Al-Quran Dan Pluralisme AgamaIslam

BOOK ID

سرشناسه : قدردان قراملکی، محمدحسن، 1344 -

Qadrdan Qaramaliki,Muhammad Hasan

عنوان قراردادی : قرآن و پلورالیزم . اندونزیایی

عنوان و نام پدیدآور : Al-Qur’an Dan Pluralisme AgamaIslam, Satu Agama Diantara JalanYang Lurus Dan Toleransi Sosial/ Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki; penterjemah Abdurrahman Arfan.

مشخصات نشر : Qum: Al-Mustafa International Translation and Publication Center, 2014= 1393.

مشخصات ظاهری : 87ص.؛ 5/14×5/21 س م.

فروست : مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی صلی الله علیه و آله؛ پ1393/260/167. نمایندگی المصطفی در اندونزی؛ 6.

شابک : 978-964-195-032-5

وضعیت فهرست نویسی : فیپا

یادداشت : اندونزیایی.

موضوع : کثرت گرایی مذهبی -- اسلام

شناسه افزوده : عرفان، عبدالرحمان، مترجم

شناسه افزوده : Arfan, ,Abdurrahman

رده بندی کنگره : BP229/ق35ق4049519 1393

رده بندی دیویی : 297/48

شماره کتابشناسی ملی : 3649486

p:1

Point

p:2

Al-Qur’an Dan Pluralisme Agama Islam, Satu Agama Diantara Jalan

Yang Lurus Dan Toleransi Sosial

penulis: Muhammad Hasan Qadrdan Qaramaliki

penerjemah: Abdurrahman Arfan

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN:

978-964-195-032-5

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

p:3

Stores:

IRAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

IRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

IRAN, Mashad; Imam Reza (a.s)Avenue, DanishAvenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

قراملکی قدردان محمدحسن :مؤلف

عرفان عبدالرحمان :مترجم

م2014 / ش1393 :اول چاپ

نارنجستان :چاپخانه

المصطفی نشر و ترجمه المللی صلی الله علیه و آله وسلم

نبی مرکز :ناشر

300 :تیراژ

ریال 110000 :قیمت

پلورالیزم و قرآن

www.pub.miu.ac.ir miup@pub.miu.ac.ir

p:4

DAFTAR ISI

Pengantar IICT xili

Pengantar Penulis 1

Pendahuluan °

Agama dan Proses Kesempurnaan 8

Satunya Agama dan Banyaknya Syariat 10

BAB I Al-Qur’an dan Eksklusivisme Islam 13

Islam: Janji yang Diambil dari Para Nabi

dan Umat Terdahulu 15

Al-Qur’an, Kitab Nasikh dan Muhaymin 17

Pro-Kontra Naskh 20

Nabi Muhammad, Nabi Semesta 26

Al-Qur’an: Kitab Semesta 28

Islam dalam Taurat dan I[njil 30

Tuduhan terhadap Para Nabi 35

Ahli Kitab 35

Sejarah Nabi Muhammad Saw 37

Asas Mahdawiyah 39

Mendistorsi Dakwah Nabi 40

Islam, Syarat bagi Ahli Kitab 41

Selain Islam, Tertolak 42

Ahli Kitab dan Status Kafir 45

Larangan Pindah Agama (Murtad) 47

Larangan Mutlak Berbuat Murtad 48

Janji Azab bagi Ahli Kitab 32

p:xiii

p:5

Janji Kemenangan Mutlak Islam 53

Menepis Keraguan 57

Distorsi (Tahrifj Taurat dan Injil 63

Adakah Dalil Distorsi dari Al-Qur’an? 65

Isyarat 71

BAB II Al-Qur’an, Toleransi Agama dan Sosial 73

Tiada Paksaan Memeluk Islam 75

Dialog Logis antaragama 79

Menuju Titik Persamaan 81

Larangan Eksploitasi dan Menyembah Makhluk 82

Toleransi dan Berbuat Baik kepada Kafir 84

Sejarah Rasulullah Saw 87

Persamaan Sosial 87

Membela Kaum Minoritas 88

Mengganggu Kafir Dzimmi, Mengganggu Nabi 89

Menghormati Jenazah Yahudi 89

Piagam Pertama Kebebasan Berakidah 90

Sejarah Ali bin Abi Thalib 91

Santun dan Cinta Sesama 91

Menghormati Tradisi Minoritas 92

Peduli terhadap Minoritas 93

Memenuhi Hak Kaum Miskin Ahli Kitab 93

Mengantar Yahudi 94

Toleran pada Khawarij 94

Tidak Shalat di Gereja 95

Apakah Toleransi Islam itu Empati? 96

Kesaksian Pemikir Barat

97

p:xiv

p:6

BAB III Memahami Al-Qur’an: Kerancuan

atau Kegagalan? 101

Argumentasi I: Islam sebagai Kepasrahan Total 106

Tinjauan Kritis 109

Eksklusivisme dalam Perspektif Islam 109

Koherensi Islam-nya Umat Terdahulu

dengan Satu-nya Jalan yang Lurus 112

Definitifnya Bentuk Kata Islam 112

Ayat Sebelumnya 114

Ayat Berikutnya 115

Mendistorsi Pandangan Ahli Tafsir 117

Argumentasi II: Kehendak Tuhan 125

Tinjauan Kritis 128

Al-Maidah [5]:48 128

Adanya Tafsiran Beragam dan Kredibel 128

Kehendak Tuhan 128

Pluralitas Syariat dan Penghapusannya 130

Menafikan Pengutusan Nabi 131

Mengabaikan Ayat Sebelumnya 132

Hawa Nafsu, Faktor Perselisihan dalam Agama 134

Al-Syura [42]:8 138

Kehendak Kuasa Tuhan 138

Hari Kebangkitan 138

Hud [11]:118 140

Kehendak Kuasa Tuhan 140

Hari Kebangkitan 142

Al-Baqarah [2]:148 142

Syariat 144

p:xv

p:7

tujuan 140

Al-Baqarah [2]:148 147

Argumentasi III: Bentuk Nakirah pada Shirat

Mustaqim 150

Al-Zukhruf [43]:43 151

Yassin [36]:3-4 151

Al-Fath [48]:2 152

An-Nahl] [16]:21 152

Tinjauan Kritis 153

Makna Jalan yang Lurus 153

Tanggapan Otokritik 156

Antara Tankirdan Tanwin Tafkhim 157

Islam Sebelum dan Islam Era Nabi 158

Beberapa Indikasi 158

Argumentasi IV: Tauhid dan Amal Saleh 160

Tinjauan Kritis 164

Al-Baqarah [2]:62 164

Sebab-Turun Ayat dan Keimanan pra-Islam 164

Nilai Predikat 166

Makna Iman Kepada Allah 167

Makna Amal Saleh 168

Komparasi dengan Ayat Lain 169

Al-Bagqarah [2]:112 170

Nilai Predikat 171

Penafsiran Islam 171

Memperhatikan Ayat Sebelumnya 172

Ali Imran [3]:64 172

p:xvi

p:8

Menyerukan Kadar Minimal 173

sebelum dan Setelah Ayat 174

Pluralisme Agama ataukah Pluralisme Sosial? 174

Al-Hujurat [49]:13 175

Menjelaskan Satu Pesan Moral 176

Makna Takwa 177

Al-Baqarah [2]:77 177

Argumentasi V: Apresiasi dan Janji Baik Al-Qur’an

untuk Ahli Kitab 178

Tinjauan Kritis 181

Kaum Mukmin dari Ahli Kitab, Penyambut

Kedatangan Islam 182

Berita Umat Terdahulu 186

Ahli Kitab dan Muslimin 188

Ahli Kitab yang Saleh dan Bukan Penentang 188

Argumentasi VI:Banyaknya Saksi di Hari Kiamat 191

Tinjauan Kritis 193

Kesaksian atas Kebenaran Risalah Para Nabi 193

Pembatasan Frasa Setiap Umat 195

Argumentasi VII: Hukum Jizyah Ahli Kitab 199

Tinjauan Kritis 201

Deklarasi Perang Melawan Ahli Kitab 201

Menolak Keimanan Ahli Kitab 201

Keluar dari Agama yang Benar 202

Jizyah dan Menghentikan Perang 202

Makna Shaghirun 203

p:xvii

p:9

Argumentasi VIII: Halalnya Makanan Ahli

Kitab dan Nikah dengan Mereka 204

Tinjauan Kritis 205

Daftar Pustaka 209

INDEKS 217

IKLAN BUKU 225

p:xviii

p:10

p:11

p:12

PENGANTAR IICT

Institute for Islamic Culture and Thought (IICT) berdiri dan

memulai aktivitasnya pada 1372 HS/1994 M di atas sebuah par-

adigma pemikiran pembaruan. Hingga kini, konstruksi pemiki-

ran sarjana dunia Islam dapat diklasifikasi ke dalam tiga tipe,

yakni tradisionalisme, modernisme, dan modernisme religius.

Kaum tradisionalis, dalam interaksi mereka dengan modernitas,

menghadapi berbagai konsep dan teori baru, menempatkan tradisi

sebagai prinsip yang tak bisa “disentuh” dalam kondisi apa pun.

Dalam rangka melindungi tradisi, mereka mereaksi modernitas

secara negatif. Dampaknya, upaya dekonstruksi pemikiran dan

reproduksi pemahaman aktual terhadap teks agama yang

kompatibel dengan aneka ragam kebutuhan masyarakat, dalam

paradigma ini, tampaknya tidak mungkin lagi ditempuh.

Sementara dari sisi lain, kaum modernis berdiri pada

posisi diametris di hadapan kaum tradisionalis, sedemikian ru-

pa hingga dalam interaksi dengan berbagai konsep modernitas

dan pemikiran modern, mereka menempatkan modernitas se-

bagai nilai prinsipal dan mengkontekstualisasikan tradisi sesuai

dengan konsep-konsepnya.

Apabila dampak paradigma tradisionalisme itu muncul

dalam bentuk kejumudan, fundamentalisme, dan keterbelakangan,

paradigma modernisme justru pada gilirannya berujung pada

negasi total terhadap tradisi dan sebaliknya menumbuhkan

paradigma humanisme serta mendukung dominasi sekularisme

dalam seluruh aspek masyarakat. Di antara dua paradigma ini,

Modernisme religius-dan terutama paradigma Pemikiran

Pembaruan-tampil konsisten dalam menjunjung tinggi tradisi

p:xix

p:13

sebagai prinsip sepanjang pergaulannya dengan konsep-konsep

modernitas, sekaligus berupaya mendekonstruksi dan mereproduk-

si pemikiran baru dengan cara menyaring konsep-konsep

modernitas dengan filter tradisi. Dalam mekanisme inilah ter-

ma-terma seperti: kebebasan, kesetaraan, dan demokrasi aga-

ma menemukan makna khasnya dibanding dengan kebebasan,

demokrasi, dan keadilan sosial sebagaimana yang dipahami

dalam paradigma modern.

Berbasis di atas akal dan rasionalitas, paradigma Pemikiran

Pembaruan meletakkan pandangan dunia Islam sebagai sudut

pandangnya dalam upaya mendefinisikan realitas, mencapai keben-

aran, dan menjelaskan sistem nilai. Atas dasar ini pula, tentu

Saja, ia melaksanakan agenda penggagasan teori dan reproduk-

si pemikiran dalam berbagai bidang: hukum, budaya, ekonomi,

politik, dan sosial.

Berkaitan dengan hal ini, IICT hingga kini telah mendis-

tribusikan lebih dari enam ratus karya ilmiah ke pasar pener-

bitan di tingkat internasional. Tidak hanya menanggapi kritis

sekularisme dan humanisme sebagai dua pandangan dunia

yang dominan di Barat, karya-karya ini juga dengan kekuatan

kritis yang sebanding menganalisis dan menyangkal paradigma

kaum tradisionalis muslim, sekaligus mengolah pemikiran baru

di atas jalur tradisi dalam kerangka rasionalitas Islam dan

basis-basis yang aksiomatis dan logis.

Hujjatul Islam Prof. Ali Akbar Rasyad

DIREKTUR INSTITUTE FOR ISLAMIC CULTURE

AND THOUGHT (IICT)

p:xx

p:14

PENGANTAR PENULIS

Pluralisme Agama atau doktrin yang mengakui kebenaran

Pere agama di era modern ini disebarluaskan kalangan

pemikir Kristen. Pada paruh terakhir abad ini, khususnya

beberapa tahun silam, sejumlah pemikir Islam juga terjebak dalam

arus paham ini dan turut terjun mengusung prinsip-prinsipnya.

Pluralisme Agama memiliki landasan dan _inter-

pretasi beranekaragam. Salah satu landasannya, menurut kaum

Pluralis,adalah agama itu sendiri. Maksudnya, kendati berbagai

agama mengajak manusia agar menganut dirinya, namun

masing-masing tidak saling menentang satu sama lain, karena

semua agama ibarat mata air yang bersumber dari samudera Ilahi

yang tak bertepi.

Legitimasi religius ini dapat dipandang sebagai bagian dari

modus operandi sosialisasi paham Pluralisme, karena dengan

begitu pemeluk agama dapat dengan mudah memahami

dan mencernanya. Kaum Pluralis Muslim, dalam rangka ini,

berusaha menunjukkan bahwa platform mereka sesungguhnya

berbasis pada Islam dan, untuk itu, mereka berusaha gigih

berapologia dan menakwil sejumlah ayat Al-Qur’an. Sengaja

atau tidak, mereka telah mengabaikan prinsip dan metode dasar

p:1

ilmu Tafsir dan Hermeneutika. Dengan mengambil satu ayat

tanpa memperhatikan ayat lain, sebelum ataupun sesudahnya,

mereka menafsirkan ayat agar sesuai size pemikiran mereka

sebelum lantas mendistribusikannya ke tengah publik, terutama

kawula muda yang memang haus pengetahuan.

Tak dapat dipungkiri, semua itu memberi pengaruh

sedemikian rupa terhadap kalangan audiensi yang tidak kritis,

atau yang tak punya waktu untuk menelaah dan mendalami

lebih jauh. Sementara itu, Al-Qur’an sendiri merupakan sebuah

kitab Ilahi yang multidimensi; ada ayat muhkam; ada ayat

mutasyabih; dan diturunkan bertahap selama 23 tahun, seperti

yang tampak pada proses pengharaman minuman keras yang

berlangsung empat tahap.' Dengan kata lain, untuk memahami

fokus dan maksud kitab Ilahi ini, dibutuhkan bukan sekadar

perenungan dan penalaran, tetapi juga metode, tehnik khusus,

ketelatenan tinggi dan, yang lebih penting lagi, ketelitian

analisis seputar relasi antar ayat sebelum memastikan sebuah

interpretasi untuk suatu ayat.

Namun faktanya sungguh jauh berbeda. Penulis secara

langsung justru menjumpai pengaruh itu manakala berhadapan

dengan sejumlah pakar dan peneliti—Anda dipersilahkan men-

cermati isi ringkasan ini. Di sisi lain, belum ada buku yang khusus

mengulas Pluralisme Agama secara kritis dan relatif lengkap

dari dalam perspektif agama (Al-Qur’an dan Hadis). Padahal

dengannya kita dapat memahami sikap dari dua sumber agama

ini secara terperinci, sehingga mampu menjawab berbagai ke-

rancuan, kekacauan, dan absurditas seputar tafsir ayat-ayat Al-

] Lebih lanjut, rujuk permulaan Bab III.

p:2

Qur'an yang menjadi landasan paham Pluralisme Agama. Kondisi

ini mendorong saya menyusun dan merevisi karyanya. Hasilnya

adalah buku yang kini berada di tangan Anda.

Perlu kiranya dicatat bahwa karya ini menganalisis sikap

Islam yang mengidentikkan Shirath mustaqim(jalan yang lurus)

hanya dengan Islam, dan kerancuan Pluralisme Agama dalam

pandangan Al-Qur'an dan Hadis —sebagai penjelas ayat—dari

tinjauan internal agama (dartindini). Sementara pembahasan

menyeluruh seputar Pluralisme dari berbagai tinjauan eksternal

agama (burtindini), semisal analisis kritis terhadap paradigma dan

basis pemikiran kaum Pluralis, semestinya dilaksanakan di lain

tempat.’

M.H. Qadrdan Qaramaliki

2 Rvyj. Qaramaliki: Kandukovi dar Saviyeho-ye Pluralizm; dan Hukumat-

e Dint az Manzdar-e Syahid Mutahhan, Bab 11.

p:3

PENDAHULUAN

Point

p:4

Secara etimologis, pluralisme berasal dari pluralitas; artinya

See kemajemukan, dan keragaman. Kata ini kali

pertama digunakan untuk orang-orang yang memiliki beberapa

jabatan dan kedudukan di lingkungan gereja. Laotze menjadi

tokoh pertama yang menggunakan istilah Pluralisme dalam

karyanya, Metafisica, pada1841.(1) Namun demikian, dalam konteks

filsafat agama, istilah Pluralisme digunakan sebagai afirmasi atas

“kebenaran semua agama’.

Para penganut Pluralisme Agama (selanjutnya: PLURALISME)

mengajukan beragam interpretasi dan asumsi teoretis yang

berbeda-beda. Tentu saja perlu waktu khusus untuk menelaah

semua itu. Hanya kami akan menyinggung sepintas lalu sejumlah

interpretasi yang telah dirumuskan seputar paham ini:

i. Banyaknya agama: interpretasi ini hanya mengakui

keberadaan agama-agama yang beraneka ragam [di dunia].

Adapun perkara agama mana yang benar dan mana yang

tidak, bukanlah fokus mereka. Persoalan utama mereka

berkisar pada tema kerukunan hidup antar umat beragama

yang serba majemuk. Interpretasi ini, yang pada intinya tak

lain adalah toleransi, dapat diderivasi dari perlakuan Islam

terhadap Ahli Kitab.

p:5


1- 3 Nomeh-e Farhang, vol. 24, him. 4.

ii. Banyaknya agama yang benar: interpretasi ini menegaskan

bahwa semua agama itu benar, sejajar, dan sama rata. Tak ada

agama yang lebih utama di atas agama lain.

iii. Banyaknya agama tak murni: interpretasi ini mengklaim

semua agama yang berbeda-beda itu mengandung sekeping

hakikat murni, namun tak satu pun yang benarsecara mutlak

dan sepenuh-penuhnya.

iv. Paling sempurnanya agama tertentu: interpretasi ini

mengakui setiap agama sebagai kebenaran, namun masih

mempercayai agama tertentu—khususnya, agama tradisional

mereka sendiri—sebagai yang paripurna dan punya sederet

keunggulan khas.

v. Banyak isme [yang benar]: ini model radikal dari sekian

interpretasi Pluralisme. Dalam klaimnya, bukan hanya semua

agama yang beraneka ragam itu berada di atas kebenaran,

malah semua paham ateistik dan materialistik seperti:

Komunisme, juga diklaim nilai kebenarannya.

vi. Inklusivisme: dalam interpretasi ini, kaum Pluralis menolak

apa pun bentuk hakikat [kebenaran] semua agama [selain

agamanya sendiri]. Kendati demikian, mereka percaya

bahwa semua umat beragama selain mereka, sepanjang

komit pada agamanya masing-masing, niscaya berada dalam

naungan rahmat, karunia, dan kasih sayang Tuhan. Mereka

merupakan penganut tulus penanti Tuhan dari agama-agama

lain yang, oleh Karl Rahner, disebut Anonymous Christians.(1)

p:6


1- 4 Khuramsyahi: Dinpezhuhi, hlm. 303, makalah “Ta’addud-e Adyon”, karya John Hick.

Penjelasan lanjut seputar interpretasi ini dan sesuai tidaknya

dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadis, akan dikemukakan

pada bab terakhir. Namun, subjek yang menjadi fokus pembahasan

buku ini adalah definisi yang populer berkembang: bahwa agama-

agama yang benar menuntun manusia ke dalam kebenaran dan

jalan yang lurus, namun itu tidak terbatas hanya pada satu agama

misalnya: Kristen atau Islam, justru masing-masing agama yang

berbeda itu memiliki nilai yang sejajar dan, dengan sendirinya,

merupakan kebenaran dan jalan kebahagiaan. Semua penganut

setiap agama itu pada hakikatnya telah menjejakkan kaki di jalur

keselamatan dan shiraét mustaqim ‘jalan yang lurus.

Dalam buku ini, akan diperlihatkan bagaimana agama-

agama lain, dari sudut pandang Al-Qur’an dan Hadis, tidak

berkedudukan sama dengan Islam, selain pula tidak dapat diklaim

sama-sama benar. Memang, agama-agama itu, terutama Kristen

dan Yahudi, memiliki suatu hakikat kebenaran lantaran status

divinitasnya, namun setelah munculnya Islam, agama samawi

yang murni dan sempurna, shirdt mustaqim ‘jalan yang lurus’

hanya terrepresentasi dalam syariat Nabi Muhammad Saw.

Satu poin krusial kiranya perlu dikemukakan di sini:

partikularisme atau eksklusivisme Islam sebagai satu-satunya

Jalan yang lurus tidak berdampak ilegalitas ataupun kebinasaan

penganut agama-agama lain, seperti yang justru diklaim dan

dicemaskan kaum Pluralis melalui pola-pola manipulasi penalaran

(mughdlatah). Pada dasarnya, Islam juga meyakini inklusivisme,

tentu dengan sebuah model yang akan dikemukakan di bab

terakhir.

p:7

Agama dan Proses Kesempurnaan

Agama adalah satu dari sekian kata yang, meski sejauh ini sudah

diupayakan pakar sejarah dan peneliti agama, masih belum

terdefinisikan secara komprehensif dan memadai. Kegagalan

ini disebabkan beragamnya aliran dan perspektif yang kerap saling

berhadapan secara diametris, sebelum masing-masing menyatakan

diri sebagai ‘agama’. Kendati definisi agama sebagai “perkara

suci’ cukup mewakili realitasnya, namun jangkauannya begitu

luas hingga mencakup paham Materialisme yang senyatanya di

luar kategori agama. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menolak

keniscayaan titik kesamaan antaragama.(1) Dalam teorinya, pemakaian kata agama pada berbagai realitas agama yang tidak

punya unsur kesamaan apa pun tak ubahnya dengan kata game

(permainan): sekadar family resemblance (kemiripan keluarga).

Dalam karya ini, yang dimaksud dengan agama adalah

agama-agama suci (sakral) dan samawi (Ilahi), yang [para

penganutnya] secara khusus dikenal dengan nama _ Ahli Kitab.

Penulis juga berusaha menjelaskan, apakah agama-agama

Ssamawi yang populer seperti: Yahudi, Kristen, dan Islam, dapat

dianggap sejajar nilai, benar dan sama-sama jalan yang lurus?

Atau dengan kemunculan Islam, masa berlaku dan kebenaran

agama sebelumnya menjadi habis sehingga para penganutnya

harus mengimani Islam dan hidup berdasarkan ajarannya?

Untuk menguraikan lebih jauh pandangan Islam, terlebih

dahulu akan didefinisikan apa itu ‘agama’ dan didedahkan proses

p:8


1- 5 John Hick: Falsafeh-e Din, him. 23; William Goldstone: Din va Cesymandozho-ye Nu, ter}. G. Tavakkuli. FB Al-Qur’an dan Pluralisme Agama

kesempurnaan atau keragamannya.

Sejarah menyaksikan kelahiran para nabi, berbagai agama,

dan syariat. Sumber dan akar keragaman ini harus dilacak dalam

konteks kapasitas, yaitu perbedaan potensi, kondisi lingkungan,

dan sosial manusia.

Gerak perjalanan manusia dalam menerima dan memikul

beban berat amanah Ilahi, atau kondisi syariat dan penerimaan

kitab suci merupakan gerak diagonal menanjak menuju

kesempurnaan. Artinya, berjalannya waktu, diutusnya para

nabi, serta perkembangan dan kematangan potensi manusia

ternyata turut memupuk kesempurnaan agama-agama, baik

secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebab, dalam ‘sekolah’

agama-agama, manusia ibarat siswa sekolah dasar yang harus

melangkah ke depan setapak demi setapak agar naik kelas yang

lebih tinggi. Atau, seumpama mata pelajaran kelas satu yang

menjadi pijakan dan pendahuluan untuk mata pelajaran kelas

yang lebih tinggi. Demikian pula berbagai ajaran dan syariat

agama menjadi pendahuluan dan penyempurna satu sama lain.

Pola komplementasi ini berlangsung sedemikian hingga, pada

zaman tertentu, tidak ada syariat (yakni, hukum-hukum praktis

dan normatif) dalam agama-agama Ilahi itu. Sampai Nabi Nuh

as, menurut pandangan umum ulama, selain menyampaikan

ajaran akidah, juga menjadi nabi pertama yang meletakkan

fondasi syariat:

Allah telah menetapkan sebuah ajaran kepada _ kalian

sebagaimana telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang

telah Kami wahyukan kepadamu (QS. Al-Syura [42]: 13).

p:9

Satunya Agama dan Banyaknya Syariat

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan adanya segi kesatuan

agama-agama samawi. Maksudnya, para nabi sama-sama

sepakat dalam asas misi menyeru umat kepada Allah dan ajaran-

ajaran kepercayaan seperti: tauhid dan maad, sebagai inti agama,

kendati tingkat keutamaan dan skala ajaran para nabi berbeda-

beda sesuai perbedaan audiensi mereka. Sebab, sumber agama

adalah Realitas Absolut Yang Satu dan Sempurna, sementara

asas kebutuhan manusia pada agama bersifat fitriah dan konstan.

Karena itulah penurunan agama dan ajaran yang berbeda-

beda, apalagi saling bertentangan, dengan sendirinya mustahil.

Berulang kali Al-Qur’an menekankan satunya ( oneness) agama:

Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah

Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).

Dan setelah Nuh dan Ibrahim, nab-nabi yang lain juga Kami

utus (QS. Al-Hadid [57]: 27).(1)

p:10


1- 6 Dalam penafsiran ayat ini, Muthahhari mengutip kalimat menarik, “Mashdar dari kata qaffaynad adalah taqfiyah yang berasal dari qgafa. Kata belakangan ini berarti “belakang leher”. Ketika orang-orang berdiri berjajar dan membelakangi satu sama lain, layaknya sebarisan tentara, maka wajah yang satu berada di belakang leher yang lain. Seolah-olah semua wajah orang-orang ini berada di belakang leher yang lain. Dalam bahasa Persia, juga dikatakan “belakang kepala”. Tapi, kepala mencakup depan dan belakang. Ketika berkata “belakang leher”, ini menunjukkan satu di depan dan yang lain benar-benar berada di belakangnya. Al-Qur’an mengatakan, “Kamit mengutus para nabi satu demi satu.” Seorang nabi diutus setelah nabi lainnya untuk satu misi dan tugas yang sama. Tsumma qaffayna ‘ald atsdrihim bi rusulind yaitu setiap nabi yang datang juga menyusur jalan yang ditempuh nabi sebelumnya. Jangan sampai berfantasi bahwa para nabi menempuh jalan yang berbeda-beda.

Itulah nuktah mengapa kata ‘agama’ selalu digunakan AI-

Qur’an dalam bentuk tunggal, bukan plural.

Perlu digarisbawahi, keniscayaan satunya (oneness) agama-

agama itu tidak memastikan keniscayaan satunya syariat, karena

syariat merupakan serangkaian hukum praktis serta aturan perilaku

yang mungkin berubah, baik secara kuantitatif maupun kualitatif,

sesuai maslahat serta konteks ruang dan waktu. Karena itu, Al-

Qur'an mengatakan:

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan

dan jalan yang terang (QS. Al-Maidah [5]: 48).

Tiap nabi dan wali, sebuah jalan

tapi satu kalimat dengan kebenaran.

Maulawi Rumi

Karena Tuhan tak terjangkau mata

wakil Al-Haqq itulah para nabi.

Sepuluh pelita jika muncul di tempat

meski masing-masing tak sama.

Cahaya tiap-tiap tak terbedakan

karena cahaya mana saja kau tatap

keraguan takkan merundungmu.

Jalan hanya satu, sejak Nabi Nuh sampai penghulu para Nabi. Dan

perbedaan dalam syariat dan aturan yang ada—yaitu perbedaan dalam

hlm furu’—tidak membuat jalan tersebut bercabang. Atsar adalah jamak

dari atsar yang berarti “jejak kaki”. Para nabi datang dan menjejakkan

kaki di tapak kaki nabi lainnya.”. M. Muthahhari: Osyno’i bo Qur’on, jld.

6, hlm. 129-130.

p:11

Sampai di sini, sejumlah landasan teoretis (definisi dan

proposisi) seputar subjek pembahasan telah dipaparkan cukup

jelas. Selanjutnya, akan dikupas kritis landasan dan argumentasi

dari Al-Qur’an dan Hadis, dalam Bab I, mengenai eksklusivisme’

Islam sebagai satu agama yang benar dan berakhirnya masa

validitas nilai kebenaran agama yang lain, tak terkecuali Yahudi

dan Kristen.2

7.Dalam diskursus Teologi Baru (New Theology), eksklusivisme ini, sejauh kaitannya

dengan topik Pluralisme Agama, juga diperkenalkan dengan istilah “partikularisme”

(peny).

p:12

Bab 1 Al-Quran dan Eksklusivisme Islam

Point

p:13

p:14

Telah dikemukakan pengertian dari Pluralisme, yaitu doktrin

yang mengakui kesamaan nilai semua agama dengan

kebenaran Islam. Ini tidak selaras dengan Al-Qur’an sebagai salah

satu fondasi Islam. Penilaian awal ini tentu saja membutuhkan

telaah dan analisis terhadap berbagai dimensinya. Kendati

begitu, pada kesempatan ini akan diulas secara singkat sebagian

teks Al-Qur’an yang berhubungan dengannya.

islam: Janji yang Diambil dari Para Nabi dan Umat Terdahulu

Argumen pertamaAl-Qur’an yang menolak Pluralisme adalah Ali

Imran [3]: 81 82. Dua ayat ini menyatakan bahwa Allah telah

mengambil janji dari semua nabi dan umat-umat terdahulu: agar

mengikuti agama Nabi Muhammad Saw manakala ia muncul.

Dan (ingatlah) ketika mengambil janji teguh dari para nabi

(dan umatnya) bahwa kapan saja kitab dan pengetahuan

Kuberikan kepada kalian, kemudian datang seorang nabi

yang membenarkan apa-apa yang kalian bawa, kalian harus

beriman kepadanya dan menolongnya. Kemudian (Allah)

berkata kepada mereka, “Apakah kalian menerima hal ini? Dan

berjanji dengan teguh?” Mereka berkata, “Ya, kami berjanji.”

(Kepada mereka, Allah) berkata, “Maka saksikanlah bahwa

Aku juga salah satu saksi.” Maka siapa yang berpaling dari

Ajaran ini adalah orang yang fasik (Qs: Ali Imran :81-82)

Dalam ayat ini Allah menuntut para nabi agar beriman dan

membela nabi Muhammad SAW kapan saja ia muncul.

p:15

Maksud ayat ini sudah cukup jelas: jika kebenaran agama-agama

sebelumnya itu bernilai sama, pengambilan janji serta tuntutan

untuk beriman dan membela Nabi Saw tentu tak lagi berarti.

Selain itu, penggalan akhir ayat yang menyatakan oknum

pengingkar janji sebagai orang fasik merupakan argumen atas

kewajiban mentaati nabi yang akan datang itu.

Terdapat sejumlah riwayat yang mengokohkan keterangan

ayat di atas. Di antaranya, riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib:

Allah tidak mengutus Nabi Adam dan nabi-nabi setelahnya

kecuali setelah mengambil janji dari mereka perihal Nabi

Muhammad. Yaitu, manakala beliau diutus dan para nabi itu

masih hidup, mereka harus beriman kepadanya, menolong

dan menaatinya. Para nabi juga harus mengambil janji yang

sama dari umat mereka.(1)

Riwayat dari Imam Musa Kazhim juga menyatakan:

Allah tidak mengutus seorang nabi_ kecuali setelah

mengumumkan kenabian Muhammad Saw dan keimamahan

Ali [bin Abi Thalib].(2)

Demikian juga hadis dari Ibnu Abbas:

Kepada Nabi Isa as Allah Swt telah mewahyukan, “Berimanlah

pada Muhammad Saw dan perintahkan orang yang

menjumpainya agar beriman padanya!’"(3)

p:16


1- 8 Nahj Al-Balaghah, pidato 189.
2- 9 Faydh Kasyani: ‘Ilm Al-Yaqin, jld. 1, hlm. 419.
3- 10 Ibid., him. 421.

Jelas, keimanan para nabi dan umat terdahulu pada agama

Islam tidak mendukung paham Pluralisme. Di sisi lain, Allah

juga telah menjanjikan laknat, ketiadaan rahmat dan menetapkan

nasib buruk bagi siapa saja yang melanggar janji Ilahi tersebut.

Al-Qur’an, Kitab Nasikh dan Muhaymin

Konsekuensi dari pengambilan janji beriman pada kenabian

Muhammad Saw dari para nabi dan umat terdahulu adalah

mengamalkannya. Karena itu, sesuai janji tadi, penganut agama

lain harus memeluk Islam setelah kemunculannya. Dengan

kata lain, porsi dan masa [berlakunya] kebenaran agama-agama

sebelumnya telah habis berkat kemunculan Islam. Sesuai maslahat

dan tuntutan yang dikehendakiNya, Allah lalu menetapkan dan

menyeru seluruh umat agar mengikuti agama baru. Dalam

Al-Qur'an, kebijakan Ilahi ini dikenal dengan istilah naskh

‘penghapusan, sebagaimana ini juga ditegaskan dalam riwayat.

Sebelum melangkah lebih jauh, perlu diteliti terlebih dahulu

makna etimologis dan terminologis naskh ini. Kalangan pakar

bahasa mendefinisikannya sebagai pelenyapan dan pembatalan.

Raghib Isfahani menulis:

Naskh_ berarti melenyapkan sesuatu dengan hal lain

yang datang kemudian, seperti matahari melenyapkan

bayangan; bayangan melenyapkan [sinar] matahari; masa tua

melenyapkan masa muda.(1)

p:17


1- 11 Raghib Isfahani, Mu‘jiam Mufradadt Alfazd Al-Qur’dn, entri naskh.

Dalam Lisan Al-Arab disebutkan:

Naskh berarti membatalkan sesuatu dan mengganti posisinya

dengan sesuatu yang lain.(1)

Makna etimologis naskh ini berbeda dengan makna

terminologisnya. Sebab, pelenyapan dan pembatalan segenap

hal yang telah ditetapkan Allah merupakan perkara mustahil.

Karena itu, di-naskh-nya syariat Nabi Musa as oleh syariat Nabi

Isa as bukan bermakna pembatalan dan ketidakbenaran syariat

Nabi Musa as, melainkan berakhirnya masa berlaku ajaran dan

kebenarannya. Allamah Thabathaba’i menuliskan:

Naskh adalah keterangan berakhirnya masa validitas hukum,

bukan bermakna pembatalannya.(2)

Jelas, naskh dalam makna ini adalah kebijakan yang mungkin

dilakukan Allah. Bukan hanya itu, selain memperhatikan

berbagai aspek seperti: perbedaan potensi dan kapasitas umat,

serta kondisi ruang dan waktu, kebijakan Allah itu merupakan

tindakan yang baik dan rahmat (luthf) bagi hamba-Nya. Itulah

sebabnya Al-Qur’an menekankan:

Setiap hukum yang Kami naskh atau yang Kami undur naskh-

nya akan kami ganti dengan yang lebih baik dari itu atau

sama seperti hukum itu. Apakah engkau tidak mengetahui

bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah

[2]: 106).

p:18


1- 12 Ibnu Manzdur: Lisan Al-‘Arab, jld. 3, entri nasakh.
2- 13. Thabathaba’i: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 19, him. 252.

Mencermati hakikatnya, naskh hanya berlaku dalam wilayah

hukum, aturan praktis (fikih), dan syariat yang merupakan aspek

sekunder agama. Sementara makna pe-naskh-an agama-agama

oleh Islam tidak berhubungan dengan asas eksistensi (ashl)

dan inti agama Yahudi, Nasrani, tidak pula dengan pembatalan

syariatnya secara total, sebab syariat setiap agama valid dan harus

dijalankan sesuai kerangka ruang dan waktunya. Naskh agama-

agama bermakna deklarasi berakhirnya masa berlaku kebenaran

mereka setelah kemunculan Nabi Islam.

Jadi, memaknai naskh sebagai bentuk pembatalan,

penghapusan, atau menyalahkan sepenuhnya, menyangkal

segala kebenaran, dan mencerabut struktur syariat sebelumnya(1)

adalah keliru dan perlu ditinjau kembali. Agaknya kalangan

yang berpandangan demikian telah mencampuradukkan makna

etimologis dan terminologis istilah tersebut.

Selanjutnya, naskh atau penghapusan syariat sebelumnya

bukan berarti menegasi seluruh hukum praktis dan aturan

fikih sebelumnya, tetapi terjadinya perubahan kuantitas syariat

sesuai tuntutan zaman dan kondisi umat yang disampaikan

Allah melalui para nabi. Terdapat perbedaan signifikan dan

tipis antara agama suci Islam dan syariat-syariat lainnya. Yaitu,

Islam merupakan ajaran paripurna yang logis dan _benar;

sebagian elemen fundamentalnya telah dikemukakan Nabi

Islam dan para Imam, sementara sebagian lainnya diserahkan

kepada pakar agama yang bertugas menjelaskan sikap Islam

berkaitan dengan masalah-masalah kekinian lewat mekanisme

ijtihad. Karakteristik ini, selain merupakan keniscayaan syariat

p:19


1- 14 Khuramsyahi: “Qur’on va llohiyyot-e Jahoni”, dalam jurnal Bayyinot, vol. 17, him. 174,

pamungkas, mempersiapkan keabadian dan keagungan Islam

yang tidak akan membiarkan problematika kehidupan individual

maupun sosial berakhir di jalan buntu.

Berdasarkan semua itu, duduk persoalan naskh kiranya

menjadi jelas. Mengingkari kemungkinan terjadinya naskh,

lebih memilih agama non-Islam yang, selain tak punya potensi

keabadian, juga tidak memiliki kesanggupan untuk menjawab

berbagai problematika individual maupun sosial generasi

selanjutnya, boleh dibilang, absurd. Dengan berlalunya waktu,

akan tampak jelas kekurangan agama non-Islam tersebut. Faktor

ini pula yang memudarkan kecintaan manusia pada agama.

Pro-Kontra Naskh

Di kalangan Ahli Kitab, kaum Yahudi menjadi salah satu pengingkar

naskh yang paling keras. Dalam argumentasi sebagian mereka,

naskh itu mustahil dilakukan Allah karena mustahil terjadinya

bada(1)= dan penyesalan dalam keputusan-Nya. Sementara

sebagian lain, kendati menerima kemungkinan terjadinya

naskh, mengajukan sejumlah teks yang mengindikasikan tidak

terjadinya naskh dalam syariat mereka.(2)

p:20


1- 15 Bada’ berarti penyesalan dan kembali ke pendapat awal, atau munculnya pendapat baru yang sebelumnya tidak ada. Karena perubahan dalam bentuk apapun pada Dzat Allah Swt itu mustahil, maka bada’ dalam konteks ini juga mustahil.
2- 16 Terdapat perbedaan pendapat seputar sumber klaim kaum Yahudi ini. Sebagian seperti: Fadhil Miqdad dalam kitab Al-Lawami’ Al-ilahiyyah, hlm. 236, memperkirakan bahwa masalah ini telah ditulis dan dikemukakan lbnu Rawandi, Yahudi, dalam karya-karya teologi.

Bagaimanapun, realitas naskh dan eksklusivisme Islam se-

bagai “jalan yang lurus” merupakan aksioma yang tak terbantahkan

di kalangan ulama Islam. Sepanjang menempuh jalur induksi

Implikatif (terbatas: istigrd’ ndgish), penulis tidak menemukan

satu pihak pun yang menentangnya. Bahkan, menurut klaim

beberapa kalangan, para ulama mencapai konsensus mengenai

masalah ini(1) Di antara nama-nama besar dari ulama terdahulu

penganut naskh ialah Mahyuddin bin Arabi,"(2) Ibnu Naubakhti (3) Syaikh Al-Thusi(4) Syaikh Al-Thabarsi(5) Sayyid Murtadha(6)

Syaikh Shadugq(7) Allamah Hilli, Fadhil Miqdad(8) Ibnu Syahr-

Asyub(9) Hamsha Razi(10) Ibnu Maitsam Bahrani(11) Ibnu Dawud(12) dan Syaikh Hur Amili(13) Sementara dari kalangan ulama kon-

temporer, terdapat nama-nama besar seperti: Allamah Sya'rani(14) Muhammad Jawad

p:21


1- 17 Ghazali: Al-Mustashfa fi ‘Im Al-Ushul, jld. 1, hlm. 111.
2- 18 Ibnu Arabi: Al-Futuhat Al-Makkiyyah, jld. 4, hlm. 107, dan jld. 3, him. 311 152.
3- 19 Naubakhti: Al-Yaqut fi ‘Im Al-Kalam, diteliti Ali Akbar Dhiya’.
4- 20 Thabarsi: Al-Igtishad fi ma Yata‘allagq bi Al-I’tigad,hlm. 216.
5- 21 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 1, hlm. 216, tafsir atas ayat 135 dari Al-Baqarah
6- 22 Murtadha: Syarh Jamal Al-’Ilm wa Al-‘Amal, hlm. 184; Al-Dzakhirah, him. 356. -
7- 23 Shaduq: I’tigadat Al-Shadugq, hlm. 97, dinukil dari Bihar Al-Anwar, jld. 11, ayat 28. —
8- 24 Fadhil Miqdad: Irsyad Al-Thalibin ila Nahj Al-Mustarsyidin, hlm. 317; Al-Lawami‘ Al-llahiyyah, him. 236.
9- 25. Ibnu Syahr-Asyub: Mandqib Ali ibn Abi Talib, jld. 1, hlm. 96; Bihar Al-Anwar, jld. 16, hlm. 336; jld. 10, hlm. 414.
10- 26 Razi: Al-Munqidz min Al-Taqlid, jid. 1, hlm. 430.
11- 27 Bahrani: Qawd‘id Al-Maram, hlm. 133.
12- 28 Ibnu Dawud: Seh Urjuzeh, him. 96.
13- 29. Hur Amili: Al-Fushul Al-Muhimmah, him. 160.
14- 30 Allamah Sya’rani: Sa’odat-e Basyar (terj. dan syarah Kasyf Al-Murdd), him. 503.

Balaghi,(1)» Muhammad Jawad Mughniyah,(2)” Rahmatullah Hindi (3)

Allamah Thabathaba’i(4) demikian juga Syaikh Muhammad

Abduh,(5) Syahid Muthahhari,(6) dan masih banyak lagi.(7)

Dengan mengangkat kembali tema keragaman dan

Pluralisme, sebagian kalangan kontemporer malah membalikkan

kepercayaan awal mereka sendiri: menentang naskh sebagai

aksioma pasti dan prinsip dasar dalam Islam. Mereka mengklaim

bahwa Al-Qur’an sama sekali tidak mengemukakan dalil,

eksplisit maupun implisit, seputar naskh ‘penghapusan’ syariat

sebelumnya.(8) Padahal, sekian ayat dan riwayat secara benar-

p:22


1- 31 Balaghi: Al-Huda ila Din Al-Mushtafa, jld. 1, hlm. 247 dan _ seterusnya.
2- 32 Mughniyah: Al-Kasyif, jld. 1, hlm. 169.
3- 33 Rahmatullah Hindi: Izdhar Al-Haqq, jld. 1, hlm. 196 dan seterusnya.
4- 34 Thabathaba’i: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 3, hlm. 197 dan di berbagai tempat lainnya.
5- 35 | Muhammad Abduh: Tafsir Al-Manar, jld. 2, hlm. 138, tafsir atas Al-Baqarah [2]: 182.
6- 36 Muthahhari: “Khadamot-e Mutagobel-e Eslom va Iron”, dalam Majmu‘eh-e Otsor, jld. 14, hlm. 289; Eslom va Muqtadhayot-e Zamon, jld. 1, hlm. 356.
7- 37 Jawadi Amuli: Syari‘at dar Oyineh-e Ma‘frefat, hlm. 102; Misbah Yaz- di: Rohnamosyen-osi, hlm. 359; Ja’far Subhani: Mu’alim Al-Nubuwwah fi Al-Qur’an Al-Karim, hlm. 65; Hadi Ma’rifat: Mashuniyyat-e Qur’on az Tahrif, hlm. 107-108.
8- 38 Khuramsyahi sebelumnya meyakini, “Tentang status Islam sebagai nasikh ‘penghapus’agama-agama sebelumnya, tidak perlu lagi pembahasan dan pertanyaan.” Qur’on-pezhuhi, hlm. 542. Tetapi, dalam jawabannya atas makalah penulis yang berjudul Qur’on va Pluralizm, Khuramsyahi menuliskan, “Meskipun sudah masyhur bahwa Islam adalah juru naskh agama-agama sebelumnya, tetapi dalam Al-Qur’an, naskh, nafy, negasi, dan pengingkaran keras terhadap segala kebenaran, kemungkinan kebebasan dan keselamatan Ahli Kitab, tidaklah jelas.” Lih., “Qur’on va Ilohiyot- e Jahoni’”, dalam Bayyinot, vol. 17, hlm. 171. Di tempat lain ia mengatakan, "Jika kritikus terhormat, dengan hanya bersandar pada Al-Qur’an, dapat membuktikan dengan tegas klaim bahwa Al-Qur’an menganggap agama-agama Ahli Kitab, dengan kedatangan Islam, jadi mansukh (terhapus) dan tak lagi berlaku, maka ia akan menjadi pemenang diskusi dan dialog kita.” [bid., him. 176. Ruj. Mahmud Bina: Haft Osemon, vol. 2, hlm. 22, “Kita tidak punya dalil bahwa agama baru me-naskh agama sebelumnya. Sebuah pendapat mengatakan, “Ketika nabi ini datang, hanya dia yang harus diikuti.” Ini pendapat subjektif. Al-Qur’an justru bersikap objektif dalam hal ini. Tentu saja, Muslimin menilainya dengan cara lain.” Juga rujuk Bazargan, Mahdi: Qur’on va Masihiyon, hlm. 9.

benar eksplisit justru memastikan sebaliknya, sebagaimana akan

diuraikan secara khusus dalam bab ini.

