Dinamika pemikiran politik Imam Khomeini

BOOK ID

سرشناسه:لک زایی ، نجف ، ‫1348 -

Lakzai, Najaf

عنوان قراردادی: ‫سیر تطور تفکر سیاسی امام خمینی (ره ) . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور: ‫ Dinamika pemikiran politik Imam Khomeini[Book] ‫ : Studi atas teori sistem politik dari fikih politik keteologi politik ‫ / Akbar Najaf Lakza’i ‫ ; penterjemah : Muchtar Luthfi.

مشخصات نشر: ‫ Qom ‫ : pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa ‫ , 2014 ‫ = 1393.

مشخصات ظاهری: ‫242ص.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/283/190، نمایندگی المصطفی در اندونزی ‫؛ 29.

شابک: ‫110000ریال ‫ 978-964-195-090-5:

وضعیت فهرست نویسی:فاپا

یادداشت:اندونزیایی.

یادداشت: ‫کتابنامه: ص. 214-220.

یادداشت:نمایه.

موضوع:خمینی، روح الله، رهبر انقلاب و بنیانگذار جمهوری اسلامی ایران، 1279 - 1368. -- دیدگاه درباره سیاست و حکومت

موضوع:اسلام و سیاست

موضوع:اسلام و دولت

شناسه افزوده: ‫لطفی ، ‫مختار ، مترجم

شناسه افزوده:Luthfi, Muchtar

شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده:Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره: ‫ DSR1574 ‫ /س9 ‫ س 94049519 1393

رده بندی دیویی: ‫ 955/0842092

شماره کتابشناسی ملی:3651645

p: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini

Studi atas Teori Sistem Politik dari

Fikih Politik ke Teologi Politik

Najaf Lakza'i

penerjemah:

Muchtar Luthfi

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini Studi atas Teori Sistem

Politik dari Fikih Politik ke Teologi Politik

penulis: Najaf Lakza'i

penerjemah: Muchtar Luthfi

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-090-5

سیر تطور تفکر سیاسی امام خمینی حمل

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله

تیراژ : 300

قیمت: 110000 ریال

مؤلف: نجف لک زایی

مترجم: مختار لطفی

چاپ اول: 1393 ش / 2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

PENDAHULUAN

Di antara sekian fondasi masyarakat, pemikiran me- rupakan yang sangat mendasar. Ekonomi, politik, dan budaya adalah lini segitiga yang berperan khusus mengatur kehidupan sosial. Justru tanpa basis pemikiran, kehidupan itu tidak akan memiliki fondasi yang kokoh.

Dengan demikiran, manusia hidup; dengan pemikiran, dia bisa bekerja; dengan pemikiran pula dia memilih satu di antara ruas jalan kehidupan, kemudian berperilaku sesuai jalan pilihannya. Kalaulah sebagian besar sisi ke- hidupan manusia itu politik dan sosial, akan dapat dipas- tikan bahwa pilar dan pengawal kehidupan politik adalah pemikiran politik.

Apabila sebuah masyarakat tidak puas dengan sebuah pola kehidupan politik, mereka akan berusaha memba- ngun kehidupan politik yang baru. Dan, sebagaimana yang telah disampaikan, landasan setiap kehidupan poli- tik adalah pemikiran politik. Karena itu, basis penting dan mendasar dalam berbagai transformasi dan dinami- ka politik, tak terkecuali segenap revolusi besar dunia, adalah pemikiran.

p: 5

Kubu oposisi sebuah sistem pemerintahan senan tiasa berusaha keras mendesak agar filsafat politik baru dapat menduduki kursi filsafat politik yang berkuasa.

Jelas, manakala filsafat politik baru itu diterima publik, berbagai dinamika politik bahkan revolusi sekalipun akan sukses bergulir. Adalah realistis bila setiap filsafat politik akan menawarkan sistem ekonomi, politik, dan budaya yang sesuai dengan paradigmanya.

Salah satu objek yang harus dianalisis secara luas dan mendalam ialah filsafat politik Islam. Maksudnya, filsafat politik dengan definisi yang lebih umum dan pemikiran politik secara lebih khusus, dari aspek tertentu, amat penting dan determinan. Artinya, kalau saja dijabarkan dengan benar dan diterima masyarakat, filsafat ini dapat menjadi sebuah sistem politik yang ideal. Berangkat dari aspek tersebut, karya ini berupaya menjabarkan kronologi dinamika dan perkembangan pemikiran politik Imam Khomeini.

Pada hemat penulis, bapak Revolusi Islam Iran ini, dalam dimensi pemikiran, telah memulai kebangkitan Is- lam dengan menghidupkan pemikiran politik Islam atau, yang terutama, teori pemerintahan Islam. Inilah sebenar- nya salah satu basis yang membedakan gerakannya dari gerakan kebangkitan Islam lainnya beberapa abad akhir ini. Basis ini pula yang, pada gilirannya, secara krusial turut menentukan kesuksesan dan kemenangan Revolusi Islam Iran. Padahal dalam sikap politiknya, di awal per- lawanannya dan sesuai dengan kapasitasnya, Imam Kho- meini bergerak hanya dalam rangka mereformasi rezim yang berkuasa. Baru kira-kira pada akhir dekade empat

p: 6

puluhan (tahun Hijriah Shamsiah: 60-an Masehi) ia me- masuki wacana revolusi. Di titik inilah ia mengambil ke- simpulan: sudah saatnya meruntuhkan rezim monarkis dan membangun sistem pemerintahan agama (Islam).

Pada fase ini, selain melakukan gerakan perlawanan terhadap penjajahan dan kediktatoran, Imam Khomeini juga mengajukan filsafat politik Islam secara benar-benar sistematis. Ia telah memberikan jawaban yang sangat transparan terhadap dua pertanyaan fundamental dan krusial berkaitan dengan filsafat politik: “Siapakah yang harus berkuasa?”, dan “Bagaimana seharusnya berkuasa?” Belum lagi dalam praktiknya pasca-kemenangan Revolusi, ia pun sangat memberikan perhatian khusus untuk mengaplikasikan pemikiran dan filsafat politiknya.

Dalam rangka membuktikan hipotesis tadi, karya tulis ini disusun ke dalam lima bab:

BAB PERTAMA, tentang berbagai definisi dan kerangka umum.

BAB KEDUA, dengan menelaah esensi pemikiran politik Islam, secara praktis memfasilitasi studi pemikir- an politik Imam Khomeini dengan berbagai pengantar historis dan teoretis yang diperlukan.

Pada BAB KETIGA dijelaskan masalah yang ber- kaitan dengan statika dan dinamika dalam pemikiran politik Imam Khomeini. Bertolak dari tesis penulis yang menerima terjadinya perubahan sebagai postulat dalam pemikiran politik Imam Khomeini, pada bab berikutnya kajian akan berkisar seputar kondisi apa saja yang me- lingkupi perubahan tersebut.

p: 7

Dalam BAB KEEMPAT, pemikiran politik Imam Khomeini telah diklasifikasikan ke dalam dua fase: refor- masi dan revolusi, kemudian dilakukan kajian kompara- tif dengan pemikiran salah satu pakar fikih klasik seperti Muhaqiq Sabzawari.

Dalam BAB KELIMA, dibahas dasar-dasar statika yang dijadikan landasan dinamika dalam pemikiran poli- tik Imam Khomeini.

Adapun BAB KEENAM, selain meneliti berbagai reaksi terhadap pemikiran politik Imam Khomeini, akan menelaah berbagai peristiwa penting lain yang terjadi dalam wilayah pemikiran politik Syi'ah di era kontemporer. Maksudnya, kajian ini telah melintas dari fikih politik ke teologi politik. Akhirnya, kesimpulan dan referensi akan menempati bagian penghujung kajian ini.

A. Najaf Lakzaļi Qom, Musim Panas, 1380 HS/2001 M.

p: 8

DAFTAR ISI

Pendahuluan.....5

Daftar Isi .................19

Transliterasi Arab .......13

Transliterasi Persia .......14

ВАВ І

KERANGKA UMUM: LANDASAN TEORETIS ...... 15

A. Prolog..........17

B. Agama .......................20

C. Politik............24

D. Antara Agama dan Politik ........32

E. Pemikiran Politik ...36

BAB IL.

SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM... 39

1. Klasifikasi Umum (Pemikiran Politik Islam ) ....... 41

a. Filsafat Politik Filosofis .............................................44

b. Filsafat Politik Teologis ...........44

c. Filsafat Politik Fikih ...........45

d. Filsafat Politik Sosiologis ...........................45

2. Klasifikasi Khusus (Pemikiran Politik Syi'ah) ...... 60

Beberapa Catatan .......67

p: 9

Catatan atas Klasifikasi Umum ....................67

Catatan atas Klasifikasi Khusus ......71

Klasifikasi Alternatif ..............73

BAB III

STATIKA DAN DINAMIKA .......77

Teori Sistem Politik dalam Pemikiran Imam Khomeini ....................79

“Kasyf Al-Asrôr” ....................80

“Kitâb Al-Bay“”...............86

Surat-surat ...............88

Logika Dinamika Pemikiran dan Praktik Politik Imam Khomeini ............90

Beberapa Upaya ................................91

Alternatif ..................100

BAB IV

DARI REFORMASI KE REVOLUSI................105

Pemikiran Politik Dominasi ............................. 107

Pemikiran Politik Reformasi ........109

Pemikiran Politik Revolusi .............................. 113

Patologi Dinasti Shafawi versi Muhaqqiq Sabzawari......118

A. Faktor Ekonomi............. 121

B. Faktor Politik, Sosial dan Etika.................... 121

C. Faktor Agama .......................... 123

D. Faktor Administrasi................ 124

E. Faktor Militer...125

F. Faktor Kelanggengan dan Stabilitas Kerajaan..............................125

p: 10

Patologi Dinasti Pahlevi versi Imam Khomeini. 128

Faktor Ekonomi .............. .................... 128

Faktor Politik dan Sosial ......129

Faktor Agama, Etika dan Budaya ..................... 130

Faktor Militer ............... ...................... 133

Faktor Kelanggengan dan Stabilitas Negara...... 134

Komparasi Dua Pemikiran: Reformasi dan Revolusi ....................... 140

BAB V

BASIS PEMIKIRAN POLITIK IMAM KHOMEINI..........143

Asas Tugas............. 148

Asas Maslahat Islam dan Muslimin................ ... 152

Asas Dakwah Islam ........................ 157

Asas Yang-terpenting di atas Yang penting..........162

Asas Kadar Kesanggupan ..............164

Asas Keadilan .........................166

Asas Kebertahapan .............168

Asas Ruang dan Waktu ................169

Kesimpulan...................173

BAB VI

DARI FIKIH POLITIK KE TEOLOGI POLITIK.................. 177

Dampak Pemikiran Politik Imam Khomeini ....186

Iran ................................187

Dunia Islam ..................................190

Dunia Internasional........192

Kesimpulan .................. 196

p: 11

BIOGRAFI IMAM KHOMEINI..197

Konklusi .................209

Daftar Pustaka......214

Indeks..................221

PROFIL THE ISLAMIC COLLEGE JAKARTA...........226

Our Mission .......................226

Our Programs .............227

Board of Lectures .....228

Visiting Lectures.........229

Master Program ...................229

Introduction to MA Courses ........229

The matriculation program consisting i.e: ........ 230

Master's core courses of Islamic philosophy .... 230

Tuition and matriculation fee. ......................231

Scholarship ........................................ 231

Master's core courses of Islamic mysticism .......231

Requirement for master program ....232

Doctoral program .......233

Requirement for doctoral program .............. 234

Pre-registration requirement .......................... 235

KATA PENGANTAR HUJJATUL ISLAM

PROF. ALI AKBAR RASYAD........ 236

TENTANG LEMBAGA DAN PIMPINAN

RESEARCH INSTITUTE FOR ISLAMIC

CULTURE THOUGHT.......... 239

p: 12

TRANSLITERASI ARAB

p: 13

TRANSLITERASI PERSIA

p: 14

photo

BAB I

KERANGKA UMUM:LANDASAN TEORETIS

p: 15

p: 16

A. Prolog

Ada sejumlah alasan yang telah menggeser studi“ se- jarah dinamika pemikiran politik Imam Khomeini” tepat ke titik fokus kalangan peneliti. Satu yang terpen- ting di antaranya ialah rangkaian anasir dari pemikiran politiknya yang, oleh sebagian mereka, dipijak untuk mengokohkan pandangan kubu politik tertentu atau, oleh sebagian yang lain, dirujuk untuk mendesain opini yang dilatari maksud kritik dan, adakalanya, dipengaruhi berbagai teori dan gagasan realis tentang pemikiran poli- tiknya. Kelompok pertama galibnya berasal dari berbagai sayap dan partai politik dalam sistem negara Republik Islam Iran, sementara kelompok kedua biasanya menge- muka dari kalangan di luar sistem itu.

Memang ada kalangan yang, meski berada di dalam sistem Republik Islam dengan jumlahnya yang tidak be- gitu signifikan, digolongkan juga sebagai kelompok ke- dua, seperti yang akan diulas dalam beberapa lembaran buku ini. Di tengah pemetaan ini, ada pula kelompok ketiga, yaitu orang-orang yang berusaha bersikap objek- tif dan netral: mempelajari subjek “statika dan dinamika pemikiran politik Imam Khomeini” secara ilmiah dan metodologis.

Sejauh pengamatan saya sampai sekarang, tak satu pun dari kelompok pertama dan kedua berhasil mengu- raikan gugus pemikiran politik Imam Khomeini secara benar-benar kredibel, tidak juga dengan cermat men- gukur tingkat statika dan dinamikanya. Tak terkecuali, kerja keras kelompok ketiga pun selama ini masih belum memadai.

p: 17

Berikut ini rangkaian pertanyaan yang akan mengen- dalikan arah dan arus kajian ini: Secara prinsipal, apa pemikiran politik itu sendiri? Apakah esensi pemikiran politik? Dalam peta pemikiran politik Islam, manakah posisi pemikiran politik Syi'ah, khususnya pemikiran po- litik Imam Khomeini? Apakah pemikiran politik Imam Khomeini itu sendiri? Apakah pemikiran politik Imam Khomeini bisa diacu untuk menginterpretasi sepak terjang politiknya? Apakah pemikiran politik Imam Kho- meini, sejak awal sampai akhir, mengalami perubahan (dinamika) atau tidak? Kalau memang mengalami demi- kian, perubahan tersebut terjadi pada bagian mana saja dari pemikiran politiknya? Lantas, apakah asas dan kunci untuk memahami perubahan ini? Yakni, pertama-tama, kita perlu memastikan maksud dari “pemikiran politik”. Ini agar sepanjang mengkaji pemikiran Imam Khomeini tidak terjadi kekacauan antarteori, gagasan, dan pandangan dunia (jahonbini) politiknya.

Apakah dalam pemikiran politik Imam Khomeini telah diprediksikan sebuah model khas untuk pemerin- tahan Islam? Selanjutnya, ada sejumlah hipotesis yang dapat diajukan di sini:

Pertama, pemikiran politik Imam Khomeini telah mengalami perubahan, dinamika, dan proses.

Kedua, dinamika ini berlangsung di atas asas-asas statis yang dibahas secara detail dalam pembahasan berikutnya. Di antara asas-asas statis adalah determinasi

p: 18

ruang dan waktu, berbagai konsep seperti: maslahat, taklif, termasuk juga mekanisme ijtihad.

Ketiga, alih-alih sebagai titik lemah, dinamika dalam pemikiran politik Imam Khomeini justru dinilai seba- liknya: sebagai satu dari sekian poin unggul. Poin ini pula yang telah memfasilitasinya hingga dapat mengarahkan lurus sikap politiknya pada setiap periode dan fase.

Pemikiran politik Imam Khomeini dalam Kasyf Al- Asrôr dan kira-kira sepuluh tahun setelahnya adalah re- formatif. Baru mulai dekade empat puluhan (kalender Persia: 60-an Masehi) dan selanjutnya, pemikiran dan aktivitas politiknya dapat dianalisis dalam kerangka pe- mikiran politik revolusioner.

Semua hipotesis di atas dirumuskan melalui sejumlah postulat. Yang terpenting di antaranya:

1. Berbagai persoalan manusia dalam ranah politik, sepanjang garis waktu, tampak baru dan aktual.

Jelas, persoalan baru menuntut jawaban yang juga baru.

Sebuah pemikiran politik yang kompeten dan produktif merupakan jawaban atas berbagai per- soalan, kebutuhan dan krisis politik yang terjadi pada masanya.

3. Pemikiran politik Imam Khomeini, pada fase per- tama, berusaha keras menyelesaikan berbagai prob- lematika bangsa Iran dan, pada fase berikutnya, terlibat aktif menangani berbagai persoalan dunia Islam dan membela hak-hak masyarakat tertindas dan kaum lemah dunia. Postulat ini telah disimpul-

p: 19

kan dari persepsi penulis tentang definisi “pemikir- an politik”, “politik”, “agama” dan “relasi antara agama dan politik”.

B. Agama

Dalam karya ini, agama Islam telah mengambil bagian dari objek penelitiannya. Karena itu, “agama”.

bisa segera disoroti dengan definisinya sebagai suatu paket dari sehimpunan pandangan teoretis, motivator dan praktis. Sebelum menganalisis secara mendetail bagian-bagian definisi tadi, perlu kiranya terlebih dahulu menimbang gagasan Farabi tentang definisi agama serta relasinya dengan politik. Gagasan filosof terkemuka ini akan tampak penting dan efisien lantaran definisi agama yang dimaksud menyoroti relasinya dengan politik.

Di antara keterangan yang diajukan Guru Kedua, Abu Nashr Farabi, mengenai agama dan politik tertuang dalam Kitab Al-Millah. Dalam karya ini, dia mendefinisikan agama demikian:

Millah (agama) adalah konsep dan tata perilaku yang telah ditetapkan dengan berbagai syarat oleh pemimpin pertama untuk masyarakat.

Tujuannya, agar dengan mendapatkan manfaat dari agama, mereka dapat menggapai tujuan yang dimaksud, atau dengan bantuan mereka, dia mencapai tujuan tertentu... Apabila pemimpin (pertama) itu sosok utama (fâdhil) dan kepemimpinannya ideal, maka dalam menggagas agama, dia ingin menghantarkan

p: 20

dirinya dan orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya sampai kebahagiaan yang paling tinggi, yaitu kebahagiaan sejati. Agama seperti ini pasti agama yang ideal. Namun, apabila kepemimpinannya adalah kepemimpinan bodoh (jahl), maka tujuannya di balik perancangan agama ialah, melalui masyarakat itu, dia ingin mencapai satu dari sekian kebaikan yang bodoh.

Kebaikan itu bisa berupa kebutuhan primer seperti: kesehatan jasmani, atau berupa kekayaan dan kemudahan, atau kesenangan, kehormatan, keperkasaan dan keunggulan.(1) Poin signifikan dari definisi Farabi ini ialah semua masyarakat memiliki agama, hanya perbedaannya terletak pada jenisnya. Dengan kata lain, perbedaan agama mereka berkisar hanya pada ajaran dan ritual.

Mungkin saja sebuah agama memiliki basis dan orientasi ketuhanan. Dalam asumsi ini, ia merupakan agama yang ideal. Mungkin juga ada sebuah agama Ilahi namun telah terdistorsi, dan bahkan bukan Ilahi lagi. Dalam asumsi ini, maka sesuai tujuan di balik pengagasan ajaran dan ritual, agama tersebut disebut dengan predikat jahiliyah, fasik, atau sesat.

Sebagai agama, anasir Islam sendiri mengandung tiga macam ajaran:

1. Ajaran teoretis. Yaitu berbagai pandangan dan

p: 21


1- Farabi: Kitâb Al-Millah wa Nushûsh Ukhrô, diteliti Muhsin Mahdi. Edisi terjemahannya dapat dirujuk ke jurnal Ulum-e Siyosi, Baqir Ulum University, no. 6, oleh Muhsin Muhajirani.

pemikiran mengenai sebagian realitas yang berada di luar jangkauan kehendak dan intervensi manusia.

Pengenalan tentang eksistensi, Tuhan, malaikat, ma- nusia, juru penuntun, dan alam akhirat merupakan tema-tema paling penting dari macam ajaran ini.

2. Ajaran motivatif. Yaitu pandangan dan pemikiran tentang hal-hal yang harus dilakukan dan ditinggal- kan. Berbagai arahan normatif (hukum harus dan tidak boleh) agama dalam ranah sosial termasuk dalam ajaran macam ini. Sebagian dari arahan itu, pada masa sekarang ini, sedang diteliti dan dianalisis dalam ilmu politik. Tema apa saja yang masuk dalam studi sistem politik yang ideal juga merupakan tema- tema dasar dan fokus Islam. Yang penting dicatat di sini, ajaran motivatif berlandas pada pandangan teo- retis: setiap pendirian yang diambil dalam lingkup ajaran teoretis akan berdampak langsung terhadap pengambilan pendirian dalam lingkup ajaran moti- vatif.

3. Ajaran praktis. Dalam Islam, semua perilaku telah diatur dalam kerangka yang akan mengarahkan ma- nusia sampai kebahagiaan tertinggi. Ibadah kepada Tuhan, taat pada perintah-Nya, taat pada pemimpin utama (fâdhil) dan figur mulia, juga tidak taat pada pemimpin buruk merupakan sikap praktis paling penting yang dituntut Islam dari manusia (mukal- laf).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bah- wa semua ilmu Sosial, termasuk ilmu Politik, berawal dari

p: 22

ajaran dan gagasan teoretis. Demikian pula, sesuai minat masing-masing, jenis produk pengetahuan mereka juga akan beragam. Nyatanya, produksi pengetahuan tanpa peduli terhadap gagasan teoretis yang diperlukan men- jadi begitu sulit, kalau bukan malah mustahil ditempuh.

Arus penekanan dari sejumlah pemikir seperti: Jürgen Habermas, agar tata nilai terlibat dalam reproduksi pe- ngetahuan termasuk di antaranya, klasifikasi ilmu pe- ngetahuan berdasarkan selera para tokoh sarjana-faktor pendukung klaim ini.

Habermas percaya, jika tujuan manusia ialah me- nguasai alam, ilmu Empiris bisa menyediakan solusi; jika tujuannya adalah memahami teks, ilmu Hermeneutika akan memimpin agenda; dan jika tujuannya ialah pem- bebasan, ilmu Kritik akan menjadi penyelesaian. Jelas, berdasarkan pandangan Habermas, setiap ilmu akan me- miliki filsafat teoretis tersendiri.

Menurut pemikir Muslim seperti Farabi, terdapat relasi kokoh antara trilogi: ajaran teoretis, ajaran moti- vatif, dan perilaku manusia. Oleh karena itu, target dan tujuan akhir manusia dari pembentukan sistem politik, dalam model apa pun itu, ialah memproduksi pemikiran politik yang khas baginya. Kalau tidak demikian, tujuan yang dimaksud tidak akan tercapai. Apabila tujuannya meraih kebahagiaan sejati, yaitu kedekatan diri pada Tuhan dan mendapatkan ridha-Nya, itu akan terwujud melalui pemikiran politik ideal (fâdhilah). Demikian jika tujuannya meraih kebahagiaan semu, juga perlu meran- cang sebuah pemikiran politik tertentu sesuai model im-

p: 23

ajiner di benaknya yang mungkin saja berupa kekayaan, kesenangan, status, kebebasan, kekuasaan, atau bahkan semuanya.

Dari pencermatan terhadap kandungan Islam, tam- pak jelas bahwa agama ini kaya akan segala unsur urgen bagi kehidupan sosial dan politik, juga semua kriteria yang diperlukan dalam memproduksi pemikiran politik yang ideal untuk diinstalasikan pada sistem pemerintahan Islam. Sejarah ilmu-ilmu Islam pun memberikan kesak- sian bahwa dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam, para pakar Muslim sangat memperdulikan sektor politik.

Para pakar teologi Islam telah dan masih saja mem- bahas panjang lebar perihal pemimpin bangsa, sementara kalangan filosof Muslim menganalisis ilmu sosial dan tugas-tugas terpentingnya, mengenal kebahagiaan.

Selain mereka, kaum fukaha (ahli hukum) juga mem- bahas secara terperinci tema-tema tentang berbagai sistem politik yang ideal dan nonideal, serta tentang tugas manusia terhadap masing-masing sistem itu. Tak terkecuali para tokoh Tasawuf terlibat dalam pembahas- an melalui penggalian kriteria manusia sempurna (al- insan al-kamil) dan berbagai tahapan perjalanan menuju Tuhan Al-Haqq.

C. Politik

Pemahaman cermat terhadap makna politik dalam tradisi Islam bergantung pada pemahaman terhadap tugas dan fungsi pemerintahan Islam serta komparasinya dengan tugas pemerintahan lainnya, untuk kemudian

p: 24

mengidentifikasi letak perbedaan politik Islam dengan selainnya.

Apakah penantian Muslimin dari pemerintahan? Apakah pemerintahan nonagama tidak sanggup me- menuhi penantian mereka? Dengan kata lain, agenda apa yang diambil pemerintahan agama namun diabaikan pemerintahan nonagama? Jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada perhatian seseorang terhadap pemaha- man plural tentang politik itu sendiri.

Secara umum, pemahaman tentang politik dapat diklasifikasi ke dalam dua paradigma: Kekuasaan dan Hi- dayah. Dalam Paradigma Kekuasaan, tujuan pemerintah adalah duniawi, sementara dalam Paradigma Hidayah, tujuan pemerintah adalah ukhrawi. Yang pertama me- mandang dunia sebagai tujuan utama, sedangkan yang belakangan menempatkannya sebagai persinggahan un- tuk mencapai tujuan tertinggi, yakni akhirat.

Sekaitan dengan pemerintahan agama, penantian paling utama kaum mukmin adalah terpenuhinya segala peluang, fasilitas ketaatan, dan sarana ibadah pada Tuhan. Ekspektasi ini tidak akan diperoleh dalam pemerintahan nonagama. Karena itulah kaum mukmin kerap mendesak upaya menegakkan pemerintahan agama serta menjalankan undang-undang Tuhan. Bila undang- undang yang berlaku dalam pemerintahan nonagama bersifat profan/manusiawi (baca: buatan manusia), maka dalam pemerintahan agama ia bersifat Ilahi dan supramanusiawi, adapun manusia hanya memiliki otoritas membuat hukum dalam skala hukum 'boleh' (mubah),

p: 25

dan semua agenda pemerintahan agama dirancang tanpa berbenturan dengan undang-undang Tuhan.

Itulah ekspektasi dan komitmen yang tidak dijumpai dalam pemerintahan nonagama. Bapak pendiri Teosofi Transenden (Al-Hikmat Al-Mutaʻâliyah) menyatakan bahwa tingkat kebutuhan pada petunjuk agama lebih primer dari sekedar kebutuhan sandang-pangan:

Sistem manajemen agama dan dunia tidak akan terwujud tanpa pemimpin (imâm) yang diikuti masyarakat, sekaligus sebagai pemberi petunjuk dan pengajar ketakwaan bagi mereka.

Kebutuhan kepadanya melebihi kebutuhan sandang dan pangan masyarakat. Hal semacam itu bagi mereka termasuk dari kepentingan dan keniscayaan yang pasti.(1) Dengan demikian, “politik” dalam Paradigma Hidayah dapat didefinisikan sebagai berikut: upaya komunitas manusia untuk menegakkan hukum Tuhan di muka bumi di bawah kepemimpinan para nabi atau penerus nabi (washiy) untuk mendapat kebahagiaan tertinggi.

Karena itu, dalam budaya Islam, politik juga dapat diartikan sebagai pengelolaan (al-tadbîr), maksudnya manajemen aktivitas dan agenda agar terarah sesuai tujuan. Tujuan ini tak lain dari kebahagiaan tertinggi itu, yang syarat-syarat pencapaiannya di akhirat kelak sudah tersedia di dunia ini. Oleh karenanya, dalam Islam,

p: 26


1- Shadrul Muta’alihin: Syarh Ushûl Al-Kâfi, hlm. 477.

pengetahuan politik dibangun di atas kriteria tujuan, etika, dan nilai keutamaan. Lebih ringkasnya, kriteria hidayah. Jika pemerintah itu sebuah sistem yang bertekad membawa masyarakat menuju kebahagiaan tertinggi, sepatutnya dia sendiri telah memastikan dirinya sudah memperoleh hidayah terlebih dahulu. Imam Khomeini menyatakan:

Jika setiap pemerintah memiliki agenda, maka bisa dikatakan bahwa agenda Rasulullah Saw adalah surah yang pertama kali diturunkan.

Itulah agenda beliau, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah telah mencipta ... Yang telah mengajarkan manusia yang tidak pernah ia ketahui”. Objek perhatian segenap nabi adalah objek pembinaan mereka. Fokus ilmu mereka adalah manusia. Mereka datang untuk mendidik manusia, mengangkat eksistensi natural ini dari derajat materiil sampai derajat tinggi transenden, bahkan di atas derajat alam murni-transenden (jabarút).(1) Jelas, tugas memasyarakatkan nilai keutamaan dan mengikis nilai kehinaan hanya bisa diemban oleh pemerintah dan lembaga kekuasaan yang bersih, adil, berhidayah, berkriteria nilai keutamaan, dan mandiri.

Itulah sebabnya sejauh bertumpu pada praktik dan pengetahuan politik Muslimin, antara politik dan etika terdapat hubungan yang tak terputus, karena

p: 27


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 7, hlm. 223.

memang hubungan antara agama dan politik pun tak teruraikan. Jika pemerintahan Islam melakukan agenda pembangunan di sektor ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan, itu lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat beribadah pada Tuhan dalam suasana kondusif, karena ibadah adalah sarana utama untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Atas dasar itu, membantu masyarakat dan memberi hidayah kepada mereka agar mencapai kedudukan mulia di sisi Tuhan merupakan tugas utama pemerintahan agama. Mulla Shadra menuliskan:

Dan syariat pasti menuntut suatu pemerintahan agar: (a) menentukan suatu kerangka untuk masyarakat agar dengannya, kehidupan dunia mereka berlangsung tertib; (b) menentukan tata hukum sebagai jalan yang mengantarkan mereka menuju kedekatan kepada Allah; (c) mengingatkan mereka akan akhirat dan gerak mereka menuju Tuhan; (d) memperingatkan mereka akan suatu hari yang “mereka diseru dari tempat yang dekat” dan “bumi terpisah dari mereka secara cepať”; dan (e) menunjukkan mereka ke jalan yang lurus. (1) Inilah konsep yang direkomendasikan dalam buku ini, yaitu paradigma “pemerintahan hidayah” yang menempatkan ajaran agama sebagai agenda tugasnya.

Konsep ini juga menjadi titik tekan dalam banyak ayat dan hadis. Misalnya:

p: 28


1- Shadrul Muta’alihin: Mabda' va Ma'ad, hlm. 557-558.

Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah lah kembali segala urusan (QS. Al-Hajj [22]: 41).

Konsep itu juga diteguhkan oleh pidato Imam Ali bin Abi Thalib. Di dalamnya ia menguraikan tugas dan tujuan pemerintahan Islam:

Tuhanku! Engkau Maha Mengetahui apa yang telah hilang dariku: bukan karena rakus kekuasaan, bukan pula karena ingin lebih dari dunia yang tak berharga. Aku hanya ingin menegakkan kembali lambang agama di posisinya semula, dan mengerahkan perbaikan di setiap negeri-Mu, sehingga hamba-hamba-Mu yang tertindas memperoleh ketenangan, hukum yang telah dicampakkan kembali tegak.(1) Dalam kesempatan lain, Imam Ali menyatakan:

Ketahuilah! Hamba paling utama di sisi Tuhan adalah seorang pemimpin yang adil, berhidayah, penunjuk jalan; yang telah mengenal dan menegakkan hukum serta melenyapkan bid'ah yang tak pernah dikenal.(2)

p: 29


1- Nahj Al-Balâghoh, pidato 131.
2- Ibid., pidato 164.

