digarisbawahi, sebagian kelompok ini adalah orang- orang yang pada hakikatnya baik dan agamis. Mereka berusaha melakukan apa yang menjadi tugas serta kewajibannya, namun mereka mengira bahwa cara berdalih seperti ini adalah cara yang benar, yakni apabila Inggris telah melakukan intervensi, semua aktivitas akan terhenti dan menemui jalan buntu karena Inggris dapat melakukan apa saja dan kita pasti kalah.

Berkaitan dengan perjuangan serta perlawanan terakhir

p: 319

(yang dipimpin oleh Imam Khomeini rahimahullah), orang-orang seperti di atas juga selalu berkata bahwa penguasa zalim ini tidak dapat dijatuhkan, karena perlawanan kita tak ubahnya seperti perlawanan antara kepalan tangan dan belati, dan tentu tangan kosong akan dikalahkan oleh belati. Apakah tangan kosong dapat bertahan bila berhadapan dengan belati?! Musuh kita bersenjata lengkap, sementara kita hanya berbekal tangan kosong. Oleh sebab itu, apa pun yang kita lakukan pasti akan berakhir dengan kekalahan. Dan, bila perjuangan dan perlawanan ini kita paksakan, maka kita semua akan mati. Jika berdalih dengan peristiwa yang serupa itu tidak benar adanya, lalu mengapa Amirul Mukminin as tegas-tegas mengatakan, “Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Dan jadikanlah masa lampau sebagai pelita bagi masa datang? Beliau secara tegas berkata, “Sesungguhnya perkara-perkara dan peristiwa-peristiwa itu memiliki kemiripan”; berdasar pada ucapan beliau, dapat disimpulkan bahwa antara satu fenomena dengan fenomena yang lain terdapat keserupaan, dan oleh sebab itu kita bisa berdalih dengan sebuah fenomena atas fenomena yang lain. Dengan demikian,

bukankah logika dan cara berpikir para ulama dan intelektual yang mengatakan bahwa perjuangan ini akan berakhir dengan kekalahan berdasar pada beberapa kekalahan di masa lampau, merupakan sebuah logika yang benar? Bagaimana kita menghadapi dan memberikan solusi atas kontradiksi ini? Sebagai jawaban singkat, dapat dikatakan, bahwa bukti yang paling jelas atas kebatilan cara berpikir seperti di atas adalah kemenangan Revolusi Islam dan terjadinya perubahan

sistem negara secara mendasar. Bila kita hendak menerangkan dengan bahasa ilmiah, dapat dikatakan: sebaik-baik dalil dan bukti atas kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa adalah apabila peristiwa itu akhirnya benar-benar terjadi. Pada

p: 320

hakikatnya terjadinya perubahan telah menunjukkan bahwa dua periode boleh jadi satu tidak sama dengan yang lain, dan hal ini tidak bertentangan dengan apa yang diucapkan oleh Imam Ali as, (karena beliau menitikberatkan ucapannya pada keserupaan dan kemiripan). Kemenangan Revolusi Islam Iran telah membuktikan bahwa antara periode kemenangan ini tidak ada kemiripan dengan periode kekalahan sebelumnya.

Sebuah Contoh dan Sebuah Catatan

Untuk menjelaskan dan membuktikan perubahan situasi dan kondisi, mari kita simak contoh menarik berikut ini. Kota Yazd adalah salah satu kota di Iran yang dikenal sebagai kota yang sangat agamis, karenanya kota tersebut dinamakan sebagai “Darul Ibadah”. Di sana banyak sekolah agama dan Hauzah, dan sejak dahulu masyarakat di sana sangat antusias dengan masalah-masalah keagamaan. Akan tetapi, ternyata di masa lalu (sebelum terjadi perubahan di

kota ini), sulit sekali ditemukan guru muslim yang dapat mengajar bacaan al-Quran dengan baik, sehingga para murid ketika menemui kesulitan dalam bacaan al-Quran terkadang harus bertanya kepada seorang guru Zoroaster. Ini adalah sebuah realitas tentang kota Yazd dan bukan cerita burung, yakni pernah terjadi di sebuah kota di negara Islam yang dijuluki dengan Darul Ibadah, namun ketika ada kesulitan dalam bacaan al-Quran, mereka merujuk kepada seorang guru

Zoroaster. Mengapa? Lima puluh tahun sebelum masa itu, para politisi Inggris memberikan pernyataan, bahwa selama al-Quran marak dibaca dan dipelajari di tengah-tengah masyarakat, maka mayarakat itu akan sangat sulit untuk dikuasai dan dijajah.

Oleh sebab itu, dengan perencanaan dan strategi yang telah diperhitungkan, mereka berhasil meniadakan dan menjauhkan masyarakat dari al-Quran. Hal ini terjadi sedemikian rupa

p: 321

sehingga jumlah guru yang bisa mengajarkan bacaan al-Quran terus berkurang dari waktu ke waktu, sehingga ada sebuah lelucon yang menjadi buah bibir, yaitu ketika al-Quran dibuka dihadapan seorang guru dan dia diminta untuk membaca surat Yasin, si guru membaca (Şw)) dengan bacaan “yes” bukan “yâsîn”. Sekalipun ini hanya sebuah lelucon, pada hakikatnya ia hendak mengungkap kenyataan pahit yang pernah terjadi di masa silam.

Pada masa sekarang pun negara-negara imperialis, khususnya si setan besar Amerika, mereka telah sampai pada satu kesimpulan bahwa selama konsep wilayat al-faqih berjalan di Republik Islam Iran, maka Iran dan masyarakatnya akan sangat sulit untuk dikuasai dan ditundukkan. Oleh sebab itu, mereka berusaha dengan segala cara untuk menghapus sistem wilayat al-faqih dari Republik Islam Iran dan menjauhkan masyarakatnya dari poros wilayah.

Selembar Catatan dalam Sejarah

Perlu diketahui, memisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih sungguh tidak lebih sulit daripada memisahkan mereka dari al-Quran. Memisahkan masyarakat ini dari al-Quran bukanlah perkara yang mudah dan tidak ada orang yang berani berkata kepada mereka: “Jangan baca al-Quran!” Akan tetapi, para musuh melakukan perencanaan jangka panjang dengan strategi tertentu dan baru berhasil bertahun-tahun kemudian. Namun, lihatlah perubahan yang terjadi pada masa ini. Sebagai salah satu berkah dari Revolusi Islam Iran, Anda bisa menemukan anak-anak usia lima tahun yang berhasil menghafal seluruh al-Quran, padahal di masa sebelumnya para guru yang berusia antara tiga puluh dan empat puluh tahun kesulitan untuk sekadar membaca al-Quran. Para musuh telah berhasil menyusun program penghapusan al-Quran yang begitu rapi sehingga secara perlahan tapi pasti al-Quran berhasil disingkirkan. Di antaranya, mereka memperbanyak

p: 322

pelajaran-pelajaran ekstrakurikuler sehingga para murid tidak mempunyai kesempatan untuk belajar membaca al-Quran. Nah, apakah sekarang Anda masih berpikir bahwamemisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih sebagai sesuatu yang sulit dan lebih sulit dari menjauhkan mereka dari al-Quran?!

Dua puluh tahun mereka bekerja keras menyusun berbagai macam program dan strategi untuk memisahkan masyarakat dari wilayat al-faqih. Sangat disayangkan ternyata mereka sedikit banyak telah meraih keberhasilan dalam hal ini. Setidaknya mereka sudah berani untuk mengetengahkan masalah ini di kalangan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Mereka berani berkata kepada para mahasiswa bahwa konsep wilayat al-faqih tidak mempunyai dasar hukum kecuali

hanya tercantum dalam UUD Republik Islam Iran, dan karena UUD merupakan produk manusia, maka terdapat kemungkinan kesalahan di sana; dan bila terbukti seperti itu, maka satu-satunya cara untuk terlepas dari kesalahan adalah dengan mengubahnya. Kita menerima konsep wilayat al-faqih, hanya karena konsep tersebut telah tertuang dalam UUD; dan seandainya UUD diubah dan tidak lagi mencantumkan masalah wilayat al-faqih, maka kita pun akan meninggalkannya; karena berlakunya konsep ini semata-mata karena telah dicantumkan dalam UUD. Dengan kata lain, legalitas konsep wilayat al-faqih bermuara pada UUD. Dengan mengubah UUD, legalitas konsep wilayat al-faqih juga akan gugur dengan sendirinya.

Mereka menghembuskan pemikiran ini, seolah-olah UUD seperti wahyu yang turun dari langit dan sebagai fondasi serta dasar keabsahan konsep wilayat al-faqih. Padahal konsep wilayat al-faqih merupakan salah satu prinsip dalam keyakinan para pengikut Ahlulbait as (baca: masyarakat tasyayyu) dan justru wilayat al-faqih-lah yang memberikan legalitas pada UUD. Apabila tidak ada pengesahan dari wali fakih, UUD

p: 323

tidak akan mendapatkan legalitas sebagaimana halnya dengan undang-undang ‘urf lainnya. Apa yang mewajibkan diri kita untuk berkoban serta berjuang dengan harta dan jiwa di jalan agama adalah hukum dan titah seorang wali fakih. Hal ini disebabkan apa yang beliau ucapkan bermuara dan bersumber dari aturan agama dan hukum Allah Swt. Apabila di masa kekuasaan tagut (Syah Reza Pahlevi), masyarakat turun ke jalan dan menjadikan dada-dada mereka sebagai sasaran

empuk bagi peluru-peluru aparat, itu tidak lain adalah karena perintah yang diberikan oleh wakil Imam Zaman (al-Mahdi) afs(1). Sekarang pun masyarakat melakukan perjuangan untuk mempertahankan Islam dan sistem Islam dalam rangka mematuhi perintah wali fakih. Masyarakat di Iran dengan meyakini bahwa wali fakih adalah wakil Imam Mahdi dan bahwa perintahnya adalah perintah Allah Swt beserta Rasul- Nya saw, maka mereka mewajibkan dirinya untuk taat kepada

wali fakih. Jika tidak seperti itu adanya, lalu apa yang dapat membuat masyarakat siap untuk mempersembahkan apa saja yang menjadi miliknya di jalan ini?

Para musuh telah menyadari urgensi dan posisi wilayat al-faqih. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras memudarkan dan menjauhkan konsep ini dari benak umat Islam. Mereka terus bekerja melunturkan dan mengkaburkan konsep ini dari pemikiran umat, sehingga umat tidak lagi mematuhi walil fakih. Sedikit banyak mereka telah meraih keberhasilan dalam hal ini. Oleh sebab itu, pada masa sekarang umat Islam dituntut untuk lebih cerdas dan waspada dari masa-masa sebelumnya, karena musuh telah menyerang kita dengan beragam tipu daya dan konspirasi di bidang politik, budaya dan kultur. Jangan sampai kita tertipu dan terlena, sehingga

kita akan menerima hukuman Allah Swt dengan kehilangan nikmat besar wilayah yang Allah telah berikan kepada kita.

p: 324


1- 83 Ajjalallahu farajahu al-syarif (Semoga Allah mempercepat kemuncullannya), sebuah doa yang selalu menyertai nama Imam Mahdi saat disebutkan-peny.

Sekadar untuk memahami betapa besar nikmat wilayah ini, ada baiknya kita melirik apa yang terjadi pada negara tetangga kita, Afghanistan. Masyarakat Islam Afghanistan telah berjuang mati-matian untuk mengusir kekuatan tagut yang membentengi pemerintahan dan penguasa zalim di sana, sehingga mereka akhirnya mendapat kemenangan dan berhasil mengusir kekuatan penjajah dari negeri mereka. Penderitaan dan pengorbanan yang diberikan oleh muslimin Afghanistan sama sekali tidak lebih sedikit dari pengorbananyang dilakukan oleh muslimin di Iran. Akan tetapi, lihatlah apa yang dihasilkan oleh perjuangan, pengorbanan dan darah-darah mujahidin yang tertumpah di sana? Lebih dari dua dasawarsa sudah mereka terlibat dalam perang saudara pasca- terusirnya kekuatan (Uni Soviet). Sebagai muslimin mereka berwudu dengan darah saudara muslimnya sendiri. Ini semua akibat karena mereka tidak mempunyai seorang wali fakih yang menjadi pemimpin dan pusat komando mereka. Di negara Iran, berkat Ahlulbait as dan ideologi tasyayyu', konsep dan prinsip wilayat al-faqih adalah sesuatu yang secara

aklamasi diterima dan diyakini. Sementara di Afghanistan, karena mayoritas mereka adalah dari kalangan muslimin yang tidak mengenal konsep wilayat al-faqih, dan sebagai akibatnya mereka tidak dapat menemukan seorang pemimpin yang dapat menjadi pusat arahan dan komando. Padahal, setidaknya mereka dapat mengangkat seorang pemimpin yang dikukuhkan melalaui UUD yang mereka sahkan. Allah Swt telah memberikan nikmat besar kepada negara Iran dan para pengikut Ahlulbait as dengan seorang pemimpin Ilahi yang dapat menjadi pelita serta cahaya yang sangat terang di tengah-tengah umat.

Bagi mereka yang tidak meyakini konsep serta prinsip Islam ini pun, mereka tetap harus mensyukuri nikmat besar yang menjamin kesejahteraan serta ketenteraman ini.

p: 325

Pasalnya, seandainya nikmat wilayah ini tidak ada, bukan tidak mungkin perang saudara yang terjadi di Afghanistan juga akan terjadi di Iran. Perlu diketahui, perbedaan-perbedaan qaumiy (baca: etnis) yang ada di Iran tidak lebih sedikit dari perbedaan qaumiy yang ada di Afghanistan, bahkan jumlah etnis yang ada di Iran jauh lebih banyak dari jumlah etnis yang hidup di Afghanistan. Sebagai bukti dari apa yang dipaparkan di sini adalah perselisihan dan konflik yang terjadi

pada awal kemenangan Revolusi Islam Iran. Perselisihan yang terjadi antara etnis Kurdi, Turkamani, Arab, Baluc dan seterusnya tidak lebih sedikit dari konflik serta perselisihan kelompok yang ada di Afghanistan. Akan tetapi, sesuatu yang dapat menjadikan semua kelompok dan golongan masyarakat itu bersatu dan berada di bawah satu bendera, adalah kepemimpinan Ilahi yang kita sebut sebagai wilayat al- faqih. Seandainya kekuatan Ilahi itu tidak ada, kekuatan partai atau organisasi mana yang dapat mewujudkan persatuan seperti ini? Ada saja orang-orang sok intelektual yang merasa cinta negara berusaha untuk menghidupkan kembali konsep

kepartaian dan keetnisan, seperti Pan Kurdisme, Pan Turkisme dan Pan Arabisme. Tentu, kita harus terus berjuang untuk memperkuat sendi-sendi wilayat al-faqih dalam tataran teori dan praktik.

Mereka yang berusaha menghidupkan kembali konsep kepartaian adalah orang-orang yang tidak mengenal syukur atas berkah persatuan yang Allah berikan atas bangsa ini lantaran wilayat al-faqih. Siang dan malam mereka tak kenal lelah selalu berusaha melemahkan konsep dan prinsip wilayat al-faqih, untuk mereka kembalikan pada hal-hal yang dapat memicu konflik di antara anak bangsa. Salah satu bentuk tidak bersyukur atas nikmat besar ini adalah apabila ada orang-

orang yang berusaha untuk menggantikan konsep wilayat al-faqih dengan konsep demokrasi ala Barat.

p: 326

Berkaitan dengan sikap-sikap tidak tahu bersyukur inilah, Imam Ali as berpesan, “Dan janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran.”Seburuk-buruk kekufuran adalah tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Orang yang paling tidak tahu diri adalah orang yang tidak pandai berterima kasih atas pemberian dan anugerah. Dan, puncak kebodohan adalah ketika orang menolak sesuatu yang menjadi sebab kemuliaan dan kebahagiannya baik di dunia maupun di akhirat. Sementara di tengah masyarakat kita ada orang-orang yang berusaha mempertanyakan dan melemahkan konsep wilayat al-faqih, kita masih harus melihat kenyataan pahit lain, yaitu diamnya para ulama. Apakah sikap diam atau mendiamkan orang-orang yang menghina nikmat besar wilayah ini, dapat dibenarkan? Pantaskah kita (khususnya para ulama) berdiam diri dan duduk tenang melihat sekelompok orang yang secara terus menerus melecehkan serta mempertanyakan konsep wilayat al-faqih?