Setelah menyinggung soal penurunan kitab-kitab suci,

Allah menyebut Al-Qur’an sebagai muhaymin yang mendominasi

kitab suci lainnya.

Dan kitab ini (Al-Qur‘an) telah Kami turunkan dengan

kebenaran sebagai pembenar kitab-kitab sebelumnya,

penjaga dan pelindungnya. (QS. Al-Maidah [5]: 48).

Secara etimologis, muhaymin memiliki sejumlah arti

beragam seperti: penyaksi, penjaga, dan pengawas. la juga

berarti terpercaya, dominan, dan penguasa. Berdasarkan frasa

awal dan akhir ayat, maksud dari muhaymin di sini ialah:

sebagai kitab samawi terakhir yang membenarkan eksistensi

kitab suci sebelumnya dan mengandung prinsip dasar dan

ajaran benar kitab-kitab tersebut, Al-Qur'an memiliki kekhasan

berupa haimanah ‘dominasi dan pemerintahan atas kitab Ilahi

sebelumnya. Segi ini pula yang meneguhkannya sebagai risalah

pamungkas Allah, dasar argumentasi, dan kriteria kebenaran.

Jika makna selain di atas ini diatribusikan pada kata muhaymin

sehingga menghasilkan tafsiran lain, maka bukan hanya

memaksakan pemaknaan sebuah kata dengan selain makna

p:23

hakikinya, tetapi juga mengakibatkan pemborosan atribut,

karena sebelum kata muhaymin, ada kata ajektif mushdddiqan

‘pembenar’ yang mengungkapkan pembenaran dan afirmasi atas

agama-agama sebelumnya. Makna ini ditegaskan sejumlah hadis

dari Nabi Saw. Berikut hadis yang dengan gamblang menyebut

Al-Qur’an sebagai kitab penguasa dan ndsikh‘ penghapus’:

Allah Swt telah menjadikan kitabku menguasai kitab samawi

yang lain dan menjadikannya ndésikh ‘penghapus’ kitab-kitab

itu(1)

Dalam teks riwayat lain, kelebihan Nabi Saw di atas para

nabi lainnya terletak pada naskh ‘penghapusan’ syariat-syariat

sebelumnya oleh syariat yang dibawa beliau:

Salah satu ketinggian martabat beliau ialah bahwa Allah telah

me-naskh syariat-syariat sebelumnya dengan syariat beliau;

sementara syariat beliau tak dapat di-naskh(2)

Dalam riwayat lain, Allah menyeru kaum Yahudi:

Hai bangsa Yahudi, hai pengingkar Muhammad dan

penentang keras naskh syariat ....(3)

Dalam suratnya kepada penguasa Nasrani, Zaid bin Jahwar,

Nabi Saw dengan jelas menyatakan naskh dan temporalitas

kebenaran agama-agama non-lIslam. Beliau juga secara tegas

p:24


1- 39 Majlisi: Bihar Al-Anwar, jld. 16, hlm. 329, dan jld. 9, hlm. 292.
2- 40 __Ibid., jld. 16, hlm. 336, dan jid. 16, hlm. 336 414.
3- 41 Ibid., jld. 16, hlm. 329, dan jld. 9, hlm. 292.

meminta seluruh penganut agama keluar dari agama sebelumnya

dan memeluk Islam:

Setiap umat yang memeluk suatu agama_harus

meninggalkannya, kecuali agama Islam. Wahai Zaid!

Ketahuilah itu!(1)

Implikasi dari pengingkaran naskh adalah afirmasi terhadap

kebenaran abadi agama-agama, keharusan melaksanakan

kewajiban setiap agama, dan ketidakharusan mengikuti agama

lain. Namun, Nabi Islam Saw telah menggugurkan asumsi ini.

Tatkala menjumpai seorang sahabat sedang menggenggam

selembar Taurat (dalam riwayat lain, sahabat itu memuji isi

Taurat), beliau langsung gusar dan bersabda:

Sesungguhnya aku telah membawakan kepada _ kalian

sebuah kitab putih (bercahaya) dan suci. Demi Allah! Jika

kini Musa masih hidup, niscaya dia tak punya pilihan selain

mengikutiku.(2)

Dalam komentarnya atas hadis ini, Murtadha Muthahhari

membubuhkan catatan:

Melalui hadis Umar bin Khaththab ini, dengan jelas Rasulullah

mendeklarasikan bahwa dengan turunnya Al-Qur’an dan

syariat penutup, Taurat dan Injil telah di-naskh(3)

p:25


1- 42 Miyanaji: Makdatib Al-Rasul, jld. 1, hlm. 165.
2- 43. Ibid.
3- 44 M. Muthahhari: Majmu‘eh-e Otsor, jld. 14, hlm. 289.

Ali bin Abi Thalib juga berulang kali berbicara tentang

eksklusivitas agama hag hanya pada Islam dan habisnya masa

berlaku kebenaran agama-agama lain. Sejauh ketegasannya,

Islam merupakan agama pilihan Tuhan. Berkat kemunculan dan

keunggulannya, agama-agama lain menjadi lemah dan mengalami

degradasi (habisnya masa kebenaran dan validitas). Ini sebenarnya

ungkapan lain dari istilah naskh itu.

Allah telah merendahkan agama-agama lain lewat kemuliaan

Islam; dengan meninggikan kedudukan Islam, Dia telah

mengecilkan agama-agama yang lain dengan menjulangkan

kehormatan Islam, Dia telah menghinakan musuh-

musuhnya; berkat pertolongan-Nya, Dia telah merendahkan

para musuhnya.*(1)

Nabi Muhammad, Nabi Semesta

Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang menyeru masyarakat sedunia

agar memeluk Islam. Rangkaian ayat itu mendeskripsikan Islam

sebagai agama penuntun hidup dan mengenalkan nabinya

sebagai utusan untuk seluruh umat. Berikut sejumlah ayat yang

berkenaan dengannya:

Kami telah mengutusmu sebagai rasul untuk umat manusia

dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS. Al-Nisa’ [4]: 79).

Katakanlah, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku bagi kalian

hanyalah pembawa peringatan dan penjelasan.” (QS. Al-Hajj [22]: 49).

p:26


1- 45 Nahj Al-Balaghah, pidato 189.

Memperhatikan artikel alif-lam (al) pada kata nas (al-naas:

manusia), kedua ayat ini menegaskan bahwa Nabi Islam diutus

untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk satu bangsa atau

komunitas tertentu.

Katakanlah, “Wahai manusia! Aku adalah utusan Allah

untuk kalian semua” (QS. Al-A’raf [7]: 158).

Dan Kami tidak mengutusmu melainkan untuk segenap

umat manusia agar engkau memberi kabar gembira dan

ancaman kepada mereka, tetapi kebanyakan manusia tidak

mengetahui (QS. Saba’ [34]: 28).

Pada kedua ayat ini, selain kata al-nds yang dibubuhi artikel

alif-lam (al), juga dicantumkan kata umum lainnya seperti:

jami‘an (semua) dan kdffah (segenap) untuk memberikan

penekanan lebih kuat lagi. Karenanya, jelas sudah, makna kata

al-nds dalam ayat-ayat itu adalah seluruh manusia.

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (AI-

Quran) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pem-

peringatan kepada seluruh alam (QS. Al-Furqan [25]: 1).

Dan Kami tidak mengutusmu melainkan sebagai rahmat

bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107).

Ayat pertama di atas menjelaskan tujuan diturunkannya Al-

Qur’an kepada Nabi Islam sebagai peringatan bagi seluruh umat

manusia (seluruh alam). Ayat kedua juga mengangkat Nabi Islam

sebagai sumber rahmat bagi semesta alam.

p:27

Beberapa ayat ini dengan sangat jelas meneguhkan Nabi

Islam sebagai nabi seluruh umat manusia. Sedemikian rupa,

sehingga tidak ada eksepsi individu, ras, bangsa, dan atau ajaran

tertentu. Tentu saja, seruan ini juga meliputi Ahli Kitab. Kalau

tidak, substansi dakwah dan posisi Nabi sebagai pembawa kabar

gembira serta pemberi peringatan secara mutlak dan general

akan rusak dan gugur. Inilah maksud dari kesemestaan dan

keuniversalan kenabian Nabi Islam. Keuniversalan dakwah

beliau bagi semua manusia cukup jelas dan, karenanya, tidak

selaras dengan paham Pluralisme.

Al-Qur’an: Kitab Semesta

Selain mengenalkan Nabi Islam sebagai nabi seluruh manusia,

Al-Qur’an juga menggambarkan dirinya sebagai kitab seluruh

manusia. Predikat yang disandangnya juga berbeda-beda seperti:

penuntun, penjelas, penyampai, pemberi peringatan, pemberi

nasihat, zikir, cahaya, burhdn (bukti jelas), dan hujjah Tuhan.

Inilah_ kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kau

mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya sesuai

dengan izin Tuhan mereka (QS. Ibrahim [14]: 1).

Inilah penjelas bagi seluruh umat manusia, petunjuk dan

nasihat bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran [3]:138).

Dan inilah Al-Qur‘an yang telah diwahyukan kepadaku agar

aku memberi peringatakan kepada kalian dengannya dan

kepada orang-orang yang Al-Qur‘an sampai kepadanya (QS.Al-An’am [6]: 19).

p:28

Inilah (Al-Qur‘an) pesan bagi seluruh manusia (QS.Ibrahim[14]: 52).

Wahai manusia! Telah datang bukti yang jelas dari Tuhanmu

dan telah Kami turunkan kepada kalian cahaya yang jelas (QS. Al-Nisa’ [4]: 174).

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al-Furgan (AI-Qur'an) kepada hamba-Nya,

agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (QS. Al-Furgan [25]: 1).

Ia (Quran) tak lain adalah peringatan bagi seluruh alam (QS. Al-

Takwir [81]: 27; Yusuf [12]: 104; Shad [38]: 38; Al-An’am [6]: go).

Rangkaian ayat di atas merupakan dalil bagi kebenaran

klaim naskh ‘penghapusan’ ajaran-ajaran sebelumnya serta

seruan menerima Islam dan Al-Qurvan. Sebab, jika sekelompok

manusia dikecualikan dari generalisasi dan kemutlakan ini,

atau dibebaskan entah menerima atau menolak Al-Qur’an

seraya tetap berpedoman pada kitab suci agamanya, maka

sifat kesempurnaan Al-Qur’an seperti: penuntun umum dan

bukti mutlak, akan menjadi absurd. Predikat furgan (pemisah

kebenaran dari kebatilan) baginya akan berlaku khusus pada

kondisi tertentu. Sementara, pengkhususan dan pembatasan

ayat-ayat di atas tak hanya bertentangan dengan makna lahiriah

ayat, bahkan bertolak belakang dengan teksnya (nash). Dengan

kata lain, ketegasan teks ayat-ayat itu menolak pengkhususan,

pembatasan dan pengecualian.

Berkenaan dengan keuniversalan Al-Quran dan agama Nabi

Islam Saw, ada banyak riwayat yang akan dikemukakan dalam

pembahasan selanjutnya.

p:29

Islam dalam Taurat dan Injil

Kemunculan Islam dan nama mulia Muhammad Saw telah di-

janjikan dalam Taurat dan Injil. Al-Qur’an menjelaskan bahwa

Ahli Kitab sangat mengetahuinya dan mengenal Nabi Saw,

layaknya mengenal anak-anak mereka sendiri, namun mereka

merahasiakan dan menutup-nutupi kenyataan ini.

Dan (ingatlah) ketika Isa bin Maryam berkata, “Wahai Bani

Israil! Aku utusan Allah untuk kalian dan aku membenarkan

kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumku (Taurat). Dan

aku memberi kabar gembira tentang seorang rasul yang akan

datang setelahku dan namanya Ahmad. Ketika dia (Ahmad)

datang kepada mereka dengan mukjizat dan bukti-bukti

yang jelas, mereka akan berkata, ‘Ini sihir yang nyata.” (QS.

Al-Shaff [61]: 6).

Mereka yang mengikuti utusan (Allah), Nabi ummi yang ciri-

cirinya maktub dalam kitab Taurat dan Injil mereka (QS. Al-

A’raf [7]: 157).

Mereka yang telah Kami anugerahkan kitab suci kepadanya

mengetahuinya (nabi) dengan baik sebagaimana mereka

mengenal anak-anak sendiri. Mereka yang tidak beriman

telah mengalami kerugian (QS. Al-Anam [6]: 20).

Ihwal pengenalan Ahli Kitab seputar kebenaran Nabi

Muhammad Saw, sebagaimana mereka mengenal anak-anaknya,

disebutkan secara persis dalam serangkaian ayat lainnya. Dalam

ayat-ayat tersebut diingatkan bahwa sebagian mereka malah

merahasiakan dan menutup-nutupi kenyataan tersebut.

p:30

Mereka yang telah Kami anugerahkan kitab suci kepada

mereka, mengetahuinya (Nabi) dengan baik sebagaimana

mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun sebagian

mereka menutup-nutupi kebenaran dengan sengaja (QS. Al-

Baqarah [2]: 146).

Kendati Taurat dan Injil telah mengalami banyak distorsi,

yang menarik justru sebagian ayatnya yang menyebut ihwal

kemunculan Nabi Islam di Mekah tetap ada. Di bawah ini

sejumlah ayat dari dua kitab suci itu yang mengisyaratkan hal

ini(1)

Pertama:

Apa yang kalian lakukan di hari raya tertentu dan di hari raya

ketuhanan lainnya? Sebab, saat mereka melangkah menuju

kehancuran, Mesir telah menghimpun mereka, dan mereka

akan dikuburkan oleh Shauf(2) dan Muhammad-lah untuk

perak mereka.(3)

Di berbagai tempat dalam Injil Yohanes, tertera kabar

kemunculan Paraqlitha atau Paracletos.

p:31


1- 46 Taurat, Kitab Joshua, bab 9: 5-10.
2- 47 Shauf adalah nama suku di Mesir yang menguburkan jasad orang- orang yang tewas dalam kehancuran kedua Jerusalem.
3- 48 Maksudnya, setelah Bani Israil bertolak ke Mesir pasca kehancuran kedua Jerusalem, akan datang seseorang bernama Muhammad (Kitab Joshua, bab 9: 5-10).

Kedua:

Tetapi aku berkata benar dan berguna kepada kalian bahwa

jika aku belum pergi, Paraqlitha tidak akan datang; namun

jika aku pergi, aku akan mengutusnya pada kalian.(1)

Ketiga:

Aku telah mengatakan ini pada kalian bahwa aku bersama

kalian, tetapi Paraqlitha adalah ruh kebenaran pemberi

nasihat dan dia akan menyeru kalian pada kebenaran yang

akan diutus Bapa seperti nama-ku.(2)

Keempat:

Aku meminta Bapa agar mengutus Paraqlitha kepada kalian

agar dia selalu bersama kalian.(3)

p:32


1- 49 Yohanes, bab 16: 7.
2- 50 Ibid., bab 14: 25-27.
3- 51 Ibid., bab 14: 16. Di sini, layak kiranya menyimak sebuah kisah tentang salah seorang pembesar Nasrani: bagaimana kemudian menjadi ulama besar Islam berkat ilham dari nama Paraqlitha serta menulis sebuah kitab agung, Anis Al-A’lam fi Nushrat Al-Islam dalam rangka membantah agama Nasrani. Segera setelah mengikuti laporan perdebatan kalangan ulama dan mahasiswa Nasrani ihwal kata Paraqlitha yang terjadi di gereja, dia menulis, “Setiap orang memiliki pendapat berlebihan dalam hal ini, tanpa memperoleh hasil apa pun. Untuk menghentikan perdebatan ini dan membubarkan diri, aku menemui pendeta. Dia malah bertanya, ‘Wahai anakku! Apa yang mereka bahas saat aku tak ada?’ Aku menjelaskan polemik ditengah masyarakat seputar maksud dari kata Paraqlitha. Pendeta itu berkata, Tetapi kebenaran menentang semua pendapat mereka.’ Aku menghampiri pendeta dan membungkukkan tubuhku di bawah kakinya, ‘Wahai Bapak! Siapakah yang lebih tahu dari Anda?’ Pendeta itu menangis tersedu-sedu lalu menjawab, ‘Begitu maksud nama ini tersebar, para penganut Nasrani akan membunuh kita, kecuali jika kamu berjanji tidak akan mengungkapkan maksud nama ini selama aku hidup dan setelah kematianku.’ Aku pun bersumpah tak akan membongkar rahasianya. Dengan sangat yakin, pendeta itu menuturkan, ‘Wahai anakku! Nama ini adalah salah satu nama suci nabi kaum Muslim yang berarti Ahmad dan Muhammad.’ Lalu dia memberi kunci sebuah rumah kecil dan berpesan, ‘Bukalah kotak anu dan bawalah buku anu ke mari!’ Segera aku melakukannya dan membawa buku yang dimaksud. Dalam dua buku berbahasa Yunani dan Suryani yang ditulis di atas lembaran kulit sebelum kemunculan Nabi Muhammad itu, kata Paraqlitha diterjemahkan dengan nama Ahmad dan Muhammad.” Disarikan dari Anis Al-A‘lam fi Nushrat Al- Islam, jld. 1, him. 8.

Sebagian umat Kristen meyakini Paraqlitha sebagai nabi

yang dijanjikan Injil, akan tetapi mereka berbeda pendapat

mengenai subjek yang dimaksud; apakah itu Nabi Islam atau

bukan. Paraqlitha berasal bahasa Suryani (Syriac), sementara

dalam bahasa Yunani, Paraklastos, yang artinya “sangat terpuji

dan terpandang’(1)

Kelima:

Dalam kitab Idris, selain nama Nabi Muhammad, juga

maktub nama-nama Ahlul Bait ‘keluarga-nya. Nabi Adam

menyaksikan lima ruh bercahaya, lalu Allah mengenalkan

mereka seraya berfirman, “Mereka adalah Paraglitha

(Muhammad), Iliya (Ali), Thabathah (Fathimah), Syeppar

(Hasan), dan Syuppar (Husain).(2)

Terdapat pula sejumlah kabar gembira perihal Nabi Islam

p:33


1- 52 Dalam kitab Injil sekarang, kata Paraqlitha telah dihapus dan sebagai gantinya digunakan kata ‘penghibur’.
2- 53 Besyorat-e Ahdayn, hlm. 230. Patut dicatat bahwa beberapa pluralis juga mengakui berita gembira tentang Islam dalam agama-agama sebelumnya! Untuk penjelasan lebih lanjut, silakan merujuk Khuramsyahi, Bahauddin: Qur’onpezhuhi, hlm. 810.

dalam kitab suci yang akhirnya memicu perdebatan yang berlarut-

larut dan menegangkan. Sebagian pembesar Yahudi dan Nasrani

menanggapi kabar ini secara adil serta menerima syariat Nabi

Islam sepenuh-penuhnya. Bahkan mereka menulis buku yang

membuktikan kenabian Nabi Islam dan naskh ‘penghapusan’

kitab suci sebelumnya. Anis Al-A‘ladm karya Muhammad Shadiq

Fakhrul Islam dan Al-Din wa Al-Dawlah karya Ali bin Rabban

Thabari adalah dua buku terkenal di antaranya.(1)

Terdapat pula sejumlah cendekiawan Barat kontemporer

yang memeluk Islam. Di antara mereka adalah Hamid Algar dan

Roger Garaudy, cendekiawan eks-Marxis asal Perancis.

Jelas, kabar gembira seputar kemunculan Nabi Islam dalam

kitab-kitab suci sebelumnya bukan hanya dimaksudkan sebagai

perbaikan, melainkan afirmasi atas ajaran dan syariat Islam. Ini

sebagaimana sejumlah teks ayat Al-Qur’'an yang mengecam Ahli

Kitab yang enggan mengimani Islam. Selain itu, dalam berbagai

argumentasinya terhadap Ahli Kitab, Nabi Islam menegaskan

bahwa bukti keharusan mereka beriman pada Islam adalah janji

baik Taurat tentang kemunculan dirinya. Kepada kaum Yahudi,

beliau mengatakan:

Bukankah dalam kitab kalian, kalian telah menemukan

[pernyataan] bahwa aku adalah rasul dan utusan Tuhan untuk

kalian dan seluruh manusia. Jika demikian, takutlah kepada

Allah dan masuklah ke dalam Islam.

p:34


1- 54 Selain kitab-kitab ini, ada pula para penulis lain seperti: Muhammad Ridha, Iqgamat Al-Syuhtd ft Radd Al-Yahid; Qazwini, Mahdhar Al-Syuhid fi Radd Al-Yahud; dan Uskup Abdul Ahad Dawud: Muhammad fi Al-Tawrat wa Al-Injil. Belakangan, Legenhaussen juga memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi “Muhammad”.

Dalam riwayat di atas, Nabi Saw tidak merelakan mereka

tetap memeluk agama sebelumnya. Dengan kata lain, beliau

tidak membolehkan mereka hanya penganut ketuhanan yang

semata-mata umum. Beliau lalu menyeru agar mereka memeluk

Islam.

Tuduhan terhadap Para Nabi

Berdasarkan uraian sebelumnya, jelas bahwa pada dasarnya,

para utusan Allah mengetahui prinsip naskh dan kemunculan

nabi setelahnya. Demi membimbing umatnya, mereka juga

niscaya menyebutkan nama dan ciri-ciri nabi yang akan datang.

Rangkaian ayat dan bukti yang berasal dari Taurat, Injil, dan Al-

Qur’an mengenai hal itu telah disebutkan sebelumnya. Jadi,

klaim bahwa para nabi menjauhkan umat dari agama-agama

lain, termasuk juga agama-agama samawi setelahnya, dan hanya

menyeru umat pada agama yang dibawanya saja,(1) tak lebih dari

tuduhan belaka.

Ahli Kitab

Sebelum ini telah dicatat bahwa Nabi Islam adalah nabi sedunia; Al-

Qur'an juga kitab langit yang berbicara kepada seluruh umat

manusia. Jadi, kitab suci ini tentu juga berlaku atas Ahli Kitab,

seperti berlakunya hukum umum atas subjek-subjek khususnya.

p:35


1- 55 Soroush menuliskan, “Setiap nabi dan pemimpin agama hanya mengajak umat pada agamanya. Maksudnya, tak seorang nabi pun yang pluralis. Seluruh esensi ajarannya adalah menyeru umat pada agamanya dan menjauhkan mereka dari golongan dan agama selainnya.” (Soroush: Shirotho-ye Mustaqimm, hlm. 140).

Namun demikian, cukup banyak ayat Al-Qur’an yang secara

khusus mengarah ke Ahli Kitab. Ada juga sejumlah ayat yang

menunjukkan bahwa pengutusan Nabi Islam dan penurunan

Al-Qur’an juga untuk mereka hingga diperintahkan juga agar

mengimani ajaran suci ini.

Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul

Kami; menjelaskan kepadamu banyak dari isi Kitab yang

kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah,

dan Kitab yang menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah

menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya

ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah

mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya

yang terang benderang dengan izin-Nya, dan menunjukkan

mereka ke jalan yang lurus (QS. Al-Maidah [5]: 15-16).

Hai Ahli Kitab! Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul

Kami, menjelaskan (syariat kami) kepadamu ketika terputus

(pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan,

“Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita

gembira maupun seorang pemberi peringatan’ Sesungguhnya

telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi

peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Maidah [5]: 19).

Selain menyinggung kemunculan Islam pasca masa transisi

pengutusan (fatrah), ayat terakhir mengingatkan Ahli Kitab

agar tidak mengingkari Islam. Setelah mengabarkan kelahiran

Islam, ayat pertama juga mengingatkan Ahli Kitab bahwa

p:36

jalan keselamatan dan melepaskan diri dari kegelapan ke ufuk

cahaya hanya mungkin terbuka di bawah naungan Al-Qur’an. Di

dalamnya, jalan yang lurus juga akan terbentang.

Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan

(Al-Qur‘an) yang membenarkan apa yang ada padamu

(Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama

kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-

ayatku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah

kamu harus bertakwa (QS. Al-Baqarah [2]: 41).

Ayat ini menyeru Ahli Kitab agar menerima Islam dan

menghukumi pengingkarnya sebagai orang kafir.

Hai Ahli Kitab! Mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah,

padahal kamu mengetahui (kebenarannya). Hai Ahli Kitab!

Mengapa kamu mencampuradukkan yang haq dengan

yang batil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu

mengetahuinya (QS. Ali Imran [3]: 70-71).

Argumentasi dua ayat ini cukup jelas: mengecam dan

menyalahkan Ahli Kitab lantaran menutupi dan menyangkal

kebenaran Islam.

Sejarah Nabi Muhammad Saw

Didukung ilham Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw menyeru

Ahli Kitab agar menerima Islam dan meninggalkan agama

sebelumnya. Manakala pohon Islam yang baru tumbuh itu

p:37

membutuhkan proteksi ekstra dan jauh dari konflik dengan

kekuatan-kekuatan eksternal, beliau memulai dakwahnya secara

tertulis dan formal [dengan menyurati] sejumlah pimpinan

imperium masa itu seperti: kaisar Iran, Romawi, Habasyah, serta

beberapa pemimpin kabilah Yahudi dan Nasrani.

Bukti terjadinya naskh dari dakwah ini kiranya cukup jelas.

Tentunya sangat absurd jika ajaran Nasrani dan Yahudi tidak

di-naskh, yakni masih berlaku kebenarannya sehingga sama

nilainya dengan Islam. Surat bernuansa dakwah yang ditulis

Nabi Saw dan dilayangkan kepada mereka agar meninggalkan

agama sebelumnya, menjadi tak berarti apa-apa. Selain itu,

dalam rangkaian surat untuk para pembesar Yahudi dan Nasrani,

beliau menyebutkan bahwa syarat hidayah dan meniti jalan yang

lurus adalah memeluk Islam. Ini dengan sendirinya merupakan

peristiwa naskh Islam terhadap semua agama mereka.

Nabi Saw meminta Najasyi, penguasa Nasrani Habasyah,

untuk bertauhid dan mengimani beliau berikut agamanya.

Sesungguhnya aku mengajak kalian mengimani dan menaati

Allah Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya. Aku meminta

kalian mengikutiku dan mengimani ajaranku, karena aku

adalah utusan Allah.(1)

Dalam suratnya kepada Maqumes, pembesar Nasrani Qebt

di Mesir, dan Heraclius, kaisar Romawi, Nabi Saw bersabda:

Aku mengajakmu kepada Islam. Jika tidak menerima, engkau

akan bertanggung jawab atas dosa seluruh penduduk Mesir

p:38


1- 56 Miyanaji: Makatib Al-Rasul, jld. 1, hlm. 121

dan Romawi.(1)

Dalam surat lain, selain menyebutkan ihwal naskh Islam

terhadap agama-agama sebelumnya, Nabi juga menyinggung

serangkaian kabar gembira mengenai kedatangan beliau dalam

agama-agama sebelumnya serta kemenangan dan keunggulan

akhir Islam.

Asas Mahdawiyah

Persoalan keharusan Ahli Kitab dan agama-agama lain

memeluk Islam kian jelas dan tegas dalam riwayat-riwayat

perihal Mahdawiyah (kemunculan Imam Mahdi). Karena,

dalam himpunan riwayat ini, pernyataan yang tertera bukan

hanya menyinggung kemuliaan Islam, tetapi siapa pun yang

mengingkari dan menentang keharusan ini juga diancam mati.

Serukanlah Islam kepada mereka! Perintahkanlah siapa saja

yang memeluk Islam secara sukarela agar menunaikan shalat,

zakat, dan segenap apa yang diperintahkan dan diwajibkan

bagi Muslim. Siapa saja tidak beriman, penggallah lehernya

hingga tak satu pun manusia di Barat dan Timur yang hidup

kecuali seorang muwahhid (bertauhid).

Kalau memang agama-agama lain itu benar dan tidak

manasakh (tidak dihapus), tidakkah seruan dan dakwah ini akan

sia-sia? Apakah tidak lebih baik Nabi Saw yang telah membawa

agama baru dan mendirikan pemerintahan baru ini menerangkan

p:39


1- 57 Ibid., hlm. 97 105.

saja kebenaran dan jalan yang lurus, ketimbang berdakwah dan

berperang?

Mendistorsi Dakwah Nabi

Sebagian Pluralis menyadari bila argumentasi kuat dan tak

terbantahkan atas validitas dakwah Islam kepada Ahli Kitab dan

kaum lainnya itu mematahkan paham mereka. Karena itu, mereka

lantas menafsirkan dakwah tersebut sebagai bentuk penawaran

dan pengenalan Islam. Ini mereka lakukan manakala dipahami

adanya disharmoni antara dakwah Islam dengan prinsip-prinsip

Pluralisme(1)

Namun rapuhnya argumentasi mereka sudah amat jelas.

Dakwah dan seruan Islam bukan sekadar masalah pemaparan dan

pengenalan agama baru, sebab penolak dakwah ini juga disebut

sebagai kafir, tak berhidayah, lawan kebenaran, dan terancam

azab Ilahi. Dakwah Nabi Saw ihwal Islam ibarat menuntun orang

buta ke arah dan jalan yang benar; bukan seperti pelukis yang

cuma memajang lukisannya di lokasi pameran.

Sebagian Pluralis lain menyangkal asas keharusan memilih

Islam dan mengikuti dakwahnya(2) Sekilas saja merujuk uraian

sebelumnya, kelemahan argumentasi ini juga tampak jelas.

p:40


1- 58 Soroush: Shirotho-ye Mustaqim, hlm. 185 156.
2- 59 Mahmud Bina: Haft Osemon, vol. 2, hlm. 14, “Bila teman saya beragama Hindu dan punya syariat sendiri, tentunya tidak etis bila saya mengajaknya memeluk Islam (tanpa nama)”.

Islam, Syarat bagi Ahli Kitab

Sebelumnya telah diuraikan sejumlah ayat yang menyampaikan

berita gembira tentang Nabi Saw dan kecaman terhadap sikap

[ingkar] Ahli Kitab. Sekarang, akan diulas ayat-ayat Al-Qur’an

yang menyatakan bahwa hidayah atau petunjuk hakiki dan

paripurna bagi Ahli Kitab bergantung pada keimanan mereka

pada Islam; sebaliknya, mengingkari Islam akan berdampak

kekafiran dan murka Tuhan.

Dan jika Ahli Kitab beriman dan bertakwa, Kami akan

mengampuni dosa-dosa mereka dan Kami akan masukkan

mereka ke dalam surga yang penuh dengan nikmat (QS. Al-Maidah [5]: 65).

Wahai manusia! Berimanlah kepada Allah dan utusan-Nya,

nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-

kalimat-Nya. Ikutilah ia supaya kalian mendapat hidayah (QS. Al-A’raf [7]: 158).

Bagaimana Allah akan menghidayahi (memberi petunjuk)

suatu kaum yang malah menjadi kafir setelah mengimani

dan menyaksikan kebenaran rasul dan tanda-tanda yang

jelas bagi mereka? Allah tidak akan menghidayahi kaum yang

zalim. (QS. Ali Imran [3]: 86).

Dan jika Ahli Kitab mengimani (petunjuk Islam yang jelas)

maka sesungguhnya mereka telah mendapat hidayah, dan jika

mereka menentang sesungguhnya mereka telah terpisah dari

kebenaran. Dan Allah akan menolak rencana jahat mereka

kepadamu dan Allah Mahadengar lagi Mahatahu (QS. Ali

Imran [3]: 110).

p:41

Dan katakanlah kepada Ahli Kitab dan orang-orang jahil

(musyrikin), “Apakah kalian juga telah menyerah? Jika

mereka menyerah maka mereka akan mendapatkan hidayah.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 147).

Rangkaian ayat terakhir, khususnya yang mengajukan

syarat bahwa hidayah dan pengampunan dosa bergantung pada

keimanan seseorang pada Islam, jelas-jelas membenarkan klaim

sebelumnya. Sebab, jika agama-agama lain masih berlaku dan

benar, semua ketegasan makna dan kandungan redaksi ayat yang

berbentuk klausa kondisional ini tentu tidak lagi berarti

apaapa. Mencermati keimanan pada Islam sebagai syarat hi-

dayah, makna dan pemahaman Islam yang dikandung ayat-ayat

di atas menjadi jelas.

Selain Islam, Tertolak

Hakikat Islam adalah ketundukan total pada Tuhan. Namun,

ketundukan ini akan terwujud di setiap zaman dalam format

ajaran tertentu. Misalnya, ketundukan dan Islam di masa

Nabi Musa as adalah menerima ajaran beliau, sementara di

masa Nabi Isa Al-Masih as adalah juga memeluk ajaran beliau.

Adapun ketundukan di masa Islam ialah menerima ajaran Nabi

Muhamamd Saw.

Dengan kata lain, Islam hakiki adalah keimanan seorang

hamba pada seluruh ajaran samawi dan keinginan Allah. Jika

tidak, keimanan ini akan berujung pada kekafiran dan neraka.

Pada hemat Al-Qur’an, mengimani sebagian ajaran saja identik

dengan kekafiran.

p:42

Mereka yang mengingkari Allah dan para nabi serta ingin

membedakan antara Allah dan para nabi-Nya seraya berkata,

“Kami mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang

lain, dan ingin memilih jalan lain di antara keduanya,” maka

mereka adalah kafir yang sebenarnya. Dan Kami telah

menyediakan azab yang hina bagi orang-orang kafir (QS. Al-

Nisa’ [4]: 150-151).

Berdasarkan ayat ini, iman yang diterima di sisi Allah adalah

iman seutuhnya, yaitu. meyakini kebenaran agama-agama

samawi, termasuk mengimani Islam sebagai agama penutup dan

juru naskh ‘penghapus’ agama-agama lain.

Ayat di atas menyebutkan keimanan Ahli Kitab sebagai

Ayat di atas menyebutkan keimanan Ahli Kitab sebagai

“mengimani sebagian’ dan memposisikannya sejajar dengan

kekafiran yang sebenarnya. Darinya jelas, istilah ‘Islam’ yang

digunakan dalam rangkaian ayat tersebut untuk menafsirkan

agama bukanlah makna leksikalnya, tetapi “ketundukan mutlak

kepada Allah”. Namun ketundukan mutlak pada Allah hanya akan

terwujud dengan mengimani Islam (agama penutup dan juru

naskh agama lain) dan menerima kenabian Muhammad Saw.

Ayat-ayat di bawah ini menegaskan pemahaman ayat di

atas; tak satu pun agama lain yang diterima di sisi Allah kecuali

Islam, dan para penganut agama lain akan merugi di Hari Kiamat

kelak.

Dan barangsiapa memilih agama lain selain Islam tidak

akan diterima dan di hari akhirat dia adalah orang yang

merugi.(QS. Ali Imran [3]: 85).

p:43

Dalam ayat ini, mempercayai Islam sebagai ketundukan

mutlak pada Allah, tanpa dibarengi keniscayaan memeluk

agama tertentu (umpama, Islam), tidaklah sejalan dengan

maksud yang dikandung rangkaian ayat sebelumnya. Padahal,

dalam memahami sebuah ayat, rangkaian ayat lainnya harus

pula dipertimbangkan.

Lagipula, pemahaman pertama terhadap istilah ‘Islam’

yang terbersit awal kali di benak adalah agama Islam, bukan

ketundukan mutlak. Pada ayat di bawah ini juga diperlihatkan

jalan yang lurus didefinisikan hanya dengan Islam sebagaimana

ayat-ayat sebelumnya.

Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam

(QS. Ali Imran [3]: 19).

Allah akan menghidayahi siapa saja yang diinginkan-Nya

dengan membuka hatinya untuk (menerima) Islam. (QS. Al-

An’am [6]: 125).

Ayat terakhir menegaskan bahwa jalan utama memperoleh

hidayah adalah memeluk Islam. (Uraian lebih lanjut tentang

ayat dan pendapat sebagian ahli tafsir mengenai argumen-

argumen Pluralisme terhadap ayat ini akan dikemukakan dalam

pembahasan selanjutnya)

p:44

Ahli Kitab dan Status Kafir

Point

Pada rangkaian ayat sebelumnya, diketahui bahwa Al-Qur’an

mengajak para penentang, khususnya Ahli Kitab, untuk memeluk

Islam. Di samping itu, ia juga menegaskan bahwa syarat bagi

mereka memperoleh hidayah adalah beriman pada Islam.

Rangkaian ayat terakhir juga mengingatkan bahwa agama yang

diterima di sisi Allah hanyalah Islam. Jika tidak menerimanya,

Islam hakiki tidak akan pernah terwujud.

Pada ayat di bawah ini, mula-mula Al-Qur’an

menyempurnakan bukti terhadap Ahli Kitab dan penentangan

mereka, lalu menetapkan hukum kekafiran hakiki bagi mereka.

Rangkaian ayat ini, sebagaimana ayat sebelumnya, juga

menekankan hal yang sama. Yakni, jika mereka tidak mengimani

Rasulullah Saw dan membeda-bedakan para utusan Allah, maka

landasan iman mereka pada Allah dan Hari Kiamat—dua prinsip

yang sebelumnya mereka yakini—akan diragukan, kalau bukan

malah tertolak.

Dan berimanlah pada apa yang telah Kami turunkan (Al-

Qur'an) yang tanda-tandanya ada dalam kitab-kitab kalian

dan janganlah menjadi orang pertama yang mengingkarinya

dan janganlah menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang

sedikit dan takutlah hanya kepada-Ku. (QS. Al-Baqarah [2]: 41).

Ayat suci di atas jelas-jelas berbicara langsung kepada kaum

Yahudi dan menyeru mereka agar Al-Qur’an yang, juga menjadi

pembenar Injil, mengingatkan agar jangan sampai terperosok ke

p:45

jurang kekafiran lantaran sikap penentangan dan bujukan hawa

nafsu.

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada

Allah dan tidak (pula) kepada Han Kemudian, dan

mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan

oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan

agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang)

yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai

mereka membayar jizyah dengan patuh sedang

mereka dalam keadaan tunduk (QS. Al-Taubah (9]:29).

Ayat ini menghukum Ahli Kitab tidak beriman kepada

Allah dan Hari Kiamat (1) tidak pula tidak komit pada agama

haq. Karena itulah Al-Quran membolehkan kaum Muslimin

memerangi mereka, kecuali jika mereka meminta gencatan

senjata dan menyerahkan jizyah.

Argumen kedua ayat di atas seputar mansukh ‘dihapusnya’

agama Nabi Isa as dan Nabi Musa as kiranya sangat jelas. Yakni,

bila ajaran kedua nabi yang mulia ini memang jalan yang lurus

p:46


1- 60 Dalam menanggapi keraguan tentang bagaimana Al-Qur’an memvonis Ahhi Kitab dengan tidak adanya iman kepada Allah dan Hari Kiamat, sementara ayat-ayat lain seperti: Al-Baqarah [2]: 80 111, menyebut Ahli Kit- ab sekaligus keimanan mereka, Allamah Thabathaba’i mengatakan, “Dengan tidak mengimani Islam, esensi iman mereka kepada Allah dan Hari Kiamat menjadi rusak, karena iman sempurna bukan hanya menerima sebagian perkara. Dengan ungkapan lain, iman mereka tidak terkabul di sisi Allah.” Lih. Al-Mizdan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 9, hlm. 241; jld. 5, hlm. 126.

dan tidak di-naskh Islam, niscaya Al-Qur’an tak akan meminta

para penganutnya memeluk Islam; apalagi mengkafirkan dan

memerangi mereka.

Dalam AI-Nisa’ [4]: 150 di atas, mengimani sebagian nabi

dan menolak sebagian lainnya diidentikkan dengan kekafiran.

Terdapat pula serangkaian ayat lain yang menyebut Ahli Kitab

sebagai kafir. Sebagian ayat ini telah dibahas sebelumnya,

sementara sebagian lainnya akan diulas kemudian.

Larangan Pindah Agama (Murtad)

Bertolak dari memukul rata kebenaran pada seluruh agama, kaum

Pluralis memparalelkan ajaran Yahudi dan Nasrani dengan Islam,

dan mengklaim ketiganya sebagai jalan yang lurus. Dampaknya,

setiap orang bebas memilih mana saja di antara agama tersebut

guna memperoleh hidayah dan keselamatan. Atau, sesuai

pilihannya sendiri, dia bebas meninggalkan satu agama, misalnya

Islam, untuk memeluk agama lain. Argumentasinya, dalam hal

ini, setiap agama ini tidak punya kelebihan dan keutamaan satu

di atas yang lain. Al-Qur’an, dalam berbagai ayatnya, menolak

pandangan ini. Dan melalui tema kemurtadan, ia menyanggah

argumen kaum Pluralis secara total.

Kata irtidad (kemurtadan) merupakan derivasi dari kata radd,

“rujuk dan kembali’(1) Dalam perspektif Al-Qur’an, kemurtadan

terjadi bila seorang Muslim menanggalkan ajarannya dan

menjadi Ahli Kitab (menganut agama Yahudi atau Nasrani). Saat

itu dia dihukum sebagai murtad.

p:47


1- 61 Ibnu Manzdur: Lisdn Al-‘Arab, jld. 3, him .... entri radd, dan kamus Arab lainnya.

Sedikitnya, terdapat sepuluh ayat yang mengemukakan

masalah kemurtadan.

Larangan Mutlak Berbuat Murtad

Secara kategoris, ayat-ayat kemurtadan dapat dipilah dalam dua

jenis. Ayat jenis pertama secara mutlak dan tanpa syarat melarang

serta mengecam berbuat kemurtadan dari Islam. Di dalamnya,

kemurtadan dinyatakan sebagai kekafiran dan disetarakan dengan

“kesesatan’, “pupusnya amal-amal sebelumnya’, “perbuatan setan’,

dan “dibenci dan tak disukai Allah”.

Siapa yang menerima kekafiran dan menolak keimanan,

maka ia telah tersesat dari jalan yang lurus (QS. Al-Baqarah

[2]: 108).

Dan barangsiapa yang berpaling dari agamanya dan mati

dalam keadaan kafir, maka seluruh amal bajiknya (yang

telah lalu) akan hilang begitu saja di dunia dan di akhirat

dan mereka adalah ahli neraka dan akan kekal selamanya di

sana (QS. Al-Baqarah [2]: 217).

Wahai orang-orang yang beriman! Siapa saja di antara kamu

yang berpaling dari agamanya (tidak akan merugikan Allah)

dan Allah akan memunculkan satu kaum yang dicintai-Nya

dan mereka (juga) mencintai Allah (QS. Al-Maidah [5]: 54).

Argumen yang terkandung dalam ayat-ayat di atas jelas

mendukung anggapan sebelumnya, sebab ayat-ayat ini

mendeskripsikan bahwa murtad dari Islam dan memeluk ajaran

p:48

lain identik dengan kekafiran, kesesatan, dan pupusnya amal

baik. Hukum ayat ini mutlak sehingga juga berlaku pada agama

apapun, termasuk agama Yahudi dan Kristen. Ayat terakhir secara

khusus mengingatkan kaum Muslim bahwa Islam adalah agama

yang diridhai Allah. Bila Muslimin menyimpang dan berbuat

murtad, pasti Allah akan menghadirkan suatu kelompok yang

taat pada Islam, agama yang diridhai Allah. Mereka disebut Allah

sebagai manusia yang dicintai dan mencintai Allah. Maksudnya,

Allah tidak menyukai kemurtadan dan keluar dari Islam dalam

segala bentuknya.

Adapun ayat jenis kedua berbicara tentang kejahatan,

rongrongan, dan konspirasi sebagian Ahli Kitab; bagaimana

mereka berupaya memurtadkan dan menggiring Muslimin

sampai bergabung dalam golongan mereka.

Dari semua rangkaian ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa

di masa fajar Islam, Ahli Kitab berusaha keras mengkafirkan

Muslimin. Untuk itu, mereka melancarkan berbagai intrik jahat,

yang bersifat fisik maupun psikis. Misalnya, melakukan perang

urat syaraf agar Muslimin mengimani Islam secara instan untuk

kemudian kembali kafir dalam tempo singkat demi tujuan

liciknya. Dua ayat berikut membuktikan hal ini:

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian mengikuti

sekelompok Ahli Kitab maka kalian akan dikembalikan pada

kekafiran setelah kalian beriman (QS. Ali Imran [3]: 100).

Dan sekelompok dari Ahli Kitab berkata, “(Pergilah dan)

berimanlah pada apa yang telah turun kepada Muslimin di

pagi hari dan kafirlah kembali di sore hari (dan kembalilah)

p:49

mungkin mereka juga akan berpaling (dari ajarannya)” (QS.