Menurut Imam Ali, usaha melaksanakan hukum Tuhan termasuk tujuan utama pemerintahan Islam:

Sesungguhnya tiada yang wajib bagi pemimpin selain perintah yang telah Allah serahkan kepadanya: tidak lalai dalam memberi pesan yang baik, selalu berusaha memberi nasehat, menghidupkan hukum, menegakkan hukuman terhadap oknum, serta memberikan bagian dari Baitul Mal kepada yang berhak menerimanya.(1) Dengan meneliti statemen di atas, dapat disimpulkan bahwa “politik agama” yang di dalamnya “pemerintahan hidayah” menjalankan tugas yang semestinya, tegak di atas empat pilar utama:

1. Undang-undang yang berasal dari Tuhan.

2. Tuhan sebagai Sumber hukum.

3. Segenap manusia sebagai pelaksana hukum.

4. Meraih kebahagiaan tertinggi, mencapai kedekatan dan rahmat-Nya sebagai tujuan utama.

Tentu saja, penegak, juru hidayah dan pengelola pilar-pilar di atas adalah kepemimpinan para nabi, penerus nabi (washi), dan para kekasih Allah (wali).

Pada bab berikut, akan dibuktikan satu babak dari perjuangan revolusioner Imam Khomeini, yaitu menghi- dupkan kembali fikih dan derajat fikih, terutama meng- hidupkan kembali kepemimpinan fukaha yang terwujud dalam konsep WILAYATUL FAKIH ‘kekuasaan fakih'.

p: 30


1- Ibid., pidato 131

Sampai di sini, patut kiranya juga diamati makna politik. Pandangan Imam Khomeini pun akan diletakkan sebagai objek pengamatan. Di satu tempat, ia mendefi- nisikan politik secara umum. Di tempat lain, ia juga me- ngurai berbagai variannya secara khusus dan normatif.

Pandangan umum Imam Khomeini tentang politik dapat dirujuk dalam redaksi di bawah ini:

Memangnya politik itu apa? Hubungan antara rezim dan rakyat; hubungan antara rezim dengan pemerintahan yang lain; mencegah berbagai korupsi yang ada. Semua itu adalah politik. (1) Dalam kesempatan lain, ia menyinggung ragam varian politik dari konsep politik dalam kerangka Ilahi dan non-Ilahi:

Politik ini adalah satu dimensi dari politik yang pernah diemban oleh para nabi, oleh para wali Allah, dan sekarang oleh ulama Islam. Manusia tidak memiliki satu dimensi. Masyarakat tidak memiliki satu dimensi. Manusia bukan sekedar hewan yang hanya makan, dan makanan adalah segala-galanya. Politik yang benar, jika memang itu ada, pasti akan mengarahkan manusia hanya kepada satu dimensi, yaitu dimensi kebinatang- an. Politik ini satu bagian yang kurang dari politik dalam Islam yang tertetapkan bagi para nabi dan wali Allah. Figur-figur ini menghen-

p: 31


1- Imam Khomeini: Shahifah-e Núr, jld. 1, hlm. 239.

daki masyarakat hidup terarah lurus, membawa mereka menuju semua maslahat yang mungkin bagi individu dan sosial. Politik yaitu menun- tun bangsa, memperhatikan segenap maslahat masyarakat, segenap dimensi individu dan sos- ial, dan membimbing mereka ke arah kebaikan:

kebaikan bangsa dan kebaikan setiap individu.

Semua itu khusus bagi para nabi. Selain mereka tidak bisa mengatur politik ini.(1) Dalam mengenang masa-masa di penjara, Imam Khomeini mengatakan:

Seseorang yang tidak ingin saya sebutkan namanya datang dan mengatakan, “Tuan! Politik itu berkata bohong, menipu, berlaku curang.

Pokoknya, biadab. Lantas Anda serahkan hal itu kepada kita ...!” Saya katakan, “Dari awal, kita tidak pernah masuk politik yang engkau katakan itu.”(2)

D. Antara Agama dan Politik

Kiranya sangat perlu ditinjau dan dicermati kembali ungkapan Imam Khomeini oleh para peneliti. Sampai sekarang pun, banyak kalangan yang mengakui adanya hubungan kuat antara agama dan politik, ternyata, ma- sih belum juga berusaha memaparkannya secara teoretis.

Bahkan terkadang, pernyataan tentang keidentikan poli-

p: 32


1- lbid., jld. 13, hlm. 217-218.
2- Ibid., jld. 1, hlm. 65.

tik dan agama dianggap hanya sebagai penegasan terha- dap hubungan kuat di antara keduanya, padahal perspek- tif dan pemikiran Imam Khomeini tidaklah demikian.

Menurutnya, hukum moral sekalipun adalah politis:

Hukum-hukum moral Islam pun politis, yaitu hukum yang ada dalam Al-Qur'an ini, bahwa sesama mukmin itu bersaudara. Ini satu hukum moral, satu hukum sosial, satu hukum politik.(1) Mengingat tanggung jawab agama memberikan petunjuk bagi manusia dalam segenap urusannya, semua ajarannya bernuansa politis:

Seraya menyeru manusia agar menyembah Tuhan dan tata cara ibadah kepada-Nya, agama Islam juga mengatur manusia bagaimana semestinya hidup, menata hubungan dirinya dengan orang lain, bahkan mengatur masyarakat Muslim bagaimana seharusnya hidup dan bersosial dengan masyarakat yang lain. Tidak ada satu langkah dan praktik seseorang ataupun masyarakat melainkan telah diatur hukumnya oleh Islam. Oleh karena itu, wajar jika konsep pemimpin agama dan keagamaan adalah pemimpin ulama agama dalam segenap urusan masyarakat, karena Islam bertanggung jawab memberi petunjuk masyarakat dalam setiap perkara dan dimensinya.(2)

p: 33


1- Ibid., jld. 13, hlm. 23.
2- Ibid., jld. 4, hlm. 167-168.

Menurut Imam Khomeini, ajaran Tuhan yang sekali- pun hanya berhubungan dengan kewajiban pribadi dan dimensi intrapersonal memiliki muatan sosial-politis:

Bisa dikatakan, tak terkecuali, bahwa pesan Tu- han, walaupun dalam hal-hal berkaitan dengan tugas pribadi, hubungan privat seseorang antara dirinya dengan Tuhan, juga memiliki arti sosial dan politis.(1) Berangkat dari pandangan demikian itu, Imam Khomeini melancarkan kritik terhadap pola pikir dan sikap yang berkembang di tengah Muslimin. Pada hematnya, terdapat rentang jarak yang begitu lebar antara ajaran murni Islam dan kondisi yang dominan atas nama Islam:

Agar menjadi jelas perbedaan antara Islam dan sesuatu yang direkomendasikan sebagai Islam, hingga membuat kalian tanggap terhadap perbedaan antara Al-Qur'an dan berbagai kitab hadis dengan buku-buku fatwa (risalah ‘amaliyyah)(2). Dua hal ini berbeda total dari segi komprehensivitas dan dampak yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial. Perbanding- an hukum sosial Al-Qur'an dengan ayat-ayat tentang ritual peribadahan lebih dari seratus banding satu.(3)

p: 34


1- Ibid., jld. 18, hlm. 274.
2- Buku kumpulan fatwa dan hukum fikih praktis seorang mujtahid mutlak yang memenuhi kriteria layak-diikuti (penj).
3- Imam Khomeini: Hukûmat-e Eslomi, hlm. 13.

Tampaknya arus pengingkaran sosial sebegitu keras hingga mendesak aksentuasi Imam Khomeini dalam bentuk pernyataan sumpah: Islam adalah agama politik:

Demi Allah! Islam itu sepenuhnya politik. Me- reka telah mengenalkan Islam tampak buruk.

Pengelolaan masyarakat sudah dan akan ber- sumber dari Islam. (1) Pemahaman keliru terhadap Islam dan relasinya de- ngan politik merupakan salah satu kendala serius yang menghambat gerakan Imam Khomeini beserta umat Is- lam melawan kekuatan zalim, despotik, dan penjajahan:

Di awal gugus perjuangan Islami, jika engkau ingin mengatakan, Syah [Pahlevi) adalah peng- khianat, langsung engkau mendengar reaksi:

Syah itu orang Syi'ah. Ada sekelompok orang yang tampil suci dan puritan telah mengharam- kan segala sesuatu, sementara tidak ada seorang pun yang mampu berdiri tegas di hadapan me- reka. Hati berlumuran darah dimana orang tua kalian telah dirugikan kelompok kolot seper- ti ini masih belum pernah merasakan tekanan dan kesulitan orang lain. Ketika jargon “Pisahkan agama dari politik” dominan, sedangkan ilmu Fikih (faqôhah) bagi logika orang-orang bodoh hanya berkecimpung dalam masalah-masalah pribadi dan ritual peribadahan, hingga suka atau tidak, seorang pakar fikih tidak diizinkan keluar dari wilayah [privat] ini untuk terlibat

p: 35


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 1, hlm. 65.

dalam urusan politik dan pemerintahan. Dalam kondisi ini-lah kebodohan ulama dalam interaksi dengan masyarakat menjadi nilai keutamaan.(1) Oleh karena itu, tidak ada alternatif lain bagi Imam Khomeini selain membantah kritis segala pemikiran dan opini antiagama, entah dari lingkungan rezim Pahlavi, kalangan sarjana yang pro-Barat, dan kaum sekuler. Pada saat yang sama, ia juga aktif memperlihatkan kekeliruan pandangan kolot dan sikap puritan kalangan ulama dan oknum-oknum yang mengklaim diri sebagai pengawal agama dan spiritualitas.

E. Pemikiran Politik

Secara konseptual, pemikiran politik dapat didefi- nisikan sebagai upaya menentukan tujuan yang sebatas rasional mungkin direalisasi, dan menentukan berbagai sarana yang sebatas rasional dapat berguna untuk meraih tujuan tersebut.(2) Ketelitian seorang penulis kontempo- rer dalam menganalisis kritis dan mengelaborasi definisi ini merupakan reaksi ilmiah yang bagus. Ia menuliskan:

Untuk menyempurnakan definisi tadi, harus ditekankan bahwa seorang pemikir politik bukanlah orang yang hanya memiliki sederet pandangan, tujuan dan beragam sarana untuk meraih tujuan itu. Namun, ia juga harus mampu membuktikan pandangan dan keyakinannya se-

p: 36


1- Ibid., jld. 21, hlm. 91.
2- Husein Bashiriah: Torikh-e Andisyeho-ye Siyosi dar Qarn-e Bistum,hlm. 16.

cara rasional dan logis sehingga semua pemi- kirannya bukan sekedar murni ide dan prioritas subjektif saja. (1) Dalam menghubungkan pengertian ini dengan se- jarah pemikiran politik Islam, khususnya pemikiran poli- tik Imam Khomeini, perlu dicatat bahwa pemikiran poli- tik, selain berarti sebuah sistem atau teori filosofis yang bersifat universal dan berlaku umum, juga mencakup keyakinan dan gagasan politik layaknya aktivitas politik.

Berapa banyak orang yang aktif berpolitik sekalipun ti- dak didukung sistem pemikiran. Akibatnya, pendirian politis mereka ini kehilangan basis teoretis. Dalam se- jarah Islam, orang-orang semacam ini lebih dikenal se- bagai politikus daripada sebagai pemikir Islam.

Pada sosok Imam Khomeini, dua identitas itu menyatu secara integral dan utuh. Selain kapa- sitasnya sebagai sebuah teori yang membuka peluang telaah dan analisis, pemikiran poli- tiknya sudah diaplikasikan langsung oleh dirinya sampai level praktis: ia bekerja dalam aktivitas politik dan, dalam rangka itu, memanfaatkan- nya untuk menimbang pemikiran politiknya.

Dalam sejarah pemikiran politik Islam, meng- ingat keuniversalan agama yang mendominasi segenap aspek sosial dan personal, pemikiran politik secara otomatis juga bernuansa agama.(2)

p: 37


1- Ibid.
2- Hatim Qadiri: Andisyeh-e Siyosi-e Ghazali, hlm. 71-72.

Pemikiran politik Imam Khomeini merupakan pemikiran politik-agama. Sepanjang maksud deskripsi dinamika pemikiran politik ini, definisi tersebut itu akan menjadi pijakan analisis.

Berangkat dari seluruh uraian di atas dan fokus utama penulis dalam karya ini, yaitu memetakan pemikiran politik Imam Khomeini dan menganalisis basis dan implikasinya, kerangka penelitian ini akan ditempuh dalam beberapa bab berikut:

a. Analisis atas substansi pemikiran politik Islam. Da- lam rangka membongkar latar belakang dan potensi sejarah serta teori yang diperlukan guna memahami substansi pemikiran politik Imam Khomeini, bab ini akan mendeskripsikan secara global berbagai model pemikiran politik Muslimin.

b. Analisis atas substansi politik Imam Khomeini.

Dalam bab ini, akan ditelaah pemikiran politik Imam Khomeini: tingkat statika dan dinamikanya, serta berbagai pandangan yang pernah diajukan dalam menafsirkan pemikirannya.

Pendapat penulis tentang faktor dinamika dalam pemikiran politik Imam Khomeini. Ini akan diuraikan sepanjang dua bab dalam dua teori:

Pertama, analisis atas dinamika pemikiran politik Imam Khomeini dalam kerangka wacana reformasi dan revolusi; dan Kedua, analisis atas dinamika pemikiran politik Imam Khomeini dengan mengacu asas-asas statis pe- mikirannya.

p: 38

photo

BAB II

SUBSTANSI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

p: 39

p: 40

Dewasa ini, pemikiran politik Islam dan Muslimin menyerap deras perhatian khusus dari banyak ka- langan. Gagasan dekonstruksi kehidupan politik di du- nia Islam, dari satu sisi, telah memicu pusat dan lembaga penelitian di Barat aktif menyoroti fondasi pemikiran politik Muslimin dan, dari sisi lain, mendorong kalangan peneliti Muslim membongkar kekayaan khazanah poli- tik. Tentu saja, usaha ilmiah ini tidak pada level yang sama: dari aspek metode dan isi, masih bisa diverifikasi dan diklasifikasi.

Tujuan utama dalam bab ini akan diupayakan untuk menimbang kritis orientasi penelitian tersebut tentang substansi pemikiran politik Islam dan berbagai klasifikasi yang pernah ditawarkan. Dengan ini kiranya dapat mene- laah dinamika pemikiran politik Imam Khomeini dengan pola yang lebih metodik. Klasifikasi itu, dari aspek ter- tentu, dibagi menjadi dua macam; pertama, klasifikasi pemikiran politik Islam; dan kedua, klasifikasi pemikiran politik salah satu mazhab Islam, yakni Syi'ah.

1. Klasifikasi Umum (Pemikiran Politik Islam)

Point

Pertama; Dalam karyanya, Fi Mashôdir Al-Turộts Al-Siyâsî Al-Islâmî, Nasr Muhammad Arif secara metodik mengklasifikasi sumber-sumber pemikiran politik Islam ke dalam dua kategori:

1. Sumber-sumber yang dianggapnya orisinal sebagai “pusaka politik Islam”.

2. Sumber-sumber baru yang dianggapnya telah ter- kontaminasi oleh Barat. Menurut Nasr, semua karya

p: 41

tulis yang dikarang di era kontemporer tentang pe- mikiran politik Islam di dunia Arab menggunakan tolok ukur Barat atau, katakanlah, produk terjemah- an dari pemikiran Barat.

Atas dasar ini, dapat kita simpulkan bahwa, menurut Nasr, terdapat dua corak pemikiran politik Islam:

1. Pemikiran politik Islam yang orisinal.

2. Pemikiran politik Islam yang ke-Barat-an.

Kemudian, Nasr mengklasifikasi sumber yang terkait dengan pemikiran politik Islam orisinal ke dalam dua bagian:

1. Karya-karya yang murni politik; 2. Karya-karya yang secara tidak langsung membahas berbagai tema politik.

Selanjutnya, Nasr mengurai bagian kedua ini menjadi sembilan tipe:

1. Karya tafsir Al-Qur'an dan komentar hadis.

2. Karya fikih.

3. Karya Ushul Fikih, khususnya beberapa topik seperti: isti hsân dan mashólih mursalah.

4. Tema-tema kepemimpinan (imâmah) dalam literatur Teologi.

5. Pidato para Imam Maksum dan khalifah, termasuk surat-surat dan sikap intelektual mereka.

6. Ensiklopedia yang sekaligus berbicara tentang politik seperti: kitab Shubh Al-A'syà.

p: 42

7. Karya sejarah yang pada gilirannya terbagi kepada berapa tipe:

• Sejarah umum seperti: Târîkh Al-Tobarî.

Sejarah politik rezim seperti: Al-Imamâh wa Al-Siyâsah, Târîkh Al-Khulafa' wa Al-Mulúk, dan Târîkh Al-Dawlat Al-Islâmiyyah.

Sejarah sistem politik seperti: Sîrot Sholâh Al- Dîn.

• Sejarah lembaga politik seperti: Al-Wuzaró’.

8. Sastra rakyat atau sejarah tradisi rakyat, ulama dan orang bijak.

Kamus bahasa dan literatur terminologi dan filologi.

Sumber-sumber ini penting lebih dikarenakan khazanah pusaka politik terbongkar dengan konsep- konsep murni dan orisinalnya, bukan dengan apa yang disuplai ke dalam kata-kata itu melalui budaya Eropa seperti di era mutakhir ini. Di antara sekian karya penting di bidang ini ialah Kasysyâf Istila- hât Al-Fun ûn, Mufradât, Asås Al-Balaghoh, dan Mafâtîh Al-'Ulûm.(1) Kedua; Muhammad Ridha Hakimi mengklasifikasi ilmu politik Muslimin menjadi empat tipe. Menurutnya, semua tipe ini masuk dalam kategori Filsafat Politik.

p: 43


1- Nasr Muhammad Arif: Fî Mashôdir Al-Turôts Al-Siyâsî Al-Islâmî: Dirôsah ft Isyka-liyyah Al-Ta'lim Qobl Al-Istiqrô' wa Al-Ta'shîl. Buku ini secara baik direkomendasikan Muhammad Taqi Subhani dalam "Mirots-e Siyosi-e Musalmon: Kitab-syenosi va Mulohe-dzot-e Ravesysyenosi”, dalam jurnal Naqd va Nazdar, tahun 2, vol. 3-4. Klasifikasi ini juga disarikan dari makalah Subhani.

Dalam analisisnya, Islam adalah agama sempurna dan universal, dan ia sendiri merumuskan sistem sosial secara khusus. Karena itu, ulama Islam selalu berusaha memaparkan sistem politik Islam secara baik. Sampai pada gilirannya, dalam bidang filsafat politik Islam, bermunculan beberapa model filsafat politik (al-hikmah al-amaliyyah al-siya siyyah: filsafat praktis politik), yaitu:

a. Filsafat Politik Filosofis

Model ini digagas oleh kaum filosof. Seperti juga cabang ilmu filsafat lainnya, filsafat politik filosofis diperkaya dengan menyerap aliran-aliran klasik juga Al- Qur'an dan Hadis secara sekaligus. Prinsip-prinsip filsafat model ini dapat dijumpai dalam Islam pada beberapa karya dan makalah seperti: Ârå Ahl Al-Madinah Al- Fadhilah, Al-Siyâsât Al-Madaniyyah, Al-Tanbîh ‘alà Subul Al-Sa'adah, Tadbîr Al-Taw hîd.

b. Filsafat Politik Teologis

Model ini produk kalangan teolog Muslim, baik dari mazhab Ahli Sunnah, Syi'ah, Mu'tazilah, ataupun Asy'ariyah; semua membahas tema imamah (kepemim- pinan) dan politik secara panjang lebar. Dalam karya- karya teologi, mereka memaparkan berbagai sistem poli- tik yang, oleh masing-masing, dipercayai ideal.

Filsafat politik teologis dapat diklasifikasi menjadi beberapa varian di bawah ini:

1. Filsafat Politik Syi'ah Imamiyah.

2. Filsafat Politik Syi'ah Zaidiyah.

3. Filsafat Politik Syi'ah Islamailiyah.

p: 44

4. Filsafat Politik Mu'tazilah.

5. Filsafat Politik Asy'ariyah.

6. Filsafat Politik Murji'ah.

7. Filsafat Politik Khawarij.

Pada hemat Hakimi, selain sumber seperti: Al-Syafi fi Al-Imâmah, Tajrîd Al-Aqô'id dan Al-Tamhid, terdapat karya-karya lain semisal Al-Ahkâm Al-Sultôniyyah yang masuk dalam daftar sumber filsafat politik Islam. Padahal kita tahu karya-karya itu, pada prinsipnya, berkaitan dengan model fikih politik.

c. Filsafat Politik Fikih

Maksud dari model ini adalah sebuah sistem khas ilmu yang, di beberapa tema dan karya fikih, dikemukakan kalangan fukaha Islam tentang konsep pemerintahan dan politik. Mirza Muhammad Husain Na’ini dapat dipastikan sebagai tokoh menonjol model ini. Begitu juga Wilayat Al-Faqih karya Imam Khomeini.

d. Filsafat Politik Sosiologis

Pandangan dan gagasan ini lebih tampak beredar dalam karangan dan karya tulis Muslimin, namun sa- ngat minim dideskripsikan dalam sebuah karya tersendi- ri. Rifa'ah Rafi Thahthawi, Sayyid Jamaluddin Asadaba- di, Sayyid Abdurrahman Kawakibi, Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal Lahore, Syaikh Muhammad Khiyabani, Sayyid Abdul Husain Syarafuddin, dan Mu- hammad Husain Kasyif Ghitha adalah sederetan nama besar dalam model filsafat politik Islam ini.?

p: 45

Ketiga; Ali Asgar Halabi berpandangan bahwa karya tulis kalangan pakar Iran di bidang politik Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga kategori:

a. Politik Religius Islam Karya-karya ini disusun berlandaskan ayat Al- Qur'an, hadis Nabi Saw, riwayat para Imam Ahlul Bait, hasil penyimpulan para pakar fikih, mujtahid dan ulama.

b. Politik Filosofis Islam Karya-karya ini digagas dengan merujuk ajaran dan pendapat para filosof Yunani, Romawi, cendekiawan dan negarawan Iran (Persia) pra-Islam.

c. Politik Cermin atau Perilaku Karya-karya ini ditulis berdasarkan pengalaman politik kalangan pejabat tinggi negara dan tokoh politik, dan banyak mengambil bagian politik teoretis juga praktis. Di dalamnya terdapat komposisi dari kata-kata mutiara dan epigram para elite pejabat yang berbaur dengan ayat Al-Qur'an, hadis Nabi Saw dan riwayat imam-imam Ahlul Bait.(1) Penamaan karya politik ini dengan mir’âti ‘cermin’ atau sulûki ‘perilaku' dilatarbelakangi oleh tuntutan, en- tah eksplisit ataupun implisit, terhadap para penguasa agar memandang karya ini layaknya cermin dan mem- praktikkan ragam pola tindakan yang ada di dalamnya hingga menjadi pedoman perilaku politik mereka.

p: 46


1- Muhammad Ridha Hakimi: Donesy-e Muslimin, hlm. 266-270.

Di antara karya-karya politik ini ialah Risålat Al- Hishộbah karya Abdullah bin Muqoffa, Atsar karya Jahidh Bashri, Siyosatnomeh karya Khojah Nidham Mulk Thusi, Al-Târîkh karya Baihaqi, Qobusnomeh karya ‘Unshur Ma’ali, Nashîhat Al-Muluk karya Ghazalî, Kalîlah wa Dimnah karya Nashrullah Munsyi, dan Sulûk Al-Mulûk karya Fadhlullah Ruzbahan Khanji.(1) Masih oleh Halabi, terdapat klasifikasi lain yang di- ajukan dalam lima bagian tanpa disertai eksplanasi. Se- suai klasifikasi ini, politik Islam telah ditelaah oleh be- berapa kategori berikut ini:

a. Fukaha, utamanya kalangan fukaha mazhab Syafi'iyah.

b. Kalangan penulis piagam politik (karya politik cermin dan perilaku) dan para sejarawan.

c. Jajaran penyair dan orator.

d. Kaum filosof.

e. Kaum mutakallim.(2) Keempat; Abul Fadhl Izzati mengklasifikasi aliran politik Islam ke dalam beberapa kategori di bawah ini:

1. Aliran politik Islam berdasarkan mazhab Islam: ali- ran politik Ahli Sunnah, Syi'ah, Ismailiyah, dan se- terusnya.

Aliran politik Islam berdasarkan mazhab teologi: ali- ran politik Asy'ariyah, Mu'tazilah, Khawarij, Syi'ah, dan Ahli Sunnah.

p: 47


1- Ali Asgar Halabi, Torikh-e Andisyeho-ye Siyosi dar Iron wa Jahon-e Eslomi, hlm. 12-14.
2- Ibid., hlm. 14.

3. Aliran politik Islam berdasarkan mazhab hukum dan fikih: aliran fikih politik Ahli Sunah dan Syi'ah.

4. Aliran politik Islam berdasarkan mazhab filsafat dan pemikiran: aliran Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan sebagainya.

5. Aliran politik Islam berdasarkan analisis sejarah Islam: aliran Ibnu Khaldun dan selainnya.

Kelima, Sebagian kalangan mengklasifikasi pemi- kiran politik dengan mengacu tiga bagian dari klasifikasi berikut: Dokumen Syariat, Dokumen Filsafat, dan Do- kumen Petuah.

Sesuai catatan Farhang Raja'i, poin penting dalam Dokumen Petuah ialah keumumannya: tidak khusus hanya untuk lapisan tertentu dari elite pemikir. Ini berbeda dengan Dokumen Syariat dan Dokumen Filsafat yang ditulis, secara berurutan, oleh fukaha dan kaum filosof. Oleh karena itu, Dokumen Petuah adakalanya ditulis seorang pakar fikih seperti: Nashîhat Al-Muluk”, atau oleh seorang pejabat negara seperti: Siyosat-nomeh, atau oleh seorang filosof seperti: Akhloq-e Jaloli.

Dokumen Petuah biasanya ditulis atas pesanan pribadi, dan dibuat dengan maksud menyingkap hakikat perilaku yang benar dan tepat dalam bidang sosial, khu- susnya bidang politik. Di dalamnya terdapat klaim bahwa setiap orang yang mendengarkan nasihat dan petuahnya akan terhindar dari krisis dan meraih kesuksesan.

Jadi, tujuan di belakang Dokumen Petuah ialah me- maparkan tata perilaku yang ideal dalam upaya meraih kekuasaan dan mempertahankan status quo.(1)

p: 48


1- Farhang Raja'i: Ma'rekeh-e Jahonbiniho, hlm. 22.

Masih menurut Raja'i, sepanjang sejarah transformasi politik, determinasi cara pandang terhadap politik berada di bawah tiga pendekatan:

a. Pendekatan Idealisme.

b. Pendekatan Hukum.

c. Pendekatan Kekuasaan.

Maksud dari Pendekatan Idealisme yaitu sebuah paradigma yang di dalamnya, pikiran terfokus pada ma- syarakat kesempurnaan ideal, dan berupaya mendeskrip- sikan ciri-ciri unggulnya. Sumber dan faktor utama yang mendasari analisis dalam pendekatan seperti ini adalah mitos, tradisi, filsafat atau revolusi. Dalam pendekatan ini, dunia yang ada ini tidak ideal, kalau bukan malah harus ditinggalkan. Sebagai gantinya, dirancang sebuah masyarakat yang benar-benar ideal, setidaknya ditampil- kan sebagai model dan arketip, walaupun sekedar utopia dan non realistis.

Sementara itu, ada pula sejumlah cendekiawan yang menyoroti politik via Pendekatan Hukum dengan preasumsi: politik harus diaplikasikan dalam kerangka kaidah-kaidah dan undang-undang yang merupakan ka- nal aspirasi dalam masyarakat yang mereka maksudkan.

Karena itulah politik tak lain dari definisi, interpretasi dan analisis terhadap kaidah dan ketentuan hukum yang sedianya melandasi masyarakat. Memang, adakalanya hukum itu berasal dari mitos atau tradisi; dan adakalanya dari konvensi positif. Pada batas-batas tertentu, pende-

p: 49

katan ini juga berusaha mengajukan proposal dan realisasi kondisi ideal. Contohnya yang menarik tampak dalam Sulûk Al-Mulúk karya Fadhlullah Ruzbahan Khanji.

Akan halnya dalam Pendekatan Kekuasaan, sumber dan faktor utama analisis politik adalah kekuatan politik status quo. Yang terpenting bukanlah mengkaji tentang substansi, pengalaman, dan masa depan sistem politik, tetapi menelaah kinerja sistem politik dan pengaruh fak- tor yang terlibat dalam produksi dan distribusi kekua- saan, atau dengan bahasa ilmiah sekarang, mengamati mekanisme kepemimpinan dan metode terbaik untuk memelihara status quo.

Kebanyakan Dokumen Petuah menyampaikan pe- san-pesannya melalui Pendekatan Kekuasaan, sementara Pendekatan Idealisme berkaitan dengan Dokumen Filsa- fat, dan Pendekatan Hukum dengan Dokumen Syariat.

Dari segi metodologi retorika, perlu dicatat bahwa Dokumen Petuah kaya akan nilai sastra, dan dari segi sistematika penyusunan, mengikuti metode alegori dan hikayat. Kalîlah wa Dimnah merupakan contoh yang bagus dalam penulisan Dokumen Petuah sepanjang gugus sejarah Iran.(1) Farhang Raja'i dalam catatan kedua di buku Maʻrekeh-e Jahonbiniho menganggap bahwa kesusatra- an, terutama seni puisi, adalah salah satu prasyarat dan pintu kemunculan pemikiran politik bagi bangsa Iran.

Dia lantas mengembangkan asumsi ini sampai menga- nalisis pemikiran politik Nizdami dan Sa'di.(2)

p: 50


1- Ibid., hlm. 17-28.
2- Ibid., hlm. 37-38 and 51-52.

Dalam makalah lain yang berjudul Dar Omadi Bar Afkor-e Siyosi va Ejtemoʻi-e Sadeh Chordahum, Raja'i menyebutkan lima kategori. Menurutnya, analisis umum seputar sejarah pemikiran politik di dunia Islam membuktikan bahwa pemikiran politik, dalam tataran intelektual hingga tumbangnya dominasi budaya Islam, secara umum muncul dalam lima modus reaksi. Berikut ini urutannya sesuai tingkat urgensitas dan kadar inspi- rasinya dari sumber-sumber Islam:

1. Metode dan pemikiran fukaha. Yakni, selain lebih Islami dibandingkan yang lain, metode ini juga lebih besar pengaruhnya.

2. Metode kalangan sastrawan atau pemikiran Doku- men Petuah. Mereka ini lebih ketat berurusan de- ngan masalah politik dibanding para pemikir yang menganut metode lain. Karena itulah setelah fu- kaha, pengaruh mereka paling besar mendominasi sejarah politik Islam.

3. Metode sejarah yang diadopsi sejumlah tokoh cendekiawan yang bisa disebut sebagai sejarawan.

Sebelum Filsafat Sejarah terdisiplinkan dan filosof sejarah muncul, mereka melakukan fungsinya lebih dari sekedar mencatat peristiwa sejarah, bahkan menga-matinya secara teliti dan tajam dalam masalah politik. Ini yang lantas menjadi faktor penyusunan karya-karya penting politik. Beberapa nama di antara

p: 51

mereka ialah Thabari (w. 310 H), Masoudi (w. 345 H), Juwaini (w. 681 H), Rasyiduddin Fadhlullah (w.

