Antara Filsafat and Penafsiran

BOOK ID

سرشناسه:ارشادی نیا، محمدرضا، ‫1342 -

IrsyadiNia, Muhammad Reza

عنوان قراردادی:تاثیر مبانی فلسفی در تفسیر متون دینی از دیدگاه امام خمینی رحمة الله . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور:Antara Filsafat and Penafsiran Teks-Teks Agama Pengaruh Dan Relasinya Dalam Pemikiran Imam Khomeini[Book] ‫ / Muhammad Reza Irsyadi Nia ‫ ; penterjemah Iwan Setiawan.

مشخصات نشر: ‫ Qum ‫ : Al-Mustafa International Translation and Publication Center ‫ , 2014 ‫ = 1393.

مشخصات ظاهری: ‫153ص. ‫؛ 5/14×5/21 س م.

فروست: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/272/179. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 18.

شابک: ‫90000ریال ‫ 978-964-195-268-8 :

وضعیت فهرست نویسی:فاپا

یادداشت: اندونزیایی.

موضوع:خمینی، روح الله، رهبر انقلاب و بنیانگذار جمهوری اسلامی ایران ، ‫1279 - 1368 . -- نقد و تفسیر

موضوع:کلام جدید

موضوع:عرفان

موضوع: ‫شناخت (فلسفه اسلامی)

شناسه افزوده:ستیاوان، ایوان، مترجم

شناسه افزوده:Setiawan, Iwan

رده بندی کنگره: ‫ DSR1573/‮الف 4 ‫ ت2049519 1393

رده بندی دیویی: ‫ 955/0842092

شماره کتابشناسی ملی:3649504

P: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

P: 2

Antara Filsafat and Penafsiran

Teks-Teks Agama Pengaruh Dan Relasinya

Dalam Pemikiran Imam Khomeini

Dr. Muhammad Reza I

li Nia

penerjemah:

Iwan Setiawan

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

P: 3

Antara Filsafat and Penafsiran Teks-Teks Agama Pengaruh Dan Relasinya Dalam

Pemikiran Imam Khomeini

penulis: Dr. Muhammad Reza Irsyadi Nia

penerjemah: Iwan Setiawan

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-268-8

تاثیر مبانی فلسفی در تفسیر متون دینی از دیدگاه امام خمینی ال

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی ال

تیراژ: 300

قیمت: 90000 ریال

مؤلف: محمدرضا ارشادی نیا

مترجم: ایوان ستیاوان

چاپ اول: 1393 ش 2014٫م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

P: 4

Pedoman Transliterasi Arab

Picture

P: 5

Pedoman Transliterasi Persia

Picture

P: 6

Daftar Isi

Pedoman Transliterasi Arab -- vii

Pedoman Transliterasi Persia -- viii

Pengantar Penulis -- Xi

BAB I

METODOLOGI -- 1

Agama: Sarana Menuju Puncak Pengetahuan -- 3

Relevansi Hikmah, Filsafat dengan Agama -- 5

Skripturalisme -- 8

Hubungan Lahir dan Batin -- 11

Tingkatan dan Tahapan Pengetahuan -- 14

Kedudukan Filsafat: Falsafah Luhur (Falsafah 'āli), Bukan

Falsafah Awam -- 21

Kedudukan Al-Quran -- 27

Penghalang Ilmu -- 45

Catatan -- 56

BAB II

PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT DAN PANDANGAN DUNIA -- 59

Teologi: Mengenal Tuhan -- 62

Tauhid Sifat -- 64

Tauhid Perbuatan-- 67

Antropologi -- 72

Insan Kamil -- 72

Garis Perjalanan Penyempurnaan Manusia Biasa -- 79

Insan Kamil sebagai Perantara bagi Kesempurnaan Manusia Lainnya -- 81

Tingkatan Nafs dan Maqam Manusia -- 83

Awal dan Akhir Kesempurnaan -- 85

P: 7

Kosmologi -- 86

Catatan --91

BAB III

PRINSIP-PRINSIP FILOSOFIS DAN

PENAFSIRAN TEKS -- 93

Āyat (Tanda)-- 95

Ism (Nama) -- 100

Amr Bai na Amrain (Posisi di antara Dua posisi)-- 102

Tafwidh -- 104

Jabr (Determinisme) -- 107

Tahlil -- 109

Tasbih -- 110

Bahā -- 112

Jamál (Keindahan) dan Jalāl (Keagungan)-- 114

Khair (Kebaikan) dan Syar (Keburukan) -- 116

Rahmah (Rahmat) -- 119

Su’āl (Permohonan) --121

Syarāf (Kemuliaan) -- 123

'Azīz -- 124

'Ilm (Ilmu) -- 127

Kesatuan ("Ainiyyah) Ilmu dengan Dzat -- 128

Pengetahuan Tuhan terhadap yang Selain-Nya -- 130

Qadim (Tidak didahului Ketiadaan)-- 134

Kalimah (Kata) -- 136

Mālik (Penguasa) -- 139

Masyi'ah (Kehendak) -- 140

Nūr (Cahaya) -- 142

Catatan -- 145

Daftar Pustaka -- 149

Indeks -- 151

Buku-Buku Sadra Press yang Telah Terbit

P: 8

Pengantar Penulis

rahasia keabadian ajaran Al-Quran terletak pada kekuatan prinsip-prinsip rasionalnya. Al-Quran memiliki struktur epistemologi yang tipikal. Keserasian antara muatan Al-Quran dengan prinsip-prinsip rasional yang kokoh menyebabkan ajaran-ajarannya selalu hidup, dinamis, dan tetap terjaga sepanjang sejarah. Para ilmuwan dan filsuf Islam selalu mengedepankan prinsip-prinsip rasional dalam melakukan studi terhadap ajaran-ajaran agama. Metode ini lebih argumentatif dan sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran berkali-kali mengajak manusia untuk menggunakan nalar rasionalnya.

Hal di atas sangat jelas, karena akal merupakan potensi yang sangat penting dalam penalaran deduksi dan induksi. Di sisi lain, berpikir dan rasionalitas memiliki metode tersendiri yang akan menghasilkan prinsip-prinsip logis dan dapat mematahkan argumen-argumen palsu kaum Sofis. Prinsip- prinsip yang rasional ini dapat membantu para ilmuwan lain untuk mendesain sebuah metode yang mapan. Prinsip- prinsip filosofis merupakan hasil dari penalaran dan refleksi yang sangat intens dan mendalam. Dalam Hikmah Ilahiyah, kumpulan kaidah-kaidah ini disebut hukum umum “(umūr 'ammah)" yang memiliki nilai signifikan dalam perumusan teori-teori filsafat.

Dengan demikian, tafsir Al-Quran yang ditulis oleh para filsuf Islam memiliki makna dan cita rasa yang lain, apalagi ketika refleksi filosofis bisa berpadu dengan cita rasa gnostik “dzauq

P: 9

‘irfān". Bila kita mengkaji seluruh kitab tafsir, akan tampak bahwa cara berpikir yang umum dan dangkal berbeda dengan warisan pemikiran filosofis dan cita rasa gnostik. Di kalangan intelektual dan tokoh agama yang mencoba menafsirkan teks- teks agama (Al-Quran dan hadits), Imam Khomeini memiliki tempat yang istimewa. Seorang pelajar akan merasakan kelezatan cita rasa (dzauq) yang berpadu dengan penjelasan filosofis yang kental dari tulisan Imam Khomeini, apalagi ketika pembahasan telah menyentuh aspek yang lebih mendalam.

Imam Khomeini selalu mendukung para filsuf sekaligus Arif yang telah berjasa menghilangkan debu-debu dari filsafat dan ‘irfān. Hal itu karena pentingnya filsafat dan 'irfān yang jelas sekali dinyatakan ihwal kelebihan keduanya dalam banyak teks agama autentik dan ujaran-ujaran para pemimpin agama. Atas dasar ini, berkali-kali beliau menekankan pentingnya kajian filsafat dan 'irfān dengan mengemukakan beberapa argumentasi. Pembelaan beliau terhadap pemikiran Filsafat dan Teosofi Transenden (Hikmah Muta'āliyah) serta perhatiannya terutama pada filsafat agung, dalam aliran ini, lahir dari kebutuhan yang besar terhadap prinsip-prinsip dan metode-metode filsafat dalam menafsirkan teks agama.

Elemen-elemen pemikiran filosofis dapat diidentifikasi dengan jelas dalam tafsir Imam Khomeini. Hubungan interaktif antara ajaran agama dan filsafat dalam masalah ketuhanan tampak terjalin sangat harmonis dapat menjawab pertanyaan- pertanyaan, seperti:

Apakah dengan berfilsafat kita bisa mencapai ajaran ini? Apakah ajaran ini yang mendorong manusia untuk berfilsafat?

P: 10

Adakah tafsir yang sebanding dengan Syarh Ushūl Al-Kāfī karya Mulla Sadra atau Syarh Al-Asma' Al-Husnā karya Hakim Sabzawari? Adakah karya yang bisa menandingi Syarh Duſā' Al-Sahr dan Al-Arbaʻūna Hadītsan karya Imam Khomeini? Dengan mengkaji karya brilian Khomeini ini, kita akan menyaksikan kekuatan pemikiran filsafat dan dzauq ‘irfāni di dalamnya.

Bahasan dalam tulisan ini dibagi menjadi tiga bab, dan terbukti tanpa analisis filsafat dan dzauq ‘irfāni banyak bagian dari ajaran agama yang akan terabaikan dan tak bisa dipahami.

Bagian-bagian pokok dalam buku ini adalah sebagai berikut:

Bab 1: Khusus untuk kajian metodologi yang digunakan Imam Khomeini.

Bab II: Kajian-kajian tentang ketuhanan, manusia, dan alam semesta yang tidak mungkin dijelaskan secara tepat tanpa pemikiran filsafat dan dzauq 'irfānī.

Bab III: Kajian atas beberapa kata dan istilah dari teks- teks agama. Perlu ditekankan di sini bahwa kata- kata dan istilah-istilah tersebut menunjukkan nilai-nilai rasionalitas dan ‘irfān. Ini sudah cukup untuk membuktikan besarnya kebutuhan pada pemikiran filsafat dan dzauq ‘irfāni dalam memahami dan menafsirkan teks-teks agama.

Dr. Muhammad Reza Irsyadi Nia

P: 11

ВАВ І

METODOLOGI

P: 1

P: 2

Tujuan umum bab ini adalah mengkaji dasar-dasar pemikiran Imam Khomeini. Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan adalah:

1. Apakah dalam menjelaskan klaim-klaimnya, terutama dalam menafsirkan teks-teks agama itu, Imam menggunakan pendekatan rasional ('aqlī) dan tekstual (naqli)? 2. Metode apakah yang digunakan: irfān, filosofis, ataukah teologis? 3. Manakah di antara metode-metode tersebut yang memiliki peran krusial dalam sistem pemikiran Imam Khomeini? 4. Apakah metode yang dipakai beliau adalah salah satu dari metode-metode tadi ataukah seluruhnya? 5. Apakah beliau hanya memilih satu metode tertentu ataukah beliau berusaha melakukan sintesis atas seluruh metode-metode tersebut? 6. Bagaimana struktur dasar pemikiran Imam Khomeini dan pola yang digunakan untuk menjelaskan teks-teks yang membutuhkan penafsiran?

Agama: Sarana Menuju Puncak Pengetahuan

Dalam pandangan Imam Khomeini, tujuan mempelajari agama adalah mengantarkan manusia ke satu titik. Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh selain agama. Tak satu pun dari argumentasi, metode Peripatetik, silogisme filosofis, atau dialektika teologis yang bisa mengantar ke puncak yang tinggi ini. Agama memiliki peranan khusus dalam mengantarkan seseorang ke maqam qalbi, yaitu hati yang mendapat pancaran dari pelita (misykāh) para Nabi dan lentera para Wali. Untuk

P: 3

mencapai maqam ini, tentu harus ditempuh jalan mujāhadah (melawan nafsu). Tanpa hal ini, siapa pun yang mengklaim pemilik ilmu dan makrifat, hanyalah memiliki keduanya dalam bentuk konsep-konsep. Mereka tidak bisa memahami rahasia dan isyarat para Nabi dan para Wali, kecuali pada lapisan luar dan lahirnya saja.

Dengan kata lain, mereka sesungguhnya adalah orang- orang buta yang terjebak dalam kegelapan alam materi. Mereka hanya sebatas mengenal adanya cahaya melalui sifat-sifat dan konsep-konsep belaka. Padahal, cahaya hanya bisa dipahami melalui cahaya. Jika tingkat makrifat tertinggi adalah sampai kepada derajat Ilahiah tertinggi dan harapan para urafa hanya bisa dicapai dengan cara itu, dan jika manifestasi dzāt, sifat, dan asma Ilahi merupakan hakikat cahaya; ia harus meraih hakikat tersebut agar bisa terhubung dan sampai ke tingkatan tersebut. Kapasitas dan potensi ini bisa diperoleh dengan cara membebaskan diri dari alam kegelapan. Tanpa prasyarat ini, tidak mungkin pemahaman hakikat bisa diperoleh melalui argumen Peripatetik, silogisme filosofis, atau argumen teologis.

"Ilmu ini hanya dimiliki secara khusus oleh para penghulu ahl al-qulüb; mereka yang sudah diterangi oleh pelita para Nabi dan lentera para Wali melalui riyādhah (olah spiritual) dan mujāhadah. Orang-orang seperti kita hanya mengetahui ilmu melalui konsep- konsep belaka dan hanya mencapai bayangan rahasia- rahasia para Nabi dan para Wali yang tertulis. Itu karena, kita terperangkap dalam kegelapan alam materi dan hanya melayangkan pandangan yang terbatas pada apa yang telah kita raih .... Atas dasar itu, bagi kita yang memiliki mata yang buta dan lisan yang kelu tidak

P: 4

mungkin menyaksikan cahaya-cahaya ilmu Ilahi dan manifestasi-manifestasi dzāt, sifat, dan asma-Nya."(1) Tidak sepantasnya, kita merasa cukup hanya dengan pengetahuan hushūlī (yang diperoleh melalui proses belajar) dalam upaya mencapai tingkatan ini. Sebaliknya, dibutuhkan “buraq” supaya kita bisa dapat menjalani miʻrāj; mengalami penyingkapan ruhani dan mampu melepaskan diri dari ikatan duniawi; serta menghancurkan semua jenis penghambaan diri, egoisme, dan nafsu syahwat. Maqam dan tingkatan yang tinggi sangat sulit diraih, dan untuk mencapai tingkatan irsāl wa rafdh taʻayyunāt (pembebasan dan penafian entifikasi) dibutuhkan usaha keras dan tidak ada batasnya, kecuali tingkatan syahādah.

“Sebenarnya, penyaksian (syuhūd) terhadap maqam pemutlakan (ithlāq) tidak bisa diraih, kecuali dengan pembebasan diri dari segala ikatan dan belenggu Tahapan irsāl (pembebasan) hanya bisa dicapai dengan menghilangkan batasan-batasan. Oleh karena itu, wahai saudaraku, berusahalah agar Anda bisa mencapai maqam kesyahidan..., dan barang siapa meninggal dalam membela cinta-Nya (kepada Allah), ia seorang syahid."(2)

Relevansi Hikmah, Filsafat dengan Agama

Dalam pandangan Imam Khomeini, nalar filsafat sejalan dengan wahyu. Jadi tidak ada keterpisahan di antara keduanya, dan kalaupun ada istilah keterpisahan atau dualitas, itu hanya bersifat metaforis. Konten wahyu adalah term-term yang dapat digali oleh filsafat. Oleh karena itu, konten wahyu yang mendalam hanya dapat dicerna oleh para filsuf. Selain mereka, yang ada hanya kalangan yang berhenti pada tataran lahiriah

P: 5


1- 1. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212-213.
2- 2. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 174.

saja. Contoh nyata tentang korelasi antara wahyu dan filsafat dalam pemikiran Imam Khomeini bisa dilihat dalam tafsirnya atas Surah Al-Ikhlāsh. Beliau terilhami oleh riwayat yang menjelaskan bahwa terdapat satu surah dalam Al-Quran yang khusus diturunkan bagi para pendalam ilmu di akhir zaman.

Surah (Al-Ikhlas) ini, beliau tafsirkan dalam enam butir filosofis yang ringkasnya adalah Hikmah Ilahi, pada hakikatnya ada untuk membantu pemikiran filosofis Al-Quran.

“Bukan hal mustahil jika surah tauhid (Al-Ikhlāsh) ...

memiliki tafsiran yang mengandung muatan yang sejalan dengan hikmah dan argumen-argumen filosofis .... Kata huwa mengisyaratkan pada Wujud Murni (shirt wujūd) dan Identitas Absolut (huwiyyah muthlaqah).

Argumentasi tersebut didasarkan pada enam butir hikmah agung yang dalam surah ini ditetapkan bagi Al- Haqq Swt. ....(1) Secara ringkas, keenam butir tersebut adalah:

1. Maqam ulūhiyyah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh kesempurnaan dan keesaan dari paduan antara keindahan (jamāl) dan keagungan (jalāl), yang didukung kaidah filsafat yang mengatakan bahwa Wujud Murni dan Identitas Absolut merupakan kesempurnaan murni (sharf wujud wa huwiyyat muthlaq, sharf kamal).

2. Maqam ahadiyyah, yaitu menafikan setiap jenis komposisi (tarkib), baik komposisi akal (tarkib'aqlī) maupun komposisi eksternal (tarkib khariji), dan mengafirmasikan kesederhanaan Wajibul Wujud. Butir ini dikuatkan dengan argumen shirf al-wujūd (wujud murni).

P: 6


1- 3. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 312.

3. Maqam shamadiyyah, mengisyaratkan penafian esensi dan kekurangan imkānī (potensial) dari Dzāt Wājib Swt.; sedangkan seluruh makhluk secara substansial memiliki keterbatasan, esensi, dan kekurangan imkāni. Dengan kata lain, esensi merupakan modus eksistensi (wujūd) yang diabstraksikan (intiza') dari entifikasi (taʻayyun) eksistensi wujud. Sementara itu, pada satu tingkatan eksistensi yang disebut shirf al-wujūd pada level ini, tidak memiliki batasan dan entifikasi.

4. Pernyataan "tidak ada sesuatu yang terpisah dari eksistensi Tuhan" sesuai dengan argumen “keterpisahan bertentangan dengan kemurnian eksistensi". Term keterpisahan hanya berlaku untuk materi pertama (hayūlā) dan bagian-bagian yang memiliki komposisi ukuran. Hal ini tidak tepat untuk eksistensi-eksistensi murni. Atas dasar ini, sebab akibat bukan berarti terpisahnya akibat dari sebab dan mengambil bentuk lain untuk dirinya dengan istilah-istilah manifestasi (tajallī), penampakan (zhuhūr), entifikasi (taʻayyun), serta emanasi (shudūr).

“Dalam masalah ini, baik dengan shudūr (emanasi) maupun rujū' (proses kembali pada-Nya — Peny), tidak ada sesuatu yang berkurang dan bertambah di dalam kausa".

5. Ketakterpisahan Tuhan dari eksistensi lain tidak bertentangan dengan kemurnian wujūd. Justru keterpisahan yang bertentangan dengan keabsolutan identitas Al-Haqq Swt, akan menimbulkan konsekuensi adanya sesuatu yang lebih dahulu ada daripada wujūd murni. Namun, dalam Filsafat Ilahiyah kemustahilan

P: 7

tersebut telah dikaji dalam wujud murni (yang paling awal) dan determinan (mutaʻayyin).

6. Wajibul Wujud tidak memiliki kesetaraan, kesamaan, dan kesejajaran. Hal ini juga bisa dibuktikan dengan argumen bahwa wujud murni tidak mungkin ada secara berulang- ulang (shirf al-wujūd la yatakarar).(1)

Skripturalisme

Dalam pandangan Imam Khomeini, skripturalisme (zhāhiriyyah) merupakan pangkal semua kebodohan dan sumber kehancuran. Berhenti pada batas lahiriah dan tidak melewatinya untuk bisa sampai ke sisi batiniah merupakan pangkal pengingkaran terhadap kenabian dan kepemimpinan (wilāyah). Makhluk yang pertama kali berpegangan pada aspek lahiriah adalah setan. Dengan cara pandang lahiriahnya, setan berusaha membandingkan cahaya api dengan tanah.

Namun, ia hanya sampai pada pemahaman lahiriah tanpa bisa sampai ke dalam pemahaman batiniah tanah sehingga ia tidak menyaksikan cahaya lebih terang yang dimiliki tanah daripada cahaya api. Oleh karena itu, teks-teks Kitab Samawi secara lahiriah bagaikan kulit yang membungkus pokok dan inti, dan tidak dibenarkan hanya mengkajinya. Untuk bisa melewati jebakan lahiriah memang tidak mudah dan dibutuhkan usaha yang keras.

"Wahai orang yang celaka! Hendaklah kamu berusaha keras dan ber-mujāhadah! Bangunlah! Bersihkan hatimu dan keluarlah dari cengkeraman setan! Bangkitlah dan bacalah Kitab Tuhanmu...! Janganlah berhenti hanya pada kulitnya dan pastikan kamu tidak menganggap bahwa Kitab Samawi yang turun dari

P: 8


1- 4. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 312-313.

Tuhan hanya memiliki sesuatu kulit dan bentuk luar.

Berhenti hanya pada bentuk luar dan tinggal dalam aspek lahiriah tanpa melewatinya untuk bisa sampai ke pokok dan batin adalah kecelakaan dan kematian.

Hal demikian merupakan akar segala kebodohan dan pangkal pengingkaran terhadap kenabian dan kepemimpinan. Makhluk pertama yang berpegangan pada aspek lahiriah, sedangkan hatinya buta dari melihat aspek batiniah adalah setan yang terkutuk, yang hanya melihat aspek lahiriah Adam a.s. sehingga ia berbuat salah."(1) Setan hanya melihat aspek-aspek lahiriah dari penciptaan.

Contoh lain skriptualisme adalah sikap pengingkaran terhadap para Nabi. Sebagian manusia menilai para Nabi hanya dari sisi lahiriah. Mereka hanya terpaku dengan aktivitas lahiryah, seperti ketika Nabi pergi ke pasar atau ketika Nabi menyantap makanan dan minuman. Cara pandang lahiriah mengakibatkan penilaian manusia terhadap kedudukan para Nabi hanya sebatas pada perbuatan-perbuatan dan kondisi-kondisi lahiriah yang berujung pada pengingkaran terhadap para Nabi.

“Salah satu kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan oleh penilaian pada aspek lahiriah dan menutup pintu- pintu dari aspek batiniah adalah pengingkaran manusia terhadap para Nabi. Dengan cara pandang seperti ini, para Nabi dianggap seperti manusia biasa yang berjalan di pasar-pasar, makan dan minum, seperti yang difirmankan Tuhan, 'Mereka berkata, “Engkau tidak lain adalah manusia biasa seperti kami dan Tuhan Yang Maha Pemurah tidak mengutus siapa pun. Engkau pasti telah berkata bohong.'"(2) Imam Khomeini ingin mengingatkan cara pandang yang benar, isu tentang penciptaan (takwīnī) dan wahyu (tadwīnī).

Tidak hanya Kitab Tadwīni yang memiliki aspek lahir dan batin,

P: 9


1- 5. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 94-95.
2- 6. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 95.

Kitab Takwini juga yang merupakan sebuah kitab ciptaan dengan segenap makhluk di dalamnya, memiliki aspek lahir dan batin.

“Seperti halnya Kitab Tadwīnī, Ilahi memiliki 7 atau- menurut pendapat lain-70 aspek batin yang mana, selain Tuhan dan para Rāsikhūn. (golongan yang memiliki pengetahuan yang dalam) dalam ilmu, tidak seorang pun mengetahuinya, dan selain orang-orang yang suci dari kotoran-kotoran spiritual, serta dari akhlak yang buruk, tidak ada yang bisa meraihnya..., begitu pula dengan Kitab Takwini (Al-Qur'an) yang [anfusī (jiwa) dan ufuqi (alam)]...."(1) Dalam memahami Kitab Tadwini dan Kitab Takwini, terdapat dua kelompok yang menyimpang dari jalur kebenaran, yaitu eksoterisme (lahiriah) dan esoterisme (bāthiniyyah) Kelompok eksoterisme hanya berpegang pada aspek lahir, aturan-aturan praktis, moralitas, serta ideologi awam. Mereka memahami Al-Quran hanya sebatas menerima yang ada pada makna lahirnya. Sementara itu, kelompok esoterisme meninggalkan aspek lahir dan menyepelekan aturan-aturan lahir. Mereka hanya berpegang teguh dengan makna-makna batin.

“Sebagian ahli batiniah dengan asumsinya mencoba menghindari makna lahir Al-Quran, seruan-seruan lahir, serta dengan mengenakan pakaian iblis yang terlarang dan nafsu ammārah bissū, mereka lari dari makna lahir Al-Quran dan menciptakan khayalan untuk meraih makna batin Al-Quran. Akan tetapi, sesungguhnya jalan yang bisa mengantarkan kepada aspek batin adalah teks-teks lahiriah. Hendaklah penganut lahiriah menyadari bahwa membatasi Al- Quran hanya pada aspek-aspek lahiriah dan merasa

P: 10


1- 7. Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 94.

cukup dengan aturan-aturan praktis, moralitas, dan keyakinan awam tentang masalah tauhid, tentang nama dan sifat Allah merupakan ketidaktahuan akan hak Al- Quran, serta kekurangan dalam memahami syariat Islam. Hal ini adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi, sebab itu sesuatu yang tercela dan tidak berarti; ibarat noda yang tidak akan bisa dibersihkan walaupun dicuci di tujuh lautan-naʻūdzu billāh. Ketahuilah wahai penganut batiniah, bahwa mencapai tujuan yang hakiki tidak bisa terwujud dengan sekedar membersihkan diri. Dengan mengabaikan aspek lahiriah, tidak akan sampai pada sisi batin. Tanpa pakaian lahiriah (syariat), tidak akan ditemukan makna batiniyah."(1)

Hubungan Lahir dan Batin

Cara pandang ilmiah murni sama dengan cara pandang batiniah murni. Cara pandang semacam ini merupakan cara pandang yang tidak bisa diterima dan yang akan membawa manusia ke jurang kehancuran dan menutup jalan untuk sampai kepada hakikat. Walaupun kita mesti melewati tahapan lahir menuju wilayah batin, kita tidak bisa memisahkan hubungan antara lahir dan batin.

Atas dasar ini, kritik yang dilontarkan oleh masing-masing dari kedua pihak terhadap yang lain tidak memiliki legitimasi logis, dan keduanya telah menyimpang dari jalur yang benar.

Alhasil, kritik ahli batin terhadap ahli lahir, bahwa mereka hanya memandang aspek lahir dan menafikan unsur batin bisa dibenarkan. Sementara itu, jika mereka hanya melihat aspek negatif dari yang lahir itu adalah bentuk taswil dan talbis (melihat penampakan sesuatu yang berlawanan dengan realitas sebenarnya).

P: 11


1- 8. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 290– 291.

Ilmu pengetahuan positif adalah ilmu yang berharga.

Ilmu-ilmu tersebut memiliki keabsahan dan nilai-nilai khusus karena hukum-hukum dan syariat Ilahi terkait dengan ilmu- ilmu seperti ini. Sementara itu, yang dimaksud dengan yang telah lalu adalah dalam rangka untuk menjaga urutan.

Seseorang yang memegang tugas teramat penting ini disebut dzū al-'ainain (pemilik dua mata).

“Aspek lahiriah yang ditolak adalah yang hampa dari batiniah; wadah yang terpisah dari isi. Tidak kitab dan tidak juga Al-Quran. Sementara itu, bentuk kata yang mengantarkan pada makna dan kejelasan harfiah yang terhubung dengan rahasia, hendaklah itu yang diikuti ...

dan bukan berupa lahir yang hampa dari batin. Seorang Arif yang sempurna adalah yang menjaga keseimbangan ini: ia adalah pemilik dua mata, pemilik dua magam, dan dua alam; ia selalu merawat aspek lahir dan aspek batin Al-Quran; ia selalu menelaah bentuk kata, makna, tafsir, serta takwil-Nya. Sesungguhnya, lahir tanpa batin dan bentuk tanpa inti, ibarat jasad tanpa ruh atau dunia tanpa akhirat. Demikian pula, pencarian batin tanpa melewati jalan lahir merupakan sesuatu yang mustahil, karena yang lahir (dunia) adalah ladang akhirat."(1) Kitab Takwini dan Kitab Tadwini, keduanya memiliki aspek lahir dan batin. Pada tingkatan penciptaan (takwin) dunia merupakan lahir, sedangkan akhirat merupakan batin.

Pandangan yang benar adalah ketika kedua sisi ini memiliki makna, tujuan, dan ketika keduanya saling berhubungan.

Anggapan adanya keterpisahan antara satu sisi dengan sisi yang lain, dan bahwa keduanya tidak memiliki hubungan sama sekali, merupakan sebuah kesesatan.

Salah satu contoh yang jelas tentang adanya anggapan keterpisahan antara lahir dan batin adalah seperti yang

P: 12


1- 9. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 96-97.

diyakini para penghamba dunia, semua harapan mereka hanya tertumpu pada duniawi dan segala hal yang berkaitan dengannya. Mereka bagaikan orang-orang yang mengejar benda-benda mati. Begitu juga, ketika mereka mengejar akhirat.

Mendapatkan akhirat dengan mengabaikan dunia merupakan khayalan belaka. Namun, mereka yang mengejar dunia demi kehidupannya di akhirat seperti melihat cermin untuk melihat keindahan yang dicintainya.

Kesimpulannya, penafian mutlak terhadap dunia sama saja dengan menolak akhirat. Sebagian pernyataan yang mencela dan menolak dunia, menolak ilmu-ilmu lahir, dan enggan melewati lahiriah Kitab Samawi dari sudut pandang tertentu, bisa dibenarkan. Pernyataan demikian bisa dibenarkan, tetapi tidak bisa menjadi alasan untuk menolaknya secara mutlak.

Sebagai contoh, kadang kita terjebak dengan stuktur kalimat dan terlalu memperhatikan aturan-aturan lahiriah dan formal, padahal tindakan ini bisa mengeluarkan seseorang dari jalur kebenaran. Dunia ka al-an'ām (seperti hewan) dimaksudkan bagi para penganut lahiriah (yang mengingkari batiniah). Para pemilik hati dan makrifat (yang menolak lahiriah), mereka hendaklah waspada terhadap tipuan ini dan mereka hendaklah memperhatikan amalan batin dan zikir-zikir hati, lalu ikut berbaris dengan saf ini.

“Ilmu lahiriah adalah melewati desas-desus.

Darinya tak dihasilkan kualitas dan hal.

Ilmu hakiki hanyalah ilmu pencinta.

Selainnya hanyalah penyamaran iblis terkutuk. (1)

P: 13


1- 10. Diwan Syaikh Bahā'i.

Dalam pandangan Imam Khomeini, berpegang kepada kaidah-kaidah ini supaya bisa keluar dari ilmu-ilmu lahiriah, cukup memberikan hasil, dan menolaknya sama sekali merupakan kekeliruan. Semua pernyataan yang dilontarkan kepada kaum Skripturalisme memiliki keabsahan dan tempat tersendiri. Jika tidak, akan tampak seakan-akan ada kebenaran yang akan terungkap dari kebatilan tersebut.(1)

Tingkatan dan Tahapan Pengetahuan

Dalam pandangan Imam Khomeini, pengetahuan dan metodologinya berada pada satu sistem nilai yang hierarkis, semuanya saling berurutan; dimulai dari Falsafah Maʼrifah (Filsafat Pengetahuan), kemudian Falsafah Alā (Filsafat Luhur), dan akhirnya sair wa sulūk (menempuh jalan spiritual). Makrifat yang didapatkan dari salah satu jalan tersebut, walaupun pada dasarnya masing-masing memiliki nilai tersendiri ketika dibandingkan dengan tahapan di atasnya, memiliki nilai yang lebih rendah. Dalam sistem ini, semakin dekat pengetahuan ke puncak, maka nilai keuniversalannya akan berkurang. Namun, pada tahapan yang lebih rendah, ia memiliki keuniversalan dan rincian yang bisa dicerna oleh umumnya manusia.

Oleh karena itu, walaupun dalam beberapa butir Falsafah Alā dapat ditemukan argumen-argumen yang kuat, tetapi pada tahap sair wa suluk dan pengetahuan intuitif (syuhūdi) tidak bisa lagi diketahui sifatnya dan tidak bisa dicerna oleh yang lain. Kalaupun masyarakat umum mendapatkan taufik dalam penambahan ilmu dan kesadaran, mereka hanya bisa mencapai pemahaman Filsafat Pengetahuan, bukan Filsafat Tinggi, apalagi sampai ke tahapan sair wa sulūk, kasyf, dan

P: 14


1- 11. Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 96.

syuhūd. Dengan demikian, semua tingkatan makrifat hanya akan memiliki nilai pada tahapnya, bukan ketika dibandingkan dengan tahap yang lebih tinggi darinya.

"... ini semua sesuai dengan langkah-langkah argumentatif dalam Filsafat Luhur, bukan dalam Filsafat Pengetahuan. Argumen seperti ini memang ada, demikian juga sebagaimana didukung oleh kasyf para Wali. Para Wali dengan langkah sulūk dari tingkatan-tingkatan sebelumnya, mendapatkan hakikat lewat mediasi syuhūd. Akan tetapi, mereka tidak bisa menjelaskan semua yang disaksikannya kepada masyarakat umum. Al-Quran, selain yang turun sekaligus (nāzil), ada juga yang turun secara bertahap (mutanazzil). Kitab ini sampai ke satu tempat, yang di dalamnya terdapat muatan yang bisa dipahami oleh masyarakat biasa yang berada dalam gelapnya kesesatan, dan Al-Quran juga berbicara kepada mereka...."(1) Kesimpulannya, semua pengetahuan memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Butir inilah yang menyebab masing- masing pada tahapannya memiliki status nilainya tersendiri.

Kandungan Al-Quran memiliki makna lahir dan makna batin.

Teks-teks Al-Quran menjadi dalil ihwal kebenaran klaim tersebut. Misalnya, mengenalkan keberadaan Tuhan dengan keberadaan unta, karena tidak ada jalan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat awam, kecuali lewat cara ini. Karena dangkalnya pemahaman masyarakat umum untuk mencapai tingkat pengetahuan yang tinggi, Al-Quran menjelaskannya lewat binatang unta. “Apakah mereka tidak melihat unta, bagaimana ia diciptakan."'(2) “Al-Quran memiliki tahapan-tahapan; tujuh atau tujuh puluh batin terkandung di dalamnya. Dari aspek batin,

P: 15


1- 12. Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 136.
2- 13. QS Al-Ghāsyiyah: 17.

