Kesucian Profetik: Sebuah Pleidoi

BOOK ID

سرشناسه:فخر رازی، محمدبن عمر، 544؟-606ق.

‪ Fakhruddin Al-Razi

عنوان قراردادی:عصمه الانبیاء . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور:Kesucian Profetik[Book] : Sebuah Pleidoi/ Fakhruddin Al-Razi; penterjemah : Yusuf Anas.

مشخصات نشر:Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری:[199] ص.

فروست:مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/281/188، نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 27.

شابک:100000ریال 978-964-195-064-6:

وضعیت فهرست نویسی:فاپا

یادداشت:اندونزیایی.

موضوع:عصمت (اسلام)

موضوع:عصمت -- جنبه های قرآنی

شناسه افزوده:آناس، یوسف، مترجم

شناسه افزوده:Anas, Yusuf

شناسه افزوده:جامعة المصطفی(ص) العالمیة. مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی(ص)

شناسه افزوده:Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

رده بندی کنگره:BP220/5/ف3ع6049519 1393

رده بندی دیویی:297/43

شماره کتابشناسی ملی:3649511

p:1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Kesucian Profetik

Sebuah Pleidoi

Fakhruddin Al-Razi

penerjemah:

Yusuf Anas

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Kesucian Profetik Sebuah Pleidoi

penulis: Fakhruddin Al-Razi

penerjemah: Yusuf Anas

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-064-6

عصمة الأنبیاء

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه واله

تیراژ: 300

قیمت: 100000 ریال

مؤلف: محمد بن عمر فخر رازی

مترجم: یوسف آناس

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Imam Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

TRANSLITERASI ARAB

photo

p: 5

p: 6

DAFTAR ISI

Transliterasi Arab • vii

Pengantar • xi

Pendahuluan • 1

Kesucian Nabi Adam • 17

Kesucian Nabi Nuh • 33

Kesucian Nabi Ibrahim • 39

Kesucian Nabi Ya'qub • 73

Kesucian Nabi Yusuf - 77

Kesucian Nabi Ayub • 95

Kesucian Nabi Syu'aib • 97

Kesucian Nabi Musa · 101

Kesucian Nabi Musa dan Khidir • 109

Kesucian Nabi Dawud · 113

Kesucian Nabi Sulaeman • 127

Kesucian Nabi Yunus · 141

Kesucian Nabi Luth • 145

Kesucian Nabi Zakariya • 147

Kesucian Nabi Isa · 151

Kesucian Nabi Muhammad • 153

Kesucian Seluruh Nabi • 185

Indeks • 197

p: 7

p: 8

PENGANTAR

KESUCIAN PROFETIK; LOGOS ATAU MITOS? Muhsin Labib Kultus dan Perlakuan Proporsional Benarkah kultus (menyanjung) secara general dan Dmutlak dilarang? Logiskah memperlakukan secara sama antara orang yang baik dengan orang yang jahat? Dalam al-Qur'an terdapat sejumlah ayat yang terkesan mengonfirmasi dikriminasi. Artinya, Allah secara terang-terangan mengutamakan sekelompok manusia dari yang lain. Tentu bukan didasarkan pada orang atau alasan-alasan determinan, melainkan berdasarkan standar-standar rasional.

Di satu sisi, memperlakukan semua orang secara sama bukanlah keadilan, malah merupakan kezaliman. Karena itu berarti tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Penghormatan dan kepatuhan bisa negatif (kultus), bisa pula positif, bergantung pada rasionalitasnya. Akal sehat mengarahkan kita untuk berpandangan dan bersikap proporsional.

Samakah orang yang berjuang, mengeluarkan pikiran, tenaga, waktu, dan harta demi kebaikan banyak orang

p: 9

dengan orang yang hanya menjadi sekadar “warga negara yang baik”. Tentu tidak. Allah menegaskan, “Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya.

Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.

Kepada masing-masing mereka, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (QS Al-Nisā [5] 95).

Para abdi masyarakat, seperti polisi yang rela diguyur hujan atau disiram terik matahari demi mengatur lalu lintas, atau bahkan petugas kebersihan yang rela menyapu jalan dan mengangkut sampah-sampah, adalah “mujahidin” yang layak diperlakukan beda.

Selain itu, yang berhak mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah orang yang fasik, orang yang, karena meragukan akhirat, melakukan korupsi dan memanfaatkan kepercayaan publik sebagai cara untuk menjadi kaya raya. Orang demikian, selain tidak berhak dihormati, juga mesti dipermalukan. “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama,” (QS Al-Sajdah [32]: 18). Iman adalah buah dari pengetahuan yang benar akan Sebab Pengada alam semesta dan kepastian Hari Akhir. Iman yang disandang seseorang adalah alasan rasional untuk dipuja dan diidolakan, bahkan dikultuskan (meski istilah “kultus” kian kabur).

Pengetahuan lurus, yang merupakan sumber iman atau keyakinan yang benar, juga merupakan sebuah

p: 10

prestasi yang layak diapresiasi dan tidak boleh sama sekali dianggap sama dengan yang tidak berpretasi. “Apakah (tidaklah) sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” (QS Al-Zumar [39]: 9).

Firman-firman Allah di atas dapat dianggap sebagai afirmasi tentang perlunya menjaga keseimbangan antara kultus dan diskriminasi, antara pemujaan dan penistaan dengan tolok ukur kerja keras (jihad), iman, dan pengetahuan. Dalam perspektif ini, pengistimewaan menjadi sah dan perlu, demikian pula diskriminasi. Islam yang rasional meletakkan segala sesuatu secara proporsional. Dalam sosiologi Islam, kelas tidak mutlak dihapus. Islam menghapus perbedaan kelas berdasarkan kekayaan, raga, rupa, dan simbol-simbol semu lainnya. Perbedaan perlakuan dan tingkat penghormatan harus tetap ada agar yang tidak berprestasi dan berbuat zalim tidak merasa benar.

Jelas sekali bahwa Islam mengabadikan hak dan prestasi sebagai orang-orang yang memang layak untuk dipanggil “Yang Mulia”. Ini semata-mata tak lain dari:

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurāt [49]: 13).

Kontroversi seputar Kesucian Profetik Sejak kita menjejakkan kaki di surau dan mendengar tausiyah, banyak cerita tentang “kesalahan" para nabi.

Kita dengar bahwa Adam diturunkan ke bumi lantaran dosa yang telah diperbuatnya; Ibrahim dikesankan

p: 11

sempat menganggap bintang, bulan, lalu matahari sebagai Tuhan; Ya'qub sering sedih dan menangis berlebihan. Yusuf nyaris tergoda rayuan Zulaikha; Ayub ditimpa musibah yang diturunkan Allah lantaran dia meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahyu ‘anil munkar; Musa pernah membunuh seorang manusia; Khidir lebih-lebih lagi, membunuh seorang anak dan menenggelamkan kapal yang dimiliki orang-orang miskin; Dawud suka pada istri Raja Auriya, lalu dia membunuh sang raja dan menikahi istrinya; Yunus pernah pergi dalam keadaan marah pada Tuhan-nya; Zakaria yang mengetahui bahwa dirinya sudah tua dan istrinya mandul, meragukan kekuasaan Allah saat Dia memberi kabar padanya bahwa dia akan mendapatkan seorang anak bernama Yahya. Isa pernah ditegur oleh Allah lantaran pernah meminta kepada manusia agar dia dan ibunya dijadikan tuhan selain Allah; Muhammad pernah bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya; dan seabrek kisah dalam al-Quran yang bisa ditafsirkan secara harfiah sebagai kesalahan.

Apakah para nabi, dan lebih khusus lagi, Nabi kita, Muhammad, itu manusia biasa ataukah manusia luar biasa? Sepintas pertanyaan di atas ringan bagi sebagian orang, tetapi bila ditelisik lebih mendalam, banyak konsekuensi teologis yang akan menentukan cara dan sikap kita terhadap masa depan agama ini.

Pendapat dan pandangan tentang kesucian profetik dapat dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

p: 12

Kelompok Pertama Kelompok pertama beranggapan bahwa Nabi adalah manusia biasa seperti umumnya manusia yang bisa melakukan kesalahan dan tidak mengetahui banyak hal. Dia adalah produk lingkungannya dengan segala pengaruh dan faktor yang melingkupinya.

Karena agama yang dianutnya ternyata tidak benar, maka dia pun meninggalkannya. Ini juga bisa dimaklumi bila melihat konteks dasar penerimaannya. Kelompok ini tidak perlu dibicarakan lebih lanjut karena sejak semula telah menyatakan diri sebagai penolak agama dan sistem mediasi atau kerasulan. Mungkin sebagian dari mereka meyakini “new age"(1).

Kesimpulannya: Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal agama adalah manusia biasa. Karena biasa (salah dan lupa), maka ajarannya biasa (salah dan lupa).

Karena ajarannya (biasa) bisa salah dan lupa, maka ajaran Tuhan yang benar tidak bisa disampaikan. Karena tidak bisa disampaikan kepada manusia, maka tidak ada agama yang bisa diterima.

Kelompok Kedua Kelompok ini menganggap Muhammad sebagaimana umumnya manusia lainnya. Karena wahyu dipahami sebagai informasi yang tunduk pada ruang dan waktu serta variabel-variabel lokal dan temporal, dan karena penerima wahyu diperlakukan sebagaimana lazimnya manusia yang tidak luput dari kesalahan, kelompok ini menentang sakralitas dan mengampanyekan

p: 13


1- New Age (Zaman Baru atau Gerakan Zaman Baru) adalah suatu gerakan spiritual yang terbentuk pada pertengahan abad ke-20. Merupakan gabungan dari spiritualitas Timur dan Barat, serta tradisi-tradisi metafisika yang mengemukakan suatu filsafat yang berpusatkan kepada manusia. New Age bertujuan untuk menciptakan "spiritualitas tanpa batas atau dogma yang membatasi" yang inklusif dan pluralistik.

desakralisasi agama. Tidak hanya itu, kelompok ini berusaha memperkenalkan wacana dekonstruksi teks agama yang dipandang tidak relevan atau kehilangan kontekstualitasnya karena teks agama (narasi suci) saat diwahyukan dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, etnis, karakteristik, dan sebagainya.

Premis I : Penyampai wahyu Tuhan dan pengawal adalah manusia biasa (tidak pasti benar karena bisa lupa dan salah) Premis II : Nabi adalah penyampai wahyu Tuhan Premis kesimpulan : Nabi adalah manusia biasa (tidak pasti benar) Karena agama yang dianutnya “biasa”, dia pun merasa perlu menyempurnakan, bongkar pasang, dan merevisinya. Ini sangat bisa dimaklumi bila dilihat dari konteks dasar penerimaannya. Kelompok yang sejak semula menganggap pewarta wahyu sebagai manusia biasa yang berbuat salah dan lupa pun menerima Islam sebagai “agama biasa”.

Kelompok ini secara terbuka mengusung jargon “Islam Liberal”. Liberalisme semula adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Digunakanlah kata ini demi menegaskan pandangan yang menolak apa yang disebutnya dengan “sakralitas” atau “sakralisasi”, “kultus”, “otoritas teks”

p: 14

seraya mengumandangkan dekonstruksi, lokalisasi, dan kontekstualisasi sesuai dengan mindset pandangannya.

Kesimpulan: pembawa agama dan penyampai wahyu Tuhan itu manusia biasa, yang berbuat salah dan kadang lupa. Karena itu, sebagian ajarannya tidak bisa mutlak diterima dan diterapkan, bahkan perlu dikoreksi dan diganti dengan pandangan-pandangan lain yang dinilai lebih logis dan relevan menurutnya.

Kelompok Ketiga Kelompok ini berkeyakinan bahwa pembawa agama dan penyampai wahyu Tuhan itu manusia biasa yang berbuat salah dan kadang lupa. Namun anehnya, tetap menganggap ajarannya tetap benar dan tidak salah.

Kelompok ini, meski menganggap Muhammad itu “biasa”, bersikeras mengklaim bahwa ajaran yang disampaikannya tidak salah (luar biasa). Tanpa menyadari adanya paradoks dan kontradiksi, kelompok ini malah menganggap apa yang diyakininya adalah representasi seratus persen ajaran Muhammad. Dia bahkan menganggap generasi masyarakat yang hidup di zaman Muhammad sebagai generasi terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Melalui merekalah, ajaran Muhammad dipercaya aman dari segala manipulasi.

Betapa pun kenyataan menegaskan tidak semua hukum terjelaskan dalam teks al-Quran dan riwayat- riwayat Nabi, karena sejak berakhirnya masa pewahyuan dan pengawalan agama dengan wafatnya Muhammad, kelompok yang getol memasang atribut “salafi” ini tetap bersikukuh menganggap semua persoalan dan problema

p: 15

manusia, baik individual maupun sosial, telah dijelaskan hukumnya dalam teks al-Qur'an dan Sunnah. Kontradikisi demikian memang tidak menjadi beban psikologis dan tidak membuat mereka risih secara intelektual. Mengapa? Sejak semula, tampaknya kelompok ini, terutama para pemukanya, menyadari akan adanya “celah” invaliditas ini.

Oleh karena itu, kelompok ini mengantisipasinya dengan menutup rapat celah kritisisme dengan mengharamkan logika dan meniru penegasan para pemuka Kristen yang menganggap iman sebagai kontra akal dan logika.

Akibat dari pilihan pandangan, sikap dan cara mereka menghadapi tema-tema mutakhir, teristimewa fenomena-fenomena modernitas, benar-benar menggelikan sekaligus menyeramkan. Karena kecanduan “visualisasi”, mereka menyatakan perang terhadap segala sesuatu yang bersifat esoterik, mistik, abstrak, dan tentu saja, semua yang beraroma tasawuf. Siapa pun yang menyimpan apresiasi terhadap tasawuf, apalagi menjadi member ordo atau tarekat, akan dibungkus oleh kelompok “kacamata kuda” ini dalam karung "sesat” dan "bid'ah”.

Dan, karena hampir selain mereka dianggap teridentifikasi virus bid'ah, sesat, dan syirik, harga darah kelompok lain di mata kelompok ini tidak terlalu mahal.

Kelompok ini dengan bekal “agama biasa” melakukan segala aksi pemusnahan, pembunuhan, dan paling ramah, penyesatan, hanya dengan satu alasan amar makruf dan nahi munkar, yang lagi-lagi ditafsirkan secara "biasa”.

Oleh karena itu, pengafiran sesama muslim pun menjadi kebiasaan. Ini semua karena “biasa”.

p: 16

Kelompok Keempat Kelompok ini meyakini Muhammad sebagai “manusia luar biasa”. Kelompok ini meyakini demikian semata- mata karena personnya dan tidak berkaitan sama sekali dengan sistem mediasi Tuhan. Hal ini karena kelompok ini sejak semula menjadikan keyakinan kepada person Nabi sebagai salah satu fundamen iman, yang disebut dengan rukun iman.

Karena itulah, dengan tetap meyakini keluarbiasaan Muhammad sebagai person, kelompok ini tidak menolak teks-teks riwayat yang bertentangan dengan prinsip mediasi atau Nubuwah. Akibatnya, penghormatan dan pemujaan serta kecintaan kelompok ini kepada Muhammad bersifat personal, bukan institusional dan sistemik. Namun demikian, dibanding dengan kelompok pertama dan kedua, kelompok ini bisa dianggap yangterbaik.

Kelompok ini bahkan melestarikan penghormatan kepada Nabi dalam tradisi-tradisi yang sangat menyejukkan.

Kelompok Kelima Kelompok ini mendasarkan keyakinannya atas prinsip rasional “Nubuwah” (kenabian). Dengan kata lain, alasan kelompok ini menganggap Muhammad sebagai manusia “luar biasa” semata-mata karena keyakinannya akan sistem penciptaan dan tujuan penciptaan serta keyakinannya yang sangat rasional tentang lembaga mediasi Tuhan.

Menurut kelompok ini, pembawa dan penyampai wahyu bukanlah manusia biasa karena manusia penyampai wahyu berbeda dengan manusia yang tidak

p: 17

menyampaikan wahyu. Apabila penyampai wahyu adalah “manusia luar biasa (tidak salah dan lupa), maka: 1) Ajaran Tuhan yang disampaikannya luar biasa (tidak salah dan tidak lupa); 2) Penyampai ajaran Tuhan adalah manusia luar biasa (tidak salah dan tidak lupa); 3) Ajaran yang disampaikan mesti diterima dan diterapkan karena disampaikan oleh manusia yang tidak salah dan tidak lupa.(1) Rasionalitas Kesucian Profetik Kesucian profetik atau keselamatan spiritual adalah konsekuensi niscaya keimanan. Keimanan yang prima dapat dikategorikan sebagai pengetahuan hakiki, yang dalam epistemologi Islam disebut “pengetahuan hudhuri”, dan dalam tradisi Islam disebut wahyu.

Allah telah menciptakan dalam jiwa penghalang sangat tangguh yang dapat menghindarkannya dari keterlibatan dalam perbuatan-perbuatan berbahaya. Contohnya banyak sekali, yaitu bahwa pengetahuan kita akan kabel listrik yang menyala bila disentuh tanpa pengaman oleh siapa pun akan menimbulkan, paling sedikit, getaran.

Dalam surah al-Takātsur, ayat 5-6, Allah melukiskan pengetahuan tajam sejumlah orang, “Seandainya kalian mengetahui dengan pengetahuan yakin, niscaya kalian akan melihat neraka Jahim."(2) Tujuan fundamental dari pengutusan para Nabi adalah memandu umat manusia untuk mengenal realitas dan tugas-tugas yang ditentukan oleh Allah. Seandainya para duta Allah itu tidak konsekuen pada ajaran-ajaran Tuhan, bahkan melanggarnya, maka ucapannya tidak akan didengar oleh orang lain. Sebagai

p: 18


1- Thabathabai, Tafsir al-Mīzān, juz 11, 163.
2- M. Taqi Misbah Yazdi, Durūs fi al-Aqīdah al-Islāmiyyah, hlm. 51–53.

konsekuensinya, tujuan di balik penciptaan manusia tidak akan pernah tercapai.

Karena itulah, Kemahabijaksanaan dan Kemahalembutan Allah mengharuskan bahwa para Nabi maksum (terpelihara) dari dosa, bahkan tidak melakukan sesuatu yang tidak baik karena lalai atau lupa, agar masyarakat juga tidak menjadikan lalai dan lupa sebagai alasan untuk mejustifikasi perbuatan dosa dan maksiat Karena para Nabi diwajibkan (diberi tugas) meyampaikan isi wahyu dan risalah kepada umat manusia, serta memandu mereka untuk menempuh jalan yang lurus, dan bertugas untuk membersihkan jiwa masyarakat, mendidik, dan membenahi mereka, serta mengantarkan mereka melewati tahap-tahap kesempurnaan maksimal, maka tentu para Nabi terlebih dahulu telah mencapai tingkat tertinggi dari kesempurnaan dan jiwa mereka telah tercerahkan. Itulah kesucian profetik.4 Buku yang sedang Anda pegang ini memang tidak mengungkap semua kemegahan prinsip Kesucian Profetik yang niscaya ini. Buku ini hanya mengkhususkan diri dalam menjawab kritik-kritik dan syubhat-syubhat yang sering dilontarkan terhadap kemaksuman para Nabi. Mulai dari Nabi Adam a.s. sampai pada Nabi terakhir, Muhammad.

Dan di dalamnya, penulis dengan bahasan dan bahasanya yang padat, tajam, dan fokus menjawab semua kritik yang kerap ditujukan atas konsep Kesucian Profetik ini.

Jika pun ada sedikit kekurangan untuk buku ini, mungkin karena penulisnya (atau penerjemahnya?) menggunakan bahasa yang terlalu ilmiah dengan argumen-argumen yang terlalu padat-kadangkala

p: 19

hanya satu-dua paragraf untuk menjawab beberapa kritik—sehingga mungkin sulit dicerna oleh masyarakat awam yang sebenarnya jauh lebih membutuhkan buku ini. Padahal, buku sejenis ini, yang menerangkan argumen-argumen bernas akan kesucian para Nabi, sangatlah diperlukan seluruh umat Islam untuk menjaga penghormatannya kepada para Nabi, lebih khusus lagi pada Nabi Muhammad.

Kecuali itu, buku ini akan mengantarkan Anda ke gerbang paradigma holistis akan rahasia kesucian para nabi. Kesucian profetik bukan kultus, bukan juga penyanjungan berlebihan, melainkan aksioma semata yang melucuti semua keberatan dan kritik yang bila dikonfirmasi justru menihilkan agama. Dengan kata lain, dengan prinsip kesucian profetik inilah kita memiliki alasan rasional untuk lega, bahkan berani mati untuk agama ini.

Catatan:

1 New Age (Zaman Baru atau Gerakan Zaman Baru) adalah suatu gerakan spiritual yang terbentuk pada pertengahan abad ke-20.

Merupakan gabungan dari spiritualitas Timur dan Barat, serta tradisi-tradisi metafisika yang mengemukakan suatu filsafat yang berpusatkan kepada manusia. New Age bertujuan untuk menciptakan "spiritualitas tanpa batas atau dogma yang membatasi" yang inklusif dan pluralistik.

2 Thabathabai, Tafsir al-Mīzān, juz 11, 163.

3 M. Taqi Misbah Yazdi, Durūs fi al-Aqīdah al-Islāmiyyah, hlm. 51–53.

p: 20

PENDAHULUAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang SEGALA PUJI bagi Allah Yang Mahatinggi dengan keagungan sifat Esa-Nya, yang jauh dari jangkauan segala lintasan pikiran serta khayalan, Yang Mahasuci dengan kesempurnaan sifat shamādiyyah (tempat bergantung seluruh makhluk)-Nya dari segala pandangan dan pemahaman, yang ternafikan—karena keniscayaan esensinya-dari bentuk-bentuk aksiden dan fisik, yang terbebas dari segala faktor perubahan bentuk-bentuk karena keagungan sifat Ilahiah-Nya. Perjalanan masa dan pergantian bulan serta tahun tidak akan bisa mengubah- Nya. Dia pun tidak akan keliru dalam memberikan kenikmatan dan kebaikan kepada seluruh manusia.

Serta salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Muhammad Saw., nabi yang diutus untuk seluruh manusia dan salam kepada kerabat dan sahabatnya, imam umat Islam.

Risalah kecil ini ditulis dalam rangka membela para nabi dan rasul, dan menjaga makhluk pilihan serta orang- orang yang bertakwa ini. Risalah kecil ini menjelaskan kekeliruan orang-orang yang melemparkan tuduhan

p: 1

bahwa para nabi dan rasul melakukan dosa kejahatan serta memiliki kekurangan dan keburukan. Semua yang mereka katakan itu dusta dan bohong karena itu semua hanyalah sangkaan yang tidak memiliki alasan serta bukti.

Para penuduh itu adalah [bagaikan] orang-orang yang bersendawa bukan karena kekenyangan dan berbuat tamak bukan pada sesuatu yang harus dijadikan tamak.

Meski demikian, sangkaan yang mereka lemparkan ini tidak mungkin bisa melawan atau meracuni jalan yang lurus. “Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.” (QS Al-Kahf [18]:5). Hanya Allah yang pantas dipuji atas segala limpahan taufik-Nya. Manusia hanya pantas mensyukuri atas segala pencapaian yang diberikan-Nya.

Cukuplah Dia sebagai penolong kita dan Dia-lah sebaik- baik pelindung.

1. Berbagai Pendapat dan Mazhab dalam Kajian ini Ada empat hal yang menjadi perselisihan dalam masalah kemaksuman para nabi. Pertama, terkait dengan akidah. Mayoritas umat Islam percaya dan sepakat bahwa para nabi itu terpelihara dari segala kekufuran dan bid'ah. Hanya ada satu kelompok kecil, yakni golongan Khawarij yang berpendapat bahwa para nabi itu bisa saja melakukan kekufuran. Menurut kelompok ini, para nabi juga dapat melakukan dosa, dan karena setiap dosa adalah kekufuran, maka kekufuran bisa terjadi juga pada diri para nabi. Sementara itu, kelompok Rafidhah berpendapat bahwa para nabi boleh melakukan kekufuran dalam rangka taqiyyah (menyembunyikan identitas diri).(1)

p: 2


1- Abu Muhammad bin Hazm, dalam al-Milal wa al-Nihal, berkata bahwa ada yang berpendapat bahwa para rasul a.s. bisa secara sengaja berbuat durhaka kepada Allah dalam segala dosa besar dan kecil, tidak hanya dusta dalam menyampaikan ajaran saja. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Karamiyah dari golongan Murji'ah, Ibn al-Thayyib al-Baqalani dari kelompok Asy'ariah dan pengikutnya, juga Nasrani serta Yahudi. Saya juga pernah mendengar kelompok Karamiyah mengatakan bahwa para nabi boleh saja dusta dalam menyampaikan ajarannya. Adapun mengenai al-Baqalani, kami pernah melihat dalam kitab sahabatnya, Abu Ja'far al-Samnani seorang hakim Kota Mausul, ia berkata, “Para nabi boleh melakukan dosa besar atau kecil, bukan hanya dalam masalah menyampaikan ajaran saja.” la melanjutkan, “Mereka juga boleh melakukan kekufuran."

Kedua, terkait dengan seluruh syariat dan hukum Allah. Umat Islam sepakat bahwa disengaja ataupun tidak, para nabi tidak boleh melakukan penyimpangan dan pengkhianatan terhadap syariat serta hukum Allah. Kalau para nabi melakukan penyimpangan dan pengkhianatan terhadap syariat serta hukum Allah, tentunya para nabi tidak dapat dijadikan teladan. Akibatnya, tidak akan ada satu syariat pun yang patut dijadikan sandaran. Oleh karena itu, tidak mungkin syariat dilanggar oleh para nabi.

Ketiga, terkait dengan fatwa. Umat Islam sepakat bahwa para nabi tidak boleh secara sengaja melakukan kekeliruan. Namun, umat Islam berselisih mengenai kekeliruan yang dilakukan karena kelalaian atau ketidaksengajaan.

Keempat, terkait dengan perbuatan dan keadaan para nabi. Dalam masalah ini, umat Islam berbeda pendapat.

Perbedaan pendapat itu dapat digolongkan menjadi lima mazhab:

1. Kelompok Al-Hasyawiyah berpendapat bahwa para nabi boleh melakukan dosa besar dan kecil.

2. Mayoritas Mu'tazilah berpendapat bahwa para nabi sama sekali tidak boleh melakukan dosa besar, tetapi mereka boleh melakukan dosa kecil, dengan syarat dosa kecil itu bukan perbuatan yang tidak senonoh. Kalau dosa kecilnya mengandung kesenonohan-seperti melebihkan takaran biji-bijian, maka tidak boleh dilakukan.

3. Abu Ali al-Jubai' berpendapat bahwa para nabi tidak boleh melakukan dosa besar dan kecil. Mereka hanya

p: 3

boleh melakukan dosa karena kesalahan dalam proses takwil.

Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar al-Nadzam berpendapat bahwa para nabi tidak boleh melakukan dosa besar dan kecil, baik karena sengaja, takwil, maupun kekeliruan.

Adapun apabila lantaran lalai atau lupa, maka masih diperbolehkan, hanya saja mereka akan mendapatkan celaan karena ilmu mereka paling sempurna. Oleh karena itu, seharusnya mereka ekstra waspada.

Mazhab Syi'ah berpendapat bahwa para nabi tidak boleh melakukan dosa besar dan kecil, baik karena sengaja, takwil, kekeliruan, lalai, maupun lupa.

Umat Islam juga berbeda pendapat mengenai waktu ditetapkannya kemaksuman ini. Sebagian kecil dari mereka mengatakan bahwa sifat maksum sudah ada sejak lahir sampai meninggal dunia. Adapun mayoritas umat Islam mengatakan bahwa sifat maksum ini hanya wajib pada masa kenabian saja. Pendapat terakhir ini dikemukakan oleh mayoritas sahabat kami.

Adapun pendapat kami, sejatinya para nabi itu terpelihara dari melakukan dosa besar dan kecil yang dilakukan secara sengaja pada masa kenabian mereka.

Namun, hal ini diperbolehkan apabila karena kelalaian.

Selanjutnya, ada lima belas argumen yang menunjukkan keniscayaan adanya sifat maksum dalam diri para nabi, yaitu:

1- Seandainya para nabi melakukan dosa, tentu hal ini akan menyebabkan keadaan mereka layak mendapatkan celaan di dunia dan mendapatkan siksaan di akhirat. Siksaan di akhirat kepada para nabi, boleh jadi akan lebih pedih daripada siksaan kepada

p: 4

manusia durhaka lainnya. Dengan demikian, pendapat bahwa para nabi melakukan dosa menjadi tidak benar dan timbulnya dosa dari mereka juga tidak benar.

Berikut adalah penjelasan bahwa nabi tidak mungkin melakukan dosa. Kenikmatan paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah nikmat kerasulan dan kenabian. Setiap orang yang mendapatkan kenikmatan paling besar dari Allah, maka (bila ia berbuat dosa) perbuatan dosa yang dilakukannya pun ternilai lebih keji (seimbang dengan kemuliaan kedudukannya itu).

Akal yang jernih akan menerima hal ini. Di samping itu, dalil akli ini diperkuat dengan dalil naqli.

Pertama, firman Allah; “Hai istri-istri nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain," (QS Al-Ahzāb [33]: 32).

“Hai istri-istri nabi, siapa di antara kalian yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat,” (QS Al-Ahzāb [33]: 30).

Kedua, pezina yang sudah kawin harus dirajam sampai mati dan yang belum kawin harus dicambuk.

Ketiga, seorang budak dijatuhi hukuman setengah dari hukuman yang didapat oleh orang merdeka.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa jika para nabi melakukan dosa, konsekuensinya mereka layak mendapatkan celaan di dunia dan mereka pun layak mendapatkan siksaan di akhirat melebihi celaan dan siksaan semua orang durhaka

p: 5

yang lain. Hanya saja secara ijma', pendapat ini tidak benar. Sebab, tidak akan seorang rasul keadaannya lebih baik di sisi Allah, sementara kedudukannya lebih rendah di mata manusia lain. Argumentasi ini menunjukkan ketidakmungkinan para nabi melakukan dosa.

2- Jika para nabi melakukan dosa, tentu kesaksian mereka tidak akan diterima oleh Allah dan manusia. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,” (QS Al-Hujurāt [49]: 6).

Ayat ini mengandung perintah untuk melakukan verifikasi berita dan tidak menerima kesaksian (berita) dari orang fasik. Akan tetapi, hal ini tidak bisa diterapkan kepada para nabi karena mereka tidak mungkin menyampaikan berita yang tidak benar. Sebab, jika berita dari seorang nabi mengenai masalah dunia saja tidak benar, lalu bagaimana berita (kesaksiannya) mengenai agama dapat diterima manusia sampai hari kiamat? Padahal, Allah bersaksi bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah saksi bagi semua orang pada hari kiamat. Allah berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu," (QS Al-Baqarah [2]: 143). Bagaimana mungkin seorang pembohong akan menjadi saksi bagi seluruh rasul pada hari kiamat? Kesaksian seorang pembohong

p: 6

tentu tidak akan diterima di akhirat. Oleh karena itu, tidak mungkin seorang nabi adalah pembohong.

3- Jika para nabi melakukan dosa, tentunya mereka harus dicaci berdasarkan dalil adanya kewajiban melakukan amar ma'ruf nahi munkar bagi para nabi dan manusia seluruhnya. Akan tetapi, karena para nabi tidak melakukan dosa, mereka tidak pantas dicaci, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat," (QS Al-Ahzāb [33]: 57). Ini merupakan bukti lain bahwa nabi tercegah dari melakukan dosa.

4- Jika Nabi Muhammad Saw. melakukan kefasikan, tentunya kita dihadapkan kepada dua hal:

diperintahkan untuk mengikutinya padahal ia fasik; atau tidak diperintahkan mengikutinya padahal ia seorang nabi. Kedua hal ini tidak benar. Merujuk pada firman Allah, “Katakanlah: 'Jika kamu (benar- benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian,"” (QS Ali `Imrān [3]: 31).

Perintah “ikutilah” dalam firman Allah di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. mustahil melakukan kefasikan. Jika Nabi Muhammad Saw.

fasik, akan muncul dua konsekuensi yang tidak benar seperti diuraikan di atas.

5- Kalau para nabi melakukan kemaksiatan, pasti para nabi akan diancam dengan siksaan jahanam sebagaimana manusia lain yang melakukan kemaksiatan. Firman Allah, “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar

p: 7

ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan," (QS Al-Nisa' [4]: 14). Begitu juga orang yang zalim atau bermaksiat akan dilaknat, sebagaimana firman Allah, “Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (QS Hūd [11]: 18). Lantaran hal ini, ijma' umat menganggap bahwa para nabi tidak mungkin melakukan kemaksiatan.

6- Para nabi menyuruh melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Andaikan mereka meninggalkan ketaatan dan melakukan kemaksiatan, tentu saja mereka masuk ke dalam kategori firman Allah berikut ini, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan," (QS Al-Shaff [61]: 2–3). “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri.” (QS Al-Baqarah [2]: 44) Tindakan menyuruh orang lain mengerjakan ketaatan, sedangkan diri sendiri melupakan kewajibannya sangatlah buruk. Pada ayat lain, Allah juga menceritakan tentang rasul-Nya, Syu'aib, bahwa ia terbebas dari tindakan seperti itu. Syu'aib mengatakan, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang," (QS Hūd [11]: 88).

(7) Allah menggambarkan Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka

p: 8

adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, ſal- khayrāti]” (QS Al-Anbiyā? [21]: 90).

Huruf alif dan lam pada kata al-khayrāti yang berarti kebaikan dalam bentuk jamak, menunjukkan makna umum. Artinya, kata kebaikan berarti termasuk di dalamnya melakukan segala yang diperbolehkan dan meninggalkan segala yang tidak diperbolehkan.

Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub mengerjakan segala ketaatan dan menjauhi segala kemaksiatan.

(8) Firman Allah, “Wa innahum ‘indanā lamusthafayna al-akhyār, “Dan sesungguhnya pada sisi Kami, mereka benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik,” (QS Shād [38]: 47).

Berdasarkan dalil dibolehkannya pengecualian, dua kata “al-mushthafayn” dan “al-akhyār” mengandung makna kata mengerjakan dan meninggalkan. Contohnya, si fulan termasuk orang pilihan kecuali dalam masalah... Pengecualian mengeluarkan dari suatu perkataan apa yang ingin dikeluarkan, di mana jika tidak ada pengecualian tersebut, maka hal selainnya yang dikecualikan bisa masuk. Dengan begitu, ayat ini menunjukkan bahwa para nabi termasuk orang-orang pilihan yang paling baik dalam segala hal. Jadi, mereka tidak akan melakukan perbuatan dosa. Ayat yang senada dengan ayat di atas adalah firman Allah, “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia;” (QS Al-Hajj [22]: 75).

p: 9

“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),” (QS Ali Imran [3]:33). Allah berfirman mengenai Ibrahim, “Dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat benar-benar dia termasuk orang-orang yang saleh,” (QS Al-Baqarah [2]: 130).

Allah berfirman mengenai Musa, “Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu atas manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku,” (QS Al-A'rāf [77: 144). “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan- perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.

Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat,” (QS Shād [38]: 45-46).

Pemilihan ſoleh Allah] tidak menghalangi manusia yang dipilih-Nya untuk melakukan dosa.

Hal ini berdasarkan dalil, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah” (QS Fāthir [35]: 32). Allah membagi orang- orang pilihan menjadi tiga: orang yang zalim (zālim), orang yang berada di pertengahan (muqtashid), dan orang yang lebih dahulu (sābiq). Kata ganti dari fa minhum kembali kepada kata min ‘ibādinā, bukan

p: 10

kepada kata alladzīna ishthafaynā karena kata ganti harus kembali kepada kata yang paling dekat.

(9) Firman Allah tentang kisah Iblis, “Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba- hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (QS Shād [38]: 82–83). Orang-orang yang tulus dikecualikan dari gangguan dan penyesatan iblis. Lalu, Allah bersaksi bahwa Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub adalah orang-orang yang tulus. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi,” (QS Shād [38]: 46). Allah berfirman mengenai Yusuf , “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih” (QS Yusuf [12]: 24).

Saat iblis menetapkan bahwa godaan dan bisikannya tidak akan menimpa orang-orang yang tulus, dan Allah pun bersaksi bahwa para nabi adalah orang- orang tulus, jelas bahwa godaan dan bisikan iblis tidak mengenai mereka. Dengan demikian, secara mutlak tidak ada kemaksiatan yang timbul dari diri para nabi.

(10) Allah berfirman, “Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka, lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman,” (QS Saba' [34]: 20).

Orang-orang yang tidak mengikuti iblis adalah para nabi atau manusia lainnya. Jika mereka itu bukan para nabi, tentunya manusia lain akan lebih utama daripada para nabi itu sendiri. Firman Allah, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa

p: 11

di antara kamu," (QS Al-Hujurāt [49]: 13). Apakah ada manusia yang lebih utama daripada para nabi? Secara ijma' tidak dibenarkan mengutamakan manusia biasa selain nabi atas diri nabi. Oleh karena itu, secara mutlak harus diyakini bahwa orang- orang yang tidak mengikuti iblis—dalam konteks ayat di atas-adalah para nabi. Setiap orang yang melakukan dosa, berarti mengikuti iblis. Padahal, tidak mungkin para nabi mengikuti iblis. Dengan demikian, ayat ini menunjukkan bahwa yang paling mulia di antara manusia adalah para nabi. Argumen ini pun menunjukkan bahwa para nabi tidak melakukan dosa.

(11) Allah membagi orang-orang mukalaf (orang yang terkena taklif atau orang yang mempunyai kewajiban agama) menjadi dua: Pertama, pengikut setan, sebagaimana dalam firman-Nya, “Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi," (QS Al-Mujādilah [58]: 19). Kedua, pengikut Allah, sebagaimana dalam firman-Nya, “Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah (golongan Allah) itu adalah golongan yang beruntung,” (QS Al-Mujādilah [58]: 22).

Tidak diragukan lagi, bahwa pengikut setan adalah orang-orang yang melakukan apa yang diinginkan dan diperintahkan setan kepadanya. Jika para nabi melakukan dosa, maka mereka itu pengikut setan. Benar sekali firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan setan itulah golongan yang merugi,” (QS Al-Mujādilah [58]: 19). Tidak diragukan

p: 12

lagi bahwa para nabi adalah orang-orang yang paling zuhud dari semua umat manusia, sebagaimana firman Allah, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” (QS Al-Mujādilah [58]: 22).

Seandainya ayat di atas mengindikasikan makna tentang adanya manusia dari umat ini yang lebih utama selain para nabi, tentu manusia tersebut adalah hizbullah (golongan Allah). Sementara, tanpa diragukan lagi tidak ada yang lebih utama dari para nabi. Oleh karena itu, hizbullah atau golongan Allah juga bermakna golongan para nabi.

(12) Para sahabat kami rahimahullah menjelaskan bahwa para nabi lebih utama daripada para malaikat. Hal itu dibuktikan dengan dalil bahwa mereka tidak melakukan dosa. Jika para nabi melakukan dosa, tentunya dosa itu akan menghalangi mereka untuk menjadi lebih utama daripada para malaikat. Firman Allah, “Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang- orang yang berbuat maksiat?” (QS Shād [38]: 28).

(13) Allah berfirman mengenai Ibrahim , “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia," (QS Al-Baqarah [2]: 124). Imam adalah orang yang harus diikuti. Jika timbul dosa dari diri Ibrahim, para makhluk wajib mengikuti dosanya. Tentu saja ini tidak benar. Para makhluk tidak boleh mengikuti

p: 13

perbuatan dosa yang dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, imam tidak mungkin melakukan dosa karena imam secara mutlak harus diikuti manusia.