Balasan Kufur Nikmat

Di sini kita perlu sedikit merenungkan apa yang telah disinggung dalam al-Quran berkaitan dengan syukur dan kufur nikmat serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Allah Swt telah memberikan peringatan di banyak ayat sehubungan dengan syukur dan kufur nikmat berikut efek- efeknya. Di antaranya, Allah Swt berfirman, Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengufuri (nikmatku), maka sesungguhnya siksaku sangatlah pedih”. (1)

Di dalam bahasa Arab wazan tafa’ul adalah untuk memberikan makna ta'kid (baca: penekanan) dalam sebuah

p: 327


1- 84 QS. Ibrahim [14]:7.

urusan. Di dalam ayat ini, Allah Swt juga memaklumkan sebuah janji penting dengan penekanan yang sangat kuat: Apabila kalian menghargai dan mensyukuri nikmat yang Aku berikan, maka pasti Aku menambah nikmat itu; di dalam kalimat la in syakartum la azidannakum terdapat lam qasam beserta ta'kid lafzhi yang memberikan penekanan pada makna yang terkandung di dalamnya. Dalam lanjutannya, Allah Swt kembali menegaskan, “Namun, apabila kalian tidak bersyukur dan mengufuri nikmat-Ku, maka ketahuilah bahwa siksa-Ku amatlah pedih nan menyakitkan.” Ini adalah salah satu dari sunnatullah yang gath’i (baca: pasti) bahwa

apabila manusia mensyukuri nikmat, maka Allah Swt akan menambah nikmat-Nya. Apabila manusia mengufuri nikmat, cepat atau lambat Allah akan mengambil nikmat tersebut darinya. Banyak contoh dan peristiwa di sepanjang sejarah yang menunjukkan kenyataan bahwa mensyukuri nikmat akan mendatangkan tambahan nikmat dari Allah dan kufur nikmat akan menyebabkan hilangnya nikmat, namun contoh-contoh itu tidak akan kita bahas di buku ini. Akan tetapi, di sini kita hanya akan menekankan pada dua nikmat besar yang Allah anugerahkan kepada bangsa (Iran). Yang pertama adalah nikmat Revolusi Islam dan yang kedua adalah nikmat

kepemimpinan yang berdiri atas prinsip dan konsep wilayat al-faqih. Dua nikmat tersebut adalah nikmat terbesar yang telah Allah Swt anugerahkan kepada kita pada zaman ini. Apabila tidak ada Revolusi Islam (Februari 1979), dapat dipastikan kita tidak akan memiliki kemuliaan, kemenangan serta kejayaan seperti sekarang ini. Seluruh kejayaan dan kemuliaan negara dan masyarakat Iran terwujud berkat Revolusi Islam dan kepeminpinan wali fakih. Berbagai kemajuan dan perkembangan baik yang bersifat duniawi maupun maknawi bagi negara ini bermuara dari dua nikmat besar tak tergantikan ini dan masih banyak lagi kemajuan

dan perkembangan di masa mendatang yang akan kita raih

p: 328

berkat keduanya. Jangan pernah terlupa bahwa dua nikmat besar ini sampai ke tangan kita sebagai hasil perjuangan lebih dari seribu tahun para mujahid dan ulama. Cahaya ini adalah cahaya yang bersumber pada jiwa-jiwa pejuang suci sepanjang sejarah umat Islam. Perlu kita segarkan ingatan kita akan titah (baca: fatwa) populer Marhum Mirza Syirazi dalam masalah tembakau. Beliau memberikan fatwa penggunaan tutun (daun sejenis tembakau) dan tembakau adalah haram. Itu berarti penentangan terhadap Imam Zaman (al-Mahdi) afs. Setelah fatwa dikeluarkan, seluruh masyarakat, tua dan muda tanpa bertanya mengapa, meninggalkan rokok dan tidak ada yang berani melanggarnya. Kepatuhan masyarakat itu bermuara pada keyakinan dan kepercayaan bahwa Marhum Mirza Syirazi adalah wakil Imam Zaman afs yang wajib untuk ditaati (baca: wajib al-itha'ah).

Sejak masa itu, para musuh mulai menyadari kekuatan besar (wilayat al-faqih). Mereka terus bekerja untuk menjauhkan masyarakat darinya. Mereka menyusun rencana dan strategi untuk mencuci otak masyarakat agar terjauhkan dari keyakinan pada prinsip wilayat al-faqih. Mereka berusaha maksimal untuk merebut nikmat luar biasa ini dari masyarakat (Iran). Mereka beranggapan bahwa setelah lima puluh tahun masa kekuasaan para raja dinasti Pahlevi, keyakinan akan wilayat al-faqih telah memudar dari benak dan hati masyarakat. Akan tetapi, mereka tidak memahami bahwa keterpautan pada wilayat al-faqih serta kerinduan pada Shahib al-Ashri wa al-Zaman (Imam Mahdi] dan wakilnya telah sedemikian mengakar di hati masyarakat dan tidak mungkin memudar barang sedikit pun. Nikmat besar wilayah yang telah menjadi kultur ini dari waktu ke waktu akan semakin berkembang dan menguat. Sudah tentu manfaat dan berkahnya juga akan meliputi serta menerangi seluruh penjuru dunia, insya Allah.

p:100

40-PELAJARAN SEJARAH (2)

Point

وَ اسْتَدْلِلْ عَلَی مَا لَمْ یَکُنْ بِمَا کَانَ فَإِنَّمَا الاُْمُورُ اَشْبَاهٌ وَ لاَ تَکْفُرَنَّ ذَانِعْمَة فَاِنَّ کُفْرَ الِنّعْمَةِ مِنْ اَلاَْمِ الکُفْرِ وَاقْبَلِ الْعُذْرَ.

Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran. Dan jadilah orang yang dapat menerima

uzur orang lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Imam Ali as berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as bahwa jadikanlah peristiwa dan kejadian di masa lalu sebagai pelita petunjuk bagi masa depan dan jadikan masa lalu sebagai pijakan bagi masa mendatang, karena peristiwa-peristiwa di

dunia itu memiliki kemiripan dan keserupaan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain, ketika sebuah peristiwa terjadi di masa lalu, maka yang serupa juga akan terjadi di masa datang. Apabila Anda memerhatikan dan mencermati masa lalu, Anda akan mendapatkan pelajaran dan bekal di masa yang akan datang.

Dalam rangka memberi penjelasan atas bagian wasiat ini, telah diketengahkan sebuah kritik bahwa ada sejumlah

p: 329

peristiwa di masa lalu yang tidak patut untuk dicontih dan diteladani. Dalam kaitan ini, telah dikemukakan beberapa contoh seperti kebangkitan para rohaniawan (baca: ruhaniyat) dan pergerakan Imam Khomeini rahimahullah bahwa sebelum Imam Khomeini qs, para ulama dan rohaniawan telah melakukan serta memimpin pergerakan dan kebangkitan, namun mereka tidak pernah menuai keberhasilan dan akhirnya terkalahkan. Jika begitu adanya, dengan berpijak pada nasihat

Imam Ali as, maka seharusnya bercermin dan belajar dari kegagalan masa lalu, para ulama di masa kini sudah tidak perlu berpikir untuk melakukan pergerakan dan perjuangan, karena mereka pasti akan mengalami kekalahan seperti yang sudah sering terjadi sebelumnya. Pada bahasan yang lalu, kami telah memberikan

jawaban secara global. Kini kami akan menyempurnakan jawaban tersebut. Kami juga akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul ke permukaan.

Pengulangan atau keserupaan Peristiwa-peristiwa

Di antara pesan dan nasihatnya, Imam Ali as berkata, "Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan. Yang menjadi pertanyaan di sini, apakah pernyataan innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan) bersifat universal (baca: mutlak) atau tidak? Apakah ini berarti bahwa peristiwa apa pun yang terjadi di masa lalu pasti akan terjadi yang serupa di masa datang? Jelas sekali, keserupaan bukan berarti kesamaan dan pernyataan di atas tidak bersifat mutlak serta universal. Satu peristiwa dengan yang lain terkadang memiliki keserupaan dan terkadang sama sekali tidak memiliki keserupaan. Nah, apabila rumusan di atas tidak bersifat universal, mengapa Imam Ali as menyatakan innama al-umura asybahun

p: 330

(bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan), dengan menggunakan kata innama yang memberikan makna hashr (yakni hanya/satu-satunya) dengan ta'kid (penekanan)? Beliau secara tegas berkata, “Jadikanlah peristiwa yang telah terjadi sebagai pijakan atas peristiwa yang belum terjadi, karena perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Pernyataan ini bisa dianggap benar, apabila rumusan di dalamnya bersifat universal. Padahal kita semua memahami bahwa antara

peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan yang terjadi sekarang atau di masa depan memiliki banyak perbedaan. Pertanyaannnya adalah apabila rumusan ini tidak bersifat universal, lalu apa makna dari ucapan beliau dan mengapa beliau mengucapkan rumusan ini seakan bersifat mutlak tanpa pengecualiaan? Kritikan dan pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua cara:

Pertama, bahwa ucapan Imam Ali as di sini adalah sebuah ungkapan khithabi (retorika) semata. Sebagaimana telah diketahui, dalam menjelaskan sebuah permasalahan bisa digunakan beberapa pola istidlal (baca: argumentasi), seperti burhan, jadal, khithabah, syair dan mughalathah (yakni pembuktian rasional, debat, retorika, puisi dan fallacy) yang di dalam ilmu logika disebut dengan istilah al-shina'at al- khamsah. Al-shina'at al-khamsah adalah lima pola argumentasi

yang digunakan untuk meyakinkan sebuah pemikiran atau maksud tertentu kepada orang lain. Salah satu ciri argumentasi dengan pola retorika adalah penggunaan dalil-dalil yang bersifat asumtif dengan tujuan memberikan motivasi kepada para pendengarnya untuk melakukan atau meyakini sesuatu yang bermaslahat bagi mereka. Nasihat dan mauizah secara umum disampaikan dengan pola ini, karena si pemberi nasihat tidak berada pada posisi untuk berargumentasi dengan pola

pembuktian rasional dan filosofis. Dia berbicara sedemikian rupa agar para pendengar termotivasi untuk melaksanakan atau meyakini apa yang disampaikannya.

p: 331

Oleh sebab itu, boleh jadi apa yang disampaikan itu bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak dan univerasal, tetapi pada umumnya seperti itu. Pembicara cukup menyampaikan sesuatu yang akan digunakan oleh pendengar pada saat tertentu; dia bertujuan agar apa yang disampaikan bisa diingat dan digunakan pada saat diperlukan. Di dalam retorika, boleh jadi keterangan yang disampaikan tidak bersifat universal dengan menggunakan premis-premis zhanniy (baca: asumtif)

dengan tujuan agar diingat dan digunakan saat perlu. (Boleh jadi), tujuan Imam Ali as agar para pendengar nasihat memahami bahwa peristiwa-peristiwa masa datang juga sama tidak kekalnya denga peristiwa-peristiwa masa lalu. Imam Ali as hendak meyakinkan bahwa apa yang terjadi di dunia hanyalah bersifat sementara dan sebagaimana manusia mengalami banyak kesulitan di masa lalu, maka di masa datang pun keadaan akan seperti itu adanya. Kita semua telah membuktikan bahwa setiap keberhasilan selalu diiringi dengan rintangan dan kesulitan; kesenangan duniawi selalu beriringan dengan kesengsaraannya. Oleh sebab itu, kita harus menyadari bahwa masa yang akan datang juga sama seperti itu. Kita tidak boleh mengira bahwa segala hal akan terjadi sesuai dengan apa yang kita inginkan atau apa yang kita raih akan selalu berada dalam genggaman dan tidak akan sirna. Imam Ali as hendak mengajak para pembaca nasihatnya untuk mengambil pelajaran tentang dunia dari masa lalu agar tidak ada hati manusia yang terpaut dengannya. Karenanya beliau berpesan: “Lihat dan belajarlah dari apa yang terjadi di masa lalu.” Benar, masa lalu tidak selalu sama dengan masa datang dan rumusan ini tidak bersifat mutlak. Akan tetapi, penekanan beliau tersimpul pada hal-hal yang di dalamnya terdapat keserupaan antara masa lalu dan masa datangnya. Kesimpulan dari jawaban pertama ini adalah bahwa nasihat yang disampaikan oleh beliau bersifat retorika. Sebagaimana dimaklum, retorika secara umum menyampaikan

p: 332

hal-hal yang bersifat asumtif. Dengan kata lain, pesan- pesan yang disampaikan dengan pola retorika biasanya mengandung keterangan “pada umumnya” dan hanya sedikit terjadi pengecualian; retorika bukanlah keterangan yang bersifat yaqini sehingga tidak ada pengecualian sama sekali di dalamnya.

Kedua, jawaban lain yang bisa diketengahkan adalah ketika Imam Ali as menyampaikan innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan), maksudnya adalah bahwa peristiwa masa lalu dan masa datang pada hakikatnya sedikit-banyak memiliki keserupaan dan kesamaan.

Dengan kata lain, beragam peristiwa itu memiliki kesamaan dan keserupaan dari sisi tertentu, dan yang dimaksud bukanlah keserupaan menyeluruh antara peristiwa masa lalu dan masa datang. Semua orang mengetahui bahwa si fulan yang hidup seribu tahun silam tidak akan hidup lagi di masa datang sehingga dikatakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu akan terulang dengan segala detailnya secara sempurna di masa datang. Yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa terdapat sisi tertentu yang serupa antara peristiwa-peristiwa masa lalu dan masa datang. Bila sisi itu berhasil diketahui, kita bisa mengatakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu mempunyai keserupaan dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Beragam peristiwa di masa lalu dan masa datang sedikit

banyak mempunyai keserupaan, namun buka dari segala sisi- Nya, tetapi pada sisi tertentu yang harus dikuak dan diketahui agar kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu untuk apa yang akan terjadi. Perlu juga disadari, keserupaan bukanlah berarti kesamaan. Di dalam kesamaan terdapat keserupaan yang menyeluruh dan sempurna; sementara dalam keserupaan, cukuplah terdapat kesamaan antara dua fenomena pada sisi-sisi tertentu saja. Berpijak pada kesamaan pada sisi tertentu itulah akan muncul hukum yang sama. Sebagai

p: 333

missal, semua peristiwa yang terjadi di masa lalu tidak ada satu pun yang bersifat abadi. Segala macam kesenangan dan penderitaan telah berlalu. Nah, dari yang sama ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa apa pun yang akan terjadi di masa mendatang juga tidak ada yang bersifat kekal nan abadi. Kita telah berhasil menguak sebuah kesamaan dalam semua peristiwa dan fenomena, yaitu ketidakabadian serta kefanaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt: Ma‘indakum yanfadu wa ma 'indallahi baqin (segala yang ada di sisimu akan sirna dan apa yang di sisi Allah akan kekal abadi).(1) Dan, apabila pada sebagian sunatullah terdapat sisi kesamaan lain yang terdapat pada semua fenomena dan peristiwa, sisi kesamaan itu bisa dijadikan pijakan serta pedoman untuk membaca apa yang akan terjadi di masa mendatang. Tentu hal itu akan membantu kita dalam menangani berbagai macam permasalahan serta urusan yang dihadapi. Al-Quran telah banyak menerangkan sunatullah yang sama dalam beragam peristiwa dan fenomena yang telah dialami oleh segala umat di segala masa. Oleh sebab itu, apabila kita memandang masa lalu, kita akan dapat memahami bahwa sebuah fenomena tertentu akan terjadi di masa datang.

Umpamanya, kita telah memahami bahwa di masa lalu apabila sebuah masyarakat atau umat itu tidak bersyukur atas nikmat Allah, berlaku zalim dan selalu memerangi kebenaran, ternyata mereka mengalami nasib serta akibat yang buruk. Berpijak pada apa yang selalu terjadi di masa lalu berkaitan dengan masyarakat yang zalim dan kufur nikmat, kita dapat menyimpulkan bahwa mereka pasti akan menemui akibat yang buruk, yaitu dicabutnya nikmat tersebut oleh Allah Swt.

Allah Swt telah berfirman, La in syakartum la azidannakum wa lain kafartum inna ‘adzabi lasyadid. Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengufuri (nikmat-Ku), maka sesungguhnya

p: 334


1- 85 QS. al-Nahl(167:96.

siksa-Ku sangatlah pedih.(1) Pernyataan ini benar dan bersifat mutlak dan universal.

Oleh sebab itu, apabila kita mampu menguak sisi persamaan dari beragam peristiwa dan fenomena, kita akan dapat melakukan analogi serta menjadikannya pijakan atas peristiwa dan fenomena yang akan terjadi di masa depan. Dengan kata lain, kita dapat menjadikan peristiwa dan fenomena masa silam sebagai pelita petunjuk bagi peristiwa dan fenomena masa datang.