Al-Quran turun ke tahapan yang memungkinkannya berbicara kepada kita (kalangan awam). Tuhan memperkenalkan dirinya melalui keberadaan unta.

“Apakah mereka tidak melihat unta, bagaimana ia diciptakan.''(1) Butir lain yang bisa menunjukkan keberadaan tingkatan pengetahuan adalah kesulitan yang dihadapi oleh para Nabi dalam menyampaikan risalah. Tidak adanya potensi dan lemahnya pemahaman sasaran dakwah menyebabkan pekerjaan para Nabi bertambah berat. Oleh karena itu, dalam menyampaikan risalah Tuhan, mereka harus berusaha turun ke tahapan yang sangat sederhana sehingga apa yang mereka sampaikan bisa dipahami oleh sasaran dakwah. Hal ini merupakan pekerjaan yang sangat berat sehingga para Nabi menghadapi kesulitan yang melelahkan.

"Lisan para Nabi memiliki kesulitan ... mereka tidak bisa mengatakan semua yang didapatkannya karena tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Dari sisi ini, mereka memberikan pemahaman kepada kita lewat perumpamaan-perumpamaan dan contoh-contoh.(2) Al-Quran memiliki segalanya ... seluruh manusia bisa mengambil manfaat darinya. Akan tetapi, pemanfaatan yang semestinya tidak bisa mereka lakukan.

Pemanfaatan tersebut oleh mereka hanya sesuai dengan, 'Sesungguhnya yang mengetahui Al-Quran adalah orang yang diturunkan Al-Quran itu kepadanya,' dan itu hanya berlaku bagi Nabi Muhammad Saw..

Sementara itu, orang lain tidak bisa memahaminya, kecuali mereka yang dididik oleh beliau. Para Wali termasuk anak-anak didik beliau .... Hendaklah turun sampai ke beberapa tahapan, dari satu batin ke batin yang lain, dari satu tingkat ke tingkat yang lain hingga sampai ke tahapan yang berupa lafaz. Al-Quran bukan sesuatu yang bisa di dengar dan dilihat begitu saja

P: 16


1- 14. QS Al-Ghāsyiyah: 17.
2- 15. Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 136.

(maqūlah samʻī wa basharī), bukan kategori lafaz-lafaz (maqūlah alfāzh), dan tidak juga tergolong ke dalam kategori aksident (maqūlah aʻrādh). Akan tetapi, ia sudah diturunkan beberapa derajat bagi kita yang buta dan tuli. la diturunkan sampai ke tingkatan yang bisa dipahami, bahkan oleh orang-orang buta dan tuli."(1) Tingkatan pengetahuan yang rendah bisa dinilai benar manakala ia tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi merupakan alat yang mengantarkan ke tingkatan yang lebih tinggi. Betapa banyak ilmu yang memiliki kesucian, tetapi karena dijadikan tujuan akhir, ia menjadi penghalang untuk sampai ke tingkatan yang lebih tinggi. Ia bukan lagi sekadar tidak memiliki kebenaran, bahkan berubah menjadi lawan dari kebenaran itu. Ilmu dan pengetahuan seperti ini merupakan tabir dan penghalang untuk sampai ke maksud dan tujuan [yang sebenarnya).

“Ilmu dan berbagai perkara menurut syariat merupakan wahana bagi pengamalan. Pengamalan juga merupakan wahana, yang semuanya ada demi satu tujuan. Ini semua ada semata-mata agar jiwa kita tersingkap dari tabir-tabir kegelapan dan keluar dari kegelapan tersebut sehingga sampai ke tabir-tabir cahaya ilmu yang menurut syariat dan pengetahuan rasional, semuanya merupakan wahana yang bisa mengantarkan ke tujuan. Setiap ilmu yang menghalangi manusia dari memahami maksud kedatangan para Nabi merupakan tabir. Para Nabi datang untuk membawa manusia dari kegelapan dunia ini dan mengantarkan mereka ke sumber cahaya."(2) Sementara itu, meskipun ilmu terkadang berubah menjadi tabir, itu tidak menjadi alasan untuk memusnahkan ilmu tersebut. Walaupun metode yang dipakai oleh para Nabi

P: 17


1- 16. Imam Khomeini, Tafsir Süre-e Hamd, hlm. 139–140.
2- 17. Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 145.

berbeda dengan metode para filsuf (hakim), para Nabi tidak menggunakan argumentasi dalam membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka tidak menganggap Tuhan sebagai wujud gaib yang membutuhkan pembuktian. Namun, itu tidak berarti menafikan kebutuhan atas argumentasi dan ilmu-ilmu rasional dan argumentatif.

“Setelah butir-butir seperti tauhid mutlak, kesatuan mutlak ... secara argumentatif kita buktikan ... tetap ia hanya sebuah argumen, dan tetap saja ada tabir- tabir di balik argumentasi. Dengan segenap usaha, jika kita sampai ke inti, maka hati kita pun akan mencerna makna bahwa 'eksistensi murni adalah segalanya'. Seseorang yang mempersepsikan suatu perkara secara rasional melalui argumentasi, ia pun mempersepsi perkara tersebut dengan hatinya secara bertahap melalui pengulangan dan mujadalah. Ketika batasan argumentatif tadi sampai ke hati, hati pun mempercayainya bahwa di dalam rumah itu hanya ada pemilik rumah'. Akan tetapi, itu hanya keyakinan dan keimanan. Bahkan tahap li yathma’inna qalbi (ketentraman hati) tidak seperti yang dimiliki oleh para Nabi. Inilah satu tahapan di atas tahapan musyāhadah.

Tahapan musyāhadah hanya seperti seorang buta yang melangkah dengan tongkatnya dan seorang Arif membimbingnya ke dalam hatinya, sementara Musa menyaksikan."(1) Tingkatan persepsi dan pengetahuan dalam pandangan Imam Khomeini memiliki tahapan sebagai berikut:

1. Tahapan persepsi ilmiah dan pemikiran yang sejalan dengan langkah argumentasi. Tahapan ini adalah tahapan pemilik tabir paling besar yang ditempati oleh para filsuf dan para ulama.

P: 18


1- 18. Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 164, dan Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 42–43.

2. Tahapan iman yang puncak kesempurnaanya adalah ketika sampai ke tahapan ithmi'nān (tenteram). Ini adalah tahapan orang-orang yang beriman dan mereka yang yakin.

3. Tahapan ahli syuhūd (penyaksian) dan para pemilik hati (shāhib al-qulüb). Tahapan yang melalui cahaya musyāhadah, mengantarkan mereka sampai ke dalam fana mutlak.

4. Tahapan wali yang sempurna (ahli tahaqquq wa kummal auliyā'). Tahapan ini adalah tahapan yang telah mencapai kedudukan wahdah (unitas) murni dan mampu melepaskan katsrah (kemajemukan) dan mencapai maqam terdekat (qāba qausain).(1) Dengan demikian, melalui klasifikasi pengetahuan, seseorang bisa terhindar dari berpikir picik dan hanya memiliki satu sudut pandang. Jika ia sudah mencapai satu tahapan pengetahuan, ia tidak akan menyalahkan orang lain, dan tidak merasa puas dengan tahapan yang telah dicapainya. Ia akan terus berusaha mencapai tahapan yang lebih tinggi lagi.

“Ketahuilah bahwa dalam Kitab Ilahi yang universal ini disebutkan berbagai pengetahuan dari pengetahuan tentang esensi (maʼrifah al-dzāt) sampai pengetahuan tentang yang tertinggi (maʼrifahal-aʻlā). Setiap orang, sesuai potensi masing-masing, bisa memahami setiap tahapan tersebut. Dalam hal ini, ayat-ayat tentang tauhid, terutama tauhid af'āl – Misalnya, penjelasan dan penafsiran dari ulama lahir, ahli hadits, dan fuqaha benar-benar berbeda dan bertentangan dengan penjelasan dan penafsiran dari ahli makrifat dan ulama batin, tetapi masing-masing dari kedua kelompok itu mengklaim bahwa merekalah yang benar."(2)

P: 19


1- 19. Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 164.
2- 20. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 185.

Jelas, bahwa agama dengan sifat universalnya pasti bisa dicapai oleh semua orang. Perbedaan dan kekhasan alami setiap individu mengantarkan mereka ke makrifat yang sesuai untuknya.

“Al-Quran merupakan obat bagi penyakit batin, dan setiap penyakit diobati dengan cara yang berbeda- beda. Setiap ulama, baik dalam tingkat lahir atau batin akan mendapatkan manfaat dari Al-Quran sesuai tingkatan mereka. Sementara itu, sebagian ayat Al- Quran, seperti ayat pertama dalam Surah Al-Hadid dan Surah Al-Tauhid - menurut salah satu hadits dalam Al-Kāfī– ditujukan bagi para pendalam agama di akhir zaman dan tidak terkecuali, para ulama lahir pun akan mendapat manfaat darinya. Ini semua merupakan mukjizat dan sifat umum Al-Quran."(1) Di samping itu, perbedaan-perbedaan alami muncul dari lingkungan hidup dan faktor-faktor geografis. Hal ini menyebabkan perbedaan tingkat respon mereka terhadap dakwah para Nabi. Metode tablig dan dakwah harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan sasaran dakwah sehingga penerimaan yang cocok bisa terwujud. Sebagian dari mereka didakwahi dengan cara peringatan dan ditakut-takuti, sebagian lagi dengan janji dan kabar gembira, dan sebagian yang lain dengan cerita dan hikayat. Sementara itu, setiap kelompok menerima setiap metode tadi dengan cara yang berbeda-beda.

Dalam kisah-kisah para Nabi disebutkan bahwa:

“Sebagaimana ahli makrifat, sulūk, dan riyādhah mengambil banyak manfaat darinya (kisah-kisah para Nabi), begitu pula yang lain, yang mengambil sebagian manfaat dari manfaat-manfaat yang tak terbatas dalam kisah-kisah para Nabi tersebut."(2)

P: 20


1- 21. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 185.
2- 22. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 188.

Cerita Nabi Ibrahim a.s. merupakan salah satu contoh pengungkapan yang berbeda-beda.

“Mengenai ayat, 'Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang, (1) para ahli makrifat bisa memahami suluk dan perjalanan spiritual Nabi Ibrahim a.s..

Kisah tersebut mengajarkan jalan sulūk menuju Allah dan sair menuju kepada-Nya. Mereka menangkap hakikat sair nafsi (perjalanan jiwa) dan sulūk maʻnawi (perilaku spiritual) mulai dari ujung kegelapan alami yang tampak di jalan tersebut melalui frase: janna 'alaihi lail sampai pengabaian ego mutlak dan egoisme, serta meninggalkan keakuan, penyembahan diri, dan sampai ke maqām qudsi, lalu masuk ke dalam gelora cinta yang diisyaratkan dalam frase. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.(2) Sementara itu, kelompok lain memahami sair ufuqi (perjalanan langit) dan metode pendidikan Khalil ar-Rahmān (Ibrahim a.s.)."(3) Terdapat berbagai pemahaman tentang muatan-muatan Al-Quran, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan aturan-aturan lahiriah syariat dan adab-adab sunnah Ilahiah, masalah maſād dan argumen pembuktiannya, metode argumentasi (ihtijāj) Al-Quran terhadap pembuktian eksistensi, serta keesaan dan sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Semuanya sama dan bersatu pada masalah-masalah di atas

Kedudukan Filsafat: Falsafah Luhur (Falsafah ‘Ali), Bukan Falsafah Awam

Karya-karya berharga Imam Khomeini sarat dengan muatan-muatan filosofis, serta kaidah-kaidah dan prinsip- prinsip kebijaksanaan. Sebagian kandungan karya-karyanya

P: 21


1- 23. QS Al-An'ām: 76.
2- 24. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 79.
3- 25. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 188.

berisi pembelaan terhadap filsafat dan menjawab kerancuan- kerancuan. Dari situ, bisa dirasakan besarnya penghargaan beliau terhadap semua pemuka Filsafat Ilahi. Dengan demikian, beliau menilai Hikmah Mutaʻāliyah memiliki keunggulan tersendiri disebabkan kentalnya dzauq ‘irfāni yang dimilikinya.

Kajian yang disuguhkan dalam Hikmah Muta'āliyah sejalan dengan langkah akal, dan berdiri kokoh di atas argumentasi, serta ditopang dengan burāq dari dzauq dan syuhūd dari hakim mutaʻāli yang dinamis dan kekal sehingga mampu mengantarkannya ke dalam pengetahuan lahā thūr warā'a thūr al-'aql (yang memiliki gunung di balik gunung akal).

Imam Khomeini memberikan kepada para penggagas filsafat hak mereka. Oleh karena itu, beliau menghargai para kritikus filsafat yang berpandangan kritis dan dengan keraguan selama mereka berlandaskan pada akal dan teori dalam setiap tahapannya.

Dalam hal ini, Imam Khomeini berkali-kali menyarankan agar tidak mengingkari kelompok teras 'irfān dan pembesar di bidang dzauq dan syuhūd. Beliau juga senantiasa berpesan agar jangan membatasi maksud teks pada arti lahiriah, seperti yang terjadi pada pemahaman kaum awam dan Filsafat Biasa. Berikut ini adalah beberapa contoh perbedaan antara penafsiran Filsafat Awam dan Filsafat Luhur dalam masalah- masalah Ketuhanan.

1. Penafian Kausalitas Dalam menafsirkan alhamdulillāh, Imam Khomeini berkeyakinan bahwa pujian hanya milik Al-Haqq Swt. dan menafikannya dari selain Dia. Argumentasi yang diajukannya

P: 22

adalah semua eksistensi merupakan bayangan atau emanasi (faidh) yang terpancar dari eksistensi Al-Haqq Swt. dan semua kenikmatan lahir dan batin, yang dalam pandangan orang awam bersumber dari manusia, pada hakikatnya bersumber dari Tuhan dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah tersebut; eksistensi lain bukan sekadar tidak berperan dalam sebab akibat (kausalitas), bahkan mereka bukan merupakan sebab persiapan (mu`idd).

“Alhamdulillāh, yaitu semua jenis pujian dikhususkan untuk Tuhan Yang Mahasuci ... dan semua pujian para pemuji hanya milik Al-Haqq Swt..... Ini sesuai dengan argumen para ahli hikmah dan pemuka Filsafat Tinggi, sesuatu yang sangat jelas ... Dzat Yang Esa tidak mungkin disekutui oleh satu eksistensi pun, walaupun hanya sekutu dalam hal sebab i'dādi (persiapan) yang diyakini oleh para penganut Filsafat Awam. Maka, karena pujian selalu ada berdasarkan kenikmatan dan kebaikan, tidak mungkin ada pemberi nikmat (mun'im) selain Wujud Al-Haqq Swt..... Oleh karena itu, semua pujian dikhsuskan bagi-Nya."(1) Hal yang membedakan Filsafat Luhur dengan Filsafat Awam terletak pada fakta bahwa Filsafat Tinggi – dengan melewati beberapa tingkat dan tahapan, menafikkan sebab akibat dan menganggap bahwa sebab persiapan (i'dādī) tidak memiliki peran sedikit pun. Di sisi lain, hal tersebut benar- benar tidak sejalan dengan prinsip Filsafat Awam dan biasa yang mengkhususkan pujian hanya kepada Tuhan. Berdasarkan alasan tersebut, alasan dianggap hal yang tidak benar “Hendaklah diketahui bahwa mengkhususkan semua pujian dan sejenisnya pada sesuatu, dengan adanya dua kemungkinan makna pada huruf alif dan lam-

P: 23


1- 26. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 251.

hanya berdasarkan pada sebab akibat filosofis adalah sesuatu yang dinafikan, walaupun dengan makna sebab akibat yang lebih dalam sekalipun. Selain dengan lisan Al-Quran dan 'irfān para Wali (semoga shalawat tercurah kepada mereka), hal itu tidak akan bisa dijelaskan.(1) Imam Khomeini selalu menekankan sebuah metode pada makrifat dan ilmu. Beliau memperingatkan para pendebat agar jangan sampai mereka mencari segala sesuatu hanya berdasarkan argumentasi. Sebaliknya, membebaskan diri dari egosentrisme (keakuan) dan melepaskan segala ikatan duniawi merupakan syarat utama untuk sampai ke tingkatan‘irfān yang hakiki.

"Ketahuilah bahwa penempuh jalan spiritual (sālik) menuju Allah dan para mujahid di jalan- Nya tidak membatasi makrifat hanya pada satu ilmu. Menghabiskan umur dalam bergelut dengan argumentasi merupakan tabir, bahkan tabir yang paling besar karena penyangga argumentasi adalah kayu' yang bahkan seorang Sulaiman pun tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah telaga orang-orang suci dan tahapan orang-orang merdeka.... "(2) 2. Aliran Kehidupan di Segenap Eksistensi Pandangan seperti ini akan memudahkan pemahaman pada banyak teks agama. Salah satunya adalah dalam menafsirkan hamd (pujian). Hamd adalah pujian yang berbentuk lisan atas perbuatan baik yang dilakukan secara sadar. Penafsiran tersebut, menurut pandangan Imam Khomeini sangat lemah dan definisi tersebut datang dari para ilmuwan sastra yang tidak memahami bahasa secara keseluruhan. Atas dasar ini, kalam,

P: 24


1- 27. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 252.
2- 28. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 253

tasbih, dan tahmid bagi segenap makhluk bersifat majazi. Dalam pandangan mereka, hakikat bicara (nuthq) dikhususkan bagi manusia dengan asumsi bahwa Tuhan dan eksistensi lainnya tidak memiliki kemampuan bicara. Oleh karena itu, penerapan konsep ini pada mereka tidak bersifat hakiki. Menurut teori ini, kalam Tuhan berarti penciptaan ucapan, sedangkan ucapan eksistensi lain adalah tasbih dan tahmid mereka yang esensial dan alami. Motif dari memunculkan pendapat ini adalah untuk menyucikan eksistensi Tuhan. Namun pada kenyataannya, ini merupakan ancaman (tahdid), bahkan penihilan (ta’thil) – Mahasuci Allah dari penyucian seperti ini, Dalam menyelesaikan masalah ini, Imam Khomeini meyakini adanya tahapan pada kata-kata tersebut. Setiap tahapan memiliki satu alam yang sesuai dengan alam eksistensi. Oleh karena itu, pujian bisa diterapkan pada setiap tahapan eksistensi dengan arti kata yang hakiki. Justifikasi atas klaim tersebut adalah teori “aliran kehidupan dalam segenap eksistensi".

“Ketahuilah, setiap eksistensi memiliki jatah (hadh), bahkan hadh yang ada di alam gaib yang berupa kehidupan murni, kehidupan yang mengalir pada setiap eksistensi. Poin ini telah dibuktikan oleh para pemuka Filsafat Luhur dengan argumentasi mereka, oleh para pemilik hati, dan makrifat melalui penyaksian (musyāhadah). Begitu juga ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits dari para penerima wahyu, semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, sangat mendukung hal tersebut. Sementara itu, orang-orang yang tertabir, seperti para Filsuf Awam dan ahl al- zhāhir (mereka yang bersandar makna lahiriah) yang

P: 25

tidak menangkap ucapan (nuthq) setiap eksistensi, melakukan takwil, dan mengemukakan berbagai dalih (taujih). "(1) Dalam rangka mendukung Filsafat Mutaʼāliyah dan mengenai mereka yang tidak sepantasnya menarik teks-teks tersebut pada makna lahir yang sesuai dengan pemahaman mereka, Imam Khomeini berkata, "Saya heran kepada ahl al-zhāhir - yang menuduh para filsuf melakukan takwil terhadap Kitab Allah menurut akal – sedangkan mereka dalam masalah ini melakukan takwil terhadap ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits sahih, karena mereka tidak bisa menangkap nuthq setiap eksistensi tanpa didukung oleh argumen yang kuat dan benar. Oleh karena itu, mereka menakwil Al-Quran tanpa argumentasi dan hanya menjauh dari makna hakiki."(2) Makna hakiki nuthq bisa diterapkan pada semua eksistensi dan tasbih mereka adalah tasbih nuthqi yang keluar dari kesadaran dan kehendak. Itu karena, mereka memiliki tahapan eksistensi dan sadar akan substansi dirinya.

“Ruang eksistensi adalah kehidupan murni, hakikat ilmu, dan kesadaran. Tasbih adalah ucapan berdasarkan kesadaran dan kehendak, bukan bawaan alami seperti yang diyakini oleh orang-orang yang tertabir. Setiap eksistensi memiliki jatah eksistensi dan memiliki makrifat terhadap Sang Pencipta – Yang Maha Agung kedudukannya. "(3)

Kedudukan Al-Quran

Perhatian khusus Imam Khomeini terhadap Al-Quran sangat jelas dan bisa dilihat pada karya-karyanya. Hal ini

P: 26


1- 29. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 255.
2- 30. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 255.
3- 31. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 256.

merupakan buah dari kecintaan beliau terhadap Al-Quran.

Manisnya penjelasan Al-Quran yang ada dalam tulisan- tulisannya dapat dirasakan oleh setiap pembaca. Cita rasa spiritual yang bercampur dengan kesegaran ‘irfāni membuat rasa manis tersebut menjadi sempurna. Kelebihan terbesar yang dimiliki Al-Quran dalam pandangan Imam Khomeini adalah Al- Quran merupakan teks suci yang memiliki kandungan tinggi yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia.

Al-Quran telah turun dan menurunkan makrifat dengan arti yang sebenarnya untuk pemahaman duniawi tentang kabar langit yang tinggi. Perhatian terhadap semua sisi Al-Quran- baik sisi keluhuran dan kesuciannya maupun dalam sisi turun dan menurunaknnya, akan membantu dalam memahami dengan benar kandungan Al-Quran yang tak terbatas itu.

Tak Ada Tandingannya dalam Sejarah Manusia Dalam pandangan Imam Khomeini, pengetahuan, dari segi epistemologi – berada dalam satu aturan yang berurutan.

Dalam rangkaian ini, setiap tahapan memiliki peran dan pengaruh tersendiri. Setiap ilmu dengan metode khususnya, mulai dari tahapan yang paling rendah sampai tahapan yang paling tinggi, semuanya mengandung kebenaran dan hakikat yang gradual. Tanpa melewati tahapan sebelumnya, siapa pun tidak akan bisa sampai kepada tahapan berikutnya. Sementara itu, hikmah dan filsafat manusia yang menghasilkan teori- teori yang berhubungan dengan wahyu tidak bisa disejajarkan dengan pengetahuan Ilahiah Islam.

Dengan alasan ini, kedalaman dan nilai kandungan Al- Quran sama sekali tidak didapatkan dalam pengetahuan yang

P: 27

berkembang sebelumnya. Atas dasar ini, sebagian mereka mencoba mencari kontradiksi universal antara filsafat dan agama. Dengan berpegang pada alasan ini, mereka mencoba menghapuskan filsafat dan teologi.

Alhasil, keunggulan dan ketinggian pengetahuan Ilahiah menyebabkan perbedaan yang mencolok antara pengetahuan dan pengetahuan manusia lainnya. Dengan Surah At-Tauhid misalnya, karena kandungan surah ini berada pada puncak pengetahuan, seluruh pikiran yang sarat dengan khayal akan tersingkirkan.

“Akal manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencapai pemahaman hakikat dan kedalaman rahasia- rahasia itu. Akan tetapi, apa yang diraih oleh ahli makrifat dan apa yang didapat oleh hati ahli Allah tidak bisa dicerna oleh akal biasa.... Orang yang tidak memiliki tempat dalam rahasia-rahasia tauhid dan pengetahuan Ilahiah ini tidak berhak memberikan pendapat tentang ayat tersebut. Mereka tidak memiliki hak untuk menafsirkannya ke dalam makna-makna umum dan pasaran seperti yang mereka pahami."(1) Pada butir ini, Imam Khomeini memberikan pendapat secara pasti bahwa pengetahuan Ilahiah Al-Quran tidak ditemukan pada masa sebelumnya, walaupun beliau mengkhususkan pendapatnya pada sebagian ayat tersebut.

Butir-butir lainnya adalah sebagai berikut.

"Dalam ayat pertama Surah Al-Hadid terdapat kandungan kandungan yang sangat dalam tentang masalah tauhid dan pengetahuan yang tinggi, rahasia- rahasia Ilahiah dan abstraksi (tajrid) yang tiada duanya dalam catatan Ilahi (masfūrāt ilahiyyah), serta mushaf- mushaf ahli makrifat dan pemilik hati. Bukti paling nyata bahwa pengetahuan yang terkandung di dalamnya

P: 28


1- 32. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 301 – 302.

berada di luar jangkauan dan daya pikir manusia.

Sebelum ayat ini turun, pengetahuan seperti ini tidak ditemukan dalam sejarah manusia dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mencapai pengetahuan seperti ini."(1) Untuk membuktikan dan menguatkan hal ini, harus dibandingan antara pengetahuan manusia dan pengetahuan Ilahi. Di antara buku-buku filsafat terdahulu, kandungan paling tinggi dan paling berbobot tentang masalah makrifat Ketuhanan bisa ditemukan dalam buku Theologia Plato. Namun, jika dibandingkan dengan kandungan Al-Quran, kita akan melihat perbedaan-perbedaan yang sangat nyata.

"Saat ini, buku-buku dan karya-karya para pemuka filsafat dunia, walaupun ilmu mereka bersumber dari wahyu Ilahi, di mana buku paling tinggi dan paling dalam adalah buku Theologia .... Dengan semua kelebihannya dan karena buku tersebut ditulis dan disusun untuk mengkaji makrifat Rububiah, kita melihat dari awal sampai akhir, buku ini membahas maqam-macam rububiah, seperti yang terkandung dalam ayat pertama Surah Al-Hadid atau mendekati maksud ayat tersebut atau mendekati rahasia besar ketauhidan. Firman Allah, 'Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Zahir dan yang Batin,' (2) atau mirip dengan ayat dalam beberapa firman-Nya, 'Dia bersama kalian di mana pun kalian berada.''(3) Kita jangan sampai melakukan kesalahan dengan beranggapan bahwa Filsafat Islam juga memiliki hukum seperti ini dan merupakan kelanjutan dari Filsafat Yunani. Terdapat perbedaan universal antara Filsafat Yunani, Filsafat Islam, dan pengetahuan Qurani. Dalam perbandingan ini, Filsafat Yunani sama sekali tidak memiliki warna dari kandungan Islam. Filsafat

P: 29


1- 33. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 302-302.
2- 34. QS Al-Hadid: 3.
3- 35. QS Al-Hadid: 3.

Islam, terutama Hikmah Mutaʻāliyah memiliki kandungan makna Al-Quran yang paling tinggi. Oleh karena itu, tuduhan bahwa aspek Ilahiah Filsafat Islam merupakan Filsafat Yunani, tidaklah benar. Dengan demikian, sebagian filsuf Islam yang mengikuti kerangka Filsafat Yunani, dalam makrifat Rububiah (mabda' wa ma'ād), tidak meraih keberhasilan yang baik.

"Setiap orang yang meneliti kandungan agama-agama dunia melalui pemikiran para filsuf besar setiap agama dan membanding kajian mabda' wa maʼād dengan yang ada dalam agama Hanif Islam melalui para filsuf besar serta para Arif terkemuka dalam Islam. Ia akan mengakui bahwa pengetahuan ini bersumber dari cahaya kandungan Al-Quran serta hadits-hadits Nabi Saw. dan Ahlulbaitnya a.s.. Maka, ia akan tahu bahwa hikmah dan ‘irfān Islami bukan bersumber dari Yunani atau dari para filsuf Yunani, bahkan tidak ada kesamaan sama sekali dengannya."(1) Jelas, setiap orang yang mengklaim telah mencapai tafakur Islami, ia tidak boleh begitu yakin dan menganggap dirinya telah berada di puncak dan memahami ketinggian ajaran-ajaran ini. Hanya sekelompok orang yang bisa sampai ke sana, yaitu mereka Ahlulbait suci yang telah mencapai maksud hakiki Al-Quran melalui cahaya hidayah Tuhan; dan bahwa kandungan Al-Quran belum pernah ada sebelumnya, begitu juga makrifat Ahlululbait a.s. sebagai penafsir dan penjelasnya.

Pada hakikatnya, kita juga bisa meraih kandungan Al-Quran, tentu melalui Ahlulbait a.s., “Maka ikutilah petunjuk mereka."(2) “Di antara banyak kelompok terdapat satu kelompok- berkat penghuni rumah wahyu, ‘ishmah, serta khazanah ilmu dan hikmah dalam masalah ketauhidan dan penyucian Al-Haqq Swt., lebih unggul

P: 30


1- 36. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 304.
2- 37. QS Al-An'ām: 90.

dibanding kelompok-kelompok lain. Kelompok Itsnā “Asyar (Dua Belas Imam a.s.) yang mampu menyusun buku-buku prinsip akidah, seperti At-Tauhid dari Syaikh Al-Shaduq, khotbah-khotbah, dan doa-doa para imam a.s. dalam kajian tentang tauhid dan penyucian Al-Haqq Swt. yang bersumber dari wahyu. Bukti akan hal ini telah dikemukakan, bahwa ilmu-ilmu seperti ini belum pernah ditemukan dalam sejarah manusia dan tidak ada seorang pun yang mampu menyucikan Tuhan, seperti yang mereka lakukan karena mereka mengambil sumber dari kitab suci, wahyu Ilahi, dan Al- Quran."(1) Bisa ditambahkan contoh lain dari contoh-contoh di atas, yaitu masalah perkara posisi di antara dua posisi (al-amr baina al-amrain) ketika daya pikir manusia tidak menggapainya sedikit pun.

“Ini adalah salah satu kandungan Al-Quran, di mana sebelum turunnya Kitab Suci ini tidak ditemukan hal yang serupa itu dan tidak ada satu pun karya para filsuf tentang hal tersebut. Manusia berutang budi kepada kitab Tuhan ini, dan di antaranya adalah makrifat Ilahiah Qurani."(2) Dalam teks-teks agama, bisa dilihat pernyataan-pernyataan tentang penisbatan perbutan kepada Tuhan secara hakiki yang memiliki hubungan dengan al-amr baina al-amrain. Tanpa adanya perhatian dan pemahaman yang benar tentang masalah ini, kaidah ini bisa ditafsirkan secara salah. Di antara teks-teks tersebut adalah ayat, “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. "(3) “Amal dan perbuatan kesempurnaan, seperti halnya dinisbatkan kepada makhluk juga bisa dinisbahkan

P: 31


1- 38. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 285.
2- 39. mam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 320.
3- 40. QS Al-Anfāl: 17.

kepada Al-Haqq Swt. tanpa harus mengartikannya dalam bentuk majazi kepada salah satu dari keduanya."(1) Sebenarnya, - Tafsir manakah yang tepat untuk ayat ini? - Mengapa perbuatan ini dinisbatkan kepada makhluk dan pada saat yang sama dinisbatkan juga kepada Tuhan? Bisakah perbuatan tersebut dinisbatkan kepada keduanya dengan makna majazi, atau yang satu hakiki dan yang lain majazi, atau kedua-duanya majazi? Bisakah perbuatan tersebut dinisbatkan kepada keduanya dengan arti yang hakiki dan tidak diartikan dengan makna majazi? Kelompok yang berpegang kepada kaidah al-amr baina al-amrain dan pada makna yang benar tentang maksud ayat tersebut akan mengambil pilihan ketiga. Orang yang berhasil memahami ini adalah dia yang bisa menyatukan antara wahdah (kesatuan) dan katsrah (kemajemukan). Seseorang yang baginya sifat wahdah lebih unggul, maka semua perbuatan akan ia nisbahkan kepada Al-Haqq Swt., dan barang siapa yang katsrah lebih dominan baginya, ia tidak melihat satu perbuatan pun, kecuali dalam katsrah dan akan lupa kepada Al-Haqq Swt.. Namun, orang yang mampu menyatukan antara wahdah dan katsrah, ia akan menisbatkan perbuatan tersebut kepada keduanya tanpa harus membawanya ke dalam makna majazi.

Hal-hal yang terkandung dalam ayat tersebut sangat jelas, selain menafikan, ia juga menisbatkan perbuatan tersebut.

P: 32


1- 41. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 320.

Keagungan Al-Quran Seseorang yang berusaha meneliti Al-Quran harus betul-betul sadar bahwa ia tidak sedang berhadapan dengan teks-teks dan kandungan yang biasa. Namun, ia sedang berhadapan dengan kitab agung yang tidak bisa disifati, yang nilai keagungannya tidak bisa digapai oleh akal. Keagungan kandungan Al-Quran berada di atas daya pikir manusia karena memahami sesuatu berarti memahami hakikat sesuatu tersebut.

Adakah orang yang mengklaim telah memahami hakikat Al-Quran? Hakikat Al-Quran pada tahapan sebelum tanazzul adalah sesuatu yang rahasia dan tahapan tersebut adalah maqam Dzāt. Karena penguasaan terhadap Dzat Tuhan adalah sesuatu yang mustahil, penguasaan terhadap hakikat Al-Quran juga mustahil.

“Hakikat Al-Quran ini tidak bisa ditangkap oleh siapa pun, baik dengan ilmu-ilmu biasa maupun dengan pengetahuan batin, dan juga tidak dengan penyingkapan batin (mukāsyafah). "(1) Oleh karena itu, beberapa orang mengklaim bahwa mereka mampu mencapai hakikat Al-Quran. Namun, telah menangkap dan memahami maksud Al-Quran adalah klaim dan keyakinan yang tidak bisa diterima. Meskipun ada jalan untuk mencapai hal ini, di luar jalan wahyu dan ilham, tidak ada jalan lain untuk bisa sampai ke kedalamnnya. Tidak ada yang bisa mencapai maqam ini, kecuali para ahli waris lentera kenabian.

P: 33


1- 42. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.

“Kandungan dan hakikat Al-Quran didapat oleh wujud suci Nabi Penutup Saw.. Melalui mukāsyafah ilahiyyah yang sempurna dalam gelora cinta qāba qausain (maqam terdekat) bahkan dalam kesendirian rahasia maqam au adnā (lebih dekat). "(1) Setelah mengkaji butir di atas dan melewati tahapan pemahaman hakikat, tahapan Al-Quran yang diturunkan bisa diposisikan sebagai bagian dari pemahaman Al-Quran bagi yang lain. Tahapan ini pun memiliki keagungan tersendiri yang hanya bisa dipahami oleh orang yang memiliki potensi yang kuat. Dengan memperhatikan beberapa butir di atas, keagungan Al-Quran yang diturunkan bisa diungkapkan.