Ali Imran [3]: 73).

Kedua ayat ini menunjukkan bahwa keluar dari Islam

identik dengan lenyapnya amal bajik serta keabadian berada di

dalam neraka. Tentu saja, ini berposisi diametris dengan klaim

pluralitas jalan yang lurus.

Sementara ayat berikut dengan jelas menunjukkan dua hal

yang dimaksud sebelumnya: pertama, usaha kaum Yahudi dan

Nasrani memaksa Muslimin bergabung dalam kelompoknya;

kedua, pembatasan jalan yang lurus secara eksklusif hanya pada

Islam.

Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sampai engkau

mengikuti ajaran mereka. Katakanlah, “Hidayah Allah adalah

satu-satunya hidayah dan jika kau mengikuti hawa nafsu

mereka setelah kau mendapat pengetahuan, maka tidak akan

ada satu pun pelindung dan penolong untukmu dari sisi Allah.”

(QS. Al-Baqarah [2]: 120).

Paruh pertama teks ayat ini menegaskan ketidaksukaan

kaum Yahudi dan Nasrani pada Rasulullah Saw, kecuali jika

beliau, wal ‘itya(1)naudzubillah, memilih murtad dan mengikuti ajaran

mereka.

Bagian teks ayat ini, menurut klaim kaum Pluralis, berbicara

tentang banyaknya jalan yang lurus, serta kesamaan dan paralelisme

antara Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun, paruh kedua teks

p:50


1- 62 Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sebab turunnya ayat ini, silakan rujuk J. Suyuthi: Al-Durr Al-Mantsur, tafsir atas ayat terkait.

ayat yang sama justru berlawanan dengan klaim mereka.

Karena bukan hanya menyalahkan ajaran Yahudi dan Nasrani,

penggalan teks itu malah membatasi jalan hidayah hanya pada

Al-Qur’an(1) Selanjutnya, ayat tersebut mengingatkan Rasulullah

Saw dan Muslimin agar tidak mengikuti ajaran mereka, seraya

menyebut upaya kaum Yahudi dan Nasrani sebagai pengikut

hawa nafsu. Kalau saja Rasulullah Saw dan Muslimin mengikuti

mereka hingga tidak membatasi kebenaran hanya pada Islam,

maka Allah akan memutus hubungan (wilayah dan pertolongan)

antara diri-Nya dan Rasul-Nya.

Saking jelasnya argumen rangkaian ayat atas kekeliruan

Pluralisme, kiranya tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan.

Kalaupun masih diperlukan bukti yang lain, tersedia cukup banyak

riwayat Nabi Saw dan para Imam mengenai vonis hukuman mati

bagi orang murtad. Rangkaian riwayat ini menjelaskan kewajiban

membunuh orang yang mutad dari Islam lalu memeluk agama

Yahudi atau Nasrani. Rasulullah Saw bersabda, “Bunuhlah siapa

yang mengubah agamanya’..

Dalam berbagai kesempatan, misalnya dalam peristiwa

fath ‘penaklukan’ MekahRasulullah Saw memerintahkan agar

dibunuh sejumlah orang murtad. Begitu pula Imam Ali yang,

dalam sejumlah kesempatan, memerintahkan agar dibunuh

orang Muslim yang memeluk agama Nasrani(2) Jelas sudah,

p:51


1- 63 Pembatasan eksklusif ini, selain konteks ayat dan signifikasinya, dapat dirumuskan lewat qgashr al-qalb yang merupakan salah satu unsur pembatas dalam tata bahasa Arab. Ulasan tentangnya memerlukan ruang tersendiri. Selengkapnya, ruj. Thabathaba’:: Al-Mizan ft Tafsir Al-Qur’an, jld. 1, hlm. 265.
2- 64 Mengenai riwayat murtad, rujuk Wasd’l Al-Syi‘ah, jld, 18, bab “Murtad”; Ushul Al-Kafi, jld. 2, kitab “Iman wa Kufr”, bab “Inna al- Islam Yuhqanu bihi al-dam”; Man la Yahdhuruh Al-Faqih, jld. 14; dan Al-Tahdzib, jid. 4.

hukum ini berbenturan keras dengan paham kaum Pluralis.

Janji Azab bagi Ahli Kitab

Sebagaimana telah dikemukakan, sejumlah ayat menyebutkan

bahwa agama Islam merupakan syarat mendapat hidayah dan

berada di atas jalan yang lurus. Ayat-ayat itu juga mengecam dan

mengutuk Ahli Kitab yang menolak Islam. Sementara itu, dalam

sejumlah ayat lain, Allah Swt mengungkapkan azab dan murka-

Nya terhadap penentang Islam dan menyebut mereka sebagai

kafir, terkutuk, jauh dari rahmat Allah, zalim, dan fasik.

Wahai kaum yang telah diturunkan kitab (Allah) kepadanya!

Berimanlah pada apa yang telah Kami turunkan (kepada

Rasul Kami)—yang sesuai dengan bukti-bukti yang ada di sisi

kalian—sebelum Kami menghapus wajah-wajah kemudian,

atau Kami jauhkan mereka dari rahmat Kami. Sebagaimana

kaum Sabat [sekelompok Bani Israil yang tersesat] Kami

jauhkan dari rahmat Kami, dan perintah Allah pasti akan

terlaksana (QS. Al-Nisa’ [4]: 47).

Dalam ayat ini, Allah Swt menentukan batas waktu untuk

Ahli Kitab dan menuntut mereka mengimani Islam sebelum

wajah-wajah mereka terhapus dan menjadi binasa atau

mengutuk mereka atau menurunkan azab seperti yang dialami

kaum Sabat.

p:52

Di sini, kita tidak akan masuk konteks penafsiran ayat

ataupun menganalisis maksud dari “menghapus wajah-wajah’”

dan seperti apakah azab kaum Sabat itu. Kendati demikian,

ultimatum dan ancaman azab bagi Ahli Kitab menjadi bukti

yang jelas dan memadai atas keharusan memeluk Islam serta

habis masa berlakunya kebenaran Taurat dan injil.

Dan ketika datang sebuah kitab dari Allah kepada mereka

yang sesuai dengan tanda-tanda yang mereka _ miliki,

dan sebelumnya mereka memberi berita gembira tentang

kemenangan atas orang-orang kafir, tapi ketika (kitab dan

Nabi) yang (sebelumnya) telah mereka kenal datang pada

mereka, mereka malah mengkafirinya, maka laknat Allah bagi

orang-orang kafir (QS. Al-Baqarah [2]: 89).

Ayat ini mengingatkan bahwa Ahli Kitab di jazirah Arab

sudah cukup lama menanti kedatangan Nabi Islam. Bahkan

dalam sekian argumennya terhadap orang-orang kafir dan

musyrik Mekah dan Madinah, mereka selalu menyuarakan kabar

tentang ketangguhan pihaknya berkat kemunculan Islam dan

terpuruknya kaum kafir. Namun lantaran menolak Islam, Allah

pun membenci, mengutuk, dan menghukumi mereka sebagai

kafir.

Janji Kemenangan Mutlak Islam

Point

Dari ayat-ayat berikut, Al-Qur'an mengabarkan kekalahan pihak

lain dan kemenangan Islam atas semua agama lain di masa

mendatang. Seraya pula menegaskan agama suci Islam sebagai haq.

p:53

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hidayah dan

ajaran haq agar Dia memenangkannya atas semua qjaran,

meskipun kaum musyrik membencinya (QS. Al-Taubah [9]: 33).

Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk

dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua

agama. dan cukuplah Allah sebagai saksi (QS. Al-Fath [48]: 28).

Adapun ayat lainnya sama persis dengan redaksi Al-Shaff

[61]: 9.

Poin penting lainnya, Al-Qur’an bukan hanya memastikan

kemenangan Islam atas para raja dan kaisar yang zalim, melainkan

juga kemenangan Islam kelak atas seluruh pemikiran dan agama

lain, kendati kaum musyrik dan kafir tidak menginginkannya.

Bukti ini cukup jelas. Bila kebenaran agama-agama lain

Sama-sama abadi dengan Islam, niscaya satu sama lain tak akan

mampu saling mengalahkan dengan pertolongan Allah.

Kemenangan Islam atas seluruh agama dapat ditegaskan dari

artikel alif-lam (al-) pada kata al-din (agama) yang berarti seluruh

agama. Selain itu, penegasan agama dengan kata kullih (semua)

merupakan bukti lain atas maksud umum (seluruh) dari kata al-

din yang mematahkan segala ambiguitas dan kemungkinan lain.

Bukti ketiga berupa ungkapan para penjelas hakiki kalam

Ilahi, yaitu para Imam Ahlul Bait seputar kemenangan Islam

atas agama-agama lain. Salah satunya, pernyataan Imam seputar

makna ayat yang disebut berikutnya:

p:54

Supaya Allah memenangkan Islam atas seluruh agama di

masa kebangkitan Al-Qaim (1)

Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan

beramal saleh di antara kalian bahwa mereka akan menjadi

penguasa di muka bumi sebagaimana Allah telah memberi

kekuasaan (khilafah) pada orang-orang sebelumnya, dan

Allah akan mengokohkan agama dan ajaran yang mereka

ridhai dan akan mengganti ketakutan mereka dengan

keamanan dan ketenangan (QS. Al-Nur [24]: 55).

Dengan redaksi yang jelas, ayat suci ini mendeklarasikan

kemenangan Islam, seraya mengingatkan bahwa pihak pemenang

itu adalah umat Islam.

Sekaitan dengan penjelasan ayat di atas, terdapat sejumlah

riwayat yang membenarkan kemenangan dan keunggulan Islam

atas agama-agama lain; beberapa di antaranya akan dikemukakan

berikut ini.

Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt mewajibkan diri-Nya

memenangkan Islam atas agama-agama lain, sampai akhirnya

para penganut agama lain memeluk Islam atau, setidaknya,

membayar jizyah pada kaum Muslimin.

Pantas dan berhak jika Aku memenangkan agamamu atas

seluruh agama, agar tidak ada agama lain di Barat dan Timur

selain agamamu atau penganut agama lain memberi jizyah

kepadamu(2)

p:55


1- 65 Majlisi: Bihdr Al-Anwar, jld. 24, him. 336; jld. 16, hlm. 347; jld. 52, him. 340.
2- 66 Ibid., jid. 10, hlm. 46; jld. 16, hlm. 347.

Nabi Islam, dalam suratnya kepada penguasa Nasrani

Yamamah, memberitahukan ihwal kemenangan agamanya di

seluruh muka bumi:

Ketahuilah! Agamaku akan menang hingga akhir jejak kaki

unta dan kuda (analogi bagi kemenangan mutlak)(1)

Dalam menafsirkan ayat pertama, Allamah Thabathaba’i

menulis:

Ayat ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di tengah

manusia merupakan kehendak (iradah) Allah, dan umat

Islam harus berusaha keras di jalan ini.(2)

Ali bin Abi Thalib menerangkan ‘kemenangan’ dalam tafsir

li yuzdhirahu (untuk memenangkannya) sebagai sejarah Islam

yang akan berkuasa di seluruh muka bumi. Dalam menjawab

konsultasi Umar sekaitan perang melawan kekaisaran Persia,

dengan merujuk ayat di atas, beliau berkata:

Kemenangan atau kekalahan dalam perang ini tidak

bergantung pada banyak atau sedikitnya tentara, tetapi Allah

yang akan memenangkan agama-Nya, menguatkan tentara-

Nya, dan menolong agama-Nya hingga mencapai posisi yang

seharusnya dan terbit di tempat semestinya. Dengan ayat itu

Allah telah menjanjikannya kepada kita.

p:56


1- 67 Miyanji: Makatib Rasul, jld. 1, hlm. 136.
2- 68 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’dn, jld. 9, hlm. 247.

Dalam Nahj Al-Baldghah, Ali bin Abi Thalib mengabarkan

kemuliaan dan kemenangan Islam atas agama-agama lain serta

kerendahan agama-agama lainnya plus kekalahan musuh—

sebagaimana telah dikemukakan dalam argumen tentang naskh

pada pembahasan sebelumnya.

Menepis Keraguan

Sebagian kalangan berusaha mengajukan hipotesis lemah yang

hanya memiliki kemungkinan belaka. Dengannya, mereka

bersikap skeptis terhadap argumentasi yang didukung ayat-ayat

di atas. Untuk memperkuat hipotesis, mereka memanfaatkan

perbedaan pendapat sebagian ahli tafsir dalam masalah

kembalinya kata ganti hu (-nya) dalam frasa liyuzdhirahu (untuk

memenangkannya): ke “agama” ataukah ke “Rasul-Nya’.

Lebih lanjut, mereka juga memanfaatkan perbedaan dan

keragaman makna ayat itu sendiri. Yakni, jika kata ganti itu

kembali kepada “Rasul-Nya’, maka liyuzdhirahu akan bermakna

pengetahuan, bukan kemenangan. Konklusinya, teks ayat

itu bukanlah “kemenangan Islam atas seluruh agama lain’,

sebagaimana tesis kemuliaan atau kemenangan Islam atas

agama-agama di jazirah Arab.

Tentunya, maksud ayat tidak demikian. Makna tersebut

di awal tentu saja sebuah pemahaman yang paling awal

muncul di benak seluruh ahli tafsir, sementara makna terakhir

(pengetahuan) bukanlah kesepakatan para mufassir. Dari Ibnu

Abbas, Syaikh Thusi menukil bahwa kata ganti hu (-nya) dalam

frasa liyuzdhirahu kembali kepada Rasulullah Saw. Maksudnya,

Allah akan mengajarkan ilmu perihal semua agama kepada

p:57

Rasulullah Saw hingga tak satu pun yang luput dari beliau.

Memang, makna demikian ini, untuk kata kerja izdhér atau

zuhur yang disertai idiom ‘ald, pernah muncul dalam Al-Qur’an.

Namun di kebanyakan tempat, kata ini bermakna kemenangan;

kendati di tempat lain, bermakna pengetahuan. Ini sebagaimana

firman Allah Swt:

Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita

(QS. Al-Nur [24]: 31).(1)

Setelah mengkritik argumentasi dari ayat tersebut seputar

kemenangan dan berdirinya pemerintahan tunggal Islam atas

agama yang lain, kritikus itu lalu menafsirkan dan menjelaskan

maksud ayat tersebut:

Tafsir logis lainnya juga dapat diperoleh, bahwa mungkin saja

yang dimaksud ayat ini adalah kemenangan akhir tauhid atas

kesyirikan(2)

Dalam menyimpulkan berbagai kemungkinan dan tafsiran

atas ayat tersebut, kritikus tadi menambahkan:

Dengan memperhatikan semua makna yang berbeda dan

sah-sah saja untuk ayat ini, dapat disimpulkan bahwa kita

tidak dapat begitu saja menyatakan bahwa dalam ayat ini

dikabarkan kemenangan Islam atas semua agama.(3)

p:58


1- 69 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 548. Perlu diketahui bahwa kritikus mengemukakan penggunaan lain dari kata izdhar dalam Al-Qur’an dengan makna pengetahuan, yakni dalam terjemahan Al-Qur’an yang dicetak dua tahun setelah bukunya ini terbit.
2- 70 Ibid.
3- 71 ~~ Ibid.

Untuk menjawabnya, perlu. kiranya dipertimbangkan

beberapa hal:

Pertama: irelevansi kritik dengan makna tekstual (zhdéhir) ayat.

Uniknya, kritikus sendiri mencatat dalam kritiknya bahwa

kemenangan adalah makna paling jelas yang lebih dulu muncul

dalam pemahaman, dimana asas rasional manusia_berakal

sehat (dqil) dalam menafsirkan suatu teks ialah makna lahiriah

(zhahir) teks itu, kecuali jika ada indikasi yang mengarahkan

pemahaman kepada selain makna lahiriahnya. Berdasarkan

penegasan kritikus, kemenangan adalah makna lahiriah ayat dan

sudah dapat dijadikan argumen, kecuali jika seseorang tidak lagi

menerima nilai-bukti (hujjiyyah) dari makna lahiriah ayat-ayat

Al-Qur’an. Namun, demikianlah uniknya: bagaimana penggagas

kritik sendiri dalam gugatannya mengakui nilai-bukti makna

lahiriah ayat!(1)

Jadi, hanya karena adanya kemungkinan lain, penentangan

terhadap makna lahiriah ayat tidak bisa dipertanggungjawabkan

oleh siapa saja yang mengakui premis minor (kemenangan

sebagai makna lahiriah ayat) dan premis mayor (makna lahiriah

sebagai nilai-bukti), sebab berbagai kemungkinan itu tidak

sampai mampu merusak dan melemahkan kekokohan makna

lahiriah ayat itu.

p:59


1- 72 Ibid., hlm. 46, artikel “Qur’on va Qur’onpezhuhi”.

Kedua: irelevansi dengan teks ayat selanjutnya.

Jika kita memaknai frasa liyuzdhirahu dalam konteks pengetahuan

(bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan agama haq dan

menjadikan beliau berpengetahuan dan menguasai informasi

tentang agama-agama lain, kendati kaum musyrik tidak

menyukainya), maka teks awal dalam ayat itu tidak selaras

dengan teks selanjutnya.

Lagi pula, pengetahuan Rasul ihwal agama-agama dan

pemikiran lain tidak membuat kaum musyrik membenci atau

tidak menyukainya. Justru yang membuat mereka terusik

gusar (dalam ayat digunakan kata “benci”) adalah kemajuan,

keunggulan, kemenangan, dan superioritas Islam atas selainnya.

Sementara dalam kedua ayat di atas, Allah menegaskan

keinginan-Nya_ liyuzdhirahu (untuk memenangkan agama

Islam) suatu hari akan terlaksana, kendati kaum musyrik tidak

menyukai dan merisaukannya. Struktur kalimat ini cukup jelas

untuk menafsirkan frasa ini (liyuzdhirahu).

Ketiga: riwayat mutawatir.

Terdapat sejumlah riwayat mutawatir yang menafsirkan ayat suci

tersebut sesuai makna lahiriah dari teksnya, sebagaimana telah

dibawakan sebelum ini.

Keempat: ketidaktentuan makna pengetahuan.

Kalaupun benar kata ganti hu dalam frasa_ liyuzdhirahu

kembali kepada “Rasul-Nya’, bukan kepada “agama’, tetap

tak dapat dipastikan bahwa makna frasa ini secara definitif

p:60

adalah ‘pengetahuan. Bahkan, dalam kondisi ini, kemungkinan

makna ‘kemenangan’ tetap saja terbuka lebar, yakni “Allah akan

memenangkan Rasul-Nya atas para penganut agama lain.” Ini

yang juga dikemukakan Zamakhsyari dalam tafsirnya.(1)

Kelima: pemakaian kata izhar [yang darinya kata kerja li-

yuzdhirahu diderivasi] dalam makna pengetahuan.

Ini menjadi bagian dari penafsiran kritikus. Hanya ada poin

berikut yang patut digarisbawahi:

i. Dalam Al-Nur [24]: 31 tentang hak anak-anak, pemaknaan

kata kerja ini di sana sebagai ‘pengertian/pengetahuan’

bukan hanya tidak disepakati seluruh ahli tafsir, justru

menjadi perselisihan kalangan pakar bahasa dan sastra. Se-

bagaimana ahli tafsir seperti: Fakhru Razi,(2) Thabarsi,(3) dan

Allamah Thabathaba’i(4) serta kalangan sastrawan seperti:

Farra’ dan Zajjaj (5) telah memaknai kata kerja dalam ayat

itu dengan ‘kemenangan’.

ii. Katakan saja, kata kerja ini di sejumlah tempat dipakai dalam

makna pengetahuan, namun sejauh tidak merusak dan

melemahkan makna lahiriah ‘kemenangan’ dalam teks ayat,

argumen ini tak tergugatkan.

p:61


1- 73 Zamaksyari: Al-Kasysydf, jld. 2, hlm. 265.
2- 74 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 23, hlm. 209.
3- 75 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 4, hlm. 138.
4- 76 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 15, hlm. 112.
5- 77 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 23, hlm. 209.

Keenam: kemenangan khusus agama Islam.

Terhadap tafsiran yang diajukan kritikus, yakni kemenangan

agama-agama tauhid atas syirik, perlu dicatat bahwa tafsiran

ini bukan hanya bertentangan dengan makna lahiriah ayat,

melainkan dengan ketegasan teks ayat itu sendiri. Sebab, dalam

ayat ini, Allah telah menubuwatkan kemenangan akhir agama

yang dibawa Nabi utusan-Nya. Bahkan Allah berulang kali

menekankannya dalam sejumlah ayat. Umpamanya:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di

antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa

Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa

di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-

orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan

meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya

untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)

mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman

sentosa (QS. Al-Nur [24]: 55).

Dalam ayat ini, Allah Swt berjanji dan memberi kabar

gembira perihal posisi superior kaum beriman di tengah kaum

Muslimin. Begitu pula kabar tentang tercapainya kemenangan

agama Muslimin dan _ berakhirnya masa-masa mencekam

dan ketakutan. Dalam ayat ini pula, alih-alih kemenangan

diungkapkan dengan frasa liyuzdhirahu yang, bagi sejumlah

kalangan, boleh jadi terkesan ambigu, makna ini diungkapkan

dengan frasa liyumakkinanna lahum dinahum (sungguh Dia akan

meneguhkan bagi mereka agama). Ini tentu saja tak lagi tersisa

p:62

ambiguitas bagi siapa pun jika saja mau mencermati makna kata

“meneguhkan’, juga paruh awal, lanjutan, bahkan ruh ayat itu

sendiri.

Distorsi (Tahrif) Taurat dan Injil

Point

Bagaimana jika landasan-landasan Al-Qur’an dan Hadis sebelum

ini tidak diterima? Dan bagaimana jika sekian argumentasi

seputar pembuktian prinsip naskh dan habisnya masa validitas

kebenaran agama-agamasebelumnya ditolak? Lantas, bagaimana

pula jika kontinuitas kebenaran dan keberlakuan agama Nasrani

dan Yahudi diakui sebagai nilai kebenaran? Jelas, asumsi-asumsi

ini menurunkan konsekuensi absurd. Yaitu, Allah menghendaki

agar kaum Yahudidan Nasrani juga kaum Muslimin mengamalkan

serangkaian aturan berupa kewajiban syariat dan hukum praktis

yang dibutuhkan untuk mencapai kedudukan spiritual dan

terwujudnya prinsip ibadah. Karenanya, menolak rangkaian

aturan ini akan berarti sebagai dosa dan penentangan.

Terdapat poin penting dan subtil dalam konteks ini. Bila

sebuah agama samawi (lIlahi), bahkan kitab suci, terbukti

mengalami distorsi, apa yang mesti dilakukan para pencari

dan pecinta kebenaran? Apakah setelah ajaran dan jalan Ilahi

yang murni muncul, seorang masih layak memeluk agamanya

yang sudah terdistorsi (kehalalannya berubah jadi keharaman,

vice versa)? Tidakkah ini berarti mengabaikan kehendak dan

keinginan I[lahi? Bukankah akal sehat menyuruh seseorang

memeluk agama yang murni agar mematuhi perintah Sang Tuan

dan menjauhi larangan-Nya?

p:63

Tentu, tidak akan ada seorang pun akan sangsi terhadap

kenyataan, duduk persoalan, dan perujukan kepada syariat

murni. Hanya persoalan utama di sini terkait pada tataran

argumentasi, identifikasi, dan penentuan mana yang murni,

mana yang tak-murni. Dan ternyata, cukup banyak argumen

dan faktor yang membuktikan ajaran Nasrani dan Yahudi telah

mengalami distorsi. Agar pembahasan tidak sampai melebar

ke mana-mana, berikut akan dikemukakan beberapa ayat yang

dijadikan rujukan mayoritas ahli tafsir:

Sebagian kaum Yahudi mendengarkan ucapanmu dengan

baik untuk memperoleh senjata mendustakanmu, terdapat

mata-mata kelompok lain yan tidak mendekatimu, tetapi

mereka menyelewengkan maksud sebenarnya ucapanmu

(QS. Al-Maidah [5]: 41).

Sebagian kaum Yahudi, menyelewengkan ucapan dari

tempat yang sesungguhnya. Mereka berkata, “Kami telah

mendengarnya dan menentangnya.” Dan (mereka juga

berkata), “Dengarlah tapi kau tidak akan bisa mendengar!”

(QS. Al-Nisa’ [4]: 46).

Karena melanggar janji, telah Kami jauhkan mereka dari

Rahmat Kami dan Kami keraskan hati mereka. Mereka

telah menyelewengkan firman (Allah) dari maksudnya dan

mereka melupakan sebagian ucapan yang sudah dikatakan

pada mereka... dan Kami (juga) telah mengambil janji dari

mereka yang mengaku sebagai kaum Nasrani, tetapi mereka

melupakan bagian penting dari apa yang sudah diingatkan

kepada mereka (QS. Al-Maidah [5]: 13-14).

p:64

Apakah kau menunggu mereka beriman (kepada agamamu)

padahal sebagian mereka telah mendengar ucapan Allah dan

setelah memahaminya mereka malah menyelewengkannya

padahal mereka mengetahuinya? (QS. Al-Baqarah [2]: 75).

Celakalah mereka yang menulis dengan tangannya sendiri lalu

berkata, “Ini berasal dari sisi Allah agar mereka menjualnya

dengan harga yang hanya sedikit.” (QS. Al-Baqarah [2]: 79).

Pada ayat di atas, Allah dengan jelas mengungkapkan bahwa

kitab suci Yahudi dan Nasrani telah didistorsi oleh kalangan

tokohnya sendiri. Dalam hal ini, demi kepentingan pribadinya,

mereka mengklaim komentar dan tulisannya sendiri sebagai

[bagian dari] kitab suci.

Berkenaan dengan penyebabturunnyaayat terakhir, mufassir

besar, Thabarsi, menukil dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkaitan

dengan kaum Yahudi dan Nasrani yang telah mendistorsi Taurat

dan Injil, sementara ada sebagian tokoh mereka yang menambah

atau mengurangi isi kedua kitab suci itu.(1)

Adakah Dalil Distorsi dari Al-Qur’an?

Sebagian kalangan mendebat argumen dan bukti-bukti atas

distorsi Taurat dan Injil. Tidak hanya itu, mereka juga mengklaim

distorsi itu tidak dapat disimpulkan dari Al-Qur’an:

Menurut kami, tak ada materi dalam Al-Qur’an yang

menunjukkan terjadinya distorsi dalam arti terminologis

p:65


1- 78 Selengkapnya, ruj. Jawadi Amuli: Syanat dar Oyine Ma’rifat, him, 102; Misbah Yazdi: Rahnamosyenosi, hlm. 359; Ja’far Subhani: Ma’alim Al- Nubuwwah fi Al-Qur’an Al- Karim, him. 65.

terhadap Taurat dan Injil; yaitu perubahan teks kitab suci,

entah berupa pengurangan maupun penambahan. Namun

Al-Qur’an berkata, “Dua kitab suci itu telah diselewengkan

maknanya, ditafsirkan tidak sesuai makna aslinya.’ Dalam

riwayat-riwayat Islam dan ucapan para tokoh Islam, juga

tidak ada ungkapan terjadinya distorsi dalam teks-teks dua

kitab suci itu. Dan kami juga tidak punya argumen sekaitan

dengan hal ini.(1)

Untuk menimbang kekuatan pendapat ini, ada beberapa

poin berikut yang patut dicermati lebih lanjut:

Pertama:

Sebagian ayat menunjukkan penyelewengan redaksi dan konten

(makna). Karenanya, penilain kaum Muslimin di awal Islam

seperti: Ibnu Abbas (kesaksiannya telah disebutkan di atas) dan

mayoritas ahli tafsir, tentang terjadinya distorsi adalah distorsi

secara mutlak (sebagiannya akan disebutkan di sini). Dalam

menafsirkan ayat “Mereka mengubah perkataan dari tempat-

tempatnya’,(2) Thabarsi menuliskan:

Mereka telah menukar kalimat dan hukum Allah dari tempat

asalnya.(3)

p:66


1- 79 Hadi Makrifat: Mashuniyyat-e Qur’on az Tahrif, hlm. 107.
2- 80 QS. Al-Nisa’ [4]: 46; Al-Maidah [5]: 13; [5]: 41.
3- 81 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 1, hlm. 464; Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 10, hlm. 118.

Dalam tafsirnya, Fakhru Razi membubuhkan:

Ayat ini merupakan bukti bahwa Ahli Kitab telah melakukan

dua penyelewengan (takwil dan penghapusan). Mereka

melakukan takwil yang keliru pada sebagian ayat dan

menghapus sebagian ayat dari kitab suci.(1)

Fakhru Razi juga mengisyaratkan kemungkinan besar

terjadinya distorsi dalam bentuk penghapusan redaksi kitab suci

dengan adanya opini populer seputar kemungkinan kesepakatan

di antara para pembesar Yahudi.(2)

Dalam karya tafsirnya, Zamakhsyari juga mengemukakan

distorsi wahyu dan penghapusan Taurat:

Ayat “Mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya”

menjelaskan betapa keras hati mereka, sebab tak ada

kekerasan hati yang lebih parah dari berdusta kepada Allah

dan mengotak-atik wahyu. “Dan melupakan bagian” yakni

mereka mengabaikan bagian yang banyak dan memadai dari

Taurat.(3)

Muhammad Rasyid Ridha juga menafsirkan distorsi tersebut

dengan penambahan dan pengurangan.(4) Yang mutakhir, mufassir

kontemporer yang menyusun kitab tafsir berharga Al-Mizan,

p:67


1- 82 Ibid., jid. 1, hlm. 463.
2- 83 Fakhru Razi: op. cit., jld. 8, hlm. 107.
3- 84 Zamakhsyari: Al-Kasysydf, jld. 1, hlm. 600.
4- 85 Abduh: Tafsir Al-Manar, jld. 5, hlm. 140, “Yaitu penyimpangan dan penyelewengan dari apa yang telah ada dengan seskali penambahan atau menempatkannya di selain posisi asalnya dari kitab suci. Atau maksud dari ‘tempat-tempatnya’ ialah makna-maknanya yang mereka tafsirkan dengan selain makna yang dimaksudkan.”

Allamah Thabathabaii, juga mengemukakan distorsi Injil dan

Taurat dalam bentuk penghapusan dan penambahan, sekaligus

memaparkan dalil Al-Qur’an yang jelas berkaitan dengannya di

sejumlah tempat:

Di dalam Taurat sekarang, terdapat sebagian isi Taurat yang

asli yang diturunkan kepada Nabi Musa. Namun terdapat pula

distorsi dan perubahan, baik penambahan atau pengurangan

atau perubahan teks atau tempat teks dan faktor-faktor

lainnya. Inilah pandangan yang dikemukakan Al-Qur'an

tentang kondisi Taurat(1)

Sebagian pemikir kontemporer juga berpendapat sama

sekaitan dengan terjadinya distorsi kitab suci ini.(2)

Kedua:

Sebagian riwayat juga membuktikan terjadinya distorsi pada

kitab suci sekaligus menguatkan ayat di atas. Misalnya, hadis dari

Imam Shadigq, “Mayoritas Yahudi telah meninggalkan syariatnya

dan mayoritas lainnya malah menyelewengkannya’.(3)

p:68


1- 86 Thabathabai: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 5, hlm. 342.
2- 87 Sebagai contoh, silakan rujuk /zdhadr Al-Hagqq, jld. 1, him. 126. Dalam hasil penelitiannya, penulis membuktikan lebih dari seratus penyelewengan dalam kitab suci; Mirza Husain Nuri: Al-Huda ild Din Al- Musthafa, “Fashl Al-Khitab”; hlm. 35, Muhammad Jawad: Isro’iliyyot-e Qur’on, hlm. 115; Imam Khomeini: Shahifeh-e Nur, jld. 1, hlm. 122 jld. 2, him. 229; Muthahhari: Majmu‘eh-e Otsor, jld. 2, hlm. 29, 31 222; Misbah Yazdi: Rahnamosyenosi, hlm. 280; Jawadi Amuli: Syari‘at dar Oyineh-e Ma‘refat, hlm. 104-105, 123 318.
3- 88 Majlisi: Bihar Al-Anwar, jld. 11, hlm. 12.

Ketiga:

Katakanlah, sekian ayat dan riwayat yang menyinggung distorsi

Taurat dan Injil dapat digugat, namun bukti konkret atas

terjadinya distorsi (tahrif) terletak pada kritik historis, otentisitas

sanad, dan kandungan kitab suci itu sendiri. Sebagian peneliti

dan pakar sejarah meragukan kedua kitab suci itu berasal dari

Nabi Musa as dan Nabi Isa as. Mereka membuktikan bahwa

kebanyakan isi kedua kitab itu hasil tulisan orang. Juga [dari segi

kandungan], ada berbagai kontradiksi dan predikat tak layak bagi

para utusan Allah: adu gulat Nabi Yaqub lawan Tuhan, meminum

arak, dan perbuatan amoral lainnya, dengan sendirinya menepis

kontroversi soal kenyataan distorsi dalam kedua kitab suci itu.

Keempat:

Sejumlah pihak mengakui bahwa kendati Al-Qur’an tidak dapat

membuktikan adanya distorsi pada kitab suci itu, namun mereka

menganggap Taurat dan Injil sekarang ini bukan wahyu Ilahi dan

kitab Langit, melainkan hanya buku sejarah yang menjelaskan

kondisi para nabi dan pengikut mereka (hawariyyun). Jadi, karena

mengandaikan ketiadaan Taurat dan Injil yang otentik, Al-Qur'an

pun tidak membuktikan adanya distorsi pada kedua kitab suci

itu. Sementara ayat-ayat tentang distorsi hanya menunjukkan

distorsi ajaran dan pemahaman keliru para senior Ahli Kitab.

Atau, sebagaimana diistilahkan pakar logika, “Kebenaran

proposisi negatif terletak pada ketiadaan subjek.” Maksudnya, tak

adanya teks Al-Qur’an seputar distorsi bukan karena otentisitas

Taurat dan Injil, tetapi justru karena tidak adanya subjek, yakni

p:69

dua kitab itu sendiri. Ini sebagaimana dikatakan ayat suci:

Katakanlah, “Jika kalian berkata benar, bawalah Taurat dan

bacalah.” (QS. Ali Imran [3]: 93; Al-Shaffat [37]: 157).

Fakhru Razi menisbatkan pendapat ini kepada mutakallimin

(teolog Muslim).

Sepertinya, kedua pendapat ini dapat dipadukan sedemikian

rupa. Pendapat pertama mengklaim adanya argumen Al-Quran

atas distorsi teks kitab suci (pengurangan, penambahan, dan

pengubahan redaksi). Kitab suci yang dimaksud adalah kitab

suci di masa diutusnya Nabi Muhammad Saw dan puluhan

tahun sebelumnya (berupa translasi dan tulisan tangan palsu dan

cacat). Adapun pendapat kedua mengklaim tidak adanya dalil

Al-Qur'an atas distorsi; bahkan sebagian teks suci menunjukkan

tidak adanya distorsi. Kitab suci yang dimaksud di sini ialah

wujud Taurat dan Injil yang lembaran-lembaran otentiknya telah

hilang di awal kemunculan ajaran Nasrani.

Kesimpulannya, kedua pendapat ini sama-sama

mengandaikan kedua kitab suci itu sekarang sudah tidak lagi

otentik dan sudah terdistorsi.

Berdasarkan kekurangan atau terjadinya distorsi pada Taurat

dan Injil otentik, akal niscaya memutuskan untuk mengikuti

ajaran murni dan jalan Islam, seraya pula menuntut penganut

agama lain untuk tunduk pada kitab suci yang otentik (Al-Qur'an).

p:70

Isyarat

Di akhir bab, akan dikemukakan satu poin subtil dan

signifikan, bahwa implikasi dari di-naskh-nya agama-

agama lain dan kewajiban memeluk Islam sebagai jalan

yang lurus dan agama pe-naskh adalah menyimpangnya

penganut agama lain dari jalan yang lurus. Namun,

jika sinar matahari Islam tidak menerangi kalbu

sehingga tidak mengenali kebenaran Islam—bukan

menentangnya—maka orang semacam ini akan

dikategorikan sebagai pihak yang diampuni dan tidak

dikenai azab, tentunya selama dia tetap mempraktikkan

ajaran nabi internal, yaitu akal dan fitrah sucinya. Lebih

dari itu, dia bahkan dapat mereguk nikmat Allah yang

mahaluas, hanya penjelasan tentangnya memerlukan

ruang tersendiri.(1)

p:71


1- 89 Silakan rujuk Qara maliki: Kandkavi dar Saviyyeho-ye Pluralizm, him. 110 dan selanjutnya; makalah “Kofir-e Musalmon va Musalmon-e Kofir”, dalam jurnal Ketob-e Naqd, vol. 4.

p:72

Bab 2 Al-Qur'an, Toleransi Agama dan Sosial

Point

p:73

p:74

Dalam Bab sebelumnya, telah diuraikan secara panjang lebar

De eksklusivisme Shirdt Mustagim ‘jalan yang lurus’

dan kebenaran agama hanya pada Islam. Sebagian Pluralis seperti:

John Hick, berpandangan bahwa konsekuensi dari eksklusivisme

agama adalah lenyapnya sikap toleran dan hilangnya kerukunan

hidup antar umat beragama.(1) Dalam Mohammad and Fanaticism,

Voltaire (1694-1778), filosof besar Barat, mengatakan bahwa

Islam itu agama fanatisme.(2) Sejumlah cendekiawan Muslim

juga melontarkan polemik seputar irelevansi(3) asas toleransi

atau pembatasannya(4) dengan eksklusivisme Islam sebagai satu-

satunya jalan yang lurus.

Namun, absurditas klaim di atas menjadi jelas bila sekilas

saja merujuk Al-Qur'an dan riwayat. Dalam hal itu, akan

diuraikan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tersebut. Ini

dimaksudkan untuk membuktikan adanya toleransi, koeksistensi

atau, lebih tepatnya, kerukunan antar penganut agama.

Tiada Paksaan Memeluk Islam

Salah satu benih konflik yang mengancam kehidupan beragama

dalam sebuah masyarakat adalah doktrin yang mengharuskan

dan memaksa individu untuk memilih agama tertentu. Suatu

masyarakat boleh jadi berkoeksistensi damai seraya menjaga

p:75


1- 90 Legenhausen: “Pluralism”, dalam Ma‘refat, vol. 22, hlm. 20.
2- 91 Konon setelah itu, dalam karya penelitiannya lebih lanjut, Voltaire condong pada agama Islam dan mengakui kekeliruan pandangannya tentang Islam. Ruj. Jawad Hadidi: Eslom az Nazdar-e Voltaire.
3- 92 Soroush: jurnal Kiyon, vol. 37, hlm. 61; vol. 28, hlm. 10.
4- 93 Syabestari: jurnal Kiyon, vol. 28, hlm. 11; Arkoun: jurnal Kiyon, vol. 27, him. 16.

kemurnian ajaran agamanya dari pengaruh pengikut agama dan

golongan lain, yang benar ataupun yang sesat.

Adanya doktrin yang mengharuskan seseorang menganut

agama tertentu, dalam sistem ajaran sebuah agama, bisa jadi

mengancam toleransi dan kerukunan tiap-tiap penganut

kepercayaan dalam sebuah masyarakat. Karena, manakalaagama

yang menganut doktrin semacam ini dominan dan berkuasa, ia

akan mendesak keras pengikut agama lain agar menanggalkan

kepercayaannya. Jika desakan ini tidak dipenuhi, maka

bukan hanya merusak kerukunan sosial antar penganut dan

menimbulkan krisis yang sangat serius, tetapi juga mengancam

nyawa dan harta individu. Sejarah juga mencatat beragam

perlakuan diskriminatif dan derita kaum minoritas demikian

ini.(1)

Islam memang menyeru seluruh umat manusia untuk

memeluknya, sekaligus mengancam akan mengazab siapapun

yang menolak seruan ini dengan motif kebencian dan keras

kepala. Namun, Islam membedakan siksa di dunia dan akhirat.

Maksudnya, pada tahap awal, Al-Qur’an menyeru seluruh

umat manusia untuk masuk Islam. Dalam konteks ini, Nabi

Saw bahkan sampai berusaha keras dengan mempertaruhkan

nyawanya. Meski begitu, Islam tidak pernah memaksa orang

p:76


1- 94 Seperti dicatat Gustav Le Bon dalam The Civilization of Arabs, Michaud, cendekiawan Barat, mengatakan, “Sewaktu kaum Muslim (masa kekhalifahan Umar bin Khaththab) menaklukkan Jerusalem, tak satu pun Nasrani yang dianiaya. Sebaliknya, tatkala Nasrani berhasil merebut kembali kota ini, tanpa ampun, mereka membunuh seluruh Muslim yang tinggal di sana. Demikian pula saat kaum Yahudi merebut kota ini; dengan kejam, mereka membakar penduduk kota.” Lih. Tamaddun-e Eslom va ‘Arab, jld. 1, hlm. 141-146.

memeluk Islam. Yang perlu ditambahkan, kendati sikap menolak

Islam tidak berdampak hukuman di dunia, namun di akhirat

kelak, pelakunya akan dimintai tanggung jawab atas segenap

pendiriannya. Al-Qur’an mengatakan:

Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan

ke neraka, (dikatakan kepada mereka), “Bukankah (azab)

ini benar?” Mereka menjawab, “Ya benar, demi Tuhan kami.”

Allah berfirman, “Maka rasakanlah azab ini disebabkan

kamu_selalu ingkar.” Maka bersabarlah kamu seperti

orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul- rasul

telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan

( azab) bagi mereka (QS. Al-Ahqaf [46]: 34-35).

Berikut sejumlah ayat yang menafikan pemaksaan dalam

memeluk Islam:

Tidak ada paksaan dalam (menerima) agama (Islam) (QS.

Al-Baqarah [2]: 256).

Berkenaan dengan penyebab turunnya ayat ini, kalangan ahli

tafsir mengatakan bahwa beberapa keturunan Nasrani enggan

memeluk Islam. Orang tua mereka yang baru memeluk Islam

sudah berputus asa untuk mengislamkan anak-anaknya lewat

cara damai. Mereka lalu mengeluhkan persoalan ini kepada

Nabi Saw, dengan harapan kiranya beliau akan mengerahkan

kekuatannya (pemerintahan Islam) untuk memaksa mereka

memeluk Islam. Lalu ayat di atas diwahyukan kepada Rasulullah

p:77

Saw untuk menafikan pemaksaan keyakinan.

Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu.

Maka barangsiapa ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan

barangsiapa ingin ( kafir) biarlah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]:29).

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus;

ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS. Al-Insan[76]: 3).

Dalam dua ayat ini, Allah Swt menjelaskan tujuan

penciptaan seraya memberi menunjukkan jalan yang lurus

kepada manusia. Kemudian Dia mengingatkan bahwa dalam

konteks ini, tidak ada unsur pemaksaan. Sebab, beragama adalah

pilihan dan kebebasan individual: setiap orang bebas memi-

lih untuk beriman atau menjadi kafir. Al-Qur’an berulang

kali mengemukakan hal ini dengan beragam aksentuasi:

Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah

menyampaikan (ayat-ayat Allah) (QS. Ali Imran [3]: 20).

Dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap

mereka (QS. Qaf [50]: 45).

Maka _ berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu

hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah

orang yang berkuasa atas mereka (QS. Al-Ghasyiyah [88]:

21-22).

p:78

Ayat-ayat ini mendeskripsikan tugas seorang rasul hanyalah

menyampaikan risalah Ilahi kepada umat manusia, juga

menekankan keimanan individu agar dilandasi kebebasan,

kesadaran, dan argumentasi, bukan lewat kekuatan dan

kekerasaan.

Doktrin di atas ini bukan khas Islam, melainkan juga diajarkan

agama-agama sebelumnya. Umpama, Nabi Nuh as mengatakan

kepada kaumnya, “Bagaimana mungkin aku memaksakan agama

pada kalian, sementara hati kalian membencinya.”

Apakah akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal

kamu tiada menyukainya? (QS. Hud [11]: 28).

Murtadha Muthahhari mengatakan:

Kita memiliki sejumlah ayat yang menjelaskan bahwa agama

harus disampaikan dengan cara benar, bukan lewat pemaksaan.

Ini membuktikan betapa agama Islam tidak menggunakan

kekerasan terhadap seseorang dengan mengatakan, ‘Islam

atau mati. Di sisi lain, ayat ini juga menjelaskan kemestian

jihad.(1)

Dialog Logis antar-Agama

Salah satu asas kesepahaman dan toleransi antar umat beragama

dalam sebuah masyarakat adalah tradisi dialog yang produktif

dan kondusif. Islam juga memperhatikan hal ini sejak memulai

dakwahnya. Islam menginginkan nabinya menyampaikan dan

p:79


1- 95 Muthahhari: Jihod, him. 33.

menyuarakan agama lewat mekanisme dialog dan logika. Dialog

menempati posisi yang sangat signifikan dalam Al-Qur’an.

Bahkan istilah ‘dialog’ berikut padanannya menduduki posisi

utama di bawah kata ‘Allah. (1)

Al-Qur’an menghendaki Nabi Saw menyampaikan dan

menyuarakan Islam lewat argumentasi, hikmah, dialog, dan

debat dengan cara sebaik-baiknya, entah kepada Muslimin

sendiri maupun kepada kaum kafir. Ini sebagaimana firman-

Nya:

Serulah (manusia) pada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan

pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang

baik (QS. Al-Nahl [16]: 125).