718 H), Ibnu Khaldun (w. 808 H).

4. Metode Irfan yang berhubungan dengan mistisisme Islam. Di antara tokohnya adalah Hallaj (w. 309 H), Syihabuddin Suhrawardi (w. 587 H), Ibnu Arabi (w.

638 H), Najmuddin Razi (w. 654 H).

5. Metode Filsafat.(1) Dalam pengamatan Raja’i, keterbelahan pemikiran yang menimpa masyarakat Islam pascaintervensi Barat telah menyebabkan klasifikasi di atas kehilangan nilai validitasnya. Menurutnya, dunia sekarang ini hanya me- nyisakan dua kelompok pemikir:

1. Pemikir yang masih bernafas dalam atmosfer pemikiran serta paradigma klasik, sehingga mereka beradaptasi dengannya.

2. Pemikir yang mengamati dunia serta transformasinya dari latar belakang pengalaman belajar pada Barat dan berinspirasi dari pemikirannya.(2) Mengingat Barat diposisikan sebagai basis pemba- gian, klasifikasi ini bagi Raja’i tidak relevan dalam menaf- sirkan dinamika pemikiran politik di Iran. Karena itu, dengan menempatkan problematika masyarakat Iran, ia mengidentifikasi empat tipe pemikiran politik era kon- temporer:

1. Pemikiran politik negara.

p: 52


1- Ibid., hlm. 128-131.
2- Ibid., hlm. 131.

2. Pemikiran politik agama.

3. Pemikiran politik Barat.

4. Pemikiran politik peradaban.(1) Keenam; Sebagian meyakini bahwa proses pemikir- an politik di tengah Muslimin seperti hanya peradaban Islam: dari awal hingga kini telah melampaui dua fase global; pertama, fase kehidupan peradaban dan pemi- kiran politik Islam; kedua, fase revivalisasi peradaban dan pemikiran politik Islam. Masing-masing dari fase ini merupakan kombinasi dari beberapa tahap utama yang, pada gilirannya, terbentuk dari beberapa periode.

Fase kehidupan pemikiran politik Islam mencakup beberapa tahap berikut:

a. Kelahiran, bermula dari kemunculan Islam hingga akhir abad III H.

b. Perkembangan, dari abad III-IV H hingga abad VII-VIII H.

c. Pascaperkembangan atau, disebut Ibnu Khaldun, era kemunduran.

Sementara fase revivalisasi kehidupan peradaban dan pemikiran politik Islam mencakup tahapan berikut:

a. Kebangkitan, revisi dan kembali.

b. Revolusi Konstitusional (nehdzat-e masyrû tiyyat).

c. Revolusi Islam.

Sebagaimana dapat dilihat, dalam klasifikasi fase revivalisasi peradaban, rangkaian peristiwa sejarah cen

p: 53


1- Ibid., hlm. 130-131 and 144-154.

derung merepresentasi Iran. Dari sudut pandang lain, telah muncul berbagai aliran, mazhab, golongan, haluan dan teori politik yang bermunculan di tingkat sejarah pe- mikiran politik Islam. Yang terpenting di antaranya:

1. Aliran fikih politik.

2. Aliran filsafat politik.

3. Aliran dan teori ilmiah politik.

4. Aliran teknis politik.

Di sisi lain, ilmu politik Muslimin dapat diklasifikasi dari dua pola:

1. Klasifikasi vertikal.

2. Klasifikasi horisontal.

Klasifikasi vertikal mencakup Filsafat Politik, Ilmu Politik, Fikih Politik, Seni Politik, Sejarah Politik, dst.

Sedangkan bagian terpenting dalam klasifikasi horisontal ialah Arsitektur Politik, Manajemen dan Kepemimpinan Politik, dan Medis Politik (patologi politik, terapi politik, dst.).

Jelas, semua klasifikasi di atas, sekalipun mengacu sudut pandang berbeda, tampak saling melengkapi.

Ketujuh; Guru besar ilmu politik Universitas Bagh- dad, Jihad Taqi Shadiq, melakukan studi terhadap ori- entasi Arabik pada pusaka Islam. Hasilnya, ia membagi muatan pemikiran politik Muslimin kepada dua era: kla- sik dan modern, lantas mengklasifikasi masing-masing era menjadi empat kategori:

p: 54

a. Aliran Klasik:

i. Orientasi filosofis-politis (Al-In hinâ’ Al-Siyâsi- Al-Falsafi) seperti: Farabi dan Ibnu Sina.

ii. Orientasi politis-yuridis (fikih) seperti: Mawardi dan Ibnu Taimiyah.

iii. Orientasi politis-teologis seperti: Qadhi Abdul Jabbar Muktazili dan Syarif Murtadha.

iv. Orientasi politis-sosiologis seperti: Ibnu Khal- dun dan Ibnu Arzaq.

b. Aliran Modern, yakni pemikiran politik Arab-Islam di era kebangkitan Arab:

i. Haluan Demokrasi, diusung Thahthawi.

ii. Haluan Revolusi Antikolonialisme, diusung Sayyid Jalaluddin Asadabadi.

iii. Haluan Reformasi, diusung Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha dan Kawakibi.

iv. Haluan Nasionalisme Arab, diusung Sathi'e Hashri. (1) Kedelapan; Pada hemat Lambton, apa yang disebut sebagai seperangkat pemikiran politik Islam, entah itu berbasis pada sumber-sumber Islam ataupun tidak, dapat diklasifikasikan pada tiga pemikiran: pemikiran fukaha, pemikiran filosof dan pemikiran sastrawan.

Pemikiran fukaha adalah teori yang, menurut Lambton, paling Islami. Prinsip dan dasar gagasan para

p: 55


1- Jihad Taqi Shadiq: Al-Fikr Al-Siyâsi Al-Arobî Al-Islâmî: Dirôsât fî Abroz Al-Ittijâhât Al-Fikriyyah, dalam jurnal Hukûmat-e Eslomi, tahun 1, no. 2.

pakar fikih berasal dari Al-Qur'an, hadis Nabi Saw, pola kehidupan Muslimin di era awal Islam, sementara interpretasi sumber-sumber ini dipengaruhi dinamika politik mutakhir. Dalam pemikiran ini, selain dapat dijumpai sejumlah pandangan yang meneliti asas-asas formal pemerintahan, juga dapat diamati cetak biru visi idealis agama.

Adapun pemikiran filosof lebih berhutang budi pada filsafat Yunani.(1) Para filosof Muslim merekomendasikan raja sebagai “imam”. Pemikiran ini galibnya dikembang- kan para tokoh pemikir Syi'ah, Mu'tazilah dan, kurang- lebihnya, oleh kaum Sufi.

Pemikiran sastrawan justru menekankan nilai dan hak Ilahi bagi para raja. Fokus mereka lebih mengarah aspek praktis pemerintahan daripada aspek teoretisnya.(2) Kesembilan; Sayyid Jawad Thabathaba'i dalam pengantar karyanya, Dar Omadi Falsafi bar Torikh- e Andisyeh-e Siyosi dar Iron, menyatakan, “Berbagai pemikiran politik, jika ditimbang dalam konteks fase sejarah, terkait dengan era klasik atau era modern”.(3) Semua pemikiran politik Iran terkait dengan era klasik, sehingga tidak sanggup mengakomodasi substansi dan karakter era modern. Dengan kata lain, modernisasi berarti berpikir tentang substansi era modern dan memahami konsepnya.

Ini yang tidak ada dalam pemikiran kita.(4) Sepertinya, klasifikasi era klasik dan era modern dari Thabathaba'i ini diinspirasi oleh Leo Strauss (1899– 1973). Dalam What is Political Philosophy?, Strauss

p: 56


1- N.K.S Lambton: Davlat wa Hukûmat dar Eslom, hlm. 24.
2- Ibid.
3- Sayyid Jawad Thabathaba'i: Dar Omadi Falsafi bar Torikh-e Andisyeh-e Siyosi dar Iron, hlm. 14.
4- Ibid.

membahas panjang lebar tentang filsafat politik klasik dan pemikiran alternatif pasca-Renaisans, kemudian menganalisis kritis setiap pemikiran dan gagasan yang mengklaim sebagai alternatif filsafat politik klasik.(1) Menurut Thabathaba'i, landasan pemikiran era modern adalah dominasi atas alam dan manusia. Tidak seperti pada pemikiran era klasik: penguasaan alam dan dominasi atas manusia sama sekali tak mewacana. Ia berpendapat bahwa dengan analisis sejarah pemikiran politik klasik, akan terbongkar tiga corak yang berbeda:

1. Filsafat Politik. Menurut Thabathaba'i, substansi filsafat politik yang tumbuh di lingkungan Islam seperti: filsafat politik Farabi, adalah sama dengan substansi filsafat politik klasik Barat, yakni merang- kum hukum-hukum yang sama. Hanya relasi di an- tara keduanya di era modern telah berubah menjadi distingsi.

Dokumen Politik. Sementara filosof politik adalah seorang pemikir, para dokumentator politik dalam kapasitas mereka yang paling ideal tekun berkontem- plasi dalam perkara politik, tidak lain. Subjek pokok analisis dokumentasi politik itu seperti: dokumen- tasi politik Khajah Nidzam Al-Malik Thusi, berkisar

p: 57


1- Leo Strauss: Falsafeh-e Siyosat Chist?, hlm. 1-13

pada sosok penguasa. Seorang dokumentator poli- tik mengerahkan segenap upayanya dalam rangka menerangkan pola hidup dan sepak terjang seorang penguasa atau, lebih cermatnya, mencatat metode terbaik memelihara kekuasaan politik, sehingga dia akan memanfaatkan semua gejala dan dimensi lain dari kehidupan sosial untuk kepentingan kekuasaan politik.

Salah satu kesamaan topik filosof politik dan doku- mentator politik terletak pada wacana “keadilan”, padahal interpretasi dan bacaan masing-masing ter- hadap konsep tersebut berbeda-beda. Bagi filosof politik klasik, keadilan terfokus pada sebuah tatanan yang berlaku dalam sistem alam cipta, sedang dalam dokumentasi politik, keadilan dibahas dalam kerang- ka teks dengan titik tekannya pada keunggulan atau dominasi politik, bukan nilai keutamaan dan keba- hagiaan dalam konteks masyarakat.

3. Dokumen Syariat. Corak lain dari dokumen politik adalah apa yang secara toleran disebut sebagai “doku- men syariat”. Di dalamnya, syariat menempati topik utama interpertasinya. Pada hemat Thabathaba'i, karya-karya ini umumnya, kalau bukan malah selu- ruhnya, ditulis sesuai fikih mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah. Yang terpenting di antaranya adalah buku Sulûk Al-Mulúk karya Fadhlullah bin Ruzbahan Khanji.(1)

p: 58


1- Sayyid Jawad Thabathaba'i: op. cit., hlm. 12-37.

Dalam karya lainnya, Khojah Nidzom Al-Mulûk, Thabathaba'i mengklasifikasi proses kemunculan berba- gai dokumentasi politik era Islam ke dalam lima katego- 1. Catatan politik dalam arti tepatnya, atau dokumen politik. Contoh terbaiknya adalah dokumen politik Khajah Nidzam Al-Muluk Thusi. Catatan ini adalah suksesi natural dari Dokumen Hukum dan Dokumen Petuah era klasik lantaran tergolong sebagai sumber utama dokumen politik era Islam. Dokumentasi Mahkota merupakan salah satu dokumentasi politik yang paling penting pada beberapa kurun pertama Islam. Alhasil, sejarah dokumentasi politik di Iran terbagi menjadi sebelum dan setelah Dokumen Politik Khajah Thusi.

2. Catatan kementerian, yaitu tulisan-tulisan mengenai pola hidup dan riwayat para menteri. Di antara karya-karya tentang sejarah hidup penguasa, catatan ini bisa dinilai sebagai salah satu yang terpenting dari orientasi penulisan dokumen politik dalam tradisi pemikiran Iran. Dengan tegas bisa dikatakan bahwa secara kuantitas, catatan kementerian tidak kurang dari jumlah dokumen politik. Kitab Al-Wuzaró’ wa Al-Kuttâb karya Jaheshyari, Tuhfat Al-Wuzaró' karya Tsa’alibi, Qowânîn Al-Wuzaró' wa Siyâsat Al-Muluk karya Mawardi adalah beberapa judul terpenting dari kategori ini.

3. Buku sejarah, sebagai salah satu sumber terpenting sejarah pemikiran politik di era Islam. Karya-karya

p: 59

seperti: Târîkh Al-Bayhaqî dan Tajârib Al-Umam karya Abu Ali Miskawaih Razi tergolong sumber otentik sejarah pemikiran politik. Tak patut juga diabaikan buku-buku yang memuat beberapa bab khusus pemikiran politik. Contoh dari karya ini adalah buku berharga yang berjudul Al-Fakhrî fi Al- Âdâb Al-Sultôniyyah wa Al-Duwal Al-Islâmiyyah karya Ibnu Thaqthaqi.

4. Gagasan irfani/mistikal pemikiran politik. Sekalipun pada prinsipnya bukanlah pemikiran politik, sebagian dari karya Irfan tidak lepas dari konsepsi irfani atas pemikiran politik negara-Iran. Mirshód Al-Ibâd karya Najmuddin Razi bisa dibilang sebagai karya terpenting dalam kategori ini. Karya lain sejenis adalah Dzakhîrot Al-Muluk karya Mir Sayyid Hamadani, Majma' Al-Bahroin karya Syamsuddin Ibrahim Abrquhi, dan Saz wa Pirayeh-e Syahan-e Pormayeh karya Baba Afdhal Kasyani.

5. Buku-buku yang berkaitan dengan sastra. Di antara dokumen politik, kategori ini memiliki nilai khusus.

Yang paling kuno dan terpenting adalah Kalilah wa Dimnah, sebuah karya sastra politik yang lantas menjadi bahan imitasi untuk banyak karya lain dari kategori ini.

2. Klasifikasi Khusus (Pemikiran Politik Syi'ah)

Pertama; Mudhaffar Namdar berpendapat bahwa dalam ajaran Syi'ah, terdapat tiga aliran atau tiga

p: 60

paradigma politik, yaitu aliran teologi politik, aliran filsafat politik dan aliran fikih politik. Ketiga aliran itu sampai sekarang telah melalui empat era dalam perjalanan sejarahnya:

a. Era Kelahiran Politik dalam Teologi: Aliran Teologi Politik Era ini terhitung sejak wafat Rasulullah Saw hingga kira-kira lebih dari 400 tahun menguasai pemikiran politik Syi'ah. Sepanjang era ini, kebanyakan tema dan diskursus politis digagas di bawah pengaruh ilmu Kalam (Teologi) tentang wilâyah (kekuasaan), kekhilafahan, imâmah (kepemimpinan), keadilan, jabr (determinasi), kebebasan, ikhtiyâr (daya pilih), rasionalitas nilai baik- buruk, sunnatullah (hukum cipta Tuhan), dan tema- tema lainnya.

b. Era Kelahiran Politik dalam Filsafat: Aliran Filsafat Politik Era ini kurang lebih dimulai pada kisaran abad II H dan bertahan sampai kira-kira abad VIII H.

c. Era Kelahiran Politik dalam Fikih: Aliran Fikih Politik Era ini berawal kira-kira pada abad VII H, dan terus mendominasi kehidupan politik Syi'ah sampai pertengahan abad XIII H.

d. Era Reposisi Politik ke Asal dalam Teologi dan Ushuluddin(1)

p: 61


1- Mudhaffar, Namdar: Rahyofti bar Maboni-e Maktabho va Junbesyho-ye Siyosi-e Syi'eh dar Shad Sol-e Akhir, hlm. 82-108.

Kedua; Menurut Muhsin Kadivar, fikih politik Syi'ah sejak era ghaybah shughra (Kegaiban Kecil Imam Mahdi) hingga sekarang telah melalui empat era:

a. Era Perkembangan Fikih Personal Era ini terhitung dari awal abad IV hingga abad X H, yaitu era pembentukan, pertumbuhan, dan perkembangan fikih personal. Dalam era ini, fikih sosial, masalah politik dan hak asasi masih belum tersentuh, walaupun fukaha juga membahas sejumlah tema terkait seperti: hakim syar'i, penguasa, imam, amar makruf nahi munkar, peradilan, penegakan hukuman pidana syariat, khumus, zakat, pelaksanaan shalat Jumat, dan tema yang lain. Sampai-sampai, di beberapa kalimat Syeikh Mufid sendiri dalam Al-Muqni'ah, juga terdapat banyak isyarat tentang tema-tema pemerintahan.

b. Era Kesultanan Era ini dimulai dari abad X hingga abad XIII H, tepatnya dari masa kekuasaan dinasti Shafawi, dan berakhir dengan meletusnya Revolusi Konstitusional (nehdhat-e masyrú tiyyat). Ciri utamanya ialah diakuinya Syi'ah sebagai mazhab resmi di Iran serta kedaulatan relatif kalangan fukaha di masa dinasti Shafawi dan dinasti Qajar.

Berdasarkan teori ini, apa yang bergulir dalam format tradisionalnya hingga awal-awal abad XIII H dengan tema Wilâyat Al-Faqih (kekuasaan seorang fakih) dalam fikih Syi'ah sama sekali tidak dalam konteks teori pemerintahan ataupun paradigma bernegara dan berpolitik. Barangkali bisa dikatakan bahwa fakih pertama

p: 62

yang statemennya cenderung membentuk sinyal-sinyal premis untuk sebuah teori pemerintahan adalah seorang pakar fikih di era dinasti Shafawi, Muhaqqiq Karaki (w. 940 H).(1) Dalam membuktikan Wilayat Al-Faqih dan batas kewenangannya, ia bersandar pada riwayat maqbûlah Umar bin Handhalah.

c. Era Konstitusionalisme dan Pengawasan Era Konstitusionalisme (Revolusi Konstitusional) dan Pengawasan ini terhitung sejak awal abad XIV H.

Sekian pandangan beragam bermunculan di tengah kalangan fukaha akibat persinggungan mereka dengan berbagai konsep politik seperti: hak rakyat, kebebasan, keadilan, pengawasan, kediktatoran, pembagian kekua- saan, persamaan, perwakilan, peraturan, aspirasi, dan konstitusi.

d. Era Republik Islam Dimulai sejak akhir abad XIV H. Dalam sejarah fikih Syi'ah, Imam Khomeini adalah fakih pertama yang berhasil mendirikan sebuah negara. Salah satu faktor terpenting dari keberhasilannya adalah gagasan khasnya tentang pemerintahan Islam. Menurutnya, menegakkan pemerintahan Islam adalah ma’rúf ‘kebajikan' yang terbesar. Satu dari sekian poin unggul Imam Khomeini dalam konteks pemikiran politik ialah predikatnya sebagai fakih pertama, di antara penganut Legitimasi Langsung Tuhan, yang berkonfrontasi terhadap kekuatan suatu negara dalam kapasitas sebuah institusi.(2)

p: 63


1- Muhsin Kadivar: Nadzariyeho-ye Davlat dar Fiqh-e Syi'eh, hlm. 15.
2- lbid., hlm. 13-25.

Ketiga; Dalam ensiklopedia Da’iratul Maʻorif Ta- syayyu“, fase krusial perjalanan dan dinamika pemikiran politik Syi'ah, dalam skema umum dan sejarah, dibagi ke dalam lima:

a. Era Imamah (10-329 H) Dalam era ini, filsafat dan pemikiran politik Syi'ah terfokus pada sosok Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib lalu sebelas orang dari keturunannya. Secara bertahap, fokus ini kokoh bertahan sepanjang 250 tahun.

Dari sudut pandang sejarah, awal era ini dapat ditandai dengan peristiwa Saqifah.

b. Era Orientasi Penguasa Adil (329-905 H) Persoalan pokok di era ini adalah: apakah dibenar- kan bekerja sama dengan penguasa, sekalipun dia zalim? Sepertinya, jawaban fukaha terkemuka seperti: Sayyid Murtadha, Syeikh Thusi dan Ibnu Idris Hilli, positif.

Dalam karya ringkasnya namun penting, Fî Al-Amal maʻa Al-Sultôn, Sayyid Murtadha menyatakan bahwa selama memadai kriteria seperti: Amar Makruf Nahi Munkar, usaha menegakkan kebenaran dan mencegah kebatilan, maka bekerja sama dengan penguasa zalim itu boleh (jâ’iz), bahkan wajib dalam kondisi tertentu. Ar- gumentasinya, kekuasaan pada hakikatnya kewenangan dari para imam maksum yang dimandatkan kepada para ulama, walaupun secara lahiriah dilimpahkan kepada mereka melalui penguasa zalim.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pada era ini, upaya mendasar dari teolog dan pemikir politik Syi'ah ialah sekedar menafsirkan dan menguatkan prin-

p: 64

sip-prinsip teoretis imâmah (kepemimpinan) dan wilayah (kekuasaan) seraya, di dalamnya, juga menggugat tajam berbagai pandangan kaum mutakalim (teolog) Ahli Su- nah. Tak pelak lagi, doktrin Imam Mahdi dan konsep In- tizdôr al-Faroj (menanti kehadiran Imam Mahdi) men- jadi satu prinsip fundamental pemikiran politik Syi'ah.

Dan dampak praktisnya mengemuka dalam bentuk kerja sama dengan pihak yang berkuasa, baik yang adil mau- pun yang zalim, sebagai sikap dasar fukaha Syi'ah.

c. Era Legitimasi Penguasa Adil (905-1324 H) Berdirinya dinasti Shafawi, yang menghimpun Syi'ah, Tasawuf dan nasionalisme, di atas kekuasaan telah memicu persoalan aktual di tengah ulama dan fukaha Syi'ah masa itu. Yaitu, dengan menggarisbawahi status ‘penganut mazhab Syi'ah', sayyid ‘keturunan Nabi', dan ‘adil' pada sosok penguasa yang bukan maksum (selain nabi dan imam maksum, penj.), apakah kekuasaannya bisa diakui legal dan sah (syar'î) oleh agama? Reaksi terhadap pertanyaan ini melahirkan tiga pandangan: (a) setiap penguasa yang bukan maksum adalah zalim (jà’ir), dan dukungan apa saja kepadanya dihukumi haram; (b) harus dibedakan antara penguasa adil dan zalim. Atas dasar ini, boleh bekerja sama dengan penguasa adil; dan (c) kekuasaan dan pemerintahan raja yang adil adalah legal.

Penulis lantas menisbatkan pandangan ketiga dalam klasifikasi ini kepada Muhaqqiq Karaki, padahal dalam pernyataan dan karya tulisnya, bukan hanya tidak di- jumpai, justru ada sejumlah uraiannya yang mengarah

p: 65

sebaliknya. Sedangkan pandangan pertama dinisbatkan kepada Muqaddas Ardabili, Qathifi, dan Mulla Shadra.

Hanya tentang penggagas pandangan ketiga, penulis ti- dak mengidentifikasinya.

Sepertinya ada pandangan keempat yang juga diajukan di era ini, namun luput dari pengamatan penulis.

Inilah pandangan yang justru dianut banyak ulama besar masa itu seperti: Muhaqqiq Karaki, Muqaddas Ar-dabili, Muhaqqiq Sabzawari, Allamah Majlisi, Syeikh Baha'i.

Pandangan ini menyatakan bahwa setiap penguasa yang tidak memadai syarat perwakilan dari manusia maksum (Nabi dan para Imam, penj.) tetap dihukumi sebagai zalim (jå’ir), namun bekerja sama dengan penguasa semacam ini dihukumi boleh, bahkan dalam kondisi tertentu menjadi wajib, dengan cacatan: sejauh dalam rangka amar makruf nahi munkar, mencegah tindakan zalim dan, secara umum, untuk melaksanakan tugas syariat.(1) d. Era Kedaulatan Publik (1324 HS) Pada era ini, beberapa ulama seperti: Akhund Khurasani, Muhammad Husein Gharawi Naini dan Sayyid Muhammad Thabathaba'i, bangkit membela hak kedaulatan rakyat dan [Revolusi] Konstitusional.

Mereka berusaha menciptakan semacam koherensi ak- sioma, ajaran dasar agama dan fikih Syi'ah dengan asas- asas Revolusi Kostitusional. Di samping berdirinya ke- sultanan, mereka merealisasikan kekuasaan bangsa dan

p: 66


1- Ruj., Syeikh Baha'i: Amal Al-Qirtós, lembaran ke-2; Muhaqqiq Ardabili: Majma' Al-Fâ'idah wa Al-Burhân, jld. 8, hlm. 71.

pemerintahan rakyat melalui majelis parlemen, pemba- gian kekuasaan dan pembentukan UUD.

e. Era Wilayatul Fakih (1358 HS) Imam Khomeini mengemukakan teori Wilayatul Fakih pada 1348 HS (1969 M), dan untuk pertama kalinya merekomendasikan agar kalangan fukaha sendi- ri memegang kekuasaan dalam membentuk pemerin- tahan Islam dan melaksanakan hukum syariat. Dalam realiasasinya, ia mengklaim sistem kesultanan, secara prinsipal, ilegal dan bukan Islami.(1) Di sini, tampak bagaimana penyusun ensiklopedia itu lengah dalam mengurai latar belakang teori ini.

Beberapa Catatan

Analisis beragam klasifikasi di atas memerlukan ke- sempatan lain. Hanya di sini akan dibubuhkan sedikit catatan kritis. Sebagiannya terfokus pada semua klasifi- kasi tersebut dan diuraikan secara ringkas tepatnya di awal perumusan klasifikasi alternatif. Sebagian catatan lainnya secara umum mengarah pada setiap klasifikasi.

Rangkaian cacatan ini diajukan sesuai urutan dan siste- matika pembahasan di atas.

Catatan atas Klasifikasi Umum

Pertama; Klasifikasi Nasr Muhamad Arif, terutama mengenai sumber-sumber yang memuat tema-tema politik, terlihat kekurangan karya-karya etika.

p: 67


1- Da'iratul Ma'arif Tasyayyu' - Andisyeho-ye Siyosi, hlm. 349-363.

Kedua; Konsep Filsafat Politik dalam klasifikasi Muhammad Ridha Hakimi ini tampak masih ambigu:

apakah maksud dari konsep itu. Alhasil, apa yang dimak- sudkan Hakimi tidak berlaku umum di kalangan para pakar dibidang tsb. Ambiguitas lain yang masih bertahan, setidaknya bagi saya, bagaimana dia memasukkan Al-Ah- kâm Al-Sultôniyyah dan sejenisnya ke dalam kategori karya yang berkaitan dengan Filsafat Politik Teologis, bukan dengan Filsafat Politik Fikih? Sekalipun, dia teliti dalam menempatkan Wilayat Al-Faqih karya Imam Khomeini dan Tanbîh Al-Ummah karya Ayatullah Naini dalam kategori karya yang berkaitan dengan Fikih Politik Ketiga; Sama sekali tidak jelas, apakah Ali Asgar Halabi melakukan klasifikasinya atas dasar metode, ataukah subjek, ataukah tokoh ilmu? Tentunya, persoalan ini juga dijumpai pada kebanyakan klasifikasi.

Keempat; Klasifikasi Abul Fadhl Izzati tampak be- gitu kacau. Kategori pertama (aliran politik Islam ber- dasarkan mazhab Islam) sangat inklusif dan akomodatif sehingga tidak menyisakan lagi tempat untuk kategori kedua (aliran politik Islam berdasarkan mazhab teologi), sebab yang kedua termasuk dalam yang pertama. Belum lagi kategori ketiga (aliran politik Islam berdasarkan ma- zhab hukum-fikih) yang ternyata bagian dari kategori pertama.

Kelima; Farhang Raja’i telah menyebutkan be- berapa klasifikasi. Klasifikasi pertama berkaitan dengan identifikasi pendekatan menjadi: Pendekatan Idealisme,

p: 68

Pendekatan Hukum, dan Pendekatan Kekuasaan. Perso- alan yang kemudian muncul: benarkah ketiga pendekat- an ini sama sekali tak dapat diintegralisasikan? Sepertinya tidak demikian, yakni semua pendekatan itu masih bisa diposisikan satu secara linier. Justru pada dasarnya, beginilah pendekatan kaum reformis: selain perhatian pada kekuasaan, juga pada hukum dan ideal- isme. Mengingat ketiga pendekatan ini terkait dengan tiga tindakan yang memang dapat dipertemukan secara integral, maka objek Pendekatan Idealisme adalah tin- dakan idealis; objek Pendekatan Hukum, tindakan legal; dan objek Pendekatan Kekuasaan, alat eksekutor tinda- kan. Tentu masih ada kondisi lain: yakni semua tindakan ini bisa juga ilegal.

Demikian pula klasifikasi terakhir (pemikiran politik negara, agama, Barat dan peradaban) sangat bermasalah; bagian-bagiannya ternyata tidak sejajar. Inilah sebabnya klasifikasi itu terbatas, tidak aplikatif, tidak juga akurat.

Keenam; Klasifikasi Ali Ridha Shadra dapat diper- tahankan sebagai klasifikasi yang cermat. Poin penting di dalamnya ialah terminologi “aliran reformis”. Kalau saja klasifikasinya (klasik dan modern) diabaikan dan, tidak seperti harapannya, aliran reformis itu diberlakukan juga pada era klasik, dapat dipastikan klasifikasi ini agaknya aplikatif.

Ketujuh; Klasifikasi Lambton tidak dibangun kokoh di atas logika. Di dalamnya, dia menisbatkan beberapa tema politik dalam setiap ilmu kepada ilmu itu sendiri.

Dari sinilah persoalan mengemuka: dari sekian banyak

p: 69

ilmu, kenapa dia hanya menyebutkan Fikih, Filsafat dan Sastra, tanpa menyinggung disiplin seperti: Sejarah, Mis- tisisme (Irfan), Etika, dll. Ada banyak catatan lain yang bisa diajukan, namun kesempatan tidak mengizinkan untuk diuraikan di sini.

Kedelapan; Dari satu pihak, Sayyid Jawad Thabathaba'i mengklaim bahwa seluruh pemikiran politik Iran berkaitan dengan era klasik.(1) Namun di pihak lain, ia berpendapat bahwa asas pemikiran era modern adalah dominasi atas alam dan manusia. Kenyataannya, dalam pemikiran era klasik, justru pada dasarnya tidak pernah terungkap penguasaan atas alam dan dominasi atas manusia.(2) Dalam absurditas ini, ia berbicara tentang Dokumen Politik secara kontradiktif.

Di antara penjelasannya tentang Dokumen Politik, Thabathaba'i mengemukakan bahwa subjek pokok do- kumen politik itu berkisar pada sosok penguasa. Seorang dokumentator politik mengerahkan segenap upayanya dalam rangka menerangkan pola hidup dan sepak ter- jang seorang penguasa atau, lebih cermatnya, men- catat strategi terbaik memelihara kekuasaan.(3) Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa, berdasarkan penafsirannya ini, dokumen politik yang terkait dengan masa lampau pemikiran politik telah menguntungkan agenda dominasi atas dunia dan manusia.

p: 70


1- Sayyid Jawad Thabathaba'i: Dar Omadi bar Torikh-e Andisyeh-e Siyosi dar Iron, hlm. 14.
2- Ibid., hlm. 18.
3- Ibid., hlm. 22

Catatan atas Klasifikasi Khusus

Pertama; Klasifikasi ini rancu, kalau bukan malah kehilangan pijakan logis. Sejarah juga tidak cukup kuat menyangganya tegak, karena pertama, masih banyak teori politik lain yang berkembang di kalangan tokoh Syi'ah yang, alih-alih berhaluan fikih, teologi, dan filsa- fat, justru berorientasi saintis, empiris, mistis dan sastra.