Masa Depan Berbeda dengan Masa Silam

Sejenak kita perlu meneliti hal-hal yang dikritisi dan dipertanyakan. Pada bahasan yang lalu kita telah mengetengahkan sebuah tema berkaitan dengan perjuangan para ulama dan rohaniawan. Ada sebagian yang berpikir bahwa karena di masa silam pergerakan serta perjuangan para ulama dalam upaya menggulingkan penguasa yang zalim selalu berakhir dengan kekalahan, maka mereka menyimpulkan bahwa setiap pergerakan melawan penguasa yang zalim di masa depan juga akan selalu berakhir dengan kekalahan juga. Dengan alasan inilah, mereka tidak mau terlibat dalam perjuangan serta perlawanan. Mereka sudah merasa yakin

bahwa segala macam bentuk perjuangan melawan penguasa yang zalim akan berakhir dengan kekalahan sebagaimana yang sudah-sudah. Alasan ini juga yang digunakan untuk berlepas diri dari tanggung jawab sosial dan keagamaan mereka. Di sini kita harus jelaskan kepada mereka, mereka tidak melakukan perbandingan antara peristiwa yang terjadi di masa lampau dengan masa datang dalam sisi-sisi yang sama. Mereka tidak menyadari bahwa di antara beberapa peristiwa

berlainan masa itu juga terdapat hal-hal yang tidak sama. Misalnya, pada masa lampau masyarakat tidak memiliki

p: 335


1- 86 QS. Ibrahim [14]:7.

kesadaran yang cukup, juga tidak ada kesempatan untuk melakukan pengajaran, pendidikan serta pencerahan kepada masyarakat luas. Akan tetapi pada pergerakan terakhir, masyarakat sendiri telah mengambil pelajaran dari berbagai kegagalan masa lampau, selain tersedianya media yang memadai untuk menyampaikan pencerahan, pendidikan dan pengarahan kepada masyarakat luas. Karenanya, dua periode ini tidak bisa ditafsirkan sama begitu saja lalu diambil sebuah kesimpulan: karena di masa silam pergerakan selalu menemui kegagalan, maka pergerakan yang satu ini pun akan berakhir dengan kegagalan.

Pada masa silam, ada sekelompok orang yang berhasil melakukan propaganda buruk sehingga dapat menipu serta menyingkirkan masyarakat dari arena perlawanan. Di masa sekarang pun, seandainya masyarakat tertipu dan meninggalkan arena perjuangan, kekalahan dan kegagalan yang sama juga akan menimpa mereka. Namun, apa yang terjadi sekarang jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Pada masa ini, masyarakat cepat memahami hakikat permasalahan dan bisa disadarkan dari propaganda busuk musuh yang menipu.

Dalam situasi dan kondisi yang terjadi sekarang, sikap pesimistik dan fobia atas kegagalan beruntun di masa lalu merupakan sikap yang tidak benar dan sangat keliru, karena antara masa silam dan masa kini sama sekali tidak ada kesamaan dari sisi ini. Yang pertama harus dilakukan adalah menemukan

sisi persamaan antara apa yang terjadi di masa silam dan apa pula yang terjadi di masa kini, baru kemudian dengan memerhatikan sisi kesamaan di sepanjang periode sejarah masa lalu, dapat dilakukan penyimpulan serta prediksi atas apa yang akan terjadi di masa mendatang. Oleh sebab itu, Imam

p: 336

Ali as berkata, “Innama al- umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan).” Berkaitan dengan pergerakan para ulama dan rohaniawan,

kita dapat berdalih dengan beberapa sisi yang mempunyai keserupaan, bahwa sebagian mereka dengan memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat, akhirnya mampu memberikan penyadaran dan pencerahan kepada mereka, dan akhirnya berhasil meraih kemenangan dalam pergerakan serta perlawanan mereka meski dalam lingkup yang relatif kecil dan terbatas. Nah, kini kita dapat melakukan pola-pola perjuangan tersebut dalam lingkup yang lebih luas sehingga dengannya dapat diraih kemenangan yang lebih besar. Singkat kata, kita masih dapat berkata, “Innama al- umura asybahun”, karena apabila pekerjaan-pekerjaan perlawanan dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan fasilitas serta kekuatan yang ada, sebatas apa yang telah dilakukan, tentu akan memberikan keberhasilan dan kesuksesan. Apabila semua itu dilakukan dengan fasilitas serta kekuatan yang lebih besar, dapat dipastikan kemenangan dan kesuksesan yang diraih akan lebih besar pula. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apa yang diungkap oleh Imam Ali as adalah sebuah rumusan yang bersifat mutlak dan universal. Universalitas rumusan tersebut berada pada kata asybahun (keserupaan), yakni ketika keserupaan atau kesamaan di antara peristiwa-peristiwa masa lalu dan peristiwa-peristiwa masa kini ditemukan, maka peristiwa masa lalu pasti dapat dijadikan pijakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Imam Ali as tidak mengatakan bahwa perkara-perkara itu sama persis dan dari setiap fenomena masa lalu kita akan dapat memahami fenomena masa datang. Contohnya, sebuah tanaman yang berkaitan dengan daerah bersuhu panas, tentu ia tidak akan tumbuh subur dan memberikan buah di daerah

p: 337

bersuhu dingin, dan tidak bisa dikatakan bahwa tanaman sama dan tanahnya sama pula atau dikatakan "bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan”, tetapi setiap tanaman hanya bisa dianalogikan dengan tanaman-tanaman yang sejenis dan sekarakter dari sisi suhu, kadar air, perawatan dan lain sebagainya, sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan universal sehubungan dengan tanaman tersebut.

Apabila kita menemui perbedaan antara peristiwa-peristiwa masa lalu dengan masa datang, dapat dipastikan kita kurangjeli dalam memahami sisi persamaan dan perbedaannya. Sisi perbedaan antara dua peristiwa harus diperhatikan secara cermat. Karena apabila kita tidak mencermati dengan baik sisi perbedaan yang ada, hanya dengan satu persamaan di antara keduanya kita akan menganggapnya sama dalam segala hal. Boleh jadi sebuah perkara dalam situasi dan kondisi tertentu

akan berbeda hasilnya dengan perkara yang sama dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Kita harus cermat apakah sebab yang menjadi alasan terjadinya sebuah peristiwa dimasa lalu, juga masih ada di masa mendatang sehingga akan memberikan hasil yang sama? Atau sebab itu sudah tidak ada? Kita harus selalu cermat dan teliti bahwa syarat-syarat, sebab-sebab serta situasi dan kondisi dapat berubah dari satu waktu ke waktu yang lain. Oleh sebab itu, rumusan yang diucapkan

oleh Imam Ali as itu adalah benar adanya dan bersifat universal, tetapi dengan satu syarat, yaitu sebuah syarat yang dalam bahasa logika dikatakan: dengan syarth khafiy (syarat tersembunyi), sebuah proposisi akan menjadi universal. Yakni, sebuah proposisi yang tampaknya bersifat mazhnun (dugaan), tetapi dengan satu syarat akan berubah menjadi yaqini (pasti). Di dalam bahasan al-qadhaya (proposisi) dikatakan, sebagian proposisi mazhnun (bersifat dugaan) dapat menjadi shadiq (benar dan pasti), yakni meskipun dari sisi tertentu ia bersifat mazhnun, dari sisi lain bersifat shadiq. Proposisi seperti itu

p: 338

juga bisa digunakan sebagai burhan (baca: pembuktian) dengan memandang sisi kebenarannya. Oleh sebab itu, dalam menjelaskan apa yang diungkap oleh

Imam Ali as, bisa digunakan salah satu dari dua tafsir berikut. Pertama, kita menilai bahwa yang diungkap oleh beliau adalah sebuah proposisi zhanni yang digunakan dalam retorika mauizah, dan sebagaimana kita maklumi bahwa dalam retorika mauizah tidak ada keharusan untuk menggunakan proposisi yaqiniyyat. Di dalam retorika cukup digunakan sebuah proposisi yang bersifat “secara garis besar” dan “pada umumnya", tidak perlu yang bersifat mutlak atau universal, itupun dengan penekanan kepada lawan bicara agar membidik hal-hal yang dimaksud oleh pembicara. Imam Ali as menyampaikan nasihatnya dengan retorika mauizah, dan mauizah tidak menuntut lebih daripada itu. Kedua, meskipun keterangan yang disampaikan bersifat retorika dan di dalam retorika tidak dituntut lebih dari

premis-premis yang bersifat zhanniy, tetapi dengan membidik syarth khafiy di dalamnya, maka premis-premis tersebut akan menjadi universal. Yang dimaksud dengan syarat itu adalah ditemukannya sisi persamaan antara peristiwa masa lalu dan peristiwa masa depan. Apabila syarat-syarat itu juga ada di dalam peristiwa-peristiwa masa datang sebagaimana yang ada di masa lalu, dapat dipastikan bahwa hasil dari peristiwa masa lalu juga akan diperoleh dari peristiwa masa datang.

Sistematika Peristiwa-peristiwa Sosial

Ketika pembahasan sudah sampai di sini, ada baiknya kita paparkan pertanyaan berikut: Apakah peristiwa-peristiwa sosial dapat berulang tak ubahnya peristiwa-peristiwa natural? Atau dalam sisi ini, terdapat perbedaan antara peristiwa-peristiwa sosial dan natural? Sebagai misal, di alam

p: 339

natur sesuatu yang bisa terbakar apabila bersentuhan dengan api dan tidak ada penghalang, maka dapat dipastikan akan terbakar. Rumusan ini berlaku kapan saja tanpa pengecualian, sehingga kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada sesuatu yang bisa terbakar bila bersentuhan dengan api tanpa penghalang. Contoh lain, di musim semi, hujan akan turun dan tumbuh-tumbuhan akan menghijau; kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada tumbuh-tumbuhan

di setiap musim semi. Nah, apakah hal seperti ini juga dapat terjadi pada masalah-masalah sosial?

Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sangat penting dalam bahasan-bahasan sosiologi. Di kalangan sosiolog, terdapat kecenderungan pemikiran yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sosial adalah peristiwa-peristiwa tunggal yang tidak akan terulang; karenanya tidak ada sebuah rumusan universal serta kaidah tetap yang dapat diterapkan pada masalah-masalah sosial. Perkara-perkara sosial adalah produk kemauan serta keinginan individu-individu manusia dan terjadi perubahan situasi dan kondisi pada setiap waktunya. Oleh sebab itu, tidak dapat dibuat sebuah rumusan universal serta kaidah tetap berkaitan dengan masalah-masalah sosial, sehingga bisa dijadikan pijakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa datang. Nah, bagaimana kita mempertemukan antara apa yang diyakini oleh para sosiolog dengan apa yang diucapkan oleh Imam Ali as, “Innama al-umura asybahun (bahwa perkara-perkara itu mempunyai keserupaan)?”. Jawaban kita adalah bahwa secara umum memang terdapat perbedaan antara kaidah yang berkaitan dengan fenomena-fenomena sosial dengan kaidah yang berkaitan dengan fenomena-fenomena natural. Di dalam fenomena sosial, kita tidak akan pernah menemukan dua peristiwa yang sama persis

seperti halnya peristiwa dalam fenomena-fenomena natural. Meski begitu adanya, pandangan para sosiolog juga tidak

p: 340

sepenuhnya benar, sehingga dapat dikatakan bahwa di antara peristiwa-peristiwa sosial, sama sekali tidak ada kesamaan antara satu dengan lainnya dan bahwa setiap peristiwa itu berbeda secara menyeluruh dengan peristiwa yang lain. Selain itu, banyak bukti dalam sejarah yang menunjukkan adanya kesamaan antara beberapa peristiwa yang terjadi pada masa dan waktu yang berbeda. Ditambah lagi bahwa dalil-dalil naqli (baca: tekstual) serta teks-teks suci keagamaan seperti

al-Quran juga mengukuhkan adanya persamaan antara satu peristiwa dengan yang lain. Di dalam al-Quran kita membaca, Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka

dan kesengsaraan, serta diguncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(1) Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga tanpa melewati ujian? Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, sementara kalian belum melewati cobaan seperti halnya orang-orang terdahulu? Apakah kalian adalah kain dirajut berbeda? Orang-orang terdahulu telah diuji, mereka telah mengalami masa-masa sulit dan beragam malapetaka serta cobaan. Apabila mereka berhasil melewati ujian dengan baik, mereka akan menuju surga; dan apabila mereka gagal serta tidak bersabar dalam menghadapinya, mereka akan tergiring ke neraka jahanam. Nah, orang-orang terdahulu, semuanya telah menerima ujian, apakah kalian mengira bahwa kalian tidak akan diuji?! Sungguh kalian pasti akan diuji dan melewati masa-masa sulit. Ayat di atas hendak menegaskan, jangan sekali-kali berpikir bahwa kalian akan masuk surga begitu saja sebelum melewati ujian serta cobaan seperti halnya orang-orang

p: 341


1- 87 QS. al-Baqarah [2]:214.

terdahulu. Apa yang telah menimpa dan diterima oleh orang-orang terdahulu? Ayat menjawab, Mereka telah ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang (dengan bermacam-macam cobaan). Mereka yang bersabar dan berhasil melalu berbagai macam ujian dan cobaan tersebut, maka mereka akan mendapatkan surge. Akan tetapi, apabila mereka tidak bersabar dan gagal melalui ujian dan cobaan, mereka akan kehilangan surga. Sunah Ilahi (baca: Sunatullah) ini juga pasti akan berlaku atas kalian. Berkaitan dengan ayat ini, ada banyak riwayat dan hadis yang dimuat dalam kitab-kitab tafsir(1) yang juga mengukuhkan serta memperkuat makna yang dikandung ayat. Dalam sebuah sabdanya, Rasul saw berkata kepada muslimin, “Apa yang telah menimpa Bani Israil di masa lalu, juga akan menimpa kalian.” Beliau saw melanjutkan, “Bahkan seandainya Bani Israil itu pernah memasuki lubang biawak, kalian juga akan memasukinya.(2) Makna ucapan Rasul saw adalah bahwa bagian-bagian partikular dalam sejarah pun juga mungkin dan bisa terulang, yakni akan terulang dengan melihat sisi persamaan, bukan berarti sama persis tanpa sedikit pun perbedaan. Ada sisi-sisi persamaan (jihat al-isytirak) antara peristiwa masa lalu dengan masa datang, sehingga apabila kita mengetahui sisi persamaan tersebut, kita akan dapat membandingkan masa lalu dengan masa datang, dan dengan perbandingan itu kita dapat memprediksi masa datang berdasar pada masa lalu. Apabila sisi persamaan peristiwa-peristiwa sosial dapat diketahui dan dianalisis dengan sempurna, dengan adanya sisi persamaan tersebut, maka terulangnya peristiwa dapat diprediksi. Peristiwa-peristiwa bukanlah sesuatu yang berfaktor tunggal sehingga tidak bisa berulang dan dirumuskan. Fenomena-fenomena sosial juga bisa dirumuskan dan disimpulkan kaidah tertentu darinya, kendati menemukan

p: 342


1- 88 Allamah Thabathaba'i, Al-Mizan, jil.2, hal. 162.
2- 89 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jil.59, hal. 127.

sisi persamaan dan formulasinya agak sedikit rumit. Misalnya, mengetahui secara detail faktor dan penyebab sebuah peristiwa sosial, dalam situasi seperti apa akan terjadi dan apa hal-hal yang dapat menjadi penghalangnya, merupakan sesuatu yang sangat sulit dan tidak mudah. Benar, eksaminasi dan pengulangan atas fenomena-fenomena natural jauh lebih mudah dilakukan serta ditemukan formulasi serta faktor-faktor penyebabnya. Namun, ini bukan berarti bahwa peristiwa-peristiwa sosial sama sekali tidak bisa dikaji dan ditemukan kaidah serta formulasinya untuk melakukan prediksi atas peristiwa-peristiwa yang akan datang. Apabila

sisi persamaan antara peristiwa masa lalu dan masa datang dapat ditemukan, masa depan akan dapat diprediksi berdasar pada sisi persamaan tersebut.