(14) Firman Allah, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2]: 124). Setiap orang yang berani melakukan dosa, ia adalah orang yang zalim terhadap dirinya sendiri. Pada konteks di atas, imam tidak mungkin melakukan dosa, maka imam tidak zalim terhadap diri mereka sendiri. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri,” (QS Fāthir [35]: 32). Sebagaimana diketahui bahwa janji Allah tidak akan dapat diraih oleh orang-orang zalim, baik pada masa kenabian atau masa para imam.

Para nabi jelas terhindar dari dosa. Para imam pun jelas terhindar dari dosa. Masa para imam itu tingkatannya lebih akhir dari masa kenabian. Jika para imam pada masanya saja tidak timbul dosa dari mereka, tentunya akan masuk akal bila dosa itu juga tidak timbul pada masa kenabian.

(15) Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari membenarkan klaim Nabi Muhammad Saw., padahal ia sendiri tidak mengetahui peristiwanya. (1)Khuzaimah berkata, “Aku membenarkan apa yang engkau (Muhammad) beritakan mengenai keadaan langit, maka apakah aku mesti tidak membenarkanmu dalam masalah takdir ini?” Setelah mengatakan itu, nabi pun membenarkannya dan menggelarinya “dzisyahadatain” (orang yang memiliki dua kesaksian) karena membenarkan (menyaksikan) berita langit

p: 14


1- Imarah meriwayatkan dari bapaknya, Khuzaimah bin Tsabit al- Ausi al-Anshari, salah seorang yang pertama masuk Islam, bahwa Nabi Muhammad Saw., pernah membeli seekor kuda dari Sawa' bin Qais al-Muharibi, tetapi Sawa' mengingkarinya, lantas Khuzaimah bersaksi untuk nabi, kemudian nabi bersabda, “Apa alasan yang membuatmu memberikan kesaksian, padahal saat itu engkau tidak hadir bersama kami?" Khuzaimah menjawab, "Aku membenarkan apa yang engkau bawa, dan aku tahu bahwa engkau tidak pernah mengatakan kecuali yang benar.” Lalu Nabi Muhammad Saw., bersabda, “Siapa yang Khuzaimah memberikan kesaksian kepadanya, maka itu sudah cukup." Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Kesaksian Khuzaimah dianggap sebagai dua kesaksian. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari.

dan takdir. Seandainya Nabi Muhammad Saw. dusta, tentunya kesaksian Khuzaimah tersebut pun dusta dan kesaksian Khuzaimah ini tidak boleh dilakukan.

Setelah kita menjelaskan dalil-dalil yang menunjukkan kemaksuman para nabi, sekarang akan dipaparkan dalil-dalil kemaksuman para malaikat. Hal ini ditunjukan dalam empat aspek:

Pertama, firman Allah mengenai sifat malaikat, “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka),” (QS Al-Nahl [16]: 50). Perilaku malaikat adalah takut kepada Tuhan mereka dan melaksanakan segala perintah Tuhan mereka. Perilaku ini berlaku bagi seluruh malaikat yang direpresentasikan dalam bentuk melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan. Setiap orang yang dilarang melakukan sesuatu, ia juga diperintahkan juga untuk meninggalkan hal tersebut.

Kedua, firman Allah mengenai sifat malaikat, “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba- hamba yang dimuliakan. Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah- perintah-Nya.” (QS Al-Anbiya' [21]: 26–27).

Ketiga, firman Allah, “Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya," (QS Al-Anbiya' [21]: 20).

Makhluk yang memiliki sifat seperti ini tidak mungkin melakukan dosa. Makhluk yang selalu bertasbih atau mengingat Allah tidak mungkin melakukan dosa.

Keempat, malaikat adalah utusan Allah sebagaimana firman-Nya, “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-

p: 15

utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)” (QS Fāthir [35]: 1).

Sementara itu, selain malaikat, utusan Allah adalah juga orang-orang yang maksum sebagaimana firman Allah yang mengagungkan mereka, “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan” (QS Al-An'ām [6]: 124).

Itulah beberapa dalil tentang kemaksuman para nabi dan malaikat. Perlu diketahui bahwa banyak sekali keraguan dan tuduhan yang dilemparkan para penentang dalam masalah ini. Kita akan paparkan tuduhan-tuduhan tersebut secara ringkas saja.

p: 16

KESUCIAN NABI ADAM

Syubhat Pertama dalam kisah Adam, para penentang sifat kemaksuman para nabi berpegang kepada enam alasan:

Adam adalah orang yang durhaka. Tentunya, orang yang durhaka adalah pelaku dosa besar. Asumsi ini didasarkan atas firman Allah, “... dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS Thāhā [20]: 121).

Orang durhaka adalah pelaku dosa besar berdasarkan dua segi: Pertama, nash menghendaki Adam harus mendapatkan hukuman sebagaimana dalam firman Allah, “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan- ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya," (QS Al-Nisā' [4]: 14). Dengan demikian, arti pelaku dosa besar adalah orang yang melakukan perbuatan yang harus mendapatkan hukuman. Kedua, durhaka atau maksiat adalah kata yang hanya disandangkan kepada pelaku dosa besar.

2. Adam melakukan tobat. Padahal orang yang tobat itu berarti telah melakukan dosa. Asumsi ini didasarkan

p: 17

atas firman Allah, “Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk," (QS Thāhā [20]: 122). “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 37).

Kita mengatakan bahwa orang yang bertobat adalah orang yang pernah melakukan dosa. Orang yang bertobat adalah orang yang menyesali perbuatan dosa. Sementara, orang yang menyesal atas perbuatan dosa, berarti sedang menjelaskan bahwa dirinya pernah melakukan dosa. Jika ia dusta dalam pengakuannya tersebut, ia telah berdosa karena berdusta dan jika benar dalam pengakuannya itu, maka ia mengakui bahwa ia berdosa.

3. Adam telah melanggar larangan, sebagaimana Allah berfirman, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu.” (QS Al-A'rāf [77:22). “Dan janganlah kamu dekati pohon ini,” (QS Al-Baqarah [2]: 35). Padahal, melanggar larangan adalah esensi sebuah dosa.

Allah menyebut Adam dengan orang zalim sebagaimana dalam firman-Nya, “... yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah [2]: 35). Nabi Adam sendiri juga menamakan dirinya orang zalim, sebagaimana dalam firman-Nya, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri,” (QS Al-A'rāf [7]: 23).

Padahal, orang zalim itu dilaknat sebagaimana firman Allah, “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (QS Hūd [11]: 18). Jika

p: 18

ia termasuk orang zalim, tentunya ia adalah pelaku dosa besar.

Adam mengakui bahwa kalau bukan karena ampunan Allah kepadanya, tentu ia sudah menjadi orang yang merugi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, "... dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al-A'rāf [7]:

23). Dengan demikian, ia menjadi pelaku dosa besar.

6. Adam dikeluarkan dari surga disebabkan bisikan dan ketergelinciran. Ia dihukum atas kelancangannya menaati setan. Ini menunjukkan bahwa Adam adalah pelaku dosa besar. Para penentang menambahkan bahwa tiap-tiap aspek ini tidak menunjukkan bahwa Adam adalah pelaku dosa besar, tetapi jika semua aspek digabungkan, secara mutlak menunjukkan bahwa Adam adalah pelaku dosa besar. Akan tetapi, sebenarnya bisa juga setiap aspek di atas menunjukkan bahwa Adam adalah pelaku dosa besar.

Namun, ketika semuanya disatukan maka itu akan menjadi petunjuk atas ketidakmaksuman Nabi Adam.

Jawaban terhadap segala argumen para penentang di atas ialah sebagai berikut: Ada sebagian yang berpendapat bahwa hal ini terjadi sebelum masa kenabian sehingga kita tidak bisa menetapkan bahwa Adam berdosa setelah menjadi nabi. Namun, pendapat lain juga menyebutkan bahwa hal-hal yang terjadi di atas meski sebelum masa kenabian, itu termasuk perbuatan-perbuatan dosa. Dengan

p: 19

demikian, bagi para nabi, sebelum masa kenabian pun mereka tidak boleh berdosa.

Pleidoi:

Berbagai keraguan di atas telah dijawab oleh orang- orang yang tidak memperbolehkan munculnya dosa dari para nabi sebelum masa kenabian.

Jawabannya adalah sebagai berikut:

1. Kemaksiatan adalah menyalahi perintah. Perintah itu bisa berupa kewajiban, sunah, atau anjuran.

Akan tetapi, sebagian perintah Allah merupakan anjuran bukan perintah. Contohnya, saya menganjurkan seseorang supaya menyuruh anaknya melakukan suatu perbuatan, tetapi orang itu tidak mematuhinya; atau saya menganjurkannya untuk minum vitamin (agar ia lebih sehat), tetapi ia tidak mematuhinya. Lantaran hal ini, kata durhaka tidak bisa disandangkan kepada Adam karena ia hanya meninggalkan anjuran, bukan kewajiban.

Ada orang yang berkata, “Zahir al-Qur'an menunjukkan bahwa orang yang bermaksiat pantas mendapatkan hukuman”. Oleh karena itu (sesuai penjelasan di atas), kita perlu mengkhususkan “orang yang bermaksiat” untuk orang yang meninggalkan kewajiban saja. Di samping itu, dijelaskan pula bahwa “bermaksiat” juga disandangkan untuk kata celaan sehingga lebih tepat bila kata “bermaksiat” hanya disandangkan kepada “orang yang meninggalkan kewajiban”. Pasalnya, jika kata “bermaksiat” disandangkan kepada “orang yang meninggalkan

p: 20

anjuran Allah”, tentu saja para nabi harus digambarkan sebagai orang-orang yang bermaksiat dalam segala hal karena mereka itu tidak pernah terlepas dari kemaksiatan dan meninggalkan anjuran. Padahal, orang yang meninggalkan sebuah anjuran tidak bisa dinamakan orang maksiat. Dengan demikian, kata “bermaksiat” pada masalah ini adalah bentuk majas (metafora). Sebab, majas tidak bisa dipisahkan dari al-Qur'an, maka bisa kita katakan bahwa ketika Anda menerima ungkapan “bermaksiat”, itu (bisa saja) merupakan majas. Jadi, perbuatan maksiat yang dilakukan Adam adalah tidak ada. Dengan demikian terjawablah dalil dari penentang kemaksuman.

Adapun ungkapan, “Aku menganjurkan seseorang untuk menyuruh anaknya melakukan suatu perbuatan, lalu orang itu bermaksiat padaku [mendurhakaiku],” ini bukan berasal dari perkataan orang Arab asli. Kalau pun kita menerimanya, tentunya si penganjur harus menegaskan kepada orang yang diberi anjuran itu bahwa ia “harus” melakukan perbuatan itu dan tidak boleh melanggarnya.

Pada saat itulah tercapai makna penetapan wajib, walaupun pelaksanaan kewajibannya tidak tercapai.

Dengan demikian, dari penjelasan di atas diketahui bahwa kata “maksiat” tidak bisa disematkan kecuali jika sudah terbukti adanya penetapan kewajiban.

Namun, kita telah sepakat bahwa kewajiban yang bersumber dari Allah itu menunjukkan keharusan.

Oleh karena itu, [seandainya] kata “maksiat” disematkan kepada Adam, ia lebih tepat apabila disebabkan Adam meninggalkan sebuah kewajiban.

p: 21

2. Adam adalah orang yang bertobat. Golongan orang yang berpendapat bahwa nabi boleh melakukan dosa kecil menjawab syubhat ini dengan menyatakan bahwa Nabi Adam bertobat dari dosa kecil yang dilakukannya. Seseorang harus melakukan tobat dari dosa kecil dan dosa besar. Jika pelaku dosa kecil tidak bertobat atas dosa kecil yang dilakukannya, ia akan terus-menerus melakukan dosa kecil tersebut. Dosa kecil yang dilakukan terus-menerus akan menjadi dosa besar.

Sementara itu, golongan orang yang tidak memperbolehkan munculnya dosa kecil dari para nabi menjawab, bahwa tobat itu sebaiknya dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak melakukan dosa dalam rangka kembali mendekatkan diri kepada- Nya. Segi kebaikan dari tobat seperti ini adalah mendapatkan pahala. Dalilnya adalah, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat.” Kalau tobat selalu harus didahului oleh perbuatan dosa, maka pernyataan tersebut menjadikan semua orang yang bertobat sebagai orang-orang yang telah berbuat dosa. Padahal tidak semua orang yang bertobat harus didahului dengan dosa karena berbuat dosa tidak diperbolehkan.

3. Adam melanggar larangan. Apakah larangan itu? Kami menjawab bahwa larangan itu tidak hanya menunjukkan pengharaman semata, tetapi juga gabungan antara pengharaman dan tanzih (penyucian). Penjelasannya sebagai berikut: larangan itu menunjukkan bahwa aspek meninggalkan yang

p: 22

haram lebih kuat daripada aspek mengerjakan penyucian diri. Adapun aspek mengerjakan yang haram pada konteks Adam di atas, apakah menyebabkan adanya keharusan mendapatkan hukuman atau tidak, ini keluar dari makna lafal. Kalau mengerjakan yang haram pada konteks di atas tidak harus mendapatkan hukuman, maka pengambilan dalil bahwa Adam berdosa menjadi gugur. Sebaliknya, kalau mengerjakan larangan itu menunjukkan pengharaman, maka Adam mengerjakan larangan itu karena ia lupa sebagaimana firman Allah, “Maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat,” (QS Thāhā [20]: 115).

Pada saat Adam lupa, ia tidak berdosa karena taklif (kewajiban agama yang dibebankan kepada penganutnya-peny.) dihilangkan dari orang yang lupa. Namun demikian, ada orang yang menentang kalau Adam melakukan perbuatannya dalam keadaan lupa. Dalilnya adalah firman Allah, “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat,” (QS Al-A'raf [7]: 20) “Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.” (QS Al- A'raf [7]: 21).

Ayat di atas menunjukkan bahwa Adam tidak lupa terhadap larangan Tuhan di saat ia melakukan perbuatan tersebut. Selain itu, kalau dirinya lupa tentunya tidak akan dicela atas perbuatan yang dilakukannya dan tidak akan disebut orang

p: 23

yang durhaka. Adanya celaan yang diterimanya, menunjukkan bahwa ia tidak lupa. Adapun firman Allah... maka ia lupa akan perintah itu” menetapkan bahwa ia lupa. Padahal dalam perbuatan yang dilakukannya itu ia tidak lupa. Kita menerima bahwa Adam tidak lupa. Ia hanya keliru dalam berijtihad.

Sebab, kata hadzihi (ini) dalam firman Allah wa lā taqrabā hadzihi al-syajarah (Dan janganlah kamu dekati pohon ini [QS Al-Baqarah (2): 35]) mengisyaratkan kepada seseorang, juga kepada suatu jenis (pohon atau dosa) sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad Saw., "Hadzā wudhū'un lā yuqbaluLlāhu al-shalāta illā bihi (Ini adalah wudhu, Allah tidak akan menerima salat yang dilakukan tanpa wudhu).” Adam merasa samar dalam masalah ini. Ia mengira bahwa maksud kata “ini” adalah seseorang, lalu ia membelokkannya kepada orang lain. Adam tidak disebut berdosa besar sebagaimana seorang mujtahid tidak disebut pelaku dosa besar manakala keliru dalam melakukan ijtihad dalam satu cabang hukum.

Kata “ini” kemungkinan mengandung dua hal. Kata “ini” bisa berarti harus dilakukan saat itu karena menunda dari waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh penjelasan adalah tidak boleh.

Seandainya penjelasan sudah dikemukakan dan Adam memahami penjelasan itu, maka kekeliruan Adam tidak bisa dimaafkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan, “Barangkali penjelasannya dicapai dengan jalan tersembunyi dan samar.” Dengan demikian,

p: 24

orang yang melakukan kekeliruan dalam hal yang tersamar seperti ini akan dimaafkan.

Allah menyebut Adam sebagai orang zalim. Terhadap pernyataan ini, golongan yang membolehkan para nabi melakukan dosa kecil mengemukakan argumentasi sebagai berikut. Setiap dosa kecil atau pun besar yang dilakukan oleh seorang mukalaf, maka pelaku dosa itu masuk kategori orang yang zalim terhadap dirinya sendiri, sedangkan kelompok yang tidak membolehkan para nabi melakukan dosa kecil menjawab bahwa meninggalkan perbuatan yang utama adalah zalim. Hal itu disebabkan ia telah menelantarkan dirinya dengan menyia-nyiakan perbuatan utama yang mendatangkan pahala besar bagi dirinya. Orang seperti ini layak disebut orang yang zalim terhadap dirinya. Sebab, hakikat zalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya.

Demikian juga dalam masalah ini.

5. Pernyataan di atas (lihat syubhat pertama alasan kelima) mengandung penjelasan melakukan dosa kecil atau meninggalkan perbuatan utama dan penjelasannya sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas.

6. Pernyataan di atas (lihat syubhat pertama alasan keenam) tidak ada dalam ayat. Hanya saja, Adam dikeluarkan dari surga karena keberanian atau kelancangannya melakukan perbuatan terlarang tersebut. Akan tetapi, peristiwa ini tidak menunjukkan bahwa pengusiran Adam dalam rangka menjadi contoh [perbuatan] dosa dan peremehan

p: 25

perintah Allah. Bagaimana mungkin Adam melakukan dosa atau meremehkan perintah Allah, sementara Allah menciptakannya supaya menjadi khalifah-Nya di muka bumi? Jika tujuan utama penciptaan Adam adalah menjadi khalifah di bumi, maka bagaimana bisa dikatakan bahwa Adam diusir sebagai bentuk hukuman dan pelecehan. Dalil al- Qur'an menunjukkan bahwa perjalanan Adam sudah direncanakan tinggal di bumi. Jika Adam durhaka dan zalim secara hakikat, maka harus diputuskan bahwa ia pantas mendapatkan neraka sebagaimana firman Allah, “Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam," (QS Al-Jinn [72]: 23). Orang yang durhaka dan zalim juga mendapatkan laknat sebagaimana firman Allah, “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim.” (QS Hūd [11]: 18). Umat Islam telah sepakat bahwa hal ini tidak boleh terjadi.

Oleh karena itu, secara mutlak kita tahu bahwa harus ada takwil. Hanya Allah pemilik taufik.

Syubhat Kedua Para penentang berpegang kepada firman Allah, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika

p: 26

Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan,” (QS Al-A'rāf [7]: 189–190).

Para penentang itu mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa diri yang satu adalah Adam dan istri yang diciptakan darinya adalah Hawa.” Bentuk kiasan dalam ayat ini kembali kepada keduanya sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS Al-A'rāf [7]: 190).

Hal ini menyebabkan timbulnya kemusyrikan dari keduanya. Para penentang itu kemudian mengatakan bahwa tatkala Hawa hamil, Iblis memperlihatkan anak yang sedang dikandungnya kepada Hawa. Lalu iblis berkata, “Kalau engkau ingin anakmu hidup, ia harus diberi nama Abdul Harits (secara bahasa bermakna hamba al- Harits).” Iblis itu sendiri bernama al-Harits. Tatkala Hawa melahirkan, bayinya dinamakan Abdul Harits. Oleh karena itu, Allah berfirman “Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan,” (QS Al-A'rāf [7]: 190).

p: 27

Pleidoi:

Menanggapi permasalahan di atas, sebenarnya kami tidak menerima pendapat yang mengatakan bahwa maksud 'diri yang satu' (al-nafs al-wāhidah) dalam ayat ini adalah Adam, karena tidak ada petunjuk dalam ayat tersebut yang menunjukkan bahwa diri yang satu dalam ayat ini adalah Adam. Jika dikatakan bahwa perkataan ini ditujukan kepada orang Quraisy dari keluarga Qushay, maknanya menjadi Dialah yang menciptakan kamu dari diri Qushay dan dari padanya Dia menciptakan istrinya seorang wanita Arab Quraisy untuk bersenang-senang dengannya. Setelah keduanya diberi anugrah anak saleh yang diinginkannya, keduanya memberi nama keempat anak-anaknya dengan nama Abdul Manaf, Abdul Uzza, Abdu Qushay, dan Abduddar. Kata ganti lafal yusyrikūn (apa yang mereka persekutukan) menunjukkan kepada keduanya dan keturunannya.

Selain apa yang sudah dipaparkan di atas, mereka juga menyebutkan sisi lainnya. Namun, semuanya lemah lantaran beberapa hal. Pertama, semua kiasan dalam ayat ini merujuk kepada Adam dan Hawa, kecuali pada kata ja'ala dan yusyrikūn yang menunjukkan kepada keturunannya sehingga perkiraan makna penjelasannya adalah tatkala Allah memberikan anak saleh kepada Adam dan Hawa sebagaimana yang mereka minta, kekufuran anak-anaknya disandarkan kepada selain Allah, dan penyebutan keduanya dalam bentuk tatsniyah (bentuk dua) adalah karena keduanya dua jenis, laki-laki dan perempuan. Penjelasan ini diperkuat oleh firman Allah, “Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka

p: 28

persekutukan.” Ini menunjukkan bahwa maksud dari tatsniyah adalah dua jenis (kelamin) yang telah disebutkan.

Kedua, firman Allah “dari diri yang satu” adalah Adam dan darinya diciptakan istrinya, yaitu Hawa. Sampai di sinilah cerita tentang Adam dan Hawa. Kemudian, penyebutan dikhususkan kepada anak-anak Adam yang musyrik, yang meminta apa-apa yang mereka pinta, tetapi menjadikan sekutu bagi Allah. Boleh saja menyebutkan umum kemudian dikhususkan penyebutan sebagiannya. Hal ini banyak contohnya dalam al-Qur'an, Allah berfirman, “Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada- Nya semata-mata. (mereka berkata:) 'Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami akan Termasuk orang-orang yang bersyukur.' Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS Yūnus [10]: 22 - 23). Di awal ayat disebutkan secara general untuk seluruh makhluk,

p: 29

kemudian di akhir ayat dikhususkan untuk sebagiannya.

Begitu juga dalam masalah Adam.

Perlu diketahui bahwa dua hal ini, umum dan khusus, mengharuskan adanya satu dampak yang disebutkan dalam kiasan yang berurutan. Sebagian dipalingkan kepada dampak yang disebutkan dan sebagian lain dipalingkan kepada yang lainnya. Ini tentunya akan mengacau-balaukan susunan.

Ketiga, huruf “ha” (kata ganti“nya”) dalam firman Allah, Ja'ala lahu syurakā’, kembali kepada anak, bukan kepada Allah. Dengan demikian, maknanya adalah keduanya mohon kepada Allah seorang anak, bukan anak saleh. Hal ini seperti ucapan Anda, “Anda meminta dirham dari saya, ketika saya memberimu dirham, engkau meminta supaya disertakan dengan dirham lainnya, artinya Anda meminta dirham tambahan.” Ini lemah dari dua segi: pertama, jika huruf “ha” dalam kata “lahu” kembali ke kata anak, maka ayatnya akan berbunyi, falamma ātāhumā shālihan (Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna). Kedua, firman Allah, fa ta'ālallāhu ‘amma yusrikūn (Maka Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan) menjadi terputus dari sebelumnya, yang tentunya menyebabkan kelemahan. Inilah penjelasan tentang ayat tersebut.

Adapun riwayat [tentang pemberian nama anak Adam oleh Iblis) yang mereka paparkan, ditinjau dari tiga aspek, mengandung riwayat yang lemah. Pertama, riwayatnya bersifat āhād (riwayat yang diriwayatkan oleh satu orang) sehingga tidak bisa diterima dalam praktek.

Kedua, Adam dan Hawa meyakini bahwa anak tersebut

p: 30

ciptaan iblis atau boleh jadi keduanya tidak meyakini bahwa anaknya ciptaan Iblis. Namun, keduanya memberi nama anak itu Abdul Harits, padahal al-Harits itu nama iblis. Kalau pendapat pertama (bahwa anak tersebut ciptaan iblis) yang dianggap benar, tentunya Adam dan Hawa telah meyakini ketuhanan iblis, sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh orang yang berakal. Kalau pendapat kedua yang diterima (bahwa keduanya tidak meyakini bahwa anaknya ciptaan Iblis), maka ini tidak menunjukkan adanya kekufuran dan kesyirikan. Sebab, pemberitaan itu hanya memberitahukan pemberian nama dengan Abdul Harits yang tidak berarti dia adalah seorang budak dari si iblis al-Harits. Pemberitaan ini hanya berposisi sebagai isyarat saja sehingga tidak mengharuskan adanya kekufuran dan kemusyrikan sama sekali.

Ketiga, Adam mampu menahan tipu daya iblis. Hal ini disebabkan, antara Adam dan Iblis sudah ada permusuhan sengit sejak awal penciptaannya sampai masa kehamilan Hawa. Anggap saja Adam belum menjadi nabi dan Muslim, bukankah ia sudah berakal? Benar sekali. Riwayat buruk ini tidak boleh diterima oleh orang berakal, apalagi oleh seorang Muslim.(1)

p: 31


1- Imam al-Hafidz Abu Muhammad bin Hazm dalam kitab al-Milal wa al-Nihal berkata, “Penisbatan yang disandarkan kepada Adam dalam memberikan nama Abdul Harits adalah khurafat, palsu dan bohong, yang sengaja dilakukan oleh orang yang tidak memiliki agama dan rasa malu, dan sanadnya sama sekali tidak benar. Adapun ayat tersebut (QS Al-A'rāf [7]: 190-peny.) secara zahir diturunkan kepada orang-orang musyrikin. Anehnya, Ibn Jarir mengaku sepakat dengan riwayat itu, kemudian mencari berbagai alasan yang jauh dan lemah. Semoga Allah mengampuninya dan para pengikutnya atas khurafat ini.

p: 32

KESUCIAN NABI NUH

Syubhat Pertama pertama, para penentang kemaksuman nabi berpegang kepada firman Allah, “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya? Allah berfirman: 'Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan,” (QS Hūd [11]: 45-46).

Ayat ini didasarkan kepada dua segi:

1. Anak Nuh bukan termasuk keluarganya. “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik" Ayat ini menunjukkan bahwa anak tersebut bukan anak Nuh.

Dengan demikian perkataan Nuh, “Sesungguhnya

p: 33

anakku termasuk keluargaku" adalah dusta dan ini termasuk maksiat.

2-Permohonan Nuh adalah maksiat berlandaskan kepada tiga ayat.

"Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya.

Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan” (QS Hūd [11]: 46).(1) “Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)-nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi,” (QS Hūd [11]: 47).

“Sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik,” (QS Hūd [11]: 46).

Dalam ayat (yang disebut terakhir, yakni innahu ‘amalun ghayru shālih] ini ada dua bacaan: bacaan menurut al-Kisa'i(2) yang menghasilkan arti bahwa anakmu adalah (hasil) perbuatan yang tidak baik, sedangkan bacaan yang lainnya dengan harakat tanwin dan rafa'. Bacaan pertama tidak diutamakan karena pada yang disifati ('amal) terdapat kata ganti (dhamir) yang tersembunyi.(3) Ini berbeda dengan bacaan asal sehingga ditentukanlah bacaan kedua. Huruf ha dalam kata innahu adalah kata ganti, sedangkan kata ganti itu sendiri harus kembali kepada sesuatu yang sudah disebutkan sebelumnya, entah itu permintaan atau anak. Namun, kata ganti yang

p: 34


1- Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah oleh mereka karena Nuh menakwilkan janji Allah yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya sesuai zahir kekerabatan, ia mengira bahwa anaknya itu bagian dari keluarganya. Perbuatan ini kalau dilakukan oleh seseorang, tentunya akan mendapatkan pahala. Sementara, Nuh tidak meminta menyelamatkan orang yang diyakini bahwa anak itu bukan bagian dari keluarganya sehingga dari keterangan ini keluar larangan agar ia tidak termasuk orang- orang yang tidak berpengetahuan. Akhirnya, Nuh menyesal dan mencabut permintaannya. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk berbuat maksiat."
2- Al-Kisa'i merupakan salah satu qirā'at (bacaan) al-Qur'an dari tujuh macam qirā'at yang diakui. Penamaan al-Kisa'i sendiri merujuk pada seorang tokoh ahli qirā'at al-Qur'an kenamaan keturunan Persia yang tinggal di Irak, Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Bahman bin Fairuz al-Asadi. Al-Kisa'i adalah julukan yang diberikan kepada ahli qirā'at ini lantaran ia pernah berihram hanya dengan satu kain. (Peny)
3- Yang disifati oleh kata ghayr ialah mengerjakan pekerjaan yang tidak baik. Syarif al-Radhi mengatakan bahwa berdasarkan bacaan ini, maka tidak ada kesamaran mengenai kembalinya makna perkataan kepada anak, bukan kepada permintaan Nuh. Syarif al-Radhi memperkuat bacaan ini dengan memaparkan bukti-bukti dari perkataan orang- orang Arab.

dimaksud tidak boleh dikembalikan kepada kata anak karena anak bukan perbuatan yang tidak baik, tetapi ia adalah orang yang memiliki perbuatan yang tidak baik.

Berdasarkan hal ini, maka digunakan kata ganti dan ini berlainan dengan asalnya. Dengan demikian, ditetapkan bahwa kata gantinya kembali kepada 'permintaan' sehingga jelaslah bahwa maksud dari kata ganti itu kembali kepada permintaan yang merupakan perbuatan yang tidak baik.

Pleidoi:

Menanggapi masalah tentang anak dalam ayat ini, para ahli tafsir terbagi ke dalam tiga kelompok.

Pertama, mayoritas mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak kandung Nuh sendiri. Hal ini diperkuat oleh firman Allah, “Dan Nuh memanggil anaknya,” (QS Hūd [11]: 42). Kendati demikian, perbedaan pendapat timbul di antara kelompok ini. Ada yang berpendapat bahwa anak itu bukan bagian dari keluarga Nuh yang Allah janjikan untuk diselamatkan bersamanya. Bahkan, beberapa orang semisal: Ibn Abbas, Said bin Jubair, al-Dhahhak, Ikrimah, dan Maimun ibn Mahran berpendapat bahwa anak tersebut bukan pengikut agama Nuh.

Kedua, anak tersebut adalah anak istrinya (anak tiri Nuh), tetapi karena sudah bercampur baur dengan anak-anaknya yang lain dan keluarganya, maka anak itu disebut anaknya. Hal ini persis sebagaimana halnya yang terjadi pada iblis yang disebut malaikat karena mereka bercampur-baur dengan malaikat. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah, “Sesungguhnya anakku termasuk

p: 35

keluargaku,” (QS Hūd [11]: 45). Nuh tidak mengatakan bahwa anak itu dari keturunanku. Penjelasan ini diriwayatkan oleh ulama lainnya.

Ketiga, anak tersebut adalah anak haram. Riwayat ini dikemukakan oleh al-Hasan, Mujahid, Ibn Juraij, dan Ubaid ibn Umair.

Dua pendapat pertama lemah berdasarkan firman Allah, “Dan Nuh memanggil anaknya,” (QS Hūd [11]:

42), sedangkan pendapat ketiga paling lemah karena seharusnya jabatan kenabian bersih dari aib seperti ini.

Adapun mengenai segi kedua dari syubhat di atas, kita tidak menerima pendapat yang mengatakan bahwa Nuh secara mutlak memanggil anaknya, tetapi disyaratkan adanya keimanan. Bukankah Allah berfirman, “Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)-nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan," dan Nuh a.s. berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya,” (QS Hūd [11]: 47). Sebab, kita katakan bahwa Nuh dilarang untuk memohon, walaupun tidak ada permohonan yang timbul darinya. Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. dilarang menyekutukan Allah-sebagaimana dalam firman-Nya, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu." (QS Al-Zumar [39]: 65)-walaupun kemusyrikan itu tidak terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw..

p: 36

Adapun firman Allah, “Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan,” (QS Hūd [11]: 46), maksudnya kamu (Nuh) jangan jadi bagian dari mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa peringatan Allah inilah yang memalingkan Nuh dari ketidaktahuan, sedangkan ucapan Nuh, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)-nya,” (QS Hūd [11]: 47), tidak ada petunjuk bahwa Nuh melakukan permohonan ini. Kita menerima bahwa secara mutlak Nuh mendoakan anaknya, tetapi ia mengatakan ucapan tersebut berdasarkan rasa kasih sayang yang merupakan tabiat manusia. Akal sendiri tidak mengingkari penggunaan doa untuk orang kafir, tetapi syariat melarangnya. Barangkali ia berdoa sesuai dengan tabiatnya hingga turunlah syariat yang melarang hal tersebut.

Tidak disebutkan mengapa ia meminta tanpa izin? Menurut kami, ketika tidak ada nash yang melarang untuk berdoa semacam ini, berarti hal ini diperbolehkan, sebagaimana keadaan asalnya yang membolehkannya, atau argumen lainnya, secara lahir anak itu Muslim, sedangkan Nuh diizinkan untuk mendoakan orang- orang Muslim. Artinya, ia mendoakan anaknya sesuai dengan ketetapan zahir. Hal semacam ini sah-sah saja, sebab Rasulullah Saw., “Nahnu nahkumu bi al-dhāhir” (Kami menghukumi sesuai dengan yang zahir).(1) Adapun pendapat lain yang menganggap Nuh keliru dalam persoalan ini, tetapi tidak menerima perbuatan Nuh yang mendoakan anaknya, termasuk dosa besar dengan merujuk pada ayat “perbuatan yang tidak baik”. Hal ini

p: 37


1- Kami tidak mengenal lafal yang dikemukakan oleh penulis ini. Adapun lafal yang terkenal adalah “Umirtu an ahkama bi al-zhāhir waLlahu yatawalla al-sarā'ir" (Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan zahir, sementara Allah menguasai yang tersembunyi). Ungkapan ini dikemukakan oleh al-Ajluni dalam kitab Kasyf al-Khufā'. Dalam kitab al-La'āli disebutkan bahwa ia tidak konsisten dengan lafal ini. Barangkali ungkapan ini diriwayatkan secara makna dari hadis-hadis sahih yang disebutkan dalam hal penetapan emas murni. Al-Ajluni mengatakan dalam al-Maqāshid, "Ungkapan ini popular dikalangan ahli ushul fiqih dan fuqaha, bahkan dalam Syarh Muslim, karya al-Nawawi disebutkan, “Aku tidak diperintahkan untuk menusuk hati dan merobek perut manusia". Artinya, Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum sesuai dengan zahir, sementara Allah-lah yang menguasai hal tersembunyi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.. Al-Ajluni mengatakan bahwa hadis ini tidak ada dalam kitab-kitab hadis yang terkenal ataupun kumpulan-kumpulan hadis lainnya. Al-Hafidz al-Iraqi dan yang lainnya memastikan bahwa hadis ini tidak ada sumbernya. Al- Qari mengatakan bahwa hadis ini juga diingkari oleh al-Hafidz Ibn al-Mulqan dalam takhrij hadis al-Baidhawi. Al-Zarkasyi mengatakan bahwa lafal seperti ungkapan di atas tidak diketahui asalnya. Secara panjang lebar al-Ajluni membicarakan tentang hadis ini. Silahkan baca bukunya.

tidak bisa diterima karena lemahnya dalil yang diajukan.

Sedangkan dalil yang menunjukkan kemaksuman para nabi itu lebih kuat daripada dalil tersebut.

p: 38

KESUCIAN NABI IBRAHIM

Syubhat Pertama Pertama, firman Allah yang menceritakan tentang Ibrahim, “Inilah Tuhanku,” (QS Al-An'ām [6]: 76).

Ucapan ini mengandung beberapa kemungkinan.

Barangkali ucapan ini diungkapkan saat dia memandang (bulan atau bintang) dan berpikir mencari petunjuk.

Ucapan ini pun barangkali diungkapkan setelah melihat dan mencari petunjuk. Kalau ucapan ini diungkapkan saat memandang dan mencari petunjuk, berarti Ibrahim menetapkan sesuatu sebagai Tuhan dengan asumsi bahwa ia tidak berdusta saat berpikir dan mencari petunjuk. Ini tidak boleh. Kalau ucapan Ibrahim diungkapkan setelah memandang (berdasarkan pendapat kedua), ini jelas dusta bahkan kufur.

Pleidoi:

Ada yang mengatakan bahwa ucapan itu diucapkan saat Ibrahim belum balig. Sebelum masa balig, di hatinya terlintas ketetapan untuk mencari pencipta dirinya.

Ia merenung. Lalu ia melihat bintang, lantas berkata, “Inilah Tuhanku”. Ketika ia melihat bintang bergerak,

p: 39

ia berkata, “Ini pasti Tuhan”. Begitu juga berkenaan dengan matahari dan bulan. Pada saat itulah Allah menyampaikan kepadanya taklif (beban menjalankan ajaran agama). Ibrahim, berkata, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan,” (QS Al- An'ām [6]: 78). Kemusyrikan terjadi pada menuhankan bintang, matahari, dan bulan karena Ibrahim melihat di dalamnya mengandung ketinggian dan cahaya.

Di antara ulama ada yang menerima pendapat bahwa ucapan itu diucapkan oleh Ibrahim sebelum masa balig. Kemudian, mereka berbeda pendapat: ada yang mengatakan bahwa ucapan ini bisa saja timbul dari diri Ibrahim saat ia berpikir dan mencari petunjuk, ia tidak mengatakan “Inilah Tuhanku” sebagai informasi, melainkan dalam bentuk hipotesis. Sebagaimana seorang di antara kita berkata ketika melihat terjadinya tubuh ia akan berkata, “Tubuh (materi) itu ada mendahului Tuhan?” Ucapan ini bukan bermaksud sebagai kesimpulan atau informasi, melainkan sebagai hipotesis untuk mempertanyakan apakah tubuh itu mendahului Tuhan.

Tujuan dari hipotesis ini untuk mendapatkan kesimpulan bahwa keberadaan tubuh tidak mendahului Tuhan. Dengan demikian, hipotesis itu bertujuan untuk menampakan kesalahan dari hipotesis tersebut. Hasil yang benar adalah, “Tubuh itu ada setelah Tuhan.” Demikian juga dalam konteks ini, ucapan tersebut adalah hipotesis yang selanjutnya diakhiri dengan ungkapan yang menunjukkan kesalahan hipotesis itu, yaitu perkataan, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam,” (QS Al-An'ām [6]: 76).

p: 40

Ada pula yang berpendapat bahwa Ibrahim mengatakan ucapan tersebut setelah berpikir dan meyakini adanya Allah. Pendapat semacam ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:

Pertama, ada yang berpendapat bahwa ucapan Ibrahim mengandung arti bahwa memang keadaannya, menurut mereka, demikian. Sebagaimana salah seorang dari kita mengatakan tentang sesuatu yang serupa dengan maksud pengingkaran-bahwa tuhannya adalah sesuatu yang berubah-ubah. Jadi, maksud dari ucapan “Inilah Tuhan” kepada bintang, matahari, dan bulan adalah untuk mengingkari ketuhanan ketiganya. Allah berfirman, “Dan lihatlah Tuhanmu itu,” (QS Thāhā [20]:

97). Melihat Tuhanmu dalam hal ini adalah meyakini menurut perkiraanmu.

Kedua, ada yang mengatakan maksud dari ucapan “Inilah Tuhan” adalah pertanyaan. Namun, dalam kalimat ini, kata tanya apakah dihilangkan karena tidak diperlukan.

Ketiga, ada yang berpendapat bahwa ayat ini adalah ringkasan dan ucapan yang lengkapnya adalah mereka mengatakan inilah Tuhanku dan semisalnya.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa):

"Ya Tuhan,” (QS Al-Baqarah [2]: 127). Artinya, keduanya mengatakan “Ya Tuhan”.