Kedua, gugus era sejarah yang dia maksudkan mem- bangkitkan skeptisisme secara serius. Sebagai contoh, dalam pendapatnya, karya Abbasi yang berjudul Row- dhot Al-Anwâr semestinya masuk dalam kategori karya yang beraliran Fikih, padahal aspek nonfikih dalam karya ini terlihat lebih dominan.

Kedua; Persoalan lain dalam klasifikasi Muhsin Ka- divar ini adalah upaya mengidentikkan pemikiran politik Syi'ah dengan fikih politik: setelah sekilas menyinggung sejarah fikih politik, segera menarik kesimpulan tentang pemikiran politik Syi'ah.

Sebagai contoh, era pertama yang mencakup abad IV hingga X disebut Kadivar sebagai era perkembangan fikih personal, sementara dia dapat mengamati pemikiran politik Syi'ah pada karya-karya Farabi, Ibnu Sina dan Nashiruddin Thusi. Pada dasarnya, pemimpin hukum (ra’ís al-sunnah) yang dimaksud Farabi dan pemimpin era yang di dalamnya “pemimpin pertama” (ra’is awwal) dan “pemimpin kedua” (ra’îs tsåni) juga tidak lain dari seorang pakar fikih, sebagaimana telah ditegaskan oleh Farabi sendiri.(1)

p: 71


1- Farabi: Kitâb Al-Millah wa Nushûs Ukhrô, hlm. 50.

Demikian pula, empat kategori dari klasifikasi era bukan bagian-bagian yang berdiri sejajar dan biner. Mi- salnya, era perkembangan fikih personal sama sekali ti- dak bertentangan dengan era kesultanan, atau dengan Konstitusionalisme (Revolusi Konstitusional). Juga de- mikian, era kesultanan bukan bagian sejajar dengan era Konsitusionalisme, karena kesultanan dan dinasti, um- pamanya, bisa berupa pengawasan, dan bisa juga berupa konstitusi.

Ketiga; Klasifikasi dalam ensiklopedia Da'iratul Maʻorif Tasyayyu' pun masih menyimpan persoalan. Be- berapa di antaranya telah disinggung sekaitan dengan pemahaman penyusun dari pernyataan sekelompok ula- ma. Berikut ini persoalan lain yang masih tersisa.

Dalam klasifikasi ini, penyusun tidak memperhatikan bagian-bagian dari pemikiran politik Syi'ah yang dike- mukakan kalangan non fukaha, khususnya tema-tema yang ditelaah para filosof politik seperti: Farabi, Ibnu Sina, dan Nashiruddin Thusi.

Sesuai aksentuasi penyusun, pemikiran politik Muhammad Baqir Sabzawari yang lebih dikenal dengan Muhaqqiq Sabzawari (1017-1090 H) terkait dengan “Era Legitimasi Penguasa Adil”. Padahal sejauh konteks pemikiran politik Sabzawari, keterkaitan ini bisa benar, bisa juga keliru; tergantung dari sisi mana. Jika maksudnya adalah bahwa Sabzawari menilai seluruh atau, minimalnya, sebagian raja dinasti Shafawi sebagai penguasa adil, lantas disimpulkan bahwa dengan begitu, ia mengakui legitimitas pemerintahan mereka, maka

p: 72

kesimpulan ini, selain tidak benar, tidak ada argumen yang bisa ditemukan untuknya, bahkan penyusun sendiri tidak mengajukan argumen apa pun.

Akan halnya jika maksud penyusun yaitu Sabzawari dalam konteks teoretis berpendapat bahwa di masa kegaiban (Imam Mahdi), bisa saja ada penguasa adil, maka klaim ini dapat dibenarkan, dan ini yang juga saya dukung dalam menganalisis definisi penguasa adil versi Sabzawari di tempat lain.(1) Menurut Sabzawari, seorang raja akan menjadi penguasa adil jika dia aktif sebagai penguasa adil—yakni, mengaplikasikan empat belas tugas yang didefinisikan Sabzawari—dan mengikuti seorang mujtahid yang memenuhi kriteria (jâmi' al-syaró’it).

Namun, komparasi kriteria penguasa adil dengan perilaku raja dinasti Shafawi membuktikan bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi belasan tugas tersebut, kalau bukan justru pandangan Sabzawari itu semirip upaya menangguhkan perkara mustahil.

Klasifikasi Alternatif

Dalam kebanyakan klasifikasi di atas, ada sebuah poin yang terabaikan: politik merupakan fenomena multidimenSSsi yang dapat ditelaah dan dianalisis dari berbagai sudut pandang. Jika politik berdimensi dan merambah ke berbagai aspek kehidupan, maka sebagai sebuah objek dapat diamati juga dari berbagai perspektif.

p: 73


1- Lih. Najaf Lakza'i: Andisyeh-e Siyosi-e Sabzevori (Poyonnomeh-e Korsyenosi Arsyad-e Ulûm-e Siyosi, Bahts-e Hokim-e Odel).

Di sisi lain, galibnya para peneliti itu lebih dipenga- ruhi studi metodologis kontemporer dalam mengamati pusaka masa silam. Sementara mereka berusaha keras mengetengahkan klasifikasi akurat dari berbagai teks kla- sik, para pendahulu sangat komit memilah objek masing- masing fenomena; kendati mereka tidak punya kepekaan pemikir zaman sekarang dalam menjaga garis demarkasi interdisiplin; agama, filsafat, ilmu empiris, irfan dan bi- dang lainnya. Karena itu, dapat dicermati acapkali mere- ka berbicara tentang sebuah gejala seperti politik, selain bersandar pada pemahaman dan interpretasi subjektif terhadap agama, mereka juga merujuk ungkapan para filosof Yunani, ulama Islam, sejarah Iran Kuno, tema- tema Etika, Irfan dan disiplin ilmu lainnya.

Rowdhot Al-Anwâr Abbâsî adalah representasi fakta di atas.(1) Tentunya, ada sebagian karya tulis politik yang, dari segi metodologis, boleh jadi bisa terfokus pada satu bidang khusus, seperti kebanyakan karya politik Farabi.

Tetapi, tidak demikian halnya dengan Rowdhot Al-Anwâr dan sekian banyak karya yang lain. Karya Sabzawari ini merupakan koleksium kebijakan, butir-butir nasihat, ayat Al-Qur'an, hadis Nabi Saw, riwayat para Imam Ahlul Bait, ungkapan kaum filosof, kalangan tabib, para pimpinan, tokoh terkemuka, kisah-kisah panjang dan

p: 74


1- Pemikiran politik Sabzawari dan bukunya, Rowdhot Al-Anwâr, telah saya teliti secara khusus dalam beberapa karya. Ruj., Fashlnomeh Hukûmat-e Eslomi, no-5, Dar Omadi bar Andisye-e Siyosi Muhaqqiq Sabzavori' dan 'Fashl Nomeh Ulum-e Siyosi', no-1. Rowdhot Al- Anwâr Abbosi va Robeteh-e Mujtahid va Sulton.

pendek, dan penafsiran kondisi zaman penulis. Namun semua tema ini berkisar pada satu poros, yaitu tidak lain dari politik, ketatanegaraan, dan usaha membenahi struktur pemerintahan, terutama perilaku pribadi raja.

Pada hemat saya, hanya klasifikasi yang berbasis pada asas tujuan akan sanggup membongkar substansi berbagai pemikiran politik Islam, tak terkecuali pemikiran Imam Khomeini. Sesuai klasifikasi ini, karya-karya politik Islam-dari mazhab dan kelompok manapun dikarang- akan menempati satu dari tiga kategori berikut:

1. Pemikiran politik revolusi.

2. Pemikiran politik reformasi.

3. Pemikiran politik dominasi.

Pemikiran politik revolusi digagas dalam rangka mengubah total status quo. Biasanya, pemikiran ini berkembang di era modern, sekalipun pemikiran politik Islam di masa awal Islam juga sebuah corak dari pemikiran revolusi. Maksud dari revolusi di sini adalah istilah yang melampaui pengertian populernya.

Pemikiran politik reformasi adalah pemikiran yang mereaksi negatif status quo, seraya mengajukan agenda baru untuk mencapai kondisi yang diharapkan. Pemikiran reformasi, pada gilirannya, memiliki berbagai tipe yang perbedaannya dihimpun dalam satu sisi kesamaan, yaitu mengusung perbaikan kondisi politik negara.

Adapun pemikiran politik dominasi yang berbasis kekuatan dianut untuk memfasilitasi status quo dengan pembenaran. Karakter paling menonjol yang menyatukan

p: 75

beragam tipe pemikiran ini ialah justifikasi terhadap kekuasaan, kediktatoran, pemerintahan despotik serta kepentingan penguasa diktator. Doktrin dasar pemikiran ini adalah diktum yang berbunyi, “Kebenaran milik siapa yang menang”.

Dalam bab mendatang akan diupayakan deskripsi analitik tentang dinamika pemikiran Imam Khomeini dalam kerangka dua jenis pemikiran: reformasi dan revo- lusi. Sementara galibnya pemikiran politik para ulama Syi'ah bangkit di atas esensi reformasi dalam arti sosio- logis, pemikiran politik Imam Khomeini justru telah me- nyeberang: dari wacana reformasi sampai membentuk esensi revolusi dalam arti sosiologis.

p: 76

photo

BAB III

STATIKA DAN DINAMIKA

p: 77

p: 78

bab ini akan mendeskripsikan beberapa sistem pe- mikiran politik dalam karya tulis Imam Khomei- ni. Pembahasan sebelumnya-meski telah diupayakan merangkum elemen pemikiran Imam Khomeini secara ringkas—memperlihatkan adanya keragaman dan dina- mika di dalamnya. Inilah yang lantas memicu persoalan tentang bagaimana dan kenapa dinamika dirumuskan untuk kemudian ditelaah secara kritis berbagai pandang- an dan teori yang terkait. Sebuah pandangan alternatif akan saya ajukan di akhir bab ini dan dieksplanasi secara argumentatif pada bab-bab berikutnya.

Teori Sistem

Khomeini

Point

Politik dalam Pemikiran Imam Ada beberapa referensi penting dalam menelaah pemikiran politik Imam Khomeini, yaitu Kasyf Al-Asrør dan Kitâb Al-Bay', terkhusus rangkaian wawancaranya selama berada di Perancis, surat-surat yang, terutama, diterbitkan di akhir-akhir hidupnya. Referensi ini, de- ngan memperhatikan garis kronologis dan kepadatan materi, akan digunakan untuk membongkar anasir statis dan dinamis dalam pemikiran Imam Khomeini.

Untuk itu, karya-karyanya akan diulas sambil lalu. Perlu dicatat tebal bahwa fokus utama dalam penelaahan ini adalah pokok pemikiran beliau, yaitu kepemimpinan dan sistem politik, bukan lantas melibatkan segenap elemen pemikirannya.

p: 79

“Kasyf Al-Asrôr”

Buku ini dikarang pada 1323 HS (1944 M), utamanya dalam rangka menjawab tuduhan yang diklaim penulis Asror-e Hezor Soleh dan beberapa penulis lain terhadap Islam dan kalangan ulama. Selain membantah butir-butir tuduhan, Imam Khomeini juga mengarahkan kritik keras terhadap rezim Pahlevi, khususnya Ridha Khan. Buku ini juga memuat beberapa kajian di beberapa bagiannya yang membicarakan pemikiran politiknya. Kajian ini pula yang justru membuat sebagian orang bertanya-tanya, karena di dalamnya Imam Khomeini seolah menerima sistem monarkis, dan meyakini bahwa ulama sudah sejak dulu bekerja sama dengan sistem semacam itu. Sementara di bagian lain, ia mengakui monarki dalam kondisi “pengawasan ulama”. Masih di bagian ini, ia menafikan sistem monarki secara mutlak dan mengajukan sistem pemerintahan Islam sebagai alternatif. Yang terakhir ini kemudian dikembangkan Imam Khomeini secara lebih serius hingga memasuki fase mutakhir dengan membentuk sistem Republik Islam.

Di sini, akan dianalisis beberapa masalah yang dibahas Kasyf Al-Asrôr sebagai acuan telaah yang lebih cermat dan mendalam.

Pertama; Dalam sebuah lembarannya, Imam Khomeini menulis:

Telah kami nyatakan bahwa tiada seorang pa- kar fikih (fakih) pun yang telah mengatakan atau menuliskan dalam karyanya bahwa kami

p: 80

adalah raja, atau kekuasaan adalah hak kami. Ya, sebagaimana telah kami jelaskan, jika sebuah monarki dan kekuasaan telah terbentuk, setiap orang berakal pasti menilai bahwa itu adalah baik dan sesuai dengan kemaslahatan negara dan bangsa. Tentunya, sistem yang dibangun di atas hukum Tuhan dan keadilan Ilahi adalah sistem yang terbaik. Akan tetapi sekarang, ke- tika mereka (ulama) tidak menerima kekuasaan mereka (penguasa), mereka (ulama) sama sekali tidak menentang separuh sistem; mereka juga tidak ingin menghancurkan asas pemerintahan.

Dan kalaupun mereka menentang penguasa, penentangan itu tertuju khusus pada pribadi penguasa karena keberadaannya dinilai bertolak belakang dengan kemaslahatan negara. Jadi ka- lau tidak [bertolak belakang), sampai sekarang tidak ada penentangan dari kalangan ini terha- dap asas monarki, bahkan banyak ulama besar yang berkedudukan tinggi bekerja sama dengan raja-raja dalam lembaga pemerintahan seperti:

Khajah Nashiruddin [Thusi], Allamah Hilli, Muhaqqiq Tsani, Syaikh Bahaie, Muhaqqiq Damad, Majlisi dan nama-nama besar lainnya ... Para mujtahid senantiasa, lebih dari yang lain, menghendaki kebaikan dan kemaslahatan negara.(1)

p: 81


1- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrör, hlm. 186-187.

Dari paragraf ini, sebagian orang ingin sekali menyimpulkan bahwa Imam Khomeini sama sekali tidak menentang sistem monarki.

Kedua; Di lembaran lain dari Kasyf Al-Asrôr, Imam Khomeini menyebutkan satu bahkan beberapa model lain dari sistem pemerintahan. Perhatikan teks kutipan di bawah ini:

Ketika kami menegaskan bahwa pemerintahan dan kekuasaan di masa sekarang ini milik fukaha, kami tidak ingin mengatakan bahwa seorang fakih adalah raja juga menteri, panglima juga tukang sapu. Yang justru ingin kami katakan layaknya sebuah majelis formatur: terbentuk dari warga sebuah negara, dan majelis itulah yang membentuk sebuah pemerintahan dengan mengubah monarki lalu memilih salah seorang sebagai raja. (1)Demikian pula sebuah majelis permusyawaratan terbentuk dari sekelompok orang yang sudah dikenal keadaannya dan me- maksakan sistem hukum Eropa ataupun buatan mereka sendiri ke atas sebuah negara, padahal segala sesuatunya tidak relevan dengan kondisi Eropa, lantas kalian semua mengkultuskannya dengan taklid buta dan mengakui seorang raja atas dasar konvensi majelis formatur, padahal

p: 82


1- Ini isyarat tentang dibentuknya sebuah majelis formatur dan perubahan kekuasaan dari dinasti Qajariyah kepada Pahlevi dengan mengamandemen UUD Konstitusionalisme.

tidak ada demikian itu di belahan dunia mana- pun.(1) Jika majelis seperti itu terbentuk dari kalangan fukaha mujtahid yang taat agama, tahu hukum Tuhan, berlaku adil, bersih dari hawa nafsu, tidak terpolusi dunia dan ambisi kekuasaan, tidak pula bertujuan selain demi kepentingan publik dan pelaksanaan hukum Tuhan, lantas majelis ini memilih satu orang sebagai penguasa yang adil yang tidak melanggar hukum Tuhan, menjauhi tindakan zalim dan aniaya, dan tidak memperkosa harta, jiwa dan kehormatan rakyat, maka dengan sistem pilitik manakah ini akan berbenturan? Dengan mencermati teks di atas, tampaknya tidak bermasalah bila pemerintahan penguasa yang adil berada di bawah pengawasan ulama dan mengelola segenap urusan negara dengan keputusan mereka. Setidaknya menurut Imam Khomeini, model kekuasaan ini dapat diterima. Hanya tidak begitu jelas, apakah penguasa adil itu harus dari kalangan fukaha atau tidakAlhasil, tidak ada penegasan terhadap keharusan ini.

Sebagian statemen Imam Khomeini dalam berbagai wawancara di awal-awal terjadinya Revolusi Islam juga mirip dengan kandungan di atas. Dalam menjawab sebuah pertanyaan, ia menyatakan:

Nanti [setelah kemenangan revolusi Islam], saya akan mengambil peran yang sekarang ini saya miliki: peran memberi arahan dan petunjuk,

p: 83


1- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrôr, hlm. 185.

saya akan menyatakan [sesuatu] jika terdapat suatu kemaslahatan, dan saya akan melawan jika terdapat tindak khianat. Tetapi saya tidak akan mengambil peran apa pun di dalam pemerintahan.(1) Ketiga; Beberapa pembahasan Kasyf Al-Asrør menerangkan bahwa Imam Khomeini sama sekali tidak mengakui sah dua model pemerintahan tersebut di atas.

Justru menurutnya, pemerintahan yang legal dan memi- liki legitimasi adalah pemerintahan Ilahi yang berada di tangan seorang fakih mujtahid yang memenuhi kriteria (jâmi' al-syaró’it).

Selain pemerintahan ketuhanan, semua peme- rintahan bertentangan dengan kemaslahatan publik dan [rezim yang] zalim. Selain undang- undang ketuhanan, semua undang-undang itu batil dan tak bernilai.(2) Dalam membantah klaim penulis Asror-e Hezor Saleh bahwa “Tidak ada satu dalil pun yang membukti- kan bahwa pemerintahan adalah hak fakih”,(3) Imam Kho- meini demikian menanggapi:

Dasar-dasar utama fikih adalah hadis dan riwa- yat para imam yang, selain bersambung kepada Nabi Saw, juga bersumber dari wahyu Ilahi.(4)

p: 84


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 4, hlm. 206.
2- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrôr, hlm. 186.
3- Ibid., hlm. 187.
4- Ibid.

Kemudian, ia membawakan beberapa hadis. Di bawah salah satunya, ia membubuhkan catatan konklusif:

Jadi jelas, orang-orang yang meriwayatkan sunah dan hadis Nabi adalah para pengganti Nabi, dan apa saja yang tertetapkan sebagai hak Nabi-mulai dari kewenangan ditaati, kekuasaan dan pemerintahan—juga berlaku sah bagi mereka, karena jika seorang penguasa telah merekomendasikan pengganti dirinya, itu berarti selama ketiadaannya, dia (pengganti) harus melakukan fungsi-fungsinya.(1) Memang, teks ini ada dalam Kasyf Al-Asrør, namun tetap saja tidak cukup merepresentasi seutuh- nya pemikiran politik Imam Khomeini bahkan konsep “Kekuasaan Mutlak Fakih” (wilayat-e mu tlaqeh-e faqih) yang dijelaskan bagian dan dimensinya di akhir masa hidupnya.

Sampai di sini, sudah tampak tiga konsep dalam pemikiran politik Imam Khomeini: apakah bisa disatu- kan? Sebagian kalangan tidak memandang penting buku Kasyf Al-Asrôr dalam upaya menganalisis pemikiran politiknya dengan alasan: beberapa topik pembahasan- nya tidak koheren dengan konsep Wilayatul Fakih. Ini, pada hemat saya, keliru. Justru kebesaran Imam Kho- meini akan tampak dalam upaya seorang pakar menying- kap otentisitas pemikirannya dalam buku itu. Pada telaah selanjutnya, poin ini akan semakin jelas sekaligus segi- segi ilmiah perbedaan konsep tersebut.

p: 85


1- Ibid., hlm. 188.

Khusus mengenai konsep ketiga (Wilayatul Fakih) dirumuskan Imam Khomeini dalam karya-karya berikut- nya dengan lebih tegas dan transparan. Dalam asumsi saya, para pembaca telah cukup akrab dengan pemba- hasan mendatang. Karena itu, di sini saya cukup semini- mal mungkin mengurai beberapa poin saja sejauh kaitan- nya dengan objek telaah dan kontribusinya memperjelas topik.

“Kitâb Al-Bay'"

Pada awal Bahman 1348 HS (Januari 1970 M), Wilayatul Fakih ditempatkan Imam Khomeini sebagai topik utama kuliahnya, tepat di pertengahan kajian fikih tingkat tinggi buku Al-Makâsib [karya Syaikh Anshari]. Rangkaian topik kuliah itu sendiri sebenarnya ada dalam karyanya, Kitâb Al-Bay', juga pada masa itu, telah dibukukan secara terpisah dan diakses oleh murid- muridnya. Di dalamnya ia menyatakan:

Segenap Muslimin, khususnya bagi ulama dan pelajar agama Hauzah Ilmiyah, diwajibkan bangkit melawan serangan musuh Islam dengan sarana apa pun yang mungkin, sampai tampak bagi semua orang bahwa Islam datang untuk menegakkan pemerintahan yang adil.(1) Ada beberapa poin mendasar dalam kuliah itu yang patut digaris-bawahi secara singkat saja. Tentang keha- rusan mendirikan pemerintahan Islam, Imam Khomeini

p: 86


1- Imam Khomeini: Syu'ûn va Ekhtiyorot-e Vali-e Faqih, edisi Persia Wilayatul Fakih dari Kitab Al-Bay', hlm. 20.

mengingatkan:

Hukum Islam, entah undang-undang ekonomi, politik, maupun hukum sipil, sampai Hari Kiamat, akan terus bertahan ada dan harus dilaksanakan ... Ketahanan dan kelanggengan hukum-hukum itu meniscayakan eksisnya sebuah sistem yang menjamin supremasi dan kekuasaan hukum-hukum itu serta bertanggung jawab melaksanakannya, karena hukum Tuhan tidak mungkin terlaksana aktif kecuali dengan mendirikan pemerintahan Islam.(1) Mengenai tujuan pemerintahan Islam, ia mengu- raikan:

Keharusan pemerintahan dalam rangka mem- erata-kan keadilan, menyelenggarakan pendi- dikan, memelihara stabilitas sosial, memberan- tas kezaliman, menjaga batas teritorial negara dan menghalau serangan pihak asing: semua ini adalah perkara paling jelas hingga tidak ada per- bedaan, entah di saat Imam hadir ataupun gaib; entah di negara ini atau itu.(2) Dalam kesimpulannya, ia menyatakan:

Maka dari itu, mendirikan pemerintahan dan membentuk negara Islam adalah wajib kifayah bagi kalangan fukaha yang adil. (3)

p: 87


1- Ibid., hlm. 23.
2- Ibid.
3- Ibid., hlm. 33.

Jadi, dalam pemikiran politik Imam Khomeini, fukaha bertanggung jawab (mukallaf) mengusahakan berdirinya pemerintahan dan tentu saja, “Jika seorang fakih di suatu masa berhasil membentuk pemerintahan, segenap fukaha wajib mengikutinya.”(1)

Surat-surat

Dengan kemenangan Revolusi Islam, keberhasilan pemikiran politik Imam Khomeini, dan terbentuknya pemerintahan Islam dalam sistem “Republik Islam”, muncul berbagai problem dan kendala pada tataran aplikatif yang justru menjadi wahana pembuktian atas pemikiran politik Imam Khomeini sebagai solusi, sejumlah problem seperti: pembentukan Dewan Penentu Maslahat Negara (Majma'-e Tasykhish-e Maslahat-e Nedzom), posisi Hukum Eksekutif (hukm hukûmatî) di samping Hukum Primer (hukm awwalî) dan Hukum Sekunder (hukm tsanawi).

Beragam reaksi dilancarkan sebagian pihak dan fo- rum, khususnya terhadap Hukum Eksekutif hingga mendesak Imam Khomeini menjelaskan sebagian di- mensi kewenangan pemerintahan Islam dan kedaulatan Wali Fakih. Dalam salah satu suratnya, ia menuliskan:

[Reaksi] yang sudah dan akan dinyatakan berasal dari ketidakpahaman tentang kekuasaan mutlak Tuhan. Apa yang telah dikatakan luas bahwa investasi, mudharabah dan semacamnya akan batal dengan kewenangan tersebut, secara tegas

p: 88


1- lbid.

saya katakan bahwa taruhlah demikian, maka itu adalah kewenangan pemerintahan.(1) Apa yang berlangsung dalam pemikiran Imam Khomeini juga terjadi dalam praktik politiknya. Sebagai contoh, sejarahperjuanganpolitiknya menunjukkan bahwa sejak awal pergerakannya, ia tidak pernah mengangkat slogan anti-monarki, tetapi tuntutannya agar diambil langkah-langkah reformis dalam sistem politik, budaya masyarakat dan menghadang pelanggaran syariat dan hukum. Misalnya, dalam sepucuk surat yang ditulis untuk Muhammad Reza Pahlevi, ia memperingatkan, “Kepada Asadullah Alam, telah saya peringatkan mengenai gejala bid'ah atas nama Perserikatan Federasi dan Provinsi, juga telah saya wanti-wanti dampak buruknya, tetapi dia tidak menghiraukan”. Imam Khomeini menambahkan:

Atas dasar itikad baik untuk bangsa Muslim, saya ingatkan Yang Mulia agar tidak percaya pada unsur-unsur yang, dengan mencari muka, menampakkan diri pengabdi dan rendah diri, ingin melakukan segala tindakan menentang agama dan hukum, lantas mereka nisbatkan ke- pada Yang Mulia, lalu dengan ratifikasi hukum yang penuh khianat dan salah, mereka hendak menghilangkan supremasi UUD sehingga ren- cana jahat musuh-musuh Islam dan bangsa ter- laksana. Penantian bangsa Muslim ialah dengan sepenuh ketegasan, hendaknya Yang Mulia me- wajibkan Tuan Alam agar konsisten mengamal-

p: 89


1- Imam Khomeini, Shahifeh-e Nûr, jld. 20, hlm. 171.

kan hukum Islam dan undang-undang dasar, dan beristighfar atas kelancangannya terhadap martabat suci Al-Qur'an. Kalau tidak, melalui surat terbuka, terpaksa saya akan menyampai- kan peringatan lain kepada Yang Mulia. Kepada Allah Swt saya memohon kemerdekaan negara- negara Islam dan menjaganya dari krisis.(1) Jelas sekali, sikap politik Imam Khomeini dalam masalah rancangan UU Perserikatan Federasi dan Provinsi dapat dijabarkan dalam konteks rezim konstitusional dan pengawasan tinggi ulama. Ini sebagaimana sikap politiknya pada tahun-tahun pascakemenangan Revolusi Islam, bahkan dalam banyak kasus sebelum Revolusi, dapat ditafsirkan dalam kerangka Wilayatul Fakih dan kedaulatan fukaha.

Kini saatnya memasuki pembahasan logika dinamika dalam pemikiran dan praktik politik Imam Khomeini.

Penulis menyadari bila terlalu memadatkan kajian pe- mikiran dan praktik politik. Semoga pada kesempatan lain, ini dapat dibahas secara lebih eksklusif.

Logika Dinamika Pemikiran dan Praktik Politik Imam Khomeini

Topik ini akan ditelaah dalam dua tahap. Sebelumnya perlu menyimak usaha para pemikir dalam menangani topik ini, baru kemudian mendiskusikan tesis yang saya akan ajukan sebagai alternatif.

p: 90


1- S.H. Ruhani: Barresi va Tahlil az Nehdhat-e Emom Khomeini, hlm. 156-157.

Beberapa Upaya

Salah satu usaha bagus dan bernilai ilmiah ialah tela’ah Sayyid Ali Qadiri mengenai pemikiran politik Imam Khomeini. Dalam rangka merumuskan logika dinamika pemikirannya dan-karena satu atau lain alasan yang tidak sebanding lurus dengan topik kajian di sini, misalnya klasifikasi bidang pengetahuan politik Imam Khomeini-dia membagi pengetahuan politik ke dalam lima bidang:

1. Bidang ilmu politik.

2. Bidang fenomena politik.

3. Bidang analisis politik.

4. Bidang pandangan politik.

5. Bidang konsep politik.(1) Pada hemat Qadiri, Imam Khomeini dalam bidang ilmu politik tidak memiliki pandangan khusus, karena bidang ini tak lain dari “kumpulan teori, postulat dan proposisi yang bisa diverifikasi nilai benar-salahnya, yaitu dengan metoda-metoda ilmiah”. Jika ditanyakan:

apakah postulat dan inovasi ilmiah Imam Khomeini dalam subjek-subjek ilmu politik?, jawabannya jelas:

untuk sekarang, tidak ada. Karena, ia bukanlah pakar ilmu politik dalam pengertian itu. (2)

p: 91


1- Sayyid Ali Qadiri: "Emom Khomeini dar Panj Ma'refat-e Siyosi", dalam Engelob-e Eslomi va Risyeho-ye on, jld. 1, hlm. 153.
2- Ibid., jld. 1, hlm. 154-155.

Bidang fenomena politik juga sangat luas hingga nyaris tak mungkin menanti dari seorang pakar hingga dapat mengetahui semua peristiwa dan berita politik dalam skala internasional. “Imam Khomeini mengikuti gugusan peristiwa sejarah secara global”. (1) Sementara dalam bidang analisis politik, Imam Khomeini adalah sosok analis yang tajam dan kuat.

Analisisnya berkembang berlandaskan keyakinannya.

Adapun pandangan politik dan konsep politik harus dibedakan. Dalam definisi penulis, pandangan politik adalah “kumpulan pendapat orang-orang mengenai subjek yang berhubungan dengan manajemen sosial”. (2) Beberapa ciri khas pandangan politik:

1. Pandangan politik, dalam bahasa logika Aristotelian, sejenis proposisi partikular yang, kalaupun cende- rung universal, hanya sekualitas proposisi indeter- minatif (muhmal), dan tidak akan menjadi proposisi esensial.

2. Karakter pandangan politik adalah ketidakjelasan dasar-dasarnya.

3. Dalam bidang ini, semua orang bisa memiliki pandangan khas.

4. Pandangan politik merupakan pengetahuan perso- nal. Yakni, esensinya bersifat plural dan tidak ada segi unitas dalam dasar-dasarnya. Faktor-faktor seperti:

usia, model penelitian, status ekonomi, pandang-

p: 92


1- Ibid., jld. 1, hlm. 162.
2- Ibid., jld. 1, hlm. 173.

an dunia, profesi, kemitraan, persaingan, kondisi lingkungan dan masa, posisi jauh-dekatnya dengan kekuasaan, dan banyak kategori lain yang secara langsung atau tidak berpengaruh dalam menggagas pandangan politik.

Qadiri menuliskan:

Imam Khomeini berulang kali mengubah pandangan politiknya. Perubahan itu bukan hanya tidak mengurangi nilai tingginya, tetapi justru menjadi poin dan kekuatan pribadinya.

Sepertinya halnya sekarang kita mendengar bagaimana Rasulullah Saw dalam perang Badar mengubah keputusan beliau tentang cara memasang tenda di samping sumur air hanya karena usulan seorang rakyat biasa: membuat kita sungguh terpukau kagum.(1) Sementara pandangan politik adalah bidang unsur dinamis, konsep politik merupakan bidang unsur statis.

Menurut Qadiri, Imam Khomeini memiliki konsep politik yang statis, adapun variabel perubahan terkait dengan bidang pandangan politiknya yang, tentu saja, membuka peluang revisi dan penilaian kritis hingga berdampak perubahan. “Pemikiran politik adalah sepe- rangkat kepercayaan filosofis yang secara langsung berkaitan dengan pengelolaan sosial”. (2)

p: 93


1- Ibid., jld. 1, hlm. 179.
2- Ibid., jld. 1, hlm. 193.