Tentu, yang dimaksud dengan berulangnya peristiwa, bukanlah peristiwa yang sama persis dari segala sisi. Umpamanya, apa yang disabdakan oleh Rasul saw berkaitan dengan persamaan antara umat beliau dengan Bani Israil, jelas sekali bahwa kita muslimin, Nabi kita adalah Rasulullah saw dan bukan Bani Israil serta Nabi Musa as, tetapi ada sisi persamaan antara kita dengan Bani Israil, yaitu bahwa apa pun yang mereka alami juga akan kita alami dalam kehidupan dunia, sekalipun ada hal-hal yang khusus dengan kita, sebagaimana ada juga hal-hal khusus yang berkaitan dengan mereka. Pascakegaiban Nabi Musa as selama empat

puluh tahun Bani Israil berubah menjadi penyembah anak sapi. Mereka tidak mau mendengar wakil Nabi Musa as yang mengajak mereka kembali kepada tauhid. Di dalam dunia Islam juga terjadi penyimpangan yang seperti itu. Belum genap empat puluh atau tujuh puluh hari dari wafatnya Rasul saw, umat beliau sudah meninggalkan Ali bin Abi Thalib as dan tidak mau mendengar perkataannya, yakni mereka meninggalkan sosok yang di sisi Rasul saw ibarat Harun di sisi Musa as dan berpaling dari apa yang telah diwasiatkan

p: 343

oleh beliau. Dalam rangka mencegah terjadinya perselisihan di tengah umat, pertumpahan darah, kerusakan dan menjaga keutuhan mereka, Harun as mengambil sikap diam. Di dalam al-Quran disebutkan, ketika Musa as berkata kepada Harun as, “Bukankah aku telah berpesan kepadamu agar menjaga Bani Israil dan jangan biarkan mereka mengambil jalan yang menyimpang?!” Harun as menjawab, “Aku khawatir nanti engkau akan mengatakan bahwa aku telah memecah belah mereka, karenanya aku biarkan mereka agar tidak terjadi perselisihan dan pertumpahan darah.”Di dalam surah Thaha, ayat 94 ditegaskan: Harun menjawab, “Hai putra ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): ‘Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku.' Apa yang menimpa umat Musa as juga menimpa serta dialami oleh umat Muhammad saw. Demi mencegah terjadinya perpecahan di antara umat Islam, Imam Ali as mengambil jalan diam setelah menyempurnakan hujah atas mereka. Beliau bersabar selama 25 tahun hingga umat menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Banyak riwayat yang menyinggung bahwa apa yang menimpa Bani Israil juga akan menimpa kalian, wahai muslimin. Boleh jadi, diangkatnya sejarah penyimpangan Bani Israil di al-Quran adalah adanya sisi kesamaan ini. Ada banyak pelajaran dan ibrah di dalam sejarah Bani Israil yang bisa diambil oleh umat Islam, seperti peristiwa Samiri dan penyembahan anak sapi. Seharusnya umat Islam mengambil pelajaran dari apa yang menimpa Bani Israil, agar mereka terhindari dari bencana yang dialami oleh umat Musa as.

Ringkasan dan Kesimpulan Bahasan

Ringkasan dari apa yang telah dijelaskan atas pesan Amirul Mukminin as pada bagian ini adalah apabila seseorang berkata bahwa antara masa lalu dan masa datang sama sekali

p: 344

tidak ada sisi kesamaan dan masing-masing merupakan peristiwa-peristiwa tunggal dan tersendiri, maka tidak akan ada satu peristiwa yang bisa dianalogikan dengan peristiwa lain dan diambil kesimpulan yang sama. Akan tetapi, apabila memang terdapat sisi kesamaan antara satu peristiwa dengan lainnya, sisi kesamaan itu dapat melahirkan sebuah kesimpulan yang dapat diterapkan atas dua fenomena dan peristiwa yang berbeda waktu. Apabila sisi persamaan pada setiap fenomena ditemukan, akan lahir sebuah hukum universal yang dapat diterapkan atas semua, yakni di mana pun sisi persamaan itu ditemukan, maka hukum universal itu akan berlaku. Oleh sebab itu, Imam Ali as menegaskan, “Ambillah pelajaran atas apa yang belum terjadi dengan apa yang telah terjadi, karena

perkara-perkara itu memiliki keserupaan.” Yakni, Anda bisa memprediksi masa depan berdasar pada sisi kesamaan yang terdapat pada beragam fenomena dan peristiwa yang serupa dan memiliki sisi kesamaan. Kemudian beliau berkata, “Dan janganlah engkau tidak pandai berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan, karena tidak bersyukur atas nikmat adalah seburuk-buruk kekufuran.”

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kufur nikmat dan berbagai akibatnya merupakan salah satu contoh dari adanya sisi kesamaan antara peristiwa masa lalu dan masa masa datang. Ketika umat terdahulu terkena bencana sebagai akibat tidak mensyukuri nikmat, maka umat yang akan datang juga akan mengalami nasib yang sama apabila mereka tidak mensyukuri nikmat. Apabila kita kufur nikmat, dapat dipastikan kita akan berhadapan dengan bencana sebagaimana yang telah dialami oleh orang-orang terdahulu. Yang dimaksud dengan nikmat di sini, tentu bukanlah sekadar nikmat-nikmat materi seperti makanan, minuman, pakaian dan kesenangan hidup, tetapi nikmat-nikmat maknawi yang jauh lebih bernilai ketimbang nikmat-nikmat materi.

p: 345

Pada contoh yang lalu telah disinggung, nikmat maknawi besar yang kita miliki sekarang adalah nikmat pemerintahan Islam di bawah naungan wilayat al-faqih. Nikmat ini adalah sebuah nikmat yang dihasilkan oleh darah-darah suci para syuhada dan ulama sepanjang sejarah perjuangan Islam. Kita semua harus menjaga nikmat ini dengan segenap jiwa dan raga. Tugas penjagaan ini lebih terbebankan kepada para ulama ketimbang masyarakat secara umum. Para ulama bertanggung jawab untuk menjelaskan secara saksama konsep dan prinsip agung ini agar tertanam dan terpatri secara kuat di hati segenap masyarakat dan umat Islam. Demikian juga, di antara nikmat-nikmat besar yang dihasilkan oleh revolusi adalah perhatian, kecenderungan serta kepedulian pada masalah-masalah agama, al-Quran dan syariat. Ini adalah nikmat-nikmat yang harus dihargai dan dijaga. Tentu, bahwa di sana-sini masih ada kekurangan dan kita tidak mendakwa

bahwa revolusi telah menjadikan semua orang bebas dari perbuatan dosa, yang seperti itu tidak mungkin diwujudkan, karena manusia memang tidak maksum. Kita harus selalu bekerja dan berjuang di arah islah dan pembenahan diri serta masyarakat, di samping tidak lupa untuk mensyukuri semua yang sudah dihasilkan oleh revolusi, agar syukur kita menjadi alasan bagi Allah Swt untuk menambah berbagai anugerah serta nikmat yang lain. Namun, apabila kita melupakan nikmat-nikmat Ilahi yang telah diturunkan dan kita mengabaikan nikmat kepemimpinan agama serta wilayat al-faqih, kita akan diberi hukuman dengan kepemimpinan manusia-manusia yang sama sekali tidak peduli dengan risalah Ilahi dan al-Quran yang didakwahkan oleh Rasul saw dan Para Imam as. Apabila itu benar-benar terjadi, seluruh nilai Islam, kemanusiaan dan hukum agama akan tercerabut dari tengah masyarakat; dan kala itu kita tidak akan bisa menyalahkan siapa pun selain diri

kita sendiri. Sebagaimana ditegaskan di dalam salah sebuah ayat, Setiap musbah yang menimpamu adalah sebagai akibat dari apa yang kamu lakukan sendiri.(1)[]

p: 346


1- 90 QS. al-Syura [42]:30.

41-ANTARA MANUSIA DAN HEWAN

Point

وَ لاَ تَکُونَنَّ مِمَّنْ لاَ یَنْتَفِعُ مِنَ الْعِظَةِ اِلاَّ بِمَا لَزِمَهُ فَاِنَّ الْعَاقِلَ یَتَّعِظَ بِالاَْدَبِ، وَالبَهَایِمُ لا تَتَّعِظُ اِلاَّ بِالضَّرْبِ.

Dan janganlah engkau termasuk orang yang tidak dapat mengambil manfaat dari nasihat kecuali dengan paksaan, karena sesungguhnya orang yang berakal akan menggunakan nasihat dengan adab, sementara binatang tidak akan mengambil nasihat kecuali dengan pukulan.

Peranan keinginan dan Kecenderungan dalam Perilaku

Boleh jadi, kalimat berikut ini merupakan sebuah pertanyaan tanpa jawaban bagi kebanyakan orang, yakni mengapa manusia dengan pemahaman dan pengetahuan

yang dimiliki, cenderung untuk mengabaikan nasihat-nasihat yang tertuang di dalam berbagai ayat dan riwayat? Apa yang semestinya dilakukan agar manusia dapat mengamalkan nasihat tanpa harus dipaksa atau diingatkan secara berulang- ulang? Pertanyaan ini adalah gambaran dari realitas yang kita hadapi dan rasakan, dan sangat urgen untuk segera diberikan jawabannya.

Tak pelak lagi, manusia dalam apa yang diperbuat dan dilakukan, tak ubahnya seperti hewan-hewan yang lain,

p: 347

berangkat dari sebuah keinginan serta pemahaman tertentu. Apabila dia melakukan suatu pekerjaan, dapat dipastikan ada maksud serta tujuan yang hendak diraih. Hewan apabila memakan rumput tentu bertujuan untuk mengenyangkan perutnya, sebagaimana halnya manusia yang makan dalam rangka menghilangkan rasa laparnya. Dalam hal ini, bisa dikatakan terdapat kesamaan antara hewan dan manusia; yakni keduanya melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu atau bisa juga dikatakan bahwa terdapat sebab akhir (final cause) di dalam setiap yang dilakukan oleh keduanya. Apabila tidak terdapat sebab akhir, keduanya tidak akan melakukan apa-apa, setiap perbuatan yang dilakukan, tentulah bermuara pada keinginan serta tujuan yang hendak dicapai. Sebab akhir yang merupakan sisi kesamaan antara manusia dan hewan, bisa bermacam-macam bentuk dan tingkatannya. Terkadang sebab akhir hanya berkaitan dengan pemenuhan sebuah keinginan sederahana dalam jangka waktu yang pendek, dan terkadang berkaitan dengan beberapa tujuan yang lebih tinggi. Akan tetapi, yang pasti, harus

terdapat tujuan di balik setiap perbuatan. Bahkan sekadar berjalan di tengah padang pasir atau melangkah di jalan, pastilah terdapat tujuan di baliknya. Boleh jadi, dia berkata bahwa “saya tidak mempunyai tujuan tertentu”. Akan tetapi, ketenangan, membuang kejenuhan, mencari udara segar atau menghilangkan ketegangan, bisa jadi merupakan alasan dari aktivitas jalan-jalan. Oleh sebab itu, apabila kita tidak mempunyai keinginan tertentu, dapat dipastikan kita tidak akan melakukan apa-apa. Allah Swt telah meletakkan keinginan serta kecenderungan tertentu pada setiap manusia dan hewan. Umpamanya, Allah Swt telah menciptakan manusia dan hewan sedemikian rupa sehingga keduanya merasakan kenikmatan pada saat makan dan minum. Tentu, jenis makanan berbeda antara satu dengan

p: 348

lainnya, tetapi setiap manusia dan hewan mempunyai keinginan pada makanan serta merasakan kelezatan darinya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa terdapat kecenderungan serta keinginan pada diri manusia yang menariknya untuk melakukan sebuah aktivitas. Dia tidak akan menunda untuk melakukan sesuatu yang memenuhi keinginannya, kecuali apabila terdapat beberapa keinginan yang saling bertabrakan pada saat yang sama, maka dia akan mendahulukan salah satu

dari keinginan tersebut serta menunda yang lain. Contohnya, apabila manusia ingin melakukan sesuatu yang mendatangkan kenikmatan dan pada saat yang sama dia juga ingin beristirahat, tetapi karena perbuatan yang mendatangkan kelezatan itu juga melelahkan serta membutuhkan energi yang tidak sedikit, maka dia mendahulukan istirahat daripada aktivitas yang mendatangkan kelezatan. Ada orang yang lebih mementingkan istirahat daripada kelezatan, dan ada pula orang-orang yang berpaling dari istirahat serta bekerja tak kenal lelah untuk meraih berbagai macam kenikmatan di kemudian hari.

Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Mewujudkan dan Menguatnya Keinginan

Ada beberapa kecenderungan dan keinginan yang sedikit banyak sama antara manusia dan hewan, juga ada beberapa faktor yang terlibat dalam proses kemunculan berbagai keinginan dan kecenderungan tersebut. Contohnya, ada hormon-hormon tertentu yang menimbulkan gairah seksual dan keinginan untuk melampiaskan nafsu-birahi pada diri manusia. Kecenderungan seks pada diri manusia adalah hasil dari proses fisiologis yang bersumber pada anggota tertentu

di dalam tubuh. Akan tetapi, sebagian kecenderungan manusia tidak bermuara pada anggota tubuh tertentu, atau bilapun ada faktor organik dan fisik yang berperan, perannya tidak terlalu besar, karena muara aslinya berkaitan dengan sisi psikis,

p: 349

seperti “kecenderungan serta keinginan untuk dihormati” pada diri manusia. Kecenderungan ingin dihormati ini, tidak berasal dari anggota tubuh tertentu; ia tidak berkaitan dengan indra penglihatan, pendengaran atau kelenjar tertentu tetapi lebih merupakan sebuah kondisi psikis tertentu yang di dalamnya manusia merasa senang apabila dihormati dan dihargai. Dalam hal ini, faktor utamanya adalah roh dan jiwa manusia, dan tidak secara langsung berkaitan dengan sisi fisik manusia.

Keinginan manusia untuk bermunajat dan bertakarub dengan Sang Khalik, termasuk dalam kecenderungan serta keinginan nonorganik dan tidak bergantung pada bagian tubuh tertentu. Keinginan untuk bermunajat dan bertakarub dengan Ilahi Rabbi pada diri manusia begitu mulia dan kuat, sehingga manusia siap untuk melakukan berbagai macam perjuangan dan pengorbanan tanpa memedulikan kelelahan, kepenatan, cuaca panas, cuaca dingin, rasa lapar, rasa haus dan bahkan rasa kantuk. Semua itu dilakukan demi mencicipi manisnya bermunajat dan bermesraan dengan Allah Swt. (1) Dari keterangan singkat di atas dapat disimpulkan, terkadang muara kecenderungan dan keinginan manusia itu berkaitan dengan organ tubuh tertentu, namun adakalanya kecenderungan manusia sama sekali tidak bersifat organik, tetapi bermuara pada roh dan jiwa manusia.

Pertentangan Di Antara Beberapa kecenderungan dan Keinginan

Sejauh apa manusia mengikuti keinginan dan kecenderungan naluri alaminya adalah sebuah kajian yang

p: 350


1- 91 Orang-orang yang tidak bisa merasakan manisnya bertakarub dengan Allah Swt adalah orang-orang yang mendapat hukuman karena banyaknya dosa dan maksiat yang diperbuat. Perilaku buruk, dosa dan maksiat dapat menjauhkan manusia dari kenikmatan munajat dan takarub, meskipun manusia tersebut mempunyai pengetahuan dan ilmu yang cukup.

bukan di sini tempatnya dan memang kita tidak berencana untuk mengkajinya di sini. Satu hal yang pasti dan telah disepakati bahwa manusia mempunyai peranan penting dalam mengontrol, mengendalikan dan mengarahkan berbagai kecenderungan naluriahnya, di samping berperan juga di dalam menyiapkan syarat-syarat pemenuhan serta menyingkirkan rintangan-rintangan yang ada. Umpamanya, mendengar mauizah, mengikuti majelis taklim dan membaca doa merupakan adalah serangkaian aktivitas yang dapat memunculkan keinginan dan kecenderungan mulia pada diri manusia. Mengamalkan apa yang tertuang di dalam syariat dan menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang mulia, juga akan berperan di dalam menimbulkan dan mengembangkan kecenderungan- kecenderungan positif pada diri manusia. Di dalam bait-bait Munajat Sya'baniyyah terdapat sebuah ungkapan yang sangat mendidik dan mencerahkan, kala Imam Ali as berucap, “Ya Allah, aku tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk menghindarkan diri dari bermaksiat kepada- Mu, kecuali pada saat Engkau menyadarkan diriku dengan cinta-Mu.” Di dalam kalimat munajat ini telah digambarkan adanya dua kecenderungan yang saling bertentangan pada diri manusia, yang satu menarik manusia kepada maksiat

dan gerak menurun, dan yang satu lagi menarik manusia menuju kesempurnaan dan kesucian diri. Sehubungan dengan pertentangan ini, Imam Ali as berkata, “Ya Allah, aku tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari maksiat dan dosa, kecuali apabila Engkau menyelamatkanku dengan kasih-sayang dan cinta-Mu.” Pertentangan dan tarik-menarik antara dua kekuatan pada diri manusia juga telah dipaparkan di dalam al-Quran. Yakni, ada dua kekuatan di dalam diri manusia yang masing-masing menarik pada arah yang berlawanan, satu menarik ke

p: 351

arah Tuhan dan yang lain menarik ke arah yang bertentangan dengan-Nya. Satu kecenderungan menarik manusia pada sisi Allah dan para kekasih-Nya, sementara kecenderungan yang lain menarik manusia pada sisi hawa nafsu dan setan, seperti keinginan untuk meraih kecintaan-kecintaan palsu sosial, jabatan-jabatan tertentu dan gemerlap serta kemewahan dunia.