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,

melainkan dengan cara yang paling baik (QS. Al-Ankabut [29]: 46).

Kedua ayat ini mengungkapkan strategi dakwah Islam

yang dilandasi argumentasi, dalil, dan debat terbaik; sekaligus

juga peringatan kepada Rasulullah Saw agar tidak melampaui

batas-batas etika debat dengan Ahli Kitab. Kalangan ahli tafsir

menjelaskan bahwa debat terbaik (jidal ahsan) merupakan

dialog atau debat dalam semangat persaudaraan, kebijakan,

kelembutan, jauh dari kata-kata kasar dan keji.(2) Seperti yang

ditegaskan Muthahhari, ayat di atas merupakan salah satu dalil

kebebasan memilih agama dalam Islam.(3)

p:80


1- 96 Bazargan: Ozodi dar Qur’on, him. 61.
2- 97 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 16, hlm. 137-138.
3- 98 Muthahhari: Jihod, hlm. 33.

Menuju Titik Persamaan

Pada dasarnya, tujuan utama Islam membuka ruang dialog

antar agama adalah untuk memperlihatkan dan membuktikan

kebenaran Islam itu sendiri, sehingga pengikut agama lain, sesuai

intuisi dan pemahaman, dapat melangkah ke jalan yang lurus.

Namun, selain tidak mendukung pandangan awam “Semuanya

atau tidak sama sekali’, Al-Qur’an tetap percaya bahwa ruang

dialog itu terbuka sekalipun tidak meninggalkan hasil yang

diinginkan.

Dialog antar agama bisa terus berlanjut dalam rangka

mencapai hasil-hasil berikut. Ini sebagaimana ayat di atas

menginginkan Rasulullah Saw agar, dalam dialognya dengan Ahli

Kitab, menjelaskan hubungan ketuhanan antara Muslim dan

Ahli Kitab dalam konsep tauhid dan keimanan pada kitab-kitab

samawi. Darinya diharapkan lahir embrio kesalingpahaman dan

toleransi antar penganut agama samawi.

Dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada

(kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang dit-

urunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;

dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al-Ankabut [29]: 46).

Dalam ayat lain, selain mengajak Ahli Kitab pada konsep

ketuhanan yang sama, Allah Swt juga mengingatkan mereka

agar tidak menodai esensi ajaran samawi (tauhid) dengan

kesyirikan:

p:81

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada

suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara

kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan

tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun.” (QS. Ali Imran [3]: 64).

Ayat di atas menuntut Ahli Kitab berada di bawah satu

naungan ajaran langit, yakni konsep tauhid, dan memelihara

koeksistensinya dengan kaum Muslim.

Larangan Eksploitasi dan Menyembah Makhluk

Salah satu elemen masyarakat ideal (madinah fadhilah) atau, istilah

dewasa ini, masyarakat madani adalah persamaan hak individu

dan tidak adanya kaum lemah yang mengabdi (menyembah)

segelintir orang kuat dan kaya. Dengan kata lain, eksploitasi

terhadap individu atau rezim tertentu harus dihapuskan dari

tatanan sosial, untuk kemudian digantikan dengan kebebasan

dan kesamaan hak seluruh individu manusia.

Al-Qur’an juga tidak mengabaikan asas ini. Karena itu, Tuhan

memperingatkan seorang nabi yang, dengan kekuatan, menyeru

umat kepada ketaatan dan penghambaan padaNya. Dalam ayat

lain juga disebutkan tujuan para nabi untuk membebaskan

umat manusia dari belenggu perbudakan anti-tuhan (thaghut),

seperti:

Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan

kepadanya Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata

p:82

kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-

penyembahku bukan penyembah Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 79).

Dalam ayat di bawah ini, Allah Swt menjelaskan tugas

Rasulullah Saw sebagai pembebas umat manusia dari belenggu

penjajahan kaum elite:

Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-

belenggu yang ada pada mereka (QS. Al-Araf [7]: 157).

Dalam ayat lain, Allah Swt juga memperingatkan Ahli

Kitab mengenai arogansi, sikap rasis dan eksploitasi masyarakat.

Ini agar semua itu tidak sampai menodai kerukunan antar umat

beragama.

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! ... tidak (pula) sebagian kita

menjadikan sebagian lain sebagai tuhan selain Allah.” (QS.Ali Imran [3]: 64).

Ali bin Abi Thalib juga menjelaskan tujuan diutusnya nabi,

yakni membebaskan umat manusia dari eksploitasi individu dan

penyembahan makhluk, seraya menuntun pada penyembahan

Zat Pencipta Hakiki:

Allah telah mengutus Muhammad untuk membebaskan

hamba-Nya dari penyembahan’= makhluk _ kepada

[penyembahan] Sang Pencipta(1)

p:83


1- 99 Nahj Al-Balaghah, pidato 154.

Toleransi dan Berbuat Baik kepada Kafir

Boleh jadi, dari penjelasan ayat-ayat sebelumnya, disimpulkan

bahwa Islam hanya toleran pada sesama pengikut agama langit

seperti: Yahudi dan Nasrani. Adapun terhadap orang _ kafir,

ateis, dan politeis, toleransi itu tidak berlaku. Bahkan Al-Qur’an

selalu memerangi mereka. Namun, ini semata-mata anggapan

keliru tentang bagaimana menyikapi orang kafir. Perlu kiranya

direnungkan kembali ayat-ayat yang dimaksud.

Rangkaian ayat jihad memberi solusi bahwa jihad melawan

orang kafir akan dilancarkan bila mereka memang memerangi

Islam dan Muslimin. Seandainya orang kafir itu puas dengan

kekafiran dan kemusyikan mereka, tidak mengganggu dan

memusuhi Islam, Al-Qur’an tidak hanya melarang memerangi

mereka, bahkan memerintahkan Nabi Saw berdamai dengan

mereka.

Dan jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah

padanya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia

Maha Mendengar lagi Mahatahu. (QS. Al-Anfal [8]: 61).

Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi

kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka

Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan

membunuh) mereka (QS. Al-Nisa’ [4]: 90).

Demikian halnya dengan orang munafik. Dalam sebuah ayat,

setelah teks perintah memerangi orang-orang munafik dalam

sebuah peperangan, Allah Swt juga menyuruh Muslimin agar

p:84

berdamai dengan mereka (orang-orang munafik). Khususnya

bila antara mereka dan Muslimin terdapat ikatan perjanjian,

atau mereka sudah bosan dengan peperangan dan cenderung

berdamai.

Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di

mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil

seorang pun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan

(pula) menjadi penolong, kecuali orang-orang yang meminta

perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan

kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang

datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan

untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya (QS. AI-Nisa’ [4]: 90).

Selain menyerukan agar hidup damai berdampingan, Al-Qur'an

juga mengajak kaum Muslim berbuat baik dan berlaku

adil terhadap hak-hak orang kafir.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku

adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena

agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku

adil (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8).

Dalam ayat ini, Allah Swt tidak mengatakan hanya akidah

orang kafir sebagai alasan utama untuk memerangi

mereka,

p:85

melainkan serangan, gangguan, dan kejahatan mereka terhadap

Muslimin. Karena itu, imbauan berbuat baik itu berlaku selama

mereka tidak memusuhi dan memerangi Islam.

Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS.

Al-Arraf [7]: 199).

Ayat ini termasuk salah satu prinsip dasar etika dan toleransi.

Di dalamnya, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad

Saw agar memaafkan (berlaku arif terhadap) orang yang tidak

mengimaninya, dan yang kadangkala mengganggu beliau secara

fisik maupun psikis.

Di sini, barangkali muncul pertanyaan; apakah ayat di atas

dan sikap pemaaf Nabi Saw ini hanya berlaku di saat beliau tak

punya kekuatan? Pengampunan beliau dalam peristiwa fath

‘penaklukkan’ Mekah kepada seluruh orang kafir dan musyrik'(1)

yang selalu mengganggu, menyiksa, mengasingkan, bahkan

menerornya, menjadi bukti konkret atas rapuhnya asumsi

tersebut.

p:86


1- 100 Dari semua orang yang diampuni, hanya 13 orang musyrik yang tidak mendapatkan maaf dari Nabi Saw. Kemudian, dari jumlah itu, delapan orang di antaranya dimaafkan beliau seperti: Wahsyi bin Harb (pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib) dan Hindun (pengunyah hati Hamzah dan provokator perang Uhud). Adapun keempat orang lainnya dijatuhi hukuman mati. Dua di antaranya (Abdullah bin Khathal dan Sharah) akibat kemurtadan mereka. Dua lagi (Huwairis dan budak Abdullah bin Khathal) akibat syair-syairnya terhadap Nabi Saw, yang memicu tersebarnya fitnah keji. Lih., Ibnu Atsir, Tharikh Al-Kamil, jld. 2, hlm. 248-251; Sirah Ibn Hisyam, jld. 2, hlm. 417; dan Furugh-e Abadiyat, jld. 2, hlm. 344.

Dalam ayat lain, Al-Qur’an melarang Muslim dari mengecam

dan memaki orang kafir berikut sesembahannya. Ini agar orang-

orang kafir tidak sampai menistakan kesucian Islam berikut

simbol-simbolnya.

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. Al-An‘am

[6]: 108).

Demikianlah. Uraian seputar sejumlah ayat Al-Qur’an

telah membuktikan doktrinnya menanamkan toleransi dan

kerukunan hidup beragama. Selanjutnya, akan dibahas pola

hidup (sunnah) Nabi Saw dan Imam Ali bin Abi Thalib sekaitan

dengan topik ini, mengingat urgensi peran mereka dan wujud

“Al-Qur'an yang hidup’ itu sendiri.

Sejarah Rasulullah Saw

Persamaan Sosial

Sesuai ayat-ayat Al-Qur‘an, Rasulullah Saw berperilaku baik

dan penuh kasih sayang terhadap orang-orang kafir. Beliau

menganggap seluruh manusia sebagai anak cucu Adam as; semua

Sama-sama berasal dari tanah. Merenungkan asal-usul manusia

bukan hanya berujung pada kesimpulan adanya persamaan

setiap orang, tetapi bahkan tersingkapnya substansi hubungan

kekeluargaan antar manusia dalam konteks penciptaan yang

berawal dari Sang Pencipta. Inilah ladang persemaian kasih

p:87

sayang dan tumbuhnya kecintaan antar sesama yang, tentu saja,

lebih luhur dari sikap toleran dan kerukunan hidup beragama.

Rasulullah Saw bersabda:

Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwa Tuhan kalian

adalah satu dan ayah-ayah kalian juga satu, kalian semua

berasal dari Adam dan Adam dari tanah.(1)

Beliau juga menegaskan bahwa kriteria kemuliaan dan

penghormatan Allah Swt [kepada manusia] adalah nilai

kemanusiaan itu sendiri, jiwa sosial serta berbakti pada sesama.

Seluruh manusia itu keluarga Allah, dan Allah paling

mencintai mereka yang paling banyak memberi manfaat

kepada yang lain.(2)

Seluruh manusia adalah makhluk dan keluarga Allah Swt.

Karenanya, tidak ada perbedaan dan keistimewaan yang satu di

atas yang lain. Hanya yang paling dicintai-Nya adalah orang yang

paling baik dan berguna bagi yang lain.

Membela Kaum Minoritas

Rasulullah Saw berulang kali menasihati kaum Muslim untuk

berlaku arif dan adil terhadap non-Muslim. Beliau berkata:

Barangsiapa berlaku zalim kepada mu’‘Ghid (Ahli Kitab yang

terikat perjanjian dengan Islam), maka di Hari Kiamat kelak,

aku akan jadi pelindungnya (Ahli Kitab) dan musuh bagi

p:88


1- 101 Bahrani: Tuhaf Al-‘Ugil, him. 29.
2- 102 Kulaini: Ushil Al-Kafi, jld. 2, him. 164.

Muslim yang zalim. (1)

Mengganggu Kafir Dzimmi, Mengganggu Nabi

Rasulullah Saw bersabda:

Barangsiapa mengganggu kafir dzimmi, aku akan menjadi

musuhnya; dan siapa saja yang menjadikan aku musuhnya, di

Hari Kiamat kelak aku akan memusuhinya.(2)

Melalui hadis ini, Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa

gangguan apa saja yang diderita Ahli Kitab, oleh siapa pun itu

dilakukan, sama saja dengan menyulut permusuhan dengan

beliau. Lalu, di Hari Kiamat, beliau akan membela pihak yang

dizalimi, sekalipun itu orang Yahudi.

Menghormati Jenazah Yahudi

Suatu hari, Rasulullah Saw duduk bersama sekumpulan sahabat.

Tiba-tiba beliau berdiri saat melihat jenazah seorang Yahudi

diusung ke pemakaman. Para sahabat berkata, “Bukankah itu

jenazah Yahudi?” Beliau menjawab, “Kapan saja kalian melihat

jenazah, berdirilah untuk menghormatinya’.(3)

p:89


1- 103 Disarikan dari Ja’far Subhani: Maboni-e Hukumat-e Eslomi, hlm. 528- 529.
2- 104 Ibid.
3- 105 Ibid.; Shahih Al-Bukhari, jld. 1, hlm. 228.

Piagam Pertama Kebebasan Berakidah

Satu lagi yang jadi kebanggaan Islam adalah penandatangan

perjanjian damai dengan pihak-pihak penentang. Semasa

memerintah, Rasulullah Saw _ berhasil membuat sejumlah

perjanjian damai dengan musuh-musuhnya. Semua_ itu

menjadikan pemerintahan Islam, selain mendapat pajak khusus

dari Ahli Kitab, wajib menjamin hak-hak mereka, baik di

bidang politik, sosial, budaya, keamanan, maupun kebebasan

berakidah. Perjanjian yang pertama kali diteken beliau adalah

perjanjian damai dengan Yahudi Madinah. Pada hemat Houston,

perjanjian ini pada dasarnya merupakan piagam pertama tentang

kebebasan berakidah dalam sejarah umat manusia.(1) Butir-butir

perjanjian itu malah dinilai jauh melampui zamannya. Berikut

akan dikemukakan teks asli perjanjian Rasulullah Saw dengan

umat Nasrani Najran:

Muhammad utusan Tuhan wajib menjaga dan melindungi

nyawa, harta, tanah, akidah, dan tempat ibadah mereka

(Nasrani) dari segala bentuk ancaman. Aman dari gangguan

dan pelecahan serta tanah-tanah mereka tidak akan pernah

dijajah. Selama penduduk Najran setia dengan isi perjanjian,

tak akan ada kekuatan yang menyerang mereka.(2)

p:90


1- 106 Smith, Houston: Madzoheb-e Ensoni, hlm. 78. Sebagian buku ini diter- jemahkan Ali Asghar dengan judul “Eslom az Nazdargoh-e Donesmandon- e Gharb”.
2- 107 Dinukil dari Ja’far Subhani: Maboni-e Hukumat-e Eslomi, hlm. 529.

Sejarah Ali bin Abi Thalib

Point

Sejarah dan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib sarat dengan

seluk beluk pengalamannya dalam menghadapi berbagai musuh

dan pihak penentang, baik sebelum maupun saat memegang

kendali pemerintahan. Pola kehidupan ini kaya akan prinsip

pengambilan sikap terhadap lawan pemikiran.

Prinsip paling utama beliau ialah menjaga prioritas yang-

terpenting (ahamm) dari yang-penting (muhimm), entah

sesuai atau tidak dengan kepentingan pribadi, seperti sikapnya

menanggalkan jubah kekhalifahan demi menjaga tunas Islam

yang masih berusia dini. Lebih dari itu, ia lebih mengedepankan

kerjasama dengan para khalifah. Padahal, karena beroposisi

politis dan berkeyakinan sebagai orang yang paling berhak

atas kekhalifahan, sebagian kalangan mengharapkannya agar

memisahkan diri saja dan membangun kekuatan sendiri.

Sejarah cemerlang Imam Ali kerap menjadi cermin bagi

minoritas yang duduk di pucuk pemerintahan Islam dan

adakalanya menganggap diri mereka paling berhak: cermin

yang merefleksikan semangat kerja sama dan dukungannya bagi

pemerintahan masa itu.

Sejarah banyak mencatat hal-ihwal kemurahan hati dan

toleransi Imam Ali terhadap lawan-lawan dan Ahli Kitab. Agar

tidak melebar ke mana-mana, topik ini hanya akan diulas secara

umum, sebagaimana sebelumnya.

Santun dan Cinta Sesama

Dalam suratnya kepada Malik Asytar, Imam Ali mengimbau

agar selalu menjaga hak-hak setiap orang, berlaku adil, dan

p:91

menunjukkan kecintaan serta kesantunan pada seluruh lapisan

masyarakat, baik Muslim maupun kafir. Berikut petikannya:

Jadikanlah hati Anda penuh kasih, cinta, dan ramah pada

rakyat; janganlah Anda seperti binatang buas yang siap

menerkam mereka, karena mereka itu salah satu dari dua

golongan: saudara Anda dalam agama atau sejenis Anda

dalam ciptaan.(1)

Menghormati Tradisi Minoritas

Menghormati hukum dan tradisi agama lain merupakan salah

satu etika dasar Islam. Umpamanya, Islam melarang perkawinan

dengan muhrim sendiri. Namun, tak seorang Muslim pun yang,

atas dasar hukum Islam, berhak menistakan agama lain, misalnya

Zarathustra, yang membolehkan perkawinan semacam ini.

Penghormatan atas hukum agama lain sedemikian terang dalam

kehidupan para Imam Maksum, bahkan mereka menganggap

orang yang tidak menghormati agama lain sebagai bukan dari

golongannya. Salah satu fakta mengenai penghormatan atas

tradisi agama lain adalah ucapan Imam Ali berikut:

Andai saja aku duduk sebagai hakim, aku akan menghukum

para pengikut Taurat berdasarkan Taurat, para pengikut Injil

berdasarkan Injil, dan para pengikut Zabur berdasarkan

Zabur, serta pengikut Al-Qur’an berdasarkan Al-Qur’an. (2)

p:92


1- 108 Nahj Al-Balaghah, surat 53.
2- 109 Mufid: Al-Irsydad, jld. 1, hlm. 30.

Peduli terhadap Minoritas

Kota Anban kala itu berada di bawah kendali pemerintahan

Imam Ali. Warganya terdiri dari umat Islam dan bangsa Yahudi.

Pasukan Muawiyah pernah menyerang, menjarah barang-barang

berharga, dan merenggut kehormatan seorang perempuan

Yahudi di situ. Imam Ali prihatin mendengar kabar kekejaman

itu seraya mengatakan:

Apabila seorang Muslim mati karena mendengar berita

diculiknya seorang perempuan Yahudi di bawah pemerintahan

Islam, bagiku sungguh pantas mendapatkan pujian, kemulian,

dan balasan (di sisi Allah), daripada mendapat hujatan.(1)

Memenuhi Hak Kaum Miskin Ahli Kitab

Diriwayatkan, Imam Ali berjumpa seorang lelaki tua, lalu ia

bertanya kepada para sahabatnya tentang kondisi orang tua itu.

“Orang Nasrani, jawab para sahabat. Dengan gusar, Imam Ali

berkata tegas:

Bukankah kalian di masa muda pernah memanfaatkan dia

(seperti yang lainnya juga berbakti pada pemerintahan ini),

sampai berusia tua dan tak punya lagi kekuatan?! Pantaskah

kalian mencampakkannya begitu saja?!

p:93


1- 110 Nahj Al-Baldghah, pidato 95. Imam Khomeini, bapak Revolusi Islam Iran, dalam pidato dan wawancaranya acapkali menekankan pentingnya menjaga dan menghormati golongan minoritas. Berkenaan dengannya, ia pernah berkata, “Inilah golongan minoritas; saat harta dan kehormatan seorang perempuan Yahudi dirampas, Imam Ali berkata, Jika manusia mati karena dia, sungguh mulia kematiannya.” (Imam Khomeini: Shahifeh- e Nur, jid. 3, hlm. 81).

Kemudian ia memerintahkan para sahabatnya agar

membayar hak-haknya dari baitul mal ‘kas negara.(1)

Mengantar Yahudi

Suatu hari, Imam Ali berjalan bersama seorang Yahudi menuju

Kufah. Saat akan tiba di Kufah, Yahudi itu menempuh jalan lain,

namun beliau tetap menyertainya. Yahudi itu bertanya pada Imam,

“Bukankah tujuan Anda adalah Kufah?” “Ya, benar” jawab Imam.

Kembali Yahudi itu bertanya, “Lantas mengapa Anda mengikuti

saya?” Imam Ali berkata, “Anda adalah teman seperjalanan saya,

dan saya bermaksud mengantar Anda beberapa langkah.”

Toleran pada Khawarij

Kelompok Khawarij berasal dari pasukan Imam Ali dalam perang

Shiffin, namun mereka membelot dari pasukan pasca peristiwa

Tahkim. Lalu mereka mendirikan sebuah perkampungan di suatu

tempat (Nahrawan). Mereka tak hanya mengkafirkan Imam Ali

lantaran mau menerima prosesi Tahkim, bahkan melancarkan

berbagai serangan propaganda terhadapnya. Umpama, terang-

terangan menentangnya dengan cara datang ke masjid namun

tidak shalat di belakangnya. Seolah belum puas memperlakukan

Imam Ali, mereka acap melontarkan tuduhan keras, slogan keji,

dan marah-marah di tengah shalat.(2)

p:94


1- 111 Hur Amili: Wasa il Al-Syi‘ah, jld. 11, bab 19, “Jihad ‘Aduww’, hadis 1, hlm. 49.
2- 112 Dalam buku-buku sejarah tercatat bahwa saat melihat Imam Ali menunaikan shalat, Ibnu Kawwar (seorang Khawarij) membaca ayat, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” Dengan ayat ini, dia bermaksud mencemooh Imam Ali lantaran menerima perundingan ‘Tahkim’, sehingga hanguslah amal-amalnya. Imam Ali lalu menjawab dengan ayat, “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu” (QS. Al-Rum [30]: 60). Inti ayat ini ialah perintah Allah agar sabar dan terwujudnya janji- janji Ilahi, juga mengingatkan agar tidak bersedih hati dengan perlakuan buruk orang kafir.

Sebaliknya, Imam Ali memilih damai dan bersikap toleran

terhadap mereka. Alih-alih membalas mereka dengan kekerasan,

ia malah menghimbau para sahabatnya untuk menahan diri.

Tidak hanya itu, Imam Ali malah menshalati jenazah orang-

orang Khawarij yang terbunuh. Beliau juga mengizinkan mereka

hadir di masjid untuk berpropaganda terhadap pribadinya serta

membayarkan hak-hak sosial mereka dari kas negara. Imam Ali

menekankan, selama mereka tidak menyerang secara fisik dan

memerangi pemerintahan Islam, ia konsisten untuk bersikap

damai dan toleran terhadap mereka.

Kami tidak melarang kalian beribadah pada Allah di rumah-

rumah-Nya. Kami tidak akan melarang kalian, selama tangan

kalian (tidak mengangkat pedang) ke arah kami. Sungguh

kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian sendiri

yang memulai.(1)

Tidak Shalat di Gereja

Berdasarkan riwayat hidupnya, para Imam dan sebagian khalifah

amat memperhatikan dan menjaga prinsip damai dan toleransi

sesama. Risdlat Al-Huqtiq ‘koleksium pesan-pesan hak dan

p:95


1- 113 Thabari: Tarikh Al-Thabari, jld. 2, hlm. 53.

kewajiban’ cucunda Nabi, Imam Ali Zainal Abidin, serta debat

dan dialog para Imam dengan para penentangnya merupakan

bukti konkret atas prinsip ini.

Dalam buku-buku sejarah, diriwayatkan bahwa suatu hari,

salah seorang khalifah hadir di gereja yang sedang dihadiri para

pengikutnya. Saat tiba waktu shalat, khalifah meminta izin

untuk shalat di luar gereja. Khalifah itu berkata, “Aku khawatir,

setelah shalat dalam gereja, kaum Muslim akan merebut gereja

ini, merubahnya jadi masjid dengan alasan ingin memperoleh

berkah.(1)

Apakah Toleransi Islam itu Empati?

Point

Sebagian filosof-agama Barat seperti: John Hick(2) dan para

pengikutnya,(3) menganggap toleransi tidak dapat dikompromikan

dengan Eksklusivisme agama atau, maksimalnya, toleransi tak

lebih dari sandiwara, kepura-puraan, dan ungkapan empati

belaka.(4) Sementara kalangan yang bersikap bijak menerima

konsep toleransi dalam Islam dengan catatan “sampai batas-

batas tertentu’.(5)

Komentar-komentar pesimistis yang jauh dari kenyataan

ini agaknya tidak perlu ditanggapi, namun kiranya perlu

dikemukakan sejumlah pertanyaan kepada mereka. Apakah

seruan Al-Qur’an untuk berbajik pada orang-orang kafir dan Ahli

Kitab sekadar sandiwara belaka?

p:96


1- 114 Shafar: Changonegi va Ozodi dar Eslom, hlm. 69
2- 115 Legenhausen: “Pluralizm”, dalam Ma‘refat, vol. 22, hlm. 20.
3- 116 Ibid., Kiyon, vol. 28, hlm. 10.
4- 117 Soroush: jurnal Kiyon, vol. 37, hlm. 21.
5- 118 Syabestari: jurnal Kiyon, vol. 28, hlm. 11.

Pembelaan Rasulullah Saw atas hak-hak minoritas di

Hari Kiamat dan penghormatannya terhadap jenazah seorang

Yahudi: apakah semua ini bermotif kepentingan pribadi?

Apakah amanat Imam Ali kepada Malik Asytar untuk berbelas

kasih, membagi cinta, dan santun kepada rakyat (Muslim atau

kafir) hanya kepura-puraan?

Apakah ekspresi keprihatinan dan kesedihan terhadap

derita perempuan Yahudi semata-mata hanyalah pembelaan

diri seorang penguasa? Lalu, bagaimana menjelaskan perlakuan

Imam Ali melayani, mengantar, dan melepas teman perjalanannya

yang berlainan agama?

Pada akhirnya, apakah asas-asas politik dan pemerintahan

sekuler (duniawi) juga tidak menuntut ditumpasnya benih-benih

pemberontakan Khawarij, melarang segenap aktivitas

mereka, dan mencabut hak-haknya atas baitul mal?

Masih banyak rangkaian pertanyaan lain yang akan

memperlemah anggapan di atas. Kalau saja Al-Qur’an, hadis

Nabi Saw, dan riwayat para Imam dikaji sedemikian rupa,

reaksi pesimistis dan skeptisisme seputar konsep toleransi dalam

Islam itu akan segera reda dan tertangani dengan baik.

Kesaksian Pemikir Barat

Berikut sejumlah kesaksian dan testimoni kalangan pemikir

Barat berkaitan dengan topik di atas. Will Durant menulis:

Selama kurun lima abad (sejak abad VII sampai abad XII M),

Islam menjadi pionir dalam hal kekuatan, ketertiban, ekspansi

kekuasaan, etika, estetika, strata sosial, norma kemanusiaan,

p:97

toleransi agama, sastra, kedokteran, dan filsafat.(1)

Dalam kesempatan lain, dia membubuhkan:

Kendati Muhammad [Saw] menyalahkan pengikut agama

Nasrani, ia tetap optimis terhadap mereka dengan membuka

hubungan diplomatik dengan mereka. Bahkan setelah

berperang melawan para pengikut agama Yahudi, ia konsisten

dalam bersikap toleran.(2)

Gustav Le Bon (1841-1931), sejarawan terkemuka, mencatat:

Kekuatan senjata tidak akan menciptakan kemajuan bagi Al-Qur'an.

Lantaran kulturnya, maka di manapun menaklukkan suatu

wilayah, bangsa Arab akan membiarkan rakyat

setempat dengan agamanya, sampai kaum Nasrani sendiri

meninggalkan agama mereka dan berbondong-bondong

masuk Islam. Mereka lebih memilih bahasa Arab ketimbang

bahasa ibu sendiri. Ini karena mereka menyaksikan keadilan

orang-orang yang menaklukkan kotanya, sementara para

penguasa sebelumnya bertindak tiran dan otoriter.(3)

Robertson, dalam bukunya, Biography of Charlequin, berkata:

Hanya orang-orang Muslim yang punya keyakinan begitu

kuat pada agamanya. Mereka juga punya jiwa toleran dan

damai dengan agama-agama lain.(4)

p:98


1- 119 Durant: Torikh-e Tamaddun (‘Ashr-e Imon), jld. 4, hlm. 432.
2- 120 Ibid., hlm. 239.
3- 121 Le Bon, Gustav: Tamaddun-e Eslom va Gharb, jld. 1, him. 141-146.
4- 122 Ibid.

Dalam bukunya, History of the Crusades, Michel Michaud

juga berkeyakinan:

Ketika Muslimin (di masa Khalifah Kedua) menaklukkan

Jerusalem, tak satu pun orang Nasrani yang teraniaya.

Sebaliknya, manakala orang-orang Nasrani kembali

merebut kota ini, dengan kejam mereka membunuhi semua

orang Muslim. Demikian juga dengan orang-orang Yahudi

saat datang ke kota ini; mereka membakar hidup-hidup

seluruh penduduknya ... Aku bersumpah, kerukunan dan

saling menghormati antar agama merupakan lambang

perikemanusiaan dan kasih sayang. Kaum Kristiani harus

belajar dari Muslimin.(1)

Dalam karyanya, Islam: Impressions and Studies, Henri

de Castries, penulis asal Perancis, mengatakan bahwa generasi

Yahudi itu terpelihara sesungguhnya berkat belas kasih

pemerintahan Islam.

Jika keturunan Yahudi di dunia ini sampai sekarang masih

eksis, itu semata-mata berkat pengaruh kuat pemerintahan

Islam. Pada Abad Pertengahan, pemerintahan Islam

menyelamatkan mereka dari kaum Nasrani yang haus darah

... Sementara itu, kalau saja orang-orang Nasrani masih punya

kekuatan dan menguasai dunia ini, niscaya tak akan ada lagi

keturunan Yahudi yang tersisa di muka bumi ini. (2)

p:99


1- 123 Ibid.
2- 124 Eslom va Huqugq Tabi’i-e Enson, hlm. 49. Perlu juga dicatat, Gereja menuduh kaum Yahudi sebagai pembunuh Nabi Isa as pada upacara Misa. Mereka juga mengutuk perbuatan orang-orang Yahudi menyebut mereka sebagai penghianat. Konsili Vatikan II pada 1960 mengapus elemen itu dari upacara Misa.

Demikian Adam Metz, penulis ternama Barat, dalam

Civilization in the Fourth Century of the Hegira, mengatakan:

Seluruh gereja dan biara di masa pemerintahan Islam

aktif seolah-olah tinggal di luar wilayah kedaulatan Islam,

sepertinya mereka bagian dari negeri lain. Keadaan ini dengan

sendiri menciptakan suasana toleransi, sementara Eropa di

Abad Pertengahan belum mengenal itu.(1)

Sebenarnya masih banyak lagi kesaksian semacam

ini. Namun kiranya cukup sampai di sini, dan para

pembaca bisa langsung menyimak kembali buku-buku

sejarah yang mengulas persoalan ini.

p:100


1- 125 Shafar: Cangonegi va Ozodi dar Eslom, him. 78.

Bab 3 Memahami Al-Quran: Kerancuan atau Kegagalan

Point

p:101

p:102

Pada bab pertama telah dikemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an

mematahkan doktrin Pluralisme. Semangat objektifitas,

netralitas, dan upaya merenungkan sekilas saja isi rangkaian

ayat yang dikutip akan menghasilkan kesimpulan: tak ada

Pluralisme dalam Islam. Namun demikian, dalam Al-Qur’an,

terdapat pula sejumlah ayat yang menyiratkan banyaknya

syariat agama, pembenaran atas keimanan Ahli Kitab, dan

mengangkat mereka orang-orang saleh yang dijanjikan

pahala dan keselamatan dari azab atau hukuman.

Kaum Pluralis, sengaja atau tidak, menggunakan ayat-ayat

(yang menjelaskan kekeliruan Pluralisme) ini justru untuk

melegitimasi pandangan dan klaimnya. Hanya mereka melakukan

kekeliruan sangat besar; yakni tidak menempuh metode tafsir

Al-Qur’an yang semestinya. Berikut sejumlah perkara yang men-

jadi kasus kekeliruan dimaksud:(1)

i. Kandungan dan sebab turunnya ayat. Dalam rangka me-

nafsirkan, kaum Pluralis mengisolasi sebuah ayat, itu pun

secara tekstual, tanpa memperhatikan ayat sebelum

maupun sesudahnya.

ii. Keseluruhan isi Al-Quran. Al-Qur'an merupakan kitab suci

yang diwahyukan Allah Swt secara berangsur-angsur selama

23 tahun, secara sistematis (berdasarkan komposisi ayatay-

atnya),(2) dan utuh (tidak ada inkonsistensi). (3) Dengan

p:103


1- 126 Selengkapnya ruj. M. Muthahhari: Asno’ bo Qur’on, jld. 1, hlm. 9-43; Jawadi Amuli: Tafsir Maudhu‘tjid. 1, “Pendahuluan”, Bab I dan II.
2- 127 (Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dan sisi (Allah) Yang Maha Bijak lagi Maha Tahu (QS. Hud [11]: 1).
3- 128 Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Kalau kiranya Al- Qur’an itu bukan dan sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. Al-Nisa’ [4]: 82).

demikian, sebuah ayat harus ditafsirkan dalam konteks

keseluruhan isi Al-Qur’an (yang lebih dari 6000 ayat), dengan

segenap relasi yang menyertainya, baik dari segi kekhasan,

kemutlakan, mugayyad, nésikh mansukh-nya, dan lain-lain.

Karena itu, kekaburan dan ketidakjelasan makna suatu ayat

akan teratasi secara kontekstual dengan merujuk ayat-ayat

lain. Artinya, pertama-tama Al-Quran harus ditafsirkan juga

dengan Al-Quran, karena “Al-Qur’an saling menafsirkan satu

ayat dengan lainnya.’

Misalnya Al-Qur’an, pada awalnya, tidak lantas

mengharamkan minuman keras, tetapi malah mengatakan

kalau minuman keras mendatangkan rezeki yang baik.(1)

Lalu pada tahap kedua, Al-Qur’'an mengemukakan bahwa

dosa [minun-minuman keras] lebih besar dari manfaatnya.(2)

Kemudian, pada tahap ketiga, ia mengharamkan minuman

keras [bila diminum] dalam keadaan shalat. Setelah melewati

ketiga tahap ini, Allah Swt memberlakukan hukum mutlak;

bahwa minuman keras itu haram.(3)

p:104


1- 129 Dan darn buah korma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan nzki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan (QS. Al-Nahl [16]: 67).
2- 130 Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dan manfaatnya.” Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir (QS. Al-Baqarah [2]: 219).
3- 131 Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. Al-Maidah [5]: 90).

iii. Juru tafsir yang sesungguhnya. Ini prinsip ketiga: jika

ketidakjelasan makna sebuah ayat tidak dapat ditangani

lewat penafsiran, maka pada tahap kedua, seseorang harus

merujuk pada juru tafsir yang hakiki, yakni hadis Rasul

Saw dan riwayat para imam suci, karena dalam Al-Qur’an

memang ada serangkaian ayat mutasydabih (tidak jelas),

makna batin bahkan lapisan yang berlipat-lipat.(1) Al-Qur’an

menganjurkan untuk menggali kejelasan makna, inti, dan

realitas batin dirinya lewat para Imam:

Tak ada yang menyentuhnya (maknanya) kecuali orang-

orang yang disucikan. (QS. Al-Waqi‘ah [56]: 79).

Sebagaimana telah dijelaskan, kaum Pluralis berusaha,

dengan mengangkut pendapat mereka ke dalam agama,

membangun argumentasi dan bukti apa saja yang berasal dari

Al-Qur’an. Langkah awal yang mereka tempuh adalah merujuk

sejumlah ayat. Namun, agaknya telaah mereka terhadap esensi

agama dan teks suci dilaksanakan dengan mengabaikan kaidah,

p:105


1- 132 Dia-lah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (ist) nya ada ayat-ayat muhkamat, ittulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat- ayat yang mutasyabihat danpadanya untuk menimbulkan fitnah demi mencan-can takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwiinya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya, dan mereka berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sist Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal (QS. Ali Imran [3]: 7).

tujuan, dan metode tafsir. Untuk itu, pembahasan kali ini akan

diorientasikan untuk menganalisis argumentasi mereka.

Argumentasi I: Islam sebagai Kepasrahan Total

Pokok pemikiran Pluralisme bertolak dari hakikat agama dan

inti Islam yang diinginkan Tuhan, yaitu keadilan dan, utamanya,

kepasrahan, dan penyerahan diri serta pemujaan terhadap Dzat

yang Mahabenar. Namun, sekarang, semua itu telah menjelma

dalam institusi agama tertentu seperti: Yahudi, Nasrani, dan

Islam, tanpa mempengaruhi hakikat dan inti tersebut.

Penganut Pluralisme meyakini bahwa, dalam pandangan

Al-Qur’an, Islam bermakna umum, yakni kepasrahan total dan

penyerahan diri sepenuhnya pada Tuhan. Ini mencakup seluruh

agama, khususnya agama-agama samawi. Konsekuensinya,

keislaman tidak terbatas pada umat dan agama Islam, tetapi

juga berlaku pada seluruh pengikut agama lain. Mereka berdalil

dengan ayat di bawah ini, manakala Nabi Ibrahim as memohon

kepada Allah Swt agar umat dan keturunannya dianugerahi Islam

yang hakiki:

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua muslimain (orang

yang tunduk patuh) kepada Engkau dan (jadikanlah) di

antara anak cucu kami umat muslimah (yang tunduk patuh)

kepada Engkau. (QS. Al-Baqarah [2]: 128).

p:106

Nabi Musa as juga menyebut umatnya sebagai Muslim:

Berkata Musa, “Hai kaumku, jika kamu beriman

kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja,

jika kamu benar-benar muslimin (orang yang berserah

din)” (QS. Yunus [10]: 28).

Sekaitan dengan dua ayat di atas, Bazargan menulis:

Al-Qur’an berbeda dengan kita yang membatasi Islam dan

keislaman hanya pada kita sendiri. Bukankah para nabi

berulang kali menyebut umat mereka sebagai Muslim? Jadi,

bagaimana mungkin di sisi Tuhan hanya Islam yang diklaim

sebagai agama keselamatan akhir zaman?, sementara seluruh

nabi dan kitab mereka mengagungkan serta menekankan hal

itu?(1)

Kata Islam juga dipergunakan Al-Qur’an dengan aksentu-

asi yang khas, seperti dalam surah Ali Imran:

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali

tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat

termasuk orang-orang yang rugi (QS. Ali Imran [3]: 85).

Hanya ayat terakhir ini tampak sekali tidak mendukung klaim

kaum Pluralis. Namun, beberapa dari mereka menjusfikasinya

p:107


1- 133 Bazargan: Din va Tamaddun, him. 52. Perlu juga diketahui, dia melandasi klaim-klaimnya dengan Al-Dzariyat [51]: 26, Yunus [10]: 72, Ali Imran [3]: 145, dan Al-Nahl [16]: 45. Rujuk juga Qur’on va Masihiyon.

dengan menambah dalil lain dari Al-Qur’an. Seraya itu, mereka

menyodorkan interpretasi yang mendukung pandangannya dan

menafsirkan Islam sebagai penyerahan diri sepenuhnya (dalam

terminologi mereka, Eslom-e Voge‘i: Islam Otentik). Soroush

menyatakan:

Kalau merujuk tafsir Al-Mizan karya Allamah Thabathabai,

Anda akan menjumpai bahwa Allamah memaknai Islam

persis dengan makna Eslom-e Voge'i yang telah kami singgung.

Allamah juga mengatakan bahwa maksudnya adalah hakikat

penyerahan diri total kepada Allah.(1)

Kemudian, untuk memperkuat penafsirannya, Soroush

mengemukakan riwayat dari Imam Ali, “Islam itu penyerahan

diri’.(2) Entah benar atau tidak pendapat itu berasal dari Allamah

Thabathabaii akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah

Islam (QS. Ali Imran [3]: 19).

Sejumlah pihak memaknai Islam sesuai ayat di atas ini,

sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, yakni “penyerahan diri

sepenuhnya’. Dari ayat ini juga mereka berusaha menjustifikasi

kebenaran agama lain. Khuramshahi mengatakan bahwa Islam

merupakan penyerahan diri sepenuhnya (taslim mutldq) seraya

mengemukakan penafsiran sejumlah ahli tafsir:

p:108


1- 134 Soroush: Farbehtar az Ideolozhi, hlm. 336. Namun, perlu juga diketahui, penafsiran Allamah Thabathaba’ tentang Islam berkenaan dengan Al-Baqgarah [2]: 19, bukan dengan ayat di atas.
2- 135 Ibid., hlm. 337.

Sebagian dari ahli tafsir seperti: Syaikh Thusi, Zamakhsyari,

Thabarsi (dalam Jawami’ Al-Jami’), Baydhawi, juga sejumlah

mufassir kontemporer seperti: Jamaluddin Qasimi dan Jawad

Mugniyah, mengatakan bahwa makna Islam dalam ayat ini

bukanlah agama Muhammadi, tetapi Islam Ibrahimi, yakni

ketauhidan dan penyerahan diri kepada Allah Swt.(1)

Tinjauan Kritis

Point

Berikut beberapa poin penting untuk menganalisis argumentasi

pertama Pluralisme.

Eksklusivisme dalam Perspektif Islam

Tak diragukan lagi, islam secara etimologis bermakna penyerahan

diri (taslim) dan ketundukan (khudi‘), namun yang lebih penting

dari itu ialah juga mencermati konteks penggunaan kata tersebut

dalam Al-Qur’an. Merujuk himpunan ayat yang memuat ‘islam’

dan derivasinya,(2) makna kata ini hanya memiliki tiga alternatif:

a. Ketundukan dalam Tata Cipta

Makna Islam yang pertama kali digunakan Alquran

adalah penyerahan diri (taslim) dalam arti ketundukan dan

keterpengaruhan determinan makhluk di bawah kekuatan

p:109


1- 136 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 542; Soroush: Shirotho-ye Mustaqim, hlm. 32; Tsaqafi: harian Hamsyahn, 21/2/1379 HS, hlm. 9.
2- 137 Dalam Al-Qur’an, kata islam’ dalam bentuk Mashdar diungkapkan sebanyak delapan kali, ism fa’il (muslimin, muslimun, muslim, muslimah, dan muslimat) 44 kali, dan ft’il (aslama, aslamtu, aslamtum, aslamna, aslami, dll.) 20 kali.

tindakan Tuhan, seperti ayat di bawah ini:

Kepada-Nyalah aslama (menyerahkan diri) segala apa yang

di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa,

dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan (QS. Ali

Imran [3]: 83).

b. Penyerahan Diri pada Allah

Banyak sekali ayat Al-Qur'an yang mengungkapkan “islam”

dengan makna “penyerahan dan kepasrahan diri kepada

Allah Swt”. “Islam” yang dikemukakan para nabi sebelum

Nabi Muhammad Saw juga bermakna demikian itu.

c. Agama Islam

Sejumlah ayat menegaskan bahwa kata “islam” bukan

bermakna seluruh agama langit dan apapun penyerahan diri

pada Allah Swt, melainkan syariat khusus yang dibawa

dan disampaikan Nabi Muhammad Saw.

Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan

telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai

Islam itu sebagai agama ( din) bagimu (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Ayat ini diwahyukan di Gadir Khum dalam konteks

mengenalkan washi dan pemimpin pasca Nabi Saw. Selain itu,

ayat ini juga menyebut Islam sebagai agama Muhammad Saw.

p:110

Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Kitab

dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau)

masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya

mereka telah mendapat petunjuk (QS. Ali Imran [3]: 20).

Kepada kaum Yahudi, Nasrani (yang diklaim kaum Pluralis

sebagai pengikut Islam hakiki) dan musyrik, ayat ini menyerukan,

“Masuklah kalian pada agama Islam, agar pintu-pintu petunjuk

terbuka bagi kalian.” Selain itu, kata islam yang termaktub

dalam ayat ini bukan sekedar bermakna penyerahan diri pada

Allah Swt—karena mereka dan kaum Pluralis juga mengklaim

dirinya telah menyerahkan diri kepada Tuhan—tetapi bermakna

penerimaan dan keimanan kepada agama Islam. Dalam pada

itu, juga ada puluhan ayat lain yang mencantumkan kata “islam”

dalam makna syariat Islam.