Keagungan sebuah ucapan atau kitab bersumber dari salah satu butir berikut:

“... Baik karena keagungan pembicara, karena keagungan kandungan dan maksud ucapan atau kitab, karena keagungan hasil dan efek ucapan atau kitab, karena keagungan utusan dan perantara ucapan atau kitab, atau karena keagungan sang penerima risalah (Nabi Saw.) dan penerima ucapan atau kitab ... dan karena keagungan waktu dan metode penyampaian ucapan atau kitab ... dan dalam sahifah nūrānī (Al- Qur'an) ini berkumpul semua keagungan tadi dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Maka, keunggulan Al-Quran adalah karena tidak ada satu kitab pun yang bisa menyerupai sebagian apalagi seluruh Al-Quran. "(2) Rincian dari butir-butir tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keagungan sumber (mabda') Al-Quran diturunkan dari sumber yang memiliki keagungan mutlak, tidak ada satu eksistensi pun yang bisa menyerupainya.

P: 34


1- 43. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.
2- 44. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 22.

“Tidak ada satu eksistensi pun yang bisa menyamai keagungan Al-Haqq Swt.. Mereka hanyalah manifestasi- Nya di balik ribuan tabir dan maqam.(1) Dalam pandangan ahli makrifat, Al-Quran bersumber dari Al-Haqq Swt., turun dari sumber segala macam dzātiyyah, shifātiyyah dan fiʻliyyah lalu ke manifestasi- manifestasi jalāliyyah dan jamāliyyah Al-Haqq.

Sementara itu, Kitab Samawi lainnya tidak memiliki maqam dan kedudukan seperti ini."(2) mengungkapkan keagungan Al-Quran cukup dengan melihat butir berikut:

“Al-Quran adalah jelmaan dari Tuhan Yang Mahatinggi, yaitu manifestasi semua asma dan sifat-Nya."(3) 2. Keagungan rasul dan perantara Jibril Al-Amin adalah malaikat yang dipercaya sebagai perantara wahyu. Wujud mulia ini adalah malaikat ilmu dan hikmah. Kedudukan dan keagungan Jibril sering disebut dalam Al-Quran dan hadits.

“Jibril adalah salah satu dari empat rukun wujud, bahkan ia adalah rukun paling agung dan mulia. "(4) 3. Keagungan Nabi dan pembawa wahyu Keagungan dan kemuliaan tiada tara Rasulullah Saw. diakui oleh banyak kalangan. Imam Khomeini, dengan menyingkap lisan para urafa, mengatakan, “Pembawa wahyu ... hati yang terjaga, bersih, ahmadi, ahadi, jam'i, serta muhammadi yang merupakan jelmaan Al-Haqq Swt. dengan segala maqam Dzat, Sifat, Asma, serta tindakan-Nya. Dia pemilik khatm (cincin) kenabian dan otoritas mutlak .... Inti penciptaan, mutiara wujud, dan saripati wujud.... Ia adalah pemilik barzakh kubro dan khilafah agung."(5)

P: 35


1- 45. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 22.
2- 46. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 16.
3- 47. Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 20.
4- 48. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 22.
5- 49. Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 23.

4. Keagungan penjelas (syārih) wahyu Syārih dan mubayyin (penjelas) Al-Quran adalah wujud- wujud suci maksum mulai dari Rasul Saw. sampai Imam Al- Mahdi ('ajjalallāhu farajah) merupakan pintu segala eksistensi, khazanah agung, sumber hikmah dan wahyu, fondasi segala pengetahuan, serta pemilik maqam jam'i dan tafshilī.(1) 5. Keagungan waktu turunnya wahyu Kemuliaan waktu menambah keagungan sesuatu. Al- Quran turun pada malam lailatul qadr yang merupakan malam yang paling agung dan khairun min alfi syahr serta merupakan malam yang paling bercahaya. (2) 6. Keagungan kandungan Untuk menjelaskan keadungan kandungan ajaran-ajaran Al-Quran, kita mesti memperhatikan beberapa butir berikut:

a. Al-Quran sarat dengan kandungan yang kaya dan tinggi.

Butir-butir yang terkandung dalam ucapan Imam Khomeini sudah cukup untuk menjelaskan masalah ini.

"... bentuk kātibah hadhrat ghaib (maqam kehadiran gaib) kumpulan semua kesempurnaan dalam bentuk wahdah jam'iyyah (kesatuan kolektif) ... merupakan jelmaan sempurna Al-Haqq Swt. yang menjelma dengan semua asma dan sifat.(3) la merupakan jelmaan yang paling tinggi dari Rahmat Mutlak ilahiah.(4) Kumpulan semua kandungan dan hakikat asma dan sifat ... juga kumpulan akhlak dan panggilan menuju mabda' wa maſād, zuhud dan meninggalkan duniawi ... yang mengantarkan ke puncak hakikat. (5)

P: 36


1- 50. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 23.
2- 51. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 23.
3- 52. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.
4- 53. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 16.
5- 54. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 24.

Al-Quran, karena kekayaan akan rahasia, hakikat, dan kedalam tauhid, membuat takjub akal ahli makrifat.

Mukjizat besar ini merupakan sahifah langit yang berkilau,"(1) b. Kandungan yang tidak pernah ada sebelumnya.

"Kita melihat bahwa ajaran yang tersebar di dunia ini adalah berkat diutusnya Rasulullah Saw. yang di luar kemampuan manusia, dan kemukjizatannya berada di atas pemahaman manusia .... Terdapat masalah- masalah besar yang tidak bisa kita ungkapkan dan belum pernah terungkap sebelumnya. Hal ini hanya diketahui oleh beliau dan orang-orang khususnya.(2) ... di dalamnya terkandung hakikat-hakikat dan kandungan yang tidak ditemukan di dunia sekarang, apalagi di masa kitab itu turun. Ini merupakan mukjizat yang paling tinggi dan paling besar. Di dalamnya terkandung kajian-kajian ‘irfāni yang tidak didapatkan di masa para filsuf Yunani dan tidak tersentuh oleh buku-buku Aristoteles, Plato, dan para filsuf besar zaman itu .... Kajian ‘irfāni seperti apa yang ada dalam Al-Quran tidak ditemukan dalam buku-buku lain dan ini sebuah mukjizat bagi Rasulullah Saw....."(3) c. Kandungan yang sarat dengan rahasia dan simbol.

Hakikat tinggi Al-Quran telah diturunkan, tetapi ini hanya merupakan rahasia antara Tuhan dan Rasul Saw..

Sementara itu, yang lain tidak bisa memahaminya.

Penjelasan mengenai kerahasiahan dan ketersembunyian kandungan Al-Quran berada di luar pembahasan ini.

Namun, salah satu dalil utama dalam hal itu adalah keagungan kandungan dan isi Al-Quran. Oleh karena itu, untuk bisa memahami banyak hakikat diperlukan keahlian dan potensi yang memadai. Itu karena, jika mukadimah tidak cukup dikuasai maka untuk memahami kandungan-

P: 37


1- 55. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 61.
2- 56. Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 64.
3- 57. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 63.

kandungannya, di samping mustahil, juga hanya akan menimbulkan pengingkaran dan keraguan. Kandungan- kandungan Al-Quran hanya bisa diraih secara khusus oleh ahlinya, sedangkanyang lain hanya bisa melihatnya sebagai sesuatu yang rahasia dan samar.

“Al-Quran merupakan rahasia yang tetap akan menjadi rahasia dan rahasia yang pasti ber-tanazzul dan turun ke bawah hingga sampai ke tahapan paling bawah.(1) ... itu adalah dimensi hakiki yang ada di antara pencinta dan yang dicinta. Itu merupakan rahasia antara Tuhan dan Nabi mulia Saw., bukan sebuah kandungan yang bisa kita pahami.(2) ... apa yang bisa dipahami oleh umumnya manusia dari apa yang disebutkan dan diungkapan dengan jelas, sedangkan yang ditangkap oleh kelompok khusus adalah melalui simbol dan isyarat apa yang disebutkan seperti, ‘keridhaan Allah adalah lebih besar”.(3) Serta ayat tentang pertemuan dengan Allah bagi satu kelompok. Contoh lain, 'Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka, (4) bagi kelompok yang lain.(5) Ayat Al-Quran dibagi menjadi dua bagian: pertama, ayat-ayat muhkamāt yang tidak memiliki takwil dan semua orang bisa memahaminya; kedua, ayat-ayat mutasyābihāt yang memiliki takwil, berbentuk simbol dan tidak ada yang bisa mengetahui takwilnya, kecuali Allah dan orang-orang yang răsikh dalam ilmu.(6) Tidak ada yang bisa mengetahuinya, kecuali orang yang diajak bicara oleh-Nya, yaitu Rasul Saw. Sang perantara juga tidak bisa memahaminya, termasuk Jibril sekalipun. Jibril Al-Amin sekadar perantara dan bertugas membacakan ayat-ayat dari Yang Mahagaib kepada Rasul Saw., dan ia bukan yang diajak bicara (man khuthiba bih)."(7)

P: 38


1- 58. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 19.
2- 59. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 30.
3- 60. QS At-Taubah: 72.
4- 61. QS Al-Muthaffifin: 15.
5- 62. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 33.
6- 63. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 139.
7- 64. Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 76.

Tujuan Diturunkannya Al-Quran Al-Quran dengan sifatnya yang universal memiliki banyak tujuan yang berupa pelajaran. Masing-masing dari tujuan- tujuan ini memiliki nilai tersendiri, dan semuanya tidak berada pada satu tingkatan. Secara umum, tujuan-tujuan ini bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan pokok dan tujuan cabang.

1. Tujuan Cabang.

Dalam ucapan Imam Khomeini sering didapatkan sebuah kata yang menunjukkan tujuan cabang dan umum dari Al- Quran, yaitu kata “hidangan". Hidangan ini sangat luas seluas potensi-potensi. Setiap individu manusia bisa menghadiri hidangan ini dan mengambil manfaat darinya.

“Al-Quran dan Kitab Ilahi lainnya merupakan sebuah ‘hidangan' yang membentang untuk semua manusia. (1) Al-Quran adalah hidangan yang digelar oleh Tuhan untuk semua manusia ... sebuah hidangan yang luas untuk manusia. Setiap orang bisa mengambil apa yang ada dalam Al-Quran sesuai dengan selera masing- masing .... Kitab ini, yang merupakan hidangan yang membentang dari barat sampai ke timur, mulai zaman turunnya wahyu sampai Hari Kiamat, merupakan sebuah kitab untuk semua orang, baik awam, cendekia, filsuf, Arif maupun faqih."(2) Luasnya karunia Al-Quran disebabkan ia turun dari sumber Rahmat Yang Mahamutlak. Rahmat mutlak ini dalam lahiriahnya bisa diterima oleh semua manusia.

“Kitab Agung Ilahiah ini ... merupakan manifestasi terbesar dari rahmat Ilahiah yang mutlak. (3) Al-Quran merupakan sebuah rahmat bagi semua manusia."(4)

P: 39


1- 65. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 28.
2- 66. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 126.
3- 67. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 16.
4- 68. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 127.

Hakikat pengutusan adalah menyampaikan rahmat ini dan mengutus Rasul Saw. untuk menyajikan hidangan ini di antara manusia. Ungkapan bahwa Al-Quran bisa dipahami oleh manusia mengandung konsekuensi bahwa setiap kelompok akan memiliki pemahaman dan penafsiran masing-masing dalam merujuk kepada Al-Quran dan bisa memahaminya “sesuai ukuran dan keluasan eksistensi dan pikirannya"(1) Namun, mereka masih sangat jauh untuk bisa menguasai seluruh maksud dan sampai ke tujuan akhir.

“Sesuatu yang terbatas tidak akan mungkin menguasai yang tidak terbatas, kecuali ia harus berubah menjadi tidak terbatas dan menjadi manusia sempurna. Manusa sempurna tidak memiliki batasan dalam segala hal; ia merupakan bayangan Dzat Ilahi Yang Mahasuci. Ia bisa memahami Islam sesuai apa adanya... dan menguasai Al-Quran sesuai apa adanya.... Sementara itu, yang lain hanya bisa memahami sesuai dengan tahapan eksistensi dan kesempurnaannya, dan mereka tetap terbatas."(2) Sifat ketidakterbatasan yang dimiliki Al-Quran memperjelas kelemahan banyak pemahaman hakikat. Dengan sifat yang dimiliki Al-Quran ini, hal-hal yang disampaikan oleh Nabi Saw. kepada umat hanyalah dalam bentuk perumpamaan.

Penyampaian Nabi Saw. kepada kaumnya ibarat penyampaian seseorang kepada orang buta atas semua yang dilihatnya.

Bisa dibayangkan kesulitan orang tersebut, bagaimana ia harus menjelaskan warna-warna kepada orang buta tersebut, bagaimana orang buta bisa membayangkannya dengan benar, itu adalah sesuatu yang sulit dan bahkan mustahil.

P: 40


1- 69. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 75.
2- 70. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 138.

“Proposisi ini bukanlah proposisi akal, tidak juga dengan hati dan melalui argumen. Ini adalah proposisi penyaksian (musyāhadah); penyaksian gaib yang bukan penyaksian dengan kedua mata, tidak juga dengan jiwa (nafs), dan tidak dengan akal dan hati. Itu adalah hati alam, hati Nabi dan yang diraih dengan penyaksian.

Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijelaskan, kecuali melalui perumpamaan seperti penjelasan kepada orang buta. Bagaimana Anda bisa menjelaskan cahaya kepada orang lain? Akidah yang dimiliki oleh Nabi Saw.

lebih besar dibanding akidah yang lain, tetapi apa-apa yang beliau dapatkan dan apa yang turun dari Al-Quran ke dalam hatinya, kepada siapa beliau jelaskan?"(1) Gambaran yang benar tentang keagungan Al-Quran akan mempermudah pembuktian bahwa setiap orang sesuai dengan kadar kemampuannya bisa bersimpuh di sisi Al-Quran, bahkan para penyelam kedalaman Al-Quran masih jauh untuk sampai ke dalam hakikat Al-Quran. Kali ini, akan kita singgung ucapan lain Imam Khomeini tentang sifat-sifat keagungan dan hakikat Al-Quran.

“Al-Quran juga merupakan jelmaan sempurna Al-Haqq Swt., artinya Dia menjelma dengan semua asma dan sifat.(2) Kitab Suci ini adalah kumpulan semua asma dan sifat, dan sebagai penjelas (mu'arrit) kedudukan suci Al-Haqq dengan semua maqam dan manifestasi-Nya.

Dengan kata lain, Al-Qur'an ini merupakan bentuk ‘nama yang paling agung' (ism aʼzham)."'(3) Karena Al-Quran memiliki hakikat-hakikat agung seperti ini, bahasa Al-Quran tidak berlaku sama bagi semua manusia.

Simbol dan rahasia yang terdapat dalam kandungan Al-Quran juga demikian. Pembagian ayat-ayat Al-Quran menjadi ayat

P: 41


1- 71. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 144.
2- 72. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.
3- 73. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 17.

muhkamāt dan mutasyābihāt merupakan bukti paling jelas untuk hal ini.

“Ayat-ayat Al-Quran dibagi menjadi dua bagian, yaitu ayat muhkamat yang tidak memerlukan takwil dan bisa dipahami oleh semua orang, dan ayat mutasyabihat yang memerlukan takwil, seperti simbol-simbol dalam Al-Quran."(1) Pembagian ayat-ayat Al-Quran menjadi ayat teoretis, ayat praktis, dan juga menjadi penguat dalam hal ini. Dalam ayat-ayat tentang ilmu, setiap ayat memiliki kedalaman yang berbeda- beda dan setiap orang akan menangkap sesuai tingkatan masing-masing. Argumen-argumen tentang kenonmaterian Wājib Al-Wujūd dan tentang penguasaan substansial (ihāthah qayyumi) Al-Haqq Swt. termasuk dalam bagian ini.

“Al-Quran dan hadits turun untuk berbicara kepada manusia yang berbeda-beda tingkatan. Di dalamnya, terkandung ilmu-ilmu yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang dikhususkan oleh wahyu, sedangkan yang lain tidak demikian. Juga, di dalamnya terdapat ilmu-ilmu untuk kelas tinggi dari kalangan cendekia, yang lain tidak mampu memahaminya.... Kelompok tersebut adalah para filsuf besar, seperti Mulla Sadra dan murid-murid khususnya, seperti Faidh Al-Kasyani, yang mana mereka telah mampu mengambil ilmu-ilmu aqli yang tinggi dari ayat-ayat dan hadits-hadits yang sama sekali tidak bisa dipahami oleh kalian."(2) 2. Tujuan Pokok Dalam pandangan Imam Khomeini, begitu pentingnya tujuan pokok Kitab Suci ini sehingga untuk memahami tujuannya dibutuhkan suatu ukuran dan standar penelitian tafsir-tafsir Al- Quran yang ada. Tafsir berguna untuk mengungkapkan maksud-

P: 42


1- 74. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 139.
2- 75. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 139.

maksud Al-Quran. Oleh karena itu, pada tahap awal, ia harus menangkap maksud Al-Quran agar bisa menafsirkannya kepada yang lain. Maksud dan tujuan Al-Quran dalam pandangan Imam Khomaeni adalah sebagai berikut:

“Kitab Suci ini menurut kesaksian Tuhan, merupakan Kitab Hidayah, pengajaran, dan cahaya jalan sulūk kemanusiaan. Seorang mufasir hendaklah memberikan pemahaman tentang kisah-kisah, bahkan setiap ayat Al- Quran, dalam rangka memberi hidayah tentang alam gaib, menunjukkan manusia ke jalan kebahagiaan, dan jalan makrifat kemanusiaan.... Kitab Tuhan ini adalah Kitab Makrifat dan panggilan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Begitu juga, Kitab Tafsir hendaklah berupa kitab 'irfānī, akhlaki... dan lain-lain dalam rangka membawa manusia menuju kebahagiaan.

Seorang mufasir yang lalai dan menyepelekan hal ini, berarti ia telah lalai pada maksud dan tujuan pokok diturunkannya Al-Quran. Ini merupakan sebuah kesalahan, di mana selama bertahun-tahun masyarakat tidak bisa mengambil faedah dari Al-Quran dan tertutup pintu hidayah bagi mereka... hanya buku Sulūk llallāh (Perjalanan Menuju Allah), buku Tahdzīb Nufūs (Pendidikan Jiwa), dan buku Ādāb wa Sunan Al- llāhiyyah (Etika dan Perilaku Ilahiah).... Hendaklah para ulama dan para mufasir menyusun buku-buku dalam rangka menyampaikan pelajaran-pelajaran dan aturan- aturan 'irfānī dan akhlaki, dan menjelaskan bagaimana hubungan makhluk dengan Khalik mulai dari dār al- ghurūs (rumah tipuan) sampai dāral-surūr (rumah kebahagiaan) dan dār al-khulūd (rumah keabadian)....

Kitab Ilahiah ini merupakan kitab yang menghidupkan setiap hati dengan kehidupan yang abadi, dan ia adalah kitab ilmu dan makrifat Ilahiah. Ini merupakan kitab dari Tuhan yang mengajak ke maqam-maqam Ilahiah Yang Mahaagung dan Mahatinggi.(1)

P: 43


1- 76. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 159-161.

Al-Quran adalah sebuah kenikmatan yang bisa dinikmati oleh semua makhluk. Akan tetapi, apa yang dinikmati oleh Rasul Saw. tidak setara dengan apa yang bisa dinikmati oleh orang lain. Sesungguhnya yang mengetahui Al-Quran adalah orang yang diberi wahyu.... Al-Quran turun kepadanya dan beliau tahu apa hakikat yang terkandung di dalamnya. Beliau tahu bahwa mereka yang mendapat pelajaran darinya, juga mengetahui hakikat yang termuat di dalamnya."(1) Dalam pandangan Imam Khomeini, untuk bisa mengetahui hakikat Al-Quran diperlukan nalar dan akal di atas pemahaman biasa yang tidak cukup untuk memahami hakikat yang terkandung di dalamnya.

Kedudukan Ri Dalam pandangan Imam Khomeini, terdapat hubungan yang sangat erat antara riwayat dan Al-Quran serta terdapat kesatuan kandungan dan maksud keduanya, karena keduanya memiliki sumber yang sama. Dalam hal ini, Al-Quran yang disebut Kitab Tadwini (tekstual), sedangkan para Wali Ilahi dan insan kamil sebagai Kitab Takwini (penciptaan) adalah sebaik- baik julukan. Para Wali Ilahi merupakan jelmaan dari kitab- kitab langit dan pembawa Al-Quran Tadwīnī.

“Kitab Takwini llahi dan Quran Nāthiq Rabbani (Quran yang berbicara) juga turun dari alam gaib... Kitab Takwīni Ilahi dan para Wali merupakan tajali dari kitab- kitab langit yang turun dari Penguasa alam semesta, dan pembawa Al-Quran Tadwīnī. Tidak ada yang bisa memahami lahir dan batin Al-Quran, kecuali orang- orang yang terpilih ini.(2) Al-Qur'an adalah bentukan dari nama agung (ism aʼzham); yang mana insan kamil merupakan tajali dari

P: 44


1- 77. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 147.
2- 78. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 18.

ism aʻzham. Bahkan keduanya dalam maqam kehadiran gaib (hadhrah al-ghaib) merupakan satu hakikat. Di alam kemajemukan, keduanya berpisah sesuai dengan jelmaan masing-masing, tetapi dalam hal makna, keduanya tidak terpisah dan ini merupakan makna dari tidak akan berpisah sampai keduanya menemuiku di telaga surga.(1) Zat Al-Haqq Yang Mahasuci ... bermanifestasi dalam wujud Rasulullah Saw. dengan segenap asma dan sifat, juga ber-tajali dalam Al-Quran dengan segenap asma dan sifat pula. (2) Mu'arrif bagi Rasulullah Saw. hanyalah Al-Quran.

Seperti halnya Rasulullah Saw. Imam Al-Shadiq a.s.

dan ... merupakan manifestasi sempurna Al-Haqq Swt., begitu juga Al-Quran merupakan manifestasi sempurna dari Allah Swt.."(3)

Penghalang Ilmu

Dalam istilah Imam Khomeini, perintang yang menghalangi manusia untuk bisa sampai ke tujuan hakiki disebut tabir (hijāb). Tabir-tabir ini memiliki beberapa bentuk, sebagian dalam bentuk tabir kegelapan (zhulmāni), dan yang lain berupa tabir cahaya (nūrānī). Artinya, cahaya juga bisa merupakan salah satu tabir untuk sampai ke tujuan hakiki.

1. Hijab Nurani Wujud nyata dari jenis tabir ini adalah ilmu. Ilmu tauhid sekalipun bisa saja berubah menjadi penghalang yang paling berbahaya, penghalang di pintu makrifat.

“Salah satu tabir besar adalah ilmu. Ia bisa membuat manusia terlena dengan konsep-konsep universal (mafāhīm kulliyyah) dan menghalangi jalan manusia.

la juga merupakan tabir bagi para Wali. Semakin bertambah ilmu, tabir pun semakin tebal .... Dalam hati yang belum siap dan belum matang, ilmu tauhid

P: 45


1- 79. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 17.
2- 80. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 19.
3- 81. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.

merupakan sebuah lumpur, penjara, dan menjadi penghalang baginya, serta dengan ilmu syariat. Ini semua merupakan sarana (wasilah).... Ini semua adalah bagi perantara untuk membangunkan jiwa manusia dan supaya tabir-tabir ini bisa disibak, di mana kita semua adalah kegelapan. Keluar dari kegelapan ini, memungkinkan kita sampai ke tabir-tabir cahaya...."(1) Ilmu dengan segala nilai dan kemulian yang dimilikinya merupakan salah satu tahapan untuk sampai kepada Allah Swt.. Metode ilmiah dan argumen filosofis bisa membuktikan kelemahan hamba dan keagungan Tuhan. Namun, hakikat 'irfān, syuhūd, dan hasil-hasil riyādhah, serta perjalanan spiritual (sulūk) adalah sesuatu yang lain. Ketika seorang sālik mampu menyingkirkan tabir dari hakikat dan bisa melihat kelemahan hamba dalam semua makhluk, ia telah meraih tahapan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahapan yang diraih melalui metode ilmiah yang merupakan sebuah tabir belaka. Oleh karena itu, ketika keduanya dibandingkan, yang satu bisa menjadi tabir bagi yang lain.

Namun, hal itu bukan berarti bahwa kedudukan ilmu adalah seperti ketidaktahuan mutlak (jahl muthlaq), keduanya memiliki derajat yang sama sebagai tabir. Seseorang yang berada dalam ketidaktahuan mutlak artinya ia belum sampai ke tahapan ilmu dan belum naik ke tahapan kemanusiaan. Ketika ia sudah sampai ke tahapan ilmu, hendaklah ia tidak berhenti dan tidak lagi berusaha untuk sampai ke tahapan yang lebih tinggi.

“Jika seorang sālik melewati jalan hakikat dan menempuh jalan penghambaan dengan langkah metode ilmiah dan bersandar pada pemikiran, ia sudah

P: 46


1- 82. Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 143-144.

berada dalam tabir ilmu dan telah mencapai kedudukan awal kemanusiaan. Akan tetapi, tabir ini adalah tabir yang tebal, yang menurut istilah adalah ilmu merupakan tabir terbesar', dan hendaklah seorang sālik tidak berhenti pada tabir ini, tetapi berusaha untuk membakarnya."(1) Yang dimaksud dengan keluar dari tabir adalah tidak menjadikan ilmu sebagai tujuan. Menyibukkan diri dengan hal- hal yang bukan asasi, menumpuk keragu-raguan, mengadakan berbagai kajian tentang hal itu, serta menghabiskan umur hanya pada tataran argumen hanya akan menjerumuskan ke dalam jebakan setan. Hanya memperbanyak ilmu konseptual dan menguatkan daya argumen akan membuat manusia terhalang dalam menempuh jalan yang dilaluinya.

"Terkadang banyak orang menyibukkan diri dengan ilmu-ilmu argumentatif yang bisa menyebabkan kegelapan, hitam dalam hati, dan akan menghalanginya untuk sampai ke tujuan tingginya. Tentang hal ini, dikatakan 'ilmu adalah tabir terbesar."(2) Selain itu, yang dimaksud keluar dari tabir ini bukan berarti tidak berusaha meraih ilmu Hushūli, tetapi hal ini merupakan tahapan untuk mencapai tahapan-tahapan selanjutnya. Setelah sampai ke tahapan ini, seseorang harus melangkah ke tahapan selanjutnya yang lebih besar. Artinya, ia harus melepas dan meninggalkan tahapan ini.

"Apa yang diraih oleh akal lewat kekuatan argumentasi, metode ilmiah, dan lewat kalam akal, hendaklah dituliskan di atas lembaran hati. Hakikat kelemahan hamba dan keagungan Tuhan, hendaklah dihunjamkan ke dalam hati, semua ikatan dan tabir ilmiah hendaklah dilepaskan."(3)

P: 47


1- 83. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 12 dan 263.
2- 84. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 93.
3- 85. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 12.

Namun, tahapan ini bukanlah tujuan akhir karena perjalanan menuju kesempurnaan masih terus berlanjut.

2. Keakuan (Egoisme) Egoisme merupakan tabir yang paling berbahaya.

Seseorang yang berada di balik tabir ini tidak akan bisa melihat apa pun.

"Salah satu tabir yang besar adalah tabir egoisme, di mana seorang pelajar karena tabir ini akan merasa dirinya cukup dan tidak butuh apa pun. Ini merupakan ciri setan yang paling jelas, di mana ia selalu menonjolkan kesempurnaan khayalinya di depan manusia, dan mencoba meyakinkan manusia akan hal itu. Setan selalu menutup mata dari apa-apa yang ada di balik semua yang ia miliki. "(1) Terdapat beragam contoh egoisme. Dari ucapan-ucapan Imam Khomeini, bisa disimpulkan sebagai berikut.

a. Egoisme ahli tajwid: mereka merasa cukup dengan ilmu- ilmu partikular ini dan merasa bahwa hanya mereka yang menguasai Al-Quran.

b. Egoisme sastrawan: mereka beranggapan bahwa seluruh aspek Al-Quran hanya terdapat pada aspek verbal (lafzhi) dan menutup mata terhadap inti hakiki Al-Quran.

c. Egoisme ahli tafsir: mereka hanya asyik dengan bacaan- bacaan, berbagai pendapat ahli bahasa, asbāb al-nuzūl, ayat Makiyyah, dan ayat Madaniyyah.

d. Egoisme para filsuf, para hakim, dan ahli istilah: mereka terpenjara dengan tabir yang sangat tebal, dengan istilah- istilah, konsep-konsep, dan yang sejenisnya.

P: 48


1- 86. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 195.

Untuk bisa memahami Al-Quran, selayaknya kita menyobek tabir-tabir ini.

"Seorang pelajar hendaklah membakar tabir-tabir ini, dan melihat Al-Quran dari balik tabir-tabir ini, serta tidak berhenti di salah satu tabir ini."(1) Teori-Teori Sesat dan Kelompok-kelompok Batil Terdapat banyak faktor yang berbentuk teori-teori sesat memasuki pikiran manusia. Terkadang, hal itu disebabkan oleh kelemahan potensi seseorang dan terkadang karena taklid buta. Dengan sekadar mendengar dari ayah, ibu, atau yang lain, ia memasukkan hal itu ke dalam hatinya. Jika hal itu bertentangan dengan riwayat atau ayat, sebagai reaksinya, mereka menafsirkan riwayat dan ayat tersebut dengan tafsiran yang bertentangan dengan makna lahiriahnya. Contoh yang pernah dikemukakan dalam masalah ini adalah ayat yang berbicara tentang liqā'ullāh (perjumpaan dengan Allah), dan maʼrifatullāh (mengenal Allah), atau tafakur tentang esensi Tuhan. Mereka beranggapan bahwa menafsirkan ayat-ayat seperti ini adalah terlarang dan makrifat ini tidak mungkin diraih. Bahkan, menurut mereka pengkajian masalah-masalah ini tergolong tindakan kafir dan zindik.

“Mereka menyamakan makrifat para Nabi dan para Wali dengan pengetahuan orang awam dan para wanita, khususnya tentang masalah dzāt, asma, dan sifat Al-Haqq Swt.. Bahkan terkadang, mereka berusaha memperlihatkan bahwa pengetahuan mereka lebih tinggi dibanding makrifat para Nabi dan para Wali.

Mereka berkata, 'Si Fulan memiliki akidah awam yang baik. Andaikan kita juga memiliki akidah tersebut!'

P: 49


1- 87. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 196.

Ungkapan ini benar, karena ketika orang seperti ini mengungkapan ucapan tersebut, ia kehilangan akidah awam dan sudah menganggap pengetahuan khusus dan Ilahiah ini adalah batil seperti yang disinggung dalam Al-Quran, “Dan orang-orang kafir berkata, “Andaikan aku adalah segumpal tanah."(1) Pandangan Picik dan Keyakinan Khayali Pembatasan kandungan Al-Quran hanya pada pemahaman orang-orang khusus dan pengkhususan pada kandungan- kandungan lahiriah dan bentuk luaran merupakan tindakan yang sangat berbahaya. Hal ini akan menyebabkan Al-Quran kehilangan makna yang dalam dan kandungannya yang tinggi.

Bahkan, hal ini akan menyebabkan pemahaman dan keyakinan yang tidak benar pada orang lain. Sebagian kelompok meyakini bahwa selain yang ditulis dan dipahami oleh para mufasir, tidak ada seorang pun yang berhak memaknai Al-Quran.

Sebagian lain menganggap bahwa telaah dan tafakur tentang ayat-ayat Al-Quran merupakan penafsiran bi ra’yi. Dengan memperluas bidang penelitian dan kajian dalam lingkup pengetahuan, langkah inilah yang diambil Imam Khomeini dalam menghadapi pandangan-pandangan batil orang-orang seperti ini. Beliau meyakini masalah ini sebagai “hak mutlak akal” dan menganggap tuduhan, bahwa hal ini merupakan tafsir bi ra'yi sebagai tuduhan yang tidak benar. Beliau berkeyakinan bahwa secara asasi, kajian dan tafakur merupakan topik di luar tafsir sehingga tafsiran benar ataupun salah tetap berada pada tempatnya.

“Sebuah hadits menyatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih jauh dari akal manusia daripada penafsiran Al-

P: 50


1- 88. QS An-Naba': 40.

Quran.' Hadits lain menyatakan, 'Agama Allah tidak bisa dicapai oleh akal.' Hadits-hadits ini maksudnya adalah apa yang dimaksud dengan agama Allah adalah hukum-hukum peribadatan dalam agama. Sementara itu, masalah pembuktian adanya pencipta, ketauhidan, penyucian, pembuktian adanya maſād, kenabian, serta seluruh pengetahuan merupakan hak mutlak akal dan wilayah khusus akal."(1) Sikap antiakal, antiperibadatan, dan taklid merupakan penyebab kehancuran yang merugikan, bahkan menyebabkan skriptualisme pada sebagian ulama besar.

“Jika dalam ucapan yang keluar dari para pemuka ahli hadits adalah tentang pembuktian ketauhidan yang bersandar pada dalil naqli, akan didapatkan hal-hal asing bahkan sebuah musibah yang mesti kita berlindung kepada Allah darinya. Ucapan-ucapan seperti ini tidak harus dicela, tetapi kita harus berlindung kepada Allah darinya. "(2) Dalam pandangan Imam Khomeini, setiap penafsiran yang didasarkan pada moralitas, keimanan, dan ‘irfān adalah keluar dari lingkup tafsir bi ra'yi. Hanya satu penghalang yang merintangi penggunaan semua ini, yaitu membatasi dan mengkhususkan pemahaman terhadap kandungan teks-teks wahyu pada pemahaman kaum awam. Sebagian beranggapan bahwa seluruh kandungan dan isi teks agama hanya berada pada hal-hal yang dipahami oleh masyarakat biasa, dan dengan kejumudan, menggunakan hal ini sebagai tolak ukur bagi setiap perkara yang lain. Imam Khomeini berusaha sungguh-sungguh dalam menggugurkan pandangan batil ini. Sebagian dalil untuk menggugurkan pandangan ini secara berurutan adalah sebagai berikut.

P: 51


1- 89. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm 200.
2- 90. Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm 200.

1. Bukti-bukti naqli dalam Al-Quran dan hadits tentang penggunaan moralitas, keimanan, dan ‘irfāni.

2. Hal-hal yang dihasilkan dari penggunaan moralitas, keimanan, dan ‘irfāni sesuai dengan argumen-argumen akal dan ‘irfānī. Oleh karena itu, tuduhan bahwa hal ini termasuk tafsir bi ra'yi adalah tuduhan yang tidak mendasar.