Keempat, ada yang berpendapat bahwa Ibrahim ingin membatalkan perkataan masyarakatnya yang mengagungkan bintang-bintang. Kemudian, hawa nafsunya memperdayakan dirinya untuk mengagungkan bintang-bintang tersebut, tetapi kemudian hal ini ditolak dengan menyebutkan alasan ketidakbenaran hal itu.

p: 41

Kelima, ada yang berpendapat bahwa kaum Nabi Ibrahim menyeru beliau untuk menyembah bintang. Akan tetapi, Ibrahim menjelaskan kekeliruan mereka seraya berkata “Inilah Tuhanku' yang kalian seru supaya aku menyembahnya”.

Pendapat yang paling benar ialah bahwa ucapan di atas (inilah Tuhanku) sebagai kalimat dalam bentuk pertimbangan dan pencarian petunjuk, bukan dalam bentuk informasi. Oleh karena itu, Allah tidak mencela Ibrahim atas ucapannya, bahkan ia dipuji dan diagungkan.

Ia mengucapkan hal tersebut agar dirinya termasuk orang-orang yang yakin. Inilah kajian yang masyhur berkenaan dengan ayat-ayat di atas.

Sementara itu, kajian lain berkenaan dengan ayat di atas menyebutkan bahwa sebagian orang ateis mengatakan bahwa Ibrahim mencari petunjuk Tuhan dan tidak menunjukkan Tuhan sama sekali. Mereka juga menyebutkan beberapa hal yang tidak benar. Selain itu, sebagian orang ateis melemparkan tuduhan kepada Ibrahim berupa empat belas pertanyaan sekaligus beserta jawabannya.

Pertanyaan pertama: firman Allah, “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang,” (QS Al-An'ām [67:76).

Ayat ini menunjukkan bahwa proses perenungan Ibrahim pertama kali adalah dengan melihat bintang-bintang, lalu bulan, setelah itu matahari. Tidak diragukan lagi bahwa malam didahului oleh siang dan terbitnya matahari.

Lalu, mengapa Ibrahim tidak merenungkan keadaan matahari yang berada di siang hari? Padahal, matahari lebih utama, lebih besar daripada bulan dan bintang?

p: 42

Bukankah ketika benda yang paling besar tidak pantas untuk menjadi Tuhan, apalagi benda yang paling kecil.

Jawabannya: ketika ibunda Ibrahim merasa khawatir akan keselamatan anaknya, ia meletakkan anaknya di dalam gua yang gelap gulita. Tatkala Ibrahim sudah besar dan berakal, ia mendekati pintu sehingga dapat melihat bintang dan terlintas di dalam hatinya penetapan akan adanya pencipta. Lalu, Ibrahim pun mengatakan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur'an al-Karim.(1) Ada yang mengatakan bahwa Ibrahim sebelumnya tidak ditunjukkan atas apa yang harus dia sembah, lalu ia ditunjukan kepada bintang-bintang. Pada saat itulah dia mengatakan apa yang dia katakan (inilah Tuhanku) sebagai ungkapan pertimbangan.

Pertanyaan kedua: Keberadaan bintang dapat diketahui dari adanya gerakan bintang itu. Ketika bintang bergerak tentu orang-orang mengetahui bahwa benda ini termasuk benda yang baru, artinya sebelumnya ia didahului oleh ketiadaan. Tuhan menciptakan bintang lalu menggerakkannya sesuai dengan kehendak-Nya.

Dengan demikian muncul dan bergeraknya bintang dapat dijadikan alasan bahwa bintang adalah benda yang baru.

Bintang tidak tergantung kepada tenggelam.

Jawabannya: maksud dari tenggelam ialah jatuh ke dalam tempat kemungkinan. Gerakan bintang tersebut menunjukkan keadaan bintang yang memiliki sifat mungkin dari segi zat. Sesuatu yang mungkin secara zat, maka dapat hilang karena zat-nya (musnah, tiada) dan tampak bagi selainnya. Itulah tenggelam yang sebenarnya.

Selain itu, meskipun tidak ada perbedaan antara hakikat

p: 43


1- Abu Muhammad bin Hazm berkata, berkenaan dengan ucapan "inilah Tuhanku" yang dilontarkan Ibrahim saat melihat matahari dan bulan, ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa ucapan itu dikatakan untuk memastikan awal pertama kali keluar dari gua, pendapat ini adalah khurafat, palsu, dusta, dan emosional. Suatu kemustahilan seseorang yang sama sekali belum pernah melihat matahari, bulan, dan bintang, bisa mencapai kemampuan membedakan dan menanggung beban kewajiban agama. Allah menganggap dusta sangkaan ini sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya,”(QS Al-Anbiya' [21]: 51). Pendapat yang benar mengatakan bahwa Ibrahim mengatakan ucapan tersebut untuk mencela kaumnya, sebagaimana yang diucapkannya saat mengatakan bahwa inilah berhala yang besar-sampai kepada ucapannya: alasan pendapat ini, Allah tidak mencela apa yang diucapkan Ibrahim, bahkan membenarkannya sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat," (QS Al-An'am [6]: 83). Benar sekali bahwa ini berbeda dengan yang terjadi pada Adam dan yang lainnya, bahkan ini sesuai dengan tujuan Allah.

terbit dan terbenam, tetapi bagi orang awam, keadaan terbenam menjadi bukti yang menunjukkan tidak adanya sifat ketuhanan pada bintang. Barangkali untuk tujuan inilah bintang terbenam.

Pertanyaan ketiga: Ketika Ibrahim tahu bahwa gerakan bintang memiliki batas akhir, yaitu terbenam dan ia tahu bahwa terbenam menunjukkan sesuatu yang baru, kemudian dia melihat bulan dan matahari juga bergerak-sebagaimana halnya bintang-maka sebenarnya sebelum bulan dan matahari tenggelam, Ibrahim tentu bisa memutuskan bahwa keduanya bukan Tuhan. Mengapa keputusan ini ditangguhkan hingga kedua benda ini terbenam? Jawabannya: Kalau kita menafsirkan ‘tenggelam' pada konteks ini, kemungkinan akan timbul permasalahan.

Pasalnya, Tuhan tidak mungkin tenggelam. Begitu juga kalau ditafsirkan sebagaimana yang difahami orang awam, tentu juga akan menimbulkan permasalahan.

Pertanyaan keempat: Bagaimana mungkin Ibrahim bisa memutuskan bahwa bintang tidak bergerak? Padahal, mustahil Ibrahim mengatakan bahwa langit itu diam, sementara bumi bergerak? Jawabannya: Ketiadaan bintang menyebabkan adanya gerakan materi lain [bulan atau matahari].

Dampaknya, tentu saja materi tersebut menjadi sesuatu yang baru (hudūts) dan konsekuensinya semua materi itu baru karena semua materi memiliki kesamaan.

Pertanyaan kelima: Anggap saja Ibrahim menarik kesimpulan bahwa gerakan bintang itu menunjukkan sifatnya yang baru. Seharusnya setelah merenung

p: 44

ia mengatakan, “Aku menetapkan bahwa bintang adalah sesuatu yang bersifat baru.” Namun, alih-alih ia melakukan hal tersebut, justru hasil dari perenungannya menetapkan adanya pencipta. Bagaimana bisa timbul kontradiksi antara dua masalah ini? [Bagaimana bisa Ibrahim menyimpulkan bahwa pencipta ada, padahal seharusnya ia menyimpulkan bahwa bintang adalah sesuatu yang bersifat baru?] Jawabannya: Ini merupakan peringatan bahwa mengetahui kebutuhan makhluk (sesuatu yang diciptakan) kepada khaliknya (penciptanya) adalah penting. Dan karena premis ini sudah jelas, bisa dimaklumi jika dihilangkan dan berdalil dengan dalil yang menunjukkan sifat barunya alam ketimbang penetapan adanya pencipta.

Kalaulah premis tersebut tidak aksiomatik, tentunya penarikan kesimpulan tersebut keliru sekali.

Pertanyaan keenam: Anggap saja melalui hilangnya bintang, bulan, dan matahari tadi, Ibrahim dapat menetapkan bahwa objek fisik (bintang, bulan, dan matahari) itu bersifat baru dan dia menyimpulkan bahwa pencipta itu ada. Namun, bagaimana bisa dengan dalil tersebut Ibrahim merusak pemahamannya dengan mengucapkan, “Inilah Tuhanku"? Sebab, mustahil bintang dan langit yang bersifat baru dan ciptaan Allah, kemudian dianggap sebagai pencipta manusia. Anda mengatakan bahwa tujuan penarikan kesimpulan Ibrahim adalah untuk mengetahui puncak dari pencariannya, sedangkan ia mengetahui bahwa langit itu sesuatu yang baru, tentu dengan demikian ia tahu bahwa langit bukan puncak pencariannya. Menurut saya, masalahnya bukan seperti

p: 45

itu, sebab pada penarikan kesimpulan yang pertama kali dalam ucapannya “inilah Tuhanku", apa yang ia ingin ketahui adalah apakah bintang itu sesuatu yang mengatur dan menciptakannya? Inilah yang diinginkan, bukan sebagaimana yang Anda katakan. Penjelasan yang sama juga berlaku kala ia berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,” (QS Al-An'ām [6]: 79). Jika menurut perkiraannya bahwa penciptanya itu adalah langit, tentunya ia harus menyibukkan diri untuk bersyukur dan mencurahkan ketaatan kepadanya.

Jawabannya: Pendapat Ibrahim sama dengan pendapat kami dalam masalah penciptaan perbuatan.

Ketika Ibrahim mengetahui bahwa perbuatan itu baru, ia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah mungkin (mumkin). Sangat penting untuk diketahui bahwa adanya “kemungkinan bagi setiap makhluk untuk berbuat merupakan bukti pembenaran dari Kemahakuasaan Allah Ta'ala.” Setiap manusia mengetahui bahwa segala yang mungkin itu ditetapkan oleh sesuatu yang pasti sangat kuat yaitu Allah, maka segala perbuatan (yang mungkin itu) tidak akan terjadi tanpa izin (ketetapan) Allah. Manusia mengetahui bahwa segala yang mungkin itu terjadi dari ketidakadaan menuju ada. Oleh karena itu, semua yang terjadi (kejadian atau peristiwa) tidak akan terjadi kecuali dengan ketetapan-Nya. Akhirnya, Ibrahim mengetahui bahwa pencipta dan pengaturnya adalah Allah Yang Mahakuasa [bukan planet, malaikat, atau benda Lainnya

p: 46

Pertanyaan ketujuh: Bagaimana Ibrahim tahu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit, sementara ada kemungkinan lain, yaitu bahwa objek fisik walaupun bersifat baru, tetapi sifat hayūlā (materi pertama)-nya adalah kadim? [Oleh karena itu, objek fisik juga bisa saja menjadi pencipta langit] Berdasarkan penjelasan ini, Allah bukan sebagai penciptanya. Adapun dalil gerak tidak menunjukkan kecuali sifat baru fisik qua fisik, sedangkan sifat baru hayūlā yang merupakan bagian dari esensi (māhiyah) fisik, tidaklah demikian.

Jawabannya: Ketika sifat kebaruan objek fisik sudah diketahui, tentu diketahui pula kebaruan sifat hayülā- nya. Sebab, seandainya sifat hayūlā-nya kadim, tentu pada masa azali dapat menerima gambar atau bentuk (shūrah). Potensitas merupakan konsekuensi dari esensi (māhiyah)nya, maka seandainya potensitas dicapai pada masa azali, tentu yang diterima adalah wujud yang sahih.

Lantaran potensitas itu relatif dan posibilitas (imkān) penyandarannya bergantung pada posibilitas tempat sandarannya, maka ketika si penerima mustahil wujudnya (mumtani' al-wujūd) sejak azali, maka potensinya dan lain-lainnya juga demikian.

Pertanyaan kedelapan: Kata “alladzī" (yang) [pada surah al-An'ām [6]: 79] disusun untuk menunjukkan kata tunggal (mufrad) mengenai problem yang sebelumnya sudah diketahui. Sedangkan sebelum itu, Allah sebagai Pencipta langit dan bumi masih belum diketahui. Dia baru diketahui pada saat Ibrahim berkata demikian.

Lalu bagaimana mungkin Ibrahim mengatakan, “yang menciptakan langit"?

p: 47

Jawabannya: ketika Ibrahim tahu bahwa alam itu baru, timbul premis lain yang penting, yaitu bahwa “setiap yang baru itu ada yang membuatnya menjadi baru”.

Dari sinilah bermuara pemikiran bahwa dunia memiliki pencipta. Dengan demikian, ilmu yang diraih oleh Ibrahim bahwa dunia itu membutuhkan pencipta adalah ilmu yang jelas dan nihil dari syubhat. Lalu, setelah diketahui adanya pencipta, maka selayaknya ia bersyukur dan sibuk menyembah-Nya. Setelah itu ia mengatakan, “... Aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi,” (QS Al-Anām [6]: 79). Artinya, aku menghadapkan wajahku kepada sesuatu (al-syay“)(1) yang muncul di akalku sebagai pencipta langit dan bumi.

Pertanyaan kesembilan: Ibrahim hanya ber-hujjah dengan gerakan bintang yang menunjukkan sifat barunya.

Lalu, dari mana ia dapat menetapkan sifat baru pada langit dan bumi serta adanya kebutuhan kepada Sang Pencipta? Jawabannya: Ketika sudah ditetapkan bahwa objek fisik itu bersifat baru, maka segala objek fisik adalah bersifat baru karena semua objek fisik adalah sama sehingga berlaku bahwa sesuatu ditetapkan dengan sesuatu lainnya. Hal ini juga menjadi tanda bahwa Allah bukanlah objek fisik berdasarkan dua aspek. Pertama, ketika ditetapkan sifat baru pada objek fisik, maka muncul dari hal itu kebaruan objek fisik lainnya. Objek fisik senantiasa berubah, di antaranya berubah bentuk, warna, ukuran, dan seterusnya. Dengan senantiasa berubah, maka semua objek fisik itu baru dan mengalami pembaruan.

Dengan begitu harus ada yang memperbaruinya. Semua

p: 48


1- Penggunaan kata “sesuatu" di sini sangat asing dan buruk. Sejatinya ucapan Ibrahim yang sekiranya menyatakan “Aku hadapkan wajahku pada Allah” dan malah menggunakan ungkapan ini mengahadap pada sesuatu (al-syay)], dalam pembahasan tidak memiliki nilai dalam menetapkan suatu akidah dan tidak harus bagi kita dalam masalah ini] mensucikan Ibrahim. Betapa kajian yang dibahas ini menyeret kepada kerusakan berpikir dan menjauhkan diri dari petunjuk orang mukmin yang paling benar, yaitu Rasulullah Saw., sahabatnya, dan para tabiin.

objek fisik saling menyerupai. Oleh karena itu, Allah tidak mungkin [menyerupai] objek fisik karena Allah tidak mungkin berubah atau ada yang memperbarui. Kedua, seandainya Allah berupa objek fisik tentu Ibrahim akan mengatakan, “Aku menghadapkan wajahku kepada yang (ilā al-ladzī).” Ketika ia mengatakan ‘untuk yang’ (lilladzī), tidak mengatakan “kepada yang, ini menunjukkan bahwa Allah bukan berupa objek fisik.

Pertanyaan kesepuluh: Mengapa Ibrahim berkata, "... Dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (QS. Al-An'am [6]: 79). Petunjuk apa yang menunjukkan bahwa sifat baru objek fisik itu menafikan kemusyrikan, sedangkan yang jelas tidak boleh menetapkan pada dalil, sesuatu yang bukan bagian darinya? Jawabannya: Ketika diketahui bahwa objek fisik bersifat baru, maka diketahui bahwa penciptanya mampu memperbarui. Keabsahan kemampuan sang pencipta atas yang diciptakannya karena yang disebut terakhir keberadaannya bersifat mungkin (mumkin). Dengan demikian diketahui bahwa sifat mungkin (pada objek fisik] inilah yang membenarkan baginya untuk diadakan.

Pada saat yang sama diketahui pula bahwa seandainya ada dua tuhan, pasti masing-masing mampu memiliki kemampuan mengadakan. Namun, ini mustahil terjadi.

Sebagaimana halnya terciptanya objek fisik dari dua pengada adalah mustahil. Sebab, pastinya masing-masing pengada tidak membutuhkan kepada yang lainnya. Ketika dua hal ini sama-sama tidak benar, maka dari aspek ini pendapat mengenai sifat baru objek fisik itu dapat

p: 49

menafikan kemusyrikan. Inilah dalil yang menunjukkan tauhid mutlak dan menafikan lawan serta tandingan dalam zat, sifat, dan perbuatan. Allah Esa dalam zat-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa dalam sifat-Nya, tidak ada tandingan-Nya. Esa dalam penciptaan dan perwujudan- Nya, tidak ada yang serupa dengan-Nya.

Pertanyaan kesebelas: Saat malam mulai gelap, mula-mula Ibrahim merenungkan tentang planet-planet.

Mengapa ia tidak mulai dengan memikirkan dirinya, lalu keadaan unsur-unsur yang ada di alam ini? Jawabannya: Dalil yang menunjukkan sifat baru pada planet menjadi tanda sifat baru pada unsur-unsur alam.

Tidak sebaliknya. Oleh karena itu, menyibukkan diri dengan yang lebih umum adalah sangat penting.

Pertanyaan keduabelas: Anggap saja Ibrahim mengetahui bahwa alam itu ada penciptanya. Namun, mengapa ia tidak menyibukkan diri menyembah-Nya? Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi” (QS Al- An'ām [11]: 79).

Jawabannya: Tidak ada masalah bagi orang yang berpendapat bahwa secara rasional berterima kasih kepada yang memberi kenikmatan itu wajib. Sedangkan orang yang tidak berpendapat demikian, menafsirkan ayat di atas dengan ilmu tanpa amal. Hal ini menjadi masalah, karena ilmu juga adalah amal. Sebelum mendengar atau sebelum diperbolehkan beramal, maka Ibrahim tidak boleh melakukannya.

p: 50

Pertanyaan ketigabelas: Mengapa Ibrahim berkata, “Aku menghadapkan wajahku” bukan “Aku menghadapkan hatiku”, padahal perbuatan seperti ini lebih utama? Jawabannya: Ini menunjukkan bahwa keyakinan harus dimiliki dalam rangka menyucikan jiwa dari perbuatan.

Sebab, keyakinan merupakan jiwa dan perbuatan adalah cetakannya. Kesempurnaan akan tercapai kalau keduanya bersatu. Hanya Allah pemberi taufik.

Pertanyaan keempatbelas: Mengapa langit didahulukan dari bumi? Jawabannya: Pencarian petunjuk diawali dari bintang-bintang. Membandingkan antara bintang- bintang dengan planet-planet sangat berat sekali. Lalu, antara planet-planet dengan berbagai unsur. Oleh karena itu, langit didahulukan dari bumi karena langit lebih mulia, kuat, dan besar. Bentuknya lebih mulia yaitu bulat.

Warnanya paling bagus yaitu memberi cahaya. Fisiknya lebih kokoh dan termasuk tujuh benda yang keras.

Langit adalah tempat keberkahan dan tempat turunnya kebaikan. Ia disebutkan lebih dahulu karena memiliki keunggulan dibandingkan bumi.

Syubhat Kedua Para penentang berpegang pada firman Allah yang bertutur mengenai Ibrahim saat ditanya kaumnya, “Qālū a anta fa'alta hadzā bi ālihatinā yā Ibrāhīm. Qāla bal fa'alahu kabīruhum hadzā fas'alūhum in kānū yantiqūn” (Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan- tuhan kami, hai Ibrahim? Ibrahim menjawab: “Sebenarnya berhala yang besar itulah yang melakukannya, maka

p: 51

tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara,” (QS Al-Anbiyā’ [21]: 62–63).

Jika pengertian kabiruhum adalah berhala, tentu ini adalah kebohongan. Sebab, berhala-berhala tersebut dihancurkan oleh Ibrahim. Oleh karena itu, menyandarkan penghancurannya kepada selain Ibrahim adalah dusta belaka.

Pleidoi:

Menaggapi hal ini, ada beberapa aspek yang mesti diperhatikan:

Pertama, kata tersebut merupakan kiasan dari sesuatu yang tidak disebutkan. Artinya, dilakukan oleh orang yang melakukannya. Kata kabiruhum hadzā adalah permulaan kalimat. Diriwayatkan bahwa al-Kisa'i berhenti saat membaca bal fa'alahu, lalu mulai lagi dari kata kabīruhum hadzā.

Kedua, boleh saja ada waqaf (tempat pemberhentian membaca) pada firman Allah, kabīruhum hadzā fas'alūhum, artinya sebenarnya yang besar di antara mereka yang melakukannya. Maksudnya Ibrahim sendiri. Sebab, manusia itu lebih besar dari patung.

Ketiga, pada kalimat di atas ada taqdim (mendahulukan kata) dan takhir (mengakhirkan kata), seolah-olah Ibrahim berkata, “Sebenarnya berhala besar ini yang melakukannya. Kalau mereka bisa berbicara, maka tanyakanlah kepada mereka.” Dengan demikian penyandaran pekerjaan kepada berhala yang besar adalah dengan syarat berhala yang besar itu bisa berbicara.

p: 52

Ketika berhala yang besar itu tidak bisa berbicara, maka berhala yang besar itu bukan pelakunya.

Keempat, ucapan tersebut disebutkan untuk menekan perkataan mereka. Lantaran berhala itu adalah tuhan yang paling besar, maka penghancuran para pelayan dekatnya berdasarkan titahnya.

Kelima, sebagian membaca ayat fa'alahu kabīruhum hadzā dengan fala'allahu (mungkin saja dia (yang melakukan]). Oleh karena adanya huruf yang meragukan [la alla],(1) maka ucapan Ibrahim tersebut tidak termasuk dusta.

Syubhat Ketiga Firman Allah yang mengabarkan tentang Ibrahim, “Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang.

Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya aku sakit,” (QS Al- Shāffāt [37]: 88–89).

Segi pengambilan dalil dari ayat ini ada dua:

Pertama, berpegang kepada ilmu nujum. Ini tidak lazim. Kedua, ucapannya “aku sakit” adalah dusta.

Pleidoi:

Ada yang berpendapat bahwa pandangan yang diarahkan ke bintang, bulan, dan matahari adalah dalam rangka mencari pengetahuan tentang Allah. Ucapannya, “aku sakit" artinya aku tidak yakin akan masalah ini. Setelah mencari dalil berdasarkan gerak dan tenggelamnya benda-benda tersebut, akhirnya ia mengetahui bahwa semua benda itu baru. Alhasil, ia dapat mengetahui Allah

p: 53


1- Imam Abu Muhammad bin Hazm: ini adalah kecaman dan celaan kepada mereka, sebagaimana firman Allah [pada penghuni neraka), “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia,”(QS Al-Dukhān [44]: 49). Padahal, sebenarnya ini adalah kehinaan, kenistaan, dan disiksa di neraka. Kedua perkataan di atas perkasa dan mulia) adalah celaan. Mereka menyangka bahwa berhala-berhala melakukan kebaikan dan kejahatan, sedangkan orang yang jiwanya disiksa di dunia menyangka bahwa ia orang mulia dan perkasa. Ibrahim tidak mengatakan demikian karena ia sedang diinterogasi karena yang melakukannya adalah berhala yang besar. [Dengan demikian, Ibrahim tidak berdusta] Dusta adalah secara sengaja mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan.

dan keraguannya pun hilang. Pendapat ini lemah karena Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah itu?'' (QS Al-Shāffāt [37]: 83–85). Zahir ayat ini menunjukkan bahwa Ibrahim suci dari keraguan. Lalu, disebutkan bahwa ia mencela kaumnya yang menyembah berhala. Ia berkata, “Apakah yang kamu sembah itu?” Ia menyebut ibadah mereka adalah dusta dan batil. Ia berkata, “Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?” (QS Al-Shāffāt [37]: 87). Ini adalah ucapan seseorang yang mengenal Allah.

Mengenai jawaban untuk segi pertama (tentang berpegang kepada ilmu nujum): Tidak ada yang menyatakan bahwa memandang bintang itu haram.

Hal itu disebabkan setiap orang meyakini bahwa Allah menetapkan kebiasaan antara peristiwa di alam ini dan berbagai kekuatan yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang baru di dunia ini. Berdasarkan hal ini, memandang bintang itu tidak haram. Barangkali Allah mengabarkan kepada Ibrahim bahwa meskipun satu bintang muncul, tetapi engkau sakit. Lalu, ia memandang bintang. Setelah berlalu, ia mengatakan sesungguhnya aku sakit. Kita terima bahwa ini juga tidak terjadi. Hanya saja mustahil bahwa ketika memandang bintang, ia secara lahir menyamakan bintang-bintang itu dengan (pandangan] masyarakat pada masanya dan menetapkan bahwa dirinya sakit untuk mengelabui kaumnya bahwa tindakannya itu berdasarkan petunjuk bintang, walaupun yang terlintas dalam dirinya tidak demikian.

(54) KESUCIAN PROFETIK: SEBUAH PLEIDOI

p: 54

Adapun mengenai jawaban untuk segi kedua (tentang ucapan “aku sakit"): Kami tidak menerima bahwa saat itu ia sedang sakit. Sebagaimana diketahui bahwa [apabila] Anda sakit demam pada waktu zuhur, lalu ada seseorang yang mengundang Anda untuk bertamu, padahal Anda tahu bahwa setelah zuhur Anda akan duduk bersama masyarakat, tentu Anda akan mengatakan sesungguhnya saya demam. Maksudnya bahwa pada saat itu saya demam. Juga ketika hampir sakit dirinya juga dinamakan sakit, sebagaimana dikatakan, “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula),” (QS Al-Zumar [39]: 30). Ia bermaksud mengatakan bahwa hatinya sakit. Maksudnya di hatinya ada kesedihan dan kesusahan disebabkan kekufuran dan pembangkangan yang dilakukan kaumnya.

Jika Anda bersandar pada riwayat bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Ibrahim hanya melakukan tiga kali dusta, yaitu ucapannya, 'Sesungguhnya aku sakit. Kedua, ucapannya, 'Sebenarnya berhala paling besar yang melakukannya.' Dan ketiga ucapannya kepada Sarah, “Ia adalah saudariku,” (HR. Bukhari dan Muslim, Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).

Hadis ini adalah khabar ahād dan tidak bertentangan dengan dalil yang sudah kami sebutkan. Adapun ucapannya kepada Sarah, “Dia adalah saudariku”.

Artinya ia saudari dalam agama atau ia adalah saudari dari keturunan Adam, leluhur seluruh manusia.

p: 55

Syubhat Keempat Mereka berpegang kepada firman Allah, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya,” (QS Al-Baqarah [2]: 258).

Ibrahim berpindah dari satu dalil kepada dalil lainnya.

Ini menunjukkan ketidakmampuannya dalam mendukung dalil pertama. Padahal, seharusnya ia menjawab pertanyaan dan menghapus syubhat. Sebab, [terhukumi] dosa besar kalau berpaling darinya.

Pleidoi:

Dalil Ibrahim adalah satu dan ia tidak beralih ke dalil lainnya. Ia hanya beralih dari satu contoh ke contoh lainnya. Sebab, dirinya tahu bahwa lawan bicaranya tidak memahami maksud dari contoh pertama. Ibrahim mencari dalil dengan terjadinya peristiwa yang diketahui oleh semua orang yang berakal mengenai ketidakmampuan manusia. Ini menunjukkan adanya Allah. Premis mayor ini memiliki bagian-bagian partikular, yaitu menghidupkan dan mematikan. Lalu, Namrudz memanggil dua orang lelaki dan membunuh salah satunya serta membiarkan yang lainnya. Saat itu, Namrudz berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan,” (QS Al-Baqarah [2]: 258).

Ibrahim sendiri mampu mengatakan bahwa tafsir menghidupkan dan mematikan tidak seperti ini. Akan tetapi, maksudnya suatu hal lainnya, karena setiap orang tahu pasti akan ketidakmampuan manusia untuk melakukannya. Ibrahim hanya mencoba memperdalam penjelasan sehingga ia mengalihkan hal tersebut kepada contoh lainnya, yaitu terbit dan terbenamnya matahari.

p: 56

Dengan demikian jelas bahwa Ibrahim tidak beralih dari satu deduksi kepada deduksi lainnya, tetapi pindah dari satu contoh kepada contoh lainnya.

Ada kajian lainnya, yaitu tujuan dari penarikan konklusi ini ialah: pertama, penetapan Tuhan bagi alam semesta; kedua, pengingkaran Namrudz sebagai Tuhan; ketiga, pengingkaran bahwa Namrudz sebagai sekutu Allah. Jika tujuannya yang pertama, maka firman Allah, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur,” (QS Al-Baqarah [2]: 258) merupakan inti yang dicari.

Dia mengatakan, matahari itu terbit karena Zat-nya atau memang asalnya ada yang mempengaruhinya. Apa dalilnya bahwa keadaannya tidak demikian? Kajiannya hanya sebagaimana yang terjadi. Jika maksudnya yang kedua, bahwa Namrudz bukan pencipta dunia, tentunya ini tidak boleh. Sebab, Namrudz kalau pun dibolehkan untuk itu, ia tidak memiliki akal yang sempurna. Sebagaimana diketahui bahwa manusia yang hidup hanya pada masa ini bukanlah pencipta tujuh langit yang sudah ada ribuan tahun silam. Sudah diketahui bahwa manusia yang tidak mampu mengatur langit, planet, daratan, dan lautan, secara pasti bukanlah pencipta semuanya. Orang yang meragukan hal ini adalah orang yang kacau pikirannya dan tidak berguna berdebat dengannya. Di samping bahwa merupakan suatu kesia-siaan para nabi diutus kepadanya.

Jika maksudnya yang ketiga, yaitu mengingkari Namrudz sebagai sekutu Allah. Jika penyekutuan ini dimaksudkan dalam penciptaan langit dan bumi, ini juga secara pasti rusak sehingga tidak ada gunanya berdebat dengannya.

Akan tetapi, kalau maksud dari penyekutuan adalah ketaatan, artinya Namrudz mengaku bahwa ia harus

p: 57

ditaati sebagaimana Allah ditaati. Maksud seperti ini tidak bisa dipatahkan oleh hujjah yang dikemukakan Ibrahim.

Pertanyaan lain: Ketika Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” (QS Al-Baqarah [2]: 258).

Kemudian, musuh berkata, “Sebenarnya aku menerbitkan matahari dari timur, katakanlah kepada Tuhanmu untuk menerbitkannya dari barat, bagaimana jawabannya?" Jawaban kajian pertama: Musuh yang dihadapi adalah ateis yang mengingkari adanya Sang Pencipta.

Oleh karena itu, Ibrahim menyampaikan hujjah ini dalam rangka menetapkan adanya Sang Pencipta. Sebab, terbitnya matahari setelah tenggelam adalah sesuatu yang keberadaannya baru yang harus ada penciptanya.

Pencipta tersebut bukan seorang manusia, karena itu benda-benda fisik tersebut memiliki Tuhan.

Perlu diketahui bahwa Ibrahim beralih dari contoh proses menghidupkan dan mematikan ke fenomena terbit dan terbenamnya matahari, karena yang paling mulia di dunia bawah' adalah manusia, sedangkan yang paling mulia di “dunia atas' adalah matahari. Oleh karena itu, keadaan matahari disebutkan sebagai dalil alam semesta, sebagaimana keadaan kehidupan dan kematian sebagai dalil jiwa.

Jawaban kajian kedua: jika lawan menuntut hal di atas, tentunya Allah wajib menerbitkan matahari dari barat untuk menetapkan hujjah Ibrahim. Ada yang berkata, ini tidak wajib. Sebab, Ibrahim mengatakan bahwa terbitnya matahari adalah sesuatu peristiwa yang harus ada penciptanya. Penciptanya itu bukan

p: 58

manusia. Oleh karena itu, harus ada Tuhan. Dengan demikian jelas bahwa matahari terbit atas kekuasaan Allah. Sebagaimana diketahui secara pasti bahwa Zat yang mampu menggerakkan matahari dari kanan ke kiri, pasti mampu menggerakannya dari kiri ke kanan.

Allah mampu menerbitkan matahari dari timur, maka Dia juga mampu menerbitkannya dari barat. Dengan demikian jelas bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Seandainya Anda Tuhan, pasti Anda mampu atas segala sesuatu. Karena Anda tidak mampu melakukan segala hal, maka jelas bahwa Anda bukan Tuhan. Ketika lawan tidak berkutik dengan dalil rasional ini, maka tidak mesti ketidakmenerbitkan matahari dari barat oleh Allah menjadi satu cacat atas dalil Ibrahim.

Syubhat Kelima Mereka berpegang kepada firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati," (QS Al-Baqarah [27: 260). Ayat ini menunjukkan bahwa Ibrahim belum meyakini kekuasaan Allah dalam menghidupkan orang- orang mati.

Pleidoi:

Pertama, ayat di atas mengandung penafsiran bahwa peristiwa ini terjadi sebelum kenabian. Sebelum masa kenabian, ketika Ibrahim diharuskan mencari petunjuk untuk mengetahui Allah, ia juga diharuskan mencari petunjuk mengenai Hari Akhir. Jika ditanyakan bahwa

p: 59

“bukankah pengetahuan Ibrahim secara prinsip tidak lengkap kecuali sesudah mengetahui bahwa Tuhan mampu melakukan segala sesuatu, di mana dengannya Ibrahim dapat memperoleh pengetahuan bahwa Tuhan Mahatahu atas segala hal. Dan ketika dia memiliki pengetahuan semacam itu, dia mengetahui bahwa Tuhan mampu menghidupkan orang-orang mati?” Menurut saya, tidak mesti dengan pengetahuan mengenai Allah itu Maha mengetahui segala hal dan Mahamampu melakukan segala hal, maka Ibrahim dapat memiliki pengetahuan bahwa Tuhan mampu menghidupkan orang-orang mati. Sebab terdapat kemungkinan bahwa bagian- bagian kehidupan hanya menerima kontsruksi hewani dan kehidupan berlangsung dengan cara khusus, yaitu kelahiran. Adapun cara selain itu tentunya tidak bisa.

Ketidakmampuan-Nya melakukan itu tidak mesti ternilai cacat dalam pendapat bahwa Dia mampu melakukan segala yang mungkin.

Jika Anda katakan: apabila kehidupan tidak bisa masuk ke dalam tubuh, tentunya menghidupkan orang mati tidak akan pernah tercapai. Ketika menghidupkan orang mati dapat tercapai, maka jelas bahwa kehidupan mungkin secara Zat sehingga masuk di bawah kekuasaan Allah.

Saya katakan: Barangkali Anda berpendapat bahwa kehidupan ini terjadi melalui satu cara, sedangkan cara lainnya tidak bisa. Anggap saja dalil yang Anda kemukakan sah untuk menjelaskan bahwa setiap bagian layak mendapatkan kehidupan, tetapi Ibrahim tidak mau menetapkan premis tersebut menggunakan dalil rasional karena ingin menetapkannya dengan kesaksian.

p: 60

Oleh karena itu, orang yang mencari petunjuk tidak mesti menarik kesimpulan dari sebuah dalil tertentu.

Bagaimana tidak, padahal kembali kepada kesaksian di sini menambah manfaat karena dalam hal ini indra lebih kuat dari penarikan kesimpulan secara deduktif.

Kedua, ayat di atas juga bisa ditafsirkan bahwa peristiwa tersebut terjadi saat turun wahyu. Ketika manusia perlu kepada mukjizat untuk mengetahui kerasulannya, maka rasul juga harus memiliki mukjizat untuk memperkenalkan kenabian dirinya. Dengan demikian, firman Allah, “Belum yakinkah kamu?” (QS Al- Baqarah [2]: 260), berarti apakah engkau tidak percaya bahwa engkau itu Rasulullah? “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap,” (QS Al-Baqarah [2]: 260), yaitu bahwa aku seorang rasul dari-Mu bukan utusan dari setan.

Ketiga, bisa juga ditafsirkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah kenabian. Peristiwa ini bersumber dari Allah untuk mengetahui suatu hal, sebagaimana dikisahkan bahwa Dia menurunkan wahyu kepadanya, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan salah seorang hamba-Ku sebagai hamba kesayangan-Ku. Tandanya jika dia meminta-Ku agar menghidupkan orang mati, Aku akan melakukannya untuk menghormatin ya.” Lantas Ibrahim ingin mengetahui apakah hamba kesayangan- Nya itu dia atau siapa? Lalu dia bertanya kepada Allah tentang itu. Pertanyaannya bermakna bahwa aku telah meyakininya, tetapi agar hatiku mantap bahwa aku adalah hamba kesayangan-Mu dan mendapatkan kemuliaan yang khusus dari-Mu”.

p: 61

Keempat, maksudnya agar hatiku tenang dalam ber- taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Mu karena dapat melihat-Mu secara langsung menghidupkan orang mati.

Petunjuk yang dipertegas dengan kesaksian (bukti) akan menjadi lebih kuat dan umum.

Kelima, Ibrahim lemas saat disuruh menyembelih anaknya. Seolah-olah ia berkata, “Tuhanku, Engkau menyuruhku untuk membunuh orang hidup, padahal ini sulit bagiku. Seandainya Engkau memberikan kemuliaan kepadaku untuk menghidupkan orang mati, hatiku akan kuat sehingga saat itu mampu menanggung beban ini.” Ucapannya, "supaya hatiku mantap” mengandung makna “supaya hatiku mantap atas kedekatanku kepada- Mu dan kekhususanku di sisi-Mu sehingga aku kuat, dengan merasakan kemuliaan ini, untuk melaksanakan konsekuensi” (menyembelih anaknya).

Keenam, ketika pihak lawan berbicara kepada Ibrahim, “Kamu kira Tuhanmu mampu menghidupkan dan mematikan? Mintalah kepada-Nya untuk menghidupkan orang mati. Kalau tidak, aku akan membunuhmu.” Lalu Ibrahim berkata, “Perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati,” (QS Al-Baqarah [2]: 260). Dengan demikian arti ucapannya, “agar hatiku tetap mantap dengan keimanan” adalah hilangnya rasa takut dan merasa aman dari pembunuhan.

Ketujuh, ketika lawan Ibrahim berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”, Ibrahim tidak menyibukkan diri untuk menyingkap ketidaktahuan lawan dalam pernyataannya, tetapi ia beralih kepada hal lain. Lalu, setelah selesai dari tujuannya, ia kembali

p: 62

menjelaskan ketidaktahuan perkataan lawannya. Ia berkata, “Ya Allah, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Agar orang kafir ini tahu bagaimana proses menghidupkan dan mematikan yang aku jadikan bukti adanya Tuhan. Oleh karena itu, arti ucapannya “agar mantap” adalah supaya hatiku mantap dengan kebenaran dalil dan peristiwa itu menjadi hujah (penolakan) terhadap argumen lawannya.

Kedelapan, menurut bahasa ahli spiritual (ahl al- isyārah), hati dapat hidup dengan mengingat Allah dan dapat mati dengan mengingat selain-Nya. Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati," (QS Al-Baqarah [2]: 260), yakni hati yang mati. Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu? Ibrahim menjawab:

“Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku),” (QS Al-Baqarah [2]: 260), yaitu agar dapat meraih dzauq (cita rasa) dengan mendapatkan ketenangan dan ketentraman. Allah berfirman, “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung,” (QS Al-Baqarah [2]:

260). Ibrahim diperintahkan untuk memotong keterikatan dengan bentuk yang tersusun dari empat tabiat (dunia materi), sebagai peringatan bahwa kehidupan ruhani yang sempurna hanya dapat dicapai setelah mengadakan perbandingan dengan tubuh.