Ada beberapa poin utama konsep politik Imam Khomeini yang diajukan Qadiri:

1. Dalam konteks klasifikasi konsep kepada religius dan nonreligius, konsep politik Imam Khomeini sepenuhnya religius.

Dalam konsep politik Imam Khomeini, agama tidak terpisahkan dari politik.

3. Dalam konsep politik Imam Khomeini, keberadaan pemerintahan merupakan keniscayaan.

4. Asas pembentukan pemerintahan Islam dalam konsep politik Imam Khomeini merupakan kewajiban, namun mekanisme pembentukannya berada dalam bidang pandangan politiknya, bukan dalam bidang pemikiran politik.

5. Pemerintahan Islam dalam konsep politik Imam Khomeini dibangun berdasarkan asas Wilayatul Fakih (1) Demikian kiranya ikhtisar telaah Qadiri. Dalam sepotong kalimat dia percaya bahwa apa saja yang statis dalam pemikiran politik Imam Khomeini terkait dengan bidang konsep politiknya; dan apa yang dinamis berkisar dalam bidang pandangan politiknya. Padahal, meninjau subjek dengan cara seperti ini terlihat sebagai upaya menyederhanakan duduk persoalan, kalau bukan malah mengabaikan sejumlah bagian dari realitas.

Kendati sampai batas yang signifikan Qadiri mam- pu menganalisis dinamika pemikiran Imam Khomeini,

p: 94


1- Ibid., hlm. 202.

namun dia tidak berhasil mengekplanasi dinamika kon- sepnya itu sendiri. Misalnya, manakala Imam Kho- meini mengakui monarki konstitusional atau kerajaan seorang yang mukmin-adil di bawah pengawasan dan izin fakih mujtahid sebagai dua model pemerintahan, lantas bagaimana menyatukan [dua model] ini dengan Wilayatul Fakih sebagai model pemerintahan yang bu- kan monarki dan kerajaan? Jadi, bagian manakah yang tergolong dari konsep politik Imam Khomeini; dan yang dari pandangan politiknya? Terdapat peneliti lain yang, setelah mengurai perbedaan sekian sistem politik yang tertuang dalam Kasyf Al-Asrør, menghapus duduk persoalan. Dengan begitu, dia memandang tidak lagi punya tanggung jawab membuat jawaban:

Pemerintahan dan Wilayatul Fakih ‘kekuasaan seorang fakih' yang adil pada masa kegaiban [Imam Mahdi] telah dipaparkan dalam buku ini (Kasyf Al-Asrør) tanpa penjelasan yang cukup dan perhatian terhadap detail masalah. Karena itulah buku ini sendiri bukan referensi yang bagus untuk mengupas segi-segi pemikiran Imam Khomeini dalam konteks ini.(1) Sementara peneliti lain, dengan mengklasifikasi fase penyempurnaan pemikiran politik Imam Khomeini, ber- usaha menemukan arguman yang relevan dengan sebab [penyempurnaan tersebut]. Berangkat dari pengalaman

p: 95


1- Kadzim Qadhizadeh: Andisyeho-ye Fikhi-Siyosi-e Emom Kho-meini, hlm. 159.

sejarah, berbagai peristiwa dan wawasan seluas mungkin Imam Khomeini terhadap situasi dan kondisi zamannya, pemikiran bapak Revolusi Islam ini pun kian sempurna.

Aksi pertama Imam Khomeini ialah tuntutan terhadap pemerintah agar menegakkan hukum agama. Aksi ini berlanjut dengan menasihati para pejabat dan aktif mereformasi kerangka pilar pemikiran penguasa. Namun rangkaian peristiwa memfasilitasinya dengan kesimpulan bahwa tujuan yang dimaksud tak terealisasi tanpa membentuk “pemerintahan Islam”. Karena itu, ia memandang sistem monarki sudah kehilangan legitimasinya dan mempertanyakan legalitasnya.

Di masa pengasingan, selain “gerakan negasi” (menafikan legitimasi rezim Syah)Imam Khomeini juga melakukan “gerakan afirmasi” dan mengajukan konsep Wilayatul Fakih sebagai model alternatif sistem politik. (1) Dia percaya:

Jika meninjau fase perkembangan pemikiran Imam Khomeini secara sempurna, tampak perspektif Imam Khomeini terhadap 'politik’ dan 'rancang-agenda' yang secara bertahap mengalami perubahan dan kian rumit.(2)

p: 96


1- S. Abdulamir Nabawi: "Tatavvur-e Andisyeh-e Emom Kho-meini", dalam jurnal Nomeh Pezhuhesyi-e Donesgoh-e Emom Shodiq as, no. 7-8, hlm. 130-131.
2- lbid., hlm. 131.

Perubahan ini berlangsung sampai-sampai, menu- rutnya, “Pandangan Imam Khomeini terhadap politik dan rancang-agenda di akhir masa hidupnya mengalami perombakan yang begitu signifikan”. (1) Dalam penelitian di atas ini, sejumlah bagian dari realitas masih juga terabaikan. Di dalamnya dipahamkan kepada pembaca bahwa dari segi waktu, pertama-tama Imam Khomeini hanya menuntut pelaksanaan hukum Islam dan sama sekali tidak menyinggung pembentukan pemerintahan Islam. Padahal sebelumnya telah dikutip beberapa bagian dari Kasyf Al-Asrôr yang menekankan idealisme pembentukan “pemerintahan Islam”. Masih atas dasar penelitian ini, segenap fase pun tidak memiliki rentetan waktu, justru sekian dari fase ini muncul secara bersamaan waktu dalam pemikiran Imam Khomeini, bahkan dalam Kasyf Al-Asrør itu sendiri. Atas dasar itu, tampaknya dinamika pemikiran Imam Khomeini (menurut peneliti tsb., peny.) selain mandul dan tidak efektif, sulit dieksplanasi dengan aksioma “semakin matang kepribadian, semakin sempurna pemikiran”.

Penulis lain berusaha menafsirkan dinamika pemiki- ran Imam Khomeini secara realis dan sangat dipengaruhi teori-teori kekuasaan. Setelah membagi pemikirannya kepada pra dan pasca Revolusi, dia menyimpulkan dua wacana: pemerintahan agama dan agama pemerintahan.

Menurutnya, sampai sebelum terjadi Revolusi, pemiki- ran politik Imam Khomeini berkisar pada wacana peme- rintahan agama. Di dalamnya, agama berposisi sebagai

p: 97


1- Ibid., hlm. 132.

penguasa dan pemerintah sebagai obyek; agama sebagai agen hukum dan pemerintah sebagai aparatur hukum agama. Akan halnya pasca-Revolusi, Imam Khomeini mengakui pemerintah sebagai penguasa dan agama se- bagai aparatur yang patuh. Oleh karenanya, alih-alih pemerintah berfungsi aparatur hukum agama, justru agamalah yang semestinya menjadi pengabdi pemerintah serta alat eksekutor tuntutan dan tujuan pemerintah.

Imam Khomeini mengetengahkan dua waca- na pemerintahan agama; yang pertama, pe- merintahan agama dan yang kedua, agama pemerintahan. Pertama, pemerintahan agama.

Dalam wacana ini, fikih adalah “teori nyata dan sempurna pengaturan manusia dan sosial dari timangan sampai kuburan”. Fikih adalah penghimpun undang-undang keselamatan dunia dan akhirat; semua hukum kehidupan yang adil dan sempurna ada di dalamnya. Dalam wacana ini, pemerintahan agama adalah pemerintahan fikih ... Dalam wacana ini, penguasa adalah ahli fikih, dan argumen utama Wilayatul Fakih adalah keahliannya dalam fikih, karena pemerintahan Islam yaitu pemerintahan hukum fikih. Yakni, Wilayatul Fakih berdiri di atas tiga premis:

(a) fikih sebagai undang-undang sempurna pengaturan dunia; (b) perlu adanya penguasa dan pemerintahan untuk melaksanakan fikih dan pengaturan dunia; dan (c) penguasa harus ahli hukum (fikih). Kedua, agama pemerintahan.

Dalam wacana ini, “Ijtihad konvensional di

p: 98

Hauzah tidaklah cukup”, sementara fikih tidak dapat menjawab segala kebutuhan dalam dan luar negeri. Bila ini saja yang ditekankan, bukan hanya menyeret negara ke jalan buntu dan melanggar UUD, namun juga menyebabkan “Islam dituding tidak mampu mengelola dunia di tengah percaturan ekonomi, sosial dan politik ...” Masih dalam wacana ini, Imam Khomeini tidak lagi menerima pemerintahan punya wewenang sepanjang kerangka hukum Ilahi. Menurutnya, pemerintah justru salah satu Hukum Primer (hukm awwali) Islam dan lebih utama di atas semua hukum parsial seperti shalat, puasa dan haji ... Dalam pandangan ini, Hukum Sekunder (hukm tsånawi) dan Hukum Eksekutif (hukm hukûmatî) menjadi krusial, dan kemaslahatan negara (mashlabat nidzam) serta pembentukan Majelis Penentu Kemaslahatan Negara menjadi keniscayaan sebagai solusi berbagai problem yang mengemuka.(1) Kritik yang paling serius terhadap penafsiran di atas ialah mengabaikan sistem pemikiran Imam Khomeini, metodologi, asas, dan kriteria ijtihad, selain juga mencampuradukkan berbagai makna konseptual.

Adakah argumentasi yang melandasi klaim bahwa “Pasca- Revolusi, agama telah menjadi pemerintahan karena

p: 99


1- Akbar Ganji: "Du Qiro'at-e Emom Khomeini az Nazdariyeh-e Wiloyat-e Faqih: Davlat-e Dini va Din-e Davlati", dalam Majalleh-e Kayhon, vol. 41, hlm. 18.

Imam Khomeini telah mengacu asas Maslahat dan asas Darurat”? Jika ada seseorang menyatakan bahwa pasca- Revolusi, pemerintahan sudah menjadi perkara agama karena kepemimpinan politik tertinggi di Iran dipegang oleh seorang pakar fikih yang memenuhi kriteria—dan memang demikianlah realitasnya, bukankah ini justru lebih argumentatif? Kelemahan teori ini hanya dapat dimengerti di balik cara pandang yang mendominasinya, yaitu cara pandang yang cenderung pada kekuasaan. Tentunya, dalam kelanjutan kajian dan untuk menjelaskan secara lebih teliti pendapat penulis, beberapa problem lain akan semakin jelas, di antaranya tidak memandang pemikiran Imam Khomeini secara holistik, hanya tidak cukup ruang untuk memberikan contoh konkretnya.

Alternatif

Sepertinya ada dua metode yang dapat diacu untuk menjelaskan kenapa terjadi proses, dinamika dan perubahan dalam pemikiran politik Imam Khomeini.

Pertama, klasifikasi muatan pemikiran politik Islam, yakni menggunakan metodologi ‘pewacanaan dalam pemikiran politik. Kedua, memahami mekanisme Ijtihad dalam mazhab Syi'ah serta kondisi dominan dalam penyimpulan hukum-hukum [syariat] Islam.

Sesuai metode pewacanaan, segenap muatan pemi- kiran politik Islam yang pernah digagas kalangan pemikir Muslim dapat diklasifikasi menjadi tiga wacana: wacana

p: 100

dominasi, wacana reformasi, dan wacana revolusi. Semua pemikiran yang berusaha menjustifikasi sistem politik dik- tator dan membuatnya terlihat legitimate, ia tergolong sebagai wacana dominasi. Seperangkat pemikiran yang bekerja untuk memperbaiki kondisi sosial-politik melalui jalur damai dan bertahap tergolong sebagai wacana re- formasi. Namun, pemikiran yang berkepentingan untuk mengubah sistem politik masuk dalam kategori wacana revolusi.

Sesuai klasifikasi ini, pemikiran politik Imam Khomeini adalah kombinasi dua wacana; reformasi dan revolusi. Dengan kata lain, ada dua lapisan dari pemi- kiran politiknya: satu lapisan yang masuk dalam kategori wacana reformasi. Ini seperti teori pertama dan kedua yang tersebut dalam Kasyf Al-Asrör: berlandaskan pada tuntutan penegakan hukum Islam serta langkah kompro- mi dengan penguasa-mirip dengan pengakuan Ayatullah Naini terhadap monarki konstitusional (masy-rûteh)— dan dapat diklarifikasi melalui asas Kadar Kesanggupan (qodr al-maqdûr) dan asas Mengatasi Yang-lebih-korup dengan Yang-korup'(daf'al-afsad bi al-fâsid). Sementara lapisan lain, seperti halnya pada teori ketiga dalam ‘Kasyf Al-Asrôr dan apa yang kemudian dikemukakan dalam Kitâb Al-Bay' dengan nama Wilayatul Fakih, semuanya tergolong sebagai pemikiran revolusi Imam Khomeini.

Faktanya, pemikiran reformasi adalah sebuah wa- cana yang sebelumnya telah umum beredar di kalangan tokoh Syi'ah, sebagaimana yang tampak dalam pemikir-

p: 101

an Muhaqqiq Sabzawari dan Ayatullah Naini.(1) Namun harus diakui, lapisan revolusioner merupakan fondasi pemikiran Imam Khomeini. Pada hakikatnya, dinamika pemikirannya adalah keaktifan dan kreativitas pemikiran- nya di antara dua wacana. Wacana revolusi dikemukakan secara serius tatkala kevakuman kekuasaan dan krisis le- gitimasi dirasakan Imam Khomeini. Pada kenyataannya justru konsep Wilayatul Fakih diajukan dalam upaya me- nyelesaikan krisis legitimasi dan kevakuman kekuasaan yang terjadi pada Kebangkitan 15 Khurdad [1342 HS:

5 Juni 1963 M) yang lantas berdampak pada peristiwa Kapitulasi dan pengasingan Imam Khomeini pada 1343 HS (1964 M).

Metode kedua dalam menganalisis dinamika pemi- kiran politik Imam Khomeini ialah membongkar kondisi yang di dalamnya fukaha menyatakan berbagai sikap dan fatwa. Sebelum metode ini diurai, perlu diingatkan bahwa ajaran Islam terbentuk dari dua jenis: ajaran yang bersifat tetap dan inilah yang akan dikenalkan sebagai asas statis; dan ajaran yang bersifat dinamis dan berubah serta terumuskan berdasarkan asas statis dan sesuai dengan kekhasan kondisi ruang dan waktu. Sebagai contoh, asas Tidak Ada Bahaya dan Pembahayaan (lâ dhoror wa lâ dhirôr) dalam Islam memberikan kesempatan kepada seorang fakih untuk menyatakan: manakala puasa itu

p: 102


1- Pemikiran Muhaqqiq Sabzawari dapat dirujuk ke Najaf Lakzaie: Andisyeh-e Siyosi-e Muhaqqiq Sabzavori, dan Pemikiran politik Ayatullah Na'ini dapat dirujuk ke: Tanbîh Al-Ummah wa Tanzîh Al-Millah, dengan pengantar dan catatan kaki Ayatullah Sayyid Mahmud Thaliqani.

berbahaya bagi seseorang, maka bukan hanya gugur hukum wajibnya, bahkan bisa menjadi haram. Ataupun asas Kadar Kesanggupan (qodr al-maqdûr) meluangkan pakar fikih untuk menyatakan: harus melaksanakan shalat dengan berdiri; jika tidak sanggup demikian, maka dengan bertumpu; jika masih juga tidak sanggup, maka dengan duduk; singkatnya ibadah ini dilaksanakan sesuai kesanggupan.

Demikian juga dalam pembahasan sistem politik, ada asas-asas khas yang dominan. Atas dasar ini, seberapa pun kesanggupan kita meminimalisasi kezaliman dan memaksimalisasi keadilan, sebesar itu pula usaha kita diwajibkan agama (taklif). Jadi, segenap yang terdapat dalam pemikiran Imam Khomeini seperti: pengakuan atas monarki konstitusional, pengawasan fukaha, dan konsep Wilayatul Fakih, dapat dijustifikasi dan dieksplanasi secara baik. Dari satu sisi, ada monarki konstitusional atau bahkan kekuasaan raja yang adil sebagai kadar minimal dari keniscayaan sistem dan, dari sisi lain, ada sistem politik Ilahi dimana seorang manusia maksum atau wakil umumnya, yakni seorang fakih yang memenuhi kriteria (jâmi' al-syaró’it), bertindak sebagai pemimpin tertinggi, dan ini merupakan kadar maksimal dari idealisme yang bisa direalisasikan. Karena itu, tidak bisa disimpulkan bahwa sebagian dari pemikiran itu digagas Imam Khomeini di awal pergerakannya, dan sebagian lain dirumuskan di akhir masa hidupnya, akan tetapi semua itu telah diuraikan dalam Kasyf Al-Asrôr.

p: 103

Pemikiran politik yang sukses adalah pemikiran yang, selain plastis dan kompatibel, memiliki asas-asas statis. Seperti telah disinggung jauh sebelumnya, pe- mikiran politik memiliki tiga pilar utama; menentukan tujuan secara rasional, menentukan dan memilih sarana yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan yang dimak- sud, dan kerasionalan sarana tersebut. Dalam kondisi tidak adanya kemungkinan menjatuhkan sebuah sistem politik, seorang pemikir yang arif tidak akan membuang- buang waktu untuk berusaha menjatuhkannya, tetapi akan mengerahkan tenaga untuk mereformasinya. Na- mun, jika situasi dan kondisi keruntuhan sebuah peme- rintahan itu kondusif, dia tidak akan membuang-buang kesempatan dengan mengambil langkah reformasi, te- tapi justru berkonsentrasi untuk menumbangkannya.

Inilah yang setepatnya dilakukan Imam Khomeini dalam pergerakannya.

Dalam kajian selanjutnya, melalui dua bab menda- tang, akan dianalisis dinamika dan perkembangan pe- mikiran politik Imam Khomeini melalui dua metodologi yang telah disinggung.

p: 104

photo

BAB IV

DARI REFORMASI KE REVOLUSI

p: 105

p: 106

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam sejarah pemikiran politik Islam dan dalam klasifikasi yang telah dirancang atas dasar tujuan yang dimaksudkan pemikiran ini, terdapat tiga macam pemikiran politik:

1. Pemikiran Politik Dominasi.

2. Pemikiran Politik Reformasi 3. Pemikiran Politik Revolusi.

Pemikiran Politik Dominasi

Pemikiran ini bertujuan untuk menjaga status quo.

Titik porosnya berkisar pada diktum yang terkenal, “Kebenaran milik siapa yang menang” (al-haqq li man gholab). Tentu saja, dalam pemikiran politik ini, tidak ada intensi khusus terhadap patologi sistem politik, sebab penganut pemikiran ini akan menerima segala bentuk sistem politik yang ada, walaupun dalam kondisinya yang terburuk. Dalam dunia Islam ataupun non-Islam, tidak sedikit tokoh pemikir yang galib mengkonstruksi sistem diktator dan monarki. Sebagai contoh, seorang ulama besar Ahli Sunah, Fadhlullah bin Ruzbahan Khanji, dalam karya terkenalnya yang berudul Sulúk Al-Mulûk, menghitung beberapa model pemerintahan legal. Di dalamnya, dia mengategorikan sebuah model pemerintahan yang berdiri bahkan melalui jalur eks- pansi, kekuatan, dan penaklukan sebagai pemerintahan agama:

Ada empat modus terbentuknya kepemim- pinan (imâmah): pertama, konsensus kaum Muslimin atas kepemimpinan seseorang dan

p: 107

baiat kalangan tokoh (ahl al-hall wa al-'aqd) yang terdiri dari ulama, hakim, dan pemuka masyarakat... Kedua, penunjukkan pemimpin sebelumnya terhadap seorang suksesor yang memenuhi syarat kepemimpinan... Ketiga, musyawarah... Keempat, salah satu modus terbentuknya kepemimpinan ialah penaklukan dan kekuatan. Para ulama mengatakan bahwa jika seorang pemimpin meninggal dunia, lantas seseorang mengemban kepemimpinan tanpa melalui baiat, tanpa ada seseorang yang men- jadikannya sebagai suksesor, bahkan memak- sa rakyat dengan kekuatan dan militer, maka kepemimpinannya diakui legal, entah dia se- orang Quraisy atau bukan, entah orang Arab, orang non-Arab (Ajam) atau Turki, entah me- menuhi syarat kepemimpinan, fasik ataupun bodoh, sekalipun dengan tindakan [fasik dan bodoh] ini dia berbuat maksiat. Lantaran telah menempati posisi pemimpin [sebelumnya] de- ngan cara kekuatan dan penaklukan, orang- orang memandangnya sebagai penguasa dan bisa disebut sebagai imam serta khalifah.(1) Jadi, menurut penulis Sulík Al-Mulúk, seorang pe- nguasa bisa disebut sebagai imam dan khalifah, sekalipun dia orang fasik, bodoh, pelaku maksiat, karena sekedar kekuatan dan militer yang dimilikinya sudah memadai

p: 108


1- Fadhlullah Khanji Isfahani: Sulûk Al-Mulûk, diteliti dan diintroduksi oleh M. Ali Muwa-hhid, hlm. 79-82.

hak dirinya berkuasa dan diakui sebagai pemimpin. Jelas sekali, manakala seorang pemikir menganut pemikiran semacam ini, dia tidak akan pernah melakukan koreksi dan patologi sistem politik, apalagi berusaha mengaju- kan kritik terhadap penguasa, karena memang pada dasarnya dia tidak melihat gejala korup di dalamnya se- hingga akan memeriksa dan menyusun laporan negatif.

Tentunya, rezim diktator dan arogan tidak mengingink- an selain apresiasi dan sanjungan.

Pemikiran Politik Reformasi

Pemikiran ini dibangun berlandaskan kapasitas ruang, waktu, fasilitas, dan segenap kondisi serta variabel yang kita kenal sebagai “realitas aktual”. Tanpa bergeser dari prinsip dan nilai yang ada, pemikiran ini mengajukan rangkaian proposal dan solusi dalam rangka perbaikan dan pembenahan sistem secara relatif dengan cara-cara kooperatif. Jika lebih memungkinkan, masih dalam rangka yang sama ia berusaha mengajukan solusi yang lebih banyak lagi.

Dari sekian ulama Syi'ah, Syeikh Mufid, Syeikh Thusi, Allamah Hilli, Muhaqqiq Karaki, Muhaqqiq Sabzawari, Marhum Naraqi dan Allamah Na’ini adalah nama-nama ulama besar Syi'ah yang menganut pemikir- an politik reformasi. Oleh karenanya, kebijakan intelek- tual dan praktis yang dilakukan para pemikir ini berada di satu level yang sesuai dengan kondisi zamannya ma- sing-masing. Dalam pandangan jajaran ulama ini, ber- bagai tuntutan pelaksanaan hukum (agama) dikemuka-

p: 109

kan dalam bentuk ekspresi yang menunjukkan langkah kompromistis dan kooperatif dengan penguasa, bukan hendak mengakui status hukum dan legitimitasnya. Ini mirip dengan apa yang dilakukan Ayatullah Na'ini men- genai rezim konstitusional (masyrû teh): ia mengajukan proposal dan solusi dengan mengacu kaidah Ushul Fikih seperti: “beramal sekadar kesanggupan” dan “mengatasi yang lebih-korup dengan yang-korup”.

Tentu saja, beberapa kaidah lain seperti: asas Keniscayaan Pemerintahan (dhorûrot al-hukûmah), asas Yang-terpenting di atas Yang penting” (taqdîm al- ahamm ‘alâ al-muhimm), asas Keadilan Sosial (“adâlat ijtimâ'iyyah), asas Maslahat Islam dan Muslimin (ri’âyat mashlahat al-Islâm wa al-Muslimîn)... jelas berpengaruh dalam keutuhan pemikiran Politik Reformasi, khusus- nya asas Ijtihad yang berfungsi pada hakikatnya sebagai fondasi dan penentu arah semua asas tersebut tadi.

Pemikiran politik Imam Khomeini dan, tentu saja, kebijakan serta gerakan politisnya melawan rezim Pahlevi, dalam satu tahap dari sejarah pemikiran dan aksi politisnya, berkarakter reformis. Sepenggal catatan dari Kasyf Al-Asrør di bawah ini kiranya dapat diamati dan dianalisis dalam wacana ini (reformasi), selain juga mendukung penilaian tentang pemikiran politik ulama Syi'ah di atas:

Telah kami nyatakan bahwa hingga kini, tidak ada seorang fakih pun mengatakan atau menuliskan dalam kitab apa pun bahwa kami (kalangan fukaha) adalah raja dan kekuasaan

p: 110

adalah milik kami. Ya, sebagaimana telah dijelaskan, jika sebuah kekuasaan ataupun pemerintahan terbentuk, setiap orang berakal pasti menilainya sebagai kebaikan dan sesuai kemaslahatan negara dan bangsa. Tentunya, sistem yang didirikan di atas hukum Allah dan keadilan Ilahi adalah sistem yang terbaik. Namun karena sekarang ini sistem dari mereka itu tidak diterima, maka mereka itu juga tidak pernah menentang semi-sistem ini, dan tidak ingin meruntuhkan eksistensi pemerintahan. Dan kalaupun menentang penguasa, penentangan mereka itu tertuju khusus pada pribadi penguasa karena keberadaannya dinilai bertolak belakang dengan kemaslahatan negara. Jadi kalau tidak [bertolak belakang), sampai sekarang ini tidak ada penentangan dari kalangan ini terhadap asas pemerintahan ... Para mujtahid senantiasa, lebih dari yang lain, menghendaki kebaikan dan kemaslahatan negara.(1) Poin mendasar dalam pemikiran politik para mujta- hid terletak pada kalimat “Para mujtahid senantiasa, lebih dari yang lain, menghendaki kebaikan dan kemaslahatan negara”. Dalam kerangka inilah proposal dan solusi Imam Khomeini semestinya dipahami. Di luar itu, justru pemahaman apa pun yang dirumuskan akan terjebak dalam maksud yang tidak dikehendaki penggagasnya ( bi1mà lô yardbộ bibi suôbib ub).

p: 111


1- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrôr, hlm. 186-187.

Pemahaman Imam Khomeini tentang perilaku dan praktik politis para Imam Ahlul Bait, nyatanya, juga tidak berbeda dengan analisisnya mengenai perilaku dan prak- tik politis kalangan ulama dan mujtahid. Menurutnya, kerjasama dengan penguasa zalim (jů’ir) dan ilegal telah ditempuh para Imam Ahlul Bait dalam rangka tujuan ke- baikan dan demi kemaslahatan Muslimin. Jelas, langkah ini bukan berarti melegitimasi pemerintahan zalim atau menafikan perjuangan menegakkan pemerintahan yang haq. Kelak, detail masalah ini akan dibahas dalam BAB V.

Pesan inti dalam perilaku politik para Imam Ahlul Bait dan kalangan mujtahid adalah menjaga eksistensi negara Islam. Kendati demikian, Imam Khomeini tidak hanya memasuki wacana reformasi, tetapi sekalipun telah memaparkan sekian banyak penjelasan tentang kerjasama para Imam Ahlul Bait dengan para penguasa zalim, (1)ia lantas berpaling dari kerjasama bermasalahat itu lalu memaknai ‘menjaga negara Islam’ dalam konteks sebuah gerakan baru, yaitu revolusi, menolak eksistensi rezim Pahlevi, dan mendirikan “pemerintahan Islam”.

Atas dasar itulah titik tekan karya ini terfokus pada pemikiran revolusioner Imam Khomeini dan pemeriksaan gejala-gejala korupnya. Pada intinya, perubahan krusial dalam sejarah pemikiran politik Syi'ah yang digagas dan digerakkan Imam Khomeini di era modern ini ialah proses transformatif dari Pemikiran Reformasi ke Pemikiran

p: 112


1- Ibid., hlm. 225-226.

Revolusi. Selanjutnya, pemikiran terakhir Imam ini akan digali lebih dalam.

Pemikiran Politik Revolusi

Pemikiran ini berusaha mengubah total status quo. Landasan dan tujuannya adalah melaksanakan tugas agama (taklif ilâhî) untuk “menjaga negara Islam”. Inilah ciri dasar pemikiran politik revolusioner Syi'ah dan Islam. Pemikiran semacam itu, selain di zaman sekarang ini, juga sudah dikenal di masa fajar Islam: untuk pertama kalinya digagas oleh Rasulullah, Muhammad Al-Mustafa Saw. Berbasis pada ajaran Islam, beliau berhasil mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islami, memberantas kerusakan fisik dan spiritual dalam jangka waktu yang begitu singkat, dan mewujudkan nilai keutamaan, berkah material dan spiritual. Pengalaman agung ini dideskripsikan Imam Ali bin Abi Thalib demikian:

Sesungguhnya Allah telah mengutus Muham- mad Saw sebagai pemberi peringatan bagi alam semesta dan menjaga amanat atas yang telah di- turunkan. Wahai Arab! Kalian dahulu memiliki keyakinan yang sesat dan hidup dalam kondisi masyarakat yang buruk; kalian hidup di antara cadas dan ular berbisa; kalian meminum air keruh dan memakan hidangan yang keras; ka- lian tumpahkan darah sesama; kalian putuskan hubungan persaudaraan di antara kalian; kalian letakkan berhala di tengah kalian untuk disem-

p: 113

bah, berbagai dosa dan penyimpangan telah ka- lian lakukan.(1) Pemikiran politik Imam Khomeini termasuk pe- mikiran revolusi-Islami terpenting yang digagas dan dipraktikkan di era kontemporer. Pemikiran politiknya mengalami dinamika secara bertahap sepanjang proses pergeseran dari Pemikiran Reformasi ke Pemikiran Revolusi. Di sinilah nilai kekuatan pemikiran ini: sebuah pemikiran yang terbentuk berkat pengamatan akurat terhadap situasi, kondisi, potensi, dan kepercayaan kuat terhadap asas dinamika pemikiran Syi'ah, yakni Ijtihad.

Meskipun memiliki penguasaan yang mendalam tentang berbagai pemikiran reformasi, namun Imam Khomeini melihat bahwa hal itu tidak relevan dengan kondisi sekarang ini. Berangkat dari penilaiannya mengenai berbagai gejala korup, krisis dan penyakit sosial-politik dalam skala politik Iran, dunia Islam dan bahkan tingkat internasional, ia menawarkan rangkaian solusi dan penanganan yang benar-benar praktis, hingga akhirnya ia berhasil mendirikan negara Republik Islam sebagai sarana penanganan problem negara Islam dan dunia internasional.

Di kebanyakan karya dan pidatonya, Imam Khomeini memeriksa teliti berbagai krisis dan korupsi sosial-politis dalam sistem politik dunia di masa lampau dan sekarang, khususnya dunia Islam. Pemeriksaan patologisnya tampak serius terarah pada sistem politik

p: 114


1- Nahj Al-Balaghoh, terjemah dan tafsir Allamah Muhammad Taqi Ja'fari, jld. 5, hlm. 129-130.

kekhilafahan, entah kekhalifahan era pertama, Umayyah, Abbasiyah, Usmaniyah (Otoman), pada sistem politik monarkis, terutama pada dinasti Shafawi, dinasti Qajar dan dinasti Pahlevi, juga pada sistem Republik Islam Iran dan sistem-sistem politik yang mendominasi dunia modern, terutama sistem hubungan internasional dan asas-asas yang berlaku di dalamnya, yakni asas-asas yang, menurut Imam Khomeini, harus dianalisis secara khusus oleh para pemikir yang kompeten di bidangnya.