Petikan bait-bait Munajat Sya'baniyyah di atas telah dengan tegas menyatakan bahwa kecintaan Allah Swt adalah kekuatan yang paling ampuh untuk menjauhkan manusia dari hawa nafsu dan menariknya menuju kesempurnaan dan kedudukan yang dekat dengan-Nya. Apabila manusia dapat memperkuat faktor ini di dalam dirinya, dia akan dengan mudah menyelamatkan diri dari jeratan dan cemgkeraman kekuatan non-Ilahi.

Berdasarkan penelitian dan kajian ilmiah, terbukti bahwa manusia berhadapan dengan pertentangan beragam kekuatan diri yang masing-masing hendak menariknya kepada arah serta aktivitas tertentu. Dalam pada itu, orang-orang yang telah masuk dalam mahabah Ilahi, dapat dipastikan mampu bertahan dalam menghadapi berbagai godaan serta ajakan yang menariknya kepada hal-hal yang buruk. Salah satu tujuan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci

adalah untuk membimbing umat manusia agar mempunyai kemampuan untuk mengendalikan beragam kecenderungan dan keinginan diri. Dengan kata lain, ajaran Ilahi akan mengajak manusia untuk menghidupkan kecenderungan dan keinginan yang baik nan mulia, sehingga daya tarik maknawi di dalam diri manusia menguat dan manusia terselamatkan dari faktor-faktor non-Ilahi yang menghancurkan. Salah satu faktor yang akan membantu manusia dalam pertarungan antara kecenderungan ini adalah kembali kepada Allah Swt. Apabila manusia meyakini bahwa Allah Swt

p: 352

adalah Zat yang mencipta dan mengatur alam keberadaan ini, kemudian dia bertawakal kepada-Nya, maka Zat Yang Maha segalanya itu pasti akan memberinya petunjuk kepada jalan yang benar. Akan tetapi, meskipun manusia mempunyai keyakinan yang seperti ini, adakalanya dia lupa dan lalai, pada saat itulah manusia memerlukan nasihat dan peringatan agar dapat terhindar dari kelalaian dan kecenderungan-kecenderungan yang buruk. Mauizah dan nasihat sangat berperan penting dalam mengingatkan dan menyadarkan manusia dari kelalaian, sehingga dia dapat kembali pada nilai-nilai yang sudah diyakininya dan terhindar dari keterlenaan.

Batasan Antara Manusia dan Hewan

Perbedaan mendasar antara manusia dan hewan terletak pada bagaimana keduanya menghadapi berbagai kecenderungan dan keinginan yang muncul dari dalam

diri. Keinginan dan kecenderungan pada diri manusia dapat dikendalikan, dikuatkan dan dilemahkan, bahkan manusia dapat mengambil langkah-langkah tertentu dalam rangka mengubah serta mengarahkan berbagai kecenderungan dan keinginannya. Berbeda dengan hewan yang sama sekali tidak berdaya kecuali menuruti apa yang menjadi keinginan serta kecenderungan naluriahnya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara manusia dan hewan. Di samping itu manusia juga mempunyai serangkaian kecenderungan ilahi-maknawi yang tidak dimiliki oleh hewan.

Manusia mempunyai kemampuan untuk mendahulukan kecenderungan Ilahi-maknawi atas kecenderungan hewani-duniawinya. Seandainya terjadi pertentangan, dia dapat mengunggulkan sisi maknawi atas sisi duniawinya. Selain itu, unsur mauizah, nasihat dan taklim-tarbiah juga dapat memberikan arahan bagi manusia untuk memperkuat atau melemahkan berbagai kecenderungan serta keinginan yang ada, bahkan manusia dapat memiliki kemampuan untuk

p: 353

mengendalikan dan mengontrol berbagai kecenderungan. Semua kelebihan itu sama sekali tidak dimiliki oleh hewan. Hewan telah terkungkung dalam berbagai keinginan dan kecenderungan naluriahnya serta tidak mempunyai daya kecuali pasrah pada keinginan dan kecenderungan tersebut. Umpamanya, apabila hewan merasa lapar, ia akan terdorong untuk menundukkan kepala tanpa mengetahui di mana letak makanan dan darimana datangnya. Selama rasa lapar itu masih ada maka ia tidak akan berhenti makan.

Nah, apabila manusia dalam hal ini berkelakuan seperti binatang, maka tidak ada lagi yang membedakan antara dia dengan binatang. Sungguh tidak mengherankan ketika al-Quran berkata, Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.(1) Orang-orang yang kosong dari keyakinan dan pemikiran, yaitu orang-orang kafir, mereka dalam hal makan dan minum tak ubahnya seperti binatang. Dalam kaitan ini, orang-orang mukmin juga makan dan menikmati berbagai kelezatan di dunia, namun cara orang kafir menikmati dunia jauh berbeda dengan cara orang mukmin. Orang-orang kafir menikmati dunia sambil menginjak-injak aturan dan hukum Ilahi, sehingga mereka mengarah pada kecenderungan-kecenderungan yang hina dan jauh dari kemuliaan insani. Orang-orang kafir terjauhkan dari petunjuk Ilahi dan kebahagiaan abadi, karena mereka hanya mengenal kenikmatan-kenikmatan hewani sesaat. Dengan kata lain, orang-orang kafir, sekalipun mereka mempunyai serangkaian kecenderungan yang tidak dimiliki oleh hewan, mereka hanya hidup dengan kecenderungan-kecenderungan hewaninya. Oleh sebab itu, mereka layak untuk menyandang predikat lebih rendah dari hewan dan binatang, sebagaimana

p: 354


1- 92 QS. Muhammad [47]:12.

disebutkan dalam al-Quran, Bal hum adhallu (bahkan lebih rendah daripada hewan).(1) Untuk mengetahui kadar insaniah diri, kita perlu mengetahui bahwa ketika kita dihadapkan pada pertentangan antara kecenderungan maknawi dan hewani, mana yang akan kita pilih? Apakah kita akan memlih sisi Ilahi, insani, akli, maknawi dan iman atau kita akan memilih kenikmatan serta kelezatan duniawi yang sementara? Mampukah kita menyelamatkan diri dari kecenderungan serta keinginan nafsu hewani? Di sinilah batasan antara manusia dan hewan, karena apabila sisi insani kita lemah, dapat dipastikan kita akan memilih kecenderungan-kecenderungan hewani. Sungguh memalukan, apabila hewan dan binatang masih dapat menghindarkan dirinya dari berbagai kecenderungan naluriahnya, sementara manusia tidak! Sebagian hewan, apabila memasuki ladang orang lain, begitu ia melihat si pemilik ladang mengejar dan mengusir mereka dengan tongkat, maka mereka akan segera menghindar dan tidak lagi mau masuk ke ladang tersebut. Cukup satu pengalaman itu bagi mereka untuk terbimbing dan tidak mengulangi kesalahan. Berbeda halnya dengan sebagian manusia, kendati telah mendapatkan ribuan pengalaman pahit dari berbagai kesalahan, tetap saja tidak mau mengambil pelajaran dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Sebagian hewan, dengan menjalani pelatihan tertentu, menjadi jinak dan patuh. Namun, sebagian manusia, meski telah dibimbing oleh para utusan Ilahi selama bertahun-tahun, tetap saja membangkang dan tidak mau patuh. Melihat kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa binatang lebih mudah untuk dibimbing ketimbang manusia. Bukankah binatang yang seperti itu lebih mulia daripada manusia, dan manusia yang seperti itu menjadi lebih rendah dan hina ketimbang hewan?! Dengan penuh keyakinan

p: 355


1- 93 QS. Furqan [25]:44.

dapat dikatakan bahwa manusia yang liar seperti itu lebih rendah harkatnya daripada hewan (bal hum adhallu). Perlu digarisbawahi, apabila manusia setelah mengalami masa-masa penyimpangan yang pahit, akhirnya menjadi terdidik, terbimbing dan mengarah pada kecenderungan-kecenderungan Ilahi-maknawinya, tetap saja belum bisa dikatakan lebih baik daripada hewan. Yakni, apabila manusia akhirnya sadar setelah terjerumus dalam pahitnya dosa-dosa, maka dia belum bisa dikatakan lebih baik daripada hewan; karena seekor hewan pemikul beban, apabila kakinya terperosok pada suatu tempat, maka ia tidak akan pernah

mau melewati tempat itu sehingga dapat terperosok untuk kedua kali. Manusia seharusnya membangun hubungannya dengan Tuhan melalui makrifat dan cinta, bukan melalui pengalaman-pengalaman pahit yang membuatnya tersadar.

Pada bagian wasiat ini, Imam Ali as juga berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as (yang maknanya): “Apabila engkau hendak mencapai kedudukan insani yang tinggi dan keluar dari sisi hewani yang rendah, engkau harus dapat mengalahkan serta menundukkan kecenderungan-kecenderungan hewanimu. Engkau harus dapat mengambil jalan kemuliaan yang akan mengantarmu kepada kebahagiaan serta hidayah melalui mauizah, nasihat dan tarbiah insan-insan suci aa. Jangan sampai dirimu sama dengan hewan yang baru mau patuh setelah dicambuk, karena manusia seharusnya dapat terbimbing dengan akal, cinta(1) dan tarbiah, tanpa harus dipukul.[]

p: 356


1- 94 Hal ini telah diterangkan dalam banyak ayat dan riwayat, seperti apa yang sering kita baca dalam Ziyarah Jami'ah: Man ahabbakum fa qad ahabballah, barangsiapa yang mencintai kalian (Ahlulbait as), maka berarti mereka telah mencintai Allah.

42-MENGHARGAI HAK ORANG

Point

اِعْرِفِ الْحَقَّ لِمَنْ عَرَفَهُ لَکَ، رَفِیعًا کَانَ أَوْ وَضِیعًا، وَاطْرَحْ عَنْکَ وَارِدَاتِ الْهُمُومِ بِعَزَائِمِ الصَّبْرِ وَ حُسْنِ الْیَقِینِ.

Hargailah hak orang yang menghargai hakmu, baik orang itu dari kalangan atas atau dari kalangan bawah. Buanglah berbagai kesedihan dengan kesabaran dan keyakinan.

Menghargai Hak Orang yang Menghargai Hak

Kita Dengan inayah dan taufik Ilahi, telah dijelaskan secara ringkas beberapa bagian dari pesan dan wasiat Imam Ali as hingga sampai pada penggalan ini. Pada bagian ini, Imam Ali as berbicara tentang menghargai serta menjaga hak- hak orang lain. Beliau berkata, “Hargailah hak orang-orang yang menghargai hakmu, baik orang tersebut dari kalangan sosial yang lebih tinggi darimu ataupun dari kalangan sosial yang lebih rendah."

Kedudukan sosial seseorang di tengah masyarakat tidak boleh melahirkan diskriminasi dalam penyikapan terhadap mereka. Dengan kata lain, dalam menjalankan tugas sosial dan menjaga hak orang lain, kita tidak boleh menjadikan apa pun sebagai tolok ukur selain hak-hak orang tersebut, yakni

p: 357

jangan melihat kadar kekayaan, kepemilikan, kedudukan serta jabatan sosial si pemilik hak, baik dia kaya ataupun miskin, terkenal ataupun tidak, berjabatan tinggi atau rendah. Singkat kata, hak orang yang menghargai hak orang lain haruslah dijaga dan dihormati. Yang menjadi neraca dan tolok ukur adalah hak itu sendiri bukan selainnya. Hak setiap orang haruslah diberikan kepadanya. Di dalam wasiat ini telah digunakan ungkapan yang mungkin bisa menimbulkan kesalahpahaman, karena beliau berkata, “Hargailah hak orang yang menghargai hakmu”, sehingga boleh jadi kita akan menyimpulkan maksud ucapan beliau seperti ini, yaitu bahwa apabila ada orang yang tidak menghargai dan menjaga hak kita, kita pun tidak perlu menghormati dan menjaga haknya. Apakah seperti itu maksudnya? Pertanyaan ini sangatlah penting dan memerlukan jawaban yang panjang-lebar. Akan tetapi, sesuai dengan kadar buku ini, kami akan memberikan jawaban yang ringkas.

Pengertian Hak dari Sisi Undang-Undang

Untuk mendapatkan kejelasan dari pertanyaan di atas, pertama harus diketahui apa yang dimaksud dengan “hak”. Hak adalah sebuah kata yang mengandung makna “kedua belah pihak” dan akan selalu begitu. Hak dapat dibagi menjadi beberapa bagian, seperti “hak-hak Ilahi” yakni hak- hak yang berkaitan antara Tuhan dengan sekalian hamba- Nya, atau “hak-hak sosial” yakni hak-hak yang dimiliki antarmanusia dalam kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka kata “hak” dalam realisasinya setidaknya memerlukan keberadaan dua pihak, dan kedua pihak itu bisa individu dan bisa juga kelompok yang masing- masing mempunyai hak. Umpamanya saja, bayangkanlah hak antartetangga, yakni sebagaimana seseorang mempunyai hak terhadap tetanggannya, maka si tetangga juga mempunyai

p: 358

hak terhadap orang tersebut. Hal ini disebabkan makna “hak” mengandung arti “kedua belah pihak”, dan dalam kaitan ini tidak terdapat perbedaan antara hak dua saudara, dua saudari, dua teman sekolah, dua sahabat, bahkan antara suami-istri. Ketika suami mempunyai hak terhadap istri, maka istri pun mempunyai hak terhadap suaminya. Dalam beberapa kasus tertentu, "hak” sepertinya tidak berarti kedua belah pihak dan hanya sepihak saja. Seperti halnya salah satu dari anggota keluarga atau masyarakat yang mempunyai hak terhadap yang lain tanpa ada hak orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Contohnya adalah seorang

ayah yang mempunyai serangkaian hak terhadap anaknya, baik hak-hak yang bersifat materi ataupun nonmateri, sedemikian rupa sehingga apabila si ayah telah meninggal dunia, hak- haknya masih menjadi tanggung jawab si anak, seperti halnya hak-hak ayah yang telah ditetapkan oleh syariat yang menjadi kewajiban atas anak tertua. Hak-hak tersebut hanya dimiliki oleh ayah tanpa ada hak anak yang menjadi tanggung jawab si ayah, sementara ayah telah meninggal dunia dan tidak

ada yang bisa dia perbuat untuk anaknya, namun si anak masih mempunyai tanggung jawab yang harus ditunaikan. Sebagai misal, si anak masih wajib mengqada salat-salat wajib ayahnya, atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan beberapa amalan dan perkara mustahab bagi sang ayah, seperti melakukan serangkaian kebajikan (baca: khairat) yang pahalanya dihadiahkan kepada sang ayah. Hak-hak seperti ini adalah hak-hak yang bersifat sepihak, karena kendati si ayah telah meninggal dunia, tetapi ada serangkaian hak ayah yang harus dilakukan dan ditunaikan oleh anak-anaknya. Dalam hal ini, ayah mempunyai hak atas anak tanpa ada hak anak yang menjadi tanggung jawab serta kewajibannya. Bahkan seandainya si ayah adalah seorang musyrik, kafir atau fasik sekalipun, dia tetap memiliki hak atas anaknya yang harus dilakukan. Misalnya saja, apabila seorang ayah musyrik

p: 359

mengajak anaknya untuk melakukan kemusyrikan, tentu si anak tidak boleh mematuhi ajakan orang tuanya, tetapi si anak tetap harus berbakti kepada orang tua dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab seorang anak kepada seorang ayah, seperti si anak tidak melakukan hal-hal yang bersifat tidak menghormati orang tua. Di dalam al-Quran telah ditegaskan, dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berlaku baik terhadap kedua orang tuanya.(1) Dalam ayat lain disebutkan, Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.(2) Jangan patuhi mereka ketika mengajakmu untuk berbuat kemusyrikan, tetapi perlakukanlah mereka dengan baik di dunia. Oleh sebab itu, apabila seorang anak mukmin mempunyai orang tua yang kafir dan dia sama sekali tidak menunaikan apa yang menjadi hak anak, anak-anaknya tetap berkewajiban untuk menunaikan hak-hak seorang ayah. Hak seperti ini terlihat sepintas sebagai hak yang bersifat sepihak, karena sekalipun si ayah tidak melaksanakan tanggung jawabnya, si anak tetap berkewajiban untuk menghormati serta menjaga hak sang ayah.