Kesembilan, maksudnya adalah minta diperlihatkan di dunia, sebagaimana yang diminta oleh Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) padaku agar aku dapat melihat-Mu,” (QS Al-A'rāf [7]: 143). Nabi Muhammad Saw.

memohon, “Perlihatkanlah kepadaku segala sesuatu

p: 63

sebagaimana adanya."(1) Hanya saja beliau menjaga etika, karena itu musabab (akibat) diungkapkan dengan sebab. Sebab hidupnya hati tidak terjadi kecuali dengan penyaksian penyingkapan sempurna. Dengan demikian, pencarian pada pengaruh adalah pencaraian pada yang memengaruhi (yakni Allah).

Kesepuluh, Ibrahim adalah ayah umat ini dan seorang ayah pasti menyayangi anaknya. Orang yang sayang biasanya suka berprasangka buruk. Ketika ia tahu bahwa keturunannya banyak yang durhaka, maka terlintas dalam hatinya ungkapan, “Sesungguhnya jika aku akan memberi syafaat kepada orang yang bermaksiat, apakah syafaatku akan diterima pada hari kiamat nanti?” Lalu, [kasus semacam ini sejalan dengan kasus lain saat], ia menanyakan tentang menghidupkan orang mati di dunia. Dijawab, “Apakah engkau belum yakin?" Ibrahim menjawab, “Aku telah menyakininya, tetapi agar hatiku mantap bahwa syafaatku diterima-untuk umat Nabi Muhammad Saw.” Pasalnya, jika Ibrahim demikian keadaannya (yakni, ragu untuk dapat memberikan syafaat pada orang yang bermaksiat], tentunya syafaat Nabi Muhammad lebih pantas untuk diterima. Hal ini lantaran beliau bersabda, “Syafa'atku untuk umatku yang melakukan dosa besar,” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai' dari Anas dan Ibn Abbas).

Kesebelas, barangkali Ibrahim diperintahkan untuk menyampaikan risalah, lalu ia berpikir, “mungkin saja penentangku memintaku mendatangkan mukjizat aneh”, lalu ia memohon mukjizat tersebut kepada Allah. Allah berfirman, “Belum yakinkah kamu?' Ibrahim menjawab:

p: 64


1- Secara jelas perkataan ini dianggap hadis. Namun, saya sudah mencari dan menanyakan tentang hadis ini, tetapi tidak ditemukan; baik dalam hadis-hadis lemah maupun palsu. Tampaknya ungkapan ini bukan hadis dan sejatinya perkataan ini tidak memperlihatkan perkataan kenabian.

“Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku),” (QS Al-Baqarah [2]: 260), bahwa Engkau mengabulkan segala yang aku minta.

Ringkasnya, ucapan “agar hatiku tenang” dalam ayat di atas tidak ada kaitannya dengan sesuatu tertentu.

Anda bisa mengalihkannya kepada segala sesuatu selain keimanan.

Syubhat Keenam Pada syubhat ini, mereka mengatakan bahwa Ibrahim meminta ampunan untuk bapaknya, sedangkan bapaknya orang kafir. Memohon ampunan untuk orang kafir itu tidak boleh. Jelas sekali bahwa Ibrahim melakukan sesuatu yang tidak boleh. Dia minta ampunan untuk bapaknya sebagaimana dalam firman Allah, “Semoga keselamatan dilimpahkan padamu, aku akan memintakan ampun bagimu pada Tuhanku,” (QS Maryam [19]: 47).

“Dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat,” (QS Al- Syu'arā' [26]: 86).

Penjelasan bahwa bapaknya adalah orang kafir didasarkan nash al-Qur'an dan ijma'. Ada dua alasan mengapa tidakboleh memohon ampunan untuk orang kafir.

1. Firman Allah, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,” (QS Al- Tawbah [97: 113). Dari premis ini jelas bahwa Ibrahim melakukan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan.

2.Firman Allah, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang

p: 65

yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kamu untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.' Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu,” (QS Al-Mumtahanah [60]: 4).

Allah memerintahkan untuk meneladani Ibrahim kecuali dalam perbuatan di atas. Dengan demikian tindakan mendoakan orang kafir adalah maksiat.

Pleidoi:

Tidak ada perselisihan dalam masalah ini, kecuali dalam pernyataan kalian bahwa memohon ampunan [untuk orang kafir] itu tidak boleh. Berikut jawaban terhadap hal ini dari berbagai aspek:

Pertama, dalil pasti (qathi') yang menjelaskan bahwa Allah menyiksa orang kafir itu hanya berdasarkan berita yang terdengar saja. Barangkali dalam syariat Ibrahim tidak ada dalil qathi' yang menunjukkan siksaan Allah kepada orang kafir. Oleh karena itu, Ibrahim memohonkan ampunan untuk bapaknya.

Kedua, terkadang memohon ampunan (istigfār) bermakna memohonkan maaf, sebagaimana dalam firman Allah, “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan (yaghfiru) orang- orang yang tiada takut hari-hari Allah karena Dia akan

p: 66

membalas sesuatu kaum terhadap apa yang telah mereka kerjakan,” (QS Al-Jātsiyah [45]: 14). (1) Ketiga, Ibrahim memohonkan ampunan untuk bapaknya dengan harapan ia beriman. Ketika sudah putus asa, ia pun meninggalkannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah, “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya,” (QS Al-Tawbah [9]:

114).

Adapun dalam firman Allah, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik," (QS Al-Tawbah [9]: 113). Kata nabi dalam ayat ini tidak menunjukkan makna umum. Dalam ushul fikih disebutkan bahwa isim mufrad (kata benda yang menunjukkan bentuk tunggal) yang dilengkapi dengan huruf alif dan lam tidak menunjukkan sifat umum. Jika kata nabi dalam ayat di atas ditafsirkan Rasulullah Saw., maka tidak bisa disematkan kepada Ibrahim. Sedangkan ayat kedua, bahwa Rasulullah Saw. tidak boleh meneladani Ibrahim dalam masalah permohonan ampunan, tidak menunjukkan bahwa permohonan ampunan tidak boleh dilakukan oleh Ibrahim. Kami menafsirkan bahwa maksud permohonan ampunan dalam ayat ini adalah minta ditangguhkan siksaan atau diringankan atau ia sama sekali tidak mengetahui mengenai masalah ini.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai janji yang disebutkan dalam ayat berikut, “Tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu,” (QS Al-Tawbah [9]: 114). Ada yang

p: 67


1- Buku-buku bahasa dan tafsir sudah diteliti, termasuk tafsir al- Fakhrurrazi, tetapi saya tidak menemukan makna istigfar seperti ini. Makna istigfar hanya seputar penyembunyian, pengampunan, dan pemberiaan maaf. Khususnya dalam ayat ini.

mengatakan bahwa sang bapak berjanji kepada anaknya untuk beriman. Ada yang berpendapat bahwa sang anaklah yang berjanji untuk memintakan ampunan bagi bapaknya.

Menurut pendapat kami, pendapat yang pertama lebih utama, yaitu tidak boleh memintakan ampunan untuk orang kafir. Sebab, janji anak untuk memintakan ampunan bagi bapaknya, pasti karena sang bapak sudah berjanji kepada anaknya untuk beriman. Jika adanya janji ini merupakan kemestian sedangkan janji sebagaimana dalam pendapat kedua tidak demikian, maka kata di atas [janji] sebaiknya ditafsirkan untuk pendapat pertama.

Syubhat Ketujuh Mereka berpegang kepada firman Allah, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada-Mu,” (QS Al-Baqarah [2]: 128). Doa adalah permintaan. Sementara, meminta hasil tidaklah boleh, sebagaimana firman Allah, “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala,” (QS Ibrāhim [14]: 35).

Seandainya hal itu tidak boleh baginya, maka ia tidak akan meminta hal itu, sebagaimana firman Allah, “Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat,” (QS Al-Syu'arā' [26]: 82). Kesimpulan dalam hal ini, yaitu ayat di atas memberitahukan bahwa ia tidak tahu pasti bahwa dirinya diampuni, yaitu penjelasan tentang terjadinya kesalahan darinya.

Pleidoi:

p: 68

Tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam, bahwa para nabi tidak boleh kufur sesudah mendapatkan kenabian. Namun, ada kelompok kecil dari golongan khawarij yang berbeda pendapat.(1) Pendapat tersebut tidak bisa dijadikan pertimbangan. Dengan demikian, ayat ini ditakwilkan sebagaimana ijma' umat Islam, yaitu menafsirkannya sebagai upaya menyucikan dan meleburkan jiwa serta menampakkan penyerahan diri dan doa sepenuh hati.

Syubhat Kedelapan Mereka mengatakan bahwa Ibrahim memohon kepada Allah agar semua keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. Akan tetapi, permohonan itu tidak dikabulkan sehingga mencemarkan kedudukan Ibrahim.

Pleidoi:

Para ahli tafsir menafsirkan doa ini kepada orang- orang yang telah diberitahu Allah bahwa ia beriman dan tidak menyembah berhala. Mengkhususkan yang umum itu lebih mungkin. Dengan demikian, peristiwa ini khusus bagi orang yang beriman dan tidak menyembah berhala.

Syubhat Kesembilan Mereka berpegang kepada firman Allah, “Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: 'Selamat.' Ibrahim menjawab: "Selamatlah,' maka tidak lama kemudian

p: 69


1- Yakni, mereka berpendapat bahwa kufur juga tidak diperbolehkan sebelum kenabian.

Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang,” (QS Hūd [11]: 69).

Kajian mengenai ayat ini bersumber dari beberapa aspek:

Pertama, Ibrahim menghidangkan makanan kepada tamunya, padahal Ibrahim tahu malaikat-malaikat itu tidak makan. Kedua, mengapa Ibrahim takut kepada malaikat- malaikat itu, padahal Ibrahim tahu malaikat-malaikat tersebut maksum? Jika Anda katakan: karena dua hal ini adalah ketidaktahuan Ibrahim bahwa mereka itu malaikat.

Saya katakan,“Mengapa Ibrahim memercayai pengakuan mereka sebagai malaikat padahal tidak ada dalil?” Ketiga, Allah menyifatinya dengan tanya jawab. Allah berfirman, “Diapun bersoal jawab (tujādilunā) dengan Kami (malaikat-malaikat) tentang kaum Luth,” (QS Hūd [11]: 74). Lalu berfirman, “Hai Ibrahim, tinggalkanlah soal jawab ini,” (QS Hūd [11]: 76). Ini menunjukkan Ibrahim tidak boleh bertanya jawab dengan malaikat.

Pleidoi:

Jika perbuatan Ibrahim dosa, niscaya ia akan dicela dan minta ampun atas tindakannya. Namun, bagaimana mungkin itu terjadi, sementara Allah memuji tindakannya tersebut? Allah berfirman, “Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengasih dan suka kembali kepada Allah,” (QS Hūd [11]: 75).

Allah memberinya sifat yang paling tinggi. Bagaimana mungkin Allah bisa menyalahkannya, padahal Allah menjadikannya sebagai sebab beliau mendapatkan pujian agung? Adapun mengenai bagaimana bisa Ibrahim

p: 70

membenarkan tanpa dalil terhadap pengakuan utusan- utusan tersebut sebagai malaikat, menurut kami, dalam ayat tersebut tidak ada penjelasan bahwa ia membenarkan tanpa dalil. Jika pun Ibrahim memang demikian adanya, maka dalil yang berkenaan dengan kemaksuman para nabi, menjadi dalil bahwa ia membenarkan mereka berdasarkan dalil. Sebagaimana dikisahkan, mereka memohon kepada Allah untuk menghidupkan anak sapi yang sudah disembelih dan disate, dan anak sapi itu pun hidup kembali.

Adapun mengenai tanya jawab di sini tidak berarti bersengketa. Ia bisa juga bermakna pertanyaan, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan (tujādiluka) kepadamu tentang suaminya,” (QS Al-Mujādilah [58]: 1). Tujādiluka disini bermakna 'bertanya kepadamu? Artinya, Ibrahim seakan-akan mencari tahu tentang bagaimana proses siksaan (pada kaum Luth). Pertanyaan ini umum untuk mereka, meskipun khusus untuk selainnya. Oleh karena itu, dinamakan tanya jawab karena adanya pengulangan.

Ada yang berpendapat bahwa arti tujādilunā adalah bertanya kepada kami [malaikat-malaikat] tentang kaum Luth agar siksaan mereka ditunda dengan harapan mereka beriman. Lalu, Allah menginformasikan bahwa siksaan lebih maslahat untuk mereka. Oleh karena itu, siksaan pasti akan menimpa mereka.

Sejatinya tidak disebutkan apakah Ibrahim diizinkan ataukah tidak dalam bertanya jawab. Jika tidak diizinkan, keberanian Ibrahim untuk tanya jawab adalah dosa, karena mungkin saja secara syariat ia

p: 71

belum diizinkan bertanya jawab. Kecuali jika dengan hukum yang menetapkan bahwa asal segala sesuatu itu adalah pembolehan, Ibrahim meyakini bahwa bertanya jawab tersebut boleh, sehingga seandainya bertanya jawab itu dilarang, tentu Ibrahim akan diam.

p: 72

KESUCIAN NABI YA’QUB

Syubhat Pertama Para penentang kemaksuman para nabi bertanya, “Bukankah Nabi Ya'qub mengetahui bahwa kedekatan dan kecintaannya kepada Yusuf (ketimbang anak-anaknya yang lain) dapat menimbulkan kedengkian dan kerusakan besar, tetapi mengapa ia melakukannya?" Pleidoi:

Jawaban terhadap kisah ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pertama, kami tidak menerima pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ya'qub lebih memuliakan Nabi Yusuf ketimbang saudara-saudaranya. Sebenarnya, ia hanya lebih mencintai dan condong kepadanya. Sikap seperti ini bukan kehendaknya, karena itu ia tidak dibebankan untuk menjauhi kecintaannya pada Yusuf.

Kedua, anggap saja Nabi Ya'qub memang lebih memuliakan Nabi Yusuf. Akan tetapi, kami tidak menerima pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ya'qub dari awal sudah mengetahui resiko negatif yang akan ditimbulkan oleh sikapnya itu. Barangkali karena Nabi Ya'qub mengira sikap saudara-saudara Yusuf adalah baik, sehingga tidak

p: 73

mungkin sikapnya itu berakibat merusak. Nabi Ya'qub mengetahui bahwa meskipun sifat dengki itu sudah mengakar dalam diri seseorang, tetapi mayoritas orang berusaha untuk menghindari dan menjauhinya.

Syubhat Kedua Nabi Ya'qub digambarkan sesat dan keliru oleh anak- anaknya (selain Yusuf) sebagaimana ucapan mereka, “Sesungguhnya ayah kita berada dalam kekeliruan yang nyata,” (QS Yūsuf [12]: 8).

Pleidoi:

Kesesatan atau kekeliruan di sini bukanlah kesesatan dari agama, tetapi yang dimaksud adalah menyimpang dari kebenaran. Lalu, jika Anda mengatakan bahwa ketika Nabi Ya'qub digambarkan keliru dan sesat oleh anak- anaknya, berarti mereka telah meragukan (mencemarkan) kemaksumannya. Dengan demikian, Nabi Ya'qub dianggap tidak benar dalam menetapkan hukumnya. Apabila seseorang meyakini hal ini terjadi pada diri para rasul, maka orang ini telah kafir. Begitu juga dengan saudara- saudara Nabi Yusuf telah kafir.

Menanggapi hal ini, menurut saya, menetapkan seseorang Islam atau kafir adalah bersifat syar'i.

Barangkali kekufuran yang menimpa saudara-saudara Nabi Yusuf bukan dalam masalah agama. Mungkin juga, gambaran [kekufuran) yang mereka maksudkan ialah berlebih-lebihan dalam mencintai. Tentunya sikap berlebih-lebihan bukan kehendak Nabi Ya'qub sendiri.

Dengan demikian gambaran yang disandangkan oleh

p: 74

saudara-saudara Nabi Yusuf terhadap ayahnya bukan bentuk meragukan atau mencemarkan kemaksumannya.

Syubhat Ketiga Nabi Ya'qub khawatir dengan keselamatan Yusuf, tetapi mengapa beliau membiarkan anaknya tersebut pergi bersama saudara-saudaranya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, “Dan aku [Ya'qub] khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala," (QS Yūsuf [12]: 13).

Apakah ucapan ini hanya peringatan bahaya? Pleidoi:

Meskipun Nabi Ya'qub sudah mengetahui kadar keimanan, janji, dan usaha anak-anaknya untuk menjaga Nabi Yusuf, tetapi hal ini tidak menghalanginya untuk tetap mengkhawatirkan keselamatan Nabi Yusuf bersama mereka. Selain itu, mungkin saja Nabi Ya'qub-dengan kecintaan yang begitu tampak pada Yusuf-jika tidak menitipkan Yusuf pada anak-anaknya, niscaya mereka akan menganggap bahwa Ayahnya menuduh mereka berencana melakukan perbuatan buruk terhadap Yusuf sehingga dapat menimbulkan kesedihan. Berdasarkan perkiraan ini, Yusuf dibiarkan pergi bersama saudara- saudaranya.

Syubhat Keempat Seharusnya para nabi itu tabah dan sabar, tetapi mengapa Nabi Ya'qub sedih dan menangis berlebihan?

p: 75

Pleidoi:

Tabah dalam menghadapi musibah dan menahan kesedihan hukumnya sunah, bukan wajib. Meninggalkan amalan sunah tidak termasuk maksiat. Kesedihan yang diungkapkan Nabi Ya'qub hanyalah ringan. Sementara pelajaran yang diambil oleh Nabi Ya'qub lebih banyak dan lebih luas dibandingkan ekspresi yang ditampakannya.

Syubhat Kelima Nabi Ya'qub sudah mengetahui lewat mimpi Nabi Yusuf bahwa apa yang terjadi akan berakhir dengan kebaikan di dunia dan akhirat. Namun, mengapa ia tidak merasa terhibur dengan kabar gembira tersebut? Pleidoi:

Apa yang diketahuinya tidak serta-merta menahannya dari kesedihan yang akan menimpanya disebabkan perpisahan. Sebab, mimpi tersebut terjadi saat Nabi Yusuf masih kecil, sehingga Nabi Ya'qub tidak bisa memastikan kebenarannya.

p: 76

KESUCIAN NABI YUSUF

Syubhat Pertama Dia bersabar atas perbudakan dan tidak menjelaskan kemerdekaan yang seharusnya dimiliki. Padahal ini adalah kemaksiatan.

Pleidoi:

Pertama, barangkali saat itu Yusuf belum menjadi nabi. Ketika ia merasa takut akan terjadinya pembunuhan, maka dibolehkan bersabar dalam perbudakan. Orang yang berpendapat seperti ini menafsirkan firman Allah, “Kami wahyukan kepadanya (Yusuf): 'Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini," (QS Yūsuf [12]: 15), kepada waktu yang lain.

Kedua, menampakkan kemerdekaan adalah hal yang boleh dilakukan berbeda sesuai dengan perbedaan syariat. Barangkali ia diuji untuk diam, sebagaimana orang tuanya (Nabi Ibrahim) diuji dengan siksaan Namruz dan perintah menyembelih Ismail.

Ketiga, barangkali Nabi Yusuf telah mengabarkan masalah kemerdekaan kepada kaumnya, hanya saja mereka tidak memperhatikan.

p: 77

Syubhat Kedua Para penentang kemaksuman nabi berpegang kepada firman Allah yang menceritakan tentang Yusuf dengan istri raja:

“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf dan dia menutup pintu-pintu seraya berkata: “Marilah ke sini.' Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh Tuhanku telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang zalim tidak akan beruntung. Sesungguhnya dia berhasrat pada Yusuf, dan Yusuf pun berhasrat padanya andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.

Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian,” (QS Yûsuf [12]: 23–24).

Pleidoi:

Qadhi Abu Thahir al-Thusi (semoga Allah merahmatinya) berkata, “Semua orang yang terlibat dalam peristiwa ini: suami Zulaikha, hakim, para wanita, pejabat, dan raja bersaksi atas ketidakbersalahan Nabi Yusuf. Demikian pula musuhnya dua kali mengakui kebenaran yang diucapkan Yusuf. Lebih dari itu, Allah Tuhan semesta alam, Zat Yang Mahabenar firman-Nya, bersaksi atas peristiwa ini, bahkan Iblis pun bersaksi.

Lalu, bagaimana bisa seseorang memperhatikan ucapan para penentang?" Adapun kesaksian suami Zulaikha, tersurat dalam firman Allah, “Sesungguhnya [kejadian terkoyaknya gamis Yusuf di bagian belakang] itu merupakan tipu daya

p: 78

kamu [Zulaikha], sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar. (Hai) Yusuf: 'Berpalinglah dari ini, dan (kamu hai istriku!) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah," (QS Yūsuf [12]: 28–29).

Sementara itu, kesaksian hakim tersurat dalam firman Allah, “Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: ‘Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar," (QS Yūsuf [12]: 26–27).

Kesaksian para wanita tersurat dalam firman Allah, “Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui suatu keburukan mengenainya (Yusuf),” (QS Yūsuf [12]: 51).

Sementara, kesaksian raja tersurat dalam firman Allah, “Sesungguhnya kamu (Yusuf) [mulai] hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai di sisi kami,” (QS Yūsuf [12]: 54).

Pengakuan Nabi Yusuf tersurat dalam firman Allah, “Dia berusaha menggodaku,” (QS Yûsuf [12]: 26).

“Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku,” (QS Yūsuf [12]:

33). “Yang demikian itu agar dia (Raja) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya,” (QS Yūsuf [12]: 52).

Adapun pengakuan Zulaikha, ialah ucapannya kepada para wanita, “Dan sesungguhnya aku telah menggodanya, akan tetapi dia menolak” (QS Yūsuf [12]: 32). “Sekarang

p: 79

jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya,” (QS Yusuf [12]: 51).

Sementara, kesaksian Allah Tuhan semesta alam tersurat dalam firman-Nya, “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian," (QS Yūsuf [12]: 24).

Mengenai kesaksian Iblis, tersurat dalam kisahnya, “Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba- hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka,” (QS Shād [38]:

82).

Jelas sekali iblis akan menyesatkan semua manusia kecuali orang-orang yang ikhlas. Sementara, Nabi Yusuf termasuk hamba yang ikhlas, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih,” (QS Yūsuf [12]: 24).

Lalu, keraguan apalagi yang tersisa bersama beragam kesaksian ini dalam membebaskan Nabi Yusuf dari dosa? Qadhi Abu Thahir kemudian menambahkan, “Jika orang-orang yang menuduh Yusuf termasuk pengikut Allah, hendaknya mereka menerima ucapan iblis dan jika mereka termasuk pengikut setan, maka mereka tidak boleh meninggalkan ucapan iblis ini, “Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba- Mu yang ikhlas di antara mereka.” Nah, jika muncul kalimat di atas, hendaknya kita ingat makna ayat tersebut.

Adapun tentang kata al-hamm [dalam ayat “Sesungguhnya dia berhasrat pada Yusuf, dan Yusuf pun berhasrat padanya'], dari segi bahasa kata ini mengandung beberapa makna:

p: 80

Pertama, tekad untuk melakukan perbuatan.

Sebagaimana firman Allah, “Idz hamma qaumun an yabsuthū ilaykum aydiyahum (Ketika suatu kaum bertekad (hamma) menggerakkan tangannya kepadamu [untuk berbuat jahat])” (QS Al-Mā'idah [5]: 11). Maksudnya mereka hendak melakukan perbuatannya dan bertekad untuk melaksanakannya.

Kedua, sesuatu yang melintas di dalam hati. Allah berfirman, “Idz hammat thāifatāni minkum an tafsyalā wallāhu waliyyuhumā (Ketika dua golongan dari kalian ingin mundur karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu,” (QS Ali `Imrān: 122). Allah berkehendak sikap mundur terlintas dalam hati mereka.

Jika [dalam ayat ini] yang dimaksud dengan kata hamma adalah tekad, maka tidak benar kalau Allah menjadi penolong bagi mereka. Sebab, tekad untuk melakukan kemaksiatan adalah sebuah kemaksiatan. Hal senada diisyaratkan juga dalam ucapan Ka'ab bin Zuhair, Betapa banyak di antara mereka orang-orang kaya dan dermawan Namun pelaku kebaikan telah bertekad (hamma) dan berniat Ketiga, digunakan untuk menunjukkan makna pendekatan, sebagaimana ucapan “hamma bi kadzā” atau maksudnya hampir melakukannya. Dzu al-Rummah berkata:

Aku mengatakan kepada Mas'ud untuk mengambil hartamu Sementara air mataku hampir bercucuran

p: 81

Dalam ungkapan ini, al-hamm tidak diartikan dengan bertekad. Pasalnya, air mata tidak bisa bertekad, tetapi maksudnya hampir atau mendekati.

Keempat, syahwat dan kecenderungan jiwa. Sebab, terkadang manusia mengatakan apa yang diinginkannya dengan ungkapan hādzā min hammī (Ini kesukaanku).

Jelas bahwa kata al-hamm digunakan untuk makna seperti ini. Jika kita tafsirkan dengan makna tekad, maka ada dua pendapat.

Pendapat pertama, kata al-hamm dalam zahir ayat di atas berkaitan dengan zat orang dan sifatnya.

Ini tidaklah boleh, sebab zat bukanlah yang dimaksud.

Untuk itu harus meninggalkan [makna) zahir seperti ini dan menggantungkan kata al-hamm kepada sesuatu yang bukan zat. Jika sudah jelas, maka kami katakan:

pengikatannya dengan beberapa hal tidak lebih utama dari pengikatannya dengan hal lain, kecuali karena ada sebuah dalil. Adapun al-hamm pada Zulaikha berkaitan dengan perbuatan keji bukan dalam segala hal, sebagaimana dijelaskan dalam nash dan ijma'. Dalil nashnya adalah firman Allah:

“Dan wanita-wanita di kota berkata: 'Istri al-Aziz (Raja) menggoda budak prianya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya cintanya sangatlah dalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata," (QS Yūsuf [12]: 30).

“Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya, dan sesungguhnya dia termasuk orang- orang yang benar,” (QS Yūsuf [12]: 51).

p: 82

“Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia, akan tetapi dia menolak,” (QS Yūsuf [12]: 32).

Sementara itu penjelasan ijma', para ahli tafsir sepakat bahwa Zulaikha berhasrat melakukan kemaksiatan dan kekejian. Adapun hasrat Yusuf telah kami jelaskan bahwa tidak boleh berkaitan dengan kekejian karena dalam ayat tersebut tidak mengarah ke hal ini. Dengan demikian, kita menghubungkannya dengan [bagaimana] usaha Yusuf menahan godaan Zulaikha kepadanya, sebagaimana orang yang mengatakan, “Laqad kunta hammat bi fulānin” di mana maksudnya adalah “Bi an awqa'a bihi dharban” (aku berkeinginan untuk memukul seseorang).

Tidak dikatakan bahwa apa manfaat menakwilkan firman Allah, “Lawlā an ra'ā burhāna rabbihi (Andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya),” (QS Yūsuf [127:

24). Sementara itu, penolakan Yusuf untuk tunduk pada wanita tersebut adalah sebuah ketaatan yang tidak dapat dipungkiri sebagai tanda dari Tuhannya. Menurut kami, boleh saja ditafsirkan bahwa ketika Yusuf bermaksud menolak dan memukulnya, tiba-tiba diperlihatkan kepadanya tanda bahwa jika ia lancang melakukan apa yang dikehendakinya, tentunya keluarga wanita itu akan membinasakan dan membunuhnya. Wanita itu juga akan mengaku bahwa Yusuf menggoda dirinya untuk melakukan tindakan bejat dan menuduh bahwa Yusuf sendiri yang mengajak dirinya untuk tunduk kepadanya dan Yusuf memukulnya karena ia tidak menuruti keinginannya. Kemudian, Allah mengabarkan kepada Yusuf bahwa Dia memberikan tanda supaya ia berpaling

p: 83

dari keburukan dan kekejian, yaitu pembunuhan, godaan, prasangka buruk, dan keyakinan terhadapnya.

Tidak dikatakan bahwa jawaban kata lawlā (andaikata) seharusnya didahulukan dari kalimat tersebut dan penjelasan [susunan) maknanya sebagai berikut:

Andaikata dia tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya Yusuf berhasrat mendekatinya. Sebab, jawaban lawlā tidak boleh didahulukan. Sebenarnya, kami tidak menerima larangan mendahulukan jawaban kata lawlā sebagaimana yang akan ditetapkan selanjutnya. Namun, pada saat ini kami tidak membutuhkan hal tersebut. Pasalnya, tekad dan kehendak untuk memukul sudah ada, hanya tindakan tersebut dipalingkan karena ada tanda dari Tuhan. Adapun perkiraan penjelasannya adalah: “Zulaikha berhasrat pada Yusuf, tetapi Yusuf berkehendak untuk menolaknya.

Seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, tentu ia akan melakukannya.” Kendati demikian, jawaban kata ini dihilangkan dan disembunyikan.” Pendapat kedua, menafsirkan kata al-hamm dengan niat yang kalimatnya dapat ditafsirkan mengandung ta`khir (diakhirkan) dan taqdīm (didahulukan). Perkiraan [susunan) maknanya: “Zulaikha berhasrat pada Yusuf, dan seandainya Yusuf tidak melihat tanda dari Tuhannya, niscaya dia berhasrat padanya dan berlakulah selanjutnya apa yang akan terjadi," sebagaimana ucapan Anda: “Aku akan luka, seandainya aku tidak menghindar, sedangkan kaca sudah dijauhkan." Ali bin Isa memberikan jawaban terhadap problem (dalam hal lawlā) ini dari dua segi: 1) Tidak boleh mendahulukan jawaban dari kata lawlā. 2) Jawabannya

p: 84

dengan menggunakan huruf lām, sebagaimana firman Allah, “Fa lawlā annahu kāna min al-musabbihin, lalabitsa fī bathnihi ilā yawmi yub`atsūn” (“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit”), (QS Al-Shāffāt [37]: 143-144).

Kami sendiri tidak menerima bahwa jawaban itu tidak boleh taqdīm (didahulukan). Dalilnya adalah firman Allah, “In kādat latubdī bihi lawlā an rabathna ‘ala qalbihā (“Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hati-nya”), (QS Al-Qashash [28]: 10). Demikian juga, jika jawaban terhadap kata lawlā tidak didahulukan, tentu jawabannya menjadi hilang. Jika permasalahannya berkisar antara jawaban yang dihilangkan dengan jawaban yang didahulukan dari syarat, maka tidak diragukan lagi bahwa mendahulukan jawaban lebih utama.

Jika Anda menanyakan apa maksud dari firman Allah, “Dan Yusuf pun berhasrat pada Zulaikha seandainya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya,” (QS Yūsuf [12]:

24), menurut kami maksudnya adalah sebagai informasi bahwa Yusuf meninggalkan hasratnya dan tidak merespon wanita yang mengajak berbuat keji, bukan berarti Yusuf tidak menyukai wanita karena dia lemah, tetapi ia meninggalkannya karena mencari keridaan Allah dan mengharap pahala-Nya serta menjauhkan diri dari siksa-Nya yang pedih.” Jika Anda bertanya, “Apa tanda yang dilihat oleh Yusuf?" Menjawab pertanyaan ini, terdapat delapan aspek yang mesti diperhatikan:

p: 85

1. Muhammad bin Ka'ab mengatakan bahwa tanda tersebut merupakan hujjah pengharaman zina dan pengetahuan bahwa pezina akan menerima siksaan.

2. Allah menganugerahkan akhlak mulia kepada para nabi-Nya berupa sifat memelihara kehormatan diri dan jiwa dari kotoran.

3. Yusuf melihat sebuah tulisan di langit-langit rumah yang berbunyi, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,” (QS Al-Isrā’ [17]: 32).

4. Al-Sadiq mengatakan bahwa itu (yang dilihat] adalah kenabian yang menjadi penghalang dari melakukan tindakan keji.

5. Zainal Abidin mengatakan bahwa di rumah wanita itu (Zulaikha) ada berhala. Lalu, berhala itu ditutupi kain oleh wanita tersebut dan mengatakan bahwa ia malu kepadanya. Lantas Yusuf berkata, “Engkau malu kepada berhala, maka aku lebih pantas untuk malu kepada Allah Yang Maha Esa dan Perkasa." 6. Ada suara yang mengatakan, “Hai anak Ya'qub, janganlah engkau seperti burung. Jika burung berzina maka bulunya rontok." Yusuf mendengar suara yang mengatakan, “Engkau dicatat sebagai salah seorang nabi, tetapi mengapa melakukan perbuatan orang-orang bodoh.” Ibn Abbas berkata, “Yusuf melihat wujud malaikat.

Ada yang berpendapat Yusuf melihat gambar Ya'qub yang sedang gigit jari.”

p: 86

Jika Anda bertanya, “Jika tanda tersebut merupakan kondisi Yusuf yang melihat Ya'qub sedang menggigit jari atau malaikat yang menghardiknya, tentu mengharuskan adanya perlindungan dan menafikan adanya beban? Tindakan Yusuf menjauhi perbuatan keji tersebut tidak pantas mendapatkan pujian, sanjungan, bahkan pahala sekalipun.” Menurut saya, bukankah Mu'tazilah mengatakan tentang firman Allah, “Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui,” (QS Al-An'ām [6]: 111), bahwa sejatinya sebagian dari tanda tersebut tidak menyebabkan adanya keharusan mendapatkan perlindungan. Jika hal demikian terjadi, maka bagaimana bisa mendapatkan perlindungan hanya karena menyaksikan Ya'qub dan mendengar suara malaikat? Syubhat Ketiga Para penentang kemaksuman nabi berpegang kepada firman Allah, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,” (QS Yūsuf [12]: 53).

Pleidoi:

Pertama, maksudnya doa dan perlawanan, bukan bermaksud melakukan kemaksiatan. Sebab, ia tidak bisa

p: 87

membebaskan dirinya dari sesuatu yang berada di luar jangkauan tabiat manusia.

Kedua, ungkapan di atas berasal dari ucapan wanita (Zulaikha) bukan dari ucapan Yusuf dengan dalil bahwa ungkapan ini diarahkan kepada ucapan wanita.

Sebab Allah berfirman, “Berkata istri raja: 'Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Yang demikian itu agar dia (raja) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,”(QS Yûsuf [12]: 51–53). Dengan kata lain, ungkapan tersebut berasal dari wanita tersebut (Zulaikha).

Dengan demikian, firman Allah, “Yang demikian itu agar dia (Raja) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya,” (QS Yûsuf [12]: 52), merupakan perkataan wanita tersebut, bukan perkataan Yusuf. Kemudian yang diberi “kiasan” (metonomia) dalam firman Allah tersebut, “Sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya” adalah Yusuf yang sedang berada di penjara. Saat saya ditanya tentang kisah ini, saya hanya mengatakan yang benar. Dalam al-Qur'an sendiri tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ungkapan tersebut berasal dari Yusuf. Meskipun seumpamanya ungkapan itu berasal dari Yusuf, tentu dibantah dengan adanya penghilangan yang panjang dari kisah kembalinya utusan raja kepada Yusuf dan mengabarkan apa yang dikatakan

p: 88

oleh Yusuf kepadanya hingga ia meresponnya. Kemudian, kembalinya utusan tersebut untuk yang kedua kalinya kepada raja dan mengabarkan apa yang dikatakan Yusuf, hingga raja itu berkata, “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku,” (QS Yūsuf [12]: 54). Ini tentunya mustahil terjadi dalam al- Qur'an al-Karim, begitu juga dalam syair. Jika ungkapan itu (yang kita bahas saat ini] kita anggap berasal dari Yusuf, tentunya tidak perlu menyematkan kekejian kepadanya. Bahkan, ungkapan tersebut menjadi dalil yang jelas mengenai kebebasan Yusuf dari kekejian karena ia mengatakan, “Agar dia (raja) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya,” (QS Yūsuf [12]: 52). Padahal, tidak ada pengkhianatan yang lebih besar dari keinginan untuk melakukan kekejian kepada istri raja dan menggaulinya seperti suami-istri.

Syubhat Keempat Orang-orang memenjarakan Yusuf. Tindakan ini secara sepakat adalah kemaksiatan. Yusuf bersabda, “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku,” (QS Yūsuf [12]: 33).

Ini menunjukkan kesukaan Yusuf kepada kemaksiatan, sedangkan kesenangan pada kemaksiatan adalah sebuah kemaksiatan.

Pleidoi:

Pertama, maksud dari yang lebih disukai adalah yang lebih ringan dan yang lebih mudah, seperti orang yang

p: 89

diberi pilihan antara dua hal yang sangat tidak disukai sekali, lalu ia mengatakan, “Sesungguhnya ini lebih aku sukai, yakni lebih ringan dari yang lainnya." Kedua, ketegaran jiwa untuk menanggung penderitaan penjara lebih aku sukai daripada melakukan kemaksiatan. Adapun ucapannya, “Dan jika tidak Engkau hindarkan dari diriku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh,” (QS Yūsuf [12]: 33). Ini merupakan penjelasan bahwa suatu bentuk ketaatan tidak akan bisa tercapai tanpa adanya pertolongan dan kelembutan Allah.

Syubhat Kelima Bagaimana bisa Yusuf yang memiliki derajat kenabian, mengandalkan keselamatan dirinya pada penjara bukan pada Allah, sebagaimana yang diucapkannya kepada orang yang bersamanya di penjara, “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu,” (QS Yūsuf [12]: 42), sehingga banyak riwayat yang menyebutkan bahwa karena mengandalkan kepada selain Allah, maka ia berdiam lama di penjara? Pleidoi:

Dunia adalah tempat mencari sebab. Berpegang kepada sebab tidak berarti menafikan hakikat tawakal. Yusuf harus mencari penyebab ia keluar dari penjara, yaitu minta tawanan untuk menerangkan keadaannya kepada tuannya.

p: 90

Syubhat Keenam Apa hikmah Yusuf meminta salah seorang saudaranya, kemudian dipenjarakan bersamanya sehingga tidak bisa kembali kepada ayahnya. Padahal ia tahu kesedihan yang akan menimpa ayahnya? Apakah ini merupakan suatu bentuk pelimpahan bahaya kepada ayahnya? Pleidoi:

Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan wahyu dari Allah sebagai tambahan ujian bagi ayahnya.

Sedangkan maksud ayat, “Kami akan membujuk ayahnya untuk membawanya (ke mari),” (QS Yūsuf [12]: 61) bukan merupakan tipuan dan dusta, melainkan bentuk kelembutan dan trik.

Syubhat Ketujuh Apa arti Yusuf memasukkan wadah minum raja ke karung saudaranya? Pleidoi:

Hal itu dimaksudkan agar menjadi sebab saudaranya ditahan. Boleh jadi ini berdasarkan perintah Allah.

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Yusuf telah memberitahukan saudaranya tentang hal ini supaya bisa menjadi jalan untuk menahannya. Berdasarkan hal ini, maka tindakan tersebut tidak menjadi sebab untuk menimbulkan kesedihan di hati saudaranya.

Jika Anda mengatakan, “Bukankah saya tidak mengatakan bahwa tindak memasukkan wadah minum

p: 91

adalah untuk menuduh saudaranya atas tuduhan mencuri?” Kami jawab, tindakan Yusuf, yaitu memasukan wadah minum raja ke karung saudaranya, mengandung beragam penafsiran. Orang yang berpendapat perbuatan tersebut adalah mencuri, maka dia adalah orang yang lalai. Sedangkan orang yang menilai bahwa saudara- saudara Yusuf adalah pencuri, memiliki tiga segi:

1. Penilaian tersebut bukan atas perintah Yusuf, tetapi dilakukan oleh salah satu kaumnya yang mengetahui hilangnya wadah minum.