Dalam karya ini hanya akan ditelaah sekelumit dari rangkaian pemeriksaan itu. Sebagai contoh dan sekedar membuka peluang awal memahami pemikiran Imam Khomeini, tinjauan patologis terhadap sistem politik dinasti Pahlevi akan menjadi topik pembahasan berikut.

Pada gilirannya, akan ditelaah pula di dalamnya berbagai dimensi korupsi ekonomi, politik, sosial, etika, agama, administrasi dan militer.

Sebanding dengan itu, juga akan dianalisis ragam cacat sistem dinasti Shafawi dari sudut pandang Muhaqqiq Sabzawari(1) sebagai seorang ulama reformis, sekaligus komparasinya dengan pemikiran Imam Kho- meini. Dengan begitu, kiranya dapat dipilah segi-segi persamaan dan perbedaannya, diselidiki sebab perbeda- an dua pemikiran ini sehingga bisa membantu dalam

p: 115


1- Seorang ulama besar di era Shafawi. Kifayat Al-Ahkâm, Dzakhîrot Al-Ma'âd fi Syarh Al-Irsyad dan Rowdhot Al-Anwâr Abbâsi adalah beberapa judul dari sekian karya pentingnya. Riwayat hidup dan pemikiran politik Muhaqqiq Sabzawari bisa dirujuk ke Najaf Lakza'i: Andisyeh-e Siyosi-e Muhaqqiq Sabzavori.

memahami pemikiran revolusioner Imam Khomeini dan nilai pentingnya.

Sistematika pembahasan di atas ini otomatis akan menurunkan sejumlah rumusan masalah sekaligus me- rancang jawabannya:

Apa saja gejala krisis dan korupsi politik, ekonomi, agama, etika dan manajemen yang menjadi faktor penye- bab keruntuhan dinasti Shafawi? Bagaimana Muhaqqiq Sabzawari menganalisis gejala itu? Sejauh mana anali- sisnya terbukti akurat? Dalam upaya menghalau proses keruntuhan dinasti Shafawi, proposal dan solusi apa saja yang direkomendasikan Sabzawari kepada Raja Abbas II? Apakah pemikiran politiknya itu reformis ataukah revolusioner? Demikian pula, apa saja gejala korupsi politik, ekono- mi, agama, budaya, etika, militer, dan administrasi yang menjadi faktor penyebab keruntuhan dinasti Pahlevi? Bagaimana Imam Khomeini menganalisis sekian gejala korup itu? Solusi apa yang diajukannya untuk mem- perbaiki kondisi rusak rezim Pahlevi? Apakah solusinya berupa langkah reformasioner ataukah revolusioner? Jawaban atas pertanyaan ini akan diupayakan melalui be- berapa hipotesis di bawah ini:

1. Beranjak dari jenis korupsi yang dihadapi rezim monarkis Shafawi, pemikiran politik Muhaqqiq Sabzawari adalah Pemikiran Reformasi.

2. Mengingat sifat reformis pada pemikiran politik Sabzawari, semua rekomendasi solusinya mengarah pada pembenahan perilaku pribadi raja, sistem

p: 116

administrasi, kondisi kehidupan beragama dan, pada akhirnya, terfokus pada pembenahan internal sistem itu sendiri.

3. Berangkat dari jenis korupsi yang menimpa rezim monarkis Pahlevi, pemikiran politik Imam Khomeini adalah pemikiran revolusioner.

4. Solusi yang diajukan Imam Khomeini juga revolusioner. Yakni, dalam rangka membenahi sistem politik, ia merekomendasikan perubahan total dan pembentukan sistem politik idealisnya.

5. Perbedaan mendasar antara situasi era Sabzawari dan era Imam Khomeini terletak pada independen atau tidak dan antiagama atau tidaknya sistem politik yang berkuasa. Karena sistem politik Shafawi bersifat independen dan secara lahiriah berpihak kepada agama dan ulama, maka pemikiran politik Muhaqqiq Sabzawari juga bersifat reformasioner, sedang pemikiran politik Imam Khomeini bersifat revolusioner karena sistem politik Pahlevi nyatanya bergantung pada pihak asing dan cenderung antiagama. Pada hemat saya, “wacana reformasi” biasanya dominan di tengah pemikiran ulama Syi'ah di berbagai era, khususnya era Shafawi, era Qajar dan era Revolusi Konstitusional. Pemikiran Na'ini, jelas, Pemikiran Reformasi, akan tetapi pemikiran yang berkembang di era Pahlevi, terutama sejak akhir dekade empat puluh (kalender Hijriah Syamsyi'ah, penj.) dapat dianalisis dalam kerangka “wacana revolusi”.

p: 117

Analisis pandangan Muhaqiq Sabzawari akan di- laksanakan dengan mengacu buku Rowdhot Al-Anwâr Abbasi sebagai referensi utama. Identitas beberapa naskah buku yang digunakan di sini ialah naskah manuskrip perpustakaan Ayatullah Mar’asyi Najafi dengan no.

3896, cetakan baru Dar Al-Khilafah, Tehran, tahun 1358 H, dan sebuah naskah yang telah saya teliti dan berada pada Pusat Penelitian Islam, Daftar Tablighat, Qom. Sementara pemikiran Imam Khomeini akan dianalisis melalui karya tulis, ceramah dan surat-suratnya.

Dalam beberapa tempat, analisis akan dilengkapi dengan sejumlah referensi lain yang tertera di bagian catatan kaki buku ini.

Di akhir pendahuluan ini, perlu juga disentuh derajat-penting dan nilai aplikasi topik seperti ini. Topik ini akan menghantarkan kita kepada patologi sistem Republik Islam. Langkah pertama kemunduran ialah anggapan bahwa kita ini dalam kondisi ideal; tidak ada gejala korup dan kendala apa pun yang berpotensi mengancam. Kiranya langkah patologis ini, sebagaimana yang juga ditekankan Imam Khomeini, menjadi basis penelitian lain semisal karya ini, dan turut memberi kontribusi terhadap ketahanan sistem ini.

Patologi Dinasti Shafawi versi Muhaqqiq Sabzawari

Point

Telah dicatat bahwa reformasi adalah motif utama dan tujuan mendasar pemikiran Sabzawari. Setiap manusia reformis, sebelum segala sesuatunya, selalu

p: 118

memikirkan ihwal kemunduran dan berbagai solusinya.

Dalam sub ini akan diperlihatkan bagaimana usaha dan solusi Sabzawari dalam menjaga rezim Shafawi.

Hipotets ini dapat diuji melalui dua jalur:

1. Meneliti motif dan tujuan utama dari penulisan buku Rowdhot Al-Anwar Abbasi.

2. Meneliti isi buku.

Jalur Pertama; Buku Rowdhot Al-Anwâr Abbasi tersusun dari satu pendahuluan dan dua bagian. Di antara isi pendahuluan itu disebutkan:

Pendahuluan tentang filosofi (hikmah) dan pengelolaan Ilahi dalam keberadaan para raja serta berbagai kegunaan yang muncul darinya; tentang resistensi dan stabilitas kekuasaan dan kerajaan; tentang detail sebagian faktor keruntuhan dan kehancuran kekuasaan agar penyelenggara langsung kekuasaan (penguasa) konsisten terhadap faktor resistensi dan stabilitas sebuah rezim serta menghindari sebab keruntuhannya.(1) Di awal Bagian Pertama buku itu, Sabzawari mengu- raikan demikian:

Bagian Pertama tentang apa saja yang niscaya bagi segenap raja untuk meraih kebahagiaan, keselamatan akhirat dan kedekatan diri dengan

p: 119


1- Muhaqqiq Sabzawari: Rowdhot Al-Anwar Abbasi (Maboni-e Andisyeh-e Siyosi va Oyin-e Mamlakatdari), diteliti Najaf Lakza'i, hlm. 20.

Dzat Yang Maha Esa, sehingga pengupayaan- nya berdampak pahala, derajat tinggi, dan selamat dari azab dan murka Ilahi. Hal-hal ini, dalam konteks keduniaan, juga menciptakan keteraturan urusan kekuasaan dan kelanggengan rezim, namun sebaliknya: mengabaikan semua itu mengakibatkan instabilitas kekuasaan dan agama.(1) Sementara di awal Bagian Kedua, ia menuliskan:

Bagian Kedua tentang konsistensi pada kai- dah-kaidah dan kode etik yang harus dipe- gang seorang raja dalam mengurusi kekuasaan, memelihara silsilah kekuasaan, menjaga posisi rezim, menguatkan asas kekuasaan dan menga- dakan upacara kenegaraan, di samping apa yang telah disinggung di Bagian Pertama.(2) Dari catatan di atas, dapat diamati motif utama Sabzawari mengarang buku itu, yaitu mendeskripsikan prinsip-prinsip yang berfungsi melindungi kerajaan dan mencegah keruntuhannya. Banyak masalah lain dikemukakan di sepanjang bab-bab buku terkait motif dan tujuan ini.

Jalur Kedua; Yaitu meneliti isi buku dengan membuat sebuah klasifikasi apa saja yang berada dalam kategori faktor keruntuhan, kelanggengan dan kehancuran sebuah kerajaan. Darinya hipotesis penelitian ini dapat dibuktikan.

p: 120


1- Ibid., hlm. 21.
2- Ibid., hlm. 23.

A. Faktor Ekonomi

Faktor keruntuhan sebuah dinasti dari aspek per- ekonomian mencakup:

1. Kekikiran penguasa: “Ketika seorang raja dikuasai jiwa pelit dan karakter kikir, segenap individu akan lari darinya, kecintaan kepadanya akan hilang dari hati mereka, dan angkatan bersenjata tidak akan berusaha berjuang dan berkorban jiwa demi raja atas dasar suka rela dan kehendak.”(1) Menghambur-hamburkan kekayaan: “Jika seorang raja berlaku boros, berfoya-foya, tidak menimbang pemasukan dengan pengeluaran hingga tidak me- nunaikan anggaran gaji angkatan bersenjata ... ini akan mengakibatkan kudeta dan berakhir dengan keruntuhan rezim. Maka, demikianlah acapkali kas negara tak lagi tersisa dan musuh kuat menyerang kekuasaan raja. Oleh karenanya, seorang raja ha- rus menghemat anggaran pengeluarannya, tidak mengganjar secara berlebihan, dan berusaha keras memakmurkan negara.(2)

B. Faktor Politik, Sosial dan Etika

Faktor keruntuhan sebuah kerajaan dari politik, sosial, dan etika mencakup:

1. “Kerusakan kerajaan, instabilitas dan perpecahan rakyat” (3)

p: 121


1- Ibid., hlm. 58.
2- Ibid.
3- Ibid., hlm. 59.

2. “Faktor terbesar kehancuran kerajaan adalah pertikaian dan permusuhan di kalangan elite dan orang-orang dekat raja. Seperti halnya para bijak mengatakan, “Faktor terbesar kelanggengan kerajaan adalah persatuan kawan dan perpecahan lawan.' Karena dengan demikian, potensi pengabdi raja akan terkuras untuk saling menyingkirkan, bukan untuk melaksanakan tugas kerajaan.”(1) 3. “Kezaliman raja. "(2) Karena, kezaliman mengakibat- kan kerusakan kerajaan dan berkembang sampai perpecahan rakyat. Tatkala kerajaan dan rakyat telah korup, bendahara dan angkatan bersenjata juga turut korup. Dalam keadaan ini, negara terancam serangan musuh yang siap menguasai mereka.

4. “Kezaliman pejabat negara”. (3) 5. “Watak keras dan kata-kata kasar raja, khususnya kepada petinggi dan kalangan elite.(4) Watak keras seorang penguasa terhadap orang-orang dekatnya akan menyebabkan kebencian mereka terhadapnya dan boleh jadi berakhir dengan keputusan mem- bunuhnya.

6. “Raja mengubah perilaku baiknya menjadi buruk, atau menghentikan perangai mulianya”. (5)

p: 122


1- Ibid., hlm. 60.
2- Ibid., hlm. 37.
3- Ibid., hlm. 38.
4- Ibid., hlm. 56.
5- Ibid., hlm. 62.

7. “Ketika transaksi global berlangsung dan masih belum tuntas, belum lagi pembenahan dan perbaikan masih dilaksanakan dalam manajemen urusan, maka seorang raja harus menyiapkan dan memperbaiki segala kebutuhan, menyempurnakan urusan selayak- nya setiap perkara harus ditata, dirinya tidak boleh hanya mengikuti syahwat atau kesenangan apa pun ... Seorang berakal tidak boleh lengah dari segenap tugas kerajaan. Dan pada akhirnya, dalam setiap perkara yang tidak layak dikerjakan hendaknya dia tidak mengejar syahwat, kenikmatan dan kesenangan."(1) 8. “Waktu raja banyak dihabiskan untuk meminum minuman keras, bersenang-senang, mencari kepuas- an dan lalai dari urusan kerajaan”. (2)

C. Faktor Agama

Faktor kehancuran dan keruntuhan sebuah kerajaan dari aspek agama mencakup:

1. Tidak menyukuri karunia Tuhan. Syukur atas setiap karunia seimbang dengan nilai karunia itu sendiri.

Acapkali kebaikan Tuhan kepada hamba-Nya itu melimpah, tingkat syukur juga semakin tinggi lagi.

“Mengingat Tuhan telah memberikan karunia yang begitu agung kepada para raja, mereka harus bersyukur atas tiap-tiap karunia”. (3)

p: 123


1- Ibid., hlm. 53.
2- Ibid., hlm. 39.
3- Ibid., hlm. 34.

2. Syukur atas karunia kekuasaan dan nikmat kekuatan ialah menguatkan kaum lemah, menindak tegas aksi penindasan dan pelaku zalim terhadap kaum lemah, memenuhi hak pihak tertindas dan tidak mengabaikan nasib mereka, mengokohkan agama, memberantas segala bentuk bid'ah, juga bersikap rendah diri. Syukur atas karunia harta benda ialah peduli terhadap nasib kaum fakir dan miskin ....(1) 3. “Sombong dan bangga diri”.(2) Dua karakter ini dinilai sebagai faktor tumbangnya sistem politik karena menjadi penyebab kelalaian terhadap Sumber kekuatan, yaitu Tuhan, juga mengakibatkan pandangan sebelah mata terhadap setiap musuh sehingga menyebabkan kekalahan.

4. “Raja bersikap lancang: berani melakukan kefasikan dan kemaksiatan sampai-sampai me-ngabaikan hukum Tuhan, bahkan mengibarkan bendera kezaliman dan maksiat”. (3)

D. Faktor Administrasi

Pelimpahan tanggung jawab kepada pihak yang tidak kompeten di bidangnya, entah dia itu seorang zalim atau memang bukan spesialis, entah tak terpercaya atau orang busuk-terhina.(4) Dalam penempatan jabatan

p: 124


1- Ibid., hlm. 221.
2- Ibid., hlm. 35.
3- Ibid., hlm. 61.
4- Ibid., hlm. 61.

administratif, Sabzawari meletakkan beberapa syarat yang harus terpenuhi; kelak akan diuraikan pada saatnya.

E. Faktor Militer

“Faktor lain dari keruntuhan sebuah kerajaan adalah ketidakdisiplinan dan kurangnya angkatan bersenjata dari jumlah yang dibutuhkan, atau jumlah yang cukup namun tidak disiplin, atau instruksi raja tidak sampai kepada mereka, atau anggarannya tidak mencukupi gaji mereka, atau raja tidak peduli terhadap urusan militer ...

atau prajurit tidak menjalani latihan militer dan malah sibuk dengan pekerjaan lain”.(1)

F. Faktor Kelanggengan dan Stabilitas Kerajaan

Di sini, ada dua langkah pilihan: pertama, mene- rangkan bahwa menghindari segala faktor keruntuhan, sebagaimana telah disebutkan, adalah pilihan yang mem- fasilitasi faktor kelanggengan. Kedua, menerangkan se- bagian solusi praktis yang telah ditekankan Sabzawari sendiri; ini akan kita jelaskan nanti. Selain menganggap penting menjauhi faktor keruntuhan, Sabzawari juga menunjukkan beberapa langkah praktis. Yang terpen- ting di antaranya adalah:

1. Pentingnya keberadaan angkatan bersenjata yang tangguh dan stabil. “Mengingat keamanan dan stabilitas bukanlah karakter dasar ciri alami dunia

p: 125


1- Ibid., hlm. 59.

ini, yakni alam ini tegak di atas dinamika dan transformasi, maka tidak dibenarkan akal jika suatu saat, dunia ini tenang dan tidak diterpa kerusuhan dan krisis sosial, lalu keadaan ini membuat raja jadi lalai dan tidak berusaha mengatur berbagai urusan militer serta mempersiapkannya dalam jangka waktu yang diperlukan ... Pemikiran ini hanyalah khayalan yang lemah dan tidak sesuai dengan hukum kebijakan dan akal.”(1) 2. Ekspansi ekonomi ke seluruh wilayah (dalam dan luar negeri). Sabzawari mengatakan, “Setiap kali wajah raja serta lingkungan dekatnya berseri-seri di hadapan para tamu, kedatangan warga dari berbagai penjuru akan kian bertambah, orang-orang semakin banyak berdomisili di negerinya, menciptakan kemakmuran negaranya..., keadaan pihak asing dan musuh pun dapat diketahui jelas..., kerajaan yang dahulu berseteru akan menjadi sahabat.... Syarat manajemen kaum saudagar ialah sikap raja kepada mereka dijunjung atas dasar keadilan, kebaikan dan kebajikan, memberikan keringanan sebanyak mungkin dalam urusan perpajakan dan peraturan yang ditetapkan atas mereka. Jika ada suatu gejala buruk dan bid'ah, dia segera menumpasnya dan seyogianya bertindak sedemikian rupa hingga kebaikan raja beserta para elite dan jajaran tinggi kepada para saudagar menjadi buah bibir publik. Ada keuntungan lain yang terdapat dalam perlakuan ini,

p: 126


1- Ibid., hlm. 684.

diantaranya kelanggengan karunia dan kelangsungan pemerintahan. Tentu saja diperlukan sejumlah syarat realisasinya seperti: komitmen raja terhadap janji- janji, jaminan keamanan bagi saudagar asing yang non-Muslim sekalipun, dan pengangkatan tenaga- tenaga yang cakap dan andal di berbagai jabatan administratif, terutama di sepanjang perbatasan negara.”(1) 3. Raja dan para menteri harus mengurangi waktu luang dan bersukaria.

4. Keberadaan sistem informasi yang kuat dan penjagaan dokumen rahasia.

5. Hubungan diplomatik yang kuat.

6. Keharusan musyawarah dalam banyak hal.

7. Keharusan pelaksanaan amar makruf nahi munkar.

8. Keadilan.(2) “Kerajaan yang dihiasi dengan keadilan akan langgeng usia pemerintahannya.”(3) Kemudian Sabzawari menunjukkan sembilan dampak positif keadilan bagi seorang raja, di antaranya kemakmuran negeri.

Sejauh penekanan Sabzawari sendiri, dapat dikla- sifikasi faktor-faktor kelanggengan pemerintahan dalam tiga kategori:

1. Faktor yang secara batiniah terlibat dalam menjaga eksistensi pemerintahan dan kerajaan, seperti halnya

p: 127


1- Ibid., hlm. 713.
2- Ibid., hlm. 39, 153, 433 and 750.
3- Ibid., hlm. 155.

dalam kesendirian dan batinnya, raja harus menjaga hubungan dengan Tuhan hingga Dia senang pada- nya.

2. Faktor yang secara lahiriah berperan dalam me- melihara kerajaan dan pemerintahan, yaitu:

• Menjaga rakyat.

• Menjaga aset.

Menjaga tentara.

• Mengangkat pejabat yang cakap dan kompeten pada posisi administrasi, militer, dll.

3. Faktor yang secara batiniah dan lahiriah berperan dalam memelihara kerajaan dan pemerintahan, yaitu:

• Keadilan dan kebajikan.

• Menindak setiap pelaku penganiayaan dan kezaliman.(1)

Patologi Dinasti Pahlevi versi Imam Khomeini

Faktor Ekonomi

Beberapa poin penting berkaitan dengan bagian ini ialah:

1. Sistem penindas ekonomi yang dipaksakan rezim Pahlevi ke atas rakyat.

2. Menghambat sistem perindustrian yang tepat.

p: 128


1- Ibid., hlm. 157.

3. Melumpuhkan sektor pertanian, peternakan, dan perusakan ekonomi.

4. Mengubah negara menjadi pasar bebas luar negeri.

5. Menjarah sumber dan kekayaan negara.

6. Menjaga status keterbelakangan negara dan bangsa.

Berikut ini kutipan dari pernyataan Imam Khomeini:

Semua perekonomian kita sekarang ini sudah korup dan porak-poranda. Jika ingin perekono- mian ini kembali normal, kita memerlukan be- berapa tahun yang panjang dengan tekad kuat segenap masyarakat, bukan hanya satu peme- rintahan yang dapat melakukannya, bukan juga lapisan tertentu masyarakat. Selama segenap masyarakat tidak bekerja sama, mereka tidak akan bisa mengentaskan kondisi buruk pereko- nomian ini. (1) Memang agenda dahulu itu ialah mereka melakukan pengrusakan: memberangus total sektor pertanian atas nama pembaruan, dan membuat pasar untuk orang-orang Amerika.(2)

Faktor Politik dan Sosial

Menurut Imam Khomeini, titik lemah paling krusial dalam sistem sosial-politik rezim Pahlevi diidentifikasi dalam beberapa poin berikut:

p: 129


1- Oyin-e Engelob-e Eslomi (Guzideh-i az Andisye va Oro-ye Emom Khomeini), hlm. 159-160
2- Ibid., hlm. 160.

1. Ketergantungan pada kekuatan asing, terutama Amerika.

2. Kediktatoran.

3. Sistem monarkis.

4. Politik antiagama 5. Politik antirakyat.

Imam Khomeini menuliskan:

Asas kebangkitan (Islami) ini berasal dari dua faktor: pertama, dari banyaknya tekanan luar dan dalam negeri, para penjajah luar dan dalam negeri, serta berbagai krisis hebat yang selama lima puluh tahun belakangan ini, rakyat Iran tidak pernah mengalami hari yang cerah. Kedua, harapan kita membentuk suatu pemerintahan Islami, satu pemerintahan yang adil, satu rezim yang memerangi rezim despotik, dan harapan kita agar hukum Islami diterapkan di Iran seperti era awal Islam(1)

Faktor Agama, Etika dan Budaya

Dari sekian pernyataan Imam Khomeini, faktor ini mendapatkan perhatian lebih khusus. Beberapa poin terpenting di antaranya ialah:

1. Propaganda pemisahan agama dari politik (sekularisasi) 2. Propaganda anti-Islam.

p: 130


1- Oyin-e Engelob-e Eslomi (Guzineh-i az Andisyeh va Oro-ye Emom Khomeini), hal. 160. Lihat juga Gulamridha Aura'i: Andisyeh-e Emom Khomeini dar Boreh-e Taghyir-e Jomi'eh.

3. Propaganda paham selain Islam dan penawaran aliran-aliran yang rapuh dan menyesatkan.

4. Inferioritas dan pesimisme.

5. Mengasingkan rakyat dari kehidupan spiritual.

6. Merusak generasi muda.

7. Menyebarkan dekadensi moral melalui media massa.

8. Memperluas pusat kerusakan moral.

9. Merusak daya pikir.

10. Melarang pemakaian jilbab.

11. Menciptakan dominasi dan kepercayaan pada budaya Barat.

12. Menanamkan sikap apriori dan sinis terhadap ulama dan lingkungan universitas.

Berikut kita akan menyimak sebagian dari perkataan Imam Khomeini berkaitan dengan masalah ini:

Sekarang, produk-produk peradaban yang, di tempat lain, di negara-negara maju, digunakan dengan benar, justru telah digunakan dengan cara korup dan destruktif tatkala masuk ke dalam negara kita atau ke negara yang mirip dengan negara kita ini. Misalnya, sinema. Boleh jadi, seseorang memutar di bioskp film-film yang etis dan mendidik. Tentu tidak ada satu pihak pun yang melarangnya. Ini berbeda dengan film yang dibuat untuk merusak moral kawula muda kita: kalau beberapa hari saja anak-anak muda kita pergi dan berada di bioskop penayangan

p: 131

film yang umum pada zaman ini dan zaman kerajaan Syah [Pahlevi], mereka keluar [dari bioskop) dengan moralitas yang sudah rusak dan tak lagi berguna bagi masyarakat. Inilah yang memang diinginkan mereka... Semua program yang mereka buat: program budaya, program seni, dan apa saja yang mereka buat adalah agenda kolonialisme: mereka ingin kaum muda kita menjadi anak-anak yang menguntungkan kepentingan mereka,... Sebegitu banyak pusat kerusakan moral di Tehran sekarang ini sampai- sampai melebihi jumlah perpustakaan dan pusat pendidikan dan perguruan.(1) Kerusakan moral yang terjadi di Iran pada masa kekuasaan bapak dan anak ini (Reza Khan dan Muhammad Reza), dan kerusakan yang terjadi di negara ini dan terus mereka usahakan dengan nama “kemajuan”, “perkembangan”, dan “peradaban besar”, semua ini bisa dibenahi dalam waktu yang lama. Yang paling merugikan negara kita adalah usaha mereka merusak sumber daya manusia kita dan tidak memberi peluang [bagi bangsa) untuk maju dan berkembang. (2) Pada masa itu, dengan alasan hendak member- dayakan separuh penduduk Iran, orang biadab dan kejam ini (Reza Khan) melakukan kejahatan, yakni melarang pemakaian jilbab. Justru, alih-

p: 132


1- Ibid., hal. 156; Ghulamreza Aura'i: op. cit.
2- Ibid., hlm. 158 and159.

alih menggiatkan separuh penduduk Iran, dia malah menonaktifkan separuh lainnya yang diisi laki-laki. (1) Usaha eliminasi Islam dan ulama dari jalan penjajahan, menyebarkan produk hukum negara-negara asing di tengah masyarakat Muslim, menerjang hukum Islam, menistakan martabat Al-Qur'an... hanyalah sebagian dari rangkaian agenda antiagama rezim Pahlevi yang menjadi fokus Imam Khomeini.

Faktor Militer

Kesalahan terbesar rezim Pahlevi dari aspek militer dalam sorotan Imam Khomeini ialah:

1. Mengubah negara Iran menjadi basis militer Barat.

2. Membeli persenjataan dari Barat tanpa peduli terhadap kepentingan negara. Berikut ini beberapa kutipan dari sinyalemen Imam Khomeini:

Iran adalah salah satu dari basis yang mereka inginkan untuk dilengkapi persenjataan... Me- reka membangun pangkalan militer di Iran jika suatu saat terjadi peperangan.(2) Mereka mengu- ras minyak kita, membawa masuk persenjataan ke Iran untuk kepentingan mereka, memba- ngun pangkalan militer.(3) Saya tidak mengerti tujuan membeli persenjataan ini: apakah untuk mengusir para penguasa dan penjajah, sedang-

p: 133


1- Ibid., hal. 159.
2- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 2, hlm. 132 and133.
3- Ibid., hal. 132.

kan rezim ini sendiri boneka buatan mereka; ataukah memang untuk menjalankan rencana penjarahan Amerika, sebuah negara yang ingin memperkuat basis militernya di Iran lantaran anggarannya yang sudah melemah dan politik yang didasari penghancuran bangsa-bangsa me- lalui kekuatan dan kekayaannya sendiri.(1)

Faktor Kelanggengan dan Stabilitas Negara

Perbedaan solusi Sabzawari dan solusi Imam Khomeini berawal dari perbedaan antara dua sistem politik; Shafawi dan Pahlevi. Perbedaan sistem ini dapat disimpulkan dalam dua poin utama:

Pertama; Dalam sistem politik Shafawi, ada klaim komitmen pada agama; hal yang tidak terdapat dalam sistem politik Pahlevi yang justru antiagama.

Karena itu, jajaran elite dinasti Shafawi kerap berusaha memperkokoh dasar-dasar legitimasi kekuasaan mereka dengan menampilkan diri sebagai pelindung agama [Islam] dan mazhab [Syi'ah]. Sementara rezim Pahlevi:

kian hari krisis legitimasi kekuasaannya semakin besar manakala mengambil langkah dan tindakan antiagama yang banyak di antaranya dilakukan secara terang- terangan seperti: melarang hijab, mengganti kalender Hijriah dengan kalender kerajaan, menjalin hubungan dengan Israel, bergantung pada Amerika, menempatkan orang-orang sekte sesat Baha'i di jabatan penting negara.

Puncak perlawanan terhadap agama dicapai rezim Pahlevi

p: 134


1- Ibid., jld. 1, hal. 201.

dengan mengasingkan Imam Khomeini ke Turki pada 13 Aban 1343 HS (4 November 1964 M).

Kedua; Dengan segala kelemahannya, rezim Shafawi bukan hanya lepas dari ketergantungan pada kekuatan asing, tetapi juga percaya pada potensi dan budaya lokal bangsa. Akan halnya rezim Pahlevi, sejak awal eksistensinya, berkuasa berkat kekuatan dan dukungan pihak asing: negara-negara sekutu, terutama Inggris, menggulingkan Reza Khan dari tahta kerajaan lalu mendudukkan Muhammad Reza sebagai penggantinya.

Demikian juga dalam Kudeta 28 Murdad 1332 (19 Agustus 1953 M), dengan kerja sama dinas-dinas intelejen Amerika dan Inggris, Muhammad Reza Pahlevi kembali merebut kekuasaan, dan terhitung dari tahun 1340 HS (1961 M) sampai seterusnya, praktis menjadi alat politik Amerika di Iran.

Poin ini jelas menjadi salah satu titik perbedaan penting antara dua dinasti itu. Ketergantungan dinasti Pahlevi [pada pihak asing] bertentangan dengan prinsip Al-Qur'an, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (Al-Nisa' [4]: 141).

Karena itulah tidak ada seorang pun yang menerima sistem politik ini, dan karena itu pula tidak ada solusi dan proposal reformatif yang layak diajukan. Sekalipun Imam Khomeini pada awalnya menawarkan proposal reformasi seperti: menentang rancangan UU Perserikatan Federasi dan Provinsi (anjumanho-ye eyolati va veloyati) serta menentang Kapitalisasi, namun manakala kondisi,

p: 135

potensi, dan fasilitas pendukung tersedia, ia mengalihkan strateginya dalam bentuk langkah-langkah revolusioner.

Pembentukan pemerintahan Islam yang menggan- tikan sistem monarki merupakan proposal terpenting Imam Khomeini. Pemerintahan Islam adalah satu-sa- tunya rezim yang tidak menyimpan gejala korup dan rangkaian cacat tersebut di atas itu. Berangkat dari so- rotan kritis terhadap perbedaan sistem politik Pahlevi dan sistem monarkis sebelumnya, Imam Khomeini me- ngangkat tuntutan membentuk pemerintahan Islam.