3. Kebanyakan dalam menjelaskan wujud luar konsep ini, juga tidak bisa digolongkan ke dalam tafsir bi ra’yi.

4. Untuk menjaga kehati-hatian dalam perkara agama, terkait hal-hal yang tidak pasti (ghayru badhihi), hendaklah digunakan istilah-istilah ihtimāli, atau imkānī (kemungkinan), bukan istilah jazmi (keniscayaan) sehingga terhindar dari tuduhan adanya tafsir bi ra'yi.(1) “Banyak tafsiran, seperti dalam penafsiran firman Allah, 'Segala puji bagi Allah,' yang merupakan pengkhususan semua pujian hanya kepada Al-Haqq Swt., tergolong ke dalam tauhid afʻālī dan bahwa itu sesuai ayat Al-Quran.

Semua kesempurnaan, keindahan, keagungan, serta kegagahan yang tampak di alam semesta, secara mata lahir dan hati tertutup dinisbatkan kepada makhluk bersumber dari Al-Haqq Swt., dan pada hakikatnya mereka tidak memiliki apa pun. Oleh karena itu, segala pujian hanya milik Al-Haqq Swt. dan tidak ada seorang pun yang menjadi sekutu dalam semua itu.

Apa hubungan ini dengan tafsir sehingga bisa disebut tafsir bi ra'yi atau bukan?"(2) Bahaya yang timbul dari pandangan picik seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan skriptualisme dan tidak akan bisa sampai pada pemahaman agama, kecuali cangkangnya belaka yang hanya ditujukan bagi orang-orang awam. Sementara itu,

P: 52


1- 91. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 347.
2- 92. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 199.

dalam pandangan Imam Khomeini, semua aspek agama – baik akidah ataupun praktik ibadah, memiliki kulit dan isi walaupun berupa amal ibadah, yang oleh sebagian orang hanya dianggap zikir-zikir, wirid-wirid, atau amalan-amalan khusus semata.

Namun dalam pandangan tajam Imam Khomeini, hal itu adalah sesuatu yang lain.

“Sebagian kelompok hanya melihat salat dan seluruh amal ibadah dalam bentuk luar dan cangkang belaka.

Mereka mengetahui zikir-zikir, doa-doa, dan bacaan- bacaan sebatas pada pemahaman awam.... Yang penting bagi mereka adalah tidak mempersempit makna itu semua hanya pada makna-makna umum, dan hanya melihat dari kulit luarnya saja, bukan ibadah yang memiliki hakikat apa pun. Keyakinan ini, selain bertentangan dengan akal dan teks agama, sangat berbahaya bagi manusia, akan menyebabkan mereka merasa cukup dengan itu saja, berhenti di situ, dan terhalang dari perjalanan (sair) ilmiah dan amaliah."(1) Yang dimaksud oleh hadits yang menyatakan bahwa salat memiliki 4.000 tahap yang tidak dapat dilewati orang awam walaupun hanya satu tahap, adalah dalam rangka menjelaskan hakikat yang ada di atas batas-batas lahiriah salat. Jelas, jika yang dimaksud adalah batasan-batasan dan hukum-hukum lahir yaitu syarat-syarat sah salat, menolak untuk melewatinya secara mutlak merupakan pandangan yang tidak benar. (2) Dari sini, thaharah dianggap syarat sah ibadah (salat), dan itu berlaku bagi semua orang, tidak terbatas pada amal-amal lahir saja, di mana perbedaan tingkat setiap orang dilihat dari masalah ini.(3) Penekanan Imam Khomeini dalam masalah ini sangat menarik.

"Termasuk perkara yang sangat penting dan mesti diperhatikan di mana kaum Mukmin, terutama

P: 53


1- 93. Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 23, 27 dan 40.
2- 94. Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 29.
3- 95. Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 60-61.

ahli ilmu, mesti lebih serius mengkajinya, adalah jika mendengar ucapan dari para ahli jiwa dan ahli makrifat, janganlah langsung menuduhnya sesat atau batil, dan jangan menghina dan merendahkan mereka hanya karena ucapan tersebut asing didengarnya atau istilah-istilah yang mereka gunakan tidak bisa dipahami, tanpa alasan yang benar menurut syarit.

Jangan beranggapan bahwa setiap nama (ism) dari tingkatan nafs, kedudukan-kedudukan para Wali dan urafa, manifesatsi Al-Haqq, kerinduan ('isyq), cinta (mahabbah), dan sejenisnya yang termasuk dalam istilah-istilah ahli makrifat adalah bikinan kaum Sufi, hanya merupakan pembenaran terhadap klaim-klaim sufi, atau hanya bikinan sendiri dan menganggap bahwa hal itu tidak didasari argumen-argumen akal dan alasan-alasan yang benar menurut syariat."(1) Dosa Salah satu bencana yang sangat merugikan dalam memahami kandungan Al-Quran adalah melakukan dosa dan kemaksiatan. Kemaksiatan akan berpengaruh langsung terhadap hati manusia sebagai pusat pemahaman, dan ilmu ini akan menjadi tidak berguna. Setiap amal, sebagaimana memiliki bentuk lahir, di alam malaikat juga memiliki bentuk batin. Bentuk malakūti ini akan mengakibatkan terang atau gelapnya jiwa. Jiwa yang bercahaya bagaikan cermin bening yang layak untuk menangkap bayangan manifestasi gaib, jelmaan hakikat, dan makrifat. Sebaliknya, jika cermin ini dipenuhi kotoran dan noda, bayangan makrifat dan hakikat, tidak akan terpantul padanya. (2) Jelas, sebagaimana amal kebaikan dan sair wa suluk amali merupakan faktor utama untuk bisa sampai ke hakikat dan

P: 54


1- 96. Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 64-65.
2- 97. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 201.

memiliki pengaruh langsung terhadap hal ini, amal keburukan juga akan berakibat sebaliknya.

Cinta Dunia Cinta dunia adalah petaka yang akan memunculkan kejahatan-kejahatan lain. Makrifat tidak bisa didapat dengan adanya kecintaan pada duniawi. Semakin besar kecintaan pada duniawi, semakin tebal pula tabir. Terkadang kecintaan kepada duniawi begitu besarnya sehingga menyebabkan padamnya api fitrah dalam jiwa manusia. Al-Quran mengungkapkan tentang hati, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?"(1) Syarat untuk bisa mencapai pemahaman atas kandungan Ilahiyah Al-Quran adalah kesucian jiwa. Siapa pun yang hatinya ternodai oleh kotoran duniawi, mereka tidak akan sampai memahami batin Al-Quran.

“Seperti halnya orang yang tidak suci secara lahir, menurut hukum syariat dilarang untuk memegang kitab ini, begitu juga orang yang hatinya tidak suci karena cinta duniawi, tidak akan bisa meraih pengetahuan, kandungan batin, dan rahasia Al-Quran. "(2)

P: 55


1- 98. QS Muhammad: 24.
2- 99. Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 202.

Catatan I:

1 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212-213.

2 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 174.

3 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 312.

4 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 312-313.

5 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 94-95.

6 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 95.

7 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 94.

8 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 290– 291.

9 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 96-97.

10 Diwan Syaikh Bahā'i.

11 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 96.

12 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 136.

13 QS Al-Ghāsyiyah: 17.

14 QS Al-Ghāsyiyah: 17.

15 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 136.

16 Imam Khomeini, Tafsir Süre-e Hamd, hlm. 139–140.

17 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 145.

18 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 164, dan Imam

Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 42–43.

19 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 164.

20 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 185.

21 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 185.

22 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 188.

23 QS Al-An'ām: 76.

24 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 79.

25 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 188.

26 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 251.

27 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 252.

28 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 253

29 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 255.

30 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 255.

31 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 256.

32 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 301 – 302.

33 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh., hlm. 302-302.

34 QS Al-Hadid: 3.

35 QS Al-Hadid: 3.

36 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 304.

P: 56

37 QS Al-An'ām: 90.

38 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 285.

39 mam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm. 320.

40 QS Al-Anfāl: 17.

41 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 320.

42 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.

43 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.

44 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 22.

45 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 22.

46 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 16.

47 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 20.

48 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 22.

49 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 23.

50 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 23.

51 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 23.

52 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.

53 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 16.

54 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 24.

55 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 61.

56 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 64.

57 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 63.

58 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 19.

59 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 30.

60 QS At-Taubah: 72.

61 QS Al-Muthaffifin: 15.

62 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 33.

63 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 139.

64 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 76.

65 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 28.

66 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 126.

67 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 16.

68 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 127.

69 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 75.

70 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 138.

71 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 144.

72 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.

73 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 17.

74 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 139.

P: 57

75 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 139.

76 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 159-161.

77 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 147.

78 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 18.

79 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 17.

80 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 19.

81 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 20.

82 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 143-144.

83 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 12 dan 263.

84 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 93.

85 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 12.

Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 195.

87 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 196.

88 QS An-Naba': 40.

89 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalah, hlm 200.

90 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm 200.

91 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 347.

92 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 199.

93 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 23, 27 dan 40.

94 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 29.

95 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 60-61.

96 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 64-65.

97 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 201.

98 QS Muhammad: 24.

99 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 202.

P: 58

BAB II

PRINSIP-PRINSIP FILSAFAT DAN PANDANGAN DUNIA

P: 59

P: 60

butir-butir yang akan disinggung dalam Bab ini berkaitan dengan tiga tema, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Dalam pembahasan tiga tema ini, prinsip-prinsip filsafat dan ajaran- ajaran ‘irfāni memiliki peran utama, dan tanpa keduanya siapa pun tidak akan berhasil mengkaji ketiga butir di atas. Dalam kamus akrifat Imam Khomeini, penguasaan mendalam beliau tentang prinsip-prinsip hikmah mutaʼāliyah dan 'irfān teoretis bisa dilihat dengan sangat jelas. Prinsip-prinsip tersebut menjadikan teori-teori yang diajukan memiliki kelebihan dan kekuatan yang cukup menonjol.

Sebagian orang yang tidak menguasai dan memahami hikmah mutaʼāliyah ketika sampai pada masalah makrifat Ilahi, mereka berusaha untuk menutup kajian bahkan melarang segala bentuk kajian dan penelitian tentang hal ini. Selain itu, mereka juga memberikan label bid'ah pada setiap kajian yang berkenaan dengan masalah ini dengan menyandarkan ucapannya pada Al-Quran dan hadits. Sebagian kelompok yang agak netral, ketika berhadapan dengan teks-teks yang kandungannyaberada di luar pemahaman dan keilmuan mereka, tanpa sedikit pun memberikan penjelasan dan penafsiran.

Mereka langsung mengklaim bahwa masalah ini termasuk hal- hal yang samar (ghawāmidh). Mereka beranggapan bahwa teks itu pada dasarnya tidak jelas dan samar bagi semua orang dan berada di luar wilayah berpikir manusia.

Pada kesempatan ini, untuk lebih memperjelas kekayaan pemikiran filsafat, ‘irfān, dan peranan penting keduanya dalam kajian Ketuhanan, manusia, dan alam. Masalah ini akan dikaji secara singkat dengan meneliti pandangan-pandangan Imam Khomeini terhadap hal tersebut.

P: 61

Teologi: Mengenal Tuhan

Sudah menjadi kesepakatan para filsuf dan para Arif, bahwa mustahil adanya batasan bagi ilmu dan makrifat Al-Haqq Swt., hal ini juga dikuatkan oleh wahyu. Dalam pandangan Imam Khomeini, butir ini terletak pada awal kajian teologi.

"Zat Suci Al-Haqq Swt. pada hakikatnya bersih dari segala bentuk penyerupaan; baik lahir maupun batin serta suci dari isyarat, sifat, dan nama. Tangan harapan para ahli makrifat tidak sanggup menggapai semua keagungan-Nya dan kaki sulūk para pemilik hati (ahl al-qulüb) lemah di hadapan kedudukan suci- Nya. Tujuan makrifat para Wali sempurna adalah mā 'arafnāka (kami tidak sanggup mengenali-Mu dengan sebenar-benarnya) dan akhir perjalanan para pemilik rahasia (ahl al-asrār), adalah mā 'abadnāka (kami tidak sanggup beribadah pada-Mu sebagaimana mestinya).

Puncak ahli makrifat dan ahli tauhid adalah sampai ke kedudukan tinggi kamāl al-ikhlāsh nafy al-shifāt 'anhu (keikhlasan sempurna dan menafikan segala sifat dari- Nya).(1) Tujuan ahli sulūk, para ahli sujud, dan para Arif adalah yang tertinggi, di mana sifat-sifat menyatu dengan-Mu dan segala atribut terkoyak-koyak di sisi- Mu (dhāllat fika al-shifātwa tafassakhat dūnaka al- nuʻūt). "(2)(3) Prinsip dan butir logis ini – kemustahilan adanya keterbatasan dalam ilmu Tuhan, begitu rumit sehingga mengakibatkan banyak orang yang mengklaim telah menggapai ilmu tersesat. Maka, sebagian kelompok secara umum menutup pintu menuju pengetahuan tentang Tuhan dan tidak mengizinkan seorang pun melakukan kajian apa pun tentangnya dan penelitian tentang Dzat Suci Ilahi. Ketidakmampuan memahami maksud hakiki dalam masalah ini mengakibatkan mereka terjebak dalam lingkaran ini. Sementara itu, dalam

P: 62


1- 1.Nahjul Balāghah, Khotbah no. 1.
2- 2.Shahifah Sajjādiyyah, Doa no. 32.
3- 3.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 305.

pandangan Imam Khomeini, pelarangan terhadap kajian masalah ini tidak bersifat mutlak. Dengan pengertian bahwa pelarangan itu hanya berlaku pada sebagian tingkat maqam Al-Haqq Swt., sedangkan pada tingkat yang lain, pelarangan hanya berlaku bagi sebagian individu, bukan bagi semuanya.

Dengan menggunakan istilah-istilah 'irfānī tentang Dzat Ilahi, penjelasan kajian ini akan menjadi mudah. Menurut keyakinan para ahli 'irfān, terdapat tiga tingkatan untuk Dzat Ilahi. Terkadang, Dzat Ilahi dilihat dari dimensi min haitsu hiya (pada level hakikat dirinya), dan ini adalah maqam ghaib mashūn, (sirr maknūn/majhūl muthlaq: maqam yang sangat tersembunyi) terkadang, yang dimaksud adalah maqam ahadiyyah dan manifestasi pada emanasi tersuci (faidh aqdas); dan terkadang dilihat dari dimensi maqam wāhidiyyah dan manifestasi pada emanasi suci (faidh muqaddas) dalam kedudukan Dzat Ilahi. Yang tidak bisa diraih dalam tafakur semua orang adalah level pertama, bukan yang kedua.

“... Dzat Kudus Gaib, tangan para pengharap tidak mampu meraihnya. Menghabiskan umur untuk memikirkan Dzat tersebut hanya akan mengakibatkan kesesatan. Sementara itu, yang bisa diketahui oleh para ahli Allah dan para pengenal-Nya adalah maqam wāhidiyyah' dan ahadiyyah. Maqam wāhidiyyah adalah bagi kaum ahli Allah yang awam dan maqam ahadiyyah adalah untuk kaum khusus di antara mereka.(1) Kajian ini yang lebih detail dibahas dalam karya Imam Khomeini. Secara umum juga diberi penjelasan yang memadai tentang hadits yang menyarankan dan hadits yang melarang tafakur tentang Dzat. Sangat jarang ditemukan buku yang

P: 63


1- 4.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 307.

mengkaji masalah ini seindah penjelasan yang disampaikan oleh beliau.

Tauhid Sifat

Dalam kajian ini juga terdapat istilah-istilah yang khusus digunakan oleh para ahli Allah. Oleh karena itu, kajian ini diawali dengan sifat dan nama (ism) yang kemudian dilanjutkan pada masalah tauhid sifat. Sifat Ilahi memiliki dua maqam, yaitu:

1. Asma dan sifat esensial (dzātiyyah) yang berada dalam manifestasi wahidiyah (hadhrah wāhidiyyah).

Pengetahuan, kuasa (qudrah), dan sifat yang terkait dengan dzāt termasuk dalam maqam-maqam dzāt.

2. Asma dan sifat fiíliyyah dimiliki oleh Al-Haqq dengan bermanifestasi pada emanasi suci (faidh al-muqaddas), seperti ilmu fi'li menurut pandangan para penganut paham Illuminasi (isyrāqiyyūn).(1) Maqam dzāt berbeda dengan maqam-maqam lain, dan sifat-sifat ini merupakan tabir cahaya (nūrāni) bagi dzāt.

Dalam dzāt ahadiyyah, segala entifikasi (taʻayyunāt), dan sifat semuanya melebur.

“Asmaul husna dan sifat-sifat tinggi rububiah merupakan tabir cahaya bagi dzāt ahadiyyah, di mana entifikasi asma semuanya melebur. Pada maqam ini, semua manifestasi sifakan."(2) Dalam hal ini, konsep-konsep asma tentang Tuhan dilihat dari segi maqam penampakan (zhuhūr) dan manifestasi Al- Haqq. Kemajemukan (takatstsur) pertama di alam eksistensi adalah takatstsurilmi (kemajemukan ilmu) ketika Al-Haqq dengan penyingkapan secara terperinci (kasyf al-tafshili) dalam

P: 64


1- 5.Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 308.
2- 6.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 119.

inti ilmu secara global, melihat diri-Nya dalam cermin sifat dan asma dzāt.(1) "Semua asma dan sifat Ilahi adalah sempurna, bahkan merupakan kesempurnaan itu. Hal itu dikarenakan di dalam maqam ini tidak ada kekurangan dan segala kesempurnaan merupakan jelmaan dari kesempurnaan asma Ilahi dan manifestasi-Nya. Ism yang paling sempurna adalah ism dari semua kesempurnaan ...

dan di antara asma Tuhan, “Allah” adalah yang paling sempurna."(2) Masalah tauhid sifat merupakan kajian yang paling rumit dalam pembahasan teologi. Karena kerumitan ini, sebagian kelompok terjerumus ke dalam penambahan sifat bagi Tuhan, sedangkan sebagian lain menafikan dan menghilangkan sifat- sifat kesempurnaan dari-Nya. Namun, para filsuf Islam- berkat bimbingan para Imam Ahlulbait a.s. - menganggap kedua paham tersebut adalah sesat dan berkeyakinan adanya kemanungggalan dzāt, sifat, dan di antara sifat-sifat itu. Tanpa memahami dasar-dasar Filsafat Hikmah Muta'āliyah, mustahil bisa memahami pembahasan yang sepelik dan serumit ini:

basīth al-haqiqah kull al-asyyā' (hakikat murni adalah segalanya), dan shirf al-wujud kull al-asyyā' (eksistensi murni adalah segalanya), serta eksistensi mutlak adalah pencipta segala sesuatu. Banyak kajian yang sangat rumit ini didapatkan dalam penjelasan-penjelasan Imam Khomeini, dan disampaikannya dengan penjelasan argumentatif.

Dalam Hikmah Muta'āliyah Ilahi telah diajukan argumentasi tentang satu masalah yaitu:

“Semakin sederhana (basīth) suatu eksistensi, semakin identik dengan keesaan. Keluasan eksistensi dan

P: 65


1- 7.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 119.
2- 8.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm 112.

cakupannya atas semua eksistensi yang berbeda-beda akan menjadikannya semakin sempurna. Apa yang ada di sebuah zaman juga ada di alam dahr, tetapi dalam bentuk eksistensi kolektif (jamʻi). Begitu pula, semua eksistensi yang bertentangan di zaman, ada juga di alam dahr dalam bentuk yang lebih halus. Apa yang bervariasi di dalam penciptaan pertama (di dunia) akan tampak dengan keserasiannya di dalam penciptaan akhirat.(1) Eksistensi mutlak adalah Pencipta segala sesuatu dan Pemilik segala kesempurnaan. Argumen 'eksistensi murni adalah segala sesuatu, tetapi bukan sesuatu darinya', artinya segala sesuatu, tetapi berbeda dengan bentuk entifikasi (taʻayyunāt), dan segala eksistensi, tetapi tidak dalam bentuk entitas, melainkan dalam bentuk kesempurnaan mutlak."(2) Dalam teks-teks agama terdapat istilah-istilah tentang Al-Haqq Swt. dan sifat-sifat kesucian-Nya, tidak ada jalan lain untuk bisa menjelaskan segala aspek sifat eksistensi sederhana mutlak, kecuali dengan kaidah tersebut. Imam Khomeini, dengan mengacu pada kaidah ini, menafsirkan teks berikut yang dinukil dari Amirul Mukminin a.s.

“Mahasuci Dia yang telah meluaskan rahmat-Nya kepada wali-wali-Nya dengan besarnya bencana dan membesarkan bencana-Nya bagi musuh-musuh- Nya dengan luasnya rahmat.(3) Juga, disebutkan ayat berikut: “Katakanlah, Serulah Allah atau serulah Ar- Rahmān'. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik)."\(4) Penjelasan Imam Khomeini yang berlandaskan pada dasar-dasar filsafat adalah sebagai berikut:

“Hakikat eksistensi, hakikat keesaan, dan cahaya murni, terlepas dari segala ketergantungan karena la

P: 66


1- 9.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm 44.
2- 10.Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 162.
3- 11.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 45.
4- 12.QS Al-Isra': 110.

merupakan hakikat sederhana (basīth al-haqiqah). Di dalamnya tidak ada sedikit pun ketiadaan, keburukan, dan kekurangan. Maka, la adalah segala sesuatu, tetapi bukan salah satu dari semua itu, dan hakikat seperti ini memiliki sifat-sifat yang berlawanan. Eksistensi yang Esa terlepas dari kemajemukan, baik eksistensial maupun intelektual, dan suci dari entifikasi, baik di dunia luar maupun dalam pikiran. Kesimpulannya, hakikat Mahatinggi Al-Haqq dalam penampakannya adalah ketersembunyiannya dan dalam ketersembunyiannya adalah penampakan; rahmat-Nya ada dalam kemarahan- Nya, dan kemarahan-Nya ada dalam rahmat-Nya.(1) Bacalah, entah itu Allah, Rahman, Rahim, atau nama- Nya yang mana pun, semuanya adalah asmaul husna.

Semua asmaul husna ada dalam sifat-sifat Al-Haqq Swt. dan karena bersifat mutlak maka tidak ada batasan, karena nama (isim) adalah yang dinamai itu (musamma). Eksistensi mutlak adalah kesempurnaan mutlak. Kesempurnaan mutlak, segala sesuatunya mutlak, semua sifatnya mutlak sehingga kita tidak bisa membayangkan adanya keterpisahan di antara itu semua."(2)

Tauhid Perbuatan

Butir terpenting dalam kajian ini adalah hubungan perbuatan dan pengaruh pelaku alami dan insani dengan perbuatan Tuhan. Kemudian, apakah ada eksistensi lain yang berpengaruh selain Tuhan? Sebagian kelompok untuk menghindari pengaruh lain selain Tuhan, menisbatkan semua perbuatan kepada-Nya dan menganut paham jabr (manusia tidak memiliki ikhtiar dalam perbuatannya). Sebagian lain untuk menyucikan Tuhan dari sebagian perbuatan dan kekurangan, meyakini bahwa semua makhluk berdiri sendiri dalam semua perbuatannya dan memegang paham Tafwidh (manusia memiliki ikhtiar mutlak).

P: 67


1- 13.Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 20.
2- 14.Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 162–163.

Jelas, kedua kelompok ini meyakini penisbatan perbuatan, yang satu bersifat hakiki dan yang lain bersifat majazi. Jika digabungkan, kedua kelompok tersebut adalah sama dengan yang lain; selain menisbatkan perbuatan kepada Tuhan, mereka juga menisbatkan perbuatan kepada makhluk; kedua sisi ini bersifat hakiki, tidak bersifat majazi.

"Pemahaman akan hubungan antara Tuhan, dan makhluk, serta hubungan perbuatan di antara keduanya merupakan kajian yang sangat penting dalam pembahasan teologi dan induk dari semua masalah filosofis sehingga ketika masalah ini mampu diselesaikan akan banyak masalah penting lain yang akan terselesaikan, di antaranya adalah masalah jabr dan tafwidh."(1) Teks-teks Al-Quran dan hadits sarat dengan kandungan bahwa satu perbuatan selain dinisbatkan kepada Tuhan juga dinisbatkan kepada makhluk, seperti pembahasan tentang turunnya Al-Quran. Terkadang, penurunan Al-Quran dinisbatkan kepada Tuhan, seperti ayat:

“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Quran pada malam yang penuh berkah.(2) “Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Dzikr dan kami juga yang akan menjaganya.(3) Di tempat lain disebutkan bahwa penurunan Al-Quran dinisbatkan kepada makhluk, seperti ayat:

“Telah turun ruh Al-Amin dengan membawa Al- Quran."(4) Terkait masalah turunnya Al-Quran, sebagian kelompok berpegang pada ayat,

P: 68


1- 15.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 7,8 dan 319.
2- 16.QS Ad-Dukhān: 3.
3- 17.QS Al-Hijr: 9.
4- 18.QS As-Syu'arā': 193.

"Hai Haman! Buatkanlah bagi-Ku sebuah bangunan yang tinggi. "(1) Namun dalam pandangan Imam Khomeini, penyelesaian seperti ini tidaklah benar karena mereka telah membandingkan perbuatan Tuhan dengan perbuatan makhluk. Mereka mengira perbuatan Tuhan berhubungan dengan makhluk, seperti perbuatan makhluk berhubungan dengan makhluk lainnya. Ia berkeyakinan bahwa hanya dasar-dasar filosofis serta 'irfāni- lah yang mampu menjelaskan pemahaman yang benar tentang hubungan perbuatan antara Tuhan dan makhluk.

“Seluruh alam keberadaan dan tingkatan-tingkatan eksistensi adalah bentuk emanasi suci (faidh muqaddas) yang merupakan manifestasi illuminatif (tajalli isyrāqi) Al-Haqq Swt., seperti halnya relasi illuminatif (idhāfiyyah isyrāqiyyah) merupakan wujud penghubung, terikat, dan kefakiran murni. Maka, entitas dan bentuk pun merupakan eksistensi terikat (wujūd rabthi), di mana ia tidak memiliki identitas dan kemandirian. Dengan kata lain, seluruh ruang keberadaan adalah fana dalam Al- Haqq Swt., baik dalam esensi, sifat, maupun perbuatan.

Atas dasar ini, peran dan perbuatan kesempurnaan dinisbatkan kepada makhluk dengan hubungan demikian (hubungan antara wujud makhluk dengan wujud Al-Haqq Swt.). Juga, hal itu dinisbatkan kepada Tuhan dengan penisbatan yang sama, di mana tidak ada yang bersifat majazi pada kedua sisi."(2) Dalam masalah ini, bentuk teks-teks agama tidak sama sehingga seseorang tidak bisa seenaknya menisbatkan satu perbuatan ke satu pihak hanya dengan menafsirkan sebagian teks. Namun di sisi lain, terdapat teks-teks yang mendukung pendapat yang sebaliknya. Di antaranya adalah ayat, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang

P: 69


1- 19.QS Al-Mu'min: 36.
2- 20.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 319-320.

ubun-ubunnya,"(1) bagi mereka yang meyakini paham Tafwidh akan menjadi sebuah kesulitan dan kemusykilan. Hal ini juga tidak berarti mendukung paham Jabr dengan menghapus perantara (bagi perbuatan Tuhan), karena di sisi lain terdapat teks-teks yang bertentangan dengan pandangan tersebut. Oleh karena itu, penjelasan ihwal kemandirian dan ketercakupan tanpa ada perantara wujud Al-Haqq Swt. tidak bertentangan dengan aturan yang menyatakan adanya perantara bagi perbuatan Tuhan.

“Jika seseorang mengira bahwa Al-Haqq Swt.

tersusun dari setiap eksistensi yang ada dan meliputi setiap eksistensi tanpa ada perantara, seperti yang diisyaratkan dalam ayat, 'Tidak ada satu binatang melata pun melainkan Dialah yang memegang ubun- ubunnya'.(2) Berarti mereka telah menyamakan maqam-maqam dan telah salah memahami istilah-istilah. Mereka telah menyamakan antara maqam katsrah (kemajemukan) dan tingkatan eksistensi dengan kefanaan entitas."(3) Oleh karena itu, yang bisa menyelesaikan penisbatan- penisbatan ini adalah orang yang mampu menyatukan antara wahdah dan katsrah. Orang-orang yang tertabir dari wahdah akan menisbatkan perbuatan hanya kepada makhluk, dan sebaliknya, orang yang dalam dirinya didominasi wahdah hanya menisbatkan segala perbuatan kepada Tuhan.

“Orang yang berada dalam katsrah murni dan tertabir dari wahdah akan menisbatkan perbuatan kepada makhluk dan akan lalai kepada Al-Haqq Swt., seperti kita yang termasuk orang-orang yang tertabir. Mereka yang didominasi wahdah dan tertutup dari makhluk akan menisbatkan semua perbuatan kepada Al- Haqq Swt..... Seorang Arif hakiki adalah orang yang

P: 70


1- 21.QS Hūd: 56.
2- 22.QS Hūd: 56.
3- 23.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 137.

mampu menyatukan wahdah dan katsrah, yaitu selain menisbatkan perbuatan kepada Al-Haqq Swt. dengan pengertian hakiki, juga menisbatkan perbuatan kepada makhluk dalam pengertian hakiki. "(1) Atas dasar keyakinan ini, kita disarankan untuk merujuk pada teks seperti ayat, “Tidaklah engkau melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. "(2) Dalam ayat ini, walau dinisbatkan pekerjaan melempar kepada manusia, juga dinafikan perbuatan itu darinya. Jadi, selain dinafikan juga dinisbatkan. Pandangan kaum Arif tentang kesatuan antara wahdah dan katsrah akan bisa menggali maksud hakiki teks ini.

“Kita bisa menggunakan kajian tauhid fi'li (tauhid perbuatan) untuk mengkhususkan pujian hanya kepada Al-Haqq Swt. dan melepaskan semua pujian dari tangan makhluk .... Untuk hal itu, terdapat maqam-maqam, di antaranya adalah penafian Ketuhanan dalam perbuatan yang dengan kata lain tidak ada yang berpengaruh dalam wujud, kecuali Allah'."(3) Imam Khomeini dalam menjelaskan masalah ini, selain mengkajinya dari aspek ‘irfāni, beliau juga mengkajinya dari aspek filosofis. Butir-butir filosofis yang berpengaruh dalam menganalisis pembahasan ini adalah semua wujud imkāni (eksistensi mungkin) adalah bayangan yang dinisbatkan kepada eksistensi Al-Haqq Swt.. Mereka adalah wujud rabthi murni dan tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu, pengaruh penciptaan tidak bisa dinisbatkan kepada mereka. Suatu eksistensi bisa disebut mencipta ketika seorang fā'il (subjek) berdiri sendiri

P: 71


1- 24.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.
2- 25.QS Al-Anfāl: 17.
3- 26.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 372.

dalam mencipta, yang membutuhkan kemandirian dalam eksistensi. Dengan bantuan kajian 'irfāni, pembahasan itu akan seperti berikut.

“Hakikat eksistensi bayangan (zhill) adalah tajali dari kekuasaan Al-Haqq Swt.. Dalam cermin-cermin penciptaan makna lā ilaha illallāh adalah penyaksian perbuatan dan kekuasaan Al-Haqq Swt. dalam makhluk, menafikan entifikasi penciptaan, memfanakan maqam fā'iliyyah, serta pengaruhnya dalam Al-Haqq Swt.."(1)

Antropologi

Dalam pandangan dunia religius, manusia memiliki perbedaan mendasar dengan makhluk lainnya. Terdapat banyak sisi dalam esensi manusia yang menyebabkan perbedaan ini. Dari sisi ontologis, manusia berada para sederetan makhluk yang mengalami proses penyempurnaan dan aktualisasi yang merupakan keistimewaan manusia.

Pandangan Imam Khomeini tentang manusia sejalan dengan refleksi agama dan prinsip-prinsip supranatural logika. Sifat- sifat yang dikemukakannya tentang manusia sangat jelas menguatkan hal ini. Begitu pula, dzauq ‘irfāni memiliki peran vital dalam masalah ini. Dua istilah, yaitu jāmi' (komprehensif) dan kāmil (sempurna) menjelaskan seluruh kandungan yang sangat cocok dengan potensi eksistensi yang dimiliki manusia.

Insan adalah eksistensi yang memiliki seluruh dasar rangkaian wujud. Oleh karena itu, dengan terpenuhinya semua ini, manusia bisa mencapai puncak kesempurnaan.

P: 72


1- 27.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalah, hlm. 138, 139, 172 dan372.

Insan Kamil

Tanda-tanda insan kamil (manusia paripurna) adalah sebagai berikut:

1. Kesatuan (jāmi“) dari seluruh kesatuan ada dalam kemajemukan (wahdah fi 'ain katsrah).

Manusia adalah eksistensi yang memiliki seluruh tingkatan konkret (ʻainī), ideal (mitsālī), dan indrawi (hissī).

Dalam dirinya berkumpul seluruh alam gaib (ghaib), alam nyata (syahādah), dan hal-hal yang ada di antara keduanya, seperti yang difirmankan Allah Swt., “Dan Allah telah mengajarkan kepada Adam semua asma."(1)and(2) Banyak istilah yang digunakan oleh Imam Khomeini tentang manusia. Istilah-istilah itu diambil dari teks-teks agama, seperti Hujjah Terbesar Tuhan bagi Makhluk, Kitab yang Ditulis oleh Tuhan, Jalan yang Lurus, Khalifah Tuhan di Muka Bumi, dan lain-lain. Hendak diperhatikan bahwa istilah-istilah ini merupakan istilah bagi insan kamil, bukan istilah umum bagi semua manusia.

Kesempurnaan adalah keluar dari potensi (quwwah) menuju aktualisasi (fiʻl). Untuk bisa keluar dari potensi menuju aktualisasi, manusia harus memiliki hubungan dengan Sang Pembimbing (Murabbī). Doa akan menciptakan hubungan ini, jika ia memiliki potensi yang sesuai dengan doa dan hubungan ini, doa tersebut pasti terkabul.

Yang menjadi inti kajian dalam masalah ini adalah sistem asma tentang alam Ketuhanan. Tuhan dengan segala asma dan sifat-Nya adalah pembimbing bagi manusia. Insan kamil

P: 73


1- 28.QS Al-Baqarah: 31.
2- 29.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 10.

adalah manusia yang dalam jalur makrifatnya mampu melewati tahapan penyatuan antara wahdah dan katsrah. Penyatuan dua hal ini merupakan tingkatan dan maqam yang paling sulit, tempat para Nabi, sekalipun tidak semuanya bisa melewati tahapan ini. Hanya Nabi terakhir yang mampu melewatinya.