Banyak dan beragamnya makna “islam” dalam Al-Quran

memicu kesimpulan bahwa kata ini, sesuai kaidah bahasa dan

tafsir, terlampau jauh untuk dimaknai sebagai Eksklusivisme,

selain pula tidak semata-mata menafsirkannya sebagai

penyerahan diri secara total dan hanya agama tertentu, tetapi

upaya menafsirkan atau memaknainya harus benar-benar cermat,

seraya memperhatikan ayat sebelum dan sesudahnya, juga bukti-

bukti yang ada. Sayangnya, kaidah-kaidah itu acapkali dipandang

sebelah mata oleh kaum Pluralis yang ternyata eksklusif dalam

menafsirkan ayat Al-Qur’an dan hanya puas dengan sepenggal

atau satu ayat saja. Mereka juga hanya bersandar pada makna

harfiah, tanpa memperhatikan konteks dan relasinya dengan

ayat yang lain.

p:111

Koherensi Islam-nya Umat Terdahulu dengan Satunya Jalan yang Lurus

Al-Qur’an berulang kali menyebut umat para nabi sebelum

agama Islam dengan istilah ‘Muslim’ atau ‘Muslimin. Tentunya

ini berdasarkan kebenaran otentik agama-agama terdahulu yang

disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing. Maksudnya,

substansi agama adalah penyerahan dan kepasrahan diri kepada

Allah Swt, dan ini ada di kalbu umat-umat terdahulu dengan

mengimani para nabi di masanya. Jadi, agama-agama itu,

menurut pandangan ini, adalah realitas yang satu.(1)

Karena itu, dapat dipastikan bahwa Al-Qur’an menyebut

umat terdahulu sebagai ‘Muslim. Namun, poin terpenting di

sini, resistensi dan kontinuitas kebenaran agama-agama mereka

akan teguh berkat kedatangan agama Islam. Poin inilah yang tak

tersentuh Bazargan dalam ayat-ayat yang dijadikan acuannya.

Selain itu, terdapat sejumlah ayat lain (pada bab sebelumnya)

yang justru menegaskan sebaliknya. Adapun ihwal penghormatan

dan peneguhan Al-Quran terhadap kebenaran Ahli Kitab dengan

datangnya agama Islam, akan dibahas secara terinci pada uraian

berikutnya.

Definitifnya Bentuk Kata Islam

Alih-alih sebagai bukti pembenaran atas Pluralisme, ayat terakhir

dalam argumentasi Pluralisme di atas, yakni “Sesungguhnya

agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah islam” (QS. Ali Imran [3]: 19),

merupakan bukti konkret atas kekeliruan Pluralisme-nya

p:112


1- 138 Thabathabai: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 3, him. 121-122.

Abdul Karim Soroush. Karena, secara harfiah, kata islam dalam

ayat ini berbentuk definitif yang diimbuhi artikel definitif alif-

lam marrifah (al-: al-islam). Artikel ini mendefinisikan kata islam

(al-islaam) dalam ayat sebagai Islam dalam makna tertentu, yakni

agama Islam. Dengan kata lain, makna yang justru tampak dari

kata al-islam dalam ayat itu bukanlah sekadar penyerahan dan

kepasrahan diri total, tetapi identik dengan agama dan syariat

khas Nabi Muhammad Saw, karena konteks (siyaq) ayat itu

menerangkan hashr (pembatasan makna: hanya pada agama

Islam).(1)

Seperti juga dalam argumentasi Soroush, bentuk nakirah

(bentuk indefinitif: tanpa artikel al-) pada frasa shirdt mustaqim

‘suatu jalan yang lurus’ diacu langsung sebagai premis dasar

untuk menarik konklusi “banyaknya jalan kebenaran’. Namun,

Ali Imran [3]: 19 di atas menegaskan bahwa pengimbuhan artikel

al- pada kata al-islam bermakna identifikasi, definisi, penentuan,

dan menunjukkan ajaran tertentu. Hanya dia, entah sadar atau

tidak, sama sekali tidak memperhatikan fungsi alif-lam (al-)

ini dalam ayat tersebut. Sedangkan, tatkala shiradt mustaqim

dalam sejumlah ayat disebutkan tanpa alif-lam (al-), segera dia

menangkapnya untuk mengisi inti argumentasinya atas klaim

Pluralisme!

p:113


1- 139 Berkenaan dengan maksud ayat di atas, Muhammad Taqi Ja’fari mengatakan, “Kata al-islam bukan dalam bentuk indefinitif (nakirah), karena ayat tersebut mengandung pembatasan dan pengkhususan ... Maka itu, maksud dari al-islam adalah Islam Muhammadi.” Lih., Naqd va Nadhar, vol. 3-4, hlm. 328.

Ayat Sebelumnya

Kesimpulan yang sama akan diperoleh kalau saja ayat sebelumnya

juga dipertimbangkan. Jelasnya, ayat-sebelum itu mempertegas

pembatasan (hashr) makna islam dalam Ali Imran [3]: 85 hanya

pada agama Nabi Muhammad Saw.

Dalam ayat-ayat sebelum Ali Imran [3]: 85, Allah Swt

menjelaskan ihwal pengambilan sumpah [setia] dari umat

terdahulu untuk mengikuti para nabi, termasuk Nabi Muhammad

Saw, juga mengecam Ahli Kitab lantaran menyangkal kenabian

beliau hingga dihukum sebagai golongan fasik.(1) Demikian pula

ayat-ayat lanjutannya, berdasarkan asas kesatuan, kohesi, dan

koherensi, mendefinisikan kata al-Islam sebagai agama Nabi

Muhammad Saw, karena jika kata ini dimaknai secara umum,

p:114


1- 140 Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dan para nabi, “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakut.” Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” Barangsiapa berpaling sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepadaNya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dan Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan din.” (QS. Ali Imran [3]: 81-84).

abstrak, dan indefinitif hingga mencakup agama-agama lain,

maka akan berkontradiksi dengan ayat-ayat sebelumnya.

Ayat Berikutnya

Dengan cara mencomot sepenggal ayat, membuang unsur-unsur

lain di dalamnya, dan mengabaikan ayat berikutnya,(1) kaum

Pluralis pada dasarnya telah mendistorsi kalam Ilahi, karena

ayat sesudahnya mengecam Ahli Kitab, juga mengingatkan ihwal

pengingkaran mereka terhadap Islam atas dasar kezaliman,

kedengkian, dan setelah datangnya pengetahuan (kepada

mereka). Itulah sebabnya Al-Qur’an menganggap mereka telah

menolak ayat-ayat Tuhan dan pantas diganjar balasan dari-Nya.

Selain itu, ia menandaskan bahwa satu-satunya jalan petunjuk

mereka hanyalah dengan menerima agama Islam.

Dengan kata lain, kendati permulaan ayat dengan sendirinya

dapat bersifat mutlak dan mengungkapkan makna umum

Islam, namun kandungan ayat-ayat sesudahnya—khususnya

p:115


1- 141 Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah dibert Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diben Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau) masuk Islam.” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 19-20) Sejelasnya ruj. Thabathaba'i: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, jld.3, hlm.121-16.

pengulangan kata islam dalam aksentuasi: Jika mereka masuk

islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk—

merupakan penafsir dan pembatas makna di permulaan ayat

itu. Kandungan ayat-ayat ini juga menjelaskan poin penting

bahwa agama itu penyerahan diri secara total yang, di setiap

masa, muncul dalam manifestasi tertentu. Umpama, di masa

Nabi Muhammad Saw, manifestasinya adalah keimanan dan

penyerahan diri total kepada agama beliau.

Adapun mengenai riwayat Imam Ali bin Abi Thalib yang

dirujuk Soroush untuk menafsirkan Islam sebagai penyerahan

diri, perlu ditegaskan bahwa dalam riwayat itu, Imam Ali hendak

menjelaskan hakikat Islam yang meliputi substansi berbagai

agama, yaitu penyerahan diri secara murni (taslim mahdh) kepada

Allah Swt. Konsekuensi penyerahan ini adalah iman kepada para

utusan Tuhan di setiap zaman. Atau, dengan riwayat itu, Imam

Ali dalam rangka menjelaskan agama Islam melalui konsekuensi

itu. Artinya, agama Islam mengharuskan ketundukan manusia

dan penyerahan diri secara penuh pada Sang Pencipta.

Adapun, apakah dalam riwayat ini, Imam Ali hendak

menggeneralisasi Islam ke agama apapun sehingga dianggap

sama sejajar kebenaran semuanya dengan Islam: ini jelas-

jelas bertentangan dengan teks riwayat. Sementara berbagai

bukti dan indikasi lain menetapkan bahwa dalam pandangan

Imam Ali, agama Islam itu sempurna dan nasikh (penghapus

agama sebelumnya). Ini, sebagaimana sejumlah riwayat yang

dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, menjelaskan bahwa

Islam itu agama pilihan Tuhan, dan agama-agama lain inferior

di hadapan Islam. Semua riwayat itu tentu saja tidak lagi

p:116

menguntungkan interpretasi versi kaum Pluralis.(1) Lain halnya

jika, wa al-‘tyadz bi-Allah, pandangan Imam Ali mengalami

evolusi dan dinamika, hingga berimplikasi layaknya karakter

pengetahuan manusia: yakni tidak maksum dan bisa salah!(2)

Mendistorsi Pandangan Ahli Tafsir

Dalam rangka menambah kekuatan klaimnya, menampilkan

pahamnya dalam busana agama, dan merujukkannya ke ayat-ayat

Al-Qur’an, kaum Pluralis tak segan-segan mendistorsi pandangan

para mufassir besar. Mereka merasa puas hanya dengan mengutip

penggalan-penggalan dari keterangan ahli tafsir seputar makna

Islam sebagai penyerahan diri secara total, dan mengesankan

bahwa para ahli tafsir sendiri mengakui kebenaran agama-agama

yang lain.

Kaum Pluralis agaknya, sengaja atau lalai, tidak memahami

maksud dari penafsiran kalangan ahli tafsir. Yakni, dalam definisi

agama telah diterangkan bahwa substansi agama hanyalah satu,

yaitu penyerahan diri serta ketundukan di hadapan Tuhan.

Sebenarnya, dengan definisi ini, kalangan ahli tafsir ingin

mengingatkan bahwa substansi agama Islam adalah penyerahan

p:117


1- 142 Ibid., him. 126.
2- 143 Berdasarkan teori Qabdh va Bast-e Te’orik-e Syari‘at, Soroush menarik konklusi umum, bahwa_ segenap pengetahuan manusia mengalami perubahan (taghyir) dan evolusi (tatavuvur). Jika konklusi ini juga diberlakukan pada pengetahuan Imam Ali, sebagaimana sifat keumumannya, maka pengetahuannya juga berubah-ubah dan berevolusi. Implikasinya, Imam Ali tidak maksum dan mengetahuannya bisa keliru. Implikasi ini, oleh penulis, dianggap keliru karena inkonsistensinya dengan keyakinan Soroush sendiri yang, sebagai orang Syi’ah, meyakini kemaksuman Imam Ali (peny.).

diri (taslim) yang sebelumnya juga sudah terkandung dalam

agama-agama samawi. Namun, segera setelah mengemukakan

definisi ini, mereka menyatakan bahwa sikap menyerahkan diri

kepada Tuhan memiliki bentuk tertentu di setiap masa.

Hakikat penyerahan diri di masa Nabi Saw adalah memeluk

agama yang dibawanya. Dalam hal ini, hakikat Islam tidak akan

terwujud pada diri siapa pun yang mengingkari beliau. Karena

itu, para ahli tafsir menilai Ahli Kitab sebagai kafir dan pantas

diazab Tuhan.

Berikut adalah ucapan sejumlah ahli tafsir untuk membuk-

tikan kekeliruan klaim dan kesalahpahaman kaum Pluralis.

1. Syaikh Thusi (w. 460 H)

Seperti ahli tafsir yang lain, Syaikh Thusi meyakini bahwa

hakikat dan substansi agama Tuhan itu satu; yakni penyerahan

diri secara total. Ia juga menyebutkan Islam hakiki sebagai

penyerahan diri secara mutlak (taslim mahdh) kepada Allah

Swt. Namun ia segera mengingatkan, tercapainya hakikat

Islam di masa Rasulullah Saw amat bergantung pada iman

kepada beliau. Dengan kata lain, perwujudan Islam Ibrahimi

ialah melalui Islam Muhammadi.

Islam berarti kepasrahan jiwa di hadapan setiap apa yang

dibawa Nabi Saw.(1)

Juga dalam menafsirkan ayat-ayat setelahnya, Syaikh Thusi

menekankan bahwa Ahli Kitab hanya akan mendapat petunjuk

p:118


1- 144 Thusi: Tafsir Al-Tibyan, jld. 2, hlm. 418.

dengan memeluk Islam Muhammadi,(1) dan siapa saja yang

tidak melakukan demikian dihukumi sebagai kafir.(2)

2. Zamakhsyari (w. 144 M)

Dengan menimbang ayat sebelumnya, Zamakhsyari me-

nafsirkan makna Islam pada ayat di atas sebagai keadilan

dan tauhid.(3) la merujuk ayat itu seraya mengkritik doktrin

Asy’ariyah yang meyakini determinisme, kemungkinan Tuhan

dapat diindera mata kepala, dan mengingkari prinsip ke-

adilan Tuhan. Kemudian, atas dasar ini pula Zamakhsyari

mengkritik islamnya Ahli Kitab lantaran telah menyembah

tiga atau dua tuhan.

Setelah mengurai ayat tersebut, juga ayat-ayat lainnya,

Zamakhsyari yakin bahwa Ahli Kitab terasing dari hidayah

dan Islam hakiki. Lalu ia menegaskan bahwa motif penolakan

mereka terhadap Islam Muhammadi adalah ambisi

kekuasaan, padahal mereka sendiri mengakui, kebenaran

agama Islam tak diragukan lagi.(4)

3. Syaikh Thabarsi (w. 548 H)

Dalam karya tafsirnya, Majma‘ Al-Baydn, sebagaimana

Syaikh Thusi, Thabarsi mengatakan bahwa konsekuensi

Islam hakiki adalah mengikrarkan iman kepada Islam

p:119


1- 145 Ibid., hlm. 420, “Dan itu artinya, mereka mendapat petunjuk ke jalan kebenaran. Sedangkan maksud Jika mereka berpaling’ ialah mereka kafir dan tidak menerima serta berpaling darinya.”
2- 146 Ibid., him. 420.
3- 147 Zamakhsyari: Al-KasysyG@f, jld. 1, hlm. 345.
4- 148 Ibid., hlm. 347.

Muhammadi.(1)

Sebaliknya, ia memandang kafir siapa pun yang mengingkarinya.(2)

Begitu pula dalam karya tafsirnya yang lain, Jawdmi‘ Al-

Jami’, yang dengan logis, sebagaimana Zamakhsyari, Thabarsi

memandang kafir Ahli Kitab lantaran mengingkari kenabian

Muhammad Saw. Dan berkenaan dengan Ali Imran [3]: 20,

ia menjelaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama dan

sebuah prinsip yang harus diimani oleh seluruh manusia.(3)

4. Baydawi (w. 791 H)

Setelah memaknai Islam sebagai penyerahan diri, Baydhawi

dengan tegas mengatakan bahwa tak ada agama yang

diridhai Tuhan kecuali Islam dalam pengertian: tauhid

dan berpegang teguh pada ajaran Nabi Muhammad Saw. la

kembali menyatakan penegasan ini dalam menafsirkan Al-

Baqarah [2]: 41, “... dan berimanlah kamu dengan apa yang

telah Aku turunkan (Al-Qur’an) yang membenarkan apa

yang ada padamu (Taurat)’? Seraya menukil sebuah hadis,

Baydawi juga memastikan ihwal tidak adanya kontradiksi

antara mengikuti agama Nabi Musa as dan mengikuti agama

Nabi Muhammad Saw. Karena, kabar kemunculan Islam

dan keharusan mengikutinya merupakan bagian dari ajaran

Nabi Musa as.(4) Dengan demikian, rangkaian ayat yang

menunjukkan universalitas atau keutamaan agama Nabi

Musa as atas seluruh umat hanya berlaku sebatas masanya,

p:120


1- 149 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 2, him. 420.
2- 150 Ibid., jld. 2, hlm. 420-422.
3- 151 Thabarsi: Tafsir Jawami‘ AlJami‘, jld. 1, hlm. 164.
4- 152 Baydhawi: Tafsir Baydhdwi, jld. 1, hlm. 85.

seperti ayat “Sesungguhnya Aku telah mengutamakan kalian

di atas alam semesta”.(1)

5. Muhammad Jamaluddin Qasimi (w. 1332 H)

Merujuk Ali Imran [3]: 19, Qasimi menyebut Islam sebagai

agama tauhid, namun bukan tauhid secara mutlak (tauhid

apapun) sehingga mencakup agama-agama lain, melainkan

tauhid yang khusus pada ketundukan dan ikrar terhadap

syariat Muhammad Saw.(2)

Demikian pula dengan ayat lain: Qasimi menegaskan

ihwal janji kemunculan Islam dalam agama-agama terdahulu

dan kemestian Ahli Kitab memeluk Islam agar cahaya hidayah

terus membimbing mereka.

6. Muhammad Jawad Mughniyah (w. 1979 H)

Sebagaimana ahli tafsir lain, Muhammad Jawad Mughniyah

memaknai Islam sebagai penyerahan diri secara total.

Dengan demikian, semua umat sebelum Nabi Saw tergolong

sebagai penganut Islam hakiki. Hanya ia menegaskan bahwa

hakikat Islam Ibrahimi hanya terealisasi dengan memeluk

Islam Muhammadi. Adapun mengenai ayat “Jika mereka

masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan

petunjuk”, Mughniyah mengatakan bahwa selain agama

p:121


1- 153 Ibid., hlm. 60.
2- 154 Qasimi: Mahasin Al-Ta’wil, jld. 4, hlm. 811, “Tidak ada agama yang direstui Allah Swt kecuali Islam, yaitu agama tauhid, dan komitmen pada syariatnya.”

Islam adalah kekafiran dan kesesatan.(1)

7. Allamah Thabathaba’i (w. 1981 M)

Telah dikemukakan bagaimana Soroush dan tokoh

Pluralis lainnya(2) berusaha, selain memaknai Islam sebagai

penyerahan diri secara total, juga menyatakan bahwa peng-

anut agama yang lain juga berserah diri, mencapai sub-

stansi agama dan, pada gilirannya, melangkah di jalan yang

lurus. Untuk melegitimasi pemaknaan dan interpretasinya

ini, mereka lantas mengemukakan definisi Islam menurut

Allamah Thabathaba’i.

Namun, sekilas saja menelaah tafsir Al-Mizdn dan karya-

karyanya yang lain, kekeliruan penisbatan interpretasi

tersebut kepada Allamah Thabathaba’i akan nampak

jelas. Makna Islam dalam ayat “Sesungguhnya agama yang

(diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam’, yakni penyerahan diri

total, merupakan substansi seluruh agama Ilahi. Namun,

ia membubuhkan catatan tentang konsekuensinya: bahwa

hakikat penyerahan diri ini mungkin diwujudkan hanya

dengan beriman kepada Islam Muhammadi. Dengan

demikian, generalisasi Islam menjadi penyerahan diri

secara total tidaklah mencakup Ahli Kitab, karena setelah

mengetahui kenabian Nabi Muhammad Saw, mereka malah

menentang dan tenggelam dalam kekafiran.(3)

p:122


1- 155 Mughniyah: Tafsir Al-Kasytf, jid. 2, hlm. 30, “Tidak ada sesuatu pun selain agama Islam kecuali kekafiran dan kesesatan.”
2- 156 Tsaqafi: harian Hamsyahn, 21/2/1379 HS, him. 9.
3- 157 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld 3, hlm. 121, “Adapun perselisihan Ahli Kitab, baik Yahudi dan Nasrani, dalam agama—padahal Kitab Suci Tuhan telah diturunkan ke tengah mereka dan Allah telah menjelaskan agama-Nya, yaitu Islam—bukan lantaran kebodohan mereka terhadap kenyataan masalah dan keberadaan agama sebagai hakikat yang satu. Mereka itu justru tahu betul demikian. Yang membuat mereka berselisih demikian ialah kezaliman dan arogansi mereka tanpa dasar, yaitu kekafiran mereka terhadap ayat-ayat Allah.”

Allamah Thabathaba’i juga menyatakan bahwa ayat di atas

dan setelahnya bukan hanya tidak menjustifikasi keislaman

Ahli Kitab, tetapi justru. mengancam mereka dengan

hukuman di akhirat.(1)

Di akhir penafsirannya, ia menolak tafsiran keliru dari

ayat itu dan mengingatkan bahwa menafsirkan sepenggal

dari ayat sebagai dalil kebebasan berkeyakinan atau beragama

serta membiarkan individu begitu saja merupakan sebuah

kekeliruan, sebab ayat itu pada dasarnya tidak dalam rangka

menjelaskan demikian.(2)

Banyak bukti lain juga dapat ditemukan dalam beberapa

halaman sebelum dan sesudahnya. Namun, agar tidak

Sampai melebar ke mana-mana, kiranya tinjauan kritis

terhadap argumentasi pertama kaum Pluralis ini mesti

dicukupkan sampai di sini. Sebagai pamungkas, ada baiknya

dikemukakan dialog antara Allamah Thabathaba’i atas

Henry Corbin. Di dalamnya, filosof Perancis ini mengajukan,

“Semua agama itu benar dan menuntut hakikat yang hidup.

p:123


1- 158 Ibid., “Ayat ini mengandung ancaman terhadap Ahli Kitab dengan arogansi yang terbukti atas mereka, yaitu pembalasan dendam.”
2- 159 Ibid., jld. 3, hlm. 123 dan 334, “Apa yang dikemukakan oleh sebagian ahli tafsir bahwa dalam ayat ini terdapat argumen atas legalitas kebebasan berkeyakinan dalam agama, dan bahwa tidak ada pemaksaan di dalamnya: ini semua tidaklah benar, karena ayat ini, sebagaimana Anda ketahui, tidak dalam konteks tersebut.”

Semua agama itu sama dalam hal membuktikan keberadaan

hakikat yang hidup ini.” Namun, Allamah Thabathaba’i

menjawab:

Islam sangat toleran terhadap orang-orang yang tidak

mendapat keterangan tentang keyakinan yang benar dan

ajaran agama; atau pernah memperoleh penjelasan namun

tidak mengerti. Islam memperkenalkan mereka sebagai

mustadh‘afin. Ketegasan apa pun yang diberlakukan Islam

ialah terhadap orang-orang yang menolak Islam setelah

datangnya kebenaran dan keterangan ajaran agama.(1)

Dengan kata lain, kalangan ahli tafsir berpedoman pada asas

naskh dalam Islam; bahwa menerima Islam berarti menafikan

berlakunya kebenaran agama-agama sebelumnya.

Kesimpulannya, tampak bagaimana cara kaum Pluralis

mendistorsi panjelasan ahli tafsir dengan mencomot definisi

Islam sebagai penyerahan diri dalam bentuk apa pun seraya

mengabaikan maksud inti mereka (ahli tafsir) dari definisi

tersebut. Ini jelas-jelas bertentangan dengan metodologi dan

semangat ilmiah, khususnya berkenaan dengan subjek Al-Qur'an

dan tafsirnya. Bila tidak menemukan catatan ulama yang dapat

legitimasi klaim-klaim Pluralisme, mengapa seorang teoretisi

terdesak untuk mendistorsi, [mereduksi dan memanipulasi]

pandangan mereka?

p:124


1- 160 Zduhur-e Syi‘eh, him. 8-9.

Argumentasi II: Kehendak Tuhan

Kaum Pluralis menisbatkan banyaknya agama dan beragamnya

jalan (shirath) kebenaran kepada kehendak Tuhan. Maksudnya,

keragaman watak manusia serta perbedaan ruang dan waktu me-

niscayakan berbedanya cara masing-masing menjalin hubungan

dengan Tuhan. Dengan demikian, Tuhan mengutus para nabi

dan agama-agama yang berbeda kepada umat manusia.

Pertama kali yang menyemai benih Pluralisme di muka

bumi adalah Tuhan sendiri: dengan mengutus para nabi. Se-

tiap nabi diutus untuk umat tertentu demi menyampaikan

ayat-ayat Tuhan dengan logika dan bahasa mereka sendiri.

Demikianlah benih Pluralisme itu tumbuh berkembang.(1)

Adapun ayat-ayat yang diupayakan untuk melegitimasi

justifikasi ini:

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan

dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya

kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak

menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka

berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS. Al-Maidah [5]: 48).

Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan

mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-

orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya (QS. Al-

Syura [42]: 8).

p:125


1- 161 Soroush: Shirotho-ye Mustaqim, hlm. 18.

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan

manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisth

pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh

Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (QS.

Hud [11]: 118-119).

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam

membuat) kebaikan (QS. Al-Baqarah [2]: 148).

Seorang peneliti menulis:

Sepertinya paham Pluralisme lebih mendalam dari yang

mereka utarakan: bahwa setiap umat memiliki jalan dan cara

tertentu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan setiap

orang harus berlomba-lomba dalam kebaikan di jalannya

masing-masing sebagaimana diperintahkan Tuhan.(1)

Kemudian, bertolak dari Al-Baqarah [2]: 148 dan Al-Maidah

[5]: 48, dia mengatakan:

Fakta ini menunjukkan bahwa banyaknya nabi merupakan

kehendak Tuhan, karena “Manusia adalah umat yang satu’,

namun kondisi dunia menuntut terjadinya_pluralitas.(2)

Pluralitas yang sekarang kita hadapi pada _ hakikatnya

merupakan jalan yang bermacam-macam, sebagaimana

diisyaratkan dalam ayat “Dan kalau Allah menghendaki

niscaya Allah menjadikan mereka satu umat saja’ Artinya,

kalian sekarang bukan umat yang satu dan memiliki simbol

p:126


1- 162 Mahmud Bina: Haft Osemon, vol. 1, hlm. 7-8.
2- 163 Ibid., hlm. 8

yang beragam, namun “Berlomba-lombalah dalam kebajikan’,

karena jalan-jalan ini datang dari Tuhan, selamanya sempurna,

dan menjadikan pengikutnya mencapai kedudukan paling

tinggi yang, dalam istilah kaum sufi (urafa), dikenal dengan

fana’fi-Allah wa baqa’ bi-Allah.

Sementara itu, Khuramsyahi dengan nada kritik mengatakan:

Tuhan itu Pencipta manusia yang memiliki fitrah, insting, dan

kehidupan sosial. Dia Tahu bahwa selain sebagai makhluk

sosial, manusia juga cenderung bercerai-berai dan berpecah-

belah. Karena itu, diwahyukan, “Jika Tuhanmu menghendaki,

tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka

senantiasa berselisih pendapat; mereka itu beroleh ampunan

dan pahala yang besar” (QS. Hud [11]: 18). Artinya, kalau saja

Allah menginginkan, niscaya mereka dijadikan satu umat.

Namun, bagaimanapun, mereka lebih cenderung berselisih.

Dalam mengungkap aspek besar psikologis manusia, Allah

Swt berfirman, “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan

apa yang ada pada golongan mereka” (QS. Al-Rum [30]:

32).(1)

p:127


1- 165 “Qur’on va Elohiyyot-e Jahani’, dalam Bayyinot, vol. 17, hlm. 172- 173 dan 176; dan Qur’onpezhuhi, artikel “Hamsu’i bain-e Eslom va Ahl-e Ketob”.

Tinjauan Kritis

Point

Kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat sebelum dan sesudahnya

menjadi awal kesalahpahaman Pluralisme. Pada kesempatan ini,

semua itu akan dikupas satu demi satu secara terperinci.

Al-Maidah [5]: 48

Point

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya

satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap

pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat

kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya,

lalu. diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu

perselisihkan itu.

Kalangan ulama dan ahli tafsir sepanjang empat belas abad telah

menyuguhkan berbagai penafsiran dan cara baca yang beragam,

namun sepakat dalam sudut pandang: bahwa ayat ini tidak

mengakui kebenaran agama lain. Berikut penjelasannya.

Adanya Tafsiran Beragam dan Kredibel
Kehendak Tuhan
Point

Ayat ini menyatakan bahwa jika memang menghendaki

(menjadikan manusia sebagai satu umat), Allah Mahakuasa

untuk memaksa seluruh manusia mengimani agama yang haq

dengan kekuatan absolut-Nya. Namun, kehendak Tuhan tidak

bermakna demikian, yakni pemaksaan keimanan. Sebaliknya,

Tuhan berkehendak memberi manusia kebebasan memilih

p:128

agama yang benar agar, dengan pilihannya, mencapai derajat

kehambaan dan ganjaran Tuhan. Namun pemberian kebebasan

ini tidak berarti afirmasi terhadap kebenaran agama lain. Ini juga

terkandung dalam ayat lain seperti:

Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus, dan

di antara jalan-jalan ada yang bengkok. Dan jikalau Dia

menghendaki, tentulah Dia memandu kamu semua (ke jalan

yang benar) (QS. Al-Nahl [16]: 9).

Dan jikalau Allah menghendaki, tentu Dia akan menunjuki

manusia seluruhnya (ke jalan yang lurus) (QS. Al-Ra‘d [13]: 31).

Dan jikalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan

petunjuk kepada tiap-tiap jiwa (QS. Al-Sajdah [32]: 13).

Dari uraian di atas, jelas bahwa hidayah merupakan tujuan

utama Allah Swt. Namun, dengan kekuasaan-Nya, Dia tidak ingin

memaksa manusia mencapai tujuan itu, akan tetapi kehendak-

Nya bergantung pada ikhtiar manusia dalam meraih petunjuk.

Sementara, di sisi lain, Dia menjanjikan hukuman bagi siapapun

yang bermaksiat.

Seperti dalam argumentasi pluralistik, ayat ini bermakna

bahwa Allah Swt menghendaki dan Mahakuasa menjadikan

manusia sebagai umat yang satu (yakni, dalam satu agama yang

benar) namun tidak melakukannya, maka jelas Pluralisme dalam

agama merupakan kehendak Tuhan. Sebagai kritik terhadapnya

perlu ditegaskan bahwa klausa “Jikalau Allah menghendaki”

dalam ayat ini identik dengan klausa yang sama dalam tiga ayat di

atas tadi: bermakna takwini ‘penciptaan’ dan ijbdri ‘'determinatif’,

p:129

bukan tasyri? ‘penetapan hukum’ Yakni, Allah tidak menyeret

paksa manusia ke satu agama yang benar. Adapun, manakah

yang benar di antara agama-agama yang ada, ayat ini bukan

dalam konteks ini, tetapi harus diklarifikasi dalam ayat yang

lain. Inilah tafsiran yang setepatnya dinisbatkan Syaikh Thabarsi

kepada Qatadah dan Hasan.(1)

Pluralitas Syariat dan Penghapusannya

Ibnu Abbas, ahli tafsir abad pertama Islam, memberi penafsiran

lain. Dalam pandangannya, maksud ayat ini ialah kalau memang

Allah menginginkan, pasti Dia menghimpun umat manusia

dalam poros satu agama yang benar di bawah naungan para

utusan Allah, dan menjadikan agama serta syariat, sejak Nabi

Adam hingga penutup para nabi, tidak lebih dari satu dan tidak

akan mengalami pergantian ataupun naskh ‘penghapusan.

Namun, Allah tidak melakukan itu, bahkan Dia menurunkan

banyak agama dan syariat sebelumnya, melakukan nasakh

terhadapnya hingga semuanya dinegasi dengan turunnya agama

Nabi Muhammad Saw.(2)

Allamah Thabathaba’i mendukung penafsiran Ibnu Abbas

ini dengan penjelasan lebih tajam. Menurutnya, maksud

dari “umat yang satu” (ummat-an wéhidah) dalam ayat di atas

adalah kesatuan kapasitas dan keseragaman fasilitas manusia

dalam menerima syariat [agama]. Dengan kata lain, Al-Qur’an

mengatakan bahwa jika memang Tuhan menghendaki, pasti Dia

mampu mencipta dengan kapasitas dan fasilitas manusia secara

p:130


1- 166 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 2, hlm. 203.
2- 167 Ibid.

satu dan seragam. Jadinya, sejak awal diciptakan hingga akhir

hayatnya, manusia hanya punya potensi menerima satu syariat

[agama] sehingga, dengan begitu, tak akan muncul wacana

Pluralisme dan evolusi syariat.

Namun kenyataannya tidak seperti itu. Tuhan bahkan

memfasilitasi manusia agar dapat mencapai kesempurnaan. Ini

tidak dapat terwujud hanya dengan perbedaan letak geografis,

bahasa, dan warna kulit semata. Jalan dan rahasia perbedaan itu

selaras dengan kondisi zaman dan aktualitas potensi manusia

dalam menerima syariat paripurna sehingga dengannya, manusia

dapat melewati ujian-ujian Tuhan.(1)

Dengan demikian, bagi Allamah Thabathaba’i, ayat

ini menjelaskan penyebab serta misteri perbedaan dan

kemajemukan syariat sebelumnya. Dengan ungkapan lain, ayat

tersebut, juga ayat-ayat lain yang senada, memberitahukan ihwal

adanya pluralisme syariat [pra-Nabi Saw] seraya menjelaskan

perbedaannya. Namun, dari teks ayat-ayat itu, tidak dapat

disimpulkan validitas dan kebenaran syariat terdahulu itu di

masa kini.

Menafikan Pengutusan Nabi

Penafsiran ketiga mengatakan bahwa jika Tuhan menghendaki

manusia menjadi umat yang satu, niscaya tidak akan terjadi

pengutusan seorang nabi pun dariNya sehingga manusia, di

bawah kendali akalnya, mencapai kesempurnaan dan kesatuan

umat. Namun, faktanya, Allah memberi manusia hidayah lebih

banyak lagi dengan mengutus para nabi. Hanya dengan mengikuti

p:131


1- 168 Thabathaba’: Al-Mizdn fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 5, hlm. 252-253.

mereka, manusia dapat mendekatkan diri kepada-Nya, kendati

mungkin saja berakibat pada penyimpangan sebagian umat dan

berakhir pada perselisihan di antara mereka.

Pendekatan seputar penafsiran di atas mengindikasikan

tak satu pun ahli tafsir sepanjang 14 abad mendukung paham

Pluralisme, kendati boleh jadi ayat tersebut ditafsirkan sebagai

ayat Pluralisme berdasarkan perspektif tertentu yang dinisbatkan

kepada karya-karya tafsir klasik maupun kontemporer seperti:

tafsir Ibnu Abbas, Syaikh Thabarsi, dan Allamah Thabathabai.

Namun, semua penisbatan itu tidak lebih dari sekadar

kemungkinan dan hipotesis semata. Sepanjang penafsiran baru

ini masih belum menyanggah berbagai tafsiran dan landasan

Qur'ani yang menegaskan eksklusivisme, ayat ini tidak dapat

diklaim sebagai ayat Pluralisme. Dengan ungkapan lain, semua

tafsiran dan pemahaman yang diajukan untuk memaknai ayat

itu menjadi kontradiktif, dan untuk menemukan pendirian Al-

Qur'an, seseorang mesti mempertimbangkan dan merujuk ayatayat

lain.

Dalam pembahasan berikutnya, akan dibuktikan: tak

satu pun ayat Al-Qur’an yang membenarkan klaim Pluralisme,

termasuk Ali Imran [3]: 85 ini.

Mengabaikan Ayat Sebelumnya

Dalam pendahuluan bab, telah dicatat bahwa argumentasi

Pluralisme hanya berupa penggalan-penggalan ayat, tanpa

memperhatikan ayat-ayat sebelum dan sesudah, bahkan

adakalanya mereka mengabaikan ayat yang sedang diacu.

Namun, sekadar merujuk rangkaian ayat sebelumnya, tampak

p:132

betapa rapuhnya argumentasi tersebut.

Sebelum ayat ini, Allah Swt menghibur Rasul-Nya yang

bersedih karena kalangan Ahli Kitab menolak beriman:

Hari Rasul, hendaknya janganlah kamu disedihkan oleh

orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya,

yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut

mereka, “Kami telah beriman’, padahal hati mereka belum

beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi (QS.Al-Maidah [5]: 41).

Sementara, dalam ayat [yang sedang dibahas] ini, Allah

meneguhkan Al-Qur’an sebagai penjaga ( muhaymin) dan

penguasa kitab-kitab sebelumnya:

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur‘an dengan

membawa kebenaran, sedangkan kitab ini membenarkan dan

menjaga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya (QS.Al-Maidah [5]: 48).

Sebagaimana dikemukakan kalangan ahli tafsir dan pakar

bahasa, muhaymin berarti “yang menguasai, mendominasi, dan

mengawasi . Dengan demikian, Al-Qur’an merupakan pengawas

dan penguasa Taurat dan Injil. Allamah Thabathaba’i menjelaskan

bahwa wujud pengawasan Al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci

adalah dengan menjaga prinsip-prinsip yang permanen dan

substansial, seraya mengubah dan menghapus unit-unit ajaran

yang bersifat partikular [dari kitab-kitab suci itu].(1)

p:133


1- 169 Ibid., him. 348.

Poin penting lain yang perlu diperhatikan, atribut

muhaymin dilekatkan beriringan dengan atribut mushaddigan

(membenarkan). Ini dalam rangka membantah anggapan bahwa

Al-Qur’an melegitimasi penuh ketidakberubahan kitab-kitab

sebelumnya. Jika tidak, kaum Pluralis akan menjadikannya bukti

kebenaran atas klaimnya.

Justru, Ali Imran [3]: 85 ini (“Jikalau Tuhanmu menghendaki,

tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu”) secara cermat

menyoroti poin ini. Yakni, jika memang Allah menghendaki,

tentu Dia tidak tak akan menghapus agama sebelumnya.

Akan tetapi, segala sesuatu, termasuk penghapusan (naskh),

dan penentuan kitab suci mana yang berpredikat muhaymin,

sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan.

Hawa Nafsu, Faktor Perselisihan dalam Agama

Point

Sebagian Pluralis berusaha keras membuktikan faktor karakter

dan bawaan sebagai sumber perbedaan manusia dalam memilih

atau menolak agama tertentu. Misalnya, penolakan Ahli Kitab

terhadap Islam bersumber dari keterikatan emosional dengan

bangsa, agama, dan nabi mereka. Demikian pula dengan kalangan

lain. Maka itu, untuk setiap kaum, Allah Swt mengutus seorang

nabi dan agama yang khas. Mereka mengatakan:

Fakta sejarah membuktikan bahwa manusia secara fitriah

cenderung berpecah-belah. Tuhan mengetahui bahwa setiap

nabi yang diutus membacakan wahyu Ilahi kepada kaumnya

dan mereka (sebagian atau semuanya) beriman kepadanya.

Darinya, terjalin hubungan keimanan secara emosional di

antara mereka. Jika dua-tiga generasi berikutnya akrab dengan

p:134

iman dan agamanya, kemudian datang seorang utusan baru

yang menyuruh meninggalkan agama mereka dan memeluk

agama baru yang dibawanya, tentu ini tidak mudah bagi

mereka. Demikian pula dengan kaum Yahudi yang tidak siap

menerima ajakan kaum Nasrani, juga kaum Nasrani tidak

dapat menerima seruan Islam. Akibatnya, terjadilah sekian

peperangan antara ketiga agama tauhid ini.(1)

Kemudian mereka mengemukakan ayat di bawah ini

untuk melegitimasi persepsinya:

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan

manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih

pendapat (QS. Hud [11]: 18).

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada

pada golongan mereka (QS. Rum [30]: 32).

Sebagai kritik atas pandangan ini, perlu diperhatikan poin

berikut: agama dan syariat Ilahi merupakan perkara fitriah(2)

serta selaras dengan kebutuhan dan karakter dasar manusia.

Bila agama Tuhan disampaikan seutuhnya kepada manusia, dan

fitrahnya tidak dikotori keingingan hina dan dosa, mustahil

manusia akan menolak agama yang benar.

p:135


1- 170 Khuramsyahi: jurnal Biyyinat, vol. 17, hlm. 171-176.
2- 171 Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Rum [30]: 30). Lihat juga Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 16, hlm. 177.

Kesimpulannya, substansi agama (penyerahan diri kepada

Allah) akan terwujud dengan menerima dan mentaati perintah

Tuhan yang disampaikan para utusan-Nya. Jika kaum Yahudi

menolak pesan suci Nabi Isaas yang tak lain dari pesan suci Tuhan

dan fitrah, maka pada hakikatnya, substansi agama (penyerahan

diri) mereka perlu dipertanyakan kembali. Tentunya, tidak dapat

diklaim bahwa mereka itu tetap berada dalam fitrahnya, bahkan

mereka cenderung fanatik buta dan tidak mengerti sehingga

menjauhkan diri dari kebenaran.

Demikian pula dengan pengingkaran kaum Yahudi dan

Nasrani terhadap Islam; bukan lantaran didorong fitrah

perpecahan atau keterikatan emosional iman mereka, melainkan

lebih dipicu kedengkian, arogansi, dan kezaliman. Akibatnya,

mereka menentang dan memusuhi kebenaran agama Islam,

padahal bukti tentangnya sedemikian gamblang. Al-Qur’an

mengungkap kenyataan ini:

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah

Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab

kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena

kedengkian (yang ada) di antara mereka (QS. Ali Imran [3]: 19).

Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),

maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan,

dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar,

untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara

yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab

itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka

Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-

p:136

keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri

(QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Masih banyak lagi ayat yang isinya mengimbau manusia

untuk bersatu dan melarang mereka berpecah-belah dalam soal

agama dan memilih jalan-jalan yang tidak lurus.(1)

Dalam karya tafsirnya, Allamah Thabathaba’i: membedakan

antara perselisihan manusia dalam masalah dunia dan masalah

agama. Pada hematnya, sumber perselisihan umat manusia

dalam masalah agama tak lain dari arogansi dan kedengkian.(2)

Tentu saja, tidaklah sama perhitungan orang yang buta dan

tidak tahu kebenaran agama Islam dengan perhitungan orang

yang mengerti dan mengetahuinya. Yang pertama disebut Al-

Qur'an sebagai mustadh ‘af ‘yang lemah’ dan membutuhkan

rahmat Tuhan. Yang sangat mengherankan, mereka justru

berdalih dengan ayat Al-Rum [30]: 32, karena ayat ini dan ayat

sebelumnya jelas-jelas melarang perpecahan dalam masalah

agama, dan memandangnya sebagai salah satu karakter kaum

musyrik.

Dan janganlah kamu’ termasuk orang-orang yang

menyekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah-

belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.

Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada

golongan mereka (QS. Al-Rum [30]: 31-32).

Ayat ini tidak menegasikan’ keterikatan emosional

sebuah golongan dengan apa yang dimilikinya, tidak juga

p:137


1- 172 QS. Al-Rum [30]: 28-31; Al-An‘am: 153, 159; Ali Imran: 105.
2- 173 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 11, hlm. 45-61.

melegitimasinya, akan tetapi manakala bertentangan dengan

fitrah dan agama yang lurus, keterikatan itu dinilai sebagai salah

satu sifat kaum musyrik dan penghuni neraka.

Al-Syura [42]: 8

Point

Dan kalau Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan

mereka satu umat (saja), tetapi dia memasukkan orang-orang

yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-

orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindung

pun dan tidak pula seorang penolong.

Ada sekian banyak penafsiran mengenai ayat ini. Hanya

dalam semua ini, tidak ada isyarat baru yang mengarah

Pluralisme. Berikut sejumlah penafsiran dimaksud.

Kehendak-Kuasa Tuhan

Keterangannya persis sama dengan ayat sebelumnya sehingga

tidak perlu diulas lebih jauh. Juba’i(1)

dan Zamakhsyari,(2) juga

ahli tafsir lainnya, memiliki pendapat yang sama.

Hari Kebangkitan

Sebagian dari ahli tafsir meyakini bahwa ayat-ayat sebelum dan

lanjutan menjelaskan ayat ini sama sekali tidak menyinggung

ihwal persatuan dan perpecahan agama di kehidupan dunia. la

justru menjelaskan kondisi umat manusia di Hari Kiamat. Yakni,

p:138


1- 174 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 5, hlm. 22.
2- 175 Zamakhsyari: Al-Kasysydf, jld. 4, hlm. 210.

bila memang Tuhan menghendaki, Dia akan memasukkan

manusia seluruhnya ke dalam surga atau neraka, sehingga

terbentuklah umat yang satu, karena Dialah Pemilik Mutlak

seluruh umat manusia. Ayat sebelumnya mengharuskan Nabi Saw

agar memperingatkan umat manusia ihwal Hari Kiamat berikut

kondisinya saat itu: mereka terbelah dalam dua golongan:

... serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul

(Hari Kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan

masuk surga, dan segolongan masuk jahanam. Dan kalau

Allah menghendaki niscaya Allah menjadikan mereka satu

umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang

dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Dan orang-orang

yang zalim, tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun

dan tidak pula seorang penolong (QS. Al-Syura [42]: 7-8).

Jelas, ayat ini membicarakan topik Hari Kiamat dan

pembagian umat manusia ke dalam dua golongan; penghuni

surga dan penghuni neraka. Lanjutan ayat mengungkapkan

pencapaian rahmat Ilahi itu terjadi dalam kehendak Tuhan,

sedangkan orang-orang zalim dan para pengingkar agama

yang benar tidak memiliki seorang pelindung pun. Ini menjadi

bukti lain atas fokus ayat seputar Hari Kiamat.

Dengan berpedoman pada metode penafsiran Al-Qur’an

denganAl-Qur’an), Allamah Thabathaba’i mendukung tafsiran

di atas seraya menolak yang pertama (tafsiran Pluralisme).(1)

Sebagian ahli tafsir juga mengemukakan dukungan ini.(2)

p:139


1- 176 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 18, hlm. 20.
2- 177 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 5, hlm. 22.

Adapun tentang bagaimana kaum Pluralis memutarbalikan

ayat tersebut untuk menyokong doktrin Pluralisme, ini masih

belum jelas apa alasan mereka. Kalaupun tafsiran mereka

diakui sebagai hipotesis, ini niscaya akan berbenturan dengan

rangkaian tinjauan kritis sebelum ini.

Hud [11]:118

Point

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan

manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih

pendapat.