Anggap saja penilaian itu atas perintah Yusuf. Namun, si penilai tidak mengatakan bahwa mereka mencuri wadah minum, ia hanya menilai bahwa mereka itu para pencuri. Bisa saja maksudnya bahwa mereka mencuri Yusuf dari ayahnya.

Ucapan tersebut keluar dari makna pertanyaan, meskipun secara lahir berbentuk informasi. Seakan- akan orang itu mengatakan: apakah mereka itu para pencuri? Huruf hamzah dalam huruf istifham (pertanyaan) dibuang sebagaimana dalam firman Allah, hādzā rabbi (Inilah Tuhanku), (QS Al-An'ām [6]: 76).

Syubhat Kedelapan Mengapa Yusuf tidak mengabarkan kondisi dirinya kepada ayahnya agar jiwanya tenang dan gembira? Pleidoi:

Barangkali tindakan tersebut atas perintah Allah sebagai bentuk penekanan kepada Ya'qub.

p: 92

Syubhat Kesembilan Allah berfirman, “Dan ia menaikkan kedua ibu- bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud,” (QS Yūsuf [12]: 100).

Bagaimana mungkin Yusuf rela saudara-saudaranya sujud kepadanya, padahal sujud itu hanya kepada Allah semata? Bagaimana mungkin ia rela memanfaatkan kedua orang tuanya? Pleidoi:

Maksud ayat di atas ialah merebahkan diri demi Yusuf dan sujud demi Allah. Jika Anda berpendapat bahwa takwil ini tidak bisa diterima karena adanya firman Allah, “Wahai ayahku inilah ta'bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan,” (QS Yūsuf [12]: 100). Menurut saya, hal itu tidak diterima. Sebab, takwil mimpi Yusuf adalah mencapai jabatan paling tinggi. Ketika ia melihat bapak dan ibunya dalam kondisi paling mulia di dunia dan akhirat, maka ini menjadi pembenaran atas mimpinya.

Syubhat Kesepuluh Apa arti firman Allah dalam kisah Yusuf, “Setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara- saudaraku,” (QS Yūsuf [12]: 100).

Pleidoi:

Hasutan setan berasal dari saudara-saudara Yusuf kepada dirinya, bukan dari dirinya kepada mereka. Hal ini

p: 93

senada dengan ucapan seseorang: ada keburukan antara aku dengan si fulan, walaupun keburukan itu timbul dari salah satunya bukan dari keduanya.

Syubhat Kesebelas Apa arti firman Allah, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir),” (QS Yūsuf [12]: 55). Bagaimana bisa meminta kekuasaan dari orang zalim? Pleidoi:

Dia minta supaya dirinya menjabat bendaharawan Negara Mesir agar dia bisa memerintah dengan adil. Oleh karena kenabiannya, dia pantas untuk menerimanya.

Orang yang memiliki hak, pantas untuk meraih haknya dengan berbagai cara.

p: 94

KESUCIAN NABI AYUB

Allah berfirman tentang kisah Ayub, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan,” (QS Shad [38]: 41).

Siksaan merupakan bentuk balasan sebagaimana hukuman sehingga menunjukkan bahwa Ayub berdosa.

Sekelompok ahli tafsir meriwayatkan bahwa musibah yang diturunkan Allah kepada Ayub karena ia meninggalkan kewajiban amar bil ma'ruf dan nahyu anil munkar.

Pleidoi:

Kami tidak menerima pendapat bahwa siksaan itu hanya untuk balasan saja. Oleh karena itu, sering dikatakan kepada orang zalim yang baru melakukan kezaliman, sesungguhnya ia telah menyiksa manusia [meskipun orang itu tidak melakukan kesalahan].

Sementara penisbatan siksaan kepada setan, menurut kami, sesungguhnya Ayub tidak menyematkan penyakit kepada setan. Ia menisbatkan kepada setan hanya mengenai bisikan yang dirasakannya dan pengingatan kepadanya mengenai kenikmatan dan kesehatan serta seruannya untuk berkeluh kesah. Selain itu, karena setan membisikkan kepada kaumnya agar menganggap

p: 95

jijik kepada Ayub akibat penyakit mengerikan yang dideritanya. Di akhir ayat, Allah Ta'ala juga memujinya, sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya)," (QS Shad [38]: 44).

Jika ayat yang pertama menunjukkan bahwa ia berdosa, tentunya pujian yang diberikan di ayat terakhir dapat digambarkan sebagai pujian atas dosanya, padahal hal ini tidak boleh. Hanya Allah yang memberi taufik.

p: 96

KESUCIAN NABI SYU’AIB

Syubhat Pertama Apa arti firman Allah, “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian (tsumma) bertobatlah kepada- Nya.” (QS Hūd [11]: 90), padahal sesuatu itu pada dirinya sendiri tidak dikasihani, apalagi menggunakan huruf yang melazimkan adanya kelonggaran, yaitu huruf “tsumma"? Pleidoi:

Pertama, artinya adalah jadikanlah ampunan itu sebagai tujuan yang diarahkan kepada-Nya, kemudian topanglah permohonan ampunan itu dengan bertobat kepada-Nya. Sebab, ampunan itu permulaan dalam permintaan dan akhir dalam sebab.

Kedua, mohonlah ampunan kepada Tuhanmu.

Artinya, bagi orang-orang mukmin mintalah ampunan kepada Allah dengan cara memberi bantuan. Kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sebab, sesuatu itu tidak bisa dikasihani karena seharusnya permintaan taufik dilakukan sebelum tobat.

Ketiga, ada dua jalan untuk selamat dari bahaya dosa: 1) Ampunan dan pertolongan Allah. Ini terjadi

p: 97

ketika sudah mendekati dosa. 2) Tobat yang menghapus dosa. Barangkali Syu'aib mencari beragam jalan yang memungkinkan dirinya bisa selamat dari melakukan kemaksiatan.

Syubhat Kedua Apa arti ucapan Syu'aib kepada Musa, “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu,” (QS Al-Qashash [28]: 27).

Apakah bisa mas kawin ditentukan dengan pilihan? Apa manfaat yang diterima oleh anak perempuan dari mas kawin yang disyaratkan oleh bapaknya, padahal mas kawin tersebut tidak mendatangkan manfaat baginya? Pleidoi:

Pertama, boleh jadi kambing-kambing tersebut milik Syu'aib dan manfaat mempekerjakan Musa untuk menggembalanya kembali kepada Syu'aib. Namun, ia mengganti upah penggembalaannya dengan anak perempuannya sehingga dengan demikian Musa menjadi pengurusnya. Adapun pilihan yang ditawarkan ini hanya waktu yang lebih dari delapan tahun. Tambahan waktu tidak termasuk mas kawin. Boleh jadi kambing-kambing tersebut milik anak perempuan Syu'aib, sedangkan Syu'aib sendiri hanya mengaturnya dan memegang mas kawinnya.

p: 98

Kedua, boleh juga syariat yang dijalankan oleh Syu'aib adalah akad pernikahan berdasarkan saling rida tanpa disertai mas kawin tertentu sehingga firman Allah Ta'ala, “Atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun, (QS Al-Qashash [28]: 27) bukan berkaitan dengan mas kawin.

Syubhat Ketiga Firman Allah, “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu,” (QS Al-A'rāf [7]: 88). Syu'aib mengakui bahwa Allah telah menyelamatkannya dari agama mereka [kaumnya), yaitu kekufuran. Ia tidak kembali kepada kekufuran karena orang yang kembali kepada asal semula berarti ia masuk ke dalamnya. Akan tetapi, ia kembali kepadanya setelah berpisah dengan kaumnya.

Pleidoi:

Terkadang kembali kepada sesuatu digunakan untuk sesuatu yang bukan pada tempatnya. Sebab, Allah memberi nama Hari Kiamat dengan kata ma'ād walaupun kata ini tidak ada pada kiamat. Begitu juga keselamatan digunakan dalam hal-hal yang tidak ada kaitannya dengannya. Orang yang selamat dari musibah yang ditimpakan orang lain, terkadang mengatakan:

segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari bencana yang ditimpakan si fulan. Segi lainnya, sesungguhnya kiasan dalam firman Allah, “Sesudah Allah melepaskan kami dari padanya,” (QS Al-A'raf [7]:

89), yaitu merujuk kepada agama. Bisa juga merujuk pada

p: 99

sebelum mendapatkan wahyu, Syu'aib diperintahkan untuk mengikuti agama kaumnya, kemudian perintah itu dihapus. Lalu, kaumnya menyeru Syu'aib untuk kembali kepada agamanya. Namun, Syu'aib menjawab bahwa ia tidak akan kembali kepada agama mereka karena agama tersebut sudah dihapus.

p: 100

KESUCIAN NABI MUSA

Syubhat Pertama Para penentang berpegang kepada firman Allah, “Lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu." (QS Al-Qashash [28]: 15). Orang Koptik yang dibunuh itu bisa jadi pantas untuk dibunuh atau pun tidak. Kalau ia pantas untuk dibunuh, mengapa Musa a.s. mengatakan:

"Ini adalah perbuatan setan,” (QS Al-Qashash [28]: 15).

“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri.” (QS Al-Qashash [28]: 16).

“Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf,” (QS Al-Qashash [28]: 20).

Kalau termasuk kategori kedua (tidak pantas dibunuh), maka dengan membunuh orang Koptik itu, Musa menjadi berdosa.

Pleidoi:

Barangkali dapat ditafsirkan bahwa ia pantas dibunuh karena kafir, kalaupun tidak kafir, maka Musa membunuhnya karena khilaf. Ia hanya bermaksud

p: 101

menolong kaumnya dari serangan orang Koptik tersebut, sehingga perbuatannya ini menyebabkan pembunuhan tanpa sengaja.

Orang yang membolehkan nabi melakukan dosa kecil menafsirkan ayat itu berkenaan dengan Musa. Sebab, istigfar dan tobat itu diharuskan dari perbuatan dosa kecil sebagaimana diwajibkan dari dosa besar, sedangkan orang yang menolaknya tidak menafsirkannya kepada Musa. Adapun firman Allah, “Ini adalah perbuatan setan, (QS Al-Qashash [28]: 15) mengandung beberapa segi:

Pertama, Allah menganjurkan Musa untuk menangguhkan pembunuhan terhadap orang-orang kafir hingga datangnya kondisi mampu. Kemudian, ketika Musa membunuhnya, maka ia telah meninggalkan anjuran. Dengan demikian, firman Allah di atas, “Ini adalah perbuatan setan,” (QS Al-Qashash [28]: 15) bermakna bahwa kelancanganku untuk meninggalkan anjuran, merupakan perbuatan setan.

Kedua, bisa juga maksudnya bahwa perbuatan orang yang terbunuh itu adalah perbuatan setan. Artinya, penjelasan bahwa orang yang menyimpang dari perintah Allah pantas untuk dibunuh dan firman-Nya hadza (ini) merupakan isyarat kepada orang yang terbunuh. Artinya, orang yang terbunuh itu adalah pengikut dan tentara setan. Sebagaimana dikatakan, si fulan [melakukan] perbuatan setan, artinya dia menjadi pengikutnya.

Adapun firman, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku," (QS Al-Qashash [28]: 16), senada dengan ucapan Adam, “Kami telah menganiaya diri kami sendiri,” (QS Al-A'raf [7]:

p: 102

23). Maksudnya mengandung dua segi: memutuskan diri untuk mencurahkan ibadah kepada Allah dan mengakui kelalaian dalam menunaikan hak-hak-Nya-walaupun sama sekali tidak ada dosa atau dirinya tidak mendapatkan pahala atas perbuatan yang dianjurkan. Sementara maksud firman-Nya, “Karena itu ampunilah aku" ialah berilah aku ketaatan sehingga aku dapat mencurahkan ibadah kepada-Mu. Adapun firman-Nya, “Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang- orang yang khilaf,” (QS Al-Qashash [28]: 20). Ia tidak mengatakan, Dengan perbuatan itu aku menjadi orang yang sesat. Namun, ketika Fir'aun menolak pembunuhan tersebut, ia menafikan dirinya menolak pembunuhan tersebut pada saat itu. Kemudian, ia mengakui bahwa dirinya sesat, khilaf, atau bingung; tidak mengetahui apa yang harus dikerjakan dan apa yang diinginkannya. Hanya Allah Yang Mahatahu.

Syubhat Kedua Bagaimana mungkin Musa mengatakan kepada seorang kaumnya sambil berteriak, “Sesungguhnya kamu benar-benar orang sesat yang nyata (kesesatannya)"? Pleidoi:

Sesungguhnya kaum Musa adalah orang-orang keras lagi kasar. Bagaimana pendapat Anda mengenai ucapan mereka setelah menyaksikan berbagai ayat, “Buatkan untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala), (QS Al-A'rāf [7]: 138) sehingga maksudnya seperti itu.

p: 103

Syubhat Ketiga Kala Allah berfirman, “Datangilah kaum yang zalim itu,” (QS Al-Syu'arā' [26]: 12), mengapa jawabannya, “Sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku, maka utuslah (Jibril) kepada Harun," (QS Al-Syu'arā [26]: 12–13), bukankah ini menunjukkan ketidakperluan kepada kerasulan? Pleidoi:

Hal ini tidak menunjukkan ketidakperluan kepada kerasulan, hanya saja sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah dalam surat Thāhā (20), bahwa Musa memohon agar saudaranya, Harun, diberi kerasulan, “Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?” (QS Thāhā [20]: 9) sampai kepada firman Allah, “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku,” (QS Thāhā [20]: 29). Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa,” (QS Thāhā [207:36). Permohonan ini diizinkan sehingga terkabullah permintaannya.

Syubhat Keempat Bagaimana bisa Musa menyuruh tukang sihir untuk melemparkan tali dan tongkat, padahal semua itu sihir, tipuan, dan kekufuran? Oleh karena itu, menyuruh tindakan seperti ini tidak boleh?

p: 104

Pleidoi:

Perintah tersebut mengandung syarat. Perkiraan maksudnya adalah kalau memang kalian benar, lemparkan apa yang ingin kalian lemparkan, sebagaimana dalam firman Allah, “Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu." (QS Al-Baqarah [2]: 23). Yakni, kalau kalian mampu. Demikian juga, tindakan tersebut boleh dilakukan ketika menjadi jalan untuk menyingkap tirai syubhat.

Syubhat Kelima Allah berfirman, “Maka Musa merasa takut dalam hatinya.” (QS Thāhā [20]: 67). Bukankah rasa takutnya bisa membuat ragu atas apa yang dibawanya? Pleidoi:

Barangkali ia merasa takut karena begitu kuat talbīs (pemalsuan) sehingga dikhawatirkan banyak orang yang terkena syubhat keraguan. Kemudian, Allah memberikan ketenangan dan menjelaskan bahwa hujjah-nya jelas bagi kaumnya, sebagaimana firman-Nya, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang)” (QS Thāhā [20]: 68).

Syubhat Keenam Allah berfirman, “Dan Musa pun melemparkan luh- luh,” (QS Al-A'raf [7]: 150). Ayat ini mengandung dua hal:

entah Harun telah melakukan dosa sehingga pantas untuk menerima pelajaran seperti ini, ataupun tidak melakukannya. Kalau memang Harun melakukan dosa,

p: 105

maka ia berdosa. Kalau ia tidak melakukannya, berarti Musa yang berdosa. Selain itu, Harun juga melarang Musa, sebagaimana dalam ucapannya, “Janganlah kamu pegang janggutku,” (QS Thāhā [20]: 94). Jika tindakan Musa itu benar, maka Harun yang durhaka karena menolak untuk melakukan kebaikan. Namun, apabila alasan penolakan Harun tersebut benar, maka Musa durhaka atas tindakan yang dilakukannya.

Pleidoi:

Orang yang berpendapat para nabi boleh melakukan dosa kecil, menafsirkan bahwa kejadiannya seperti itu, sehingga pertanyaan itu tidak berarti lagi. Sedangkan orang yang menentang, memiliki dua segi pendapat:

Pertama, Musa mendatangi kaumnya dalam keadaan marah, kemudian memegang dan menyeret kepala saudaranya, sebagaimana yang diperbuat seseorang terhadap dirinya saat marah seperti ini. Seorang pemikir yang sedang marah biasanya menggigit bibirnya, membolak-balikkan jari-jemarinya dan memegang janggutnya. Kemudian, Musa memperlakukan saudaranya seperti perlakuan terhadap dirinya sendiri karena saudaranya itu koleganya. Ia melakukan tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya saat berpikir dan marah.

Adapun firman Allah, “Janganlah kamu pegang janggutku.” Barangkali Harun khawatir Bani israel berprasangka buruk kepadanya bahwa dirinya itu membangkang kepada Musa dan mencelanya. Lalu, ia pun memaparkan kisah yang sebenarnya. Dalam ayat

p: 106

lain, ia mengatakan, “Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): 'Kamu telah memecah antara Bani israel," (QS Thāhā [20]: 94). “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah,” (QS Al-A'rāf [7]: 150).

Kedua, sesungguhnya Bani Israel telah mencapai puncak buruk sangka kepada Musa sehingga suatu saat Harun menghilang dari tengah-tengah mereka.

Lantas mereka berkata kepada Musa, “Engkau telah membunuhnya.” Tatkala Allah menjanjikan kepada Musa (memberikan Taurat), sesudah berlalu waktu tiga puluh malam dan disempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), serta dicatat segala peraturan (hukum-hukum) dalam lawh (papan tulisan), Musa kembali kepada kaumnya dan melihat apa yang terjadi.

Lalu, ia memegang kepala saudaranya untuk didekatkan sehingga ia menceritakan apa yang terjadi. Harun merasa takut timbul prasangka buruk di kalangan Bani israel yang tidak berdasarkan sumbernya. Dengan penuh rasa sayang, ia berkata kepada Musa, “Janganlah kamu pegang janggutku,” (QS Thāhā [20]: 94), supaya Bani israel tidak menuduh yang bukan-bukan kepadamu.

p: 107

p: 108

KESUCIAN NABI MUSA DAN KHIDIR

Syubhat Pertama Syubhat yang berkenaan dengan Musa terdiri dari beberapa segi:

1. Musa bersabda, “Kamu [Khidir] telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (imran),” (QS Al-Kahf [18]: 71).

“Sesungguhnya kamu [Khidir] telah melakukan suatu yang mungkar (nukran),” (QS Al-Kahf [18]: 74).

Padahal tindakan tersebut pada hakikatnya tidak demikian. Hukum menetapkan sesuatu yang bukan mungkar dengan [menyatakan] mungkar adalah keliru. Dengan demikian Musa keliru.

Musa menilai bahwa jiwa anak itu bersih, meskipun pada kenyataannya tidak demikian.

Ucapan Musa, “Janganlah kamu menghukumku karena kelupaanku,” (QS Al-Kahf [18]: 73). Padahal menurut kita para nabi itu tidak boleh lupa.

p: 109

Syubhat Kedua Syubhat yang berkenaan dengan Khidir terdiri dari beberapa segi:

1) Firman Allah, “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin” (QS Al-Kahf [18]: 79). Bahtera merupakan kekayaan yang besar, bagaimana bisa pemiliknya dikatakan orang miskin? 2) Firman Allah, “Di hadapan (al-warā) mereka ada seorang raja.” (QS Al-Kahf [18]: 79). Orang-orang yang ada di belakang mereka sudah selamat dari raja tersebut, sedangkan yang menjadi ketakutan mereka adalah orang-orang yang ada dihadapannya.

3) Firman Allah, “Dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran,” (QS Al-Kahf [18]: 80). Bagaimana bisa menghalalkan darah seorang anak demi rasa takut dan khawatir, padahal rasa takut itu tidak membutuhkan ilmu dan keyakinan? Pleidoi:

Jawaban pertanyaan pertama: adapun firman Allah, “Suatu kesalahan yang besar”, artinya adalah sesuatu yang mencengangkan. Ada pula yang mengartikan dengan suatu kemungkaran. Tidak ada masalah kalau kita menafsirkannya dengan makna yang pertama.

Akan tetapi, kalau ditafsirkan dengan makna kedua, maka jawaban dari kalimat imran dan nakiran, memiliki beberapa segi:

p: 110

Pertama, tampilan lahir dari perbuatan tersebut adalah mungkar dan diingkari oleh orang yang menyaksikannya, sebelum ia mengetahui sebabnya.

Kedua, huruf syarat dari kalimat di atas dibuang, sehingga seakan-akan Musa mengatakan, “Kalau aku membunuhnya karena kezaliman, maka aku telah melakukan sesuatu yang mungkar.” Ketiga, ucapan nukran bermakna sesuatu yang mencengangkan. Sebab, orang-orang biasa mengatakan terhadap sesuatu yang aneh tanpa diketahui sebabnya dengan innahu nukran wa munkaran.

Jawaban pertanyaan kedua: Musa menggambarkan jiwa anak itu bersih dengan kalimat pertanyaan bukan dengan kalimat berita. Demikian juga ia berbicara dengan apa yang disebutkannya karena [ia] menetapkan sesuatu sesuai dengan tampilan lahirnya dan hal ini boleh sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Kita menetapkan hukum berdasarkan tampilan lahir."(1) Jawaban pertanyaan ketiga: kami menganggap mustahil para nabi lupa dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan tabligh (menyampaikan perintah Allah) dan syariat, sedangkan dalam masalah lainnya boleh saja [hal ini terjadi].

Jawaban pertanyaan keempat: kapal tersebut milik suatu kaum tertentu sehingga bisa saja anggota-anggota kaum tersebut hanya memiliki harta yang sedikit.

Jawaban pertanyaan kelima: kata al-warā' mengandung makna al-khalfu (belakang) dan al-quddām (depan). Dalam ayat di atas, al-warā' bermakna di depan, sebagaimana dalam ayat lainnya, “Min warā'ihim

p: 111


1- Lafal ini kurang dikenal. Adapun lafal yang lebih dikenal adalah “Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan tampilan luar." Al-Suyuthi mengatakan dalam kitab al-Lālī, “Ungkapan di atas tidak menggunakan lafal seperti ini. Barangkali ungkapan di atas diriwayatkan secara makna dari hadis sahih.” Al-Sakhawi mengatakan dalam kitab al-Maqāshid al-Hasanah, “Ungkapan di atas banyak digunakan di kalangan ulama ushul fiqih dan fuqaha. Bahkan, ungkapan ini ada dalam Syarh Muslim karya al-Nawawi dalam ucapannya, “Aku tidak diperintahkan untuk menusuk hati manusia dan membelah perut mereka.” Artinya, sesungguhnya aku diperintahkan untuk memutuskan hukum berdasarkan tampilan zahir, sementara Allah yang menguasai urusan yang tersembunyi, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Sayangnya, ungkapan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis terkenal. Al-Iraqi dan al-Mizzi menetapkan bahwa ungkapan ini tidak ada asal-usulnya.

jahannam” (Di hadapan mereka neraka Jahannam), (QS Al-Jätsiyah [45]: 10).

Jawaban pertanyaan keenam: barangkali Allah memerintahkan Musa untuk membunuh orang itu karena itu ia berani melakukannya.(1)

p: 112


1- Sangat aneh kalau penulis tidak tahu bahwa semua peristiwa ini berdasarkan wahyu dari Allah, sebagaimana dipaparkan dalam nash yang jelas, “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri," (QS Al-Kahf [18]: 82). Dan setelah ini ada penjelasan bahwa Khidir itu seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah. Peristiwa antara keduanya terjadi dalam bentuk semacam ini karena sebagai sebuah pelajaran bagi Musa untuk belajar berhati-hati dan teliti. Sebab terjadinya peristiwa ini, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan kitab lainnya, lantaran suatu hari Musa berpidato di hadapan Bani israel. Lalu ada yang bertanya, "Siapakah orang yang paling tahu?” Musa menjawab, “Aku.” Ia tidak menyandarkan pengetahuan kepada Allah sehingga dia pun dicela. Kemudian, Allah memerintahkannya untuk menemui hamba-Nya yang bernama Khidir.

KESUCIAN NABI DAWUD

Syubhat Pertama Firman Allah, “Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara,” (QS Shād [38]: 21). Perlu diketahui bahwa tidak ada keterangan yang menunjukkan munculnya dosa besar dari Dawud dalam ayat ini, tetapi setidaknya ada beberapa segi yang perlu diperjelas:

1. Kisah yang dituturkan oleh para ahli tafsir bahwa Dawud mencintai istri Raja Auriya, lalu ia membuat tipu muslihat sehingga sang raja dapat dibunuh dan istrinya ia kawini adalah sebuah tindakan yang tidak pantas untuk para nabi. Sebab, jika ia digambarkan sebagai raja paling fasik, tentu ia orang yang mungkar.

Menumpahkan darah Raja Auriya lebih besar dosanya dari mengawini istrinya. Bagaimana mungkin Allah membiarkan dosa paling besar dan hanya menyebutkan dosa yang paling ringan? 3. Surat Shad, dari awal sampai akhir, berkenaan dengan perdebatan pengingkar kenabian. Bagaimana mungkin selaras dengan pencemaran terhadap beberapa nabi besar dengan kefasikan yang buruk?

p: 113

Pleidoi Di awal kisah, Allah menggambarkan Dawud dengan gambaran terpuji. Hal ini menafikan apa yang mufasir sebutkan dalam kisah tersebut. Penjelasan deskripsi Allah yang memuji beliau dilihat dari berbagai segi:

a. Firman Allah, “Yang mempunyai kekuatan.” (QS Shād [38]: 17). Maksud kekuatan di sini adalah kekuatan dalam masalah agama. Sebab, kekuatan selain dalam masalah agama juga dimiliki oleh raja-raja kafir, padahal mereka tidak pantas mendapatkan pujian dalam hal ini. Yang pantas mendapatkan pujian adalah kekuatan dalam masalah agama.

b. Setelah ditetapkan bahwa Dawud digambarkan kuat dalam masalah agama, artinya memiliki tekad kuat untuk menunaikan kewajiban dan meninggalkan segala yang dilarang. Dawud sendiri termasuk ‘ūlul Azmi (para nabi yang mempunyai keteguhan hati). Allah berfirman, “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul- rasul,” (QS Al-Ahqāf [46]: 35). Rasulullah Saw.

sendiri diperintahkan untuk mengikuti jejak para 'ūlul Azmi. Karena Dawud termasuk ‘Ūlul Azmī, maka Rasulullah Saw. sendiri diperintahkan untuk menapaki jejaknya. Hal ini menunjukkan tentunya Dawud memiliki derajat yang tidak ada bandingannya.

p: 114

c. Sesungguhnya ketika Dawud digambarkan memiliki kekuatan, timbul pertanyaan, kekuatan apa yang dimiliki oleh orang yang tidak mampu menahan dirinya dari kedurhakaan dan pembunuhan? d. Dawud digambarkan sebagai orang yang kembali kepada Allah. Mustahil sekali orang yang berperilaku demikian gemar terus- menerus melakukan dosa besar.

e.Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Dawud) di waktu petang dan pagi,” (QS Shād [38]: 18). Bagaimana pendapat Anda, apakah Allah menundukan gunung-gunung untuk dijadikan sebagai sarana membunuh dan berzina oleh Dawud? Ada yang mengatakan:

diharamkan bagi Dawud memburu segala sesuatu sehingga burung-burung pun menjaganya. Bagaimana bisa dijaga oleh para burung, sementara dirinya sendiri tidak bisa memberikan ketenangan kepada seorang Muslim terhadap istrinya? f. Firman Allah, “Dan Kami kuatkan kerajaannya," (QS Shād [38]: 20). Ayat ini tidak mungkin bermaksud menjelaskan bahwa kerajaan Dawud menjadi kuat lantaran harta dan tentara. Sebab kalau demikian, maka ia menjadi Muslim melalui jalan dunia, bukan jalan agama. Kekuatan dengan harta dan tentara adalah jalan raja-raja

p: 115

kafir. Ayat di atas umum untuk masalah agama dan dunia.

g. Firman Allah, “Dan Kami berikan kepadanya hikmah,” (QS Shad [38]: 20). Hikmah adalah nama yang mencakup segala yang mengharuskan adanya ilmu dan amalan. Bagaimana bisa Allah berfirman, “Dan Kami berikan kepadanya hikmah,” sementara Dawud sendiri terus- menerus melakukan perbuatan yang justru dihindari oleh setan yang paling keji sekalipun, yaitu bersaing dengan para sahabatnya dalam masalah wanita.

Secara jelas Allah menggambarkan sifat terpuji Dawud. Dengan demikian, ucapan yang dituturkan oleh orang yang menganggap Dawud melakukan kekejian adalah batil. Sebab, di awal telah disebutkan sifat-sifatnya yang terpuji, kemudian di akhir juga disebutkan oleh Allah, “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” (QS Shād [38]: 26).

Ini juga dalam rangka memberikan pujian.

Bagaimana mungkin seseorang yang di awal dan akhir hidupnya selalu terpuji diselingi dengan sifat keji. Ini sama halnya dengan ucapan orang: si fulan memiliki derajat yang tinggi dalam urusan agama, kedudukan yang agung dalam ketaatan kepada Allah, tetapi ia juga ia membunuh, berzina, dan berperilaku homoseks, meski demikian Allah menjadikannya sebagai

p: 116

khalifah bagi diri-Nya, membenarkan segala hukum-hukumnya dan memerintahkan semua para nabi untuk mengikuti jejaknya. Perkataan seperti ini tidak pantas bagi orang yang berakal, begitu juga dalam masalah di sini.

Di penghujung kisah, Allah berfirman, “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi,” (QS Shād [38]: 26). Urutan penetapan hukum atas sebuah sifat menunjukkan bahwa keberadaan sifat itu adalah sebab bagi hukum itu. Berdasarkan apa yang disebutkan oleh penentang, maka pendelegasian khilafah di bumi kepada Dawud disebabkan kenekatannya dalam melakukan pembunuhan dan kefasikan. Tentunya hal seperti ini tidak mungkin dikatakan oleh orang yang berakal.

Allah berfirman tentang para rasul, “Sesungguhnya Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) tentang negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar- benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik," (QS Shād [38]: 46-47). Semua ini menafikan gambaran mereka sebagai orang yang berani melakukan dosa besar dan kekejian.

Para ahli tafsir meriwayatkan bahwa Dawud berharap mendapatkan kedudukan seperti nenek moyangnya: Ibrahim, Ishaq, dan j.

p: 117

Ya'qub. Oleh karena itu, ia berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya nenek moyangku telah membawa seluruh kebaikan." Kemudian, Allah mewahyukan kepada Dawud, “Sesungguhnya mereka mendapatkan hal tersebut karena ketika diturunkan ujian, mereka bersabar menghadapinya.” Lalu, Dawud memohon diturunkan ujian, lalu Allah menurunkan wahyu, “Engkau akan diuji pada hari tertentu, maka waspadalah." Kemudian, terjadilah sebagaimana yang terjadi hingga akhir kisahnya. Di awal kisah para ahli tafsir ini menunjukkan bahwa Allah memberikan ujian kepadanya untuk menambah keutamaannya, lantas bagaimana mungkin beliau mendapatkannya dengan melakukan perzinaan dan pembunuhan? Ucapan Dawud, “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini,” (QS Shād [38]: 24). Orang- orang beriman dikecualikan dari kezaliman ini. Seandainya Dawud pelaku kezaliman, tentu dirinya harus ditetapkan tidak memiliki keimanan.

Firman Allah, “Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik," (QS Shād [38]:

p: 118

25). Ayat ini tidak sesuai dengan pengumbaran nafsu syahwat dan pembunuhan.

Dari berbagai aspek jawaban ini, ditetapkan bahwa Dawud sungguh bebas dari apa-apa yang telah ditudingkan oleh orang-orang bodoh tersebut. Jika Anda mengatakan bahwa banyak ahli hadis yang meriwayatkan kisah ini.(1) Menurut saya, dalil-dalil yang gemilang ini tatkala membatalkan ucapan mereka, secara pasti juga menghancurkan hadis-hadis tersebut. Anehnya, orang- orang bersepakat terhadap khabar al-wāhid (berita yang disampaikan oleh satu perawi) yang hanya mengandung sangkaan. Sangkaan sendiri hanya bermanfaat dalam amaliah, sementara permasalahan ini bukan berkaitan dengan amaliah. Dengan demikian, dari berbagai aspeknya, riwayat ini tidak memiliki nilai pelajaran. Dari Sa'id bin al-Musayyab dan Harits al-A’war meriwayatkan bahwa Ali r.a. berkata, “Siapa saja di antara kalian yang meriwayatkan hadis Dawud sebagaimana yang diriwayatkan para pembuat kisah bohong, maka akan aku cambuk dua ratus enam puluh kali sebagai hukuman atas dusta kepada para nabi.” Diriwayatkan bahwa ada seseorang yang menyebutkan cerita ini di samping Umar bin Abdul Aziz, sementara saat itu ada seorang lelaki jujur yang menganggap dusta orang yang menceritakan riwayat tersebut. Lelaki ini berkata, “Jika kisahnya ada dalam Kitabulah, maka kita tidak bisa mencari kebalikannya.

Jika sesuai dengan apa yang aku sebutkan, cukuplah Allah yang menjadi penjaga para nabi dari hal-hal yang seharusnya ditampakkan.” Umar berkata, “Mendengar

p: 119


1- Dakwaan batil ini ditolak oleh para ahli hadis. Tidak satu pun penulis kitab hadis yang menyebutkan riwayat hadis ini. Oleh karena itu, tuduhan keji yang dilemparkan kepada ahli hadis bukanlah keadilan ilmiah. Tuduhan seperti ini hanya bersumber dari hati yang penuh dengan kedengkian. Ini adalah kisah Israiliyat yang banyak dituturkan oleh para mufasir. Al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa banyak mufasir yang menyebutkan kisah-kisah Israiliyat. Padahal tidak ada satu pun hadis yang menetapkannya. Ada satu hadis yang dikemukakan oleh Ibn Abi Hatim, tetapi sanadnya tidak sahih karena riwayatnya berasal dari Yazid al-Riqasyi dari Anas. Meskipun Yazid termasuk orang saleh, tetapi para imam mengatakan bahwa ia lemah dalam masalah hadis. Wahai penulis, perhatikan perkataan ahli ilmu yang tidak serampangan dalam berbicara dan tidak mendahulukan akal dan hawa nafsu terhadap ilmu, dengan dalih kabar ahād yang menunjukkan zhann dan dakwaan-dakwaan keji seperti ini. Barangkali, kata yang dimaksud oleh penulis adalah al-Muhdatsun-dengan harakat damah pada huruf 'mim, harakat sukun pada huruf 'ha', dan harakat fathah pada huruf 'dal'. Imam Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, "Perkataan ini benar dan sahih, tidak menunjukkan sesuatu yang dikemukakan oleh para pencibir, pendusta, dan orang-orang yang berpegang kepada khurafat ciptaan orang Yahudi. Lawan di sini adalah satu kaum Bani Adam yang berselisih mengenai kawanan kambing. Sesuai nash ayat, salah satunya berbuat zalim kepada yang lainnya. Orang yang mengatakan bahwa mereka itu para malaikat yang mengajukan masalah wanita, maka ia telah berdusta kepada Allah. Ia mengatakan apa yang tidak diucapkan, menambah ayat al-Qur'an, berdusta kepada Allah, menetapkan kepada dirinya yang buruk bahwa ia mendustakan malaikat karena Allah berfirman, “Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara." (QS. Shād [38]: 21). Orang tersebut mengatakan para malaikat tersebut bukan orang-orang yang berselisih, tidak menganiaya satu sama lain dan tidak ada seorang pun dari mereka yang memiliki 99 kambing, juga satu kambing. Juga tidak mengatakan kepadanya, "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku.” Mereka kagum dengan tindakan ahli batil. Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Semua itu tanpa dalil dan hanya dakwaan belaka.

ucapan ini lebih aku sukai dari hari di mana matahari terbit.” Jika hal ini sudah tetap, hendaknya kita mengkaji, apakah dalam ayat di atas ada sesuatu yang menunjukkan timbulnya dosa kecil atau tidak dari Dawud a.s.? Sebagian pemilik kebenaran (ahl al-haqq) mengatakan bahwa ayat, “Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara,” (QS Shad [38]: 21) memberitahukan bahwa ada orang yang memanjat dinding istana Dawud untuk membunuh dan bertindak jahat kepada keluarganya.

Mereka masuk istana saat Dawud diperkirakan sedang lalai. Saat mereka terlihat, Dawud merasa takut. Biasanya orang yang memanjat dinding rumah orang lain tanpa ada perintah, tentunya memiliki maksud jahat untuk membunuhnya atau bertindak buruk kepada keluarganya atau mungkin mencuri hartanya, khususnya jika tuan rumah tersebut orang terpandang. Tatkala mereka melihat Dawud masih terjaga, gagallah usaha mereka.

Saat genting itulah ada yang memberikan usul untuk melakukan suatu persengketaan yang tidak ada dasarnya sehingga Dawud mengira bahwa kedatangan mereka untuk menyelesaikan persengketaan tersebut. Keduanya berkata, “(kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain," (QS Shād [38]: 22).

Kemudian, masing-masing mengklaim harta miliknya.

Seorang di antara mereka berkata, “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina.” (QS Shād [38]: 23). Dawud berkata,

p: 120

“Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu,” (QS Shad [38]: 24) Lalu Allah berfirman, “Dan Dawud mengetahui bahwa Kami mengujinya,” (QS Shād [38]: 24). Namun, Dawud tidak melakukan tindakan sesuai dengan situasi yang terlihat dan tidak dendam kepada mereka. Padahal, ia memiliki kekuatan, kekuasaan, dan kemampuan. Ia malah memohonkan ampunan untuk mereka. Oleh karena itu, Allah tidak mengatakan bahwa Dawud berdosa dan tidak memohon ampunan untuk dirinya sendiri, sebab orang yang memohon ampunan itu terkadang untuk dirinya, kadang juga untuk orang lain.

Allah berfirman mengenai para malaikat, “Serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman," (QS al-Mu'min [40]: 7). Anak-anak Ya'qub berkata, “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami,” (QS Yūsuf [12]:

97). Lalu Allah berfirman, “Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu,” (QS Shād [38]: 25).

Makna “Kami ampuni” adalah demi penghormatan Dawud kepada mereka dan Kami terima syafaatnya dalam mengampuni mereka. Apa yang kami katakan ini selaras dengan lafal dalam Kitab yang mulia sehingga tidak perlu menggunakan majas bahwa dua orang itu adalah dua malaikat. Pengakuan mereka berdua tentang adanya persengketaan demi untuk sandaran bukan mengamankan dan menafsirkan kambing betina dengan wanita. Lafalnya juga sesuai dengan perintah Allah kepada Rasulullah Saw. untuk mengikuti jejaknya, sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka bersabarlah kamu

p: 121

seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul,” (QS Al-Ahqāf [46]: 35).

Rasulullah Saw. mengikuti jejak Dawud pada perang Uhud, yaitu ketika gerahamnya retak, beliau bersabda, “Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka itu tidak mengetahui.” Hal ini juga setimpal dengan jabatan agung berupa khilafah Allah di bumi yang diraih sebagai buah dari kesabarannya.

Segi lainnya, barangkali permohonan ampunan ini disebabkan ketika kaum tersebut memanjat dinding, Nabi Dawud menyangka mereka bermaksud membunuhnya, tetapi ternyata tidak terjadi sebagaimana yang disangkanya, sehingga ia pun menyesali prasangkanya.