“Kita ingin pemerintahan Islami” dan “Mam- pus kerajaan kotor!” adalah slogan yang kita teriakkan dalam rangka melihat (dan kita sen- diri tahu juga suatu hari nanti akan membaca sejarah) bahwa kerajaan-kerajaan sebelumnya, siapapun itu, adalah para penguasa tiran, akan tetapi pengkhianatan mereka masih sedikit. Me- mang, mereka itu penguasa yang jahat, kejam, penindas rakyat, akan tetapi mereka tidak per- nah menyerahkan negara dan kepentingannya kepada pihak asing. Saya tidak pernah melihat satu pun dari kerajaan sebelum [Pahlevi] men- jual negaranya kepada satu pihak dan menyerah- kan kekayaan negaranya kepada orang lain. Tapi begitulah yang justru terjadi akhir-akhir ini, ter- utama pada masa bapak ini. Di masa raja yang korup ini, persoalan-persoalan itu muncul: dia hancurkan apa saja yang kita miliki. Beginilah kehidupan mereka, sedangkan kehidupan kalian

p: 136

adalah apa yang sekarang kalian lihat sendiri (1) Kami ingin agar era awal Islam diperhatikan, yaitu inti Islam, Islam itu sendiri dan hakikat Islam. Marilah kita lihat, apakah pemerintahan Islam ini adalah rezim yang demokratis ataukah rezim despotik?(2) Cita-cita dan idealisme Imam Khomeini(3) dapat dideskripsikan secara ringkas sebagai berikut:

1. Mendirikan pemerintahan Islami dengan model Republik Islam.

2. Memutus ketergantungan pada pihak asing.

3. Melindungi kaum Muslimin dan masyarakat lemah dunia.

4. Meraih independensi di bidang ekonomi, budaya, dan politik.

5. Menegakkan kedaulatan agama [Islam] dan nilai- nilai religiusnya di tengah masyarakat.

6. Memiliki angkatan bersenjata yang tangguh, inde- penden, dan sesuai dengan kemaslahatan dan ke- pentingan negara, dunia Islam, juga seimbang de- ngan bahaya yang mengancam negara.

p: 137


1- Ayin-e Engelob-e Eslomi (Guzineh-i az Andisyeh va Oro-ye Emom Khomeini), hal. 359-360.
2- Ibid., hal. 360.
3- Selengkapnya, rujuk pernyataan Imam Khomeini di beberapa sumber berikut: Ibid.; Ghulamreza Avra'i: Andisyeh-e Emom Khomeini dar Boreh-e Taghyir-e Jomi'eh; N. Lakza'i and M. Mir Ahmadi: Zamineho-ye Engelob-e Eslomi-e Iron.

7. Menempatkan orang-orang yang kompeten pada jabatan penting ataupun tidak.

8. Membentuk manusia Islami.

9. Menciptakan iklim kebebasan.

Dalam kesimpulan dan tinjauan sepintas, tampak bagaimana Imam Khomeini menyatakan dengan tegas bahwa “kebangkitan demi Allah” merupakan satu- satunya jalan memperbaiki dunia, dan “perjuangan demi kepentingan pribadi” hanyalah penyebab utama keterpurukan manusia, terutama Muslimin dan dunia Islam. Ketegasan ini tampak dalam dokumen pertama pergerakannya sebagai indikator visi Ilahinya yang luas dan tajam. Inilah topik pertama yang mengintroduksi Shahifeh-e Núr. Penyusunan dokumen itu terjadi pada Jumadil Awal 1363 H. Beberapa di antaranya dapat diamati dalam kutipan berikut ini:

Allah Swt berfirman, “Katakanlah, "Sesungguh- nya aku hanya menasihatimu dengan satu hal:

agar kamu bangkit demi Allah secara berdua atau sendirian.” Dalam firman yang mulia ini, Allah telah mengungkapkan awal alam gelap materi sampai akhir perjalanan manusia. Dia juga telah memilih yang terbaik dari segenap nasihat. Maka Dia menyatakan sebuah nasihat kepada manusia; kalimat itu hanyalah jalan perbaikan dunia. Perlawanan adalah untuk Allah yang telah menyampaikan Ibrahim Khalilullah sampai derajat khullah 'Kekasih Allah'...; perlawanan demi Allah yang memenangkan

p: 138

Nabi Musa dengan sepotong tongkat atas orang-orang Firaun dan menghancurkan tahta dan singgasana kekuasaannya..., perlawanan demi Allah yang telah memenangkan Rasulullah yang hanya seorang diri atas segala tradisi dan kepercayaan Jahiliyah, membuang jauh berhala-berhala dari Ka'bah dan mengganti- nya dengan tauhid dan takwa... mementingkan diri sendiri dan meninggalkan perlawanan demi Allah telah membuat kita mengalami nasib kelam ini, seluruh dunia menjadi menang atas kita, dan negara-negara Islam jatuh di bawah kekuatan asing. Perlawanan untuk kepentingan pribadilah yang mencekik dan memusnahkan semangat persatuan dan persaudaraan di negara- negara Islam...; perlawanan untuk kepentingan pribadilah yang membuat seorang Mazandaran yang bodoh (Reza Khan) itu jadi berkuasa atas sebuah bangsa jutaan orang sampai-sampai memperlakukan kekayaan dan rakyat dengan sesuka nafsunya; perlawanan untuk kepentingan pribadilah yang sekarang ini membuat beberapa anak jalanan (maksudnya, Muhammad Reza 22 tahun dan kroni-kroninya) jadi berkuasa atas seluruh harta dan urusan Muslimin.(1) Seperti yang kita saksikan, sebab utama segala masalah, menurut Imam Khomeini, berasal dari diri masyarakat itu sendiri. Pada hakikatnya, akar segenap

p: 139


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 1, hal. 3.

masalah berawal dari dalam. Kalau penjajah berkuasa atas bangsa Iran dan Syah yang diktator dan antiagama itu berkuasa atas Iran, semuanya ini berasal dari kenyataan bahwa gelombang perlawanan itu bukan karena Allah.

Memang, ada perlawanan tetapi, hanya karena tidak demi Allah, gagal dan tidak menghasilkan apa-apa.

Komparasi Dua Pemikiran: Reformasi dan Revolusi

Berangkat dari uraian-uraian di atas, dapat kita sim- pulkan bahwa kedua pemikir besar itu memiliki sema- ngat kuat pada konteks zamannya masing-masing untuk melakukan pembenahan dan perbaikan di bidang agama, politik, ekonomi, sosial dan militer. Pada hakikatnya, pe- mikiran politik mereka ini merupakan sebuah solusi bagi persoalan, krisis, dan kebutuhan pada masanya masing- masing. Hanya saja perbedaan kondisilah yang membuat pengajuan proposal dan solusi jadi beragam.

Tampak bagaimana dinasti Shafawi berkuasa seba- gai rezim yang independen dan mengandalkan potensi lokal dan sumber daya pribumi, dan pada saat yang sama, mengklaim diri sebagai kekuasaan yang konsisten, pelindung agama, dan percaya pada ulama. Pendirian inilah yang membatasi pemikiran politik Sabzawari ha- nya mereformasi kondisi kerajaan dan perilaku pribadi raja. Cukup jelas bahwa pemikiran politik, khususnya di zaman dahulu, berusaha mengisi jawaban atas persoalan:

siapakah yang layak menjadi penguasa? Apa saja kriteria seorang pemimpin bangsa? Tentunya, Sabzawari sendiri tidak sekalipun meng- akui dinasti Shafawi sebagai rezim yang legitimate dan

p: 140

berdaulat. Bahkan, seperti yang telah dicatat sebelum nya,(1) dalam statusnya sebagai filosof sekaligus fakih mujtahid, ia memerintahkan raja Shafawi agar mengam- bil langkah-langkah reformasi yang ia maksudkan, sebab ia percaya bahwa “khalifah dan imam harus orang yang paling tahu [agama] »»(2) dan “wajib bagi semua orang bertaklid pada mujtahid yang masih hidup”. (3) Ia sendiri mengklaim dirinya sebagai “orang yang paling tahu” dan “mujtahid yang masih hidup” dan, oleh karena itu, Raja Abbas II harus bertaklid kepadanya dalam menyeleng- garakan pemerintahan. Pada masa berikutnya, pemikir- an ini di era dinasti Qajar kembali bangkit dari dalam pemikiran politik Ayatullah Naini dalam kerangka “Me- ngatasi Yang-terkorup dengan Yang-korup” yang, tentu saja, patut dianalisis lebih intensif pada tempatnya.

Beda halnya dinasti Pahlevi, rezim yang dependen pada pihak asing (Inggris dan Amerika), sekaligus ber- tentangan dengan hampir keseluruhan elemen kekuat- an dalam negeri dan rakyat (Muslimin). Ini dari satu sisi yang diperpuruk sisi lain: bagaimana dependensi itu ternyata telah menyebabkan dinasti ini mengambil pendirian antiagama seperti; melarang hijab, menga- singkan ulama dan menjebloskan mereka ke penjara, mengubah kalender Hijriah menjadi kalender kerajaan.

Semua tindakan inilah yang kemudian mendesak Imam

p: 141


1- Najaf Lakza'i: Andisyeh-e Siyosi-e Muhaqqiq Sabzavori, hlm. 141.
2- Muhaqqiq Sabzawari: Rowdhot Al-Anwar Abbasi, hlm. 457.
3- Ibid., hal 104.

Khomeini melangkah masuk dalam wacana revolusi dan mengemukakan proposal perubahan total rezim yang berkuasa.

Slogan Esteqlol, Ozodi, Jumhuri-e Eslomi (ke- merdekaan, kebebasan, Republik Islam) secara akurat membidik gejala-gejala ini. Kemerdekaan berarti me- nolak dependensi pada pihak asing, kebebasan berarti menolak kezaliman, kediktatoran dan rezim kerajaan, sementara Republik Islam menampilkan suatu model sistem sosial-politik yang merepresentasikan cita-cita bangsa Iran.

Uraian di atas ini semacam penegasan terhadap teori sistem global Valerstein yang harus ditelaah secara khusus. Pada hemat Valerstein, Iran di era dinasti Shafawi berdiri di jajaran negara-negara independen dan sentral dunia. Sejak era dinasti Qajari dan seterusnya, perlahan- lahan Iran terpinggirkan. Sampai era Pahlevi, dinasti ini telah menempatkan Iran di deretan negara-negara pinggiran dan bergantung sepenuhnya pada negara sentral atau semi pinggiran. Muhammad Reza berusaha bagaimana caranya hingga Iran berada di tingkat negara semi pinggiran, namun selalu saja gagal.(1) Dalam bab selanjutnya, akan ditelaah anasir statis dari pemikiran politik Imam Khomeini. Di sana pula akan diuraikan metode kedua analisis faktor kedinamisan dan perkembangan pemikiran ini.

p: 142


1- John Forand: Muqawamat-e Syekanandeh: Torikh-e Tahavulat-e Ijtimai-e Iran az Shavawiyah ta Sal-ho-ye pas az Enqelob-e Eslomi, terj. Ahmad Tadayyun, hlm. 21-36.

photo

BAB V

BASIS PEMIKIRAN POLITIK IMAM KHOMEINI

p: 143

p: 144

preasumsi saya di sini menyatakan bahwa suatu pe- mikiran yang logis dan efisien adalah pemikiran yang, selain mengandung anasir statis, juga memiliki fleksibili- tas. Pada bab sebelumnya, telah kita rumuskan bahwa pemikiran politik adalah upaya menentukan tujuan yang sebatas rasional mungkin direalisasi, dan menentukan berbagai sarana yang-sebatas rasional-dapat dipakai untuk meraih tujuan tersebut. Juga telah kita tegaskan bahwa tujuan ini harus sejalan dengan akal dan rasio.

Oleh karena itu pemikiran politik mempunyai elemen-elemen berikut ini:

1. Identifikasi tujuan yang rasional.

2. Identifikasi sarana penting pencapaian tujuan.

3. Ke-rasional-an.

Adalah fakta konkret bahwa dalam arena perpolitik- an, kehidupan, dan garis waktu, problematika manusia itu bermunculan serbabaru, belum lagi situasi-kondisi selalu berubah-ubah. Ini mendesak seorang cendeki- awan dan pemikir politik agar, sesuai kondisi dan fasili- tasnya, dapat menentukan tujuan yang rasional dan mekanisme pencapaiannya. Dengan kata lain, dia mem- perhatikan asas Kadar Kesanggupan dan asas Yang-ter- penting di atas Yang penting. Dengan demikian, selain memasilitasinya hingga mampu menganalisis aneka pe- mikiran politik para tokoh dengan berbagai perspektif yang berkembang di dalam tubuh satu aliran pemikiran, dia juga dapat meneliti cermat dinamika pemikiran poli- tik seorang tokoh dalam rentang periode dan fase yang berbeda-beda.

p: 145

Kenyataannya, para pemikir Muslim sudah sejak lama mengangkat penting asas-asas itu. Dan, masih tepat kiranya memulai bab ini dengan satu contoh klasik.

Nashiruddin Thusi dalam Akhloq-e Noshiri menulis:

Perlu diketahui bahwa prinsip maslahat dan kebaikan dalam perbuatan manusia: prinsip ke- baikan yang merupakan implikasi dari tatanan perkara dan keadaan mereka, pada dasarnya ialah bersifat natural (tob) atau konvensional (wadh'). Apa saja yang prinsip maslahatnya bersifat natural adalah sesuatu yang rinciannya diuraikan sesuai keniscayaan akal kaum bijak dan pengalaman kalangan cendekia, dan itu tidak akan berlainan dan berubah dengan pe- rubahan masa, tradisi dan efek. Dan hal apa saja yang prinsip maslahatnya bersifat konvensional:

jika sebab konvensionalitasnya adalah kesepa- katan pendapat sebuah komunitas, maka hal itulah yang dikenal sebagai adat istiadat; namun jika sebabnya berasal dari ajaran orang besar seperti nabi atau imam [maksum], maka hal itu dikenal sebagai ajaran Ilahi. Ajaran ini sendiri mengandung tiga macam: pertama, peribadah- an dan hukum-hukumnya; kedua, pernikahan dan transaksi lainnya; dan ketiga, hal-hal yang berkaitan dengan warga kota dan wilayah seper- ti: perbatasan dan politik, sementara ilmu ten- tangnya dikenal juga sebagai ilmu fikih. Meng- ingat prinsip maslahat dalam jenis perbuatan ini bukan semata-mata bersifat natural, tetapi juga

p: 146

konvensional, maka akan berubah seiring de- ngan perubahan kondisi, orang, era, dan perbe- daan masa, bangsa, dan negeri.(1) Poin penting dalam teks Nashiruddin Thusi ini adalah fokus khasnya tentang adanya dua kelompok unsur dalam pemikiran-pemikiran politik. Yakni, ada pemikiran politik yang merupakan bagian dari kategori Filsafat Politik: pemikiran ini mengandung asas-asas statis (ushủl tsåbitah). Ada pula pemikiran politik yang pada umumnya bagian dari Fikih Politik dan dinamis seiring dengan perubahan kondisi, masa, keragaman bangsa, dan negeri.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, sebagian dari pemikiran dan pandangan Imam Khomeini meng- alami dinamika dan perubahan sesuai dengan kebutuh- an zaman, ruang, situasi-kondisi, fasilitas, dll. Namun, yang terpenting di dalamnya, dinamika itu berlangsung dalam kerangka asas-asas statis yang menjadi titik fokus bab ini.

Sejauh penelitian penulis, terdapat sejumlah asas bisa dirangkum di bawah ini:

1. Asas Tugas.

2. Asas Maslahat Islam.

3. Asas Maslahat Muslimin.

4. Asas Dakwah Islam.

5. Asas Antidominasi Asing.

6. Asas Yang-terpenting di atas Yang-penting.

p: 147


1- Nashiruddin Thusi: Akhloq-e Noshiri, hlm. 40-41.

7. Asas Kadar Kesanggupan.

8. Asas Keadilan.

9. Asas Keniscayaan Pemerintahan.

10. Asas Kepemimpinan Ilahi.

11. Asas Kebertahapan.

12. Asas Ruang dan Waktu.

13. Dan yang terpenting adalah asas Ijtihad yang merupakan sumber dan pengarah rangkaian asas ini ataupun asas-asas lain yang boleh jadi ada tetapi tidak terdaftar di atas ini. Dalam hal ini sangatlah penting untuk mengajukan bukti dan landasan bagi sebagian asas ini dari pernyataan Imam Khomeini atau para pendukungnya.

Asas Tugas

Asas deontologis ini, yakni bertindak atas dasar tugas (taklif) dan kewajiban agama dan bahkan mengubah tindakan lantaran berubahnya kewajiban, mempunyai posisi yang sangat signifikan dalam memahami pemi- kiran dan sikap politik Imam Khomeini. Dia sendiri menjelaskan bahwa seluruh tindakan dibangun di atas asas Tugas:

Kita harus beramal dan bertindak sesuai tugas.

Kita memiliki tugas melawan setiap kezaliman...

Kita diwajibkan oleh Allah untuk melawan setiap kezaliman dan penindasan. Kita harus melawan semua bentuk kekejaman dan penumpah darah ini.(1)

p: 148


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr,jld. 6, hlm. 220.

Teks pernyataan ini, selain menegaskan tugas sebagai asas tindakan Imam Khomeini, juga menyerukan para pengikutnya agar membangun pola tindak mereka di atas asas Tugas. Dari sini tampak jelas bagaimana para mujtahid dan taqlidmarja“ aktif sebagai juru penentu tugas bagi para pengikutnya. Bertindak berasaskan tugas, entah dalam rangka meraih keuntungan duniawi atau tidak, jelas berdampak pahala ukhrawi dan ketenteraman jiwa:

Jangan sampai kita takut kalah! Yang justru harus kita takutkan ialah tidak melaksanakan tugas. Ketakutan berasal dari diri kita sendiri.

Jika kita melaksanakan semua tugas yang ditentukan Allah Swt, kita tidak perlu lagi takut kalah [dari siapapun); apakah itu dari Timur, Barat, dari dalam ataupun luar. Tapi jika tidak melaksanakan tugas, kita akan menjadi orang- orang yang kalah. Kita sendiri yang membuat diri kita jadi kalah.(1) Tugas yang disampaikan para pemimpin agama kepada masyarakat pada prinsipnya merupakan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah. Kepada jajaran angkatan perang, Imam Khomeini mengatakan:

Kalian jangan peduli siapa saya dan siapa dia, tapi sadarilah bahwa Allah telah memberikan tugas kepada kita; Allah telah menentukan tugas dan

p: 149


1- Ibid., jld. 15, hlm. 78.

kita sedang melaksanakan tugas itu. Ketahuilah bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat kalian, insya-Allah, pasti terjamin.(1) Di antara landasan yang mendasari asas Tugas Imam Khomeini ini ialah pola hidup (siroh) para imam maksum:

Sekarang ini, kita sedang melakukan satu tugas agama, tugas syariat kita. Jika kita tidak berhasil melakukannya, ketahuilah bahwa Imam Ali juga tidak berhasil menumpas Muawiyah, tetapi dia telah melakukan tugasnya. Kita pun sedang melaksanakan tugas kita.(2) Dalam urusan politik dan sosial, kadangkala Imam Khomeini membuat kebijakan sendiri. Namun adakalanya juga suatu kebijakan ditempuhnya melalui musyawarah dengan para pakar dalam bidang terkait. Putranya, Ahmad Khomeini, dalam mengurai metode sang ayah dalam menyusun buku Kasyf Al-Asrør, mengatakan:

Imam [Khomeini] berkata, “Ketika berangkat ke Madrasah Faydhiyah, aku menjumpai sekelompok orang sedang membahas buku Asrar-e Hezar Saleh (Rahasia Seribu Tahun).

Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku akan mengajar akhlak, padahal tema-tema akhlak itu sudah dibahas luas di lingkungan pendidikan agama Hauzah”. Akhirnya Imam memutuskan

p: 150


1- Ibid., jld. 19, hlm. 261.
2- Kazim Qadhizadeh: Andisyeho-ye Figh-e Siyosi-e Emom Khomeini, hlm. 258.

untuk kembali keluar dari Madrasah Faydhiyah dan tidak jadi mengajar. Selama kira-kira sebulan sampai empat puluh hari, beliau tinggalkan semua pekerjaan hanya untuk menulis buku Kasyf Al-Asrør (Menyibak Rahasia).(1) Dalam hal ini, kita bisa memahami bahwa identifikasi Imam Khomeini dalam perubahan tugas menyebab- kan perubahan pada tindakannya, yaitu dari mengajar akhlak ke mengarang buku. Dalam perang Iran-Irak, tepatnya dalam menerima Resolusi DK-PBB no. 598 dan mengubah pendirian Imam untuk menghentikan perang dan menerima gencatan senjata, para ahli telah menyakinkannya bahwa telah terjadi perubahan dalam tugas:

Sampai beberapa hari lalu, saya masih percaya dengan strategi pertahanan dan pendirian yang telah diumumkan dalam perang, dan saya masih melihat maslahat negara dan revolusi terletak pada pelaksanaan semua itu. Tetapi karena kejadian dan faktor tertentu yang sekarang ini tidak bisa saya sampaikan dan insya-Allah kelak akan tersingkap jelas, begitu juga berdasarkan pendapat semua pakar politik dan militer dari jajaran tinggi negara yang saya percayai keteguhan dan integritas mereka, maka saya setuju untuk menerima resolusi dan gencatan senjata.(2)

p: 151


1- Hudhûr, no. 1, hlm. 7.
2- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 21, hlm. 112.

Jadi, sebagai asas statis, deontologi dan asas Tugas merupakan pembentuk keputusan dan tindakan dalam berbagai keadaan. Ini yang juga diungkapkan pemimipin tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, tentang peran asas ini dalam pola kehidupan sang pendahulunya:

Satu prinsip dalam kehidupan Imam adalah dirinya melebur dalam keinginan Tuhan dan tugas agama; tidak ada hal lain baginya kecuali melaksanakan tugas. (1) Berkali-kali dia menegaskan bahwa kita bekerja tidak untuk meraih hasil, tetapi kita diperin- tahkan untuk melaksanakan tugas.(2) Tentu saja, salah satu syarat terwujudnya suatu tugas (taklîf) ialah adanya kesanggupan untuk melaksanakan- nya. Jadi, ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi untuk melaksanakan tugas dan perintah Ilahi. “Sesung- guhnya Allah tidak membebani seseorang kecuali sekadar kemampuannya” (Al-Baqarah [2]: 286). Menurut ayat ini, sudah maklum bahwa seluruh asas yang telah dise- butkan itu komplementer satu dengan lainnya. Pada asas berikut akan jelas dimensi lain dari asas Tugas ini.

Asas Maslahat Islam dan Muslimin

Imam Khomeini senantiasa menegaskan agar suatu

p: 152


1- Hadits-e Weloyat, jld. 1, hlm. 4.
2- Ibid., hlm. 34.

tindakan diambil manakala di dalamnya terdapat maslahat Islam dan Muslimin.

Kalau suatu saat saya, semoga Allah tidak meng- hendaki, melihat bahwa maslahat Islam menun- tut saya berbicara, saya akan berbicara dan me- ngamalkannya. Alhamdulillah saya tidak takut dari apa pun. Demi Allah! Sampai sekarang saya tidak pernah takut. (1) Bahkan dalam perkara penceraian bagi perempuan, seorang fakih bisa memutuskan perkara itu sesuai pe- ngaduan dan tuntutan perempuan (istri) setelah mem- pertimbangkan asas Maslahat Islam dan Muslimin, seka- lipun suami tidak menerimanya.

Sepakatilah Wilayah Fakih ini! Konsep ini meru- pakan sebuah karunia dari Allah Swt... Istri-istri yang sekarang memiliki suami: apa yang harus mereka lakukan ketika tertimpa perkara? Me- reka merujuk ke mana seorang fakih berada...

ke pengadilan yang di sana seorang fakih berada dan menuntaskan perkara. Jika [pengaduan] mereka benar, fakih akan menindak suami dan memaksanya untuk berbuat baik. Kalau dia ti- dak berbuat demikian, maka fakih menjatuhkan talak, dan punya kekuasaan atas perkara ini. Jika dia melihat perkara itu berdampak pada keru- sakan dan sebuah kehidupan menjadi kacau, maka dia memutuskan talak. Jadi, walaupun ta- lak itu berada di tangan lelaki, tetapi seorang

p: 153


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 1, hlm. 293.

fakih berkuasa [menjatuhkan talak] ketika me- nemukan maslahat Islam dan Muslimin, dan ia menjatuhkan talak manakala melihat persoalan tidak bisa dituntaskan kecuali dengan cara itu (talak).(1) Dalam merespon Resolusi DK-PBB no. 598, Imam Khomeini menerimanya dengan argumentasi asas Maslahat Islam dan Muslimin:

Dan Allah Tahu kalau bukan karena sebuah motif yang mengharuskan kita semua berkorban dalam rangka maslahat Islam dan Muslimin, maka saya tidak akan pernah setuju dengan sikap [menerima resolusi] ini; kematian dan kesyahidan bagiku lebih melegakan.(2) Dalam perspektif Imam Khomeini, maslahat Islam tampak identik dengan maslahat Muslimin:

Kebangkitan kalian harus semata-mata demi Allah dan maslahat Muslimin. Inilah sesuatu yang diinginkan Allah Swt agar setiap orang peduli terhadap urusan Muslimin: “Barangsiapa yang menjelang pagi namun tidak peduli terhadap urusan Muslimim, maka dia bukanlah Muslim”. Muslim ialah seorang yang punya perhatian pada maslahat Muslimin.

Sekarang, kemaslahatan umat sedang mengemu- ka. Ini bukan persoalan pribadi: seseorang ingin

p: 154


1- Ibid., jld. 10, hlm. 407.
2- Ibid., jld. 21, hlm. 92

melakukan sesuatu untuk kepentingan dirinya sehingga seseorang beruzur untuk melakukan sendiri tugasnya. Kemaslahatan Islam lebih mu- lia dari segalanya; kemaslahatan satu umat.(1) Barangkali saja kita bisa mengklaim, jika memang maslahat Muslimin itu sedang mengemuka, maka maslahat Islam juga pasti demikian. Namun tidak benar sebaliknya: yakni maslahat Islam menuntut suatu hal yang di dalamnya tidak ada maslahat Muslimin:

Hukum Islam adalah demi maslahat Muslimin dan Islam; kalau kita menyaksikan kondisi Islam dalam bahaya, kita harus melenyapkan bahaya tersebut hingga [maslahat] itu tetap terjaga; kalau kita menyaksikan kondisi Muslimin dalam bahaya ... kita wajib peduli dan penuh perhatian; jangan biarkan satu kemelut terjadi. (2) Kita melihat kepergian [menteri luar negeri] itu sebagai langkah pembenaran terhadap suatu perkara yang bertentangan dengan maslahat Islam dan Muslimin. Dari sisi inilah kita tidak membiarkannya pergi. (3) Kami dan kalian juga menginginkan maslahat Islam juga maslahat orang-orang ini yang hidup dalam negara Islam dan di bawah panji Islam.(4)

p: 155


1- Ibid., jld. 4, hlm. 109.
2- Ibid., jld. 15, hlm. 116.
3- Ibid., jld. 11, hlm. 297.
4- Ibid., jld. 19, hlm. 214.

Amirul Mukminin Ali [bin Abi Thalib] telah melakukan tiga peperangan melawan para sahabat Nabi, kerabat Nabi, dan kaum munafik; itu semua semata-mata demi maslahat Islam.(1) Dalam semua permasalahan, khususnya dalam menangani segenap urusan, seseorang harus memperhatikan apa yang merupakan maslahat Islam; siapa saja yang menjadi pejabat harus memperhatikan apa saja yang menjadi maslahat Islam dan Muslimin.(2) Imam Khomeini, tentang nilai-penting menjaga asas Maslahat, menyatakan demikian:

Jika seseorang itu mujtahid paling pandai dalam ilmu konvensional di Hauzah (pesantren) tetapi tidak mampu memastikan maslahat masyarakat, atau dia tidak mampu membedakan mana orang yang saleh-kompeten dan mana yang bukan ... dia bukanlah seorang fakih mujtahid dalam urusan sosial dan hukum, dia tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin masyarakat. (3) Tapi tidaklah demikian bahwa di mana saja kita telah menyatakan suatu keputusan dan menjumpai maslahat Islam di sana, lalu sekarang kita melihatnya tidak demikian lagi, berarti kita

p: 156


1- Ibid., jld. 13, hlm. 103.
2- Ibid., jld. 19, hlm. 376.
3- Ibid., jld. 21, hlm. 47.

telah berbuat salah. Ya, kita katakan saja bahwa kita tetap berada di atas kesalahan diri sendiri; setiap kali kita sadar bahwa sikap yang hari ini kita katakan itu adalah salah dan demikianlah kita harus menyatakan, [sebab] tujuan kita adalah maslahat, bukan kemajuan retorika diri sendiri. (1) Pemerintah bisa membekukan kontrak-kontrak legalnya dengan masyarakat; jika kontrak itu bertolak belakang dengan maslahat negara dan Islam, dia bisa membatalkannya secara sepihak, dia juga bisa mencegah setiap perkara, entah itu perkara ibadah atau bukan, selama pelaksanaannya bertentangan dengan maslahat Islam. (2) Asas menjaga maslahat masyarakat, negara dan Islam, begitu juga asas menolak bahaya dan kerusakan dari masyarakat, negara dan Islam mendapat perhatian khusus Imam Khomeini dan turut merepresentasi pemikiran politiknya, dan karena itulah perlu dicermati dalam menginterpretasi dan menganalisisnya.

Asas Dakwah Islam

Semua langkah Imam Khomeini sekurang-kurangnya bisa dijelaskan dengan asas ini. Segenap agenda dan pendirian pra-Revolusi diambil dalam rangka menyeru rezim Pahlevi kembali ke pangkuan Islam dan memutus

p: 157


1- lbid., jld. 16, hlm. 211.
2- Ibid., jld. 20, hlm. 170.

ketergantungan dari negara-negara imperialis dan arogan, khususnya Amerika dan Israel. Ia juga berulang kali mengajak seluruh pemimpin negara-negara Islam untuk melakukan hal sama. Pasca-Revolusi pun demikian:

tujuan utama Imam Khomeini dari “Ekspor Revolusi” ialah menyebarkan pesan-pesan spiritual Revolusi Islam ke bangsa lain di berbagai negara. Ini sebagaimana pola pandangnya terhadap musim dan manasik haji, baik sebelum maupun setelah Revolusi, sebagai kongres internasional penyebaran pesan Islam. Berkali-kali ia membacakan ayat-ayat kisah dakwah Nabi Musa kepada Firaun dan menganjurkan orang-orang agar melakukan dakwah yang sama. Dalam masalah ini, ia kecewa terhadap siapa saja yang tidak melakukan dakwah. Dalam suratnya kepada Ayatullah Sayyid Ahmad Khonsari di Tehran, ia menulis demikian:

Anda berdomisili di Tehran, tapi apa gunanya kalau tidak mengajak masyarakat kepada Al- Qur’an, yakni persatuan dan kesatuan? Anda harus mengajak masyarakat untuk bangkit; Anda harus menyeru masyarakat kepada per- satuan, hingga mereka sudah siap kapan saja kita hendak mengeluarkan perintah bangkit hingga kita tumbangkan Syah dan rezim sampai ke akar-akarnya.(1) Kepada para juru dakwah, Imam Khomeini menyerukan:

p: 158


1- Ibid., jld. 1, hlm. 238.

Kalian berusaha semaksimal mungkin mengajak kawula muda ke mesjid.(1) Ajaklah masyarakat ke agama.(2) Ia juga terus mengingatkan persatuan dan persauda raan kepada umat dan negara-negara Islam:

Saya berulang-ulang mengajak negara-negara Islam pada persatuan dan persaudaraan.(3) Mendakwahkan Islam kepada non-Muslim meru- pakan agenda yang juga mendapat perhatiaan Imam Khomeini. Ini yang dibuktikannya dalam mengajak Gor- bachev kepada Islam.