Ada dua jenis tafsiran paling populer terhadap maksud ayat

tersebut.

Kehendak-Kuasa Tuhan

Dengan menimbang ayat-ayat sebelumnya,(1) ayat ini

mengungkapkan jelas soal perselisihan manusia dalam

agama. Umpamanya, dalam ayat sebelumnya, Allah Swt

menghibur Nabi Saw dari pengingkaran orang-orang musyrik

terhadap Islam. Poin ini juga mengingatkan serangkaian

p:140


1- 178 Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. Dan sesungguhnya Kami pasti akan menyempurmakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikit pun. Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab (Taurat) kepada Musa, lalu diperselisihkan tentang Kitab itu. Dan seandainya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Tuhanmu, niscaya telah ditetapkan hukuman di antara mereka. Dan sesungguhnya mereka (orang-orang kafir Mekah) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap Al-Qur’an (QS. Hud [11]: 109-110).

kejadian di masa fajar Islam; seperti sikap orang tua mereka

dan umat terdahulu yang menolak agama yang benar. Poin

penting di sini bukanlah pembelaan terhadap manusia dalam

perselisihan agama, tetapi janji azab sepenuhnya untuk

mereka di Hari Kiamat.

Guna lebih menghibur Nabi-Nya, Allah Swt

menyinggung pemberian kitab suci kepada Nabi Musa as

seraya mengungkapkan perselisihan umatnya seputar

kitab tersebut, kemudian pada ayat terakhir, kembali

mengingatkan kesempatan orang-orang kafir di dunia.

Jadi, rangkaian ayat sebelumnya menjelaskan soal

perselisihan umat manusia dalam agama Tuhan seraya

mengklasifikasi mereka dalam dua kubu; tauhid dan

ateis. Kemudian, dalam ayat ini (Hud [11]: 118), Allah

Swt menyinggung kekuasaan mutlak-Nya: jika memang

menghendaki, Dia akan menghimpun umat manusia

di bawah satu naungan agama yang benar. Namun

begitu, Dia membebaskan manusia memilih jalannya

sendiri-sendiri, dan akan memperoleh akibat dari setiap

pilihannya diakhirat kelak, karena kehendak Tuhan tidak

memaksa manusia memilih agama tertentu. Akibatnya,

manusia pun menganut agama yang berbeda.

Jadi, ayat ini sesungguhnya berbicara tentang

kenyataan pluralitas dan banyaknya agama. Namun,

tentang kebenaran agama yang banyak dan berbeda-

beda itu, ayat ini tidak menyinggungnya. Sepertinya,

kaum Pluralis di sini mencampur aduk signifikasi

(dalélah) ayat antara tentang banyaknya agama dan

p:141

tentang kebenaran agama-agama. Jelas, ayat-ayat [yang

telah disebutkan] sebelum ini serta rangkaian ayat

lainnya menggugurkan pemahaman kacau mereka.

Mayoritas mufassir seperti: Qatadah,(1) Thabarsi,(2)

Thusi,(3) dan Allamah Thabathaba’i(4) menegaskan penjelasan

tadi terhadap ayat di atas.

Hari Kebangkitan

Beberapa ahli tafsir seperti: Abu Muslim, menganggap ayat ini

berhubungan dengan Hari Kebangkitan. Namun, penafsiran

pertama tempak lebih akurat, tentunya dengan merujuk bukti-

bukti dari rangkaian ayat sebelumnya.

Al-Baqarah [2]: 148

Point

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam

membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, Allah

akan mengumpulkan kamu sekalian (pada Hari Kiamat).

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Terdapat beberapa pandangan seputar ayat ini. Berikut ini

akan dikemukakan sejumlah tafsiran populer dan global.

p:142


1- 179 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 3, hlm. 303.
2- 180 Ibid.
3- 181 Ibid., jld. 6, hlm. 83.
4- 182 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’dn, jld. 11, hlm. 45-61.

Kiblat

Menurut tafsiran populer, maksud dari wijhah dalam ayat ini

ialah kiblat sebagai arah shalat dan ibadah. Yakni, setiap umat

agama menyembah ke arah dan tempat tertentu. Umpamanya,

orang Yahudi menghadap ke arah Baitul Maqdis (Jerusalem),

orang Nasrani menghadap ke arah Mashriq (Nashiriah, tanah

kelahiran Isa Al-Masih as), dan orang Islam menghadap ke arah

Ka’bah.

Argumentasi tafsiran ini mengacu ayat sebelum dan sesudah

ayat di atas.(1) Kedua-duanya terfokus pada masalah kiblat dan

perubahannya dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Selain itu, sejauh

kesaksian pakar bahasa Arab seperti: Farra,(2) Raghib,(3) dan nama-

nama besar lainnya, wijhah diderivasi dari kata wajh atau jihah

yang artinya: maksud dan tujuan, bukan jalan dan metoda. Jadi,

tafsiran wijhah dengan kiblat sudah akurat secara etimologis.

Syaikh Thabarsi menisbatkan tafsiran ini kepada mayoritas

mufassir, sementara Fakhru Razi menilainya sebagai pendapat

para mufassir selain Hasan. Di antara generasi mufassir

terdahulu ialah Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, lalu generasi

p:143


1- 183. Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang tImu kepadamu, sesungguhnya kamu, kalau begitu, termasuk golongan orang-orang yang zalim (Al-Baqarah [2]: 145).
2- 184 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 4 hlm. 131-13.
3- 185 Raghib Ishfahani: Mujam Mufradat Alfazd Al-Qur’an, entri wijhah; Majma‘ Al-Bahrain, jld. 6 hlm. 365.

setelahnya seperti: Thabarsi,(1) Thusi,(2) Baydhawi,(3) Maraghi,(4)

Zamakhsyari,(5) Alusi.(6) Termasuk di antara mereka sejumlah

mufassir kontemporer seperti: Allamah Thabathaba’i.(7) Mereka

semua mengemukakan pendapat itu di akhir ayat ini.

Para mufassir juga meneliti identitas mudhdf ilaih untuk

kata kull (semua) dan nomina yang direpresentasi oleh kata

ganti huwa (dia). Sebegitu teknisnya hingga tidak lagi relevan,

kiranya, untuk dibubuhkan di sini.(8)

Alhasil, ayat ini tidak bisa dijadikan landasan paham

kaum Pluralis, karena secara prinsipal memang ia tidak dalam

rangka menghimpun fokusnya pada isu perbedaan agama.

Syariat

Sebagian kecil mufassir memahami maksud dari wijhah sebagai

syariat. Artinya, dalam ayat ini, Allah Swt berbicara tentang

perbedaan syariat. Hasan adalah salah seorang mufassir klasik

yang populer dengan tafsiran ini. Namun, dia menekankan bahwa

maksud dari perbedaan dan keragaman dalam syariat adalah

syariat secara terminologis, bukan apa yang identik dengan

p:144


1- 186 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 1 ha 231.
2- 187 Thusi: Tafsir Al-Tibyan, jld. 2 hlm. 24.
3- 188 Baidhawi: Tafsir Al-Baydhawi, jld. 1 him. 9.
4- 189 Maraghi: Tafsir Maraghi, jld. 2 him. 14.
5- 190 Zamakhsyari: Al-Kasysyaf, jld. 1 hlm. 205.
6- 191 Alusi: Ruh Al-Ma‘ani, jld. 2 him. 15.
7- 192 Thabathaba’: Al-Mizan ft Tafsir Al-Qur’an, jld. 1 hlm. 327.
8- 193 Beberapa kemungkinan mudhdf ilath itu ialah: a. Kaum; b. Ahli Kitab; c. Ahli Kitab dan kaum Muslimin; d. kaum dan berbagai kelompok Muslimin. Berkaitan dengan kembalinya kata ganti dia (huwa) akan diidentifikasi.

agama. Dengan kata lain, hakikat agama hanya satu, tidak lebih.

Namun, format dan kerangkanya adalah syariat yang berbeda-

beda dan cenderung berkembang sepanjang perubahan kondisi

dan bangsa. Karena itu, penghapusan (naskh) syariat sebelumnya

merupakan asas yang benar dan masuk akal.(1)

Sebagian mufassir seperti: Faydh Kasyani,(2) mengemukakan

tafsiran ini di samping tafsiran sebelumnya. Hanya saja, para

penganut tafsiran ini berselisih pendapat tentang nomina dari

kata ganti huwa (dia). Sebagian mengidentifikasinya pada

kata kull (semua). Atau jelasnya, semua kaum memiliki syariat

dan jalan yang tengah ditempuhnya. Atas dasar ini, sekalipun

menunjukkan keberagaman agama, akan tetapi ayat ini tidak

membuktikan kebenarannya. Dengan kata lain, ayat ini dalam

rangka memberikan informasi tentang keadaan masyarakat dan

umat: masing-masing memilih jalan untuk dirinya.

Sebagian lain beranggapan nomina dari kata ganti huwa

adalah Allah Swt. Artinya, setiap kaum memiliki jalan yang

diserukan Allah agar mereka bergerak menempuhnya. Pada

asumsi ini, terbetik sebuah pertanyaan: apakah maksud dari

wijhah berarti jalan apa pun (mutlak), entah benar maupun

salah, ataukah syariat dan ajaran yang benar?

p:145


1- 194 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. hlm. 231. Fakhru Razi dalam tafsirnya: jld. 34 hlm. 131, merekonstruksi pendapat Hasan demikian, “Maksudnya adalah jalan dan jalur. Yakni, syariat mengandung maslahat. Jadi, pasti ada perbedaan syariat sesuai dengan perbedaan individu. Dan dengan begitu tidak mustahil juga terjadi perbedaan syariat lantaran perbedaan jaman sesuai dalam kaitannya dengan satu individu. Oleh karena itu, pandangan naskh ‘penghapusan’ dan perubahan dalam syariat bisa diafirmasi.”
2- 195 Faydh Kasyani: Tafsir Al-Sh@fi, jld. 1 hlm. 150.

Penisbatan petunjuk ke arah yang salah kepada Allah Swt

adalah irelevan dengan identitas kaum beriman, sekalipun mereka

itu Pluralis. Postulat bahwa Allah Swt menyeru masyarakat untuk me-

nempuh syariat yang benar merupakan sebuah prinsip yang diakui

Al-Qur’an dengan mengetengahkan syariat dan umat-umat ter-

dahulu sebagai fakta konkret. Adapun klaim bahwa prinsip

ini juga menguatkan kebenaran agama-agama yang lain, khususnya

Ahli Kitab, dan klaim menjadi seorang Masehi atau Yahudi

itu dianjurkan Tuhan, patut digarisbawahi bahwa klaim-klaim

seperti ini, pertama, derivasi dari penafsiran makna wijhah

sebagai syariat, namun jelas, ini bertentangan dengan makna

aslinya; dan dari status gramatikal Allah sebagai nomina dari

kata ganti huwa, sementara ini pun masih menyisakan polemik

serius. Kedua, tafsiran ini sendiri bertentangan dengan ayat-ayat

lain. Ayatsebelumnya'® bahkan, selain menegaskan kesesatan dan

kecelakaan Ahli Kitab, juga membongkar sikap mereka me-

nolak Islam lantaran mengikuti hawa nafsu. Oleh karena itu, tidak

ada peluang lagi untuk menafsirkan ayat ini secara pluralistik.

Tujuan

Tafsiran ketiga merupakan tafsiran irfani yang sangat teliti dan

senyatanya sesuai dengan makna etimologis wijhah. Uraiannya,

maksud dari wijhah adalah arah dan tujuan. Sementara, ayat ini

menerangkan bahwa semua kaum dan manusia memiliki jalan

196 Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman

kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka

berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan

kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang

Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah [2]:137).

p:146

dan tujuan kesempurnaan dalam kehidupan dunia sesuai dengan

potensi dan kapasitas masing-masing. Tuhan mengarahkan

mereka kepada tujuan itu (dengan asumsi ‘Allah’ sebagai nomina

dari kata ganti huwa ‘dia’); atau kaum dan manusia sendiri

mengarah kepada tujuan itu (dengan asumsi kull ‘semua’ sebagai

nomina dari kata ganti huwa ‘dia’).

Ibnu Arabi pernah mengetengahkan tafsiran seperti ini.(1)

Detailnya akan diuraikan pada kesempatan lain.

Kesimpulannya, penafsiran kaum Pluralis terhadap ayat ini

hanya demi keuntungan mereka; sebuah rekayasa interpretasi

yang irelevan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. “Penakwilan”

makna ayat dengan interpretasi tersebut berpijak pada

pengabaian terhadap tiga tafsiran rasional dan populer di atas,

meski kemudian berkembang menjadi berbagai pandangan. Jika

interpretasi mereka lantas diterima sebagai hipotesis, absurditas

itu akan terus membayangi kaum Pluralis.

Al-Baqarah [2]: 148

... Berlomba-lombalah dalam kebaikan.(2)

p:147


1- 197 Ibnu Arabi: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, jld. 1, hlm. 96, “Dan setiap orang dari kalian memiuliki tujuan dan kesempurnaan sesuai dengan kemampuan awalnya. Allah-lah yang mengarahkannya kepada tujuan, atau dia sendiri diarahkan kepadanya dan mengarah kepadanya sesuai substansi serta potensinya dengan izin Allah.”
2- 198 Penggalan ayat ini juga terulang dalam Al-Maidah [5]: 48.

Ini penggalan selanjutnya dari ayat sebelumnya. Kaum Pluralis

mengajukannya sebagai bagian dari koleksi landasan teoretis

bagi kepentingan paham mereka. Menurut mereka, [penggalan]

ayat ini mengajak segenap manusia untuk berlomba-lomba dalam

kebaikan dan menunaikan kebajikan untuk meraih kedekatan

diri pada Tuhan. Ajakan dan perlombaan ini akan dimengerti

dan berarti manakala semua manusia punya kondisi dan pelu-

ang yang sama dalam berkompetisi. Ketika itulah shirdath

mustaqim ‘jalan yang lurus’ dan keyakinan terhadap kebenaran

agama mereka akan menjadi kenyataan.

Dalam kompetisi pun, supaya berlangsung adil, semua

harus dalam kondisi yang sama. Tak ubahnya dengan

lomba lari: semua peserta harus berdiri di atas garis yang

sama; tidak boleh seorang pun lebih maju atau mundur

barang setapak. Oleh karena itu, ayat “Berlomba-lomba

dalam kebaikan’” dapat dipahami bahwa setiap agama Ilahi

merupakan jalan mencapai Tuhan.(1)

Di tempat lain, penulis ini mengklaim bahwa kebaikan

itu disebutkan sebagai sebuah syarat berlomba, dan ini ada

dalam segenap agama samawi seperti: Islam dan Yahudi.(2)

148


1- 199 Mahmud Bina: Haft Osemon, vol.1, hlm. 8.
2- 200 Ibid., hlm. 12-22, “Dalam menjawab pertanyaan: apakah sebuah agama mampu mlendekatkan jalannya kepada Tuhan atau tidak?, kita harus kembali merujuk ayat “Berlomba-lombalah dalam kebaikan.” Jika pada kesimpulan umumnya, kemungkinan ini hanya besar pada satu agama, maka seruan Tuhan untuk berlomba menjadi tidak adil. Tuhan berfirman, ‘Andai saja Kami hendak menjadikan kalian sebagai umat yang satu! Akan tetapi Kami tidak melakukan demikian. Kenyataannya ada beragam umat, untuk itu berlomba-lombalah dalam kebaikan.”

Jawaban atas interpretasi ini cukup jelas sekadar merujuk

uraian yang telah dikemukakan. Memang, Allah Swt telah

mengajak segenap manusia dunia; entah Ahli Kitab atau

selain mereka, agar memeluk Islam Nabi Muhammad Saw.

Ada puluhan bahkan ratusan ayat yang menegaskan ajakan

ini. Ajakan ini pula yang, pada hakikatnya, merupakan garis

start kompetisi. Dengan kata lain, syarat menjadi peserta

kompetisi adalah mencatatkan nama dalam daftar syariat

Islam. Tentunya, siapa saja yang namanya tidak tercatat dalam

daftar itu, sama sekali tidak masuk sebagai peserta kompetisi

sehingga tidak ada gunanya lagi menjelaskan syarat-syarat

yang adil atau tidak. Al-Qur’an menyebut orang-orang yang

tidak masuk dalam perlombaan ini, termasuk di antaranya

Ahli Kitab, sebagai orang kafir, fasik, arogan, dan penghuni

azab. Dengan demikian, kitab suci ini sejak awal menjelaskan

status mereka ‘sudah tertolak.

Dengan kata lain, ajakan ‘berlomba-lomba mengarah

ke peserta yang terlibat masuk dalam kompetisi, yaitu kaum

Muslimin. Ini yang justru didukung semua mufassir. Kalau

saja ajakan berlomba kebaikan itu bersifat umum hingga

mencakup Ahli Kitab, ini artinya setiap kaum punya jalan dan

syariat tersendiri, dan Tuhan menginginkan para mengikut

berbagai syariat agar mereka—kalaulah tidak tunduk pada

syariat sempurna dan terakhir Tuhan—seminimal apapun

komit pada jalan kebaikan dan kebajikan. Dalam rangka

ini, misalnya, Dia mengajak Ahli Kitab untuk komitmen

pada prinsip yang sama dalam agama-agama Ibrahimi, yaitu

Tauhid.(1) Allah senantiasa menyeru mereka kepada Islam

p:149


1- 201 Qs Ali Imran [3]: 64

Nabi Muhammad Saw. Jika mereka tidak menerimanya,

Dia mendesak agar mereka, setidaknya, komit pada prinsip

Tauhid. Komitmen ini pada akhirnya akan berdampak pada

sikap menerima agama Nabi Saw.

Penjelasan ayat ini akan diuraikan dalam pembahasan

selanjutnya. Hanya yang patut disimpulkan di sini ialah

pertama, ajakan dalam ayat ini hanya berlaku khusus bagi kaum

Muslimin. Kedua, kalaupun dimaknai secara umum dan luas,

ayat ini semata-mata mengajak segenap manusia untuk berbuat

kebaikan, dan karena itulah di dalamnya tidak ada pesan apapun

yang mendukung kebenaran berbagai syariat.

Argumentasi III: Bentuk Nakirah pada Shirat Mustaqim

Point

Dalam kepercayaan kaum Pluralis, Al-Qur’'an mengungkapkan

shiréth mustaqim ‘jalan yang lurus’ dalam bentuk mutlak (umum)

dan nakirah (keadaan ‘suatu, indefinitif, abstrak, tak tertentu).(1)

Yakni, penggunaannya dalam bentuk nakirah menunjukkan

p:150


1- 202 Maksudnya, shirat mustaqim dalam bentuk nakirah (indefinitif) di sini berarti suatu jalan yang lurus, atau jalan apapun yang lurus. Bentuk antonimnya adalah penggunaan ma ‘rifat—yaitu artikel alif-lam (al di awal kata nomina—yang memberi makna definitif seperti: ini, itu, tersebut, tertentu, dan tentunya, satu, kepada kata nomina terkait. Dalam penggunaan bentuk ini, kata itu menjadi al-shirat al-mustaqim seperti dalam Al-Fatihah [1]: 6. Kondisi ‘suatu’ dan ‘apa pun’ ini dimaksudkan kaum Pluralis untuk membuktikan ketaktertentuan dan indefinitifnya jalan yang lurus. Dengan begitu, terbukalah pemaknaan kata shirat mustagqgim secara benar-benar pluralistik, yakni banyaknya jalan lurus yang dipesankan ayat sehingga predikat ini bisa berlaku pada lebih dari satu agama (peny).

bahwa setiap nabi memiliki satu jalan yang lurus untuk dirinya

dan para pengikutnya sendiri. Dan dengan banyaknya nabi,

atau setidaknya para nabi yang memiliki syariat, terdapat bukan

lagi sekadar satu jalan yang lurus, tetapi jalan-jalan yang lurus.

Berikut ini sebagian ayat yang diklaim kaum Pluralis sebagai

referensi kepercayaan mereka ini:

Al-Zukhruf [43]: 43

Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.

Kaum Pluralis beranggapan bahwa ayat ini menerangkan Nabi

Islam Saw hanya bergerak di atas satu kerangka dan jalan yang

lurus. Dari ayat ini pula akan jelas bahwa kita tidak sedang

menjumpai satu jalan yang lurus tertentu dan sudah dikenal

seperti: agama Islam, tetapi di hadapan kita ada jalan-jalan yang

lurus dan benar. Argumentasi mereka, frasa shirath mustaqim

dirangkai dalam bentuk mutlak (apa pun) dan nakirah

(indefinitif: suatu); tanpa diawali artikel alif-lam (al) ma‘rifah dan

‘ahdiyyah sehingga frasa itu menjadi al-Shirath al-mustaqim dan

bermakna ‘jalan lurus yang khas, tertentu, dan sudah dikenal’,

yaitu syariat Nabi Muhammad Saw.

Yassin [36]: 3-4

Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul; (yang

berada) di atas jalan yang lurus.

p:151

Al-Fath [48]: 2

Serta Dia menyempurnakan nikmat-Nya atasmu_ dan

menuntunmu kepada jalan yang lurus.

Tidak berbeda dengan ayat sebelumnya, pesan dua ayat di atas

ini juga ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Demikian pula

poin argumentasi pluralistiknya diulang secara persis di sini.

Al-Nahl [16]: 21

Dan Dia (Allah) telah memberikan hidayah kepadanya di

atas jalan yang lurus.

Ayat ini berkaitan dengan Nabi Ibrahim as. Dengannya Allah

menyatakan bahwa Dia telah membimbing sang nabi di atas

jalan yang lurus.

Berbekal dengan ayat-ayat di atas tadi, Soroush lantas menu-

liskan:

Poin ini harus diterima dengan sepenuh jiwa, dan cara

pandang harus diubah: alih-alih melihat dunia sebagai

satu garis lurus dan ratusan garis yang melenceng dan

patah, justru semua itu harus dilihat sebagai kumpulan

dari garis-garis lurus yang akan menemukan irisan,

pararelisme, kesesuaian; bahkan hakikat telah melebur

dalam hakikat. Dan, bukankah maksud ini juga terungkap

dalam ajakan Al-Quran agar para nabi berada di atas jalan

yang lurus dalam artian: berada di atas satu dari jalan-jalan

yang benar, bukan sekadar satu jalan yang lurus(1)

p:152


1- 203 Soroush: Shirotho-ye Mustaqim, hlm. 27.

Tinjauan Kritis

Point

Ini merupakan salah satu argumentasi lemah kaum Pluralis. Di

sini akan dikemukakan sebagian kecil dari aspek kelemahannya.

Makna Jalan yang Lurus

Persoalan mendasar interpretasi di atas adalah ketidakpedulian

terhadap makna Shirath mustaqim ‘jalan yang lurus’ dalam

perspektif Al-Quran. Menilik global beberapa penggunaan

frasa ini di sepanjang Al-Qur’an (sekitar 32 kali), tampak jelas

bahwa makna shiraéth mustaqim adalah substansi agama, yakni

kepasrahan diri di hadapan perintah Tuhan. Ini sebagaimana

sejumlah ayat telah mendeskripsikan pengenalan_ Ilahi

yang disertai penyembahan dan ibadah kepada Allah sebagai

Shirath mustagqim ‘jalan yang lurus.

Hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus

(QS. Yasin [36]: 62).

Dan sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu,

karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS. Ali-Imran [3]: 51).

Karena itu, dalam sebagian ayat Al-Qurn, kata shirath

‘jalan’ juga dinisbatkan kepada Allah Swt:

Jalan Allah yang kepunyaanNya segala apa yang ada dilangit

dan apa yang ada di bumi (QS. Al-Syura’ [42]: 53).

p:153

Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum aku

tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka

dari jalan yang lurus (QS. Al-A‘raf [7]: 53).

Di sebagian ayat lainnya, jalan yang lurus digunakan dalam

makna hidayah sebagai lawan dari kesesatan.

Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), nis-

caya disesatkanNya, dan barangsiapa yang dikehendaki Al-

lah (untuk diberiNya petunjuk) niscaya Dia menjadikannya

berada di atas jalan yang lurus (QS. Al-An‘am [6]: 39).

Oleh karena itu, hakikat shiraath adalah penghambaan

kepada Allah dan komitmen pada agama samawi. Shirath

mustaqim ‘jalan yang lurus’ laksana cahaya; di dalamnya

manusia akan mencapai kedekatan diri pada Tuhan. Mengingat

hakikat cahaya hanyalah satu, shirét mustaqim juga hakikat

yang satu. Sebagaimana cahaya, di dalamnya tentu ada

kualitas kuat dan lemah. Hanya saja shirdt mustaqim Tuhan

sejak era pertama nabi berproses dan menyempurna dengan

perkembangan jaman, kesiapan para nabi serta umat mereka.

Unitas hakikat shiradt mustaqim ini dipahami dari

penggunaan frasa ini tidak dalam bentuk plural. Ini berbeda

dengan kata syari at, minhdj dan sabil yang justru digunakan

dalam bentuk plural. Akan tetapi, makna ambiguitas

(gradualitas: kebertingkatan) kesempurnaan shirat-shirat

terkandung dalam penggunaannya pada kebanyakan kondisi

p:154

dalam bentuk nakirah. Yakni, sekalipun hakikat shirat itu

satu, namun Shirath mustaqim yang diserukan Nabi Adam as

atau dituntun ke arahnya bukanlah Shirath mustaqim yang

diperkenalkan Nabi Muhammad Saw dan teguh di atasnya.

Pada intinya, semua Shirath ‘jalan’ itu tidak berposisi dia-

metris, tetapi serantai dalam garis vertikal.(1)

Ulasan-ulasan di atas menjelaskan bahwa Shirath mustaqim

‘jalan yang lurus’ tak ubahnya hakikat Islam: menampilkan

manifestasi khas pada setiap masa. Misalnya, kaum Yahudi ber-

gerak di atas jalan yang lurus sampai masa kemunculan Nabi

Isa as. Selanjutnya, kelangsungan lurusnya jalan mereka ber-

gantung pada penyerahan diri kepada syariat beliau. Jika tidak

menerima syariat ini, kaum Yahudi_ bukan saja kehilangan

jalan yang lurus, akan tetapi juga melangkah ke arah kekafiran,

karena Nabi Isa mengajak kaum Yahudi kepada jalan yang

lurus dan memperlihatkan hakikatnya sebagai prinsip Tauhid

dan ibadah pada Allah Swt.

Sesungguhnya Allah Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu

sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus. Maka tatkala Isa

mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia,

“Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk

(menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-

sahabat_ setia) menjawab, “Kamilah penolong-penolong

agama) Allah, kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah

bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah

diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang

p:155


1- 204 Thabathabai: Al-Mizan fi Tafsir Al-Quran, jld. 1 hlm. 316, jld. 1 him. 28.

telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena

itu masukanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang

menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS. Ali Imran [3]:

51-53).

Ayat ini juga menampilkan beberapa poin fundamental dan

krusial tentang hakikat Islam dan Shirath mustaqim ‘jalan yang

lurus’. Ayat ini tidak menerangkan hakikat jalan yang lurus se-

bagai semata-mata Tauhid, akan tetapi juga menyebutkan

pilarnya yang kedua, yaitu ibadah dan mengikuti Tuhan. Ini

seperti pengalaman kaum Yahudi: lantaran tidak beriman pada

Nabi Isa as, mereka kehilangan pilar kedua ini. Ayat ini mem-

perkenalkan mereka telah keluar_dari ruas shirdt mustaqim

‘jalan yang lurus’ dan menjadi kafir. Bagian kedua ayat ini

mengingatkan bahwa hakikat Islam dan menjadi Muslim ialah

mengimani kitab samawi dan mengikuti nabi masa sekarang.

Poin lainnya, definisi tersebut untuk jalan yang lurus tidak

khusus berlaku hanya pada masa Nabi Isa as. dan kaum Yahudi,

tetapi juga tetap valid dengan kemunculan Nabi Muhammad Saw.

Siapapun yang berpaling dari agama beliau, pada prinsipnya telah

keluar dari shirdt mustaqim ‘jalan yang lurus’ dan menjadi kafir.

Telah banyak ayat dikemukakan yang menunjukkan kekafiran

Ahli Kitab.

Tanggapan Otokritik

Tinjauan kritis kedua: katakan saja benar bahwa penggunaan frasa

shiréth mustaqim dalam bentuk nakirah (indefinitif) itu sudah

memadai sebagai argumen atas keragaman dan pluralitas

p:156

jalan. Maka dalam asumsi ini, penggunaannya dengan imbuhan

artikel definitif alif-lam (al) li al-ta‘rif aw li al-‘ahd justru

secara pasti menunjukkan satu dan tunggalnya jalan.

Tunjukilah kami al-shirat al-mustaqim ‘jalan yang lurus,

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat

kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan

bukan (pula jalan) mereka yang sesat (QS. Al-Fatihah [1]: 6-7).

Dalam ayat ini, selain disebutkan dalam bentuk marifah

(definitif), frasa Shirath mustaqim juga dipersempit maknanya

oleh dua catatan (gayd) yang, menurut sejumlah riwayat, yaitu

kaum Yahudi dan kaum Nasrani, namun dengan tegas Al-Qur'an

menyatakan mereka itu telah keluar dari “jalan yang lurus”.

Poin berikutnya, ada ayat-ayat lain sebelum ini yang bisa

menafsirkan Shirath mustaqim. Di antaranya, sebagaimana telah

dijelaskan, kata al-islam dalam ayat “Sesungguhnya agama di sisi

Allah adalah Islam” disebutkan dalam bentuk definitif (ma‘rifah),

yakni dengan imbuhan alif-lam (al) sebagai artikel definitif.

Antara Tanwin Tankir dan Tanwin Tafkhim

Satu poin lain yang sangat teliti dan bernilai sastra tinggi

ialah tanwin yang ada pada akhir kata shirét (jalan) bukanlah

tanwin tankir (yaitu harakat tanwin yang mengandung makna

indefinitif), dan karenanya tidak bisa dipahami ihwal keragaman

jalan. Justru tanwin itu adalah tanwin tafkhim seperti: tanwin

shiraét dalam ayat:

p:157

Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus (QS. Hud [11]: 56).

Penggunaan kata Shirath dengan bentuk nakirah dalam

ayat ini tidak bermakna keragaman shiréth (jalan), tidak pula

berarti keberadaan Allah di atas satu dari jalan-jalan yang lurus.

Tanwin tafkhim itu digunakan dalam rangka mengungkapkan

keagungan nilai sebuah makna yang dikandung kata itu.(1)

Islam Sebelum dan Islam Era Nabi

Uraian sebelumnya juga menerangkan kerapuhan kaum Pluralis

berteguh pada ayat-ayat yang menjadi referensi paham mereka.

Lagi pula, penggunaan frasa Shirath mustaqim dengan bentuk

nakirah dalam perkataan para nabi terdahulu merupakan subjek

lain di luar fokus pembahasan. Subjek di sini sebenarnya tidak

berkaitan dengan keragaman dan pluralitas jalan pada masa pra-

Islam, tetapi berhubungan dengan masa Islam dan setelahnya.

Beberapa Indikasi

Poin penting lainnya, maksud dari ayat yang menyatakan Nabi

Muhammad Saw berada di atas jalan yang lurus—kendati

kata ini disebutkan dalam bentuk nakirah—adalah ajaran

suci Islam. Argumentasinya, selain ayat-ayat yang lain, adalah

ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ketiga dari surah Yasin. (2)

p:158


1- 205 Ruj. Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 5 hlm. 246; Hadi Makrifat: Jomt‘eh-e Madani, hlm. 132.
2- 206 Yasin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dani rasul-rasul. (Yang berada) di atas jalan yang lurus. (Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Agar kamu memben peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah (QS. Yasin [36]: 1-8).

Dalam ayat sebelumnya, pertama-tama, Allah bersumpah

dengan nama Al-Qur’an. Maka, Al-Qur’an adalah kitab Nabi

Muhammad Saw; kitab suci yang mengajak manusia, entah

Ahli Kitab atau selain mereka, kepada agama Islam. la juga

terang-terangan menyatakan kekafiran Ahli Kitab, belum

lagi mensifati status dirinya sebagai kitab muhaymin (yang

dominan dan berkuasa).Sementara dalam ayat setelahnya, Al-Qur'an

mengecam oknum pengingkar Islam dan menjanjikan

azab bagi mereka, karena mereka mengingkari kebenaran

agama Islam, sekalipun tahu demikian.

Di samping itu, sebagai pengemban amanah syariat

dan penempuh shirath mustagqim ‘jalan yang lurus, Nabi Saw

telah menerangkan dalam berbagai hadis jalan yang lurus

secara definitif, spesifik, dan eksklusif. Kiranya contoh

hadis di bawah ini dapat mencukupi pembahasan.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi Saw membuat

garis lurus seraya bersabda, “Inilah jalan hidayah.’ Setelah

itu, beliau membuat satu garis di sebelah kanan dan satu

garis di sebelah kiri seraya bersabda, “Inilah jalan-jalan yang

bengkok. Setan mengawalnya dan menyerukannya.” Lalu

beliau membacakan ayat ini?(1)

p:159


1- 207 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 14, him. 3.

Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang

lurus, maka ikutilah dia (QS. Al-An‘am [6]: 153).

Setelah menyimak sebelum dan sesudah ayat Yasin itu,

berikut penafsiran langsung Nabi Saw terhadap jalan yang lurus,

maka sekadar berbentuk nakirah itu tidaklah cukup dijadikan

alasan untuk menafsirkan Shirath mustaqim sebagai jalan-

jalan yang lurus.

Argumentasi IV: Tauhid dan Amal Saleh

Point

Di antara landasan Quranik kaum Pluralis, kemutlakan ayat-

ayat yang di dalamnya menjelaskan bahwa kriteria hidayah dan

keselamatan hanya sebatas tiga prinsip umum: iman pada Allah,

Hari Akhir, dan amal saleh.(1) Syarat lain seperti: komitmen pada

agama tertentu semisal Islam, sama sekali tidak dianggap. Jelas,

kalau memang syarat lain ini dianggap sebagai nilai, pasti dan

harus disinggung dalam ayat-ayat itu. Kalau tidak, ini artinya

pembodohan yang tidak mungkin dilakukan Allah Sang Pencipta

Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Jadi, para pengikut agama yang berbeda-beda itu termasuk

orang-orang yang mendapatkan hidayah dan keselamatan selama

memegang tiga prinsip tadi. Berikut ini beberapa beberapa

referensi Al-Qur'an yang dilibatkan untuk menguatkan tafsiran

pluralistik ini:

p:160


1- 208 Perlu dicatat bahwa iman kepada seluruh ajaran agama seperti: perkara gaib, malaikat, Al-Qur’an, dan kenabian, merupakan konsekuensi dari Iman kepada Allah.

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,

orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja di

antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari

Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala

dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,

dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 62).

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan

diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya

pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap

mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Baqarah [2]: 2).

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! Marilah (berpegang) pada suatu

kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami

dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak

kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)

sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan

selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada

mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang

berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran [3]: 64).

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling

taqwa di antara kamu (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat

itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan

itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-

p:161

malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang

dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-

orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan

orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)

hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan

orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan

orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan

dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar

(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa

(QS. Al-Baqarah [2]: 177).

Ayat-ayat ini menjadi fokus khusus Bahauddin Khuramsyahi.

Dalam salah satu karyanya, dia menilai Ali Imran [3]: 64 berkaitan

dengan Teologi Universal (Elohiyyot-e Jahoni), sebelum akhirnya

dirumuskan dalam bentuk deklarasi dan satu pasal:

Ruh dan substansi agama serta iman dapat diringkas dalam

satu kata.(1)

Meski begitu, dalam makalahnya, dia mengakui naskh

‘pengapusan ajaran terdahulu’ sebagai prinsip Islam yang mutlak

benar. Secara singkat, dia menjelaskan tujuan ayat demikian:

Dakwah kepada ajaran yang paling minimal (hadd-e aqalli)

merupakan pandangan Islam dan kaum Muslimin dahulu

dan sekarang.(2)

Pada saat yang sama, Khuramsyahi dalam kesempatan

lain menyatakan penolakannya terhadap prinsip naskh. Untuk

p:162


1- 209 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 549.
2- 210 Ibid., him. 553.

itu, dia menafsirkan ayat tersebut sebagai seruan kepada kadar

maksimal (hadd-e aktsari), yakni keselamatan dalam setiap

agama. Ini dikukuhkan dalam tulisannya mengenai uraian ayat

di atas dan Al-Hujurat [49]: 12.

Allah tidak mengakui kepercayaan pada agama tertentu

atau mazhab tertentu sebagai kriteria kedekatan diri

dengan-Nya. Tetapi kepada segenap kaum dan ras

manusia, Dia menyatakan bahwa kriteria keselamatan dan

dan kedekatan diri dengan-Nya adalah amal saleh, yakni

ketakwaan. Di sini harus ditegaskan bahwa Allah mengakui

Tauhid dan keimanan, namun ini tidak disinggung.(1)

Berikutnya, Khuramsyahi berkesimpulan dari dua ayat di

atas dan beberapa ayat lain demikian:

Ada konklusi dari pertambahan kandungan Ali Imran [3]:64,

Al-Hujurat [49]: 12, dan beberapa ayat lain yang berkaitan

dengan berbagai etnis Ahli Kitab. Yaitu, kalau memang

kita mencari hukum Al-Qur’an tentang Teologi Universal

(Elohiyyot-e Jahoni) dan dapat diterima seluruh orang-orang

beriman, kita akan sampai keimanan (tauhid) dan amal

saleh.

Melalui premis oposisif dapat ditanyakan: apakah orang

yang tulus, penganut Tauhid, dan pengamal saleh

sepanjang umurnya, entah agama apa yang dianutnya,

tidak akan selamat(2)

p:163


1- 211 Khuramsyahi: “Qur’on va Elohiyyot-e Jahoni”, dalam Bayyinot, vol. 17, him. 176.
2- 212 Ibid.

Mahmud Bina juga meyakini agama-agama yang beragam

punya kesamaan dalam tiga prinsip, yaitu Tauhid, Kenabian,

dan Hari Akhir. Dengan cara ini dia menyatakan Pluralisme.

Adapun pembuktian klaimnya bersandar pada ayat-ayat

yang di dalamnya terdapat sanjungan untuk Ahli Kitab.(1)

Selengkapnya akan dibahas di akhir argumentasi berikut.

Tinjauan Kritis

Al-Baqarah [2]: 62

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi,

orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (di

antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari

Akhir dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari

Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, tidak

pula mereka bersedih hati.

Ayat ini dapat dianalisis sepanjang beberapa poin berikut yang

menerangkan kerapuhan klaim dan argumentasi kaum Pluralis.

Sebab-Turun Ayat dan Keimanan pra-Islam

Telah diingatkan bahwa untuk memahami maksud sebuah

teks (perkataan), perlu kiranya mencermati masa, audiensi,

dan motif pembicara. Sayangnya, kaum Pluralis menafsirkan

ayat ini tanpa memperhatikan sekian variabel ini. Yang mereka

pedulikan sekedar terjemahan harfah ayat, itu pun secara benar-

benar kurang dan sporadis.

p:164


1- 213 Haft Osemon, vol. 1, hlm. 8.

Makna dan maksud utama ayat di atas dapat digali dengan

mencermati sebab turunnya (sabab al-nuzil). Diriwayatkan

bahwa dulunya, Salman Farisi beragama Zoroaster, lalu

bersama anak seorang hakim memeluk agama Nasrani di

tangan seorang pendeta. Kepada Salman, pendeta menjelaskan

sifat dan keutamaan Nabi Muhammad Saw yang akan muncul.

Mendengar kemunculan beliau di Mekkah—sebagai salah satu

ciri khas nabi yang dijanjikan, ia hendak menyelidiki hingga

pergi ke kota itu. Seketika menjumpai kenyataan apa yang

telah dijelaskan pendeta, Salman memutuskan masuk Islam.

Salman bertanya kepada Nabi Saw tentang keadaan pendeta

yang telah meninggal. Sebagian sahabat beliau mengatakan

bahwa dia kafir. Lalu turunlah ayat di atas.(1)

Dengan demikian, ayat ini menjelaskan keimanan Ahli

Kitab yang, sebelum kemunculan Islam, telah mengimani tiga

prinsip lalu meninggal dunia. Jadi, tidak ada kaitan ayat ini

dengan kebenaran agama-agama yang lain. Sebagian mufassir

seperti: Alusi(2) dan Sayyid Qutub,(3) menafsirkan ayat dengan

interpretasi ini, sementara Fakhru Razi menisbatkannya

kepada Ibnu abbas.(4)

p:165


1- 214 Lebih lanjut, ruj. Buku-buku tafsir seperti: Jami‘ Al-Bayan, Al-Tibyan, Majma‘ Al-Bayan.
2- 215 Alusi: Ruh Al-Ma‘dani, jld. 1 hlm. 297.
3- 216 Sayyid Qutub: Fi Dzilal Al-Qur’an, jld. 1, him. 96.
4- 217 Penjelasannya, maksud dari “orang-orang beriman” di awal ayat adalah orang-orang beriman dari Ahli Kitab seperti: pendeta Buhaira. Adapun maksud dari Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab yang masih tetap dalam agama batil. Ruj. Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 3 him. 504.
Nilai Predikat

Ayat ini dapat dipahami sebagai upaya meluruskan kesalahpahaman

bahwa kriteria hidayah dan masuk surga cukup dengan modal

nama ‘Yahudi, ‘Kristen’ dan nama lain dari agama Allah. Ini

yang justru dialami kaum Yahudi dan Nasrani sendiri. Ayat ini

hendak menerangkan bahwa kriteria hidayah dan kedekatan diri

pada Allah adalah tiga prinsip tersebut tadi. Adapun bagaimana,

dalam agama apa, dan pada syariat yang mana tiga prinsip itu

terwujud, ayat ini tidak membicarakannya.

Dengan kata lain, ayat ini turun dalam rangka menjelaskan

tiga prinsip umum kedekatan diri dengan Tuhan dan

keselamatan. Sedangkan apa saja ciri khas dan konsekuensi

keimanan pada Allah Swt dan amal saleh: apakah keimanan ini

akan berdampak kepercayaan pada semua para nabi, termasuk

pada Nabi Muhammad Saw atau tidak?, ayat tidak menjelaskan

rincian poin-poinnya, tetapi dilimpahkan ke ayat yang lain.

Allamah Thabathaba'i termasuk mufassir yang mendukung

tafsiran ini. Untuk menguatkan klaimnya—yaitu maksud dari

orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Sabiin di permulaan

ayat bukan sekedar nama-nama ini—ia membubuhkan catatan

bahwa klausa “man dmana bi-Allah’” (siapa saja yang benar-benar

beriman kepada Allah) mengandung sebuah kata ganti ketiga

hum (min-hum: di antara mereka) yang mahdzif (dibuang), dan

sebenarnya kembali pada unsur “alladzina” (orang-orang yang)

yang berada di awal ayat, sehingga tampak jelas perbedaan dua

macam dari orang-orang yang beriman.(1)

p:166


1- 218 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 1, hlm. 193 316; jld. 6, hlm. 67.
Makna Iman kepada Allah

Sebagian percaya bahwa kriteria hidayah dan keselamatan adalah

tiga prinsip itu; salah satunya, iman kepada Allah. Kalau saja Ahli

Kitab yang beriman kepada Allah, pasti tergolong sebagai orang-

orang yang selamat. Hanya saja, inti persoalan di sini terletak

pada pewujudan iman hakiki mereka kepada Allah. Sebab,

iman hakiki ialah penyerahan diri di bawah perintah Allah dan

kitab suci-Nya. Mengingat Taurat dan Injil telah memberitakan

kemunculan Nabi Muhammad Saw dan memerintahkan para

pengikutnya (Yahudi dan Nasrani) agar mengikuti ajaran beliau,

mereka akan menjadi Ahli Kitab yang sesungguhnya beriman

selama mengikuti perintah dua kitab suci itu. Kalau tidak,

mereka tidak bisa mengklaim diri teguh sebagai kaum beriman

kepada Allah namun, pada saat yang sama, tidak mengikuti

perintah-Nya.

Sekian banyak ayat merupakan argumen yang menafikan

iman hakiki Ahli Kitab, kalau bukan malah mengkafirkan

mereka. Contoh, bagian akhir dari ayat ini menghukumi kafir

orang-orang yang mengimani sebagian nabi namun mengingkari

sebagian nabi yang lain seperti: Nabi Muhammad Saw. Tidak

sampai di situ, ayat juga memberitakan azab yang pedih telah

dipersiapkan untuk orang-orang seperti itu:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-

rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan

kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan,

“Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap

sebagian (yang lain)’, serta bermaksud mengambil jalan

p:167

(tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Mereka

itulah orang-orang kafir yang sesungguhnya, dan Kami telah

menyiapkan untuk orang-orang kafir azab yang pedih (QS.

Al-Nisa’ [4]: 150-151).(1)

Atas dasar tafsiran ini, iman kepada Allah memiliki makna

umum yang mencakup iman kepada para nabi, termasuk Nabi

Muhammad Saw. Tafsiran ini juga diterima mayoritas mufassir

seperti: Zamakhsyari,(2) Maraghi (3), Syaukani. (4)

Makna Amal Saleh

Menurut sebagian pakar, kriteria ketiga keselamatan adalah amal

saleh. Tidak sebagaimana pemahaman umum, amal saleh di sini

memiliki makna keagamaan yang khas. Yakni, faktor penyebab

kesuksesan dan keselamatan manusia adalah perbuatan baik

yang diridhai Allah.