Dengan demikian, permohonan ampunan itu untuk dirinya. Kemudian, ketika ia menganiaya dirinya dan tidak menghajar mereka serta tidak dendam kepada mereka, padahal dirinya memiliki kemampuan sempurna sehingga timbul perasaan congkak dalam dirinya atas kesempurnaan sifat tabahnya. Oleh karena itu, permohonan ampunan ini terhadap perasaan congkak yang merupakan bagian dari sesuatu yang membinasakan. Pendapat ini diucapkan oleh orang yang mengatakan bahwa dalam ayat di atas tidak ada isyarat kesalahan yang dilakukan. Menurut saya ini juga termasuk pendapat yang baik.

Kedua, yaitu ucapan orang yang menerima bahwa dalam ayat itu ada isyarat tentang dosa kecil. Dalam hal ini mereka memiliki lima segi:

a. Dawud mengetahui kecantikan istri raja Auriya.

Tatkala dia tahu bahwa Auriya terbunuh, kecemasannya pun hilang karena kecenderungan

p: 122

tabiatnya untuk mengawini istrinya. Oleh karena itu, Allah menegurnya dengan menurunkan dua malaikat.

Kebiasaan kaum Dawud yaitu orang meminta pada orang lain untuk melepaskan istrinya dan jika tertarik maka istri itu dikawininya. Tradisi ini berlaku di kalangan mereka. Secara kebetulan pandangan Dawud tertuju kepada istri Auriya sehingga ia pun jatuh cinta dan memohon kepada Auriya untuk menceraikan istrinya. Oleh karena malu, Auriya tidak sanggup untuk menolak permintaannya. Akhirnya mantan istrinya dikawini Dawud dan dia menjadi ibu Sulaeman. Ada yang mengatakan kepada Dawud, “Tidak selayaknya bagimu yang memiliki kedudukan tinggi dan banyak istri, untuk memohon kepada seorang yang hanya memiliki seorang istri untuk menceraikannya. Seharusnya engkau menahan diri.” c. Raja Auriya meminang wanita tersebut, kemudian Dawud juga meminangnya sehingga keluarga si wanita lebih mengutamakan Dawud. Dosa yang dilakukan Dawud adalah meminang wanita yang sudah dipinang orang mukmin, padahal ia sendiri sudah memiliki banyak istri.

Dawud sedang sibuk beribadah. Kemudian, datang seorang lelaki bersama istrinya mengadukan permasalahannya. Dawud memandang wanita tersebut untuk mengetahuinya secara langsung sehingga ia bisa menetapkan hukuman kepadanya.

Pandangan seperti itu boleh saja, tetapi ternyata pandangannya membuat dirinya jatuh cinta

p: 123

kepadanya sebagaimana manusia lainnya. Lalu, ia memutuskan perkara keduanya dan kembali tenggelam dalam ibadah. Namun, ia meninggalkan beberapa ibadah sunah karena pikirannya sibuk dengan wanita tersebut sehingga ia pun ditegur.

Dosa kecil yang dilakukan Dawud disebabkan ketergesa-gesaan dalam memutuskan hukum sebelum dilakukan verifikasi. Seharusnya, ketika ia mendengar ucapan seorang pendakwa, ia juga harus mendengarkan pendakwa lainnya dan tidak memutuskan hukuman sebelum meminta pendapat keduanya.

Orang yang menjawab pertanyaan ini berkata, “Keterkejutan yang dialami Dawud menyebabkan ia lupa melakukan verifikasi dan kehati-hatian karena kedua orang tersebut masuk secara tiba-tiba saat ia sedang konsentrasi dalam beribadah.” Orang yang mengatakan pendapat ini menafsirkan proses hukum ini sebagai contoh saja. Kalau tidak, maka harus ada keberanian raja untuk berdusta dan kambing betina harus ditafsirkan sebagai wanita. Semuanya itu menyimpang dari zahir tanpa ada dalil.

Jika dikatakan: anggaplah bahwa dalam ayat di atas tidak ada isyarat yang menunjukkan kepada dosa sama sekali, hanya saja ketergesa-gesaannya dalam membenarkan salah seorang yang berseteru sehingga yang lainnya menjadi zalim adalah tindakan yang tidak boleh. Menurut saya, dalam al-Qur'an tidak ada keterangan bahwa Dawud membenarkan orang yang bersengketa tanpa ada hujjah yang jelas. Sebab, yang

p: 124

dimaksud adalah kalau masalahnya sebagaimana yang Anda sebutkan, maka ia telah menganiayamu.

Syubhat Kedua Para penentang kemaksuman berpegang kepada firman Allah, “Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaeman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing- kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaeman tentang hukum (yang lebih tepat),” (QS Al- Anbiya' [21]: 78–79).

Kalau Dawud tepat dalam memutuskan hukuman, tentunya Allah tidak akan mengkhususkan Sulaeman dengan firman-Nya, “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaeman tentang hukum (yang lebih tepat),” (QS Al-Anbiyā [21]: 79).

Pleidoi:

Pengkhususan Sulaeman dalam kalimat di atas tidak menunjukkan bahwa Dawud kebalikan darinya karena petunjuk pembicaraan (khitāb) dalam gelar tidak memberikan manfaat sebagaimana kesepakatan para peneliti. Pengkhususan ini mengandung dua faedah selain yang disebutkan para penentang:

Pertama, Dawud sudah mengetahui adanya pertentangan tanda-tanda, sementara Sulaeman tidak demikian.

p: 125

Kedua, Dawud sudah mengetahui keputusannya.

Hanya dia tidak memberikan fatwa. Tindakan ini dilakukan untuk menguji anaknya, Sulaeman, dengan harapan ia dapat mengeluarkan fatwa dan keputusannya.

Pengkhususan anaknya, Sulaeman, menunjukkan bahwa pemahamannya merupakan penetapan atas kecerdikan dan ketinggian derajat orang tuanya di tengah-tengah manusia. Sementara tidak disebutkannya Dawud karena ia sudah dikenal mengetahui masalah hukum. Allah mengakhiri firman-Nya dengan perkataan, “Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu,” (QS Al-Anbiya' [21]: 79).

Supaya ia tidak disangka tidak mengetahui keputusannya dan memutuskan perkara yang tidak tepat.

p: 126

KESUCIAN NABI SULAEMAN

Syubhat Pertama pertama, para penentang kemaksuman berpegang kepada firman Allah, “(Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore,” (QS Shād [38]: 31).

Mereka mengatakan zahir ayat ini menunjukkan bahwa memandang kuda-kuda tersebut menyebabkannya lalai dalam mengingat Tuhannya sehingga-diriwayatkan-ia melewatkan waktu salat.

Pleidoi:

Untuk menghilangkan syubhat pada ayat ini, kita perlu menyebutkan penafsirannya. Menurut saya, pribadi yang dikhususkan mendapatkan pujian pada ayat, “Dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya),” (QS Shād [38]: 30) telah dihilangkan (mahdzūf). Namun, ada yang berpendapat bahwa pribadi yang dimaksud adalah Sulaeman dan ada pula yang berpendapat Dawud. Pendapat pertama paling bisa diterima, sebab lebih mendekati kebenaran.

Alasan mengapa Sulaeman menjadi orang terpuji karena

p: 127

ia adalah orang yang taat dan kembali kepada Tuhannya dengan tobatnya atau lantaran ia taat dengan tasbihnya dan kembali, karena setiap yang kembali kepada Allah adalah orang yang taat. Ayat “Ingatlah ketika ditunjukkan kepadanya” yakni kepada Sulaeman, karena [dalam ayat ini dan sebelumnya menunjukkan bahwa) ia lebih dekat kepada dua hal yang disebutkan, yaitu, “tenang di waktu berhenti.” Ibn Qutaibah menggambarkan kuda- kuda tersebut dengan kata “tenang di waktu berhenti” dan “cepat waktu berlari pada waktu sore”, untuk menggabungkan antara dua sifat terpuji, yaitu diam dan berlari. Jika kuda itu diam, ia sedang dalam posisi tenang, dan jika ia berlari, maka larinya kencang. Adapun ucapan Sulaeman, “ahbabtu hubba al-khayr ‘an dzikri rabbī (Aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku),” (QS Shād [38]:

32), hal ini mengandung tiga segi:

Pertama, kata ahbabtu mengandung makna kata kerja transitif dengan tambahan huruf “an”, di mana seakan-akan Sulaeman berkata, “Ataytu hubba al-khayr ‘an dzikri rabbī (Aku menyukai kesenangan sehingga aku lalai mengingat Tuhanku).” Kedua, ahbabtu dalam pengertian aku komitmen terhadap kesenangan sehingga aku lalai mengingat Tuhanku melalui Kitab-Nya" yaitu Taurat atau kitab lainnya. Dalam kitab suci kita, keterikatan dengan kuda itu terpuji, begitu juga dalam kitab mereka. Pendapat ini lebih utama dari yang pertama karena mengandung keputusan terhadap yang zahir.

p: 128

Ketiga, kadang orang-orang mengatakan, “Aku menyenangi sesuatu hanya saja aku suka untuk tidak menyenanginya”, seperti orang sakit yang menyukai apa yang menyakitkannya (obat). Sementara itu, orang yang menyukai sesuatu dan menyenangi kesukaannya itu adalah puncak dari cinta. Ucapan ahbabtu hubba al-khayr (aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik) artinya ahbabtu hubba li hādza al-khayl (aku menyenangi kesukaanku terhadap kuda ini). Segi yang kami simpulkan menampakkan beberapa segi dan kata ganti (dhamir) dalam kata hatta tawārat (sampai kuda itu hilang). Kemudian, ruddūhā (bawalah kuda-kuda itu kembali) ditafsirkan kembali kepada al-syamsu (matahari) karena penyebutan harta Sulaeman berkaitan dengan matahari, yaitu waktu sore atau mungkin juga kembali kepada al-shāfināt (kuda yang tenang). Pendapat kedua ini yang lebih mendekati kebenaran, karena kata ini disebutkan secara benar dibandingkan kata al- syamsu. Juga penyebutannya lebih dekat dibandingkan penyebutan kata al-'asyiyyi (sore hari). Berdasarkan hal ini, diperkirakan ada beberapa kemungkinan interpretasi:

1. [Apabila] Kata ganti kembali kepada kata al-shāfināt (kuda yang tenang), maka seolah-olah Sulaeman berkata, “Hatta tawārat al-shāfinātu bi al-hijāb ruddū al-shāfinātu ilayya (hingga kuda-kuda yang tenang di waktu diam hilang dari pandangan, bawalah kuda- kuda itu kembali kepadaku).” 2. [Apabila] Kata ganti kembali kepada al-syamsu (matahari), maka seolah-olah Sulaeman berkata “Hatta tawārat al-syamsu bi al-hijāb ruddū al-syamsu

p: 129

3.

(sampai matahari itu hilang dari pandangan, bawalah kembali matahari itu).” Pendapat yang mengatakan ketika Sulaeman ketinggalan waktu salat, lalu ia memohon kepada Allah untuk mengembalikan matahari adalah pendapat yang jauh karena firman Allah ruddūhā (bawalah kuda-kuda itu kembali) adalah panggilan untuk kata jamak, sementara para nabi tidak pernah memanggil Allah menggunakan kata tersebut.

Kata ganti pertama kembali kepada kata al-syamsu (matahari) dan kata ganti kedua kembali kepada kata al-shāfināt (kuda yang tenang). Inilah pendapat yang banyak disepakati oleh mayoritas sehingga perkiraan pengertiannya adalah “Sampai matahari hilang dari pandangan, bawalah kembali kuda-kuda itu kepadaku.” Penafsiran ini sangat jauh karena kedua kata ganti di atas dikemukakan dalam satu tempat sehingga kalau tidak ada dalil, tidak boleh memisahkannya.

Kata ganti pertama kembali kepada kata al-shāfināt dan kata ganti kedua kembali kepada kata al-syamsu.

Pendapat ini tidak didukung oleh seorang pun. Seperti halnya apabila kata ma-sa-ha (dalam kata mashan] pada firman Allah, Fathafiqa mashan bi al-shūqi wa al- a'nāq (Lalu ia potong (atau usap) kaki dan leher kuda itu),” (QS Shād [38]:33) ditafsirkan sebagai mengusap, sementara mayoritas menafsirkan [kata ma-sa- ha dalam ungkapan) yamsahu bi al-sayfi bi sūqihā wa a'nāqihā dengan makna memotong. Penafsiran dari mayoritas ini jauh dari kebernaran karena

p: 130

kalau ma-sa-ha diartikan memotong, tentu orang akan mengatakan bahwa ungkapan masahtu ra'sa fulānin wa yadihi dipahami bahwa ia membunuhnya.

Begitu pula [makna ma-sa-ha] dengan firman Allah, “Wamsahu bi ru'ūsikum wa arjulakum (Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu),” (QS Al-Ma'idah: 6) akan bermakna memotong. Akan tetapi, apabila dikatakan masaha ra'sahu bi al-sayf mungkin saja dipahami sebagai dharba al-'unuq (memenggal leher), di mana jika kata al-sayf (dengan pedang) tidak disebutkan, [kata ini] sama sekali tidak akan dipahami sebagai memenggal dan memotong.

Sementara, ungkapan masaha unuquhu bi al-sayf tidak menunjukkan makna memotong kecuali dalam pengertian majas. Lalu, bagaimana [arti ungkapan ini) jika tanpa menyebutkan kata al-sayf (pedang)? Meski Anda sudah mengetahui tafsirnya, tetapi kelompok al-Hasyawiyah (penentang kemaksuman para nabi) mengira bahwa Nabi Sulaeman menyerbu penduduk Damaskus hingga ia mendapatkan harta rampasan berupa seribu kuda. Suatu hari, setelah selesai melaksanakan salat, Sulaeman duduk di atas singgasananya dan meminta supaya kuda-kuda itu diperlihatkan kepadanya.

Kuda-kuda tersebut terus diperlihatkan hingga ia lalai melaksanakan salat asar atau mengucapkan wirid yang harus dibaca di sore hari sampai matahari terbenam. Inilah maksud dari firman Allah, Hattā tawārat bi al-hijāb. Lalu, Sulaeman menyuruh agar kuda-kuda itu dikembalikan.

Hal inilah maksud firman Allah, ruddūhā ilayya. Kuda- kuda itu lantas disembelih sebagai bentuk taqarrub

p: 131

kepada Allah. Hal inilah maksud firman selanjutnya, “Fathafiqa mashan bi al-shūqi wa al-a'nāq”.

Perlu diketahui bahwa kisah [syubhat] ini sama sekali tidak ada dalilnya dari al-Qur'an. Justru dalam ayat-ayat tersebut terdapat petunjuk yang menafikan kisah ini.

Penafian ini memiliki lima aspek:

1. Pada pendahuluan ayat (yang menceritakan tentang Sulaeman(1)] disebutkan bahwa Allah menyifati Sulaeman, yakni dengan menganugerahkannya kepada Dawud sebagai bentuk penghormatan.18 Tentunya hal ini menepis tuduhan bahwa Sulaeman meninggalkan salat, lantaran ia dalam kondisi sebagai orang yang taat (kembali kepada Allah) saat kuda- kuda itu diperlihatkan kepadanya. Kata idz (pada ayat idz ‘uridha 'alaihi...) menunjukkan maksud ini. Tentu mustahil dalam satu waktu disebut taat sekaligus meninggalkan salat.

Firman Allah, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku,(QS Shād [38]:

32). Kalau kita tafsirkan bahwa ‘aku konsisten dengan barang yang baik ketimbang mengingat Tuhanku, tentunya ini menafikan apa yang diinginkan oleh para penentang. Sedangkan bila kita tafsirkan bahwa aku cinta kepada barang-barang yang baik sehingga aku lalai mengingat Tuhanku, mungkin saja apa yang mereka kehendaki itu konsisten. Hanya saja sudah kami jelaskan bahwa pendapat pertama yang lebih utama.

p: 132


1- “Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaeman. Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)" (QS Shād [38]: 30).

3. Kembalinya kata ganti dalam kata tawārat kepada al-syamsu memerlukan tarjih (hal yang lebih dahulu) bagi sesuatu yang tidak disebutkan di dalamnya, dan men-tarjīh sesuatu yang jauh terhadap yang dekat. Akan tetapi, ini tidak boleh. Untuk menerima pendapat seperti ini, maka ditetapkan bahwa kata ganti pada ruddūha kembali kepada al-shāfināt untuk membedakan kata ganti beragam terhadap sesuatu yang berbeda.

Firman Allah fathafiqa mashan sama sekali tidak mendukung di dalamnya ucapan para penentang kemaksuman nabi.

5. Surat ini diturunkan berkenaan dengan debat bersama orang-orang kafir. Maksud ayat ini adalah perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. untuk sabar menghadapi kepayahan dalam memikul beban tanggung jawab dan keletihan dalam melaksanakan ketaatan. Berdasarkan makna ini, tidak pantas menyebutkan bahwa para nabi itu orang-orang yang meninggalkan salat dan tamak kepada dunia.

Penafsiran yang benar, yang sesuai dengan kata di atas, bahwa menurut ajaran Nabi Sulaeman, tindakan mereka memelihara kuda itu dianjurkan sebagaimana dalam agama kita. Kemudian, Sulaeman duduk untuk menyaksikan kuda-kudanya. Perbuatannya tersebut jelas bukan untuk tujuan mencintai dunia karena Allah telah menetapkan atas apa yang diucapkannya, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku,” (QS Shād [38]: 32).

Kesucian Nabi Sulaeman . (133)

p: 133

Lalu, kuda-kuda itu diperintahkan untuk lari hingga matahari terbenam. Setelah itu disuruh untuk dibawa kembali. “Lalu ia usap kaki dan leher kuda itu,” (QS Shād [38]: 33). Ia mengusap kaki dan leher kuda-kuda untuk menghormati dan menjelaskan bahwa kuda merupakan penolong paling agung dalam menahan musuh. Beliau ingin menjelaskan tentang dirinya bahwa ia sedang menjalankan politik dan memelihara agama dan dunia sehingga tidak tersembunyi lagi kemaslahatan baginya atau juga ia lebih mengetahui urusan kuda dari yang lainnya.

Kuda itu diperiksa untuk memastikan kondisinya sehat atau sakit. Apa yang dipaparkan ini selaras dengan kata yang dimaksud dan sesuai dengan ayat sebelum dan sesudahnya, selain juga mengandung penghormatan terhadap para nabi yang lebih utama dari kebalikannya (yang bukan nabi].

Lalu, mengapa banyak orang yang sepakat dengan kisah ini? Menurut saya, pembicaraan mengenai penafsiran kitab suci adalah hal lain yang terpisah dari kitab suci [itu sendiri], sedangkan maksud kita sekarang adalah yang pertama. Sudah saya jelaskan bahwa dalam ayat di atas sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan adanya kisah tersebut, bahkan makna zahir dari ayat itu sendiri dari beragam aspeknya menafikan kisah yang dimaksud. Dengan demikian, dalam pandangan saya, kisah tersebut terpisah dari kitab suci.

Mungkin Anda bertanya, “Bagaimana pendapat Anda mengenai kisah itu?" Menurut saya, dalil-dalil rasional cemerlang dan normatif menunjukkan bahwa para nabi

p: 134

itu maksum. Mengikuti dalil-dalil tersebut lebih utama daripada mengikuti kisah yang tidak diketahui asalnya, baik dari pemimpin ateis atau kisah palsu buatan orang Yahudi. Hanya Allah yang memiliki taufik.

Syubhat Kedua Para penentang berpegang kepada firman Allah, “Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaeman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit),” (QS Shād [38]: 34).

Pleidoi:

Firman Allah “wa la qad fatannā Sulaymāna” bermakna “Kami telah menguji Sulaeman,” sedangkan firman Allah “wa alqayna ‘alā kursiyhi jasadan”, ahli tafsir berbeda pendapat. Sementara para peneliti memiliki tiga pendapat:

Pertama, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sulaeman pernah mengatakan aku akan berkeliling ke istri-istriku satu malam sebanyak seratus istri, hingga masih- masing akan melahirkan anak yang berperang di jalan Allah, sementara itu ia tidak mengucapkan insyā Allāh (Jika Allah menghendaki). Lalu ia berkeliling ke istrinya, tetapi hanya satu yang hamil dan melahirkan setengah anak manusia. Kemudian, dukun bayi membawa anak itu dan mencampakannya di kursi yang ada di hadapan Sulaeman. Seandainya ia mengucapkan insya Allah, pasti akan terjadi sebagaimana yang diucapkannya.”(1) Ujian ini diturunkan karena ia meninggalkan ucapan insyā Allāh.

p: 135


1- Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dengan lafal berbeda.

Kedua, Sulaeman diuji dengan penyakit keras sehingga tubuhnya tidak bisa bergerak dan hampir mati sehingga dikatakan [kondisinya) laksana daging di atas kayu dan tubuh yang tidak bernyawa, lantaran tubuhnya yang begitu lemah. Perkiraan makna ayat di atas adalah wa alqaynā jasadahu 'alā kursyhi (Kami jadikan [dia] tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), [di mana pada ayat di atas] kata ganti “ha” dihilangkan untuk meringkas kalimat Ketiga, kala Sulaeman memperoleh seorang anak, para setan melakukan trik untuk membunuh anak itu.

Mereka berkata, “Kami takut disiksa oleh anak itu, sebagaimana bapaknya menyiksa kami.” Lalu Sulaeman memerintahkan awan untuk membawa anak itu dan memerintahkan kepada angin untuk mengantarkannya karena takut kepada setan. Anaknya meninggal dan mayatnya diletakkan di atas ranjangnya sebagai bentuk ujian ketika ia takut pada setan.” Kisah-kisah ini tidak lain merupakan kisah-kisah yang berasal dari Khatim dan Ashif yang tidak valid dan tidak ada dalilnya sehingga tidak perlu diperhatikan.

Syubhat Ketiga Para penentang berpegang kepada firman Allah, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku,” (QS Shād [38]: 35). Mereka berpendapat bahwa pada permintaan terdapat rasa hasad. Bagaimana mungkin hal ini dilakukan oleh seorang Nabi?

p: 136

Pleidoi:

Ada tujuh aspek dalam jawaban terhadap sanggahan ini. Pertama, mukjizat setiap nabi sesuai dengan kondisi masyarakat pada masanya. Masyarakat Sulaeman berlomba-lomba dalam masalah harta dan kedudukan.

Oleh karena itu, Sulaeman memohon mukjizat berupa kerajaan yang mengungguli kerajaan-kerajaan lainnya.

Kedua, ketika Sulaeman sakit kemudian sehat kembali, ia tahu bahwa harta benda dunia dan segalanya akan diberikan kepada orang lain melalui warisan atau lainnya. Oleh karena itu, ia memohon kepada Allah untuk diberi kerajaan yang tidak akan diberikan kepada yang lainnya, yaitu kerajaan akhirat.

Ketiga, tingkatan riyādhah (olah jiwa) dan mujāhadah (usaha sungguh-sungguh) banyak sekali. Setiap salik (orang yang menempuh jalan menuju Allah) memiliki kekhususan dalam menempuh satu dari berbagai tingkatan tersebut. Tampaknya, kekhususan Sulaeman lebih pada maqam (stasiun para salik) riyâdhah al-nafs (olah jiwa), murāqabah al-nafs (mengawasi jiwa), dan muhasabah al-nafs (mengevaluasi diri). Sebagaimana diketahui bahwa dunia itu sesuatu yang manis dan hijau. Menahan diri dari dunia pada saat mampu lebih berat dari menahan diri pada saat tidak mampu. Seolah- olah Sulaeman berkata, “Berilah aku derajat yang paling sempurna di dunia sehingga aku akan berusaha berpayah- payah menanggung kehati-hatian darinya dengan beban yang paling berat.” Empat, ada orang yang mengatakan bahwa berhati- hati terhadap kelezatan dunia itu suatu hal yang paling

p: 137

sulit. Sebab, kehati-hatian seperti ini adalah pembayaran tunai (langsung terasa pahitnya), sedangkan kelezatan akhirat adalah hutang (kelezatan yang nanti akan dirasakan di akhirat). Padahal, melebihkan hutang atas pembayaran tunai adalah berat. Sulaeman memberikan jawaban kepada orang-orang batil. Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku,” (QS Shād [38]: 35) sehingga kalian melihat bagaimana aku menghinakan kerajaan itu di sisi kelezatan taat kepada Allah.

Kelima, jalan mencapai Allah itu ada dua: Jalan pertama dan yang paling sempurna, yakni sejak semula derajatnya sudah diangkat oleh Allah sebagai bentuk keutamaan dan rahmat tanpa diiringi beban kepayahan.

Ini adalah jalan Rasulullah Saw. sebagaimana firman Allah, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam," (QS Al-Isrā' [17]: 1). Sementara jalan lainnya adalah seorang hamba bersusah payah untuk mencapai-Nya. Inilah jalan yang puncaknya diraih oleh Musa, sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah kami tentukan,” (QS Al-A'rāf [7]: 143).

Sulaeman mengikuti syariat dan jalan Musa. Ia senantiasa melakukan riyadhah. Pasalnya, hati seorang manusia tidak akan terpusat kepada sesuatu selama tidak ada yang menariknya. Sementara hati Sulaeman seolah berpaling terus kepada kerajaan dunia. Oleh karena itu, ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun

p: 138

sesudahku,” (QS Shad [38]:35). Sampai aku merasakannya dan hatiku tidak tercurah kepadanya. Dengan demikian hilanglah kesibukan untuk memperhatikannya sehingga batinku bisa tulus dalam ketaatan kepada-Mu dan sibuk menyembah-Mu.

Keenam, orang-orang yang berjalan menuju Allah memiliki saat-saat yang berbeda (tarāt). Terkadang mereka memilih maqam tawādhu' (rendah hati) ketika mereka memandang bahwa dirinya bukan siapa-siapa.

Terkadang memilih maqam isti'lā' (merasa tinggi) ketika mereka melihat dirinya berada dalam kebenaran.

Tampaknya Sulaeman mengungkapkan lintasan hatinya karena ia sudah berada di maqam yang kedua.

Ketujuh, jawaban dari kelompok para teolog adalah bahwa Sulaeman diberi izin oleh Allah untuk meminta hal demikian. Asumsi seperti ini tidaklah tercela.

p: 139

p: 140

KESUCIAN NABI YUNUS

firman Allah, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), tetapi ia menyeru dalam kegelapan bahwa “Tiada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim,” (QS Al-Anbiya' [21]: 87).

Para penentang kemaksuman para nabi melihat ayat di atas dari tiga aspek: Pertama, Yunus pergi dalam keadaan marah, padahal hal ini dilarang. Tidakkah anda memperhatikan firman Allah, “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya),” (QS Al-Qalam [68]:48). Ini menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Yunus adalah dilarang.

Kedua, firman Allah, “Lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya),” (QS Al- Anbiyā? [21]: 87). Ini menunjukkan bahwa Yunus ragu-ragu terhadap takdir Allah.

Ketiga, firman Allah, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim,” (QS Al-Anbiya' [21]: 87).

p: 141

Pleidoi:

Sebagai jawaban terhadap pernyataan pertama, ayat di atas menunjukkan bahwa ia pergi dalam keadaan marah. Namun, ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa ia marah kepada Allah. Tentu, bagaimana hal ini akan terjadi, padahal seorang Muslim awam saja tidak boleh marah kepada Allah, apalagi seorang Nabi Yunus? Mungkin saja ia pergi meninggalkan kaumnya karena marah kepada mereka. Lalu, mengapa kalian katakan bahwa itu suatu kemaksiatan? Adapun firman Allah, “Dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan,” (QS Al-Qalam [68]: 48). Ini bukan berarti Yunus adalah seorang yang akhlaknya tidak baik sehingga merasakan beratnya tugas-tugas kenabian. Akan tetapi, maksudnya ia tidak kuat untuk bersabar atas ujian yang ditimpakan Allah kepadanya. Sekiranya ia bersabar tentu itu lebih utama.

Allah menghendaki agar Nabi Muhammad Saw. bersabar sehingga memperoleh derajat yang utama dan tinggi.

Jawaban untuk pernyataan kedua adalah bahwa meragukan kekuasaan Allah adalah kufur. Tidak ada pertentangan bahwa para nabi tidak boleh bersikap demikian. Sementara maksud penjelasan ayat di atas adalah Nabi Yunus merasa bahwa urusan ini sempit baginya. Allah berfirman, “Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya,” (QS Al-Thalāq [65]: 7). “Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki,” (QS Al-Ra'd [13]: 26). Artinya, Allah-lah yang melapangkan dan mempersempit [rezeki]. Dalam

p: 142

ayat yang lain disebutkan, “Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya,” (QS Al-Fajr [89]: 16) yakni maksudnya adalah memperluas dan mempersempit rezekinya.(1) Adapun jawaban untuk pernyataan ketiga adalah sebagaimana jawaban yang sudah dipaparkan dalam kisah Adam.

p: 143


1- Dalam semua ayat yang disebutkan dalam paragraf ini, kata yang digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kata sempit adalah qadara (alā). (-peny.)

p: 144

KESUCIAN NABI LUTH

Para penentang kemaksuman para nabi berpegang kepada firman Allah yang mengabarkan tentang Luth, “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara halal).” (QS Al-Hijr [15]:

71). Ayat ini dianggap bahwa Luth menawarkan suatu kekejian kepada putri-putrinya. Ini adalah tindakan yang menunjukkan jiwa yang rusak.

Pleidoi:

Imam Syafi'i mengatakan bahwa perkataan di atas bersifat global, bukan langsung pada maksudnya dan terperinci pada tujuannya. Tujuan yang dilakukan Luth adalah melebihkan putri-putrinya atas anak-anak lelakinya sehingga tentu saja tidak bertentangan dengan penyebutan nikah, walaupun hal itu ternilai penting dalam masalah ini. Adapun dalil bahwa syarat ini penting dapat ditinjau dari dua aspek: Pertama, Luth berkata, “Mereka [puteri-puteriku] lebih suci bagimu,” (QS Hūd [11]: 78), padahal tidak ada kesucian dalam zina. Kedua, seandainya Luth menyeru dirinya untuk melakukan zina, tentunya mereka akan mengatakan bahwa, “Bukankah zina dan

p: 145

homoseks haram berdasarkan ajaranmu (Luth)?" Apa manfaat mendakwahkan salah satu dari keduanya itu? Jika ada yang mengatakan, “Anggap saja demikian, tetapi bagaimana bisa mengawinkan seorang muslimah dengan orang kafir? Menanggapi hal ini, ada empat hal yang mesti diperhatikan: Pertama, hal ini berbeda sesuai dengan perbedaan syariat. Tidakkah Anda melihat bahwa Nabi Muhammad Saw. menikahkan putrinya Zainab kepada Abul Ash, padahal dia seorang kafir.(1) Kedua, sebagaimana yang sudah ditetapkan, kami menjamin kemaksuman nabi sehingga terjamin keislaman suami putri Nabi Luth.

Ketiga, Luth hendak menyetujui dan menunda mereka. Sebab, utusan para malaikat mengabarkan kepadanya bahwa kaumnya akan binasa pada waktu subuh, sebagaimana dikabarkan oleh Allah, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh,” (QS Al-Hijr [15]: 66).

Keempat, sejatinya adanya idhāfah (penyandaran kata) sudah cukup sebagai sebab. Putri-putri yang dimaksud adalah putri-putri dari umatnya, hanya saja ia menyandarkan mereka kepada dirinya, karena para nabi itu laksana seorang ayah bagi umatnya.

p: 146


1- Abu al-Ash bin al-Rabi', keponakan Khadijah, ia ditawan bersama orang musyrik lainnya pada perang Badar. Kaum Muslim memohon kepadanya agar ia membiarkan Zainab hijrah ke Madinah, ia pun melaksanakannya. Abu al-Ash masuk Islam setahun setelah Zainab hijrah. Lalu, Nabi mengembalikan Zainab kepadanya sebagaimana dalam pernikahan pertama. Zainab dikawini sebelum Nabi diangkat menjadi nabi.

KESUCIAN NABI ZAKARIYA

Al-Qur'an menceritakan kisah Nabi Zakariya sebagai berikut:

“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia. Zakaria berkata, "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua.' Tuhan berfirman, 'Demikianlah.' Tuhan berfirman, 'Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.' Zakaria berkata, "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.' Tuhan berfirman, “Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.' Maka, ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.

Hai Yahya, ambillah al-Kitab (Taurat) itu dengan

p: 147

sungguh-sungguh. Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak, dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa,dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.

Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam al-Qur'an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami [Jibril] kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata, "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Mahapemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.' Ia (Jibril) berkata, "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.' Maryam berkata, “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!' Jibril berkata, 'Demikianlah.' Tuhanmu berfirman, 'Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan,” (QS Maryam [19]: 7–21).

p: 148

Para penentang kemaksuman para nabi berpegang kepada ayat di atas seraya mengatakan bahwa Zakariya meragukan kekuasaan Allah.

Pleidoi:

Seandainya masalahnya sebagaimana yang dikatakan pihak penentang, tentunya Zakariya bukan orang yang berakal atas apa yang dimintanya kepada Allah. Ketika permintaannya itu disandarkan kepada dirinya, ia mengingkarinya dan merasa tidak mampu untuk melahirkan keturunan. Tentunya hal ini termasuk perbuatan orang-orang gila. Ternyata masalahnya berbeda dengan apa yang mereka katakan karena Zakariya tidak minta kepada Tuhannya agar diberi anak melalui proses kelahiran. Ia memohon agar diberi anak dari sisi-Nya. Allah berfirman, “Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,” (QS Maryam [19]: 5).

Dalam ayat yang lain disebutkan, “Berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik,” (QS Ali `Imrān [3]: 38).

Zakariya memohon seperti ini karena ketika Maryam memberitahukannya bahwa rezeki datang kepada dirinya dari sisi Allah, maka Zakariya pun memohon anak kepada Allah dari sisi-Nya. Kemudian, tatkala malaikat memberikan kabar gembira bahwa Zakariya akan memperoleh seorang putra, ia bertanya bagaimana mungkin hal ini terjadi sementara dirinya sudah tua renta? Bagaimana itu bisa terjadi sementara istrinya mandul? Malaikat berkata, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya,” (QS Ali 'Imran [37: 40).

p: 149

p: 150

KESUCIAN NABI ISA

Syubhat Pertama yubhat pertama terkait dengan firman Allah, “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, 'Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah," (QS Al-Mā'idah [5]: 116).

Para penentang kemaksuman para nabi melihat ayat di atas dari beberapa segi: Pertama, jika Isa mengucapkan perkataan ini, maka tentu akan muncul permasalahan, dan jika tidak mengatakannya maka sudah tidak perlu lagi mempertanyakannya.

Kedua, kata nafsun artinya tubuh. Oleh karena itu, ayat, “Wa lā a'lamu māfinafsika (Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu),” (QS Al-Mā'idah [5]: 116) zahir ayatnya mengasumsikan penetapan tubuh (fisik) bagi Allah. Ketiga, kata fi adalah dzaraf (kata keterangan tempat) yang hanya digunakan untuk fisik.

Pleidoi:

Untuk pernyataan pertama, Isa tidak mengatakan ucapan tersebut. Adapun kalimat pertanyaan [dari

p: 151

ayat ini] berfungsi untuk mencela orang Nasrani yang mengklaim ucapan tersebut dari Isa. Sementara, untuk pernyataan kedua, kata nafsun secara bahasa adalah zat.

Dikatakan “nafs al-syay’dzātuhu” (inti sesuatu adalah zat- nya). Jawaban untuk yang ketiga, maksudnya menitisnya sifat dalam diri orang yang disifati.

Syubhat Kedua Syubhat kedua, terkait firman Allah, “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS Al-Mā'idah [5]: 118) Pleidoi:

Maksud ayat ini adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah secara total dan meninggalkan penentangan serta menguatkan makna, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya,” (QS Al-Anbiya' [21]: 23).

p: 152

KESUCIAN NABI MUHAMMAD

Syubhat Pertama Penentang kemaksuman para nabi berpegang kepada firman Allah, “Wa wajadaka dhāllan fa hadā (Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk),” (QS Al-Dhuhā [93]: 7).

Pleidoi:

Bingung (dhalāl) di sini dalam pengertian pergi dan berpaling, di mana hal ini harus didasarkan pada masalah yang membuatnya berpaling darinya, sedangkan masalah tersebut tidak disebutkan (dalam ayat ini]. Lebih dari itu, berita ini tidak sesuai dengan empat dalil berikut:

Pertama, dan Dia (Tuhan) mendapatimu sebagai orang yang bingung mengenai kenabian, lalu Dia memberikan petunjuk kepadanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, “Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,” (QS Al-Syūrā [42]: 52).

Kedua, Dia mendapatimu sebagai orang yang bingung mengenai kehidupan dan jalan mendapatkan penghidupan. Ketiga, Dia mendapatimu sebagai orang

p: 153

yang bingung pada masa bayinya di padang pasir. Keempat, Dia mendapatimu bingung atau sesat dalam suatu kaum.

Mereka tidak mengetahui hakmu, lalu Dia memberikan petunjuk kepada mereka untuk mengetahui hakmu.

Sebagaimana dikatakan, “fulānun dhāllun fī qaumihi idzā kāna madzlūlan 'anhu" yang artinya, “Si fulan bingung di tengah-tengah kaumnya jika ia menyimpang darinya.” Syubhat Kedua Firman lain yang dijadikan pegangan oleh para penentang kemaksuman adalah, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu,” (QS Al-Hajj [22]: 52).

Mereka mengatakan bahwa zahir ayat ini menunjukkan bahwa setan menyukai bacaan para nabi yang menimbulkan kesamaran. Jika kita menerima hal ini, maka hilanglah kepercayaan kepada Nabi Saw..

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw. merasa susah dengan kaumnya yang menjauhi apa yang dibawanya sehingga beliau berharap Allah mendatangkan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan kaumnya. Ini disebabkan keinginannya agar mereka beriman.

Suatu hari, ketika ia sedang duduk-duduk di salah satu tempat pertemuan Quraisy yang banyak dihadiri orang. Setan berharap agar tidak ada sesuatu pun dari Allah yang datang kepadanya sehingga kaumnya akan berpaling dari beliau. Lalu, Allah menurunkan firman- Nya, “Demi bintang ketika terbenam,” (QS Al-Najm [53]: 1).

p: 154

Rasulullah Saw. membaca ayat ini sampai kepada ayat, “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza,dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)," (QS Al-Najm: 19-20).

Setan mengucapkan apa yang ada di dalam dirinya dan mengharapkan Nabi mengucapkannya seperti itu, yakni “Itulah nama-nama yang tinggi, dan sesungguhnya syafa'atnya kamu harapkan.” Ketika orang Quraisy mendengar hal tersebut, mereka merasa senang.

Sementara Rasulullah Saw. terus membaca seluruh surat tersebut. Di akhir surat, beliau sujud diiringi oleh kaum Muslim dan semua orang musyrik yang ada di mesjid itu.