Kalian harus mengajak umat-umat non-Mus- lim... kepada Islam: agama maju dan pembina keadilan.(4) Melalui ceramahnya di Neauphle le Chateau, Pe- rancis, dalam pertemuan dengan kalangan mahasiswa, Imam Khomeini berbicara tentang arti perjuangan da- kwah Nabi Musa:

Nabi Musa as diperintahkan untuk sendiri mengajak Fir'aun, Fir'aun yang raja itu dengan segala kekuasaannya, Fir'aun yang kekuasaannya lebih besar dari Fir'aun zaman kita, itu jelas dengan sejumlah piramida di Mesir.(5) Kita

p: 159


1- Ibid., jld. 1, hlm. 310
2- Ibid., jld. 1, hlm. 394
3- Ibid., jld. 2, hlm. 139
4- Ibid., jld. 3, hlm. 322
5- Ibid., jld. 4, hlm. 108.

memulai perjuangan dari nol sebagaimana yang dilakukan nabi-nabi besar. Mereka memulai dakwah dan bangkit melawan penguasa tiran dari titik nol, dakwah besar mereka memulai dari perseorangan hingga terbentuklah kelompok- kelompok. Kita dalam kondisi nol ketika bangkit melakukan perlawanan terhadap rezim tiran... kita mulai dengan nol takkala mengajak masyarakat kepada Islam.(1) Kita mengajak semua kaum mustadafin dunia supaya... sebagai langkah awal, meraih kemerdekaan dan kemandirian setiap negara dari hegemoni ideologi dan intervensi kekuatan luar maupun dalam yang bergantung pada negara lain merupakan target, serta memutus setiap bentuk dominasi, entah itu politik, militer, budaya, ekonomi, dan mengusir kaum penjajah dan kekuatan imperialis.(2) Reaksi monumental Imam Khomeini dalam menentang hegemoni asing tampak dalam melawan pengesahan undang-undang Kapitalisasi: reaksi yang berakhir dengan pembuangan dirinya dari Iran. Atas dasar undang-undang itu, setiap personil angkatan militer Amerika yang ditempatkan di Iran memiliki kekebalan hukum. Undang-undang ini jelas-jelas melanggar kedaulatan negara. Karena itu, dalam pidatonya pada 4

p: 160


1- Ibid., jld. 7, hlm. 240.
2- Ibid., jld. 3, hlm. 468.

Aban 1343 HS (26 Oktober 1964), Imam Khomeini mengungkapkan:

Innâ li-Allâh wa innâ ilayhi rôjifûn. Kegundahan jiwaku tidak bisa kutampakkan; hatiku terasa tersayat-sayat; tidurku berkurang ketika mendengar perkembangan terakhir persoalan Iran. Saya sedih. Hatiku tertekan. Dengan kegundahan jiwa saya menghitung hari kapan maut menjemputku. Iran tidak lagi punya hari raya. Mereka telah mengubah hari raya menjadi hari duka; mereka mendukakan kita dengan bingar meriah; mereka mendukakan kita dan menari bersama. Kita telah dijual; kemerdekaan kita telah digadaikan ... Kalau seorang pembantu Amerika atau tukang masak Amerika meneror dan menginjak-nginjak marja' taqlid (mujtahid yang diikuti) kalian di tengah pasar, polisi Iran tidak punya hak mencegahnya; pengadilan Iran tidak punya hak menyidangkannya....(1) Masih dalam pidato yang sama, Imam Khomeini juga dengan tegas menghukumi sikap pasif (diam) sebagai dosa besar:

Bapak-bapak yang mengatakan harus diam, apakah dalam persoalan ini juga harus diam?! Apakah dalam kondisi sekarang kita juga harus diam?! Mereka telah menjual kita; apakah kita harus diam? Mereka telah menjual Al-Qur'an, apakah kita harus diam? Demi Allah! Adalah

p: 161


1- Ibid., jld. 1, hlm. 415-420.

pendosa orang yang tidak bersuara. Demi Allah! Pelaku dosa besar orang yang tidak berteriak.(1) Mereka ini membaca teks Al-Qur'an, mereka juga telah menelaah Islam, mereka tahu kalau Al-Qur'an itu satu kitab yang jika menyatu dengan kaum Muslimin, mereka akan menghajar bangsa-bangsa yang ingin menguasai Muslimin.

Al-Qur'an mengatakan bahwa Allah tidak pernah mengakui kekuasaan apa pun bagi non-Muslim atas seorang Muslim. Hal seperti ini jangan sampai terjadi; jangan sampai dia (non-Muslim] mendapatkan sebuah kekuasaan, sebuah kesem- patan, bahkan satu peluang pun. “ Allah tidak akan pernah memberikan satu jalan pun bagi kafir untuk berkuasa atas mukmin”. (2)

Asas Yang-terpenting di atas Yang-penting

Perkara paling prinsipal dari yang-terpenting yang kerap diingatkan Imam Khomeini agar didahulukan di atas segala urusan ialah melindungi negara Islam dengan cara menjaga persatuan segenap rakyat:

Mengajak kepada persatuaan merupakan satu dari yang-terpenting yang menjadi kebutuhan masyarakat kita hari ini. Selama lapisan bangsa ini tidak memiliki persatuan, satu pemahaman, satu keyakinan, bersama-sama memilih dan menempuh jalan yang lurus, maka tidak akan

p: 162


1- Ibid., jld. 1, hlm. 420.
2- Ibid., jld. 4, hlm. 317.

pernah mencapai tujuan.(1) Hari ini, lebih dari masa-masa sebelumnya, solidaritas kita lebih dibutuhkan lagi... dan ini merupakan satu tugas Ilahi untuk semua sebagai tugas yang terpenting dari Tuhan, yakni menjaga Republik Islam lebih penting dari menjaga satu orang, sekalipun dia Imam Mahdi, karena beliau juga mengorbankan dirinya demi Islam. (2) Persoalan melindungi Republik Islam di zaman sekarang ini dan dengan kondisi seperti yang kita saksikan di dunia ini, serta dengan berbagai ancaman yang dilancarkan dari pihak kanan dan kiri, jauh maupun dekat, terhadap [sistem] bayi yang mulia ini, merupakan kewajiban akal dan agama yang paling penting dan tak tergeserkan oleh perkara lain apa pun.(3) Menjaga Islam merupakan yang terpenting dari semua kewajiban. Artinya, men- jaga Islam lebih tinggi dari menjaga hukum- hukum Islam.(4) Dalam menjawab surat Ayatullah Gulpaigani yang mengeluhkan sejumlah tindakan Lembaga Yudikatif yang bertentangan dengan hukum agama, Imam Kho- meini berpijak pada asas Yang-terpenting di atas Yang- penting.

p: 163


1- Ibid., jld. 13, hlm. 399.
2- Ibid., jld. 15, hlm. 365.
3- Ibid., jld. 19, hlm. 153.
4- Ibid., jld. 20, hlm. 80.

Saya telah kirimkan surat Tuan Yang Mulia kepada Tuan Hujjatul Islam Ardabili. Dia harus memberikan keterangan dari seluruh negeri yang terkait dengan masalah-masalah ini. Tapi saya memberikan jaminan kepada Yang Mulia... bahwa orang seperti dia tidak memiliki kecenderungan sedikit pun untuk mengambil langkah yang bertentangan dengan agama. Hanya saja dia menguasai persoalan di masyarakat yang saya juga Yang Mulia tidak mengetahuinya, dan dia melakukan atas dasar mendahulukan korupsi di atas korupsi yang lain dan yang-terpenting di atas yang penting sekali- pun itu menurut pendapatnya mengenai persoalan masyarakat.(1)

Asas Kadar Kesanggupan

Jelas, kesanggupan merupakan syarat pembebanan tugas. “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”. Meski demikian, perhatian terhadap masalah ini sebagai satu asas dengan berbagai fungsi politisnya terus meningkat sejak era Revolusi Konstitusional sampai selanjutnya. Asas ini pula yang menjadi titik tolak pembelaan Ayatullah Naini terhadap sistem monarkis-konstitusional (nedzom-e saltanati-e masyrûteh). Dalam sejumlah statemen Imam Khomeini, kita sering menjumpai kalimat “Setiap manusia sesuai dengan kadar kesanggupannya”(2) dalam melakukan tugas. Dari Paris ia menulis surat kepada ulama Iran dan

p: 164


1- Ibid., jld. 17, hlm. 508.
2- Ibid., jld. 15, hlm. 108.

di dalamnya ia menggarisbawahi agar mereka membantu para pelaku aksi mogok sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Penuhilah kebutuhan mereka sejauh kemam- puan, sehingga dengan mendukung aksi-aksi mogok mereka menjadi pukulan keras bagi mu- suh.(1) Tujuan dan visi ke depan dideskripsikan Imam Khomeini dengan meletakkan kadar kesanggupan sebagai syaratnya. Ini terungkap dalam menjawab surat wartawan melalui radio Luxemburg yang menanyakan, “Apa tujuan dan agenda masa depan dari perjuangan Anda?:

Semua kekurangan yang ada dalam rezim Syah [Pahlevi] akan kita benahi sebisa mungkin.(2) Imam Khomeini menegaskan bahwa setiap orang memiliki tugas sesuai anggaran kemampuannya, dan atas dasar anggaran itulah dia harus berbuat.

Kita semua dan segenap [komponen] bangsa bertanggung jawab untuk [menjamin stabilitas negara dan membantu lini-lini perjuangan], namun [kewajiban] setiap orang diukur sekadar kemampuan masing-masing. (3) Berpijak pada asas ini, bisa dikatakan sistem politik yang legal di era Kegaiban [Besar Imam Mahdi], menurut

p: 165


1- lbid., jld. 3, hlm. 93.
2- lbid., jld. 4, hlm. 66.
3- Ibid., jld. 15, hlm. 108.

Imam Khomeini, ialah sebuah sistem yang tegak di atas Wilayah Mutlak Fakih. Namun, manakala penegakan sistem itu tidak bisa dilakukan, maka diusahakan sistem Wilayatul Fakih. Kalaupun sistem ini juga masih tidak mampu ditegakkan, maka diupayakan sebuah sistem yang dibangun di atas Pengawasan Fakih. Kalau ternyata sistem belakangan ini juga masih tidak mungkin dibangun, maka perjuangan terarah pada penegakan sistem monarkis- konstitusional, dan demikian seterusnya.

Alhasil, seperti yang diungkapkan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Pasti ada bagi umat manusia seorang pemimpin, entah dia orang baik atau orang jahat”, (1) maka asas Keniscayaan Pemerintahan tidak bisa diragukan lagi, hanya persoalannya harus diupayakan sebesar “kadar kesanggupan” untuk mendekatkan pemerintahan yang dimaksud dengan cita-cita Islam. Berdasarkan asas Kadar Kesanggupan ini, langkah-langkah Imam Khomeini dapat dipahami dan dijelaskan secara baik dalam kerangka wacana reformasi dan menyeberang ke wacana revolusi.

Asas Keadilan

Keadilan menyeluruh sampai ke berbagai aspek, mulai dari seorang imam shalat, pemimpin masyarakat Islam, sampai Tuhan Yang Mahatinggi, merupakan asas yang paten diterima dan harus dijaga. Di berbagai lapisan sosial, melawan penindasan dan mewujudkan keadilan sosial juga suatu keniscayaan.

p: 166


1- Nahj Al-Balâghoh, pidato 40.

Islam adalah agama yang Tuhannya Adil; nabinya juga adil dan maksum; imamnya juga adil dan maksum; hakimnya juga disyarati sebagai orang yang harus adil; imam shalat Jamaahnya juga disyarati sebagai orang yang harus adil; imam shalat Jumatnya juga harus adil; mulai dari Dzat Tuhan Yang Mahasuci dan Mahaagung sampai akhir makhluk; pemimpin masyarakat juga harus adil; para pejabat mereka juga harus adil.(1) Pada hemat Imam Khomeini, keadilan Islam me nempatkan semua manusia duduk sejajar di hadapan hu- kum.

Kita ingin mewujudkan keadilan Islam di nega- ra ini; sebuah negara Islam yang di dalamnya terdapat keadilan; negara Islam yang di dalam- nya tidak ada penindasan; negara Islam yang di dalamnya orang nomor satu di samping orang paling bawah sama-sama duduk sejajar di hada- pan hukum.(2) Tujuan para nabi juga adalah mewujudkan sistem keadilan, hingga dengannya hukum Ilahi berhasil diterapkan.

Tujuan para nabi dari jerih upaya dan peperangan yang dilakukan terhadap para penentang bukan untuk berekspansi dan merebut kekuasaan dari musuh. Tujuan mereka adalah mewujudkan

p: 167


1- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld 3, hlm. 304.
2- Ibid., jld. 9, hlm. 42.

sistem yang adil yang dengannya hukum-hukum Ilahi terlaksana.(1) Keadilan sosial menempati posisi yang sangat krusial dalam sikap dan pernyataan Imam Khomeini.(2) Ia telah berusaha keras, selain mendirikan sistem Republik Islam, juga menghapus kesenjangan sosial bangsa Iran dengan membangun lembaga-lembaga tertentu.

Asas Kebertahapan

Dalam menjawab surat Ayatullah Gulpaigani yang memprotes sejumlah tindakan yang bertentangan de- ngan Islam, Imam Khomeini menjelaskan duduk perso- alan dengan bersandar pada bertahapnya penyampaian hukum-hukum Islam di era awal Islam:

Hal-hal serupa, pada tingkat yang paling rendah di masa awal Islam, telah menyebabkan tidak tersampai- kannya sebagian hukum yang sangat penting seperti:

meminum minuman keras, keringanan pada sebagian yang lain seperti: riba.(3) Pada kesempatan lain, Imam Khomeini menge- mukakan argumen atas kebertahapan setiap perkara dengan merujuk Al-Qur'an:

Dalam Al-Qur'an pun ada perkara-perkara yang ditetapkan secara bertahap. (4)

p: 168


1- Ibid., jld. 8, hlm. 81.
2- Lebih lanjut, lihat Kadzim Qadhizadeh: Andisyeho-ye Fighi-Siyosi-e Emom Khomeini, Bab "Keadilan Sosial”.
3- Imam Khomeini: Shahifeh-e Nûr, jld. 17, hlm. 508.
4- Ibid., jld. 19, hlm. 45.

Jadi, reaksi bertahap terhadap gejala dan arus pe- rubahan secara otomatis akan menimbulkan serangkaian perubahan dan dinamika pemikiran di sepanjang masa.

Ini yang tepatnya diungkapkan Al-Qur'an sendiri me- lalui kaidah ‘ayat penghapus' (nåsikh) dan ‘ayat yang di- hapus' (mansûkh).

Asas Ruang dan Waktu

Mengenai asas ini, Imam Khomeini menyatakan:

Salah satu masalah yang sangat penting di dunia yang penuh kekacauan sekarang ini adalah peran ruang dan waktu dalam ijtihad dan penentuan berbagai kebijakan.(1) Ruang dan waktu merupa- kan dua unsur penentu dalam ijtihad. Satu masalah yang dahulu memiliki hukum tertentu, lalu secara lahiriah, masalah tersebut dalam konteks relasi-relasi yang dominan atas politik, sosial dan perekonomian sebuah negara boleh jadi akan menemukan hukum yang baru.(2) Se- lama para ulama tidak berkecimpung langsung secara aktif dalam berbagai permasalahan dan problematika, mereka tidak bisa memahami de- ngan baik bahwa ijtihad konvensional ini tidak cukup mengatur masyarakat.(3)

p: 169


1- lbid., jld. 21, hlm. 61.
2- lbid., jld. 21, hlm. 98.
3- S. Abdulamir Nabawi: "Tatavvur-e Andisyeh-e Siyosi-e Emom Khomeini"; dalam jurnal Pezhuhesyi Donesygoh-e Emom Shodiq as, vol. 6-7, hlm. 123.

Waktu, tempat, kondisi, dan momentum sosial, tak syak lagi, merupakan bagian dari rangkaian faktor yang berpengaruh pada pemikiran Imam Khomeini sendiri.

Tentu saja, pribadi yang menekankan nilai-penting faktor-faktor ini dalam ijtihad dan penyimpulan hukum pasti akan menjaganya secara konsisten.

Di akhir pembahasan ini, perlu dicatat bahwa perhatian khusus terhadap asas-asas tersebut di atas sanggup membuka lebar upaya menganalisis pemikiran para tokoh. Tanpa perhatian itu bahkan analisis terhadap sejarah Islam dan kehidupan manusia suci (Ahlul Bait) akan berdampak kekeliruan dalam memahami logika dan pemikiran mereka. Apa yang dalam Al-Qur'an dikenal sebagai penghapusan ayat (naskh) karena perbedaan kondisi antara Mekkah dan Madinah sehingga juga berakibat pada perubahan pola sikap Nabi Muhammad Saw, demikian pula apa yang pernah dikenal dari pola hidup Imam Ali bin Abi Thalib ra., atau dalam kasus perdamaian Imam Hasan ra., kebangkitan Imam Husein ra.: pengenalan dan analisis yang akurat terhadap semua ini berkembang dalam koridor syarat-syarat waktu, tempat, maslahat, mafsadat, asas-asas yang dominan atas perilaku pemuka agama, tujuan, dan tugas-tugas agama [Islam].

Sehubungan dengan ini, ada beberapa bagian dari ungkapan Imam Khomeini yang layak disimak lebih lanjut. Dalam menjawab penulis buku Asror-e Hezor Soleh (Rahasia Seribu Tahun) yang menuliskan bahwa kalangan ulama menilai semua pemerintahan sebelum

p: 170

kedatangan Imam Mahdi sebagai pemerintahan zalim (jå’ir), dan karenanya mereka menghukumi bekerja sama dengan mereka sebagai tindakan yang haram”, Imam Khomeini dalam Kasyf Al-Asrôr mengatakan:

Jika sekarang ada orang yang mengingkari kondisi satu pemerintahan dari sekian banyak pemerintahan zalim, dan mengklaim bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memperbaiki kondisi korup itu sampai berdirinya pemerin- tahan yang haq, lantas apa hubungannya dengan klaim tidak boleh berdirinya pemerintahan yang adil?! Namun jika ada seseorang yang sedikit saja tahu tentang riwayat kami, dia akan saksikan bagaimana para Imam Syi'ah, kendati menganggap pemerintahan di zaman mereka itu zalim namun tetap berinteraksi de- ngan mereka sedemikian rupa, para pengikut (Syi'ah) Ali bin Abi Thalib tak henti-hentinya dalam mengarahkan dan menjaga negara Islam, memberi kontribusi material dan intelektual, bahkan melangkah terdepan dalam medan perang Islam di masa kekhalifahan. Tentang peperangan dan penaklukan penting yang di- menangkan Muslimin, para peneliti dan sejarah mencatat bahwa kemenangan itu diperoleh berkat upaya langsung para pengikut Ali, ataupun atas bantuan berharga mereka. Kalian semua tahu bagaimana rezim dinasti Umayyah adalah penguasa terkejam dan paling korup dalam sejarah Islam; semua juga tahu betapa

p: 171

permusuhan dan kekejaman mereka terhadap keluarga Nabi Saw dan keturunan Ali bin Abi Thalib. Yang terburuk dari yang pernah mereka lakukan terhadap Bani Hasyim ialah kekejaman yang mereka lakukan terhadap Ali bin Husein Zainal Abidin as. Kendati kekejaman mereka itu, Anda saksikan bagaimana beliau berlaku begitu baik. Dalam Al-Shohifat Al-Sajjâ diyyah(1) beliau berdoa, “Ya Allah! Limpahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad beserta keluarganya.

Demi kemuliaan-Mu, kokohkanlah barisan Muslimin. Demi kekuatan-Mu, kuatkanlah perlindungannya. Dengan kedermawanan-Mu, segerakanlah curahan anugerah kepada mereka dari kemurahan-Mu...”, demikian sampai akhir doa yang kurang lebih sepanjang delapan lembar. »(2) Dalam pidato 1342 HS (1963 M), Imam Khomeini menyatakan:

Perujukan dan pemijakan kita pada UUD me- lalui asas “Perlakukanlah mereka dengan komit- men yang mereka percayai bagi diri mereka sendiri” (kaidah Ilzâm dalam Fikih, penj.) bu- kan berarti UUD itu, menurut kami, sudah fi- nal (sempurna). Jika para ulama berbicara atas

p: 172


1- Al-Shohîfat Al-Sajjadiyyah adalah koleksium doa dan munajat Imam Ali bin Husein Zainal Abidin. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (penj.)
2- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrôr, hlm. 225-226.

dasar UUD, itu karena pasal kedua penyempur- na UUD menyebutkan bahwa ratifikasi setiap undang-undang dasar telah menggugurkan le- galitas dari ratifikasi setiap undang-undang yang bertentangan dengan Al-Qur'an, maka ia telah gugur dari perundang-undangannya. Kalau ti- dak demikian, maka apalah artinya undang-un- dang bagi kita!(1)

Kesimpulan

Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa inti pemikiran Imam Khomeini dalam masalah pemerintahan Islam adalah menegakkan pemerintahan Wali Fakih yang adil dan memenuhi kriteria (jami' al-syaro’it). Ini yang ditegaskan sekuat-kuatnya bahkan dalam Kasyf Al-Asrør. Di sana ia menuliskan, “Apa saja yang tertetapkan bagi Nabi [Saw] sebagai keharusan untuk ditaati, kekuasaan dan pemerintahan juga tertetapkan bagi mereka (yakni fukaha]"(2) Pemikiran ini telah menempatkan sosok Imam Khomeini dalam jajaran tokoh Pemikiran Revolusi.

Pada akhirnya, melalui pemikiran ini pula filsafat politik terbangun kokoh sebagai sebuah alternatif bagi sistem monarkis yang rapuh, belum lagi Revolusi Islam sukses

p: 173


1- Sayyid Hamid Ruhani: Barresi va Tahlil az Nehdhat-e Emom Khomeini, jld. 1, hlm. 162.
2- Imam Khomeini: Kasyf Al-Asrôr, hlm. 188.

membuahkan hasil. Adapun pemikiran politik yang berbasis pada sistem konstitusional, dan atau pada izin Wali Fakih untuk seorang penguasa mukmin yang adil adalah gagasan dalam konteks asas Kadar Kesanggupan, dan asas ini berlaku bahkan dalam kondisi hanya dapat memperlakukan oknum (penguasa) agar melaksanakan komitmen yang diikrarkannya. Pada hemat saya, skala dari pemikiran ini memasukkan Imam Khomeini ke dalam jajaran pemikir reformis.

Signifikansi pemikiran reformasi Imam Khomeini, menurut saya, tidak kurang dari nilai pemikiran revolusi- nya, utamanya bila dicermati dalam konteks kekinian:

begitu banyak kalangan Muslimin dewasa ini ingin menemukan posisi dan peran mereka, dalam medan pemikiran politik Islam, sesuai dengan pembacaan khas Imam Khomeini. Berangkat dari kenyataan bahwa Muslimin di dunia sekarang ini berada dalam kondisi berbeda dari segi ruang dan waktu, pemikiran Imam Khomaeni perlu dibongkar dan dipetakan secara utuh ke hadapan mereka. Dapat diharapkan kiranya sebagian Muslimin bergerak dalam laju pemikiran revolusi dengan bertolak dari pemikiran reformasi Imam Khomeini.

Adalah persepsi keliru bila segenap Muslimin dunia diharapkan langsung terjun dalam fase revolusioner pemikirannya.

Tentu saja, fleksibilitas dalam pemikiran politik Imam Khomeini ini bergantung pada asas Ijtihad yang khas dalam mazhab Syi'ah. Ijtihad merupakan generator, penggerak dalam masyarakat Syi'ah. Di samping asas

p: 174

Maslahat Publik daripada kepentingan penguasa, asas Tugas (taklif) daripada keuntungan ataupun hasil sesaat, asas Menjaga Islam daripada menjaga diri sendiri..., ijti- had merupakan salah satu asas penting dalam pemikiran politik Imam Khomeini. Jika asas-asas ini diyakini penting oleh segenap pemikir Islam dan menjadi fokus perhatian mereka, dapat diharapkan nantinya muncul gelombang gerakan kepeloporan di berbagai titik dunia Islam.

Jika kita tidak mampu melakukan transformasi dan perubahan besar dalam politik dunia dan negara-negara Islam, setidaknya kita tidak lengah terhadap gejala-gejala kecil perubahan. Lalai terhadap berbagai Pemikiran Re- formasi hanya akan memutus jalan kita menuju Pemiki- ran Revolusi. Pintu masuk ke Pemikiran Revolusi ialah menapaki jejak-jejak Pemikiran Reformasi secara serem- pak. Begitulah pola pergerakan yang diretas Imam Kho- meini dalam praktik maupun pemikiran politiknya, yakni secara sekaligus. Perlu kiranya memulai pembongkaran dan rekonstruksi muatan Kasyf Al-Asrør, sebuah karya yang, selain mengandung kekayaan visi reformasioner, juga menyimpan khazanah revolusioner.

p: 175

p: 176

photo

BAB VI

DARI FIKIH POLITIK KE TEOLOGI POLITIK

p: 177

p: 178

dibagian terakhir ini, tepat kiranya menyimak gu- gusan lain dari dinamika pemikiran politik Syi'ah di era kontemporer dengan berporos pada pemikiran Imam Khomeini, demikian juga sejumlah hasil dan re- fleksi pemikiran sosok besar ini.

Pengalaman lebih dari seabad kekalahan, kegagalan, dan keterpurukan Muslimin dalam menghadapi kekuat- an arogan dunia telah dicermati secara teliti oleh Imam Khomeini. Ia berhasil menunjuk mana saja problem dan kendala utama. Dalam analisisnya yang serba cermat, ia mengacu sebuah metodologi yang benar-benar baru dan khas dalam mengurai persoalan Fikih, Teologi, dan Filsafat-Irfan (Teosofi). Padahal, metodologi ini ditem- puh di tengah wacana galib dunia didominasi gagasan pemisahan agama dari politik, kecenderungan lari dari pemerintahan, dan masabodoh terhadap persoalan re- gional dan internasional. Betapa keluhan dan penderita- an yang membebani Imam Khomeini dari atmosfer dan situasi politik masa itu.

Dalam kondisi serba sulit itu Imam Khomeini nya- tanya berhasil merekonstruksi pemikiran politik Islam dari celah-celah studi fikihnya. Namun, pemikirannya itu tidak lantas jadi terkungkung dalam kerangka disiplin Fikih dan Ushul Fikih. Ia justru membuktikan kenisca- yaan pemerintahan Islam dengan model kepemimpinan Wali Fakih dalam ilmu Teologi, dan dengannya ia ber- hasil memperkaya Fikih. Poin inilah yang secermatnya ditampilkan Ayatullah Jawadi Amuli:

p: 179

Terobosan Imam Khomeini dalam masalah aga- ma dan studi Fikih tidak seperti yang dilakukan kaum Akhbariyah dari sudut kejumudan, lubang kecil cahaya kebekuan dan kelesuan intelektual, tidak juga sebagaimana kaum Ushuliyah yang menelaahnya dari jalur sempit tema-tema li- nguistik dan prinsip-prinsip akal-praktis (ushul famaliyyah). Inovasinya juga tidak sama dengan kalangan filosof dan kaum sufi. Pengetahuannya seputar agama dalam Fikih Kecil (fiqh asghar), Fikih Sedang (fiqh awshath), dan Fikih Besar (fiqh akbar) mengikuti pengetahuan para imam maksum: mereka mengenal agama dalam sege- nap lapisan substansial agama, berusaha mene- gakkan semuanya, dan hanya satu jalan mere- alisasikannya, yaitu mendirikan pemerintahan Islam.(1) Satu langkah besar Imam Khomeini ialah menge- luarkan Wilayatul Fakih dari Fikih dan merumuskannya sebagai satu tema Teologi:

Ia telah mengeluarkan studi tentang Wilayatul Fakih yang terlantarkan ini dari disiplin Fikih dan mendudukkannya ke posisi semula sebagai permasalahan teologis, lantas ia mengembang- kannya dengan perangkat argumentasi rasional dan teologis, sehingga menempatkan totalitas Fikih di bawah pengaruhnya.(2) Selain mengarang Kasyf Al-Asrôr pada 1323 HS (1944 M) untuk menjawab isu-isu yang dilancarkan

p: 180


1- A. Jawadi Amuli, Ovo-ye Tavhid, hlm. 23.
2- A. Jawadi Amuli, "Naqsy-e Emom Khomeini dar Tajdid-e Beno-ye Nedzom-e Emo-mat"; dalam Kayhon-e Andisyeh, vol. 24, hlm. 8.

penulis Asror-e Hezor Soleh dan pihak-pihak yang lain, Imam Khomeini juga melawan serangan yang dilancarkan rezim Pahlevi.(1) Ia membubuhkan:

Tuhan Yang Mahaadil tidak akan meridhai orang yang pasrah pada pemerintahan zalim.

Hanya pemerintahan yang oleh akal dan agama dihukumi benar adalah pemerintahan Ilahi, yak- ni pemerintahan hukum Tuhan. Model peme- rintahan ini, walaupun tidak berada di tangan seorang pakar fikih, harus berupa pemerintahan yang diselenggarakan atas dasar undang-undang Tuhan sebagai penjamin kemaslahatan negara dan masyarakat. Pemerintahan semacam ini ti- dak mungkin tegak tanpa pengawasan kalangan fukaha.(2) Dengan begitu, gagasan mendirikan negara Islam se- jak awal perjuangan telah menjadi fokus Imam Khomeini, hanya ia menentukan skala prioritas pada pembangunan unsur-unsur “yang sadar” dan pengikut "yang sehati”; sebuah rencana yang pada masa-masa itu menuntut ke- beranian juga memakan waktu. Pasca-Tragedi Faidhiyah(3)

p: 181


1- Hamid Algar, Silsileh va Niruho-ye Madzhabi, hlm. 303-304.
2- Amid Zanjani: Engelob-e Eslomi wa Risyeho-ye on, hlm. 435.
3- Faidhiyah merupakan pusat pendidikan agama terbesar di kota Qom, Iran. Tragedi Faiziyah adalah penyerbuan tentara rezim Syah terhadap kaum pelajar agama (penj.)

pada 22 Farvardin 1342 HS (11 April 1963 M), Imam Khomeini memvonis rezim Pahlevi sebagai sistem yang memusuhi Islam, bersekutu dengan rezim Zionis Israel dan Amerika untuk memerangi Al-Qur'an dan Islam.(1) Ia lalu menegaskan, “Jalan ini harus dilanjutkan! Yang akan terjadi, terjadilah, apa pun itu!"(2) Ide mendirikan pemerintahan Islam menyebabkan, pertama, Imam Khomeini beserta para pengikutnya harus berkonfrontasi dengan sistem tiran dinasti Pahlevi; kedua, tidak terulang berbagai kegagalan seperti yang terjadi pada Revolusi Konstitusional. Semua ini, selain meniscayakan pengajuan alternatif berupa satu filsafat politik vis-à-vis filsafat politik status quo, telah berakibat pada keputusannya mengajarkan topik khusus Wilayatul Fakih pada awal Bahman 1348 HS (Januari 1970 M), tepatnya di tengah kuliah tingkat tinggi hukum-fikih buku Al-Makásib [karya Syaikh Anshari]. Dalam kuliah ini, ia menerangkan:

Bagi setiap Muslim, khususnya para ulama dan pelajar agama Hauzah Ilmiyah,(3) wajib melawan serangan musuh Islam dengan berbagai sarana perlawanan apa saja yang dapat dipakai, hingga

p: 182


1- Hamid Algar: op. cit., hlm. 306.
2- Kayhon-e Andisyeh, vol. 24, hlm. 16.
3- Hauzah Ilmiyah adalah pusat pendidikan agama di Iran yang menyelenggarakan studi ilmu konvensional keagamaan seperti: Fikih, Ushul Fikih, Teologi, Tafsir, Sastra Arab, Rijal, Riwayah, Dirayah dll., bahkan ilmu-ilmu eksak seperti: Filsafat, Logika, Matematika, Geometrika, Astronomi (penj.)

semua orang tahu bahwa Islam datang untuk menegakkan pemerintahan yang adil.

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109