Atas dasar ini, selain beriman kepada Allah dan Hari Akhir,

para pengikut berbagai agama juga harus beramal saleh. Hanya

saja, Al-Qur'an memaknai amal saleh sebagai perbuatan yang

sesuai dengan tolok ukur agama dan nabi yang ada pada masanya.

Sebab dalam beberapa kesempatan, Al-Qur’an mengidentifikasi

Ahli Kitab sebagai kaum_ kafir dan mengandaikan perbuatan

mereka tak ubahnya fatamorgana,(5) kegelapan di kedalaman

p:168


1- 219 Selengkapnya, ru). tbid., jld. 9, hlm. 241.
2- 220 Zamakhsyari: Al-Kasysyaf, jld. 1, hlm. 146.
3- 221 Maraghi: Tafsir Al-Mardghi, jld. 1, hlm. 34.
4- 222 Syaukani: Fath Al-Qadir, jld. 1, hlm. 78.
5- 223 QS. Al-Nur [24]: 39.

samudera,(1) dan segumpalan debu di depan badai.(2) Karena

itu, tidak bisa diklaim bahwa perbuatan mereka itu baik lantas

masuk dalam kategori penapak jalan yang lurus.

Dalam rangka mendukung klaimnya, sebagian pakar

menambahkan bukti,(3) yaitu tidak adanya pengulangan kata

penghubung waw (dan) sebelum “man dmana’ (siapa saja yang

benar-benar beriman). Darinya mereka lalu menyimpulkan

bahwa kriteria kebahagiaan terletak pada prinsip umum: iman

kepada Allah, Hari Akhir, dan amal saleh, tanpa lagi menganggap

penting agama dan ajaran apa yang dianut. Namun, setiap

prinsip ini seperti: amal saleh, akan terwujud dengan format

khasnya pada setiap masa. Pada masa Nabi Isa as, amal saleh

direpresentasi dengan mengikutinya, dan pada masa Islam,

dengan mengikuti Nabi Muhammad Saw. Sudah tentu, Ahli

Kitab yang enggan menerima Islam sebenarnya telah merusak

prinsip ketiga; mereka tidak tergolong “orang yang beramal

saleh’, apalagi untuk dinyatakan kebenaran agama mereka.

Komparasi dengan Ayat Lain

Sekian tafsiran dan poin di atas sudah cukup menjelaskan

maksud ayat ini. Hanya saja, sebuah pola penafsiran yang sangat

penting dan fundamental tak lagi menyisakan keraguan, yaitu

penafsiran ayat melalui ayat lain.

Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang mengkategorikan

Ahli Kitab sebagai kafir. Lantaran tidak menerima Islam,

p:169


1- 224 OS. Al-Nur [24]: 40.
2- 225 QS. Ibrahim [14]: 8.
3- 226 Thabathaba’:: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qurdn, di bawah tafsiran Al- Baqarah [2]: 62.

mereka menjadi sasaran ancaman azab akhirat. Al-Qur’an

menegaskan bahwa dengan menerima Islam, mereka berada

di jalan hidayah. Begitu juga beberapa ayat sebelum Al-Maidah

[5]: 68 mengenalkan Al-Qur’an sebagai muhaymin (dominan

dan berkuasa),(1) dan memeriksa penolakan Ahli Kitab terhadap

Islam hanya karena mengikuti hawa nafsu.(2) Masih menurut

ayat-ayat itu, syarat masuk surga dan pengampunan dosa mereka

adalah iman kepada Islam.(3)

Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas, ayat di atas sudah di-naskh

oleh ayat “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, tidak

akan diterima amal perbuatan darinya” (QS. Ali Imran [3]: 85).

Di sini, kemungkinan besar maksud dari naskh ayat bukanlah

naskh terminologis yang umum berlaku di kalangan mufassir,

melainkan sebentuk penafsiran dan dominasi ayat terakhir

atas ayat di atas dan ayat-ayat lainnya.

Tentu saja, semua tafsiran yang kredibel dan sesuai makna jelas

teks ayat ini tidak lagi menyisihkan peluang memperlakukan ayat

di atas sebagai argumen atas Pluralisme. Apakah untuk membela

paham ini, semua tafsiran itu harus dibuang, sekalipun harus

berdampak inkonsistensi ayat di atas dengan ayat-ayat yang lain?!

Al-Baqarah [2]: 112

Point

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan

diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya

pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap

mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

p:170


1- 227 QS. Al-Maidah [5]: 48.
2- 228 QS. Al-Maidah [5]: 49.
3- 229 QS. Al-Maidah [5]: 65.

Ulasan sebelum ini telah memadai untuk menerangkan

kelemahan argumentasi kaum Pluralis di balik ayat ini. Berikut

ini beberapa aspeknya akan diuraikan secara singkat.

Nilai Predikat

Dalam ayat sebelumnya(1) diungkapkan bahwa pengikut Yahudi

dan Nasrani mengklaim diri mereka akan masuk surga dengan

dalil: sekadar adanya status keyahudian dan kenasranian. Dalam

menyanggah klaim dan dalil itu, ayat ini menyebutkan klausa “wa

huwa muhsin” (sedang ia berbuat kebajikan) sebagai syarat dan

kriteria umum untuk memperoleh pahala dari Allah Swt, yaitu

Islam hakiki dan amal saleh. Seperti dalam ayat sebelumnya,

Allamah Thabathabai juga memiliki penafsiran demikian.(2)

Penafsiran Islam

Ayat ini menyebutkan penyerahan diri pada Allah Swt,

“Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah”, sebagai

kriteria keselamatan. Di beberapa halaman sebelumnya telah

jelas bahwa pada setiap masa dan jaman, penyerahan diri dan

Islam hakiki memiliki manifestasi dan wujud tertentu. Pada

masa diutusnya Nabi Muhammad Saw, manifestasi dan wujud

Islam hakiki itu adalah ketaatan dan penyerahan diri kepada

agama dan syariat suci beliau, yakni Islam.

p:171


1- 230 Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.”
2- 231 Thabathaba’: Al-Mizdn fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 1 hlm. 258.

Memperhatikan Ayat Sebelumnya

Dalam ayat-ayat sebelumnya telah ditegaskan bahwa Ahli Kitab

adalah kafir.(1) Jikalah beriman, mereka akan memperoleh pahala

Allah Swt (QS. Al-Baqarah [2]: 103-105).(2) Ayat setelahnya juga

menjelaskan bahwa mereka dikecam lantaran menyembunyikan

dan mengingkari agama Islam (QS. Al-Baqarah [2]: 120).(3)

Ini belum lagi sekian puluh bahkan ratusan ayat lain yang

memberikan sebaik-baiknya penjelasan terhadap ayat ini.

Ali Imran [3]: 64

Katakanlah, “Hai Ahli Kitab! marilah (berpegang) kepada

suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara

kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan

tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak

(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai

tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah

kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-

orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Dalam analisis ayat ini, ada beberapa poin yang perlu dikemukakan.

p:172


1- 232 Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dan Tuhanmu.
2- 233 Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dan sisi Allah adalah lebih batik.
3- 234 Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Menyerukan Kadar Minimal

Ada berbagai argumen dan indikasi bahwa ayat ini mengajak

Ahli Kitab kepada prinsip yang sama, yaitu tauhid. Salah satu

argumen itu terdapat dalam prosedur penurunannya.

Berkenaan dengan sebab-turunnya ayat ini, telah dinukil

bahwa pengikut Nasrani Najran pada masa Nabi Saw menolak

agama Islam dengan membawakan berbagai macam alasan.

Bahkan mereka berdebat dengan beliau dalam masalah

Islam dan masalah lain seperti: pribadi Nabi Isa Al-Masih as.

Perbuatan mereka ini tidak menghasilkan selain keras kepala

dan penentangan mereka.

Sebelum ayat ini, Allah Swt telah mengajak kaum Nasrani

untuk melakukan mubdéhalah (saling meminta azab Allah bagi

pihak penentang kebenaran). Pertama-tama, mereka menerima

ajakan ber-mubdhalah. Namun, setelah menyaksikan bukti-

bukti atas kebenaran Islam dan indikasi kekalahan mereka

dalam mubdhalah, mereka menarik diri dan, pada akhirnya,

siap membayar jizyah serta menerima kedaulatan pemerintahan

Islam atas nasib hidup mereka.

Tepat setelah peristiwa itu, yakni keengganan kaum Nasrani

dari ber-mubéhalahdan mengantikannyadengan jizyah, turunlah

ayat ini: “Hai Ahli Kitab! Kalian telah menolak kebenaran yang

murni dan mutlak, yaitu tauhid dan kenabian Muhammad Saw.

Setidaknya, peganglah kuat prinsip pertama, yaitu tauhid, dan

janganlah menyelewengkan agama kalian!”

Kandungan ayat ini mengenai tauhid sebagai seruan minimal

sudah sangat transparan dan tak terbantahkan. Justru inilah yang

juga diakui kaum Pluralis. Sebagian mereka menulis:

p:173

Dalam pandangan Islam dan Muslimin, yang dulu maupun

yang sekarang, ayat ini semacam seruan kepada kadar

minimal (hadd-e aqalli).(1)

Sebelum dan Setelah Ayat

Ada ayat-ayat lain dari Al-Qur’an yang juga menegaskan

penafsiran di atas. Di sini, hanya akan disinggung ayat-ayat

sebelum dan sesudah ayat ini. Dengannya dapat memperjelas

bahwa dalam penafsiran ayat, harus memperhatikan ayat

sebelum dan setelahnya.

Sebelum ayat ini, Allah Swt melalui Nabi Isa as mengecam (2)

kaum Yahudi karena enggan menerima agama yang _ benar.

Sementara dalam ayat setelahnya, Allah Swt mengecam seraya

menjanjikan azab yang pedih kepada Ahli Kitab yang hidup di

masa fajar Islam, karena mereka telah mengingkari Islam dengan

penuh kesadaran akan kebenaran Islam, menyembunyikan

kebenaran, dan memutarbalikkan fakta. (3)

Jelas, kalau saja agama Ahli Kitab itu diteguhkan kebenarannya

secara penuh hingga sederajat dengan nilai kebenaran Islam,

tentu ayat-ayat di atas akan kehilangan artinya, sama sekali.

Pluralisme Agama ataukah Pluralisme Sosial?

Memang, ayat ini salah satu ayat yang panjang dan sangatlah

penting: mengajak kaum Muslimin untuk berdialog dan

mencapai kesepahaman dengan Ahli Kitab. Seperti juga ayat-

p:174


1- 235 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 553.
2- 236 QS. Ali Imran [3]: 54-55.
3- 237 QS. Ali Imran [3]: 61, 70, 71.

ayat lain, ayat ini mengajak kaum Muslimin untuk berbuat

baik(1) kepada mereka sejauh tidak bermaksud melakukan

makar dan perang terhadap kedaulatan Islam. Pada titik inilah

ayat mengandung pesan Pluralisme Sosial atau toleransi.

Kendati demikian, ada sekelompok orang mengklaim bahwa

selain saling memahami dan hidup damai yang dibangun di atas

kesamaan prinsip tauhid, karakter agama, dan ketuhanan, ayat

ini juga menunjukkan adanya kebenaran agama-agama lain

yang sejajar sama dengan Islam: yakni Pluralisme Agama. Maka

harus ditekankan, bukan sekadar tidak ada indikasi ke arah

model Pluralisme ini, tetapi ayat ini juga—dengan mengacu

sebab-turunnya dan ayat-ayat sebelum serta sesudahnya—

justru menunjukkan sebaliknya. Yakni jalan yang lurus adalah

eksklusivisme Islam. Jadi, tampak jelas sekali kerancuan dan

kekacauan kaum Pluralis dalam mengidentifikasi dan memilah-

milah: mana Pluralisme Agama dan mana Pluralisme Sosial yang

sejatinya disimpulkan dari ayat.

Al-Hujurat [49]: 13

Point

Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan

kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling

bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui Maha Mengenal.

p:175


1- 238 QS. Al-Mumtahanah [60]: 8.

Pada dasarnya, uraian sebelum ini menerangkan bukan hanya

segi-segi kelemahan interpretasi kaum Pluralis, tetapi juga

menafikan hubungan logis interpretasi itu sendiri dengan

penggalan ayat “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu

di sisi Allah ialah adalah orang yang paling bertakwa di antara

kamu”. Ada dua argumen atas penafian ini:

Menjelaskan Satu Pesan Moral

Ayat ini mengungkapkan sebuah pesan moral dan kemanusiaan

kepada Muslimin. Sebagaimana tentang sebab-turunnya ayat

ini telah dicapat kesepakatan bahwa di era awal Islam, sebagian

Muslimin berbangga diri dengan berbagai alasan seperti: warna

kulit, kekayaan, kemerdekaan versus perbudakan. Nabi Saw

memerintahkan Muslimin agar membuang karakter buruk

seperti ini. Dan, ayat ini turun dalam rangka menegaskan pesan

tersebut. Jadi, jelas sekali bila ayat ini sama sekali tidak punya

hubungan dengan masalah agama-agama, apalagi menegaskan

kebenaran semua agama.

Adapun seruan dalam ayat itu diungkapkan dalam bentuk

umum (“Wahai manusia!”), karena memang sifat keumuman

pesan di atas, yaitu kesamarataan segenap manusia dari sisi

penciptaan dan larangan berbangga diri. Di samping itu,

koherensi seruan “Wahai manusia!” dengan frasa setelahnya,

yakni “dari laki-laki dan perempuan’, tampak jelas sekali.

p:176

Makna Takwa

Ayat menyebutkan standar kemuliaan adalah takwa yang

derajatnya lebih tinggi dari Islam dan iman. Telah dikatakan

bahwa hakikat Islam dan iman adalah penyerahan diri kepada

Allah Swt, termasuk juga kepada utusan-Nya yang terakhir.

Takwa dan orang bertakwa jauh lebih tinggi derajatnya dari dua

kategori ini. Al-Quran sendiri di awal Al-Baqarah menyebutkan

bahwa salah satu sifat orang-orang bertakwa adalah iman kepada

Nabi Muhammad Saw dan Al-Qur’an.

Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang

telah diturunkan kepadamu (QS. Al-Baqarah [2]: 4).

Al-Baqarah [2]: 177

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan

barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya

kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, dan

Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.

Ayat ini tidak memadai untuk diajukan sebagai argumentasi

pendukung Pluralisme, karena fokus ayat ini adalah perbedaan

Ahli Kitab dengan Muslimin mengenai kiblat-nya Muslimin.

Ahli Kitab meragukan dan mengkritik ibadah Muslimin yang

menghadap kiblat pertama, yaitu Baitul Maqdis. Menanggapi

sikap mereka itu, ayat ini diturunkan dan menerangkan:

Pertama, kiblat itu penting sebagai simbol; bukan elemen

dari hakikat ibadah dan kebaikan.

p:177

Kedua, iman kepada semua para nabi (dari Nabi Adam as

sampai Nabi Muhammad Saw) sebagai kriteria kebaikan yang

senyatanya tidak dijumpai pada Ahli Kitab. Jadi, ayat ini jelas di

luar konteks wacana Pluralisme Agama.

Argumentasi V: Apresiasi dan Janji Baik Al-Qur’an untuk Ahli Kitab

Point

Referensi lain kaum Pluralis dari Al-Qur’an ialah ayat-ayat yang

secara lahiriah menyanjung Ahli Kitab, dan terkadang mensifati

mereka sebagai mukmin sejati, ahli ibadah, ahli surga, dan jauh

dari azab Allah.

Menurut ayat-ayat yang telah lalu, tauhid dan amal_ saleh

merupakan kriteria hidayah. Mengingat Ahli Kitab memiliki dua

kriteria ini, mereka juga secara tak langsung termasuk sebagai

pemilik hidayah. Dalam beberapa ayat, hal ini juga dijelaskan

secara tegas. Namun, ada ayat-ayat lain yang menerangkan secara

khusus Ahli Kitab sebagai kaum beriman, penghuni surga, dan

selamat dari neraka. Dari totalitas ayat-ayat ini, dapat dipahami

bahwa agama mereka juga merupakan agama yang benar. Kalau

tidak demikian, maka semua predikat itu tidak ada artinya bagi

mereka. Berikut ini beberapa ayat itu:

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada

golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat

Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang

mereka juga bersujud (beribadah). Mereka beriman kepada

Allah dan Hari Penghabisan, mereka menyuruh kepada yang

makruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada

p:178

(mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-

orang yang saleh (QS. Ali Imran [3]: 113-114).

Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman

kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu

dan yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah

hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah

dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi

Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya

(QS. Ali Imran [3]: 199).

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum)

Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka

dari Tuhan-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari

atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan

yang pertengahan (QS. Al-Maidah [5]: 66).

Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras

permusuhannyaterhadaporang-orang yang beriman ialahorang-

orang Yahudidanorang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu

dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang

yang beriman ialah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya

kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena

di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-

pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka

tidak menyombongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan

apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat

mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran

(Al-Qur‘an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka

sendiri); seraya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman,

maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi

p:179

(atas kebenaran Al-Quran dan kenabian Muhammad Saw).

Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada

kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin

agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-

orang yang saleh?” (QS. Al-Maidah [5]: 82-84).

Seraya merujuk dua ayat pertama, Bahauddin Khuramsyahi

menulis:

Al-Qur’an mengakui sah dua agama ini, yang berada di atas

prinsip tauhid, Ilahi, dan Ibrahimi, dengan bentuk dan

kerangka suci pertama (dasar) mereka.(1)

Dia juga, dengan menyinggung dua ayat terakhir di atas (Al-

Maidah [5]: 62 82-83) menyatakan:

Jika, menurut Al-Qur’an, agama Nasrani telah dihapus dan

dinafikan, padahal lembaran keberadaanya sudah tampak

dalam cahaya, lantas apakah mungkin ayat-ayat seperti ini

ada dalam Al-Qur'an? ... Coba perhatikan, sesuai keterangan

Al-Qur’an, bahwa ada kelompok yang selamat di antara para

bapa rahib dan pendeta.(2)

Al-Qur'an dengan jelas menyebutkan mereka sebagai ummah

mugqtashidah ‘golongan pertengahan’ dan ummah qd’imah

‘golongan yang lurus.(3)

p:180


1- 239 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 543.
2- 240 Ibid., hlm. 543-544; Bayyinot, vol. 17, hlm. 174-175.
3- 241 Ibid., hlm. 545. Di sini juga ia merujuk Ahi Imran [3]: 113.

Bina Mahmud juga bersandar pada ayat terakhir (Al-Maidah

[5]: 82-83) dan mengatakan:

Tatkala Al-Qur’an turun kepada Baginda Nabi Saw, sejumlah

pendeta masa itu mencucurkan air mata saat Al-Qur'an

dibacakan, lalu mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami,

jadikanlah kami sebagai penyaksi!” Maka Allah berfirman,

“Kami akan memberikan pahala kebaikan kalian ini. Ini

artinya mereka diterima oleh Allah Swt, dan di dalamnya

tidak disinggung ihwal menjadi Muslim. Ini adalah sebuah

keteladanan bagi kita: dalam cara bersikap dengan agama-

agama dalam Al-Qur'an. Jika seorang Muslim juga membaca

Bahahut Ghita dan, pada saat itu, berkata, “Tuhanku! Ini

juga berasal dari-Mu. Maka, jadikanlah kami bersama

para penyaksi’, maka tidak ada keharusan baginya untuk

membuang Islamnya.(1)

Tinjauan Kritis

Point

Ayat-ayat di atas tadi termasuk referensi yang sangat lemah

dari kaum Pluralis. Yang paling prinsipal adalah ketakpedulian

mereka terhadap kandungan ayat-ayat itu, begitu juga terhadap

ayat sebelum dan sesudahnya. Beberapa poin dan tafsiran para

mufassir berikut ini kiranya dapat memberikan lebih banyak lagi

kejelasan segi kelemahan mereka:

p:181


1- 242 Haft Osemon, hlm. 23-27.
Kaum Mukmin dari Ahli Kitab, Penyambut Kedatangan Islam

Berdasarkan sekian banyak ayat Al-Qur’an, Taurat, dan Injil, Ahli

Kitab (pengikut Yahudi dan Nasrani) telah diberi berita tentang

kedatangan Nabi Muhammad Saw. Mereka juga mengetahui

dengan baik ciri-ciri umum beliau. Dengan kemunculan Nabi

Saw di Mekkah, Ahli Kitab dan, khususnya, para pemuka mereka

telah mengetahui secara sempurna tanda-tanda dan kriter-

iakriteria agamanya tentang kemunculan nabi yang dijanjikan,

dan ternyata itu sesuai dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam

bahasa Al-Qur’an, mereka mengenal kenabian Nabi Islam Saw

seperti mengenal anak-anak mereka sendiri.

Meski demikian, mayoritas Ahli Kitab khususnya Yahudi

bersepakat, alih-alih beriman dan percaya pada Islam, mereka

memilih untuk menentang bahkan memerangi Islam. Atas

dasar ini, ada banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan status mereka:

“Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang fasik, “Kebanyakan

dari mereka adalah orang-orang zalim, dan “Kebanyakan dari

mereka adalah orang-orang kafir’ Namun, di antara mereka, ada

juga manusia-manusia yang bernaluri bersih: mengimani agama

Nabi Muhammad Saw manakala mendengar ayat Al-Qur’an,

menyaksikan mukjizat Islam dan kesesuaian tanda-tanda seorang

nabi yang dijanjikan dengan sosok Nabi Saw. Mereka ini termasuk

sebagai kaum mukmin dan manusia-manusia tulus, sedemikian

rupa hingga menjadi ahli ibadah malam dan pencapai derajat

tinggi spiritualitas. Riwayat-riwayat juga menguatkan keadaan

mereka ini.(1)

p:182


1- 243 Imam Shadiq mendeskripsikan orang mukmin yang sesungguhnya sebagai golongan yang menanti agama Islam. Ruj. Thabathaba’i: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6 him. 85.

Kesimpulan ini sepenuhnya diafirmasi peristiwa turunnya

beberapa ayat yang dibawakan oleh para mufassir generasi

pertama seperti: Ibnu Abbas.(1)

Mengenai turunnya ayat-ayat itu, para ahli tafsir memiliki

pandangan yang sama, bahwa ayat-ayat itu turun berkaitan

dengan masuk Islamnya sebagian Ahli Kitab seperti: Abdullah

bin Salam, atau Najjasi penguasa negeri Habasyah dan para

utusannya. Kendati para pemeluk Islam ini dituduh kafir dan

bejat oleh kalangan pendeta senior, Al-Qur’an tetap mengakui

keimanan mereka, menjanjikan mereka surga dan pahala, serta

menyebut mereka sebagai ummah mugtashidah, ummah qa@imah,

dan orang-orang beriman di antara Ahli Kitab.

Boleh jadi masih ada kemungkinan isyarat yang mengarah

Pluralisme. Akan tetapi, selain sebab penurunannya, ayat-ayat

itu sendiri, ayat sebelum dan setelahnya juga membuktikan

kebenaran kesimpulandiatas, sebagaimana yang akan disinggung

berikut ini.

Dalam ayat pertama (Ali Imran [3]: 113-115), ada dua ayat

sebelumnya yang mengangkat Islam sebagai sebaik-baiknya

agama dan umat, juga menegaskan bahwa jika Ahli Kitab

beriman, itu akan sangat baik bagi mereka sendiri, hanya saja

orang yang beriman dari mereka itu sangatlah sedikit. Al-Qur'an

demikian mengungkapkan, “Kamu adalah umat yang terbaik

yang dilahirkan untuk manusia ... Sekiranya Ahli Kitab beriman,

tentulah itu lebih baik bagi mereka.”

p:183


1- 244 Ruj. Thusi: Tafsir Al-Tibyan, jld. 3, hlm. 56, dan karya tafsir yang lain.

Ayat kedua (Ali Imran [3]: 199) menjelaskan bahwa orang-

orang beriman dari Ahli Kitab, selain mengimani Allah Swt, juga

mengimani kitab suci kaum Muslimin, yakni Al-Qur’an, “Dan

apa yang telah diturunkan kepada kalian.”

Ayat ketiga (Al-Maidah [5]: 66) yang di dalamnya,

kata sambung law (sekiranya) dan dua kata kerja lampau

(aqga@mu dan la-akalu) digunakan, juga menerangkan

peristiwa masa lalu. Yakni, jika mereka melakukan

demikian, pasti terjadi demikian. Dan makakala itu

juga berlaku pada masa Islam, harus dikatakan bahwa

menjalankan Taurat dan Injil yaitu menjaga prinsip-

prinsip dan melaksanakan hukum serta ajaran yang

sempurna dan tak terhapus (ghair manstkh), bukan

mengamalkan sebagian dan meninggalkan yang lain.

Mengingat kemunculan Islam dan pengambilan janji

setia dari para nabi serta kitab-kitab samawi terdahulu

itu, menurut Al-Qur’an, adalah bagian dari rukun serta

prinsip penting syariat sebelumnya, maka menjalankan

Taurat dan injil dengan mengabaikan Al-Qur’an bukan

saja tidak mengamalkan dua kitab suci ini, tetapi justru

merusak kedua-duanya, sekaligus.(1)

Di samping itu, ayat sebelumnya menyatakan turunnya

Al-Qur'an sebagai dampak dari kezaliman dan kekufuran kaum

Yahudi, juga menegaskan bahwa pengampunan dosa Ahli Kitab

dan masuknya mereka ke surga hanya terjadi dengan beriman kepada Islam.

p:184


1- 245 Selanjutnya, ruj. Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hlm. 37-38; Zamakhsyari: Al-Kasysydf, jld. 1, hlm. 658; dan kitab tafsir yang telah menerangkan bahwa penegakan Taurat identik dengan menerima Islam.

Jika saja Ahli Kitab beriman dan bertakwa, maka Kami akan

menghapuskan_ kesalahan-kesalahan mereka dan Kami

akan masukkan mereka ke dalam surga yang penuh dengan

nikmat.

Adapun tentang ayat keempat (Al-Maidah [5]: 82-83),

kaum Pluralis sengaja teledor: tidak mengamati ayat sebelum

dan setelahnya, padahal di dalamnya banyak argumentasi atas

kesimpulan kami, yaitu:

Pertama, dalam kapasitas maknanya yang _jelas-tegas,

ayat ini dalam rangka menilai tingkat permusuhan Yahudi dan

Nasrani terhadap Islam. Permulaan ayat, yang ternyata diabaikan

begitu saja oleh kaum Pluralis, menyebut kaum Yahudi dan

musyrikin sebagai musuh yang paling keras terhadap Muslimin,

kemudian mensifati kaum Nasrani sebagai orang-orang yang

dekat kecintaan mereka pada Muslimin. Jadi, ayat ini hendak

mengidentifikasi faktor perbedaan kaum Yahudi dan kaum

Nasrani: yang pertama didominasi karakter arogansi; yang kedua

didominasi karakter kerendahan diri para pendetanya. Karena

itu, pada masa awal Islam, sambutan kaum Nasrani lebih hangat

ketimbang reaksi kaum Yahudi dan Musyrikin.(1)

Kedua, ayat sesudahnya mula-mula mensifati para pendeta

Nasrani dengan kerendahan hati dan tidak menyombongkan

diri, lalu mengangkat sifat-sifat ini sebagai kondisi konstruktif

untuk menerima Islam:

p:185


1- 246 Thabathaba': Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hlm. 80-82.

Ketika para pendeta mendengar Al-Qur’an yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad Saw—lantaran kecocokan tan-

da-tanda nabi yang dijanjikan dengan pribadi Nabi Muhammad

Saw, “Tentang apa yang mereka ketahui dari kebenaran’—

mereka mencucurkan air mata saking senang dan bahagianya

menemukan kebenaran yang berabad-abad mereka nantikan.

Ayat ini mengingatkan bahwa mereka itu tidak menutup-nutupi

barang berharga yang hilang, bahkan mereka segara

mengatakan, “Kami beriman kepada Muhammad Saw, “Mereka

berkata, ‘Wahai Tuhan kami, kami beriman’”’; mereka memohon

Allah Swt agar mencatat nama mereka dalam daftar orang-orang

yang memberikan saksi, “Maka catatlah kami menjadi orang-

orang yang memberikan saksi”’. Ayat ini benar-benar eksplisit

dan gamblang. Tidak cukup sebatas ungkapan tadi, para pendeta

itu berkata dengan keheranan, “Kenapa kita tidak beriman pada

Allah dan kebenaran yang datang kepada kami?!”

Kemudian, Allah Swt mengokohkan keimanan mereka dan

menggolongkan orang kafir dan orang-orang yang mengingkari

Islam sebagai penghuni neraka. Uraian detailnya mengenai ayat-

ayat serta kandungannya seputar eksklusivisme Islam sebagai

jalan yang lurus juga ketiadaan makna pluralistik di dalamnya

akan dijelaskan di lembaran mendatang.

Ahli Kitab yang Saleh dan Bukan-Penentang

Telah dikatakan bahwa minoritas Ahli Kitab tergolong kaum

mukmin sejati yang, sepanjang sejarah Yahudi atau Nasrani,

dapat menjaga keimanan serta berdiri teguh di atas agama

mereka. Dalam mensifati minoritas ini yang hidup sebelum

Islam datang lalu meninggal dunia, keimanan mereka tidak

diragukan lagi. Begitu juga mereka yang beriman kepada Islam

setelah menyaksikan kebenarannya.

Namun, ada satu persoalan yang mengemuka tentang

keimanan minoritas Ahli Kitab yang, sebelum kemunculan Islam,

hidup sebagai mukmin sejati dalam akidah dan perbuatan, akan

tetapi lantaran tidak sampainya ajaran Islam kepada mereka,

atau tidak mengenal kebenaran tersebut karena berbagai faktor,

sehingga mereka ini tetap dalam agama semula dan tidak

memeluk Islam, tanpa mengambil sikap arogan dan menentang.

p:188

Tampaknya, ayat-ayat Al-Quran menerima keimanan mereka ini,

dan mengkategorikan mereka sebagai orang-orang saleh yang

akan mendapatkan balasan Tuhan di akhirat kelak.

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan adanya pribadi-

pribadi dari Ahli Kitab yang bukan termasuk golongan

penentang pada masa awal Islam.(1) Dan sepertinya mereka

akan terus eksis sepanjang kurun. Penjelasan argumen atas

pandangan ini, yakni adanya orang-orang Ahli Kitab yang

beriman murni dan beramal saleh, telah diuraikan pada bab

sebelumnya.

Hanya di sini terdapat sebuah poin, bahwa penyempurnaan

bukti dan penjelasan ajaran belum sepenuhnya memadai;

mereka tidak melihat cahaya Islam sehingga memperoleh

siraman sinarnya. Karena itu, mereka tidak termasuk sebagai

kafir. Bahkan sesuai agamanya, mereka adalah orang-orang saleh

dan beriman. Jadi, maksimal predikat yang bisa diterapkan pada

mereka adalah mustadh‘afin ‘kelompok lemah’ dan murjaun li

amri-Allah(2) ‘kelompok yang menanti keputusan Allah.

Mengenai keberadaaan pribadi-pribadi mukmin di antara

Ahli Kitab, Muthahhari menuliskan:

p:189


1- 250 Imam Muhammad Bagir berkata, “Sekelompok Yahudi yang bukan penentang mengatakan tanda serta sifat umum nabi yang dijanjikan kepada kaum Muslimin, namun mereka dikecam para tokoh mereka sendiri.” Ruj. Thabathaba’: Al-Mizdadn ft Tafsir Al-Qur’dn, jid. 1, hlm. 216.
2- 251 “Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada Keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima Taubat mereka. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Byaksana” (QS. Al-Taubah [9]: 106).

Kalau saja Anda perhatikan agama Nasrani telah mengalami

distorsi dan amati di pelosok dan perkotaan; apakah setiap

pendeta yang Anda temukan di sana adalah orang korup dan

busuk? Demi Tuhan! Di antara jumlah ratusan mereka itu, ada

tujuh puluh atau delapan puluhan orang yang, dengan sebuah

semangat iman, takwa dan ketulusan hati, dan atas nama

Al-Masih dan Maryam, menebarkan nilai-nilai kejujuran,

ketakwaan dan kesucian di tengah masyarakat. Mereka tidak

melakukan kesalahan sengaja. Mereka itu akan masuk surga.

Demikian juga pendeta mereka.(1)

Dalam Keadilan Ilahi(2) setelah membahas detail topik

keimanan dan kekufuran, Muthahhari menjelaskan bahwa

Muslimin dan Ahli Kitab—dalam menyandang iman, mencapai

kedekatan diri pada Allah, ketulusan niat dan kelayakan

mendapatkan pahala dan surga—berada pada posisi yang

sama.(3)

Poin menarik dan penting yang justru diabaikan kaum

Pluralis ialah perbedaan antara keimanan tulus pribadi seorang

Ahli Kitab dan kebenaran agama mereka. Berkali-kali telah

digaris bawahi, sekarang ini, jalan yang lurus dan agama yang

benar hanyalah agama Islam. Namun, dari klaim ini tidak dapat

disimpulkan bahwa selain mereka seperti: Ahli Kitab, sudah

tidak punya lagi keimanan dan keyakinan. Malah prinsip nasakh

p:190


1- 252 M. Muthahhari: Majmt‘eh-e Otsor, jld. 3, hlm. 427-439
2- 253 M. Muthahhari: ‘Adl-e Ilahi, bab terakhir “Perbuatan Baik non- Muslim”.
3- 254 Ibid., hlm. 346; Qomus Qur’on, jld. 4, entri Mustadh‘af, jld. 5, entri ‘amal.

membuktikan bahwa agama terdahulu telah dihapus, dan para

pengikutnya harus beriman pada Islam. Akan tetapi, dalam

kondisi mereka tidak tahu karena keterbatasan potensi dan

kapasitas, bukan karena keteledoran, perbuatan saleh mereka

tidak hilang sia-sia, kalau bukan justru diganjar pahala Allah

Swt.

Tampaknya, kegelisahan dan kegagalan mendudukkan dua

persoalan itu secara kategoris (keimanan subjektif seorang Ahli

Kitab dan kebenaran objektif agama mereka) jadi salah satu

alasan utama kecenderungan ke arah Pluralisme dan penafsiran

ayat-ayat yang disangkatpautkan dengan paham ini, padahal

pemilahan tegas dua duduk persoalan itu dapat memecahkan

polemik.(1)

Ahli Kitab dan Muslimin

Penafsiran ketiga yang dinukil Fakhru Razi(2) menerangkan

bahwa maksud dari Ahli Kitab bukan hanya pengikut Nabi

Musa as dan Nabi Isa as, tetapi lebih umum dari itu: mencakup

juga Muslimin. Ayat hendak menjelaskan bahwa Ahli Kitab

(Muslimin dan kaum lainnya) tidak satu dan tidak sama dalam

menempuh jalan hidayah. Justru sebagian mereka menempuh

tingkatan tinggi hidayah seperti Muslimin. Hanya kiranya

ruang buku ini tidak memadai untuk mengulas penafsiran

ini.

Berita Umat Terdahulu

Telah dikemukakan bahwa penafsiran kedua menyatakan adanya

orang-orang beriman dari kalangan Ahli Kitab. Akan tetapi, ini

juga bukanlah bukti bagi klaim Pluralis. Justru penafsiran ini

p:186


1- 255 A. Soroush: Shirotho-ye Mustaqim, hlm. 51; Khuramsyahi: jurnal Bayyinat, vol. 17, hlm. 176.
2- 240 ibid hlm. 188

menekankan bahwa pasca-Nabi Musa as dan Nabi Isa as, mayoritas

Ahli Kitab mengalami tahrif dan penyimpangan dalam prinsip

agama seperti: keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Mereka

mengatakan bahwa Uzair dan Nabi Isa as. adalah anak Tuhan.

Juga dalam perbuatan serta ketakwaan, mereka menyimpang

dari jalan lurus, kalau bukan malah memilih jalan kefasikan,

kecuali sebagian kecil dari mereka yang, dalam perkara agama,

tidak ditimpa tahrif serta konsisten berbuat kebaikan. Karena

itu, Al-Qur'an menyebut kebanyakan Ahli Kitab sebagai kafir ,

fasik, dan zalim. Sementara mengenai orang-orang beriman,

kitab suci ini menyinggung mereka dengan ungkapan minhum

‘di antara mereka atau qalil ‘sedikit’

Ada sejumlah riwayat yang juga menguatkan hal ini. Imam

Ali bin Abi Thalib dengan bersandar pada ayat, “Di antara

mereka terdapat umat pertengahan’, mengatakan bahwa

Ahli Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua

golongan; hanya ada satu golongan kelompok yang selamat

sebagai umat pertengahan.(1)

Tsauri termasuk mufassir klasik yang juga menafsirkan

orang-orang beriman Ahli Kitab sebagai kaum mukmin sejati

Nabi Musa as dan Nabi Isa as di timur dan di barat.(2)

Atas dasar penafsiran ini, ayat-ayat di atas itu menyoroti

keimanan dan kekafiran Ahli Kitab dalam sejarah lampau

agama mereka. Adapun mengenai keimanan dan kekafiran saat

kedatangan Islam, ayat-ayat yang lain atau ayat-ayat berikutnya

akan menjadi rujukan penafsiran.

p:187


1- 247 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hlm. 85.
2- 248 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 8 hlm. 187.

Argumentasi VI: Banyaknya Saksi di Hari Kiamat

Point

Referensi lain kaum Pluralis dari Al-Quran ialah ayat-ayat yang

menjelaskan banyaknya saksi dan beragamnya bukti dari setiap

umat pada Hari Kiamat. Adanya saksi dalam kapasitas manusia-

manusia sempurna dan mulia dari setiap umat merupakan

argumen atas kebenaran jalan masing-masing umat. Beberapa

ayat yang menguatkan hal ini adalah di bawah ini:

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila

Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap

umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai

saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) (QS. Al-Nisa’ [4]: 41).

p:191

Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-

tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan

Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh

umat manusia (QS. Al-Nahl [16]: 89).

Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-

tiap umat dipanggil kepada kitabnya. Pada hari itu kamu diberi

balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Jatsiyah [45]: 28).

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat

dengan pemimpinnya (QS. Al Isra’ [17]: 71).

Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan

cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan

perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan

saksi-saksi dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil,

sedang mereka tidak dirugikan (QS. Al-Zumar [39]: 69).

Ayat pertama dan kedua menunjukkan adanya saksi dari

setiap umat. Sementara ayat ketiga dan keempat berbicara juga

adanya kitab dan imam di antara umat. Sedangkan ayat terakhir

ini menekankan banyaknya saksi di Hari Kiamat dan perhitungan

yang adil. Kandungan ayat-ayat ini lantas dirumuskan seorang

penulis untuk kepentingan Pluralisme demikian:

Afirmasi implisit atas agama-agama lain dan pengakuan atas

paham Pluralisme dapat ditarik dari poin berikut ini: dalam

Al-Quran, banyak diungkapkan bahwa pada Hari Kiamat,

dari setiap umat terdapat saksi, yaitu para nabi dan imam

p:192

mereka, hadir di padang Mahsyar. Maka Nabi Muhammad

adalah juga saksi umat Islam ... Dari ayat-ayat seperti ini

dapat disimpulkan bahwa keimanan dan kekufuran memiliki

banyak agama, dan semua agama tidak berubah menjadi satu

agama yang universal (Islam).(1)

Tinjauan Kritis

Point

Terdapat dua catatan yang perlu dikemukakan untuk mengkritik

referensi di atas.

Kesaksian atas Kebenaran Risalah Para Nabi

Dalam penafsiran ayat-ayat di atas, layak kiranya mencermati

dua poin: pertama, apakah objek dan motif kesaksian? Kedua,

kenapa Allah menghadirkan sebagian orang sebagai saksi di Hari

Kiamat?

Jawaban atas pertanyaan ini memiliki peran penting

dalam penafsiran ayat. Dengan merujuk ayat lain juga riwayat,

akan tampak jelas bahwa Allah menanyakan kepada para nabi

tentang eksekusi risalah Ilahi secara baik: apakah mereka telah

menyampaikan pesan-pesan Langit kepada masyarakat; dan

apakah mereka telah mencurahkan segenap upaya di jalan ini?

Setelah jelas jawaban positif para nabi, giliran berikutnya

adalah masyarakat, khususnya orang-orang kafir dan para

pendosa. Mereka ini juga akan menghadapi tuntutan Allah:

kenapa kalian tetap tidak beriman padahal telah datang para

nabi dengan menyampaikan pesan Ilahi? Pertanggungjawaban

p:193


1- 256 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 548-549.

atas dua kelompok ini (para nabi dan masyarakat) disinggung

ayat di bawah ini:

Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang

telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya

Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami) (QS. Al-A‘raf [7]: 6).

Dalam sebuah riwayat, Imam Ali bin Abi Thalib juga

menyinggung pertanggungjawaban atas para nabi itu.(1)

Di sini, boleh jadi masih ada kemungkinan berbagai alasan

yang diajukan orang-orang kafir untuk membela diri. Dalam

rangka menggugurkan alasan-alasan mereka, Allah menyiapkan

malaikat, agama, Al-Quran, masa, tempat, dan segenap anggota

tubuh manusia sebagai saksi. Jadi, di Hari Kiamat kelak, manusia

tidak sendirian, tetapi bersama satu atau bahkan banyak saksi:

Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang

malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi (QS. Qaf [50]: 21).

Latar belakang adanya saksi di Hari Kiamat ialah agar

seseorang tidak bisa lagi berdalih untuk pengingkaran dan

keteledoran dirinya, dan mengakui telah disampaikannya pesan

Allah Swt. Satu kelompok dari saksi-saksi itu adalah para nabi,

Manusia-manusia sempurna dan orang-orang saleh. Kesaksian

mereka atas risalah Ilahi yang telah disampaikan dan kondisi

bebas memilih kekafiran atau keimanan) merupakan bukti

p:194


1- 257 Arusi Huwaizi: Nur Al-Tsaqalain, jld. 2, hlm. 4.

afirmatif atas azab yang berhak diterima orang kafir.(1)

Oleh karena itu, sekalipun telah menteorisasi banyak saksi

dari setiap umat, kaum Pluralis toh masih saja mengabaikan

objek dari kesaksian itu. Mereka tidak cukup tanggap terhadap

poin: kesaksian para saksi itu, dari satu sisi, menunjukkan

kebenaran risalah para nabi dan, dari sisi lain, kesalahan sengaja

dan penentangan orang-orang kafirterhadap Allah dan para nabi-

Nya. Makna kesaksian itu ialah afirmasi atas kebenaran sebuah

umat yang, kepada mereka, para duta-duta Allah itu datang,

dan sebagian dari mereka—sekalipun berjumlah kecil—adalah

orang-orang yang taat mutlak dan sempurna hingga mencapai

kedudukan yang tinggi.

Jadi, masalahnya di sini yaitu afirmasi dan penegasan

terhadap kebenaran sebuah umat yang taat pada nabi di masanya

dan saksi-bukti bagi diri mereka. Pada masa-masa sebelum

kedatangan Islam, hal ini akan mengejawantah dengan ketaatan

pada nabi di masanya dan tentunya, setelah munculnya Islam,

dengan ketaatan pada Nabi Muhammad Saw.

Pembatasan Frasa Setiap Umat

Para mufassir klasik dan kontemporer sepakat menafsirkan

“setiap umat” [dalam ayat itu] dengan umat-umat pemilik

ajaran wahyu dan agama langit.(2) Yakni, dalam ayat-ayat di

p:195


1- 258 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 6, hlm. 323. Perlu juga dikemukakan bahwa kesaksian para saksi itu tidak terbatas hanya mengenai tugas tablig para nabi, akan tetapi mencakup segala perbuatan manusia. Dan ini tidak bertentangan dengan keragamannya.
2- 259 Rujuk berbagai sumber tafsir yang terkait dengan ayat-ayat yang terkait topik pembahasan.

atas, Allah Swt memberitakan pengajuan juru saksi dari umat-

umat yang, kepada mereka, para nabi dan agama diturunkan:

ada sebagian yang beriman pada kebenaran; ada sebagian

lain yang berpaling darinya. Namun, dengan kemunculan

Islam, apakah lantas agama sebelumnya menjadi terhapus

(manstkh) ataukah tidak, ayat-ayat ini tidak dalam rangka

menjelaskan masalah ini. Sebab, ayat-ayat ini hanya dalam

konteks mengecam orang-orang kafir dan menerangkan

sekian keadaan Hari Kiamat; satu di antaranya pertanyaan

terhadap para nabi, umat, dan pengajuan juru saksi.

Boleh jadi di sini muncul tanggapan kritis: jika maksud

dari umat itu adalah umat-umat sebelum Islam, maka ayat ini

mengabarkan keadaan umat-umat itu. Namun, ayat dalam

konteks ini bermakna mutlak dan menegaskan kebenaran semua

umat sebelum Islam; entah ada nabi Allah di tengah mereka

ataukah tidak. Dengan demikian, yakni kemungkinan adanya

suatu umat pra-Islam yang benar dan tak ada seorang nabi di

dalamnya, maka kemungkinan ini mutlak; bisa juga berlaku

pada masa Islam dan masa-masa berikutnya.