Tolok Ukur Menjaga Hak Orang Lain dalam Etika

Secara umum, dengan mengesampingkan sebagian hak sepihak, seperti hak orang tua atas anak-anaknya, biasanya menjaga hak orang lain itu bergantung pada bagaimana orang lain itu juga menghormati dan menghargai hak kita, terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan etika. Hal ini disebabkan apabila salah satu pihak tidak menghormati hak yang lain, maka pihak yang lain juga tidak akan menghormati haknya. Sebagai misal, apabila salah seorang teman tidak

p: 360


1- 95 QS. al-Ankabut [29]:8.
2- 96 QS. Luqman [31]:15.

menghormati dan tidak menghargai hak teman yang lain, maka dia juga harus bersiap-siap untuk tidak dihormati serta dihargai hak-haknya. Apabila seorang teman berlaku kasar dan tidak ramah kepada teman yang lain, dia juga harus bersiap-siap untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Bahkan, tidak jarang sikap yang baik dan sopan dari salah satu pihak akan membuat pihak lain bertambah berani untuk melakukan yang sebaliknya.

Dalam beberapa kasus, menjaga dan menghormati hak orang lain bergantung pada sejauh apa dia menghormati dan menjaga hak kita. Kendati tidak setiap perkara menghormati hak orang lain bergantung pada penghormatan dia atas hak kita. Yakni, apabila orang tersebut tidak menghormati hak kita, kita tetap bertanggung jawab untuk menjaga serta menghormati haknya, seperti halnya hak seorang teman dan kedua orang tua atas diri kita.

Sering dijumpai, ketika seseorang itu mempunyai strata sosial dan finansial yang tinggi, maka haknya cenderung dijaga dan dihormati, tetapi begitu orang tersebut kehilangan jabatan dan jatuh miskin, maka semua teman dan sahabat akan segera meninggalkannya, seakan tidak pernah terjalin persahabatan dan pertemanan di antara mereka. Dalam situasi yang seperti ini, Imam Ali as berpesan bahwa menjaga hak orang lain itu adalah sebuah keharusan apabila orang tersebut juga menjaga hak kita. Ini adalah tolok ukur untuk menjaga hak orang lain, bukan jabatan sosial atau kekayaan. Meskipun seseorang itu tidak mempunyai jabatan dan hidup dalam kemiskinan, selama dia menghormati hak kita, maka kita pun berkewajiban untuk menjaga serta menghormati haknya. Beliau menegaskan,

"Hargailah hak orang yang menghargai hakmu, baik orang itu dari kalangan atas atau dari kalangan bawah.” Nasihat beliau ini adalah sebuah peringatan bagi mereka yang secara tidak sadar lalai dan meremehkan hak orang lain

p: 361

yang berada di kalangan sosial bawah dan ekonomi rendah. Tidak sedikit orang yang mempunyai karakter melupakan dan meninggalkan teman ketika kehilangan kedudukan dan jatuh miskin, padahal seorang mukmin tidak dibenarkan untuk berlaku seperti itu. Mukmin adalah pribadi yang menjaga serta menghormati hak orang lain dalam segala hal, sekalipun orang yang memiliki hak itu berasal dari kalangan bawah dan miskin. Yang menjadi tolok ukur adalah apabila orang lain itu

menjaga serta menghormati hak kita, kita pun berkewajiban untuk menjaga dan menghormati haknya.

Beberapa Problem yang Terjadi Sesama Manusia

Manusia, mau tidak mau, akan berhadapan dengan beberapa masalah dan problem yang berkaitan dengan jiwa serta psikologinya. Terkadang, dia menemui masalah dalam dunia kerja, terkadang harus kehilangan orang yang dicintai, terkadang terjadi sebuah peristiwa yang mengancam dan membahayakan masa depannya dan lain-lain. Singkat kata, manusia tidak bisa lepas dari beragam masalah dan problem dalam hidupnya. Tentu masalah yang dihadapi oleh setiap

orang tidaklah sama, namun masing-masing sesuai dengan kapasitanya akan berhadapan dengan serangkaian hal yang membuatnya gelisah, bersedih dan merasa tidak nyaman.

Seseorang yang mempunyai jabatan tinggi dengan tanggung jawab besar, tentu masalah yang dihadapinya akan lebih berat dibandingkan mereka yang mempunyai tanggung jawab kecil. Sebagaimana para pencari dunia banyak dihantui serta dibebani oleh masalah-masalah dunia, maka para pencari keridaan ilahi juga akan dihantui oleh kekhawatiran tidak terlaksananya taklif ilahi yang ada di pundak mereka; apabila ada banyak rintangan di hadapan, maka mereka akan semakin

khawatir untuk tidak bisa menuntaskan apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya. Kegelisahan, kecemasan dan kekhawatiran ini, terkadang sedemikian rupa menghantui

p: 362

pemikiran dan kejiwaan seseorang sehingga dia akan kehilangan kekuatan serta semangat untuk menyelesaikan apa yang menjadi dan tanggung jawab; dia akan kehilangan spirit dan kemudian menyerah. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang diharapkan untuk terjadi dan tidak diinginkan oleh semua orang. Orang yang seperti ini, biasanya tidak bisa menuntaskan tanggung jawab dunia dan akhiratnya; dia selalu dihantui dengan kegelisahan dan kecemasan tanpa henti, sehingga dia tidak bisa melaksanakan salat dengan khusuk. Bahkan dia akan kehilangan gairah sama sekali untuk beribadah dan benar-benar menjadi pribadi yang kehilangan

fungsi dan tidak berguna sama sekali.

Jalan dan Cara Menghadapi Beragam Kesulitan dan Problem

Sebagaimana yang telah dijelaskan, hidup manusia tidak pernah sunyi dari beragam masalah dan peristiwa pahit. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu akan memengaruhi berbagai aktivitas duniawi-ukhrawi dalam aspek individu dan juga sosial. Yang penting untuk diperhatikan di sini adalah langkah-langkah dan strategi apa yang harus diambil agar manusia terjaga dari beragam masalah dan problem sehingga semua itu tidak dapat menghalangi kemajuan serta perkembangannya.

Tidak dapat dipungkiri, kehidupan manusia beriringan dengan musibah, bencana dan hal-hal yang menyakitkan. Kehidupan manusia tidak pernah bebas dari duka dan derita. Yang perlu untuk dipikirkan di sini adalah bagaimana cara manusia untuk bisa menghadapi berbagai macam kesulitan sehingga dia tidak dikuasai dan dikendalikan oleh beragam masalah, namun justru dia yang menguasai dan mengendalikannya. Karena apabila manusia dikuasai oleh masalah, dia akan kehilangan kemampuan untuk melaksanakan

p: 363

tugas dan tanggung jawabnya. Apa sebenarnya jalan keluar dari masalah ini?

Sebelum berbicara tentang solusi dan jalan keluar, ada sebuah hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu. Orang- orang yang berkepribadian sensitif, tentu akan merasakan tekanan yang lebih berat dibandingkan mereka yang tidak terlalu sensitif. Dengan kata lain, ada orang-orang yang bisa tenang dan santai dalam menghadapi beragam kesulitan dan masalah; mereka tidak terlalu cemas dan bingung dalam menghadapi bencana yang menimpa. Tentu, orang-orang tenang seperti ini lebih kuat dalam menghadapi musibah dan masalah. Namun, ada orang-orang yang begitu menghadapi masalah, mereka langsung kehilangan keseimbangan, bingung, cemas, gelisah dan tidak tenang. Mereka tidak mudah untuk bisa menghadapi dan keluar dari masalah dan musibah yang dating. Masalah dan musibah menghantui serta merasuk pada kejiwaannya secara mendalam. Kelompok yang kedua ini, tentu lebih mudah untuk terserang bahaya serta penyakit jiwa, seperti keputusasaan, ketidakberdayaan, kecemasan, kegelisahan, ketegangan, kesedihan dan bahkan beragam penyakit fisik seperti kelumpuhan. Itu semua akan semakin mempersulit masalah yang sedang dihadapi dan tidak terselesaikannya berbagai macam persoalan. Bagaimana orang-orang seperti di atas dapat keluar dari masalah ini?

Maula al-Muttaqin Im m Ali as dalam kaitan ini berpesan: (Dalam rangka menyelamatkan diri dalam berbagai musibah, bencana dan kesulitan seperti ini), kita harus menghidupkan dua kekuatan yang menghidupkan dalam diri. Dua kekuatan itu adalah kekuatan kesabaran dan kekuatan keyakinan.

1. Kekuatan kesabaran

Kesabaran merupakan sebuah wacana penting dalam akhlak yang bisa diperoleh oleh manusia dari berbagai macam jalan. Pemilik kesabaran dapat bertahan kala

p: 364

menghadapi berbagai macam musibah dan persoalan di dalam hidup sehingga tidak mudah menyerah dan berputus asa. Tentu bukan di sini tempatnya untuk

membahas berbagai cara dan metode meraih kesabaran, karena itu merupakan tanggung jawab bahasan-bahasan yang berkaitan dengan akhlak dan kami tidak ingin masuk di dalamnya. Yang hendak kami tekankan adalah apabila seseorang dapat memperkuat kesabaran dan ketabahan di dalam diri, dia akan mampu untuk bertahan dan menghadapai beragam musibah dan problematika kehidupan. Musibah dan berbagai macam kesulitan dalam kehidupan dunia dapat menghancurkan dan membuat manusia menjadi bingung, tertekan, cemas dan gelisah. Akan tetapi, seorang insan yang sabar dan tabah akan mampu bertahan dan menghadapi segala permasalahan dengan beragam cara yang ditempuh. Semakin tinggi tingkat kesabaran dan ketabahan seseorang, maka dia akan semakin kuat dalam menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidupnya.

2. Kekuatan keyakinan

Yang dimaksud dengan keyakinan di sini adalah keyakinan manusia akan kekuasaan, kebijaksanaan dan pengaturan Ilahi. Dalam pembahasan yang lalu, sedikit

banyak kami telah menyinggung masalah ini. Salah satu dari ajaran agama-agama samawi yang telah banyak diangkat dalam berbagai macam ayat dan riwayat di

dalam Islam adalah masalah qadha dan qadar Ilahi. Tentu qadha dan qadar dalam pemahaman yang benar, bukan pemahaman yang bersifat deterministik. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa maksud dari keyakinan pada qadha dan qadar Ilahi adalah keyakinan bahwa di alam semesta ini terdapat pengaturan yang jauh lebih menentukan daripada pengaturan partikular sekalian makhluk dan

p: 365

hamba. Kita manusia, adalah mahluk-mahluk yang biasa berpikir dan berencana dalam ruang-ruang sempit dan terbatas dengan kekuatan dan kemampuan yang sangat terbatas pula, sehingga dalam banyak hal kita berhadapan dengan kesulitan dan tidak berdaya untuk menggapai apa yang diinginkan.

Realitas wujud kita yang sarat kelemahan ini adalah salah satu bukti bahwa ada sebuah pengaturan oleh kekuatan Yang Mahadahsyat di luar pengetahuan dan

pemikiran kita. Kita telah berkali-kali membuktikan bahwa dalam rangka menggapai sebuah tujuan yang sudah digariskan, terkadang kita bisa mencapai hal-hal

yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan; atau justru sebaliknya, meskipun kita telah mengerahkan segala macam kemampuan dengan perencanaan yang begitu detail dan rinci, namun tujuan tidak kunjung tercapai. Terkadang seseorang berusaha untuk melakukan sebuah kebaikan, namun justru musibah dan bencana yang dihasilkan. Pengalaman-pengalaman dalam hidup ini adalah bukti nyata dari adanya sebuah pengaturan yang lebih hebat dari manusia. Berbagai macam musibah dan bencana dengan banyak korban jiwa dan kehancuran seperti banjir, gempa bumi dan beragam malapetaka lain adalah hal-hal yang terjadi di luar kehendak dan keinginan manusia. Dalam ajaran-ajaran agama kita telah diberi pengetahuan bahwa beragam peristiwa di jagad raya baik yang manis maupun yang pahit, semuanya berada di bawah pengaturan dan kendali universal Ilahi Rabbi. Benar, dalam hal ini kita manusia telah menghadapi fenomena-fenomena yang menyakitkan dan menakutkan. Tidak jarang kita akan menganggapini sebagai pengaturan alam semesta yang tidak baik dan sarat kekurangan. Namun pada hakikatnya ada sebuah pengaturan yang

p: 366

bersifat universal yang meliputi seluruh alam keberadaan ini dan itu di luar jangkauan pemahaman kita. Memang hal itu sengaja tidak diberitahuakan kepada kita, karena semua itu adalah salah satu cara Allah Swt untuk menguji sekalian hamba-Nya. Seandainya semua itu diketahui oleh manusia, ujian terhadap manusia tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Seorang mukmin dengan iman dan baik-sangkanya terhadap pengaturan Sang Mahakuasa, dia mengetahui bahwa semua yang terjadi ini tidak ada yang sia-sia dan tanpa tujuan. Manusia keliru kalau berpikir bahwa peristiwa-peristiwa alam ini terjadi di luar kendali dan pengaturan Ilahi. Manusia juga salah apabila dia berpikiran bahwa Allah Swt berkehendak untuk menyengsarakan hamba-hamba-Nya. Allah Swt adalah Zat yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang. Berbagai fenomena dan peristiwa menyakitkan di alam semesta ini adalah sebuah keharusan yang sangat bermaslahat. Akan tetapi, karena kita

mempunyai pengetahuan yang terbatas, kita tidak bisa memahami maslahat dan hikmah yang terkandung di baliknya. Sebagai konsekuensinya, kita merasa keberatan dan protes atas segala musibah dan bencana yang terjadi. Seandainya kita mengetahui masalah-masalah universal berkaitan dengan alam semesta, kita pun akan berpikiran bahwa semua ini memang harus terjadi, karena hal ini adalah sebuah keniscayaan dari sebuah pengaturan yang sarat keadilan dan kebijaksanaan. Keyakinan pada kebijaksanaan dan pengaturan Ilahi yang penuh keadilan akan menjadikan manusia sabar dan tabah dalam menghadapi beragam musibah dan peristiwa yang menyakitkan. Semakin tinggi tingkat keyakinan kita pada pengaturan dan kebijaksanaan Ilahi, maka kita akan semakin mendapat ketenangan dan ketenteraman di

p: 367

dalam hidup. Bayangkan, seorang anak yang jatuh sakit di tengah keluarga dan sang ibu mencegahnya untuk menyantap makanan-makanan yang lezat. Dalam situasi seperti ini dapat dipastikan bahwa si anak akan merasa kesal dan jengkel, bahkan terkadang menangis. Dia mengira bahwa si ibu tidak lagi menyayanginya karena tidak memberikan makanan yang diminta. Apalagi ketika si ibu kemudian memberikan padanya obat yang pahit, maka dia akan menyangka bahwa si ibu sedang menghukum dan menyiksanya. Hal ini disebabkan dia masih belum memahami apa yang sebenarnya menjadi maksud dan niat sang ibu. Akan tetapi, ketika dia sudah mulai dewasa, maka dia akan segera mengerti bahwa minum obat yang pahit itu adalah keharusan bagi kesembuhannya, dan apa yang dilakukan oleh sang ibu itu justru berangkat dari rasa cinta dan kasih sayang terhadap Sang anak. Ketika itu barulah dia menyadari akan kebaikan sang ibu, dia akan memuji, berterima kasih dan tidak enggan untuk meminum obat yang paling pahit sekalipun. Hal ini dapat kita saksikan, apabila anak semakin besar, dia tidak lagi sulit untuk diperintah menelan obat yang pahit. Dia akan lebih mudah untuk meminumnya tanpa harus dipaksa. Bahkan dia akan siap untuk meminum obatnya sendiri hanya dengan anjuran sang ibu, karena dia sudah memahami bahwa apa yang menjadi keputusan ibu adalah baik bagi dirinya.