"Menjaga maqam katsrah dalam wahdah dan wahdah dalam katsrah tidak bisa dilakukan oleh semua Nabi, kecuali Nabi terakhir secara hakiki dan para Walinya yang tidak hakiki."(1) Apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw. adalah sebagai berikut:

"Saudaraku Musa, mata kanannya buta, sedangkan saudaraku Isa, mata kirinya buta, sedangkan aku memiliki dua mata yang bisa melihat."(2) Jika kita mengkaji doa-doa, kita akan menyaksikan dengan jelas bahwa katsrah kadang lebih dominan dalam diri seorang sālik (penempuh jalan spiritual), kadang wahdah yang lebih dominan, dan berdasarkan hal ini, seorang sālik menyebut nama Tuhannya. Sementara itu, insan kamil dalam doa-doanya memanggil Tuhan dengan penyatuan antara wahdah dan katsrah, walaupun mungkin saja salah satunya lebih dominan.(3) Tuhan dengan ism aʻzham-Nya, yaitu kumpulan seluruh kehadiran eksistensial (hadhrāt wujūdi) — bermanifestasi dalam diri insan kamil. Insan kamil tersebut adalah cermin seluruh sifat Al-Haqq Swt. dan juga merupakan khalifah Tuhan di muka bumi ini.

P: 74


1- 30.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 132-133.
2- 31.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 132–133
3- 32.Imam Khomeini, Tafsīr Sure-e Hamd, hlm. 214.

2. Kesatuan Sifat Jalāl dan Jamāl Manusia diciptakan oleh Tuhan dan dijadikan sebagai khalifah-Nya. Tuhan dengan maqam ulūhiyyah-Nya adalah kesatuan dari seluruh sifat yang saling berlawanan, seperti sifat kasih (rahmah) dan murka (ghadhab), tersembunyi (buthūn) dan tampak (zhuhūr), yang awal (awwaliyyah) dan yang akhir (ākhiriyyah). Begitu pula dengan khalifah-Nya, karena kedekatan dengan kesatuan (wahdah) dan kesederhanaan (bisāthah), ia juga memiliki kesatuan ini walaupun hati insan kamil dan para Wali Ilahi berbeda dalam dimensi penampakan manifestasi Al-Haqq.(1) Hati yang satu merupakan manifestasi dari cita rasa (dzauq), cinta ('isyq), keindahan, serta keelokan, sedangkan hati yang lain merupakan manifestasi keagungan, kebesaran, dan kekuatan.

Hanya ada satu hati yang memiliki kedua sifat yang berlawanan, yaitu sifat jalāl dan jamāl, serta nama teragung (ism aʻzham), tempat kesatuan sifat bermanifestasi dalam dirinya, yaitu hati penutup para Nabi (Muhammad Saw.) dan para washi-nya. Namun sesuai potensi yang dimiliki para Nabi, Tuhan bermanifestasi kepada mereka. Contohnya, karena Nabi Yahya memiliki hati yang tunduk dan khusyuk, Tuhan pun menampakkan sifat jalāl kepadanya, yaitu sifat angkuh, agung, dan keras, sedangkan kepada Nabi Isa yang memiliki hati yang selalu berbaik sangka kepada Tuhannya, Dia tampakkan dengan sifat lembut dan kasih.

3. Kitab Takwini Dalam menjelaskan masalah ini, akan ditelusuri garis perjalanan kemunculan manusia mulai dari alam ulūhi sampai

P: 75


1- 33.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 45 – 46; hlm.158.

materiel pertama (hayūlā), dan mulai dari alam hayūlā sampai maqam dāna fatadallā (semakin dekat (pada Tuhan]—peny.).

Perjalanan manusia, mulai dari awal sampai akhir penciptaan melewati dua qaus (jalur). Garis perjalanan berputar ini memiliki dua perjalanan, yaitu turun (nuzūlī) dan naik (shu'ūdī). Manusia, dalam jalur perjalanan turunnya, bermula dari kehadiran tunggal (hadhrah wāhidiyyah) dan entitas permanen ('ain tsābit) yang berada di alam Ilahi dan masuk ke alam kehendak (māsyiyah). Dari sana, berlanjut ke alam akal ('uqūl), alam ruh, malaikat muqarrab, lalu ke alam malakūt tinggi ('ulyā), ke alam barzakh, dan alam mitsāli (ideal), lalu bersambung ke alam tabiat. Di alam tabiat, manusia mengenakan baju yang paling rendah, yaitu materi pertama (hayūlā).

Sementara itu, jalur perjalanan naik (shu'ūdī) dan penyempurnaan (takammulī) manusia, dimulai dari titik yang paling rendah berlanjut ke haribaan Al-Wājib Swt..

Ayat Al-Quran dalam Surah At-Tin menjelaskan kedua perjalanan tersebut, yaitu nuzūli dan shu’ūdi, “Sungguh Kami telah ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya penciptaan.

Kemudian, Kami kembalikan ia kepada yang paling rendah di antara yang rendah."(1) Dalam gambaran ini, manusia tersusun dari seluruh rangkaian eksistensi.

"Insan kamil adalah seluruh rangkaian eksistensi, dan melalui perantaraannya, lingkaran eksistensi menjadi sempurna. Ia adalah awal dan akhir, lahir dan batin, dan ia adalah kitab universal Ilahi. "(2) Karena insan kamil merupakan Kitab Takwini, maka semua sifat yang dimiliki Kitab Tadwini (Al-Quran) juga dimilikinya. Kata takwin (penciptaan), sesuai dengan maknanya,

P: 76


1- 34.QS At-Tin: 4–5.
2- 35.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 91.

memiliki tingkatan kurang sempurna, dan paling sempurna.

Standar pembagiannya adalah kadar yang dimilikinya dalam mencerminkan alam gaib, pusaka yang tersembunyi (kanz al- makhfi), dan rahasia yang tertutup.

“Setiap sesuatu yang merupakan manifestasi Al-Haqq Swt., cermin esensinya akan semakin sempurna dan lebih mencerminkan alam gaib. "(1) Dengan penafsiran ini, 'uqūl dan nufūs espahbedi merupakan kalimah yang sempurna karena dalam perbandingannya dengan eksistensi-eksistensi lain, ia terlepas dari debu entifikasi esensial dan kerendahan materi. Namun, masing-masing darinya merupakan cermin bagi salah satu sifat dan ism. Mereka terhitung rendah di hadapan insan kamil yang memiliki eksistensi yang sempurna dan merupakan cermin dari seluruh tanda dan sifat Ilahi, dan merupakan kalimah Ilahi yang paling sempurna.

Penerapan kata kalimah pada semua wujūd takwini bisa berdasarkan analisis atas arti kata kalām. Kalām dipakai untuk mengungkapkan yang terkandung dalam batin (dhamī) sehingga setiap sesuatu yang memiliki peran seperti ini, istilah ini bisa digunakan. Yang mengilhami pembahasan ini adalah ucapan Amirul Mukminin a.s. tentang Al-Quran, “Sungguh Dia telah bermanifestasi pada hamba-hamba-Nya dalam kalam-Nya, tetapi mereka tidak bisa melihat manifestasi itu." Pembahasan sesuai dengan ucapan ini, bahwa kalam Ilahi merupakan suara dan panggilan yang tidak bisa didengar, perbuatan Tuhan adalah kalām itu yang menjadi sempurna. Telah dinukil dari beliau a.s., “Ketika Dia berkehendak terjadinya sesuatu, Dia berfirman,

P: 77


1- 36.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 90.

Jadilah!' maka jadilah ia, bukan dengan suara yang bisa diindra dan bukan dengan seruan yang bisa didengar, tetapi kalam- Nya adalah perbuatan-Nya." Analisis ini merupakan dalil bagi kesamaan antara Kitab Tadwīni (Al-Quran) dan Kitab Takwini (insan kamil). Sebagian dari kesamaan itu sebagai berikut.

1. Kesamaan dalam cara turun (nuzūl).

Seperti halnya Kitab Tadwīni turun dari alam gaib bersamaan dengan ribuan tabir, begitu pula dengan Kitab Takwini. Dengan alasan ini, Kitab Takwini (insan kamil) adalah orang yang pantas mengemban Kitab Tadwīnī (Al-Quran).

“Kitab Takwini Ilahi ini adalah para Wali-Nya, di mana mereka adalah kitab-kitab langit dan tidak ada seorang pun yang mengemban lahir dan batin Al-Quran, selain mereka."(1) Dengan sifat ini, rahasia yang terkandung dalam sebagian hadits akan menjadi jelas. Hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwa ilmu tentang kandungan kitab hanya dimiliki oleh para washi Nabi Saw.. Sebagian dari hadits-hadits ini sebagai berikut:

"Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Demi Allah, kami memiliki seluruh ilmu kitab itu.' Imam Baqir a.s. berkata, “Tidak ada seorang pun yang bisa mengklaim dirinya memahami kandungan seluruh Al-Quran, baik lahir maupun batinnya, kecuali para washi.'(2) 2. Kesamaan dalam tampak dan tersembunyi Seperti halnya, Kitab Tadwini memiliki 7 atau 70 batin dan tidak ada yang bisa mengetahuinya, kecuali Allah dan orang- orang yang mumpuni (rāsikhūn) dalam ilmu, serta hanya orang-

P: 78


1- 37.Imam Khomeini, Tafsīr Sure-e Hamd, hlm. 93–94.
2- 38.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 94.

orang suci yang bisa memahaminya. Begitu pula dengan Kitab Takwini Ilahi, yaitu kitab Anfusi ataupun Ufuqi. Keyakinan akan kesamaan-kesamaan ini akan mempermudah permasalahan.

Sebagaimana dalam memahami Kitab Tadwini tidak dibenarkan hanya melihat dari sisi lahir, begitu pula dalam menilai insan kamil. Cara ini akan mengakibatkan kesesatan dan kesalahan seperti yang telah dilakukan oleh setan. Setan, dengan hanya melihat lahiriah manusia dan dengan pandangan yang terbatas, mencoba perbandingkan dan menjadikan alasan akan kekuatan dan kebesaran dirinya. Ia membuat perbandingan antara api dan tanah, yang seharusnya ia membandingkan antara cahaya Adam a.s. dan api sehingga ia akan bisa melihat kelebihan yang dimiliki Adam a.s..

Contoh lain dari sikap memandang lahiriah takwin (penciptaan) adalah perbuatan orang-orang yang mengingkari para Nabi a.s.. Mereka yang tertabir dari maqam-maqam dan kedudukan maknawi para Nabi.

“Dan atas dasar ini, mereka beranggapan bahwa para Nabi adalah seperti manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan, kecuali dalam tindakan-tindakan lahiriah dan duniawi belaka."(1)

Garis Perjalanan Penyempurnaan Manusia Biasa

Kesempurnaan adalah suatu proses melebur dan menghilangnya sesuatu, kemudian digantikan dengan dengan bentuk lain, seperti kesempurnaan materi pertama (hayūlā) dengan bentuk (shūrah), dan kesempurnaan genus (jins) dengan diferensi (fash/). Dalam masalah ini, Imam Khomeini mengambil inspirasi dari aspek batin dan lahir teks-teks agama,

P: 79


1- 39.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 95.

mengkaji masalah kewalian (wilāyah), dan peran pentingnya dalam kesempurnaan manusia.

Dari sudut pandang ini, semua ibadah, akidah, dan hukum syariat memiliki peran sebagai hayūlā, di mana semuanya hanya kulit dan bungkus, sedangkan wilāyah adalah batin dan penyebab aktualisasi (fiʻliyyah) sesuatu. Materi dan hayūlā tanpa shūrah tidak mungkin terwujud, terutama alam akhirat yang merupakan alam kehidupan (dār al-hayawān) merupakan pengadilan shūrah dan fi'liyyah. Pembahasan ini akan merembet ke masalah lain yang telah disinggung dalam ucapan-ucapan yang dinukil dari para maksum Ahlulbait a.s.:

“Barang siapa tidak mengenal imam zamannya atau barang siapa tidak beriman, kematiannya seperti kematian jahiliah, kufur, dan munafik. "(1) Proses keluarnya potensi (quwwah) menuju aktualisasi (fiʻI), atau dari kekurangan menuju kesempurnaan, bersifat gradual, yang menurut istilah disebut harakah (gerak). Harakah ini memiliki awal, akhir, dan melewati tahapan substansi.

Dari sudut pandang 'irfān, tahapan dan urutan ini bermula dari makhluk, lalu ke al-haqq al-muqayyad (kebenaran yang bersyarat), kemudian berakhir pada al-haqq al-muthlaq (kebenaran mutlak).

“Dalam jalur perjalanan ini, ia harus melewati satu demi satu alam yang beraneka ragam."(2) Kisah-kisah dan perjalanan makrifat para Nabi Ilahi merupakan contoh yang tepat untuk bisa menggambarkan model-model tahapan perjalanan penyempurnaan manusia.

Di antara kisah-kisah itu, kisah Nabi Ibrahim a.s. merupakan

P: 80


1- 40.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 122.
2- 41.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 23.

contoh terbaik untuk menggambarkan hal ini. Beliau, dengan tahapan perjalanan yang dilaluinya, mulai dari bintang, bulan, dan matahari, pada akhirnya sampai kepada Sang Pencipta langit dan bumi.

Aspek batin dari perjalanan ini menurut sudut pandang ‘irfān adalah sebagai berikut: Nabi Ibrahim a.s. bermula dari tingkatan jiwa (nafs), hati (qalb), dan ruh yang akhirnya sampai kepada Tuhan Yang Mahamutlak dan terlepas dari segala bentuk entifikasi dan definisi. Ketika melihat keyakinan jiwa menjelma dengan terbitnya bintang, beliau berpindah dari alam biasa ke alam nafs. Namun, karena melihat terbenamnya bintang, beliau pun beranjak ke tingkatan qalb dengan melihat kemunculan bulan. Setelah matahari terbit, beliau pun menerima Ketuhanan ruh, dan kemudian beliau tunduk kepada Tuhan Pencipta semuanya.

Dalam perjalanan ini, Nabi Ibrahin a.s. melewati tingkatan- tingkatan indra, imajinasi, dan berpikir sehingga beliau sampai ke tujuan. Dalam perjalanan ini, beliau harus melewati stasiun (maqam) pertengahan atau barzakh terendah sampai ke maqam tetinggi hingga akhirnya sampai ke alam akhirat. Dari alam akhirat, perjalanan berlanjut ke alam asma dan sifat, dan akhirnya sampai ke Ilahiyyah Muthlaq, yaitu kesatuan kolektif (ahadiyyah jam'iyyah) tempat semua manifestasi makhluk, asma dan sifat, serta entifikasi ilmi (ilmu) dan ‘aini (obyek eksternal) menjadi fana. (1)

P: 81


1- 42.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 22-23.

Insan Kamil sebagai Perantara bagi Kesempurnaan Manusia Lainnya

Sistem emanasi (faidh) memiliki peran penting dalam penyempurnaan manusia. Faidh tanpa satu atau beberapa perantara tidak mungkin sampai kepada makhluk. Tuhan merupakan pelaku melalui manifestasi (fā'il bi tajallī), sedangkan alam penciptaan merupakan jelmaan dari keindahan (jamāl).

Nya. Manifestasi ini tidak langsung, tetapi melewati perantara- perantara sehingga setiap makhluk bisa mendapatkan emanasi (faidh) Al-Haqq Swt..

“Jika tidak karena manifestasi asma, dunia akan diliputi gelapnya ketiadaan dan buramnya kehampaan.

Itu karena, manifestasi esensial (tajalli dzātī) tidak mungkin menjelma bagi setiap sesuatu yang ada di alam ini, bahkan tidak bagi setiap hati para sālik, kecuali terjadi pada tabir salah satu asma dan sifat....

Semua asma bermanifestasi dalam asma Allāh....

Lewat asma ini, manifestasi terjadi pada entitas-entitas tetap (a'yān tsābitah) setiap hakikat, kecuali entitas tetap ('ain tsābit) insan kamil, di mana semua asma bermanifestasi dengan manifestasi permulaan (tajalli ibtidā') tanpa membutuhkan perantara. Begitu pula, manifestasi objektif (tajalli ‘ainī) bermanifestasi pada insan kamil lewat asma Allāh tanpa perantaraan satu pun dari asma dan sifat, sedangkan manifestasi pada setiap makhluk terjadi melalui perantaraan asma. Ini merupakan rahasia Tuhan; mengapa para malaikat disuruh bersujud kepada Adam a.s. dengan asma Al- Muhith yang bermanifestasi kepada Adam a.s. .... Jika tidak demikian, maka ia tidak akan bisa menguasai semua asma. Karena Adam merupakan manifestasi nama Tuhan yang paling agung (ism aʻzham) bagi Allah, maka mandat khilafah Tuhan bagi setiap makhluk diberikan kepadanya."(1)

P: 82


1- 43.Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 122.

Banyak hadits yang menyatakan bahwa insan kamil adalah perantara menuju kesempurnaan bagi setiap makhluk dalam perjalanan turun (qaus nuzūlī) eksistensi. Meskipun dengan kalimat yang berbeda-beda dan istilah yang bermacam-macam, riwayat-riwayat tersebut menyinggung sumber pertama (shādir awwal). Begitu pula, dengan perjalanan naik (qaus shu’ūdi), insan kamil merupakan perantara dalam kembalinya setiap makhluk kepada Al-Haqq Swt.. Terdapat teks-teks yang bisa menjadi dalil bagi klaim ini, seperti Kembalinya makhluk kepada kalian dan hisab mereka atas kalian.... Dengan kalian, Allah memulai dan dengan kalian pula, Dia mengakhiri;(1) dan ayat Al-Quran, “Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka.

Kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka."(2) “Kembali kepada insan kamil adalah kembali kepada Allah, karena insan kamil fana mutlak dan abadi dengan keabadian Allah. Diri insan kamil tidak memiliki entifikasi eksistensial (taʻayyun inniyyah) dan keakuan (anāniyyah), tetapi dirinya adalah bagian dari asmaul husna dan ism aʼzham."(3)

Tingkatan Nafs dan Maqam Manusia

Nafs (jiwa) manusia memiliki tingkatan dan jelmaan yang berbeda-beda. Pada kajian ini, bisa kita saksikan sebagian istilah yang biasa digunakan dalam kajian Antropologi Filosofis, ‘irfāni, dan fungsinya dalam penafsiran teks-teks agama.

A. Nafs Al-Nāthiqah Walaupun ia sebuah hakikat yang sederhana (basīth), dalam kesederhanaannya, ia memiliki nasy'ah (konfigurasi):

P: 83


1- 44.Ziyārah Jāmi'ah Kabīrah.
2- 45.QS Al-Ghāsyiyah: 25-26.
3- 46.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 263.

1. Nasy'ah dunyāwiyyah zhāhiriyyah, pancaindra lahiriah merupakan manifestasinya dan badan malaki adalah rumah baginya.

2. Nasy'ah barzakhiyyah, indra batin, badan barzakhi, dan bentuk mitsāli-nya merupakan manifestasi baginya.

3. Nasy'ah ghaibiyyah bāthiniyyah, hati dan dimensi- dimensinya merupakan manifestasi baginya.

Hubungan antara satu tingkatan dan tingkatan yang lain adalah seperti hubungan antara lahir dan batin, atau hubungan antara manifestasi dan subyek yang bermanifestasi (mutajallī).

Dengan memperhatikan ketiga tingkatan yang ada pada manusia, mesti menjadi peringatan bahwa dengan alasan apa pun, tidak dibenarkan menyalahkan adab-adab, taklif-taklif lahiriah, dan menyepelekan hal-hal tersebut dalam perannya bagi kesempurnaan manusia.

"... seluruh adab lahiriah syariat sangat berpengaruh terhadap batin manusia. Setiap akhlak yang mulia merupakan bagian dari tingkatan maqam nafs yang memiliki peran penting bagi lahir dan batin manusia.

Setiap pengetahuan Ilahiah dan akidah yang hak sangat memengaruhi dimensi-dimensi barzakhī dan zhāhiri."(1) B. Dalam istilah lain, manusia memiliki empat tingkatan dan maqam, di antaranya adalah:

1. Malak.

2. Malakūt.

3. Jabarūt.

4. Lāhūt.

P: 84


1- 47.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 86.

C. Atau dalam istilah lain, manusia memiliki lima maqam berikut:

1. Maqām syahādah muthlaq.

2. Maqām ghaib muthlaq.

3. Maqām syahādah mudhāf.

4. Maqām ghaib mudhāf.

5. Maqām kaun jāmi'.

D. Dengan istilah lain, 7 maqam yang dimiliki manusia, masyhur di kalangan urafa dengan istilah 7 Kota Cinta atau 7 iklim wujud. Dengan kata lain, terdapat banyak maqam lain yang dimiliki manusia, seperti dalam istilah yang lebih detail lagi, bahwa manusia memiliki 100 atau 1000 stasiun (manzil) dan kedudukan(1).

Awal dan Akhir Kesempurnaan

Inti dari mi'raj manusia adalah ketundukannya pada keagungan rububiah dan kehinaan dalam ibadahnya. Keakuan dan keangkuhan merupakan tabir yang paling tebal dan paling gelap. Membakar tabir ini merupakan langkah awal dalam menghilangkan tabir-tabir selanjutnya. Tanpa melewati tahapan ini, siapa pun jangan berharap bisa berhasil dalam tahapan-tahapan berikutnya.

“Salah satu kunci alam gaib dan alam nyata (syahādah), serta salah satu pintu untuk masuk ke dalam kesempurnaan ruhani adalah membakar tabir ini....

Syarat awal sulūk menuju Allah adalah melewati tahapan ini. Bahkan, ini merupakan tolak ukur dalam menentukan apakah suatu riyādhah benar atau salah.(2) Ketika keakuan, egoisme, dan keangkuhan menguasai manusia, ia akan menjauh dari kesempurnaan manusia

P: 85


1- 48.Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm. 20.
2- 49.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 8.

dan akan kehilangan maqam kedekatan dengan Tuhan (qurb rubūbī). "(1) Ibadah disyariatkan semata-mata agar hal tersebut bisa tercapai. Dalam semua ibadah, di dalamnya tersembunyi kedua maqam ini: maqam keagungan rububiah yang merupakan hakikat dan maqam kerendahan ubudiah. Dari semua ibadah, salat memiliki kududukan khusus dalam mencapai hal itu. Dari dimensi luarnya, salat merupakan zikir yang agung (dzikr kabīr) dan menyeluruh, serta merupakan pengagungan ism aʼzham- di dalamnya terkumpul semua maqam uluhiah – Sementara itu dari dimensi batinnya, salat merupakan mi'raj kedekatan (qurb) kepada Al-Haqq Swt., dan hakikat yang mengantarkan ke dalam keindahan mutlak dan fana dalam Dzāt suci-Nya.

“Kesempurnaan mutlak adalah sampainya seseorang di dalam fana dalam Allah (fanā' Allāh) dan bergabung dengan lautan Tuhan yang tidak terbatas, menyaksikan keindahan, dan tenggelam dalam samudra Cahaya Mutlak. Itu semua bisa tercapai dengan salat."(2) Melewati penyembahan diri dan melepaskan keakuan tidak harus terus dilakukan dalam setiap tahapan hingga akhirnya ia menyaksikan Al-Haqq Swt. dan fana dalam dzāt mutlak-Nya, tahapan itu merupakan tahapan dan tujuan tertinggi "Tujuan penciptaan manusia adalah alam gaib mutlak, dan di antara semua makhluk, ia merupakan pilihan (mushthafā). Tujuan perjalanannya adalah untuk sampai ke pintu Allah, dan fana dalam dzāt Allah, serta tengelam dalam fana dalam Allah. Ma'ād (tempat kembali) adalah kepada Allah, dari Allah, dalam Allah,

P: 86


1- 50.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 7.
2- 51.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 143.

serta dengan Allah, seperti disebutkan dalam Al-Quran, 'Sesungguhnya kepada kami kembalinya mereka.''(1)

Kosmologi

Menurut istilah agama, alam selain Allah disebut khalq.

Untuk mengkaji esensi, semua makhluk dibutuhkan prinsip- prinsip filosofis dan logika yang kuat. Yang menjadi perhatian dalam prinsip-prinsip Filsafat Islam adalah kesatuan penguasa (wahdah hakim) atas segala aturan alam. Semua kesatuan yang selaras, satu tujuan dan saling berhubungan ini menunjukkan adanya subjek (fā'il), dan sebab menjadikannya ada (mūjid).

Dalam bahasa filsafat, bisa dilihat perhatian penuh tertuju pada dasar-dasar pembahasan ini. Hal ini akan tampak dalam hubungan Yang Esa dan yang beraneka; dan dalam hal kemunculan beraneka dari Yang Esa dan kembalinya yang beraneka kepada Yang Esa.

Kajian tentang sebab akibat dalam bentuk filosofis khas sangat membantu memperkuat landasan untuk mengkaji pembahasan kosmologi. Dalam kajian filosofis yang umum, pembahasan serupa, seperti pembahasan tentang wajib dan mungkin pembahasan lain, bisa mengisi kekosongan yang mungkin ada.

Dalam pandangan Imam Khomeini, kajian-kajian filosofis yang diungkap memiliki bentuk yang lebih tinggi, bisa dilihat dari aspek dzauq ‘irfāni, istilah-istilah, dan kata-kata yang diambil dari teks-teks agama. Dalam sudut pandang ini, penjelasan tentang alam wujud mumkin yang bersumber dari sumber pertama tidak mungkin dibenarkan. Oleh karena itu, penekanan pada kesubjekan (fā'iliyyah) Ilahi merupakan

P: 87


1- 52.QS Al-Ghāsyiyah: 20.

butir utama dalam kajian tersebut, terutama pandangannya tentang panteisme (wahdah al-wujūd) yang membuat teori yang dikemukakannya memiliki kekhususan. Ketika berbicara tentang manifestasi, semua hal yang tergolong ke dalam fenomena-fenomena manifestasi sekalipun diakui keberadaannya, tidak bisa dikatakan eksistensi yang berdiri sendiri dari sumbernya.

Perhatian terhadap butir penting ini akan memunculkan metode kajian tersendiri tentang makhluk. Para urafa Islam, dengan melihat teks-teks yang sangat kaya dari hadits dan Al-Quran, berusaha mengkaji hal tersebut. Bahkan, mereka berusaha untuk menggunakan istilah-istilah yang ada dalam teks-teks tersebut. Oleh karena itu, bisa dilihat dengan jelas perbedaan istilah yang mereka gunakan yang diambil dari teks- teks agama dengan istilah-istilah yang digunakan oleh para filsuf. Sebagai ganti istilah hukum kausalitas yang dipakai oleh para filsuf untuk menjelaskan proses penciptaan alam, mereka menggunakan istilah 'sistem asma' untuk menjelaskan masalah ini. Karena melihat adanya kekurangan dalam kajian-kajian filosofis tentang proses penciptaan alam, Hikmah Mutaʻāliyah berusaha menutup kekurangan ini dengan metode khusus yang digunakannya.

Banyak teks agama yang menyandarkan emanasi Ilahi pada asma Ilahi. Meskipun untuk membentuk sebuah sistem dibutuhkan asas dan fondasi hukum tersendiri, para Arif Islam lebih bertumpu pada teks-teks agama dan berusaha mengkaji masalah ini dengan berpedoman pada teks-teks tersebut dibanding kelompok lain. Dalam pandangan mereka, segenap

P: 88

eksistensi membentuk satu kesatuan, yaitu nama (ism), objek yang dinamai (musammā), lahiriah, dan manifestasinya.

“... semua bangunan hakikat, mulai dari puncak tertinggi: alam spiritual ('üqul muhaiminah qādisah) hingga alam terendah: alam materi (alam tabiat) merupakan manifestasi maqam nama Allah Yang Agung, dan juga merupakan manifestasi dari kehendak mutlak yang disebut dengan umm asmā' fi'liyyah.

Seperti dikatakan, manifestasi eksistensi adalah dengan bismillāhirrahmānirrahim ... dengan nama Allah, semua eksistensi adalah entifikasi lahir, bahkan ia adalah nama Allah, dan dalam kontemplasi ini, semua asma memiliki bentuk yang bermacam-macam ...."(1) Teks yang dianggap sempurna oleh Imam Khomeini dalam menafsirkan alam semesta adalah bismillāhirrahmānirrahim dan Surah Al-hamd (Al-Fātihah).

"Dalam bismillāhirrahmānirrahim tercakup segenap alam eksistensi dalam bentuk umum, sedangkan dalam Surah Al-hamd disebutkan secara terperinci. "(2) Dalam penafsiran frase bismillāh, biasanya dikatakan bahwa huruf bā' adalah bā' sababiyyah (menunjukkan sebab).

Namun dalam kajian ini, huruf bā' tidak menunjukkan sebab sehingga hubungan antara Al-Haqq Swt. dan makhluk tidak dalam bentuk hukum sebab akibat, tetapi berupa manifestasi dan penampakan. Bagian lain dari teks agama yang mendukung penjelasan tersebut adalah:

“Dia Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin."(3) “Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu."(4)

P: 89


1- 53.Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm. 138-139.
2- 54.Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm 141; Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 132.
3- 55.QS Al-Hadid: 3.
4- 56.QS Al-A'rāf: 143.

Dengan meneliti lebih dalam ayat-ayat ini, akan diperoleh ungkapan :

“Segala yang tampak adalah Dia.(1) Maka eksistensi selain Dia, di hadapan Al-Haqq Swt., adalah ketiadaan. Al-Haqq Swt. tidak memiliki lawan ... sama sekali tidak ada eksistensi lain di hadapan Eksistensi Mutlak.(2) Untuk lebih mendekatkan pemahaman pada akal manusia, terdapat berbagai contoh yang dikemukakan oleh ahli makrifat seperti bayangan dan pemilik bayangan. Namun, contoh yang paling tepat adalah perumpamaan antara gelombang dan lautan.

Perumpamaan seperti matahari dan cahayanya, atau hubungan erat antara jiwa dan kondisi-kondisi kejiwaan, juga merupakan perumpamaan yang tidak kalah tepatnya dari yang lain karena bentuk hubungan antara jiwa dan kondisi-kondisi kejiwaan tidak berbeda jauh dengan hubungan antara Al-Haqq Swt. dan makhluk-Nya."(3) Dalam pandangan 'irfān, variasi asma merupakan awal dari keberagaman wujud di alam, manifestasi ini merupakan kunci bagi eksistensi dan sebab penciptaan.

"Hal ini merupakan awal dari keberagaman yang akan terealisasi di alam eksistensi. Pada hakikatnya, keberagaman ini merupakan keberagaman ilmiah dan penyaksian Al-Haqq dalam cermin sifat dan asma .... Dengan manifestasi asma dan sifat ini, pintu eksistensi pun terbuka. Alam gaib dengan alam nyata bergabung sehingga rahmat bagi segenap hamba dan nikmat bagi setiap umat mulai tersebar. Dalam hal ini, jika manifestasi asma tidak terwujud maka alam akan berada dalam gelapnya ketiadaan, buramnya keterbatasan, dan ngerinya ketersembunyian karena manifestasi esensial (tajalli dzātī) tidak mungkin terjadi pada semua makhluk."(4)

P: 90


1- 57.Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 158.
2- 58.Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 158.
3- 59.Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm 133.
4- 60.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' al-Sahr, hlm. 121.

Catatan II:

1 Nahjul Balāghah, Khotbah no. 1.

2 Shahifah Sajjādiyyah, Doa no. 32.

3 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 305.

4 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 307.

5 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 308.

6 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 119.

7 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 119.

8 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm 112.

9 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm 44.

10 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 162.

11 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 45.

12 QS Al-Isra': 110.

13 Imam Khomeini, Sirr Al-Shalāh, hlm. 20.

14 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 162–163.

15 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 7,8 dan 319.

16 QS Ad-Dukhān: 3.

17 QS Al-Hijr: 9.

18 QS As-Syu'arā': 193.

19 QS Al-Mu'min: 36.

20 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 319-320.

21 QS Hūd: 56.

22 QS Hūd: 56.

23 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 137.

24 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 320.

25 QS Al-Anfāl: 17.

26 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 372.

27 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalah, hlm. 138, 139, 172 dan

372.

28 QS Al-Baqarah: 31.

29 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 10.

30 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 132-133.

31 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 132–133

32 Imam Khomeini, Tafsīr Sure-e Hamd, hlm. 214.

33 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 45 – 46; hlm.158.

34 QS At-Tin: 4–5.

35 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 91.

P: 91

36 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 90.

37 Imam Khomeini, Tafsīr Sure-e Hamd, hlm. 93–94.

38 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 94.

39 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 95.

40 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 122.

41 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 23.

42 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 22-23.

43 Imam Khomeini, Tafsir Sure-e Hamd, hlm. 122.

44 Ziyārah Jāmi'ah Kabīrah.

45 QS Al-Ghāsyiyah: 25-26.

46 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 263.

47 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 86.

48 Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm. 20.

49 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 8.

50 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 7.

51 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 143.

52 QS Al-Ghāsyiyah: 20.

53 Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm. 138-139.

54 Imam Khomeini, Sirr al-Shalāh, hlm 141; Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 132.

55 QS Al-Hadid: 3.

56 QS Al-A'rāf: 143.

57 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 158.

58 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm. 158.

59 Imam Khomeini, Tafsir Sūre-e Hamd, hlm 133.

60 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' al-Sahr, hlm. 121.

P: 92

BAB III

PRINSIP-PRINSIP FILOSOFIS DAN PENAFSIRAN TEKS

P: 93

P: 94

dalam Bab ini kajian akan terpusat pada upaya menjelaskan kebutuhan yang sangat penting, tafsir teks-teks agama terhadap prinsip-prinsip filosofis yang kuat. Dalam teks-teks agama ditemukan banyak istilah yang digunakan, tidak hanya membutuhkan penjelasan yang mendalam dan argumentatif, tetapi juga membutuhkan penguasaan teori-teori filosofis.

Bahkan dalam setiap jenis kajian sederhana sekalipun masalah ini dibutuhkan.

Dengan demikian, seseorang yang menganggap tidak perlunya prinsip-prinsip dan kajian-kajian akal ketika hendak memberikan argumentasi dalam bidang apa pun, ia sama sekali tidak akan bisa memahami secara mendalam teks-teks tersebut. Alasannya, masalah ini merupakan tujuan pokok pembahasan ini. Oleh karena itu, kajian ini hanya berkenaan dengan beberapa istilah dan sebagian teks saja yang di dalamnya terdapat istilah-istilah yang berhubungan dengan prinsip-prinsip logis filosofis yang dikutip dari karya-karya Imam Khomeini.