Semua orang-mukmin dan kafir-sujud kecuali al-Walid bin al-Mughirah dan Abu Ahihah Said bin al-Ash. Lalu keduanya mengambil segenggam kerikil, mengangkatnya dan sujud di atasnya, karena keduanya sudah tua renta sehingga tidak mampu untuk sujud. Setelah itu orang- orang Quraisy berpencar dan merasa senang atas apa yang didengar, mereka berkata, “Muhammad Saw.

menyebut Tuhan-Tuhan kita dengan sebutan yang paling baik." Pada sore hari, Rasulullah didatangi malaikat Jibril yang berkata, “Apa yang engkau perbuat? Engkau membacakan kepada manusia sesuatu yang tidak aku bawa dari Allah, dan mengatakan sesuatu yang tidak aku katakan?” Rasulullah merasa sedih dan takut sekali kepada Allah. Lalu, Allah menurunkan ayat di atas.(1)

p: 155


1- Al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Banyak para ahli tafsir yang menyebutkan kisah Gharāniq dan kepulangan kaum Muslim dari Habasyah karena mengira bahwa orang-orang musyrik Quraisy sudah masuk Islam. Namun, semua riwayat ini mursalah Thadis yang di akhir sanadnya terputus dan tidak diriwayatkan dari jalan yang benar.” Al-Qasthalani dalam Syarh al-Bukhārī, mengatakan, “Kisah ini dianggap cacat dan sanadnya tidak ada dari para imam sehingga Ibn Ishaq-ketika ditanya mengenai masalah ini-mengatakan bahwa kisah ini pemalsuan dari kaum Zindik.” Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa hadis ini tidak pernah ditakhrīj ſpenelusuran hadis sampai pada sumber aslinya) oleh seorang perawi sahih pun dan tidak ada yang meriwayatkannya dengan sanad menyambung. Kisah ini disukai oleh para mufasir dan sejarawan yang menyukai hal-hal aneh, baik yang benar atau salah yang menyimpang dari al-Qur'an. Dikutip dari Abu Bakar bin al-Arabi, Imam Maliki berkata, "Semua kisah ini tidak ada sumbernya.” Al-Qadhi mengatakan, "Sesungguhnya semua riwayat dalam kisah ini adalah palsu. Sementara riwayat yang sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. membaca surah al-Najm di Mekkah, lalu kaum Muslim, musyrik, jin, dan manusia sujud bersama beliau". Lalu Imam Maliki berkata, “Hujjah dan umat sepakat atas kemaksuman dan kebersihan Nabi Muhammad Saw. dari kehinaan seperti ini. Adapun [kisah tentang] keinginannya agar turun pujian kepada Tuhan selain Allah adalah kekufuran. Setan menguasainya dan membuat Nabi samar terhadap al-Qur'an sehingga ia memasukan sesuatu yang bukan dari al-Qur'an sehingga Nabi meyakini bahwa dalam al-Qur'an ada sesuatu yang bukan darinya sampai Jibril memahaminya. Tindakan ini tidak boleh ada dalam diri Nabi Muhammad Saw.. Nabi mengatakan ungkapan tersebut dari dirinya secara sengaja, ini adalah kufur atau lupa. Padahal beliau dijaga dari kesengajaan dan kelalaian. Kami sudah menetapkan berdasarkan bukti dan ijma' bahwa Nabi Muhammad Saw. terjaga dari melakukan kekufuran, baik dengan lidahnya atau hatinya, sengaja ataupun lupa atau timbul kesamaran dalam dirinya antara ayat-ayat yang disampaikan malaikat dengan perkataan yang diucapkan setan atau setan memiliki jalan untuk memengaruhinya atau berdusta kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diturunkan kepadanya, baik sengaja ataupun lupa."

Pleidoi:

Ada lima aspek yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak mengubah dan mengganti ayat- ayat al-Qur'an:

Pertama, firman Allah, “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya,” (QS Al-Hāqah [69]: 44–46).

Kedua, firman Allah, “Katakanlah: “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku,” (QS Yūnus [10]: 15).

Ketiga, firman Allah, “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.

Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,” (QS Al- Isrā’ [17]: 73–74).

Keempat, firman Allah, “Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)” (QS Al-Furqān [25]: 32).

Kelima, firman Allah, “Kami akan membacakan (AL Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa,” (QS Al-A’lā [87]: 6). Apabila apa yang kami sebutkan sudah ditetapkan, maka kami akan menjelaskan jawaban terkait syubhat ini:

p: 156

“Tamannā” secara bahasa mengandung dua arti:

pertama, angan-angan hati. Kedua, bacaan, sebagaimana firman Allah “Wa minhum ummiyyūna lā ya'lamūna al- kitāba illā amāniy” (Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab (Taurat), kecuali dongeng bohong belaka),” (QS Al-Baqarah [2]: 78). Maksudnya kecuali dari bacaan (orang lain) karena orang yang buta tidak mengetahui al-Qur'an dari mushafnya, tetapi mengetahuinya secara bacaan. Hisan mengatakan:(1) “Tamanna kitāballāh awwala laylatin, wa āhiruhā lā qā hamāma al-maqādir” (Menjelang malam membaca Kitabullah, dan di penghujung malam menemukan merpati takdir (kematian)).

Ada yang berpendapat bahwa qirā'ah (bacaan) dinamakan umniyyah (angan-angan) karena ketika orang yang membaca al-Qur'an sampai kepada ayat tentang siksaan, maka ia berharap tidak mendapatkannya.

Pendapat lainnya mengatakan bahwa pengertian ini diambil dari perkiraan karena orang yang membaca itu memperkirakan huruf yang disebutkan secara sedikit demi sedikit dan mengharapkan takdir baik dari Allah.

Jika Anda sudah mengetahui hal ini, selanjutnya perlu disebutkan, “Sebagian mufasir menafsirkan ayat ini dengan makna angan-angan hati. Artinya, ketika Nabi Muhammad Saw. berangan-angan tentang sesuatu dalam hatinya, maka setan mengganggunya dengan kebatilan dan menyerunya kepada sesuatu yang tidak pantas dilakukan, lalu hal ini dihapuskan dan dibatalkan oleh Allah serta didatangkan kepadanya petunjuk yang dapat menjadikannya meninggalkan perhatian kepada

p: 157


1- Ucapan ini disampaikan saat meratapi kematian Utsman bin Affan yang terbunuh karena dizalimi.

bisikan setan. Namun, pendapat ini lemah karena jika terjadi demikian, tidak mungkin terlintas dalam hati Nabi Muhammad Saw. sesuatu yang menimbulkan fitnah bagi orang-orang kafir. Ini juga ditolak oleh firman Allah yang berbunyi, “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit,” (QS Al-Hajj [22]: 53). Dengan demikian, maka ditetapkan bahwa arti“tamannā” adalah “qirā‘ah” (bacaan).

Meskipun begitu, pendukung takwil di atas berbeda pendapat:

1. Nabi Muhammad Saw. tidak mengatakan hal demikian, begitu juga setan. Hanya saja ketika Nabi Muhammad Saw. membaca surah al-Najm, “Demi bintang ketika terbenam,” (QS Al-Najm [53]: 1) hal ini menjadi samar bagi orang kafir sehingga mereka mengira beberapa lafal yang dibacanya adalah “Itulah nama- nama yang tinggi, dan sesungguhnya syafa'atnya kamu harapkan.” Hal ini sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dari adanya kesamaran antara kalimat yang diucapkan dengan yang lainnya. Walaupun demikian, pendapat ini rusak karena tiga segi:

Pertama, kesamaran atau kebingungan seperti ini sah saja terjadi dalam hal-hal yang sudah biasa didengar, tetapi tidak boleh untuk sesuatu yang tidak biasa didengar. Kedua, kalau terjadi demikian, maka kebingungan atau kesamaran akan terjadi pada sebagian pendengar. Sebab, kebiasaan itu mencegah adanya kesamaan sejumlah banyak orang dalam jam yang sama untuk melakukan khayalan yang rusak

p: 158

dalam beberapa hal konkret. Ketiga, kalau memang demikian, maka hal itu tidak disandarkan kepada setan.

Mungkin saja Nabi Muhammad Saw. pernah mengatakan ucapan tersebut tanpa sengaja atau lupa. Akan tetapi, ini mustahil terjadi karena ketidaksengajaan tidak boleh terjadi pada nabi, karena akan mencampuradukkan wahyu sehingga akan menghilangkan kepercayaan atas apa yang dibawanya.

Jika Anda berkata, mungkin beliau pernah menyebutkannya sebagai bentuk pertanyaan mengingkari? Menurut saya, anggap saja beliau memang melakukan itu, tetapi bacaannya ketika beliau sedang membaca al-Qur'an dalam bentuk seperti itu, akan ada kesamaran kalau ucapan itu benar-benar dari beliau sehingga akan kembali kepada larangan (menyampaikan sesuatu yang bukan dari Allah secara keliru) yang telah disebutkan. Lalai juga tidak boleh dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.. Sebab, kalau sifat ini boleh ada pada diri Nabi Muhammad, maka sifat ini juga boleh terjadi pada nabi lainnya, dan pada saat demikian hilanglah kepercayaan terhadap syariat. Sebab, orang yang lalai atau lupa tidak mungkin terjadi lafal-lafalnya sesuai dengan surat yang dibaca, baik cara dan maknanya. Kita mengetahui secara pasti bahwa seseorang yang mendendangkan sebuah Qasidah saja tidak boleh lupa sehingga terjadi satu bait syair yang bercampur dalam bentuk, makna, dan caranya.

p: 159

3. Barangkali setan memaksa Nabi Muhammad Saw.

untuk mengucapkannya. Pendapat ini juga sulit diterima berdasarkan lima segi: Pertama, seandainya setan mampu melakukan hal seperti ini, maka secara analogi setan pun akan berbuat kesalahan dan boleh jadi banyak perkataan kita yang terjadi karena paksaan setan. Kedua, seandainya setan mampu memaksa Nabi Muhammad Saw. untuk melakukannya, maka kepercayaan terhadap keaslian wahyu akan hilang karena adanya kemungkinan ini. Ketiga, firman Allah yang mengisahkan tentang setan, “Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu,” (QS Ibrāhīm [14]: 22).

“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman,” (QS Al-Nahl [16]: 99).

“Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.” (QS Al-Hijr [15]: 40). Setan mengakui bahwa tidak ada jalan baginya mengganggu orang-orang mukhlis. Keempat, mungkin saja perkataan tersebut berasal dari setan yang diucapkan bersamaan pada saat Nabi Muhammad Saw. melakukan pembacaan dalam beberapa pertemuannya agar para hadirin mengira bahwa ucapan tersebut sama seperti perkataan yang mereka dengar dari Nabi Saw.. Ini tidak mustahil karena tidak ada perselisihan bahwa jin dan setan berbicara, sehingga bukan hal yang mustahil mendengar setan tanpa melihat bentuknya.

Jika suaranya terdengar ketika orang lain berbicara; tentunya pendengar mengira bahwa ucapan tersebut berasal dari orang yang dilihatnya, kemudian hal ini

p: 160

tidak menjadi cacat dalam kenabian karena bukan benar-benar dari Nabi Muhammad Saw..

Ada orang yang mengatakan bahwa jika kalian menganggap sah-sah saja setan berbicara ketika Nabi Muhammad Saw. sedang berbicara sehingga menimbulkan kesamaran bagi para pendengar dan mereka mengira ucapan tersebut berasal dari beliau, maka kemungkinan ini akan ada dalam semua sabda Rasulullah Saw.. Dampaknya bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap semua syariat.

Menurut saya, kemungkinan semacam ini bisa terjadi, hanya saja bila itu terjadi, Allah akan menjelaskannya untuk menghilangkan kesamaran sebagaimana dalam peristiwa di atas.

Kelima, orang yang mengatakan seperti ini adalah beberapa orang kafir. Ketika Nabi Muhammad Saw. selesai membaca surat ini sampai pada ayat yang menyebutkan nama Tuhan mereka, padahal mereka mengetahui bahwa biasanya beliau mencelanya, beberapa orang kafir yang hadir berkata, “Itu adalah nama yang agung.” Ucapan ini menjadi samar bagi orang-orang yang hadir karena mereka itu menyimpangkan bacaan Nabi Muhammad Saw.

dan mereka banyak berbicara untuk memalsukannya dan menyembunyikan bacaannya. Mungkin juga terjadi saat salat karena biasanya setan mendekati beliau ketika salat, mendengarkan bacaannya dan membuatnya lalai dari bacaan.

Ada yang mengatakan jika Nabi Muhammad Saw.

membacakan al-Qur'an kepada orang-orang Quraisy

p: 161

dan beliau berhenti pada potongan-potongan ayat.

Lalu, saat itu sebagian yang hadir mengucapkan kata-kata sehingga orang yang hadir mengira bahwa ucapan tersebut berasal dari Nabi Muhammad Saw..

Kemudian, Allah menyematkan ucapan itu kepada setan karena ucapan ini diraih berkat bisikannya atau karena orang itu telah dianggap setan.

Keenam, maksud gharāniq adalah malaikat karena bacaan al-Qur'an yang diturunkan menceritakan malaikat. Ketika orang-orang musyrik(1) mengira bahwa beliau hendak mengatakan Tuhan mereka, maka Allah menghapus bacaannya.

Syubhat Ketiga Para penentang bersandar kepada firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya.” (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad Saw.

melihat Zainab binti Zahsyin sesaat sebelum menikah dengan Zaid dan beliau menginginkannya. Tatkala Zaid datang untuk menceraikannya, beliau menyembunyikan tekadnya untuk mengawininya. Lantaran keinginannya kepada Zainab, Allah menegurnya, “Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37)(2) Pleidoi:

Ada empat aspek yang mesti diperhatikan:

p: 162


1- Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi dalam Ahkām al-Qur'ān (juz 2, hlm. 168), mengatakan, “Dalam buku kami sebelumnya sudah disebutkan tentang kemaksuman para nabi dari dosa. Kami juga telah meneliti pendapat-pendapat mengenai kemaksuman dan kami telah berjanji kepada kalian dengan janji yang tidak mungkin ada penolakan. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menyebutkan atau menambah sesuatu tentang para nabi kecuali sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Allah. Berita dan hadis tentang mereka banyak diriwayatkan dengan berbagai tambahan yang dilakukan oleh dua orang, yaitu orang yang tidak mengetahui kemampuan para nabi dan pembuat bid'ah yang tidak memiliki pandangan mengenai kebaikan dan wibawa para nabi. Orang tersebut mencampakan hak-hak di bawah perkataan mutlak dan tidak memperhatikan dalil-dalil dan larangan, sampai mengatakan bahwa semua sanad riwayat tersebut gugur. Riwayat yang sah hanya berasal dari Aisyah yang mengatakan, “Seandainya Rasulullah Saw. pernah menyembunyikan wahyu, pasti beliau akan menyembunyikan ayat berikut, "Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya," (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yaitu Islam. “Dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yaitu kemerdekaan. “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi," (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Saat Rasulullah Saw. menikahi Zainab, orang- orang mengatakan bahwa beliau menikahi istri anaknya. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu," (QS Al-Ahzāb [33]: 40). Zaid diangkat menjadi anak angkat Rasulullah Saw. dan tinggal bersamanya hingga dewasa sehingga namanya disebut Zaid bin Muhammad. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah," (QS Al-Ahzāb [33]: 5) yakni adil di sisi Allah. Al-Qadhi mengatakan bahwa riwayat yang lainnya tidak benar.
2- Pendapat ini jauh dari yang sebenarnya dan pantas untuk ditolak. Bagaimana mungkin para malaikat memberikan isyarat kepada Latta, Uzza, dan Manat? Orang yang mengucapkan perkataan ini tidak berpikir terlebih dahulu.

Pertama, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dalam peristiwa ini beliau melakukan sesuatu yang tercela.

Allah pun tidak mencelanya dan tidak menyebutnya telah durhaka atau berbuat salah. Beliau juga tidak disebutkan memohon ampunan. Tidak ada pengakuan bahwa dirinya melakukan kesalahan. Sebab, jika terjadi satu kesalahan, pasti akan didapatkan sesuatu sebagaimana yang menimpa para nabi lainnya ketika mereka melakukan kesalahan atau meninggalkan anjuran. Ini membuktikan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya (bahwa nabi tidak mungkin berbuat kesalahan).

Kedua, dalam kisah ini disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak merasa berat atas apa yang telah diwajibkan Allah kepadanya. Ini adalah penjelasan bahwa beliau sama sekali tidak melakukan dosa.

Ketiga, Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw. untuk kawin dengan Zainab agar kaum Mukmin tidak merasa berdosa ketika mereka mengawini mantan istri anak asuhnya. Beliau tidak mengatakan bahwa “Aku melakukan itu karena kecintaanku kepadamu.” Keempat, firman Allah, “Kami kawinkan kamu dengan dia,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Jika dalam perintah ini ada kejelekan, tentunya merupakan penodaan atas Allah. Dari semua ini ditetapkan bahwa beliau sama sekali tidak melakukan dosa.

Selanjutnya firman Allah, “Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Para peneliti menyebutkan empat aspek yang terkandung dalam ayat ini:

p: 163

Pertama, ketika Allah ingin menghapus kebiasaan jahiliah mengenai pengharaman menikahi istri-istri anak asuh, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Saw. bahwa Zaid (anak asuh Nabi Muhammad Saw.) akan menceraikan istrinya karena itu kawinlah engkau dengannya (mantan istri Zaid). Namun, tatkala Zaid datang untuk menceraikan istrinya, beliau khawatir kalau Zaid menceraikannya dan beliau harus mengawininya, maka orang-orang munafik akan berkata buruk kepadanya.

Oleh karena itu, beliau berkata pada Zaid, “Tahanlah terus istrimu,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Sementara beliau menyembunyikan tekadnya untuk mengawini Zainab setelah dicerai oleh Zaid. Takwil ini sesuai dengan firman Allah, “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Jelas bahwa alasan perintah untuk mengawini Zainab adalah untuk menghapus tradisi lama.

Kedua, saat Zaid berselisih dengan istrinya, Zainab, yang merupakan anak bibi Nabi Muhammad Saw. dan hampir menceraikannya, ia mengabarkan kepada nabi bahwa dirinya telah menceraikannya. Nabi mengawininya karena Zainab adalah anak bibinya. Beliau sendiri ingin menggabungkannya ke dirinya sebagaimana di antara kita ingin menggabungkan kerabatnya kepada dirinya agar tidak terkena bahaya. Hanya saja keinginannya tersebut tidak dikemukakan karena takut omongan orang-orang munafik. Lalu, Allah mencelanya karena hatinya mengindahkan omongan orang. Allah berfirman, “Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37).(1)

p: 164


1- Lalu keinginan Rasulullah Saw. yang terpendam dalam dirinya diberitakan oleh Allah kepada Rasulullah dan seluruh manusia, supaya lahir dan batin para nabi itu sama. Oleh karena itu, saat penaklukan kota Mekkah, beliau berkata kepada orang-orang Ansar, sementara saat itu, Utsman datang membawa Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah yang memohon maaf kepada beliau. Sebelum peristiwa Fathu Mekkah terjadi, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah pernah menumpahkan darah nabi karena itu ia diperintahkan untuk dibunuh. Namun, ketika melihat Utsman, beliau pun merasa malu untuk menolak permintaan tersebut. Beliau berdiam diri lama sekali dengan ſharapan) ada orang mukmin yang membunuh Abdullah. Namun, tidak ada seorang pun yang melakukanya karena semuanya menunggu perintah beliau. Lalu, beliau bersabda kepada orang-orang Ansar, “Tidakkah ada di antara kalian yang berusaha membunuhnya." Ubad bin Basyar berkata, “Saya memperhatikan baginda dan menunggu anggukan persetujuan sehingga aku membunuhnya." Lantas beliau bersabda, “Para nabi itu tidak memiliki mata yang berkhianat.” Hanya Allah Yang Mahatahu.

Ketiga, saat Zaid menikahi Zainab, ternyata ia wanita yang cantik, memelihara kehormatan diri, kuat, berakal, dan pandai dalam melayani suami. Timbul pikiran untuk menceraikannya agar dikawini oleh Rasulullah Saw.

karena ia melihat wanita ini layak untuk menemani beliau sebagai bentuk khidmah darinya kepada beliau dan taqarrub kepada Allah dengan mengutamakan Rasulullah Saw. atas dirinya dalam masalah yang mubah.

Lantas ia mendatangi Nabi dan menawarkan hal ini.

Nabi sendiri tidak menolak, hanya saja Zaid itu anak angkatnya. Dalam tradisi Jahiliah diharamkan bapak angkat mengawini istri anak angkatnya. Beliau menyadari bahwa jika kawin dengan Zainab, tentunya orang-orang munafik akan membicarakannya, padahal mereka itu baru masuk Islam yang rentan terhadap masalah seperti ini.

Nabi pun menolak untuk menikahinya. Beliau bersabda kepada Zaid, “Tahanlah terus istrimu,” (QS Al-Ahzāb [33]:

37). Hatinya rida dengan keputusan itu karena beliau berhati-hati sebagaimana yang kami kemukakan. Maka turunlah ayat berikut, “Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya," (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yakni menyembunyikan keridaan.

“Dan kamu takut kepada manusia,” (QS Al-Ahzāb [337:37), yakni malu kepada mereka sekiranya mengatakan bahwa beliau mengawini istri anak angkatnya. “Sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” (QS Al-Ahzāb [33]:

37). Ayat ini turun untuk mengemukakan sesuatu yang dipendam dalam dirinya.

Empat, pada awalnya Zainab ingin kawin dengan Nabi Muhammad Saw.. Akan tetapi, karena ia adalah saudaranya dan ibunya merasa berat tatkala Nabi

p: 165

Muhammad Saw. meminangnya untuk dikawinkan dengan Zainab, hingga sampai turun firman Allah, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,” (QSAl-Ahzāb [33]: 36).

Pada saat itulah mereka semua terpaksa tunduk.

Tatkala Zaid telah berumah tangga dengan Zainab, ternyata Zainab tidak membantu Zaid, malah durhaka kepadanya karena kuatnya rasa keinginannya kepada Rasulullah Saw. dan menganggap rendah terhadap Zaid.

Lantas Zaid mengadukan perihal istrinya kepada Nabi, beliau bersabda, “Tahanlah terus istrimu,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37).

Beliau menyembunyikan perasaan sukanya kepada Zainab karena kalau ia menceritakan keinginanya kepada Zaid tentu akan mengganggu ketentraman Zaid.

Pasti orang-orang munafik mengatakan bahwa beliau mengatakan hal itu karena menginginkan istrinya. Inilah aspek selain yang disebutkan oleh para penuduh para nabi dan rasul, semuanya masih berupa asumsi.

Jika Anda berkomentar, “Anggap saja masalahnya seperti itu, tetapi bagaimana dengan firman Allah, “Dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yang menunjukkan bahwa menyembunyikan perasaan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh Nabi? Menurut saya, alasan beliau menyembunyikan perasaannya adalah untuk menjaga [agar terhindar dari] omongan orang-orang munafik. Seandainya pun beliau mengutarakannya dan akan menanggung keburukan ucapan mereka; tentunya beliau tetap akan mendapatkan banyak pahala. Ini

p: 166

adalah masalah meninggalkan yang lebih utama dan prioritas kepada yang utama. Dengan demikian, hal ini tidak mengandung dosa apa pun, sedangkan riwayat yang mengatakan bahwa beliau mencintainya adalah riwayat Ahad [belum mencapai tingkatan mutawatir].

Sudah disebutkan bahwa kita sebaiknya membersihkan kedudukan nabi dari sifat seperti ini, sebab al-Qur'an sendiri sama sekali tidak menunjukkan hal semacam ini.

Kemudian, ada dua riwayat mengenai perkiraan kesahihan kisahnya: ada pendapat yang mengatakan bahwa tatkala Rasulullah Saw. melihat dan mencintai Zainab, maka Zainab menjadi haram bagi Zaid. Tentu saja pendapat ini tidak benar, karena kalau demikian masalahnya, berarti perintah beliau kepada Zaid untuk menahan istrinya berarti perintah berbuat zina dan deskripsi beliau bahwa Zainab adalah istri Zaid berarti dusta.

Padahal dua sifat ini tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim apalagi oleh nabi paling mulia, Muhammad Saw..

Pendapat lain tidak mengatakan Zainab haram untuk suaminya, hanya saja mereka berpendapat bahwa suaminya harus menceraikannya. Kelompok ini mengatakan bahwa ini merupakan ujian keimanan bagi suami dengan beban menceraikan istrinya untuk mencari keridaan Allah dan Rasul-Nya. Di samping itu, hal ini juga sebagai ujian dan beban bagi Nabi Muhammad Saw. untuk berhati-hati terhadap mata karena menahan pandangan itu sangat berat bagi jiwa. Seolah-olah dikatakan kepada beliau, “Jika engkau tidak bisa menahan pandanganmu, mungkin saja engkau melihat sesuatu lalu menginginkannya karena syahwat itu sesuatu di

p: 167

luar jangkauan manusia. Jika engkau menginginkannya, maka suaminya harus menceraikannya. Seandainya engkau mengabarkan hal itu kepada suaminya, maka engkau rentan mendapatkan omongan jahat, dan jika menyembunyikannya, maka engkau khianat terhadap wahyu.” Oleh karena itu, untuk menghindarkan diri dari dampak tersebut, nabi berusaha sungguh-sungguh menahan pandangannya yang merupakan beban paling berat. Demikianlah berbagai pendapat yang dikatakan dalam masalah ini.

Syubhat Keempat Para penentang kemaksuman nabi bersandar pada firman Allah, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).

Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil,” (QS Al-Anfāl [8]: 67–68).

Setidaknya ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dari ayat di atas: Pertama, firman Allah, “Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan,” (QS Al-Anfāl [8]: 67).

Hal ini menjadikan penahanan tawanan adalah haram.

Kedua, firman Allah, “Kamu menghendaki harta benda duniawiah,” (QS Al-Anfāl [8]: 67). Ini sudah disebutkan berkaitan dengan celaan. Ketiga, firman Allah, “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari

p: 168

Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil,” (QS Al-Anfāl [8]: 68).

Pleidoi:

Ada beberapa aspek yang menunjukkan terbebasnya kedudukan para nabi dalam peristiwa seperti ini:

Pertama, barangkali Nabi Muhammad Saw. telah menerima wahyu yang membolehkan mengambil tawanan atau terlintas sesuatu di hatinya, atau juga barangkali tidak ada wahyu yang diturunkan. Jika sudah ada wahyu yang diturunkan, beliau tidak boleh meminta pendapat sahabatnya. Sebab, dengan adanya nash dan wahyu, tidak perlu lagi adanya musyawarah. Bila sama sekali belum mendapatkan wahyu, beliau benar-benar tidak berdosa.

Kedua, jika ketetapan ini keliru, pasti Allah akan memerintahkan beliau untuk membatalkannya. Beliau memerintahkan untuk membunuh para tawanan dan mengembalikan semua yang telah diambil kepada mereka. Sebab, masalahanya tidak demikian, bahkan Allah berfirman, “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik,” (QS Al-Anfāl [8]: 69). Kita tahu bahwa sama sekali tidak ditemukan kesalahan dalam ketetapan ini.

Ketiga, Rasulullah Saw. tidak menyibukkan diri dengan istigfar dan mencela. Ini menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan tersebut tidak berdosa. Dari penjelasan ini, menurut kami, celaan diberikan tidak hanya karena tidak melaksanakan kewajiban, tetapi juga diberikan karena tidak melaksanakan hal yang prioritas.

Pada saat itu, yang prioritas adalah bersikap tegas

p: 169

dan tidak menerima tebusan. Hal ini dilakukan untuk memutuskan ketamakan dan menyelesaikan konflik.

Kalau hal itu bukan termasuk prioritas, tentunya beliau tidak akan memberikan harta rampasan itu kepada para sahabat. Inilah alasan dari firman Allah, “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan,” (QS Al-Anfāl [8]: 67).

Sementara firman Allah, “Kamu menghendaki harta benda duniawi,” (QS Al-Anfāl [8]: 67) adalah seruan untuk semua, kemudian diarahkan secara khusus kepada kaum yang suka kepada harta kekayaan, sedangkan firman-Nya, “Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil,” (QS Al-Anfāl [8]: 68).

Artinya, kalaulah bukan karena penghalalan harta rampasan yang sudah ditetapkan, maka kalian pasti akan disiksa karena mengambil harta rampasan.(1) Inilah celaan paling keras karena kesalahan mereka dalam mengambil rampasan dari segi pengaturan pengambilan harta rampasan.

Mungkin Anda akan bertanya, “Jika harta itu dihalalkan bagi mereka, mengapa sampai terjadi teguran keras?" Menurut saya, hal ini disebabkan karena terjadi dalam konteks peperangan. Dalam peperangan, terkadang dari segi manajemen terjadi kekeliruan sehingga orang yang bersalah ditegur walaupun tidak berdosa.

Syubhat Kelima Ketika ada sekelompok kaum Muslim meminta izin untuk mundur dari peperangan, beliau mempersilahkannya. Lalu, Allah berfirman, “Semoga Allah

p: 170


1- Ini menunjukkan bahwa yang dicela dalam masalah tawanan bukan Nabi Muhammad Saw., tetapi orang lain. Kisah ini sudah terkenal karena Allah memerintahkan nabi-Nya agar menyuruh para sahabat bertindak keras dalam membunuh musuh, sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap- tiap ujung jari mereka," (QS Al-Anfal [8]: 12). Lalu, Nabi Muhammad Saw. menyampaikan perintah tersebut kepada para sahabatnya. Namun, mereka lupa perintah tersebut. Pada perang Badar, mereka menawan sekelompok orang musyrik untuk mendapatkan tebusan. Kemudian, Allah menolak perbuatan mereka dan menjelaskan bahwa tindakan yang seharusnya dilakukan bukan seperti itu.

mema'afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang),” (QS Al-Tawbah [9]:

43). Pemberian maaf terjadi setelah melakukan dosa. Ini menunjukkan bahwa beliau (sebelumnya) berdosa.

Pleidoi:

Sebenarnya pemberian maaf mengabaikan hal yang menjadi sebab sebuah dosa. Firman Allah, “Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)” adalah hal yang menyebabkan terjadinya dosa. Seandainya kita menerapkan firman Allah, “Semoga Allah mema'afkanmu” secara lahiriah tentu yang akan berlaku adalah sebaliknya. Lantaran itu, kita menjadi tahu bahwa bukan demikian tujuannya. Misalnya bagaimana jawaban Anda terhadap ucapan saya, sementara tujuan ucapan saya adalah berlemah lembut dalam berbicara, contohnya, “Semoga Allah memberikan rahmat dan ampunan kepadamu”, meskipun Anda sendiri tidak berdosa. Ini juga merupakan bentuk siasat dalam peperangan. Sudah kami jelaskan bahwa meninggalkan perbuatan utama itu kadang-kadang ditegur dan dicela.

Syubhat Keenam Syubhat ini terkait dengan firman Allah, “Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,” (QS Al-Syarh [94] : 2). Beban itu jelas-jelas masalah dosa.

p: 171

Pleidoi:

Pertama, menafsirkan dosa dengan beban yang dilakukan sebelum masa kenabian. Kedua, menafsirkan dosa sebagai dosa kecil atau meninggalkan perbuatan utama.

Ketiga, asal kata “al-wazr” adalah beban. Allah berfirman, “Hattā tadha'a al-harbu awzārahā” (...sampai perang berakhir), (QS Muhammad [47]: 4) maksudnya beban-bebannya (yang berakhir], sedangkan dosa dinamakan “al-wazr” karena memberatkan pelakunya.

Berdasarkan ini, penamaan dosa dengan al-wazr adalah majas. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw. merasa sedih sekali karena kaumnya terus-menerus dalam kemusyrikan, sementara beliau bersama para sahabatnya teraniaya di tengah-tengah mereka. Lalu, ketika Allah meninggikan kalimat-Nya dan masalahnya semakin berat, maka Allah meletakkan bebannya. Takwil ini diperkuat oleh firman Allah, “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,” (QS Al-Syarh [94]:4-6). Kesulitan itu hampir menyerupai musibah dan kemudahan itu hampir mirip dengan hilangnya kesedihan.

Jika Anda berkata bahwa surat ini adalah surat Makiyah, sementara apa yang disebutkan di dalamnya tidak sesuai dengan karakteristiknya [karakteristik- karakteristik surat Makiyah], maka menurut saya, sesungguhnya janji Allah benar. Tatkala Allah menjanjikan hal di atas saat di Makkah, maka akan membuat hati beliau Saw. kuat dan kesedihannya hilang.”

p: 172

Keempat, tidak ragu lagi, seandainya Nabi Muhammad Saw. diasumsikan berani melakukan dosa, tentunya beliau akan bertobat dari dosa itu. Sebab, secara ijma' telah disepakati bahwa beliau tidak memiliki sifat terus-menerus melakukan dosa, sedangkan orang yang bertobat dari dosa laksana orang yang tidak memiliki dosa. Oleh karena itu, ayat di atas perlu kita takwilkan.

Syubhat ketujuh Para penentang bersandar pada firman Allah, “Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya,” (QS ‘Abasa [80]: 1–2). Di sini Allah mencela Nabi Muhammad Saw. karena berpaling dari Ibn Ummi Maktum.

Pleidoi:

Kami tidak bisa menerima bahwa maksud perkataan ini ditujukan pada Nabi Muhammad Saw.. Begitu juga para ahli tafsir tidak mengatakan bahwa ayat ini ditujukan pada Rasulullah Saw. Sebab, menurut kami riwayat mengenai hal ini adalah riwayat ahad [riwayat yang belum mencapai tahap mutawatir], sehingga tidak bisa diterapkan dalam masalah ini. Selain itu, pendapat ini bertentangan dengan beberapa hal:

Pertama, sifat bermuka masam bukanlah sifat Nabi Muhammad Saw., sebagaimana yang dijelaskan dalam al- Qur'an dan kabar yang diketahui para musuh maupun orang-orang yang membangkang darinya, terlebih yang diketahui orang-orang mukmin dan yang ingin mendapatkan petunjuk.

p: 173

Kedua, beliau digambarkan gandrung kepada orang- orang kaya dan lalai terhadap orang-orang miskin. Sifat ini tidak sesuai dengan akhlaknya.

Ketiga, tidak mungkin ungkapan “Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),” (QS ‘Abasa [80]: 7) ditujukan pada Nabi. Sebab, ungkapan semacam ini akan berdampak pada kaumnya dalam meninggalkan keingingan untuk beriman. Hal ini tidak pantas untuk orang yang diutus dengan membawa permohonan (doa) dan peringatan. Kita mungkin bisa saja menerima kalau perkataan ini diarahkan kepada Nabi Muhammad Saw., hanya saja kita tidak bisa menerima kalau beliau sudah berdosa. Ini karena Allah telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. sebagai seseorang yang berakhlak baik. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (QS Al-Qalam [68]: 4).

Syubhat Kedelapan Para penentang kemaksuman nabi berpegang kepada firman Allah, “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu,” (QS Al-Fath [48]: 2). Mereka berpendapat bahwa ayat ini merupakan penjelasan tentang ampunan.

Pleidoi:

Kami menafsirkan pengampunan ini diberikan kepada perbuatan beliau Saw. yang terjadi sebelum masa kenabian atau pengampunan atas dosa-dosa kecil.

p: 174

Akan tetapi, terdapat beberapa orang yang menentang pendapat ini seraya mengajukan beberapa penafsiran.

Pertama, maksud ayat di atas adalah dosa umatmu yang telah lalu dan yang akan datang. Sebab, saat seseorang yang pembantunya berbuat baik atau buruk, maka akan dikatakan kepadanya, “Engkau telah melakukannya.” Walau mungkin bukan dia yang melakukannya.

Kedua, terkadang meninggalkan yang utama itu dinamakan dosa. Sebagaimana dikatakan, kebaikan orang-orang baik adalah kejahatan [bagi] orang-orang yang dekat pada Tuhan.

Ketiga, kata dosa itu adalah bentuk mashdar dan boleh disandarkan kepada subjek atau objek,(1) sehingga maksud dari ayat tersebut seakan-akan supaya Allah mengampuni dosa-dosa umatmu yang telah lalu maupun yang akan datang karena keberadaan dan keberkahanmu.

Keempat, maksud dari ayat ini ialah keagungan derajat Rasulullah Saw.. Hal ini bisa didapatkan dari kandungan firman Allah, “Jika engkau memiliki dosa, pasti Aku akan mengampuninya.” Mengubah premis tak bersyarat kepada bentuk bersyarat dibolehkan selama konteks perkataan menunjukkan hal itu. “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu,” (QS Ali `Imrān [3]: 159).

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS Al-Anbiya' [21]:

107).

Jika tampak perilaku menyimpang dari beliau dalam beberapa kesempatan yang sangat jarang, maka Allah akan menegurnya dan memberitahukannya bahwa

p: 175


1- Bukankah Anda pernah mendengar ada yang mengatakan, “Saya heran dengan ungkapan, dharaba zaydun amran' (Zaid memukul Amr). Mereka menyematkan pukulan kepada pelaku. Saya juga heran dengan ungkapan, 'dhuriba yazdun amrun (Zaid dipukul Amr). Mereka menyematkan pukulan kepada objek.” Pengertian ampunan berdasarkan takwil ini ialah penghilangan, pembatalan, dan penghapusan terhadap kekejaman orang-orang musyrik kepada mereka dan dosanya terhadap mereka karena menghalanginya masuk ke Mekkah dan Masjidil Haram. Takwil ini selaras dengan zahir perkataan sehingga ampunan menjadi tujuan dari penaklukan kota Mekkah. Kalau tidak, jika ia ingin ampunan dosanya, bukan karena firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus," (QS Al-Fath [48]: 1–2). Makna yang rasional, sebab ampunan terhadap dosa itu tidak ada kaitannya dengan penaklukan dan bukan tujuan dari penaklukan itu sendiri. Hanya Allah Yang Mahatahu.

perilaku tersebut tidak disukai-Nya. Oleh karena itu, hal ini termasuk dalam kriteria meninggalkan hal yang utama.

Berdasarkan sebuah hadis [disebutkan] bahwa beliau sedang berbicara dengan beberapa pembesar Quraisy dan melobi mereka untuk masuk Islam dengan harapan Islam menjadi kokoh dengan masuknya mereka. Dan lantaran harapan beliau yang tinggi akan keislaman mereka, sehingga Allah menegurnya, “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (al-Qur'an),” (QS Al-Kahf [18]: 6).

Lalu datang seorang buta yang tidak mengetahui kondisi yang sedang berlangsung. Ia menanyakan sesuatu saat Nabi Muhammad Saw. sedang berbicara dengan salah seorang pembesar Quraisy. Pertanyaan tersebut menyusahkan nabi, yaitu dapat menjadi sebab yang bisa memutuskan dan merusak perkataan yang sedang nabi usahakan untuk mengislamkan pembesar tersebut. Nabi berpaling dari orang buta itu, lalu Allah melarangnya.

Beliau diperintahkan untuk menyambut semua orang yang datang kepadanya, baik pembesar, rakyat jelata, kaya, dan miskin. Dakwahnya tidak dikhususkan hanya untuk orang mulia saja. Sebab, kewajibannya adalah menyampaikan ajaran Islam kepada semuanya dan ia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas keengganan mereka untuk menerima dakwahnya.

Syubhat Kesembilan Firman Allah, “Dan janganlah kamu mengusir orang- orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari,

p: 176

sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya,” (QS Al- Anām [6]:52), yaitu, “Janganlah engkau (Muhammad Saw.) mengusir orang-orang Mukmin karena mengusir mereka adalah dosa besar.” Pleidoi:

Zahir ayat ini tidak mengandung pengusiran mereka, sebaliknya justru merupakan larangan untuk mengusir mereka. Terdapat petunjuk (terkait hal ini] dalam firman- Nya, “Yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim),” (QS Al-An'ām: 52). Andaikan beliau mengusir mereka, pasti beliau akan mengatakan, “Aku telah mengusir mereka.” Hikmah larangan ini bahwasannya sekelompok orang kafir meminta Nabi Muhammad Saw. untuk mengusir orang-orang miskin. Lalu, Allah menurunkan ayat ini sebagai hujjah terhadap nabi untuk tidak menerima ucapan mereka.

Syubhat Kesepuluh Firman Allah, “Sesungguhnya Allah telah menerima tobat nabi,” (QS Al-Tawbah [9]: 117), sedangkan tobat mesti didahului oleh dosa.