Dalam menjawab tanggapan ini perlu dicatat bahwa

berdasarkan sekian banyak ayat, Allah Swt mengutus seorang

nabi kepada semua umat terdahulu. Tidak ditemukan suatu umat

kecuali mereka memperoleh ajaran Allah Swt yang disampaikan

melalui seorang nabi atau penggantinya. Fakta ini dinyatakan

tegas dalam beberapa ayat berikut ini:

p:196

Dan tiap-tiap umat mempunyai rasul (QS. Yunus [10]: 47).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap

umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (semata)” (QS.Al-Nahl [16]: 36).

Dan tidak ada suatu ummatpun melainkan telah ada padanya

seorang pemberi peringatan (QS. Fathir [35]: 24).

Ayat-ayat ini bisa merupakan argumentasi dan penguat

penafsiran para ahli tafsir terhadap makna mutlak dari frasa ayat

“setiap umat’. Karena, berdasarkan ketegasan ayat-ayat inilah

semua umat memiliki nabi, sehingga jelas bahwa kita tidak akan

menjumpai suatu umat tanpa seorang nabi di tengah mereka.

Dengan demikian, sudah barang tentu syaéhid “juru saksi” akan

terpilih di antara pengikut setia nabi setiap umat.

Poin lainnya, terlepas dari semua argumen dan indikasi yang

telah diajukan di atas tadi, maksimal yang dapat disimpulkan

dari ayat-ayat itu ialah bahwa di antara segenap umat, baik umat

yang memiliki nabi ataupun tidak, terdapat orang-orang saleh

dan bersih yang mengikuti nabi eksternal(1) atau—manakala

tidak dapat mengakses atau tidak mengenalnya—mengikuti nabi

internal (akal dan fitrah). Tentunya, mereka ini layak diantarkan

ke surga dan dijauhkan dari siksa neraka. Mereka inilah juru

saksi dan bukti Tuhan atas manusia lain yang menyimpang dari

jalan para nabi atau jalur akal dan fitrah.

p:197


1- 260 Maksud dari nabi eksternal adalah nabi bersosok manusia sebagai lawan dari nabi internal, yaitu akal. Istilah ini mengacu sejumlah riwayat yang menyebutkan, secara berurutan, hujjah zhahirah dan hujjah batinah (peny.).

Oleh karena itu, ayat ini menguatkan kepatuhan masyarakat

pada para nabi Allah atau pada hukum akal dan fitrahnya:

kepatuhan yang sanggup mendatangkan nikmat Allah serta

menjauhkan diri dari siksa. Adapun terasingnya sebagian

dari ajaran yang diturunkan Allah dalam bentuk syariat, itu

tidak berpengaruh negatif terhadap jalan orang-orang tidak

memperoleh ajaran tersebut. Dan memang, ayat-ayat itu sendiri

tidak dalam konteks menjelaskan hal ini yang justru bisa

diperoleh kejelasannya dari ayat-ayat lain secara memadai.

Kekacauan penalaran di atas itu, yakni menjadikan

keselamatan sebagian orang dan kelayakannya mendapatkan

pahala sebagai premis untuk menyimpulkan banyaknya jalan

yang lurus, tak ubahnya dengan kekacauan intelektual sebagian

penentang Pluralisme: mereka malah berusaha menjadikan

perbuatan buruk dan maksiat para pengikut (oknum) agama

yang lain sebagai premis untuk membuktikan ketidakbenaran

agama mereka (1)

Sebagai contoh, dalam membuktikan

ketidakbenaran agama Yahudi dan Nasrani, sekelompok anti-

Pluralisme ini berpegang pada ayat-ayat seperti: “Kebanyakan

dari mereka adalah orang-orang fasik” atau “... orang-orang

kafir’ Pada saat yang sama, mereka lengah bahwa, pertama:

dalam ayat-ayat ini, disebutkan “kebanyakan dari mereka’,

bukan “mereka semua’. Dan kedua: kalaupun di dalamnya

disebutkan “mereka semua’, tetap saja itu belum memadai

untuk menempatkan kefasikan dan kekufuran pengikut

sebuah agama sebagai premis pembuktian atas kekufuran dan

kefasikan agamanya sendiri.

p:198


1- 261 “Negoh-e Darundini be Pluralizm”, dalam Ketob-e Naqd, vol. 4, hlm. 254.

Di akhir pembahasan ini, patut dibubuhkan satu sisi

kerapuhan lain dalam argumentasi via tiga ayat terakhir itu:

Ayat keempat (Al-Isra’ [17]: 71) hanya menjelaskan ihwal

dibangkitkanya umat bersama para pemimpin (imam)

mereka. Kata imam ini digunakan dalam Al-Quran pada

sosok-sosok pemimpin yang haq maupun yang batil.(1)

Maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu (QS.Al-Taubah [9]: 12).

Ayat ketiga (Al-Jatsiyah [45]: 28), seperti juga ayat Al-Isra’

tadi, hanya menunjukkan seruan agar seluruh umat melihat

kitabnya masing-masing. Dengan memperhatikan beberapa

indikasi, termasuk frasa ayat “kamu diberi balasan’, maksud dari

kitab itu adalah buku hisab dan catatan amal.(2)

Demikian pula ayat kelima(Al-Zumar([39]:69) memaksudkan

kitab yang tersebut di dalamnya sebagai buku hisab dan catatan

amal(3) apalagi di dalamnya juga tidak dinyatakan secara eksplisit

bahwa setiap umat memiliki kitab tersendiri.

Argumentasi VII: Hukum Jizyah Ahli Kitab

Point

Dalam melegitimasi kebenaran Yahudi dan Kristen, sebagian

Pluralis bersandar pada hukum Islam yang menerima jizyah dari

mereka dan sikapnya yang tidak mengharuskan pengikut dua

p:199


1- 262 Thabathabai: Al-Mizdn fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 3, hlm. 165-166.
2- 263 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 5, hlm. 80; Thabthaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 18, hlm. 177.
3- 264 Ibid., jld. 4 hlm. 509.

agama itu untuk memeluk Islam. Sejauh klaim kaum Pluralis,

Al-Quran membiarkan Ahli Kitab hidup bebas dan berhak

memilih satu di antara dua perkara: perang melawan Muslimin

atau membayar jizyah dan tidak masuk Islam. Dari sini lantas

oleh mereka disimpulkan kebenaran agama Ahli Kitab.

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah

dan tidak (pula) kepada Hari Kemudian, dan mereka tidak

mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-

Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama

Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada

mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh

sedang mereka dalam keadaan tunduk (QS. Al-Taubah [9]:29).

Dalam memaknai ayat ini agar sesuai paham Pluralisme,

sebagian pendukungnya menulis:

Argumen lain bahwa Al-Quran mengakui sahnya [agama]

Ahli Kitab adalah fakta dari sejarah dan Al-Quran itu sendiri:

memperkenankan mereka untuk tetap menganut agamanya

sendiri dengan membayar jizyah.(1)

Bagi sebagian Pluralis, fasilitas keamanan, jaminan sosial dan

ekonomi para pengikut Ahli Kitab yang diberikan pemerintahan

Islam adalah bukti pengakuan atas kebenaran mereka.(2)

p:200


1- 265 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 544.
2- 266 Husein Nasr: jurnal Kiyon, no 45, him. 42.

Perlu juga dibubuhkan, sebagian kritikus dan penentang

Islam sekaliber Ibnu Rawandi(1) cenderung menafsirkan hukum

jizyah sebagai argumen atas kekafiran Ahli Kitab, dan karena

inilah dia mengkritik Al-Quran. Uniknya, prinsip ini pula yang

kini ditafsirkan sebaliknya oleh sekelompok penganut Islam,

yakni sebagai argumen atas kebenaran Ahli Kitab.

Tinjauan Kritis

Point

Berpegang pada ayat ini sebagai argumen atas paham Pluralisme

adalah akibat dari fokus yang minim bahkan terhadap makna

lahiriah ayat. Sebab, ayat ini sendiri menerangkan naskh

‘penghapusan’ agama-agama sebelum Islam. Berikut ini beberapa

poin terkait.

Deklarasi Perang Melawan Ahli Kitab

Mula-mula, ayat ini memerintahkan jihad dan perang melawan

Ahli Kitab. Tentunya, kalau memang agama Yahudi atau Kristen

sederajat dengan Islam sebagai agama yang juga benar dan tak

dihapus, maka tidak ada alasan dan motif lagi yang tersisa untuk

memerintahkan perang melawan mereka.

Menolak Keimanan Ahli Kitab

Ayat ini mengkategorikan Ahli Kitab sebagai manusia yang

tidak beriman pada Allah, Hari Kebangkitan, dan agama. Dalam

upaya menjelaskan hal ini, para ahli tafsir menegaskan bahwa

ayat ini, pada dasarnya, memang mengingkari keimanan mereka

p:201


1- 267 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 16, hlm. 32.

kepada Allah dan Hari Kebangkitan.(1) Sebagian mufassir seperti:

Allamah Thabathaba’i,(2)

menambahkan bahwa Ahli Kitab tidak

memiliki keimanan yang sempurna sekaitan dengan agama dan

kitab otentik mereka, karena keimanan mereka tidak berdampak

keimanan pada nabi yang dijanjikan, yaitu Nabi Muahmmad Saw.

Karenanya, keimanan mereka pada Allah dan Hari Kebangkitan,

pada hakikatnya, kurang dan tidak diterima Allah.

Berdasarkan dua tafsiran ini, Ahli Kitab secara prinsipal

tidak memiliki keimanan, atau tidak memiliki keimanan

sempurna yang diterima Allah. Dengan demikian, mereka tidak

bisa disejajarkan sama-sama benar dengan Islam dan Muslimin.

Keluar dari Agama yang Benar

Ayat ini juga menilai Ahli Kitab telah keluar dari poros agama

yang benar. Para ahli Tafsir sepakat menafsirkan agama yang

benar ini yaitu Islam. Kondisi ini, yakni ketidakpercayaan mereka

pada agama yang benar, merupakan salah satu alasan deklarasi

perang terhadap Ahli Kitab.

Jizyah dan Menghentikan Perang

Setelah memerintahkan berperang dan mensifati Ahli Kitab

sebagai kafir yang keluar dari agama yang benar, ayat ini

menjelaskan tujuan dan batasan yang tegas: jika Ahli Kitab

menerima aturan pemerintahan Islam, tidak ada lagi keharusan

berperang, dan Muslimin akan menghentikan perlawanan jihad.

p:202


1- 268 Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 5 him. 21.
2- 269 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 9, hlm. 238.

Atas dasar itu, aturan membayar jizyah bagi Ahli Kitab tidak

berarti pengakuan atas kebenaran agama mereka, tetapi tujuannya

adalah menghentikan perang agar mereka mendapatkan peluang

untuk memikirkan tanda-tanda nabi yang telah dijanjikan(1)

dan, atas dasar argumentasi, beriman pada Islam. Oleh karena

itu, toleransi dengan Ahli Kitab dan aturan jizyah bagi mereka

tidak bermakna dukungan atas kebenaran agama mereka; hal

yang justru diklaim eksesif oleh kaum Pluralis.

Dengan kata lain, ayat ini berbicara tentang toleransi dan

Pluralisme Sosial, bukan Pluralisme Agama. Buktinya, mereka

juga disinggung ayat dalam statusnya sebagai Ahli Kitab. Karena,

dengan segenap bentuk penyimpangan dan penentangan

terhadap agamanya sendiri, mereka tetap dipandang sebagai

Ahli Kitab dan memiliki persamaan dengan Muslimin dalam

sejumlah ajaran. Ini sebagaimana dalam Ali Imran [3]: 64, Ahli

Kitab diseru agar berpegang pada titik kesamaan, yaitu prinsip

tauhid.

Makna Shaghirun

Sekolompok ahli tafsir memaknai shaghirun dengan kehinaan

dan ketundukan Ahli Kitab di hadapan Islam dan Muslimin.(2)

Sebagian mereka menafsirkannya sebagai penyerahan diri dan

kepatuhan pada pemerintahan Islam dan undang-undangnya.(3)

p:203


1- 270 Fakhru Razi: Al-Tafsir Al-Kabir, jld. 16, hlm. 32.
2- 271 Ibid., hlm. 30; Thabarsi: Majma‘ Al-Bayan, jld. 5, hlm. 22; Alusi: Ruh Al-Ma ‘ani, jld. 5, hlm. 271, dan sumber tafsir lainnya.
3- 272 Thabathabai: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 9, hlm. 242; Maraghi: Tafsir Al-Maraghi, jld. 10, hlm. 95

Apa pun perbedaannya, kedua penafsiran ini sama-sama menolak

bila nilai kebenaran Islam disamakan dengan agama lain.

Belum lagi makna teks ayat ini dan kata shaghirun menguatkan

penolakan tersebut.

Kesimpulannya, selain tidak mendukung Pluralisme,

ayat ini justru menegaskan Eksklusivisme.

Argumentasi VIII: Halalnya Makanan Ahli Kitab dan Nikah dengan Mereka

Point

Referensi lain kaum Pluralis ialah ayat yang di dalamnya

diterangkan kehalalan makanan Ahli Kitab, termasuk hukum

bolehnya menikah dengan mereka.

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan

(sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal

bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan

dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di

antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang

menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Kitab

sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka

dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina

dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa

yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum

Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat

termasuk orang-orang merugi (QS. Al-Maidah [s]: 5).

p:204

Pendekatan pluralistiknya, hukum halal mengkonsumsi

makanan Ahli Kitab dan bolehnya mengawini mereka, tanpa harus

meninggalkan agama mereka sendiri, merupakan alasan untuk

mendukung kebenaran agama mereka. Kalau ini bukan alasan,

pasti Al-Qur’an sudah memperlakukan Ahli Kitab layaknya

kaum musyrikin: tidak membolehkan mengkonsumsi makanan

mereka dan menjalin hubungan pernikahan dengan mereka.

Argumentasi lain bahwa Al-Qur’an mengakui sahnya [ajaran]

Ahli Kitab ... secara jelas memperbolehkan hubungan dengan

Ahli Kitab, mulai dari pernikahan sampai makan bersama

dan memakan makanan mereka.(1)

Sebagian mereka juga mencatat:

Adakalanya, dengan memaksakan kehendak pribadi, seba-

gian mereka berusaha memberikan penafsiran tersendiri.

Tatkala dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa seorang Muslim

dapat menikah dengan [perempuan] Ahli Kitab, ini artinya

perempuan itu bisa tetap bertahan dalam agamanya, dan

seorang Muslim bisa menikah dengannya.(2)

Tinjauan Kritis

Merujuk tinjauan kritis sebelumnya, kerapuhan argumentasi ini

sudah jelas, dan di sini akan ditinjau kembali meski hanya secara

global.

p:205


1- 273 Khuramsyahi: Qur’onpezhuhi, hlm. 545.
2- 274 Bina Mahmud: Haft Osemon, vol. 1, hlm. 25.

Barangkali menjadi sangat aneh: bagaimana kaum

Pluralis mengabaikan sekian banyak ayat yang menyerukan

Islam kepada Ahli Kitab dan mengkafirkan mereka. Untuk

mendukung klaimnya, mereka malah merujuk ayat-ayat yang

tidak ada sangkut pautnya dengan konteks dan duduk persoalan

Pluralisme.

Ayat ini juga ayat sebelum dan sesudahnya adalah dalam

rangka menjelaskan kehalalan atau keharaman berbagai

macam makanan bagi kaum Muslimin. Namun, pada saat

turunnya ayat ini, Ahli Kitab hidup sebagai minoritas di tengah

Muslimin, dan mau tidak mau berlangsung interaksi sosial dan

ekonomi di antara mereka. Jelas, Muslimin akan menghadapi

kesulitan kalau saja interaksi dengan Ahli Kitab dan makanan

mereka diharamkan. Karena itu, sebagai kemurahan dan

rahmat untuk Muslimin, Al-Quran menghalalkan makanan

Ahli Kitab dan pernikahan (lelaki Muslim, bukan perempuan

Muslimah) dengan mereka, itu pun secara berjangka dalam

batas waktu tertentu. Adapun benarkah hal ini juga merupakan

argumen atas kebenaran agama Ahli Kitab, tidak ada isyarat

sedikit pun mengenainya dari ayat ini.(1)

p:206


1- 275 Thabathaba’: Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, jld. 5, hlm. 204-205. Dalam penafsiran ayat ini, terdapat pandangan lain yang tidak perlu lagi dikemukakan mengingat jawaban yang sudah cukup jelas. Hanya di sini akan dibawakan sepintas: (a) Dibatasinya penghalalan makanan hanya kacang-kacangan, namun tidak termasuk hewan sembelihan Ahli Kitab. Ini jelas dukungan lain dalam membantah Pluralisme Agama (Jbid., jld. 5, him. 212). (b) Dihapusnya ayat sahnya menikah dengan Ahli Kitab oleh ayat-ayat lain seperti Al-Baqarah [2]: 221 dan Al-Mumtahanah [60]: 10. (c) Diperbolehkan nikah berjangka waktu, bukan permanen. (d) Dikhususkan pernikahan itu bagi lelaki dan haram bagi perempuan Muslimah, sebab dari pernikahan Muslimah dengan laki-laki Yahudi, ada kemungkinan Muslimah itu dan anak-anaknya menjadi Yahudi. Karena itu, Islam tidak memperbolehkan demikian. Sebaliknya, Islam memperkenankan pernikahan lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab, karena kemungkinan istrinya dan anak-anaknya menjadi Muslim terbuka lebih lebar.

Lebih dari itu, “Dan barangsiapa yang kafir setelah beriman”

adalah lanjutan ayat yang memperingatkan Muslimin bahwa

hukum itu bukan sekedar hukum sosial dalam konteks toleransi

dan tenggang rasa. Jika dengan menikahi Ahli Kitab, keimanan

Muslim menjadi rusak dan menumbuhkan kecenderungan ke

agama Ahli Kitab, maka seluruh amal sebelumnya akan lenyap,

sia-sia, dan kelak di Hari Kiamat termasuk golongan yang

merugi. Jelas, kecenderungan kepada Ahli Kitab dianggap sama

dengan kekafiran dan kerugian di Hari Kiamat. Tentu saja, ini

sama sekali tidak relevan dengan paham Pluralisme. Ayat ini

justru aktif sebagai satu elemen dari gugusan argumen yang

memastikan berakhirnya validitas Taurat dan Injil.2

p:207

p:208

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Miyanaji, Ahmad: Makatib Al-Rasal.

Alusi, Sayyid Mahmud: Rah Al-Ma‘ani, Dar Ihya Al-Turats Al-

‘Arabi, Beirut, 1405 H.

Amili, Syaikh Hurr: Al-Fushal Al-Muhimmah, Matbaah Al-

Haidariyah, Najaf, 1378 H.

Amili, Syaikh Hurr: Wasd'il Al-Syi‘ah, edisi 20 jilid, Ihya’ Al-

Turats Al-Arabi, Beirut, 1391 HQ.

Arusi Huwaizi, Ibn Jumah, Tafsir Nur Al-Tsaqalain, Percetakan

Ismailian (5 jilid) Qom.

Azari Qomi, Ahmad: Syarhi bar Vashiyatnomeh-e Emom

Khomaini.

Bahrani, Ibn Maitsam: Qawd‘id Al-Mardm, Maktabah Ayatullah

Al-Najafi Al-Mar’asyi, Qom.

Bahrani, Syaikh Yusuf: Al-Hadd’ig Al-Nadhirah, Dar Al-Adhwa,

Beirut 1405 HQ.

Baidhawi, Abu Sa'id Abdullah: Tafsir Al-Baydhdéwi, Dar Al-

Kutub Al-IImiyah, Beirut, 1408 H.

Balaghi, Muhammad Jawad: Al-Huda ild Din Al-Mustafa,

Mansyurat Al-Maktabah Al-Haidariyah, Najaf 1358 H.

Bayyinat (jurnal ilmiah) no. 16 17.

p:209

Bawazar, Marsal, Eslom va Huqtgq-e Tabi i-e Enson, terj. Muhsin

Mua-yyidi, Daftar Nasr Farhang Islami, Tehran 1358 HS.

Bazargan, Mahdi: Din va Tamaddun, Bi'tsat, Tehran, 1350, HS.

: Din va Davlat, Bi'tsat, Tehran, 1350, HS.

: Quron va Masihiyon, Syirkat Sahami, Tehran 1376 HS.

Bazargani, Abdul Ala: Ozodi dar Quron.

Bina, Sayid Muhammad Tagi: “Guftemon-e Plurolizm-e Dini’,

Harian Hamsyahri, no. 2114.

Din va Cesymandozho-ye Nu, ter}. Ghulam Husein Tavakuli,

Markaz Intisyarat Tablighat Islami, Qom.

Durant, Will: Torikh-e Tamaddun, terj. tim, Syerkat-e Sahomi,

cet. 2, jld. 4, Tehran, 1368 HS.

Faidh Kasyani, Mulla Muhsin: Tafsir Al-Shdfi, edisi 2 jilid,

Islamiyah, Tehran, 1393 H.

: Al-Waft fi Syarh Ushal Al-Kafi Kitabkhoneh-e Amirul

Mukminin, Isfahan.

Fakhrul Islam, Muhammad Shadiq: Anis Al-A‘lam, Kitabfurusyi-

e Murthadawi, Tehran 1351 H.

Ghazali, Muhammad: Al-Mustashfa min Al-Ushil, Dar Al-

Shadir, Beirut.

: Faishal Al-Tafrigah bayn Al-Islam wa Al-Zandaqah,

diteliti Na’sani, Mesir, 1325 HQ.

Hadidi, Jawad: Eslom az Nazdar-e Walter, Donesygoh-e

Masyhad, 1343 HS.

Hakim Haidaji: Ta'ligah ‘Ala Syarh Al-Manzdiamah, Entesyorot-e

Ilmi, 1363 HS.

p:210

Hick, John: Falsafeh-e Din, ter}. Behram Rad, Intisyarat Bainal

Milali Al-Huda, Tehran, 1372 HS.

Hindi, Rahmatullah: Izhdr Al-Haqq, Al-Mathba’ah Al-‘IImiyyah,

1350 HQ.

Ibnu Arabi, Muhyiddin: Al-Futihdt Al-Makkiyyah, cet. 4 jilid,

Dar Al-Shodir, Beirut.

: Tafsir Al-Qur an Al-Karim, Bidar, Qom.

Ibnu Atsir: Al-Kamil fi Al-Tarikh, Dar Al-Shodir, Beirut 1358 H.

Ibnu Daud: Seh Urjuzeh, Entesyorot-e Vezorat-e Ersyad, Tehran.

Ibnu Hazm: Al-Fashl bain Al-Ahwa' wa Al-Nihal wa Al-Milal, Dar

Al-Marifah, Beirut 1390 H.

Ibnu Katsir: Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Dar Al-Makrifat, Beirut

1396 H.

Ibnu Mandzur: Lisdn Al-Arab, Adab Al-Hawzah, Qom, 1405

HQ.

Legenhausen, Muhammad: “Pluralism’, dalam majalah Ma'refat,

vol. 22.

Ibnu Naubakht: Al-Yaqit fi ‘Ilm Al-Kaldm, diteliti Ali Akbar

Dhiyaie, Kitabkhoneh-e Ayatollah Mar’asyi, Qom, 1413 H.

[bnu Syahr Asyub: Mandgib Ali Abi Talib, Al-Maktabah Al-

Haidariyah, Najaf, 1376 HQ.

Ishfahani, Raghib: Mujam Mufradat Alfadz Al-Qur4n, Daftar-e

Nasyr-e Ketob, 1404 H.

Lahiji, Abdul Razzaq, Sarmoyeh-e Imon.

Le Bon, Gustav: Tamaddun-e Eslom va Arob, terj. Sayyid Hasyim

Husaini, Islami, Tehran.

p:211

Ja fari, Tagi: Tarjumeh va Syarh-e Nahj Al-Baldghah, Farhangg-e

Islami, jld. 2, Tehran, 1357 HS.

Jalaluddin Balkhi (Maulawi): Matsnavi-e Ma‘navi.

Jauhari, Ismail bin Hammad: Al-Shihah Taj Al-Lughah, darul

ilmi lil malayiin, Beirut 1404 H.

Jawadi Amuli, Abdullah: Syari‘at dar Oyineh-e Ma’‘refat,

Farhangg-e Raja.

Khuramsyahi, Bahauddin: Quronpezhuhi, Marekaz Nasyr

Farhanggie Masyriq, Tehran, 1372 HS.

Kiyon (jurnal ilmiah), no. 27, 28, 37.

Ketob-e Nagqd (jurnal ilmiah), no 4.

Kulaini, Ya'qub: Ushidl Al-Kafi, Daftar-e Nasyr-e Farhang-e Ahl-e

Bait, terj. dan komentar Sayyid Hasyim Easuli Mahallati,

Tehran.

Muhagiq Thusi: Naqd Al-Muhashshal, Donesygoh-e Tehran,

1352 HS.

Majlisi, Muhammad Tagi: Bihar Al-Anwér, Muassasah Al-Wafa’,

edisi 10 jilid, Beirut, 1409 H.

Mir at Al-‘Uqal, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, Tehran,

1370 HS.

Mahmud, Bina: Mingguan Haft Aseman, no. 1 2

Makarim Syirazi, Nasir: Tafsir-e Nemtneh, Dar Al-Kutub Al-

Islamiyyah, Tehran.

Makrifat, Muhammad Hadi: Jomi‘eh-e Madani, Entesyorot-e

Farhanggi Al-Tamhid, Qom, 1378 HS.

Mashuniat-e Quran az Tahrif.

p:212

Mircea Eliade: Dinpezhuhi, terj. Bahauddin Khuramsyahi,

Pezhuhezgoh-e ‘Ulim-e Ensoni wa Mutole‘ot-e Farhanggi,

Tehran, 1375, HS.

Miqdad, Fadhil: Irsyad Al-Thélibin, Kitabkhoneh Ayatollah

Najafi, Qom.

Al-Lawdmi' Al-Ilahiyyah, Nasyr Syafaq, Tabriz 1396 H.

Misbah Yazdi, Muhammad Tagqi: Rahnamosyenosi, Markaz

Hawzah IImiyah, Qom.

Mughniyah, Muhammad Jawad: Al-Tafsir Al-Kdsyif, Dar Al-I|m,

Beirut, 1967 M.

Israiliyyat Al-Qur an, Dar Al-Jawad, Beirut, 1400 H.

Muhammadi Reisyahri, Muhammad: Miz4én Al-Hikmah, Daftar

Al-['lam al-Islami, Qom, 1404 HQ.

Muhaqgig Thusi: Sarh Al-Isydrdat wa Al-Tanbihat, Perpustakaan

Aya-tullah Najafi Mar'asyi, Qom, 1403 H.

Mulla Sadra: Al-Hikmat Al-Muta 4liyyah, Kitabfurusyi

Mustafawi, Qom.

Tafsir Al-Qur dn Al-Karim, diteliti Muhammad

Khajawi, Bidar, Qom.

Maraghi, Ahmad Mustafa: Tafsir Al-Maraghi, Mustafa Al-Bab

Al-Majlisi, Mesir, 1373 H.

Mutahhari, Murtadha, Eslom va Muqtazdayot-e Zamon,

Entesyorot-e Sadra, Tehran.

Osyno’i bo Quron, Intisyarat Sadra, Tehran.

Adl-e Ilohi, Al-Nasyr Al-Islami, Qom.

Ketob-e Jihod, Entesyorot-e Islami, Qom, 1361 HS.

p:213

Nomebh-e Farhang, no. 24, 1375 HS.

Naqd va Nadzar (Jurnal IImiah).

Majmi‘eh-e Otsor, Entesyorot-e Shadra, Tehran.

Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan: Jahannam Cero?,

Markaz-e Entesyorot-e Daftar-e Tablighot-e Eslomi, Qom.

Kandkovi dar Saviyyeho-ye Plurolizm, Andisyeh-e

Jawan, Tehran.

Quraisyi, Sayyid Ali Akbar: Qdmis Al-Qur dn, Dar Al-Kitab Al-

Islamiyah, Tehran.

Qasimi, Muhammad Jamaluddin: Tafsir Al-Qdsimi, jld. 4, Dar

Ihya Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, 1376 H.

Rasyid Ridha, Muhammad: Tafsir Al-Man4r, Dar Al-Marrifah,

Beirut.

Razi, Fakhruddin: Al-Tafsir Al-Kabir, Dar Al-Kutub Al-I|miyah,

Tehran.

Razi, Hamsi: Al-Mungizd min Al-Tagqlid, Markaz Nasr Islami,

Qom 1412 H.

Sabzawari, Haj Mulla Hadi: Syarh Al-Manzdimah, Musthafawi,

cet. batu, Qom.

Sayyid Murtadha: Syarh Jumal Al-‘Ilm wa Al-‘Amal.

Sayyid Qutub: Fi Zilal Al-Qur4n, Dar Ihya Al-Turats Al-‘Arabi,

Beirut, 1319 H.

Shadigi, Muhammad: Bisyorat-e Ahdain, Dar Al-Kutub Al-

Islamiyah, Tehran, 1362 HS.

Shafar, Hasan: Candgonegi va Ozodi dar Eslom, terj. Hamid

Ridha Azir, Baqi.

p:214

Smith, Houston: Eslom az Nazdargoh-e Donesymandon-e

Gharb, terj. Ali Agar Hikmat.

Soroush, Abdulkarim: Shirotho-ye Mustagim, Farhanggi-e

Shirot, The-ran, 1377 HS.

Farbehtar az Ideolozhi, Intisyarat Farhanggi Sirath, cet.

3, Tehran, 1375 HS.

Subhani, Jafar: Al-imdn wa Al-Kuft fi Al-Kitab wa Al-Sunnah,

Muassasah Imam AlI-Shadiq, Qom 1416 H.

Maboni-e Hukiimat-e Eslomi, Intisyarat Tauhid, Qom.

Al-Im4én wa Al-Kufr, Muassasah Imam Al-Shadiq, Qom

1416 HQ.

Ma‘ani Al-Nubuwwah fi Al-Qur an Al-Karim.

Syahid Tsani: Haqd’ig Al-Iman, Qom, 1409 H.Q.

Sya’rani, Abul Hasan: Saodat-e Basyar, Perpustakaan Shadugq,

Tehran 1363 HS.

Syaikh Mufid: Al-Irsydd, terjemah dan komentar Sayyid Hasyim

Rasul Mahallati, Intisarat IImiyah Islamiyah, Syiraz.

Syaikh Shaduq: Al-I'tigadat, dicetak dalam buku Awa il Al-

Magdlat karya Syaikh Mufid.

Syaikh Thabarsi: Majma‘ Al-Baydn, Al-Maktabah Al-‘IImiyah Al-

Islamiyah, Tehran.

Jawami‘ Al-Jam‘*,, diteliti dan diintroduksi Dr. Gurji,

Markaz Hawzah IImiyah, Qom.

Syaikh Thusi: Tafsir Al-Tibyan, Al-IImiyah, Najaf, 1376 H.

Syaikh Thusi: Al-Igtishdad fi md Yata‘allag bi Al-I'tiqad, Dar Al-

Adhwa’, Beirut.

p:215

Syaukani: Fath Al-Qadir, Mustafa Al-Bab Al-Halabi, Mesir, 1349

H.

Taftazani, Sa'duddin: Syarh Al-Magqéshid, Al-Syarif Al-Radhi,

Qom, 1371 HS.

Tehrani, Sayid Hasyim Husaini: Ta‘ligah ‘ala Tajrid Al-I'tiqad,

cet. Tabriz.

Thabari, Abu Ja’far: Tarikh Al-Tabari, Mu’assasah Al-A'lami li

Al-Mat-bu‘at, Beirut.

Thabathaba’i, Sayyid Muhammad Husain: Al-Mizdn fi Tafsir Al-

Quran, Islami, Qom.

Zduhitr Syi‘eh, Entesyorot-e Syariat, Tehran.

Thaligani, Sayid Mahmud: Partu-i az Quron, Syerkat-e Sahomi,

jld. 1, cet. 3, Tehran.

Zamakhsyari, Syeikh Mahmud bin Umar: Al-Kasysyéf, Dar Al-

Kitab Al-Maghrib, Beirut.

Zubaidi, Muhammad Murtadha: Taj Al-Arts, Dar Al-Fikr,

Beirut, 1414 H.

p:216

INDEKS

A Al-Qur’an 13, 73, 101

Al-Thabarsi 21

Abdul Karim Soroush 113 Al-Thusi,Syaikh 21

Abdullah bin Salam 183 Ali bin Abi Thalib 16, 26, 56, 57,

Abu Muslim 142 83, 87, 91, 116, 187, 194

Adam Metz 100 Ali bin Rabban Thabari 34

Agama 1,2, 3,5,8,10,12,47, —— Ajusi,al- 144, 165, 203, 209

73, 79, 110, 134, 174,178, — amal saleh 160, 163, 166, 168,

202, 175, 175, 203, 206 169, 171, 178

ahamm 9] asas 10, 19, 39, 40, 59, 75, 79,

Ahli Kitab 5, 8, 20, 22, 23, 28, 82.97, 114, 124, 145 As-

30, 34, 35, 36, 37, 39,40, asas Mahdawiyah 39

41,42, 43, 45, 46,47, 49, acpi 19

52, 53, 67, 69, 80, 81,82, —ateis 84. 141

83, 88, 89, 90, 91, 93,96, — azab 40, 43, 52, 53, 71, 77, 103,

103, 112, 114, 115, 118, 141, 149, 159, 167, 168,

119, 120, 121, 122, 123, 170, 173, 174, 178, 195

133, 134, 144, 146, 149,

156, 159, 161, 163, 164, B

165, 167, 168, 169, 170, Bahahut Ghita 181

172, 173, 174, 177, 178, Baidhawi 120, 144, 209

179, 182, 183, 184, 185, Bazargan,Mahdi 23, 210

186, 187, 188, 189, 190, Biography of Charlequin 98

191, 199, 200, 201, 202, burhan 28

203, 204, 205, 206, 207

akidah 9, 85, 90, 188 C

Al-Islam 32, 33, 210 Civilization in the Fourth Cen-

Al-Mizan 18, 22, 46, 51, 56, 61, turyof the Hegira 100

67, 68, 80, 108, 112, 115,

122, 123, 131, 135, 137, D

139, 142, 144, 155, 158,

166, 169, 171, 183, 184, dakwah 28, 38, 39, 40, 80, 162

185, 187, 189, 195,199, dalalah 141

202, 204, 206, 216

p:217

finitif 60, 113, 150, 157, 159 Hamsha Razi 21

klarasi 19, 162, 201, 202 haq 26, 37, 46, 53, 54, 60, 128,199

alog 23, 79, 80, 81, 96, 123 Dia- Hasan 33, 130, 143, 144, 145, 214,

2 Logis 79 215

n 54,110 hashr 113, 114

storsi (Tahrif) 63 Henri de Castries 99

ktrin 1, 15, 75, 76, 79, 103, 119, Henry Corbin 124

140 Hilli, Allamah 21

minasi 23,170 History of the Crusades 99

immi 89 hujjah 28

hujjah batinah 197

Hukum Praktis 218

s-Marxis 34 hukum praktis 9, 11, 19, 63

sistensi (ashl) 19 Syaikh Hur Amili 21

sploitasi 82, 83

npati 96 I

Ibnu Abbas 16, 57, 65, 66, 130,

dhil Migdad 20, 21 132,

khru Razi 61, 66, 67, 70, 143, 143, 170, 183

145, 159, 165, 187, 188,201, TbnuArabi 21, 147, 211

03 Ibnu Dawud 21 |

ara’ 61, 143 Ibnu Maitsam Bahrani 21

tydh Kasyani 16, 145 Ibnu Mas’ud 159

safat 5, 98 Ibnu Naubakhti 21

Ibnu Rawandi 20, 201

Ibnu Syahr-Asyub 21

Ibrahimi 109, 118, 121, 149, 180

idir Khum 110 ijbari 129

istav Le Bon 76, 98 lliya (Ali) 33

imam 199

Imam Mahdi 39

ibasyah 38, 183 Imam Shadiq 68, 182

timanah 23 iman 43, 45, 46, 51, 116, 118, 119,

amid Algar 34 135, 136, 160, 162, 166, 167,

168, 169, 170, 177, 178, 190

Injil 25, 30, 31, 33, 34, 35, 45, 53,

63, 65, 66, 68, 69, 70, 92,

133, 143, 167, 179, 182, 184,

p:218

207 113, 115, 116, 117, 119,

Injil Yohanes 31 124, 125, 128, 129, 131,

Inklusivisme 6 133, 134, 136, 137, 141,

inklus-ivisme 7 142, 146, 148, 150, 159,

irtidad (kemurtadan) 47 165, 169, 173, 174, 175,

176, 179, 180, 183, 186,

J 188, 190, 191, 195, 196,

Jalan yang Lurus 112, 153 08 06 201, 203, 204,

Jamaluddin Qasim 109 wee

Jawad Mughniyah 22 kebenaran abadi 25

jidal ahsan 80 Kegagalan 8, 101, 191 .

Jizyah 199, 202 kepasrahan 106, 110, 112, 113,

John Hick 6, 8, 75, 96 118, 153

Juba’i 138 kerancuan 2, 3, 101, 175

Khawarl 94, 95, 97

K Khuramsahi, Bahauddin 33, 162,

180, 212, 213

kaffah 27 Koherensi 112

kafir 37, 40, 41, 43, 45, 47, 48, koherensi 114, 176

49, 52, 53, 54, 77, 78, 80, Komunisme 6

84, 85, 86, 87, 89, 92, 95, konsep 75, 81, 82, 96, 97

96, 97, 115, 118, 119,120, Kritis 109, 128, 153, 164, 181,

140, 141, 149, 156, 165, 193, 201, 205

167, 168, 169, 172, 182, kull 144, 145, 147

183, 186, 187, 189, 191,

193, 194, 195, 196, 198, L

199, 202, 204, 207

Karl Rahner 6 Laotze 5

Keadilan 190 Legenhaussen 34

keadilan 98, 106, 119, 192 logis 19, 58, 79, 120, 176

kebebasan 22, 78, 79, 80, 82,90, Af 18

123, 128, 129 M

kebenaran 1, 5, 6, 7, 8, 11, 12, 15,

16, 17, 19, 22, 23, 24, 25, ‘Muslim’ 112

26, 29, 30, 31, 32, 37, 40, *‘Mushimin’ 112

41, 43, 47, 51, 53, 54, 63, ma‘ad |0

71, 75, 81, 95, 108, 112, ma 'rifah 113, 157, 211, 214

Mahasin Al-Ta’wil 121

p:219

Mahdawiyah 39 N

Mahmud Bina 23, 40, 126, 148,

164 Nabi 7, 9, 11, 15, 16, 18, 19, 24,

makhluk 83, 88, 109, 127 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,

Malik Asytar 91, 97 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39,

Maqumes 38 40, 41, 42, 46, 51, 53, 56,

Maraghi,Al- 144, 168, 204, 213 62, 68, 69, 70, 76, 77, 79,

Materialisme 8 80, 84, 86, 87, 89, 96, 97,

Mesir 31, 38, 210, 213, 216 99, 106, 107, 110, 113,

Metafisica 5 114, 116, 118, 120, 121,

minhaj 154 122, 130, 131, 136, 139,

minoritas 76, 89, 91, 92, 93, 97, 140, 141, 149, 150, 151,

188, 206 152, 155, 156, 158, 159,

mubdhalah 173 160, 165, 166, 167, 168,

Muhammad Abduh 22 169, 171, 173, 174, 176,

Muhammadi 109, 113, 118, 119, 177, 178, 181, 182, 186,

120, 121, 122, 213 187, 188, 193, 195, 202

Muhammad Jawad Balaghi 21 nabi eksternal 197

Muhammad Jawad Mughniyah nabi internal 71, 197

22 nafy 22

Muhammad Shadigq Fakhrul Islam Najjasi 183

34 nakirah 113, 150, 151, 155, 156,

Muhaymin 17 7 158, 160

muhaymin 23, 24, 133, 134,159, Nasikh 17

170 nasikh 22, 24, 104, 116

muhimm 9] naskh 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23,

Mujahid 143 24, 25, 26, 29, 34, 35, 38,

mugayyad 104 39, 43, 47, 57, 63, 71, 124,

murtad 47, 48, 49, 50, 51 130, 134, 145, 162, 170,

Murtadha, Sayyid 21, 214 19, 201

Murtadha Muthahhari 25, 79 negasi 22

Musa Kazhim, Imam 16 netralitas 103

Muthahhari, Syahid 22 New Theology 12

muwahhid 39 O

objektifitas 103

oneness 10, 11

Otokritik 156

p:220

P 157, 158

spembenar’ 24 politeis 84

‘penetapan hukum’ 130 Q

‘penghapus’ 22, 24, 43 _—

paradigma 3 Qasim1,Muhammad Jamaluddin

pararelisme 152 121, 214

partikularisme 7, 12 Qatadah 130, 142, 143

Pemikiran 220 Qebt 38

pemikiran 2,3, 54, 60,91, 106 Qutub, Sayyid 165, 214

pengenalan Ilahi 153 R

penyembahan 83, 153

Perancis 34, 99, 124 Raghib Isfahani 17

Perang 201, 202 Rahmatullah Hindi 22

perang 49, 56, 86, 94, 175, 200, realitas 8, 10, 20, 105, 112

201, 202, 203 Realitas Absolut 10

persamaan 81, 82, 87, 203 risalah 23, 79, 193, 194, 195

Piagam 90 Robertson 98

plural 11, 154 Roger Garaudy 34

Pluralis 1, 3, 6, 7, 40, 47, 50,52, Romawi 38, 39

75, 103, 105, 107, 111,

115, 117, 118, 122, 123, S

124, 125, 134, 140, 141, opi

144, 146, 147, 148, 150, she ‘4 195, 197

IST, 153, 198, 100, 108, gaksi_ 15, 26, 54, 114, 156, 179,

171, 173, 175, 176, 178,

186, 191, 192, 193, 194,

181, 185, 186, 190, 191, 195. 196. 197

200. 203. 2 mene

ee salleh $5, 62, 103, 160, 161, 163,

Pluralisme 1, 2, 3,5, 6, 12, 15, 164, 166, 168, 169, 171,

, 178, 179, 180, 188, 189,

17, 22, 28, 40, 44, 51, 103, 191. 194. 197

106, 109, 112, 113, 124, Salman Farisi I 65

125, 126, 128, 129, 131, n ,

samawi 7, 8, 10, 23, 24, 35, 42,

132, 138, 139, 140, 164,

43, 63, 81, 106, 118, 148,

170, 174, 175, 177, 178,

154, 156, 184

183, 191, 192, 198, 200, Seiarah 9.37. 76.87.91

201, 203, 204, 206, 207 en oe 39 og.

luralitas 5, 50, 126, 130, 141 Semesta 26, 27, 28

P 0 eee Shaduq, Syaikh 21, 215

p:221

Shirat Mustaqim 150 92, 120, 133, 140, 143,

siyaq 113 167, 179, 182, 184, 207

sosial 9, 20, 73, 76, 82, 87, 88, Teologi Baru 12

90, 95, 97, 127, 174, 175, Teologi Universal 162, 163

200, 203 , 206, 207 Teori 117, 221, 226

sufi 127 Thabathaba’i, Allamah 18, 22,

Suryani (Syriac) 33 46, 56, 61, 68, 108, 122,

Sya’rani, Allamah 21 123, 124, 130, 131, 132,

syahid 197 133, 137, 139, 142, 144,

syariat 7,9, 10, 11, 18, 19, 20, 166, 171, 202

22, 24, 25, 34, 40, 63, 64, Thabathah (Fathimah) 33

65, 103, 110, 111, 113, Thusi,Syaikh 57, 118, 119, 215

121, 130, 131, 135, 144, titik 8, 81, 175, 203

145, 146, 149, 150, 151, Titik Persamaan 81

155, 159, 166, 171, 184, Toleransi 1, 73, 84, 96

198, 216 toleransi 5, 75, 76, 79, 81, 84, 86,

Syaukani 168, 216 87,91, 95, 96, 97, 98, 100,

Syeppar (Hasan) 33 175, 203, 207

Syuppar (Husain) 33 Tuduhan 35

tuduhan 35, 94

T tunduk 46, 70, 106, 149, 200

Thabarsi 109, 120 U

taghyir 117

Tahkim 94 ummah muqtashidah 180, 183

tahrif 69, 187 ummah qa'imah 180, 183

takwini 129 ummat-an wahidah 130

Tanwin Tafkhim 157

Tanwin Tankir 157 urafa’ \27

taslim 108, 109, 116, 118 V

taslim mahdh 116, 118

taslim mutlag 108 Voltaire (1694-1778) 75

fasyri'i 130

tatavvur 117 WwW

rune eo en Re 156, 160, ithah 143, 144, 145, 146, 147

Taurat 25, 30, 31, 34, 35, 37, 53, oe purant 7 dwie 8

63, 65, 66, 67, 68, 69, 70, Benner Os

p:222

Y

Yahudi 7, 8, 12, 19, 20, 24, 34,

38, 45, 47, 49, 50, 51, 63,

64, 65, 67, 68, 76, 84, 89,

90, 93, 94, 97, 98, 99, 106,

111, 123, 133, 135, 136,

143, 146, 148, 155, 156,

157, 161, 164, 165, 166,

167, 171, 174, 179, 182,

184, 185, 188, 189, 198,

199, 201, 206

Z

Zaid bin Jahwar 24

Zamakhsyari 61, 67, 119, 120,

138, 144, 168, 184, 216

Zoroaster 165

p:223

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109