Āyat (Tanda)

"Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling mulia dari ayat-ayat-Mu, dan semua ayat-Mu adalah mulia. Ya Allah, sungguh aku memohon pada- Mu dengan ayat-ayat-Mu seluruhnya.(1) “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda- tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar, dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu(2) “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.''(3)

P: 95


1- 1.Du'a' Al-Sahr.
2- 2.QS Fushshilat: 53.
3- 3.QS Al-Isra': 14.

Dalam pandangan Imam Khomeini, semua makhluk adalah ayat-ayat Ilahi. Semuanya merupakan lembaran- lembaran yang turun dari langit keesaan (ahadiyyah) dan setiap makhluk-Nya adalah sebuah ayat.

“Rangkaian eksistensi bersumber dari materi ('unshurī), malaikat (malaki), bayangan (asybāh), ruh- ruh (arwāh), gaib, serta syuhud .... Kitab-kitab Ilahiah, dan lembaran-lembaran rububiah yang sangat bernilai, serta zabur-zabur ini turun dari langit keesaan. Setiap tingkatan dan derajat dari tingkatan eksistensi berada dalam rangkaian dimensi sebuah ayat yang dibacakan ke 'telinga hati yang memiliki keyakinan'..."(1) Meskipun istilah-istilah filosofis sangat penting dalam penjelasan teks, tetapi untuk bisa memahami secara benar, tidak begitu mudah bila hanya mengandalkan silogisme (qiyās) dan argumentasi. Kebersihan hati adalah sebaik-baik faktor untuk bisa mencerna dan memahami kandungan teks. Hati yang sudah mencapai tahapan yakin akan mampu mencapai kandungan tersebut. Hati yang telah bersih dari polusi alam materi akan melihat segala sesuatu sebagai ayat dan tanda dari alam gaib, dan akan bisa menyaksikan asma dan sifat-sifat Ilahi dalam setiap eksistensi, bahkan dalam benda-benda mati dan tumbuhan.

"Seorang sālik yang telah sampai ke maqam ini (tingkatan yakin), dia akan melihat segala sesuatu sebagai tanda dan ayat Ilahi. Segala sesuatu, bahkan benda mati dan tumbuhan, semuanya merupakan kitab Ilahi di mana seorang penempuh jalan ruhani menuju Tuhan dan seorang mujahid di jalan-Nya sesuai dengan kapasitas eksistensinya bisa membaca asma dan sifat Ilahi dalam semua itu."(2)

P: 96


1- 4.Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 264.
2- 5.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 265.

Semua ini merupakan ayat Ilahi, serta bisa menunjukkan dan mencerminkan yang ada di baliknya, bukan masalah yang berada di luar lingkup agama. Hadits yang diriwayatkan dari Imam Ali a.s. dan Imam Al-Shadiq a.s. menjadi bukti atas hal ini, “Tidaklah aku melihat sesuatu, kecuali aku melihat Allah sebelumnya, bersamanya, dan setelahnya." Ayat-ayat alam semesta dalam istilah Al-Quran menjelaskan dengan baik masalah ini, bahwa segala sesuatu adalah ayat. Dalam pandangan ‘irfān, penerapan ayat pada segala sesuatu bukan tanpa ukuran sehingga Sang Pemilik ayat tidak tampak. Yang demikian itu, tidak bisa disebut ayat.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa sesuatu bisa diterapkan pada sesuatu yang lain dan sesuatu tersebut bisa diketahui dengan melihat lawannya. Sebagai contoh, melalui ketiadaan kita bisa mengetahui keberadaan atau melalui kegelapan, kita bisa mengetahui adanya cahaya. Gambaran seperti ini merupakan gambaran orang awam ketika tidak ada keserasian (sinkhiyyah) antara ayat dan pemilik ayat, yang satu tidak bisa menjadi petunjuk dan definisi hakiki bagi yang lain.

Sebaliknya, dalam pandangan ‘irfān jika sesuatu merupakan ayat (tanda), ia tidak lain adalah manifestasi dari Pemilik ayat.

Yang hakiki dalam hal ini adalah Pemilik ayat yang terpancar dalam bentuk ayat.

“Jika Anda telah mampu menyibak tabir kegelapan, Anda akan melihat manifestasi dan penampakan Al- Haqq Swt. dalam semua makhluk dan kekuasaan-Nya yang mencakup semua itu. Semua makhluk adalah ayat dan tanda di mana semua kesempurnaan yang mereka miliki menunjukkan kesempurnaan yang dimiliki Penciptanya."(1)

P: 97


1- 6.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 266.

Namun dalam perannya sebagai tanda dan petunjuk, tidak semua ayat berada dalam satu tingkatan, tetapi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Di antara ayat-ayat, manusia merupakan ayat yang paling unggul dalam menunjukkan Khaliknya. Pernyataan ini terilhami dari ucapan Imam Al- Shadiq a.s., "Sesungguhnya bentuk manusia merupakan hujjah Allah yang paling besar atas makhluk-Nya. Manusia merupakan kitab yang ditulis dengan tangan-Nya, merupakan kumpulan, dan rangkuman dari eksistensi alam semesta.(1) Insan kamil yang merupakan khalifah Tuhan di muka bumi, adalah ayat yang paling agung dan hujjah yang paling besar.

Insan kamil juga merupakan kumpulan dari seluruh tingkatan alam gaib, alam lahir, dan sebagai pengemban kitab-kitab Ilahi.

Dengan berpijak pada hadits yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan rupanya," maka insan kamil bisa dijelaskan dengan sifat-sifat berikut:

“Adam adalah perumpamaan ideal (matsal aʻlā) Al- Haqq Swt., juga merupakan ayat Allah terbesar, manifestasi paling sempurna, cermin segala manifestasi asma dan sifat Allah, wajah Allah (wajhullāh), mata Allah ('ainullāh), tangan Allah (yadullāh), serta sisi Allah (janbillāh). Dia melihat, mendengar, dan berbuat karena Allah, serta Allah juga melihat, mendengar, dan berbuat olehnya."(2) Ungkapan ini bukan hal yang asing dan bukan perkara baru yang masuk ke dalam teks agama. Hadits-hadits dari para Maksum a.s. sangat kaya dengan perkara-perkara seperti ini.

P: 98


1- 7.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 265.
2- 8.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm, 635.

Imam Al-Baqir a.s. – ketika menafsirkan ayat: “Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar” – menjelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan Imam Ali a.s.. Beliau pernah berkata, “Bagi Tuhan, tidak ada ayat yang lebih besar dan berita yang paling agung, selain diriku."(1) Setiap makhluk, semakin besar kesempurnaannya semakin sempurna kedudukannya sebagai tanda Tuhan. Para Arif dan filsuf besar menyebut ciri-ciri ini sebagai “sisi Sang Pencipta" (yali al-bārī). Kata wajh juga diambil dari teks-teks agama yang berinti dari teks-teks agama lebih mudah dijelaskan oleh para filsuf dan urafa.

“Segala sesuatu akan hancur, kecuali wajah-Nya."(2) Hadits dari para Maksum a.s., “Kami adalah wajah Allah," dan juga petikan Doa Nudbah, “Di mana wajah Allah, di mana para Wali menghadap kepadanya," menjelaskan alasan bahwa tanda-tanda llahi terdapat dalam diri setiap makhluk, dan manifestasi Al-Haqq Swt. dalam cermin kesempurnaan.

Mereka mengisyaratkan bahwa makhluk adalah ayat Allah Swt.. Di antara ayat-ayat dan manifestasi-manifestasi tersebut, ada insan kamil yang merupakan cermin seluruh sifat Tuhan.

“Entifikasi (taʻayyun) dari nama yang paling komprehensif (ism jāmi') adalah entitas permanen (a'in tsābit) insan kamil dan hakikat muhammadiyah. Insan kamil merupakan manifestasi nama komprehensif dan cermin manifestasi nama agung (ism aʻzham)."(3)

P: 99


1- 9.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm, 635.
2- 10.QS Al-Qashash: 88.
3- 11.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 635.

Ism (Nama)

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya milik Allah asmaul husna. Maka, memohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu."(1) Imam Al-Baqir a.s. berkata, “Demi Allah, kami adalah asmaul husna." Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah mencipta nama-nama dengan huruf-huruf yang tidak memiliki suara." Dengan menggunakan media akal – yang berlandaskan pada dzauq 'irfāni – teks-teks tersebut bisa dijelaskan dengan baik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa penjelasan yang benar dan bersandar pada teks-teks agama tentang alam semesta akhirnya sampai ke puncak teori, bahwasanya penciptaan terjadi berdasarkan aturan asma dan manifestasi dari asma tersebut.

Rangkaian dan tingkatan eksistensi, serta ruang lingkup dan juga tingkatan penyaksian (syuhūd), semuanya merupakan asma Ilahi. Ism merupakan identitas dan segala sesuatu dari maqam kehadiran gaib (hadhrah ghaib) yang masuk ke dalam lingkaran eksistensi merupakan simbol dan manifestasi Al- Haqq Swt..(2) “Ism merupakan esensi yang diiringi sifat-sifat tertentu atau manifestasi khusus dari manifestasi-manifestasi Ilahi.(3) Mengingat manifestasi Ilahi merupakan sebab kemunculan ism bagi Tuhan, dan seluruh penciptaan merupakan manifestasi Ilahi, maka penetapan ism bagi Tuhan, keluar dari lingkup huruf dan segala eksistensi yang ada di luar pikiran. Masing-masing merupakan nama (ism) Tuhan. Dalam pandangan

P: 100


1- 12.QS Al-A'rāf: 180.
2- 13.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 636.
3- 14.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 121.

‘irfān, kemajemukan (takatstsur) pertama, adalah kemajemukan asma yang tergolong dalam kemajukan ‘ilmi dan syuhūdi. Manifestasi asma ini menyebabkan terbukanya pintu eksistensi dan penebaran rahmat.

Setiap ism memliki tingkatan-tingkatan, mulai dari maqam lafzhi hingga maqam maʼlūhiyyah dan ulūhiyyah. Akan tetapi, semuanya memiliki hubungan dengan satu maqam yang disebut tahapan gaib. Ism yang paling besar dan memiliki keagungan, serta paling penting dari semuanya disebut dengan ism aʻzham.

Ism aʻzham, memiliki satu hakikat yang sesuai dengan maqam ulūhiyyah, satu hakikat yang sesuai dengan maqam ma'lūhiyyah, hakikat lain yang sesuai dengan maqam lafzhi (literal), dan 'ibārah (ekspresi). Akan tetapi, ism aʼzham yang berdasarkan hakikat gaib yang hanya diketahui oleh Allah .... Itu merupakan huruf ke- 73 yang berada di alam gaib dan termasuk huruf yang berpengaruh (musta'tsir)."(1) Hakikat ism aʻzham tidak bermanifestasi pada seorang pun dari jenis manusia, kecuali hanya pada hakikat Muhammad dan wali-walinya, tempat Tuhan telah mengecualikan mereka dengan memberi mereka ilmu gaib. Hakikat lafaz ism aʼzham hanya bisa diketahui oleh wali-wali Ilahi dan disembunyikan dari manusia biasa. (2) Ungkapan dan penyampaian yang lebih dalam adalah sebagai berikut:

“Ism aʻzham adalah hakikat Muhammad, di mana asma Ilahi merupakan manifestasi dari hakikat ism aʻzham ini .... Hakikat Muhammad bermanifestasi ke dalam seluruh alam, mulai dari alam akal hingga alam materi pertama (hayūlā) dan alam dunia, di mana semuanya merupakan manifestasi hakikat tersebut. Setiap titik dari tingkatan eksistensi merupakan perincian dari bentuk ini. Pada hakikat luarnya, ism aʻzham merupakan penampakan kehendak tanpa entifikasi, dan setiap hakikat yang memiliki entifikasi atau determinan

P: 101


1- 15.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 123.
2- 16.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 131.

(mutaʻayyin) memiliki hubungan dengan hakikat tersebut. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu atas kehendak (masyi'ah) dan Dia menciptakan masyi'ah dengan hakikat. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Muhammad bin Abdullah disebut Muhammad, di mana ia turun dari alam Ilahi ke alam materi (mulk) untuk membebaskan semua yang terpenjara di alam materi."(1)

Amr Baina Amrain (Posisi di Antara Dua Posisi)

“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. "(2) "Allah memegang jiwa (orang ketika matinya. "(3) “Katakanlah, Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan. (4) Tidak diragukan bahwa penguasaan terhadap prinsip- prinsip filsafat untuk menafsirkan teks-teks seperti ini sangat penting. Hal itu karena, tanpa penguasaan terhadap hal tersebut manusia akan terjerumus ke dalam jebakan keyakinan kaum Jabr atau Tafwidh.

"Jika seseorang telah bisa memahami prinsip-prinsip dan pendahuluan-pendahuluan, dan dia telah bisa merasakan manisnya keimanan dengan mendalami karya-karya ‘irfān yang tinggi dan karya-karya Mulla Sadra, para filsuf, para hakim terkemuka ... bisa menyerapnya sehingga dalam tahapan ‘irfāni. Dia akan sampai pada kesimpulan bahwa hubungan-hubungan yang ada adalah benar dan sama sekali tidak bersifat nisbi dan majazi....(5) Posisi di antara dua posisi (amr baina amrain) telah ditetapkan dalam metode ahli makrifat dan dalam Filsafat Luhur (hikmah ‘āliyah). Akan tetapi, yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah dalam

P: 102


1- 17.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 125.
2- 18.QS Al-Anfāl: 17.
3- 19.QS Az-Zumar: 42.
4- 20.QS As-Sajdah: 11.
5- 21.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 587.

memberikan pemaknaan padanya. Hal yang paling diyakini, paling bisa diterima, dan paling selaras dengan jalan tauhid dalam berbagai mazhab adalah cita rasa (masyrab) urafa besar dan para pemilik hati (ashhāb al- qulüb). Namun, dalam setiap pengetahuan Ilahiah ada hal-hal yang tidak mungkin diselesaikan dengan cara kajian biasa dan argumen. Tanpa dibarengi dengan ketakwaan hati dan taufik llahi, siapa pun tidak akan bisa memahaminya."(1) Kajian ini dengan segala kerumitan dan kesulitannya dijelaskan menurut cita rasa dan secara filosofis. Jika kita ingin mengikuti kajian yang dilakukan oleh para ahli, kajian ini akan menjadi sebagai berikut:

1. Penafian tafwidh artinya menafikan kemandirian mutlak setiap makhluk dalam pengaruhnya terhadap perbuatan.

2. Penafian jabr artinya berbeda dengan kaum Jabr, yaitu dengan meyakini bahwa makhluk memiliki pengaruh dalam perbuatannya.

3. Afirmasi sebab dari makhluk (ta'tsir) dan penafian kebebasan mutlak, yang dengan kata lain manzilah baina manzilatain (posisi di antara dua posisi).

“Posisi ījād (pengadaan) adalah seperti eksistensi dan sifat-sifatnya. Sebagaimana semua makhluk ada dan tidak mandiri dalam keberadaannya, serta sifat- sifat baginya sudah ditetapkan dan tidak memiliki kemandirian dalam hal itu, telah ditetapkan juga pada mereka perbuatan-perbuatan yang memang bersumber dari mereka. Akan tetapi, mereka tidak mandiri dalam eksistensinya, dan terdapat juga perbuatan-perbuatan yang tidak mandiri dalam fā'iliyyah (subyek) dan ijad (aktivitas)."(2)

P: 103


1- 22.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 646.
2- 23.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 647.

Penjelasan yang sarat dengan dzauq‘irfāni dalam menafsirkan teks di atas adalah sebagai berikut:

“Penegasan dan penafian ini mengisyaratkan maqam amr baina amrain. Artinya, kamu melakukan pelemparan pada saat kamu tidak melakukan pelemparan dengan keakuan dan kemandirianmu, tetapi dengan penampakan kekuatan Al-Haqq dalam perbuatanmu serta terjadinya andil dan memberi pengaruh pada kekuatan-Nya dalam alam materi dan alam spiritual pelemparanmu ... dengan satu pandangan .... Semua alam realitas dalam hubungannya dengan malak yang mutlak dan kehendak Al-Haqq Swt., semuanya merupakan manifestasi dan penampakan kekuatan dan kehendak Al-Haqq Swt.. Pandangan tentang keragaman dan sebab akibat yang ada, pada tempatnya dianggap benar. Aturan sempurna adalah aturan yang berdasarkan pada hukum kausalitas."(1)

Tafwīdh

Dalam kamus Islam, tafwidh memiliki beberapa pengertian. Sebagian pengertian tersebut diterima dan sejalan dengan sistem makrifat dan akidah Islam, sedangkan sebagian yang lain ditolak.

1. Tafwidh Negatif Pengertian tafwidh yang ditolak dalam Islam berkenaan dengan kajian jabr dan ikhtiyār. Tafwidh memiliki pengertian yang berlawanan dengan jabr yang keduanya sama-sama tertolak. Tafwidh dalam pengertian ini adalah pilihan bebas (ikhtiyar) mutlak semua makhluk dan kemandirian dalam mencipta. Hal ini sangat tidak selaras dengan pandangan dunia Islam.

P: 104


1- 24.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 586.

“Al-Haqq Swt. dalam setiap perkara, mulai dari tujuan tertinggi (ghāyah al-qushwā) penciptaan alam-alam gaib sampai akhir tujuan alam penciptaan dan takwin- mengundurkan dirinya dari memengaruhi secara esensial dan menyerahkan semuanya kepada makhluk- Nya, baik yang sempurna yang memiliki ruh, pilihan bebas (ikhtiyār) dan kehendak, atau kepada makhluk yang tidak memiliki kesadaran (syu‘ūr) dan keinginan.

Semua makhluk dalam hal ini memiliki pilihan bebas mutlak dan berdiri sendiri. Tafwidh dengan pengertian ini, baik dalam perkara penciptaan (takwin) maupun dalam perkara hukum (tasyrī“) tidak bisa dibenarkan untuk dimiliki oleh satu makhluk pun."(1) Alasan ketidakbenaran tafwidh dengan pengertian ini dalam bahasa filsafat, adalah “karena akan menyebabkan kekurangan, ke-imkān-an wājib al-wujūd, dan menafikan kekurangan dan ke-imkān-an makhluk"(2). Hal ini juga bisa menyebabkan terbelenggunya tangan Tuhan dan bisa menegaskan kekuatan dan kehendak yang berdiri sendiri pada hamba. Filsafat Islam dengan pandangan dunianya yang bersumber dari teks-teks agama- sangat menentang tafwidh dengan pengertian demikian. Prinsip-prinsip rasional Filsafat Islam sama sekali tidak akan menerima paham semacam ini.

Sebagian argumentasi yang dikemukakan berkenaan dengan kemustahilan tafwīdh adalah sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan kaidah “sesuatu yang belum sampai ke tahap wajib tidak bisa menjadi ada".

“Kemandirian suatu maujud dalam suatu perbuatan adalah sesuatu yang tidak mungkin, kecuali sebuah subjek (fāʻil) dan pengada (mūjid) menghalangi segala ketiadaan ('adam) yang berpotensi untuk menjadi ada dari suatu sebab. Kemandirian dalam sebab akibat terwujud ketika sebuah sebab menghalangi

P: 105


1- 25.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.
2- 26.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.

semua ketiadaan yang mumkin dari sebab itu dan mengantarkan sebab tersebut ke batas wujūb (kemestian) dan menjadikannya ada .... Segenap wujud mumkin ... tidak memiliki sifat dan kedudukan seperti ini, karena ketiadaan (“adam) yang bisa menjadi akibat, ketiadaannya disebabkan oleh tidak adanya sebab kesubjekan (fā'ilī). Dalam rangkaian wujūd mumkin tidak ada satu eksistensi pun yang bisa menghalangi ketiadaan akibat dalam hal ini. Itu karena, hal ini akan menyebabkan perubahan ke-mumkin-an esensial (imkān dzātī) menjadi kemestian esensial (wujūb dzāti).... "(1) Kedua, ringkasan dari argumen kedua adalah sebagai berikut: “kemandirian dalam menjadi ada adalah akibat dari kemandirian dalam eksistensi, dan hal ini tidak mungkin terjadi pada wujūd mumkin". (2) Dari sini akan berkembang pada "tafwidh yang mengada berupa bentuk apa pun dalam mengada tidak mungkin terwujud pada semua wujūd mumkin". (3) 2. Tafwidh Positif Pengertian lain dari kata tafwidh yang bisa diterima dan ditekankan dalam mazhab kaum Imamiyyah sangat berbeda dengan pengertian sebelumnya. Terdapat banyak hadits yang menisbatkan tafwidh dengan pengertian ini kepada para Imam a.s..

“Tafwidh merupakan masalah penghambaan dan ruhani yang sempurna, di mana kehendaknya telah fana dalam kehendak Al-Haqq Swt.. Kehendaknya berada di bawah bayang-bayang kehendak Al-Haqq Swt.. Ia tidak berkehendak (pada sesuatu), kecuali Al-Haqq Swt.

menghendakinya dan tidak bergerak, kecuali sejalan dengan sistem yang paling maslahat, baik dalam masalah penciptaan maupun dalam pensyariatan dan

P: 106


1- 27.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.
2- 28.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.
3- 29.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.

pendidikan jiwa. Tidak ada penghalang selain Al-Haqq Swt., dan pada hakikatnya, ini bukan tafwidh (dalam pengertian pertama)."'(1) Hadits berikut merupakan salah satu contoh mengenai hal ini. Seorang perawi berkata, "Saya bersama Imam Al- Jawad a.s. dan saya menyampaikan masalah perbedaan di kalangan Syi'ah." Imam a.s. berkata, “Tuhan Yang Mahatinggi dalam keesaan-Nya selalu satu. Kemudian, Dia menciptakan Muhammad, Ali, dan Fathimah. Mereka hidup selama seribu masa (dahr), lalu Tuhan menciptakan segala sesuatu, dan mereka (Muhammad, Ali, dan Fathimah) menjadi saksi atas penciptaan ini. Tuhan telah mewajibkan kepada semua makhluk untuk menaati mereka dan menyerahkan (tafwidh) perkara penciptaan kepada mereka. Apa pun yang mereka kehendaki adalah halal dan mereka tidak menghendaki sesuatu, kecuali yang dikehendaki oleh Tuhan."(2) Kesimpulan dari butir ini sebagai berikut:

“Tafwidh dengan pengertian pertama, adalah pandangan yang tertolak dan bertentangan dengan argumentasi-argumentasi yang kuat. Sementara itu, tafwidh dengan pengertian kedua, adalah sesuatu yang diterima. Bahkan, sistem alam semesta tidak akan berjalan, kecuali dengan hukum kausalitas. "(3)

Jabr (Determinisme)

Jabr merupakan konsep yang berlawanan dengan tafwidh dalam pengertian negatif yang merupakan sisi lain dari dua mata uang kenegatifan. Jabr memiliki pengertian, menafikan peran khusus tingkatan eksistensi, menafikan sebab akibat

P: 107


1- 30.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 550.
2- 31.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 551.
3- 32.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 551.

secara keseluruhan, dan mengingkari eksistensi perantara sepenuhnya.(1) Berdasarkan pengertian ini, para penganut paham jabr meyakini “Al-Haqq Swt. tanpa perantara apa pun, hanya dengan esensi suci-Nya dan secara langsung melakukan semua perbuatan mukallaf dan semua makhluk". (2) Dalam pandangan filsafat, jabr dalam pengertian ini adalah “mutlak jelas salah dan bertentangan dengan argumen-argumen yang kuat”. (3) Salah satu argumentasi yang membuktikan kesalahan paham jabr adalah yang dikemukakan Imam Khomeini.

“Seperti diketahui bahwa esensi-esensi pada dasarnya tidak memengaruhi (ta'tsir), dipengaruhi (ta'atstsur), dan tidak memiliki sifat mengada secara esensial.

Sebaliknya, hakikat eksistensi secara esensial merupakan sumber dari ta'tsir, di mana ketika ta'stir dinafikan maka akan menyebabkan perubahan esensial.

Oleh karena itu, tidak mungkin kita mengklaim bahwa seluruh tingkatan eksistensi tidak memiliki peran secara mutlak karena akan mengakibatkan dinafikannya sesuatu dari hakikat dirinya."(4) Argumen lain adalah berdasarkan tahapan tingkatan eksistensi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selain eksistensi yang Mahasempurna, semua makhluk memiliki bentuk kekurangan eksistensial. Kekurangan tersebut tidak berhubungan dengan pelaku Pencipta (fā'il ijādi), tetapi berhubungan dengan dirinya sebagai akibat. Sesuatu yang mampu menjadi akibat langsung dari hakikat Mahasuci Al- Haqq Swt., ia adalah eksistensi mutlak dan eksistensi yang nyata, sedangkan eksistensi-eksistensi lain menerima emanasi (faidh) Al-Haqq Swt. melalui perantara eksistensi tersebut.

Oleh karena itu, setiap makhluk bertingkat dalam menerima

P: 108


1- 33.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.
2- 34.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 645.
3- 35.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.
4- 36.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 546.

eksistensinya, sebagian makhluk secara langsung menerima eksistensi dan sebagian lain melalui perantara. Dengan demikian, konsep jabr dan penafian perantara dalam rangkaian eksistensi tidak bisa dibenarkan. (1)

Tahlil

Langkah awal dakwah risalah Nabi Muhammad Saw.

adalah dengan syiar lā ilāha illallāh. Sejak awal, Nabi menyatakan bahwa kebahagiaan seseorang disyaratkan dengan penyataan kalimat la ilaha illallāh. Inti dakwah beliau dan semua ajaran yang mengantarkan kebahagiaan manusia tersembunyi dalam syiar ini. Pada hakikatnya, tauhid merupakan ruh dari segenap keyakinan dan amal, dan ruh tauhid adalah wilāyah. Dengan kata lain, ungkapan suci lā ilāha illallāh merupakan rangkuman dari keseluruhan Islam, sedangkan perincian dalam agama merupakan bentuk taklif lahiriah, amal perbuatan, dan akidah.

Penjelasan dan perluasan masalah ini membutuhkan kajian luas karena selain para pemilik ilmu Nabawi, tidak seorang pun bisa memahaminya.

Salah satu pesan yang terkandung dari tahlil bagi para penganut agama adalah tauhid perbuatan (keesaan dalam tindakan). Seseorang dalam tataran ilmu bisa menggambarkan dengan baik tahapan eksistensi dan hubungan suatu tingkat dengan tingkat yang lain. Begitu juga gambaran tentang kedudukan seluruh wujud mumkin sebagai perantara terhadap wujud Yang Mahatinggi, dan ketidakmandiriannya dalam keberadaan dan pengadaan seluruh prinsip filsafat sangat memperhatikan masalah ini.

P: 109


1- 37.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 664.

“Tahlil memiliki tingkatan-tingkatan. Salah satunya adalah tingkatan penafian ulūhiyyah fi'liyyah atau tidak ada yang berperan dalam eksistensi, kecuali Allah...'.

Seluruh tingkatan wujūd mumkin adalah bayangan dari hakikat wujud Al-Haqq Swt. dan murni sebagai penghubung, dan dari sisi mana pun, mereka tidak memiliki kemandirian mutlak dan tidak bisa berdiri sendiri. Dari aspek ini, ta'tsīt ījādi (peran penciptaan) tidak bisa dinisbatkan kepada mereka, karena sebuah peran membutuhkan kemandirian mengada, dan kemandirian mengada menuntut kemandirian dalam eksistensi."(1) Ketika seseorang telah betul-betul memahami gambaran tentang hal ini dan telah mampu menangkap dengan benar prinsip-prinsip tersebut, ia akan meyakini hakikat makna lā ilāha illallāh adalah penyaksian perbuatan dan kekuatan Al- Haqq Swt. dalam mencipta dan menafikan entifikasi-entifikasi penciptaan, juga penafian maqam kesubjekan dan perannya di hadapan Al-Haqq Swt.. (2)

Tasbih

“Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. "(3) Pemahaman hakikat tasbih bagi makhluk yang tidak memiliki akal membutuhkan kajian-kajian dan prinsip-prinsip filsafat.

“Tasbih seluruh makhluk yang telah dinyatakan dalam Al-Quran dan hadits-hadits merupakan bukti bahwa mereka memiliki ilmu, kesadaran, dan kehidupan.

Bahkan, kehidupan mereka merupakan bukti adanya hubungan khusus antara Khalik dan makhluk .... Ini merupakan salah satu muatan yang terkandung dalam

P: 110


1- 38.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 372.
2- 39.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 372.
3- 40.QS Al-Isra': 44.

Al-Quran dan hadits-hadits dari para Maksum a.s. yang sejalan dengan argumen-argumen para filsuf Iluminasi (isyrāq) dan cita rasa (dzauq) para ahli 'irfān, dan juga merupakan penyaksian (musyāhadah) para tokoh sulūk dan riyādhah.(1) Aliran kehidupan dan tasbih yang penuh kesadaran dan pengetahuan tentang sesuatu patut dihitung sebagai perkara dasar Filsafat Luhur dan kepastian para tokoh syariat dan urafa."(2) Sebagian kelompok meyakini bahwa tasbih makhluk ditafsirkan sebagai tasbih takwini dan fithri. Namun, hal tersebut tidak sejalan dengan teks-teks yang ada.

“Mentakwilkan tasbih dengan tasbih takwini dan fithri merupakan takwil yang salah, yang tidak sejalan dengan teks ayat dan riwayat, selain juga bertentangan dengan argumen-argumen yang kuat dan mendalam dari para filsuf dan para ahli “irfān."(3) Apakah seseorang mampu memahami takwil teks ini dan ayat yang menjelaskan perkataan seekor semut kepada bangsanya agar lari dari jalan yang akan dilalui oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya, yang menganggap tindakan semut tersebut sebagai tindakan yang tidak didasari kesadaran.

Bagaimana mereka mentakwilkan? “Berkatalah seekor semut, ‘Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.(4) Begitu juga dengan kejadian seekor burung yang membawa kabar dari Negeri Saba', bagaimana hal itu bisa ditakwilkan? Bagaimana seseorang bisa meyakini adanya kehidupan yang mengalir pada seluruh makhluk bahkan benda

P: 111


1- 41.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 283.
2- 42.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 655.
3- 43.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 654.
4- 44.QS An-Naml: 18.

mati sekalipun? Apakah selain meyakini sebuah prinsip bahwa eksistensi sama dengan kehidupan, dan kehidupan sebagai eksistensi juga memiliki tahapan, ada yang mengalahkan prinsip yang tinggi ini? "Setiap orang dengan dzauq ‘irfānī memahami hakikat keautentikan eksistensi kesatuan makna. Maka, ia akan bisa memahami menurut dzauq dan ilmiah, kehidupan yang mengalir pada semua makhluk dengan segala yang berkaitan dengannya, seperti ilmu, keinginan, dan bicara. (1) Dalam ilmu-ilmu tinggi (mā qabla thabi'ah) telah dibuktikan bahwa eksistensi sama dengan kesempurnaan, asma, dan sifat. Dalam setiap tingkatan ada manifestasi dan dalam setiap cerminan ada penampakan segala hal dan kesempurnaan, seperti kehidupan, ilmu, dan tujuh sifat induk (ummahāt sab'ah) yang akan tampak."(2)

Bahā

“Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu segenap keindahan dari keindahan-Mu, dan setiap keindahan- Mu adalah indah. Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu seluruh keindahan-Mu."(3) Telah diriwayatkan dalam Al-Kāfī bahwa keindahan adalah keindahan Allah dan keagungan adalah keagungan Allah.(4) Bahā ditafsirkan sebagai kebaikan dan keindahan, tetapi kebaikan dan keindahan yang tampak dalam hal ini memperkuat teori tentang keautentikan eksistensi (ashālah wujūd) dan prinsip-prinsipnya. Eksistensi yang sama dengan kebaikan dan keindahan adalah sesuatu yang pasti, dengan sedikit saja pemikiran, perkara ini akan bisa diyakini. Pada

P: 112


1- 45.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 655.
2- 46.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 283 dan 416.
3- 47.Doa Sahr.
4- 48.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 22.

gambaran ini, eksistensi merupakan sebuah rangkaian dari segenap kebaikan, keindahan, cahaya, serta kebenderangan.

Semakin kuat eksistensinya, semakin sempurna keindahannya.

Dalam rangkaian eksistensi materi pertama (hayūlā), karena kerendahan eksistensial dan kekurangan aktualisasinya, ia merupakan tempat ketidakindahan, kegelapan, sentral dari semua keburukan, dan sumber segala kerendahan.

Sebagaimana eksistensi, keindahan juga memiliki tingkatan dan tahapan dalam tingkatan-tingkatannya. Dalam sudut pandang umum, tingkatan Bahā adalah alam ideal (mitsāl) lebih indah daripada alam materi, alam orang-orang yang dekat (muqarrabīn) lebih indah daripada alam nonmateri (mujarrad), dan alam ketuhanan (rubūbi) lebih indah daripada semua alam yang lain karena alam rubūbi, di samping tidak memiliki sisi ketiadaan, hal itu terlepas dari bentuk esensi. Berikut ini adalah ungkapan yang disampaikan oleh Mir Damad, salah seorang filsuf besar Islam, seluruh butir di atas terkandung di dalamnya, “Dia Yang Mahatinggi adalah keseluruhan eksistensi, seluruh wujud, seluruh keindahan dan kesempurnaan, serta seluruhnya adalah indah dan sempurna"(1) Seluruh makhluk memiliki kesempurnaan sesuai tingkatan eksistensinya.

Menurut arti bahasa, bahā bermakna jamal dengan sedikit perbedaan. Sebenarnya, pembagian sifat Tuhan menjadi sifat jalāl (kagungan) dan jamāl (keindahan) dinilai kurang tepat karena dalam eksistensi yang sederhana dan simpel, sifat-sifat yang berlawanan masing-masing menyatu. Setiap sifat jamál selalu diiringi dengan sifat jalāl, dan begitu juga sebaliknya.