Pleidoi:

Tobat-kembali-di sini ditafsirkan sebagai tobat dari dosa kecil atau meninggalkan perbuatan utama.

p: 177

Syubhat Kesebelas Firman Allah, “Dan mohonlah ampunan untuk dosamu,” (QS Al-Mu'min [40]:55). Dalam hadis disebutkan, “Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah sehari semalam sebanyak tujuh puluh kali”. Ini jelas sekali [menunjukkan bahwa nabi pernah berdosa].

Pleidoi:

Permohonan ampunan di sini ditafsirkan sebagai [melakukan] dosa kecil, meninggalkan perbuatan utama atau tawadu, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam ucapan Adam, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri,” (QS Al-A'rāf [7]: 23). Artinya, jika aku melakukan dosa, maka aku meminta ampunan kepada Allah, sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya,” (QS Al-Tahrīm [66]: 8). [Perintah] Ini tidak dimaksudkan bahwa semua orang berdosa, tetapi sesungguhnya mereka diperintahkan bertobat apabila berdosa.

Syubhat Kedua Belas Firman Allah, “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu,” (QS Al-Tahrīm [66]: 1). Zahir ayat ini mengisyaratkan bahwa beliau melakukan sesuatu yang tidak boleh dikerjakan.

p: 178

Pleidoi:

Mengharamkan apa yang dihalalkan Allah tidak selalu berarti dosa, [sebagaimana) dengan dalil hukum talak dan ‘itāq. Adapun mencela, larangan untuk melakukannya bila itu demi mencari keridaan istri atau sebagai penolakan tuntutan mereka-sebagaimana seseorang berkata kepada orang lain, “Mengapa engkau menerima perintah si fulan dan mengikutinya padahal ia di bawahmu dan engkau mengutamakan keridaannya padahal ia budakmu"- bukanlah celaan dosa, tetapi celaan untuk memuliakan.(1) Syubhat Ketiga Belas Syubhat ini terkait dengan firman Allah, “Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah,” (QS Al-Ahzāb [33]: 1). Jika tidak ada perbuatan terlarang dan menelantarkan kewajiban, maka perintah dan larangan itu tidak ada manfaatnya! Pleidoi:

Perintah dan larangan adalah salah satu sebab kemaksuman, keberadaan keduanya tidak akan menodai kemaksuman.

Syubhat Keempat Belas Syubhat ini berdasar pada firman Allah, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi,” (QS Al-Zumar [39]: 65). Apabila mempersekutukan Allah tidak terjadi pada dirinya, maka tentu saja beliau tidak akan ditegur oleh Allah dengan ayat ini?

p: 179


1- Penjelasan lain tentang hal ini bisa juga dilihat dari teguran Allah pada Nabi Saw. karena dia bersumpah tidak akan meminum madu lagi, padahal madu itu adalah minuman halal. Perbuatan ini beliau lakukan hanya untuk menyenangkan hati istri-istrinya. Pengharaman ini tidak berarti mengubah hukum madu, tetapi Nabi hanya melarang untuk dirinya sendiri saja. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. itu suka yang manis-manis dan senang madu. Di kala ia kembali pada waktu asar, ia pergi ke rumah istrinya. Waktu itu ia tinggal di tempat Zainab binti Jahasy dan minum madu di sana. Maka, bersepakatlah 'Aisyah dengan Hafsah bahwa siapa saja di antara mereka berdua didatangi Nabi Saw., hendaklah ia berkata kepadanya, 'Saya mencium bau magafir (buah karet yang rasanya manis, tetapi baunya busuk) dari engkau ya Rasulullah. Apakah engkau memakannya?' Nabi menjawab, “Tidak, tetapi saya hanya meminum madu di rumah Zaenab binti Jahasy. Kalau begitu, saya tidak akan mengulangi lagi dan saya telah bersumpah. Hal ini ditegaskan di depan Hafsah karena kebetulan Hafsah-lah yang didatangi. Maka, Hafsah memberitahukan kepada 'Aisyah kejadian itu. Padahal Nabi Saw. sangat merahasiakannya-peny.

Pleidoi:

Pertama, bahwa [tujuan dari ayat ini] maksudnya adalah umat Nabi Muhammad Saw.. [Perbandingan penjelasan ini dapat dilihat pada riwayat] Diriwayatkan dari Ibn Abbas, dia berkata, “Al-Qur'an diturunkan hanya kepadamu. Maksudnya dengarkanlah wahai hamba sahaya perempuan.” Hal senada juga disebutkan dalam firman Allah, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri- istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi) iddahnya (yang wajar),” (QS Al-Thalāq [65]: 1). Kemudian firman Allah, “Maka hendaklah kamu ceraikan mereka”, menunjukkan bahwa seruan ini diarahkan kepada selain Nabi Muhammad Saw..

Kedua, [sekutu di ayat ini] ditafsirkan sebagi syirik yang tersembunyi, yaitu berpaling kepada selain Allah. Ketiga, beliau menjelaskan keadaan dengan mengandaikan suatu kejadian, sebagaimana dalam firman Allah, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa," (QS Al-Anbiyā' [21]: 22).

Syubhat Kelima Belas Syubhat ini berdasarkan firman Allah, “Kami akan membacakan (al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki,” (QS Al-A'lā [87]: 6). Pengecualian dalam ayat ini menunjukkan bahwa dalam masalah wahyu boleh saja lupa.

p: 180

Pleidoi:

Lupa mengandung arti meninggalkan. Allah berfirman, “Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini...” (QS Al-A'rāf[7]: 51).

“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya,” (QS Thāhā [20]:126). Oleh karena itu, firman Allah, “Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa” artinya janganlah engkau meninggalkan al-Qur'an sedikitpun, kecuali Allah berkehendak, yaitu [maksudnya) yang dianjurkan (mandūb) atau yang dihapuskan (mansūkh).

Syubhat Keenam Belas Syubhat ini berdasarkan firman Allah, “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu.

Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu,”(QS Yūnus [10]: 94). Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. meragukan apa yang diwahyukan kepadanya. Kalau tidak demikian, apa manfaat perintah-Nya untuk bertanya? Pleidoi:

Proposisi bersyarat hanya memberikan manfaat pada teraturnya jawaban syaratnya, sedangkan jika

p: 181

syarat didapatkan dari awal, maka tidak ada lagi manfaat proposisi ini. Adapun perintah bertanya kepada Yahudi dan Nasrani berdasarkan dua aspek:

Pertama, sifat Nabi Muhammad Saw. dikemukakan dalam kitab mereka dan disebutkan dalam Taurat dan Injil.

Hal ini tampak jelas bagi mereka walaupun ada sebagian yang menyembunyikannya. Ini merupakan petunjuk jelas atas kejujurannya. Lalu, Allah memerintahkan kepadanya untuk bertanya dan mengenali apa yang telah disaksikan oleh kitab-kitab samawi mengenai sifat dan cirinya. Untuk menjadi pembantu paling kuat dalam menghilangkan syubhat dan menguatkan ilmu.

Kedua, Allah memerintahkan nabi untuk kembali kepada mereka dalam tata cara menetapkan kenabian semua nabi sehingga sirna bisikan keraguan mengenai dirinya dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi karena ia diperintahkan untuk mendatangkan mukjizat sebagaimana yang dibawa oleh para nabi sebelumnya.

Jawaban lain terkait dengan asal perkataan ini, yaitu walaupun seruan (dalam ayat] ini diarahkan kepada Nabi Muhammad Saw., tetapi boleh juga maksudnya bukan beliau.

Syubhat Ketujuh Belas Syubhat ini berdasarkan firman Allah, “Dan sesungguhnya mereka hampir (kādū) memalingkan kamu,” (QS Al-Isrā? [17]: 73). Para penentang mengatakan bahwa arti kāda (hampir) adalah qāraba (mendekati).

Ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw. sudah mendekati dan cenderung kepada dusta.

p: 182

Pleidoi:

Barangkali maksud “mendekati” dalam ayat di atas adalah menurut tabiat manusia, bukan menurut akal dan agama.

p: 183

p: 184

KESUCIAN SELURUH NABI

Syubhat Pertama Syubhat ini berdasarkan firman Allah, “Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya,” (QS Al- Nahl [16]: 61). Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia itu memiliki sifat zalim. Nabi Muhammad Saw. adalah manusia karena itu bisa ditetapkan bahwa beliau memiliki sifat zalim.

Pleidoi:

Jika Anda berpegang kepada keumuman dalam menetapkan sifat zalim, maka firman Allah, “Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim,” (QS Hūd [11]: 18) menyebabkan laknat berlaku pada seluruh manusia, termasuk para Nabi. Namun, jika Anda berpegang pada kekhususan makna pada kata umum manusia (pada ayat di atas], pendapat saya juga demikian.

Syubhat Kedua Syubhat ini berdasarkan firman Allah, “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak

p: 185

memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu,” (QS Al-Jinn [72]: 26). Para penentang mengatakan bahwa para malaikat itu dikirim karena adanya kekhawatiran tercampurnya wahyu dengan yang bukan wahyu oleh para nabi.

Pleidoi:

Diutusnya para malaikat untuk menyertai para nabi bukan karena khawatir mereka melakukan perubahan dan penggantian, tetapi untuk mencegah setan yang berusaha mencampuradukkan misi yang dijalankan para nabi, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah, “Melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu," (QS Al-Hajj [22]: 52).

Syubhat Ketiga Para penentang berpegang kepada firman, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat- ayat itu,” (QS Al-A'rāf[7]: 175). Mereka mengira bahwa ayat di atas diturunkan kepada seorang nabi yang “dipecat” dari kenabiannya.

Pleidoi:

Ayat di atas tidak menyebutkan bahwa orang yang disebut itu seorang nabi. Oleh karena itu, tidak boleh

p: 186

berpegang kepada khabar ahad dalam masalah ini. Hanya Allah Yang Mengetahui kebenaran.

p: 187

Catatan Pendahuluan.

1 Abu Muhammad bin Hazm, dalam al-Milal wa al-Nihal, berkata bahwa ada yang berpendapat bahwa para rasul a.s. bisa secara sengaja berbuat durhaka kepada Allah dalam segala dosa besar dan kecil, tidak hanya dusta dalam menyampaikan ajaran saja. Pendapat ini dikemukakan oleh kelompok Karamiyah dari golongan Murji'ah, Ibn al-Thayyib al-Baqalani dari kelompok Asy'ariah dan pengikutnya, juga Nasrani serta Yahudi. Saya juga pernah mendengar kelompok Karamiyah mengatakan bahwa para nabi boleh saja dusta dalam menyampaikan ajarannya. Adapun mengenai al-Baqalani, kami pernah melihat dalam kitab sahabatnya, Abu Ja'far al-Samnani seorang hakim Kota Mausul, ia berkata, “Para nabi boleh melakukan dosa besar atau kecil, bukan hanya dalam masalah menyampaikan ajaran saja.” la melanjutkan, “Mereka juga boleh melakukan kekufuran.

2 Imarah meriwayatkan dari bapaknya, Khuzaimah bin Tsabit al- Ausi al-Anshari, salah seorang yang pertama masuk Islam, bahwa Nabi Muhammad Saw., pernah membeli seekor kuda dari Sawa' bin Qais al-Muharibi, tetapi Sawa' mengingkarinya, lantas Khuzaimah bersaksi untuk nabi, kemudian nabi bersabda, “Apa alasan yang membuatmu memberikan kesaksian, padahal saat itu engkau tidak hadir bersama kami?" Khuzaimah menjawab, "Aku membenarkan apa yang engkau bawa, dan aku tahu bahwa engkau tidak pernah mengatakan kecuali yang benar.” Lalu Nabi Muhammad Saw., bersabda, “Siapa yang Khuzaimah memberikan kesaksian kepadanya, maka itu sudah cukup." Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Kesaksian Khuzaimah dianggap sebagai dua kesaksian.

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Bukhari.

Catatan Kesucian Nabi Adam.

3 Imam al-Hafidz Abu Muhammad bin Hazm dalam kitab al-Milal wa al-Nihal berkata, “Penisbatan yang disandarkan kepada Adam dalam memberikan nama Abdul Harits adalah khurafat, palsu dan bohong, yang sengaja dilakukan oleh orang yang tidak memiliki agama dan rasa malu, dan sanadnya sama sekali tidak benar. Adapun ayat tersebut (QS Al-A'rāf [7]: 190-peny.) secara zahir diturunkan kepada orang-orang musyrikin. Anehnya, Ibn Jarir mengaku sepakat dengan riwayat itu, kemudian mencari berbagai alasan yang jauh dan lemah.

Semoga Allah mengampuninya dan para pengikutnya atas khurafat ini.

p: 188

Catatan Kesucian Nabi Nuh.

4 Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah oleh mereka karena Nuh menakwilkan janji Allah yang akan menyelamatkan dirinya dan keluarganya sesuai zahir kekerabatan, ia mengira bahwa anaknya itu bagian dari keluarganya. Perbuatan ini kalau dilakukan oleh seseorang, tentunya akan mendapatkan pahala. Sementara, Nuh tidak meminta menyelamatkan orang yang diyakini bahwa anak itu bukan bagian dari keluarganya sehingga dari keterangan ini keluar larangan agar ia tidak termasuk orang- orang yang tidak berpengetahuan. Akhirnya, Nuh menyesal dan mencabut permintaannya. Dalam hal ini, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk berbuat maksiat.

5 Al-Kisa'i merupakan salah satu qirā'at (bacaan) al-Qur'an dari tujuh macam qirā'at yang diakui. Penamaan al-Kisa'i sendiri merujuk pada seorang tokoh ahli qirā'at al-Qur'an kenamaan keturunan Persia yang tinggal di Irak, Ali bin Hamzah bin Abdullah bin Bahman bin Fairuz al-Asadi. Al-Kisa'i adalah julukan yang diberikan kepada ahli qirā'at ini lantaran ia pernah berihram hanya dengan satu kain. (Peny).

6 Yang disifati oleh kata ghayr ialah mengerjakan pekerjaan yang tidak baik. Syarif al-Radhi mengatakan bahwa berdasarkan bacaan ini, maka tidak ada kesamaran mengenai kembalinya makna perkataan kepada anak, bukan kepada permintaan Nuh. Syarif al-Radhi memperkuat bacaan ini dengan memaparkan bukti-bukti dari perkataan orang- orang Arab.

7 Kami tidak mengenal lafal yang dikemukakan oleh penulis ini.

Adapun lafal yang terkenal adalah “Umirtu an ahkama bi al-zhāhir waLlahu yatawalla al-sarā'ir" (Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan zahir, sementara Allah menguasai yang tersembunyi). Ungkapan ini dikemukakan oleh al-Ajluni dalam kitab Kasyf al-Khufā'. Dalam kitab al-La'āli disebutkan bahwa ia tidak konsisten dengan lafal ini. Barangkali ungkapan ini diriwayatkan secara makna dari hadis-hadis sahih yang disebutkan dalam hal penetapan emas murni. Al-Ajluni mengatakan dalam al-Maqāshid, "Ungkapan ini popular dikalangan ahli ushul fiqih dan fuqaha, bahkan dalam Syarh Muslim, karya al-Nawawi disebutkan, “Aku tidak diperintahkan untuk menusuk hati dan merobek perut manusia".

Artinya, Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum sesuai dengan zahir, sementara Allah-lah yang menguasai hal tersembunyi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.. Al-Ajluni mengatakan bahwa hadis ini tidak ada dalam kitab-kitab hadis yang terkenal ataupun kumpulan-kumpulan hadis lainnya. Al-Hafidz al-Iraqi dan yang lainnya memastikan bahwa hadis ini tidak ada sumbernya. Al- Qari mengatakan bahwa hadis ini juga diingkari oleh al-Hafidz Ibn al-Mulqan dalam takhrij hadis al-Baidhawi. Al-Zarkasyi mengatakan bahwa lafal seperti ungkapan di atas tidak diketahui asalnya. Secara

p: 189

panjang lebar al-Ajluni membicarakan tentang hadis ini. Silahkan baca bukunya.

Catatan Kesucian Nabi Ibrahim.

8 Abu Muhammad bin Hazm berkata, berkenaan dengan ucapan "inilah Tuhanku" yang dilontarkan Ibrahim saat melihat matahari dan bulan, ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa ucapan itu dikatakan untuk memastikan awal pertama kali keluar dari gua, pendapat ini adalah khurafat, palsu, dusta, dan emosional. Suatu kemustahilan seseorang yang sama sekali belum pernah melihat matahari, bulan, dan bintang, bisa mencapai kemampuan membedakan dan menanggung beban kewajiban agama. Allah menganggap dusta sangkaan ini sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya,”(QS Al-Anbiya' [21]: 51). Pendapat yang benar mengatakan bahwa Ibrahim mengatakan ucapan tersebut untuk mencela kaumnya, sebagaimana yang diucapkannya saat mengatakan bahwa inilah berhala yang besar-sampai kepada ucapannya: alasan pendapat ini, Allah tidak mencela apa yang diucapkan Ibrahim, bahkan membenarkannya sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat," (QS Al-An'am [6]: 83).

Benar sekali bahwa ini berbeda dengan yang terjadi pada Adam dan yang lainnya, bahkan ini sesuai dengan tujuan Allah.

9 Penggunaan kata “sesuatu" di sini sangat asing dan buruk. Sejatinya ucapan Ibrahim yang sekiranya menyatakan “Aku hadapkan wajahku pada Allah” dan malah menggunakan ungkapan ini mengahadap pada sesuatu (al-syay)], dalam pembahasan tidak memiliki nilai dalam menetapkan suatu akidah dan tidak harus bagi kita dalam masalah ini] mensucikan Ibrahim. Betapa kajian yang dibahas ini menyeret kepada kerusakan berpikir dan menjauhkan diri dari petunjuk orang mukmin yang paling benar, yaitu Rasulullah Saw., sahabatnya, dan para tabiin.

10 Imam Abu Muhammad bin Hazm: ini adalah kecaman dan celaan kepada mereka, sebagaimana firman Allah [pada penghuni neraka), “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia,”(QS Al-Dukhān [44]: 49). Padahal, sebenarnya ini adalah kehinaan, kenistaan, dan disiksa di neraka. Kedua perkataan di atas perkasa dan mulia) adalah celaan. Mereka menyangka bahwa berhala-berhala melakukan kebaikan dan kejahatan, sedangkan orang yang jiwanya disiksa di dunia menyangka bahwa ia orang mulia dan perkasa.

Ibrahim tidak mengatakan demikian karena ia sedang diinterogasi karena yang melakukannya adalah berhala yang besar. [Dengan demikian, Ibrahim tidak berdusta] Dusta adalah secara sengaja mengabarkan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan.

p: 190

11 Secara jelas perkataan ini dianggap hadis. Namun, saya sudah mencari dan menanyakan tentang hadis ini, tetapi tidak ditemukan; baik dalam hadis-hadis lemah maupun palsu. Tampaknya ungkapan ini bukan hadis dan sejatinya perkataan ini tidak memperlihatkan perkataan kenabian.

12 Buku-buku bahasa dan tafsir sudah diteliti, termasuk tafsir al- Fakhrurrazi, tetapi saya tidak menemukan makna istigfar seperti ini.

Makna istigfar hanya seputar penyembunyian, pengampunan, dan pemberiaan maaf. Khususnya dalam ayat ini.

13 Yakni, mereka berpendapat bahwa kufur juga tidak diperbolehkan sebelum kenabian.

Catatan Kesucian Nabi Musa dan Khidir.

14 Lafal ini kurang dikenal. Adapun lafal yang lebih dikenal adalah “Aku diperintahkan untuk menetapkan hukum berdasarkan tampilan luar." Al-Suyuthi mengatakan dalam kitab al-Lālī, “Ungkapan di atas tidak menggunakan lafal seperti ini. Barangkali ungkapan di atas diriwayatkan secara makna dari hadis sahih.” Al-Sakhawi mengatakan dalam kitab al-Maqāshid al-Hasanah, “Ungkapan di atas banyak digunakan di kalangan ulama ushul fiqih dan fuqaha.

Bahkan, ungkapan ini ada dalam Syarh Muslim karya al-Nawawi dalam ucapannya, “Aku tidak diperintahkan untuk menusuk hati manusia dan membelah perut mereka.” Artinya, sesungguhnya aku diperintahkan untuk memutuskan hukum berdasarkan tampilan zahir, sementara Allah yang menguasai urusan yang tersembunyi, sebagaimana disebutkan dalam hadis. Sayangnya, ungkapan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis terkenal. Al-Iraqi dan al-Mizzi menetapkan bahwa ungkapan ini tidak ada asal-usulnya.

15 Sangat aneh kalau penulis tidak tahu bahwa semua peristiwa ini berdasarkan wahyu dari Allah, sebagaimana dipaparkan dalam nash yang jelas, “Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri," (QS Al-Kahf [18]: 82). Dan setelah ini ada penjelasan bahwa Khidir itu seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah. Peristiwa antara keduanya terjadi dalam bentuk semacam ini karena sebagai sebuah pelajaran bagi Musa untuk belajar berhati-hati dan teliti.

Sebab terjadinya peristiwa ini, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan kitab lainnya, lantaran suatu hari Musa berpidato di hadapan Bani israel. Lalu ada yang bertanya, "Siapakah orang yang paling tahu?” Musa menjawab, “Aku.” Ia tidak menyandarkan pengetahuan kepada Allah sehingga dia pun dicela. Kemudian, Allah memerintahkannya untuk menemui hamba-Nya yang bernama Khidir.

p: 191

Catatan Kesucian Nabi Dawud.

16 Dakwaan batil ini ditolak oleh para ahli hadis. Tidak satu pun penulis kitab hadis yang menyebutkan riwayat hadis ini. Oleh karena itu, tuduhan keji yang dilemparkan kepada ahli hadis bukanlah keadilan ilmiah. Tuduhan seperti ini hanya bersumber dari hati yang penuh dengan kedengkian. Ini adalah kisah Israiliyat yang banyak dituturkan oleh para mufasir. Al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya menuturkan bahwa banyak mufasir yang menyebutkan kisah-kisah Israiliyat. Padahal tidak ada satu pun hadis yang menetapkannya. Ada satu hadis yang dikemukakan oleh Ibn Abi Hatim, tetapi sanadnya tidak sahih karena riwayatnya berasal dari Yazid al-Riqasyi dari Anas. Meskipun Yazid termasuk orang saleh, tetapi para imam mengatakan bahwa ia lemah dalam masalah hadis. Wahai penulis, perhatikan perkataan ahli ilmu yang tidak serampangan dalam berbicara dan tidak mendahulukan akal dan hawa nafsu terhadap ilmu, dengan dalih kabar ahād yang menunjukkan zhann dan dakwaan-dakwaan keji seperti ini. Barangkali, kata yang dimaksud oleh penulis adalah al-Muhdatsun-dengan harakat damah pada huruf 'mim, harakat sukun pada huruf 'ha', dan harakat fathah pada huruf 'dal'. Imam Abu Muhammad bin Hazm mengatakan, "Perkataan ini benar dan sahih, tidak menunjukkan sesuatu yang dikemukakan oleh para pencibir, pendusta, dan orang-orang yang berpegang kepada khurafat ciptaan orang Yahudi. Lawan di sini adalah satu kaum Bani Adam yang berselisih mengenai kawanan kambing. Sesuai nash ayat, salah satunya berbuat zalim kepada yang lainnya. Orang yang mengatakan bahwa mereka itu para malaikat yang mengajukan masalah wanita, maka ia telah berdusta kepada Allah. Ia mengatakan apa yang tidak diucapkan, menambah ayat al-Qur'an, berdusta kepada Allah, menetapkan kepada dirinya yang buruk bahwa ia mendustakan malaikat karena Allah berfirman, “Dan adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara." (QS.

Shād [38]: 21). Orang tersebut mengatakan para malaikat tersebut bukan orang-orang yang berselisih, tidak menganiaya satu sama lain dan tidak ada seorang pun dari mereka yang memiliki 99 kambing, juga satu kambing. Juga tidak mengatakan kepadanya, "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku.” Mereka kagum dengan tindakan ahli batil.

Kita berlindung kepada Allah dari kehinaan. Semua itu tanpa dalil dan hanya dakwaan belaka.

Catatan Kesucian Nabi Sulaeman.

17 “Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaeman. Dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)" (QS Shād [38]: 30).

18 Bahkan, firman-Nya “Sebaik-baik hamba" merupakan dalil yang paling tepat untuk menunjukkan bahwa sangat tidak mungkin Nabi

p: 192

Sulaeman sibuk dan mencintai dunia ketimbang zikir dan taat kepada Allah.

19Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dengan lafal berbeda.

Catatan Kesucian Nabi Yunus.

20 Dalam semua ayat yang disebutkan dalam paragraf ini, kata yang digunakan al-Qur'an untuk menunjukkan kata sempit adalah qadara (alā). (-peny.) Catatan Kesucian Nabi Luth.

21 Abu al-Ash bin al-Rabi', keponakan Khadijah, ia ditawan bersama orang musyrik lainnya pada perang Badar. Kaum Muslim memohon kepadanya agar ia membiarkan Zainab hijrah ke Madinah, ia pun melaksanakannya. Abu al-Ash masuk Islam setahun setelah Zainab hijrah. Lalu, Nabi mengembalikan Zainab kepadanya sebagaimana dalam pernikahan pertama. Zainab dikawini sebelum Nabi diangkat menjadi nabi.

Catatan Kesucian Nabi Muhammad.

22 Al-Hafidz Ibn Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Banyak para ahli tafsir yang menyebutkan kisah Gharāniq dan kepulangan kaum Muslim dari Habasyah karena mengira bahwa orang-orang musyrik Quraisy sudah masuk Islam. Namun, semua riwayat ini mursalah Thadis yang di akhir sanadnya terputus dan tidak diriwayatkan dari jalan yang benar.” Al-Qasthalani dalam Syarh al-Bukhārī, mengatakan, “Kisah ini dianggap cacat dan sanadnya tidak ada dari para imam sehingga Ibn Ishaq-ketika ditanya mengenai masalah ini-mengatakan bahwa kisah ini pemalsuan dari kaum Zindik.” Al-Qadhi Iyadh mengatakan bahwa hadis ini tidak pernah ditakhrīj ſpenelusuran hadis sampai pada sumber aslinya) oleh seorang perawi sahih pun dan tidak ada yang meriwayatkannya dengan sanad menyambung. Kisah ini disukai oleh para mufasir dan sejarawan yang menyukai hal-hal aneh, baik yang benar atau salah yang menyimpang dari al-Qur'an. Dikutip dari Abu Bakar bin al-Arabi, Imam Maliki berkata, "Semua kisah ini tidak ada sumbernya.” Al-Qadhi mengatakan, "Sesungguhnya semua riwayat dalam kisah ini adalah palsu. Sementara riwayat yang sahih menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. membaca surah al-Najm di Mekkah, lalu kaum Muslim, musyrik, jin, dan manusia sujud bersama beliau". Lalu Imam Maliki berkata, “Hujjah dan umat sepakat atas kemaksuman dan kebersihan Nabi Muhammad Saw.

p: 193

dari kehinaan seperti ini. Adapun [kisah tentang] keinginannya agar turun pujian kepada Tuhan selain Allah adalah kekufuran.

Setan menguasainya dan membuat Nabi samar terhadap al-Qur'an sehingga ia memasukan sesuatu yang bukan dari al-Qur'an sehingga Nabi meyakini bahwa dalam al-Qur'an ada sesuatu yang bukan darinya sampai Jibril memahaminya. Tindakan ini tidak boleh ada dalam diri Nabi Muhammad Saw.. Nabi mengatakan ungkapan tersebut dari dirinya secara sengaja, ini adalah kufur atau lupa.

Padahal beliau dijaga dari kesengajaan dan kelalaian. Kami sudah menetapkan berdasarkan bukti dan ijma' bahwa Nabi Muhammad Saw. terjaga dari melakukan kekufuran, baik dengan lidahnya atau hatinya, sengaja ataupun lupa atau timbul kesamaran dalam dirinya antara ayat-ayat yang disampaikan malaikat dengan perkataan yang diucapkan setan atau setan memiliki jalan untuk memengaruhinya atau berdusta kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diturunkan kepadanya, baik sengaja ataupun lupa.

23 Ucapan ini disampaikan saat meratapi kematian Utsman bin Affan yang terbunuh karena dizalimi.

24 Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi dalam Ahkām al-Qur'ān (juz 2, hlm.

168), mengatakan, “Dalam buku kami sebelumnya sudah disebutkan tentang kemaksuman para nabi dari dosa. Kami juga telah meneliti pendapat-pendapat mengenai kemaksuman dan kami telah berjanji kepada kalian dengan janji yang tidak mungkin ada penolakan.

Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menyebutkan atau menambah sesuatu tentang para nabi kecuali sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Allah. Berita dan hadis tentang mereka banyak diriwayatkan dengan berbagai tambahan yang dilakukan oleh dua orang, yaitu orang yang tidak mengetahui kemampuan para nabi dan pembuat bid'ah yang tidak memiliki pandangan mengenai kebaikan dan wibawa para nabi. Orang tersebut mencampakan hak-hak di bawah perkataan mutlak dan tidak memperhatikan dalil-dalil dan larangan, sampai mengatakan bahwa semua sanad riwayat tersebut gugur. Riwayat yang sah hanya berasal dari Aisyah yang mengatakan, “Seandainya Rasulullah Saw. pernah menyembunyikan wahyu, pasti beliau akan menyembunyikan ayat berikut, "Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya," (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yaitu Islam. “Dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya,” (QS Al-Ahzāb [33]: 37), yaitu kemerdekaan. “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah- lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi," (QS Al-Ahzāb [33]: 37). Saat Rasulullah Saw. menikahi Zainab, orang-

p: 194

orang mengatakan bahwa beliau menikahi istri anaknya. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu," (QS Al-Ahzāb [33]:

40). Zaid diangkat menjadi anak angkat Rasulullah Saw. dan tinggal bersamanya hingga dewasa sehingga namanya disebut Zaid bin Muhammad. Lalu, Allah menurunkan firman-Nya, “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah," (QS Al-Ahzāb [33]: 5) yakni adil di sisi Allah. Al-Qadhi mengatakan bahwa riwayat yang lainnya tidak benar.

25 Pendapat ini jauh dari yang sebenarnya dan pantas untuk ditolak.

Bagaimana mungkin para malaikat memberikan isyarat kepada Latta, Uzza, dan Manat? Orang yang mengucapkan perkataan ini tidak berpikir terlebih dahulu.

26 Lalu keinginan Rasulullah Saw. yang terpendam dalam dirinya diberitakan oleh Allah kepada Rasulullah dan seluruh manusia, supaya lahir dan batin para nabi itu sama. Oleh karena itu, saat penaklukan kota Mekkah, beliau berkata kepada orang-orang Ansar, sementara saat itu, Utsman datang membawa Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah yang memohon maaf kepada beliau. Sebelum peristiwa Fathu Mekkah terjadi, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah pernah menumpahkan darah nabi karena itu ia diperintahkan untuk dibunuh. Namun, ketika melihat Utsman, beliau pun merasa malu untuk menolak permintaan tersebut. Beliau berdiam diri lama sekali dengan ſharapan) ada orang mukmin yang membunuh Abdullah. Namun, tidak ada seorang pun yang melakukanya karena semuanya menunggu perintah beliau.

Lalu, beliau bersabda kepada orang-orang Ansar, “Tidakkah ada di antara kalian yang berusaha membunuhnya." Ubad bin Basyar berkata, “Saya memperhatikan baginda dan menunggu anggukan persetujuan sehingga aku membunuhnya." Lantas beliau bersabda, “Para nabi itu tidak memiliki mata yang berkhianat.” Hanya Allah Yang Mahatahu.

27 Ini menunjukkan bahwa yang dicela dalam masalah tawanan bukan Nabi Muhammad Saw., tetapi orang lain. Kisah ini sudah terkenal karena Allah memerintahkan nabi-Nya agar menyuruh para sahabat bertindak keras dalam membunuh musuh, sebagaimana dalam firman-Nya, “Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap- tiap ujung jari mereka," (QS Al-Anfal [8]: 12). Lalu, Nabi Muhammad Saw. menyampaikan perintah tersebut kepada para sahabatnya.

Namun, mereka lupa perintah tersebut. Pada perang Badar, mereka menawan sekelompok orang musyrik untuk mendapatkan tebusan.

Kemudian, Allah menolak perbuatan mereka dan menjelaskan bahwa tindakan yang seharusnya dilakukan bukan seperti itu.

28 Bukankah Anda pernah mendengar ada yang mengatakan, “Saya heran dengan ungkapan, dharaba zaydun amran' (Zaid memukul Amr). Mereka menyematkan pukulan kepada pelaku. Saya juga heran dengan ungkapan, 'dhuriba yazdun amrun (Zaid dipukul

p: 195

Amr). Mereka menyematkan pukulan kepada objek.” Pengertian ampunan berdasarkan takwil ini ialah penghilangan, pembatalan, dan penghapusan terhadap kekejaman orang-orang musyrik kepada mereka dan dosanya terhadap mereka karena menghalanginya masuk ke Mekkah dan Masjidil Haram. Takwil ini selaras dengan zahir perkataan sehingga ampunan menjadi tujuan dari penaklukan kota Mekkah. Kalau tidak, jika ia ingin ampunan dosanya, bukan karena firman Allah, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus," (QS Al-Fath [48]: 1–2). Makna yang rasional, sebab ampunan terhadap dosa itu tidak ada kaitannya dengan penaklukan dan bukan tujuan dari penaklukan itu sendiri. Hanya Allah Yang Mahatahu.

29 Penjelasan lain tentang hal ini bisa juga dilihat dari teguran Allah pada Nabi Saw. karena dia bersumpah tidak akan meminum madu lagi, padahal madu itu adalah minuman halal. Perbuatan ini beliau lakukan hanya untuk menyenangkan hati istri-istrinya. Pengharaman ini tidak berarti mengubah hukum madu, tetapi Nabi hanya melarang untuk dirinya sendiri saja. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah. Ia berkata, “Rasulullah Saw. itu suka yang manis-manis dan senang madu. Di kala ia kembali pada waktu asar, ia pergi ke rumah istrinya. Waktu itu ia tinggal di tempat Zainab binti Jahasy dan minum madu di sana. Maka, bersepakatlah 'Aisyah dengan Hafsah bahwa siapa saja di antara mereka berdua didatangi Nabi Saw., hendaklah ia berkata kepadanya, 'Saya mencium bau magafir (buah karet yang rasanya manis, tetapi baunya busuk) dari engkau ya Rasulullah. Apakah engkau memakannya?' Nabi menjawab, “Tidak, tetapi saya hanya meminum madu di rumah Zaenab binti Jahasy. Kalau begitu, saya tidak akan mengulangi lagi dan saya telah bersumpah.

Hal ini ditegaskan di depan Hafsah karena kebetulan Hafsah-lah yang didatangi. Maka, Hafsah memberitahukan kepada 'Aisyah kejadian itu. Padahal Nabi Saw. sangat merahasiakannya-peny.

p: 196

INDEKS

durhaka 5, 6, 17, 20, 24, 26, 64,

106, 148, 163, 166, 188

esensi 18,47

Η

Abdul Harits 188

Abu al-Ash bin al-Rabi' 193

Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar

al-Nadzam 4

Abu Muhammad bin Hazm

188, 190, 192

Adam 10, 17, 18, 19, 20, 21, 22,

23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,

30, 31, 55, 102, 143, 178,

188, 190, 192

al-Ajluni 189

al-akhyār 9

al-Baqarah 6, 8, 10, 13, 14, 18,

24, 41, 56, 57, 58, 59, 61,

62, 63, 64, 68, 105, 157

Al-Hafidz al-Iraqi 189

Al-Hafidz Ibn Katsir 192, 193

al-Hasan 36

Al-Hasyawiyah 3, 131

Al-Kisa'i 189

al-La'āli 189

al-Mazyi 189

al-Milal wa al-Nihal 188

al-mushthafayn 9

Ayub 95, 96

hakikat 25, 26, 33, 34, 36, 37,

44,90

hamma 80, 81

Harits al-A'war 119

Hawa 27, 28, 29, 30, 31

hawa nafsu 41, 192

hayūlā 47

hujjah 48, 58, 86, 105, 124, 177,

188, 190

fisik qua fisik 47

Iblis 11, 27, 30, 31, 78, 80

Ibn Abi Hatim 192

Ibn Juraij 36

Ibn Qutaibah 128

Ibrahim 4, 9, 10, 11, 13, 39, 40,

41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,

48, 49, 50, 51, 52, 53, 54,

55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,

62, 63, 64, 65, 66, 67, 68,

69, 70, 71, 77, 118, 160,

balig 39, 40

Bani Israil 106, 107, 191

bermuka masam xiv, 173

bersifat baru 45, 47, 48, 49

p: 197

190

ijma' 6, 8, 12, 65, 68, 82, 83,

173, 194

Imam Abu Muhammad bin

Hazm 190, 192

Isa 84, 151, 152

jahiliah 164, 165

142, 189

malaikat 10, 13, 15, 16, 23, 35,

47, 69, 70, 86, 87, 121,

123, 146, 149, 155, 162,

186, 192, 194, 195

materi 40, 44, 47, 63

Mu'tazilah 3, 87

Muhammad 1, 6, 7, 14, 15, 24,

36, 63, 64, 86, 133, 135,

141, 142, 146, 153, 154,

155, 156, 157, 158, 159,

160, 161, 162, 163, 164,

166, 167, 169, 172, 173,

174, 176, 177, 180, 181,

182, 185, 188, 189, 190,

192, 193, 194, 195

Musa 10, 63, 85, 98, 101, 102,

103, 104, 105, 106, 107,

109, 111, 112, 138, 190,

191

K

kadim 47

Kasyf al-Khufā' 189

khalifah 26, 116, 117

Khawarij 2, 68

khilaf 101, 103

Khuzaimah bin Tsabit al-Ausi

al-Anshari 188

N

Luth 70, 71, 145, 146, 193

M

Namrudz 56, 57

nash 17, 37, 65, 82, 169, 191,

192

Nuh 10, 33, 34, 35, 36, 37, 54,

188, 189

objek fisik 45, 47, 48, 49

Mahakuasa 1, 6, 7, 14, 15, 24,

36, 63, 64, 86, 133, 135,

141, 142, 146, 153, 154,

155, 156, 157, 158, 159,

160, 161, 162, 163, 164,

166, 167, 169, 172, 173,

174, 176, 177, 180, 181,

182, 185, 188, 189, 190,

192, 193, 194, 195

Mahatahu 103, 195, 196

maksiat XXI, 7, 8, 9, 11, 13,

17, 20, 21, 34, 64, 66, 76,

77, 81, 83, 87, 89, 90, 98,

penjara 79, 88, 89, 90

potensi 47

Qadhi Abu Thahir al-Thusi 78

Quraisy 28, 154, 155, 162, 176,

p: 198

193

Raja Auriya xiv, 113, 123

riwayat Ahad 167

Ya'qub 9, 10, 11, 73, 74, 75, 76,

86, 87, 92, 118, 121

Yazid 192

Yunus 141, 142, 156, 181, 193

Yusuf vi, 11, 73, 74, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 82, 83, 84, 85,

86, 87, 88, 89, 90, 91, 92,

93, 94, 121

S

Sa'id bin al-Musayyab 119

salik 137

Sawa' bin Qais al-Muharibi 188

sesat XVIII, 17, 65, 74, 103

Syarh al-Bukhārī 193

Syarh Muslim 189, 191

Syi'ah 4

U

Zaid 162, 164, 165, 166, 167,

194, 195

Zainab 146, 162, 163, 164, 165,

166, 167, 193, 194, 196

Zakariya 147, 149

zalim 8, 10, 14, 18, 19, 25, 26,

78, 94, 95, 104, 118, 120,

121, 124, 141, 177, 185,

192

Ubaid bin Umair 36

'Ulul Azmi 114

Umar bin Abdul Aziz 119

p: 199

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109