Hal ini juga dapat disaksikan dalam perilaku anak yang semakin besar, dia tidak lagi marah bila diperintah dan diperintahkan oleh kedua orang tua akan sesuatu, karena dia mulai menyadari bahwa bimbingan dan peringatan orang tua adalah untuk kebaikan dirinya. Demikian pula halnya dengan murid-murid yang mendapat tugas-tugas berat dari sang guru. Sebagian mereka merasa jengkel dan kesal apabila mendapat pekerjaan rumah yang berat

p: 368

karena berpikiran bahwa si guru telah memberikan hukuman kepada mereka. Akan tetapi, apabila kemudian mereka akhirnya lulus dalam ujian dan mendapat

penghargaan, mereka justru akan berterima kasih kepada si guru yang selalu memberikan tugas-tugas berat yang membuat mereka memahami pelajaran dengan baik. Demikian pula halnya dengan orang-orang mukmin yang percaya dan beriman pada pengaturan Sang Khalik yang Maha Pengasih dan Bijaksana. Mereka telah

meyakini bahwa apa yang terjadi di alam keberadaan ini adalah bermuara pada kebijaksanaan dan kasih-sayang- Nya yang tak terbatas. Oleh sebab itu, mereka tidak mudah mengeluh, cemas dan gelisah, karena mereka telah menyadari bahwa segala yang terjadi adalah apa yang telah dikehendaki dan diperhitungkan oleh Zat yang Maha Pengasih lagi Mahabijaksana. Dengan keyakinannya, mereka memahami bahwa semua yang terjadi ini adalah yang terbaik dan sudah sesuai dengan hikmah tertinggi, hanya saja mereka—karena keterbatasan ilmunya—tidak memahami secara menyeluruh hikmah dan maslahat di dalamnya. Oleh sebab itu, apabila kita selalu meningkatkan makrifat kita kepada Allah Swt dan membenahi pemahaman kita yang keliru tentang Zat yang Maha segala-galanya itu, kita akan selalu merasa tenang dan tenteram dalam hidup. Kita dapat menjalankan apa yang menjadi tugas dan taklif kita pada saat terjadinya berbagai macam musibah dan bencana. Umpamanya, apabila terjadi gempa bumi, kita akan sibuk untuk membantu, menolong dan menyelamatkan masyarakat yang tertimpa musibah. Dengan demikian, maka kita selain akan menjadi insan-insan yang mampu melaksanakan tugas serta taklifnya, juga menjadi manusia-manusia yang mempunyai ketenangan serta ketenteraman batin dalam menghadapi berbagai macam musibah dan bencana.

p: 369

Pemahaman dan keyakinan yang benar ini akan menjauhkan kita dari kegelisahan dan kecemasan yang tidak perlu, selain tetap menjaga kita bersemangat untuk

melaksanakan berbagai macam tugas dan tanggung jawab. Bahkan kita akan selalu hadir dan siap untuk berkorban dan membantu orang lain. Sebaliknya, apabila kita mempunyai pemahaman dan keyakinan yang keliru, kita akan selalu cemas dan gelisah. Kita akan kehilangan spirit dan jatuh dalam keputusasaan yang menjadikan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, Imam Ali as berpesan kepada kita untuk memiliki kesabaran dan keyakinan yang benar. Dengan keduanya, kita tidak bisa dikuasai dan dikendalikan oleh berbagai musibah dan cobaan, bahkan musibah dan cobaan itu justru akan menjadi anak-anak tangga yang mengantar kita menuju kesempurnaan hamba di sisi Rabbnya.[]

p: 370

43-KEUTAMAAN DAN KERENDAHAN

Point

مَنْ تَرَکَ الْقَصْدَ جَارَ، و نِعْمَ حَظُّ الْمَرْءِ الْقَنُوعُ، وَ مِن شَرِّ مَا صَحِبَ المَرْءَ الْحَسَدُ، وَ فِی القُنُوطِ التَّفْرِیطُ، وَالشُّحُ یَجْلِبُ.

Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, dia akan berbuat kezaliman. Sebaik-baik harta yang dimiliki oleh manusia adalah sifat kanaah (merasa cukup dan pandai berterima kasih atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt). Seburuk- buruk teman adalah teman yang bersifat iri hati. Di dalam

keputusasaan terdapat tafrith (meninggalkan kewajiban). Dan kekikiran pasti akan mendatangkan cercaan. Sabda Ahlulbait as adalah cahaya mata, kekuatan jiwa dan spirit bagi orang mukmin. Sampai sejauh ini, berkat taufik Ilahi, kita bersama telah menerangi dan memperkuat jiwa, hati dan agama dengan sabda-sabda Maula al-Muttaqin Imam Ali bin Abi Thalib as sesuai dengan kapasitas wujud diri. Kita telah mendapat banyak nasihat, pesan dan hikmah dari samudera tak bertepian itu. Kini kita masih akan memasuki bagian lain dari untaian mutiara yang keluar dari lisan suci beliau.

Pada bagian wasiat ini beliau berkata, “Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, maka dia akan berbuat .

p: 371

kezaliman.” Setelah kalimat ini, beliau mengungkapkan beberapa nasihat lain yang dapat menjadi pengembangan dari nasihat yang pertama. Perlu digarisbawahi, beberapa kalimat berikut beliau, tidak dimuat di dalam kitab Nahj al-Balaghah, karena Marhum Sayid Radhi menukil sabda beliau secara pilihan. Akan tetapi, di dalam nukilan Bihar al-Anwar beberapa kalimat itu ada. Sebelum masuk pada penjelasan, perlu kiranya sedikit dibahas tentang maksud kata i'tidal yang berarti sikap adil, sikap tengah dan sikap moderat.

Sikap I'tidal Adalah Tolok Ukur Keutamaan

Kaidah berikut ini sangat populer di tengah masyarakat bahwa khair al-umuri awsathuha, sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Di dalam filsafat akhlak, ada sebuah kaidah dari para filsuf Yunani kuno yang juga diterima oleh para filsuf Islam. Kaidah itu berbunyi: “Setiap keutamaan akhlak dibatasi oleh dua kerendahan akhlak; yang satu tafrith dan yang lain adalah ifrath.” Di dalam kitab-kitab akhlak Islam, kaidah ini juga menjadi tolok ukur perbuatan- perbuatan akhlaki. Dalam kitab akhlak Jami' al-Sa'adat,(1) sebagaimana kitab-kitab akhlak lainnya juga mengukuhkan prinsip ini bahwa setiap keutamaan dan perbuatan terpuji dibatasi oleh dua kerendahan, yaitu batasan tafrith dan batasan ifrath. Dengan demikian, ifrath dan tafrith akan menyebabkan

lahirnya kerendahan, sedangkan sikap i'tidal, tengah-tengah atau moderat akan melahirkan keutamaan.

Di dalam bahasan-bahasan filsafat akhlak, ungkapan ini dipaparkan sebagai sebuah kaidah dan rumusan. Yang menjadi pertanyaan, apakah kaidah ini bersifat kulli (universal)? Apakah ifrath dan tafrith pada setiap amalan itu tercela dan sikap i'tidal terpuji? Apa dalil rasional yang bisa diberikan berkaitan dengan terpujinya sikap i'tidal, sementara ifrath dan tafrith selalu tercela? Dalil apa yang dapat menjadikan tolok

p: 372


1- 97 Jami' al-Sa'adat, juz 1, hal.61.

ukur ini diterima? Apakah kaidah ini bersandar pada sebuah induksi? Atau bersandar pada sebuah dalil akli? Tentu, di sekitar masalah ini terdapat banyak bahasan yang tidak bisa dipaparkan semua di sini. Namun, secara umum kaidah ini telah diterima dan sangat popular. Dengan kata lain, termasuk dalam musallamat dan masyhurat. Oleh sebab itu, mereka yang berkeyakinan bahwa masalah-masalah akhlak adalah hal-hal yang bersandar pada masyhurat, maka mengangkat pertanyaan ini tidaklah pada tempatnya, karena memang akhlaqiyyat adalah hal-hal yang bertumpu pada masyhurat. Nah, dengan pengertian yang seperti ini, proposisi ini termasuk dalam proposisi masyhurat, maka tidak lagi diperlukan untuk dilakukan pembuktian dan membawakan dalil-dalil, karena semua telah sepakat bahwa premis-premis yang bersifat masyhurat dapat digunakan dalam masalah-masalah akhlak. Singkat kata, bahasan ini adalah bahasan akhlaki, dan kaidah di atas merupakan kaidah masyhurat, maka tidak ada yang perlu dibahas lebih jauh. Akan tetapi, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa dalam masalah-masalah

akhlaki juga harus disandarkan pada dalil-dalil rasional yang premis-premisnya bersifat aksiomatis, maka pembahasan akan sedikit rumit, karena proposisi itu harus dibuktikan dengan dalil rasional yang mendatangkan keyakinan, yaitu bahwa sikap moderat adalah tolok ukur atas keutamaan dan ifrath-tafrith adalah tolok ukur atas kerendahan. Sejak berabad-abad yang lalu Sebelum Masehi, hal ini telah menjadi pembahasan di kalangan para filsuf Yunani: apakah sikap moderat dan tengah-tengah selalu baik dan terpuji, sementara ifrath dan tafrith selalu buruk dan tercela? Umpamanya, apakah dalam hal mencari ilmu yang terbaik itu

adalah sikap tengah-tengah, sedangkan ifrath dan tafrith di dalamnya buruk? Atau, semakin banyak manusia menuntut ilmu, justru semakin baik? Sebagian tidak menerima kaidah ini,

p: 373

dan menjadikan contoh “mencari ilmu” sebagai sesuatu yang membatalkan kaidah tersebut, yakni sikap "tengah-tengah” dan i'tidal ternyata tidak selalu baik dan terpuji. Mereka secara tegas berkata, “Tidak ada seorang pun yang mengatakan ifrath dalam mencari dan menuntut ilmu sebagai perbuatan yang buruk dan tercela.” Tentu, ada banyak jawaban yang diberikan kepada kelompok ini, dan bukan di sini tempat untuk dibahas.

Bagaimanapun juga, kaidah ini dengan penafsiran yang benar masih bisa dibuktikan kebenarannya secara burhani (dengan dalil-dalil rasional). Penafsiran tersebut memerlukan beberapa mukadimah yang bisa Anda simak berikut ini.

Di dalam diri manusia terdapat beberapa kekuatan yang dalam tataran amal bisa saling bertabrakan. Kenyataan ini disadari oleh setiap manusia dan dia bisa membuktikannya sendiri bahwa di dalam dirinya terdapat beragam kecenderungan yang kesemuanya tidak dapat disatukan atau dikumpulkan dalam tataran praktik. Misalnya, seseorang yang sedang ingin mencari ilmu dan melakukan penelitian, dia tidak bisa menggabungkan hal itu dengan keinginan lainnya seperti beribadah dan bercengkerama dengan keluarga. Tak dipungkiri, semua amalan di atas adalah baik dan terpuji, tetapi dalam tataran praktik tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Ketika seseorang sedang melakukan salat, tentu dia tidak bisa membaca buku, atau ngobrol dan berbincang-bincang dengan keluarga dan rekan kerja, karena semua aktivitas itu saling bertentangan dan tidak bisa disatukan. Manusia tidak mempunyai pilihan kecuali satu dari dua hal, yaitu apakah dia membagi waktunya untuk beberapa aktivitas atau dia habiskan hidupnya untuk satu aktivitas saja dan meninggalkan seluruh pekerjaan yang lain. Contoh lain, pada zaman dahulu, ada orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk tinggal di gereja dan sinagog hanya untuk beribadah dan meninggalkan seluruh aktivitas yang lain. Mereka mengira bahwa seluruh keutamaan hanya tersimpul dalam ritual-ritual ibadah dan

p: 374

itulah yang terpenting dalam kehidupan. Nah, pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah manusia harus melakukan satu pekerjaan dan meninggalkan segala aktivitas yang lain, ataukah manusia harus melakukan pembagian waktu untuk beberapa aktivitas yang diperlukan dalam kehidupan? Sirah dan sejarah hidup Rasulullah saw juga para Imam as menunjukkan bahwa kehidupan mereka tidak terbatas pada satu dimensi saja. Ayat dan riwayat juga mengatakan bahwa keutamaan bagi manusia tidak terbatas pada satu jenis aktivitas saja. Akan tetapi, agama mengajarkan kepada kita serangkaian tugas, taklif dan tanggungjawab yang bermacam-macam, seperti salat, amar makruf nahi mungkar, belajar dan mengajar, berbagai aktivitas sosial-politik, berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keluarga dan pendidikan anak serta masih banyak lagi lainnya. Dengan demikian, menurut Islam kita tidak bisa membatasi kehidupan pada satu aktivitas saja,

seperti hanya untuk beribadah atau menuntut ilmu saja lalu meninggalkan segala macam pekerjaan dan tanggung jawab lainnya. Islam selalu menolak kehidupan yang bersifat satu sisi dan satu dimensi. Keterlibatan seseorang dalam berbagai aktivitas adalah sebuah keharusan dalam kehidupan manusia, dan seseorang harus berkecimpung dalam berbagai aktivitas ibadah, budaya, sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya.

Yang perlu diwaspadai di sini adalah bahwa jangan sampai ada sebuah aktivitas atau beberapa aktivitas yang dilakukan secara berlebihan (ifrath) atau kurang proporsional (tafrith), karena kedua sikap tersebut akan mengubah perbuatan yang baik dan terpuji menjadi buruk dan tercela. Umpamanya, ritual salat.

Ia mempunyai batasan dan porsinya, yang apabila melebihi batasannya, maka akan berakibat pada tidak terlaksananya beberapa tugas, kewajiban dan tanggung jawab lainnya, dan akan membuatnya tercela. Oleh sebab itu, memberikan waktu secara berlebihan untuk salat-salat mustahab akan memunculkan predikat yang tidak baik. Karenanya sikap

p: 375

moderat, i'tidal dan tengah-tengah harus diambil agar sebuah aktivitas positif tidak terseret pada ifrath dan tafrith yang akan mendatangkan predikat buruk. Dengan kata lain, sebuah aktivitas positif harus dilakukan secara proporsional agar tidak kurang dari batasannya atau berlebihan. Dengan demikian, menjaga sikap i'tidal dan moderat selalu dapat menjadi tolok ukur keutamaan, karena manusia tidak hanya mempunyai satu tugas saja. Untuk lebih jelasnya, contoh berikut ini mungkin akan sangat membantu.

Jihad adalah salah satu taklif Ilahi yang sangat bernilai dan terpuji yang sepertinya mendapat pengecualian dari kaidah i'tidal. Karena ketika sebuah situasi dan kondisi telah mewajibkan kita untuk berjihad, maka kita harus meninggalkan semua aktivitas dan fokus serta berkonsentrasi padanya. Dengan kata lain, ada suasana perang tertentu yang mengharuskan kita untuk sementara waktu terlibat secara penuh dan menyeluruh dalam jihad. Pada saat itu jihad menempati prioritas utama, karena memang tidak mungkin untuk melakukan aktivitas lainnya. Tentu, ketika suasana sudah kembali normal, masyarakat bisa kembali pada berbagai macam aktivitas yang digelutinya sambil menjaga sikap moderat dan i'tidal agar terhindar dari ifrath dan tafrith. Dengan demikian, jihad pun harus sesuai dengan kaidah i'tidaldan batasannya boleh jadi adalah waktu dan kemampuan. Misalnya, seberapa banyak kekuatan yang harus dikerahkan untuk jihad, atau berapa lama waktu yang telah ditentukan untuknya. Dengan demikian maka jihad pun memiliki batasan dan porsinya sendiri.

Secara umum, ketika seseorang berhadapan dengan berbagai macam aktivitas, kewajiban dan tanggungjawab yang saling bertabrakan, dan tidak bisa dia lakukan sekaligus secara bersamaan, maka untuk batas waktu tertentu dia bisa fokus dan berkonsentrasi untuk satu pekerjaan. Setiap pekerjaan

p: 376

tentu memiliki batasan dan waktunya, sehingga ketika dirasa cukup, maka pekerjaan itu harus segera ditinggalkan agar tidak keluar dari batas proporsionalnya.

Alhasil, sebagai kesimpulan, bisa diterima bahwa sikap i'tidal dan tengah-tengah adalah tolok ukur bagi perbuatan dan sifat yang terpuji agar tidak jatuh dalam sikap ifrath-tafrith yang membuat pekerjaan atau sifat tersebut menjadi buruk dan tercela.

Pengertian Batasan l'tidal

Kini harus ditentukan batasan yang diinginkan” atau batasan yang proporsional. Apabila dalam amal perbuatan dan taklif dituntut untuk dijaganya batasan i'tidal, apa yang dimaksud dengan batasan itu, apa yang dapat menjadi neraca bagi kuantitas dan kadarnya? Tentu, beragamnya aktivitas dan taklif, juga kapasitas serta kemampuan berbeda antara satu individu dengan lainnya, tidak mengizinkan kita untuk menentukan batasan tertentu, untuk kemudian kita ungkap bahwa inilah batasan dan ukuran i'tidal atas beragam aktivitas. Oleh sebab itu, menentukan batasan i'tidal bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan pembahasan dan kajian yang mendalam. Umpamanya, batasan i'tidal untuk makan adalah jangan makan sampai tertumpah dari mulutmu dan jangan tidak makan sampai tubuhmu menjadi lemas! Namun batasan ini tidak berdasar pada sebuah penelitian dan kajian yang mendalam sehingga darinya bisa diperoleh kadar yang paling

proporsional bagi ukuran makanan i'tidal yang tidak kurang dan tidak juga berlebihan.