Lebih jelasnya, setiap jamal adalah jalāl dan setiap jalāl adalah jamāl. Namun, ada beberapa sifat yang bisa digolongkan ke

P: 113


1- 49.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 22.

dalam manifestasi sifat jalāl, dan sebagian yang lain merupakan manifestasi sifat jamāl. Atas dasar ini, sifat bahā adalah sebuah cahaya yang diiringi dengan kebesaran dan kekerasan, dan merupakan kumpulan dari sifat jamál dan jalāl. Namun, kebesaran dan ketegasan ini memiliki aspek lahir dan aspek batin atau cahaya. Oleh karena itu, pengertian bahā adalah manifestasi sifat jamāl Tuhan yang di dalamnya tersembunyi sifat jalāl. (1) Hal yang mesti diperhatikan adalah sifat bahā berbeda dengan sifat jamāl. Sifat bahā adalah pancaran cahaya yang merupakan sebuah manifestasi dan penampakan, sedangkan sifat jamāl tidak seperti itu. Hubungan antara jamāl dan bahā adalah lebih umum (a'amm) dan lebih khusus (akhashsh).

Jamál lebih umum daripada bahā; setiap bah) adalah jamál, tetapi tidak setiap jamāl adalah bahā, karena dalam bahā terdapat syarat manifestasi dan penampakan.

Jamāl (Keindahan) dan Jalāl (Keagungan)

“Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling indah dari keindahan-Mu, dan seluruh keindahan-Mu adalah indah. Ya Allah, sungguh aku memohon pada- Mu yang paling agung dari keagungan-Mu, dan seluruh keagungan-Mu adalah agung. "(2) Dalam teks-teks agama istilah jamāl dan jalāl sering digunakan untuk menjelaskan sifat Tuhan. Pembagian sifat Ilahi menjadi sifat jalāl dan jamál membutuhkan penjelasan, seperti yang dikemukakan dalam kajian teologi. Standar pembagiannya, bahwa setiap sifat yang berhubungan dengan kelembutan tergolong ke dalam sifat jamāl, dan setiap sifat

P: 114


1- 50.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 29.
2- 51.Doa Sahr.

yang berhubungan dengan ketegasan termasuk ke dalam sifat jalāl. Suatu hal yang jelas sebagai sifat makhluk mumkin dan tersusun dari bagian-bagian, tidak mungkin memiliki dua sifat yang berlawanan dilihat dari aspek mana pun. Apalagi Wājib al-Wujud yang merupakan eksistensi sederhana (basīth) secara mutlak, ketika aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda adalah mustahil bagi-Nya. Ketika kita menjelaskan sifat wujūd wājib dengan sebuah sifat dari satu sisi, Dia pun bisa memiliki sifati sifat lain yang berlawan dari sisi yang lain.

"Semakin sederhana suatu eksistensi, semakin ia dekat kepada keesaan, ketercakupan atas kemajemukan, dan sifat-sifat yang berlawanan sehingga ia semakin sempurna. Perkara-perkara yang tercerai-berai di alam yang terpengaruh waktu (zamani), semuanya menyatu di alam dahr. Hal-hal yang berlawanan di dunia luar akan menjadi keselarasan di alam pikiran, dan keragaman dalam penciptaan dunia akan menjadi seragam di alam akhirat. Semua ini diakibatkan oleh keluasan wadah dan kedekatannya pada alam kesatuan (wahdah) dan kesederhanaan (bisāthah).... Maka, sifat-sifat yang bertentangan dalam wahdah terwujud dalam bentuk eksistensi tunggal yang tersucikan dari kemajemukan entitas dan ilmiah. Oleh karena itu, Tuhan dalam penampakan-Nya adalah tersembunyi dan dalam ketersembunyian-Nya adalah tampak.

Dalam kemurahan-Nya terdapat murka, dan dalam kemurkaan-Nya terdapat kemurahan.... Tuhan di dalam Ilahiah-Nya merupakan tempat berkumpulnya sifat- sifat yang berlawanan, seperti kemurahan (rahmah) dan kemurkaan (ghadhab).... Setiap sifat yang berhubungan dengan kelembutan tergolong ke dalam sifat jamāl, sedangkan sifat yang berhubungan dengan ketegasan tergolong ke dalam sifat jalāl. Maka, manifestasi alam, cahaya, bahā, serta keindahan bersumber dari jamál Ilahi, sedangkan hilangnya pancaran cahaya-Nya dari

P: 115

alam dan kekuasaan agung-Nya termasuk ke dalam jalal-Nya. Manifestasi jalāl adalah dengan jamāl, dan redupnya jamāl adalah karena jalāl."(1)

Khair (Kebaikan) dan Syar (Keburukan)

Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Sesungguhnya di antara yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Musa a.s. dan yang tercantum dalam Taurat adalah 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku; Kuciptakan makhluk dan Kuciptakan kebaikan.... Dan Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku; Kuciptakan makhluk dan Kuciptakan keburukan...(2) Penciptaan suatu eksistensi bukan merupakan sebuah persoalan. Namun, jika penciptaan itu berkenaan dengan keburukan dan hal-hal yang negatif dari sudut pandang ontolologis, hal itu adalah sesuatu yang perlu mendapat perhatian dan kajian. Sementara itu, sebagian teks menguatkan perkara-perkara ketiadaan. Hadits di atas, adalah salah satu contoh teks yang menyatakan penciptaan kebaikan dan keburukan. Selain memiliki sisi ontologis, hadits ini juga memiliki kaitan dengan kajian jabr dan ikhtiyār, dan penafsiran teks-teks seperti ini tidak bisa dilakukan tanpa menggunakan renungan rasional. Dari sisi pembahasan jabr dan ikhtiyār, hadits ini perlu dikaji lagi. Kajian jabr dan ikhtiyār tergolong ke dalam pembahasan yang paling mendalam dan paling sulit yang membutuhkan perenungan yang mendalam. Namun, kami hanya akan mengkajinya dari segi ontologi.

P: 116


1- 52.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 44-45.
2- 53.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 639.

Prinsip-prinsip filosofis Hikmah Muta’āliyah, kajian tentang Ashalah Al-wujūd (keautentikan eksistensi), keautentikan penciptaan eksistensi, keberadaan kebaikan, kesamaan antara eksistensi, kebaikan dan ketiadaan keburukan, pembagian ketiadaan menjadi ketiadaan mutlak dan ketiadaan bersyarat, penciptaan autentik dan penciptaan tidak autentik, persamaan eksistensi dengan kesempurnaan, dikembalikannya kekurangan pada batasan-batasan kemungkinan (imkānī), serta ikatan esensial; juga sering ditemukan dalam ucapan- ucapan Imam Khomeini. Maka, teks-teks semacam ini memiliki penafsiran dan penjelasan yang rasional dan tepat.

Inti kesempurnaan, keindahan, dan kebaikan tidak keluar dari pokok hakikat eksistensi:

" ... Seluruh kebaikan secara esensial hendaklah dikembalikan pada hakikat eksistensi, dan sesuatu yang lain dengan memperhatikan jenis eksistensinya. Begitu pula, keburukan secara esensial adalah ketiadaan eksistensi atau ketiadaan kesempurnaan eksistensi .... (1) Seluruh keburukan bersumber dari ketidakserasian dan pertentangan antara di makhluk-makhluk yang ada, bukan pada aspek keeksistensiannya, tetapi pada perantara kekurangan dalam penciptaan.... Ini semua kembali kepada keterbatasan dan kekurangan yang secara keseluruhan keluar dari lingkup cahaya pengadaan. Pada hakikatnya, terdapat dua pengadaan, tetapi yang satu bersifat aksidental."(2) Ketika dalam sebuah teks terdapat sebuah kata kerja yang disandarkan kepada berbagai subjek dan bagaimana hal ini bisa dijelaskan dan ditafsirkan? Jika kebaikan bersumber dari Tuhan dan keburukan bersumber dari jiwa manusia, mengapa selanjutnya Tuhan dianggap sebagai sumber semua itu?

P: 117


1- 54.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 440.
2- 55.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 640 dan 643.

“... dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu keburukan, mereka mengatakan, "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).' Katakanlah, 'Semuanya (datang dari sisi Allah.' Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu.''(1) Tentang hal ini Imam Khomeini berkata:

"Yang esensial dalam objek penciptaan Ilahi adalah kebaikan dan kesempurnaan, sedangkan kerancuan, keburukan, dan ketidakmaslahatan dalam qadha Ilahi adalah sesuatu yang aksidental. Butir pertama, diisyaratkan dalam ayat: 'Apa saja kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja keburukan yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu,' sedangkan butir kedua, diisyaratkan dalam ayat: ‘Katakanlah, "Semuanya (datang dari sisi Allah. Banyak ayat dan hadits-hadits dari para Imam a.s. yang menyinggung masalah ini. Salah satunya adalah hadits: Kebaikan dan keburukan keduanya adalah sesuatu yang diadakan dan diciptakan.''(2) Dengan pandangannya yang tajam dan berkenaan dengan panafsiran teks-teks seperti ini, beliau memberikan catatan kaki pada buku Al-Majlisi r.a. tentang sebuah hadits, sebagai berikut:

“Kelompok Asy'ari meyakini bahwa semua ini adalah perbuatan Tuhan, sedangkan kelompok Mu'tazilah dan Imamiyah berkenaan dengan perbuatan hamba, bertentangan dengan pendapat mereka. Kedua kelompok ini memberikan penakwilan bahwa penciptaan kebaikan dan keburukan oleh Tuhan

P: 118


1- 56.QS An-Nisā': 78–79.
2- 57.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 644.

memiliki makna yang berbeda secara keseluruhan dengan perbuatan manusia .... Akan tetapi, kebanyakan filsuf menyatakan, “Tidak ada yang berperan, kecuali Allah,' sedangkan kehendak hamba merupakan mu'idd (penyedia) ketika Tuhan hendak menciptakan perbuatan dengan tangan-Nya. Hal ini sejalan dengan mazhab para filsuf dan Asy'ariyyah, dan hadits ini kemungkinan dikemukakan dalam rangka taqiyah (menjaga diri). "(1) Dalam masalah ini, Imam Khomeini telah mengutarakan kajian yang kuat dan menyampaikan kritikan berkenaan dengan hal di atas dari berbagai aspek.(2)

Rahmah (Rahmat)

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Wahai Yang Maha Pengasih di dunia dan Yang Maha Penyayang di akhirat.

Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu. (3) Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu dari rahmat- Mu segala keluasannya dan seluruh rahmat-Mu adalah luas. Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu dengan seluruh rahmat-Mu."(4) Rahmah merupakan kata yang paling banyak dinisbatkan kepada Tuhan. Kata-kata serapannya juga merupakan manifestasi aktivitas Ilahi yang juga sering digunakan. Tentang dua istilah Tuhan: rahmān dan rahim, terdapat beberapa pendapat yang diajukan oleh para filsuf Islam dengan istilah- istilah yang berbeda-beda.

“Rahmat rahmānī merupakan maqam kesederhanaan eksistensi dan rahmat rahimi adalah maqam

P: 119


1- 58.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 640.
2- 59.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 442 dan 644.
3- 60.Doa Kumail.
4- 61.Doa Sahr.

kesempurnaan eksistensi. Dengan rahmat rahmāni terjelmalah eksistensi, dan dengan rahmat rahimi semua makhluk sampai ke kesempurnaan spiritual dan hidayah batin."(1) Salah satu tempat yang di dalamnya terdapat dua kata ini, yang disebutkan bergandengan adalah basmallah pada setiap surah. Dalam pandangan Imam Khomeini, basmallah bagi setiap surah adalah khusus dan tidak terulang. Dalam menafsirkan kata rahmān dan rahīm, banyak istilah dan kata-kata filosofis yang digunakan. Penafsiran kedua kata ini memiliki dua kemungkinan, dan pengulangan kata rahmān dan rahim dalam Surah Al-Fātihah pun memiliki dua kemungkinan.

Pertama, ketika rahmān dan rahim dalam basmallah adalah sifat bagi Lafaz Al- jalālah (Allāh), itu memberi isyarat kepada rahmāniyyah dan rahimiyyah yang esensial, sedangkan rahmān dan rahim berikutnya, mengisyaratkan rahmān dan rahim yang berkaitan dengan perbuatan (fi'li).

Kedua, ketika rahmān dan rahim merupakan sifat bagi nama (ism), sebaliknya adalah kehendak bagi Allah. Sementara itu, rahmān dan rahim yang terkait dengan perbuatan mengandung arti kehendak, sedangkan kata Allāh dalam alhamdulillāh merujuk pada Dzat Ilahi, dan rahmān dan rahim termasuk ke dalam sifat esensial (dzāti).(2) "Yang paling tepat adalah tingkatan nama rahmān, yaitu tingkatan kesederhanaan eksistensi bagi seluruh alam, baik yang universal maupun yang partikular, sedangkan tingkatan nama rahīm adalah tingkatan kesederhanaan dan kesempurnaan. Sebenarnya, rahmat rahmānī dan rahmat rahimi mencakup segala sesuatu dan meliputi semua alam. Keduanya, merupakan entifikasi kehendak akal dan jiwa."(3)

P: 120


1- 62.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 74.
2- 63.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 75-76.
3- 64.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 76.

Dengan gambaran ini, semua makhluk di luar merupakan manifestasi rahmat Ilahi, dan rahmat Ilahi mencapai penampakannya dalam semua itu. Makhluk-makhluk ini, menurut pandangan yang lebih dalam, memiliki dua sisi: yaitu (1) sisi Al-Haqq dan sisi makhluk, sisi yang condong ke alam gaib dan cahaya; dan (2) sisi yang condong ke alam kegelapan dan cengkraman esensi. Dari sisi cahaya yang condong ke alam rahmat Ilahiah, ia termasuk ke dalam rahmat Ilahi, sedangkan dari sisi cahaya yang condong ke dirinya, ia disebut 'yang dirahmati' (marhūm).

Di sisi lain, sifat rahmat beserta keluasannya memerlukan penjelasan filosofis. Dalam pandangan filosofis, was'iyyah (keluasan) berhubungan dengan kemajemukan vertikal (thūli) dan horizontal (ʻaradhi), serta esensi dan aksiden. Dengan penjelasan seperti ini, marhūm memiliki kemajemukan aksiden dengan esensi, dan kemajemukan panjang dengan lebar, sedangkan rahmah memiliki kemajemukan aksidental dengan aksiden, dan kemajemukan vertikal dengan esensi.

Untuk memahami hal ini hendaklah merujuk pada Hikmah Mutaʻāliyah(3).

Su' al (Permohonan)

"Semua yang ada di langit dan bumi selalu memohon kepada-Nya."(4) "Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling dicintai-Nya dari permohonan-permohonan pada- Mu, dan setiap permohonan pada-Mu adalah dicintai.

Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu seluruh permohonan pada-Mu."(5)

P: 121


1- 1.Du'a' Al-Sahr.
2- 2.QS Fushshilat: 53.
3- 65.Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 78.
4- 66.QS Al-Rahmān: 29.
5- 67.Doa Sahr.

Permohonan adalah sebuah fenomena yang mencakup hakikat seluruh makhluk. Permohonan dan harapan memiliki dua bentuk: yang dimohonkan dengan bahasa lisan; dan yang dimohonkan dengan bahasa potensi dan kelayakan.

Permohonan dari seorang pemohon membutuhkan dasar keberadaan dan kesempurnaannya, yang berfungsi sebagai alat dan objek permohonan. Oleh karena itu, dalam permohonan terdapat sejenis perhatian dan kecenderungan kepada sumber eksistensi dan pemberi emanasi.

“Permohonan adalah permintaan pemohon kepada yang dimohon agar mengabulkan kebutuhan- kebutuhan eksistensial atau kesempurnaan- kesempurnaan eksistensial dengan perhatian kepada- Nya. Perhatian kepada-Nya ada yang esensial (dzāti) dan ada yang kondisional (hāli), yang berbentuk lahiriah dan yang batiniah, dengan bahasa potensial atau bahasa kondisial atau bahasa lisan .... Rangkaian maujud dan entitas-entitas mumkin ... berdasarkan kefakiran dan kekurangan esensial, dan atributnya menuju kepada Sang Pemberi wujud muthlaq (qayyūm muthlaq) ... atau dengan bahasa potensial, pemohon eksistensi dan kesempurnaan dari kehadiran Al-Haqq Swt.."(1) Dengan gambaran seperti ini, kemunculan seluruh penciptaan karena adanya permohonan. Rangkaian eksistensi berdiri berdasarkan tahapan dan tingkatan, mulai dari yang paling sempurna yang menuntut eksistensi dan kesempurnaan, hingga semua eksistensi yang menuntut kesempurnaan dan sumber emanasi.

"Permohonan dan tuntutan pertama, yang muncul dalam ruang eksistensi adalah tuntutan asma dan sifat Ilahi, di mana dengan bahasa yang sesuai dengan

P: 122


1- 68.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 232.

maqam masing-masing menuntut manifestasi pada maqam kehadiran (hadhrah) ahadiyyah dari kehadiran gaib (hadhrah ghaib) mutlak, dan Tuhan pun menjawab tuntutan mereka dengan pemberian limpahan kepada emanasi yang paling suci (faidh al-aqdas).... Asma dan sifat pun terjelma. Di antara asma yang muncul pertama, adalah nama universal (ism jāmi') yang merupakan pemilik insan universal yang mencakup asma dan sifat Ilahi ... setelah permohonan ini, kemudian ada tahapan entitas-entitas yang tetap (a'yān tsabitah) dan bentuk- bentuk (shuwar) asma Ilahi di mana di antara semua ini, yang pertama, adalah bentuk (shūrah) universal dan entitas tetap insani, seluruh entitas yang lain melalui entitas tetap manusia.... Maka, dari entitas-entitas tetap mumkin yaitu Asma Ilahi dalam hadhrah 'ilmiyyah ada yang menuntut penjelmaan dalam bentuk entitas dan syahādah. Tuhan pun mengabulkannya dalam bentuk emanasi suci (faidh muqaddas) dan bayangan yang meluas (zhill munbasith) ... semua tuntutan dan permohonan ini dikabulkan dan tidak ada yang ditolak, karena doa dan permohonan itu disampaikan dalam bahasa esensial dan potensial yang bisa diterima. "(1)

Syarāf (Kemuliaan)

"Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu kemuliaan- Mu yang paling mulia, dan seluruh kemuliaan-Mu adalah mulia. Ya Allah, sungguh aku memohon pada- Mu seluruh kemuliaan-Mu."(2) Penerapan sifat kemuliaan (syarāfah) kepada Tuhan Yang Mahatinggi adalah karena Tuhan merupakan eksistensi murni, tidak terbatas, dan merupakan eksistensi mutlak. Maka kata syarāfah merupakan istilah lain dari eksistensinya, karena tidak ada sisi lain selain Tuhan sehingga sisi itu dinamakan

P: 123


1- 69.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 232-233.
2- 70.Doa Sahr.

sisi kemuliaan. Dia merupakan wujud hakiki dari kemuliaan eksistensi.

“(Dia) merupakan eksistensi: kebaikan, kemuliaan, keindahan, serta kemuliaan; dan ketiadaan: keburukan, kehinaan, kegelapan, serta kegulitaan."(1) Istilah-istilah ini terdapat dalam ucapan-ucapan Imam Khomeini yang muncul dari sumber yang sangat kaya dan melimpah. Menurut dia, eksistensi itu adalah sumber segala kebaikan, kemuliaan, hakikat, dan cahaya. Ia adalah akar yang permanen dan pohon yang mulia (syajārah thayyibah), di mana cabang-cabangnya meliputi langit, bumi, ruh (arwāh), serta bayangannya (asybāh). Kebalikannya, segala keburukan, kehinaan, kebatilan, serta kegelapan berhubungan dengan ketiadaan. Semakin kuat esksistensi, semakin besar kemuliaannya. Rangkaian eksistensi dan tingkatan tahapannya akan berakhir pada sebuah eksistensi yang tidak memiliki sisi ketiadaan, dan kemuliaan yang tidak memiliki sisi kekurangan.

“Semakin kuat eksistensinya, ia semakin sempurna, semakin baik, dan semakin mulia hingga akhirnya sampai ke satu eksistensi yang tidak memiliki warna ketiadaan dan sampai ke kesempurnaan yang tidak memiliki kekurangan. Eksistensi tersebut adalah kemuliaan, di mana tidak ada sedikit pun kehinaan dan kebaikan yang sama sekali tidak ada keburukan di dalamnya. Dan seluruh kebaikan dan kemuliaan merupakan pancaran dan manifestasi dari-Nya.(2) Dan buku-buku ulama, terutama buku-buku para filsuf Persia Shadr Al-Hukamā' Al-Muta'allihin, secara jelas dan argumentatif memuat masalah-masalah ini dan menjadi fondasi bagi banyak kajian teologi, pokok- pokok keyakina,n dan rahasia-rahasia...."(3)

P: 124


1- 71.Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 242.
2- 72.Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 243.
3- 73.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 244.

'Azīz

"Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling mulia dari kemuliaan-Mu, dan seluruh kemuliaan-Mu adalah mulia. Ya Allah, sungguh aku memohon pada- Mu seluruh kemuliaan-Mu."(1) Kata ini merupakan sebuah sifat yang sering digunakan bagi Tuhan Yang Mahatinggi. Dari segi bahasa, kata ini memiliki tiga makna: yang Unggul (Ghalib); Kekuatan (Qowiy); dan Esa (Fard). Untuk memahami maknanya yang lebih mendalam, membutuhkan prinsip-prinsip dan istilah-istilah filosofis.

1. 'Aziz yang berarti unggul.

“Dia adalah Yang Mahaunggul (ghālib) atas segala sesuatu, dan seluruh rangkaian eksistensi ada di bawah aturan-Nya. Tidak ada satu gerak pun, kecuali Dia yang mengaturnya. Dia memiliki kekuasaan mutlak, kepemilikan sempurna, dan kemenangan atas segala perkara makhluk, segala gerak berada di bawah kekuasaan-Nya, dan segala perbuatan diatur dengan aturan-Nya.(2) 2. ‘Aziz yang berarti kekuatan (qowiy).

a. Kekuatan sebagai lawan dari kelemahan “Sesungguhnya Wajib Al-Wujūd di atas segala apa yang tidak terbatas dengan apa yang tidak terbatas, Mahakuat, dan kekuatan segala yang memiliki kekuatan adalah bayangan dari kekuatan-Nya serta bagian dari derajat kekuatan-Nya."(3) Tahapan tingkatan eksistensi dalam kekuatan dan kelemahan terlihat jelas pada ungkapan di atas. Kekuatan dan kegagahan dalam rangkaian tingkatan akan berakhir

P: 125


1- 74.Doa Sahr.
2- 75.Imam Khomeini, Syarh Du´a' Al-Sahr, hlm. 166.
3- 76.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 166.

pada sesuatu yang tidak memiliki sisi lain, kecuali kekuatan dan kegagahan. Kekuatan maujud yang lain tidak memiliki keautentikan (ashālah), kemandirian, dan berasal dari sumber eksistensi. Dengan melihat dua sisi yaitu: sisi-makhluk (yali al- khalq) dan sisi-Tuhan (yali al-rabb), bagi segenap makhluk akan membuat masalah ini semakin jelas. Segenap makhluk dari sisi kefanaan dalam Al-Haqq Swt. dan sisi yali al-rabb, menjadi kuat, sedangkan dari sisi-sisi lain yang sesuai dengannya dan yali al-khalq, menjadi lemah.

b. Kekuatan yang berarti sumber ciptaan.

Tuhan adalah Sumber Segala Penciptaan yang tidak terbatas. Dalam ruang eksistensi, tidak ada seorang pun selain Dia. Begitu pun, sifat-sifat dan ciptaan-ciptaan-Nya. “Tidak ada yang berperan, kecuali Allah". Setiap yang berperan tergolong ke dalam jelmaan-jelmaan penciptaan.

“Hal ini merupakan hakikat amr baina amrain yang telah dikaji oleh ulama salaf saleh di antara para pemuka hikmah, dan menjadi sumber telaah, seperti filsuf Shadr al-Hukamā' wa al-Muta'allihin dan pengikut lain dari kalangan filsuf."(1) 3. ‘Azīz yang berarti Esa.

Dalam Hikmah Mutaʻāliyah, pokok ini sudah dikukuhkan bahwa Al-wajib adalah eksistensi yang murni; eksistensi murni tidak mungkin menjadi dua dan tidak mungkin mengalami perulangan. Dalam hal ini, setiap kali diasumsikan ada yang kedua maka itu adalah la, tidak ada yang lain selain Dia.

P: 126


1- 77.Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr., hlm. 167.

“Karena kemurnian (shirf), tidak akan menjadi dua dan terulang, dan setiap kali diasumsikan ada yang kedua maka itu adalah la."(1)

'Ilm (Ilmu)

Kata ini, pada Dzat Paling Suci Tuhan lebih sering digunakan daripada kata yang lain. Ilm (Maha Mengetahui) yang merupakan salah satu sifat Dzat Tuhan Yang Mahatinggi sering ditemukan dalam teks-teks agama. Kata ini, dari berbagai aspek menjadi topik perdebatan pemikiran di antara para pemikir Ilahiah, seperti tentang makna dan konsepsi ‘ilm, ilmu wājib dan mumkin, ilmu dzāt terhadap dzāt, ilmu wājib terhadap yang lain, ilmu sebelum muncul kemajemukan, serta pengadaan dan lain-lain. Semuanya membentuk berbagai topik pemikiran yang beraneka ragam, ketika para pemikir, sesuai dengan kadar pengetahuan mereka, mencoba memberi gambaran kualitas pada butir ini.

Para filsuf Islam, disebabkan kecenderungan mereka pada kajian-kajian tentang Ketuhanan, mereka memiliki perhatian yang mendalam pada masalah ini. Seluruh ulama llāhiyyūn meyakini Tuhan memiliki ilmu terhadap diri-Nya dan juga pada hal-hal yang lain. Yang menjadi polemik adalah tentang kualitas dan kuantitas pengetahuan Ilahi tersebut. Terdapat beberapa pendapat yang menjelaskan bentuk ilmu Tuhan dan terutama ilmu Tuhan sebelum penciptaan (qabla ijad).

“... ilmu sebelum penciptaan terhadap akibat-akibatnya (maʻlūl), pada zaman asali merupakan objek perbedaan yang seru. Ilmu itu diteliti bentuknya, apakah itu ilmu tentang hal yang umum ataukah tentang yang partikular; apakah merupakan sifat tambahan bagi

P: 127


1- 78.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr., hlm. 167.

Dzāt atau Dzāt itu; apakah sebelum mengada atau berbarengan dengan mengada...?"(1) “Permasalahan semakin meluas ketika ilmu yang merupakan sifat esensial, pada saat yang sama juga diterapkan pada makhluk-makhluk yang berpermulaan,” (Hādits).

Beberapa aspek kajian yang dikemukakan dalam teks-teks agama adalah sebagai berikut.

'Ainiyyah (Kesatuan) Ilmu dengan Dzat

"Allah selamanya adalah Tuhan kita, ilmu-Nya adalah Dzat-Nya itu, dan la bukanlah maʼlum (yang diketahui).... maka, ketika Dia menciptakan makhluk dan menjadi maʻlül, terwujudlah ilmu atas ma‘lül...."(2) Hadits ini menyatakan kesatuan sifat-sifat kesempurnaan hakiki. Penjelasannya sangat membutuhkan prinsip-prinsip logika yang kuat.

“Apa yang akan diisyaratkan tentang kelompok yang benar sesuai dengan argumen yang kuat dari para filsuf dan metode ahli makrifat."(3) Prinsip-prinsip yang dibutuhkan dalam kajian ini adalah keautentikan eksistensi, kesederhanaan eksistensi, dan segala masalah yang bisa dikemukakan dengan diterimanya prinsip Ashālah Al-wujūd. Urutan penjelasannya adalah sebagai beikut 1. Ashālah Al-wujūd.

"Segala bentuk kesempurnaan, jenis keindahan, dan kelengkapan kembali ke Wujūd dan dasar hakikat eksistensi. Di alam nyata tidak ada yang lain, kecuali Wujud Yang Mulia yang merupakan sumber dari

P: 128


1- 79.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 610.
2- 80.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 605.
3- 81.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 606.

segenap kesempurnaan dan permulaan dari seluruh kebaikan, dan itu adalah hakikat eksistensi."(1) dikembalikan ke Atas dasar ini, seluruh kebaikan eksistensi dan akan menjadi bercabang.

“Setiap kesempurnaan dari aspek konsep dan esensi bukanlah kesempurnaan, melainkan melalui perantara perwujudan-Nya dalam inti entitas, dan itulah kesempurnaan."(2) 2. Kesederhanaan eksistensi.

“Hakikat eksistensi sederhana dari segala sisi ... dan jika hakikatnya adalah menurun (tanazzul), maka ia disifati dengan ketersusunan logis dan luaran sesuai dengan tingkatan dan kedudukannya." 3. Kesederhanaan hakikat adalah kesempurnaan total.

Butir ini adalah cabang dari kesempurnaan eksistensi.

“Kesederhanaan dari segala sisi adalah seluruh kesempurnaan yang kembali pada aspek yang satu dan esa. Dari aspek ini, yang merupakan maujud adalah ‘Alim (Yang Mengetahui), Qādir (Yang Kuasa), Hayy (Yang Hidup) dan Murid (Yang Berkehendak).... Dan 'Alim adalah dari sisi Qadir, dan Qadir adalah dari sisi 'Alim."(3) 4. Konklusi Konklusi dari pokok ini, yang secara argumentatif dibahas secara detail dalam Hikmah Mutaʻāliyah- adalah sebagai berikut:

“Al-Haqq Swt. karena kesederhanaan yang sempurna, maka la tidak memiliki ketersusunan. Dia sempurna dari segala sisi serta memiliki segala asma dan sifat.

P: 129


1- 82.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 607.
2- 83.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 607.
3- 84.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 607.

Dia merupakan pokok hakikat dan inti essesni eksistensi .... Maka Dia adalah kemurnian wujud ...

inti ilmu, inti kehidupan, inti kekuatan, inti penglihatan dan pendengaran, serta segala kesempurnaan. Oleh karena itu, benar apa yang telah dikatakan oleh Imam Shadiq a.s., Ilmu-Nya adalah (identik) dengan Dzat- Nya.'"(1)

Pengetahuan Tuhan terhadap yang Selain-Nya

Dalam hadits yang telah dikutip, dijelaskan satu hal yang penting, yaitu pembuktian adanya pengetahuan bagi Dzat Al- Haqq Swt. sebelum penciptaan.

“Hadis ini mengisyaratkan satu hal, yaitu la memiliki pengetahuan terhadap yang diketahui (maʼlūm) sebelum diciptakan di alam azali. Pengetahuan adalah Dzat Tuhan itu sendiri, juga ilmu-Nya adalah identik dengan ilmu partikular. Beliau berkata, 'Dia Maha Melihat (bashir) tetapi yang dilihat itu belum ada... dan juga mengisyaratkan pengetahuan terperinci dengan ucapannya, “Maka jika Dia mencipta sesuatu dan itu merupakan maʼlūm, maka terwujudlah ilmu dari-Nya atas ma'lum tersebut.'(2) Imam Khomeini menjelaskan masalah ini dengan menggunakan dua metode: argumen filosofis dan dzauq ‘irfāni.

1. Argumen Filosofis.

Penjelasan masalah yang dikemukakan oleh para pengkaji filsafat bisa dikemukakan melalui beberapa cara: pertama, penjelasan dari sisi Hikmah Mutaʻāliyah dengan pendahuluan.

Al-Haqq Swt. adalah inti eksistensi dan inti kesempurnaan. Inti eksistensi dengan kesederhanaannya adalah kumpulan dari semua kesempurnaan eksistensi. Apa saja yang ada di luar lingkaran eksistensi-Nya adalah ketiadaan dan kekurangan.

P: 130


1- 85.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 607.
2- 86.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 610.

Hubungan lain antara tingkatan eksistensi dan dzāt Muqaddas adalah hubungan antara kekurangan dan kesempurnaan.

Kesimpulan dari uraian pokok ini adalah sebagai berikut:

“Ilmu dengan kesempurnaan mutlak adalah ilmu dengan kemutlakan kesempurnaan tanpa ada kekurangan dan cacat, dan ini adalah ‘Ain kasyf tafshili kull basith.(1) Al-Haqq Swt. dengan pengetahuan murni-esensial (film basīth dzātī) dan pengetahuan azali. Seluruh maujud dengan posisinya sebagai maujud dan sisi-sisi eksistensialitas kesempurnaan dari sisi kesempurnaannya merupakan Maʻlūm (Diketahui) oleh Dzat Yang Mahasuci. Pengetahuan ini adalah kesederhanaan itu, keesaan yang sempurna, dan juga terperinci .... Ilmu dan penyingkapan (kasyf) ini ada di alam asali dan pada Dzat Yang Mahasuci itu. Dan maʻlūmāt (yang diketahui) itu adalah dengan entifikasi dan batasan yang kembali kepada ketiadaan dan kekurangan. Maka dari penciptaan, ia terwujud secara aksidental dan disifati dengan ilmu secara aksidental pula. Pemberian sifat secara aksidental ini terjadi setelah penciptaan."(2) Yang disepakati dari semua pendapat adalah sebagai berikut:

“Ilmu Allah Swt. atas segala sesuatu adalah penyingkapan terperinci dalam ilmu itu yang sederhana dan umum.(3) Kedua, penjelasan tentang masalah ini mengarah pada bagaimana kesubjekan (fāʻiliyyah) Ilahi. Subjek (fā'il) memiliki ilmu yang sempurna atas perbuatannya, tetapi subjek llahi bukan subjek materi.

P: 131


1- 87.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 611.
2- 88.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 615.
3- 89.Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 211.

" ...Ilahi menjadikan sesuatu ada atas kehendak- Nya tanpa didahului sesuatu ... alam nyata berada dalam cakupan ilmu-Nya, dan dengan penampakan, ia berubah dari alam gaib menjadi identitas lahiriah:

'Dan di sisi-Nya kunci-kunci alam gaib; tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia.'(1) Dikatakan bahwa hubungan lembaran entitas-entitas (a'yān) dengan dzāt Muqaddas Al-Haqq Swt. ibarat hubungan mental (dzihn) dengan nafs insani, di mana dengan nafs itu la menciptakan kehendak dan menampakkan apa yang ada dalam identitas gaib (ghaib huwiyyah). Maka, seluruh cakupan keberadaan berada dalam cakupan ilmu; darinya la menjelma dan kepada-Nya ia kembali."(2) Ketiga, bentuk lain dari penekanan terhadap kausalitas subjek penyebab (fā'il sababī) dengan pendahuluan, bahwa ilmu tentang sebab sempurna ('illah tāmmah) sesuatu menyebabkan adanya pengetahuan atas sesuatu tersebut.

"Karena seluruh sebab berakhir pada dzāt Muqaddas, sumber dari segala sumber, dan pengetahuan Al-Haqq Swt. atas dzāt-Nya merupakan sebab bagi seluruh makhluk. Karena Dia adalah sebab maka Dia pun memiliki pengetahuan atas akibat-akibatnya."(3) 2. Dzauq 'Irfāni Masalah yang menjadi perhatian seluruh filsuf, bahwa potensi yang ada dalam pemahaman tentang unsur-unsur tinggi filosofis sangat berpengaruh. Namun, tidak semua masalah bisa dijelaskan dengan media ini.

"Pemahaman hakikat-hakikat ini tidak bisa diraih melalui argumen-argumen peripatetis, silogisme filosofis dan argumen-argumen teologis .... Ilmu ini

P: 132


1- 90.QS Al-An'am: 59.
2- 91.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 611.
3- 92.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 612.

khusus dimiliki oleh para pemilik hati (ashhāb al- qulüb) dari para guru yang telah mendapat pancaran pelita kenabian dan cahaya Wilayah melalui olah batin dan mujāhadah."(1) Manusia biasa jangan terlalu berharap bahwa masalah- masalah filosofis dan ‘irfāni yang mendalam ini bisa diturunkan ke dalam pemahaman mereka yang rendah. Namun, mereka harus berusaha meraih tingkatan ini dengan melewati tahapan- tahapan ilmu Hushūlī dan tahapan-tahapan pembentukan diri, dan olah spiritual yang selanjutnya akan mencapai tahapan intuisi (syuhūd).

“Amatlah jauh! Kita dan orang-orang seperti kita tidak mengetahui ilmu, kecuali konsep sesuatu .... Itu karena, kita terikat dengan ilmu materi dan kita hanya membatasi diri pada hal-hal tersebut ... Mustahil bagi kita bisa menyaksikan cahaya-cahaya ilmu Ilahi, manifestasi-manifestasi esensial (tajalliyyāt al-dzāti), sifat dan asma, serta pernyataan-pernyataan tentang hal itu dengan mata kita yang buta dan lidah kita yang kelu. Karena itu, ketika seseorang tidak menjadikan Tuhan sebagai cahaya bagi dirinya maka ia tidak akan memiliki cahaya dan tidak memahami cahaya selain sebagai cahaya, dan tidak memahami alam selain sebagai alam... (2) Di sini, pada akhirnya masalah tersebut sampai ke satu titik bahwa "ia memiliki batasan di luar batasan akal" yang mana dzauq ‘irfānī dan penjelasan-penjelasan lain bersumber dari pandangan seperti ini, yang memiliki peran yang tidak bisa tergantikan. Merenungi ayat- ayat Al-Quran tentang ilmu Al-Wajib Swt. atas apa pun selain diri-Nya adalah sebaik-baik petunjuk. Terdapat ayat-ayat yang sangat dalam, seperti: 'Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian;(3) 'dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher;'(4) 'sesungguhnya Dia menguasai segala sesuatu.(5)

P: 133


1- 93.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212-213.
2- 94.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 213.
3- 95.QS Al-Wāqi'ah: 85.
4- 96.QS Qāf: 16.
5- 97.QS Fushshilat: 54.

Asma, sifat, dan berbagai prasyaratnya yaitu entitas- entitas tetap (a'yān tsābitah), berbagai prasyarat dari entitas-entitas tetap tersebut, dan seterusnya hingga akhir termasuk emanasi tersuci (faidh al-aqdas) dan bayangan meluas (zhill munbasith) ... hadir pada Al-Haqq Swt. dengan gambaran esensi (dzāt) dan tampak dengan penyingkapan esensi tanpa adanya kemajemukan dan entifikasi. Itu karena, nama (ism) adalah juga yang dinamai (musammā) itu dan bentuk dari ism yaitu entitas-entitas nama, sedangkan yang dinamai (musammā) adalah bayangan meluas dari entitas hakikat Ilahi dan melebur dalam hakikat tersebut, dia tidak memiliki hukum dan kemandirian sedikit pun."(1)

Qadīm (Tidak Didahului Ketiadaan)

"Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling Qadim dari pemberian-Mu, dan seluruh pemberian-Mu adalah Qadim."(2) Cakupan pemahaman kata ini, berbagai bagian dan keselarasannya dengan eksistensi dalam realita membutuhkan kajian-kajian yang cukup panjang. Masalah ini dibahas secara detail dalam buku-buku filsafat. Eksistensi dibagi menjadi qadīm dan hādits sebagai esensi, serta aksiden. Kajian ini berkembang hingga pada tataran teologi dengan makna yang lebih khusus. Sumber eksistensi disifati dengan salah satu dari dua sifat ini dan sebaliknya, eksistensi yang lain pun disifati dengan sifat-sifat ini. Mengenai salah satu dari kedua sifat eksistensi (wājib dan mumkin) dan penjelasannya dibutuhkan prinsip-prinsip yang lebih mendalam.

Perdebatan dan perbedaan pandangan juga terjadi dalam aspek lain, apakah emanasi Tuhan itu qadim seperti diri-Nya

P: 134


1- 98.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212.
2- 99.Doa Sahr.

ataukah hādits? Para filsuf meyakini ke-qadim-an emanasi Ilahi dan membela pendapat ini dengan membantah kerancuan yang dikemukakan oleh para teolog. Sebagian teolog Asy'ariyah, terkait masalah ini, mengafirkan para filsuf dan meyakini adanya huduts zamani (kebaruan temporal) emanasi Ilahi sehingga mereka terjerembab ke dalam kesulitan yang sulit dipecahkan. Berdasarkan uraian ini, mereka meyakini ke-qadim-an esensial atau bahwa perkara tersebut memang samar.

Para filsuf Islam, berdasarkan jelas dan samarnya teks- teks Islami – meyakini ke-qadim-an emanasi Ilahi. Frase “segala yang datang dari-Mu adalah qadim" merupakan ungkapan yang paling jelas tentang ke-qadim-an emanasi Ilahi yang bersumber dari pusaka ilmu Ilahi. "Dan ini merupakan bukti yang sangat jelas atas pandangan dalam Hikmah mutaʼĀliyah dan Ashhab Al-qulüb dari kalangan ahli makrifat tentang ke- qadim-an emanasi tersebut. "(1) Menurut penjelasan ini, pemberian Tuhan kepada makhluk tidak lain adalah eksistensi. Perluasan makna eksistensi terhadap eksistensi yang tidak pasti (mumkināt) merupakan pemberian yang tiada bandingannya dan tanpa ada permulaan zaman. Eksistensi yang meluas dari sisi ini merupakan bayangan (zhill) dari eksistensi yang qadīm, karena qadim-nya pemilik bayangan (dzi al-zhill), ia pun menjadi qadim. Namun, secara esensial ia tidak memiliki aturan tersebut walaupun dari sisi makhluk (yali al-khalq) ia adalah hādits. Oleh karena itu, hudūts (temporal), taghyīr (perubahan), zawāl (kehilangan), dan halāk (kerusakan) merupakan ciri-ciri wujud mumkin. Sementara itu, tsabāt (tetap), qidām (tak berawal), istiqlāl (berdiri sendiri),

P: 135


1- 100.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 260.

ghinā (kaya), serta wujūb (kemestian) bersumber dari alam uluhiah. Qadim-nya makhluk juga bergantung pada tingkatan eksistensinya, sedangkan standar tingkatan eksistensi adalah kedekatan dan kekuatan hubungan dengan qadim dzāti yang satu lebih qadim daripada yang lain.

“Ke-qadim-an pada tingkatan eksistensi didasarkan pada kekuatan hubungan dengan qidām dzāti dan kedekatan ke pintu-Nya. Semakin dekat suatu wujud ke Sumber eksistensi, semakin kuat hukum qidām menjelma dalam dirinya. Meskipun setiap eksistensi sesuai dengan hubungan khusus dengan Tuhan, tetapi semuanya adalah qadim. Oleh karena itu, beliau bersabda, "Segala yang bersumber dari-Mu adalah qadim."(1) Pada bagian ini penting sekali ditekankan, bahwa pemahaman tentang hakikat ini tidak bisa mencapai otak karena dibutuhkan potensi yang kuat di dalamnya.

“Dan keimanan terhadap hakikat-hakikat ini tidak bisa dipahami dengan metode teologis dan argumen filosofis, tetapi dibutuhkan luthf (karunia) berlipat, kebersihan hati, dan kesucian batin melalui olah batin dan khalwat (menyendiri)."(2)

Kalimah (Kata)

'Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling sempurna dari kalimah-Mu, dan seluruh kalimah-Mu adalah sempurna.... (3) Sesungguhnya Dia berfirman ketika menghendaki kejadiannya, “Jadilah!" sehingga jadilah ia, tidak dengan suara yang memekik dan tidak dengan panggilan yang terdengar, tetapi dengan perbuatan-Nya. (4)

P: 136


1- 101.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 260.
2- 102.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 260.
3- 103.Doa Sahr.
4- 104.Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 92.

Para teolog beranggapan bahwa disandarkannya sifat Kalām kepada Tuhan adalah dengan cara menciptakan suara pada sesuatu. Sementara itu, para filsuf Ilahi memandang bahwa disandangkannya sifat ini kepada Tuhan karena setiap alam eksistensi merupakan kalimah Ilahi. Dengan demikian, Kalām merupakan sifat yang disandangkan pada kesubjekan (fā'iliyah) Al-Haqq Swt. dalam mencipta, dan seluruh alam eksistensi adalah kitab Ilahi dan setiap makhluk adalah kalimah-Nya. Alam dan ruang eksistensi mulai dari alam gaib hingga alam nyata adalah kitab, ayat, kalam, serta kalimah yang memiliki bab-bab, pasal-pasal dan kunci-kunci."(1) Jika antara Kitab Tadwin (tertulis) dan Kitab Takwin (alam semesta) dibandingan, keduanya memiliki kesamaan- kesamaan. Sebagaimana Kitab Tadwin memiliki Al-Fatihah, Kitab Takwin pun memiliki Al-Fatihah yang dalam eksistensinya paling sempurna terkumpul seluruh kitab eksistensi dengan wujud Ilahi yang mencakup dan terhindar dari kemajemukan.

Al-Fatihah ini di satu sisi, merupakan alam akal murni ('uqūl mujarradah) dan malaikat ruhani, sedangkan dari sisi lain, ia adalah masyi'ah (kehendak) yang merupakan kunci eksistensi gaib. Telah dikutip dalam doa Ziyārah Jāmi'ah, “Dengan kalianlah kunci [menuju] Allah," karena eksistensi mulia ini setingkat dengan masyi'ah.

Dalam penjelasan ini, jika eksistensi mutlak dengan tingkatan-tingkatan dan maqam-maqamnya dipandang sebagai sebuah kitab, setiap alam universal merupakan salah satu pintu kitab tersebut, dan setiap alam partikular adalah surat dan pasal-pasalnya. Setiap tingkatan alam atau setiap bagiannya adalah ayat dan kalimah. Jika rangkaian eksistensi dipandang sebagai kitab-kitab, setiap alam merupakan satu kitab yang

P: 137


1- 105.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 88.

terpisah dan memiliki bab-bab, ayat-ayat, dan kalimah-kalimah.

Eksistensi dengan sudut pandang ini memiliki tingkatan- tingkatan, jenis-jenis, dan individu-individu. Jika kedua sudut pandang ini disatukan akan menjadi satu eksistensi kitab mutlak yang memiliki jilid-jilid yang setiap jilid terdiri dari bab- bab, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang jelas. Penafsiran atas satu atau beberapa kalimah dikuatkan oleh sebuah analisis dari pembicaraan (takallum) menjadi pengamalan.

“Kalam adalah entifikasi Dia, keluarnya hal itu dari dalam diri manusia dengan perjalanan menuju stasiun- stasiun luar, dan melewati tahapan-tahapan perjalanan sampai ke luar, serta menjelma: mulai dari alam gaib hingga alam nyata yang menyingkap hati, rahasia, dan maksud pembicara (mutakallim).... "(1) Penyebab takallum adalah media-media kesempurnaan batin dan penampakan malakah. Sebelum takallum dan penyampaian kalimah, terdapat kesempurnaan-kesempurnaan dalam tingkatan yang tersembunyi, dan ketika mutakallim berkehendak, la menampakkan semua kesempurnaan dan malakah-Nya, dan menciptakan kalimah-kalimah sehingga kekuatan dan posisi-Nya bisa diketahui.

“Ketahuilah bahwa kalam setiap mutakallim merupakan manifestasi dari dzāt-Nya, sesuai dengan maqam penampakan (zhuhūr) dan penampakan malakah batiniahnya pada cermin lafaz sesuai dengan potensi rangkaian lafaz.(2) Tingkatan eksistensi di alam gaib dan alam nyata merupakan kalam Ilahi melalui hawa yang merupakan tingkatan kebutaan ('amā) keluar dari tingkatan identitas nyata (-ainī) dan turun dari langit Ilahi, karena adanya cinta diri untuk menampakkan kesempurnaan dan bermanifestasi ke dalam asma dan sifat sehingga kedudukannya diketahui."'(3)

P: 138


1- 106.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 92.
2- 107.Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 308.
3- 108.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 92.

Penjelasan tentang kalam ini, yang berdiri di atas prinsip- prinsip apologi filosofis – juga sesuai dengan hadits-hadits dari para Imam Maksum a.s.. Di antaranya adalah hadits:

“Sungguh Dia telah bermanifestasi kepada hamba-Nya dalam kalam-Nya, tetapi mereka tidak melihat."(1)

Mālik (Penguasa)

“Raja pada hari kiamat."(2) Semua jenis mālikiyyah (kekuasaan dan kepemilikan) yang terbayangkan tentang fenomena-fenomena dunia ini antara yang satu dengan yang lain tidak bisa disandangkan dan disamakan dengan Mālikiyyah Tuhan terhadap makhluk- Nya. Jenis-jenis mālikiyyah, seperti mālikiyyah para penguasa atas negaranya, mālikiyyah manusia atas anggota badannya bahkan terhadap unsur-unsur lahir dan batin, atau mālikiyyah jiwa atas perbuatan-perbuatan dirinya, serta mālikiyyah alam akal atas alam-alam yang lain. Walaupun memiliki kemampuan mengadakan atau meniadakan, tidak ada satu pun dari jenis di atas yang bisa diterapkan pada pemberian emanasi (ifādhah) Al-Haqq Swt. kepada alam semesta. Semua mālikiyyah pada satu titik tertentu memiliki kesamaan, yaitu memiliki hubungan kontradiksi (tabāyun) asali dengan yang dikuasai-Nya dan tidak memiliki kekuasaan substansial (qayyūmī) atas kerajaan-Nya.

“Seluruh ruang nyata imkāni yang di dalamnya ada bayangan ketergantungan dibatasi oleh suatu batasan dan ditentukan oleh suatu ketentuan, termasuk batasan esensi (māhiyah). Meskipun dibatasi oleh suatu batasan, tetapi ia tetap sesuai dengan kadar keterbatasannya yang memiliki keterpisahan asali

P: 139


1- 109.Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 92.
2- 110.QS Al-Fātihah: 4.

dengan perbuatannya dan tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan ekstensi."(1) Berdasarkan perbedaan-perbedaan ini, Mālikiyyah Tuhan memiliki bentuk lain, dan para filsuf Ilahi memberinya istilah ifadhah isyrāqiyyah (relasi lluminatif).

“Mālikiyyah Al-Haqq Swt. dengan ifādhah isyrāqiyyah (limpahan pancaran) dan ihāthah qayyūmiyyah (pengetahuan substansif) merupakan mālikiyyah esensial, hakiki, dan nyata; tidak ada kontradiksi asali sama sekali dalam Dzāt dan sifat-Nya dengan satu makhluk pun di antara makhluk-makhluk-Nya."(2) Hal-hal yang termuat dalam teks-teks agama adalah teks- teks yang menyinggung masalah kedekatan mendalam dan kekuasaan esensial Al-Haqq Swt.

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian."(3) “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat leher."(4) “Milik-Nya kerajaan langit dan bumi."'(5)

Masyi'ah (Kehendak)

“Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling dahulu dari kehendak-Mu, dan seluruh kehendak-Mu adalah dahulu.... (6) Allah telah menciptakan masyi'ah (kehendak) dan menciptakan segala sesuatu dengan masyi'ah-Nya tersebut."(7) Dalam pandangan para Arif Islam, masyi'ah merupakan sumber pertama. Tingkatan lain eksistensi yang tercipta melalui masyi'ah dan rangkaian eksistensi (alam gaib dan alam nyata)

P: 140


1- 111.Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 270.
2- 112.Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 270.
3- 113.QS Al-Waqi'ah: 85.
4- 114.QS Qāf: 16.
5- 115.QS Al-Baqarah: 107.
6- 116.Doa Sahr.
7- 117.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 175.

tergolong ke dalam manifestasi-manifestasi dan entifikasi- entifikasi dari masyi'ah.

“Dengan masyi'ah, muncul eksistensi dan merupakan nama Allah Yang Agung."(1) Masyi'ah Ilahi mutlak ada secara esensial dan murni dari entifikasi ketergantungan dan memiliki bayangan kesatuan Al- Haqq yang hakiki (zhill wahdah haqqah haqiqiyyah). Sementara itu, entifikasi-entifikasi tidak mencium bau eksistensi, tetapi seperti fatamorgana dan orang-orang yang haus akan melihatnya, seperti air.

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya."(2) "Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya."(3) Sisi lain dari masyi'ah adalah memiliki sifat umum dan aliran. Keluasan rahmat dan maqam uluhiah adalah keumuman dan aliran masyi'ah. Misalnya, pena, kertas, tangan, kekuatan, serta kehendak penulis. Seluruhnya merupakan jelmaan dari kehendak Ilahi, entifikasi semu, dan khayali.

“Masyi'ah (kehendak) adalah maqam penampakan hakikat eksistensi, kemutlakan dan alirannya, serta keluasan cahaya dan rahmat. Masyi'ah adalah irādah- Nya dalam maqam penampakan dan manifestasi.

Masalah ini terwujud ketika tingkatan entifikasi mulai dari akal suci ('uqūl muqaddas) dan malaikat muqarrab sampai dimensi-dimensi alami dan malaikat pengatur bumi, semuanya termasuk tingkatan masyi'ah dan batasan-batasan irādah (kehendak) dalam magam manifestasi dan perbuatan. Hal ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa Tuhan memiliki kehendak yang merupakan dzāt suci-Nya dan merupakan sifat yang qadim. Kehendak dalam maqam fi'li dari aspek

P: 141


1- 118.Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 175-176.
2- 119.QS Al-Qashash: 88.
3- 120.QS An-Najm: 23.

entifikasi adalah hādits (makhluk) dan akan musnah walaupun dari aspek maqam, kemutlakan juga qadim karena yang tampak dan manifestasi bersatu."(1)

Nur (Cahaya)

“Allah adalah cahaya langit dan bumi."(2) “Dan dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari segala sesuatu. (3) Dan dengan cahaya wajah-Mu yang menjelma bagi gunung dan menjadiknnya rata. (4) Ya Allah, sungguh aku memohon pada-Mu yang paling terang dari cahaya- Mu, dan seluruh cahaya-Mu adalah terang.... "(5) Imam Al-Shadiq a.s. berkata, “Sesungguhnya Allah telah ada (kāna), sebelum segala sesuatu ada (kāna), maka Dia menciptakan kāna dan makān (tempat), Dia menciptakan cahaya-cahaya, dan menciptakan cahaya setiap cahaya yang memancar dari cahaya-cahaya .... Dia adalah cahaya yang darinya tercipta Muhammad dan Ali. Maka tetaplah dua cahaya awal itu, di mana tidak tercipta satu pun sebelumya.

Keduanya terus mengalir dalam keadaan suci dan menyucikan di dalam sulbi-sulbi yang suci hingga keduanya terpisah di tempat yang kesuciannya paling suci dalam diri Abdullah dan Abu Thalib a.s. ...."(6) Teks-teks hadits memuat banyak kata cahaya. Dalam Filsafat Islam, cahaya diterapkan pada tingkatan eksistensi sehingga dalam Hikmah Muta’āliyah, eksistensi adalah sama dengan cahaya. Penerapan cahaya pada eksistensi merupakan perkara yang jelas dan tidak membutuhkan pembuktian terutama dengan keyakinan pada Ashālah Al-wujud. Oleh karena itu, masalah ini menjadi sangat tegas.

P: 142


1- 121.Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 181.
2- 122.QS An-Nür: 35.
3- 123.Doa Kumail.
4- 124.Doa al-Samāt
5- 125.Doa al-Sahr.
6- 126.Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 64.

"Cahaya adalah eksistensi. Dalam ruang eksistensi, selain Dia tidak ada cahaya dan manifestasi Kecerahan cahaya urf (alami) dan 'ulūm (ilmu) bergantung pada tingkatan eksistensinya karena esensi mereka adalah kegelapan. Sebagian memiliki cahaya yang lebih tinggi daripada yang lain...." (1) Dalam gambaran ini, penerapan cahaya pada Tuhan berkaitan dengan hakikat tempat cahaya. Cahaya adalah sesuatu yang tampak dengan sendirinya dan juga menampakkan yang lainnya. Sifat ini bisa diterapkan pada Wājib Al-Wujūd. Oleh karena itu, Tuhan adalah cahaya langit dan bumi. Penerapan cahaya pada Tuhan akan lebih jelas ketika berperan sebagai sifat fi'li. Penerapan cahaya pada Tuhan sebagai sifat fi'li lebih jelas ketimbang sifat dzāti, karena dalam konsep ini terdapat sisi ketampakan bagi yang lain. (2) Kata cahaya dalam teks-teks agama juga bisa diterapkan pada hakikat ilmu dan keimanan. “Hakikat ilmu dan iman yang berdasarkan ilmu adalah cahaya". (3) Hal ini merupakan penerapan hakiki dan dengan makna yang jelas bahwa ada keselarasan cahaya dengan ilmu dan iman. Cahaya lahir dengan sendirinya dan melahirkan yang lain. Begitu pun ciri yang dimiliki oleh ilmu.

“Hakikat ilmu adalah eksistensi secara esensial dan dalam konsep yang berbeda dengannya, tetapi dalam inti hakikat, inti entitas sejalan, dan bersatu dengannya. "(4) Dari sisi lain, hakikat eksistensi adalah cahaya dan ilmu.

Dalam Al-Quran, banyak ayat yang menggunakan kata cahaya untuk menunjukkan ilmu.

P: 143


1- 127.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 65.
2- 128.Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 67.
3- 129.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 418.
4- 130.Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 418.

“(Dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun."(1) Dalam tafsir Ahlulbait a.s., cahaya dalam ayat ini adalah ilmu. Dalam hadits-hadits juga banyak yang menggunakan kata cahaya untuk maksud ilmu, seperti:

“Ilmu adalah cahaya, Allah akan menghembuskannya kepada orang yang dikehendakinya. "(2) Wa akhiru da'wāna al-hamdu lillāhi rabbil 'alamin.

P: 144


1- 131.QS An-Nür: 40.
2- 132.Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 419.

Catatan III:

1 Du'a' Al-Sahr.

2 QS Fushshilat: 53.

3 QS Al-Isra': 14.

4 Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 264.

5 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 265.

6 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 266.

7 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 265.

8 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm, 635.

9 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm, 635.

10 QS Al-Qashash: 88.

11 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 635.

12 QS Al-A'rāf: 180.

13 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 636.

14 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 121.

15 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 123.

16 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 131.

17 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 125.

18 QS Al-Anfāl: 17.

19 QS Az-Zumar: 42.

20 QS As-Sajdah: 11.

21 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 587.

22 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 646.

23 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 647.

24 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 586.

25 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.

26 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.

27 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.

28 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.

29 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 544-545.

30 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 550.

31 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 551.

32 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 551.

33 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.

34 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 645.

35 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 548.

36 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 546.

37 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 664.

P: 145

38 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 372.

39 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 372.

40 QS Al-Isra': 44.

41 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 283.

42 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 655.

43 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 654.

44 QS An-Naml: 18.

45 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 655.

46 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 283 dan 416.

47 Doa Sahr.

48 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 22.

49 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 22.

50 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 29.

51 Doa Sahr.

52 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 44-45.

53 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 639.

54 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 440.

55 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 640 dan 643.

56 QS An-Nisā': 78–79.

57 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 644.

58 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 640.

59 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 442 dan 644.

60 Doa Kumail.

61 Doa Sahr.

62 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 74.

63 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 75-76.

64 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 76.

65 Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 78.

66 QS Al-Rahmān: 29.

67 Doa Sahr.

68 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 232.

69 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 232-233.

70 Doa Sahr.

71 Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 242.

72 Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 243.

73 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 244.

74 Doa Sahr.

75 Imam Khomeini, Syarh Du´a' Al-Sahr, hlm. 166.

P: 146

76 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 166.

77 Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr., hlm. 167.

78 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr., hlm. 167.

79 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 610.

80 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 605.

81 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 606.

82 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 607.

83 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 607.

84 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 607.

85 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 607.

86 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 610.

87 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 611.

88 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 615.

89 Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 211.

90 QS Al-An'am: 59.

91 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 611.

92 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 612.

93 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212-213.

94 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm 213.

95 QS Al-Wāqi'ah: 85.

96 QS Qāf: 16.

97 QS Fushshilat: 54.

98 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 212.

99 Doa Sahr.

100 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 260.

101 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 260.

102 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 260.

103 Doa Sahr.

104 Imam Khomeini, Syarh Du´ā' Al-Sahr, hlm. 92.

105 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 88.

106 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 92.

107 Imam Khomeini, Ādāb Al-Shalāh, hlm. 308.

108 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 92.

109 Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 92.

110 QS Al-Fātihah: 4.

111 Imam Khomeini, Ādab Al-Shalāh, hlm. 270.

112 Imam Khomeini, Adab Al-Shalāh, hlm. 270.

113 QS Al-Waqi'ah: 85.

P: 147

114 QS Qāf: 16.

115 QS Al-Baqarah: 107.

116 Doa Sahr.

117 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 175.

118 Imam Khomeini, Syarh Du'a' Al-Sahr, hlm. 175-176.

119 QS Al-Qashash: 88.

120 QS An-Najm: 23.

121 Imam Khomeini, Syarh Duſā' Al-Sahr, hlm. 181.

122 QS An-Nür: 35.

123 Doa Kumail.

124 Doa al-Samāt

125 Doa al-Sahr.

126 Imam Khomeini, Syarh Du’ā' Al-Sahr, hlm. 64.

127 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 65.

128 Imam Khomeini, Syarh Du'ā' Al-Sahr, hlm. 67.

129 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 418.

130 Imam Khomeini, Cehel Hadīts, hlm. 418.

131 QS An-Nür: 40.

132 Imam Khomeini, Cehel Hadits, hlm. 419.

P: 148

Daftar Pustaka

Imam Khomeini, Ruhullah, 1359 HS, Syarh-e Du’ā-e Sahr,

Teheran: Nehzat-e Zaban-e Musalman.

,,1360 HS, Sirr Ash-Shalāh, Payam-e Azady.

1370 HS. Ādab Al-Shalāh (Adab-e Namaz),

Cetakan Pertama. Teheran: Mu'asese-e Tanzhim wa

Nashr-e Atsar.

, 1378 HS, Cehel Hadits (Arbaʼūna Hadits), Cetakan

Kedua, Teheran: Muasese-e Tanzhim wa Nashr-e Atsar.

, 1378 HS, Tafsir-e Shūre-e Hamd, Cetakan Kelima,

Teheran: Muasese-e Tanzhim wa Nashr Atsar.

, 1378 HS, Qur'ān wa Hidāyat dar Didghah-e Imam

Khomaeni, Cetakan Kedua, Teheran: Muasese-e Tanzhim

wa Nashr-e Atsar.

P: 149

P: 150

Indeks

118, 133, 137, 138, 144

D

dunia 12, 13, 17, 29, 30, 37,

55, 66, 67, 72, 82, 101,

104, 115, 119, 139

agama xi, xii, xiii, 3, 20, 21,

24, 28, 30, 31, 51, 52,

53, 66, 69, 72, 73, 79,

83, 86, 87, 88, 89, 95,

97, 98, 99, 100, 105,

109, 114, 127, 128,

140, 143

Al-Haqq 6, 7, 22, 23, 30, 31,

32, 35, 36, 41, 42, 45,

49, 52, 54, 62, 63, 64,

66, 67, 69, 70, 71, 72,

74, 75, 77, 82, 83, 86,

89, 90, 97, 98, 99, 100,

104, 105, 106, 107,

108, 110, 121, 122,

126, 129, 130, 131,

132, 134, 137, 139,

140, 141

Al-Quran xi, xii, 6, 10, 11, 12,

15, 16, 20, 21, 24, 26,

27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 36, 37, 38,

39, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 48, 49, 50, 52, 54,

55, 61, 68, 76, 77, 78,

83, 86, 87, 95, 97, 110,

111, 133, 144

ayat xi, 19, 20, 21, 25, 26,

28, 29, 31, 32, 38, 41,

42, 43, 49, 50, 52, 66,

68, 69, 70, 71, 83, 89,

95, 96, 97, 98, 99, 111,

eksistensi 7, 18, 21, 23, 25,

26, 34, 35, 36, 40, 64,

65, 66, 67, 69, 70, 71,

72, 73, 76, 77, 82, 87,

88, 89, 90, 96, 98, 100,

101, 103, 106, 107,

108, 109, 110, 112,

113, 115, 116, 117,

119, 120, 122, 123,

124, 125, 126, 128,

129, 130, 131, 134,

135, 136, 137, 138,

140, 141, 142, 143, 144

emanasi 7, 23, 63, 64, 69,

81, 82, 88, 108, 122,

123, 134, 135, 139

entifikasi 5, 7, 64, 66, 67, 72,

77, 83, 88, 101, 110,

120, 131, 134, 138, 141

filosofis xi, xii, 3, 4, 6, 21, 24,

46, 68, 69, 71, 86, 87,

88, 95, 96, 103, 117,

P: 151

120, 121, 125, 130,

132, 133, 136, 139

filsuf xi, xii, 5, 18, 25, 26, 30,

31, 37, 39, 42, 48, 62,

65, 88, 99, 102, 111,

113, 119, 124, 126,

127, 128, 132, 135,

137, 140

Khomeini v, vi, xii, xiii, 3, 5,

6, 8, 9, 14, 18, 21, 22,

24, 25, 26, 27, 28, 35,

36, 39, 41, 42, 44, 45,

48, 50, 51, 53, 56, 57,

58, 61, 62, 63, 65, 66,

69, 71, 72, 73, 79, 87,

89, 91, 92, 95, 96, 108,

117, 118, 119, 120, 124,

130, 145, 146, 147, 148

gradual 27,80

M

H

Hakikat 33, 37, 40, 47, 66,

72, 101, 129, 143

Tlahi 4, 5, 6, 10, 12, 19, 22,

25, 29, 31, 39, 40, 44,

61, 62, 63, 64, 65, 75,

76, 77, 78, 80, 87, 88,

96, 97, 98, 99, 100,

101, 102, 103, 114,

115, 118, 119, 121,

122, 123, 127, 131,

133, 134, 135, 137,

138, 140, 141

imam 31, 80

insan 44, 72, 73, 74, 75, 76,

77, 78, 82, 83, 98, 99,

123

intiza' 7

Ism 65, 99, 100, 101

makhluk 7, 10, 25, 31, 32,

43, 44, 46, 52, 67, 68,

69, 70, 71, 72, 80, 81,

82, 83, 86, 87, 89, 90,

96, 97, 98, 99, 103,

104, 105, 107, 108,

109, 110, 111, 112,

113, 115, 116, 117,

120, 121, 122, 125,

126, 128, 132, 135,

136, 137, 139, 140, 142

makrifat 4, 13, 15, 19, 20,

21, 24, 25, 26, 27, 28,

29, 30, 31, 35, 37, 43,

45, 49, 54, 61, 62, 80,

89, 102, 104, 128, 135

manifestasi 4, 5, 7, 35, 39,

41, 45, 54, 63, 64, 65,

69, 75, 77, 81, 82, 83,

84, 87, 88, 89, 90, 97,

98, 99, 100, 101, 104,

112, 114, 115, 119,

121, 123, 124, 133,

138, 141, 142, 143

manusia xi, xii, xiii, 3, 9, 11,

P: 152

T

14, 16, 17, 23, 25, 27, 28,

29, 31, 33, 37, 38, 39, 40,

41, 42, 43, 45, 46, 47, 48,

49, 50, 53, 54, 55, 61, 67,

71, 72, 73, 75, 76, 79, 80,

81, 83, 84, 85, 86, 89, 98,

101, 102, 109, 117, 119,

123, 138, 139

maqam 3, 4, 5, 12, 29, 33, 34,

35, 36, 41, 43, 45, 63, 64,

65, 70, 71, 72, 73, 74, 75,

79, 81, 84, 85, 88, 96,

100, 101, 104, 110, 119,

123, 137, 138, 141, 142

metode xi, xii, 3, 17, 18, 20,

21, 24, 27, 34, 46, 47, 87,

88, 102, 128, 130, 136

mukhalaf 108

muta'ayyin 8, 102

taʼayyun 7, 83, 99

tadwīni 9

tafsir xi, xii, xiii, 12, 42, 48, 50,

51, 52, 95, 144

tajalli 7, 69, 81, 82, 90, 141

takwin 9, 12, 76, 79, 105

tauhid 11, 18, 19, 28, 31, 37,

45, 52, 62, 65, 103, 109

teks xii, xiii, 3, 8, 10, 15, 22.

24, 26, 27, 31, 33, 51, 53,

61, 66, 68, 69, 70, 71, 73,

79, 83, 87, 88, 89, 95, 96,

98, 99, 100, 102, 104,

105, 111, 114, 116, 117,

118, 127, 128, 135, 140,

142, 143

teologi 28, 62, 65, 68, 114,

124, 134

Tuhan 7, 9, 10, 15, 16, 18, 21,

23, 25, 30, 31, 32, 33, 35,

37, 38, 39, 43, 46, 47, 49,

61, 62, 64, 65, 67, 68, 69,

70, 73, 74, 75, 77, 81, 82,

85, 96, 98, 99, 100, 101,

102, 105, 107, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 119,

123, 125, 126, 127, 128,

130, 133, 134, 135, 136,

137, 139, 140, 141, 143

pemikiran xii, xiii, 3, 6, 18, 30,

46, 61, 112, 127

peripatetik 3,4

prinsip xi, xii, 21, 22, 23, 31,

61, 72, 86, 95, 102, 105,

109, 110, 112, 117, 125,

128, 134, 139

shamadiyyah 7

shirf al-wujūd 6, 7, 8, 65

shirf wujūd 6

shudur 7

silogisme 3, 4, 96, 132

skripturalisme 8

zhuhūr 7, 64, 75, 138

P: 153

P: 154

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109