Tak diragukan, menentukan batasan yang seperti itu tidaklah tepat selain tidak mungkin juga mengingat karena kapasitas, aktivitas dan selera manusia tidak sama dan berbeda-beda. Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada kadar makanan yang dikonsumsi, tetapi serangkaian faktor

p: 377

tersebut tidak pernah tetap pada satu orang apalagi antara satu manusia dengan yang lain. Oleh sebab itu, mau tidak mau harus dikatakan bahwa bagi setiap manusia ada ukuran proporsional tersendiri dan hal itu bukanlah sebuah fenomena kuantitas yang selalu tetap dan tidak berubah sehingga bisa disebutkan inilah ukuran proporsional makanan bagi setiap manusia yang apabila kurang atau lebih maka akan keluar dari batasan i'tidal yang mengakibatkan seseorang bisa

diberi predikat “kurang makan” atau “terlalu banyak makan”. Bahkan mereka yang meyakini kaidah i'tidal dalam etika ini pun tidak pernah memberikan kadar dan ukuran tetap pada batasan i'tidal dan menganggap pemberian batasan dan ukuran yang tetap sebagai sebuah kesalahan. Yang dimaksud dengan batasan i'tidal bukanlah kuantitas dan kadar tertentu. Maksudnya adalah pada setiap perbuatan baik yang kita lakukan, usahakan jangan sampai sedemikian larut di dalamnya sehingga berkonsekuensi pada terabaikannya tugas, kewajiban dan tanggung jawab yang lain. Dari sisi lain, usahakan jangan sampai apa yang dilakukan sedemikian sedikit dan tidak berarti, sehingga tidak bisa memberikan pengaruh sebagaimana yang diharapkan.

Alhasil, kaidah i'tidal secara umum bisa diterima dan dapat menjadi tolok ukur dan neraca bagi keutamaan dan nilai-nilai akhlaki. Tentu, kaidah ini baru bisa berfungsi apabila batasan i’tidal itu telah diketahui, namun menentukan batasan i'tidal bukanlah perkara yang mudah. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menentukan batasan i'tidal. Pada sebagian kasus, dalil rasional bisa dijadikan sandaran untuk menentukan batasan i'tidal; pada sebagian kasus, penelitian ilmiah dan eksperimen bisa dijadikan sandaran; dan pada sebagian kasus lain, harus juga digunakan dalil- dalil nakli dan ta'abbudi (tekstual). Semakin banyak sandaran

yang digunakan dan dilibatkan, maka tingkat akurasinya pun akan semakin tinggi. Umpamanya, bagi usia tertentu, dapat

p: 378

ditentukan ukuran dan takaran makanan yang dibutuhkan oleh anak-anak berdasar pada penelitian-penelitian medis dan kesehatan sehingga tidak menimbulkan bahaya. Nah, dalam kasus-kasus seperti ini, sudah tentu ilmu pengetahuan sangat membantu dalam menentukan batasan i’tidal. Akan tetapi, pada beberapa kasus yang lain, ilmu pengetahuan sama sekali tidak bisa membantu dan harus merujuk pada dalil-dalil akli dan nakli (rasional dan tekstual); sebagai misal, ukuran

waktu ibadah yang dibutuhkan oleh manusia, pastinya tidak bisa dipahami melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Satu-satunya jalan yang dapat menentukan batasan i'tidal di dalam ibadah adalah wahyu dan syariat. Singkat kata, i'tidal bisa menjadi ukuran keutamaan, sekalipun penentuan batasannya bukan perkara mudah. pada umumnya, batasan i'tidal tidak bisa ditentukan dengan bersandar pada sensus dan angka-angka. Kaidah ini pada hakikatnya adalah sebuah kaidah yang sempurna dan hampir diterima secara mutlak, tetapi masalah penentuan batasan dan ukuran proporsionalnya sangatlah sulit dan tidak mudah.

Sikap dan Perilaku l'tidal Sangat Dianjurkan Di Dalam Al-Quran dan Hadis

Di celah-celah riwayat yang sampai dari para Imam maksum as, kita akan menemukan riwayat-riwayat yang mengajak kita untuk bersikap moderat dalam hal ibadah dan pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam sebuah riwayat, Imam Ali as berpesan kepada putranya Imam Hasan Mujtaba as:

اِقْتَصِدْ یَا بُنَیَّ فِی مَعِیشَتِکَ وَ اقْتَصِدْ فِی عِبَادَتِکَ

Bersikaplah moderat (jangan berlebihan) dalam hal ma'isyah (pemenuhan kebutuhan hidup) dan ibadah. (1)

p: 379


1- 98 Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 71, hal.214.

Pada riwayat yang lain, beliau menilai sikap moderat sebagai akhlaknya orang yang beriman:

اَلْمُؤْمِنُ سِیرَتُهُ الْقَصْدُ

Orang beriman itu berperilaku moderat dan tidak berlebihan.(1)

Di dalam al-Quran juga ada ungkapan-ungkapan yang mengisyaratkan makna sikap moderat, seperti nasihat Luqman kepada putranya: Waqshid fi masyyik. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan.(2)

Kata qashd dan iqtishad yang berasal dari satu akar kata, yang di dalam bahasa Arab berarti sikap moderat dan tengah-tengah. Kendati bagi kata qashd terdapat makna-makna lain, seperti menginginkan dan menuju. Akan tetapi, di antara semua makna kata qashd, makna sikap moderat dan tengah-tengah terhitung sebagai makna asli baginya. Diantara nasihat yang diberikan oleh Luqman al-Hakim as kepada putranya adalah imbauan dan anjuran agar anaknya mengambil jalan

tengah dan sikap moderat dalam (perjalanan hidupnya. Memang, perlu dikaji lebih jauh, apa kira-kira yang dimaksud dari kata masyyik pada ayat di atas. Apakah yang dimaksud adalah sekadar “berjalan" fisik biasa ataukah mencakup seluruh perilaku hidup manusia? Tentu, jawabannya memerlukan kajian yang lebih mendalam. Namun yang pasti, Luqman as telah berpesan kepada anaknya untuk bersikap moderat dan tengah-tengah. Yakni, jagalah sikap i'tidal di dalam berjalan, jangan terlalu cepat dan terburu-buru, dan jangan pula terlalu lamban sehingga banyak waktu akan terbuang dan banyak pula pekerjaan lain yang terabaikan.

Sedemikian penting sikap i'tidal, sehingga untuk sekadar urusan berjalan saja perlu diterapkan sikap i'tidal.

p: 380


1- 99 Muhammad Raysyahri, Mizan al-Hikmah, juz 8, hal.139.
2- 100 QS. Luqman (31]:19.

Demikian pula halnya dalam hal berbicara, di dalam surah tersebut Luqman juga menasihatkan (yang maknanya):

“Janganlah engkau angkat suaramu terlalu tinggi sehingga dapat mengganggu orang lain, dan jangan pula terlalu pelan sehingga maksud tak tersampaikan serta lawan bicara tak dapat mendengar. Sesuaikanlah tinggi dan rendahnya suaramu dengan mempertimbangkan jarak antara engkau dan lawan bicaramu.”

Yang menjadi batasan i'tidal dalam contoh di atas adalah penilaian akal dan nalar. Akal dan nalar mengatakan bahwa salah satu tujuan utama berbicara adalah menyampaikan sebuah maksud kepada lawan bicara, dan berdasar pada tujuan tersebut seseorang bisa mengukur sedemikian rupa tinggi-rendah suaranya sehingga apa yang disampaikan dapat didengar oleh lawan bicara. Sampaikanlah maksudmu dengan suara yang tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah.

Dan batasan i'tidal yang seperti ini tentu tidak membutuhkan alat ukur khusus tertentu.

Kata muqtashid juga diambil dari akar kata yang sama dengan qashd dan iqtishad. Kata ini juga berarti sikap moderat dan tengah-tengah. Di dalam al-Quran disebutkan: Wa minhum ummatun muqtashidatun wa katsirun minhum sa'a ma ya’malun. Di antara mereka (Ahlulkitab) ada golongan yang moderat (golongan yang bersikap tengah-tengah) dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang buruk perbuatannya. (1) Di tempat lain, al-Quran mengkhithab Rasulullah saw:Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (janganlah engkau meninggalkan infak dan bantuan) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, maka kamu akan dicela dan tidak bisa melakukan apa-apa.(2)

p: 381


1- 101 QS. al-Maidah [53:66.
2- 102 QS. al-Isra' [17]:29.

Kedua-dua perilaku dalam berinfak tercela dan tidak terpuji. Jangan terlalu berlebihan dalam berinfak sehingga tidak ada yang tersisa bagi dirimu dan jangan pula terlalu kikir sehingga tidak ada orang yang pernah merasakan pemberianmu.

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa ayat-ayat al-Quran juga menjadikan sikap moderat sebagai sebuah kaidah dalam keutamaan-keutamaan akhlak sekaligus menjadi neraca untuk menilai mana sikap yang baik dan terpuji dan mana pula sikap yang buruk dan tercela. Kaidah i'tidal ini sepertinya telah menjadi sebuah hakikat yang diterima secara umum dan tak terbantahkan.

Antara Sikap moderat dan kezaliman

Pada ayat-ayat awal surah al-Nahl, telah disebutkan beberapa nikmat Ilahi, Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan yang kamu tidak mengetahuinya.(1) Di dalam menjelaskan poin-poinnya, al-Quran terkadang menggunakan pola “berlari”, sebagaimana juga dalam ayat di atas. Di dalam pola ini, pembicara biasanya terlebih dahulu beralih pada sebuah makna dan bahasan yang lebih tinggi dan lebih penting. Di awal ayat, Allah Swt berfirman, Kami telah menciptakan bagi kalian sarana untuk menempuh jarak- jarak yang jauh di permukaan bumi; Kami telah tundukkan bagi kalian hewan-hewan berkaki empat untuk kalian tunggangi dan memindahkan kalian dari satu kota ke kota yang lain. Kemudian, Allah Swt berkata, Dan merupakan tanggung jawab Allah (untuk menunjukkan) jalan yang lurus; dan di antara jalan-jalan, ada pula yang bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentulah

p: 382


1- 103 QS. al-Nahl (16):8.

Dia akan memberi petunjuk kalian semuanya (kepada jalan yang benar). (1)

Yang dimaksud dengan jalan lurus di atas adalah jalan tengah dan moderat, yaitu sebuah jalan yang akan mengantar Anda sampai kepada tujuan.

Di awal ayat, Allah Swt berbicara tentang menempuh perjalanan panjang dan jauh dengan binatang-binatang berkaki empat, lalu pada ayat berikutnya Allah Swt

memahamkan kepada sekalian hamba-Nya bahwa seluruh kehidupan pada hakikatnya adalah sebuah perjalanan dan Allah Swt telah menunjukkan jalan tengah yang lurus kepada mereka. Pastinya, Allah Swt tidak akan turun langsung untuk menunjukkan kepada kita jalan dari kota fulan menuju kota fulan, oleh sebab itu, ketika Allah berkata:

Wa alallahi qashd al-sabil (dan merupakan tanggung jawab Allah untuk menunjukkan jalan yang lurus), maksudnya adalah bahwa Allah akan menunjukkan jalan kehidupan yang benar sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan. Akan tetapi, sangat disayangkan sekali, sebagian meninggalkan jalan tengah dan mengambil jalan yang bengkok dan menyimpang. Di dalam ayat ini qashd dihadapkan pada jaur, yang artinya: Apakah yang dipilih itu adalah jalan tengah-tengah dan moderat (i'tidal), atau bila tidak, maka jalan yang diambil adalah jalan kezaliman dan melampaui batas.

Karena, selain jalan yang lurus dan mustakim, ada banyak jalan yang bengkok dan menyimpang. Sebagaimana ketika seseorang pergi menuju sebuah kota dari kota tertentu, dia selalu harus waspada pada arah yang benar agar tidak keliru, demikian pula halnya dalam perjalanan kehidupan, manusia harus mengikuti jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah Swt agar tidak mengambil jalan jaur, kezaliman dan melampaui batas.

p: 383


1- 104 QS. al-Nahl (16):9.

Di dalam ayat ini, kata qashd dihadapkan pada kata jaur, sebagaimana hal Imam Ali as dalam pesannya melakukan hal yang sama, beliau berkata, “Man tarakal qashda jara. Barangsiapa yang meninggalkan sikap adil dan moderat, maka dia akan berbuat kezaliman. Baik dalam ayat al- Quran maupun dalam ucapan Imam Ali as telah ditegaskan, barangsiapa yang meninggalkan jalan tengah, maka dia akan jatuh dalam kesesatan, kezaliman atau perilaku yang melampaui batas.

Pada bagian pesan berikutnya, Imam Ali as memberikan beberapa contoh penyimpangan dari jalan i'tidal seraya berkata, “Orang yang beruntung adalah orang yang berjiwa kanaah.” Kanaah adalah batasan i'tidal dari sifat merasa kurang secara berlebihan. Manusia yang berjiwa kanaah adalah manusia yang hanya menuntut apa yang menjadi kebutuhannya secara proporsional sehingga tidak kurang dan tidak juga berlebihan. Beliau melanjutkan, "Seburuk-buruk teman adalah yang bersifat iri hati.” Karena sikap iri hati dan hasud adalah sikap yang melampaui batas i'tidal. Allah Swt telah menentukan bagian rezeki masing-masing hamba-Nya, namun seorang yang berjiwa iri hati merasa tidak puas dengan bagiannya dan mulai melirik bagian orang lain. Dia selalu ingin memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain, dan dia juga menginginkan apa-apa yang dimiliki oleh orang lain bagi dirinya; dia juga tidak bisa melihat kemapanan orang lain. Pada hakikatnya, orang yang hasud telah terkena semacam penyakit tafrith dalam hak dan tentu hal ini sudah keluar dari batasan i'tidal, dan dapat dipastikan telah jatuh dalam jalur kezaliman dan “melampaui batas”.

Sikap l'tidal dalam Angan-Angan dan Cita-Cita

Berkaitan dengan masa depan, kejiwaan manusia terbagi menjadi tiga. Terkadang manusia jatuh dalam khayalan dan fantasi yang berlebihan tentang masa depannya, sehingga

p: 384

seakan hidup di alam khayal dan angan-angan. Contohnya, dia membangun sebuah istana di alam pikir, menghiasinya, memiliki jabatan-jabatan tinggi, mempunyai banyak harta dan modal dan seterusnya. Padahal tidak satu pun dari apa yang dikhayalkan itu benar-benar telah dimilikinya. Orang yang berakal sehat tentu tidak akan mempunyai pemikiran yang seperti ini, dan bila dia melihat hal ini pada orang lain, tentu dia akan merasa heran dan tak percaya, dia akan bergumam di

hati, Orang tersebut adalah orang yang tidak stabil jiwanya.

Ada pula jenis manusia yang sama sekali tidak berani mengambil keputusan, bahkan dia tidak mau menggunakan pemikiran dan ide baru yang melintas di otaknya. Tidak ada sedikitpun harapan akan keberhasilan dan kesuksesan dalam pemikiran manusia jenis ini, sehingga dia termotivasi untuk melakukan sesuatu. Mereka pada hakikatnya adalah orang-orang mati yang kebetulan karena bertempat tinggal di tengah orang-orang hidup maka mau tidak mau juga bergerak, namun gerak mereka sepenuhnya dikendalikan oleh orang lain dan tidak pernah mengambil keputusan untuk diri mereka sendiri.

Dua kelompok di atas adalah kelompok yang berada pada sisi ifrath dan tafrith, sementara garis i'tidal adalah ketika seseorang mempunyai cita-cita yang masuk akal bagi masa depan dengan melihat situasi dan kondisi, bersikap 'realistis dan bertawakal kepada Allah Yang Maha Memberi anugerah. Dia mengambil keputusan sesuai realitas hukum yang berlaku di dunia. Orang seperti ini tidak sedemikian larut dalam fantasi dan khayalnya sehingga tidak akan pernah menggapai cita-cita

dan selalu jauh dari realitas. Dia juga tidak sedemikian putus harapan sehingga tidak berani melangkah dan mengambil keputusan; dia selalu berjalan pada jalur i'tidal dan "tengah- tengah” yang jauh dari sikap ifrath dan tafrith. ()

p: 385

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109